ABSTRAK Universitas Paramadina Program Studi Psikologi 2007 Arina Anindya Widarpuri (207000280) Rezky Arie Utamy (207000174) Gambaran Kemampuan Membaca Dan Menulis Anak Autis Pada Pelajaran Bahasa Indonesia yang Bersekolah Di SDN Inklusi X Jakarta. 21 Halaman Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah Gambaran kemampuan membaca dan menulis anak autis pada pelajaran bahasa Indonesia yang bersekolah di SDN Inklusi X Jakarta. Autis adalah gangguan perkembangan pervasive pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yakni wawancara dan observasi. Subjek dalam penelitian ini seorang anak laki-laku yang penyandag Autis dan bersekolah di sekolah Inklusi, berusia 13 tahun kelas 5 SD. Berdasarkan hasil penelitian yang didapat pada subjek A, dalam membaca sebuah paragraf buku bahasa Indonesia subjek A masih sering tidak fokus. Subjek A saat membaca sering terdiam secara tiba-tiba selama kurang lebih 15 sampai 20 detik dan subjek A masih terbatahbatah saat membaca. Tetapi, ketika subjek A diberikan buku bacaan mengenai sebuah majalah games yang disukai subjek A kecepatan membacanya sedikit lebih cepat walaupun masih sering terdiam. Subjek A masih menulis dengan huruf yang berukuran besar dari huruf normal. Subjek A masih menggunakan buku khusus seukuran kertas pholio yang diberikan oleh gurunya di sekolah. Biasanya subjek A menulis dengan huruf sebesar tiga baris pada kertas biasa. Namun, ketika subjek A menggalami stress semakin tinggi tingkat stress yang dialami subjek A, maka semakin besar huruf yang ditulis oleh subjek A. Huruf yang ditulis subjek A bisa lebih dari tiga baris buku. Kata kunci : Membaca, menulis, Autis, Sekolah Inklusi Daftar Pustaka : 10 (1998-2010)
1
I.
Pendahuluan Dewasa ini kata Autisme telah menjadi sorotan dunia, dimana semakin hari semakin banyak anak-anak yang terdiagnosa mengidap penyakit autis. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi semakin bertambah parahnya autis antara lain kurangnya pengatahuan bagi orang tua dan penanganan yang tepat sejak dini. Lembaga dunia seperti PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mulai mengajak masyarakat dunia untuk peduli dan semakin menerima kehadiran anak-anak autis ditengah-tengah lingkungan kita. Oleh sebab itu, setiap pada tanggal 2 April akan diperingati Perayaan Hari Peduli Autisme Sedunia. Hal ini telah berlangsung sejak tahun 2008 lalu. (Pamoedji, 2010) Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial. Autis dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat kaya, miskin, di desa, kota, berpendidikan, maupun tidak, serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia. Gangguan ini yang membuat seseorang menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri: berbicara, tertawa, menangis, dan marah-marah sendiri. Autism Spectrum Disorder (ASD) meliputi kondisi sindrom Asperger (Asperger Syndrome) yang memiliki gejala-gejala dan tanda-tanda lebih kecil. Autisme bisa terdeteksi pada anak berumur paling sedikit 1 tahun. Autisme lebih banyak menyerang anak laki-laki dari pada anak perempuan. Gejala Autis Infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak, gejalagejala itu sudah ada sejak lahir. (Hallahan & Kauffman, 2006). Anak autis memiliki karakteristik seperti gangguan dalam berkomunikasi verbal maupun berbahasa dan keterlambatan, atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata-kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan. Berkomunikasi dengan bahasa tubuh, dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-kata tidak dapat dimengerti orang lain. Tidak mengerti atau tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai. Ekolalia (meniru atau membeo), menirukan kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya. (Hallahan & Kauffman, 2006). Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak senang atau menolak dipeluk. Bila menginginkan sesuatu ia akan menarik tangan orang yang terdekat dan berharap orang tersebut melakukan sesuatu untuknya. (Hallahan & Kauffman, 2006). 2
Gangguan dalam bermain di antaranya ialah bermain sangat monoton dan aneh, misalnya mengamati-amati terus-menerus dalam jangka waktu yang lama sebuah botol minyak. Ada kelekatan dengan benda tertentu, seperti kertas, gambar, kartu, atau guling, terus dipegang ke mana saja ia pergi. Bila senang atau mainan tidak mau mainan lainnya. Lebih menyukai benda-benda seperti botol, gelang karet, baterai, atau benda lainnya. Tidak spontan, refleks, dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura-pura. Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar, atau angin yang bergerak. (Hallahan & Kauffman, 2006). Gangguan perasaan dan emosi dapat dilihat ketika ia tertawa-tawa sendiri, menangis, atau marah tanpa sebab yang nyata. Sering mengamuk tak terkendali, terutama bila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Gangguan dalam persepsi sensoris meliputi perasaan sensitive terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah), dari mulai ringan sampai berat. Menggigit, menjilat, atau mencium mainan atau benda apa saja. Bila mendengar suara keras, ia akan menutup telinga. (Hallahan & Kauffman, 2006) Gejala-gejala lainnya yang umumnya dilakukan pada anak-anak penderita autis ialah 1.
Lamban dalam menguasai bahasa sehari-hari.
2.
Hanya bisa mengulang-ulang beberapa kata.
3.
Mata tidak jernih.
4.
Konsentrasi mudah terpecah.
5.
Asik dengan dunianya sendiri.
