1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
TATA CARA PENETAPAN MAHAR BAGI PEREMPUAN NIAS (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan)
SKRIPSI Diajukan Oleh : LOLA UTAMA SITOMPUL 050901036
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara 2009
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
2
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan kasih karunia dan anugerah-Nya kepada penulis sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sumatera Utara, dengan judul Tata Cara Penetapan Mahar bagi Perempuan Nias (Studi Kasus pada Perempuan Nias yang Bekerja di Sektor Informal Padang Bulan Medan). Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua penulis, Bapak H. Sitompul dan Ibu H. br Panggabean, atas semua kasih sayang, pengorbanan tulus, dukungan dan semangat yang telah diberikan kepada penulis. Penulis menyadari sepenuhnya tanpa adanya dukungan dari semua pihak, penulis tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini. Dengan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. DR. Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. DR. Badaruddin, MSi, selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara 3. Ibu Dra. Rosmiani, MA, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
3
4. Ibu Harmona Daulay, S. Sos, MSi, selaku dosen pembimbing penulis yang telah banyak meluangkan waktu dan pemikiran dalam penulisan skripsi ini. 5. Bapak Drs. Muba Simanihuruk, MSi, selaku dosen wali penulis yang telah membimbing penulis semenjak semester pertama sampai semester akhir. 6. Seluruh dosen jurusan Sosiologi yang telah memberikan bimbingannya kepada penulis. 7. Teristimewa kepada adik-adik penulis yang sangat penulis sayangi, Rani, Winda, Alfria, Putri, Citra, Pio, Kasih dan Rio. Terimakasih banyak buat doa, semangat dan bantuannya. 8. Buat teman-teman stambuk ’05, Siska, Helna, Yeni, Ima, Leni, Iren, Ayu, Hernita, Bancin, Fridolin, Indra, Beni, Dedi, Muhadi, Ira, Renti, Twince, Yosi, Ignatius, Franklin, Purnawan, Leo dan semua teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terimakasih banyak. 9. Buat Senior stambuk ’04, buat junior stambuk ’06, ‘07, ‘08 semoga tetap semangat. 10. Guru-guru penulis dari SD-SMA, khususnya kepada Bapak H. Nababan (selaku guru Sosiologi penulis di SMA) dan Alm. Bapak M. Situmorang terimakasih untuk pengajaran dan bimbingannya. 11. Kepada semua informan dalam penelitian ini, terimakasih atas kerja sama dan dukungannya. 12. Kepada semua pihak yang turut membantu yang tidak bias penulis sebutkan satu persatu. Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
4
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam penulisan skripsi ini, akan tetapi penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk menambah kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Penulis,
Lola Utama Sitompul
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
5
ABSTRAK Besarnya jumlah mahar perkawinan yang berlaku dalam adat perkawinan suku Nias menjadi salah satu pertimbangan bagi masyarakat Nias untuk melangsungkan sebuah pernikahan oleh karena itu melangsungkan perkawinan di daerah lain (di luar daerah Nias), khususnya di daerah perkotaan, menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat Nias untuk menghindari besarnya biaya mahar yang harus diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Mahar dalam adat Nias ini juga mengandung isu-isu ketidakadilan gender yaitu dengan adanya istilah “Böli Gana’a” yang bermakna bahwa perempuan itu adalah bagaikan barang belian. Konsekuensi dari istilah ini mengakibatkan kaum perempuan selalu berada di bawah kekuasaan laki-laki. Bagi masyarakat Nias, perempuan harus memiliki kesanggupan untuk bekerja keras karena setelah berkeluarga pembayaran biaya mahar ketika melaksanakan upacara perkawinan cenderung merupakan tanggung jawab perempuan. Hal ini jugalah yang mendorong baik perempuan maupun laki-laki akhirnya lebih memilih melaksanakan pernikahannya di luar daerah Nias karena biasanya mahar perkawinan tergantung kesepakatan dan kemampuan pihak laki-laki yang datang melamar, dan untuk perempuan, tidak terikat tanggung jawab untuk membayar mahar yang besar. Berangkat dari latar belakang ini, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana tata cara penetapan mahar bagi perempuan Nias, khususnya yang bekerja di sektor informal di Padang Bulan, Medan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan studi kasus.Penelitian ini berlokasi di daerah Padang Bulan Medan. Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah perempuan suku Nias yang bekerja di sektor informal di Padang Bulan Medan. Pengumpulan data digunakan dengan teknik wawancara, observasi dan dokumentasi. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan catatan dari hasil lapangan. Hasil dari data lapangan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam tata cara penetapan mahar perkawinan yang berlaku bagi suku Nias di daerah Nias dengan yang berlaku di luar daerah Nias (perantauan). jumlah mahar yang berlaku di daerah Nias terdiri dari kefe (uang kertas), bawi (babi), böra (beras), firö (uang perak), dan ana’a (emas). Jumlah uang kurang lebih Rp. 30 juta, emas (cincin untuk mempelai perempuan dan ibu mempelai perempuan), babi 30 ekor, dan beras 20 karung. Tahap pendahuluan, masa pertunangan, pesta kawin dan penyelesaian harus dilalui seluruhnya sedangkan di Padang Bulan Medan tahap-tahap adat perkawinan yang lebih singkat, jumlah mahar yang lebih sedikit, berkisar antara Rp. 1 juta – Rp. 15 juta serta bisa di-uang-kan. Dari 10 orang informan, tidak ada yang pernah mendengar istilah gender dan hanya satu orang yang megerti konsep budaya patriarki, walaupun masing-masing informan menyadari bahwa terdapat sikap mendahulukan kepentingan anak laki-laki dalam keluarga. Dalam kehidupan rumah tangga, tidak jarang sang isteri manjadi penopang utama hidup keluarga ketika suami tidak mau tahu dengan keluarganya. Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
6
DAFTAR ISI Halaman Abstrak ............................................................................................................ i Kata Pengantar ................................................................................................. ii Daftar Isi .......................................................................................................... iv Daftar Tabel ..................................................................................................... v Daftar Matriks .................................................................................................. vi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah .......................................................................... 7 1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 7 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 7 1.5 Definisi Konsep ................................................................................ 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Sosial Masyarakat ........................................................... 10 2.2 Institusi Keluarga ............................................................................. 15 2.3 Bias Gender dan Ketidakadilan Gender dalam Jujuran ...................... 20 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ................................................................................. 25 3.2 Lokasi Penelitian .............................................................................. 26 3.3 Unit Analisis dan Informan ............................................................... 26 3.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 27 3.5 Interpretasi Data ............................................................................... 28 3.6 Jadwal Kegiatan ............................................................................... 29 3.7 Keterbatasan Penelitian ..................................................................... 30 BAB VI DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian .............................................................. 31 4.1.1 Gambaran Umum ................................................................... 31 4.1.2 Demografi .............................................................................. 31 4.1.2.1 Agama ...................................................................... 32 4.1.2.2 Suku .......................................................................... 32 4.1.2.3 Tingkat pendidikan .................................................... 33 4.1.2.4 Mata Pencaharian ...................................................... 34 4.1.2.5 Sarana dan Prasarana Perhubungan ............................. 35 4.1.3 Migrasi Orang Nias ke Padang Bulan ................................... 36 4.2 Profil Informan ............................................................................... 37 4.3 Mahar (Mas Kawin) Menurut Adat Istiadat Nias ............................. 69 4.4 Tahap-tahap Proses Pernikahan bagi Perempuan Nias di Padang Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
7
Bulan .............................................................................................. 71 4.5 Isu Gender pada Mahar Etnis Nias .................................................. 80 4.6 Analisa Data Budaya Patriarki dan Isu Gender bagi Perempuan Nias di Padang Bulan Medan ...................................................................... 84 4.7 Analisa Data Perubahan Tata Cara Penetapan Mahar Perkawinan bagi Perempuan Nias di Padang Bulan .................................................... 89 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan .................................................................................... 96 5.2 Saran .............................................................................................. 98 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 99 LAMPIRAN
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
8
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama Yang Dianut ........................ 32 Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku ................................................ 33 Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat pendidikan .......................... 33 Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ............................. 34
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
9
DAFTAR MATRIKS Matriks 4.4.1 Tata Cara Penetapan Mahar Perempuan Nias yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan ........................................................ 78 Matriks 4.4.2 Perubahan Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias dan di Padang Bulan ........................................................................... 93
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
10
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia adalah suatu negara yang pluralistik dari segi etnik dan kebudayaannya. Adat istiadat perkawinan merupakan salah satu bagian dari kebudayaan tersebut. Dalam kebudayaan Indonesia, perkawinan merupakan hal yang sangat sakral dan harus mengikuti pola budaya yang ketat. Perkawinan bukan hanya bersatunya dua individu, namun lebih jauh adalah bersatunya dua keluarga besar. Perkawinan tidak boleh dilakukan serta merta dan tiba-tiba. Ia menjalani beberapa proses sehingga sampai pada bersatunya dua sejoli dalam ikatan rumah tangga. Oleh karena itu penetapan mahar perkawinan sebelum melaksanakan sebuah perkawinan hukumnya adalah wajib sesuai dengan adat istiadat yang berlaku di tiap-tiap daerah. Mahar perkawinan adalah sejumlah harta yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan (baik kepada calon mempelai perempuan maupun kerabat dari calon mempelai perempuan tersebut).
Pada awalnya mas kawin mungkin
diberikan sebagai ganti rugi. Dalam suatu kelompok manusia, tiap warga mempunyai tugas yang dianggap penting bagi kelangsungan hidup kelompoknya. Karena itu, apabila seorang perempuan dibawa keluar dari kelompoknya (karena turut ke dalam
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
11
kelompok suaminya), maka kelompok yang ditinggalkannya merasa dirugikan dan dikompensasi dengan mahar itu. Pada masyarakat Nias, untuk menikahi seorang perempuan suku Nias, seorang laki-laki harus membayar “jujuran” atau “böwö”. Dalam perkawinan di Nias, istilah “böwö” yang dalam arti sesungguhnya pada suku Nias adalah hadiah, pemberian yang cuma-cuma. Pengertian “böwö” ini mengandung dimensi aktualisasi kasih sayang orang tua kepada anaknya, bukti perhatian orang tua pada anaknya. Böwö adalah buah kasih, fa’obowo, fa’omasi. Böwö terjadi karena pihak keluarga laki-laki menyatakan kasihnya kepada pihak keluarga istrinya. Hal ini berlangsung terus-menerus sehingga dianggap baik dan akhirnya dilembagakan dalam adat istiadat. Tokoh adat memegang peranan penting karena akhirnya mereka menjadikan böwö sebagai syarat perkawinan. Syarat menikah di Nias adalah dengan mas kawin (böwö) yang terdiri dari uang, babi, dan beras. Besarnya mas kawin (böwö) yang dibayar oleh pihak laki-laki tergantung dengan tingkat status sosial orang tua pihak perempuan. Bosi merupakan strata masyarakat nias yang terdiri lima tingkatan, yaitu : 1. Tingkatan yang ketujuh (bosi sifitu), untuk orang kebanyakan, 2. Tingkatan yang kedelapan (bosi siwalu), untuk kepala adat dalam kampung, 3. Tingkatan yang kesembilan (bosi sisiwa), untuk sanuhe ba nori, 4. Tingkatan yang kesepuluh (bosi sifulu), untuk tuhenori ( kepala negeri yang membawahi beberapa desa atau kampung) keturunan raja samono tuhabadano
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
12
yang membuat ketetapan adat dan peraturan serta pernah melaksanakan pesta besar (owasa), 5. Tingkatan yang keduabelas (bosi sifelendrua), untuk tuhenöri keturunan raja bauwan danö. Pembayaran mas kawin pada keluarga yang akan menikah masih dipengaruhi oleh bosi (tingkat status sosial) dalam masyarakat walaupun ada juga warga masyarakat yang terlalu berpedoman pada bosi ketika hendak menentukan besarnya mas kawin. Meskipun demikian mas kawin yang diminta tetap besar karena berdasarkan keinginan yang diperhatikan orangtua khususnya keluarga dari pihak perempuan dalam menentukan mas kawin adalah apabila anak gadisnya berpendidikan tinggi dan kaya, pasti akan meminta mas kawin yang sangat besar bagi laki-laki yang ingin melamar anaknya. Pemberian mas kawin yang sangat besar bagi laki-laki yang sangat besar dapat menunjukkan penghargaan yang sangat tinggi kepada calon pengantin perempuan di satu pihak, dan di pihak lain menunjukkan bahwa nilai material itulah yang dapat meningkatkan prestise keluarga dalam masyarakat. Sesuai perkembangan zaman,
rupanya
böwö
itu tak
mudah
lagi
memenuhinya. Orang yang akan menikah harus membayar jumlah mas kawin walaupun yang bersangkutan tidak mampu. Böwö bergeser nilainya, itulah masalahnya. Mestinya böwö datang dari ketulusan hati seseorang bukan karena dipaksa, menjadi syarat perkawinan. Saat ini istilah böwö mengalami pergeseran menjadi gogoila (ketentuan). Dan istilah gogoila inilah yang lebih familiar di Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
13
kalangan tokoh adat Nias saat ini. Untuk mencapai “ketentuan” tentu ditempuh cara “musyawarah” dan dalam musyawarah itulah terjadi “tawar menawar” berapa gogoila yang harus dibayar oleh pihak mempelai laki-laki. Dahulu böwö masih masuk akal, karena sistem perekonomian Nias masih barter, artinya böwö dihitung berdasarkan jumlah babi dan bukan uang. Sekarang kalau böwö itu di-uang-kan, maka akan menjadi beban kehidupan berlapis generasi, karena babi tidak murah. Misalnya, seekor babi yang diameternya delapan alisi harganya bisa mencapai Rp. 900.000 – Rp. 1 juta. Jika dalam gogoila (böwö) terdapat 25 ekor babi, maka jika diuangkan akan mencapai kurang lebih Rp. 25 juta. Belum lagi beras dan emas. Akibat besarnya biaya yang harus ditanggung oleh pihak keluarga laki-laki jika ingin melangsungkan perkawinan, menyebabkan keluarga tersebut harus bekerja keras untuk mengumpulkan biaya yang diperlukan sehingga ketika mereka ingin menikah dengan gadis Nias ada semacam ketakutan, keenggana, dan keragu-raguan. Selain itu, babi pun banyak yang harus disembelih dengan berbagai macam fungsional adatnya, misalnya: tiga ekor untuk pernikahan, seekor untuk kaum ibu-ibu yang memberikan nasehat kepada kedua mempelai, seekor untuk mempelai perempuan ke rumah laki-laki dan masih banyak lagi. Selain yang disembelih ada juga babi yang dipergunakan untuk “famolaya sitenga bö’ö”, antara lain sekurangkurangnya seekor sampai tiga ekor untuk paman mempelai perempuan, seekor untuk anak sulung dari keluarga mempelai perempuan, seekor untuk saudara dari orangtua mempelai perempuan, seekor untuk masyarakat kampung dari pihak mempelai yang Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
14
biasanya di-uang-kan dan uang itu dibagikan kepada masyarakat kampung, seekor untuk
saudara
bungsu
mempelai
perempuan
dan
sebagainya
(http://nias
barat.wordpress.com/2007/04/24/sistem-adat-perkawinan-nias-salah-satu-penyebabkemiskin/). Karena begitu mahalnya böwö yang harus diberikan oleh pihak laki-laki yang ingin menikahi perempuan Nias, maka tidak sedikit laki-laki Nias yang merantau keluar dari daerahnya dan lebih memilih untuk melangsungkan pernikahan di luar daerahnya. Kota Medan, khususnya Padang Bulan adalah salah satu daerah tujuan migrasi masyarakat Nias. Masyarakat Nias merupakan salah satu suku yang mendiami daerah Padang Bulan bersama suku lain seperti suku Jawa, Batak Toba, Batak Karo, Mandailing dan suku-suku lainnya yang ada di Indonesia. Kegiatan merantau yang dilakukan oleh laki-laki Nias ini sedikt banyak mempengaruhi tingkat migrasi di Indonesia, khususnya kota Medan. Meski secara umum kecenderungan migrasi yang dilakukan oleh orang-orang Nias dianggap rendah, namun kenyatannya cukup banyak orang Nias yang melakukan migrasi. Studi Usman Pelly (1994: 81) yang berupaya menelusuri komposisi etnis di Medan baru mencapai 2.329 jiwa (0,18% jumlah penduduk Medan yang berjumlah 1.294.132 jiwa). Namun di akhir tahun 90-an migrasi besar-besaran orang Nias yang memasuki Medan mulai menjadi fenomena umum. Menurut pengakuan ketua Perhimpunan Masyarakat Nias di Medan, Cahndra Telambanua, jumlah migran Nias di Medan telah melampaui 65.000 jiwa (Simanihuruk, 1999).
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
15
Migran Nias ini sebagaimana layaknya migran yang tersebar di seantero Nusantara umumnya bekerja di sektor informal. Sektor informal yang biasa digeluti migran Nias ini adalah pengayuh becak, pembantu, tukang cuci, tukang pangkas, buruh bangunan, dan pembantu di rumah makan khas Cina. Bahkan migran Nias ini juga telah memasuki sektor pertanian, yakni menjadi buruh tani di daerah-daerah yang terkenal subur, seperti di Kabupaten Karo dan Simalungun. Menurut keterangan seorang perempuan Nias yang saya temui, kalau menikah di luar Nias, biaya jujuran atau böwö tidak akan semahal jika pernikahan dilaksanakan di Nias. Böwö yang akan dibayarkan oleh mempelai laki-laki tergantung kesepakatan antara mempelai lakilaki dan mempelai perempuan. Kecuali jika pihak laki-laki memang menjanjikan böwö itu pada pihak perempuan maka harus dibayarkan. Ada banyak faktor yang mendorong masyarakat untuk bermigrasi ke kota. Faktor-faktor penarik yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan migrasi ke kota dilatari berbagai faktor. Fasilitas pendidikan di kota yang lebih baik dan bermutu, luasnya lapangan kerja serta tingginya upah kerja, adanya kebebasan yang luas, sarana hiburan yang beragam dan adanya keamanan yang lebih terjamin merupakan alasan bagi seseorang untuk meninggalkan desa, sedangkan faktor pendorong misalnya karena kemiskinan yang dialami migran di desa dan adanya nilai dan sikap tertentu di daerah asal. Dalam hal ini tingginya böwö dalam system perkawinan adat Nias menjadi salah satu penyebab mengapa banyak laki-laki Nias yang merantau keluar daerahnya (Simanihuruk, 1999: 9-10). Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
16
Sesuai dengan wawancara awal peneliti dengan dua orang suku Nias di Padang Bulan, mengatakan bahwa pembayaran mahar perkawinan di Nias sangat jauh berbeda jumlahnya dengan mereka yang melangsungkan pernikahan di perantauan. Di luar daerah Nias mahar perkawinan tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Kecuali jika pihak laki-laki memang menjanjikan böwö itu kepada pihak perempuan, maka harus dibayarkan. Peneliti merasa tertarik melakukan penelitian ini untuk mengetahui tata cara penetapan mahar bagi perempuan Nias yang bekerja di sektor informal di Padang Bulan Medan.
1.2 Perumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas dapat ditarik perumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimana tata cara penetapan mahar perkawinan bagi perempuan Nias yang bekerja di sektor informal di Padang Bulan Medan?”
1.3 Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui bagimana tata cara penetapan mahar perkawinan bagi perempuan Nias yang bekerja di sektor informal di Padang Bulan Medan.
1.4 Manfaat Penelitian Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
17
1. Manfaat Teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat memperluas cakrawala pengetahuan bagi peneliti, akademi, dan masyarakat sehubungan dengan tata cara penetapan mahar perkawinan bagiperempuan Nias yang bekerja di sektor informal di Padang Bulan Medan. 2. Manfaat Praktis, penelitian ini diharapkan menambah referensi hasil penelitian yang dapat juga dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian terkait selanjutnya, serta diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat sehubungan dengan mahar perkawinan bagiperempuan Nias yang bekerja di sektor informal di Padang Bulan Medan.
1.5 Defenisi Konsep Konsep merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan dimana kelompok atau individu menjadi pusat perhatian (Singarimbun, 1989: 33). Konsep sangat diperlukan dalam penelitian agar dapat menjaga masalah atau menjadi pembatasan masalah dan menghindarkan timbulnya kesalahan-kesalahan defenisi yang dapat mengaburkan penelitian. Beberapa konsep yang dibatasi dengan pendefenisiannya secara operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tata cara adalah kaidah dan aturan, cara menyusun atau sistem untuk melakukan/ berbuat sesuatu. Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
18
2. Penetapan adalah proses atau cara, perbuatan, penentuan, pelaksanaan janji dan kewajiban yang telah disepakati. 3. Mahar adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai lakilaki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah; mas kawin. 4. Perkawinan adalah bukan hanya bersatunya dua individu, namun lebih jauh adalah bersatunya dua keluarga besar. Dalam kebudayaan Indonesia, perkawinan merupakan hal yang sangat sacral dan harus mengikuti pola budaya yang ketat. 5. Perempuan Nias adalah salah satu dari dua jenis kelamin manusia; satunya lagi adalah laki-laki atau pria. Berbeda dari wanita, istilah “perempuan” dapat merujuk kepada orang yang telah dewasa maupun yang masih anak-anak yang berasal dari suku Nias. Dalam hal penelitian ini difokuskan untuk perempuan yang sudah dewasa dan menurut UU sudah bisa menikah. 6. Perkotaan adalah daerah pemukiman yang terdiri atas bangunan yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat. 7. Sektor informal biasanya digunakan untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil dengan ciri-ciri pola kegiatannya tidakteratur baik dalam arti waktu, permodalan dan penerimaannya; tidak tersentuh peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah; modal, perlengkapan maupun omsetnya biasanya kecil; tidak mempunyai tempat yang permanen;
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
19
pada umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah dan tidak memerlukan keahlian khusus. 8. Gender adalah pembedaan antara laki-laki dan perempuan akibat adanya konstruksi sosial dalam masyarakat.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Perubahan Sosial Masyarakat Apa yang selama ini disebut hukum perkawinan adat, tidaklah berarti bahwa apa yang seharusnya berlaku di kalangan adat yang bersangkutan karena sifat hukum adat dapat berubah-ubah menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
20
Oleh karena zaman berkembang terus dan bertambah majunya kehidupan dan pergaulan masyarakat, maka masih harus dibedakan antara kehidupan dan pergaulan orang seorang di desa dan di kota, antara warga adat kampung halaman dan warga adat di rantau, antara keluarga yang belum maju dan keluarga yang telah maju. Dalam melihat suatu perubahan sosial budaya, ada beberapa konsep yang harus diperhatikan agar dapat melihat perubahan sosial budaya sebagai suatu yang komprehensif, dimana masyarakat yang bersangkutan mengalami proses belajar dalam masyarakat sendiri, misal, internalisasi, sosialisasi, dan elkulturasi. (Koentjaraningrat, 1990: 277). Perkembangan kebudayaan umat manusia pada umumnya berkembang mulai dari tahap yang sederhana, hingga bentuk-bentuk yang semakin kompleks, yaitu evolusi kebudayaan (cultural evolution). Kemudian ada proses penyebaran kebudayaan-kebudayaan secara geografi, terbawa oleh perpindahan bangsa-bangsa di muka bumi, yaitu proses difusi. Proses lain adalah proses belajar unsur-unsur kebudayaan asing oleh warga suatu masyarakat, yaitu proses akulturasi dan asimilasi.
