MODEL STRATEGI KEBIJAKAN REGIONAL DALAM PENGELOLAAN IRIGASI BERKELANJUTAN
SJOFJAN BAKAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Bersama ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan yang ada dalam disertasi yang berjudul: ”MODEL STRATEGI KEBIJAKAN REGIONAL DALAM PENGELOLAAN IRIGASI BERKELANJUTAN” adalah buah karya hasil penelitian saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi. Demikian pernyataan ini Saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Mei 2008
Sjofjan Bakar P 062040284
ii
ABSTRACT SJOFJAN BAKAR. Model of Regional Policy Strategy in Sustainability Irrigation Management, under direction of ERIYATNO, BAMBANG PRAMUDYA and IKHWANUDIN MAWARDI. At present, Indonesia’s regional economic growth strategy and related sectoral policies still do not adequately consider sustainable environmental management aspects. The empirical consequences of this condition are the emergence of negative impacts in the form of ecosystem degradation due to increasing exploitation of natural resources. In the case of deforestation, excessive soil erosion and degradation of the watershed catchments area could decrease reliable river flows. Unstable landscape and rivers alignments increased risk of catastrophic landslides and excessive sediment transport. All of those contribute to decreased water availability for domestic uses, irrigation, industry and public utility as well as increase public goods losses. In the paddy fields, there is tendency that productivity of irrigated lands becoming smaller over time. This research aims to develop strategic regional policy for sustainability of irrigation management systems through synthesis of environment, economic, technique, and institution aspects and formulates implication of model policy. This research apply the ‘Soft System Methodology to analyze current irrigation policies, through Strategic Assumption and Surfacing Testing (SAST) and Focus Group Discussions (FGD). Expert Survey was conducted to implement Interpretative Structural Modeling (ISM) technique and equipped with farming surveys and field observations. The result of this study is expressed as conceptual model, which is the strategic policy for regional irrigation management (PKSARI model) covering both upstream and downstream areas. The sustainability development approach used Comhar principles which are: (1) Good Decision-making; (2) Satisfaction of human needs by the efficient use of resources; and (3) Equity between countries and regions. The policy implication of PKSARI model recommend better regulation and supervision for Komisi Irigasi (Irrigation Commission), as well as strengthening community participation. Coordinated efforts of various technical departments in the region should be done with Komisi Irigasi framework. Sources of various funding should be adequately available for infrastructure rehabilitation, re-forestation, irrigation maintenance costs and farm credits. Key words: Sustainable irrigation management, Regional policy, and Soft System Methodology.
iii
RINGKASAN SJOFJAN BAKAR. Model Strategi Kebijakan Regional Dalam Pengelolaan Irigasi Berkelanjutan. Dibawah bimbingan ERIYATNO, BAMBANG PRAMUDYA dan IKHWANUDIN MAWARDI. Selama ini, strategi pertumbuhan ekonomi regional Indonesia dan kebijakan sektoral terkait masih belum mempertimbangkan aspek keberlanjutan pengelolaan lingkungan hidup. Konsekuensi empiriknya dari kondisi demikian adalah banyak dijumpai dampak negatif yang tidak diharapkan baik dalam bentuk kerusakan lingkungan maupun semakin terbatasnya sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan. Hal ini terlihat dari beberapa kasus penebangan hutan yang tidak terkendali menyebabkan kerusakan kawasan hutan, erosi tanah, dan degradasi daerah tangkapan air yang dapat menimbulkan keterbatasan ketersediaan air sepanjang tahun. Fenomena kerusakan kawasan hutan menimbulkan semakin terbatasnya ketersediaan air sepanjang tahun dalam memenuhi berbagai kebutuhan baik untuk domestik, pertanian beririgasi, industri maupun kebutuhan umum lainnya. Terdapat kecenderungan bahwa menurunnya ketersediaan air irigasi menyebabkan produktivitas pertanian beririgasi, khususnya padi sawah menjadi menurun dari tahun ke tahun. Ketersediaan air yang semakin terbatas merupakan cermin adanya kerusakan lingkungan di sekitar kawasan hutan dan lahan kritis. Kondisi demikian tentunya dapat mengancam keberlanjutan pengelolaan irigasi untuk memenuhi kebutuhan air tanaman melalui suatu sistem irigasi yang merupakan prioritas utama dalam kerangka pembangunan sumber daya air. Mengingat tingkat kepentingannya yang sangat strategis, maka perlu diupayakan pengelolaan irigasi secara tepat dan berkelanjutan yang memadukan daerah hulu dan hilir dengan daya dukung sintesa kelembagaan, ekonomi, teknik, dan lingkungan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan suatu model strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan dengan mengambil kasus di Kabupaten Cianjur Jawa Barat, khususnya pada 10 (sepuluh) daerah irigasi terpilih. Tujuan penelitian ini adalah merumuskan faktor penentu strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan; membuat dan mensintesa berbagai asumsi dasar yang mendukung strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan; merumuskan struktur model strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan melalui sintesa aspek lingkungan, ekonomi, teknik dan kelembagaan; dan menetapkan alternatif kriteria pengambilan keputusan rancang bangun model strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan pendekatan permodelan sistem melalui metode Soft System Methodology (SSM) yang berorientasi pada penyusunan pedoman guna bertindak (action oriented). Metode tersebut dipergunakan dalam rangka memperhatikan upaya menyiapkan informasi yang relevan pada suatu kebijakan yang harus ditetapkan (policy research). Dengan demikian diharapkan tujuan perumusan model strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan dapat tercapai secara tepat. Analisis situasi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi kerusakan terjadi di kawasan hutan yang luasannya semakin menurun, sedangkan luas lahan kritis cukup besar. Hal ini menyebabkan terbatasnya ketersediaan air pada beberapa sumber air permukaan (sungai) di Kabupaten
iv
Cianjur sehingga dapat menurunkan intensitas tanam dan mengancam produktivitas hasil pertanian beririgasi. Pada sisi lain pembiayaan untuk operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi juga relatif terbatas, serta dukungan kelembagaan belum berjalan optimal. Oleh karena itu diperlukan suatu model keberlanjutan pengelolaan irigasi secara terpadu dengan memperhatikan daerah hulu dan hilir, yang dimulai dengan perumusan asumsi dasar melalui teknik Surfacing Asumption Strategic and Testing (SAST) dengan Focus Group Discussion (FGD), kemudian dalam proses strukturisasi diperoleh 9 elemen melalui teknik Intepretative Structural Modeling (ISM) sebagai input penyusunan model dengan indikasi elemen sasaran program yang paling penting dan driver powernya adalah kemantapan peraturan pemerintah tentang irigasi. Hasil penelitian model strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan dikonsepsikan melalui PKSARI-Terpadu (Program Konservasi Sumber Daya Air dan Rehabilitasi Jaringan Irigasi Terpadu). PKSARI-terpadu terdiri 3 sub-model yaitu konservasi sumber daya air, pengelolaan/rehabilitasi jaringan irigasi dan pengembangan pertanian beririgasi. Peningkatan dan pengembangan PKSARI-Terpadu membutuhkan kesadaran, komitmen, dan keberpihakan pemerintahan daerah dengan dukungan partisipasi masyarakat secara optimal. Sedangkan prioritas kegiatan penunjang model yang dirumuskan dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) adalah operasional, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi dan penetapan kebijakan daerah baik dalam bentuk peraturan daerah tentang irigasi maupun pengembangan komisi irigasi. Implikasi kebijakan dari model PKSARI-Terpadu tersebut membutuhkan dukungan kebijakan daerah melalui pembentukan peraturan daerah dan pengembangan komisi irigasi. Selain itu juga akan berjalan apabila programprogram konservasi sumbedaya air, pengelolaan/rehabilitasi jaringan irigasi, dan pengembangan pertanian beririgasi berjalan secara terpadu. Dukungan kerjasama antarlembaga dan pembiayaan anggaran untuk setiap program sangat dibutuhkan baik melalui mekanisme anggaran daerah (DPA dan DAU) maupun dukungan lembaga pendanaan/perbankan melalui akses kredit (KUM, KMKH, KUR, dan KKP-E) dari Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dan Bank. Keberlanjutan model didasarkan pada 3 (tiga) prinsip-prinsip keberlanjutan sebagaimana dikemukakan dalam Comhar (2007), yaitu pengambilan keputusan yang tepat, pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui efisiensi penggunaan sumberdaya dan pemerataan pembangunan. Keberlanjutan sistem irigasi tersebut diformulasikan melalui pola pengembangan dan pengelolaan irigasi dengan menggunakan pendekatan sistem dan mendayagunakan berbagai faktor/komponen yang berpengaruh terhadap sistem irigasi tersebut.
Kata Kunci: Manajemen irigasi berkelanjutan, kebijakan regional, and Soft System Methodology.
v
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2008 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritis atau tinjauan suatu masalah b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vi
MODEL STRATEGI KEBIJAKAN REGIONAL DALAM PENGELOLAAN IRIGASI BERKELANJUTAN
SJOFJAN BAKAR
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
vii
Judul Disertasi
:
Model Strategi Kebijakan Regional Dalam Pengelolaan Irigasi Berkelanjutan
Nama
:
Sjofjan Bakar
NIM
:
P 062040284
Program Studi
:
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Eriyatno Ketua
Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya Anggota
Dr. Ir. Ikhwanudin Mawardi Anggota Diketahui
2. Ketua Program Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan
3. Dekan Sekolah Pascasarja Dekan Sekolah Pasca Sarjana
______________________ Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. ________
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus:
viii
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyusun disertasi dengan judul ”Model Strategi Kebijakan Regional Dalam Pengelolaan Irigasi Berkelanjutan”. Penulis merasa tertarik untuk meneliti topik ini karena pengelolaan irigasi berkelanjutan terkait dengan upaya mencapai ketahanan pangan di Indonesia. Kondisi sumberdaya air irigasi sangat tergantung dengan fluktuasi debit air yang sekarang memperlihatkan indikasi cenderung menurun akibat kerusakan lingkungan seperti penggundulan hutan dan bencana alam. Hal ini apabila dibiarkan akan menjadi kendala dalam pengelolaan irigasi secara berkelanjutan. Meskipun demikian, penelitian doktoral ini banyak mengungkap temuan baru dengan menerapkan ilmu sistem sebagai pendekatan ilmiah dalam metodologi penelitian. Hasil kajian menyatakan pentingnya sintesa aspek teknik, lingkungan, ekonomi, dan kelembagaan sebagai bagian yang sangat penting dalam menjaga keberlanjutan pengelolaan irigasi. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini dapat diselesaikan karena adanya bimbingan, peran serta dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE, Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, Dr. Ir. Ikhwanudin Mawardi, selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan arahan kepada penulis dengan penuh ketulusan dan perhatian yang sangat baik. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Heri Suhardiyanto, M.Sc selaku Rektor IPB, Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S., selaku Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S dan Dr. Ir. Etty Riani, M.S., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi PSL-IPB serta para dosen di lingkungan PSL dan Sekolah Pascasarjana IPB atas bekal ilmu, arahan dan segala masukan yang diberikan guna penyusunan disertasi ini. Selain itu ucapan rasa terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Menteri Dalam Negeri dan Bapak Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menempuh pendidikan S3 pada Sekolah Pascasarjana IPB.
Ucapan terima
kasih juga disampaikan kepada Bupati Cianjur dan Sekretaris Daerah Kabupaten
ix
Cianjur yang telah memberikan ijin untuk penelitian di Kabupaten Cianjur, termasuk juga Drs. Kasmiri, MM selaku Asisten Daerah (Asda) II. Selain itu juga ucapan terima kasih kepada jajaran Bappeda, Dinas PSDAP, Dinas Kehutanan dan PKT, Dinas Pertanian, dan perguruan tinggi serta lembaga swadaya masyarakat dan tak lupa juga seluruh tenaga pendamping masyarakat yang telah banyak membantu kegiatan penelitian lapangan. Kontribusi akademis secara konseptual juga banyak disampaikan sebagai masukan dari seluruh teman-teman mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, serta teman seperjuangan Bambang Wibisono dan tenaga pendukung lainnya, yaitu Ir. Dadan Hermajanda, MSi dan Ir. Nunung Nurhayati yang telah meluangkan waktu, memberikan dukungan, serta berbagai masukan yang berharga dalam penyelesaian disertasi ini. Penghargaan terbesar juga disampaikan kepada keluarga, yaitu istri tercinta Dra. Nansaribudhi dan anak-anak terkasih Lintang Kirana, Rahmat Satria dan Muhamad Ilham, serta saudara-saudara yang telah memberikan dukungan do’a, semangat, dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan studi dan penulisan disertasi ini. Akhirnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan, dukungan, dan kontribusi sangat berharga baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu juga diucapkan banyak terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya.
Atas segala hal tersebut,
semoga Allah SWT membalas amal dan budi yang telah diberikan.
Bogor, Mei 2008
Sjofjan Bakar
x
RIWAYAT HIDUP
Sjofjan Bakar dilahirkan di Padang 29 Juni 1955 sebagai putra ke lima dari dua belas bersaudara buah pasangan dari Bapak Bakar Rajo Sutan Indo dan Ibunda Sawiyah. Penulis menikah dengan seorang isteri yang bernama Dra. Nansaribudhi dan telah dikaruniakan tiga orang anak (Lintang Kirana, Rahmat Satria, dan Muhamad Ilham). Pada tahun 1967, penulis lulus dari Sekolah Dasar (SD) Negeri 58 di Padang kemudian melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Adabiah tahun 1968 di Padang yang lulus pada tahun 1971. Selanjutnya penulis mengikuti pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri I di Padang dan lulus pada tahun 1974. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi dan meraih gelar Sarjana Geografi di Universitas Gadjah Mada tahun 1983, dan kemudian meraih Master of Science di bidang Rural Regional Development di Human Settlement Division (HSD) pada Asian Institute of Technology (AIT) – Bangkok pada tahun 1989. Pendidikan kedinasan ditempuh dengan mengikuti pendidikan SPAMA tahun 1996/1887 dan SPAMEN tahun 2002 Angkatan IV (Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tk. II/Diklatpim). Pada tahun 2005, mengikuti pendidikan program Doktor (S3) pada Sekolah Pascasarjana IPB dengan mengambil Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Pendidikan nongelar lainnya yang pernah diikuti adalah perencanaan pengembangan wilayah di AIT Bangkok, Thailand (selama 3 bulan tahun 1987); konservasi tanah dan sistem pertanian di ASOCON, Filipina (selama 2 bulan tahun 1990); teknologi konservasi lingkungan di Jepang (selama 2 bulan tahun 1992), dan promosi pembangunan pedesaan pada daerah subtropik dan tropik di Munich, Jerman (selama 2.5 bulan tahun 1993).
Pengalaman yang terkait
lainnya adalah proyek program pengembangan wilayah terpadu Bank Dunia di A.S tahun 1996; delegasi Indonesia pada Prepcom KTT dunia pembangunan berkelanjutan di Denpasar Bali tahun 2002; negosiasi technical assistance natural resources for decentralization, Grant ADB, Manila Philipina Agustus 2003; dan mengikuti beberapa seminar nasional dan internasional.
xi
Riwayat penugasan dan jabatan penulis ketika berdinas di lingkungan departemen
dalam
negeri
adalah
sebagai
staf
Subdit
Pembinaan
Pengembangan Wilaya Direktorat Dati I Bangda (April 1984 – Desember 1986); staf bagian Perencanaan Sekretariat Ditjen Bangda (Januari 1987 – 1993); Kasi Kerjasama Sosial Budaya pada Subdit Kerjasama Pembangunan Antar Kota, Dit. Bina Pembangunan Perkotaan (Maret 1993 – 1995); Kasi Sumber Daya Manuia pada Subdit Bina Pertumbuhan Wilayah, Dit PPW (Februari 1995 – Desember 1998) ;Kasubdit Bina Prasarana dan Sarana Desa Dit. Sumberdaya Alam dan Pemukiman Desa, Ditjen Pembangunan Masyarakat Desa (Desember 1998); Kasubdit Regional E Dit. Sumberdaya Daerah, Ditjen Bangda (Juni 2000); Kasubdit Konservasi Alam dan Perairan Dit. Bina Tata Lingkungan Hidup Ditjen Bina Bangda (Maret 2001); Kasubdit Fasilitasi Konservasi dan Rehabilitasi Lingkungan Ditjen Bina Bangda (April 2002); Kasubdit Penataan Ruang Kawasan Tertentu Dit. Lingkungan Hidup dan Penataan Ruang, Ditjen Bina Bangda (November 2003 – Agustus 2004); dan Kasubdit Perencanaan, Pemanfaatan, dan Pengendalian Sumber Daya Buatan Dit. Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup Ditjen Bina Bangda (Agustus 2004 – Maret 2007); dan saat ini penulis menjadi Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri sejak Maret 2007 sampai sekarang.
Jakarta, Mei 2008
Sjofjan Bakar
xii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI............................................................................................. DAFTAR TABEL...................................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................
xiii xv xvi xviii
I.
PENDAHULUAN ........................................................................... 1.1. Latar Belakang..................................................................... 1.2. Permasalahan Irigasi ........................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................. 1.4. Manfaat Penelitian ............................................................... 1.5. Kerangka Pemikiran ............................................................ 1.6. Ruang Lingkup .................................................................... 1.7. Novelty .................................................................................
1 1 9 12 12 13 22 24
II.
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2.1. Manajemen Lingkungan Hidup ............................................ 2.2. Teori Sistem dan Permodelan Sistem ................................. 2.3. Manajemen Strategi............................................................. 2.4. Konsep Kebijakan .............................................................. 2.5. Pengelolaan Irigasi Berkelanjutan ......................................
25 25 30 36 40 45
III.
METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 3.1. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 3.2. Teknik Pengambilan Sampel ............................................... 3.3. Teknik Analisis Data ........................................................... 3.4. Teknik Permodelan ............................................................. 3.5. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................. 3.6. Kondisi Daerah Penelitian ..................................................
52 53 56 58 59 64 67
IV.
ANALISA SITUASIONAL............................................................... 4.1. Profil Umum Daerah Irigasi ................................................. 4.2. Aspek Lingkungan ............................................................... 4.3. Aspek Ekonomi Pertanian ................................................... 4.4. Aspek Kelembagaan............................................................ 4.5. Aspek Teknis .......................................................................
76 76 82 89 92 97
V.
ANALISIS KEBIJAKAN.................................................................. 5.1. Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Irigasi ................... 5.2. Penataan Ruang Wilayah .................................................... 5.3. Komisi Irigasi ...................................................................... 5.4. Peran Organisasi Masyarakat dalam Pengelolaan Irigasi ..
103 103 109 121 129
VI.
MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN IRIGASI TERPADU ......... 6.1. Asumsi Dasar Kebijakan Pengelolaan Irigasi Terpadu........ 6.2. Strukturisasi Program Pengelolaan Irigasi Terpadu ............ 6.3. Model Strategi Kebijakan Pengelolaan Irigasi Berkelanjutan 6.4. Submodel Konservasi Sumber Daya Air ............................. 6.5. Submodel Pengelolaan Irigasi/Rehabilitasi Jaringan Irigasi 6.6. Submodel Pengembangan Pertanian Beririgasi .................. 6.7. Verifikasi dan Validasi Model PKSARI-Terpadu .................. 6.8. Prioritas Kegiatan Pencapaian Tujuan Model Melalui MPE.
131 131 134 152 157 161 169 172 173
xiii
VII.
IMPLIKASI KEBIJAKAN ................................................................ 7.1. Pembentukan Kebijakan Daerah ......................................... 7.2. Konservasi Sumber Daya Air............................................... 7.3. Pengelolaan Jaringan Irigasi .............................................. 7.4. Pengembangan Pertanian Beririgasi ..................................
207 207 213 216 218
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................... 8.1. Kesimpulan .......................................................................... 8.2. Saran ...................................................................................
220 220 221
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ LAMPIRAN ..............................................................................................
223 229
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Proyeksi konversi lahan pertanian beririgasi (ha/tahun)....................
5
2.
Kondisi jaringan irigasi di Indonesia, 1999 (ha).................................
6
3.
Kondisi jaringan irigasi di sentra produksi pada tahun 2007 (ha)......
7
4.
Perkembangan pembentukan Perda irigasi ......................................
11
5.
Analisis kebutuhan model pengelolaan irigasi berkelanjutan ............
19
6.
Kewenangan Pemerintah Daerah dalam urusan Pemerintahan yang bersifat wajib.............................................................................
44
7.
Kerangka kegiatan reformasi kebijakan pengelolaan irigasi .............
49
8.
Jenis dan sumber data penelitian......................................................
54
9.
Responden dan partisipan penelitian ................................................
57
10. Kondisi jaringan irigasi di Jawa Barat ...............................................
70
11. Jumlah penduduk berdasarkan lapangan usaha, Tahun 2005 ........
72
12. Peruntukan lahan sawah kabupaten Cianjur, Tahun 2005................
73
13. Jumlah daerah irigasi di Kabupaten Cianjur berdasarkan kewenangan pengelolaan irigasi, tahun 2004 ...................................
74
14. Rata-rata produksi padi sawah di kabupaten Cianjur Tahun 2004.... 15. Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsinya di Kabupaten Cianjur ......
74 83
16. Status dan luas kepemilikan lahan pertanian irigasi petani Cianjur ..
89
17. Perkembangan P3A di Kabupaten Cianjur Tahun 2005....................
94
18. Kondisi Saluran Irigasi dan Bangunan Utama Jaringan Irigasi .........
99
19. Kondisi jaringan irigasi pada lokasi daerah irigasi (DI ) sampel di Kabupaten Cianjur .........................................................................
100
20. Asumsi kebijakan regional dalam pengendalian irigasi terpadu ........
132
21. Matriks reachibility elemen masyarakat yang terkait .........................
135
22. Matriks reachibility elemen kebutuhan program ................................
137
23. Matriks reachibility elemen kendala program ....................................
139
24. Matriks reachibility elemen perihal yang berubah dan dapat dirubah
141
25. Matriks reachibility elemen sasaran program ....................................
143
26. Matriks reachibility elemen tolak ukuran sasaran..............................
145
27. Matriks reachibility elemen aktivitas yang diperlukan dalam perencanaan kerja ............................................................................
147
28. Matriks reachibility elemen tolak ukur aktivitas..................................
149
29. Matriks reachibility elemen lembaga yang terkait ..............................
151
30. Urutan prioritas kegiatan berdasarkan MPE......................................
174
31. Kinerja Kredit Usaha Rakyat (KUR) ..................................................
204
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Pengelolaan sumber daya air ..........................................................
2
2.
Kondisi keandalan prasarana sumber daya air/irigasi .....................
8
3.
Kerangka pemikiran penelitian ........................................................
16
4.
Diagram input-output model kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan ........................................................................ Irisan yang saling terkait diantara sasaran pembangunan berkelanjutan ..................................................................................
5.
20 22
6.
Permodelan sistem (Sargent, 1999) ...............................................
35
7.
Soft system methodology (Checkland, 1981) ..................................
36
8.
Paradigma pembangunan berkelanjutan.........................................
46
9.
Peta Kabupaten Cianjur (citra satelit) ..............................................
66
10.
Pintu tersier pada DI Cihea .............................................................
76
11.
Kondisi bendung Cibeleng pada DI Cipadang Cibeleng..................
77
12.
Areal persawahan siap panen pada DI Susukan Gede...................
78
13.
Kerusakan pintu pembagi pada DI Cikawung..................................
79
14.
Saluran pembawa tanah rawan kehilangan air pada DI Cilumut/ Pasir Kerud......................................................................................
80
15.
Sedimentasi di saluran pada DI Ciraden/Leuwi Leungsir ................
81
16.
Kerusakan pada saluran tersier pada DI Cisalak/Batusahulu .........
82
17.
Luas lahan kritis di Kabupaten Cianjur ............................................
84
18.
Debit air sungai bulanan (B-I dan B-II) pada daerah irigasi lokasi Sampel di Kabupaten Cianjur, 2007 ................................................
85
19.
Luas areal kepemilikan lahan pertanian irigasi petani Cianjur.........
89
20.
Persentase pengumpulan iuran pengelolaan irigasi jaringan tersier pada P3A unit .......................................................................
92
21.
Pendanaan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi....................
101
22.
Perkembangan kebijakan pengelolaan irigasi .................................
104
23.
Pembangunan infrastruktur prasarana sumber daya air .................
109
24.
Struktur organisasi komisi irigasi berdasarkan Keputusan Bupati...
126
25.
Struktur rganisasi komisi irigasi berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum ............................................................................
128
26.
Peta kuadran asumsi .......................................................................
134
27.
Grafik driver-power independent elemen masyarakat yang terkait .
136
28.
Struktur Program elemen masyarakat yang terkait ........................
136
29.
Grafik driver-power independent elemen kebutuhan program ........
138
xvi
30.
Struktur program elemen kebutuhan program.................................
138
31.
Grafik driver-power independent elemen kendala program.............
140
32.
Struktur program elemen kendala program .....................................
140
33.
Grafik driver-power independent elemen perihal yang berubah dan dapat dirubah ...........................................................................
142
34.
Struktur program elemen perihal yang berubah dan dapat dirubah
142
35.
Grafik driver-power independent elemen sasaran program ...........
143
36.
Struktur program elemen sasaran program.....................................
144
37.
Grafik driver-power independent elemen tolak ukur sasaran .........
145
38.
Struktur program elemen tolak ukur sasaran...................................
146
39.
Grafik driver-power independent elemen aktivitas yang diperlukan dalam perencanaan kerja ...............................................................
147
Struktur program elemen aktivitas yang diperlukan dalam perencanaan kerja ..........................................................................
148
41.
Grafik driver-power independent elemen tolak ukur aktivitas .........
149
42.
Struktur program elemen tolak ukur aktivitas ..................................
150
43.
Grafik driver-power independent elemen lembaga yang terkait .....
151
44.
Struktur program elemen lembaga yang terkait...............................
152
45.
Model PKSARI-Terpadu ..................................................................
156
46.
SubModel konservasi sumber daya air............................................
158
47.
SubModel pengelolaan/rehabilitasi jaringan irigasi..........................
162
48.
SubModel pengembangan pertanian beririgasi ...............................
170
49.
Skim Kredit Usaha Rakyat (KUR)....................................................
204
50.
Sikronisasi tugas Komisi Irigasi dalam proses Musrenbangda........
213
40.
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Perbandingan tatanan kebijakan tentang irigasi..............................
229
2.
Struktur biaya usaha tani beririgasi .................................................
237
3.
Struktur biaya usaha tani non irigasi ...............................................
238
4.
Data usaha tani irigasi (PI) dan non irigasi (PN) .............................
239
5.
Grafik usaha tani irigasi (PI) dan non irigasi (PN)............................
241
6.
Tabel Perhitungan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) .....
243
7.
Matriks VAXO Interpretative Structural Modelling (ISM)..................
244
8.
Hasil verifikasi model melalui FGD ..................................................
246
9.
Contoh gambar kerusakan jaringan irigasi ......................................
248
10. Peta potensi sumber daya air dan daerah irigasi Kabupaten Cianjur
250
11. Data debit air daerah irigasi lokasi penelitian tahun 2007 ...............
251
12. Keputusan Bupati tentang komisi irigasi..........................................
252
xviii
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Tuntutan terhadap perbaikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan
dan pembangunan yang lebih berkeadilan, demokratis, partisipatif dan berorientasi pada kelompok masyarakat telah mulai terasa sejak tahun 1990-an. Reformasi yang berkembang di Indonesia menegaskan perlu adanya pendekatan baru dalam paradigma pembangunan, termasuk pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pembangunan nasional di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup pada dasarnya merupakan upaya untuk mendayagunakan sumber
daya
untuk
sebesar-besarnya
kemakmuran
rakyat
dengan
memperhatikan pelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan
yang
berkelanjutan,
kepentingan
ekonomi,
dan
budaya
masyarakat lokal serta penataan ruang. Pengelolaan
lingkungan
hidup
dan
sumber
daya
alam
dalam
pembangunan ekonomi negara-negara berkembang masih belum banyak diperhatikan dalam menjaga keberlanjutannya. Indikator ekonomi selama ini lebih dominan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan dibandingkan indikatorindikator lingkungan hidup. Konsekuensi logisnya adalah banyak dijumpai berbagai dampak yang tidak diharapkan baik dalam bentuk kerusakan lingkungan maupun semakin terbatasnya sumber daya alam yang dimanfaatkan. Menurut Salim (1990), kondisi di Indonesia menunjukkan bahwa segi-segi lingkungan umumnya belum masuk dalam alur tengah pemikiran ekonomi. Segisegi
lingkungan
diperlakukan
sebagai
faktor
ekstern,
yang
proses
internalisasinya belum berjalan secara otomatis dalam proses ekonomi. Oleh karena itu, proses pembangunan yang sarat pertimbangan ekonomi akan terasa timpang dan memerlukan pemikiran ulang untuk bisa mencegah dampak negatif terhadap lingkungan. Pemanfaatan menimbulkan
sumber
berbagai
daya
masalah
alam
yang
lingkungan
tidak
hidup.
terkendali Tanpa
dapat
pengaturan
pendayagunaan sumber daya alam yang baik akan menimbulkan dampak terhadap kesejahteraan rakyat yang tidak akan terjamin, bahkan rentan terjadinya kerusakan lingkungan. Laju kerusakan lingkungan hidup di Indonesia yang semakin meningkat dari waktu ke waktu merupakan salah satu fenomena
2
pengelolaan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan. Kerusakan hutan sampai angka 2 juta hektar pertahunnya merupakan cermin kegagalan pembangunan berkelanjutan di Indonesia, karena terlalu menekankan pada pendekatan ekonomi semata (Hartono, 2004). Salah satu implikasi kerusakan hutan tersebut adalah semakin berkurangnya ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada musim kemarau, termasuk air irigasi untuk kepentingan pertanian. Berkaitan dengan hal tersebut, Wignyosukarto (2005) mengemukakan bahwa pengelolaan sumber daya air tidak lepas dari permasalahan ketersediaan air dan kebutuhan terhadap air yang perlu dikelola secara terpadu (Gambar 1).
SIKLUS HIDROLOGI YANG DINAMIS (ketidakpastian)
PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR TERPADU (prioritas kebutuhan pembagian alokasi, konservasi dan pengendalian pencemaran, kelembagaan pengelola)
Rumah tangga, irigasi, ekosistem air, komersial (industri, tenaga listrik, air kemasan, pariwisata, transportasi)
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Gambar 1 Pengelolaan sumber daya air
Menurut Inpasihardjo (dalam Arif, et al., 2000), pengembangan dan pengelolaan sumber daya air akan menjadi salah satu masalah dalam kaitannya dengan semakin terbatasnya ketersediaan air serta semakin besarnya tuntutan pemenuhan kebutuhan air. Ketimpangan antara ketersediaan air yang semakin terbatas dan meningkatnya kebutuhan air oleh berbagai pengguna dapat menimbulkan konflik ekonomi, sosial dan budaya.
Selain itu, permasalahan
tersebut akan menjadi semakin kompleks ketika kualitas air terabaikan dalam kegiatan
pembangunan
lingkungan hidup.
sehingga
menimbulkan
permasalahan
terhadap
KETERSEDIAAN AIR
KETERSEDIAAN AIR
DAYA DUKUNG LINGKUNGAN
3
Kebijakan sumber daya air dalam skala nasional diatur dalam UndangUndang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Materi yang terkandung dalam undang-undang tersebut menjelaskan bahwa sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Pada tingkat pemanfaatannya sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras. Secara umum pemanfaatan sumber daya air diperuntukan dalam memenuhi kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman hayati, olah raga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika, serta kebutuhan lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangan. Diantara berbagai pengguna tersebut, materi Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, khususnya Pasal 29 (3) menyatakan bahwa penyediaan air untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama penyediaan sumber daya air di atas semua kebutuhan. Berdasarkan hal tersebut, maka peruntukan penyediaan air untuk kebutuhan tanaman atau pertanian rakyat melalui suatu sistem irigasi merupakan prioritas utama dalam kerangka pembangunan sumber daya air. Mengingat tingkat
kepentingannya
yang
sangat
strategis,
maka
perlu
diupayakan
pengelolaan irigasi secara tepat dan berkelanjutan. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa prioritas utama pembangunan pengairan di Indonesia masih ditujukan pada pengelolaan irigasi untuk menunjang kegiatan sektor pertanian. Menyadari pentingnya peran irigasi dalam mempertahankan dan meningkatkan ketahanan pangan, maka pengelolaan irigasi berkelanjutan menjadi salah satu prioritas penting dalam kerangka pembangunan pengairan baik secara nasional maupun regional. Sejalan dengan otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa salah satu penyelenggaraan urusan yang diserahkan kepada Daerah adalah penyediaan sarana dan prasarana umum, termasuk didalamnya bidang irigasi. Pada tingkat pelaksanaannya, pengelolaan irigasi tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber
4
Daya Air yang materinya memberikan berbagai implikasi terhadap perubahan tanggungjawab pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat petani pemakai air dalam pengelolaan irigasi. Implikasi penguatan peran pemerintah daerah dalam pengelolaan irigasi, khususnya pada tingkat kabupaten/kota yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya adalah pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder yang utuh pada satu kabupaten/kota menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan. Secara lengkapnya pengaturan dan pembagian kewenangan pengelolaan irigasi berdasarkan strata luasan lahan pertanian beririgasi adalah sebagai berikut : (1) Daerah Irigasi (DI) kurang dari 1000 ha (DI kecil) dan berada dalam satu kabupaten/kota menjadi tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/ Kota (2) Daerah Irigasi (DI) dengan luasan lebih dari 1000 sampai dengan 3000 (DI sedang) atau DI kecil yg lintas kabupaten/kota menjadi tanggungjawab Pemerintah Provinsi (3) Daerah Irigasi (DI) dengan luasan lebih dari 3000 ha (DI besar) atau DI sedang yg lintas provinsi, strategis nasional, dan lintas negara menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat. Pada hakekatnya Irigasi berfungsi dalam mendukung produktivitas usahatani dan meningkatkan produksi pertanian dalam rangka ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat, yang diwujudkan melalui keberlanjutan sistem irigasi. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi kebijakan dalam mendukung
pengelolaan
irigasi
berkelanjutan.
Faktor-faktor
pendukung
pengelolaan irigasi berkelanjutan selama ini menunjukkan indikasi yang cukup kritis. Hal ini terlihat antara lain dari faktor ketersediaan air, kondisi fisik jaringan irigasi, lahan pertanian beririgasi, dan kemampuan kelembagaan pengelolaan irigasi. Permasalahan ketersediaan air selama ini menunjukkan kecenderungan yang semakin terbatas, sedangkan pada sisi kebutuhan semakin meningkat dari berbagai pengguna.
Menurut Santoso (2005), ketersediaan air di Indonesia
mencapai 1,957 milyar m3/tahun dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta jiwa (17% diantaranya terkonsentrasi di Jawa dan Bali). Potensi tersebut mencapai 8,800 m3/kapita/tahun. Kebutuhan air secara nasional saat ini terkonsentrasi di
5
Jawa dan Bali dengan penggunaan terutama untuk minum, rumah tangga, perkotaan, industri, pertanian, dan lainnya. Pada sisi lain, potensi air tawar, khususnya di Pulau Jawa mencapai sebesar 4.5% dari total nasional, sedangkan penduduk Pulau Jawa sendiri sebanyak 65% dari total penduduk Indonesia. Ketersediaan air di Pulau Jawa mencapai sebesar 1,750 m3/kapita/tahun (atau berada di bawah standar kecukupan yaitu sebesar 2,000 m3/kapita/tahun). Apabila tidak ada upaya yang serius, maka sampai tahun 2020 di Pulau Jawa hanya akan tersedia sebesar 1,200 m3/kapita/tahun. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa potensi kelangkaan air yang sangat besar akan terjadi di Jawa dengan daya dukung sumber daya air yang telah mencapai titik kritis. Kuantitas air tersebut menjadi semakin komplek karena tingginya tingkat pencemaran kualitas air oleh limbah industri (Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2004) dan banyaknya pemanfaat air irigasi selain untuk sektor pertanian menambah permasalahan berkaitan dengan kuantitas dan kualitas air Irigasi (Siskel dan Hutapea, 1995). Selain itu alih fungsi lahan beririgasi yang tidak terkendali menjadi salah satu kendala dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan. Hasil penelitian JICA (1993) menunjukkan bahwa proyeksi konversi lahan beririgasi cukup serius terjadi di Indonesia, khususnya di pulau-pulau besar yaitu mencapai sebesar 807,500 ha sampai tahun 2020 (Tabel 1). Tabel 1 Proyeksi konversi lahan pertanian beririgasi (ha/tahun) Periode
Jawa
Bali
Sumatera
Sulawesi
Total
1991 – 1995
20,000
1,000
1,000
500
22,500
1996 – 2000
22,000
1,000
1,500
500
25,000
2001 – 2010
22,000
1,000
2,000
1,000
26,000
2011 - 2020
25,000
1,000
3,000
2,000
31,000
62,500
35,000
807,500
Total 680,000 30,000 sampai tahun 2020 Sumber: Hasil penelitian JICA (1993)
Permasalahan konversi lahan juga dikemukakan oleh Siswono (2002) bahwa konversi lahan yang berakibat pada penurunan luas lahan subur disinyalir terjadi di banyak tempat. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (sekarang Departemen Pekerjaan Umum) menjelaskan setidaknya terdapat 34
6
persen lahan basah yang sudah beralih fungsi menjadi lahan nonpertanian. Faktor ketersediaan air dan lahan beririgasi menjadi faktor yang sangat menentukan dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan. Hal tersebut dikemukakan oleh JICA (1993) bahwa “in case the necessity of irrigation development is justified, one of the next subjects will be where to develop irrigation. Land and water resources are fatal limiting factors to consider the possibility of irrigation development”. Semenjak Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997, telah terjadi kerusakan jaringan irigasi yang semakin parah dengan indikasi menurunnya dukungan kuantitas, kualitas maupun fungsi prasarana irigasi. Menurut Kwik Kian Gie (2002) krisis ekonomi telah menyebabkan kualitas pelayanan dan penyediaan pada hampir semua sarana dan prasarana dasar terus mengalami penurunan baik kuantitas maupun kualitasnya. Kemampuan keuangan negara yang terbatas dan terfokusnya perhatian pemerintah kepada restrukturisasi sektor keuangan dan perbankan telah mengurangi kemampuan untuk membangun sarana dan prasarana dasar, serta kemampuan untuk melaksanakan rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana dasar yang telah tersedia Menurut Mardianto et al. (2005) hasil inventarisasi Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 1999 menunjukkan bahwa dari total jaringan irigasi yang mencapai 6.7 juta hektar, sekkitar 1.4 juta hektar (20.84%) mengalami kerusakan ringan dan sekitar 126 ribu hektar (1.86%) mengalami kerusakan berat (Tabel 2). Tabel 2. Kondisi jaringan irigasi di Indonesia, 1999 (ha) Pulau
Baik
Kondisi Jaringan Irigasi Rurak Ringan Rusak Berat
Total
Sumatera
1,283,359
497,752
56,149
1,837,260
Jawa
2,727,978
492,081
51,949
3,272,008
Bali&NT
318,219
30,091
524
349,662
Kalimantan
301,337
158,628
-
459,965
Sulawesi
576,967
199,776
17,487
794,230
47,091
11,610
-
58,701
Total 5,254,951 1,389,938 126,127 Sumber: Ditjen Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum (1999)
6,771,826
Maluku-Papua
Kondisi jaringan irigasi tersebut diperkirakan dapat bertambah menjadi lebih buruk, apabila dikaitkan dengan adanya kenyataan semakin terbatasnya
7
anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi, serta adanya perubahan manajemen pemerintah dari sentralisasi menjadi
otonomi
daerah.
Kenyataan
tersebut
mencerminkan
terjadinya
penurunan fungsi jaringan irigasi dan apabila dibiarkan berlanjut akan mengakibatkan jaringan irigasi tidak mampu lagi mempertahankan dan meningkatkan produktiivitas lahan pertanian untuk mencapai hasil yang optimal. Kerusakan jaringan irigasi juga terlihat di sentra-sentra produksi padi sampai tahun 2007 yang menunjukkan indikasi cukup serius.
Kerusakan
jaringan irigasi secara keseluruh mencapai sebesar 59.53% yang terdiri atas kerusakan ringan sebesar 23.45% dan kerusakan berat sebesar 36.06. Total kerusakan tersebut berada di atas persentase jaringan irigasi yang baik (40.47%), sebagaimana terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Kondisi jaringan irigasi di sentra produksi, tahun 2007 (ha) Luas Jaringan Terbangun (ha) Baik Rusak Rusak Berat Ringan 1 Sumatera Utara 34,248 68,638 21,089 2 Lampung 103,089 59,081 105,017 3 Jawa Barat-Banten 485,117 405,117 179,680 4 Jawa Tengah 151,997 169,859 64,176 5 Jawa Timur 232,929 183,173 225,342 6 Sulawesi Selatan 138,642 142,427 66,732 7 Nusa Tenggara Barat 18,080 9,621 12,339 Total 1,164,102 1,037,916 674,375 Sumber: Ditjen SDA, Departemen PU, 2007 (dikompilasi) No
Propinsi
Total 123,975 267,187 1,069,914 386,032 641,444 347,801 40,040 2,876,393
Kondisi kerusakan jaringan irigasi di sentra-sentra produksi padi tertinggi pada Provinsi Jawa Barat-Banten yang mencapai seluas 584,797 ha, sedangkan secara persentase kerusakan jaringan irigasi tertinggi ada pada Provinsi Sumatera Utara yang mencapai sebesar 72.38%. Gambaran kerusakan jaringan irigasi di sentra-sentra produksi padi tersebut memberikan peringatan akan adanya ancaman penurunan produktivitas pertanian. Kondisi kerusakan jaringan irigasi tersebut meningkat cukup tajam dari tahun sebelumnya di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan data yang disajikan oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum kenaikan kerusakan secara total mencapai sebesar 34% pada tahun 2007 dari 22.1% yang terjadi setahun sebelumnya (2006). Sedangkan prasarana
8
terbangun lainnya, yaitu bendung dan waduk menunjukkan indikasi yang tidak berubah selama setahun terakhir sebagaimana terlihat pada Gambar 2.
40 35 30 25 20 15 10 5 0
34
22.1
6.9
6.9
0.24
0.24
2006
2007
Jaringan Irigasi
Bendung
Waduk
Gambar 2 Kondisi keandalan prasarana sumber daya air/Irigasi Kerusakan jaringan irigasi tersebut tentunya akan menjadi kendala bagi keberlanjutan pengelolaan irigasi.
Faktor penentu lainnya dari pengelolaan
irigasi berkelanjutan adalah kelembagaan pengelolaan irigasi. Menurut Ambler (1991) apabila sarana fisik sebuah jaringan irigasi merupakan “perangkat keras”nya, maka lembaga-lembaga pengelola irigasi baik yang bersifat formal maupun tidak formal merupakan “perangkat lunak”nya, yang mutlak diperlukan untuk mengelola air irigasi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu sistem irigasi mempunyai karakteristik “sosio-teknis”. Perkembangan kelembagaan pengelolaan irigasi sekarang ini mendapat banyak perhatian di berbagai kalangan pemerhati dan praktisi terkait dengan pengelolaan irigasi. Menurut Helmi (1997) kelembagaan formal yang sudah dikembangkan selama ini melalui organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) cenderung menunjukkan ketidakberdayaan dalam tiga dimensi, yaitu: (1) inisiatif; (2) sosial ekonomi; dan (3) teknologi. Sebagai akibatnnya belum banyak organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang mampu memfasilitasi anggotanya dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Selain itu juga pola kerja instansi pemerintah yang masih berciri egoisme sektoral menyebabkan kerjasama diantara mereka belum optimal dalam membantu pengembangan organisasi petani.
9
Berdasarkan
hasil
penelitian
Makinudin
dan
Sasongko
(2006)
menunjukkan masih terbatasnya kemampuan kelembagaan pengelolaan irigasi baik di tingkat organisasi petani maupun pemerintah menyebabkan pelaksanaan kegiatan operasi dan pemeliharaan tidak berjalan dengan baik. Hal ini mengakibatkan kerusakan fisik irigasi dan sedimentasi lumpur yang semakin tinggi di hampir seluruh jaringan irigasi. Kecenderungan terbatasnya kemampuan kelembagaan pengelolaan irigasi juga terlihat dari indikasi pelaksanaan otonomi daerah. Penempatan aparatur pemerintah dalam struktur dinas terkait dengan pengairan dan irigasi hampir di sebagian kabupaten seringkali bukan personel yang mempunyai pengalaman di bidang pengairan atau irigasi, sedangkan pada sisi lain pelaksana irigasi yang ada sudah memasuki usia purna tugas (pensiun). Pada sisi lain kelembagaan koordinasi yang mengatur pengelolaan irigasi juga masih kurang optimal baik panitia irigasi maupun komisi irigasi. Kondisi demikian kalau dibiarkan terus berlanjut akan menyebabkan pelaksanaan kegiatan pengelolaan irigasi secara berkelanjutan menjadi semakin tidak jelas. Berbagai permasalahan yang muncul terkait dengan daya dukung pengelolaan irigasi berkelanjutan tersebut tentunya memerlukan penataan kembali dalam format kebijakan regional.
Berdasarkan hal tersebut, maka
penelitian ini bertendensi untuk merumuskan suatu model strategi kebijakan regional
dalam
pengelolaan
irigasi
berkelanjutan,
khususnya
pada
pengembangan aspek ketersediaan air, kondisi fisik jaringan irigasi, lahan pertanian beririgasi, dan kemampuan kelembagaan pengelolaan irigasi di daerah.
1.2.
Permasalahan Irigasi Pembangunan
merupakan
konsep
yang
multidimensi
yang
memperhatikan berbagai aspek diantaranya aspek sosial, ekonomi, teknologi, pemanfaatan sumber daya alam maupun pengelolaan lingkungan. Keterkaitan antaraspek atau faktor-faktor tersebut sangat kompleks karena dapat berinteraksi dalam berbagai cara dan juga tergantung pada variasi tempat, waktu maupun kondisi lainnya pada suatu masyarakat tertentu. Mengingat kompleksitas pembangunan tersebut, maka diperlukan piranti kebijakan yang tepat dalam menjaga keberlanjutannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
10
Demikian pula halnya dengan pembangunan di bidang sumber daya air, khususnya sektor pengelolaan irigasi mempunyai kompleksitas yang cukup tinggi. Kompleksitas tersebut terlihat dari karakteristik sistem irigasi yang bersifat sosio-teknis. Sistem irigasi tidak hanya sekedar seperangkat teknologi berupa bangunan dan saluran irigasi saja melainkan juga terdapat aspek sosial seperti kelembagaan pengelola irigasi, manajemen konflik, sosiabilitas antara hulu, tengah, dan hilir. Selain itu juga terdapat aspek ekonomi melalui kontribusi irigasi terhadap peningkatan produktivitas hasil usahatani yang berujung pada pendapatan masyarakat petani. Demikian pula halnya dengan aspek lingkungan yang diindikasikan dengan adanya berbagai pengguna irigasi yang apabila tidak dikendalikan dapat menyebabkan ketersediaan air menjadi semakin terbatas dan rentan terjadi pencemaran air irigasi oleh limbah industri. Mengingat pengelolaan irigasi menjadi bagian dari bidang pembangunan yang urusannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah (provinsi maupun kabupaten/kota), maka diperlukan kebijakan regional yang tepat dalam mengantisipasi kompleksitas dan permasalahan yang apabila dibiarkan dapat berujung pada konflik pemanfaatan air irigasi. Kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi tentunya harus berdasarkan prinsip keberlanjutan. Dengan demikian piranti kebijakan regional tersebut sekurang-kurangnya mampu menyediakan jaminan air irigasi kepada pengguna sesuai dengan skala prioritasnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 29 (3): “Penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama penyediaan sumber daya air di atas semua kebutuhan”. Kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi secara berkelanjutan masih menjadi harapan dan belum sampai pada tingkat sistem nyata di hampir semua daerah, khususnya tingkat kabupaten. Daya dukung aspek legal melalui pembentukan peraturan daerah terkait dengan pengelolaan irigasi masih terbatas Hal ini terlihat antara lain dari terbatasnya pembentukan peraturan daerah (perda) tentang Irigasi. Berdasarkan laporan akhir program IWIRIP tahun 2004 menunjukkan bahwa dari 13 provinsi dan 63 kabupaten lokasi kegiatan baru terbentuk Perda Irigasi di 4 provinsi dan 25 kabupaten, sebagaimana terlihat pada Tabel 4.
11
Tabel 4 Perkembangan pembentukan perda irigasi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Propinsi Aceh (baca: NAD) Sumatera Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Lampung Banten Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Total tahun 2002 Total tahun 2003 Total tahun 2004
Status Peraturan Daerah Irigasi Propinsi Kabupaten 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 4 1 6 0 3 0 3 1 2 1 2 1 2 0 1 2 12 4 22 4 25
Jumlah 0 1 1 0 0 4 7 3 3 3 3 3 1 14 26 29
Sumber: Laporan Akhir Program IWIRIP, 2004
Pembentukan Perda irigasi tersebut juga masih belum disesuaikan dengan perkembangan kebijakan nasional sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UndangUndang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi. Secara umum, terbatasnya pembentukan Perda Irigasi tersebut menunjukkan belum optimalnya pendekatan keberlanjutan pengelolaan irigasi di Daerah.
Pada sisi lain daya dukung yang menunjang
kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan juga belum berjalan secara terpadu. Hal ini terlihat dari fenomena permasalahan sebagaimana yang dijelaskan dalam latar belakang baik pada aspek ketersediaan air, kondisi fisik jaringan irigasi, lahan pertanian beririgasi maupun kelembagaan pengelolaan irigasi masih belum berjalan secara terpadu. Dengan demikian permasalahan irigasi yang akan diformulasikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1)
Kebijakan pengelolaan irigasi belum berjalan secara efektif dan terpadu sehingga menyebabkan terjadinya krisis ketersediaan air irigasi dan kerusakan jaringan irigasi.
(2)
Penguatan kapasitas Kelembagaan Pengelolaan Irigasi (KPI) melalui upaya pemberdayaan belum berjalan secara optimal dan terkoordinasi, serta minimnya pembentukan Perda irigasi sebagai payung hukum pengelolaan irigasi berkelanjutan.
12
1.3.
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merumuskan suatu model
strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan. Sedangkan tujuan penelitian secara khusus adalah sebagai berikut: (1)
Merumuskan faktor penentu strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan.
(2)
Membuat dan mensintesa berbagai asumsi dasar yang mendukung strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan.
(3)
Merumuskan struktur model strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan melalui sintesa aspek lingkungan, ekonomi, teknik dan kelembagaan.
(4)
Menetapkan alternatif kriteria pengambilan keputusan rancang bangun model strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan.
1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini baik secara praktis
(guna laksana) maupun teoritis adalah sebagai berikut: (1)
Manfaat praktis bagi Pemerintah Daerah adalah sebagai masukan dalam proses perencanaan dan penetapan model strategi kebijakan yang tepat dalam
pengelolaan
irigasi
berkelanjutan
berdasarkan
pendekatan
partisipatif sesuai dengan otonomi daerah dan upaya pelestarian lingkungan yang berbasis masyarakat. (2)
Manfaat praktis bagi masyarakat petani pemakai air irigasi adalah untuk meningkatkan jaminan ketersediaan air irigasi dengan daya dukung infrastruktur jaringan irigasi yang berfungsi dengan baik untuk mengairi areal pertanian beririgasi serta penguatan kelembagaan pengelola irigasi yang mempunyai kemampuan dalam mengoptimalkan sistem irigasi berdasarkan karakteristik sosio-teknisnya.
(3)
Manfaat teoritis dalam konteks keilmuan adalah sebagai masukan dalam pengembangan
aplikasi
dan
metodologi
permodelan
lingkungan sumber daya air dengan pendekatan regional.
sistem
pada
13
1.5.
Kerangka Pemikiran Sebagaimana yang dijelaskan dalam latar belakang bahwa salah satu
sumber daya air yang masih menjadi prioritas utama pembangunan pengairan di Indonesia adalah irigasi untuk menunjang kegiatan sektor pertanian.
Dalam
konteks pengelolaan lingkungan sumber daya air, defisit ketersediaan air sangat berpengaruh terhadap kebutuhan air sektor irigasi. Sekarang ini, ketersediaan air irigasi tidak hanya dimanfaatkan oleh kepentingan produktivitas pertanian saja, melainkan juga untuk kebutuhan lainnya (sektor rumah tangga dan industri). Kondisi demikian menuntut pengelolaan irigasi dilaksanakan secara lebih baik lagi untuk mengantisipasi kemungkinan konflik kepentingan alokasi air irigasi yang akan terjadi pada masa mendatang. Berdasarkan kepentingan air irigasi untuk sektor pertanian, maka dapat dikemukakan bahwa potensi sumber daya air irigasi memberikan peluang tidak hanya
pada
peningkatan
produktivitas
pertanian
saja
melainkan
juga
memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan masyarakat perdesaan dan pembangunan ekonomi nasional. Dengan demikian potensi pengelolaan lingkungan sumber daya air irigasi mempunyai kontribusi yang sangat penting dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat petani dengan mata pencaharian di sektor pertanian yang sebagian besar tinggal di perdesaan dan kontribusi terhadap pembangunan nasional. Pencapaian pengelolaan lingkungan sumber daya air irigasi dapat diwujudkan melalui berbagai pendekatan. Salah satu yang cukup penting terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah kebijakan pemerintah daerah. Pemahaman terhadap kebijakan dapat ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai sudut pandang dan disiplin ilmu tertentu. Menurut Islamy (1997), kebijakan adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah. Pengertian kebijakan tersebut terkandung serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan
menunjukkan
hambatan-hambatan
dan
kesempatan-kesempatan
terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pengertian kebijakan tersebut mencerminkan adanya susunan rancangan tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan program-program pemerintah yang berhubungan dengan masalah-masalah tertentu yang dihadapi masyarakat;
14
apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan atau tidak dilakukan; dan masalah-masalah yang kompleks yang dinyatakan dan dilaksanakan oleh pemerintah. Oleh karena itu, suatu kebijakan dapat memuat 3 (tiga) elemen penting, yaitu sebagai berikut: (1)
Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;
(2)
Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan; dan
(3)
Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi tersebut. Berdasarkan
penjelasan
mengenai
definisi
kebijakan
yang
telah
dikemukakan tersebut, maka pengertian kebijakan regional dalam penelitian ini ditafsirkan secara operasional adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Tindakan pemerintah daerah yang dimaksud adalah keputusan yang ditetapkan dalam pengelolaan irigasi sesuai kewenangan Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengertian kebijakan daerah tersebut mempunyai beberapa implikasi sebagai berikut: (1)
Kebijakan yang ditetapkan pemerintah daerah dalam bentuk perdananya berupa penetapan tindakan-tindakan dalam bidang pengelolaan irigasi;
(2)
Kebijakan yang ditetapkan pemerintah daerah tidak cukup hanya dinyatakan dalam keputusan publik, melainkan dilaksanakan dalam bentuk secara nyata;
(3)
Kebijakan yang ditetapkan pemerintah daerah baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu mempunyai dan dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu; dan
(4)
Kebijakan yang ditetapkan pemerintah daerah harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan dan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat. Demikian
pula
halnya
dengan
penetapan
kebijakan
regional
mencerminkan perilaku pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pelayanan publik melalui kegiatan pembangunan. Salah satu tindakan pemerintah daerah dalam pelayanan tersebut adalah bidang pengelolaan irigasi dalam tata
15
kehidupan masyarakat yang mengandalkan mata pencahariannya di sektor pertanian. Berkaitan dengan semakin kompleknya masalah pengelolaan irigasi, maka
kebijakan
regional
menjadi
sedemikian
penting,
terutama
dalam
mengantisipasi pengelolaan unsur-unsur yang terkait dalam pengelolaan irigasi secara berkelanjutan. Berdasarkan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pengelolaan irigasi menjadi salah satu bidang urusan yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah, khususnya Kabupaten/Kota sebagai bentuk pelaksanaan desentralisasi.
Selain itu juga Merey (dalam Visi, 1995)
mengemukakan bahwa dalam sistem yang terdesentralisasi, pemerintah tetap memegang wewenang dan kontrol atas air, tetapi kontrol tersebut terletak pada level birokrasi yang lebih rendah dan lebih dekat kepada para pengguna. Dalam konteks tersebut birokrasi yang lebih tepat adalah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Model strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan di tingkat kabupaten/kota dapat diformulasikan melalui bagian-bagian yang saling berkaitan dalam kerangka sistem irigasi. Irigasi sebagai sebuah sistem terdiri dari beberapa unsur pendukung, yaitu: (1) sumber air, termasuk didalamnya ketersediaan air; (2) infrastruktur berupa jaringan irigasi baik saluran maupun bangunan irigasi; (3) lahan pertanian beririgasi; dan (4) kelembagaan pengelola irigasi baik di tingkat pemerintah maupun masyarakat petani pemakai air. Berdasarkan hal tersebut, maka kerangka penelitiannya disusun berdasarkan unsur-unsur pendukung tersebut sebagai dasar dalam menyusun suatu model kebijakan sebagaimana yang terlihat pada Gambar 3.
16
Paradigma Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development paradigm)
PARADIGMA PEMBANGUNAN
ANALISIS KEBUTUHAN
Reformasi Kebijakan Sumber Daya Air
Pengelolaan Irigasi Berkelanjutan
Daya Dukung Lingkungan Internal dan Eksternal
Masalah Pengelolaan Irigasi Berkelanjutan (aspek lingkungan, ekonomi, teknik dan kelembagaan)
FORMULASI MASALAH
K
Subsistem Kelembagaan = Pengelola Irigasi
Subsistem Sumber dan Ketersediaan Air
K Sistim Pengelolaan Irigasi K Berkelanjutan (Sintesa aspek lingkungan, ekonomi, teknik, dan kelembagaan)
IDENTIFIKASI SISTEM Subsistem Infrastruktur Jaringan Irigasi
K
Subsistem Lahan Pertanian Beririgasi
Analisis Kebijakan: Strategi Kebijakan Regional Dalam Pengelolaan Irigasi Berkelanjutan
PERMODELAN SISTEM
PERMODELAN SISTEM
VERIFIKASI DAN VALIDASI
Expert Judgement
Model Strategi Kebijakan
Implikasi Kebijakan Batas Penelitian
IMPLEMENTASI
Penetapan, Pelaksanaan dan Evaluasi Kebijakan
Gambar 3 Kerangka pemikiran penelitian
Analisa Usahatani dan Teknik Irigasi
17
Kerangka pemikiran sebagaimana dijelaskan pada Gambar 3 diawali dengan adanya pendekatan paradigma pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan irigasi.
Pendekatan paradigma pengelolaan irigasi berkelanjutan
didasarkan pada berbagai perubahan fisik dan sosial ekonomi yang telah meningkatkan tekanan terhadap sumber daya air (Helmi, 1997), termasuk irigasi antara lain meliputi: (1)
Peningkatan jumlah penduduk dalam konteks peningkatan demand;
(2)
Perkembangan industrialisasi yang berdampak terhadap pencemaran air irigasi;
(3)
Kerusakan daerah tangkapan air (watershed) disebabkan oleh aktifitas ekonomi sehingga menimbulkan ketersediaan air yang semakin terbatas;
(4)
Peningkatan pengguna air yang berimplikasi pada kompetisi pemanfaatan air untuk berbagai alokasi sektor pembangunan;
(5)
Peningkatan laju konversi lahan pertanian beririgasi; dan
(6)
Penurunan kondisi fisik dan fungsi jaringan irigasi dari tahun ke tahun sebagai akibat minimnya pendanaan untuk operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi. Berbagai
perubahan
tersebut
secara
relatif
dapat
menurunkan
ketersediaan air (dependable flow) dengan kualitas dan kuantitas yang tidak sesuai dengan standar pemenuhan kebutuhan esensial bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu diperlukan penyesuaian kebijakan regional dalam upaya pengelolaan irigasi di masa depan. Secara lebih spesifik, Helmi (1997) mengemukakan bahwa upaya tersebut membutuhkan perubahan orientasi pengembangan dan pengelolaan air dari supply-side strategy ke arah demandside strategy. Prinsip pengelolaan air dari demand-side strategy menekankan pada usaha mempengaruhi perilaku pengguna (users) dalam memakai air dengan mengembangan organisasi dan institusi untuk menangani kedua aspek tersebut (demand dan supply). Peran kelembagaan tersebut menjadi sedemikian penting dalam mengendalikan kebutuhan air oleh berbagai kepentingan. Menurut Wynpeny (1994), ujung dari prinsip pengelolaan air melalui demand-side strategy adalah:
18
(1)
Memperhitungkan nilai air dalam hubungan dengan biaya penyediaannya;
(2)
Mengambil
tindakan-tindakan
yang
menghendaki
pengguna
menghubungkan tingkat pemakaian air dengan biaya yang harus dibayar; dan (3)
Memperlakukan air sebagai satu barang (komoditi) ekonomi dan bukan sekedar bentuk pelayanan masyarakat yang disediakan oleh pemerintah dan tidak perlu dibayar. Salah satu upaya untuk mengantisipasi berbagai perubahan dalam
pengelolaan irigasi di masa depan adalah melalui pendekatan paradigma pengelolaan irigasi secara berkelanjutan, yaitu dengan memadukan aspek lingkungan, ekonomi, teknik dan kelembagaan. Untuk menghasilkan model kebijakan regional yang efektif dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan diperlukan analisis kebutuhan. Analisis kebutuhan merupakan bagian awal dari seluruh tahapan dalam Soft System Methodology (SSM). Menurut Eriyatno (2003), analisis kebutuhan menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari seorang pengambil keputusan terhadap jalannya sistem. Identifikasinya dapat meliputi hasil suatu survei, pendapat seorang ahli, diskusi (Focus Group Discussion, FGD) atau observasi lapangan. Sistem itu sendiri menurut Manetsch dan Park (1977) merupakan suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan.
Dalam proses analisis kebutuhan selalu terdapat
hubungan interaksi yang dapat terwujud secara postif maupun negatif dalam suatu sistem pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan dalam analisis kebutuhan tersebut sangat ditentukan oleh derajat kepentingan dan kemanfaatan yang akan diperoleh bagi semua pihak atau elemen yang terkait. Dalam konteks penelitian, analisis kebutuhan dapat dipetakan melalui berbagai daya dukung untuk pengelolaan irigasi berkelanjutan. Daya dukung tersebut antara lain meliputi reformasi kebijakan sumber daya air dan irigasi serta lingkungan internal (sumberdaya air irigasi) dan eksternal (kelembagaan sumberdaya air irigasi, teknologi, payung hukum, dan lahan pertanian beririgasi). Secara lebih jelas, analisis kebutuhan dari berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) terkait dengan pengelolaan irigasi berkelanjutan dituangkan dalam Tabel 5.
19
Tabel 5 Analisis kebutuhan model pengelolaan irigasi berkelanjutan No. 1.
Pemangku Kepentingan Pemerintah
Kebutuhan
a. Penyesuaian regulasi dan pengaturan penyediaan air serta pemanfaatan air untuk berbagai sektor pengguna. kebijakan dan peraturan perundangundangan. Pengembangan teknologi tepat guna dalam mendukung sistem irigasi. Penyesuaian nilai ekonomi sumberdaya air dan irigasi. Pengelolaan irigasi berkelanjutan Koordinasi perencanaan pengelolaan irigasi partisipatif dalam menunjang kinerja pembangunan daerah. Koordinasi program antarsektor terkait sumberdaya air dan irigasi. Koordinasi rencana penyediaan dan alokasi pemanfaatan air irigasi. Koordinasi pengendalian alih fungsi lahan pertanian beirigasi. Koordinasi pendanaan pengelolaan irigasi dan pengendalian pelaksanaan kegiatan pengelolaan irigasi berkelanjutan. Koordinasi program konservasi sumber daya air. Peningkatan kemampuan (capacity building) pengelolaan irigasi berkelanjutan melalui pendidikan dan pelatihan. Pengembangan organisasi berbadan hukum. Jaminan hak pengelolaan air irigasi. Pemanfaatan air irigasi melalui pendekatan hemat air. Peningkatan kemampuan pembiayaan pengelolaan irigasi. Pengelolaan konflik pemanfaatan air irigasi Konservasi sumber daya air. Jaminan hak guna air irigasi untuk kebutuhan pertanian beririgasi. Menjaga dan mempertahankan lahan pertanian beririgasi dari upaya konversi untuk berbagai sektor pada lahan “hijau”. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan irigasi. Optimalisasi kontribusi irigasi terhadap produktivitas hasil usahatani. Pengembangan dan penerapan teknologi hemat air irigasi. Konservasi sumber daya air. Kejelasan dan ketegasan peraturan penyediaan dan pemanfaatan sumber daya air dan irigasi. Nilai ekonomi sumber daya air dan irigasi (termasuk cost recovery). Konservasi sumber daya air.
b. Sinkronisasi c.
2.
Komisi Irigasi
d. e. a. b. c. d. e.
3.
Kelembagaan Pengelola Irigasi
f. a. b. c. d. e.
4.
Masyarakat Petani Pemakai Air
f. g. a. b. c. d. e.
5.
Swasta (Private)
f. a. b. c.
20
Analisis
kebutuhan
tersebut
masalah
pengelolaan
memformulasikan
merupakan irigasi
jembatan
berkelanjutan.
dalam Situasi
permasalahan yang tidak terstruktur dalam sistem nyata kemudian ditemukenali melalui proses identifikasi sistem. Selanjutnya pendekatan sistem manajemen lingkungan dilakukan melalui identifikasi sistem sehingga diperoleh sintesa atau keterpaduan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam pengelolaan irigasi. Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus atas permasalahan yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Proses identifikasi sistem dapat dilakukan melalui bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal loop). Hal yang paling penting dalam proses identifikasi sistem adalah mengembangkan interpretasi diagram lingkar ke dalam konsep kotak gelap (black box). Pada tahap tersebut dirancang parameter yang akan menyusun kotak gelap berupa informasi yang dibedakan atas tiga peubah, yaitu: (1) input; (2) proses; dan (3) output. Menurut Eriyatno (2003), dalam permodelan sistem dikembangkan transformasi kebutuhan melalui diagram Input – Output sebagaimana konsep kotak gelap (black box) yang disajikan pada Gambar 4.
INPUT TAK TERKENDALI: (1) Karakteristik Geografis (2) Ketersediaan Air (3) Faktor Iklim
INPUT LINGKUNGAN: (1) Kebijakan OTDA (2) Kebijakan SDA (3) Kebijakan Pertanian (4) Peraturan Daerah (5) Rencana Strategis
OUPUT DIKEHENDAKI: (1) Konservasi SDAL (2) Air irigasi cukup tersedia (3) Kondisi fisik dan fungsi jaringan irigasi terjaga (4) Konversi lahan rendah (5) Peningkatan produktivitas pertanian (6) Kebijakan kondusif
Model Kebijakan Regional Dalam Pengelolaan Irigasi Berkelanjutan
OUTPUT TIDAK DIKEHENDAKI: (1) Partisipasi masyarakat rendah (2) Kelembagaan Pengelola Irigasi tidak aktif (3) Alokasi dan distribusi air tidak merata (4) Konflik pemanfaatan semakin tinggi (5) Kerusakan lingkungan (6) Kebijakan KURANG kondusif
INPUT TERKENDALI: (1) Infrastruktur Jaringan Irigasi (2) Kelembagaan (3) Partisipasi Masyarakat (4) Kinerja Pengelolaan SDA (5) Lahan Pertanian
OUTCOME KINERJA: (1) Kecukupan air irigasi (2) Kehandalan fungsi jaringan irigasi (3) Lahan fungsional pertanian beririgasi (4) Penguatan Kelembagaan Pengelola Irigasi (5) Ketahanan pangan daerah (6) Kesejahteraan masyarakat
Gambar 4 Diagram input-output model kebijakan regional dalam Pengelolaan irigasi berkelanjutan
21
Langkah selanjutnya yang dilakukan setelah identifikasi sistem adalah permodelan sistem sebagai tahapan keempat dalam Soft System Methodology (SSM). Menurut Eriyatno (2003), permodelan dapat diartikan sebagai suatu gugus aktiviitas pembuatan model. Definisi model diartikan sebagai suatu perwakilan atau abtraksi dari suatu obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Suatu model yang lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas atau sistem nyata yang sedang dikaji. Dengan demikian klasifikasi model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok pengkajian atau derajat keabstrakannya. Proses permodelan menunjukkan bahwa suatu sistem yang sedang berlangsung dalam kehidupan (sistem nyata) akan dilihat dan dibaca oleh pemodel dan membentuk gambaran tertentu (image) didalam pikirannya. Gambaran imajinasi tersebut tidak persis sama dengan sistem nyata karena pemodel membacanya dengan menggunakan “kacamata” tertentu atau sudut pandang/visi/wawasan tentang kehidupan yang dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: (1) tata nilai yang diyakini oleh pemodel; (2) ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh pemodel; dan (3) pengalaman hidup dari pemodel. Dalam konteks penelitian, permodelan sistem diterapkan pada suatu gugus atau bentuk pembuatan model kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan. Hasil dari permodelan sistem adalah berupa model strategi kebijakan yang diharapkan. Model strategi kebijakan tersebut kemudian diverifikasi dan divalidasi untuk menguji model strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan. Proses uji verifikasi dilakukan dengan maksud untuk mengetahui berbagai kelemahan maupun kekurangan serta mengidentifikasi berbagai persoalan yang harus diantisipasi dalam kaitan dengan penerapan kebijakan yang dihasilkan. Hasil verifikasi dan validasi tersebut merupakan bagian yang diperlukan dalam penarikan kesimpulan penelitian dan dikembangkan berbagai saran penelitian sebagai masukan dalam proses tindak lanjutnya (follow-up action). Tahap akhir dari kerangka pemikiran adalah penetapan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan (tahap terakhir tersebut merupakan bagian di luar ruang lingkup penelitian).
22
Model kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan didasari oleh sedikitnya tiga kepentingan dasar yang ingin dicapai, dan memiliki irisan sasaran yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya sebagaimana yang dikemukakan oleh MacNaughton dan Stephens (2004) bahwa: “Inherent tensions exist between the three spheres of overlaping sustainable development objectives: (1) economic development and the allevation of poverty; (2) protection of the natural environment; and (3) social objectives such as health, education, and peace”. Irisan ketiga tujuan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
Business ethics; human rights/social equity; corporate social responsibility
Economic Prosperity
Social objectives
Air&water quality; urban design and mobility; healt, education and safety, overall quality of life
Brownfields redevelopment; ecosystems services; by-product synergy
Environment Quality
Stakeholder engangement & consultation
Gambar 5 Irisan yang saling terkait diantara sasaran pembangunan berkelanjutan
1.6.
Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah aspek-aspek sebagai berikut:
(1)
Sistem irigasi yang diteliti dibatasi secara ekologis pada irigasi berdasarkan sumber airnya, yaitu irigasi air permukaan. Sistem irigasi permukaan adalah sistem irigasi yang pemberian airnya di permukaan tanah dengan mengambil airnya bersumber dari air permukaan (sungai atau Daerah Aliran Sungai, danau, situ, dan sejenis lainnya).
Wilayah area
penelitiannya dibatasi pada jaringan tersier/kwarter yang dikelola oleh masyarakat petani pemakai air (P3A) dan jaringan utama (primer dan
23
sekunder) yang dikelola oleh Pemerintah sesuai kewenangannya (Pusat maupun Daerah). (2)
Daya dukung sistem irigasi permukaan dibatasi pada aspek: sumber air (termasuk didalamnya konservasi sumber daya air dan ketersediaan air); infrastruktur (berupa jaringan irigasi baik saluran maupun bangunan irigasi); lahan pertanian beririgasi; dan kelembagaan pengelola irigasi (baik di tingkat pemerintah maupun masyarakat petani pemakai air).
(3)
Strategi kebijakan regional dibatasi pada tingkat kabupaten dalam bidang pengelolaan irigasi yang mempunyai tujuan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya alam maupun sumber daya manusia secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang.
(4)
Pengelolaan irigasi berkelanjutan dibatasi pada sintesa aspek lingkungan, ekonomi, teknik dan kelembagaan atas berbagai unsur atau elemen pendukung pengelolaan irigasi (sumber daya air, infrastruktur jaringan irigasi, sumber daya lahan pertanian beririgasi, dan kelembagaan pengelolaan irigasi).
