V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1. Gambaran Umum Kelurahan Semanan Kelurahan Semanan yang berada pada wilayah Kecamatan Kalideres, berbatasan langsung dengan Sungai Cisadane di sebelah utara, Kelurahan PetirCipondoh di sebelah selatan. Di sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Poris Gaga Tangerang dan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Duri Kosambi. Luas wilayah Kelurahan Semanan yaitu 598.000 hektar dengan jarak ke pusat Pemerintahan DKI Jakarta sejauh 17 Km, jarak ke pusat Pemerintahan Kotamadya Jakarta Barat sejauh 9 Km, dan jarak ke Kecamatan Kalideres sejauh 2 Km. Sarana ekonomi yang terdapat di wilayah ini yaitu satu buah bank milik pemerintah, satu buah lembaga keuangan milik pemerintah, koperasi serba usaha sebanyak dua buah, dan warung serba ada atau minimarket sebanyak lima buah. Disamping sarana ekonomi, di Kelurahan Semanan juga terdapat sarana perdagangan dan industri yang terdiri dari pertokoan sebanyak tiga buah, pasar sebanyak enam buah, toko sebanyak 356 buah, kios sebanyak 600 buah, warung sebanyak 540 buah, lokasi kaki lima sebanyak dua buah, industri besar sebanyak enam belas buah, industri menengah sebanyak dua puluh buah, industri kecil sebanyak tiga belas buah, dan industri rumah tangga sebanyak tiga buah. Untuk mendukung sarana perekonomian dan perdagangan, Kelurahan Semanan juga memiliki sarana perhubungan berupa: stasiun kereta api sebanyak satu buah; jalan lingkungan sepanjang 6,7 Km; tempat penyeberangan sungai sebanyak tiga buah; dan jembatan sebanyak tujuh buah. Adapun sarana komunikasi yang terdapat di Kelurahan Semanan meliputi telepon umum sebanyak lima buah, warung telekomunikasi sebanyak lima puluh tiga buah, warung internet sebanyak enam buah, kantor pos sebanyak satu buah, dan tiga buah bus surat. Sarana pendidikan yang dimiliki Kelurahan Semanan yaitu gedung Sekolah Dasar (SD) sebanyak empat belas buah buah, gedung Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebanyak dua buah, dan gedung Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebanyak dua buah.
Kelurahan Semanan memiliki 12 RW dan 113 RT, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 29.657 orang sedangkan jumlah penduduk perempuan sebanyak 27.878 orang. Sebaran usia terbanyak berada pada kisaran 31 sampai 40 tahun sebanyak 8.492 orang (14,76 persen). Penduduk di Kelurahan Semanan pada umumnya memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) sebanyak 13.065 orang atau 22,69 persen dan disusul dengan tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebanyak 7.846 orang atau 13,63 persen. Berdasarkan mata pencahariannya, penduduk di Kelurahan Semanan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Sebaran Penduduk di Kelurahan Semanan berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2009 Mata Pencaharian
Jumlah (Orang)
Tani
Kontribusi (%)
607
2,15
18.809
66,55
3.992
14,12
Karyawan swasta
613
2,17
PNS
469
1,66
ABRI
45
0,16
Pensiunan
276
0,98
Swasta lainnya
856
3,03
Lainnya
2.598
9,18
Jumlah
8.265
100,00
Buruh Pedagang
Sumber : Monografi Kelurahan Semanan (2010)
5.2. Gambaran Umum Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan 5.2.1. Karakteristik Pengrajin Tempe Karakteristik pengrajin tempe diperoleh melalui hasil wawancara sebanyak 70 pengrajin tempe, yang terdiri dari 45 pengrajin tempe skala kecil, 17 pengrajin tempe skala menengah, dan 8 pengrajin tempe skala besar. Karakteristik
47
pengrajin meliputi tingkat pendidikan, usia, jumlah anggota keluarga, lama pengalaman usaha, dan cara pemasaran.
5.2.1.1. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan pada daerah penelitian, sebagian besar didominasi oleh responden lulusan Sekolah Dasar (SD). Keadaan ini terjadi di masing-masing skala produksi pengrajin tempe (Tabel 6). Dapat dikatakan bahwa kemampuan dalam membuat tempe tidak dipengaruhi oleh faktor tingkat pendidikan.