Yang terakhir adalah proses pembauran atau inovasi yang erat sangkut pautnya dengan penemuan baru. Terjadinya perubahan adat secara umum disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Secara eksternal perubahan ini didorong oleh terjadinya akulturasi budaya lokal dengan budaya luar. Semakin luasnya mobilitas masyarakat secara tidak langsung terjadi proses interaksi antar individu dengan latar Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
21
budaya yang berbeda-beda. Selanjutnya menghasilkan individu-individu yang berpikiran moderat dalam melihat aturan-aturan adat, termasuk dalam hukum adat perkawinan. Secara internal, perubahan ini lebih didorong oleh semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat yang membawa kesadaran baru menyikapi hukum adat yang harus dipatuhi. Gultom DJ (dalam Sibarani, 2005: 6) mengemukakan bahwa perkembangan zaman mempengaruhi terjadinya perubahan dalam setiap bagian upacara adat perkawinan. Perubahan yang dimaksud berarti menambahkan atau mengurangi kewajiban-kewajiban tertentu dalam upacara perkawinan. Ada yang melewati seluruh tata cara tersebut dan ada juga yang melewati bagian-bagian tertentu saja dari upacara tersebut. Baik upacaranya, unsur upacaranya maupun hakekat yang terkandung di dalam setiap upacara mengalami perubahan dan pembaharuan. Semua sikap atau tindakan adalah penyesuaian terhadap nilai-nilai yang ada adalah suatu keharusan bahwa setiap kehidupan bersama terikat pada keteraturan tetapi sikap dimaksud tidaklah bersifat statis. Penyesuaian (dan kesediaan individu untuk menyesuaikan diri) berubah sesuai dengan sifat alamiah manusia yang senantiasa berubah menurut waktu. Adapun tahapan upacara adat yang tetap dipergunakan oleh masyarakat Nias secara umum terbagi dalam empat tahapan penting, Yaitu: 1. Pendahuluan (Fama Böru), yang terdiri dari: •
Memilih gadis (famaigi Niha), yaitu tahap dimana orangtua laki-laki memilih seorang gadis yang dianggap sesuai atau pantas menjadi
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
22
teman hidup bagi anaknya. Setelah itu pihak laki-laki menemui keluarga si gadis untuk menyampaikan maksudnya. Selanjutnya keluarga si laki-laki menunggu jawaban dari keluarga si gadis. •
Memeriksa guratan jantung ayam jantan, yang bertujuan untuk meminta petunjuk nenek moyang tentang cocok atau tidaknya perjodohan yang akan dilaksanakan.
•
Memperhatikan mimpi, yang bertujuan untuk mengartikan mimpi yang dialami oleh orangtua laki-laki apakah pertanda baik atau tidak baik.
•
Memberi suara (Fame’e Li), yaitu menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
2. Masa Pertunangan •
Menyerahkan cincin (Famatuasa)
•
Membakar ayam (Fame’e Laedru), pada acara ini ditentukan berapa mas kawin yang harus dibayar oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
•
Pernyataan melangsungkan perkawinan (Famaluali), yang bertujuan untuk memperjelas mas kawin yang akan dibayar.
•
Penyerahan padi keperluan pesta kawin (Folohe Fakhe Toho).
•
Meminta petunjuk ibu dari pihak perempuan.
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
23
•
Fangandrö Ba Dekhem Böwö, upacara ini mempunyai makna sebagai pemberitahuan kepada dewa jujuran dan kepada arwah nenek moyang bahwa mas kawin sudah diterima dan memohon doa restu.
•
Fangandrö Ba Wawowokha, upacara ini mempunyai makna sebagai pemberitahuan kepada dewa jujuran dan kepada arwah nenek moyang bahwa mas kawin sudah diterima dan memohon doa restu serta agar dewa-dewa tidak marah.
•
Pemberitahuan
kepada
paman
(Famaola
Ba
Nuwu),
yaitu
mengundang paman dan keluarganya supaya menghadiri pesta perkawinan kemenakannya. •
Membawa babi adat perkawinan (Folau Bawi) ke rumah mempelai perempuan.
3. Pesta Kawin Upacara pesta kawin dilaksanakan biasanya pada waktu bulan terbit, yaitu antara mewalu desa’a (hari kedelapan waktu bulan terang) sampai 12 desa’a (hari keduabelas waktu bulan terang) dengan pengertian supaya perkawinan tersebut sejuk, damai dan menuju kea rah yang cerah dan damai. 3. Penyelesaian Pekerjaan (Fangohori Halöwö) •
Membawa makanan untuk pengantin perempuan (Fame’gö)
•
Mengembalikan pakaian adat (Famuli Nukha).
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
24
Dalam laporan penelitian Laia (dalam Mendrofa, 2007) disebutkan nilai tukar böwö berdasarkan bosi dengan mata uang rupiah sekarang ini adalah sebagai berikut: 1. bosi sifitu: setara dengan Rp. 20 juta 2. bosi siwalu: setara dengan Rp. 25 juta. 3. bosi sisiwa: setara dengan Rp. 35 juta. 4. bosi sifulu: setara dengan Rp. 55 juta 5. Bosi sifelendrua: setara dengan Rp. 90 juta. Emas jujuran di Nias pada hakekatnya merupakan kehormatan, tingkat kedudukan dan prestise. Prestise keluarga didemonstrasikan di waktu menuntut emas jujuran yang tinggi bagi anak putri mereka. Fenomena bergesernya nilai böwö menjadi gogoila mencerminkan terjadinya pergeseran nilai. Dulu budi dan nilai moral yang dikedepankan. Munculnya istilah gogoila menunjukkan adanya nilai yang lebih condong kepada yang bersifat kebendaan dan materi. Uang seakan-akan menentukan segala-galanya, termasuk bagi orang tua dalam mencarikan jodoh. Böwö yang tinggi menyebabkan perempuan Nias dipandang sebagai beban (keluarga khawatir anak perempuannya tidak laku) karena pihak laki-laki yang ingin menikahi seorang perempuan Nias harus menyiapkan biaya yang jumlahnya bisa dikatakan sangat besar. Dalam tradisi adat perkawinan suku Nias, dalam istilah böwö dapat dilihat berbagai perubahan yang terjadi dalam bentuk awalnya. Seiring dengan waktu dan terjadinya perubahan-perubahan dalam pola hidup masyarakat, pemberian mahar Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
25
sebagai wujud perilaku kebudayaan secara perlahan juga mengalami pergeseran. Perubahan tradisi ini terlihat pada pergeseran makna esensinya. Böwö yang pada awalnya lebih menonjolkan nilai-nilai sosial dan prestise, bergerak pada persoalanpersoalan ekonomis. Penentuan böwö dalam perkawinan berubah seakan-akan menjadi “bisnis pernikahan”.
2.2 Institusi Keluarga Keluarga bukan saja sebagai suatu wadah hubungan antara suami dan istri atau anak-anak dan orang tua, tapi juga sebagai suatu rangkaian tali hubungan antara jaringan sosial anggota-anggota keluarga, dan jaringan yang lebih besar yaitu masyarakat, oleh karena itu dalam memandang proses pemilihan jodohdapat dilihat bahwa masyarakat luas menaruh perhatian akan hasilnya. Selalu kedua jaringan yang akan menikah dihubungkan karenanya dan oleh karena itu juga jaringan-jaringan lain yang lebih jauh tersangkut. Kedua keluarga ini mempunyai semacam kedudukan dalam sistem lapisan,yang keseimbangannya sebagian juga tergantung kepada siapa menikah dengan siapa. Perkawinan antara keduanya adalah petunjuk yang terbaik bahwa garis keluarga yang satu memandang yang lainnya kira-kira sama secara sosial dan ekonomis. Bagi keluarga-keluarga itu sendiri yang satu memperoleh dan yang lain kehilangan satu anggota (jika sang wanita pindah ke keluarga suami, sistem itu disebut patrilokal; jika yang laki-laki masuk ke keluarga sang istri sistemnya disebut matrilokal). Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
26
Pada dasarnya, proses pemilihan jodoh berlangsung seperti sistem pasar dalam ekonomi. Sistem ini berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, tergantung
pada
siapa
yang
mengatur transaksinya,
bagaimana peraturan
pertukarannya dan penilaian yang relatif mengenai berbagai macam kualitas. Kaum ningrat di Jepang dan Cina masa lampau, transaksi-transaksinya diatur oleh para tetua secara resmi, sah dan umum oleh laki-laki, meskipun yang membuat keputusan terakhirnya biasanya kaum wanita jua. Menurut hukum adat masyarakat adat, keluarga laki-laki membayar emas kawin dari sang wanita, sedangkan pada kasta Brahmana di India, keluarga wanitalah yang membayar mahar kawinnya kepada calon suami. Hukum itu mungkin juga menentukan semacam pemberian imbalan. Tentu saja para pelaku dalam proses ini tidak berperndapat bahwa mereka
itu
melakukan “tawar menawar”. Orang tua mungkin menganggap bahwa mereka “mencari sesuatu yang terbaik bagi anak-anak mereka” (Goode, 1991: 63-65). Seperti yang terjadi di Kalimantan Barat, perkawinan untuk gadis-gadis Tionghoa diatur oleh seorang perantara atau mak comblang, ibu bapak si gadis, gadis itu sendiri, dan calon suami, yang biasanya didampingi oleh seorang anggota keluarganya. Semuanya diatur secara terbuka oleh perantara, dan si gadis diperkenalkan kepada calon suami sebelum keputusan akhir ditetapkan. Dalam kasus gadis-gadis di Kalimantan Barat, mereka merasa bertanggung jawab untuk meringankan beban keuangan keluarga mereka. Kawin dengan orang Taiwan merupakan salah satu cara memberi bantuan kepada orang tua. Dengan demikian, mereka telah memenuhi kewajiban mengembalikan kepada orang tuanya Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
27
apa yang telah mereka dapatkan dari ibu dan bapaknya. Kepatuhan gadis tersebut adalah refleksi nilai Tionghoa yang tertanam kokoh dalam budaya Tionghoa yang masih dianut mereka yang sudah beberapa generasi menetap di Indonesia. Nilai ini disebut “kesalehan anak”, yaitu rasa hormat serta kebaktian kepada orang tua dari anak dan cucu (tadinya dari anak laki-laki saja, yang menunjukkan sifat patriarkal kebudayaan tradisional Tionghoa), yang diungkapkan dengan cara mengurus ibu dan bapak di hari tua mereka, menjunjung tinggi nama keluarga, serta bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarga, Yentriani (dalam Tan, 2000: 60). Dalam adat Aceh, mahar adalah pemberian wajib seorang suami kepada calon suaminya. Jumlah mahar sangat variatif antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disesuaikan dengan tradisi dalam keluarga besar perempuan dan kemampuan laki-laki. Mahar ini tidak boleh dikurangi dari ketentuan adat yang berlaku sebab ia dapat menjadi aib bagi keluarga tersebut. Di Pidie, mahar yang harus dibayar lakilaki kepada wanita lebih dari 20 mayam (1 mayam = 3,3 gram). Namun, keluarga wanita biasanya menyediakan rumah untuk mereka setelah menikah. Di Aceh Selatan mahar umumnya di bawah 10 mayam ditambah dengan peng hangoh (uang tunai). Pihak perempuan tidak menyediakan rumah. Bahkan di beberapa daerah ada yang 1-2 mayam saja tanpa tambahan uang tunai. Dalam adat Batak Toba, pembayaran mas kawin itu sebenarnya merupakan perkawinan adat juga dan harus terlaksana dengan cara yang sudah terinci pula. Berapa jumlah mas kawin itu, tidak langsung dirundingkan. Besarnya mas kawin beberapa kali dilakukan melalui acara bisik-bisik, karena kalau jumlahnya disebut Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
28
terang-terangan, salah satu pihak dapat merasa memperoleh aib. Namun, kalau pengantin pria orang yang tidak mampu, tetap disepakati jumlahnya, namun pihak perempuan yang menanggungnya. Di hadapan khalayak ramai, tetap berlangsung acara seolah-olah mas kawin dibayar oleh pengantin pria. Pranata mas kawin dianggap termasuk hukum dalam konsepsi warga masyarakat Batak, yang masih menghargai dan hendak melestarikan kebudayaan mereka (Ihromi, 2006: 254-257). Dan sebelum perempuan menikah, biasanya dilengkapi dengan perhiasan-peerhiasan, baju yang mahal dan bagus oleh pihak orang tua untuk menandakan bahwa orang tua sangat menyayangi anak perempuannya. Dan mengandung makna agar pihak mempelai laki-laki memperlakukan mempelai perempuan dengan sebaik-baiknya. Jika dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal pihak laki-laki yang menyediakan mahar, maka lain lagi dengan tradisi perkawinan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Bajapuik atau japuik adalah tradisi perkawinan yang merupakan khas budaya masyarakat Pariaman. Suatu istilah yang hanyaada dan selalu melekat dengan prosesi perkawinan khas Pariaman. Bajapuik atau japuiktan dipandang sebagai kewajiban pihak keluarga perempuan memberi sejumlah barang atau uang kepada laki-laki atau calon suami sebelum akad nikah dilakukan. Pemberian iniselanjutnya dikenal dengan uang japuik. Pada tradisi bajapuik Pariaman, pihak perempuan yang membayar calon suaminya dengan jumlah yang disesuaikan dengan status sosial yang disandang oleh calon suaminya. Dengan kata lain, pihak perempuan harus memberikan uang jemputan pada calon suami atau kerabatnya tersebut. Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
29
Uang jemputan berfungsi sebagai salah satu persyaratan atau akad pernikahan dan bermakna sebagai perwujudan rasa hormat atau penghargaan dari pihak keluarga perempuan pada laki-laki calon menantu atau sumando dan keluarganya. Pada mulanya yang menjadi orang jemputan adalah orang yang secara sosial dianggap terhormat, yaitu keturunan bangsawan yang bergelar Ajo, Sidi dan Bagindo. Uang jemputan berbeda-beda besaran nilainya, bisa juga berupa non uang seperti mobil, rumah atau lainnya. Seorang yang bergelar Sidi atau yang mewarisi gelar Sidi dari bapaknya akan menerima uang jemputan lebih tinggi dibanding yang lain. Sekarang, karena perubahan zaman muncul “bangsawan baru” sebagai produk pendidikan. Mereka orang-orang terpelajar, berpengetahuan dan berketerampilan dengan profesi sebagai guru, pamong praja, polisi, tentara, dokter dan sebagainya. tapi dalam hal pernikahan mereka menjadi orang-orang jemputan. Saat ini yang menentukan tinggi rendahnya uang japuik juga terkait dengan tingkat pendidikan dan pekerjaan. Semakin tinggi pendidikan dan status ekonomi seseorang maka semakin tinggi uang japuik yang akan diberikan kepada pihak marapulai, uang japuik akan dikembalikan lagi kepada pihakperempuan dengan jumlah yang sama bahkan lebih. Anwar (dalam Resneita, 2005: 10-16) mengatakan bahwa masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal, yaitu keanggotaan didapatkan melalui garis ibu. Begitu pula harta pusaka, baik berupa tanah dan gelar hanya didapatkan melalui garis ibu. Kehidupan dan struktur masyarakat Minangkabau yang berdasarkan hubungan kekerabatan matrilineal ini Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
30
juga terlihat dalam adat perkawinan mereka. Di dalam masyarakat Minagkabau Pariaman seperti halnya dalam masyarakat minangkabau lainnya, perkawinan bukanlah masalah antar individual yang akan menikah, akan tetapi lebih merupakan masalah dan kepentingan khusus. Sistem kekerabatan matrilineal ini mempunyai implikasi bahwa pihak perempuan yang lebih mempunyai kepentingan untuk mendapatkan suami, karenanya kaum dari pihak perempuanlah yang mencari jodoh terutama karena perempuan yang menjadi penerus eksistensi kaum atau suku.
2.3 Bias Gender dan Ketidakadilan Gender dalam Jujuran Gender adalah pembedaan peran, perilaku, perangai laki-laki dan perempuan oleh budaya masyarakat melalui interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Jadi gender tidak diperoleh sejak lahir, tapi dikenal melalui proses belajar (sosialisasi) dari masa anak-anak hingga dewasa. Oleh karena itu gender dapat disesuaikan dan diubah. Setiap masyarakat mengembangkan identitas gender yang berbeda, tetapi kebanyakan masyarakat membedakan laki-laki dan perempuan dengan maskulin dan feminim. Maskulin identik dengan keperkasaan, bergelut di sektor publik, jantan dan agresif. Sedangkan feminim identik dengan lemah lembut, berkutat di sektor domestik (rumah, pesolek, pasif dan lain-lain. Disebabkan oleh pembedaan yang tegas terhadap peran laki-laki dan perempuan yang selama ini terjadi didukung oleh budaya patriarki yang sangat mendominasi menyebabkan ketimpangan gender itu terjadi. Dalam kehidupan sosial muncul stereotipe tertentu terhadap laki-laki dan perempuan. Padahal gender ini bersifat netral dan tidak Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
31
memihak. Peran laki-laki dan perempuan sangat ditentukan dari suku, tempat, umur, pendidikan serta perkembangan zaman. Selama ini yang terjadi adalah kondisi sosial yang sangat menonjolkan peran laki-laki. perempuan menjadi kaum marginal yang selalu terpinggir dan tergusur (Daulay, 2007: 4-5). Untuk memahami bagaimana perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan gender dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan, yaitu: •
Marginalisasi (peminggiran), tidak saja terjadi di tempat kerja juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dan perempuan. marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan.
•
Subordinasi, yaitu anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan dianggap tidak bisa tampil memimpin berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi kedua.
•
Stereotipe, adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatukelompok tertentu.
•
Kekerasan, merupakan serangan fisik maupun mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan gender. Dalam sistem kekerabatan patrilineal yang dianut masyarakat Tapanuli,
lampung, bali dan lain-lainnya sangat jelas menempatkan kaum laki-laki pada Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
32
kedudukan yang lebih tinggi. Laki-laki berkedudukan sebagai ahli waris, sebagai pelanjut nama keluarga, sebagai penerus keturunan, sebagai anggota masyarakat adat dan juga mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan keluarga maupun masyarakat luas. Dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal kaum perempuan justru sebaliknya, yaitu mempunyai kedudukan yang sangat rendah, tidak sebagai ahli waris, tidak sebagai pelanjut keturunan, tidak sebagai penerus nama keluarga karena dalam perkawinan jujur (pada umunya) perempuan mengikuti suami dan juga tidak menjadi anggota masyarakat adat. Selama ini karena budaya patriarki yang sangat internalize di dalam masyarakat melahirkan stereotipe dalam melihat keberadaan perempuan. Stereotipe umumnya bersifat negatif sehingga menimbulkan diskriminasi yang merugikan kelompok jenis kelamin yang diberi label tersebut. Misalnya anggapan umum bahwa perempuan lebih cepat dewasa. Anggapan ini lebih didasarkan pada defenisi sosial ketimbang fisik. Gadis umur 15 tahun sama halnya dengan anak laki-laki seusia itu, sama-sama belum “siap mempunyai anak”. Mungkin wanita akan lebih mampu mengerjakan tugas seorang ibu rumah tangga dibanding seorang anak laki-laki untuk memegang pekerjaan dan menjadi ayah. Tetapi harus diperhatikan bahwa semua ini adalah batasan sosial, dan menunjukkan bahwa jika anak laki-laki umur 15 tahun itu kurang dewasa secara sosial, kurang mampu untuk mengerjakan peran seorang dewasa, hal ini disebabkan karena masyarakat menuntut lebih banyak dari padanya. Dalam bidang lain pun, yaitu dalam pranata kencan – salah satu pranata yang dilalui sebelum pernikahan – batasan sosial sangat berperngaruh. Untuk menjadi Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
33
teman kencan pria yang lebih tua, seorang gadis yang berumur 15 tahun cukup bila ia cantik dan luwes. Selain itu adanya anggapan bahwa perempuan tidak menikah yang tidak suci lagi disebut tercemar sehingga perempuan dituntut untuk menjaga kesuciannya hingga tiba saatnya ia untuk menikah. Perempuan yang belum menikah yang bisa menjaga kesuciannya lebih dihormati dan diinginkan untuk dijadikan sebagai istri. Mengenai penilaian kualitas yang berbeda, kehormatan garis keluarga mungkin lebih ditentukan daripada ciri perorangan kedua pasangan itu atau kecantikan seorang wanita mungkin juga sama nilainya dengan kekayaan seorang laki-laki. Bila pembelian sudah sah maka barang diserahkan dan penggunaan terhadap barang tersebut diserahkan pada pembeli. Pemahaman bahwa perempuan dilabelkan dengan harga mengandung konsep bahwa perempuan merupakan properti yang
dapat
diperjual
belikan.