(5)
Pengelolaan irigasi berkelanjutan secara terpadu diformulasikan dalam suatu model yang memadukan daerah hulu sebagai wilayah konservasi sumber daya air untuk memenuhi dan menjaga ketersediaan air untuk berbagai kebutuhan, dan daerah hilir sebagai wilayah penggunaan air permukaan
melalui
pengelolaan
sistem
irigasi
untuk
kepentingan
pemenuhan kebutuhan air tanaman di sektor pertanian. (6)
Lokasi kegiatan penelitian ditetapkan di Kabupaten Cianjur dengan mengambil kasus pada 3 (tiga) Daerah Irigasi (DI) yang mempunyai karakteristik luasan areal pertanian beririgasi potensial sebagai lumbung padi daerah baik pada klasifikasi dibawah 1000 ha, antara 1000 – 3000 ha, dan di atas 3000 ha. Studi kasus di 10 Daerah Irigasi (DI) yaitu Cihea, Cilumut Pasir Keurud, Ciheulang, Cisalak Batu Sahulu, Ciraden Leuwi Leungsir, Cikawung, Leuwi Bokor, Susukan Gede, Nagrog dan Cipadang Cibeleng.
24
1.7.
Novelty Kebaruan dalam penelitian ini adalah:
(1)
Merumuskan
model
kebijakan
dengan
pendekatan
sistem
yang
memadukan daerah hulu sebagai subsistem konservasi sumberdaya air dan daerah hilir sebagai subsistem pengelolaan irigasi di sektor pertanian. (2)
Merumuskan mekanisme koordinasi antar lembaga, pendanaan dan peran serta masyarakat.
(3)
Mengaplikasikan prinsip pembangunan berkelanjutan pada sektor irigasi yaitu pengambilan keputusan yang tepat untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui efisiensi sumberdaya dan pemerataan pembangunan antar daerah.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Manajemen Lingkungan Hidup Lingkungan hidup dalam kaitan dengan pembangunan mulai dikenal
kalangan Pemerintah di dunia sejak tahun 1972 dengan mengupayakan berbagai langkah pengembangan pola pembangunan yang tidak merusak lingkungan. Arus pemikiran di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia menunjukkan bahwa masalah lingkungan hidup justru menjadi persoalan yang cukup penting. Menurut Sumarwoto (2003), dalam perspektif tersebut lahirlah konsep ecodevelopment yang di Indonesia dikenal dengan pembangunan berwawasan lingkungan. Artinya pembangunan diperlukan dan harus dilaksanakan dengan tidak boleh merusak lingkungan hidup Menurut Iskandar (1998) hal utama yang diperlukan dalam pembangunan berwawasan
lingkungan
adalah
penggunaan
sumber
daya
secara
berkesinambungan, serta bagaimana meningkatkan kualitas lingkungan hidup bagi seluruh masyarakat. Pembangunan dapat menghasilkan dampak negatif selain dampak positif. Berbagai fakta dan pengalaman menunjukkan bahwa dampak negatif pembangunan menyebabkan tujuan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi terhambat atau bahkan tidak tercapai. Pandangan tersebut pada dasarnya menjelaskan bahwa pelaksanaan kegiatan pembangunan semestinya tidak didudukan dalam parameter ekonomi saja, melainkan juga perlu menggunakan parameter sosial dan lingkungan dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup memenuhi syarat pembangunan berkelanjutan. Syarat lain yang harus dipenuhi adalah pembangunan itu harus berwawasan lingkungan atau ramah lingkungan hidup. Pengalaman di Indonesia menunjukkan kegiatan pembangunan yang menggunakan pendekatan ekonomi dan politik seringkali tidak menghasilkan pemerataan kesejahteraan, melainkan cenderung menyebabkan kerusakan lingkungan hidup. Menurut Tangkilisan (2004) secara umum diketahui bahwa kerusakan lingkungan
nampak
meningkat
seiring
dengan
Terkesan
bahwa
semakin
meningkat
kegiatan
meningkat
pula
kerusakan
lingkungan
hidup.
kegiatan
pembangunan.
pembangunan, Emil
Salim
semakin
(1986)
juga
26
mengemukakan bahwa penyumbang utama kerusakan lingkungan adalah industri, aktivitas industri telah menghasilkan kotoran limbah ampas industri yang sangat serius menyebabkan pencemaran lingkungan. Kerusakan lingkungan tersebut mencermikan pula rendahnya pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam, termasuk pengawasan dari masyarakat sekitar. Pada sisi lain, Bell (1998) menjelaskan bahwa “environmental problems are not only problems of technology and industry, of ecology and biology, of pollution control and pollution prevention.
They are also social problems.
Environmental problems are problem for society--problems that threaten our existing pattern of social organization. It is people who create environmental problems, and it is people who must resolve them”. Pandangan Bell tersebut menjelaskan bahwa permasalahan lingkungan bukan hanya permasalahan teknologi dan industri, ekologi dan biologi, pengendalian polusi dan pencegahan polusi. Permasalahan lingkungan juga merupakan permasalahan sosial. Permasalahan
lingkungan
adalah
masalah
untuk
suatu
masyarakat.
Permasalahan tersebut dapat mengancam pola teladan organisasi sosial yang ada. Hal tersebut menunjukkan sesungguhnya siapa yang menciptakan permasalahan lingkungan, dan siapa yang harus memecahkan masalahnya. Berdasarkan lingkungan
hidup
penjelasan haruslah
tersebut, didudukan
maka dalam
persoalan
manajemen
kerangka
mencapai
keberlangsungan perikehidupan dan kesejahteraan masyarakat serta menjaga keberlangsungan hidup makhluk lainnya yang ada di muka bumi. Parameterparemeter pokok yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pembangunan sekurang-kurangnya harus memperhatikan juga secara prioritas pada aspek sosial dan lingkungan, bukan hanya sekedar parameter ekonomi dan politik. Hal ini ditegaskan oleh Sanim (2006) bahwa pembangunan ekonomi dan manajemen lingkungan merupakan hal yang komplemen bukan kompetitif. Pandangan tersebut didasarkan pada paradigma hubungan manajemen lingkungan hidup dan pembangunan ekonomi seperti yang dikemukakan oleh Bank Dunia, bahwa: (a) economic development and sound environmental management are coplementary aspect of the same agenda; (b) without adequate environmental protection,
development
will
be
undermined---without
development,
environmental protection will fall; and (c) development and environmentall: a false dhicotomy.
27
Peran Pemerintah sebagai penentu kebijakan dalam mewujudkan hal tersebut sangat sedemikian penting.
Sugiarto, etal. (2000) menjelaskan
pembelajaran yang ditemukan pada pemerintahan Jepang bahwa peran pemerintah berkewajiban untuk membuat sasaran, arahan, dan pembagian peranan/tugas pelaku kebijakan dalam memelihara lingkungan hidup, yaitu sebagai berikut: (1)
Selain
menetapkan
rencana
dasar
kebijakan
lingkungan
hidup,
menetapkan tujuan pemeliharaan lingkungan berdasarkan masalah yang muncul. Dengan berpijak pada hukum, menetapkan rencana dasar dan pembagian peranan/tugas dari seluruh unsur yang terkait; (2)
Pembentukan pola dasar kegiatan seluruh unsur yang terkait berdasarkan penilaian masalah lingkungan, perubahan aturan, perkembangan ekonomi, sosial, serta ilmu pengetahuan dan teknologi;
(3)
Untuk mendorong partisipasi aktif dari pengusaha dan masyarakat, diadakan pendidikan dan pelatihan pemeliharaan lingkungan, membantu kegiatan pengusaha, membuka jalur informasi, dan lain-lain;
(4)
Membantu kegiatan organisasi-organisasi masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan dengan bantuan dana dan teknologi;
(5)
Berperan
aktif
dalam
kegiatan
pemeliharaan
lingkungan
hidup
internasional; (6)
Menerapkan aturan pemeliharaan lingkungan hidup pada bangunanbangunan yang diperkirakan berpengaruh pada kelestarian lingkungan hidup; dan
(7)
Menerapkan pelaksanaan kegiatan aturan pemeliharaan lingkungan hidup pada pengusaha dan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, Tangkilisan (2004) menjelaskan bahwa peran
koordinasi pemerintah sangat menentukan keterpaduan pengelolaan lingkungan hidup, temasuk dalam konteks pelaksanaan pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kebijakan manajemen lingkungan hidup yang ditetapkan melalui Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengelolaan lingkungan hidup diterjemahkan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan
28
penataan,
pemanfaatan,
pengembangan,
pemeliharaan,
pemulihan,
pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Kebijakan tersebut ditujukan untuk mencegah terjadinya tumpang tindih, baik
dalam
perencanaan,
pelaksanaan,
dan
pengendalian
pelaksanaan
pengelolaan lingkungan hidup. Dalam pengaturannya pada Pasal 9 ayat 2 dan 3 dijelaskan bahwa: (1)
Pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan secara terpadu oleh instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab masingmasing,
masyarakat
memperhatikan
serta
keterpaduan
pelaku
pembangunan
perencanaan
dan
lain
dengan
pelaksanaan
kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup (ayat 2); dan (2)
Pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati, perlindungan sumber daya buatan konservasi, sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim (ayat 3). Pengelolaan lingkungan hidup tentu saja bukan semata-mata kewajiban
pemerintah, melainkan juga seluruh pelaku kegiatan pembangunan. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan keterlibatan masyarakat dan swasta dalam pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini ditegaskan oleh Tangkilisan (2004) bahwa salah satu sebab meningkatnya pencemaran lingkungan oleh industri adalah karena pelaku industri tidak mematuhi ketentuan-ketentuan atau persyaratanpersyaratan industri yang berwawasan lingkungan yang telah digariskan dalam peraturan perundangan yang berlaku. Selain persoalan yang ditimbulkan oleh sektor industri swasta tersebut, aktivitas masyarakat juga perlu ditekankan dalam lingkungan hidup.
menjaga kelestarian
Demikian pula halnya dengan kinerja Pemerintah Daerah
dalam bidang lingkungan hidup menjadi sisi yang perlu dibenahi. Hal ini tidak lain adalah untuk meningkatkan optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dalam kegiatan pembangunan yang ramah lingkungan. Sumber daya air sebagai salah satu bagian dari unsur lingkungan juga menjadi permasalahan serius selama ini. Meningkatnya jumlah penduduk dan meningkatnya laju pembangunan sebagai konsekuensi dari perkembangan
29
penduduk, telah menyebabkan meningkatnya kebutuhan air di berbagai sektor. Peningkatan kebutuhan air terutama untuk kebutuhan domestik (rumah tangga), kebutuhan pembangunan pertanian, dan kebutuhan industri (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004). Pada sisi yang lain, ketersediaan air yang ditawarkan dari sumbernya yang ada relatif terbatas dan cenderung menurun baik dari aspek kuantitas maupun kualitasnya. Pengertian sumber daya air dalam definisi Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dijelaskan bahwa air adalah semua air yang terdapat pada, di atas maupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. Menurut Kodoatie dan Sjarief (2005), air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, termasuk didalamnya antara lain adalah: air dalam sistem sungai, waduk, danau, dan air irigasi. Permasalahan klasik sumber daya air sudah berlangsung sejak lama, yaitu kekeringan pada waktu musim kemarau, dan banjir serta longsor pada waktu musim hujan.
Permasalahan tersebut menunjukkan indikasi degradasi
lingkungan yang dari waktu ke waktu cenderung meningkat. Kerusakan lingkungan di kawasan hulu akan mempercepat terjadinya krisis air. Faktor utama krisis air adalah perilaku manusia yang memanfaatkan potensi sumber daya alam, terutama hutan dan lahan secara tidak terkendali untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Fenomena tersebut juga terjadi pada sektor irigasi, dimana ketersediaan air irigasi sekarang ini tidak hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan tanaman pada usaha pertanian tertentu, melainkan juga sudah dialokasikan untuk kebutuhan industri dan air minum. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan manajemen lingkungan hidup dalam kegiatan pembangunan berbasis sumber daya air irigasi perlu penataan dan strategi baru dalam mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi dalam kegiatan pembangunan sumber daya air. Kerusakan di wilayah tangkapan air menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan ketersediaan air. Oleh karena itu, alternatif pendekatan yang perlu dilakukan adalah memadukan aspek penawaran dan permintaan (supply and demand) atau dengan kata lain adanya keterpaduan antara hulu dan hilir dalam menjaga keberlanjutannya.
30
2.2.
Teori Sistem dan Permodelan Sistem Globalisasi yang semakin kompleks dan perubahan lingkungan yang
semakin cepat menuntut suatu cara yang komprehensif untuk memecahkan berbagai persoalan dengan menggunakan falsafah kesisteman. Pemikiran kesisteman merupakan pendekatan ilmiah untuk mengkaji permasalahan yang memerlukan telaah berbagai hubungan yang relevan, komplementer dan terpercaya.
Pada
tahun
1968,
Von
Bertalanffy
memperkenalkan
dan
mempublikasikan gagasan tentang General System Theory (GST) sebagai suatu doktrin interdisipliner yang mengupas tentang prinsip-prinsip dan model-model yang diterapkan pada sistem secara umum, dengan memperhatikan jenis ukuran, elemen spesifik maupun daya geraknya (Eriyatno dan Sofyar, 2007). Aplikasi pendekatan kesisteman didasari oleh teori sistem yang dikembangkan Ludwig von Bertalanffy melalui “teori sistem umum” atau General System Theory (GST) sejak tahun 1937 sebagai suatu yang memungkinkan untuk menghidupkan kembali kemunculan sebuah “ilmu pengetahuan kesatuan” (Nisjar dan Winardi, 1997).
Pandangan tersebut dikritik oleh Midgley (2000)
bahwa teori GST tersebut kurang dilengkapi oleh dua tantangan subyek/obyek, sebagaimana yang dijelaskannya: ”he did not take it far enough to complete the challenge to subject/object dualism. This becomes evident when we look at von Bertalanffy's thoughts on the nature of human knowledge about the world.” Terlepas dari berbagai kritik atas teori GST yang dikemukakan oleh Ludwig von Bertalanffy, secara konseptual, sistem dipahami dengan sangat sederhana oleh Bertalanffy (dalam Nisjar dan Winardi, 1997) sebagai “a complex of interacting elements”. Pengertian sistem tersebut menunjukkan penjelasan suatu kompleksitas untuk unsur-unsur yang saling berinteraksi. Istilah sistem menurut Luenberger (1979) diberlakukan juga seperti halnya pada analisa umum sebagaimana yang dijelaskannya bahwa:”The term system, as applied to general analysis, was originated as a recognition that meaningful investigation of a particular phenomenon can often only be achieved by explicitly accounting for its environment”.
Pemahaman istilah sistem dimulai sebagai suatu pengenalan
terhadap investigasi suatu peristiwa yang penuh arti dan seringkali hanya dapat dicapai melalui akuntansi lingkungan. Hal ini menegaskan bahwa istilah sistem pada awalnya berangkat dari fenomena atau gejala pada suatu konteks lingkungan yang mempunyai keterkaitan satu sama lainnya.
31
Pemahaman sistem menurut pakar lainnya yaitu Jackson (2005) digambarkan secara sederhana bahwa: ”simply defined, a system is a complex whole the functioning of which depends on its parts and the interactions between those parts”. Definisi sistem tersebut menjelaskan sistim sebagai suatu keseluruhan yang kompleks dan bagian-bagian didalamnya mempunyai fungsi tertentu yang saling bergantung serta terdapat interaksi-interaksi diantara bagianbagian yang terdapat didalamnya. Pengertian tersebut menjelaskan suatu sistem sangat tergantung pada subsistem-subsistem yang saling menunjang satu sama lainnya. Pemaknaan definisi sistem sebagai suatu kumpulan objek-objek atau beberapa elemen yang saling terkait dijelaskan oleh (Eriyatno dan Sofyar, 2007) bahwa sistem didefinisikan sebagai suatu agregasi atau kumpulan objek-objek yang saling menerangkan dalam interaksi dan tergantung satu sama lain. Dengan kata lain sistem diartikan sebagai suatu set elemen-elemen yang berada dalam keadaan yang saling berhubungan. Penjelasan definisi sistem yang diterima secara umum oleh para pemikir sistem dikemukakan oleh Hall dan Fagen (dalam Nisjar dan Winardi, 1997) bahwa: “A system is a set of objects together with relationship between the objects and between their attributes connected or related to each other and to their environment in such a manner as to for an entirety or whole”. Menurut Eriyatno (1998), sistem adalah totalitas himpunan elemen-elemen yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu, dalam upaya mencapai suatu gugus tujuan (goals). Proses transformasi elemen dalam suatu sistem dapat dinyatakan dalam fungsi matematika, operasional logik, dan proses operasi yang mengkaitkan secara prediktif antara output dan input-inputnya. Dalam ilmu sistem transformasi ini dikenal dengan istilah pendekatan “Kotak Gelap” (black box). Para ahli sistem memberikan batasan perihal yang alternatif solusi sebaiknya menggunakan teori sistem yang pengkajiannya mempunyai persoalan sesuai karakteristik: (1) kompleks; (2) dinamis; dan (3) probabilistik. Tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok ahli sistem dalam merancang berbagai solusi, yaitu: (1) Sibernetik (cybernetic), artinya berorientasi pada tujuan; (2) Holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap kebutuhan sistem; dan (3) Efektif (effective), sehingga dapat dioperasionalkan.
32
Pendekatan kesisteman mengutamakan kajian struktur sistem baik yang bersifat penjelasan maupun sebagai pendukung bagi penyelesaian persoalan. Kajian sistem dimulai dengan identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan sehingga dapat dihasilkan suatu operasi dari sistem. Dalam pendekatan sistem umumnya telah ditandai dengan: (1) pengkajian terhadap semua faktor yang berpengaruh dalam rangka mendapatkan solusi untuk mencapai tujuan; dan (2) adanya model-model untuk membantu pengambilan keputusan lintas disiplin, sehingga permasalahan yang kompleks dapat diselesaikan secara komprehensif. Hal yang kedua tersebut dikenal dengan permodelan sistem. Menurut Murdick, Ross dan Claggett (1993), model dapat dipahami sebagai aproksimasi atau penyimpulan (abstraction) dari kenyataan dan yang dapat disusun dalam berbagai bentuk. Pengertian model lainnya juga dikemukakan Gordon, Murdick, et al., dan Toha (dalam Simatupang, 1995) sebagai berikut: (1) Gordon (1978) mendefinisikan model sebagai kerangka utama informasi (body of information) tentang sistem yang dikumpulkan untuk mempelajari sistem tersebut; (2) Murdick, et al. (1984) menyatakan bahwa model adalah aproksimasi atau penyimpulan (abstraction) dari sistem nyata yang dapat disusun dalam berbagai bentuk; dan (3) Toha (1990) mengemukakan bahwa model adalah penampilan elemenelemen terpenting dari persoalan sistem nyata. Menurut Eriyatno (2003), permodelan dapat diartikan sebagai suatu gugus aktiviitas pembuatan model. Definisi model diartikan sebagai suatu perwakilan atau abtraksi dari suatu obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Suatu model yang lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas atau sistem nyata yang sedang dikaji. Dengan demikian klasifikasi model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok pengkajian atau derajat keabstrakannya. Berdasarkan berbagai pengertian tersebut, pada umumnya literatur tentang model disepakati oleh banyak pihak sebagai suatu representasi atau formalisasi dalam bahasa tertentu dari suatu sistem nyata. Sistem nyata
33
merupakan sistem yang sedang belangsung dalam kehidupan, sistem yang dijadikan titik perhatian dan dipermasalahkan. Dengan demikian permodelan adalah proses membangun atau membentuk sebuah model dari suatu sistem nyata dalam bahasa formal tertentu. Fenomena yang terjadi dalam kehidupan dapat dibangun suatu model yang menggambarkan informasi tertentu dengan menggunakan suatu piranti bahasa formal yang mudah dimengerti (Simatupang, 1995). Proses
permodelan
sebagaimana
terlihat
pada
gambar
tersebut
menunjukkan bahwa suatu sistem yang sedang berlangsung dalam kehidupan (sistem nyata) akan dilihat dan dibaca oleh pemodel dan membentuk gambaran tertentu (image) didalam pikirannya. Gambaran imajinasi tersebut tidak persis sama dengan sistem nyata karena pemodel membacanya dengan menggunakan “kacamata” tertentu atau sudut pandang/visi/wawasan tentang kehidupan yang dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: (1) tata nilai yang diyakini oleh pemodel; (2) ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh pemodel; dan (3) pengalaman hidup dari pemodel. Imajinasi atau citra itu sendiri adalah suatu model yang disebut model mental (pikiran atau proses berpikir manusia).
Model tersebut tidak mudah
dikomunikasikan dengan orang lain, sehingga diperlukan suatu alat komunikasi tertentu yang dipahami oleh orang lain. Alat komunikasi tersebut pada umumnya berbentuk bahasa tertulis atau berupa wujud fisik. Model yang sudah diformalkan kemudian diuji kesesuaiannya dengan sistem nyata secara ilmiah.
Namun
demikian, untuk memperkecil kesalahan pengembangan dan hasil dari suatu model dapat dilakukan penyesuaian-penyesuaian pada tingkat tertentu. Suatu model dapat membantu pemecahan masalah yang sederhana ataupun kompleks dalam bidang manajemen dengan memperhatikan beberapa bagian atau beberapa ciri utama daripada memperhatikan semua detail sistemnya. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Siregar (dalam Simatupang, 1995) mengemukakan bahwa terdapat beberapa karakteristik suatu model yang baik sebagai ukuran pencapaian tujuan permodelan, yaitu: (1) Tingkat generalisasi yang tinggi. Semakin tinggi derajat generalisasi suatu model, maka semakin baik kemampuannya dalam memecahkan masalah;
34
(2) Mekanisme transparansi. Suatu model dikatakan baik apabila memberikan gambaran mekanisme model dalam memecahkan masalah. Artinya terdapat penjelasan kembali (rekonstruksi) tanpa ada yang disembunyikan. (3) Potensial untuk dikembangkan. Suatu model yang berhasil biasanya mampu membangkitkan minat (interest) peneliti lain untuk menyelidikinya lebih lanjut. Selain itu juga membuka kemungkinan pengembangannya menjadi model yang lebih kompleks dan berdaya guna untuk menjawab masalah sistem nyata; dan (4) Peka terhadap perubahan asumsi dan mempunyai kemampuan dalam menjawab permasalahan sistem nyata. Pada
sisi
lain,
Sargent
(dalam
Eriyatno
dan
Sofyar,
2007)
mengemukakan permodelan dalam bentuk struktur sebagaimana terlihat pada Gambar 6.
Penerapan model dalam kerangka penelitian dikemukakan oleh
Kanungo dan Batnagar (2002) bahwa:”factors in the research model include people, process, information system/information technology, and management factors apart from direct measures of the information system quality. Pandangan tersebut menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor dalam penelitian model, yaitu masyarakat, proses, sistem informasi/teknologi informasi, dan manajemen sebagai bagian dari pengukuran langsung kualitas sistem informasi. Beberapa faktor tersebut telah digunakan oleh Zahedi (1998) serta Stylianou dan Kumar (2000), yang menyediakan secara lebih lengkap dan perspektif secara terintegrasi dengan sudut pandang yang berbeda. Kanungo dan Bhatnagar (2002) mengemukakan bahwa:”the four factors in the research model have been developed further based on prior research. The elaboration for each factor that appears below was used to refine the research instrument”. Penjelasan tersebut menegaskan bahwa keempat faktor dalam riset model telah dikembangkan ke depan berdasarkan penelitian sebelumnya. Pengembangan setiap faktor telah digunakan untuk menyuling instrumen penelitian.
Berdasarkan pandangan tersebut, maka dalam riset model perlu
diperhatikan beberapa faktor yang utama, yaitu masyarakat, proses, sistem informasi/teknologi informasi, dan manajemen.
35
ENTITAS PERIHAL/SUBSTANSI
Validasi Operasional
Validitas Model Konseptual
Percobaan
MODEL KOMPUTERISASI (SPK, SMA)
Validasi Data dan Informasi
Analisis dan Permodelan
Pemrograman Komputer dan Implementasi MODEL KONSEPTUAL
Validasi Model Komputerisasi
Gambar 6 Permodelan sistem (Sargent, 1999) Permodelan pada tingkat metodologi sistem dibagi dua, yaitu Hard System Metodology (HSM) seperti teknik operasional riset dan sistem dinamik; serta Soft System Metodology (SSM). Untuk riset kebijakan sebaiknya digunakan teknik-teknik dari SSM, namun sering juga dimanfaatkan kehandalan sistem dinamik dari HSM untuk analisa sebab akibat (Eriyatno dan Sofyar, 2007). Berdasarkan hal tersebut, maka pendekatan penelitian yang dilakukan adalah menggunakan metode SSM. Secara sederhana, pendekatan metoda SSM dapat digambarkan sebagaimana terlihat pada Gambar 7 (Checkland, dalam Eriyatno dan Sofyar, 2007).
36
7. Tindakan untuk Memperbaiki Keadaan
1. Situasi Permasalahan yang Tidak Terstruktur
Tindakan
6. Identifikasi Hal yang Diingnkan Secara Sistematis dan Perubahan yang Layak Secara Efektif
Temuan
2. Situasi Permasalahan yang Ditemukenali
5. Perbandingan antara 4 dan 2
Dunia Nyata Pemikiran Sistem 3. Pendefinisian Sistem Yang Relevan
4. Model Konseptual
Pendekatan Sistem 4a. Konsep Sistem Formal
4b. Pemikiran Sistem Lainnya
Gambar 7 Soft System Methodology (Checkland, 1981) Berbagai teknik dikembangkan dalam metode SSM untuk memperoleh atau menganalisa input penelitian, termasuk penelitian kebijakan. Teknik yang digunakan dalam pendekatan penelitian ini lebih bersifat komplementer. Hal ini didasarkan pada pandangan Eriyatno dan Sofyar (2007) bahwa mengingat kebijakan publik adalah pengetahuan yang bersifat multidisipliner, tentunya untuk menghasilkan sintesa yang mendalam dan komprehensif tidak cukup bila hanya menggunakan satu metoda saja. Pendekatan melalui penggabungan berbagai metoda dengan kombinasi teknik yang tepat dapat mempertajam analisis, meningkatkan mutu disain dan meminimalisasi bias dalam penelitian.
2.3.
Manajemen Strategi Manajemen strategi merupakan suatu konsep yang lahir sebagai reaksi
atas perubahan lingkungan secara global sehingga unit organisasi perlu melakukan pengamatan, pengendalian dan evaluasi terhadap lingkungan eksternal dalam menentukan strategi melalui potensi kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Dengan kata lain manajemen strategi dapat dipandang sebagai
37
serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja organisasi dalam jangka panjang. Pemahaman terhadap konsep manajemen strategi dapat dijelaskan melalui pengertian manajemen dan strategi.
Hal ini juga ditegaskan oleh
Bawono (2008) bahwa manajemen strategi terdiri atas dua suku kata yang dapat dipilah menjadi kata manajemen dan strategi.
Manajemen diperkirakan ada
sejak manusia menyadari perlunya kerjasama dengan orang lain, atau sejak seseorang memanfaatkan bantuan orang lain untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Hal ini karena seseorang menyadari adanya keterbatasan kemampuan
fisik
maupun
pikiran
dalam
melaksanakan
tugas-tugasnya.
Manajemen sebagaimana merupakan suatu rangkaian tindakan untuk mencapai hubungan kerjasama yang rasional dalam suatu sistem administrasi. Menurut Koontz, O’Donnell dan Weihrich (1993) manajemen merupakan pelaksanaan sesuatu hal dengan memanfaatkan bantuan orang lain.
Kedua
definisi tersebut walaupun sangat sederhana menunjukkan arti pentingnya manajemen sebagai fenomena sosial (Manila, 1996).
Sedangkan menurut
Nawawi (2003) manajemen merupakan serangkaian proses yang terdiri atas perencanaan
(planning),
pengorganisasian,
(organizing),
pelaksanaan
(actuating), pengawasan (controlling), dan penganggaran (budgeting). Pada hakikatnya manajemen merupakan proses pemberian bimbingan, kepemimpinan, pengaturan, pengendalian, dan pemberian fasilitas lainnya. Pengertian manajemen dapat disebut pembinaan, pengendalian pengelolaan, kepemimpinan, ketatalaksanaan, yang merupakan proses kegairahan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan Sirait (2006) menjelaskan bahwa proses manajemen adalah seperangkat kegiatan-kegiatan yang mencakup pengkoordinasian, pengintegrasian, dan penggunaan sumbersumber daya guna mencapai tujuan organisasi melalui manusia-manusia, teknikteknik, berbagai informasi dalam suatu struktur organisasi. Menurut Wibowo (2006) manajemen sudah semakin dirasakan sebagai suatu kebutuhan pokok, baik oleh sekumpulan individu, kelompok, maupun organisasi
untuk
mencapai
tujuannya.
Pengetahuan
manajemen
telah
mengajarkan banyak hal tentang bagaimana tujuan tersebut dapat dicapai secara efisien dan efektif. Suatu organisasi dibentuk untuk mencapai tujuan
38
bersama, namun untuk mencapai tujuan secara efektif diperlukan manajemen yang baik dan benar. Manajemen merupakan suatu proses atau serangkaian tindakan untuk mencapai tujuan dengan menjalankan fungsi manajemen dan menggunakan sumber daya, serta menjalankan empat fungsi utama manajemen, yaitu planning, organizing, leading, dan controlling untuk mencapai tujuan suatu organisasi (Dubrin, 1990) sebagaimana terlihat pada Gambar 8. Dalam konteks sistem, manajemen dianggap sebagai sebuah sistem sumber daya, guna memiliki suatu kelompok cirri-ciri sistematik yang dinamik, guna pencapaian suatu bauran produktivitas yang optimum dan kepuasan bagi organisasi yang ada secara keseluruhan (Nisjar dan Winardi, 1997). Pandangan tersebut mengharuskan dimasukkannya konsep-konsep ilmu behavioral kedalam suatu pendekatan proses dan structural terhadap manajemen yang terintegrasi, bersama-sama dengan pemanfaatan ilmu manajemen yang terdapat serta teknik-teknik analisis sistem bagi pemecahan problem dan alokasi sumbersumber daya. Anggapan terhadap masing-masing fungsi manajerial sebagai sebuah subsistem, maka hal tersebut memungkinkan pemusatan perhatian pada titik-titik pokok interaksi atau interfaces dimana output satu kelompok aktifitas (atau subsistem) menjadi input bagi sekelompok aktifitas (subsistem) berikutnya. Hal tersebut memungkinkan pencapaian suatu pandangan yang bersifat holistik tentang manajemen, daripada apabila hanya memperhatikan jumlah dari fungsifungsi terpisah, yang dilaksanakan secara terpisah satu sama lainnya. Sedangkan pemahaman terhadap strategi secara konseptual dijelaskan oleh Glueck dan Jauch (dalam Saladin, 2004) bahwa strategi dapat diartikan sebagai
sebuah
rencana
yang
disatukan,
luas
dan
terintegrasi,
yang
menghubungkan keunggulan strategi perusahaan dengan tantangan lingkungan dan yang dirancang untuk memastikan bahwa tujuan utama perusahaan dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat oleh organisasi.
Pengertian strategi
dalam pandangan tersebut didasarkan pada manajemen perusahaan, namun apabila dikembangkan lebih lanjut dapat berlaku pada semua tingkat organisasi, termasuk organisasi pemerintahan. Menurut Robbins (1995), strategi dapat didefinisikan sebagai penentuan dari tujuan dasar jangka panjang dan sasaran sebuah perusahaan, dan penerimaan dari serangkaian tindakan serta alokasi dari sumber-sumber yang
39
dibutuhkan untuk melaksanakan pencapaian tujuan tersebut. Sedangkan Salusu (2003) menjelaskan bahwa situasi strategik merupakan suatu interaksi antara dua orang atau lebih yang masing-masing mendasarkan tindakannya pada harapan tentang tindakan orang lain yang tidak dapat dikontrol, dan hasilnya akan terganting pada gerak-gerik perorangan dari masing-masing pemeran. Menurut Wilopo (2003), strategi merupakan positioning organisasi di masa depan dengan memberikan daya ungkit melalui aset-aset yang dimiliki untuk menciptakan aset yang dapat membawa organisasi pada posisi superior terhadap
pesaing
menjelaskan
melalui
bahwa
memungkinkan
penciptaan
strategi
adalah
organisasi-organisasi
nilai. pola
dapat
Sedangkan alokasi
Barney
sumber
mempertahankan
daya
(1997) yang
kinerjanya.
Strategi juga dpat diartikan sebagai keseluruhan rencana mengenai penggunaan sumberdaya-sumberdaya untuk menciptakan suatu posisi yang menguntungkan. (Grant, 1995). Berdasarkan seluruh pengertian strategi tersebut dapat dijelaskan bahwa strategi merupakan suatu kesatuan rencana yang menyeluruh, komprehensif, dan terpadu yang diarahkan untuk mencapai tujuan organisasi. Terdapat beberapa karakteristik dari pengertian strategi tersebut di atas, yaitu: (1) Adanya suatu rencana tindakan yang dirancang untuk mencapai tujuan baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang; (2) Untuk menyusun suatu strategi diperlukan analisis terhadap lingkungan, baik lingkungan eksternal (peluang dan ancaman/tantangan) maupun lingkungan internal (kekuatan dan kelemahan) untuk mengantisipasi perubahanperubahan yang terjadi dalam suatu dinamika tertentu; (3) Perlunya suatu keputusan pilihan dan pelaksanaan yang tepat dan terarah guna mencapai tujuan organisasi; dan (4) Strategi dirancang untuk menjamin agar tujuan dan sasaran dapat dicapai melalui langkah-langkah yang tepat. Pengertian mengenai manajemen strategi tersebut pada dasarnya menjelaskan pemilihan alternatif strategi yang terbaik bagi organisasi dalam segala hal untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi. Oleh karena itu, suatu organisasi perlu melaksanakan manajemen strategi secara terus menerus dan harus fleksibel dengan tuntutan situasi dan kondisi lingkungan. Manajemen
40
strategi merujuk pada proses manajerial untuk membentuk visi strategi, penyusunan obyektif, penciptaan strategi, mewujudkan dan melaksanakan strategi dan kemudian sepanjang waktu melakukan penyesuaian dan koreksi terhadap visi, obyektif strategi dan pelaksanaan tersebut. Menurut
Siagian
(2004)
manajemen
stratejik
diartikan
sebagai
serangkaian keputusan dan tindakan mendasar yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh seluruh jajaran suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi tersebut. Manajemen strategis memiliki 4 (empat) tugas yang harus dilaksanakan, yaitu: (1) pembelajaran strategis; (2) perencanaan strategis; (3) tindakan strategis; dan (4) pengendalian strategis. Dengan demikian manajemen strategis merupakan proses untuk membantu organisasi dalam mengidentifikasi apa yang ingin dicapai, dan bagaimana seharusnya mencapai hasil yang bernilai.
Secara sederhana manajemen
strategi dapat dipahami sebagai proses pemilihan dan penerapan strategistrategi yang sudah ditetapkan dalam suatu proses perencanaan. Manajemen strategi mengandung langkah-langkah yang diperlukan dalam suatu proses untuk menetapkan berbagai pilihan yang terbaik dari sejumlah pilihan-pilihan yang ada secara lebih tepat dan menguntungkan atas penggunaan berbagai potensi sumberdaya yang ada.
2.4.
Konsep Kebijakan Secara konseptual, rumusan kebijakan adalah suatu program pencapaian
tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah (Islamy, 1997).
Dalam
pengertian kebijakan tersebut terkandung serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan
hambatan-hambatan
dan
kesempatan-kesempatan
terhadap
pelaksanaan usulan kebijakan dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pengertian kebijakan mencerminkan adanya: (1) susunan rancangan tujuan dan dasar pertimbangan program pemerintah yang berhubungan dengan masalahmasalah tertentu yang dihadapi masyarakat; (2) apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan atau tidak dilakukan; dan (3) masalah-masalah yang kompleks yang dinyatakan dan dilaksanakan oleh pemerintah. Oleh karena itu, suatu kebijakan dapat memuat 3 (tiga) elemen penting, yaitu sebagai berikut: (2) Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;
41
(3) Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan; dan (4) Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi tersebut. Berdasarkan
pengertian
tersebut,
maka
dapat
dijelaskan
secara
sederhana bahwa kebijakan adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Pengertian kebijakan mempunyai beberapa implikasi sebagai berikut: (1) Kebijakan dalam bentuk perdananya berupa penetapan tindakan-tindakan; (2) Kebijakan tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuknya yang nyata; (3) Kebijakan baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu mempunyai dan dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu; dan (4) Kebijakan harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh anggota masyarakat. Pada tingkat implementasinya penetapan kebijakan seringkali dihadapkan pada berbagai kendala. Kendala penetapan kebijakan dikemukakan oleh Goodin, Rein dan Moran (2006) bahwa ”policy making is always a matter of choice under constraint. But not all the constraints are material. Some are social and political, having to do with the willingness of people to do what your policy asks of them or with the willingness of electors to endorse the policies that would-be policy makers espouse”.
Kendala penetapan kebijan tersebut tidak hanya sekedar
persoalan material, tetapi lebih jauh dari itu adalah menyangkut persoalan sosial, politik, dan kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu pilihan yang tersedia. Menurut Abidin (2002) pengertian kebijakan itu bersifat dinamis, terutama terkait dengan sifat yang melekat pada definisi kebijakan.
Sejalan dengan
perkembangan studi yang makin maju, pengertian kebijakan ada pula yang mengaitkan dengan analisis kebijakan yang merupakan sisi baru dari perkembangan ilmu sosial untuk pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari. Analisis kebijakan selain merupakan metode untuk memahami apa dan bagaimana suatu kebijakan terjadi, juga menyediakan alat yang bermanfaat bagi
42
praktisi yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan. Analisis kebijakan itu sendiri menurut Dunn (1994), merupakan aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Dengan demikian, pengertian analisis
kebijakan
merupakan
upaya
untuk
menghasilkan
dan
mentransformasikan informasi yang dibutuhkan untuk suatu kebijakan, dengan menggunakan berbagai metode penelitian dan pembahasan dalam suatu kondisi tertentu untuk menyelesaikan suatu masalah. Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan, yaitu: (1) nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi; (2) fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai; dan (3) tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai. Di dalam menghasilkan informasi dan argumen-argumen tersebut, seorang analis dapat memakai satu atau lebih dari tiga pendekatan analisis, yaitu empiris, valuatif dan normatif. Menurut Waldo (dalam Kartasasmita, 1995) analisis kebijakan lebih banyak memberi perhatian kepada teknik yang dapat digunakan untuk menganalisis dan mengevaluasi kebijakan, dalam kaitannya dengan masukan, keluaran, hasil, pengorbanan dan lain sebagainya, yang berkaitan dengan kebijakan publik, dan bukan kepada substansi dari kebijakan itu sendiri. Analisis kebijakan lebih memfokuskan pada pendekatan proses pengambilan keputusan dalam penetapan suatu kebijakan publik dalam bidang tertentu. Dalam konteks tersebut di atas, Wahab (1997) memberikan penjelasan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses atau tahapan kebijakan publik.
Menurut Sunggono (1994), suatu
kebijakan pemerintah sebelum diimplementasikan serta dievaluasi hasil-hasil implementasinya, maka kebijakan pemerintah tersebut diberi bentuk hukum melalui peraturan perundang-undangan. Berkaitan
dengan
riset
kebijakan,
Eriyatno
dan
Sofyar
(2006)
mengemukakan bahwa pada bidang penelitian kebijakan publik (policy research) para peneliti harus terlibat langsung dan mendalami pada proses sintesis, karena peran pemerintah dan masyarakat secara umum akan meningkat, terutama dalam pengendalian dan penentuan berbagai aturan atau ketentuan bagi model konseptual serta manajemen publik.
Selain itu juga dalam pengembangan
43
kebijakan harus dapat memahami bagaimana membangun kebijakan secara komprehensif atau kebijakan yang smart, dengan teknik berbasis pengetahuan merumuskan konsepsi instrument pembangunan berkelanjutan dan pencegahan dampak melalui pemikiran sintesa. Berkaitan
dengan
konsep
kebijakan
tersebut,
Pemerintah
telah
menetapkan suatu piranti pengaturan pembangunan daerah melalui UndangUndang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu materi kebijakan mengatur tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten). Secara umum, urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang bersifat wajib dan diatur dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 6. Perubahan-perubahan yang mendasar atas pembagian kewenangan urusan pemerintahan dalam kerangka kebijakan Otonomi Daerah tersebut pada gilirannya mempengaruhi proses pengambilan keputusan kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah.
Salah satu konsekuensi logisnya adalah
pengembangan dan pengelolaan irigasi sebagai bagian dari upaya penyediaan sarana dan prasarana umum menjadi urusan Pemerintah Daerah.
Namun
demikian pengaturan tersebut dalam pelaksanaannya dibatasi oleh UndangUndang No. 7 tahun 2004 tentang sumber daya air. Pembatasan pengelolaan irigasi tersebut didasarkan pada strata luas lahan beririgasi sebagai berikut: (1) Daerah Irigasi (DI) kurang dari 1000 ha (DI kecil) dan berada dalam satu kabupaten/kota menjadi tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/ Kota; (2) Daerah Irigasi (DI) dengan luasan lebih dari 1000 sampai dengan 3000 (DI sedang) atau DI kecil yg lintas kabupaten/kota menjadi tanggungjawab Pemerintah Provinsi; dan (3) Daerah Irigasi (DI) dengan luasan lebih dari 3000 ha (DI besar) atau DI sedang yg lintas provinsi, strategis nasional, dan lintas negara menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat.
44
Tabel 6 Kewenangan Pemerintah Daerah dalam urusan Pemerintahan yang bersifat wajib. No. 1 2 3 4 5 6
7 8 9
10 11 12
13 14
15
16
Pemerintah Daerah Provinsi (Pasal 13 ayat 1) Perencanaan dan pengendalian pembangunan. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Penyediaan sarana dan prasarana umum. Penanganan bidang kesehatan. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potesial. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota Pengendalian lingkungan hidup. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota Pelayanan kependudukan dan catatan sipil. Pelayanan administrasi umum pemerintahan. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh Peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 14 ayat 1) Perencanaan dan pengendalian pembangunan. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Penyediaan sarana dan prasarana umum. Penanganan bidang kesehatan. Penyelenggaraan pendidikan.
Penanggulangan masalah sosial. Pelayanan bidang ketenagakerjaan. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah. Pengendalian lingkungan hidup. Pelayanan pertanahan. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil. Pelayanan administrasi umum pemerintahan. Pelayanan administrasi penanaman modal. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh Peraturan perundang-undangan.
Sumber: UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pengaturan lebih lanjut tentang pengembangan dan pengelolaan irigasi di Indonesia ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2006 tentang Irigasi. Berdasarkan materi Pasal 2 (1) dikemukakan bahwa keberlanjutan sistem irigasi sebagaimana ditentukan oleh: (1) Keandalan air irigasi yang diwujudkan melalui kegiatan membangun waduk, waduk lapangan, bendungan, bendung, pompa, dan jaringan drainase yang
45
memadai, mengendalikan mutu air, serta memanfaatkan kembali air drainase; (2) Keandalan prasarana irigasi yang diwujudkan melalui kegiatan peningkatan, dan pengelolaan jaringan irigasi yang meliputi operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi jaringan irigasi di daerah irigasi; (3) Meningkatnya pendapatan masyarakat petani dari usaha tani yang diwujudkan melalui kegiatan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang mendorong keterpaduan dengan kegiatan diversifikasi dan modernisasi usaha tani.
2.5.
Pengelolaan Irigasi Berkelanjutan Pembangunan merupakan konsep yang multidimensi. Oleh karena itu
pembangunan memperhatikan berbagai aspek yang berkaitan dengan aspekaspek sosial ekonomi penduduk, pemanfaatan sumber daya alam maupun pengelolaan
lingkungan.
Keterkaitan
diantaranya
merefleksikan
bentuk
hubungan yang sangat kompleks. Menurut Iskandar (1998) pada hakekatnya terdapat tiga domain dalam pembangunan, yaitu: (1) domain ekonomi; (2) domain sosial; dan (3) domain ekologi. Himpunan bagian yang saling beririsan antara domain tersebut menghasilkan tiga model strategi pembangunan dan integrasi antara ketiga himpunan bagian tersebut disebut model strategi pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang. Menurut Kleden (1992), pembangunan yang berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai sejenis pembangunan yang di satu pihak mengacu pada pemanfaatan sumber-sumber alam maupun sumber daya manusia secara optimal, dan di lain pihak serta pada saat yang sama memelihara keseimbangan optimal diantara berbagai tuntutan yang saling bertentangan terhadap sumber-sumber daya tersebut. Pada
sisi
lain,
Pahlman
memberikan
pengertian
pembangunan
berkelanjutan sebagai: ”... is about a broader, deeper and more dynamic process of learning and change, aimed at creating appropriate and equitable human activity systems and ways of life”.
Pengertian tersebut menekankan bahwa
46
pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses yang lebih luas, mendalam, dan proses pembelajaran yang lebih dinamis dan berubah, mengarah pada penciptaan menuju kreativitas kehidupan manusia yang wajar dan sesuai. Secara sederhana konsep pembangunan berkelanjutan dijelaskan pada Gambar 8.
Business ethics; human rights/social equity; corporate social responsibility
Brownfields redevelopment; ecosystems services; by-product synergy
Economic Prosperity
Social objectives
Environment Quality
Air&water quality; urban design and mobility; healt, education and safety, overall quality of life
Stakeholder engagement & consultation
Gambar 8 Paradigma pembangunan berkelanjutan Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, maka dalam konteks pembangunan irigasi dapat dipahami bahwa pengelolaan irigasi berkelanjutan merupakan suatu proses pemanfaatan sumber daya air irigasi maupun sumber daya
manusia
secara
optimal
dengan
mengutamakan
dan
menjaga
keseimbangan optimal diantara berbagai kendala terhadap sumber-sumber daya tersebut untuk kepastian pemanfaatan atau kebutuhan pada masa dan generasi berikutnya. Model pembangunan berkelanjutan dikembangkan berdasarkan 3 (tiga) prinsip-prinsip keberlanjutan sebagaimana dikemukakan dalam Comhar (2007), yaitu: (1) pengambilan keputusan yang tepat; (2) pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui efisiensi penggunaan sumberdaya; dan (3) Pemerataan pembangunan. Keberlanjutan sistim irigasi tersebut diformulasikan melalui pola pengembangan dan pengelolaan irigasi dengan menggunakan pendekatan sistim
47
dan mendayagunakan berbagai faktor/komponen yang berpengaruh terhadap sistim irigasi tersebut. Hal ini juga dinyatakan oleh Bell (1998) bahwa masalah lingkungan yang berkelanjutan juga terkait dengan masalah sosial. Pengelolaan irigasi berkelanjutan sangat diperlukan sebagai upaya dalam mengoptimalkan potensi sumberdaya air dan menekan permasalahan yang muncul.
Permasalahan berkaitan dengan irigasi antara lain dijelaskan oleh
Mawardi (dalam Visi, 1995) bahwa: ”many problems in irrigation O&M are emerging recently. The major problems are related with scarcity in water source, low adaptability of irrigation structures with local environment, low irrigation efficiency and low farmers participation. The problems arise partly due to the changes in environmental factors such as: (1) change in agricultural practices and orientation; (2) scarcity in land and water as the two principal resources in agriculture In one side, while in the other side the demand is increasing; (3) recent strong requirement of more sustainability development and better environment quality; and (4) change in socio-economic attitudes of villagers as an impact of the development process in the country”. Pengertian
irigasi
sebagaimana
yang
terdapat
dalam
Peraturan
Pemerintah No. 20 tahun 2006 Tentang Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian, yang jenisnya meliputi irigasi air permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi tambak. Irigasi diselenggarakan dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan air yang menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani. Selain itu juga, irigasi berfungsi mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan untuk mencapai hasil pertanian yang optimal tanpa mengabaikan kepentingan lainnya.
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Varley
(1995) bahwa meskipun tidak dapat diperkirakan secara tepat, investasi irigasi telah memberikan sumbangan nyata terhadap pertumbuhan produksi beras di Indonesia (kira-kira sebesar 20 – 30%) dari kenaikan tersebut. Sebagai suatu sistem, irigasi dijelaskan oleh Notodihardjo (dalam Pasandaran, 1991) bahwa sistem irigasi merupakan upaya pemberian air kepada tanaman dalam bentuk lengas tanah sebanyak keperluan untuk tumbuh dan berkembang. Small dan Svendsen (1990) mendefinisikan sistem irigasi dalam perspektif sosial sebagai intervensi manusia untuk memodifikasi distribusi, antara
48
ruang dan waktu, air yang terdapat dalam saluran alamiah, parit, saluran pembuang atau akuifer dan untuk memanipulasi seluruh atau sebagian air ini untuk produksi tanaman pertanian. Manfaat sistem irigasi itu sendiri dapat memberikan berbagai kegunaan. Sistem irigasi dapat berguna sebagai input dalam proses produksi, seperti yang dijelaskan oleh ahli-ahli pertanian bahwa irigasi berguna untuk mengantarkan air sesuai dengan kebutuhan tanaman. Pada sisi lain, kegunaan sistem irigasi juga dapat dipandang sebagai output pertanian yaitu irigasi berguna untuk meningkatkan produksi pertanian atau suplai bahan makanan negara. Perencana pemerintah mungkin pula melihat irigasi sebagai sebuah cara untuk menjaga keberlangsungan pembangunan ekonomi secara regional maupun nasional.
Sedangkan ilmuwan sosial yang memperhatikan kondisi
manusia memandang kegunaan irigasi sebagai upaya peningkatan kehidupan secara memadai, aman dan layak. pandangan-pandangan
yang
Menurut Small dan Svendsen (1990),
beragam
tentang
kegunaan
irigasi
dapat
diklarifikasikan berdasarkan kelangsungan hubungan mereka dengan kegiatan irigasi yaitu menangkap dan memanipulasi suplai air untuk peningkatan hasil produksi pertanian. Sejalan
dengan
perkembangan
penyelenggaraan
pembangunan,
khususnya di bidang sumber daya air, Pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan pengembangan dan pengelolaan irigasi secara partisipatif (PPSIP). Sebagaimana yang dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2006 tentang Irigasi, pengertian pengembangan jaringan irigasi adalah pembangunan jaringan irigasi baru dan atau peningkatan jaringan irigasi yang sudah ada.
Sedangkan pengelolaan jaringan irigasi adalah kegiatan yang
meliputi operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi jaringan irigasi di daerah irigasi. Dengan demikian, PPSIP diselenggarakan berdasarkan pendekatan partisipatif dimana kesetaraan peran antara Pemerintah dan masyarakat menjadi salah satu kunci keberhasilannya. PPSIP dikembangkan dalam mewujudkan pencapaian tujuan reformasi kebijakan sumber daya air dan irigasi, yaitu agar pengelola irigasi, petani pemakai air dan penerima manfaat irigasi lainnya, mampu melaksanakan pengelolaan irigasi secara efektif dan efisien serta berkelanjutan dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan sistem irigasi baik
49
pengembangan maupun pengelolaan jaringan irigasi. Secara umum PPSIP sebagai program reformasi pengelolaan irigasi dituangkan dalam kerangka kegiatan (Tabel 7). Tabel 7. Kerangka kegiatan reformasi kebijakan pengelolaan irigasi
Program Program 1. 1.1. 1.2. 1.3. 1.4.
Program 2. 2.1.
2.2. 2.3. 2.4. 2.5. Program 3. 3.1.
3.2. Program 4. 4.1.
4.2. 4.3. 4.4. Program 5. 5.1. 5.2. 5.3. 5.4.
Kegiatan PERSIAPAN UMUM Penyadaran publik Pembentukan Komisi Irigasi (provinsi dan kabupaten/kota) Persiapan dan pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Penyusunan pedoman pelaksanaan kegiatan Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif (PPSIP). PEMBERDAYAAN ORGANISASI P3A Pembentukan P3A/GP3A/IP3A, termasuk mobilisasi TPP/KPL serta pelaksanaan PSETK dengan metode pendekatan PPKP Evaluasi kinerja P3A/GP3A/IP3A sebagai bahan penentuan tingkat partisipasi petani Peningkatan kemampuan teknik P3A/GP3A/IP3A Penyusunan rencana O&P tahunan Peningkatan kemampuan dalam bidang agribisnis dan kegiatan terkait. PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIF Pelaksanaan partisipasi P3A/GP3A/IP3A dalam pengelolaan sistem jaringan irigasi primer dan sekunder, mencakup : - Sistem inventarisasi melalui penelusuran bersama - Identifikasi kegiatan yang dibutuhkan dan penyusunan rencana pengelolaan irigasi - Penyusunan pengelolaan irigasi partisipatif dan dokumen O&P Partisipatif (DOPP) Monitoring dan Evaluasi PPSIP RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN PENGELOLAAN IRIGASI Persiapan Dana Pengelolaan Irigasi (DPI) berdasarkan Angka Kebutuhan Nyata Operasi dan Pemeliharaan (AKNOP) dan angka kebutuhan rehabilitasi Aplikasi Dana Pengelolaan Irigasi Peningkatan kemampuan dalam rangka pengelolaan DPI Monitoring dan Evaluasi pelaksanaan DPI KEBERLANJUTAN SISTEM IRIGASI Pelaksanaan pengelolaan aset irigasi Menjaga ketersediaan air irigasi Peningkatan pendapatan petani Menjaga keberkanjutan fungsi lahan pertanian beririgasi terhadap konversi lahan
50
Butir-butir kebijakan tersebut satu sama lainnya mempunyai keeratan hubungan yang sinergis dan strategis. Implementasi salah satu butir kebijakan tanpa diikuti dengan butir kebijakan yang lainnya tidak akan menghasilkan pencapaian tujuan secara optimal dan berkelanjutan.
Pendekatan partisipatif
juga menjadi jantung dari implementasi butir-butir kebijakan tersebut.
Oleh
karena itu, prinsip-prinsip pendekatan partisipatif harus dicermati dan diterapkan dengan sebaik-baiknya dalam rangka menumbuhkembangkan kepedulian masyarakat terhadap keberlanjutan pengeloaan sistem irigasi. Pengelolaan
irigasi
adalah
kegiatan
operasi,
pemeliharaan,
dan
rehabilitasi jaringan irigasi yang diselenggarakan dengan memanfaatkan sumber daya alam maupun sumber daya manusia secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang. Dalam konteks kegiatan operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi jaringan irigasi tersebut terdapat unsur yang sangat penting dalam kegiatan pengelolaan irigasi, yaitu sumber air (termasuk ketersediaan air irigasi) dan infrastruktur jaringan irigasi. Selain kedua unsur tersebut, unsur lahan beririgasi dan kelembagaan pengelola irigasi menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam keberlanjutan pengelolaan irigasi.
Konversi lahan yang tidak terkendali tentunya membuat
investasi sistem irigasi yang dibangun menjadi tidak efisien. Hal ini dikarenakan fungsi sistem irigasi yang dibangun berfungsi untuk mendukung produktivitas usaha tani guna meningkatkan produksi pertanian dalam rangka ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat petani. Kelembagaan pengelolaan irigasi yang dibentuk dan dikembangkan meliputi instansi pemerintah yang membidangi irigasi, perkumpulan petani pemakai air, dan komisi irigasi. Pada tingkat masyarakat petani, kelembagaan pengelola irigasi dikembangkan melalui organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Organisasi petani tersebut merupakan salah satu kelembagaan sosial yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat perdesaan yang sebagian besar hidup dari sektor pertanian. Dalam proses pemberdayaannya, organisasi P3A perlu mendapat dukungan dari kelembagaan ekonomi, khususnya yang ada di wilayah perdesaan (seperti Koperasi Unit Desa atau KUD). Selain itu juga perlu perhatian
yang
lebih
serius
terhadap
bantuan
stimulan
dari
lembaga
perekonomian yang ada dalam bentuk skim kredit atau sejenisnya untuk
51
mendukung pengelolaan irigasi yang mandiri dan berkelanjutan sesuai dengan batas-batas kewenangannya. Berasarkan penjelasan tersebut, maka irigasi sebagai sebuah sistem terdiri dari beberapa unsur pendukung, yaitu adanya : (1) sumber air, termasuk didalamnya ketersediaan air; (2) infrastruktur berupa jaringan irigasi baik saluran maupun bangunan irigasi; (3) lahan pertanian beririgasi; dan (4) kelembagaan pengelola irigasi baik di tingkat pemerintah maupun masyarakat petani pemakai air.
Oleh karena itu, dalam kegiatan pengelolaan irigasi berkelanjutan perlu
memperhatikan keempat unsur penting tersebut, terutama agar optimalisasi tujuan pemanfaatan sistem irigasi dapat dirasakan dari generasi ke generasi berikutnya.
III. METODOLOGI PENELITIAN Secara konseptual, metode adalah prosedur atau cara yang ditempuh dalam mencapai suatu tujuan tertentu, sedangkan penelitian adalah pencerminan secara konkret kegiatan ilmu dalam memproses pengetahuan. Dengan demikian metode penelitian adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian. Metode penelitian mencakup beberapa teknik, termasuk teknik pengambilan contoh, pengukuran, analisis data, permodelan, dan simulasi (Eriyatno dan Sofyar, 2007). Berdasarkan tujuan penelitian yang dicapai, maka metode penelitian yang dipergunakan
adalah
dengan
pendekatan
permodelan
sistem
dengan
menggunakan metode Soft System Methodology (SSM) yang berorientasi pada penyusunan pedoman guna bertindak (action oriented). Metode tersebut dipergunakan dalam rangka memperhatikan upaya menyiapkan informasi yang relevan pada suatu kebijakan yang harus ditetapkan (policy research). Dengan demikian melalui pendekatan metode tersebut diharapkan tujuan perumusan model strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan dapat tercapai secara tepat. Secara umum langkah-langkah penelitian dilaksanakan melalui tahapantahapan sebagai berikut: (1)
Persiapan.
Pada kegiatan persiapan dilaksanakan penulisan usulan
penelitian, termasuk penyusunan metode penelitian yang akan digunakan. Kelengkapan penulisan usulan penelitian diawali kegiatan observasi terlebih dahulu dengan melakukan pengamatan pada permasalahan pengelolaan irigasi di berbagai dokumen dan meninjau langsung kabupaten Cianjur sebagai salah satu alternatif pemilihan lokasi penelitian terkait dengan fenomena masalah yang akan diterliti. Tindak lanjut dari penyusuan usulan penelitan ini adalah pembahasan dan bimbingan dengan tim promotor sebagai persiapan untuk bahan seminar usulan penelitian. (2)
Pengumpulan data lapangan.
Kegiatan pengumpulan data di lapangan
dilaksanakan setelah seluruh materi usulan penelitian disetujui oleh tim promotor.
Langkah ini dilaksanakan untuk menggali informasi dan
53
mengumpulkan data primer pada lokasi 10 daerah irigasi terpilih sebagai sampel sebagai bahan masukan dalam penetapan beberapa asumsi dalam kegiatan diskusi kelompok terarah. (3)
Diskusi kelompok terarah melalui FGD.
Pelaksanaan kegiatan FGD
diselenggarakan sebanyak 3 (tiga) kali yaitu di tingkat kabupaten sebanyak 2 (dua) kali dan di tingkat Pusat sebanyal 1 (satu) kali. dilaksanakan
untuk
menetapkan
asumsi
melalui
Kegiatan ini
teknik
Surfacing
Assumption Strategic and Testing (SAST) untuk menghasilkan kuadran asumsi, dan kemudian melakukan penyusunan struktur model melalui survey pakar dengan menggunakan teknik Interpretative Structural Modelling (ISM) untuk menghasilkan matriks driver power, serta penentuan prioritas alternatif kegiatan pendukung model melalui teknik Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) (4)
Pengolahan data.
Kegiatan pengolahan data dilakukan melalui teknik
analisis data melalui tabulasi untuk data primer yang sudah terkumpul, serta teknik permodelan untuk menghasilkan rancang bangun model yang diharapkan. Data diolah untuk menghasilkan informasi yang bermakna sesuai dengan kebutuhan penelitian, serta untuk menghasilkan rancang bangun model yang diharapkan dalam penelitian. (5)
Pembahasan hasil penelitian dan penulisan disertasi. Pada kegiatan ini seluruh informasi disusun berdasarkan kerangka penulisan disertasi dan dibahas secara substansial sesuai dengan kebutuhan penelitian, untuk kemudian dituangkan dalam tulisan ilmiah melalui penulisan disertasi. Hasil penulisan disertasi tersebut merupakan bahan untuk sidang komisi, kolokium, ujian tertutup, dan ujian terbuka.
Seluruh rangkaian penelitian
merupakan proses yang selalu berada dibawah bimbingan dan koordinasi dengan tim Promotor sehingga tetap berada pada jalur kaidah-kaidah ilmiah yang semestinya.
3.1.
Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang diperlukan adalah data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data yang diperoleh dengan menggunakan kuesioner atau
54
pedoman wawancara melalui wawancara langsung dengan responden. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari literatur dan dokumentasi pada lembaga pemerintahan dan non-pemerintahan baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang terkait dengan bidang penelitian. Sumber data ditetapkan sesuai kebutuhan, yaitu dari responden dan instansi pemerintahan di Kabupaten Cianjur yang terkait dengan materi penelitian (Bappeda, Dinas PSDA, dan Dinas Pertanian). Secara lebih jelasnya mengenai jenis dan sumber data dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Jenis dan sumber data penelitian Jenis Data Data Primer: a. Sumber air dan ketersediaan air b. Infrastruktur jaringan irigasi c. Lahan pertanian beririgasi d. Kelembagaan pengelola irigasi e. Pendapatan rumah tangga petani f. Pendapatan usahatani g. Iuran pengelolaan irigasi h. Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi
Sumber Data Responden Responden Responden Responden Responden Responden Responden Responden
Data Sekunder: Departemen Dalam Negeri a. Kebijakan Otonomi Daerah b. Reformasi Kebijakan Pengelolaan Sumber Depart. Pekerjaan Umum Daya Air dan Irigasi Departemen Pertanian dan c. Kebijakan Pertanian Dinas Pertanian (Diperta) Bappeda, DPSDA, Diperta d. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten e. Kebijakan dan Peraturan Daerah terkait Bappeda, DPSDA, Diperta Kabupaten pengelolaan irigasi f. Rencana Strategis Pengelola Irigasi Bappeda/DPSDA Kabupaten Berkelanjutan. DPSDA Kabupaten g. Profil sistem irigasi Responden dan Tokoh h. Profil Kelembagaan organisasi P3A Masyarakat i. Kondisi lingkungan fisik, ekonomi sumberdaya Bappeda, DPSDA, Dinas air, data pertanian, luas lahan, produktivitas Kehutanan, Dinas Pertanian hasil pertanian, dan ketahanan pangan Kabupaten daerah. Pemerintah Desa j. Struktur perekonomian desa k. Identifikasi kelembagaan sosial dan Pemerintah Desa dan Kecamatan. kelembagaan ekonomi
55
Parameter keberlanjutan pengelolaan irigasi diukur berdasarkan sintesa indikator sosial, ekonomi, dan lingkungan dari berbagai unsur atau elemen pendukung pengelolaan irigasi berkelanjutan, yaitu sumber daya air, infrastruktur jaringan irigasi, sumber daya lahan, dan kelembagaan pengelolaan irigasi. Teknik pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan melalui pra dan observasi langsung melalui pendekatan survei. Selain itu juga ditunjang oleh survei pakar yang dilakukan melalui pedoman wawancara (interview guidance) dan Focus Group Discussion (FGD) dengan menggunakan daftar pertanyaan dan format kuesioner dan untuk survei lapang dilakukan terhadap usaha tani dan petani pengguna air irigasi. Sedangkan teknik pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengumpulkan dokumen penunjang dan buku kepustakaan yang terkait dengan substansi penelitian dari berbagai sumber informasi. Secara operasional, teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: (1) Tahap pertama dilakukan pengumpulan data melalui kuesioner yang sudah disiapkan sebelumnya terhadap responden yang terpilih pada setiap daerah irigasi lokasi penelitian.
Responden yang terpilih terdiri dari unsur
masyarakat petani pemakai air, pengurus organisasi P3A/GP3A/IP3A, Kelompok Pendamping Lapangan (KPL) baik unsur Juru Pengairan, Penyuluh Pertanian Lapangan maupun aparatur Pemerintah Desa. (2) Tahap Kedua dilakukan pengumpulan data melalui diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) pertama dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait baik di tingkat masyarakat petani pemakai air, unsur Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait Kabupaten Cianjur, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Perguruan Tinggi setempat. FGD pertama ini dilakukan untuk menyusun alternatif kebijakan berdasarkan asumsi-asumsi dari peserta melalui analisis SAST dan juga sebagai media verifikasi hasil temuan lapangan sehingga diperoleh informasi yang akurat, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. (3) Tahap Ketiga dilakukan diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) kedua sebagai tindak lanjut untuk mendapatkan masukan
56
dalam analisis ISM dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait baik di tingkat masyarakat petani pemakai air, unsur Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD) terkait Kabupaten Cianjur, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Perguruan Tinggi setempat.
FGD kedua ini
dilakukan sebagai media untuk menghimpun informasi lebih mendalam dan mengidentifikasi hubungan antara gagasan/ide dan struktur penentu dalam sebuah masalah yang kompleks. (4) Tahap Keempat dilakukan diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) ketiga di tingkat nasional dengan mengundang nara sumber experts dari tingkat Pusat, Provinsi Jawa Barat maupun Kabupaten Cianjur untuk mendapatkan penilaian, pertimbangan (judgement) dan masukan terhadap berbagai model yang terbangun dari FGD sebelumnya.
3.2.
Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel tidak lepas dengan unit analisis suatu
penelitian. Unit analisis tidak lain adalah objek penelitian itu sendiri. Menurut Soehartono (1998), unit analisis menunjukkan siapa atau apa yang mempunyai karakateristik yang akan diteliti. Unit analisis dalam penelitian ini terbagi dalam 2 (dua) kebutuhan, yaitu kebutuhan untuk survey lapang dan kebutuhan untuk survey pakar. Unit analisis untuk kebutuhan survey lapang ditetapkan secara proporsional di 10 (sepuluh) daerah irigasi sesuai klasifikasi kewenangan daerah irigasi, yaitu Cihea (mewakili daerah irigasi di atas 3,000 ha), Susukan Gede, Ciheulang, dan Cipadang-Cibeleng (mewakili daerah irigasi diantara 1,000 sampai 3,000 ha), dan Leuwi Bokor, Ciaden Leuwi Leungsir, Cilumut Pasir Kerud, Nagrog, Cikawung, dan Cisalak/Batusahulu (mewakili daerah irigasi di bawah 1,000 ha). Responden pada tingkat daerah irigasi ditetapkan secara purposive yang terdiri atas mantri cai sebanyak 40 orang untuk penggalian aspek teknis-ekologis; juru pengairan, petugas Penjaga Pintu Air (PPA), dan petugas Kantor Cabang Dinas (KCD) sebanyak 50 orang untuk penggalian aspek ekonomi pembiayaan jaringan irigasi di tingkat sekunder dan tersier, serta masyarakat petani pemakai air sebanyak 100 orang untuk penggalian aspek ekonomi usahatani; dan pengurus organisasi P3A, GP3A, IP3A, Kelompok Tani, dan Badan Perwakilan
57
Desa (BPD) dan unsur Pemerintahan Desa sebanyak 40 unit untuk penggalian aspek kelembagaan. Sedangkan penggalian informasi untuk kegiatan survey pakar yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan Focus Group Discussion (FGD) dan teknik Interpretative Structural Modelling (ISM) serta Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) ditetapkan secara purposive sebanyak 71 orang yang terdiri dari 25 orang untuk kebutuhan FGD di daerah, 20 orang untuk kebutuhan FGD di tingkat Pusat, dan sebanyak 26 orang untuk kebutuhan ISM dan MPE. Pejabat dari daerah yang ditetapkan sebagai partisipan adalah individu aparatur pemerintah di Kabupaten Cianjur yang terkait dengan pengelolaan lingkungan sumber daya air irigasi, yaitu aparat Bappeda, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pertambangan (Dinas PSDAP), Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan PKT, Bapedalda, DPRD, dan Komisi Irigasi. Selain itu juga ditunjang oleh unit analisis dari pakar atau tenaga ahli yang mempunyai kemampuan pengetahuan dan pengalaman terkait dengan substansi penelitian. Gambaran lebih jelas penetapan responden dan partisipan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Responden dan partisipan penelitian Keterangan Profil DI Aspek Teknis Ekologis 1. Jaringan Sekunder 2. Jaringan Tersier Aspek Ekonomi 1. Pembiayaan Jaringan Irigasi -Sekunder -Tersier 2. Usaha Tani -Padi Beririgasi -Padi Non Irigasi Aspek Kelembagaan LSM FDG Daerah
FGD Pusat Survey Pakar (ISM dan MPE)
Responden Instansi Pemerintah Terkait
Jumlah 10
Mantri Cai Mantri Cai
20 20
Juru Pengairan, PPA dan KCD Juru Pengairan, PPA dan KCD
25 25
Petani Petani
50 50
P3A, GP3A, IP3A, Poktan, BPD, Pemerintah Desa Bappeda, Dinas PSDAP, Dinas Kehutanan dan PKT, Bapedalda, Dinas Pertanian, P3A/GP3A/ IP3A dan Komisi Irigasi Unsur Daerah dan Pusat Pakar Terkait
40 25
20 26
58
3.3.
Teknik Analisis Data Teknik analisis data dilakukan untuk menilai kelayakan suatu kegiatan
usaha mikro pertanian atau membuat peringkat dari beberapa usaha mikro pertanian yang harus dipilih dapat digunakan beberapa kriteria. Menurut Pramudya dan Nesia (1992) kriteria investasi yang dianalisa antara lain adalah : (1) Analisis Usahatani Analisis usahatani merupakan nilai pendapaan bersih yang diterima dari keuntungan yang dicapai atas biaya produksi yang dikeluarkan pada komoditas padi beririgasi dan padi nonirigasi. (2) B/C Ratio B/C Ratio merupakan angka perbandingan antara jumlah keuntungan yang diperoleh terhadap biaya yang akan dikeluarkan. Kriteria kelayakan proyek adalah jika B/C Ratio ≥ 1, dan tidak layak jika B/C Ratio < 1. (3) Break Even Point (BEP) Proyek dikatakan impas bila jumlah penjualan produk pada suatu periode tertentu sama dengan jumlah biaya yang ditangguhkan (Sutojo, 1993). Teknik analisis data tersebut dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1) Menyeleksi kuesioner. Kuesioner yang telah terisi oleh responden, dilakukan penyeleksian kuesioner dilakukan dengan cara pengumpulan kembali kuesioner yang telah diisi oleh responden, untuk memudahkan proses editing dan tabulasi hasil. (2) Membuat tabulasi. Untuk memudahkan proses analisis data, maka data yang terkumpul disusun dan dikelompokkan ke dalam tabel dengan cara mentabulasikan data dari kuesioner baik berupa working table maupun main table.
59
3.4.
Teknik Permodelan Teknik permodelan dilakukan dengan menggunakan metode sistem.
Menurut pandangan Jackson (2000) bahwa: “systems methodology for the management sciences had modest success in rebuilding confidence in systems thinking in both the academis and practitioner communities”. Pemikiran tersebut menjelaskan bahwa metodologi sistem, khususnya dalam ilmu-ilmu manajemen mempunyai keberhasilan dalam membangun kembali keyakinan terhadap pemikiran sistem baik untuk masyarakat akademis maupun praktisi. Metodolohi sistem secara umum dibagi 2 (dua), yaitu Hard System Methodology (HSM) dan Soft System Methodology (SSM). Dalam penelitian ini teknik permodelan yang digunakan adalah Soft System Methodology (SSM). Metodologi penelitian Soft System Methodology (SSM) mengandung berbagai teknik yang digunakan dalam memperoleh ataupun menganalisasi input penelitian termasuk untuk penelitian kebijakan. Mengingat kebijakan publik adalah pengetahuan yang bersifat multidisipliner, tentunya untuk menghasilkan sintesa yang mendalam dan komprehensif tidak cukup bila hanya menggunakan satu teknik pengolahan dan analisis data. Setiap teknik (complementarism) memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dengan menggunakan kombinasi teknik yang tepat dapat mempertajam analisis, meningkatkan mutu disain dan meminimalisasi bias dalam penelitian. Berdasarkan hal tersebut, maka teknik pengolahan dan analisis datanya mempergunakan gabungan antara metode Strategi Assumption Surfacing and Testing
(SAST),
Interpretative
Structural
Modeling
(ISM),
dan
Metode
Perbandingan Eksponensial (MPE). Penjelasan ketiga metode teknik pengolahan dan analisis data tersebut dijelaskan sebagai berikut.
