UNIVERSITAS INDONESIA
GROUPTHINK DALAM DINAMIKA KOMUNIKASI POLITIK (Studi Kasus Pembahasan dan Pengambilan Keputusan tentang Definisi Badan Publik dalam RUU Keterbukaan Informasi Publik di Komisi I DPR RI Masa Bakti 2004-2009)
DISERTASI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Komunikasi
LISA ADHRIANTI 1006777311
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA JUNI 2015
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
KATA PENGANTAR / UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillahirabbil a’lamin puji syukur kepada Allah SWT, Tuhan pemilik seluruh alam, sumber segala ilmu pengetahuan, yang Maha Pengasih lagi Maha Mengetahui setiap persangkaan hambanya, karena hanya atas izinNYA lah disertasi yang sangat dinanti dalam rangkaian perjuangan, pengorbanan, dan kepasraahan diri ini akhirnya dapat terselesaikan dengan baik, dan semoga akan berarti bagi negeri. Aamiin. Terima kasih pula atas nikmat limpahan ilmu dalam berkehidupan yang telah dicukupkan dari junjungan besar Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya, begitu banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari berbagai sunnahnya sebagai penyemangat bagi saya untuk selalu yakin bahwa menyelesaikan disertasi ini insyaAllah adalah juga bernilai ibadah. Disertasi yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor (Dr) Ilmu Komunikasi dari Program Pasacasarjana Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia ini berawal dari ketertarikan saya terhadap fenomena komunikasi kelompok dalam situasi pengambilan keputusan politik di tanah air yang kerap menyisakan berbagai ‘misteri’ di dalam dan kontroversi diluar. Berbekal keyakinan setelah melakukan telaah ilmiah maka saya memilih landasan teori pemikiran kelompok (groupthink) dari Irving Janis bagi penelitian ini. Menurut saya groupthink adalah fenomena menarik dan berpotensi untuk selalu ada dalam aktivitas komunikasi kelompok. Kelegaan atas rampungnya disertasi ini tidak lepas dari peran orang-orang hebat yang yang telah banyak menunjukkan kepedulian, mencurahkan doa, memberikan dukungan pemikiran maupun perhatian terhadap karya yang masih jauh dari sempurna ini. Tanpa adanya campur tangan mereka mungkin saya masih berada dalam banyak keraguan sehingga sempat membuat saya ‘diam’ dan berpaling dari berpikir untuk disertasi ini selama kurun waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, penghargaan dan ucapan terima kasih saya tujukan kepada : 1. Promotor Prof. Dr. Ilya Revianti Sunarwinadi, M.Si yang biasa saya panggil “Prof Cantik” karena begitu saya mengagumi kecantikan fisik dan hatinya yang berpadu sempurna dengan keluasan ilmunya. Sikap bijak dan kelembutannya dalam membimbing mampu menenangkan saya dengan segala kebingungan ilmiah yang kerap melanda. Terima kasih atas waktu yang telah banyak tersita untuk saya, semoga Allah membalas setiap kebaikan yang telah diberikan. 2. Ko-Promotor, Prof. Ikrar Nusa Bhakti, Ph.D., APU yang mengesankan saya dengan kejujuran pendapat dan kritiknya yang membangun bagi perkembangan penelitian disertasi saya. Saya merasa beliau telah memerankan devil’s advocate yang selalu menguji dan menantang saya untuk konsisten dan paham secara detail akan kasus penelitian disertasi ini. Pengalaman beliau sebagai peneliti politik LIPI sangat membantu mengasah ketajaman pemikiran saya tentang politik agar dapat menganalisis teori yang digunakan dengan baik. Ketulusan, kesabaran dan dorongan semangat dari Promotor dan ko-Promotor handal ini sangat berharga bagi penyelesaian studi saya. 3. Ketua Dewan Penguji Prof. Isbandi R. Adi, M.Kes., Ph.D. Terima kasih Prof, semoga sukses selalu membawa nama FISIP UI menjadi yang terbaik. 4. Penguji disertasi, Prof. M. Alwi Dahlan, Ph.D yang telah sejak awal rencana penyusunan disertasi ini berkenan banyak meluangkan waktu untuk memberikan saran-saran bagi penelitian. Melalui argumen-argumen beliau tentang teori groupthink dalam berbagai fenomena komunikasi, membuat saya semakin percaya diri mengerjakan disertasi ini. iii Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
5. Penguji disertasi, Prof. Alois A. Nugroho, Ph.D, yang telah banyak memberikan pemikiran yang sangat bermanfaat bagi penyempurnaan disertasi ini melalui pendapat kritis nya. 6. Penguji disertasi, Prof. Dr. Billy K. Sarwono, MA, (Bu Oni) yang sekaligus sebagai Ketua Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi. Bu Oni senantiasa mengingatkan saya dan rekan lain yang masih belum rampung disertasinya agar memiliki target waktu yang jelas bagi disertasi. Dengan himbauan bahasa yang lembut, senyum manis dan tentunya pelukan hangatnya kepada saya yang telah saya kenal kehangatannya sejak mengikuti perkuliahan S2 bu Oni mampu semakin menguatkan tekad saya untuk menyelesaikan disertasi ini ditengah berbagai problema ibu rumah tangga yang saya hadapi dan beliaulah tempat curhat saya akan hal itu. Pengertiannya membuat saya haru, terima kasih Bu Oni. 7. Penguji disertasi Prof. Dr. Sasa Djuarsa Sendjaja, MA yang juga banyak melatih kemampuan berpikir bagi penelitian disertasi dari saya mengikuti mata kuliah seminar proposal disertasi yang diampunya hingga saya melalui berbagai tahapan ujian yang disaksikan olehnya. Sifat baik beliau untuk selalu memberikan kemudahan bagi para mahasiswa membuat saya menjadi nyaman menulis disertasi ini. Terima kasih Prof. 8. Penguji disertasi, Dr. Pinckey Triputra, M.Sc yang sekaligus sebagai Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI. Berbagai masukan yang diberikan bagi keberlanjutan penelitian ini menjadi sangat berguna bagi saya. Beberapa kali beliau bersedia saya temui dengan senang hati untuk konsultasi mengenai kualitas teori dan metodologi disela kesibukan beliau. Terima kasih yang sebesar-besarnya. 9. Narasumber penelitian ini : Bapak Paulus Widiyanto, Bapak Deddy Jamaluddin Malik, Bapak Sidharto Dhanusubroto, Bapak Effendy Choirie, Bapak Hajriyanto Thohari, Bapak Tosari Widjaja, Mas Agus Sudibyo, Bapak Ismail Chawidu, Ibu Damayanti, Ibu Henny S. Widyaningsih serta Bu Erna bagian Risalah rapat DPR RI, Pak Narso dan Mba Yanti dari PPID DPR RI yang selalu siap dengan tulus menyediakan data yang saya minta. Salam sehat dan sukses selalu bagi semuanya. Terima kasih pula kepada seluruh dosen Pascasarjana Ilmu Komunikasi yang telah baanyak memberikan ilmu yang bermanfaat selama proses perkualiahan. Untaian doa terkhusus bagi (alm) Prof. Dedy N. Hidayat, Ph.D atas jasa beliau yang banyak memberikan sumbangan pemikiran tentang ilmu dan metode penelitian komunikasi. Semoga amalan Rahimahullah menjadi pemberat timbangan beliau untuk meraih jannahNYA. Aamiin. Terima Kasih saya kepada dosen penyabar Bapak Drs. Eduard Lukman, MA yang masih berkenan untuk memberikan banyak masukan mengenai groupthink teori yang memang sangat beliau kuasai Terima pula kepada dosen Bapak Dr. Firman Kurniawan, M. Si yang sering saya temui sejak kuliah S2 dikampus yang sama, dan sempat menjadi pendamping ketika melaksanakan qoloquium proposal disertasi. Kritik dan masukan dari Pak Firman terkait teori, pemilihan kasus dan metodologi menjadi sangat berarti bagi saya. Fokus penelitian kepada kelompok politik di parlemen lahir dari hasil diskusi dengan Dr. Eriyanto (mas Eri) yang pada waktu itu masih menjadi mahasiswa angkatan senior saya. Ketajaman pemikiran dan dukungan beliau atas topik disertasi ini semakin memantapkan langkah saya untuk fokus terhadap penelitian ini, terima kasih atas segala kebaikannya hingga selalu berkenan untuk ‘diganggu’ konsultasi disela kesibukan beliau sebagai dosen UI dan peneliti senior LSI. Terima kasih untuk seluruh staf pasca sarjana yang banyak direpotkan oleh saya, Mas Mugi, Mba Dina, Mas Pepep, Mba Ayu, Mas Yusuf, Mas Agus, Mas Ajat, Pak Taram, Pak Barnas dan Mas Pri yang selalu siap ikut dikejar deadline jilidan. Terima kasih kepada seluruh rekan Program S3 Komunikasi UI angkatan 2010 yang bersama melalui riak-riak perkuliahan di Salemba : Mas Dr. Edi, Mbak Yanti, Mbak Sri, iv Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Mbak Dini, Mbak Rajiyem, Mas Yudi, Uda Micel, Mbak Angie Sondakh. Serta rekan-rekan hebat angkatan senior maupun junior sebagai teman curhat dan penyemangat disertasi: Mba Dr. Nina Armando yang khusus meminjamkan buku untuk memperkaya disertasi, Dr. Dorien, Mba Dr. Inge, Mba Dr. Nety, Mba Dr. Effy, Mas Dr. Idham, Mas. Dr. Irwansyah, Mba Dr. Irwa, Mba Dr. Westi, Mas Dr. Fahmi, Mba Dr. Mona, Mba Dr. Dwi, Mba Dr. Monik, Mba Dr. Lestari, Mba Susi, Mba Lintang, Mba Maya, Mas Guntarto dan terkhusus Teman Trio Konsultasi yang selalu semangat menyemangati : Mb. Euis, Mb Deri. Sukses selalu menyertai kalian semuanya. Aamiin Terima kasih kepada segenap civitas akademika Universitas Bengkulu (UNIB) tempat saya mengabdi : Rektor dan Wakil Rektor, Dekan dan Wakil Dekan FISIP, Kepala, Sekretaris dan rekan-rekan dosen Jurusan Komunikasi yang membanggakan dan banyak menyemangati saya tentang penyelesaian disertasi : Dr. Gushevinalti, M.Si, Kak Rasianna Br. Saragih, M.Si, Pak Dwi Ajie Budiman, M.Sc, Andi Makhrian, M. Si, Bu Evi Hafizah, M.Si juga terima kasih kepada Ibu Dr. Titiek Kartika yang banyak saya mintai saran tentang studi dan Ketua Program Magister Komunikasi UNIB Dr. Lely Arrianie, M.Si yang tulisan dan pandangannya sebagai pakar komunikasi politik nasional sangat membantu membuka pikiran saya akan dunia politik tanah air. Terima kasih juga saya berikan kepada Prof. Dr. Neni Yulianita, M.Si dan Prof. Dr. Ibnu Hamad yang telah berkenan memberikan rekomendasi bagi saya untuk mengikuti seleksi masuk Program S3 Komunikasi UI. Semoga Allah membalas budi baik Ibu dan Bapak. Demikian pula terima kasih kepada Bapak Dr. H. Aziz Taufik Hirzi, M.Si dosen Komunikasi Politik semasa saya menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (UNISBA) yang masih selalu ingat dan sering menanyakan penyelesaian studi ini. Saya akui, kecintaan saya pada ilmu komunikasi semakin terasah melalui peran bimbingan para dosen yang menakjubkan di Fikom Unisba : Ibu Dr. Hj. Ani Yuningsih, M.Si, Ibu Prof. Dr. Atie Rachmiatie, M.Si, Pak Dr. H. Maman Suherman, M.Si, Ibu Dr. Ike Junita, M.Si, Pak Muhammad E. Fuady, M. Si, Pak Dadi Ahmadi, M.Si, Bu Santi Indra Astuti, M.Si, Ibu Dr. Nurrahmawati, M.Si, Pak Dekan Fikom Unisba Dr. Hasbiansyah. Terima kasih atas semua jasa mulia, semoga Fikom Unisba semakin jaya dan mendunia. Aamiin Terima kasih kepada sahabat semasa menjalankan tugas paruh waktu di DPR RI : Mas Ridwan, Mba Ayub, Billy, Mas Marison, Mba Dian, Mas Punto, Windi, Ratih, Nisa Compi, terutama Heidy dan Cut Amanda yang banyak memberikan masukan serta perhatian terhadap disertasi ini. Semoga sukses selalu menyertai kalian. Terima kasih pula kepada sahabat setia seiya sekata yang banyak menyemangati penyelesaian disertasi dan penampung curhat sejati : Wo Henny Kauri, Macii Ade, Inga Vely, Dini Nurrohmi, neng Pit Jenal, Mak ‘Ustzah’ Ami, Jeng guru Vita, ‘mykembar’ ceu Ely, Mba Devi, Ummi Fathi, Mba Wulan Ikhsan, Mba Shelly, dan Cacam Group. Hanya Allah yang dapat membalas segala kebaikan, semoga bisa tetap bersama di surgaNYA. Terima kasih kepada guru dan sahabat-sahabat shalihah yang senantiasa mengajak kepada ketaatan kepadaNYA di Majelis Ilmu Rumah Qur’an (RQ), MT. Qonitah, MT. Tazkia Aulia, Kelas Tahsin An-Ni’mah, SIT dan Kajian Tauhid Citra Gran Cibubur. Jazakumullahu Khayran...Barakallahufikum. Melalui majelis inilah saya bisa memperluas perspektif keilmuan sejati bagi kehidupan, mengobati kegundahan dan menemukan kesejukan disela pengerjaan disertasi yang sangat melelahkan. Problem lain dalam penentuan kasus juga menyisakan bait pergulatan yang panjang, keraguan atas pemilihan kasus membawa saya mengalami bongkar pasang tulisan dalam disertasi ini. Hingga pada akhirnya pilihan saya jatuh pada kasus perumusan dan pengambilan keputusan RUU KIP tentang Badan Publik di Komisi I DPR RI periode 2004v Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
2009 setelah banyak diskusi dan bertanya mengenai berbagai kemungkinan pemilihan kasus bersama pasangan hidup terbaik, Andi Muslim, S.Ds, M.Si yang akhirnya mengusulkan kepada saya agar mengkaji tentang RUU KIP tersebut dengan niat membantu memudahkan dalam pencarian data dan informasi narasumber, dikarenakan sesuai dengan fokus bidang pekerjaannya di Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. Dukungan penuh diberikan kepada saya untuk tetap fokus hanya kepada penyelesaian disertasi ini dibanding kegiatan lain, sehingga ikut banyak membantu setiap urusan ketika saya tenggelam berkutat dengan disertasi ini. Hanya doa tulus yang bisa saya berikan bagi karunia Ilahi Rabbi ini, terima kasih atas segala perhatian, kehangatan kasih sayang, pecutan, komentar, dan berbagai sumbangsih yang telah diberikan. Begitu pula terima kasih kepada ketiga buah hati hebat kesayangan, anak-anakku Andi Muhammad Firdauzi Musawal (Auzi-8th), Andi Muhammad Ramadhan Al Anshar (Andra-6th) dan Andi Afifa Nur Asyura (Afifa-2,5th) yang dengan tingkah polah masingmasing berusaha untuk mengerti kesibukan akan disertasi ini. Mereka begitu mandiri dan banyak bertanya untuk menunjukkan dukungannya terhadap tugas ini. Pertanyaan polos yang datang jika tiba saat saya bisa santai bersama mereka, “bunda nggak ngetik? bunda nggak ke kampus?” menjadi sebuah alarm agar kembali menekuni disertasi ini. Maafkan atas hilangnya banyak waktu bersama untuk kalian, semoga suatu hari nanti kalian akan memahami bahwa karya ini juga dipersembahkan untuk kalian agar dapat diambil hikmah bermanfaat bagi masa depan kalian. Tidak lupa terima kasih kepada Bik Lela yang sangat sabar membantu menjaga dan mengasuh anak-anak di rumah selama saya sibuk dengan disertasi ini. Semoga Allah SWT membalas dengan pahala berlipat ganda. Terima kasih juga untuk dukungan seluruh keluarga besar yang menakjubkan. Adinda Annisa ‘dedek’ dan si kecil Lya, Ibu lombok, nenek, ade Dian, paman, bibi, sepupu di NTB, kakak-kakak, keponakan-keponakan dan cucu-cucu dari Andi’s Family, juga terlebih Ibok, Bapak, Madam, Om-om, Tante-tante, sepupu dan keponakan tersayang dari keluarga Djohar, terkhusus kepada sepupu Andik Hongkong yang sangat berbaik hati membelikan buku groupthink theory asli dari tulisan Irving Janis, juga sepupu Mbu Nitha yang solehah yang banyak bertanya tentang perkuliahan, serta keluarga besar Ansyar : Makwo, Ibu, Apak, Wodang, Wak, Abang-abang dan ayuk-ayuk sepupu serta para keponakan terkasih. Persembahan terbesar disertasi ini saya tujukan kepada kedua orang tua saya tercinta Papa H. Sudirman Ansyar, SKM, M. Kes dan Mama Hj. Djusmalinar Djohar, SKM, M. Kes yang merupakan sosok teladan penuh inspirasi hingga saat ini. Terima kasih atas segala dukungan baik moril maupun materiil yang telah diberikan. Celoteh merekalah yang membakar semangat saya agar bisa kembali menekuni disertasi dan segera menyelesaikannya. Betapa saya sangat bersyukur masih memiliki kedua orang tua yang diberikan kekuatan dan kesempatan untuk selalu berdiri di belakang saya menyokong dengan penuh daya bagi keberhasilan saya serta senantiasa mengingatkan agar saya tidak pongah dalam melangkah demi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Akhirnya saya semakin yakin bahwa dibalik setiap usaha yang sungguh-sungguh walaupun hanya sebesar biji zarrah pasti akan selalu ada jalan bagi kebahagiaan. Semoga karya yang masih jauh dari sempurna ini semakin menyemangati saya dalam pengabdian sebagai akaedemisi, dan mampu memberikan secercah sinaran bagi kemajuan ilmu komunikasi. Aamiin ya Mujibasa’ilin.
Depok, 30 Juni 2015 Lisa Adhrianti
vi Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: Lisa Adhrianti : Ilmu Komunikasi : Groupthink dalam Dinamika Komunikasi Politik (Studi kasus Pembahasan dan Pengambilan Keputusan mengenai Badan Publik dalam RUU Keterbukaan Informasi Publik di Komisi I DPR RI Masa Bakti 2004-2009)
Teori groupthink memberikan perspektif menarik untuk melihat bagaimana cara berpikir suatu kelompok terikat pada kohesivitas yang tinggi terhadap kelompoknya dan mereka berupaya semaksimal mungkin untuk mencapai kebulatan suara sehingga mengesampingkan motivasi untuk berpikir untuk menghasilkan alternatif keputusan realistis. Pada perkembangannya, teori groupthink umumnya menjadi komoditas barat dengan studi pada kelompok politik di lingkup eksekutif pemerintahan yang bersifat homogen dan lebih tertutup, sehingga menarik untuk melihat fenomena groupthink dalam konteks komunikasi kelompok politik di lingkup legislatif dalam parlemen di negara transisi demokrasi seperti Indonesia yang anggotanya berlatar heterogen dari multiparpol dan lebih terbuka, namun sering menghasilkan keputusan yang kontroversial. Penelitian ini menyoroti adanya indikasi groupthink pada pengambilan keputusan tentang definisi Badan Publik pada RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Hasil keputusan dianggap gagal dari perspektif masyarakat sipil karena menghasilkan pasal baru 14,15,16 sebagai hasil tawar menawar kepentingan (trade-off) antara eksekutif dan legislatif tentang masuknya BUMN, BUMD, Parpol dan LSM sebagai badan publik. Ditambah lagi dengan faktor pembahasan yang memakan waktu paling lama sementara tuntutan penyelesaian harus cepat, dan dampak dari implementasi pasal tersebut masih belum dapat dikatakan baik karena kasus sengketa badan publik masih tinggi, sanksi hukum tergolong rendah, serta belum tercapai angka persentase 100% badan publik yang memenuhi kewajiban memiliki Pejabat Pembuat Informasi dan Dokumentasi (PPID) dilingkup organisasinya. Sebagai penelitian kualitatif paradigma postpostivis yang menggunakan metode studi kasus instrumental dengan objek penelitian pada kelompok anggota Panitia Kerja (Panja) RUU KIP Komisi I DPR RI masa bakti 20042009, hasil penelitian ini menujukkan bahwa groupthink dapat terjadi di lingkup legislatif DPR RI karena adanya pertarungan kepentingan dengan kelompok eksekutif, tekanan waktu dan kelelahan yang kemudian memaksa kelompok legislatif menjadi kohesif dan menghasilkan keputusan yang tidak dapat dikatakan baik. Terlihat kondisi sebagai upaya meminimalisasi groupthink melalui peran pimpinan yang lebih akomodatif, adanya proses hearing, serta adanya peran devil’s advocate, namun ternyata pada akhirnya upaya tersebut tidak membawa hasil yang signifikan sehingga groupthink tetap terjadi. Secara teoritis, penelitian ini memperkaya perspektif teori groupthink Irving Janis (1972) yang tidak menyebutkan bahwa sebenarnya groupthink juga bisa terjadi pada kelompok yang awalnya heterogen, lebih terbuka, memiliki kekuatan relatif setara namum dikelilingi kepentingankepentingan lain diluar kelompok, yang menekan terhadap proses penyelesaian tugas melalui upaya kompromi. Kata kunci: Groupthink, Komunikasi Kelompok Politik, RUU KIP, DPR RI
viii Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
ABSTRACT Name Study Program Judul
: Lisa Adhrianti : Communication Science : Groupthink in Political Communication Dynamic (Case Study of Discussion and Decision Making on Public Body in Constitution Draft of Public Information Openness Law in 1st Commission of House of Representatives of Republic of Indonesia Periode 2004-2009)
Groupthink theory gives us a very interesting perspective to see a thinking process of a highly cohessive small group in a bigger group and how they put the best effort to reach an agreement while ignoring motivation on creating other realistic alternative decision. Groupthink is very common on the west, with studies on political groups in government executives body with homogen type of members and relatively more introvert, so making this even more interesting to be researched in group communication context in the legislatives from a democratic transitional country such as Indonesia. This legislatives consists of heterogen background members came from multi different political party and more extrovert but in reality so often in meaking controversial decisions. This research focused on groupthink indicators in decision making of Public Body definition from constitution draft of Public Information Opennes. From the perspective of civil society the decission taken considered fail because verse number 14,15,16 are bargain result between executives and legislatives on matter of BUMN, BUMD, political party also NGO as public body. More further, this process took a very long time in process where the demand of finishing stage is so short, also the impact of these verses is not as expected seen on numbers of disputes of information petition is so high, the sanctions is so light and there are so many public body has not appointed Information and Documentation Manager Officer (PPID). As a qualitative with pospositivist paradigm this research used case study method instrument with members of Working Committee of constitution draft of Public Information Opennes Law in 1st Commision of House of Representatives of Republic of Indonesia periode 2004-2009 as the research object. The result of this research shows that groupthink could be happen inlegislatives because there are so many conflict of interest with the executives, time pressuress, and fatigue. This condition forces legislatives became so cohesive and starts making bad decisions. These facts shown in order to minimize groupthink through the leader’s role to be come more accommodative, hearing process, and also the role of devil’s advocate, but still in the end these groupthink prevention process didn’t bring any adequate results. Groupthink still took place. Theoritically, this research hoped to enrich perspectives of groupthink theory by Irving Janis (1972). This theory did not mentioned the fact that groupthink also can happen on a heterogen group, more open, posses the same power among the members but yet surrounded by other interests from outer group and push the working process through compromises. Keywords : Groupthink, Political Group Communication, Constitution Draft of Public Information Openness Law, House of Representatives of Republic of Indonesia
ix Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
DAFTAR ISI
ISI
HAL
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
i
HALAMAN PENGESAHAN DISERTASI
ii
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH
iii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI AKADEMIS
vii
ABSTRAK
viii
ABSTRACT
ix
DAFTAR ISI
x
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang............................................................................................................
1
1.1.1 Mengapa harus Badan Publik?.......................................................................
11
1.1.2 Mengapa harus RUU Keterbukaan Informasi Publik?............................
21
1.1.3 Studi-studi Tentang Groupthink Theory yang telah dilakukan 1.1.3.1. Studi-Studi Groupthink di Luar Negeri..............................................
27
1.1.3.2. Studi-Studi Groupthink di Indonesia...................................................... 29 1.1.3.3 Alternatif Pendekatan bagi Studi Groupthink di Indonesia......................
30
1.1.4 Studi-studi tentang Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang Telah Dilakukan........................................................................... 31 1.1.4.1 Studi-Studi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di Luar Negeri............................................................................................. 31 1.1.4.2 Studi-Studi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia. 33 1.2
Fokus Penelitian.......................................................................................................... 34
1.3
Rumusan Masalah.......................................................................................................
35
1.4 Alasan dan Tujuan Penelitian 1.4.1 Alasan Penelitian................................................................................................ 35 1.5.2 Tujuan Penelitian..............................................................................................
36
1.6 Signifikansi Penelitian..............................................................................................
37 x
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
1.7 Sistematika Penulisan.............................................................................................. 39
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Titik Tolak Penelitian.................................................................................................
41
2.2 Teori Groupthink sebagai Teori Psikologi Sosial......................................................
43
2.2.1
State of The Art Groupthink Theory.................................................................
45
2.2.2
Kohesivitas Kelompok......................................................................................
59
2.2.3
Asumsi Teori Groupthink.................................................................................. 63
2.2.4 Gejala Groupthink.............................................................................................. 67 2.2.5 Mencegah Groupthink....................................................................................
70
2.2.6 Groupthink Model..........................................................................................
72
2.3 Pengambilan Keputusan........................................................................................
73
2.4 Komunikasi Kelompok
2.4.1 Definisi Komunikasi Kelompok.......................................................................
77
2.4.2 Fungsi Komunikasi Kelompok............................................................................ 81 2.4.3 Tipe-Tipe Kelompok.......................................................................................... 82 2.4.4 Kepemimpinan dalam Kelompok.....................................................................
87
2.5 Komunikasi Politik...................................................................................................
90
2.6 Tinjauan tentang Model Birokrasi Politik...................................................................
96
2.7 Tinjauan Studi Interaksi............................................................................................... 98 2.7 Tinjauan Informasi Publik dan Badan Publik.............................................................
99
2.9 Kerangka Pemikiran ...................................................................................................
105
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian................................................................................................. 108 3.2 Paradigma Penelitian..................................................................................................
110
3.3 Metode Penelitian.......................................................................................................
111
3.4 Teknik Pengumpulan Data .......................................................................................... 113 3.5 Sumber dan jenis data penelitian.................................................................................. 114 3.6 Lokasi Penelitian.........................................................................................................
109
3.7 Unit Analisis dan Unit Respon....................................................................................
115
3.8 Instrumen Penelitian...................................................................................................... 115 3.9 Teknik Analisis Data.................................................................................................... 116 3.10 Kualitas dan Keabsahan Penelitian............................................................................
116 xi
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
3.11 Keterbatasan Penelitian..............................................................................................
118
BAB IV. PERJALANAN RUU KIP : TINJAUAN HISTORIS 4.1. Proses Perundangan di DPR RI..................................................................................
120
4.2. RUU KIP sebagai Usul Inisiatif DPR......................................................................... 126 4.3 RUU KIP sebagai Upaya Mewujudkan Good Governance........................................ 133
BAB V. HASIL DAN INTERPRETASI PENELITIAN
145
5.1 Deskripsi Komisi I DPR RI Periode 2004-2009.......................................................... 146 5.2 Deskripsi Data Umum Narasumber ............................................................................ 153 5.3 Anteseden (Kondisi Pendahulu) Groupthink dalam Komisi I..................................... 158 5.3.1 Kohesi Kelompok Pengambil Keputusan............................................................ 161 5.3.2 Faktor Kesalahan Struktural................................................................................ 168 5.3.3 Karakteristik yang menghasilkan Tekanan (Provocative Context).....................
188
5.4 Gejala Groupthink dalam Proses Pembahasan dan Pengambilan Keputusan Tentang Badan Publik dalam RUU KIP di Komisi I DPR RI..................................... 192 5.4.1 Penilaian Berlebihan mengenai Kelompok (Overestimation of Group)............. 193 5.4.2 Ketertutupan Pikiran (Closed Mindedness)......................................................... 197 5.4.3 Tekanan untuk mencapai Keseragaman (Uniformity Pressures)........................ 209 5.5 Upaya Kelompok Meminimalisir Groupthink............................................................. 222 5.6 Interpretasi Temuan Penelitian..................................................................................... 228
BAB VI. DISKUSI
239
GROUPTHINK PADA PENGAMBILAN KEPUTUSAN POLITIK DI KELOMPOK PARLEMEN INDONESIA 6.1 Anteseden (kondisi pendahulu) Groputhink versus Temuan Penelitian....................... 243 6.2 Gejala Groupthink versus Temuan Penelitian.............................................................. 254 6.3 Refleksi Temuan Penelitian.......................................................................................... 258
BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan................................................................................................................... 263 7.1 Impilkasi...................................................................................................................... 268 7.3 Rekomendasi............................................................................................................... 269
xii Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................
271
BIODATA LAMPIRAN
xiii Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
: Daftar Pertanyaan Wawancara Penelitian
Lampiran 2
: Kode Kategorisasi Coding
Lampiran 3
: Coding Infroman Utama
Lampiran 4
: Hasil Wawancara Informan Pendukung
Lampiran 5
: UU KIP
Lampiran 6
: Daftar Nama Panja RUU KMIP
xiv Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Rumusan Badan Publik...................... ..........................................
12
Tabel 2.
Jumlah Sengketa Informasi per Tahun........................................
19
Tabel 3.
Rekapitulasi Jumlah PPID (per 3 Desember 2014).....................
20
Tabel 4.
Daftar Studi Tentang Grouptink..................................................
53
Tabel 5
Uraian Badan Publik....................................................................
103
xv Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
DAFTAR GAMBAR/BAGAN
Gambar 1.
Groupthink Model.........................................................................
72
Gambar 2.
Kerangka Pemikiran...........................................................................
107
Gambar 3.
Prosedur Pembentukan UU.......................................................
126
Gambar 4.
Model Pengembangan Teori Grooupthink ..................................
262
pada Pengambilan Keputusan Politik di Indonesia
xvi Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Selama ini tidak jarang kita melihat berbagai hasil keputusan politik yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat negeri kita (DPR RI) banyak menuai kontroversi dan kekecewaan dari berbagai kalangan masyarakat, terlebih yang terkait dengan proses perumusan dan pengesahan sebuah Rancangan Undang-Undang. Padahal jika dilihat dari substansi dan tujuan yang harus dicapai dari produk hukum negara tersebut tentu bukan dimaksudkan untuk menimbulkan pergolakan di masyarakat. Pengakuan klasik pasti selalu terlontar tentang kepastian adanya pro dan kontra dari sebuah keputusan terlebih bagi sebuah Undang-Undang yang bersifat politis dan ditujukan untuk memberikan rambu-rambu yang jelas tentang berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat. Namun apakah memang harus kita yakini pada sebatas bahwa setiap keputusan pasti akan menimbulkan pro dan kontra? pasti akan ada yang setuju dan tidak setuju, ada yang kecewa, ada yang bahagia ada pula yang menderita? atau apakah ada faktor lain yang menyebabkan demikian? Perspektif teori groupthink yang dikembangkan oleh psikolog Irving Lester Janis (1972) setidaknya memberikan sebuah gambaran menarik untuk melihat sebuah proses pengambilan keputusan kelompok dengan menelaah faktor-faktor psikologis yang dihadapi oleh sebuah kelompok pengambil keputusan. Penelitian studi kasus Janis terhadap beberapa keputusan pemerintahan bersakala internasional yang berdampak spektakuler, dan terjadi di negara adidaya Amerika Serikat menjadi bahan bakunya untuk mengkaji tentang adanya peran groupthink yang menyebabkan dampak buruk terhadap keputusan yang diambil kelompok kecil pembuat keputusan. Kajian groupthink menemukan fakta menarik bahwa banyak peristiwa penting yang berdampak luas disebabkan oleh keputusan sekelompok kecil orang, yang mengabaikan informasi dari luar mereka. Misalnya dalam peristiwa Pearl Harbour (1941), keputusan fatal diambil karena mengabaikan informasi penting intelejen sebelumnya. Minggu-minggu menjelang penyerangan Pearl Harbour di bulan Desember 1941 yang menyebabkan Amerika Serikat terlibat Perang Dunia II, komandan-komandan militer di Hawaii sebetulnya telah menerima laporan intelejen tentang persiapan Jepang untuk menyerang Amerika Serikat di suatu tempat di Pasifik. Akan tetapi para komandan memutuskan untuk mengabaikan informasi itu. Akibatnya, Pearl Harbour sama sekali tidak siap untuk diserang. Tanda bahaya Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
2
tidak dibunyikan sebelum bom-bom mulai meledak. Akhirnya, perang mengakibatkan 18 kapal tenggelam, 170 pesawat udara hancur dan 3700 orang meninggal. Contoh lain adalah Penyerangan Bay of Pigs (1961). Presiden John F. Kennedy dan penasehat militernya pada tahun 1961 mencoba menggulingkan presiden Fidel Castro dari Kuba dengan menyusupkan 1400 pelarian Kuba yang sudah dilatih oleh CIA (dinas rahasia AS) ke Kuba melantai pantai Babi (Bay of pigs) di Kuba. Akan tetapi, mereka mengabaikan peringatan-peringatan intelejen bahwa rencana operasi ini sudah bocor ke pihak Kuba dan bahwa Kuba sudah bersiap menggagalkan operasi tersebut. Hasilnya, hampir semua penyusup itu terbunuh atau tertangkap dan Fidel Castro semakin kuat kedudukannya di Kuba, dan semakin kuat hubungannya dengan Uni Sovyet. Sejarah telah mencatat bagaimana pemerintahan Presiden Ronald Reagen selama delapan tahun kekuasannya (1981-1989) melakukan kekeliruan dengan menjual senjata secara ilegal ke Iran. Hasil penjualan senjata tersebut yang diperkirakan berjumlah 30 juta dollar AS kemudian dikirim pada pemberontak dukungan AS di Nicaragua. Namun kasus ini menuai kecaman dari berbagai pihak. Lalu lihat juga skandal Watergate yang dilakukan pemerintahan Presiden Richard Nixon. Skandal Watergate menyebabkan pengunduran diri Nixon pada 9 Agustus 1974. Skandal Watergate merupakan suatu skandal politik yang terjadi di Amerika Serikat pada periode tahun 1972 hingga 1974 yang melibatkan pejabat penting negara termasuk Presiden Amerika Serikat saat itu, Richard M. Nixon. Skandal tersebut mengungkap adanya ketidakberesan pada Comittee for the Re-Election of the President, yang merupakan organisasi milik Nixon. Nama Watergate sendiri merupakan nama dari sebuah kompleks perkantoran dan apartemen mewah di Washington D.C., yang didalamnya juga terdapat markas Democratic National Committee atau Komisi Nasional Demokrat. Hal tersebut yang kemudian mengawali proses panjang penyelidikan skandal yang menyeret nama Nixon, hingga peristiwa pengunduran dirinya sebagai Presiden Amerika Serikat setelah memimpin selama kurang lebih tiga setengah tahun. Melalui kasus-kasus inilah awalnya Janis mengembangkan teori groupthink. Sebagai seorang psikolog penelitian Janis menggambarkan kesalahan sistematis yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ketika membuat keputusan kolektif pada kondisi kelompok yang kohesif (terdapat penyatuan kekuatan). Tidak sedikit keputusan-keputusan yang dibuat secara groupthink itu yang berlawanan dengan hati nurani anggotanya, maupun orang lain di luarnya, namun mengingat itu kepentingan kelompok maka mau tidak mau semua anggota kelompok harus kompak mengikuti arah yang sama agar tercapai suatu kesepakatan bersama. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
3
Kajian Janis tersebut menunjukkan ketertarikannya terhadap suatu fenomena sosial berlatar poltik dengan menganalisis faktor-faktor psikologis yang ada selama proses interaksi kelompok. Inilah yang menguatkan bahwa teori groupthink merupakan teori psikologi sosial yang relevan dengan ilmu komunikasi karena setiap pengambilan keputusan politik tidak dapat dilepaskan dari adanya pertukaran pendapat diantara individu yang ada di dalamnya.. Groupthink menekankan bahwa keputusan yang diambil adalah berdasarkan tujuan solidaritas kelompok yang utamanya disebabkan karena adanya faktor kohesi dan isolasi kelompok sehingga mengabaikan berbagai alternatif lain yang dianggap rasional dengan menyandarkan pada ketaatan terhadap pimpinan kelompok. Dalam hal ini walaupun hasil akhir keputusan merupkan hak wewenang pimpinan, namun umumnya pimpinan didukung oleh anggota kelompok kohesif yang signifikan dan begitu dipercaya oleh pimpinan kelompok sebagaimana dikatakan “the groupthink hypothesis highlights the importance of the social support received from close associates” (Janis, 1982 : 191). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hanya terdapat satu kepentingan yang menjadi orientasi pengambilan keputusan
kelompok
yaitu
kepentingan
pimpinan
bersama
dengan
tim
kepercayaan/pembisiknya. Selain itu, faktor adanya homogenitas yaitu terkait kurangnya perbedaan dalam latar belakang sosial dan ideologi anggota kelompok yang merupakan ciri pembentuk kohesi juga terlihat dari kasus-kasus yang diteliti oleh Janis. Lingkaran eksekutif yang berisi orang-orang pilihan pimpinan dan diharuskan memiliki loyalitas tinggi terhadap pimpinan kelompok membuatnya rentan terhadap groupthink. Dari sini terlihat bahwa groupthink adalah teori yang dikhususkan untuk memahami proses pengambilan keputusan dalam kelompok kecil. Janis percaya bahwa kelompok seringkali membuat keputusan dengan konsekuensi yang besar. Selain itu walaupun ia memfokuskan studinya pada kelompok kebijakan asing, penerapan dari terminologi groupthink ini juga ditujukan bagi kelompok pembuat keputusan lainnya, sehingga Janis menantang adanya kemungkinan lain dari proses terjadinya groupthink di luar konteks negara barat seperti di Amerika jika memang terdapat data yang memadai dari pertemuan penggambilan keputusan misalnya dari catatan buku harian dan bukti lain dari interaksi kelompok (Janis, 1982: 186). Berdasarkan hal tersebutlah maka studi ini berusaha untuk menelaah proses produksi sebuah keputusan yang diambil di konteks lembaga legislatif yang bersifat lebih terbuka dan dinamis serta memiliki beragam ideologi politik yang sarat dengan berbagai kepentingan Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
4
sosial (eksekutif, bisnis dan masyarakat sipil) di negara transisi demokrasi seperti di Indonesia berdasarkan perspektif groupthink theory. Tentunya terdapat teori lain yang bisa menjelaskan fenomena psikologis komunikasi politik di DPR RI seperti penelitian politisi dan pencitraan di panggung politik yang dilakukan oleh Lely Arrianie (2010) dengan menggunakan perspektif teori interaksionisme simbolik dan dramaturgi untuk menjelaskan fenomena premanisme politik di DPR RI. Penelitian Effi Rusfian (2010) yang meneliti variabel-variabel perilaku komunikasi anggota DPR RI dengan teori perilaku komunikasi konflik, serta Felix Jebarus (2011) yang meneliti pertarungan kepentingan dalam proses penyusunan dan pembahasan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di DPR RI dengan menggunakan perspektif teori konflik. Namun penelitian tentang faktor psikologis yang mengarah kepada groupthink dalam proses pengambilan keputusan di DPR RI belum ditemukan, padahal fenomena hasil keputusan yang menuai kontroversi sering terjadi di DPR RI sehingga akan menjadi menarik jika hal tersebut dapat dieksplorasi lebih lanjut, dan teori groupthink dipandang tepat untuk menjelaskan hal tersebut. Penelitian dalam lingkup legislatif diharapkan mampu memperkaya perspektif groupthink theory yang biasanya selalu dilakukan pada konteks eksekutif. Mengingat adanya selalu interaksi antara eksekutif dan legislatif dalam setiap proses pembahasan dan pengambilan keputusan sebuah Undang-undang di DPR RI serta adanya catatan risalah rapat lengkap yang bisa diakses peneliti, maka perpsektif groupthink dimungkinkan untuk dikaji terhadap kasus pengambilan keputusan di DPR RI yang dianggap terindikasi groupthink yaitu pada kasus pembahasan dan pengambilan keputusan mengenai badan publik dalam RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) di kelompok Komisi I DPR RI periode 2004-2009. RUU KIP merupakan usul inisiatif dewan yang dipelopori oleh dorongan Koalisi untuk Memperoleh Kebebasan Informasi yang beranggotakan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pada awalnya UU KIP bernama UU Kebebasan Mendapat Informasi Publik (KMIP) namun setelah melalui berbagai pembahasan kata 'kebebasan' diubah menjadi 'keterbukaan' yang akhirnya menjadi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Rancangan UU KMIP sebenarnya telah disusun sejak Desember 1998 oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi untuk Kebebasan Memperoleh Informasi (KMI).1 1
Koalisi ini di antaranya terdiri dari Masyarakat Pers dan Penyiran Indonesia (MPPI), Yayasan SET (Sain, Estetika dan Tehnologi), ICW, AJI Indonesia, The Habibie Center, Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
5
Selanjutnya usul ini diadopsi oleh DPR RI untuk menjadi RUU Usul Inisiatif Dewan dalam salah satu program legislasi nasional (Prolegnas) Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masa bakti 1999-2004. Walaupun telah dimasukkan dalam Prolegnas tahun 1999, dan sudah disampaikan oleh Ketua DPR periode 1999-2004 kepada Presiden Megawati Soekarno Putri sejak Agustus 2004 namun sampai akhir periode DPR RI di 2004 RUU KIP ini belum menemukan penyelesaian karena belum adanya Amanat Presiden (Ampres) sehingga tidak ada pembahasan dengan pemerintah. Hingga pada pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, RUU KIP kembali diajukan oleh DPR kepada Pemerintah dan RUU KMIP disetujui sebagai usul inisiatif dewan pada paripurna tanggal 5 Juli 2005 terdiri dari 10 bab dan 95 pasal. Draft RUU dinilai cukup moderat dan sesuai dengan aspirasi masyarakat yang mencerminkan akses ganda bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang seluasluasanya, hal ini berbeda dengan prinsip pemerintah yang menginkan membentuk UU tentang informasi publik saja tanpa membuka akses bagi masyarakat untuk memperoleh informasi. Anggota DPR dari Fraksi PAN, Djoko Soesilo berpendapat bahwa draft RUU KMIP yang disusun sangat demokratis dan menjadi terobosan baru untuk mendapatkan akses informasi, sehingga tidak boleh gagal lagi. Sebagaimana sebelumnya RUU KMIP dianggap sebagai isu prioritas dan sempat telah dibentuk Pansus (Panitia Khusus) beranggotakan lintas komisi, pada kenyataannya tidak bisa terwujud karena tidak memperoleh tanggapan dari pemerintah untuk membahas. Setelah diajukan kembali di periode 2004-2009 Paripurna menyerahkan pembahasan khusus kepada Komisi I saja dan dibentuk Panja yang merupakan Panitia Kerja yang bertugas membahas isu tertentu. Panja dibentuk berdasarkan isu yang dianggap perlu untuk pembahasan khusus yang ditentukan berdasarkan kesepakatan rapat di Komisi. Pembahasan diputuskan dilakukan tingkat Panja dalam Komisi I dengan alasan efisiensi mengingat agar proses pembahasan tidak berjalan terlalu lama denggan tujuan untuk mempercepat. “Ya itu untuk shortcut” seperti yang diungkap Paulus Widiyanto, sehingga hanya melibatkan 29 anggota Komisi I. Setelah ditindaklanjuti Presiden SBY dengan penerbitan Amanat Presiden (Ampres) yang menunjuk Menteri Komunikasi dan Informatika dan Menteri Hukum dan Hak Azasi Indonesia (YAPPIKA), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), ICEL (Indonesian Center for Environmental Law), Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), LBH Pers, Imparsial, dan Kontras.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
6
Manusia sebagai wakil Pemerintah dalam pembahasan dengan DPR yang mulai dibahas 27 Agustus 2005. 2 Proses pembahasan UU KIP merupakan rekor tersendiri dalam sejarah legislasi di Indonesia. UU KIP baru berhasil diselesaikan dalam jangka waktu sekitar delapan tahun karena sempat melewati pergantian pemerintahan tahun 2004.3 Yang menarik, dalam prosesnya yang panjang itu, adanya koalisi yang strategis antara kelompok masyarakat sipil dan para anggota DPR, khususnya di Komisi I meskipun dalam daftar prioritas RUU Prolegnas Tahun 2005 Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 20052009 dalam Rapat Paripurna DPR 1 Februari 2005, RUU KMIP menempati urutan ketujuh tepat setelah RUU Rahasia Negara4. Sementara itu, pihak eksekutif (Pemerintah) dipandang tidak setuju terhadap RUU ini. Kontroversi pun muncul dalam sejarah proses pembahasan RUU KIP. Apalagi mengacu pada daftar prioritas RUU Prolegnas 2005, terlihat jelas bahwa RUU KIP tidak menjadi prioritas utama jika dibandingkan dengan RUU lain saat itu, seperti RUU tentang Perubahan atas UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, RUU tentang Lembaga Kepresidenan, dan RUU tentang Kementerian Negara. Ketiga RUU menempati tiga urutan teratas dari RUU Prolegnas 2005 (Prolegnas 2005-2009 DPR RI). Penempatan RUU KIP di bawah RUU Rahasia Negara dan RUU lainnya, yang sedemikian mencoloknya, juga menjadi masalah krusial karena adanya permasalahan substansi dan persinggungan-persinggungan yang muncul dari keberadaan kedua RUU tersebut. Sebelumnya muncul keinginan dari dari Pemerintah untuk RUU Rahasia Negara (RUU RN) dan RUU Inteligen Negara (RUU IN) dibanding RUU KMIP, atau setidaknya bersama-sama dalam satu paket pembahasan. Tentu DPR waktu itu menolak RUU yang tibatiba tersebut. Pertama, dengan alasan tidak sesuai skala prioritas program legislasi nasional (prolegnas) yang telah disepakati bersama antara pemerintah dan DPR. Kedua, urgensi dan relevansi konstitusional RUU KMIP/KIP jauh lebih tinggi daripada RUU RN dan RUU IN. KMIP adalah amanat UUD 1945,khususnya Pasal 28F. Pernyataan semacam ini tidak berarti 2
Rifai, Akhmad. Kemerdekaan Informasi dalam UU Keterbukaan Informasi Publik. Jurnal Dakwah Vol. IX No. 2 JuliDesember, 2008, hlm. 101. 3
Lihat Agus Sudibyo, “Transparansi Sepenuh Hati?” dalam Kompas, 7 April 2008.
4
https://untuktabalong.wordpress.com/2010/05/07/menyambut-uu-keterbukaan-informasi-publik/Firmanyusi, diakses tanggal 25 Februari 2015.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
7
bahwa apa yang disebut dengan rahasia negara itu tidak penting, apalagi tidak diakui. Rahasia negara tetap penting dan harus dilindungi oleh undang-undang.Perlindungan terhadap RN ini sudah diatur di dalam banyak undang-undang. Faktor ketidakselarasan lebih mendorong pihak DPR RI untuk tidak menyetujui pembahasan RUU RN dan IN tersebut mendahului atau bersamaan dengan RUU KMIP. Sebagaimana diunggap oleh anggota Komisi I Hajriyanto Thorari : “Tidak selaras, dalam arti di satu sisi harus membahas keterbukaan informasi melalui UU KIP sementara itu di sisi lain juga harus dibahas tentang UU rahasia negara yang banyak ketertutupan.” pada akhirnya kesepakatan yang terjadi adalah pembahasan RUU KMIP lah yang didahulukan sehingga RUU KIP disahkan terlebih dahulu daripada RUU Rahasia Negara. Setelah akhirnya UU KIP disahkan, hal ini cukup melegakan. Di sisi lain, UU KIP juga mendapat kritikan dan dinilai setengah hati oleh para pejuang KMIP. Misalnya, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 64 Ayat 1 UU KIP yang menyebutkan penerapan UU KIP baru efektif berlaku pada 2010 dengan alasan persiapan waktu yang mencukupi bagi aparat dan lembaga pemerintahan terkait dengan persiapan sarana dan prasarana serta pembentukan Komisi Informasi. Bahkan dalam pembahasan yang alot, waktu yang diajukan pemerintah untuk mempersiapkan infrastruktur untuk mengakomodasi penerapan UU KIP adalah empat sampai lima tahun. Belum lagi berkaitan dengan masalah judul, definisi, kategori informasi publik dan rahasia negara, lembaga publik yang wajib memberikan informasi publik, pembentukan Komisi Informasi (terutama untuk mengategorisasikan informasi yang dapat diakses oleh publik maupun menangani sengketa terkait), waktu berlakunya UU KIP, serta sanksi hukum berkaitan dengan penggunaan informasi publik. UU KIP ini lahir karena didasari alasan: Pertama, desakan yang sangat kuat tentang perlunya pemberantasan KKN, Kedua, adanya partisipasi dalam pembangunan, dan Ketiga adanya desakan kuat agar Republik Indonesia memiliki pers yang berkualitas. Selain itu Keterbukaan Informasi merupakan hak dasar bagi setiap warganya, oleh karenaya menjadi penting bagi pemerintah agar mampu memenuhi hak-hak tersebut. Hal tersebut terdapat dalam undang-undang dasar 1945 pada pasal 28 f UUD 1945 yang menyatakan : “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
8
saluran yang tersedia”. Hadirnya undang-undang KIP merupakan terobosan besar yang menuntut adanya tranparansi, pemerataan, dan akuntabel dalam suatu pemerintahan. Kehadiran Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang disahkan DPR pada 3 April 2008 dan kemudian diundangkan pemerintah 30 April 2008 telah menorehkan Indonesia sebagai negara ke-5 di Asia dan ke-76 di dunia yang secara resmi mengadopsi prinsip-prinsip keterbukaan informasi, sejalan dengan salah satu hal penting yang menjadi dasar pertimbangan lima point lahirnya UU KIP adalah bahwa memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyeleng-garaan negara yang baik.5 Dengan demikian keberadaan UU KIP merupakan tonggak penting bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Banyak pihak berharap, hadirnya UU KIP mampu mendorong iklim keterbukaan yang luas di berbagai level. Keterbukaan informasi publik diyakini dapat menjadi sarana penting untuk mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara maupun aktivitas badan publik lainnya yang mengurusi kepentingan publik. Jika diamati dari rentang waktu yang panjang dan proses legislasi yang berliku-liku dalam pembahasan UU KIP ini, tentulah pastinya menyebabkan berbagai kepentingan politik harus dikompromikan. Pada berbagai titik kompromi inilah potensi terjadinya groupthink menjadi besar dan hal ini menarik untuk diamati dalam pembahasan UU KIP. Beberapa hal menjadi perdebatan dan dianggap bermasalah (kontroversial) sebagaimana yang diungkap Jebarus (2011:25), misalnya pertama di proses awal adalah mengenai masalah judul, yaitu Pemerintah berkeberatan dengan judul yang diusulkan DPR UU KMIP (Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik) sebab kata “kebebasan” identik dengan liberal yang mengarah pada anarkis. Pemerintah mengusulkan agar judul RUU menjadi Hak Warga Negara untuk Memperoleh Informasi. DPR berpendapat bahwa judul yang diajukan oleh Pemerintah seolah akan mendistorsi kewajiban badan publik, sehingga UU ini hanya mengatur hak warga negara tanpa mengatur kewajiban badan publik untuk memenuhi hak tersebut. Kesepakatannya adalah merubah judul menjadi RUU KIP.
5
Selengkapnya dapat disimak pada ketentuan “Menimbang” UU No.14 Tahun 2008.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
9
Kedua, yang diperdebatkan adalah badan publik. Badan publik yang dimaksud badan publik dalam draft RUU rumusan DPR adalah seluruh penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif yang pembiayaannya berasal dari anggaran negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Ini termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, Pemerintah menentang dimasukkannya BUMN sebagai bagian dari badan publik dengan alasan bahwa keterbukaan BUMN hanya akan mempengaruhi daya saing (competitiveness) mengingat BUMN adalah lembaga yang menjalankan aktivitas bisnis. Anggapan Pemerintah bahwa BUMN murni sebagai entitas bisnis, namun bagi DPR, BUMN merupakan bagian dari lembaga penyelenggaraan negara dengan alasan bahwa BUMN menggunakan dana APBN dan aktivitasnya mengemban amanat konstitusi dalam mengelola sumber-sumber daya negara demi
kesejahteraan umum. Oleh karena itu, akuntabilitas BUMN harus dapat
dipertanggungjawabkan. Kesepakatan akhir antara DPR dan Pemerintah adalah tidak mencantumkan secara eksplisit BUMN dalam definisi badan publik, namun dicantumkan dalam pasal tersendiri yang mengatur tentang kewajiban BUMN untuk menyediakan berbagai informasi yang semestinya terbuka kepada publik. Masalah ketiga yang diperdebatkan adalah Komisi Informasi (KI). Pemerintah menolak usul DPR yang menginginkan dibentuknya KI. KI sebagai lembaga independen yang akan berfungsi menyelesaikan persoalan jika ada sengketa antara badan publik dan peminta informasi. Menurut Pemerintah, pembentukan dan keberadaan KI hanya akan memboroskan anggaran negara. Akan tetapi, menurut DPR implementasi UU ini tidak akan berjalan optimal tanpa adanya KI. Tanpa adanya KI, dikhawatirkan badan publik tetap akan sewenang-wenang dalam melayani permintaan informasi. Pemerintah akhirnya sepakat dengan keberadaan KI, dengan catatan adanya unsur pemerintah dalam keanggotaannya. Ini ditunjukkan adanya klausul yang mengatur tentang anggota KI terdiri dari unsur masyarakat dan unsur Pemerintah. DPR menerima tawaran Pemerintah ini dengan syarat bahwa proses rekrutmen calon anggota KI terbuka kepada publik dan seluruh calon anggota KI diseleksi oleh DPR melalui fit and proper test dan syarat bahwa unsur pemerintah itu bukanlah ex officio tetapi orang yang sanggup bekerja penuh waktu dalam KI. Masalah keempat adalah ketentuan sanksi bagi siapa saja yang menyalahgunakan informasi publik. DPR dan Pemerintah pada awalnya menyepakati klausul yang menyatakan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan informasi publik dapat dikenai pidana penjara 2 tahun dan/atau denda Rp30 juta. Kemudian sejumlah kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Informasi menyatakan bahwa klausul tersebut tidak Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
10
logis, sebab yang dimaksud dengan informasi publik sudah pasti terbuka, sehingga asumsinya adalah semua orang pasti sudah mengetahuinya. Sanksi ini hanya akan membuat seseorang takut untuk meminta informasi kepada badan publik karena khawatir menyalahgunakan informasi jika di kemudian hari ada pihak yang tidak suka dengan beredarnya informasi tersebut. Konsekuensinya, pihak yang berpotensi terjerat oleh pasal ini adalah jurnalis. DPR menyepakati usulan Koalisi ini, tetapi Pemerintah tidak dengan alasan keadilan, sebab jika ada sanksi bagi badan publik, mengapa tidak ada sanksi bagi pengguna informasi. Kesepakatan akhir adalah DPR menyetujui adanya sanksi bagi pengguna informasi, dengan perubahan rumusan, yaitu frasa “penyalahgunaan informasi” diubah menjadi “menggunakan informasi secara melawan hukum”. Selain itu hukumannya diturunkan menjadi 1 tahun untuk pidana penjara dan Rp5 juta untuk denda. Masalah kelima adalah isu mengenai rahasia negara/informasi kekecualian, dimana terdapat perbedaan pandangan antara Pemerintah dan DPR RI tentang perlunya pembahasan RUU Rahasia Negara dan RUU Inteligen Negara sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Masalah Keenam adalah isu mengenai waktu pelaksanaan/penerapan RUU KMIP. Terdapat perbedaan keinginan untuk penerapan RUU KMIP, yakni Pemerintah menginginkan tidak diterapkan terburu-buru dengan alasan butuh mempersiapkan diri, sementara DPR menginginkan penerapan segera. Akhirnya disepakati bahwa penerapan RUU KMIP berlaku setelah 2 (dua) tahun sejak disahkan pada tahun 2008. Dengan demikian, kelahiran UU KIP menunjukkan bahwa dalam prosesnya terdapat banyak faktor yang mengakibatkan terjadi perdebatan panjang yang berujung pada kesepakatan-kesepakatan yang bersifat kompromis. Sebagaimana disebuttkan oleh Mantan Ketua Pansus RUU KMIP Komisi I DPR RI periode 1999-20046: “UU KIP yang disahkan dan ada saat ini memang bukan seperti naskah aslinya. Sangat banyak yang berubah, dan beberapa hal saya kecewa karena tidak sesuai yang saya inginkan. Banyak kepentingan yang bertarung pada saat itu, baik DPR, masyarakat sipil, pemerintah, maupun lainnya. Beberapa pasal memang mengakomodasi kepentingan pemerintah. Namun UU KIP bisa lahir dan ada sekarang ini sudah luar biasa dan bisa mendorong keterbukaan informasi publik di Indonesia”. Klausul-klausul hasil kompromi ini dikhawatirkan dalam implementasinya akan mengganggu keterbukaan itu sendiri dan dianggap mengurangi prinsip-prinsip hak publik
6
http://www.komisiinformasi.go.id/news/view/paulus-widiyanto-uu-harus-dilihat-secara-komprehensif. Date Publish : 2014-09-16 07:51:32
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
11
atas informasi sebagaimana tertuang dalam petisi koalisi masyarakat sipil untuk kebebasan informasi.7 Berdasarkan beberapa permasalahan UU KIP tersebut, dalam penelitian ini hanya akan menitikberatkan analisis pada dinamika komunikasi politik di Komisi I DPR RI berdasarkan perspektif groupthink Theory dalam perumusan dan pengambilan keputusan tentang definisi badan publik.
1.1.1
Mengapa harus Badan Publik? Dari keenam isu yang ada dalam proses pembahasan RUU KIP tersebut, persoalan
Badan Publik memakan waktu pembahasan paling lama dan paling alot, sementara persoalan tuntutan agar RUU KIP segera diselesaikan karena pembahasan telah memakan waktu hingga 2 (dua) tahun lamanya. Persoalan Badan Publik merupakan pasal krusial yang harus memerlukan penyelesaian agar RUU KMIP setujui sebagai RUU KIP sekarang. Persoalan badan publik menjadi mendesak ketika tujuan utama RUU KIP adalah untuk menciptakan pemerintahan yang bersih karena sebagaimana diketahui bahwa persoalan paradigma ketertutupan Badan Publik terutama BUMN, BUMD dan BUMS akan menghambat tercapainya tujuan RUU KIP. Persoalan ini juga menjadi panjang karena adanya perbedaan keinginan dan kepentingan yang tergambar dalam pendapat-pendapat dari pihak Pemerintah sebagai eksekutif, DPR RI sebagai legislatif maupun kepentingan lain diluar yaitu dari Koalisi Masayarakat Sipil. Peliknya proses pengambilan keputusan yang terjadi tentunya akan menimbulkan berbagai macam gejala psikologis dalam lingkup Komisi I DPR RI yang rentan menunjukkan sebagai gejala groupthink. Ketika keputusan harus diambil ditengah berbagai perbedaan pendapat yang tajam sementara waktu semakin sempit untuk mencapai target dapat mensahkan RUU KIP pastinya dapat mengarahkan kelompok kepada groupthink yang dapat berujung pada rendahnya kualitas hasil keputusan. Masalah mendasar yang menjadi perdebatan adalah DPR RI mengusulkan agar BUMN/BUMD masuk dalam definisi Badan Publik di Pasal 1 ayat 3, sementara Pemerintah tidak setuju dan menyarankan agar agar Partai Politik dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dimasukkan dalam definisi Badan Publik. Walaupun pada akhirnya terjadi kesepakatan bahwa BUMN dan BUMD masuk dalam kategori Badan Publik dengan merinci
7
http://kontras.org/petisi/LAMPIRAN%20PETISI%20KOALISI%20UNTUK%20KEBEBASAN%20INFORMASI.pdf diakses tanggal 9 Februari 2015 pukul 1.15 WIB
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
12
dan mempertegas substansi, fungsi, dan kegiatan BUMN/BUMD, Partai Politik dan LSM yang dibolehkan dibuka, dikecualikan dan tidak bisa dibuka kepada publik di Pasal 14, 15 dan 16 namun secara teks di Pasal 1 ayat 3 pencantuman BUMN/BUMD tetap tidak disebutkan sebagaimana usul DPR RI pada awalnya. Sebagaimana dapat diamati berikut :
Tabel 1 : Rumusan Badan Publik RUU Inisiatif DPR
Usulan Pemerintah
Rumusan yang Disepakati
Badan publik adalah penyelenggara negara yang meliputi lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Hukum Milik Negara (BHMN), dan organisasi non-pemerintah yang mendapatkan dana dari anggaran negara atau anggaran daerah dan usaha swasta yang dalam menjalankan kegiatannya berdasarkan perjanjian pemberian pekerjaan dari badan publik lain dalam menjalankan sebagian fungsi pelayanan publik.
Badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah dan lembaga lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara yang mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, termasuk ke dalam badan publik adalah organisasi non-pemerintah yang meliputi Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Massa, Partai Politik dan/atau institusi sosial dan/atau kemasyarakatan lain yang mendapatkan dana dari sumbangan masyarakat, dan/atau sumber luar negeri.
Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/ atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri. (tidak diperoleh data pada rapat apa rumusan ini disepakati)
Sumber : Anotasi UU KIP
Pembahasan definisi badan publik yang ditemukan pada rapat Panja RUU KIP tanggal 3 September 2007 mencakup dua hal: pertama, mengenai masuk atau tidaknya BUMN/BUMD dalam lingkup badan publik. Kedua, dimasukkannya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Partai Politik (Parpol) dalam lingkup badan publik. DPR memasukkan BUMN/BUMD dalam lingkup badan publik, sedangkan pemerintah tidak. Alasan pemerintah tidak memasukkan BUMN/BUMD dalam lingkup badan publik adalah: Adanya transformasi rezim hukum dalam 1) pengelolaan BUMN. Tidak dapat dipungkiri Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
13
bahwa sumber modal BUMN/BUMD adalah APBN/ APBD. Dana APBN/APBD yang dijadikan modal dalam BUMN/BUMD diistilahkan sebagai penyertaan modal, dalam terminologi sekarang disebut sebagai penyertaan modal negara. Dengan adanya penyertaan modal negara, berarti pemerintah telah memisahkan dana publik menjadi modal usaha. Pemisahan kekayaan negara ini akibat transformasi dana publik ketika dimasukkan dalam Undang-Undang APBN. Dari APBN, dana tersebut kemudian ditransformasikan ke publik (dari publik untuk publik) dan ke privat (dari publik untuk privat). Dana publik yang ditetapkan untuk kepentingan publik adalah dalam hal pemberian subsidi dan Public Service Obligation (PSO). Sedangkan dana publik yang ditransformasi ke dalam rezim hukum privat, misalnya gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS). Gaji PNS berasal dari APBN, ketika diberikan kepada PNS, maka telah terjadi transformasi rezim hukum publik ke hukum privat. Kita tidak perlu mengetahui untuk apa penggunaan gaji tersebut. Hal ini berlaku juga pada pemisahan kekayaan negara untuk disertakan
dalam modal
BUMN/BUMD. Transformasi rezim hukum publik ke hukum privat tersebut, terutama hukum
privat
korporasi,
maka
dengan
sendirinya
pertanggungjawaban
keuangan
BUMN/BUMD tunduk pada mekanisme hukum korporasi. 2) Landasan hukum pengelolaan BUMN/BUMD dan swasta. Pengelolaan BUMN/BUMD tunduk pada berbagai peraturan perundangundangan,
yaitu:
Undang-Undang
Keuangan
Negara,
Undang-Undang
Perbendaharaan Negara, Undang-Undang BPK, Undang-Undang BUMN, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Penanaman Modal, dll. Dengan demikian, mekanisme transparansi BUMN/BUMD lebih transparan daripada badan swasta. 3) Maksud dan tujuan pendirian BUMN/BUMD. Maksud dan tujuan pendirian BUMN/BUMD adalah: memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan perekonomian negara pada khususnya, mengejar keuntungan, menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi yang memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak (PSO), menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan korporasi. Namun tidak dijelaskan bagaimana korelasi antara maksud dan tujuan tersebut dengan rezim keterbukaan yang diatur oleh UU KIP. 4) Bentuk aktivitas BUMN/BUMD. Aktivitas BUMN/BUMN dapat merupakan aktivitas yang merupakan pelaksanaan tugas penyelenggaraan negara, aktivitas terkait rahasia negara, dan aktivitas murni korporasi. Aktivitas
pelaksanaan
tugas
penyelenggaraan
negara,
misalnya
pelayanan
kepentingan umum, pemberian subsidi dan PSO. Aktivitas ini tunduk pada rezim keuangan Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
14
negara. Aktivitas terkait rahasia negara, misalnya terkait dengan pertahanan dan keamanan negara. Sedangkan aktivitas murni korporasi tunduk pada rezim hukum privat korporasi. Terkait dengan PSO, Pemerintah dalam hal pengadaan barang dan jasa dapat menugaskan kepada BUMN/BUMD atau swasta untuk melakukannya. Penugasan tersebut didasarkan pada suatu kontrak pengadaan barang dan jasa. Jadi, keterbukaan bukan pada korporasinya (BUMN/BUMD dan swasta), tetapi pada kontrak tersebut (antara pemerintah dengan BUMN/BUMD atau swasta). Pemerintah memiliki kekhawatiran jika BUMD/BUMD harus terbuka akan mengulang kembali praktek yang terjadi pada Bank Negara Indonesia (BNI). Pada saat BNI melakukan keterbukaan, justru nasabahnya hengkang ke bank-bank lain, terutama ke bank-bank asing. Kemudian apabila BUMN/BUMD terbuka, maka seperti Newmont, Freeport dapat mengetahui semua tentang Aneka Tambang. Petronas dapat mengetahui tentang Pertamina. Sedangkan BUMN/BUMD tidak bisa mengetahui mereka. Intinya, menurut pemerintah kerangka berpikirnya tidak boleh sempit. Artinya, tidak boleh setiap perusahaan dimana negara menyertakan modal ke dalamnya harus terbuka. Lihat proporsi modalnya, apabila lebih dari lima puluh satu persen, maka dapat saja terbuka. Namun apabila kurang dari lima puluh persen, maka kita tidak dapat memaksa perusahaan tersebut untuk terbuka. Lebih dari itu, Pemerintah mengharapkan tidak terjadi diskriminasi antara BUMN/BUMD dengan perusahaan swasta. Semua BUMN/BUMD harus terbuka, sedangkan swasta tidak harus terbuka. Ini dianggap sebagai wujud ketidakadilan informasi yang justru akan membawa dampak kerugian bagi negara. Terhadap alasan-alasan yang dikemukakan Pemerintah di atas, anggota DPR RI dari F-PDIP memberikan tanggapan bahwa keterbukaan dalam BUMN/BUMD justru dimaksudkan untuk menghindarkan BUMN/BUMD dari aspek aspek ketertutupan yang dapat menjadi salah satu sumber korupsi di negara ini. Banyak BUMN/BUMD yang tidak transparan. Selain itu, dari apa yang diungkapkan oleh pemerintah, justru mempertegas bahwa BUMN/BUMD banyak mengandung unsur publiknya, baik mengenai sumber dana yang berasal dari keuangan negara, keberadaan BUMN/BUMD, sehingga perlu dimasukkan ke dalam lingkup badan publik. Alasan lain dari DPR RI bahwa banyak anggaran yang dialokasikan pada BUMN/BUMD, tetapi kinerja BUMN/BUMD tertutup dari publik dan masih jauh dari yang diharapkan. Keterbukaan pada BUMN/ BUMD sebenarnya lebih ditekankan pada transparency, accountability, dan professionalism dari BUMN/BUMD karena merupakan bagian perwujudan amanat Pasal 33 ayat 3 UUD NRI 1945. Jadi Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
15
BUMN/BUMD seharusnya terbuka. Apabila ada informasi yang memang harus tertutup, maka dapat diatur dalam ketentuan yang terkait dengan informasi yang dikecualikan. 8 Mantan Ketua Pansus RUU KMIP periode masa bakti anggota DPR RI tahun 19992004 yang merumusakan draft RUU KIP sejak pertama kali, juga menyebutkan beberapa kelemahan mendasar terkait Badan Publik, yaitu : 9 “Definisi badan publik itu sendiri, bagi saya, juga sempit. Definisi ini tidak termasuk badan swasta maupun pemerintah yang betul-betul berinteraksi dengan masyarakat secara luas. Yang dibidik hanya penggunaan anggaran negaranya. Padahal, badan swasta murni, juga kudu menyediakan informasi publik”. Sebagai orang yang ikut merumuskan draft RUU KIP sejak awal bernama KMIP, yang diinginkan sebenarnya adalah definisi badan publik yang luas. Sehingga, badan usaha, baik milik publik (BUMN) maupun swasta, itu harus termasuk juga. Mereka harus wajib menyampaikan informasi seluas-luasnya kepada publik. Tentang ada ketentuan kategori informasi yang dikecualikan, hal tersebut bisa dipahami, namun substansi UU yaitu bahwa ada perintah yang bersifat imperatif kepada badan publik untuk tunduk. Namun apa yang terjadi? hingga kini, termasuk juga lembaga pemerintah dan DPR, perbuatannya tidak sesuai dengan roh UU ini. Tidak sesuai dengan definisi badan publik. Persoalan yang membuat lama adalah memutuskan apakah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) termasuk badan publik. Ditambahkan lagi oleh Mantan Ketua Pansus RUU KMIP : “Bagi saya, BUMN termasuk. Lantas tentu saja pemerintah berpikir, jika ada UU ini, tentu mereka merasa ada kekuasaan mereka yang berkurang. Mereka pasti timbangmenimbang. UU ini bisa memperluas interest pemerintah gak, atau sebaliknya? Untuk setiap UU tarik-tarikan interest pasti ada. Apalagi government sebagai birokrat. Apakah interest-nya terjaga, atau akan tercabut.” Selain itu, lembaga advokasi yang turut menggagas lahirnya UU KIP, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) ikut mencatatkan kelemahan mendasar terjadi pada pendefinisian terhadap badan publik itu sendiri:10 “Kita bisa membaca pasal 1 ayat 3 UU KIP yang mendefinisikan bahwa badan publik tidak hanya badan publik sebagaimana umumnya yakni pemangku kebijakan atau 8
Anotasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Komisi Informasi Pusat dan ICEL, Jakarta, 2009, hlm. 33. 9
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18932&cl=Wawancara Paulus Wijayanto, 3 April 2008, diakses 28 Februari 2015 pukul 22.00 WIB. 10
http://syafiie.blogspot.com/2011/04/sisi-lemah-uu-keterbukaan-informasi.html. Senin, 11 April 2011, diakses 28 Februari 2015, pukul 22.10
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
16
pemerintah, tetapi juga mengkatagorikan organisasi-organisasi non pemerintah (LSM, NGO, Ormas dan lain-lain) sebagai badan- badan publik juga sepanjang “sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan atau APBD, sumbangan masyarakat, dan atau dari luar negeri. Pendefinisian ini jelas mengkaburkan makna dari penyelenggaraan pelayanan publik sebenarnya” Beberapa penjabaran lainnya terkait masalah Badan Publik, yaitu: Pertama, UU KIP tidak menyebutkan secara tegas definisi badan publik yang wajib menyediakan akses informasi bagi publik. Persoalan mendasar ini terletak pada tidak adanya pengaturan secara tegas untuk badan usaha swasta yang melakukan kegiatan berdasarkan perjanjian kerja dari badan publik (pemerintah). Mengingat banyaknya kasus yang dilakukan industri ekstraktif yang mengatasnamakan pemerintah, menyalahgunakan prinsip pengelolaan lingkungan dalam dokumen AMDAL, kontrak karya, Rencana Pengelolaan dan Rencana Pemantauan (RKL/RPL), dan dokumen lainnya. Kedua, UU KIP tidak taat azas. Dalam hal ini, ketentuan azas Maximum Access Limited Exemption justru disimpangi dengan adanya ketentuan dalam pasal 14-16 UU KIP yang membatasi informasi-informasi yang wajib dibuka oleh BUMN/D, Partai Politik, dan Organisasi Non-Pemerintah. Prinsip maximum access limited exemption ialah prinsip fundamental dalam hak atas informasi yang menentukan dua hal, pertama, pemberlakuan pengecualian informasi (yang dapat ditutup aksesnya) atau istilah teknisnya adalah exemption harus didasarkan pada asas kehati-hatian dengan menggunakan metode uji konsekuensi (consequential harm test) dan uji menimbang kepentingan publik (balancing public interest test). Kedua, pemberlakuan status kerahasiaan terhadap informasi memiliki batas waktu (tidak permanen). Ketiga, UU KIP mewajibkan peminta informasi untuk memberikan alasan dalam permohonannya. Ketentuan ini justru bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi, dimana informasi yang dikelola dari penyelenggaraan badan publik merupakan milik publik, bukan milik badan publik. Selain itu, berdasarkan ketentuan dalam UU KIP, badan publik telah diwajibkan untuk mengkategorikan jenis informasi mana yang terbuka dan mana yang tertutup sesuai dengan alasan yang obyektif dan asas kerahasiaan informasi. Sehingga, menyertakan alasan dalam setiap permintaan informasi, tidak relevan lagi. Dalam beberapa kasus, ketentuan ini justru memberi peluang terbukanya conflict of interest badan publik atas alasan peminta informasi. Keempat, ketentuan dalam Pasal 6 UU KIP yang menyatakan bahwa Badan Publik berhak menolak permintaan informasi masyarakat apabila informasi yang diminta salah satu Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
17
data tersebut belum dikuasai atau didokumentasikan oleh badan-badan publik. Kondisi ini jelas memperlemah terhadap akses publik terhadap data-data publik. Betapa tidak, Badan Publik dapat menolak permintaan masyarakat untuk memperoleh informasi, dengan alasan belum didokumentasikan. Kelima, UU KIP tidak mengatur secara jelas tentang jangka waktu kewajiban Badan Publik untuk memberikan informasi kepada peminta informasi. Dalam Pasal 22 UU KIP hanya dinyatakan bahwa Badan Publik hanya wajib memberitahukan informasi yang berada pada penguasaannya atau tidak kepada peminta informasi selambat-lambatnya sepuluh hari kerja yang dapat diperpanjang selambat-lambatnya tujuh hari kerja. Walaupun pada akhirnya BUMN BUMD disepakati untuk dikategorikan sebagai badan publik di pasal 14 UU KIP, tetap saja hal tersebut masih dianggap menyisakan kekecewaan bagi kalangan masyarakat sipil karena dalam Pasal 14, 15, 16 tersebut berisi syarat informasi hanya boleh dibuka. Selain itu penyertaan LSM dan Partai Politik sebagai kategori badan publik di Pasal 15, dan 16 UU KIP juga dianggap sebagai sesuatu hal yang kurang tepat, sebagaimana yang disampaikan Manta Ketua Pansus RUU KMIP Paulus Widiyanto : “Aneh itu sebenarnya LSM masuk sebagai badan publik karena tidak jauh beda dengan pengajian sebenarnya, tidak ada memakai APBN/APBD dan kalaupun menerima dari asing paling tidak seberapa, sama saja posisinya badan usaha swasta yang tidak dimasukkan sebagai badan publik karena dianggap tidak ada kaitan dengan APBN/APBN, harusnya kalau kita LSM dimasukkan ya badan usaha swasta juga harus masuk karena sama-sama di Indonesia”. Selama ini paradigma ketertutupan terhadap BUMN/BUMD merupakan preseden buruk bagi perwujudan good governance dan percepatan pemberatasan korupsi di Indonesia sesuai Inpres No 5 tahun 2005. Apalagi Indonesia telah meratifikasi konvensi internasional tentang pemberantasan korupsi atau United Nation Convention Against Corruption (UNCAC), oleh karena itu seharusnya pemerintah wajib mendorong adanya transparansi dan menjamin akses publik terhadap informasi agar badan-badan publik terhindar dari korupsi. Menguatnya iklim keterbukaan tentu harus direspon oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk ikut serta mendorong keterbukaan informasi disektor BUMN/BUMD. Walaupun disadari bahwa dalam rangka persaingan usaha (competitiveness), terdapat informasi yang tidak bisa dibuka seluas-luasnya. Oleh karena itu keberadaan pasal Pengecualian Informasi sesungguhnya telah mengakomodasi kepentingan competitiveness BUMN/BUMD, karena menegaskan bahwa “informasi yang apabila dibuka dan diberikan Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
18
kepada pengguna informasi dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat” (UU KIP Tahun 2008 Bab V Pasal 17). Dalam lapiran petisi Koalisi Masyarakat Sipil yang berjudul “Mendorong Keterbukaan RUU Keterbukaan Informasi Publik sesuai Prinsip-Prinsip Hak Publik atas Informasi”, Good Governance dan Good Corporate Governance telah menjadi program seluruh Departemen termasuk Kementerian BUMN serta telah diterapkan pada sejumlah BUMN. Oleh karena itu RUU KIP seharusnya bisa menjadi bagian sinergis agar BUMN/BUMD lebih transparan dan bebas korupsi. Berdasarkan uraian tersebut, jelas terlihat bahwa keputusan tentang Badan Publik lahir dari hasil lobby dan kompromi. Pembahasan tentang Badan Publik merupakan pembahasan paling lama menemukan kesepakatan karena selalu bersatus ditunda sampai akhirnya dibawa sampai pada rapat Tim Perumus (Timus) di akhir pembahasan. Ketua Tim Perumus (Timus), Arief Mudatsir Mandan dari Fraksi PPP dalam laporannya kepada Panitia Kerja (Panja) menyampaikan hingga rapat terakhir, definisi badan publik masih di pending (tunda). Masih terdapat berbagai perbedaan pendapat mengenai definisi badan publik. Untuk kelancaran pembahasan RUU ini, maka Timus merekomendasikan pembahasannya dilakukan lobby di tingkat Panja11. Sampai pada akhirnya keputusan mengenai badan publik tersebut diakhiri pada 2 April 2008 pada rapat Timus RUU KIP yang memutuskan bahwa terdapat informasi yang wajib disediakan bagi BUMN BUMD dan badan usaha lainnya di Pasal 14, informasi yang wajib disediakan oleh Parpol di pasal 15 dan informasi yang wajib disediakan oleh LSM di pasal 16. Keputusan yang menghadirkan pasal baru tersebut merupakan hasil kompromi (adanya proses trade-off/tawar menawar) pada lobby yang sebelumnya telah disepakati bersama antara Komisi I dengan Pemerintah di sebuah Hotel di Kawasan Petamburan Jakarta. Pasal baru (14, 15, 16) tersebut menunjukkan bahwa apa yang menjadi keinginan kelompok Komisi I untuk memasukkan BUMN BUMD sebagai badan publik bisa terpenuhi dan keinginan pemerintah yang ingin memasukkan partai politik dan LSM sebagai badan publik juga terpenuhi. Hanya saja teks tentang badan swasta yang juga diusulkan sebagai badan publik di rumusan draft periode 1999-2004 sudah tidak ada (terhapus). Hal ini cukup mengecewakan salah satu Ketua Pansus RUU KMIP periode 1999-2004 Paulus Widiyanto. 11
Risalah Rapat Panja RUU KMIP, Komisi I DPR RI, Buku 6, Jakarta, 2008, hlm. 719.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
19
“Badan publik itu waktu mendefinisikan itu hilangnya adalah badan usaha swasta. Waktu draft awal ada badan usaha swasta, point itulah yang menyebabkan saya mengatakan itu masih 65%. Kalaupun BUMN masuk pasal 14 itu dengan trade off dengan lobby. Ok masuk tapi partai politik jug masuk gitu kan, LSM harus masuk. Padahal di dunia, ga ada LSM masuk dalam undang-undang semacam ini, karena LSM itu adalah masyarakat yang meminta informasi. Intinya badan publik itu kekurangannya adalah karena didefinisikan dengan pendekatan dana atau uang, itu gagal, ketidak lengkapannya disitu gitu. Jadi yang pertama kan badan publik itu yang dibiayai APBN APBD sehingga pendekatannya kan keuangan, yang kedua kemudian lembaga-lembaga swasta atau partai politik yang memproleh dana jadi ada kata dana lagi kan sehingga terpaksa bahwa informasi publik itu mempunyai kegunaan jadi pendekataannya adalah manfaat. Kalau misalkan tidak ada uang kan itu tetap saja harusnya dibuka. Mereka kan swasta, swasta itu kan mempunyai informasi publik, kalau dia mempunyai informasi publik yang betul-betul penting bagi orang banyak, penting bagi hajat hidup orang banyak ya dibuka”.
Dengan hasil RUU KIP yang telah menjadi UU KIP dan telah berjalan 5 (lima) tahun sejak diberlakukan tahun 2010, dalam implementasinya saat ini Komisi Informasi pada laporan terakhir Sekretariat Komisi Infromasi Pusat tahun 2014 menyatakan masih banyak terjadi kasus sengketa informasi badan publik, tercatat total sekitar 2549 kasus dari tahun 2010-2014. Dengan
demikian
sampai
dengan
sengketa sebanyak 1827 kasus atau 71,68%.
akhir
tahun
2014,
jumlah
beban
Namun dapat dikatakan bahwa data ini
sekaligus menunujukkan fenomena semakin meningkatnya pemahaman dan kesadaran publik akan adanya keterbukaan informasi publik.
Tabel 2 Jumlah Sengketa Informasi per Tahun Tahun
Jumlah Permohonan Sengketa
2010
76
2011
419
2012
323
2013
377
2014
1354
TOTAL
2549
Sumber : Laporan Tahunan Sekretariat Komisi Informasi Pusat Tahun 2014
Laporan Dirjen Informasi Komunikasi Publik Kementerian Kominfo tercatat belum seluruh badan publik di Indonesia telah memiliki PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
20
Dokumentasi) yang seharusnya dimiliki oleh setiap Badan Publik sebagaimana diwajibkan dalam pasal 13 UU KIP “untuk mewujudkan pelayanan cepat, tepat, dan sederhana setiap Badan Publik : a. Menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi, dan...”.
Tabel. 3 Rekapitulasi Jumlah PPID (per 3 Desember 2014) No. Lembaga
Jumlah
34
Telah Menunjuk Pejabat Persentase (%) Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) 34 100, 00 %
1.
Kementerian
2.
42
35, 90 %
3.
Kesekretariatan 117 Lembaga Negara / Lembaga setingkat Menteri / LPNK / LNS / LPP Provinsi 34
30
88, 24 %
4.
Kabupaten
399
171
42, 86 %
5.
Kota
98
65
66, 33 %
TOTAL
682
342
50,15 %
Sumber : Dirjen Informasi Komunikasi Publik Kementerian Kominfo
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa produk UU KIP ini belumlah bisa ‘menggigit’ Badan Publik untuk sadar akan keterbukaan informasi publik tersebut, terlebih sanksi hukum yang diberikan masih terbilang sangat kecil terhadap Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, memberikan dan / atau tidak menerbitkan informasi publik yaitu hanya dikenakan pidana paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 5. 000.000,- (lima juta rupiah) sebagaimana tercantum dalam pasal 52 UU KIP. Jika diamati sanksi hukum dan nilai uang dengan nominal denda tersebut belumlah sebanding dengan kecendrungan Badan Publik untuk memilih menutupi berbagai informasi terkait proses tender dan keuntungan bisnis misalnya. Mengapa anggota kelompok pembahas RUU KIP di Komisi I DPR RI akhirnya sepakat dengan rumusan yang diajukan dari pemerintah padahal sebelumnya semua fraksi rata-rata menolak rumusan/usul pemerintah tersebut? Bagaiamana hal ini bisa terjadi?
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
21
Hal ini dipandang menarik untuk diamati dan diteliti karena fenomena tersebut mendekati ciri terdapatnya groupthink dalam suatu kelompok tugas yang mampu menjadi kohesif dalam kasus tertentu ketika awalnya mereka heterogen (berbagai anggota yang berasal dari berbagai latar belakang fraksi partai politik yang berbeda di DPR RI) diharuskan untuk bergabung dan bekerja sama guna mencapai tujuan tertentu. Kepentingan dan proses tawar menawar yang dikomunikasikan dalam proses pembahasan dan pengambilan keputusan menyisakan keinginan kuat untuk mencapai ketaatan, dimana keinginan untuk mencapai suatu tujuan atau tugas lebih penting daripada menghasilkan pemecahan masalah yang masuk akal ketika kelompok sedang berada dalam mentalitas menjaga “keharmonisan kelompok”, sehingga di titik ini menciptakan perdamaian lebih penting daripada membuat keputusan yang jelas dan sesuai. 12
1.1.2 Mengapa harus RUU Keterbukaan Informasi Publik?
Informasi adalah inti dari proses komunikasi. Dalam berkomunikasi kita tidak bisa dilepaskan dengan ketergantungan terhadap informasi bagi berbagai kepentingan pencarian, pengolahan, pembagian, penyimpanan, peminjaman, penjualan dan tukar menukar informasi. Dengan kata lain tolak ukur keberhasilan komunikasi sangat tergantung pada informasi. Lebih dari itu, informasi merupakan unsur penting di luar kegiatan komunikasi, karena hampir semua aspek dalam kehidupan manusia di muka bumi ini berhubungan dengan informasi.13 Ketergantungan kita terhadap informasi dapat membantu proses penyampaian pesanpesan dalam berkomunikasi sesuai dengan konteks dan tujuan yang hendak dicapai. Informasi adalah inti komunikasi yang menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia, baik sebagai pribadi, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai warga negara. Rasionalisasinya adalah komunikasi hanya menjadi penting dan merupakan kegiatan dasar bagi kita karena dalam kehidupan sehari-hari kita perlu mencari, mengolah, membagi, meminjam,
12
Irving L. Janis, Groupthink Psychological Studies of Policy Decision and Fiascoes, Second Edition, Houghton Mifflin Company. Boston, 1982. Hlm. 9.
13
Alwi Dahlan. Pemerataan Informasi dan Pembangunan. Jakarta, 1997, hlm. 3.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
22
menyimpan, menjual, tukar-menukar, singkatnya: menggunakan informasi. Tidaklah mengherankan jika tolak ukur keberhasilan komunikasi mengacu pada informasi.14 Informasi dibutuhkan sebagai pribadi, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai warga negara. Tetapi, sayangnya, pemahaman tentang hakekat informasi sebagai bagian dari hak asasi manusia masih belum merata. Masih banyak anggota masyarakat yang belum menyadari tentang hak-hak mereka dalam memperoleh informasi dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan kenegaraan. Masih banyak pula anggota masyarakat yang tidak menyadari hak mereka atas informasi yang tidak muncul di media komunikasi dan pengumuman resmi pemerintah (Koalisi untuk Kebebasan Informasi, 2003:1). Dalam era persaingan global, entitas yang bisa bertahan dan mengambil keuntungan dari persaingan itu adalah entitas yang menguasai sebanyak mungkin informasi. Entitas dimaksud bisa berupa individu, badan hukum, atau juga negara. Informasi dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan. Urgensinya semakin nyata dalam relasi-relasi bisnis internasional, dimana informasi dipergunakan untuk banyak tujuan. Informasi pada dasarnya dipakai sebagai dasar dalam pengambilan keputusan, menerima dan menggunakan informasi itu untuk memastikan pemahaman umum kita, dan menggunakannya sebagai sarana menambah pengetahuan. (Roger Cartwright et al., 2001:109). Di negara-negara demokratis, pengakuan terhadap hak atas informasi sekaligus merupakan sarana untuk memantau dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan yang demokratis akan berusaha semaksimal mungkin membuka ruang informasi yang dibutuhkan publik. Itu sebabnya, di negara demokratis konstitusional, keterbukaan informasi publik merupakan sarana untuk mengoptimalkan penyelenggaraan negara secara umum, mengoptimalkan peran dan kinerja badan-badan publik, serta segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. Salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelengaraan negara yang terbuka adalah hak publik untuk memperoleh Informasi sesuai dengan peraturan perundangundangan. Hak atas informasi menjadi sangat penting karena makin terbuka penyelenggaraan 14
Sebagai contoh, tolak ukur komunikasi yang klasik dari Claude Shannon adalah keberhasilan komunikasi secara teknis, yaitu apakah informasi yang dikirimkan dapat diterima persis sama seperti informasi yang dikirimkan semula meskipun menghadapi berbagai kendala dalam proses komunikasi. Warren Weaver menambahkan dengan tolok ukur semantic dan tolok ukur efek : apakah oengertian informasi yang diperoleh si penerima sama dengan makna asli yang dimaksudkan oleh pengirim, dan apakah informasi mempengaruhi perilaku si penerima. Lihat Claude E. Shannon dan Warren Weaver, The Mathematical Theory of Communication (Urbana: Univ. of Illinois press, 1949)
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
23
negara
untuk
diawasi
publik,
penyelenggaraan
negara
tersebut
makin
dapat
dipertanggungjawabkan. Hak setiap orang untuk memperoleh informasi juga relevan untuk meningkatkan kualitas pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik. Partisipasi atau pelibatan masyarakat tidak banyak berarti tanpa jaminan keterbukaan informasi publik. Menurut Conelis Lay (2006) berbagai studi pembangunan politik di negara-negara yang sudah menikmati stabilitas politik dan harmoni sosial menunjukkan bahwa kebebasan informasi dan hak rakyat untuk mendapatkan informasi memainkan peranan sentral dalam keseluruhan proses politik. Tidak ada satu pun negara yang mampu menjamin stabilitas politik dan tertib sosial secara berkesinambingan, kecuali sistem tersebut difasilitasi dengan jaminan kebebasan informasi15. Dalam konteks inilah kebebasan informasi publik menemukan relevansinya dengan governability. Keterbukaan informasi bukan hanya menguntungkan bagi masyarakat tetapi juga penyelenggara pemerintahan, baik eksekutif dan legislatif, maupun yudikatif. Jika informasi publik tersedia dengan cukup, maka pimpinan lembaga penyelenggara pemerintahan dalam arti luas bisa memanfaatkan pengawasan oleh masyarakat untuk meningkatkan kinerja dan gerak organisasi hingga ke daerah-daerah. Rodney A Smollar menggambarkan kebutuhan akan keterbukaan semua elemen masyarakat sebagai berikut: “A society that wishes to adopt openness as a value of overarching significance will not merely allow citizen a wide range of individual expressive freedom, but will go on step further and actually open up the deliberate processes of government itself to the sunlight of public scrunity. In a truly open culture, the normal rule is that government does not conduct the business of the people behind closed door. Legislative, administrative, and judicial proceedings should – as a matter of routine—be open to the public (Rodney A Smollar, 1992:12). Tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) mensyaratkan pemerintahan yang terbuka sebagai salah satu fondasinya, dan kebebasan memperoleh informasi (public access to information) merupakan salah satu prasyarat untuk menciptakan pemerintahan terbuka (open government). terbuka, dan partisipatoris. Semakin terbuka penyelenggaraan negara untuk diawasi publik, maka penyelenggaraan negara tersebut makin dapat dipertanggungjawabkan. Pada tataran badan usaha, konsep pengelolaan yang baik (good corporate governance) juga sudah dianggap sebagai suatu kebutuhan. 15
http://politik.kompasiana.com/2012/01/28/keterbukaan-informasi-publik-dalam-perspektif-governability-434151.html, diakses tanggal 25 Februari 2015, pukul 15.00 WIB.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
24
Banyak contoh kasus yang bisa kita saksikan sehari-hari, yang menggambarkan kesulitan masyarakat mengakses informasi ke badan-badan publik. Mulai dari persoalan kecil dokumen kependudukan (akta kelahiran, KTP, dan SIM), hingga akses ke putusan-putusan pengadilan, dokumen-dokumen kebijakan publik, dan informasi yang sifatnya rahasia. Koalisi untuk Kebebasan Informasi mencatat ada beberapa hambatan yang paling sering dialami masyarakat ketika hendak mendapatkan informasi dari badan publik. Misalnya: 1) Tidak adanya kepastian atau jaminan bagi masyarakat apabila tidak mendapatkan informasi. Hal ini menyebabkan apabila permintaan informasi dari masyarakat ditolak, mereka tidak memiliki jaminan hukum untuk mempertahankan haknya; 2) Ketentuan hukum yang mengatur batasan rahasia negara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1971 tentang Kearsipan sangat luas dan tidak memberikan batasan yang jelas tentang informasi yang tergolong rahasia; 3) Tidak adanya sanksi hukum bagi pejabat publik yang dengan sengaja menghambat akses informasi publik. Walhasil, praktik menghambat akses informasi masyarakat menjadi sesuatu yang lumrah. Informasi baru dibuka jika ada biaya tambahan yang dibayarkan pemohon informasi; 4) Tidak adanya mekanisme mendapatkan informasi yang jelas baik waktu maupun skemanya16. Spirit keterbukaan penyelenggaraan pemerintahan berjalan beriringan dan memiliki hubungan kausal dengan semangat reformasi yang digulirkan sejak 1998. Terutama dalam upaya memberantas penyakit kolusi, korupsi, dan nepotisme. Orang yang memberikan informasi tentang adanya perbuatan kolusi, korupsi, dan nepotisme bukan harus saja dilindungi hukum, tetapi juga berhak mendapat penghargaan. Prinsip ini sebenarnya menunjukkan pentingnya sebuah keterbukaan informasi. Desakan untuk melahirkan payung hukum KMIP bukan tanpa dasar. TAP MPR XVII/MPR/1998, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, dan sejumlah konvensi internasional sudah mengakomodir hak atas informasi. Dorongan masyarakat terhadap badan-badan pemerintahan semakin kuat, terutama berkat topangan dan advokasi lembaga-lembaga masyarakat sipil. Spirit keterbukaan itu akhirnya dituangkan dalam banyak peraturan perundangundangan nasional. Misalnya, Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang- Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam 16
Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Jakarta, 2008, hlm : 9
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
25
Penyelenggaraan Negara. Dalam konteks informasi sebagai bagian dari hak asasi manusia, kita bisa merujuk pada spirit yang dikembangkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Tetapi peraturan perundangundangan tersebut belum mengatur secara rinci apa saja informasi yang bersifat terbuka dan informasi yang dikecualikan. Belum jelas juga bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa informasi. Sebagian besar peraturan perundang-undangan tersebut hanya memuat prinsip-prinsip dasar perlunya keterbukaan informasi, saluran-saluran komunikasi, dan partisipasi masyarakat. Pada praktiknya, kebutuhan atas informasi membawa implikasi yang jauh lebih luas dan kompleks. Badan-badan publik harus menyediakan informasi yang karena sifatnya harus dibuka ke publik. Sebaliknya, lembaga-lembaga negara dan profesi tertentu harus menjaga kerahasiaan informasi karena diharuskan oleh undang-undang. Misalnya, rahasia dokter dengan pasien, rahasia advokat dengan klien, bahkan rahasia Ombudsman dengan warga yang melaporkan pelayanan publik. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya mengatur mekanisme penyelesaian sengketa informasi dan lembaga independen yang menyelesaikan sengketa informasi. Sengketa informasi bisa saja muncul antara pemohon informasi dengan badan publik penyedia informasi. Ketiadaan mekanisme yang jelas justru berakibat pada ketidakpastian hukum. Salah satu putusan pengadilan yang relevan dijadikan contoh adalah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 20 Agustus 2008 tentang hasil penelitian susu. Seorang konsumen susu menggugat ketertutupan informasi hal penelitian IPB mengenai merek susu tercemar. Menutup-nutupi informasi yang menyangkut kepentingan publik dinilai sebagai perbuatan melawan hukum. Majelis hakim mengabulkan gugatan konsumen susu tersebut. Tentu saja era keterbukaan informasi tetap memiliki catatan. Bila tidak dilakukan verifikasi, bisa saja sebuah informasi dianggap benar dan penting. Padahal mungkin saja informasi tersebut menyesatkan. Dunia pasar modal, dimana banyak perusahaan bersifat terbuka (Tbk) dan dimana kepentingan banyak orang terkait, sudah lama mengatur larangan memberikan atau menyedikan informasi yang tidak benar dan menyesatkan. Larangan ini dapat dipahami sebagai upaya menghindari terjadinya distorsi informasi. Salah satu kasus distorsi informasi yang masuk pengadilan adalah kasus informasi tentang dugaan pemalsuan tanda tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh seorang Bupati di Maluku Tenggara Barat. Informasi ini dimuat di sejumlah media, termasuk majalah sekaliber Tempo, padahal informasi tersebut bohong dan diciptakan karena persaingan pemilihan kepala daerah. Mahkamah Agung akhirnya menguatkan vonis dua tahun yang dijatuhkan pengadilan di Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
26
bawahnya karena terdakwa menyiarkan berita bohong yang dapat menyesatkan masyarakat (Putusan MA No. 905K/Pid/2009). Kedua kasus di atas menunjukkan bahwa informasi bisa menimbulkan sengketa yang berujung ke meja hijau. Penyelesaian sengketa informasi dengan baik sangat ditentukan pengaturan mekanismenya lewat peraturan perundangundangan. Berdasarkan ilustrasi di atas, jelaslah bahwa Undang-undang tentang keterbukaan Informasi sangat penting dimiliki oleh Indonesia dalam kondisi sebagai negara transisi demokrasi sekaligus menarik untuk dikaji sebagai suatu penelitian dalam ranah pengembangan studi komunikasi, sehingga upaya mendorong lahirnya suatu Undang-Undang tentang Keterbukan Informasi Publik (KIP) terus dilakukan masyarakat sipil, terutama oleh Koalisi untuk Kebebasan Informasi, yang terbentuk pada Desember 2000. Koalisi beranggotakan sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan perseorangan ini secara aktif dan konsisten melakukan advokasi tentang urgensi suatu Undang-Undang yang menjamin akses terhadap informasi publik ke DPR. Usaha ini tidak sia-sia. Rapat Pleno Badan Legislasi DPR, 23 Februari 2001, menyetujui pembentukan Panitia Kerja (Panja). Dua bulan kemudian, Panja aktif melakukan sosialisasi RUU KIP yang awalnya bernama RUU Kebebasan Mendapat Informasi Publik (KMIP) ke sejumlah daerah untuk mendapatkan masukan. Panja juga mengundang sejumlah pakar. Dari serangkaian acara itu, Panja melakukan penyempurnaan draft. Pada 19 Oktober 2001, draft disepakati sebagai usul inisiatif anggota Dewan. Sebulan kemudian, RUU KMIP disampaikan kepada Pimpinan DPR. Sejak saat itulah tahap demi tahap pembahasan RUU KMIP dilakukan. Namun sangat disayangkan RUU KIP belum dapat diilahirkan hingga akhir masa bakti di parleman tahun 2004 dikarenakan Komisi I DPR RI yang diserahi amanat untuk membahas RUU KIP belum mendapatkan respon berupa Daftar Isian Masalah (DIM) dari pemerintahaan Presiden Megawati Soekarno Puteri, sehingga pada akhirnya RUU KIP kembali diajukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan baru dibahas pada awal Desember 2005 hingga disahkan pada 3 April 2008 dan diundangkan pada 30 April 2008, dan mulai berlaku dua tahun setelah pengundangan, yakni tanggal 30 April 2010. Penelitian ini berusaha untuk menyajikan sebagian dinamika komunikasi kelompok yang terjadi dalam proses perumusan UU KIP di Komisi I DPR RI periode tahun 2004-2009 berdasarkan perspektif groupthink theory.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
27
1.1.3 Studi-studi Tentang Groupthink Theory yang telah dilakukan 1.1.3.1. Studi-Studi Groupthink di Luar Negeri Pengamatan
terhadap
publikasi
Groupthink
di
jurnal-jurnal
internasional
menunjukkan bahwa studi tentang Pemikiran kelompok (Groupthink) telah dikaji dalam berbagai topik dan pendekatan bidang studi. Studi groupthink di luar negeri menunjukkan bahwa teori ini masih relevan untuk disesuaikan dengan berbagai perkembangan kasus dalam berbagai bidang. Sehingga sejak perkembangan studi groupthink dilakukan dari awal tahun 1972 hingga kini teori ini masih terus dikaji. Groupthink Janis (1972) yang ditawarkan sebagai penjelasan teoritis untuk pengambilan keputusan yang salah, tetap memiliki tempat yang menonjol dalam studi kelompok bagi pengambilan keputusan. Model Janis tentang groupthink telah menjadi teori yang sangat populer sejak diperkenalkan. Indeks abstrak/citation ilmu sosial setiap tahunnya mengungkapkan lebih dari 100 kutipan dari teori Janis ini (1971,1972,1982,1989, Janis & Mann, 1977) teori groupthink dibahas dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk psikologi, bisnis, politik, ilmu pengetahuan, komunikasi, dan lain-lain. Metode Studi kasus merupakan metode pertama yang digunakan oleh Janis dirancang untuk menguji teori groupthink. Analisis empat keputusan kebijakan yang mengakibatkan kekacauan merupakan dasar utama untuk (1972) pengembangan teori groupthink Janis. Kasus-kasus tersebut yaitu (1) keputusan pada tahun 1941 oleh Laksamana Kimmel dan penasehatnya untuk fokus pada pelatihan bukan pada pertahanan Pearl Harbor meskipun peringatan serangan mendadak dimungkinkan oleh Jepang, (2) keputusan pada tahun 1950 oleh Presiden Truman dan para penasihatnya untuk menambah Perang Korea dengan melewati jalur ke-38 ke Korea Utara, (3) keputusan pada tahun 1960 oleh Presiden Kennedy dan penasihatnya untuk mengotorisasi invasi Kuba di Teluk Babi, dan (4) serangkaian keputusan oleh Presiden Johnson dan para penasihatnya untuk meningkatkan Perang Vietnam selama 1964-1967. Janis menentukan dan mengeidentifikasi gejala groupthink dan penyebabnya serta konsekuensinya dengan membandingkan kasus ini dengan dua kasus sejarah yang menghasilkan keputusan kebijakan yang baik, yaitu perkembangan Marshall Plan untuk mencegah keruntuhan ekonomi di pasca-perang Eropa dan penanganan krisis rudal Kuba pada tahun 1962. Selanjutnya, Janis (1982) menganalisis serangkaian keputusan oleh Presiden Nixon dan penasihatnya untuk menutupi keterlibatan dari Nixon White House Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
28
dalam pembobolan markas Partai Demokrat di gedung Watergate. Janis menyimpulkan bahwa groupthink memainkan peran utama dalam penyembunyian skandal Watergate. Janis juga menggunakan studi kasus Watergate untuk pengembangan teori. Dari kasus Watergate ia menyimpulkan dua anteseden (penyebab) groupthink yang belum termasuk dalam sebelumnya (Janis, 1972) yaitu homogenitas ideologi anggota kelompok dan stres yang tinggi dari ancaman eksternal. Dapat disimpulkan, studi kasus sejarah yang melibatkan groupthink telah dilakukan dengan menggunakan berbagai metode. Paling sering yaitu metode tradisional
dengan
menggunakan studi kasus (Raven, 1974). Metode yang lebih kuantitatif telah diteliti oleh Tetlock (1979) dan Esser dan Lindoerfer (1989). Tetlock memfokuskan pada gejala groupthink, sedangkan Esser dan Lindoerfer lebih lengkap mencakup anteseden dan konsekuensi dari groupthink. Satu studi yang paling komprehensif dan kekat dilakukan oleh Tetlock dan rekan-rekannya (Tetlocket al., 1992). Menggunakan metodologi semacam Q Sort dikembangkan dalam penelitian ini dengan membandingkan 10 kasus pada berbagai aspek dinamika kelompok. Selain studi kasus, perkembangan teori groupthink juga diisi oleh tes-tes laboratorium. Kebanyakan laboratorium penelitian tentang groupthink telah dirancang untuk mengevaluasi teori dengan menguji keakuratan hipotesis yang berasal dari teori. Studi-studi telah berfokus terutama pada anteseden groupthink, menanyakan apakah groupthink bisa terjadi jika hanya kondisi anteseden yang terjadi, seperti dicatat oleh Park (1990), masingmasing studi telah meneliti efek beberapa penyebab dan konsekuensi groupthink (namun tidak semua). Penelitian Laboratorium telah memberikan dukungan yang sedikit untuk keterkaitan antara kohesi kelompok dan groupthink. Namun, pertanyaannya tetap mengenai peran kohesi kelompok dalam produksi groupthink. Hipotesis hubungan antara kohesi dan groupthink mengalamai gagal tes berulang karena dalam setiap tes konstruk itu dioperasionalkan tidak tepat. Turner et al. (1992) menyarankan bahwa dalam kebanyakan laboratorium studi kohesi kelompok belum dioperasionalisasi dengan cara yang menggabungkan persyaratan utama bahwa para anggota menganggap diri mereka sebagai sebuah kelompok. Di sisi lain, penelitian laboratorium mendukung hubungan antara kurangnya kepemimpinan yang memihak dan groupthink, serta menyediakan beberapa dukungan untuk keterkaitan antara prosedur keputusan yang buruk dan groupthink. Untuk faktor ini, kurangnya standarisasi metodologis dalam penelitian laboratorium pada groupthink Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
29
merupakan kekuatan, karena kepercayaan yang diberikan kepada temuan yang telah ditunjukkan menggunakan berbagai metode menjadi lebih besar. Tentunya sejumlah kecil tes laboratorium teori groupthink yang dilakukan dalam 25 tahun sejak pertama kali disajikan oleh Janis sampai tahun 1998 belum cukup untuk memberikan evaluasi dari masing-masing kelompok anteseden apalagi evaluasi keseluruhan teori secara lengkap sehingga hingga kini teori ini masih terus dikaji. Mulai tahun 1999 penelitian groupthink menunjukkan variasi kasus yang tidak selalu diwarnai oleh nuansa politik, namun juga banyak di kembangkan di bidang-bidang lain diluar politik, namun secara metodologi masih berkisar pada studi kasus, survei dan studi literatur. Tulisan dari Woo-Woo Park
(2000) dari Seoul tentang pembandingan empiris
groupthink model, Yonhoo Kim (Georgia, 2001) tentang abilane paradox dan groupthink, Judith Chapman (Sydney, 2006) tentang elaborasi model groupthink, Michael Snell (2009) tentang groupthink di rumah sakit, Paul L. Hatway (2008) mengenai gorupthink di birokrasi, Bernard Douglas Gambrall (2007) tentang cacat pengambilan keputusan pada siswa pasca sarjana, Markus Hallgren (2008) yang mengamati groupthink dalam organisasi sementara, Ronda Lou Tubbe (2010) yang melihat manfaat positif groupthink dalam pengaturan manajemen puncak dan beberapa penelitian non politik lain menunjukkan bahwa teori ini cukup luwes dikembangkan di berbagai bidang. Bahkan Robert Mc Keveer (2008) mewarnai teori ini dengan mengangkat groupthink di era mediasi komputer pada jejaring sosial facebook. Terdapat pula penelitian dari Jonah Lehler (2012) yang mengupas tentang groupthink dalam proses brainstorming ide kreatif. Para peneliti terus menginvestigasi banyak fitur utama teori ini dan terus didiskusikan dalam media. Keputusan kebijakan pemerintah akan selalu ada, maka groupthink berkemampuan cukup tinggi untuk bertahan di masa depan (West&Turner, 2008:290).
