e-Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Vol: 2 No: 1 Tahun: 2014
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MELALUI PENDEKATAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION PADA MATA PELAJARAN Pkn SISWA KELAS V SD N 2 BLAHBATUH A.A.I.Puspadewi1,I Made Putra2,I Made Suara3 1,2,3
Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, FIP Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia
E-mail:
[email protected], ,
[email protected],
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan siswa kelas V SD N 2 Blahbatuh, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar tahun ajaran 2013/2014. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus terdiri atas empat tahapan yaitu: perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan refleksi. Subjek penelitian adalah siswa kelas V SD N 2 Blahbatuh tahun ajaran 2013/2014 yang berjumlah 40 orang siswa. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode tes. Data kemampuan berpikir kritis diperoleh dengan metode tes. Selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan rumus teknik analisis deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pendekatan kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada mata pelajaran PKn siswa kelas V SD N 2 Blahbatuh tahun ajaran 2013/2014. Hal ini terlihat rata – rata kemampuan berpikir kritis pada siklus I sebesar 71,02 dan pada siklus II rata-rata kemampuan berpikir kritis meningkat menjadi 81,30. Sedangkan persentase ketuntasan belajar pada siklus II yaitu 62,50% yang berada pada kategori rendah, mengalami peningkatan pada siklus II menjadi 82,50% berada pada kategori tinggi. Jadi simpulan dari penelitian ini adalah penerapan pendekatan kooperatif tipe student teams achievement division dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan siswa kelas V SD N 2 Blahbatuh tahun ajaran 2013/2014. Kata Kunci :
Pendekatan Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Division, Pendidikan Kewarganegaraan, Kemampuan Berpikir Kritis
Abstract The purpose of this study is wanted to know the increase of critical thinking ability of fifth grade students of SD N 2 Blahbatuh at Blahbatuh district, Gianyar regency on academic year 2013/2014. This research is a classroom action research was conducted in two cycles. Each meeting begins with phase consists of planning, implementation, evaluation and reflection. Subjects were fifth grade students of SD N 2 Blahbatuh on academic year 2013/2014, consist of 40 students. Data collection in this study was conducted by using a test. Data obtained by critical thinking ability of the test method. Furthermore, the data were analyzed using descriptive analysis techniques quantitative formula. The results showed that the application of cooperative learning with student teams achievement division typed can improve critical thinking ability in teaching PKn learning to fifth grade students of SD N 2 Blahbatuh on academic year 2013/2014. This looks ability of learning average in the first cycle is 71.02 and the second cycle of learning average ability increased to 81.30. While the percentage of mastery learning on the first cycle is 62.50% which is in the low category, having enhancer in the second cycle to 82.50% in the high
e-Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Vol: 2 No: 1 Tahun: 2014 category. So the conclusion of this research is the application of cooperative learning with student teams achievement division typed can improve critical thinking ability in teaching PKn learning to fifth grade students of SD N 2 Blahbatuh on academic year 2013/2014. Keywords: Cooperative Learning with Student Teams Achievement Division, PKn Learning, Critical Thinking
PENDAHULUAN Pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Apalagi pada era globaliasi saat ini sangat diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas, bernalar tinggi dan memiliki kemampuan untuk memproses informasi guna pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Trianto (2011:4) mengungkapkan bahwa pendidikan hendaknya melihat jauh ke depan dan memikirkan apa yang akan dihadapi peserta didik di masa yang akan datang. Menjadi manusia yang berkompeten dan dinamis dalam melakoni hidup merupakan salah satu kunci dari kemampuan bertahan dalam tataran masyarakat global. Pendidikan bukanlah suatu upaya yang sederhana, melainkan suatu kegiatan yang dinamis dan penuh tantangan (Fattah dan Ali, 