Tabel 6.
Sebaran Responden Menurut Tingkat Pendidikan di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan Tahun 2010
Tingkat Pendidikan
Skala Produksi
Total (Orang)
Kecil
Menengah
Besar
(Orang)
(Orang)
(Orang)
4
1
-
5
39
10
6
55
SMP
2
6
2
10
Total
45
17
8
70
Tidak tamat SD SD
Sumber: Data Primer (2010)
5.2.1.2. Usia Rata-rata usia seluruh responden adalah 43 tahun, dengan usia termuda adalah 23 tahun. Sebaran usia terbanyak pada responden di tiap skala adalah antara usia 41 tahun hingga usia 50 tahun. Sebaran usia yang paling sedikit beragam di setiap skala. Responden skala kecil memiliki sebaran usia yang paling sedikit pada umur 20 hingga 30 tahun. Responden skala menengah dan besar memiliki sebaran usia yang paling sedikit pada umur 31 hingga 40 tahun. Secara rinci diperlihatkan pada Tabel 7. Tabel tersebut menunjukkan bahwa besarnya skala pengrajin tempe di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan tidak dipengaruhi oleh usia pengrajin.
48
Tabel 7.
Sebaran Responden Menurut Usia di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan Tahun 2010
Sebaran Usia (Tahun)
Skala Produksi
Total (Orang)
Kecil
Menengah
Besar
(Orang)
(Orang)
(Orang)
20-30
3
5
2
10
31-40
8
4
1
13
41-50
25
7
3
35
50 >
9
1
2
12
Total (Orang)
45
17
8
70
Sumber: Data Primer (2010)
5.2.1.3. Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga memiliki pengaruh yang cukup penting dalam menggeluti usaha tempe. Bagi kebanyakan pengrajin, anggota keluarga dapat dijadikan sebagai sumber tenaga kerja untuk memproduksi tempe. Semakin banyak jumlah anggota keluarga yang dimiliki pengrajin tempe, berarti semakin besar pula kebutuhan dan pengeluaran biaya hidup yang harus ditanggung oleh pengrajin, karena pada umumnya para pengrajin ini tidak memiliki pekerjaan lain atau usaha sampingan selain memproduksi tempe. Sebaran responden menurut jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8.
Sebaran Responden Menurut Jumlah Anggota Keluarga di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan Tahun 2010
Jumlah Anggota
Skala Produksi
Jumlah
Keluarga (Orang)
Kecil
Menengah
Besar
(Orang)
1-2
16
4
4
24
3-4
22
12
3
37
5≥
7
1
1
9
45
17
8
70
Jumlah (Orang) Sumber: Data Primer (2010)
49
Tabel 8 memperlihatkan bahwa pada umumnya pengrajin tempe di daerah penelitian memiliki anggota keluarga antara tiga sampai empat orang. Hal ini terlihat pada ketiga skala pengusahaan pengrajin. Dengan demikian semakin besar jumlah anggota keluarga yang dimiliki, tidak diikuti dengan peningkatan skala pengusahaan pengrajin
5.2.1.4. Lama Pengalaman Usaha Keahlian pengrajin tempe sebagian besar diperoleh dari keluarga, karena pada umumnya usaha tempe ini merupakan usaha turun temurun. Sebaran lama pengalaman usaha terbesar pada setiap skala pengrajin berada pada kisaran 21 tahun hingga 30 tahun. Sebaran lama pengalaman terkecil beragam pada tiap skala. Pengrajin skala kecil memiliki tingkat pengalaman lama usaha terkecil pada kisaran 11 hingga 20 tahun, pengrajin skala menengah 31 hingga 40 tahun, dan pengrajin skala besar 21 hingga 30 tahun. Berdasarkan uraian tersebut, maka lama pengalaman usaha bukanlah jaminan apakah usaha produksi tempe mampu berkembang dengan baik atau tidak, karena masih ada faktor lain seperti keterbatasan
modal
yang
dimiliki
maupun
motivasi
pengrajin
untuk
mengembangkan usahanya. Sebaran responden menurut lama pengalaman usaha dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9.