3.4.1. Analisis Strategy Assumption Surfacing and Testing (SAST) Metode SAST (Eriyatno, 2007) merupakan salah satu metode yang digunakan dalam menyusun alternatif kebijakan berdasarkan asumsi-asumsi strategis. Tahap dalam metode ini antara lain : (1) Tahapan pembentukan kelompok (group formation) yang bertujuan untuk membentuk kelompok dengan peserta yang memilliki criteria advocates of
60
particular strategis, vested interest, personality type, manager from different functional areas, manager from different organisational levels, time orientation (short/long item perspective). Kelompok dalam dalam penelitian ini adalah pakar kebijakan, pakar sumberdaya air dan irigasi, pakar lingkungan, praktisi di bidang sumberdaya air
dan irigasi dan tokoh
masyarakat. (2) Tahap
Pengedepanan/memunculkan
asumsi
(Assumption
Surfacing).
Dimaksudkan untuk menggali berbagai asumsi yang paling signifikan melalui diskusi kelompok untuk mendukung kebijakan dan strategi yang diinginkan. Dalam tahap ini peserta melakukan analisis terhadap beberapa parameter melaui Focus Group Discussion (FGD) sehingga diperoleh asumsi-asumsi dasar yang secara signifikan berpengaruh terhadap penyusunan kebijakan. ” Parameter dalam penelitian ini adalah meliputi perilaku para petani dan pengguna air lainnya dalam hal : (1) penggunaan air, (2) proses produksi, (3) penggunaan teknologi pertanian ramah lingkungan, (4) pemeliharaan lingkungan terhadap sumber-sumber air, dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan irigasi yang ada, partisipasi masyarakat, dan peran pemerintah setempat. Selanjutnya
hasil
analisis
berupa
alternatif
asusmsi
dinilai
tingkat
kepentingan dan kepastiannya dengan menggunakan Tingkat Peringkatan Asumsi (TPA) dengan melibatkan beberapa pakar.
Pada penerapan
Tingkat Peringkatan Asumsi (TPA) diajukan beberapa pertanyaan kepada masing-masing pakar tentang : kegagalan strategi yang dimaksud ? (memakai skala jawaban “paling tidak penting” sampai “paling penting”) dan juga seberapa jauh keyakinan bahwa asumsi tersebut dapat dibenarkan (memakai skala jawaban “paling tidak pasti” sampai “paling pasti”). (3) Tahap Pembahasan Dialektik (TPD), dimaksudkan untuk membuat kasus kemungkinan strategi terbaik yang diinginkan melalui diskusi pakar. Proses ini dilakukan melalui perdebatan terbuka dalam diskusi untuk membahas : (1) asumsi-asumsi mana yang berbeda; dan (2) asumsi-asumsi mana yang dianggap oleh setiap anggota kelompok sebagai asumsi yang paling
61
bermasalah.
Proses modifikasi asumsi ini tetap berlanjut selama masih
dapat diraih kemajuan melalui proses perdebatan terbuka. (4) Tahap Sintesis, untuk mencapai kompromi atas asumsi-asumsi yang dapat menghasilkan strategi baru yang harus mampu menjembatani atau mengungguli strategi lama. Keuntungan dalam metode SAST ini terletak pada dialectical approach banyak alternatif/strategi para pakar yang dibangun dalam perencanaan berdasarkan
bukti
yang
baik.
Disini
juga
sekaligus
merupakan
kekurangannya dimana banyaknya asumsi yang dikemukakan tidak dapat tercover seluruhnya, selain itu juga adanya pendapat yang sangat berlawanan dapat berpengaruh pada upaya untuk menghasilkan rencana yang aman untuk menghindari kritik.
3.4.2. Analisis Interpretative Structural Modeling (ISM) Metoda ISM adalah suatu metodologi dengan menggunakan bantuan komputer yang dapat membantu suatu kelompok untuk mengidentifikasi hubungan antara gagasan/ide dan struktur penentu dalam sebuah masalah yang kompleks. ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa jenis struktur, termasuk pengaruh struktur (misalnya mendukung atau memperburuk), struktur prioritas (misalnya “lebih penting dari” atau “akan dipelajari terlebih dahulu”) dan kategori dari setiap gagasan/ide (misalnya “mempunyai kategori yang sama dengan”) (Saxena, 1992). ISM adalah sebuah metodologi yang interaktif dan sebuah implementasi dalam suatu pengaturan kelompok. ISM menyediakan suatu keadaan yang sangat baik untuk memperoleh keragaman dan sudut pandang yang berbeda dalam sebuah konsep kompleks yang lebih baik. ISM menganalisis sebuah sistem dari elemen dan menyajikannya dalam sebuah Gambaran grafikal dari setiap hubungan langsung dan tingkat hirarkinya. Elemen mungkin saja menjadi objek dari kebijakan, tujuan dari suatu organisasi, faktor-faktor penilaian dan lain-lain. Hubungan langsung dapat saja bervariasi dalam suatu konteks (menunjuk kepada hubungan kontekstual) seperti elemen (i)
“lebih
baik
dari”:
“adalah
keberhasilan”: “lebih penting dari “ .
keberhasilan
melalui”:
“akan
membantu
62
Langkah-langkah ISM adalah sebagai berikut (Kanungo dan Batnagar, 2002) (1) Indentification of
Element.
Setiap elemen dari suatu sistem akan
diidentifikasi dan didaftarkan, hal ini mungkin akan menyukseskan keseluruhan penelitian, brain storming dan lain-lain. (2) Contextual Relationship. sebuah hubungan kontekstual antara elemenelemen adalah established, tergantung dari obyek dari model latihan. (3) Structural Selef Interaction Matrix (SSIM). Matriks ini menyajikan persepsi responden dari elemen sampai hubungan langsung antar elemen. Empat simbol yang digunakan untuk menyajikan tipe hubungan tersebut dapat berada diantara dua elemen dari sistem dengan sebuah pertimbangan. Simbol tersebut adalah : V ... untuk relasi dari elemen Ei sampai Ej, tetapi tidak berlaku untuk kebalikannya A... untuk relasi dari Ej sampai Ei, tetapi tidak berlaku untuk kebalikannya X... untuk interrelasi antara Ei dan Ej (berlaku untuk kedua arah) O... Untuk merepresentasikan bahwa Ei dan Ej adalah tidak berkaitan (4) Reachability Matrix (RM). Reachability Matrix menyediakan perubahan simbolik SSIM menjadi matriks biner. Penggunaan aturan konversi adalah sebagai berikut : (a) Jika relasi Ei sampai Ej = V dalam SSIM, kemudian elemen Eij = 1 dan Eji = 0 dalam RM (b) Jika relasi Ei sampai Ej = A dalam SSIM, kemudian elemen Eij = 0 dan Eji = 1 dalam RM (c) Jika relasi Ei sampai Ej = X dalam SSIM, kemudian elemen Eij = 1 dan Eji = 1 dalam RM (d) Jika relasi Ei sampai Ej = V dalam SSIM, kemudian elemen Eij = 0 dan Eji = 0 dalam RM
63
Initial RM adalah kemudian memodifikasi untuk menunjukkan semua pencapaian langsung atau tidak langsung, semuanya jika Eij = 1 dan EJk = 1 kemudian Eik = 1. (5) Level Partitioning. Level Partitioning melakukan perintah mengklarifikasi elemen-elemen ke dalam level yang berbeda dari struktur ISM. Maksudnya dua set digabungkan dengan setiap elemen Ei dari sistem. Reachability Set (Ri) yang mana adalah sebuah set dari semua elemen dapat dicapai dari elemen Ei dan Antecedent Set (Ai) yang mana adalah set dari semua elemen yang dapat dicapai Ei. (6) Canonical matrix : Pengelompokkan bersama elemen dalam level yang dikembangkan dalam matrik ini. Yang dihasilkan matriks ini hampir segitiga bagian atas elemennya adalah 0 dan segitiga bagian bawah elemennya adalah 1. matriks ini kemudian digunakan untuk mempersiapkan sebuah grafik (graph). (7) Digraph : Digraph adalah sebuah pola (item) yang diperoleh dari directional graph dan sebagai rujukan adalah sebuah representasi grafikal dari elemen, hubungan langsungnya dan hierarchical level. Initial digraph disediakan dalam basis canonical matrix, ini kemudian dipendekan melalui pemindahan semua transivitas menjadi bentuk digraph akhir. (8) Model Structural : Model ISL adalah dihasilkan melalui pemindahan semua nomor elemen dengan deskripsi elemen yang aktual. ISM oleh karena itu memberikan Gambaran yang sangat jelas mengenai sebuah sistem dari elemen dan aliran hubungannya.
3.4.3.
Metode Perbandingan Eksponensial Salah satu metode pengambilan keputusan untuk menentukan urutan
prioritas alternatif keputusan kriteria jamak adalah Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). Teknik ini, menurut Marimin (2004), digunakan sebagai pembantu bagi individu pengambil keputusan untuk menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada setiap tahapan proses. MPE dapat menghasilkan nilai alternatif yang perbedaannya lebih kontras.
64
Dalam menggunakan metode perbandingan eksponensial ada beberapa tahapan yang harus dilakukan.
Menurut Manning (1984), tahapan yang
dilakukan dalam teknik MPE adalah : (1) Menyusun alternatif-alternatif, (2) Menentukan kriteria-kriteria penting dalam pengambilan keputusan, (3) Melakukan penilaian terhadap kriteria, (4) Melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada masing-masing kriteria, (5) Menghitung dan mengurutkan nilai dari setiap alternatif dari nilai yang terbesar sampai nilai yang terkecil. Struktur model MPE adalah sebagai berikut :
Nai
=
∑ (Nilai )
Krit j
ij
dimana,
Nai
= Nilai akhir dari alternatif ke − i
Nilaiij
= Nilai dari alternatif ke − i pada kriteria ke − j
Krit j = Tingkat kepentingan kriteria ke − j ; Krit j › 0
i = 1, 2, 3, ... n; n = jumlah alternatif, j = 1, 2, 3, ... m; m = jumlah kriteria.
3.5.
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian model strategi kebijakan regional dalam pengelolaan
irigasi berkelanjutan akan dilaksanakan di Kabupaten Cianjur. Pemilihan lokasi tersebut ditetapkan secara sengaja (purposive) dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut: (1) Salah satu daerah pertanian yang menjadi lumbung padi dengan tingkat kontribusi terhadap produksi padi provinsi Jawa Barat sebesar 6.84%, dan terkenal dengan kualitas berasnya yang cukup banyak diminati oleh masyarakat.
65
(2) Lokasi program Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi (PKPI) dan program Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif (PPSIP) dalam implementasi reformasi kebijakan sumber daya air dan irigasi di Provinsi Jawa Barat. (3) Adanya permasalahan lingkungan terkait pengelolaan irigasi berkelanjutan baik secara langsung (pengelolaan air belum optimal, belum ada jaminan atas air irigasi, alih fungsi lahan beririgasi, dan kerusakan jaringan irigasi) maupun tidak langsung (belum adanya Perda Irigasi, belum optimalnya Komisi Irigasi, dan Pemberdayaan masyarakat petani pemakai air masih terbatas). (4) Adanya kompleksitas kewenangan pengelolaan irigasi (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten) dalam satu wilayah administratif Kabupaten Cianjur. (5) Mempunyai potensi pengembangan dan pengelolaan irigasi secara lebih lanjut untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat. Waktu pelaksanaan kegiatan penelitian akan dilaksanakan selama 1 (satu tahun) mulai dari Januari 2007 – Januari 2008. Gambar 9.
Lokasi Kabupaten dalam
66
Keterangan Batas Propinsi Batas Kab/Kota Batas DAS Batas Pantai Sungai Laut Waduk Situ
Gambar 9 Peta Kabupaten Cianjur (citra satelit)
67
3.6.
Kondisi Daerah Penelitian Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang menjadi
lumbung padi nasional dan mempunyai areal pertanian beririgasi sangat luas. Selain itu juga provinsi tersebut merupakan salah satu lokasi yang menjadi sasaran program kebijakan pengelolaan irigasi sejak tahun 2000 melalui program Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi atau yang lebih populer dengan sebutan program PKPI, mulai dari ISSF, JIWMP-IDTO, IWIRIP dan WISMP serta PISP pada masa reformasi. Provinsi Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia yaitu 39,960,869 (2005) atau sekitar 18 persen dari total penduduk Indonesia dengan tingkat kepadatan 1,378.65. Saat ini, Jawa Barat memiliki wilayah administratif yang terdiri dari 9 (sembilan) kota yaitu Bogor, Sukabumi, Bandung, Cirebon, Bekasi, Depok, Cimahi, Tasik Malaya, Banjar dan 16 (enam belas) kabupaten yaitu Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasik Malaya, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang serta Bekasi. Provinsi ini memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia karena hampir 60% industri pengolahan di Indonesia berlokasi di Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Jakarta sebagai ibukota negara. Selain itu, Jawa Barat memiliki lahan yang subur berasal dari endapan vulkanis serta banyaknya aliran sungai sehingga cocok digunakan sebagai lahan pertanian. Secara geografis, posisi Provinsi Jawa Barat juga sangat strategis karena berbatasan dengan Ibukota Negara DKI Jakarta. Letak geografis tersebut dan daya dukung potensi sumber daya yang ada menjadikan Provinsi Jawa Barat mempunyai daya tarik tersendiri bagi tumbuhnya kegiatan pembangunan secara regional dan nasional. Wilayah administratif Provinsi Jawa Barat meliputi wilayah daratan seluas 3,709,528.44 ha dengan wilayah pesisir dan laut sejauh 12 mil dari garis pantai. Secara umum batas-batas administratif Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut: (1) sebelah utara berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan dibatasi oleh Laut Jawa; (2) sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah; (3) sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia; dan (4) sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Banten.
68
Selain letak posisinya yang strategis tersebut, Provinsi Jawa Barat juga mempunyai peran yang strategis dalam menunjang struktur perekonomian nasional. Sumbangan yang diberikan terhadap perekonomian nasional mencapai sebesar 15.87%. Persentase tersebut tidak lepas dari kontribusi sektor industri dan pertanian yang potensial di provinsi yang mempunyai rata-rata pertumbuhan ekonomi sebelum krisis moneter 7.3% di tahun 1997. Secara umum, sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat didukung oleh potensi lahan pertanian. Apabila dilihat dari fungsi kawasannya, Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat menetapkan bahwa 40% luas lahan digunakan sebagai kawasan lindung, sedangkan untuk kawasan budidaya mencapai sebesar 60%. Berdasarkan kawasan budidaya tersebut, pola penggunaan lahan di Provinsi Jawa Barat masih didominasi oleh penggunaan lahan sawah sebesar 25.17%; hutan sebesar 22.99%; kebun campuran sebesar 18.18%; dan perkebunan sebesar 13.63%. Pola penggunaan lahan untuk kegiatan lainnya berada kurang dari 10%, seperti ladang/tegalan sebesar 8.90%; permukiman sebesar 3.35%; padang rumput sebesar 2.95%; tambak sebesar 1.43%; semak belukar sebesar 1.05%; industri sebesar 0.34%; pertambangan sebesar 0.08%; dan tanah kosong sebesar 0.46%. Berdasarkan data citra landsat tahun 2001, Propinsi Jawa Barat memiliki areal sawah seluas 766,218.57 ha (20.66%) terdiri dari 585,610.57 ha (76.43%) sawah beririgasi yang dikelolah pemerintah, 102,579 ha (13.41%) irigasi pedesaan yang dikelolah oleh masyarakat dan sawah tadah hujan seluas 77,849 ha (10.16%). Areal sawah pemerintah tersebut tersebar pada Daerah Irigasi (DI) lintas kabupaten/kota dan DI non lintas kabupaten/kota. Ada dua DI terbesar yang strategis karena hamparan sawah yang sangat luas dan dilayani oleh dua sistem jaringan irigasi besar yaitu : (1) Jaringan irigasi rentang dengan sumber air dari Cimanuk yang melayani hamparan sawah seluas 89,726 ha meliputi kab./Kota Cirebon, Kab. Indramayu, dan sebagian Kab.Majalengka; (2) Jaringan irigasi Jatiluhur dengan sumber air dari sungai Citarum yang melayani hamparan sawah seluas 236,702 ha meliputi Kab. Purwakarta, Kab. Subang, Kab. Karawang dan Kab. Bekasi.
69
Kedua jaringan irigasi tersebut secara keseluruhan melayani areal sawah atau Daerah Irigasi (DI) di Provinsi Jawa Barat bagian utara, sedangkan wilayah tengah dan selatan hamparan daerah irigasinya tersebar, sebagian besar berkisar antara 500 – 1,500 ha dengan sumber air dari sungai lintas kabupaten/kota maupun non lintas. Selain itu, pada kedua wilayah ini banyak sekali Daerah Irigasi perdesaan (+ 85%).
Dengan demikian kedua jaringan
irigasi yang tergolong besar tersebut sangat potensial dalam mengairi areal persawahan yang ada di Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan data dari Dinas PSDA Propinsi Jawa Barat, kondisi jaringan irigasi yang meliputi bangunan utama (waduk, bendung, pintu, pompa, dsb.), saluran (induk, sekunder, pembuang, suplesi, gendong), bangunan pengatur (bagi, bagi sadap, sadap), dan bangunan pelengkap (kantor lumpur, pelimpah, terjun, pembilas, dsb) dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu kondisi baik, rusak ringan dan rusak berat. Kondisi baik adalah kondisi fisik bangunan air/saluran 75%-100% dan debit air dapat mengalir dengan normal. Kondisi rusak ringan adalah kondisi fisik bangunan air/saluran 50%-75% dan debit air masih mengalir dengan normal tetapi bila dibiarkan akan menjadi rusak berat. Kondisi rusak berat adalah kondisi fisik bangunan air/saluran maksimal 50% dan debit air berkurang atau air tidak dapat mengalir dengan normal. Pada
Daerah
Irigasi
lintas
kabupaten/kota
yang
pengelolaannya
merupakan kewenangan pemerintah provinsi terdapat sebanyak 403 bangunan utama dengan 40.69% diantaranya dalam kondisi baik, saluran sepanjang 3,220.6 km dengan 28.82% diantaranya berada dalam kondisi baik, bangunan pengatur sebanyak 5,370 buah dengan 57.43% diantaranya dalam kondisi baik dan bangunan pelengkap sebanyak 5,881 buah dengan kondisi baik sebesar 58.39%. Selanjutnya pada Daerah Irigasi non lintas kabupaten/kota yang pengelolaannya merupakan kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota terdapat sebanyak 1,617 bangunan utama dengan kondisi baik sebesar 47.06%; saluran irigasi sepanjang 7,935.8 km dengan kondisi baik sebesar 30.65%; bangunan pengatur sebanyak 17,719 buah dengan kondisi baik sebesar 50.18%, dan bangunan pelengkap sebanyak 18,849 buah dengan kondisi baik sebesar
70
55.33%. Untuk lebih jelasnya kondisi jaringan irigasi di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Kondisi Jaringan Irigasi di Jawa Barat No.
Kondisi Jaringan Irigasi Bangunan Utama: - Baik - Rusak Ringan - Rusak Berat Saluran: - Baik - Rusak Ringan - Rusak Berat Bangunan Pengatur: - Baik - Rusak Ringan - Rusak Berat Bangunan Pelengkap: - Baik - Rusak Ringan - Rusak Berat Total: - Baik - Rusak Ringan - Rusak Berat
Daerah Irigasi Kewenangan (%) Propinsi Kab./Kota
Total (%)
40.69 47.32 11.91
47.06 33.77 19.17
45.79 36.49 17.72
28.82 33.06 38.12
30.65 40.27 29.08
30.12 38.19 31.69
57.43 30.19 12.38
50.18 29.38 20.44
51.87 29.56 18.57
58.39 27.24 14.37
55.33 29.56 15.11
56.06 29.01 14.94
46.33 34.45 19.20
45.81 33.25 20.95
45.94 33.37 20.73
Sumber: Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat, 2000.
Penanganan infrastruktur pengairan sampai saat ini masih bertujuan untuk mempertahankan keandalan fungsi jaringan irigasi dan pemanfaatan sumber air (penyediaan air yang cukup serta pengamanan areal produksi dan permukiman dari bahaya banjir dan kekeringan), yang secara umum dapat dibagi dalam beberapa kegiatan seperti: (1) Operasi dan pemeliharaan (O&P) jaringan irigasi,dengan maksud untuk mempertahankan kondisi bangunan/jaringan yang baik dan memperbaiki jaringan yang rusak ringan. (2) Rehabilitasi bangunan/jaringan yang rusak berat dengan prioritas daerah pada kondisi air baik. (3) Pengembangan sumber air dan jaringan irigasi baru,dengan kegiatan studi dan perencanaan tekhnis. (4) Normalisasi sungai dan perkuatan tebing sungai.
71
(5) Perbaikan pemeliharaan sumber-sumber air (situ dan embung). Kondisi jaringan irigasi yang ada sekarang hanya dapat menunjang intensitas tanam + 170% dan dengan luas sawah 876,364 ha diperkirakan dapat menghasilkan Gabah Kering Giling (GKG) sebanyak 7,598,075 ton/tahun atau setara dengan 5,318,654 ton/tahun beras. Ditinjau dari jumlah penduduk Jawa Barat pada tahun 2001 sebesar 36,131,877 jiwa, maka kebutuhan beras di propinsi Jawa Barat adalah sebesar 4,805,540 ton/tahun beras. Dengan demikian, produksi beras Propinsi Jawa Barat untuk memenuhi kebutuhan swasembada beras masih surplus sebanyak 513,114 ton/tahun beras(10.7%). Pada masa sekarang, kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Barat dan ikut menjadi lokasi program WISMP serta PISP seluruhnya mencapai sebanyak 16 (enam belas) kabupaten. Salah satu kabupaten yang menjadi lokasi kegiatan program pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi adalah Kabupaten Cianjur. Karakteristik kabupaten tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya dipandang tepat untuk dipilih secara purposive menjadi salah satu lokasi kegiatan. Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak di tengah Provinsi Jawa Barat, dengan jarak kurang lebih 65 Km dari Ibu Kota Provinsi (Bandung) dan sejauh 120 Km dari Ibu Kota Negara (Jakarta). Selain itu juga terletak diantara 6o21’ – 7o25’ Lintang Selatang dan 106o42’ – 107o25’ Bujur Timur. Kabupaten Cianjur yang mempunyai luas wilayah 350.148 ha dengan jumlah kecamatan sebanyak 30 dan jumlah desa/kelurahan sebanyak 348 berada pada batas wilayah administrastif sebagai berikut: (1) sebelah Utara. Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta; (2) sebelah Barat. Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi; (3) sebelah Selatan. Berbatasan dengan Samudera Indonesia; dan (4) sebelah Timur. Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut. Secara umum, keadaan alam Kabupaten Cianjur terletak di kaki Gunung Gede dengan ketinggian mencapai 7 – 2,962 meter di atas permukaan laut. Secara geografis, wilayah Kabupaten Cianjur terbagi menjadi 3 bagian, yaitu: (1)
Cianjur Bagian Utara. Merupakan dataran tinggi terletak di kaki Gunung Gede dengan ketinggian mencapai 2,962 meter di atas permukaan laut.
72
Sebagian besar wilayah ini merupakan daerah dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan dataran yang dipergunakan untuk areak perkebunan dan persawahan; (2)
Cianjur Bagian Tengah. Merupakan daerah yang berbukit-bukit kecil dikelilingi dengan keadaan struktur tanahnya labil sehingga sering terjadi tanah longsor dan daerah gempa bumi. Wilayah dataran lainnya digunakan untuk areal perkebunan dan persawahan; dan
(3)
Cianjur Bagian Selatan. Merupakan dataran rendah, namun terdapat banyak bukit-bukit kecil yang diselingi oleh pegunungan yang melebar sampai ke daerah pantai Samudera Indonesia. Bagian tanah wilayah ini bersifat labih dan sering juga terjadi longsor serta gempa bumi. Wilayah datarannya juga digunakan sebagai areal perkebunan dan persawahan namun tidak begitu luas. Secara umum, wilayah kabupaten Cianjur seluas 3,501.48 km2 ditempati
sejumlah penduduk pada tahun 2005 sebanyak 2,098,644 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 1,069,408 dan perempuan sebanyak 1,029,236. Berdasarkan hal tersebut, maka kepadatan rata-rata penduduk Kabupaten Cianjur adalah 599,360 jiwa/km2.
Jumlah penduduk tersebut, sebesar 39.16% diantaranya
adalah penduduk yang termasuk usia produktif (821,876 jiwa). Sebagian besar penduduk Kabupaten Cianjur yang tergolong usia angkatan kerja tersebut mempunyai mata pencaharian di sektor pertanian sebanyak 501,356 jiwa dan terendah di sektor pertambangan/galian sebanyak 1,220 jiwa, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 11. Tabel 11 Jumlah Penduduk Berdasarkan Lapangan Usaha, tahun 2005 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Lapangan usaha Pertanian Pertambangan/Galian Industri Listrik, Gas dan Air Konstruksi Perdagangan Angkutan dan Komunikasi Keuangan Jasa Total Sumber: BPS Cianjur, 2005.
Jumah 501,356 1,220 49,960 1,336 30,876 126,900 52,196 4,676 53,356 821,876
Persentase (%) 61.00 0.01 0.61 0.16 3.76 0.15 6.35 0.57 6.49 100.00
73
Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa sebagian besar penduduk Kabupaten Cianjur mempunyai lapangan usaha atau mata pencaharian utama dari
sektor
pertanian
(61%),
sedangkan
pada
sektor
jasa
dan
angkutan/komunikasi masing-masing mencapai sebesar 6.49% dan 6.35%. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian masih merupakan sektor pendukung utama bagi pencapaian peningkatan kesejahteraan masyarakat maupun pembangunan daerah di Kabupaten Cianjur. Kontribusi sektor pertanian tersebut tidak lepas dari luas lahan pertanian beririgasi yang ada di Kabupaten Cianjur.
Peruntukan lahan yang ada di
Kabupaten Cianjur seluas 350,148 ha digunakan untuk lahan sawah baik yang bersifat teknis, semiteknis, sederhana, tadah hujan dan sawah irigasi masyarakat seluas 62,894 ha atau sebesar 17.96%. Peruntukan lahan lainnya berupa tanah darat (pekarangan, tegal/kebun, ladang/huma, padang rumput, lahan tidur, hutan rakyat, hutan negara, perkebunan, rawa, tambak, kolam/tebat/empang, dan lainnya) mencapai seluas 287,254 ha atau sebesar 82.04%.
Gambaran
selengkapnya mengenai peruntukan lahan pertanian, khususnya untuk lahan sawah di Kabupaten Cianjur dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Peruntukan lahan sawah Kabupaten Cianjur, tahun 2005
Jenis Lahan Sawah Irigasi Teknis Irigasi Semi Teknis Irigasi Sederhana Irigasi Masyarakat (Non PU) Tadah Hujan Total
Luas Areal (ha)
Persentase (%)
2004 14,131 7,202 9,316 18,622 12,316 61,587
2004 22.94 11.69 15.13 30.24 20.00 100.00
2005 15,130 6,139 6,153 21,348 14,124 62,894
2005 24.06 9.76 9.78 33.94 22.46 100.00
Sumber: BPS Kabupaten Cianjur, 2005.
Apabila dilihat dari Rencana Induk Pengairan Kabupaten Cianjur (2004: 3-41) menunjukkan bahwa keberadaan Daerah Irigasi (DI) yang ada di Kabupaten Cianjur seluruhnya mencapai sebanyak 22 DI dengan luasan mencapai 23,998 ha. Gambaran selengkapnya keberadaan DI tersebut dapat dilihat pada Tabel 13.
74
Tabel 13 Jumlah daerah irigasi di Kabupaten Cianjur berdasarkan kewenangan pengelolaan irigasi, tahun 2004 Kewenangan Pengelolaan Irigasi Kabupaten Cianjur (di bawah 1000 ha)
Jumlah Daerah Irigasi (DI) 15
Potensial (ha)
Fungsional (ha)
Belum Irigasi (ha)
Alih Fungsi (ha)
10,168
9,890
249
29
Provinsi Jawa Barat (1000 - 3000 ha)
6
8,324
8,012
312
63
Pusat : (di atas 3000 ha) Jumlah
1
5,506
5,405
-
21
22
23,998
23,307
561
113
Sumber: Rencana Induk Pengairan Kabupaten Cianjur, 2004.
Berdasarkan Tabel 13 di atas terlihat bahwa potensi daerah irigasi di Kabupaten Cianjur cukup potensial untuk dikembangkan. Sumber daya air yang terdapat di Kabupaten Cianjur meliputi air permukaan (berupa sungai-sungai), mata air, dan air tanah.
Sumber air tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan pertanian, industri, dan lain-lain. Pemanfaatan sumber air untuk alokasi kegiatan sektor pertanian, khususnya pertanian beririgasi menunjukkan indikasi nilai intensitas tanamnya sebesar 276.43%.
Artinya dalam setahun ketersediaan air belum mampu
memenuhi kebutuhan air untuk lahan pertanian beririgasi selama 3 (tiga) Musim Tanam (MT) atau hanya mampu secara penuh pada Musim Tanam I (MT-1) dan Musim Tanam II (MT-2) saja, sedangkan Musim Tanam III (MT-3) tidak seluruhnya dapat ditanami.
Sedangkan bila di lihat dari produktivitas hasil
usahatani (khususnya padi sawah) menunjukkan bahwa produksi padi perhektar di Kabupaten Cianjur berkisar antara 53.14 kw/ha sampai 60.43 kw/ha, dengan rata-rata mencapai sebesar 60.43 kw/ha (Tabel 14). Tabel 14 Rata-rata produksi padi sawah di Kabupaten Cianjur tahun 2004
Tahun 2005 2004 2003 2002 2001
Rata-rata Produksi Luas Area (ha) (Kw/ha) Tanam Panen 125,433 122,072 53.14 118,847 115,265 52.66 105,034 93,682 52.67 97,828 102,247 60.43 107,430 109,710 60.15
Produksi (ton) 648,735 606,971 493,399 617,886 869,906
Sumber: BPS Kabupaten Cianjur, 2005 dan Rencana Induk Pengairan Kabupaten Cianjur, 2004
75
Data produksi padi sawah di Kabupaten Cianjur apabila dibandingkan dengan tingkat produksi Provinsi Jawa Barat dan Nasional masing-masing memberikan kontribusi sebesar 6.84% terhadap produksi padi sawah provinsi Jawa Barat dan 2.12% terhadap produksi padi nasional. Produksi padi Provinsi Jawa Barat berdasarkan data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan (2005) mencapai sebesar 9,481,257 ton, sedangkan produksi padi nasional berdasarkan data dari Departemen Pertanian (2005) mencapai sebesar 30,668,730 ton.
III. METODOLOGI PENELITIAN Secara konseptual, metode adalah prosedur atau cara yang ditempuh dalam mencapai suatu tujuan tertentu, sedangkan penelitian adalah pencerminan secara konkret kegiatan ilmu dalam memproses pengetahuan. Dengan demikian metode penelitian adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian. Metode penelitian mencakup beberapa teknik, termasuk teknik pengambilan contoh, pengukuran, analisis data, permodelan, dan simulasi (Eriyatno dan Sofyar, 2007). Berdasarkan tujuan penelitian yang dicapai, maka metode penelitian yang dipergunakan
adalah
dengan
pendekatan
permodelan
sistem
dengan
menggunakan metode Soft System Methodology (SSM) yang berorientasi pada penyusunan pedoman guna bertindak (action oriented). Metode tersebut dipergunakan dalam rangka memperhatikan upaya menyiapkan informasi yang relevan pada suatu kebijakan yang harus ditetapkan (policy research). Dengan demikian melalui pendekatan metode tersebut diharapkan tujuan perumusan model strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan dapat tercapai secara tepat. Secara umum langkah-langkah penelitian dilaksanakan melalui tahapantahapan sebagai berikut: (1)
Persiapan.
Pada kegiatan persiapan dilaksanakan penulisan usulan
penelitian, termasuk penyusunan metode penelitian yang akan digunakan. Kelengkapan penulisan usulan penelitian diawali kegiatan observasi terlebih dahulu dengan melakukan pengamatan pada permasalahan pengelolaan irigasi di berbagai dokumen dan meninjau langsung kabupaten Cianjur sebagai salah satu alternatif pemilihan lokasi penelitian terkait dengan fenomena masalah yang akan diterliti. Tindak lanjut dari penyusuan usulan penelitan ini adalah pembahasan dan bimbingan dengan tim promotor sebagai persiapan untuk bahan seminar usulan penelitian. (2)
Pengumpulan data lapangan.
Kegiatan pengumpulan data di lapangan
dilaksanakan setelah seluruh materi usulan penelitian disetujui oleh tim promotor.
Langkah ini dilaksanakan untuk menggali informasi dan
53
mengumpulkan data primer pada lokasi 10 daerah irigasi terpilih sebagai sampel sebagai bahan masukan dalam penetapan beberapa asumsi dalam kegiatan diskusi kelompok terarah. (3)
Diskusi kelompok terarah melalui FGD.
Pelaksanaan kegiatan FGD
diselenggarakan sebanyak 3 (tiga) kali yaitu di tingkat kabupaten sebanyak 2 (dua) kali dan di tingkat Pusat sebanyal 1 (satu) kali. dilaksanakan
untuk
menetapkan
asumsi
melalui
Kegiatan ini
teknik
Surfacing
Assumption Strategic and Testing (SAST) untuk menghasilkan kuadran asumsi, dan kemudian melakukan penyusunan struktur model melalui survey pakar dengan menggunakan teknik Interpretative Structural Modelling (ISM) untuk menghasilkan matriks driver power, serta penentuan prioritas alternatif kegiatan pendukung model melalui teknik Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) (4)
Pengolahan data.
Kegiatan pengolahan data dilakukan melalui teknik
analisis data melalui tabulasi untuk data primer yang sudah terkumpul, serta teknik permodelan untuk menghasilkan rancang bangun model yang diharapkan. Data diolah untuk menghasilkan informasi yang bermakna sesuai dengan kebutuhan penelitian, serta untuk menghasilkan rancang bangun model yang diharapkan dalam penelitian. (5)
Pembahasan hasil penelitian dan penulisan disertasi. Pada kegiatan ini seluruh informasi disusun berdasarkan kerangka penulisan disertasi dan dibahas secara substansial sesuai dengan kebutuhan penelitian, untuk kemudian dituangkan dalam tulisan ilmiah melalui penulisan disertasi. Hasil penulisan disertasi tersebut merupakan bahan untuk sidang komisi, kolokium, ujian tertutup, dan ujian terbuka.
Seluruh rangkaian penelitian
merupakan proses yang selalu berada dibawah bimbingan dan koordinasi dengan tim Promotor sehingga tetap berada pada jalur kaidah-kaidah ilmiah yang semestinya.
3.1.
Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang diperlukan adalah data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data yang diperoleh dengan menggunakan kuesioner atau
54
pedoman wawancara melalui wawancara langsung dengan responden. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari literatur dan dokumentasi pada lembaga pemerintahan dan non-pemerintahan baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang terkait dengan bidang penelitian. Sumber data ditetapkan sesuai kebutuhan, yaitu dari responden dan instansi pemerintahan di Kabupaten Cianjur yang terkait dengan materi penelitian (Bappeda, Dinas PSDA, dan Dinas Pertanian). Secara lebih jelasnya mengenai jenis dan sumber data dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Jenis dan sumber data penelitian Jenis Data Data Primer: a. Sumber air dan ketersediaan air b. Infrastruktur jaringan irigasi c. Lahan pertanian beririgasi d. Kelembagaan pengelola irigasi e. Pendapatan rumah tangga petani f. Pendapatan usahatani g. Iuran pengelolaan irigasi h. Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi
Sumber Data Responden Responden Responden Responden Responden Responden Responden Responden
Data Sekunder: Departemen Dalam Negeri a. Kebijakan Otonomi Daerah b. Reformasi Kebijakan Pengelolaan Sumber Depart. Pekerjaan Umum Daya Air dan Irigasi Departemen Pertanian dan c. Kebijakan Pertanian Dinas Pertanian (Diperta) Bappeda, DPSDA, Diperta d. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten e. Kebijakan dan Peraturan Daerah terkait Bappeda, DPSDA, Diperta Kabupaten pengelolaan irigasi f. Rencana Strategis Pengelola Irigasi Bappeda/DPSDA Kabupaten Berkelanjutan. DPSDA Kabupaten g. Profil sistem irigasi Responden dan Tokoh h. Profil Kelembagaan organisasi P3A Masyarakat i. Kondisi lingkungan fisik, ekonomi sumberdaya Bappeda, DPSDA, Dinas air, data pertanian, luas lahan, produktivitas Kehutanan, Dinas Pertanian hasil pertanian, dan ketahanan pangan Kabupaten daerah. Pemerintah Desa j. Struktur perekonomian desa k. Identifikasi kelembagaan sosial dan Pemerintah Desa dan Kecamatan. kelembagaan ekonomi
55
Parameter keberlanjutan pengelolaan irigasi diukur berdasarkan sintesa indikator sosial, ekonomi, dan lingkungan dari berbagai unsur atau elemen pendukung pengelolaan irigasi berkelanjutan, yaitu sumber daya air, infrastruktur jaringan irigasi, sumber daya lahan, dan kelembagaan pengelolaan irigasi. Teknik pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan melalui pra dan observasi langsung melalui pendekatan survei. Selain itu juga ditunjang oleh survei pakar yang dilakukan melalui pedoman wawancara (interview guidance) dan Focus Group Discussion (FGD) dengan menggunakan daftar pertanyaan dan format kuesioner dan untuk survei lapang dilakukan terhadap usaha tani dan petani pengguna air irigasi. Sedangkan teknik pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengumpulkan dokumen penunjang dan buku kepustakaan yang terkait dengan substansi penelitian dari berbagai sumber informasi. Secara operasional, teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: (1) Tahap pertama dilakukan pengumpulan data melalui kuesioner yang sudah disiapkan sebelumnya terhadap responden yang terpilih pada setiap daerah irigasi lokasi penelitian.
Responden yang terpilih terdiri dari unsur
masyarakat petani pemakai air, pengurus organisasi P3A/GP3A/IP3A, Kelompok Pendamping Lapangan (KPL) baik unsur Juru Pengairan, Penyuluh Pertanian Lapangan maupun aparatur Pemerintah Desa. (2) Tahap Kedua dilakukan pengumpulan data melalui diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) pertama dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait baik di tingkat masyarakat petani pemakai air, unsur Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait Kabupaten Cianjur, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Perguruan Tinggi setempat. FGD pertama ini dilakukan untuk menyusun alternatif kebijakan berdasarkan asumsi-asumsi dari peserta melalui analisis SAST dan juga sebagai media verifikasi hasil temuan lapangan sehingga diperoleh informasi yang akurat, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. (3) Tahap Ketiga dilakukan diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) kedua sebagai tindak lanjut untuk mendapatkan masukan
56
dalam analisis ISM dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait baik di tingkat masyarakat petani pemakai air, unsur Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD) terkait Kabupaten Cianjur, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Perguruan Tinggi setempat.
FGD kedua ini
dilakukan sebagai media untuk menghimpun informasi lebih mendalam dan mengidentifikasi hubungan antara gagasan/ide dan struktur penentu dalam sebuah masalah yang kompleks. (4) Tahap Keempat dilakukan diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) ketiga di tingkat nasional dengan mengundang nara sumber experts dari tingkat Pusat, Provinsi Jawa Barat maupun Kabupaten Cianjur untuk mendapatkan penilaian, pertimbangan (judgement) dan masukan terhadap berbagai model yang terbangun dari FGD sebelumnya.
3.2.
Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel tidak lepas dengan unit analisis suatu
penelitian. Unit analisis tidak lain adalah objek penelitian itu sendiri. Menurut Soehartono (1998), unit analisis menunjukkan siapa atau apa yang mempunyai karakateristik yang akan diteliti. Unit analisis dalam penelitian ini terbagi dalam 2 (dua) kebutuhan, yaitu kebutuhan untuk survey lapang dan kebutuhan untuk survey pakar. Unit analisis untuk kebutuhan survey lapang ditetapkan secara proporsional di 10 (sepuluh) daerah irigasi sesuai klasifikasi kewenangan daerah irigasi, yaitu Cihea (mewakili daerah irigasi di atas 3,000 ha), Susukan Gede, Ciheulang, dan Cipadang-Cibeleng (mewakili daerah irigasi diantara 1,000 sampai 3,000 ha), dan Leuwi Bokor, Ciaden Leuwi Leungsir, Cilumut Pasir Kerud, Nagrog, Cikawung, dan Cisalak/Batusahulu (mewakili daerah irigasi di bawah 1,000 ha). Responden pada tingkat daerah irigasi ditetapkan secara purposive yang terdiri atas mantri cai sebanyak 40 orang untuk penggalian aspek teknis-ekologis; juru pengairan, petugas Penjaga Pintu Air (PPA), dan petugas Kantor Cabang Dinas (KCD) sebanyak 50 orang untuk penggalian aspek ekonomi pembiayaan jaringan irigasi di tingkat sekunder dan tersier, serta masyarakat petani pemakai air sebanyak 100 orang untuk penggalian aspek ekonomi usahatani; dan pengurus organisasi P3A, GP3A, IP3A, Kelompok Tani, dan Badan Perwakilan
57
Desa (BPD) dan unsur Pemerintahan Desa sebanyak 40 unit untuk penggalian aspek kelembagaan. Sedangkan penggalian informasi untuk kegiatan survey pakar yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan Focus Group Discussion (FGD) dan teknik Interpretative Structural Modelling (ISM) serta Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) ditetapkan secara purposive sebanyak 71 orang yang terdiri dari 25 orang untuk kebutuhan FGD di daerah, 20 orang untuk kebutuhan FGD di tingkat Pusat, dan sebanyak 26 orang untuk kebutuhan ISM dan MPE. Pejabat dari daerah yang ditetapkan sebagai partisipan adalah individu aparatur pemerintah di Kabupaten Cianjur yang terkait dengan pengelolaan lingkungan sumber daya air irigasi, yaitu aparat Bappeda, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pertambangan (Dinas PSDAP), Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan PKT, Bapedalda, DPRD, dan Komisi Irigasi. Selain itu juga ditunjang oleh unit analisis dari pakar atau tenaga ahli yang mempunyai kemampuan pengetahuan dan pengalaman terkait dengan substansi penelitian. Gambaran lebih jelas penetapan responden dan partisipan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Responden dan partisipan penelitian Keterangan Profil DI Aspek Teknis Ekologis 1. Jaringan Sekunder 2. Jaringan Tersier Aspek Ekonomi 1. Pembiayaan Jaringan Irigasi -Sekunder -Tersier 2. Usaha Tani -Padi Beririgasi -Padi Non Irigasi Aspek Kelembagaan LSM FDG Daerah
FGD Pusat Survey Pakar (ISM dan MPE)
Responden Instansi Pemerintah Terkait
Jumlah 10
Mantri Cai Mantri Cai
20 20
Juru Pengairan, PPA dan KCD Juru Pengairan, PPA dan KCD
25 25
Petani Petani
50 50
P3A, GP3A, IP3A, Poktan, BPD, Pemerintah Desa Bappeda, Dinas PSDAP, Dinas Kehutanan dan PKT, Bapedalda, Dinas Pertanian, P3A/GP3A/ IP3A dan Komisi Irigasi Unsur Daerah dan Pusat Pakar Terkait
40 25
20 26
58
3.3.
Teknik Analisis Data Teknik analisis data dilakukan untuk menilai kelayakan suatu kegiatan
usaha mikro pertanian atau membuat peringkat dari beberapa usaha mikro pertanian yang harus dipilih dapat digunakan beberapa kriteria. Menurut Pramudya dan Nesia (1992) kriteria investasi yang dianalisa antara lain adalah : (1) Analisis Usahatani Analisis usahatani merupakan nilai pendapaan bersih yang diterima dari keuntungan yang dicapai atas biaya produksi yang dikeluarkan pada komoditas padi beririgasi dan padi nonirigasi. (2) B/C Ratio B/C Ratio merupakan angka perbandingan antara jumlah keuntungan yang diperoleh terhadap biaya yang akan dikeluarkan. Kriteria kelayakan proyek adalah jika B/C Ratio ≥ 1, dan tidak layak jika B/C Ratio < 1. (3) Break Even Point (BEP) Proyek dikatakan impas bila jumlah penjualan produk pada suatu periode tertentu sama dengan jumlah biaya yang ditangguhkan (Sutojo, 1993). Teknik analisis data tersebut dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1) Menyeleksi kuesioner. Kuesioner yang telah terisi oleh responden, dilakukan penyeleksian kuesioner dilakukan dengan cara pengumpulan kembali kuesioner yang telah diisi oleh responden, untuk memudahkan proses editing dan tabulasi hasil. (2) Membuat tabulasi. Untuk memudahkan proses analisis data, maka data yang terkumpul disusun dan dikelompokkan ke dalam tabel dengan cara mentabulasikan data dari kuesioner baik berupa working table maupun main table.
59
3.4.
Teknik Permodelan Teknik permodelan dilakukan dengan menggunakan metode sistem.
Menurut pandangan Jackson (2000) bahwa: “systems methodology for the management sciences had modest success in rebuilding confidence in systems thinking in both the academis and practitioner communities”. Pemikiran tersebut menjelaskan bahwa metodologi sistem, khususnya dalam ilmu-ilmu manajemen mempunyai keberhasilan dalam membangun kembali keyakinan terhadap pemikiran sistem baik untuk masyarakat akademis maupun praktisi. Metodolohi sistem secara umum dibagi 2 (dua), yaitu Hard System Methodology (HSM) dan Soft System Methodology (SSM). Dalam penelitian ini teknik permodelan yang digunakan adalah Soft System Methodology (SSM). Metodologi penelitian Soft System Methodology (SSM) mengandung berbagai teknik yang digunakan dalam memperoleh ataupun menganalisasi input penelitian termasuk untuk penelitian kebijakan. Mengingat kebijakan publik adalah pengetahuan yang bersifat multidisipliner, tentunya untuk menghasilkan sintesa yang mendalam dan komprehensif tidak cukup bila hanya menggunakan satu teknik pengolahan dan analisis data. Setiap teknik (complementarism) memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dengan menggunakan kombinasi teknik yang tepat dapat mempertajam analisis, meningkatkan mutu disain dan meminimalisasi bias dalam penelitian. Berdasarkan hal tersebut, maka teknik pengolahan dan analisis datanya mempergunakan gabungan antara metode Strategi Assumption Surfacing and Testing
(SAST),
Interpretative
Structural
Modeling
(ISM),
dan
Metode
Perbandingan Eksponensial (MPE). Penjelasan ketiga metode teknik pengolahan dan analisis data tersebut dijelaskan sebagai berikut.
3.4.1. Analisis Strategy Assumption Surfacing and Testing (SAST) Metode SAST (Eriyatno, 2007) merupakan salah satu metode yang digunakan dalam menyusun alternatif kebijakan berdasarkan asumsi-asumsi strategis. Tahap dalam metode ini antara lain : (1) Tahapan pembentukan kelompok (group formation) yang bertujuan untuk membentuk kelompok dengan peserta yang memilliki criteria advocates of
60
particular strategis, vested interest, personality type, manager from different functional areas, manager from different organisational levels, time orientation (short/long item perspective). Kelompok dalam dalam penelitian ini adalah pakar kebijakan, pakar sumberdaya air dan irigasi, pakar lingkungan, praktisi di bidang sumberdaya air
dan irigasi dan tokoh
masyarakat. (2) Tahap
Pengedepanan/memunculkan
asumsi
(Assumption
Surfacing).
Dimaksudkan untuk menggali berbagai asumsi yang paling signifikan melalui diskusi kelompok untuk mendukung kebijakan dan strategi yang diinginkan. Dalam tahap ini peserta melakukan analisis terhadap beberapa parameter melaui Focus Group Discussion (FGD) sehingga diperoleh asumsi-asumsi dasar yang secara signifikan berpengaruh terhadap penyusunan kebijakan. ” Parameter dalam penelitian ini adalah meliputi perilaku para petani dan pengguna air lainnya dalam hal : (1) penggunaan air, (2) proses produksi, (3) penggunaan teknologi pertanian ramah lingkungan, (4) pemeliharaan lingkungan terhadap sumber-sumber air, dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan irigasi yang ada, partisipasi masyarakat, dan peran pemerintah setempat. Selanjutnya
hasil
analisis
berupa
alternatif
asusmsi
dinilai
tingkat
kepentingan dan kepastiannya dengan menggunakan Tingkat Peringkatan Asumsi (TPA) dengan melibatkan beberapa pakar.
Pada penerapan
Tingkat Peringkatan Asumsi (TPA) diajukan beberapa pertanyaan kepada masing-masing pakar tentang : kegagalan strategi yang dimaksud ? (memakai skala jawaban “paling tidak penting” sampai “paling penting”) dan juga seberapa jauh keyakinan bahwa asumsi tersebut dapat dibenarkan (memakai skala jawaban “paling tidak pasti” sampai “paling pasti”). (3) Tahap Pembahasan Dialektik (TPD), dimaksudkan untuk membuat kasus kemungkinan strategi terbaik yang diinginkan melalui diskusi pakar. Proses ini dilakukan melalui perdebatan terbuka dalam diskusi untuk membahas : (1) asumsi-asumsi mana yang berbeda; dan (2) asumsi-asumsi mana yang dianggap oleh setiap anggota kelompok sebagai asumsi yang paling
61
bermasalah.
Proses modifikasi asumsi ini tetap berlanjut selama masih
dapat diraih kemajuan melalui proses perdebatan terbuka. (4) Tahap Sintesis, untuk mencapai kompromi atas asumsi-asumsi yang dapat menghasilkan strategi baru yang harus mampu menjembatani atau mengungguli strategi lama. Keuntungan dalam metode SAST ini terletak pada dialectical approach banyak alternatif/strategi para pakar yang dibangun dalam perencanaan berdasarkan
bukti
yang
baik.
Disini
juga
sekaligus
merupakan
kekurangannya dimana banyaknya asumsi yang dikemukakan tidak dapat tercover seluruhnya, selain itu juga adanya pendapat yang sangat berlawanan dapat berpengaruh pada upaya untuk menghasilkan rencana yang aman untuk menghindari kritik.
3.4.2. Analisis Interpretative Structural Modeling (ISM) Metoda ISM adalah suatu metodologi dengan menggunakan bantuan komputer yang dapat membantu suatu kelompok untuk mengidentifikasi hubungan antara gagasan/ide dan struktur penentu dalam sebuah masalah yang kompleks. ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa jenis struktur, termasuk pengaruh struktur (misalnya mendukung atau memperburuk), struktur prioritas (misalnya “lebih penting dari” atau “akan dipelajari terlebih dahulu”) dan kategori dari setiap gagasan/ide (misalnya “mempunyai kategori yang sama dengan”) (Saxena, 1992). ISM adalah sebuah metodologi yang interaktif dan sebuah implementasi dalam suatu pengaturan kelompok. ISM menyediakan suatu keadaan yang sangat baik untuk memperoleh keragaman dan sudut pandang yang berbeda dalam sebuah konsep kompleks yang lebih baik. ISM menganalisis sebuah sistem dari elemen dan menyajikannya dalam sebuah Gambaran grafikal dari setiap hubungan langsung dan tingkat hirarkinya. Elemen mungkin saja menjadi objek dari kebijakan, tujuan dari suatu organisasi, faktor-faktor penilaian dan lain-lain. Hubungan langsung dapat saja bervariasi dalam suatu konteks (menunjuk kepada hubungan kontekstual) seperti elemen (i)
“lebih
baik
dari”:
“adalah
keberhasilan”: “lebih penting dari “ .
keberhasilan
melalui”:
“akan
membantu
62
Langkah-langkah ISM adalah sebagai berikut (Kanungo dan Batnagar, 2002) (1) Indentification of
Element.
Setiap elemen dari suatu sistem akan
diidentifikasi dan didaftarkan, hal ini mungkin akan menyukseskan keseluruhan penelitian, brain storming dan lain-lain. (2) Contextual Relationship. sebuah hubungan kontekstual antara elemenelemen adalah established, tergantung dari obyek dari model latihan. (3) Structural Selef Interaction Matrix (SSIM). Matriks ini menyajikan persepsi responden dari elemen sampai hubungan langsung antar elemen. Empat simbol yang digunakan untuk menyajikan tipe hubungan tersebut dapat berada diantara dua elemen dari sistem dengan sebuah pertimbangan. Simbol tersebut adalah : V ... untuk relasi dari elemen Ei sampai Ej, tetapi tidak berlaku untuk kebalikannya A... untuk relasi dari Ej sampai Ei, tetapi tidak berlaku untuk kebalikannya X... untuk interrelasi antara Ei dan Ej (berlaku untuk kedua arah) O... Untuk merepresentasikan bahwa Ei dan Ej adalah tidak berkaitan (4) Reachability Matrix (RM). Reachability Matrix menyediakan perubahan simbolik SSIM menjadi matriks biner. Penggunaan aturan konversi adalah sebagai berikut : (a) Jika relasi Ei sampai Ej = V dalam SSIM, kemudian elemen Eij = 1 dan Eji = 0 dalam RM (b) Jika relasi Ei sampai Ej = A dalam SSIM, kemudian elemen Eij = 0 dan Eji = 1 dalam RM (c) Jika relasi Ei sampai Ej = X dalam SSIM, kemudian elemen Eij = 1 dan Eji = 1 dalam RM (d) Jika relasi Ei sampai Ej = V dalam SSIM, kemudian elemen Eij = 0 dan Eji = 0 dalam RM
63
Initial RM adalah kemudian memodifikasi untuk menunjukkan semua pencapaian langsung atau tidak langsung, semuanya jika Eij = 1 dan EJk = 1 kemudian Eik = 1. (5) Level Partitioning. Level Partitioning melakukan perintah mengklarifikasi elemen-elemen ke dalam level yang berbeda dari struktur ISM. Maksudnya dua set digabungkan dengan setiap elemen Ei dari sistem. Reachability Set (Ri) yang mana adalah sebuah set dari semua elemen dapat dicapai dari elemen Ei dan Antecedent Set (Ai) yang mana adalah set dari semua elemen yang dapat dicapai Ei. (6) Canonical matrix : Pengelompokkan bersama elemen dalam level yang dikembangkan dalam matrik ini. Yang dihasilkan matriks ini hampir segitiga bagian atas elemennya adalah 0 dan segitiga bagian bawah elemennya adalah 1. matriks ini kemudian digunakan untuk mempersiapkan sebuah grafik (graph). (7) Digraph : Digraph adalah sebuah pola (item) yang diperoleh dari directional graph dan sebagai rujukan adalah sebuah representasi grafikal dari elemen, hubungan langsungnya dan hierarchical level. Initial digraph disediakan dalam basis canonical matrix, ini kemudian dipendekan melalui pemindahan semua transivitas menjadi bentuk digraph akhir. (8) Model Structural : Model ISL adalah dihasilkan melalui pemindahan semua nomor elemen dengan deskripsi elemen yang aktual. ISM oleh karena itu memberikan Gambaran yang sangat jelas mengenai sebuah sistem dari elemen dan aliran hubungannya.
3.4.3.
Metode Perbandingan Eksponensial Salah satu metode pengambilan keputusan untuk menentukan urutan
prioritas alternatif keputusan kriteria jamak adalah Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). Teknik ini, menurut Marimin (2004), digunakan sebagai pembantu bagi individu pengambil keputusan untuk menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada setiap tahapan proses. MPE dapat menghasilkan nilai alternatif yang perbedaannya lebih kontras.
64
Dalam menggunakan metode perbandingan eksponensial ada beberapa tahapan yang harus dilakukan.
Menurut Manning (1984), tahapan yang
dilakukan dalam teknik MPE adalah : (1) Menyusun alternatif-alternatif, (2) Menentukan kriteria-kriteria penting dalam pengambilan keputusan, (3) Melakukan penilaian terhadap kriteria, (4) Melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada masing-masing kriteria, (5) Menghitung dan mengurutkan nilai dari setiap alternatif dari nilai yang terbesar sampai nilai yang terkecil. Struktur model MPE adalah sebagai berikut :
Nai
=
∑ (Nilai )
Krit j
ij
dimana,
Nai
= Nilai akhir dari alternatif ke − i
Nilaiij
= Nilai dari alternatif ke − i pada kriteria ke − j
Krit j = Tingkat kepentingan kriteria ke − j ; Krit j › 0
i = 1, 2, 3, ... n; n = jumlah alternatif, j = 1, 2, 3, ... m; m = jumlah kriteria.
3.5.
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian model strategi kebijakan regional dalam pengelolaan
irigasi berkelanjutan akan dilaksanakan di Kabupaten Cianjur. Pemilihan lokasi tersebut ditetapkan secara sengaja (purposive) dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut: (1) Salah satu daerah pertanian yang menjadi lumbung padi dengan tingkat kontribusi terhadap produksi padi provinsi Jawa Barat sebesar 6.84%, dan terkenal dengan kualitas berasnya yang cukup banyak diminati oleh masyarakat.
65
(2) Lokasi program Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi (PKPI) dan program Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif (PPSIP) dalam implementasi reformasi kebijakan sumber daya air dan irigasi di Provinsi Jawa Barat. (3) Adanya permasalahan lingkungan terkait pengelolaan irigasi berkelanjutan baik secara langsung (pengelolaan air belum optimal, belum ada jaminan atas air irigasi, alih fungsi lahan beririgasi, dan kerusakan jaringan irigasi) maupun tidak langsung (belum adanya Perda Irigasi, belum optimalnya Komisi Irigasi, dan Pemberdayaan masyarakat petani pemakai air masih terbatas). (4) Adanya kompleksitas kewenangan pengelolaan irigasi (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten) dalam satu wilayah administratif Kabupaten Cianjur. (5) Mempunyai potensi pengembangan dan pengelolaan irigasi secara lebih lanjut untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat. Waktu pelaksanaan kegiatan penelitian akan dilaksanakan selama 1 (satu tahun) mulai dari Januari 2007 – Januari 2008. Gambar 9.
Lokasi Kabupaten dalam
66
Keterangan Batas Propinsi Batas Kab/Kota Batas DAS Batas Pantai Sungai Laut Waduk Situ
Gambar 9 Peta Kabupaten Cianjur (citra satelit)
67
3.6.
Kondisi Daerah Penelitian Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang menjadi
lumbung padi nasional dan mempunyai areal pertanian beririgasi sangat luas. Selain itu juga provinsi tersebut merupakan salah satu lokasi yang menjadi sasaran program kebijakan pengelolaan irigasi sejak tahun 2000 melalui program Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi atau yang lebih populer dengan sebutan program PKPI, mulai dari ISSF, JIWMP-IDTO, IWIRIP dan WISMP serta PISP pada masa reformasi. Provinsi Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia yaitu 39,960,869 (2005) atau sekitar 18 persen dari total penduduk Indonesia dengan tingkat kepadatan 1,378.65. Saat ini, Jawa Barat memiliki wilayah administratif yang terdiri dari 9 (sembilan) kota yaitu Bogor, Sukabumi, Bandung, Cirebon, Bekasi, Depok, Cimahi, Tasik Malaya, Banjar dan 16 (enam belas) kabupaten yaitu Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasik Malaya, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang serta Bekasi. Provinsi ini memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia karena hampir 60% industri pengolahan di Indonesia berlokasi di Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Jakarta sebagai ibukota negara. Selain itu, Jawa Barat memiliki lahan yang subur berasal dari endapan vulkanis serta banyaknya aliran sungai sehingga cocok digunakan sebagai lahan pertanian. Secara geografis, posisi Provinsi Jawa Barat juga sangat strategis karena berbatasan dengan Ibukota Negara DKI Jakarta. Letak geografis tersebut dan daya dukung potensi sumber daya yang ada menjadikan Provinsi Jawa Barat mempunyai daya tarik tersendiri bagi tumbuhnya kegiatan pembangunan secara regional dan nasional. Wilayah administratif Provinsi Jawa Barat meliputi wilayah daratan seluas 3,709,528.44 ha dengan wilayah pesisir dan laut sejauh 12 mil dari garis pantai. Secara umum batas-batas administratif Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut: (1) sebelah utara berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan dibatasi oleh Laut Jawa; (2) sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah; (3) sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia; dan (4) sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Banten.
68
Selain letak posisinya yang strategis tersebut, Provinsi Jawa Barat juga mempunyai peran yang strategis dalam menunjang struktur perekonomian nasional. Sumbangan yang diberikan terhadap perekonomian nasional mencapai sebesar 15.87%. Persentase tersebut tidak lepas dari kontribusi sektor industri dan pertanian yang potensial di provinsi yang mempunyai rata-rata pertumbuhan ekonomi sebelum krisis moneter 7.3% di tahun 1997. Secara umum, sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat didukung oleh potensi lahan pertanian. Apabila dilihat dari fungsi kawasannya, Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat menetapkan bahwa 40% luas lahan digunakan sebagai kawasan lindung, sedangkan untuk kawasan budidaya mencapai sebesar 60%. Berdasarkan kawasan budidaya tersebut, pola penggunaan lahan di Provinsi Jawa Barat masih didominasi oleh penggunaan lahan sawah sebesar 25.17%; hutan sebesar 22.99%; kebun campuran sebesar 18.18%; dan perkebunan sebesar 13.63%. Pola penggunaan lahan untuk kegiatan lainnya berada kurang dari 10%, seperti ladang/tegalan sebesar 8.90%; permukiman sebesar 3.35%; padang rumput sebesar 2.95%; tambak sebesar 1.43%; semak belukar sebesar 1.05%; industri sebesar 0.34%; pertambangan sebesar 0.08%; dan tanah kosong sebesar 0.46%. Berdasarkan data citra landsat tahun 2001, Propinsi Jawa Barat memiliki areal sawah seluas 766,218.57 ha (20.66%) terdiri dari 585,610.57 ha (76.43%) sawah beririgasi yang dikelolah pemerintah, 102,579 ha (13.41%) irigasi pedesaan yang dikelolah oleh masyarakat dan sawah tadah hujan seluas 77,849 ha (10.16%). Areal sawah pemerintah tersebut tersebar pada Daerah Irigasi (DI) lintas kabupaten/kota dan DI non lintas kabupaten/kota. Ada dua DI terbesar yang strategis karena hamparan sawah yang sangat luas dan dilayani oleh dua sistem jaringan irigasi besar yaitu : (1) Jaringan irigasi rentang dengan sumber air dari Cimanuk yang melayani hamparan sawah seluas 89,726 ha meliputi kab./Kota Cirebon, Kab. Indramayu, dan sebagian Kab.Majalengka; (2) Jaringan irigasi Jatiluhur dengan sumber air dari sungai Citarum yang melayani hamparan sawah seluas 236,702 ha meliputi Kab. Purwakarta, Kab. Subang, Kab. Karawang dan Kab. Bekasi.
69
Kedua jaringan irigasi tersebut secara keseluruhan melayani areal sawah atau Daerah Irigasi (DI) di Provinsi Jawa Barat bagian utara, sedangkan wilayah tengah dan selatan hamparan daerah irigasinya tersebar, sebagian besar berkisar antara 500 – 1,500 ha dengan sumber air dari sungai lintas kabupaten/kota maupun non lintas. Selain itu, pada kedua wilayah ini banyak sekali Daerah Irigasi perdesaan (+ 85%).
Dengan demikian kedua jaringan
irigasi yang tergolong besar tersebut sangat potensial dalam mengairi areal persawahan yang ada di Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan data dari Dinas PSDA Propinsi Jawa Barat, kondisi jaringan irigasi yang meliputi bangunan utama (waduk, bendung, pintu, pompa, dsb.), saluran (induk, sekunder, pembuang, suplesi, gendong), bangunan pengatur (bagi, bagi sadap, sadap), dan bangunan pelengkap (kantor lumpur, pelimpah, terjun, pembilas, dsb) dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu kondisi baik, rusak ringan dan rusak berat. Kondisi baik adalah kondisi fisik bangunan air/saluran 75%-100% dan debit air dapat mengalir dengan normal. Kondisi rusak ringan adalah kondisi fisik bangunan air/saluran 50%-75% dan debit air masih mengalir dengan normal tetapi bila dibiarkan akan menjadi rusak berat. Kondisi rusak berat adalah kondisi fisik bangunan air/saluran maksimal 50% dan debit air berkurang atau air tidak dapat mengalir dengan normal. Pada
Daerah
Irigasi
lintas
kabupaten/kota
yang
pengelolaannya
merupakan kewenangan pemerintah provinsi terdapat sebanyak 403 bangunan utama dengan 40.69% diantaranya dalam kondisi baik, saluran sepanjang 3,220.6 km dengan 28.82% diantaranya berada dalam kondisi baik, bangunan pengatur sebanyak 5,370 buah dengan 57.43% diantaranya dalam kondisi baik dan bangunan pelengkap sebanyak 5,881 buah dengan kondisi baik sebesar 58.39%. Selanjutnya pada Daerah Irigasi non lintas kabupaten/kota yang pengelolaannya merupakan kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota terdapat sebanyak 1,617 bangunan utama dengan kondisi baik sebesar 47.06%; saluran irigasi sepanjang 7,935.8 km dengan kondisi baik sebesar 30.65%; bangunan pengatur sebanyak 17,719 buah dengan kondisi baik sebesar 50.18%, dan bangunan pelengkap sebanyak 18,849 buah dengan kondisi baik sebesar
70
55.33%. Untuk lebih jelasnya kondisi jaringan irigasi di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Kondisi Jaringan Irigasi di Jawa Barat No.
Kondisi Jaringan Irigasi Bangunan Utama: - Baik - Rusak Ringan - Rusak Berat Saluran: - Baik - Rusak Ringan - Rusak Berat Bangunan Pengatur: - Baik - Rusak Ringan - Rusak Berat Bangunan Pelengkap: - Baik - Rusak Ringan - Rusak Berat Total: - Baik - Rusak Ringan - Rusak Berat
Daerah Irigasi Kewenangan (%) Propinsi Kab./Kota
Total (%)
40.69 47.32 11.91
47.06 33.77 19.17
45.79 36.49 17.72
28.82 33.06 38.12
30.65 40.27 29.08
30.12 38.19 31.69
57.43 30.19 12.38
50.18 29.38 20.44
51.87 29.56 18.57
58.39 27.24 14.37
55.33 29.56 15.11
56.06 29.01 14.94
46.33 34.45 19.20
45.81 33.25 20.95
45.94 33.37 20.73
Sumber: Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat, 2000.
Penanganan infrastruktur pengairan sampai saat ini masih bertujuan untuk mempertahankan keandalan fungsi jaringan irigasi dan pemanfaatan sumber air (penyediaan air yang cukup serta pengamanan areal produksi dan permukiman dari bahaya banjir dan kekeringan), yang secara umum dapat dibagi dalam beberapa kegiatan seperti: (1) Operasi dan pemeliharaan (O&P) jaringan irigasi,dengan maksud untuk mempertahankan kondisi bangunan/jaringan yang baik dan memperbaiki jaringan yang rusak ringan. (2) Rehabilitasi bangunan/jaringan yang rusak berat dengan prioritas daerah pada kondisi air baik. (3) Pengembangan sumber air dan jaringan irigasi baru,dengan kegiatan studi dan perencanaan tekhnis. (4) Normalisasi sungai dan perkuatan tebing sungai.
71
(5) Perbaikan pemeliharaan sumber-sumber air (situ dan embung). Kondisi jaringan irigasi yang ada sekarang hanya dapat menunjang intensitas tanam + 170% dan dengan luas sawah 876,364 ha diperkirakan dapat menghasilkan Gabah Kering Giling (GKG) sebanyak 7,598,075 ton/tahun atau setara dengan 5,318,654 ton/tahun beras. Ditinjau dari jumlah penduduk Jawa Barat pada tahun 2001 sebesar 36,131,877 jiwa, maka kebutuhan beras di propinsi Jawa Barat adalah sebesar 4,805,540 ton/tahun beras. Dengan demikian, produksi beras Propinsi Jawa Barat untuk memenuhi kebutuhan swasembada beras masih surplus sebanyak 513,114 ton/tahun beras(10.7%). Pada masa sekarang, kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Barat dan ikut menjadi lokasi program WISMP serta PISP seluruhnya mencapai sebanyak 16 (enam belas) kabupaten. Salah satu kabupaten yang menjadi lokasi kegiatan program pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi adalah Kabupaten Cianjur. Karakteristik kabupaten tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya dipandang tepat untuk dipilih secara purposive menjadi salah satu lokasi kegiatan. Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak di tengah Provinsi Jawa Barat, dengan jarak kurang lebih 65 Km dari Ibu Kota Provinsi (Bandung) dan sejauh 120 Km dari Ibu Kota Negara (Jakarta). Selain itu juga terletak diantara 6o21’ – 7o25’ Lintang Selatang dan 106o42’ – 107o25’ Bujur Timur. Kabupaten Cianjur yang mempunyai luas wilayah 350.148 ha dengan jumlah kecamatan sebanyak 30 dan jumlah desa/kelurahan sebanyak 348 berada pada batas wilayah administrastif sebagai berikut: (1) sebelah Utara. Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta; (2) sebelah Barat. Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi; (3) sebelah Selatan. Berbatasan dengan Samudera Indonesia; dan (4) sebelah Timur. Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut. Secara umum, keadaan alam Kabupaten Cianjur terletak di kaki Gunung Gede dengan ketinggian mencapai 7 – 2,962 meter di atas permukaan laut. Secara geografis, wilayah Kabupaten Cianjur terbagi menjadi 3 bagian, yaitu: (1)
Cianjur Bagian Utara. Merupakan dataran tinggi terletak di kaki Gunung Gede dengan ketinggian mencapai 2,962 meter di atas permukaan laut.
72
Sebagian besar wilayah ini merupakan daerah dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan dataran yang dipergunakan untuk areak perkebunan dan persawahan; (2)
Cianjur Bagian Tengah. Merupakan daerah yang berbukit-bukit kecil dikelilingi dengan keadaan struktur tanahnya labil sehingga sering terjadi tanah longsor dan daerah gempa bumi. Wilayah dataran lainnya digunakan untuk areal perkebunan dan persawahan; dan
(3)
Cianjur Bagian Selatan. Merupakan dataran rendah, namun terdapat banyak bukit-bukit kecil yang diselingi oleh pegunungan yang melebar sampai ke daerah pantai Samudera Indonesia. Bagian tanah wilayah ini bersifat labih dan sering juga terjadi longsor serta gempa bumi. Wilayah datarannya juga digunakan sebagai areal perkebunan dan persawahan namun tidak begitu luas. Secara umum, wilayah kabupaten Cianjur seluas 3,501.48 km2 ditempati
sejumlah penduduk pada tahun 2005 sebanyak 2,098,644 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 1,069,408 dan perempuan sebanyak 1,029,236. Berdasarkan hal tersebut, maka kepadatan rata-rata penduduk Kabupaten Cianjur adalah 599,360 jiwa/km2.
Jumlah penduduk tersebut, sebesar 39.16% diantaranya
adalah penduduk yang termasuk usia produktif (821,876 jiwa). Sebagian besar penduduk Kabupaten Cianjur yang tergolong usia angkatan kerja tersebut mempunyai mata pencaharian di sektor pertanian sebanyak 501,356 jiwa dan terendah di sektor pertambangan/galian sebanyak 1,220 jiwa, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 11. Tabel 11 Jumlah Penduduk Berdasarkan Lapangan Usaha, tahun 2005 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Lapangan usaha Pertanian Pertambangan/Galian Industri Listrik, Gas dan Air Konstruksi Perdagangan Angkutan dan Komunikasi Keuangan Jasa Total Sumber: BPS Cianjur, 2005.
Jumah 501,356 1,220 49,960 1,336 30,876 126,900 52,196 4,676 53,356 821,876
Persentase (%) 61.00 0.01 0.61 0.16 3.76 0.15 6.35 0.57 6.49 100.00
73
Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa sebagian besar penduduk Kabupaten Cianjur mempunyai lapangan usaha atau mata pencaharian utama dari
sektor
pertanian
(61%),
sedangkan
pada
sektor
jasa
dan
angkutan/komunikasi masing-masing mencapai sebesar 6.49% dan 6.35%. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian masih merupakan sektor pendukung utama bagi pencapaian peningkatan kesejahteraan masyarakat maupun pembangunan daerah di Kabupaten Cianjur. Kontribusi sektor pertanian tersebut tidak lepas dari luas lahan pertanian beririgasi yang ada di Kabupaten Cianjur.
