WAYANG KAMPUNG SEBELAH: RESISTENSI DAN IDENTITAS
Oleh Reni Oktari/2090000051 Ricky Azmi/208000272 Universitas Paramadina, Jakarta
Abstract Wayang is a traditional puppet performance of Indonesian culture. It has been admitted as masterpiece of the oral and intangible heritage of humanity by UNESCO since 2003. As an art, wayang can’t be just only for entertaining but also for transferring values. Thus, every culture has its own rule (tradition) about wayang performance. The most known rules of classical wayang performance are Keraton Yogyakarta style and Keraton Surakarta style (both are Javanese culture). The popularity and standardization of these two styles have moved aside “kerakyatan” (common) style (style of wayang performance in counties outside the palace). This fact shows us how the power of keraton can control and hegemonize art, in case of classical Javanese wayang. Another style comes along as a counterhegemony and resistance: Wayang Kampung Sebelah (WKS). WKS is a group of artists from Solo that bring up a contemporary style of wayang performance. This group uses modern music, story, and puppet, instead of classical properties. In their performance, WKS uses Javanese and Indonesian daily language instead of “high” Javanese. WKS has promoted its identity as a new contemporary wayang to bring the reality in life into a stage of popular art. This paper will review the phenomenon of WKS with some theories of cultural perspective. The main theory is the circuit of culture by Paul Du Gay et. al that elaborates five key concepts: representation, identity, production, consumption, and regulation. The conclusion of this writing is that WKS is promoting egalitarianism as a counter to Keraton’s hegemony in art and to remove the gap between the spectator and the art performance itself. Keywords: Wayang Kampung Sebelah, Counterhegemony, Resistance, Identity
1
PENDAHULUAN Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan keragaman budaya. Salah satu warisan budaya Indonesia yang saat ini masih dikenal baik dan dianggap sebagai kebudayaan adiluhung adalah seni pewayangan. Wayang merupakan salah satu bentuk kesenian yang kompleks karena mengandung beragam nilai, mulai dari falsafah hidup, etika (moral), spiritualitas, hingga estetika. Wayang juga dianggap sebagai salah satu masterpiece (mahakarya) dunia karena karya seni ini dianggap bernilai tinggi bagi peradaban umat manusia (tidak hanya di Nusantara). Hal ini dibuktikan dengan ditetapkannya seni wayang sebagai masterpiece of the oral and intangible heritage of humanity, oleh UNESCO pada 7 November 2003. Penetapan ini semakin mengukuhkan wayang sebagai ekspresi dan artikulasi dari identitas kultural bangsa Indonesia. Seni pewayangan sering dipahami hanya sebatas seni pertunjukan wayang. Padahal sesungguhnya seni pewayangan merupakan media ekspresi yang berakar pada tradisi lisan, tradisi tulis, dan tradisi rupa. Ketiga bentuk ekspresi seni pewayangan ini pun masih berkembang hingga saat ini. Seni pewayangan yang berakar pada tradisi lisan adalah seperti yang sering kita tonton. Bentuk, corak dan gaya dalam seni pertunjukan wayang memiliki ragam aneka, di antaranya: wayang kulit purwa, wayang golek, wayang kulit betawi, wayang kancil, wayang krucil, wayang menak, wayang beber, wayang orang, wayang wahyu, dan lain sebagainya. Masing-masing jenis pertunjukan memiliki perbedaan pada bentuk boneka, bahan yang digunakan untuk boneka, sumber cerita, maupun ciri kedaerahan (Suparman, 2010a: 4). Seni pewayangan yang berakar pada tradisi tulis adalah berbentuk sastra wayang. Di era Jawa Kuno sastra wayang ini sudah berkembang, biasanya berbentuk kakawin (puisi Jawa Kuno). Di jaman kerajaan pasca era Jawa Kuno, sastra wayang pun tetap berkembang dan melahirkan banyak tulisan karya para pujangga. Kemudian setelah Indonesia merdeka sastra wayang juga tetap berkembang, bahkan tidak sebatas monopoli bahasa Jawa, tetapi banyak yang ditulis ke dalam bahasa Indonesia, atau bahkan bahasa Inggris. Selanjutnya seni pewayangan yang berakar pada tradisi rupa adalah berbentuk lukisan, relief dan patungpatung wayang. Cerita-cerita wayang banyak memberi inspirasi kepada seniman perupa sehingga terlahir banyak karya lukisan, relief dan patung wayang (Suparman, 2010a: 5). Wayang merupakan simbol kehidupan manusia atau wewayangane ngaurip (Solichin, 2010: 63). Wayang berasal dari kata wewayangan atau wayangan, yang berarti bayangan. Arti harfiah dari pertunjukan wayang adalah pertunjukan bayang-bayang. Arti filsafat yang lebih dalam lagi adalah bayangan kehidupan manusia, atau angan-angan manusia tentang 2