2008: 12). Dalam setiap pembelajaran dituntut untuk melakukan berbagai upaya ke arah perbaikan yang signifikan dan bermuara pada peningkatan kemampuan dan keterampilan siswa. Guru sebagai manajer pembelajaran harus peka terhadap perkembangan masyarakat sehingga pembelajaran yang dilakukan bisa mewakili realitas sosial yang berkembang di masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah dengan melakukan pembaharuan dalam kurikulum. Saat ini telah dilakukan perubahan kurikulum 2006 yang sering disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum 2013. Usaha ini diharapkan membuahkan hasil sehingga kualitas pendidikan di Indonesia khususnya kualitas pendidikan kewarganegaraan meningkat. Apalagi seperti yang kita ketahui bahwa tujuan pendidikan kewarganegaraan yang tercantum pada kurikulum KTSP (2006:2) diantaranya yaitu berpikir secara kritis,
rasional, dan kreatif dalam menangggapi isu kewarganegaraan serta berpartisipasi secara bermutu dan bertanggungjawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di mana salah satu standar isi dari pendidikan kewarganegaaan adalah pengembangan nilai-nilai demokrasi serta hak asasi manusia. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mampu menjadikan peserta didik sebagai insan yang berkompeten pada bidang yang dibelajarkan sesuai dengan kriteria yang telah disepakati. Untuk menjadikan seseorang (siswa) memiliki kompetensi pada bidang tertentu, guru sebagai manajer dan fasilitator pembelajaran harus mampu menjadikan pembelajaran yang menyenangkan serta menggugah peserta didik untuk belajar. Menurut Rusman (2012:93) pembelajaran pada hakikatnya merupakan proses interaksi antara guru dengan siswa, baik interaksi secara langsung seperti kegiatan tatap muka maupun secara tidak langsung, yaitu menggunakan berbagai media pembelajaran. Didasari oleh adanya perbedaan interaksi tersebut, maka kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pola pembelajaran. Pada konteks ini, seorang guru harus mampu melaksanakan berbagai kegiatan yang menjadikan siswa belajar, apa yang dipelajari siswa tersebut harus mengandung arti penting bagi dirinya sehingga menumbuhkan minat dan motivasinya serta bermanfaat dalam kehidupannya sehari-hari. Untuk mewujudkannya maka penting menghubungkan apa yang akan dipelajari siswa dengan pengetahuan dasar yang telah dimiliki siswa dan sesuai dengan kebutuhan siswa. Peningkatan kualitas pendidikan salah satunya tercermin dalam proses belajar
e-Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Vol: 2 No: 1 Tahun: 2014 siswa. Dengan segala sumber belajar dan fasilitas IPTEK yang telah tersedia, siswa seharusnya lebih mampu menggali pengetahuan melalui berpikir kritis. Begitu pula kinerja para guru sudah sering diuji keprofesionalismeaannya. Melihat hal tersebut, hendaknya mutu pendidikan hendaknya tidak perlu diragukan lagi. Namun kenyataan yang penulis temukan, pada saat kegiatan belajar di kelas siswa cenderung kurang aktif dan hanya berkutat pada materi yang terdapat pada buku panduan yang mereka pegang. Jika dikaji lebih dalam, sebenarnya siswa sudah memiliki kemampuan untuk berpikir kritis, hanya saja rangsangan dan tindak lanjut yang masih kurang yang menyebabkan kemampuan tersebut tidak berkembang. Hal ini tentunya merupakan dampak dari kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidak masuk ke dalam ranah dimensi siswa itu sendiri, yaitu bagaimana siswa kurang diajak bereksplorasi dengan menggunakan seluruh modalitas yang dimiliki untuk menemukan konsep yang sedang dipelajari, khususnya pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Kadangkadang pendidikan kewarganegaraan dianggap sebagai pelajaran yang membosankan dan kurang penting bila dibandingkan dengan ilmu alam atau pelajaran matematika. Apalagi seperti yang kita ketahui, pelajaran pendidikan kewarganegaraan tidak termasuk mata pelajaran yang diikutsertakan dalam UN. Sehingga jangan disalahkan apabila disetiap jam pelajaran pendidikan kewarganegaraan siswa cenderung merasa enggan dan malas. Padahal,Kewarganegaraan seperti yang disebutkan dalam kurikulum KTSP 2006, merupakan wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari peserta didik sebagai individu, anggota masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara itu pendidikan kewarganegaraan menurut Zamroni, dalam http Haris adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan
warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis. Dalam kurikulum KTSP, (2006:2), tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebagai berikut. 1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menangggapi isu kewarganegaraan. 2) Berpartisipasi secara bermutu dan bertanggungjawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain. 4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Sementara itu, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan memiliki fungsi sebagai berikut; mengembangkan dan melestarikan nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.; mengembangkan dan membina siswa yang sadar akan hak dan kewajibannya taat pada peraturan yang berlaku, serta berbudi pekerti luhur; Membina siswa agar memahami dan menyadari hubungan antara anggota keluarga, sekolah dan masyarakat serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Depdiknas, 2008:87). Pembelajaran yang masih didominasi oleh guru kadang-kadang tidak dapat membangkitkan aktivitas dan kemampuan berpikir kritis siswa dalam belajar. kurikulum yang umumnya dirancang dengan target materi yang luas menyebabkan guru dalam mengajar lebih terfokus pada penyelesaian materi. Kurangnya pemahaman guru tentang metode pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Hal ini tampak dari perilaku siswa yang cenderung hanya mendengar dan mencatat pelajaran yang diberikan guru. Siswa tidak mau bertanya apalagi mengemukakan pendapat tentang materi yang diberikan. Hal tersebut dialami pada siswa kelas V SD N 2 Blahbatuh. Dari 40 orang siswa kelas V hanya sekitar 11 orang saja yang
e-Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Vol: 2 No: 1 Tahun: 2014 berani dan mau mengungkapkan pendapatnya, sisanya siswa tidak mau bertanya dan tidak berani mengemukakan pendapat. Begitu halnya saat melaksanakan diskusi kelompok, anggota kelompok tidak semua anggota kelompoknya aktif dalam mengikuti proses pembelajaran. Alhasil, berdampak pada pencapaian nilai rata–rata ulangan semester ganjil pada siswa kelas V SD N 2 Blahbatuh pada tahun pelajaran 2012/2013 masih tergolong rendah hanya mencapai 6,7. Sementara Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) untuk mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan adalah 7,0. Kemampuan siswa untuk berpikir secara kritis merupakan salah satu hal penting yang harus diperbaiki dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Angelo (dalam http Achmad, 2007), berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan, dan mengevaluasi. Jadi, berpikir kritis didefinisikan sebagai cara berpikir yang sistematis dan mandiri, yang akan menghasilkan suatu interpretasi, analisis, kesimpulan serta evaluasi terhadap suatu hal atau permasalahan. Pada prakteknya penerapan proses belajar mengajar kurang mendorong pada pencapaian kemampuan berpikir kritis. Dua faktor penyebab berpikir kritis tidak berkembang selama pendidikan adalah sebagai berikut; kurikulum yang umumnya dirancang dengan target materi yang luas sehingga guru dalam mengajar lebih terfokus pada penyelesaian materi serta kurangnya pemahaman guru tentang metode pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis Bloom (dalam Agung, 2010 : 8-9) kognitif dalam menunjang kemampuan berpikir kritis meliputi: 1) Analisis; adalah pemecahan sebuah komunikasi ke dalam unsur-unsur atau bagian-bagian sedemikian rupa, sehingga susunan ide-idenya menjadi jelas, dan atau hubungan-hubungan antara ide-ide yang dinyatakan itu dibuat menjadi eksplisit. Pada prinsipnya kemampuan analisis ini mengikuti pola berpikir secara
deduktif. Kata kerja operasional untuk mengukur aspek analisis diantaranya adalah; merinci, mempertentangkan, mengidentifikasi, menghubungkan, memisahkan, membuat diagram, serta menunjukkan hubungan antara; 2)Sintesis adalah memadukan unsur-unsur dan bagian-bagian sedemikian rupa sehingga melahirkan suatu keseluruhan atau suatu kesatuan. Sintesis ini meliputi proses bekerja dengan bagian-bagian, dengan unsur-unsur, dan sebagainya dan menyusun serta memadukannya sedemikian rupa sehingga membentuk satu pola struktur yang sebelumnya tidak ada. Pada prinsipnya kemampuan sintesis ini mengikuti pola berpikir secara induktif. Kata kerja operasional yang dapat dipakai untuk mengukur aspek sintesis diantaranya adalah; mengkategorikan, mengarang, mengkombinasikan, membuat rencana, menjadikan, merevisi, menciptakan, mereorganisasi, menyusun kembali, serta merekonstruksi; 3) Evaluasi merupakan pertimbangan yang