Penyebab Autisme sampai sekarang belum pasti diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan abnormalitas otak. Awalnya, dari sudut pandang yang mendiskreditkannya, penyebab tidak adanya kontak sosial pada anak autistic dikatakan sebagai reaksi terhadap orang tua yang dingin dan mengambil jarak yang kurang memiliki kemampuan untuk menciptakan hubungan yang hangat dengan anak-anak mereka. Penelitian-penelitian tidak dapat membuktikan asumsi ini yang dianggap menghancurkan hati banyak orang tua, bahwa mereka dingin dan jauh (Hoffmann & Prior, 1982). Sudah tentu ada benarnya bahwa anak-anak autistic tidak memiliki hubungan yang cukup baik dengan orang tua mereka, tetapi hubungan sebab akibatnya masih diragukan. Penolakan orang tua tidak menyebabkan autism, tetapi orang tua dapat berubah menjadi mengambil jarak karena usaha-usaha mereka untuk
3
berhubungan dengan anak berkali-kali gagal. Jadi sikap menjauh merupakan akibat dari autisme, bukan penyebab. Seiring dengan bertambah banyaknya jumlah individu autis, semakin banyak pula penelitian-penelitian mengenai penyebaba autism yang mengubah pemahaman awal masyarakat. Dahulu, hereditas dan biologis dipandang sebagai penyebab autisme ( Hewetson, 2002 dalam Hallahan & Kauffman, 2006). Disamping itu, ibu yang dingin dan tidak reponsif juga dianggap sebagai penyebab autisme (Bettelheim, 1967 dalam Hallahan & Kauffman, 2006). Julukan refrigerator moms yang awalnya mengacu pada ibu dari anak autis, diberikan oleh pihak otoritas kepada Bettelheim yang mengeluarkan teori tersebut (Hallahan & Kauffman, 2006). Sekarang, sudah disadari bahwa respon orang tua yang dingin dan menjaga jarak adalah wajar, mengingat secara tiba-tiba dan tidak diharapkan mereka harus berkonfrontasi dengan ketidakmampuan anak mereka yang autis (Bell & Harper, 1997 dalam Hallahan & Kauffman, 2006). Sampai saat ini, para ilmuwan belum secara pasti mengetahui apa yang salah pada otak individu autis, tetapi yang pasti penyebabnya lebih kepada neurobiologist, bukan interpersonal (National Research Council, 2001; Strock, 2004 dalam Hallahan & Kauffman, 2006). Ada bukti kuat bahwa hereditas berperan besar dalam berbagai kasus. Namun, tidak ada penyebab neurologis dan genetik tunggal dari kasus autisme. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa terlalu banyak vaksin Hepatitis B bisa mengakibatkan anak mengidap penyakit autism. Hal ini dikarenakan vaksin ini mengandung zat pengawet Thimerosal. Beberapa ahli menyebutkan autis disebabkan multifaktorial. Beberapa peneliti mengungkapkan terdapat gangguan biokimia. Ahli lain berpendapat bahwa autis disebabkan gangguan psikiatri/jiwa. Namun ada pula ahli yang berpendapat bahwa autis disebabkan kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar, yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis. Beberapa teori yang didasarkan oleh beberapa penelitian ilmiah telah dikemukakan untuk mencari penyebab dan proses terjadinya autis. Perdebatan yang terjadi akhir-akhir ini berkisar pada kemungkinan penyebab autis yang disebabkan oleh vaksinasi anak. Peneliti dari Inggris, Andrew Wakefield, dan Bernard Rimland dari Amerika, mengadakan penelitian mengenai hubungan antara vaksinasi, terutama MMR (Meals, Mumps, Rubella) dan autism.
4
Penelitian ini menyimpulkan bahwa gangguan perkembangan otak telah terjadi pada semester ketiga saat kehamilan, atau pada saat kelahiran bayi. Karin Nelson, ahli neurology Amerika mengadakan penyelidikan terhadap protein otak dari contoh darah bayi yang baru lahir. Empat sampel protein dari bayi normal mempunyai kadar protein yang kecil, tetapi empat sampai berikutnya mempunyai kadar protein tinggi, yang kemudian ditemukan bahwa bayi dengan kadar protein tinggi ini berkembang menjadi autis dan keterbelakangan mental. Selanjutnya, dalam perkembangannya setiap anak memiliki hak belajar. Inilah prinsip yang terkandung dalam UU Sisdiknas tahun 1989 dan UUD 1945 pasal 31, maupun IDEA (Individuals with Disabilities Education Act) tahun 1990. Jika memang setiap anak memiliki hak untuk belajar, maka tidak terkecuali anak-anak autisme. Meskipun mayoritas anak autis dengan symptom yang parah tidak bisa sembuh total, mereka mungkin dapat mengalami kemajuan substansial (Charlop – Christy, Schreibman, Pierce, &Kurtz, 1998; National Research Council, 2001 dalam Hallahan & Kauffman, 2006). Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa mendidik individu ASD tidaklah mudah. Mereka belajar secara berbeda karena memiliki perbedaan neurobiologist bawaan sehingga berdampak pada tiga hal (Siegel, 1996):
Belajar menjadi tugas yang lebih berat bagi individu ASD
Individu ASD harus diajari dengan gaya yang khusus bagi setiap individu agar dapat memahami materi dengan baik. Stimulus disampingkan dalam bentuk atau cara khusus.
Bila dilakukan intervensi dini, perjuangan mengajar individu-individu ini diharapkan lebih mudah karena sudah lebih tertata, tidak terlalu tantrum atau berprilaku negative lainnya. National Research Council of the National Academy of Sciences mempublikasikan laporan
mengenai autisme, diman terdapat rekomendasi mengenai enam area kemampuan yang sebaiknya dijadikan prioritas dalam penanganan pendidikan bagi anak-anak ASD (National Research Council, 2001 dalam Hallahan & Kauffman, 2006), yaitu:
Komunikasi spontan dan fungsional
Kemampuan sosial sesuai usia; misalnya untuk anak-anak kecil, diajarkan bagaimana merespon terhadap ibu.
Kemampuan bermain, terutama dengan teman sebaya
Kemampuan kognitis yang berguna dan aplikatif
Tingkah laku yang sesuai, untuk menggantikan tingkah laku bermasalah
Kemampuan akademis fungsional, jika sesuai dengan kebutuhan anak. 5
Dalam program pendidikan bagi anak autis juga terdapat beberapa prinsip yaitu seperti yang diungkapkan oleh Hallahan dan Kauffman (2006) menyebutkan beberapa panduan dalam membuat program pendidikan bagi siswa ASD. Pertama, area terpenting yang memerlukan instruksi
khusus adalah kemampuan komunikasi untuk siswa autis dan
kemampuan sosial untuk siswa sindroma asperger. Untuk mendukung dan memfasilitasi komunikasi para siswa, para guru dan praktisi perlu menjadi rekan berkomunikasi yang sensitif (Gillingham, 2000; Shevian, 1999 dalam Kluth, 2004) dengan cara: membantu siswa memahami bahasa, tidak menuntut kontak mata dari siswa, dan mempertimbangkan nada suara ketika berbicara dengan siswa. Program pendidikan bagi siswa ASD memerlukan instruksi khusus. Program-program pendidikan bagi siswa ASD sebaiknya meliputi: instruksi langsung untuk berbagai kemampuan; manajemen tingkah laku dengan mempergunakan functional behavioral assessment dan positive behavioral support; serta instruksi dalam setting alami. Instruksi yang efektif untuk siswa ASD adalah instruksi yang strukturnya tinggi, pendekatannya langsung dan menggunakan prinsip-prinsip dasar psikologi tingkah laku dalam menganalisis tugas dan bagaimana cara terbaik untuk mengajarkannya. Instruksi langsung berarti:
Berstruktur dan pengajaran dipimpin oleh guru
Instruksi dalam kelompok kecil atau satu per satu (one on one)
Pengajaran disampaikan dalam bentuk langkah-langkah kecil. Hal ini dilakuakan oleh guru-guru di suatu lembaga pendidikan bagi Anak Autistik dan Anak dengan Kesulitan Belajar setiap pulang sekolah.