kehidupan manusia masa lalu. Angan-angan kehidupan manusia masa lalu itu adalah ceritera tentang kehidupan nenek moyang. Pertunjukan bayang-bayang kemudian hari berubah menjadi pertunjukan ritual memuja nenek moyang. Oleh karena semakin lama pemikiran manusia smeakin berkembang, maka pertunjukan bayang-bayang menjadi seni pertujukan (Suharyono, 2005: 25). Wayang tersebar di hampir seluruh pelosok tanah air. Tidak kurang 100 jenis wayang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia (Solichin, 2010: 163). Wayang kulit purwa dari pulau Jawa telah menyebar ke seluruh Indonesia. Di samping itu, beberapa daerah tertentu juga memiliki wayang sendiri seperti wayang Palembang di Sumatera Selatan, Wayang Banjar di Kalimantan Selatan, Wayang Sasak di Lombok, dan Wayang Bali di Bali. Sedangkan di jawa, mulai dari Jawa Barat, Jakarta, Jawa tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, termasuk Madura terdapat berbagai jenis wayang (Solichin, 2010: 5). Dari sekian banyak ragam wayang yang ada di Nusantara, hanya wayang kulit purwalah yang paling populer apabila dibandingkan dengan jenis dan atau macam wayang yang ada (kecuali di daerah Jawa Barat). Beberapa alasan dapat diajukan seperti di bawah ini (Murtiyoso, Waridi, Suyanto, Kuwato, dan Putranto, 2004: 2-3): a. Wiracarita Mahabrata dan Ramayana lebih populer di Masyarakat Indonesia, b. Tokoh-tokoh wayang purwa jumlahnya lebih banyak dan karakternya lebih beragam, c. Alur dan garapan isi cerita wayang purwa selalu dapat mengakomodasi, secara aktual, kecenderungan yang berkembang di masyarakatnya, d. Wayang purwa selalu dijadikan frame of reference oleh masyarakat, dari masa ke masa. Sejumlah pendapat mengatakan bahwa wayang purwa merupakan bentuk seni pertunjukan wayang pertama kali di Indonesia. Bentuk, macam dan atau jenis wayang yang lahir setelahnya, secara teknis pertunjukkannya mengacu pada bentuk pertunjukkan wayang kulit purwa. Hal ini menyebabkannya tidak mampu bersaing di masyarakat penggemar wayang (Murtiyoso, dkk., 2004: 5). Secara umum, terdapat dua gaya pedalangan dalam seni pewayangan, yaitu gaya pedalangan tradisi keraton (Yogyakarta dan Surakarta) dan gaya pedalangan tradisi kerakyatan. Disebut sebagai gaya keraton dikarenakan keraton Yogyakarta dan Surakarta memiliki ukuran-ukuran (aturan, pakem) tertentu yang diberlakukan di lingkungan keraton, sehingga penyajian pertunjukan wayang yang jauh dari ukuran-ukuran tersebut disebut sebagai gaya kerakyatan. 3
Pakem, oleh keraton, dipakai sebagai salah satu sarana untuk melestarikan nilai-nilai estetika pedalangan. Pakem merupakan acuan bagi para calon dalang. Pakem pada awalnya diperuntukkan bagi internal lingkungan keraton, tetapi kemudian menyebar ke luar. Demikian pula halnya dengan lembaga pengajaran pedalangan, awal pendiriannya hanya diperuntukkan bagi calon dalang atau dalang pemula di lingkungan keraton, tetapi pada kenyataannya juga diikuti oleh para dalang muda dan atau anak-anak dalang dari desa-desa sekitar keraton. Sebagian besar para siswa dalang ini kemudian pulang ke desa masing-masing, serta menjadi dalang terkenal yang tetap berpedoman pada pakem keraton yang diperoleh saat mengikuti kursus di keraton. Lama-kelamaan pakem gaya keraton yang dibawa itu mendesak berbagai vokabuler dan atau idiom-idiom pakeliran yang lama diacu oleh dalang-dalang (yang bergaya kerakyatan) di desa-desa (Murtiyoso, dkk., 2004: 19). Berkembangnya gaya pedalangan tradisi keraton ini kemudian memunculkan istilah “pakemisasi pakeliran”. Kualitas pakeliran tidak dinilai dari kemampuan ekspresi dalang dalam menyajikan lakon, tetapi diukur dari ketaatan dalang terhadap pakem yang dikenal oleh penilai. Gerakan “pakemisasi” pakeliran selanjutnya disebarluaskan oleh para pejabat yang membidangi kesenian, serta adanya lembaga-lembaga kursus pedalangan serta sekolahsekolah formal kesenian yang didirikan oleh pemerintah (Murtiyoso, dkk., 2004: 25). Kebakuan pakem-pakem yang kemudian dijadikan sebagai tolak ukur kualitas pewayangan dan pedalangan inilah yang menggelitik penulis ketika muncul beberapa kelompok wayang kontemporer yang tidak mengikuti aturan atau pakem manapun. Kelompok ini salah satunya adalah Wayang Kampung Sebelah (selanjutnya disingkat WKS). WKS merupakan genre (aliran) wayang baru yang lahir dari kreativitas para seniman Solo pada pertengahan tahun 2001. Walaupun lahir di Solo dan sangat dekat dengan keraton Surakarta, pertunjukan WKS tidak mengikuti gaya pakeliran khas Surakarta. Sebagaimana yang dinyatakan oleh dalang WKS, Ki Jlitheng Suparman, yaitu sebagai berikut: WKS genre wayang baru, bukan wayang kulit purwa bukan pula wayang yang lain. Jadi tidak ada hubungannya dengan pakem wayang kulit purwa. Jadi perbedaannya sangat jauh, karena memang benar-benar berbeda dengan jenis wayang apa pun yang sudah ada sebelumnya. Karena WKS genre, bentuk, jenis yang berbeda, maka gaya pakeliran khas Surakarta tidak berpengaruh apa-apa terhadap disiplin estetika WKS. Saya ibaratkan kita berdua membuat dua jenis makanan berbeda dengan bahan baku yang sama yakni terigu. Anda membuat roti, saya membuat mie. Formula dan bentuk roti anda tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap formula dan bentuk mie saya (Suparman, dalam wawancara dengan penulis via media sosial Facebook pada 2 Juni 2012).