Peruntukan lahan yang ada di
Kabupaten Cianjur seluas 350,148 ha digunakan untuk lahan sawah baik yang bersifat teknis, semiteknis, sederhana, tadah hujan dan sawah irigasi masyarakat seluas 62,894 ha atau sebesar 17.96%. Peruntukan lahan lainnya berupa tanah darat (pekarangan, tegal/kebun, ladang/huma, padang rumput, lahan tidur, hutan rakyat, hutan negara, perkebunan, rawa, tambak, kolam/tebat/empang, dan lainnya) mencapai seluas 287,254 ha atau sebesar 82.04%.
Gambaran
selengkapnya mengenai peruntukan lahan pertanian, khususnya untuk lahan sawah di Kabupaten Cianjur dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Peruntukan lahan sawah Kabupaten Cianjur, tahun 2005
Jenis Lahan Sawah Irigasi Teknis Irigasi Semi Teknis Irigasi Sederhana Irigasi Masyarakat (Non PU) Tadah Hujan Total
Luas Areal (ha)
Persentase (%)
2004 14,131 7,202 9,316 18,622 12,316 61,587
2004 22.94 11.69 15.13 30.24 20.00 100.00
2005 15,130 6,139 6,153 21,348 14,124 62,894
2005 24.06 9.76 9.78 33.94 22.46 100.00
Sumber: BPS Kabupaten Cianjur, 2005.
Apabila dilihat dari Rencana Induk Pengairan Kabupaten Cianjur (2004: 3-41) menunjukkan bahwa keberadaan Daerah Irigasi (DI) yang ada di Kabupaten Cianjur seluruhnya mencapai sebanyak 22 DI dengan luasan mencapai 23,998 ha. Gambaran selengkapnya keberadaan DI tersebut dapat dilihat pada Tabel 13.
74
Tabel 13 Jumlah daerah irigasi di Kabupaten Cianjur berdasarkan kewenangan pengelolaan irigasi, tahun 2004 Kewenangan Pengelolaan Irigasi Kabupaten Cianjur (di bawah 1000 ha)
Jumlah Daerah Irigasi (DI) 15
Potensial (ha)
Fungsional (ha)
Belum Irigasi (ha)
Alih Fungsi (ha)
10,168
9,890
249
29
Provinsi Jawa Barat (1000 - 3000 ha)
6
8,324
8,012
312
63
Pusat : (di atas 3000 ha) Jumlah
1
5,506
5,405
-
21
22
23,998
23,307
561
113
Sumber: Rencana Induk Pengairan Kabupaten Cianjur, 2004.
Berdasarkan Tabel 13 di atas terlihat bahwa potensi daerah irigasi di Kabupaten Cianjur cukup potensial untuk dikembangkan. Sumber daya air yang terdapat di Kabupaten Cianjur meliputi air permukaan (berupa sungai-sungai), mata air, dan air tanah.
Sumber air tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan pertanian, industri, dan lain-lain. Pemanfaatan sumber air untuk alokasi kegiatan sektor pertanian, khususnya pertanian beririgasi menunjukkan indikasi nilai intensitas tanamnya sebesar 276.43%.
Artinya dalam setahun ketersediaan air belum mampu
memenuhi kebutuhan air untuk lahan pertanian beririgasi selama 3 (tiga) Musim Tanam (MT) atau hanya mampu secara penuh pada Musim Tanam I (MT-1) dan Musim Tanam II (MT-2) saja, sedangkan Musim Tanam III (MT-3) tidak seluruhnya dapat ditanami.
Sedangkan bila di lihat dari produktivitas hasil
usahatani (khususnya padi sawah) menunjukkan bahwa produksi padi perhektar di Kabupaten Cianjur berkisar antara 53.14 kw/ha sampai 60.43 kw/ha, dengan rata-rata mencapai sebesar 60.43 kw/ha (Tabel 14). Tabel 14 Rata-rata produksi padi sawah di Kabupaten Cianjur tahun 2004
Tahun 2005 2004 2003 2002 2001
Rata-rata Produksi Luas Area (ha) (Kw/ha) Tanam Panen 125,433 122,072 53.14 118,847 115,265 52.66 105,034 93,682 52.67 97,828 102,247 60.43 107,430 109,710 60.15
Produksi (ton) 648,735 606,971 493,399 617,886 869,906
Sumber: BPS Kabupaten Cianjur, 2005 dan Rencana Induk Pengairan Kabupaten Cianjur, 2004
75
Data produksi padi sawah di Kabupaten Cianjur apabila dibandingkan dengan tingkat produksi Provinsi Jawa Barat dan Nasional masing-masing memberikan kontribusi sebesar 6.84% terhadap produksi padi sawah provinsi Jawa Barat dan 2.12% terhadap produksi padi nasional. Produksi padi Provinsi Jawa Barat berdasarkan data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan (2005) mencapai sebesar 9,481,257 ton, sedangkan produksi padi nasional berdasarkan data dari Departemen Pertanian (2005) mencapai sebesar 30,668,730 ton.
IV. ANALISA SITUASIONAL
4.1.
Profil Umum Daerah Irigasi (DI) Penelitian lapangan untuk pendalaman variabel-variabel yang diteliti
dilakukan pada 10 (sepuluh) daerah irigasi yang terpilih sebagai sampel dari seluruh daerah irigasi (22 DI) yang ada di Kabupaten Cianjur.
Penjelasan
Gambaran umum dari setiap daerah irigasi tersebut diuraikan sebagai berikut. (1)
Daerah Irigasi (DI) Cihea DI Cihea mempunyai luas areal sebesar 5,495 ha yang termasuk kedalam
daerah irigasi cabang dinas Ciranjang yang pengelolaannya langsung oleh Pemerintah Pusat. DI Cihea yang bersumber dari sungai Cisokan merupakan peninggalan Belanda yang didirikan pada tahun 1816. Bagian hulu sungai Cisokan terdapat di DI Cilikin sedangkan DI Cihea terdapat di bagian hilir sungai yang bendungnya berada di desa Sukarama. Lokasi pelayanan DI berada di desa Sukarama seluas 45.05 ha, Sukajaya seluas 43.9 ha, Cikondang 48 ha, dan Jatisari 42 ha. Keadaan sungai tidak baik dengan debit dan kualitas air yang semakin berkurang pada setiap musim tanam hal ini diakibatkan gundulnya hutan di bagian hulu sungai, sehingga tidak mampu menyerap dan menampung air pada waktu musim penghujan. Daerah Irigasi Cihea mempunyai 65 unit P3A tersebar di 25 desa yang tergabung dalam GP3A/IP3A Tirta Mulya Rezeki. Bangunan tetap pada DI Cihea dalam keadaan rusak, empat buah pintu air dapat berfungsi dengan baik, tiga buah pintu air rusak dan satu pintu air rusak berat.
Gambar 10 Pintu tersier pada DI Cihea
77
(2)
Daerah Irigasi (DI) Cipadang/Cibeleng DI Cipadang/Cibeleng yang dikelola oleh Pemerintah Propinsi ini
mempunyai luas areal sebasar 1,797 ha didirikan tahun 1996 yang termasuk kedalam DI cabang dinas Cibeber, mempunyai 12 P3A tersebar di 12 desa yang tergabung dalam GP3A/IP3A Assalam. DI ini berada di bagian tengah, hilir di Bojong Nangka dan hulu di Leuwi Luwur dengan bendung berada di kecamatan Warung Kondang. Lokasi pelayanan DI berada di desa Sukamulya seluas 161 ha, Cikaroya seluas 222 ha, Cisarandi seluas 222 ha, Warung Kondang 4 ha, dan Clender 161 ha. Bangunan tetap pada DI ini mempunyai kondisi rusak dengan dua buah pintu air dalam keadaan sedang dan penguras dalam keadaan baik sedangkan dua pintu airnya dalam kondisi sedang.
Gambar 11 Kondisi Bendung Cibeleng pada DI Cipadang Cibeleng (3)
Daerah Irigasi (DI) Susukan Gede DI Susukan Gede termasuk kedalam DI cabang dinas Cibeber yang
dikelola oleh Pemerintah Propinsi dengan luas areal sebesar 1,010 ha mempunyai 10 P3A tersebar di 9 desa dan tergabung dalam GP3A/IP3A Mahi Cai. DI ini didirikan tahun 1913 yang berada di bagian hilir sungai Cikondang dan bagian hulu berada di Leuwi Pehit. Pelayanan DI berada di Cihideung seluas 17.1 ha, Cipetir seluas 22.4 ha, Cisalak 82.2 ha, Wayak seluas 20.4 ha, Sukamaju seluas 101 ha, dan Sukaharja seluas 136.6 ha. Bangunan tetap
78
berada dalam kondisi rusak dan dua buah dari tiga pintu airnya rusak berat, penguras air juga dalam keadaan rusak dan bangunan ukur dalam keadaan baik.
Gambar 12 Areal persawahan siap panen pada DI Susukan Gede (4)
Daerah Irigasi (DI) Ciheulang DI Ciheulang ini dikelola oleh Pemerintah Propinsi dengan luas areal
sebesar 1,511 ha yang termasuk dalam DI cabang dinas Cianjur Kota, terdapat 9 P3A tersebar di 9 desa dan tergabung dalam GP3A/IP3A Karang Luyu. DI ini berada di bagian tengah susukan Cianjur dengan Bandung di desa Langen Sari, bagian hulu berada di Cianjur Lesik dan hilir di Cibalagung, Cipayunsa dan Cihea. Pelayanan DI berada di desa Langan Sari seluas 109 ha, Sukasari seluas 190 ha, Babakan Caringin seluas 241, Ciherang seluas 160 ha, Sukasirna 194, dan Sukasaran seluas 109 ha. Bangunan tetap dan tiga pintu air dalam keadaan baik dan bangunan ukur dengan panjang saluran 20 meter dalam keadaan baik juga. (5)
Daerah Irigasi (DI) Cikawung DI Cikawung berada dalam DI cabang dinas Sukanaga yang dikelola oleh
Pemerintah Propinsi dengan luas areal sebesar 947 ha dan mencakup Kecamatan Kadupandak. DI ini mempunyai 3 P3A tersebar di 3 desa yang tergabung dalam GP3A/IP3A Sauyunan, berada di bagian hulu sungai Cikawung
79
dan bendungnya berada di Kecamatan Kadupandak. Pelayanan DI berada di desa Pasir Dalem seluas 512 ha, Sukaraja seluas 793, dan Kadupandak seluas 198. Bangunan tetap dan 3 buah pintu airnya dalam keadaan rusak, bangunan ukur dalam kondisi sedang, sedangkan 6 buah suplisi dan 2 buah penguras dalam keadaan baik. Berikut contoh gambar kerusakan pintu pembagi pada DI Cikawung (Gambar 13)
Gambar 13 Kerusakan pintu pembagi pada DI Cikawung (6)
Daerah Irigasi (DI) Cilumut/Pasir Kerud DI yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten ini mempunyai luas areal
sebesar 863 ha, berada dalam DI cabang dinas Sukajadi dan mencakup Kecamatan Tanggeung dan Kecamatan Pegelaran. DI Cilumut/Pasir Kerud mempunyai 7 P3A tersebar di 3 desa yang tergabung pada GP3A/IP3A Tirta Mukti. Berada di daerah tengah sungai Cilumut dan lokasi Bandung berada di desa Pagelaran. Pelayanan DI berada di desa Pagelaran seluas 314 ha, Tanggeng seluas 172 ha, dan Bojong Pete seluas 377 ha. DI ini mempunyai bangunan tetap dalam kondisi rusak dan kurang berfungsi, dan mempunyai 3 buah pintu air yang masing-masing dalam kondisi sedang, rusak dan rusak berat. Penguras yang mempunyai panjang 75 meter dan 1 pintu air dalam keadaan fisik sedang dan berfungsi dengan baik. Sedangkan untuk bangunan ukur yang mempunyai panjang 50 meter dalam keadaan baik dan berfungsi baik juga.
80
Gambar 14 Saluran pembawa tanah rawan longsor pada DI Cilumut/Pasir Kerud (7)
Daerah Irigasi (DI) Nagrog DI Nagrog termasuk dalam cabang dinas Sukajadi yang dikelola oleh
Pemerintah Kabupaten mempunyai luas areal sebesar 942 ha meliputi Kecamatan Tanggeung dan Kecamatan Pagelaran, berada di bagian hulu sungai Cilumut dengan bendung berada di desa Simpang Kecamatan Pagelaran. Mempunyai 2 P3A tersebar di 4 desa yang tergabung dalam GP3A/IP3A Sauyunan. Pelayanan DI berada di desa Simpang seluas 72 ha, Mekar Mulya seluas 349 ha, Kubang seluas 425 ha, dan Cilongkong seluas 95 ha. Bangunan tetap DI Nagrog berada dalam kondisi sedang, 2 buah pintu air dalam keadaan rusak, bangunan ukur dan penguras dalam kondisi sedang. (8)
Daerah Irigasi (DI) Ciraden/Leuwi Leungsir DI
Ciraden/Leuwi
Leungsir
dikelola
oleh
Pemerintah
Kabupaten
mempunyai luas areal sebesar 814 ha termasuk dalam cabang dinas Pacet, didirikan tahun 1942 yang berada di bagian tengah sungai Ciraden dan meliputi Kecamatan Cikalongkulon. Bagian hulu sungai Ciraden berada di DI Cinangka dan hilir di DI Leuwi Bokor dan Cimande. DI ini Mempunyai 8 P3A tersebar di 8 desa yang tergabung dalam GP3A/IP3A Kayungyun. Pelayanan DI berada di desa Padajaya seluas 26 ha, Cinangsi seluas 35 ha, Mekargalih 100 ha, Sukagalih seluas 158 ha, Neglasari seluas 188 ha, dan Lembah Sari seluas 73
81
ha. Bangunan tetap DI dalam kondisi rusak, 3 buah dari 4 buah pintu air bangunan tetap , penguras dan bangunan ukur sepanjang 100 dengan sebuah pintu airnya dalam keadaan rusak berat.
Gambar 15 Sedimentasi di saluran pada DI Ciraden/Leuwi Leungsir (9)
Daerah Irigasi (DI) Leuwi Bokor DI Leuwi Bokor berada dalam DI cabang dinas Pacet yang dikelola
Pemerintah Kabupaten mempunyai luas areal sebasar 587 ha meliputi Kecamatan Cikalongkulon. Didirikan tahun 1980 yang berada bagian tengah sungai
Cikundul
dan
bendung
berada
di
desa
Majalaya
Kecamatan
Cikalongkulon. DI ini mempunyai 3 P3A tersebar di 4 desa yang tergabung dalam GP3A/IP3A Mitra Cikundul. Pelayanan DI berada di desa Majalaya seluas 250 ha, Cijagang seluas 57 ha, dan Sukamulya seluas 280 ha.
Bangunan tetap
dalam kondisi rusak berat dan ketiga pintu air dalam keadaan sedang. Bangunan ukur sepanjang 110 meter dan penguras sepanjang 150 meter. (10) Daerah Irigasi (DI) Cisalak/Batusahulu DI Cisalak/Batusahulu termasuk dalam DI cabang dinas Pacet yang didirikan tahun 1920, dikeloa oleh Pemerintah Kabupaten mempunyai luas areal sebesar 957 ha. DI ini meliputi Kecamatan Sukaresmi dan Cikalongkulon yang
82
bendungnya berada di desa Cikancana Kecamatan Sukaresmi, mempunyai 7 P3A tersebar di 3 desa yang tergabung dalam GP3A/IP3A Sukatani. Pelayanan DI berada di desa Cikancana seluas 194 ha, Sukamahi seluas 687 dan Majalaya seluas 267 ha. Bangunan tetap DI dalam keadaan baik dan dua buah pintu air dalam kondisi sedang, bangunan ukur sepanjang 80 meter kondisinya baik, bangunan bagi sepanjang 130 meter keadaannya rusak dan sebuah pintu airnya dalam kondisi sedang.
Gambar 16 Kerusakan pada saluran tersier pada DI Cisalak/Batusahulu
4.2.
Aspek Lingkungan Lingkungan pada hakekatnya merupakan tempat hidup dimana manusia,
benda hidup dan tak hidup lainnya berinteraksi dan saling mempengaruhi. Fungsi dan peranan lingkungan yang utama adalah sebagai sumber bahan mentah untuk diolah menjadi barang jadi atau untuk langsung dikonsumsi sebagai asimilator yaitu pengolah limbah secara alamiah. perkembangan kesejahteraan
kegiatan manusia
pembangunan yang
tidak
dan
Sejalan dengan
upaya-upaya
mengindahkan
pencapaian
kelestarian
telah
menyebabkan perubahan fungsi dan peranan lingkungan telah menurun dari waktu ke waktu. Kondisi demikian tidak terlepas dari eksploitasi manusia yang berlebihan
terhadap
lingkungan
alami
sehingga
akibatnya
tidak
hanya
83
menurunkan fungsi lingkungan tersebut, melainkan juga memicu timbulnya “scarcity”. Kerusakan lingkungan di Kabupaten Cianjur antara lain dapat dilihat dari kondisi hutan, khususnya yang berada di kawasan Cipanas sudah banyak mengalami kerusakan. Secara umum pembagian hutan yang ada di Kabupaten Cianjur terdiri atas hutan produksi, hutan lindung, dan hutan wisata/suaka alam. Berdasarkan data statistik tahun 2005, kondisi lingkungan hutan mengalami penurunan selama kurun waktu tahun 2001 – 2005 sebagaimana yang terlihat pada Tabel 15. Tabel 15 Luas kawasan hutan menurut fungsinya di Kabupaten Cianjur Kondisi Hutan a. Hutan Produksi b. Hutan Lindung c. Suaka Alam/ Hutan Wisata Jumlah
2001 63,440.91
2002 63,440.91
2003 42,351.58
2004 2005 43,351.58 43,351.58
5,215.05
5,215.05
24,259.79
24,305.66 24,305.66
206.54
206.54
45.87
68,862.50
68,862.50
66,657.24
-
-
66,657.24 66,657.24
Sumber: Kabupaten Cianjur Dalam Angka, BPS: 2005
Berdasarkan informasi yang tersaji pada Tabel 13 di atas terlihat bahwa luas kawasan hutan mengalami penurunan dari tahun 2001 seluas 68,862.50 ha menjadi 66,657.24 hektar pada tahun 2005 atau kehilangan seluas 2,205.26 dari total luas kawasan hutan. Kondisi kerusakan lingkungan tersebut ditunjukkan pula oleh adanya lahan kritis yang cukup besar, yaitu mencapai sebesar 35% dari total luas kawasan hutan.
Pengertian lahan kritis menurut pandangan
Sitorus (2004) adalah lahan yang pada saat ini tidak atau kurang produkstif ditinjau dari penggunaan pertanian, karena pengelolaan dan penggunaannya tidak atau kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah. Pada lahan kritis terdapat satu atau lebih faktor penghambat yang kurang mendukung dalam usaha-usaha pemanfaatannya untuk kegiatan pertanian. Kerusakan lingkungan pada lahan kritis di Kabupaten Cianjur cukup memprihatinkan. Pada tahun 2001 lahan kritis di Kabupaten Cianjur mencapai sebesar 30,995.62 ha, kemudian mengalami penurunan sampai tahun 2005 menjadi 22,916.52 ha, dan setahun kemudian bertambah lagi menjadi 23,332.60 ha pada tahun 2006, sebagaimana tersaji pada Gambar 17.
84
35000
30995.62
29540.02
30000
27911.12 24848.28
L u a s (h a )
25000
22916.52
23332.6
2005
2006
20000 15000 10000 5000 0 2001
2002
2003
2004
Tahun Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Cianjur tahun 2006 – 2011.
Gambar 17 Luas lahan kritis di Kabupaten Cianjur Penurunan luas lahan kritis di Kabupaten Cianjur terjadi karena adanya penanganan melalui kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan, antara lain adalah kegiatan pembuatan hutan dan kebun rakyat, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, kegiatan pengembangan pengelolaan hutan rakyat, , serta kegiatan gerakan rehabilitasi lahan kritis lainnya. Upaya penanganan kondisi kerusakan hutan baik pada luas kawasan hutan dan luas lahan kritis perlu diupayakan terus untuk menjaga kelestarian fungsinya antara lain sebagai sumber air bagi kehidupan warga Kabupaten Cianjur. Kondisi kerusakan lingkungan kawasan hutan dan lahan kritis di Kabupaten Cianjur tentunya memberikan implikasi salah satunya terhadap ketersediaan air di musim kemarau pada setiap sumber air yang semakin menurun. Hal ini dikarenakan daya tampung dan kemampuan meresapkan air pada wilayah tersebut akan menurun. Menurunnya debit air tersebut antara lain terlihat dari data debit sungai yang mengalir pada 10 (sepuluh) daerah irigasi sampel lokasi penelitian, yaitu (1) DI Ciheulang; (2) DI Cipadang/Cibeleng; (3) DI Susukan Gede; (4) DI Cihea; (5) DI Cisalak/Batusahulu; (6) DI Leuwi Bokor; (7) DI Ciraden/Leuwi Leungsir; (8) DI Cikawung; (9) DI Nagrog; (10) DI Cilumut/Pasir
85
Kerud. Pada pengukuran tahun 2007 debit sungai pada beberapa daerah irigasi tersebut selama bulan Januari – Juni mencapai sebesar 124.140 liter/detik, kemudian menurun cukup drastis pada musim kemarau (Juli – Desember) yang mencapai sebesar 44.028 liter/detik. Penurunan debit air cukup tajam baik pada hitungan pertama (B-I) maupun kedua (B-II) setiap bulan, khususnya mulai pada bulan mei sampai september, kemudian naik perlahan pada bulan oktober sampai desember. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 18. 140.000 Debit Air (ltr/det)
120.000 100.000 80.000
B-I
60.000
B-II
40.000 20.000 0.000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Gambar 18. Debit air sungai bulanan (B-I dan B-II) pada daerah irigasi lokasi sampel di Kabupaten Cianjur, 2007 Secara umum sumber daya air yang terdapat di Kabupaten Cianjur meliputi air permukaan (berupa sungai-sungai), mata air, dan air tanah. Sumber air tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pertanian, domestik, industri, dan lain-lain. (1) Air Permukaan Air permukaan di kabupaten Cianjur meliputi sungai dan curah hujan sepanjang tahun. Di beberapa daerah, air mengalir sepanjang tahun karena curah hujan cukup tinggi, sehingga pada musim kemarau tidak terlihat adanya kekeringan. Sungai-sungai yang mengalir mempunyai pola dendritik. Sungai Citarum merupakan sungai utama yang mengalir ke bagian utara dengan beberapa bagian anak sungainya di Kabupaten Cianjur antara lain Sungai Cibeet, Sungai Cikundul, Sungai Cialagung dan Sungai Cisokan. Sungai-sungai tersebut membentk sub-DAS yang merupakan bagian dari DAS Citarum yang bermuara di Laur Jawa. Di bagian selatan terdapat Sungai Cibuni, Sungai Cisokan, Sungai Cisadea, Sungai Ciujung, dan Sungai Cilaki
86
yang merupakan sub-DAS Cibuni – Cilaki yang bermuara di Samudera Indonesia. Terdapat 3 buah waduk yang memanfaatkan aliran sungai Citarum yaitu Jatiluhur Cirata dan Saguling. Waduk Cirata mempunyai luas genangan 6.400 ha, dimana + 3.400 ha menggenangi wilayah kabupaten Cianjur. Genangan tersebut merupakan sumber air permukaan / penampung air yang dapat dimanfaatkan sebagi pengairan persawahan, pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas 550 MW jam/tahun serta pengembangan budidaya perikanan darat dan pariwisata. Selain sungai, potensi air permukaan di Kabupaten Cianjur adalah situ/rawa yang terdapat di Kecamatan Pagelaran, Kecamatan Tanggeung, Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Kadupandak. Terdapat sekitar 16 situ/rawa mencakup luas + 33.50 ha dengan perkiraan volume air 594.300 m3 dan mampu menagiri sawah + 1,431 ha. Kabupaten Cianjur pun memiliki daerah resapan air yang merupakan resapan utama atau primer, meliputi bagian lereng pada ketinggian tertentu sampai puncak gunung yang terutama dibentuk oleh batuan muda. Selain itu, zona resapan utama meliputi bagian daerah pegunungan dan perbukitan yang punggungnya merupakan pemisah air utama bagi sungai-sungai yang mengalir ke utara dan selatan. (2) Mata Air Zona mata air yang sangat vital atau berpotensi di Kabupaten Cianjur terutama berada pada kawasan lereng bagian timur Gunung Gede. Air yang berasal dari mata air dalam zona ini terutama ditampung oleh Sungai Cilaki, Sungai Cisarua, Sungai Cicaringin dan Sungai Cikundul. Sumber air bersih ini terutama dimanfaatkan untu kepentingan domestik (rumah tangga), pertanian dan waduk Cirata. Zona mata air yang berada pada lereng bukit di dataran tinggi Sukanegara-Campaka bagian utara selain untuk kepentingan domestik dan pertanian juga dimanfaatkan untuk waduk Cirata yang disalurkan melalui Sungai Cikondang dan Sungai Cisokan. Sebagian besar resapan air hujan yang ditampung oleh Gunung Wayang bagian barat, Gunung Sembul dan Gunung Simpang bagian selatan, Gunung Kuda bagian selatan dan lereng-lereng bukit bagian selatan dataran tinggi Sukanagara-Campaka menimbulkan sejumlah zona mata air yang sebagian bersifat permanen dan semi permanen mata air musiman. Keadaan ini antara
87
lain disebabkan oleh sebagian besar susunan pelapisan batuannya bersifat lempungan. Zona mata air sekunder terdapat di bagian kaki bukit (foot hill), tepi depresi Kadupandak dan tempat-tempat tertentu zona pantai. (3) Air Tanah Potensi air tanah di Kabupaten Cianjur meliputi air tanah bebas dangkal, air tanah bebas dalam, dan air tanah pantai. Air tanah bebas dangkal umumnya merupakan daerah pedataran lembah dan pantai serta daerah depresi (Depresi Cianjur, Depresi Paglaran, Depresi Kadupandak, dan lain-lain). Air tanah bebas dangkal tersebut terdapat hampir di semua pedataran dan sudah banyak dimanfaatkan unuk kebutuhan domestik. Air tanah bebas dalam (TMA lebih dari 10 m) terutama pada daerah perbukitan yang berada diantara wilayah mata air. Air tanah dangkal pantai meliputi pedataran sekitar pantai laut Samudera Indonesia dan Waduk Cirata. Pada zona ini bermuara sejumlah sungai yang senantiasa mengendapkan partikel-partikel hasil erosi dalam berbagai ukuran dan mengandung air. Air dangkal pantai ini tersebar di sepanjang pantai selatan Cianjur. Secara umum kemanfaatan sumber daya air irigasi dalam skala makro berdampak cukup luas. Hal ini perlu didukung oleh kondisi lingkungan hutan yang menunjang dan luasan lahan kritis yang ditekan pada tingkat yang minimal di daerah hulu. Kondisi lingkungan yang mendukung di daerah hulu akan memberikan manfaat pada ketersediaan air yang lestari, yang pada gilirannya memberikan kontribusi positif terhadap ketersediaan air irigasi untuk memenuhi kebutuhan air tanaman.
Hasil akhir yang dapat dicapai
adalah produktivitas hasil pertanian, yang kemudian akan memberikan manfaat terhadap ketahanan pangan serta kesejahteraan masyarakat. Keberadaan hutan lestari di daerah hulu sebagai catchment area yang semakin memprihatinkan berakibat buruk terhadap stabilitas debit air yang mengalir disepanjang daerah irigasi. Fluktuasi debit air yang tidak terkendali sering terjadi yaitu debit air yang sangat tinggi saat musim hujan dan kekurangan debit air yang mengakibatkan kekeringan saat musim kemarau. Hal ini sangat mempengaruhi produktivitas usaha tani di sepanjang aliran sungai irigasi. Kegiatan konservasi hutan di daerah hulu sampai sekarang masih belum dilaksanakan dengan optimal, hal ini disebabkan belum adanya kejelasan mengenai kebijakan yang mengatur kelestarian lingkungan dan konservasi tanah
88
dan air. Hal ini menyebabkan potensi sumberdaya air dari hulu-hilir belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Upaya untuk meningkatkan daya dukung lingkungan diperlukan melalui penataan dan rencana pola pemanfaatan ruang kawasan lindung secara tepat. Arah kebijakan yang ditetapkan oleh Kabupaten Cianjur adalah: (1) menetapkan kawasan lindung sebesar 173,207 ha (49.47%) yang meliputi rencana pemanfaatan ruang kawasan lindung (hutan) dengan luas 79,818 ha (22.79%) dan
kawasan
lindung
(nonhutan)
sebesar
93,399
ha
(26.67%);
(2)
mempertahankan kawasan-kawasan resapan air atau kawasan yang berfungsi hidrologis untuk menjamin ketersediaan sumber daya air; dan (3) mengendalikan pemanfataan ruang di luar kawasanhutan sehingga tetap berfungsi sebagai lindung. Kondisi rencana tersebut belum dapat tercapai mengingat kawasan hutan lindung yang ada masih seluas 5,215.05 ha (1.49%), serta kawasan potensi resapan air hanya terdapat di sekitar Kecamatan Cugenang seluas 1,000.53 ha. Permasalahan tersebut menunjukkan indikasi bahwa di Kabupaten Cianjur belum terwujud kawasan lindung seluas 49.47% dari luas wilayah kabupaten sesuai yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Cianjur. Belum tercapainya kesesuaian penggunaan lahan untuk kawasan lindung antara lain terlihat dari indikasi bahwa kawasan hutan primer belum tercapai kesesuaian penggunaannya di 23 kecamatan, kawasan hutan sekunder belum tercapai kesesuaian penggunaannya di 26 kecamatan, kawasan perkebunan belum tercapai kesesuaian penggunaannya di 26 kecamatan, kawasan padang rumput belum tercapai kesesuaian penggunaannya di 10 kecamatan dan masih luasnya lahan kritis yang belum dioptimalkan sebagai daya dukung lingkungan. Bertambah luasnya areal lahan kritis di Kabupaten Cianjur belum dapat ditangani secara optimal. Berdasarkan catatan Dinas PKT, luas lahan kritis di Kabupaten Cianjur diperkirakan sudah lebih dari 33,000 ha. Bahkan lebih dari itu dilaporkan berdasarkan pengamatan satelit bahwa lahan kritis di Kabupaten Cianjur diperkirakan sudah mencapai 65,000 ha.
Beberapa upaya telah
dilakukan oleh pemerintah daerah, namun kenyatannya masih belum mampu mengatasi rusaknya hutan dan luasnya areal kritis secara optimal.
89
4.3.
Aspek Ekonomi Pertanian
4.3.1. Usaha Tani Air merupakan sumber daya alam yang memegang peranan sangat penting dalam kehidupan manusia, termasuk untuk peningkatan pendapatan dalam suatu usaha di sektor pertanian. Debit dan kualitas air yang baik sangat diperlukan dalam memenuhi kebutuhan air tanaman untuk peningkatan produktivitas hasil pertanian. Sumber air yang digunakan untuk budidaya pertanian umumnya berasal dari air hujan atau yang dikenal dengan sawah tadah hujan dan air irigasi atau yang lebih dikenal dengan sawah beririgasi. Kondisi yang dterjadi di kabupaten Cianjur menunjukkan bahwa sawah tadah hujan hanya berada di daerah dataran tinggi yang sulit dijangkau oleh aliran air irigasi, sedangkan lainnya merupakan sawah yang sebagian besar dapat dialiri oleh air irigasi. Kondisi geografis kabupaten Cianjur menunjukkan karakteristik yang sangat mendukung usaha kegiatan di sektor pertanian, termasuk usahatani padi tadah hujan dan sawah beririgasi. Namun demikian, status masyarakatnya mayoritas mempunyai status petani sebagai penggarap yang mengolah lahan pertanian kurang dari 0.5 ha, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 16 dan Gambar 19. Tabel 16 Status dan luas kepemilikan lahan pertanian irigiasi petani Cianjur Status kepemilikan lahan Status Jumlah (%) Pemilik 27 Pemilik Penggarap 29 Penggarap 38 Sewa 6 Lainnya 1 1.5-2 Ha 13%
Luas kepemilikan lahan Luas (ha) Jumlah (%) >2 4 1.5-2 13 1-1.5 8 0.5-1 25 <0.5 50
>2 Ha 4%
1-1.5 Ha 8% <0.5 Ha 50%
0.5-1 Ha 25%
Gambar 19 Luas areal kepemilikan lahan pertanian irigasi petani Cianjur
90
Secara umum, mata pencaharian masyarakat di Kabupaten Cianjur sebagian besar adalah di sektor pertanian dengan status petani sebanyak 78%, sedangkan pedagang sebesar 14%, dan lainnya sebesar 8%. Sebanyak 65% petani menyatakan telah mempunyai pengalaman bertani lebih dari 10 tahun, hal ini dikarenakan pada umumnya usaha pertanian ini telah dilakukan secara turun temurun dengan usia produktif sebanyak 62% adalah 18-52 tahun. Pada sisi lain, mata pencaharian penduduk di Kabupaten Cianjur menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan dari sektor pertanian umumnya lebih kecil bila di bandingkan dengan sektor non pertanian. Perbandingan pendapatan dari pertanian mencapai rata-rata sebesar Rp 426,098 setiap bulannya, sedangkan pendapatan dari sektor non pertanian mencapai sebesar 675,000 setiap bulannya. Struktur
perekonomian
Kabupaten
Cianjur
berdasarkan
analisis
situasional masih berbasis pada sektor pertanian. Beberapa permasalahan yang ditemukan dalam usaha pertanian tersebut adalah usaha tani yang dilakukan masyarakat umumnya masih konvensional dengan adopsi teknologi belum optimal, struktur kepemilikan lahan pertanian beririgasi rata-rata sekitar 0.2 Ha dengan sebagian besar dikuasai oleh penduduk luar Cianjur, produktivitas hasil usaha tani nonirigasi lebih rendah dibandingkan dengan usaha tani beririgasi. umumnya petani menjual hasil panennya langsung ke tengkulak dengan sistem borongan dan “ijon” dan iuran untuk irigasi sebagian besar masih belum optimal dengan tingkat pembayaran mencapai sebesar 20-50%. Permasalahan ekonomi pertanian juga tidak terlepas dari permasalaan areal lahan pertanian beirigasi. Kondisi lahan yang ada umumnya masih dalam keadaan baik, namun dibeberapa lokasi terdapat perubahan fungsi menjadi daerah pemukiman penduduk terutama dipusat Kota Cianjur dan jalur jalan Ciranjang – Cianjur. Perubahan fungsi areal sawah irigasi ini berakibat pada berkurangnya
lahan
pertanian
terutama
pada
Daerah
Irigasi
Cianjur
Leutik,Ciheulang dan Daerah Irigasi lainnya. Melihat potensi areal lahan daerah irigasi pedesaan yang mempunyai luas hampir sebanding dengan luas lahan irigasi pemerintahan merupakan potensi yang perlu dikembangkan/ditingkatkan dengan cara intensifikasi. Hasil pengamatan di lapangan dan wawancara singkat dengan penduduk setempat ternyata lahan irigasi pedesaan di Kabupaten Cianjur sangat potensial untuk
91
ditingkatkan. Sumber air yang ada baik kuantitas maupun kontinuitasnya dirasa cukup memadai. Namun karena banyak saluran air yang masih berupa saluran sederhana tanpa pasangan banyak saluran yang bocor dan airnya terbuang. Kondisi bentang alam di Kabupaten Cianjurmemiliki karakteristik berbukit dan bergunung, dengan kondisi tanah yang relatif rawan terhadap bencana alam seperti longsor terutama di wilayah Cianjur Bagian Selatan dan Cianjur Bagian Tengah. Kondisi ini memerlukan rencana dan penanganan serta pengelolaan yang memperhatikan ambang batas ekologi terutama pada bentang alam yang ekstrim. Apabila melihat kondisi topografi wilayah Kabupaten Cianjur sebelah selatan umumnya merupakan daerah perbukitan, sehingga hal ini menyulitkan dalam pengembangan daerah irigasi terutama ekstensifikasinya. Apabila dipaksakan akan menyerap biaya investasi yang cukup besar terutama dalam penyediaan infrastrukturnya.
4.3.2. Pembiayaan Jaringan Irigasi Pembiayaan Daerah Irigasi (DI) berdasarkan luasannya terbagi menjadi 3 yaitu
DI>3000
ha
pembiayaan
dilakukan
oleh
pemerintah
pusat,
1000 ha
kecilnya
dana
yang
dapat
dikumpulkan
dari
petani
ini
menyebabkan kebutuhan untuk operasionalisasi kelembagaan irigasi lebih dari 50% tidak dapat terpenuhi, 66% kegiatan kelembagaan irigasi dilakukan seadanya dan 21% kegiatan bahkan tidak dilakukan sama sakali. Sekitar 70% dana untuk mengatasi kekurangan dana operasional kelembagaan diharapkan di berikan oleh pemerintah, 15% dari usaha lembaga sendiri dan 8% sisanya dapat dipenuhi dari pihak lain yang secara sukarela membantu. Namun lebih dari 50% menyatakan bahwa belum adanya usaha yang signifikan untuk mengatasi semua
92
kekurangan tersebut.
Gambaran persentase pengumpulan iuran pengelolaan
irigasi di jaringan tersier dapat dilihat pada Gambar 20.
4% 26%
<25%
0%
25-50%
51-75% 70%
76-100%
Gambar 20. Persentase pengumpulan iuran pengelolaan irigasi jaringan tersier pada P3A unit 4.4. Aspek Kelembagaan Perkembangan kebijakan sumber daya air dan irigasi mengalami proses perubahan yang signifikan sejalan dengan pelaksanaan kegiatan pembangunan dan tututan kebutuhan masyarakat akan sumber daya air. Reformasi dan desentralisasi kebijakan sumber daya air dan irigasi di Indonesia membutuhkan peningkatan kemampuan pada semua lembaga dan institusi yang baru dibentuk atau yang baru direorganisasi yang memungkinkan mereka memikul tanggung jawab dan tugas dalam paradigma baru pengelolaan sumber daya air dan irigasi sesuai amanat reformasi. Selain itu dengan telah ditetapkannya Undang-Undang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sebagai pengganti Undang-undang No. 11 tahun 1974 tentang pengairan, memberikan konsekuensi logis terhadap revisi beberapa produk peraturan perundangan turunan yang tidak sesuai dengan UndangUndang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Produk peraturan perundangan dan peraturan turunan antara lain mengatur irigasi, sungai dan rawa dalam bentuk peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri., seperti Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi. Selama ini pengelolaan irigasi – yang meliputi operasi dan pemeliharaan, pengamanan, rehabilitasi, dan peningkatan jaringan irigasi – belum terlaksana secara optimal, sehingga mempercepat kemunduran kinerja sistem irigasi, yang
93
berimplikasi pada pelaksanaan rehabilitasi dan peningkatan yang lebih cepat dari waktu yang semestinya. Berbagai permasalahan dan tantangan pembangunan yang dihadapi pemerintah saat ini seperti kualitas sumber daya manusia yang pada umumnya masih rendah mempengaruhi kemampuan pengelolaan irigasi. Demikian pula halnya dengan kondisi pelayanan dan penyediaan infrastruktur mengalami penurunan kuantitas dan kualitas yang akhirnya mempengaruhi pelayanan kepada masyarakat pengguna air irigasi. Dalam kondisi demikian, Pemerintah melakukan reorientasi pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi melalui format Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif (PPSIP). PPSIP sebagai kerangka dasar pelaksanaan kegiatan program reformasi pengelolaan irigasi secara partisipatif dikembangkan dalam mewujudkan pencapaian tujuan reformasi kebijakan sumber daya air dan irigasi sebagaimana yang diamanatkan publik dalam peraturan perundang-undangan. Tujuannya adalah agar kelembagaan pengelolaan irigasi, petani pemakai air dan penerima manfaat irigasi lainnya, mampu melaksanakan pengelolaan irigasi secara efektif dan efisien serta berkelanjutan dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan sistem irigasi baik pengembangan maupun pengelolaan jaringan irigasi. Perjalanan kelembagaan pengelolaan irigasi itu sendiri sudah mengalami pergeseran makna dari pengertian sebelumnya sebagaimana yang ditetapkan dalam UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan yang menegaskan bahwa kelembagaan pengelolaan irigasi terdiri dari Dinas Pengairan dan organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air. Kemudian 25 (duapuluh lima) tahun kemudian pengertian tersebut diperluas dalam Instruksi Presiden No. 3 tahun 1999 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi (PKPI) yang mengembangan organisasi P3A pada tingkat sekunder dengan membentuk organisasi Gabungan P3A (GP3A). Peraturan
Selanjutnya ketentuan tersebut diperkuat hukumnya melalui
Pemerintah
(PP)
No.
77
tahun
2001
tentang
Irigasi
yang
mengamanatkan pembentukan dan pengembangan organisasi pada tingkat jaringan utama melalui Gabungan P3A (GP3A) dan Induk P3A (IP3A). Perkembangan kebijakan lainnya menutun perubahan kelembagaan pengelolaan irigasi menjadi luas, yaitu mencakup instansi Pemerintah, Komisi Irigasi dan P3A/GP3A/IP3A sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan PP No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi.
94
Berbagai perubahan tersebut pada dasarnya mengingatkan bahwa sistem irigasi yang optimal tidak bisa terlepas dari peranan kelembagaan petani irigasi yang berfungsi dengan baik. Kelembagaan petani irigasi ini akan sangat mendukung dalam rangka peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Secara umum, Kelembagaan Pengelolaan Irigasi (KPI) meliputi instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, perkumpulan peani pemakai air (P3A) atau pihak lain yang kegiatannya berkaitan dengan pengelolaan irigasi sesuai dengan kewenangannya
baik
dalam
perencanaan,
pembangunan,
operasi
dan
pemeliharaan, rehabilitasi peningkatan dan pembiayaan jaringan irigasi. Salah satu kelembagaan Pengelolaan irigasi di Kabupaten Cianjur pada tingkat daerah irigasi adalah perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), yang terdiri dari tingkat P3A unit, Gabungan P3A, dan Induk P3A. Perkembangan P3A di Kabupaten Cianjur dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu P3A yang sudah berkembang, yang sedang berkembang dan yang belum berkembang. Berdasarkan data yang ada terlihat bahwa perkembangan P3A di kabupaten Cianjur didominasi oleh P3A yang sudah berkembang, yaitu sebesar
55%.
Untuk
lebih
jelasnya
mengenai
pembagian
klasifikasi
perkembangan organisasi P3A di Kabupaten Cianjur dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Perkembangan P3A di Kabupaten Cianjur tahun 2005 No.
Klasifikasi Organisasi P3A
Jumlah
%
1
Sudah Berkembang
318
55
2
Sedang Berkembang
147
25
3
Belum Berkembang
106
20
Jumlah
571
100
Walaupun perkembangan organisasi P3A didominasi oleh klasifikasi sudah berkembang, tetapi terlihat juga bahwa klasifikasi sedang berkembang dan belum berkembang mempunyai jumlah cukup besar yaitu sebesar 45%. Perkembangan gabungan P3A Mitra Cai di Kabupaten Cianjur didominasi oleh GP3A Tirta Mulya Rezeki (Daerah Irigasi Cihea) dengan wilayah pelayanan kecamatan Ciranjang (27 unit) mencapai seluas 2.203 ha dan Kecamatan Bojong Picung (51 mencapai seluas 3.258 ha. Perkembangan organisasi P3A tersebut mencerminkan bahwa masih banyak tugas yang perlu dilakukan oleh segenap Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur untuk meningkatkan kinerja kelembagaan pengelolaan irigasi secara lebih luas, baik pada tingkat Komisi Irigasi, Satuan
95
Kerja Perangkat Dinas (SKPD) terkait irigasi dan organisasi P3A/GP3A/IP3A di tingkat daerah irigasi. Peranan kelembagaan irigasi sangat diperlukan dalam kelancaran aktivitas keirigasian, namun masih banyak ditemukan ketertiban administrasi yang masih rendah dan kepengurusan yang merangkap sehingga fungsi kelembagaan belum terlaksana secara optimal. Keterbatasan sumber pendanaan untuk kegiatan kelembagaan irigasi baik dari pemerintah maupun dari iuran masyarakat menyebabkan banyaknya program kegiatan yang tidak terlaksana dengan baik bahkan tidak dapat dilaksanakan sama sekali. Hal tersebut mengakibatkan kegiatan pengaturan irigasi yang menjadi tugas lembaga irigasi tidak dapat dilaksanakan dengan baik, ini terlihat dengan masih terjadinya distribusi air yang belum merata di sepanjang aliran sungai irigasi. Kelembagaan irigasi dan kelompok tani masih belum dapat bekerjasama dengan sinergis dalam penanganan kegiatan irigasi dan pertanian untuk meningkatkan produktifitas dan kesejahteraan masyarakat petani setempat. Sistem irigasi di Kabupaten Cianjur dikelompokkan menjadi 2 jenis yaitu: Daerah Irigasi Pemerintah, dan Daerah Irigasi Pedesaan. Umumnya irigasi pedesaan adalah irigasi semi tekhnis dan sederhana. Beberapa permasalahan yang ada menyangkut manajemen dan kelembagaan pengelolaan sistem Jaringan Irigasi di Kabupaten Cianjur secara umum diidentifikasi antara lain sebagai berikut : (1) Sungai Citarum berada di perbatasan dan merupakan perbatasan antara Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung. Luas DAS 70% berada di Kabupaten Bandung. Pada saat ini di hulu bendung Citarum di wilayah Kabupaten Bandung terdapat bendung permanen untuk mengairi sawah yang berada di Kabupaten Bandung sehingga hal ini dapat berdampak pada berkurangnya pasokan air untuk Kabupaten Cianjur terutama pada saat musim kemarau. (2) Mengingat Waduk Cirata pengelolaannya berada dibawah pengawasan langsung Pemerintah Pusat dalam hal ini PJT II dan PLN, sehingga sampai saat ini belum dapat dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah Kabupaten Cianjur. Untuk itu diperlukan peran aktif dari Pemerintah Kabupaten Cianjur untuk menindaklanjuti berbagai kemungkinan dan
96
kesepakatan dengan Pemerintah Pusat mengenai pemanfaatan sumber air dari Waduk Cirata. (3) Sehubungan
dengan
adanya
Undang
–
Undang
No.
32
tentang
Pemerintahan Daerah, sehingga menimbulkan kurang adanya kejelasan dalam hal penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi di Kabupaten Cianjur khususnya di wilayah PJT II Seksi Cianjur kepada Pemerintah Kabupaten Cianjur. (4) Belum terkoordinasinya antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten, sehubungan dengan terbitnya UU No 7 tahun 2004 tentang sumber daya air. Terutama dalam hal pengaturan kewenangan terhadap pengelolaan daerah irigasi. Perlu dipertegas mengenai hak dan kewajiban yang diemban baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam hal manajemen dan pengelolaan Daerah Irigasi yang terdapat di Kabupaten Cianjur,sehingga seluruh daerah Irigasi dapat dikelola dan direncanakan dengan matang dan memperoleh hasil yang berdaya guna dalam mendukung sektor pertanian di Kabupaten Cianjur. (5) Dalam skala provinsi dan lokal, terdapat beberapa kelengkapan dan institusi yang mengelola irigasi yang belum terintegrasi sehingga mengakibatkan adanya tumpang tindih antar berbagai peraturan yang mengatur tentang penanganan
irigasi,baik
antara
dinas/instansi
terkait
pada
tingkat
Kabupaten, juga pada tingkat masyarakat pengguna dan pengelola air. Di satu sisi, tingkat pemahaman dan pengetahuan petani pemakai air masih relatif rendah. Salah satu indikator yang berpengaruh adalahkurang maksimalnya pembinaan kepada para petani pemakai air. (6) Keberadaan P3A pada petak tersier di DI Teknis Pemerintah sangat diperlukan dengan tujuan agar pembagian air dapat diatur dengan tertib dan merata. Selain itu operasi pemeliharaannya oleh gabungan P3A Mitra Cai pada berbagai tingkatan (tersier, sekunder dan primer) diharapkan dapat meminimalisasi beban pemerintah dalam pengelolaan jaringan irigasi. Namun dalam kenyataannya kondisi kemampuan tekhnis dan pendanaan P3A Mitra Cai dan Gabungannya belum mampu untuk mengelola semua kegiatan organisasi secara keseluruhan sehingga dalam prakteknya bisa menjadi beban untuk pemerintah, dan pemerintah harus membantu memberdayakannya.
97
4.5. Aspek Teknis Keberadaan prasarana irigasi sangat berpengaruh besar terhadap daerah pertanian khususnya daerah pertanian tanaman pangan. Pengaruh ini terutama akan berdampak terhadap produksi yang dihasilkan. Pemanfaatan sungai-sungai besar di Kabupaten Cianjur (khususnya untuk irigasi) masih belum maksimal. Berdasarkan data Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pertambangan (Dinas PSDAP) dalam laporan tahunan kegiatan tahun anggaran 2006, daerah irigasi yang terdapat di Kabupaten Cianjur dikelompokan menjadi 6 cabang, yaitu Cabang Cianjur, Cabang Cibebet, Cabang Ciranjang, Cabang Pacet, Cabang Sukanagara dan Cabang Sindangbarang. Berdasarkan data areal daerah irigasi pemerintah yang mengacu pada klasifikasi tingkat jaringan irigasi Provinsi Jawa Barat, sistem prasarana irigasi di Kabupaten Cianjur meliputi 7 wilayah daerah irigasi dengan cakupan areal potensial yang bersifat teknis seluas 23,800 ha areal fungsional seluas 23,469 ha. Daerah irigasi dibawah pembinaan Dinas Pengelola Sumber Daya Air dan Pertambangan (Dinas PSDAP) Kabupaten Cianjur merupakan daerah irigasi yang memiliki wilayah pelayanan terbesar (baik area potensial maupun area fungsional) yang mencapai 31% (area potensial) dan 30 % (area fungsional). Pada daerah irigasi Cianjur wilayah pelayanan terbesar untuk areal potensial terdapat di daerah Cimentang dan Ciheulang, masing-masing mampu melayani areal seluas 1,636 ha dan 1,512 ha (area potensial) serta 1,519 ha dan 1,511 ha area fungsional. Daerah irigasi dibawah koordinasi Dinas Pengelola Sumber Daya Air dan Pertambangan Cabang Sukanagara merupakan cabang yang memiliki daerah irigasi paling sedikit, yaitu memiliki cakupan wilayah seluas 2,102 ha (9%). Daerah irigasi Sukanagara ini terbagi menjadi 3 daerah irigasi, yaitu Leuwi Sodong, Cikawung dan Cimanggu Kanan.
Pada cabang dinas lain masing-
masing memiliki 2 - 4 daerah irigasi dengan luas areal yang bervariatif. Dari seluruh cabang dinas daerah irigasi yang terdapat di Kabupaten Cianjur tidak ada yang melayani areal semi teknis dan sederhana baik untuk areal potensial maupun fungsional. Daerah irigasi yang terdapat di Kabupaten Cianjur dapat dikelompokan menjadi 3 kategori, yaitu :
98
(1) Daerah irigasi yang dikelola oleh Pusat; terdiri dari 1 daerah irigasi, yaitu daerah irigasi Cihea. (2) Daerah irigasi yang dikelola oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat; terdiri dari 6 daerah irigasi, yaitu Cipadang/cibeleng, Susukan Gede, Ciheulang, Cibalagung dan Cimenteng. (3) Daerah irigasi Pemerintah Kabupaten Cianjur; terdiri dari 15 daerah irigasi, yaitu Cilimut/Pasir Kerud, Cimanggu, Cikawung, Leuwi Sodong, Ciraden Cibalu, Cinangka, Nagrog, Ciraden/Leuwi Lengsir, Leuwi Bokor, Leuwi Jubleg,
Cianjur
Leutik,
Cijampang,
Gunung
Nanjung/Rawa
Peuti,
Cipanyusahan/Citalib serta Cisalak/Batusahulu. Apabila dilihat dari jumlah sarana dan prasarana irigasi menunjukkan bahwa dari jenis dan jumlah bangunan irigasi pada daerah Irigasi di Kabupaten Cianjur, maka DI Ciraden/Cibalu merupakan daerah irigasi yang mempunyai jumlah bangunan irigasi terbanyak, yaitu sekitar 13%, sedangkan DI Cimanggu Kanan merupakan daerah irigasi yang mempunyai jumlah bangunan irigasi paling sedikit, yaitu sekitar 2%. Secara umum klasifikasi kondisi fisik sarana dan prasarana jaringan irigasi tersebut dibedakan menjadi 4 kategori yaitu baik, sedang, rusak dan rusak berat. Kondisi fisik dibedakan menjadi 2 bagian yaitu kondisi fisik saluran atau bangunan dan kondisi fisik pintu air (dengan 20 jenis/item bangunan). Menurut
pola
induk
perencanaan
dan
penyusunan
program
pembangunan pengairan Kabupaten Cianjur, kondisi baik dan sedang tergolong dalam jaringan pengairan mantap. Kondisi ini hanya memerlukan pekerjaan perbaikan ringan serta kegiatan operasi dan pemeliharan yang bersifat rutin. Sedangkan tingkat teknis kefungsian pelayanan jaringan (berfungsi baik, kurang berfungsi dan tidak berfungsi) digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan urutan prioritas pekerjaan. Selanjutnya kondisi rusak/rusak berat tergolong jaringan pengairan tidak mantap. Kondisi fisik jaringan pengairan ini sangat memerlukan pekerjaan perbaikan berat (rehabilitasi/perbaikan berat, peningkatan konstruksi) dan kegiatan operasi dan pemeliharan yang bersifat rutin. Secara prinsip jaringan pengairan yang tidak mantap (rusak/rusak berat) dengan kefungsiannya yang rendah merupakan masalah prioritas perlu mendapat perhatian khusus untuk
99
diperbaiki. Dari daerah irigasi yang ada, kondisi fisik dan kefungsian jaringan irigasi wewenang Kabupaten Cianjur adalah sebagai berikut : (1) Bangunan tetap dengan kondisi baik terdapat 6 buah, 21 buah dengan kondisi rusak ringan serta 3 buah berada pada kondisi rusak berat. Pintu air yang berada pada bangunan tetap berjumlah 43 buah, dengan rincian 10 buah dalam kondisi baik, 16 buah dalam kondisi sedang, 7 buah dalam kondisi rusak serta 19 buah dalam kondisi rusak berat, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 18. Tabel 18 Kondisi saluran irigasi dan bangunan utama jaringan irigasi
Daerah Irigasi Pusat Provinsi Kabupaten
Luas (ha) 5,484 7,852 10,732
Saluran Induk (km) Baik RR RB 15,506 12,250 4,750 29,043 21,900 15,599 28,503 33,791 26,850
Saluran Sekunder (km) Bangunan Utama (buah) Baik RR RB Baik RR RB 13,531 20,500 7,500 2 8,500 8,800 5,100 3 4 42,072 51,292 23,560 3 15 3
(2) Bangunan bagi terdiri dari 15 buah dengan rincian 9 buah berada dalam kondisi baik, 4 buah dalam kondisi sedang, serta 2 buah dalam kondisi rusak. Sedangkan pintu air yang ada pada bangunan bagi terdapat 44 buah, dengan rincian 13 buah berada dalam kondisi baik, 4 buah dalam kondisi sedang, 2 buah dalam kondisi rusak, serta 25 buah dalam kondisi rusak berat. (3) Bangunan ukur yang ada berjumlah 26 buah dengan rincian 16 buah berada dalam kondisi yang baik, 9 buah berada dalam kondisi yang sedang, serta 1 buah berada dalam kondisi yang rusak. Secara umum kondisi bangunan ukur masih relatif baik dan berfungsi untuk mengukur debit air yang masuk dari sumbernya ke jaringan irigasi yang ada di Kabupaten Cianjur. (4) Bangunan sadap yang ada berjumlah 272 buah, dengan rincian 112 buah berada dalam kondisi baik, 83 buah buah dalam kondisi sedang, 52 buah berada dalam kondisi rusak serta 25 buah dalam kondisi rusak berat. Sedangkan pintu air yang terdapat pada daerah irigasi yang ada berjumlah 226 buah, dengan rincian 114 buah berada dalam kondisi baik, 71 buah berada dalam kondisi sedang, 42 buah berada dalam kondisi rusak, serta 39 buah berada dalam kondisi rusak berat. Gambaran tingkat kondisi fisik dan kefungsian jaringan irigasi, khususnya pada lokasi DI sampel di Kabupaten Cianjur menunjukkan indikasi cukup banyak
100
jaringan irigasi berada dalam kondisi yang rusak, yaitu mencapai diantara sebesar 25 – 90% dengan rata-rata kerusakan mencapai sebesar 60%. Namun demikian tingkat kefungsiannya masih berjalan, walaupun kurang optimal kapasitasnya sebagai media dalam mengalirkan air yang dibutuhkan oleh tanaman pada setiap petak tersier. Kondisi kerusakan paling tinggi ditemukan pada
DI Leuwi
Bokor
(90%), sedangkan
terendah terdapat pada
DI
Cisalak/Batusahulu. Gambaran lebih jelas mengenai tingkat kerusakan jaringan irigasi pada 10 (sepuluh) lokasi jaringan irigasi sampel di Kabupaten Cianjur dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kondisi jaringan irigasi pada lokasi daerah irigasi (DI ) sampel di Kabupaten Cianjur
Daerah Irigasi Cihea Susukan Gede Ciheulang Cipadang Cibeleng Leuwi Bokor Ciraden Leuwi Leungsir Cilumut Pasir Kerud Nagrog Cikawung Cisalak/Batusahulu Jumlah
Luas (ha) 5,461 1,050 1,320 1,290 263 401 676 409 386 393 11,649
Tingkat Kerusakan (%) 70 70 30 70 90 40 80 50 70 25 60 (rata-rata)
Sumber: Hasil olahan data primer tahun 2007
Fungsi jaringan irigasi menjadi sedemikian vital dalam mengamankan jalannya air dari sumber air menuju petakan areal pertanian. Semakin baik dan berfungsinya jaringan irigasi, maka dapat memberikan kontribusi positif terhadap pemanfaatan air untuk tanaman secara optimal. Beberapa permasalahan yang ditemukan terkait dengan aspek teknik irigasi adalah kondisi jaringan irigasi baik bangunan maupun saluran irigasi mempunyai tingkat kerusakan yang cukup serius (25%-90%) dengan rata-rata kerusakan jaringan irigasi mencapai sebesar 60%. Beberapa penyebab kerusakan antara lain karena banjir, pendangkalan atau sedimentasi yang cukup tinggi baik di saluran irigasi maupun sumber air sehingga terjadi penyempitan badan sungai, sampah hasil limbah rumah tangga menghambat aliran air menuju petak, penggunaan badan saluran irigasi (lining) untuk pemanfaatan bangunan dan pemanfaatan lainnya masih ada disetiap jaringan irigasi serta pengamanan bangunan dan saluran irigasi yang masih
101
belum optimal dengan indikasi terjadinya kehilangan bagian bangunan irigasi dan kerusakan lining. Kerusakan
jaringan
irigasi
tersebut
secara
keseluruhan
dapat
mempengaruhi aliran air dari sumbernya menuju petak tersier. Apabila kondisi jaringan irigasi mengalami kerusakan tentunya akan terjadi kehilangan air di jaringan irigasi yang pada gilirannya akan menimbulkan kekurangan air bagi pertumbuhan tanaman. Hal ini terutama terjadi pada musim tanam ke-2 dan musim tanam ke-3 sepanjang tahun.
Kerusakan jaringan irigasi antara lain
disebabkan sebagian besar oleh rendahnya aktivitas kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi.
Variasi kegiatan operasi, pemeliharaan, dan
rehabilitasi jaringan irigasi sangat ditentukan oleh pembiayaan irigasi. Kondisi tersebut terjadi di Kabupaten Cianjur yang memperlihatkan kondisi kerusukan jaringan irigasi antara lain disebabkan rendahnya pendanaan operasi dan pemeliharaan irigasi, sebagaimana terlihat pada Gambar 21.
1,900,000
2,000,000
1,800,000
1,800,000 1,550,000
1,500,000
Rupiah
1,500,000 1,000,000 500,000 0 2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 21 Pendanaan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi Berdasarkan data yang tersaji pada Gambar 21 tersebut terlihat bahwa sejak tahun 2003 alokasi dana untuk kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi hanya mencapai sebesar 1,500,000,000.00. Sedangkan pada tahun 2007 tersedia
dana
operasi
dan
pemeliharaan
jaringan
irigasi
1,550,000,000.00 untuk areal pertanian seluas 23,998 ha.
sebesar
Rp
Dengan demikian
dana rata-rata untuk kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi hanya mencapai sebesar Rp 65,000 per hektar. Jumlah anggaran tersebut masih jauh lebih sedikit dari kebutuhan kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi
102
yang rata-ratanya sebesar Rp 160,000 per hektar. Relatif terbatasnya anggaran kegiatan untuk operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi menyebabkan banyak jaringan irigasi berada dalam kondisi yang rusak. Kondisi demikian juga terlihat dari terbatasnya anggaran untuk rehabilitasi jaringan irigasi. Kebutuhan anggaran untuk kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi seluas 23,998 ha seyogyanya adalah sebesar Rp 35.997.000.000 atau Rp. 1,500,000 per hektar. Namun demikian yang terjadi adalah untuk penganggaran tahun 2007 saja dialokasikan sebesar Rp 1.104.613.000 atau hanya sebesar Rp 46,000 per hektar. Pada sisi lain juga anggaran tersebut hanya mampu diserap sebanyak 80.89%.
Kondisi demikian tentunya sangat ironis dengan kondisi
kabupaten Cianjur sebagai daerah agraris yang cukup didukung potensi sumber daya air yang memadai. Keterbatasan anggaran kegiatan baik pada tingkat operasi, pemeliharaan maupun rehabilitasi jaringan irigasi tentunya akan sejalan dengan terbatasnya program kegiatan yang dikembangkan. Dalam keadaan seperti ini maka kondisi jaringan irigasi di Kabupaten Cianjur cukup memprihatinkan dengan tingkat kerusakan rata-rata mencapai 60%.
Apabila hal ini dibiarkan tanpa ada
mekanisme pengelolaan jaringan irigasi yang jelas, maka kerusakan pada masa mendatang akan lebih parah lagi, serta dikhawatirkan jaringan irigasi yang ada tersebut sudah tidak optimal lagi dalam menampung air dan memasukan air dari sumbernya ke jaringan irigasi dan mengalirkannya melalui saluran irigasi kepada petak tersier sesuai dengan kebutuhan air tanaman di sektor pertanian.
V. ANALISA KEBIJAKAN 5.1.
Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Irigasi Kebijakan pengelolaan irigasi di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan
pengairan
yang
sudah
dimulai
sejak
Zaman
Hindia
Belanda
dengan
diterbitkannya Algemeene Water Reglement pada tahun 1936 (AWR 1936) dan disusul dengan Algemeene Water Beheersverordening pada tahun 1937 (AWB 1937) serta Provinciale Water Reglement pada tahun 1940, khususnya di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat.
Pada periode pasca kemerdekaan
ketentuan-ketentuan perundang-undangan tersebut masih diberlakukan sesuai dengan aturan peralihan UUD 1945 (Dikun, 2003). Pelaksanaan kebijakan pengairan pada masa kemerdekaan secara lebih nyata diawali sejak tahun 1968 – 1973 melalui program Pembangunan Lima Tahun Pertama (Pelita I). Prioritas kebijakan pada waktu itu adalah peningkatan produksi pangan, sehingga berimplikasi pada dukungan pengairan, khususnya irigasi yang diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang cepat menghasilkan (quick yielding) melalui rehabilitasi jaringan irigasi yang rusak. Selain itu juga dilakukan pembangunan jaringan irigasi baru di daerah prioritas, terutama di pusat-pusat produksi
beras.
Pada
masa
perundangan-undangan
yang
tersebut ditetapkan
belum
ada
untuk
kebijakan
mengatur
peraturan
pembangunan
pengairan dan keirigasian. Kebijakan pembangunan pengairan baru ditetapkan pada periode Pelita II (1973–1978)
dengan
orientasi
pembangunan
pengairan
ditujukan
untuk
menunjang usaha peningkatan produksi pangan, mengamankan daerah produksi pangan, menunjang pelaksanaan transmigrasi, dan menunjang perkembangan industri. Untuk mencapai hal tersebut ditetapkan Undang-Undang No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan sebagai wujud legal dari kebijakan umum di bidang pengairan, sekaligus acuan pembangunan pengairan termasuk di sektor irigasi. Apabila diperhatikan perkembangan kegiatan pembangunan pengairan sampai terbentuknya Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air secara umum terdapat 4 (empat) pendekatan dalam pengelolaan sektor sumber daya air dan irigasi, yaitu :
104
(1) Pendekatan investasi melalui pembangunan prasarana fisik jaringan irigasi (1960 – 1980); (2) Pendekatan pengendalian penawaran kebutuhan air (supply driven) melalui optimalisasi pemanfaatan (1980 – 1990); (3) Pendekatan partisipatif melalui pengenalan prinsip-prinsip partisipatif dalam pengelolaan irigasi (1990 – 1999); dan (4) Pendekatan
pemberdayaan
berbasis
partisipatif
melalui
penguatan
Kelembagaan Pengelolaan Irigasi (KPI) baik di tingkat pemerintahan daerah maupun lembaga masyarakat petani pemakai air (2000 – sekarang). Gambaran perkembangan kebijakan sumber daya air tersebut secara lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 22. 1936 - 1940 Zaman Hindia Belanda
Algemeene Water Reglement (1936)
1970 - 1980 Pendekatan Pembangunan Jaringan Irigasi
UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan
1980 - 1990 Pendekatan Supply Driven
1990 - 2000 Pendekatan Partisipatif
- UU No. 12/1992 tentang Budidaya Tanaman - UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
Algemeene Water Beheersverordening (1937)
Provinciale Water Reglement (1940)
- PP No. 6 Tahun 1981 tentang Iuran OP Prasarana Pengairan - PP No. 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air - PP No. 23 Tahun 1982 tentang Irigasi - PP No. 3 Tahun 1990 tentang Tata Pengaturan Air - Inpres No. 2 Tahun 1984 tentang Pembinaan P3A - KepPres No. 33 Tahun 1990 tentang Larangan Lahan Beririgasi Teknis untuk Industri
- Inpres No. 3/1999 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi (PKPI)
- Keputusan Bersama Menteri KPKM, Menteri PU, Menteri Pertanian, dan Mendagri No. 06/SK/M/V/1999, No. 560/KPTS/150/V/1999, dan No. 44 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan P3A melalui Koperasi
2000 - sekarang Pendekatan Pemberdayaan Berbasis Partisipatif
- UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah - UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air
- PP No. 77/2001 tentang Irigasi - KepPres No. 123/2001 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Air sebagaimana telah diubah dengan KepPres No. 83/2002. - PP No. 20/2006 tentang Irigasi
- KepMen. Kimpraswil No. 529/KPTS/M/ 2001 tentang Penyerahan Kewenangan Irigasi Kepada P3A - KepMendagri No. 50/2001 tentang Pedoman Pemberdayaan P3A - KepMendagri No. 22/2003 tentang Pedoman Pengaturan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab LPI - KepMen Keuangan No.298/KMK.02/ 2003 tentang Pedoman penyediaan DPIK - PerMen PU No.30/PRT/M/2007 tentang Pedoman PPSIP - PerMen PU No.31/PRT/M/2007 tentang Pedoman Mengenai Komisi Irigasi - PerMen PU No.32/PRT/M/2007 tentang Pedoman O&P Jaringan Irigasi - PerMen PU No.33/PRT/M/2007 tentang Pedoman Pemberdayaan P3A/GP3A/ IP3A
Gambar 22 Perkembangan kebijakan pengelolaan irigasi
105
Kebijakan pengelolaan irigasi pada periode tahun 1970 - 1980 menitikberatkan prioritas kegiatannya melalui pendekatan pembangunan sarana dan prasarana jaringan irigasi. Prioritas pembangunan seperti ini memberikan konsekuensi
terhadap
kebijakan
pengelolaan
irigasi
yang
dilaksanakan
berdasarkan administrasi pemerintah yang terpusat dengan alasan karena kemampuan teknis yang terbatas. Pada periode tersebut dilaksanakan pembangunan jaringan irigasi baik berskala kecil maupun dengan skala besar. Hal yang sangat mendasar dari periode tersebut adalah pembentukan perundangan-undangan yang pertama di Indonesia dalam pengaturan pengairan melalui penetapan Undang-Undang No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan. Pada periode 1980–1990, pengelolaan irigasi dilaksanakan melalui pendekatan kendali penawaran atas kebutuhan air (supply driven approach). Pendekatan tersebut merupakan masa optimalisasi pemanfaatan sumber daya air secara besar-besaran untuk berbagai kebutuhan.
Namun demikian, sisi
lainnya dilupakan yaitu pemeliharaan dan batas-batas lingkungan sehingga mengakibatkan terabaikannya pemeliharaan prasaran sumber daya air serta pemanfaatan sumber daya yang tidak berwawasan lingkungan. Akibat lainnya yang ditimbulkan adalah banyak infrastruktur sumber daya air dan irigasi yang mengalami kerusakan dan penurunan fungsinya.
Kebijakan yang ditetapkan
pada masa tersebut adalah: (1) Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 1981 tentang Iuran Pembiayaan Eksploitasi dan Pemeliharaan Prasarana Pengairan; (2) PP No. 22 tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air; (3) PP No. 23 tahun 1982 tentang Irigasi; (4) Inpres No. 2 tahun 1984 tentang Pembinaan P3A; (5) PP No. 3 tahun 1990 tentang Tata Pengaturan Air; dan (6) Keputusan Presiden No. 33 tahun 1990 tentang Larangan Lahan Beririgasi Teknis untuk Industri. Beberapa peraturan tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan dan menjadi pedoman bagi pembangunan serta pengelolaan pengairan, termasuk pengelolaan irigasi dan pemberdayaan
106
kelembagaan pengelolaan irigasi. Pada periode 1990–2000, pengelolaan irigasi mengalami masa yang sangat bersejarah bagi proses pengelolaan irigasi yang didasarkan pada sendi-sendi partisipatif. Masa ini juga ditandai oleh kejadian krisis moneter pada tahun 1997 dimana dampaknya terhadap pembangunan menjadi sangat luas termasuk terbatasnya anggaran untuk pembiayaan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi. Periode partisipatif menjadi agenda utama untuk mengimbangi pergeseran paradigma pembangunan yang lebih condong ke industri. Hal ini didasarkan pada arah pembangunan nasional untuk mencapai industri yang maju didukung oleh pertanian yang tangguh. Konsekuensi logis pada kebijakan pembangunan pengairan tentunya mengikuti kedua sektor tersebut secara seimbang, yaitu menyokong kebutuhan sumber daya air untuk sektor industri dan pertanian. Beberapa kebijakan yang ditetapkan pada masa pendekatan partisipatif tersebut adalah sebagai berikut: (1) Undang-Undang No. 12 tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman; (2) Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; (3) Instruksi Presiden No. 3 tahun 1999 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi; (4) Keputusan Bersama Menteri Koperasi Pengusaha Kecil dan Menengah, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Pertanian, dan Menteri Dalam Negeri No. 06/SK/M/V/1999, No. 560/KPTS/150/V/1999, dan No. 44 tahun 1999 tentang Pemberdayaan P3A melalui Koperasi. Pada periode 2000–sekarang, pengelolaan irigasi dikembangkan dengan menggunakan pendekatan pemberdayaan berbasis partisipasi masyarakat petani pemakai air. Pemberdayaan dilaksanakan melalui penguatan Kelembagaan Pengelolaan Irigasi (KPI) baik di tingkat pemerintahan daerah maupun masyarakat petani pemakai air. Secara umum pada periode ini ditandai dengan berbagai keputusan penetapan kebijakan yang sarat dengan muatan reformasi. Kebijakan pengelolaan irigasi dengan format baru tersebut disajikan dalam program Pengembangan dan Pengelolaan Sistim Irigasi Partisipatif (PPSIP). Beberapa kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang sudah ditetapkan pada periode ini adalah sebagai berikut:
107
(1) Undang-Undang (UU) No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; (2) UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; (3) PP No. 77 tahun 2001 tentang Irigasi; (4) Keputusan Presiden No. 123 tahun 2001 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Air sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden No. 83 tahun 2002; (5) PP No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi; (6) Keputusan
Menteri
529/KPTS/M/2001
Permukiman
tentang
dan
Penyerahan
Prasarana Kewenangan
Wilayah Irigasi
No.
kepada
Perkumpulam Petani Pemakai Air; (7) Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 50 tahun 2001 tentang Pedoman Pemberdayaan Perkumpulam Petani Pemakai Air; (8) Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 22 tahun 2003 tentang Pedoman Pengaturan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Lembaga Pengelola Irigasi; (9) Keputusan Menteri Keuangan No. 298/KMK.02/2003 tentang Pedoman Penyediaan Dana Pengelolaan Irigasi Kabupaten; (10) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 30/PRT/M/2007 tentang Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Sistim Irigasi Partisipatif; (11) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 31/PRT/M/2007 tentang Pedoman Mengenai Komisi Irigasi; (12) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 32/PRT/M/2007 tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi; dan (13) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 33/PRT/M/2007 tentang Pedoman Pemberdayaan Organisasi P3A/GP3A/IP3A. Sedikitnya terdapat 2 (dua) tujuan khusus yang ingin dicapai dari program pengelolaan sumber daya air, yaitu sebagai berikut : (1) tujuan pertama adalah untuk meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air dan operasi serta pemeliharaan jaringan irigasi, dengan merubah peran Pemerintah dari fully provider terhadap barang dan jasa menjadi enabler bagi masyarakat
108
untuk dapat memobilisasi kapasitas mereka sendiri dalam menyelesaikan masalah-masalah sebagai wujud perubahan peran masyarakat dari recipient menjadi participation; dan (2) tujuan yang kedua adalah desentralisasi
dari
kewenangan Pemerintah dan pendanaan kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten, yang ditetapkan dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan UndangUndang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Rangkaian perkembangan kebijakan pengelolaan sumber daya air dan irigasi pada sisi lain juga menampakan berbagai permasalahan dan tantangan pembangunan yang dihadapi pemerintah saat ini seperti kualitas sumber daya manusia yang pada umumnya masih rendah mempengaruhi kemampuan dalam mengelola sumber daya air. Kondisi pelayanan dan penyediaan infrastruktur mengalami penurunan kuantitas dan kualitas yang akan mempengaruhi perbaikan kesejahteraan rakyat serta kesenjangan pembangunan antar daerah masih menunjukkan fakta yang signifikan. Perjalanan sejarah penguatan kelembagaan dalam rangkaian gerbong reformasi sumber daya air dan irigasi tersebut belum merefleksikan secara tepat terjadinya
perubahan
yang
diharapkan.