Sebaran Responden Menurut Lama Pengalaman Usaha di Kelurahan Semanan Tahun 2010
Lama Pengalaman
Skala Produksi
Total
(Tahun)
Kecil
Menengah
0-10
-
-
11-20
6
6
3
15
21-30
23
8
2
33
31-40
14
3
3
20
41-50
2
-
-
2
Total (Orang)
45
17
8
70
Besar
(Orang) -
Sumber: Data Primer (2010)
50
5.2.1.5. Cara Pemasaran Pemasaran merupakan aspek yang sangat penting setelah kegiatan produksi, karena melalui pemasaran ini pengrajin dapat memperoleh penghasilan. Pada umumnya pengrajin tempe di daerah penelitian memasarkan tempe yang dihasilkannya dengan berjualan secara keliling. Pengrajin skala menengah dan besar paling banyak berjualan di pasar. Pengrajin skala kecil didominasi cara penjualan secara keliling dengan menggunakan sepeda atau motor yang telah dilengkapi dengan keranjang bambu untuk membawa tempe. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Sebaran Responden Menurut Cara Pemasaran Tempe di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan Tahun 2010 Cara Pemasaran Tempe
Skala Produksi
Total (Orang)
Kecil
Menengah
Besar
(Orang)
(Orang)
(Orang)
Pasar
15
9
6
30
Keliling
30
8
2
40
Total (Orang)
45
17
8
70
Sumber: Data Primer (2010)
5.2.2. Proses Produksi Pembuatan tempe pada dasarnya adalah mencampur benih kapang agar tumbuh subur sehingga biji kedelai yang telah direbus tertutup lapuk yang berwarna putih seperti kapas. Untuk memproduksi tempe hingga siap untuk dipasarkan, dibutuhkan tiga hari proses produksi. Meskipun demikian proses produksi ini dilakukan setiap hari, sehingga tempe dapat dijual setiap harinya. Tempe segar dalam suhu ruang memiliki umur simpan satu hingga dua hari. Lebih dari dua hari disimpan dalam suhu ruangan, tempe akan berubah baik dari penampakan luar, aroma, maupun rasa. Masing-masing pengrajin pada daerah penelitian, pada umumnya memiliki cara yang sama dalam pembuatan tempe. Kegiatan mengolah kedelai menjadi
51
tempe dilakukan dalam beberapa tahap yaitu pencucian, perebusan, perendaman, pengupasan kulit, peragian, pembungkusan atau pencetakan, dan pengeraman. Pada umumnya alat yang diperlukan untuk membuat tempe merupakan peralatan rumah tangga dan relatif sederhana. Meskipun sederhana, namun diperlukan keterampilan dan pengalaman agar mendapatkan hasil tempe yang baik. Berikut ini dijelaskan peralatan yang dibutuhkan dan proses atau cara pembuatan tempe pada masing-masing skala produksi.
5.2.2.1. Peralatan Produksi Peralatan yang dibutuhkan untuk membuat tempe pada masing-masing skala kecil, menengah, dan besar hampir serupa. Perbedaan pada masing-masing skala terletak pada jumlah (unit) peralatannya. Begitu pula bahan-bahan yang dibutuhkan dalam memproduksi tempe, setiap skala menggunakan bahan-bahan yang sama. Untuk membuat tempe pada pengrajin skala kecil dibutuhkan peralatan berupa drum plastik untuk merendam kedelai dan menampung air, drum besi untuk merebus kedelai, ayakan bambu yang berguna untuk memisahkan kulit kedelai setelah direbus, gayung untuk mengangkat kedelai dari drum besi ke dalam drum plastik, dan alat pemecah kedelai. Untuk memecahkan kedelai, pengrajin tempe di dareah penelitian sudah menggunakan cara yang lebih modern yaitu dengan menggunakan mesin pemecah kedelai, tidak dengan menginjak-injak kedelai. Mesin ini digunakan setelah kedelai direbus dan berguna untuk memecah kepingan kedelai. Pada daerah penelitian terdapat mesin yang terbuat dari kayu dan besi. Mesin yang terbuat dari kayu ada yang digerakkan secara manual dengan cara memutar tuas yang ada di samping mesin dan ada pula pengrajin yang sudah menggunakan mesin yang digerakkan dengan dinamo listrik. Tampilan kedua jenis mesin tersebut dapat dilihat pada Gambar 9 berikut ini.