4
Hal yang menjadi keunikan dari WKS adalah bahwa WKS merupakan wayang kulit modern yang memainkan tokoh-tokoh di dunia nyata, terdiri dari penarik becak, bakul jamu, preman, pelacur, pak RT, pak lurah, artis, hingga pejabat besar kota. Tidak seperti wayang kulit biasanya, WKS tidak diiringi gamelan melainkan diiringi musik modern yang populer. Boneka wayang WKS terbuat dari kulit berbentuk manusia yang distilasi dan memiliki warna cerah. Cerita yang dibawakan pun mengangkat kisah kehidupan sehari-hari masyarakat sekarang, dengan menggunakan bahasa sehari-hari campuran Jawa dan Indonesia. WKS berusaha membuat genre wayang yang dekat dengan masyarakat dan bisa berkisah tentang kehidupan masyarakat masa kini terutama masyarakat kelas bawah. WKS telah melakukan pertunjukan di berbagai tempat, di berbagai kota, dan di berbagai keperluan. Mulai dari ganggang sempit kampung, lapangan terbuka, hingga hotel berbintang. WKS hadir dalam rangka pesta pernikahan, sosialisasi program, demonstrasi, dies natalis, sampai acara seminar. WKS dipimpin oleh Ki Jlitheng Suparman selaku dalang, naskah, dan sutradara. Seperti yang disebutkan di atas, sebagai seni yang adiluhung wayang memiliki acuan atau pakem. Ketika suatu pertunjukan wayang tidak sesuai atau menyimpang dari pakem yang dimaksud maka akan ada stigma buruk atau tidak berkualitas atas pertunjukan tersebut. Kehadiran WKS sebagai genre wayang baru yang keluar dari pakem dan hadir dengan membawa unsur-unsur budaya populer (terutama musik populer) ini telah menjadi fenomena budaya baru. WKS tidak mengikuti norma-norma estetika yang dipakai dalam wayang kulit purwa pada umumnya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai tanda visual yang dipakai dalam WKS, mulai dari pakaian dalang, boneka wayang, instrumen musik, hingga pakaian para penyanyi (bukan sinden). Bahasa yang digunakan pun merupakan bahasa sehari-hari campuran Indonesia-Jawa, bukannya bahasa Jawa tingkat “tinggi”. Dilihat dari semangat penciptaan WKS ini, sebenarnya sudah bisa diambil kesimpulan bahwa WKS memang sengaja diciptakan untuk melawan hegemoni budaya tingkat “tinggi” wayang kulit klasik. Hal ini dapat dilihat dari keterangan dalam profil WKS: Penciptaan pertunjukan WKS berangkat dari keinginan untuk membuat format pertunjukan wayang yang dapat mengangkat realitas kehidupan masyarakat sekarang secara lebih lugas dan bebas tanpa harus terikat oleh norma-norma estetik yang rumit seperti halnya wayang klasik. Dengan menggunakan medium bahasa percakapan sehari-hari, baik bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia, maka pesan-pesan yang disampaikan lebih mudah ditangkap oleh penonton. Isu-isu aktual yang berkembang di masyarakat masa kini, baik yang menyangkut persoalan politik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan, merupakan sumber inspirasi penyusunan cerita. WKS juga dapat melayani pesanan (tema) lakon dengan catatan sejauh tidak bertentangan dengan asas kebenaran dan keadilan (Suparman, 2010b: 1) 5
