V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Eks- Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber (MJRT) 5.1.1. Letak dan Lokasi Menurut administrasi pemerintahan, eks-areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber (MJRT) terletak di dua wilayah kabupaten yakni Kabupaten Muko-Muko dan Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Lokasi eks-areal MJRT ini berdasarkan tercakup kedalam kelompok hutan Sungai Ipuh – Sungai. Ketahun. Berdasarkan posisi geografis, areal HPH ini terletak antara: 101035’00”101057’00” BT (bujur timur) dan 02054’00”-03018’00” LS (lintang selatan). Sementara batas-batas areal kerja eks-areal MJRT, meliputi: 1.
Sebelah Utara : Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS)
2.
Sebelah Timur : TNKS dan eks areal kerja HPH. PT. Dirgahayu Rimba
3.
Sebelah Selatan: Eks-areal HPH. PT. Dirgahayu Rimba
4.
Sebelah Barat : Eks-areal HPH. PT. Bina Samakhta Lokasi penelitian memiliki aksesibilitas yang tinggi, yaitu dapat ditempuh
dari Kota Bengkulu terus ke Kecamatan Putri Hijau (Kabupaten Bengkulu Utara) melalui jalan darat. Selanjutnya, dari Putri Hijau melalui darat dapat langsung menuju ke lokasi penelitian (eks-areal MJRT) dan bisa ditempuh dengan kendaraan darat selama kurang lebih satu jam. Peta-peta lokasi eks-areal MJRT secara lebih jelas dapat dilihat pada Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 21. 5.1.2. Sejarah Pengelolaan Pengelolaan HPH oleh PT MJRT didasarkan pada Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian Nomor: 422/Kpts/UM/8/1974 tanggal 7 Agustus 1974 dengan luas areal 80 000 ha. Izin pengelolaan HPH ini diberikan selama 20 tahun dan
95 telah berakhir sejak tanggal 7 Agustus 1994 yang lalu. Selama masa operasi pengolaan HPH (periode 1974/1975 sampai dengan 1992), PT. MJRT telah melakukan penebangan kayu seluas 19 490 ha. Dengan demikian, seharusnya pada tahun 1992, dari 80 000 ha luas izin konsesi, terdapat hutan lebat/hutan primer 60 510 ha. Namun, berdasarkan data hasil klasifikasi citra landsat TM tahun 1992 yang dilakukan oleh Hernawan (2001), hutan primer yang tersisa hanya seluas 20 806 ha dan telah dibuka lahan untuk perkebunan dan kebun rakyat seluas 11 731 ha, berupa semak belukar 5 840 ha dan tanah terbuka seluas 8 080 ha. Berdasarkan SK. Menteri Kehutanan RI Nomor:1454/Menhut-IV/1994 tanggal 21 September 1994 mengenai permohonan perpanjangan a.n. PT. MJRT, izin pengelolaan diserahkan kepada perusahaan patungan antara PT. MJRT dengan PT. INHUTANI V yang mengikutsertakan BUMD/Pemda dan Koperasi. Luas areal yang direkomendasikan berdasarkan surat perpanjangan tersebut hanya seluas 45 100 ha, sedangkan selebihnya (34 900 ha) dikeluarkan dari areal kerja. Namun, berdasarkan fungsi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), areal perpanjangan HPH PT. MJRT berupa areal Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 35 200 ha, Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 9 900 ha. Izin perpanjangan ini diberikan sampai dengan periode 1998/1999. Berdasarkan pemantapan fungsi hutan yang dipadukan dengan rencana pengelolaan wilayah Provinsi Bengkulu pada tahun 1998, eks-areal HPH PT. MJRT (45 100 ha), seluas 10 235 ha di antaranya merupakan Areal Penggunaan Lain (APL). Berdasarkan perkembangan pemanfaatan lahan di lapangan, sebagian APL tersebut telah dialih izinkan pengelolaannya kepada pihak ketiga lainnya yaitu perusahaan
96 swasta PT. Alno Algo Utama (PT. AAU) berdasarkan SK. Menhutbun No. 422/Menhutbun-IV/2000 tanggal 14 April 2000 dengan luas 18 450 ha. Namun,
berdasarkan perhitungan planimetris oleh Tim Independent Concession Audit pada tahun 2001, areal PT. AAU tersebut terdapat seluas 4 754 ha diantaranya terletak di dalam eks-areal MJRT. Pada tahun 1999 Menteri Kehutanan dan Perkebunan telah mengeluarkan Surat No. 420/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Bengkulu seluas 920 964 ha dimana di antaranya terdapat alokasi kawasan hutan yang diperuntukkan khusus sebagai Pusat Latihan Gajah (PLG) yaitu seluas 6 865 ha. Lokasi PLG tersebut sebagian di antaranya, yaitu seluas 5 961 ha terletak di dalam areal kerja eks-areal MJRT. Dengan adanya dua pelepasan sebagian areal kerja eks-areal MJRT di atas, luas areal kerja eks HPH PT. MJRT yang tersisa saat ini adalah seluas 34 385 ha. Namun apabila melihat kondisi di lapangan, dari areal yang telah ditetapkan sebagai HPT dan HP berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan terdapat areal HPT seluas 1 955 ha dan HP seluas 135 ha yang telah digarap oleh perkebunan kelapa sawit PT AAU. 5.1.3. Kondisi Penutupan Lahan Vegetasi eks-areal HPH MJRT merupakan hutan tropika basah dengan jenis penutupan didominasi oleh kelompok meranti terutama dari spesies Dipterocarpaceae. Jenis-jenis dari kelompok ini yang sering dijumpai antara lain (Hernawan, 2001): damar (Shorea sp), merawan (Hopea dryobalanoides), kruing (Dipterocarpus sp), meranti (S.lefrosula), meranti putih (Shorea javanica), kelukung (Shorea sp) dan ketuko (S. ovalis). Untuk jenis non Dipterocarpaceae
97 yang sering ditemui adalah dari Famili Sapotaceae seperti durian (Durio zibethinus), Famili Apocaceae seperti jelutung (Dyra costulata), pulai (Alstonia pneumathopora), Famili Meliaceae seperti gelam (Xylocarpus granatum), Famili Stercaceae seperti bayur (Pterosepermum javanicum Jungh), Famili Sapindaceae seperti Kasai Gunung (Pometia pinnata Forst), Famili Lauraceae seperti medang (Dehaasia pauciflora) dan kisereh (Cinnamomum porthanoxylon Meissn), dan Famili Myrtaceae seperti jambu (Eugenia Clamyrtus) dan pelawan (Tristania maingayi Duthic). Hasil penapsiran Citra Landsat liputan tahun 2003, dari luas areal HPH 46 987 ha, sebagian besar (52 persen) atau seluas 24 502 ha berupa hutan bekas tebangan atau logged over area (LOA), sementara hutan primer (virgin forest) terdapat seluas 14 071 ha (29.9 persen). Hasil penafsiran juga menunjukkan seluas 5 304 ha (11.3 persen) berupa perkebunan (besar). Rincian keadaan penutupan lahan eks-areal MJRT disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Kondisi Penutupan Lahan Timber Tahun 2003 Penutupan Lahan/Vegetasi Kebun Ladang Lahan Kosong/terbuka Hutan Sekunder (Logged Over Area) Semak/Belukar Hutan Lebat (Virgin Forest) Total
Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Luas (Ha) 5 304 1 074 29 24 502 2 007 14 071 46 987
(%) 11.3 2.3 0.1 52.1 4.3 29.9 100.0
Sumber: Analisis Spasial, 2005
Hasil pemeriksaan HPH yang dilakukan oleh Sarbi (2001), menunjukkan bahwa potensi tegakan jenis kayu komersial (diameter ≥ 50 cm) yang terdapat pada hutan primer maupun hutan bekas tebangan di eks-areal MJRT, rata-rata per hektar berjumlah 13 06 batang dengan volume 46.75 m3.