52
(a)
(b)
Gambar 9. (a) Mesin Pemecah Kedelai Manual; (b) Mesin Pemecah Kedelai Listrik
Peralatan lainnya yang digunakan yaitu kajang atau selanjutnya biasa disebut dengan kere yang berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan kedelai yang telah dicetak atau dikemas selama masa pemeraman. Kere terbuat dari anyaman bambu berukuran 200 cm x 40 cm. Kemudian dibutuhkan pula bak-bak cetakan terbuat dari kayu yang berguna untuk mencetak kedelai setelah tercampur dengan ragi atau laru. Cetakan dibutuhkan untuk mendapatkan bentuk dan ukuran tempe yang seragam. Rata-rata pengrajin tempe skala kecil memerlukan dua buah drum plastik untuk menampung air, 1 buah drum plastik sebagai tempat merendam kedelai, serta 1 buah drum besi untuk merebus kedelai. Kere dan cetakan yang dimiliki pengrajin tempe skala kecil rata-rata berjumlah empat hingga dua puluh unit. Dapur yang digunakan untuk mengolah kedelai merupakan dapur yang digunakan pula sebagai dapur rumah, tempat memasak makanan sehari-hari. Dengan kata lain dapur sebagai tempat pembuatan tempe bergabung dengan dapur rumah utama. Tidak ada sekat antara sumur dengan dapur, sehingga dapur menjadi mudah kotor oleh air yang berasal dari sumur. Tempat untuk merebus kedelai juga sangat berdekatan dengan sumur, namun dibuat lebih tinggi. Sehingga di dalam ruang dapur menjadi panas dan penuh asap ketika kedelai sedang direbus. Ditambah lagi tidak adanya jendela atau lubang angin yang memadai, sehingga udara panas sulit untuk keluar ruangan.
53
Gambar 10. Suasana Dapur Produksi Tempe
Dapur menjadi pusat kegiatan pembuatan tempe, tempe yang telah direbus dan dicampur dengan ragi kemudian dicetak dalam cetakan kayu yang juga dilakukan di dalam dapur. Namun ada beberapa pengrajin tempe skala kecil yang melakukan proses pencetakan di teras depan rumah. Setelah dicetak dan agak padat, tempe yang setengah jadi dipindahkan ke dalam kere dan kemudian disimpan dalam rak penyimpan yang juga diletakkan di dalam dapur. Peralatan yang dimiliki pengrajin skala menengah relatif sama dengan pengrajin skala kecil. Peralatan yang dibutuhkan yaitu drum besi untuk merebus sebanyak satu hingga dua buah, drum plastik sebagai tempat untuk menampung air dan merendam serta mencuci kedelai sebanyak empat buah. Ayakan atau saringan bambu untuk memisahkan kulit kedelai saat direndam sebanyak dua hingga empat buah, ember sebanyak dua buah untuk memindahkan kedelai yang telah direndam dan ditiriskan ke dalam cetakan dan sebelumnya telah dicampur dengan ragi atau laru. Seperti pengrajin tempe skala kecil, pengrajin tempe skala menengah juga menggunakan mesin pemecah kedelai. Namun terdapat perbedaan mesin yang digunakan pengrajin skala kecil dengan skala menengah. Mesin yang digunakan oleh pengrajin skala kecil berupa mesin yang terbuat dari kayu dan digerakkan secara manual dengan memutar rantai. Sedangkan mesin pemecah kedelai yang dimiliki oleh pengrajin skala menengah sudah otomatis
54