Sering menggunakan pertanyaan dari guru
Kesempatan yang besar untuk praktik
Seringnya umpan balik, penguatan, dan koreksi
(Hallahan, Lloyd, Kauffman, Weiss, & Martinez, 2005 dalam Hallahan & Kauffman, 2006) Tingkah laku bemasalah siswa ASD dapat dihadapi dengan menggunakan kombinasi functional behavioral assessment (FBA) dan positive behavioral support (PBS). Kombinasi ini digunakan untuk menurunkan atau mengeleminasi tingkah laku-tingkah laku tersebut. FBA meliputi penentuan konsekuensi, anteseden dan setting eventsnyang mempertahankan tingkah laku bermasalah tersebut (Horner, Albin, Sprague, & Todd, 2000 dalam Hallahan &
6
Kauffman, 2006). PBS meliputi penemuan cara-cara untuk mendukung tingkah laku positif siswa, daripada menghukum tingkah laku negative. Guru-guru dapat mendesain cerita-cerita yang mendorong siswa untuk bertingkah laku positif dalam situasi sosial, misalnya makan siang bersama, bermain di taman bermain, menggunakan perpustakan, mengantri, dan bekerja sama dengan siswa lain dalam kelompok (Crozier & Sileo, 2005). Enam langkah yang dibutuhkan untuk menggunakan cerita sosial secara efektif menurut Crozier & Sileo (2005): 1. Identifikasi Kebutuhan. Hal ini perlu dilakukan secara informal melalui observasi terhadap siswa maupun secara lebih formal menggunakan asesmen. 2. Lakukan asesmen fungsional. Asesmen fungsional memberikan gambaran mengenai bagaimana tingkah laku tersebut dan membangun hipotesis mengenai apa yang menyebabkan atau mempertahankan tingkah laku asesmen ini dapat dilakukan melalui observasi tingkah laku, wawancara, dan self-assessment (O’ Neill et.al., 1997 dalam Crozier & Sileo, 2005). 3. Jadikan cerita sosial sebagai bagian dari perencanaan comprehensive behavior support. Gunakan data yang telah diperoleh mengenai tingkah laku dan penyebabnya untuk memilih intervensi yang paling sesuai. 4. Tulis cerita sosial. Gray & garand (1993 dalam Crozier & Sileo, 2005) telah membuat panduan untuk membuat cerita sosial yang terdiri atas panduan membuat teks dan panduan membuat gambar. 5. Implementasikan dan monitor kemajuan siswa. Pertama kali membacakan cerita yang sudah dibuat kepada siswa, tanyakan beberapa pertanyaan untuk meyakinkan pemahaman mereka. 6. Mengevaluasi berdasarkan data yang ada. Lanjutkan pengumpulan data seperti yang sudah dilakukan pada asesmen fungsional di awal sebagai evaluasi efektivitas cerita sosial tersebut. Dalam perkembangannya, terdapat pendidikan inklusi dan integrasi dalam memenuhi hak anak autis dalam pendidikan. Pendidikan integrasi yaitu dimana siswa penyandang cacat dimasukkan ke dalam kelas atau sekolah khusus sehingga kemudian mereka dipindahkan ke sekolah regular ketika mereka dianggap siap untuk mengikuti di suatu kelas reguler. Sedangkan pendidikan inklusi membuat anak-anak cacat, seperti autisme bisa belajar dengan teman-teman di kelas regular. 7
Pada saat ini sudah ada tempat untuk menangani anak-anak autis, yaitu adanya sekolah inklusi. Tapi sayangnya, sekolah inklusi di Indonesia masih sangat jarang, karena sumber daya manusianya yang kurang. Dengan adanya sekolah inklusi ini anak-anak yang memiliki keterbatasan dan perlu bimbingan khusus dapat terpenuhi. Tetapi, banyak sekolah inklusi yang bagus namun harus membutuhkan biaya yang mahal untuk dapat bersekolah di sekolah inklisi tersebut. Sekolah inklusi yang sifatnya, sekolah yang bergabung dengan anak-anak yang normal. Dengan lingkungan seperti ini, tidak jarang mengakibatkan krisis kepercayaan diri dari anakanak yang memiliki kebutuhan khusus. Jadi, sebaiknya sekolah-sekolah inklusi yang ada di Indonesia dan sudah ditunjuk dari pemerintah ini agar segerah dibenahi, agar anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus dapat mengikuti pelajaran dengan baik dan dapat menjalankan kegiatannya seperti anak-anak yang normal.