Keterkaitan
proses
penguatan
kelembagaan pengelolaan irigasi dengan kebijakan pengelolaan sumber daya air dan irigasi memegang peranan penting dalam menggambarkan segala macam tuntutan dan harapan dari perubahan kebijakan pengelolaan sumber daya air. Pentingnya peran irigasi tersebut antara lain terlihat dari investasi yang telah ditanamkan dalam pengembangan dan pembangunan infrastruktur sumber daya air yang menduduki peringkat pertama selama tahun 1989/1990 sampai dengan tahun anggaran 2003, yaitu sebesar 78.92 persen, sedangkan lainnya untuk infrastruktur bendungan, bendung karet, embung (18.32%), pengendalian banjir dan pengamanan pantai (2.66%) dan untuk air baku hanya sebesar 0.1 persen sebagaimana terlihat pada Gambar 23.
109
0.1%
l 18.32%
2.66%
78.92%
Irigasi bendungan, bendung karet, embung Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Air Baku
Gambar 23 Pembangunan infrastruktur prasarana sumber daya air 5.2.
Penataan Ruang Wilayah Dalam rangka melaksanakan kegiatan pembangunan daerah, telah
diupayakan adanya keterpaduan pembangunan sektoral dan wilayah/daerah. Wujud operasionalnya secara terpadu diselenggarakan melalui pendekatan wilayah yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang komprehensif dan bersinergi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Propinsi. Penataan ruang wilayah diatur melalui Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1997 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang didalamnya terdapat dua hal penting dalam pengembangan daerah Kabupaten Cianjur yaitu penetapan kawasan andalan dan sistem pusat-pusat permukiman perkotaan. Kawasan andalan yang berkenaan dengan Kabupaten Cianjur adalah kawasan Bogor Puncak dan Cianjur (Bopunjur) dan sekitarnya, dengan sektor unggulan kawasan ini adalah pertanian tanaman pangan dan pariwisata. Simpul atau pusat-pusat yang dikemukakan dalam kawasan ini adalah Bogor sebagai
110
PKW (Pusat Kegiatan Wilayah) dan pusat-pusat lainnya sebagai PKL (Pusat Kegiatan Lokal), diantaranya yang terletak di Kabupaten Cianjur yaitu Cianjur, Cipanas, Ciranjang dan Pacet. Rencana tata ruang wilayah Kabupaten Cianjur ditetapkan oleh Bupati Cianjur pada tahun 2005 dan berlaku selama sepuluh tahun atau sampai tahun 2015. Rencana tata ruang tersebut harus selaras dengan RTRW provinsi dan nasional. Oleh karena itu, penetapan RTRW Kabupaten Cianjur kemudian dikaji lagi dalam RTRW Provinsi Jawa Barat 2010 yang menyatakan bahwa pada prinsipnya kawasan andalan yang terkait dengan Kabupaten Cianjur ini adalah kawasan andalan Bopunjur dan sekitarnya. Namun pada penetapan sistem kotakota, ternyata kemudian ditetapkan bahwa simpul/kota Cianjur merupakan PKW (Pusat Kegiatan Wilayah), sehingga kawasan wilayah andalan Bopunjur menjadi memiliki dua pusat yaitu Bogor dan Cianjur sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), atau Cianjur sebagai pusat Bopunjur karena Bogor telah menyatu dalam Jabodetabek sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Adapun kebijakan dasar RTRW Kabupaten Cianjur meliputi : (1) Penataan ruang wilayah dilakukan berdasarkan fungsi utama kawasan yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya. (2) Penataan ruang berdasarkan aspek administrasi yang meliputi seluruh wilayah administratif Kabupaten Cianjur. (3) Penataan ruang wilayah Kabupaten Cianjur, mencakup dimensi penataan ruang daratan, penataan ruang udara, penataan ruang perairan, sampai batas-batas tertentu sesuai yang diatur dengan peraturan perundangundangan. (4) Penataan ruang wilayah kabupaten Cianjur diselenggarakan sebagai bagian integral dari kebijaksanaan penataan ruang nasional dan provinsi. (5) Penataan ruang Kabupaten Cianjur dilakukan dengan pertimbangan perwujudan visi dan misi pembangunan Kabupaten Cianjur, serta hambatan dan tantangan yang ada, baik dari internal maupun eksternal wilayah Kabupaten Cianjur.
111
(6) Kebijakan penataan ruang kawasan tertentu diselenggarakan untuk mengembangkan tata ruang kawasan strategis yang diprioritaskan dalam rangka penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten, meningkatkan fungsi kawasan lindung dan budidaya, dan mengatur pemanfaatan ruang guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. (7) Kebijakan kawasan tertentu, tertuju pada upaya penataan dan pengelolaan kawasan andalan, kawasan kritis lingkungan, kawasan sangat tertinggal, kawasan pertahanan dan keamanan, yang pengelolaan kawasan tertentu dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (8) Dokumen RTRW, digunakan untuk kepentingan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam kurun waktu 10 tahun kedepan terhitung sejak disyahkannya dokumen RTRW ini dapat ditinjau dan direvisi kembali bila dipandang tidak dapat mengakomodasi perkembangan yang terjadi atau apabila terjadi perubahan oleh kebijakan pembangunan yang lebih tinggi. (9) Dalam keberhasilan proses penataan ruang (perencanaan pemanfaatan dan
pengendalian)
dilakukan
dengan
pendekatan
partisipatif
yang
melibatkan peranserta aktif komponen masyarakat. Secara umum kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten Cianjur meliputi
kebijakan
perencanaan
tata
ruang,
pemanfaatan
ruang,
dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam konteks kebijakan perencanaan tata ruang dilakukan dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundangundangan penataan ruang serta melalui pendekatan partisipatif. Tujuannya adalah mewujudkan rencana tata ruang sesuai dengan kaidah penataan ruang, sedangkan
sasarannya
adalah
meningkatnya
peran
kelembagaan
dan
peranserta masyarakat dalam perencanaan tata ruang. Konsep perencanaan tata ruang berlandaskan pada perkembangan isu-isu strategis wilayah, dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam mekanisme perumusan isu-isu strategis pengembangan wilayah dan perumusan kebijakankebijakan pembangunan yang dijadikan dasar untuk mengarahkan kebijakan RTRW sampai akhir tahun 2015.
Untuk menunjang hal tersebut diperlukan
112
partisipasi masyarakat meliputi pengisian program RTRW, konsistensi dalam hal pemanfaatan ruang sesuai dengan arahan RTRW, dan memahami serta turut terlibat dalam pengendalian dan pengawasan pemanfataan ruang sesuai dengan arahan RTRW. Rencana
tata
ruang
wilayah
dapat
ditinjau
kembali
dan
atau
disempurnakan bilamana RTRW tidak mampu lagi mengakomodasi dinamika perkembangan yang disebabkan oleh faktor eksternal dan atau internal. RTRW perlu ditindaklanjuti ke dalam rencana terperinci yang bertujuan untuk merinci arahan pemanfaatan ruang yang tertuang di dalam RTRW, sedangkan sasarannya adalah tersusunnya rencana tata ruang kawasan andalan, tersusunnya rencana tata ruang kawasan perkotaan ibukota kecamatan dan tersusunnya rencana tata ruang teknis lainnya. Selain itu juga RTRW perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan petunjuk operasional RTRW yang ditetapkan oleh Bupati. Tujuannya adalah untuk mewujudkan RTRW Kabupaten Cianjur sebagai pedoman perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, sedangkan sasarannya adalah tersusunnya petunjuk operasional. Perencanaan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perwujudan visi dan misi pembangunan Kabupaten Cianjur, tantangan dan hambatan internal dan ekternal dan aspek pengelolaan dan keterbatasan sumberdaya. Pelaksanaan perencanaan tata ruang tersebut dalam konteks penelitian masih diperlukan penataan ulang dan peninjauan kembali. Hal ini terkait dengan keterpaduan perencanaan (integrated planning) yang masih belum padu antara perencanaan di daerah hulu dengan perencanaan di daerah hilir. Upaya tersebut perlu segera dilakukan melalui pengembangan sumber daya air yang terintegrasi dengan penyusunan rencana tata ruang yang terkoordinasi. Konservasi sumber daya air yang sangat terkait dengan perencanaan tata ruang perlu dikembangkan dengan memperhatikan adanya keterbatasan lingkungan dan meminimalkan dampak kekurangan dan kelebihan ketersediaan air di daerah hulu dan hilir. Implementasi untuk mengkoordinasikan penngelolaan sumber daya air dan irigasi dengan perencanaan tata ruang dalam prakteknya akan menghadapi tantangan yang cukup kompleks dan dinamis. Hal ini sangat tergantung pada
113
koordinasi
antardidiplin
dan
antarwilayah,
khususnya
dalam
pelibatan
masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan terkait dalam prosesnya. Pada sisi lain pembagian peran antara hulu dan hilir juga harus dipetakan secara jelas agar perencanaan terpadu yang diharapkan dapat berjalan secara tepat baik untuk pengelolaan sumber daya air di daerah hulu maupun pengelolaan irigasi di daerah hilir. Keterpaduan perencanaan tata ruang dalam pengelolaan sumberdaya air dan irigasi merupakan suatu proses koordinasi dalam perencanaan tata ruang untuk mengembangkan dan mengelola sumberdaya air, irigasi, dan lahan pertanian beririgasi serta sumberdaya lainnya dalam suatu kawasan di daerah hulu dan hilir untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan kesejahteraan sosial yang seimbang tanpa meninggalkan keberlanjutan ekosistem. Konsep ini adalah memfokuskan pada pengelolaan terpadu antara kepentingan bagian hulu dan kepentingan bagian hilir, pengelolaan terpadu antara kuantitas dan kualitas air, antara air tanah dan air permukaan, serta antara sumberdaya lahan dan sumberdaya air. Pada aspek kebijakan pemanfaatan ruang diarahkan untuk mewujudkan struktur tata ruang dan pola pemanfaatan ruang. Tujuan kebijakan struktur tata ruang wilayah Kabupaten Cianjur adalah: (1) mewujudkan visi dan misi pembangunan Kabupaten Cianjur, (2) menyelaraskan antara perkembangan penduduk dan kebutuhan kelengkapan sarana dan prasarana pada setiap wilayah, (3) mengoptimalkan keterbatasan ketersediaan sumberdaya yang ada, baik sumberdaya manusia, alam dan sumberdaya binaan, dan sumberdaya pembiayaan, (4) pemecahan persoalan pengembangan wilayah dan (5) mewujudkan aspirasi masyarakat. Struktur tata ruang Kabupaten Cianjur lebih diarahkan pada pengaturan dan pengendalian pusat kegiatan dan pelayanan di wilayah utara serta mengembangkan lebih pesat tetapi tetap terkendali (terkait pelestarian kawasan lindung) wilayah tengah dan selatan, serta pengembangan sistem prasarana wilayah difokuskan pada wilayah-wilayah yang didorong perkembangan yaitu pada wilayah bagian tengah dan selatan.
114
Dalam RTRW Provinsi Jawa Barat 2010 terdapat lima bahasan penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan wilayah Kabupaten Cianjur yaitu arahan pengembangan sistem kota-kota, arahan pengembangan infrastruktur wilayah, arahan pengembangan wilayah andalan, arahan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan arahan pemanfaatan ruang kawasan budidaya. Dalam arahan
pengembangan
kawasan
andalan,
dikemukakan
tentang
basis
pengembangan pada enam kegiatan utama (core business) ekonomi melalui penetapan 8 kawasan andalan. Salah satu kawasan andalan tersebut yang terkait dengan wilayah Kabupaten Cianjur adalah kawasan andalan BogorPuncak-Cianjur (Bopunjur) dan sekitarnya dengan sektor usaha unggulan adalah pertanian tanaman pangan, pariwisata, perkebunan dan perikanan darat. Pengembangan Bopunjur sebagai kawasan unggulan agribisnis dan pariwisata
dengan
memberdayakan
masyarakat
setempat
dan
tetap
mempertahankan fungsi konservasi bertujuan untuk meningkatkan potensi agribisnis
dan
agriwisata
sebagai
komoditas
andalan,
memberdayakan
masyarakat setempat untuk menunjang kegiatan agribisnis dan pariwisata dan mempertahankan kawasan Bopunjur sebagai kawasan konservasi. Adapun sasaran dari kegiatan pengembangan kawasan Bopunjur ini adalah (1) Tertatanya lahan peruntukan yang mendukung kegiatan agribisnis melalui inventarisasi lahan agribisnis dan menentukan jenis komoditi unggulannya (2) Meningkatnya mutu komoditas unggulan agribisnis melalui pelatihan SDM dan peningkatan teknologi budidaya dan pasca panen (3) Tertatanya lahan peruntukan yang mendukung kegiatan agribisnis melalui invetarisasi lahan agrowisata dan menentukan model agrowisata (4) Adanya kemitraan untuk menunjang kegiatan agribinis dan agrowisata antara masyarakat setempat dan investor melalui kemitraan usaha (modal) serta kemitraan teknologi dan produksi. (5) Meningkatkan
kualitas
sumberdaya
masyarakat
dalam
pengelolaan
agribisnis dan agrowisata melalui pelatihan-pelatihan (6) Dipertahankannya lahan-lahan konservasi melalui reboisasi, rehabilitasi lahan kritis dan konservasi sumberdaya alam
115
Arahan pemanfaatan ruang kawasan lindung yang terkait dengan wilayah Kabupaten Cianjur meliputi : (1) Hutan lindung merupakan kawasan yang karena keadaan sifat alamnya diperuntukkan guna pengaturan tata air, pencegahan bencana banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah. Penetapan kawasan hutan lindung di Kabupaten Cianjur seluas 18.702,11 ha yang tersebar dan terletak di DAS Cisadea, Cibuni dan Citarum. (2) Penetapan kawasan berfungsi lindung yang meliputi tanah negara bebas dengan ketinggian >1000 m dan kemiringan >40% yang berada di luar kawasan hutan berfungsi lindung dan perkebunan khususnya perkebunan negara yang berada di wilayah Kabupaten Cianjur terletak di DAS Cibuni, Cisadea, Cipondok, Cimaragang, Cilaki dan Citarum. Sedangkan kawasan perlindungan setempat yang terdapat di wilayah Kabupaten Cianjur meliputi sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar waduk dan situ, dan kawasan sekitar mata air, dengan lokasi yang relatif tersebar mengikuti keberadaan perairan atau badan air yang ada. (3) Kawasan cagar alam yang terdapat di Kabupaten Cianjur yaitu cagar alam Talaga Warna (Cianjur), cagar alam Talaga Warna (perluasan) yang berada antara Cianjur-Bogor, cagar alam Takokak (Cianjur), cagar alam Cadas Madang (Cianjur), cagar alam Bojong Larang Jayanti (Cianjur) dan cagar alam Gunung Simpang (Cianjur-Bandung). (4) Taman nasional adalah kawasan darat dan atau perairan yang ditunjuk relatif luas, tumbuhan dan atau satwa memiliki sifat spesifik dan endemik serta berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman
jenis
tumbuhan
dan
satwa
serta
pemanfaatan secara lestari sumberdaya hayati dan ekosistemnya, seperti Gede-Pangrango, Cianjur-Sukabumi-Bogor (5) Taman wisata alam meliputi kawasan daratan dan atau perairan yang ditunjuk mempunyai luas yang cukup dan lapangnya tidak membahayakan serta memiliki keadaan yang menarik dan indah baik terjadi secara alami atau buatan dan memenuhi kebutuhan rekreasi dan atau olahraga serta mudah untuk dijangkau, seperti taman wisata alam Jember (Cianjur)
116
(6) Perlindungan alam plasma nutfah yaitu kawasan diluar kawasan suaka alam dan pelestarian alam yang diperuntukkan bagi pengembangan dan pelestarian pemanfaatan plasma nutfah seperti taman bunga nusantara (Cianjur), kebun raya Cibodas (Cianjur) dan Ciogong (Cianjur) (7) Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan hádala kawasan yang merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia yang bernilai tinggi maupun bentukan geologi alami yang khas, seperti istana Cipanas , makam dalem Cikundul, situs megalitik Gunung Madang, situs megalitik Pasir Pogor, situs megalitik Bukit Tongtu, situs megalitik Bukit Kasur, situs megalitik Gunung Putri, situs megalitik Lemah Duhur, situs megalitik Pasir Manggu dan situs megalitik Kuta Pinggan (8) Kawasan rawan bencana alam meliputi rawan bencana alam gunung berapi, rawan gempa bumi, rawan gerakan tanah, rawan gelombang pasang dan banjir. Adapun kriteria dan pertimbangan rencana pemanfaatan dan pengelolaan kawasan lindung di Kabupaten Cianjur adalah : (1) Pengembangan kawasan lindung didasarkan pada Keppres 32/90 tentang pengelolaan kawasan lindung (2) Rencana pengelolaan kawasan lindung disusun agar masyarakat berperan aktif dalam pengawasan dan pengendalian kawasan lindung (3) Rencana
kawasan
lindung
yang
disusun
merupakan
alat
untuk
mengendalikan peruntukan kawasan lindung, membatasi dan mencegah penyimpangan
pemanfaatan
kawasan
lindung,
dan
mempermudah
perwujudan rencana pemanfaatan dan pengelolaan kawasan lindung yang sesuai dengan pemanfaatan ruang yang ditetapkan (4) Kawasan lindung berfungsi untuk menjaga siklus hidrologi (resapan air tanah) (5) Pengembangan kawasan lindung dapat berfungsi untuk menjaga limpasan air hujan (keseimbangan lingkungan), polusi (polusi udara, polusi air, polusi tanah dll)
117
(6) Pengembangan pemanasan
kawasan
global,
lindung
kekeringan,
mencegah banjir
bencana
akibat
alam,
penyempitan
erosi, dan
pendangkalan sungai (7) Pengembangan kawasan lindung meningkatkan dan menjaga kenyamanan, keindahan dan kesehatan lingkungan. Aspek bahasan penting lainnya adalah arahan pemanfaatan ruang kawasan budidaya. Kawasan budidaya yang diarahkan dalam RTRW Provinsi Jawa Barat 2010 adalah kawasan lahan basah (sawah). Pengembangan kawasan budidaya lahan sawah bertujuan menjamin ketersediaan produksi beras untuk swasembada beras Jawa Barat. Rencana pengembangan kawasan budidaya lahan sawah mencakup upaya mempertahankan fungsi lahan di kawasan pertanian lahan basah (sawah) terutama lahan sawah yang beririgasi teknis, meningkatkan produktivitas lahan sawah melalui upaya intensifikasi dan mengembangkan infrastruktur sumberdaya air dan jaringan irigasi. Selain kawasan budidaya lahan basah, dalam RTRW Provinsi Jawa Barat terdapat kawasan budidaya yang pengelolaannya ditetapkan berfungsi lindung yaitu sebagai kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya (diarahkan sebagai cadangan hutan lindung) yaitu kawasan hutan produksi dan perkebunan besar. Dengan kata lain kawasan hutan produksi dan perkebunan tersebut berfungsi ”ganda” yaitu sebagai potensi produksi sekaligus sebagai kawasan yang berfungsi lindung. Kriteria dan pertimbangan rencana pengelolaan kawasan budidaya di Kabupaten Cianjur adalah: (1) Pemanfaatan lahan dalam pengembangannya memperhatikan daya dukung lingkungan (kriteria keppres 32/90 dan 57/89) (2) Pemanfaatan lahan dalam pengembangannya memperhatikan ketersediaan dan perkembangan tenaga kerja (3) Pemanfaatan lahan dalam pengembangannya memperhatikan dukungan terhadap struktur tata ruang yang dikembangkan (4) Pemanfaatan lahan harus memperhatikan kesesuaian lahan. Beberapa kendala fisik dalam pengembangan kawasan budidaya di Kabupaten Cianjur yaitu terdapatnya kawasan rawan bencana, lahan kritis dan
118
resapan air. Wilayah Cianjur bagian selatan memiliki tingkat kerentanan yang tinggi untuk terjadinya gerakan tanah sehingga rawan terjadinya bencana alam dan erosi seperti di Kecamatan Cibinong ±13,098.60 ha (38.88% dari luas wilayahnya), Kecamatan Naringgul ±7,401.49 ha (30.36% dari luas wilayahnya), Kecamatan Kadupandak ± 6,633.53 ha (42.91% dari luas wilayahnya) dan yang paling mengkhawatirkan adalah Kecamatan Tanggeung karena lebih dari separuh wilayahnya (55.29%) atau 6,311 ha memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap gerakan tanah. Namun wilayah Cianjur bagian utara relatif aman dari rentan terhadap gerakan tanah. Dari hasil laporan projek inventarisasi dan identifikasi lahan kritis di Kabupaten Cianjur (Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah Kabupaten Cianjur, 2001) luas lahan kritis jumlahnya cukup besar yaitu sekitar 53,582.98 ha (15.30%) yang sebagian besar terdapat di Kabupaten Cianjur bagian selatan yaitu di Kecamatan Cibinong ±6,787 ha. Sedangkan dilihat dari kondisi sumberdaya air, baik itu air permukaan, air tanah maupun mata air Kabupaten Cianjur masih memiliki potensi sumber-sumber air tersebut. Untuk air permukaan adanya sungai Citarum, Cibeet, Cisokan dan Cikundul serta waduk Saguling. Untuk muka air tanah bebas bisa mencapai kedalaman 3-4 meter, akan tetapi pada zona lapukan bisa >10 meter. Kawasan yang potensial bagi resapan air di Kabupaten Cianjur berada di sekitar Kacamatan Cugenang dengan luasan sekitar 1,000.53 ha. Kebijakan pola pemanfaatan ruang di Kabupaten Cianjur merupakan hal penting yang memerlukan perhatian lebih besar dari pihak Pemerintah khususnya
Pemerintah
Daerah
Kabupaten
Cianjur,
mengingat
kondisi
ketersediaan air aliran mantap di Kabupaten Cainjur dan Provinsi Jawa Barat pada umumnya termasuk dalam kondisi kritis. Sehingga untuk masa selanjutnya dengan pertimbangan pertambahan penduduk Kabupaten Cianjur, maka diperlukan suatu pengaturan yang lebih baik lagi, terutama dalam menjaga ketersediaan air dan menjaga kualitas lahan yang ada melalui pengendalian terhadap pengembangan pemanfaatan ruang melalui optimalisasi luasan kawasan hutan lindung dan meminimalisasi luasan lahan kritis. Pengembangan program untuk mencapai luasan kawasan hutan lindung yang strategis adalah dengan mengoptimalkan gerakan kemitraan penyelamatan
119
air yang antara lain diupayakan melalui rehabilitasi hutan dan lahan serta konservasi sumber daya air, pengendalian daya rusak air, pengelolaan kualitas dan pencemaran air, dan pendayagunaan sumber daya air secara adil, efisien, dan berkelanjutan. Pada sisi lain upaya yang perlu dilakukan dalam menekan luasan lahan kritis adalah dengan melakukan rehabilitasi hutan dan lahan partisipatif dengan melibatkan kelompok masyarakat secara langsung dalam proses kegiatan tersebut. Berdasarkan pengalaman pelaksanaan kegiatan tahun 2005 dan 2006 telah dilaksanakan pembuatan persemaian, pengadaan bibit, pembuatan
DAM
penahan,
pembuatan
Gully
Plug;
penanaman
dan
pemeliharaan, penanaman bawah tegakan; perlindungan mata air; pembuatan sentra budidaya jamur; pembuatan sentra tanaman hias; agrosilvopastur; silvofishery. Selain itu juga telah dilakukan pelatihan petani, kegiatan kelompok, workshop dan bimbingan teknis. Upaya pemanfaatan penataan ruang hijau melalui perlindungan kawasan hutan dan penganganan lahan kritis harus memberikan manfaat sosial dan ekonomi pada masyarakat yang terlibat.
Hal ini agar dapat tercapai
keberlanjutan program sehingga kawasan hijau tetap tertata dengan baik dan lahan kritis semakin berkurang setiap tahunnya. Selain itu juga dalam rangka mengembalikan fungsi hidrologis serta menjaga kestabilan tanah dari erosi, pemanfaatan ruang masa datang lebih disesuaikan dengan kemampuan daya tampung wilayah yang sesuai dengan kemampuan daya dukung sumber daya alam yang tersedia. Oleh karena itu, salah satu kebijaksanaan yang ditetapkan adalah melakukan pengaturan pemanfaatan ruang khususnya mewujudkan fungsi kawasan lindung yang bertujuan mengurangi erosi dan menjaga ketersediaan air di Kabupaten Cianjur. Kebijakan penataan ruang lainnya adalah pengendalian pemanfaatan ruang.
Adapun tujuan pengendalian pemanfaatan ruang adalah menjaga
konsistensi pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan, sedangkan sasarannya kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten Cianjur
adalah
terminimalisirnya
penyimpangan
terhadap
RTRW
yang
dilaksanakan melalui pengawasan dan penertiban. Kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang meliputi (1) mengendalikan pemanfaatan ruang melalui pengawasan dan penertiban didasarkan kepada
120
RTRW, (2) menjadikan izin pemanfaatan ruang sebagai salah satu alat pengendalian pemanfaatan ruang dan merupakan kewenangan kabupaten, (3) memberikan sanksi baik sanksi administratif, sanksi perdata, sanksi pidana dan disinsentif pada pelaksanaan pembangunan baik perorangan, kelompok orang atau badan hukum yang melakukan pelanggaran penataan ruang yang mengakibatkan terhambatnya program pemanfaatan ruang dan terganggunya kepentingan umum, dan (4) penerapan pengawasan dilakukan dengan melibatkan partisipasi dari masyarakat setempat di lokasi kawasan, khususnya kawasan lindung yang berupa hutan. Dalam
pelaksanaan
kebijakan
tersebut,
koordinasi
pengendalian
pemanfaatan ruang dilakukan oleh tim koordinasi penataan ruang kabupaten Cianjur yang ditetapkan oleh Bupati. Untuk lebih meningkatkan perwujudan dan pengendalian kawasan dengan fungsi lindung, dapat dibentuk tim khusus pengendali kawasan lindung yang melibatkan masyarakat di wilayah kawasan lindung yang diwujudkan, diawasi, dan dikendalikan. Sejalan dengan perkembangan kebijakan, maka penataan ruang di Kabupaten Cianjur tersebut perlu dilakukan penyesuaian sejalan dengan Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Kebijakan penataan ruang tersebut merupakan pengembangan dari kebijakan sebelumnya
dengan
memadukan
keserasian
perencanaan
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
tata
ruang,
Pada prinsipnya
kebijakan tersebut merupakan pengembangan dari Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1997 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Hal yang cukup mendasar dari kebijakan baru tersebut adalah keterpaduan penggunaan beberapa sumberdaya. Hal ini ditegaskan bahwa salah satu tujuan penyelengaraan dari penataan ruang adalah keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia. Termasuk didalamnya mengenai pemanfaatan ruang kawasan budidaya, yaitu bentuk-bentuk pengaturan pemanfaatan ruang dikawasan budidaya dengan memperhatikan aspek sumber daya manusia.
121
5.3.
Komisi Irigasi Pengelolaan irigasi pada masa mendatang akan dihadapkan pada
permasalahan yang semakin kompleks dan tantangan yang semakin rumit. Beberapa permasalahan yang akan dihadapi pada masa mendatang antara lain adalah: (1) kondisi jaringan irigasi yang banyak mengalami kerusakan dan adanya ketidaksesuaian bangunan irigasi dengan pengembangan komoditas tertentu; (2) hubungan kelembagaan pengelolaan irigasi pada tingkat lokal masih bersifat sederhana, belum efektif dengan baik dalam upaya pengembangan potensi sistem irigasi; dan (3) semakin meningkatnya kebutuhan air bagi alokasi berbagai kepentingan, sementara pada sisi lain ketersediaan air semakin terbatas. Selain ketiga masalah tersebut Yasin dan Bakce (2000) menjelaskan bahwa dalam pengelolaan irigasi di Indonesia dihadapkan pada masalah: (1) peran serta masyarakat pemakai air belum optimal; (2) pembagian wewenang pengelolaan antara sektoral baik horizontal maupun vertikal tidak dirumuskan dengan jelas; (3) belum mampu mengadaptasi pemanfaatan air untuk kegiatan pertanian dan nonpertanian; (4) personil yang terlibat dalam pengelolaan tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk menyelesaikan masalah irigasi setempat dan umpan balik yang cukup bagi peningkatan kemampuan manajerial; (5) pada beberapa lokasi tidak ada wewenang yang utuh untuk menangani seluruh sistem sejak dari sumber air utama sampai arwal terakhir yang memanfaatkan irigasi; dan (6) pengelolaan irigasi yang ada juga tidak luwes dan tanggap terhadap perkembangan teknologi produksi dalam bidang pertanian. Berbagai
permasalah
pengelolaan
irigasi
tersebut
tentunya
perlu
dikoordinasikan dengan baik diantara kelembagaan dan pemangku kepentingan terkait.
Oleh karena itu kepentingan untuk membentuk komisi irigasi sudah
merupakan suatu tuntutan dan kebutuhan. Komisi irigasi di tingkat kabupaten sebagaimana yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 31/PRT/M/2007 merupakan lembaga koordinasi dan komunikasi antara wakil pemerintah kabupaten, wakil perkumpulan petani pemakai air tingkat daerah irigasi, dan wakil pengguna jaringan irigasi pada kabupaten.
Komisi irigasi
kabupaten dibentuk dengan keputusan bupati dan berada di bawah serta bertanggung jawab langsung kepada Bupati.
122
Cakupan wilayah kerja komisi irigasi kabupaten meliputi tipologi daerah irigasi, yaitu: (1) daerah irigasi yang pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggung jawab kabupaten yang meliputi daerah irigasi yang luasnya kurang dari 1000 ha; (2) daerah irigasi yang pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah provinsi yang meliputi daerah irigasi yang luasnya 1000 ha sampai dengan 3000 ha yang berada dalam satu kabupaten yang sudah ditugas-pembantuankan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten; (3) daerah irigasi yang pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah yang meliputi daerah irigasi yang luasnya lebih dari 3000 ha dan daerah irigasi strategis nasional yang berada dalam satu kabupaten, baik yang sudah ditugas-pembantuankan maupun yang belum ditugas-pembantuankan dari Pemerintah kepada pemerintah kabupaten; dan (4) daerah irigasi desa. Pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh komisi irigasi pada setiap tipologi daerah irigasi tersebut berbeda sesuai kewenangan pengelolaan irigasi yang diatur dalam UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pelaksanaan tugas komisi irigasi tersebut adalah sebagai berikut: (1) Pada daerah irigasi kewenangan kabupaten, komisi irigasi kabupaten membantu Bupati dengan tugas: (a) merumuskan
rencana
kebijakan
untuk
mempertahankan
dan
meningkatkan kondisi dan fungsi irigasi; (b) merumuskan rencana tahunan penyediaan, pembagian, dan pemberian air irigasi yang efisien bagi pertanian dan keperluan lain; (c) merekomendasikan prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi melalui forum musyawarah pembangunan; (d) memberikan pertimbangan mengenai izin alih fungsi lahan beririgasi; (e) merumuskan rencana tata tanam yang telah disiapkan oleh dinas instansi terkait dengan mempertimbangkan data debit air yang tersedia pada setiap daerah irigasi, pemberian air serentak atau golongan, kesesuaian jenis tanaman, serta rencana pembagian dan pemberian air; (f) merumuskan rencana pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi yang meliputi prioritas penyediaan dana, pemeliharaan, dan rehabilitasi;
123
(g) memberikan masukan dalam rangka evaluasi pengelolaan aset irigasi; (h) memberikan pertimbangan dan masukan atas pemberian izin alokasi air untuk kegiatan perluasan daerah layanan jaringan irigasi dan peningkatan jaringan irigasi; (i) memberikan masukan atas penetapan hak guna pakai air untuk irigasi dan hak guna usaha untuk irigasi kepada badan usaha, badan sosial, ataupun perseorangan; (j) membahas dan memberi pertimbangan dalam mengatasi permasalahan daerah irigasi akibat kekeringan, kebanjiran, dan akibat bencana alam lain; (k) memberikan masukan dan pertimbangan dalam proses penetapan peraturan daerah tentang irigasi; (l) memberikan
masukan
dan
pertimbangan
dalam
upaya
menjaga
keandalan dan keberlanjutan sistem irigasi; dan (m) melaporkan hasil kegiatan kepada Bupati mengenai program dan progres, masukan yang diperoleh, serta melaporkan kegiatan yang dilakukan selama 1 (satu) tahun. (2) Pada daerah irigasi kewenangan provinsi, komisi irigasi kabupaten membantu Bupati dengan tugas: (a) mengusulkan rumusan rencana kebijakan kepada gubernur untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi dan fungsi irigasi; (b) merumuskan rencana tahunan penyediaan, pembagian dan pemberian air irigasi bagi pertanian dan keperluan lainnya; (c) merekomendasikan prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi melalui forum musyawarah pembangunan untuk diteruskan kepada gubernur; (d) merumuskan rencana tata tanam yang telah disiapkan oleh dinas instansi terkait dengan mempertimbangkan data debit air yang tersedia pada setiap daerah irigasi, pemberian air serentak atau golongan, kesesuaian jenis tanaman, rencana pembagian dan pemberian air untuk diteruskan kepada gubernur;
124
(e) merumuskan rencana pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi yang meliputi prioritas penyediaan dana, pemeliharaan, dan rehabilitasi untuk diteruskan kepada gubernur; (f) memberikan masukan dalam rangka evaluasi pengelolaan aset irigasi untuk diteruskan kepada gubernur; (g) memberikan pertimbangan dan masukan atas pemberian izin alokasi air untuk kegiatan perluasan daerah layanan jaringan irigasi dan peningkatan jaringan irigasi untuk diteruskan kepada gubernur; (h) memberikan masukan kepada Bupati, atas penetapan hak guna pakai air untuk irigasi dan hak guna usaha air untuk irigasi kepada badan usaha, badan sosial, ataupun perseorangan; (i) membahas
dan
memberikan
pertimbangan
dalam
mengatasi
permasalahan daerah irigasi akibat kekeringan, kebanjiran, dan akibat bencana alam lain; (j) memberikan masukan dan pertimbangan dalam proses penetapan peraturan daerah tentang irigasi; (k) memberikan
masukan
dan
pertimbangan
dalam
upaya
menjaga
keandalan dan keberlanjutan sistem irigasi; dan (l) melaporkan hasil kegiatan kepada Bupati, mengenai program dan progres, masukan yang diperoleh, serta melaporkan kegiatan yang dilakukan selama 1 (satu) tahun. (3) Pada daerah irigasi kewenangan pusat, komisi irigasi kabupaten membantu Bupati dengan tugas: (a) mengusulkan
rumusan
kebijakan
untuk
mempertahankan
dan
meningkatkan kondisi dan fungsi irigasi kepada Menteri; (b) merumuskan rencana tahunan penyediaan, pembagian, dan pemberian air irigasi bagi pertanian serta keperluan lainnya; (c) merekomendasikan prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi melalui forum musyawarah pembangunan untuk diteruskan kepada Menteri;
125
(d) merumuskan rencana tata tanam yang telah disiapkan oleh dinas instansi terkait dengan mempertimbangkan data debit air yang tersedia pada setiap daerah irigasi, pemberian air serentak atau golongan, kesesuaian jenis tanaman, rencana pembagian dan pemberian air untuk diteruskan kepada Menteri ; (e) merumuskan rencana pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi yang meliputi prioritas penyediaan dana, pemeliharaan, dan rehabilitasi untuk diteruskan kepada Menteri; (f) memberikan masukan dalam rangka evaluasi pengelolaan aset irigasi untuk diteruskan kepada Menteri; (g) memberikan pertimbangan dan masukan atas pemberian izin alokasi air untuk kegiatan perluasan daerah layanan jaringan irigasi dan peningkatan jaringan irigasi; (h) memberikan masukan kepada Bupati, atas penetapan hak guna pakai air untuk irigasi dan hak guna usaha air untuk irigasi kepada badan usaha, badan sosial, ataupun perseorangan; (i) membahas dan memberi pertimbangan dalam mengatasi permasalahan daerah irigasi akibat kekeringan, kebanjiran, dan akibat bencana alam lainnya; (j) memberikan masukan dan pertimbangan dalam proses penetapan peraturan daerah tentang irigasi; (k) memberikan
masukan
dan
pertimbangan
dalam
upaya
menjaga
keandalan dan keberlanjutan sistem irigasi; dan (l) melaporkan hasil kegiatan kepada Bupati mengenai program dan progres, masukan-masukan yang diperoleh serta kegiatan yang dilakukan selama 1 (satu) tahun. Untuk melaksanakan beberapa tugas tersebut, komisi irigasi kabupaten menyelenggarakan fungsi koordinasi dan komunikasi antara pemerintah kabupaten, perkumpulan petani pemakai air tingkat daerah irigasi, dengan pengguna jaringan irigasi untuk keperluan lainnya pada kabupaten yang bersangkutan.
Kedua fungsi tersebut sangat penting dalam meningkatkan
126
kinerja pengelolaan irigasi untuk kepentingan berbagai pengguna baik di sektor pertanian maupun sektor pengguna lainnya. Mengingat tingkat kepentingannya tersebut, maka di Kabupaten Coanjur sudah dibentuk komisi irigasi pada tahun 2006. Pembentukan Komisi Irigasi di Kabupaten Cianjur ditetapkan melalui Keputusan Bupati No. 611.05/Kep.308BAPPEDA/2006 tentang Pembentukan Komisi Irigasi. pembentukan Komisi
Dasar pertimbangan
Irigasi tersebut adalah adanya
perubahan tujuan
pembangunan pertanian dan meningkatkan produksi untuk swasembada beras menjadi melestarikan ketahanan pangan, meningkatkan pendapatan petani dan meningkatkan kesejahteraan kerja di perdesaan serta perbaikan gizi keluarga menuntut penyesuaian-penyesuaian arah dan langkah kerja kegiatan dan pendekatan pembangunan keirigasian. Pembentukan
komisi
irigasi
tersebut
menetapkan
bahwa
struktur
organisasinya dibangun dengan komposisi struktur: (1) pengarah; (2) ketua; (3) sekretaris; dam (4) anggota.
Gambaran struktur Komisi Irigasi Kabupaten
Cianjur yang sudah dibentuk pada tahun 2006 tersebut dapat dilihat pada Gambar 24.
Pengarah
Ketua
Sekretaris
Anggota
Gambar 24 Struktur organisasi komisi irigasi berdasarkan Keputusan Bupati
Berdasarkan struktur organisasi Komisi Irigasi tersebut ditetapkan pejabat yang berada dalam posisi pengarah adalah sebagai berikut: (1) Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah;
127
(2) Kepala Bappeda; (3) Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pertambangan; (4) Kepala Dinas Pertanian; (5) Kepala Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah; (6) Kepala Dinas Perikanan dan Peternakan; (7) Kepala Kantor Analisis Dampak Lingkungan; dan (8) Kepala Bagian Keuangan Sekretariat Daerah. Pejabat yang menduduki sebagai ketua adalah Kepala Bidang Fisik dan Prasarana pada Bappeda, sedangkan sekretarisnya adalah Kepala Sub-Bidang Perencanaan Pembangunan Fisik pada Bappeda. Anggota Komisi Irigasi selengkapnya adalah sebagai berikut: (1) Kepala SubDinas Bina Manfaat pada Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pertambangan; (2) Kepala SubDinas Program pada Dinas Pertanian; (3) Kepala Bagian Perekonomian pada Sekretariat Daerah; (4) Dekan Fakultas Pertanian Universitas Suryakancana; (5) Ketua LSM Leppel; (6) Ketua LSM Sinurat Layung; (7) Ketua Induk P3A Tirta Mulya Rejeki, DI Cihea; (8) Ketua GP3A Mahi Cai, DI Susukan Gede; (9) Ketua GP3A Tirta Walatra, DI Cipanyusuhan; (10) Ketua GP3A Kayungyun, DI Ciraden Leuwilengsir; (11) Ketua GP3A Assalam, DI Cipadang Cibeleng (12) Ketua GP3A Tirta Mukti DI Cilumut/Pasir Kerud; dan (13) Ketua GP3A Sauyunan, DI Nagrog. Secara umum, keberadaan komisi irigasi di Kabupaten Cianjur belum dapat berjalan secara efektif dan belum mampu menghasilkan kontribusi positif
128
terhadap kebijakan pengembangan dan pengelolaan irigasi di wilayah tersebut. Selain itu juga dalam perkembangannya, struktur organisasi Komisi Irigasi tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan format reformasi Kelembagaan Pengelolaan Irigasi (KPI) sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 31/PRT/M/2007 tentang Pedoman Mengenai Komisi Irigasi. Sebagaimana yang dituangkan dalam Peraturan Menteri tersebut bahwa susunan
organisasi
Komisi
Irigasi
Kabupaten
kepengurusannya
dijabat
berdasarkan struktur: (1) ketua; (2) ketua harian; (3) sekretaris; (4) ketua bidang (jika diperlukan); dan (5) anggota. Gambaran struktur Komisi Irigasi Kabupaten yang baru tersebut adalah sebagaimana yang terlihat pada Gambar 25.
Ketua
Ketua Harian
Ketua Bidang
Sekretaris
Anggota
Gambar 25 Struktur organisasi komisi irigasi berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Berdasarkan struktur organisasi Komisi Irigasi yang terbaru tersebut, maka komposisi kepengurusannya adalah sebagai berikut: (1) Ketua dijabat oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten; (2) Katua harian dijabat oleh Kepala Dinas yang membidangi irigasi; (3) Sekretaris terdiri dari Sekretaris I dijabat oleh Kepala SubDinas yang membidangi pengembangan dan pengelolaan irigasi, dan Sekretaris II
129
dijabat oleh Kepala SubDinas atau Kepala Seksi yang membidangi pemanfaatan air pada Dinas Pertanian; (4) Ketua bidang dijabat oleh wakil/unsur nonpemerintah dari wakil/unsur perkumpulan petani pemakai air atau pengguna jaringan irigasi lainnya; (5) Anggota dapat dikelompokkan sesuai dengan kelompok bidang yang diperlukan dan disepakati bersama; (6) Apabila diperlukan, komisi irigasi dapat dibantu oleh tenaga ahli yang sudah berpengalaman dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi, yang diusulkan oleh ketua komisi irigasi dan ditetapkan oleh Bupati.
5.4. Peran Organisasi Masyarakat dalam Pengelolaan Irigasi Meskipun kewenangan operasi jaringan irigasi menjadi tanggung dinas yang membidangi irigasi termasuk dalam penyusunan rencana operasi jaringan irigasi di suatu daerah irigasi, setelah mendapat masukan dari dinas yang membidangi pertanian, akan tetapi kegiatan operasi jaringan irigasi juga melibatkan peran serta P3A/GP3A/IP3A yang diwujudkan mulai dari pemikiran awal, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan kegiatan dalam operasi jaringan.
Berdasarkan peraturan terbaru, organisasi P3A pada tingkat unit
mempunyai wilayah kerja pengelolaan irigasi di jaringan tersier, sedangkan GP3/IP3A dapat berpartisipasi pada tingkat jaringan utama (primer dan sekunder). Dengan demikian peran organisasi masyaralat melalui P3A/GP3A/IP3A dalam kebijakan pengelolaan irigasi cukup strategis dengan memberikan partisipasinya di tingkat jaringan utama. Persoalan kemudian adalah bagaimana keajegan pemerintah daerah dalam membuka peluang kerjasama pengelolaan dengan masyarakat petani pemakai air pada tingkat daerah irigasi. Hal ini yang masih belum berjalan secara optimal di lapangan. Secara umum peran serta masyaralat melalui organisasi P3A/GP3A/IP3A dalam operasi jaringan irigasi meliputi: (1) P3A/GP3A/IP3A mengusulkan rencana tanam dan luas areal kepada Dinas yang membidangi irigasi.
130
(2) Dinas yang membidangi irigasi bersama-sama Dinas yang membidangi Pertanian menyusun rencana tanam dan luas areal tersebut. (3) Komisi irigasi yang beranggotakan instansi terkait dan wakil perkumpulan petani pemakai air membahas pola dan rencana tata tanam, rencana tahunan penyediaan air irigasi, rencana tahunan pembagian dan pemberian air
irigasi
dan
merekomendasikan
kepada
Bupati
sesuai
dengan
kewenangannya. (4) Dinas yang membidangi irigasi, melaksanakan operasi jaringan irigasi atau dapat
dilakukan
dengan
melibatkan
peran
P3A/GP3A/IP3A
untuk
melaksanakannya. Sedangkan peran serta masyarakat melalui organisasi P3A/GP3A/IP3A dalam pemeliharaan jaringan irigasi meliputi : (1) P3A/GP3A/IP3A bersama petugas pengelola irigasi melakukan penelusuran untuk mengindentifikasi kerusakan-kerusakan, usulan rencana perbaikan dan skala prioritas. (2) penyusunan
jenis-jenis
pekerjaan
yang
dapat
dikerjakan
oleh
P3A/GP3A/IP3A (3) Dinas yang membidangi irigasi melaksanakan pemeliharaan jaringan irigasi dapat dilakukan melalui kerjasama dengan P3A/GP3A/IP3A secara swakelola. (4) P3A/GP3A/IP3A dapat berperan serta dalam pelaksanaan pemeliharaan jaringan irigasi dalam bentuk tenaga, bahan, atau biaya sesuai dengan kemampuannya. (5) P3A/GP3A/IP3A berperan aktif dalam pengamanan jaringan irigasi. (6) P3A/GP3A/IP3A pemeliharaan
dapat
jaringan
melakukan irigasi
primer
pengawasan dan
atas
sekunder
pelaksanaan dalam
bentuk
penyampaian laporan penyimpangan pelaksanaan kepada dinas atau pengelola irigasi.
VI. MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN IRIGASI TERPADU Penyusunan model kebijakan pengelolaan irigasi terpadu dilakukan dengan menggunakan tahapan-tahapan, yaitu: (1) perumusan asumsi dasar kebijakan pengelolaan irigasi terpadu; (2) strukturisasi program pengelolaan irigasi terpadu; (3) penyusunan model PKSARI-Terpadu (4) dan penentuan prioritas kegiatan penunjang model. Penjelasan masing-masing tahapan penyusunan model kebijakan pengelolaan irigasi terpadu diuraikan sebagai berikut. 6.1.
Asumsi Dasar Kebijakan Pengelolaan Irigasi Terpadu Asumsi-asumsi dasar pengembangan kebijakan pengelolaan irigasi
terpadu diperoleh dari hasil diskusi kelompok terarah atau yang lebih dikenal dengan metode FGD (Focus Group Discussion) yang diselenggarakan di tingkat kabupaten (Cianjur) dan pusat (Jakarta) dengan melibatkan berbagai stakeholder baik dari Pemerintah Daerah dan Pusat, masyarakat petani pemakai air Cianjur, kelembagaan irigasi (P3A, GP3A dan IP3A), Lembaga Swadaya Masyarakat dan Dinas-dinas terkait. Hasil dari identifikasi faktor pengembangan kebijakan pengelolaan irigasi terpadu dari hasik kegiatan FGD tersebut, kemudian dijadikan bahan untuk kegiatan diskusi pakar dalam rangka menyusun asumsi-asumsi alternatif yang akan digunakan dalam penyusunan model strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan. Asumsi-asumsi tersebut dikelompokkan dalam 4 (empat) aspek yaitu: (1) aspek tenik; (2) aspek ekonomi; (3) aspek kelembagaan; dan (4) aspek lingkungan. Hasil penyusunan asumsi-asumsi alternatif tersebut kemudian didiskusikan untuk memberi nilai kepentingan dan kepastian yang mengacu pada pertanyaanpertanyaan yang meliputi : (1) seberapa penting pengaruh asumsi tersebut terhadap keberhasilan atau kegagalan; dan seberapa jauh keyakinan bahwa asumsi tersebut dapat dibenarkan dan dipastikan keberhasilananya. Hasil penilaian setiap peserta digabungkan sehingga diperoleh posisi setiap asumsi dasar dalam peta kuadran kepentingan dan kepastian seperti terlihat dalam Tabel 20.
132
Tabel 20 Asumsi kebijakan regional dalam pengendalian irigasi terpadu Asumsi 1. Aspek Teknik a. Kegiatan alih fungsi bangunan jaringan irigasi oleh masyarakat dan pihak lainnya dapat di kontrol dengan baik oleh petugas irigasi (A) b. Kesadaran dan peran serta masyarakat untuk menjaga dan memelihara jaringan irigasi (B) 2. Aspek Ekonomi a. Pendanaan untuk operasional, pemeliharaan jaringan dan kelembagaan irigasi yang cukup dan memadai dari pemerintah daerah dan pusat melalui APBD dan APBN (C) b. Sistem pembayaran iuran irigasi di tingkat P3A, GP3A dan IP3A dapat berjalan dengan baik (D) c. Agenda program aksi dari pemerintah untuk pendanaan konservasi hutan di daerah hulu (E) 3. Aspek Kelembagaan a. Administrasi lembaga irigasi berjalan dengan tertib (F) b. Kepengurusan yang tidak merangkap dalam lembaga irigasi (P3A, GP3A dan IP3A) (G) c. Kerjasama yang baik antara kelembagaan irigasi dengan kelompok tani (H) d. Pemda membina pengurus lembaga irigasi dilakukan secara kontinyu dan efektif (I) e. Pendanaan yang memadai dari pemerintah dalam pelaksanaan kegiatan kelembagaan irigasi (J) f. Ketertiban dalam pengaturan distribusi air irigasi yang baik disepanjang aliran sungai (hulu, tengah dan hilir) (K) g. Kerjasama yang sinergis antara Perum Perhutani, Dinas Kehutanan, Departemen PU dan Departemen Pertanian dalam pemeliharaan dan penyediaan debit air dan ketersediaan air dari hulu sampai hilir (L) h. Kerjasama yang baik antara Usaha Mikro (petani) dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani (M) 4. Aspek Lingkungan a. Kegiatan konservasi hutan di daerah hulu dapat menjaga kestabilan debit air irigasi di daerah hulu, tengah dan hilir (N) b. Konservasi hutan dan reboisasi dilakukan dengan dukungan pemerintah dan masyarakat sekitar (O)
Tingkat Kepentingan (x)*
Tingkat Kepastian (y)**
2
-3
3
1
3
2
3
-1
2
-2
1
-2
2
2
3
1
3
1
3
1
3
3
3
2
3
1
3
2
3
3
Keterangan : * = Tingkat pengaruh asumsi terhadap berhasil atau gagalnya model kebijakan yang dihasilkan * = Tingkat keyakinan bahwa asumsi tersebut dapat dibenarkan (dilaksanakan secepatnya) dalam model kebijakan yang dihasilkan.
133
Memperhatikan keterkaitan posisi beberapa asumsi yang terletak pada kuadran II yang memiliki kepentingan dan kepastian yang tinggi, kemudian dilakukan sintesis lebih lanjut untuk identifikasi asumsi-asumsi yang paling strategis berikut : (1) Konservasi hutan dan reboisasi dilakukan dengan dukungan pemerintah dan masyarakat sekitar hutan. Pengaturan distribusi air irigasi yang baik disepanjang aliran sungai (hulu, tengah dan hilir) untuk menjaga aliran irigasi tetap stabil dan merata di sepanjang aliran irigasi (sintesis K,O). (2) Kepengurusan yang tidak merangkap dalam lembaga irigasi (P3A, GP3A dan IP3A) meningkatkan kinerja lembaga irigasi (sintesis G). (3) Adanya
pendanaan
untuk
operasional,
pemeliharaan
jaringan
dan
kelembagaan irigasi yang cukup dan memadai dari pemerintah daerah dan pusat melalui APBD dan APBN. Kegiatan konservasi hutan di daerah hulu didukung dengan kerjasama yang sinergis antara Perum Perhutani, Dinas Kehutanan, Departemen PU dan Departemen Pertanian untuk memelihara stabilitas penyediaan debit air dan ketersediaan air dari hulu sampai hilir (sintesis C,L,N). (4) Pendanaan yang memadai dalam pelaksanaan kegiatan kelembagaan irigasi dan pembinaan pengurus lembaga irigasi yang dilakukan secara kontinyu dan efektif oleh Pemda. Kerjasama antara KPI dan Poktan dengan dukungan
Lembaga
Keuangan
Mikro
dalam
usaha
peningkatan
kesejahteraan petani (sintesis B,H,I,J,M). Asumsi-asumsi yang masuk pada kuadran IV yang memiliki tingkat kepentingan yang tinggi namun mengandung ketidakpastian sehingga hasil sintesisnya adalah : (1) Sistem pembayaran iuran irigasi di tingkat P3A, GP3A dan IP3A berjalan dengan baik (sintesis D). (2) Administrasi lembaga irigasi berjalan dengan tertib (sintesis F). (3) Adanya agenda program aksi dari pemerintah untuk pendanaan konservasi hutan di daerah hulu (sintesis E).
134
(4) Kegiatan alih fungsi bangunan jaringan irigasi oleh masyarakat dan pihak lainnya dapat di kontrol dengan baik oleh petugas irigasi (sintesis A).
Paling Pasti
I
II
3
K,O G
2
1 B,H,I,J,M 0 -3
-2
-1
0
1
2
3
-1
Paling Penting
Paling Tidak Penting
C,L,N
D F
E
-2 A -3 III
Paling Tidak Pasti
IV
Gambar 26 Peta kuadran asumsi 6.2.
Strukturisasi Program Pengelolaan Irigasi Terpadu Strukturisasi
elemen
sistem
pengelolaan
irigasi
berkelanjutan
menggunakan teknik Interpretative Structural Modelling (ISM) yang didapat dari hasil wawancara pakar baik dari daerah maupun pusat. Terdapat 9 elemen ISM yang terdiri dari (1) elemen masyarakat yang terkait, (2) Elemen kebutuhan program, (3) Elemen kendala program, (4) Elemen perihal yang berubah dan dapat diubah, (5) Elemen sasaran program, (6) Elemen tolak ukur sasaran, (7) Elemen aktivitas yang diperlukan, (8) Elemen tolak ukur aktivitas dan (9) Elemen lembaga yang terlibat, dimana dari setiap elemen mempunyai sejumlah subelemen yang berbeda-beda. (1)
Elemen Masyarakat yang Terkait Elemen mayarakat yang terkait mempunyai 8 sub-elemen yaitu: (1) Petani
pemakai air, (2) Masyarakat sekitar hutan, (3) Tokoh agama, (4) Pemuka
135
desa/pengurus desa. (5) Aktivis pecinta alam dan lingkungan, (6) Kelompok komunikasi dan konservasi alam dan lingkungan, (7) Kelompok pendanaan LKM dan (8) Pengusaha mikro/kecil.
Untuk lebih jelasnya gambaran elemen
masyarakat yang terkait dapat dilihat secara matriks sebagaimana tersaji pada Tabel 21. Tabel 21 Matriks reachibility elemen masyarakat yang terkait No.
1
2
3
4
5
6
7
8
Drv
R
1
1
1
0
0
0
0
0
0
2
3
2
1
1
0
0
0
0
0
0
2
3
3
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
4
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
5
1
1
0
0
1
1
0
0
4
2
6
1
1
0
0
1
1
0
0
4
2
7
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
8
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
Dep
8
8
4
4
6
6
4
4
L
1
1
3
3
2
2
3
3
Berdasarkan hasil analisa dengan teknik ISM menyatakan bahwa sub elemen tokoh agama (3), pemuka desa/pengurus desa (4), kelompok pendanaan LKM (7) dan pengusaha mikro/kecil (8) merupakan sub elemen kunci dari elemen masyarakat yang terkait dalam sistem pengelolaan irigasi terpadu yang mempunyai driver power paling kuat dalam program tersebut. Peubah dependent adalah peubah yang mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap program namun mempunyai driver power yang rendah, dalam hal ini yang berada dalam sektor dependent ini adalah sub elemen petani pemakai air (1), masyarakat sekitar hutan (2), aktivis pecinta alam dan lingkungan (5), kelompok komunikasi dan konservasi alam dan lingkungan (6). Sub elemen petani pemakai air (1) dan masyarakat sekitar hutan (2) mempunyai tingkat ketergantungan lebih besar dibandingkan dengan sub elemen lain yang berada dalam sektor dependent dan mempunyai driver power terendah di bandingkan dengan yang lainnya. Hal ini menyatakan bahwa sub elemen petani pemakai air (1) dan
136
masyarakat sekitar hutan (2) adalah sub elemen yang akan sangat terpengaruhi oleh keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan program tersebut tetapi tidak mempunyai
kekuatan
untuk
pelaksanaan
program.
memberikan
Gambaran
hasil
input
dalam
strukturisasi
mengendalikan
program
elemen
masyarakat yang terkait lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 27 dan 28.
D R I V E R
Independent
Linkage
Autonomous
Dependent
P O W E R
Dependence
Gambar 27 Grafik driver-power independent elemen masyarakat yang terkait
Petani Pemakai Air,Masyarakat Sekitar Hutan
L3
L2
L1
Aktivis Pecinta Alam dan Lingkungan
Kelompok Komunikasi dan Konservasi Alam dan Lingkungan
Tokoh Agama, Pemuka Desa, Kelompok LKM, Pengusaha Mikro
Gambar 28 Struktur program elemen masyarakat yang terkait
137
(2)
Elemen Kebutuhan Program Elemen kebutuhan program mempunyai 7 sub elemen yaitu (1) Partisipasi
masyarakat pemakai air dalam kegiatan irigasi, (2) Partisipasi pemerintah daerah dan pusat, (3) Kerjasama antar masyarakat hulu, tengah dan hilir, (4) Tata guna lahan pertanian irigasi, (5) Ketersediaan air untuk irigasi, (6) Pemberdayaan masyarakat untuk berperan aktif dalam setiap kegiatan irigasi dan (7) Pembiayaan kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi dari sumber APBN dan APBD (Tabel 22). Tabel 22 Matriks reachibility elemen kebutuhan program No.
1
2
3
4
5
6
7
Drv
R
1
1
0
1
1
1
1
0
5
3
2
1
1
1
1
1
1
1
7
1
3
1
0
1
1
1
1
0
5
3
4
0
0
0
1
0
0
0
1
5
5
0
0
0
1
1
0
0
2
4
6
1
0
1
1
1
1
0
5
3
7
1
0
1
1
1
1
1
6
2
Dep
5
1
5
7
6
5
2
L
3
5
3
1
2
3
4
Hasil analisa menunjukan bahwa sub elemen partisipasi pemerintah daerah (2) dan pusat dan pembiayaan kegiatan OP jaringan irigasi dari sumber APBN dan APBD (7) merupakan peubah independent yang mempunyai driver power lebih tinggi di bandingkan dengan yang lainnya. Sub elemen partisipasi pemerintah daerah dan pusat (2) merupakan sub elemen kunci karena mempunyai driver power tertinggi dan tingkat ketergantungan terendah di bandingkan elemen lainnya di sektor independent. Dalam elemen kebutuhan program terdapat 3 sub elemen yang berperan sebagai peubah lingkage yaitu partisipasi masyarakat pemakai air dalam kegiatan irigasi (1), kerjasama antar masyarakat hulu, tengah dan hilir (3) dan pemberdayaan masyarakat untuk berperan aktif dalam setiap kegiatan irigasi (6). Sedangkan sub elemen tata guna lahan pertanian irigasi (4) dan ketersediaan air untuk irigasi (5) menjadi peubah dependent dalam program, dimana sub elemen tata guna lahan pertanian irigasi (4) mempunyai tingkat ketergantungan paling
138
tinggi dan driver power terendah di bandingkan dengan sub elemen lain di sektor dependent. Gambaran hasil strukturisasi program elemen kebutuhan program lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 29 dan 30.
D R I V E R P O W E R
Linkage
Independent
Autonomous
Dependent
Dependence
Gambar 29 Grafik driver-power independent elemen kebutuhan program
L5
L4
L3
Tata guna lahan pertanian irigasi
Ketersediaan air untuk irigasi
Partisipasi masyarakat pemakai air dalam kegiatan irigasi, Kerjasama antar masyarakat hulu, tengah dan hilir
Pemberdayaan masyarakat untuk berperan aktif dalam setiap kegiatan irigasi
L2
Pembiayaan kegiatan OP jaringan irigasi dari sumber APBN dan APBD
L1
Partisipasi pemerintah daerah dan pusat Gambar 30 Struktur program elemen kebutuhan program
139
(3)
Elemen Kendala Program Elemen kendala program terdiri dari 9 sub elemen yaitu (1) Ketersediaan
air yang fluktuatif, (2) Infrastruktur jaringan irigasi yang rusak, (3) Partisipasi masyarakat yang rendah, (4) Peraturan yang berubah-ubah, (5) Kondisi pelaksana program lintas sektor, (6) Pendanaan dari Pemda yang belum efektif, (7) Faktor keamanan alam (bencana alam, longsor atau sesuatu yang tidak diharapkan dari kondisi alam), (8) Konflik kepentingan antar kelompok dan (9) Distribusi yang tidak merata.
Untuk lebih jelasnya gambaran elemen kendala
program dapat dilihat secara matriks sebagaimana tersaji pada Tabel 23. Tabel 23 Matriks reachibility elemen kendala program No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Drv
R
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
7
2
1
1
0
0
0
0
0
0
1
3
5
3
1
1
1
0
0
0
0
0
1
4
4
4
1
1
1
1
1
1
0
1
1
8
1
5
1
1
1
1
1
1
0
1
1
8
1
6
1
1
0
0
0
1
0
0
1
4
4
7
1
1
1
0
0
0
1
1
1
6
2
8
1
1
1
0
0
0
0
1
1
5
3
9
1
0
0
0
0
0
0
0
1
2
6
Dep
9
7
5
2
2
3
1
4
8
L
1
3
4
7
7
6
8
5
2
Analisa ISM menunjukkan bahwa sub elemen peraturan yang berubahubah (4), kondisi pelaksana program lintas sektor (5), faktor keamanan alam (7) merupakan driver power dalam sistem pengelolaan irigasi terpadu. Sedangkan infrastruktur jaringan irigasi yang rusak (2), distribusi yang tidak merata (9) dan Ketersediaan air yang fluktuatif (1) merupakan peubah dependent yang mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap program.
140
D R I V E R P O W E R
Independent
Linkage
Autonomous
Dependent
Dependence Gambar 31 Grafik driver-power independent elemen kendala program L6
Ketersediaan air yang fluktuatif
L5
Distribusi yang tidak merata
L4
Infrastruktur jaringan irigasi yang rusak
L3
L2
L1
Partisipasi masyarakat yang rendah
Pendanaan dari Pemda yang belum efektif
Konflik kepentingan antar kelompok
Peraturan yang berubah-ubah, Kondisi pelaksana program lintas sektor
Faktor keamanan alam
Gambar 32 Struktur program elemen kendala program .
141
(4)
Elemen Perihal yang Berubah dan Dapat Diubah Elemen perihal yang berubah dan dapat diubah terdiri dari 9 sub elemen
yaitu (1) Debit air irigasi, (2) Kondisi fisik hulu, (3) Efisiensi dan efektivitas jaringan irigasi, (4) Produktivitas lahan pertanian, (5) Kebijakan pelaksanaan irigasi, (6) Kesadaran petani untuk berperan aktif, (7) Pola tanam dan tumpang sari, (8) Jenis tanaman dan (9) Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi. Untuk lebih jelasnya Gambaran elemen perihal yang berubah dan dapat diubah tersaji pada Tabel 24. Tabel 24 Matriks reachibility elemen perihal yang berubah dan dapat dirubah No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Drv
R
1
1
0
1
1
0
0
1
1
0
5
3
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
9
1
3
1
0
1
1
0
0
1
1
0
5
3
4
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
4
5
1
1
1
1
1
1
1
1
1
9
1
6
1
1
1
1
1
1
1
1
1
9
1
7
1
0
1
1
0
0
1
1
0
5
3
8
1
0
1
1
0
0
1
1
0
5
3
9
1
0
1
1
0
0
1
1
1
6
2
Dep
8
3
8
9
3
3
8
8
4
L
2
4
2
1
4
4
2
2
3
Berdasarkan analisa dengan teknik ISM dinyatakan bahwa kondisi fisik hulu (2), kebijakan pelaksanaan irigasi (5) dan kesadaran petani untuk berperan aktif (6) merupakan sub elemen kunci sedangkan sub elemen operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi (9) merupakan peubah independent yang mempunyai driver power lebih rendah di bandingkan dengan sub elemen lain yang berada di sektor independent. Sub elemen produktivitas lahan pertanian (4) merupakan sub elemen yang akan sangat di pengaruhi secara langsung oleh pelaksanaan sistem pengelolaan irigasi terpadu.
142
D R I V E R
Independent
Linkage
P O W E R
Autonomous
Dependent
Dependence Gambar 33 Grafik driver-power independent elemen perihal yang berubah dan dapat dirubah
L4
L3
L2
L1
Produktivitas lahan pertanian
Debit air irigasi, Efisiensi dan efektivitas jaringan irigasi
Pola tanam dan tumpang sari
Jenis tanaman
Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi
Kondisi fisik Hulu, Kebijakan pelaksanaan irigasi, Kesadaran petani untuk berperan aktif
Gambar 34 Struktur program elemen perihal yang berubah dan dapat dirubah
143
(5)
Elemen Sasaran Program Elemen sasaran program mempunyai 7 sub elemen yaitu (1) Kecukupan
debit air hulu, tengah dan hilir, (2) Ketahanan pangan, (3) Kesejahteraan petani, (4) Konservasi sumberdaya air, (5) Kehandalan fungsi jaringan irigasi, (6) Optimalisasi kelembagaan pengelolaan irigasi dan (7) Kemantapan peraturan pemerintah. Untuk lebih jelasnya gambaran elemen sasaran program dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Matriks reachibility elemen sasaran program
D R I V E R P O W E R
No.
1
2
3
4
5
6
7
Drv
R
1
1
1
1
0
0
0
0
3
4
2
0
1
1
0
0
0
0
2
4
3
0
1
1
0
0
0
0
2
4
4
1
1
1
1
1
0
0
5
3
5
1
1
1
1
1
0
0
5
3
6
1
1
1
1
1
1
0
6
2
7
1
1
1
1
1
1
1
7
1
Dep
5
7
7
4
4
2
1
L
2
1
1
3
3
4
5
Independent
Linkage
Autonomous
Dependent
Dependence Gambar 35 Grafik driver-power independent elemen sasaran program
144
L5
Ketahanan pangan
Kecukupan debit air hulu, tengah dan hilir
L4
L3
Kesejahteraan petani
Konservasi sumberdaya air
Kehandalan fungsi jaringan irigasi
L2
Optimalisasi kelembagaan pengelolaan irigasi
L1
Kemantapan peraturan pemerintah Gambar 36 Struktur program elemen sasaran program
Sub elemen kemantapan peraturan pemerintah (7) merupakan sub elemen kunci dan mempunyai driver power tertinggi pada sistem pengelolaan irigasi terpadu dan sub elemen optimalisasi kelembagaan pengelolaan irigasi (6) juga merupakan peubah independent yang mempunyai driver power yang cukup kuat dalam program. Sedangkan yang berperan sebagai peubah dependent adalah sub elemen kecukupan debit air hulu, tengah dan hilir (1), ketahanan pangan (2) dan kesejahteraan petani (3). (6)
Elemen tolak ukur sasaran Elemen tolak ukur sasaran mempunyai 8 sub elemen yaitu (1) Stabilitas air
dari hulu, tengah sampai hilir (liter/dtk), (2) Meningkatnya produktivitas petani (Rp/ha), (3) Peningkatan pendapatan petani (Rp/KK/bulan), (4) B/C rasio usaha tani, (5) Meningkatnya fungsi jaringan irigasi (%), (6) Meningkatnya peran serta
145
masyarakat (%), (7) Tersedianya anggaran/dana yang cukup untuk irigasi (Rp/tahun) dan (8) ) Efisiensi kelembagaan P3A. Tabel 26 Matriks reachibility elemen tolak ukuran sasaran No.
1
2
3
4
5
6
7
8
Drv
R
1
1
1
1
1
1
1
0
1
7
2
2
0
1
1
1
0
0
0
0
3
4
3
0
0
1
1
0
0
0
0
2
5
4
0
0
0
1
0
0
0
0
1
6
5
0
1
1
1
1
0
0
0
4
3
6
1
1
1
1
1
1
0
1
7
2
7
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
8
1
1
1
1
1
1
0
1
7
2
Dep
4
6
7
8
5
4
1
4
L
5
3
2
1
4
5
6
5
D R I V E R P O W E R
Independent
Linkage
Autonomous
Dependent
Dependence Gambar 37 Grafik driver-power independent elemen tolak ukur sasaran Berdasarkan analisa data dengan menggunakan teknik ISM di dapatkan bahwa sub elemen Tersedianya anggaran/dana yang cukup untuk irigasi (Rp/tahun) (7) merupakan sub elemen kunci dari elemen tolak ukuran dari sasaran sistem pengelolaan irigasi terpadu. Sub elemen meningkatnya
146
produktivitas petani (Rp/ha) (2), peningkatan pendapatan petani (Rp/KK/bulan) (3), B/C rasio usaha tani (4) dan meningkatnya fungsi jaringan irigasi (%) (5) merupakan peubah dependent dari PKSARI Terpadu yang mempunyai driver power yang rendah dan tingkat ketergantungan yang tinggi.
