ABSTRAK Universitas Paramadina Program Studi Hubungan Internasional 2009
Irsan Nuzuludin/209000146
Peran Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Proses Demokratisasi di Timor-Leste (1999 -2005)
10 halaman
Timor-Leste yang memperoleh kemerdekaannya dari Indonesia setelah referendum pada tahun 1999 mengalami proses demokratisasi dengan tujuan untuk menjadi negara modern dan merdeka. Namun infrastruktur di wilayah Timor-Leste masih kurang, pemerintahan negara tersebut masih sangat muda, dan keadaan keamanan di wilayah negara Timor-Leste pada saat itu masih rawan. Perserikatan Bangsa-Bangsa memutuskan untuk mengirim pasukan perdamaian dan misi PBB untuk membantu memfasilitasi proses perdamaian di Timor-Leste. Artikel ini akan melihat peran PBB dalam proses demokratisasi di Timor-Leste dari tahun 1999 hingga 2005. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa peran PBB dalam proses awal demokratisasi dan stabilisasi politik di Timor-Leste sangat penting dan vital bagi negara baru tersebut.
Kata Kunci: demokratisasi, Perserikatan Bangsa-Bangsa, referendum, Timor-Leste
Daftar Pustaka: 8 sumber (1995 s.d. 2010)
Judul: Peran Misi PBB dalam Proses Demokratisasi di Timor-Leste 1999-2005 Nama: Irsan Nuzuludin NIM: 209000146
Latar Belakang Permasalahan Pada tahun 1999, setelah referendum yang diawasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, rakyat Timor Timur memilih untuk memisahkan diri dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi negara merdeka. Dengan hasil tersebut, pasukan serta instansi pemerintahan Republik Indonesia mengangkat kaki dari negara termuda di wilayah Asia Tenggara tersebut. Namun, karena vakum kekuasaan (vacuum of power), kekerasan terhadap warga Timor-Leste tidak dapat dihindarkan oleh berbagai pihak dan fraksi internal TimorLeste. Untuk memastikan stabilitas dan kelangsungan hidup negara muda tersebut, perlu adanya intervensi asing. Setelah misi perdamaian yang dipimpin oleh militer Australia (International Force for East Timor – INTERFET), PBB mengirimkan misi perdamaiannya yang dimulai dengan United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET) pada tahun 1999. Timor-Leste yang mendapatkan kemerdekaannya dari Indonesia pada tahun 1999 setelah referendum mengalami proses demokratisasi dalam rangka untuk menjadi negara modern dan merdeka. Namun karena infrastruktur dan pemerintahan Timor-Leste masih sangat muda dan keadaan keamanan di wilayah negara Timor-Leste yang pada saat itu masih rawan sehingga perlu adanya pasukan perdamaian dan misi PBB untuk membantu memfasilitasi proses perdamaian di Timor-Leste. Dalam artikel singkat ini, penulis akan melihat bagaimana misi-misi perdamaian PBB bekerja dalam proses demokratisasi di TimorLeste.
Pembatasan Masalah Dalam artikel ini, penulis akan fokus kepada kinerja misi-misi perdamaian PBB dalam proses demokratisasi di Timor-Leste. Penulis tidak akan membahas atau mengkaji tugas-tugas dari misi-misi perdamaian PBB di Timor-Leste lainnya seperti peacekeeping,
bantuan medis, pendidikan dan lainnya. Ini karena tujuan dari artikel ini hanya untuk melihat bagaimana proses ‘demokratisasi’ berjalan di Timor-Leste dalam periode 1999-2005 dan bukan proses ‘stabilisasi politik’ yang walaupun berhubungan dengan demokratisasi tetapi dalam pandangan penulis dapat dijadikan kajian tersendiri.
Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana proses demokratisasi berjalan di Timor-Leste pada periode 1999-2005 di bawah pengawasan PBB? 2. Bagaimana misi-misi PBB berperan dalam proses demokratisasi Timor-Leste?