(http://www.mailarchive.com/
[email protected]/msg00854.html) Pada masyarakat kekerabatan patrilineal, yang mengutamakan keturunan menurut garis laki-laki berlaku adat perkawinan pembayaran “jujur”, dimana setelah perkawinan istri melepaskan kewargaan adat kerabat orangtuanya. Dalam hal ini hak kedudukan suami lebih tinggi dari hak dan kedudukan istri (Hadikusumah, 1987: 1). Besar kecilnya mas kawin tentu berbeda-beda pada berbagai suku bangsa di dunia, yang kadang-kadang ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pihak pria dan wanita,
sesuai dengan
kedudukan,
kepandaian,
dan kecantikan
si gadis
(Koentjaraningrat, 1998: 101). Mas kawin memiliki makna antara lain sebagai harta Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
34
pembelian, seperti dalam beberapa bahasa Indonesia, beuli niha (bahasa Nias), pangoli, boli, tuhor (bahasa Batak toba), tukon (bahasa Jawa) dan lain-lain. Adanya makna dari istilah ini menyebabkan perempuan dipandang sebagai kelas nomor dua, bagaikan barang belian sehingga menyebutnya “Böli Gana’a” (bahasa Nias). Dalam hal ini, mahar perkawinan yang berlaku bagi perkawinan dalam adat Nias, terkait dengan isu gender, yaitu mahar perkawinan disesuaikan dengan status keluarga perempuan,artinya semakin terpandang keluarga perempuan semakin besar mahar yang akan diterima dari pihak laki-laki. Sebutan Böli Gana’a bagi perempuan yang bermakna bahwa perempuan itu adalah barang belian menyebabkan perempuan harus patuh terhadap suaminya dan keluarga, dan bagi perempuan yang menikah di daerah Nias dengan mahar yang besar, wajib membantu biaya pembayaran mahar yang digunakan saat pesta pernikahan berlangsung (jika mahar tersebut diperoleh dari bantuan keluarga karena bantuan ini dianggap sebagai pinjaman). Selain itu, dalam kehidupan keluarga orangtualah yang memegang kontrol atas kehidupan anggota keluarga sehingga dalam penentuan pasangan hidup bagi perempuan Nias menjadi urusan orang tua dan keluarga. Apabila orangtua telah menemukan pasangan yang dianggap cocok bagi anak perempuannya dan telah dijodohkan , maka perempuan harus mengikuti kehendak orang tuanya.
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
35
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan studi kasus. Penelitian kualitatif yang akan dilakukan adalah karena beberapa pertimbangan; pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dan informan; ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 1993: 5). Bila kita melakukan yang terinci, tentang seseorang (individu) atau suatu unit sosial selama kurun waktu tertentu, kita melakukan apa yang disebut studi kasus. Metode ini akan melibatkan kita dalam penyelidikan yang lebih mendalam dan pemeriksaan yang menyeluruh terhadap perilaku seorang individu (Sevilla dkk, 1993). Di samping itu, studi kasus juga dapat mengantarkan peneliti memasuki unitunit sosial terkecil, kelompok, keluarga dan berbagai bentuk unit sosial lainnya. Jadi, studi kasus, dalam khasanah metodologi, dikenal sebagai studi yang bersifat Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
36
komprehensif, intens, rinci dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer, kekinian. Penelitian ini menggambarkan secara mendalam tentang tata cara penetapan mahar perkawinan bagi perempuan Nias yang bekerja di sektor informal di Padang Bulan Medan. 3.2 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Padang Bulan Medan. Alasan pemilihan lokasi adalah karena daerah Padang Bulan merupakan salah satu tempat bermukim migrant Nias dan pada umumnya mereka bekerja di sektor informal seperti pemulung, tukang becaj, pedagang, tukang jahit dan pembantu rumah tangga.
3.3 Unit Analisis dan Informan 1. Unit Analisis Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah perempuan Nias yang telah berkeluarga yang bermukim di sekitar Padang Bulan Medan. 2. Informan Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah perempuan Nias yang tinggal di daerah Padang Bulan dengan kriteria: 1. telah berkeluarga, 2. menikah dengan laki-laki Nias, 3. mendapat mahar yang berbeda dari ketentuan yang berlaku dalam adat istiadat yang berlaku di daerah Nias ketika melaksanakan pernikahan, Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
37
4. telah menetap selama tiga tahun atau lebih di Medan, dan 5. bekerja di sektor informal.
3.4 Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang akurat dalam penelitian ini, teknik pengumpulan yang data yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Wawancara Mendalam (Depth Interview) Wawancara mendalam yang dimaksudkan adalah percakapan yang sifatnya luwes, terbuka dan tidak baku. Intinya adalah, peneliti akan mengadakan pertemuan berulang kali secara langsung dengan informan, dengan harapan informan dapat mengungkapkan informasi atau data yang diharapkan dengan bahasanya sendiri. Jikalaupun ada pedoman wawancara (interview guide), hanya sebatas instrumen pembantu bagi peneliti yang sifatnya tidak monoton. Wawancara mendalam yang akan dilakukan adalah tanya jawab, yaitu tentang bagaimana tata cara penetapan mahar bagi perempuan Nias yang bekerja di sektor informal di Padang Bulan Medan.
2. Observasi Data yang akan diharapkan juga akan diperoleh melalui observasi atau pengamatan yang akan dilakukan oleh peneliti. Beberapa pengamatan yang akan Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
38
dilakukan peneliti ada yang berperan serta terbatas, maksudnya adalah, peneliti tidak akan merahasiakan identitas diri, akan terlibat dalam kegiatan ringan yang sedang dilakukan si informan pada saat pengamatan berlangsung, misalnya kseseharian hidup informan dalam interaksi dengan keluarga atau masyarakat, hal tersebut adalah untuk membina rapport yang lebih baik dengan informan.
3. Dokumentasi Dokumentasi untuk membantu penelusuran data historis, dapat berupa foto, artikel, jurnal, buku, dokumen atau catatan-catatan lainnya yang masih berhubungan dengan topik penelitian.
3.5 Interpretasi Data Interpretasi data merupakan tahap penyederhanaan data, setelah data dan informasi yang dibutuhkan dan diharapkan telah terkumpul. Data-data yang telah diperoleh dalam penelitian ini akan diinterpretasikan berdasarkan dukungan teori dalam tinjauan pustaka yang telah ditetapkan, sampai pada akhirnya akan disusun sebagai laporan akhir penelitian.
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
39
3.6 Jadwal Penelitian No.
Jenis kegiatan
1.
Pra Observasi
1 √
2
3
2.
ACC Judul
√
3.
Penyusunan Laporan Penelitian
√
4.
Seminar Penelitian
√
5.
Revisi Proposal Penelitian
√
6.
Penyerahan Hasil Seminar
√
Bulan ke4 5 6
7
8
√
√
9
Proposal 7.
Operasional penelitian
√
8.
Bimbingan
√
9.
Penulisan laporan akhir
10.
Siding Meja Hijau
√
√
√ √
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
40
3.7 Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dalam penelitian ini disebabkan oleh terbatasnya kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh penulis untuk melakukan penelitian ilmiah, terutama dalam hal metodologi penelitian (teknik wawancara). Keterbatasan data melalui buku atau referensi mengenai masyarakat Nias di Kota Medan, khususnya Padang Bulan menyebabkan kurang lengkapnya data mengenai profil masyarakat Nias dalam penelitian ini. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan penelitian adalah kendala bahasa, karena sebagian dari informan ada yang tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia, sehingga peneliti meminta bantuan seorang yang bisa berkomunikasi dalam bahasa Nias dan bahasa Indonesia dengan baik.
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
41
BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum Kelurahan Padang Bulan terdapat di wilayah Kecamatan Medan Baru dengan luas ± 1.68 km² dan terdiri dari 12 lingkungan yang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : -
Sebelah Utara berbatas dengan Kelurahan Merdeka Kecamatan Medan Baru.
-
Sebelah Selatan berbatas dengan Kelurahan Titi Rantai Kecamatan Medan Baru.
-
Sebelah Timur berbatas dengan Kelurahan Polonia Kecamatan Medan Polonia.
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
42
-
Sbelah Barat berbatas dengan Kelurahan Padang Bulan Selayang I Kecamatan Medan Selayang.
4.1.2 Demografi Jumlah penduduk Kelurahan Padang Bulan sesuai data kelurahan sampai dengan bulan April 2007 adalah ± 5.820 jiwa.
4.1.2.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama Dalam bidang keagamaan ini yang mana masyarakat dapat hidup berdampingan secara rukun dan damai serta tidak pernah muncul konflik-konflik ataupun pertikaian antar penduduk yang menyangkut agama. Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama yang Dianut No AGAMA JUMLAH 1.
Islam
2040
2.
Kristen
3238
3.
Katholik
426
4.
Hindu
27
5.
Budha
45
JUMLAH
5.820
Sumber : Profil Kelurahan Padang Bulan, 2006
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
43
4.1.2.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku Dari segi etnis dan budaya masyarakat Kelurahan Padang Bulan adalah masyarakat yang heterogen, yang hidup berdampingan dengan baik. Salah satu etnis yang dominan dari segi jumlah adalah etnis Batak dengan jumlah ± 85%.
Tabel 4.2
NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku SUKU JUMLAH Batak Toba 452 Batak Karo 4.591 Jawa 354 Minang Aceh Cina Lain-lain JUMLAH
215 66 45 97 5.820
Sumber : Profil Kelurahan Padang Bulan, 2006
4.1.2.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan tingkat Pendidikan Dalam bidang pendidikan sebagaimana data yang ada secara keseluruhan tidak ditemukan penduduk yang tidak pernah mengenyam dunia pendidikan. Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
44
Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan NO TINGKAT PENDIDIKAN JUMLAH 1. 2.
Belum sekolah Tidak tamat SD/ sederajat
237 29
3.
SD/ sederajat
940
4.
SLTP/ sederajat
197
5. 6.
SLTA/ sederajat Diploma
3785 434
7.
S-1
111
8. 9
S-2 S-3
97 19
JUMLAH
5.820
Sumber : Profil Kelurahan Padang Bulan, 2006 4.1.2.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Secara umum penduduk di Kelurahan Padang Bulan mata pencahariannya bergerak di sektor swasta baik sebagai buruh maupun kewiraswataan sebesar 63 %, dan yang lainnya bergerak di bidang jasa dan pemerintahan. Tabel 4.4
NO
Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian MATA PENCAHARIAN JUMLAH
1. 2. 3.
Buruh/ swasta Pegawai negeri Penjahit
192 1.082 18
4. 5. 6. 7.
Pedagang Tukang Batu Tukang Kayu Montir
420 96 75 29
8. 9.
Dokter Sopir
19 42
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
45
10.
Pengemudi Becak
149
11. 12. 13.
TNI/ POLRI Pengusaha/ wiraswasta Lain-lain
12 171 3.515
JUMLAH Sumber : Profil Kelurahan Padang Bulan, 2006
5.820
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa mata pencaharian penduduk sebagian besar bergerak di sektor swasta. Sebanyak ± 22 % wilayah Kelurahan Padang Bulan dipergunakan sebagai sarana sektor perekonomian seperti pertokoan baik perdagangan maupun jasa serta perkantoran umum yang bergerak di bidang swasta yang terdapat di sekitar putaran jalan protokol Jl. Jamin Ginting. Selain itu terdapat pasar di sekitar Jl. Jamin Ginting yang merupakan jenis pasar tradisional (usaha kecil menengah) dan juga di kompleks USU yang merupakan pasar yang dikhusukan untuk mahasiswa dan pelajar.
4.1.2.5 Sarana dan Prasarana Perhubungan Wilayah Kelurahan Padang Bulan termasuk wilayah yang berada di inti Kota Medan, untuk itu ruas-ruas jalan yang ada merupakan jalan utama sebagai sarana inti masyarakat perkotaan. Adapun jalan yang melingkupinya adalah :
JALAN
PANJANG ( KM )
PROPINSI
0,9
KOTA
3,7
KELURAHAN
5,4
GANG
3
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
46
Selain jalan, terdapat juga sarana dan prasarana yang digunakan secara social, kelembagaan serta pemerintahan di Kelurahan Padang Bulan, seperti Peribadatan, Hiburan/ Wisata, Pendidikan, Kesehatan, Olah raga serta pelayanan masyarakat yang bisa dipergunakan masyarakat secara umum.
4.1.3 Migrasi Orang Nias ke Padang Bulan Kota Medan sebagaimana kota besar lainnya di Indonesia merupakan salah satu daerah tujuan masyarakat untuk bermigrasi. Motivasi masyarakat melakukan migrasi bervariasi mulai dari mencari pekerjaan yang lebih baik, mencari pangalaman hidup, ikut keluarga dan sebagainya. Berdasarkan keterangan informan dalam penelitian ini, kebanyakan orangorang Nias melakukan migrasi karena didorong oleh sulitnya mencari pekerjaan di daerah asal mereka di Nias, untuk menambah pengalaman dan untuk menghindari besarnya biaya jujuran perkawinan. Migrasi merupakan respon terhadap harapan tentang penghasilan yang diperoleh di kota dibandingkan dengan yang diterima di pedesaan, dan kemungkinan Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
47
memperoleh pekerjaan di perkotaan. Baik di sektor formal (jika memiliki pendidikan yang dibutuhkan) maupun di sektor informal. Pengalaman di kota yang dimaksud meliputi keinginan untuk melihat kemegahan kota Medan, misalnya banyaknya jenis hiburan, pusat-pusat perbelanjaan dan sebagainya, sebagaimana yang sering dituturkan oleh teman satu kampung yang kebetulan pulang ke daerah asal mereka di Nias. Faktor lain yang mendorong migrasi orang Nias ke Medan adalah untuk menghindari besarnya jujuran ketika melangsungkan acara perkawinan di kampung halaman. Biaya untuk pesta mulai dari Rp. 30 juta hingga 70 juta yang harus dipenuhi untuk melaksanakan adat merupakan pertimbangan lain bagi orang-orang Nias untuk melakukan migrasi.
Di Medan, tepatnya di daerah Padang Bulan adalah salah satu daerah yang dihuni oleh masyarakat Nias. Kawasan kampus Universitas Sumatera Utara, sangat mendukung kehidupan para migran ini. Profesi sebagai tukang becak, bekerja di rumah makan, sebagi tukang cuci hingga menjadi pemulung pun menjadi lahan dan sumber mata pencaharian yang cukup banyak tersedia. Orang-orang Nias ini tinggal secara berkelompok dengan menyewa rumah secara bersama-sama. Rumah ini disekat-sekat dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu ataupun papan berukuran 3x4 meter hingga 4x4 meter. Dindingdinding ini kemudian dilapisi lagi dengan kertas koran untuk mengurangi masuknya udara ke dalam ruangan. Dalam ruangan-ruangan inilah seorang kepala keluarga Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
48
tinggal bersama anak-anaknya. Di ruangan inilah pada malam hari anak-anak tidur bersama ayah dan ibunya. Kompor dan peralatan untuk memasak biasanya diletakkan di dekat pintu ruangan. Ruangan terasa pengap karena tidak ada jendela. Bentuk lain permukiman migran Nias ini adalah dengan menyewa rumahrumah kecil dari penduduk sekitar. Rumah kecil ini biasanya bersifat darurat, karena dibangun pemiliknya dengan seadanya saja. Rumah dengan ukuran 4x4 meter ini terdiri dari 3-4 rumah yang memanjang. Kalau tiba jam makan siang atau malam, maka barisan becak yang panjang akan membentang di halaman rumah. Migran yang masih lajang biasanya membayar biaya makan per bulan kepada keluarga migran yang telah berkeluarga.
4.2 PROFIL INFORMAN 1. Lisa Zebua Ibu muda berusia 22 tahun ini akrab dipanggil dengan mama Dewi. Dikaruniai seorang anak
perempuan yang masih berumur dua tahun. Ibu Lisa
merantau ke Medan meninggalkan daerah asalnya di Gunung Sitoli kira-kira sejak delapan tahun yang lalu ketika masih sekolah di SMP (Sekolah Menengah Tingkat Pertama) dengan niat mencari pengalaman di perantauan. Ijasah SMA-nya belum pernah digunakan untuk melamar pekerjaan. Begitu menyelesaikan pendidikannya di tingkat SMA, tidak berapa lama kemudian langsung menikah. Bersama suaminya Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
49
yang bekerja sebagai karyawan di sebuah supermarket di Medan, mereka menempati sebuah kamar sewa yang ukurannya 4 x 4 meter, yang disewa per tahun. Sebuah kamar yang juga merangkap ruang tidur, tempat memasak, dan tempat menjual kebutuhan sehari-hari. Saat ini ibu Lisa bekerja di sebuah rumah makan yang letaknya di Kampung Susuk, di daerah Padang Bulan. Setiap hari, dari hari Senin sampai dengan hari Sabtu, ibu Lisa bekerja dari jam 08.30 WIB hingga jam 18.00 WIB di rumah makan dengan membawa serta anaknya. Hari Minggu, seperti para pekerja lain adalah waktu libur yang dipergunakan untuk istirahat. Selebihnya, waktunya digunakan untuk mengelola warung kecil-kecilan yang dibukanya untuk menambah biaya hidup sehari-hari yang semakin hari semakin mahal. Tidak mudah mengumpulkan mahar yang besar ini jika ingin melaksanakan sebuah pernikahan. Peranan keluarga dan kerabat sangat besar dalam sebuah perkawinan. Masing-masing keluarga akan membantu biaya perkawinan tersebut. Bantuan dari keluarga ini seringkali disalah tafsirkan orang luar sebagi utang yang harus dibayar. Menyikapi hal ini, ibu Lisa dengan sangat tegas berkata : ”nggak ada itu ya istilah ngutang sama orang Nias. Bantuan yang diberikan keluarga itu bukan utang. Itu kewajiban sesama keluarga. Jika anak saya menikah, keluarga saya yang lain akan membantu, dan kalau anak keluarga saya yang lain menikah, saya juga herus membantu”. Sumber : Wawancara November 2008 Tentu jika mahar seorang
perempuan besar, ada perasaan bangga juga.
Namun jika mahar yang diberikan pun tidak besar atau mungkin lebih sedikit dari yang seharusnya, sama saja, tidak ada masalah. Orang lain tidak berhak anggap Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
50
remeh hanya karena mahar yang lebih kecil, lagipula kalaupun memang begitu, tidak usah diperdulikan, demikian penuturan ibu Lisa. Mahar perkawinan dalam sebuah perkawinan sangat penting, karena kalau tidak ada mahar pesta tidak bisa dilangsungkan. Mahar ini juga yang digunakan untuk biaya pesta. Mahar yang diterima ibu Lisa sendiri ketika pernikahannya adalah Rp. 15 juta, babi 10 ekor, dengan rincian Rp. 6 juta dari mahar tersebut diberikan kepada pengantin perempuan untuk keperluan perlengkapan nikah seperti pakaian adat dan alat untuk riasan. Selebihnya, digunakan untuk biaya adat perkawinan. Untuk ukuran perkawinan yang dilaksanakan di Nias, jumlah mahar ini termasuk sedikit. Menurut pengakuan ibu Lisa, jumlah mahar ini disetujui oleh orangtuanya, karena pihak laki-laki memohon dengan sangat bahwa hanya 15 juta itu yang sanggup mereka sediakan. Peneliti menanyakan apakah itu suatu bentuk tawar menawar dalam kesepakatan dalam penentuan mahar, ibu Lisa langsung menjawab,
“saya rasa itu bukan tawar menawar, jika mahar itu dirasa terlalu berat dan pihak laki-laki meminta keringanan itu bukan tawar menawar, itu hanyalah permohonan supaya orang tua pihak perempuan mengerti. Ketika ditanya pendapatnya mengenai makna perkawinan, ibu Lisa menjawab : “menurut saya makna sebuah perkawinan itu adalah untuk membentuk hidup yang baru, dan membentuk sebuah keluarga yang harmonis, damai dan sejahtera”. Sumber : Wawancara November 2008 Akibat mahalnya biaya mahar yang harus diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan dalam perkawinan adat Nias, banyak pemuda yang merantau ke luar daerahnya dan memilih menikah di daerah lain ataupun dengan menikahi Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
51
perempuan dengan suku yang berbeda. Jika menikah di luar daerah Nias, perbedaannya sangat jauh, mulai dari jumlah mahar yang harus disediakan tidak sebanyak jika pernikahan dilaksanakan di daerah Nias, mahar bisa diuangkan, dan perbedaan lain adalah acara adatnya tidak seluruhnya dilaksanakan. Perubahan ini terjadi karena kondisi di kampung (Nias) dengan di Medan sangat jauh berbeda, Medan bukan kampung halaman sehingga tidak mungkin adat istiadat perkawinan dilaksanakan seluruhnya, situasinya tidak mendukung, keluarga tidak bisa hadir semuanya. Acara perkawinan di perantauan hanya sebagai persyaratan saja. Secara keseluruhan, ibu Lisa lebih menyetujui jika sebuah pernikahan itu dilaksanakan sesuai dengan adat Nias, walaupun di satu sisi jumlah mahar itu memang terasa memberatkan, namun ibu Lisa memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai hal ini, seperti tampak dari hasil wawancara berikut ini : ‘jika acara perkawinan yang dilaksanakan seperti halnya yang biasa dilaksanakan di Medan, lama kelamaan adat Nias bisa hilang. Kalau tidak diteruskan, generasi berikutnya tidak akan pernah tahu adat Nias yang sebenarnya”. Sumber : Wawancara November 2008 Mengenai adanya pengaruh kecantikan, status, pendidikan dan pekerjaan terhadap besar kecilnya jumlah mahar perkawinan, menurut ibu Lisa, seharusnya dan sebaiknya seorang perempuan dihargai lebih karena sikap dan perbuatannya. Sikap dan perbuatan seseorang jauh lebih penting dari pada kecantikan, pendidikan, status ekonomi atau pekerjaannya, karena hal-hal ini belum tentu mencerminkan sikap seseorang. Akan tetapi sangat lebih baik lagi jika seorang perempuan punya sikap dan perbuatan yang baik dan didukung oleh pendidikan dan pekerjaannya.