Teori Menulis Kurikulum menulis pada buku Bahasa Indonesia kelas 5 SD yaitu mampu mengekspresikan berbagai pikiran, gagasan, pendapat, dan perasaan dalam berbagai ragam tulisan melalui menyusun karangan, menulis surat pribadi, meringkas isi buku bacaan, membuat poster, dan menulis catatan dalam buku harian menulis kartu pos serta menulis prosa sederhana dan puisi. Hasil belajar dari standar kopetensi menulis yaitu mampu menulis karangan berdasarkan gambar seri yang diacak dengan bahan yang tersedia, menyusun karangan dengan menggunakan kerangka karangan, menulis kartu pos dengan benar, menulis surat pribadi untuk berbagai keperluan dan tujuan dengan kalimat yang efektif, menyusun laporan melalui tahapan yang benar. Menulis secara ringkas isi buku pengetahuan dan cerita dalam beberapa kalimat dengan kata-kata sendiri, menulis kejadian penting dalam buku harian dengan ragam bahasa yang sesuai, menuangkan ide/gagasan dalam bentuk poster sederhana dengan bahasa yang komunikatif, menulis pengalaman pribadi dalam bentuk prosa sederhana, menuangkan gagasan dalam bentuk puisi. (depdiknas, 2003) Menulis adalah suatu proses menyusun, mencatat, dan megkomunikasikan makna dalam tataran ganda bersifat interaktif dan diarahkan menggunakan pola-pola bahasa secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pesan untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan suatu sistem tanda konvesional yang dapat dilihat atau dibaca (Rusyana,1998). 8
Menulis permulaan (dengan huruf kecil) di kelas 1SD tujuannya siswa memahami cara menulis permulaan dengan ejaan yang benar dan mengkomunikasikan ide atau pesan secara tertulis, materi pelajaran menulis permulaan dikelas 1SD disajikan secara bertahap dengan menggunakan pendekatan huruf, suku kata, kata-kata atau kalimat. Menulis permulaan (dengan huruf besar pada awal kalimat) di kelas II tujuannya siswa memahami cara menulis permulaan dengan ejaan yang benar dan mengkomunikasikan ide atau pesan secara tertulis,untuk memperkenalkan cara menulis huruf besar di kelas II SD mempergunakan pendekatan spiral maksudnya huruf demi huruf diperkenalkan secara berangsur-angsur sampai pada akhirnya semua huruf dikuasai oleh para siswa (Pembelajaran Menulis, 2009).
Kemampuan Membaca Pada Anak Membaca adalah suatu cara untuk mendapatkan informasi dari sesuatu yang ditulis. Membaca melibatkan pengenalan simbol yang menyusun sebuah bahasa. Membaca dan mendengar adalah 2 cara paling umum untuk mendapatkan informasi. Informasi yang didapat dari membaca dapat termasuk hiburan, khususnya saat membaca cerita fiksi atau humor (Membaca, 2013).
Membaca Pada Anak Kurikulum membaca pada buku Bahasa Indonesia kelas 5 SD yaitu mampu memahami ragam teks bacaan dengan berbagai cara membaca untuk mendapatkan informasi tertentu melalui membacakan tata tertib/pengumuman, membaca cepat, membaca intensif dan ekstensif, membaca sekilas, dan membaca memindai teks-teks khusus serta membacakan puisi. Hasil belajar dari standar kopetensi membaca yaitu mampu menyimpulkan isi teks tata tertib, membaca cepat teks dengan kecepatan 100 kata per menit dan memahami isinya, membaca percakapan dengan lafal dan intonasi yang wajar, menemukan persamaan dan perbedaan antarteks dalam teks-teks yang bertema sama, membandingkan isi antarteks, menemukan informasi secara cepat dari berbagai teks khusus dan membacakan puisi dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat. (depdiknas,2003) Permasalahan seputar waktu yang tepat untuk mengajarkan anak membaca pernah menjadi perbincangan yang hangat. Ada yang pro dengan mengajarkan anak membaca di usia dini dan 9
ada juga yang kontra. Sebenarnya anak yang diajarkan membaca sejak dini, sangat mempengaruhi kemampuan membaca anak di masa depan. Dolores Durkin merupakan peneliti yang pertama kali mendalami masalah ini pada tahun 1958-1964 dan mengadakan berbagai studi untuk menelitinya. Apa kesimpulan yang dapat diambil dari studi selama 6 tahun ini? Anak yang bisa membaca sejak dini ternyata senantiasa bisa mengungguli kemampuan membaca anak yang terlambat, hingga ke tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kemampuan membaca sejak dini ternyata tidak berhubungan dengan IQ anak, namun sangat berhubungan dengan suasana rumah dan keluarganya. Anak-anak yang bisa membaca sejak dini ternyata muncul dari keluarga yang memiliki perhatian dan usaha ekstra dalam membantu mereka belajar membaca. Kemampuan membaca sejak dini juga tidak berhubungan dengan kondisi sosial-ekonomi. Anak-anak yang bisa membaca sejak dini ternyata memiliki orang tua yang mau menyempatkan waktu untuk kegiatan membaca bersama anaknya, walaupun latar belakang sosial-ekonomi mereka berbeda-beda (Membaca, 2013). Sebelum pandai membaca, seorang anak harus mengerti terlebih dulu huruf. Sesudah ia mengenal huruf, barulah ia merangkaikan huruf menjadi kata-kata yang berarti (Hawadi, 2001). Menurut Thomson (1970) yang dikutip Budihastuti (1983), waktu yang paling tepat untuk belajar membaca adalah saat duduk di TK. Pada masa ini rasa ingin tahu anak berkembang sehingga anak banyak melontarkan pertanyaan-pertanyaan. Mereka juga sudah lebih siap menerima hal-hal yang dilihatnya di sekolah. Di samping itu, keterikatan anak pada hal-hal yang konkrit semakin berkurang, dan sebaliknya, kemampuan mereka berkembang menjadi lebih abstrak. Untuk itu, anak sudah dapat dilibatkan pada simbol-simbol. Agar anak menaruh perhatian dan penghargaan terhadap buku, maka pada masa kanak-kanak awal ini anak dilatih bagaimana cara memegang buku, membuka halaman, mengenal gambar dan mengembalikan buku pada tempatnya (Hawadi,2001). Adapun yang menjadi acuan dalam penulisan ini adalah gambaran kemampuan membaca dan menulis anak autis pada pelajaran bahasa Indonesia yang bersekolah di SD Inklusi X. Penelitian ini memiliki subyek penelitian yaitu A yang merupakan anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi X. Subjek A berusia 13 tahun dan berjenis kelamin laki-laki.
10
II.
Permasalahan Dalam penelitian ini secara spesifik, peneliti ingin mengetahui gambaran kemampuan
membaca dan menulis anak autis pada pelajaran bahasa Indonesia yang bersekolah di SD Inklusi X Jakarta. Berdasarkan alasan di atas, penelitian ini akan berfokus pada kemampuan membaca dan menulis anak autis pada pelajaran bahasa Indonesia.
III.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini berdasarkan dari uraian-uraian sebelumnya yang telah dijabarkan pada uraian diatas yakni untuk mengetahui bagaimana gambaran kemampuan membaca dan menulis anak autis pada pelajaran bahasa Indonesia yang besekolah di SD Inklusi X Jakarta.
IV.