Teori Dalam artikel singkat ini, penulis akan memakai teori “liberal institutionalism” yang akan ditambahkan dengan teori “international dimension of democratization”. Andrew Bradley Phillips dari School of Political Science and International Studies di University of Queensland menulis bahwa institusionalisme liberal1 adalah sebuah varian dari liberalisme yang konsepsi mengenai instansi kemanusiaan (“human agency”) berasal dari teori-teori mengenai perilaku manusia dan bukan dari karya-karya tradisional ilmu Hubungan Internasional.2 Heather Rae dari Australian National University menulis bahwa menurut para institusionalis, ketika hubungan antar negara mulai stabil secara politik3 maka negara-negara tersebut tidak punya lagi wewenang yang kuat untuk memaksa kehendak mereka (“coercive”) kepada negara lain sehingga institusi-institusi internasional mulai berdiri untuk memfasilitasi hubungan antar negara.4 Yang dimaksud di sini adalah hubungan antar negara di dunia modern mulai stabil dan seimbang sehingga tidak ada negara yang bisa memaksakan
1
Dalam tulisannya, Phillips menggunakan istilah “neoliberal institutionalism”.
2
Martin Griffiths, ed., International Relations Theory for the 21 st Century: An Introduction, (London:Routledge, 2007), hal. 62-70. 3
Contoh yang digunakan Rae adalah hubungan antara negara-negara di Eropa Barat.
4
Ibid., hal. 130-131.
kehendaknya kepada negara lain untuk bekerjasama, maka kerjasama akan terjadi melalui institusi yang didirikan oleh negara-negara yang memiliki tujuan bersama. Namun, sebuah definisi komprehensif dapat dilihat dalam tulisan Robert Keohane dan Lisa Martin “The Promise of Institutionalist Theory”5, bahwa dasar dari teori institusionalisme adalah ketika negara-negara bisa mendapatkan keuntungan dari kerjasama, maka akan dibentuk institusi-institusi untuk memfasilitasi kerjasama tersebut. Keohane dan Martin juga berpendapat bahwa institusi-institusi (internasional) dapat menyediakan informasi, mengurangi harga atau biaya dari transaksi, membuat komitmen-komitmen (dari semua pihak) lebih meyakinkan, mendirikan titik-titik fokus (focal points) untuk koordinasi, dan secara umum memfasilitasi timbal balik (resiprositas) antara semua pihak. Dapat disimpulkan bahwa dalam institusionalisme liberal peran dari institusi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa sangat penting untuk memfasilitasi dan memudahkan kerjasama antar negara dalam upaya mencapai tujuan bersama. Untuk paper ini, selain meggunakan teori institusionalisme liberal untuk mengkaji proses demokratisasi Timor Leste yang dibantu dan difasilitasi oleh Perserikatan BangsaBangsa melalui misi-misi UNAMET (United Nations Mission in East Timor – Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Timur) Juni-September 1999, UNTAET (United Nations Transitional Administration in East Timor – Administrasi Transisional Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Timur) 1999-2002, dan UNMISET (United Nations Mission of Support to East Timor) 2002-2005, juga akan menggunakan teori dimensi internasional dari demokratisasi sebagai pisau analisis untuk melihat pengaruh internasional, melalui institusi Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Timor Leste. Dalam teori dimensi internasional demokratisasi, Laurence Whitehead berpendapat bahwa terdapat tiga dimensi internasional dalam demokratisasi. Ketiga dimensi atau alternatif ini adalah contagion atau ‘penularan’, control atau ‘pengendalian’, dan consent atau ‘persetujuan’.6
5
Robert Keohane dan Lisa Martin, “The Promise of Institutionalist Theory,” International Security 20, no. 1, (1995): hal. 39-51. 6
Laurence White, ed., The International Dimensions of Democratization: Europe and the Americas (Oxford University Press, 2001), hal. 3-22.