menggunakan dinamo, namun bak penampung masih menggunakan kayu. Harga beli mesin kayu manual berkisar antara Rp 600.000 hingga Rp 800.000, sedangkan mesin pemecah kedelai yang sudah menggunakan dinamo dengan bak penampung terbuat dari kayu harganya berkisar antara Rp 1.000.000 hingga Rp 1.500.000. Apabila terjadi kerusakan pada mesin yang dimiliki pengrajin skala kecil, paling sering akibat bak kayu yang sudah lapuk sehingga perlu diganti. Sedangkan kerusakan yang paling sering terjadi pada mesin pemecah kedelai yang dimiliki pengrajin skala menengah yaitu pada komponen dinamo apabila terkena air, sehingga perlu diganti dengan dinamo yang baru. Peralatan lainnya yaitu kajang atau kere anyaman bambu untuk tempat meletakkan kedelai yang telah dicetak hingga menjadi tempe. Tidak ada perbedaan antara kere yang dimiliki pengrajin masing-masing skala. Kere yang dimiliki oleh pengrajin skala menengah berkisar antara dua puluh buah hingga lima puluh buah kere. Rak yang dimiliki pengrajin skala menengah adalah rak dengan sepuluh tingkat, bahkan pada umumnya pengrajin juga membuat semacam rak tambahan yang letaknya berada di atas atau menggantung. Jika masih tidak mencukupi, pengrajin meletakkan kere yang telah terisi dengan calon tempe di bagian depan rumah. Dapur yang digunakan sebagai tempat produksi, pada umumnya masih menempel dengan rumah utama. Biasanya terletak di bagian samping rumah, sehingga tidak mengganggu aktivitas dapur rumah utama. Namun masih ada beberapa pengrajin yang menyatukan antara dapur untuk produksi tempe dan dapur rumahtangga pengrajin. Pengrajin tempe skala besar juga membutuhkan peralatan yang serupa dengan pengrajin di skala lainnya. Untuk mencuci dan membersihkan kedelai dari kotoran seperti batu dan batang kedelai kering digunakan drum plastik seperti yang digunakan pengrajin skala kecil dan menengah. Drum plastik yang dimiliki oleh pengrajin skala besar berjumlah lima hingga sepuluh buah, dengan kapasitas tiap drumnya sebanyak 50 kg kedelai. Tempat penampungan air, selain menggunakan drum plastik, juga dibuat kolam sederhana yang terbuat dari batubata dan semen. Kolam bervariasi ukurannya, ada yang berbentuk persegi dengan ukuran 1,2 m dan ada pula yang berbentuk memanjang dengan ukuran 2,5 x 1 m.
55
Dibutuhkan pula drum besi untuk merebus yang dapat memuat 50 kg kedelai untuk tiap drumnya. Pengrajin skala besar memiliki dua hingga empat drum besi untuk merebus. Kemudian digunakan pula mesin pemecah kedelai yang terbuat dari besi dan digerakkan dengan dinamo. Mesin ini sangat tahan lama bila dinamo dijaga agar tidak terkena air. Bila dinamo mengalami kerusakan, biaya perbaikan yang dikeluarkan pengrajin sebesar Rp 500.000 hingga Rp 1.000.000. Untuk memindahkan kedelai yang telah dicampur dengan ragi ke dalam cetakan atau kantong, pengrajin skala besar menggunakan ember yang berjumlah dua hingga lima buah. Seperti pengrajin skala kecil maupun menengah, pengrajin skala besar juga menggunakan kere anyaman sebagai tempat menaruh kedelai yang telah dicetak atau dikemas. Kere anyaman yang dimiliki pengrajin skala besar berjumlah empat puluh hingga lima puluh buah. Berbeda dengan pengrajin tempe skala kecil dan menengah yang menggunakan dapur bersama dengan dapur rumah tangga, maka pengrajin tempe skala besar memiliki dapur yang terpisah dengan rumah utama. Dengan kata lain, pengrajin memiliki dua buah rumah yang letaknya saling berdekatan. Rumah pertama digunakan untuk tempat tinggal, dan rumah kedua dijadikan sebagai tempat mengolah kedelai sekaligus gudang penyimpanan kedelai dan tempat tinggal bagi pekerja sebanyak dua hingga empat orang.