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
52
Budaya patriarki yang menganggap laki-laki sebagai pelanjut garis keturunan keluarga juga menyebabkan bahwa laki-laki adalah orang yang harus selalu dituruti. Dalam kehidupan keluarga pun, menurut ibu Lisa akan lebih bagus lagi jika seorang istri bisa ikut bekerja untuk membantu keuangan keluarga. Perempuan harus bisa membawa diri dalam keluarga, bisa mengambil hati suami, mengerti sifat suami, bisa menyesuaikan diri, dan bisa mengatur keluarga. Alasannya, wajar saja seorang istri bersikap seperti ini, karena suami adalah kepala keluarga, jadi istri harus mengikuti suami selagi apa yang dikatakannya benar. Selama tiga tahun hidup berumah tangga, menurut pengakuan ibu Lisa, tidak pernah terjadi kekerasan dalam rumah tangga mereka. Kalau ada masalah, biasanya diselesaikan dengan cara baik-baik.
2. Adiria Lafa Pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai pemulung. Mengumpulkan botol plastik, kertas karton, kaleng bekas dan barang-barang bekas lain yang sudah tidak digunakan lagi. “Botot”, adalah istilah yang biasa digunakan untuk barang bekas ini. Berangkat dari rumah pada pagi hari, mengambil barang botot yang ada di sekitar kampus USU (Universitas Sumatera Utara), kadang-kadang sampai juga ke arah Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
53
Pasar 1 Padang Bulan. Jam 12 siang pulang ke rumah untuk makan siang, sekalian bersama anak laki-lakinya yang berumur lima tahun. Langsung berangkat lagi dan pulang hingga larut malam, kadang-kadang sampai jam sembilan malam. Setiap bulannya ibu Adiria bisa mendapatkan Rp 500.000 dari hasil penjualan barangbarang bekas ini, untuk membantu keuangan keluarga karena suaminya hanya bekerja sebagai tukang becak. Bisa dibilang pendapatan utama keluarganya memang bergantung dari hasil kerjanya sebagai pemulung. Hasil dari menarik becak tidak tentu. Walaupun begitu, ibu ini tetap melakukan pekerjaannnya dengan senang hati. Bekerja itu untuk untuk melanjutkan hidup, begitu katanya. Baginya, jauh lebih mudah mendapatkan uang di Medan daripada di daerah asalnya, Nias. Di kampung, cari duit susah. Sudah capeknya minta ampun, hasil yang didapat juga tidak banyak. Tidak sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan. Berbicara tentang mata pencaharian di daerah Nias, sesuai dengan penuturan ibu Adiria,
sama seperti kebanyakan daerah lain di Indonesia, adalah bertani.
Mengolah sawah untuk bertanam padi. Namun, selain menanam padi masyarakat di Nias juga menanam tanaman nilam. Olahan tanaman nilam ini berupa minyak berwarna bening yang digunakan sebagai minyak roket dan untuk campuran parfum. Sulitnya mencari uang di kampung halaman ini jugalah yang menjadi alasannya untuk meninggalkan daerah Nias, merantau ke Medan dengan harapan untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Di Medan, ibu Adiria tinggal bersama tetangga satu kampung yang juga satu suku. Mereka menempati Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
54
sebuah rumah secara bersama-sama. Rumah berdinding anyaman bambu dan atap rumbia. Di rumah inilah ibu Adiria tinggal bersama sembilan keluarga lainnya, menempati kamar-kamar yang mereka sewa per bulan. Kamar mandi dan toiletnya cuma satu, yang mereka gunakan bersama-sama. Ada sebuah sumur juga namun hanya bisa dipergunakan untuk mandi dan mencuci saja, sedangkan untuk air minum dan keperluan memasak, keluarga-keluarga ini membeli dari tetangga yang fasilitas airnya berasal dari air PAM. Mereka yang menempati rumah ini kadang-kadang mengalami konflik, yang kebanyakan berawal dari pertengkaran anak-anak, dan orang tua saling membela anak masing-masing, tapi menurut ibu Adiria, hal-hal seperti ini tidak berlangsung lama. Walaupun terjadi keributan, besok-besok juga sudah baikan lagi. Rupanya rasa kekeluargaan di antara mereka masih kuat. Keributan itu terjadi karena mereka memang sangat menyayangi anak-anak mereka. Tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anak-anaknya. Tidak terkecuali ibu Adiria, baginya sebuah perkawinan akan terasa lengkap jika dikaruniai anak-anak. Karena itulah di usianya yang tidak muda lagi, bahkan sudah tua, ibu ini masih rela melahirkan. Ibu Adiria, menikah pada usia 48 tahun, dan melahirkan anaknya pada usia 49 tahun. Jika dilihat dari sudut pandang bidang kesehatan sebenarnya di atas usia 30-an
sudah tidak
dianjurkan lagi untuk melahirkan, resikonya sangat besar, apalagi umur 49 tahun. Ibu Adiria menikah pada tahun 2002 di Medan dan merupakan pernikahan keduanya. Pernikahan pertamanya dilaksanakan di Nias. Seperti biasa, saat pernikahannnya yang pertama, mahar yang diberikan padanya jumlahnya juga besar, Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
55
uang sebesar Rp 40 juta, 40 gram emas, 3 karung beras, 40 ekor babi dan 10 biji sirih. Banyaknya biaya ini disebabkan karena setiap tahapnya mulai dari pertunangan hingga pesta adat perkawinan selesai selalu dilaksanakan dengan mengadakan acara makan untuk masyarakat sekitar beserta keluarga yang akan menikah. Untuk acara pertemuan misalnya, keluarga laki-laki harus memotong seekor anak babi untuk diberikan kepada keluarga pihak perempuan, pada saat pemberitahuan besarnya mahar juga harus disediakan makanan, pada acara selanjutnya, saat melaksanakan pinangan, seekor babi diberikan pada calon mempelai perempuan beserta sirih dalam bolanafo kepada orang tua pihak perempuan. Hari berikutnya, pemberian emas pada mempelai perempuan juga harus ada acara makannya, hingga saat pesta puncak, yaitu saat acara perkawinan dilaksanakan, seekor babi yang beratnya kira-kira 100 kg dan perhiasan emas harus disediakan pihak laki-laki kepada ibu mempelai perempuan, selanjutnya seluruh biaya mahar itu akan dipergunakan untuk keperluan adat perkawinan. Ketika acara berlangsung, biasanya ada acara hiburan dengan mempertunjukkan tarian tradisional, maena, berupa tarian seperti gerakan-gerakan dalam pencak silat.
Setiap ada pesta pernikahan orang Nias di Medan, ibu Adiria selalu hadir, kalau diundang. Sudah sangat sering mengikuti acara pernikahan. Hal ini tidak mengherankan mengingat ibu Adiria sudah menetap selama kurang lebih 20 tahun. Banyak hal telah berubah dalam proses perkawinan di Medan. Yang paling Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
56
mencolok adalah mahar yang diberikan pada pihak perempuan bisa diuangkan seluruhnya. Dalam menentukan mahar, calon mempelai perempuan dan ibu perempuan tidak bisa ikut. Kecuali mereka, seluruh keluarga ikut. Alasan mengapa mempelai perempuan tidak boleh ikut, memang begitu adatnya. Kalau perempuan dan ibunya ikut maka mahar yang diminta oleh pihak perempuan pasti lebih besar lagi. Menurut ibu ini, pada saat proses penetapan mahar untuk perkawinannya yang kedua, istilah “tawar menawar” terjadi. Sebenarnya mahar yang diminta oleh keluarga pihak perempuan lebih besar dari Rp 10 juta, tapi setelah ada proses penawaran tersebut dengan alasan bahwa pihak keluarga laki-laki tak sanggup menyediakan lebih dari Rp 10 juta. Walaupun sudah janda, tidak berarti mahar yang diberikan semau pihak laki-laki karena ibu Adiria masih memiliki keluarga yang memperhatikannya. Besar kecilnya mahar tergantung kesepakatan keluarga. Kehidupan keluarganya selama ini jauh dari pertengkaran karena suaminya sekarang memang baik. Tidak seperti kehidupan rumah tangganya dahulu, suaminya sering main pukul, membantah sedikit langsung dipukul dan tega menikah lagi tanpa persetujuannya. Tidak tahan diperlakukan seperti itu, belum lagi harus tinggal serumah dengan istri baru suaminya, ibu Adiria akhirnya minta cerai. Saat ini keluarga saya bahagia walaupun keadaan ekonomi yang kadang susah, hanya cukup untuk makan dan tinggal di sebuah kamar sempit, itu lebih dari cukup. Meski harus ikut bekerja, ibu Adiria tidak keberatan.
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
57
Begitulah ibu Adiria, perempuan pekerja keras. Di usianya yang sudah menginjak 55 tahun, masih tetap semangat. Gurat-gurat ketuaan sudah jelas tergambar di wajahnya, namun tetap optimis menyambut hari esok. Badannya yang walaupun kelihatan agak kurus namun gerak geriknya masih cekatan. Kuat dan tegap. Memakai tudung kepala dan sepatu boot karet yang sudah seperti “dinas kerja” baginya, dengan membawa plastik besar untuk tempat barang-barang bekas yang ditemui di jalan atau bahkan tempat sampah, namun semua itu dilakoninya dengan sabar. Setiap hari dengan semangat yang baru karena yakin bahwa hari esok akan lebih baik.
3. Ria Hulu Sebelum pindah ke Medan, perempuan berusia 27 tahun yang baru menikah pada Mei 2008 ini pernah bekerja di kebun kelapa sawit. Untuk mencari pengalaman dan pekerjaan baru, bersama seorang kenalan yang pernah satu kerja di tempat yang sama (kebun kelapa sawit), ibu Ria meninggalkan pekerjaannya dan memutuskan untuk pindah ke Medan. Sebelum menikah, ibu ini tinggal bersama seorang saudaranya dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada sebuah keluarga di daerah Pringgan. Dengan gaji sekitar Rp 250.000 ia tetap bertahan. Walaupun mereka belum dikaruniai anak, pendapatan suaminya sebagai tukang becak hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari. Jika hanya mengandalkan pendapatan suami kehidupan ekonomi keluarga tidak akan pernah berubah. Sebagai sebuah keluarga, tidak hanya Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
58
kebutuhan makan saja yang harus dipenuhi, masih banyak kebutuhan lain yang juga sama pentingnya. Untuk keperluan adat misalnya, atau jika ada anggota keluarga yang mendadak sakit dan butuh uang, adalah hal-hal yang biayanya harus dipersiapkan. Belum lagi jika suatu saat mereka memiliki anak, biaya pendidikan untuk anak juga sudah harus dipersiapkan. Tidak pernah bersekolah sama sekali menjadi pemicu semangat bagi ibu Ria untuk menyekolahkan anak-anaknya nanti. Di zaman sekarang kalau tidak berpendidikan susah untuk bertahan hidup. Dengan pertimbangan inilah akhirnya ibu Ria tetap bertahan sebagai pembantu rumah tangga. Selain itu, ia sudah terbiasa bekerja. Dulu selama di perkebunan sawit, pekerjaannya sangat bergantung pada fisik, tenaga harus besar, harus kuat. Dibandingkan pekerjaan sekarang, walaupun juga menggunakan tenaga fisik, tetapi tidak secapek ketika bekerja di kebun sawit. Pekerjaan saat ini belum seberapa bila dibandingkan dengan bekerja di kebun sawit. Sejak kecil ia sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga. Pada saat pernikahannya yang dilaksanakan di Medan, ibu Ria mendapat mahar sebesar Rp. 2,5 juta, yang menjadi wali nikahnya adalah keluarganya yang tinggal di Medan, termasuk pihak paman. Pihak paman berperan besar dalam setiap pernikahan orang Nias. Pihak pamanlah yang menentukan atau meminta berapa besarnya jumlah jujuran untuk perempuan. Jujuran yang diberikan oleh pihak lakilaki sebagiannya sudah tertentu untuk paman. Jika bagian yang diberikan pada paman besar maka perlengkapan seperti baju untuk pengantin dan ibu perempuan, kalung “Elisabeth” (menurut keterangan ibu Ria, kalung ini emasnya paling bagus Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
59
dan ada gambar “Ratu Elisabeth” pada bandulnya, harganya mahal), menyediakan makanan hingga menyediakan perlengkapan rumah tangga seperti kasur sampai payung pun menjadi tanggungan pihak paman. Namun jika bagian yang diterima paman berjumlah kecil, biasanya mempelai perempuan cuma dibelikan cincin. Orang tua di kampung hanya diberitahukan bahwa anak perempuannya akan menikah. Orang tua ibu Ria menyetujui dengan syarat, suatu saat mereka harus juga mengadakan acara adat di daerah asalnya, Nias Selatan, dengan membawa uang sebesar Rp. 6 juta. Namun hingga sekarang permintaan orang tuanya itu belum bisa dipenuhi. Uang sejumlah yang diminta belum bisa disediakan. Wajar saja orang tua ibu Ria meminta uang sebesar Rp. 6 juta, mengingat setiap orang tua yang menikahkan anak perempuannya rata-rata mendapatkan bagian sebesar itu. Begitulah memang ketentuan yang berlaku. Seperti ketika adik perempuan ibu Adiria menikah, yang pada umur 13 tahun yang pernikahannya dilangsungkan di Nias sudah dijodohkan oleh orang tuanya. Mahar untuk adiknya sebesar Rp. 30 juta, emas, 2 karung beras dan 5 ekor babi. Orang tuanya memang mendapat bagian dari jumlah mahar tersebut, yang kemudian dibagikan kepada paman dan famili. Uang ini dipergunakan untuk beli baju pengantin dan perlengkapan rumah tangga pengantin. Sebenarnya, meskipun orang tua menuntut jumlah mahar yang besar, pada akhirnya mahar itu dipergunakan seluruhnya untuk keperluan adat perkawinan anak perempuannya. Tapi memang begitulah adat yang berlaku. Mahar menjadi hal yang sangat penting dalam sebuah perkawinan. Bagi sebagian masyarakat ada kebanggaan Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
60
tersendiri jika seorang perempuan mendapat mahar yang besar. Dari besarnya jumlah mahar dapat diketahui status perempuan yang telah menikah tersebut. Jika maharnya besar ada dua kemungkinan, perempuan tersebut berasal dari keluarga terpandang, kemungkinan lain, si perempuan memiliki pekerjaan yang baik. Kalau maharnya sedikit, kadang orang-orang mengira bahwa si perempuan sudah hamil duluan. Lalu alasan mengapa ibu Ria mau menikah dengan jujuran yang jumlahnya sedikit, “Untuk apa jujuran besar kalau pada akhirnya akhirnya kita yang membayarnya. Kalaupun besar, kita juga yang setengah mati membayarnya. Menurut saya mahar di Nias itu terlalu mahal. Makanya banyak perempuan yang menjadi perawan tua karena orang tua mereka meminta mahar yang besar. Hal ini jugalah yang menyebabkan banyak orang-orang Nias merantau dan menikah di perantauan”. Sumber : Wawancara November 2008 Di daerah asalnya, perempuan harus kuat dan harus bisa bekerja di ladang. Setelah menikah maka untuk menutupi biaya pernikahan perempuan ikut bertanggung jawab. Biaya mahar itu tak mungkin bisa langsung disediakan dalam waktu yang singkat, kecuali jika yang melamar berasal dari keluarga kaya. Bagi keluarga yang ekonominya biasa-biasa saja, uang untuk mahar yang jumlahnya puluhan juta itu sebagian diperoleh dari bantuan keluarga. Bantuan ini tidaklah cuma-cuma, semacam utang, karena harus dibayar pada akhirnya. Ketika ditanya mengenai kedudukan perempuan dalam keluarga, menurutnya perempuan itu harus menurut kepada suami. Laki-laki adalah kepala keluarga dan yang mengatur kehidupan keluarga. Harta orang tua akan menjadi milik laki-laki, karena laki-lakilah sebagi penerus garis keturunan. Jika dalam sebuah keluarga tidak
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
61
ada anak laki-laki, harta milik orang tua akan jatuh ke tangan anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah, meskipun keluarga tersebut memiliki anak perempuan. 4. Yulina Zebua Tulisan “TUKANG JAHIT MAMA TINUS MENERIMA REPARASI PAKAIAN KHUSUS WANITA”, terpampang jelas di dinding rumahnya yang terbuat dari papan tepat di sebelah pintu rumah, yang
memberitahu setiap orang yang lewat bahwa perempuan yang
bertempat tinggal di rumah itu adalah seorang tukang jahit. Yulina Zebua adalah nama ibu satu anak tersebut. Tempat tinggalnya, adalah sebuah rumah yang disewa seharga Rp. 4 juta per tahunnya. Sebuah rumah. Tidak seperti kebanyakan teman satu sukunya yang tinggal di sekitar lingkungannya yang hanya menyewa sebuah kamar. Dengan fasilitas kamar mandi, dapur, dua buah kamar tidur, sebuah mesin jahit yang sudah tua, lemari untuk tempat pakaian yang sudah atau yang masih belum dijahit beserta televisi mengisi ruang tamu merangkap tempat menjahit. Di rumahnya ini, mama Tinus tinggal bersama sebuah keluarga lainnya yang juga orang Nias. Keluarga yang menumpang ini hanya membayar uang listrik saja. Untuk sewa rumah murni ditanggung oleh mama tinus. Alasannya, “rumah saya lumayan besar, ditambah satu keluarga juga tidak terlalu berpengaruh, hitunghitung membantu teman satu kampung”.
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
62
Kebanyakan pelanggannya berasal dari kalangan mahasiswa yang kost di sekitar tempat tinggalnya. Pengetahuan menjahit diperoleh dari kursus singkat di salah satu kursus menjahit yang ada di Medan. Pendapatan sebagai tukang jahit tidak tentu, tergantung banyaknya jahitan yang dikerjakan. Kadang bisa sampai Rp. 30.0000 sehari, tapi kadang tidak ada sama sekali. Harga yang ditentukan juga, ‘harga mahasiswa’, untuk mengganti resleting celana, mama tinus menerima bayaran Rp. 5000, mengecilkan kemeja atau celana dibayar Rp. 10.000, potong celana Rp. 3000. Untuk menutupi biaya sehari-hari, selain menjahit ibu ini bekerja sebagai tukang cuci untuk dua orang sekaligus. Suaminya yang bekerja sebagai tukang becak, tidak ambil pusing dan tidak mau tahu. Sekarang suaminya sedang berada di Kalimantan, bekerja di perkebunan. Tergiur dengan gaji yang dijanjikan lebih banyak daripada menarik becak, bersama beberapa orang laki-laki tetangganya, suami mama Tinus berangkat ke Kalimantan lima bulan yang lalu. Becak yang dibeli secara kredit akhirnya ditarik pihak showroom karena bayarannya menunggak. Padahal masa pelunasan kredit hanya tinggal dua bulan lagi, namun karena tidak ada biaya, mau tak mau becak itu akhirnya tidak menjadi milik mereka. Rencananya suami mama Tinus akan pulang ke Medan bulan Desember tahun ini. Menurut cerita suaminya, gaji yang diterima tidak seperti yang dijanjikan. Mereka hanya dibayar dua puluh ribu perhari. Biaya makan dan rokok tanggung sendiri, singkatnya gaji tersebut tidak cukup untuk kebutuhan dalam sehari. Dan Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
63
untuk biaya pulang suaminya dari Kalimantan, mama Tinus jugalah yang mengusahakan di Medan. Sekarang setelah tahu bagaimana sakitnya bekerja banting tulang suaminya baru menyesal, tidak mempertimbangkan saran istrinya. Jika saja suaminya meneruskan narik becak, tentu becak itu sekarang sudah menjadi milik mereka. Di perkebunan tersebut, suaminya bekerja dari pagi hingga sore. Di Medan, kalau narik becak, kapan istirahat terserah, tidak capek dan hasilnya juga lebih banyak. Mama Tinus tidak mau berantam gara-gara suaminya tidak mau mendengar sarannya. Sebelum-sebelumnya mereka sering bertengkar, Dari hasil pernikahannya, ibu berusia 32 tahun ini dikaruniai seorang anak laki-laki yang sudah duduk dikelas 4 SD. Dua belas tahun tinggal di Medan, mama Tinus sering mengikuti acara perkawinan orang Nias di Medan. Tentang adat perkawinan di Nias, yang dia tahu dengan jelas adalah jumlah maharnya yang sangat besar. Sepengetahuannya, jumlah mahar untuk perempuan Nias paling sedikit(dalam bentuk uang) Rp 20 juta, itu untuk perempuan biasa, untuk yang berpendidikan dan yang memiliki pekerjaan bisa mencapai Rp. 50 juta atau lebih, emas 2 pau (1 pau= 10 garam emas, untuk mempelai perempuan 1 pau,yang 1 pau lagi diberikan kepada ibu mempelai perempuan ), serta babi 20 ekor. Sejak tinggal di Medan, ia mengaku belum pernah pulang kampung dan mengikuti acara perkawinan di Nias. Kalau mau pulang kampung, ongkos pergi pulang membutuhkan paling tidak dua juta rupiah. Hanya untuk ongkos saja. Tidak
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
64
mungkin pulang kampung dengan tangan kosong, lazimnya harus bawa oleh-oleh dan memberi uang kepada orang tua. Proses perkawinan di Nias sangat rumit, tidak seperti pernikahan di Medan, yang jauh lebih mudah baik dari acara perkawinan maupun jumlah mahar yang bisa diuangkan. Di Medan setelah jujuran sudah disepakati, beberapa hari kemudian, acra perkawinan sudah bisa dilangsungkan sedangkan di Nias selesai penetapan mahar, acara perkawinan baru satu bulan kemudian bisa dilaksanakan, minimal setelah dua minggu. Perbedaan lainnya, di Nias, setelah acara adat selesai, pengantin perempuan diangkat di atas kursi menuju rumah laki-laki, sedangkan di Medan diantar dengan menggunakan mobil atau angkot. Seperti pada pernikahannya yang dilangsungkan di Medan pada tahun 1999 lalu. Pernikahannya bukanlah hasil perjodohan.