Contagion adalah ketika suatu negara atau beberapa negara secara tidak langsung (dengan maksud tanpa dipaksa atau diintervensi oleh pihak eksternal) ‘tertular’ oleh ide dan ideologi demokratis sehingga terjadi perubahan dalam negara atau negara-negara itu menuju demokrasi baik secara perlahan melalui reformasi-reformasi politik maupun dengan tiba-tiba melalui revolusi populer. Yang dimaksud oleh Whitehead dari control adalah pengendalian melalui pengaruh negara-negara yang sudah demokratis. Yang dimaksud bukan pendudukan suatu negara yang non-demokratis oleh negara demokratis seperti halnya Amerika Serikat di Jerman pascaPerang Dunia Kedua, melainkan pengaruh politik tidak langsung. ‘Pengendalian’ ini memang lebih terlihat dari pengaruh Amerika Serikat terhadap negara-negara di Eropa Timur dan Amerika Latin pada era Perang Dingin, namun bukan berarti negara-negara yang menjadi demokratis dikendalikan oleh Amerika Serikat atau negara demokratis lainnya tetapi yang dimaksud adalah proses demokratisasi yang terjadi melalui interaksi dan dukungan dari negara yang sudah stabil sistem demokrasinya kepada negara yang masih dalam proses demokratisasi. Alternatif yang ketiga adalah consent atau persetujuan. Di sini, persetujuan dibagi dalam empat aspek: territorial limits atau batas teritorial, international structures atau struktur-struktur internasional, national democratic actors atau aktor-aktor demokrasi dalam suatu negara, dan international demonstration effects atau pengaruh dari peragaan internasional. Batas teritorial menurut Whitehead adalah batas-batas geografis antara negara-negara, dan persetujuan atas terbentuknya perbatasan definitif antara dua negara lebih mudah jika kedua negara tersebut merupakan negara demokratis. Ini dapat dihubungkan dengan democratic peace theory
atau teori perdamaian demokratis, yang menyatakan, pada
dasarnya, bahwa negara-negara demokratis lebih mudah untuk berdamai, melakukan kerjasama dan menghindari konflik. Kita dapat melihat contoh perbatasan Amerika Serikat dan Kanada atau perbatasan-perbatasan antara negara-negara di Eropa Barat yang telah didefinisikan dan disetujui oleh kedua negara dibandingkan dengan negara-negara seperti Vietnam dan Cina yang masih memiliki sengketa perbatasan di kepulauan Spratly dan Laut Cina Selatan. Struktur-struktur internasional
yang dimaksud Whitehead adalah kerjasama
internasional terutama kerjasama multilateral antara negara-negara yang memudahkan untuk
stabilisasi sistem demokrasi di negara-negara demokratis. Sebagai contoh, Whitehead menyebutkan Mercosur dan Uni Eropa sebagai contoh struktur-struktur internasional. Hal ini sangat menarik untuk artikel singkat ini, karena struktur-struktur internasional dalam definisi Whitehead mirip dengan konsep institusionalisasi liberal yang dicetuskan oleh Keohane. Aspek ketiga adalah aktor-aktor demokratis nasional yaitu penggerak-penggerak demokratisasi dalam suatu negara. Di luar dari pengaruh asing, diperlukan juga aktor-aktor nasional suatu negara yang belum demokratis atau masih dalam proses demokratisasi untuk menjadi tumpuan untuk jalannya demokrasi dalam negara tersebut. Jika tidak ada, atau minim, demokratisasi dalam suatu negara akan sangat sulit mengingat bahwa demokrasi adalah “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Kemudian aspek keempat adalah pengaruh dari demonstrasi (atau peragaan) internasional yaitu dengan menunjukkan bahwa hidup dalam negara demokratis merupakan suatu yang diinginkan oleh sebuah bangsa maka bangsa tersebut akan cenderung bergerak untuk mewujudkan sebuah negara demokratis. Contoh yang disebutkan oleh Whitehead adalah gambaran kehidupan ‘ideal’ di Amerika Utara dan Eropa yang dapat mempengaruhi cara berpikir masyarakat di kawasan Karibia dan negara-negara Baltik.
Keberadaan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor-Leste Setelah tibanya pasukan intervensi kemanusiaan internasional yang dipimpin Australia yang tergabung dalam INTERFET (International Force in East Timor – Pasukan Internasional di Timor Timur)7 yang beroperasi di bawah mandat Perserikatan BangsaBangsa pada periode 1999-2000, misi yang beroperasi secara langsung di bawah naungan PBB adalah UNAMET yang memiliki tugas untuk mengawasi jalannya referendum di Timor Timur pada tanggal 30 Agustus 1999. Setelah misi UNAMET berakhir, misi PBB berikutnya adalah UNTAET yang merupakan misi PBB yang memiliki tanggung jawab untuk mengawasi, memfasilitasi dan membantu transisi Timor Timur dari provinsi negara Republik Indonesia menjadi negara merdeka yang demokratis.
7
John R. Ballard, Triumph of Self-Determination: Operation Stabilise and United Nations Peacekeeping in East
Timor (Westport, Connecticut: Praeger Security International, 2008), hal. 57.