L6
B/C rasio usaha tani
L5
Peningkatan pendapatan petani (Rp/KK/bulan)
L4
Meningkatnya produktivitas petani (Rp/ha)
L3
Meningkatnya fungsi jaringan irigasi (%)
L2
Stabilitas air dari hulu, tengah dan hilir (mm/dtk), Meningkatnya peran serta masyarakat (%),Efisiensi kelembagaan P3A
L1
Tersedianya anggaran/dana yang cukup untuk irigasi (Rp/tahun)
Gambar 38 Struktur program elemen tolak ukur sasaran (7)
Elemen Aktivitas yang Diperlukan dalam Perencanaan Kerja Elemen aktivitas yang diperlukan dalam perencanaan kerja mempunyai 9
sub elemen yaitu (1) Reboisasi dan penghijauan kembali di daerah hulu, (2) Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi, (3) Pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air, (4) Pendanaan yang cukup melalui iuran dan
147
APBD, (5) Penjelasan teknis tentang peraturan irigasi, (6) Meningkatkan informasi dan komunikasi untuk usaha tani, (7) Meningkatkan kesadaran peran serta masyarakat terhadap sumberdaya air, (8) Melibatkan KPL dan LSM menjaga/melestarikan lingkungan dan (9) Meningkatkan teknis dan peralatan irigasi. Tabel
27
Matriks reachibility perencanaan kerja
elemen
aktivitas
yang
diperlukan
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Drv
R
1
1
1
1
0
0
0
1
0
1
5
4
2
1
1
1
0
0
0
1
0
1
5
4
3
1
1
1
0
0
0
1
0
1
5
4
4
1
1
1
1
0
1
1
1
1
8
1
5
1
1
1
0
1
1
1
1
1
8
1
6
1
1
1
0
0
1
1
1
1
7
2
7
1
1
1
0
0
0
1
0
1
5
4
8
1
1
1
0
0
0
1
1
1
6
3
9
1
1
1
0
0
0
1
0
1
5
4
Dep
9
9
9
1
1
3
9
4
9
L
1
1
1
4
4
3
1
2
1
D R I V E R P O W E R
Independent
Linkage
Autonomous
Dependent
dalam
Dependence Gambar 39 Grafik driver-power independent elemen aktivitas yang diperlukan dalam perencanaan kerja
148
Reboisasi dan penghijauan kembali di daerah hulu
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi
Meningkatkan kesadaran peran serta masyarakat terhadap sumberdaya air
Pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air
Meningkatkan teknis dan peralatan irigasi
Melibatkan KPL dan LSM menjaga/melestarikan lingkungan
Meningkatkan informasi dan komunikasi untuk usaha tani
Pendanaan yang cukup melalui iuran dan APBD
Penjelasan teknis tentang peraturan irigasi
Gambar 40 Struktur program elemen aktivitas yang diperlukan dalam perencanaan kerja Sub elemen pendanaan yang cukup melalui iuran dan APBD (4), penjelasan teknis tentang peraturan irigasi (5), meningkatkan informasi dan komunikasi
untuk
usaha
tani
(6)
dan
melibatkan
KPL
dan
LSM
menjaga/melestarikan lingkungan (8) merupakan sub elemen dari elemen aktivitas yang diperlukan oleh program yang menjadi peubah independent. Driver power yang paling tinggi terdapat pada sub elemen pendanaan yang cukup melalui iuran dan APBD (4) dan penjelasan teknis tentang peraturan irigasi (5) sedangkan sub elemen reboisasi dan penghijauan kembali di daerah hulu (1), operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi (2), pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air (3), meningkatkan kesadaran peran serta masyarakat terhadap sumberdaya air (7) dan meningkatkan teknis dan peralatan irigasi (9) berperan sebagai peubah linkage.
149
(8)
Elemen Tolak Ukur Aktivitas Elemen tolak ukur aktivitas mempunyai 6 sub elemen yaitu (1) Jumlah
tanaman (unit/ha), (2) Rendahnya kerusakan infrastruktur jaringan irigasi (%), (3) Efisiensi dan efektivitas kegiatan kelompok petani pemakai air (%), (4) Pembiayaan untuk operasionalisasi dan pemeliharaan (Rp/tahun), (5) Efisiensi kegiatan O&P dan (6) Stabilitas harga hasil panen (Rp/kg). Tabel 28 Matriks reachibility elemen tolak ukur aktivitas
D R I V E R P O W E R
No.
1
2
3
4
5
6
Drv
R
1
1
0
0
0
0
1
2
3
2
1
1
1
1
1
1
6
1
3
1
0
1
0
0
1
3
2
4
1
1
1
1
1
1
6
1
5
1
1
1
1
1
1
6
1
6
1
0
0
0
0
1
2
3
Dep
6
3
4
3
3
6
L
1
3
2
3
3
1
Independent
Linkage
Dependent
Autonomous
Dependence
Gambar 41 Grafik driver-poweri independent elemen tolak ukur aktivitas
150
Stabilitas harga hasil panen (Rp/kg)
Jumlah tanaman (unit/ha)
Efisiensi dan efektivitas kegiatan kelompok petani pemakai air (%)
Rendahnya kerusakan infrastruktur jaringan irigasi (%)
Pembiayaan untuk operasionalisasi dan pemeliharaan (Rp/tahun)
Efisiensi kegiatan O&P
Gambar 42 Struktur program elemen tolak ukur aktivitas Pada elemen tolak ukur aktivitas program terdapat 3 sub elemen kunci yang mempunyai driver power paling tinggi yaitu rendahnya kerusakan infrastruktur jaringan irigasi (%) (2), pembiayaan untuk operasionalisasi dan pemeliharaan (Rp/tahun) (4) dan efisiensi kegiatan O&P (5), sedangkan sub elemen jumlah tanaman (unit/ha) (1), efisiensi dan efektivitas kegiatan kelompok petani pemakai air (%) (3) dan stabilitas harga hasil panen (Rp/kg) (6) merupakan peubah dependent. (9)
Elemen Lembaga yang Terkait Elemen lembaga yang terkait mempunyai 9 sub elemen yaitu (1)
Pemerintah tingkat kabupaten, (2) Pemerintah tingkat provinsi, (3) Pemerintah tingkat pusat, (4) P3A/GP3A/IP3A dan kelompok tani lainnya, (5) Lembaga pengusaha mikro dan kecil, (6) Lembaga Keuangan Mikro, (7) LSM, (8) Perguruan Tinggi dan (9) Lembaga Keagamaan. Untuk lebih jelasnya gambaran mengenai elemen lembaga yang terkait dalam strukturisasinya dapat dilihat pada Tabel 29.
151
Tabel 29 Matriks reachibility elemen lembaga yang terkait No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Drv
R
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
8
2
2
1
1
0
1
1
1
1
1
1
8
2
3
1
1
1
1
1
1
1
1
1
9
1
4
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
6
5
0
0
0
1
1
0
1
0
0
3
4
6
0
0
0
1
1
1
1
0
0
4
3
7
0
0
0
1
1
0
1
0
0
3
4
8
0
0
0
1
0
0
0
1
0
2
5
9
1
1
0
1
1
1
1
1
1
8
2
Dep
4
4
1
9
7
5
7
5
4
L
4
4
5
1
2
3
2
3
4
D R I V E R P O W E R
Independent
Linkage
Autonomous
Dependent
Dependence
Gambar 43 Grafik driver-power independent elemen lembaga yang terkait
152
P3A.GP3A, IP3A dan kelompok tani lainnya
Lembaga pengusaha mikro dan
LSM
Perguruan Tinggi
LKM
Pemerintah tingkat kabupaten
Pemerintah tingkat provinsi
Lembaga Keagamaan
Pemerintah tingkat pusat
Gambar 44 Struktur program elemen lembaga yang terkait Sub elemen pemerintah tingkat kabupaten (1), pemerintah tingkat provinsi (2), pemerintah tingkat pusat (3) dan lembaga keagamaan (9) merupakan peubah independent dalam program sistem pengelolaan irigasi terpadu dan sub elemen pemerintah tingkat pusat (3) mempunyai driver power tertinggi dan menjadi elemen kunci. 6.3.
Model Strategi Kebijakan Pengelolaan Irigasi Berkelanjutan Kerangka model kebijakan dibangun melalui pengidentifikasian terhadap
aktor berikut fungsinya, koordinasi dan kerjasama antarlembaga, dan program kegiatan. Dalam model pengelolaan irigasi melalui pengembangan Program Konservasi Sumber Daya Air dan Rehabilitasi Jaringan Irigasi Terpadu atau PKSARI-Terpadu terdapat beberapa aktor penting di daerah yang meliputi : (1) Bupati dan DPRD; (2) Komisi Irigasi; (3) Bappeda; (4) Dinas PKT; (5) Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pertambangan; (6) Dinas Pertanian; (7) masyarakat, termasuk didalamnya adalah masyarakat petani, masyarakat konservasi, tokoh masyarakat, organisasi P3A/GP3A/IP3A; dan (8) lembaga penunjang pendanaan seperti BPD, LKM, Bank, dan Askrindo/SPU.
153
Fungsi dari masing-masing aktor atau pelaku yang terdapat dalam model secara umum adalah sebagai berikut: (1) Bupati dan DPRD sebagai unsur pemerintahan daerah berfungsi untuk menetapkan kebijakan daerah (peraturan daerah, keputusan daerah, dan lainnya)
yang
terkait
dengan
model
PKSARI-Terpadu
baik
dalam
menentukan kegiatan pembangunan maupun anggaran pembiayaan pembangunan daerah. (2) Komisi irigasi sebagai salah satu lembaga koordinasi di daerah yang membidangi sumber daya air dan irigasi berfungsi untuk menyelenggarakan koordinasi dan komunikasi antara pemerintah kabupaten, perkumpulan petani pemakai air tingkat daerah irigasi, dengan pengguna jaringan irigasi untuk keperluan lainnya. (3) Bappeda mempunyai fungsi untuk penyusunan program pembangunan daerah dan rencana tahunan pembangunan daerah, penyelenggaraan koordinasi, perumusan kebijakan umum pemerintahan, perencanaan anggaran pembangunan, koordinasi pelaksanaan penelitian, dan monitoring evalusasi program dan rencana tahunan pembangunan daerah. (4) Dinas perhutanan dan Konservasi Tanah mempunyai fungsi untuk penyiapan bahan perumusan kebijakan umum dan teknis di bidang perhutanan dan konservasi tanah, penyelenggaraan pelayanan umum dan perizinan, pembinaan unit pelaksana teknis daerah di lingkungan dinas perhutanan dan konservasi tanah. (5) Dinas pengelolaan sumber daya air dan pertambangan mempunyai fungsi penyiapan bahan perumusan kebijakan umum dan teknis bidang pengairan dan pertambangan, penyelenggaraan pelayanan umum dan perizinan, serta pembinaan unit pelaksana teknis daerah di lingkungan dinas pengelolaan sumber daya air dan pertambangan. (6) Dinas pertanian mempunyai fungsi penyiapan bahan perumusan kebijakan umum
dan
teknis
bidang
pertanian
tanaman
pangan-hortikultura-
perkebunan, penyelenggaraan pelayanan umum dan perizinan, serta pembinaan unit pelaksana teknis daerah di lingkungan dinas pertanian.
154
(7) Masyarakat petani dan konservasi hutan merupakan pelaku pengguna dan partisipan pembangunan, sedangkan tokoh masyarakat mempunyai fungsi dalam melakukan pembinaan terhadap masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan dan pemanfaatan secara arif potensi sumber daya alam yang ada.
Organisasi P3A/GP3A/IP3A mempunyai fungsi sebagai
lembaga pengelola irigasi di tingkat tersier dan wakil dalam berpartisipasi di tingkat primer dan sekunder. (8) Lembaga penunjang pendanaan (BPD, LKM, Bank, dan Askrindo/SPU) mempunyai fungsi dalam memfasilitasi akses pendanaan melalui berbagai macam
kredit
penunjang
dalam
setiap
akses
masyarakat
dalam
meningkatkan kesejahteraannya. Selain beberapa pelaku tersebut, juga keterlibatan perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat menjadi sedemikian penting terutama dalam fungsi penunjang dan mitra pemerintahan daerah dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan baik melalui penelitian dan pengembangan maupun melalui jasa pendampingan datau fasilitasi masyarakat lainnya yang sesuai kebutuhan. Sedangkan kelembagaan di tingkat Pusat dan Provinsi berfungsi dalam memberikan arah dan fasilitasi kebijakan pembangunan dan anggaran kegiatan pembangunan yang selaras dalam satu kesatuan wilayah administratif. Fungsi-fungsi antarlembaga yang terdapat dalam model PKSARI-Terpadu dapat berlangsung dengan baik apabila dijembatani oleh suatu pertemuan koordinasi dan sinkronisasi untuk mengintegrasikan program-program kerja terkait dari masing-masing kelembagaan. Masing-masing kelembagaan tersebut membutuhkan kerjasama dan koordinasi yang ditingkat pengelolaan irigasi diwadahi dalam lembaga komisi irigasi yang melaksanakan rapat rutin sebanyak 2 (dua) kali dalam setahun. Selain itu juga terdapat koordinasi pembangunan diantara instansi pemerintah atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait dalam mendukung model PKSARI-Terpadu secara utuh di daerah. Manfaat dari koordinasi tersebut adalah menselaraskan berbagai program kegiatan sektoral menjadi satu kesatuan program kegiatan pembangunan daerah yang dibutuhkan dalam implementasi model PKSARI-Terpadu sebagai bahan masukan kepada Bupati dan DPRD dalam proses penetapan kebijakan daerah dalam menunjang
155
strategi kegiatan pengelolaan irigasi secara berkeleanjutan sebagai bagian dari kegiatan pembangunan daerah. Secara umum, model PKSARI-Terpadu merefleksikan sintesis dari aspek legal baik berupa peraturan maupun kebijakan, pendanaan baik yang bersumber dari APBN, APBD maupun masyarakat, dan penguatan kapasitas (capacity building) kelembagaan baik di tingkat pemerintahan daerah maupun petani pemakai air. Penyempurnaan sintesis tersebut didukung oleh kegiatan penelitian dan
pengembangan
dari
perguruan
tinggi/LSM.
Semua
kebijakan
dan
pendanaan pengelolaan irigasi dikoordinasikan melalui komisi irigasi (BAPPEDA, Dinas PSDAP, Dinas Pertanian, Dinas PKT, dan P3A/GP3A/IP3A).
Komisi
irigasi diharapkan memberikan masukan penyusunan dan perencanaan program pengembangan dan pengelolaan sistim irigasi kepada Bupati untuk diselaraskan dengan hasil rumusan musyawarah rencana pembangunan yang dilakukan oleh BAPPEDA sebagai lembaga yang mempunyai fungsi koordinasi dan sinkronisasi serta konsolidasi penyusunan perencanaan strategis daerah dan RTRWD. Model PKSARI-Terpadu menunjukkan adanya tiga garis fungsi, yaitu pendanaan yang ditandai oleh garis berwarna (biru), kebijakan yang ditandai oleh garis hitam lurus, dan koordinasi yang ditandai oleh garis hitam terputus-putus. Berdasarkan Gambar aliran dana terlihat bahwa terdapat berbagai jenis pendanaan yang dibutuhkan baik itu berasal dari APBN, APBD, maupun lembaga perbankan dan lembaga keuangan mikro.
Jenis-jenis pendanaan
tersebut ada yang bersifat sebagai DPA, DAU, maupun Dana Operasi, Pemeliharan dan Rehabilitasi (DOPR) dengan daya dukung kredit (KKMH, KUMK, KKP-E, dan KUR) dari lembaga perbankan maupun kembaga keuangan mikro, yang ditunjang oleh ASKRINDO/SPU. Selain itu juga yang tidak kalah pentingnya adalah kontribusi dari masyarakat yang diwujudkan melalui Iuran Pengelolaan Irigasi (IPI). Sedangkan garis kebijakan dan koordinasi membutuhan keterlibatan beberapa kelembagaan pemerintahan daerah, termasuk Bupati, DPRD, Komisi Irigasi, dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terkait dengan rancangan model, yaitu: (1) Bappeda; (2) Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah; (3) Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pertambangan; dan (4) Dinas Pertanian. Kelembagaan lainnya yang berada di luar instansi pemerintah
156
adalah perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat serta organisasi P3A/GP3A/IP3A dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Model PKSARI-Terpadu yang dimaksud dirumuskan dalam kerangka rancangan model sebagaimana terlihat pada Gambar 45.
KOMISI IRIGASI
BUPATI
Bappenas, Depdagri, DepPU, Deptan dan DepKeu
Kebijakan
DPRD
APBN/APBD
APBD
PROVINSI DPA dan DAU
BAPPEDA RENSTRADA APBD
DINAS PSDAP DOPR
U m p a n B a lik In f o r m a s i
Normalisasi
KPL
OPOR
CBD
Pengelolaan IRIGASI (Prim&Sek.)
Pelestarian SDA (Sungai)
Lahan Produksi
MASYARAKAT PETANI
Pengelolaan Tersier
KUMK
Konservasi Hutan di Wilayah Resapan
P a r t is ip a s i
BPD
DINAS PERTANIAN
Pembinaan
F a s ilit a s i
DINAS KEHUTANAN dan KT
IPI IPI
KUR/ KKP-E
LKM
CBD
Pembinaan
Keterangan : = Aliran dana = Kebijakan = Koordinasi
Keuntungan Usahatani
BANK
- Ketersediaan Air - Kebutuhan Air Tanaman - Produktivitas Pertanian - Pendapatan Usahatani
KKD
- KUMK - KKMH
Pasar Usahatani
Partisipasi
P3A/GP3A/ IP3A
LKM
Hasil Usahatani
MASYARAKAT KONSERVASI HUTAN
Pembinaan
DAU = Dana Alokasi Umum DPA = Daftar Pelaksanaan Anggaran KKMH = Kredit Konservasi Masyarakat Hutan KUMK = Kredit Usaha Mikro dan Kecil APBD = Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBN = Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional
TOKOH MASYARAKAT/ AGAMA/ADAT
Pembinaan
DPRD = Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KKP-E = Kredit Ketahanan Pangan dan Energi RTRWD = Rencana Tata Ruang dan Wilayah Daerah DOPR = Dana Operasi, Pemeliharaan, Rehabilitasi IPI = Iuran Pengelolaan Irigasi LSM = Lembaga Swadaya Masyarakat
Daya Beli
KPL = Kelompok Pendamping Lapangan LKM = Lembaga Keuangan Mikro BPD = Bank Pembangunan Daerah CBD = Capacity Building Development SPU = Sarangan Pengembangan Usaha OPOR = Operasi, Pemeliharaan, dan Rehabilitasi
P3A = Perkumpulan Petani Pemakai Air GP3A = Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air IP3A = Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air KUR = Kredit Usaha Rakyat KKD = Kesepakatan Konservasi Desa
Gambar 45 Model PKSARI-Terpadu Dalam model sebagaimana terlihat pada Gambar 53 juga menunjukkan bahwa fungsi kebijakan dan pembinaan dijalankan melalui berbagai program
157
kegiatan antara lain adalah (1) konservasi hutan di wilayah resapan; (2) pelestarian sumber daya air (sungai) melalui kegiatan normalisasi dan padat karya; (3) pengelolaan irigasi yang mantap baik di tingkat jaringan utama (primer maupun sekunder) dan pengelolaan di jaringan tersier; (4) Optimalisasi lahan produksi melalui kegiatan usahatani; dan (5) kebijakan pasar usahatani yang mendukung akses pemasaran hasil usahatani masyarakat setempat. Daya
dukung
rancangan
model
PKSARI-Terpadu
tersebut
juga
membutuhkan seperangkat kebijakan dan regulasi yang mendukung termasuk bantuan pendanaan dari Provinsi maupun Pusat (Bappenas, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian dan Departemen Keuangan).
Sinkronisasi
pengaturan,
kebijakan,
maupun
program
dan
pendanaannya baik sangat dibutuhkan baik dari pemerintah kabupaten, provinsi maupun Pusat. Hasil akhir atau keluaran yang diharapkan dari rancangan model tersebut meliputi: (1) adanya ketersediaan air yang cukup sepanjang tahun; (2) penyediaan kebutuhan air tanaman yang mencukupi batas-batas optimal pertumbuhannya; (3) adanya produktivitas hasil pertanian yang meningkat; dan (4) adanya pendapatan usahatani yang didukung oleh pendapatan lainnya dalam rangka pencapaian kesejahteraan masyarakat. Mekanisme fungsi dari keseluruhan model tersebut diuraikan secara lebih sederhana melalui 3 (tiga) submodel, yaitu: (1) submodel program konservasi sumber daya air; (2) submodel program pengelolaan/rehabilitasi jaringan irigasi; dan (3) submodel program peningkatan pendapatan usahatani.
Penjelasan
ketiga rancangan submodel tersebut diuraikan pada bagian masing-masing sebagai berikut. 6.4.
Submodel Konservasi Sumber Daya Air Secara umum, rancangan submodel yang pertama, yaitu program
konservasi sumber daya air ditujukan untuk meningkatkan areal kawasan hutan lindung dan rehabilitasi lahan kritis agar mempunyai kemampuan handal dalam menyimpan air untuk berbagai kebutuhan masyarakat.
Selain itu juga dapat
berfungsi sebagai paru-paru kabupaten dan pengendali banjir atas limpahan air yang tidak terkendali. Dukungan untuk mensukeskan program tersebut adalah adanya kesepakatan dan kesepahaman yang ditunjang oleh komitmen yang baik
158
antara Bupati dan DPRD setempat dalam pengembangan program konservasi hutan di wilayah resapan. Gambaran selengkapnya mengenai rancang bangun submodel program konservasi sumber daya air dapat dilihat pada Gambar 46.
KOMISI IRIGASI
BUPATI
DPRD
Bappenas, Depdagri, DepPU, Deptan dan DepKeu
Kebijakan APBN/APBD
APBD PROVINSI Pelaksanaan dan Pengendalian
DPA dan DAU APBD
DINAS KEHUTANAN
BAPPEDA Perencanaan Strategis Daerah dan RTRWD
Konservasi Hutan di Wilayah Resapan P a r tis ip a s i
BPD
Umpan Balik Informasi
LKM
KUMK, KKMH
Hutan Lestari
Kelestarian SDA
KKD
MASYARAKAT KONSERVASI HUTAN
Pembinaan
TOKOH MASYARAKAT DAN AGAMA
Keterangan :
= Aliran dana = Kebijakan = Koordinasi
DAU = Dana Alokasi Umum DPA = Daftar Pelaksanaan Anggaran BPD = Bank Pembangunan Daerah KUMK = Kredit Usaha Mikro dan Kecil
APBD = Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBN = Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional LKM = Lembaga Keuangan Mikro KKMH = Kredit Konservasi Masyarakat Hutan
BPD = Bank Pembangunan Daerah
KKD = Kesepakatan Konservasi Desa DPRD = Dewan Perwakilan Rakyat Daerah RTRWD = Rencana Tata Ruang dan Wilayah Daerah
Gambar 46 SubModel Konservasi Sumber Daya Air Kebijakan daerah yang ditetapkan untuk mendukung submodel tersebut perlu selaras dengan berbagai kebijakan dan regulasi yang ditetapkan di tingkat Pusat antara lain Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan Peraturan
159
Presiden No. 89 tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Kemantapan pengaturan tersebut juga perlu didukung peran perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat dalam upaya pengembangan konservasi sumber daya air.
Selain itu juga perlu dikembangkan gerakan
rehabilitasi hutan danlahan secara partisipatif dalam menekan luas lahan kritis yang cukup besar di bebrapa daerah Kabupaten Cianjur. Pelaku utama dari submodel konservasi sumber daya air adalah Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah dengan masyarakat konservasi hutan, sedangkan pelaku penunjang adalah Bappeda, tokoh masyarakat, dan lembaga pendanaan/perbankan serta Perhutani dan pihak lainnya yang mempunyai areal pengusahaan hutan di Kabupaten Cianjur. Program konservasi sumber daya air merupakan tugas utama dari Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (PKT) Kabupaten Cianjur dan juga masyarakat konservasi hutan untuk menjaga kelestarian kawasan hutan lindung dan menekan luasan lahan kritis yang ada di Kabupaten Cianjur. kelembagaan
Namun demikian program tersebut perlu didukung oleh
pemerintah
lainnya
terutama
dengan
Bappeda
dalam
mensinkronisasikan dalam kesatuan perencanaan strategis daerah dan RTRWD. Kegiatan yang dikembangkan dalam program tersebut adalah konservasi hutan di wilayah resapan.
Tujuan dari kegiatan ini adalah mengembangkan hutan
lestari sehingga memberikan kemanfaatan bagi ketersediaan sumber daya air sepanjang tahun di Kabupaten Cianjur. Sebagaimana yang dijelaskan dalam permasalahan bahwa luas hutan lindung semakin menurun, sedangkan luas lahan kritis semakin bertambah.
Kondisi demikian tentunya ironis dengan
potensi sumber daya alam yang terdapat di Kabupaten Cianjur tersebut. Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur dalam mengembangan program konservasi sumberdaya air tersebut harus dituangkan dalam tugas pokok dan fungsi Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah. berdampak
langsung
pada
kebutuhan
pembiayaan
Hal ini akan
anggaran
program
kegiatannya baik melalui mekanisme DPA maupun DAU. Pemantapan program tersebut perlu ditunjang oleh mekanisme koordinasi yang baik, khususnya Dinas PKT dengan Bappeda dalam mewujudkan tujuan konservasi sumber daya air. Selain upaya konservasi, juga perlu dikembangkan reboisasi lahan dan hutan
160
agar dapat mencapai target luasan kawasan lindung sebagaimana yang ditetapkan dalam rencana strategis pembangunan daerah. Pengembangan program kegiatan juga perlu ditunjang oleh pendanaan melalui akses kredit yang diberikan oleh Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dari sumber BPD yang dialokasikan dari APBD melalui Kredit Usaha Mikro dan Kecil (KUMK) dan Kredit Konservasi Masyarakat Hutan (KMKH) kepada masyarakat di sekitar hutan dan kawasan lahan kritis.
Kredit tersebut ditujukan untuk
menunjang upaya Kesepakatan Konservasi Desa (KKD) kepada kelompok masyarakat konservasi hutan di wilayah hulu agar dapat berpartisipasi secara positif melalui daya dukung pembinaan dari tokoh masyarakat dan agama. KKD merupakan suatu kesepakatan dan kesepahaman antara masyarakat desa dengan pihak pengelola kehutanan atau pemerintah secara umum, yang berisikan kesepakatan masyarakat desa untuk mendukung pengamanan, pelestarian kawasan hutan serta mendukung proses pembangunan melalui pengembangan strategi pembangunan desa yang berwawasan lingkungan. KKD memuat nilai-nilai perlindungan, penyelamatan dan pemanfaatan sumber daya alam di desa serta peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa. Selain itu
juga
KKD
mencantumkan
kesepakatan
untuk
ikut
melindungi
dan
menyelamatkan serta melestarikan kawasan hutan terutama yang berada di wilayah desa sebagai daerah resapan air yang utama. Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan antara lain adalah: (1) identifikasi lokasi; (2) identifikasi kelompok masyarakat di daerah hulu; (3) pembentukan Kelompok Masyarakat Konservasi Hutan; (4) pelatihan-pelatihan dan pengembangan keterampilan; (5) pemberian bibit secara cuma-Cuma sebagai akses dalam membuka kesempatan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat; dan (6) fasilitasi kredit konservasi dalam menunjang program konservasi sumber daya air. Kelembagaan lainnya yang cukup penting untuk diperhatikan dan terlibat secara aktif falam submodel konservasi sumber daya air adalah Perum Perhutani. Secara umum, Perum Perhutani merupakan salah satu badan usaha yang mempunyai kegiatan antara lain dalam pemanfaatan hutan produksi. Peran Perhutani juga cukup startegis dalam pengembangan model.
Keterlibatan
Perhutani dalam mendukung program Pemerintah Daerah harus menjadi sebuah
161
realita, dan tidak lagi sepihak seperti sebelumnya yang berjalan sendiri-sendiri. Perhutani harus mendukung kebijakan submodel PKSARI-Terpadu ini dalam mengembangkan konservasi sumber daya air.. perhutani
juga
perusahaan
harus
atau
mengkikuti
yang
lebih
Selain mendukung program,
kaidah-kaidah
dikenal
dengan
tanggungjawab CSR
(Corporate
sosial Social
Responsibility). Sejalan dengan berbagai pengembangan program CSR, maka dipandang perlu juga dilakukan oleh perusahan yang bergerak dalam pengusahaan hutan, termasuk Perhutani. Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility,
CSR)
merupakan
bagian
yang
integral
dari
berbisnis.
Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan juga harus menyadari hal tersebut. Salah satu program CSR kehutanan yang dipandang sangat penting adalah upaya menuju pengelolaan hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management).
6.5.
Submodel Pengelolaan Irigasi/ Rehabilitasi Jaringan Irigasi Secara
umum,
rancangan
submodel
yang
kedua,
yaitu
program
pengelolaan irigasi/rehabilitasi jaringan irigasi ditujukan untuk meningkatkan kapasitas
jaringan
irigasi
agar
mempunyai
kemampuan
handal
dalam
mengamankan jalannya air dari sumbernya menuju petakan tersier sebagai media pertumbuhan tanaman, khususnya padi. Selain itu juga dapat berfungsi sebagai pengendali kelebihan air melalui sistem drainase yang tepat. Dukungan untuk mensukeskan program tersebut adalah adanya kesepakatan dan kesepahaman yang ditunjang oleh komitmen yang baik antara Bupati dan DPRD setempat dalam pengembangan program pengelolaan irigasi/rehabilitasi jaringan irigasi.
Secara lebih sederhana, Gambaran selengkapnya mengenai rancang
bangun submodel program pengelolaan irigasi/rehabilitasi jaringan irigasi dapat dilihat pada Gambar 47.
162
KOMISI IRIGASI
Kebijakan
DPRD
BUPATI
APBN/APBD
APBD
Bappenas, Depdagri, DepPU, Deptan dan DepKeu
PROVINSI Pelaksanaan dan Pengendalian
DPA dan DAU DINAS PSDAP
Pembinaan
BAPPEDA
Dana OPOR
Perencanaan Strategis Daerah dan RTRWD
KPL Normalisasi Sungai
O&P, Rehabilitasi Debit
Pelestarian SDA (Sungai)
Pengelolaan IRIGASI (Prim&Sek.)
Pelayanan C a p a c ity B u ild in g (P e m b e rd a y a a n )
Pengelolaan Tersier
IPI Partisipasi Umpan Balik Informasi
P3A/GP3A/ IP3A
Optimalisasi Jaringan Irigasi
Pembinaan
TOKOH MASYARAKAT/ AGAMA/ADAT Keterangan :
= Aliran dana = Kebijakan = Koordinasi
APBD = Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBN = Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasiona DPA = Daftar Pelaksanaan Anggaran DAU = Dana Alokasi Umum
IPI = Iuran Pengelolaan Irigasi KPL = Kelompok Pendamping Lapanga RTRWD = Rencana Tata Ruang & Wil. Dae DPRD = Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
P3A = Perkumpulan Petani Pemakai Air GP3A = Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air IP3A = Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air
Gambar 47 SubModel Pengelolaan/Rehabilitasi Jaringan Irigasi Kebijakan daerah yang ditetapkan untuk mendukung submodel tersebut perlu selaras dengan berbagai kebijakan dan regulasi yang ditetapkan di tingkat Pusat antara lain Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi.
Kemantapan
pengaturan tersebut juga perlu didukung peran perguruan tinggi dan lembaga
163
swadaya masyarakat dalam upaya pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi secara partisipatif. Pelaku utama dalam submodel tersebut adalah Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan masyarakat petani pemakai air yang tergabung
dalam
wadah
organisasi
Perkumpulan
Petani
Pemakai
Air
(P3A/GP3A/IP3A) di tingkat daerah irigasi dalam melaksanakan program kegiatan utama, yaitu pengembangan dan pengelolaan sistim irigasi. Sedangkan pelaku penunjangnya adalah Bappeda, tokoh masyarakat, dan KPL (Kecamatan, Desa, Mantri Pengairan dan Penyuluh Pertanian Lapangan). Program pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi bertujuan untuk mewujudkan kemanfaatan air dalam bidang pertanian yang diselenggarakan secara partisipatif dan pelaksanaannya dilakukan dengan berbasis pada peran serta masyarakat petani melalui wadah organisasi P3A/GP3A/IP3A. Partisipasi masyarakat petani tersebut dalam kegiatan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder dilaksanakan berdasarkan prinsip: (1) sukarela dengan berdasarkan hasil musyawarah dan mufakat; (2) kebutuhan, kemampuan, dan kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat petani di daerah irigasi yang bersangkutan; dan (3) bukan bertujuan untuk mencari keuntungan. Dalam melaksanakan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder, Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya wajib membuka kesempatan
seluas-luasnya,
serta
mendorong
masyarakat
petani
(P3A/GP3A/IP3A) untuk berpartisipasi dalam pekerjaan tertentu sesuai dengan semangat kemitraan dan kemandirian. Partisipasi tersebut dilaksanakan untuk meningkatkan rasa memiliki, rasa tanggung jawab, serta meningkatkan kemampuan masyarakat petani dan organisasi P3A/GP3A/IP3A dalam rangka mewujudkan efisiensi, efektivitas, dan keberlanjutan sistem irigasi. Partisipasi masyarakat tersebut dapat berupa pemikiran awal, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan
kegiatan
dalam
pembangunan,
peningkatan,
operasi,
pemeliharaan, dan rehabilitasi baik yang diwujudkan dalam bentuk sumbangan pemikiran, gagasan, waktu, tenaga, material, mapun dana. Program pengelolaan irigasi/rehabilitasi jaringan irigasi merupakan tugas utama dari Dinas Pengelolaam Sumber Daya Air dan Pertambangan (Dinas
164
PSDAP) Kabupaten Cianjur. Namun demikian program tersebut perlu didukung oleh kelembagaan pemerintah lainnya terutama dengan Dinas PKT dan Bappeda dalam mensinkronisaikan program dalam kesatuan perencanaan strategis daerah dan RTRWD Kabupaten Cianjur. Kegiatan yang dikembangkan dalam program tersebut adalah pelestarian sumber daya air permukaan melalui kegiatan normalisasi sungai dan padat karya (terutama untuk drainase), serta pengelolaan irigasi baik tingkat jaringan utama (primer dan sekunder) serta pengelolaan di jaringan tersier melalui kegiatan operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi jaringan irigasi.
Tujuan dari kegiatan ini adalah meningkatkan
kaspsitas jaringan yang dapat memberikan kemampuan sesuai fungsinya sehingga dapat memberikan kemanfaatan bagi penyediaan air untuk kebutuhan tanaman pada setiap musim tanam di Kabupaten Cianjur. Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Cianjur dalam mengembangkan program pengelolaan irigasi/rehabilitasi jaringan irigasi tersebut harus dituangkan dalam tugas pokok dan fungsi Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pertambangan (Dinas PSDAP). Implikasi dituangkannya dalam rencana strategis dinas terkait dengan pengembangan program pengelolaan irigasi/rehabilitasi jaringan irigasi adalah pembiayaan anggaran program kegiatan baik melalui mekanisme DPA maupun DAU. Selain itu juga perlu ditunjang oleh kontribusi masyarakat
petani
pemakai
air
melalui
mekanisme
pemungutan
Iuran
Pengelolaan Irigasi (IPI). Pemantapan program tersebut perlu ditunjang oleh mekanisme koordinasi yang baik, khususnya Dinas PSDAP dengan Dinas PKT dan Bappeda dalam mewujudkan tujuan pengelolaan irigasi/rehabilitasi jaringan irigasi. Selain upaya pengelolaan irigasi/rehabilitasi jaringan irigasi, juga perlu dikembangkan program pengeringan agar kondisi jaringan irigasi dapat dilakukan perbaikan secara lebih mudah untuk menjaga dan meningkatkan tingkat kefungsiannya. Pengembangan program juga perlu ditunjang oleh pemberdayaan organisasi P3A/GP3A/IP3A baik melalui pendampingan maupun pembinaan dari Kelompok Pendamping Lapangan (KPL).
Hal yang penting lainnya adalah
pembentukan dan pengembangan komisi irigasi sesuai dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. adalah
lembaga
koordinasi
dan
Komisi irigasi kabupaten/kota
komunikasi
antara
wakil
pemerintah
165
kabupaten/kota, wakil perkumpulan petani pemakai air tingkat daerah irigasi, dan wakil pengguna jaringan irigasi pada kabupaten/kota. Komisi irigasi kabupaten dibentuk dengan keputusan Bupati dan berada di bawah serta bertanggung jawab langsung kepada Bupati. Secara umum, komisi irigasi kabupaten/kota mempunyai wilayah kerja yang meliputi: (1) daerah irigasi yang pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggung jawab kabupaten yang meliputi daerah irigasi yang luasnya kurang dari 1000 ha; (2) daerah irigasi yang pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah provinsi yang meliputi daerah irigasi yang luasnya 1000 ha sampai dengan 3000 ha yang berada dalam satu kabupaten yang sudah ditugas-pembantuankan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten; (3) daerah irigasi yang pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah yang meliputi daerah irigasi yang luasnya lebih dari 3000 ha dan daerah irigasi strategis nasional yang berada dalam satu kabupaten, baik yang sudah ditugaspembantuankan maupun yang belum ditugaspembantuankan dari Pemerintah kepada pemerintah kabupaten; dan (4) daerah irigasi desa. Pada daerah irigasi dimana pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggung jawab kabupaten yang meliputi daerah irigasi yang luasnya kurang dari 1000 ha, komisi irigasi kabupaten membantu bupati dengan tugas: (1) merumuskan rencana kebijakan untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi dan fungsi irigasi; (2) merumuskan rencana tahunan penyediaan, pembagian, dan pemberian air irigasi yang efisien bagi pertanian dan keperluan lain; (3) merekomendasikan prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi melalui forum musyawarah pembangunan; (4) memberikan pertimbangan mengenai izin alih fungsi lahan beririgasi;
166
(5) merumuskan rencana tata tanam yang telah disiapkan oleh dinas instansi terkait dengan mempertimbangkan data debit air yang tersedia pada setiap daerah irigasi,
pemberian air serentak atau golongan, kesesuaian jenis
tanaman, serta rencana pembagian dan pemberian air; (6) merumuskan rencana pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi yang meliputi prioritas penyediaan dana, pemeliharaan, dan rehabilitasi; (7) memberikan masukan dalam rangka evaluasi pengelolaan aset irigasi; (8) memberikan pertimbangan dan masukan atas pemberian izin alokasi air untuk kegiatan perluasan daerah layanan jaringan irigasi dan peningkatan jaringan irigasi; (9) memberikan masukan atas penetapan hak guna pakai air untuk irigasi dan hak guna usaha untuk irigasi kepada badan usaha, badan sosial, ataupun perseorangan; (10) membahas dan memberi pertimbangan dalam mengatasi permasalahan daerah irigasi akibat kekeringan, kebanjiran, dan akibat bencana alam lain; (11) memberikan
masukan
dan
pertimbangan
dalam
proses
penetapan
peraturan daerah tentang irigasi; (12) memberikan masukan dan pertimbangan dalam upaya menjaga keandalan dan keberlanjutan sistem irigasi; dan (13) melaporkan hasil kegiatan kepada bupati/walikota mengenai program dan progres, masukan yang diperoleh, serta melaporkan kegiatan yang dilakukan selama 1 (satu) tahun. Pada daerah irigasi dimana pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah provinsi yang meliputi daerah irigasi yang luasnya 1000 ha sampai dengan 3000 ha yang berada dalam satu kabupaten yang sudah ditugas-pembantuankan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten, komisi irigasi kabupaten/kota membantu bupati dengan tugas: (1) mengusulkan
rumusan
rencana
kebijakan
kepada
gubernur
mempertahankan dan meningkatkan kondisi dan fungsi irigasi;
untuk
167
(2) merumuskan rencana tahunan penyediaan, pembagian dan pemberian air irigasi bagi pertanian dan keperluan lainnya; (3) merekomendasikan prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi melalui forum musyawarah pembangunan untuk diteruskan kepada gubernur; (4) merumuskan rencana tata tanam yang telah disiapkan oleh dinas instansi terkait dengan mempertimbangkan data debit air yang tersedia pada setiap daerah irigasi,
pemberian air serentak atau golongan, kesesuaian jenis
tanaman, rencana pembagian dan pemberian air untuk diteruskan kepada gubernur; (5) merumuskan rencana pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi yang meliputi prioritas penyediaan dana, pemeliharaan, dan rehabilitasi untuk diteruskan kepada gubernur; (6) memberikan masukan dalam rangka evaluasi pengelolaan aset irigasi untuk diteruskan kepada gubernur; (7) memberikan pertimbangan dan masukan atas pemberian izin alokasi air untuk kegiatan perluasan daerah layanan jaringan irigasi dan peningkatan jaringan irigasi untuk diteruskan kepada gubernur; (8) memberikan masukan kepada bupati/walikota, atas penetapan hak guna pakai air untuk irigasi dan hak guna usaha air untuk irigasi kepada badan usaha, badan sosial, ataupun perseorangan; (9) membahas dan memberikan pertimbangan dalam mengatasi permasalahan daerah irigasi akibat kekeringan, kebanjiran, dan akibat bencana alam lain; (10) memberikan
masukan
dan
pertimbangan
dalam
proses
penetapan
peraturan daerah tentang irigasi; (11) memberikan masukan dan pertimbangan dalam upaya menjaga keandalan dan keberlanjutan sistem irigasi; dan (12) melaporkan hasil kegiatan kepada bupati/walikota, mengenai program dan progres, masukan yang diperoleh, serta melaporkan kegiatan yang dilakukan selama 1 (satu) tahun.
168
Pada daerah irigasi dimana pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah yang meliputi daerah irigasi yang luasnya lebih dari 3000 ha dan daerah irigasi strategis nasional yang berada dalam satu kabupaten, baik yang sudah ditugaspembantuankan maupun yang belum ditugaspembantuankan dari Pemerintah kepada pemerintah kabupaten, komisi irigasi kabupaten membantu bupati dengan tugas: (1) mengusulkan rumusan kebijakan untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi dan fungsi irigasi kepada Menteri; (2) merumuskan rencana tahunan penyediaan, pembagian, dan pemberian air irigasi bagi pertanian serta keperluan lainnya; (3) merekomendasikan prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi melalui forum musyawarah pembangunan untuk diteruskan kepada Menteri; (4) merumuskan rencana tata tanam yang telah disiapkan oleh dinas instansi terkait dengan mempertimbangkan data debit air yang tersedia pada setiap daerah irigasi,
pemberian air serentak atau golongan, kesesuaian jenis
tanaman, rencana pembagian dan pemberian air untuk diteruskan kepada Menteri ; (5) merumuskan rencana pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi yang meliputi prioritas penyediaan dana, pemeliharaan, dan rehabilitasi untuk diteruskan kepada Menteri; (6) memberikan masukan dalam rangka evaluasi pengelolaan aset irigasi untuk diteruskan kepada Menteri; (7) memberikan pertimbangan dan masukan atas pemberian izin alokasi air untuk kegiatan perluasan daerah layanan jaringan irigasi dan peningkatan jaringan irigasi; (8) memberikan masukan kepada bupati/walikota, atas penetapan hak guna pakai air untuk irigasi dan hak guna usaha air untuk irigasi kepada badan usaha, badan sosial, ataupun perseorangan; (9) membahas dan memberi pertimbangan dalam mengatasi permasalahan daerah irigasi akibat kekeringan, kebanjiran, dan akibat bencana alam lainnya;
169
(10) memberikan
masukan
dan
pertimbangan
dalam
proses
penetapan
peraturan daerah tentang irigasi; (11) memberikan masukan dan pertimbangan dalam upaya menjaga keandalan dan keberlanjutan sistem irigasi; dan (12) melaporkan hasil kegiatan kepada bupati/walikota mengenai program dan progres, masukan-masukan yang diperoleh serta kegiatan yang dilakukan selama 1 (satu) tahun. Untuk
melaksanakan
tugasnya
tersebut,
komisi
irigasi
kabupaten
menyelenggarakan fungsi koordinasi dan komunikasi antara pemerintah kabupaten, perkumpulan petani pemakai air tingkat daerah irigasi, dengan pengguna jaringan irigasi untuk keperluan lainnya pada kabupaten yang bersangkutan.
Berdasarkan hal tersebut betapa pentingnya peranan dan
kedudukan komisi irigasi dalam pengembangan dan pengelolaan sisitim irigasi di Kabupaten Cianjur. Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa komisi irigasi kabupaten Cianjur sudah dibentuk pada tahun 2006 namun belum sepenuhnya sesuai dengan kebijakan terbaru, sehingga perlu direvitalisasi dengan paradigma baru sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 31/M/PRT/2007 tentang pedoman mengenai Komisi Irigasi. Kelestarian sumber daya air mencerminkan ketersediaan air yang mencukupi untuk dikelola secara berdaya guna sepanjang tahun. Pengelolaan sumber daya air tersebut menjadi bagian dari kewenangan Dinas PSDAP, termasuk pengelolaan sungai dan sistim irigasi pada jaringan utama (primer dan sekunder) di daerah hilir.
Pengelolaan yang dilakukan oleh Dinas PSDAP
meliputi normalisasi sungai dan pelaksanaan operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi jaringan irigasi. Kapasitas pengelolaan jaringan utama memberikan kontribusi penting terhadap pengelolaan jaringan tersier yang dikelola oleh organisasi P3A/GP3A/IP3A.
Output yang dihasilkan dari kegiatan ini adalah
optimalisasi fungsi jaringan irigasi.
6.6.
Submodel Pengembangan Pertanian Beririgasi Secara umum, rancangan submodel yang ketiga, yaitu pengembangan
pertanian beririgasi ditujukan untuk meningkatkan pendapatan usahatani dalam
170
rangka
mencapai
kesejahteraan
masyarakat
petani.
Dukungan
untuk
mensukeskan program tersebut adalah adanya kesepakatan dan kesepahaman yang ditunjang oleh komitmen yang baik antara Bupati dan DPRD setempat dalam pengembangan program peningkatan pendapatan usahatani. Gambaran selengkapnya mengenai rancang bangun submodel pengembangan pertanian beririgasi dapat dilihat pada Gambar 48.
Kebijakan
KOMISI IRIGASI
DPRD
BUPATI
APBN/APBD
APBN
P e n ja m in K r e d it
Bappenas, Depdagri, DepPU, Deptan dan DepKeu
APBD PROVINSI Pelaksanaan dan Pengendalian
DPA dan DAU DINAS PERTANIAN
Pembinaan
KPL
Capacity Building (Pemberdayaan) Umpan Balik Informasi
P3A/GP3A/ IP3A Pembinaan
Lahan Produksi
Proses Produksi
KUMK
IPI
P e m b in a a n
MASYARAKAT PETANI
KKP-E, KUR
Hasil Usahatani
S u b s id i B u n g a
Pembinaan
ASKRINDO/SPU F a s ilit a s i S a ra n a d a n P ra s a ra n a
BAPPEDA
Pasar Usahatani
Keuntungan Usahatani
BANK
LKM Peningkatan Pendapatan Petani
TOKOH MASYARAKAT/ AGAMA/ADAT Daya Beli Keterangan : = Aliran dana = Kebijakan = Koordinasi
DAU = Dana Alokasi Umum DPA = Daftar Pelaksanaan Anggaran APBD = Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBN = Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional
DPRD = Dewan Perwakilan Rakyat Daerah RTRWD = Rencana Tata Ruang dan Wilayah Daerah KUR = Kredit Untuk Rakyat KKP-E = Kredit Ketahanan Pangan dan Energi
IPI = Iuran Pengelolaan Irigasi KPL = Kelompok Pendamping Lapangan LKM = Lembaga Keuangan Mikro KUMK = Kredit Usaha Mikro dan Kecil
P3A = Perkumpulan Petani Pemakai Air GP3A = Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air IP3A = Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air SPU = Sarangan Pengembangan Usaha ASKRINDO = Asuransi Kredit Indonesia
Gambar 48 Submodel Pengembangan Pertanian Beririgasi Kebijakan daerah yang ditetapkan untuk mendukung submodel tersebut perlu selaras dengan berbagai kebijakan dan regulasi terkait dengan pembangunan pertanian yang dicanangkan untuk periode tahun 2007 – 2011.
171
Pelaku utama dari submodel pengembangan pertanian beririgasi adalah Dinas Pertanian dan masyarakat petani pemakai air, sedangkan pelaku penunjangnya adalah Bappeda, KPL, organisasi P3A/GP3A/IP3A, tokoh masyarakat, dan lembaga pendanaan/perbankan. Submodel ketiga ini menggambarkan berbagai upaya yang diselenggarakan untuk meningkatkan intensitas tanam, optimalisasi pemanfaatan lahan, peningkatan produktivitas, ketahanan pangan daerah, dan peningkatan pendapatan usahatani. Beberapa program kegiatan yang ditetapkan dalam menjalankan submodel pengembangan pertanian beririgasi adalah sebagai berikut: (1) Program peningkatan kesejahteraan masyarakat. (2) Program peningkatan ketahanan pangan. (3) Program peningkatan pemasaran hasil produksi pertanian. (4) Program penerapan teknologi pertanian. (5) program peningkatan produksi pertanian. (6) program pemberdayaan penyuluh pertanian. Kemantapan berbagai program tersebut juga perlu didukung peran perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat dalam upaya peningkatan pendapatan usahatani dan kesejahteraan masyarakat petani.
Program
pengembangan pertanian beririgasi merupakan tugas utama dari Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur. Namun demikian program tersebut perlu didukung oleh kelembagaan pemerintah lainnya terutama dengan Bappeda dalam mensinkronisasikan dalam kesatuan perencanaan strategis daerah dan RTRWD dalam pembangunan daerah.
Kegiatan yang dikembangkan dalam program
tersebut adalah optimalisasi pemanfaatan lahan produksi dan pengembangan akses terhadap pasar usahatani.
Tujuan dari kegiatan ini adalah peningkatan
pendapatan petani di Kabupaten Cianjur. Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur dalam mengembangkan program pengembangan pertanian beririgasi harus dituangkan dalam tugas pokok dan fungsi Dinas Pertanian.
Hal ini akan berdampak langsung pada
kebutuhan pembiayaan anggaran program kegiatannya baik melalui mekanisme DPA maupun DAU.
Pemantapan program tersebut perlu ditunjang oleh
172
mekanisme
koordinasi
yang
baik,
khususnya
dengan
Bappeda
dalam
mewujudkan tujuan pengembangan pertanian beirigasi untuk peningkatan pendapatan usahatani. Upaya tersebut, juga membutuhkan daya dukung melalui kemudahan
akses
pasar
usahatani
agar
pendapatan
usahatani
dapat
ditingkatkan. Pengembangan program juga perlu ditunjang oleh akses kredit yang diberikan oleh Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dari sumber lembaga perbankan. Kredit tersebut ditujukan untuk menunjang upaya kredit ketahanan pangan dan energi (KKP-E) dan Kredit untuk Rakyat (KUR) kepada kelompok masyarakat petani di wilayah hilir. Kemampuan pengelolaan irigasi yang baik menggambarkan fungsi pelayanan secara optimal kepada masyarakat petani yang membutuhkan air irigasi untuk pertumbuhan tanaman dan proses produksi di lahan pertanian beririgasi. Kontribusi yang optimal dari irigasi terlihat dari intensitas tanam dan produksi usahatani yang dihasilkan untuk kemudian dipasarkan dengan daya dukung harga yang menguntungkan sehingga menghasilkan pendapatan usahatani yang lebih baik.
Apabila terjadi peningkatan pendapatan petani
tentunya secara relatif dapat menaikan daya beli masyarakat Iuran Pengelolaan Irigasi (IPI). Peran tokoh masyarakat dan agama sangat berperan dalam membina dan
menumbuhkan motivasi kepada KKMH, P3A/GP3A/IP3A, dan
masyarakat petani. Pemberdayaan juga diperlukan melalui fasilitasi KPL kepada organisasi P3A/GP3A/IP3A dan masyarakat petani baik melalui penyuluhan, pelatihan maupun peningkatan keterampilan lainnya.
6.7. Verifikasi dan Validasi Model Model PKSARI-Terpadu Verifikasi dan validasi model PKSARI-terpadu dilakukan dengan expert judgment melalui survey lapang dan diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) baik di daerah maupun di pusat.
Secara umum sebagian
besar partisipan dalam kegiatan tersebut mendukung struktur model PKSARITerpadu dengan beberapa pengembangannya. Oleh karena itu telah dilakukan beberapa perbaikan struktur rancang bangun model PKSARI-Terpadu sesuai hasil yang diperoleh dari masukan berbagai partisipan dalam kegiatan FGD tersebut. Berdasarkan verifikasi di lapangan beberapa hal yang perlu diperhatikan terutama
kendala yang menghambat kegiatan peningkatan
173
pengelolaan irigasi berkelanjutan adalah bahwa sebanyak 92% partisipan menyatakan adanya peningkatan luas lahan kritis, tingkat kerusakan jaringan irigasi yang berkisar rata-rata 60% dari setiap daerah rigasi sebagai akibat dari minimnya dana untuk pengelolaan irigasi. Selain itu juga sebanyak 96% partisipan menyatakan bahwa meskipun perkembangan KPI cukup baik di Kabupaten Cianjur namun kinerja yang dihasilkan masih belum optimal, fluktuasi debit air yang cukup tinggi di sepanjang tahun pada aliran irigasi yang disebabkan kerusakan wilayah hulu sebagai daerah resapan air, sehingga dalam penanganannya diperlukan koordinasi yang baik diantara lembaga terkait di daerah. Sebanyak 88% responden menyatakan bahwa peubahan peraturan mengenai irigasi juga menjadi salah satu penyebab pengelolaan irigasi belum dapat dilaksanakan dengan baik pada saat ini. Berdasarkan hasil verifikasi lainnya melalui FGD, model PKSARI-terpadu mendapatkan respon yang sangat baik dan dukungan dari pemerintah daerah dan pusat, masyarakat dan lembaga terkait lainnya. Model PKSARI-terpadu ini dinilai sebagai suatu alternatif yang akan memberikan dampak postif terhadap keberlanjutan pengelolaan irigasi terpadu yang meliputi konservasi sumberdaya air di daerah resapan air, pengelolaan dan rehabilitasi jaringan irigasi, dan usaha pengembangan pertanian beririgasi dalam rangka peningkatan pendapatan petani. Responden setuju bahwa PKSARI-terpadu menghasikan model yang dapat mengkoordinasikan berbagai lembaga terkait dalam pengelolaan kegiatan irigasi mulai dari hulu dan hilir. Diharapkan model ini dapat menjadi solusi dalam pengelolaan irigasi yang berkelanjutan yang dapat diterapkan di berbagai daerah beririgasi, membantu dalam meningkatkan pendapatan usaha tani menuju pada ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan rakyat
6.8.
Prioritas Kegiatan Pencapaian Tujuan Model Melalui MPE Alternatif kegiatan pencapaian tujuan model PKSARI-Terpadu ini
mencakup 10 alternatif kegiatan, yaitu (1) Operasional, Pemeliharaan, dan Rehabilitasi Jaringan Irigasi; (2) penetapan kebijakan daerah; (3) Koordinasi antara lembaga dan seluruh pemangku kepentingan terkait (BAPPEDA, Dinas PSDA, Dinas Pertanian, Dinas Perhutanan dan KT (PKT), PT/LSM, LKM, dan P3A/GP3A/IP3A); (4) Normalisasi Sungai (O&P dan program padat karya); (5)
174
Konservasi sumber daya air; (6) Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan; (7) Pencegahan alih fungsi lahan pertanian beririgasi; (8) Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E); (9) Kredit Usaha Rakyat (KUR), Kredit Usaha Mikro dan Kecil (KUMK); dan (10) Kredit Konservasi Masyarakat Hutan (KKMH). Sepuluh alternatif kegiatan tersebut diurutkan berdasarkan prioritas dengan menggunakan kuesioner Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) yang diisi oleh pakar-pakar di bidang irigasi dari berbagai lembaga terkait. Berdasarkan hasil analisa MPE, kegiatan operasional, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi mempunyai nilai bobot agregrat yang terbesar yaitu 19256.57. Kegiatan operasional, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi ini adalah salah satu kegiatan yang paling penting untuk segera dilakukan untuk meningkatkan pengendalian irigasi secara terpadu dibandingkan dengan alternatif kegiatan lainnya. Mengingat sampai saat ini kegiatan operasional, pemeliharan dan rehabilitasi jaringan irigasi di daerah penelitian yaitu Kabupaten Cianjur masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari masih tingginya tingkat kerusakan jaringan irigasi yaitu sekitar 60%. Urutan prioritas kegiatan berdasarkan MPE disajikan dalam Tabel 30. Tabel 30 Urutan prioritas kegiatan berdasarkan MPE Alternatif Kegiatan Operasional, Pemeliharaan, dan Rehabilitasi Jaringan Irigasi Penetapan kebijakan daerah (Perda dan Komisi Irigasi) Koordinasi antara lembaga dan seluruh pemangku kepentingan terkait (BAPPEDA, Dinas PSDA, Dinas Pertanian, Dinas PKT, PT/LSM, LKM, dan P3A/GP3A/IP3A) Normalisasi Sungai (O&P dan program padat karya) Konservasi sumber daya air Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Pencegahan alih fungsi lahan pertanian beririgasi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) Kredit Usaha Rakyat (KUR) & KUMK Kredit Konservasi Masyarakat Hutan (KKMH)
Bobot Agregrat 19256.57
Prioritas 1
15281.00 14790.43
2 3
13161.57 11307.43 10991.00 9916.43 7818.71 7047.57 5757.00
4 5 6 7 8 9 10
Penetapan kebijakan daerah melalui pembentukan peraturan daerah tentang irigasi dan pengembangan komisi irigasi merupakan prioritas kedua dengan bobot 15281.00. Tingkat kepentingan pembentukan peraturan daerah tentang irigasi dapat menjadi landasan hukum bagi semua pihak yang terkait baik
175
di tingkat pemerintahan daerah maupun masyarakat petani pemakai air. Tanpa landasan hukum yang jelas pengelolaan irigasi berkelanjutan yang diwujudkan dalam model PKSARI-Terpadu tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Melalui peraturan daerah tentang irigasi dibangun kesepahaman dan komitmen bersama dari seluruh pemangku kepentingan, khususnya di Kabupaten Cianjur dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutannya untuk mendukung kepentingan sektor domestik, pertanian, dan industri.
Penjelasan terkait dengan prioritas
kegiatan penunjang kebijakan dari model PKSARI-Terpadu yang dihasilkan melalui metode MPE sebagaimana dijelaskan dalam tabel di atas dijelaskan erdasarkan urutan prioritasnya sebagai berikut. (1)
Operasional, Pemeliharaan Dan Rehabilitasi Jaringan Irigasi Dalam upaya mempertahankan keberlanjutan sistem irigasi, dalam
kerangka kebijakan pengendalian irigasi terpadu, salah satu
kegiatan yang
dilakukan adalah operasi dan pemeliharaan serta rehabilitasi jaringan irigasi. Aktivitas O&P pengelolaan irigasi apabila dilakukan dengan tepat waktu, tepat ruang, tepat jumlah dan tepat kualitas, maka akan tercapai suatu fungsi jaringan irigasi yang handal sehingga biaya pemeliharaan yang lebih ekonomis. Menurut pedoman operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi
sesuai
dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 32/PRT/M/2007 dapat diperoleh pengertian bahwa operasi jaringan irigasi adalah upaya pengaturan air irigasi dan pembuangannya, termasuk kegiatan membuka-menutup pintu bangunan irigasi, menyusun rencana tata tanam, menyusun sistem golongan, menyusun rencana pembagian air, melaksanakan kalibrasi pintu/bangunan, mengumpulkan data, memantau, dan mengevaluasi. Sedangkan pemeliharaan jaringan irigasi adalah upaya menjaga dan mengamankan jaringan irigasi agar selalu dapat berfungsi dengan baik guna memperlancar pelaksanaan operasi dan mempertahankan kelestariannya melalui kegiatan perawatan, perbaikan, pencegahan dan pengamanan yang harus dilakukan secara terus menerus. Dalam penyelenggaraan kegiatannya pemerintah melakukan pendekatan yang dinamakan dengan pengelolaan irigasi partisipatif, termasuk dalam kegiatan operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi.
Hal ini juga
dikemukakan oleh Gany (2007) bahwa: “...The program had been set up to
176
reduce central government’s burden on Operation and Maintenance (O&M) costs aiming for sustainability irrigation O&M by virtue of Participatory Irrigation Management (PIM) approach”.
Untuk mendukung pelaksanaan operasi,
pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi hal-hal yang perlu diperhatikan adalah : (1) Lingkup kegiatan operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi (2) Ketersediaan data pendukung berupa data dan dokumen tentang daerah irigasi seperti peta, gambar, skema dan manual operasi bendung dan bangunan ukur, dan data teknis lainnya. (3) Peran serta masyarakat dalam operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi Untuk melaksanakan kegiatan operasional, dan pemeliharaan jaringan irigasi pada dasarnya terdapat 3 (tiga) tahapan pelaksanaan meliput : 1) Perencanaan; 2) Pelaksanaan dan 3) Monitoring dan evaluasi. a. Operasi Jaringan Irigasi Langkah awal kegiatan operasi pengelolaan irigasi adalah tahapan perencanaan yang meliputi : perencanaan penyediaan air tahunan, perencanaan tata tanam detail, penyusunan rencana tata tanam (melalui rapat komisi irigasi), penetapan rencana tata tanam melalui keputusan bupati, serta perencanaan pembagian dan pemberian air tahunan. (1) Perencanaan Penyediaan Air Tahunan dibuat oleh instansi teknis tingkat kabupaten sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketersediaan air (debit andalan) dan mempertimbangkan usulan rencana tata tanam dan rencana kebutuhan air tahunan, kondisi hidroklimatologi. (2) Penyusunan Rencana Tata Tanam Tahunan dilakukan berdasarkan prinsip partisipatif dengan melibatkan peran aktif masyarakat petani. Maksud peran secara aktif petani dalam hal mendiskusikan komoditas yang akan ditanam bersama dengan petani lain dalam P3A maupun dengan kelompok P3A lainnya, sementara pemerintah bertindak dan berperan sebagai pembimbing atau penasehat yang memberi masukan dan pertimbangan berkaitan dengan ketersediaan air yang mungkin bisa dipergunakan untuk pertanian.
177
Hasil dari rencana tata tanam tahunan terdiri dari : Rencana Tata Tanam Global (RTTG) dan Rencana Tata Tanam Detail (RTTD) (3) Peran Komisi Irigasi Kabupaten disetiap tahun sebelum musim tanam ke-1 adalah mengadakan rapat membahas dan mengkoordinasikan usulanusulan dari GP3A guna menentukan Rencana Tata Tanam Tahunan dari setiap daerah irigasi yang meliputi RTTG dan RTTD. RTT Tahunan ini diusulkan ke bupati atau gubernur untuk ditetapkan. (4) Setelah ada kesepakatan dalam rapat komisi irigasi maka disusun penetapan melalui SK bupati atau gubernur tentang Rencana Tata Tanam Tahunan. SK tersebut sebagai dasar dalam menyusun rencana pembagian dan pemberian air serta waktu pengeringan dan sebelum MT-I SK ini harus sudah terbit/jadi. (5) Perencanaan Pembagian dan Pemberian Air Irigasi Tahunan disusun oleh dinas kabupaten yang membidangi irigasi sesuai dengan kewenangannya berdasarkan rencana tahunan penyediaan air irigasi dan pemakaian air untuk keperluan lainnya. (6) Rencana pembagian dan pemberian air setelah disepakati oleh komisi irigasi kabupaten ditetapkan melalui keputusan bupati, gubernur, atau menteri sesuai kewenangannya dan atau penyelenggaraan wewenang yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah yang bersangkutan. (7) Rencana tahunan pembagiaan dan pemberian air irigasi pada daerah irigasi lintas provinsi dan strategis nasional yang belum dilimpahkan kepada pemerintah kabupaten disusun oleh instansi pusat yang membidangi irigasi/sumber daya air dan disepakati bersama dalam forum koordinasi komisi irigasi atau yang disebut dengan nama lain yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum. Tahapan selanjutnya adalah pelaksanaan operasi jaringan irigasi meliputi: laporan keadaan air dan tanaman; penentuan rencana kebutuhan air di pintu pengambilan; pencatatan debit saluran; penetapan pembagian air pada jaringan sekunder
dan
primer;
pencatatan
debit
sungai/bangunan
pengambilan;
perhitungan faktor-K atau Faktor Palawija Relatif (FPR); laporan produktivitas dan neraca pembagian air per daerah irigasi; rekap kabupaten per masa tanam;
178
dan pengoperasian bangunan pengatur irigasi. Seluruh aktivitas pelaksanaan operasi jaringan irigasi menggunakan format-format sesuai standar teknis operasi pemeliharaan jaringan irigasi yang berlaku. Sedangkan tahap selanjutnya adalah monitoring dan evaluasi. (1) Monitoring
pelaksanaan
menggunakan
daftar
operasi simak
jaringan
bagan
irigasi
alir
dilakukan
blangko
operasi,
dengan yang
mendeskripsikan kondisi kewenangan pengelolaan daerah irigasi yang bersangkutan. (2) Kalibrasi alat ukur. (3) Untuk dapat dicapainya operasi yang efektif dan efisien, pembagian dan pemberian air harus dapat diukur dengan baik. Besarnya air yang mengalir melewati suatu alat ukur dalam satuan waktu tertentu tidak selalu sama dengan perhitungan memakai rumus standar yang berlaku. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, antara lain nilai kekasaran, endapan, umur dan kekentalan air itu sendiri. Disamping itu pengerjaan dan pemasangan alat ukur pada saat pembangunan juga sangat berpengaruh. (4) Mengingat hal tersebut sebelum dipergunakan, alat ukur harus dikalibrasi yaitu dengan membandingkan kenyataan besarnya debit yang mengalir dengan besarnya debit sesuai dengan perhitungan menggunakan rumus umum. (5) Tata cara kalibrasi harus dilakukan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan tata cara kalibrasi. (6) Evaluasi kinerja sistem irigasi dimaksudkan untuk mengetahui kondisi kinerja sistem irigasi yang meliputi : Prasarana fisik; Produktivitas tanaman; Sarana
penunjang;
Organisasi
personalia;
Dokumentasi;
Kondisi
kelembagaan P3A/GP3A/IP3A. b. Pemeliharaan Jaringan irigasi Jenis pemeliharaan jaringan irigasi terdiri dari pengamanan jaringan irigasi, pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala, dan perbaikan darurat. Penjelasan masing-masing kegiatan tersebut adalah sebagai berikut.
179
(1) Pengamanan jaringan irigasi merupakan upaya untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kerusakan jaringan irigasi yang disebabkan oleh daya rusak air, hewan, atau oleh manusia guna mempertahankan fungsi jaringan irigasi. Kegiatan ini dilakukan secara terus menerus oleh dinas yang membidangi irigasi, anggota/ pengurus P3A/GP3A/IP3A, Kelompok Pendamping Lapangan dan seluruh masyarakat setempat.
Setiap
kegiatan yang dapat membahayakan atau merusak jaringan irigasi dilakukan tindakan pencegahan berupa pemasangan papan larangan, papan peringatan atau perangkat pengamanan lainnya. (2) Pemeliharaan
rutin
merupakan
kegiatan
perawatan
dalam
rangka
mempertahankan kondisi Jaringan Irigasi yang dilaksanakan secara terus menerus tanpa ada bagian konstruksi yang diubah atau diganti. (3) Pemeliharaan berkala merupakan kegiatan perawatan dan perbaikan yang dilaksanakan secara berkala yang direncanakan dan dilaksanakan oleh dinas
yang
membidangi
Irigasi
dan
dapat
bekerja
sama
dengan
P3A/GP3A/IP3A/ IP3A secara swakelola berdasarkan kemampuan lembaga tersebut dan dapat pula dilaksanakan secara kontraktual.
Pelaksanaan
pemeliharaan berkala dilaksanakan secara periodik sesuai kondisi Jaringan Irigasinya. Setiap jenis kegiatan pemeliharaan berkala dapat berbeda-beda periodenya, misalnya setiap tahun, 2 tahun, 3 tahun dan pelaksanaannya disesuaikan dengan jadwal musim tanam serta waktu pengeringan. Pemeliharaan berkala dapat dibagi menjadi tiga, yaitu pemeliharaan yang bersifat
perawatan,
pemeliharaan
yang
bersifat
perbaikan,
dan
pemeliharaan yang bersifat penggantian (4) Perbaikan darurat dilakukan akibat bencana alam dan atau kerusakan berat akibat terjadinya kejadian luar biasa (seperti Pengrusakan/penjebolan tanggul, Longsoran tebing yang menutup Jaringan, tanggul putus dll) dan penanggulangan segera dengan konstruksi tidak permanen, agar jaringan irigasi tetap berfungsi. Kejadian Luar Biasa/Bencana Alam harus segera dilaporkan oleh juru kepada pengamat dan kepala dinas secara berjenjang dan selanjutnya oleh kepala dinas dilaporkan kepada Bupati. Lokasi, tanggal/waktu, dan kerusakan akibat kejadian bencana/KLB dimasukkan dalam format/blanko dan lampirannya.
Perbaikan darurat ini dapat
180
dilakukan secara gotong-royong, swakelola atau kontraktual, dengan menggunakan bahan yang tersedia di Dinas/pengelola irigasi atau yang disediakan masyarakat seperti (bronjong, karung plastik, batu, pasir, bambu, batang
kelapa,
dan
lain-lain).
Selanjutnya
perbaikan
darurat
ini
disempurnakan dengan konstruksi yang permanen dan dianggarkan secepatnya melalui program rehabilitasi. c. Rehabilitasi Jaringan Irigasi Rehabilitasi jaringan irigasi adalah kegiatan perbaikan jaringan irigasi guna mengembalikan
fungsi
dan
pelayanan
irigasi
seperti
semula.
Tatacara
pelaksanaan memiliki beberapa hal yang mesti diperhatikan, antara lain : (1) Rehabilitasi jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan urutan prioritas kebutuhan perbaikan irigasi yang ditetapkan pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya setelah memperhatikan pertimbangan komisi irigasi, dan sesuai dengan dengan norma, standar, pedoman, dan manual yang ditetapkan oleh Pemerintah. (2) Rehabilitasi jaringan irigasi harus mendapat izin dan persetujuan desain dari pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya. (3) Pengawasan rehabilitasi jaringan irigasi dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten sesuai dengan kewenangannya. Sebagaimana kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi, kegiatan rehabilitasi akan selalu melibatkan peran serta petani dan P3A/GP3A/IP3A dalam persiapan, pelaksanaan dan pengawasannya melalui pendekatan partisipatif. Untuk pekerjaan rehabilitasi jaringan, P3A/GP3A/IP3A dapat mengambil porsi dari pekerjaan yang dilaksanakan secara kontraktual oleh kontraktor, melalui perjanjian Kerja Sama Operasional (KSO). P3A/GP3A/IP3A yang mempunyai status hukum juga dapat melaksanakan pekerjaan sendiri, melalui Surat Perjanjian Pemberian Pekerjaan (SP3). Perbaikan jaringan tersier juga dapat dilaksanakan oleh P3A melalui SP3, dengan dana bantuan disalurkan kepada P3A oleh Dinas Pertanian setempat. Untuk pelaksanaan tersebut, perlu disusun terlebih dahulu daftar pekerjaan fisik yang dapat dilaksanakan oleh P3A/GP3A/IP3A (disusun pada waktu diskusi hasil
181
desain).