Mahar itu,
besar atau kecil harus dibayar. Dengan adanya mahar perkawinan, menunjukkan bahwa seorang perempuan dihargai. Kesepakatan mengenai mahar perkawinan sudah melalui perundingan semua pihak keluarga, besar atau kecil bagaimanapun harus dipenuhi. Bagi mereka tidak ada masalah, meski mahar itu besar atau kecil.
5. Lusina Laia Ia menikah 12 tahun yang lalu di usia yang masih sangat muda, pada saat umurnya 14 tahun. Kini di usia yang masih 26 tahun, ia telah dikarunia enam orang anak, dua orang perempuan dan empat orang laki-laki. Lima orang dari anakanaknya telah duduk di bangku SD. Lusiana Laia adalah namanya. Bekerja sebagai pemulung dan belum lama ini dipekerjakan sebagai pegawai di rumah makan oleh Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
65
orang Cina yang letaknya di kampus MIPA USU, tidak jauh dari rumah kontrakannya. Ketika ditanya apa makna perkawinan baginya, perempuan ini terdiam lama, sebelum akhirnya menjawab, “dulu sewaktu saya dijodohkan, saya belum tahu apa arti perkawinan itu. Sekarang setelah saya memiliki anak-anak, memperjuangkan mereka dan menyekolahkan anak-anak saya adalah tujuan hidup saya sekarang”. Sumber : Wawancara November 2008 Menurut pengakuan ibu Lusina, ketika dijodohkan, ia tidak menyukai suaminya, namun karena sudah menjadi keputusan orang tuanya, ibu ini tidak bisa menolak. Keputusan orang tua tidak bisa dibantah. Pada tahun 2003, dengan harapan bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik, keluarga ibu Lusina memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya di Nias menuju kota Medan. Situasi di daerah asalnya yang menurut ibu Lusina sangat sulit untuk mendapatkan uang, seringkali menjadi alasan orang-orang di kampungnya untuk segera merantau ke daerah lain. Ekonomi di Nias sangat sulit, kebanyakan masyarakat di sana bekerja untuk membayar utang keluarga ketika mereka menikah. Biaya jujuran yang harus disediakan ketika seorang laki-laki Nias memutuskan untuk menikah, tidaklah sedikit. Mulai dari Rp. 30 juta hingga ratusan juta rupiah. Dengan mata pencaharian yang sebagian besar merupakan petani, tidak mudah mengumpulkan uang sebesar Rp. 30 juta. Jujuran yang diminta oleh pihak keluarga perempuan jika tidak disetujui oleh pihak laki-laki akan mengakibatkan perkawinan batal. Untuk memenuhi biaya ini tidak ada jalan lain selain meminta bantuan kepada keluarga dan sanak famili. Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
66
Bantuan ini akan dibayar setelah perkawinan selesai dilaksanakan. Banyak keluarga baru yang setelah menikah bekerja keras hanya untuk membayar biaya yang dikeluarkan untuk adat perkawinannya. Semakin besar mahar seorang perempuan semakin lama pula mereka melunasinya, bisa sampai bertahun-tahun. Sudah lima tahun sejak keluarganya pindah ke Medan. Selama itu pula ibu Lusina bekerja sebagai pemulung dan suaminya bekerja sebagai tukang becak. Di Medan keluarganya menempati sebuah rumah dengan fasilitas satu buah kamar dan juga dapur yang berdekatan dengan kamar mandi. Pemilik rumah yang mereka sewa ini berasal dari suku Karo yang setiap bulannya datang untuk menagih uang sewanya. Karena yang tersedia hanya satu kamar saja, setiap malamnya dengan menggelar tikar, keluarga ini sebagian tidur di ruang tengah. Seringkali ibu Lusina mengeluh dengan keadaan rumahnya yang kalau hujan bocor di mana-mana. Suatu kali pernah ia coba bicarakan dengan pemilik rumah supaya atapnya diperbaiki. Namun tidak berhasil. Jawaban yang diterimanya hanya membuat ibu ini semakin kecewa. Pemiliknya mengatakan itu adalah urusan pihak yang menyewa. Jika memang ibu Lusina keberatan tinggal di rumah itu, ia hanya disarankan mencari tempat yang lain. Mendapat jawaban seperti ini, ibu Lusina tidak bisa berbuat apa-apa. Karena untuk pindah ke tempat yang lebih baik, ia jelas-jelas tidak mampu. Dengan pekerjaan sebagai pemulung, pendapatannya kurang dari cukup untuk membiayai kehidupan keenam orang anaknya. Sepulang dari sekolah, anak-anaknya juga ikut membantu mencari barang-barang bekas. Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
67
Setiap harinya ibu Lusina mencari barang bekas di sekitar kampus USU. Sore harinya ia ke tempat fotokopi di fakultas Sastra untuk mengambil kertas yang tidak terpakai yang sudah menjadi langganannya. Penghasilannya dalam setiap bulan ratarata lima ratus ribu hingga tujuh ratus ribu rupiah. Pernah dalam sebulan ia mendapatkan Rp. 1 juta, tapi ia sudah sangat capek, sampai kepalanya sakit. Pendapatan suaminya
sebagai tukang becak sama sekali tidak bisa
diharapkan Untunglah sejak beberapa bulan yang lalu, kredit kereta untuk becak sudah bisa dilunasi. Suaminya tidak
bekerja
atau
tidak,
bagi
ibu
Lusina
terlalu
berpengaruh. Penghasilan suaminya, kebanyakan dihabiskan untuk main judi, main bilyard dan minum-minum bersama teman-temannya. Paling-paling tiap hari hanya dikasih Rp. 20.000 saja. Uang segitu cuma bisa beli beras untuk makan sehari. Uang untuk membeli lauk, biaya sekolah anak-anak dan sebagainya, ibu Lusinalah yang bertanggung jawab. Walaupun ia sudah tiap hari bekerja, tetap saja uang yang didapat masih terasa kurang. Anak-anaknya pun, yang masih sekolah sudah ikut menanggung beban keluarga. Walaupun tidak tega, karena tidak sanggup membiayai kehidupan keluarganya hanya dengan penghasilannya sendiri, anak-anak terpaksa ikut menjadi pemulung. Sebentar lagi anaknya yang paling besar akan memasuki pendidikan pada sekolah lanjutan tingkat pertama. Ibu Lisa tidak ingin anaknya bernasib sama dengannya, harus berhenti bahkan sebelum menyelesaikan pendidikannya di tingkat sekolah dasar. Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
68
Tiga tahun mendatang, kalau tidak ada halangan rencananya mereka sekeluarga akan pulang lagi ke Nias. Untuk mengolah ladang karena, di kampung mereka masih memiliki tanah yang masih bisa diusahakan.
6. Betinia Hulu Awalnya, ibu empat orang anak ini sangat enggan untuk dimintai wawancara. Tapi setelah diberitahu bahwa wawancara ini untuk keperluan kuliah, ibu yang bernama lengkap Betinia Hulu ini perlahan-lahan mau menjawab pertanyaan yang diajukan. Ibu Betinia adalah anak paling bungsu dalam keluarganya, sehingga segala keinginannya biasanya selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Berdasarkan ceritaceritanya, di daerah asalnya, Alasa (Nias), keluarga ibu Betinia bukanlah orang yang miskin. Sebagai buktinya, orang tuanya mampu menyekolahkan semua anak lakilakinya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Abangnya yang paling besar, diterima sebagai anggota ABRI. Di rumah abangnya inilah ia tinggal sebelum akhirnya menikah. Ibu Betinia mengatakan bahwa ia tidak terlalu mengerti adat perkawinan Nias seluruhnya. Yang ia tahu, jujuran di Nias itu sangat besar. Ia tidak setuju dengan jumlah jujuran yang berlaku di daerah asalnya, ”nanti ngutang, lebih baik sedikit daripada tenggelam dalam utang. Pada akhirnya setelah berkeluarga perempuan ikut bekerja keras untuk membayar utang tersebut”. Sumber : Wawancara November 2008
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
69
Berdasarkan pengalaman yang selama ini ia lihat ketika mengikuti acaraacara perkawinan di Medan, banyak perbedaan yang ada dalam pelaksanaan perkawinan antara di Nias dengan di Medan. Perbedaan yang paling mencolok terletak pada jumlah jujurannya. Perubahan ini diakibatkan karena orang-orang Nias itu hanya orang pendatang di Medan, sehingga untuk melaksanakan acara adat seperti di Nias tidak mungkin, orangtua dan sanak saudara tidak bisa hadir secara lengkap. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, ia juga ikut bekerja untuk membantu pendapatan sang suami yang bekerja sebagai tukang becak. Bekerja sebagai buruh cuci di
rumah orang Batak
yang menurutnya
sangat cerewet.
Kadang-kadang ia tidak tahan dengan omelan majikannya, tapi daripada anaknya tidak makan, ia tetap melaksanakan tugasnya. Rumah tempatnya bekerja adalah rumah tempat kos bagi mahasiswa yang kuliah di kampus USU. Banyak juga anakanak kos yang sekalian mencucikan pakaian mereka pada ibu ini. Lumayanlah untuk menambah belanja sehari-hari. Suaminya saat
ini sedang
tidak
menarik
becak.
Mereka
sedang
mengusahakan membangun rumah di daerah Simalingkar yang dikerjakan sendiri oleh suaminya. Maka seutuhnya beban untuk biaya, sehari-hari ibu Betinialah yang mengusahakan. Karena anaknya sudah memasuki usia remaja, sehingga tidak mungkin lagi tidur sekamar dengan orang tuanya, maka keluarga ini menyewa dua kamar sekaligus.
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
70
Selain sebagai tukang cuci, ibu Betinia juga mengolah ladang yang ia kerjakan bersama suaminya. Rencananya setelah rumah mereka siap dikerjakan, mereka akan mencoba untuk memelihara babi. Dulu ketika masih tinggal di rumah orang tuanya, ibu Betinia tidak pernah bekerja di ladang. Menjadi tukang cuci orang sama sekali tidak pernah dibayangkannya akan menjadi pekerjaan sehari-harinya. Ibu Betinia sangat menyesal kenapa ia dulu tidak mau sekolah. Walaupun dalam keluarganya kepentingan anak laki-laki lebih diutamakan, namun orangtuanya tetap menganjurkannya untuk sekolah. Sebenarnya ia malu kepada orang tuanya, ia hanya menjadi tukang cuci di Medan. Sekali lagi untuk anak-anaknya. Namun tidak ada niat untuk pulang ke kampung halaman. Lebih baik berusaha di Medan saja. Kalau merantau jangan tanggung, tidak boleh menyerah.
7. Yati Telambanua Pertama melihat sosoknya, kita tidak akan percaya jika ibu Yati, demikian namanya, masih berumur 23 tahun. Wajahnya terlihat jauh lebih tua dari umur yang sebenarnya. Badannya yang kecil dan kurus semakin menambah ketuaannya. Perempuan yang bernama lengkap Yati Telambanua ini tinggal bersama suami dan dan seorang anak dari saudaranya di Jl. Pembangunan, Padang Bulan Medan, dalam kamar sewaannya yang kecil. Sudah tiga tahun ia menikah namun
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
71
hingga saat ini, ia dan suaminya masih belum dikaruniai anak. Baginya sebuah keluarga tidak lengkap jika tidak memiliki anak. Hal ini jugalah yang menjadi tujuan perkawinannya, yaitu untuk melanjutkan keturunan. Anak dari saudaranya yang tinggal bersamanya itulah yang selama ini sudah ia anggap sebagai anak sendiri dan yang menemaninya tiap hari. Kaum ibu-ibu/ perempuan selama adat berlangsung bertugas menyediakan sirih, memberikan sirih tersebut kepada seluruh famili, memberi nasehat kepada kedua mempelai dan mengangkat pengantin di atas kursi dari tempat pesta berlangsung hingga ke rumah laki-laki. Dalam adat perkawinan Nias, pengantin perempuan tidak boleh menginjak tanah sebelum tiba ke rumah suaminya. Jumlah mahar yang diterimanya sangat jauh bedanya jika misalnya ia dan suaminya melangsungkan pernikahan mereka di daerah asal mereka di Nias Selatan. Namun ia mengaku tidak keberatan dengan jumlah tersebut, menurutnya walaupun mahar yang ia terima ketika menikah sedikit, ia jauh lebih senang. Untuk apa jumlah jujuran sampai puluhan juta, kalau pada akhirnya kita juga yang membayarnya. Ia setuju-setuju saja dengan jumlah mahar yang berpuluh-puluh juta jika memang keluarga laki-laki sanggup. Namun jika harus meminta bantuan sampai meminjam dari sanak famili, hal ini akan mengakibatkan beban bagi keluarga yang baru menikah. Seringkali untuk membiayai perkawinan anaknya, orangtua harus meminta bantuan kepada saudara-saudaranya. Uang sebanyak yang diminta pun, bukannya menjadi milik perempuan sepenuhnya. Jujuran digunakan untuk membiayai pesta Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
72
perkawinan yang berlangsung selama seminggu. Termasuk di dalamnya membagikan jujuran itu kepada sanak saudara perempuan, kepada paman, untuk adik dan kakak mempelai perempuan. Perbedaan yang paling mencolok dalam perkawinan di Nias dan di Medan adalah terletak pada jumlah jujuran. Di Nias, selain uang sebanyak puluhan juta harus pula disediakan beras, emas dan babi, sedangkan di Medan dengan uang dua juta saja, sebuah acara perkawinan sudah bisa terlaksana. Perbedaan lain, jika di Nias pesta perkawinan berlangsung selama berharihari lamanya, maka di Medan seluruh acara bisa diselesaikan dalam sehari. Ketika pesta dilaksanakan
di Nias, pihak keluarga
semuanya
ikut
ambil
bagian
dan menghadiri pesta adat, namun jika dilaksanankan di Medan terkadang hanya dihadiri oleh teman-teman saja, tanpa kehadiran orang tua. Kebanyakan alasan orang-orang Nias merantau ke daerah lain adalah untuk mencari pekerjaan dan pengalaman. Menurut pendapat ibu Yati, mahalnya jujuran juga menjadi alasan lain bagi masyarakat di daerahnya untuk merantau. Malangsungkan pernikahan di luar daerah merupakan alternatif bagi laki-laki Nias untuk menghindari jujuran yang besar. Pilihan lainnya menikah dengan perempuan dari suku lain, karena adatnya juga berbeda, dan yang pasti jujuran yang diminta tidak akan sebesar jika seorang laki-laki menikahi gadis Nias di kampung halaman. Dengan jujuran yang sebesar Rp 2,5 juta, orang tua ibu Yati tidak setuju. Setelah ibu Yati dan suaminya mengatakan bahwa jika mereka pulang ke Nias,
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
73
jujuran untuk orang tua ibu Yati akan dibayar, barulah orangtuanya mengizinkan mereka menikah. Mahar itu sangat penting bagi orang tua, untuk menunjukkan bahwa anaknya menikah secara baik-baik. Walaupun mahar yang diterima nantinya akan dibagibagikan juga kepada seluruh keluarga. Permintaan orang tua tidak bisa ditolak. Adalah kewajiban anak untuk memenuhi permintaan orang tuanya. Ibu Yati yang bekerja sebagai pemulung yang dibantu juga oleh
anak
saudaranya yang tinggal bersama dengannya ini mengatakan bahwa dalam keluarganya, anak laki-laki lebih berharga dari perempuan. Anak laki-laki disekolahkan sedangkan anak perempuan tidak perlu disekolahkan dengan alasan bahwa seorang perempuan nantinya akan mengikut suami. Pemahaman bahwa seorang perempuan hanya perlu tahu mengurus rumah tangga sebagai hasil sosialisasi budaya patriarki sangat berakar dalam pemikiran masyarakat. Ia juga setuju jika seorang istri selain mengurus rumah tangga juga harus bekerja untuk mencari nafkah, “itu harus, biar dapat uang banyak”. Selama kurang lebih tiga tahun berumah tangga, ibu Yati mengatakan tidak pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suaminya.
8. Yulina Zega Ibu Yulina yang bermarga Zega ini sangat ramah ketika diwawancara. Saat ditanya tahun berapa ia menikah, cepat-cepat ia pergi ke lemari dan mengeluarkan sebuah map plastik yang berisi surat-surat penting keluarganya. Diambilnya surat Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
74
pemberkatan yang ia peroleh dari gereja tempat ia dan suaminya diberkati sebagi suami istri. Dalam surat nikah tersebut tertulis tanggal pernikahannya, tepatnya pada 26 Mei 1998. Menurut penuturannya, ibu ini datang ke Medan pada umur 34 tahun, sekitar 9 tahun yang lalu untuk mencari pengalaman. Setahun kemudian keluarganya menjodohkannya dengan seorang laki-laki Nias, pada saat umurnya 35 tahun, umur yang termasuk sudah tidak muda lagi untuk menikah. Saat ini di usianya yang sudah 43 tahun, ia telah dikaruniai dua orang anak, anaknya yang paling sulung masih duduk di kelas empat sekolah dasar, sedangkan tetangganya yang usianya 31 tahun, anaknya sudah duduk di kelas dua sekolah menengah tingkat pertama. Ibu Yulina memang tinggal bersama empat keluarga Nias lainnya di sebuah rumah yang terdiri dari lima kamar yang terletak di Kampung Susuk. Kamarnya satu dinding dengan kamar tetangganya. Pada saat pernikahannya, mahar yang diterima oleh ibu Yulina sebesar Rp. 1,5 juta dan sebuah cincin. “Mahar itu sangat penting dalam sebuah perkawinan, untuk melaksanakan adat. Kalau tidak ada jujuran, pesta pernikahan yang direncanakan bisa gagal. Meskipun sudah tunangan, jika jujuran tidak diberikan sampai saat yang ditentukan, maka pihak perempuan akan mengembalikan cincin beserta biaya yang dikeluarkan oleh keluarga laki-laki pada saat acara tunangan diadakan”. Sumber : Wawancara November 2008 Besar kecilnya mahar, bagi ibu Yulina tidak masalah. Yang penting adat perkawinan itu selesai dan terlaksana dengan baik. Kalau laki-laki memang sanggup membayar jujuran yang besar, tidak apa-apa, namun jikalau nantinya harus berhutang, lebih baik tidak usah meminta jujuran yang besar. “melihat kondisi yang Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
75
melamar kitalah”, begitu katanya. adatnya berlangsung dengan baik tanpa ada masaklah sudah merupakan kebanggaan tersendiri. Memang, jika mahar itu besar berarti acara adatnya juga lebih besar dan lebih meriah. Orang tua di Nias yang akan menikahkan anak perempuannya selalu meminta jujuran yang sangat besar, misalnya bisa diminta sampai Rp. 50 juta. Hal ini juga tidak bisa disalahkan karena penentuan jujuran perkawinan merupakan bagian dari adat Nias yang memang seperti itu dari dulu. Menurutnya, alasan mengapa orang tua menginginkan mahar yang tinggi ,karena semua pihak mulai dari keluarga laki-laki, keluarga perempuan, sanak saudara, teman, dan seluruh kampung ikut merayakan pesta perkawinan anaknya, jadi jika biaya pesta tidak bisa ditutupi akan mengakibatkan rasa malu bagi keluarga. Jika pernikahan dilangsungkan di luar daerah Nias, seperti di Medan misalnya, sebenarnya acaranya sama saja, cuma lebih singkat. Yang berbeda hanya jumlah jujurannya saja. Alasannya, semua acara adat itu tidak mungkin dilaksanakan seluruhnya, karena di Medan orang-orang Nias adalah pendatang, sehingga keluarga tidak bisa hadir semua. Misalnya saja, di Nias ada acara yang dilaksanakan khusus untuk mempertemukan ayah laki-laki dan ayah perempuan, namun acara ini tidak mungkin dilaksanakan di Medan, karena belum tentu orang tua kedua belah pihak yang akan menikah bisa hadir. Yang datang hanya yang mewakili saja, maka acara langsung dilanjutkan ke tahap berikutnya. Selain faktor kemampuan orang tua yang melamar, dalam menentukan besarnya mahar ada faktor lain yang cukup diperhitungkan, yaitu status pekerjaan Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
76
perempuan yang akan dilamar. Kalau perempuan itu sudah bekerja, misalnya sebagai PNS, wajar maharnya tinggi. “orang tua sudah mengeluarkan biaya untuk pendidikan si perempuan hingga mendapatkan pekerjaan. Perempuan tersebut sudah memiliki jaminan hidup. Berapapun mahar yang diminta oleh pihak keluarga perempuan akan diusahakan olah keluarga laki-laki. Perempuan yang memiliki pekerjaan selalu menjadi rebutan”. Sumber : Wawancara November 2008 Dalam kehidupan keluarganya, ibu Yulina dan suaminya sama-sama bekerja. Semenjak tiba di Medan, ibu Yulina berprofesi sebagi penjual molen, sejenis makan ringan dan membantu suaminya yang juga bekerja sebagi tukang becak dan sebagai tukang jahit. Menurutnya, perempuan dan laki-laki harus sama-sama berperan. Apalagi dalam krisis ekonomi seperti sekarang, sudah seharusnya perempuan membantu suaminya memenuhi kebutuhan keluarga. Perempuan berperan penting dalam keluarga, sebagai penengah jika terjadi masalah. Perempuan punya kemampuan untuk menyatukannya. Perempuan harus bisa lebih sabar, kalau suami marah, perempuan jangan melawan, karena laki-laki lebih cepat emosi.