UNTAET bersama National Council of East Timorese Resistance (Dewan Nasional Perlawanan Timor Timur) membentuk National Consulatve Council (Dewan Pertimbangan Nasional)
untuk
mempersiapkan
institusi-institusi
nasional
Timor-Leste.8
National
Consulative Council (NCC) tersebut membentuk sebuah Kabinet Transisi yang terdiri dari empat warga Timor Timur dan empat wakil UNTAET. Dalam periode tiga tahun, UNTAET membantu mendirikan Sekolah Pelatihan Polisi Timor-Leste, jasa kapal feri untuk menghubungkan
wilayah
Oecussi,
mempersiapkan
atlet-atlet
Timor-Leste
untuk
berpartisipasi dalam Olimpiade tahun 2000 di Sydney, Australia,9 mendirikan sistem perpajakan serta pusat-pusat kesehatan masyarakat, pos-pos layanan terpadu, klinik-klinik, Universitas Nasional Timor-Leste, 700 sekolah dasar, 100 sekolah menengah pertama, 40 taman kanak-kanak dan 10 sekolah teknik (technical colleges).10 Selama misi UNTAET bertugas di Timor-Leste, negara tersebut berada di bawah perlindungan PBB (protectorate) karena masih belum memiliki institusi-institusi dasar negara, konstitusi atau pemerintahan. Setelah pemilihan parlemen Timor-Leste pada tanggal 30 Agustus 2001 dan pemilihan presiden Timor-Leste pada April 2002, Timor-Leste secara resmi menjadi negara baru. Setelah 20 Mei 2002, misi PBB di Timor-Leste menjadi UNMISET (United Nations Mission in Support of East Timor – Misi Perserikatan BangsaBangsa untuk Mendukung Timor Timur)11 yang lebih memiliki peran pembantu (assistance) dan bukan sebagai administrasi transisi di bawah PBB. UNMISET mulai aktif pada tanggal 20 Mei 2002 dengan mandat dari Dewan Keamanan PBB yang menyatakan bahwa misi dari UNMISET adalah untuk memberikan bantuan kepada struktur-struktur administratif Timor-Leste, kepolisian Timor-Leste dan berkontribusi kepada keamanan internal dan eksternal Timor-Leste. Tiga program UNMISET untuk mengimplementasikan mandat tersebut adalah: Stabilitas, Demokrasi dan Keadilan;
8
Ibid., hal. 113.
9
Ibid., hal. 116.
10
Ibid., hal. 119.
11
Ibid., hal. 121.
Keamanan Publik dan Penegakan Hukum; Keamanan Eksternal dan Pengendalian Perbatasan.12 Dibandingkan dengan UNTAET, misi UNMISET berjalan dengan skala lebih kecil. Alasannya adalah karena fokus misi UNMISET adalah untuk memberikan bantuan kepada negara Timor-Leste yang baru berdiri dan mengurangi personil PBB di Timor-Leste. Dari lebih dari 6000 staf PBB yang beroperasi di Timor-Leste pada tanggal 31 Agustus 2002, jumlah staf PBB yang berada di Timor-Leste ketika misi UNMISET usai pada tanggal 30 April 2005 kurang lebih 1000 personil.13
Pembahasan Setelah diuraikannya kedua teori yang akan digunakan sebagai pisau analisis proses demokratisasi di Timor-Leste, penulis akan membagi bab ini dalam dua sub-bab sesuai dengan kedua teori yang telah dipaparkan secara singkat di atas. Pada sub-bab pertama, penulis akan mengkaji proses demokratisasi di Timor-Leste dengan teori institusionalisme liberal oleh Robert Keohane, dengan mengkaji negara-negara mana saja yang bekerja sama untuk memfasilitasi proses demokratisasi Timor-Leste dalam periode 1999-2005 dan bagaimana Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai institusi internasional dalam proses demokratisasi di Timor-Leste bekerja. Dalam sub-bab kedua, penulis akan mengkaji proses demokratisasi di Timor-Leste dan faktor-faktor internasional yang mempengaruhinya menurut ketiga dimensi internasional demokratisasi yang dicetuskan oleh Whitehead: contagion atau ‘penularan’, control atau ‘pengendalian’, dan consent atau ‘persetujuan’.