Dari segi bahasa WKS ingin melawan hegemoni (counterhegemony) bahasa Jawa pada seni pewayangan. Sedangkan pada segi cerita WKS ingin melepaskan diri dari dominasi cerita-cerita keratonan yang dianggap terlalu “jauh” dari realitas yang terjadi di masyarakat. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis sangat tertarik untuk mempelajari lebih lanjut bagaimana WKS melakukan counterhegemony terhadap aturan-aturan dari wayang klasik. Penulis juga ingin meneliti dimensi-dimensi yang menampakkan identitas yang diusung oleh WKS sebagai kelompok seni wayang kontemporer. PEMBAHASAN Seperti yang tadi sempat disinggung, bahwa WKS merupakan genre baru dari wayang kulit yang memiliki keunikan-keunikan tersendiri karena tidak mengikuti pakem seperti wayang pada umumnya. Pertunjukan WKS tidak menggunakan iringan gamelan, melainkan menggunakan iringan musik modern. Lagu-lagu iringannya lebih banyak menyajikan lagulagu karya cipta musisi WKS sendiri untuk memperkuat karakter pertunjukan. Berdasarkan instrumentasi dan aransemennya, bentuk musik iringan WKS termasuk kategori musik alternatif dan populer. Guna lebih memperkuat aspek entertainment-nya sering dihadirkan bintang tamu artis penyanyi/pelawak yang populer. Dalam pertunjukan WKS, kisah di depan layar bukanlah semata-mata milik dalang. Pemusik maupun penonton berhak menimpali dialog maupun ungkapan-ungkapan dalang. Dalam setiap adegan sangat dimungkinkan berlangsungnya diskusi antara tokoh wayang, dalang, pemain musik, maupun penonton. Bahkan untuk kepentingan tertentu dapat dihadirkan narasumber untuk melakukan diskusi membahas suatu persoalan sesuai tema yang disajikan. Pertunjukan WKS berdurasi sekitar 3-4 jam. Untuk kepentingan/kondisi tertentu, dapat juga menyajikan pertunjukan dalam durasi kurang dari 60 menit. Karakteristik-karakteristik WKS yang di atas merupakan karakteristik yang tidak sama seperti wayang biasanya. Itu artinya ada representasi yang tidak biasa dari WKS. Ini menunjukkan bahwa WKS hendak mengartikukasikan suatu identitas yang berbeda dan tidak biasa pula. Identitas tersebut dihadirkan melalui representasi-representasi visual dan audio dari pertunjukan WKS. Untuk membedah dimensi identitas tersebut, penulis akan menggunakan gagasan sirkuit budaya dari Paul Du Gay, Hall, Janes, Mackay, dan Negus (1997). Paul Du Gay dkk mengambil representasi, identitas, produksi, konsumsi, dan regulasi sebagai konsep kunci untuk mendeskripsikan adanya sirkuit budaya.
6
Gambar 1: The Circuit of Culture Paul Du Gay et. al (Sumber: Burton, 2008: 33) A. Identitas Identitas merujuk pada pemahaman tentang citra-diri dan kepemilikan kelompok yang dianut oleh anggota budaya dan representasi melalui media (Burton, 2008: 34). Terdapat dua pemahaman tentang identitas dalam kajian budaya, yaitu (Barker, 2005: 218): Identitas diri yaitu konsep yang kita pegang perihal diri kita sendiri; Identitas sosial yang dapat dikaitkan dengan harapan atau pendapat orang lain tentang diri kita. Identitas dapat diartikan sebagai salah satu bentukan kultural atau produk sosial yang dapat ditandakan (signified) dengan selera, keyakinan, sikap, dan gaya hidup dan selalu terkait dengan hal yang personal maupun sosial. Sebuah identitas terbentuk akibat adanya praktikpraktik bahasa, kultural, dan berwatak sosial, maka dalam konteks ini identitas akan terbentuk dan memiliki arti yang berbeda-beda karena bergantung pada proses kulturalnya (Barker, 2005: 219-220). Dalam konteks seni pewayangan, identitas dapat kita amati melaui berbagai tanda visual, ide cerita, dan bahasa. Pertunjukan wayang yang berorientasi pada pakem keraton akan menampakkan identitas keratonan. Sedangkan dalam konteks WKS, ada identitas lain yang hendak ditampilkan yaitu egalitarian, mulai dari bahasa, gaya pakaian, visual wayang, hingga cerita lakon yang dibawakan. WKS pun kemudian lebih akrab dengan masyarakat kelas menengah ke bawah.