9. Dewi Telambanua Orangnya lembut, dengan bahasa yang hati-hati dan selalu disertai senyuman ia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Sore itu, rumahnya begitu ramai, maklum hari Minggu, orang-orang di sekitar tempatnya tinggal terlihat sibuk bercengkerama. Di depan rumah, berjejer becak-becak mesin, tidak dioperasikan, menandakan yang punya sedang istirahat. Setiap hari Minggu mereka mengikuti Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
77
kebaktian di gereja dan biasa dipergunakan sebagai hari istirahat setelah seminggu bekerja. Tinggal di rumah yang bangunannya sudah permanen, yang terdiri dari banyak kamar-kamar. Di salah satu kamar inilah ia bersama suaminya tinggal. Kamar yang lain ditempati oleh tetangga-tetangganya yang juga satu daerah dan satu suku dengannya. Kamar-kamar ini berhadap-hadapan. Ruang tengah dibiarkan kosong, di ruangan inilah mereka biasa berbincang-bincang setelah seharian bekerja. Mayoritas yang menempati rumah tersebut bekerja sebagai tukang becak, dan kaum ibu, menjadi pemulung dan tukang cuci. Sama seperti ibu Dewi yang bekerja di sebuah kedai makan yang ada di daerah Sumber. Dengan pendidikan yang hanya lulusan Sekolah Dasar, sejak tiga tahun yang lalu, ibu Dewi merantau ke Medan untuk mencari pekerjaan dan pengalaman yang baru. Ia kemudian mendapatkan pekerjaan di sebuah kedai makan. Di kedai makan inilah ia kemudian bertemu dengan orang yang menjadi suaminya sekarang. Ia merasa tidak enak hanya menumpang di rumah keluarga tanpa ada penghasilan dan hanya menambah beban baru bagi keluarga tempatnya tinggal selama di Medan. Di daerah asalnya, perempuanlah yang paling kuat bekerja. Kerja apapun harus bisa. Malas tidak ada dalam kamus mereka. “Bisa dihajar kalau kami sempat bermalas-malasan”. Itu makanya setelah menjadi istri ia pun tidak tinggal diam dan ikut mencari nafkah untuk menopang keluarga barunya. Ibu Dewi Telambanua adalah nama ibu yang masih berumur 26 tahun ini. Ia baru menikah Oktober 2008, masih satu bulan yang lalu, kurang lebih. Ia menikah Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
78
bukan karena dijodohkan. Ia dan suaminya telah pacaran sejak dua tahun yang lalu. Mereka memutuskan menikah karena keduanya sudah sama-sama siap. Saat acara melamar, calon suaminya datang ke rumah dengan membawa ayam satu ekor, babi satu ekor serta memberikan cincin padanya. Mahar yang diterimanya sebesar Rp 10 juta. Sebanyak Rp 4,5 juta dikirimkan ke kampung untuk orang tuanya, Rp. 2 juta diberikan untuknya untuk dipergunakan membeli perlengkapan untuk pakaian adat pada saat acara pernikahan berlangsung, dan selebihnya digunakan untuk membiayai acara adat perkawinan. Acara pernikahan dilaksanakan dengan memanggil pendeta ke tempat pernikahan dilangsungkan, dilanjutkan dengan acara makan bersama, dan pengantin perempuan diserahkan pada pihak laki-laki. Di akhir pesta, ada acara meminta sumbangan dari pihak laki-laki untuk dibagikan kepada teman-teman mempelai perempuan. Ketika ditanyakan seberapa penting nilai mahar dalam sebuah perkawinan, ibu Dewi menjawab bahwa mahar perkawinan sangat penting. Mahar itu harus ada dalam setiap perkawinan. Dalam adat Nias itu memang sudah menjadi aturan sejak dulu. Kalau tidak ada mahar, seakan-akan harga diri perempuan tidak ada. Tidak apa-apa baginya, walaupun mahar yang diterimanya tidak sebanyak yang berlaku di daerah asalnya di Nias. Ia sudah merasa dihargai karena bisa melaksanakan pesta adat perkawinannya dengan lancar. Lagi pula mahar di Medan memang rata-rata sebanyak yang diterimanya. Pihak keluarganya memang meminta jujuran sebesar 15 juta pada saat acara bertunangan. Namun pihak laki-laki meminta Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
79
kerelaan pihak keluarga ibu Dewi, karena pihak laki-laki hanya bisa menyediakan Rp. 10 juta saja. Lalu apa jawaban ibu Dewi mengenai mahar untuk seorang yang sudah janda ketika menikah? “sudah pasti mahar untuk yang masih gadis lebih besar daripada mahar untuk yang sudah janda. Biasanya mahar untuk janda sama dengan gadis yang sudah hamil duluan”. Sumber : Wawancara November 2008 Menurut ibu Dewi, sebenarnya ia lebih suka jika pernikahannya dilaksanakan di Nias, sehingga bisa disaksikan oleh kedua orang tuanya. Mengingat biaya pulang kampung yang tidak sedikit ditambah jujuran yang harus diberikan suaminya nanti harus sesuai dengan ketentuan di daerahnya, maka pernikahan mereka pun dilaksanakan di Medan.
10. Adria Telambanua Ruangan rumahnya dipenuhi dengan kain-kain. Tergeletak begitu saja di meja, sebagian disampirkan di atas kursi. Di dekat kursi terdapat mesin obras dan dua buah mesin jahit. Ruangan ini di bagi menjadi tiga bagian , masing-masing disekat dengan tirai lebar berwarna hijau tua sehingga membentuk kamar-kamar kecil. Bagian tengah ruangan dipergunakan sebagai ruang tamu dan tempat kerja. Tangannnya dengan lincah memutar mesin, sebentar-sebentar berhenti untuk menggunting, lanjut lagi dengan menjahit dan demikian seterusnya. Ya, ibu yang bernama Adria Telambanua ini berprofesi sebagai seorang tukang jahit. Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
80
Baru dua bulan ini keluarga ibu Adria tinggal di rumah kontrakannya yang sekarang. Mereka terpaksa pindah karena rumah mereka yang sebelumnya terbakar. Rumah dan seluruh isinya hangus. Bukan hanya rumah ibu Adiria saja yang terbakar, karena ada beberapa keluarga lain yang tinggal bersama mereka yang juga menempati rumah dan kamar berukuran kecil. Beruntung suaminya masih sempat menyelamatkan sepeda motor yang mereka miliki dengan menabung. Saat ini ibu Adria sekeluarga menempati sebuah ruangan di pinggir jalan. Pemiliknya orang Karo tinggal di samping ruangan yang ibu Adria tempati. Sebenarnya tempat ini akan dijual, tetapi karena keluarga ibu Adria sudah kenal lama dengan pemiliknya, mereka diizinkan untuk menempati ruangan tersebut untuk sementara, dengan kesepakatan kapan tanah itu laku, mereka sama-sama pindah. Ibu berusia 46 tahun ini hanya dikarunia seorang anak perempuan bernama Yohana yang sekarang kelas satu sekolah menengah atas. Suaminya berprofesi sebagai guru olah raga di salah satu sekolah dasar yang ada di Padang Bulan. Ibu Adria berasal dari daerah Laheva yang terletak di ujung pulau Nias. Menurut penuturan ibu ini, di daerah asalnya banyak tumbuhan kelapa yang juga menjadi sumber mata pencaharian penduduk di sana. Berangkat ke Medan sejak tahun 1982 dengan niat mencari pengalaman. Sepuluh tahun kemudian tepatnya pada tahun 1992 ia menikah dengan suaminya. Pernikahannya dilaksanakan pada tahun di Medan. Ia dan suaminya dipertemukan oleh keluarga masing-masing.
Dengan mahar sebesar Rp 5 juta pesta perkawinan
ibu Adria dilaksanakan secara sederhana. Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
81
4.3 Mahar (Mas Kawin) Menurut Adat Istiadat Nias Secara umum pengertian mahar (mas kawin) adalah keseluruhan prosedur penyerahan yang oleh adat telah ditetapkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sesuai dengan lapisan dan kedudukan sosial masing-masing sebelum seorang laki-laki secara resmi mengambil seorang perempuan Hans Daeng (dalam Mendrofa, 2007: 72). Sedangkan menurut Ariyono (dalam Mendrofa, 2007:72), mas kawin merupakan benda-benda berharga yang diberikan kepada orang tua mempelai perempuan oleh mempelai laki-laki atau kerabatnya. Secara khusus, menurut adat istiadat pernikahan Nias mas kawin (böwö) dalam arti yang sebenarnya adalah kasih atau perbuatan baik yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa mahar dalam adat Nias adalah merupakan “fasumangeta” (penghormatan) kepada seseorang yang telah melakukan perbuatan baik tanpa ada imbalan jasa. Namun dalam praktek pelaksanannya dalam adat istiadat pernikahan makna dari mas kawin berubah menjadi “boli niha” (harga orang). Dikatakan demikian karena dalam proses pelaksanaan pernikahanyang lebih menentukan adalah jumlah mas kawin yang harus dibayar. Besarnya mahar itu ditentukan oleh hukum adat dalam suatu musyawarah yang disebut dengan “fondrako”. Namun, dalam proses pelaksanaannya bisa melebihi dan bisa juga berkurang dari patokan itu sesuai dengan musyawarah dan hubungan kedua belah pihak. Sekalipun demikian pada umunya mahar itu dirasakan cukup berat oleh masyarakat. Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
82
Secara umum menurut adat Nias, sesuai dengan keterangan informan mahar (mas kawin) dalam masyarakat Nias terdiri dari kefe (uang kertas), bawi (babi), böra (beras), firö (uang perak) dan ana’a (emas). Kelima jenis mahar (mas kawin) ini menunjukkan lambang kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa nilai mahar (mas kawin) pada masyarakat Nias adalah merupakan suatu hal penentu utama dalam berlangsungnya suatu proses pernikahan. Sesuai dengan keterangan informan, besarnya jumlah mahar yang diberikan pihak laki-laki kepada perempuan berkisar antara Rp. 30 juta sampai 50 juta, emas, beras 20 karung dan babi 30 ekor. Besar kecilnya mahar yang diberikan kepada pihak perempuan juga dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya keturunan dan tingkat pendidikan serta pekerjaan seorang perempuan. Jika seorang perempuan punya pekerjaan, atau berasal dari keluarga kaya dan terpandang jumlah mahar bisa mencapai Rp. 70 juta sampai Rp. 100 juta. Untuk pendidikan, walaupun pendidikannya tinggi tetapi perempuan tersebut tidak bekerja, tidak akan mempengaruhi jumlah mahar yang akan diberikan. Yang terpenting dalam penentuan jumlah mahar adalah status dan pekerjaan seorang perempuan. 4.4 Tahap- Tahap Proses Pernikahan bagi Perempuan Nias di Padang Bulan Adapun tahapan-tahapan proses pernikahan yang berlaku bagi perempuan Nias di Padang Bulan sesuai dengan keterangan informan adalah sebagi berikut:
1. Lisa Zebua
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
83
Ibu Lisa menikah pada tahun 2005, dengan suaminya yang acara pernikahannya dilaksanakan di Nias. Sesuai dengan penuturan ibu Lisa, untuk melaksanakan acara perkawinan di Nias butuh biaya yang sangat besar. Banyak hal yang harus dipersiapkan. Untuk acara pesta perkawinan saja bisa menghabiskan waktu sekitar seminggu. Tahap pendahuluan adalah proses pelamaran yang diajukan oleh keluarga laki-laki setelah kedua calon mempelai setuju untuk menikah. Dilanjutkan dengan menyepakati mahar (jujuran) yang harus disediakan oleh pihak laki-laki, tunangan dan menentukan hari perkawinan. Pada saat pesta perkawinan berlangsung, acara dimulai dengan pemberian cincin kepada pengantin perempuan oleh saudara perempuan pengantin laki-laki, acara makan, berdoa setelah itu pemberkatan nikah. Mahar yang diterima ibu Lisa sendiri ketika pernikahannya adalah Rp. 15 juta, babi 10 ekor, dengan rincian Rp. 6 juta dari mahar tersebut diberikan kepada pengantin perempuan untuk keperluan perlengkapan nikah seperti pakaian adat dan alat untuk riasan. Selebihnya, digunakan untuk biaya adat perkawinan.
2. Adiria Lafa Berdasarkan penuturan ibu Adiria, proses tahap pernikahannya dari awal hingga tahap akhir berlangsung dengan singkat. Dimulai dengan acara perjodohan oleh keluarganya, setelah kedua belah pihak merasa cocok, keluarga laki-laki datang Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
84
untuk melamar kepada pihak perempuan sekaligus untuk merundingkan jumlah jujuran. Seminggu kemudian, sesudah jujuran disepakati dan telah diserahkan barulah acara pernikahan bisa dilangsungkan. Pesta pernikahan yang dilaksanakan tidak semeriah ketika ibu Adiria menikah di Nias, karena maharnya juga sangat jauh berbeda jumlahnya. Jika di Nias mahar yang diterima sebesar Rp. 40 juta dalam bentuk uang, belum lagi emas, beras dan babi, di Medan mahar yang diterima hanya sebesar 10 juta, sudah mencakup semuanya, tidak ada emas, beras atau babi. Itu pun tidak dibayar sepenuhnya saat pernikahan berlangsung. karena dengan pekerjaan sebagai tukang becak, penghasilan calon suaminya tidak terlalu memadai dan untuk mengumpulkan uang sebesar 10 juta sangat sulit. Maka yang dibayarkan pada saat itu adalah setengahnya saja, sebesar Rp 5 juta, selebihnya dibayar belakangan. Mahar ini, digunakan untuk biaya pesta pernikahan, untuk mempelai perempuan sebesar Rp 3 juta dan untuk paman pihak perempuan sebesar Rp 1 juta. Acara adat yang dilasanakan juga lebih rumit di Nias yang lamanya sampai berhari-hari. Acara adat di Medan cukup hanya sehari sudah selesai.
3. Ria Hulu Ibu Ria Hulu menikah melalui perjodohan yang diatur oleh keluarganya. Keluarga tempatnya tinggal selama di Medan inilah yang menjodohkannya dengan Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
85
suaminya yang juga orang Nias. Pada saat pernikahannya yang dilaksanakan di Medan, ibu Ria mendapat mahar sebesar Rp. 2,5 juta. Keluarganya memperkenalkan laki-laki yang akan menjadi suaminya terlebih dahulu, karena mereka merasa cocok, selanjutnya masing-masing keluarga berunding untuk menentukan besarnya mahar dan hari pernikahannya. Acara pernikahan pun dilangsungkan. Orang tua kandung ibu Ria tidak ikut karena mereka tinggal di Nias di samping biaya perjalanan yang lumayan besar.
4. Yulina Zebua Pernikahan ibu Yulina Zebua bukanlah melalui perjodohan karena ia sudah lama kenal dengan suaminya. Ibu Yulina memutuskan menikah dengan suaminya dengan alasan bahwa kedua belah pihak sudah cocok dan saling menyukai. Maka keluarga laki-laki datang untuk melamar ke rumah ibu Yulina. Dua hari berikutnya keluarga pihak laki-laki datang untuk merundingkan besarnya jujuran yang akan diberikan kepada pihak keluarga perempuan. Setelah dirundingkan bersama keluarga, jujuran yang diberikan pihak laki-laki kepada mama Tinus sebesar Rp. 10 juta, dengan rincian, untuk ibu mempelai perempuan beserta paman masing-masing mendapat 1 pau emas yang pada saat itu jika diuangkan bernilai sekitar Rp.2 juta, untuk kakak kandung sebesar Rp. 500.000, untuk adik yang paling bungsu sebesar
Rp. 250.000. Selebihnya, digunakan untuk biaya saat acara perkawinan dilaksanakan. Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
86
5. Lusina Laia Sebelum menyelesaikan pendidikannya di tingkat SD, orang tuanya telah menjodohkannya dengan seorang pria bermarga Lafao. Pada saat keluarga laki-laki datang untuk melamar, keluarga ibu Lusina menjamu keluarga laki-laki dengan memotong satu ekor ayam. Seminggu berikutnya keluarga laki-laki datang (dengan membawa satu ekor babi yang diberikan kepada calon pengantin perempuan) untuk membicarakan jumlah mahar yang akan diberikan kepada perempuan. Tiga hari berikutnya keluarga laki-laki menyerahkan jujuran. Dan dua minggu kemudian pesta pernikahan pun dilangsungkan.
6. Betinia Hulu Seperti penuturannya, tujuan kedatangannya ke Medan murni hanya untuk jalan-jalan ke rumah abangnya yang memang tinggal di Medan. Saat itu umurnya 24 tahun. Tak disangka tanpa sepengetahuannya, ia telah dijodohkan dengan laki-laki yang satu suku dengannya. Mungkin keluarganya khawatir ia tidak akan menikah lagi, mengingat usianya yang sudah sangat memungkinkan berkeluarga. Biasanya, perempuan-perempuan di Nias menikah pada usia yang masih sangat muda, mulai dari umur 13 tahun, orang tua sudah mulai mencari jodoh untuk anak-anaknya. Walaupun sebenarnya tidak mau dan tidak suka tapi karena telah dijodohkan, ibu Betinia tidak bisa menolak. Tidak berani menolak kehendak keluarganya, takut
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
87
dimarahi, apalagi ia memang baru datang ke Medan, jadi belum tahu apa-apa. Pada saat acara tunangan dilaksanakan, saat itu juga kedua belah pihak keluarga menentukan besarnya jujuran. Jujuran ini diantarkan tiga hari setelah acara tunangan dilaksanakan. Pada saat pernikahannya, tahun 1994, ia mendapatkan mahar sebesar Rp. 1,5 juta, yang ketika itu hanya dibayar Rp. 1,2 juta, selebihnya dibayar belakangan.
Sebanyak Rp 600.000 dikirim kepada orang tuanya di kampung.
Sisanya digunakan untuk membeli keperluan pesta adat dan
membeli baju
pengantin.
7. Yati Telambanua Ibu Yati sendiri menikah pada tahun 2005 di Medan, tepatnya di daerah Padang Bulan. Ia dijodohkan keluarganya dan pada saat itu menerima jujuran sebanyak Rp. 2,5 juta yang langsung diserahkan oleh pihak keluarga calon suaminya. Jujuran ini dipergunakan untuk membiayai pesta adat perkawinannya, mulai dari membeli pakaian nikah dan biaya makan saat pesta berlangsung. Dalam menentukan jujuran, pihak keluarga perempuanlah yang paling berperan. Pihak keluarga laki-laki hanya menyetujui berapa jujuran yang diminta oleh pihak perempuan. Jika pihak laki-laki setuju dengan jumlah mahar yang diminta, acara bisa dilanjutkan ke proses pernikahan.
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
88
8. Yulina Zega Pernikahannya dilangsungkan di Nias pada tahun 1994 , dengan jumlah mahar sebesar Rp. 10 juta. Sebanyak Rp 1 juta dari mahar ini digunakan untuk membeli perlengkapan riasan dan baju pengantin pada saat acara pernikahan berlangsung, sisanya digunakan untuk membiayai pesta adat, untuk makan dan untuk dibagi-bagikan kepada keluarga. Sudah menjadi ketentuan bahwa setiap anggota keluarga harus mendapatkan bagian dari mahar yang diberikan kepada pihak perempuan. Jumlahnya juga sudah tertentu. Jika tidak diberikan akan terjadi keributan antar anggota keluarga, kadang-kadang sampai berkelahi Ibu Yulina menikah melalui perjodohan yang diatur oleh keluarganya. Karena ia merasa cocok dengan laki-laki yang menjadi calon suaminya, keluarga laki-laki meninggalkan cincin yang artinya kedua belah pihak telah resmi bertunangan. Selanjutnya keluarga perempuan dan keluarga laki-laki merundingkan berapa besarnya jujuran. Keluarga laki-laki diberikan waktu seminggu untuk mempersiapkan pernikahan. Acara pernikahannya sendiri menurut ibu Yulina termasuk singkat. Keluarga laki-laki datang ke rumah perempuan, acara dilanjutkan dengan berdoa di halaman, pembacaan acara adat, pemberkatan di gereja, acara makan bersama dengan para undangan, penyerahan pengantin perempuan kepada pihak laki-laki yang sebelumnya telah diberi nasehat oleh seluruh keluarga, doa penutup dan pesta pun selesai. Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
89
9. Dewi Telambanua Saat acara melamar, calon suaminya datang ke rumah dengan membawa ayam satu ekor, babi satu ekor serta memberikan cincin pada ibu Dewi. Mahar yang diterimanya sebesar Rp 10 juta. Sebanyak Rp 4,5 juta dikirimkan ke kampung untuk orang tuanya, Rp. 2 juta diberikan untuknya untuk dipergunakan membeli perlengkapan untuk pakaian adat pada saat acara pernikahan berlangsung, dan selebihnya digunakan untuk membiayai acara adat perkawinan. Acara pernikahan dilaksanakan dengan memanggil pendeta ke tempat pernikahan dilangsungkan, dilanjutkan dengan acara makan bersama, dan pengantin perempuan diserahkan pada pihak laki-laki. Di akhir pesta, ada acara meminta sumbangan dari pihak laki-laki untuk dibagikan kepada teman-teman mempelai perempuan.