diberikan kepada nilai materi atau metode tertentu untuk tujuan yang tertentu pula. Pertimbangan yang diberikan tersebut bersifat kualitatif dengan maksud untuk memeriksa seberapa jauh materi dan metode tersebut dapat memenuhi tolak ukur yang telah ditetapkan. Tolak ukur tersebut dapat berupa tolak ukur yang ditentukan oleh subjek didik atau dapat pula oleh pengajarnya. Kata kerja operasional yang dapat dipakai untuk mengukur aspek evaluasi diantaranya adalah; menilai, memutuskan, mengritik, memberi argumentasi, mendeskripsikan, mendukung, menafsirkan, serta menolak. Angelo (dalam http Achmad, 2007), mengidentifikasi lima perilaku yang sistematis dalam berpikir kritis. Perilaku tersebut adalah sebagai berikut; 1) Keterampilan menganalisis; merupakan suatu keterampilan menguraikan sebuah struktur ke dalam komponen-komponen agar mengetahui pengorganisasian struktur tersebut. Kata-kata operasional yang mengindikasikan keterampilan berpikir analitis, diantaranya: menguraikan, membuat diagram, mengidentifikasi, menggambarkan, menghubungkan, memerinci, dan sebagainya; 2) Keterampilan mensintesis; merupakan
e-Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Vol: 2 No: 1 Tahun: 2014 keterampilan yang berlawanan dengan keteramplian menganalisis. Keterampilan mensintesis adalah keterampilan menggabungkan bagian-bagian menjadi sebuah bentukan atau susunan yang baru. Pertanyaan sintesis menuntut pembaca untuk menyatupadukan semua informasi yang diperoleh dari materi bacaannya, sehingga dapat menciptakan ide-ide baru yang tidak dinyatakan secara eksplisit di dalam bacaannya; 3) Keterampilan mengenal dan memecahkan masalah; merupakan keterampilan aplikatif konsep kepada beberapa pengertian baru. Keterampilan ini menuntut pembaca untuk memahami bacaan dengan kritis sehingga setelah kegiatan membaca selesai siswa mampu menangkap beberapa pikiran pokok bacaan, sehingga mampu mempola sebuah konsep. Tujuan keterampilan ini bertujuan agar pembaca mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep ke dalam permasalahan atau ruang lingkup baru; 4) keterampilan menyimpulkan; ialah kegiatan akal pikiran manusia berdasarkan pengertian/ pengetahuan yang dimilikinya, dapat beranjak mencapai pengertian/ pengetahuan yang baru yang lain. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa keterampilan ini menuntut pembaca untuk mampu menguraikan dan memahami berbagai aspek secara bertahap agar sampai kepada suatu formula baru yaitu sebuah simpulan. Proses pemikiran manusia itu sendiri, dapat menempuh dua cara, yaitu : deduksi dan induksi; 5) Keterampilan Mengevaluasi atau Menilai; Keterampilan ini menuntut pemikiran yang matang dalam menentukan nilai sesuatu dengan berbagai kriteria yang ada. Keterampilan menilai menghendaki pembaca agar memberikan penilaian tentang nilai yang diukur dengan menggunakan standar tertentu. Berkenaan hal tersebut di atas, maka peneliti ingin melakukan usaha perbaikan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan menjadi pembelajaran yang lebih bermakna dan inovatif sehingga siswa mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari melalui penelitian tindakan kelas yang berorientasi pada pendekatan kooperatif tipe Student Teams Achievement
Division (STAD). STAD merupakan tipe pembelajaran kooperatif yang paling sederhana dimana siswa ditempatkan dalam team belajar yang diacak berdasarkan jenis kelamin, tingkat kinerja dan suku. Pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan motivasi belajar siswa secara konsisten baik bagi siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah, dan resistensi (daya lekat) terhadap materi pelajaran menjadi lebih panjang (http, Ellyana dalam Santoso, 2011). Selain itu Ellyana juga mengemukakan bahwa STAD merupakan tipe pembelajaran yang berguna untuk menumbuhkan kemampuan kerjasama, kemampuan untuk membantu teman serta kemampuan berpikir kritis. Menurut Sanjaya (2006:166) mengungkapkan keunggulan pembelajaran kooperatif tipe STAD sebagai berikut; melalui pendekatan pembelajaran kooperatif tipe STAD siswa tidak terlalu menggantungkan pada guru, akan tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuan berpikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari siswa yang lain, pendekatan pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan ide atau gagasan dengan kata-kata secara verbal dan membandingkannya dengan ide-ide orang lain, pendekatan pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat membantu anak untuk respek pada orang lain dan menyadari akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan, pendekatan pembelajaran kooperatif tipe STAD membantu memberdayakan setiap siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar, pendekatan pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan suatu pendekatan yang cukup ampuh untuk meningkatkan prestasi akademis sekaligus kemampuan sosial, termasuk mengembangkan rasa harga diri, hubungan interpersonal yang positif dengan orang lain, mengembangkan keterampilan memanage waktu, dan sikap positif terhadap sekolah; melalui pendekatan pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri, menerima umpan balik. Siswa dapat praktik
e-Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Vol: 2 No: 1 Tahun: 2014 memecahkan masalah tanpa takut membuat kesalahan, karena keputusan yang dibuat adalah tanggung jawab kelompoknya pendekatan pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata (riil); interaksi selama kooperatif berlangsung dapat meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berpikir. Adapun sintak atau tahapan-tahapan pembelajaran tipe STAD (Rusman, 2011: 215) diantaranya sebagai berikut. 1) Orientasi seperti, apersepsi, penyampaian tujuan pembelajaran 2) Mengarahkan siswa untuk bergabung kedalam kelompok yang terdiri dari 4-5 orang secara heterogen (kelompok yang terbentuk itu berimbang dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin dan asal suku) 3) Guru menyajikan pelajaran 4) Guru memberi tugas (lembar kerja siswa) pada kelompok untuk dikerjakan oleh semua anggota kelompok 5) Peserta didik yang bisa mengerjakan tugas/soal menjelaskan kepada anggota kelompok lainnya sehingga semua anggota dalam kelompok itu mengerti (presentasi) 6) Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh peserta didik. Pada saat menjawab kuis/pertanyaan peserta didik tidak boleh saling membantu. 7) Guru memberi penghargaan (rewards) kepada kelompok yang memiliki nilai/poin tertinggi Dari beberapa teori tentang kemampuan berpikir kritis yang dikemukakan oleh beberapa ahli, dalam penelitian ini penulis akan memadukan antara teori Bloom dengan teori yang disampaikan oleh Angelo. Dalam paparan yang disampaikan oleh Bloom terdapat tiga indikator yang digunakan sebagai alat ukur untuk mengukur kemampuan berpikir kritis, diantaranya yaitu analisis, sintesis, dan evaluasi. Sedangkan dalam paparan yang disampaikan oleh Angelo tertera bahwa ada lima indikator yang dapat digunakan sebagai alat ukur untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa. Kelima indikator tersebut yaitu keterampilan
menganalisis, keterampilan sintesis, keterampilan mengenal dan memecahkan masalah, keterampilan menyimpulkan, dan keterampilan mengevaluasi atau menilai. Dengan memadukan kedua teori tersebut diatas maka indikator yang digunakan dalam penelitian ini yaitu keterampilan menganalisis, sintesis, mengenal dan memecahkan masalah, menyimpulkan, dan mengevaluasi atau menilai. Dari kelima indikator tersebut, pada setiap penjelasannya juga sudah dipaparkan dengan jelas contoh kata-kata operasional dalam pembuatan soal pada instrumen. Dalam penelitian ini peneliti mengangkat sebuah judul penelitian tindakan kelas yaitu dengan judul “Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis melalui Pendekatan Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Division pada Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Siswa Kelas V SD N 2 Blahbatuh Tahun Ajaran 2013/2014.” METODE Penelitian yang dibuat adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang dilakukan oleh guru didalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri, dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga prestasi siswa menjadi meningkat. Maka prosedur penelitiannya disesuaikan dengan prosedur penelitian tindakan kelas yang digunakan dalam suatu proses bersiklus. Dalam setiap siklus terdiri dari perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, mengamati, dan evaluasi/ refleksi. Dilihat dari kemampuan berpikir kitis pada siswa kelas V yang masih rendah, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan berpikir kitis siswa adalah ketidaksesuaian antara kurikulum yang umumnya dirancang dengan target materi yang luas serta kurangnya pemahaman guru tentang model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Alhasil, interaksi antara guru dan siswa menjadi kurang maksimal.