7
B. Representasi Representasi sangat penting dalam merujuk kepada cara-cara media memberikan makna terhadap kelompok-kelompok budaya, mengkonstruksi identitasnya dan mengenakan berbagai makna kepada produk-produk yang digunakan oleh kelompok tersebut (Burton, 2008: 35). Representasi merupakan proses produksi makna dari konsep-konsep yang ada di kepala kita melalui bahasa. Representasi yang dilakukan oleh WKS adalah bertujuan menunjukkan identitas dari WKS dengan segenap gagasan yang hendak disampaikan, salah satunya adalah gagasan egaliter. Representasi ini dapat diamati secara visual maupun audio (melalui gejala bahasa) yang sifatnya sangat populer. C. Produksi Konsep ini merujuk pada ide bahwa dalam era produk massa, budaya adalah benda yang dimanufaktur (diproduksi), atau setidaknya menggunakan produk-produk yang dimanufaktur. Konsep ini juga merujuk pada fakta bahwa ide-ide tentang budaya dimanufaktur, melalui representasi. Theodor Adorno mendeskripsikan industri budaya yang memanufaktur produk-produk untuk konsumsi (Burton, 2008: 36). Dalam konteks seni pewayangan, proses produksi suatu lakon pertunjukan wayang terbilang rumit karena membutuhkan lebih dari 30 orang untuk dalang, pemusik, pesinden dan tim lainnya. Berbeda dengan WKS yang hanya membutuhkan 12 orang yang terdiri dari 1 Dalang sekaligus Naskah dan Sutradara, 1 Komposer sekaligus Penata Iringan, 2 penyanyi, 2 penata teknis, dan 6 pemusik. Dalam hal ini telah terjadi perubahan dalam proses produksi yag menjadi lebih sederhana dan biaya lebih murah. D. Konsumsi Produk-produk budaya adalah komoditas yang kemudian dikonsumsi. Produk-produk budaya difetisisasi dalam nilai dan kualitas yang dikenakan terhadap produk tersebut. Dalam kaitannya dengan kesenian wayang, pertunjukan wayang menjadi komoditas yang bernilai jual. Nilai jual pertunjukan wayang bisa jadi tergantung dengan popularitas sang dalang, serta tergantung pula dari bagaimana konsumen menilai kualitas pertunjukan tersebut. Nilai jual WKS berasal dari keunikan yang diusungnya, yaitu dari segi cerita yang “merakyat”, kemasan yang populer, serta diisi dengan kritikan-kritikan berbalut humor. Aktivitas konsumsi pertunjukan WKS didasari oleh kesepakatan (persetujuan) terhadap nilai dan gagasan yang diusung oleh WKS.
8
E. Regulasi Konsep ini merujuk pada mekanisme yang memodifikasi distribusi dan penggunaan produk-produk kebudayaan. Konsep ini berbicara tentang kekuasaan dan kontrol. Hal tersebut menyebabkan kita kembali kepada berbagai pertimbangan tentang hal apa yang dihargai oleh konsumen dan diinginkan oleh mereka untuk dikonsumsi. Hal itu menyebabkan renungan tentang kontrol terhadap produk. Dalam hal ini konsumen memiliki kekuasaan untuk mengkonsumsi atau tidak mengkonsumsi, tetapi tidak memiliki kuasa untuk melakukan kontrol. Peran kontrol biasanya dilakukan oleh pemerintah (Burton, 2008: 37). Dalam konteks WKS, yang menjadi regulasi adalah pakem dalam kesenian wayang. Pakem, yang semula hanya merupakan satu bentuk upaya pihak keraton untuk dijadikan panduan teknis pakeliran bagi para siswa dalang, lama kelamaan bergeser menjadi suatu tolak ukur kualitas sajian pakeliran, paugeran,angger-angger atau peraturan yang tidak boleh diubah pada masa itu (Murtiyoso, dkk., 2004: 26). Sikap ketaatan mengikuti pakem sebenarnya baik untuk dipertahankan pada lembaga-lembaga pengajaran pedalangan, sebagai bahan atau bekal awal bagi calon dalang. Tetapi yang ironis adalah kebakuan pakem diberlakukan pada dalang pada umumnya saat
mereka mendalang.
Akibat dari
kekurangpahaman tentang kedudukan serta substansi pakem pedalangan demikian itu, kreativitas dalang nyaris beku (SD Humardani dalam Murtiyoso, dkk., 2004: 27). Kelima elemen tersebut di atas (identitas, representasi, produksi, konsumsi dan regulasi) saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain (interplay).
Proses
ini
pun
tidak akan terputus dan akan terjadi terus menerus, karenanya disebut sebagai sirkuit budaya. Sirkuit budaya ini sebenarnya akan lebih mudah dipahami dengan membedah karakteristik WKS satu per satu. Untuk memahami identitas seperti apa yang hendak ditegaskan oleh WKS, kita juga perlu mengaitkannya dengan konsep homology yang pertama dipakai oleh Levi-Strauss. Konsep homologi ini digunakan untuk menjelaskan kecocokan simbolik (symbolic fit) antara nilai-nilai suatu kelompok dengan gaya hidup, pengalaman subjektif, dan bentuk musik yang kelompok tersebut gunakan untuk mengekspresikan atau meneguhkan keprihatinan mereka atas sesuatu (Hebdige, 2002: 113). Jika memakai konsep ini, maka dapat dilihat bahwa nilai egalitarian dan resistensi terhadap budaya “tinggi” Jawa pada wayang kulit purwa (klasik) hadir dalam gaya pertunjukan WKS mulai dari pakaian dalang, bahasa yang digunakan, musik pengiring, tokoh dan karakter wayang, serta produksi lakon. Berikut penjabarannya.