1.1.3.2. Studi-Studi Groupthink di Indonesia Penelitian berdasarkan teori groupthink mulai diamati di Indonesia dengan adanya penelitian dari Maddy Rochanda Pertiwi (2009) yang mengulas groupthink berdasarkan kajian komunikasi politik di Internet. Feby Grace Adriany (2010) melalui penelitian thesis untuk memahami groupthink pada organisasi ekstra kampus dengan ideologi tertentu yang berafiliasi dengan organisasi intra kampus di Universitas Diponegoro Semarang. Atmodjo, Bernadeth Narulita (2010) Groupthink dalam komunikasi kelompok KDS Surya Community, Surabaya. Rebekka Rismayanti (2013) yang menganalisis dinamika komunikasi tim kerja Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
30
Public Relations dan B. Kiswanto (2013) yang menganalisis hubungan implementasi dengan kohesivitas antara kelompok pegawai negeri sipil membuktikan bahwa teori groupthink telah berhasil melalui pengajian waktu berjalan. Teori ini berkaitan dengan pengambilan keputusan yang umumnya muncul ketika sebuah kelompok mengeluarkan perasaan yang luar biasa dari luar karena adanya tekanan yang kuat. Mungkin masih terlalu dini untuk mencoba untuk memberikan penilaian tentang teori groupthink. Sehingga diperlukan banyak penelitian lebih lanjut sebelum dapat ditentukan apakah teori ini berlaku, apakah modifikasi teori yang diperlukan, atau apakah teori harus dibuang sama sekali? Sementara ini teori groupthink mampu terus merangsang minat dan basis penelitian, meskipun kecil, tetapi terus berkembang. Singkatnya, penelitian groupthink masih hidup dan sehat, bukan karena telah divalidasi, tetapi karena telah mendorong terkumpulnya dan tumbuhnya pengujian ide-ide tentang keputusan kelompok.
1.1.3.3 Alternatif Pendekatan bagi Studi Groupthink di Indonesia Berdasarkan pemaparan diatas, studi groupthink dalam proses pengambilan keputusan politik yang dilakukan ini memiliki arti penting. Pertama, studi tentang groupthink dalam pengambilan keputusan politik masih sangat sedikit dilakukan di Indonesia. Indonesia sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki struktur masyarakatnya sendiri, seperti bersifat komunal, religius, masih kuatnya feodalisme, masyarakat majemuk, dan sebagainya akan dapat memberi kontribusi untuk pengembangan studi groupthink (lihat Brandt, 1997: 87, 117; Dahlan, 1980). Sehingga hasil studi ini akan dapat memperkaya studi groupthink dalam kontek masyarakat Asia. Kedua, karena fenomena groupthink pada umumnya ada dalam setiap aktivitas komunikasi kelompok, baik itu menyangkut kelompok yang berskala besar maupun kecil. Groupthink merupakan suatau kondisi dimana hasil keputusan yang diambil dalam kelompok mampu mengundang kontroversi dari dalam dan luar kelompok karena lebih dianggap sebagai suatu keputusan yang cacat/keliru, maka penelitian ini dipandang sangat tepat digunakan untuk mengkaji permasalahan pengambilan keputusan yang bersifat kontroversial yang terjadi dalam dinamika perpolitikan Indonesia khususnya di DPR RI yang merupakan tempat berbagai keputusan penting bagi publik dan pemerintahan ditetapkan. Sejauh ini penulis belum menemukan studi groupthink yang secara eksplisit mengkaji topik tentang pengambilan keputusan politik. Sehingga studi ini sekaligus akan memberi sumbangan dalam Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
31
literatur studi komunikasi politik dalam konteks komunikasi kelompok kecil yang terjadi pada kelompok kerja/tugas (task oriented group). Ketiga, studi ini merupakan upaya mengembangkan studi dalam kontek masyarakat non Barat yang selama ini dominan melakukan. Keempat, studi ini sekaligus memberi perhatian pada fenomena komunikasi tertutup dari aktor-aktor yang dianggap berpengaruh dalam pengambilan keputusan dalam suatu kelompok yang berlatar belakang politik. 1.1.4 Studi-studi tentang Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang Telah Dilakukan 1.1.4.1 Studi-Studi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di Luar Negeri Dari penelusuran ilmiah, studi-studi tentang Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik telah banyak dilakukan sejak tahun 1980-an dengan topik yang beragam namun memberikan banyak penekanan bagaimana undang-undang keterbukaan informasi mampu digunakan untuk menjamin berjalannya pemerintahan yang bersih dan mendorong gairah pasar. Seperti penelitian Harold C. Relyea (1980) yang berjudul “Freedom of information, privacy, and official secrecy: The evolution of federal government information policy concepts”, penelitian dari Lotte E. Feinberg (1986) dengan judul “Managing the Freedom of Information Act and Federal Information Policy”, Patrick Birkinshaw (1990) yang berjudul “Freedom of information and open government: The European community/union dimension yang menyoroti tentang kebebasan informasi dan keterbukaan pemerintah dalam masyarakat uni Eropa. Penelitian dari Maureen McNichols dan Brett Trueman (1994) yang berjudul “Public disclosure, private information collection, and short-term trading” dimana keterbukaan publik akan merangsang investasi.
Selain pemenuhan hak publik akan
informasi, juga diperlukan standar etika dalam meminta dan menerima informasi publik seperti yang diungkap oleh Candace Cummins Gauthier (1999) yang berjudul “Right to Know, Press Freedom, Public Discourse”. Perkembangan di tahun 2000, penelitian tentang Undang-Undang Keterbukaan Informasi masih banyak mengemukakan pentingnya menjamin hak publik terhadap informasi, baik dari pemerintah, badan usaha maupun dari media. Studi dari Steven Huddart, John S. Hughes and Carolyn B. Levine (2001) yang berjudul Dissimulation of Insider Trades”
“Public Disclosure and
menawarkan pemikiran baru bahwa peraturan untuk
mengungkapkan perdagangan saham ke publik akan menyeimbangkan keuntungan. Suzanne J. Piotrowski and David H. Rosenbloom Nonmission–Based Values in Results–Oriented Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
32
Public Management: The Case of Freedom of Information (2002) menyebutkan bahwa kebebasan
informasi
menggambarkan
tentang
melindungi,
nilai-nilai
demokrasi
konstitusional. Solusi bagi sengketa informasi ditelaah oleh Martin E. Halstuk & Bill F. Chamberlin (2006) melalui A Retrospective on the Rise of Privacy Protection Over the Public Interest in Knowing What the Government's Up To Communication Law and Policy yang menemukan adanya konflik ketika hak individu dan hak publik yang merupakan nilai suatu demokrasi yang vital bertemu guna mendapatkan informasi pemerintah, sehingga Freedom of Information Act (FOIA) dimaksudkan untuk mengatur keseimbangan seperti ketika mereka menciptakan dua pengecualian privasi untuk undang-undang. Sementara The impact of the Freedom of Information Act on central government in the UK: does freedom of information work? Dari Hazell, R. and Worthy, Benjamin and Glover, M. (2010) dan Ben Worthy (2010 ) melalui More Open but Not More Trusted? The Effect of the Freedom of Information Act 2000 on the United Kingdom Central Government mengungkap bahwa Undang-Undang Kebebasan Informasi Inggris (FOI) disahkan dengan tujuan membuat pemerintah lebih transparan, akuntabel dan efektif.
Tetapi terdapat pengecualian dalam Freedom of
information acts and public sector corruption dari Monica Escaleras, Shu Lin, Charles Register (2009) yang mengungkap bahwa memang betul transparansi yang lebih melalui Freedom of Information Act (FOIA) dapat mengurangi korupsi di sektor publik, namun terdapat pengecualian di negara berkembang, tindakan FOIA secara signifikan justru dapat meningkatkan tingkat korupsi. Temuan ini kemudian bisa dijawab sebagai oleh Adriana S. Cordis Patrick L. Warren (2014) melalui judul “Sunshine as disinfectant: The effect of state Freedom of Information Act laws on public corruption, yang menunjukkan bahwa penguatan hukum FOIA akan menghasilkan dua dampak yaitu mengurangi korupsi dan meningkatkan kemungkinan bahwa tindakan korupsi terdeteksi, serta melalui upaya penghindaran privatisasi badan publik sebagaimana temuan Matthew D. Bunker, Reese Phifer Charles N. Davis (2014) melalui Privatized Government Functions and Freedom of Information: Public Accountability in an Age of Private Governance yang mengingatkan bahwa upaya privatisasi telah menimbulkan meningkatnya masalah untuk akses publik. Berdasarkan beberapa penelitian yang dibahas di atas menunjukkan bahwa studi tentang Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik mengandung banyak komponen isu yang menarik untuk diteliti sehingga berpotensi untuk tetap bertahan dalam pengkajian.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
33
1.1.4.2 Studi-Studi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia Sejak diundangkan tahun 2008, penelitian tentang Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) tercatat telah banyak dilakukan dalam berbagai fokus kajian dan metode penelitian, baik dalam bentuk skripsi, tesis dan disertasi dan artikel-artikel. Berbagai bagian dari UU KIP menjadi hal yang menarik untuk dibahas dalam suatu tulisan karya ilmiah, seperti penelitian tentang dampak misalnya dari Nathalia Gozali (2012) yang mencoba menguraikan dampak penerapan prinsip good corporate governance terhadap kinerja perusahaan, penelitian Werimon, Simson dan Ghozali Imam dan Nazir, Mohammad (2007) tentang Pengaruh Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Kebijakan Publik terhadap Hubungan antara Pengetahuan Dewan tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), serta penelitian disertasi Felix Jebarus (2011) tentang pertarungan kepentingan tentang kebebasan informasi. Selain itu studi deskriptif tentang manfaat maupun implementasi UU KIP juga kerap dilakukan, seperti pada penelitian manfaaat konsep Good Governance bagi institusi pemerintah dan BUMN oleh Pandu Patriadi (2010), Good Corporate Governance dan penerapannya
di
Indonesia
oleh
Thomas
S.
Kaihatu
(2006),
Riyadi,
Slamet (2012) implementasi Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik untuk mewujudkan Good Governance di Pemerintah Daerah Kabupaten Kudus. Tema-tema tentang transparansi
informasi publik dalam berbagai bidang juga
dilakukan, seperti beberapa diantaranya yaitu penelitian dari Karjuni Dt. Maani (2009) Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pelayananan Publik, Mita Widyastuti Transparansi dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik
(2009)
serta tema-tema tentang
kehumasan seperti Eko Harry Susanto (2011) Media Relations dan Transparansi Informasi (Tinjauan Terhadap Kesiapan Badan Publik Dalam Pemberlakuan UU Keterbukaan Informasi Publik) dan penelitian analisis teks Undang-Undang seperti Isi dan Penyajian Undang-Undang: Perspektif Hak Publik atas Informasi (Analisis Teks UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik) oleh Ichwan Efendi (2013). Dari beberapa hal di atas menunjukkan bahwa penelitian tentang UU KIP lebih banyak dilakukan pada ranah praktis, sedangkan studi khusus yang mengulas tentang proses pembahasan pasal per pasal dan kajian terhadap anggota kelompok perumus Undang-undang berdasarkan perspektif teoritis masih belum ditemukan.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
34
1.2 Fokus Penelitian Penelitian ini berangkat dari pemikiran perlunya mengembangkan studi tentang groupthink melalui kajian tentang dinamika komunikasi dalam pengambilan keputusan politik yang terjadi di DPR RI dalam konteks Indonesia sebagai negara transisi demokrasi. Perbedaan konteks atas pemilihan kasus dilatar belakangi dari keinginan untuk mengkaji apa yang ada dibalik proses pengambilan keputusan di lembaga legislatif DPR RI yang sering kali bersifat kontroversial dan tidak populer. Janis melakukan studi groupthink pada kelompok eksekutif Pemerintahan pembuat keputusan kebijakan asing (luar negeri). Walaupun menyebutkan potensi groupthink dapat terjadi dalam berbagai lingkup organisasi termasuk di legislatif, namun hal tersebut belum dilakukan sehingga yang ditemukan pada lingkup kelompok eksekutif tersebut yaitu kohesi yang betul-betul tidak melihat faktor kepentingan atau pendapat luar. Sementara dalam konteks legislatif yang lebih terbuka dan terdapat berbagai pertarungan kepentingan, anggota pun bisa menjadi kohesif dan menghasilkan keputusan yang buruk seperti yang dicirikan oleh groupthink. Komunikasi politik aktor politik Indonesia yang membawa identitas partai politiknya masing-masing dalam sebuah tugas di Komisi, memerlukan jawaban apakah komponen groupthink bekerja di kelompok/panitia kerja pada organisasi politik yang sangat terbuka seperti DPR RI, yang awalnya berlatar politik heterogen karena berlatar fraksi Partai Politik yang berbeda dan terikat semangat korps yang kuat pada partai politik asalnya ? namun di satu sisi anggotanya kerap diikat oleh kohesivitas lain berdasarkan kepentingan yang sama tentang isu tertentu dalam sebuah kelompok tugas. Fase interaksi kelompok yang terjadi akan dikaitkan dengan teori analisis proses interaksi dari Robert Bales, serta adanya tawar menawar kepentingan politik berusaha dihubungkan dengan model birokrasi politik dari Graham Allison untuk menjabarkan dinamika komunikasi poltik yang berjalan. Dalam penelitian ini yang akan diamati adalah kelompok Komisi I DPR RI periode 2004-2009 yang membentuk panitia kerja (panja) untuk khusus membahas RUU KIP yang awalnya bernama RUU KMIP. Penelitian ini akan berfokus pada kajian untuk melihat kondisi-kondisi pendahulu (anteseden) dan gejala groupthink yang ada dalam proses pembahasan hingga pengambilan keputusan mengenai Badan Publik dalam RUU KIP di Komisi I DPR RI, bersama dinamika komunikasi politik yang terjadi di dalamnya, dengan melibatkan berbagai kepentingan luar kelompok. Sehingga penelitian ini diharapkan mampu menemukan hal-hal baru dari kondisi Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
35
terjadinya groupthink serta memberikan gambaran tentang model groupthink dalam kondisi kelompok yang terbuka dan dinamis seperti di DPR RI. Dengan demikian, bertolak dari asumsi groupthink yang menangkap adanya kondisi dalam kelompok yang mempromosikan kohesivitas tinggi, rentan terhadap batasan afiliatif (lebih memilih menahan masukan daripada mengambil risiko ditolak), bersifat kompleks dan cenderung menghasilkan keputusan yang tidak populer serta memiliki dampak berkelanjutan, maka hal ini menjadi masalah yang menarik untuk diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini secara garis besar ingin menjawab “apakah groupthink juga bisa terjadi pada kelompok yang awalnya heterogen dalam lingkup parlemen yang lebih terbuka dan dinamis seperti di DPR RI?” 1.3 Rumusan Masalah Secara khusus penelitian ini akan melihat : 1. Apa saja anteseden dan gejala groupthink yang ada dalam dinamika komunikasi pada proses pembahasan sampai dengan pengambilan keputusan tentang Badan Publik RUU KIP di kelompok Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR RI masa bakti 20042009? 2. Apakah terdapat upaya kelompok untuk meminimalisir terjadinya groupthink dalam proses pembahasan hingga pengambilan keputusan tentang Badan Publik RUU KIP di kelompok Panja Komisi I DPR RI masa bakti 2004-2009? 3. Bagaimana pola/model dari proses pengambilan keputusan politik dalam konteks organisasi politik yang sangat terbuka seperti DPR RI?
1.4 Alasan dan Tujuan Penelitian 1.4.1 Alasan Penelitian : Groupthink telah cukup berpengaruh dalam beberapa bidang ilmu seperti komunikasi, psikologi kognitif dan sosial, antropologi, dan ilmu politik, sehingga setidaknya ada beberapa alasan yang mendasari dilakukannya penelitian ini, yaitu : 1. Teori groupthink muncul dari penelitian-penelitian politik dalam konteks psikologi sosial di Amerika Serikat di lingkup eksekutif pemerintahan yang bersifat lebih tertutup bagi pengambilan keputusan kebijakan luar negeri. Belum ada publikasi tentang penelitian groupthink komunikasi politik di Indonesia yang
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
36
mengkaji pengambilan keputusan, khususnya dalam lingkup legislatif di Komisi DPR RI yang bersifat lebih terbuka. 2. Bertolak dari ruang lingkup teori groupthink yang biasanya mendasarkan pada kelompok pembuat keputusan dalam periode krisis – dalam hal ini keputusan kontroversial
yang
menyangkut
perumusan
Rancangan
Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik mengenai definisi badan publik bisa dikategorikan ke dalam hal tersebut. 3. Didasarkan pada pengujian waktu berjalan teori groupthink, menunjukkan bahwa kemungkinan groupthink untuk terus bertahan di masa depan masih cukup tinggi karena putusan kebijakan pemerintah dan politik yang berdampak luas akan selalu ada. 4. Keputusan mengenai definisi Badan Publik pada RUU KIP Tahun 2008 ditetapkan melalui proses pembahasan yang memakan waktu paling lama dan mengandung berbagai kompromi, menjadi masalah yang menarik untuk diteliti. 5. Komisi di DPR RI merupakan kelompok politik yang terdiri dari anggota yang dihubungkan satu sama lain oleh latar belakang fraksi politik yang berbeda (heterogen), namun pada akhirnya mampu menjadi homogen dan kohesif ketika harus mengambil keputusan yang dipengaruhi oleh pertarungan kepentingan dan tekanan waktu, sehingga menjadi rentan terhadap groupthink.
1.4.2
Tujuan Penelitian : Mengacu pada perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Menjelaskan anteseden dan gejala groupthink yang terjadi dalam dinamika komunikasi pada proses pembahasan sampai dengan pengambilan keputusan tentang Badan Publik RUU KIP di kelompok Panja Komisi I DPR RI masa bakti 2004-2009. 2. Menjelaskan upaya kelompok Panja RUU KIP dalam meminimalisir terjadinya groupthink 3. Menawarkan model/pola pengembangan groupthink teori pada proses pengambilan keputusan politik dalam konteks organisasi politik yang sangat terbuka dan dinamis seperti DPR RI.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
37
1.5 Signifikansi Penelitian
Signifikansi Teoritis
1. Teori groupthink awalnya menjadi komoditas barat dan pada konteks kelompok politik eksekutif pemerintahan, Janis menyarankan untuk melihat kecenderungan groupthink di negara luar barat. Dalam perkembangannya teori groupthink telah banyak diaplikasikan pada kelompok berbagai bidang ilmu, namun dalam konteks legislatif di Indonesia belum ditemukan penelitian tentang groupthink. Dengan demikian, menjadi menarik untuk melihat fenomena groupthink dalam konteks komunikasi kelompok politik yang agak berbeda di negara transisi demokrasi Indonesia. Selain itu, teori groupthink umumnya menunjukkan kondisi yang mempromosikan kohesivitas dan homogenitas dari awal terbentuknya kelompok, sehingga ada semacam celah (gap) yang belum terjawab oleh teori groupthink, yakni apakah teori groupthink bisa dipakai untuk menjelaskan terbentuknya kohesivitas kelompok kecil dari individu yang awalnya lebih heterogen seperti di kelompok Komisi DPR RI, dimana anggotanya berhadapan dengan dua identitas dan kepentingan politik berbeda yaitu partai politiknya yang bersifat tetap dan keanggotaannya di kelompok komisi dengan tujuan tugas lainnya. 2. Penelitian ini berusaha memenuhi rekomendasi dari penelitian tentang UU KIP sebelumnya yang diteliti oleh Felix Jebarus (Disertasi UI, 2011) yang menyarankan adanya penelitian mengenai keberadaan fraksi dari perspektif komunikasi dengan menggunakan teori groupthink, walaupun fokus dalam penelitian ini kepada kelompok komisi. Sehingga diharapkan penelitian ini akan memberikan sumbangan sebagai dasar studi lanjut tentang dinamika interaksi pada komunikasi kelompok yang rentan terhadap groupthink di kelompok kerja Komisi DPR RI terkait dengan pengambilan keputusan politik. 3. Studi ini berusaha melengkapi fenomena teori groupthink terutama dalam konteks komunikasi politik di Indonesia, karena selama publikasi tentang riset groupthink dalam konteks komunikasi politik di Indonesia masih jarang. Baru ditemukan penelitian berdasarkan studi literatur tentang mengkritisi hipotesis groupthink dalam konteks formulasi kebijakan di Indonesia oleh Abdul Firman Ashaf (Unila, 2008) dan penelitian Maddy Rochana Dewi (UI, 2009) tentang pembentukan groupthink mengenai partai politik berideologi Islam dalam komunikasi kelompok di Internet (studi fenomenologi komunikasi kelompok pada anggota milis medicare dengan Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
38
diskusi mengenai PKS). Selebihnya, penelitian groupthink di Indonesia ditemukan dalam lingkup pembahasan di luar bidang politik dan lainya banyak ditemukan dari luar Indonesia. 4. Secara khusus, penelitian ini merekomendasikan model komunikasi bagi proses pengambilan keputusan politik dalam konteks organisasi politik yang sangat terbuka seperti di DPR RI, yang umumnya masih terikat semangat korps yang kuat pada partai politik, namun anggota kelompok bisa diikat oleh kohesivitas lain berdasarkan kepentingan yang sama tentang isu tertentu..
Signifikansi Praktis Penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memahami dan mengapresiasi peranan dan kedudukan berbagai kelompok politik di DPR RI kepada publik internal dan ekternal lembaga, sebagai pihak yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan politik yang penting dan berdampak luas. 2. Menjadi referensi praktis berbagai kalangan yang tertarik dengan dinamika komunikasi kelompok dalam situasi komunikasi politik pada lingkup lembaga negara seperti DPR RI. 3. Memberikan pemahaman kepada pimpinan dan anggota kelompok tentang pentingnya mencapai interaksi kelompok yang sehat, serta mengingatkan mereka untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap gejala groupthink dalam sebuah proses pengambilan keputusan guna menghindari keputusan yang gagal dan tidak populer.
Signifikansi Sosial
Secara sosial penelitian ini diharapkan : 1. Dapat memberikan gambaran kepada masyarakat tentang besarnya peran dan pengaruh suatu komunikasi kelompok dari aktor politik pada kelompok komisi di DPR RI, dalam rangka pengambilan keputusan yang akan berdampak bagi citra DPR di masyarakat. 2. Memberikan pemahaman kepada masyarakat luas akan tingginya tingkat kerentanan kelompok komisi di DPR RI terkena fenomena groupthink, yang tercipta dari hasil terbentuknya kohesivitas kelompok, sehingga memiliki kecenderungan besar untuk menghasilkan keputusan yang gagal dan tidak populer.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
39
3. Memotivasi masyarakat/publik agar senantiasa kritis terhadap berbagai keputusan politik negara Indonesia yang menyangkut kepentingan publik dan menjadi proaktif memperjuangkan hak-hak publik, terutama bagi pemenuhan hak atas keterbukaan informasi publik.
1.6 Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisi gambaran secara garis besar masalah yang akan dibahas, yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan, alasan dan signifikansi penelitian, serta sistematika pembahasan.
BAB II : KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini terdiri dari tinjauan pustaka yang berisi konsep-konsep dasar dan pemikiran tentang teori groupthink, pengambilan keputusan, komunikasi kelompok, komunikasi politik, serta serta kajian lainnya yang digunakan untuk membangun kerangka pemikiran. Termasuk pembahasan tentang teori proses interaksi dari Robert Bales dan teori birokrasi politik dari Graham Allison.
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN Bab ini berisi mengenai pendekatan penelitian, termasuk paradigma penelitian, kemudian metode penelitian yang digunakan, teknik pengumpulan data, dan metode analisis data.
BAB IV : TINJAUAN HISTORIS RUU KIP Bab ini berisi tentang perjalanan sejarah dari mulai UU KIP diusulkan, dirumuskan hingga disahkan oleh DPR RI.
BAB V : HASIL DAN INTERPRETASI PENELITIAN Bab ini merupakan inti dalam penulisan disertasi ini, yakni sajian data yang diperoleh dari penelitian dan pembahasannya yang dilakukan secara mendalam.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
40
BAB VI : DISKUSI Bab ini merupakan diskusi teori yang dikaitkan dengan hasil penelitian.
BAB VII : PENUTUP DAN KESIMPULAN Bab ini berisi tentang penutup berupa kesimpulan yang diperoleh sebagai hasil dari analisis dan pembahasan, implikasi penelitian serta mengajukan rekomendasi sebagai masukan yang dapat memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung bagi pengembangan teoritis, sosial dan praktis.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
41
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Titik Tolak Penelitian Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya masalah pengambilan keputusan dalam suatu kelompok politik ditinjau dari kajian ilmu komunikasi setidaknya dapat dilihat melalui sejumlah kemungkinan teoritis. Penelitian ini memilih perspektif komunikasi kelompok berdasarkan kerangka groupthink teori dalam mengkaji masalah pengambilan keputusan politik di lembaga politik negara yang sangat terbuka yaitu DPR RI. Mengapa harus di lembaga parlemen Indonesia? karena teori groupthink masih jarang diteliti pada konteks legislatif parlemen, terutama di negara Indonesia sebagai negara transisi demokrasi yang menganut sistem politik multi partai. Berbeda dengan penelitian groupthink yang telah dilakukan pencetus teori Irving Janis yang mengambil kasus pada kelompok tugas eksekutif pemerintahan, dalam konteks pengambilan keputusan kebijakan luar negeri yang memang dari sejak awal telah menunjukkan homogenitas, bersifat lebih tertutup sehingga tidak melihat peluang luar sedikitpun, dan sangat kohesif, maka penelitian ini mencoba berpijak pada konteks yang berbeda yaitu di kelompok legislatif yang lebih terbuka terhadap pendapat luar, awalnya heterogen karena berlatar ideologi politik berbeda serta memiliki kekuatan yang relatif sama (setara) dalam kelompok. Hal ini tentunya mempengaruhi bagaimana teori groupthink bekerja di lingkup lembaga parlemen multi partai Indonesia. Asumsi pokok yang dibangun dalam penelitian ini adalah: Pertama, kelompok kohesif rentan terhadap groupthink. Kedua, bahwa fenomena groupthink dapat hadir dalam setiap proses pengambilan keputusan kelompok baik kecil maupun besar serta berpotensi hadir dalam pengambilan keputusan kelompok yang lebih terbuka yang memiliki mekanisme mendengarkan berbagai masukan luar sekalipun. Ketiga, hasil pengambilan keputusan dalam lingkup politik sesungguhnya tidak hanya bersumber dari kekuatan/pengaruh partai politik yang menjadi latar keanggotaan seorang politisi, melainkan bisa datang dari kekuatan lain yang berasal dari luar kelompok yang mampu mendorong sikap untuk memilih/memutuskan sesuatu dalam interaksi di kelompoknya, misalnya dari faktor tekanan waktu yang mendesak untuk menghasilkan sesuatu. Dengan demikian kunci sukses suatu pengambilan keputusan adalah tentang seberapa besar kemampuan kelompok untuk mengelola kekompakan (kohesi)
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
42
diantara anggota serta mengakomodir berbagai pendapat melalui mekanisme perolehan suara terbanyak yang dilakukan secara transparan. Penelitian ini menangkap indikasi adanya groupthink ditemukan pada kelompok pengambil keputusan politik dalam lingkup DPR-RI, terutama terkait dengan perumusan definisi Badan Publik pada pembahasan hingga pengambilan keputusan RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang memakan waktu paling lama diantara isu-isu lain yang terdapat dalam RUU KIP tersebut. Namun pengamatan terhadap apakah terdapat suatu upaya untuk meminimalisir groupthink dalam kasus ini juga akan menjadi perhatian. Pendekatan studi pemikiran kelompok (groupthink) dianggap menarik dalam mengkaji persoalan pengambilan keputusan kelompok politik dikarenakan umumnya dalam setiap kelompok politik yang sarat akan konflik kepentingan dan kekuasaan menjadi rentan terjadi groupthink, dimana akan selalu ada berbagai gesekan dan bermacam-macam pendapat yang berkembang dalam setiap diskusi untuk membahas suatu isu dan merumusakan berbagai keputusan. Sehingga diharapkan studi ini akan dapat memberikan sudut pandang baru dalam melihat setiap proses pengambilan keputusan politik di Indonesia dan sekaligus akan memberi kontribusi secara akademik. Teori groupthink yang dikembangkan oleh Irving Janis menyebutkan bahwa groupthink dapat terjadi apabila terdapat kondisi dalam kelompok dengan kohesivitas tinggi memberikan tekanan yang besar pada anggota kelompoknya untuk menaati standar kelompok demi tujuan akhir solidaritas kelompok. Orang-orang yang tergabung dalam suatu kelompok dinamis seperti di DPR RI yang berasal dari latar belakang dan identitas partai politik yang berbeda, namun sangat terikat kepada kepentingan lain tertentu, akan menjadi rentan memiliki pemikiran berbeda dengan pemikiran partai politik yang menjadi identitasnya, sehingga tentunya mampu menjadi kohesif di bagian lain seperti di lingkup tugas komisi. Tingkat kohesivitas kelompok dan dinamika interaksi yang dapat menuntun kepada groupthink dapat diamati dengan mengkaji faktor pencetus terjadinya groupthink (anteseden) dan gejala-gejala groupthink yang terbentuk dalam pergaulan kelompok tersebut dan bagaimana para anggota kelompok tersebut memaknai suatu pengambilan keputusan yang berdampak luas dan bernilai jangka panjang, berdasarkan perspektif komunikasi kelompok politik, karena di dalamnya pasti banyak tarik ulur, lobi, tekanan, dan berbagai kesepakatan terbentuk berdasarkan tingkat kohesifitas yang cenderung tinggi, sesuai dengan ala komunikasi politik wakil rakyat dalam negara transisi demokrasi Indonesia. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
43
Berikut ini akan dipaparkan teori-teori yang relevan dengan permasalahan penelitian dan kerangka pemikiran menjadi dasar melakukan penelitian. Terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai state of the art studi groupthink, model teori groupthink, konsep kohesivitas, komunikasi politik dan pilihan fokus kajian tentang pengambilan keputusan kelompok, tinjauan mengenai konsep interaksi dan tinjauan tentang informasi publik dan badan publik.
2.2
Teori Groupthink sebagai Teori Psikologi Sosial Kehidupan sosial manusia tidak terlepas dari kehidupan individualnya, begitu juga
sebaliknya. Pada tahun 1930, di Amerika Serikat telah dikembangkan psikologi yang secara khusus mempelajari hubungan antar manusia. Akhirnya muncullah cabang ilmu baru dari ilmu jiwa ini yang kemudian dikenal dengan istilah psikologi sosial. Masalah-masalah yang menjadi fokus bahasannya adalah kegiatan-kegiatan manusia dalam hubungannya dengan kontek sosialnya. Psikologi sosial merupakan ilmu pengetahuan yang berusaha memahami asal usul dan sebab-sebab terjadinya perilaku dan pemikiran individual dalam konteks situasi sosial (Baron & Byrne, 2003:5). Diantara kegiatan-kegiatan tersebut adalah kelompok organisasi, kepemimpinannya,
anggota
atau
pengikutnya,
prilaku
moralnya,
kekuasaannya,
komunikasinya, dan kebudayaannya (Ahmadi, 2002 ). Psikologi sosial sebagai salah satu bidang ilmu sosial, menurut Harold A. Phelps (Fairchild, H.P., dkk.: 1982:290) “Psikologi sosial adalah suatu studi ilmiah tentang proses mental manusia sebagai makhluk sosial”. Dengan demikian, objek yang dipelajari oleh psikologi sosial itu, meliputi perilaku manusia dalam konteks sosial yang terungkap pada perhatian, minat, kemauan, sikap mental, reaksi emosional,
harga diri, kecerdasan,
penghayatan, kesadaran, dan demikian seterusnya. Secara singakat, Krech, Crutfield dan Ballachey (1982:5) mengemukakan “Psikologi sosial dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang peristiwa perilaku antar personal”. Ungkapan ini tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Phelps. Titik berat perhatian kajiannya itu tertuju pada perilaku manusia dalam hubungan sosialnya. Psikologi Sosial meninjau hubungan individu yang satu dengan yang lainnya seperti bagaimana pengaruh terhadap pimpinan, pengaruh terhadap anggota, pengaruh terhadap kelompok lainnya. Banyak orang memanfaatkan prinsip-prinsip psikologi sosial bahkan tanpa
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
44
menyadari hal itu ketika mereka mencoba untuk mengendalikan kelompok, pengaruh pendapat seseorang, atau menjelaskan mengapa seseorang berperilaku dengan cara tertentu. Psikologi sosial melihat pada sikap, keyakinan, dan perilaku baik individu maupun kelompok. Terlihat bahwa sarjana psikologi sosial lebih menekankan faktor interaksi antar individu dengan lingkungan sosialnya, artinya perilaku komunikasi manusia ditentukan oleh selain faktor internal, juga ditentukan oleh faktor eksternal. Penelitian dan kajian semacam ini bahkan terus dikaji oleh para tokoh psikologi khususnya psikologi sosial untuk memahami komunikasi politik (Arrianie, 2010:13). Penelitian psikologi sosial dapat menjelaskan mengapa orang-orang membentuk massa, bagaimana kelompok membuat keputusan, yang kondisi sosial dapat menyebabkan perilaku menyimpang, dan berbagai hal lain. Hal inilah yang menguatkan bahwa teori groupthink yang dikembangkan oleh psikolog sosial Irving Janis merupakan teori psikologi sosial yang sangat relevan diterapkan dalam konteks ilmu komunikasi khususunya kajian komunikasi politik, karena sesungguhnya interaksi sosial manusia di masyarakat, baik itu antar individu, antara individu dengan kelompok atau antar kelompok, tidak dapat dilepaskan dari fenomena kejiwaan. Konsep-konsep dasar psikologi sosial yang meliputi emosi terhadap objek sosial, perhatian, minat, kemauan, motivasi, kecerdasan dalam menanggapi persoalan sosial, penghayatan, kesadaran, harga diri, sikap mental dan kepribadian terkait dengan berbagai elemen faktor pendahulu maupun gejala groupthink yang dirumuskan oleh Irving Janis. Dengan demikian jelaslah bahwa teori groupthink merupakan teori psikologi sosial sebagai kelompok teori yang termasuk dalam tradisi sosiokultural yang memfokuskan diri pada bentuk-bentuk interaksi antarmanusia daripada karakteristik individu atau model mental. Interaksi merupakan proses dan tempat makna, peran, peraturan, serta nilai budaya yang dijalankan (Littlejohn, 2009:66). Groupthink diyakini mampu menjelaskan proses pengambilan keputusan mengenai definisi badan publik pada pembahasan RUU KIP di kelompok Panja Komisi I DPR RI yang bersinggungan dengan beragam kepentingan sosial terutama pihak eksekutif dan masyarakat sipil (LSM).
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
45
2.2.1
State of the Arts Groupthink Theory Teori groupthink yang diciptakan oleh Irving L Janis (1972) memperpanjang karya
ilmuwan sosial yang menaruh perhatian besar pada konsep dinamika kelompok bagi pengambilan keputusan/kebijakan kelompok. Kekuatan komunikasi tatap muka dalam kelompok untuk mengatur norma-norma yang mempengaruhi anggota kelompok telah dikaji oleh dua sosiolog terkemuka di awal abad kedua puluh yaitu Charles Horton Cooley dan George Herbert Mead. Selama periode yang sama, William Graham mendalilkan bahwa dalam kelompok solidaritas akan meningkat ketika bentrokan timbul dengan kelompok luar. Berikutnya Kurt Lewin, psikolog sosial yang mulai menggunakan metode empiris dinamika kelompok selama tahun 1940-an, yang menganalisis perilaku kelompok-kelompok kecil juga menekankan pentingnya kohesivitas kelompok yaitu motivasi anggota untuk terus menyatu, dan memiliki. Lewin sangat tertarik pada dampak positif kohesivitas kelompok tanpa menyelidiki apakah ketika anggota kelompok kohesif
akan berpotensi membuat
kesalahan keliru dan gagal untuk mencapai tujuan awal kelompok. Efek yang berpotensi merugikan kekompakan kelompok ditekankan oleh ahli teori lain, Wilfred Bion seorang terapis kelompok terkemuka. Bion menggambarkan bagaimana efisiensi semua kelompok kerja dapat terpengaruh oleh mitos prasadar dan kesalahpahaman anggota kelompok yang saling tergantung anggota-yaitu dengan asumsi dasar bersama yang cenderung melestarikan. Sejak itu groupthink dilihat sebagai variable penting untuk efektifitas kelompok. Dalam sebuah kelompok yang sangat kompak, suatu identifikasi bersama yang kuat akan mempersatukan kelompok tersebut. Penelitian terhadap kelompok kecil menunjukan kekompakan memiliki pengaruh positif karena dapat membantu sinergi efektif dan meminimalkan energi intrinsik. Di bawah pengaruh kepeloporannya Kurt Lewin, Leon Festinger, Harold Kelley, Stanley Schachter, dan psikolog sosial lainnya telah dilakukan percobaan dan investigasi lapangan terhadap konsekuensi dari kekompakan kelompok. Dalam sebuah kelompok yang sangat kompak, suatu identifikasi bersama yang kuat akan mempersatukan kelompok tersebut. Penelitian terhadap kelompok kecil menunjukan kekompakan memiliki pengaruh positif karena dapat membantu sinergi efektif dan meminimalkan energi intrinsik. Kemudian lahirnya konsep groupthink didorong juga oleh kajian secara mendalam mengenai komunikasi kelompok yang telah dikembangkan oleh Raimond Cattel, yaitu melalui penelitian yang difokuskan pada kepribadian kelompok sebagai tahap awal. Teori Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
46
yang dibangun menunjukkan bahwa terdapat pola-pola tetap dari perilaku kelompok yang dapat diprediksi, yaitu :1.Sifat-sifat dari kepribadian kelompok, 2.Struktur internal hubungan antar anggota, 3.Sifat keanggotaan kelompok. Temuan teoritis tersebut masih belum mampu memberikan jawaban atas suatu pertanyaan yang berkaitan dengan pengaruh hubungan antar pribadi dalam kelompok. Hal inilah yang memunculkan satu hipotesis dari Janis untuk menguji beberapa kasus terperinci yang ikut memfasilitasi keputusan-keputusan yang dibuat kelompok. Hasil pengujian ilmiah yang dilakukan Janis, menunjukkan bahwa terdapat satu kondisi yang mengarah pada munculnya kepuasan kelompok yang tinggi, tetapi tidak dibarengi dengan hasil keputusan kelompok yang baik (ineffective output). Kemudian Janis merumuskan teori Groupthink dari penelitian panjang melalui karya ’Victims of Groupthink : A Psychological Study of Foreign Decisions and Fiascoes (1972), Janis menggunakan istilah groupthink untuk menunjukkan suatu mode berpikir sekelompok orang yang sifatnya kohesif (terpadu), ketika usaha-usaha keras yang dilakukan anggota-anggota kelompok untuk mencapai kata mufakat (kebulatan suara) telah mengesampingkan motivasinya untuk menilai alternatif-alternatif tindakan secara realistis. Dari sinilah groupthink dapat didefinisikan sebagai satu situasi dalam proses pengambilan keputusan yang menunjukkan tumbuhnya kemerosotan efisiensi mental, pengujian realitas, dan penilaian moral yang disebabkan oleh tekanan-tekanan kelompok. Selanjutnya diperjelas oleh Janis, bahwa kelompok yang sangat kompak (cohesiveness) dimungkinkan terlalu banyak menyimpan atau menginvestasikan energi untuk memelihara niat baik dalam kelompk ini, sehingga mengorbankan proses keputusan yang baik dari proses tersebut. Teori groupthink memberikan perspektif menarik untuk melihat bagaimana cara berpikir suatu kelompok terikat pada kohesivitas yang tinggi terhadap kelompoknya dan mereka
berupaya
semaksimal
mungkin
untuk
mencapai
kebulatan
suara
serta
mengesampingkan motivasi untuk berpikir menghasilkan alternatif keputusan yang realistis. Sehingga groupthink hanya akan terjadi manakala kohesivitas dalam kelompok tersebut kuat dimana anggota berkeyakinan bahwa kelompok mereka diatas segalanya (solidaritas dan relationship kelompok yang kuat) dan menegasikan keberadaan pribadi. Groupthink didefinisikan sebagai suatu cara pertimbangan yang digunakan anggota kelompok ketika keinginan mereka akan kesepakatan melampaui motivasi mereka dalam menilai semua rencana tindakan yang ada. Kesepakatan antar anggota kelompok atau Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
47
kesepakatan kelompok dalam keinginan mereka akan kekompakan dan kesepakatan serta mencapai sebuah tujuan atau keputusan lebih besar motivasinya dibandingkan menilai akan kebenaran keputusan tersebut terhadap moral dan etis kelompok yang berlaku. Teori ini telah menjadi bagian penting mengenai pengambilan keputusan dalam kelompok (Aldag & Rigs Fuller, 1998). Teori groupthink yang diusulkan oleh Janis merupakan teori yang paling berpengaruh dalam ilmu perilaku. Formula klasik Janis yang menyatakan bahwa kelompok yang memiliki kemampuan untuk memperkuat berbagai individu ternyata juga berpotensi untuk menghasilkan kerusakan yang tak terbayangkan (Janis, 1972, 1982) dengan reformulasi yang diperbarui di 1989 melalui hipotesis bahwa kelompok pembuat keputusan paling mungkin bisa mengalami groupthink ketika mereka sangat kohesif, terisolasi dari para ahli, melakukan pencarian informasi dan penilaian yang terbatas serta beroperasi di bawah arahan kepemimpinan atau anggota yang berpengaruh dan dalam kondisi tekanan tinggi sehingga menjadi sulit/sedikit harapan untuk mencari solusi yang lebih baik dan akhirnya tergantung pada apa yang disukai pimpinan atau anggota yang berpengaruh tersebut. Hal inilah yang menjadi karakteristik terciptanya groupthink yang menghasilkan dua kategori yang tidak diinginkan pada proses pengambilan keputusan tersebut. Pertama, gejala tradisional berlabel groupthink, termasuk ilusi rasional, kekebalan kolektif, stereotip luar kelompok, self-censorship, mindguards, dan keyakinan dalam moralitas yang melekat pada kelompok. Yang kedua, biasanya diidentifikasi sebagai gejala cacat pengambilan keputusan yang miskin pencarian informasi, kegagalan untuk menilai risiko, solusi yang lebih disukai dan pengolahan informasi selektif, termasuk adanya kekuatan-kekuatan gabungan diprediksi akan menghasilkan keputusan yang sangat rusak terhadap kinerja kelompok. Sementara itu perkembangan penelitian teori groupthink sampai saat ini groupthink adalah salah satu dari teori ilmu sosial yang memiliki dampak yang benar-benar interdisipliner. Misalnya, dalam ilmu politik, komunikasi, teori organisasi, psikologi sosial, manajemen, strategi, konseling, ilmu pembuat keputusan, ilmu komputer, teknologi informasi, dan sebagainya. Sebuah video pelatihan manajemen groupthink menjadi best seller (groupthink, edisi revisi, 1991), dan setidaknya satu penerbit materi pelatihan manajemen memasarkan kuesioner (Glaser,1993) yang dirancang untuk membantu peserta belajar tentang groupthink dan untuk menilai kecendrungan groupthink mereka. Popularitas awal groupthink bisa jadi mungkin disebabkan analisis kasus bersejarah yang dianalisis oleh Janis, didukung dengan kepiawaian Janis memasarkan ide-idenya ke khalayak luas dengan penerbitan Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
48
pertama di jurnal Psychology Today dengan memunculkan istilah menarik seperti "groupthink" dan "mindguard". Namun, penelitian pada teori groupthink dianggap belum sejalan dengan popularitasnya. Sehubungan dengan ratusan publikasi yang mengutip teori groupthink, puluhan publikasi laporan studi empiris tentang groupthink dianggap kurang dari mengesankan. Ulasan literatur empiris Park (1990) tentang groupthink mengungkapkan bahwa kebanyakan studi hanya menggambarkan dukungan parsial untuk hipotesis yang berasal dari teori. Kritik menyebutkan bahwa teori ini cacat (Longley&Pruitt, 1980) dan harus diubah (Moorhead & Montanari, 1986; Neck & Moorhead, 1995; Tetlock, Peterson, McGuire, Chang, & Feld, 1992) atau bahkan diganti dengan model pengambilan keputusan kelompok yang lebih umum (Aldag & Fuller, 1993), Demikian pula, Whyte (1989; Whyte & Levi, 1994) menawarkan teori prospek (Kahneman & Tversky, 1979) sebagai alternatif untuk groupthink. Beberapa analisis penelitian tentang groupthink melibatkan analisis yang dikenal sebagai kasus bersejarah merupakan fungsi utama dari pengembangan teori
dan mulai
menunjukkan kisaran penerapan teori tersebut. Hanya beberapa studi kasus berdasarkan sejarah melibatkan tes teori. Analisis empat keputusan kebijakan yang mengakibatkan kekacauan merupakan bahan baku untuk pengembangan teori groupthink Janis. Kasus-kasus tersebut yaitu (1) keputusan pada tahun 1941 oleh Laksamana Kimmel dan penasehatnya untuk fokus pada pelatihan bukan pada pertahanan Pearl Harbor meskipun peringatan serangan mendadak dimungkinkan oleh Jepang, (2) keputusan pada tahun 1950 oleh Presiden Truman dan para penasihatnya untuk menambah Perang Korea dengan melewati paralel ke-38 ke Korea Utara, (3) keputusan pada tahun 1960 oleh Presiden Kennedy dan penasihatnya untuk mengotorisasi invasi Kuba di Teluk Babi, dan (4) serangkaian keputusan oleh Presiden Johnson dan para penasihatnya untuk meningkatkan Perang Vietnam selama 1964-1967. Janis menentukan dan mengidentifikasi gejala groupthink dan penyebabnya serta konsekuensinya dengan membandingkan kasus ini dengan dua kasus sejarah yang menghasilkan keputusan kebijakan yang baik, yaitu perkembangan Marshall Plan untuk mencegah keruntuhan ekonomi di pasca-perang Eropa dan penanganan krisis rudal Kuba pada tahun 1962. Selanjutnya, Janis (1982) menganalisis serangkaian keputusan oleh Presiden Nixon dan penasihatnya untuk menutupi keterlibatan dari Nixon White House dalam pembobolan markas Partai Demokrat di gedung Watergate. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
49
Studi kasus ini adalah yang pertama oleh Janis dirancang untuk menguji umum teori groupthink. Oleh karena itu, ia melakukan ini analisis kasus yang lebih sistematis dari kasuskasus sebelumnya, untuk menilai penyebab groupthink dan gejala dari proses pengambilan keputusan yang cacat, serta gejala groupthink. Janis menyimpulkan bahwa groupthink memainkan peran utama dalam penyembunyian skandal Watergate. Janis juga menggunakan studi kasus Watergate untuk pengembangan teori. Dari kasus Watergate ia menyimpulkan dua anteseden (penyebab) groupthink yang belum termasuk dalam sebelumnya (Janis, 1972) yaitu homogenitas ideologi anggota kelompok dan stres yang tinggi dari ancaman eksternal. Dapat disimpulkan, studi kasus sejarah yang melibatkan groupthink telah dilakukan dengan menggunakan berbagai metode. Paling sering yaitu metode tradisional menggunakan studi kasus
dengan
(Raven, 1974), dan (Hensley & Gritlin, 1986; Janis, 1982).
Metode yang lebih kuantitatif telah diteliti oleh Tetlock (1979) dan Esser dan Lindoerfer (1989). Tetlock memfokuskan pada gejala groupthink, sedangkan Esser dan Lindoerfer lebih lengkap mencakup anteseden dan konsekuensi dari groupthink. Satu studi yang paling komprehensif dan kekat dilakukan oleh Tetlock dan rekan-rekannya (Tetlocket al., 1992). Menggunakan metodologi semacam Q Sort dikembangkan dalam penelitian ini dengan membandingkan 10 kasus pada berbagai aspek dinamika kelompok. Bersamaaan dengan itu, analisis kasus telah memperluas perbendaharaan kasus groupthink sampai 10 kasus (Nazi Jerman, Pearl Harbor, eskalasi erang Korea, invasi Teluk Babi Kuba, Krisis Misil Kuba A, eskalasi Perang Vietnam, skandal Watergate, Kontroversi Kent State gimnasium, peluncuran Space Shuttle Challenger, dan Iran-Contra affair) dan ditambah juga oleh terhadap kasus terhadap 5 (lima) kasus yaitu : Marshall Plan, Krisis Misil Kuba B, penyelamatan Mayaguez, penyelamatan sandera Iran, dan DeLorean juri). Tentunya, hasil penelitian ini memberikan dasar penting untuk studi masa depan yang melibatkan tambahan kasus nasional. Kontribusi lebih penting dari studi kasus historis berkaitan dengan perkembangan GT theory adalah dari dua pertanyaan terkait dengan anteseden groupthink yaitu Pertama, McCauley (1989) maupun Tetlock et al. (1992) menemukan bahwa kohesi kelompok menjadi prediksi dari groupthink. Kedua, meskipun Moorhead et al. (1991) menyarankan bahwa anteseden tekanan waktu diberikan lebih menonjol, baik McCauley (1989) dan Tetlock et al. (1992) menemukan bahwa faktor situasional-termasuk tekanan waktu tidak memprediksi terjadinya groupthink.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
50
Selain itu, meskipun Herek et al. (1987) memberikan beberapa konfirmasi bahwa proses pengambilan keputusan yang dilakukan cacat memang akan menyebabkan hasil kualitas yang buruk,
pertanyaan juga muncul mengenai konsekuensi dari groupthink.
Hensley dan Griffin (1986) menyarankan untuk menambah tiga gejala pengambilan keputusan yang salah/cacat ditambahkan untuk membantu mengidentifikasi groupthink, Di sisi lain, Esser dan Lindoerfer (1989) mengemukakan bahwa tidak semua gejala groupthink (atau anteseden dan gejala pengambilan keputusan yang buruk) perlu ada untuk mengkonfirmasi terjadinya groupthink. Mereka menyarankan, sebaliknya, pengamatan penyebab dari keseluruhan pola dan gejala, daripada kehadiran dari beberapa elemenindividu dalam mengidentifikasi sindrom groupthink. Pengaruh Proses terjadinya groupthink juga telah dipertanyakan. Meskipun Janis (1972, 1982) menyiratkan bahwa utamanya groupthink merupakan proses internalisasi, analisis McCauley `s (1989) menunjukkan bahwa, setidaknya dalam beberapa waktu, groupthink terjadi sebagai akibat dari adanya kepatuhan. Selain studi kasus, perkembangan teori groupthink juga diisi oleh tes-tes laboratorium. Kebanyakan laboratorium penelitian tentang groupthink telah dirancang untuk mengevaluasi teori dengan menguji keakuratan hipotesis yang berasal dari teori. Studi-studi telah berfokus terutama pada anteseden groupthink, menanyakan apakah groupthink (dibuktikan dengan gejala dan konsekuensi) bisa terjadi jika dan hanya kondisi anteseden yang terjadi. Beberapa penelitian laboratorium dari groupthink menunjukkan bahwa tidak ada paradigma eksperimental tunggal untuk penelitian groupthink. Hampir semua studi telah menelaah tugas keputusan yang berbeda. Dalam studi ini anteseden, variabel independen dan akibatnya, variabel dependen telah dioperasionalkan dalam berbagai cara. Selain itu, seperti dicatat oleh Park (1990), masing-masing studi telah meneliti efek beberapa penyebab dan konsekuensi groupthink (namun tidak semua). Penelitian Laboratorium telah memberikan sedikit dukungan untuk keterkaitan antara kohesi kelompok dan groupthink. Namun, pertanyaannya tetap mengenai peran kohesi kelompok dalam produksi groupthink. Hipotesis hubungan antara kohesi dan groupthink mengalamai gagal tes berulang karena dalam setiap tes konstruk itu dioperasionalkan tidak tepat. Turner et al. (1992) menyarankan bahwa dalam kebanyakan laboratorium studi kohesi kelompok belum dioperasionalisasi dengan cara yang menggabungkan persyaratan utama bahwa para anggota menganggap diri mereka sebagai sebuah kelompok. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
51
Di sisi lain, penelitian laboratorium mendukung hubungan antara kurangnya kepemimpinan yang memihak dan groupthink, serta menyediakan beberapa dukungan untuk keterkaitan antara prosedur keputusan yang buruk dan groupthink. Untuk faktor ini, kurangnya standarisasi metodologis dalam penelitian laboratorium pada groupthink merupakan kekuatan, karena kepercayaan yang diberikan kepada temuan yang telah ditunjukkan menggunakan berbagai metode menjadi lebih besar. Penelitian laboratorium terlalu sedikit mencapai kesimpulan mengenai anteseden groupthink dan konsekuensi hipotesis mereka. Tentunya sejumlah kecil tes laboratorium teori groupthink yang dilakukan dalam 25 tahun sejak pertama kali disajikan oleh Janis belum cukup untuk memberikan evaluasi dari masing-masing kelompok anteseden apalagi evaluasi keseluruhan teori secara lengkap (Esser, 1998: 125). Dengan demikian teori groupthink dan hasil penelitian groupthink kembali diragukan telah mendorong banyak pikiran tentang keputusan kelompok. Penelitian groupthink telah menyebabkan beberapa perbedaan teoritis yang seharusnya membantu menjelaskan dan mengembangkan pemikiran kita tentang groupthink. Turner et al. (1992; Turner & Pratkanis, 1994) telah membedakan antara berbagai konsepsi dari kohesi kelompok dengan alasan bahwa groupthink paling baik dipahami sebagai suatu proses dimana anggota kelompok berusaha untuk mempertahankan identitas positif bersama sebagai sebuah kelompok. McCauley (1989) membedakan dua proses pengaruh dimana groupthink dapat beroperasi: kepatuhan dan internalisasi. 't Hart (1991;. Kroon dkk, 1991) mengemukakan bahwa groupthink berdasarkan penghindaran kolektif kadang-kadang sangat berbeda dari groupthink berdasarkan optimisme kolektif. Tetlock et al. (1992) memberikan model proses alternatif pembuatan keputusan gagal kelompok yang dapat dibandingkan dengan groupthink. Dan Aldag dan Fuller (1993) meminta perhatian anteseden tambahan dan konsekuensi dari pembuatan keputusan kelompok yang tidak dianggap dalam teori groupthink. Sehingga selepas 25 tahun perkembangan penelitian teori groupthink dilakukan sampai tahun 1998, hingga kini teori ini masih terus dikaji. Di tahun 1999 hingga kini studistudi tentang groupthink tidak hanya diwarnai oleh nuansa politik, namun juga banyak di kembangkan di bidang-bidang lain diluar politik, namun secara metodologi masih berkisar pada studi kasus, survei dan studi literatur. Tulisan dari Woo-Woo Park (2000) dari Seoul tentang pembandingan empiris groupthink model, Yonhoo Kim (Georgia, 2001) tentang abilane paradox dan groupthink, Judith Chapman (Sydney, 2006) tentang elaborasi model groupthink, Michael Snell (2009) tentang groupthink di rumah sakit, Paul L. Hatway (2008) Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
52
mengenai groupthink di birokrasi, Bernard Douglas Gambrall (2007) tentang cacat pengambilan keputusan pada siswa pasca sarjana, Markus Hallgren (2008) yang mengamati groupthink dalam organisasi sementara, Ronda Lou Tubbe (2010) yang melihat manfaat positif groupthink dalam pengaturan manajemen puncak dan beberapa penelitian non politik lain menunjukkan bahwa teori ini cukup luwes dikembangkan di berbagai bidang. Bahkan Robert Mc Keveer (2008) mewarnai teori ini dengan mengangkat groupthink di era mediasi komputer pada jejaring sosial facebook serta tidak luput juga peneliti dari Indonesia Maddy Rochanda Pertiwi (2009) ikut mengulas groupthink berdasarkan kajian komunikasi politik di Internet. Penelitian dari 2012-2013 dari Jonah Lehler (2012) yang mengupas tentang groupthink dalam proses brainstorming ide kreatif, Rebekka Rismayanti (2013) yang menganalisis dinamika komunikasi tim kerja Public Relations dan B. Kiswanto (2013) yang menganalisis hubungan implementasi dengan kohesivitas antara kelompok pegawai negeri sipil membuktikan bahwa teori groupthink telah berhasil melalui pengajian waktu berjalan. Para peneliti terus menginvestigasi banyak fitur utama teori ini dan terus didiskusikan dalam media. Keputusan kebijakan pemerintah akan selalu ada, maka groupthink berkemampuan cukup tinggi untuk bertahan di masa depan (West&Turner, 2008:290). Teori ini berkaitan dengan pengambilan keputusan yang umumnya muncul ketika sebuah kelompok mengeluarkan perasaan yang luar biasa dari luar karena adanya tekanan yang kuat. Namun perdebatan dalam studi groupthink tetaplah ada. Sejumlah kritik dan rekomendasi yang ditujukan terhadap studi-studi groupthink datang dari 1. Aldag dan Fuller (1993) yang menyatakan bahwa analisis groupthink bersifat retrospektif (berlaku surut), sehingga Janis dapat mengambil bukti-bukti yang mendukung teorinya saja. Keterpaduan kelompok itu sendiri belum tentu menimbulkan groupthink. Misalnya perkawinan dan keluarga, dapat tetap terpadu atau kohesif tanpa menimbulkan groupthink, dengan tetap membiarkan perbedaan pendapat tanpa mengurangi keterpaduan itu sendiri. 2. Tetlock, dkk (1992) yang menilai, fakta sejarah membuktikan bahwa ada juga kelompok-kelompok yang sudah mengikuti prosedur yang baik, namun tetap melakukan kesalahan, misalnya ketika Presiden Carter dan penasehat-penasehatnya merencanakan pembebasan sandera di Iran pada tahun 1980. Operasi itu gagal total dan Amerika Serikat dipermalukan, walaupun kelompok itu sudah mengundang berbagai pendapat dari luar dan memperhitungkan segala kemungkinan secara realistik. Selain itu, beberapa point kritik muncul dari tulisan John M. Levine dan Michael A.Hogg dalam Encyclopedia of Group Processes and Intergroup Relations (2010) Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
53
mengangkat kritik teori yang meliputi : (a) miskin karakterisasi dari berbagai komponen dari proses groupthink, (b) miskin spesifikasi hubungan antara kondisi dan konsekuensi anteseden, dan (c) definisi ambigu dari kondisi di mana groupthink harus dan harus tidak terjadi. Sebagai rekomendasi tentang konsekuensi dari groupthink, Levine dan Hogg menyarankan pemeriksaan faktor lain yang mungkin mempengaruhi proses groupthink dan reconceptualizations groupthink dari model asli. Hensley dan Griffin (1986) menyarankan untuk menambah tiga gejala pengambilan keputusan yang salah/cacat ditambahkan untuk membantu mengidentifikasi groupthink, Di sisi lain, Esser dan Lindoerfer (1989) mengemukakan bahwa tidak semua gejala groupthink (atau anteseden dan gejala pengambilan keputusan yang buruk) perlu ada untuk mengkonfirmasi terjadinya groupthink. Mereka menyarankan, sebaliknya, pengamatan penyebab dari keseluruhan pola dan gejala, daripada kehadiran dari beberapa elemen individu dalam mengidentifikasi sindrom groupthink. Mungkin masih terlalu dini untuk mencoba untuk memberikan penilaian tentang teori groupthink. Sehingga diperlukan banyak penelitian lebih lanjut sebelum dapat ditentukan apakah teori ini berlaku, apakah modifikasi teori yang diperlukan, atau apakah teori harus dibuang sama sekali? Sementara ini teori groupthink mampu terus merangsang minat dan basis penelitian, meskipun kecil, tetapi terus berkembang. Singkatnya, penelitian groupthink masih hidup dan sehat, bukan karena telah divalidasi, tetapi karena telah mendorong terkumpulnya dan tumbuhnya pengujian ide-ide tentang keputusan kelompok. Beberapa studi yang pernah dilakukan terkait dengan groupthink dapat dilihat sebagai berikut : Tabel 4. DAFTAR STUDI TENTANG GROUPTHINK NO STUDI 1. Yonhoo Kim (2001)
NEGARA AS (Univ. Georgia)
2.
WON—W0O PARK (2000)
Seoul, Korea
3.
Judith Chapman (2006)
Sydney, Australia
TOPIK The Abilene Paradox dan Groupthink Perbandingan Empiris GT model
METODE Kualitatif
JENIS STUDI Literatur (Non Politik)
Survei
Psikologi (Non Politik)
Kecemasan dan cacat pengambilan keputusan: elaborasi dari
Studi Kasus
Sosial (Non Politik)
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
54
4.
PAUL R. BERNTHAL, CHESTER A. INSKO (1993)
Capell Hill North Carolina, AS
5.
Snell, Michael J (2009)
AS (Phoenix University)
6.
Hathaway, Paul L (2008)
AS.Idaho State Univ
7.
Celmer, David Stephen (2007)
AS, Fordham Univ
8.
Gambrall, Bernard Douglas (2007)
AS, Spalding Univ
9.
McKeever, Robert (2008)
AS, Gonzaga Univ
10.
Tubbe, Rhonda Lou (2010)
AS, Phoenix Univ
11.
Smith, Cynthia A (2004)
AS, Lamar Univ
model groupthink Analisis peranan tugas (kohesi sosial-emosional dalam kerangka groupthink) Faktor-faktor yang meni©ngkatkan kejadian groupthink di rumah sakit: Persepsi perawat dan manajer Fenomena GT Harga Diri pada Birokrasi :Perbandingan antara organisasi sektor swasta dan public Pemecahan Masalah dalam kelompok kecil Perbandingan tingkat kekompakan, cacat pengambilan keputusan dan tanggapan gejala groupthink antara kelompok siswa dewasa sarjana dan pascasarjana Groupthink di era mediasi komputer pada jejaring sosial fb :kesalahan kebijakan pemerintah dan organisasi Manfaat yang dirasakan dari groupthink dalam pengaturan tim manajemen puncak (TMT) Pengaruh berbagai tingkat isolasi kelompok, kepemimpinan, dan ketersediaan informasi tentang kualitas keputusan
Eksperimen
Sosial (non politik)
Sosial (non politik)
Survei
Sosial (non politik)
Studi kasus Kualitatif
Sosial (non politik)
Survei
Sosial (non politik)
Politik
Kualitatif studi kasus
Sosial (non politik)
Survei
Sosial (non politik)
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
55
12.
Metlicka, Donna (2004)
AS, Northern Illinois University
13.
Shmidt, Jerry L, Jr (2002)
Capella University
14.
Carrington, Rodney Dell, Sr (1997)
AS, Lamar University
15.
Foster, Thomas Christian (1996)
AS, Lamar University
16.
Padgett, Jill Lynette (1996)
AS, Spalding Univ
17.
Hodson, Gordon (1995)
Kanada , University of Western Ontario
18.
Richardson, Noni (1994)
AS, Lamar University
19.
Rookmin Maharaj (2007)
Kanada, Calgary Univ
20.
George Green, Jonathan C. Lee, David G. McCalman (2005) David Ahlstrom and Linda C. Wang (2007)
AS
STEVE A. YETIV (2003) Gregory Moorhead (1982)
21.
22. 23.
dan gejala groupthink Persepsi groupthink dalam pengembangan profesi guru The Pied Piper sindrom: Hubungan antara intragroup dikotomisasi dan bipolar groupthink Kepemimpinan Atraktif, kohesi dan konsensus dini Pengaruh keinginan pada kualitas keputusan dan adanya gejala groupthink Konstruksi terkait dengan terjadinya groupthink pada kelompok pascasarjana Peran Orientasi ketidakpastian dalam fenomena groupthink Efek kesesuaian predisposisi dan perilaku pemimpin pada timbulnya groupthink dan kualitas keputusan kelompok
Survei
Pendidikan (non politik)
Survei
Sosial (non politik)
Survei
Psikologi (non politik)
Survei
Psikologi (non politik)
Survei
Sosial (non politik)
Survei
Sosial (non politik)
Survei
Sosial (non politik)
Tata kelola perusahaan, groupthink dan pengganggu di ruang rapat efek groupthink dan groupshift pada kecelakaan pesawat
Studi kasus kualitatif
Politik
AS
Groupthink dan Kekalahan Perancis di 1940
Studi Kasus
Politik
Inggris
Groupthink dan Krisis Teluk meninjau prinsipprinsip utama dari
Studi Kasus
Politik
Eksperimen
Sosial (non politik)
AS
Politik
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
56
24.
DANIEL B. KLEIN AND CHARLOTTA STERN (2009) Markus Hallgren (2008)
AS
26.
GLEN WHYTE (1989)
Kanada, Toronto Univ
27.
Christopher P. Neckm and Gregory Moorheadz (1995)
AS
28.
Ronald R. Sims (1992) Belanda
29.
Ferda Erdem (2003)
University, Antalya, Turkey
30.
Andrew Sai On Ko (2005)
Uhiversity of South Australia
31.
Joseph Mpeera Ntayi, Warren Byabashaija, Sarah Eyaa, Muhammed Ngoma and Alex Mulira (2010) Jerry L. Shmidt, Jr. Christopher Zapalski, James Toole (2005)
AS
33.
Conor Mayo, Wilson, Kevin Zollman, David Danks (2012)
AS
34.
Scheeringa, Daniel (2012)
AS
25.
32.
Swedia
AS
hipotesis groupthink Groupthink dalam perpesktif akademisi Groupthink dalam organisasi sementara
Literatur
Sosial (non politik)
Studi Kasus
Sosial, Non Politik
Fenomena Groupthink di kelompok
Literatur
Sosial (non politik)
Revisi Groupthink : Pentingnya Kepemimpinan, Tekanan Waktu, dan metode Prosedur Pengambilan Keputusan Keterhubungan Groupthink untuk Perilaku Etis dalam Organisasi Kepercayaan optimal dan kerja sama tim: dari groupthink untuk teamthink
Literatur
Sosial (non politik)
Studi Kasus
Sosial (non politik)
Survei
Sosial (non politik)
Komunikasi Organisasi di Hong Kong •pendekatan budaya untuk groupthink hubungan antara kohesi sosial, groupthink, sikap etis dan perilaku etis dari petugas pengadaan Hubungan Antara intragroup dikotomisasi dan Bipolar Groupthink Evaluasi Groupthink pada kelompok yang terisolasi
Studi Kasus
Antropologi (non politik)
survey
Sosial/organisasi (non politik)
Survey
Sosial (non politik)
Survey
Sosial (non politik)
GT dalam Keputusan menyerang Irak dan kegagalan
Studi Kasus
Politik
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
57
35.
Hermann, Charles F (1999)
AS
36.
Amidon, Mark (2005)
AS
37.
Ramon J. AldaG& Sally Riggs Fuller (1993)
AS
38.
Carrie R. Leana (1985)
AS
39.
Gregory Moorhead, Richard Ference, Chris P. Neck (1991)
AS
40.
GRACE ADRIANY, FEBY (2010)
Indonesia, Tesis Universitas Diponegoro
41.
REBEKKA RISMAYANTI (2013)
Indonesia, Skripsi, Unika Atmajaya Jogyakarta
41.
B.KISWANTO (2013)
Indonesia, UNPAD
perencanaan Dinamika Kelompok Politik dan penentuan kebijakan luar negeri Dinamika pengambilan keputusan kelompok dan manuver politik pada penyelamatan tahanan Amerika pada perang vietnam Mengevaluasi fenomena groupthink dan merumuskan pengembangan model baru Pengaruh kohesivitas kelompok dan perilaku pemimpin Keputusan untuk meluncurkan pesawat ruang angkasa Challenger Memahami Groupthink pada organisasi ekstra kampus dengan ideologi tertentu yang berafiliasi dengan organisasi intrakampus Universitas Diponegoro Analisis dinamika komunikasi tim kerja Public relations berdasarkan Groupthink theory Hubungan Antara Implementasi Groupthink Dengan Kohesivitasan Antara Kelompok Kerja Pada Pegawai Negeri Sipil di
Literatur
Politik
Studi Kasus
Politik
Studi kasus
Psikologi (non politik)
Studi kasus
Sosial (non politik)
Studi kasus
politik
studi kasus eksplanatoris
Non Politik
Studi Deskriptif Kualitatif
Non Politik
Survai dengan teknik korelasional kuantitatif
Non Politik
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
58
42.
BN Atmodjo (2010)
Indonesia, thesis, Petra Christian University Surabaya
43.
Abdul Firman Ashaf (2008)
Indonesia, Jurnal Administratio Universitas Lampung
44.
Maddy Rochanda Pertiwi (2009)
Universitas Indonesia, Skiripsi.
45.
Jonah Lehrer (2012)
The New Yorker(New York) , Jan 30, 2012, Vol. 87, Iss. 46, pg. 22
46.
John R Macarthur (2010)
The Spectator(London) , Oct 23, 2010, pg. n/aISBN 9780857200440
47.
Jonathan Shandell (2005)
American Theatre(New York) , Feb 2005, Vol. 22, Iss. 2, pg. 102
Kecamatan Jagakarsa Groupthink dalam komunikasi kelompok KDS Surya Community, Surabaya
Studi Kasus
Sosial (Non Politik)
Mengkritisi hipotesis groupthink dalam konteks formulasi kebijakan di Indonesia
Riset Kepustakaan
Politik
Pembentukan Groupthink mengenai partai politik Berideologi Islam dalam komunikasi kelompok di internet Groupthink dalam proses brainstorming (dinamika komunikasi kelompok membahas ide-ide kreatif) Groupthink and doubletalk (perdebatan antara Gedung Putih dan Pentagon atas kebijakan AS di Afghanistan) “Authors! Authors!: Why dramatic groupthink is the new vogue” Kekacauan dari balik The Antigone Project, sebuah drama kolaborasi
studi Fenomenologi komunikasi kelompok pada anggota Milis Mediacare dengan diskusi mengenai PKS Studi kasus
Politik
Case Study
Politik
Case study
Non Politik
Non Politik
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
59
2.2.2
Kohesivitas Kelompok Kohesivitas adalah mengenai penyatuan kekuatan. Istilah kohesivitas berawal dari
teori Kurt Lewin, Leon Festinger, dan kolega-kolega mereka di Research Center of Group Dynamics. Lewin, pada tahun 1943, menggunakan istilah cohesive untuk menggambarkan sebuah kekuatan yang menjaga kelompok agar tetap utuh dengan cara menjaga kesatuan anggota-aggotanya. Festinger mendefinisikan kohesivitas sebagai total dari sebuah kekuatan yang berada pada anggota-anggota kelompok yang tetap bertahan pada kelompok tersebut. Kohesivitas adalah sebuah kesatuan kelompok. Individu dalam kelompok yang kohesif—dimana kohesivitas diartikan sebagai perasaan kuat dari sebuah keberadaan komunitas yang terintregasi – akan lebih efektif dalam kelompok, lebih bersemangat, dalam menghadapi masalah-masalah sosial maupun interpersonal.Kohesivitas adalah sebuah kesatuan kelompok. Kelompok digambarkan sebagai keluarga, tim, dan komunitas. Banyak teori-teori yang menjelaskan hal tersebut sebagai “belongingness” atau “we-ness”, yang merupakan esensi dari kohesivitas kelompok. Anggota-anggota dalam kelompok yang kohesif memberikan rasa kebersamaan yang tinggi kepada kelompoknya, dan mereka sadar bahwa terdapat persamaan antar anggota dalam kelompok. Individu dalam kelompok yang kohesif—dimana kohesivitas diartikan sebagai perasaan kuat dari sebuah keberadaan komunitas yang terintregasi – akan lebih efektif dalam kelompok, lebih bersemangat, dalam menghadapi masalah-masalah sosial maupun interpersonal. Kohesivitas umumnya dikaitkan dengan dorongan anggota untuk tetap bersama dalam kelompoknya dibanding dorongan untuk mendesak anggota keluar dari kelompok. Bergabung di suatu organisasi membuat seseorang mempunyai rasa memiliki dan perasaan bersama (Gibson, dkk., 2003). Robbins (2002) menyatakan bahwa semakin kohesif suatu kelompok, para anggota semakin mengarah ke tujuan. Selanjutnya tingkat kohesivitas akan memiliki pengaruh terhadap komitmen terhadap organisasi tergantung dari seberapa jauh kesamaan tujuan kelompok dengan organisasi. Pada kelompok dengan kohesivitas tinggi yang disertai adanya penyesuaian yang tinggi dengan tujuan organisasi maka kelompok tersebut akan berorientasi pada hasil ke arah pencapaian tujuan. Johnson dan Johnson (Budiharto, 2004) mendefinisikan kohesivitas kelompok sebagai daya saling ketertarikan antar anggota kelompok yang menyebabkan anggota kelompok tersebut berkeinginan untuk tetap tinggal dalam kelompok tersebut, dan juga daya tarik antar individu dengan kelompok atau organisasinya. Kelompok yang memiliki Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
60
kohesivitas tinggi bercirikan adanya keinginan untuk menetapkan tujuan kelompok dan keinginan untuk mencapai tujuannya dengan baik. Komitmen terhadap tujuan kelompok dan keinginan untuk menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya juga sangat tinggi. Hal lainnya yang merupakan dampak dari kohesivitas kelompok adalah rendahnya tingkat kehadiran (absenteeism) dan keinginan untuk keluar (turnover). Selain itu, motivasi, keajegan menyelesaikan tugas sebaik-baiknya, komitmen terhadap kesuksesan
kerjasama anggota
serta keinginan untuk mendengarkan dan mengikuti saran atau pendapat sesama anggota meningkat. Kelompok yang kohesif merupakan satu kesatuan. Anggota-anggotanya menikmati interaksi antar mereka, dan mereka tetap bersatu dan bertahan dalam waktu yang lama. Kohesivitas merupakan sebuah ketertarikan. Beberapa teori mempertimbangkan kohesivitas sebagai sebuah ketertarikan personal, adapun menurut Collins dan Raven (1964) : kekuatan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap tinggal di dalam kelompok dan mencegahnya meninggalkan kelompok. Kohesivitas adalah batas hingga di mana anggotaanggota suatu kelompok bersedia untuk bekerja bersama. Ini merupakan rasa kebersamaan dari kelompok tersebut. Kohesi berasal dari sikap, nilai dan pola perilaku kelompok; kelompok di mana anggota-anggotanya saling tertarik dengan sikap, nilai dan perilaku anggota lainnya, akan cenderung dapat dikatakan kohesif (West&Turner, 2008:277). Adapaun elemen dari tingginya tingkat kohesivitas kelompok adalah sebagai berikut : 1.
Isolasi dari kelompok lain menunjukkan - kelompok tidak mencari atau mengizinkan pihak luar untuk menawarkan pendapat mereka sendiri.
2.
Kepemimpinan agresif dan berpendirian - pemimpin membuat pendapatnya sendiri atau begitu jelas di awal atau selama perdebatan tentang pilihan yang diadakan diskusi yang bermanfaat.
3.
Kurangnya norma memerlukan prosedur metodologis - tidak ada tradisi dalam kelompok yang mendorong pertimbangan penuh pada pilihan metodis.
4.
Homogenitas anggota Latar Belakang / ideologi - sebagian besar anggota kelompok berasal dari latar belakang sosial dan pendidikan yang sama dan / atau banyak yang berpikiran sama.
5.
Tinggi tingkat stres - kelompok ditantang oleh masalah yang menyebabkan stress pada anggota, seperti kebutuhan untuk mencapai keputusan dengan cepat.
6.
Sementara harga diri rendah
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
61
Dalam pernyataan lain, dikatakan bahwa suatu kelompok dikatakan kompak, memiliki keterikatan, atau kohesivitasnya tinggi akan menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut : -
Antar anggota kelompok memiliki kesadaran “kita” dan lebih sering berbicara “kita” dibandingkan “aku”.
-
Antar anggota kelompok lebih bersahabat dan menunjukkan rasa setia kawan.
-
Antar anggota kelompok sering bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dan bersedia bekerja keras demi kepentingan kelompok.
-
Antar anggota kelompok bersedia membela nama baik kelompok dari serangan pihak luar. (Santosa, 2009:75)
Jadi, dapat diartikan bahwa kohesivitas merupakan kekompakan anggota kelompok yang dihasilkan melalui interaksi dalam kelompok. Kohesivitas ditunjukkan dalam bentuk kekuatan interaksi yang diisi dengan keramahtamahan antar anggota kelompok, mereka biasanya senang untuk bersama-sama. Masing-masing anggota merasa bebas untuk mengemukakan pendapat dan sarannya. Anggota kelompok biasanya juga antusias terhadap apa yang ia kerjakan dan mau mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan kelompoknya. Merasa rela menerima tanggung jawab atas aktivitas yang dilakukan untuk memenuhi kewajibannya. Semua itu menunjukan adanya kesatuan, kereratan, dan saling menarik dari anggota kelompok. Kohesivitas kelompok merupakan derajat dimana anggota kelompok saling menyukai, memiliki tujuan yang sama, dan ingin selalu mendambakan kehadiran anggota lainnya. Biasanya kohesivitas ini dikaitkan dengan produktivitas kelompok. Namun tidak semua bentuk kohesivitas kelompok ini berdampak positif, karena anggota bisa merasa tertekan untuk selalu menyesuaikan terhadap norma kelompok.17 Dalam kelompok yang sangat padu lebih cenderung menghabiskan terlalu banyak energi untuk menjaga niat baik dalam kelompok agar tidak menggangu pengambilan keputusan, karena anggota lebih menanamkan energi instrinsik yang terlalu banyak dalam kelompok karena hadiah (reward) seperti persahabatan, gengsi, dan pengakuan harga diri bahkan terkadang mencurahkan terlalu banyak energi untuk membangun hubungan positif atau loyalitas kepada nama kelompok dan pimpinan kelompok. Hal inilah yang akan mengarahkan pada groupthink. 17
Stephen W. Little John, Karen A. Foss, Theorist of Human Communication, Thomson Wadsworth, Belmont, USA, 2009, hlm. 346.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
62
Kelompok-kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas tinggi seringkali gagal untuk mempertimbangkan alternatif-alternatif dari tindakan yang mereka ambil. Ketika para anggota kelompok berpikir sama dan tidak memiliki pemikiran yang berlawanan, mereka juga memiliki lebih sedikit kemungkinan untuk menyatakan ide-ide yang tidak populer atau tidak serupa dengan anggota kelompok lainnya. Groupthink menyatakan bahwa kelompokkelompok ini membuat keputusan yang terlalu dini, dan beberapa di antara keputusan tersebut memiliki dampak yang tragis dan berkelanjutan.18 Dengan demikian groupthink didefinisikan sebagai suatu cara pertimbangan yang digunakan anggota kelompok ketika keinginan mereka akan kesepakatan melampaui motivasi mereka dalam menilai semua rencana tindakan yang ada. Kesepakatan antar anggota kelompok atau kesepakatan kelompok dalam keinginan mereka akan kekompakan dan kesepakatan serta mencapai sebuah tujuan atau keputusan lebih besar motivasinya dibandingkan menilai akan kebenaran keputusan tersebut terhadap moral dan etis kelompok yang berlaku. Teori ini telah menjadi bagian penting mengenai pengambilan keputusan dalam kelompok (Aldag & Rigs Fuller, 1998). Teori groupthink yang diusulkan oleh Janis merupakan teori yang paling berpengaruh dalam ilmu perilaku. Formula klasik Janis yang menyatakan bahwa kelompok yang memiliki kemampuan untuk memperkuat berbagai individu ternyata juga berpotensi untuk menghasilkan kerusakan yang tak terbayangkan (Janis, 1972, 1982) dengan reformulasi yang diperbarui di 1989 melalui hipotesis bahwa kelompok pembuat keputusan paling mungkin bisa mengalami groupthink ketika mereka sangat kohesif, terisolasi dari para ahli, melakukan pencarian informasi dan penilaian yang terbatas serta beroperasi di bawah arahan kepemimpinan atau anggota yang berpengaruh dan dalam kondisi tekanan tinggi sehingga menjadi sulit/sedikit harapan untuk mencari solusi yang lebih baik dan akhirnya tergantung pada apa yang disukai pimpinan atau anggota yang berpengaruh tersebut. Hal inilah yang menjadi karakteristik terciptanya groupthink yang menghasilkan dua kategori yang tidak diinginkan pada proses pengambilan keputusan tersebut. Pertama, gejala tradisional berlabel groupthink, termasuk ilusi rasional, kekebalan kolektif, stereotip luar kelompok, self-censorship, mindguards, dan keyakinan dalam moralitas yang melekat pada kelompok. Yang kedua, biasanya diidentifikasi sebagai gejala cacat pengambilan keputusan 18
Richard West and Lynn. H. Turner, Introduction Communication Theory- Analysis and Application. 3th Edition. McGraw Hill, New York, hlm. 260.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
63
yang miskin pencarian informasi, kegagalan untuk menilai risiko, solusi yang lebih disukai dan pengolahan informasi selektif, termasuk adanya kekuatan-kekuatan gabungan diprediksi akan menghasilkan keputusan yang sangat rusak terhadap kinerja kelompok. Kehadiran kohesivitas dalam berbagai kelompok yang umumnya diikat oleh latar belakang, tujuan yang sama dan interaksi yang lama dapat menjadi berbeda ketika dihadapkan pada lingkup kelompok politik yang terjadi di DPR RI yang umumnya individuindividu berasal dari latar belakang partai politik yang berbeda-beda (heterogen), ternyata juga dapat menjadi homogen dan membentuk kohesivitas ketika mereka harus tergabung dalam suatu komisi yang membentuk Panita Kerja. Hal inilah yang menarik untuk diteliti bagaimana sebuah kohesivitas dalam konteks politik itu sebenarnya berproses, bukan terbentuk dari awal dan rentan terhadap groupthink
2.2.3
Asumsi Teori Groupthink
Groupthink merupakan teori yang diasosiasikan dengan komunikasi kelompok kecil. Bahkan dengan memberikan penekanan pada pentingnya kelompok kecil, Marshall Scott Poole (1998:94) berpendapat bahwa kelompok kecil harus menjadi “unit analisis yang paling mendasar”. Janis memfokuskan penelitiannya pada kelompok pemecahan masalah (probelm solving group) dan kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented group), yang tujuan utamanya adalah untuk mengambil keputusan dan memberikan rekomendasi kebijakan. Pengambilan keputusan merupakan bagian penting dari kelompok-kelompok kecil ini. Kegiatan kelompok kecil lainnya termasuk pembagian informasi, bersosialisasi, berhubungan dengan orang serta kelompok di luar kelompok mereka, mendidik anggota baru, meperjelas peranan dan bercerita (Frey&Sunwolf, 2005: Poole & Hirokawa, 1996). Dengan hal tersebut, berikut ini merupakan tiga asumsi penting yang menuntun teori ini, sebagaimana dikemukakan West dan Turner (2007: 262) yaitu : 1. Terdapat kondisi-kondisi di dalam kelompok yang mempromosikan kohesivitas tinggi. 2. Pemecahan masalah kelompok pada intinya merupakan proses yang menyatu. 3. Kelompok dan pengambilan keputusan oleh kelompok sering kali bersifat kompleks. Asumsi pertama dari groupthink berhubungan dengan karakteristik kehidupan kelompok: kohesivitas. Terdapat kondisi-kondisi dalam kelompok yang menyebabkan tingginya tingkat kohesivitas. Ernest Borman (1996) mengamati bahwa anggota kelompok seringkali memiliki perasaan yang sama atau investasi emosional, dan sebagai akibatnya Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
64
mereka cenderung untuk mempertahankan identitas kelompok. Pemikiran kolektif ini biasanya menyebabkan sebuah kelompok memiliki hubungan yang baik dan mungkin memiliki kohesivitas tinggi. Asumsi yang kedua mempelajari proses pemecahan masalah di dalam kelompok kecil: hal ini biasanya merupakan kegiatan yang menyatu. Denis Gouran (1998:100) mengamati bahwa kelompok-kelompok rentan terhadap batasan afiliatif (affiliative constraints), yang berarti bahwa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan masukan mereka daripada mengambil risiko ditolak. Menurut Gouran, ketika anggota kelompok benarbenar berpartisipasi, karena takut ditolak, mereka memiliki kecendrungan untuk “memberikan perhatian lebih pada pemeliharaan kelompok daripada isu-isu yang sedang dipertimbangkan”. Oleh karena itu anggota kelompok lebih tertarik untuk mengikuti pemimpin ketika saat pengambilan keputusan tiba. Asumsi yang ketiga menggarisbawahi sifat dasar dari kebanyakan kelompok pengambilan keputusan dan kelompok yang berorientasi pada tugas, dimana orang-orang biasanya tergabung dan bersifat kompleks. Dalam mendiskusikan asumsi ini dapat dilihat pada kompleksitas dari kelompok kecil dan kemudian pada keputusan yang muncul dari kelompok tersebut. Pertama, anggota kelompok kecil harus terus menyadari banyaknya alternatif yang tersedia bagi mereka dan mampu untuk membedakan alternatif-alternatif tersebut. Selain itu, anggota kelompok tidak boleh hanya memahami tugas yang sedang mereka tangani melainkan juga orang-orang yang memberikan masukan ke dalam tugas tersebut. Marvin Shaw (1981) dan Janet Fulk serta Joseph McGrath (2005) mendiskusikan isuisu tambahan sehubungan dengan kelompok. Mereka melihat bahwa banyak pengaruhpengaruh yang terdapat dalam kelompok kecil – dari usia anggota kelompok, sifat kompetitif dari anggota kelompok, ukuran kelompok, kecerdasan anggota kelompok, komposisi gender kelompok, dan gaya kepemimpinan yang ada dalam kelompok. Selain itu latar belakang budaya dari tiap individu dapat mempengaruhi proses-proses yang terjadi di dalam kelompok (West&Turner, 2008:278). Misalnya, karena banyak budaya tidak terlalu menghargai komunikasi yang terbuka dan ekspresif, beberapa anggota kelompok akan menarik diri dari perdebatan atau dialog, dan hal ini mungkin membuat anggota kelompok lainnya heran. Hal ini dapat mempengaruhi perpsepsi dari anggota-anggota kelompok baik yang partisipatif maupun nonpartisipatif.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
65
Proses pemecahan masalah (problem solving) dalam kelompok menghadirkan dinamika perbedaan pendapat yang akan menguji kohesivitas kelompok. Dalam beberapa kelompok, kohesi dapat menuntun pada perasaan positif mengenai pengalaman kelompok dan anggota kelompok yang lain. Kelompok yang sangat kohesif mungkin juga akan lebih antusias mengenai tugas-tugas mereka dan anggotanya merasa dimampukan untuk melaksanakan tugas-tugas tambahan. Tetapi kelompok yang sangat kohesif juga dapat menghasilkan hal yang mengganggu atau groupthink. Janis (1982) berpendapat bahwa kelompok dengan kohesivitas tinggi memberikan tekanan yang besar pada anggota kelompoknya untuk menaati standar kelompok. Janis yakin bahwa ketika kelompok mencapai tingkat kohesivtas yang tinggi, euforia ini cenderung mematikan opini dan alternatif yang lain.19 Janis menggunakan istilah groupthink untuk menunjukkan suatu mode berpikir sekelompok orang yang sifatnya kohesif (terpadu), ketika usaha-usaha keras yang dilakukan anggota-anggota kelompok untuk mencapai kata mufakat (kebulatan suara) telah mengesampingkan motivasinya untuk menilai alternatif-alternatif tindakan secara realistis. Dari sinilah groupthink dapat didefinisikan sebagai satu situasi dalam proses pengambilan keputusan yang menunjukkan tumbuhnya kemerosotan efisiensi mental, pengujian realitas, dan penilaian moral yang disebabkan oleh tekanan-tekanan kelompok. Teori Groupthink termasuk kedalam kelompok Group Communication Theory. Michael Burgoon dan Michael Ruffner dalam bukunya : Human Communication, A Revision of Approaching Speech/Communication, memberi batasan komunikasi kelompok sebagai interakasi tatap muka dari tiga atau lebih individu guna memperoleh maksud atau tujuan yang dikehendaki seperti berbagi informasi, pemeliharaan diri atau pemecah masalah sehingga semua anggota dapat menumbuhkan karakteristik pribadi anggota lainnya dengan akurat. Titik berat komunikasi kelompok adalah pada gejala komunikasi kelompok kecil tentang bagaimana caranya untuk dapat lebih mengerti proses komunikasi kelompok, memperkirakan hasilnya serta lebih meningkatkan proses komunikasi kelompok. Teori groupthink merupakan teori yang heuristic; teori ini dan banyak elemennya telah digunakan dalam banyak kajian dan telah mendapat banyak perhatian dari para ilmuwan
19
Richard West and Lynn. H. Turner, Introduction Communication Theory- Analysis and Application. 3th Edition. McGraw Hill.. New York, hlm. 265.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
66
komunikasi (Cline, Courtright, Parvitt & Johnson, Turner & Pratkanis dan Yetiv). Teori ini telah menghasilkan beberpa asumsi mengenai perilaku kelompok dan groupthink tetap menjadi bagian yang penting dari literatur pengambilan keputusan dalam kelompok (Aldag & Riggs Fuller, 1998). Sementara groupthink menurut Rakhmat (2005) adalah proses pengambilan keputusan yang terjadi pada kelompok yang sangat kohesif, di mana anggota-anggota berusaha mempertahankan konsensus kelompok sehingga kemampuan kritisnya menjadi tidak efektif lagi. Dalam definisi tersebut,
groupthink meninggalkan cara berpikir individual dan
menekankan pada proses kelompok. Sehingga pengkajian atas fenomena kelompok lebih spesifik terletak pada proses pembuatan keputusan yang kurang baik, serta besar kemungkinannya akan menghasilkan keputusan yang buruk dengan akibat yang sangat merugikan kelompok (Sarwono, 1999). Selanjutnya diperjelas oleh Janis, bahwa kelompok yang sangat kompak (cohesiveness) dimungkinkan terlalu banyak menyimpan atau menginvestasikan energi untuk memelihara niat baik dalam kelompok ini, sehingga mengorbankan proses keputusan yang baik dari proses tersebut. Salah satu faktor yang mendorong kohesivitas adalah bahasa dan interaksinya yang berfungsi untuk memperkuat kesamaan pendapat yang sama dari masing-masing anggota kelompok. Setidaknya ada tiga kondisi yang mendorong terjadinya groupthink dalam suatu kelompok, yaitu : 1. Ketika anggota kelompok merasa memiliki kekuatan yang berlebih dan tidak gampang digoyahkan; 2. Anggota kelompok menjadi tertutup pemikirannya dan menolak informasi yang bertentangan dengan mereka; 3. Anggota kelompok mengalami tekanan besar untuk sepakat dengan kelompoknya, karena adanya hubungan pemimpin yang kuat dengan anggotanya. Dengan demikian dapat ditambahkan bahwa sejatinya teori groupthink memang berasal dari pengkajian terhadap kasus-kasus bersejarah/penting terutama yang terkait dengan bidang politik di luar negeri sehingga pengamatan dan pengkajian terhadap kasus-kasus yang bersumber dari keputusan-keputusan strategis atau politik di indonesia menjadi menarik untuk diteliti.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
67
Singkatnya, groupthink terjadi manakala adanya semacam konvergenitas pikiran, rasa, visi, dan nilai-nilai dalam sebuah kelompok menjadi sebuah entitas kepentingan kelompok, dan orang-orang yang berada dalam kelompok itu dilihat tidak sebagai individu, tetapi sebagai representassi dari kelompoknya. Apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan adalah kesepakatan satu kelompok yang tidak sedikit keputusan-keputusan yang dibuat secara groupthink itu yang berlawanan dengan hati nurani anggotanya, maupun orang lain di luarnya. Namum mengingat itu kepentingan kelompok, maka mau tidak mau semua anggota kelompok harus kompak mengikuti arah yang sama agar tercapai suatu kesepakatan bersama.