10. Adria Telambanua Ibu Adria menikah melalui perjodohan yang diatur oleh keluarganya. Keluarga suaminya datang ke rumah keluarga ibu Adiria melamar sekaligus meninggalkan cincin sebagai tanda bahwa kedua calon mempelai telah bertunangan. Dua hari kemudian keluarga laki-laki datang untuk membicarakan jujuran yang harus disediakan. Setelah disepakati (jumlah jujuran sebesar Rp. 5 juta), jujuran diantarkan dua hari berikutnya. Acara pernikahan dilangsungkan seminggu kemudian. Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
90
4.4.1 Matriks Tata Cara Penetapan Mahar Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan
No 1.
Informan Lisa Zebua
2.
Adiria Lafa
3.
Ria Hulu
4.
Yulina Zebua
5.
Lusiana Laia
Tata Cara Penetapan Mahar -Pihak laki-laki dipertemukan dengan pihak perempuan -Kedua belah pihak ditanyai apakah setuju untuk menikah -Jika keduanya setuju, pihak laki-laki datang untuk melamar -Esoknya kemudian pihak laki-laki mengantar sirih sekalian untuk melihat apakah calon mempelai perempuan baik-baik saja. -Dua hari kemudian keluarga laki-laki datang untuk membicarakan jujuran (disepakati sebesar 15 juta dan babi 10 ekor), sekalian untuk menetapkan hari pernikahan. -Dijodohkan -Saat acara melamar keluarga perempuan memotong ayam satu ekor (mangamanu), pihak laki-laki membawa sirih dalam bolanafo. -Kedua belah pihak keluarga merudingkan besarnya jujuran (disepakati uang sebesar Rp. 10 juta). -Seminggu kemudian acara pernikahan dilaksanakan. -Dijodohkan -Kedua belah pihak yang akan menikah ditanya suka atau tidak dengan calon yang dijodohkan. -Pada saat tunangan keluarga pihak perempuan dan pihak lakilaki menetapkan jumlah jujuran (disepakati uang sebesar Rp. 2,5 juta). -Empat hari kemudian keluarga laki-laki mengantar jujuran -Acara pernikahan dilangsungkan tiga hari kemudian. -Lamaran diajukan oleh pihak laki-laki karena sebelumnya sudah kedua belah pihak sudah saling mengenal. Memotong babi satu ekor sebagai tanda pinangan. -Dua hari berikutnya kedua belah pihak keluarga bertemu untuk berunding mengenai jumlah mahar (disepakati 10 juta). -Seminggu kemudian acara pernikahan dilangsungkan. -Dijodohkan -Pada saat tunangan, keluarga perempuan menyambut pihak
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
91
6.
Betinia Hulu
7.
Yati Telambanua
8.
Yulina Zega
9.
Dewi Telambanua
10.
Adria Telambanua
laki-laki dengan memotong ayam satu ekor. -Seminggu kemudian keluarga laki-laki datang untuk membicarakan mahar dengan menyerahkan satu ekor babi kepada calon mempelai perempuan (disepakati jujuran sebesar Rp. 10 juta). -Ketika pihak laki-laki menyerahkan jujuran tiga hari kemudian, babi yang diberikan sebelumnya dipotong. -Dua minggu berikutnya acara pernikahan dilangsungkan. -Dijodohkan -Saat acara tunangan, pihak perempuan (yang diwakili oleh kakak laki-laki) menyepakati besarnya jujuran bersama pihak laki-laki (disepakati jujuran sebesar Rp. 1,5 juta). -Tiga hari setelah tunangan, pihak laki-laki mengantarkan jujuran ke rumah keluarga perempuan. -Empat hari berikutnya, acara pernikahan dilaksanakan di rumah pihak perempuan. - Dijodohkan -Kedua belah pihak yang akan menikah ditanya apakah setuju dengan calon yang dipilihkan. -Pada saat tunangan keluarga pihak perempuan (yang diwakili oleh paman) dan pihak laki-laki menetapkan jumlah jujuran (disepakati uang sebesar Rp. 2,5 juta). - Dua hari kemudian keluarga laki-laki mengantar jujuran - Seminggu berikutnya, acara pernikahan dilangsungkan. -Dijodohkan -Pihak laki-laki meninggalkan cincin sebagai tanda bahwa kedua belah pihak telah resmi tunangan. -Tiga hari kemudian pihak laki-laki datang untuk membicarakan besarnya jujuran (disepakati Rp1,5 juta). -Acara pernikahan dilangsungkan tiga hari berikutnya. - Pada saat tunangan, pihak laki-laki memberi ayam satu ekor dan babi satu ekor, dilanjutkan dengan acara tukar cincin. -Dua hari kemudian keluarga laki-laki menemui keluarga perempuan untuk merundingkan besarnya jujuran (disepakati jujuran sebesar 10 juta, emas 8 gr, dan beras 2 karung). -Acara pernikahan dilaksanakan pada minggu berikutnya. -Dijodohkan -Tunangan -Dua hari berikutnya keluarga laki-laki berunding dengan keluarga perempuan untuk menyepakati jumlah jujuran (disepakati jujuran sebesar Rp. 5 juta). -Dua hari berikutnya keluarga laki-laki mengantarkan jujuran. - Acara pernikahan dilangsungkan seminggu kemudian setelah jujuran diberikan.
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
92
4.5 Isu Gender Pada Mahar Etnis Nias Budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga sangat tertanam kuat dalam pemikiran masyarakat. Hal ini terbukti dari keterangan para informan bahwa masing-masing informan harus menuruti suami, bisa mengambil hati suami dan harus sabar. Adat istiadat yang menganggap bahwa anak laki-laki adalah pelanjut atau penerus garis keturunan sebuah keluarga mengakibatkan penghargaan yang berbeda terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Bukti yang paling sering bisa dilihat adalah dengan mendahulukan kepentingan anak laki-laki, misalnya saja dalam hal pendidikan. Seringkali anak perempuan harus mengalah bahkan tidak dianjurkan oleh orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan, asalkan anak laki-laki bisa sekolah. Pemikiran bahwa perempuan nantinya akan ke dapur juga sehingga tidak perlu sekolah tinggi-tinggi masih dianut oleh banyak masyarakat kita. Kedudukan perempuan di dalam adat tidak jauh berbeda, sesuai dengan pengakuan para informan hanya “setengah” saja dari porsi laki-laki. Misalnya saja, di Nias, sesuai dengan keterangan informan, anak laki-laki dalam sebuah keluarga bisa menikmati pendidikan hingga mampu lulus sebagai anggota ABRI sementara saudara perempuannya tamat sekolah dasar pun tidak.
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
93
Sama halnya dalam mencari pasangan hidup bagi perempuan Nias, keadaan yang terjadi adalah kebanyakan dari mereka dijodohkan. Suka atau tidak dengan calon suami yang dijodohkan, perempuan harus setuju. Dalam penentuan mahar perkawinan, seluruhnya diatur oleh orang tua. Keterlibatan perempuan hanya sebatas mengikuti apa yang telah diputuskan bersama oleh keluarga. Keputusan orang tua adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak. Jumlah mahar yang diberikan pada perempuan Nias juga dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya, status keluarga perempuan, pendidikan perempuan dan pekerjaan perempuan tersebut. Tetapi pada umumnya jumlah mahar di Nias, terutama sangat dipengaruhi oleh pekerjaan yang dimiliki perempuan. Semakin bagus pekerjaan perempuan semakin besar juga jujuran yang akan diminta oleh pihak keluarganya. Dengan alasan orang tua telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit hingga anak perempuannya mampu memiliki pekerjaan yang baik, selain karena adanya pemikiran bahwa jika sudah berkeluarga kelak, anak perempuan itu bisa menyokong kehidupan ekonomi rumah tangganya. Bisa dilihat perempuan semakin dihargai (dalam hal ini besarnya jumlah jujuran khususnya). Jumlah jujuran yang besar memang merupakan adat istiadat yang berlaku di Nias. Jumlah jujuran yang besar ini untuk membiayai pesta besar pada saat acara Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
94
perkawinan. Adanya kekhawatiran jika pesta mengalami kekurangan akan mengakibatkan malu keluarga merupakan pertimbangan lain dalam menentukan besarnya jujuran, oleh karena itulah orang tua selalu meminta jujuran yang besar kepada keluarga pihak laki-laki.
Nilai mahar ini juga mengandung semacam prestise dalam masyarakat. Masalahnya, setelah berkeluarga biaya mahar ini juga ikut menjadi beban dan tanggung jawab perempuan. Karena untuk menutupi biaya mahar yang sampai puluhan juta, tidak mungkin bisa dilunasi dalam waktu singkat. Pada masyarakat Nias, perempuan harus bisa bekerja keras, kuat dan harus sanggup bekerja di ladang untuk membayar biaya mahar perkawinan ketika melangsungkan pesta adat perkawinannya. Dalam kehidupan keluarga, masingmasing informan mengatakan bahwa sudah sewajarnya perempuan membantu suaminya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Beban ganda, mengurus keluarga sekaligus sebagai pencari nafkah tidak menjadi masalah, semuanya diterima dengan pasrah. Sekalipun perempuan menjadi pencari nafkah utama keluarga. Ada beberapa di antara informan yang pernah mengalami kekerasan, namun mereka tidak berani melawan. Lebih baik mengalah daripada masalah tambah parah, begitu pengakuan mereka. Ada juga yang suaminya, tidak memperdulikan anak istrinya makan atau tidak. Sebagai hasilnya, istilah yang bekerja serabutan, melakoni lebih dari satu pekerjaan dalam sehari, sebagai pemulung, sebagai tukang cuci, dan sebagai tukang jahit. Bekerja di dalam rumah memang tidak memberikan Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
95
penghargaan secara ekonomi. Nilai perempuan sebagai ibu, adalah suatu nilai sakral yang penuh pengabdian. Istilah peran rangkap tiga yaitu peran reproduktif yaitu bekerja, peran reproduktif yaitu menyiapkan segala keperluan keluarga, suami dan anak serta peran kemasyarakatan merupakan peranan yang harus dijalankan perempuan (Daulay, 2007: 18). Adanya konstruksi sosial dalam masyarakat dan dinternalisasi melalui proses sosialisasi secara turun temurun menghasilkan ketidakadilan gender bagi perempuan. Selama ini istilah gender hanya diartikan sebagai perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis. Gender sendiri pada dasarnya adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang bisa berubah-berubah dari waktu ke waktu dan bisa berbeda dari suatu tempat ke tempat yang lainnya, maupun dari satu kelas ke kelas lainnya, yang bisa disebabkan oleh berbagai hal dan melalui proses yang panjang sebagai akibat dari konstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya laki-laki dikenal memiliki sifat kuat, jantan, rasional dan perkasa, sedangkan perempuan memiliki sifat lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Semua sifat ini sebenarnya dapat dipertukarkan antara laki-laki maupun perempuan, karena tidak bersifat secara biologis. Beda halnya, di dalam masyarakat patriarki, maka setiap laki-laki dan perempuan harus melakukan perannya berdasarkan nilai gendernya yang telah ditentukan sebelumnya. Laki-laki selalu menempati posisi lebih tinggi dari perempuan. Konsep budaya yang menempatkan posisi laki-laki lebih sempurna dari perempuan dan yang mengharuskan laki-laki dan perempuan bertindak sehari-hari menurut garis tradisi Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
96
sedemikian rupa sehingga perempuan berada dalam posisi “pelengkap” laki-laki, semuanya berakar pada budaya patriarki. Dalam konsep nurture yang menyatakan bahwa pembedaan antara laki-laki dan perempuan adalah sebagai akibat dari adanya sosialisasi atau konstruksi sosial. Perbedaan peran gender yang ada di Indonesia adalah sebagai akibat dari adanya proses konstruksi sosial. Dengan berbagai cara perbedaan peran gender dikondisikan oleh tatanan masyarakat Indonesia yang patriarkal.
4.6 Analisa Budaya Patriarki dan Isu Gender bagi Perempuan Nias di Padang Bulan Medan Disebabkan oleh pembedaan yang tegas terhadap peran laki-laki dan perempuan yang selama ini terjadi didukung oleh budaya patriarki yang sangat mendomonasi menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan gender terjadi. Dalam kehidupan sosial muncul stereotipe tertentu terhadap laki-laki dan perempuan. Peran laki-laki dan perempuan sangat ditentukan dari suku,umur, pendidikan serta perkembangan zaman. Sistem patriarki berkarakteristik : 1. Perempuan dipandang sebagai “sang lain”. 2. Sifat perempuan diidentifikasikan dengan ketiadaan organ laki-laki dan sifat laki-laki diidentifikasikan pada diri perempuan, sehingga apabila ada hal-hal yang menyimpang dari “aturan” laki-laki, maka perempuan menjadi pihak yang disalahkan. Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
97
3. Status wanita selalu sebagai hamba bagi keheroikan moral laki-laki. 4. Kekuasaan laki-laki mendominasi kehidupan masyarakat. 5. Sistem otoritas laki-laki yang menindas perempuan melalui institusi sosial, politik dan ekonomi. 6. Laki-laki memiliki akses yang lebih besar terhadap sumber daya (Siregar, 2008: 22-23). Patriarki berarti budaya rule of father, yaitu aturan dari ayah. Dalam sistem patriarki laki-laki yang berusia lebih tua mengendalikan kekuasaan secara absolut terhadap pihak lain. Secara budaya, posisi perempuan ditempatkan di urutan kedua setelah laki-laki. Budaya patriarki dan kepala keluarga telah menciptakan ketergantungan yang besar bagi perempuan terhadap seluruh sektor kehidupan. Ketergantungan sosial, budaya politik, ekonomi, hukum dan keamanan terhadap dirinya. Ketergantungan itu menyebabkan perempuan tidak mandiri dalam mengambil keputusan baik terhadap dirinya sendiri maupun lingkungan sosial, politik dan sebagainya. Dalam hal ini dapat dilihat pada proses pernikahan perempuan Nias yang menjadi informan dalam penelitian ini. Kebanyakan pernikahan yang dilangsungkan pada awalnya melalui perjodohan melalui orang tua atau keluarga masing-masing pihak laki-laki dan perempuan. Pihak laki-laki akan mengajukan lamaran kepada pihak perempuan setelah kedua belah pihak saling memberi persetujuan. Dalam menentukan sebuah acara pernikahan yang paling berperan adalah keluarga kedua belah pihak. Perempuan hanya mengikuti kesepakatan yang dibuat Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
98
oleh orang tua. Bagi perempuan suku Nias, keputusan yang dibuat oleh orang tua tidak bisa dibantah. Jika perjodohan sudah diatur, seorang perempuan tidak boleh menolak. Jangan membuat malu keluarga. Yang bisa membatalkan sebuah pernikahan atau pertunangan adalah pihak laki-laki. Jika pihak laki-laki merasa kurang cocok, pernikahan tidak akan dilanjutkan, hanya dengan membayar denda sesuai dengan yang ketentuan yang berlaku. Namun sebuah pernikahan karena perempuan menolak perjodohan, jarang terjadi. “Kalau orang tua dan keluarga sudah memutuskan, maka kita tidak bisa menolak. Keputusan itu dibuat secara bersama-sama melalui musyawarah dahulu, saya pikir itu memang yang terbaik. Tidak mungkin keluarga dan saudara kita menjodohkan kita dengan orang yang menurut mereka tidak baik”.(Adiria Lafa) Sumber: Wawancara Oktober 2008 Keputusan orang tua atau keluarga adalah mutlak, walaupun perjodohan itu tidak diinginkan oleh anak perempuan dengan alasan si anak masih sekolah atau calon yang dijodohkan tidak sesuai dengan harapan si perempuan, pernikahan tetap berlanjut. Sesuai dengan anggapan yang berlaku dalam masyarakat bahwa anak perempuan harus penurut dan tidak bisa membantah, menyebabkan perempuan tidak bisa mengambil keputusan sendiri untuk menolak suatu perjodohan. Selain masalah penentuan jodoh, besarnya jumlah mahar juga menjadi urusan orang tua. Orang tualah yang paling berperan dalam penentuan jumlah jujuran. Misalnya, jika perkawinan dilaksanakan di luar daerah Nias, sehingga orang tua tidak bisa ikut menghadiri keseluruhan acara,maka kebiasaan yang terjadi adalah bahwa anak perempuan beserta suaminya akan membuat sebuah acara di kampung halamannya dengan membawa jujuran yang menjadi hak orang tua sebesar yang Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
99
diminta. Jika belum bisa memenuhi permintaan orang tua tersebut, anak perempuan itu tidak bisa pulang. “Saya bisa pulang jika Rp. 6 juta ada di tangan, kalau tidak, ya tidak bisa pulang kampung. Tidak tahu sampai kapan, orang tua sudah meminta sperti itu harus dipenuhi. Sampai syarat itu terpenuhi saya tidak bisa bertemu dengan orang tua saya. Apa boleh buat, bukan saya tidak mau, tapi keadaan ekonomi kami sekarang belum mengizinkan”. (Ria Hulu) Sumber: Wawancara November 2008 Selama ini yang terjadi adalah kondisi sosial yang sangat menonjolkan peran laki-laki. Konstruksi sosial yang diinternalisasi secara turun temurun, adat istiadat serta didukung budaya patriarki menghasilkan ketidakadilan gender. Meski tidak disadari, ketidakadilan gender, dalam kehidupan keluarga, dalam hal ini beban ganda telah dialami masing-masing informan, secara tidak langsung sebenarnya yang membiayai kehidupan rumah tangga adalah sang istri. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan Nias terkait dengan mahar perkawinan, antara lain: 1. Subordinasi (penomorduaan) Dalam kehidupan keluarga, masing-masing informan mengakui bahwa anak laki-laki lebih disayang dan lebih didahulukan kepentingannya dengan alasan bahwa laki-laki adalah pembawa nama keluarga dan penerus garis keturunan keluarga. Selain itu dalam hal menentukan pasangan hidup yang sepenuhnya terletak di tangan orang tua dan keluarga. Terutama dari segi pendidikan yang ditempuh, perempuan rata-rata hanya sekolah sampai tingkat sekolah dasar sedangkan laki-laki selalu diusahakan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. 2. Stereotipe Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
100
Adanya mahar yang diterima oleh perempuan menyebabkan adanya anggapan bahwa perempuan itu bagaikan barang belian (Boli Gana’a), sehingga perempuan dalam keluarga dituntut untuk bekerja keras yang walaupun hanya dibenarkan oleh sebagian informan, namun hal ini dapat dilihat dari tanggung jawab perempuan memenuhi kehidupan keluarga. Perempuan terkadang menjadi dalam tulang punggung keluarga terutama dalam kehidupan ekonomi, seperti penuturan ibu Yulina, “…kalau saya tidak punya uang untuk belanja sehari-hari, saya minjam kepada suami, nanti sudah gajian saya bayar lagi, padahal uang itu saya pergunakan untuk biaya makan bersama. Seandainya suami tidak ngasih pinjam dan kebetulan tidak punya uang, terpaksa ngutang di warung. Pendapatan suami saya hanya untuk dia saja. Setiap hari kalau suami narik becak, Rp. 50.000 tak kemana, tapi uang ini habis dipakai untuk main bilyar dan minum-minum. Uang sewa rumah, uang sekolah anak, uang listrik dan uang makan sehari-hari adalah tanggung jawab saya”. (Yulina Zebua) Sumber: Wawancara Oktober 2008 3. Beban Ganda Selain sebagai ibu rumah tangga, perempuan juga ikut bekerja dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Keseluruhan informan bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, bahkan ada beberapa informan yang mengerjakan pekerjaan lebih dari satu jenis pekerjaan dan dengan jam kerja yang jauh lebih lama dari suami mereka. 4. Kekerasan Dalam keluarga perlakuan kasar yang datangnya dari suami terkadang juga dialami oleh informan, dalam hal ini mendapatkan bentakan hingga terkena tamparan jika perempuan mencoba protes terhadap sikap suaminya. Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
101
“… jika saya protes, pertengkaranlah yang terjadi. Tidak jarang saya dipukuli. Anakanak juga pernah mencoba bicara dengan ayahnya, namun mereka kena bentak. Lama-lama saya cuma bisa pasrah. Kalau memang dikasih berapa, yah saya terima saja. Saya capek bertengkar terus-terusan.” (Lusina Laia) Sumber: Wawancara November 2008 ”…pernah saya kena tampar, tapi sekarang kalau suami saya marah biasanya saya diamkan saja. “ (Yulina Zebua) Sumber: Wawancara Oktober 2008
Tidak bisa protes ataupun memberikan pendapat sekiranya ada hal yang kurang berkenan dalam rumah tangga, karena adanya rasa takut akan mengalami tindakan kekerasan dari suami menyebabkan perempuan hanya bisa menerima keadaan yang terjadi dengan pasrah.