12
United Nations, "East Timor - UNMISET - Mandate", United Nations Mission of Support in East Timor, http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unmiset/mandate.html (diakses pada 29 Oktober 2011, 15.45 WIB) 13
United Nations, "East Timor - UNMISET - Facts and Figures", United Nations Mission of Support in East Timor, http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unmiset/facts.html (diakses pada 29 Oktober 2011, 15.55 WIB)
a. Institusionalisme Liberal (Liberal Institutionalism) Dalam mengkaji proses demokratisasi dalam Timor-Leste, institusi yang penulis gunakan untuk dianalisa adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa karena perannya sebagai fasilitator proses demokratisasi di Timor-Leste baik pada referendum 1999 dan pemilihan umum pada tahun 2002. Sebagai fasilitator dalam pembangunan Timor-Leste, UNTAET telah membantu mendirikan institusi-institusi untuk negara Timor-Leste yang baru melepaskan diri dari Republik Indonesia. Dalam waktu tiga tahun, UNTAET telah membangun institusi-institusi dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan oleh suatu negara baru termasuk layanan kesehatan, sekolah, instansi pemerintah dan aparat keamanan. UNMISET dalam perannya sebagai misi bantuan keamanan dan stabilitas membantu aparat keamanan Timor-Leste untuk menjaga keamanan di dalam negara tersebut. Sebagai institusi yang akan dianalisa dalam sub-bab ini, PBB telah memainkan perannya sebagai institusi internasional dalam mencapai tujuan bersama karena PBB memfasilitasi masyarakat Timor-Leste untuk menentukan masa depan mereka serta mempersiapkan bangsa Timor-Leste sebagai negara baru, memfasilitasi negara Indonesia dalam masa transisi pelepasan provinsi Timor Timur serta PBB telah memfasilitasi kritik dan keluhan dari Australia dan Portugal mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh Indonesia dan, dalam hal Portugal, tidak sahnya aneksasi Timor-Leste oleh Indonesia pada tahun 1975.
b. Dimensi-Dimensi Internasional Demokratisasi (International Dimensions of Democratization)
Masyarakat Timor-Leste selama diduduki oleh negara Indonesia selama 24 tahun menginginkan sebuah negara merdeka dari pengaruh pemerintahan Jakarta. Setelah melepaskan diri sebagai koloni Portugal pada tahun 1975, Timor-Leste berdiri sebagai negara merdeka dengan nama Republik Demokratik Timor-Leste. Selama masa pendudukan oleh Indonesia, masyarakat Timor-Leste tidak dapat menentukan masa depan mereka dan wakilwakil rakyat serta pemerintahan daerah merupakan warga-warga Timor Timur yang mendukung Indonesia dan ditunjuk oleh pemerintahan pusat RI di Jakarta. Setelah Reformasi
1998, masyarakat Timor Timur dan dunia internasional melihat kesempatan untuk Timor Timur mendapatkan kemerdekaannya sebagai republik demokratis.
i.
Penularan (contagion)
Dalam hal penularan ide demokratisasi di Timor-Leste, gerakan-gerakan Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 merupakan pendorong terbesar untuk intensifikasi gerakan kemerdekaan Timor-Leste. Suharto, mantan Presiden Indonesia yang memerintahkan aneksasi Timor Portugis (nama Timor-Leste ketika masih koloni Portugal) pada Desember 1975, berhasil digulingkan oleh rakyat Indonesia dan era Reformasi mulai berjalan di negara tersebut. Selain di Indonesia, dua negara pendukung kemerdekaan Timor-Leste terbesar merupakan Australia di mana terdapat mayoritas pengungsi dari Timor-Leste dan Portugal. Pengaruh dari kedua negara ini dapat juga dilihat dalam aspek pengendalian.
ii.
Pengendalian (control)
Proses kemerdekaan dan demokratisasi di Timor-Leste dibantu oleh negara-negara asing termasuk Australia dan Portugal yang menggunakan jalur diplomatis di Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendesak Indonesia melepaskan Timor Timur dan intervensi Dewan Keamanan PBB. Dalam aspek ini, aktor-aktor negara yang berperan dalam pengendalian atau control demokratisasi di Timor-Leste adalah Australia dan Portugal, namun Indonesia juga dapat dimasukan dalam aspek ini karena tanpa persetujuan Indonesia, proses kemerdekaan Timor-Leste yang damai melalui mandat PBB tidak dapat dilakukan.
iii.