Metode Penelitian
Metode pendekatan masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif dengan tipe studi kasus. Metode penelitian kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah, dengan mengedepankan proses interaksi-komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti (Herdiansyah, 2010). Penelitian kualitatif bertujuan untuk mencapai pemahaman mendalam mengenai organisasi atau peristiwa khusus daripada mendeskripsikan bagian permukaan dari sampel besar dari sebuah populasi. Penelitian kualitatif ini juga bertujuan untuk menyediakan penjelasan tersurat mengenai struktur, tatanan dan pola yang luas yang terdapat dalam suatu kelompok partisipan. Di samping itu, penelitian kualitatif menghasilkan data mengenai kelompok manusia dalam latar sosial (Herdiansyah, 2010). Alasan pemilihan jenis penelitian kualitatif pada penelitian ini adalah peneliti ingin memahami secara mendalam mengenai cara belajar pada anak autis yang bersekolah di SDN Inklusi. Dalam penelitian ini, model penelitian kualitatif yang digunakan adalah studi kasus (case study).penelitian ini adalah studi kasus (case study). Herdiansyah (2010), menyebutkan bahwa case study merupakan suatu model yang bersifat komprehensif, intens, rinci, dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya untuk menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer (berbatas waktu). Dalam studi kasus, peneliti berusaha untuk mendapatkan data sebanyak mungkin mengenai subjek yang diteliti, sehingga informasi yang 11
didapat tercukupi. Peneliti menggunakan model studi kasus karena peneliti ingin memahami, mempelajari, dan menerangkan tentang cara belajar pada anak autis yang bersekolah di SDN Inklusi. Karakteristik dari subjek pada penelitian ini adalah: 1. Seorang anak laki-laki penyandang Autis 2. Bersekolah di SDN Inklusi 3. Bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian.
Tabel Demografis Subjek Penelitian Nama Subjek
Usia
Pendidikan
Pekerjaan
A
13 tahun
SD
Siswa
Tabel Demografis Informan Penelitian Nama Informan
Pendidikan
Bambang
S1
Pekerjaan GPK
Deskripsi Subjek A Subjek berinisial A. Subjek A berumur 13 tahun. Subjek A merupakan seorang anak lakilaki yang mengalami Autis. Subjek A bersekolah di SDN Inklusi X Jakarta kelas 5 SD. Subjek A memiliki nilai IQ 43. Subjek A sangat menyukai permainan playstation.
Metode Sampling Metode pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah purposfull sampling. Purposfull sampling adalah teknik dalam non-probability sampling yang berdasarkan kepada ciri-ciri yang dimiliki oleh subjek yang dipilih karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan (Herdiansyah, 2010). Proses pemilihan subjek pada penelitian ini didasarkan pada ciri-ciri dan sifat-sifat tertentu yang saling berhubungan dengan ciri atau sifat populasi yang memenuhi tujuan yang telah ditetapkan, yaitu subjek merupakan anak penyandang autis yang bersekolah di SDN Inklusi. Lokasi penelitian ini dilakukan di sekolah inklusi Jakarta. Lokasi untuk bertemu dengan subjek menyesuaikan keinginan peneliti, tetapi masih dalam lokasi sekolah SDN Inklusi di Jakarta. Sekolah Inklusi merupakan bahwa semua anak, terlepas dari kemampuan maupun 12
ketidakmampuan, larat belakang budaya atau bahasa, social, ekonomi, agama atau jender, menyatu dalam komunitas sekolah yang sama termasuk tempat pendidikan bagi anak-anak penyandang Autis.
Metode Pengumpulan Data Wawancara Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara. Wawancara menurut Stewart & Cash (2008) didefinisikan sebagai suatu interaksi didalamnya terdapat pertukaran/ sharing aturan, tanggung jawab, perasaan, kepercayaan, motif, dan informasi. Berdasarkan definisi tersebut, wawancara merupakan suatu interaksi yang dibangun dalam rangka memperoleh suatu tujuan tertentu. Bentuk wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur karena menggunakan pertanyaan yang terbuka sehingga jawaban lebih fleksibel, kaya akan informasi namun tetap terkontrol. Tujuan dari wawancara yang dilakukan dengan subjek penelitian adalah untuk mendapatkan informasi mengenai gambaran pola asuh orang tua pada anak berbakat dalam bidang musik. Adapun alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat perekam suara yang penggunaannya telah mendapat persetujuan dari subyek penelitian.
Metode Analisis Data Langkah-langkah metode analisis data kualitatif menurut Miles dan Huberman (1986; dalam Herdiansyah, 2010) memiliki tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Reduksi data. Reduksi data adalah bagian dari proses analisis yaitu bentuk analisis untuk mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak penting, dan mengatur data, sehingga dapat dibuat kesimpulan. Reduksi data merupakan proses seleksi, membuat fokus, menyederhanakan dan abstraksi dari data kasar yang ada dalam catatan lapangan. Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian, berupa singkatan, pembuatan kode, memusatkan tema, membuat batasbatas persoalan, dan menulis memo.
13
2. Sajian data. Sajian data adalah suatu susunan informasi yang memungkinkan dapat ditariknya suatu simpulan penelitian. Dengan melihat sajian data, peneliti akan memahami apa yang terjadi serta memberikan peluang bagi peneliti untuk mengerjakan sesuatu pada analisis atau tindakan lain berdasarkan pemahamannya. Penyajian data dalam bentuk matriks, gambar, skema, jaringan kerja, dan tabel, akan banyak membantu menganalisis guna mendapatkan gambaran yang jelas serta memudahkan dalam menyusun kesimpulan peneliti. Pada dasarnya sajian data dirancang untuk menggambarkan suatu informasi secara sistematik dan mudah dilihat serta dipahami dalam bentuk keseluruhan sajiannya. 3. Penarikan simpulan/verifikasi Sejak awal pengumpulan data, peneliti sudah harus mulai memahami makna dari hal-hal yang ditemui dengan mencatat keteraturan pola-pola, pernyataan dari berbagai konfigurasi yang mungkin, arah hubungan kausal, dan proposisi. Kesimpulan akhir pada penelitian kualitatif, tidak akan ditarik, kecuali setelah proses pengumpulan data berakhir. Kesimpulan yang dibuat perlu diverifikasi dengan cara melihat dan mempertanyakan kembali, sambil meninjau secara sepintas pada catatan lapangan untuk memperoleh pemahaman yang lebih tepat. Penggunaan metode analisis data kualitatif yaitu menganalisis hasil wawancara yang dilakukan peneliti untuk mengungkap gambaran cara belajar anak autis di sekolah inklusi X.