Mengingat
pelaksanaan
rehabilitasi
membutuhkan
analisis
dan
perhitungan desain teknis yang spesifik, maka pekerjaan rehabilitasi jaringan irigasi yang menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten membutuhkan pihak ketiga (konsultan). Tahap awal kegiatannya adalah survey, investigasi desain metode pendekatan partisipatif (SID-P). Untuk mendukung kegiatan yang diuraikan diatas, baik pemerintah Propinsi/Kabupaten maupun Konsultan Perencana SID-P harus melibatkan masyarakat P3A/GP3A/IP3A pada 3 tahapan penting, sebagai berikut : (1) Penelusuran jaringan irigasi bersama, untuk mendapatkan input dari P3A/GP3A/IP3A tentang pekerjaan perbaikan yang diperlukan; (2) Rapat diskusi system planning, dengan berita acara; (3) Diskusi hasil draft desain. Pada tahap ini disusun bersama sebuah daftar pekerjaan fisik yang dapat dikerjakan oleh P3A/GP3A/IP3A sesuai dengan kemampuannya. Untuk desain Rehabilitasi, pekerjaan dibagi dalam empat (4) kegiatan utama yaitu: pengumpulan data, inventarisasi/pengukuran/invenstigasi geoteknik, system planning dan pembuatan desain rinci. Pengumpulan data serta Laporan yang ada, yang menunjang untuk penyusunan desain rehabilitasi, termasuk gambar purnalaksana dan Profil Sosial Ekonomi Teknis Kelembagaan (PSETK) yang ada. Inventarisasi/Pengukuran/Investigasi Geoteknik dilaksanakan melalui rapat persiapan dengan P3A/GP3A/IP3A, diikuti dengan Penelusuran Jaringan bersama P3A/GP3A/IP3A dan pembuatan inventaris kerusakan pada jaringan irigasi dan usulan perbaikannya dari P3A/GP3A/IP3A. Pengukuran teknis dan penggambaran saluran pembawa, saluran pembuang dan bangunan yang ada oleh Konsultan, serta pelaksanaan investigasi Geoteknik (bila perlu). Pelaksanaan system Planning diupayakan melalui tahap perencanaan perubahan pada sistem irigasi oleh Konsultan perencana, diikuti dengan diskusi bersama P3A/GP3A/IP3A, Dinas SDA/Pengairan Propinsi/Kabupaten dan pembuatan laporan system planning (termasuk daftar usulan pekerjaan konstruksi hasil penelusuran bersama). Pembuatan desin rinci oleh Konsultan perencana, didahului dengan draft desain yang sudah disepakati oleh Dinas SDA/Pengairan Propinsi/Kabupaten. Penyusunan Rencana Anggaran Biaya
182
(RAB) dan Daftar Kuantitas (BOQ), dan didiskusikan dengan P3A/GP3A/IP3A untuk
menyusun
daftar
pekerjaan
yang
dapat
dilaksanakan
oleh
P3A/GP3A/IP3A. (RAB untuk jaringan tersier harus dipisahkan dengan RAB untuk jaringan primer/sekunder). Penyusunan Dokumen Lelang untuk pekerjaan fisik yang akan dilaksanakan. (2)
Penetapan Kebijakan Daerah Penetapan kebijakan daerah antara lain diupayakan melaui pembentukan
peradturan daerah tentang irigasi. Pengertian irigasi menurut PP No. 20 tahun 2006 didefinisikan sebagai usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak. Keberhasilan pengelolaan irigasi yang optimal tidak terlepas dari keterlibatan seluruh institusi pengelola dan pemanfaat irigasi, termasuk masyarakat petani. Untuk lebih mempersiapkan dan memperkenalkan sampai sejauh mana pengelolaan sistem irigasi dapat dipahami semua pihak, baik multi manage, multi use di tataran pemerintahan daerah, hal pertama yang perlu didorong untuk memperkuat pelaksanaan pengelolaan irigasi adalah dengan pembentukan peraturan daerah (Perda) tentang Irigasi di tingkat Pemerintah Kabupaten. Mengingat air irigasi merupakan bagian dari hajat hidup orang banyak, maka diperlukan pengaturan lebih lanjut agar pemanfaatannya benar-benar diperuntukan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, pengaturan lebih lanjut dalam suatu bentuk produk hukum, baik di tingkat Pusat melalui Peraturan Pemerintah maupun di daerah (Provinsi dan Kabupaten) melalui Peraturan Daerah menjadi sedemikian penting dalam pencapaian tujuan kesejahteraan masyarakat. Peraturan daerah didefinisikan secara konseptual adalah merupakan salah satu produk hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu peraturan tertulis yang dibuat/disusun oleh Lembaga Negara atau Pemerintah. Oleh karena itu, peraturan daerah terikat dalam sistem perundangundangan pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR Nomor 11 tahun 2000. Pengertian Peraturan Daerah dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
183
Perundang-undangan bahwa Peraturan Daerah adalah peraturan perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Secara umum, penyusunan dan penetapan Peraturan Daerah (Perda) sedikitnya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : (1) Dasar filosofis (nilai-nilai kebenaran yang hidup dan tumbuh di tengahtengah masyarakat); (2) Dasar sosiologis (kebutuhan masyarakat terhadap pengaturan); dan (3) dasar hukum (kerangka hukum yang jelas). Bentuk/struktur peraturan daerah pada umumnya memuat kerangka sebagai berikut : (1) Pembukaan, yang mencakup: (1) menimbang; (2) mengingat; dan (3) memutuskan; (2) Batang tubuh, yang memuat pasal-pasal pengaturan materi yang diatur; dan (3) Penutup, yang memuat aturan tambahan dan peralihan. Secara
umum beberapa materi yang perlu diperhatikan dan menjadi
bagian dari peraturan daerah tentang irigasi antara lain adalah sebagai berikut : (1) Ketentuan umum (menjelaskan pengertian-pengertian konsep pengaturan yang digunakan); (2) Asas, maksud dan tujuan pengaturan; (3) Fungsi dan keberlanjutan irigasi (4) Prinsip pengembangan dan pengelolaan sistim irigasi partisipatif; (5) Kelembagaan pengelolaan irigasi; (6) Wewenang dan tanggung jawab; (7) Prinsip partisipasi masyarakat; (8) Pemberdayaan organisasi perkumpulan petani pemakai air; (9) Pengelolaan air baku untuk irigasi; (10) Pengembangan irigasi;
184
(11) Pengelolaan irigasi;. (12) Pengelolaan aset irigasi; (13) Alih fungsi lahan beririgasi dan keberlanjutan sistem irigasi; (14) Pembiayaan; (15) Koordinasi; (16) Pengawasan; (17) Ketentuan peralihan; dan (18) Ketentuan penutup Proses penyusunan peraturan daerah bidang irigasi secara umum dapat mengikuti mekanisme dengan tahapan sedikitnya sebagai berikut (dapat disesuaikan dengan peraturan dan kebijakan daerah setempat) : (1) Tahap Perencanaan (a) Pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai pemrakarsa menyusun rencana rancangan peraturan daerah tentang irigasi yang disertai dengan penjelasan mengenai konsepsi pengaturan mencakup: (a) latar belakang dan tujuan penyusunan; (b) dasar hukum; (c) sasaran yang ingin diwujudkan; (d) pokok pikiran, lingkup atau obyek yang diatur; dan (e) keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. (b) SKPD pemrakarsa terlebih dahulu harus mempersiapkan naskah akademik
yang
penyusunannya
dapat
dikerjasamakan
dengan
Perguruan Tinggi dan atau pihak ketiga yang mempunyai keahlian dalan bidang irigasi. Naskah akademik tersebut sekurang-kurangnya memuat dasar filosofis (nilai-nilai kebenaran yang hidup dan tumbuh di tengahtengah masyarakat); dasar sosiologis (Kebutuhan masyarakat terhadap pengaturan); dasar hukum atau yuridis (kerangka hukum yang jelas); pokok dan lingkup materi yang akan diatur. Naskah akademik tersebut disertakan dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Irigasi. (c) Dalam rangka penyusunan Raperda Irigasi perlu dibentuk Tim Antar Satuan Kerja Perangkat Daerah (TASKPD).
TASKPD diketuai oleh
185
Pimpinan SKPD pemrakarsa atau pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah dan Kepala Biro Hukum atau Kepala Bagian Hukum berkedudukan sebagai sekretaris. (d) TASKPD sekurang-kurangnya terdiri dari Bappeda, Dinas Pengairan (atau dinas yang membidang irigasi), Dinas Pertanian, Bappedalda, Dinas Kehutanan, Komisi irigasi, dan Biro/Bagian Hukum Setda. (e) TASKPD kabupaten membahas rencana rancangan penyusunan Perda Irigasi, dan apabila diperlukan dapat melibatkan berbagai pihak terkait (unsur Perguruan Tinggi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat, wakil P3A/GP3A/IP3A, dan pihak terkait lainnya) untuk penyamaan persepsi, tingkat kepentingan, dan menampung berbagai aspirasi, tanggapan serta pertimbangannya. (2) Tahap Penyusunan. (a) TASKPD kabupaten mengadakan pertemuan untuk penyusunan materi raperda irigasi yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan terkait dengan irigasi, dokumen kebijakan dan dokumen penunjang lainnya yang tekait, serta memperhatikan aspirasi yang berkembang di masyarakat (khususnya masyarakat pengguna air irigasi). (b) Pembahasan dilakukan dengan menitikberatkan pada permasalahan yang bersifat prinsip mengenai objek yang diatur, jangkauan, dan arah pengaturan. (c) Hasil penyusunan awal tersebut dilaporkan kepada sekretaris daerah oleh
ketua
TASKPD
termasuk
berbagai
permasalahan
yang
menyertainya, dan kemudian dapat diajukan sebagai bahan konsultasi publik kepada masyarakat secara lebih luas untuk mendapatkan berbagai masukan dan aspirasi dalam penyempurnaannya. (3) Tahap Konsultasi Publik (a) Setelah draft awal raperda irigasi disusun, kemudian diselenggarakan konsultasi
publik
untuk
menjaring
berbagai
masukan
dalam
186
penyempurnaan materi raperda sesuai tuntutan dan aspirasi yang berkembang di masyarakat secara lebih luas. (b) Hasil kegiatan konsultasi publik tersebut dirumuskan dan disusun kembali sebagai bahan penyempurnaan raperda irigasi. (c) Biro
hukum
atau
bagian
hukum
melakukan
harmonisasi
dan
sinkronisasi naskah awal raperda irigasi dengan memperhatikan materi, tanggapan dan pertimbangan dari hasil konsultasi publik sebagai bahan penyempurnaan raperda irigasi. (4) Tahap Pengajuan dan Penyempurnaan Materi Ranperda Irigasi (a) TASKPD kabupaten mengajukan bahan Raperda hasil konsultasi publik melalui biro hukum atau bagian hukum kepada sekretariat daerah sebagai laporan perkembangan raperda untuk mendapatkan arahan lebih lanjut. (b) Rancangan peraturan daerah tersebut dilampirkan juga isi pokok-pokok pikiran (maksud dan tujuan pengaturan, dasar hukum, materi yang akan diatur, dan keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lainnya) dan harus mendapatkan paraf koordinasi kepala biro hukum dan kepala bagian hukum, serta pimpinan SKPD terkait. (c) Pimpinan SKPD pemrakarsa atau pejabat yang ditunjuk mengajukan rancangan peraturan daerah tentang irigasi yang telah mendapatkan paraf koordinasi kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. (d) Sekretaris
daerah
dapat
melakukan
perubahan
dan
atau
penyempurnaan terhadap rancangan perda irigasi yang telah diparaf koordinasi, yang hasilnya dikembalikan kepada pimpinan SKPD pemrakarsa. (e) Pimpinan SKPD pemrakarsa mengatur penyempurnaan materi kepada TASKPD untuk dilakukan revisi sesuai arahan sekretaris daerah. (f) Hasil penyempurnaan rancangan perda irigasi disampaikan kepada sekretaris daerah setelah mendapatkan paraf koordinasi oleh kepala biro hukum dan kepada bagian hukum, serta pimpinan SKPD terkait.
187
(g) Hasil akhir raperda irigasi yang diprakarsai oleh kepala daerah (Gubernur
atau
Bupati/Walikota)
disampaikan
kepada
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk dilakukan pembahasan dan penetapannya melalui surat yang disiapkan oleh sekretaris daerah, termasuk keterangan pemerintah daerah mengenai raperda irigasi (5) Tahap Pembahasan dan Penetapan (a) Raperda irigasi yang bersifat penetapan yang ditetapkan oleh kepaka daerah dalam rangka pembahasan raperda irigasi dibentuk tim asistensi yang diketuai oleh sekretaris daerah atau pejabat yang ditunjuk oleh kepala daerah dengan sekretariat berada pada biro hukum atau bagian hukum. (b) Dokumen raperda irigasi tersebut dibahas bersama DPRD melalui agenda sidang paripurna DPRD dalam proses penetapannya. (c) Setelah penetapan perda Irigasi, kemudian kepala biro hukum atau kepala bagian hukum melakukan penomoran dengan menggunakan penomoran bulat. (d) Perda irigasi yang telah ditetapkan dan diberikan
nomor harus
diundangkan dalam lembaran daerah. (e) Pengundangan perda irigasi dilakukan oleh sekretaris daerah, dan dapat didelegasikan kepada kepala biro hukum atau kepala bagian hukum sekretariat daerah. (f) Perda irigasi tersebut sebelum disebarluaskan atau disosialisasikan terlebih dahulu harus dilakukan autentifikasi yang dilakukan oleh kepala biro hukum atau kepala bagian hukum sekretariat daerah. Setelah
perda
irigasi
ditetapkan
melalui
sidang
paripurna
DPRD
Kabupaten, dan diadministrasikan oleh biro/bagian hukum setda dalam lembaran daerah, kemudian disosialikasikan kepada masyarakat secara umum baik melalui media seminar, lokakarya, diseminasi, apresiasi, atau media lainnya yang dipandang mampu dan efektif falam proses penyampaian informasi atau pesan yang terkandung dalam perda irigasi tersebut.
Secara umum, kegiatan
sosialisasi perda irigasi dilaksanakan oleh SKPD yang membidangi irigasi di
188
kabupaten bersama-sama dengan biro/bagian hukum setda. Untuk mengukur tanggapan masyarakat terhadap kebijakan daerah termasuk perda tentang irigasi berupa kepatuhan atau penolakan, ada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mendorong kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan publik dapat dijelaskan sebagai berikut: (a)
Adanya rasa hormat terhadap kewenangan serta keputusan lembaga pemerintah. Jika masyarakat telah terdidik untuk mengakui kewenangan atas otoritas dimaksud, mereka akan merasa malu apabila melakukan kesalahan atau pelanggaran terhadap keputusan-keputusan.
(b)
Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan yaitu penerimaan yang logis bahwa kebijakan itu benar-benar diperlukan oleh pemerintah untuk kepentingan warganya.
(c)
Adanya keyakinan bahwa kebijakan tersebut secara sah dan konstitusional oleh lembaga yang berwenang sehingga masyarakat mau untuk mematuhinya.
(d)
Adanya kepentingan pribadi yaitu persesuaian antara kebijakan daerah dengan keinginan pribadi masing-masing anggota masyarakat.
(e)
Adanya ancaman berupa sanksi bagi mereka yang tidak mematuhi kebijakan daerah serta adanya keinginan untuk tidak dianggap sebagai terbiasa melanggar hukum.
(f)
Karena lamanya waktu sehingga masalah yang dulunya ditolak atau kontroversial, setelah waktu tertentu dapat diterima secara wajar dan ditaati. Sedangkan faktor-faktor yang mendorong penolakan masyarakat terhadap
kebijakan daerah dapat dijelaskan sebagai berikut : (a) Karena
bertentangan
dengan
sistem
masyarakat
seperti
halnya
bertentangan dengan ajaran agama yang dianut oleh masyarakat tersebut. (b) Karena ketidakpatuhan selektif terhadap satu bidang hukum, yaitu patuh dengan sungguh-sungguh terhadap satu bidang hukum, akan tetapi kurang patuh terhadap bidang hukum yang lain.
189
(c)
Karena keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok yang ide-idenya kadang-kadang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum atau kehendak dari pemerintah
(d) Karena adanya kecenderungan untuk mencari keuntungan dengan cepat, sehingga menimbulkan tingkah laku yang suka mencari jalan pintas dengan melanggar hukum dan ketentuan yang berlaku. (e) Karena tidak ada kepastian hukum atau ketidakjelasan kebijakan yang satu dengan lainnya. Adanya perbedaan penafsiran serta kepentingan yang menyebabkan tidak ditaatinya kebijakan umum pemerintah atau kebijakan publik. (3)
Koordinasi Antar Lembaga dan Seluruh Pemangku Kepentingan Terkait (Bappeda, Dinas PSDAP, Dinas Pertanian, Dinas PKT, PT/LSM, LKM dan P3A/GP3A/IP3A) Sesuai dengan perubahan kebijakan sumber daya air, dan dalam upaya
mewujudkan penguatan kelembagaan pengelola baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat petani pengguna air, mengandung pengertian bahwa pengembangan
dan
pengelolaan
sumberdaya
air
bukan
semata-mata
merupakan tanggungjawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah, melainkan juga seluruh masyarakat.
Oleh karena itu perlu dilakukan suatu proses
koordinasi di hampir semua pelaku pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi mulai dari pemerintah dan pemerintah daerah berserta seluruh masyarakat di daerahnya, termasuk stakeholder terkait (Bappeda, Dinas PSDA, Dinas Pertanian, Dinas PKT, PT/LSM, LKM dan P3A/GP3A/IP3A) Disamping itu, karena pengembangan dan pengelolaan irigasi merupakan lintas sektoral dan wilayah maka diperlukan kinerja Kelembagaan Pengelola Irigasi (KPI) yang memiliki kapasitas dan kapabilitas di bidangnya, sebab pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi merupakan masalah yang kompleks, sehingga dibutuhkan kelembagaan pengelola sumberdaya air yang handal dan profesional. Untuk menuju ke arah hal tersebut tentu perlu adanya kebijakan dan strategi penguatan kelembagaan penelolaan irigasi mulai dari pemerintah dan pemerintah daerah.
190
Landasan hukum tentang koordinasi pengembangan dan pengelolaan sumber daya air didasarkan pada UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, yaitu mencakup : (a) Pengelolaan sumber daya air mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air. (b) Pengelolaan sumber daya air dilakukan melalui koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah, dan para pemilik kepentingan dalam dalam bidang sumber daya air. (c)
Koordinasi dilakukan oleh suatu wadah koordinasi yang bernama dewan sumber daya air atau dengan nama lain.
(d) Wadah koordinasi mempunyai tugas pokok menyusun dan merumuskan kebijakan serta strategi pengelolaan sumber daya air, yang beranggotakan unsur pemerintah dan non pemerintah dalam jumlah seimbang atas dasar prinsip keterwakilan. (e) Koordinasi tingkat nasional dilakukan oleh Dewan Sumber Daya Air Nasional yang dibentuk oleh Pemerintah, dan pada tingkat provinsi dilakukan oleh wadah koordinasi dengan nama dewan sumber daya air provinsi yang dibentuk oleh pemerintah provinsi. (f)
Untuk pelaksanaan koordinasi pada tingkat kabupaten dapat dibentuk dewan sumber daya air kabupaten yang dibentuk oleh pemerintah kabupaten. Berdasarkan hal tersebut maka peran pemerintah untuk koordinasi
kelembagaan dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi menjadi penting dilakukan mengingat beberapa hal diantaranya yaitu : (a) Perlunya desentralisasi pengembangan dan pengelolaan irigasi
secara
berkelanjutan dan meningkatkan hasil produksi di lahan beririgasi. (b) Perlunya pemerintah kabupaten dalam memformulasikan kebijakan dan peraturan sesuai dengan peraturan kebijakan pengelolaan irigasi. (c)
Perlunya penguatan kapasitas kelembagaan sumber daya air di kabupaten, termasuk kelembagaan pengelolaan irigasi dan komisi irigasi.
191
(d) Menginisiasi pemerintah daerah agar melakukan konsolidasi dalam rangka program pengembangan dan pengelolaan secara terarah, bermanfaat dan terukur. (e) Mewujudkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam pengelolaan irigasi. (f)
Mewujudkan sinkronisasi program pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi antara lembaga pengelola terkait di daerah.
(g) Mewujudkan
kinerja pegembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang
efisien, efektif dan akuntabel, dan berkelanjutan. (4)
Normalisasi Sungai (O&P dan Program Padat Karya ) Sumber daya hutan dan lahan memberikan manfaat multiguna bagi
masyarakat, yang sudah barang tentu perlu dijaga, dikelola dan dimanfaatkan secara optimal untuk menjaga kelestarian fungsi dan kualitas sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran masyakat. Mengingat dewasa ini kondisi sumber daya hutan dan lahan di kawasan daerah aliran sungai (DAS) cenderung menurun, yang pada akhirnya dapat menimbulkan dampak negatif seperti banjir, kekeringan dan tanah longsor sehingga peranannya sebagai penyangga kehidupan kurang optimal Sebagai bagian perbaikan kawasan DAS yang sudah tidak mampu menampung kapasitas debit air, maka kegiatan normalisasi sungai merupakan bagian penting yang sedikitnya kegiatan ini akan mampu meningkatkan fungsi dan manfaat sungai sebagai sumber air bagi berbagai keperluan penggunaan air baik pertanian, industri, kebutuhan domestik dan air baku masyarakat serta kebutuhan air lainnya.
Khusus untuk kepentingan pertanian, terutama pada
daerah irigasi sebagai salah satu bagian penting dari kawasan DAS, melalui dinas yang membidangi irigasi dilaksanakan kegiatan pemeliharaan jaringan irigasi dengan melibatkan masyarakat umum, petani dan kelembagaannya (P3A/GP3A/IP3A).
Kegiatan
pemeliharaan
yang
erat
kaitannya
dengan
normalisasi sungai termasuk pemeliharaan jaringan irigasi termasuk dalam klasifikasi penanggulangan/perbaikan darurat. Hal mendasar yang menjadikan kegiatan perbaikan darurat adalah akibat terjadinya kejadian luar biasa (seperti pengrusakan/penjebolan
tanggul,
longsoran
tebing,
dan
lainnya),
maka
192
penanggulangan segera dengan konstruksi tidak permanen bertujuan agar jaringan irigasi tetap berfungsi. Dalam
PP
30/PRT/M/2007
No. tentang
20/2006 PPSIP,
tentang
Irigasi,
dijelaskan
dan
bahwa
Permen
PU
No.
pengembangan
dan
pengelolaan sistem irigasi secara partisipatif harus berbasis peran serta masyarakat, mulai dari pemikiran awal, pengambilan keputusan sampai dengan pelaksanaan kegiatan pada tahap perencanaan, pembangunan, peningkatan, operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi. Lebih lanjut pada kegiatan Suver Investigasi Disain (SID) harus mengikutsertakan masyarakat petani sebagai berikut: (1) Desain harus berdasarkan hasil penelusuran lapangan bersama perencana dan masyarakat petani pemakai air (P3A/GP3A/IP3A); (2) Kerjasama
dilaksanakan
dalam
rangka
memberi
pembinaan
dan
pemberdayaan kepada P3A mengenai desain partisipatif; (3) Hasil desain harus disosialisasikan kepada P3A/GP3A/IP3A, termasuk yang tidak terlibat langsung dalam proses desain sistem irigasi; (4) P3A/GP3A/IP3A dapat menyampaikan informasi, saran dan masukan secara lisan maupun tertulis terhadap hasil desain; (5) Informasi tersebut dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh penanggung jawab kegiatan dan wakil P3A/GP3A/IP3A, serta wajib menjadi pertimbangan dalam upaya penyempurnaan desain sistem irigasi; (6) Hasil penyempurnaan desain tersebut dituangkan dalam berita acara dan ditandatangani oleh penanggung jawab kegiatan dan wakil P3A/GP3A/IP3A. Kegiatan normalisasi sungai dan pemeliharaan darurat ini dapat melibatkan seluruh lapisan masyarakat sekitar, petani dan kelembagaan P3A/GP3A/IP3A melalui mekanisme swakelola atau kontraktual. Adapun kegiatan pemeliharaan darurat pada tingkat daerah irigasi dan normalisasi sungai meliputi : peninggian tanggul, perbaikan tanah yang jebol akibat gangguan hewan, perbaikan tebing akibat longsor, dan lain-lain. Kegiatan ini dengan melibatkan masyarakat sekitar dan petani akan sangat membantu meringankan beban ekonomi melalui kegiatan padat karya dan waktu terbatas, meskipun jenis konstruksi perbaikan termasuk
193
konstruksi tidak permanen, akan tetapi tindak lanjut dari hasil kegiatan normalisasi ini akan dilanjutkan dengan usulan perbaikan permanen, melalui pelaksanaan detail desain dan perhitungan teknis serta konstruksi permanen yang bertujuan untuk memperpanjang fungsi jaringan. Indikator keberhasilan desain partisipatif dapat diukur dari keadaan atau kondisi saat proses desain berjalan, pada saat pelaksanaan konstruksi, dan pada saat jaringan irigasi dioperasikan, antara lain: (a) Desain: - Desain telah disusun dengan cara melibatkan petani, dengan bukti daftar usulan pekerjaan dari penelusuran bersama dan Berita Acara pertemuan; - usulan pekerjaan perbaikan saluran dan bangunan dari P3A/GP3A/IP3A telah terakomodasi dalam desain akhir; (b) Pelaksanaan Konstruksi: Gambar hasil desain sesuai kondisi lapangan dan dapat dilaksanakan konstruksinya, baik oleh kontraktor ataupun oleh P3A/GP3A/IP3A yang ada di Daerah Irigasi yang bersangkutan; (c)
Operasi dan Pemeliharaan: Operasi dan pemeliharaan saluran dan bangunan hasil konstruksi mudah dan murah untuk dikelola
(5)
Konservasi Sumber Daya Air Sebagai rangkaian menciptakan keberlanjutan sumber daya air, tak
terlepas dari pengelolaan sumber air di hulu sungai dalam suatu kawasan daerah aliran sungai (DAS) yang dapat mencegah dan mengurangi tingkat kerusakan catcment area akibat pengelolaan sumber daya hutan dan lahan yang tidak terkontrol dan dapat membahayakan dampak yang cukup serius terhadap keberlangsungan pemanfaatan sumber air bagi masyarakat.
Menurut Zain
(1998) visi pembangunan kehutanan adalah menyelenggarakan pengelolaan dan pembinaan sumber daya hutan untuk kepentingan masyarakat kini dan yang akan datang.
194
Hutan sebagai penyangga air dan berada di hulu sungai saat ini cukup kritis kondisinya sebagai akibat eksploitasi sumber-sumber hutan yang bernilai ekonomis tinggi dan tak terkendali dari tekanan beberapa individu masyarakat yang tingkat kesejahteraan sosial ekonominya relatif rendah. Untuk itu pemerintah berupaya menanggulangi masalah pelestarisan kawasan hutan dan membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar kawasan hutan, diimplementasikan dalam sebuah pendekatan program konservasi sumber daya air secara terpadu dengan memperhatikan sosial ekonomi masyarakat desa sekitar kawasan hutan.
Dalam pembangunan kehutanan, keikutsertaan
masyarakat di kawasan hutan dan sekitarnya perlu ditingkatkan.
Dengan
demikian diharapkan tercapai adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Konsep konservasi sumber daya air secara terpadu pada salah satu program implementasinya adalah kegiatan penyusunan Kesepakatan Konservasi Desa (KKD) oleh masyarakat desa, dengan maksud kegiatannya adalah pernyataan kesepakatan dari masyarakat desa sasaran untuk mendukung kegiatan konservasi, yang dapat menjamin kelestarian dan pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistem disekitarnya melalui upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam seda untuk memenuhi ekonomi warga desa. Pelajaran penting dari KKD adalah proses pencapaian tujuan konservasi kawasan dengan memperhatikan aspek sosial ekonomi masyarakat hutan sehingga
masyarakat
diberikan
pemahaman
tentang
pelestarian
dan
pencegahan hutan dari kerusakan dan terpenuhi kebutuhan dan aktivitas ekonomi yang berwawasan lingkungan. Oleh karena itu model program KKD ini menjadi penting diadopsi dalam pengelolaan dan pendayaguna sumber daya air untuk meningkatkan kelestarian sumber-sumber air dikawasan DAS. Kesepakatan yang tertuang dalam konsep KKD adalah kesepakatan antara masyarakat desa dengan pihak pengelola kawasan hutan (Pemerintah) dan berisi butir-butir kesepahaman dan kesepakatan masyarakat desa untuk mendukung
pengamanan,
pelestarian
hutan
serta
mendukung
proses
pembangunan melalui pengembangan strategi pembangunan desa yang berwawasan lingkungan/konservasi.
195
Nilai-nilai yang termuat dalam KKD meliputi : perlindungan, penyelamatan dan pemanfaatan sumber daya alam di desa serta peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa. Timbal balik pemerintah pengelola kawasan hutan untuk membantu meningkatkan ekonomi masyarakat desa adalah dengan memberikan modal kerja berupa Hibah Konservasi Desa (HKD), dalam bentuk hibah dan kredit kepada masyarakat secara individu maupun kelompok, dengan persyaratan sebagai berikut : (a) Dana Hibah Konservasi Desa yang digunakan untuk kegiatan selain kegiatan usaha ekonomi produktif (konservasi) kepada desa tidak perlu dikembalikan. Namun masyarakat harus mampu menunjukkan dan sanggup untuk bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan pengembangan lebih lanjut melalui penyusunan rencana operasional dan pemeliharaan yang lengkap dan realistik sebelum usulan kegiatan dapat diterima. (b) Dana Hibah Konservasi Desa yang digunakan untuk kegiatan ekonomi produktif desa adalah kredit yang diberikan kepada kelompok usaha atau perorangan untuk dijadikan modal usaha dengan jangka waktu terbatas dan harus dikembalikan kepada pemerintah pengelola hutan (melalui Kelompok Kerja Program) beserta bunga atau keuntungan bagi hasil yang telah disepakati. Jenis kegiatan KKD dapat diklasifikasi menjadi 3 (tiga) kegiatan, yaitu : kegiatan pembangunan sarana infrastruktur umum, kegiatan usaha ekonomi produktif dan kegiatan konservasi. (a) Kegiatan pembangunan sarana infrastruktur umum (berbentuk pekerjaan sipil) diklasifikasikan sebagai kegiatan pembangunan berskala kecil dan manfaatnya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat desa kawasan hutan baik langsung maupun tidak langsung. Jenis kegiatan yang tidak layak dibiayai oleh dana ini adalah pembangunan yang mengancam kawasan konservasi. (b) kegiatan usaha ekonomi produktif desa diklasifikasikan sebagai kegiatan non infrastruktur yang mendukung peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Jenis kegiatan yang tidak layak dibiayai oleh dana ini adalah
196
kegiatan-kegiatan ekonomi yang berada dalam kawasan hutan atau dapat mengancam kawasan konservasi. (c)
Kegiatan konservasi dimaksudkan sebagai bantuan dana untuk kegiatan yang bersifat konservasi, dapat berbentuk kegiatan konservasi sipil teknis (seperti pembuatan terasering dan lainnya) atau kegiatan konservasi vegetatif (seperti penanaman tanaman tahunan penghasil buah dan kayu, sehingga mengurangi akses masyarakat merusak kawasan hutan. Secara lebih rinci kegiatan spesifik yang berhubungan langsung dengan konservasi seperti pembuatan hutan adat desa, pengkayaan terhadap tanaman kayukayuan, agroforestry, konservasi tanah dan air, serta lainnya. Adapun kelembagaan yang dilibatkan dalam KKD ini adalah Pemerintah
Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten (Balai, Dinas Kehutanan, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Desa) dan beberapa Kelompok Kerja, Fasilitator serta kelompok masyarakat desa. Oleh karena itu keterpaduan program KKD ini dirasakan amat penting dilakukan sebagai perekat usaha pendayagunaan sumber daya air dikawasan hulu sungai untuk meningkatkan penyangga sumber air yang bisa dimanfaatkan bagi kepentingan berbagai pengguna di bagian tengah dan hilir sungai (termasuk petani pemakai air bagi kepentingan irigasi pertanian). (6)
Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Dalam menanggulangi kerusakan hutan yang sangat tinggi, pemerintah
memadukan berbagai program konservasi dan rehabilitasi lahan dikawasan hutan sebagai penyangga keanekaragaman hayati dan ekosistem sumber daya air di dalamnya. Salah satu upaya pemerintah untuk menanggulangi kerusakan hutan yang terlanjur parah akibat eksploitasi besar-besaran dari masyarakat sekitar kawasan hutan dan kelompok masyarakat (perusahaan dan industri kehutanan) tanpa mengindahkan keseimbangan lingkungan dan daya dukung lahan, maka pemerintah melakukan terobosan program, yaitu Gerakan Rehabilitasi Lahan dan Hutan. Program Gerakan Rehabilitasi Lahan dan Hutan (atau dikenal dengan istilah Gerhan) mulai diimplementasikan sejak tahun 2003 yang dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan
197
sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem kehidupan tetap terjaga. Sebagai salah satu program strategis pembangunan yang langsung menyentuh masyarakat, Gerhan disusun dengan perencanaan yang tepat dari berbagai institusi dan level pemerintahan pusat sampai daerah, dengan mendasarkan pada sistem perencanaan kehutanan dan kaidah teknis perencanaan rehabilitasi hutan dan lahan. Perencanaan Gerhan diawali dengan pendekatan fase prakondisi dan fase aksi, meliputi: (1) Memaksimumkan dukungan dan komitmen politik, dengan maksud untuk mengakomodasi
tekanan
global
menjadi
peluang
dan
memperoleh
dukungan dan komitment politik yang cukup dalam penyelenggaraan Gerhan. (2) Mendasarkan pendekatan ekoistem dalam kerangka pengelolaan DAS dengan memperhatikan daya dukung lahan (land capability) dan kesesuaian lahan (land suitability) serta memperhatikan keanekaragaman jenis dan tingkat kerentaan terhadap hama penyakit. (3) Membangun
kapasitas
kelembagaan
pemerintah,
masyarakat,
dan
kelembagaan ekonomi, sosial dan budaya untuk meningkatkan kemampuan organisasi, meningkatkan kesempatan ekonomi, kesesuaian sosial budaya dan teknologi lokal serta menempatkan penguasaan lahan dalam kepastian hukum yang menjamin kelangsungan penggunaan dan pengelolaannya. Penyusunan rencana Gerhan dilaksanakan secara terpadu dari atas dan dari bawah dengan mekanisme sebagai berikut : (1) Di Tingkat Pusat Rencana lokasi dan luas sasaran disusun berdasarkan kriteria fisik dan pertimbangan manajemen daerah. Kriteria fisik meliputi : DAS prioritas, indikasi hutan dan lahan yang perlu direhabilitasi, daerah rawan bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan, bangunan vital (waduk/danau) yang perlu dilindungi, prioritas khusus pada : sempadan sungai, daerah perlindungan mata air, daerah pantai rawan bencana tsunami, intrusi air laut dab abrasi pantai.
198
Sedangkan pertimbangan manajemen daerah meliputi : kinerja rehabilitasi hutan dan lahan daerah, kelembagaan dan komitmen daerah, sumberdana rehabiniltasi hutan dan lahan lainnya di daerah, volume alokasi sumber dana (DAK-Dana Reboisasi/ Dana bagi hasil SDA kehutanan dan lain-lain. (2) Di Tingkat Pemerintah Daerah Rencana gerhan 5 tahunan, sasaran kegiatan rencana teknik tahunan disusun berdasarkan kriteria fisik yang disepakati Dinas/Instansi Kehutanan terkait di daerah terhadap sasaran DAS dengan memperhatikan sasaran Gerhan Nasional. (3) Padu-Serasi Alokasi Gerhan Alokasi indikatif oleh Pemerintah dipadu-serasikan dengan rencana teknik tahunan yang diusulkan daerah melalui BP DAS dan dikonsultasikan dalam Rapat Teknis Perencanaan Gerhan baik regional maupun terpusat, kemudian menjadi bahan usulan satuan gerhan di tingkat pusat untuk mendapat
persetujuan
DPR,
sehingga
nantinya
menjadi
dokumen
pelaksanaan yang diterbitkan oleh Departemen Keuangan (4) Penyusunan Rancangan Kegiatan, mencakup: risalah umum lokasi, luas dan letak pembuatan tanaman hutan kota (kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa); rancangan kegiatan pembuatan tanaman (persiapan lapangan, penyediaan bibit, bahan dan alat, tenaga kerja); rincian kegiatan dan biaya persiapan; jadwal pelaksanaan kegiatan; dan peta rancangan dan peta lokasi/situasi. Hasil kegiatan Gerhan ini diharapkan terwujudnya peningkatan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya mendukung sistem penyangga kehidupan dapat berlangsung dengan baik. Demikian pula ketersediaan sumber-sumber air untuk kebutuhan berbagai keperluan (pertanian, air baku domestik, industri) dapat terlayani secara adil dan lestari. (7)
Pencegahan alih fungsi lahan pertanian beririgasi Lahan merupakan salah satu syarat untuk dapat berlangsungnya proses
produksi di bidang pertanian. Produktivitas lahan sangat dipengaruhi oleh tingkat
199
kesuburan, tekstur tanah, serta ketersediaan air.
Selain ketiga faktor tersebut
ketersediaan lahan pertanian, khususnya yang beririgasi jugat sangat ditentukan oleh faktor nonteknis yang bisa jadi sedemikian besar pengaruhnya yaitu alih fungsi menjadi penggunaan di luar pertanian, seperti perumahan maupun industri. Fenomena alih fungsi lahan pertanian beririgasi ini tentunya menjadi sedemikian penting bagi keberlangsungan ketahanan pangan suatu daerah. Menurut data dari Center for Information and Development Studies (Cides), setiap tahun, sekitar 21 ribu hektar area pertanian di Indonesia hilang akibat alih fungsi lahan. Sedangkan kemampuan pemerintah mencetak lahan sawah dan pertanian baru masih belum mampu mengimbangi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, selama 1995-2005, lahan sawah mengalami penyusutan perluasan dari 8,464 juta hektar menjadi 7,696 juta atau penurunan 768 ribu hektar. Penyusutan lahan nonsawah pada periode yang sama, meningkat dari 49,376 juta hektar menjadi 65,709 juta hektar, atau bertambah luas 16, juta hektar. Dampak
alih
fungsi
lahan
sawah
ke
penggunaan
non-pertanian
menyangkut dimensi yang sangat luas daripada sekedar turunnya produksi pertanian saja, karena hal itu terkait dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat. Arah perubahan ini secara langsung atau tidak langsung akan berdampak terhadap pergeseran kondisi ekonomi, tata ruang pertanian, serta prioritas-prioritas pembangunan pertanian wilayah dan nasional. Kondisi lahan pertanian beririgasi yang berubah fungsi menjadi daerah permukiman juga terjadi di Kabupaten Cianjur, terutama di pusat kota dan jalur jalan Ciranjang – Cianjur. Perubahan fungsi areal sawah beririgasi ini berakibat pada berkurangnya lahan pertaian terutama pada DI Cianjur Leutik, DI Ciheulang, DI Cihea, dan beberapa daerah irigasi lainnya. Berdasarkan hasil diskusi kelompok terarah di tingkat kabupaten terdapat persepsi umum yang mengemuka, yaitu: (1) Persepsi terhadap fungsi lahan sawah beririgasi sebagai penghasil pangan, penyedia kesempatan kerja, dan penghasil pajak disadari sepenuhnya
200
mempunyai peranan yang sangat nyata dalam kontribusinya terhadap perekonomian daerah. (2) Fungsi lahan sawah sebagai pelestari lingkungan (pengendali banjir, erosi, dan tanah longsor) tidak dapat berdiri sendiri, tetapi terkait dengan masalah konservasi, rehabilitasi, dan reboisasi wilayah DAS di daerah hulu. (3) Fungsi lahan sawah dalam mencegah urbanisasi sangat tergantung dari kemampuan daya saing lahan sawah dalam menarik angkatan kerja untuk bekerja di lahan sawah.
Fenomena sekarang sebagian besar generasi
muda sudah tidak tertarik lagi pada sektor pertanian sebagai mata pencaharian utamanya, sehingga dapat memberikan kontribusi pada semakin luasnya kemungkinan alih fungsi lahan pertanian beririgasi. (4) Untuk mencegah alih fungsi lahan tersebut diperlukan suatu kebijakan yang mantap dalam mempertahankan lahan sawah beirigasi terutama atas dasar pertimbangan bahwa kontribusi lahan pertanian beririgasi terhadap ketersediaan pangan, peluang kesempatan kerja, dan kontribusinya dalam menghasilkan PAD sangat penting. Oleh karena itu diperukan identifikasi kembali fungsi-fungsi lain dari lahan pertanian berigasi selain untuk mata pencaharian dalam setiap pertimbangan dalam penentuan kebijakan daerah, termasuk di Kabupaten Cianjur. (8)
Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) Departemen Pertanian menyempurnakan Kredit Ketahanan Pangan (KKP)
menjadi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) dalam rangka mengembangkan energi alternatif yang berbasis sumber energi nabati. Penetapan KKP-E
melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
79/PMK.05/2007 itu dalam rangka menciptakan skim dan mekanisme kredit yang tertib, terkendali, efektif, efisien, dan terpadu serta mengedepankan peran perbankan nasional dengan subsidi dari pemerintah. Penyempurnaan tersebut akan memperluas pembiayaan dari beberapa komoditas yang meliputi komoditas kacang tanah, sorgum, burung puyuh, pembibitan sapi, cabe, bawang merah, pisang, jahe, dan kentang. Sebelum disempurnakan KKP hanya memberikan kredit pada beberapa komoditas saja seperti komoditas padi, jagung, kedelai, ubi kayu , ubi jalar dan
201
pengembangan tebu. Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam penyaluran KKP adalah terbatasnya agunan yang dimiliki petani, terbatasnya penjamin kredit dan pasar, dan harga hasil produksi berfluktuasi, kecuali KKP tebu tidak ada masalah karena sudah dijamin oleh pabrik gula. Dua puluh bank berkomitmen menyalurkan dana Rp 10.8 triliun untuk sektor pertanian. Penyaluran dana tersebut bagian dari kerja sama bank dengan pemerintah dalam program KKP-E 2007. Dalam skema KKP-E, dana kredit sepenuhnya berasal dari bank. Pemerintah hanya memberikan subsidi bunga sebesar selisih antara tingkat bunga komersial dan tingkat bunga yang diberikan kepada petani. Plafon kredit KKP-E juga dinaikan dari Rp15 juta menjadi Rp25 juta per individu dengan jangka waktu 5 tahun dari sebelumnya hanya berjangka 3 tahun. Tingkat suku bunga sekarang 13.25 sampai 14.25 persen, petani hanya akan membayar bunga 7 hingga 8 persen, selisih bunga itu akan dibayar pemerintah. Penyerapan kredit pertanian, khususnya sektor tanaman pangan dan pengadaan pangan, relatif rendah. Misalnya untuk KKP tanaman pangan tahun 2006, dari Rp 585 miliar yang disediakan, yang terserap hanya Rp 56,023 miliar atau 9.57 persen. Untuk meningkatkan realisasi KKP-E, maka Departemen Pertanian beserta instansi di daerah akan memaksimalkan peran penyuluh pertanian di tingkat lokal untuk menginformasikan kepada petani mengenai program ini. Skema KKP-E dirancang untuk memberi kemudahan bagi petani mengakses permodalan. Bagi petani yang usahanya memiliki prospek, tapi tidak memiliki jaminan untuk mendapatkan pinjaman, dapat mengajukan ke lembaga penjamin yang ditunjuk pemerintah, yakni Askrindo dan Perum Sarana Pengembangan Usaha (SPU). Kegiatan usaha yang dapat didanai melalui KKP-E bisa dilakukan secara mandiri atau bekerjasama dengan mitra usaha, antara lain meliputi: (1) Pengembangan padi, jagung, kedelai, ubi jalar, tebu, ubi kayu, kacang tanah, dan sorgum; (2) Pengembangan tanaman holtikultura antara lain berupa: cabe, bawang merah, dan kentang; dan (3i) Pengadaan pangan berupa: gabah, jagung, dan kedelai. Selain itu, pendanaan KKP-E yang berasal dari Bank Pelaksana dapat diberikan kepada Peserta KKP-E melalui kelompok Tani dan/atau Koperasi. Tingkat bunga KKP-E ditetapkan sebesar tingkat bunga pasar
202
yang berlaku untuk kredit sejenis dengan ketentuan, yaitu: (1) untuk KKP-E pengembangan tebu paling tinggi sebesar suku bunga penjaminan simpanan pada Bank Umum yang ditetapkan oleh lembaga Penjamin simpanan ditambah 5 persen; dan (2) untuk KKP-E lainnya paling tingi sebesar suku bunga penjamin simpanan pada Bank Umum yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan ditambah 6%. Tingkat bunga KKP-E ditinjau dan ditetapkan kembali setiap 6 bulan pada tanggal 1 April dan 1 Oktober berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah dan Bank Pelaksana dengan mendengar pendapat Komite Kebijakan atas hasil kajian Komite Teknis. Subsidi bunga KKP-E diberikan Pemerintah setelah Bank Pelaksana mengajukan permintaan kepada Menkeu u.p Dirjen Perbendaharaan dengan dilampiri: (1) rincian perhitungan tagihan Subsidi Bunga KKP-E, (2) rincian mutasi rekening pinjaman masing-masing penerima KKP-E dan (3) tanda terima pembayaran Subsidi Bunga KKP-E yang ditandatangani Direksi Bank Pelaksana atau pejabat yang dikuasakan. Risiko KKP-E ditanggung oleh Bank Pelaksana, tetapi sebagian risiko KKP-E tertentu yang ditetapkan Pemerintah dapat dijaminkan oleh Bank Pelaksana dengan membayar premi kepada lembaga penjamin yang didukung oleh Pemerintah. Jangka waktu KKP-E ditetapkan oleh Bank Pelaksana berdasarkan siklus tanam atau siklus usaha, paling lama lima tahun. Bank Pelaksana KKP-E tidak mengenakan provisi kredit dan biaya komitmen kepada Peserta KKP-E. Memorandum Kesepakatan Bersama, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 butir 11 Keputusan Menkeu Nomor 345/KMK.017/2000 tentang Pendanaan Kredit Ketahanan Pangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menkeu Nomor 559/KMK.06/2004, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menkeu ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2007 atau sampai dengan berlakunya tanggal berlakunya Perjanjian Kerjasama Pendanaan antara Pemerintah dengan Bank Pelaksana. (9) Kredit Usaha Mikro dan Kecil (KUMK) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) Skim Kredit Usaha Mikro diperuntukkan bagi usaha mikro yang produktif terutama disektor pertanian dan kelautan yang berada di daerah tertinggal. Karena usaha mikro ini mempekerjakan lebih dari 80 juta orang dan masih sulit
203
mengakses mikro-banking ataupun LKM-bank (BPR) untuk memperkuat permodalannya. KUMK dari sektor perbankan (dana komersial) yaitu: (1) KUMK-LTA dari Bank Mandiri, kredit usaha mikro yang layak tetapi tanpa menggunakan agunan. (2) KUR dari Bank Rakyat Indonesia, dengan rata-rata pinjaman Rp. 100 juta (3) KUPEDES dari BRI-Unit dengan rata-rata pinjaman Rp. 9 juta (4) Kredit Mikro dari BPR dengan rata-rata pinjaman Rp. 8 juta untuk pedagang dan konsumstif KUMK dari sektor non-bank (dana berbantuan) yaitu: (1) Kredit Usaha Mikro dan Kecil (KUMK) dari SUP 005 melalui PNM dan Pegadaian (2) Dana Bergulir melalui LKM Koperasi (KSP/Usp-Kop) Kementerian Koperasi dan UKM (3) Dana Bergulir/Subsidi Bunga melalui LKM semiformal (DKP, Deptan, Depsos, Depdagri dan BKKBN) (4) Kredit Mikro-Krista dari Pegadaian Usaha Mikro berjumlah lebih dari 43 juta unit dan menyumbang lebih dari 50% GDP. Dari 93.4 juta angkatan kerja terdapat 42.5 juta bekerja pada usaha sendiri, dimana 24.3 juta unit adalah usaha mikro yang umumnya berada di daerah tertinggal. Pada Usaha Mikro tersebut bekerjalah economically active poor yang masih sulit akses ke micro-banking. Hanya 9% yang dilayani Bank umum dan baru 3% yang dilayani BPR. Oleh karena itu untuk pengentasan kemiskinan diperlukan linkage Lembaga Keuangan Mikro (LKM) non-bank dengan perbankan yang saat ini mempunyai dana idle sekitar Rp. 260 T, belum produktif disalurkan ke sektor riil, dan disimpan dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan beban bunga sekitar Rp. 20 T/tahun. Kredit Mikro melalui perbankan belum mencapai target, rata-rata pinjaman BRI-Unit lebih dari Rp. 10 juta/nasabah, BPR lebih dari Rp. 8 juta/ nasabah dan Danamon Simpan Pinjam lebih dari Rp. 30 juta/nasabah. KUR adalah upaya bersama pemerintah dan perbankan untuk meningkatkan akses UMKM ke kredit perbankan, dengan pola penjaminan kredit yang dibiayai APBN melalui Lembaga Penjamin Kredit-BUMN. Targetnya mencapai 650,000 debitur pada tahun 2009 dengan bunga kredit ≤16% dan maksimum pinjaman Rp. 500
204
juta per nasabah. KUR ini dicanangkan oleh Presiden RI di BRI pada tanggal 5 November 2007. Lembaga Penjamin Kredit (LPK) yang di tunjuk adalah ASKRINDO dan SPU dengan total dana penjaminan mencapai Rp. 1.45 triliun. Mekanisme penjaminan dilakukan dengan proporsi 70% LPK dan 30% bank sedangkan premi sebesar 1.5% ditetapkan antara bank pelaksana dengan LPK. Berikut skim KUR di gambarkan dalam diagram (Gambar 49). BI
DEPKEU Dana APBN
supervisi Claim BANK
70% Coverage
LPK: Askrindo/spu
KU Sosialisasi dan Pendampingan UMKM
Departemen Teknis/Pemda
Gambar 49 Skim Kredit Usaha Rakyat (KUR) Kriteria nasabah (UMKM) penerima KUR: (1) Menyerap tenaga kerja (2) Berorientasi ekspor (3) Produktivitas tinggi (4) Menciptakan nilai tambah (5) Pemanfaatan produktif, bukan konsumtif. Seleksi terhadap nasabah penerima KUR dilaksanakan oleh bank pelaksana yaitu Bank Mandiri, BRI, Bank Syariah Mandiri, BNI dan Bukopin. Gambaran sampai sekarang ini kinerja KUR dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31 Kinerja Kredit Usaha Rakyat (KUR) Tanggal 4 Januari 2008
Total KUR Rp. 348,529 M
Debitur Rata-rata pinjaman 2,523 Usaha Rp. 138 juta/usaha Rakyat rakyat
16 Januari 2008
Rp. 851,470 M
13,665 Rakyat
Usaha Rp. 2.31 Juta/Usaha Rakyat
205
(10) Kredit Konservasi Masyarakat Hutan (KKMH) Kredit Konservasi Masyarakat Hutan atau KKMH dimaksudkan untuk mewujudkan kualitas lingkungan hutan untuk menjadi daerah konservasi lahan dan air secara berkelanjutan serta sekaligus dapat meningkatkan kegiatan partisipatif masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. Inovasi dari KKMH adalah strategi yang dilakukan untuk perbaikan lingkungan lahan melalui mekanisme insentif yaitu berupa pemberian akses kepada masyarakat sekitar lahan konservasi untuk mengelola lahan negara baik untuk kepentingan konservasi maupun budidaya tanaman pangan dan pemberian kredit tanpa agunan serta bunga bersubsidi/dana bergulir untuk perkuatan permodalannya. Dengan demikian melalui pendekatan ini diharapkan kegiatan konservasi lahan akan dapat dilaksanakan dengan optimal dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Mekanisme pemberian KKMH dilakukan melalui BPR, KSP/USP-Kop dan LKM lainnya seperti halnya mekanisme KUR atau KUMK. Nasabah penerima KKMH ini adalah kelompok atau organisasi sejenis yang dibentuk atau dilegitimasi oleh masyarakat petani anggota. Akses penggunaan lahan negara untuk kepentingan konservasi dan budidaya tanaman pangan selanjutnya dialokasikan kepada setiap individu petani terpilih dengan luas lahan sekitar 25 ha. Tujuan utama yang diharapkan dari pelaksanaan Kredit Konservasi Masyarakat Hutan (KKMH) adalah: (1) Memperbaiki kondisi lingkungan hutan sebagai daerah konservasi lahan dan air (2) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar daerah konservasi dengan memanfaatkan lahan negara (3) Meningkatkan pengelolaan lahan negara yang kurang produktif dalam rangka menanggulangi masalah kekurangan air, longsor, erosi dan banjir (4) Meningkatkan
kerjasama
antar
berbagai
pihak
yaitu
pemerintah,
masyarakat, LSM dan Perguruan Tinggi dalam menangani masalah lingkungan dan pengentasan kemiskinan. Upaya pendukung agar Kredit Konservasi Masyarakat Hutan (KKMH) ini dapat berjalan dengan baik yaitu:
206
(1) Peningkatan pengelolaan konservasi lahan dan peningkatan produksi. Upaya peningkatan pengelolaan konservasi lahan dan peningkatan produksi dilakukan dengan cara survey ketersediaan sumber air dan desain irigasi sederhana untuk mengairi tanaman, memperkenalkan teknik konservasi air untuk meningkatkan kapasitas dan produktivitas tanah, meningkatkan kesuburan
tanah
melalui
penanaman
tahunan
(penghijauan)
dan
memberikan bantuan teknis melalui LSM yang akan memfasilitasi kegiatan di lapangan. (2) Penanaman
dan
konservasi
lahan
dan
air.
Kegiatan
ini
meliputi
pendistribusan tanaman yang bersertifikat dan mempunyai nilai ekonomis tinggi untuk ditanam di lahan masyarakat sekitar area konservasi dan memberikan bantuan teknis seperti pelatihan untuk melaksanakan konservasi (3) Peningkatan kemampuan untuk pengembangan agribisnis dan pemasaran. Meliputi aktivitas penilaian untuk peningkatan kemampuan setiap kelompok masyarakat yang terlibat, melakukan identifikasi dan promosi jenis tanaman yang cocok dan mempunyai nilai ekonomi tinggi, dan melakukan identifikasi dan pengembangan potensi industri rumah tangga termasuk bantuan teknis untuk pengembangan strategi dan jaringan pemasaran. (4) Dukungan operasional.
Melakukan penguatan manajemen pengelolaan,
supervisi fan pengembangan pola dan melaksanakan monitoring dan evaluasi.
VII. IMPLIKASI KEBIJAKAN
Implikasi kebijakan merupakan konsekuensi logis dari penetapan suatu kebijakan.
Demikian pula halnya dalam konteks penelitian ini yang telah
merumuskan suatu model kebijakan pengelolaan irigasi terpadu melahirkan konsekuensi terhadap sesuatu yang harus dilakukan agar model yang dirumuskan dapat berjalan secara efektif. Implikasi kebijakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu (1) pembentukan kebijakan daerah; (2) konservasi sumber daya air; (3) pengelolaan jaringan irigasi; dan (4) pengembangan pertanian beririgasi.
Penjelasan terhadap setiap implikasi
kebijakan dari model yang dibangun tersebut diuraikan sebagai berikut. 7.1.
Pembentukan Kebijakan Daerah Pelaksanaan Model PKSARI-Terpadu di daerah dapat berjalan secara
lebih efektif apabila didukung oleh suatu piranti peraturan dan kebijakan yang tepat.
Dalam skala nasional peraturan dan kebijakan sudah ditetapkan baik
melalui UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan PP No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi, serta kebijakan Pengembangan dan Pengelolaan Sistim Irigasi Partisipatif (PPSIP) sebagai pengganti program Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi (PKPI). Namun demikian peraturan tersebut masih terlalu general dan belum menggambarkan kebutuhan lokal yang lebih spesifik dan variatif satu daerah dengan daerah lainnya. Gambaran spesifik lokal tersebut juga berlaku untuk kabupaten. Sampai saat ini di kabupaten belum dibentuk peraturan daerah yang terkait dengan bidang pengelolaan irigasi. Kondisi demikian tentunya akan menjadi kendala dalam pelaksanaan model PKSARI-Terpadu yang dihasilkan dalam penelitian ini. Beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam melakukan pembentukan peraturan daerah tentang irigasi tersebut meliputi kegiatan: (1) persiapan pembentukan tim penyusun melalui rapat antarlembaga terkait; (2) penyusunan materi peraturan daerah; (3) konsultasi publik; (4) pembahasan materi dan finalisasi draft peraturan daerah; (5) penetapan peraturan daerah; dan (6) sosialisasi peraturan daerah.
208
Tim penyusun materi peraturan daerah sekurang-kurangnya meliputi instansi Biro Hukum Setda, Bagian Keuangan Setda, Bappeda, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pertambangan, Dinas Pertanian, Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah, Dinas Perikanan dan Peternakan,
dan
Kantor Analisi Dampak Lingkungan, serta unsur dari Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Sedangkan draft materi peraturan daerah dapat disusun dengan materi: (1) Ketentuan Umum (menjelaskan pengertianpengertian konsep pengaturan yang digunakan); (2) Asas, Maksud dan Tujuan Pengaturan; (3) Fungsi dan Keberlanjutan Irigasi; (4) Prinsip Pengembangan dan Pengelolaan Sistim Irigasi Partisipatif; (5) Kelembagaan Pengelolaan Irigasi; (6) Wewenang dan Tanggung Jawab; (7) Prinsip Partisipasi Masyarakat; (8) Pemberdayaan Organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air; (9) Pengelolaan Air Baku Untuk Irigasi; (10) Pengembangan Irigasi; (11) Pengelolaan Irigasi; (12) Pengelolaan Aset Irigasi; (13) Alih Fungsi Lahan Beririgasi dan Keberlanjutan Sistem Irigasi; (14) Pembiayaan; (15) Koordinasi; (16) Pengawasan; (17) Ketentuan Peralihan; dan (18) Ketentuan Penutup. Kegiatan konsultasi publik diperlukan untuk menjaring seluruh aspirasi yang berkembang di masyarakat, khususnya masyarakat petani pemakai air sebagai masukan dalam pemantapan draft peraturan daerah tersebut. Pembahasan materi dan finalisasi draft sebaiknya dilakukan melalui rapat pembahasan yang sudah mulai melibatkan unsur-unsur dari wakil lembaga yang nonteknis seperti biro hukum, bagian keuangan, bahkan kalau diperlukan representasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat. Setelah materi peraturan daerah tentang irigasi dipandang cukup dan final, maka selanjutnya dilaksanakan penetapan hukum oleh Bupati dan DPRD Kabupaten sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Pada akhirnya materi
peraturan daerah tersebut tentunya harus disosialisaikan kepada seluruh warga masyarakat di kabupaten. Implikasi kebijakan lainnya yang diperlukan adalah pembentukan Komisi Irigasi sebagai wadah koordinasi dari seluruh pemangku terkait dalam kegiatan pengelolaan irigasi di daerah. koordinasi
dan
komunikasi
Komisi irigasi kabupaten merupakan lembaga antara
wakil
pemerintah
kabupaten,
wakil
perkumpulan petani pemakai air tingkat daerah irigasi, dan wakil pengguna
209
jaringan irigasi pada kabupaten setempat.
Komisi irigasi kabupaten tersebut
dibentuk dengan keputusan bupati dan berada di bawah serta bertanggung jawab
langsung
kepada
bupati
untuk
membantu
tugas-tugas
dalam
mengkoordinasikan pengembangan dan pengelolaan irigasi di kabupaten. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa komisi irigasi di beberapa kabupaten sudah dibentuk namun struktur keanggotaan Komisi Irigasi tersebut masih belum sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 31/PRT/M/2007 tentang Pedoman Mengenai Komisi Irigasi.
Oleh karena itu
diperlukan beberapa penyesuaian antara lain perlunya dibentuk bidang-bidang, misalnya bidang tata guna air, riset dan pengembangan, atau bidang lainnya sesuai kebutuhan dan kepentingan daerah.
Apabila dilihat dari struktur
keanggotaan menunjukkan gambaran yang cukup baik dan representatif terhadap komponen pemangku kepentingan terkait dengan irigasi di kabupaten yang menjadi anggota Komisi Irigasi. dipertahankan.
Hal ini sebaiknya patut untuk
Namun demikian agar dikemudian hari tidak terlalu gemuk
kepengurusannya,
maka
diperlukan
pembentukan
forum
Gabungan
Perkumpulan Petani Pemakai Air (FGP3A) sebagai wakil masyarakat petani pemakai air dalam keanggotaan Komisi Irigasi. Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah terkait dengan pelaksanaan tugas Komisi Irigasi.
Pelaksanaan tugas tersebut sebaiknya diarahkan pada
fungsi tugas: (1) merumuskan rencana kebijakan untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi dan fungsi irigasi; (2) merumuskan rencana tahunan penyediaan, pembagian, dan pemberian air irigasi yang efisien bagi pertanian dan keperluan lain; (3) merekomendasikan prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi melalui forum musyawarah pembangunan; (4) memberikan pertimbangan mengenai izin alih fungsi lahan beririgasi; (5) merumuskan rencana tata tanam yang telah disiapkan oleh dinas instansi terkait dengan mempertimbangkan data debit air yang tersedia pada setiap daerah irigasi, pemberian air serentak atau golongan, kesesuaian jenis tanaman, serta rencana pembagian dan pemberian air; (6) merumuskan rencana pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi yang meliputi
prioritas
penyediaan
dana,
pemeliharaan,
dan
rehabilitasi;
(7)
memberikan masukan dalam rangka evaluasi pengelolaan aset irigasi; (8) memberikan pertimbangan dan masukan atas pemberian izin alokasi air untuk
210
kegiatan perluasan daerah layanan jaringan irigasi dan peningkatan jaringan irigasi; (9) memberikan masukan atas penetapan hak guna pakai air untuk irigasi dan hak guna usaha untuk irigasi kepada badan usaha, badan sosial, ataupun perseorangan; (10) membahas dan memberi pertimbangan dalam mengatasi permasalahan daerah irigasi akibat kekeringan, kebanjiran, dan akibat bencana alam lain; (11) memberikan masukan dan pertimbangan dalam proses penetapan peraturan daerah tentang irigasi; (12) memberikan masukan dan pertimbangan dalam upaya menjaga keandalan dan keberlanjutan sistem irigasi; dan (13) melaporkan hasil kegiatan kepada Bupati mengenai program dan progres, masukan yang diperoleh, serta melaporkan kegiatan yang dilakukan selama 1 (satu) tahun. Pelaksanaan tugas tersebut akan menjadi lebih baik kalau dibantu oleh sekretariat tetap untuk membantu persiapan secara rinci agenda rapat termasuk inventarisasi
materi
yang
akan
dibahas
dan
penjadualan
pertemuan
rutin/insidental yang diperlukan, serta penyusunan pelaporan kepada Bupati secara berkala (sekurang-kurangnya mengikuti kuartal anggaran kegiatan atau pertriwulan dalam setahun anggaran kegiatan). Peranan komisi irigasi kabupaten juga menjadi sangat vital dalam melakukan
koordinasi
dan
sinkronisasi
dengan
provinsi
dan
pusat.
Sebagaimana yang diatur dalam undang-undang sumber daya air bahwa terdapat pengelompokan kewenangan pengelolaan irigasi berdasarkan luas lahan pertanian beirigasi, antara lain adalah bahwa di bawah 1000 ha menjadi kewenangan kabupaten, 1000 – 3000 ha dan irigasi lintas kabupaten menjadi kewenangan provinsi, dan di atas 3000 dan strategis nasional serta lintas provinsi menjadi kewenangan pusat. Berkaitan dengan hal tersebut tentunya perlu dibangun sinkronisasi dan koordinasi komisi irigasi kabupaten dengan komisi irigasi provinsi, yang dapat diatur dalam melaksanakan tugas-tugas pengelolaan irigasi pada 6 (enam) daerah irigasi (DI Ciheulang, DI Susukan Gede, DI Cipadang/Cibeleng, DI Cimenteng, DI Cibalagung, dan DI Cikawung) sebagai berikut: mengusulkan rumusan rencana kebijakan kepada gubernur untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi dan fungsi irigasi; merumuskan rencana tahunan penyediaan, pembagian dan pemberian air irigasi bagi pertanian dan keperluan
211
lainnya; merekomendasikan prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi melalui forum
musyawarah
pembangunan
untuk
diteruskan
kepada
gubernur;
merumuskan rencana tata tanam yang telah disiapkan oleh dinas instansi terkait dengan mempertimbangkan data debit air yang tersedia pada setiap daerah irigasi,
pemberian air serentak atau golongan, kesesuaian jenis tanaman,
rencana pembagian dan pemberian air untuk diteruskan
kepada gubernur;
merumuskan rencana pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi yang meliputi prioritas penyediaan dana, pemeliharaan, dan rehabilitasi untuk diteruskan kepada gubernur; memberikan masukan dalam rangka evaluasi pengelolaan aset irigasi untuk diteruskan kepada gubernur; memberikan pertimbangan dan masukan atas pemberian izin alokasi air untuk kegiatan perluasan daerah layanan jaringan irigasi dan peningkatan jaringan irigasi untuk diteruskan kepada gubernur; memberikan masukan kepada Bupati, atas penetapan hak guna pakai air untuk irigasi dan hak guna usaha air untuk irigasi kepada badan usaha, badan sosial, ataupun perseorangan; membahas dan memberikan pertimbangan dalam mengatasi permasalahan daerah irigasi akibat kekeringan, kebanjiran, dan akibat bencana alam lain; memberikan masukan dan pertimbangan dalam proses penetapan peraturan daerah tentang irigasi; memberikan masukan dan pertimbangan dalam upaya menjaga keandalan dan keberlanjutan sistem irigasi; dan melaporkan hasil kegiatan kepada Bupati, mengenai program dan progres, masukan yang diperoleh, serta melaporkan kegiatan yang dilakukan selama 1 (satu) tahun. Sedangkan koordinasi dan sinkronisasi yang perlu dibangun oleh komisi irigasi kabupaten dengan pusat melalui dewan sumber daya air dan atau Departemen Pekerjaan Umum untuk pengelolaan DI Cihea menyangkut hal-hal terkait dengan: usulan rumusan kebijakan untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi dan fungsi irigasi kepada Menteri; perumusan rencana tahunan penyediaan, pembagian, dan pemberian air irigasi bagi pertanian serta keperluan lainnya; merekomendasikan prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi melalui forum musyawarah pembangunan untuk diteruskan kepada Menteri; merumuskan rencana tata tanam yang telah disiapkan oleh dinas instansi terkait dengan mempertimbangkan data debit air yang tersedia pada setiap daerah irigasi,
pemberian air serentak atau golongan, kesesuaian jenis tanaman,
212
rencana pembagian dan pemberian air untuk diteruskan
kepada Menteri
;merumuskan rencana pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi yang meliputi prioritas penyediaan dana, pemeliharaan, dan rehabilitasi untuk diteruskan
kepada Menteri; memberikan masukan dalam rangka evaluasi
pengelolaan aset irigasi untuk diteruskan
kepada Menteri; memberikan
pertimbangan dan masukan atas pemberian izin alokasi air untuk kegiatan perluasan daerah layanan jaringan irigasi dan peningkatan jaringan irigasi; memberikan masukan kepada Bupati, atas penetapan hak guna pakai air untuk irigasi dan hak guna usaha air untuk irigasi kepada badan usaha, badan sosial, ataupun perseorangan; membahas dan memberi pertimbangan dalam mengatasi permasalahan daerah irigasi akibat kekeringan, kebanjiran, dan akibat bencana alam lainnya; memberikan masukan dan pertimbangan dalam proses penetapan peraturan daerah tentang irigasi; memberikan masukan dan pertimbangan dalam upaya menjaga keandalan dan keberlanjutan sistem irigasi; dan melaporkan hasil kegiatan kepada Bupati mengenai program dan progres, masukan-masukan yang diperoleh serta kegiatan yang dilakukan selama 1 (satu) tahun. Komisi irigasi kabupaten juga mengkawal perencanaan pengelolaan irigasi agar dapat sinkron dengan hasil musyawarah rencana pembangunan daerah (musrenbangda). Mengingat dalam musrenbangda adalah perumusan rencana seluruh sektor pembangunan, maka fungsi tugas komisi irigasi juga memberikan rekomendasi skala prioritas perencanaan dan pengelolaan irigasi sebagaimana yang ditetapkan dalam rencana strategis daerah di bidang irigasi, penetapan skala prioritas kegiatan, analisis dan rekomendasi pembiayaan pengelolaan irigasi, dan klarifikasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait dengan pengelolaan irigasi. Gambaran sinkronisasi fungsi komisi irigasi dalam proses mekanisme musyawarah rencana pembangunan daerah dapat dilihat pada Gambar 50.
213
RAPBD KOMISI IRIGASI
Rekomendasi Kegiatan PPSIP
Sidang DPRD
BUPATI
DPRD Panitia Anggaran
APBD
Sinkronisasi Program Irigasi (PPSIP) dengan: -Renstrada irigasi -Skala Prioritas -Analisis biaya -Klarifikasi SKPD, dll.
Musrenbang Kabupaten
BAPPEDA
Musrenbang Kecamatan Penyusunan Propeda, Retapeda, perencanaan, koordinasi dan penganggaran pembangunan daerah
DINAS PKT
Penyiapan Perumusan penyiapan dan pelaksanaan kebijakan teknis dibidang perhutanan dan konservasi tanah
Musrenbang Desa
DINAS PERTANIAN
DINAS PSDAP
Penyiapan Perumusan penyiapan dan pelaksanaan kebijakan teknis dibidang pengairan dan pertambangan
Penyiapan Perumusan penyiapan dan pelaksanaan kebijakan teknis dibidang pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan.
Usulan Kegiatan
P3A/GP3A/IP3A Sinkronisasi Usulan Kegiatan
Gambar 50 Sinkronisasi tugas Komisi Irigasi dalam proses Musrenbangda Secara operasional, keberadaan Komisi Irigasi perlu ditegaskan dalam Keputusan Bupati untuk mendukung program kegiatannya yang mencakup rapat rutin 2 kali setahun (musim hujan dan musim kemarau); proses penetapan Rencana Pembagian Air (RPA), Rencana Tata Tanam Global (RTTG), Rencana Tata Tanam Detail (RTTD), intensitas tanam, pola dan tata tanam, koordinasi pendanaan melalui kredit (KUR, KUM, dan lainnya), dan penanganan konflik. Kemudian tindak lanjutnya adalah melakukan sinkronisasi PPSIP dalam program musyawarah
perencanaan
rekomendasi,
penyusunan
pembangunan beritas
acara
daerah,
serta
kesepakatan,
dan
memberikan kerjasama
kelembagaan. 7.2.
Konservasi Sumber Daya Air Sebagaimana halnya pembentukan peraturan daerah dan komisi irigasi,
maka model PKSARI-Terpadu juga berimplikasi pada kebutuhan-kebutuhan
214
program konservasi sumber daya air. Hal ini perlu diwujudkan mengingat lahan kritis di kabupaten cukup luas dan kawasan hutan lindung yang belum memenuhi target yang diharapkan. Sebagai rangkaian menciptakan keberlanjutan sumber daya air, maka pengelolaan sumber air di hulu sungai dalam suatu kawasan daerah aliran sungai (DAS) mutlak diperlukan sehingga dapat mencegah dan mengurangi tingkat kerusakan catchment area akibat pengelolaan sumber daya hutan dan lahan yang tidak terkontrol dan dapat membahayakan dampak yang cukup serius terhadap keberlangsungan pemanfaatan sumber masyarakat.
air bagi
Oleh karena itu model PKSARI-Terpadu perlu didukung oleh
kondisi sumber air yang lestari, yaitu hutan dan daerah tangkapan air. Pelaksanaan kegiatan konservasi sebaiknya juga memperhatikan kondisi masyarakat di sekitar wilayah hutan dan daerah tangkapan air. Hal ini perlu diperhatikan karena selama ini komunitas masyarakat tersebut kurang mendapat perhatian.
Selayaknya mereka mendapatkan insentif atas upayanya untuk
menjaga kelestarian hutan.
Dengan demikian upaya konservasi tersebut
sekaligus juga dapat menjadi program pengentasan kemiskinan masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah hutan dan daerah tangkapan air. Program ini dimaksudkan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang mampu berfungsi menjadi daerah konservasi sumber daya air secara berkelanjutan serta sekaligus dapat meningkatkan kegiatan partisipatif masyarakat di sekitar hutan dalam mencapai kesejahteraannya. Berdasarkan hal tersebut, maka strategi kebijakan yang perlu ditempuh adalah melalui mekanisme insentif, yaitu berupa pemberian akses kepada masyarakat untuk mengelola lahan Negara untuk kepentingan konservasi maupun budidaya tanaman pangan.
Pendekatan insentif dimaksudkan agar
masyarakat penerima program mempunyai kesempatan dan kemampuan melakukan usaha-usaha pemeliharaan dan perbaikan erosi tanah secara berkelanjutan berdasarkan potensi sumber daya yang dimilikinya.
Dengan
demikian pendekatan ini diharapkan dapat menjamin biaya rehabilitasi menjadi lebih murah dibandingkan strategi konvensional program rehabilitasi lahan yang selama ini dijalankan dan cenderung bersifat jangkat pendek, top-down dalam proses perencanaannya serta berorientasi fisik atas bentuk kegiatannya.
215
Melalui mekanisme pemberian insentif dalam program konservasi sumber daya air dengan cara memberikan akses pengelolaan lahan kepada masyarakat, maka biaya pengembangan dapat dikurangi karena masyarakat petani akan melakukan perluasan kegiatan penanaman pada lahan yang dimilikinya (kebun dan pekarangan) dengan teknologi agroforestry.