98 Jenis hasil hutan non-kayu yang terdapat di eks-areal MJRT, antara lain: (1) getah damar yang berasal dari pohon merah (Hopea mengarawan), (2) getah jelutung yang berasal dari pohon jelutung/muai (Dyera costulata), (3) sarang burung wallet yang terdapat di bagian Tenggara areal konsesi, (4) rotan, jenis rotan yang ditemukan adalah rotan mensirai (Calamus sp) tetapi jumlahnya sangat sedikit/jarang, dan (5) bambu, banyak ditemukan di sebelah Selatan dan Tenggara areal konsesi. Saat ini jenis-jenis ini tidak terlalu banyak lagi ditemukan di eksareal HPH PT. MJRT sehingga untuk mendapatkannya, (informasi beberapa anggota masyarakat) masyarakat harus masuk ke areal TNKS. 5.1.4. Kondisi Tanah, Kelerengan dan Kekritisan Lahan Berdasarkan Peta Satuan Lahan Lembar Sungai Penuh dan Ketahun skala 1 : 250 000 dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor, tahun 1990 terdiri atas Latosol, Podsolik Merah Kuning dan Aluvial (Independent Concession Audit, 2001). Jenis tanah Podsolik Merah Kuning merupakan jenis tanah terluas (lebih 90 persen) pada eks-areal MJRT. Jenis tanah ini merupakan tanah yang peka terhadap erosi, sedangkan tanah Latosol dan Aluvial merupakan tanah agak peka terhadap erosi. Jenis tanah di eks-areal HPH PT. MJRT dan tingkat kepekaannya terhadap erosi disajikan pada Tabel 7. Kondisi fisiografi lapangan eks-areal HPH MJRT bervariasi mulai dari dataran rendah sampai dengan perbukitan dengan ketinggian tempat berkisar dari 100 hingga 531 m dpl dan seluruhnya merupakan hutan tanah kering. Kemiringan lapangan eks-areal MJRT bervariasi dari datar sampai sangat curam. Areal datar sampai landai terletak di bagian Selatan berdekatan dengan daerah perkebunan dan pemukiman. Sedangkan kawasan yang merupakan areal agak curam sampai
99 curam dengan banyak perbukitan terletak di bagian Utara sampai dengan kawasan TNKS terutama di DAS Sebelat dan sub DAS Lalangi. Tabel 7. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Tanah di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber
Kode Tanah Jenis Tanah (Soeprapto Harjo, 1961) Had 1.1.1 Podsolik Merah Kuning Had 1.2.1 Podsolik Merah Kuning Mad 2.1.2 Podsolik Merah Kuning Vad 1.4.2 Podsolik Merah Kuning Aq 5 Aluvial Af 4.1.1 Aluvial Pa 8.2 Latosol Pad 8.2 Latosol Jumlah
Sumber:
Luas Ha 6 450 11 680 13 030 335 835 885 695 475 34 385
% 18.76 33.97 37.89 0.98 2.43 2.57 2.02 1.38 100.00
Sarbi, 2001
Kelerengan agak curam terutama di daerah hulu sungai seperti Sungai Ipuh, Sungai Sebelat dan Sungai Ketahun dengan fisiografi perbukitan– pegunungan yang berbatasan kawasan TNKS. Di eks-areal HPH PT. MJRT terdapat areal sangat curam (lereng E) seluas 4 045 ha yang terletak di DAS Sebelat dan Sub DAS Lalangi bagian Timur-Selatan. Rincian mengenai luasan kelerengan lapangan di eks-areal HPH PT. MJRT disajikan pada Tabel 8. Tabel 8.
Kondisi Kelerengan Lapangan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber
Kisaran Lereng (%) 0–8 8 – 15 15 – 25 25 – 40 > 40
Kelas Lereng A B C D E Jumlah
Uraian Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam
Luas Ha
%
399 6 137 14 857 8 947 4 045 34 385
1.16 17.85 43.21 26.02 11.76 100.00
Sumber: Sarbi, 2001
Jika dilihat dari aspek kekritisan lahan, kondisi lahan eks-areal MJRT sebagian besar masih dalam kategori baik dan normal alami dengan luas mencapai
100 36 716.5 ha atau sekitar 78 persen dari luas keseluruhan eks-areal MJRT. Sedangkan lahan kritis (agak kritis dan mulai kritis) terdapat seluas 10 270.2 ha atau hanya sekitar 22 persen (Tabel 9 dan Lampiran 5 sampai dengan Lampiran 8). Hingga tahun 2005, lahan kritis dapat dijumpai di bagian barat dan selatan eksareal MJRT yang berjarak cukup jauh dari TNKS. Lahan kritis ini terkonsentrasi di tiga lokasi, yakni di Desa Semambung Makmur (Kecamatan Muko Muko Selatan, Kabupaten Muko Muko) serta sekitar Pusat Latihan Gajah (PLG), Desa Suka Baru (Kecamatan Putri Hijau, Bengkulu Utara) dan Desa Tanjung Harapan (Kecamatan Napal Putih, Kabupaten Bengkulu Utara). Tabel 9.
Kondisi Kekritisan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun 2005
Kategori Agak kritis Baik Mulai kritis Normal Alami Total
Luas (Ha) 6 225.3 29 032.9 4 044.8 7 683.6 46 986.7
(%) 13.2 61.8 8.6 16.4 100.0
Sumber: Analisis Spasial, 2005
Sebagian besar jenis penutupan lahan kritis di eks-areal MJRT berupa hutan bekas tebangan dan hutan primer, masing-masing dengan proporsi 48.1 persen dan 36.2 persen. Sedangkan lahan kritis yang sudah mengalami alih fungsi meliputi areal perkebunan (11.7 persen), ladang/kebun masyarakat (3.5 persen) dan semak belukar dengan proporsi 0.6 persen (Tabel 10). Dengan demikian pengelolaan lahan kritis di eks-areal MJRT lebih diprioritaskan kepada pengendalian terhadap alih fungsi terhadap kawasan hutan karena memiliki areal yang paling luas.
101 5.1.5. Kondisi Iklim Menurut klasifikasi iklim Schmidt Ferguson, tipe curah hujan pada eksareal HPH PT. MJRT termasuk ke dalam tipe A, dengan nilai Q sebesar 0 persen (bulan basah sepanjang tahun dan tidak terdapat bulan kering), yang berarti daerah basah dengan tipe hutan hujan tropis. Curah hujan tahunan di eks-areal HPH ini tergolong tinggi berkisar antara 2 751–5 065 mm. Suhu udara relatif panas dengan suhu rata-rata bulanan 31.6 0C, sedangkan kelembaban rata-rata tergolong tinggi yang berkisar 78–94 persen. Kondisi iklim tersebut menyebabkan potensi peningkatan laju aliran permukaan (surface run-off) cukup besar. Pada akhirnya akan mempengaruhi parameter tanah dan hidrologi. Kondisi beberapa unsur penyusun iklim di eks-areal HPH PT. MJRT disajikan pada Tabel 11. Tabel 10.
Jenis Penutupan Lahan Kritis di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun 2005
Jenis Penutupan Lahan Perkebunan Ladang/kebun masyarakat Hutan bekas tebangan Semak belukar Hutan primer Total
Mulai Kritis 1 197.0 354.5 2 424.3 57.7 11.4 4 044.8
Luas (Ha) Agak Kritis 0 0 2 518.0 0 3 707.3 6 225.3
Total 1 197.0 354.5 4 942.3 57.7 3 718.7 10 270.2
(%) 11.7 3.5 48.1 0.6 36.2 100.0
Sumber: Analisis Spasial, 2005
5.1.6. Kondisi Sosial-Ekonomi dan Kependudukan 1.
Sistem penguasaan lahan pada eks-areal MJRT
Penguasaan lahan oleh masyarakat berdasarkan sistem pewarisan dari keluarga, membuka hutan, membeli lahan dari masyarakat yang lain. Lahan yang dikuasai masyarakat digunakan untuk daerah pemukiman penduduk, usaha pertanian dan perkebunan. Jenis usaha produktif pertanian dan perkebunan umumnya komoditi yang dikembangkan adalah padi ladang, singkong, kelapa sawit, kopi, jengkol dan lain-lain.