2.2.4
Gejala Groupthink Ilustrasi analisis Janis selanjutnya mengungkapkan kondisi nyata suatu kelompok
yang dihinggapi oleh pikiran kelompok, yaitu dengan menunjukkan delapan gejala perilaku kelompok sebagai berikut : 1. Persepsi yang keliru (illusions), bahwa ada keyakinan kalau kelompok tidak akan terkalahkan. 2. Rasionalitas kolektif, dengan cara membenarkan hal-hal yang salah sebagai seakanakan masuk akal. 3. Percaya pada moralitas terpendam yang ada dalam diri kelompok. 4. Stereotip terhadap kelompok lain (menganggap buruk kelompok lain). 5. Tekanan langsung pada anggota yang pendapatnya berbeda dari pendapat kelompok. 6. Sensor diri sendiri terhadap penyimpangan dari konsensus kelompok. 7. Ilusi bahwa semua anggota kelompok sepakat dan bersuara bulat. 8. Otomatis menjaga mental untuk mencegah atau menyaring informasi-informasi yang tidak mendukung, hal ini dilakukan oleh para penjaga pikiran kelompok (mindguards). Sejalan dengan itu, teori mengenai keputusan kelompok yang dikembangkan oleh Hirokawa, memberikan beberapa kontribusi pemikiran mengenai kesalahan keputusan yang menganggap sepele penyimpulan dari suatu proses pengambilan keputusan, yaitu: 1. Penafsiran yang tidak akurat terhadap suatu permasalahan yang dihadapi oleh kelompok. 2. Sumber gangguan dalam proses pengambilan keputusan, terletak pada ketidaktepatan menentukan sasaran dan objek yang dikaji.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
68
3. Ketidaktepatan menentukan taraf kualitas penafsiran mengenai baik-buruk dan benarsalah. 4. Kelompok sengaja dibiarkan membangun ketidakakurasian dalam mengambil informasi dan sumbernya, kadangkala terjadi penampilan terhadap informasi yang bernilai valid dan sebaliknya. Sedangkan banyak informasi bahkan tidak tertata atau terseleksi dengan baik dan semakin membingungkan, namun informasi yang kurang berarti justru dengan mudah terungkapkan. 5. Kelompok boleh jadi melakukan kesalahan dengan alasan keliru dalam menyerap informasi dari sumbernya, namun hal ini dapat teratasi dengan pendekatan komunikatif dari para anggotanya. Berdasarkan penelitian yang berkembang pada periode selanjutnya, diperoleh hipotesisi mengenai faktor-faktor determinan yang terdapat pada pikiran kelompok, yaitu (Sarwono, 1999) : 1. Faktor Anteseden Kalau hal-hal yang mendahului ditujukan untuk meningkatkan pikiran kelompok, maka keputusan yang dibuat oleh kelompok akan bernilai buruk. Akan tetapi, kalau hal-hal yang mendahului ditujukan untuk mencegah pikiran kelompok, maka keputusan yang akan dibuat oleh kelompok akan bernilai baik. 2. Faktor Kebulatan Suara Kelompok yang mengharuskan suara bulat justru lebih sering terjebak dalam pikiran kelompok, dari pada yang menggunakan sistem suara terbanyak . 3. Faktor Ikatan Sosial-Emosional Kelompok yang ikatan sosial-emosionalnya tinggi cenderung mengembangkan pikiran kelompok, sedangkan kelompok yang ikatannya lugas dan berdasarkan tugas belaka cenderung lebih rendah pikiran kelompoknya. 4. Toleransi terhadap Kesalahan Pikiran kelompok lebih besar kalau kesalahan-kesalahan dibiarkan daripada tidak ada toleransi atas kesalahan-kesalahan yang ada. Setelah dilakukan pengujian atas berbagai hipotesis tersebut, serta didukung oleh data-data historis dari peristiwa sukses di Amerika khususnya disebabkan oleh proses yang baik dalam pembuatan keputusan kelompok, maka ada beberapa saran untuk pemimpin kelompok, sebagai upaya mencari jalan keluar dari belenggu pikiran kelompok. Untuk itu pemimpin kelompok perlu melaksanakan aktifitas dengan mengkondisikan kelompok seperti berikut ini. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
69
1. Menyampaikan secara terbuka mengenai kemungkinan tumbuhnya pikiran kelompok dengan sengaja konsekuensinya. 2. Ditekankan perlu adanya keberpihakan atas posisi yang lain. 3. Meminta evaluasi secara kritis dari setiap anggota, dengan memberikan dorongan dan menguraikan keraguan. 4. Tunjuk satu atau dua orang untuk menjadi kritikus kelompok. 5. Saat tertentu kelompok perlu dipecah menjadi lebih kecil dan efektif, dan saat kemudian dikembalikan seperti semula untuk memperoleh peran yang maksimal dari setiap anggota. 6. Menyediakan cukup waktu untuk mempelajari keberadaan kelompok lain (saingan), dengan
mengidentifikasi
tanda-tanda
atau
pernyataan-pernyataan
ataupun
kemungkinan lainnya yang dinilai membahayakan. 7. Setelah keputusan sementara dicapai, dimintakan kepada anggota untuk mengevaluasi kembali dalam kesempatan yang berbeda. 8. Menyediakan waktu untuk mengundang pakar-pakar dalam menghadiri pertemuan kelompok, guna mengkritisi atau menolak pandangan kelompok. 9. Membuka kemungkinan adanya anggota kelompok untuk selalu mendiskusikan secara terbuka di forum lain, dengan catatan hasilnya semata-mata untuk kelompok. 10. Membuat beberapa kelompok yang bebas tidak saling bergantung (independent), untuk bekerja secara bersama dalam memecahkan suatu persoalan. Proses pembuatan keputusan yang menggunakan kiat-kiat tersebut, dapat memakan waktu yang panjang. Namun manfaat yang dapat diperoleh sangat luar biasa, yaitu kepastian mengurangi kesalahan sampai tingkat terendah dari proses pengambilan keputusan. Dengan demikian dapat diperoleh gambaran lebih nyata, bahwa untuk mencapai keputusan kelompok yang baik, maka pikiran kelompok harus diubah menjadi pikiran tim. Sedangkan untuk memperoleh pelaksanaan prosedur yang baik dan akurat, sedapat mungkin dikurangi desakan yang didasarkan pada alasan keterbatasan waktu (Sarwono, 1999).
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
70
2.2.5
Mencegah Groupthink Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah groupthink adalah dengan
menempatkan segala tanggung jawab dan keputusan penting pada satu orang, menghilangkan semua masalah dari dinamisasi kelompok dari keluar jalur. Agar pemikiran konstruktif terus berlanjut, sebuah kelompok harus memiliki keseragaman pemahaman atas nilai dasar dan menghargai sesama. Para anggota harus mencoba meninggalkan keinginan untuk unjuk gigi dalam adu kekuatan atau mencoba meraih kepuasan dengan menindas lawan. Beberapa hal berikut dapat diterapkan untuk mencegah groupthink dalam kelompok20, yakni : 1. Seorang pemimpin pembuat kebijakan harus mengarahkan sikap evaluator kritis kepada setiap anggotanya, mendorong kelompok tersebut untuk memberi ruang bagi keberatan dan keraguan. Hal ini harus didukung oleh sikap pemimpin yang mau menerima kritik dari penilaiannya dalam rangka mengurangi kecenderungan para anggota untuk saling berbeda pendapat. Hal tersebut diatas secara umum akan meredam tekanan dalam kelompok yang dikhawatirkan akan melahirkan keputusan prematur. 2. Para pemimpin dalam hirarki organisasi, ketika menugaskan rencana kebijakan kepada kelompoknya harus bijak ketimbang menyatakan keinginan dan ekspektasi terlebih dahulu. Hal ini dapat dilakukan dengan membatasi omongan terlalu banyak yang dapat menimbulkan bias terhadap batasan masalah dan keterbatasan sumber daya, tanpa menganjurkan usul tertentu yang dia inginkan. Hal ini akan memungkinkan kelompok untuk membuka peluang luas untuk berbagai alternatif kebijakan. 3. Sebuah organisasi harus secara rutin mencoba melihat bagaimana sebuah perencanaan kebijakan lain dievaluasi oleh kelompok tersebut dan bekerja atas sebuah kebijakan yang sama, yang mana masing-masing akan juga memiliki kesalahan dibawah kepemimpinan yang berbeda. Hal ini akan mencegah dari ketertutupan kelompok untuk mencari opini lain dari para ahli diluar kelompok. Banyak pemimpin yang takut akan hal ini dengan alasan bocornya rahasia dari rencana kebijakan ini. Sebenarnya hal ini adalah kewajaran yang dapat ditelorir. 4. Selama masa dimana kemungkinan dan efektifitas dari alternatif kebijakan sedang dipantau dan nilai, kelompok pembuat kebijakan secara rutin dari waktu ke waktu
20
Irving L Janis, Groupthink-Psychological Studies of Policy Decisions and Fiascoes, Secon Edition, Houghtom Mifflin Company, Boston, 1982, hlm. 262-276.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
71
membagi dirinya dalam dua atau lebih sub kelompok untuk bertemu secara terpisah dibawah pemimpin sub grup yang berbeda untuk menentukan masing-masing perbedaan sudut pandang mereka. 5. Setiap anggota kelompok pembuat kebijakan harus mendiskusikan pertimbangan kelompok tersebut secara periodik dengan rekan terpecaya dalam unitnya dan melaporkan kembali reaksi yang didapat. 6. Satu atau lebih pakar dari luar dalam organisasi tersebut yang mana bukan anggota inti dari kelompok pembuat kebijakan harus diundang dalam setiap rapat untuk mengkaji pandangan dari anggota inti. 7. Dalam setiap pertemuan, usahakan untuk mengevaluasi alternatif kebijakan, setidaknya salah seorang anggota harus ditunjuk sebagai penguji (devil’s advocate). Devil’s advocate adalah seseorang yang mengambil posisi berlawanan dengan argumen orang lain, bukan karena tak setuju dengan argumen itu, melainkan hanya ingin menguji keabsahan atau validitas argumen tersebut. 8. Ketika isu kebijakan terkait dengan hubungan dengan lawan atau organisasi rival, kita harus secara khusus menyiapkan waktu untuk mensurvey segala tanda peringatan dari sang lawan dan membangun skenario-skenario alternatif dari tujuan sang lawan. 9. Setelah mencapai sebuah kesepakatan awal dari sebuah pilihan kebijakan, adakan pertemuan sekali lagi untuk mendengar sisa-sisa keraguan dan kembali mengkaji isu secara keseluruhan sebelum menjadikan keputusan tadi final.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
72
2.2.6 Groupthink Model
ANTECEDENTS
OBSERVABLE CONSEQUENCES
(A) Decision makers (Cohesive Group)
C Symptoms of GroupThink
D Symptoms of Defective Decisionmaking
1. Overestimation of Group a) Illusion of invulnerability b) Belief in morality
1.Incomplete survey of Alternatives
+ (B-1) Structural Faults 1. Insulation of Group 2. Lack of Tradition of Impartial Leadership 3. Lack of Norms for Methodical Procedures 4. Homogenity of Group
+ (B-2) Provocative Context 1. High Stress from external Threats 2. Low Self Esteem due to: Recent failures Excessive complexity Moral dilemmas Etc.
Concurrenceseeking (GroupThink tendency)
2. ClosedMindedness a) Collective rationalization b) Stereotypes of outgroups 3. Uniformity Pressures a) Self-censorship b) Illusion of Unanimity c) Direct pressure d) Mindguards
2. Incomplete survey of objectives 3. Failure to examine risks of preferred choice 4. Failure to reappraise rejected choices 5. Poor information search 6. Selective information bias 7. Failure to contingency plan
E Low Probability of Successful Outcome
Due to:Impartial Leadership
Gambar 1 3. Lack of Norms for Methodical Sumber: Irving Janis,Victims of Groupthink: A Psychological Study of Foreign-policy Procedures Decisions and Fiascoes, Houghton-Mifflin, 1972. 4. Homogenity of Group
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
73
2.3 Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan secara universal didefiniskan sebagai pemilihan diantara berbagai alternatif. Pengertian ini mencakup baik pembuatan pilihan (choice making) maupun pemecahan
masalah
(problem
solving).
Barnard
memberikan
perlakukan
analitis
pengambilan keputusan yang menyeluruh dan menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan sepenuhnya merupakan penerapan teknik-teknik untuk penyempitan pilihan. Hal ini sejalan dengan pendapat MacCrimmon dan Taylor (1983) serta Rowe dan Boulgarides (1992), pengambilan keputusan merupakan proses evaluasi yang mencakup pemrosesan informasi dan tindakan memilih dari sejumlah alternative. Secara konseptual, pengambilan keputusan disebutkan oleh Robert L Trewartha dan M. Gene Newport adalah proses memilih rangkaian atau tindakan di antara dua macam alternatif yang ada (atau lebih) guna mencapai pemecahan atas problema tertentu (Winardi, 2000:558). Moorhead dan Griffin (1995: 82) menyatakan pengambilan keputusan sebagai kegiatan pemilihan diantara berbagai alternatif yang tersedia. Ahli lain, yaitu Gibson, dkk, (1997: 103) menjelaskan pengambilan keputusan sebagai proses pemikiran dan pertimbangan yang mendalam yang dihasilkan dalam sebuah keputusan. Pengambilan keputusan merupakan sebuah proses dinamis yang dipengaruhi oleh banyak kekuatan termasuk lingkungan organisasi dan pengetahuan, kecakapan dan motivasi Hampir semua pembahasan proses pengambilan keputusan selalu merincinya menjadi serangkaian langkah yang berurutan. Menurut Herbert A. Simon dalam bukunya The New Science of Management Decision (1960), proses pengambilan keputusan pada hakekatnya terdiri atas tiga langkah utama, yaitu: 1. Kegiatan Intelijen. Dibawa dari pengertian intelijen yang digunakan oleh militer, langkah awal ini menyangkut pencarian berbagai kondisi lingkungan yang diperlukan bagi keputusan. 2. Kegiatan desain. Dalam tahap kedua ini, pembuatan, pengembangan dan penganalisaan sebagai rangkaian kegiatan yang mungkin dilakukan. 3. Kegiatan pemilihan. Tahap ketiga dan terakhir adalah pemilihan serangkaian kegiatan tertentu dari alternatif-alternatif yang tersedia. Dalam organisasi, proses pengambilan keputusan sangat bergantung pada individu dan kelompok. Keputusan individu dan kelompok dapat saja bertentangan sehingga efektivitas keputusan yang diambil tidaklah maksmal. Hal ini tentu saja dapat mempengaruhi
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
74
kinerja organisasiyang juga tidak maksimal. Menurut Tampubolon (2012) dalam bukunya Perilaku Organisasi menyampaikan ada beberapa bentuk pengambilan keputusan: 1. Keputusan Individu Keputusan individu ditentukan oleh empat factor perilaku: nilai individu, kepribadian, kecenderungan akan risiko, dan kemungkinan ketidakcocokan. Keputusan individu akan efektif apabila keempat factor tersebut digunakan sebagai pertimbangan dan akan dapat menghasilkan keputusan yang lebih efektif dan efisien, dengan catatan bahwa naluri berdasarkan pengalaman individu juga berperan dalam pengambilan keputusan. Makin banyak pengalaman individu , akan makin baik naluri individu tersebut didalam proses pengambilan keputusan. 2. Keputusan Kelompok Dalam praktik, sebenarnya tidak ada keputusan kelompok, tetapi proses pengambilan keputusan selalu dilakukan kelompok, sedangkan keputusan ditetapkan oleh pimpinan kelompok. Anggota kelompok bertugas menyiapkan data-data informasi untuk dianalisis kelompok secara bersama-sama maupun oleh pimpinan kelompok untuk lebih meyakinkan terhadap keputusan yang akan diambil. 3.
Keputusan Individu vs. Keputusan Kelompok Keputusan individu dapat dibandingkan dengan keputusan individu lainnya, dan
selanjutnya dapat dibandingkan lagi dengan keputusan kelompok, maupun individu antarkelompok, dan kelompok dengan kelompok. Perbandingan dapat dibuat antara lain di dalam: a) Kecepatan dan akurasi Kecepatan dan akurasi sangat menentukan efektivitas keputusan yang diambil. Pengertiannya bahwa kesiapan data atau fakta di dalam proses pengambilan keputusan akan menentukan kecepatan dan ketepatan terhadap keputusan yang diambil, makin cepat data dan fakta yang tersedia, akan makin akurat keputusannya b) Kreativitas Kreativitas di dalam proses pengambilan keputusan maksudnya adalah bahwa situasi di dalam proses pengambilan keputusan akan selalu berbeda dan tidak akan sama sehingga dibutuhkan kreativitas untuk dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan proses pengambilan keputusan dilakukan, sampai tahap keputusan tersebut diputuskan. c) Penerimaan/persepsi atas keputusan individu dan keputusan kelompok
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
75
Persepsi individu yang lain beserta kelompok harus dapat diyakinkan akan manfaat dari keputusan tersebut diambil. Konsekuensi keputusan akan dapat direspon secara positif oleh individu dan kelompoknya. Pengertiannya, segala akibat dari konsekuensi keputusan itu menjadi tanggungjawab semua anggota kelompok. Apabila keputusan dapat mencapai tujuan kelompok, maka dapat disebut sebagai kinerja dan restasi kelompok. Sebaliknya, bila terjadi kesalahan maupun kegagalan sebagai akibat keputusan itu, maka risikonya adalah dipergunakan alternatif lain sebagai pengganti atas keputusan itu. Ciri lain untuk memahami tindak komunikasi dalam kelompok adalah dengan melihat bagaimana suatu kelompok menggunakan metode-metode tertentu untuk mengambil keputusan terhadap masalah yang dihadapi. Berkaitan dengan pengambilan keputusan di DPR RI, Burns (dalam Efriza, 2014:148) merumuskan hal-hal yang dapat mempengaruhi anggota dewan mengambil keputusan, yakni : 1. Pengaruh kebijakan anggota dan pendirian filosofis Orientasi ideologis atau isu merupakan penentu terbaik bagaimana para anggota dewan akan memberikan suara dalam beragam persoalan. 2. Pengaruh pemilih atau konstituen Pengaruh utama pada anggota legislatif berasal dari persepsi mereka tentang bagaimana yang dirasakan oleh konstituen mereka. Tekanan partai dan badan eksekutif juga berperan, tetapi ketika semua sudah dikatakan dan terlaksana, masa depan politik anggota bergantung pada bagaimana perasaan mayoritas pemilih tentang kinerja mereka. Jarang seorang anggota dewan secara konsisten dan sengaja memberikan suara bertentangan dengan kehendak masyarakat dari dapilnya. 3. Pengaruh kolega Keputusan voting juga dipengaruhi oleh nasihat dari anggota yang diperoleh dari wakil lain. Keterbatasan waktu dan keperluan yang sering untuk membuat keputusan dengan waktu yang relatif singkat memaksa anggota legislatif untuk bergantung pada orang lain. Kebanyakan anggota membangun persahabatan dengan orang-orang yang berpikir seperti mereka. Mereka sering saling bertanya apa yang mereka pikirkan tentang penundaan legislasi. Secara khusus, mereka memerhatikan anggota yang terpandang dari kerja komisi perundang-undangan. 4. Pengaruh staf dewan
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
76
Staf dewan adalah birokrasi dalam dewan. Tanpa bantuan mereka, para anggota dewan tidak berfungsi dalam berurusan dengan badan eksekutif dan sangat bergantung pada informasi yang diberikan kepada mereka, presiden dan pelobi. 5. Pengaruh parpol Sumber pengaruh lain pada perilaku legislatif adalah parpol. Persahabatan cenderung berkembang dalam partai. Tentu saja, ada sejumlah kesepakatan yang adil di antara kolega partai. Pada beberapa persoalan, tekanan untuk sesuai dengan kedudukan garis partai ialah segera dan langsung. Kadang-kadang ada tekanan untuk mendukung partai bahkan ketika seorang anggota tidak percaya pada kedudukan partai. Oleh karena itu, partai menetapkan beberapa mekanisme yang memungkinkan anggota dewan tetap pada kebijakan atau disiplin partai. 6. Pengaruh presiden dan lembaga lain Banyak kekuatan – regional, lokal, ikatan persahabatan – dapat mengesampingkan pengaruh partai. Anggota-anggota dewan kadang-kadang dipengaruhi oleh kelompokkelompok informal (delegasi lokal, kelompok ideologis, kaukus etnis, kelompok regional, dan bahkan kelompok kolega dengan siapa mereka dipilih). Mereka juga dipengaruhi oleh kelompok kepentingan yang lebih penting dan pelobi – khususnya mereka yang membantu dana kampanye sebelum dan akan datang Selain ke enam dimensi yang dijelaskan oleh Burns, Lowi dan Ginsberg menambahkan satu dimensi lagi yang mempengaruhi perilaku anggota legislatif; yaitu sistem komisi. 7.
Sistem komisi Sistem komisi merupakan ‘the core of legislative body’. Sistem komisi merupakan struktur organisasi kedua dalam badan legislatif – pertama adalah partai. Meskipun sistem komisi lebih merupakan suatu pembagian kerja daripada hirarki kekuasaan. Ketua komisi dan subkomisi mempunyai sejumlah kekuasaan penting, tetapi seperti ketua partai, kapasitas mereka untuk mendisiplinkan anggota komisi terbatas. Pada akhirnya, anggota komisi digaji dan dipecat oleh electorate (para pemilih) bukan kepemimpinan. Ketua komisi harus menyesuaikan diri mereka sendiri bahkan dengan anggota-anggota yang pandangan-pandangannya tidak disenangi.
Pengambilan keputusan politik merupakan suatu fenomena komunikasi, yang pada hakikatnya dapat terjadi dalam berbagai situasi. Namun pengambilan keputusan dalam Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
77
lingkup aktivitas politik menjadi lebih menarik untuk diamati ketika kita kerap melihat dan mendengar bahwa bagitu banyak keputusan politik yang diambil menyisakan berbagai polemik/kontroversi bahkan berbagai cerita menarik di belakangnya terkait dengan tarik menarik ataupun tawar menawar berbagai kepentingan diantara orang-orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut. Hal ini sejatinya sangat lumrah terjadi dalam suatu aktivitas perpolitikan yang memang berhubungan erat dengan kekuasaan. Kelompok-kelompok yang berpolitik dalam suatu negara-bangsa ini tentunya selalu memiliki rencana dan tujuan yang ditetapkan dalam sebuah mekanisme pengambilan keputusan dengan segala dinamikanya.
2.4 Komunikasi Kelompok 2.4.1 Definisi Komunikasi Kelompok Sebagai makhluk sosial tentunya kita tidak bisa lepas dari kegiatan berkomunikasi. Komunikasi sendiri secara serhana merupakan suatu hubungan interaksi yang kita lakukan baik terhadap diri sendiri maupun dengan orang lain. Hal tersebut kita lakukan baik terhadap diri sendiri maupun dengan orang lain. Hal tersebut kita lakukan guna mempertahankan kelangsungan hidup, karena sebagai makhluk sosial kita tidak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Dalam hubungan antar sesama tersebut, manusia pasti selalu akan menciptakan kelompok-kelompok yang dapat semakin mempererat jalinan hubungan mereka. Kelompok merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari aktivitas kita sehari-hari. Kelompok baik yang bersifat primer maupun sekunder merupakan wahana bagi setiap orang untuk dapat mewujudkan harapan dan keinginannya berbagi semua informasi dalam hampir semua aspek kehidupan. Ia bisa merupakan media untuk mengungkapkan persoalan-persoalan pribadi (keluarga sebagai kelompok primer), ia dapat merupakan sarana meningkatkan pengetahuan para anggotanya (kelompok belajar) dan bisa pula merupakan alat untuk memecahkan persoalan bersama yang dihadapi seluruh anggota (kelompok pemecah masalah). Michael Burgoon dan Michael Ruffner dalam bukunya Human Communication, A Revisian of Approaching Speech/Comumunication (1978) memberi batasan komunikasi kelompok sebagai : “The face-to-face interaction of three or more individuals, for a recognized purpose such as information sharing, self-maintenance, or problem solving, such that the members are able to recall personal characteristics of other members accurately”. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
78
Yang diartikan sebagai interaksi tatap muka dari tiga atau lebih individu guna memperoleh maksud atau tujuan yang dikehendaki seperti berbagai informasi, pemeliharaan diri atau pemecahan masalah sehingga semua anggota kelompok dapat menumbuhkan karateristik pribadi anggota lainnya dengan akurat (Sendjaja, 2004 : 3.3). Setidaknya ada empat elemen yang tercakup dalam definisi di atas, yaitu : a. Interaksi tatap muka, jumlah partisipan yang terlibat dalam interaksi, maksud atau tujuan yang dikehendaki dan kemampuan anggota untuk dapat menumbuhkan karakteristik pribadi anggota lainnya. b. Terminologi tatap muka (face-toface) mengandung makna bahwa setiap anggota kelompok harus dapat melihat dan mendengar anggota lainnya dan juga harus dapat mengatur umpan balik secara verbal maupun nonverbal dari setiap anggotanya. Batasan ini tidak berlaku atau meniadakan kumpulan individu yang sedang melihat proses pembangunan gedung/bangunan baru. Dengan demikian, makna tatap muka tersebut berkait erat dengan adanya interaksi di antara semua anggota kelompok. Jumlah partisipan dalam komunikasi kelompok berkisar antara 3 sampai 20 orang. Pertimbangannya, jika jumlah partisipan melebihi 20 orang, kurang memungkinkan berlangsungnya suatu interaksi di mana setiap anggota kelompok mampu melihat dan mendengar anggota lainnya. Dan karenannya kurang tepat untuk dikatakan sebagai komunikasi kelompok. c. Maksud atau tujuan yang dikehendaki sebagai elemen ketiga dari definisi di atas, bermakna bahwa maksud atau tujuan tersebut akan memberikan beberapa tipe identitas kelompok. Kalau tujuan kelompok tersebut adalah berbagi informasi, maka komunikasi yang dilakukan dimaksudkan untuk menanamkan pengetahun (to impart knowledge). Sementara kelompok yang memiliki tujuan pemeliharaan diri (self-maintenance), biasanya memusatkan perhatiannya pada anggota kelompok atau struktur dari kelompok itu sendiri. Tindak komunikasi yang dihasilkan adalah kepuasan kebutuhan pribadi, kepuasan kebutuhan kolektif/kelompok bahkan kelangsungan hidup dari kelompok itu sendiri. Dan apabila tujuan kelompok adalah upaya pemecahan masalah, maka kelompok tersebut biasanya melibatkan beberapa tipe pembuatan keputusan untuk mengurangi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. d. Elemen terakhir adalah kemampuan anggota kelompok untuk menumbuhkan karateristik personal anggota lainnya secara akurat. Ini mengandung arti bahwa setiap anggota kelompok secara tidak langsung berhubungan dengan satu sama lain dan maksud/tujuan Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
79
kelompok telah terdefinisikan dengan jelas, di samping itu identifikasi setiap anggota dengan kelompoknya relatif stabil dan permanen. Batasan lain mengenai komunikasi kelompok dikemukakan oleh Ronald Adler dan George Rodman dalam bukunya Understanding Human Communication Mereka mengatakan bahwa kelompok atau group merupakan “a small collection of people who interct with each other, usually face to face, over time order to reach goals” atau sekumpulan kecil orang yang saling berinteraksi, biasanya tatap muka dalam waktu yang lama guna mencapai tujuan tertentu (Sendjaja, 2004:3.5). Ada empat elemen yang muncul dari definisi yang dikemukakan oleh Adler dan Rodman tersebut, yaitu : a. Elemen pertama adalah interaksi dalam komunikasi kelompok merupakan faktor yang penting, karena melalui interaksi inilah, kita dapat melihat perbedaan antara kelompok dengan istilah yang disebut dengan coact. Coact adalah sekumpulan orang yang secara serentak terkait dalam aktivitas yang sama namun tanpa komunikasi satu sama lain. Misalnya, mahasiswa yang hanya secara pasif mendengarkan suatu perkuliahan, secara teknis belum dapat disebut sebagai kelompok. Mereka dapat dikatakan sebagai kelompok apabila sudah mulai mempertukarkan pesan dengan dosen atau rekan mahasiswa yang lain. b. Elemen yang kedua adalah waktu. Sekumpulan orang yang berinteraksi untuk jangka waktu yang singkat, tidak dapat digolongkan sebagai kelompok. Kelompok mempersyaratkan interaksi dalam jangka waktu yang panjang, karena dengan interaksi ini akan dimiliki karakteristik atau ciri yang tidak dipunyai oleh kumpulan yang bersifat sementara. c. Elemen yang ketiga adalah ukuran atau jumlah partisipan dalam komunikasi kelompk. Tidak ada ukuran yang pasti mengenai jumlah anggota dalam suatu kelompok. Ada yang memberi batas 3-8 orang, 3-15 orang dan 3-20 orang. Untuk mengatasi perbedaan jumlah anggota tersebut, muncul konsep yang dikenal dengan smallness, yaitu kemampuan setiap anggota kelompk untuk dapat mengenal dan memberi reaksi terhadap anggota kelompok lainnya. Dengan smallness ini, kuantitas tidak dipersoalkan sepanjang setiap anggota mampu mengenal dan memberi rekasi pada anggota lain atau setiap anggota mampu melihat dan mendengar anggota yang lain/seperti yang dikemukakan dalam definisi pertama.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
80
d. Elemen terakhir adalah tujuan yang mengandung pengertian bahwa keanggotaan dalam suatu kelompok akan membantu individu yang menjadi anggota kelompok tersebut dapat mewujudkan satu atau lebih tujuannya.
Kelompok biasanya merupakan pemecahan masalah yang lebih baik dalam jangka panjang dari pada individu perseorangan karena mereka memiliki akses ke lebih banyak informasi daripada yang dimiliki oleh seorang individu, dapat melihat kelemahan dan bias dalam pemikiran satu sama lain, dan kemudian berpikir mengenai hal yang mungkin gagal dipertimbangkan oleh seorang individu. Proses pemecahan masalah (problem solving) dalam kelompok menghadirkan dinamika perbedaan pendapat yang akan menguji kohesivitas kelompok. Dalam beberapa kelompok, kohesi dapat menuntun pada perasaan positif mengenai pengalaman kelompok dan anggota kelompok yang lain. Kelompok yang sangat kohesif mungkin juga akan lebih antusias mengenai tugas-tugas mereka dan anggotanya merasa dimampukan untuk melaksanakan tugas-tugas tambahan. Tetapi kelompok yang sangat kohesif juga dapat menghasilkan hal yang mengganggu atau groupthink. Janis (1972) berpendapat bahwa kelompok dengan kohesivitas tinggi memberikan tekanan yang besar pada anggota kelompoknya untuk menaati standar kelompok. Janis yakin bahwa ketika kelompok mencapai tingkat kohesivtas yang tinggi, euforia ini cenderung mematikan opini dan alternatif yang lain.21 Ketika anggota kelompok memiliki nasib yang sama, terdapat tekanan yang kuat untuk menuju pada ketaatan. Hal inilah yang rentan terhadap Groupthink. kelompok yang sangat
kompak
(cohesiveness)
dimungkinkan
terlalu
banyak
menyimpan
atau
menginvestasikan energi untuk memelihara niat baik dalam kelompok ini, sehingga mengorbankan proses keputusan yang baik dari proses tersebut. Groupthink kemudian menjadi proses persetujuan-mencari yang diarahkan untuk mempertahankan bersama pandangan positif tentang fungsi kelompok. Dua anteseden groupthink, kohesi dan ancaman kolektif sangat penting dalam memproduksi groupthink, yaitu kondisi pertama; kohesi yang menggabungkan perspektif identitas sosial, memberikan kontribusi untuk pengembangan persepsi kelompok sebagai identitas yang unik, meningkatkan pengembangan citra positif bersama kelompok, dan menyediakan dasar pada 21
Richard West and Lynn Turner, Introduction Communication Theory- Analysis and Application, 3th Edition, McGraw Hill, New York, 2008, hlm. 265.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
81
ancaman yang dapat beroperasi. Kondisi kedua; ancaman kolektif, adalah katalis untuk proses intragrup yang mempromosikan persetujuan mencari keputusan dan keputusan yang cacat. Setelah anteseden groupthink terlihat maka gejala groupthink muncul di keputusan tersebut (Janis & Mann, 1977). Gejala ini termasuk kolektif rasionalisasi, tekanan untuk menyesuaikan diri, munculnya mindguards, persepsi bias anggota out-group, self-censorship, ilusi kekebalan, ilusi moralitas, dan ilusi kebulatan suara. Gejala groupthink ini dapat ditangkap dari adanya berbagai pengambilan keputusan politik yang dirumuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
2.4.2
Fungsi Komunikasi Kelompok Keberadaan suatu kelompok dalam masyarakat dicerminkan oleh adanya fungsi-
fungsi yang akan dilaksanakannya. Fungsi-fungsi tersebut mencakup fungsi hubungan sosial, pendidikan, persuasi, pemecahan masalah dan pembuatan keputusan dan fungsi terapi. Semua fungsi ini dimanfaatkan untuk pembuatan kepentingan masyarakat, kelompok dan para anggota kelompok itu sendiri. Fungsi pertama dalam kelompok adalah hubungan sosial, dalam arti bagaimana suatu kelompok mampu memelihara dan memantapkan hubungan sosial di antara para anggotanya seperti bagaimana suatu kelompok secara rutin memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk melakukan sktivitas yang informal, santai dan menghibur. Pendidikan adalah fungsi kedua dari kelompok, dalam arti bagaimana sebuah kelompok secara formal maupun informal bekerja unutk mencapai dan mempertukarkan pengetahun. Melalui fungsi pendidikan ini, kebutuhan-kebutuhan dari para anggota kelompok, kelompok itu sendiri bahkan kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Namun demikian, fungsi pendidikan dalam kelompok akan sesuai dengan yang diharapkan atau tidak, bergantung pada tiga faktor, yaitu jumlah informasi baru yang dikontribusikan, jumlah partisipan dalam kelompok serta frekuensi interaksi di antara para anggota kelompok. Fungsi pendidikan ini akan sangat efektif jika setiap anggota kelompk membawa pengetahuan yang berguna bagi kelompoknya. Tanpa pengetahuan baru yang disumbangkan msing-masing anggota, mustahil fungai edukasi ini akan tercapai. Fungsi ketiga adalah fungsi persuasi, seorang anggota kelompok berupaya mempersuasikan anggota lainnya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Seseorang yang terlibat usaha-usaha persuasif dalam suatu kelompok, membawa resiko untuk tidak Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
82
diterima oleh para anggota lainnya. Misalnya, jika usaha-usaha persuasif tersebut terlalu bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok, maka justru orang yang berusaha mempersuasi tersebut akan menciptakan suatu konflik, dengan demikian malah membahayakan kedudukannya dalam kelompok. Fungsi keempat dari kelompok dicerminkan dengan kegiatan-kegiatannya untuk memecahkan persoalan dan membuat keputusan-keputusan. Pemecahan masalah (problem solving) berkaitan dengan penemuan alternatif atau solusi yang tidak diketahui sebelumnya; sedangkan pembuatan keputusan (decision making) berhubungan dengan pemilihan antara dua atau lebih solusi. Jadi, pemecahan masalah menghasilkan materi atu bahan untuk pembuatan keputusan. Fungsi kelima dari kelompok adalah terapi. Kelompok terapi memiliki perbedaan dengan kelompok lainnya, karena kelompok terapi tidak memiliki tujuan. Objek dari kelompok terapi adalah membantu setiap individu mencapai perubahan personalnhya. Tentunya, individu tersebut harus berinteraksi dengan anggota kelompok lainnya guna mendapatkan manfaat, namun usaha utamanya adalh membantu dirinya sendiri, bukan membantu kelompok mencapai konsensus. Contoh dari kelompok terapi ini adalah kelompok konsultasi perkawinan, kelompok penderita narkotika, kelompok perokok berat dan sebagainya. Tindak komunikasi dalam kelompok-kelompok terapi dikenal dengan nama pengungkapan ciri (self disclosure). Artinya, dalam suasana yang mendukung, setiap anggota dianjurkan untuk berbicara secara terbuka tentang apa yang menjadi permasalahannya. Jika muncul konflik antar anggota dalam diskusi yang dilakukan, orang yang menjadi pemimpin atau yang memberi terapi yang akan mengaturnya.
2.4.3
Tipe-Tipe Kelompok Ronald B. Adler dan George Rodman dalam bukunya Understanding Human
Communication22 membagi kelompok dalam tiga tipe, yaitu kelompok belajar (learning group), kelompok pertumbuhan (growth group), dan kelompok pemecahan masalah (problem-solving group). Masing-masing tipe kelompok memiliki karakteristik dan tujuan yang berbeda yaitu : 1. Kelompok Belajar (learning group)
22
Sendjaja, S. Djuarsa, dkk. 2004. Teori Komunikasi. Modul SKOM 4204. Universitas Terbuka. h. 3.14.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
83
Kelompok yang memberi keterampilan berenang ataupun kelompok yang mengkhususkan kegiatannya pada peningkatan kemampuan dalam memberi pertolongan darurat misalnya, dapat digolongkan ke dalam kelompok belajar tersebut. Jadi, apa pun bentuknya, tujuan dari learning group ini adalah meningkatkan pengetahuan atau kemampuan para anggotanya. Satu ciri yang menonjol dari learning group ini adalah adanya pertukaran informasi dua arah, artinya setiap anggota dalam kelompok belajar adalah kontributor atau penyumbang dan penerima pengetahuan. 2. Kelompok Petumbuhan (growth group) Jika learning group para anggotanya terlibat dalam persoalan-persoalan aksternal sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka kelompok pertumbuhan lebih memusatkan perhatiannya kepada permasalah pribadi yang dihadapi para anggotanya. Wujud nyata dari growth group ini adalah kelompok bimbingan perkawinan, kelompok bimbingan psikologi, kelompok terapi serta kelompok yang memusatkan aktivitasnya kepada penumbuhan keyakinan diri, yang biasa disebut dengan consciousness-raising group. Karekateristik yang terlihat dalam tipe kelompok ini adalah growth group tidak mempunyai tujuan kolektif yang nyata, dalam arti bahwa seluruh tujuan kelompok diarahkan kepada usaha untuk membentu para anggotanya mengidentifikasi dan mengarahkan mereka untuk peduli dengan persoalan pribadi yang mereka hadapi. 3. Kelompok Pemecahan Masalah (problem-solving group) Orang -orang yang terlibat dalam kelompok pemecahan masalah, bekerja bersamasama untuk mengatasi persoalan bersama yang mereka hadapi. Dalam sebuah keluarga misalnya, bagaimana seluruh anggota keluarga memecahkan persoalan tentang cara pembagian kerja yang memungkinkan mereka terlibat dalam pekerjaan rumah tangga, seperti tugas apa yang harus dilakukan seorang suami, apa yang menjadi tanggung jawab istri, dan pekerjaan-pekerjaan apa yang dibebankan kepada anak-anaknya. Atau dalam contoh lain, bagaimana cara warga yang bergabung dalam satu rukun tetangga (RT) berusaha mengorganisasikan diri mereka sendiri guna mencegah tindakan pencurian melalui kegiatan sistem keamanan llingkungan atau lebih dikenal dengan siskamling. Problem solving group dalam opersionalsasinya, melibatkan dua aktivitas penting. Pertama, pengumpulan informasi (gathering information); bagaimana suatu kelompok sebelum membuat suatu keputusan, berusaha mengumpulkan informasi Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
84
yang penting dan berguna untuk landasan pengambilan keputusan tersebut; dan kedua adalah pembuatan keputusan atau kebijakan itu sendiri yang berdasar pada hasil pengumpulan informasi.
Dalam konteks Kelompok Politik, terdapat yang dinamakan kelompok kepentingan (interest group) dan kelompok penekan (pressure group). a. Kelompok kepentingan Merupakan adalah sekelompok manusia yang mengadakan persekutuan yang didorong oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Kepentingan ini dapat berupa kepentingan umum atau masyarakat luas ataupun kepentingan untuk kelompok tertentu. Contoh persekutuan yang merupakan kelompok kepentingan, yaitu organisasi massa, paguyuban alumni suatu sekolah, kelompok daerah asal, dan paguyuban hobi tertentu (Budiarjo, 2008:176) Kelompok kepentingan bertujuan untuk memperjuangkan sesuatu “kepentingan” dengan mempengaruhi lembaga-lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan atau menghindarkan keputusan yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak berusaha untuk menempatkan wakil-wakilnya dalam Dewan Perwakilan Rakyat, melainkan cukup mempengaruhi satu atau beberapa partai didalamnya atau instansi yang berwenang maupun menteri yang berwenang. Menurut Gabriel A. Almond (Almond, 1966 : 75-81) terdapat empat tipe kelompok kepentingan yaitu sebagai berikut : 1. Kelompok kepentingan anomik. Berasal dari kata anomie yang artinya terasing. Kelompok kepentingan ini muncul secaratiba-tiba dan hanya ada pada saat itu saja. Sifatnya yang muncul secara tiba-tiba tersebut menyebabkan kelompok kepentingan ini tidak memiliki pengorganisasian masa yang jelas.Mereka hanya berkumpul pada suatu tempat dan kemudian secara bersamasamamenyuarakan keinginan, kepentingan serta tujuan mereka. Kelompok kepentingan ini timbul karena kelompok assosiasional belum ada dalam suatu negara. Kelompok ini terbentuk dari unsur-unsur masayarakat secara spontan dan seketika akibat suatu isu kebijakanpemerintah,agama, politik dsb. Biasanya kelompok kepentingan anomik ini terjadi pada negara-negara yang sedang dilanda konflik secara terus menerus atau terjadi pada negara yangpemerintahanya bersifat tertutup sehingga masyarakat tidak dapat menyampaikan aspirasinya,keinginan, maupun mengkritik jalannya pemerintahan. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
85
Contoh : Persatuan pedagang yang akan digusur bersatu saat ingin digusur dengan berdemodan menghilang saat aspirasi mereka terpenuhi. 2. Kelompok kepentingan non assosiasional. Kelompok kepentingan ini hampir sama dengan kelompok kepentingan anomik dimanatidak adanya pengorganisasian yang jelas dan terencana. Kelompok kepentingan ini munculapabila kepentingan-kepentingan yang timbul karena adanya kesamaan daerah asal, kesamaanagama,dll. kelompok ini berasal dari unsur keluarga dan keturunan atau etnik regional statusdan kelas yang menyatakan kepentingannya berdasarkan situasi.Kelompok kepentingan ini sudah muncul baik di negara-negara berkembang maupun di negara-negara yang sudah maju. Baik di negara-negara berkembang maupun di negara-negara maju. Kelompok kepentingan non assosiasional ini memiliki peran yang cukup kuat dalam pembuatankeputusan yang dilakukan oleh pemerintah negara tersebut. Contoh : Persatuan warga Batak di Jakarta. 3. Kelompok kepentingan institusional. Berbeda
dengan
kelompok
kepentingan
sebelumnya
yang
timbul
tidak
terorganisasikelompok kepentingan institusional ini timbul secara terorganisir dan sudah terencana.Kelompok kepentingan institusional ini biasanya berbentuk suatu badan hukum. Kelompokkepentingan
institusional
ini
memiliki
pengaruh
yang
besar
di
masyarakat.kelompok ini bersifat Formal dan memiliki fungsi-fungsi politik dan sosial. Anggotanya terkaitdengan kepentingan ekonomi atau bisanya terkait dengan pekerjaan. Sangat efektif dalammempengaruhi kebijakan pemerintah. Contoh : KOPRI, PGRI, TNI, POLRI, dll. 4. Kelompok kepentingan assosiasional. Kelompok kepentingan ini hampir sama dengan kelompok institusional dimana kelompokkepentingan
asosiasional
muncul
secara
terorganisir.
kelompok
ini
menyatakankepentingannnya secara khusus dan memakai tenaga profesional.Kelompok kepentingan assosiasional ini muncul pada negara yang sudah maju biasanya munculpada negara yang menganut paham demokrasi. Namun kelompok kepentingan assosiasional ini juga dapat muncul pada negara yang menganut paham otokratis. Pada negara yang menganutpaham otokratis kelompok kepentingan assosiasional berada dibawah pengawasan yang cukupketat dari pihak pemerintah (Almond, 1966 : 75-81). Contoh : Ikatan Dokter Indonesia, termasuk serikat perdagangan dan serikat pengusaha.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
86
Tujuan dari kelompok kepentingan ini adalah untuk memperjuangkan sesuatu kepentingan dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik untuk memperoleh keputusan yang menguntungkan dan menghindari keputusan yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak berusaha untuk memasukkan wakil-wakilnya dalam Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi cukup memengaruhi satu atau beberapa partai di dalamnya, instansi pemerintah, atau menteri yang berwenang. Dengan demikian, kelompok kepentingan memiliki orientasi yang jauh lebih sempit daripada partai politik. Selain itu, organisasi kelompok kepentingan lebih longgar daripada partai politik.
b.
Kelompok Penekan (Pressure Groups) Merupakan sekelompok manusia yang berbentuk lembaga kemasyarakatan dengan
aktivitas atau kegiatannya memberikan tekanan kepada pihak penguasa agar keinginannya dapat diakomodasi oleh pemegang kekuasaan. Contohnya, Lembaga Swadaya Masyarakat Peduli Nasib Petani, dan Lembaga Swadaya Masyarakat Penolong Korban Gempa. Pada mulanya, kegiatan kelompok-kelompok ini biasa-biasa saja, namun perkembangan situasi dan kondisi mengubahnya menjadi pressure group. Kedudukan dari kelompok penekan ini dapat memaksa atau mendesak pihak yang berada dalam pemerintahan atau pimpinan agar bergerak ke arah yang diinginkan atau justru berlawanan dengan desakannya. Walaupun tujuan akhir dari kelompok penekan ini sama seperti tujuan akhir dari kelompok kepentingan sehingga mereka sering disamakan. Perbedaan dari kelompok penekan dan kelompok kepentingan terdapat pada orientasi mereka. Misalnya contoh: apabila pemerintah membutuhkan pers atau media massa untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat secara cepat dan menyeluruh mengenai peristiwa banjir, maka media massa akan dipergunakan untuk membantu pemerintah dalam menyampaikan hal tersebut. Pada kasus tersebut, media massa berfungsi sebagai kelompok kepentingan yang mempunya tugas untuk menyampaikan sesuatu kepada khalayak luas secara menyeluruh dan merata. Orientasi kelompok kepentingan lebih bersifat dari atas ke bawah. Sedangkan disisi lain, media massa berfungsi sebagai kelompok penekan bagi pemerintah setempat atau pemerintah pusat.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
87
2.4.4 Kepemimpinan dalam Kelompok Kepemimpinan merupakan salah satu peran yang penting dalam interaksi kelompok, karena peran ini akan menentukan kuantitas dan kualitas komunikasi dalam kelompok, hasil dari tujuan kelompok, dan harmoni atau keselarasan dalam kelompok. Bahasan mengenai kepemimpinan dalam kelompok ini dapat ditinjau dari kajian fungsi kepemimpinan dan gaya kepemimpinan dalam kelompok, sebagaimana berikut : 1. Fungsi Kepemimpinan Burgoon, Heston dan McCroskey (Sendjaja, 2004:3.18) menguraikan adanya delapan fungsi kepemimpinan, yaitu fungsi inisiasi (initiation), keanggotaan (membership), perwakilan (representation), organisasi (organization), integrasi (integration), manajemen informasi internal (internal information management), fungsi penyaring informasi (gatekeeping), dan fungsi imbalan (reward). Dalam fungsi inisiasi, seorang pemimpin perlu mengambil prakarsa untuk menciptakan gagasan-gagasan baru, namun sebaliknya tugas pemimpin juga memberi pengarahan ataupun menolak gagasan-gagasan dari anggota kelompoknya yang dinilai tidak layak. Inisiatif dalam arti menciptakan ataupun menolak ide-ide baru, baik yang berasal dari pimpinan itu sendiri ataupun dari anggota kelompoknya perlu untuk dilaksanakan, sebab pemimpin mempunyai tanggung jawab yang lebih besar terhadap keberadaan atau eksistensi kelompok yang dipimpinnya, disamping itu yang lebih penting adalah tanggung jawab untuk terlaksananya tujuan-tujuan kelompok. Sedangkan dalam fungsi keanggotaan, salah satu bagian dari perilaku seorang pimpinan adalah memastikan bahwa dirinya juga merupakan salah seorang anggota kelompok. Perilaku tersebut dijalankannya dengan cara meleburkan atau melibatkan dirinya dalam kelompok serta melakukan aktivitas yang menekankan kepada interaksi informal dengan anggota kelompok lainnya. Fungsi keterwakilan
ditunjukkan dengan upaya pimpinan untuk melindungi dan
mempertahankan para anggotanya dari ‘ancaman-ancaman’ yang berasal dari luar dengan menjadi wakil atau juru bicara kelompok di hadapan kelompok lainnya. Dalam fungsi organisasi, tanggung jawab terhadap hal-hal yang bersangkut paut dengan persoalan organisasional seperti struktur organisasi, kelancaran kerja roda organisasi, dan deskripsi kerja ada di tangan seorang pemimpin, sehingga ia perlu memiliki bekal kemampuan mengelola organisasi yang tentunya lebih baik dibanding anggota kelompok lainnya. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
88
Sementara dalam fungsi integrasi, seorang pemimpin perlu mempunyai kemampuan untuk memecahkan ataupun mengelola dengan baik konflik yang ada dan mucul di kelompoknya. Dengan bekal kemampuan tersebut diharapkan seorang pemimpin dapat menciptakan suasana yang kondusif untuk tercapainya penyelesaian konflik yang dapat memberi kepuasan kepada semua anggota kelompok. Fungsi manajemen informasi internal dalam kepemimpinan kelompok merujuk pada suatu kondisi dalam waktu tertentu dimana pemimpin harus memberi sarana bagi berlangsungnya pertukaran informasi di antara para anggotanya dan juga mencari masukanmasukan tentang bagaimana sebaiknya kelompoknya harus merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi program kerjanya. Dalam fungsi penyaring informasi, seorang pemimpin bertindak sebagai penyaring sekaligus manajer bagi informasi yang masuk dan keluar dari kelompok yang dipimpinnya. Fungsi tersebut dilakukan sebagai usaha untuk mengurangi terjadinya konflik di dalam kelompok ataupun dengan kelompok lain, karena informasi yang ada dalam kelompok tersebut telah tersleksi. Terakhir, dalam fungsi imbalan atau ganjaran, pemimpin melakukan fungsi evaluasi dan menyatakan satuju atau tidak setuju terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh para anggotanya. Hal ini dilakukan pimpinan melalui imbalan-imbalan materi seperti peningkatan gaji, pemberian kenaikan pangkat jabatan, pujian ataupun penghargaan. Banyak anggota kelompok sangat sensitif terhadap kekuatan imbalan dari pimpinannya, sehingga pekerjaan ataupun tugas yang dilakukannya diarahkan untuk memperoleh imbalan tersebut. 2. Gaya Kepemimpinan dalam Kelompok Gaya kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai tingkat atau derajat pengendalian yang digunakan seorang pemimpin dan sikapnya terhadap para anggota kelompok (the degree of control a leader exercise and his attitudes toward group members). Gaya kepemimpinan dalam kelompok ini bisa dibagi dalam lima ciri, yaitu : authoritarian, bureaucratic atau supervisory, diplomathic, democratic dan laissezfaire atau groupcentered. Berikut merupakan penjelasan dari gaya kepemimpinan dalam kelompok : 1. Gaya Authoritarian menempatkan seorang pemimpin sebagai seorang pengendali (cotroler). Kata-kata yang diucapkannya adalah hukum atau peraturan dan tidak dapat diubah. Seorang pemimpin dalam gaya authoritarian biasanya menyadarkan diri pada aturan-aturan, memonopoli tindak komunikasi dan seringkali meniadakan umpan balik dari anggota lainnya. Kelompok yang mempunyai gaya kepemimpinan ini Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
89
memiliki kemungkinan terorganisasi dengan baik dan produktif, namun hubungan antarpribadi (interpersonal relationship) diantara para anggota keompok cenderung renggang dan antagonistik. 2. Gaya Pimpinan Birokratik menempatkan pimpinan sebagai pengawas atau supervisor dan
mengkoordinasikan
aktivitas
kelompok.
Seorang
pemimpin
birokratik
memandang hubungan sosial sebagai hal yang tidak dikehendaki, karenanya ia lebih suka menjauhkan diri dan tidak memperhatikan persoalan-persoalan antarpribadi yang dihadapi para anggotanya. Pemimpin birokratik cenderung berkomunikasi melalui saluran tertulis secara resmi. Kelompok yang memakai gaya kepemimpinan ini akan lebih produktif sebab segala sesuatunya terorganisasi dengan baik, namun ada kecendrungan dari anggota kelompok untuk bersikap apatis. 3. Gaya diplomatik disebut dengan gaya manipulator, karena pemimpin melaksanakan kepemimpinannya supaya menjadi pusat perhatian para anggota kelompoknya. Pemimpin yang diplomatis cenderung untuk sedikit menggunakan kontrol atau setidaknya lebih halus dalam memakai kontrol tersebut dan lebih luwes dibanding pemimpin authoritarian. Ia tidak terpaku terhadap satu aturan khusus dan karenanya lebih bebas untuk menggunakan strategi-strategi tertentu guna memanipulasi orang lain. Dengan demikian pemimpin diplomatik terbuka dengan adanya saran dan umpan balik yang demokratis dari anggota kelompoknya. 4. Gaya Kepemimpinan Demokratik membuat pemimpin tidak banyak menggunakan kontrol apabila dibandingkan dengan ketiga gaya kepemimpinan sebelumnya. Pemimpin demokratik menginginkan seluruh anggotanya untuk berbagi tanggung jawab dan mampu mengembangkan potensi kepemimpinan yang dimilikinya. Pemimpin yang demokratis memiliki kepedulian terhadap hubungan pribadi maupun hubungan tugas di antara para anggota kelompok. Meskipun nampaknya kurang terorganisasi dengan baik, namun gaya ini dapat berjalan dalam suasana yang rileks dan memiliki kecendrungan untuk menghasilkan produktivitas dan kreativitas, karena gaya kepemimpinan ini mampu memaksimalkan kemampuan yang dimiliki para anggotanya. 5. Gaya laissez-faire atau group centered tidak berdasar pada aturan-aturan seorang pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan ini menginginkan seluruh anggota kelompoknya berpartisipasi tanpa memaksakan atau menuntut kewenangan yang dimilikinya. Tindak komunikasi dari pemimpin ini cenderung berlaku sebagai seorang Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
90
penghubung yang menghubungkan kontribusi atau sumbangan pemikiran dari anggota kelompoknya. Jika tidak ada yang mengendalikannya, kelompok yang memakai gaya ini akan menjadi tidak terorganisasi, tidak produktif dan anggotanya akan apatis, sebab mereka merasa bahwa kelompoknya tidak memiliki maksud atau tujuan yang hendak dicapai. Walaupun begitu, dalam situasi tertentu khususnya dalam kelompok terapi, gaya kepemimpinan laissez-faire ini adalah yang paling banyak dan efektif dari gaya-gaya kepemimpinan terdahulu23.
Mengingat penelitian ini tertuju pada konteks kelompok politik dari komisi yang ada di lembaga negara DPR RI maka dipandang perlu untuk melihat perspektif komunikasi politik .
2.5
Komunikasi Politik Para ilmuwan politik sesungguhnya memandang bahwa “politik meliputi komunikasi”
karena banyak definisi komunikasi yang mengandung makna politik. Komunikasi pada umumnya bertujuan memengaruhi atau berkaitan dengan aspek pengaruh (influence). Sedang politik mencakup juga pengaruh sebagai konsep khusus dari kekuasaan (power) sebagai titik sentral kajian politik (Floy Hunter, 1953). Bahkan Laswell dan Kaplan (1950:76) menganggap bahwa pengaruh merupakan konsep pokok, dan kekuasaan sebagai bentuk khas dari pengaruh. Dapatlah dimengerti jika politik bersifat multimakna, dan para ahli memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang politik, sehingga politik juga memiliki multidefinisi. Aristoteles misalnya menyebut bahwa politik merupakan hakikat keberadaan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam karyanya Politics yang ditulis tahun 335 sM, menyatakan bahwa manusia secara alamiah adalah makhluk yang berpolitik (zoon politicon) atau man is by nature a political anaminal. Selain itu politik juga dapat diartikan sebagai aktivitasaktivitas manusia dalam bermasyarakat. Politik juga sering diungkapkan sebagai perjuangan mengangkat penguasa yang berfungsi menetapkan kebijakan pemerintah. Namun politik tidak hanya menyangkut tentang perjuangan, tetapi juga berkaitan dengan kerjasama. Selain itu politik tidak hanya berkaitan dengan pengangkatan penguasa dan penetapan kebijakan, tetapi 23
Sendjaja, S. Djuarsa, dkk. 2004. Teori Komunikasi. Modul SKOM 4204. Universitas Terbuka. h. 3.19-3.21.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
91
politik juga berkaitan dengan distribusi kekuasaan, implementasi kebijakan dan pengalokasian nilai-nilai otoritatif. Politik juga selalu berkaitan dengan kelompok manusia dalam bentuk asosiasi dimana sebuah polis (negara) merupakan satu bentuk asosiasi yang didalamnya terjalin hubungan antara individu yang hidup bersama. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat, bukan tujuan pribadi seorang. Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan individu (Budiarjo, 2005: 8). Dengan demikian, dalam politik pasti akan selalu ada kelompok manusia yang berusaha mencapai tujuan bersama sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial, yang hanya akan menjadi apa dan siapa bergantung pada hubungan yang diciptakannya. Guna menciptakan hubungan
yang harmonis dalam mempertahankan dan
mengembangkan hidup dalam asosiasi terutama negara, selalu ada aturan, kewenangan dan kekuasaan yang dapat diakomodir oleh aktivitas politik, sehingga semakin jelaslah bahwa politik pun sesungguhnya menyangkut manusia dalam bentuk kelompok (asosiasi) yang memiliki hubungan antara individu atau kelompok dengan negara, yang kegiatannya melalui jalur kewenangan, pengaruh, kekuasaan, kepentingan dan kekuatan bagi berbagai macam kegiatan yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dan pelaksanaan tujuan itu. Dari hal tersebut tampak bahwa politik adalah pembicaraan, dan pembicaraan adalah komunikasi sebagaimana yang dicetuskan oleh David V.J Bell, Mark Roelofs dan Peter M.Hall (Arifin, 2011:1). Banyak sekali aspek kehidupan politik dapat dilukiskan sebagai komunikasi, sebagaimana menurut Alfian (1985) bahwa keseluruhan proses politik umumnya terjadi dalam kerangka konflik dan konsensus atau kompromi. Inilah yang dinamakan komunikasi politik, dimana kegiatannya meliputi segala bentuk pertukaran simbol atau pesan yang sampai pada tingkat tertentu dipengaruhi atau memengaruhi berfungsinya sistem politik serta tidak bebas nilai dalam arti sangat terikat dengan faktor sejarah dan kultural, termasuk ideologi, sistem politik, sistem sosial dan sistem ekonomi suatu negara-bangsa. Dengan demikian jelas bahwa nisbat antara komunikasi dan politik sangatlah tipis. Kajian komunikasi politik menurut Nina. W. Syam (2001:2) dalam pohon komunikasi, komunikasi politik adalah merupakan : “salah satu cabang komunikasi organisasional berdasarkan pendekatan publik (public approach). Artinya, komunikasi politik berlangsung dalam konteks organisasi dan dalam situasi publik. Komunikasi politik juga mempelajari mata rantai antara komunikasi dan politik atau jembatan metodologis antara disiplin komunikasi dan politik (hybrid interdisipliner). Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
92
Secara formal objek komunikasi politik adalah dampak atau hasil yang bersifat politik (political outcomes) di samping sebagai salah satu fungsi yang menjadi syarat untuk berfungsinya sistem politik. Jika komunikasi politik dilihat sebagai jembatan metodologis antara disiplin komunikasi dan politik maka objek formal komunikasi politik juga termasuk proses penciptaan kebersamaan dalam makna (the commoness in meaning) tentang fakta dan peristiwa politik (Arrianie, 2010:15). Objek material komunikasi politik menurut Sartori (dalam Rush and Althoff;1971:46) adalah : “dimensi-dimensi komunikasi dari fenomena politik dan dimensi politis dari komunikasi” sesuai dengan apa yang diketengahkan oleh Gurevith dan Blumer (1977:72) yang mengetengahkan empat komponen dalam komunikasi politik yaitu : 1. Lembaga-lembaga politik dalam aspek komunikasinya. 2. Institusi media dalam aspek politiknya. 3. Orientasi khalayak terhadap komunikasi. 4. Aspek budaya politik yang relevan dengan komunikasi. Dari keempat aspek tersebut, penelitian ini terkait dengan lembaga politik dan aspek komunikasinya yang di titik beratkan pada proses pengambilan keputusan politik di lembaga terbuka DPR RI. Komunikasi Politik itu pada hakikatnya adalah proses penyampaian, penerimaan serta pengolahan pesan (message) untuk mempengaruhi individu-individu secara langsung maupun tidak yang terkait pada isu-isu politik secara umum. Karena itu, dalam komunikasi politik selalu mengandung elemen utama, yaitu : 1. Mengurangi informasi yang bias (uncertainty); 2. Untuk kepentingan masyarakat (public interest); 3. Upaya-upaya memperediksi akan suatu kejadian di waktu ke dapan 4. Merencanakan dan menjelaskan komunikasi strategik. Elemen utama tersebut merupakan pesan yang dimiliki efek politis yang penting atas pemikiran, kepercayaan serta perilaku dari individu, kelompok, institusi dan masyarakat di mana informasi itu berada (Graber, 1993:305) Istilah komunikasi politik mulai banyak disebut-sebut semenjak terbitnya tulisan Gabriel Almond (1960) dalam bukunya berjudul The Politics of the Development Areas, dia membahas komunikasi poliik secara terinci. Menurut Almond (1960:12-17), komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik sehingga terbuka kemungkinan bagi para ilmuwan politik untuk memperbandingkan berbagai sistem politik Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
93
dengan latar belakang budaya yang berbeda. Dengan demikian, menurut Almond, komunikasi politik merupakan salah satu dari tujuh fungsi yang dijalankan oleh setiap sistem politik. Almond (1960:45) menulis : ”All the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication, are performed by means of communication”. Tulisan Almond menunjukkan bahwa komunikasi politik bukanlah fungsi yang berdiri sendiri. Komunikasi Politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik. Suatu komunikasi dapat dikatakan sebagai komunikasi politik tergantung pada karakter pesan dan dampaknya terhadap sistem politik. Semakin jelas pesan komunikasi berkaitan dengan politik dan semakin kuat dampaknya terhadap sistem politik, maka semakin signifikan pula komunikasi tersebut dinilai sebagai komunikasi politik (Parwito, 2009:4). Aktivitas
komunikasi
politik
yang
dijalankan
politisi
berorientasi
pada
korps/semangat partai politik yang melatar belakanginya berdasarkan tujuan dan kepentingan tertentu dalam fungsi keanggotaan politisi di parlemen, sehingga partai politik yang dinamakan fraksi di DPR RI selalu berusaha untuk menempatkan wakil-wakilnya sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Partai politik sebagai salah satu instrumen politik yang memiliki tujuan untuk meraih kekuasaan. Selain memiliki tujuan yang jelas adapula fungsi-fungsi yang harus dijalankan yaitu rekrutmen politik, komunikasi politik, pengendali konflik dan lain-lain. Disamping itu partai politik merupakan representasi dari beberapa kelompok yang ada di dalam masyarakat. Partai politik sangat diperlukan untuk menampung seluruh aspirasi rakyat namun pada saat sekarang ini, partai politik lebih banyak menjadi media atau alat agar penguasa dapat menjalankan tujuannya. Secara umum partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggotaanggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Adapun tujuan dibentuknya sebuah partai adalah untuk memperoleh kekuasaan politik, dan merebut kedudukan politik dengan cara (yang biasanya) konstitusional yang mana kekuasaan itu partai politik dapat melaksanakan program-program serta kebijakan-kebijakan mereka. Berikut beberapa definisi partai politik oleh para ahli :
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
94
Menurut R.H Soltau, partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk mengendalikan dan menguasai pemerintahan serta melaksanakan kebijakan umum mereka.24
Menurut Carl J. Frederich, partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil.
Menurut Sigmund Neumann dalam bukunya Modern Political Parties, partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.25
Menurut Mark N. Hagopian, partai politik adalah suatu organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan karakter kebijaksanaan publik dalam kerangka prinsip-prinsip dan kepentingan ideologis tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan.26 Indonesia sebagai negara yang menganut sistem multi partai pada akhirnya
menempatkan berbagai perwakilan dari banyak partai politik peserta Sistem multi-partai dianggap lebih mencerminkan keanekaragaman budaya dan politik, sehingga fungsi partai politk di negara transisi demokrasi seperti Indonesia adalah : Sebagai sarana komunikasi politik Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat bisa diminimalkan. Sebagai sarana sosialisasi politik Partai politik memainkan peran dalam membentuk pribadi anggotanya. Sosialisasi yang dimaksudkan adalah partai berusaha menanamkan solidaritas internal partai, mendidik anggotanya, pendukung dan simpatisannya serta bertanggung jawab sebagai warga negara dengan menempatkan kepentingan sendiri dibawah kepentingan bersama. Sebagai sarana rekruitment politik. 24
Eddi Wibowo dkk.Ilmu Politik Kontemporer. Yogyakarta:YPAPI, 2004, hlm. 69. Miriam Budiardjo.Dasar-Dasar Ilmu Politik-Edisi Revisi. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 404. 26 Ichlasul Amal. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta:PT. Tiara Wacana Yogya, 1996, hlm. XV. 25
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
95
Partai politik mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Cara-cara yang dilakukan oleh partai politik sangat beragam, bisa melalui kontrak pribadi, persuasi atau menarik golongan muda untuk menjadi kader. Sebagai sarana pengatur konflik. Partai politik harus berusaha untuk mengatasi dan memikirkan solusi apabila terjadi persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat. Namun, hal ini lebih sering diabaikan dan fungsi-fungsi diatas tidak dilaksanakan seperti yang diharpakan. Sebagai sarana partisipasi politik Partai politik harus selalu aktif mempromosikan dirinya untuk menarik perhatian dan minat warga negara agar bersedia masuk dan aktif sebagai anggota partai tersebut. Partai politik juga melakukan penyaringan-penyaringan terhadap individu-individu baru yang akan masuk kedalamnya. Sebagai sarana pembuatan kebijakan Fungsi partai politik sebagai pembuat kebijakan hanya akan efektif jika sebuah partai memegang kekuasaan pemerintahan dan mendominasi lembaga perwakilan rakyat. Dengan memegang kekuasaan, partai politik akan lebih leluasa dalam menempatkan orang-orangnya sebagai eksekutif dalam jabatan yang bersifat politis dan berfungsi sebagai pembuat keputusan dalam tiap-tiap instansi pemerintahan.27 Selain hal tersebut di atas, fungsi partai politik di Indonesia sebagai negara berkembang diharapkan untuk memperkembangkan sarana integrasi nasional dan memupuk identitas nasional, karena negara-negara baru sering dihadapkan pada masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, serta suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan hidupnya menjadi satu bangsa.28 Ketika komunikasi politik bertujuan untuk menyampaikan pesan-pesan politik bagi pengambilan keputusan politik, tentunya diperlukan berbagai hal yang mampu mengarahkan kepada terciptanya kesepakatan diantara pihak-pihak yang berpolitik, dalam penelitian ini adalah legislatif (DPR RI) dan eksekutif (Pemerintah). Upaya konsesnsus melalui proses tawar-menawar, lobby dan kompromi menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan. Untuk menjelaskan tentang hal tersebut, perspektif teroi birokrasi politik Graham Allison yang pernah dipergunakan untuk menganalisis pengambilan keputusan pemerintah pada politik 27 28
Eddi Wibowo dkk.Ilmu Politik Kontemporer.(Yogyakarta:YPAPI,2004) hlm 70-76 Ibid., hlm 413
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
96
luar negeri dalam kasus Cuban Missile Crisis (1962) dianggap mampu memperkaya penelitian ini.
2.6
Tinjauan tentang Model Birokrasi Politik (The Bureaucratic Politics Model) Model ini menekankan pada peranan (roles) yang dilakukan banyak birokrat yang
terlibat dalam proses politik luar negeri, dan tidak memfokuskan perhatiannya hanya pada pusat pembuat keputusan politik luar negeri suatu negara. Dengan demikian, para birokrat memiliki banyak pengaruh dalam merumuskan politik luar negeri. Para birokrat juga bertanggungjawab pada pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan sehingga mereka dapat mempengaruhi implementasi politik luar negerinya. Pada model ini pemerintah dianggap terdiri dari sekian banyak individu dan organisasi. Konsekwensi yang muncul adalah keputusan tidaklah dipandang sebagai produk rasionalitas melainkan produk dari proses interaksi dan penyesuaian dari berbagai individu dan organisasi. Dengan kata lain, politik luar negeri merupakan proses politik yang meliputi rundingan-rundingan (bargaining), kompromi (compromise), dan penyesuaian-penyesuaian (adjustment).29 Graham Allison dan Philip Zelikow adalah pelopor penelitian birokratik politik dalam konteks politik luar negeri. Mereka meneliti proses termasuk perilaku para pembuat keputusan yang berupaya merumuskan respon atas tantangan dan kesempatan yang datang dari dunia internasional. Pada dasarnya kedua akademisi tersebut memunculkan tiga argumen utama mengenai bagaimana suatu keputusan luar negeri terbentuk. Argumen pertama dirangkum dalam ungkapan “Where you stand depends on where you sit”. Artinya, pandangan atau sikap seseorang atas suatu isu akan secara signifikanatau substansial dipengaruhi oleh jabatan profesionalnya. Perhatikan kata depend disini jangan diartikan bahwa posisi setiap saat selalu menentukan sikap. Jabatan yang diemban, termasuk kewajiban dan otoritas yang melekat di jabatan tersebut, bukan satu-satunya faktor yang berperan disini. Jabatan seseorang biasanya menuntut seseorang untuk mempertahankan, memperluas kekuasaan suatu institusi atau organisasi, relevansi, anggaran organisasi tempatnya bekerja. Selain kepentingan organisasi tersebut, ada 3 (tiga) faktor lain yang mempengaruhi persepsi
29
Peter A. Toma dan Robert F. Gorman. 1991. International Relations : Understanding Global Issues. Pasific Grove, California : Brooks Cole Publishing Company, hal. 135-136.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
97
serta preferensi mengenai respon yang ideal atas suatu isu, yaitu kepentingan pribadi, domestik, dan nasional.30 Beralih ke argument kedua, Allison dan Zelikow menjelaskan bahwa dengan majemuknya cara pandang tersebut dan beragamnya latar belakang yang membentuknya, maka dapat dipastikan bahwa perdebatan, pertentangan, tarik menarik kepentingan,aliansi antar orangorang yang satu kepentingan, tawar menawar, kompromi diantara para pembuat keputusan terjadi. Bisa dikatakan bahwatiap-tiap pembuat keputusan tidak akan serta merta menemukan kata sepakat. Pengaruh seseorang terhadap hasil akhir ditentukan utamanya oleh dua faktor. Faktor pertama adalah struktur, yaitu pengaruh atau power yang melekat pada posisi profesionalnya, seperti otoritas, kewajiban, status, dukungan masyarakat, dukungan dari politisi, atau institusi, kontrol atas sumber daya, keahlian dan kontrol atas informasi memungkinkan menentukan arah pendefinisian suatu agenda dan masalah, saran-saran, kontrol atas informasi. Faktor kedua adalah individu. Maksud dari faktor individu adalah kemauan seseorang menggunakan pengaruh dalam proses, dan persepsi orang lain terhadap pengaruh yang dimilikinya. Argumen ketiga yang dikemukan oleh Allison dan Zelikow menyangkut bentuk hasil akhir atau sesuai istilah mereka disebut resultant atau solusi yang tidak dikehendaki oleh pihakpihak yang terlibat dalam pembuatan keputusan sejak awal. Dengan kata lain, suatu keputusan akhir adalah produk dari konflik kepentingan, kompromi, kebingungan orang-orang yang memiliki kepentingan dan pengaruh berbeda-beda, kelalaian atau kesalahan yang tidak disengaja, maupun kesalahpahaman. Allison dan Zelikow berargumen bahwa perbedaan pandangan dan sikap membuat perdebatan dan kompromi tidak terhindarkan. Masing-masing pihak dengan gaya yang berbeda berusaha memajukan kepentingan mereka. Meskipun karya Allison (1971, 1999) merupakan awal yang besar untuk menjelaskan pengambilan keputusan pada kasus Cuban Missille Crisis, namun salah satu aspek dari proses pengambilan keputusan yang masih tidak tergambar adalah efek dinamika kelompok pada proses pengambilan keputusan. Hal inilah yang kemudian diamati oleh Janis melalui groupthink teori. Dinamika yang terjadi dalam proses pengambilan keputusan tentunya berisi interaksi yang melewati beberapa tahapan (fase). Hal ini dapat diamati dengan menggunakan perspektif teori analisis proses interaksi dari Robert Bales. 30
Graham Allison dan Philip Zellikow (1999), Essence of Decision: Explaining the Cuban Missile Crisis 2nd Edition, New York: Longman, hal 307.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
98
2.7
Tinjauan Tentang Studi Interaksi Guna mengamati dinamika interaksi yang terjadi dalam kelompok panitia kerja
komisi I DPR RI teori analisis proses interaksi dari Bales yang termasuk dalam tradisi sosiopsikologis dapat membantu analisis. Teori Analisis proses interaksi Bales adalah Teori klasik yang di kembangkan untuk menjelaskan pola diskusi kelompok, terutama dalam hal kepemimpinan.
Dengan menggunakan penelitian bertahun-tahun sebagai fondasi, Bales
menciptakan sebuah teori terpadu dan dikembangkan dengan baik dari komunikasi kelompok kecil yang bertujuan untuk menjelaskan jenis pesan yang manusia tukar dalam kelompok31. Dalam kelompok, setiap individu dapat memperlihatkan sikap positif atau gabungan dengan (1) menjadi ramah, (2) mendramatisasi (suka bercerita atau berbicara), atau (3) menyetujui. Sebaliknya, mereka juga dapat menunujukkan sikap negatif atau sikap campur aduk dengan (1) penolakan, (2) memperlihatkan ketegangan, atau (3) menjadi tidak ramah. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap individu dapat (1) menanyakan informasi, (2) menanyakan opini, (3) meminta saran, (4) memberi saran, (5) memberi opini, dan (6) memberI informasi. Teori yang dicapai adalah proses pembuatan untuk menganalisis komunikasi kelompok. Analisis proses interaksi Bales adalah sistem keseimbangan (equilibrium). Semua unsur-unsur berada dalam keadaan seimbang. Terdapat jumlah yang sama kategori tugas dan kategori sosio-emosional, dan dua kategori tersebut dibagi sama dalam unsur positif dan unsur negatifnya. Selain itu penelitian menunjukkan bahwa kelompok yang terlibat dalam kegiatan komunikasi yang berkaitan dengan tugas selama satu tahapan sidang, cenderung “mempertahankan keseimbangan mereka”. Hal ini dilakukan dengan cara meluangkan waktu yang lebih lama pada kegiatan sosio-emosional dalam tahapan sidang berikut, dan begitu juga sebaliknya. Semua kelompok harus mencapai keseimbangan, keseimbangan tugas, dan kebutuhan kepemeliharaan. Ada tiga tahap dalam model Bales, yaitu: Tahap 1 : Orientation Phase Pada tahap orientasi, anggota yang baru masuk dalam suatu kelompok atau baru mendirikan suatu kelompok akan bertanya, mencari dan saling memberi informasi mengenai tujuan kelompok dan hakekat tugas-tugas dalam kelompok; pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
31
Littlejohn, Stephen W & Karen Foss (2008). Theories of Human Communication. 9th edition. California: Wadsworth Thompson Learning. Hal: 326
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
99
antara lain. “apa yang akan kita lakukan”, “mengapa kita melakukannya”, “bagaimana kita melakukannya” dan “bagaimana mencapai hasil yang terbaik”. Pada tahapan ini, anggota kelompok akan mencari konfirmasi dan melakukan orientasi akan keberadaan kelompok tersebut. Tahap 2 : Evaluation Phase Pada tahap evaluasi, pertanyaan yang diajukan anggota kelompok berkisar seputar peran anggota kelompok dalam tugas-tugas atau pekerjaan yang dilakukan oleh kelompok. Pada tahap ini terjadi semacam pengekspresian opini dan perasaan dari anggota kelompok tentang berbagai isu yang berkembang. Tahap 3 : Control Phase Para anggota kelompok akan saling membuat statement (pernyataan) dan mencari serta memberi petunjuk pada sesama anggota. Disini akan bermunculan pendapat-pendapat yang positif atau negatif dari anggota kelompok secara substansial. Pada tahap ini akan mulai tampak solidaritas kelompok dan minat mereka dalam kelompok
2.8 Tinjauan Tentang Informasi Publik dan Badan Publik Sebagaimana yang dikatakan mantan Ketua Pansus RUU KMIP Paulus Widiyanto (2015) Informasi Publik dan Badan Publik adalah bagai dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan dalam membahas Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Kedua bagian tersebut adalah ruh dari UU KIP tersebut. Jika ditelaah maka terkandung beberapa hal yang mendukung pengertian tentang Informasi dan Badan Publik tersebut. Secara Etimologi, Informasi berasal dari bahasa Perancis kuno informacion (tahun 1387) yang diambil dari bahasa Latin informationem yang berarti “garis besar, konsep, ide”. Informasi merupakan kata benda dari informare yang berarti aktivitas dalam “pengetahuan yang dikomunikasikan”.Informasi Juga dapat diartikan sebagai data yang telah di olah menjadi bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi yang menerimanya. Kata inform sejatinya adalah berarti memberi bentuk, dan informasi ditujukan untuk membentuk orang yang mendapatkannya, yaitu untuk membuat agar pandangan atau wawasan orang tersebut berbeda (dibandingkan sebelum memperoleh informasi). Dengan kata lain informasi adalah pertambahan dalam pengetahuan yang dicapai oleh pihak penerimanya dengan jalan menyeseuaikan elemen-elemen data yang tepat dengan variabel-variabel sebuah problem. Informasi merupakan ingredien pokok dalam proses pengambilan keputusan untuk kebanyakan individu. Sebagaimana dikatakan John G. Burch Jr dan Felix R. Starter Jr bahwa: Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
100
...”information is an occurence or a set of occurences which carry messages and when perceived by the recipients via any of the senses, will increase their state of knowledge. The significance or value of information received can only be measured by the recipient”.32 Beberapa definisi tentang informasi dikemukan oleh para ahli seperti : Raymond Mc.leod, informasi adalah data yang telah diolah menjadi bentuk yang memiliki arti bagi si penerima dan bermanfaat bagi pengambilan keputusan saat ini atau mendatang. Menurut Tata Sutabri, informasi adalah data yang telah diklasifikasikan atau diolah atau diinterpretasikan untuk digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Pengertian informasi menurut Jogiyanto HM., (1999: 692), “informasi dapat didefinisikan sebagai hasil dari pengolahan data dalam suatu bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi penerimanya yang menggambarkan suatu kejadian – kejadian (event) yang nyata (fact) yang digunakan untuk pengambilan keputusan”. Pengertian informasi menurut McFadden dkk (1999) mendefinisikan informasi sebagai data yang telah diproses sedemikian rupa sehingga meningkatkan pengetahuan seseorang yang menggunakan data tersebut. Informasi Menurut George H. Bodnar, (2000: 1), “Informasi adalah data yang diolah sehingga dapat dijadikan dasar untuk mengambil keputusan yang tepat”. Pengertian Informasi menurut Lani Sidharta (1995: 28), “Informasi adalah data yang disajikan dalam bentuk yang berguna untuk membuat keputusan”. Anton M. Meliono (1990: 331), medefinisikan “Informasi adalah data yang telah diproses untuk suatu tujuan tertentu, yang tujuan tersebut adalah untuk menghasilkan sebuah keputusan”. Pengertian Informasi Menurut Gordon B. Davis (1991: 28), “Informasi adalah data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat bagi pengambilan keputusan saat ini atau mendatang”. Dalam perspektif komunikasi, informasi di uraikan oleh teori Shannon dan Weaver berdasarkan model matematis. Shannon dan Weaver menyatakan bahwa semua sumber informasi bersifat stochastic alias probabilistik (bersifat kemungkinan). Jika kemungkinan tersebut bersifat tidak mudah diduga, maka derajat ketidakmudahan ini disebut sebagai entropy. Model matematis Shannon dan Weaver menunjukkan hubungan antara elemen sistem teknologi komunikasi, yaitu sumber, saluran, dan sasaran. Setiap sumber dalam gambaran Shannon memiliki tenaga atau daya untuk menghasilkan sinyal. Dengan kata lain, pesan apa pun yang ingin disampaikan melalui komunikasi, perlu diubah menjadi sinyal, dalam sebuah 32
John G. Burch Jr. Felix R. Starter Jr (dalam Winardi, 2000:512)
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
101
proses kerja yang disebut encoding atau pengkodean. Sinyal yang sudah berupa kode ini kemudian dipancarkan melalui saluran yang memiliki kapasistas tertentu. Saluran ini dianggap selalu mengalami gangguan (noise) yang mempengaruhi kualitas sinyal. Memakai hitung-hitungan probabilitas, teori informasi mengembangkan cara menghitung kapasitas saluran dan kemungkinan pengurangan kualitas sinyal. Sesampainya di sasaran, sinyal ini mengalami proses pengubahan dari kode menjadi pesan, atau disebut juga sebagai proses decoding. Teori informasi Shannon juga menganggap bahwa informasi dapat dihitung jumlahnya, dan bahwa informasi bersumber atau bermula dari suatu kejadian. Jumlah informasi yang dapat dikaitkan, atau dihasilkan oleh, sebuah keadaan atau kejadian merupakan tingkat pengurangan (reduksi) ketidakpastian, atau pilihan kemungkinan, yang dapat muncul dari keadaan atau kejadian tersebut. Dengan kata yang lebih sederhana, teori ini berasumsi bahwa kita memperoleh informasi jika kita memperoleh kepastian tentang suatu kejadian atau suatu hal tertentu. Keunggulan teori Shannon-Weaver terletak pada kemampuannya membuat persoalan komunikasi informasi menjadi persoalan kuantitas, sehingga sangat cocok untuk mengembangkan teknologi informasi. Sedangkan kata publik secara psikologis diartikan sebagai sekelompok orang yang menaruh perhatian terhadap satu masalah yang sama. Sedangkan secara sosiologis public adalah sekelompok orang yang menaruh perhatian terhadap suatu masalah. Rhenald Kasali berpendapat bahwa publik adalah kumpulan dari orang-orang atau pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan (Kasali, 2000:57). Mayor Polak menyampaikan bahwa publik adalah sekelompok orang yang mempunyai minat sama terhadap suatu kegemaran atau persoalan tertenu. Emory S Bogardus, mendefinisikan publik merupakan sejumlah orang yang dengan suatu cara mempunyai pandangan yang sama mengenai suatu masalah atau setidaknya mempunyai kepentingan bersama dalam sesuatu hal. Herbert Blummer (Jefkin, 2006:80) menyatakan publik adalah sekelompok orang yang (1) dihadapkan pada suatu permasalahan, (2) berbagi pendapat mengenai cara pemecahan persoalan tersebut, (3) terlibat dalam diskusi mengenai persoalan itu. Publik adalah kelompok atau orang-orang yang berkomunikasi dengan suatu oragnisasi, baik secara internal maupun eksternal atau diartikan sebagai ,unit sosial aktif yang terdiri dari semua pihak yang terlibat yang mengenali problem bersama yang akan mereka cari solusinya secara bersama-sama (Dewey, 1927:15).
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
102
Dari definisi di atas maka informasi publik secara umum dapat diartikan adalah merupakan segala hal/sesuatu yang disampaikan keepada publik dengan maksud dan tujuan tertentu. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik didefinisikan bahwa Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Informasi Publik dapat dikategorikan menjadi (1) Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala; (2) Informasi yang wajib diumumkan secara serta merta; dan (3) Informasi yang wajib disediakan setiap saat. Adapun informasi yang wajib disediakan tersebut berkaitan dengan (1) Informasi terkait Badan Publik, (2) Informasi yang mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait, (3) Informasi mengenai laporan keuangan dan (4) Informasi lain yang diatur dalam perUndang-undangan. Sedangkan Badan Publik menurut definisi UU Nomor 14 tahun 2008 adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian
atau
seluruh
dananya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri. Terdapat lima ketegori dalam pengertian Badan Publik, yang pertama adalah Lembaga Eksekutif, Lembaga Eksekutif mencakup seluruh lembaga yang masuk dalam jajaran pemerintah baik di tingkat pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota hingga Desa. Lembaga Eksekutif di tingkat pusat yang masuk dalam ketegori Badan Publik antara lain Lembaga Kepresidenan, Kementerian Negara (misalnya : Kementerian Pendidikan, Kementerian Luar Negeri). Di tingkat Provinsi antara lain Badan, Dinas dan Biro, sedangkan di tingkat Kabupaten/Kota misalnya Dinas, Badan, Bagian, dan Camat sampai dengan tingkat Desa. Kategori kedua adalah Lembaga Legislatif atau lembaga perwakilan rakyat baik di tingkat pusat (DPR/DPD), maupun di tingkat Provinsi (DPRD Provinsi), Kabupaten/Kota (DPRD Kabupaten/Kota). Ketiga adalah Lembaga Yudikatif yang termasuk adalah Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi hingga Pengadilan Negeri, serta lembaga peradilan lainnya (Pengadilan Militer, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara).
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
103
Kategori keempat adalah Badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD antara lain institusi yang dibentuk berdasarkan perintah peraturan perUndangundangan, misalanya KPU, LIPI, Komisi Penyiaran, dll serta Badan Hukum Milik Negara seperti Universitas, Sekolah, Rumah Sakit pemerintah. Kategori kelima adalah Organisasi non Pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri, misalnya lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat, sepanjang organisasi ini memperoleh pendanaan baik sebagian atau seluruhnya dari APBN/APBD, mengumpulkan sumbangan masyarakat atau menerima sumbangan dana luar negeri. Kategori organisasi non pemerintah ini cukup luas, yang membatasi adalah apabila lembaga tersebut menerima dana dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat atau luar negeri. Berikut uraian lembaga/badan yang termasuk Badan Publik : Tabel. 5 Uraian Badan Publik No. a.
Definisi Badan Publik Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah;
b.
Lembaga lain yang fungsi dan tugas pokoknya melaksanakan penyelenggaraan negara; Lembaga atau badan usaha yang melaksanakan penugasan khusus Pemerintah dengan menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan dan Belanja Daerah, yang keterbukaan Informasinya terbatas pada kegiatan penugasan khusus Pemerintah tersebut.
c.
Lembaga/Badan Eksekutif: Lembaga Kepresidenan/ Wakil Presiden, Departemen, Kementerian Negara, LPND, Pemprov, Pemkab, Pemkot, Pemerintahan Kecamatan, Kelurahan dan Desa, TNI, Polri, Kedutaan, Konsulat, KPU. Legislatif : MPR, DPR, DPD, DPRD, BPK. Yudikatif : PN, PT, MA, MK, KY, KPK, Kejaksaan. BI, Lembaga Adhoc, Komnas HAM, Ombudsman, BLU, BHMN. BUMN, BUMD, BUMS, LSM, dan lembaga lain apapun yang mengemban PSO/Subsidi.
Keterangan
-
-
Prinsipnya BUMN/BUMD bukan badan publik karena kegiatannya di bidang usaha, bukan di bidang pemerintahan. BUMN dan BUMD dapat diakses oleh badan publik dalam kerangka RUU KMIP terbatas pada informasi yang berkaitan dengan kegiatan pelaksanaan penugasan khusus Pemerintah melalui dana PSO/Subsidi
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
104
(APBN/APBD) d.
Lembaga dan/atau Organisasi non Pemerintah yang mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau sumbangan masyarakat, dan/atau sumber luar negeri, yang keterbukaan informasinya terbatas pada kegiatan penggunaan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau sumbangan masyarakat tersebut.
Parpol, PMI, Yayasan, LSM, Pesantren, dan Lembaga non Pemerintah lainnya.
Sumber : Kementerian Negara BUMN dalam rangka Pembahasan RUU KMIP pada Rapat Kerja dengan Komisi I tanggal 3 September 2007
Berdasarkan uraian pada tabel tersebut terlihat memang BUMN/BUMD tidak diharapkan termasuk dikategorikan sebagai badan publik dengan alasan menjalankan kegiatan di bidang usaha bukan bidang pemerintahan. Kementerian BUMN menyatakan bahwa BUMN dan Badan Usaha Swasta telah memiliki landasan hukum masing-masing yaitu untuk BUMN adalah : Paket UU Keuangan Negara, UU 40/2007 PT, UU 19/2003 BUMN, UU 8/1995 Pasar Modal, Paket UU Sektoral dan Paket UU Pemeriksaan. Sedangkan landasan hukum untuk Badan Usaha Swasta adalah : UU 40/2007 PT, UU8/1995 Pasar Modal dan Paket UU Sektoral. Adapun maksud dan tujuan pendirian BUMN berdasarkan Pasal 2 UU No. 19 Tahun 2003 adalah : 1.
Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan Negara pada khususnya.
2.
Mengejar keuntungan.
3.
Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.
4.
Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi.
5.
Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Bentuk-bentuk aktivitas BUMN yang berjalan meliputi : 1.
Pelaksanaan Tugas Negara dalam melayani masyarakat, contoh/jenisnya : PSO/Subsidi (rezim hukum: keuangan negara). Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
105
2.
Pelaksana tugas yang termasuk rahasia negara, contoh/jenisnya: dukungan Alutista (rezim hukum: rahasia negara).
3.
Korporasi (Perseroan Terbatas), contoh/jenisnya : Perusahaan Terbuka dan Perusahaan Tertutup (rezim hukum: korporasi).
2.9 Kerangka Pemikiran Penelitian Setelah membicarakan teori mengenai
groupthink, pengambilan keputusan,
komunikasi kelompok, komunikasi politik, model birokrasi politik dan teori analisis proses interaksi diatas, maka penelitian ini berangkat dari argumentasi bahwa dalam proses pengambilan keputusan politik di kelompok lingkup legislatif DPR RI terjadi groupthink sebagai akibat dari adanya pertarungan kepentingan dengan pihak eksekutif. Kelompok politik di Komisi I DPR RI yang pada awalnya terdiri dari anggota dengan latar belakang heterogen karena berbeda ideologi politik dan memiliki kedudukan yang dapat dikatakan setara dengan label ‘sesama anggota dewan’, pada akhirnya dapat dikatakan homogen dan menjadi kohesif ketika berhadapan dengan kepentingan pemerintah (eksekutif) dalam pembahasan mengenai definisi badan publik di RUU KIP tahun 2008. Pada kondisi tersebut anteseden (kondisi pendahulu) groupthink yaitu adanya : (1) kelompok kohesif pengambil keputusan, (2) adanya kesalahan struktural dan (3) karakteristik yang menghasilkan tekanan, dapat muncul dan mengarah kepada tendensi gejala groupthink berupa : (1) penilaian berlebihan terhadap kelompok, (2) ketertutupan pikiran, dan (3) tekanan untuk mencapai keseragaman, ketika pihak DPR RI berbeda pendapat dengan pihak eksekutif dan keduanya (legislatif dan eksekutif) tidak ingin mencapai konsensus (kesepakatan). Walaupun terdapat upaya yang dikategorikan untuk meminimalisasi groupthink seperti terdapat proses dengar pendapat, sikap pimpinan yang cenderung akmodatif maupun peran devil’s advocat yang bisa dibawa oleh anggota dari fraksi yang tergolong pendukung pemerintah, namun upaya tersebut tidak mampu berpengaruh secara signifikan karena groupthink telah ada. Hasil dari interaksi yang ada di dalamnya bisa dilihat dari catatan risalah rapat Panja RUU KIP Komisi I DPR RI periode 2004-2009. Isi risalah rapat dalam penelitian ini dilihat sebagai hasil atau produk dari komunikasi kelompok politik di DPR RI yang melibatkan kepentingan legislatif dan eksekutif yang mengandung kondisi pendahulu dan gejala groupthink bagi pengambilan keputusan kelompok Komisi I DPR RI dengan didasari oleh
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
106
lobby dan kompromi serta dipengaruhi tekanan waktu, yang tentunya menimbulkan kekecewaan di sisi lain sehingga mempengaruhi implementasi UU KIP setelah disahkan. Peran dari teori analisis proses interaksi adalah untuk memahami fase-fase interaksi dalam dinamika komunikasi politik yang terjadi, sedangkan teori model birokrasi politik adalah untuk memahami proses tawar menawar yang terjadi antara pemerintah dengan DPR RI sebagai agen pemerintah lainnya. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pada tahap pertama adalah melakukan penelusuran dan identifikasi berbagai isu yang menonjol dalam RUU KIP pada kelompok Panitia Kerja (Panja) Komisi I yang diserahi tugas membahas RUU KMIP/KIP. Pada tahap kedua peneliti akan menelusuri proses pembahasan hingga pengambilan keputusan pada isu mengenai badan publik dengan cara koding risalah rapat dan melakukan wawancara mendalam kepada informan yang dipilih secara purposif terhadap pihak-pihak yang dianggap banyak terlibat dan tahu pasti tentang RUU KIP untuk mendapatkan gambaran tentang dinamika komunikasi yang berlangsung pada saat itu. Pada tahap ketiga dilakukan analisis berdasarkan model teori groupthink untuk memastikan telah terjadi groupthink serta melihat keterkaitan berbagai kepentingan diluar kelompok legislatif dalam dinamika interaksi dalam rangka pengambilan keputusan. Disinilah peran dari teori analisis proses interaksi dan teori model birokrasi politik untuk membantu memahami perubahan dari kondisi yang awalnya jauh dari kecenderungan groupthink menjadi tercipta groupthink. Dengan demikian kerangka pemikiran penelitian yang dapat digambarkan adalah sebagai berikut :
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
107
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian
Kelompok kohesif pengambil keputusan
Kondisi Pendahulu Groupthink
Karakteristik Tekanan
Kesalahan Struktural
KELOMPOK KOMISI I DPR RI YANG MEMBAHAS RUU KIP KOHESIF DAN TERBUKA
Penilaian berlebihan terhadap kelompok
Gejala Groupthink
Ketertutupan Pikiran
Tekanan untuk Keseragaman
Keputusan yang berpotensi Gagal/Kontroversi
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
108
BAB III METODOLOGI
3.1
Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma postpositivisme
karena penelitian ini dilakukan berangkat dari teori, melalui pengamatan empiris, untuk menemukan/mengkonfirmasi hukum sebab-akibat, yang bisa digunakan untuk memprediksi pola-pola umum gejala sosial tertentu, dengan penggunaan metode kualitatif. Penelitian dengan paradigma postpositivis berusaha menciptakan pengalaman interaktif antara peneliti dengan objek yang diteliti, dengan batasan bahwa pengamat harus bersikap senetral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi. Pendekatan kualitatif didasarkan dengan pertimbangan tujuan penelitian (eksplorasi deskripsi) dan juga dikarenakan peneliti ingin mengetahui secara mendalam mengenai indikasi dan gejala groupthink dalam proses pembahasan dan pengambilan keputusan mengenai definisi Badan Publik dalam RUU KIP di Komisi I DPR RI. Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 2002:3) pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati. Sedangkan menurut Denzin dan Lincoln (1994:4), istilah kualitatif menunjuk pada suatu penekanan pada proses-proses dan makna-makna yang tidak diuji atau diukur secara ketat dari segi kuantitas, jumlah intensitas maupun frekuensi. Dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran dari perilaku manusia dan konteks sosial dalam interaksi sosial. Di samping itu, penelitian ini diharapkan menghasilkan kedalaman infomasi. Menurut Patton, penelitian kualitatif dilakukan untuk memahami situasi-situasi dalam keunikan atau kekhasan mereka miliki sebagai bagian dari konteks dan interaksi. Pemahaman ini tidak digunakan untuk memprediksi peristiwa yang akan terjadi di masa depan, tetapi untuk memahami secara mendalam aspek-aspek ilmiah dari latar masyarakat (Patton, 2002:1). Penelitian kualitatif memiliki beberapa karakteristik: interpretif, instrumental dan deskriptif (Merriam, 2002). Karakteristik pertama menjelaskan bahwa peneliti berusaha memahami makna-makna yang dibentuk oleh masyarakat tentang dunia dan pengalamannya. Pemahaman yang akan diperoleh nantinya akan digunakan untuk membuat prediksi-prediksi tentang apa yang akan terjadi di waktu mendatang. Pemahaman yang diperoleh dari penelitian ini akan membantu peneliti mengetahui hal-hal seperti misalnya: seperti apa Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
109
dunianya orang yang diteliti, apa arti dunia tersebut bagi orang yang diteliti, apa yang terjadi oleh orang yang diteliti dalam dunia tersebut. Jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas akan dipakai untuk membuat interpretasi atau mendalam atas subyek penelitian. Karakeristik kedua menjelaskan bahwa, dalam penelitian kualitatif, peneliti menjadi alat utama dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Pemahaman mendalam atas subyek yang diteliti menjadi tujuan dari penelitian kualitatif. Sedangkan karakteristik yang ketiga, menjelaskan bahwa hasil dari penelitian kualitatif bersifat deskriptif. Hasil-hasil ini bisa berupa deskripsi atas suatu konteks, informan yang terlibat atau kegiatan –kegiatan menarik perhatian peneliti. Disamping itu dicantumkan pula deskripsi hasil penelitian dengan bahan-bahan lain yang terkait seperti misalnya: kutipan-kutipan, catatan-catatan di lapangan, transkrip wawancara, transkrip film, transkrip komunikasi elektronik dan sebagainya. Pencantuman bahan-bahan tersebut dimaksudkan untuk mendukung hasil temuan penelitian. Ketiga karakteristik diatas menjelaskan bahwa penelitian kualitatif berusaha memahami dan memaknai suatu fenomena dari perspektif informan atau orang yang diteliti Dalam penelitian disertasi ini peneliti menggunakan metode pengumpulan data yakni melakukan studi dokumen melalui risalah rapat tentang bahasan Badan Publik RUU KIP serta dengan wawancara mendalam kepada informan yang mewakili beberapa fraksi di Komisi I DPR RI, serta dengan mengambil data dari berbagai teks baik yang diperoleh secara tertulis maupun dari sumber online untuk diolah sebagai bahan analisis penelitian. Sementara itu untuk memastikan mengapa sebuah riset menggunakan pendekatan penelitian tertentu, maka harus menyesuaikan dengan tujuan penelitiannya. Neuman (2011) mengatakan tujuan seorang peneliti ada tiga yaitu mengeksploitasi topik baru (eksploratif), mendeskripsikan fenomena sosial (deskriptif) atau menjelaskan alasan munculnya sesuatu (eksplanatif). Sebuah penelitian bisa memiliki lebih dari satu sifat tujuan, namun tetap saja salah satu sifat dan tujuan pasti mendominasi. Dari sini tampak bahwa tujuan peneliti dalam penelitian ini selain berusaha mendeskripsikan fenomena sosial, juga berusaha untuk menjelaskan kenapa terjadi groupthink dalam sebuah komunikasi kelompok di lingkup parlemen (DPR RI) tersebut.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
110
3.2
Paradigma Penelitian Paradigma merupakan sekumpulan kepercayaan dasar (atau metafisika) yang
berhubungan dengan prinsip-prinsip utama dan mewakili ‘pandangan dunia’ yang menentukan, bagi pemakainya, sifat ‘dunia’ (“… a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles… a world view that defines, for its holder, the nature of the ‘world’….- (Guba dalam Denzindan Lincoln-2000). Paradigma menurut Guba dan Lincoln (1994) dalam Hidayat (2004), mengajukan tipologi yang mencakup empat paradigma : positivisme, postpositivisme, kritikal dan konstruktivisme. Dikemukakan oleh Guba, bahwa setiap paradigma membawa implikasi metodologi masing-masing. Paradigma dalam penelitian ini adalah paradigma postpositivisme yang menempatkan ilmu sosial seperti ilmu-ilmu alam yakni sebagai suatu metode yang terorganisir untuk mengkombinasikan deductive logic dengan pengamatan empiris, guna secara probabilistik menemukan atau memperoleh konfirmasi tentang hukum sebab-akibat yang bisa dipergunakan memprediksi pola-pola umum gejala sosial tertentu (Hidayat, 2006:3). Hal ini dikarenakan penelitian yang akan dilakukan berangkat dari teori, melalui pengamatan empiris, untuk menemukan/mengkonfirmasi hukum sebab-akibat, yang bisa digunakan untuk memprediksi pola-pola umum gejala sosial tertentu, dengan penggunaan metode kualitatif. Menurut Denzin & Guba (1990 dalam Salim, Agus, 2001:40). Penelitian kualitatif merupakan salah satu bentuk perbaikan atas kelemahan dari paradigma positivisme. Pada paradigma postpositivis, hubungan antara peneliti dengan objek yang diteliti adalah bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus bersikap senetral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi. (Denzin & Guba, 1990 dalam Salim, Agus, 2001:40). Secara ontologis, cara pandang aliran ini bersifat critical realism. Sebagaimana cara pandang kaum realis, aliran ini juga melihat realitas sebagai hal yang memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, namun menurut aliran ini, adalah mustahil bagi peneliti untuk melihat realitas secara benar. Oleh karena itu secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi dipandang tidak mencukupi, tetapi harus dilengkapi dengan metode triangulasi, yaitu penggunaan beragam metode, sumber data, periset, dan teori. Secara epistemologis hubungan antara periset dan objek yang diteliti tidak bisa dipisahkan. Namun, aliran ini menambahkan pendapatnya bahwa suatu kebenaran tidak mungkin bisa ditangkap apabila periset berada di belakang layar, tanpa terlibat dengan objeknya secara langsung. Aliran ini menegaskan arti penting dari hubungan interaktif antara Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
111
periset dan objek yan diteliti, sepanjang dalam hubungan tersebut periset bisa bersifat netral (Salim, 2006:70).
3.3
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan suatu studi kasus instrumental tunggal (single instrumental
case study) intrumental. Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan suatu isu yaitu pembahasan dan pengambilan keputusan mengenai definisi badan publik pada RUU KIP untuk kemudian digambarkan secara rinci. Pemilihan studi kasus instrumental bertujuan untuk memberikan pemahaman mendalam atau menjelaskan kembali suatu proses generalisasi. Dengan kata lain, kasus diposisikan sebagai sarana (instrumen) untuk menunjukkan penjelasan yang mendalam dan pemahaman tentang sesuatu yang lain dari yang biasa dijelaskan. Melalui kasus yang dipilih untuk diteliti, peneliti bermaksud untuk menunjukkan adanya sesuatu yang khas yang dapat dipelajari dari kasus tersebut. Metode studi kasus (case study) lebih dipahami sebagai pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasi suatu ‘kasus’ dalam konteksnya yang alamiah tanpa adanya intervensi pihak luar (Salim, 2006:118). Selain itu digunakan untuk melihat secara detail dan menganalisa suatu kasus dalam individu, kelompok, proses, aktivitas, dan sebagainya dengan harapan bisa menghasilkan deskripsi yang kaya dan holistik (Patton, 2002:447). Sebagai suatu upaya penelitian, studi kasus dapat memberi nilai tambah pada pengetahuan kita secara unik tentang fenomena individual, organisasi, sosial dan politik. Studi kasus memungkinkan peneliti untuk mempertahankan karakteristik holistik dan bermakna dari peristiwa-peristiwa kehidupan nyata – seperti siklus kehidupan sesorang, proses-proses organisasional dan manajerial, perubahan lingkungan sosial, hubunganhubungan internasional dan kematangan industri-industri (K. Yin, 2005:4). Studi kasus dalam penelitian ini berusaha mengumpulkan sejumlah besar informasi yang terkait dengan topik penelitian yaitu tentang kohesivitas kelompok dan dinamika komunikasi terkait dengan adanya groupthink dalam kasus pembahasan dan pengambilan keputusan mengenai definisi Badan Publik RUU KIP yang dilakukan oleh kelompok panitia kerja Komisi I DPR RI periode 2004-2009, untuk kemudian mempelajari, mendalami, menerangkan atau menginterpretasikannya dalam konteksnya secara mendetail dan natural, tanpa adanya intervensi dari pihak luar (Denzin & Lincoln, 2000:3).