9
1. Pakaian Dalang Secara semiotik, sama seperti objek dan artifak lain, kita memandang dan menginterpretasikan pakaian sebagai suatu tanda (teks). Tanda tersebut seringkali kita baca dan beri makna dengan menunjuk pada status sosial, kepribadian dan karakter dari si pemakai (Danesi, 2004: 117). Seperti yang pernah ditulis oleh Umberto Eco (dalam Hebdige, 2002: 101), “not only the expressly intended communicative object . . . but every object may be viewed...as a sign”, bahwa semua objek adalah tanda. Pakaian yang dikenakan oleh dalang WKS sangatlah berbeda dengan pakaian dalang pada wayang kulit purwa pada umumnya. Jika biasanya dalang memakai blankon dan pakaian adat Jawa yang rapi, akan tetapi di WKS dalang memakai baju Jawa sehari-hari, dengan penutup kepala dan kain yang diikat. Kesan yang muncul dari pakaian sang dalang adalah kesan santai dan tidak terlalu formil. Termasuk di dalamnya mengusung semangat egaliter.
Gambar 2. Ki Jlitheng Suparman (Sumber: Dokumentasi Pribadi Ki Jlitheng Suparman) 2. Bahasa Bahasa yang biasa digunakan oleh kesenian wayang kulit purwa adalah bahasa Jawa halus. Penggunaan bahasa yang belum tentu dimengerti secara menyeluruh oleh penonton membuat pesan nilai yang terkandung dalam cerita atau lakonnya terkadang tidak terpahami oleh penonton. Petuah dan nilai ajaran yang terdapat dalam cerita lakon pun tidak masuk dengan sempurna di benak penonton. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan komunikasi yang membuat fungsi pertunjukan wayang sebagai media pembelajaran belum mencapai titik maksimal. 10
Kesenjangan komunikasi antara penonton dan pertunjukan wayang tanpa disadari mulai berlangsung. Artinya bahwa penonton mulai kesulitan menangkap dan mencerna cerita yang dibawakan oleh dalang. Suparman menyebutkan bahwa kebanyakan penonton, terutama generasi muda sudah tidak paham terhadap kisah yang dibawakan oleh dalang. Ketidakpahaman tersebut bukan semata-mata karena faktor kendala bahasa, melainkan juga karena kurangnya bekal pengetahuan tentang latar belakang budaya yang membentuk seni pertunjukan wayang. Kita ketahui bahwa seni pertunjukan wayang dibangun oleh kebudayaan keraton dan sedikit kebudayaan masyarakat bawah agraris. Sementara masyarakat kita telah bergeser ke peradaban modern dan pola kehidupan industrialis. Perubahan kebudayaan yang sedemikian pesat itu membuat generasi muda kita terputus dengan informasi dan pengetahuan tentang kebudayaannya sendiri (Suparman, 2010a: 2-3). Dalam pertunjukan WKS, kesenjangan komunikasi ini mulai dihilangkan. Hal ini melalui penggunaan bahasa yang akrab dengan masyarakat luas yaitu bahasa campuran Jawa dan Indonesia bahkan Inggris. Penggunaan bahasa yang mudah dimengerti ini dimaksudkan agar pesan dapat sampai ke benak para penonton. Jika menggunakan pendekatan determinasi sosial, maka penggunaan ragam bahasa diregulasi oleh sosial. Diregulasi oleh sosial maksudnya adalah bahwa ragam bahasa dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial misalnya konteks sosial dan struktur sosial. Misalnya ketika bahasa dipengaruhi konteks sosial, dapat dilihat bahwa terdapat high variants dan low variants. High variants digunakan dalam konteks formal sebagai careful speech. Jika di Indonesia, maka dalam konteks formal bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia baku. Sedangkan low variants digunakan dalam konteks informal sebagai casual speech, yaitu dipakainya bahasa pergaulan sehari-hari dan tidak terlalu baku. Akan tetapi tidak hanya dipengaruhi oleh struktur sosial, menurut pendekatan determinisme linguistik, bahasa sebenarnya juga mempengaruhi bahkan membentuk struktur sosial. Nilai-nilai yang ditunjukkan melalui ragam bahasa yang dipakai adalah nilai-nilai sosial. Ragam bahasa yang dipakai juga menunjukkan ekspresi simbolik dari struktur sosial (Halliday, 1993: 156). Dalam hal ini, ragam bahasa tidak semata-mata bersifat sosial (mengandung nilai sosial, dan dipengaruhi konteks sosial), melainkan ragam bahasa yang dipakai juga menunjukkan ekspresi simbolik dari struktur sosial atau bisa disebut membentuk struktur sosial. Membentuk struktur sosial dalam hal ini adalah bahwa ragam bahasa yang digunakan oleh seseorang akan menempatkan ia pada suatu struktur tertentu dalam masyarakat, yaitu sebagai bagian dari suatu kelompok tertentu. 11