102 Tabel 11. Data Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban Rata-rata Tahun 1980-1992 di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber No
Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah Rata-rata
Rata-rata Curah Hujan (mm) 367.3 262.2 367.6 291.5 201.7 147.8 213.2 197.2 318.7 381.4 374.5 364.0 3.487.1 290.6
Rata-rata Suhu Udara (oC) 31.9 31.4 32.1 32.1 32.3 32.2 31.6 32.1 31.5 31.5 31.2 31.7 381.6 31.8
Rata-rata Kelembaban (%) 93.2 92.6 93.2 92.9 92.9 94.3 78.1 65.3 94.5 94.3 94.1 94.0 1 079.1 89.9
Sumber: Sarbi, 2001
Pada eks-areal MJRT tidak terdapat adanya hak ulayat atas tanah dan hutan oleh masyarakat setempat. Sistem penguasaan tanah dan lahan oleh masyarakat mengikuti peraturan secara tradisi, yakni menganut sistem kepemilikan secara individu dan keluarga. Terlihat bahwa tanah yang kosong bagi masyarakat setempat dianggap tanah bebas. Masyarakat yang membuka hutan dan tanah kosong pertama kali akan menyatakan sebagai pemilik lokasi atau lahan tersebut. 2.
Kegiatan usahatani dan perambahan Sebagian besar masyarakat mempunyai mata pencaharian pokok di bidang
pertanian, perkebunan dan peternakan. Disamping itu, aktivitas penduduk juga banyak berinteraksi dengan hutan seperti menangkap ikan di sungai, memungut rotan, damar, madu serta mengusahakan balok kaleng. Perkiraan luas rata-rata kepemilikan lahan yang dimiliki masyarakat setempat berkisar antara 3 sampai 8 ha per kepala keluarga (KK).
103 Masyarakat desa mengembangkan usaha pertanian perladangan dengan memanfaatkan air hujan dan areal di pinggir sungai. Hal ini dilakukan karena ketiadaan sarana irigasi pada daerah tersebut. Umumnya untuk usaha pertanian masyarakat memanfaatkan lahan yang ada di sekitar sungai. Produksi pertanian tersebut digunakan untuk kebutuhan konsumsi keluarga sehari-hari (subsisten). Usahatani kebun kelapa sawit merupakan usaha andalan masyarakat desa untuk mendukung ekonomi keluarga. Sejak lima tahun terakhir sejak dikembangkannya perkebunan besar kelapa sawit di wilayah ini, masyarakat juga marak mengembangkan komoditas yang sama. Hasil perkebunan (tanpa diolah) dijual langsung kepada industri pengolahan kelapa sawit terdekat atau dijual kepada pedagang pengumpul yang datang langsung ke desa pada saat hari pasar. Hernawan (2001), melaporkan dalam pengembangan usaha perkebunan tanaman perkebunan tersebut, masyarakat desa cenderung memanfaatkan kawasan hutan (membuka hutan) dan memanfaatkan areal bekas tebangan PT. MJRT. Dari hasil survei diketahui peruntukan lahan yang dimiliki oleh responden, dimana luas lahan yang ditanami sawit menduduki peringkat pertama yaitu seluas 354 ha atau 64,5 persen dari total luas lahan yang dimiliki oleh petani. Sementara tanaman karet hanya terdapat seluas 62 ha atau 11.3 persen. Hal ini menunjukkan besarnya animo dan kebutuhan masyarakat dalam pengusahaan usahatani sawit bahkan telah menjadi suatu budaya bagi masyarakat setempat Tabel 12 menggambarkan klasifikasi kepemilikan lahan yang dimiliki oleh kepala keluarga. Sebagian besar responden memiliki tanaman karet dengan luas > 2 ha (54 persen). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani memiliki luas tanaman karet sesuai luas lahan yang direkomendasikan oleh Departemen
104 Kehutanan pada program hutan kemasyarakatan (HKm) seluas 2 ha/orang. Hasil survei juga mendapatkan sebagian besar (81 persen) usia tanaman sawit yang dimiliki respoden berumur antara 4 sampai 8 tahun. Dengan demikian usahatani responden adalah berada pada usia produktif. Tabel 12. Luas Peruntukan Lahan yang Dimiliki Kepala Keluarga Jenis Tanaman Karet Sawit Jeruk Kopi Kelapa Mangga Cempedak Sawah Alang-Alang Total
Luas (Ha)
%
62.00 354.00 5.61 45.00 2.60 0.75 0.07 0.80 78.00 548.83
11.3 64.5 1.0 8.2 0.5 0.1 0.0 0.1 14.2 100
Responden KK 20 54 2 8 4 1 1 1 12 103
% 24.1 65.1 2.4 9.6 4.8 1.2 1.2 1.2 14.5 100
Kategori Luas Lahan ≤ 1 Ha 1< - ≤ 2 Ha > 2 Ha KK % KK % KK % 4 3.9 7 30.4 9 17.3 9 8.7 11 47.8 34 65.4 1 1.0 0 0.0 1 1.9 3 2.9 1 4.3 4 7.7 3 2.9 1 4.3 0 0.0 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 1.0 0 0.0 0 0.0 5 4.9 3 13.0 4 7.7 28 100 23 100 52 100
Sumber: Hasil surve1, 2005 (diolah)
Lahan-lahan yang dijadikan sebagai lahan pertanian dan perkebunan masyarakat merupakan kawasan hutan sekunder, termasuk dalam kawasan eksareal MJRT. Kawasan ini dimanfaatkan karena menurut masyarakat areal tersebut masih relatif subur. Selain itu menurut penduduk asli, lokasi itu sebelumnya merupakan areal ladang/kebun yang pernah dibuka oleh nenek moyang mereka. Disamping melakukan usaha budidaya pertanian dan perkebunan, masyarakat juga melakukan kegiatan pemungutan hasil hutan seperti rotan, damar, madu. Kegiatan tersebut telah dilakukan masyarakat setempat sejak sebelum beroperasinya HPH PT. MJRT. Frekuensi melakukan kegiatan ini tergantung dengan kesibukan mereka dalam melakukan usahataninya. Ancaman tekanan kegiatan perambahan kawasan penyangga TNKS di masa datang diperkirakan akan meningkat terutama kegiatan perambahan lahan untuk membuka ladang/kebun di areal bekas tebangan HPH. Faktor lain yang
105 mempercepat kegiatan perambahan lahan adalah faktor aksesibilitas penduduk yang kian terbuka karena adanya pembukaan jalan tembus di beberapa daerah kabupaten. 3.