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
112
Denzin & Guba juga menyatakan bahwa studi kasus berusaha menyoroti suatu peristiwa dari segi alasan (why?) dan bagaimana penerapannya (how?). Hasil penelitian studi kasus tidak sekedar dengan memberikan laporan tetapi juga memberikan nuansa, suasana, dan pikiran-pikiran yang berkembang dalam kasus (Denzin & Guba: 1990, dalam Agus Salim, 2001:93). Punch (1998) menyebutkan bahwa yang didefinisikan sebagai kasus adalah fenomena khusus yang hadir dalam suatu kompleks yang dibatasi (bounded context), meski batas-batas antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas. Kasus itu dapat berupa individu, peran, kelompok kecil, organisasi, komunitas, atau bahkan suatu bangsa. Kasus dapat pula berupa keputusan, kebijakan, proses, atau suatu peristiwa khusus tertentu. Beberapa tipe unit yang dapat diteliti dalam bentuk studi kasus antara lain: individu-individu, karakteristik atau atribut dari individu-individu, aksi dan interaksi, peninggalan atau artefak perilaku, setting, serta peristiwa atau insiden tertentu (Poerwandari, 2001:65). Selanjutnya, studi kasus dapat dibedakan dalam beberapa tipe, yaitu: 1.
Studi kasus instrinsik: penelitian dilakukan untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep/teori ataupun tanpa upaya menggeneralisasi.
2.
Studi kasus instrumental: penelitian pada suatu kasus unik tertentu, dilakukan untuk memahami isu dengan lebih baik, juga untuk mengembangkan dan memperhalus teori.
3.
Studi kasus kolektif: suatu studi kasus instrumental yang diperluas sehingga mencakup
beberapa
kasus.
fenomena/populasi/kondisi
umum
Tujuannya dengan
adalah lebih
untuk
mempelajari
mendalam.
(Poerwandari,
2001:65). Metode penelitian yang digunakan dalam hal ini adalah studi kasus instrumental mengingat kasus perumusan UU KIP ini dianggap berliku dan menarik karena menghabiskan waktu yang sangat panjang serta banyak menimbulkan perdebatan, selain itu studi kasus instrumental juga dimaksudkan untuk memahami isu dengan lebih baik, juga untuk mengembangkan dan memperhalus teori. Menurut Stake (1994), setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian dengan menggunakan studi kasus. Pertama, persoalan keunikan situasi (uniqueness of situation). Sebuah kasus memiliki keunikan historis. Kasus yang merupakan entitas yang
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
113
kompleks bekerja dalam sejumlah konteks, termasuk konteks fisik, ekonomi , etnis dan estetik. Dengan demikian, peneliti akan bergerak dalam konteks historis tersebut. Kedua, isu-isu. Setiap kasus umumnya mencakup isu yang beragam. Ini pula yang menggerakkan peneliti untuk mengambil posisi. Ketika peneliti menetapkan penelitiannya terhadap berbagi isu dan tidak satu isu tunggal, putusan tersebut berimplikasi dengan caracara peneliti dalam melakukan penelitian. Ketiga, telling the story, yang berarti bagaimana seorang peneliti mampu menceritakan cerita-cerita yang dimiliki dalam kasus tersebut. Posisi peneliti adalah menceritakan bagaimana cerita-cerita itu. Dari studi kasus ini diharapkan akan didiapatkan informasi yang kaya dengan pengertian, sehingga bisa menggambarkan fokus penelitian yang mendalam, setil, selaras dengan konteksnya (Patton, 2002:22).
3.4
Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data atau informasi secara
langsung dari informan melalui in-depth interview, yang didukung dengan studi dokumen. Dalam melakukan wawancara mendalam dengan para informan, peneliti menggunakan pedoman wawancara mendalam dengan para informan, peneliti menggunakan pedoman wawancara (interview guide) – yang berisi pertanyaan-pertanyaan terbuka – sebagai alat pengumpulan data, dengan disertai probing untuk mendapatkan infromasi yang lebih mendetail, kaya, mendalam dan lebih mudah dipahami. Adapun tahap yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut:
Tahap orientasi dan memperoleh gambaran umum. Pada tahap ini dilakukan upaya untuk mengetahui sesuatu yang perlu diketahui sebagai pengetahuan dasar peneliti tentang situasi lapangan, melalui berbagai literatur yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilaksanakan. Dengan tahapan ini diharapkan dapat memperoleh informasi tentang latar belakang yang merupakan acuan dalam merinci informasi yang diperoleh pada tahap berikutnya. Pada tahap ini dilakukan proses penjajakan ke DPR RI untuk mendapatkan dokumen risalah rapat RUU KIP tahun 2008 serta dengan melacak keberadaan informan dan melakukan pendekatan kepada mereka
Tahap eksplorasi. Fokus pada tahap ini dilakukan pengumpulan data dengan meminta risalah rapat RUU KIP, melakukan wawancara dan observasi kecil untuk melihat situasi rapat di DPR RI agar diperoleh gambaran yang mendalam tentang subjek penelitian yang Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
114
kemudian dilanjutkan dengan analisis data. Informan yang ditentukan adalah orang yang dianggap kompeten dan memiliki pengetahuan tentang fokus penelitian.
Tahap pengecekan data. Hasil wawancara dan pengamatan dari tiap informan dicatat dalam transkrip kemudian diinfromasikan kepada informan yang bersangkutan untuk dibaca dan dinilai kesesuaiannya dengan informasi yang telah diberikan. Hal ini ditujukan untuk memperbaiki jika terjadi kesalahan atau penambahan informasi. Dengan tahapan ini informan dapat mengecek kebenaran transkrip hasil wawancara guna membangun derajat kepercayaan pada informasi yang diperoleh.
3.5
Sumber dan Jenis Data Penelitian Ditinjau dari asal data yang diperoleh, di dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua,
yakni data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung terhadap subyek atau obyek penelitian, dalam hal ini mereka yang merupakan informan-informan dalam penelitian. Sedangkan data sekunder adalah data pendukung yang diperoleh tidak secara langsung dari subyek atau obyek penelitian. Data sekunder ini dapat berupa data-data dokumen, publikasi, catatan-catatan tertentu, jejak dan rekaman, diary dan sebagainya. Namun ditinjau dari sumber data yang digunakan, sesuai dengan klasifikasi yang dikemukakan Guba dan Lincoln (1994) dibedakan menjadi dua kelompok besar, yakni human (informan) dan nonhuman. Sumber data penelitian dalam eksistensinya sebagai manusia digali karena kepentingan informasi yang dimiliki seseorang tersebut. Demikian pula sumber data dalam bentuknya yang nonhuman dapat mencakup ranah yang sangat luas, antara lain dokumen, publikasi, peristiwa atau kejadian, artifak, catatan-catatan, diary, artikel, rekaman, dan seterusnya. Informan dalam penelitian ini diambil dengan cara tertentu dari para pihak yang karena kedudukan atau kemampuannya dianggap dapat merepresentasikan masalah yang dijadikan objek penelitian. Teknik yang digunakan untuk menentukan penarikan informan adalah dengan purposive sampling technique untuk memilih informan yang sesuai (kredibel) bagi pemberian informasi tentang kasus yang dipilih karena banyak mengetahui tentang proses pembahasan dan pengambilan keputusan mengenai Badan Publik pada RUU KIP di kelompok Panja Komisi I DPR RI. Total informan dalam penelitian ini berjumlah 10 (sepuluh) orang. Dengan komposisi informan kunci (pokok) yang dianggap memiliki informasi pokok yang diperlukan dalam Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
115
penelitian adalah para politisi yang duduk sebagai anggota Komisi I DPR RI periode 20042009 yang berjumlah 5 (lima) orang dan berasal dari fraksi partai politik yang berbeda-beda, yaitu dari PDIP, PAN, Golkar, PPP, dan PKB. Tidak semua perwakilan fraksi berhasil dimintai keterangan karena peneliti mendapatkan kesulitan dalam melacak dan menemukan keberadaannya. Ditambah dengan informan biasa yaitu masyarakat yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang diteliti berjumlah 4 (empat) orang dengan komposisi 2 (dua) orang dari perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, 1 (satu) orang dari Kementerian Komunikasi dan Informatika serta 1 (orang) dari Sekretarial Jenderal Komisi I DPR RI. Serta terdapat 1 (satu) orang informan tambahan dari Komisi Informasi Pusat yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial yang sedang diteliti. Sedangkan data sekunder adalah berasal dari literatur, rekaman ataupun publikasi dan sebagainya yang mampu mendukung keabsahan data primer baik melalui literatur asli maupun online.
3.6
Unit Analisis dan Unit Respon Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini berupa identifikasi terhadap faktor-faktor pendahulu
dan gejala groupthink yang ada dalam kelompok yang membatas tentang definisi Badan Publik di Pasal 1 ayat 3 RUU KIP di Komisi I DPR RI. Unit Respon Dalam penelitian ini, yang menjadi unit respon adalah individu dan dokumen. Individu yang menjadi sasaran penelitian adalah kelompok kerja di Komisi I DPR RI, sedangkan dokumen yang menjadi rujukan penelitian adalah risalah rapat mengenai pembahasan RUU KIP.
3.7
Instrumen Penelitian Di dalam penelitian ini yang akan digunakan ada dua intrumen penelitian: instrumen
utama dan instrumen pendukung. Instrumen utama adalah diri peneliti yang akan meneliti langsung ke lapangan. Instrumen pendukung adalah daftar pertanyaan terbuka. Selain itu digunakan sarana pendukung lain seperti misalnya : recorder, kamera, dan alat tulis untuk keperluan dan pengumpulan informasi.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
116
3.8
Teknik Analisis Data Analisa data dilakukan dengan cara interpretasi melalui pemberian makna, dengan
mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan informan. Untuk menghindari subjektifitas peneliti, analisa akan dilakukan dengan mendasarkan pada sudut pandang informan, dengan menyertakan kutipan pernyataan mereka serta konteks yang melatarbelakanginya. Kutipan pernyataan-pernyataan tersebut nantinya juga akan turut disajikan sebagai penguat dalam analisa data. Analisis data dilakukan melalui beberapa tahap, sebagai berikut:
Tahap mereduksi data, yaitu melakukan coding terhadap informasi-informasi penting yang berkaitan dengan masalah penelitian, yang dilanjutkan dengan pengelompokan data berdasarkan permasalahan penelitian.
Tahap selanjutnya, data yang dikelompokkan disusun dalam bentuk narasi sehingga menjadi rangkaian informasi yang memiliki kesesuaian arti dengan permasalahn penelitian.
Tahap pengambilan kesimpulan atas dasar berdasarkan narasi pada tahap kedua, sehingga permasalahan penelitian memperoleh jawaban.
Tahap pembuktian hasil analisis data dari informan yang didapat. Tahap ini dilakukan untuk menghindari kesalahan interpretasi dari hasil wawancara dengan informan yang dapat mengaburkan makna permasalahan dari fokus penelitian.
Dalam penelitian ini, data disajikan dalam bentuk narasi yang disusun secara deskriptif dan sistematis berdasarkan proses dan urutan kejadian untuk mempermudah pemahamannya. Kutipan pernyataan-pernyataan para informan dan konteks situasi yang melatarbelakanginya juga akan disajikan dengan mendetail, sistematis dan berurutan sehingga perkembangan kejadian dan hubungan sebab-akibatnya dapat lebih mudah terlihat dan lebih mudah dimengerti.
3.9
Kualitas dan Keabsahan Penelitian Kualitas penelitian kualitatif bergantung sejauhmana temuan merupakan refleksi
otentik dari realitas yang dihayati oleh pelaku soial (Authenticity dan Reflectivity). Penelitian ini menawarkan aplikasi teori groupthink pada konteks yang tidak diamati sebelumnya yaitu dalam sebuah lingkup kelompok legislatif yang cenderung lebih heterogen dan terbuka di DPR RI dimana groupthink memiliki potensi untuk tetap ada karena tidak jarang berbagai Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
117
keputusan politik yang dihasilkan menuai kecaman, kekecewaan, dan dampak buruk di masyarakat sehingga temuan penelitian akan memperkaya perspektif teori groupthink yang telah ada sebelumnya (Fairness). Penelitian ini juga akan membantu untuk mencapai pemahaman tentang kondisi yang terjadi dalam proses pembahasan dan pengambilan keputusan sebuah produk hukum RUU KIP yang ditujukan bagi kepentingan publik dalam rangka penciptaan keterbukaan informasi publik oleh badan publik (ontological authenticity), membantu memberikan gambaran mengenai pertarungan kepentingan yang mengandung groupthink dalam sebuah proses pembahasan dan perumusan suatu Undang-Undang di DPR RI (educative authenticity), sehingga mampu mendorong kemampuan untuk melakukan perubahan metode pengambilan keputusan politik yang lebih baik misalnya melalui kesepakatan suara terbanyak (catalic authenticity), yang akhirnya mampu memberikan kekuatan kepada kelompok untuk berpikir rasional dan mengambil langkah tepat demi menghindari resiko cacat pengambilan keputusan (tactical authenticity). Selain itu hal ini juga bergantung pada pelaksanaan metodologi yang tepat, sensitifitas dan integritas peneliti itu sendiri. Sehingga sistematika dan kerigidan pengamatan menjadi sangat berarti dari pada sekedar kehadiran dan pengamatan sekilas peneliti, demikian juga ketrampilan melakukan wawancara sangat dibutuhkan daripada sekedar tanya jawab biasa. Serta analisa isi lebih berperan daripada sekadar membaca untuk melihat apa yang terjadi di lapangan (Patton, 2002). Untuk itu peneliti dalam hal ini akan melakukan pendekatan metodologi penelitian dengan cara sistematis dan terstruktur, serta tidak melupakan keterampilan untuk melakukan wawancara di lapangan. Sementara itu untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu, yaitu : 1.
Credibility (kepercayaan) Pada dasarnya menggantikan validitas internal pada kuantitatif. Penerapan kriteria kepercayaan ini berfungsi untuk menunjukan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan yang sedang diteliti. Dalam penelitian ini kualitas aspek credibility dicapai melalui wawancara mendalam untuk melihat fenomena yang ada dari perspektif informan dengan menyajikan jawaban dan kutipan-kutipan untuk memperkuat kesimpulan. Sementara teksnya sendiri akan dianalisa mendalam, termasuk ketika ada kutipan dari risalah rapat RUU KIP di Komisi I DPR RI. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
118
2.
Transferability (keteralihan) Keteralihan sebaga persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara konteks pengirim dan penerima. Untuk melakuakn pengalihan tersebut seorang peneliti hendaknya mencari dan mengumpulkan konteks. Dengan demikian peneliti harus menyediakan data deskriptif secukupnya. Dalam penelitian ini kualitas transferability dicapai dengan cara menyediakan data deskriptif lebih lengkap, misalnya melalui latar belakang informan, jawaban dari pertanyaan wawancara, peran informan dalam kelompok yang membahas RUU KIP di Komisi I DPR RI dan lain-lain.
3. Confirmability (kepastian) Kriteria kepastian berasal dari konsep objektivitas pada non-kualitatif. Jika sesuatu itu objektif, berarti dapat dipercaya, faktual, dan dapat dipastikan. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha menyajikan pengalaman dari subjek yang diteliti dengan data pendukung mengenai fenomena groupthink dalam pembahasan dan pengambilan keputusan terkait dengan definisi Badan Publik di Pasal 1 ayat 3 RUU KIP (Bryman, 2008 : 377-380).
Kualitas confirmability dalam penelitian ini dicapai dengan
menunjuk secara jelas atas fenomena dan informan yang ada sehingga bisa dilakukan cross-check ulang dengan informan tersebut, serta menyajikan data yang lengkap. 4. Dependability yaitu sama dengan reliabilitas. Berkaitan dengan terdapatnya akses untuk menilai dalam keseluruhan tahapan penelitian oleh kolega. Misalnya, peneliti menunjukkan naskah laporan dan sumber sumber data yang dimiliki kepada koleganya untuk diberi penilaian apakah yang dilakukannya sudah memadai. Utamanya dalam penelitian peran tersebut dilakukan oleh Promotor dan Co-Promotor, serta dengan orang-orang yang dianggap ahli/kompeten terhadap topik penelitian ini.
3.10
Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki sejumlah keterbatasan yaitu :
1. Penelitian ini hanya menemukan sebagian elemen groupthink yang ada/terjadi dalam proses pembahasan dan pengambilan keputusan kelompok Panja RU KIP Komisi I DPR RI yang anggotanya terikat terikat pada dua identitas yaitu di partai politiknya dan di kelompok tugasnya Komisi I, tanpa memfokuskan pada teori identitas sosial secara khusus. 2. Tidak teramatinya secara langsung proses pada saat merancang dan memutuskan UU KIP oleh Komisi I DPR RI dikarenakan umumnya fenomena groupthink baru Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
119
disadari/ditemukan ketika sebuah kasus telah selesai dan berdampak bagi publik. Oleh karena itu yang menjadi sumber validitas untuk menelusuri peristiwa tersebut adalah dengan mempelajari risalah rapat yang ada dan dapat diakses keluar. 3. Wawancara narasumber yang dilakukan juga tidak meliputi seluruh anggota kelompok Panja RUU KIP di Komisi I DPR RI, melainkan hanya dipilih dari perwakilan beberapa fraksi. 4. Penelitian ini tidak mampu menganalisis seluruh pembahasan pasal perpasal dalam RUU KIP melainkan hanya memfokuskan pada perdebatan tentang Badan Publik yang ada di pasal 1 ayat 3.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
120
BAB IV PERJALANAN RUU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK (KIP) DI DPR RI : TINJAUAN HISTORIS
4.1
Proses Perundangan di DPR RI DPR RI disebut parlemen yang berasal kata parle berarti bicara, artinya mereka harus
menyuarakan hati nurani rakyat. Maksudnya setelah mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan rakyat, mereka harus membicarakan dalam sidang parlemen kepeda pemerintah yang berkuasa. Oleh karena itu, DPR dibentuk di pusat untuk mengkritisi pemerintah pusat dan dibentuk di daerah untuk mengkritisi pemerintah daerah baik Provinsi maupun kabupaten sesuati tingkatannya (Syafiie, 2014:55). DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. DPR mempunyai kedudukan yang sama dengan Lembaga Negara lainnya. Kedudukan DPR RI kuat, karena tidak dapat dibubarkan oleh Presiden dan dapat senantiasa mengawasi Presiden. Salah satu tugas dan wewenang DPR adalah bersama-sama dengan Presiden membentuk Undang-Undang (UU). Dalam hal ini, Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat berasal dari Presiden (Pemerintah) atau DPR. Jadi, prosedur awal pembentukan UU berasal dari Pemerintah maupun DPR. Sebuah Undang-undang – seperti halnya RUU KIP – sebelum menjadi sebuah produk politik harus melewati serangkaian tahapan, mulai dari tahap perencanaan (Program Legislasi Nasional), tahap persiapan (penyusunan naskah akademik), tahap penyusunan (merancang draft),
tahap
pembahasan
(tahapan
pembahasan
di
DPR),
tahap
pengesahan
(Penandatanganan Presiden atau berlaku otomatis), tahap pengundangan (Menteri Hukum dan HAM), hingga tahap penyebarluasan Undang-Undang (Pasal 1ayat 1 UU No. 10 tahun 2004; Ronny S.H Bakoo, dkk, 2007). Berbagai proses dalam tahapan kegiatan ini memiliki makna penting yang terkait dengan kualitas dari sebuah undang-undang yang dihasilkan. Setiap tahapan yang dilewati dalam pemrosesan sebuah rancangan undang-undang hingga menjadi undang-undang mempunyai pengaruh besar terhadap aktivitas para pihak yang terlibat dalam kegiatan ini. Ada rancangan undang-undang yang terhenti pada tahap Prolegnas (perencanaan), ada yang berhasil sampai tahap pembahasan di DPR namun terhenti atau dibatalkan karena tekanan pihak tertentu. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
121
Secara runut, tahapan tersebut mencakup: Pertama, perencanaan adalah proses dimana DPR dan Pemerintah menyusun rencana dan skala prioritas UU yang akan dibuat oleh DPR dalam suatu periode tertentu. Proses ini diwadahi oleh suatu program yang bernama “Program Legislasi Nasional” (Prolegnas). Kegiatan legislasi diatur melalui Badan Legislasi (BALEG). Secara umum, kegiatan perencanaan itu meliputi beberapa kegiatan pokok yaitu : kegiatan kompilasi; Klasifikasi dan sinkronisasi; konsultasi, komunikasi dan sosialisasi; kegiatan penyusunan naskah prolegnas (naskah akademik) dan kegiatan pengesahan. Kedua, tahap persiapan (penyusunan naskah akademik). Tahap persiapan pembentukan Undang-undang dimulai dengan pengusulan rancangan Undang-undang oleh lembaga-lembaga tinggi negara yang telah disebutkan disertai dengan surat resmi sebagai pemberitahuan kepada lembaga yang lainnya. Setelah draf rancangan diterima, maka wakil dari lembaga negara melakukan pembahasan rancangan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketiga, Teknik Penyusunan (drafting stage). Penyusunan RUU dilakukan oleh Menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen, disebut sebagai pemrakarsa, yang mengajukan usul penyusunan RUU. Penyusunan RUU dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan prolegnas. Dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada Presiden. Pengajuan permohonan izin prakarsa ini disertai dengan penjelasan mengenai konsepsi ppengaturan UU yang meliputi (i). Urgensi dan tujuan penyusunan, (ii). Sasaran yang ingin diwujudkan, (iii). Pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur, dan (iv). Jangkauan serta arah pengaturan. Keempat, tahap pembahasan. Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau Menteri yang ditugaskan, dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan yang dilakukan dalam serangkaian rapat, seperti : Rapat Komisi, Rapat Pansus dan Lain-lain. Pembahasan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan mengikutkan DPD. Pembahasan RUU terdiri dari dua tingkat pembicaraan, tingkat pertama dalam rapat komisi, rapat Baleg ataupun Pansus; sedangkan tingkat dua dalam rapat paripurna DPR. Pembahasan tingkat pertama melalui tahap-tahap berikut yaitu: Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
122
(1)
Pandangan fraksi-fraksi dan DPD apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD.
Hal ini bila rancangan UU berasal dari Presiden. Sedangkan bila RUU berasal dari DPR, pembicaraan tingkat satu didahului dengan pandangan dan pendapat Presiden, ataupun pandangan Presiden dan DPD dalam hal RUU berhubungan dengan kewenangan DPD. (2)
Tanggapan Presiden atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan alat kelengkapan
DPR atas pandangan Presiden. (3)
Pembahasan RUU oleh DPR dan Presiden berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah
(DIM) Dalam pembahasan tingkat pertama dapat juga dilakukan: 1. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) 2. Mengundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain, apabila materi RUU berhubungan dengan lembaga lain. 3. Didahului rapat intern Sedangkan dalam pembahasan tingkat dua meliputi tahap-tahap sebagai berikut: 1. Laporan hasil pembicaraan tingkat I 2. Pendapat akhir Fraksi 3. Pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh Menteri yang mewakilinya. Kelima, Tahap pengesahan (penandatanganan Presiden atau berlaku otomatis). Tahap ini dilakukan setelah rancangan undang-undang oleh DPR dan lembaga negara lainnnya, termasuk Presiden. RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, disampaikan oleh pimpinan DPR kepada presiden untuk disahkan menjadi UU. Penyampaian RUU dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama (Gde, 2008: 113 dalam Jebarus, 2011:8). Pengesahan undang-undang dilakukan oleh Presiden paling lambat lima belas hari kerja sejak rancangan undang-undang yang disepakati dikirim oleh DPR kepada Presiden. Keenam, Tahap Pengundangan. Rancangan undang-undang yang telah ditandatangani oleh Presiden dikirim ke Sekretariat Negara untuk diregistrasi dan diundangkan. Undangundang ini kemudian dimasukkan dalam lembaran negara. Tahap pengundangan menjadi suatu kegiatan yang sangat strategis karena pada tahap itu mulai ditentukan kapan sebuah undang-undang mulai diterapkan dan dijalankan. Setiap peraturan perundang-undangan mulai berlaku pada saat diundangkan. Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya peraturan perundang-undangan bersangkutan saat diundangkan, hal ini hendaknya dinyatakan secara tegas di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan (Isra, 2010:230) Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
123
Ketujuh, Penyebarluasan. Penyebarluasan undang-undang yang telah disahkan dan diundangkan dapat disebarluaskan melalui berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik. Selain itu, undang-undang yang telah disahkan dapat disebarkan melalui internet, antara lain melalui website resmi DPR. Setiap fase atau tahapan dalam proses pembuatan Undang-undang tentu mengundang perdebatan. Perdebatan mulai timbul sejak RUU itu masuk dalam tahap Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dalam tahap Prolegnas berbagai pihak akan memberikan pandangan tentang relevansi atas undang-undang yang dibuat. Terkait dengan pengajauan RUU dari Pemerintah maupun dari DPR terdapat beberapa perbedaan sebagaimana berikut ini: a. RUU dari Pemerintah Rancangan Undang-Undang (RUU) dari pemerintah disampaikan kepada pimpinan DPR dengan surat pengantar Presiden, disertasi dengan keterangan yang menyebutkan Menteri yang akan mewakili pemerintah dalam melakukan pembahasan RUU tersebut di DPR. Setelah RUU diterima oleh pimpinan DPR dalam Rapat Paripurna berikutnya, Ketua Rapat memberitahukan kepada anggota tentang masuknya RUU dari pemerintah, yang disertai dengan pendistribusian RUU tersebut kepada anggota DPR. Proses pembahasan RUU di DPR dilakukan melalui empat tingkat pembahasan RUU di DPR dan pemerintah tersebut adalah : Pembicaaan Tingkat I, yang dilakukan dalam suatu Rapat Paripurna. Dalam pembicaraan Tingkat I ini pemerintah memberikan keterangan/penjelasan mengenai RUU tersebut. Sebelum diadakan pembicaraan tingkat selanjutnya (II, III, dan IV) diadakan lebih dahulu rapat fraksi. Pembicaraan Tingkat II, yang dilakukan dalam suatu Rapat Paripurna. Dalam pembicaraan tingkat ini, ada pandangan umum anggota DPR, membawakan suara fraksi yang mempunyai
hak
penuh
(anggota
fraksi
di
atas
10
anggota)
atas
RUU
dari
penjelasan/keterangan pemerintah pada pembicaraan Tingkat I sebelumnya. Selanjutnya, pemerintah memberikan jawaban terhadap pemandangan umum anggota DPR tadi. Dan setelah selesai jawaban pemerintah, Badan Musyawarah menentukan alat kelengkapan DPR yang akan menangani RUU tersebut di pembicaraan Tingkat III. Alat kelengkapan yang dimaksud adalah Komisi, Gabungan Komisi, atau Panitia Khusus. Pembicaraan Tingkat III, yang dilakukan dalam suatu Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi atau Rapat Panitia Khusus, yang dilakukan bersama-sama dengan
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
124
pemerintah. Apabila dipandang perlu, dapat pula dilakukan pembahasan substansi secara intern dalam Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi atau Rapat Panitia Khusus. Pembicaraan Tingkat IV, dilakukan dalam suatu Rapat Paripurna untuk pengambilan keputusan. Dalam Rapat Paripurna ini, proses yang dilakukan adalah : (1) Laporan hasil pembicaraan tingkat III; (2) Pendapat akhir fraksi-fraksi yang mempunyai hak penuh, dan apabila dipandang perlu, dapat disertai catatan tentang pendirian masing-masing fraksi; (3) Sambutan pemerintah terhadap pengambilan keputusan UU. Setelah melewati empat tingkat pembicaraan di DPR, RUU yang telah disetujui oleh DPR, kemudian dengan surat pengantar dari Pimpinan DPR disampaikan kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU paling lambat dalam tempo 15 hari setelah UU tersebut diputuskan.
b. RUU dari DPR Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR disebut juga RUU Usul Inisiatif DPR. RUU Usul Inisiatif ini dapat diusulkan oleh sekurang-kurangnya 10 anggota DPR, atau Komisi atau Gabungan Komisi. RUU tersebut disampaikan kepada Pimpinan DPR secara tertulis, yang disertai penjelasan, nama, tanda tangan pengusul, dan nama fraksinya. Setelah RUU diterima, dalam Rapat Paripurna berikutnya, ketua rapat memberitahukan dan membagikan kepada anggota tentang masuknya usul RUU tersebut. Kemudian Badan Musyawarah (Bamus) mengadakan rapat untuk menentukan jadwal waktu pembicaraan. Proses selanjutnya adalah RUU Usul Inisiatif dibawa ke Rapat Paripurna berikutnya, di mana akan diputuskan apakah RUU tersebut diterima menjadi RUU Usul Inisiatif DPR. Dalam Rapat Paripurna ini diberikan kesempatan kepada pengusul untuk memberikan penjelasan tentan RUU yang akan disampaikan tersebut. Kemudian setiap fraksi memberikan pendapatnya terhadap RUU itu. Jika Rapat Paripurna memberikan persetujuan untuk dijadikan RUU Usul Inisiatif DPR, kemudian DPR menugaskan Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Khusus untuk membahas dan menyempurnakan RUU Usul Inisiatif DPR tersebut. Selama RUU tersebut belum mendapat persetujuan Rapat Paripurna untuk dijadikan RUU Usul Inisiatif DPR, para pengusul berhak menarik usulnya kembali. Selanjutnya, RUU Usul Inisatif DPR ini disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang mewakili pemerintah, dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama-sama dengan DPR. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
125
Prosedur berikutnya yang dilakukan adalah melalui pembicaraan empat tingkat di DPR, yang dilakukan bersama-sama dengan pemerintah. Pembicaraan empat tingkat dimaksud adalah : Pembicaraan Tingkat I, yang dilakukan dalam suatu Rapat Paripurna. Dalam pembicaraan Tingkat I ini, ada keterangan atau penjelasan Pimpinan Komisi/ Gabungan Komisi/Pansus atas nama DPR terhadap RUU Usul Inisiatif DPR ini. Pembicaraan Tingkat II, dilakukan dalam suatu Rapat Paripurna. Dalam pembicaraan tingkat ini, ada acara jawaban atau tanggapan pemerintah atas keterangan atau penjelasan Pimpinan Komisi/Gabungan Komisi/ Pansus terhadap RUU Usul Inisiatif DPR. Selanjutnya,
masih
dalam
pembicaraan
Tingkat
I,
Pimpinan
Komisi/Gabungan
Komisi/Pansus atas nama DPR memberikan jawaban terhadap tanggapan pemerintah. Pembicaraan Tingkat III, dilakukan dalam suatu Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi atau Rapat Panitia Khusus, yang dilakukan bersama-sama dengan pemerintah. Apabila dipandang perlu, dapat pula dilakukan bersama-sama dengan pemerintah. Apabila dipandang perlu, dapat pula dilakukan pembahasan secara intern dalam Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi atau Rapat Panitia Khusus. Pembicaraan Tingkat IV, dilakukan dalam suatu Rapat Paripurna untuk pengambilan keputusan. Dalam rapat paripurna ini, proses yang dilakukan (1) pembacaan hasil pembicaraan Tingkat III, (2) Pendapat akhir fraksi yang mempunyai hak penuh, dan apabila dipandang perlu, dapat disertai dengan catatan tentang pendirian masing-masing fraksi, (3) sambutan pemerintah terhadap pengambilan keputusan UU. Setelah melewati empat tingkat pembicaraan di DPR, RUU Usul Inisiatif Dewan yang telah disetujui oleh DPR, kemudian dengan surat pengantar dari Pimpinan DPR, disampaikan kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU paling lambat dalam tempo 15 hari setelah UU tersebut diputuskan. Secara umum, skema prosedur pembentukan UU dapat digambarkan sebagai berikut :
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
126
Gambar 3 Skema Prosedur Pembentukan UU
Presiden
Pimpinan DPR
Anggota, min 10 orang Komisi Gabungan Komisi
Pemberitahuan/ Pembagian RUU Kepada Anggota Dewan Pembahasan di DPR Tingkat I : Rapat Paripurna Tingkat II : Rapat Paripurna Tingkat II : Rapat Komisi, Gabungan Komisi, Pansus bersama-sama Pemerintah Tingkat IV : Rapat Paripurna
Rapat Badan Musyawarah
Rapat Paripurna Pengesahan oleh Presiden Usul RUU menjadi Inisiatif DPR Menjadi UU Penyempurnaan RUU Inisiatif DPR
Sumber : Selayang Pandang DPR RI
4.2
RUU KIP sebagai Usul Inisiatif DPR RI RUU KMIP sejak awal diwacanakan pada kurun waktu 1999 telah menimbulkan pro
kontra baik antara Pemerintah dengan DPR, serta koalisi masyarakat sipil. Pro kontra terhadap perlunya undang-undang ini pada akhirnya mengakibatkan proses pembahasan terhadap RUU KMIP menyedot waktu yang sangat lama bahkan hingga sembilan tahun. Nampak bahwa penolakan terhadap RUU KMIP terjadi karena perbedaan pemahaman atas berbagai isu pokok berkaitan dengan kebebasan informasi itu sendiri. Undang-undang yang merupakan usul inisiatif DPR RI pada awal pengajuannya bernama Rancangan Undang-Undang tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
127
(KMIP), menurut Tumbu Saraswati (A-101) Anggota DPR RI atas nama pengusul pada Rapat Paripurna DPR RI tanggal 11 Maret 2002 menyatakan manfaat KMIP disamping untuk menciptakan pemerintahan yang bresih, efisien, mampu mencegah praktek KKN, sekaligus juga untuk meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan publik. Awal mula RUU KMIP berasal dari proposal yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil. Sejumlah LSM yang dipelopori ICEL (Indonesian Center for Environmental Law), sebuah LSM/NGO yang bergerak di bidang hukum lingkungan hidup, berinisiatif membuat usulam RUU KMIP. ICEL pun menggalang kekuatan bersama sejumlah LSM dan lembaga independen pers seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dan lainnya membentuk “Koalisi untuk Kebebasan Informasi”. Koalisi LSM menyampaikan draf RUU KMIP melalui Badan Legislasi DPR (19992004)33, hal ini sejalan dengan kewenangan DPR yang merupakan salah satu pihak penginisiatif dalam pembuatan undang-undang. Perubahan yang terjadi dalam proses perundang-undangan, turut mendorong koalisi LSM mengajukan sebuah rancangan undangundang melalui DPR periode 1999-2004. Para anggota DPR ini pada dasarnya adalah mereka yang terpilih melalui Pemilu tahun 1999 yang secara keseluruhan terbagi dalam sejumlah fraksi di DPR seperti Fraksi PDI-P; fraksi Golkar; Fraksi PPP; Fraksi Kebangkitan Bangsa; Fraksi TNI/POLRI; Fraksi PBB; Fraksi PDU; Fraksi KKI. Draft pertama RUU KMIP versi koalisi LSM ini disusun dengan bantuan tenaga ahli Indonesia misalnya, Prof. Dr. Kusnadi Hardjasoemantri, Prof. Mardjono Reksodiputri, Dr. Hikmahanto Juwana serta bantuan ahli asing seperti Prof. John Boninen dari Oregon University, Charlie Tebbut dari USA dengan dukungan The Office of Transititional Initiative. Draft pertama RUU KMIP ini didasarkan pula pada kajian pengambilan kebebasan informasi di Thailand, Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Afrika, dan Australia yang dibuat oleh Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Draft ini kemudian disempurnakan berdasarkan diskusi lanjutan dengan ahli-ahli nasional dan stakeholders, selanjutnya disampaikan kepada Badan Legislasi DPR RI (Saefudin, 2007:144).
33
DPR periode 1999-2004, merupakan hasil Pemili 1999. DPR periode ini dikelompokkan dalam sejumlah Fraksi yaitu: Fraksi PDI-P; Fraksi Golkar; Fraksi PPP; Fraksi PKB, Fraksi TNI/Polri; Fraksi PBB; Fraksi PDU; Fraksi KKI.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
128
Pada 5 Maret tahun 2002 RUU KMIP diajukan ke Badan Legislasi DPR RI. Ketua Badan Laegislasi (Baleg) DPR, Zain Badjeber yang bersama-sama Wakil Ketua DPR, Soetardjo Soerjogoeritno manerima aktivis LSM yang tergabung dalam KOKI (Koalisi Ornop untuk Kebebasan Informasi) yang dipimpin Ahmad Santosa (Direktur ICEL) menjamin pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebebasan Memperoleh Informasi (KMI) di DPR diprioritaskan. RUU itu menurut Zain Badjeber bahkan akan dibahas lebih dahulu daripada RUU Rahasia Negara (Suara Pembaruan, 06 Maret 2002). Pada 11 Maret 2002, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi mengajukan RUU KMIP sehingga dibahas dalam Rapat Paripurna DPR RI. RUU yang disampaikan DPR ini terdiri 10 bab dan 61 pasal yang disertai dengan lampiran yang memuat perlunya akses informasi dan mengatur sanksi pidana bagi mereka yang menghambat akses informasi (Media Indonesia, 11 Maret 2002). Pada rapat peripurna DPR 21 Maret 2002 hampir seluruh fraksi di DPR menyatakan dapat menyetujui usulan tentang RUU KMIP yang diajukan sejumlah anggota DPR sebagai RUU Usul Inisiatif DPR. Namun menurut Mayjen Slamet Supriadi, Juru Bicara Fraksi TNI Polri, diperlukan sejumlah penyempurnaan tentang informasi yang dikecualikan, sehingga sejalan dengan rahasia Negara (Suara Pembaruan, 21 Maret 2002) Sesuai
dengan
mekanisme
dalam
proses
perundang-undangan,
Bamus
menunjuk/membentuk Pansus untuk menindaklanjuti pemrosesan RUU KMIP. Akomodasi yang diberikan DPR terhadap pembentukan sebuah RUU KMIP baru benar-benar diwujudkan pada Februari 2003 dengan dibentuknya Panitia Khusus (PANSUS) KMIP.34 Paulus Widiyanto selaku Ketua Pansus KMIP mengundang berbagai pihak untuk mendapat masukan. Misalnya, mengundang pihak akademisi, perbankan dan sebagainya. Berdasarkan catatan dari DPR, Pansus DPR yang menangani RUU KMIP ini menyelenggarakan serangkaian kegiatan selama periode 2003 untuk memperdalam masalah kebebasan infromasi. Melalui kegiatan-kegiatan yang juga didukung dengan kegiatan studi banding ke negara-negara yang sudah menerapkan UU Kebebasan Informasi, DPR memperoleh 34
Sesuai dengan ketentuan undang-undang, Pansus adalah alat kelengkapan DPR yang dibentuk untuk melaksanakan tugastugas tertentu dalam jangka waktu tertentu pula berdasarkan Rapat Paripurna. Komposisi keanggotaan Pansus ditetapkan dalam Rapat Paripurna berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap Fraksi. Pimpinan Pansus dalam kaitan dengan RUU KMIP pada periode ini adalah Paulus Widiyanto dari PDI-P.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
129
pemahaman yang matang mengenai masalah kebebasan informasi yang pada akhirnya menjadi sebuah undang-undang yang relevan untuk Indonesia. Setelah melakukan serangkaian kegiatan untuk mematangkan draft RUU KMIP, akhirnya DPR langsung menyerahkan draftnya ke pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kompas, 10 November 2004). Sesuai dengan ketentuan Undangundang RUU yang berasal dari DPR (usul inisiatif DPR) yang disampaikan kepada Presiden harus mendapatkan tanggapan dari Presiden paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak Surpim DPR diterima. Menteri yang ditunjuk Presiden selanjutnya mengkoordinasikan persiapan pembahasan dengan Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Namun RUU KMIP yang disampaikan Pansus DPR itu hingga berakhirnya masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, tidak mendapat kejelasan. Upaya yang dilakukan DPR melalui Pansus untuk merancang draf RUU KMIP itu menjadi sia-sia. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan tidak keluarnya tanggapan Presiden untuk RUU ini. Presiden dan jajarannya tengah mempersiapkan Pemilu untuk memilih Presiden baru 20042009. Kemungkinan lain, pemerintah memang tidak mengehendaki UU seperti ini muncul karena berbagai alasan. (Jebarus, 2011:14) Pada era pemerintahan baru, dibawah SBY-JK, kalangan LSM terus mendesak DPR dan Pemerintah memprioritaskan pembahasan RUU KMIP. Pembahasan RUU KMIP semakin menempuh jalan yang panjang dan berbelit-belit. Betapa tidak, Pemerintah melalui Badan Inteligen Negara (BIN) mengusulkan agar pemabahasan RUU KMIP dilakukan terintegrasi dengan pembahasan RUU Kerahasiaan Negara, RUU Inteligen, dan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Bisnis Indonesia, 11 November 2004). Sampai dengan bulan Agustus tahun 2004, draft RUU KMIP telah selesai diproses oleh DPR, namun kegiatan legislasinya terhambat. Amanat Presiden (AMPRES) tentang pembahasan RUU KMIP belum dikeluarkan. Tanpa keluarnya AMPRES tentang pembahasan RUU KMIP tersebut, proses legislasi atas RUU ini terhenti di tengah jalan (Kompas, 29 Januari 2005). Hingga akhirnya Pada Maret 2005, Komisi I DPR sepakat mengajukan kembali usul inisiatif baru RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP), tanpa mengubah draf RUU yang sudah ada. Selanjutnya, Komisi I menjadikan RUU tersebut sebagai prioritas utama yang akan dibahas pada masa persidangan (Republika, 8 Maret 2005).
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
130
Komisi I DPR berkomitmen menjadikan RUU itu sebagai prioritas pertama. Dalam rapat dengar pendapat itu, Koordinator Koalisi Kebebasan Informasi, Agus Sudibyo menegaskan bahwa tanpa adanya RUU KMIP pemberantasan korupsi hanya akan menjadi wacana. Pemberantasan korupsi membutuhkan jaminan hak publik untuk mengamati perilaku pejabat dalam menjalankan tugas; jaminan hak akses informasi; jaminan hak publik untuk berpartisipasi; dan jaminan hak publik untuk dilindungi dalam mengungkapkan kebenaran (Kompas, 8 Maret 2005). Sementara itu, pada waktu yang hampir bersamaan, sejumlah anggota DPR, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan penyandang cacat mendeklarasikan sebuah wadah yang dinamakan (Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) Club. Isi deklarasinya sebagai berikut : “Kami warga Negara Indonesia yang peduli kebebasan memperoleh informasi dengan ini menyatakan bahwa informasi itu oksigen demokrasi. Karena itu, diperlukan Undang-Undang tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik agar demokrasi tidak mati di bumi pertiwi. Hal-hal yang berkenaan dengan upaya mendorong pembentukan dan pengesahan UU KMIP di DPR diselenggarakan dengan cara seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, 31 Mei 2005”. Deklarasi KMIP Club ini dihadiri: Wakil Ketua Komisi I DPR, Effendy Choirie; Ketua Kelompok Kerja Informasi dan Komisi I, Deddy Djamaluddin Malik, Ketua Badan Legislasi DPR, AS. Hikam; Hinca Panjaitan dari Indonesia Media Law and Policy Centre; Agus Sudibyo dan Agus Pambagyo dari Koalisi LSM untuk KMI, Samsul Masri dari Penyandang Cacat Bandung ( Kompas, 2 Juni 2005). Dengan adanya deklarasi ini, Komisi I DPR RI menyatakan menyetujui untuk membahas RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yang telah lama mandeg. Hampir semua fraksi di komisi I sepakat meletakkan RUU KMIP tersebut sebagai prioritas yang perlu segera diselesaikan menjadi UU. RUU draft di DPR terdiri dari 59 Pasal dan 10 bab. Menurut Cyprianus Aur, Ketua Kelompok Kerja (POKJA) Informasi dan Komunikasi (Kominfo) Komisi I DPR, untuk sementara belum ada sinyal penolakan dari fraksi di DPR. Namun kemungkinan penolakan fraksi terutama fraksi pemerintah, itu akan muncul dalam pembahasan RUU di Panitia Khusus (Pansus) nanti (Suara Pembaruan, 14 Juni 2005). Koordinator Lobi Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Agus Sudibyo menegaskan bahwa RUU KMIP mempertaruhkan komitmen DPR. Persetujuan paripurna DPR atas usulan inisiatif itu akan menjadi langkah awal pengesahan aturan yang diyakini bakal menjadi
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
131
perangkat dasar kontrol masyarakat (Kompas, 2 Juli 2005). Pada kurun waktu ini, RUU KMIP termasuk dalam 55 RUU prioritas legislasi nasional pada 2005. Walaupun Pemerintah belum menunjukkan kesediaan untuk membahas RUU KMIP, DPR nampaknya tetap bersikukuh menuntut agar pembahasan RUU itu harus diprioritaskan. Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Sidharto Danusubroto menegaskan bahwa DPR tetap mendesak pemerintah untuk memprioritaskan RUU KMIP dalam program legislasi (Suara Pembaharuan, 18 September 2005). Puncaknya, dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa 5 Juli 2005 menyetujui Rancangan RUU KMIP sebagai usul inisiatif DPR. Sekalipun menyertakan catatan atas usulan rancangan tersebut, kesepuluh Fraksi sependapat, usulan inisiatif itu dapat dibahas dalam masa persidangan berikut. Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno, sejumlah fraksi seperti Fraksi Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Partai Demokrat menyarankan pembahasan RUU KMIP diserahkan ke komisi I agar lebih efektif (Kompas, 6 Juli 2005). Selanjutnya, Ketua Pokja Kominfo Komisi I DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) Deddy Djamaludin Malik mengatakan bahwa DPR sudah selesai menggodok RUU KMIP dan menempatkan RUU itu sebagai prioritas tahun 2005 walau pemerintah bersikap sebaliknya. Untuk itu, DPR sudah menulis surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan meminta Pemerintah segera membahasnya dan menjadikan RUU KMIP sebagai prioritas. Deddy mengatakan bahwa pihaknya sudah mengetahui kalau pemerintah tidak menginginkan RUU KMIP sebagai yang diprioritaskan, karena lebih mengutamakan undang-undang siber (Cyber Law) yang diusung oleh komunitas bisnis, sementara DPR melihar cyber law belum menjadi prioritas, sehingga meminta pemerintah untuk menundanya. Setelah sekian lama menunggu, pada tanggal 19 Oktober 2005, Amanat Presiden (Ampres) mengenai pembahasan RUU KMIP dikeluarkan Presiden SBY. DPR dan Pemerintah pun terlibat dalam berbagai rapat, dialog, perdebatan yang menyita waktu. Sementara itu, koalisi LSM yang semula membidani pembentukan sebuah UU mengenai Kebebasan Informasi itupun berpartisipasi aktif, baik dengan cara memberikan tekanan dan dukungan kepada DPR, menggalang kerjasama dengan media, atau pun melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang penting dan manfaat kebebasan informasi. Payung hukum untuk kebebasan informasi yang di kemudian hari berbentuk Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, merupakan salah satu produk hukum yang menarik untuk dikaji.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
132
Namun, sejumlah anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan kecewa karena Pemerintah belum juga menyampaikan Daftar Isian Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Menurut Djoko Susilo dari FPAN, kalau DIM tidak segera dikirim, sama saja RUU KMIP tidak bisa dibahas. Padahal Komisi I sudah sepakat menyelesaikan RUU. Sementara itu, Boy MW Saul, anggota Komisi I DPR dari Partai Demokrat, menyatakan khawatir kelambanan ini bisa menimbulkan citra negatif. Bahwa pemerintah akan terkesan dengan sengaja mengulur-ulur waktu pembahasan RUU KMIP (Kompas, 22 November 2005). Pada 26 Desember 2005, Koalisi LSM – anata lain, Agus Pambagio dan Roman N. Lendong dari Visi Anak Bangsa (VAB); Dono Faisol dan Tri Maryani dari Institut Studi Arus Informasi (ISAI); Endri dan Jose dari ICEL dan Abdul Manan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) – menemui Menteri Komunikasi dan Informatika, Sofyan Djalil. Dalam pertemuan tersebut, para aktivis LSM itu kembali mendesak pemerintah memberikan respons terhadap upaya pembahasan RUU KMIP. Dalam pertemuan tersebut, Sofyan Djalil memberikan harapan pada koalisi LSM. Sofyan Djalil berjanji akan memproses legislasi RUU KMIP karena RUU tersebut sudah diusulkan oleh DPR RI. Sofyan menyampaikan akan mengeluarkan DIM dan kemudian disampaikan kepada koalisi dan publik, setelah sebelumnya diberikan kepada DPR RI. Keterlambatan DIM terjadi karena Menkominfo harus mengkoordinasi masalah tersebut dengan Departemen lainnya yangg terkait misalnya: Bank Indonesia, Departemen Keuangan, Badan Intelijen Negara (BIN) dan Departemen Pertahanan dan sebagainya (Suara Pembaruan, 27 Desember 2005). Pemerintah belum sepenuhnya memberikan perhatian yang serius terhadap legislasi RUU KMIP. Hal itu bisa dilihat dari berlarut-larutnya penyusunan Daftar Isian Masalah (DIM) dan proses internal pemerintah yang tidak transparan. Hal itu dikatakan AS Hikam, anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, DPR RI. Menurutnya, belum ada jaminan bahwa RUU KMIP akan diundangkan dalam waktu dekat walaupun pemerintah sudah mengeluarkan Amanat Presiden (Anpres) dan menjanjikan DIM akan keluar tanggal 31 Januari 2006. Sejalan dengan dikeluarkannya, Amanat Presiden mengenai Pembahasan RUU KMIP, maka Tim antar Departemen Pemerintah, yang dimpimpin Prof. Dr. Ahmad Ramly menyerahkan DIM RUU KMIP pada 14 Pebruari 2006 (Media Indonesia, 28 Pebruari 2006). Praktis setelah sekian lama terkatung-katung, RUU KMIP ituu pun sejak 7 Maret 2006 mulai dibahas oleh DPR dan Pemerintah. Sejak kurun waktu itu, DPR dan pemerintah terlibat Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
133
dalam berbagai rapat, dialog, perdebatan yang menyita waktu. Sementara itu, Koalisi LSM yang semula membidani pembentukan sebuah UU mengenai Kebebasan Informasi itupun berpartisipasi aktif baik dengan cara memberikan tekanan kepada DPR, menggalang kerjasama dengan media, atau pun melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang penting dan manfaatnya kebebasan informasi. Perdebatan menyangkut isu-isu strategis tentang kebebasan memperoleh informasi ternyta tidak hanya berlangsung pada tahap atau proses legislasi tetapi berlanjut pada prosesproses pembahasan pada forum rapat di DPR, baik rapat kerja, panja dan sebagainya. Perdebatan antara DPR dengan Pemerintah yang terlibat dalam proses pembahasan RUU KMIP turut membuat alot pengesahan undang-undang itu. Isu-isi pokok yang menjadi perdebatan pada proses pembahasan RUU KMIP antara DPR dan Pemerintah menyangkut : (Jebarus, 2011:25) 1. Isu mengenai kebebasan vs keterbukaan 2. Isu BUMN/BUMD sebagai Badan Publik 3. Isu mengenai perlu tidaknya Komisi Informasi 4. Isu mengenai pembuatan peraturan pemerintah 5. Isu mengenai Rahasia negara/informasi Kekecualian 6. Isu mengenai Waktu pelaksanaan/penerapan UU Kebebasan Memperoleh Informasi Dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah khusus mengenai isu Badan Publik.
4.3
RUU KIP sebagai upaya mewujudkan Good Governance Isu Keterbukaan Informasi Publik masih tergolong baru bagi sebagian besar
masyarakat Indonesia. Sejarah mencatat bahwa isu ini mulai muncul ketika krisis ekonomi melanda Asia pada periode tahun 1997-1998 silam. Di Indonesia, inisiasi untuk melahirkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik membutuhkan waktu bertahun-tahun. Namun demikian, Indonesia menjadi negara ke-5 di Asia yang mengesahkan Undang-Undang KIP pada 30 April 2008 lalu. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia termasuk negara Asia yang responsif terhadap dorongan demokratisasi informasi. Langkah pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang KIP ini sejalan dengan fenomena global yang disebut “acces to government records and information”. Fenomena tersebut mendorong setiap negara untuk semakin terbuka dan memberi akses terhadap informasi-informasi yang diperlukan oleh publik atau masyarakat.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
134
Kelahiran fenomena keterbukaan informasi ini setidaknya bisa dirujuk dari pendapat David Banisar dalam bukunya berjudul: “Freedom of Information and Access to Government Record Laws Around the World.” Banisar menyatakan “A new era of government transparency has arrived. It is now widely recognized that the culture of secrecy that has been the modus operandi of governments for centuries is no longer feasible in a global age of information. Government in the information age must provide information to succeed.” (Maroli, 2012:61) Dapar diartikan dari pernyataan Banisar di atas bahwa sebuah era baru dalam pemerintahan telah tiba. Sebagaimana telah diketahui secara luas, budaya kerahasiaan menjadi modus operandi dalam pemerintahan selama berabad-abad tak lagi layak di era informasi global. Pemerintahan di era informasi harus menyediakan informasi untuk berhasil. Pendapat ini kian menegaskan arti pentingnya keterbukaan informasi untuk publik yang harus dijalankan oleh pemerintah. Senada dengan Banisar, Sosiolog Jurgen Habermas juga menyebutkan bahwa keterbukaan komunikasi merupakan tuntutan sejarah dan keniscayaan evolusi sosial. Karenanya cepat atau lambat keterbukaan komunikasi ini pasti akan datang. Orang yang tidak setuju hanya bisa menunda memperlambat sejarah, namun arah sejarah tidaklah bisa diubah oleh siapapun. Dari sisi konstitusi di Indonesia, hak publik untuk bisa mendapatkan informasi sebetulnya sudah mendapat pondasi yang kuat. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 F disebutkan bahwa “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Transparansi informasi juga terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi seseorang untuk mengatur penyelenggaraan negara. Dalam konteks penyelenggaraan negara, transparansi akan informasi diharapkan mendorong partisipasi masyarakat dalam kerangka perumusan kebijakan serta mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik yaitu transparan, efektif, efisien, akuntabel, serta dapat dipertanggung jawabkan sehingga mampu memenuhi enam hak publik bagi perwujudan pemerintah terbuka dan transparan, yaitu : (1) Hak publik untuk memantau dan mengamati perilaku pejabat publik dalam menjalankan fungsi publiknya (Right to Observe), (2)
Hak publik untuk mendapatkan informasi publik (Access to
Information), (3) Hak publik untuk berpartisipasi dalam pembentukan kebijakan publik (Right to Participate), (4) Hak publik untuk dilindungi dalam mengungkap fakta dan Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
135
kebenaran (Whistle Blower Protection), (5) Hak/kebebasan berekspresi yang diwujudkan melalui kebebasan pers yang berkualitas, serta (6) Hak publik untuk mengajukan keberatan (Right to Appeal).35 Keenam hak publik ini menjadi alasan kuat mengapa sebuah produk Undang-undang yang mampu mengakomodir kepentingan publik terkait dengan penyediaan berbagai informasi menjadi sangat penting untuk dihadirkan, sebagaimana hak atas informasi tersebut meliputi : 1. Hak untuk mengetahui (Right to Know), 2. Hak untuk menghadiri pertemuan publik (Right to observe/right to attend public meeting), 3. Hak untuk mendapatkan salinan informasi (Right to Obtain the Copy/Akses Pasif), 4. Hak untuk diinformasikan tanpa harus ada permintaan (Right to be Informed/Akses Aktif), 5. Hak untuk menyebarluaskan informasi (Right to disseminate). Di negara-negara demokratis, pengakuan terhadap hak atas informasi sekaligus merupakan sarana untuk memantau dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan yang demokratis akan berusaha semaksimal mungkin membuka ruang informasi yang dibutuhkan publik. Itu sebabnya, di negara demokratis konstitusional, keterbukaan informasi publik merupakan sarana untuk mengoptimalkan penyelenggaraan negara secara umum, mengoptimalkan peran dan kinerja badan-badan publik, serta segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. Transparansi atau keterbukaan merupakan salah satu pilar utama manajemen organisasi. Pada dasarnya, dalam pemerintahan yang terbuka, keterbukaan informasi publik adalah suatu keharusan. Kebebasan memperoleh informasi publik ini mendapat jaminan secara internasional, terutama dalam pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) PBB, dimana disebutkan bahwa, “Setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat dan ekspresinya; hak ini mencakup kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa adanya campur tangan, dan juga hak untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan ide melalui media apa pun, dan tak boleh dihalangi.” Kehadiran UU KIP merupakan pengejawantahan Pasal 28 F dan Pasal 28 J UUD 1945. Pasal 28 F UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi, menyebarkan, dan mendapatkan informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
35
Buku 1 Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, 2008, hlm. 109.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
136
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Sementara itu, pasal 28 J UUD 1945 menyebutkan (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan masksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) merupakan pintu gerbang menuju sistem kepemerintahan yang baik (good governance). Melalui UU KIP, hak masyarakat untuk mengakses informasi dijamin. Seluruh informasi tentang aktivitas badan publik, selain yang dikecualikan UndangUndang, kini wajib dibuka kepada masyarakat. Dengan cara tersebut, masyarakat dapat memantau aktivitas badan publik. Melalui keterbukaan informasi tersebut, masyarakat diharapkan dapat mendorong transparansi dan akuntabilitas badan publik, dan lebih jauh lagi berpartisipasi aktif dalam perumusan kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan publik. Menurut, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Periode 2004-2009, Sidharto Danusubroto, mewakili pengusul menyatakan keterbukaan informasi publik merupakan cara untuk mengatasi permasalahan utama bangsa ini, yaitu dengan menciptakan transparansi untuk berjalannya mekanisme check and balances antara penyelenggara negara, masyarakat sipil dan sektor swasta, agar penyelenggaraan negara menjadi lebih efektif dan efisien. Ketrebukaan informasi dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan publik yang luas dalam pengelolaan sumber daya publik.36 UU KIP yang memegang prinsip maximum access, limited exemption, telah membuka akses informasi publik seluas-luasnya bagi warga negara dengan pengecualian yang terbatas. Jika sebelumnya semua informasi di badan publik itu seolah-olah milik sendiri, kini ada mekanismenya agar bisa diakses masyarakat dengan cepat, tepat waktu, dan berbiaya UU ringan. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberikan legalitas asas-asas transparansi badan publik yang mencakup hak-hak masyarakat untuk mengontrol dan mengakses informasi tentang kinerja badan publik serta 36
Setjen DPR RI, Proses Pembahasan RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik Buku 1, hal 103.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
137
pejabat-pejabat publik. Dengan dasar mudah oleh masyarakat. Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan itu maka semua informasi publik yang disimpan badan publik harus dapat diakses dengan Informasi Publik (UU KIP) ditegaskan bahwa hak akses terhadap informasi merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bertanggungjawab (good governance). Membuka akses informasi merupakan kewajiban bagi badan publik. Secara fundamental, sebuah informasi adalah milik publik, bukan milik pemerintah atau badan publik. Akan tetapi memang badan publik memang harus menjaga keseimbangan antara menutup informasi dan kepentingan publik. Namun, bagaimanapun, kepentingan publik tetap harus didahulukan. Dari sisi konstitusi di Indonesia, hak publik untuk bisa mendapatkan informasi sebetulnya sudah mendapatkan pondasi yang kuat. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 F disebutkan : “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Transparansi informasi juga terkait dengan Hak asasi Manusia (HAM) bagi seseorang untuk mengatur penyelenggaraan negara. “Keterbukaan informasi berarti Indonesia sudah mulai menghargai Hak asasi manusia. HAM yang sudah diatur dalam UU adalah Hak asasi mendapatkan informasi juga HAM. Sementara sudah diatur dalam UUD pasal 28 F. Indonesia mulai membuka diri bahwa keterbukaan informasi membuat orang bisa lebih diawasi dan dikawal dalam penyelenggaraan negara” Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dibahas sejak tahun 1999, setelah melewati proses selama sembilan tahun, karena tuntutan akan tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance) yang mensyaratkan adanya akuntabilitas, tranparansi dan partisipasi masyarakat dalam setiap proses terjadinya kebijakan publik UU KIP disahkan DPR pada tanggal 3 April 2008, dan diundangkan pada tanggal 30 April 2008. Diberikan waktu dua tahun untuk melaksanakan Undang-undang ini. Pada tanggal 30 April 2010, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik efektif diberlakukan di seluruh Indonesia. Dalam UU KIP disebutkan bahwa pada dasarnya setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik. Kecuali informasi publik yang tertuang pada Pasal 17 Bab V tentang informasi yang dikecualikan. Dengan adanya undang-undang ini, semua harus terbuka kecuali yang tertutup. Dalam UU KIP itu, Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
138
disebutkan pula pengelolaan dan pelayanan informasi yang wajib disediakan badan publik agar masyarakat dapat mendapatkan akses seluas-luasnya terhadap informasi yang dimiliki dan dikelola oleh badan publik. UU KIP mengatur tentang informasi yang dapat diakses publik, atau yang oleh masyarakat awam sering disebut dengan informasi yang terbuka, serta informasi yang tidak bisa diakses publik atau informasi yang dikecualikan. Namun karena pengkategoriannya bersifat umum, masih banyak pihak yang bingung dalam implementasinya. Kebingungan terutama terkait dengan kategori informasi yang dikecualikan. Masih banyak masyarakat yang belum memahami apa yang dimaksud dengan informasi yang dikecualikan ini. Buktinya, dari kasus sengketa informasi yang masuk ke Komisi Informasi, sebagian besar di antaranya terkait dengan informasi publik yang dikecualikan. Berikut adalah daftar istilah beserta pengertiannya: 1. Informasi
adalah
keterangan, pernyataan,
gagasan, dan tanda-tanda
yang
mengandung nilai, makna, dan pesan, baik berupa data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik. 2. Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh badan publik serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik sesuai dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. 3. Informasi Publik yang Terbuka adalah informasi yang mencakup kategori informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala; yang wajib diumumkan secara serta merta; dan yang wajib tersedia setiap saat. 4. Informasi Publik yang Tertutup adalah informasi publik yang dikecualikan. Informasi-informasi yang masuk dalam pengecualian dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu di bidang: (1) informasi publik; dan (2) informasi privat. Pengecualian di bidang informasi publik dilakukan untuk melindungi kepentingan publik yang terkait dengan: (1) keamanan; (2) pertahanan; (3) kebijakan keuangan; (4) proses peradilan (5) hubungan internasional
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat dirinci bahwa Informasi yang terbuka mencakup informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala; informasi publik
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
139
yang wajib diumumkan secara serta merta; dan informasi publik yang wajib tersedia setiap saat. Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala sekurang-kurangnya terdiri atas: a. Informasi tentang profil badan publik, yang meliputi: (1) Informasi tentang kedudukan atau domisili beserta alamat lengkap, ruang lingkup kegiatan, maksud dan tujuan, tugas dan fungsi badan publik serta unit-unit dibawahnya. (2) Struktur organisasi, gambaran umum tiap satuan kerja, profil singkat pejabat.
b. Ringkasan informasi tentang program dan/atau kegiatan yang sedang dijalankan dalam lingkungan badan publik yang sekurangnya terdiri atas: (1) Nama program/kegiatan; (2) Penanggungjawab, pelaksana program dan kegiatan serta nomor telepon dan/atau alamat yang dapat dihubungi (3) Target dan/atau capaian program dan kegiatan; (4) Jadwal pelaksanaan program dan kegiatan; (5) Anggaran program dan kegiatan yang meliputi sumber dan jumahnya; (6) Agenda penting terkait pelaksanaan tugas badan publik; (7) Informasi khusus lain yang berkaitan langsung dengan hak-hak masyarakat; (8) Informasi tentang penerimaan calon pegawai dan/atau pejabat badan publik; (9) Informasi tentang penerimaan calon peserta didik pada badan publik yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan untuk umum.
c. Informasi tentang kinerja dalam lingkup badan publik berupa narasi realisasi program dan kegiatan yang telah maupun sedang dijalankan; d. Informasi tentang laporan keuangan yang sekurang-kurangnya meliputi : (1) Rencana dan laporan realisasi anggaran. (2) Neraca. (3) Laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai standar akuntansi yang berlaku. (4) Daftar aset dan investasi.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
140
e. Ringkasan akses informasi publik sekurangnya terdiri atas (1) jumlah permohonan Informasi Publik yang diterima (2) waktu yang diperlukan dalam memenuhi setiap permohonan Informasi Publik (3) jumlah permohonan Informasi Publik yang dikabulkan baik sebagian atau seluruhnya dan permohonan Informasi Publik yang ditolak (4) alasan penolakan permohonan Informasi Publik
f. Ringkasan tentang peraturan, keputusan, dan/atau kebijakan yang mengikat dan/atau berdampak bagi publik yang dikeluarkan oleh Badan Publik yang sekurang-kurangnya terdiri atas: (1) daftar rancangan dan tahap pembentukan Peraturan Perundangundangan, Keputusan, dan/atau Kebijakan yang sedang dalam proses pembuatan; (2) daftar Peraturan Perundang-undangan, Keputusan, dan/atau kebijakan yang elah disahkan atau ditetapkan.
g. Informasi tentang hak dan tata cara memperoleh Informasi Publik, serta tata cara pengajuan keberatan serta proses penyelesaian sengketa Informasi Publik berikut pihak-pihak yang bertanggungjawab yang dapat dihubungi;
h. Informasi tentang tata cara pengaduan penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran yang dilakukan baik oleh pejabat Badan Publik maupun pihak yang mendapatkan izin atau perjanjian kerja dari Badan Publik yang bersangkutan;
i. Informasi tentang pengumuman pengadaan barang dan jasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait;
j. Informasi tentang prosedur peringatan dini dan prosedur evakuasi keadaan darurat di setiap kantor Badan Publik.
2. Informasi publik yang wajib diumumkan secara serta merta adalah informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum antara lain:
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
141
a. Informasi tentang bencana alam seperti kekeringan, kebakaran hutan karena faktor alam, hama penyakit tanaman, epidemik, wabah, kejadian luar biasa, kejadian antariksa atau bendabenda angkasa; b. Informasi tentang keadaan bencana non-alam seperti kegagalan industri atau teknologi, dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan keantariksaan; c. Bencana sosial seperti kerusuhan sosial, konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror; d. Informasi tentang jenis, persebaran dan daerah yang menjadi sumber penyakit yang berpotensi menular; e. Informasi tentang racun pada bahan makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat; atau f. Informasi tentang rencana gangguan terhadap utilitas publik.
3. Informasi publik yang wajib tersedia setiap saat sekurang-kurangnya terdiri atas: a. Daftar Informasi Publik yang sekurang-kurangnya memuat: 1. Nomor 2. Ringkasan isi informasi 3. Pejabat atau unit/satuan kerja yang menguasai informasi 4. Penanggungjawab pembuatan atau penerbitan informasi 5. Waktu dan tempat pembuatan informasi 6. Bentuk informasi yang tersedia 7. Jangka waktu penyimpanan atau retensi arsip; b. Informasi tentang peraturan, keputusan dan/atau atau kebijakan Badan Publik yang sekurang-kurangnya terdiri atas: 1. Dokumen pendukung seperti naskah akademis, kajian atau pertimbangan yang mendasari terbitnya peraturan, keputusan atau kebijakan tersebut. 2. Masukan-masukan dari berbagai pihak atas peraturan, keputusan atau kebijakan tersebut. 3. Risalah rapat dari proses pembentukan peraturan, keputusan atau kebijakan tersebut. 4. Rancangan peraturan, keputusan atau kebijakan tersebut. 5. Tahap perumusan peraturan, keputusan atau kebijakan tersebut 6. Peraturan, keputusan dan/atau kebijakan yang telah diterbitkan;
c. Seluruh informasi lengkap yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
142
d. Informasi tentang organisasi, administrasi, kepegawaian, dan keuangan, antara lain: 1. Pedoman pengelolaan organisasi, administrasi, personil dan keuangan62 2. Profil lengkap pimpinan dan pegawai yang meliputi nama, sejarah karir atau posisi, sejarah pendidikan, penghargaan dan sanksi berat yang pernah diterima 3. Anggaran Badan Publik secara umum maupun anggaran secara khusus unit pelaksana teknis serta laporan keuangannya 4. Data statistik yang dibuat dan dikelola oleh Badan Publik;
e. Surat-surat perjanjian dengan pihak ketiga berikut dokumen pendukungnya; f. Surat-menyurat pimpinan atau pejabat Badan Publik dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya; g. Syarat-syarat perizinan, izin yang diterbitkan dan/atau dikeluarkan berikut dokumen pendukungnya, dan laporan penaatan izin yang diberikan; h. Data perbendaharaan atau inventaris; i. Rencana strategis dan rencana kerja Badan Publik; j. Agenda kerja pimpinan satuan kerja; k. Informasi mengenai kegiatan pelayanan Informasi Publik yang dilaksanakan, sarana dan prasarana layanan Informasi Publik yang dimiliki beserta kondisinya, sumber daya manusia yang menangani layanan Informasi Publik beserta kualifikasinya, anggaran layanan Informasi Publik serta laporan penggunaannya; l. Jumlah, jenis, dan gambaran umum pelanggaran yang ditemukan dalam pengawasan internal serta laporan penindakannya; m.Jumlah, jenis, dan gambaran umum pelanggaran yang dilaporkan oleh masyarakat serta laporan penindakannya; n. Daftar serta hasil-hasil penelitian yang dilakukan; o. Informasi Publik lain yang telah dinyatakan terbuka bagi masyarakat berdasarkan mekanisme keberatan dan/atau penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik p. Informasi tentang standar pengumuman informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 bagi penerima izin dan/atau penerima perjanjian kerja;
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
143
q. Informasi dan kebijakan yang disampaikan pejabat publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum.
5. Informasi Yang Dikecualikan Informasi Publik yang dikecualikan sifatnya rahasia dan tidak dapat diakses oleh publik sesuai dengan kriteria yang diatur dalam Pasal 17 UU KIP. Informasi Publik dikecualikan secara limitatif berdasarkan pada Pasal 17 UU KIP, yaitu apabila dibuka dapat: 1. Menghambat proses penegakan hukum; 2. Mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat; 3. Membahayakan pertahanan dan keamanan negara; 4. Mengungkapkan kekayaan alam Indonesia; 5. Merugikan ketahanan ekonomi nasional; 6. Merugikan kepentingan hubungan luar negeri; 7. Mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang; 8. Mengungkap rahasia pribadi seseorang; Selain itu, yang termasuk Informasi Publik yang dikecualikan adalah: 1. Memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik yang menurut sifatnya dirahasiakan, kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan. 2. Informasi Publik yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang. Setiap badan publik dengan kehadiran UU KIP berkewajiban menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) untuk melaksanakan pelayanan informasi dan menyusun serta mengembangkan sistem pelayanan informasi dalam rangka menjamin tersampaikannya informasi kepada warga negara. Selain penunjukkan PPID, pelaksanaan UU KIP ditandai pula oleh pembentukan Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi Provinsi, dan adanya pelayanan informasi oleh badan publik serta permohonan informasi oleh masyarakat. Di sisi lain, Pemerintah Indonesia juga telah berkomitmen untuk merealisasikan inisiatif pemerintahan yang terbuka (Open Government Initiative) dan berkomitmen dalam gerakan multilateral Open Government Partnership (OGP). Gerakan multilateral ini bertujuan untuk mempromosikan transparansi, pemberdayaan, perlawanan korupsi, dan inovasi baru untuk memperkuat pemerintahan.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
144
Dari uraian diatas jelas bahwa keterbukaan bukanlah sebuah kebebasan apalagi ketelanjangan, karena justru keberadaan UU KIP ini merupakan sebuah garansi atas keamanan dari informasi itu sendiri. Juga sebagai penjamin badan publik untuk dapat menjalankan fungsinya dengan lebih terukur dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan sepuluh prinsip pokok UU KIP yakni: 2. Sebagai “Payung”/ penyelaras bagi seluruh peraturan perundang-Undangan yang terkait dengan Informasi. 3. Memberikan jaminan terhadap kelima jenis hak atas informasi (komprehensif) 4. Informasi publik merupakan hak setiap orang, sehingga tidak memerlukan alasan bagi sebuah permintaan. 5. Akses Maksimum Pengecualian Terbatas (Maximum Access Limited Exemption – MALE), yaitu ; -
Pemberlakuan pengecualian harus didasarkan pada asas kehati-hatian dengan menggunakan metoda Uji Konsekuansi (Consequential Harm Test) dan Uji Menimbang Kepentingan Publik Yang Paling Besar (Balancing Public Interest Test)
-
Pemberlakuan Status Kerahasiaan Terhadap Informasi Memiliki Batas Waktu (Non Permanen)
-
Ruang Lingkup Badan Publik (Penyedia Akses Informasi) tidak terbatas pada institusi negara (state institutions), tetapi institusi di luar negara yang mendapatkan serta menggunakan anggaran negara.
6. Akses Horisontal sama pentingnya dengan Akses Vertikal Informasi. 7. Akses Informasi secara murah, cepat, utuh dan tepat waktu. 8. Kewajiban Institusi Publik memiliki Pengelolaan Informasi dan sistem Pelayanan Publik yang baik 9. Penyelesaian Sengketa secara Cepat, Murah, Kompeten, dan Independen melalui proses konsensual maupun ajudikatif. 10. Ancaman hukuman bagi pihak-pihak yang menghambat akses informasi 11. Klausul yang memungkinkan PEMDA untuk memiliki kebijakan tentang kebebasan memperoleh informasi yang sifatnya lebih progresif (dibandingkan dengan UU KMI) dalam menerjemahkan elemen-elemen penting dalam kebebasan memperoleh informasi.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
145
BAB V HASIL DAN INTERPRETASI PENELITIAN
Pada bab ini berisi data berdasarkan temuan peneliti di lapangan tentang proses pembahasan RUU KIP Tahun 2008 yang berlangsung di DPR RI dengan pembahas Komisi I bersama-sama dengan Pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Kementerian Hukum dan HAM, dengan pengawalan dari Koalisi Masyarakat Sipil yang berasal dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Penyajian dan pembahasan difokuskan pada dinamika komunikasi yang terjadi terhadap permasalahan dan pengambilan keputusan mengenai perdebatan Badan Publik yaitu perihal posisi BUMN/BUMD yang harus atau tidak dimasukkan sebagai Badan Publik di RUU KIP. Bahasan tentang badan publik dalam UU KIP merupakan salah satu isu yang memakan waktu paling lama dibahas sampai mencapai kesepakatan rumusan. Teknik pengumpulan data dilaksanakan dengan cara penelusuran terhadap risalah rapat pembahasan RUU KIP khusus pembahasan tentang BUMN/BUMD sebagai Badan Publik beserta wawancara mendalam dengan orang-orang yang dianggap berkompeten untuk mendukung data penelitian, yaitu dari beberapa perwakilan anggota Panitia Kerja (Panja) RUU KIP di Komisi I DPR RI yang berasal dari Fraksi Partai Politik berbeda dengan identitas nama samaran, yaitu :
Deli (FPAN), Sindoro (FPDI), Eko (PKB), Hartanto
(Golkar), Tojaka (PPP) ditambah 1 (satu) orang notulen rapat di Komisi I DPR RI, 1 (satu) perwakilan dari pihak Pemerintah yang berasal dari Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika dan 1 (satu) perwakilan dari Komisi Informasi Pusat beserta 2 (dua) orang perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil yang ikut sebagai pengusul RUU KIP yaitu Pujiyanto (nama samaran) sebagai mantan anggota DPR RI Komisi I yang sekaligus mantan Ketua Pansus RUU KMIP periode 1999-2004 dan Anggodo (nama samaran) dari Yayasan Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
146
Sains Estetika dan Teknologi (SET). Guna lebih mendapatkan gambaran suasana yang berlangsung pada saat rapat pembahasan, wawancara juga dilakukan dengan sekretaris rapat pembahasan RUU KIP. Dengan demikian total informan yang berhasil diwawancarai berjumlah 10 (sepuluh) orang yang berasal dari orang-orang yang terlibat dan paham tentang pembahasan RUU KIP. Pertanyaan-pertanyaan pada hasil wawancara merupakan bagian dari turunan pertanyaan penelitian berdasarkan gambaran model groupthink theory untuk menjawab fokus penelitian ini. Agar uraian menjadi sistematis dan terarah, maka peneliti mengelompokkannya menjadi beberapa sub pembahasan, yaitu : 1.
Deskripsi Komisi I DPR RI periode 2004-2009 sebagai bagian yang diserahi mandat pembahasan RUU KIP.
2.
Deskripsi data umum narasumber.
3.
Deskripsi Hasil dan Analisis penelitian untuk menjawab tujuan penelitian.
5.1 Deskripsi Komisi I DPR RI periode 2004-2009 Komisi adalah badan utama di dalam DPR, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan yang bersifat tetap. Komisi merupakan tempat utama RUU dibahas, dipertimbangkan, dan perubahan atas RUU dibuat. Komisi memegang kekuasaan untuk menolak, menunda, atau melancarkan RUU dan menentukan isinya. Komisi juga merupakan salah satu bentuk utama kontak formal antara lembaga eksekutif dan DPR serta wilayah utama yang mana parlemen menjalankan kekuasaan formal dan praktisnya terhadap Presiden, Menteri-menteri, serta badan-badan pemerintahan. Komisi merupakan wadah pengelompokan anggota DPR yang terdiri dari satu bidang keahlian dan tugas yang ditetapka sendiri oleh DPR dengan surat keputusan. Tugas komisi meliputi bidang perundang-undangan, anggaran, pengawasan. Untuk menjalankan tugasnya, komisi dapat melakukan dengar pendapat, rapat kerja, mengajukan pertanyaan, dan kunjungan kerja atau bila perlu memanggil aparat pemerintah atau masyarakat umum, baik atas permintaan komisi maupun pihak lain. Susunan keanggotaan komisi ditetapkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang. Setiap Anggota, kecuali Pimpinan MPR dan DPR, harus menjadi anggota salah satu Komisi. Jumlah Komisi, Pasangan Kerja Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
147
Komisi dan Ruang Lingkup Tugas Komisi diatur dengan Keputusan DPR yang didasarkan pada institusi pemerintah, baik lembaga kementerian negara maupun lembaga nonkementerian, dan sekretariat lembaga negara, dengan mempertimbangkan keefektifan tugas DPR. Pimpinan Komisi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif. Pimpinan Komisi terdiri atas 1 (satu) orang Ketua dan 3 (tiga) orang Wakil Ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota Komisi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi di DPR, dalam Rapat Komisi yang dipimpin oleh Pimpinan DPR, setelah penetapan susunan dan keanggotaan Komisi. Komisi I DPR RI periode 2004-2009 merupakan satu dari 11 (Sebelas) Komisi yang ada di DPR RI berdasarkan hasil pemilihan umum tingkat nasional pada 5 April 2004. Anggota DPR terplih diambil sumpahnya pada Jumat, 1 Oktober 2004, oleh ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. Bagir Manan. Terdapat 16 partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR periode ini. DPR periode ini terdiri atas 550 kursi dan 10 fraksi. Komisi I DPR RI sebagai salah satu Alat Kelengkapan DPR RI dibentuk oleh DPR RI untuk setiap awal keanggotaan DPR RI dengan beranggotakan 50 orang, yang terdiri dari : a. Pimpinan : 4 orang dengan komposisi Ketua Komisi 1 (satu) orang dan Wakil Ketua Komisi 3 (tiga) orang. b. Anggota : 46 orang F-PG
: 11 Orang
F-PDI-P
: 9 Orang
F-PPP
: 5 Orang
F-PD
: 5 Orang
F-PAN
: 5 Orang
F-PKB
: 3 Orang
F-PKS
: 4 Orang
F-BPD
: 1 Orang
F-PBR
: 1Orang
F-PDS
: 1 Orang
Ruang lingkup tugas Komisi I DPR RI adalah di bidang: a. Pertahanan b. Luar Negeri c. Komunikasi dan Informatika Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
148
d. Intelijen Pasangan Kerja Komisi I DPR RI adalah sebagai berikut: 1. Kementerian Pertahanan (Kemenhan); 2. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu); 3. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo); 4. Panglima TNI/Mabes TNI AD, AL dan AU; 5. Badan Intelijen Negara (BIN); 6. Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg); 7. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas); 8. Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas); 9. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI); 10. Komisi Informasi Pusat (KI Pusat); 11. Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (LPP TVRI); 12. Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI); 13. Dewan Pers; 14. Perum LKBN Antara; 15. Lembaga Sensor Film (LSF). Dalam setiap tahun masa sidang, terjadi pergantian keanggotaan ataupun unsur pimpinan. Apabila terjadi pergantian unsur pimpinan, maka dilakukan pengesahan Pimpinan Komisi yang baru dalam Rapat Intern Komisi I DPR RI yang dipimpin oleh salah seorang Pimpinan DPR RI, yaitu Pimpinan DPR RI yang membidangi komisi terkait, dalam hal ini Komisi I DPR RI berada dalam bidang Politik dan Keamanan (Korpolkam). Komisi I DPR RI mempunyai tugas dalam : 1.
Pembentukan Undang-Undang (Legislasi) Dalam pembentukan undang-undang, Komisi I DPR RI mempunyai tugas
mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan Rancangan UndangUndang yang termasuk dalam ruang lingkup tugas Komisi I DPR RI. Komisi I DPR RI dapat melaksanakan pembahasan terhadap: a. RUU Usul Inisiatif Pemerintah b. RUU Usul Inisiatif DPR c. RUU Pengesahan Perjanjian Internasional (Ratifikasi) 2.
Bidang anggaran Dalam bidang anggaran, Komisi I DPR RI mempunyai tugas: Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
149
a.
Mengadakan pembicaraan pendahuluan RAPBN yang meliputi Rencana Kerja Pemerintah (RKP) serta Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian dan Lembaga (RKAKL) dalam ruang lingkup tugas Komisi I DPR RI dan usulan Anggota mengenai program pembangunan daerah pemilihan bersama dengan Pemerintah.
b.
Mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan RAPBN serta mengusulkan perubahan RKAKL yang termasuk dalam ruang lingkup tugas Komisi I DPR RI dan usulan Anggota mengenai program pembangunan daerah pemilihan bersama dengan Pemerintah.
c. Membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi dan program Kementerian/Lembaga (KL) yang menjadi Mitra Kerja Komisi I DPR RI. d. Menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan RAPBN dan menyampaikan hasil pembahasan RAPBN, RKAKL, dan alokasi anggaran untuk fungsi dan program KL yang menjadi Mitra Kerja Komisi I DPR RI kepada Badan Anggaran untuk disinkronisasi. e. Membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi dan program KL yang menjadi Mitra Kerja Komisi I DPR RI berdasarkan hasil sinkronisasi alokasi anggaran KL oleh Badan Anggaran f. Menyerahkan kembali kepada Badan Anggaran hasil pembahasan komisi untuk bahan akhir penetapan APBN g. Membahas dan menetapkan alokasi anggaran per program yang bersifat tahunan dan tahun jamak yang menjadi Mitra Komisi I DPR RI. h. Mengadakan pembahasan laporan keuangan negara dan pelaksanaan APBN; dan i. Memmbahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugas Komisi I DPR RI.
3.
Bidang Pengawasan Dalam bidang pengawasan, Komisi I DPR RI mempunyai tugas: a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk APBN, serta peraturan pelaksanaannya yang termasuk dalam ruang lingkup tugas Komisi I DPR RI. b. Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugas Komisi I DPR RI.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
150
c. Memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan , serta penyajian dan kualitas laporan berkaitan dengan ruang lingkup tugas Komisi I DPR RI. d. Melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah. e. Membahas dan menindaklanjuti usulan DPD; dan f. Menjalin hubungan luar negeri, baik dengan institusi negara maupun swasta, sesuai dengan bidang tugas setiap komisi dan dikoordinasikan oleh Badan Kerjasama Antar-Parlemen. Dalam melaksanakan tugas tersebut diatas, Komisi I DPR RI dapat mengadakan : A. Rapat Kerja (Raker) dengan Pemerintah yang diwakili oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. Dalam hal ini Komisi I DPR RI dapat mengadakan Raker dengan Menteri/Pimpinan Lembaga yang menjadi Mitra Kerja Komisi I DPR RI, yaitu: a.
(1) Menteri Pertahanan, (2) Menteri Luar Negeri, (3) Menteri Komunikasi dan Informatika, (4) Panglima TNI, (5) Kepala BIN.
b.
Menteri/Pimpinan Lembaga yang bukan menjadi Mitra Kerja Komisi I DPR RI, apabila dipandang perlu dalam pelaksanaan tugas Komisi I DPR RI di bidang legislasi, pengawasan, dan anggaran, seperti: 1.
Menkopolhukam,
dalam
rangka
mendapatkan
masukan
terhadap
permasalahan-permasalahan krusial dan berkaitan dengan ruang lingkup Komisi I DPR RI. 2.
Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas, dalam rangka pembahasan anggaran Mitra Kerja Komisi I DPR RI.
3.
Menteri Hukum dan HAM, dalam rangka pembahasan Rancangan UndangUndang.
B. Konsultasi dengan DPD C. Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Pejabat Pemerintah yang Mewakili Instansinya. Dalam hal ini, Komisi I DPR RI dapat mengadakan RDP dengan: A. Pejabat Pemerintah yang menjadi Mitra Kerja Komisi I DPR RI, yaitu Pejabat di: 1.
Kemenhan
2.
Kemenlu
3.
Kemenkominfo Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
151
4.
Mabes TNI AD, AL dan AU
5.
BIN
6.
Lemsaneg
7.
Lemhannas
8.
Wantannas
9.
KPI
10.
Komisi Informasi Pusat
11.
LPP TVRI
12.
LPP RRI
13.
Dewan Pers
14.
Perum LKBN Antara
15.
LSF
16.
Assosiasi/Perusahaan,
seperti
Industri
Pertahanan,
Perusahaan
Telekomunikasi, dan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) 17.
Organisasi Pemerintah lainnya
B. Pejabat Pemerintah yang bukan merupakan Mitra Kerja Komisi I DPR RI, apabila dipandang perlu dalam melaksanakan tugas Komisi I DPR RI di bidang legislasi, pengawasan, dan anggaran.
D.
Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Dalam hal ini, Komisi I DPR RI dapat mengadakan RDPU dengan Masyarakat,
Organisasi Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Kalangan Swasta, Pakar, dan Akademisi, baik atas permintaan Komisi I DPR RI maupun atas permintaan pihak lain dalam rangka mendapatkan masukan terkait dengan tugas Komisi I DPR RI di bidang legislasi, pengawasan, dan anggaran.
E.
Rapat Kerja Gabungan Dalam melaksanakan tugasnya baik di bidang legislasi, pengawasan, maupun
anggaran, Komisi I DPR RI dapat mengadakan Rapat Kerja Gabungan dengan Komisi lainnya yang terkait dengan materi/substansi yang akan dibahas.
F.
Kunjungan Kerja a. Kunjungan Kerja dalam Masa Reses Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
152
Dalam setiap reses masa persidangan, Komisi I DPR RI dapat melaksanakan Kunjungan Kerja ke daerah untuk mendapatkan masukan/informasi yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Mitra Kerja Komisi I DPR RI di daerah dan melihat secara langsung kondisi sarana dan prasarana yang ada. Hasil Kunjungan Kerja ini dilaporkan dalam Rapat Intern Komisi I DPR RI dan selanjutnya disampaikan kepada Mitra Kerja Komisi I DPR RI (Menteri/Pimpinan Lembaga terkait) untuk dapat ditindak lanjuti. Disamping melaksanakan Kunjungan Kerja ke daerah, dalam Masa Reses Komisi I DPR RI juga dapat melaksanakan Kunjungan Kerja ke Luar Negeri dalam rangka mengawasi sejauhmana pemerintah termasuk Duta Besar dan KBRI menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, kebijakan dan program pemerintah, serta permasalahan dan kendala yang dihadapinya. Disamping itu juga untuk menjalankan pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan di luar negeri, yaitu diplomasi untuk memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia, serta berpartisipasi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, dan melaksanakan prinsip politik luar sesuai dengan perundang-undangan. Tugas pengawasan dalam bidang hubungan luar negeri dilaksanakan Komisi I DPR RI untuk memastikan bahwa ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan, bahwa Presiden harus mendapat persetujuan DPR RI dalam hal Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, atau perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat, terkait dengan keuangan Negara, atau mengakibatkan perubahan undangundang, terlaksana sebagaimana mestinya. DPR RI ikut melaksanakan diplomasi dalam rangka memelihara perdamaian dan kerja sama internasional serta meningkatkan hubungan dan kerjasama dengan negara-negara di dunia berdasarkan prinsip Politik Luar Negeri Bebas Aktif yang diabdik bagi kepentingan nasional. Kegiatan memperjuangkan kepentingan nasional yang dilaksanakan DPR RI melalui forum pertemuan antar parlemen, baik bilateral, multilateral, regional maupun internasional merupakan kegiatan Diplomasi Parlemen (Parliamentary Diplomacy) dan secara khusus dilaksanakan Komisi I DPR RI, dalam kunjungan kerjanya melalui pertemuan dengan pimpinan parlemen dan pemerintahan terkait di negara yang dikunjungi. b. Kunjungan Kerja Spesifik Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
153
Apabila terjadi kasus-kasus yang bersifat spesifik yang berkaitan dengan permasalahan dalam ruang lingkup dan tugas Komisi I DPR RI, maka Komisi I DPR RI dapat melaksanakan Kunjungan Kerja Spesifik, baik ke daerah maupun ke luar negeri dalam rangka mendapatkan masukan/informasi langsung mengenai permasalahan yang terjadi dan mencari solusi penyelesaian terhadap permasalahan tersebut. Kunjungan Kerja Spesifik ini dilakukan dalam masa sidang yang hasilnya dilaporkan dalam Rapat Intern Komisi I DPR RI untuk ditindaklanjuti atau disampaikan kepada Mitra Kerja komisi I DPR RI terkait. c.
Kunjungan Kerja Gabungan Komisi I DPR RI dapat melaksanakan Kunjungan Kerja Gabungan apabila dipandang
perlu dalam melaksanakan tugas Komisi I DPR RI di bidang pengawasan, legislasi, dan anggaran. Dalam penelitian ini yang diamati adalah aktivitas kelompok Panitia Kerja (Panja) RUU KMIP/KIP Komisi I DPR RI yang dibentuk dalam keputusan sidang paripurna pada tanggal 5 Juli 2005 setelah diusulkan kembali dikarenakan di periode sebelumnya 1999-2004 RUU tersebut gagal dibahas. Pemilihan pembahasan hanya di Komisi I terkait dengan alasan bahwa substansi RUU terkait dengan bidang kerja Komisi I dengan Kemitraan Pemerintah yang sudha jelas serta dengan tujuan agar pembahasan menjadi lebih cepat sehingga tidak sampai gagal kembali. Panja RUU KMIP terdiri dari 29 orang dengan unsur pimpinan berasal dari pimpinan Komisi I DPR RI dan anggota dari perwakilan fraksi-fraksi yang ada di Komisi I. 5.2
Deskripsi Data Umum Narasumber Penelitian ini mengambil informan utama sebanyak 5 (lima) orang yang ditulis dengan
nama samaran, yaitu : 1.
Deli. Tokoh yang menjabat sebagai anggota Panitia Kerja (Panja) serta Tim Perumus (Timus) RUU KIP yang berasal dari perwakilan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN).
2.
Sindoro. Politisi senior sebagai pimpinan Panja yang berasal dari perwakilan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
3.
Eko. Sebagai anggota Panja RUU KIP yang berasal dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
4.
Hartanto. Sebagai anggota Panja dan Timus/Timsin RUU KIP, sebagai perwakilan dari Fraksi Partai Golkar. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
154
5.
Tojaka. Seorang politisi senior basis partai Islam, sebagai salah satu unsur pimpinan di Panja RUU KIP yang berasal dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP).
Ditambah dengan informan lain sebagai informan biasa (dengan nama samaran) yang banyak terlibat dalam proses pembahasan dan pengambilan keputusan RUU KIP sebanyak 4 (empat) orang yaitu: 1.
Pujiyanto sebagai pengawal pembahasan RUU KIP di DPR RI dari kelompok Koalisi Masyarakat Sipil yang sebelumnya adalah anggota Komisi I DPR RI periode 19992004 yang sekaligus sebagai Ketua Pansus RUU KMIP pada waktu pertama kali diusulkan.
2.
Anggodo sebagai pengawal pembahasan RUU KIP di DPR RI dari Perwakilan LSM Yayasan SET sebagai Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil.
3.
Icel, sebagai Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang sebelumnya ditunjuk sebagai perwakilan untuk mendampingi Menteri Kominfo dalam pembahasan RUU KIP di DPR RI.
4.
Danti. Seorang yang pada saat pembahasan RUU KIP bertindak sebagai Sekretaris Rapat untuk mencatat risalah rapat dalam pembahasan RUU KIP.
Serta dilengkapi dengan informan tambahan 1 (orang) yaitu Heryani (dalam nama samaran), yang tidak terlibat dalam proses pembahasan RUU KIP namun banyak mengetahui tentang informasi RUU KIP khususnya mengenai permasalahan badan publik, karena beliau merupakan salah seorang komisioner dari Komisi Informasi Pusat. Peneliti mengadakan wawancara mendalam kepada seluruh informan baik dari narasumber utama maupun pendukung berdasarkan dengan daftar pertanyaan yang telah dibuat dan disusun untuk menjawab permasalahan penelitian, kecuali dengan IP-4 karena mendadak beliau dipanggil untuk rapat. Sebelum mengajukan pertanyaan pokok penelitian, peneliti meminta kesediaan informan untuk mengisi identitas pribadi yang berisi tentang nama, jenis kelamin, pengalaman kerja dan pekerjaan/profesi saat ini. Dari pengisian tersebut diperoleh petunjuk bahwa utama dan informan biasa no. 1-3 berjenis kelamin Laki-laki, sedangkan informan biasa no. 4 dan informan tambahan berjenis kelamin Perempuan.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
155
Riwayat pengalaman kerja/organisasi informan utama umumnya sama yaitu berangkat dari keaktifan di Partai Politik walaupun latar belakang sebelum berkecimpung dalam dunia politik berbeda-beda. Deli sebelum menjadi politisi lebih banyak menghabiskan waktu di dunia kampus dengan bidang Ilmu Komunikasi disebuah Universitas swasta di Bandung, Sindoro memiliki riwayat dari Kepolisian sebelum terjun di dunia politik, sedangkan Eko dan Hartanto berangkat dari organisasi keagamaan berbasis Islam kemudian berkecimpung di partai politik, Tojaka banyak berkecimpung dalam lembaga swasta dan organisasi keagamaan sebelum akhirnya bergabung dalam Partai Politik berbasis Islam dan menjadi anggota DPR RI. Kelima informan utama memiliki riwayat berkecimpung di dunia parlemen berbedabeda. Deli menjadi anggota DPR RI selama dua periode kurun waktu 2004-2009 dan 20092014, Sindoro menjadi anggota DPR RI selama tiga periode kurun waktu 1999-2004, 20042009, dan 2009-2014 namun di 2013 sampai dengan 2014 beliau ditunjuk jadi Ketua MPR RI menggantikan Taufik Kiemas, Eko menjadi anggota DPR RI selama tiga periode kurun waktu 1999-2004, 2004-2009 dan 2009-2014 namun berhenti di 2013 karena kisruh politik sehingga akhirnya beliau pindah Partai Politik, Hartanto menjadi anggota DPR RI selama kurun waktu 2004-2009 dan menjadi wakil ketua MPR RI di 2009-2014, sedangkan Tojaka berkiprah dahulu di MPR selama hampir dua periode di 1978-1983 dan 1997-1999 kemudian di 1999-2004 menjadi anggota DPR RI yang berlanjut di masa bakti 2004-2009. Selepas menjabat sebagai anggota parlemen setiap informan memiliki kesibukan yang beragam saat ini. Deli kembali ke dunia kampus dan menempuh studi Doktor di Bandung, Sindoro menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Eko banyak berada di daerah asalnya Jawa Timur dan masih menyibukkan diri dalam dunia politik di partai yang baru, Hartanto saat ini lebih banyak mencurahkan waktunya untuk fokus ke organisasi yang membesarkannya yaitu Muhammadiyah dan Tojaka baru selesai menjalankan tugas sebagai Duta Besar Indonesia untuk Maroko. Sebagai politisi, Deli terlihat cukup terbuka menyampaikan pendapat dan perasaannya ketika harus mengingat tentang RUU KIP. Deli juga terlihat aktif berpendapat ketika mengikuti rapat seperti terlihat dalam risalah rapat. Sindoro yang merupakan salah satu pimpinan Panja RUU KIP adalah politisi senior partai berlambang moncong putih yang masih terlihat energik dan semangat dalam mengemukakan pendapatnya, hingga tidak jarang melontarkan ungkapan-ungkapan sinis, tajam namun menggelitik ketika menceritakan tentang RUU KIP. Eko yang kini berpindah haluan partai politik menjadi lebih hati-hati Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
156
bicara dan kurang terbuka mengikuti frekuensinya sekarang yang jarang terdengar berbicara di publik, padahal dahulu terkenal dengan suaranya yang vokal ketika di parlemen. Hartanto merupakan pribadi yang ramah dan sangat terbuka, pendapat yang terlontar lebih berani, mungkin karena merasa sudah tidak punya beban moral karena tidak menjabat lagi sebagai anggota dewan. Dalam pernyataan-pernyatannya baik di risalah maupun secara langsung terlihat bahwa Hartanto sangat berada di pihak Koalisi Masyarakat Sipil dan termasuk yang vokal di parlemen ketika membahas RUU KIP. Tojaka berkarakter lebih bijaksana, dan termasuk unsur pimpinan dalam Panja RUU KIP. Politisi dari partai berbasis Islam ini sangat senang menggunakan peci dikepala, teratur dalam bertutur kata dan senang bercerita apa saja. Pengalaman yang menempa dalam lingkup parlemen dan hubungan luar negeri, membuatnya sempat dipercaya menjadi duta besar. Ketika mengungkapkan pendapat tentang RUU KIP mengenai isu Badan Publik, Tojaya sangat antusias membuka pengalamannya. Sementara itu untuk informan lainnya diperoleh riwayat pekerjaan dan profesi yang berbeda-beda saat ini. Pujianto merupakan ahli literasi media yang memiliki riwayat menjadi anggota DPR RI periode 1999-2004 di Komisi I dan ditunjuk sebagai Ketua Pansus RUU KMIP, selepas itu beliau ikut mengawal pembahasan RUU KIP bersama Koalisi Masyarakat Sipil serta saat ini disibukkan menjadi narasumber yang banyak dimintai pemikirannya tentang bidang literasi media, komunikasi dan penyiaran. Pujiyanto berkarakater energik di tengah usianya yang tak lagi muda, sangat ramah dan sangat senang bercerita ketika ditanya tentang UU KIP. Pengalamnnya di bidang politik membuatnya banyak menguasai tentang proses perundang-undangan dan berbagai permasalahan dalam perumusannya. Anggodo, seorang aktivis LSM yang masih muda sekaligus sebagai peneliti, konsultan media, komunikasi politik dan informasi publik yang aktif menulis ini memiliki karakter yang lebih tenang dan low profile, namun jawaban-jawabannya sangat kritis berkaitan dengan pembahasan RUU KIP terutama terkait dengan badan publik. Pengalamannya terjejeak di Lembaga Swadaya Masyarakat yang membidangi komunikasi dan informasi, sempat berkarir sebagai peneliti di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dan menjadi Deputi Direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET) Jakarta, beliau kemudian ditunjuk sebagai Koordinator Loby Koalisi untuk Kebebasan Informasi pada saat memperjuangkan pengesahan RUU KIP, saat ini duduk sebagai Redaktur Pelaksana di Jurnal Prisma dan Direktur Eksekutif di Matriks Indonesia yang melayani survey opini publik, analisis isi media massa dan media sosial, training dan konsultasi media relation, media ombudsman dan pendampingan implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
157
Icel merupakan informan yang banyak membuka rahasia di balik pembahasan dan pengambilan keputusan RUU KIP, karakternya cukup ramah dan tegas. Beliau adalah seorang Pegawai Negeri Sipil yang mendedikasikan dirinya kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika sejak mulai berkarir sampai pada waktu pembahasan RUU KIP bersama Komisi I DPR RI juga mendampingi Menkominfo. Sempat menjabat sebagai Sekretaris Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo dan saat ini menjabat sebagai Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Sekretariat Janderal Kementerian Kominfo sehingga dinilai layak dimintai keterangan sebagai wakil dari Pemerintah sehingga memiliki gambaran langsung situasi pembahasan RUU KIP. Danti adalah sosok perempuan lincah dengan pembawaan ramai kalau berkata. Sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil yang bertindak sebagai Sekretaris sehingga bertanggung jawab terhadap notulensi rapat pada saat pembahasan RUU KIP, Danti tergolong sangat sibuk dalam menjalankan tugasnya Sekretariat Jenderal DPR RI. Informasi dari Danti diperlukan untuk memberikan gambaran mengenai situasi yang terjadi pada saat rapat pembahasan hingga selesai diputuska nserta mengkonfirmasi validitas catatan rapat berdasarkan runutan waktu kejadian. Heryanti adalah informan tambahan yang tidak terlibat langsung selama proses pembahasan dan pengambilan keputusan RUU KIP namun memiliki pengatahuan banyak tentang hal tersebut dikarenakan telah dua periode menjabat sebagai Komisioner Komisi Informasi Pusat. Pembawaannya yang kalem, tenang dan murah senyum membuat cerita tentang UU KIP menjadi menarik untuk didengar dalam waktu lama. Berlatar sebagai seorang akademisi di Fisip UI, keterangan beliau dipandang penting bagi penelitian untuk mendapatkan perspektif kekinian tentang implementasi Undang-undang KIP terutama terkait dengan kasus-kasus tentang sengekta Badan Publik yang ada. Dari deskripsi data pribadi informan tersebut, dapat dinyatakan bahwa informan yang dipilih dalam penelitian ini telah sesuai untuk mewakili seluruh anggota kelompok dan pihakpihak yang terlibat dalam pembahasan RUU KIP yang tidak mungkin semua dapat dimintai keterangannya. Informan dalam penelitian ini dinilai kredibel dan banyak memahami tentang perumusan RUU KIP terutama mengenai isu Badan Publik. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan anteseden dan gejala groupthink yang ada dalam dinamika komunikasi pembahasan dan pengambilan keputusan tentang definisi Badan Publik di kelompok Panja Komisi I DPR RI masa bakti 2004-2009, menjelaskan upaya yang dilakukan kelompok untuk meminimalisir terjadinya groupthink serta pada akhirnya Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
158
menawarkan pola/model pengembangan groupthink teori pada proses pengambilan keputusan politik dalam konteks organisasi politik yang sangat terbuka dan dinamis seperti di DPR RI. Penggalian data dilakukan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan panduan dari model teori groupthink Irving Janis. Setelah dilakukan wawancara dan penelusuran risalah kepada informan-informan tersebut terungkap hasil penelitian sebagaimana penjelasan berikut :
5.3 Anteseden (Kondisi Pendahulu) Groupthink dalam Dinamika Komunikasi pada Kelompok Panja Komisi I DPR RI yang membahas RUU KIP tentang Badan Publik.