5.2.2.2. Cara Pembuatan Tempe Tidak ada perbedaan antara pengrajin skala kecil, menengah, dan besar dalam membuat tempe. Perbedaan hanya ada pada kegiatan pengemasan. Langkah pertama dalam membuat tempe adalah mencuci kedelai dengan air. Kedelai dicuci dalam drum plastik untuk membersihkan benda-benda asing yang tidak diinginkan, seperti kerikil atau batang tanaman kedelai. Kemudian kedelai direbus dalam drum besi hingga air mendidih. Perebusan bertujuan untuk melunakan biji kedelai yang keras sehingga memudahkan ragi untuk menembus kedelai saat pemeraman. Untuk merebus kedelai digunakan kayu sebagai bahan bakar. Kedelai yang telah direbus kemudian direndam dalam air dingin selama 10-12 jam sampai menghasilkan kedelai yang berlendir dan masam. Tahap selanjutnya yaitu mencuci kedelai dengan membuag air rendaman terlebih dahulu
56
hingga bersih. Dilanjutkan dengan kegiatan mengupas kulit dan memecah kedelai dengan menggunakan mesin. Kegiatan ini bertujuan untuk memudahkan penetrasi enzim dan pertumbuhan miselium kapang yang digunakan. Kegiatan selanjutnya setelah proses pengupasan kulit yaitu pencucian kedelai kembali dengan menggunakan air bersih. Kedelai dicuci dengan cara diaduk-aduk sehingga kulit kedelai mengapung dan mudah diambil dengan menggunakan ayakan bambu. Kemudian kedelai ditiriskan dan dibiarkan dingin dalam drum plastik yang telah dilubangi, sehingga air dapat dimaksimalkan untuk keluar dan mencegah terjadinya kelebihan air yang dapat mendorong berkembangnya bakteri. Kedelai yang telah benar-benar tiris kemudian dicampur dengan ragi atau laru tempe dengan mencampur dan mengaduknya bersama kedelai hingga tercampur benar. Proses ini sering dianggap sebagai proses yang paling sulit, karena apabila salah dalam melakukan proses ini, maka kapang akan gagal tumbuh sehingga tempe tidak akan jadi. Menurut pengalaman pengrajin, keadaan suhu lingkungan dan cuaca sangat menentukan banyaknya ragi yang akan diberikan. Apabila cuaca panas maka ragi yang diberikan akan lebih sedikit dibandingan dengan cuaca dingin atau kurang panas. Kedelai yang telah tercampur ragi, kemudian siap untuk dicetak atau dikemas. Kegiatan mencetak dapat menggunakan bak kayu cetakan atau secara manual dengan membentuk sendiri ukuran tempe yang diinginkan, tetapi hasilnya tidak terlalu berbeda jauh dengan ukuran tempe yang menggunakan bak kayu cetakan. Sebelum mencetak, bak kayu maupun kere telah dialasi dengan plastik bening yang telah dilubangi dengan menggunakan pisau. Apabila telah menjadi tempe, kemasan ada yang diganti dengan menggunakan daun pisang dan ada pula yang dibiarkan tetap menggunakan plastik. Disamping membuat tempe yang dicetak, beberapa pengrajin juga ada yang langsung mengemas kedelai yang telah dicampur ragi tersebut dengan plastik bening bermacam-macam ukuran mulai dari plastik ukuran 3 ons hingga 1 kg. Plastik ini sebelumnya juga telah dilubangi menggunakan pisau atau alat pelubang yang terbuat dari paku. Kegiatan terakhir adalah pemeraman, yaitu menyimpan kedelai yang telah dicetak atau dikemas dan diletakkan di kere anyaman selama 32-36 jam hingga
57
tekstur menjadi rapat dan bagian permukaan berwarna putih seperti kapas yang disebut sebagai tempe hingga siap dipasarkan dan dikonsumsi masyarakat. Kere yang telah terisi dengan bakal tempe kemudian diletakkan di atas rak kayu pemeraman.