Pada pertunjukan WKS, bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari campuran Jawa-Indonesia (bahkan Inggris). Selain dimaksudkan agar pesan dapat dengan mudah dimengerti oleh penonton, penggunaan ragam bahasa semacam ini juga dimaksudkan agar tercipta suasana santai dan egaliter. 3. Musik Pengiring Hal yang paling penting jika ingin melihat perbedaan WKS dari pakem adalah musik pengiringnya. Jika pada wayang kulit biasanya wajib diiringi oleh gamelan dengan ditemani sinden, maka pada pertunjukan WKS tidak menggunakan gamelan sama sekali serta hanya menggunakan dua orang penyanyi. Drum, gitar, bass listrik hingga saxophone lah yang menggantikan gamelan sebagai instrumen musik yang digunakan. Pertunjukan WKS biasanya dibuka dengan dua orang penyanyi yang membawakan lagu khas pembuka WKS. Berbeda dari sinden yang pada umumnya hanya duduk sambil bernyanyi, penyanyi WKS akan menyanyikan lagu sambil berjoget atraktif. Jenis musik yang dibawakan pun beragam: Jawa, jazz, pop, rock, dangdut dan lain sebagainya. Dari jenis musik tersebut dapat dilihat bagaimana WKS memanfaatkan musik populer sebagai media untuk lebih mendekatkan diri pada penonton dengan membawa unsur kekinian (modern). 4. Tokoh dan Karakter Wayang Dalam dunia pewayangan (klasik), terdapat konvensi mengenai kaidah boneka wayang secara visual (bentuk dan gambar). Konvensi fisionomi ini telah disepakati bersama antara para seniman dan masyarakatnya mempermudah untuk menghayati seninya. Kaidah fisionomi yang mengasosiasikan secara langsung antara bentuk dan karakter yang disesuaikan dengan budaya masyarakat. Misalnya morfologi mata, bentuk hidung, bentuk mulut, dan bentuk tubuh. Kombinasi dari bentuk-bentuk itu menampilkan karakter tertentu (Sudjarwo, dkk., 2010: 16). Karakter diwujudkan dengan morfologi yang kontras antara yang serba halus dan kasar. Pengertian halus dan kasar adalah berdasarkan etika dan estetika yang menjadi ketentuan yang berlaku di dalam budaya Jawa. Tokoh antagonis digambarkan dengan tata arias wajah yang kasar, mata plelengan, muka berwarna merah, bertaring, bermuka bengis, bertubuh raksasa dan lain-lain. Adapun tokoh baik digambarkan dengan morfologi dan busana yang serba halus dan indah. Beberapa tokoh merupakan pengecualian, misalnya Begawan Bagaspati seorang tokoh raksasa yang berhati lembut. Namun kaidah estetika rupa wayang
12
yang berlaku secara umum adalah “Tokoh yang berbudi baik adalah yang halus, tokoh yang jahat adalah yang kasar” (Sudjarwo, dkk., 2010: 17). WKS memiliki sebanyak 40 karakter, dengan tokoh yang aktif sekitar 50%. Dalam WKS sendiri sudah tidak terpaku dengan kaidah klasik rupa wayang. Rupa wayang WKS telah disesuaikan dengan karakter tokoh yang ingin diciptakan. Rupa dan karakter dalam WKS juga tidak diwujudkan dalam sesuatu yang serba (serba halus atau serba kasar). Terdapat karakter-karakter yang sengaja diciptakan mengandung unsur benturan etis, seperti tokoh bernama Kampret yang merupakan pemuda pemabok yang cerdas dan seringkali justru membawa ajaran moral melalui cara yang tidak biasa.
Gambar 3. Tokoh Kampret (Sumber: Dokumentasi Pribadi Ki Jlitheng Suparman)
5. Produksi Lakon Seni pertunjukan wayang yang lahir dan dibesarkan oleh kebudayaan keraton, sudah barang tentu kesenian ini akan banyak bercerita perihal kehidupan keraton. Tokoh-tokoh ceritanya didominasi oleh kaum elit kerajaan (raja, ksatria, brahmana) dan para dewa. Ungkapan-ungkapan dan bahasanya banyak mengacu yang berkembang di keraton. Demikian pula konflik-konflik dan permasalahan yang diangkat lebih banyak berkutat di wilayah konflik dan permasalahan kaum elit keraton. Sedikit sekali atau bahkan nyaris tidak ada kisah yang mengangkat persoalan-persoalan kaum kelas bawah. Dengan kata lain kisah cerita yang disajikan oleh seni pertunjukan wayang adalah potret atau gambaran kehidupan masyarakat kerajaan di masa lalu (Suparman, 2010a: 3). 13
Sebagai wujud perlawanannya terhadap wayang klasik yang sangat keraton-oriented tersebut WKS menghadirkan produksi lakon dengan cerita-cerita yang berlatarkan kampung, dengan mengangkat realitas masyarakat kelas menengah ke bawah dan wacana-wacana kontemporer. WKS berusaha mengangkat persoalan-persoalan yang serius namun tidak dengan cara ungkap yang serius. Muatan sinisme, satir, hingga kritikan tajam dalam pertunjukan ini dikemas dalam bentuk humor. Beberapa lakon WKS antara lain: “Pelacur Dalam Perspektif Sosiologis”, “Di Balik Asmara Segitiga“, “Cinta Yang Hilang“, “Perjalanan Si Raja Preman“, “Who Wants To Be A Lurah“, “Cetak Biru Manajemen Konflik“, “Raja Linglung Masuk Kampung“, “Tak Ada Nasi Lain“, “Yang Puasa Yang Terhormat“, “Agar Datang Hari Esok“, “Tragedi Jual Beli Mimpi“, “Merilis Asa Dalam Derai Air Mata”, dan “Atas Mengganas Bawah Beringas” (Suparman, 2010b: 5-6).