Kependudukan Secara umum, di sekitar eks-areal MJRT terdapat 3 943 rumah tangga
dengan jumlah pupulasi hingga tahun 2003 tercatat sebanyak 31 239 jiwa serta sex-ratio sebesar 108. Dilihat dari sisi administrasi pemerintahan, dari tiga wilayah yang berbatasan langsung dengan eks-areal MJRT (Kecamatan: MukoMuko Selatan, Napal Putih dan Putri Hijau), penduduk dan rumah tangga di Kecamatan Putri Hijau tercatat yang paling bayak. Secara rinci, variasi kependudukan di desa sekitar eks-areal MJRT disajikan pada Tabel 13. Dilihat dari tingkat kepadatan penduduk maupun rumah tangga, desa-desa sekitar MJRT tergolong memiliki kepadatan yang relatif rendah. Kepadatan rumah tangga tercatat hanya 4 rumah tangga tiap km2, sementara kepadatan penduduk rata-rata 33 jiwa/km2. Tingkat kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Desa Cipta Mulya, Kecamatan Putri Hijau, sedangkan kepadatan penduduk terendah ditemui di Desa Lubuk Talang, Muko-Muko Selatan. Khusus untuk lokasi penelitian di Kecamatan Putri Hijau, jumlah rumah tangga di sekitar eks-areal MJRT tercatat sebanyak 1 125 rumah tangga, dengan jumlah penduduk hingga tahun 2005 sebanyak 13 244 jiwa. Tingkat kepadatan rata-rata untuk penduduk dan rumah tangga juga tergolong relatif rendah, masingmasing adalah 34 jiwa/km2 dan 3 rumah tangga/km2. Kepadatan penduduk dan rumah tangga yang paling tinggi tercatat di Desa Cipta Mulya, yakni masingmasing 328 jiwa/km2 dan 18 rumah tangga/km2. Desa ini merupakan pemukiman
106 transmigrasi yang semua penduduknya mengusahakan perkebunan kelapa sawit. Desa ini hanya berjarak 5 km dari areal perkebunan kelapa sawit milik PT. Alno Agro Utama (PT AAU). Tabel 13. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk dan Rumah Tangga di Desa Sekitar Lokasi Penelitian No
Kecamatan/ Desa
Luas (KM2)
Jumlah Pddk (Jiwa)
Rumah Tangga (RT)
Kepadatan Penduduk RT (Jiwa/KM2) (RT/KM2)
Muko-muko Selatan 1 Gajah Makmur 18.56 2 152 288 116 2 Semambang makmur 14.52 986 197 68 3 Dusun Pulau 18 1 050 210 58 4 Pulau Baru 12 1 002 250 84 5 Sumundam 29.48 860 212 29 6 Talang Baru 3.89 886 177 228 7 Talang Arah 21.79 1 059 264 49 8 Lubuk Talang 79.50 404 101 5 9 Talang Rio 20 468 114 23 Napal Putih 1 Tanjung harapan 9.5 1 675 118 176 2 SP 7 Bangun Karya 8 798 141 100 3 Tanjung Sari 9.99 886 142 89 4 Bukit Berlian 12 1 250 167 104 5 Tanjung Dalam 255 1 921 107 8 6 Air Lelangi 17 681 74 40 7 Air Tenang 16 730 94 46 8 Pagardin 27.5 1 187 162 43 Putri Hijau* 1 Karya Bakti 12.77 1 813 176 142 2 Air Pandan** 5 624 77 125 3 Suka Makmur 13 2 822 141 217 4 Suka Baru 121.66 936 97 8 5 Suka Medan 25.54 788 88 31 6 Suka Merindu** 93.21 801 182 9 7 Suka Maju** 64.18 483 43 8 8 Karya Pelita 17.15 890 85 52 9 Air Putih** 30 2 445 147 82 10 Cipta Mulya** 5 1 642 89 328 Total 960.24 31 239 3 943 33 Keterangan : * dan ** adalah kecamatan dan desa-desa lokasi pengamatan Sumber
: 1. Profil Desa, 1998 2. Kecamatan Napal Putih Dalam Angka, 2003 3. Kecamatan Putri Hijau Dalam Angka, 2003
16 14 12 21 7 46 12 1 6 12 18 14 14 0 4 6 6 14 15 11 1 3 2 1 5 5 18 4
107 5.2. Eks HPH. PT. Rimba Karya Indah (RKI) 5.2.1. Letak dan Lokasi Lokasi penelitian pada eks-areal HPH PT. Rimba Karya Indah (PT. RKI) terletak pada areal kerja Unit-I (hutan tanah kering) di Kelompok Hutan Hulu Batang Tebo – Batang Kemarau dan Batang Pelepat – Hulu Batang Ole. Menurut admisnistrasi pemerintahan, areal kerja Unit-I termasuk kedalam tiga wilayah kecamatan, yakni: Kecamatan Pelepat, Lembur Lubuk Mengkuang dan Rantau Pandan (Kabupaten Bungo) serta Kecamatan Tabir Ulu (Kabupaten Merangin). Secara garis besar gambaran mengenai letak areal kerja HPH PT. RKI adalah sebagai berikut (Laporan Independent Concession Audit, 2001) Batas astronomi :
101032’58”-101054’35” BT dan 01041’09”–01055’08” LS
Batas administrasi pemerintahan: 1. Kecamatan
: Pelepat, Rantau Pandan, Lembur Lubuk Mengkuang dan Tabir Ulu
2. Kabupaten
: Bungo dan Merangin
3. Provinsi
: Jambi
Kelompok hutan :
Bt. Kemarau dan Bt. Pelepat – Hulu Bt. Ole
Batas Areal Kerja 1. Sebelah Utara : Eks. HPH PT. Mungitriman Intercontinental 2. Sebelah Timur : Eks. HPH PT Mungitriman Intercontinental 3. Sebelah Selatan: Hutan Lindung dan TNKS 4. Sebelah Barat : Hutan Lindung dan perkebunan PT Tidar Kerinci Agung dan HSAW Lokasi penelitian dapat ditempuh dari Kota Jambi terus ke Kota Bungo (Ibukota Kabupaten Bungo) melalui jalan darat. Selanjutnya, dari Kota Bungo ke
108 Kecamatan Pelepat untuk menuju lokasi penelitian dan bisa ditempuh dengan kendaraan darat, selama kurang lebih tiga jam. Gambaran yang lebih jelas mengenai eks-areal RKI disajikan pada Lampiran 22 sampai Lampiran 29. 5.2.2. Sejarah Pengelolaan Berdasarkan catatan yang ada, kawasan RKI Finger termasuk kedalam kawasan Hutan Lindung (RePPPRoT, 1988). Akan tetapi, kemudian dialihfungsikan menjadi hutan produksi yang hak pengelolaanya menjadi tanggung jawab PT. Rimba Karya Indah (PT. RKI). Areal kerja HPH PT. RKI semula bernama PT. Windu Karya Indah dengan
perjanjian
Pengusahaan
Hutan
(Forestry
Agreement)
nomor
FA/N/008/IV/1983 tanggal 4 April 1983. Selanjutnya terjadi perubahan nama perusahaan dari PT. Windu Karya Indah (PT. WKI) menjadi Rimba Karya Indah (PT. RKI) berdasarkan Addendum FA No. Fa/N-AD/IV/1984 tanggal 10 April 1984. Luas areal yang diusahakan PT RKI sebagaimana tercantum dalam Forestry Agreement (FA) Nomor FA/N-AD/038/IV/1984 tanggal 30 April 1984 dan Surat Keputusan Menteri Pertanian (SK HPH) Nomor 13/Kpts-IV/87 tanggal 12 Januari 1987 adalah seluas 48 000 ha. PT. Rimba Karya Indah (RKI), kemudian memperoleh penambahan areal kerja di Unit II (kelompok hutan Kumpeh dan Air Hitan Ulu) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 13/Kpts-IV/88 tanggal 29 Pebruari 1988. Dengan adanya penambahan ini, secara keseluruhan total luas areal kerja PT. RKI menjadi 87 000 ha. Jangka waktu pengelolaan selama 20 tahun, terhitung sejak tanggal 12 Januari 1987 sampai dengan tahun 2007.
109 Berdasarkan fungsi hutan menurut TGHK areal pada lokasi penelitian (Unit-I) sebagian besar berfungsi sebagai Hutan Produksi tetap (HP) seluas 32 610 ha (63.32 persen), sebagai Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 14 395 ha (27.95 persen) dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 4 495 ha (8.73 persen). Secara rinci luas areal HPH PT. RKI berdasarkan fungsi TGHK disajikan Tabel 14.