e-Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Vol: 2 No: 1 Tahun: 2014 Oleh karena itu untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan maka diadakan penelitian yang berlandaskan pada penerapan pembelajaran kooperatif tipe student teams achievement division. Dalam penerapannya akan memberikan peluang yang lebih banyak pada siswa untuk melakukan aktivitas belajar, dimana guru hanya sebagai fasilitator saja. Semakin banyak peluang atau kesempatan bagi siswa untuk melakukan kegiatan belajar seperti menganalisis, mensintesis, mengenal dan memecahkan masalah, menyimpulkan, serta mengevaluasi, maka banyak pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh siswa yang pada akhirnya akan berdampak pada meningkatnya kemampuan berpikir kritis siswa itu sendiri. Berdasarkan analisis terhadap permasalahan yang ada, penelitian tindakan kelas ini terdiri dari beberapa siklus yang menggunakan satuan standar kompetensi dalam satu semester. Setiap siklus terdiri dari 4 (empat) fase yaitu: perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, mengamati, dan evaluasi / refleksi terhadap tindakan yang telah dilakukan pada setiap siklus. Dalam setiap siklus dilakukan empat kali pertemuan dimana tiga kali pertemuan mengajar dan satu kali pertemuan untuk tes kemampuan berpikir kritis. Dalam penelitian ini, pelaksana tindakan menerapkan pendekatan kooperatif tipe STAD. Subjeknya adalah siswa kelas V SD N 2 Blahbatuh tahun ajaran 2013/2014, yang berjumlah 40 orang siswa terdiri dari 14 orang siswa laki-laki dan 26 orang siswa perempuan. Rancangan penelitian ini dilaksanakan secara bersiklus, masing-masing siklus terdiri atas empat tahap yaitu 1) perencanaan, 2) pelaksanaan tindakan, 3) observasi/ evaluasi, dan 4) refleksi Pada penelitian ini metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode tes. Metode tes digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis setelah proses pembelajaran selesai. Alat yang digunakan untuk memperoleh data tentang kemampuan berpikir kritis adalah tes objektif (pilihan ganda). Suatu tes
dikatakan valid apabila tes tersebut dapat mengukur dan mampu menyingkap objek yang hendak diukur atau ketepatan antara alat ukur dengan hal yang diukur (Agung; 2010: 44). Dilihat dari segi isinya suatu tes dikatakan valid apabila mengukur indikator tertentu yang sejajar dengan isi atau materi pelajaran yang diberikan. Setelah data terkumpul, kemudian dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kuantitatif. Metode analisis deskriptif kuantitatif adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan jalan menyusun dalam bentuk angka dan persentase mengenai keadaan suatu obyek atau variabel tertentu (Agung, 2010: 75). Pada analisis data ini dicari persentase tingkat kemampuan berpikir kritis pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan dan selanjutnya dibandingkan dengan kriteria keberhasilan yang ditetapkan. Tingkatan kemampuan berpikir kritis siswa dapat ditentukan dengan membandingkan persentase rata-rata kelas ke dalam PAP skala lima. Rata – rata kemampuan berpikir kritis siswa, dihitung dengan rumus : M =
X N
(1) Ket : M = angka rata-rata ∑X = jumlah skor N = jumlah individu Untuk menghitung daya serap kemampuan berpikir kritis siswa, dihitung dengan rumus : DS =
M x100% SMI
Ket : DS = daya serap M = rata – rata skor SMI = Skor Maksimal Ideal
Ketuntasan belajar siswa secara klasikal dapat dihitung dengan rumus : Ketuntasan belajar = Keterangan :
n 65 x100% (4) N
e-Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Vol: 2 No: 1 Tahun: 2014 n≥ 65 N
= banyak siswa yang memperoleh nilai 65 atau lebih = banyak siswa
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Selama ini kemampuan berpikir kritis siswa dalam mata pelajaran PKn di SD N 2 Blahbatuh masih tergolong rendah. Hal ini terlihat dari kurang aktifnya siswa dalam mengemukakan pendapatnya. Begitu halnya saat melaksanakan diskusi kelompok, tidak semua anggota kelompok aktif dalam mengikuti proses pembelajaran. Alhasil, berdampak pada pencapaian ratarata ulangan semester ganjil yang diperoleh siswa kelas V SD N 2 Blahbatuh pada tahun ajaran 2012/2013 masih tergolong rendah yaitu 67. Sedangkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang ditetapkan adalah 70. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata ulangan semester ganjil masih di bawah kriteria ketuntasan minimal (KKM). Mengacu pada hal-hal tersebut perbaikan pembelajaran perlu diupayakan secara klasikal, agar tercapai ketuntasan belajar yang maksimal. Data ini selanjutnya menjadi bahan refleksi awal untuk memperbaiki proses pembelajaran melalui PTK secara bersiklus yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Data kemampuan berpikir kritis sudah menunjukkan adanya peningkatan, terlihat dari hasil tes yang dilakukan pada akhir siklus sudah menunjukkan adanya peningkatan, terlihat dari kemampuan berpikir kritis pada siklus I diperoleh ratarata nilai siswa mencapai 71,02. Sedangkan untuk ketuntasan belajar belum mencapai 100%, karena baru 28 orang siswa dari 40 siswa mencapai ketuntasan maksimal atau berada di atas nilai KKM yang ditetapkan, persentase ketuntasan belajar klasikal 62,50% namun hal ini belum mencapai indikator keberhasilan yang ditetapkan dalam penelitian ini. Maka untuk meningkatkannya perlu diadakan refleksi dalam menentukan perbaikan pembelajaran. Berdasarkan analisis data yang dilakukan mengenai kemampuan berpikir
kritis siswa pada siklus II dapat diperoleh nilai yang menunjukkan adanya peningkatan, terlihat dari rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa pada siklus I yaitu 71,02 namun setelah dilaksanakan perbaikan pada siklus II diperoleh rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa mencapai 81,30, sedangkan untuk ketuntasan belajar sudah mencapai 82,50% atau dari 40 orang siswa, sudah 33 orang siswa berada di atas nilai KKM yang ditetapkan. Hal ini berarti sudah mencapai indikator keberhasilan yang ditetapkan dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian, dalam proses pembelajaran pendidikan kewarganegaraan dengan pendekatan kooperatif tipe STAD selama dua siklus atau dua kali tindakan telah berlangsung dengan baik sesuai dengan yang telah direncanakan sebelumnya. Jika tergambar pada grafik perbandingan kemampuan berpikir kritis pada siklus I dan siklus II sebagai berikut. 100 50
Rata - rata Kelas Daya Serap
0 SIKLUS I SIKLUS II
Gambar 1:
Ketuntasan Belajar
Grafik Perolehan Rata-rata Kemampuan berpikir kritis, Daya Serap, dan Ketuntasan Belajar Siswa di Kelas V pada Mata Pelajaran PKn
Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dengan menerapkan pendekatan kooperatif tipe STAD. Dimana dalam belajar tipe STAD siswa dapat belajar bersama secara heterogen, saling menyumbang pemikiran, dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara individu dan kelompok. Pembahasan Dari hasil tes yang sudah dilaksanakan pada siklus I dan siklus II, kegiatan pembelajaran pada siklus I terlihat belum optimal. Hal ini ditunjukkan adanya
e-Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Vol: 2 No: 1 Tahun: 2014 beberapa kemampuan siswa yang belum sesuai dengan harapan. Ini terlihat pada siklus I, peneliti menemukan bahwa pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung, guru belum menjelaskan secara tepat langkah-langkah pembelajaran menerapkan pendekatan kooperatif tipe STAD, dan masih ada siswa yang kurang mampu berpikir kritis dalam pembelajaran baik itu dalam diskusi kelompok, kerjasama kelompok, maupun menyampaikan hasil diskusi kelompok. Dari hasil evaluasi yang diberikan kepada siswa secara individu pada akhir siklus I diperoleh data bahwa rata-rata peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa 71,02, persentase tingkat daya serap adalah 71,02% yang berada pada kategori cukup dan persentase ketuntasan belajar 62,50% berada pada kategori rendah. Berdasarkan hasil observasi pada siklus II, siswa sudah aktif dalam proses pembelajaran, hal ini terbukti dengan siswa benar-benar memperhatikan materi pelajaran yang dijelaskan, dan juga aktif dalam kerja kelompok. Pada siklus II guru selalu memantau proses belajar siswa dan menjaga agar pembelajaran menjadi kondusif saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Dari hasil evaluasi yang diberikan kepada siswa secara individu pada akhir siklus II diperoleh data bahwa rata-rata peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa 81,30, persentase tingkat daya serap adalah 81,30% yang berada pada kategori tinggi dan persentase ketuntasan belajar 82,50% berada pada kategori tinggi. Penelitian ini dilakukan di SD Negeri 2 Blahbatuh tahun ajaran 2013/2014. berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan pada siklus I dan II dapat dikatakan perolehan kemampuan berpikir kritis pada mata pelajaran PKn mengalami peningkatan. Kemampuan berpikir kritis siswa mengalami peningkatan yaitu dari 71,02 pada siklus I menjadi 81,30 pada siklus II. Dilihat dari data tersebut hasil evaluasi peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa kelas V SD Negeri 2 Blahbatuh tahun ajaran 2013/2014 pada siklus II telah mencapai kreteria keberhasilan yang ingin dicapai. Selama proses pembelajaran berlangsung, guru menciptakan suasana