Indikasi adanya groupthink dalam suatu kelompok pengambil keputusan disebutkan oleh Janis adalah hasil akhir keputusan tersebut dianggap gagal (cacat) dan dianggap kontroversial. Penilaian secara umum RUU KIP yang disahkan pada 3 April tahun 2008 adalah membanggakan karena pembahasan berhasil dituntaskan setalah sempat gagal di periode sebelumnya (1999-2004). Namun sesungguhnya keputusan tersebut tidak bisa dipandang baik karena masih terdapat hal yang dianggap kurang memuaskan bagi beberapa kalangan baik yang terlibat dalam pembahasan di Komisi I DPR RI maupun dari pihak Koalisi Masyarakat Sipil yang pertama kali mengusulkan Undang-Undang tersebut kepada DPR RI, misalnya tidak termasuknya Badan Usaha Swasta sebagai Badan Publik, tidak rasionalnya LSM dimasukkan dalam kategori badan publik. Di dukung dengan laporan implementasi 5 (lima) tahun berjalannya Undang-Undang pun masih menyisakan banyak kasus sengketa Badan Publik dan belum seluruh Badan Publik telah membentuk PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) sehingga UU KIP dianggap masih belum memiliki kekuatan maksimal sebagai sebuah produk hukum. Terdapat hal yang menarik untuk menguatkan penelitian ini bahwa telah terjadi groupthink dalam perumusan RUU KIP tersebut adalah keseluruh informan menyatakan bahwa Undang-Undang KIP merupakan produk fenomenal dan kontroversi terkait dengan waktu pembahasan yang lama, seperti yang disampaikan Sindoro : “Iya betul, UU KIP adalah produk Komisi I yang fenomenal.” Faktor lama terjadi karena banyak mengandung perdebatan terutama pertentangan dengan pihak pemerintah (eksekutif) sebagaiman yang diungkapkan Eko : Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
159
“Iya, KIP, itu kan juga perdebatan lama sementara nama KMIP itu kan sudah akrab didengar public karena begitu lamanya pembahasan, begitu lamanya memperoleh perhatian dengan nama KMIP diberi nama oleh DPR, iya kan. Begitu perdebatan di DPR bersama pemerintah kan berubah-berubah. DPR bertahan, ternyata DPR kan tidak satu suara, tidak KMIP, dari fraksi lain berubah, berubah lagi akhirnya kemudian ikut usulan pemerintah..”
Selain itu ditambahkan Deli bahwa RUU KIP kurang mendapat dukungan dari pemerintah sehingga memakan waktu lama : “Saya kira secara politis memang UU itu tidak menguntungkan birokrasi sehingga pembahasan memakan waktu lama dan banyak perdebatan..” Hal senada juga dibenarkan oleh pendapat Hartanto yang menyatakan bahwa sesungguhnya kesadaran pemerintah memang kurang antusias terhadap RUU KIP : “Ya, factor pembahasan Undang-undang KIP yang begitu Panjang itu banyak ya, tapi yang pertama pemerintah. Pemerintah memang tidak memiliki kesadaran yang cukup bagi pentingnya Undang-undang kebebasan menerima informasi public. Ini dulu kan namanya KMIP (Kebebasan Menerima Informasi Publik) jadi KIP belakangan. Jadi kesadaran pemerintah tentang pentingnya KIP memang tidak cukup sehingga tidak nampak sekali adanya antusiasme.” Sementara pendapat lebih positif datang dari Tojaya yang menilai sikap pemerintah yang terkesan kurang antusias terhadap RUU KIP tidak lain disebabkan karena harus banyak diskusi dahulu dengan berbagai kalangan : “Kadang-kadang begini, kalau memang terkait dengan kepentingan pemerintah, itu pemerintah lama karena didiskusikan dengan parlemen, dengan menteri-menteri yang lain. Memang ada ketentuan tata tertib jika UU yang dibahas dalam periode tertentu tidak selesai itu kemudian boleh diusulkan pada periode berikutnya tidak saat yang sama.” Pendapat informan pokok yang merupakan anggota Komisi I DPR RI tentang lamanya proses bagi RUU KIP ini juga dilihat oleh para informan lainnya yang dipilih, Pujiyanto yang mantan Ketua Pansus RUU KIP periode tahun 1999-2004 dan berperan menjadi pengawal pembahasan RUU KIP dari kaelompok Koalisi Masyarakat Sipil dengan gambang memberikan penilain terhadap hasil RUU KIP : “Saya belum puas dengan Undang-undang ini karena apa yang saya perjuangkan baru 65%.” (IP-1) Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
160
Hal senada juga disampaikan oleh Anggodo yang juga sebagai pengawal dan berasal dari kelompok LSM. “Iya karena bagi DPR belum prioritas waktu itu, jadi kan Komisi 1 itu kan tahun-tahun 2000 – 2002 itu kan konsentrasinya Undang-undang Penyiaran. Nggak sempurna, banyak kelemahan tapi kalau kita mampir ke Negara-negara lain, Undang-undang KIP kita not bad menurut saya. Atau kalau kita bandingkan dengan achievement yang dicapai oleh Koalisi-koalisi, NGO-NGO lain untuk Undang-undang lain, UU KIP itu mending. Jadi persentasi-persentasi, klausul-klausul, pasal-pasal yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang diterima oleh DPR itu tinggi. Menurut saya mending karena prinsip-prinsip dasarnya diadopsi oleh DPR, oleh Pemerintah. Mungkin mereka tidak sadar saja bahayanya buat mereka.” Dari pihak pemerintah sendiri diakui oleh Icel bahwa memang pemerintah masih dalam masa transisi sehingga belum maksimal sehingga banyak hal yang akhirnya menjadi perdebatan dan membuat lama penyelesaian : “Nah pada waktu itu biasalah, sebagai sebagai negara yang baru mulai, sementara dari pihak pemerintah belum maksimal, masih transisi. Tarik menarik terus, titik temunya tuh panjang sekali, 2009, eh 99, kan baru terakhir 2008 ya..” Sementara itu pendapat dari notulis yang juga ikut selalu menyaksikan situasi pembahasan RUU KIP juga mengakui hal yang sama : “Jadi pokoknya ini memang lama gitu ya. Disepadankan terus tapi ya kelar juga kalo semua ngotot-ngototan terus dua setengah tahun ga kelar juga. Itu kan udah dibahas dua setengah tahun..” Perdebatan tentang faktor judul RUU dan badan publik memang termasuk yang paling alot dalam pembahasan RUU KIP. Terutama badan publik itu adalah tentang sejauh mana batasan definisi badan publik sebagaimana yang diungkapkan oleh Heryanti : “Iya ini memang lama ya sampai menghabiskan dua periode, hampir sepuluh tahun Undang-Undang ini dibuat. Diskusinya terlalu lama. Awalnya adalah tentang keterbukaan dan kebebasan informasi itu ya akhirnya jadi didudukkan dari awalanya kebebasan memperoleh informasi sekarang menjadi keterbukaan informasi. Kemudian yang juga lama adalah perdebatan soal badan publik sampai mana batasan badan publik.”
Pernyataan di atas menjadi penguat indikasi bahwa groupthink muncul pada saat pembahasan RUU KIP di Komisi I DPR RI. Pengungkapan penilaian informan tentang RUU Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
161
KIP yang mengandung banyak perdebatan karena dicetus oleh berbagai faktor seperti karena Undang-undang tersebut tidak diharapkan, bukan menjadi prioritas sehingga membuat pembahasan menjadi lama, banyaknya hal yang menjadi perdebatan dan akhirnya diberi cap sebagai UU ‘fenomenal’ dan dinilai 65 % tentunya menyimpan banyak hal yang menarik di dalam prosesnya. Indikasi adanya groupthink dalam suatu kelompok ditandai oleh kondisi pendahulu yaitu (1) kelompok kohesif pengambil keputusan, (2) adanya kesalahan struktural dan (3) karakteristik yang menghasilkan tekanan. Hasil temuan mengenai kondisi pendahulu tersebut dijabarkan sebagaimana uraian di bawah ini.
5.3.1 Kohesi Kelompok Pengambil Keputusan
Titik awal interaksi dalam pembahasan definisi badan publik diawali dengan seputar dimasukkan atau tidaknya BUMN,BUMN, BHMN sebagai Badan Publik. Pada saat rapat Paripurna menyetujui kembali RUU KMIP sebagai usul inisiatif DPR pada tanggal 5 Juli 2005, setelah sebelumnya (tahun 1999-2004) sempat terputus karena belum mendapatkan respon dari pemerintah hingga kepemimpinan Presiden Megawati berakhir, rapat pembahasan mulai dilakukan ketika Amanat Presiden (Ampres) mengenai pembahasan RUU KMIP dikeluarkan Presiden SBY. Berdasarkan perhitungan jumlah rapat yang tercatat dalam kumpulan risalah buku pembahasan RUU KMIP tercatat ada 63 kali dilakukan rapat RUU KMIP (KIP) dari tanggal 12 Oktober 2005 hingga 3 April 2008, dengan rincian 21 kali rapat kerja terbuka, 12 kali rapat panja terbuka, 14 kali rapat panja tertutup, 1 kali rapat timus terbuka, 12 kali rapat timus tertutup, 2 kali rapat timsin tertutup, serta 1 kali RDP dan RDPU. Kesemua rapat ratarata berlangsung di ruang rapat Komisi I DPR RI serta ada beberapa kali di lakukan di Kopo Bogor serta di beberapa hotel seperti Santika Petamburan. Dimulai dengan rapat kerja pertama pada tanggal 12 Oktober 2005 dengan Menkominfo dan MenkumHAM pada pukul 15.00 wib. Pada saat ini fase interaksi masih dinamakan orientasi yaitu tahap dimana kelompok tugas yang baru terbentuk tersebut saling memberi informasi mengenai tujuan kelompok dan hakekat tugas-tugas dalam kelompok. Rapat kerja pertama tersebut bersifat terbuka dan didahului dengan informasi yang diberikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan A. Djalil, S.H., M.H., MALD bahwa pemerintah memandang RUU KMIP merupakan hal baru yang dalam pembahasannya Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
162
perlu dilakukan langkah-langkah cermat sehingga hasilnya akan memberikan nilai tambah dan kemaslahatan yang besar bagi masyarakat dan negara. Menkominfo juga menyampaikan bahwa Daftar Isian Masalah (DIM) telah dibuat sebagai kewajiban konstitusional dengan sebelumnya telah dilakukan berbagai penelitian sebagai bahan pertimbangan lebih lanjut. Selain itu Menkominfo menghimbau bahwa hal yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai kesiapan masyarakat dan Badan Publik serta sosialisasi kepada pejabat yang tidak mengerti mengenai regulasi ini sehingga muncul asosiasi negatif terhadap regulasi tersebut. Lebih jauh Menkominfo juga mengingatkan untuk memperhatikan kewajiban negara untuk melindungi bberbagai informasi strategis dan sensitif yang apabila tidak dilindungi dapat merugikan berbagai pihak baik negara maupun hak masyarakat dan hak azasi perseorangan dalam implementasi RUU KMIP. Hal yang terpenting adalah pemerintah mengajukan usul perubahan terhadap undangundang yang akan dibahas yaitu: (1) usul perubahan mengenai nama, nama undang-undang diusulkan menjadi Rancangan Undang-Undang Hak Warga Negara untuk memperoleh Informasi yang disesuaikan dengan ketentuan Pasal28 F UUD 1945, (2) Definisi tentang Badan hukum sehingga definisi Badan Publik juga termasuk elemen, Lembaga Swadaya Masyarakat, Partai Politik, Organisasi Kemasyarakatan lain yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan yang mendapat dana dari Pemerintah atau dana dari masyarakat baik dari dalam maupun luar negeri, yang dalam kaitan terkait dalam sektor publik dan kemsayarakatan di Indonesia. Menanggapi pernyataan pemerintah tersebut, ketua rapat Drs. Theo L. Sambuaga menyampaikan apresiasi dan penghargaan yang mendalam terhadap komitmen Menkominfo dan jajarannya yang mewakili Pemerintah serta kepada anggota Komisi I DPR RI untuk membahas RUU KMIP sesuai dengan mekanisme di Dewan serta mengungkapkan bahwa hakekat substansi RUU KMIP adalah menjamin hak setiap orang untuk melihat dan mendapatkan informasi yang akurat, benar, up to date dan dapat dipertanggungjawabkan tanpa memerlukan alasan yang melatar belakangi permintaan dengan akses yang bersifat sederhana, biaya ringan, cepat dan tepat waktu. Selain itu RUU juga mengandung kewajiban Badan Publik untuk mengungkap informasi yang dimiliki secara berkala tanpa adanya permintaan, namun yang diharapkan bukanlah keterbukaan yang tanpa batas sehingga perlu ditekankan bahwa jaminan kebebasan informasi yang dianut oleh RUU ini bersifat maximum acces dan limited acception yang pada dasarnya seluruh informasi publik bersifat terbuka walaupun tidak semua informasi dapat diakses karena ada mekanisme pengecualian. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
163
Ketua rapat juga menghimbau agar seluruh pihak yang terlibat bisa mencurahkan perhatian waktu dan tenaga untuk melakukan kerja besar tersebut sesuai dengan jadwal yang akan ditetapkan bersama. Pada fase ini kohesi kelompok yang berpotensi mengarahkan kepada groupthink telah terbentuk hanya saja belum terlalu kuat mengaingat pembahasan belum masuk kepada substansi RUU mengenai badan publik. Kohesi kelompok didefinisikan sebagai kekuatan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap tinggal dalam kelompok, dan mencegahnya meninggalkan kelompok. Kohesi kelompok tidak serta merta tercipta mengingat anggota kelompok Panja merupakan para politisi dengan latar belakang ideologi politik yang berbeda (heterogen) serta mereka cenderung masih beranggapan bahwa kedudukan diantara mereka sama (setara) yaitu sebagai anggota DPR RI, walaupn terdapat pemisahan jabatan yaitu ada yang dipercaya sebagai pimpinan Komisi, aataupun Pimpinan Panja. Namun ketika mereka memutuskan untuk bergabung atau telah ditunjuk untuk bergabung dan dipercaya untuk membahas dan menuntaskan tugas bersama, dapat dikatakan bahwa simpul-simpul kohesivitas mulai terbangun. Kohesivitas dalam kelompok Komisi I DPR RI yang membahas RUU KIP dilihat dengan menggali beberapa faktor yaitu : motivasi/alasan bergabung di Komisi I DPR RI periode 2004-2009, perasaan ditempatkan di Komisi I DPR RI, perasaan akrab dengan sesama anggota Komisi I DPR RI, keberadaan rekan terdekat, penggunaan kata kita/kami dalam berpendapat membahas RUU KIP, upaya untuk melindungi kelompok jika ada pendapat yang memojokkan. Berdasarkan keterangan dari para informan diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa pada umumnya informan menyatakan ada semacam keterikatan berdasarkan rasa tanggung jawab mereka terhadap tugas yang diembankan sehingga terjalin sebuah kepaduan dalam dinamika perbedaan pendapat yang juga banyak. Kesempatan menjadi anggota Komisi 1 DPR RI Periode 2004-2009 bagi anggota kelompok Panja dilandasi oleh permintaan khusus maupun penunjukkan dari fraksi. Hal ini diakui merupakan sebuah penempatan yang dipandang sesuai dengan keinginan dan kemampuan dari masing-masing anggota. Deli yang memang berlatar akademisi ilmu komunikasi mengaku mengusulkan untuk ditempatkan di Komisi I DPR RI : “Waktu itu saya yang mengusulkan. Jadi pertimbangannya waktu itu karena saya bidang komunikasi ya tentu harus sesuai dengan kompetensinya lah gitu meskipun itu Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
164
politik jadi harus ada basis profesionalnya. Infokom.”
Makanya di situ saya jadi Pokja
Begitu pula dengan Hartanto yang memang masuk ke Komisi I DPR RI karena mendaftar. “Saya memang daftar no pilihan 1 Komisi I. Saya dua periode di Komisi I, 19992004 di Komisi I, 2004-2009 di Komisi I” Jika Deli dan Hartanto mengusulkan untuk masuk ke Komisi I, maka Sindroro mengaku keberadaannya di komisi I DPR RI periode 2004-2009 adalah karena dipilih : “Dipilih. Saya waktu di Komisi I lima tahun kan pertahanan luar negeri itu kan sesuai bidang saya, ya biar ok ya kita kuasai, kalau Komisi Hukum juga bidang saya kan.” Serupa pula dengan Eko yang mengatakan bahwa bergabungnya di Komisi I karena ditunjuk : “Saya 13 tahun di Komisi I terus. Ditunjuk, saya tidak pernah mengajukan diri saya.” Pendapat yang sama juga datang dari Tojaka yang menyatakan bahwa penempatannya di Komisi I DPR RI terjadi karena penunjukan fraksi : “Saya tidak pernah meminta. Saya di Komisi I tahun 2004-2009 Jadi saya menyerahkan penilaian kepada fraksi tetapi kalau saya merasa tidak mampu saya memberikan alasan.” Setelah ditempatkan di Komisi I DPR RI, terdapat berbagai perasaan yang diungkapkan oleh para informan utama ini. Perasaan senang diungkapkan oleh Deli, Hartanto, dan Tojaka : “Iya begitulah kira-kira diakomodir keinginan saya.” (Deli) “Ya sesuai saja dengan pilihan, senenglah. Ketika semuanya dijalani dengan serius dan ikhlas, terlebih bagi kepentingan bangsa dan negara, sebuah produk undangundang menjadi semacam kebanggan tersendiri. (Hartanto) “Perasaannya terutama ya harus disyukuri. Saya senang ditempatkan berdasarkan ketertarikan bidang tertentu termasuk di Komisi I.” (Tojaka) Sementara bagi Sindoro dan Eko tidak ada perasaan yang terlalu berbeda mengingat harus siap ditempatkan dimana saja : “Rasanya ya biasa aja tidak terlalu gimana juga karena udah lama di DPR RI. (Sindoro) “Biasa saja karena harus siap ditempatkan di bidang tugas manapun atau Komisi manapun.” (Eko) Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
165
Dengan latar belakang partai politik yang berbeda-beda, masing-masing perwakilan fraksi di Komisi I tidak merasa ada semacam jarak dengan sesama anggota terlebih beberapa orang merupakan anggota periode lama yang kembali dipercaya untuk melanjutkan tugasnya di Komisi I. Hal inilah yang membuat komunikasi diantara mereka cenderung berlangsung akrab. Sebagaimana diungkapkan oleh Deli : “Ya cukup solid walau beda fraksi soal ini karena kita satu tujuan untuk keberhasilan RUU KIP”. Bagi Sindoro, perasaan akrab lebih dirasakan ketika berada di luar forum resmi, misalnya ketika bisa minum kopi bersama lebih cair dan dapat dibawa ke ranah pembicaraan diluar rapat, misalnya sambil minum kopi atau teh di luar ruang rapat. : “Oh iya ngopi akrab, walaupun kita saling maki-maki kalau di luar akrab.” Begitu pula dengan yang disampaikan Tojaka bahwa ada keterkaitan diantara sesama : “Ya ada keterkaitan karena memang begini posisi fraksi itu pada dasarnya kan sebenarnya instrument.” Sedangkan bagi Hartanto, proses adaptasi di DPR RI tergolong cepat, terlebih bagi pembahasan RUU KIP yang dimensi politiknya tidak terlalu menonjol urainya : “Nggak ada masalah biasanya politisi di DPR itu kan adaptasinya cepat. Adaptasinya cepat kemudian segera tune in lah gitu, apalagi kalau Undang-undang dimensi politiknya nggak terlalu menonjol, artinya dimensi politik menonjol itu tidak terlalu terkait dengan kepentingan partai politik. Kalau misalnya Undang-undang tentang partai politik atau tentang pemilu, wah itukan dimensi politiknya tinggi, kalau Undang-undang tentang KIP ini kan nggak terlalu politis jadi kita lebih cair.” Sementara itu bagi Eko, perasaan akrab tidak bisa selalu sama derajatnya melainkan tergantung kepada tergantung kepada tugas, tujuan dan pandangan yang ada pada masingmasing anggota, sehingga merasa kurang terjalin kekompakan spesifik dalam kelompok akibat ide-ide yang ada selama pembahasan berasal dari masing-masing fraksi dan disamakan dalam rapat-rapat pembahasan RUU: “Ya kadang kompak kadang tidak, tapi tidak ada satu pandangan jadi bebas saja berpendapat. Kalo sama-sama ya sama-sama aja tujuannya. DPR itu masing-masing fraksi, nanti kemudian menyamakan.” Keakraban yang terjalin kemudian mampu memunculkan kedekatan dengan anggotaanggota tertentu yang semakin mampu memperkuat kohesi kelompok diantara mereka, sebagaimana berikut ini : Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
166
“Biasanya sama pak happy bone (golkar), Andreas pariera (pdip) sama pak Hajriyanto (golkar) kita biasa diskusi dan menyamakan persepsi. Bisa juga dilihat di risalah rapat bagaimana sikap saya dan teman-teman.” (Deli) “Sama Sama sih semua, kadang sama Andreas Pariera kadang sama pak Theo Sambuaga sama aja.” (Sindoro) “Wah sama semua mbak, saya ya deket semua. (Eko) “Yaaa waktu itu siapa ya?paling andreas pariera dari PDIP terus pak Dedy dari PAN, pak Efendy Choirie dari PKB.”(Hartanto) “Pak Arif Mutasir dia satu fraksi, ya ada yang meninggal ada lagi Andreas Pareira namanya dari PDIP, Happy Bone (Golkar), Annis Matta (PKS), Deddy Djamaluddin Malik (PAN).” (Tojaka) Dengan munculnya nama-nama yang dinyatakan sebagai rekan terdekat dari fraksi partai politik yang berlainan menunjukkan bahwa terdapat kohesi dalam kelompok Panja Komisi I DPR RI yang membahas RUU KIP. Hal ini diperkuat dengan pengungkapan diri mereka ketika berpendapat di luar cenderung menggunakan kata “kami”, sebagaimana diakui oleh oleh para informan, penggunaan kata ‘kami’ atau ‘kita’ tergantung konteks pembicaraan diluar sehingga pengungkapan berdasarkan ‘saya’ juga masih ada jika memang pendapat pribadi yang diminta. Seperti yang diakui oleh Deli, Eko, Hartanto, dan Tojaka: “Ya campur si kalo itu, tapi lebih banyak kami.” (Deli) “Kalau yang menyampaikan secara pribadi digunakan saya biasanya namun ya terkadang menyelipkan kata kita.” (Eko) “Oh campur-campur itu, tergantung apa yang diutarakan. Kalau misalnya belum ada pembicaraan sebelumnya artinya spontan ya saya tapi kalau misalnya sudah ada pembahasan dulu sama rekan-rekan ya kita gitu.” (Hartanto) “Kalau atas kesepakatan kelompok pakai kita biasanya, namun jika berdasarkan pemikiran pribadi ya saya. Wah saya ga ingat persis ya, kayaknya kita karena memang banyak yang sama-sama telah dipahami.” (Tojaka) Namun bagi Sindoro, karena posisi nya lebih banyak berperan sebagai pimpinan maka pengungkapan dengan memakai ‘saya’ menjadi jarang dan yang dominan menjadi ‘kita’ : “Saya karena banyak jadi pimpinan jadi jarang pakai saya, paling ya kita.” Sikap lain yang ditunjukkan oleh anggota Panja untuk menunjukkan adanya kohesi adalah ketika mereka dihadapkan pada berbagai argumen luar yang berusaha untuk Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
167
memojokkan atau mempertanyakan kinerja mereka terhadap tugas yang di percayakan. Argunen luar dapat datang dari wartawan media yang biasanya menanyakan progress kinerja anggota kelompok. Diakui bahwa jawaban yang dapat diberikan adalah dengan tetap menjelaskan dan memberikan klarifikasi apabila diperlukan. Seperti yang diungkapkan oleh Deli : “Ya kalau saya ditanya oleh wartawan ya saya jelasakan saja yang sebenarnya bahwa maksud kita baik, itu keliru misalnya gitu. Biasalah begitu terkadang yang diluar nggak ngerti kondisi kita di dalam.” Begitu pula dengan yang diungkap oleh Sindoro, Eko, dan Hartanto : “Ya santai saja,nanti juga tahu tugas kita gimana. Kalau ditanya wartawan ya saya jelaskan. Kita kan bekerja untuk kepentingan publik juga.” (Sindoro) “Ya lihat dulu mbak urgensi pendapatnya, kalu misalnya dirasa sangat mengganggu dan tidak benar ya perlu kita klarifikasi.” (Eko) “Oya pasti ada itu, kita sikapi dengan bijak saja. Kalau saya sih cukup blak-blakan ya misalnya ada wartawan nanya yang kurang sesuai gitu. Biasalah ada pro kontra. Yang jelas kita kan kerja, lama itu ya karena kerja bukan lama dianggurin.” (Hartanto) Sedikit berbeda dengan informan lain, Tojaka menyatakan tidak terlalu perduli dengan sikap luar terutama wartawan : “Ga kita gubris ya kecuali ada yang berani wawancara ya saya siap saja. Selagi masih bisa diatasi dan tidak sampai menimbulkan kerusakan ya biar sajalah.” (Tojaka) Kohesivitas yang terbentuk karena adanya kesamaan lingkup tugas menyebabkan proses adaptasi dalam kelompok lebih cepat. Kekompakan mereka ditandai dengan adanya diskusi untuk menyamakan persepsi setelah banyak berdebat dalam rapat, sehingga terjalin kelompok kecil yang merasa akrab satu sama lain dalam komisi I tersebut. Penggambaran kohesivitas juga ditunjukkan dengan adanya upaya untuk melindungi kelompok terhadap berbagai pendapat luar yang bernada negatif atau memojokkan dengan bersedia untuk memberikan klarifikasi, walaupun terdapat beberapa anggota yang bersikap seolah mengabaikan saja. Beberapa informan tambahan lain juga memiliki penilaian terhadap kelompok Komisi I yang membahas RUU KIP terkait dengan indikator kohesivitas kelompok (kekeratan kelompok) ini, seperti IP-1 melihat anggota Komisi I DPR RI bisa berbeda pendapat dengan fraksinya sendiri dan sependapat dengan yang lain fraksi. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
168
“Ya nggak kompak jugalah menurut saya dalam arti mungkin ada yang suaranya siapa, ada yang suaranya siapa. Bisa saja satu fraksi tapi nggak sepaham”(Pujiyanto) Pernyataan ini didukung juga oleh Anggodo yang melihat bahwa kekompakan yang dibawa oleh kelompok Komisi I DPR RI yang membahas RUU KIP tidak terlalu dibawa oleh latar belakang fraksinya melainkan bisa lebih bebas berkembang berdasarkan pemikiran masing-masing anggota, sebagaimana pernyataan berikut : “Banyak perdebatan diantara mereka, artinya jaman itu saya melihat ada peluang bagi anggota DPR untuk menyuarakan opininya pribadi, pendapatnya pribadi.” Icel mengakui banyak perdebatan dalam pembahasan RUU KIP namun umumnya kelompok Komisi I DPR RI satu suara dalam mempertahankan pendapat yang telah menjadi rumusan DPR. Sebagaimana dinyatakan : “Itu juga agak lama ya, artinya mereka banyak perdebatan namun cenderung satu suara terutama soal Badan Publik inginnya BUMN/BUMD dimasukkan.” Sementara itu Danti yang selalu terlibat saat rapat pembahasan RUU di Komisi I DPR berpandapat bahwa kelompok cukup concern walaupun berbeda pendapat, seperti pernyataan berikut : “Saya melihat untuk pembahasan ee KIP ini ya, itu kan amanat dari reformasi, mereka semua concern, tidak ada yang anti maksudnya tidak ada yang menolak. Tetapi ee memang itulah isinya masih perdebatan tuh iya tapi tidak ada yang menolak, bagus si.” Dari pernyataan beberapa informan pendukung tersebut terlihat bahwa kohesivitas yang terjadi dalam kelompok pengambil keputusan di Komisi I DPR dibangun atas dasar kesamaan tujuan akan peran dan fungsi tugas keanggotaan mereka yang diamanahkan untuk membahas rancangan Undang-undang tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) tanpa membawa sifat keeratan dari fraksi yang melatar belakangi keanggotaan permanen mereka.
5.3.2 Faktor Kesalahan Struktural Janis mengamati bahwa karakteristik struktural yang spesifik, atau kesalahan dapat mendorong terjadinya groupthink. Faktor-faktor ini biasanya termasuk isolasi kelompok, kurangnya kepemimpinan imparsial, kurangnya prosedur yang jelas dalam mengambil keputusan dan homogenitas latar belakang sosial dan ideologi dari anggota kelompok (Janis, 1982:42). Diitemukan hasil bahwa faktor kesalahan struktural yang ada dalam kelompok Komisi I pembahas RUU KIP tersebut tidak terjadi secara keseluruhan melainkan hanya terdapat Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
169
beberapa faktor saja yang terpenuhi. Dari keempat faktor yang merupakan syarat dari adanya kesalahan struktural yaitu: (1) isolasi kelompok, (2) kurangnya tradisi kepemimpinan imparsial, (3) kurangnya norma bagi prosedur pengambilan keputusan, (4) homogenitas dari anggota kelompok/kurangnya perbedaan dalam latar belakang sosial dan ideologi tergambar bahwa hanya faktor isolasi kelompok dan homogenitas kelompok yang dominan dalam kelompok pembahas RUU KIP di Komisi I DPR RI. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan informan berdasarkan pertanyaan tentang adanya keempat faktor tersebut dalam kelompoknya. Mengenai isolasi kelompok yang merujuk pada kemampuan kelompok untuk tidak terpengaruh dunia luar diakibatkan karena seringnya mereka bertemu sehingga menjadi kebal dengan apa yang terjadi di luar pengalaman kelompok mereka, digali dengan pertanyaan tentang, kekerapan bertemu/berkumpul antar anggota serta aktivitas yang dilakukan ketika berkumpul, kehadiran rutin dalam rapat, dan peran fraksi serta interaksi dengan kelompok fraksi asal. Faktor kekerapan bertemu/berkumpul ditunjukkan oleh adanya keberadaan anggota kelompok dalam rapat-rapat resmi maupun dalam pertemuan tidak resmi. Rapat resmi di luar gedung dewan biasanya terjadi Wisma DPR Puncak, sementara di luar situasi resmi anggota kelompok Panja kerap berkumpul dalam suasana yang lebih santai dan biasa dilakukan di sela-sela kegiatan resmi. Dalam pertemuan tersebut mereka biasanya membicarakan hal yang lebih ringan walaupun terkadang juga sering menyelipkan isu tentang RUU KIP. Informan Deli mengatakan bahwa sering berkumpul dan berdiskusi dengan rekannya yaitu Pak Hapy Bone, Hajriyanto dari Golkar sama Andreas Periera dari PDIP dalam suasana semi formal. Sementara Sindoro menyatakan sering berkumpul untuk ‘ngopi-ngopi’ sambil membicarakan UU KIP. Informan Eko menyatakan bahwa terjadinya suatu perkumpulan jika ada yang memulai mengajak dan biasanya terjadi pada jam istirahat.. Hartanto menyatakan sering berkumpul tanpa membicarakan RUU KIP: “Iya sering, tapi kalau di luar nggak pernah membicarakan, anggota DPR kalau di luar mana mau membicarakan itu. Yang ringan-ringan ngakak-ngakak saja, mana ada anggota DPR diluar mau membahas Undang-undang, kecuali politik tapi Undang-undang, males terlalu serius.” Pengakuan Tojaka sedikit berbeda yang mengakui adanya kekerapan berkumpul antara anggota sesama komisi jika ada jeda dalam rapat dan biasanya dalam suasana ‘morning tea.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
170
Faktor kehadiran rutin dalam rapat RUU KIP diakui oleh seluruh informan rata-rata mereka selalu rajin untuk menghadiri rapat (jarang absen) dikarenakan rasa tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas. Sebagaimana diungkapkab berikut : “Saya hampir tidak pernah absen ya, bisa dicek di data risalah. Kalau kabur terus ya ga etislah.” (Deli) “Ya ada si ga hadir kalau misal lagi ga bisa, tapi saya cukup mengikuti terus kok, masih seringlah dateng.” (Sindoro) “Saya kan komandan dari PKB. Oiya saya cukup banyak bersuara dan saya memang jarang absen mbak.” (Eko) “Oiya saya sering hadir, jarang absen kok.”. (Hartanto) “Saya jarang absen jadi ikut terus rata-rata.” (Tojaka) Dengan kondisi totalitas terhadap tugas membahas RUU KIP, menyebabkan frekuensi anggota Panja untuk mengikuti kegiatan fraksinya sendiri menjadi lebih jarang. Seperti yang diungkapkan Deli pada dasarnya peran fraksi sangat mendukung dan cenderung membebaskan anggotanya dalam RUU KIP karena nuansa politisnya kurang kental. Himbauan yang diberikan tetap seperti rumusan DPR RI yaitu mendukung penyelesaian pembahasan dengan rumusan yang telah diajukan oleh DPR : “Fraksi ya cukup mendukung Undang-undang ini, perannya ya paling mensupport kita mengingatkan agar bisa fokus dan menyelesaikan dengan baik gitu. Himbauan khusus si ga ada ya karena nuansa politisnya juga ga terlalu kental si ya. Ya sesekali pasti ada pertemuan, tapi kalau seringnya ya sering sama Komisi.” (Deli) Hal ini juga dinyatakan oleh anggota kelompok yang lain seperti Sindoro dan Eko bahwa pada dasarnya peran fraksi tidak terlalu dominan sehingga anggota lebih leluasa untuk menentukan sikapnya : Ya ga terlalu dominan juga si. Di Fraksi memang punya sikap untuk mendukung kita agar berhasil mengesahkan RUU itu. Paling kalau ada rapat fraksi ya ketemu tapi ya banyakan sering sama Komisi waktu bahas undang-undang. (Sindoro) Yang jelas dari fraksi ada himbauan untuk mengoalkan RUU KIP namun kalau untuk banyak terlibat ya tidak juga si, kita relatif bebas karena interaksi lebih sering dengan komisi kalau lagi ada garapan Undang-undang. (Eko) Dengan adanya keleluasaan lebih dari fraksi menyebabkan secara idak langsung, anggota bisa lebih kohesif dengan kelompok tugasnya yaitu Komisi I DPR RI. Hal ini
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
171
ditunjukkan oleh sikap dari Hartanto yang menyatakan keberaniaannya untuk menentuka sikap jika memang ada sesuatu yang dianggap logis namun tidak disukai fraksinya : “Kalau saya ini orangnya berani ya kalau lihat mana yang dianggap logis ya jalan walaupun harus diprotes fraksi. Ya banyakan komisi, rapat fraksi kadang-kadang saja.” Kondisi ini juga berlaku bagi sikap fraksi terhadap pembahasan badan publik yang juga lebih banyak mendukung dan tidak ada upaya mengintervensi anggota, sebagaimana yang diungkap oleh Tojaka : “Fraksi waktu itu ya mendukung saja apa yang sekiranya bisa kita sampaikan misalnya batasan keterbukaan itu, harus jelas apa yang bisa bermanfaat atau hanya mendatangkan mudhorat. Kalau soal badan publik ya sama juga intinya harus bisa masuk badan publik semua institusi bisnis baik yang mendapat subsidi pemerintah maupun yang swasta/pribadi yang penting berkegiatan di Indonesia.” Temuan yang menarik dalam penelitian ini adalah adanya faktor isolasi kelompok yang ditandai dengan semua informan mengakui bahwa terjadi kekerapan antara anggota kelompok untuk terlibat dalam pertemuan-pertemuan di luar pertemuan resmi dalam rapat dan sifatnya cenderung santai dan cair, diisi dengan kegiatan minum teh dan kopi sambil berbincang hal yang sifatnya ringan walaupun sesekali ada yang menyatakan juga membicarakan tentang RUU KIP. Hal ini menjadi pendukung bahwa telah terjalin ikatan kebersamaan (kohesi) dalam kelompok tersebut, karena terjadi diantara sesama anggota kelompoknya di Komisi I DPR RI ketika membahas RUU KIP, sehingga interaksi dengan anggota komisi lain atau interaksi antara anggota sesama fraksi menjadi jarang dilakukan ketika para anggota ini terlibat dalam tugas yang sama yaitu sedang membahas RUU KIP. Isolasi kelompok yang terjadi karena minimnya peran fraksi dalam proses tugas anggota kelompok, diakui oleh Anggodo : “Tidak ada instruksi yang tegas dari partai seperti apa, jadi anggota-anggota DPR itu bisa menyuarakan pendapatnya pribadi dia, dan itu konsisten. Saya mengikuti Undang-undang Penyiaran dan Undang-undang KIP itu saya juga punya sandi sendiri, jadi pada jaman itu, anggota DPR itu lumayan independensi relative lah terhadap partai politiknya sehingga ia cukup mudah untuk mengadopsi masukanmasukan dari luar kalau dibandingkan dengan sekarang ya beda jauh, dulu tuh menurut saya lebih sehat meskipun untuk jaman itu kita sudah kritik-kritik itu, DPR, anggota DPR kurang tegas, tapi kalau di bandingkan dengan hari ini atau katakanlah DPR periode lalu, periode waktu itu. Ya, kalau DPR periode itu ya, tahun 2000an itu sampai 2008, itu jauh lebih berkualitas ya, independent, bisa bersuara, bisa berbeda pendapat dengan fraksi lain”. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
172
Informan pendukung juga menyatakan hal yang sama dengan informan utama dalam melihat faktor isolasi kelompok ini, seperti: “Ya saya rasa seringlah mereka kumpul di luar rapat, mereka juga kerap undang LSM diskusi gitu juga”. (Pujiyanto) “Kalau diantara sesama mereka tanpa kita si kayaknya ada ya karena sama kita juga sering kumpul kalau lagi mentok, jadi suasananya diindahkan. Suasanya memang dialogis, lebih enak, tidak formal, tidak melalui sidang, sering ko.” (Icel) “Kumpul antar mereka ya paling di lorong-lorong aja mba lisa sering saya perhatikan. Cuma kita ada pernah rapat diluar sekali di Kopo waktu itu.” (Danti)
Sedangkan untuk faktor kurangnya tradisi kepemimpinan imparsial untuk mengetahui apakah terdapat kepemimpinan yang hanya berlandaskan atas minat pribadi terhadap hasil akhir sebuah keputusan kelompok, didasarkan pada penggalian data terhadap alasan pemilihan pimpinan kelompok, kemampuan pimpinan mengakomodir pendapat anggota serta sikap pimpinan terhadap anggota yang berbeda fraksi. Pimpinan Panja RUU KIP di Komisi I DPR RI dipilih dengan mengacu kepada pimpinan Komisi yang biasanya di isi oleh anggota-anggota dari fraksi dengan jumlah perolehan suara paling besar, sehingga hal tersebut dapat dikatakan sebagai jatah yang diberikan kepada anggota Komisi I sebagaimana diungkapkan oleh Sindoro : “Ga ada lobby tapi itu jatah. Komisi I jatahnya PDIP, Golkar gitu-gitu lah ya.” Sehingga dapat dikatakan bahwa mekanisme pemilihan pimpinan berdasarkan kesepakatan siapa yang paling dijagokan oleh fraksi. Walaupun terdapat keterangan bahwa penetapan pimpinan dalam Komisi I adalah ‘jatah’ dari hasil lobby fraksi namun hal tersebut tidak terungkap jelas dari informan. Penunjukakn Pimpinan tersebut tidak pernah menimbukan permasalahan pada anggota karena unsur pimpinan dalam suatu komisi dianggap bukanah sebagai suatu jabatan yang mampu mendominasi anggota atau harus disegani berlebihan. Pimpinan yang dipilih umumnya dapat diterima oleh semua anggota DPR RI sehingga tidak ada pertarungan sengit untuk memperebutkan pimpinan Komisi. Untuk berikutnya, pimpinan komisi biasanya juga akan terus bertindak sebagai pimpinan pansus sampai kepada panja, sebagaimana yang diungkap oleh Tojaka : Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
173
“Pimpinan komisi I dipilih berdasarkan siapa yang dianggap layak dan mau dari fraksi yang paling banyak perolehan suaranya di pemilu, nanti pimpinan Komisi I ini juga terus bertindak sebagai pimpinan pansus sampai panja biasanya”. Dengan adanya latar kondisi tersebut maka sesungguhnya peran pimpinan di lembaga legislatif seperti DPR RI lebih kepada peran untuk mengakomodir pendapat anggota dan menetapkan pengambilan keputusan. Dalam rapat pembahasan, pimpinan berhak untuk memberikan peluang kepada seluruh anggota yang ingin berpendapat. Sebagaimana diakui oleh Sindoro : “Kalau soal itu kita cukup demokratis, nggak boleh kita tidak memberikan peluang orang bicara tidak boleh.”
Pimpinan lebih bertindak seperti polisi lalu-lintas yang mengatur alur diskusi dalam rapat, sehingga terkadang tidak bisa mengungkapkan pendapat pribadinya sendiri sebagaimana yang diungkapkan oleh Tojaka yang bertindak sebagai pimpinan Pansus RUU KIP : “Kalau jadi pimpinan itu cuma jadi polisi lalu lintas nggak sempat ngomong.. Iya ngatur-ngatur siapa yang bisa duluan berpendapat dalam rapat, semua dikasih dan terkadang dengan memberikan arahan begini-begini padahal pimpinan banyak ide tapi agak sulit diutarakan, makanya saya kurang suka jadi pimpinan karena tidak bebas berpendapat, sibuk ngatur pendapat orang aja hehehehe. Jadi kadang kalau kita ketemu dengan teman kita diskusikan.” Pimpinan dalam kelompok Komisi I lebih banyak bertindak sebagai moderator dalam rapat pembahasan yang mengatur alokasi waktu untuk para anggota yang ingin berpendapat mengeluarkan idenya, sehingga sikap keberpihakan terhadap anggota sesama fraksi juga tidak terlihat dalam unsur pimpinan di Komisi I jika terjadi perbedaan pendapat diantara para anggotanya. Dengan adanya sikap pimpinan seperti tersebut diatas maka suara anggota dari yang berbeda fraksi juga cenderung dapat didengarkan oleh pimpinan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Hartanto : “Iya semua dipersilahkan kok selagi ada waktu. Nggak ada bela-belaan, karena ini Undang-undang yang sifatnya itu inisiatif dari DPR, itu sudah satu suara DPR itu
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
174
sehingga yang menjadi problem dalam pembahasan ini dengan pemerintah bukan lagi antar fraksi” Namun untuk pengambilan keputusan yang mengandung perdebatan alot seperti mengenai definisi badan publik pimpinan panja RUU KIP sikap berbeda ditampilkan pimpinan ketika hendak mengambil keputusan, seperti terlihat pada rapat tertutup ketika akan mensinkronkan rumusan badan publik pada tanggal 26 Maret 2008, Pimpinan Panja meminta kepada anggota yang dianggap vokal untuk mengeluarkan argumen agar dapat dicapai kesepakatan, seperti yang tercatat dalam risalah rapat : “Jadi habis Pak Har, Pak Del solusi pak...” “Jadi nanti kita diskusikan lebih mendalam kata Pak Del...”
Pimpinan terlihat lebih memilih Hartanto dan Deli untuk membantu dalam pengambilan keputusan, mengingat anggota ini memang terlihat lebih vokal dibanding yang lain dan memang keduanya walaupun berasal dari fraksi yang berbeda namun menyatakan diri sebagai teman dekat ketika diwawancara. Pernyataan informan mengenai hal ini diperkuat juga oleh pernyataan dari informan tambahan lain yang menyebutkan bahwa unsur Pimpinan di Komisi I ketika membahas RUU KIP hanya memposisikan diri sebagai pemandu (moderator) jalannya rapat umumnya seluruh anggota diberi kesempatan yang sama untuk mengutarakan pendapatnya walaupun dari fraksi yang berbeda dengan unsur pimpinan, selain itu disebutkan juga bahwa dalam UU KIP tidak terlalu ada kepentingan yang menonjol dari pihak ketiga misalnya industri jadi sikap fraksi dan DPR bisa akomodatif, berbeda dengan UU Penyiaran yang melibatkan industri penyiaran. Hal tersebut terlihat dari pernyataan berikut : “Saya kan di fraksi balkon kalau rapatnya terbuka, umumnya si terbuka semua. Ya wajar ajalah Pimpinan cukup baik memimpin jalanya rapat, semua dipersilahkan kalau waktunya cukup”. (Pujiyanto) “Ga ada masalah, pimpinan masih kooperatif ga terlalu menonjol juga. Kalau di UU KIP pimpinan partai fraksi pun cukup akomodatif terhadap aspirasi ataupun pendapat anggota fraksinya karena yang menarik mungkin bisa dibandingkan dengan Undangundang penyiaran, Undang-undang penyiaran itu disparitas antara sikap anggota DPR dengan sikap fraksinya itu bisa cukup lebar disparitas karena ada pihak ke tiga yang punya kepentingan yang sangat kuat dan mencoba mempengaruhi pimpinan DPR yaitu industri televise. Inikan bedanya waktu itu kan, kalau Undang-undang penyiaran ya itu ya. DPR, Masyarakat Sipil, Pemerintah, Industri, Media. Media ini berbeda pendapat dengan pemerintah, maka media ini mempengaruhi DPR, mempengaruhi pemerintah Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
175
gitu lho. Jadi beberapa kali sikap pimpinan fraksi dengan anggota fraksi beda tapi kalau kalau dengan KIP kan cuma 3 pihaknya, pemerintah, DPR, Masyarakat Sipil untuk industri nggak ada”. (Anggodo) “Pimpinannya dari pimpinan Komisi I yang telah terbentuk di awal, oke-oke aja cukup tegas dan bisa berjalan tertib rapat kita walaupun rame interupsinya.” (Icel) “Oh Pak Theo pimpinan tapi tidak pak Theo terus, kalau ga ada dia ya wakil-wakilnya menggantikan. Pimpinan semua bisa menguasai jalannya rapat ya dengan memberikan kesempatan kepada siapa yang mau bersuara, mereka mengakomodir, tidak memihak, sebagai mediator, intinya bagus gitu ya karena mereka memang pengen Undangundang ini jadi.” (Danti) Bagi informan tambahan yang mengetahui jalannya pembahasan RUU KIP - kecuali Heryanti karena beliau bekerja setelah Undang-Undang KIP disahkan - Pimpinan dalam Panja RUU KIP dinilai menjalankan tugasnya dengan baik karena terlihat memiliki itikad untuk menjamin berjalannya rapat melalui sikap kooperatif dengan memberikan kesempatan bersuara kepada para anggota yang ingin berpendapat, tidak terlihat memihak kepada salah satu anggota atau fraksi, mampu mengakomodir berbagai pendapat-pendapat yang menimbulkan perdebatan. Selain itu dalam risalah rapat terlihat bahwa Pimpinan kerap memulai rapat dengan pembacaan ulang hasil rapat sebelumnya, membacakan kesimpulan rapat dan mengingatkan tentang jadwal rapat yang akan datang dan telah disepakati bersama sebelumnya, sebagaimana contoh berikut ini :
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
176
Berkaitan dengan faktor kurangnya prosedur pengambilan keputusan, diperoleh jawaban tentang prosedur apa yang dilakukan oleh kelompok Komisi I dalam pembahasan RUU KIP sampai dengan terjadinya kesepakatan berkaitan dengan perumusan mengenai BUMN/BUMD sebagai Badan Publik. Syarat yang digunakan untuk mendapatkan jawaban mengenai hal ini adalah berkaitan dengan (1) bagaimana jalannya pembahasan RUU KIP secara umum? Adakah prosedur yang tertulis dan terjadwal secara rinci dan berlangsung urut yang disampaikan kepada anggota kelompok atau disepakati sebelumnya dalam kelompok?, (2) apakah metode pengambilan keputusan terutama mengenai keputusan dimasukkannya BUMN/BUMD sebagai Badan Publik telah berjalan sesuai dengan yang telah ditetapkan ataukah banyak mengandung kompromi-kompromi maupun lobby?, (3) Sejauh apa upaya yang dilakukan kelompok Komisi I DPR untuk menganalisis masalah mengenai perdebatan tentang kedudukan BUMN/BUMD sebagai Badan Publik?. Jalannya pembahasan dinilai sangat sesuai jadwal, walaupun terkadang ada yang tertunda namun biasanya diganti ke hari yang lain, sehingga dinilai cukup fleksibel namun diakui bahwa jadwal mundur kerap terjadi selama proses pembahasan RUU KIP, sebagaimana diungkapkan oleh Eko : “Satu saja DPR itu fleksibel, bisa mundur tapi nggak pernah maju yang terjadi lebih banyak mundurnya, tetapi mundurnya ada, ya mundurnya banyak sekali makanya KMIP ini kan salah satu Undang-undang yang paling lama, bahkan yang sudah di bahas Undang-undang lain di DPR itu sudah di bahas sudah hampir di putuskan juga bisa di batalkan bisa di nol kan. Ya lah, misalnya kayak Undang-undang tentang rahasia Negara, jadi, dulu setelah membahas Undang-undang KMIP, RUU KMIP itu kan setelah itu membahas tentang UU tentang Rahasia Negara. Itu sudah hampir rampung, kan terus kemudian batal semua total sampai sekarang kan nggak dibahas lagi kan, sampai sekarang belum di ajukan lagi.”
Prosedur jalannya pembahasan terkait jadwal memang sering dibahas dalam rapat di Komisi I DPR RI dari sejak dimulainya pembahasan. Dalam risalah rapat tergambar adanya tahap orientasi kelompok yang berlangsung dalam rapat kerja pertama di Komisi I DPR RI yang membahas tentang mekanisme dan jadwal pembahasan RUU KMIP. Berbagai usulan dan interupsi muncul dalam rapat kerja pertama ini. Mulai dari keluhan akan ketidak hadiran Menteri Hukum dan HAM dalam rapat yang disampaikan oleh Drs. Ali Mochtar Ngabalin (FBPD) dan DR. Muhammad A.S Hikam (F-PKB), sampai dengan berbagai usulan dari beberapa anggota yang mengatakan bahwa yang terpenting dalam pembahasan bukanlah masalah prosedur atau tata tertib, tetapi lebih kepada semangat dari pemerintah untuk Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
177
mendukung kegiatan atau keterlibatan dalam RUU KMIP (Abdillah Toha/F-PAN). Sementara dari Fraksi Demokrat yang diwakili oleh Boy M.W Saul meminta agar pimpinan menetapkan tempat pelaksanaan pembahasan jika ada gedung lain di DPR RI yang akan dipergunakan. Setelah ketua rapat menyampaikan permasalahan tempat akan dilakukan di gedung DPR RI dan jika ada pertimbangan untuk rapat diluar yang difasilitasi DPR RI akan disampaikan lebih lanjut, komunikasi dalam rapat akhirnya mengerucut pada jadwal kegiatan yang bisa disesuaikan dengan masing-masing anggota yang memang banyak terlibat dalam kepanitian khusus lainnya (misalnya pansus antar komisi) yang mendapat usulan seputar jadwal pembahasan dari beberapa anggota seperti dari H.A Afifuddin Thaib, S.H (F-PG), DR. Muhammad A.S Hikam (F-PKB), Abdillah Toha, S.E (F-PAN), Marzuki Darusman, S.H (F-PG), Drs. Dedi Djamaludin Malik, M.Si (F-PAN), Shidki Wahab (F-Demokrat). Akhirnya ketua rapat memutuskan bahwa rapat kerja berikutnya akan dilangsungkan pada hari Selasa tanggal 21 Maret 2006 pukul 14.00 dengan toleransi hingga pukul 15.00 wib dan selebihnya mencoba memanfaatkan hari-hari lain sesuai dengan prosedur dan izin yang diberikan. Dari gambaran ini terlihat bahwa terdapat prosedur jalannya pembahasan yang dikomunikasikan dengan baik kepada seluruh anggota Panja. Kesesuaian jadwal dan tertib acara bagi pembahasan sampai kepada kesepatakan dalam perumusan RUU KIP telah diatur sedemikan rupa dan rapi oleh Komisi I, namun dalam perjalanannya terdapat beberapa kali penghalang sehingga ada jadwal yang dilaksanakan tidak sesuai rencana (mengalami keterlambatan) yang disebabkan karena faktor individu misalnya anggota yang tidak hadir, terlebih jika ada dari fraksi dengan perwakilan kecil maka kehadirannya sangat diperhitungkan dan pastinya menyebabkan kegagalan pembahasan jika tidak ada yang mewakili. Selain itu dalam prosesnya terjadi perdebatan cukup alot mengenai BUMN/BUMD sebagai Badan Publik sehingga banyak terjadi kompromi antara pihak DPR sebagai pengusul UU dan kepetingan Pemerintah bagi UU. Hal tersebut sangat disadari oleh anggota Komisi I sehingga mereka tetap berusaha untuk membuka diri dan mencari tahu penyebab dan sejauh apa masalah tersebut dengan mengadakan berbagai diskusi, mendengar pendapat ahli, sampai kepada menurunkan tensi kelompoknya sendiri guna orientasi jangka panjang tujuan utama yaitu bahwa RUU KIP harus tuntas dan berhasil disahkan.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
178
Metode pengambilan keputusan tentang badan publik, terutama terkait dengan masuk/tidaknya BUMN BUMD sebagai badan publik didapat hasil bahwa hal tersebut berubah dan mengandung kompromi. Sebagaimana diakui oleh Deli : “Ya berubah, ada kompromi. Yang dikompromikan itu mana yang termasuk badan public itu. Itu kan panjang memang diskusinya itu.Ya, karena perdebatannya kan panjang, pemerintah juga tetap ngotot gitu lalu di sebagian DPR juga ngotot akhirnya bagaimana membuat rumusan yang bisa diterima oleh semua pihak gitu. Nah ketika rumusan yang diterima oleh semua pihak memang kemudian menjadi tidak ideal kan. Ya kategorinya itu dan meyangkut substansi dan perspektifnya perspektif politik, ada perspektif hukum misalnya kan gitu. Pemerintah kelihatannya tadi tentu ada politik hukum ya untuk mem-protect gitu masih ada nuansa itu.”
Sindoro juga menyatakan bahwa rumusan mengenai badan publik adalah yang paling lama dan sulit menemui titik temu antara DPR dan Pemerintah : “Hanya rumusan tentang Badan Publik ini yang beda jadi sempat pending tapi kemudian terus lagi. Kita maunya terbuka BUMN/BUMD dimasukkan sebagai Badan Publik. Pemerintah tidak. Semua Undang-undang isinya kompromi politik tujuannya mencari suatu rumusan yang acceptable by everybody. Everybody itu ya everybody parpol yang elected by people.” Kompromi yang terjadi dinyatakan oleh Eko cukup kencang. Suara DPR RI tentang badan publik adalah badan yang aktivitasnya memang di public, untuk kepentingan public, dibiayai oleh public atau dibantu oleh public. Sementara pemerintah memiliki pandangan yang berbeda karena faktor kepentingan uang. Pihak DPR RI memiliki pandangan bahwa semua badan usaha terutama BUMN harus masuk ke dalam kategori badan publik karena jelas menggunakan dana APBN, dan dana APBN itu adalah mutlak dari dan untuk publik : “Intinya waktu itu komprominya lumyan kencang. Badan public itu yang sering kami suarakan adalah badan yang aktivitasnya memang di public, untuk kepentingan public, dibiayai oleh public atau dibantu oleh public. nah disini ada perbedaan pandangan karena itu kan uang. Jadi saya masih inget kalau nggak salah BUMN atau BUMD itu kan dibiayai oleh Negara, itu kan uang Negara yang dipisahkan untuk berbisnis mewakili Negara, jadi BUMN atau BUMD itu badan bisnis yang mewakili Negara. Nah itu berarti juga badan public sementara pemerintah pada saat itu punya pandangan “Oh, tidak, itu kan perusahaan terbatas, itu bukan badan public, dia kan bisnis, memang dia menggunakan uang Negara yang dipisahkan tapi pertanggungjawabannya tidak langsung ke public, pertanggungjawabannya adalah si PT itu, pelaku pelaksana perusahaan itu kepada pemerintah” kira-kira seperti itu, jadi disitu ada perbedaan.” Hartanto pun mengakui bahwa di lembaga politik terdapat misi kepada kompromikompromi. Perbedaan dengan Pemerintah mengenai definisi badan publik sulit menemukan Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
179
titik temu jika tanpa kompromi. Upaya kompromi diambil sebagai jalan tengah untuk mencapai kesepakatan yang bisa diteriman kedua belah pihak, walaupun pastinya ada yang merasa tidak puas terhadap hal tersebut : “Misalnya pemerintah nggak mau Bank BUMN itu terbuka pemerintah nggak mau misalnya. DPR maunya ya bank itu harus terbuka juga dong dibuka, aksesnya public juga pemerintah tidak mau maksudnya dibuat kompromi oke bank boleh dibuka pada aspek-aspek tertentu, tadinya kan pemerintah mengatakan nggak bisa, bank itu rahasia, DPR bilang nggak rahasia ini uang public kok dan sebagainya harus dibuka. Komprominya oke boleh dibuka tapi apa yang dibuka misalnya satu, komposisi permodalan, yang kedua laporan keuangan tahunan, yang ketiga misalnya jumlah funding dan jumlah landing misalnya gitu. Tapi yang tidak bisa dibuka misalnya satu, nama-nama nasabah, nama komisaris nama direksi boleh dong itu dibuka, tapi namanama nasabah nggak boleh itu rahasia bank.” Kompromi bagi Tojaka diartikan sebagai upaya untuk mencapai kesamaan bahasa, sehingga bukan dianggap sebagai suatu kekalahan : “Komprominya itu kan sebenarnya banyak, jadi komprominya kan begini kadangkadang begini, pemahaman satu orang terhadap satu bahasa itu berbeda dengan yang lain, tujuannya sama lalu yang mana yang mau dipakai, ini kan kompromi itu. Jadi itu tidak dianggap sebagai kekalahan karena memang ingin menyelesaikan pekerjaan, Akhirnya masuk semua. BUMN masuk, Parpol, pokoknya begini jadi pada prinsipnya setiap lembaga yang menerima apakah karena kewajiban menerima atau karena bantuan dana APBN atau APBD atau bantuan luar negeri, dia harus masuk dalam kategori lembaga yang berhak melakukan KIP.” Upaya-upaya yang dilakukan kelompok untuk menganalisis masalah mengenai perdebatan tentang badan publik ditempuh dengan jalan kompromi. Kompromi bertujuan untuk mencapai penyelesaian tugas sebagaimana diungkapkan oleh Deli : “Ya kita terus diskusi, mencoba mempertahankan rumusan kita dan meminta pendapat dari beberapa ahli dari kalangan akademisi dan masukan dari Koalisi Masyarakat Sipil. Tapi disisi lain pemerintah juga sama membawa ahli-ahlinya termasuk meminta masukan dari Menteri BUMN. Tapi ya kembali lagi mikirnya daripada berdebat panjang akhirnya ga ada penyelesaian ya sudah kita coba turunkan tensi juga.” Perdebatan antara Pemerintah dan DPR RI didasarkan atas perdebatan substansi dan perdebatan semantik. Pihak legislatif (DPR RI) menginginkan agar ada keterbukaan dari badan publik, namun ternyta terdapat implikasi lain karena pemerintah sangat tidak mau dengan selalu mengulur-ulur waktu sehingga pembahasan menjadi lama. Pihak DPR RI yang memang memihak pada Koalisi Masyarakat Sipil telah menduga bahwa keterbukaan badan publik seperti BUMN BUMD akan tidak menguntungkan pemerintah sehingga ketika Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
180
pemerintah kemudian mengusulkan memperluas badan publik menjadi LSM dan Parpol pun diusulkan sebagai badan publik, pihak DPR menangkap hal tersebut mengandung nuansa politis. Disebutkan pula bahwa kompromi merupakan jalan tengah bagi adanya sikap yang sama-sama keras antara Pemerintah dan DPR RI. Ketika memutuskan untuk kompromi, pihak DPR RI akhirnya terpaksa menurunkan ‘tensi’, sebagaimana ungkap Hartanto : “Saya termasuk yang menentang ketidakbersediaan pemerintah untuk BUMN, terutama bank ya. Saya juga bukan hanya di sidang saya berdebat dengan menteri Sofyan Djalil bahkan juga di polemic di Koran ya, di Koran saya juga banyak mengkritik dan menghantam menteri Djalil atau kalau bilang keras kepala, ya sudahlah. Kita kan buat rumusan itu tentunya ga sembarang, sudah didiskusikan dengan melibatkan ahli yang berkompeten terus kemudian muncul perdebatan dari pemerintah yang tidak setuju dimasukkannya BUMN/BUMD sebagai badan publik itu diluar perkiraan kita sebenarnya, dan pemerintah tentunya juga sudah banyak berdiskusi dan meminta pendapat soal sikapnya itu. Pada jalannya kami berusaha untuk tetap mempertahankan dan sekaligus juga tidak menutup hal logis yang disampaikan pemerintah karena tujuan awal bersama masih kita pegang yaitu UU ini harus selesai dan membanggakan. Ungkapan senada mengenai upaya kompromi disampaikan oleh Tojaka bahwa hal tersebut bertujuan untuk menghindari agar pembahasan terlalu lama dan akhirnya tidak selesai seperti periode sebelumnya, oleh karena itu jalan kompromi dipandang adalah jalan yang bisa membawa pihak Panja Komisi I berhasil menuntaskan pembahasan RUU KIP. “Pertama, kita menyadari perbedaan pendapat itu sebagai sesuatu yang wajar dalam perumusan UU di DPR. Kedua kita mencoba melakukan kompromi dengan pemerintah, ya ada semacam tawar menawar maunya masing-masing seperti apa agar jangan sampai pembahasan terlalu lama dan akhirnya ga selesai lagi.” Beberapa informan tambahan memberikan pernyataan terhadap prosedur pengambilan keputusan yang berlangsung selama membahas RUU KIP terkait dengan BUMN/BUMD sebagai Badan Publik, seperti yang dikemukakan oleh Pujiyanto : “Bagi saya tingkat keberhasilan UU ini sekitar 60-65% lah. Orang Komisi I banyak tanya saya karena mereka juga banyak yang belum terlalu paham KIP. Rumusan yang diajukan itu sebelumnya kami yang buat di periode 1999. Iya kan bagi saya BUMN termasuk, lantas pemerintah berfikir jika ada Undang-undang ini mereka bisa merasakan kekuasaan mereka yang berkurang iya kan kok bisa? mereka pasti timbang menimbang.” Menurut pendapat Pujiyanto, UU KIP ini bisa men-cross interest pemerintah atau sebaliknya, untuk setiap undang-undang tarik menarik kepentingan pasti selalu ada terlebih goverment sebagai birokrat tentunya berkaitan dengan apakah kepentingan akan tercabut ?. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
181
Pada dasarnya, pemerintah yang memiliki kepentingan akan berusaha memasukkan kepentingannya. Dengan cara bisa melobi bisa beragument secara nalar. Menurut Pujiyanto tentunya telah pihak pemerintah meminta pendapat dari Menteri BUMN, namun dikarenakan kelompok Panja sudah tidak punya cara lain untuk mempercepat proses RUU, sehingga Panja menurunkan derajatnya. Derajatnya Itu tidak pada tekstualistis di Pasal 1 ayat 3 tentang definisi Badan Publik namun pada akomodasi ke pasal baru 14, 15, 16 RUU KIP. Informan Anggodo menyatakan bahwa tentang prosedur atau kesesuaian jadwal termasuk telah terpenuhi walaupun terdapat perubahan-perubahan beberapa kali. Yang sering terlihat menurut Anggodo adalah lobby-lobby dan kompromi. Terutama terkait dengan dafinisi badan publik yang sangat memakan waktu dalam pembahasan dikarenakan sikpa pemerintah dan DPR RI yang selalu bertentangan, namun pada akhirnya kompromi menyebabkan kelegaan dari sisi waktu penyelesaian, namun menimbulkan kekecewaan bagi Koalisi Masyarakat Sipil karena masih terdapatnya pengecualian informasi yang wajib disediakan oleh badan publik sebagaimana termaktub dalam pasal 14, 15 dan 16 RUU KIP : “Kalo prosedur sesuai jadwal saya rasa si terpenuhi ya walaupun ada perubahanperubahan jadwal. Yang sering ya banyak lobby-lobbynya. Kita sering ngundang seminar ke daerah dan diskusi juga. Banyak kompromi-kompromi kayak gitu dari BUMN, Partai Politik, di sendirikan, itu kompromi. Terus LSM masuk bagian dari badan public, kompromi juga. Jadi ditampung, tapi kan nggak maksimal, maksudnya ditampung dalam arti BUMN tetap menjadi bagian dari badan public, nah itu kan mengadopsi, itu kan mengafirmasi masukan pemerintah masyarakat sipil tapi ternyata pengaturannya itu disendirikan. Ada acception kan untuk BUMN begini begini, nah itu mengecewakan.” Informan Danti menyatakan hal yang serupa terkait dengan prosedur pembahasan. Menurutnya anggota Panja cukup concern namun memang substansi tentang badan publik termasuk yang berat sehingga memakan waktu sangat lama untuk menyelesaikannya. “Sesuai prosedur, kalo ga sesuai prosedur ga bakal 2,5 tahun mba. Jadi mereka concern tapi memang substansinya susah ya maksudnya kompleks jadi 2,5 tahun. Cukup intens kita rapat cukup teratur minimal seminggu dua kali ya dan semuanya dicatat. Kalau soal perdebatan Badan Publik itu memang panjang di panja dan sampai ke timus nanti timus selesai kita laporkan lagi ke panja, panja lapor lagi ke raker untuk tujuan akhirnya. Jadi sempet beberapa kali bolak balik sampai kita sempat bilang ini lagi ini lagi hehehe. Tapi saya lihatnya akhrinya ya sudahlah eee ini yang paling baik aja, saya yakin sudah dipikirkan. Kalau semua ngotot-ngototan 2,5 tahun ga kelar juga dan ini adalah usulan luncuran dari periode sebelumnya mba. Tapi walaupun waktu itu rame, biar debat biar berantem tapi mereka keluar ruangan ya biasa lagi ga ada urusan.” Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
182
Sementara dari pihak pemerintah yang diwakili IP-3 memiliki pendapat bahwa mekanisme jalannya pembahasan memang telah sesuai prosedur walaupun ada beebrapa kali terjadi pergeseran jadwal. Tentang perdebatan BUMN/BUMD sebagai Badan Publik, sebelumnya dinyatakan memang telah dilakukan diskusi lintas kementerian untuk menetapkan argumen pemerintah di DPR walaupun bahasan menjadi lama karena adanya lobby dan kompromi, sampai akhirnya bisa diatasai bersama karena DPR menurunkan tensi dan terjadilah “kesepakatan khusus” yang dilangsungkan di luar ruang rapat Komisi I DPR RI, yaitu di Hotel Ibis Petamburan Jakarta setelah mengadakan loby sehari penuh di bulan puasa. Hal ini sebagaimana diungkap oleh IP-3: “Saya pikir prosedur dalam arti mekanisme perumusan UU itu telah berjalan dan dipatuhi semua, namum soal kompromi ya itu pasti ada karena ini produk politik. Kami melihat masalah soal Badan Publik dengan berusaha mencari pijakan yang jelas agar argumen juga bisa sinkron dengan DPR. Kementrian kominfo yang diwakili oleh Mentri negara membuat satu draft, konsep, jadi ada dua draft, buat sama-sama maju ke DPR. Sesuai prosedur lah. kita waktu itu bekerjasama dengan UNDIP UNPAD, kita juga ke akademik, kajian akademiklah. Akhirnya kesepakatanya itu DIM yang terakhir dibahas itu masuk badan publik, tetapi yang belum dibuka hanya dalam undangundang, pasal berapa itu. Waktu itu kan tuduhanya begini, kalau BUMN itu tidak dibuka, itu kan, itu kan jadi satu perahan oleh negara sendiri, tempat pencowo partaipartai, makanya harus dibuka. Ya artinya keputusanya mengatakan bahwa okelah kita terima juga usulan dari DPR bahwa BUMN memang harus terbuka tapi tidak boleh terbuka telanjang. Caranya bagaimana ya tentukan mana yang boleh dibuka mana yang tidak dan itu disepakati, karena tadi kita katakan bahwa dia juga ada rezim bisnis di situ gitu. Untuk menjaga kita punya, apa namanya eksistensi perusahaan negara bahwa sebuah rezim bisnis itu harus ada strategi-strategi binis yang harus dijaga. Ujungnya pada bisa nerima juga, itu sih itu kan politik memang harus gitu, apa namanya suasanya dalam pembahasan undang-undang yang sifatnya politik. Waktu itu yang menjadi penegah itu Pak Arif Mudasir, almarhum. Itu saya inget betul itu diputuskan di hotel Ibis di Petamburan kalo ga salah itu sampe kita mau sahur itu dari sebelum buka hahahaha. Terakhir itu, saya masih ingat tapi tanggal nya saya lupa. Ini kesepakatan sebelum masuk ke timsin itu maknya keluarlah Pasal 14 itu, tadinya kan ga ada.” (IP-3) Indikator ke empat dari faktor kesalahan struktural yang merupakan kondisi pendahulu (anteseden) groupthink adalah homogenitas kelompok (Homogenity of Group). Faktor homogenitas kelompok ini tidak serta merta terbentuk dari awal kelompok terjadi karena memang secara latar belakang ideologi politik para anggota berebeda-beda yang juga membedakannya dengan penelitian Janis yag dilakukan pada kelompok yang memang dari sejak awal telah homogen dan kohesif.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
183
Kelompok Panja RUU KIP di Komisi I dapat disebut homogen ketika melihat latar belakang pada jenis profesi dan tujuan kelompoknya. Walaupun berbeda fraksi Partai Politik, namun secara profesi mereka adalah sama-sama politisi dan memiliki tujuan yang sama dalam tugas yang diembankan untuk pembahasan RUU KIP. Tingkat homogenitas yang ada dalam kelompok pembahasan RUU KIP di Komisi I digali dengan beberapa pertanyaan tentang adanya perasaan yang menyatu dan seberapa banyak kesamaan diantara anggota kelompok. Bagi informan perasaan menyatu dalam kelompok ketika membahas RUU KIP itu ada karena usulan RUU KIP merupakan usul inisatif dewan yang memang telah disepakati oleh anggota Komisi I DPR RI sehingga dalam bayangan mereka draft yang telah ada tersebut tidak memerlukan perdebatan panjang dan pertentangan dalam kelompok Komisi I sendiri. Hal tersebut memang terbukti, dari catatan risalah rapat terlihat bahwa anggota kelompok cukup solid mempertahankan argumennya terhadap draft yang telah ada sehingga tidak terlalu ada perbedaan tajam diantara mereka. Hanya saja yang menjadi pelik adalah pertentangan dengan kelompok pemerintah terkait dengan rumusan badan publik. Pemerintah mengusulkan agar BUMN, BUMD dan Badan Usaha Swasta tidak dimasukkan dengan alasan bahwa sistem akuntansinya mereka telah mempunyai mekanisme korporasi, ada lembaga yang mengaudit, BPK, BPKP, atau BUMN publik, Akuntan Publik. Pemerintah menginginkan bahwa Badan Publik itu bukan hanya Pemerintah, tetapi lebih diperluas, termasuk badan publik yang mendapatkan dana dari APBN, sehingga cakupan badan publik bisa menyentuh : LSM, Organisasi Massa, Partai Politik atau Institusi Sosial kemasyarakatan yang mendapatkan sumbangan dari masyarakat atau sumber luar negeri. Tujuannya yaitu agar bisa diketahui dana itu digunakan untuk apa, darimana, digunakan untuk apa, apa motivasi di balik pembiayaan, misalnya terhadap lembagalemabaga terutama LSM. Argumen yang disampaikan oleh Menkominfo Sofyan Djalil tersebut langsung mendapat respon keras dari hampir seluruh Fraksi di Komisi I DPR RI yang menolak argumen Pemerintah dan tetap bertahan untuk mendukung rumusan RUU yang diajukan DPR. Jefresy Johannes Massie dari F-PDS menyatakan bahwa saat sekarang justru BUMN merupakan salah satu badan publik yang paling tidak bisa diakses informasinya sehingga rentan terhadap korupsi jadi harus menjadi salah satu bagian dari Badan Publik. Ade Daud Nasution dari F-PBR menyatakan jika BUMN tidak dimasukkan sebagai badan publik maka good government akan mundur lagi dan bisa digunaka penguasa untuk alat kampanye pemilu. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
184
Sementara Hilman Rosyad Shihab dari F-PKS menyatakan untuk menghindari ekslusifitas BUMN maka tetap harus dimasukkan sebagai badan publik, namun mengenai usul LSM, Parpol dan Organisasi Massa lain yang diusulkan dimasukkan oleh Pemerintah itu setuju untuk ikut dimasukkan. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa homogenitas dalam artian adanya perasaan menyatu dalam kelompok tercipta karena adanya kesamaan tujuan dalam rangka tugas yang diembankan. Informan anggota Panja mengakui adanya perasaan menyatu namun mereka dalam rangka untuk menjalankan tugas dengan baik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Deli : “Ya ada lah karena kami berusaha menjalankan tugas dengan baik. Sebenarnya bagaimanapun berbedanya misalnya pandangan fraksi itu kemudian menjadi cair lagi” Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Eko bahwa soal penyatuan sebenarnya tergantung isi kepala masing-masing namun untuk RUU KIP memang lebih menyatu karena usulan dari DPR sehingga memiliki satu visi : “Di DPR itu tergantung isi kepala masing-masing, tapi kalo dibilang kita sevisi iya”
Sementara Sindoro menyatakan bahwa perasaan menyatu itu sebenarnya lebih kepada keinginan agar RUU KIP cepat diselesaikan, dan Hartanto mengungkapkan bahwa terdapat beberapa orang yang sangat menyatu dengannya di Komisi I yang sama-sama concern dan vokal sehingga menjadi klik : “Kita cukup terbuka aja diskusi, soal menyatunya itu ya lumyanlah ada beberapa orang yang cukup concern dan klik dengan saya.” Sementara itu Tojaka menayatakan bahwa perasaan menyatu pasti ada di balik sikap untuk tetap harus terbuka dan kritis agar tidak dipandang sebelah mata oleh rakyat : “Menyatu itu pasti ada tapi karena kita disuruh terbuka dan kritis dalam menghadapi sebuah isu ya tentunya terbiasa melahirkan pemikiran-pemikiran sebagai masukan agar hasil akhir bisa lebih baik. Jadi saya hanya ingin menunjukkan bahwa anggota DPR itu yang dikatakan hebat itu bukan karena di Pers, tapi semua yang enak dilihat bagaimana anggota DPR itu memperjuangkan kepentingan rakyat ketika membahas perUUan, cuma ada keliru juga dari rakyat, yang namanya anggota DPR itu harus datang membawa uang, padahal perjuangan anggota DPR itu kan membuat UU kepentingan rakyat, bukan bagi-bagi duit.” Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
185
Berdasarkan uraian jawaban informan tersebut, hanya Eko yang kurang melihat adanya semacam homogenitas dalam kelompok pembahas RUU KIP di Komisi I karena dianggap semua sikap diatur berdasarkan pemikiran sendiri yang tidak mendapat kungkungan dari fraksi dalam hal itu. Sementara informan anggota lainnya menyatakan bahwa perasaan menyatu dan kesamaan yang ada bukan terletak pada kesempatan untuk mengutarakan pendapat yang berbeda, melainkan merupakan suatu konsep yang terbangun dari keinginan untuk mencapai tujuan keberhasilan perumusan RUU KIP. Namun semua informan menyatakan selama pembahasan tidak ada konflik yang terjadi dalam kelompok selain soal konflik pemikiran saja. Hal ini juga dibenarkan oleh pendapat informan tambahan Danti yang merupakan sekretaris rapat dalam pembahasan RUU KIP : “Nggak ada konflik. Jadi intinya mereka memang pengen undang-undang ini jadi.
Semua Aman terkendali.” Konflik pemikiran dalam arti adanya perbedaan pemikiran mamng terjadi namun tidak sampai menghancurkan hubungan dan perbedaan tersebut tidaklah setajam dengan pemerintah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Deli : “Kita sama-sama ingin pembahasan berhasil, berjalan lancar kok. Konflik ga ada yang gimana-gimana. Yang dimaksud dengan koflik itu ya konflik pemikiran kerja tetapi dari konflik fisik atau misalkan konflik sampai gimana nggak” Hal ini diperkuat dengan pendapat Hartanto yang menyatakan bahwa tidak ada konflik yang serius karena kredibilitas anggota kelompok telah teruji : : “Nggak ada konflik yang serius, Ya di DPR itu kalau politisnya sudah senior-senior, canggih-canggih itu kan kalau berubah kan nggak kelihatan kan, ya pelan-pelan, kalau terlalu cepat kelihatan bisa ketahuan. Ketahuan ada apa ini mungkin dia sudah dilobi oleh menteri.” Sementara Tojaka memiliki penilaian bahwa perberbedaan sangat wajar terjadi dalam lingkup parlemen namun biasanya hal tersebut berubah seiring dengan berjalannya waktu untuk mencapai kesepakatan maka tentunya penyatuan tersebut dapat terjadi : “Ya biasanya begini, diawal mungkin kira-kira setengah atau tiga perempat itu banyak perbedaannya Diawal, karena kita punya konsep sendiri-sendiri tapi setelah mendengar disana dengan alasannya, artinya menyatu, menyiapkan sepertiga terakhir itu sudah mulai mendekat. Jadi itu gini prosesnya seperti itu, jadi kalau ada pembahasaan UU diawal sudah setuju-setuju, itu nggak benar itu. Menurut saya kalau orang melihat dari luar ya bukan anggota DPR kalo ga tegang adu, bukan adu argumentasi, tegang mempertahankan idenya untuk menangkan partainya kan begitu, Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
186
sebenarnya tidak kesana jadi kalau sudah pembicaraan-pembicaraan kaitannya dengan kepentingan public, kepentingan rakyat itu saya kira semua partai sama cuma kadang-kadang cara merumuskannya berbeda.” Yang menarik adalah perdebatan antara DPR dan Pemerintah diisi dengan upaya dukungan terhadap pemerintah dari fraksi yang merupakan fraksi pendukung pemerintah seperti fraksi PKS. Seperti dapat digambarkan bahwa Pemerintah melalui Menkominfo menginginkan bahwa Partai Politik dan LSM lah yang menjadi badan publik : “Penekanan pemerintah adalah lebih pada Partai Politik, Organisasi Massa, Institusi Sosial dan LSM yang menerima sumbangan, karena ini sangat penting. LSM mendapatkan sumbangan dari luar negeri, bisa jadi itu adalah masalah.” Tegas Menkominfo (Risalah rapat, 15 Mei 2006, halaman:184)
Menurut Menkominfo, transparansi, akuntabilitas, responsibilitas BUMN/BUMD itu wajib, persoalannya jangan menyamakan keterbukaan rezim coorporate dengan rezim badan publik. Badan Publik dimaknai oleh Pemerintah hanya menyangkut badan-badan politik atau badan-badan negara yang tidak mencari keuntungan. “kita harus lindungi BUMN dan BUMD dari intervensi rezim politik, karena kalau diintervensi BUMN/BUMD sangat dirugikan”. Menanggapi pernyataan Menkominfo tersebut, penolakan langsung disampaikan oleh Eko dari FPKB : “Kita masih harus berdebat, apa argumennya lebih jauh tidak menyetujui BUMN, BUMD tepai justru memasukkan organisasi massa, padahal organisasi massa kalau misalnya kita lihat dari realitasnya mereka urunan, itu berbeda sama sekali, bagi saya usulan dari DPR inilah yang paling relevan, yang paling terkait dengan maksud dan tujuan Undang-Undang tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik.” (Risalah Rapat tanggal 15 Mei 2006, halaman:190) Begitupula dengan yang disampaikan oleh F-PAN Djoko Soesilo yang memperkuat argumentasi teman-temannya : “Saya hanya memperkuat argumentasi dari teman-teman. Memang agak mengherankan kalau Pemerintah mendrop tentnag BUMN dan BUMD ini, di lain pihak kemudian memasukkan Partai Politik dan LSM.” (Risalah Rapat 15 Mei 2006, halaman : 190) Namun bagi fraksi PKS yang termasuk pendukung Pemerintah, usulan tentang Badan usaha sepakat dengan rekan DPR RI agar dimasukkan, namun usulan Pemerintah tentang organisasi non pemerintah juga didukung oleh F-PKS : “Sepakat dengan Pemerintahan berkaitan dengan organisasi non pemerintah yang selanjutnya meliputi LSM, Partai Politik dan lain sebagainya, saya sangat sepakat itu dimasukkan. Terima Kasih.” (Risalah Rapat, 15 Mei 2006) Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
187
Perdebatan tentang masukknya Organisasi non Pemerintah sebagai badan publik kemudian bisa dipahami oleh semua anggota namun diharapkan pemeritah juga setuju untuk tetap memasukkan BUMN dan BUMD sebagai badan publik. Sebagaimana terlihat dari pendapat F-PPP (alm) Arief Mudatsir Mandan : “Saya kira hal-hal yang dirumuskan oleh pak Menteri secara substansi sudah termasuk di dalam draft DPR dengan bunyi organisasi non pemerintah hanya saja memang untuk BUMN, BUMD dan BHMN itu harus ada juga terutama BUMN dan BUMD harus masuk karena memang yang dibiayai oleh APBN terbuka untuk akses publik apalagi yang memang memutar dana publik melalui perusahaan.” (Risalah Rapat tanggal 15 Mei, halaman :195) Hal senada juga disampaikan oleh Hartanto dari fraksi Golkar : “Saya memahami mengapa Pemerintah memasukkan Partai Politik, Ormas, LSM dan Organisasi-organisasi Non Pemerintah dan lainnya yang menerima sumbangan dari publik, tetapi saya berharap ini tidak dijadikan dalam satu ayat apalagi dalam satu tarikan nafas, karena saya khawatirkan rancangan undang-undang yang penekanannya kepada penyelenggara negara ini kemudian seakan-akan digeser atau dialihkan perhatiannya atau dipecah perhatiannya dengan organisasi-organisasi non pemerintah, organisasi non negara, seperti terutama ormas dan yang lainnya, misalnya yayasan, taruhlah di sini tentang ormas saja. Saya rasa hal ini sangat tidk fair dan tidak adil.” (Risalah Rapat 15 Mei 2006, halaman : 199) Hartono menambahkan sebenarnya sangat sulit dinalar untuk menyamakan satu Badan Publik yang mengelola dana publik, intinya adalah pajak yang diucapkan dalam satu tarikan nafas dan diperlakukan sama dengan organisasi yang sumbangan masyarakatnya itu bersifat sukarela dan kita tahu bahwa pajak itu memaksa, kalau tidak bayar pajak kita dijebloskan ke penjara Maka wajar kalau pengelola dari dana-dana APBN itu yang sumbernya adalah pajak itu harus memberikan akses kepada publik dan harus tidak boleh tertutup, tetapi bagaimana mungkin hal tersebut disejajarkan atau diparalelkan dengan Ormas. Mengenai keanehan ini juga terutama diungkapkan oleh pihak LSM dari Koalisi Masyarakat Sipil, seperti Pujiyanto menyatakan : “Aneh bagi saya LSM dimasukkan sebagai badan publik karena itu sama seperti pengajian dapat dana banyak dari masyarakat, kalaupun dari asing juga tidak seberapa. Kalau Partai Politik mungkin masih bisa dimaklumi karena memang dia ada mendapatkan dana APBN jika berhasil memenangkan pemilu.” Gambaran bahwa pada akhirnya para anggota Panja bisa sepakat dan setuju terhadap usulan pemerintah menunjukkan bahwa terdapat homogenitas (perasaan menyatu) dalam kelompok bagi kepentingan penyelesaian tugas. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
188
5.3.3 Karakteristik yang menghasilkan Tekanan (Provocative Context) Kondisi pendahulu yang terakhir dari groupthink berhubungan dengan tekanan dari kelompok, yaitu tekanan internal dan eksternal (internal and external stress) terhadap kelompok yang dapat memunculkan groupthink. Hal ini dipahami sebagai kondisi dimana ketika pembuat keputusan sedang berada dalam tekanan yang berat – baik disebabkan oleh dorongan-dorongan dari luar maupun dari dalam kelompok – sehingga cenderung tidak bisa menguasai emosi, sehingga biasanya ketika tekanan tinggi, kelompok biasanya mengikuti pemimpin mereka dan menyatakan keyakinan mereka. Indikator yang diamati dari kelompok pembahas RUU KIP di Komisi I DPR RI mengenai karakteristik yang menghasilkan tekanan yaitu berupa identifikasi terhadap tekanan dari luar dan dari dalam diri anggota kelompok sendiri untuk menyikapi perdebatan yang cukup panjang dan lama mengenai bahasan tentang penyertaan BUMN/BUMD sebagai Badan Publik. Tekanan dari luar yang dirasakan selama membahas RUU KIP tentang Badan Publik dinyatakan datang dari sikap pemerintah yang terus bersikeras dengan rumusannya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Deli : “Ya di pembahasan itu yang terjadi ya pemerintah memang ngotot aja artinya pendiriannya tadi itu tidak dinegoisasikan. Nah itu kan yang membuat kemudian DPR itu mundur selangkah. Itu sebagian teman-teman itu meskipun ada yang ngotot. nah tentu bisa dilihat dirisalah di rapat misalnya ada yang di sending opinion itu selalu ada.” Sementara Informan Eko menyebutkan bahwa tekanan lebih kepada pendapatpendapat yang sulit disatukan, namun hal tersebut dianggap tidak terlalu mengganggu : “Dari luar itu ya paling pendapat-pendapat yang bersebrangan yang maunya disamaain gitu kan. Misalnya pendapat pemerintah sama LSM maunya begini terus ya kasih masukan-masukan buat pengaruhi DPR gitulah. Kadang diajak diskusi kita tapi ya ga sampai mengganggu juga si.” Terdapat perbedaan dengan Deli dan Eko, informan Hartanto menyatakan pernah mendapat tekanan dari fraksinya sendiri terkait dengan sikapnya tentang rumusan badan publik. Hartanto mengaku mendapat teguran dari Ketua Umum Parpolnya agar tidak bersikap terlalu keras terhadap pemerintah. Hartanto menduga teguran yang datang kepadanya tersebut berasal dari pengaduan Menteri kepada Ketua Umum Parpolnya : “Kalau saya dipanggil ketua umum, kemudian Wapres. Pak Jusuf Kalla itu panggil saya marah dia, “Kamu itu apa-apaan, masa BCA tidak kamu wajibkan dibuka tapi Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
189
bank Mandiri kamu wajibkan buka karena bank Mandiri BUMN, kalau gitu jebol dong sudah pokoknya nggak bisa bank itu aspek bisnis tidak bisa untuk dibuka gitugitu marah-marah dia karena saya dimarahi oleh ketua umum dirapat ganti saya marahi menteri nya saya bilang “kalau memang berdebat disini debat disini dong jangan lapor-lapor diluar saya bilang gitu kan?Sikap pemerintah juga kendalanya.”
Sementara itu Tojaka tidak menyebutkan tekanan dari fraksi ataupun pimpinan, namun lebih melihat tekanan datang justru dari LSM yang notabene merupakan insiator adanya RUU KIP, namun diakui bahwa hal tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap sikap dan kinerja kelompok Panja Komisi I selagi usulan dari LSM dianggap berpihak untuk kepentingan rakyat pastia akan dipertimbangkan : “Oh nggak-nggak ada dari fraksi sama pimpinan. kalau yang saya tahu ya LSM. Ya ada unsur-unsur nekan juga, tapi kan kita bekerja untuk kepentingan rakyat, sepanjang usulannya itu untuk kepentingan rakyat kita terima oh ya saya lupa itu, kita masukan.” Selain unsur tekanan, terdapat pula kendala yang juga mampu menekan kepada lamanya proses pembahasan RUU KIP. Kendala-kendala tersebut diakui misalnya tentang perbedaan pemikiran serta tingkat pengetahuan dan pemahaman anggota kelompok terhadap substansi RUU KIP : “Kendala si paling Pemerintah.”(Deli)
soal
beda
pemikiran
aja
yah
antara
DPR
sama
“Ya pengetahuan pemahaman dasar tentang publik dan komponen-komponen dan variasi-variasinya itu berbeda ya baik pansus maupun pemerintah.” (Eko) “Ya sikap pemerintah aja si kendalanya.” (Hartono) “Nah pertama begini, kalau dari kalangan DPR ya, kalangan DPR itu tidak semua anggota DPR mempunyai kemampuan yang sama. Kemampuan, latar belakang, saya juga punya pengalaman tidak selamanya seorang Professor atau katakan intelektual mampu bermain di dalam DPR, karena berbeda. “(Tojaka) Sementara itu terkait dengan faktor tekanan dari dalam lebih dirasakan hadir dari kecemasan terhadap terget waktu bagi penyelesaian tugas. Panja Komisi I DPR RI sebanarnya menginginkan bahasan mengenai badan publik dalam RUU KIP bisa cepat selesai, sebagaimana yang dikeluhkan oleh Pimpinan rapat : “Kita sudah berdiskusi secara non stop dan secara sangat mendalam dan masih sumir dan masih ada beberapa yang belum selesai dan mesti harus kita selesaikan entah itu sampai kapan, yang pertama mengenai badan publik, yang kedua memgenai pemberlakuan dim 353. Saya kira sih diskusi soal BUMN dan lain-lain itu sudah habis-habisan karena sudah berkali-kali. Yah itu-itu saja yang kita diskusikan Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
190
persoalannya tidak ada kesepakatan pihak pemerintah dan kita” (Risalah Rapat tanggal 20 Sepetember 2007, halaman : 108) Pernyataan ini menunjukkan bahwa kelompok Panja sudah terlihat lelah membahas RUU KIP mengenai badan publik dan menginginkan agar pembahasan bisa terselesaikan. Pendapat yang membenarkan hal tersebut datang dari informan Deli bahwa memang problem utama yang menekan untuk RUU KIP khusus mengenai badan publik adalah soal waktu dan soal pemberlakuan UU : “Ya untuk mempercepat ini pelaksanaan UU. O ya waktu itu kita meminta waktu itu UU segera diberlalukan. Jadi kan misalnya selama setelah selesai pembahasan itu setelah masuk keParipurna, nah itu 30 hari itu berapa di UU itu kalau misalnya presiden tidak tanda tangan itu otomatis berlaku itu”
Diamati bahwa tekanan yang dirasakan oleh anggota kelompok Komisi I DPR RI yang membahas RUU KIP adalah lebih kepada adanya perbedaan argumen dari pihak –pihak luar yang berkepentingan terhadap RUU KIP yaitu Pemerintah dan LSM. Kelompok Komisi I berada pada posisi yang pelik untuk dapat mempertimbangkan dan menguatkan argumen yang dianggap paling mendekati dengan rumusan DPR RI. Sedangkan dari dalam diri kelompok sendiri dirasakan terdapat semacam beban yang menekan mereka untuk dapat menyelesaikan tugas tanpa kesia-siaan seperti yang terjadi di periode sebelumnya, khusus bagi pembahasan RUU KIP ini. Mengenai adanya tekanan-tekanan ini juga disampaikan oleh Informan tambahan Pujiyanto seperti beberapa pernyataan berikut ini : “Nggak intinya ini, setiap kepentingan tadi berusaha memasukkan kepentingannya, caranya apa? caranya bisa satu, dua, tiga, empat, lima, caranya ini kan cara melobi bisa beragument secara nalar tapi dengan juga argument-argument lain kan gitu. Jadi kalau di dalam teori tentang regulatory, itu memasukan kepentingan dengan cara-cara apapun itu dilakukan oleh siapapun termasuk korporasi termasuk BUMN. Namanya kalau didalam teori regulatory capture jadi regulatory capture adalah sebuah teori kepentingan-kepentingan perusahaan tadi dimasukkan oleh anggota untuk memperoleh pasal pasal yang akan menguntungkan dia. Nah dia akan menjadi rugi apabila terminology BUMN ini masuk, dia mendapat kerugian karena dia ada beban tapi kemudian yang badan usaha swasta tadi kan nggak masuk, nah dia juga mendapat keuntungan dengan dia masuk kan padahal harus disisi sebelumnya, ini pendapat saya semata kan. Kemenangan korporasi cukup signifikan karena dia atau mereka tidak terekplisitkan secara factual tapi tatkala dia disembunyikan maka akan ada cara-cara untuk menafsir kepentingan yang tersembunyi tadi lewat jalur-jalur hukum tertentu yang bagi perusahaan itu sangat mudah karena dia bisa beli lawyer kan, tapi masyarakat biasa yang lemah, yang tidak mempunyai kemampuan ekonomis untuk membayar lawyer mesti akan diabaikan. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
191
Pujiyanto menyatakan bahwa tekanan ada lebih karena adanya kepentingan. Dalam kasus BUMN/BUMD sebagai Badan Publik terdapat beberapa kepentingan yang terbesar berasal dari kalangan pemerintah dan BUMN sendiri sehingga untuk mengakomodir kepentingan ini terjadilah berbagai perdebatan dan kompromi yang memakan waktu lama. Mengenai peran BUMN yang berusaha mempengaruhi pembahasan tersebut juga diungkapkan oleh Anggodo dari kalangan Koalisi Masyarakat Sipil (LSM), seperti berikut : Iya BUMN kan yang menekan tapi mereka tidak pernah diikutsertakan dalam rapat, tapi kan mereka diam-diam mempengaruhi pemerintah kelihatan. Waktu itu nggak bisa diprediksi tapi kelihatan gitu, jadi kan waktu itu menteri BUMN siapa, Sofyan Djalil, tapi kita nggak punya bukti tapi kelihatan sekali mereka. Yaitu tadi BUMN itu masuk nggak sebagai bagian dari badan public. Nggak kelihatan karena BUMN itu kan bagian dari pemerintah ya tapi itu kan kelihatannya tadi risalah rapat tadi kan DPR mengatakan “kok anda berubah-ubah sikapnya?” itu kan indikasi. Namun perspektif lain tentang tekanan eksternal disampaikan oleh Danti sebagai sekretaris rapat, yaitu bahwa tekanan yang utama adalah dari LSM, sebagaimana pernyataan berikut : Tekanan itu justru datang dari LSM. Ya tapi kan itu hak mereka yah. Kadang-kadang ada selebaran. Jadi kita kalo masukin bahan itu kan harus melalui saya. Saya kasih ke ketua, ketua membagikan apapun masukanlah. Tapi LSM tuh suka kurang ajar juga hehehehe, dia tanpa sepengetahuan saya langsung bagi keanggota. Itu yang saya ga suka tanpa permisi. Kayak gitu2 yang saya ga suka karena kan kita ada mekanisme. Jadi biasanya dikumpulkan ketua menyampaikan ini ada masukan dari anu. Ga boleh ee gelap begitu. Aku sebeeel banget, kita udah ngatur kan supaya semua itu tercatat masukan dari siapa aja ada mekanismenya. Kan ga fair tuh, dia maunya terbuka tapi dianya sendiri yang diem-diem masuk masukin gitu. Sementara itu informan tambahan dari kalangan pemerintah yaitu Icel memberikan pendapat yang berbeda, bahwa sebenarnya yang dilakukan oleh pemerintah kepada DPR bukanlah sebagai tekanan, melainkan merupakan argumen yang logis yang sesuai dengan hasil diskusi yang mereka lakukan antara lintas kementerian. “Ya kita berpandangan draft rumusan dari DPR ini sangat copy paste dengan punyanya FOI. Ini kesanlah ya, jadi kesanya ini adalah itu, kebablasan, kalau begini caranya jadi sangat-sangat liberal sekali. Sehingga tidak lagi menyisahkan bagian dari rahasia negara. Jadi sekali lagi persepsi kesan, tapi tidak dikeluarkan secara kelembagaan ya. Begini, kami dari pemerintah kan kita bahas internal dulu dengan pemerintah tentang pasal BUMN di forum lintas kementrian, kan emang ada namanya kementrian antar lembaga. Kita punya BI, Bank Indonesia. Kita panggil BUMN, kita panggil BIN, kita panggil apa namanya, Departemen Pertahanan, itu harus mengakomodir semua Nah jadi waktu itu kesanyanya waktu itu adalah, katakanlah BUMN di sini. Kan penjelasan dari BUMN bahwa ini rezimnya harus dibahas, dipisahkan dua Ada rezim keterbukaan, ada rezim pure ekonomi. Sehingga Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
192
pada saat menetapkan badan publik itu itulah ya, lalu kemudian pembahasan menjadi tajam, terdapat pertanyaan-pertanyaan di sini, apakah BUMN BUMND secara utuh itu masuk dalam badan publik, nah dibahaslah pada waktu itu bahwa sebenarnya BUMN, BUMD, memang betul di situ ada unsur publik, karena dia bekerja untuk publik Tetapi jangan salah bahwa penyertaan modal negara di BUMN itu tidak semuanya harus terbit. Kenapa? karena kalau ada satu badan usaha yang berusaha di satu sektor yang sama lalu yang satu dibuka, satu ditutup ya ga bisa dong, ga fair. Contoh, PT. Telkom, antara Telkom dengan Indosat . Indosat tersebut perusahaan bisnis, jadi dia bukan badan publik. Bukan..sahamnya saham publik semua, tidak ada saham negara di situ. Tapi sementara Telkom, dia kan badan publik, karena dia ada saham negara di situ. Ada negara di situ. Kalau dia, apa namanya, ditutup, disamakan dibuka semuanya bagaimana dia bersaing dalam hal yang sama? itu kan ada yang namanya rahasia perusahaan Argumen pemerintah yang diwakili oleh sekertaris BUMN, Pa Said kan, ya jelas. Akhirnya kesepakatanya itu DIM terakhir dibahas itu masuk badan publik, tetapi yang belum dibuka hanya dalam undangundang, pasal berapa itu 14,makanya akhirnya DPR pada paham. Waktu itu kan tuduhanya begini, kalau BUMN itu tidak dibuka, itu kan, itu kan jadi satu perahan oleh negara sendiri, tempat pencowo partai-partai, makanya harus dibuka.”