Observasi Metode pengumpulan data kualitatif yang juga sangat sering digunakan adalah observasi. Observasi berasal dari bahasa latin yang berarti memperhatikan dan mengikuti. Memperhatikan dan mengikuti dalam arti mengamati dengan teliti dan sistematis sasaran perilaku yang dituju. Cartwright & Cartwright mendefinisikan sebagai suatu proses melihat, mengamati, dan mencermati serta “merekam” perilaku secara sistematis untuk suatu tujuan tertentu. Observasi ialah suatu kegiatan mencari data yang dapat digunakan untuk memberikan suatu kesimpulan atau diagnosis (Herdiansyah, 2010). Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode anecdotal record untuk menggetahui gambaran cara belajar pada anak autis di sekolah inklusi X. Metode yang digunakan peneliti melakukan observasi dengan hanya membawa kertas kosong untuk mencatat perilaku yang 14
khas, unik, dan penting yang dilakukan subjek penelitian. Biasanya, perilaku yang dicatat dengan metode anecdotal record merupakan perilaku yang memiliki keunikn tersendiri serta hanya muncul sesekali saja. Catatan tersebut harus sedetail dan selengkap mungkin sesuai dengan kejadian yang sebenarnya tanpa mengubah kronologisnya (Herdiansyah, 2010).
V.
Hasil Penelitian Hasil penelitian yang didapat yaitu subjek A sangat penyukai games football
kegemarannya, ia sering bermain games tersebut pada playstation yang dibelikan oleh ayahnya. Guru subjek A mengemukakan bahwa subjek A mengalami kesulitan dalam menulis dan membaca, pada saat menulis subjek A masih menulis menggunakan huruf besar semua, sedangkan pada saat disuruh membaca subjek A masih banyak terlihat diam. Subjek A belum bisa menulis dengan huruf yang kecil-kecil, semakin tinggi tingkat stress subjek A maka akan semakin besar huruf-huruf yang ditulis oleh subjek A, karena hal tersebut subjek A menggunakan kertas atau buku khusus yang diberikan dari pihak sekolah. Hasil treatment yang diberikan pada subjek A sangat bertolak belakang, karena sampai saat ini subjek A yang duduk di kelas 5 SD tidak dapat menulis dengan huruf yang kecil. Semakin tinggi tingkat stress subjek A, maka semakin besar pula huruf-huruf yang ditulis oleh subjek A. Hal ini dapat dilihat ketika peneliti memberikan tugan kepada subjek A untuk menulis sebuah kalimat yang peneliti kutip dari buku pelajaran bahasa indonesia dan sebuah majalah games. Terlihat jelas bahwa, subjek A menulis dengan huruf yang besar dan semakin besar pada pelajaran bahasa indonesia, sedangkan menulis mengenai majalah games subjek A menulis dengan huruf yang tidak terlalu besar, hal ini disebabkan karena subjek A lebih menyukai sesuatu hal yang berkaitan dengan games. Berdasarkan dari saran pak Bambang dalam memberikan treatment yang baik untuk subjek A adalah membaca, karena subejk A masih sering terdiam pada saat membaca dan untuk mempersingkat waktu penelitian maka peneliti setuju dengan saran yang diberikan oleh pak Bambang. Kemudian peneliti langsung meminjam buku pelajaran bahasa Indonesia yang saat ini subjek A sedang pelajari. Setelah peneliti meminjam buku bahasa Indonesia dari pihak sekolah, peneliti meminta subjek A untuk membaca satu cerita, setelah membaca satu paragraph subjek A berhenti dan melihat-lihat sekelilingnya. Ketika sudah ditegur oleh peneliti baru subjek A melanjutkan membacanya. Hampir setiap selesai membaca satu paragraph subjek A selalu berhenti, dan pada saat membaca perkalimat subjek A juga sering 15
berhenti kurang lebih 3 sampai 5 detik. Namun, hal ini tidak berlaku bagi subjek A. Sebab, subjek A sebagai penyandang autis sampai subjek A bersekolah SD subjek A masih mengalami kesulitan dalam membaca dan subjek A kurang memahami mengenai cerita dari bacaan tersebut. Setelah subjek A membaca cerita dari buku bahasa Indonesia, peneliti memberikan soal. Pada soal tersebut subjek A diminta untuk melengkapi atau mengisi kata-kata apa saja yang hilang dalam satu paragraph cerita yang telah subjek A baca sebelumnya. Ketika subjek A berhasil menyelesaikan soal tersebut, peneliti memberikan kembali latihan soal kepada subjek A, pada kali ini subjek A diminta untuk menyusun kalimat-kalimat sehingga akan menjadi satu paragraph. Hal ini peneliti lakukan pada pertemuan kedua dan pertemuan ketiga. Tetapi, ada sedikit perbedaan antara pertemuan kedua dan ketiga, yaitu pada pertemuan ketiga peneliti membawakan majalah games kesukaan subjek A, kemudian peneliti meminta subjek A untuk membacakan satu artikel pendek tentang games football. Setelah subjek A selesai membaca, subjek A mengerjakan soal yang sama ketika subjek A selesai membaca cerita dari buku bahasa Indonesia, yaitu mengisi atau melengkapi kata-kata yang hilang pada setiap paragraph dan menyusun kalimat-kalimat untuk menjadikannya satu paragraph cerita yang utuh dari majalah games tersebut. Subjek A terlihat antusias sekali ketika diminta membaca, melengkapi kata dan menyusun kalimat dari artikel majalah games tersebut. Beda halnya dengan ketika subjek A membaca, melengkapi kata dan menyusun kalimat dari buku bahasa Indonesia subjek A butuh bantuan berupa penjelasan dari peneliti dalam mengerjakannya. Subjek A sering salah mengisi kata-kata dan menyusun kalimat dari buku bahasa Indonesia, kemudian peneliti memberikan penjelasan kepada subjek A, lalu subjek A mencoba kembali menjawab kata-kata yang hilang tersebut. Setelah peneliti memberikan penjelasan, subjek A mencoba mengerti dalam mengerjakan soal tersebut. Peneliti akhirnya memberikan treatment pada subjek A yakni peneliti meminjam buku bahasa Indonesia yang digunakan oleh subjek A. Peneliti memilihkan satu cerita untuk dibaca secara berulang-ulang oleh subjek A, dan diperkuat dengan latihan mengisi kata-kata yang hilang dalam cerita tersebut, serta subjek A juga diminta untuk menyusun kalimat-kalimat yang di acak-acak hingga membentuk satu paragraph yang tepat. Jika subjek A mampu menyelesaikan tugas yang diberikan peneliti, peneliti memberikan permen, makanan ringan
16
dan minuman ringan yang disukai oleh subjek A, begitupun seterusnya yang dilakukan oleh peneliti dalam treatmentnya yang dilakukan oleh subjek A. Pada akhir pertemuan peneliti dengan subjek A, ini peneliti melakukan treatment dengan menggunakan dua media. Pertama media buku pelajaran bahasa Indonesia, dan yang kedua media majalah games baik itu games playstation maupun games online. Subjek A diminta untuk membaca buku pelajaran bahasa Indonesia yang telah subjek A lakukan seperti harihari sebelumnya. Setelah itu subjek A diminta untuk mengisi kata-kata yang kosong di setiap paragrafnya, selanjutnya subjek A di minta untuk menyusun kalimat-kalimat yang di acak hingga tersusun satu paragraph yang benar. Demikian pula dilakukan pada bacaan artikel yang bersumber dari majalah games. Disini terlihat jelas bahwa subjek A lebih cepat dalam merespon pertanyaan, mencari kata-kata yang hilang, dan menyusun kalimat dari bacaan artikel yang berasal dari majalah games dan berhubungan dengan sepak bola atau football kegemarannya.