belajar yang efektif, menarik, dan menyenangkan. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ideide dalam berdiskusi, berinteraksi dengan siswa yang lain dalam sebuah kelompok, memberdayakan siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar, meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata. Penerapan pendekatan kooperatif tipe STAD ternyata telah berimplikasi positif terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Hal ini disebabkan oleh implementasi penerapan pendekatan kooperatif tipe STAD dapat memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan ide atau gagasan dengan kata-kata secara verbal dan membandingkan dengan ide-ide orang lain. Siswa tidak terlalu tergantung pada guru, akan tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuan berpikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber dan belajar dari siswa yang lain. Siswa lebih bertanggung jawab dalam belajar. Hasil penelitian tindakan kelas ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis melalui pendekatan kooperatif tipe student teams achievement division mengalami peningkatan pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan siswa kelas V SD Negeri 2 Blahbatuh tahun ajaran 2013/2014. PENUTUP Hasil analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis melalui pendekatan kooperatif tipe student teams achievement division mengalami peningkatan pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan siswa kelas V SD Negeri 2 Blahbatuh tahun ajaran 2013/2014. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II yaitu dari 71,02 pada siklus I menjadi 81,30 pada siklus II sehingga berada pada kategori tinggi. Sementara itu, persentase daya serap belajar siswa pada siklus I adalah 71,02% yang berada pada kategori cukup dan persentase daya serap belajar siswa pada siklus II adalah 81,30. Persentase ketuntasan belajar siklus I yaitu
e-Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Vol: 2 No: 1 Tahun: 2014 62,50% dan persentase ketuntasan belajar pada siklus II yaitu 82,50%. DAFTAR RUJUKAN Achmad, Arief. 2007. Memahami Berpikir Kritis. Tersedia pada http://researchengines.com/1007arief3.html. Diakses tanggal 22 Desember 2012. Agung, A.A. Gede. 2010. Evaluasi Pendidikan. Singaraja: Undiksha.
Pamudji, Sugeng. 2012. Membangun Pola Berpikir Kritis bagi Siswa. Tersedia pada http://bermutuipataman1.guruindonesia.net/artikel_detail-25018.html. Diakses tanggal 22 Desember 2012. Rusman. 2011. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers.
-------. 2010. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Singaraja: Undiksha.
-------. 2012. Belajar dan Pembelajaran Berbasis Komputer Mengembangkan Profesionalisme Abad 21. Bandung: ALFABETA.
Asma, Nur. 2006. Model Pembelajaran Kooperatif. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Depdiknas. 2008. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SD/MI. Jakarta.
Santoso, Eko Budi. 2011. Model Pembelajaran STAD. Tersedia pada http://raseko.blogspot.com/2011/05/modelpembelajaran-stad.html. Diakses tanggal 15 Agustus 2012.
Edi. 2012. Teori Belajar Berpikir Kritis. http://ediconnect.blogspot.com/2012/ 03/teori-belajar-berpikir-kritis.html. Diakses tanggal 20 Desember 2012. Farhan. 2011. Model Pembelajaran Tipe STAD. http://www.farhanbjm.web.id/2011/09/modelpembelajaran-kooperatif-tipe-stad.html. Diakses tanggal 20 Desember 2012. Fattah, Nanang dan Mohhamad Ali. 2008. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Universitas Terbuka. Kemendiknas. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SD/MI (Lampiran 1 Peraturan Mendiknas No.22 Th 2006). Jakarta. Lasmawan. 2010. Menelisik Pendidikan IPS dalam Perspektif Kontekstual Empiris. Singaraja: Mediakom Indonesia Pers Bali. Muhadi. 2011. Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Shira Media.
Slavin, Robert. 1995. Cooperative Learning Teory, Research and Practice. Boston. Sudiarti, Ni Putu. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Division (STAD) Berbantuan Powerpoint untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V SD Negeri 6 Dauh Puri Denpasar. Singaraja: Undiksha. Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Surabaya: Masmedia Buana Pustaka. Trianto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.