Mengenai kendala dari dalam diri pribadi atau kelompok disebutkan bahwa kendala serius dipastikan tidak terlalu besar, hanya menyangkut soal lamanya pembahasan, perbedaan pemikiran serta kemampuan dari masing-masing anggota untuk memahami substansi pembahasan. Sedangkan tekanan dari dalam diri maupun anggota kelompok dinyatakan bahwa
ada
semacam
kekhawatiran
bahwa
Undang-undang
akan
lama
dapat
diterapkan/diberlakukan sehingga menginginkan pembahasan bisa segera tuntas, selebihnya mereka menyatakan tidak ada tekanan internal yang besar dan semua berjalan dengan musyawarah yang baik. 5.4
Gejala Groupthink dalam Proses Pembahasan dan Pengambilan Keputusan tentang cakupan Badan Publik pada RUU KIP di Komisi I DPR RI Gejala groupthink dalam suatu kelompok ada manakala kondisi yang telah ada
sebelumnya menuntun kelompok untuk melakukan pencarian persetujuan (concurrence seeking) pada saat kelompok berusaha untuk mencapai kesepakatan bersama dalam keputusan akhir mereka. Kecendrungan yang nampak adalah ketika kelompok memberikan prioritas yang tinggi untuk memberikan dukungan emosional terhadap satu sama lain dan memilih untuk tidak menantang satu sama lain. Janis (1982) mengamati bahwa terdapat tiga kategori
gejala dari
groupthink,
yaitu penilaian berlebihan mengenai
kelompok
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
193
(overestimation of group), ketertutupan pikiran (closed mindedness), dan tekanan untuk mencapai keseragaman (uniformity pressures). Beberapa kondisi pendahulu yang dominan nampak dalam kelompok pembahas RUU KIP dianggap mampu menuntun kelompok untuk mencari persetujuan yang akhirnya masuk kepada gejala groupthink yang tergambar dalam uraian hasil wawancara berikut ini.
5.4.1
Penilaian Berlebihan mengenai Kelompok (Overestimation of Group) Gejala groupthink dalam kategori ini meliputi ilusi akan ketidakrentanan (Illusion of
Invulnerability) dan keyakinan akan moralitas yang tertanam di dalam kelompok (Belief in Morality).
Ilusi akan ketidakrentanan didefinisikan sebagai keyakinan kelompok bahwa
mereka cukup istimewa untuk mengatasi rintangan atau permasalahan apapun sehingga bersedia untuk mengambil resiko dan yakin bahwa kelompoknya tidak terkalahkan. Sementara itu, keyakinan akan moralitas yang tertanam di anggota kelompok meliputi suatu pemikiran bahwa “kami adalah kelompok yang baik dan bijaksana (Janis, 1982:256), karena mereka menganggap diri mereka baik sehingga yakin bahwa pengambilan keputusan mereka akan baik pula. Dengan memiliki kepercayaan tersebut, anggota kelompok dapat tampil percaya diri walaupun mereka kurang mengindahkan implikasi etis atau moral dari keputusan mereka. Berdasarkan hasil wawancara kepada informan yang merupakan anggota kelompok pengambil keputusan yang dianggap cukup vokal pada pembahasan RUU KIP di Komisi I DPR RI tahun 2004-2009 lalu, diperoleh hasil bahwa mereka umumnya yakin bahwa ada perasaan istimewa (ilusi akan ketidakrentanan) ketika bisa kembali dipercaya untuk merumuskan RUU KIP setelah sempat gagal di periode sebelumnya tahun 1999, sebagaimana pernyataan informan berikut : “Ya yang pertama bahwa ya saya misalnya kan orang kampus itu yang pertama. Yang kedua, karena orang kampus terus kemudian ini peluang untuk tadi, ini lebih bagus dalam hal kebebasan kan gitu. Nah ini tidak bisa lepas dalam konteks kebebasan berkomunikasi dari public dan akuntabilitas transparasi, itu kan delibrated communication itu di syaratkan itu ada akuntabilitas, ada transparansi. Nah kemudian munculah itu demokrasi delebrasi itu pengambilan-pengambilan putusan itu harus lewat diskusi, dialog, debat gitu bukan hanya oleh representasi anggota-anggota DPR atau institusi-institusi yang sudah ada, yang pada dasarnya memang belum optimal gitu baru prosedur. Nah jadi saya melihat itu ada semacam panggilan sejarah lah dan itu momentumnya cukup. Ini tentu saya dalam karena itu saya serius, ya pernah tidak hadir karena itu saya melihat itu bagian dari momentum sejarah untuk berhikmat lah ya kepada bangsa ini.” (Deli)
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
194
Waktu itu saya anggap salah satu Undang-undang yang paling bagus dianggap oleh DPR. Loh iya itu bikin semua terbuka loh, seluruh lembaga Negara, swasta yang menerima dana publik itu harus terbuka, itu luar biasa itu. Itulah apa transparasi demokrasi itulah mulai, iya nggak?(Sindoro) Sama aja.semua undang-undang kan bermanfaat jadi sama aja. Istimewanya karena ini penting bagi penciptaan good governance. (Eko) Adalah walaupun nggak juga, karena sudah biasa sih dengan pekerjaan anggota DPR itu. Ya istimewanya itu begini bagai yang,kalau saya gitu bisa mengalir dengan baik. Saya membuat tab MPR tentang penyelenggaraan, KKN rekomendasi percepatan pencegahan korupsi, oh ini diperlukan sekian UU diperlukan sekian badan yang dibentuk berdasarkan UU ini kok bisa mengalir dan jadi gitu, senang, bangga, “wah Indonesia akan jadi Negara yang bersih, nanti tidak akan ada korupsi gitu kan”. (Hartanto) Saya merasa bangga ikut di situ, karena apa jadi kalau kita bicara soal demokrasi itu artinya keterbukaan, bagaimana kita bisa bilang keterbukaan kalau proses keterbukaannya sendiri tidak ada aturannya. (Tojaka)
Disamping itu mereka cukup yakin bahwa apa yang telah menjadi usulan rumusan yang dibuat DPR berdasarkan hasil diskusi dan sharing dari berbagai pihak terutama dengan Koalisi Masyarakat Sipil sehingga rumusannya dianggap sesuatu yang baik/logis dan cukup ideal. Sebagaimana pernyataan dari informan berikut ini: Iya, jadi semua memang telah rapi dipersiapkan dan harus jadi. Yang pertama kalau soal rancangan UU itu kan kita ajukan ke pemerintah, sudah diserahkan kemudian pemerintah merespon. Nah dari respon pemerintah itu kemudian masing-masing fraksi merespon lagi. Nah respon dari masing-masing fraksi kan bisa beda-beda tetapi sebenarnya yang lebih ril itu tergantung situasi di forum. Jadi sebetulnya kekuatannya itu kekuatan ya argumennya, tentu saja argument yang rasional yang agumentatif. Nah itu yang bisa dipertimbangkanoleh para pihak, fraksi-fraksi dan selama ini argumen kami saya lihat cukup layak ya.”(Deli) “Semua-semua semua stakehoder di bidang itu kita undang semua itu. Public hearing itu 6 bulan sendiri. Itu seminggu sampai 5-6 narasumber dalam seminggu. Jadi memang kita persiapkan matang sebelumnya, jadi ketika akhirnya ada pendapat yang beda dari pemerintah ya kita ngotot dulu lah” (Sindoro) “Sebenarnya rumusan tentang RUU KIP ini kan sudah ada sejak sebelum periode 2004-2009 jadi kita tinggal melanjutkan saja. Saya pikir ya isinya udah baik ya, soal tambal sulamnya dianggap hal yang biasa saja.” (Eko) Ya biasanya gitu-gitu kan RDPU, RDPU itu sebenarnya sebelum pembahasan, sebelum masuk pembahasan pasal perpasal itu kita rapat dengar pendapat dengan misalnya ada pikiran LSM-LSM harus terbuka kita undang LSM-LSM sehingga
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
195
memang posisi argumen kita juga cukup kuat untuk dihadapkan sama pemerintah. (Hartanto) Iya, jadi saya hanya ingin menunjukkan bahwa anggota DPR itu yang dikatakan hebat itu bukan karena di Pers, tapi semua yang enak dilihat bagaimana anggota DPR itu memperjuangkan kepentingan rakyat ketika membahas perUUan, cuma ada keliru juga dari rakyat, yang namanya anggota DPR itu harus datang membawa uang, padahal perjuangan anggota DPR itu kan membuat UU kepentingan rakyat, bukan bagi-bagi duit. Kita ini kerja loh dan untuk memperjuangkan sebuah rumusan yang telah digodok dipikirkan bersama apalagi dari usul iniasiatif DPR itu sebetulnya bisa lebih kompak dibanding Undang-undang yang merupakan usulan pemerintah. (Tojaka) Para anggota kelompok tersebut terlihat cukup percaya diri untuk membuat rumusan RUU KIP yang merupakan usul insiatif DPR dan diterima dengan baik tanpa melalui proses yang lebih lama lagi seperti periode sebelumnya, walaupun pada akhirnya terdapat sejumlah perdebatan, loby dan kompromi maupun pasal-pasal baru terlebih yang terkait dengan bahasan badan publik. Berkaitan dengan ini informan Pujiyanto yang sempat menjadi Ketua Pansus KMIP di periode 1999-2004 menyebutkan bahwa senanstiasa mengingatkan temannya di Komisi I DPR mengenai hal apa saja yang harus dipertahankan termasuk tentang Badan Publik. Sebagaimana pernyataan : “Di Periode 1999-2004 saya sebagai Ketua Pansus KMIP dan memperjuangkan itu sampai jadi draft, tapi ketika kasih draft ke pemerintah diresponnya lama sampai habis masa pemerintahan belum keluar DIM. Kemudia saya pengawal pengawasan UU KMIP pada periode 2004-2009 saya berada pada masyarakat sipil. Nah pada waktu mereka membahas, saya selalu mengingatkan teman-teman saya yang di Pansus itu apa-apa saja yang harus dipertahankan blab la bla, jadi saya sebagai fraksi balkon lah yang memberikan masukan kepada mereka dan pada waktu diketok Pak Theo Sambuaga memberikan applause kepada saya sebagai pengawas disebutkan di pidatonya “kita berterima kasih kepada Pak Paulus Widiayanto yang mengawal, ucapan terima kasih kepada saya”, pada waktu diketok 2008 itu saya diwawancara wartawan bagaimana sikap saya terhadap Undang-undang ini, saya belum puas dengan Undang-undang ini karena apa yang saya perjuangkan baru 65%, saya ngerti anak mata panah termasuk pasal yang dipertanyakan itu tentang Badan Publik, nah itu pasal yang paling berat yang masuk dalam wilayah yang paling berat.” “Itu tu filosofinya disitu hak untuk tahu, hak untuk memperoleh informasi dan itu jadi sebetulnya kami memperjuangkan hak. Memperjuangkan hak sudah dijamin secara konstitusional tapi juga legal formalnya harus lebih diurai pada Undang-undang bagi saya itu adalah bisa para low makers, low makersnya ada dua, pemerintah dan DPR, tim anggotanya yang saya sebutkan tadi dan pemerintah juga orang yang bekerja, dia itu memperjuangkan public interest ataukah yang saya sebutkan tadi corporate interest atau ini-ini disitulah apa, statement problemnya akan kelihatan. Saya berikan contoh perkembangan definisi itu karena dulu saya tetap Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
196
memperjuangkan badan usaha swasta pun ada badan public apabila dia mengerjakan-mengerjakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya oleh Negara untuk menjalankan itu atau dia juga menjalankan sesuatu yang merupakan kekayaan negara. Saya sejak awal prinsip saya itu, perjuangan saya misalnya Freeport itu adalah badan public. Karena apa dia mengolah kekayaan Indonesia Nah yang menguasai dalam pemikiran mereka (pemerintah) namanya rezim keuangan, padahal dengan adanya putusan MK tentang konsep keuangan negara, saya mengatakan itu adalah suatu perintah dari MK bahwa BUMN pun dan badan-badan lain pun adalah Badan Publik. Inilah yang kami perjuangkan dengan gigih.”
Sementara itu mengenai adanya keyakinan akan moralitas yang tertanam di dalam kelompok ditandai oleh adanya pernyataan bahwa anggota kelompok yang terlibat pengambilan keputusan mengenai definisi Badan Publik di Komisi I merupakan kelompok yang baik dan bijaksana, sedang menjalankan misi mulia dan percaya bahwa pengambilan keputusan akan baik pula. Sebagaimana terlihat dalam pernyataan berikut : “Ya panggilan jiwa lah ya, memang ini serius dan perdebatannya ya mati-matian lah gitu ya. Hasilny juga cukup baik walaupun saya rasa perlu pengkajian ulang misalnya lebih mengelaborasi tentang rahasia Negara.” (Deli)
“Ya iyalah misi mulia banget dong, bedalah sama Undang-Undang yang lain, KIP salah satu yang paling bagus”. (Sindoro) “Oh pastilah. Undang-undang ini bagian dari transparansi. Penciptaan suatu kehidupan berbangsa dan benegara yang diselenggrakan oleh penyelenggara negara namanya eksekutif, legislatif, yudikatif. Itukan harus transparan dan undang-undang ini memaksa mereka untuk transparan. Undang-undang ini memaksa ke mereka mau tidak mau para pemerintah khususnya itu harus terbuka kepada rakyatnya.karena ada fakta selama ini pemerintah itu tidak terbuka kepada rakyatnya padahal pemerintah kan dipilih. Pemerintah demokrasi kan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Karena itu semua yang dia lakukan termasuk anggaran yang dia miliki termasuk kalau rakyatnya ingin tahu apa-apa yang dilakukan, berapa anggarannya kan harus diketahui.harus diberikan harus diinformasikan pada publik gitu. Nah undang-undang ini ee kesitu arahnya dan otomatis dengan begitu lagi maka berikutnya akan semakin mengurangi ee apa korupsi.kan begitu.” (Eko) “Ya biasa karena memang tugasnya itu, karena semua UU kan bentuknya mulia, yang nggak mulia itu kalau ada transaksi itu lho.” (Hartanto) “Saya yakin kita berhasil setelah sebelumnya gagal di periode 1999-2004. Undangundang sanga bermanfaat bagi negara kita apalagi di Asia belum semua nya punya.Walaupun artinya juga sangat tergantung pada pelaksananya, siapa yang melaksanakan, pemerintah. Hampir semua pada akhirnya berharap rumusan yang kita ini ingin mengabdi buat sebaik-baiknya karena untuk kepentingan akhir baiknya”. (Tojaka)
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
197
Jawaban-jawaban informan di atas memperlihatkan perhatian anggota kelompok terhadap tugas yang diembankan kepada mereka. Mereka beranggapan bahwa tugas tersebut adalah penting dan produk undang-undang yang dihadirkan setelahnya akan banyak membawa manfaat bagi mereka sendiri sebagai perumus maupun sebagai warga negara Indonesia.
5.4.2 Ketertutupan Pikiran (Closed Mindedness) Groupthink dicirikan dengan adanya ketertutupan pikiran, dimana kelompok tidak mengindahkan pengaruh-pengaruh dari luar terhadap kelompok. Dalam hal ini yang dikategorikan oleh Janis yaitu sterotip kelompok luar dan rasionalisasi kolektif. Rasionalisasi koletif
(collective rationalization) merujuk pada situasi dimana
anggota-anggota kelompok tidak mengindahkan peringatan yang dapat mendorong mereka untuk mempertimbangkan kembali pemikiran dan tindakan mereka sebelum mereka mencapai keputusan akhir. Dalam penelitian ini diamati apakah masukan-masukan dari luar terutama dari kelompok Pemerintah yang memiliki pendapat yang berbeda dan ditujukan untuk mendapatkan perspeektif yang luas tentang konsepsi Badan Publik pada saat perumusan RUU KIP tersebut dapat diterima dengan baik oleh kelompok panja di Komisi I? Diperoleh jawaban dan pengamatan dari risalah bahwa pada awalnya kelompok di Komisi I terutama dari anggota-anggota yang dianggap vokal seperti Andre (PDI-P), Hartanto (Golkar), Eko (PKB), Deli (PAN), Djoko (PAN) sangat menetang argumen Pemerintah tentang BUMN/BUMD yang dianggap tidak termasuk Badan Publik di Pasal 1 ayat 3 UU KIP. Pemerintah menginkan Partai Politik dan LSM lah dimasukkan sebagai Badan Publik. Rasionalisasi kolektif sebagai ketertutupan pikiran terlihat pada anggota kelompok pembahas RUU KIP terhadap usulan (pendapat) pemerintah yang selalu ditentang keras, sementara dukungan dari luar yang sepemikiran seperti dukungan kalangan Koalisi Masyarakat Sipil yang berasal dari LSM dan ahli yang dipanggil mereka dengarkan. Sehingga di awal pembahasan anggota memiliki sikap untuk tetap bertahan dalam argumen semula, kecuali terdapat beberapa anggota dari partai pengusung pemerintah yang tidak terlalu keras mendebat. Namun pada akhirnya anggota dapat terbuka dengan argumen pemerintah berdasarkan tawar-menawar politik (kompromi) yang ada.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
198
Uraian tentang adanya ketertutupan pikiran di tahap awal pembahasan tentang definisi badan publik dalam RUU KIP tergambar dari risalah rapat DPR yang dapat diuraikan sebagai berikut : Rapat 1 : Raker Terbuka (15 Mei 2006) Pembahasan mengenai definisi Badan publik dilakukan ditengah waktu setelah ketua rapat mengetok palu kesepakatan bahwa pembahasan tentang informasi publik akan diteruskan di rapat Panja. Isu Badan Publik menimbulkan perdebatan karena Pemerintah menolak memasukkan “BUMN dan BUMD” sebagai badan publik. Namun di sisi lain Pemerintah mengusulkan untuk memasukkan Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Massa, Partai Politik sebagai badan publik. Disinilah muncul pertentangan diantara para anggota kelompok Komisi I yang umumnya tidak menyetujui usul Pemerintah tersebut. Ada semacam kecurigaan yang tergambar dari kelompok di Komisi I maupun kalangan LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil terhadap sikap Pemerintah yang menolak memasukkan BUMN/BUMD sebagai badan publik tetapi malah memasukkan LSM serta Partai Politik sebagai badan publik.
Menurut Menkominfo Sofyan Djalil, Pemerintah sangat sepakat dalam rangka menciptakan Good Governanace, masyarakat yang lebih compatable, masyarakat LSM yang lebih compatable, semua masyarakat kita penting sekali ada kompabilitas, karena kompabilitas itulah yang menciptakan kita jadi bertanggung jawab. Oleh sebab itu, Pemerintah menginginkan bahwa Badan Publik itu bukan hanya Pemerintah, tetapi lebih diperluas, termasuk badan publik yang mendapatkan dana dari APBN, sehingga cakupan badan publik bisa menyentuh : LSM, Organisasi Massa, Partai Politik atau Institusi Sosial kemasyarakatan yang mendapatkan sumbangan dari masyarakat atau sumber luar negeri. Tujuannya yaitu agar bisa diketahui dana itu digunakan untuk apa, darimana, digunakan untuk apa, apa motivasi di balik pembiayaan, misalnya terhadap lembaga-lemabaga terutama LSM. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
199
Oleh karena itu, Pemerintah mengusulkan agar BUMN, BUMD dan Badan Usaha Swasta tidak dimasukkan dengan alasan bahwa sistem akuntansinya mereka telah mempunyai mekanisme korporasi, ada lembaga yang mengaudit, BPK, BPKP, atau BUMN publik, Akuntan Publik. Pemerintah melalui Menkominfo Sofyan Djalil menegaskan pula BUMN/BUMD diatur dengan undang-undang lain sehingga dianggap biarlah mereka tertutup dari security informasi publik kecuali dengan mekanisme yang wajar dari sistem akuntansi kita. Dinyatakan bahwa KMIP itu mengatur rezim politik yang tidak profit, namun BUMN itu adalah rezim corporate, domain private yang profit. Di Amerika ada Freedom Information Act, tetapi hal tersebut tidak menyentuh korporasi dan untuk mencegah korupsi di korporasi, ada Service of the Act. Service of the Act ini dapat menghukum Direksi Perusahaan, BUMN, Perusahaan publik yang membuat laporan tidak benar. Upaya pemerintah memisahkan BUMN dan BUMD dari Badan Publik adalah sesuatu yang tidak berdasar. Bagi Effedy Choirie (F-PKB) hal tersebut merupakan suatu keanehan. Ia mengatakan, ketika pemerintah menginginkan BUMN dan BUMD tidak masuk sementara LSM, Organisasi Massa, Partai Politik justru dimasukkan hal tersebut aneh. BUMN, BUMD jelas-jelas milik negara, jelas-jelas milik rakyat. Lalu dibedakan karena ada undang-undang yang mengatur BUMN dan BUMD, kalau begitu organisasi massa, organisasi partai politik ada undang-undangnya yang mengatur. Oleh karena itu rumusan dan definisi atau pengertian yang diajukan dalam RUU yang diajukan DPR justru megakomodir semuanya. Djoko Susilo dari Fraksi PAN tetap mendesak BUMN dan BUMD harus masuk dalam kategori Badan Publik sebagaimana yang dimaksudkan RUU KMIP. Menurut Djoko Susilo, BUMN/BUMD mengelola dana ratusan trilliun, jumalh BUMN dan BUMD pun mungkin terhitung ratusan. Tetapi dengan asset sebesar itu, kontribusi atau profitnya sangat tidak seimbang, sekian banyak selalu merugi atau dibikin rugi?. Selain itu beliau menyatakan dari segi good corporate governance, ada banyak masalah. Banyak praktek menyimpang, baik dalam pengelolaan BUMN apalagi BUMD, seperti di daerah Kabupaten Joko Susilo mencontohkan betapa PDAM itu menjadi “sapi perah” para pejabat setempat. Selanjutnya, ditingkat Propinsi, ada pula bank-bank BUMD yang menjadi sapi perahan pejabat di tingkat Propinsi. Pendapat lain yang menetang argumen pemerintah berasal dari Abdillah Toha (FPAN), Hajriyanto Thohari (F-PG), Alm. Arief Mudatsir Mandan (F-PPP), dan Soewarno (FPDI).
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
200
Suara pendapat yang kurang menyerang argumen pemerintah datang dari partai pendukung pemerintah yaitu Fraksi Partai Demokrat yang diwakili oleh Marcus Silano yang hanya mengusulkan tentang penggabungan DIM Pemerintah dengan rumusan DPR. Pada akhirnya rapat ditutup pada pukul 12.30 wib karena diskors untuk makan siang dan sholat dan disepakati untuk sekaligus ditutup dan dilanjutkan minggu depan tanggal 22 Mei 2006. Rapat 2 : Raker Terbuka (22 Mei 2006) Raker yang berlangsung pada hari Senin pukul 14.00 WIB di Ruang Rapat Komisi I DPR RI ini masih membahas lanjutan pembahasan sebelumnya dan sikap pemerintah masih tetap pada pendirian semula yang menolak memasukkan BUMN dan BUMD sebagai Badan Publik karena dikhawatirkan oleh Menkominfo akan terjadi kekacauan rezim yaitu rezim bisnis dimana transparansinya sudah ditentukan oleh berbagai ketentuan pasar modal dan itu berlaku universal. Dengan demikian Pemerintah meyakini bahwa dengan menundukkan BUMN dan BUMD pada ketentuan hukum bisnis, ketentuan hukum pasar modal dan ketika dia dikatakan sebagai perusahaan publik atau perusahaan terbuka maka dia wajib menyampaikan laporannya secara berkala kepada Bursa Efek atau melaporkan laporannya kepada Bapepam, sehingga semua orang akan bisa mendapatkan akses, tetapi dia tidak tunduk kepada Undang-Undang KMIP yang lebih kepada nuansa politik, ungkap Sofyan Djalil. Menanggapi argumen pemerintah tersebut anggota Komisi I mayoritas masih memberikan suara yang serupa yaitu tetap menolak usulan Pemerintah dengan berbagai macam argumen misalnya dari Antarini Malik (F-PG) yang menyatakan alasan pentingnya memasukkan BUMN dan BUMD sebagai badan publik karena merupakan lembaga yang mendapatkan dana dari APBN dan APBD. Kemudian Abdillah Toha dari Fraksi PAN mulai menyatakan penghargaannya terhadap argumen Pemerintah namun tetap mengusulkan agar BUMN dimasukkan dalam bagian lembaga publik demi menghindari kekhawatiran akan informasi keuangan yang tidak dipublikasikan ketika aktivitasnya menggunakan uang masyarakat atau uang negara. Komentar agak keras datang dari A. S Hikam (F-PKB) yang mengatakan bahwa usulan DPR RI lah yang paling relevan karena milik negara harus menjadi atau harus mampu menjalankan
good corporate governement dan BUMN merupakan salah satu
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
201
persoalan ekonomi terbesar bangsa ini karena banyaknya permainan uang dan klaim tentang kerugian padahal mungkin tidak semuanya merugi. Menanggapi berbagai keberatan dari DPR RI maka Pemerintah mengajukan 2 usulan yaitu : Pertama, BUMN tetap seperti yang diusulkan yaitu adalah badan publik tetapi nanti ketika akan menjelaskan prinsip-prinsip transparansi harus dipisahkan, agar jangan nanti BUMN itu sama dengan jabatan pemerintah, BUMN itu bagaimana security nasionalnya, lembaga-lembaga swasta yang mendapatkan dana dari Pemerintah sehingga jangan nanti transparansi BUMN diharapkan sama dengan transparansi kepada badan-badan yang tidak mencari keuntungan. Kedua, BUMN itu bisa dikatakan badan usaha atau perusahaan publik yang tunduk dengan ketentuan Undang-undang pasar modal. Dimana Undang-undang pasar modal itu sebenarnya menginginkan tidak transparan tetapi yang transparan di Undangundang pasar modal adalah transparansi yang cukup menjamin transparansi tanpa merugikan cara berbisnis mereka, tanpa merugikan persaingan, tanpa merugikan inhern di dalam pengelolaan bisnis. Pendapat Menkominfo ini kemudian dikuatkan oleh unsur (jajaran) pemerintah yatu Prof. Ahmad Ramli yang menyatakan bahwa di beberapa negara lain semisal Inggris, tidak dijelaskan secara tegas BUMN itu masuk, kemudian di Thailand menyatakan Badan Publik itu adalah eksekutif, legislatif dan yudikatif dengan tidak menyebutkan kriteria apapun, namun di Amerika yang namanya eksekutif itu tertutup sama sekali begitu juga dengan parlemennya, sehingga diusulkan bahwa jangan sampai dengan membuka semuanya jadi berakibat yang tidak produktif. Walaupun demikian pada rapat ini DPR tetap bersikeras juga menanggapi dengan penolakan yang sama. Seperti misalnya H. Untung Wahono dari FPKS menyatakan bahwa tidak perlu ada pengecualian terhadap badan publik sehingga yang diperlukan adalah melihat hal-hal yang terbuka-terbukanya bisa merugikan dan tertutup-tertutupnya bisa merugikan. Di sisi lain Abdillah Toha dari fraksi PAN mengomentari ketidak tepatan garis mengenai BUMN dalam hal rezim politik dan rezim usaha, dikatakan tidak tepat karena BUMN bisa dikatakan sebagai entitas politik karena ketika dia didirikan dan ketika dibubarkan pun merupakan keputusan politik dan maupun ketika dalam rapat umum pemegang saham si BUMN ingin melakukan ekspansi itu juga sebuah keputusan politik. Sementara itu Hajriyanto Thohari dari Fraksi Golkar mengusulkan pemisahan antara Badan Publik yang mendapatkan APBN/APBD dengan badan publik dana dari sumbangan masyarakat ataupun sumbangan luar negeri sebagaimana Partai Politik, LSM dan Organisasi Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
202
Massa karena jika dijadikan satu kategori dalam satu tarikan nafas hal tersebut sangat tidak fair, selain itu Hajriyanto menegaskan bahwa sebenarnya posisi BUMN, BUMD, BHMN dan Organisasi non pemerintah yang dibiayai APBN dan APBD itu bisa dikatakan Badan Publik sebagaimana keinginan dari pemerintah juga, namun sebaiknya penyebutan dipisah dari mana yang anggarannya murni APBN/APBD dan mana yang sumbangan masyrakat atau asing. Pembahasan mengenai DIM 15 tentang badan publik ini belum menemui kesepakatan dan kemudian diputuskan untuk dilanjutkan ke Panja. Rapat 3 : Raker Terbuka (26 Maret 2007) Pada raker yang dilakukan di ruang rapat Komisi I DPR RI puku 09.00 WIB ini hanya memutuskan bahwa menyangkut perumusan sistematika penyelesaian hal-hal yang belum selesai di tingkat Komisi termasuk tentang Badan Publik akan dibawa ke rapat Panja. Panja dibentuk terdiri dari 29 orang anggota Komisi I yang terdiri dari Pimpinan DPR, Pimpinan Komisi dan anggota-anggota. Sebagaimana pernyataan Ketua rapat Theo Sambuaga berikut ini :
Rapat 4 : Rapat Panja Tertutup (29 Mei 2007) Rapat Panja dilakukan hari Selasa pukul 09.00 wib di ruang rapat Komisi I DPR RI bersama dengan Menkominfo beserta jajarannya. Rapat di ketuai oleh Drs. H. Tosari Widjaja Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
203
dari Fraksi PPP yang membuka dengan membacakan kesimpulan rapat yang pernah dilakukan sebelumnya terkait dengan bahasan Badan Publik, yaitu bahwa usul Pemerintah adalah memasukkan organisasi non Pemerintah yang meliputi Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Massa, Partai Politik dan atau institusi sosial dan atau masyarakat lain yang mendapatkan dana dari sumbangan masyarakat dan atau sumber keluar negeri serta pemerintah mengusulkan akses informasi badan-badan usaha perlu dibatasi untuk menghindari persaingan usaha yang tidak sehat. Ketua rapat menyampaikan resume sikap sejumlah fraksi dalam rapat kerja yang sebelumnya telah dilakukan, misalnya pendapat dari Fraksi PAN tentang adanya badan publik yang menggunakan keuangan masyarakat tapi tidak dilaporkan, sehingga tidak perlu ada kekhawatiran jika BUMN dimasukkan. Dari Fraksi PKB menyampaikan bahwa semangat dari reformasi adalah perbaikan disegala bidang, BUMN adalah salah satu persoalan dari ekonomi karena secara umum selalu merugi, publik tidak mengetahui secara benar dan apa adanya persoalan yang terjadi dalam BUMN tersebut, contoh Garuda, penumpangnya selalu penuh tetapi dalam laporannya selalu merugi. Fraksi PKS juga memberikan penjelasan dan Pemerintah menyatakan BUMN tidak dimasukkan, BUMN dijadikan badan publik sepesial. Pendapat dari Antarini Malik (F-PG) kembali menyatakan sikap bahwa dari Fraksi Golkar tetap harus memasukkan BUMN dan BUMD karena mereka mendapatkan anggaran dari Pemerintah. Pendapat Fraksi PDIP yang diwakili oleh Andreas Pariera mengusulkan agar Pemerintah perlu menyampaikan dasar-dasar mengapa Pemerintah mengusulkan itu. Pihak Pemerintah yang diwakili oleh Prof. Ramli menyampaikan bahwa dasar pemerintah mengusulkan hal tersebut adalah dari hasil pengkajian atas undang-undang lain yang telah ada (sebagai landasan) misalnya undang-undang nomor 19 tahun 2003, undangundang nomor 1 tahun 2005 tentang Perseroan Terbatas, dan undang-undang nomor 3 tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan dan lain-lain, temasuk undang-undang nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal sehingga pemerintah berpendapat sebaiknya BUMN itu diserahkan kepada undang-undang yang mengaturnya secara sendiri. Terhadap alasan pemerintah tersebut, Andreas Pariera dari fraksi PDI-P mencoba mengingatkan pemerintah bahwa pada waktu pertemuan akhir pemerintah sempat menyinggung tentang kriteria lain yang penting dan publik perlu tahu tentang badan publik dan akan diatur dalam undang-undang yang lain dan RUU KIP adalah undang-undang yang akan memayungi undang-undang lain tersebut. Dengan demikian harus diberikan kesempatan pada UU KIP untuk memasukkan lembaga publik yang mempergunakan anggaran dari Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
204
negara yang didanai dari uang rakyat. Andreas juga menghimbau harus ada kesepahaman dulu tentang definisi apa yang dimaksudkan dengan lembaga publik baru bicara soal rumusan. Begitu pula pendapat dari fraksi PPP yang disampaikan oleh Muhammad Al Haidar yang tetap menginginkan bahwa BUMN dan BUMD dimasukkan dalam badan publik dengan alasan pendanaannya dari APBN, sehingga informasinya harus bisa diakses. Ditambahkan lagi oleh Dedi Djamaludddin Malik dari fraksi PAN mengapa BUMN BUMD harus masuk karena memang prinsipnya seluruh lembaga yang mendapatkan dana APBN baik sebagian atau seluruhnya itu harus dipertanggung jawabkan, ini terkait dengan unsur preventif dari pemanfaatan dana Negara yang ujung-ujungnya terkait dengan Good Governance dan Cleans Governance, sehingga tidak berasalasan kalau Pemerintah menganggap tidak perlu dimasukkan, demikian ungkap Dedi. Pendapat yang sama yaitu menolak usulan Pemerintah juga datang dari fraksi PKB yang disampaikan oleh Suharno menyatakan bahwa usulan rumusan dari DPR adalah yang paling relevan. Pendapat ini pun didukung langsung oleh Hilman Rosyad Shihab dari frasksi PKS yang mengatakan bahwa PKS tetap pada pendirian semula yaitu menginginkan BUMN dan BUMD harus dimasukkan dalam definisi Badan Publik. Pendapat berbeda datang dari Fraksi Partai Demokrat yang disampaikan oleh F.X Soekarno yang cenderung mencoba memperjelas dan mendukung pendapat Pemerintah bahwa BUMN dan BUMD bisa dimasukkan sebagai badan publik namun dibatasi khusus pada hal-hal yang tidak dilarang. Terhadap hal ini kembali Andreas Pariera menegaskan sikapnya “apa jadinya kalau BUMN ini kita tempatkan di luar, tidak di dalam Definisi Badan Publik, apakah kemudian kita tidak ingin melihat, misalnya kasus seperti Jamsostek, Pertamina, Bulog dan selama ini kasus-kasus ini adalah kasus-kasus penyelewengan keuangan negara yang masuk dalam delik aduan korupsi” sehingga menurutnya agumentasi dari pemerintah dianggap belum cukup meyakinkan dan boleh dikatakan lemah karena sesuai dengan faktanya bahwa yang namanya BUMN itu diaudit oleh BPK, serta dasar pendirian dari pembentukan BUMN juga berdasarkan pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa untuk kepentingan pelayanan publik oleh karena itu diberikan kesempatan untuk menguasai bidang ekonomi yang menjadi bidang layanan publik tersebut, disamping itu fungsi BUMN sendiri adalah pelayanan publik dan jika dilihat bahwa pengambilan keputusan penting politik di dalam BUMN adalah bagian dari keputusan politik, sehingga tidaklah tepat jika kalau dikatakan BUMN bebas dari rezim politik dan hanya harus ditempatkan pada rezim ekonomi saja. Oleh karena itu harus jelas Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
205
dahulu wilayah antara rezim ekonomi dan rezim politik sehingga di dalam definisi badan publik tidak ada wilayah abu-abu yang akan membuat kebingungan dalam pendefinisian bdan publik. Pendapat ini didukung oleh Hajriyanto Thohari dari fraksi Golkar, sekaligus beliau menghimbau kepada peserta rapat yang hadir bahwa jika pembahasan tidak beranjak dari penolakan secara kategoris maka tidak akan ditemukan titik temu bahkan sampai pada rapat tim perumus (timus) atau Paripurna sekalipun. Kesimpulan akhir, rapat diputuskan dipending dan akan dibicarakan lebih lanjut dalam forum tersendiri, apakah lobby dan lain-lain. Rapat 5 : Rapat Panja Terbuka (10 September 2007) Dalam rapat panja yang berlangsung pukul 12.00 wib di ruang rapat Komisi I DPR RI ini tidak ada bahasan khusus mengenai badan publik, namun di kesimpulan akhir Ketua rapat membacakan bahwa terdapat beberapa pembahasan yang masih bersifat pending, salah satunya adalah keputusan tentang kategori Badan Publik, sehingga diputuskan untuk dibawa ke Timus (Tim Perumus). Ketua rapat di akhir pernyataan menyampaikan bahwa tugas sebagai Panja telah selesai dan beberapa hal yang masih pending akan diselesaikan di tim perumus. Dari gambaran kondisi rapat yang berlangsung tersebut, hingga rapat ke -5 (dari total ada 8 kali rapat tentang badan publik) masih tercipta ketertutupan pikiran pada kelompok Panja Komisi I RUU KIP. Sebagaimana yang diperkuat oleh informan berikut ini : “Jadi gini di fraksi itu ada orang yang begitu involved dengan persoalan itu. Ada yang melaksanakan kewajiban saja jadi maksudnya tiap fraksi punya pandangan gitu ya dan itu di share kemudian pandangan bagaimana fraksi ini, fraksi ini gitu kan misalnya di situ kan terjadi perdebatan. Nah yang kemudian bisa berubah itu ialah ketika terjadi perdebatan maka ada orang yang tadi gimana baiknya gitu. Jadi ketika pemerintah ngotot ya tadi ikut pemerintah gitu. Nah sementara yang lain tetap bertahan misalnya. Ya sudah pokoknya kita tahu posisi dia begitu, kapasitasnya kemudian ininya kan gitu kalau sudah keputusan politik kan bukan kekuatan logika lagi. Ini sudah kepentingan ya, kita ya ini memang forum kepentingan lagi kan. Ya, akhirnya diam. cuma kita sudah tahu nih tik taknya dengan siapa kan gitu, oh kalau misalnya dengan PDIP dengan Golkar Pak Hartono, dengan PDIP Andre misalnya gitu. PKB Pak Eko itu aja yang kelihatannya kalau anda coba dicek lagi kelihatannya yang dominan.” (Deli) “Karena saya sebagai pimpinan jadi ga banyak bersuara ya, tapi pada akhirnya Saya merasa saya bisa accepted people by the power of citizen. Nah orang kalau bukan
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
206
pede, kalau kita punya pengetahuan yang cukup, kita punya keyakinan bahwa kalau kita ini based on knowledge. (Sindoro) “Ada kan kita ee pikiran-pikiran yang kita kemukakan itu ya pikiran-pikiran dari publik dari lsm, penggiat-penggiat ee demokrasi dari kelompok-kelompok civil society yang ahli di bidang kepentingan publik itu. Kita umumnya berpandangan sama kecuali DPR dari pendukung pemerintah ya. Justru negara itu hal-hal yang terkait dengan APBN terkait dengan kebijakan yang meyangkut hajat hidup orang banyak, itu bukan rahasia. Itu hak publik harus tahu. Sehingga ada unsur kekhawatirankekhawatiran dari pihak pemerintah. Atau pihak DPR juga yang memang DPR kan juga banyak dari kalangan birokrat. Jadi begini semua adalah hasil proses dialektik intelektual, dialektik wawasan, dialektik kepentingan, dialektik wacana, lalu kemudian...itu wajar dalam konteks demokrasi. Yang kedua semua gagasan, pendapat, segala macem itu masing-masing mengandung unsur relativitas. Tidak ada pendapat satu manusia itu mutlak benar. Nah kemudian hasil proses itu terjadilah keputusan seperti itu. Menurut saya yaa sesuatu yang terbaik. Ini kan cermin dari perjalanan suatu bangsa yang diwakili yang di representasikan oleh wakil-wakilnya yang ada dilembaga negara gitu kan?” (Eko) “Ya itu juga banyak perdebatan, kita punya sikap tapi pemerintah maunya banyak sekali informasi maunya DPR yang dibelakangnya LSM-LSM itu maunya informasi yang dikecualikan itu sedikit saja tapi pemerintah maunya yang banyak. Logikanya DPR kalau yang dikecualikan banyak namanya yang tidak dikecualikan dong , dikecualikan ini misalnya dari sepuluh kecuali dua atau kecuali satu. Nah ini dari sepuluh kok kecualinya sembilan itu namanya ya nggak benar, itu yang pertama itu. Yang kedua, definisi yang dikecualikan, bagi pemerintah pokoknya asal tertulis disitu dikecualikan artinya. Tapi ya ujungny sepakat jugalah.” (Hartanto) “Setiap kebutuhan, ada deadlock satu rumusan, itu kita cari, kita lapor ke fraksi,
biasanya yang begitu-begitu pengamat politik, itu kita undang, saya lupa namanya. Pengamat politik kemudian kalangan universitas juga kita undang. Nah yang ahli agama di Islam itu kita undang juga karena jangan sampai kita PPP punya asas Islam jangan sampai bertentangan rumusan-rumusan itu. Jadi kalau rumusan yang dimasukkan bertentangan dengan Islam kita harus berteriak. Jadi di situ kontrolnya, bukan benderanya. Jadi begini, masukan dari luar itu bisa Pansus itu sendiri meminta atas usul anggota, minta dengar pendapat, siapa usulkan ini diundang, itu bisa tetapi fraksi-fraksi juga mengadakan sendiri-sendiri, semua fraksi karena itu nanti kan saya sebagai kopral di lapangan kan diadu. Kalau saya tidak diberi peluru iya nggak bisa bunyi. Hampir semua dari kami menguatkan dan meyakinkan pandangan, jadi kalau tingkat pertama begini, dari tidak ada jadi ada walaupun tidak 100%. Nah, kita sudah sepakat kan untuk menyatakan, kita membahas RUU KIP itu sendiri kan harus meyakinkan pemerintah bahwa itu perlu tapi untuk meyakinkan pemerintah bahwa itu perlu, mau menerima untuk bersidang itu kan persoalan sendiri kan. Nah tapi setelah itu artinya perlu ada, kita setahap demi setahap itulah akhirnya menjadi lama. Tapi alhamdulillah pada akhirnya semua bisa diakomodir tentang BUMN/BUMD itu, kita terima.” (Tojaka)
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
207
Dari informan tambahan juga menyatakan pendapat yang relatif sama dengan informan utama yaitu bahwa pada akhirnya ada semacam penerimaan oleh Komisi I DPR terhadap argumen dari pemerintah, sebagaimana dinyatakan Anggodo : “Kalau komisi I ya bukan puas, nggak puas tapi mereka menerima itu kan keputusan mereka sendiri. Mereka senang karena UUnya terlalu lama dan membebani kerja kita Parameternya kan nggak ada yang menolak kan, nggak ada yang istilahnya apa, walk out, nggak ada kan semuanya menerima, semuanya tanda tangan mereka berarti.” Sedangkan untuk indikator ketertutupan pikiran yang kedua adalah adanya sterotip kelompok luar (stereotypes of
outgroups), yaitu persepsi sterotip mengenai rival atau
musuh. Sterotip-sterotip ini menekankan fakta bahwa lawan terlalu lemah sehingga tidak layak untuk didengar. Hal ini berkaitan dengan penjabaran di atas bahwa sebenarnya tidak ada yang dianggap musuh oleh kelompok komisi I DPR RI sebagai pembahas RUU KIP, walaupun dalam hal tersebut pemerintah memiliki persepsi/argumen yang berbeda, termasuk juga kalangan LSM yang banyak mencoba untuk tetap meyakinkan DPR dengan usulan awal. Namun jika melihat hasil akhir keputusan yang mampu mengakomodir keinginan DPR dan Pemerintah terkait Badan Publik, maka terlihat bahwa kelompok masih dapat menerima pandangan-pandangan pemerintah. Seperti sebagaimana diungkap oleh informan ; “Terkait dengan hal tersebut ya kita cukup memaklumi bahwa begitulah dinamika dalam perumusan undang-undang namun bukan berarti ketidak setujuan dari pihak lain tersebut sebagai suatu penghalang bagi kita untuk menyelesaikan tugas, ya pastinya kita dengarkan, saring dan diskusikan.” (Deli) “Ya itu karena ada sesuatu yang logis dan dapat diterima saya rasa ya ga ada masalah. Tapi saya lupa itu persisnya bagaimana, yang jelas bisa diterimalah.” (Sindoro) “Ya itu kan hasil asahan pikiran yang berlangsung terus. Kembali lagi tujuan awalnya ini apa, harus selesai tho? itulah hasil maksimal yang kita capai. Itu produk dari apa namanya tingkat kemampuan kita itu juga cermin dari keberagaman masyarakat kita.itu aja. Itu juga sekaligus cermin masyarakat gitu ya. Jadi kalau produk apa yang kita produk itu tidak modern betul tidak hebat betul itu juga cermin dari masyarakat.” (Eko) “Ya nggak begitu juga karena kita kan mencari kesepakatan. Saya bertahan sampai itu, BUMN yang tidak boleh masuk, tidak dimasukkan dalam badan public, BUMN tidak dibolehkan masuk dalam badan public. Ya sampai kemudian ada di kompromi, di pasal itu coba saya lihat, sampai terjadi kompromi di pasal sehingga munculnya pasal 14 itu sebagai konsekeensi dari tidak disetujui, tidak disepakatinya BUMN sebagai badan public.” (Hartanto)
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
208
“Iya kita diskusikan, yakinkan, diyakinkan dan kita tidak bermaksud untuk melakukan tindakan-tindakan otoriter ya. Kita buka saja, umpamanya begini, BUMN harus buka apa adanya, lalu bagaimana persaingan BUMN 1 dengan BUMN yang lainnya, iya kan kan umpamanya kan ada dana cadangan, itu dibuka nggak, kalau dibuka cadangan untuk apa, berapa banyak, kan perusahaan lain, yang sejenis, yang mestinya bersaing. Dia tahu “wah ini harus dilawan kan terjadi perang, tetapi tetap hal-hal yang layak diketahui oleh public harus kita buka. Jadi yang saya sebut pengecualian tadi, ada yang mesti dikecualikan seperti di BUMN, di militer, intelligent mana ada laporan pertanggungjawaban di situ. Nah itukan tidak boleh dipaksa, umpamanya saya menyogok ini untuk keperluan mata-mata kan nggak bisa, tidak ada kuitansinya. Saya mencatat situasi seperti itu disorientasinya memang untuk kepentingan membuat aturan-aturan yang bisa diterima oleh public. Biasanya kan begini, kita ini setiap menghadapi pembahasan UU, itu kita mendapatkan masukan katakanlah peluru dari berbagai penjuru, dari kalangan partai, dari kalangan public, dari kalangan cendekiawan. Itu kan kita undang semua, kita dengar. Nah ketika ada masalah yang mungkin kita tidak bisa merumuskan sedangkan pikiran-pikiran yang akan dirumuskan itu tidak pas, kan kita undang, jadi tetap kita. semua melakukan begitu dan biasanya dia bertahan tapi setelah terjadi proses, itu baru bergeser. Turun itu bukan karena loyo kehabisan tenaga karena memang sudah waktunya ada pendekatan. Nah di situ barangkali banyak orang menyatakan politik itu kompromi, ya komprominya seperti itu, bukan kompromi dapat berapa, bukan tapi komprominya itu yang tadinya kita berbeda kemudian kita lakukan pendekatan, kayak tawar menawar juga.” (Tojaka)
Pendapat tersebut dibenarkan juga oleh informan tambahan dari kalangan Pemerintah yang mengatakan bahwa terdapat nama-nama anggota Komisi I yang memang agak keras menentang argumen pemerintah seperti Andre dari PDI-P serta Deli dari PAN, sementara dari partai Pemerintah yaitu demokrat cenderung sepaham dengan pemerintah, namun karena jumlah mereka sedikit jadi tidak terlalu terlihat dan terdengar suaranya. Disebutkan oleh informan perwakilan pemerintah, bahwa yang jadi penengah sehingga pihak DPR bisa menurunkan tegangan dan akhirnya bisa sepakat dengan pemerintah yaitu (alm) Arief Mudatsir Mandan dari PPP.
Karena pada dasarnya dipersepsi oleh pemerintah bahwa
penguasaan materi oleh kelompok Komisi I DPR RI tidak “secanggih” penguasaan LSM. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Icel : “Saya berikan suatu gambaran dalam pembahasan di komisi 1, bahwa penguasaan terhadap materi penerbitan undang-undang ya, itu tidak secanggih dibanding dengan penguasaan LSM, ngerti gak? Jadi kalau kita ada pembahasan itu kan Prof. Ahmad Ramli ahlinya jadi nah betul-betul kan kalo pak Ramli sudah memberikan pencerahan itu DPR tuh diem hehehe.” Pada akhirnya keputusanya mengatakan bahwa pemerintah menerima usulan dari DPR bahwa BUMN memang harus terbuka tapi tidak boleh terbuka telanjang. Caranya
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
209
dengan menentukan mana yang boleh dibuka mana yang tidak melalui Pasal 14, 15, dan 16 RUU KIP dan hal tersebut disepakati. Hal ini diterima oleh Panja Komisi I karena menurut pemerintah dalam BUMN BUMD terdapat rezim bisnis, sehingga untuk menjaga eksistensi perusahan negara tidak bisa dibuka seluruhnya. Dengan demikian setelah diskusi panjang yang dianggap melelahkan akhirnya baik DPR maupun Pemerintah bersepakat untuk mengakomodir semua keinginan baik dari DPR dan Pemerintah. Akhirnya BUMN/BUMD dikategorikan sebagai Badan Publik hanya saja penyebutan dalam teks tidak ditampilkan di Pasal 1 ayat 3 sebagaimana rumusan awal DPR, melainkan dimunculkan di Pasal 14 dengan syarat informasi yang boleh dibuka oleh BUMN/BUMD, kemudian LSM dan Parpol juga menjadi dimasukkan sebagai Badan Publik dengan sejumlah syarat informasi yang boleh dibuka di Pasal 15 dan 16. Dengan demikian Pasal 14,15,16 adalah pasal baru yang dilahirkan dari hasil kompromi di Komisi I DPR RI.
5.4.3 Tekanan untuk mencapai Keseragaman (Uniformity Pressures)
Faktor ini terjadi ketika adanya keinginan dalam kelompok untuk menjaga hubungan baik di antara anggota.
Janis mempercayai bahwa dengan adanya gejala ini maka
kemungkinan untuk terlibat di dalam groupthink akan terjadi. Beberapa gejala yang termasuk dalam ketegori ini adalah sensor diri (self cencorship), ilusi akan adanya kebulatan suara (illusion of unanimity), tekanan terhadap para penentang (direct pressure) dan mindguards – semacam anggota kelompok yang melindungi kelompok dari informasi yang tidak mendukung - . Pada rapat lanjutan ke -6 hingga ke -8 tergambar bahwa faktor ketertutupan pikiran yang sebelumnya tidak bisa mengatasi masalah, pada tahap selanjutnya anggota kelompok Panja Komisi I semakin terdesak waktu sehingga memilih untuk mengambil keputusan atas dasar kompromi yang tentunya tidak bisa juga dianggap berhasil karena tentunya terdapat beberapa kekecewaan yang tersisa sebagaimana yang diunggkapkan oleh kalangan Koalisi Masayakat Sipil bahwa secara tujuan penyelesaian berdasarkan waktu memang Panja Komisi I DPR RI berhasil merampungkan tugasnya, namun hal tersebut bukannya indikasi bagi tercapainya keberhasilan keputusan sebagaimana diungkap oleh Anggodo : “Jadi begini, kita mengira yang kecewa dengan definisi badan public di KIP itu hanya masyarkat sipil. Orang mengira hanya masyarakat sipil yang kecewa, itu juga tidak benar karena pemerintah sendiri juga kecewa.” Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
210
Sementara itu Pujiyanto juga menyatakan bahwa hasil yang diberikan terhadap pengesahan RUU KIP masih sekitar 65% dan masih banyak yang memerlukan penijauan ulang. Kronologi dinamika komunikasi yang terjadi jelang pengambilan keputusan dijabarkan sebagai berikut : Rapat 6 : Rapat Timus Terbuka (19 September 2007) Dalam rapat yang diselenggarakan di Hotel Santika Jakarta Barat pada pukul 18.00 WIB ini dibahas beberapa DIM yang belum tuntas menghasilkan keputusan, termasuk DIM 16 mengenai Badan Publik. Dalam bagian pembahasan yang terkait dengan DIM 16, diawali dengan penjelasan pemerintah yang diwakili oleh Sekretaris Kementerian Negara BUMN M. Said Didu menyebutkan bahwa BUMN yang hanya memiliki dua bentuk yaitu Perum dan PT serta Tbk, dimana yang hanya boleh terbuka yaitu Tbk dan itu pun hanya ada tujuh komponen yang penting dan boleh dibuka yaitu : satu, perubahan pemilik atau pengendali, 2. Perubahan kegiatan utama perusahaan; 3. Rencana perusahaan dalam setahun; 4. Hal-hal yang material yang akan mengganggu aktifitas operasi perusahaan; 5. Laporan keuangan perusahaan itu bulanan, semesteran dan tahunan; 6. Hal-hal material yang akan mengganggu perusahaan seperti bencana alam, kebakaran, mogok, masalah bahan baku; 7. Kepailitan dan tuntutan hukum yaitu tuntutan hukum yang terjadi terhadap Tbk itu harus disampaikan ke publik bahwa ini kami sedang menghadapi tuntutan hukum, namun di Undang-Undang Pasar Modal jika ada sekira yang membahayakan Tbk itu dibolehkan tidak dibuka. Sehingga Said Didu menambahkan jika maunya harus terbuka lebih dari apa yang boleh dibuka sebagaimana aturan Tbk, maka dipastikan akan dapat mengganggu iklim investasi karena tidak ada lagi persaingan usaha yang terjadi, sehingga yang paling fair adalah yang masuk lembaga publik memang yang mendapat tugas Pemerintah, tidak memadang badan hukumnya apakah BUMN atau non BUMN, jadi lembaga atau badan usaha yang mendapatkan penugasan. Terhadap argumen pihak pemerintah (Said Didu) para anggota kelompok masih belum ada yang mengemukakan sepakat
dan cenderung seperti agak bingung dengan
pemikiran pemerintah sehingga diusulkan bahwa langsung membicarakan ke definisi rumusan saja (teks) agar bisa cepat disepakati dan pemerintah diminta oleh Ketua rapat membuat satu rumusan berdasarkan hal tersebut namun Hajriyanto Thohari dari fraksi Golkar mengusulkan agar DPR dahulu yang mengusulkan rumusan setelah itu lihat bagaimana Pemerintah. Di sisi lain pendapat ketidak setujuan masih diutarakan oleh Andreas Pariera dari Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
211
fraksi PDIP tentang sistem badan publik penugasan yang disebutkan oleh pemerintah tersebut karena jikalau hal itu terkait dengan LSM NGO yang bergerak di Indonesia, mendapat penugasan dan dana dari perusahaan
induknya, namun sementara aktifitas-aktifitas
pekerjaannya mempunyai efek publik yang cukup tinggi, maka mereka itu sama sekali tidak tersentuh oleh keterbukaan. Pendapat Andreas ini kemudian dibenarkan oleh ketua rapat “ya makanya ini banyak yang tidak tersentuh, saya kira penjelasannya banyak tetapi malah banyak yang tidak tersentuh”. Akhirnya, rapat juga belum bisa menghasilkan keputusan apapun sehingga diputuskan untuk dilanjut esok harinya. Rapat 7 : Rapat Timus Tertutup (20 September 2007) Rapat yang berlangsung pada hari kamis di Hotel Santika Petamburan Jakarta Pusat berlangsung tertutup secara khusus membahas lanjutan DIM 16 tentang Badan Publik yang belum juga selesai. Namun hal yang menarik dalam rapat ini adalah perubahan argumen pemerintah tentang definsi Badan Publik yang sebelumnya Pemerintah mempunyai konsep yang awalnya mennyebut lembaga per lembaga, maka pada rapat ini pemerintah membuat rumusan baru yang lebih generik sehingga tidak pernah menyebut apa itu BUMN, BUMD, Partai Politik, LSM dan yang lainnya, melainkan menyebutnya dengan satu rumusan yang lebih generalisir, yang berbunyi seperti : a. Badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif dari tingkat pusat maupun daerah, b. Lembaga lain fungsi dan tugas pokoknya melaksanakan penyelenggaraan negara. c. Lembaga atau badan usaha yang melaksanakan penugasan khusus pemerintah dengan menggunakan dana dari anggaran dari Pendapatan Belanja negara dan atau anggaran pendapatan belanja daerah yang keterbukaan infromasinya terbatas pada kegiatan penugasan khusus pemerintah tersebut, d. Lembaga atau organisasi non Pemerintah yang mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan belanja negara dan atau anggaran pendapatan belanja daerah dan atau sumbangan masyarakat dan atau sumber luar negeri yang keterbukaan infromasinya terbatas pada penggunaan dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan atau anggaran pendapatan belanja daerah dan atau sumbangan masyarakat tersebut.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
212
Dalam rapat ini pembahasan lebih berkisar pada perumusan dan pengelompokan teks (kata-kata) yang ingin ditampilkan dalam pasal. Andreas Pareira (F-PDIP) dan beberapa anggota lain seperti dari F-PKS, F-PKB, F-PD, F-PDS, F-PDIP menyatakan hal yang sama yaitu point a dan b tidak ada persoalan, namun yang belum sepakat adalah point c dan d yang memerlukan elaborasi lebih lanjut. Pada rapat ini juga belum ada hal yang disepakati dalam kelompok tersebut. Rapat 8 : Raker Panja Terbuka (2 April 2008) Rapat yang dilakukan pada pukul 19.00 di ruang rapat Komisi I DPR RI ini sudah berisi kesimpulan/pernyataan sikap DPR (Komisi I) terhadap DIM 16 tentang definisi Badan publik. Laporan hasil pembahasan dibacakan oleh Ketua Panja Alm. Drs. Arief Mudatsir Mandan dari fraksi PPP, yaitu: pertama, rapat Panja yang dimulai 15 Mei 2007 sampai dengan 2 April 2008 hampir 1 tahun ini membahas 318 DIM. Pada awal pembahasan rapat Panja, disepakati untuk mengubah judul Rancangan Undang-Undang ini, yang semula Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) menjadi Rancangan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Dalam rapat panja ini diputuskan beberapa DIM untuk dibahas dalam rapat panja ini, dibahas di tingkay Tim Perumus dan Tim Khusus serta 2 DIM yaitu 16 mengennai definisi badan publik dan DIM 344 mengenai sanksi, dibahas dalam Tim Lobby. Kedua, Rapat Timus dimulai pada tanggal 14 Sepetember 2007sampai dengan 15 Januari 2008 dengan membahas 240 DIM, jadi dari 318 panja kemudian ada sekitar 240 DIM yang dibahas dalam Tim Perumus beserta penjelasannya. Dalam pembahasannya diputuskan bahwa beberpaa DIM RUU dan penjelasan harus disahkan kembali dalam Rapat Panja, sehingga Komisi I melaksanakan kembali Rapat Panja dalam rangka mengesahkan beebrapa DIM RUU dan penjelasan sebagaimana yang diamanatkan oleh Tim Perumus. Ketiga, lobby yang dilaksanakan dan disepakati dri kedua DIM akan dijelaskan kesepakatannya. Keempat, Panja juga membentuk Tim Sinkronisasi yang bekerja sejak tanggal 25 dan 26 Maret 2008. Kelima, baik dari hasil lobby maupun Tim Sinkronisasi lalu dilaporkan dalam Panja pada 31 dan 1 April kemarin, sehingga Panja mengesahkan, pada tanggal 1 kemudia pada tanggal 2 siang tadi, Panja menyepakati hasil seluruh Panja kemudian dilaporkan dalam rapat kerja ini. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
213
Berkaitan dengan penugasan Raker, Panja, dan Timus terhadap point-point yang harus dibahas di tingkat lobby laporan hasil pembahasan di tingkat lobby terkait dengan definisi badan publik adalah sebagai berikut : Badan publik adalah lembaga eksekutif koma, legislatif koma, yudikatif koma, dan badan publik lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara koma, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dalam kurung APBN dan garis miring atau anggaran pendapatan dan belanja daerah dalam kurung APBD koma, atau organisasi non pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dana bersumber dari APBN garis miring APBD koma, sumbangan masyarakat koma, dan garis miring atau sumber luar negeri. Definisi ini menyebabkan penambahan beberapa pasal yaitu pasal yang mengatur informsi publik yang wajib disediakan oleh BUMN dan BUMD, informasi publik yang wajib disediakan partai politik dan informasi publik yang wajib disediakan oleh organisasi non pemerintah yaitu pasal termaktub dalam pasal 14 pasal 15 dan psal 16. Tidak ada lagi keberatan-keberatan dalam rapat ini tentang definisi Badan Publik artinya semua telah sepaham baik DPR maupun Pemerintah sehingga proses pembahasan dan panita kerja RUU KIP dinyatakan selesai dan siap disahkan setelah mendengarkan pendapat akhir mini dari masing-masing Fraksi yang dilaksanakan pada keesokan harinya (3 April 2008). Dalam kelompok pengambil keputusan di Komisi I beberapa gejala hadir untuk menegaskan adanya tekanan untuk mencapai keseragaman tersebut, namun beberapa kategori tidak terlalu tergambar dalam penelitian ini. Kategori sensor diri yang merujuk pada kecendrungan para anggota kelompok untuk meminimalkan keraguan mereka dan adanya argumen-argumen yang menentang, ditunjukkan dengan adanya upaya untuk saling menguatkan pendapat diantara para anggota kelompok ketika pembasahan RUU KIP belum menemui titik temu. Beberapa orang dari kelima informan dalam penelitian ini kebetulan memiliki ikatan keakraban sehingga diakui oleh mereka ada upaya untuk saling menguatkan dan mendukung pendapat satu sama lain. Selain dari informan yang diwawancarai, tergambar juga di risalah rapat bahwa beberapa orang anggota juga saling mendukung argumen rekannya walaupun berbeda fraksi, namun untuk fraksi dari pengusung pemerintah (Fraksi Partai Demokrat) memang terlihat lebih menyampaikan argumen diplomatis dan netral, bahkan cenderung mendukung argumen pemerintah.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
214
“Oh,biasanya sama pak happy bone (golkar), andreas pariera (pdip) sama pak hajriyanto (golkar) kita biasa diskusi dan menyamakan persepsi. Bisa juga dilihat di risalah rapat bagaimana sikap saya dan teman-teman”. (Deli) “Ya saya sih biasa saja, karena memang bisa diterima secara logis ya gapapa”. (Sindoro) “Sebenarnya di DPR itu mbak ga ada yang terlalu pro ke siapa ke siapa, semua bebas berpendapat dan kalaupun pada akhirnya disepakati semua ya alamiah saja”. (Eko) “Ya ada, di risalah kan kelihatan itu bagaimana kita. Ya waktu itu siapa ya? Paling Andreas Pariera dari PDIP terus pak Deddy dari PAN, Pak Efenndy Choirie dari PKB. Kita ya mengingatkan dalam rapat-rapat agar konsisten gitu”. (Hartanto) “Nah kita juga berbicara tentang itu Kadang-kadang juga bisa saling menopang
seperti yang dikemukakan oleh fraksi PPP. Semua melakukan begitu dan biasanya dipertahankan tapi setelah terjadi proses, itu baru bergeser. Jangan sampai kita menerima masukan yang sebenarnya mengadu domba kita atau menjerumuskan kita dan itu kita jaga juga. Nah di situ barangkali banyak orang menyatakan politik itu kompromi, ya komprominya seperti itu, bukan kompromi dapat berapa, bukan tapi komprominya itu yang tadinya kita berbeda kemudian kita lakukan pendekatan, kayak tawar menawar juga” (Tojaka) Dalam risalah rapat mengenai bahasan Badan Publik tanggal 15 Mei 2006 terlihat bahwa rumusan RUU dari DPR tentang Badan Publik disebutkan bahwa BUMN, BUMD, BHMD dan Organisasi non Pemerintah yang mendapatkan dana dari anggaran negara dan anggaran daerah atau usaha swasta dalam menyelenggarakan kegiatannya merupakan Badan Publik, namun Pemerintah mengusulkan LSM, Organisasi Massa, Parpol, Institusi sosial atau Kemasyarakatan lain yang mendapatkan dana dari sumbangan msayarakat atau sumbangan luar negeri juga dimasukkan sebagai Badan Publik serta mengusulkan agar BUMN, BUMD dan Badan Swasta lain tidak dimasukkan dalam Badan Publik dengan alasan karena sistem akuntansinya sudah mempunyai mekanisme korporasi, sehingga sudah ada lembaga yang mengauditnya seperti BPK, BPKP atau Akuntan Publik. Hal ini lah yang kemudian di kritik oleh Komisi I DPR sehingga hampir seluruh perwakilan fraksi mengemukakan pendapatnya, saling menolak usulan pemerintah tentang status BUMN, BUMD dan BHMN dan Badan Swasta lain tersebut, serta mempertanyakan keinginan pemerintah yang mengusulkan organisasi massa dan partai politik masuk sebagai Badan Publik, seperti yang dinyatakan oleh salah satu anggota kelompok yang tidak diwawancarai yaitu Ade Daud Nasution dari fraksi PBR :
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
215
Namun pengecualian datang dari Fraksi Demokrat yang diwakili oleh Marcus Silano yang berusaha memberikan pendapat netral diplomatis karena memang Partai Demokrat adalah Partainya Pemerintah pada masa itu.
Sikap dukungan dari fraksi pemerintah ini juga dibenarkan oleh informan pendukung Agus Sudibyo yang menyatakan : “Kalau DPRnya relative punya pendapat yang sama ya, kayaknya ingat DPR itu dari Golkar itu mas Hajriyanto Thohari dari PAN itu Pak Djoko Susilo terus kemudian PDI itu Andreas Parera kalau nggak salah, PKB itu Effendy Choirie, terus PAN itu Tristanti Mitayani. Kalau Demokrat Nah itu, Shidki Wahab itu yang pro pemerintah.” (IP-2) Adapun pendapat informan yang dinilai untuk meminimalkan keraguan dengan adanya argumen yang tidak sesuai dari pemerintah juga tergambar di risalah sebagaimana dinyatakan berikut ini :
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
216
Demikian juga yang disampaikan oleh IU-3 tentang keberatannya dalam risalah rapat yang tergambar sebagai berikut:
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
217
: Berkaitan dengan kategori Ilusi Kebulatan Suara (Illusion of Unanimity) ditandai dengan sikap diam sebagai tanda setuju. Meskipun terdapat pemikiran yang berbeda namun sikap diam (tanpa protes) mendorong anggota lainnya untuk berpikir bahwa terdapat konsensus pada keputusan yang diambil. Mengenai hal ini terdapat suatu kondisi dimana ada beberapa bagian dari kelompok yang terpaksa ‘diam’ dalam arti agak sulit mengemukakan argumennya dikarenakan adanya dominasi dari beberapa anggota yang memberikan perhatian penuh dan menguasai substansi pembahasan. Sebagaimana di ungkapkan oleh informan pendukung 3 dari pemerintah yang menyatakan : “Gimana ya, pertama kan saya bilang perhatian dari sekian puluh anggota didominasi oleh orang-orang tertentu yang memang memberikan perhatian penuh, gitu ya. Jadi otomatis kalo hanya orang tertentu-tertentu saja tidak bisa dikatakan itu pendapatnya seperti itu, yang diem cuma diem ngikut aja, makanya tadi nama-nama yang dominan aja Hajriyanto Golkar dan Andreas Pareira dari PDIP, Djoko Susilo dan Dedi Djamluddin Malik dari PAN.” (IP-3) Selain itu berkenaan dengan ‘diam’, maka unsur pimpinan komisi yang lebih banyak bertindak sebagai moderator selama rapat berlangsung dan jarang mengemukakan pendapat pribadi secara khusus. Sebagaimana yang diungkapkan Tojaka bahwa beliau sering menolak untuk menjadi pimpinan di pansus atau panja walaupun terkadang tidak bisa. Hal tersebut dikarenakan alasan kurang dapat bebas mengemukakan pendapat. “Nggak saya begini, saya menghindari kalau bisa tapi kadang-kadang nggak bisa, menghindari jadi pimpinan. Kalau jadi pimpinan itu cuma jadi polisi lalu lintas nggak sempat ngomong, oke oke saja. Saya juga kadang-kadang heran banyak teman-teman kepengin duduk dipimpinan.”
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
218
Kesan lain yang nampak dari ciri khas ‘diam’ nya sikap pimpinan di kelompok Komisi I juga terlihat dari pernyataan-pernyataan dari Sindoro yang menjabat sebagai Pimpinan Komisi 1 dan juga Pimpinan Panja RUU KIP yang lebih banyak menjawab dengan singkat serta banyak lupa terhadap proses yang berlangsung selama pembahasan sampai pengambilan keputusan mengenai Badan Publik di RUU KIP. “Saya sudah lupa tapi bahasanya seru. Saya Ketua di komisi I, sehabis itu Wakil ketua. Betul betul, bagian ini saya lupa, pro kontranya saya lupa, yang banyak suara ya temen-temen aja. Kalau ga salah waktui itu kita ingin terbuka, pemerintah tidak, saya ingat tapi saya lupa, saya harus baca memory, lahirnya Undang-undang ini ya, rekamannya saya beli.” Selain itu informan Anggodo juga menyatakan bahwa Pimpinan di Komisi DPR itu lebih banyak bersikap netral diantara berbagai argumen maupun kepentingan beberapa pihak. “Kalau pimpinan DPR itu cenderung untuk mencoba mengambil jalan tengah, nggak mau terlalu berpihak kepada pemerintah tapi juga nggak mau terlalu menerima begitu saja masukan-masukan masyarakat sipil.” (IP-2) Hal ini berbeda tentunya dengan asumsi Janis bahwa dalam kelompok groupthink dominasi pimpinan cenderung terlihat. Sikap yang dinyatakan oleh informan dengan ungkapan seperti “sudah terlalu lama atau lelah” ketika pengambilan keputusan tentang definisi Badan Publik yang disepakati setelah lobi berjam-jam di luar forum rapat yaitu di Hotel Ibis Petamburan Slipi juga dapat diartikan sebagai bentuk ‘kepasrahan’ dari keletihan bersitegang dengan pemerintah setelah 2,5 tahun lamanya pembahasan RUU KIP. Pernyataan-pernyataan berikut dianggap dapat menggambarkan terjadinya kategori ini : “Ya sudah pokoknya kita tahu posisi dia (pemerintah) begitu, jadi ini bukan soal logika lagi deh tapi kepentingan.” (Deli) “Ah, ya biasa lah Mbak di DPR itu, pembahasan Undang-undang ya memang begitu lah. Biasa lah Mbak, kita ini, jadi kita punya pedoman juga tidak ada kebenaran mutlak semuanya menjadi relative karena pendapat kita juga kan belum tentu benar 100%. Ya setiap yang kita putuskan ya..sekali lagi happy ga happy ya itu yang kita produk untuk kepentingan negara bangsa Undang-undang itu hasil maksimal dari sebuah proses. Ijtihad bersama.” (Eko) “Ya hasil kompromi ya. Untuk UU pertama itu so far so good kok artinya hasil dari pembahasan Undang-undang itu relative bagus artinya tidak banyak yang ini. Itu lebih maju dari UU KIP yang dipunyai Jepang. Itu termasuk maju bahwa itu tidak seperti yang di angan-angankan oleh kalangan LSM iya, tetapi itu sebenarnya sudah sangat maju sebagai UU yang pertama. Kalau kita melihat ukurannya kalau kita membuat Undang-undang itu adalah Undang-undang dasar, kalau Undang-undang Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
219
dasarnya kalau cuma dekat dan tidak bertentangan dengan Undang-undang dasar, ya oke-oke saja.” (Hartanto) “Saya kira semua vocal, cuma kadang-kadang begini. Ketika pernah deadlock, ada yang terlihat sudah pasrah dan menjadi pasif namun saya tegaskan turun itu bukan karena loyo kehabisan tenaga karena memang sudah waktunya ada pendekatan.” (Tojaka) Keterangan informan di atas cukup menunjukkan bahwa ilusi akan adanya kebulatan suara sebagai gejala dari groupthink muncul dalam kasus tersebut. Berkaitan dengan gejala tekanan terhadap para penentang (direct pressure) yang melibatkan adanya tekanan terhadap anggota kelompok yang opini, pandangan, atau komitmennya berlawanan dengan opini mayoritas hal ini tidak nampak dalam situasi pembahasan dan pengambilan keputusan tentang Badan Publik, sebagaimana dinyatakan oleh informan sebagai berikut: “Ya nggak bisa karena memang itu mereka secara resmi mewakili fraksi masingmasing jadi ya kita harus respek saja lah gitu karena itu wilayah ini sebab kalau misalnya kita complain seperti itu lalu kan ini memaksakan kepentingan”. (Deli) “Oh ga ada itu. Biasa saja berbeda pendapat tapi kalu hasil akhir ya lihat opini mayoritas.” (Sindoro)
“Nggaklah. Biasa saja, sah-sah saja. Ya itu aja itu kan soal pengetahuan. Jadi belum semua orang Indonesia khususnya di DPR termasuk pemerintah, ini kan sesuatu yang baru.undang-undang ini sesuatu yang baru sama sekali, bukan merevisi undangundang yang sebelumnya ada ya kan?, sehingga pengetahuan tentang badan-bdan publik, informasi publik, mana yang rahasia mana yang tidak Itu kan sesuatu yang baru. sehingga kalo beragam pendpat itu wajar. Yang kedua jadi harus dimaknai bukan sesuatu yang aneh gitu loh. Itu wajar aja, karena kita juga proses belajar karena kita ini baru demokrasi ya kan? Jadi pemahaman terhadap hal-hal yang seperti itu ee baru mengemuka sekarang kan. Baru mengemuka era reformasi kan. Yang kedua tentu saja orang-orang birokrat yang begitu lama di dalam pemerintahan itu ada kemudian mantan-mantan tentara misalnya gitu kan. Itu kan punya pandangan seolah-olah ee apa yang mereka urus semua itu rahasia kan begitu?” (Eko) “Jadi pada pembahasan-pembahasan seperti itu, katakan hanya satu fraksi yang punya pendapat, yang lain fraksi tidak berpendapat, itu artinya bisa diterima semua fraksi., jadi tidak ada tekanan Saya mencatat situasi seperti itu disorientasinya memang untuk kepentingan membuat aturan-aturan yang bisa diterima oleh public. ” (Tojaka) Sementara Hartanto menyatakan adanya upaya mempengaruhi kepada anggota lain dari fraksi Partai Demokrat yang merupakan partai pengusung pemerintah. Jumlah
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
220
perwakilan anggota fraksi Partai Demokrat waktu itu masih sedikit sehingga masih minoritas dalam kelompok. “Ya pro pemerintah tapi menduukung kita juga kok. Kebetulan di fraksi Demokrat kan orangnya sedang, pada waktu itu ya nggak pintar-pintar juga jadi gampang lah kita pengaruhi, ya diapusin dikit. Tapi disitu saya rasa yang paling perannya besar menteri pada waktu itu masih Sofyan Djalil, Nuh itu akhir-akhir aja dia nemu karena dia jadi menteri Kominfo baru, ya tinggal beberapa kali rapat gitu, lalu dia yang tandatangan yang mewakili pemerintah kayaknya produk dia padahal bukan produk dia, sebenarnya produknya Sofyan Djalil itu.” Faktor tidak terlihatnya direct pressure (tekanan bagi para penentang) dalam hal ini juga di dukung oleh pendapat informan tambaha Anggodo yang menyatakan bahwa : “Kalau di UU KIP pimpinan partai fraksi pun cukup akomodatif terhadap aspirasi ataupun pendapat anggota.” Sementara itu, terdapat beberapa informan pendukung yang mengatakan bahwa tekanan yang diterima oleh DPR adalah dari luar kelompok sendiri yaitu yang utamanya adalah dari LSM. Terlebih tekanan tersebut dianggap disampaikan tidak sesuai prosedur karena lebih banyak disampaikan secara sembunyi-sembunyi melalui pesan singkat (SMS) dari perangkat seluler. “Begitu ada pertanyaan yang dibahas, kita lemparkan pertanyaanya ada DIM. Itu kan ada namanya fraksi namanya fraksi balkon, isinya LSM semua, jadi sms ke anggota DPR, jadi begini (memperagakan cara sms) hehehe iya kan maklum, DPR kan waktunya untuk menjalani sebuah produk perundang-undangan kan juga terbatas. Jadi hanya ada beberapa orang yang menonjol”. (Icel) “Tekanan itu justru datang dari LSM. Ya tapi kan itu hak mereka yah. Kadangkadang ada selebaran. Jadi kita kalo masukin bahan itu kan harus melalui saya. Saya kasih ke ketua, ketua membagikan apapun masukanlah. Tapi LSM tuh suka kurang ajar juga hehehehe, dia tanpa sepengetahuan saya langsung bagi keanggota. Itu yang saya ga suka tanpa permisi. Kayak gitu2 yang saya ga suka karena kan kita ada mekanisme. Jadi biasanya dikumpulkan ketua menyampaikan ini ada masukan dari anu. Ga boleh ee gelap begitu. Aku sebeeel banget, kita udah ngatur kan supaya semua itu tercatat masukan dari siapa aja ada mekanismenya. Kan ga fair tuh, dia maunya terbuka tapi dianya sendiri yang diem-diem masuk masukin gitu.” (Danti)
Sementara itu gejala terakhir yaitu Mindguards yang diartikan bahwa adanya suatu kondisi dimana anggota-anggota kelompok melindungi dari informasi yang tidak mendukung dengan keyakinan bahwa mereka bertindak demi kepentingan terbaik kelompok mereka.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
221
Peran mindguards dalam kelompok pembahas dan pengambil keputusan RUU KIP tidak terlalu jelas tergambar karena interaksi yang terjadi selama proses tersebut cukup dinamis dan terbuka sehingga setiap orang bebas mengemukakan pendapatnya. Namun beberapa informan sempat menyebutkan bahwa fraksi PDIP yang diwakili oleh anggotanya yang bernama Andre, fraksi PAN yang diwakili oleh Deli dan Djoko serta fraksi Golkar diwakili oleh pak Hartanto dan PKB oleh EKo adalah orang-orang yang bisa dikatakan menjalankan peran mindguards karena senantiasa berani membela argumen kelompok dengan tujuan agar rumusan DPR terkait dengan dimasukkannya BUMN/BUMD sebagai Badan Publik bisa diterima. “Kita sudah tahu nih thinktank nya dengan siapa kan gitu, oh kalau misalnya dengan PDIP dengan Golkar Pak Hajriyanto, dengan PDIP Andreas Pareira misalnya gitu.” (Deli) “Ya yang vokal-vokal itulah misalnya Andreas Pariera, Djoko Susilo, Hajriyanto. Tapi kalau fraksi pro pemerintah si ga ribut ya”. (Sindoro)
“Ya iya lah, saya kan komandan dari PKB”. (Eko) “Lha iya dong harus kalo nggak buat apa jadi anggota DPR? Harus berani beragumen jika memang dirasa ada yang penting dan benar untuk disampaikan”. (Hartanto)
“Ya kalau di KIP ini banyak ya, misalnya yang vokal-vokal seperti PDI Pak Andreas, PAN Pak deddy sama pak Djoko banyaklah saya kurang ingat”. (Tojaka) Sebagaimana juga diungkapkan oleh informan Anggodo yang menyatakan bahwa terdapat beberapa orang anggota yang gigih bersuara dan dominan di kelompok yang mencoba untuk mempengaruhi pikiran anggota lainnya agar tidak mendukung usulan pemerintah yang menolak memasukkan BUMN BUMD sebagai Badan Publik. “Dari Golkar itu mas Hartanto, dari PAN itu Pak terus kemudian PDI itu Andre kalau nggak salah, PKB itu Eko terus PAN itu Trimiya” (IP-2) Peran Mindguards yang ditemukan melalui beberapa orang anggota kelompok merupakan peran khas yang dimainkan oleh kelompok yang mengandung groupthink di dalamnya, dimana terdapat sekelompok kecil orang dalam kelompok yang berusaha menjaga keutuhan kelompok dengan mempertahankan pendapat mereka yang dianggap telah ideal bagi tujuan atau kepentingan kelompok. Perdebatan tajam yang dilatari oleh kepentingan yang berbeda inilah yang akhirnya menyebabkan pimpinan cenderung memilih anggota kelompok yang dianggap vokal dan
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
222
kredibel dalam rangka membantu proses pengambilan keputusan. Pembahasan mengenai definisi badan publik yang memakan waktu paling lama diputuskan menyebabkan pimpinan banyak berdiskusi dengan anggota lainnya dan cenderung memilih anggota yang vokal untuk membantu memberikan masukan.
5.5
Upaya Kelompok Meminimalisir Groupthink Dalam uraian sebelumnya tentang kondisi pendahulu, gejala dan bagaimana
tanggapan terhadap keputusan mengenai definisi dan kategori Badan Publik dalam RUU KIP yang dibahas oleh Komisi I DPR RI bersama Pemerintah menunjukkan bahwa groupthink dalam kelompok legislatif Panja Komisi I DPR RI telah terjadi, namun terdapat perbedaan dalam karakteristik kondisi pendahulu dan gejala groupthink. Keputusan akhir dari RUU KIP tersebut walaupun tidak mendapat kritik keras sampai kepada kecaman untuk membatalkan, namun RUU KIP mengandung berbagai ketidak puasaan dari beberapa pihak luar sehingga boleh dibilang selain fenomenal juga cukup kontroversial, sebagaimana opini yang berkembang diluar tentang undang-undang ini, misalnya : “Jadi begini, kita mengira yang kecewa dengan definisi badan public di KIP itu hanya masyarkat sipil. Orang mengira hanya masyarakat sipil yang kecewa, itu juga tidak benar karena pemerintah sendiri juga kecewa. Jadi masyarakat sipil itu kan maunya kan badan public itu dimasukkan dalam UU KIP termasuk BUMN tanpa pengecualian sama sekali tapi kan prakteknya kemudian kan definisi tentang apa yang harus transparan di BUMN, apa yang harus transparan di partai politik itu kan dirumuskan spesifik gitu ya. Jadi itu mengecewakan buat masyarakat sipil karena ya maunya tidak ada exception, transparansi yang berlaku dibadan public satu itu berlaku di badan public yang terkait partai politik, terkait dengan BUMN, terkait dengan militer itu sama. Itu kontinuenya masyarakat sipil. Ternyata kan yang diputuskan DPR, pemerintah kan beda. BUMN itu kan disendirikan, itu masyarakat sipil kecewa. Tapi sebenarnya kalau saya lihat pemerintah juga kecewa, gitu.” (Anggodo) “Saya puas dengan angka 65%. Sisanya banyak yang masih harus ditinjau ulang.” (Pujiyanto) “Sampai akhirnya sekarang komisioner juga masih menerima dampak-dampak itu karena ee kami akhirnya membuat juklak dan juknis untuk dua hal yaitu standar layanan informasi publik dan proses penyelesaian sengketa informasi sesuai dengan amanah yang diberkan pada kami. Nah di dalam standar layanan informasi publik itu namanya PERKI, Peraturan Komisi Informasi nomor 1, disitu kita sampai nyatakan yang mana Badan Publik. Kita gamau nanti kalau tidak dinyatakan dengan melihat PERKI nya itu ada semua nama Badan Publiknya ditulis karena jangan sampai nanti Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
223
orang mengelak saya bukan Badan Publik dan termasuk Badan Publik lainnya yang tidak disebutkan tetapi sesuai aturan ini itu masuk Badan Publik karena kita waktu itu kesulitannya adalah untuk BUMN/BUMD, Parpol sama LSM. Tapi kalo LSM kan jelas banget di definisinya itu kan ada –dan lembaga non pemerintah lainnya yang anggarannya itu tadi- jadi dia basic ininya adalah anggaran. Nah maka kita gampang sekarang dengan mudahnya kita nyatakan ini badan publik atau tidak. Dulu kan yang anu mungkin baca ya itu yang paling menentang itu BUMN, yaa kenapa BUMN menentang saya bukan badan publik. Awal-awal dulu putusan kita anda bisa liat di web kita itu ada di Semarang itu ada BUMD yang bilang dia bukan badan publik dengan mudahnya. Kita bilang kita sampe pergi ke Presiden waktu komisioner periode satu dulu untuk khusus ee setelah cerita macem-macem, satu pertanyaan kita apakah BUMN Badan Publik gitu...kenapa harus bukan Badan Publik?padahal namanya Badan Umum Milik Negara. Selama itu semua itu adalah aset negara, walaupun sekarang sudah ada yang namanya pemisahan harta kekayaan itu tetap saja asetnya negara jadi itu tetap namanya Badan Publik, clear.”(Heryanti) Namun dari berbagai pro dan kontra terhadap hasil keputusan RUU KIP tersebut, pada umumnya semua pihak yang terlibat didalamnya baik anggota kelompok Komisi I, Pemerintah maupun LSM disambut antusiasme syukur dan kebanggaan setelah melalui berbagai proses yang panjang dan melelahkan. “Nggak sempurna, banyak kelemahan tapi kalau kita mampir ke Negara-negara lain, Undang-undang KIP kita not bad menurut saya. Atau kalau kita bandingkan dengan achievement yang dicapai oleh Koalisi-koalisi, NGO-NGO lain untuk Undang-undang lain, UU KIP itu mending. Jadi persentasi-persentasi, klausulklausul, pasal-pasal yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang diterima oleh DPR itu tinggi. Kalau mbak bandingkan dengan Undang-undang Pemilu itu kan banyak sekali kekecewaan masyarakat sipil, akhirnya banyak yang kecewa. Undang-undang KIP ini mending, menurut saya mending karena prinsip-prinsip dasarnya diadopsi oleh DPR, oleh Pemerintah. Mungkin mereka tidak sadar saja bahayanya apa buat mereka.” (Anggodo) “Untuk sementara ini saya rasa sudah cukup baik.” (Icel) “Bermanfaat ya, nah sekarang baru dirasakan waktu itu seperti apa dampaknya PPATK itu, ternyata sekarang kalau ada transaksi diatas lima ratus juta harus lapor.” (Tojaka) Berdasarkan ilustrasi diatas, dapat dikatakan bahwa groupthink yang ada dalam sebuah kelompok politik yang terbuka dan dinamis seperti di parlemen negara transisi demokrasi seperti Indonesia agak berbeda karena bersifat sangat tertutup, sehingga tidak semua kondisi pendahulu dan gejala groupthink memiliki karakteristik sama dengan yang telah dirumuskan oleh Janis. Pada aktivitas proses pembahasan dan pengambilan keputusan terhadap sebuah produk Undang-Undang di DPR RI serta ditemukan adanya upaya untuk
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
224
menghindari/meminimalisir terjadinya groupthink namun upaya tersebut dikatakan gagal karena groupthink tetap terjadi. Upaya-upaya yang teridentifikasi sebagai bentuk pencegahan terhadap groupthink dari penelitian ini adalah terjadi pada beberapa kondisi, yaitu : Pertama, Pimpinan/ketua rapat di kelompok Komisi I dianggap sebagai moderator yang baik dan mampu mengakomodir semua pendapat maupun kritik dari anggotanya. Posisi ketua juga dianggap bukan sebagai penekan dalam diskusi dan pada pengambilan akhir keputusan, serta teramati dalam risalah ketua mampu menampilkan diri untuk selalu mengingatkan anggota akan kesimpulankesimpulan yang sudah disepakati pada setiap pertemuan (rapat) dan mampu mengendalikan jalannya rapat apabila kondisinya kurang kondusif, biasanya ketua akan menskors rapat sementara waktu. Hal sebenarnya telah sesuai dengan yang dikemukakan oleh Janis (1982:260) bahwa seorang pemimpin pembuat kebijakan harus mengarahkan sikap evaluator kritis kepada setiap anggotanya, mendorong kelompok tersebut untuk memberi ruang bagi keberatan dan keraguan. Komponen ini harus didukung oleh sikap pemimpin yang mau menerima kritik dari penilaiannya dalam rangka mengurangi kecenderungan para anggota untuk saling berbeda pendapat dan secara umum akan meredam tekanan dalam kelompok yang dikhawatirkan akan melahirkan keputusan yang buruk. Namun pada akhirnya upaya minimaslisasi groupthink dari sikap pimpinan yang cenderung berkerakter menyeluruh ini juga menjadi kabur karena adanya peran anggota kelompok yang signifikan dimana pimpinan menaruh kepercayaan lebih terhadapnya dan sering meminta kepada anggota ini untuk memberika solusi dalam perdebatan. Sebagaimana yang telah diurai sebelumnya dalam risalah rapat pimpinan terlihat beberapa kali mempersilahkan anggota Panja Hartanto dan Deli untuk membantu memberikan solusi. Apakah hal ini dapat dibenarkan? Dalam konsepnya Janis mempertanyakan tentang siapa yang mengambil keputusan? Apakah pimpinan seorang atau dengan anggota kelompok yang signifikan? Jika memang signifikan apakah kelompok tersebut kohesif?. Pertanyaan ini terjawab dalam penelitian ini yaitu dengan adanya kondisi bahwa di lembaga legislatif seperti DPR RI umumnya kedudukan relatif setara diantara para anggotanya yang berbeda- beda fraksi maka jabatan pimpinan hanya terksesan sebagai formalitas dan tidak memiliki kekuatan yang terlampau melebihi para anggotanya seperti dalam lembaga eksekutif misalnya. Dengan demikian walaupun terdapat ciri kepemimpinan yang lebih menyeluruh dalam lingkup legislatif, pada dasarnya hal tersebut juga tidak dapat melepaskan kelompok dari jerat groupthink jika memang ada anggota-anggota kelompok yang dianggap signifikan Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
225
yang berada dalam sebuah kelompok yang kohesif. Jika dalam kelompok eksekutif, pemimpin memiliki kekuatan dan kekuasaan super sehingga penasihat yang ada disekitarnya - walapun dapat lebih didengarkan - namun kemungkinan dorongan pribadi pimpinan juga besar dalam mengambil keputusan dan jika sudah begitu maka para anggota kelompok yang bertindak sebagai bawahannya cenderung lebih mematuhi pimpinan karena adanya faktor ketakutan terhadap pimpinan yang dapat mengancam keberlangsungan posisi anggota dalam kelompok sehingga solidaritas menjadi terganggu. Hal ini menjadi berbeda dengan di kelompok legislatif dimana kedudukan antara anggota yang menjabat sebagai pimpinan dengan anggota yang tidak memiliki jabatan pada hakikatnya adalah sama, dalam artian tidak terdapat ketakutan-ketakutan dalam kaitan terhadap pemecatan. Namun yang lebih mendasari kohesi dan hubungan baik dengan pimpinan tidak dapat dilepaskan dari adanya keinginan untuk mencapai tujuan kelompok yang berhasil menuntaskan tugasnya.
Sehingga faktor ketertarikan terhadap sesama anggota maupun
terhadap pimpinan memiliki derajat yang seimbang. Hal inilah yang pada akhirnya juga tidak bisa melepaskan kelompok dalam sebuah situasi groupthink, sebagaimana yang diungkapkan oleh Janis bahwa faktor ketertarikan pimpinan terhadap anggota kelompok yang dominan mampu menjerumuskan ke dalam groupthink sebagaimana Janis mengatakan : sindrom groupthink tidak ditemukan jika anggota tidak suka satu sama lain dan tidak menghargai keanggotaan mereka dalam kelompok (1982:252). Upaya kedua yang teramati adalah adanya proses diskusi atau hearing untuk mendengarkan pendapat ahli yang dilakukan oleh Komisi I melalui proses Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan mengundang kalangan akademisi, praktisi maupun pihak LSM, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sindoro dan Hartanto : Semua-semua semua stakehoder di bidang itu kita undang semua itu. Public hearing itu 6 bulan sendiri. Itu seminggu sampai 5-6 narasumber dalam seminggu. Jadi memang kita persiapkan matang sebelumnya, jadi ketika akhirnya ada pendapat yang beda dari pemerintah ya kita ngotot dulu lah. (Sindoro) Ya biasanya gitu-gitu kan RDPU, RDPU itu sebenarnya sebelum pembahasan, sebelum masuk pembahasan pasal perpasal itu kita rapat dengar pendapat dengan misalnya ada pikiran LSM-LSM harus terbuka kita undang LSM-LSM sehingga memang posisi argumen kita juga cukup kuat untuk dihadapkan sama pemerintah. (Hartanto)
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
226
Gambaran ini memang sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh Janis sebagai upaya untuk mencegah groupthink yang menyatakan bahwa setiap anggota kelompok pembuat kebijakan harus mendiskusikan pertimbangan kelompok tersebut secara periodik dengan rekan terpecaya dalam unitnya dan melaporkan kembali reaksi yang didapat, dimana bisa satu atau lebih pakar dari luar dalam organisasi tersebut yang mana bukan anggota inti dari kelompok pembuat kebijakan harus diundang dalam setiap rapat untuk mengkaji pandangan dari anggota inti (Janis, 1982:267). Namun apakah hal ini betul-betul efektif dilakukan? Ternyata tidak. Dalam penjabaran hasil rapat dan penggalian melalui wawancara, ditemukan fakta bahwa walaupun dalam sebuah lembaga legislatif mencerminkan adanya keterbukaan dibandingkan dengan eksekutif, akan tetapi yang terjadi dalam situasi pembahasan dan pengambilan keputusan mengenai definisi badan publik dalam RUU KIP di kelompok Komisi I DPR RI adalah fenomena ketertutupan pikiran dimana antara pemerintah dan DPR RI sangat sulit menemukan titik temu untuk mencapai kesepakatan. Hingga akhinya diputuskan untuk melakukan kompromi dan terpaksa menyerah terhadap hasil keputusan kompromi. Kompromi sebagai jalan untuk membuat RUU KMIP berhasil disahkan sebagai RUU KIP tercipta dari adanya tekanan waktu dan kelelahan yang panjang dari kelompok pembahas sehingga illusi kebulatan suara sebagai bagian dari gejala groupthink pun akhirnya terbentuk. Diyakini oleh salah satu informan dari kalangan Koalisi Masyarakat Sipil bahwa sebenarnya tidak ada yang bahagia dengan kompromi tersebut, karena baik DPR RI maupun pemerintah tidak mampu mencapai apa yang menjadi keinginan dan kepentingan mereka. Kehadiran pasal-pasal baru 14, 15, 16 untuk mengakomodir keinginan dan kepentingan DPR RI dan Pemerintah menyebabkan mereka sebenarnya berada dalam kondisi yang sama-sama merugikan sehingga dampak yang terjadi setelah berlakunya UU KIP juga belum dapat dibilang berhasil. Upaya ketiga yang nampak dari dinamika kelompok yang berlangsung selama proses pembahasan sampai kepada pengambilan keputusan mengenai definisi badan publik adalah adanya peran beberapa anggota kelompok yang seolah-olah mengambil peran sebagai penguji (devil’s advocate) yang mengambil posisi berlawanan dengan argumen orang lain, bukan karena tak setuju dengan argumen itu, melainkan hanya ingin menguji keabsahan atau validitas argumen tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa orang yang dalam risalah rapat terlihat memainkan peran ini misalnya dari fraksi Partai Demokrat – yang notabene merupakan partai pengusung pemerintah di kala itu -
yang memilih selalu bersuara Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
227
cenderung netral dan tidak menyatakan dukungan eksplisit terhadap anggota kelompoknya, sehingga dapat dianggap berlawanan dengan pendapat mayoritas teman-teman kelompoknya. Namun pada intinya bukan karena tidak pro kepada rekan-rekan sesama anggota kelompoknya di Komisi I – terbukti dalam pendapatnya cenderung memilih untuk ikut sependapat menyetujui BUMN dan BUMD sebagai Badan Publik – namun ada upaya ingin melihat sampai dimana logisnya argumen rekan-rekan kelompoknya dengan mencoba meminta langsung kepada pihak pemerintah untuk memperjelas alasan-alasan dikeluarkannya usulan dari pemerintah tersebut. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan anggota-anggota dari Fraksi Partai Demokrat :
Selain itu peran devil’s advocate ini bisa dilihat juga pada peran yang dilakukan oleh Pemerintah sebagai pihak luar kelompok namun selalu menjadi bagian dari kelompok Komisi I yang membahas RUU bersama-sama. Pemerintah memiliki argumen yang sangat berlawanan dengan mayoritas anggota kelompok di Komisi I DPR RI namun maksudnya bukan tidak ingin sejalan dengan rumusan DPR RI, melainkan lebih kepada ingin mendapatkan keabsahan secara rasional tentang urgensi jika memasukkan BUMN dan BUMD sebagai badan publik sebagaimana yang diusulkan DPR RI.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
228
Melalui adanya semacam peran ‘devil’s advocate’ dalam kelompok maka hasil akhir keputusan yang dianggap buruk/gagal bisa diminimalisir dampaknya. Keberadaan devil’s advocate ini dinilai juga tidak dapat memberhentikan terjadinya groupthink di kelompok Panja RUU KIP Komisi I DPR RI karena pada akhirnya devil’s advocate pun mengambil posisi diam dan menerima saja apa yang menjadi pendapat dominan.
5.6
Interpretasi Temuan Faktor kondisi pendahulu groupthink yang ditunjukkan dengan adanya kohesi
kelompok, kesalahan struktural dan karakteristik yang menimbulkan tekanan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Kohesi kelompok yang tercipta dari adanya suatu latar yang heterogen didasarkan atas kedekatan dan kesadaran untuk memelihara kekompakan
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
229
kelompok agar dapat mencapai tujuan kepada keberhasilan pengambilan keputusan. Faktor kesalahan struktural yang menonjol ditunjukkan dalam kelompok Komisi I yang tergabung dalam Panitia Kerja pembahas RUU KIP adalah adanya isolasi kelompok dan homogenitas kelompok. Isolasi kelompok menunjukkan bahwa kelompok tidak mencari atau mengizinkan pihak luar untuk menawarkan pendapat mereka sendiri (Janis, 1982). Kelompok di Komisi I DPR RI yang membahas RUU KIP terlihat menujukkan isolasi ketika mereka akhirnya menjadi jarang berkumpul dengan sesama fraksinya sendiri dan tidak banyak dicampuri pengaruh pendapat dari fraksinya sendiri, sebagaimana diungkapkan oleh Hartono misalnya yang pernah ditegur oleh Ketua Umum Partai Parpolnya agar tidak terlalu bersikap keras terhadap pemerintah yang berbeda pendapat dengan DPR RI terkait definisi Badan Publik. Sedangkan untuk homogentitas kelompok yang ada di kelompok pembahas RUU KIP di Komisi I DPR RI ditandai dari kondisi yang membawa mereka kepada kesatupaduan melalui kesamaan profesi sebagai politisi dan merasa terikat oleh kewajiban yang sama untuk menyelesaikan tugas bagi penyelesaian RUU KIP. Indikator kurangnya kepemimpinan menyeluruh (Imparsial) kurang tergambar karena bahwa pimpinan kelompok Komisi I DPR RI dianggap cukup akomodatif dan memberikan kebebasan penuh kepada seluruh anggota untuk berpendapat, namun bukan berarti pimpinan tidak memiliki wewenang untuk mengambil keputusan jika dikelilingi oleh para anggota yang lebih signifikan.