Gambar 11. Pemeraman Bakal Tempe
5.2.3. Respon Awal Pengrajin Tempe Terhadap Kenaikan Harga Kedelai Harga kedelai yang sempat melonjak lebih dari 100 persen di tahun 2008 membuat pengrajin harus melakukan berbagai cara agar dapat terus bertahan dalam usahanya. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditunjukkan bahwa walaupun harga kedelai meningkat, namun pengrajin tempe tetap membeli kedelai dengan jumlah yang sama dengan ketika harga kedelai belum meningkat. Hal ini disebabkan tetap adanya permintaan tempe oleh konsumen, meskipun harga kedelai relatif mahal. Walaupun tetap ada permintaan tempe, namun pengrajin tidak dapat dengan mudah menaikkan harga jual tempe. Sulitnya bagi pengrajin untuk menaikkan harga jual dikarenakan struktur pasar yang dihadapi pengrajin tempe cenderung mengarah ke pasar persaingan sempurna, dan konsumen akan merasa sangat keberatan jika harga tempe dinaikkan. Biaya produksi yang semakin meningkat akibat kenaikan harga beli kedelai ini, disikapi pengrajin dengan memperkecil ukuran tempe. Sehingga tempe yang dapat dijual semakin banyak dengan harga jual cenderung tetap. Menurut pengalaman pengrajin, konsumen tempe lebih peka terhadap harga,
58
namun tidak terlalu peduli dengan ukuran tempe yang mereka beli. Dengan demikian pengrajin lebih memilih untuk memperkecil ukuran tempe yang dijualnya, dibandingkan dengan menaikkan harga jual. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa respon awal pengrajin dalam menghadapi kenaikan harga kedelai cukup beragam. Ada pengrajin yang mengurangi jumlah penggunaan kedelai, memperkecil ukuran tempe, menaikkan harga jual tempe, mengurangi penggunaan jumlah tenaga kerja luar keluarga, bahkan ada pengrajin yang merespon kenaikan harga kedelai dengan menghentikan produksinya. Respon yang beragam tersebut ternyata berbeda-beda di setiap skala produksi pengrajin tempe. Tabel 11 meringkas perbedaan respon awal pengrajin tempe pada skala produksi kecil, menengah, dan besar terhadap kenaikan harga kedelai.
Tabel 11.
Perbedaan Respon Awal Pengrajin pada Skala Produksi Kecil, Menengah, dan Besar Terhadap Kenaikan Harga Kedelai Skala Produksi
Respon Awal
Kecil Orang
Mengurangi
jumlah
Menengah %
Orang
Besar %
Orang
%
3
7
-
0
1
17
26
54
11
56
1
17
9
21
-
0
-
0
-
0
5
33
6
66
Berhenti berproduksi
1
4
-
0
-
0
Tidak
6
14
1
11
-
0
45
100
17
100
8
100
penggunaan kedelai Memperkecil ukuran tempe Menaikkan
harga
jual tempe Mengurangi penggunaan tenaga
jumlah
kerja
luar
keluarga
melakukan
tindakan apapun Total Sumber: Data Primer (2010)
59
Tabel 11 memperlihatkan berbagai reaksi pengrajin tempe skala kecil, menengah, dan besar terhadap kenaikan harga kedelai. Pengrajin dengan skala produksi kecil dan menengah, menunjukkan bahwa sebagian besar pengrajin merespon kenaikan harga kedelai dengan memperkecil ukuran tempe yang mereka jual. Respon ini berkaitan dengan pembeli utama mereka yang pada umumnya adalah ibu-ibu rumah tangga. Menurut pengrajin tempe skala kecil dan menengah, ibu-ibu rumah tangga lebih sensitif terhadap perubahan harga dibandingkan dengan perubahan ukuran tempe. Padahal dengan memperkecil ukuran tempe, pengrajin sebenarnya telah menaikkan harga jual tempe sehingga ibu-ibu rumah tangga sebenarnya telah membeli tempe yang harganya lebih mahal akibat adanya kenaikan harga kedelai. Pada pengrajin skala besar, respon yang paling banyak dilakukan (66 persen) ketika harga kedelai meningkat yaitu dengan mengurangi penggunaan jumlah tenaga kerja luar keluarga. Pengurangan jumlah tenaga kerja luar keluarga, dapat menghemat biaya produksi pengrajin tempe skala besar karena pengrajin dapat mengurangi biaya upah tenaga kerja keluarga.
60