Persetujuan (consent)
Dalam proses demokratisasi di Timor-Leste, persetujuan internasional adalah aspek yang sangat penting karena ini menyangkut pengakuan atas kedaulatan Timor-Leste oleh dunia internasional.
a. Territorial Limits (Batas Teritorial) Timor-Leste memiliki perbatasan darat dan laut dengan Indonesia dan perbatasan laut dengan Australia. Pengenalan perbatasan ini dapat diselesaikan dengan waktu singkat karena
pada masa pendudukan oleh Indonesia, perbatasan Timor-Leste tidak berubah sehingga kedua negara tersebut telah memiliki perbatasan yang definitif. Dengan Australia, TimorLeste telah membuat perjanjian mengenai perbatasan laut pada masa transisi di bawah UNTAET.
b. International Structures (Struktur-Struktur Internasional) Dalam konteks misi PBB di Timor-Leste, negara tersebut diakui kemerdekaannya pada tanggal 20 Mei 2002 dan menjadi anggota PBB pada tanggal 27 September 2002. Dengan masuknya ke dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Timor-Leste mendapatkan pengakuan yang luas dari dunia internasional termasuk Indonesia.
c. National Democratic Actors (Aktor-Aktor Demokrasi dalam Suatu Negara) Aktor-aktor demokrasi dalam Timor-Leste pada masa pendudukan Indonesia adalah FRETILIN (Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente – Front Revolusioner Timor-Leste Merdeka), diaspora Timor-Leste di luar negeri seperti di Australia dan Portugal serta tokoh-tokoh Timor-Leste seperti Xanana Gusmao dan Uskup Belo.
d. International Demonstration Effects (Pengaruh dari Peragaan Internasional) Berkaitan dengan aspek penularan, efek gerakan Reformasi di Indonesia menujukkan kepada rakyat Timor Timur bahwa rezim Orde Baru telah tumbang dan pada tahun 19981999 merupakan waktu yang tepat untuk mencari dukungan untuk membentuk Timor-Leste yang demokratis. Selain Indonesia, Australia dan Portugal juga merupakan contoh bagi demokrasi Timor-Leste. Australia merupakan negara demokratis dengan sistem parlementer yang juga merupakan tetangga Timor-Leste dan Portugis yang merupakan penjajah TimorLeste sebelum invasi Indonesia adalah negara demokratis sejak revolusi demokratis di Portugal pada tahun 1974.
Kesimpulan Dengan menggunakan teori institusionalisasi liberal, maka kita dapat melihat pengaruh Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap demokratisasi di Timor-Leste, terutama karena PBB secara langsung, melalui misi-misi UNAMET, UNTAET dan UNMISET membantu mendirikan institusi-institusi nasional Timor-Leste yang baru merdeka dari Indonesia. PBB juga menjadi fasilitator antara Indonesia dengan Australia dan Portugal mengenai isu Timor Timur sehingga Timor-Leste dapat merdeka melalui cara damai dan dengan persetujuan dari ketiga negara tersebut. Dengan dimensi-dimensi internasional, peran PBB tidak sebesar ketika dianalisa dengan teori institusionalisasi liberal. Ini dikarenakan dalam teori dimensi-dimensi internasional demokratisasi melihat aktor-aktor yang mempengaruhi demokratisasi dalam suatu negara, dalam hal ini Timor-Leste. Di sini, PBB memiliki peran fasilitator sementara pengaruh-pengaruh internasional adalah dari Indonesia yang pada tahun 1998 Suharto digulingkan oleh gerakan Reformasi, Australia yang menekan Indonesia untuk melepaskan Timor Timur dan menawarkan intervensi kemanusiaan di provinsi tersebut serta Portugal yang tidak mengakui kedaulatan Indonesia di Timor-Leste dan menekan Indonesia untuk melepaskan Timor-Leste.
DAFTAR PUSTAKA Ballard, J.R. (2008). Triumph of Self-Determination: Operation Stabilise and United Nations Peacekeeping in East Timor. Westport, Connecticut: Praeger Security International Griffiths, M., ed. (2007). International Relations Theory for the 21st Century: An Introduction. London: Routledge Keohane, R. dan Martin, L. (1995). “The Promise of Institutionalist Theory” International Security, 20, No. 1. 39-51, The MIT Press Martin, Ian (2001). Self-Determination in East Timor. Boulder, Colorado: Lynne Riener Publishers Morison, Michael (2010). “Democratisation and Timor Leste after UNTAET: Towards participatory intervention” Eds. Leach, Michael et al. Dalam: Hatene kona ba/Compreender/Understanding/Mengerti Timor Leste. Swinburne Press Whitehead, Laurence, ed. (2001). The International Dimensions of Democratization: Europe and the Americas. Oxford University Press
Sumber Elektronik United Nations. (2005). East Timor - UNMISET - Facts and Figures, Dalam http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unmiset/facts.html, 25 Mei 2013 United Nations. (2005). East Timor - UNMISET - Mandate, Dalam http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unmiset/mandate.html, 25 Mei 2013