Tabel 14. Fungsi Hutan Eks-Areal Kerja HPH PT. Rimba Karya Indah Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan
Hutan Produksi Terbatas (HPT)
Luas (Ha) 14 395
27.95
Hutan Produksi Tetap (HP)
32 610
63.32
0
0.00
4 495
8.73
51 500
100.00
Fungsi Hutan
Hutan Produksi Konversi (HPK) Areal Penggunaan Lain (APL) Total
(%)
Sumber: Sarbi, 2001
Selanjutnya, berdasarkan RTRWP Provinsi Jambi tahun 1996, areal Unit-I sebagian besar berubah menjadi HPT dan sebagian lagi berfungsi sebagai HP, Kawasan Budidaya Pertanian dan Non Pertanian (KBDPNP), Hutan Lindung (HL) dan menjadi kawasan TNKS. Secara rinci luas areal HPH PT. RKI berdasarkan Peta RTRWP disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Fungsi Hutan Eks-Areal Kerja HPH PT. Rimba Karya Indah Berdasarkan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Fungsi Hutan Hutan Lindung (HL)
Luas (Ha) 1 080
(%) 2.10
Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS)
10 150
19.70
Hutan Produksi Terbatas (HPT)
22 155
43.20
Hutan Produksi Tetap (HP)
14 955
29.04
3 160
6.14
51 500
100.00
Kawasan Budidaya Pertanian dan Non Pertanian (KBDPNP) Jumlah Sumber: Sarbi, 2001
110 Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan Produksi Jambi, areal kerja HPH PT. RKI sebagian besar berfungsi sebagai hutan produksi tetap (71.49 persen) dan sisanya sebagai SAPA (22.37 persen) dan APL (6.15 persen). Rincian lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Fungsi Hutan Pada Areal Kerja HPH PT. Rimba Karya Indah Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Fungsi Hutan SAPA Hutan Produksi Terbatas/ HPT Hutan Produksi Tetap/ HP Areal Penggunaan Lain/APL Jumlah
Luas (Ha) 11 520
(%) 22.37
0
0.00
36 815
71.49
3 165
6.15
51 500
100.00
Sumber: Sarbi, 2001
Secara de-facto, sejak tahun 1997, PT. RKI telah berhenti beroperasi di areal kerja Unit-I di Kelompok Hutan Hulu Batang Tebo – Batang Kemarau dan Batang Pelepat – Hulu Batang Ole (Sarbi, 2001). Hal ini disebabkan oleh meluasnya penolakan dari masyarakat di sekitar kawasan. Sedangkan secara dejure, izin pengelolaan HPH PT. RKI berakhir sejak tanggal 25 November 2004, sejalan dengan dicabutnya izin pengelolaan melalui SK. Menteri Kehutanan No. 455/Menhut-II/2004 tanggal 25 November 2004 yang kemudian diperbaiki karena adanya kekeliruan dalam penetapan luas konsesi, melalui SK. 103/MenhutII/2005 tanggal 25 April 2005. 5.2.3. Kondisi Penutupan Lahan Informasi tentang potensi dan komposisi tegakan di areal HPH PT. RKI pada hutan primer maupun bekas tebangan bersumber dari hasil inventarisasi hutan (ITSP) pada beberapa blok yang dilakukan dengan intensitas 100 persen (Laporan Independent Concession Audit, 2001). Sedangkan informasi potensi dan
111 komposisi tegakan di areal bekas tebangan, bersumber dari hasil inventarisasi dengan luas sampel rata-rata 4 ha untuk setiap blok RKT bekas tebangan. Menurut komposisi jenisnya, tegakan siap tebang (di hutan primer) sebagian besar didominasi oleh jenis-jenis dari kelompok meranti terutama dari spesies Dipterocarpaceae, yaitu jenis meranti, keruing dan durian hutan. Sedang pada hutan bekas tebangan, sebagian besar didominasi oleh jenis-jenis dari kelompok meranti terutama dari suku Dipterocarpaceae, yaitu jenis meranti merah, meranti putih, mersawa dan nyatoh. Jenis hasil hutan non kayu adalah: (1) getah damar yang berasal dari pohon merah (Hopea mengarawan) dengan potensi pohon pada hutan bekas dan pada hutan primer, (2) getah jelutung yang berasal dari pohon jelutung/muai (Dyera costulata) pada hutan bekas tebangan, (3) madu yang banyak diambil oleh masyarakat terutama pada musimnya, (4) rotan, tidak banyak digunakan oleh masyarakat kecuali untuk keperluan tali-temali, jenis rotan yang ditemukan adalah rotan manau yang dijual kepada pedagang pengumpul dan jenis rotan mensirai (rotan cacing) tetapi jumlahnya sedikit, dan (5) bambu, dengan ukuran kecil-kecil dan tipis yang biasa disebut bambu saluang dan tidak banyak digunakan kecuali untuk membuat keranjang untuk keperluan sehari-hari. 5.2.4. Kondisi Tanah dan Kekritisan Lahan Jenis tanah di eks-areal RKI terdiri atas Podsolik Merah Kuning (PMK) seluas 26 350 ha (30.29 persen), organosol seluas 35 006 ha (40.24 persen), latosol seluas 16 052 ha (18.44 persen), litosol seluas 9 099 ha (10.46 persen), dan aluvial seluas 493 ha (0.57 persen). Hal ini sesuai dengan Peta Satuan Lahan
112 Lembar Sungai Penuh dan lembar Sarolangun, Sumatera skala 1:250 000 (Laporan Independent Concession Audit, 2001). Eks-areal kerja PT. RKI mempunyai topografi bervariasi dari datar sampai sangat curam dengan ketinggian bervariasi dari 190 m hingga 1 670 m dpl. Areal kerja HPH PT. RKI sebagian besar mempunyai topografi datar (50.40 persen), dan selebihnya bertopografi landai hingga sangat curam. Penyebaran kelas lereng disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Penyebaran Kelas Lereng di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Kisaran Lereng (%) 0–8 8 – 15 15 – 25 25 – 40 > 40
Kelas Lereng A B C D E Jumlah
Unit-I (Ha) 8 345 5 830 13 345 16 570 7 410 51 500
% 50.40 6.70 15.34 19.05 8.51 100.00
Sumber : Sarbi, 2001
Jika dilihat dari aspek kekritisan lahan, kondisi lahan eks-areal RKI sebagian besar masih dalam kategori baik dan normal alami dengan luas mencapai 36 981.5 ha atau sekitar 88.5 persen dari luas keseluruhan eks-areal MJRT. Sedangkan lahan kritis (agak kritis + mulai kritis) seluas 4 736.47 ha atau hanya sekitar 11.4 persen (Tabel 18). Lahan kritis banyak terdapat di blok bagian atas yang berjarak relatif dekat dengan TNKS. Lahan kritis ini terkonsentrasi di tiga lokasi, yakni di Desa Renah Sungai Ipuh, Rantau Tipu (Kecamatan Lembur Lubuk Mengkuang, Kabupaten Bungo) serta Desa Batang Kibul, Telentam dan Sungai Tabir (Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin). Lahan kritis yang terdapat di eks-areal RKI adalah areal yang telah mengalami alih fungsi. Sebagian besar jenis penutupan lahan kritis di eks-areal RKI berupa ladang/kebun masyarakat dengan luas mencapai 3 648.3 ha atau
113 sekitar 77 persen dari luas lahan kritis yang terdapat di eks-areal RKI. (Tabel 19 dan Lampiran 24 sampai Lampiran 26). Luas lahan kosong dan semak belukar masing-masing seluas 338.9 ha dan 749 ha. Dengan demikian pengelolaan lahan kritis di eks-areal RKI lebih diprioritaskan kepada ladang/kebun masyarakat karena memiliki areal yang paling luas terutama yang berdekatan dengan TNKS. Tabel 18. Kondisi Kekritisan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Tahun 2005 Kategori Agak Kritis Baik Mulai Kritis Normal Alami Total
Luas (Ha) 519.8 30 908.7 4 216.6 6 072.7 41 717.9
(%) 1.2 74.1 10.1 14.6 100.0
Sumber: Analisis Spasial, 2005
Tabel 19. Jenis Penutupan Lahan Kritis di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Tahun 2002 Jenis Penutupan Lahan Ladang/Kebun Masyarakat Lahan Kosong Semak Belukar Total
Mulai Kritis 3 205.9 261.5 749.3 4 216.6
Luas (Ha) Agak Kritis 442.4 77.4 0 519.8
Total 3 648.3 338.9 749.3 4 736.4
(%) 77.0 7.2 15.8 100.0
Sumber: Analisis Spasial Menggunakan Citra Landsat Akuisisi Tahun 2002, 2005
5.2.5. Iklim Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, tipe iklim pada eks-areal HPH PT. RKI termasuk kedalam tipe A yang berarti daerah basah, dengan vegetasi hutan hujan tropis, dan bulan kering rata-rata 0.0 – 0.5 bulan. Data curah hujan, hari hujan dan intensitas hujan dapat dilihat pada Tabel 20.