Hasil kegiatan tumpangsari
yang dilakukan oleh masyarakat hutan di lahan Negara menjadi sumber pendapatannya untuk melakukan kegiatan pengelolaan di lahan lainnya. Dengan demikian biaya fasilitasi dapat dikurangi sampai penaksiran angka 50% dari biaya input kegiatan rehabilitasi yang dijalankan. Pada jangka panjang, kelompok masyarakat konservasi yang menerima insentif
berupa
pengelolaan
lahan
dan
didukung
oleh
kondisi
sosial,
kelembagaan, ekonomi dan ekologi yang semakin baik akan melakukan kegiatan penanaman kayu dan jenis tanaman keras lainnya untuk fungsi konservasi. Pemberian insentif berupa akses pengelolaan lahan perlu dilakukan melalui pendekatan kelompok atau organisasi sejenis yang dibentuk dan dilegitimasi oleh masyarakat petani anggotanya. Insentif perlu dilaksanakan melalui kerjasama pengelolaan lahan antara pemerintah kabupaten dengan masyarakat yang diwakili oleh kelompok masyarakat konservasi hutan selama jangka waktu tertentu (dapat dipertimbangkan selama 15 tahun).
Lahan yang tersedia
kemudian dialokasikan kepada setiap individu petani terpilih untuk mengelola lahan seluas tertentu (dapat dipertimbangkan setiap petani mengelola lahan seluas 25 hektar). Surat perjanjian kesepakatan tersebut bukan sebagai alat bukti pemilikan lahan yang tidak dapat diagunkan dan dipindahtangankan karena status pemilikan lahannya tetap menjadi milik Pemerintah. Pengembangan program konservasi sumber daya air perlu ditunjang pendanaan melalui akses kredit yang diberikan oleh Lembaga Keuangan Mikro (LKM) melalui Kredit Usaha Mikro (KUM) dan Kredit Konservasi Masyarakat Hutan (KMKH) kepada masyarakat di sekitar hutan dan kawasan lahan kritis. Kredit tersebut ditujukan untuk menunjang kegiatan usahatani yang dilakukan oleh kelompok masyarakat hutan dalam rangka meningkatkan pendapatan keluarganya. Hal ini diperlukan karena masyarakat petani di hulu tidak mendapat manfaat langsung dari kegiatan konservasi sumber daya air tersebut. Sehingga perlu diberikan kompensasi untuk meningkatkan pendapatannya melalui kegiatan
216
usahatani di lahan yang sudah disediakan dan disepakati dalam program kesepakatan konservasi desa sebelumnya. Selain faktor pembiayaan, hal lainnya yang dibutuhkan dalam program konservasi sumber daya air adalah kerjasama dan koordinasi antar kelembagaan terkait.
Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi gejala kerusakan hutan dan
peningkatan luasan lahan kritis sebagai faktor determinan ketersediaan air di sumbernya. Fungsi kerjasama dan koordinasi tersebut juga harus melibatkan warga
masyarakat
sekitar
untuk
menumbulkan
pemanfaatan hutan secara ekonomi.
sense
of
control
atas
Pengendalian masyarakat menjadi
sedemikian penting karena komunitas tersebut seharinya-harinya berada dalam lingkungan kawasan hutan, sehingga akan lebih mudah dalam menjalankan fungsi pengendalian hutan agar tetap lestari.
7.3.
Pengelolaan Jaringan Irigasi Implikasi kebijakan dari model PKSARI-Terpadu pada aspek pengelolan
jaringan irigasi perlu dikembangkan dalam program rencana induk pengairan. Beberapa
program
yang
dapat
dilaksanakan
dalam
kaitannya
dengan
peningkatan kinerja sektor pengairan di kabupaten antara lain dengan ekstensifikasi
pertanian
beririgasi
dan
intensifikasi
pengelolaan
dan
pemeliharaan jaringan irigasi. Program perluasan lahan (ekstensifikasi) daerah irigasi di kabupaten dengan mengandalkan lahan untuk dimanfaatkan sebagai kawasan
pertanian.
Sedangkan
pengembangan
secara
intensifikasi
mengarahkan pada program pengelolaan dan pemeliharaan terhadap jaringan irigasi yang sudah ada. Dalam pengembangan ekstensifikasi daerah irigasi terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu: 1. Lahan. Dalam RTRW Kabupaten masih terdapat lahan yang dapat dijadikan lahan pertanian lahan basah yang belum dimanfaatkan secara optimal. Namun perlu diantisipasi pula mengenai perubahan guna lahan yang disebabkan adanya perkembangan penduduk dengan segala aktivitasnya yang dapat mengakibatkan perubahan pola tata guna lahan, terutama perubahan budidaya (pertanian) menjadi kawasan non pertanian.
217
2. Letak topografi lahan. Kondisi topografi lahan diatas 0-2% dapat dijadikan areal persawahan dengan persyaratan adanya ketersediaan pasokan air yang memadai. 3. Kesuburan tanah. Tingkat kesuburan tanah yang layak dijadikan areal persawahan yaitu mempunyai jenis tanah podsolik kuning dengan tingkat kesuburan sedang. 4. Ketersediaan debit air. Sumber air yang diperlukan untuk irigasi adalah dari air tanah dengan debit rata-rata 12 m3/detik dan sumber mata air lainya ratarata 1.65 m3/detik. Sumber air unggulan dari 253 buah sungai, waduk Cirata dan situ/rawa sebanyak 22 buah dengan total catchment area 17,500 ha. Berdasarkan hal tersebut diatas maka daerah irigasi di Kabupaten mempunyai kemungkinan dapat dikembangkan secara ektensifikasi, serta harus juga pengembangan intensifikasi yaitu mengoptimalkan operasional dan pemeliharaan
daerah
irigasi
yang
disertasi
rehabilitasi,
perbaikan
dan
pembangunan bangunan utama berupa bendung permanen, saluran pembawa serta
bangunan
lainya
yang
diperlukan.
Untuk
mendukung
efektifitas
pembangunan jaringan irigasi diperlukan identifikasi mengenai debit air sungai yang akan disadap secara lebih rinci. Kebutuhan program pengelolaan jaringan irigasi dituangkan dalam rencana pengembangan jaringan irigasi. Program yang penting adalah: (1) meningkatkan kapasitas prasarana jaringan irigasi; (2) terjaganya kondisi dan kelestarian fungsi prasarana irigasi; (3) meningkatkan investasi dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan daerah irigasi; (4) terciptanya keterpaduan pengelolaan melalui kerjasama antar lembaga; (5) tercapainya alokasi air sesuai hasil kesepakatan; (6) meningkatnya kemampuan profesionalisme aparat dalam pengelolaan daerah irigasi; (7) meningkatkan keterbukaan dan tranparasi dalam kegiatan; (8) meningkatkan waduk, danau dan bangunan penunjang lainnya; (9) terwujudnya pengelolaan jaringan irigasi sepeunuhnya oleh kelembagaan irigasi; (10) ekstensifikasi daerah irigasi. Implikasi kebijakan yang penting untuk pengembangan program tersebut adalah dengan cara pendanaan yang cukup baik untuk pengelolaan irigasi baik kegiatan operasi, pemeliharaan, maupun rehabilitasi.
Dana operasi dan
pemeliharaan yang cukup mencapai sebesar Rp 160,000 per hektar, sedangka
218
pembiayaan rehabilitasi jaringan irigasi mencapai sebesar Rp 1,500,000 per hektar. Selain itu juga perlu dikembangkan Kerjasama Pengelolaan Irigasi (KSP) dalam kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang dituangkan dalam bentuk Dokumen Operasi dan Pemeliharaan Partisipatif (DOPP).
Kerjasama
juga perlu dikembangkan dalan kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi melalui Program Disain dan Konstruksi Partisipatif (PDKP) yang dituangkan dalam dokumen Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan (SP3) dan dana stimulan (initial maintenance) untuk kegiatan rehabilitasi ringan. Rencana pengembangan jaringan irigasi tersebut membutuhkan kerjasama dan koordinasi diantara lembaga terkait. Wadah yang dapat menjalankan fungsi tersebut adalah komisi irigasi. Oleh karena itu komisi irigasi perlu dikembangkan dan diselaraskan baik struktur maupun fungsi tugasnya sesuai dengan perkambangan kebijakan terbaru. 7.4.
Pengembangan Pertanian Beririgasi Implikasi
kebijakan
dari
model
PKSARI-Terpadu
pada
aspek
pengembangan pertanian beririgasi perlu diselenggarakan dalam program pembangunan
pertanian
kabupaten.
Program
pembangunan
pertanian
sebaiknya diarahkan dalam pencapaian: (1) peningkatan kesejahteraan petani; (2) peningkatan ketahanan pangan; (3) peningkatan pemasaran hasil produksi pertanian; (4) penerapan teknologi pertanian secara tepat guna; (5) peningkatan produksi pertanian; dan (6) pemberdayaan penyuluhan pertanian. Pencapaian kegiatan tersebut perlu didorong melalui upaya menumbuhkan kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat petani agar dapat memberikan manfaat bagi peningkatan pendapatan petani melalui kegiatan usahatani yang dilakukannya. Pentingnya pendapatan usahatani diindikasikan dari hasil pendapatan usaha tani irigasi menghasilkan laba hampir 2 kali lebih besar dari usaha tani non irigasi. Hal ini dikarenakan kesuburan dan kecukupan air di lahan beririgasi sehingga dapat berproduksi lebih baik dari lahan non irigasi. Usaha tani yang berada di kawasan areal irigasi pun masih belum dapat merasakan manfaat irigasi secara optimal karena debit air yang cenderung fluktuatif dan tidak merata antara hulu dan hilir. Peranan sistem irigasi yang baik sangat mendukung dalam peningkatan pendapatan dan kesejahteraan usaha tani. Sehingga diperlukan
219
upaya dalam meningkatkan pengaturan mengenai irigasi yang lebih baik dan efektif. Berkaitan dengan hal tersebut dibutuhkan kegiatan-kegiatan yang menunjang program peningkatan pendapatan usahatani.
Beberapa upaya
tersebut perlu dilakukan melalui kegiatan: (1) perluasan arean tanam; (2) penyebarluasan penerapan teknologi; (3) pengembangan sarana dan prasarana pertanian; (4) pengembangan kelambagaan melalui pemaduan kelompok tani dengan organisasi P3A/GP3A/IP3A; (5) pengembangan pemasaran hasil usahatani; (6) pengembangan jasa/usaha untuk peningkatan nilai tambah hasil pertanian; (7) penguatan permodalan pada usaha tani melalui penyediaan dana bergulir atau kredit tanpa agunan dengan bunga ringan; dan (8) peningkatan peran serta petani dalam investasi yang kindusif. Upaya peningkatan ketahanan pangan diarahkan untuk peningkatan produksi komoditas padi, palawija (kedele, jagung dan kacang tanah), sedangkan sayuran diantaranya pengembangan usahatani cabe, bawang daun, tomat, wortel, serta buah-buahan (pisang, mangga, dan durian).
Pengembangan
komoditas hortikultura difokuskan pada komoditas yang bernilai ekonomi, mempunyai peningkatan sebaran luas dan permintaan pasar tinggi baik pasar domestik maupun pasar ekspor. Daya dukung lainnya yang diperlukan dalam menunjang program pengembangan pertanian beririgasi adalah pemberian skim kredit melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) maupun Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E). Keputusan penting yang dibutuhkan dalam kelancaran dukungan kredit tersebut adalah adanya Keputusan Bupati yang menunjang dan mengatur mekanisme skim kredit untuk menunjang perogram peningkatan pendapatan petani. Peningkatan pendapatan usahatani tentunya diharapkan dapat memberikan umpan balik pada partisipasi pembiayaan dari petani melalui iuran pengelolaan irigasi, sehingga keberlanjutan pengelolaan irigasi, khususnya pada tingkat tersier dapat terjaga terus. Selain itu pengembangan pertanian beririgasi juga membutuhkan kerjasama dan koordinasi yang sangat baik diantara berbagai pemangku kepentingan terkait baik di lingkungan pemerintahan daerah maupun dengan lembaga penelitian dan pengembangan serta kelembagaan masyarakat setempat.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1.
Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan penelitian yang diperoleh,
maka disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1. Faktor penentu strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan berdasarkan studi kasus di Kabupaten Cianjur adalah kondisi lingkungan, ekonomi, teknis, dan kelembagaan. memperlihatkan
adanya
kerusakan
kawasan
Faktor lingkungan
hulu
dengan
indikasi
meningkatnya pemukiman serta rendahnya reboisasi sehingga lahan kritis semakin luas mencapai sebesar 35% dari total luas kawasan hutan. Kondisi demikian menyebabkan terjadinya penurunan debit air di hilir sampai pada besaran 44.028 liter/detik.
Faktor ekonomi menunjukkan keterbatasan
pendapatan di sektor pertanian dan rendahnya pendanaan pengelolaan irigasi. Faktor teknis memperlihatkan adanya kerusakan jaringan dan debit air irigasi yang terbatas. Tingkat kerusakan jaringan irigasi di Kabupaten Cianjur cukup tinggi mencapai 60% karena pendanaan operasi dan pemeliharaan berada di bawah standar kebutuhan (Rp 160.000/ha), demikian pula dengan rehabilitasi yang juga masih dibawah standar kebutuhan sebesar Rp 1,500,000.00/ha.
Faktor kelembagaan pengelola irigasi
menunjukan indikasi kinerja yang masih belum optimal dengan keterbatasan kemampuan pada tingkat pengurusnya. Sedangkan pembentukan komisi irigasi belum menunjukkan kinerja yang baik karena belum mengikuti mekanisme yang diatur dalam peraturan Kementerian Pekerjaan Umum. 2. Asumsi strategis model kebijakan dirumuskan dengan menggunakan teknik Surfacing Assumption Strategic and Testing (SAST) yang mencakup sintesa dari
aspek
lingkungan,
teknis,
kelembagaan,
dan
ekonomi
melalui
keterpaduan perencanaan di tingkat hulu dan hilir. Beberapa asumsi yang memiliki kepentingan dan kepastian yang tinggi masuk pada kuadran II antara
lain
adalah
konservasi
hutan
dan
reboisasi
serta
operasi,
pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi, yang didukung oleh pendanaan memadai.
221
3. Strukturisasi model yang dihasilkan melalui teknik Intepretative Structural Modeling (ISM) diketemukan bahwa driver power dari pencapaian sasaran program adalah kemantapan Peraturan Pemerintah mengenai irigasi. Struktur model konseptual strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi diwujudkan melalui PKSARI-Terpadu. PKSARI-Terpadu terdiri 3 submodel yaitu konservasi sumber daya air, pengelolaan/rehabilitasi jaringan irigasi dan pengembangan pertanian beririgasi. Terpadu
membutuhkan
kesadaran,
Pengembangan kebijakan PKSARIkomitmen,
dan
keberpihakan
Pemerintahan Daerah dengan partisipasi masyarakat secara aktif 4. Prioritas kegiatan untuk mewujudkan model PKSARI-Terpadu disusun melalui FGD dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) yang memberikan fokus tindakan pada operasional, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi dan segera dikeluarkan peraturan daerah terkait dengan pemberdayaan kelembagaan irigasi dan Komisi Irigasi. 5. Implikasi kebijakan yang diperlukan meliputi pembentukan kebijakan daerah baik melalui peraturan daerah tentang irigasi maupun Keputusan Bupati tentang Komisi Irigasi untuk memadukan upaya konservasi sumber daya air, pengelolaan jaringan irigasi, dan pengembangan pertanian beririgasi. Selain itu diperlukan sumber pembiayaan di luar APBN/APBD dengan mekanisme skim kredit melalui KUR dan KKP-E pada tingkat usahatani, sedangkan skim kredit KUMK dan KKMH perlu diterapkan pada masyarakat konservasi hutan di daerah hutan. Selain itu juga perlu diupayakan Dana Pengelolaan Irigasi (DPI) dan kerjasama pengelolaan irigasi baik melalui Dokumen Operasi dan Pemeliharaan Partisipatif (DOPP) maupun Program Disain dan Konstruksi Partisipatif (PDKP) yang didukung kerjasama dan koordinasi diantara pemangku kepentingan terkait melalui Komisi Irigasi dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah (Musrenbangda).
8.2.
Saran Berdasarkan kesimpulan penelitian yang ditarik, maka disarankan
beberapa hal sebagai berikut.
222
1. Mengkaitkan efisiensi irigasi di daerah dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan menurut Comhar, melalui pendekatan sistem untuk mengharmonisasikan pembangunan daerah hulu dan hilir. 2. Mengembangkan pola kerjasama antarlembaga yang terkait dengan fungsi pekerjaan umum, pertanian dan kehutanan dalam upaya konservasi sumberdaya air secara terpadu berbasis masyarakat. 3. Perlu adanya pengaturan pengelolaan irigasi yang efektif dalam klasifikasi luas lahan beririgasi seperti yang diatur dalam UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air. Penerapannya memerlukan koordinasi antar pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan desa. 4. Fasilitasi pendanaan baik dalam bentuk anggaran pemerintah maupun skim kredit berbantuan melalui Lembanga Keuangan Mikro (LKM) untuk setiap upaya peningkatan produksi padi dan pelestarian sumberdaya air. 5. Pengembangan mekanisme insentif berupa pemberian akses kepada kelompok masyarakat konservasi hutan untuk mengelola lahan negara dengan
penanaman
tanaman
keras
dan
tanaman
pangan
yang
menguntungkan buat peningkatan pendapatan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dan daerah tangkapan air.
223
DAFTAR PUSTAKA Abidin, S. Z. 2002. Kebijakan Publik. Penerbit Yayasan Pancur Siwah, Jakarta. Ambler, S. J. 1991. “Dinamika Irigasi Petani: Kerangka dan Prinsip-prinsip Kelembagaan”. Dalam John S. Ambler (ed). Irigasi di Indonesia: Dinamika Kelembagaan Petani. LP3ES, Jakarta. Arif, S.S, Wayan W., Endry M., Renyasih J. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Air Dalam Konteks Otonomi Daerah. Pusat Dinamika Pembangunan Universitas Padjadjaran, Bandung. Avianto, T. W. 1997. Sistem Hak Guna Air untuk Solusi Konflik di Daerah Irigasi Ciwalengke. Prosiding Lokakarya Nasional Jaminan Air Bagi Petani. Pusat Dinamika Pembangunan Universitas Padjadjaran, Bandung. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Cianjur. 2003. Laboran Akhir Rencana Induk Pengairan. Bappeda Kabupaten Cianjur. Barney, J. B. 1997. Gaining and Sustaining Competitive Advantage. Addison_Wesley Pub.co, Massachusetts. Bawono, I. R. 2008. Manajemen Strategik Sektor Publik: Langkah Tepat Menuju Good Governance.
. Bell, M. M. 1998. An Invitation to Environmental Sociology. Pine Forge Press, Thousand Oaks: California. Badan Pusat Statistik Cianjur. 2005. Kabupaten Cianjur Dalam Angka 2005. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur. Comhar. 2007. Principle for Sustainable Development. Comhar-the-National Sustainable Development Partnership. Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2004. Kebijakan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Untuk Kelestarian Hutan dan Lahan Serta Penataan Ruang Wilayah. Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan, Jakarta. Departemen Pertanian. 2005. Rencana Pembangunan Pertanian tahun 2005 – 2009. Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. Dikun, S. 2003. Infrastruktur Indonesia: Sebelum, Selama, dan Pasca Krisis. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Perum Percetakan Negara RI, Jakarta. Dubrin, A. J. 1990. Publishing Co.
Essensials of Management.
Ohio: South Western
224
Dunn, W. N. 1994. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi Kedua. Terjemahan Samodra Wibawa, Diah Asitadani, Agus Heruanto Hadna, dan Erwan Agus Purwanto. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor. _______. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid 1. Edisi Ketiga. IPB Press, Bogor. Eriyatno dan Sofyar, F. 2006. Metoda Penelitian Pascasarjana Untuk Analisa dan Rancangan Kebijakan. IPB Press, Bogor. Gany, H. A. 2007. Problems and Perspectives of Participatory Irrigation Management Under The Small Land-Holding Condition: With a Sepcial Reference to Indonesian Practice. The 4th Asian Regional Conference & 10th International Seminar on Participatory Irrigation Management (2-5 May). Teheran, Iran. Grant, R. M. 1995. Contemporary Strategy Analysis: Concepts, Techniques, Applications. Second Edition. Blackwell Pub., Cambridge Massachusetts. Hartono, M. D. 2004. Pendekatan Ekonomi Lingkungan, Dasar Pembangunan di Kawasan Merapi. SEACA: Yogyakarta. Helmi. 1997. Penyesuaian Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pemberdayaan Petani. Jurnal Ilmiah Studi dan Pengembangan Irigasi. Visi Irigasi Indonesia 14. Pusat Studi Irigasi Universitas Andalas, Padang. Hunger, J.D. & Wheelen, T.L. 2001. Manajemen Strategis. Yogyakarta.
Penerbit Andi,
Iskandar, J. 1998. Teori dan Isu Pembangunan. Program Pascasarjana Ilmu Administrasi STISIP, Garut. Islamy, M. I. 1997. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara, Jakarta. Jackson, M. C. 2005. Systems Thinking: Creative Holism for Managers. John Wiley & Sons Ltd, The Atrium, Southern Gate, Chichester, West Sussex PO198SQ, England. ________________. 2000. System Approaches to Management. Academics/Plenum Publisher, New York.
.
Kluwer
Japan International Cooperation Agency (JICA). 1993. The Study for Formulation of Irrigation Development Program in the Republic of Indonesia. Final Report Volume 1 Executive Summary. Nippon Koei Co.LTD in Association with Japan Irrigation and Reclamation Cosultants Co.LTD.
225
Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Pokok-pokok Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Bidang Air. Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta. Kanungo, S dan V.V. Batnagar. 2002. Beyond Generic Models for Information System Quality: The Use of Interpretative Structural Modeling (ISM). Journal System Research and Behavior Science. Vol 19, No. 2. Kartasasmita, G. 1995. Kebijaksanaan Publik Dalam Pembangunan: Sebuah Tinjauan Mengenai Lingkungan Kebijaksanaan (Policy Environmental). Lembaga Administrasi Negara, Bandung. Kleden, I. 1992. Kearah Pembangunan yang Berkelanjutan (dalam Pembangunan yang Berkelanjutan: Mencari Format Politik). PT. Gramedia, Jakarta. Kodoatie R. J. dan Roestam S. 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Penerbit Andi, Yogyakarta. Koontz, H., Cyril O., Heinz W. 1993 Jakarta: Erlangga.
Manajemen.
Edisi Kedelapan, Jilid 2.
Kwik Kian Gie. 2002. Pembangunan Infrastruktur di Indonesia. Whorkshop on Asset Management for Hydrolic Infrastructure. Kerjasama Bappenas dan World Bank, 1 -2 November 2002, Denpasar. Luenberger, D. G. 1979. Introduction to Dynamic Systems: Theory, Models, & Applications. John Wiley & Sons, Inc., Canada. MacNaughton, A.L. and John S. 2004. Achieving Sustainable Development: Meeting Economic Development, Environmental Protection, and Quality of Life Goals Through Effective Stakeholder Management Systems, Strategies, and Methodologies. CES: International Journal for Sustainable Business. Published by NetLogex, LLC. Makinuddin dan Tri H. S. 2006. Irigasi. Akatiga, Bandung.
Analisis Sosial: Bersaksi Dalam Advokasi
Manetsch, T.J. dan G.L. Park. 1977. System Analysis and Simulations with Application to Economic and Social Systems. Part I and II. Michigan State University, USA. Manila, I. G. K. 1996. Praktek Manajemen Pemerintahan Dalam Negeri. PT. Gramedia, Jakarta. Mardianto, S., Ketut K., dan M. Maulana. 2005. Kebijakan Lokasi Program Perbaikan Irigasi Berdasarkan Peluang Peningkatan Indeks Pertanaman (IP). Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No.1,Maret 2005. Mawardi, M. 1995. “Irrigation in Java: Its Development and Current Problems”. Dalam Visi Irigasi Indonesia: Jurnal Ilmiah Studi dan Pengembangan Irigasi, 11 (5). Pusat Studi Irigasi Universitas Andalas, Padang.
226
Merrey, D. J. 1995. “Konteks Kelembagaan Untuk Pengelolaan Pertanian Beririgasi”. Dalam Visi Irigasi Indonesia: Jurnal Ilmiah Studi dan Pengembangan Irigasi, 10 (5). Pusat Studi Irigasi Universitas Andalas, Padang. Midgley, G. 2000. Systemic Intervention: Philosophy, Methodology, and Practice. Kluwer Academics/Plenum Publisher, New York. Moran, M., Martin R., and Robert E. G. 2006. The Oxford Handbook of Public Policy. Oxford University Press, New York. Murdick, R. G., J. E. Ross dan J. R. Claggett. 1993. Sistem Informasi untuk Manajemen Modern. Edisi Ketiga. Penerbit Erlangga, Jakarta. Nawawi, H. 2000. Manajemen Stratejik Organisasi Non Profit di Bidang Pemerintahan dengan Ilustrasi di Bidang Pendidikan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Nisjar, K. dan Winardi. 1997. Teori Sistem dan Pendekatan Sistem dalam Bidang Manajemen. Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung. Pasandaran, E. 1991. LP3ES, Jakarta.
Irigasi di Indonesia: Strategi dan Pengembangan.
Rangkuti, F. 2002. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Robbins, S. P. 1995. Teori Organisasi: Struktur, Desain & Aplikasi. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Arcan Sanim, B. 2006. Analisis Ekonomi Lingkungan dan Audit Lingkungan. Makalah Pada Pelatihan Audit Lingkungan, 11 – 20 September 2006, Cisarua Bogor. Kerjasama Departemen Biologi FMIPA IPB dengan PKSDM Ditjen Dikti Depdiknas, Bogor. Santoso, B. 2005. Journalist Workshop on Water Policy Issues in Indonesia. Paper disampaikan dalam Workshop dengan Asian Development Bank. Saladin, D. 2004. Manajemen Strategi & Kebijakan Perusahaan. Penerbit Linda Karya, Bandung. Salim, E. 1990. Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta. Salusu, J. 2003. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi nonprofit. Rasindo, Jakarta. Saxena, J. P. 1992. Hierarchy and Classification of Program Plan Element Using Interpretative Structural Modeling. Systems Practice, Vol. 12 (6).
227
Siagian, P. S. 2004. Manajemen Stratejik. Bumi Aksara, Jakarta. Simatupang, T. M. 1995. Permodelan Sistem. Penerbit Nindita, Klaten. Sirait, J. T. 2006. Memahami Aspek-Aspek Pengelolaan Sumber Daya Manusia Dala Organisasi. Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Siskel, S. E. dan S.R. Hutapea. 1995. Irigasi di Indonesia: Peran Masyarakat dan Penelitian. LP3ES, Jakarta. Small, L. E dan Mark S. 1995. “Sebuah Kerangka untuk Menilai Keragaan Irigasi”. Dalam Visi Irigasi Indonesia: Jurnal Ilmiah Studi dan Pengembangan Irigasi, 11 (5). Pusat Studi Irigasi Universitas Andalas, Padang. Soehartono, I. 1998. Bandung.
Metode Penelitian Sosial.
PT. Remaja Rosdakarya,
Soenarno. 1995. “Pembangunan Pengairan Khususnya Irigasi pada PJP I dan Prospeknya pada PJP II”. Dalam Siskel dan Hutapea (ed). Irigasi di Indonesia: Peran Masyarakat dan Penelitian. LP3ES, Jakarta. Sugiarto, A. T. 2000. Peranan Pemerintah, Pengusaha, dan Masyarakat Dalam Mengatasi Permasalahan Lingkungan Hidup. Proceeding of the Fourth Symposium on Agri-Bioche. Institute for Science and Technology Studies (ISTECS), Miyamae, Kawasaki-Shi, Japan. Sumarwoto, O. 2003. Dualisme Propenas dan Agenda 21. Harian Kompas, PT Gramedia, Jakarta. Sunggono, B. 1994. Hukum dan Kebijaksanaan Publik. Sinar Grafika, Jakarta. Stylianou AC dan Kumar RL. 2000. An Integrative Framework for IS Quality Management. Communications of the ACM. Tangkilisan, H. N. S. 2004. Kebijakan dan Manajemen Lingkungan Hidup. Penerbit YPAPI, Yogyakarta. Tjokroamidjojo, B. Jakarta.
1995.
Pengantar Administrasi Pembangunan.
LP3ES,
Varley, R. C.G. 1995. Masalah dan Kebijakan Irigasi: Pengalaman Indonesia. LP3ES, Jakarta. Wibowo. 2006. Manajemen Perubahan. Edisi Kedua. Persada, Jakarta.
PT.
RajaGrafindo
Wignyosukarto, B. 2005. Air dan Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
228
Wilopo. 2003. Improvisasi Manajemen Strategi Sektor Publik. Administrasi Negara-Volume III No.1 Februari .
Jurnal 2003.
Wynpenny, J. 1994. Managing Water as an Economic Resource. Routledge: London. Wahab, A. S. 1997. Analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara, Jakarta. Yasin, F. A.Z. dan Djaimi B. 2000. Otonomi Pengelolaan Irigasi. Prosiding Pengelolaan Sumberdaya Air Dalam Konteks Otonomi Daerah. Penyunting Sigit Supadmo Arif, Wayan Windia, Endry Martius, dan Renyasih Judawinata. Pusat Dinamika Pembangunan Universitas Padjadjaran, Bandung. Zahedy F. 1998. Quality Information Systems: a Unifying Framework. International Journal of Technology Management. Zain, A. S. 1998. Aspek Pembinaan Kawasan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Dokumen: Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 1, ayat (1), (2), (5), dan (6). Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 13 dan Pasal 14 (Jakarta: BP. Cipta Jaya, 2004). Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi. Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1997 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 30/PRT/M/2007 tentang Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Sistim Irigasi Partisipatif. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 31/PRT/M/2007 tentang Pedoman Mengenai Komisi Irigasi.
229
Lampiran 1. Perbandingan tatanan kebijakan tentang irigasi JENIS ASPEK
PP No. 20/2006
PP No. 77/2001
Tujuan dan fungsi Tidak ada pasal irigasi yang menyebutkan tujuan dan fungsi irigasi. Dalam UU ini menyatakan bahwa “mengenai pengembangan sistem irigasi diatur dengan Peraturan Pemerintah (Psl 41, ayat 6).
Fungsi irigasi untuk meningkatkan produktivitas usahatani dalam rangka ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani. (Psl 2)
Prinsip penyelenggaraan irigasi
Dalam pasal 4 ayat (2), menyatakan bahwa irigasi diselenggarakan secara partisipatif, terpadu, berwawasan lingkungan hidup, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Tujuan irigasi untuk mewujudkan kemanfaatan air yang menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan, untuk meningkatkan kesejahteraan msyarakat, khususnya petani. Irigasi berfungsi mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan. (Psl 2 dan 3) Irigasi diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan petani dan dengan menempatkan organisasi petani pemakai air sebagai pengambil keputusan dan pelaku utama dalam pengelolaan irigasi yang menjadi tanggungjawabnya . (pasal 4) Untuk mendukung keandalan air irigasidilaksanakan dengan membangun waduk atau waduk lapangan, mengendalikan kualitas air, jaringan drainase yang sepadan, dan memanfaatkan kembali air pembuangan/drain ase (pasal 6 ayat (3) Pada PP ini tidak digunakan istilah
Keandalan untuk irigasi.
air
Pengembangan dan pengelolaan
UU No. 7/2004
Tidak menyebutkan pasal tentang prinsip pengembangan/pen gelolaan irigasi.
Pada pasal 29 ayat (3) menyatakan Bahwa “Penyediaan air untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada, merupakan prioritas utama penyediaan sumberdaya air di atas semua kebutuhan. Dalam UU ini hanya menyebutkan tentag
Keandalan air irigasi diwujudkan melalui kegiatan membangun waduk, waduk lapangan , bendungan, bendung, pompa, dan jaringan drainase yang memadai. (psl 3 ayat 1a)
Kewenangan untuk
Inpres No.3/1999
---
---
---
230
JENIS ASPEK sistem irigasi.
Kelembagaan Pengelolaan irigasi
Penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi
UU No. 7/2004
PP No. 20/2006
PP No. 77/2001
pengembangan sistem irigasi, dimana sistem irigasi primer dan sekunder lintas propinsi, serta luas diatas 3000 ha menjadi kewenangan pemerintah; sistem irigasi primer dan sekunder lintas kabupaten, serta luas antara 1000 – 3000 ha menjadi kewenangan provinsi; sistem irigasi primer dan sekunder yang utuh dalam satu kabupaten/kota, serta luas dibawah 1000 ha menjadi kewenangan kabupaten/kota. (pasal 31 ayat 2) Tidak ada pasal yang menyebutkan tentang kelembagaan pengelolaan irigasi.
pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi pada PP ini sama seperti pada UU No. 7/2004, dan penyelenggaraan nya dilakukan secara partisipatif, terpadu, berwawasan lingkungan hidup. (pasal 4 ayat 2)
pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi, tapi digunakan istilah “pembangunan dan pengelolaan irigasi”. Pembangunan menjadi kewenangan pemerintah. sedangkan pengelolaan menjadi kewenangan organisasi petani, pemerintah wajib memberikan fasilitasi sesuai permintaan organisasi petani. (Psl 32 dan 35 ayat 2).
Kelembagaan pengelolaan irigasi meliputi instansi pemerintah yang membidangi irigasi, perkumpulan petani pemakai air, dan komisi irigasi. (pasal 9 ayat 2)
Tidak ada kebijakan penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi, dalam UU ini. Tetapi dalam UU ini mengatur pembagian wewenang dan tanggung jawab
Tidak ada kebijakan tentang penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi dalam PP ini. Tetapi dalam PP ini mengatur pembagian wewenang dan
Kelembagaan pengelolaan irigasi meliputi instansi pemerintah/pemeri ntah daerah, perkumpulan petani pemakai air, pihak lain yang kegiatannya berkaitan dengan pengelolaan irigasi seperti LSM, perguruan tinggi, dllnya, serta komisi irigasi. (pasal 7 ayat 1 dan 3, serta penjelasannya). Kebijakan penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi dari pemerntah/pemeri ntah daerah kepada organisasi petani dilakukan secara demokratis
Inpres No.3/1999 ---
---
Dalam Inpres ini diinstruksika n oleh Presiden agar pemerintah/ pemerintah daerah melaksanak
231
JENIS ASPEK
UU No. 7/2004
PP No. 20/2006
PP No. 77/2001
pemerintah/pemerin tah daerah dalam pengembangan sistem irigasi.
tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, desa, dan masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi (pasal 16 s/d 20)
dan melalui kesepakatan. (pasal 9 s/d 12).
Redefinisi wewenang, tugas dan tanggung jawab lembaga pengelola irigasi
Tidak ada pasal yang menyebutkan tentang redefinisi wewenang, tugas, dan tanggung jawab lembaga pengelola irigasi.
Tidak ada pasal yang menyebutkan tentang redefinisi wewenang, tugas dan tanggung jawab lembaga pengelola irigasi.
Akibat dari adanya kebijakan penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi, maka ada kebijakan untuk melakukan redefinisi wewenang, tugas dan tanggung jawab lembaga pengelola irigasi ( Penjelasan pasal 7 ayat 1)
Pemberdayaan terhadap kelembagaan irigasi
Tidak ada pasal yang menjelaskan tentang kebijakan pemberdayaan terhadap kelembagaan irigasi.
Pemerintah melakukan pemberdayaan kepada organisasi petani, dan memberikan bantuan teknis secara berjenjang dari pemerintah , pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.( pasal 28 dan 29)
Pemerintah daerah melakukan pemberdayaan kepada oranisasi petani pemakai air, dan memberikan bantuan dan fasilitasi berdasarkan kesepakatan. (pasal 13)
Hak Guna Air
Hak guna air terdiri dari hak guna pakai
Hak guna air irigasi berupa hak
Hak guna air irigasi tidak dibagi
Inpres No.3/1999 an program penyerahan kewenanga n pengelolaan irigasi kepada organisasi petani, sebagai salah satu usaha untuk memberday akan petani. (Instruksi Kedua) Dalam Inpres ini menginstruk sikan agar pemerintah/ pemerintah daerah melakukan “redefinisi wewenang, tugas dan tanggung jawab terhadap lembaga pengelola irigasi”.(Instr uksi Pertama) Dalam Inpres ini menginstruk sikan agar pemerintah/ pemerintah daerah melaksanak an pemberday aan masyarakat petani pemakai air. ( Instruksi Ketiga)
232
JENIS ASPEK
Penyediaan irigasi
air
Pembangunan atau pengembangan jaringan irigasi
UU No. 7/2004
PP No. 20/2006
PP No. 77/2001
air dan hak guna usaha air (pasal 7)
guna pakai air untuk irigasi dan hak guna usaha air irigasi. (pasal 31). Hak guna pakai air irigsi diberkan dengan tanpa izin, sedangkan hak guna usaha air irgasi deberikan dengan melalui izin . (pasal 33 ayat 1 dan 2)
Dalam UU ini tidak hanya untuk irigasi akan tetapi untuk kebutuhan yang lebih luas seperti kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, industri, ketenagaan, pertambangan, perhubungan, ……, serta kebutuhan lainnya ditetapkan melalui peraturan perundangan. (pasal 29 ayat 1 dan 2). Penyediaan sumberdaya air, direncanakan dan ditetapkan sebagai bagian dalam rencana pengelolaan sumberdaya air pada setiap wilayah sungai oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya. (Pasal 29 ayat 6) Dalam UU ini aspek pengembangan yang dimaksud yaitu pengembangan sumberdaya air, tidak hanya irigasi.
Dalam penyediaan air irigasi, pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kotase suai kewenangannya mengupayakan optimalisasi pemanfaatan air irigasi, dan keandalan ketersediaan air irigasi serta pengendalian dan perbaikan mutu air irigasi . (pasal 36 ayat 4)
dalam 2 pengertian seperti pada PP No. 20/2006. Hak guna air irgasi diberikan dalam bentuk izin pengambilan air, yang diberikan oleh Bupati/walikota, Gubernur, dan Menteri sesuai kewenangannya kepada organisasi petani pemakai air. Dalam penyediaan air irigasi, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengusahakan optimalisasi penyediaan air dalam satu daerah irigasi maupun antar daerah irigasi. ( pasal 17 ayat 2) Pemerintah dan Pemerintah daerah mengupayakan ketersediaan, pengendalian dan perbaikan mutu air irigasi. (pasal 17 ayat 3)
Dalam PP ini yang dimaksudkan dengan pengembangan jaringan irigasi
Dalam PP ini yang dimaksud dengan pembangunan jaringan irigasi yaitu pembangunan
Inpres No.3/1999 --
233
JENIS ASPEK
Pengelolaan jaringan irigasi
UU No. 7/2004
PP No. 20/2006
PP No. 77/2001
Dalam pasal 34, dikatakan bahwa pengembangan sumberdaya air dilakukan pada wilayah sungai, dengan tujuan untuk meningkatkan kemanfaatan fungsi sumberdaya air guna memenuhi kebutuhan air baku untuk rumah tangga, pertanian, industri pariwisata dan sebagainya, yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan lingkungan hidup, daya dukung sumberdaya ir, kekhasan dan aspirasi daerah, serta masyarakat, keanekaragaman hayati.
yaitu pembangunan jaringan irigasi baru dan peningkatan jaringan irigasi yang sudah ada. (Pasal 1 ayat 32, dalam ketentuan umum) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggungjawa b dalam pembangunan jaringan irigasi primer dan sekunder. P3A dapat melakukan pembangunan jaringan irigasi primer dan sekunder dengan izin pemerintah dan pemerintah daerah. (pasal 49 ayat 1 dan 2)
Dalam UU ini aspek pengelolaan meliputi sumberdaya air, dan tidak hanya irigasi. Dalam pasal 11, disebutkan bahwa dalam menyusun pola pengelolaan sumberdaya air perlu melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha, serta didasarkan pada prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah, antara upaya konservasi dan pendayagunaan sumberdaya air.
Pada PP ini yang dimaksudkan dengan pengelolaan jaringan irigasi yaitu meliputi kegiatan operasi dan pemeliharaan, serta rehabilitasi jaringan irigasi. (pasal 1 ayat 36). Untuk kegiatan operasi dan pemeliharaan, serta rehabilitasi jaringan irigasi primer dan sekunder menjadi wewenang dari pemerintah dan pemerintah
jaringan irigasi baru, dari belum ada menjadi ada. Sedangkan pengembangan jaringan irigasi yaitu peningkatan jaringan irigasi yang sudah ada, untuk meningkatkan fungsi dan kemampuan pelayanannya. (pasal 1 ayat 20 dan 25). Pemerintah dan pemerintah daerah memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam pembangunan jaringan irigasi utama berdasarkan kesepakatan dengan masyarakat setempat. (pasal 29 ayat 2) Pada PP ini yang dimaksud dengan pengelolaan jaringan irigasi yaitu meliputi kegiatan operasi dan pemeliharaan, rahabilitasi, pengamanan, dan peningkatan jaringan irigasi. (pasal 1 ayat 21) Dalam pelaksanaan pengelolaan jaringan irigasi, untuk jaringan irigasi yang sudah diserahkan kewenangan pengelolaannya kepada P3A,
Inpres No.3/1999
234
JENIS ASPEK
Manajemen aset irigasi, inventarisasi daerah irigasi, audit pengelolaan irigasi
UU No. 7/2004
Dalam UU ini tidak mengatur tentang manajemen aset, inventarisasi dan audit sumberdaya air. Tetapi dalam pasal 65 s/d 69 mengatur tentang sistem informasi sumberdaya air, yang meliputi tentang informasi tentang kondisi hidrologis, hidrometorologis, hidrogeologis, kebijakan sumberdaya ir, prasarana sumberdaya air, , dan kegiatan sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang terkait dengan sumberdaya air.
PP No. 20/2006
PP No. 77/2001
daerah. P3A dapat berperan serta dalam kegiatan operasi dan pemeliharaan, serta rehabilitasi. (pasal 56 ayat 2, dan pasal 63 ayat 1)
menjadi kewenangan P3A. Akan tetapi pemerintah dan pemerinthah daerah tetap menyediakan bantuan dan fasilitasi dengan memperhaikan prinsip kemandirian (pasal 32). Untuk jaringan irigasi yang menjadi kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah kegiatan pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggungjawab pemerintah dan pemerntah daerah. Sama dengan PP No. 20/2006,dalam PP 77/2001 ini pengertian manajemen aset irigasi yaitu kegiatan inventarisasi, audit, perencanaan, pemanfaatan, pengamanan aset irigasi, dan evaluasi. (pasal 1 ayat 26). Pelaksanaan inventariasi aset irigasi dilakukan oleh Pemerintah kabupaten/kota dan P3A di wilayahnya masing-masing. Pemerintah dan pemerintah provinsi melakukan kompilasi data dan
Dalam PP ini penegertian manajemen aset irigasi yaitu mencakup inventarisasi, perencanaan pengelolaan, pelaksanaan pengelolaan, dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan aset irigasi, serta pemutakhiran hasil inventarisasi aset irigasi. (pasal 65) Untuk inventarisasi aset irigasi , dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan pemerintah desa. (pasal 66 ayat 4)
Inpres No.3/1999
235
JENIS ASPEK
UU No. 7/2004
PP No. 20/2006
Pembiayaan
Pembiayaan pegelolaan sumberdaya air yang menjadi tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah didasarkan pada kewenangan masing-masing dalam pengelolaan sumberdaya air. (pasal 78 ayat 2). Jenis pembiayaan pengelolaan sumberdaya air meliputi : biaya sistem informasi, biaya perencanaan, biaya pelaksanaan konstruksi, biaya operasi dan pemeliharaan, biaya pemantauan, evaluasi, dan pemberdayaan masyarakat. (pasal 77 ayat 2)
Pembiayaan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder menjadi kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah. Pembiayaan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi didasarkan atas Angka Kebutuhan Nyata Pengelolaan irigasi (pasal 74 dan 75.
Keberlanjutan sistem irigasi
Dalam UU ini tidak ada pasal khusus yang mengatur tentang keberlanjutan sistem irigasi, akan tetapi aspek tersebut telah diatur pada aspek penyediaan sumberdaya air dan keandalan
Dalam PP ini aspek keberlanjutan sistem irigasi, diatur pada bab alih fungsi lahan. (Bab 12).. sedangkan dalam pasal 82 ayat 1, disebutkan bahwa untuk menjamin
PP No. 77/2001 menetapkan daftar inventarisasi aset irigasi. (pasal 36) Dalam pasal 41 dijelaskan bahwa Biaya pembangunan jaringan irigasi menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah, berdasarkan kesepakatan antara pemerintah dan pemerintah daerah. Sedang pembiayaan pengelolaan irigasi yang sudah diserahkan dilakukan oleh P3A . Pemerintah dan pemerintah daerah membantu dalam menyediakan dan pengelolaan irigasi. Pembiayaan pengelolaan igasi disalurkan melalui Dana Pengelolaan Irigasi Kabupaten/Kota untuk mendukung efisiensi dan efektivitas dan pengelolaan irigasi. (pasal 42 ayat 1) Dalam PP ini untuk aspek keberlanjutan sistem irigasi diatur dalam bab tersendiri yaitu Bab 14. Sedangkan dalam pasal 43 dan 44 disebutkan bahwa Pemerintah, pemerintah daerah
Inpres No.3/1999
Dalam Inpres ini Presiden menginstruk sikan agar pemerintah melakukan pengaturan kembali dalam pembiayaan pengelolaan irigasi. (Instruksi Keempat)
Dalam Inpres ini menginstruk sikan agar pemerintah melaksanak an keberlanjuta n sistem irigasi. (Instruksi Kelima)
236
JENIS ASPEK
UU No. 7/2004 sumberdaya air.
PP No. 20/2006
PP No. 77/2001
kelestarian fungsi dan manfaat jaringan irigasi, Meneteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya mengupayakan ketersediaan lahan beririgasi dan atau mengendalikan alih fungsi lahan beririgasi, serta menetapkan wilayah potensial irigasi dalam tata ruang wilayah. (pasal 82 ayat 1 dan 2)
dan masyarakat, sesuai kewenangannya, mempertahankan sistem irigasi secara berkelanjutan dengan mewujudkan kelestarian sumberdaya air, melakukan pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air, mencegah alih fungsi lahan beririgasi untuk kepentingan lain, dan mendukung peningkatan pendapatan petani. Selain itu pemerintah daerah melakukan penertiban pada lahan beririgasi yang tidak berfungsi dengan memfungsikan kembali sesuai dengan tata ruang yang sudah ditetapkan.
Inpres No.3/1999
237
Lampiran 2. Struktur biaya usaha tani beririgasi Tanah milik sendiri Peralatan milik sendiri Harga gabah Rp. 1500/kg Biaya pemanenan 10% dari hasil yang didapat Frekuensi tanam padi 2 kali per tahun Keterangan I. Pengeluaran a. Sarana Produksi Bibit pupuk TSP pupuk urea pupuk KCL Jumlah b. Tenaga kerja Pengerjaan pematang pengolahan tanah 1&2 pengolahan tanah3 pencaplakan persemaian penanaman benih penyemprotan penyiangan 1 penyiangan 2 pembersihan pematang pemanenan (10% dari hasil) jumlah e. IPI
jumlah
35 210 350 105
satuan
kg kg kg kg
20 1 15 7 10 17 5 12 12 14
hkp buah hkp hkp hkp hkw hkp hkp hkp hkp
50
kg padi
harga (Rp/Unit)
4,500 2,300 1,600 3,300
157,500 420,000 784,000 231,000 1,592,500
15,000 700,000 15,000 15,000 15,000 11,000 15,000 15,000 15,000 15,000
300,000 700,000 225,000 105,000 150,000 187,000 75,000 180,000 180,000 210,000 1,050,000 3,362,000
1,500
75,000
Jumlah pengeluaran II. Pendapatan hasil panen III. Laba bersih
Laba pertahun
total(Rp/Ha)
5,029,500
7,000
kg padi
1,500
10,500,000 5,470,500
10,941,000
238
Lampiran 3. Struktur biaya usaha tani non irigasi Tanah milik sendiri Peralatan milik sendiri Harga gabah Rp. 1500/kg Biaya pemanenan 10% dari hasil yang didapat Frekuensi tanam padi 2 kali per tahun Keterangan I. Pengeluaran a. Sarana Produksi Bibit pupuk TSP pupuk urea pupuk KCL Jumlah b. Tenaga kerja Pengerjaan pematang pengolahan tanah 1&2 pengolahan tanah3 pencaplakan persemaian penanaman benih penyemprotan penyiangan 1 penyiangan 2 pembersihan pematang pemanenan (10% dari hasil) jumlah
jumlah
35 210 350 105
20 1 15 7 10 17 5 12 12 14
satuan
kg kg kg kg
hkp buah hkp hkp hkp hkw hkp hkp hkp hkp
harga (Rp/Unit)
4,500 2,300 1,600 3,300
157,500 483,000 560,000 346,500 1,547,000
15,000 700,000 15,000 15,000 15,000 11,000 15,000 15,000 15,000 15,000
300,000 700,000 225,000 105,000 150,000 187,000 75,000 180,000 180,000 210,000 750,000 3,062,000
Jumlah pengeluaran II. Pendapatan hasil panen
total(Rp/Ha)
4,609,000
5,000
kg padi
1,500
7,500,000
III. Laba bersih
2,891,000
laba pertahun
5,782,000
239
Lampiran 4 Data usaha tani irigasi (PI) dan non irigasi (PN) Responden
Biaya per tahun (Rp/tahun)
Pendapatan per tahun (Rp/tahun)
Laba per tahun (Rp/tahun)
Produksi per panen (kg/panen)
Produktivitas per tahun (kg/tahun)
BEP Volume (kg/tahun)
BEP Harga (Rp/tahun)
B/C Ratio (%) PI
PN
922
2.09
1.63
914
2.07
1.64
739
1,021
2.03
1.47
719
927
2.09
1.62
746
1,032
2.01
1.45
6,147
710
1,025
2.11
1.46
6,861
6,183
695
966
2.16
1.55
6,761
6,235
714
974
2.10
1.54
6,711
6,171
729
945
2.06
1.59
PI
PN
PI
PN
PI
PN
PI
PN
PI
PN
PI
PN
PI
PN
1
10,059,000
9,415,600
21,000,000
13,200,000
10,461,000
3,784,400
7,000
5,000
14,000
10,000
6,706
6,145
719
2
10,157,000
9,135,000
21,000,000
15,000,000
10,843,000
5,865,000
7,000
5,000
14,000
10,000
6,771
6,090
726
3
10,351,000
8,981,000
21,000,000
13,200,000
10,649,000
4,219,000
7,000
4,400
14,000
8,800
6,711
5,987
4
10,067,000
9,268,000
21,000,000
15,000,000
10,933,000
5,732,000
7,000
5,000
14,000
10,000
6,711
6,179
5
10,141,000
9,292,000
20,400,000
13,500,000
10,259,000
4,208,000
6,800
4,500
13,600
9,000
6,761
6,195
6
10,217,000
9,221,000
21,600,000
13,500,000
11,383,000
4,279,000
7,200
4,500
14,400
9,000
6,811
7
10,291,000
9,275,000
22,200,000
14,400,000
11,909,000
5,125,000
7,400
4,800
14,800
9,600
8
10,141,000
9,353,000
21,300,000
14,400,000
11,159,000
5,047,000
7,100
4,800
14,200
9,600
9
10,067,000
9,257,000
20,700,000
14,700,000
10,633,000
5,443,000
6,900
4,900
13,800
9,800
10
10,381,000
9,353,000
21,300,000
14,700,000
10,919,000
5,347,000
7,100
4,900
14,200
9,800
6,921
6,235
731
954
2.05
1.57
11
10,157,000
9,135,000
21,000,000
15,000,000
10,843,000
5,865,000
7,000
5,000
14,000
10,000
6,771
6,090
726
914
2.07
1.64
12
10,351,000
9,161,000
21,000,000
15,000,000
10,649,000
5,839,000
7,000
5,000
14,000
10,000
6,901
6,107
739
916
2.03
1.64
13
10,059,000
9,218,000
21,000,000
15,000,000
10,941,000
5,782,000
7,000
5,000
14,000
10,000
6,706
6,145
719
922
2.09
1.63
14
10,141,000
9,292,000
20,400,000
13,500,000
10,259,000
4,208,000
6,800
4,500
13,600
9,000
6,761
6,195
746
1,032
2.01
1.45
15
10,059,000
9,218,000
21,000,000
15,000,000
10,941,000
5,782,000
7,000
5,000
14,000
10,000
6,706
6,145
719
922
2.09
1.63
16
10,059,000
9,218,000
21,000,000
15,000,000
10,941,000
5,782,000
7,000
5,000
14,000
10,000
6,706
6,145
719
922
2.09
1.63
17
10,141,000
9,292,000
20,400,000
13,500,000
10,259,000
4,208,000
6,800
4,500
13,600
9,000
6,761
6,195
746
1,032
2.01
1.45
18
10,059,000
9,218,000
21,000,000
15,000,000
10,941,000
5,782,000
7,000
5,000
14,000
10,000
6,706
6,145
719
922
2.09
1.63
19
10,059,000
9,218,000
21,000,000
15,000,000
10,941,000
5,782,000
7,000
5,000
14,000
10,000
6,706
6,145
719
922
2.09
1.63
20
10,365,000
9,649,000
20,700,000
14,700,000
10,335,000
5,051,000
6,900
4,900
13,800
9,800
6,910
6,433
751
985
2.00
1.52
21
10,059,000
9,218,000
21,000,000
15,000,000
10,941,000
5,782,000
7,000
5,000
14,000
10,000
6,706
6,145
719
922
2.09
1.63
22
10,329,000
9,565,600
21,600,000
14,700,000
11,271,000
5,134,400
7,200
4,900
14,400
9,800
6,886
6,377
717
976
2.09
1.54
23
10,059,000
9,218,000
21,000,000
15,000,000
10,941,000
5,782,000
7,000
5,000
14,000
10,000
6,706
6,145
719
922
2.09
1.63
24
10,141,000
9,353,000
21,300,000
14,400,000
11,159,000
5,047,000
7,100
4,800
14,200
9,600
6,761
6,235
714
974
2.10
1.54
25
10,059,000
9,218,000
21,000,000
15,000,000
10,941,000
5,782,000
7,000
5,000
14,000
10,000
6,706
6,145
719
922
2.09
1.63
240
Responden
Biaya per tahun (Rp/tahun)
Pendapatan per tahun (Rp/tahun)
Laba per tahun (Rp/tahun)
Produksi per panen (kg/panen)
Produktivitas per tahun (kg/tahun)
BEP Volume (kg/tahun)
BEP Harga (Rp/tahun)
B/C Ratio (%) PI
PN
974
2.08
1.54
739
1,029
2.03
1.46
742
1,070
2.02
1.40
6,215
739
992
2.03
1.51
6,711
6,171
729
945
2.06
1.59
10,000
6,706
6,145
719
922
2.09
1.63
9,800
6,886
6,377
717
976
2.09
1.54
13,800
9,800
6,711
6,171
729
945
2.06
1.59
5,000
14,000
10,000
6,706
6,145
719
922
2.09
1.63
4,900
13,800
9,800
6,711
6,171
729
945
2.06
1.59
7,000
5,000
14,000
10,000
6,706
6,145
719
922
2.09
1.63
5,443,000
6,900
4,900
13,800
9,800
6,711
6,171
729
945
2.06
1.59
5,134,400
7,200
4,900
14,400
9,800
6,886
6,377
717
976
2.09
1.54
10,941,000
5,782,000
7,000
5,000
14,000
10,000
6,706
6,145
719
922
2.09
1.63
13,500,000
10,641,000
4,082,000
7,000
4,500
14,000
9,000
6,906
6,279
740
1,046
2.03
1.43
14,700,000
10,633,000
5,443,000
6,900
4,900
13,800
9,800
6,711
6,171
729
945
2.06
1.59
21,600,000
14,700,000
11,271,000
5,134,400
7,200
4,900
14,400
9,800
6,886
6,377
717
976
2.09
1.54
9,353,000
21,300,000
14,700,000
10,919,000
5,347,000
7,100
4,900
14,200
9,800
6,921
6,235
731
954
2.05
1.57
9,268,000
21,000,000
15,000,000
10,933,000
5,732,000
7,000
5,000
14,000
10,000
6,711
6,179
719
927
2.09
1.62
10,067,000
9,268,000
21,000,000
15,000,000
10,933,000
5,732,000
7,000
5,000
14,000
10,000
6,711
6,179
719
927
2.09
1.62
10,067,000
9,268,000
21,000,000
15,000,000
10,933,000
5,732,000
7,000
5,000
14,000
10,000
6,711
6,179
719
927
2.09
1.62
47
10,381,000
9,353,000
21,300,000
14,700,000
10,919,000
5,347,000
7,100
4,900
14,200
9,800
6,921
6,235
731
954
2.05
1.57
48
10,059,000
9,218,000
21,000,000
15,000,000
10,941,000
5,782,000
7,000
5,000
14,000
10,000
6,706
6,145
719
922
2.09
1.63
49
10,381,000
9,353,000
21,300,000
14,700,000
10,641,000
5,347,000
7,100
4,900
14,200
9,800
6,921
6,235
731
954
2.05
1.57
50
10,381,000
9,353,000
21,300,000
14,700,000
10,641,000
5,347,000
7,100
4,900
14,200
9,800
6,921
6,235
731
954
2.05
1.57
PI
PN
PI
PN
PI
PN
PI
PN
PI
PN
PI
PN
PI
26
10,111,000
9,353,000
21,000,000
14,400,000
10,889,000
5,047,000
7,000
4,800
14,000
9,600
6,741
6,235
722
27
10,051,000
9,263,000
20,400,000
13,500,000
10,349,000
4,237,000
6,800
4,500
13,600
9,000
6,701
6,175
28
10,239,000
9,415,600
20,700,000
13,200,000
10,461,000
3,784,400
6,900
4,400
13,800
8,800
6,826
6,277
29
10,051,000
9,323,000
20,400,000
14,100,000
10,349,000
4,777,000
6,800
4,700
13,600
9,400
6,701
30
10,067,000
9,257,000
20,700,000
14,700,000
10,633,000
5,443,000
6,900
4,900
13,800
9,800
31
10,059,000
9,218,000
21,000,000
15,000,000
10,941,000
5,782,000
7,000
5,000
14,000
32
10,329,000
9,565,600
21,600,000
14,700,000
11,271,000
5,134,400
7,200
4,900
14,400
33
10,067,000
9,257,000
20,700,000
14,700,000
10,633,000
5,443,000
6,900
4,900
34
10,059,000
9,218,000
21,000,000
15,000,000
10,941,000
5,782,000
7,000
35
10,067,000
9,257,000
20,700,000
14,700,000
10,633,000
5,443,000
6,900
36
10,059,000
9,218,000
21,000,000
15,000,000
10,941,000
5,782,000
37
10,067,000
9,257,000
20,700,000
14,700,000
10,633,000
38
10,329,000
9,565,600
21,600,000
14,700,000
11,271,000
39
10,059,000
9,218,000
21,000,000
15,000,000
40
10,359,000
9,418,000
21,000,000
41
10,067,000
9,257,000
20,700,000
42
10,329,000
9,565,600
43
10,381,000
44
10,067,000
45 46
PN
241
Lampiran 5 Grafik usaha tani irigasi (PI) dan non irigasi (PN) A. Grafik sebaran biaya per tahun (Rp/tahun) 10,600,000 10,400,000 10,200,000
Rp/tahun
10,000,000 9,800,000 9,600,000 9,400,000 9,200,000 9,000,000 8,800,000 1
4
7
10
13
16
19
22
25
28
31
34
37
40
43
46
49
31
34
37
40
43
46
49
31
34
37
40
Responden PI
PN
B. Grafik sebaran pendapatan per tahun (Rp/tahun) 24,000,000
Rp/tahun
22,000,000 20,000,000 18,000,000 16,000,000 14,000,000 12,000,000 10,000,000 1
4
7
10
13
16
19
22
PN
PI
25
28
Responden
C. Grafik sebaran laba pertahun (Rp/tahun) 13,000,000 12,000,000
Rp/tahun
11,000,000 10,000,000 9,000,000 8,000,000 7,000,000 6,000,000 5,000,000 4,000,000 3,000,000 1
4
7
10
13
16
19
22
25
28
43
46
49
Responden PI
PN
D. Grafik sebaran produksi per panen (Kg/panen) 8,000 7,500
Kg/panen
7,000 6,500 6,000 5,500 5,000 4,500 4,000 1
PI
4
PN
7
10
13
16
19
22
25
28
Re sponde n
31
34
37
40
43
46
49
242
E. Grafik sebaran produktivitas per tahun (Kg/tahun) 16,000 15,000
Kg/tahun
14,000 13,000 12,000 11,000 10,000 9,000 8,000 7,000 1
4
7
10
13
16
19
22
25
28
31
34
37
40
43
46
49
Re sponde n PI
PN
F. Grafik sebaran BEP volume (Kg/tahun) 7,000
Kg/tahun
6,800 6,600 6,400 6,200 6,000 5,800 1
4
7
10
13
16
19
22
25
28
31
34
37
40
43
46
49
Re sponde n PN
PI
G. Grafik sebaran BEP harga (Rp/tahun) 1,200 1,100
Rp/tahun
1,000 900 800 700 600 500 400 300 1
4
7
10
13
16
19
22
25
28
31
34
37
40
43
46
49
34
37
40
43
46
49
Re sponde n PN
PI
H. Grafik sebaran B/C ratio (%) 2.40 2.20 2.00 1.80 1.60 1.40 1.20 1.00 1
4
7
10
13
16
19
22
25
28
Re sponde n PI
PN
31
243
Lampiran 6 Tabel perhitungan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE)
6
7
8
5
4
4
2
7
3
6
2
6
3
6
4
5
4
3
6
4
4
3
6
4
6
4
2
3
3
5
4
6
5
5
3
7
3
2
3
6
7
2
2
2
1
5
5
3
2
4
5
6
2
4
2
3
5
5
4
1
2
6
7
2
2
1
3
7
7
3
4
5
4
4
3
2
2
5
5
6
3
2
2
3
5
2
2
2
4
7
6
1754
1601
1922
21877
822
9432
771
9995
3699
14556
Koordinasi antara lembaga dan seluruh pemangku kepentingan terkait (BAPPEDA, Dinas PSDA, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan/PKT, PT/LSM, LKM, dan P3A/GP3A/IP3A)
Pembentukan Peraturan Daerah tentang irigasi
5
Pencegahan alih fungsi lahan pertanian beririgasi
4
Kredit Usaha Rakyat (KUR) & KUM
3
Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E)
Meningkatkan Produktivitas Lahan Pertanian Meningkatkan Pendapatan Petani Pemerataan Distribusi dan Stabilitas Aliran Air Irigasi Pemerataan Produktivitas Lahan Pertanian Beririgasi (Hulu-Hilir) Terpeliharanya Bangunan Jaringan Irigasi (hulu-hilir) Pengembangan Konservasi Lahan dan Air Optimalisasi Fungsi Kelembagaan Irigasi total
Kredit Konservasi Masyarakat Hutan (KKMH)
2
Operasi, Pemeliharaan, dan Rahabilitasi Jaringan Irigasi
Meningkatkan Ketahanan Pangan Daerah
Nilai Alternatif Kegiatan Normalisasi Sungai (O&P dan program padat karya)
1
Bobot
Reboisasi dan Gerakan Rehabilitasi Lahan
Kriteria
Kesepakatan Konservasi Desa (KKD)
No.
244
Lampiran 7 Matriks VAXO Intepretative Structural Modelling (ISM) A. Matrik VAXO elemen aktivitas yang diperlukan
B. Matrik VAXO elemen hal yang dapat berubah
C. Matrik VAXO elemen kebutuhan program
D. Matrik VAXO elemen kendala program
E. Matrik VAXO elemen lembaga terkait
245
F. Matrik VAXO elemen masyarakat yang terlibat
G. Matrik VAXO elemen sasaran program
H. Matrik VAXO elemen tolak ukur aktivitas
I.
Matrik VAXO elemen tolak ukur sasaran
246
Lampiran 8 Hasil verifikasi model melalui FGD Jawaban Responden No 1
2
3
4
Keterangan Mengapa irigasi tidak terlaksana dengan baik? (a) Peningkatan luas lahan kritis (b) Tingkat kerusakan jaringan irigasi yang tinggi (60%) (c) Kinerja Kelembagaan Pengelolaan Irigasi belum optimal (d) Kerusakan wilayah konservasi air di daerah hulu (e) Pendanaan yang tidak mencukupi baik dari pemerintah maupun iuran wajib irigasi (f) Kurangnya koordinasi antara lembaga terkait dalam pengelolaan irigasi (g) Perubahan peraturan irigasi Dalam rancangan model PKSARI kegiatan utama yang harus dilakukan? (a) Kegiatan konservasi sumber daya air di daerah hulu (b) Peningkatan pengelolaan, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi (c) Peningkatan pendapatan petani Dalam perancangan model Sub-model PKSARI Konservasi Sumber Daya Air, kebutuhannya adalah: (a) Aktor/lembaga yang terlibat adalah Pemda, Bappeda, Dinas Kehutanan, LSM/PT, Komir, Masyarakat Konservasi Hutan, danTokoh Masyarakat/Tokoh Agama (b) Program konservasi tanah dan air dan reboisasi hutan Dalam perancangan model Sub-model Pengelolaan dan Rehabilitasi jaringan irigasi, kebutuhannya adalah: (a) Aktor/lembaga yang terlibat adalah Pemda, Bappeda, Dinas PSDAP, LSM/PT, Komir, KPL, Kelembagaan Pengelolaan Irigasi danTokoh Masyarakat/Tokoh Agama (b) Optimalisasi jaringan irigasi (c) Pendanaan OPOR
Jumlah
Presentase (%)
23 25
92% 100%
24
96%
25
100%
25
100%
25
100%
22
88%
25
100%
25
100%
25
100%
25
100%
23
92%
25
100%
25 25
100% 100%
247
Jawaban Responden No 5
Keterangan Dalam perancangan model Sub-model Peningkatan Pendapatan Petani, kebutuhannya adalah: (a) Aktor/lembaga yang terlibat adalah Pemda, Bappeda, Dinas Pertanian, LSM/PT, Komir, LKM, ASKRINDO, Kelembagaan Pengelolaan Irigasi, Masyarakat Petani danTokoh Masyarakat/Tokoh Agama (b) Intensifikasi dan Ekstensifikasi Lahan Pertanian (c) Perluasan Jaringan Pasar Produk Pertanian (d) Kredit Permodalan Melalui Penjaminan Kredit
Jumlah
Presentase (%)
25
100%
25
100%
25
100%
25
100%
248
Lampiran 9 Contoh gambar kerusakan jaringan irigasi
A. Keusakan lining
B. Kerusakan pintu air
249
C. Kerusakan akibat sedimentasi
250
Lampiran 10 Peta potensi sumber daya air dan daerah irigasi Kabupaten Cianjur
Januari I II 2 3
1 Gn lanjung / Rw Peuti 0.406 0.405 2 Ciraden / Cibalu 0.649 0.674 3 Cianjur Leutik 0.330 0.428 4 Cimenteng 0.648 1.133 5 Cibalagung 3.119 4.328 6 Ciheulang 0.288 0.997 7 Cisarua / Lw Jubleg 1.995 0.946 8 Cipanyusuhan / Citalib 1.409 2.065 9 Cipadang / Cibeleng 0.979 1.105 10 Susukan Gede 1.611 1.218 11 Cihea 6.366 20.982 12 Cinangka 1.478 1.962 13 Cisalak / Bt. Sahulu 3.217 5.139 14 Leuwi Bokor 0.635 0.332 15 Ciraden / Lw Leungsir 6.323 5.048 16 Cikawung 1.749 1.376 17 Leuwi Sodong 2.934 2.061 18 cimanggu Kanan 1.481 1.708 19 Nagrog 0.879 0.883 20 Cijampang 4.298 1.386 21 Cilumut / Ps Kerud 0.553 0.309 22 Babancong Sumber: Dinas PSDAP Kabupaten Cianjur, 2007
1
DAERAH IRIGASI
2.745 1.409 1.055 1.119 5.105 0.644
0.827 0.731 0.630 3.397 3.464 1.249 2.187 4.859 1.304 2.191 39.033 6.851 10.065 rusak
0.823 0.762 1.438 5.390 4.892 1.702 2.191 5.614 3.569 15.210 46.329 4.845 7.642 rusak 10.262 2.690 1.100 1.708 1.211 9.614 0.965
Februari I II 4 5 0.612 0.799 0.838 2.596 5.402 1.703 1.610 3.782 2.064 4.498 55.656 3.319 7.109 8.626 7.854 2.629 1.358 1.708 1.252 4.907 1.579
I 6
II 7
0.744 0.688 2.526 5.639 1.337 2.068 2.121 0.706 2.882 28.194 3.005 6.117 7.027 15.788 2.038 1.808 1.708 1.261 4.818 1.799
Maret
1.116 0.676 0.548 1.791 4.674 1.220 1.905 2.138 2.668 3.060 45.546 2.027 7.705 4.695 37.292 3.181 5.320 1.708 1.414 5.930 1.886
I 8
II 9 1.100 0.868 1.120 2.481 7.028 1.644 2.217 3.401 2.319 2.953 57.885 3.239 6.948 8.190 40.584 2.377 5.385 1.708 1.364 5.160 2.215
April
0.882 0.744 0.687 1.367 6.464 0.891 1.645 0.841 0.950 2.859 4.073 1.645 5.959 0.916 5.220 2.205 4.382 1.708 1.601 5.270 2.020
I 10
II 11 0.915 0.764 0.532 1.598 5.599 0.667 5.255 0.933 0.069 2.859 38.639 1.890 5.086 0.916 9.075 1.625 5.113 1.026 1.357 4.244 1.242
Mei
0.814 0.699 0.523 0.992 8.228 0.839 1.480 3.238 0.876 3.730 8.613 1.786 4.839 0.576 5.927 0.759 4.375
II 13
II 15 0.397 0.410 0.189 0.423 2.599 0.038 0.094 0.513 1.046 1.195 3.107 0.821 1.847 0.313 1.218
Juli
0.403 0.496 0.425 0.543 2.996 0.325 0.351 1.362 1.789 1.879 5.249 0.765 3.287 0.632 1.688
I 14
BULAN
0.986 0.333 0.136 0.301 0.303 0.038 0.064 0.132 0.138 0.858 1.988 2.061 1.733 3.160 0.871
0.988 0.475 0.211 0.222 0.275 0.188 0.053 0.544 0.934 0.687 1.118 0.722 2.218 3.160 2.554
Agustus I II 16 17 0.601 0.326 0.120 0.129 0.053 0.053 0.084 0.576 0.099 0.423 0.609 0.605 1.340 0.705 1.782 0.805 2.541 0.683 1.055
0.646 0.333 2.174 2.212 0.217 0.217 0.053 0.128 0.275 0.393
September I II 18 19 0.380 0.526 0.385 0.059 2.646 0.473 0.293 8.821 0.313 0.983 1.449 1.844 1.937 0.561 2.061
0.424 0.330 0.765 0.807 4.780 1.755 1.766 4.487 1.210 1.615 3.067 4.894 4.894 0.632 7.869
Oktober I II 20 21
0.418 1.434 1.219 2.482 7.811 0.082 5.697 5.945 1.696 3.987 6.852 1.927 7.260 0.794 4.879
0.514 1.508 0.527 2.012 7.634 0.082 2.794 4.070 1.018 2.521 5.505 1.861 5.940 0.794 8.104
Nopember I II 22 23
1.372 0.752 0.483 1.789 12.366 2.044 7.024 3.518 1.696 2.521 31.293 2.574 7.345 0.635 12.678
0.818 0.726 0.834 0.255 11.532 1.677 6.027 4.828 1.343 3.790 28.361 5.445 8.078 0.636 14.182
Desember I II 24 25
1.913 1.502 1.515 1.526 0.443 0.445 0.423 0.412 0.416 0.458 0.860 1.086 1.417 1.068 3.078 1.423 0.717 0.556 0.446 0.358 0.267 0.213 0.196 0.279 0.818 1.210 3.098 3.835 1.908 0.994 0.576 0.488 0.447 0.357 0.315 0.264 0.318 0.370 0.464 0.522 0.746 1.195
0.819 0.600 0.401 1.350 0.327 1.467 0.939 2.318 0.805 2.876 2.742 1.922 5.999 0.576 5.222 1.257 3.946
I 12
Juni
Rata-Rata Setengah Bulanan ( dalam m3/ detik ) Tahun 2007
DEBIT SUNGAI TAHUNAN
251
Lampiran 11. Data debit air daerah irigasi lokasi penelitian tahun 2007
252
Lampiran 12. Keputusan Bupati Tentang Komisi Irigasi
253
254
255
256