VI. Pembahasan Hasil Penelitian Membaca adalah suatu cara untuk mendapatkan informasi dari sesuatu yang ditulis. Membaca melibatkan pengenalan simbol yang menyusun sebuah bahasa. Membaca dan mendengar adalah 2 cara paling umum untuk mendapatkan informasi. Informasi yang didapat dari membaca dapat termasuk hiburan, khususnya saat membaca cerita fiksi atau humor (http://id.m.wikipedia.org/wiki/Membaca). Hasil belajar dari standar kopetensi membaca yaitu mampu menyimpulkan isi teks tata tertib, membaca cepat teks dengan kecepatan 100 kata per menit dan memahami isinya, membaca percakapan dengan lafal dan intonasi yang wajar, menemukan persamaan dan perbedaan antarteks dalam teks-teks yang bertema sama, membandingkan isi antarteks, menemukan informasi secara cepat dari berbagai teks khusus dan membacakan puisi dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat. (depdiknas,2003) Berdasarkan Berdasarkan hasil penelitian yang didapat pada subjek A, kemampuan membaca pada subjek A belum sesuai dengan kurikulum membaca pada buku pelajaran bahasa indonesia. Menurut kurikulum membaca buku Bahasa Indonesia kelas 5 SD seharusnya siswa sudah dapat menyimpulkan isi teks, membaca cepat teks dengan kecepatan 100 kata per menit dan memahami isinya. Sedangkan, pada subjek A belum sesuai dengan kurikulum membaca pada buku pelajaran bahasa indonesia kelas 5 SD. Hal ini, dikarenakan 17
pada saat subjek A membaca sebuah paragraf buku bahasa Indonesia subjek A masih sering tidak fokus. Subjek A saat membaca sering terdiam secara tiba-tiba selama kurang lebih 15 sampai 20 detik dan subjek A masih terbatah-batah saat membaca. Tetapi, ketika subjek A diberikan buku bacaan mengenai sebuah majalah games yang disukai subjek A terlihat lebih bersemangat saat membaca sebuah artikel yang ada dimajalah tersebut. Meskipun, saat membaca subjek A masih sering terdiam dan terbatah-batah saat membaca. Namun, hal ini tidak selama pada saat subjek A membaca buku Bahasa Indonesia. Subjek A memerlukan treatment yang di buat oleh peneliti yaitu dengan cara membaca buku berulang-ulang lalu menyusun kata-kata secara acak agar menjadi suatu paragraf. Seperti teori di atas, subjek A mampu menyusun kata-kata secara acak menjadi sebuah paragraf ketika dijanjikan oleh peneliti untuk diberikan permen, makanan ringan dan minuman ringan. Subjek A juga sangat cepat dan bersemangat dalam menyusun suatu paragraf yang berhubungan dengan games online kesukaannya ketika peneliti memberikan buku bacaan yang berhubungan dengan games online kesukaannya. Hal ini merupakan suatu hiburan bagi subjek A ketika peneliti memberikan buku bacaan yang berhubungan dengan games online kesukaannya. Menulis adalah suatu proses menyusun, mencatat, dan mengkomunikasikan makna dalam tataran ganda bersifat interaktif dan diarahkan menggunakan pola-pola bahasa secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pesan untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan suatu sistem tanda konvesional yang dapat dilihat atau dibaca (Rusyana,1998). Pada saat membaca buku bahasa Indonesia berulang-ulang yang telah diberikan peneliti pada subjek A, subjek A mampu menuliskan kata-kata secara acak dan menjadikannya sebuah paragraf. Hasil belajar dari standar kopetensi menulis yaitu mampu menulis karangan berdasarkan gambar seri yang diacak dengan bahan yang tersedia, menyusun karangan dengan menggunakan kerangka karangan, menulis kartu pos dengan benar, menulis surat pribadi untuk berbagai keperluan dan tujuan dengan kalimat yang efektif, menyusun laporan melalui tahapan yang benar. Menulis secara ringkas isi buku pengetahuan dan cerita dalam beberapa kalimat dengan kata-kata sendiri, menulis kejadian penting dalam buku harian dengan ragam bahasa yang sesuai, menuangkan ide/gagasan dalam bentuk poster sederhana dengan bahasa yang komunikatif, menulis pengalaman pribadi dalam bentuk prosa sederhana, menuangkan gagasan dalam bentuk puisi. (depdiknas, 2003). 18
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat pada subjek A, kemampuan menulis pada subjek A belum sesuai dengan kurikulum menulis pada buku pelajaran bahasa indonesia. Menurut kurikulum menulis buku Bahasa Indonesia kelas 5 SD seharusnya siswa sudah dapat membuat sebuah karangan, menulis secara ringkas isi buku pengetahuan dan cerita dalam beberapa kalimat dengan kata-kata sendiri. Sedangkan pada subjek A, belum sesuai dengan kurikulum yang ada karena subjek A masih menulis dengan huruf yang berukurang besar dari huruf normal, subjek A masih menggunakan buku khusus seukuran kertas pholio yang diberikan oleh gurunya di sekolah. Biasanya subjek A menulis dengan huruf sebesar tiga baris pada kertas biasa. Namun, ketika subjek A menggalami stress semakin tinggi tingkat stress yang dialami subjek A, maka semakin besar huruf yang ditulis oleh subjek A. Huruf yang ditulis subjek A bisa lebih dari tiga baris buku.