114 Tabel 20. Data Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban Rata-rata Tahun 1980-1992 di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Temperatur (0C) Bulan
CH (MM)
HH (Hari)
Maks
Min
Rataan
Kecepatan Angin (Knot)
Arah angin
Januari 254 14 30.1 22.9 26.5 7 NW Februari 177 12 35.0 23.4 29.2 6 NW Maret 286 14 33.0 24.1 28.6 6 NW April 238 12 34.3 24.4 29.4 5 NW Mei 198 10 33.0 24.4 28.7 5 SE Juni 130 7 31.7 24.3 28.0 6 S Juli 100 7 32.5 22.2 27.4 7 S-SE Agustus 139 7 33.8 22.5 28.2 8 S-SE September 199 11 34.0 24.7 29.4 7 SE Oktober 232 13 31.5 22.9 27.2 6 SE November 299 13 30.8 20.9 25.9 7 NW Desember 411 16 30.2 23.3 26.8 7 NW Jumlah 2 663 136 Rata-rata 222 12 32.5 23.3 27.9 6.4 Keterangan : CH=Curah Hujan dan HH= Jumlah hari hujan Sumber : Stasiun Metereologi Sultan Thaha, Jambi (1984-1994) Stasiun Metereologi Rimbo Bujang, Jambi (1984-1994) dalam Laporan Independent Concession Audit, 2001
Kelembaban Nisbi (%) 77 95 95 96 95 97 94 93 98 94 93 95 94
Curah hujan tahunan untuk Unit-I termasuk sedang berkisar 100–411 mm/bulan dengan curah hujan rata-rata sebesar 222 mm. Suhu udara di areal ini termasuk relatif sedang dengan suhu rata-rata bulanan sebsar 27.9
0
C.
Kelembaban udara termasuk tinggi dengan kelembaban berkisar antara 77–97 persen dengan rata-rata 94 persen (Unit-I). 5.2.6. Kondisi Sosial-Ekonomi dan Kependudukan 1.
Sistem penguasaan lahan dan perladangan Di desa sekitar eks-areal RKI, tidak ditemukan adanya hak ulayat atau hak
persekutuan atas tanah dan hutan. Sistem penguasaan lahan oleh masyarakat desa berlangsung mengikuti peraturan hukum secara tradisional dengan menganut sistem kepemilikan secara individu dan keluarga. Bagi masyarakat desa, kawasan hutan dan tanah kosong merupakan tanah bebas (open acces). Seseorang atau
115 keluarga yang membuka hutan atau tanah kosong untuk pertama kalinya akan diakui sebagai pemilik lahan yang dibuka tersebut. Dalam hal penguasaan lahan dapat dipilah menjadi dua, yaitu: 1) sistem penguasaan lahan oleh masyarakat asli, dan 2) sistem penguasaan lahan oleh masyarakat pendatang. Dasar penguasaan lahan oleh masyarakat bersumber dari: sistem pewarisan, membuka hutan, ijin garap dari desa dan jual-beli. Rata-rata luas kepemilikan lahan masyarakat pendatang (yang terdiri dari etnis: minang, Rejang, Jawa dan dari Sumatera Selatan) bersumber dari surat ijin garap dari aparat desa dan Muspika serta membeli dari masyarakat asli. Luas kepemilikan lahan oleh masyarakat pendatang berkisar antara 2-6 ha/KK. 2.
Kegiatan usaha tani dan perambahan Masyarakat sekitar eks-areal RKI banyak tergantung pada usaha pertanian
lahan
kering.
Dalam
usaha
perkebunan,
masyarakat
desa
umumnya
mengusahakan tanaman karet disamping tanaman lainnya seperti: kopi, kayu manis, kelapa sawit dan durian. Hasil produksi dari budidaya tanaman perkebunan tersebut dijual dalam bentuk tanpa olahan kepada tauke atau pedagang pengumpul yang datang langsung ke desa pada saat hari pasar. Dalam usaha perkebunan tersebut, terdapat kecenderungan masyarakat memanfaatkan kawasan hutan dan memanfaatkan areal di tepi sungai yang relatif subur. Perambahan lahan dilakukan oleh masyarakat dengan memanfaatkan hutan bekas tebangan eks-areal RKI. Perambahan bahkan telah terjadi sewaktu perusahaan HPH masih beroperasi sebagai akibat lemahnya penjagaan kawasan konsesi yang dilakukan perusahaan – meskipun secara hukum adalah tanggung jawab perusahaan – masalah perambahan lahan tampaknya makin meluas ke
116 daerah-daerah yang mudah dimasuki. Masalah ini akan menjadi ancaman bagi keutuhan kawasan hutan yang masih tersisa di eks-areal RKI. Konversi lahan bekas tebangan menjadi ladang yang meluas saat ini menimbulkan perubahan landskap, yang tadinya hutan terganggu menjadi lahan marjinal – yang tidak memiliki nilai konservasi keanekaragaman hayati sama sekali. Mengingat eks-areal RKI memiliki topografi yang terjal bergelombang dengan tipe-tipe tanah yang tidak potensial untuk dijadikan lahan pertanian atau perkebunan, maka konversi kawasan ini ke bentuk lahan lain, hanya akan membawa bencana banjir atau kekeringan di daerah-daerah hilirnya. Berdasarkan observasi di lapangan telah terdapat perladangan masyarakat dalam bentuk spot-spot kecil yang dilakukan tidak kurang dari 150 KK. Lokasi perambahan ini banyak terdapat di sekitar Desa Batu Kerbau. Disamping melakukan perambahan khususnya pada blok-blok tebangan, terjadi pencurian kayu yang dilakukan secara terkoordinir. Dari hasil survei diketahui bahwa pengelolaan kebun karet rakyat di desa sekitar eks-areal RKI sudah berlangsung secara turun temurun dan terus bertahan hingga sekarang. Hal ini bisa dilihat dari peruntukan lahan yang dimiliki oleh responden, dimana luas lahan yang ditanami karet menduduki peringkat pertama yaitu seluas 213 ha atau 71.2 persen dari total luas lahan yang dimiliki oleh petani. Hal ini menunjukkan besarnya animo dan kebutuhan masyarakat dalam pengusahaan usahatani karet, bahkan telah menjadi suatu budaya bagi masyarakat setempat. Tabel 21 berikut ini menggambarkan klasifikasi kepemilikan lahan yang dimiliki oleh kepala keluarga. Sebagian besar responden memiliki tanaman karet
117 dengan luas > 2 Ha (54 persen). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani memiliki luas tanaman karet sesuai luas lahan yang direkomendasikan oleh Departemen Kehutanan pada program hutan kemasyarakatan (HKm) seluas 2 ha/orang. Dari hasil survei juga didapatkan bahwa sebagian besar (82 persen) usia tanaman karet yang dimiliki respoden berumur antara 4-11 tahun. Dengan demikian usahatani responden adalah berada pada usia produktif. Tabel 21. Luas Peruntukan Lahan yang Dimiliki Kepala Keluarga Jenis Tanaman Karet Sawit Jeruk Kopi Kelapa Mangga Cempedak Sawah Alang-Alang Jumlah
Responden
Luas (Ha)
%
213 42 5.61 1.67 1.5 0.25 0.06 7 28 299.09
71.2 14.0 1.9 0.6 0.5 0.1 0.0 2.3 9.4 100
KK 50 2 2 4 4 1 1 7 12 83
% 60.2 2.4 2.4 4.8 4.8 1.2 1.2 8.4 14.5 100
Kategori Luas Lahan ≤ 1 Ha 1 < - ≤ 2 Ha > 2 Ha KK % KK % KK % 11 13.3 12 14.5 27 32.5 0 0.0 0 0.0 2 2.4 1 1.2 0 0.0 1 1.2 3 3.6 1 1.2 0 0.0 3 3.6 1 1.2 0 0.0 1 1.2 0 0.0 0 0.0 1 1.2 0 0.0 0 0.0 7 8.4 0 0.0 0 0.0 5 6.0 3 3.6 4 4.8 32 100 17 100 34 100
Sumber: Hasil Survei, 2005 (diolah)
3.