Sedangkan indikator tentang kurangnya prosedur pengambilan
keputusan tidak tergambar sebagaimana yang diungkapkan oleh Janis, karena pada dasarnya kelompok melalui berbagai tahapan prosedur yang telah disepakati dengan rapi, kelompok juga menyadari adanya permasalahan dalam proses pembahasan dan berusaha untuk menanyakan kepada pihak yang dianggap mengerti terhadap permasalahan badan publik yang dihadapi melalui proses hearing (dengar pendapat). Namun pada akhirnya hal ini juga tidak dapat dikatakan mampu menghindari kelompok terhadap groupthink karena prosedur pengambilan keputusan di detik-detik akhir banyak dilakukan dalam proses lobby dan kompomi diluar suasana rapat resmi Komisi I. Kondisi komunikasi yang mengungkapkan adanya indikasi dan gejala groupthink di kelompok Panja RU KIP Komisi I DPR RI sebenarnya juga telah melalui tahapan fase interaksi sesuai dengan konsep Robert Bales melalui teori analisis proses interaksinya. Fase pertama ketika anggota kelompok berada dalam rapat pembahasan RUU KMIP bertemu dan saling menyamakan perspesi dan tujuan di forum rapat pertama tanggal 12 Oktober 2005.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
230
Pada fase ini kohesi kelompok mulai pelan-pelan terbentuk karena adanya kesamaan tujuan dari angggota kelompok. Setelah fase orientasi terjadi rapat kembali bersama pemerintah pada tanggal 15 Oktober 2005 yang bersifat tertutup yang dapat digolongkan ke dalam fase evaluasi yang disebut dalam model analisis interaksi Bales berisi pertanyaan berkisar seputar peran anggota kelompok dalam tugas-tugas yang dilakukan oleh kelompok, dimana dalam tahap ini terjadi semacam pengekspresian opini (pendapat) dan perasaan dari anggota kelompok tentang isu yang berkembang. Pada fase ini kohesi kelompok semakin terbentuk bersama dengan faktor kesalahan struktural yang mengungkap adanya isolasi kelompok serta kurangnya kepemimpinan imparsial. Semenatara mengenai faktor kurangnya prosedur pengambilan keputusan serta homogenistas kelompok belum terlihat karena pembahasan isu badan publik belum dibahas. Berikutnya terjadi fase kontrol yang berisi tentang pembahasan khusus tentang cakupan Badan Publik. Pada fase ini para anggota kelompok saling membuat pernyataan dan mencari serta memberi petunjuk pada sesama anggota yang ditandai dengan munculnya pendapat-pendapat yang positif atau negatif dari anggota kelompok secara substansial sehingga akan tampak solidaritas dan minat mereka dalam kelompok. Pada fase ini kohesi kelompok semakin menjejak dan faktor kesalahan struktural lengkap terjadi bersama dengan adanya gejala groupthink. Ditemukan karakteristik yang menimbulkan tekanan dalam proses pembahasan dan pengambilan keputusan pada RUU KIP di kelompok Komisi I DPR RI baik yang berasal dari luar maupun dari dalam diri anggota kelompok sendiri. Tekanan dari luar (eksternal) yang dirasakan ketika berlangsung pembahasan mengenai RUU KIP yaitu dari pihak pemerintah dan LSM yang mencoba menarik kalangan DPR untuk bisa menerima dan menyetujui argumen mereka serta tekanan dari dalam diri anggota kelompok berupa kekhawatiran untuk menyelesaikan tugas membahas RUU KIP merupakan hal yang dapat memunculkan groupthink. Pemerintah sebagai pihak yang ikut masuk ke dalam lingkup kelompok pembahas di Komisi I memiliki sejumlah argumen yang memang harus disinkronkan dengan DPR, sementara dari DPR sendiri juga telah memiliki rumusan yang dianggap layak untuk diterima Pemerintah karena usul RUU KIP adalah dari DPR, sementara LSM sebagai pengawal juga memiliki sikap untuk selalu menguatkan DPR agar tidak mudah tergoyang oleh argumen pemerintah, sehingga DPR bisa dikatakan berada di tengah-tengah. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
231
Tekanan dari luar mengacu kepada adanya kepentingan dari pihak Pemerintah dan LSM. Pemerintah mengajukan argumen tentang Badan Publik dengan didasarkan atas kepentingan dana/uang yaitu untuk melindungi persaingan usaha antara BUMN BUMD dan Badan Swasta, sehingga jika didefiniskan sebagai Badan Publik dengan akses informasi publik yang terbuka secara luas diprediksi akan berdampak pada perkembangan bisnis yang dijalankan oleh badan usaha tersebut dan yang alasan lain yang menguatkan bahwa BUMN BUMD tidak perlu dimasukkan sebagai Badan Publik sehingga harus taan pada UU KIP dikarenakan mereka sudah memiliki Undang-Undang sendiri sebagai payung dalam menjalankan kegiatannya. Undang-Undang tersebut adalah Paket UU Keuangan Negara, Paket UU Sektoral, Paket UU Pemeriksaan, Undang-Undang No. 19/2003 tentang BUMN, UU No. 40 /2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), UU No 8/1995 tentang Pasar Modal. Sementara kepentingan pihak LSM sebagai pengusul awal RUU KIP adalah terkait dengan semangat akan idealisme keterbukaan informasi publik yang telah banyak diadopsi dari negara-negara luar yang telah dahulu memiliki Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Dasar pijakan dari Pasal 28 f UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” menjadi kekuatan utama untuk menekan DPR agar mampu bertahan dengan rumusan awal yang memasukkan BUMN BUMD serta Badan Usaha Swasta sebagai Badan Publik dalam RUU KIP. Sebagaimana diperoleh dari pengakuan para informan, bahwa dari segi Badan Publik memang banyak resistensi untuk tidak tunduk kepada UU KIP dikerenakan mereka sudah memiliki Undang-Undang tersendiri tentang Badan Usaha, padahal sesungguhnya dengan argumen seperti itu menunjukkan sektor usaha tersebut tidak memahami esensi bahwa Badan Publik itu bukan hanya badan yang mendapat anggaran dari negara dari APBN, Badan Publik bekerja di sektor publik bukan di sektor yang tidak jelas sehingga memang terdapat beberapa hal-hal yang secara prinsip dimana mereka harus tetap memberikan informasi karena informasi publik itu bermanfaat bagi kepentingan publik. Pemerintah beranggapan bahwa LSM (Koalisi Masyarakat Sipil) banyak mengadopsi rumusan UU Keterbukaan Informasi Publik dari luar negeri sehingga kurang memperhatikan aspek kondisi soaial budaya masyarakat Indonesia. Rumusan dari DPR dianggap terlalu ‘copypaste’ dari Undang-Undang di Luar (Freedom of Information Act) milik Amerika, Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
232
kemudian dari referensi Undang-Undang milik Inggris untuk kemudian diramu, sehingga Pemerintah menilai belum tentu konsep-konsep luar tersebut bisa pas jika dipaksakan untuk diberlakukan di Indonesia. Inti dari konsep keterbukaan di Indonesia
haruslah bisa
memberikan kemanfaatan dan peningkatan kepribadian dari masyarakat, keterbukaan harus bisa berbanding lurus untuk memberikan kesejahteraan pada masyarakat, bisa memberikan kepastian hukum dan mendorong partisipasi publik dengan adanya keterbukaan itu. Di sisi lain LSM berpendapat bahwa peran-peran luar negeri yang telah lebih dahulu memiliki kesadaran akan pentingnya keterbukaan informasi publik dan telah memiliki UU Keterbukaan Informasi Publik di negaranya merupakan contoh yang patut dilihat dan bantuan atau dukungan lembaga asing terhadap pemberlakuan Undang-Undang yang sama bagi Indonesia dianggap bukan sebagai suatu tekanan, melainkan harus diapresiasi, sebagaimana pernyataan Mantan Ketua Pansus RUU KMIP periode anggota DPR RI tahun 1999-2004 Paulus Widiyanto : “Saya tidak merasa ditekan ya, karena memang negara kita adalah negara otoriter ee setiap saat kita bisa dijerat masuk penjara kalau kita memberikan informasi, dan ini kita keluar dari sistem negara tertutup, jadi kita negara yang otoriter setiap informasi dikendalikan oleh departemen penerangan sementara informasi menjadi hak itu”. Tercatat banyak sekali lembaga asing yang ikut berperan serta dalam mendukung RUU KIP bagi Indonesia, misalnya melalui sumbangan bagi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan seminar atau diskusi publik yang digagas oleh Koalisi Masyarakat Sipil. Lembaga asing yang disebut oleh narasumber banyak berperan selama proses perumusan dan pembahasan RUU KIP adalah World Bank dan National Democratic Institute. Sebagaimana kembali diungkapkan oleh IP-1 (Paulus Widiyanto) : “World Bank sendiri itu mendorong keterbukaan informasi itu dari sektor-sektor ee dari wilayah-wilayah daerah. Jadi justru daerah-daerah tadi itu mempunyai PerdaPerda transparansi ee di berbagai wilayah bahkan kota Gorontalo adalah kota pertama yang mempunyai Perda transparansi dan itu menjadi contoh betapa World Bank yang bekerja untuk pemerataan pemerintah daerah khususnya untuk otonomi daerah itu berhasil untuk mengoal kan perda-perda transparansi di tingkat daerah. Jadi dari segi itu Bank Dunia itu berperan mendorong pergerakan perda-perda transparansi di daerah-daerah, di DPR pusat itu juga mendapat masukan dari berbagai pihak ya artinya era itu regulasi Indonesia mendapat perhatian penuh dari ee funding-funding maupun lembaga-lembaga dunia. Banyak sekali funding-funding asing yang membantu ya, NDI itu termasuk yang mendorong dan membiayai seminarseminar tentang keterbukaan informasi. Banyak sekali seminar-seminar yang dibiayai oleh internasional, yang dibantu oleh berbagai funding-funding itu, bahkan kami pun mempelajari model undang-undang itu dari artikel nineteen dari UK. Itu ada modelmodel itu, model-model itu kemudian kita pelajari”. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
233
Posisi kelompok Komisi I DPR RI periode tahun 2004-2009 yang menerima berbagai kepentingan dari luar yang dirasakan sebagai sebuah tekanan – walaupn diakui kelompok hal tersebut tidak terlalu mengganggu – dan kemudian ditambah dengan adanya beban dari dalam diri pribadi serta dalam kelompok sendiri untuk mampu menyelesaikan tugas dengan berhasil, namun tidak dapat dipungkiri bahwa secara psikologis kelompok Komisi I DPR RI yang berisi beberapa orang anggota yang dianggap vokal/dominan tersebut akan memiliki dorongan untuk memikirkan secara cermat dan melakukan upaya mencari dukungan moral guna menentukan arah pendapat yang akan dipegang teguh dan dipertahankan sebagai pandangan kelompok. Dalam kondisi inilah sebenarnya kelompok sedang bergerak menuju groupthink. Adanya perasaan istimewa sebagai anggota kelompok yang diserahi amanah tugas RUU KIP dan adanya keyakinan akan moralitas bahwa kelompok merupakan kelompok yang baik dan bijaksana sehingga diyakini bahwa pengambilan keputusan akan baik pula, menunjukkan bahwa anggota kelompok ingin melakukan upaya legitimasi tentang superioritas kelompoknya. Pada saat kelompok melakukan upaya sensor diri dengan memikirkan ulang ide-ide mereka sendiri serta membungkam pemikiran pribadi yang menentang dan menggunakan retorika kelompok hingga tidak semua anggota kelompok mungkin bisa menjadi dominan dan akhirnya hanya bisa diam sebagai tanda dukungan atau persetujuan terhadap yang dominan (illusi kebulatan suara) maka sesungguhnya disitulah letak keputusan-keputusan kelompok dapat diperkuat. Terlebih jika dalam sebuah kelompok - sebagaimana yang menjadi objek dalam penelitian ini - muncul sebuah proses penyatuan gagasan/pandangan melalui upaya kompromi dengan tawar menawar (trade-off) pasal dalam RUU KIP, sehingga menyebabkan gejala sensor diri dan ilusi kebulatan tanpak, maka sesungguhnya hal tersebut dapat dikatakan mampu memperkaya studi tentang groupthink pada kelompok tugas yang lebih, dinamis, terbuka pada negara transisi demokrasi multi Parpol seperti di Indonesia. Dalam penelitian ini ditemukan beberapa upaya untuk meminimalisir groupthink seperti yang disarankan Irving Janis yaitu : 1. Adanya peran pimpinan yang lebih akomodatif, 2. Adanya proses dengar pendapat (hearing), 3. Adanya peran devil’s advocate. Namun ternyata upaya ini juga tidak dapat menghilangkan groupthink dalam kelompok Panja Komisi I tersebut karena pada akhirnya ketiga upaya ini tidak berjalan dengan adanya peran anggota kelompok yang signifikan sehingga mampu bersama-sama Pimpinan dalam menentukan pengambilan keputusan, proses hearing yang juga tidak mampu membuat pendapat luar Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
234
(pemerintah) lebih didengar serta peran devil’s advocate yang kemudian menjadi pasif karena juga mengikuti pendapat mayoritas. Dengan demikian hadirnya keputusan akhir sebagai keputusan mengenai badan publik melalui pasal 14, 15, dan 16 RUU KIP menujukkan bahwa kelompok telah melalui fase kontrol setelah adanya pertukaran pernyataan dan mencari serta memberi petunjuk pada sesama anggota dalam setiap tahapan pertemuan dalam rapat pembahasan. Dalam tahap akhir rapat kelompok telah mencapai keseimbangan (equuilibrium) yang dinyatakan oleh Bales bahwa kelompok yang terlibat dalam kegiatan komunikasi yang berkaitan dengan tugas selama satu tahapan sidang, cenderung “mempertahankan keseimbangan mereka” yaitu keseimbangan dalam tugas dan kebutuhan pemeliharaan yang dipicu oleh berbagai kegiatan sosio-emosional yang dilakukan antar anggota kelompok (Littlejohn, 2008:326). Proses komunikasi yang terjadi dalam kelompok Panja tersebut sekaligus menegaskan bahwa penelitian ini dapat dapat menjelaskan sebuah kondisi sosial mengenai bagaimana kelompok membuat keputusan yang dapat menyebabkan perilaku menyimpang, dan berbagai hal lain sebagaimana yang menjadi ciri penelitian teori psikologi sosial, yang menyatakan bahwa sesungguhnya interaksi sosial manusia di masyarakat, baik itu antar individu, antara individu dengan kelompok atau antar kelompok, tidak dapat dilepaskan dari fenomena kejiwaan. Hal inilah yang menguatkan bahwa teori groupthink yang dikembangkan oleh psikolog sosial Irving Janis merupakan teori psikologi sosial yang sangat relevan diterapkan dalam konteks ilmu komunikasi khususunya kajian komunikasi politik. Melalui berbagai gejala yang mengindikasikan adanya groupthink yang di kelompok pembahas dan pengambil keputusan Komisi I DPR RI periode 2004-2009 akhirnya memunculkan kesan umum bagi RUU KIP, terkhusus mengenai Badan Publik, bahwa masih tersisa beberapa kekecewaan di balik terselesaikannya tugas mensahkan RUU KIP. Seperti yang dikemukakan oleh informan Tojaka bahwa UU KIP dinilai masih belum sempurna karena masih banyak lembaga terlihat belum siap untuk menghadapi konsekuensi dari aspek kebijakan dan aspek keuangan sehingga diperlukan sosialisasi aktif agar lembaga negara siap untuk membuka kedua aspek tersebut kepada publik agar masyarakat semakin merasakan membutuhkan UU KIP. Proses pengambilan keputusan tersebut pada akhirnya juga mendukung model birokrasi politik (Bureaucratic Politics of Foreign Policy Decision Making) dari Allison yang menyatakan bahwa pembuatan kebijakan merupakan proses tawar-menawar antara pemerintah dengan agen pemerintah lainnya (Kegley&Witkopf, 2001:53). Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
235
Model ini mengaitkan identifikasinya dengan adanya groupthink, karena dikatakan bahwa kelompok-kelompok kecil orang di bawah tekanan kuat cenderung mengembangkan mentalitas benteng dan membela kelompok terhadap kritik luar nya, sehingga model ini dipakai untuk menganalisis kasus-kasus pengambilan keputusan politik besar seperti Cuba Missil Crises dan dipakai untuk menjelaskan kebijakan pada sejarah orang-orang besar: Churchill, Stalin, de Gaulle, Hitler, Mussolini, serta orang-orang besar membuat sejarah kebijakan luar negeri yang dibentuk oleh para pemimpin yang menjalankan negara mereka, misalnya : George W. Bush, Saddam Hussein, Gerhard Schroeder, Tony Blair, Vladimir Putin. Ide sentral politik birokrasi adalah keputusan-keputusan pemerintah merupakan hasil dari suatu elaborasi permainan politik. Dimana sebagian besar pekerjaan dalam organisasiorganisasi ini adalah pekerjaan rutin yang merujuk pada hasil keputusan sebelumnya dan terpaku pada Standar Operating Prosedure (SOP). Hal ini ditunjukkan dari keberadaan Pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang yang di usulkan oleh DPR RI. Pemerintah sebagaimana lazimnya telah melakukan berbagai prosedur untuk menetapkan argumen di rapat dengan Komisi I DPR RI seperti melakukan penelitian, melakukan diskusi antar lintas kementerian serta menyusum Daftar Isian Masalah (DIM) bagi pembahasan RUU KIP. Perdebatan yang terjadi antara DPR RI dengan Pemerintah yang diikuti dengan tawar menawar pasal melalui kompromi, mendukung pernyataan Allison dan Zelikow (1999) bahwa perbedaan pandangan dan sikap membuat perdebatan dan kompromi tidak terhindarkan. Masing-masing pihak dengan gaya yang berbeda berusaha memajukan kepentingan mereka. Sebagaimana diketahui kepentingan Komisi I DPR RI adalah untuk memasukkan BUMN BUMD sebagai badan publik dengan mengacu kepada kepentingan koalisi masyarakat sipil dengan alasan pemenuhan hajat rakyat terhadap keterbukaan informasi,
sementara kepentingan pemerintah untuk menolak usulan DPR RI tersebut
didasari kepentingan untuuk menjaga eksistensi perusahaan (BUMN BUMD) agar bisa menjalankan bisnis dengan persaingan sehat, selain itu keinginan pemerintah untuk memasukkan LSM dan Parpol sebagai badan publik tidak lain diduga dari adanya kepentingan untuk membatasi aksi kritis yang tidak terbendung dari organisasai massa tersebut sehingga diprediksi dapat meresahkan atau menekan pemerintah jika tidak dimasukkan sebagai badan publik.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
236
Bentuk hasil akhir yang terjadi sesuai dengan istilah yang disebut resultant atau solusi yang tidak dikehendaki oleh pihak- pihak yang terlibat dalam pembuatan keputusan sejak awal. Dengan kata lain, suatu keputusan akhir adalah produk dari konflik kepentingan, kompromi, kebingungan orang-orang yang memiliki kepentingan dan pengaruh berbedabeda, kelalaian atau kesalahan yang tidak disengaja, maupun kesalahpahaman. Walaupun secara umum kehadiran UU KIP dinilai cukup baik dan membanggakan bagi Indonesia karena tidak seluruh negara berani membuat UU tersebut seperti misalnya yang disampaikan oleh informan SIndoro bahwa di negara Timur Tengah tidak ada UU KIP bahkan UU KIP yang dimiliki Indonesia juga masih lebih baik dari yang dimiliki oleh Jepang sebagai sesama negara Asia sebagaimana dikemukakan oleh informan Hartanto, namun dinilai juga bahwa UU KIP masih memerlukan penyempurnaan dengan pengkajian ulang sebagaimana disampaikan oleh informan Deli, bahwa pengkajian ulang UU KIP masih terbuka terutama terkait dengan elaborasi rahasia negara dan sanksi hukum bagi pelanggar UU KIP sehingga diperlukan koordinasi antara Komisi Informasi dengan Kepolisian maupun dengan pihak lain agar keberadaannya bisa setaraf dengan KPK sehingga banyak memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi implementasi UU KIP.
Hal yang hampir
sama juga dinyatakan oleh Hartanto bahwa UU KIP memerlukan revisi ketika telah berjalan 10-15 tahun berlaku, ditambah lagi kekecewaan terhadap Komisi Informasi yang dinilai belum dikenalnya komisi tersebut oleh publik sehingga kinerjanya perlu ditinjau ulang. Peran Komisi Informasi diharapkan bisa lebih maksimal sehingga mampu berkekuatan seperti KPK dan MK. Pernyataan lengkap informan tersebut sebagaimana terlihat di bawah ini : Beberapa penilaian terhadap kehadiran UU KIP juga dikuatkan oleh pernyataan informan Pujiyanto yang menyebutkan bahwa nilai yang diberikan bagi UU KIP ini adalah baru 65% karena dianggap bahwa proses pembahasan berkepanjangan dari UU KIP ini membuat lelah kelompok Komisi I dan Pemerintah sehingga menurunkan derajat UU KIP ditambah lagi diakui oleh Pujiyanto, bahwa sebagian besar anggota dewan di Komisi I DPR RI setelah periode perumusan draft RUU KIP di 1999-2004 tidak paham betul mengenai UU KIP sehingga dirasakan adanya kehambaran. Beberapa hal yang menyisakan kekecewaan bagi Pujiyanto yaitu seperti pada pada rumusan badan public, rumusan pada informasiinformasi public, klasifikasi informasi, public interest test kurang terurai yang menyebabkan hak untuk menghadiri pertemuan-pertemuan public tidak terelaborasi. Hal ini menyebabakan dalam implementasinya mendapat hambatan pada birokratisasi karena badan publik masih resisten dan akhirnya memunculkan penyakit endemic, badan publik menjadi resisten untuk Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
237
memberikan informasi, sehingga keengganan itu kemudian menyebabkan mereka menjadi selalu menunda dengan alasan tertentu. Badan publik menjadi terbebani karena UU KIP menuntut perubahan kultur sedangkan dari masyarakat sendiri masih berpikiran sempit. UU KIP secara pasti dirasakan oleh badan publik terutama BUMN mengurangi kekuasaan mereka bersama pemerintah. Dengan dalih bahwa mereka telah memiliki Undang-Undang sendiri sehingga tidak berkenan tunduk kepada UU KIP. Oleh karena itu ditambahkan oleh Pujiyanto, bahwa terlihat mereka tidak memahami esensi bahwa badan publik itu bukan hanya badan yang mendapat anggaran dari negara (APBN) namun lebih dari itu ada beberapa hal-hal yang secara prinsip dimana mereka harus tetap memberikan informasi karena informasi publik itu bermanfaat bagi kepentingan publik, jadi dari segi kejelasan sektor pekerjaan di sektor publik maka hal tersebut mencakup hak warga negara secara keseluruhan. Padahal kalau disadari betul bahwa informasi yang dipegang tersebut bukan hanya milik badan publik sebagai institusi tapi juga milik masyarakat. Persoalan kekurang pahaman inilah yang masih menjadi persoalan karena masih banyak badan publik tidak mengerti bahwa informasi publik itu bisa diberikan secara bertahap. Masih dipahami bahwa informasi publik itu jika tidak diminta maka tidak diberi. Ditambah lagi kekeliruan dari sudut pandang pemahaman informasi publik. Informasi publik menjadi sangat keliru atau sangat tidak tepat jika didefinisikan kalau seolah-olah hanya informasi yang diakui oleh badan publik, padahal informasi itu pun sesungguhnya dapat diberikan oleh badan publik, badan swasta bahkan oleh perorangan atau siapapun yang bisa menghasilkan informasi-informasi publik. Dalam UU KIP sebenarnya telah ditegaskan akan hal tersebut bahwa ada klasifikasi informasi publik yang serta merta, yang berkala, sampai ke yang dikecualikan dengan sifat pro aktif (harus tersedia setiap saat dalam badan publik), namun bagi Pujiyanto terdapat satu yang hilang yaitu informasi yang diminta (prosesnya meminta) serta informasi yang betul-betul dikecualikan. Keduanya ini belum masuk dalam kategori informasi yang terdapat dalam UU KIP. Berdasarkan argumen inilah dia menyarankan UU KIP direview dibaca ulang kembali dengan rekomendasi direvisi. Bagi informan Anggodo, dari kalangan Koalisi Masyarakat Sipil dengan masuknya BUMN sebagai bagian dari badan publik di UU KIP dianggap tidak maksimal karena masih terdapat pengecualian terhadap pengaturan pemberian informasi dan hal tersebut menyisakan kekecewaan. Anggodo menyatakan tidak seharusnya ada pengaturan eksplisit informasi yang bisa dibuka oleh BUMN sebagai badan publik karena ada penyertaan dana APBN atau APBN dalam prosesnya sehingga sebaiknya berlaku umumnya saja seperti badan hukum lainnya. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
238
Namun dibalik kekecewaan tersebut masih tersisa harapan bahwa akan semakin banyak warga Negara yang menggunakan Undang-undang ini untuk kebutuhan hidup seharihari mereka apapun profesinya. Membangun penerimaan publik merupakan hal yang lebih penting disaat semua perangkat telah tersedia (UU dan Komisi telah ada) agar undangundang ini jadi termakan tempat. Berkaitan dengan kemungkinan revisi, Anggodo menilai hal tersebut perlu dipikirkan dampak terhadap hasilnya apakah bisa lebih baik atau tidak sehingga disarankan yang lebih baik adalah memaksimalkan UU yang telah ada. Bagi Heryanti sebagai komisioner Komisi Informasi, menyatakan bahwa masukknya BUMN sebagai badan publik sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan dari sejak awal. Jika alasanya adalah akan menimbulkan persaingan usaha tidak sehat maka hal tersebut kurang tepat karena kekhwatiran tersebut sudah terjawab dalam Pasal 17b UU KIP sehingga BUMN dipersilahkan dapat melakukan uji konsekuensi kalau dirasa memang ada persaingan usaha tidak sehat. Dengan adanya hal ini tidak ada alasan bagi BUMN untuk tidak terkena dalam ketegori badan publik. Dalam perjalanan implementasi UU KIP dinyatakan bahwa UU KIP telah berjalan walaupun dirasa belum maksimal, namun perlahan dipastikan dapat mewujudkan pemerintahan yang lebih bersih bebas korupsi ketika informasi dapat menjadi lebih terbuka. Pendapat berbeda dari kalangan Pemerintah melalui informan Icel selaku humas Kemkominfo yang terlibat dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan RUU KIP menilai bahwa grafik kontribusi positif yang diberikan dengan kehadiran UU KIP ini masih dikatakan lambat karena rendahnya tuntutan Undang-Undang terhadap keberadaan PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) di setiap badan publik. Sanksi yang diberikan terlihat tidak ditakuti oleh badan publik yang belum memiliki PPID. Keberadaan sanksi pidana dari awal juga menimbulkan perdebatan karena banyak terjadi perbedaan pandangan. Tuntutan pemenuhan permintaan atas informasi dianggap tidak layak untuk diberikan konsekuensi hukum, sementara jika telah menjadi produk hukum sebuah UndangUndang maka wajib memuat sanksi hukum, oleh karena itulah disepakati bahwa sanksi pidana ringan saja yaitu hukuman 1 (satu) tahun dengan denda antara 5 hingga 10 Juta Rupiah. Lebih jauh Icel menngingatkan bahwa hendaknya UU KIP dikembalikan pada filosofi dasar yaitu harus dapat memberikan kemanfaatan dan peningkatan kepribadian dari masyarakat karena hal tersebut adalah inti dari sebuah keterbukaan. Keterbukaan harus bisa berbanding lurus untuk memberikan kesejahteraan masyarakat, bisa memberikan kepastian hukum dan mendorong partisipasi publik. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
239
BAB VI DISKUSI : GROUPTHINK PADA PENGAMBILAN KEPUTUSAN POLITIK DI KELOMPOK PARLEMEN INDONESIA
Groupthink sebagai sebuah konsep teroritis mengenai suatu kondisi yang seharusnya dihindarkan dalam sebuah proses komunikasi kelompok dalam rangka pembahasan dan pengambilan sebuah keputusan pada hakikatnya tidak bisa sepenuhnya dihindari dalam keseharian aktivitas komunikasi kelompok terlebih dalam komunikasi kelompok politik yang sarat akan tujuan dan kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan/kedudukan politik seorang politisi. Dalam aktivitas komunikasi di sebuah lembaga perlemen seperti di DPR RI politisi pada hakikatnya tidak membawa pemikiran individu walaupun penyampaian ide-ide dilakukan secara individu. Banyak hal yang melatar belakangi sebuah sikap atau argumen politik seorang politisi di DPR RI ketika mereka tergabung dalam sebuah kelompok Komisi di parlemen yang keanggotaannya berasal dari berbagai macam fraksi partai politik namun mereka dituntut untuk dapat saling bekerja sama dalam rangka menuntaskan tugas-tugas yang diembankan kepada mereka terutama berkaitan dengan pembahasan rumusan UndangUndang. Teori groupthink sebagai teori psikologi sosial yang mempelajari interaksi manusia antara individu dengan kelompok atau antar kelompok menjadi menarik untuk dipakai dalam melihat permasalahan komunikasi politik Indonesia dengan konteks yang berbeda dari penelitian yang telah dilakukan pelopornya Irving Lester Janis (1972). Konteks penelitian teori groupthink yang biasa dilakukan pada kelompok eksekutif pemerintahan dalam kasus kebijakan politik luar negeri di negara yang menganut sistem demokrasi murni dwi partai Amerika Serikat, tentunya akan berbeda dan mampu memperkaya teori groupthink, mengingat Janis telah mengatakan bahwa potensi terjadinya groupthink bisa terjadi dalam kondisi kelompok manapun, baik dalam lingkup eksekutif maupun legislatif, dalam organisasi skala besar maupun skala kecil. Jika studi-studi groupthink awal bercirikan kelompok kecil yang homogen, tertutup dan kohesif sejak awal maka dalam penelitian ini kelompok yang diamati merupakan kelompok kecil Panitia Kerja pada lingkup legislatif di sebuah komisi yang memiliki latar
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
240
belakang heterogen namum pada akhirnya mampu menjadi homogen dan kohesif sebagaimana ciri dari kelompok yang rentan terhadap groupthink. Keterikatan dalam kelompok komisi mendorong sebuah tuntutan akan adanya kepaduan (kohesivitas) baru yang mampu membantu penyelesaian tugas yang diembankan kepada mereka. Dalam rangka tuntutan ini maka potensi groupthink untuk muncul dalam lingkup komunikasi politik di parlemen Indonesia yang dalam interaksi antar sesama di kelompok pada awalnya berlatar belakang ideologi politik yang berbeda tetap dapat muncul. Terlebih faktor tersebut disandingkan dengan berbagai kepentingan yang ada. Dengan demikian dapat dipersepsi bahwa bahwa komunikasi di DPR RI tidak berarti dengan sendirinya mengekspresikan prinsip-prinsip pokok dari rakyat Indonesia yang bersifat kolektif manakala berbagai perdebatan dan pencarian konsensus terjadi di dalamnya. Tentunya kemungkinan-kemungkinan lain dapat terjadi seperti misalnya karena kesamaan ide dan minat, maupun usia yang mungkin mampu menjadi lebih dominan dirasakan ketimbang identitas asli sebagai seorang politisi dari partai politik tertentu misalnya. Hal inilah yang membuat anggota kelompok dengan asal ideologi politik yang berbeda tersebut dapat melebur, membentuk kubu baru atau kohesivitas baru dan banyak berpengaruh dalam rangka proses pengambilan keputusan dalam sebuah Komisi di DPR RI. Penelitian ini pada awalnya memperhatikan asumsi teoritis Janis bahwa groupthink dapat terjadi pada kondisi-kondisi di dalam kelompok yang mempromosikan kohesivitas tinggi, pemecahan masalah kelompok pada intinya merupakan proses yang menyatu serta kelompok dan pengambilan keputusan oleh kelompok sering kali bersifat kompleks. Ketika anggota kelompok merasa memiliki kekuatan yang berlebih dan tidak gampang digoyahkan, anggota kelompok menjadi tertutup pemikirannya dan menolak informasi yang bertentangan dengan mereka, serta mengalami tekanan untuk sepakat dengan kelompoknya karena adanya hubungan pemimpin yang kuat dengan anggotanya, maka kehadiran groupthink bukanah suatu hal yang mustahil. Dengan kata lain dalam model teori groupthink Janis digambarkan bahwa terjadinya groupthink dalam suatu kelompok disebabkan oleh adanya (1) kelompok kohesif pengambil keputusan, (2) adanya kesalahan struktural dan (3) karakteristik yang menghasilkan tekanan. Tanpa adanya salah satu diantara ketiga faktor pendahulu tersebut maka groupthink akan sulit muncul. Berangkat dari hal tersebut dan melalui pengamatan terhadap kasus yang dipilih maka beberapa asumsi penelitian terkait dengan adanya kohesi kelompok, bahwa groupthink bisa terjadi dalam kelompok yang terbuka dan mampu mengakomodir berbagai masukan luar Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
241
sekalipun, serta hasil pengambilan keputusan dalam lingkup politik mungkin tidak hanya bersumber dari kepentingan partai politik yang menjadi latar keanggotaannya, melainkan bisa datang dari kepentingan lain yang mampu mendorong sikap untuk memilih/memutuskan sesuatu dalam interaksi di kelompoknya, diajukan untuk melihat dan menemukan rangkaian cerita apakah demikian adanya groupthink terjadi dalam lingkup kelompok politik di parlemen negara transisi demokrasi seperti Indonesia ini ?. Kajian terhadap kelompok politik di DPR RI juga tidak lepas karena pertanyaan Janis “apakah pada dasarnya groupthink hanya merupakan fenomena Amerika?”. Pertanyaan ini tentunya muncul karena Janis melakukan penelitian tentang groupthink
hanya pada
kelompok pembuat kebijakan di Amerika yang berasal dari kalangan pimpinan politik dan militer Amerika.
Janis mempertanyakan apakah ciri khas publik Amerika yang sangat
terkenal dengan semangat mereka untuk menginvestasikan waktu dan uang dalam diskusi kelompok serta karakter unik eksekutif nasional Amerika yang sangat mengandalkan dukungan kelompok bagi pembuatan kebijakan dapat terjadi di negara lainnya? Apakah ada alasan yang dapat percaya bahwa sebenarnya fenomena groupthink tidak hanya terbatas pada satu negara saja? Janis menanyakan hal ini karena keterbatasannya yang hanya akrab dengan sejarah dan pergaulan Amerika dibandingkan dengan negara lain misalnya dari Eropa, Asia maupun Afrika. Sehingga menurutnya jika bisa paham dengan pergaulan dan sejarah negara di luar Amerika tentunya dia telah mengungkapkan gejala groupthink yang terjadi di negara luar Amerika tersebut selagi catatan pengambilan keputusan, pertemuan, memoar, buku harian dan bukti lain dari musyawarah dan interaksi tersedia. Studi yang telah dilakukan Janis menunjukkan bahwa eksekutif di Amerika lebih cenderung mengandalkan penilaian kelompok dan senang untuk memanjakan diri dalam groupthink. Dalam serangkaian besar keputusan kebijkakan yang dihasilkan oleh komitekomite pemerintah di Amerika, kecenderungan groupthink menjadi cukup kuat untuk menghasilkan kualitas pengambilan keputusan yang buruk, katakanlah misalnya rata-rata setiap satu dari tiga keputusan mengandung groupthink, sedangkan bisa jadi di negara-negara Eropa tidak sebesar itu, mungkin sekitar satu dari enam keputusan. Tetapi tentunya akan sangat memprihatinkan bila keputusan kebijakan yang masih dikatakan dalam rata-rata rendah seperti di Eropa itu akhirnya mampu mempengaruhi kehidupan jutaan orang. Sehingga Janis menantang bisakah kita membuktikan asumsi bahwa kebijakan-kebijakan komite-komite di negara selain Amerika Serikat terkadang juga menderita gejala groupthink? Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
242
Pertimbangan yang mendasari bahwa studi tentang groupthink dalam pengambilan keputusan politik di lembaga parlemen Indonesia yang bersifat terbuka dan dinamis belum ditemukan, serta berdasarkan faktor keterbukaan akses terhadap dokumen risalah lengkap rapat permbahasan RUU KIP maka studi ini dimaksudkan akan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan teori groupthink dalam konteks negara Asia. Lebih jauh tentunya akan memberi sumbangan dalam literatur studi komunikasi politik dalam konteks komunikasi kelompok kecil yang terjadi pada kelompok kerja/tugas (task oriented group). Penjabaran elemen kondisi pendahulu, gejala groupthink dalam dinamika komunikasi yang terjadi pada kelompok Panja pembahas dan pengambil keputusan mengenai badan publik RUU KIP di DPR RI, menunjukkan bahwa groupthink dapat terjadi lingkup legislatif dengan beberapa karakteristik yang berbeda. Terdapat beberapa yang memiliki kemiripan sesuai rumusan Janis, terdapat juga beberapa indikator yang memiliki perbedaan perspektif dan karakteristik, serta ditandai dengan munculnya indikator baru sebagai pengembangan studi groupthink berdasarkan hasil penelitian ini. Beberapa ciri khas yang menonjol dalam kondisi pendahulu (anteseden) groupthink yang muncul adalah terdapatnya ciri kohesivitas, isolasi kelompok, homogentitas kelompok serta adanya karakteristik yang menimbulkan tekanan walaupun tidak terlalu besar. Sementara faktor kurangnya kepemimpinan imparsial dan kurangnya prosedur pengambilan keputusan memiliki kerakteristik yang berbeda dalam penelitian ini. Sementara itu gejala groupthink yang tergambar dalam proses pembahasan dan pengambilan keputusan tentang definisi badan publik pada RUU KIP di Komisi I DPR RI ini diperoleh hasil yang mengandung kemiripan dengan konsep Janis walaupun terdapat beberapa saja yang dominan menonjol. Gejala yang meliputi adanya penilaian yang berlebihan terhadap kelompok yang ditandai dengan gejala ilusi ketidakrentanan dan keyakinan akan moralitas kelompok, gejala ketertutupan pikiran serta gejala untuk mencapai keseragaman yang ditandai dengan adanya sensor diri, ilusi kebulatan suara, karakteristik yang menghasilkan tekanan, serta peran mindguards dalam kelompok akan diuraikan dalam sub bab berikut ini berikut pengembangan teori yang dapat ditawarkan dari hasil penelitian ini.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
243
6. 1
Anteseden (kondisi pendahulu) Groputhink versus Temuan Penelitian
Anteseden (kondisi pendahulu) groupthink yang tandai oleh adanya kohesi kelompok yang dipandang sebagai sebuah kesatupaduan rasa yang berasal dari ketertarikan personal akan mendorong anggota kelompok untuk tetap tinggal di dalam kelompok dan mencegahnya meninggalkan kelompok. Ketika kohesivitas yang ada dalam kelompok kian tinggi maka pada saat inilah groupthink dapat muncul sehingga kemungkinan berbagai penilaian alternatif diluar kelompok menjadi kabur dan sulit untuk menembus benteng pertahanan kelompok walaupun berbagai masukan yang diberikan dinilai tidak mengandung sesuatu hal yang buruk. Harga diri kelompok seakan dipertaruhkan demi kepuasan kelompok. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Janis bahwa kohesivitas merupakan cikal bakal groupthink namun tidak secara otomatis menuntun kepada groupthink. Kohesi kelompok yang diteliti Janis pada kasus bersejarah di Amerika menunjukkan bahwa umumnya terikat pada suatu kondisi dimana interaksi individu-individu di dalamnya berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan terbentuk dari berbagai macam persamaan individu yang bahkan telah ada sebelum kelompok terbentuk dan biasanya terjadi dalam lingkaran komunikasi yang sangat tertutup. Oleh karena itu penelitian ini memberikan perspektif yang agak berbeda dengan Janis ketika kohesi kelompok dalam lingkup parlemen dapat terjadi dari berbagai latar belakang partai politik anggota yang berbeda-beda dalam sebuah lembaga yang sangat terbuka seperti di DPR RI dan dalam jangka waktu tugas yang cenderung singkat. Ciri-ciri kohesivitas dalam kelompok terpenuhi dari penelitian ini dengan adanya pengakuan-pengakuan dari dalam dan luar kelompok bahwa anggota Komisi I yang membahas RUU KIP tersebut memiliki perasaan senang dalam kelompok dan akrab dengan sesamanya sehingga tercipta klik-klik baru dengan rekan satu profesi dalam kelompok serta adanya upaya anggota untuk melindungi kelompok dari berbagai tudingan-tudingan yang memojokkan misalnya yang datang dari luar terkait dengan lamanya pembahasan dan sebagainya. Kohesivitas yang terjadi dalam kelompok pembahas RUU KIP ini dikarenakan adanya kesamaan dalam tujuan pemenuhan tugas sehingga tidak serta merta ada atau terbawa sebelumnya. Pada beberapa anggota yang telah terpilih kembali di periode 2004-2009 mungkin telah terjadi kohesivitas dengan sesama anggota yang juga mengalami pengembanan tugas di parlemen secara berulang.
Berdasarkan data informan terdapat Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
244
beberapa anggota Komisi 1 yang memang telah mengalami penunjukkan sebagai anggota DPR RI lebih dari satu kali seperti misalnya Sindoro, Eko dan Tojaka. Faktor isolasi kelompok dalam penelitian ini juga memiliki perbedaan perspektif dengan apa yang disebutkan oleh Janis yang merujuk pada kemampuan kelompok untuk tidak terpengaruh dunia oleh dunia luar manakala kelompok begitu sering bertemu sehingga menjadi kebal terhadap hal yang terjadi di luar pengalaman kelompok mereka, bahkan mungkin saja mereka mendiskusikan isu-isu yang memiliki relevansi di dunia luar tetapi anggota kelompok terlindung oleh pengaruhnya, bahkan orang di luar kelompok yang dapat membantu dalam pengambilan keputusan, yang mungkin ada dalam organisasi tetapi tidak diminta untuk berpartisipasi. Dalam penelitian ini, faktor isolasi kelompok cukup tergambar dengan adanya kekerapan bertemunya anggota kelompok Komisi I baik dalam kehadiran rutin di rapat resmi maupun bertemu dalam kegiatan diluar rapat yang diisi dengan pembicaraan ringan sambil menikmati kopi atau teh sehingga diakui bahwa pertemuan dengan kelompok fraksi partai politik sendiri menjadi kurang intensitasnya dibandingkan dengan pertemuan dengan sesama anggota komisi sehingga menyebabkan tidak terlalu besarnya peran fraksi dalam mempengaruhi pendapat anggota kelompok, disamping adanya pengakuan karena RUU KIP mengandung nilai politis yang lebih kecil daripada RUU Pemilu misalnya sehingga tingkat keikutsertaan fraksi dalam mengunci sikap anggotanya berdasarkan kepentingan fraksi tidak terlihat. Informan pendukung dari Koalisi Masyarakat Sipil mengakui bahwa anggota Komisi pada saat membahas RUU KIP cenderung lebih bebas dan berani mengemukakan pendapatnya walaupun mungkin ada perbedaan dengan sikap fraksinya sendiri. Yang menjadi agak berbeda dengan konsep Janis tentang isolasi kelompok ini adalah kemampuan kelompok untuk tidak terpengaruh dunia luar atau terlindung dari pengaruhnya. Beberapa kondisi menunjukkan bahwa pada kelompok panitia kerja RUU KIP di Komisi I DPR RI terjadi pergeseran menyikapi pengaruh dunia luar. Pada saat awal-awal pembahasan diakui oleh anggota kelompok bahwa mereka sangat kontra dengan argumen tentang definisi badan publik dari pemerintah dan berlindung dengan dukungan dari koalisi masyarakat sipil yang juga kontra terhadap argumen pemerintah, hingga apa yang diucapkan pemerintah dalam rapat selalu mendapat pertentangan dan tidak memperoleh titik temu dalam beberapa kali rapat. Hal ini berarti bahwa kelompok Komisi I cukup kuat untuk tidak terpengaruh dunia luar walaupun dalam praktiknya mereka bertindak sebagai pengundang pihak luar tersebut Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
245
dan mendengarkan terus pendapat dari pihak luar namun selalu ditanggapi dengan kekebalan sikap walaupun pemerintah telah mengajukan sejumlah fakta dan data tertulis yang mendasari argumennya. Pemerintah pun selalu bertahan dan tidak mau merubah argumennya, hingga kemudian kelompok DPR dan Pemerintah terlibat dalam lobby-lobby yang akhirnya mampu menurunkan derajat isolasi kelompok dengan adanya pertemuan-pertemuan dalam lobby-lobby. Artinya, jika Janis berasumsi bahwa isolasi kelompok terjadi cenderung menetap hingga akhir pencapaian keputusan maka dalam kasus di kelompok politik parlemen Indonesia isolasi kelompok mampu bergeser derajatnya dari tinggi sekali menuju sedang kemudian rendah yang kemudian memunculkan apa yang dinamakan sebagai gejala ilusi kebulatan suara (Ilusi of Unanimity) sebagai bagian dari gejala groupthink ke 7 (tujuh) dimana akhirnya beberapa anggota kelompok memilih diam sebagai tanda setuju demi mempertahankan identitas kelompok. Kondisi pendahulu mengenai kurangnya kepemimpinan imparsial yang merupakan kesalahan struktural dalam faktor pendahulu groupthink tidak terlalu dominan tampak dalam aktvitaas interaksi kelompok dalam risalah rapat maupun dari pengakuan informan dalam wawancara. Padahal jika dilihat dari konsep Janis bahwa sejatinya kelompok yang rentan terhadap groupthink dipimpin oleh orang yang memiliki minat pribadi terhadap hasil akhir, sebagaimana sempat dicontohkan dari penelitian groupthink Janis tentang Keputusan Presiden Kennedy mengenai Teluk Babi bahwa setiap Presiden memimpin rapat mengenai invasi terhadap Kuba, alih-alih membuka agenda untuk memungkinkan munculnya pandangan-pandangan oposisi, Presiden hanya mengizinkan perwakilan CIA untuk mendominasi seluruh diskusi. Presiden mengizinkan mereka untuk langsung menyangkal semua keraguan tentatif yang mungkin dikemukakan oleh beberapa orang, alih-alih menanyakan apakah ada orang lain yang memiliki keraguan yang sama atau ingin mempertanyakan implikasi dari isu baru yang mengkhawatirkan. Hal ini tidak tergambar dalam penelitian ini karena pimpinan kelompok kerja yang tergabung dalam Panita Kerja (Panja) RUU KIP terlihat hanya memainkan peran sebagai penengah, moderator dalam jalannya rapat. Pimpinan yang dipilih berdasarkan penunjukan sesuai dengan jumlah perolehan suara terbanyak dalam fraksi diakui mampu mengakomodir pendapat setiap anggota kelompok dan tidak memperlihatkan tendesi untuk memenangkan minat pribadinya atau hanya memenangkan dominasi anggota yang berasal dari fraksi sejenis dengannya untuk mendominasi jalannya diskusi.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
246
Dalam hal ini fungsi kepemimpinan yang dijalankan oleh kelompok tugas di Komisi I DPR RI lebih mencerminkan fungsi keanggotaan dan keterwakilan sebagaimana yang disebutkan oleh Burgoon, Heston dan McCroskey (2008). Fungsi keanggotaan yang dijalankan oleh pimpinan panja RUU KIP di Komisi I DPR RI menyebabkan perilaku pimpinan dijalankannya dengan cara meleburkan atau melibatkan dirinya dalam kelompok serta melakukan aktivitas yang menekankan kepada interaksi informal dengan anggota kelompok lainnya untuk menegaskan bahwa dirinya juga merupakan salah seorang anggota kelompok. Sebagaimana diketahui bahwa pimpinan Komisi adalah merupakan juga anggota parlemen yang setara dengan anggota lainnya sehingga peran dominan pimpinan ketika berlaku dalam kelompok tugas menjadi tidak terlalu tergambar karena kecairan hubungan diantara pimpinan dan anggota kelompok. Pimpinan panja RUU KIP misalnya yang diwakili oleh Sindoro dan Tojaka menyatakan bahwa kerap terlibat diskusi dan kumpul dalam situasi tidak resmi dengan anggota kelompok lainnya. Sedangkan adanya upaya pimpinan untuk melindungi dan mempertahankan para anggotanya dari ‘ancaman-ancaman’ yang berasal dari luar dengan menjadi wakil atau juru bicara kelompok di hadapan kelompok lainnya menunjukkan bahwa pimpinan menjalankan fungsi keterwakilan. Namun fungsi keterwakilan ini tidak juga membuat pimpinan dalam panja RUU KIP menjadi superior dan mampu berperan dan menggiring pendapat para anggotanya. Dari hasil wawancara diakui bahwa anggota kelompok tidak merasakan adanya tekanan dari para pimpinan di Komisi I. Fungsi keterwakilan hanya dilakoni dengan peranan pimpinan selama rapat yang bertindak mengingatkan hasil dan jadwal rapat, memimpin rapat, memandu jalannya rapat serta menyimpulkan hasil rapat. Pimpinan di kelompok parlemen Indoensia tidak terlalu banyak bisa meempengaruhi atau menggiringg opini anggota sesuai dengan minat pribadi atau minat dari fraksi partai politis dari asalnya pemimpin. Hal yang menarik dan agak berbeda terjadi kala pengambilan keputusan kian mendekat setelah proses lobby dan kompromi, beberapa dari unsur pimpinan panja RUU KIP di Komisi I DPR RI mampu menjadi penengah sebagaimana diakui oleh informan pendukung yang berasal kelompok pemerintah yaitu dari Kementrian Komunikasi dan Informatika yang menyatakan bahwa (Alm) Arief Mudatsir Mandan dari fraksi PPP bertindak sebagai penengah sewaktu terjadi lobby alot di Hotel Ibis Petamburan untuk menghasilkan keputusan tentang definisi badan publik. Gambaran kondisi pimpinan tersebut juga menunjukkan bahwa pimpinan di kelompok panja RUU KIP memiliki gaya kepemimpinan laissez-faire atau group centered, Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
247
yakni seorang pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan ini menginginkan seluruh anggota kelompoknya berpartisipasi tanpa memaksakan atau menuntut kewenangan yang dimilikinya. Tindak komunikasi dari pemimpin ini cenderung berlaku sebagai seorang penghubung yang menghubungkan kontribusi atau sumbangan pemikiran dari anggota kelompoknya (Burgoon, Heston dan McCroskey, 2008). Namun yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana mungkin groupthink bisa terjadi jika faktor kurangnya kepemimpinan imparsial menjadi kurang tergambar? Fungsi pimpinan dalam kasus ini memang dapat dikategorikan sebagai upaya untuk meminimalisasi groupthink tetapi dalam kasus penelitian ini apakah upaya tersebut berhasil? Fakta dalam lingkup kelompok parlemen memang menunjukkan demikian adanya, namun bukan berarti groupthink tidak dapat terjadi. Janis pernah memberikan pertanyaan terkait kondisi untuk melihat sebuah groupthink dalam kelompok. Apakah pimpinan sendiri yang mengambil keputusan atau ada anggota kelompok yang signifikan dalam kelompok kohesif tersebut?. Jika dilihat dari pertanyaan ini berarti Janis tidak menafikkan peran anggota lain yang signifikan dalam kelompok yang mampu memberi dukungan kepada pimpinan dalam rangka proses pengambilan keputusan. Kondisi itulah yang terjadi di kelompok Panja Komisi I yang membahas dan mengambil keputusan tentang badan publik pada RUU KIP. Pimpinan yang memiliki kedudukan relatif setara dengan anggota karena sama-sama disebut sebagai ‘anggota dewan’ dan lebih bersifat akomodatif dalam diskusi, pada akhirnya dengan mudah dapat melebur dengan sesamanya dan kerap mengandalkan pendapat anggota kelompok yang dianggap dominan/vokal dalam rangka memberikan solusi bagi pengambilan keputusan. Dengan demikian jika anggota kelompok yang dominan ini mampu untuk menekan anggota lainnya untuk mengikuti apa yang menjadi keinginan/tujuannya maka tentulah groupthink bisa terjadi. Anggota kelompok yang signifikan dan cenderung diperhatikan oleh pimpinan Panja mengakui pernah melakukan upaya untuk membujuk pendapat dari anggota fraksi pendukung pemerintah agar memiliki keseragaman pendapat dengan yang lainnya dalam upaya bertahan dengan argumen awal yang berseberangan dengan argumen pemerintah. Terkait dengan faktor kurangnya prosedur pengambilan keputusan yang masih menjadi bagian dari faktor kesalahan struktural dari anteseden (kondisi pendahulu) groupthink yang disebutkan oleh Janis disebabkan karena kelompok dianggap gagal menyediakan norma-norma untuk mengatasi masalah kelompok. Janis menjelaskan bahwa kelompok memiliki prosedur untuk mengambil keputusan namun gagal memiliki norma yang Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
248
telah disepakati untuk mengevaluasi suatu masalah tersebut, sehingga hal ini dapat menimbulkan groupthink. Penelitian ini menemukan bahwa kelompok Panja RUU KIP di Komisi I DPR RI tidak dianggap gagal untuk menemukan norma-norma untuk mengatasi masalah kelompok yaitu adanya perbedaan argumen mengenai definisi/kategori BUMN sebagai Badan Publik antara kelompok dengan pihak Pemerintah yang menyebabkan perdebatan yang berkepanjangan. Hal ini disebabkan karena masih kuatnya prosedur rinci dalam pengambilan keputusan di parlemen Indonesia yang membuat anggota kelompok cukup disiplin dalam mematuhinya, sehingga perumusan jadwal rapat selalu dibahas dan disepakati bersama. Jika terdapat perubahan jadwal maka hal tersebut juga tercatat. Hal ini diakui oleh seluruh informan utama dalam penelitian ini yang dikuatkan oleh pendapat informan tambahan yang merupakan Sekretaris Komisi I pada waktu pembahasan RUU KIP. Mereka mengakui bahwa jalannya prosedur pembahasan RUU KIP telah sesuai, dapat berjalan dengan baik walaupun terdapat banyak penyesuaian jadwal. Namun apakah dengan adanya kesesuaian prosedur dan upaya untuk menemukan masalah dalam kelompok dapat menghindari terjadinya groupthink? ternyata fakta dari temuan penelitian menunjukkan bahwa pada akhirnya prosedur pengambilan keputusan dijalankan melalui mekanisme di luar rapat resmi Komisi I melalui lobby dan kompromi yang dilakukan di sebuah hotel. Hal ini disebabkan karena faktor tekanan waktu yang mendesak kelompok untuk segera mengambil keputusan mengenai definisi badan publik bagi pengesahan RUU KMIP. Metode pengambilan keputusan yang didominasi oleh lobby dan kompromi inilah yang kemudian juga tergolong ke dalam masukan tambahan terhadap gejala groupthink pada komponen tekanan untuk mencapai keseragaman (Uniformity Pressures). Metode pengambilan keputusan yang diwarnai dengan lobby dan kompromi merupakan ciri khas kelompok politik dalam parlemen Indonesia. Hal ini dianggap merupakan solusi integratif guna menemukan titik temu bagi terwujudnya keberhasilan dalam pembahasan Undang-Undang. Adapun upaya-upaya yang dilakukan untuk menganalisis masalah perdebatan tersebut adalah dengan banyak melakukan diskusi untuk menyatukan persepsi dengan Pemerintah sehingga dalam proses ini biasanya terjadilah tawar menawar pasal (trade off) yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan. Dalam kasus ini proses trade off tersebut terjadi sebagai akibat kuatnya pertahanan kelompok Panja dengan rumusan awal RUU KIP bahwa BUMN BUMD harus tetap masuk dan tertulis dalam definisi sebagai Badan Publik di Pasal 1 ayat 3 RUU KIP dan menolak Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
249
usulan Pemerintah yang menginginkan LSM dan Partai Politik lah yang seharusnya dimasukkan dalam definisi Badan Publik dengan alasan BUMN/BUMD sebenarnya tidak perlu dikategorikan sebagai badan publik karena telah memiliki Undang-Undang tersendiri serta telah ada lembaga seperti BPK, BPKP dan Akuntan Publik yang mengauditnya, sehingga jika dimasukkan dalam RUU KIP dikhawatirkan akan menggangu persaingan usaha dengan badan swasta lain di Indonesia. Pemerintah melalui pihak Kemkominfo mengakui bahwa sebenarnya DPR RI tidak banyak memahami urgensi tentang RUU KIP terkait dengan definisi badan publik. Kelompok Pemerintah menganggap DPR RI lebih banyak di pengaruhi oleh LSM yang disinyalir mendapat banyak masukan dan bantuan dari asing. Lebih jauh Pemerintah beranggapan bahwa apa yang merupakan produk hukum yang dicontoh LSM dari Freedom of Information Act (FOA) dari Amerika dan Inggris tidak bisa sepenuhnya diterapkan di Indonesia karena perbedaan dalam kultur masyarakat Indonesia sendiri. Bahkan dikatakan Pemerintah bahwa FOA tidak menyentuh korporasi. Untuk mencegah korupsi di korporasi ada yang dinamakan Service of the Act yang bisa menghukum Direksi Perusahaan, BUMN, Perusahaan Publik yang membuat laporan tidak benar. Service of Act inilah yang dianggap Pemerintah telah terpenuhi dalam landasan hukum masing-masing yaitu untuk BUMN adalah : Paket UU Keuangan Negara, UU 40/2007 PT, UU 19/2003 BUMN, UU 8/1995 Pasar Modal, Paket UU Sektoral dan Paket UU Pemeriksaan. Sedangkan landasan hukum untuk Badan Usaha Swasta adalah : UU 40/2007 PT, UU8/1995 Pasar Modal dan Paket UU Sektoral. Pemerintah beranggapan bahwa LSM dan Partai Politiklah yang seharusnya berhak masuk dalam definisi Badan Publik karena belum memiliki Undang-Undang yang mengikat, dan sudah waktunya LSM dan Partai Politik lebih accountable agar masyarakat menjadi lebih bertanggung jawab, sehingga good governance dapat terwujud, terlebih LSM dan Parpol juga mendapatkan sumbangan dari masyarakat atau sumber luar negeri dalam menjalankan aktivitasnya. Sementara itu, DPR RI melalui berbagai argumen yang dilontarkan dari kelompok anggota yang tergolong vokal seperti Djoko (FPAN), Eko (FPKB), Hartanto (FGolkar), Andre (FPDIP), Deli (FPAN) berkeberatan dengan usulan Pemerintah tentang LSM dan Parpol tersebut, dan tetap menginginkan bahwa BUMN/BUMD haruslah masuk dalam definisi atau kategori badan publik dalam RUU KIP mengingat BUMN/BUMD mengelola dana ratusan trilliun sementara kontribusi atau profitnya dianggap tidak seimbang karena selalu mengaku merugi atau dibikin rugi dan hal ini juga menyebabkan terhambatnya Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
250
penciptaan good corporate govenance, terlalu banyak masalah dan praktek menyimpang yang ditemukan dalam praktek pengelolaan BUMN/BUMD menuntut untuk diberlakukannya transparansi pada badan usaha tersebut. Pada akhirnya proses trade off terjadi dengan diakomodirnya semua keinginan pemerintah dan DPR RI terkait ketegori badan publik tersebut, sehingga terdapat pasal baru yang dihadirkan untuk menerangkan bahwa BUMN, LSM dan Parpol dimasukkan sebagai badan publik yang wajib memberikan informasi publik dengan syarat-syarat tertentu., yaitu di Pasal 14, 15, dan 16 UU KIP tahun 2008. Kelompok DPR RI dan Pemerintah mengakui bahwa proses ini ditempuh untuk menyelesaikan perdebatan panjang yang telah melelahkan mereka. Namun diakui oleh beberapa anggota kelompok dari panja RUU KIP bahwa kesepakatan adanya pasal baru tersebut dipandang cukup logis sehingga menjadi dapat diterima. Dalam proses ini sebetulnya juga terjadi titik kejenuhan kelompok hingga menimbulkan sikap pasrah dan seolah diam menerima kesepakatan yang oleh Janis disebut sebagai gejala groupthink yaitu ilusi kebulatan suara, terlepas dari kondisi ini dapat dianggap sebagai sesuatu upaya kelompok untuk menyediakan norma-norma bagi masalah yaang dihadapi kelompok. Walaupun melalui prosedur non resmi namun hal ini dianggap sebagai sebuah temuan baru bahwa dengan adanya metode prosedur pengambilan keputusan yang dapat menghasilkan kesepakatan yang dianggap baik pun groupthink bisa muncul. Prosedur pengambilan keputusan yang mengandung lobby dan kompromi sebagai ciri khas komunikasi kelompok politik di parlemen Indonesia tersebut diduga kuat dipengaruhi oleh beberapa hal yang dirumuskan oleh Burns (Efriza, 2014:148) berasal dari pengaruh kolega. Pengaruh kolega ini disebabkan karena adanya nasihat yang diperoleh dari anggota kelompok lain, dikarenakan keterbatasan waktu dan keperluan untuk membuat keputusan mampu memaksa anggota legislatif untuk bergantung pada orang lain. Kebanyakan anggota membangun persahabatan dengan orang-orang yang berpikir seperti mereka. Mereka sering saling bertanya apa yang mereka pikirkan tentang penundaan legislasi. Secara khusus, mereka memerhatikan anggota yang terpandang dari kerja komisi perundang-undangan. Kondisi ini terlihat dalam pengakuan informan bahwa mereka sering berkumpul dan berdiskusi sama lain untuk menyamakan persepsi. Pengambilan keputusan yang terjadi sebagai hasil dari adanya kompromi politik dengan adanya proses tawar menawar (trade-off) antara Pemerintah dan Komisi I DPR RI Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
251
juga merupakan penggambaran dari berlakunya model birokrasi politik dari Graham Allison (Kegley&Witkopf, 2001) yang mengaitkan identifikasinya dengan adanya groupthink dalam kasus-kasus pengambilan keputusan politik yang menyatakan bahwa pembuatan kebijakan merupakan proses tawar menawar agen pemerintah dengan agen pemerintah lainnya sehingga keputusan-keputusan pemerintahan merupakan hasil upaya konsensus melalui proses tawarmenawar, lobby dan kompromi. Perbedaan lain dalam kondisi pendahulu groupthink terlihat dalam perspektif homogenitas kelompok dari rumusan Janis yang ditemukan dalam penelitian ini. Homogenitas kelompok (Homogenity of Group) yang dinyatakan oleh Janis adalah tentang kurangnya perbedaan dalam latar belakang sosial dan ideologi di antara para anggota dari sebuah kelompok yang kohesif sehingga membuat mereka lebih mudah menyetujui saran apa pun yang dikemukakan oleh sang pemimpin. Sedangkan dalam penelitian ini perspektif homogenitas menjadi lain karena latar belakang sosial dan ideologi anggota kelompok dalam Komisi I berbeda-beda dari berbagai macam fraksi partai politik, serta pemimpin yang ada dalam kelompok tersebut juga berasal dari perwakilan fraksi-fraksi partai politik yang memperoleh suara terbesar dalam Pemilu. Namun terdapat sebuah perspektif lain untuk menjelaskan tentang homogenitas dalam penelitian ini, yaitu bahwa suatu kelompok masih dapat dianggap homogen ketika para anggota yang berkumpul memiliki latar belakang dalam bidang yang sama yaitu politik dan mereka tergabung dalam suatu kelompok tugas yang diikat oleh masa (waktu) serta memiliki tujuan yang sama sampai tugas yang diembankan kepada mereka tersebut telah selesai. Menurut White dan Lippit (1960) homogenitas kelompok dapat juga disebabkan oleh kesamaaan dalam usia, jenis kelamin dan pandangan/tujuan sehingga terdapat dua alasan yang menyebabkan homogenitas yaitu : a) banyak kelompok cenderung menarik orang-orang yang memiliki kesamaan sebelum mereka bergabung, b) kelompok cenderung beroperasi dengan cara yang memperkuat kesamaan anggota-anggotanya. Dengan demikian kelompok Komisi I yang memiliki fokus terhadap bidang tertentu dipastikan telah diisi oleh anggota yang memang memiliki ketertarikan atau dianggap tepat untuk duduk di Komisi I serta selain itu dari beberapa pernyataan informan yang diuraikan dalam pembahasan tentang kohesi, terlihat bahwa para anggota sangat menyadari bahwa sebelum RUU KIP dibahas mereka telah bersepakat untuk saling mendukung dan kompak bagi keberhasilan Undang-Undang tersebut.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
252
Ciri lain dalam kondisi pendahulu (anteseden) groupthink yaitu berupa karateristik yang menghasilkan tekanan (provocative context) yang dapat dicetus dari adanya tekanan luar dan dalam kelompok menunjukkan kemiripian dengan konsep Janis. Disebutkan bahwa ketika kelompok pembuat keputuasn sedang berada dalam situasi tekanan yang berat karena dorongan-dorongan dari luar maupun dalam kelompok menyebabkan mereka cenderung tidak dapat menguasai emosi. Ketika tekanan tinggi tersebut, kelompok biasanya mengikuti pemimpin mereka dan menyatakan keyakinan mereka. Hal ini terlihat dalam kelompok politik pembuat keputusan di parlemen Indonesia yaitu ketika terjadi kondisi berupa dorongan-dorrongan dari dalam diri untuk mampu menuntaskan pembahasan RUU KIP tersebut yang akhirnya membawa kepada penurunan tegangan untuk mencapai kesepakatan bersama bagi keberhasilan terselesaikannya RUU KIP. Rasa tanggung jawab kelompok untuk mampu menyelesaikan tugas tersebut diakui menimbulkan beban tersendiri bagi kelompok sehingga secara psikologis menekan kondisi mental anggota kelompok. Sedangkan faktor karakteristik tekanan dari luar adalah terkait dengan masukknya berbagai kepentingan yang berasal dari Pemerintah dan LSM agar dapat tetap terakomodir pendapatnya. Selain itu diakui oleh informan Hartono bahwa tekanan pernah diperoleh pada saat beliau membahas RUU KIP yaitu dari Ketua Umum Partai Golkar yang sempat menegur tentang dimasukkannya BUMN dalam bahasan UU KIP. Sementara itu, informan pendukung lain menyatakan bahwa tekanan terbesar dalam kelompok adalah karena adanya peran dari Koalisi Masyarakat Sipil yang notabene adalah kelompok LSM. Kelompok LSM yang sebutkan oleh Gabriel A. Almond (Almond, 1966) merupakan kelompok penekan memang sewajarnya melakukan tekanan tersebut. LSM dianggap sebagai sekelompok manusia yang berbentuk lembaga kemasyarakatan dengan aktivitas atau kegiatannya memberikan tekanan kepada pihak penguasa agar keinginannya dapat diakomodasi oleh pemegang kekuasaan. Kedudukan dari kelompok penekan ini dapat memaksa atau mendesak pihak yang berada dalam pemerintahan atau pimpinan agar bergerak ke arah yang diinginkan atau justru berlawanan dengan desakannya. Keinginan-keinginan LSM sebagai pengusung RUU KIP adalah agar Komisi I DPR RI dapat mempertahankan pendapat atau argumennya tentang BUMN/BUMD masuk dikategorikan sebagai badan publik. Sebagaimana dijelaskan oleh informan Danti yang merupakan sekretaris Komisi I pada saat itu, bahwa tidak jarang pihak LSM memberikan masukan tidak melalui jalur resmi yang sesuai prosedur, melainkan kerap banyak melalui
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
253
jalur tidak resmi seperti meng-SMS
anggota kelompok
atau membagikan selebaran
himbauan tanpa izin terlebih dahulu dengan Sekretariat Komisi I. Pihak luar lain yang dianggap memberikan tekanan khusus kepada kelompok pembahasan RUU KIP adalah pemerintah, dalam kaitannya akan tuntutan merumusakan definisi dan ketegori dari badan publik tersebut. Dengan demikian, karakteristik yang menimbulkan tekanan ini tidak lain bersumber dari sejumlah kepentingan yang berada di sekitar kelompok. Kepentingan pemerintah yang tidak ingin memasukkan BUMN BUMD sebagai badan publik untuk menghindari terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat dengan badan usaha swasta lainnya serta kepentingan untuk menekan aksi kritis organisasi massa terutama LSM dalam mengawasi berjalannya keterbukaan informasi publik membuat pemerintah justru bersikeras mengusulkan untuk memasukkan LSM dan Partai Politik sebagai Badan Publik. Tentu saja hal ini mengherankan bagi pihak Koalisi Masyarakat Sipil yang pertama kali mengusulkan dirumuskannya RUU Keterbukaan Informasi Publik, mengingat dana yang dipakai oleh LSM pada dasarnya merupakan dana urunan yang tidak terkait dengan APBN/APBD, dan kalaupun mendapat bantuan luar negeri diakui mereka bahwa hal tersebut tidaklah besar. Kalangan LSM menyamakan posisi mereka sebagaimana lingkup kelompok pengajian sehingga hal ini lah yang menyebabkan kekecewaan bagi Koalisi Masyarakat Sipil. Agar tidak menimbulkan kekecewaan yang terlalu besar maka kepentingan LSM dalam rangka mewujudkan paradigma keterbukaan bagi BUMN/BUMD sangat diupayakan dengan merangkul pihak DPR RI dan terus mendorong kelompok Panja agar tetap bertahan dengan rumusan awal dari draft DPR RI. Jika melihat pada fakta yang terjadi dalam penelitian ini, maka tampak jelas bahwa fenomena dalam aktivitas komunikasi politik sangatlah kaya. Banyak sekali aspek kehidupan politik dapat dilukiskan sebagai komunikasi, sebagaimana menurut Alfian (1985) bahwa keseluruhan proses politik umumnya terjadi dalam kerangka konflik dan konsensus atau kompromi. Ketika komunikasi politik bertujuan untuk menyampaikan pesan-pesan politik bagi pengambilan keputusan politik, tentunya diperlukan berbagai hal yang mampu mengarahkan kepada terciptanya kesepakatan diantara pihak-pihak yang berpolitik.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
254
6.2 Gejala Groupthink versus Temuan Penelitian
Berbagai kondisi pendahulu (anteseden) groupthink akhirnya mampu menghantarkan kepada pencarian persetujuan (tendensi) yang terwujud dalam gejala-gejala groupthink. Irving Janis merumuskan 8 (delapan) gejala groupthink yang dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) element besar yaitu (A) Penilaian berlebihan dari Kelompok yang ditandai oleh gejala (1) ilusi ketidakrentanan dan (2) keyakinan moral; (B) ketertutupan pikiran yang ditandai oleh gejala (3) rasionalisai koletif dan (4) stereotypes luar kelompok; serta (C) tekanan untuk mencapai keseragaman yang ditandai oleh gejala (5) sensor diri, (6) ilusi kebulatan suara, (7) tekanan langsung terhadap para penentang, (8) mindguards. Dari kedepalapan gejala groupthink yang dikemukakan oleh Irving Janis tersebut, gejala ketertutupan pikiran yang meliputi adanya rasionalisasi kolektif yang merujuk pada situasi dimana anggota kelompok tidak mengindahkan pendapat luar, serta adanya stereotip kelompok luar yang diartikan sebagai persepsi kelompok mengenai rival atau musuh, atau dalam penelitian ini diartikan persepsi terhadap pihak-pihak yang tidak atau kurang setuju terhadap argumen kelompok, tidak terlalu konstan dalam penelitian ini karena adanya kompromi di akhir yang membuat gejala ketertutupan pikiran agak menurun namun bukan berarti hilang sama sekali. Walaupun dalam situasi legislatif terdapat proses hearing untuk mendengarkan pendapat luar, namun dari awal proses pembahasan hingga menuju pengambilan keputusan kelompok pihak Panja DPR RI tetap bertahan dan tidak mau menerima begitu saja pendapat pemerintah. Pihak Panja Komisi I cenderung memilih untuk merapatkan barisan dengan Koalisi Masyarakat Sipil agar BUMN BUMD bisa tetap dimasukkan ke dalam definisi badan publik di Pasal 1 ayat 3 UU KIP. Hingga akhirnya karena faktor tekanan waktu dan kelelahan, pihak Panja Komisi I memilih jalan kompromi melalui prosedur di luar rapat resmi Komisi I, agar pembahasan dapat terselesaikan. Tentunya pilihan tersebut belum tentu juga memuaskan bagi DPR RI maupun bagi Koalisi Masyarakat Sipil karena terbukti berbagai kekecewaan muncul dan dampak yang timbul dari implementasi UU tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Sebagaimana terlihat dalam penjabaran risalah rapat tentang definisi badan publik yang merupakan DIM ke 15 terjadi 8 (delapan) kali rapat khusus mengenai hal tersebut dan hingga rapat ke 7 (tujuh) tidak tercapai kesepakatan maupun pengesahan keputusan apapun antara kelompok Komisi I dengan mitra kerja Pemerintah dari Kementerian Komunikasi dan Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
255
Infromatika serta Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Dalam setiap rapat diwarnai dengan perdebatan dan pertentangan yang tidak menemukan titik temu hingga akhirnya dalam rapat panja ke 8 (delapan) telah terangkum kesimpulan bahwa definisi badan publik dalam RUU KIP Pasal 1 ayat 3 menjadi : Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi non pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri. Rumusan ini berubah dari rumusan awal draft RUU KIP yang berasal dari DPR RI yang memasukkan kata BUMN di dalamnya sebagaimana berikut : Badan publik adalah penyelenggara negara yang meliputi lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Hukum Milik Negara (BHMN), dan organisasi non-pemerintah yang mendapatkan dana dari anggaran negara atau anggaran daerah dan usaha swasta yang dalam menjalankan kegiatannya berdasarkan perjanjian pemberian pekerjaan dari badan publik lain dalam menjalankan sebagian fungsi pelayanan publik. Rumusan baru yang disahkan tersebut juga berbeda dengan draft usulan rumusan dari pemerintah pada awalnya yang berbunyi : Badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah dan lembaga lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara yang mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, termasuk ke dalam badan publik adalah organisasi non-pemerintah yang meliputi Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Massa, Partai Politik dan/atau institusi sosial dan/atau kemasyarakatan lain yang mendapatkan dana dari sumbangan masyarakat, dan/atau sumber luar negeri. Terdapat perbedaan dari sejak awal antara rumusan inisiatif DPR RI yang memasukkan teks BUMN sebagai badan publik dalam RUU KIP dengan usulan pemerintah yang memasukkan teks LSM dan Partai Politik sebagai badan publik di Pasal 1 ayat 3 tersebut. Perbedaan pemikiran inilah yang kemudian membuat gejala groupthink yaitu rasionalisasi kolektif pada awalnya berjalan. Masing-masing kelompok merasa memiliki argumen
yang
benar
dan
layak
sehingga
sulit
untuk
mengindahkan
ataupun
mempertimbangkan argumen-argumen logis yang ada dari masing-masing pihak. Tetapi Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
256
ketika dirasa bahwa perdebatan menjadi kian tak berujung dan memakan waktu panjang maka gejala rasionalisasi kolektif ini menjadi pudar pada saat terjadi kesepakatan melalui proses lobby dan kompromi yang mengandung tawar menawar pasal (trade off) dalam sebuah rapat di sebuah hotel. Kesepakatan untuk saling memasukkan kepentingan melalui kehadiran pasal baru yaitu 14, 15, 16 pada UU KIP yang berisi tentang kewajiban menyediakan informasi publik bagi BUMN/BUMD, Parpol dan LSM merupakan hasil dari hilangnya gejala rasionalisasi kolektif dalam kelompok yang terindikasi groupthink. Disisi lain dapat dinilai bahwa pencapaian kesepakatan bagi pengambilan keputusan dalam kelompok melalui proses trade off tersebut merupakan sebuah proses evaluasi yang disebutkan oleh MacCrimmon dan Taylor (1983) serta Rowe dan Boulgarides (1992) mencakup pemrosesan informasi dan tindakan memilih sejumlah alternative. Gejala groupthink lain dari adanya ketertutupan pikiran yaitu stereotip kelompok luar yang ditunjukkan dari adanya persepsi kelompok terhadap rival/musuh/lawan terlalu lemah sehingga tidak layak didengar, tidak begitu teramati karena berdasarkan pembacaan risalah maupun berdasarkan hasil wawancara informan, dinyatakan bahwa tidak ada yang dianggap lawan atau musuh dalam permasalahan tentang definisi badan publik pada RUU KIP karena anggota kelompok menyadari bahwa perbedaan dalam ide dan pemahaman merupakan suatu hal yang lumrah dan wajar dalam komunikasi kelompok politik dalam lingkup parlemen. Namun yang menjadi persoalan adalah anggapan bahwa terdapat kepentingan-kepentingan yang melatar belakangi pemerintah untuk tetap bertahan dengan argumen yang berseberangan dengan pihak Komisi I DPR RI. Begitu pula dengan gejala groupthink lainnya, pada umumnya tidak memiliki perbedaan dengan konsep yang diusung oleh Janis. Misalnya mengenai adanya ilusi ketidakrentanan yang ditunjukkan oleh adanya perasaan berbeda dan bangga (istimewa) menjadi bagian dari Komisi I yang diserahi amanah menyelesaikan UU KIP serta ditambah dengan adanya gejala keyakinan moral pada anggota kelompok bahwa mereka mampu menyelesaikan tugas merumuskan RUU KIP dengan baik dengan hasil yang baik pula. Gejala groupthink lain dalam faktor tekanan untuk mencapai keseragaman (Uniformity Pressures) juga tidak memiliki perbedaan dengan apa yang dirumuskan oleh Janis. Gejala tekanan untuk mencapai keseragaman ditandai dengan adanya sensor diri (self censorship) untuk saling meminimalkan keraguan, saling menguatkan dan mendukung satu
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
257
sama lain terhadap agumen pemerintah yang berbeda dengan mayoritas argumen anggota kelompok. Proses interaksi yang terjadi pada kelompok pembahas rumusan RUU KIP di percakapan risalah rapat menunjukkan adanya sensor diri dengan para anggota kelompok melalui adanya upaya untuk saling menguatkan pendapat dalam interaksi yang terjadi dalam rapat. Sensor diri ini terjadi dalam sebuah fase kontrol yang disebut oleh Robert Bales (1950) merupakan suatu kondisi dimana para anggota kelompok saling membuat pernyataan dan mencari serta memberi petunjuk pada sesama anggota yang ditandai dengan munculnya pendapat-pendapat yang positif atau negatif dari anggota kelompok secara substansial sehingga akan tampak solidaritas dan minat mereka dalam kelompok. Fase kontrol dalam interaksi ini bertujuan untuk mengarahkan interaksi untuk mencapai keseimbangan (equilibrium) hingga keputusan akhir disepakati. Ilusi akan adanya kebulatan suara (illusion of unanimity), tekanan langsung terhadap para penentang (dirrect pressure) serta mindguards juga tidak memiliki perbedaan konsep dengan yang dikemukakan oleh Janis, namun gejala tekanan langsung tidak ditemukan dalam penelitian ini. Ilusi kebulatan suara terkait dengan suatu kondisi dimana terdapat beberapa bagian dari kelompok yang terpaksa ‘diam’ karena ada dominasi dari beberapa anggota yang memberikan perhatian penuh dan menguasai substansi pembahasan, selain itu unsur pimpinan komisi juga hanya banyak bertindak sebagai moderator selama rapat berlangsung dan jarang mengemukakan pendapat pribadi secara khusus sehingga terkesan “diam” dan terlihat memilih untuk mengikuti/menyetujui saja usulan anggotanya, walaupun sempat ketika terjadi lobby untuk mencapai kesepakatan tentang definisi badan publik, peran pimpinan diakui mampu menjadi penengah antara pemerintah dan DPR RI sehingga mengakibatkan tercapainya konsensus dari hasil kompromi yang menghasilkan tiga pasal baru dan hal tersebut juga pada akhirnya mampu membuat ‘diam’ para anggotanya karena sudah merasa lelah terlibat dalam perdebatan berkepanjangan. Anggota-anggota kelompok yang dianggap vokal dan berperan sebagai mindguards pun pada akhirnya mampu menurunkan tensinya dan menerima usulan dari adanya kompromi politik tersebut dengan tentunya ada kekecewaan yang masih tersisa. Peran mindguards sebagai salah satu gejala groupthink juga tidak memiliki perbedaan perspektif dengan apa yang dirumuskan oleh Janis. Mindguards yang diperankan oleh Andre (FPDIP), Deli dan Djoko (FPAN), Hartono (FGolkar) serta Eko (FPKB) senantiasa terlihat Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
258
berani membela argumen kelompok dengan tujuan agar rumusan DPR terkait dengan dimasukkannya BUMN BUMD sebagai Badan Publik dapat diterima. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Janis bahwa para mindguards merasa yakin bahwa mereka bertindak demi kepentingan terbaik kelompok mereka. Dengan demikian tampak jelas bahwa perbandingan gejala groupthink yang dirumuskan oleh Janis dengan temuan penelitian tidaklah banyak mengandung perbedaan perspektif, hanya saja menunjukkan bahwa kedelapan gejala gropthink Janis tersebut terlihat memiliki beberapa perbedaan karakteristik dengan rumusan teori groupthink. Kemudian pertanyaannya adalah apakah dengan beberapa perbedaan karakteristik yang ada dari keseluruhan anteseden (kondisi pendahulu) dan gejala groupthink menunjukkan bahwa kasus penelitian ini belum dapat disebut sebagai groupthink? Jika merujuk kepada pernyataan Esser dan Lindoerfer (1989) yang mengemukakan bahwa tidak semua gejala groupthink (anteseden dan gejala pengambilan keputusan yang buruk) perlu ada untuk mengkonfirmasi terjadinya groupthink, maka tentulah kasus yang diambil dalam penelitian ini sudah dapat dinyatakan mengandung groupthink.
6.3 Refleksi Temuan Penelitian Beberapa pertanyaan mendasar disarankan oleh Janis (1982:194) untuk membuktikan adanya groupthink mencakup beberapa hal sebagai berikut : 1. Siapa yang membuat keputusan? apakah hanya pemimpin sendiri atau anggota kelompok berpartisipasi pada tingkat yang signifikan? Jika anggota berpartisipasi, apakah mereka dalam kelompok kohesif? 2. Sejauh mana kebijakan menghasilkan prosedur pengambilan keputusan yang dianggap gagal (defective decisionmaking) dari orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas hal tersebut? 3. Dapatkah gejala groupthink dilihat dalam pembahasan kelompok? 4. Apakah kondisi yang mendorong sindrom groupthink tersebut? jika jawaban atas pertanyaan tersebut mengandung nilai positif, dapatkah penelitian tersebut menyarankan hipotesis baru tentang kondisi yang mempromosikan groupthink? Penelitian ini secara umum berusaha menjawab pertanyaan mendasar tersebut. Pertama, dengan didasarkan pada hasil/temuan penelitian maka yang dianggap sebagai pembuat keputusan tentang BUMN sebagai badan publik yaitu berdasarkan peran pimpinan Panja RUU KIP yang didasarkan pada sikap dan pengaruh anggota kelompok yang dianggap kohesif, cukup vokal dan sekaligus bertindak sebagai mindguards dalam kelompok tersebut. Dalam arti kata guna mendapatkan pengesahan keputusan, peran pimpinan tidak dapat Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
259
dilepaskan walaupun faktor kurangnnya kepemimpinan imparsial (parsial) dalam kelompok Komisi I tidaklah tergambar dengan dominan karena pimpinan dianggap mampu mengakomidir pendapat anggota, mampu bersikap netral dan tidak mementingkan minat pribadi maupun golongannya dari sesama fraksi saja. Peran pimpinan tidak pernah dapat dilepaskan walaupun hanya banyak menjalankan peran penengah ataupun moderator dalam diskusi kelompok. Kedua, prosedur pengambilan keputusan dengan adanya lobby dan kompromi pada akhirnya mampu memberikan penyelesaian tugas kelompok yaitu dengan terakomodirnya usulan pemerintah dan DPR ke dalam pasal baru di UU KIP Pasal 14, 15,16. Hasil dari kompromi politik yang mengandung groupthink tersebut tersebut menyebabkan RUU KIP berhasil disahkan setelah memakan waktu pembahasan yang cukup panjang dalam kurun waktu hampir 2 (dua) tahun di periode 2004-2009 setelah sebelumnya sempat terhenti di periode parlemen 1999-2004. Keputusan tersebut memang dapat dianggap berhasil jika orientasinya adalah penyelesaian tugas semata, terlebih memang terbukti adanya upaya kelompok untuk meminimalisir dampak terhadap buruknya kualitas pengambilan keputusan karena adanya upaya dari Pemerintah dan Kelompok Komisi I yang menurunkan tegangan untuk mendapatkan kesamaan dan kepuasan dalam keputusan akhir. Tetapi yang perlu menjadi catatan dan perenungan kemballi, ternyata jika ditarik dari sudut pandang yang lebih besar keputusan yang dianggap berhasil tersebut pun ternyata belum mampu menjawab tujuan inti dihadirkannya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yaitu agar terpenuhi hak-hak publik sebagai warna negara terhadap akses informasi sebagaimana tertera dalam UUD 1945 Pasal 28f. Harapannya dengan kehadiran UU KIP tersebut mampu mendorong partisipasi aktif publik dan badan publik untuk mewujudkan good governance di Indonesia. Berbagai kekecewaan masih muncul terkait dengan pengambilan keputusan tersebut, terutama dari kalangan Koalisi Masyarakat Sipil sebagai pengusul pertama diadakannya UU KIP. Kekecewaan terhadap pembatasan informasi yang bisa disediakan bagi badan publik terutama BUMN serta penghapusan kategori Badan Usaha Swasta sebagai badan publik menyisakan penilaian yang masih relatif belum baik yaitu 65% sehingga melahirkan harapan agar mampu direvisi kembali. Implementasi di lapangan pun menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 5 (lima) tahun sejak diberlakukannya UU KIP ini pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang wajib dimiliki oleh setiap badan publik Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
260
juga belum menunjukkan angka 100% untuk kalangan badan usaha, kasus-kasus sengketa informasi yang tercatat di Komisi Informasi sampai data tahun 2014 pun masih berada di angka 2549 kasus sengketa informasi publik. Apakah faktor rendahnya sanksi hukum bagi badan publik yang tidak memenuhi hak penyediaan informasi yang dihukumi hanya 1 (satu) tahun penjara dengan denda maksimal Rp 5. 000.000,- dianggap terlalu ringan bagi sebuah badan usaha dengan aset trilliyunan sehingga tidak menimbulkan kecemasan untuk serius menaati UU KIP ini? pihak pemerintah pun mengakui bahwa penetapan sanksi hukum bagi kasus informasi publik juga meninggalkan catatan perdebatan tersendiri yang tidak kalah menarik sehingga akhirnya diputuskan hukuman yang tertera seolah hanya pemanis atau pelengkap undang-undang sebagai sebuah produk hukum negara saja, sehingga bagaimana mungkin hal tersebut bisa tajam mencengkram pemenuhan hak-hak publik? jika keberadaan sanksi yang ringan tersebut akibatnya menghalangi perhatian publik agar dapat lebih tertarik dan paham akan UU ini? Dengan demikian apakah dapat dikatakan bahwa dampak terbesar dari adanya pemberlakuan masuknya BUMN sebagai sebagai badan publik dalam UU KIP sudah menunjukkan suatu keberhasilan? Tentunya menjadi sulit mengiyakan hal tersebut. Ketiga, diakui bahwa gejala groupthink memang tidak sepenuhnya dapat terlihat dalam dokumen catatan pembahasan dan pengambilan keputusan kelompok (risalah rapat) namun upaya lain yang dijalankan dengan menemui perwakilan anggota kelompok untuk diwawancarai serta menemui orang-orang diluar kelompok yang paham dan tahu persis tentang kisah perjalanan UU KIP tersebut merupakan sebuah upaya lain yang dilakukan untuk memperkuat asusmsi penelitian. Keempat, mengenai kondisi yang mendorong adanya simptom atau gejala groupthink tersebut adalah adanya kepentingan yang bertarung dalam proses pembahasan hingga pengambilan keputusan kelompok mengenai BUMN sebagai kategori bdan publik di RUU KIP. Kompromi disebabkan karena berbagai kepentingan bertarung di dalamnya yang berasal dari kepentingan kelompok, kepentingan luar/lain yaitu dari LSM dan BUMN serta kepentingan Pemerintah. Hasil dari kompromi politik yang mengandung groupthink tersebut tersebut menyebabkan RUU KIP berhasil disahkan setelah memakan waktu pembahasan sangat panjang dengan diakomodirnya keinginan Pemerintah dan DPR RI, namun masih menyisakan kekecewaan bagi koalisi msayarakat sipil ditambah lagi dengan implementasi UU KIP di lapangan yang belum dapat dinilai berhasil sebagai produk hukum yang mengikat badan publik. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
261
Terkait dengan pertanyaan terakhir bahwa dapatkah penelitian tersebut menyarankan hipotesis baru tentang kondisi yang mempromosikan groupthink? Jawabannya sangat dapat. Bahwasanya groupthink yang ada dalam sebuah kelompok politik yang terbuka dan dinamis seperti di parlemen negara transisi demokrasi seperti Indonesia agak berbeda dengan kondisi kelompok politik pada kasus di negara Amerika yang banyak diteliti pada awal teori groupthink muncul. Amerika Serikat memberikan porsi yang besar untuk kebebasan individu sehingga memberi ruang bagi individu untuk menggulingkan pemerintahan jika dirasa mengekang kebebasan mereka. Sementara untuk Indonesia, negara punya legitimasi sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Jika bagi Amerika Serikat pemerintah bukan negara, sedang Indonesia pemerintah adalah negara. Dengan demikian maka keputusan untuk menerima usulan pemerintah tentang LSM dan Parpol yang juga harus termasuk dalam kategori badan publik walau dirasa berat namun tetap diterima dan disetujui oleh DPR RI, karena mengingat bahwa pemerintah adalah negara dan kehadiran UU KIP adalah mutlak bagi pencapaian kehidupan bernegara yang memiliki hak akan informasi seperti di sebut dalam pasal 28 f UUD 1945. Berdasarkan hal tersebut, maka temuan penelitian ini mampu memperkaya teori groupthink Irving Janis (1972) yang tidak menyebutkan bahwa sebenarnya groupthink juga bisa terjadi pada kelompok yang awalnya heterogen, lebih terbuka, memiliki kekuatan relatif setara namum dikelilingi kepentingan-kepentingan lain diluar kelompok sebagaimana dalam kelompok legislatif, yang kemudian mampu menekan terhadap proses penyelesaian tugas melalui upaya kompromi. Model pengembangan teori groupthink yang dapat ditawarkan melalui penelitian ini yaitu bahwa kondisi pendahulu groupthink dalam konteks kelompok pada organisasi terbuka dan dinamis seperti di DPR RI akan dominan ditandai oleh kohesi, isolasi kelompok, homogenitas kelompok, tekanan dari luar dan dalam kelompok. Sedangkan gejala yang kemudian muncul dan menjadi ciri khas dalam komunikasi kelompok di DPR RI ketika merumusakan sebuah Undang-Undang, yaitu adanya kompromi yang dapat dimasukkan menjadi bagian dari element faktor tekanan untuk mencapai keseragaman (Uniformity Pressures). Kompromi disebabkan karena berbagai kepentingan bertarung di dalamnya yang berasal dari kepentingan kelompok, kepentingan luar/lain yaitu dari LSM dan BUMN serta kepentingan Pemerintah. Dengan demikian jika diilustrasikan, model yang dapat diusulkan bagi pengembangan teori groupthink di Kelompok Politik Indonesia adalah seperti berikut : Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
262
Gambar 4. Model Pengembangan Teori Groupthink pada Pengambilan Keputusan Politik Indonesia Kondisi Pendahulu
Gejala Groupthink
Para pembuat keputusan membentuk kelompok kohesif
Penilaian berlebihan terhadap kelompok : a. Perasaan istimewa menjadi anggota kelompok b.Keyakinan bahwa kelompok menjalankan misi mulia
Kesalahan struktural : a.Isolasi kelompok b.Kurangnya tradisi kepemimpinan imparsial. c.Kurangnya norma yang membutuhkan prosedur metodologis. d.homogenitas latar belakang sosial dan ideologi anggota
Pencarian Persetujuan (Tendensi Groupthink)
Ketertutupan pikiran : a. Streotip kelompok luar b.Rasionalisasi kolektif Tekanan untuk mencapai keseragaman : a. sensor diri b.Ilusi kebulatan suara c. Tekanan langsung para penentang d.Indvidu yang menjaga kelompok dari informasi yang tidak mendukung
Karakteristik yang menghasilkan tekanan : a. Tekanan dari luar (eksternal) b. Pertahanan diri yang rendah (internal)
Kompromi
Kepentingan Kelompok
Kepentingan Lain/Luar
Kepentingan Pemerintah
Hasil Keputusan dapat dianggap Berhasil/Baik
Dampak Hasil Keputusan Buruk
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
263
BAB VII PENUTUP : KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
Dalam Kelompok politik seperti di lingkup Parlemen DPR RI aneka ragam pendapat dari berbagai fraksi yang berbeda-beda berkembang dan berusaha untuk dipersatukan bagi pencapaian sebuah produk hukum (Undang-Undang) yang menjadi tugas sentral para anggotanya. Latar belakang ideologi yang dibawa dari anggota kelompok berbagai fraksi partai politik yang menganut sistem multi parpol dalam negara transisi demokrasi Indonesia menyebabkan berbagai kepentingan muncul. Kepentingan-kepentingan yang ada menyebabkan pengaruh dan tekanan terhadap kelompok komisi di parlemen berkembang dalam wujud yang beragam. Terkadang hal tersebut tidak diakui dan dirasakan karena adanya kesamaan etika moral ala Indonesia yang berlaku umum sehingga prinsip bersatu kita teguh becerai kita runtuh masih menjadi dominan dihadirkan dalam proses pengambilan keputusan kelompok. Rasionalisasi dalam melihat masalah dan menetapkan kebijakan kemudian menjadi terpinggirkan. Kekhasan inilah yang menyebabkan groupthink menjadi rentan untuk hadir dalam setiap kelompok tugas yang terbentuk di DPR RI walaupun kelompok cenderung bersifat terbuka dan dinamis. Kecenderungan untuk mengarahkan berbagai kepentingan melalui suatu proses kompromi guna untuk mempertahankan eksistensi solidaritas maupun identitas dari kelompok melalui sebuah kohesi dan berbagai tekanan atas beragam kepentingan akan mampu melahirkan gejala groupthink dalam kelompok. Berbagai hasil pengambilan keputusan di DPR RI yang acapkali mengandung kontroversi dan pertentangan dari masyarakat telah banyak menghiasi memori kita selama ini, salah satunya adalah produk Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang walaupun dibanggakan keberadaannya namun masih menyisakan berbagai kekecewaan bagi beberapa kelompok yang mengetahui jalannya proses pembahasan RUU tersebut. Bagi masyarakat awampun UU KIP mungkin belum dikenali dan dimanfaatkan sepenuhnya secara luas untuk berbagai kepentingan masyarakat terkait dengan hak untuk memperoleh keterbukaan informasi publik dari sekian banyak Badan Publik, terlebih dari berbagai Badan Publik yang dikategorikan sebagai Badan Usaha (BUMN, BUMD, BUMS) masih menganggap bahwa keterbukaan informasi bagi publik adalah suatu hal yang tidak perlu karena panduan hukum yang memayungi mereka telah ada sebelumnya. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
264
Dengan demikian jelaslah bahwa pengkategorian BUMN BUMD sebagai Badan Publik pada awalnya menjadi pemicu perdebatan yang sangat panjang karena adanya perbedaan perspektif antara Komisi I DPR RI dengan Pemerintah, ditambah lagi dengan adanya peran dari Koalisi Masyarakat Sipil sebagai pengawal pembahasan RUU KIP yang berusaha untuk tetap mempengaruhi DPR agar bertahan dengan rumusan awal memasukkan BUMN BUMD sebagai Badan Publik dengan alasan bahwa pendefinisian Badan Publik jangan hanya disandarkan pada kekuatan rezim ekonomi yang mensyaratkan adanya keterlibatan uang/dana negara dalam aktivitas bisnisnya sehingga baru bisa membuka informasi kepada publik, melainkan harus dilihat pada pemenuhan hak warga atas informasi yang dipandang berguna bagi mereka. Keterbukaan informasi publik dianggap akan mengancam persaingan usaha serta membuka berbagai rahasia perusahaan yang selama ini masih dapat ‘dipermainkan’ di meja tender sehingga ancaman hukuman bagi Badan Publik yang tidak memberikan informasi yang dibutuhkan oleh publik, dengan jerat kurungan 1 (satu) tahun penjara dan denda maksimal Rp 5. 000.000,- pada UU KIP tahun 2008 seolah kurang ‘menggigit’ dan dipandang sebagai gertak sambal belaka, alhasil kasus sengketa informasi publik dalam kurun waktu 5 (lima) tahun sejak diberlakukannya UU KIP tahun 2010 hingga saat ini di 2015 masih tinggi dengan total jumal 2549 kasus berdasarkan laporan Komisi Informasi Pusat. Ditambah lagi, Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang seharusnya dimiliki oleh setiap Badan Publik juga belum mencapai angka 100% setelah 5 (lima) tahun Undang-Undang ini diberlakukan Rangkaian interaksi yang terjalin selama proses pembahasan hingga pengambilan keputusan mengenai definisi Badan Publik dalam RUU KIP di Komisi I DPR RI menyisakan gambaran bahwa fenomena groupthink dalam proses pengambilan keputusan politik akan selalu ada di aktivitas komunikasi kelompok walaupun tidak dapat selalu ditampilkan secara ideal sebagaimana Irving L. Janis memetakanya. Namun adanya groupthink dalam lembaga yang terbuka seperti lingkup legislatif Indonesia dengan pertarungan kepentingan di dalamnya, yang pada akhirnya juga mempu menghasilkan keputusan yang buruk walaupun terdapat kompromi untuk mencapai konsensus, menjadi menarik dalam penelitian ini. Hal ini sekaligus mampu menjawab bahwa sesungguhnya kesemua upaya tersebut tidak lain adalah untuk menjamin legitimasi kelompok agar dianggap solid sebagaimana tujuan akhir adanya groupthink yang dikemukakan oleh Irving L Janis.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
265
Dengan demikian pada akhirnya penelitian ini menunjukkan bahwa sesungguhnya groupthink adalah bagian dari dinamika kelompok yang merupakan proses alamiah pendewasaan kelompok tersebut dimana kesalahan yang terjadi baru akan dapat dikaji dan diambil pelajaran darinya setelah dampak buruk itu terlihat. Disamping itu, groupthink juga dapat dipandang bukan hanya sebagai suatu ancaman bagi kelompok namun merupakan tantangan bagi pencapaian sebuah keputusan yang berhasil dalam sebuah kelompok.
7.1
Kesimpulan Merujuk kembali kepada tujuan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya maka
beberapa kesimpulan dalam penelitian ini adalah secara umum membenarkan bahwa groupthink terjadi dalam dinamika komunikasi politik legislatif di kelompok Panja RUU KIP Komisi I DPR RI pada proses pembahasan dan pengambilan keputusan tentang Badan Publik. Berbeda dengan groupthink Janis yang menyebutkan bahwa kesolidan kelompok (kohesi) disebabkan karena terdapat faktor keseganan atau ketakutan terhadap pimpinan dalam kelompok, yang terjadi dalam fenomena DPR RI adalah kohesi kelompok yang tidak didasarkan atas faktor ketakutan atau keseganan terhadap sosok pimpinan dalam kelompok, melainkan karena adanya tekanan waktu bagi penyelesaian tugas, faktor kelelahan dan pertarungan kepentingan dengan kelompok eksekutif, yang kemudian memaksa kelompok legislatif menghasilkan keputusan yang tidak dapat dikatakan baik melalui upaya kompromi yang berhasil menghadirkan pasal baru yaitu 14, 15, dan 16 dalam RUU KIP tahun 2008. Kondisi pendahulu dan gejala groupthink teramati dalam fase-fase interaksi sebagaimana rumusan teori analisis proses interaksi dari Rober Bales. Adanya upaya kompromi seperti yang disebutkan oleh Allison dalam teori birokrasi politik sebagai bagian untuk mencapai konsensus antara DPR RI dengan Pemerintah, ternyata juga menghasilkan keputusan yang tidak sepenuhnya baik. Hasil identifikasi kondisi pendahulu (Anteseden) groupthink dalam proses pembahasan dan pengambilan keputusan tentang definisi Badan Publik pada perumusan RUU KIP berupa: a. Kelompok kohesi (Cohesive Decision Makers Group) pembuat keputusan ditandai oleh tergabungnya politisi dari berbagai macam fraksi dalam kelompok Komisi I DPR RI periode 2004-2009 yang diserahi tugas untuk membahas RUU KIP dengan cara ada yang mengajukan diri maupun yang dipilih dari fraksinya kemudian memiliki perasaan akrab/kompak diantara sesama sehingga terdapat beberapa kumpulan rekan terdekat, serta Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
266
adanya upaya atau keinginan untuk melindungi kelompok jika terdapat pendapat yang memojokkan dari luar; serta b. Kesalahan struktural (Structural Faults) yang ditandai dengan adanya indikator yaitu : 1.
Isolasi kelompok ditunjukkan dengan adanya pangakuan tentang kekerapan berkumpul dengan sesama anggota komisi dibandingkan dengan kelompok fraksinya sehingga meminimalkan peran fraksi partai politik yang merupakan latar belakang ideologi anggota kelompok. Kekerapan berkumpul tersebut tidak hanya ditunjukkan dalam suasana resmi pada saat rapat namun juga terjadi diluar rapat dalam suasana yang tidak resmi;
2.
Homogenitas kelompok ditunjukkan oleh adanya latar belakang sebagai sesama politisi, adanya perasaan menyatu dengan sesama dan adanya keinginan bersama untuk mencapai tujuan keberhasilan perumusan RUU KIP; c. Karakteristik yang menghasilkan tekanan (Provocative Context) ditunjukkan dengan adanya beberapa tekanan dari luar (eksternal) seperti dari Pemerintah yang awalnya tidak ingin menerima rumusan DPR dan dari LSM yang berusaha untuk menghimbau kepada Komisi I DPR agar bisa bertahan dengan rumusan yang telah dibuat oleh DPR sebelumnya, sedangkan tekanan dari dalam diri pribadi atau kelompok disebutkan tidak terlalu besar, hanya menyangkut soal lamanya pembahasan, perbedaan pemikiran serta kemampuan dari masing-masing anggota untuk memahami substansi pembahasan.
3.