VII. Kesimpulan dan Saran Dalam hasil penelitian ini, peneliti mengambil kesimpulan bahwa pada saat peneliti mewawancara dan observasi pada subjek A, Kemampuan membaca pada subjek A belum sesuai dengan kurikulum membaca pada buku pelajaran bahasa indonesia. Menurut kurikulum membaca buku Bahasa Indonesia kelas 5 SD seharusnya siswa sudah dapat menyimpulkan isi teks, membaca cepat teks dengan kecepatan 100 kata per menit dan memahami isinya. Sedangkan, pada subjek A belum sesuai dengan kurikulum membaca pada buku pelajaran bahasa indonesia kelas 5 SD. Hal ini, dikarenakan pada saat subjek A membaca sebuah paragraf buku bahasa Indonesia subjek A masih sering tidak fokus. Subjek A saat membaca sering terdiam secara tiba-tiba selama kurang lebih 15 sampai 20 detik dan subjek A masih terbatah-batah saat membaca. Tetapi, ketika subjek A diberikan buku bacaan mengenai sebuah majalah games yang disukai subjek A terlihat lebih bersemangat saat membaca sebuah artikel yang ada dimajalah tersebut. Meskipun, saat membaca subjek A masih sering terdiam dan terbatah-batah saat membaca. Namun, hal ini tidak selama pada saat subjek A membaca buku Bahasa Indonesia. Kemampuan menulis pada subjek A belum sesuai dengan kurikulum menulis pada buku pelajaran bahasa indonesia. Menurut kurikulum menulis buku Bahasa Indonesia kelas 5 SD seharusnya siswa sudah dapat membuat sebuah karangan, menulis secara ringkas isi buku pengetahuan dan cerita dalam beberapa kalimat dengan kata-kata sendiri. Sedangkan pada subjek A, belum sesuai dengan kurikulum yang ada karena subjek A masih menulis dengan 19
huruf yang berukurang besar dari huruf normal, subjek A masih menggunakan buku khusus seukuran kertas pholio yang diberikan oleh gurunya di sekolah. Biasanya subjek A menulis dengan huruf sebesar tiga baris pada kertas biasa. Namun, ketika subjek A menggalami stress semakin tinggi tingkat stress yang dialami subjek A, maka semakin besar huruf yang ditulis oleh subjek A. Huruf yang ditulis subjek A bisa lebih dari tiga baris buku.
Saran Dalam menangani anak-anak autis harus dibutuhkan kesabaran yang besar. Anak-anak autis ini sangat membutuhkan penanganan khusus dalam berbagai macam hal seperti cara berinteraksi sosial dan dalam pendidikan di sekolahnya, karena anak-anak autis ini sangat sulit dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Anak –anak dengan gangguan seperti ini jangan disepelekan, karena dapat menghambat perkembangan dirinya hingga dewasa nanti. Anak autis ini sebenarnya dapat diatasi sebelum anak tersebut lebih dari usia 5 tahun. Jika, anak yang mengalami gangguan ini masih berusia dibawah usia 5 tahun, masih dapat kemungkinan ditangani dengan cepat, sehingga anak tersebut dapat berinteraksi dengan baik dan bisa setara dengan anak-anak normal lainnya. Pada saat ini sudah ada tempat untuk menangani anak-anak autis, yaitu adanya sekolah inklusi. Tapi sayangnya, sekolah inklusi di Indonesia masih sangat jarang, karena sumber daya manusianya yang kurang. Dengan adanya sekolah inklusi ini anak-anak yang memiliki keterbatasan dan perlu bimbingan khusus dapat terpenuhi. Tetapi, banyak sekolah inklusi yang bagus namun harus membutuhkan biaya yang mahal untuk dapat bersekolah di sekolah inklisi tersebut. Sekolah inklusi yang sifatnya, sekolah yang bergabung dengan anak-anak yang normal. Dengan lingkungan seperti ini, tidak jarang mengakibatkan krisis kepercayaan diri dari anakanak yang memiliki kebutuhan khusus. Jadi, sebaiknya sekolah-sekolah inklusi yang ada di Indonesia dan sudah ditunjuk dari pemerintah ini agar segerah dibenahi, agar anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus dapat mengikuti pelajaran dengan baik dan dapat menjalankan kegiatannya seperti anak-anak yang normal.
20
Daftar Pustaka
Akbar, Hawadi, Reni.2001.Psikologi Perkembangan Anak, Mengenal Sifat, Bakat, dan Kemampuan Anak.Jakarta:Gramedia.
Handojo. 2009. Autisme Pada Anak. Jakarta : PT. Buana Ilmu Populer
Herdiansyah,Haris.2010.
Metodologi
Penelitian
Kualitatif
Untuk
Ilmu-Ilmu
Sosial.
Jakarta:Salemba Humanika.
Huzaemah. 2010. Kenali Autisme Sejak Dini. Jakarta: Pustaka Populer Obor
Kurikulum 2004 Standar kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar dan MI.2003.Jakarta:Depdiknas.
Mangunsong, F. 2009. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3)
Nevid, J., Rathus, S.,dkk. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta : Erlangga
Pamoedji, G. 2010. 200 Pertanyaan dan Jawaban Seputar Autism. Jakarta: Penerbit Hasanah
Peeters, T. 2009. Panduan Autisme Terlengkap. Jakarta: PT. Dian Rakyat
Rusyana, Yus, 1998. Bahasa dan sastra dalam Gamitan Pendidikan, Bandung: Diponegoro.
Sumber Website : http://id.m.wikipedia.org/wiki/Membaca diunduh pada tanggal 07-12-2013 pada pukul 11:26 WIB http://pembelajaranmenulis.blogspot.com/2009/10/pembelajaran-menulis.htmlm=1 diunduh pada tanggal 05-12-2013 pada pukul 20:56 WIB
21
22