Model usaha tani karet Pola umum pendirian kebun karet rakyat di desa sebagai berikut:
1. Pembukaan lahan dan persiapan penanaman yang dilakukan pada tahun pertama, meliputi kegiatan : a. Penebasan semak belukar dan pohon diameter kecil (tingkat tiang dan pancang). b. Penebangan pohon diameter besar. c. Tutuh yaitu perecahan batang pohon kecil, cabang, dan ranting pohon besar. Hasil tutuh ini dikumpulkan untuk dibakar, sedangkan batang pohon besar dibiarkan tidak dipotong-potong. d. Kekas yaitu kegiatan pembersihan batas lahan.
118 e. Pembakaran hasil tutuh. f. Manduk yaitu membakar ulang sisa-sisa yang terbakar. g. Mengumpulkan kayu yang berasal dari batang pohon besar untuk bahan pagar dan dilanjutkan dengan membuat pagar. h. Pembuatan pondokan. 2. Penanaman yang dilakukan meliputi kegiatan : a. Pemasangan ajir. b. Penanaman padi dan tanaman sela. c. Penanaman karet. 3. Pemeliharaan yang dilakukan pada tahun I, II, dan III, meliputi kegiatan : a. Penyiangan yaitu membersihkan rumput. b. Pemupukan. 4. Pemanenan, yaitu penyadapan getah karet yang dimulai sekitar tahun ke 5-7. Intensitas responden dalam melakukan kegiatan pemeliharaan adalah sebagai berikut : 1. Responden yang melakukan penyiangan dan pemupukan satu kali baik pada tahun ke-1 atau tahun ke-2 adalah sebanyak 24.01 persen. 2. Responden yang melakukan penyiangan dua kali baik pada tahun I dan II, atau II dan III adalah sebanyak 25.01 persen. 3. Responden yang melakukan pemupukan dua kali baik pada tahun I dan III, atau tahun II dan III adalah sebanyak 18.76 persen. 4. Responden yang tidak melakukan penyiangan dalah sebanyak 50 persen, dan yang tidak melakukan pemupukan adalah sebanyak 56.26 persen.
119 Adapun intensitas pemeliharaan kebun karet rakyat yang dilakukan oleh petani karet di desa dapat dilihat pada Tabel 22 bawah ini. Lebih dari separoh responden tidak melakukan penyiangan dan pemupukan terhadap usahatani mereka. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kendala yang dialami petani karet dalam melakukan kegiatan pemeliharaan, antara lain masalah modal. Selain itu, petani karet juga tidak mendapat penyuluhan dari aparat pemerintah, sehingga ada kemungkinan petani karet belum mendapat informasi yang lengkap tentang teknik penanaman dan pemeliharaan tanaman karet. Tabel 22. Intensitas Kegiatan Pemeliharaan Kebun Karet Rakyat Jenis Kegiatan Pemeliharaan
Responden Melakukan Kegiatan Tahun Ke(%) 1
2
3
1 dan 2
1 dan 3
2 dan 3
Tidak ada kegiatan
Penyiangan
3.13
21.88
0
15.63
0
9.38
53
Pemupukan
3.13
21.88
0
0
3.13
15.63
56.26
Sumber: Hasil Survei, 2005 (diolah)
Pola usahatani karet yang dikembangkan oleh penduduk, umumnya menerapkan sistem pengelolaan hutan karet rakyat ketimbang kebun karet rakyat yang notabene relatif lebih maju. Tabel 23 menyajikan ilustrasi perbandingan kedua sistem usahatani dimaksud. Sistem pengelolaan kebun karet pada prinsipnya lebih memerlukan intensitas modal dan tenaga kerja dibandingkan dengan hutan karet. Hal ini, tergambar dari penggunaan bibit unggul dan pengaturan jarak tanam serta kegiatan pemeliharaan. Perbedaan input tersebut berdampak pada output yang didapat. Produktifitas kebun karet lebih tinggi dari pada hutan karet, walaupun secara ekologi yang tercerminkan dari keragaman jenis pohon yang tumbuh, hutan karet lebih baik dari kebun karet.
120 Tabel 23. Perbandingan Sistem Pengelolaan Kebun dan Hutan Karet Rakyat Sistem Pengelolaan Kebun Karet Rakyat Bibit Lokal Unggul Jarak tanam Tidak teratur Teratur (4x4)m atau (4x5)m Pemeliharaan Tidak ada kegiatan pemeliharaan 1. Penyiangan tahun I, II, dan III 2. Pemupukan tahun I, II, dan III Produksi 1. Mulai disadap sekitar 10 1. Mulai disadap pada tahun ke-5tahun. 7. 2. Rata-rata produksi getah 2. Rata-rata produksi getah 2 kali setengah dari produksi kebun lipat dari produksi hutan karet. karet. 3. Masa produksi sekitar 20 tahun. 3. Masa produksi sekitar 30 tahun. Keragaman Heterogen, dengan kerapatan Homogen, dengan kerapatan 500-625 jenis jenis karet 200-490 pohon/ha, pohon/ha non karet 260-300 pohon /ha Modal Lebih kecil Lebih besar Peremajaan Sisipan Tebas bakar Jarak lokasi Jauh dari tempat tinggal Jauh dari tempat tinggal Jenis tanaman Pisang, nanas, singkong, sayuran Pisang, nanas, singkong, sayuran dan sela dan padi padi Sumber: Hasil Observasi, 2005 Uraian
Hutan Karet Rakyat
Perolehan Lahan Secara umum ada tiga cara petani karet memperoleh kebun karet, yaitu warisan, membeli kebun karet yang sudah jadi, dan membuka lahan hutan. Berdasarkan pola perolehan lahan karet, sebagian lahan karet yang ada yaitu 302.10 ha atau 60 persen lebih merupakan warisan dan 171.75 ha atau 34.16 persen diperoleh dari pembelian dan 28.93 ha atau 5.75 persen dari membuka lahan kosong atau membuka hutan. Hal ini menunjukkan pola pertanian karet sudah menjadi tradisi yang turun temurun bagi masyarakat desa. Pembangunan Lahan Kebun Kegiatan pembangunan lahan kebun dimulai dengan melakukan tebas tebang yang pada umumnya dilakukan sendiri oleh si pemiliki lahan. Dilanjutkan dengan kegiatan persiapan pembakaran. Terdapat kebiasaan masyarakat di sana sebelum melakukan kegiatan pembakaran, yaitu si pemilik lahan tersebut akan
121 mengkonfirmasikan kepada para pemilik lahan di sekitarnya bahwa dia akan membuka lahan, dan menanyakan apakah di antara pemilik lahan tersebut ada yang akan membuka lahan. Jika di antara para pemilik lahan tersebut berniat membuka lahan, maka mereka melakukan kegiatan tersebut bersama-sama, sehingga dari segi biaya menjadi lebih murah karena mereka tidak perlu membuat pagar untuk membatasi lahan mereka. Sebelum kegiatan pembakaran dilakukan, areal di sekeliling lahan harus dibersihkan supaya api tidak menyebar. Kegiatan pembakaran biasanya dilakukan secara gotong-royong oleh petani pemilik lahan bersama kerabat dekat dan penduduk lainnya lebih kurang 20 orang, sedangkan waktunya adalah sore hari selama ± 2–3 jam. Setelah kegiatan pembakaran tersebut, ada kemungkinan lahan belum bersih, oleh karena itu dilakukan pembakaran ulang sehingga lahan menjadi benar-benar bersih. Kegiatan pembakaran ulang tidak dilakukan secara gotong-royong tetapi cukup dilakukan sendiri oleh petani pemilik lahan. Pembuatan Pagar Selesai kegiatan pembakaran, dilakukan pembuatan pagar di sekeliling kebun yang dibuat setinggi manusia. Tujuan pemagaran ini adalah untuk menghindari hama babi hutan. Pembuatan pagar dilakukan sendiri oleh petani karet pemilik lahan atau diupahkan. Sebagai bahan pagar digunakan batang pohon tegakan besar yang sengaja tidak potong-potong dalam kegiatan pembukaan lahan, dan sisa pembakaran dengan kawat serta paku sebagai bahan pelengkap. Penanaman Setelah pemagaran selesai, dilanjutkan dengan pemasangan ajir untuk tanaman karet. Kegiatan penanaman bibit karet dan padi dapat dilakukan
122 bersamaan waktunya, atau dapat juga menanam padi lebih dahulu baru menanam karet. Kegiatan ini dilakukan dengan cara bergotong-royong. Adapun jenis bibit karet yang ditanam tergantung dari kemampuan/modal yang dimiliki oleh pemilik lahan. Ada tiga macam bibit yang biasa digunakan yaitu : 1.