4.7 Analisa Data Perubahan Tata Cara Penetapan Mahar Perkawinan Bagi Perempuan Nias di Padang Bulan Pada hakikatnya perubahan dalam aspek-aspek kehidupan masyarakat akan selalu terjadi. Demikian juga dengan kebiasaan yang berlaku bisa mengalami perubahan disebabkan adanya mobilitas sosial dalam masyarakat. Migrasi yang dilakukan oleh masyarakat Nias ke luar dari daerah asal sehingga memungkinkan terjadinya pergaulan dengan masyarakat yang berasal dari daerah lain dengan adat dan kebiasaan yang berbeda, bertambah tingginya tingkat pendidikan masyarakat akan mengubah pola pikir masyarakat dalam memandang adat istiadat yang berlaku Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
102
di daerah asalnya. Perubahan dalam makna pemberian mahar (böwö), misalnya, yang dulunya dimaknai sebagai ungkapan kasih sayang orang tua kepada anaknya, untuk saat ini telah mengalami pergeseran makna menjadi sebuah ketentuan yang harus dipenuhi. Akhirnya ketentuan ini menjadi suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh laki-laki Nias jika ingin menikahi seorang perempuan Nias. Hal inilah yang menjadi alasan bagi informan untuk setuju melaksanakan pernikahan di daerah perantauan, dengan alasan biaya yang jauh lebih sedikit dan mempersingkat waktu. Sesuai dengan pengakuan informan, mahar yang diterima sedikit karena pesta yang diadakan tidak semeriah ketika di kampung, dan anggota keluarga juga tidak mungkin seluruhnya hadir karena kendala jarak Nias-Medan yang cukup jauh dan memakan biaya yang lumayan besar. Informan lebih memilih untuk melaksanakan pernikahan dengan mahar yang jauh lebih sedikit di Padang Bulan Medan, dari pada melaksanakan pesta pernikahan besar-besaran
di Nias
dengan
mahar
sesuai ketentuan yang berlaku untuk menghindari ketentuan adat dalam masalah mahar dan tahap-tahap upacara adat perkawinan yang tidak mudah untuk dipenuhi, selain hal membayar biaya pernikahan setelah pesta adat dilaksanakan, khususnya bagi mereka yang menggunakan pinjaman dari kerabat karena menurut keterangan informan bahwa pada akhirnya perempuanlah yang lebih banyak bekerja banting tulang untuk melunasi biaya yang dikeluarkan pada saat pesta dilaksanakan. Perbedaan tata cara penetapan mahar yang berlaku pada masyarakat Nias di daerah Nias dengan masyarakat Nias di Padang Bulan Medan. Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
103
1. Jumlah Mahar Jumlah mahar yang berlaku dalam adat Nias terdiri dari kefe (uang kertas), bawi (babi), böra (beras), firö (uang perak) dan ana’a (emas). Dengan rincian antara lain, jumlah uang kurang lebih Rp. 30 juta, emas (berupa cincin untuk mempelai perempuan dan ibu mempelai perempuan), babi 30 ekor, beras 20 karung dan perhiasan yang terbuat dari perak juga harus disediakan. Di Medan, jumlah mahar yang diberikan adalah dalam bentuk uang, berkisar antara Rp. 1,5 juta – Rp. 10 juta, dan jumlah ini sudah termasuk keseluruhan mahar. Dalam arti biaya untuk menyediakan mahar seperti babi, beras, emas, perak diambil dari jumlah mahar yang berupa uang tersebut. Jika di Nias, keseluruhan mahar (babi, beras, uang, emas, dan perak) diberikan secara terpisah, maka yang berlaku di di daerah Padang Bulan Medan adalah keseluruhan mahar diuangkan. Biaya-biaya pesta seluruhnya diambil dari mahar yang telah diberikan.
2. Tahap-tahap yang dilalui dalam upacara perkawinan Tahapan-tahapan upacara adat yang berlaku dan dipergunakan oleh suku Nias adalah: 1. Tahap Pendahuluan, yang terdiri dari acara memilih gadis, memeriksa guratan jantung ayam jantan, memperhatikan mimpi dan memberi suara. 2. Masa Pertunangan, yang terdiri dari acara menyerahkan cincindan membakar ayam, pernyataan melangsungkan perkawinan, penyerahan padi keperluan pesta kawin, meminta petunjuk ibu dari pihak perempuan, dan memohon doa restu kepada Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
104
dewa dan roh nenek moyang, pemberitahuan kepada paman serta membawa babi adat perkawinan. 3. Pesta Kawin. 4. Penyelesaian Pekerjaan, yang terdiri dari acara memberi makanan untuk pengantin perempuan dan mengembalikan pakaian adat). Di Medan, tidak semua tahap-tahap itu dilalui satu persatu. Sesuai dengan keterangan informan, hal ini dilakukan dengan pertimbangan menghemat waktu dan biaya. Tahap yang dilalui adalah dimulai dari acara lamaran, penyerahan cincin, dan dilanjutkan dengan acara mengantar dan penyerahan jujuran setelah itu acara pernikahan bisa segera dilaksanakan.
3. Waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian upacara adat perkawinan Di Nias, waktu yang dibutuhkan untuk sebuah upacara pernikahan adalah satu atau dua minggu, karena tahapan dalam upacara pernilahan tersebut secara keseluruhan dilaksanakan, sedangkan di Padang Bulan Medan, upacara pernilahan bisa diselesaikan seluruhnya dalam satu hari.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya mahar Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya jumlah mahar di daerah Nias sangat tergantung pada tingkatan (bosi), status keluarga dalam hal ini apakah keluarganya merupakan keluarga kaya, dengan alasan bahwa jika terdapat kesulitan dalam keluarga maka bisa dibantu oleh keluarga yang berpunya tersebut, status Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
105
pekerjaan dan pendidikan perempuan(karena perempuan yang bekerja bisa menjamin dan bisa membantu kehidupan ekonomi keluarga). Di Medan, faktor yang mempengaruhi jumlah mahar adalah kemampuan pihak laki-laki dalam memenuhi mahar yang diminta oleh perempuan. Jika kedua belah
pihak
telah
terlaludipermasalahkan.
setuju Yang
dan
merasa
paling
cocok,
penting
jumlah
pernikahan
mahar tersebut
tidak selesai
dilaksanakan.
4.4.2
Matriks Perubahan Tata Cara Penetapan Mahar Perkawinan Bagi Perempuan Nias dan di Padang Bulan Medan
No. Keterangan 1. Mahar
Nias - Jumlah uang : Rp. 30 jutaratusan juta rupiah - 30 ekor babi - Emas - Perak - Beras 20 karung Tahap-tahap yang -Tahap pendahuluan dilalui dalam (memilih gadis, memeriksa upacara adat guratan jantung ayam, perkawinan memperhatikan mimpi dan memberi suara), -Masa pertunangan (menyerahkan cincin dan membakar ayam, pernyataan melangsungkan
Padang Bulan Medan Jumlah mahar seluruhnya diuangkan, sekitar satu juta rupiah hingga Rp. 10 juta.
2.
Pernikahan bisa dilangsungkan secepatnya karena tahap-tahap dalam pendahuluan, masa pertunangan, pesta kawin dan penyelesaian pekerjaan tidak dilalui seluruhnya. Jika pihak laki-laki telah melamar dan pihak
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
106
3.
4.
perkawinan, penyerahan padi keperluan pesta kawin, meminta petunjuk ibu dari pihak perempuan, memohon doa restu kepada dewa dan roh nenek moyang, pemberitahuan kepada paman, dan membawa babi adat perkawinan), -Pesta Kawin, -Penyelesaian Pekerjaan (membawa makanan untuk pengantin permpuan dan mengembalikan pakaian adat). Lama waktu yang Setiap tahap dirayakan dibutuhkan dengan acara pesta sehingga dalampenyelesaian persiapannya membutuhkan upacara adat waktu satu hingga dua perkawinan minggu. Faktor-faktor yang -Bosi (tingkatan) mempengaruhi -Status keluarga besarnya mahar -Pekerjaan, dan -Pendidikan Pada dasarnya mahar perkawinan yang berlaku
peremp[uan setuju dengan mahar yang akan diberikan maka setelah mahar tersebut diserahkan,dua hari kenudian pesta pernikahan sudah bisa dilangsungkan.
Satu hari
Pada umumnya tergantung pada kemampuan ekonomi pihak laki-laki dalam menyediakan mahar dalam masyarakat budaya
patriarki adalah sama, yakni pihak laki-laki memberikan mahar kepada pihak perempuan jika akan melaksanakan suatu pernikahan. Perbedaannya adalah jumlah dan cara penyampaian mahar tersebut. Di daerah Aceh (di daerah Pidie), jumlah mahar untuk perempuan tertentu besarnya, yaitu setidaknya tidak kurang dari 20 mayam (1 mayam = 3,3 gram), mahar ini tidak boleh dikurangi. Sedangkan bagi orang Batak mahar itu tidak diumumkan besarnya karena jika jumlahnya disebut terang-terangan akan memberi aib kepada salah satu pihak. Jumlah mahar dalam adat Batak tidak langsung dirundingkan tetapi dilakukan dengan acara bisik-bisik sehingga ketika pihak lakiLola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
107
laki tidak mampu membayar mahar, maka pihak perempuan yang akan menanggung dan di hadapan kahlayak ramai acara dilangsungkan seolah-olah pihak laki-laki yang membayar mahar tersebut. Di daerah Nias, mahar itu harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan yang berlaku baik jumlahnya maupun tata cara upacara adat perkawinan harus dilaksanakan seluruhnya, jika pihak laki-laki tidak sanggup dalam mpenyediaan mahar, perkawinan tidak akan berlangsung oleh karena itulah informan lebih memilih untuk melaksanakan pernikahan dengan mahar yang jauh lebih sedikit di Padang Bulan Medan daripada melaksanakan pesta pernikahan besar-besaran di Nias dengan mahar sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk menghindari ketentuan adat dalam hal mahar dan tahap-tahap upacara adat perkawinan yang tidak mudah untuk dipenuhi, selain dari hal membayar biaya pernikahan setelah pesta adat dilaksanakan, khususnya bagi mereka yang menggunakan pinjaman dari kerabat karena berdasarkan keterangan informan pada akhirnya perempuanlah yang lebih banyak bekerja banting tulang untuk melunasi biaya yang dikeluarkan pada saat pesta dilaksanakan.
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
108
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Secara umum besarnya mahar perkawinan yang berlaku dalam adat perkawinan suku Nias terdiri dari kurang lebih Rp. 30 juta, perhiasan emas, 30 ekor babi dan beras 20 karung. Banyak faktor yang mempengaruhi besarnya mahar perkawinan suku Nias, namun yang paling berpengaruh antara lain status keluarga Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
109
dan pekerjaan perempuan yang akan dilamar. Jika perempuan yang akan dilamar memiliki pekerjaan yang baik atau jika perempuan tersebut berasal dari keluarga terpandang, maka jumlah mahar yang harus disediakan oleh pihak laki-laki akan lebih besar lagi. Adapun tahapan-tahapan upacara adat perkawinan yang berlaku dan dipergunakan oleh suku Nias adalah, tahap pendahuluan (memilih gadis,memeriksa guratan jantung ayam jantan, memperhatikan mimpi dan memberi suara), masa pertunangan (menyerahkan cincin dan membakar ayam, pernyataan melangsungkan perkawinan, penyerahan padi keperluan pesta kawin, meminta petunjuk ibu dari pihak perempuan, memohon doa restu kepada dewa dan roh nenek moyang, pemberitahuan kepada paman, dan membawa babi adat perkawinan), pesta kawin dan penyelesaian pekerjaan (membawa makanan untuk pengantin perempuan dan mengembalikan pakaian adat). Adat atau kebiasaan yang berlaku di kampung halaman tidak selamanya diterapkan oleh masyarakat ketika menetap di luar daerah asal.
Perkembangan
zaman mempengaruhi terjadinya perubahan dalam setiap bagian upacara adat perkawinan. Perubahan yang dimaksud berarti menambahkan atau mengurangi kewajiban-kewajiban tertentu dalam upacara perkawinan. Dalam hal ini, para informan dalam penelitian ini tidak seluruhnya melalui empat tahapan penting dalam upacara adat perkawinan Nias yang ditetapkan. Pada hari ketika pihak laki-laki mengajukan lamaran dan pihak perempuan setuju, acara bisa dilanjutkan ke tahap
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
110
tunangan dan beberapa hari setelah jujuran atau mahar perkawinan diserahkan, pesta perkawinan bisa segera dilangsungkan. Dari segi mahar juga ikut mengalami perubahan. Jika acara perkawinan dilangsungkan di luar daerah Nias maka jumlah mahar yang harus disediakan oleh pihak laki-laki tergantung kesepakatan kedua belah pihak serta kemampuan keluarga laki-laki. Pihak keluarga laki-laki tidak harus memikirkan biaya mahar yang besarnya puluhan hingga ratusan juta rupiah. Bagi para informan, yang terpenting adalah makna pernikahan itu sendiri, bukan besar atau meriahnya suatu pesta. Para informan tidak mengerti istilah gender dan konsep patriarki, namun mereka menyadari bahwa kedudukan laki-laki memang lebih tinggi dari perempuan, baik dalam keluarga dan adat. Konsep kepala keluarga dan laki-laki sebagai pelanjut garis keturunan keluarga pada akhirnya menyebabkan perempuan menjadi kelompok nomor dua. Mulai dari mendahulukan kepentingan anak laki-laki hingga masalah pasangan hidup diatur oleh orang tua. Pasangan hidup yang sudah ditentukan oleh orang tua tidak bisa ditolak oleh anak perempuan. Dalam kehidupan keluarga informan, beban ganda sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah diterima dengan pasrah. Besarnya mahar di Nias didorong oleh acara adat perkawinan yang setiap tahap harus dirayakan dengan acara besar-besaran. Satu tahap bisa sampai beberapa hari, sehingga untuk sebuah perkawinan bisa menghabiskan waktu seminggu. Untuk membiayai acara ini, tidak jarang pihak laki-laki harus meggunakan pinjaman dari
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
111
keluarga. Pengembalian pinjaman ini akan menjadi bagian dari tanggung jawab perempuan.
5.2 Saran Adalah baik menjaga kelestarian dan mempertahankan adat istiadat suku yang kita miliki. Namun jika ketentuan dari adat itu kemudian memberatkan masyarakat, ada baiknya ketentuan-ketentuan adat tersebut ditinjau kembali. Menerima perubahan bukan berarti merubah seluruh ketentuan atau ketetapan yang ada. Memberikan kesempatan yang sama dalam pendidikan bagi perempuan dan laki-laki sehingga ketidakadilan gender, seperti beban ganda (dalam hal ini sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah utama keluarga), marginalisasi, stereotipe, kekerasan dan pernikahan yang terkesan dipaksakan melalui perjodohan yang diatur oleh orang tua karena anggapan bahwa keputusan itu mutlak, yang dialami oleh perempuan bisa diminimalkan dan dihindari. Keluarga sebagai agen sosialisasi pertama diharapkan dapat melaksanakan kewajibannya untuk menerapkan kesetaraan gender bagi setiap anggota keluarga, baik laki-laki dan perempuan.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Daulay, Harmona. 2007. Perempuan dalam Kemelut Gender. Medan: USU Press.
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
112
Fakih Mansur.2001. Analisa Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Irianto, Sulistiowati. 206. Perempuan dan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Laiya, Bambowo. 1983. Solidaritas Kekeluargaan dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias – Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Manning, Chris. 1985. Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota. Jakarta: Gramedia. Moleong, Lexy. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: LP3ES. Sutisno, Loekman. 1997. Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan. Yogyakarta: Kanisius. Suyanto, Bagong. 2005. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana. Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Tesis Simanihuruk, Muba. 1999. Adaptasi Migran dalam Konteks Perkembangan Kota di Indonesia. Jakarta: UI Press.
Skripsi
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
113
Mendrofa, Samina T. 2007. Mas Kawin (Bowo) pada Suku Bangsa Nias. USU Press: Medan Resneita. 2005. Tradisi ‘Bajapuik’ di Perantauan. USU Press: Medan. Sibarani, Jobit. 2005. Pola Penerapan Upacara Adat Perkawinan pada Masyarakat Batak Toba Perantauan. USU Press: Medan. Siregar, Anita S. 2008. Pengaruh Pekerjaan Wanita terhadap Jumlah Anak. USU Press: Medan Jurnal Tan, Melly G. 2003. Dimensi Sosial Kultural Kekerasan Berdasarkan Gender di Indonesia: Dari Penjulukan Ke Diskriminasi Ke Kerasan, Dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Tahun XXVII No. 71 Edisi Mei-Agustus. Website http://niasbarat.wordpress.com/2007/04/24/sistem-adat-perkawinan-nias-salah-satupenyebab-kemiskin/ Diakses tanggal 15 April 2008 http://www.niaskab.go.id/. Diakses tanggal 4 Juni 2008 http://fasilitatormasyarakat.org/id/index.php/pgg=artikel_detail&id=103 Diakses tanggal 15 April 2008 http://www.mailarchive.com/
[email protected]/msg00854.html Diakses tanggal 4 Juni 2008 http://www.museum-nias.org/?s=menurut&paged=2 Diakses tanggal 4 Juni 2008
INTERVIEW GUIDE PENELITIAN SKRIPSI Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
114
Nama Peneliti : Lola Utama Sitompul NIM
: 050901036
Judul Penelitian
: Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan Medan)
Pembimbing
: Harmona Daulay, S.Sos, MSi
I. Profil Informan 1. Nama : 2. Jenis Kelamin : 3. Usia : 4. Agama : 5. Pekerjaan : 6. Status : 7. Pendidikan : 8. Alamat : 9. Tahun Menikah : 10. Tempat Menikah : 11. Lama tinggal di Medan dan daerah asal sebelumnya : 12. Motivasi melakukan migrasi ke Padang Bulan :
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
115
13. Apakah Anda pernah mengikuti upacara perkawinan suku Nias di Padang Bulan? 14. Apakah Anda pernah mengikuti upacara perkawinan suku Nias di daerah Nias?
II. Pengetahuan Budaya Nias 1. Apakah makna perkawinan bagi Anda? 2. Apakah Anda memahami adat istiadat Nias secara keseluruhan? 3. Bagaimanakah tahapan-tahapan proses perkawinan dalam adat Nias secara keseluruhan? 4. Berapakah besarnya jumlah mahar perkawinan dalam adat istiadat Nias secara umum? 5. Bagaimanakah peranan perempuan dalam adat istiadat suku Nias?
III. Nilai-nilai Perkawinan dan Mahar pada Etnis Nias 1. Apakah Anda memahami tata cara adat perkawinan pada masyarakat Nias secara keseluruhan? 2. Bagaimanakah tahapan adat perkawinan yang diterapkan sewaktu upacara perkawinan Anda? Dimulai dari proses : a. Pendahuluan, b. Masa Pertunangan, c. Pesta Kawin, dan Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
116
d. Penyelesaian Pekerjaan. 3. Menurut Anda apakah mahar perkawinan itu perlu dalam sebuah perkawinan? 4. Ketika Anda menikah, apakah Anda mendapat mahar sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam adat Nias? 5. Bagaimanakah kesepakatan yang terjadi dalam penetapan mahar dalam proses perkawinan Anda? 6. Apakah Anda setuju dengan jumlah mahar yang harus diberikan pihak lakilaki kepada pihak perempuan dalam upacara adapt perkawinan Nias? Kalau setuju, mengapa, dan kalau tidak setuju, mengapa? 7. Bagaimanakah peran keluarga Anda dalam proses penetapan mahar perkawinan Anda? 8. Bagaimanakah peran keluarga pihak yang menjadi suami Anda dalam proses penetapan mahar perkawinan Anda? 9. Apakah ada kendala dalam mengumpulkan biaya untuk perkawinan Anda? 10. Apakah Anda terlibat dalam penetapan mahar perkawinan Anda? 11. Apakah mahar perkawinan itu menjadi milik Anda? 12. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi besar kecilnya jumlah mahar perkawinan Anda? 13. Apakah terjadi tawar menawar dalam proses penentuan mahar perkawinan Anda?
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
117
14. Mengapa Anda mau menikah dengan mahar yang berbeda dari ketentuan adat yang seharusnya? 15. Apakah ada perbedaan penghargaan masyarakat di sekitar Anda jika mahar perkawinan untuk seorang isteri lebih sedikit dari ketentuan adat yang berlaku? 16. Apakah ada kebanggaan bagi Anda ketika keluarga Anda menuntut mahar yang tinggi dalam proses perkawinan Anda? 17. Adakah perbedaan proses penetapan mahar perkawinan antara di kampung (Nias) dengan di Padang Bulan Medan? 18. Bagaimana bentuk-bentuk perbedaan mahar antara di Nias dengan di Padang Bulan Medan? 19. Menurut Anda apakah yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam penerapan upacara adat perkawinan pada masyarakat Nias yang ada di Padang Bulan Medan? 20. Menurut Anda, apakah proses penetapan mahar yang diterapkan di Padang Bulan telah mengalami perubahan? Kalau iya, perubahan yang seperti apa? 21. Apakah Anda setuju terhadap keseluruhan tata cara pelaksanaan adapt perkawinan pada masyarakat Nias? Kalau setuju, mengapa. kalau tidak setuju, mengapa?
IV. Isu gender pada Mahar Etnis Nias
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
118
1. Apakah Anda pernah mengenal istilah gender? Kalau iya, menurut Anda, apakah gender itu? 2. Bagaimanakah sistem patriarki menurut Anda? 3. Bagaimana tanggapan Anda jika nilai mahar untuk perempuan diukur berdasarkan tingginya pendidikan dan kecantikan perempuan tersebut? 4. Apakah Anda setuju jika mahar untuk seorang gadis dengan yang sudah janda dibedakan? 5. Dengan adanya mahar, apakah Anda merasa dibeli? 6. Apakah dalam kehidupan keluarga Anda, laki-laki lebih menguasai daripada perempuan? 7. Menurut Anda apakah perempuan harus sabar, lemah lembut, perasa dan bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga? 8. Apakah Anda setuju jika seorang isteri harus mencari nafkah dan mengurus rumah tangga? 9. Selama Anda menikah apakah Anda pernah mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga Anda? Kalau ya, kekerasan yang seperti apa?
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
119
Gambar 1. Rumah yang terdiri dari beberapa kamar dan dihuni oleh keluarga Nias.
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
120
Gambar 2. Ibu Yati Telambanua
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
121
Gambar 3. Ibu Adiria Lafa
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009
122
Gambar 4. Ibu Lusina Laia
Lola Utama Sitompul : Tata Cara Penetapan Mahar Bagi Perempuan Nias (Studi Kasus Pada Perempuan Nias Yang Bekerja di Sektor Informal di Padang Bulan), 2009. USU Repository © 2009