Tabel 1 Perbandingan Lima Aspek
Aspek
Wayang Kampung Sebelah
Wayang Gaya Keraton
Identitas
People-oriented
Keraton-oriented
Representasi
Budaya populer
Budaya “tinggi”
Produksi
Sederhana dan murah
Rumit dan mahal
Konsumsi
Komoditas
Komoditas
Regulasi
Tidak mengikuti pakem
Mengikuti pakem
14
KESIMPULAN Kehadiran kelompok wayang kontemporer Wayang Kampung Sebelah (WKS) telah memberikan warna baru dalam kesenian kontemporer dan budaya populer di Indonesia. Kehadiran WKS yang sama sekali berbeda dengan wayang klasik, menurut penulis merupakan bentuk counterhegemony dan resistensi terhadap budaya “tinggi” Jawa. WKS tidak mengikuti pakem seperti wayang klasik (Jawa) pada umumnya. Pertunjukan WKS tidak menggunakan iringan gamelan, melainkan menggunakan iringan musik modern dan populer. Cerita-cerita yang disajikan pun keluar dari tema-tema seputar kerajaan atau keraton, melainkan berlatarkan kampung dengan mengangkat realitas masyarakat kelas menengah ke bawah dan wacana-wacana kontemporer. WKS memainkan tokoh-tokoh di dunia nyata, seperti penarik becak, bakul jamu, preman, pelacur, pak RT, pak lurah, artis, hingga pejabat besar kota. Pakaian yang dikenakan oleh dalang WKS bukanlah pakaian adat Jawa yang rapi, melainkan baju Jawa sehari-hari, dengan penutup kepala dan kain yang diikat. Bahasa yang digunakan WKS bukanlah bahasa Jawa halus, melainkan bahasa campuran Jawa dan Indonesia bahkan Inggris. Dari sini dapat dilihat bahwa WKS hendak mengartikukasikan identitasnya sebagai kelompok kesenian modern yang mengusung nilai egalitarian. WKS memposisikan diri untuk keluar dari dominasi keraton. WKS juga hendak menghapuskan kesenjangan antara para penikmat wayang dengan kesenian wayang itu sendiri.
15
DAFTAR PUSTAKA
Buku Barker, C. (2005). Cultural Studies: Teori dan Praktik (First ed.). Yogyakarta: PT Bentang Pustaka. Burton, G. (2008). Pengantar untuk Memahami Media dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra. Danesi, M. (2004). Messages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook in Semiotics and Communication Theory. Toronto: Canadian Scholars' Press Inc. Halliday, M. (1993). Language as Sosial Semiotic. London: Edward Arnold. Hebdige, D. (2002). Subculture: The Meaning of Style. New York: Taylor & Francis eLibrary. Murtiyoso, B., Waridi, Suyanto, Kuwato, & Putranto, H. T. (2004). Seni Pertunjukan Wayang. Surakarta: Citra Etnika Surakarta. Solichin. (2010). Wayang: Masterpiece Seni Budaya Dunia. Jakarta: Sinergi Persadatama Foundation. Sudjarwo, H. S., Sumari, & Wiyono, U. (2010). Rupa dan Karakter Wayang Purwa. Jakarta: Kaki Langit Kencana Prenada Media Grup. Suharyono, B. (2005). Wayang Beber Wonosari. Wonogiri: Bina Citra Pustaka. Suparman, K. J. (2010). Pertunjukan Wayang Perlu Direvitalisasi. (Berbentuk dokumen Microsoft Word yang dikirim oleh Ki Jlitheng via email kepada penulis pada 28 Desember 2010 pukul 19.10 WIB) Suparman, K. J. (2010). Profil Wayang Kampung Sebelah. (Berbentuk dokumen Microsoft Word yang dikirim oleh Ki Jlitheng via email kepada penulis pada 28 Desember 2010 pukul 19.10 WIB)
Wawancara Suparman, K. J. (2 Juni 2010). Wawancara via Media Sosial Facebook tentang Wayang Kampung Sebelah. (R. Oktari, Interviewer)
16
Biodata Penulis
Nama
: Reni Oktari
Tempat & Tanggal Lahir
: Lubuklinggau, 11 November 1991
NIM
: 209000051
Program Studi
: Ilmu Komunikasi
Jenjang
: S-1
17
Biodata Penulis
Nama
: Ricky Azmi
Tempat & Tanggal Lahir
: Jakarta, 22 Maret 1990
NIM
: 208000272
Program Studi
: Ilmu Komunikasi
Jenjang
: S-1
18