Bibit lokal, yang dicabut dari kebun sendiri biasanya gratis.
2.
Mata tidur, dimana petani membeli mata tidur seharga Rp 500/buah dan mereka melakukan okulasi sendiri.
3.
Polybag, yaitu bibit karet siap tanam dalam polybag. Harganya relatif mahal jika dibandingkan dengan bibit lokal dan mata tidur sekitar Rp 2000/buah. Penanaman padi dilakukan sendiri oleh pemilik lahan atau kadang-kadang
diupahkan. Setelah tanam padi dilakukan kegiatan pemeliharaan, yaitu penyiangan dan pemupukan yang dilakukan sendiri oleh pemilik lahan atau diupahkan. Penanaman padi dan tanaman sela dilakukan hingga tahun kedua atau ketiga. Pemanenan Pada karet teknis (klon) kegiatan pemanenan dilakukan setelah pohon pohon karet berumur 5-7 tahun, sedangkan untuk karet alam relatif lebih lama dari kebun karet. Kegiatan penyadapan getah karet dilakukan setiap hari dan dilakukan secara sendiri-sendiri. Terdapat pula sistim bagi hasil dalam pemanenan tergantung pada kondisi produksi getah. Sistem bagi hasil 2:1, jika kondisi produksi getah sudah lewat dari masa produksi optimum, 2 bagian untuk pemotong dan 1 bagian untuk pemilik. Dalam kondisi produksi getah optimum
123 dan karet teknis yang produksinya tinggi, sistem bagi hasil adalah 1:1, satu bagian untuk pemotong dan satu bagian untuk pemilik. Pengolahan Pengolahan getah karet yang dilakukan masih sederhana, yaitu dengan cara melakukan pemasakan dengan asam anti koagulasi kemudian merendamnya, hasilnya disebut slab. Di pasar, harga slab ini jauh lebih murah jika dibandingkan dengan karet sheet dan crepe. Namun kendala yang dihadapi dalam kegiatan pengolahan karet sheet dan crepe adalah jauhnya jarak antara rumah dengan lokasi kebun karet, karena untuk melakukan pengolahan karet sheet dan crepe hasil sadapan harus diangkut setiap hari. Pada tingkat pedagang pengumpul, harga karet sheet dan crepe tidak jauh berbeda dengan harga karet slab, sehingga tidak ada insentif bagi petani karet. Pemasaran Penjualan getah karet biasanya dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu. Petani karet menjual hasil produksinya langsung kepada pedagang pengumpul yang datang ke desa sekitar eks-areal RKI. Petani karet mempunyai kebebasan untuk memilih pedagang pengumpul yang membeli dengan harga tinggi. Beberapa petani karet menjual hasil produksinya kepada pedagang pengumpul tertentu, hal ini terjadi karena pedagang pengumpul tersebut masih kerabat, atau mereka mempunyai perjanjian tersendiri dengan pedagang pengumpul tersebut, misalnya petani karet mempunyai hutang yang akan dibayar dengan hasil produksi getah karet selama satu atau dua minggu. Dalam kasus lain, pedagang pengumpul tersebut memiliki banyak kebun dan kebun karet tersebut dikelola sebagai sistem bagi hasil, sehingga bagi si
124 penyadap ada loyalitas kepada si pemilik kebun karet jika si pemilik kebun karet tersebut merangkap sebagai pedagang pengumpul. Namun demikian pemilik kebun karet tersebut membeli getah karet dengan harga yang relatif sama dengan pedagang pengumpul yang lain. 4.
Kependudukan Secara umum, di sekitar eks-areal RKI terdapat 1 140 rumah tangga yang
tersebar di 9 desa pada empat wilayah kecamatan yang berbatasan langsung dengan eks-areal RKI (Kecamatan: Tabir Ulu (Kabupaten Merangin), Pelepat, Lembur Lubuk Mengkuang dan Rantau Pandan (Kabupaten Bungo). Hingga tahun 2003, secara keseluruhan jumlah penduduk di desa-desa tersebut sebanyak 6 670 jiwa dengan sex-ratio sebesar 85. Secara terperinci, variasi kependudukan di desa sekitar eks-areal RKI dapat dilihat pada Tabel 24. Dilihat dari tingkat kepadatan penduduk maupun rumah tangga, desa-desa sekitar RKI tergolong memiliki kepadatan yang relatif rendah. Kepadatan rumah tangga tercatat antara 2-7 rumah tangga tiap km2, sementara kepadatan penduduk antara 8-31 jiwa/km2. Tingkat kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Desa Renah Sungai Ipuh, Kecamatan Lembur Lubuk mengkuang, sedangkan kepadatan penduduk terendah ditemui di Desa Sungai Tabir, Kecamatan Tabir Ulu. Pada lokasi lokasi survei yang dilakukan di Kecamatan Lembur Lubuk Mengkuang dan Pelepat, jumlah rumah tangga di sekitar eks-areal RKI tercatat sebanyak 492 rumah tangga, dengan jumlah penduduk hingga tahun 2003 sebanyak 2 215 jiwa. Tingkat kepadatan rata-rata untuk penduduk dan rumah tangga juga tergolong relatif rendah, masing-masing adalah 27 jiwa/km2 dan 1 rumah tangga/km2.
125 Tabel 24. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk dan Rumah Tangga di Desa Sekitar Lokasi Penelitian No
Kecamatan/Desa
Luas (KM2)
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Jumlah Rumah Tangga (RT)
Kepadatan Jiwa/KM2
RT/KM2
Tabir Ulu 1 Batang Kibul 110.28 965 241.25 9 2 2 Telentam 57.00 1 057 211 19 4 3 Sungai Tabir 38.00 294 59 8 2 4 Air Liki 61.00 965 193 16 3 Lembur Lubuk Mengkuang * 5 Pemunyian** 21.00 396 102 19 5 6 Renah Sei Ipuh** 13.08 663 237 50 18 Pelepat* 7 Batu Kerbau** 38.94 1 100 245 29 6 Rantau Pandan 8 Muara Buat 28.44 778 195 27 7 9 Lubuk Beringin 27.22 396 99 15 4 Total 404.88 6 670 1 490.25 Keterangan : * dan ** masing-masing merupakan kecamatan dan desa-desa lokasi survei Penelitian Sumber : 1. Kecamatan Tabir Ulu Dalam Angka, 2002 2. Kecamatan Pelepat Dalam Angka, 2003 3. Kecamatan Lembur Lubuk Mengkaung Dalam Angka, 2003 4. Kecamatan Rantau Pandan Dalam Angka, 2003