Kategori kurangnya kepemimpinan imparsial (Lack of Tradition Impartial Leadership) dan kurangnya norma dalam prosedur pengambilan keputusan (Lack of Norms for Methodical Precedures) dalam penelitian ini terdapat perbedaan karakteristik karena adanya anggota kelompok yang signifikan yang akhirnya mampu mendorong pimpinan untuk mengambil keputusan sesuai dengan pemikiran anggota kelompok yang signifikan tersebut.. Serta adanya prosedur pengambilan keputusan diluar rapat resmi Komisi I yang terjadi di sebuah hotel sebagai bagian dari upaya kompromi untuk mencapai kesepakatan ketika kelompok menghadapi limit waktu penyelesaian pembahasan. Terdapat beberapa gejala groupthink yang spesifik yaitu:
a. Adanya penilaian berlebihan terhadap kelompok
(overestimation of group) yang
ditandai oleh : 1. Ilusi akan ketidakrentanan (Illusion of invulnerability) berupa adanya perasaan berbeda dan bangga (istimewa) menjadi bagian dari Komisi I yang diserahi Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
267
amanah menyelesaikan UU yang memiliki nilai manfaat besar bagi publik dan mampu menjamin pemerintahan yang bersih bebas korupsi, kelompok juga yakin mampu menyelesaikan tugas merumuskan RUU KIP dengan baik dengan hasil yang baik pula, 2. adanya keyakinan moral (belief in morality) yang tertanam dalam anggota kelompok bahwa mereka adalah kelompok yang ‘mulia’ karena memang sedang menjalankan misi mulia bagi negara melalui RUU KIP; b. Adanya Ketertutupan pikiran walaupun terdapat proses hearing dengan pihak luar; c. Adanya tekanan untuk mencapai keseragaman (Uniformity Pressures) yang ditandai oleh adanya 1. sensor diri (self censorship) untuk saling meminimalkan keraguan, saling menguatkan dan mendukung satu sama lain terhadap agumen pemerintah yang berbeda dengan mayoritas argumen anggota kelompok, 2. Ilusi akan adanya kebulatan suara (illusion of unanimity) pada kondisi dimana ada beberapa bagian dari kelompok yang terpaksa ‘diam’ karena ada dominasi dari beberapa anggota yang memberikan perhatian penuh dan menguasai substansi pembahasan,. 3. Adanya peran mindguards yang senantiasa terlihat berani membela argumen kelompok dengan tujuan agar rumusan DPR terkait dengan dimasukkannya BUMN BUMD sebagai Badan Publik dapat diterima. Walaupun ditemukannya upaya-upaya yang teridentifikasi sebagai bentuk pencegahan groupthink upaya untuk meminimalisir groupthink seperti yang disarankan Irving Janis yaitu : 1. Adanya peran pimpinan yang lebih akomodatif, 2. Adanya proses dengar pendapat (hearing), 3. Adanya peran devil’s advocate. Namun ternyata upaya ini juga tidak dapat menghilangkan groupthink dalam kelompok Panja Komisi I tersebut karena pada akhirnya ketiga upaya ini tidak berjalan dengan adanya peran anggota kelompok yang signifikan dan cenderung memliki kedudukan setara dengan pimpinan untuk ikut mengambil keputusan, masih adanya ketertutupan pikiran dari anggota kelompok Panja Komisi I DPR RI terhadap argumen/kepentingan luar (pemerintah) walaupun terjadi proses hearing, serta devil’s advocat yang pada akhirnya juga menjadi diam dan ikut mendukung pendapat dominan. Dapat disimpulkan juga bahwasanya groupthink yang ada dalam sebuah kelompok politik yang terbuka dan dinamis seperti di parlemen negara transisi demokrasi Indonesia memperkaya
perspektif
groupthink
teori
Irving
Janis.
Dengan
demikian
model
pengembangan teori groupthink yang dapat ditawarkan melalui penelitian ini yaitu bahwa kondisi pendahulu groupthink dalam konteks kelompok pada organisasi terbuka dan dinamis seperti di DPR RI akan dominan ditandai oleh kohesi, isolasi kelompok, homogenitas kelompok, tekanan dari luar dan dalam kelompok. Sedangkan gejala yang kemudian Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
268
muncul dan menjadi ciri khas dalam komunikasi kelompok di DPR RI ketika merumusakan sebuah Undang-Undang, yaitu adanya kompromi yang dapat dimasukkan menjadi bagian dari element faktor tekanan untuk mencapai keseragaman (Uniformity Pressures). Kompromi disebabkan karena berbagai kepentingan bertarung di dalamnya yang berasal dari kepentingan kelompok, kepentingan luar/lain yaitu dari LSM dan BUMN serta kepentingan Pemerintah. Hasil dari kompromi politik yang mengandung groupthink tersebut menyebabkan RUU KIP berhasil disahkan setelah memakan waktu pembahasan sangat panjang dengan diakomodirnya keinginan Pemerintah dan DPR RI, namun masih menyisakan kekecewaan bagi Koalisi Masyarakat Sipil ditambah lagi dengan implementasi UU KIP di lapangan yang belum dapat dinilai berhasil sebagai produk hukum yang mengikat badan publik.
7.2 Implikasi Secara akademis, penelitian ini melihat indikasi adanya groupthink dalam proses pembahasan dan pengambilan keputusan pada lingkup kelompok politik yang dinamis dan terbuka seperti di parlemen Indonesia, dimana anggotanya terdiri dari latar belakang ideologi politik yang berbeda (heterogen) namun menjadi homogen dan kohesif karena adanya pertarungan berbagai kepentingan, tekanan waktu, dan faktor kelelahan. Penelitian ini sekaligus memperkaya perspektif teori groupthink dikarenakan adanya perbedaan konteks penelitian pada lembaga legislatif di Indonesia. Sebagaimana telah ditelusuri, penelitian mengenai studi komunikasi kelompok politik berdasarkan perspektif teori groupthink dalam lingkup interaksi politik di DPR RI belum ada. Penelitian ini juga menangkap adanya interaksi kelompok yang rentan terhadap konflik kepentingan dimana lobby dan kompromi selalu mewarnai dalam setiap proses pembahasan dan pengambilan keputusan yang dilakukan di dalamnya, dengan demikian penelitian ini mampu melengkapi penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Alm. Felix Jebarus (UI, 2011) melalui disertasinya yang berjudul
Pertarungan Kepentingan
tentang Kebebasan Informasi dalam Penyusunan dan Pembahasan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sehingga diharapkan penelitian ini akan memperkaya studi komunikasi tentang dinamika kelompok politik. Secara Praktis, penelitian ini membuka perspektif baru bagi para politisi ataupun calon politisi bahwa hasil pengambilan keputusan dalam lingkup perlemen tidak hanya
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
269
bersumber dari kekuatan/pengaruh kohesivitas partai politik yang menjadi latar belakangnya, melainkan bisa datang dari kohesivitas lain yang berasal dari keanggotannya dalam kelompok tugas yang diembannya. Selain itu penelitian ini juga menjelaskan kepada para praktisi swasta BUMN/BUMD, baik yang berada di bawah label Perum, PT maupun Tbk agar lebih paham status, fungsi dan perannya saat ini dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik sehingga mampu ikut mendukung suburnya iklim persaingan usaha sehat demi mewujudkan pemerintahan yang bersih bebas KKN di Indonesia. Secara Sosial, penelitian membuka wacana bagi masyarakat luas sekaligus menegaskan bahwa potensi terjadinya groupthink akan selalu hadir dalam berbagai aktivitas pengambilan keputusan kelompok baik dalam skala kelompok besar maupun kecil, di dalam lembaga/organisaasi politik maupun lembaga/organisasi non politik, dalam berbagai bidang kehidupan manusia, bahkan pada kelompok yang terbuka atau mampu mengakomodir berbagai masukan luar sekalipun. Dengan demikian kunci sukses suatu pengambilan keputusan adalah seberapa besar kemampuan kelompok untuk mengelola kekompakan (kohesi) diantara anggota serta mengakomodir berbagai pendapat melalui mekanisme perolehan suara terbanyak yang dilakukan secara transparan.
Selain itu, penelitian ini
memberikan gambaran menarik kepada publik tentang aktivitas ‘wakil rakyat’ di DPR RI yang memiliki otoritas dalam proses penyusunan sebuah naskah Undang-Undang dengan berbagai tarik menarik kepentingan, kompromi, lobby-lobby dan perdebatan yang ada di dalamnya, sehingga akhirnya mampu bersikap bijak dalam memberikan penilaian terhadap anggota DPR RI.
7.3 Rekomendasi Rekomendasi yang dapat diberikan bagi pengembangan ilmu adalah sebaiknya terdapat penelitian yang mengkaji mengenai groupthink dalam kelompok pimpinan di DPR RI untuk memperkaya studi lebih lanjut, karena dalam penelitian ini faktor pengaruh pimpinan tidak terlalu dominan terjadi. Interaksi antara kelompok pimpinan Komisi, Fraksi, Pansus atau Panja menarik untuk diamati dengan menggunakan perspektif teori komunikasi lainnya misalnya game theory atau dramaturgi. Hal lain yang dipandang menarik untuk dijadikan studi adalah tentang perbandingan derajat kohesivitas kelompok politik di lingkup komisi DPR RI yang terjadi dalam satu periode kepanitian tugas di komisi.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
270
Penelitian lanjutan pada tataran paradigma konstruktivis yang mengangkat tentang pembentukan konstruksi sosial berdasarkan proses interaksi dari masing-masings anggota yang terlibat dalam suatu kelompok dipandang menarik juga untuk dilakukan. Begitupula dengan studi tentang analisis wacana kritis (teks) yang berfokus dengan membandingkan undang-undang bernuaansa komunikasi (misalanya UU KIP dan Penyiaran) guna mengungkap apa yang terjadi di balik setiap keputusan yang dihasilkan oleh kelompok di DPR RI juga dipandang perlu untuk dilakukan.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
271
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Adler, Ronald B., George Rodma. (1985). Understanding Human Communication. Second Edition. New York : Holt, Rinehart & Winston. Allison, Graham. (1999). Essence of Decision :Explaining the Cuban Missile Crisis, 2nd Edition. New York : Longman (google ebook) Ardana, Komang, dkk. (2009). Perilaku Keorganisasian. Yogyakarta: Graha Ilmu. Arifin, Anwar. (2011). Komunikasi Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Arrianie, Lely. (2010). Komunikasi Politik : Politisi dan Pencitraan di Panggung Politik. Bandung: Widya Padjajaran. Bambang S dan Sugianto. (2007). .Pendidikan Kewarganegaraan. Surakarta:Penerbit Grahadi. Belmon Johnson, David W & Frank P. Johnson. (2012). Dinamika Kelompok: Teori dan Keterampilan. 9th ed. Jakarta: PT Indekst, USA : Thomson Wadsworth. Biro Humas dan Pemberitaan, (2014). Selayang Pandang Mekanisme Kerja dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta : Sekretaris Jenderal DPR RI. Biro Arsip dan Dokumentasi DPR RI. (2008). Proses Pembahasan Rancangan UndangUndang Tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik : Buku 1-7. Jakarta : Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Burgoon, Michael, Michael Ruffner. (1978). Human Communication A Revision of Approaching Speech/Communication. New York : Holt, Rinehart & Winston. Budiardjo, Miriam. (2008). Dasar-Dasar Ilmu politik-Edisi Revisi. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama. Chaerudin Dkk. (2008). Strategi Pencegahan dan penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. Bandung. Claude E. Shannon dan Warren Weaver. (1949). The Mathematical Theory of Communication. Urbana: Univ. of Illinois Press. Dahlan, Alwi. (1997). Pemerataan Informasi dan Pembangunan : Pengukuhan Doktor. Jakarta : Fisip UI. Denzin, N.K. dan Lincoln, Y.S. (2000). Handbook of Qualitative Research. Second Edition. London: SAGE Publications. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
272
Eddi Wibowo dkk. (2004). Ilmu Politik Kontemporer. Yogyakarta : YPAPI. Efriza. (20140. Studi Parlemen : Sejarah, Konsep, dan Lanskap Politik Indonesia. Malang : Setara Press. Forsyth, D.R.. 1999. Group Dynamics. California: Brook/Cole Publishing Company. Ichlasul Amal. (1996). Teori-Teori Mutakhir Partai Politik.Yogyakarta:PT. Tiara Wacana Yogyakarta. George, Alexander L. (1991). Avoiding War: Problems of Crisis Management. USA : Westview Press. Gibson, J.L..dkk.. 2003. Organizations: Behavior Structure Processes. New York: McGrawHill. Griffin, EM. (2006). A First Look At Communcation Theory. Sixth edition. Mc. Graw Hill: USA. Gouran, Dennis S&Marshall Scott People. (1999). The Handbook of Group Communication Theory and Research. London : Sage Publication. Hog, Michael A. And Dominic Abrams. (1998). Social Identification: A Social Psychology of Intergroup Relation and Group Processs. London : Routledge. Janis. I. L. (1982). Groupthink: Psychological Studies of Policy Decisions and Fiascoes (2nd ed). Boston: Houghton Mifflin. John, Stephen W. Little, Karen A. Foss. (2009). “Theorist of Human Communication.” Johnson, David W & Frank P. Johnson. (2012).
Dinamika Kelompok: Teori dan
Keterampilan. 9th ed. Jakarta: PT Indeks. Moleong, Lexy J. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mochtar Lubis dan James C. Scott. (1995). Bunga Rampai Korupsi. Cet. ke-3. Jakarta: LP3ES. Nimmo, Dan. (1978). Political Communication and Public Opinion in America, Goodyear Publishing Company, Santa Monica. ___________ (2000), Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media, Rosdakarya, Bandung. Newman, W. Lawrence. (2000). Social Research Methods – Qualitative and Quantitative Approaches – Fourth Edition, USA : A Viacom Company. Parwito, (2009), Komunikasi Politik – Media Massa dan Kampanye Pemilihan, Yogyakarta : Jalasutra. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
273
Patton, Michael Quinn. (2002). Qualitative Research & Evaluation Method. Thousand Oaks, CA : Sage Publications. Pepper, Gerald L. (1995). Communicating in Organizations: A cultural Approach, McGraw Hill. Robbins, S. (2002). Prinsip-Prinsip Perilaku Organisasi. Terjemahan. Jakarta: Erlangga Robbin, Stephen P. (2003). Organizational Behavior, Thent Edition. New Jersey : Pearson Education,
Inc.
alih
bahasa:
Molan,
Benyamin. (2006). Perilaku
Organisasi. Jakarta: Gramedia. Rusfian, Effy. (2009). Perilaku Komunikasi Konflik. Bandung : Arum Mandiri Press. Santosa, Slamet. (2009). Dinamika Kelompok. Jakarta:Buni Aksara. Sutarto. (2002). Dasar-dasar Organisasi. Yogyakarta : Gajah Mada University Sendjaja, S. Djuarsa, dkk. (2004). Teori Komunikasi. Modul SKOM 4204. Universitas Terbuka. Sunyoto Usman. (2003). Tantangan Pemberantasan Korupsi (Tinjauan Sosiologi): Jurusan Sosiologi UGM . Jogyakarta. Surbakti, Ramlan. (2009). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Subagiyo, Henri. Dkk. (2009). Anotasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Jakarta : Komisi Informasi Pusat dan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL). Syahrial Syarbani. (2002). Sosiologi dan Politik.Jakarta:Ghalia Indonesia. Syafiie, Inu Kencana. (2014). Proses Legislatif. Bandung : Refika Aditama. Toma Peter A. and Robert F. Gorman. (1991). International Relations : Understanding Global Issues. Pasific Grove, California : Brooks Cole Publishing Company. Wahyono, S. Bayu, dkk. (2011). Ironi Eksistensi Regulator Media di Era Demokrasi. Yogyakarta : PR2Media dan Yayasan TIFA. West, L. Richard. Turner, H. Lynn. (2007). Introducing Communication Theory – Analysis and Application. Third Edition. Mc Graw Hill. W.J.S. Poerwodiminto. (1976). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Yin, Robert K. (1984). Case Study Research : Design and Methods. California: Sage Publications. Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication. 7th edition. California: Wadsworth Thompson Learning.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
274
JURNAL/HASIL PENELITIAN/ARTIKEL DIPUBLIKASIKAN Abdul Firman Ashaf. (2008). Mengkritisi hipotesis groupthink dalam konteks formulasi kebijakan di Indonesia. Jurnal Administratio Universitas Lampung. Aldag, Ramon J and Sally Riggs Fuller.(1993). “Beyond Fiasco: A Reappraisal of the Groupthink Phenomenon and a New Model of Group Decision Processes. the American Psychological Association Vol. 113, No. 3, 533-552. Alasdair S. Roberts. (2005). Spin Control and Freedom of Information: Lessons for the United Kingdom from Canada. Public Administration, Volume 83, Issue 1, pages 1– 23. Alasdair Roberts. (2010). A Great and Revolutionary Law? The First Four Years of India’s Right to Information Act. Public Administration Review,Volume 70, Issue 6, pages Foreign Policy Decision Making Models Ben Worthy. (2010). More Open but Not More Trusted? The Effect of the Freedom of Information Act 2000 on the United Kingdom Central Government. Governance Volume 23, Issue 4, pages 561–582. Bernthal, Paul R.; Insko, Chester. (1993).
A Cohesiveness without groupthink: The
interactive effects of social and task cohesion. Group & Organization Management, Vol 18(1), 66-87. Celmer, David Stephen. (2007). Fear, Organizational Learning, and Groupthink in The Small Work Group. Fordham University. Proquest. UMI Disertations Publishing. Carrington, Rodney dell, Sr. (1997). Attractive Leadership, Cohesion and Premature Consensus : Additional Light for Groupthink Research. Lamar University-Beaumont. ProQuest. UMI Dissertation Publishing. Chapman, Judith. (2006). Anxiety and defective decision making: an elaboration of the groupthink model. Management Decision, Vol. 44 Iss: 10, pp.1391 – 1404. Escaleras, Monica, Shu Lin, Charles Register. (2010). Freedom of information acts and public sector corruption. Public Choice, Volume 145, Issue 3-4, pp 435-460. Foster, Thomas Christian. (1996). The Effect of Arousal on Decision Quality and the Presence of Groupthink Symptoms. Lamar University-Baeumont. ProQuest. UMI Dissertation Publishing.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
275
Gambrall, Bernard Douglas. (2007). Comparison of the Levels of Cohesiveness, Defective Decision-Making and Responses Symptomatic of Groupthink Between Cohorts of Undergraduate and Graduate Adults Students. Proquest. UMI Disertations Publishing. Gauthier, Candace Cummins. (1999). Right to Know, Press Freedom, Public Discourse. The Political Quarterly, Volume 14, Issue 4, pages 197-212. Hazell, R. and Worthy, Benjamin and Glover, M. (2010). The impact of the Freedom of Information Act on central government in the UK: does freedom of information work? Understanding Governance. London, UK: Palgrave Macmillan. Hodson, Gordon. (1995). Group Decision Making: The Role of Uncertainty Orientation in the Phenomenon of Groupthink. The University of Western Ontario. ProQuest. UMI Dissertation Publishing. Kegley & Wittkopf, (2001). Foreign Policy Decision Making, World Politics, 8th Ed. Chapter 3, pp. 53 - 83 Leana, Carrie R. (1985) . “A Partial Test of Janis Groupthink Model: Effects of Group Cohesiveness and Leader Behavior on Defective Decision Making. Journal of Management Spring vol. 11 no. 15-18. Lehrer, Jonah. (2012). Groupthink. The New Yorker (New York); Vol. 87; Iss. 46; pg. 22 Lotte E. Feinberg. (1986). Managing the Freedom of Information Act and Federal Information Policy. Public Administration Review Vol. 46, No. 6 pp. 615-621. Macarthur, John R. 2010. Groupthink and doubletalk. The Spectator (London) Martin E. Halstuk & Bill F. Chamberlin. (2006). The Freedom of Information Act 1966– 2006: A Retrospective on the Rise of Privacy Protection Over the Public Interest in Knowing What the Government's Up To Communication Law and Policy. Volume 11, Issue 4 Martha L Cottam, Beth Dietz-Uhler, Elena Mastors, Thomas Preston. (2009). Introduction to Political Psychology. Psychology Press. Moorhead, Gregory, Richard Ference, Chris P. Neck. (1991). “Group Decision Fiascoes Continue: Space Shuttle Challenger and a Revised Groupthink Framework. Human Relations, June vol. 44 no. 6 539-550. Padgett, Jill Lynette. (1996). Do The Constructs Associated with Groupthink Occur in Graduate Cohort Models?. Spalding University. ProQuest. UMI Dissertation Publishing. Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
276
Paul Kowert. (2002). Groupthink or Deadlock: When Do Leaders Learn From Their Advisors?. Suny Press. Paul L. Hathaway. (2008). Groupthink Phenomenon and Self-Esteem in Bureaucracies: A Comparison Between Private and Public Sector Organization. Idaho State University. Proquest. UMI Disertations Publishing. Paul't Hart. (1997). Beyond groupthink: political group dynamics and foreign policy-making. University of Michigan Press. Park, Woo Woo. (2000). A comprehensive empirical investigation of the relationships among variables of the groupthink model. Journal of Organizational Behavior. Volume 21, Issue 8, pages 873–887. Maureen McNichols Brett Trueman. (1994). Public disclosure, private information collection, and short-term trading. Volume 17, Pages 69–94. Metlicka, Donna. (2004). The Perception of Groupthink in Teacher Proffesional Development Delivered Through Master Degree Programs Using The Cohort Delivery Model in Higher Education. ProQuest. UMI Dissertation Publishing. Relyea, Harold C. (1980). Freedom of information, privacy, and official secrecy: The evolution of federal government information policy concepts. Social Indicators Research, Volume 7, Issue 1-4, pp 137-156. Richardson, Noni. (1994). The Effects of Conformity Predisposition and Leader Behavior on the Production of Groupthink and the Quality of a Group’s Decision. Lamar University-Beaumont. ProQuest. UMI Dissertation Publishing. Rifai, Akhmad. (2008). Kemerdekaan Informasi dalam UU Keterbukaan Informasi Publik. Jurnal Dakwah Vol. IX No. Juli-Desember : hal. 101. Robert McKeever. (2008). Facebooked: Groupthink in the era of computer mediated social networking. Gonzaga University. Proquest. UMI Disertation Publishing. Schafer & Scott Crichlow. Antecedents of Groupthink: A Quantitative Study. Department of Political Science, Louisiana State University. Shandell, Jonathan. (2005). "Authors Authors!: Why Dramatic Groupthink is the New Vogue. American Theatre (New York); Feb 01, Vol. 22; Iss. 2; pg. 102 Shmidt, Jerry L, Jr. (2002). The Pield Piper Syndrome : The Relationship between Intragrup Dichotomization and Bipolar Groupthink. Cappella University. ProQuest. UMI Dissertation Publishing.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
277
Smith, Cynthia A. (2004). Groupthink: The Effects of Leadership, Group Insulation, and Information Availability. ProQuest. UMI Dissertations Publishing. Snell, Michael J. (2011). Factors That Increase The Incidence of Groupthink in Hospitals: The Perception of Nurses and Managers. ProQuest, UMI Dissertation Publishing. Steven Huddart, John S. Hughes and Carolyn B. Levine. (2001). Public Disclosure and Dissimulation of Insider Trades. Econometrica Volume 69, Issue 3, pages 665–681. Shepherd, Elizabeth, Alice Stevenson, Andrew Flinn.
(2010). Information governance,
records management, and freedom of information: A study of local government authorities in England. Government Information Quarterly, Volume 27, Issue 4, October 2010, Pages 337–345. Tubbe, Rhonda Lou. (2010). A Phenomenological Study to Determine the Extent an Consequences of Groupthink among the Management Team of an Acute Care Organization. Proquest. UMI Disertation Publishing.
SKRIPSI, TESIS, DISERTASI : B.Kiswanto. (2013). Hubungan Antara Implementasi Groupthink Dengan Kohesivitasan Antara Kelompok Kerja Pada Pegawai Negeri Sipil di Kecamatan Jagakarsa. Tesis. UNPAD-Bandung. BN Atmodjo. (2010). Groupthink dalam komunikasi kelompok KDS Surya Community, Surabaya. Thesis. Petra Christian University Surabaya. Gazali, Effendi (2004). Communication of Politics and Politics of Communication in Indonesia : A Study on Media Performance, Responsibility an Accountability. Doctoral Thesis Radboud University Nijmegen. Grace Adriany, Feby. (2010). Memahami Groupthink pada organisasi ekstra kampus dengan ideologi tertentu yang berafiliasi dengan organisasi intrakampus Universitas Diponegoro. Tesis Universitas Diponegoro Semarang. Jebarus, Felix. (2011). Pertarungan Kepentingan tentang Kebebasan Informasi (Studi Dinamika Komunikasi dalam Proses Penyusunan dan Pembahasan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Disertasi. Universitas Indonesia. Maddy Rochanda Pertiwi. (2009). Pembentukan Goupthink mengenai partai politik Berideologi Islam dalam komunikasi kelompok di internet. Skripsi-Universitas Indonesia
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
278
Rebekka Rismayanti. (2013). Analisis dinamika komunikasi tim kerja Public Relations berdasarkan Groupthink theory. Skripsi, Unika Atmajaya Jogyakarta.
UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik Selayang Pandang Mekanisme Kerja Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
RISALAH RAPAT DPR RI Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2009). Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Buku 1-7. Jakarta.
SUMBER ONLINE www.metrotvnews.com 1 September 2010. jambi.tribunnews.com 30 Mar 2011. www.kompas.com Sabtu, 2 April 2011 | 11:45 WIB http://syafiie.blogspot.com/2011/04/sisi-lemah-uu-keterbukaan-informasi.html, SENIN, 11 APRIL 2011 HTTP://PAULUSWIDIYANTO.BLOGSPOT.COM/2012/01/UU-KIP-MASIHBERKERANGKA-PIKIR-SEMPIT.HTML?ZX=CC5701005AD4E2F0 AKSES: 1 MARET 2015 PUKUL 05.00 WIB http://www.komisiinformasi.go.id/news/view/paulus-widiyanto-uu-harus-dilihat-secarakomprehensif Date Publish : 2014-09-16 07:51:32 http://kebebasan-informasi.blogspot.com/search?q=kronologi+RUU+KMIP, Maret 2015 pukul 05.00 wib
akses
tgl
1
http://imron46.wordpress.com/2008/09/25/dinamika-kelompok/ diakses pada 11 Oktober 2012. Rusmana, Nanang. t.t. Konsep Dasar Dinamika Kelompok. (Online), (http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI_PEND_DAN_BIMBINGAN/19600501 1986031-NANDANG_RUSMANA/Konsep_Dasar_Dinamika_Kelompok. pdf, diakses 5 September 2012). Agus Sudibyo, “Transparansi Sepenuh Hati?” dalam Kompas, 7 April 2008. https://untuktabalong.wordpress.com/2010/05/07/menyambut-uu-keterbukaan-informasipublik/Firmanyusi, diakses tanggal 25 Februari 2015.
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
279
http://politik.kompasiana.com/2012/01/28/keterbukaan-informasi-publik-dalam-perspektifgovernability-434151.html, diakses tanggal 25 Februari 2015, pukul 15.00 WIB. http://kontras.org/petisi/LAMPIRAN%20PETISI%20KOALISI%20UNTUK%20KEBEBAS AN%20INFORMASI.pdf diakses tanggal 9 Februari 2015 pukul 1.15 WIB http://syafiie.blogspot.com/2011/04/sisi-lemah-uu-keterbukaan-informasi.html. April 2011
Senin,
11
Universitas Indonesia Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LAMPIRAN
1
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Lampiran 1 DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA I. Identitas Informan a. Nama Informan b. Jenis Kelamin c. Pekerjaan/Profesi saat ini d. Tanggal/ Waktu wawancara e. Tempat
: : : : : :
II. Identifikasi Kondisi Pendahulu/Anteseden Kategori A : Decision makers (Cohesive Group ) : Pembuat Keputusan adalah Kelompok Kohesif. Yaitu Kelompok Tugas di Komisi I yang membahas RUU KIP (temporer) 1. 2. 3. 4.
Apa alasan bergabung menjadi anggota DPR RI dan duduk di Komisi I? Bagaimana perasaan ketika telah bergabung di Komisi I DPR RI? Adakah rekan dalam kelompok yang dirasa paling dekat? Jika mengutarakan pendapat biasanya cenderung mengatas namakan pribadi atau menggunakan kata „kita‟ atau „kami? 5. Ketika terdapat pendapat yang memojokkan misalnya dari media atau dari masyarakat, upaya apa yang paling sering dilakukan untuk mengatasi hal tersebut?
Kategori B-1 Isolasi Kelompok 6. Apakah selama bersama dalam kelompok panja yang membahas RUU KIP sering berkumpul, mengenal dan menjadi akrab satu sama lain walaupun berbeda fraksi? 7. Apa saja aktivitas yang kerap dilakukan ketika berkumpul selama membahas RUU KIP? Apakah bertemu hanya membicarakan substansi RUU KIP atau membicarakan hal lain diluar RUU KIP (misalnya hobby, keluarga, ibadah, asal daerah, tempat tinggal, kegiatan liburan dsb) 8. Selama membahas RUU KIP sering menghadiri pertemuan atau sering izin/absen? 9. Seberapa besar peran fraksi ketika membahas RUU KIP? 10. Bagaimana interaksi dengan kelompok fraksi asal? Sering berdiskusi atau tidak? Kurangnya Kepemimpinan Imparsial 11. Siapa saja yang menjadi pimpinan dalam membahas RUU KIP?dipilih berdasarkan apa dan apakah merupakan perwakilan dari semua fraksi yang ada di Komisi I? 12. Apakah pimpinan memberikan kesempatan secara merata kepada anggota yang ingin mengajukan pendapatnya? 13. Apakah pemimpin memiliki sikap yang berbeda apabila ada pendapat dari anggota yang berbeda fraksi dengan fraksi pimpinan? Kurangny Norma bagi Prosedur Pengambilan Keputusan 14. Bagaimana berjalannya pembahasan RUU KIP secara umum? Adakah prosedur tertulis dan terjadwal secara urut yang disosialisasikan kepada anggota kelompok sebelum memulai pembahasan RUU KIP? (jika ada, prosedur tersebut dibuat berdasarkan apa dan siapa yang membuat?, jika tidak, mengapa?) 15. Apakah metode pengambilan keputusan dalam setiap pembahasan RUU KIP berjalan sesuai prosedur yang ditetapkan?ataukah banyak mengandung kompromi? Terutama terkait pembahasan tentang definisi Badan Publik (Jika YA, apa yang menjadi dasar pertimbangan terjadinya suatu kompromi? Apa saja yang biasanya dikompromikan dalam kegiatan membahas/merumuskan RUU KIP? ) 16. Apa yang menjadi alasan dan tujuan dari sebuah kompromi-kompromi yang terjadi dalam pembahasan RUU KIP? Homogenitas Kelompok 17. Sebagai anggota kelompok Kerja RUU KIP apakah ada perasaan menyatu dalam kelompok ketika membahas RUU KIP?
2
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
18. Berapa banyak kesamaan dan perbedaan yang dirasakan dalam interaksi kepada sesama anggota diluar kesamaan nama komisi dan kesamaan asal fraksi misalnya. Adakah terjadi konflik yang serius antar anggota selama membahas RUU KIP? Kategori B-2 19. Adakah kendala yang dirasa agak berat ketika terlibat dalam pembahasan RUU KIP terutama ketika membahas tentang Pasal 1 ayat 3 tentang definisi badan publik? (jika ada, apakah kendala itu?, jika tidak mengapa?) 20. Apakah terdapat tekanan-tekanan yang berasal dari dalam yang dirasa mengganggu? (misalnya tekanan pemenuhan target pembahasan dari pimpinan, ketidakpuasan terhadap berlangsungnya pembahasan, kekecewaan terhadap rekan sekelompok dari fraksi yang sama atau dari rekan berbeda fraksi) serta dorongan/tekanan dari luar kelompok (misalnya dari parpol, dari koalisi, dari pimpinan DPR, dari alat kelengkapan dewan, atau dari media maupun pengusaha?) ketika membahas RUU KIP terkait definisi Badan Publik? III. Observable Consequences Kategori C : Symptoms of GroupThink Overestimation of Group 14. Ketika terlibat dalam kelompok yang membahas RUU KIP, apakah Apakah ada perasaan istimewa dan berbeda ketika bergabung dalam komisi I dan membahas RUU KIP? 15. Apakah ada perasaan bahwa kelompok yang sedang bekerja membahas RUU KIP merupakan kelompok yang mulia (menjalankan misi mulia/tugas besar) yang akan membawa dampak besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehingga hasil akhir keputusan pastilah akan baik. Closed-Mindedness 16. Rasionalisasi Kolektif: Apakah ada diskusi dengan pihak-pihak luar dengan harapan mendapatkan perspektif lebih luas tentang konsepsi Badan Publik, terutama untuk point2 yang memuat tentang syarat-syarat informasi yang boleh diberikan oleh Badan Publik? 17. Stereotypes of Groups: Bagaimana dengan persepsi anda sebagai bagian dari kelompok di Komisi I terhadap pihak-pihak yang tidak / kurang setuju terhadap keputusan terntang Badan Publik dan syaratsyarat Informasi yang boleh diberikan oleh Badan Publik? (misalnya dari kalangan LSM/Koalisi Masyarakat Sipil?)
Uniformity Pressures
18. Apakah ada diantara individu di kelompok saling menguatkan pendapat ketika ada agumen-argumen yang menentang? 19. Apakah ada saat dimana mengalami kebuntuan (misalnya sampai ketika pembahasan Badan Publik ditunda hingga rapat Timus), rekan-rekan lain bahkan mungkin bapak/ibu sendiri memilih cenderung ikut suara terbanyak saja? 20. Apakah pernah dirasakan atau teramati bahwa terdapat semacam tekanan ketika ada seseorang dalam kelompok menyatakan opini, pandangan atau komitmen yang berlawanan dengan opini mayoritas dalam pembahasan tentang Badan Publik? 21. Apakah terdapat suatu keyakinan dalam diri bapak/ibu yang membuat teguh/yakin ketika mempertahankan pendapat sebagai tim perumus RUU KIP? D. Symptoms of Defective Decisionmaking 22. Bagaimana kesan umum/keseluruhan terhadap pengambilan keputusan RUU KIP terkait Badan Publik? Sudah sempurna atau memerlukan pengkajian/revisi mungkin?
3
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Lampiran 2
KODE KATEGORISASI CODING 001
002
003
004
005
006
007
008
009
Kohesi Kelompok (Kategori A), meliputi : Motivasi/Alasan bergabung di Komisi I DPR RI periode 2004-2009. Perasaan penempatan di Komisi I DPR RI. Perasaan akrab dengan sesama anggota Komisi I DPR RI. Keberadaan rekan terdekat. Penggunaan kata kita/kami dalam berpendapat membahas RUU KIP. Upaya untuk melindungi kelompok jika ada pendapat yang memojokkan.
Isolasi Kelompok (Kategori B-1), meliputi : Kekerapan bertemu/berkumpul dan Aktivitas ketika bertemu/berkumpul Kehadiran rutin dalam pertemuan membahas RUU KIP Peran fraksi dan Interaksi dengan kelompok fraksi asal
Kurangnya Kepemimpinan Imparsial (Kategori B-1), meliputi : Dasar pemilihan pimpinan kelompok Kemampuan Pimpinan mengakomodir pendapat anggota kelompok. Sikap Pimpinan terhadap anggoota yang berbeda fraksi.
Kurangnya Prosedur Pengambilan Keputusan (Kategori B-1), meliputi : Jalannya prosedur pembahasan dan pengambilan keputusan RUU KIP. Metode pengambilan keputusan tentang BUMN/BUMD sebagai badan publik. Upaya-upaya yang dilakukan kelompok untuk menganalisis masalah perdebatan tentang BUMN BUMD sebagai badan publik.
Homogenitas kelompok (Kategori B-1), meliputi : Perasaan yang menyatu dalam kelompok ketika membahas RUU KIP. Tingkat persamaan dan perbedaan dalam interaksi.
Karakteristik yang menghasilkan tekanan (Kategori B-2), meliputi : Tekanan luar yang dirasakan selama membahas RUU KIP Badan Publik Kendala yang dihadapi selama membahas RUU KIP Badan Publik Tekanan dari dalam (misalnya : pemenuhan target pembahasan dari pimpinan, ketidakpuasan terhadap berlangsungnya pembahasan, kekecewaan terhadap rekan).
Penilaian berlebihan terhadap kelompok (Kategori C-1) Perasaan istimewa dan berbeda ketika bergabung dalam komisi I dan membahas RUU KIP. Merasa mengemban misi mulia dalam kelompok yang membahasa RUU KIP.
Ketertutupan Pikiran (Kategori C-2) Rasionalisasai kolektif: Sikap tidak mengindahkan pendapat luar Persepsi terhadap pihak-pihak yang tidak / kurang setuju terhadap keputusan tentang Badan Publik.
Tekanan untuk mencapai Keseragaman (Kategori C-3) Sensor diri : Keberadaan individu di kelompok untuk menguatkan pendapat ketika ada agumenargumen yang menentang. Ilusi Kebulatan Suara: Kecenderungan untuk memilih diam/ikut suara terbanyak. Adanya tekanan ketika ada seseorang dalam kelompok menyatakan opini, pandangan atau komitmen yang berlawanan dengan opini mayoritas dalam pembahasan tentang Badan Publik. (direct Pressures) Keyakinan dalam diri ketika mempertahankan pendapat sebagai tim perumus RUU KIP. (Mindguards)
Penilaian akhir keputusan tentang Badan Publik di RUU KIP (Kategori D) Kesan umum/keseluruhan terhadap pengambilan keputusan RUU KIP terkait Badan Publik.
010
Hasil Wawancara Informan Utama 4
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
i.
Informan Utama 1 a. b. c. d. e. f.
Nama Informan Jenis Kelamin Pekerjaan/Profesi saat ini Tanggal/ Waktu wawancara Tempat Inisial Wawancara Informan Pewawancara
: Drs. Deddy Djamaluddin Malik, M. Si (FPAN) : Laki-laki : Akademisi di STIKOM Bandung : 5 Maret 2015, Pukul 20.00 WIB : Jakarta : Dedy (De) : Lisa Adhrianti (LA)
Hasil Wawancara LA De
De LA De LA De LA De LA De LA De LA De LA De LA De LA De
LA:
De
Kategori A : Kohesi Kelompok : Terima kasih atas waktunya pak. Waktu itu di komisi I atas dasar apa pak?mengajukan diri atau ditugaskan pak? : Oh waktu itu saya yang mengusulkan. Jadi pertimbangannya waktu itu karena saya bidang komunikasi ya tentu harus sesuai dengan kompetensinya lah gitu meskipun itu politik jadi harus ad basis profesionalnya. : Makanya di situ saya jadi Pokja Infokom. : Pokja Infokom ya pak ya. : Ya, ketua waktu itu. : Ketua Pokja Infokom ya pak ya. Ada berapa orang itu pak yang ditunjuk oleh DPR. : Itu sekitar 15 orangan lah. : Itu langsung bahasan, UU KIP langsung ditangani Pokja Infokom ya pak ya? : Nggak itu Panja. : Panja ya oke ya. Jadi waktu bahas Panja itu rapatnya, saya baca di risalah kan banyak juga ada beberapa kali itu. : Ya. : Jadi waktu itu senang sekali ya pak duduk di Komisi I? : Iya begitulah kira2 diakomodir keinginan saya : Rekan-rekan di Komisi I gimana pak? Solid ga? : Ya cukup solid walau beda fraksi soal ini karena kita satu tujuan untuk keberhasilan RUU KIP : Itu kan dari sebelumnya kan sempat tertunda ya pak ya, dari periode itu kan diajukan lagi ya pak ya UU diajukan kembali. : Itu kan tahun sebelum periode saya, itu memang sudah diajukan terus molor lagi. : Kira-kira bapak tahu nggak alasannya? : Saya kira secara politis memang UU itu tidak menguntungkan birokrasi sehingga pembahasan memakan waktu lama dan banyak perdebatan. : Jadi diulur-ulur terus ya pak ya. : Diulur-ulur tapi akhirnya memang kan demokrasi keterbukaan tidak bisa ditutup, akhirnya direspon dengan, iItu kan inisiatif DPR kemudian muncul inisiatif, muncul respon dari pemerintah. Jadi ada konsep dari pemerintah ada konsep dari kita. Itu pas presiden SBY ya respon itu ya. Jadi selama mbahas itu pak kira-kira itu kan khusus Komisi I yang ditugaskan ya pak ya nggak ada yang dari Komisi lain ya. Itu ada beberapa fraksi kan di sana ketika membahas itu bisa saling menyatu nggak si pak kompak, sering kumpul akrab, kan waktu itu taruhlah baru pertama kali tugas bersama itu, kira-kira gimana kondisinya dalam kelompok Komisi I sendiri? : Bisalah, kita cukup kompak soal RUU ini. Jadi semua memang telah rapi dipersiapkan dan harus jadi. Yang pertama kalau soal rancangan UU itu kan kita 5
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
ajukan ke pemerintah, sudah diserahkan kemudian pemerintah merespon. Nah dari respon pemerintah itu kemudian masing-masing fraksi merespon lagi. Nah respon dari masing-masing fraksi kan bisa beda-beda tetapi sebenarnya yang lebih ril itu tergantung situasi di forum. Jadi sebetulnya kekuatannya itu kekuatan ya argumennya, tentu saja argument yang rasional yang agumentatif. Nah itu yang bisa dipertimbangkanoleh para pihak, fraksi-fraksi dan selama ini argumen kami saya lihat cukup layak ya. : Kalau untuk pembahasan di luar, loby-loby mungkin pak atau itu sering nggak pak itu dilakukan di luar? : Yang ada rapat di luar, itu di Puncak misalnya di Wisma DPR itu. . Saya si biasanya sering kumpul diskusi sama Pak Hapy Bone, Hajriyanto dari Golkar sama Andreas Periera dari PDIP. : Biasanya kalau lagi ketemu aktivitasnya bagaimana pak? : Ngobrol biasa saja, semi formal gitu. : Itu untuk RUU KIP juga ya pak ya masih dalam proses itu pak ya ? : Ya, atau misalnya ada pertemuan beberapa pihak misalnya ada Menkumham, untuk singkronisasi tapi tetap kita kritis, ada dari kita jadi ada dari panja itu ada beberapa pentolan yang mewakili fraksi misalnya berkumpul. Nah itu memang mengkritisi misalnya saya masih ingat perdebatan tentang ini rezim politik atau rezim ekonomi ITE ini. Nah pemerintah rezimnya itu ini rezim bisnis, jadi tidak politik tetapi saya terutama waktu itu mengatakan ke menteri waktu itu dihadiri oleh menteri, saya bilang ketika satu, birokrasi itu meminta atau merekrut komisaris atau staf ahli itu politis atau rezim ekonomi, itu kan politis. Birokrasi itu misalnya ada staf ahli ada komisaris segala macam itu kadang-kadang kan dari partai misalnya dititipin atau kader partai kan begitu jadi ya memang tidak bisa. ITE ini memang kalau pemerintah melihatnya ingin gimana system transaksi eletronik ini aman gitu. Ini ITE atau. : KIP pak. : KMP, ya. Nah kalau KMP itu perdebatannya soal kemerdekaan, kalau kita kan kebebasan informasi gitu. Pemerintah biasanya menolak itu karena konsep itu konsepnya liberal gitu. Kita mengatakan kalau gitu UUD juga liberal karena kan bicaranya kebebasan, kebebasan berpendapat kalau itu soal terminologi gitu, ya itulah oke, kemudian disepakati kemudian menjadi keterbukaan informasi. : Pak, waktu membahas ruu kip bapak paling akrab sama siapa saja ya pak? : Oh,biasanya sama pak happy bone (golkar), andreas pariera (pdip) sama pak Hajriyanto (golkar) kita biasa diskusi dan menyamakan persepsi. Bisa juga dilihat di risalah rapat bagaimana sikap saya dan teman-teman.” : Jika mengutarakan pendapat biasanya cenderung mengatas namakan pribadi atau menggunakan kata „kita‟ atau „kami pak? : Ya campur si kalo itu, tapi lebih banyak kami. : Ketika terdapat pendapat yang memojokkan misalnya dari media atau dari masyarakat, upaya apa yang paling sering dilakukan untuk mengatasi hal tersebut? : Ya kalau saya ditanya oleh wartawan ya saya jelasakan saja yang sebenarnya bahwa maksud kita baik, itu keliru misalnya gitu. Biasalah begitu terkadang yang diluar nggak ngerti kondisi kita di dalam.
LA De
LA De LA De
LA De
LA De
LA De LA De
LA De LA
Kategori B1 : Isolasi Kelompok : Ok Pak, kalau selama membahas RUU KIP sering menghadiri pertemuan atau sering izin/absen pak? : Saya hampir tidak pernah absen ya, bisa dicek di data risalah. Kalau kabur terus ya ga etislah. : Heheheh iya Pak, kalau peran fraksi ketika membahas RUU KIP kira-kira gimana pak besar tidak ya? 6
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
De LA De LA De LA
De
De
LA De LA De LA
De LA
De
LA
: Eee... fraksi ya cukup mendukung Undang-undang ini, perannya ya paling mensupport kita mengingatkan agar bisa fokus dan menyelesaikan dengan baik gitu. : Ooh ga ada himbauan khusus Pak? : Himbauan khusus si ga ada ya karena nuansa politisnya juga ga terlalu kental si ya. : Kalau untuk interaksi dengan kelompok Fraksi selama membahas RUU KIP gimana Pak?jadi sering bertemu, diskusi atau tidak? : Ya sesekali pasti ada pertemuan, tapi kalau seringnya ya sering sama Komisi. : Yang lagi saya amati yang soal badan public ini pak, ini gimana pak ceritanya soal badan public ini kayaknya kan kalau diamati agak alot juga itu pak pembahasannya dimana kan awalnya DPR mengajukan BUMN itu masuk dalam pasal 1 ayat 3 itu pak yang BUMD, sementara pemerintah kan tidak memasukan rumusan untuk BUMN dan BUMD itu. Nah ternyata hasil akhirnya pasal 1 ayat 3 juga tidak ada teks BUMN, BUMD tapi di muncul pada subjek hukum di pasal 14 dengan syarat-syarat tertentu informasi yang bisa dibuka oleh BUMN, BUMD itu kira-kira seperti apa pak waktu itu? Jadi waktu itu yang disebut badan public itu tadi, ya inginnya itu rezim politik gitu kita ini dan birokrasi itu bagian apalagi kita melihat dengan latar belakang bahwa memang birokrasi itu masih tertutup misalnya banyak kasus waktu itu dan mungkin sampai sekarang. Kalau ada persoalan gubernur, walikota atau bupati atau menteri itu menghindar dari pertanyaanpertanyaan wartawan, kan tidak bisa menghindar, itu harus di jawab. Ada misalnya orang yang meminta informasi dianggap itu rahasia gitu. Nah ini kan tidak ada kepastian hukum, nah makanya memang harus sasaran kita, target utama kita memang birokrasi tapi memang perdebatannya alot giitu, sampai istilahnya ya mati-matian pemerintah bertahan supaya birokrasi itu relative aman, tapi ya kita mainkan diberbagai pasal supaya masuk. : Dan memang kalau dilihat dari perjalanan meskipun UU itu sudah lahir kultur pejabat kita belum siap, sehingga waktu itu saya pernah jadi saksi di Komisi Informasi tentang rekening gendut kepolisian dan dinyatakan dalam sidang Komisi Informasi harus dibuka. Itu sampai sekarang nggak mau dibuka mereka dengan alsan berbagai UU yang lain kan gitu. Jadi memang waktu itu memang historical situatednessnya itu memang kita ingin intinya membuka supaya badan-badan public itu terbuka termasuk kan yayasan, termasuk partai politik gitu. Nah cuma kemudian ada implikasi lain. : Termasuk BUMN kan juga pak ya. : Oh iya, termasuk BUMN dan justru itu sasaran kita. : Waktu itu pemerintah kok sepeti tidak mau. : Oh sangat, sangat tidak mau ,ya sudah dari sudut ulur-ulur waktu aja sudah jelas itu kan tidak menguntungkan pemerintah karena kan harus transparan dengan UU itu. : Tapi akhirnya dia muncul juga di pasal 14, 15, 16 yang BUMN, Parpol dan LSM itu kan pak ya cuman didefinisi badan publiknya kenapa akhirnya jadi nggak ada kata-kata BUMN, BUMD itu pak. : Jadi waktu itu pemerintah mengusulkan memperluas badan public sampai individu pun disebut badan publik. : Waktu itu pak saya lihat di risalah itu kan rata-rata semua fraksi memang menginginkan bahwa BUMN itu masuk dalam definisi badan public itu tapi pemerintah tetap dengan argumennya dengan beberapa pertimbangan gitu kan. Akhirnya juga seolah-olah seperti disembunyikan isi teksnya itu pak, di misal bukan pasal 1 tapi muncul di pasal lain, itu kirakira masih ada apa namanya mungkin kalau bapak lihat mungkin ada semacam unsur untuk melindungi tanda kutip BUMN mungkin sebagai untuk alat politis, mungkin bagi Parpol atau pemerintah sendiri itu kira-kira seperti apa? : Saya menangkap itu, ada nuansa itu politis. Yang pertama kemudian itu goal, pertama pemerintah memang cukup lihai karena mewakilkan atau mendatangkan itu ahli ahlihukum. Nah sementara kan di DPR untuk teknis meskipun ada orang hukum tapi tidak begitu ngeh lah. : Akhirnya-akhirnya DPR menerima aja seperti itu pak.
7
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
De
LA De LA De LA De LA De LA De LA De
LA
D LA De LA De LA De LA De
LA De LA De
LA
: Yang kedua, tadi karena pembahasan alot dan pemerintah ngotot kan itu memang harus disepakati meskipun kita ngotot, pemerintah ngotot juga kan nggak bisa jalan itu UU. : Jadi? : Jadi akhirnya beberapa fraksi juga ada yang kemudian menurunkan tensi nya. : Siapa tu pak kira kira, fraksi apa? : Waktu itu ya yang pasti Demokrat. : Karena dia partai pemerintah ya. : Terus kan partai-partai pendukung gitu kan, PPP terus siapa lagi gitu. Nah kalau PAN si ngotot waktu itu. :Waktu itu gimana PAN. : Waktu itu kita ngotot. : Masih bertahan ya. : Tapi kan, ya kita kan dibandingkan dengan banyak fraksi ya tidak kuat juga. : Melihat masalah yang cukup pelik soal Badan publik itu apakah ada semacam usaha untuk menganalisis kasus guna mencari hasil akhir yang baik pak? : Ya kita terus diskusi, mencoba mempertahankan rumusan kita dan meminta pendapat dari beberapa ahli dari kalangan akademisi dan masukan dari Koalisi Masyarakat Sipil. Tapi disisi lain pemerintah juga sama membawa ahli-ahlinya termasuk meminta masukan dari Menteri BUMN. Tapi ya kembali lagi mikirnya daripada berdebat panjang akhirnya ga ada penyelesaian ya sudah kita coba turunkan tensi juga. : Ya ya ya, ada nggak pak orang yang selalu mengingatkan maksudnya gini lho apa mengingatkan tentang subtansi badan public. Jadi kita ni harus ini lho harus konsisten, maksudnya ada nggak orang yang selalu, seolah-olah dia itu menentang pendapat mayoritas tapi sebenarnya dia setuju sih dengan pendapat itu tapi seolah olah dia menentang pendapat yang berkembang di kelompok komisi 1, kira-kira ada nggak pak yang selalu begitu, yang selalu bilang ini lho badan public itu kan begini begitu misalnya gitu? : Yang saya tahu itu, yang cukup kritis waktu itu kalau dari PDIP Adreas Pareira terus PKB itu Gus Choi, terus PPP pak Arif Mudatsir. : Pak Arif almarhum ya pak. : Dari Golkar itu ini Hajrianto Tohari. : Itu mereka apa pak, statement nya seperti apa kira-kira apa yang selalu mereka ungkapkan? : Ya intinya kalau Gus Choi terus Andreas Pareira terus Hajrianto Tohari. Intinya memang meng-golkan rancangan UU yang dibuat oleh DPR. : Pokoknya yang rumusan dari DPR itu harus gol ya pak ya. : Ya, bahkan dari PAN misalnya kalau anda baca risalahnya dari Pak Abdillah Toha itu cukup tajam antara rezim korporasi dan rezim politik dalam konteks UU. : Padahal kalau bapak tahu mereka yang kritis-kritis ini kira-kira akhirnya juga menyetujui pemerintah atau ya sudah lah atau merasa kecewa juga mungkin dengan hasil akhirnya itu? : Ya kecewa, karena kan itu kemudian ngotot kemudian buying time terus menerus, ya kemudian juga diantara fraksi tidak semua ngotot ya itu akhirnya seperti itu. Jadi mungkin untuk sebagian ini idiologis gitu, untuk sebagian ya udah lah mau apalagi gitu emang gitu kira-kira seperti itu. Terkait dengan hal tersebut ya kita cukup memahami bahwa begitulah dinamika dalam perumusan undang-undang namun bukan berarti ketidak setujuan dari pihak lain tersebut sebagai suatu penghalang bagi kita untuk menyelesaikan tugas, ya pastinya kita dengarkan, saring dan didiskusikan.” : Kalau bagi Bapak sendiri gimana pak? : Ya saya kecewa tentu. : Agak kecewa ya pak ya gitu ya, jadi kira-kira. : Jadi saya gini ketika misalnya adu argumentasi meskipun orang mengerti dasar-dasarnya gitu. Nah tapi kan muncul kalau di politik itu kalau si Pansus atau Panja itu memang kan politik, jadi akhirnya kalah oleh suara mayoritas, jadi ada logika kekuasaan, ada kekuasaan logika gitu kan. : Jadi kalau oleh suara mayoritas ini yang Bapak maksudkan itu apa namanya partai sendiri? 8
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
De LA De LA De
LA
De LA De LA De LA
De LA De LA De LA
De
LA De
LA De LA De LA De LA De
: Ya beberapa pertama, beberapa fraksi misalnya kan mendukung pemerintah gimana kan kita nggak bisa stop ya kan. : Tapi lebih banyak yang mendukung pemerintah ya pak. : Iya, iya. : Oke pak, berarti kompromi-kompromi politik di sana kencang juga ya waktu itu ya. : Ya memang tidak bisa dihilangkan ya, karena kan nanti itu ketika misalnya pemerintah ngotot kemudian kan bentuk akan komunikasi dengan fraksi dengan pimpinann partai mungkin gitu kan. : Oh ya ya oke, pak waktu itu yang jadi pimpinan di dalam bahasan RUU itu berganti-ganti terus apa gimana ya pak kan kalau saya lihat dirisalah kadang Pak Arif kadang Pak Theo terus ada pak? : Oh ya kan pak Arif wakil kan gitu, jadi kalau misalnya nggak ada ya sama pak Arif dan pak Arif ini cukup punya sikap. : Kalau yang lain pak, pimpinan yang lain? : Ya itu tadi misalnya PKS, PPP, seingat saya gitu ya, kan ada partai pendukung pemerintah kira-kira gitu. : kalau pak Tosari gimana pak, waktu itu kan juga sempat jadi pimpinan juga di Timmus ya. : Ya pak Tosari lebih modern lah kalau saya tangkap itu ya. : Oh gitu pak tapi sejauh yang bapak lihat pimpinan-pimpinan itu dipilih berdasarkan kesepakatan bersama atau gimana pak waktu membahas RUU KIP ini. Jadi yang dari PPP pak Tosari, dari Golkar Pak Theo misalnya dari PPP ada pak Arif juga itu kira kira yang milih. : Iya dipilih berdasarkan jumlah perolehan suara fraksi paling besar. Kalau itu kan pimpinan unsur pimpinan pak Theo pak Arif itu. : Jadi memang dari pimpinan komisi 1 nya memang itu ya? : Jadi kalau nggak ada pak Theo ya pak Arif. : Mereka memberikan kesempatan yang sama nggak, yang merata nggak kepada yang ingin mengajukan? : Saya kira ya, mendengar. : Sama ya pak ya, terus kalau ada yang kira-kira pendapat yang berbeda dari fraksinya atau apa pimpinan tetap mengakomodir atau kira-kira lebih condong ke fraksinya aja, anggota yang satu fraksi aja? : Ya kalau untuk pengambilan keputusan tentu yang dihandalkan mewakili fraksi tapi kalau pembahasan rasanya jarang itu, apa langsung itu misalnya loby antar fraksi nggak. Itu lebih banyak perdebatan-perdebatan dan cukup erat lah perdebatan itu. : Gitu pak ya, jadi kalau bapak lihat secara umum pembahasan itu sudah sesuai prosedur yang tertulis atau terjadwal secara urut? : Oh ya, menurut saya sesuai jadwal semua walaupuan kadang ada yang tertunda. jadi misalnya perdebatannya itu ada perdebatan substansi, ada perdebatan semantik, apa istilahnya linguistic dan tim pemerintah itu membawa ahli-ahli bahasa gitu tapi kita juga berdebat dengan para ahli bahasa gitu. : Jadi memang sudah terjadwal semua, semua ditepati pak jadwal-jadwal yang sudah di susun? : Ya. : Oke, yang membuwat jadwal itu DPR berarti ini pak ya? : Ya, bersama pemerintah tentu kan. : Oh gitu. : Kadang-kadang pemerintah nggak bisa nanti di cancel kehari lain gitu. : Oke oke, jadi semuanya sudah sesuai prosedur kalau untuk berjalannya pembahasan itu pak ya? : Misalnya kalau suasana forum itu sangat merdeka, hanya ya tadi bahwa pada akhirnya ketika terjadi difuse satu sama lain mulai dalam diskusi ada perbedaan atau pemerintah dengan sebagian DPR itu memang dikembalikan lagi ke forum. Nah dari situ kemudian suara mayoritas itu dijadikan rujukan. Suara mayoritas belum tentu benar, tepat tapi ya itulah politik kan. 9
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA De LA De LA De
LA De LA De LA De
LA
De
LA De
LA De LA De
LA
De
LA De
: Itu akhirnya yang badan public ini akhirnya sampai ke Timmus itu belum diputus ya pak ya? : Apa. : Definisi badan public ini diputusnya baru di Timmus ya pak ya. : Ya. : Kalau waktu di rapat-rapat Panja belum kan ya pak ya. : Ya, karena perdebatannya kan cukup panjang, pemerintah juga tetap ngotot gitu lalu di sebagian DPR juga ngotot akhirnya bagaimana membuat rumusan yang bisa diterima oleh semua pihak gitu. Nah ketika rumusan yang diterima oleh semua pihak memang kemudian menjadi tidak ideal kan. : Iya karena tadi yang mayoritas tadi ya pak ya, jadi itu akhirnya melempemnya di Timmus ya pak ya. : Ya itu karena disitu kan ada unsur pimpinan kan gitu, ada unsur fraksi, ada unsur pimpinan dan pimpinan itu juga mencerminkan ada fraksinya gitu ya. : Yang biasanya dikompromikan dalam UU itu apa aja pak biasanya terutama untuk bahasan tentang badan public ini? : Ya yang dikompromikan itu mana yang termasuk badan public itu. Itu kan panjang memang diskusinya itu. : Kategori ya pak ya? : Ya kategorinya itu dan meyangkut substansi dan perspektifnya perspektif politik, ada perspektif hukum misalnya kan gitu. Pemerintah kelihatannya tadi tentu ada politik hukum ya untuk mem-protect gitu masih ada nuansa itu. : Oke oke, jadi pak kalau bapak lihat ini pak dalam kelompok selama membahas UU KIP itu ada perasaan yang menyatu nggak diantara satu dengan yang lainya pak atau banyak yang berseberangan seperti itu? : Ya ada lah karena kami berusaha menjalankan tugas dengan baik.Sebenarnya mereka itu bagaimanapun berbedanya misalnya pandangan fraksi itu kemudian menjadi cair lagi. : Oh gitu. : Ya, jadi diantara fraksi ini muncul keterbukaan artinya sepanjang argument itu kuat oke gitu dan pemerintah tidak keberatan. Nah yang rame itu kan memang antara pemerintah dengan DPR dan ketika pemerintah ngotot, tidak semua fraksi memang berbeda dengan pemerintah kan gitu sehingga bisa jadi memang lolos apa yang diinginkan pemerintah, yang pasti memang itu ada. Jadi gini kalau pemerintah ngototnya itu jelas itu dulu ya pokoknya ini nggak pokoknya gimana caranya ini nggak berubah kira-kira gitu atau kalaupun berubah sedikit. Nah itu solid betul, mulai dari menteri kemudian dari staf ahli ngomong gitu yang mewakili pemerintah gitu. Nah sementara di DPR gitu ketika DPR punya frame, usulan itu tidak semua fraksi itu mengacu kesitu apalagi mendengar tadi penjelasan-penjelasan pemerintah. : Jadi nggak ada konflik yang serius ya pak ya selama membahas RUU KIP. : Oh nggak. : Jadi maksudnya walaupun agak ada perbedaan tapi. : Kita sama-sama ingin pembahasan berhasil, berjalan lancar. Konflik ga ada yang gimana-gimana. Yang dimaksud dengan koflik itu ya konflik pemikiran kerja tetapi dari konflik fisik atau misalkan konflik sampai gimana nggak. : Jadi kendala yang paling berat dihadapi untuk merumuskan definisi badan public itu lebih kemana pak kendalanya itu. Apakah ada semacam tekanan-tekanan mungkin atau dari anggota sendiri atau dari pimpinan atau dari pemerintah mungkin atau dari pihak luar untuk? : Kendala si paling soal beda pemikiran aja yah antara DPR dan Pemerintah. Ya di pembahasan itu yang terjadi ya pemerintah memang nogot aja artinya pendirinya tadi itu tidak dinegoisasikan. Nah itu kan yang membuat kemudian DPR itu mundur selangkah. Itu sebagian teman-teman itu meskipun ada yang ngotot. nah tentu bisa dilihat dirisalah di rapat misalnya ada yang di sending opinion itu selalu ada. : Jadi memang ada semacam pemerintah kayaknya benar-benar nggak mau ini ya maksudnya. : Ya nggak mau kebablasan lah gitu ya kelihatannya ini oke. 10
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA D LA De
LA De LA
De
LA
De
LA De LA De
LA De
LA De LA De LA De LA De LA De LA: De LA De
: Tapi waktu itu mengundang menteri BUMN mungkin pak maksudnya mengajak nggak waktu itu menteri BUMN atau pemerintah sering berdebat. e: Memang kordinasi, kan ada perwakilan-perwakilan mereka undang. : Ya ya ya, kalau tekanan untuk pemenuhan target pembahasan harus selesai ini sekarang atau apa itu kira-kira ada nggak pak waktu itu? : O ya waktu itu kita meminta waktu itu UU segera diberlalukan. Jadi kan misalnya selama setelah selesai pembahasan itu setelah masuk keParipurna, nah itu 30 hari itu berapa di UU itu kalau misalnya presiden tidak tanda tangan itu otomatis berlaku itu. : Jadi ada ini ya pak semacam keinginan untuk. : Ya untuk mempercepat ini pelaksanaan UU. : Kalau tadi yang bapak bilang ada semacam kekecewaan, itu kekecewaan itu dari seluruh anggota dewan atau kekecewaan dari fraksi yang bertahan kepada fraksi yang akhirnya ngikut pemerintah gitu pak. : Jadi gini di fraksi itu ada orang yang begitu involved dengan persoalan itu. Ada yang melaksanakan kewajiban saja jadi maksudnya tiap fraksi punya pandangan gitu ya dan itu di share kemudian pandangan bagaimana fraksi ini, fraksi ini gitu kan misalnya di situ kan terjadi perdebatan. Nah yang kemudian bisa berubah itu ialah ketika terjadi perdebatan maka ada orang yang tadi gimana baiknya gitu. Jadi ketika pemerintah ngotot ya tadi ikut pemerintah gitu. Nah sementara yang lain tetap bertahan misalnya. : Nah itu ada kira-kira semacam ini nggak pak misalnya ya kamu kalau misalnya bahasa kita dalam keseharian, yah kok kamu begitu sih kok nggak bertahan sih atau apa itu ada nggak pak dialog seperti itu? : Ya nggak bisa karena memang itu mereka secara resmi mewakili fraksi masing-masing jadi ya kita harus respek saja lah gitu karena itu wilayah ini sebab kalau misalnya kita complain seperti itu lalu kan ini memaksakan kepentingan. : Jadi waktu itu ya sudah maksudnya nggak terlalu diributkan pak ya. : Oh nggak ribut kita ribut, ributnya ya tadi diperdebatan di forum kan gitu ya. : Maksudnya ketika putusan itu akhirnya memenangkan pemerintah, taruhlah seperti dari, itu kira-kira maksudnya nggak ada yang saling menuding atau complain gitu ya pak. : Nggak ya sudah pokoknya kita tahu posisi dia begitu, kapasitasnya kemudian ininya kan gitu kalau sudah keputusan politik kan bukan kekuatan logika lagi. Ini sudah kepentingan ya, kita ya ini memang forum kepentingan lagi kan. : Jadi diam saja ya pak ya. : Ya akhirnya diam, cuma kita sudah tahu nih tik taknya dengan siapa kan gitu, oh kalau misalnya dengan PDIP dengan Golkar Pak Hajrianto, dengan PDIP Andreas Pareira misalnya gitu. : Ya ya, PKB Ghus Choi. : PPP pak ini PKB Gus Choi itu aja yang kelihatannya kalau anda coba dicek lagi kelihatannya yang dominan itu. : Kalau PKS ini nggak vokal ya pak. : PKS itu ya lumayan sebetulnya. : Lumayan, siapa pak yang waktu itu PKS? : Aduh siapa yang daerah pemilihan Lampung itu. : Sih ini pak, Mutammimul Ula. : Mutammimul Ula, bukan. Iya dulu itu ada Mutammimul Ula, ada lagi satu lagi si yang dari pemilihan Lampung itu, si Muzzamil. : Wahono bukan. : Untung Wahono oke. Untung Wahono PKS ya pak ya. : Bukannya Mujamil siapa ya waktu itu yang belakangan tapi nggak tahu waktu itu. : Tapi waktu itu PKS kan termasuk pengusung pemerintah juga ya pak ya, jadi akhirnya mereka. : Eh kalau Pak Untung ya lumayan lah. 11
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
De
LA De LA De LA De LA De
LA De LA De
LA De
LA De LA
: Oke, kalau yang bapak rasakan pak waktu membahas UU KIP dan tergabung dalam komisi 1, ada nggak pak perasaan yang berbeda ya semacam rasa istimewa lah misalnya kayak merasa bangga karena sedang menjalankan sebuah tugas yang ini. Ada nggak pak perasaan seperti tu pak? : Ya yang pertama bahwa ya saya misalnya kan orang kampus itu yang pertama. Yang kedua, karena orang kampus terus kemudian ini peluang untuk tadi, ini lebih bagus dalam hal kebebasan kan gitu. Nah ini tidak bisa lepas dalam konteks kebebasan berkomunikasi dari public dan akuntabilitas transparasi, itu kan delebrated communication itu di syaratkan itu ada akuntabilitas, ada transparansi. Nah kemudian munculah itu demokrasi delebrasi itu pengambilan-pengambilan putusan itu harus lewat diskusi, dialog, debat gitu bukan hanya oleh representasi anggota-anggota DPR atau institusi-institusi yang sudah ada, yang pada dasarnya memang belum optimal gitu baru prosedur. Nah jadi saya melihat itu ada semacam panggilan sejarah lah dan itu momentumnya cukup. Ini tentu saya dalam karena itu saya serius, ya pernah tidak hadir karena itu saya melihat itu bagian dari momentum sejarah untuk berhikmat lah ya kepada bangsa ini. : Jadi bapak merasakan ada suatu perasaan yang. : Ya panggilan lah ya, memang ini serius dan perdebatannya ya mati-matian lah gitu ya. : Karena bapak merasakan ini suatu tugas besar, misi mulia ya pak ya dan berdampak besar juga pada kehidupan masyarakat Indonesia gitu ya pak ya. : Iya :Bapak melihat keputusan akhir UU KIP ini sudah ide baik atau memuaskan secara umum, gimana pak? : Ya saya kira sudah cukup baik lah ya, tentu terbukalah untuk nanti dikaji ulang. : Oh Bapak menginginkan ada pengkajian ulang. : Ya maksud saya sepanjang itu misalnya belum optimal. Bagaimana misalnya lebih mengelaborasi tentang rahasia Negara misalnya. itu kan bisa dispute itu bisa saja nanti diperjelas atau nanti itu diberikan ke UU yang lain misalnya karena ini sekarang ada RUU rahasia Negara misalnya kan begitu. Nah kemudian sanksi hukum misalnya apakah cukup tegas atau tidak, kemudian bagaimana supaya lembaga-lembaga lain, penegak hukum itu juga komitmen, punya komitmen dengan UU ini. Saya lihat nggak ada koordinasi antar Komisi Informasi dengan Kepolisian, dengan pihak-pihak yang lain. Jadi makanya kemudian tidak seksi seperti KPK kan gitu. Jadi lembaga KIP itu ya lembaga belum memberikan, menunjukan kontribusinya kepada masyarakat, gitu ya. Tiba misalnya soal dimekanisme termasuk ya secara dimekanisme perundang-undangannya kan itu dijabarkan oleh peraturanperaturan gitu. Peraturan-peraturan Kementerian Kominfo itu, saya kira itu juga perlu dikritisi tapi intinya memang saya senang memang di provinsi sudah banyak dibentuk Komisi-komisi Informasi itu tapi fungsi nasionalisasinya itu masih belum ini. : Itu hal apa ya? : Karena seperti di daerah itu tadi ada intervensi juga dari badan bidang infomasi infokom ini daerah. : Ya ya . : Ya kan, misalnya karena fasilitas kantor misalnya disediakan oleh Infokom kan bisa begitu sehingga ya jadi ini lah, kemudian kan ada unsure pemerintah juga masuk karena pemerintah itu kan bisa memandulkan juga. : Gitu ya pak ya, jadi sebenarnya Komisi Informasi harusnya jangan di isi orang-orang dari pemerintah ya. : Ya kalau mau kritis sebetulnya, nah kalau mau independen gitu ya, ya seperti itu, cuma memang di level memang ini persoalan-persoalan teknis itu sehingga tadi jadi mempengaruhi substansi. : Ya oke oke. : Kalau saya kalau mau menggonggong pemerintah, Komisi Informasi itu sebetulnya ya tadi tidak usah ada wakil pemerintah. : Jadi bebas seperti KPK ya pak ya. 12
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
De LA De LA De LA De LA De
LA
De
LA De LA De LA De LA De LA De
: Iya, jadi tugasnya terus memantau. : Jangan di bawah Kominfo ya pak ya. : Sekarang itu berapa misalnya lembaga-lembaga public yang sudah terbuka. : Oke. : Kan nggak ada laporan tiap tahun dari Komisi Informasi misalnya ya kan. : Jadi harus ada manajeman yang eveluasi ya pak ya. : Misalnya tiap tahun ada semacam anugrah kayak Adipura gitu, lembaga mana yang paling terbuka gitu ya kan itu penting untuk ini kinerja biar public tahu. : Jadi ini sebuah harapan ya pak ya ditengah setelah berapa tahun berjalan kan. : Ya sebagai pembuat UU lah gitu ya, saya berharap gitu memang Komisi-komisi Informasi ini bisa memerankan dirinya. Pertama itu memantau keterbukaan instansi-instansi atau badanbadan publik terutama pemerintah yang memang mendapatkan dana dari masyarakat dan apa saja, hak itu yang harus diutamakan. : Kalau terkhusus untuk badan public gimana pak, untuk keputusan tentang definisi badan public ini. Mungkin bapak punya pemikiran kedepan harus digimanakan ini yang sebelumnya ini agak mengecewakan gitu pak? : Ya memang kalau, ini kan soal pilihan. Apakah badan public ini mau focus itu ke birokrasi saja atau dan partai politik misalnya atau kelembaga-lembaga yang lain. Nah memang dari sudut hukum ya tidak fair kalau tidak menyangkut misalnya termasuk yayasan karena faktanya ada dana-dana yang masuk ke LSM, ke yayasan, ke lembaga keagamaan kan gitu, ke Ormas kan gitu. Nah yang itu harus dibuka, karena itu tanggung jawab karena itu dana public. Jadi yang itu sebetulnya yang dimintakan untuk terbuka itu. Nah yang terjadi apa, banyak kasus entah Walikota atau Bupati masuk penjara gara-gara ngasih hibah ke LSM dan Komisi Informasi tidak masuk kesitu. Bagaimana pertanggung jawaban anda ketika anda mendapatkan dana dari dana publik dan APBD misalnya kan akhirnya jadi kecolongan tuh Walikota dan Bupati, Gubernur mungkin itu karena ada antar klien misalnya dia pendukung gitu dan LSMnya jadi-jadian itu kan bisa jadiitu, tapi saya kira disitulah celah harusnya Komisi Informasi masuk. : Ya bisa menyelesaikan ya pak ya. : Betul. : Selama ini kan yang diselesaikan kan hanya sengketa aja pak ya. : Ya, jadi fokusnya ya hanya ke sengketa, kalau sengketa jadinya kan tidak pro aktif, pasif jadinya. : Ya betul ya ya. : Karena yang sengketa itu sepanjang memang ada pengaduan, kalau nggak ada ya diam. : Ya betul. Itu prinsipnya karena dia udah masuk ranah hukum ya pak kalau sengketa. : Betul. : Oke pak, ya pak terima kasih atas waktunya. : Ya nanti kalau ada ini lagi tinggal nanti di SMS.
13
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Hasil Wawancara Informan Utama 2 Nama Tempat Tanggal/waktu Narasumber Pewawancara LA Si LA SI LA SI LA Si LA Si LA Si LA Si
LA Si
LA Si LA Si LA Si LA Si
LA Si LA Si LA
Si LA Si LA Si
: Drs. Sidharto Danusubroto, SH (FPDIP) : Jakarta (Wantimpres) : 4 Maret 2015 Pukul 14.00 WIB : Sidarto (Si) : Lisa Adhrianti (LA)
: Terima kasih pak sebelumnya kesempatannya. Jadi tadi bapak bilang produk Komisi I yang fenomenal, UU KIP iya pak ya? : Iya betul, UU KIP adalah produk Komisi I yang fenomenal. : Kira-kira, itu kan lama sekali ya pak ya dari periode 1999? : Mungkin 2 tahun. : Nggak sebelumnya kan sempat diajukan. : Oh iya pernah diajukan. : Waktu itu Bapak nggak ada disana? Waktu yang sebelumnya? : Waktu itu saya di Komisi 1, sepuluh tahun lho. : Oh berarti sudah ada yang dari 1999 itu sudah ada ya pak ya? : 1999 saya di Komisi Hukum, saya di Komisi Hukum, saya di Komisi III. Saya Komisi III 4 tahun, Komisi I 9 tahun, Ketua MPR 1 ½ tahun, lengkap toh Bu? : Karena dari parpol itu ya pak ya, motivasinya bergabung di parlemen RI? : Iya, tapi saya bukan politisi yang harus bicara focus, saya nggak bisa. Saya ini orangnya ceplas ceplos. Jadi motivasinya ya bicara apa adanya. : Ok ok. : Politisi kan harus have you would be a good politician, please speak the confused word that it save you, if you speak strength word that than be the end of you. Jadi politisi itu harus bicara abu-abu, kalau kamu bicara hitam putih itu akhir dari pada karyamu, jadi kalau kita dengar politisi ngomong 2 jam kita nggak ngerti itu hebat. : Itu politisi ya? : Kalau saya nggak bisa, saya ini dididik sebagai taruna, antara benar dan tidak benar itu ya warna saya. Ini tidak benar-benar itu salah, untuk politisi salah. Kita bisa main kata-kata supaya orang bingung. : Em begitu ya pak ya triknya? : Iya betul. : Tapi waktu duduk di Komisi I itu biasanya itu bagaimana pak? : Saya waktu di Komisi I 5 tahun? : Iya kan Bapak, maksudnya Komisi itu kita yang minta atau dipilihkan dari? : Dipilih. : Dipilihkan pak? Nggak ada kita saya, nanti pesan ya Komisi I. : Nggak, itu kan pertahanan luar negeri itu kan sesuai bidang saya, ya biar ok ya kita kuasai, kalau Komisi Hukum juga bidang saya kan? Saya dulu Sastra Hukum keluar dari Amerika. : Terus kira-kira setelah masuk di Komisi I gimana rasanya pak? : Rasanya ya biasa aja tidak terlalu gimana juga karena udah lama di DPR RI : Iya iya, selama dibahas UU KIP kan Bapak sebagai pimpinan ya? : Iya. : Itu sering dengan yang lain di Komisi I sering ada semacam ikatan kumpul terus kan apa namanya beda-beda fraksi itu pak, itu sering ketemu nggak sih? Maksudnya di luar-luar ini sering ada interaksi gitu pak ya. : Oh iya ngopi-ngopi biasanya sambil guyon. Lumayan sering jugalah. : Jadi udah banyak akrab ya pak ya? : Akrab, walaupun kita saling maki-maki kalau di luar akrab. : Bapak paling akrab sama siapa saja pak? : Ya akrab semua kok saya. 14
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA
Si LA
: Ada yang paling sering bareng nggak pak? : Sama sih semua, kadang sama Andreas Pariera kadang sama pak Theo Sambuaga sama aja. : Biasanya kalau di luar ngomongin KIP juga atau? : KIP itu apa? : KMIP. : Oh iya banyakan Cuma ngomongin KIP : KIP. : Keterbukaan Informasi Publik (KIP), Undang–undangnya namanya KIP? : Iya, biasanya kalau ketemu itu biasanya ngobrolinnya nyambung-nyambung aja ya pak ya? Jadi ada yang resmi ada yang hobi-hobi dan yang lain. : Tapi lebih di yang resmi ya. : Oh begitu ya? : KIP ini salah satu yang lama karena kita banyak sekali undang narasumber banyak sekali. : Oiya pak. Ada tidak pak pendapat luar yang memojokkan Komisi I terkait UU KIP ini misalnya dari wartawan atau masyarakat terkait fenomenal dan lamanya itu? : Ya ada.biasa itu ada macem-macem opini luar. : Menghadapinya biasanya gimana pak? : Ya santai saja,nanti juga tahu tugas kita gimana. Kalu ditanya wartawan ya saya jelaskan. Kita kan bekerja untuk kepentingan publik juga. : Kalau mengemukakan pendapat biasanya sering menggunakan kata saya, kita atau kami pak? : Saya karena banyak jadi pimpinan jadi jarang pakai saya, paling ya kita. : Bapak selama membahas RUU KIP, rutin menghadiri atau sering absen pak? : Walah sudah lupa tuh. Ya ada si ga hadir kalau misal lagi ga bisa, tapi saya cukup mengikuti terus kok, masih seringlah dateng. : Kalau peran fraksi waktu bapak di Komisi I bahas RUU KIP gimana pak? : Ya ga terlalu dominan juga si. Di Fraksi memang punya sikap untuk mendukung kita agar berhasil mengesahkan RUU itu. : Oogtu...Kalau untuk interaksi dengan sesama kelompok fraksi waktu bahas RUU KIP sering atau jadi jarang pak? : Paling kalau ada rapat fraksi ya ketemu tapi ya banyakan sering sama Komisi waktu bahas undang-undang. : Waktu jadi pimpinan membahas UU KIP itu pimpinannya itu dipilih berdasarkan apa pak? : Oh waktu Pansus saya sudah tidak lagi di Komisi I. Saya 1 tahun atau 5 tahun, saya kan 2 tahun sama dia, saya sudah pada end Komisi I itu. Waktu KIP itu kan 2000. : Waktu di Timus Bapak jadi termasuk pimpinan nggak waktu itu? : Nggak, tapi yang mbahas seluruh Komisi ikut mbahas. : Tapi kalau pimpinan itu biasanya ditentukan berdasarkan apa pak? : Iya itu dari fraksi ya. : Tapi kan nggak semua perwakilan duduk di pimpinan? : Nggak. : Ada loby-loby juga nggak pak untuk memilih pimpinan? : Nggak, nggak itu jatah. : Jatah? : Komisi I jatahnya PDIP, Golkar gitu-gitu lah ya? Lalu dari Nasdem memilih saya gitu loh. : Selama membahas itu pak itu kan ada beberpa kali rapat itu banyak sekali, biasanya pimpinan kalau yang Bapak amati memberikan kesempatan nggak sih kepada semua anggota yang pengen mengajukan pendapatnya, sangat diberikan ya pak ya, kayaknya dikesampingkan gitu? : Kalau soal itu kita cukup demokratis, nggak boleh kita tidak memberikan peluang orang bicara tidak boleh. : Kalau sikap pimpinan fraksi pak, ada yang berbeda nggak sama anggotanya? 15
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si
LA
Si
LA Si LA Si
LA Si LA Si LA
Si LA Si LA Si LA
: Mengenai KIP ini perbedaanya tidak banyak. : Nggak banyak ya pak ya? : Ya. : Misalnya pimpinan fraksi itu setujunya yang begini, ternyata anggota ini. : KIP ini salah satu Undang-undang kita banyak kesamaan. : Banyak kesamaan, kompak ya pak ya? : Artinya apa, kita semua ingin ada satu keterbukaan semua lembaga Negara maupun swasta yang menerima dana publik harus terbuka. : Ya betul. : Pesantren, LSM ya kan terima dana publik nggak itu? : Iya. : Harus terbuka, jadi ora iso sa iki sekarang Kyai yang punya pesantren dapat uang nggak boleh buat kawin lagi nggak boleh itu. : Jadi kalau Bapak lihat secara umum pembahasan UU KIP sudah sesuai prosedur belum pak? : Iya dong sangat sesuai, kalau saya bilang itu hukum yang fenomenal karena hasilnya bagus. Ada waktu itu adalah maksimum akses, minimum exception. KIP itu warnanya harus memberikan akses maksimum, perkecualiannya sedikit. Nah pengecualiannya ini nanti akan menjadi Undang-undang Rahasia Negara, misalnya moneter, perbankan, luar negeri, penyidikan kasus Negara. Ini menjadi undang undang rahasia Negara. Soal-soal pertahanan, limited ya, moneter, luar negeri memang itu universal, setiap Negara punya rahasia. : Iya betul, jadi jalannya pembahasannya itu Bapak lihat lebih banyak komprominya atau lebih banyak sesuai prosedurnya pak? Sesuai prosedur maksudnya bengini pak terjadwal, ini nanti besok kita nentuin yang ini loh. : Saya ini mengalami banyak Undang-undang Hukum. Saya ini 3 periode ini mungkin saya sudah terlibat sudah 30-an Undang-undang. Ketua Pansus 1999 itu saya ketuanya semua, ketua SKKR pengaturan HAM (Hak Asasi Manusia) lalu terorisme saya ketuanya. Undangundang POLRI, TNI, Pertahanan Keamanan wah itu saya pimpinanya semua lah waktu itu. : Jadi kira-kira bagaimana pak kalau untuk? : Kalau KIP ini salah satu Undang-undang yang semua bahasannya sama, mereka ingin ada keterbukaan. : Kalau untuk khusus pembahasan badan publik itu kan saya lihat di risalah pending-pending mulu itu pak. Pending terus dari Raker, Panja sampai itu kira-kira. : Hanya rumusan tentang badan publik ini yang beda jadi sempat pending tapi kemudian terus lagi. Kita maunya terbuka BUMN/BUMD dimasukkan sebagai badan publik, pemerintah tidak. Rumusannya yang beda. Tapi sekarang terus terang saja setelah KIP ini jadi, lembaga publik yang membukan diri ini belum banyak. : Belum banyak ya pak ya? : Belum banyak, sedang ini kalau di aturan kepidanaan kalau tidak membuka diri ada pidananya loh, pidana loh itu, betul nggak? : Iya betul, tapi untuk yang khusus badan publik itu kan sempat terjadi ketidaksetujuan dari PDI untuk BUMN, BUMD itu pak? Kenapa nggak dimasukkan di pasal 1 ayat 3 itu pak? : Iya iya itu ada, itu ada PDIP? : Iya PDIP bukan nggak setuju nggak ada, maksudnya nggak setuju kalau itu nggak ada gitu loh pak. Maksudnya kan pemerintah mengusulkan BUMN, BUMD itu nggak usah dimasukkan sebagai badan publik. : Lalu kita protes. : Iya, waktu itu kan pada protes pak, akhirnya kan tapi akhirnya nggak ada juga, akhirnya nggak ada tapi munculnya di pasal 14 tapi dengan syarat-syarat tertentu. : Kita alasannya apa coba nggak jelas, banyak yang keberatan apa. : Ya karena BUMN itu pakai uang ini juga mengelola uang Negara terus dan katanya ya harus terbuka, nanti kalau nggak terbuka nanti justru merugikan. : Nggak tapi karena dulu ada satu pesan dari pemerintah. : Iya katanya kalau terlalu terbuka jadinya kayak kasus BNI waktu itu pak, pada lari ke bank asing katanya gitu. Nah itu gimana DPR kira-kira melihatnya kaya gimana pak waktu itu? 16
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Si
LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si
LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si
LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA Si LA
: Betul betul, bagian ini saya lupa, pro kontranya saya lupa. Kita ingin terbuka, pemerintah tidak, saya ingat tapi saya lupa, saya harus baca memory, lahirnya Undang-undang ini ya, rekamannya saya beli. : Risalahnya banyak banget pak. Biaasnya kalau ada kompromi-kompromi dari Undangundang itu biasanya tujuannya biar apa sih pak? : Semua Undang-undang isinya kompromi politik. : Iya maksudnya tujuannya biar ada yang ini menang, yang ini apa gitu? : Tidak tujuannya mencari suatu rumusan yang acceptable by everybody. : Everybody atau untuk parpolnya pak? : Parpol. : Parpol juga? : Iya, parpol pilihan rakyat kan? Everybody itu ya everybody parpol yang elected by people. : Berarti dari berbagai. : Semua Undang-undang itu produk politik, iya nggak? : Iya betul. : Tapi selain Undang-undang, everybody harus taat pada law itu walaupun itu kompromi iya nggak? : iya. : Sekarang kayak Undang-undang Pilkada, Pilkada yang terbuka tertutup itu. Saya nggak setuju terbuka tapi itu putusan kan akibatnya ya itu, NPWP (nomer piro wani piro) itu sekarang mau dirubah lagi, mau kembali lagi ke tertutup. : Tertutup, jadi bapak setuju dong ya kalau balik lagi ke tertutup. : Pol, terbuka itu hancur lah. : Begitu ya pak ya? : Itu duit tok lah. : Iya benar-benar, jadi kira-kira kalau tadi kan bapak bilang. : Iya terpilih Wong Aceng Fikri terpilih lalu Emilia Contesa terpilih, wong sing bodo-bodo terpilih kabeh anake dua-duanya terpilih. : Iya : Iya ra? : M. Taufik, Wakil Ketua DPRD Jakarta itu dulu pernah kasus juga. : Terpidana, jadi banyak hal. : Nah pak, kembali ke perdebatan soal badan publik tadi, ada tidak pak upaya-upaya yang dilakukan kelompok untuk menganalisis masalah tentang perdebatan tersebut? : Ya adalah pastinya upaya. Kita kan banyak dapat masukan dari mana-mana dan akhirnya ada sesuatu yang kita anggap dapat diterima tadi ya sudah akhirnya disepakati masuk dan yang lain-lain seperti parpol sama LSM juga masuk kabeh. : Ya ya ya, pak ada ga perasaan menyatu dalam kelompok komisi I waktu membahas RUU KIP itu? : Biasa saja si, nyatu gitu-gitu aja pengennya cepet kelar gitu. : Selama ini pernah ada konflik serius nggak antar sesama anggota yang membahas UU KIP? : Nggak. : Kompak-kompak ya pak ya? : Ya ada perbedaan pendapat tapi selesai dalam diskusi. : Kalau ada kendala yang agak berat nggak pak yang dirasa kalau untuk pasal 1 ayat 3 itu ingat nggak Bapak yang untuk badan publik tadi? : Itu ada pembahasannya agak lama tapi aku lupa itu, kenapa dulu proses berangkat ya? Ada satu hal yang pemerintah keberatan kalau dibuka, justru kita mendesak supaya terbuka. : Tapi akhirnya DPR akhirnya ngikut juga ya pak ya? : Iya. : Karena apa itu pak? Karena sudah capek ? : Ya ada hal yang memang itu receivable, ada hal yang receivable saya lupa itu. Saya kalau dipancing oleh seorang yang pernah di Komisi I. : Bisa ya pak ya? 17
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Si LA Si
: Ada BUMN yang memang bisa. : Nggak ada tekanan tekanan? : Nggak pernah ada tekanan, kalau duit ada, terus kalau pemerintah sudah memaksakan pasal yah, dia main duit. LA : Begitu ya? Si : Iya. LA : Pemerintah itu? Si : Pemerintah pinter banget Undang-undang Asing, saya bukan disitu ya tapi saya dengar aja itu pake duit. Kalau Komisi I kan tidak ada kepentingan modal kan? LA : Iya. Si : Pertahanan, keamanan siapa yang modalin pertahanan keamanan, nggak ada. LA : Dari pimpinan juga nggak ada pak? Si : Pokoknya bangsanya apa itu namanya sumber daya alam, bangsanya perbankan, itu pasti ada kalau nggak pakai sponsor. LA : Kalau ini pemerintah nggak nekan kalau nggak DPR nggak waktu itu pak? Si : Nggak, ya mengalir begitu saja lah! LA: Mengalir begitu saja. Si : Apa perlunya bikin apa? LA : Ya misalnya? Si : Begini kalau untuk kepentingan bangsa bisa atau tidak, DPR ini kita rahasiakan, ya kita bisa ngerti, iya nggak? LA : Iya. Si : Kalau moneter, kalau ke luar negeri, perbankan, pertahanan. LA : Iya iya. Si : Itu harus minimum exception itu. LA : Pengusaha nggak ada yang nekan pak? Si : Apa? LA : Pengusaha BUMN nya misalnya. Si : Nggak pernah saya ditekan, ngapain nekan saya lah. LA : Yang lain kali pak? Gitu ya, pak jadi ketika membahas itu Bapak merasa happy ya pak, ada perasaan istimewa? Si : Waktu itu saya anggap salah satu Undang-undang yang paling bagus dianggap oleh DPR. LA : Paling bagus ya pak ya? Si : Salah satu. LA : Salah satu, jadi Bapak bangga dong ya? Si : Loh iya itu bikin semua terbuka loh, seluruh lembaga Negara, swasta yang menerima dana publik itu harus terbuka, itu luar biasa itu. Itulah apa transparasi demokrasi itulah mulai, iya nggak? LA : Iya, jadi misi mulianya jalan ya pak ya? Si : Ya betul, misi mulia banget dong, bedalah sama undang-undang yang lain. KIP salah satu yang paling bagus. LA : Karena kan bagus pak katanya UU KIP walaupun masih ada kekecewaan-kekecewaan di masyarakat sipil terkait dengan syarat-syarat yang harus dibuka, informasi yang harus dibuka dari BUMN dan BUMD gitu. Si : Itu bagian, saya lupa itu ya? LA : Begitu ya? Si : Memang kalau kita terus terang, Badan Usaha Milik Pemerintah itu kan ingin sesuatu yang sifatnya monopoli kadang–kadang. LA : Iya. Si: Itu tidak mungkin tanpa proteksi pemerintah itu tidak mungkin. Itulah proteksi, inilah yang saya kira yang harus dirahasiakan, saya kira yah? LA: Jadi nggak bisa semuanya dibuka juga ya pak ya? Si: Nggak bisa, itu dulu ya? 18
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
: Diskusi-diskusi dengan pihak luar biasanya sama siapa saja pak yang untuk khusus badan publik ini pak, yang bapak ingat? Si : Narasumber kita akademisi. LA : Meneg BUMN sempat diajak ini nggak pak waktu itu? Si : Semua-semua semua stakehoder di bidang itu kita undang semua itu. LA : Begitu ya pak ya? Si : Iya, public hearing ini kadang-kadang 6 bulan kok sendiri loh saya. Public hearing itu 6 bulan sendiri. LA : Enam bulan sendiri ya pak ya? Si : Iya, itu seminggu sampai 5-6 narasumber dalam seminggu. LA : Dalam seminggu ya pak ya? Si : Akademisi, kampus, LSM lalu segala macam lah, aktivis-aktivis lah, pesantren-pesantren, LSM keberatan ndak dibuka, pak kyai keberatan pak kyai, yang keberatan pak kya biasanya kan? LA : Pak kyai yang mana pak? Si : Ya pokoknya pak kyai, kamu kenalannya pak kyai-kyai pada keberatan kan? LA : Oh begitu ya pak? Si : Iya. LA : Pak kyai nggak di ajak waktu itu ya pak? Si : Nggak ada. LA : Nggak. Si : Istrimu berapa pak Kyai? Pasti nggak dibuka kan? LA: Iya jadi selama. Si: Jangan direkam suaraku. LA: Iya tenang pak. Si: Didengak pak Kyai dimarahin saya. LA : Pak ini kan kalangan LSM, masyarakat sipil itu kan kayaknya kurang setuju pak terhadap keputusan badan publik yang dengan syarat-syaratnya tadi jadi nggak full terbuka untuk kita, apa lagi di pasal 1 ayat 3 itu dia nggak ada nggak disebut, kira-kira bapak melihat pendapat yang nggak setuju ini seperti apa? Si : Normal. LA : Normal, dari kalangan anggota sendiri yang nggak setuju itu bagaimana pak? Si : Iya normal, tapi bahwa diketok itu oleh majority, musyawarah mufakat ya kita harus terima kan? LA : Begitu ya pak ya? Si: Tapi secara umum ya, KIP ini salah satu Undang-undang yang fenomenal. LA: Iya iya. Si: Tidak mungkin anda menghasilkan undang undang yang perfect itu imposible. LA: Imposible ya pak ya? Si: Walaupun Negara-negara Amerika yang demokrasinya begitu tidak mungkin, pasti di situ ada kepentingan pemilik modal ya nggak ? LA: Itu biasanya, misalnya nih kalau kalangan LSM itu kan luar, luar DPR itu kalau mereka nggak setuju, menentang orang-orang di kelompok di Komisi I ini biasanya saling mendukung nggak pak? Si: Itu biasanya masuk di kalangan fraksi-fraksi. LA: Oh iya. Si: Fraksi-fraksi kan juga ada beda pendapat sendiri kan? LA: Iya. Si: Nah itu masuk kesana plang plang plang. LA: Jadi saling menguatkan, saling support. Si: menyuarakan suaranya asep itu plang, wah ini suaranya asep itu. LA: Em ok, jadi ketika dia bahas lama sekali pak terutama badan publik ini kan agak lama sampai di Timus baru diputuskan itu. Si: Semua itu melalui Timus, Timsin selalu prosedurnya itu. LA: Cuma kan ada di Panja udah oke! 19
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Si: Nggak mungkin, selalu melalui Timus dan Timsin. LA: Iya maksudnya? Si: Kan harus diluruskan kan? LA: Iya tapi? Si: Kalau Panja tidak ada kata-katanya banyak yang keliru kan? LA: Iya. Si: Itu harus di Timus baru di lempar lagi ke Panja. LA: Cuma yang khusus untuk badan publik ini memang agak-agak ini pak muter-muter pembahasannya kalau saya baca di risalah itu kan? Biasanya kalau sudah banyak yang “sudah lah kita ikut pemerintah saja” biasanya yang lain pada ngikut atau bagaimana pak masih ada yang ini nggak? Si: Ada sih tahun ini lama sekali, ini lebih dari setahun loh ya. LA: Iya. Si: Lah iya artinya tidak akuntable, nggak begitu dong! Kalau ngikut saja tiga bulan selesai lah. LA: Pas saat-saat terakhir pak, saat-saat terakhir? Si: Ya nggak lah. LA: Pendapat bapak waktu itu diakomodir nggak pak? Bapak ngeluarin suara apa yang paling bapak di iniin waktu itu? Si: Saya sudah lupa tapi bahasanya seru. LA: Maksudnya ketika bapak mengeluarkan pendapat-pendapat Bapak, Bapak merasa punya dukungan nggak pak dari anggota di Komisi I? Si: Saya Ketua di komisi I, sehabis itu Wakil ketua. LA: Jadi PD ya merasa didukung dong? Si: Lalu Ketua MPR, itu artinya apa? Saya merasa saya bisa accepted people by the power of citizen. Nah orang kalau bukan PD, kalau kita punya pengetahuan yang cukup, kita punya keyakinan bahwa kalau kita ini based on knowledge. LA: Pak, ada Bapak pikir nggak rencana-rencana kedepan untuk UU KIP ini, ada nggak? Si: Mau diapakan? LA : Kesan bapak terhadap RUU KIP bagaimana pak? Si : Ini bagus kok ini. Waktu bicara, apa itu namanya ya KIP itu dan Negara yang sudah punya Undang-undang KIP itu bagus, lumayan. Coba tanya Negara-negara Timur Tengah sana, nggak mau mereka bukan kayak KIP. LA : Kalau untuk hasil akhir khusus badan publik pak? Si : Ya harus dilaksanakan, ini yang melaksanakan belum semua. Kalau mau membangun suatu republic yang transparan itu KIP harus dilaksanakan, karena kalau tidak itu law itu, ada pidananya. LA : Harus bertahan dengan UU KIP yang ada atau harus direvisi mungkin pak khusus untuk badan public? Si : Orang ini saja dilaksanakan belum kabeh kok revisi lagi, ada-ada saja. LA : Ya mungkin harus buka semua termasuk transaksi keuangan atau apa gitu gimana pak? Si : Orang Indonesia itu nggak suka buka-bukaan kok. LA : Hehehe baik pak terima kasih kesediaan waktunya. Hasil Wawancara Informan Utama 3
Nama Tempat Tanggal Narasumber Pewawancara
LA
: Dr. H.A Effendy Choirie, M.Ag, MH (FPKB) : Jakarta : 7 Maret 2015 Pukul 10.00 Wib : Effendy Choirie (EC) : Lisa Adhrianti (LA)
: Terima kasih untuk kesempatan ini. Saya lagi penelitian tentang UU KIP Pak, terutama tentang bahasan Badan Publik. Lumayan lama juga ya pak ? 20
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
EC LA EC LA EC LA EC LA EC
LA EC
LA EC
LA EC
LA EC LA EC LA EC LA EC LA EC LA EC LA EC LA EC LA
EC
: Begini, proses legislative di DPR itu kalau usul inisiatif itu emang agak lama, itu kan bagian dari usul inisiatif itu. : Usul inisiatif DPR ya Pak ya? : Iya, usul inisiatif DPR pada umumnya lama. : Kenapa Pak, karena kalau yang inisiatif Presiden biasanya cepet ya Pak ya? : Iya, karena kalau dari eksekutif kan memang satu suara, kalau legislative kan tidak satu suara karena di dalam legislative itu banyak fraksi, satu fraksi pun kadang beda fikirannya. : Oke, jadi waktu itu belum di akomodir aja ya Pak ya Undang-undang KMIP? : Iya, di awalnya kan ya judulkan kan berubah-berubah, pernah KMIP, terus apa lagi itu ya. : Akhirnya jadi KIP ya Pak ya? : Iya, KIP, itu kan juga perdebatan lama sementara nama KMIP itu kan sudah akrab didengar public karena begitu lamanya pembahasan, begitu lamanya memperoleh perhatian dengan nama KMIP diberi nama oleh DPR, iya kan. Begitu perdebatan di DPR bersama pemerintah kan berubah-berubah. DPR bertahan, ternyata DPR kan tidak satu suara, tidak KMIP, dari fraksi lain berubah, berubah lagi akhirnya kemudian ikut usulan pemerintah. : Kayaknya kebanyakan ikut usulan pemerintah juga ya Pak ya UU KIP? : Iya karena begini, Karena du DPR kan nggak konsen orangnya. Jadi misalnya begini, yang usul inisiatif itu beberapa orang, DPR, kemudian setelah itu pembahasannya melibatkan anggota DPR lainnya yang dulu tidak pernah ikut terlibat pada proses penyusunan. : Yang periode sebelumnya, gitu ya Pak ya? : Ya, pokoknya DPR lah, apakah periode sebelumnya, apalagi sebelumnya setelahnya tidak ikut. Kemudian mereka tiba-tiba ikut membahas ketika ikut membahas fikirannya kan tidak ada di kepalanya itu. : Kalau Pak Effendy waktu itu. : Sebentar-sebentar, jadi sementara internal anggota DPR nya itu sendiri kan nggak mungkin ngasih briefing kepada anggota-anggota yang lainnya yang sebelumnya tidak ikut sehingga ketika mereka masuk dalam Pansus atau masuk dalam Panja mereka pada umumnya kemudian terpengaruh oleh fikiran DPR, pemerintah, itu begitu itu penyakitnya DPR. : Iya Pak, terus gimana Pak akhirnya? : Nah, kalau saya kan memang ikut terlibat sejak proses awal meskipun sekarang sudah banyak yang lupa saya kan, Tapi kan, saya terlibat sejak awal. : Sejak awal Bapak memang Komisi I terus atau sempat berganti Pak? : Saya 13 tahun di Komisi I terus. : Komisi I terus ya Pak ya, itu alasan Bapak bergabung di komisi I memang Bapak yang mengajukan atau memang ditunjuk atau gimana Pak? : Ditunjuk, saya tidak pernah mengajukan diri saya. : Perasaannya gimana waktu sudah sering di Komisi I pak? : Ya udah biasa saja. : Ada perasaan akrab mungkin pak? : Iya ada sama yang udah lama juga tapi kalau sama yang baru ya berproses. : Bapak akrab sama siapa saja pak temennya biasanya? : Wah sama semua mbak, saya ya deket semua. : Tidak ada teman yang sering bersama mungkin pak? : Macem-macem mba kadang saya bisa sama siapa saja. : Baik pak, kalau misalnya dalam berpendapat biasanya lebih banyak menggunakan kata kami, kita atau saya pak? : Kalau yang menyampaikan secara pribadi digunakan saya biasanya namun ya terkadang menyelipkan kata kita. : Selama membahas UU KIP di fraksi itu kan berbeda-beda Pak, fraksinya itu dalam berbagai perbedaan itu kira-kira sering berkumpul nggak Pak di luar atau, maksudnya untuk menyatukan pendapat agar bisa lebih akrab atau gimana seperti itu ada upaya? : Nggak juga, kalau di DPR itu sudah pasti, kalau di luar itu ada inisiator saja. Begini kurang upaya untuk ada korp DPR itu tidak ada. Jadi korp DPR itu maksudnya, ini kita ini DPR harus bersatu melawan pemerintah itu nggak ada, yang ada adalah masing-masing partai bahkan 21
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA EC:
LA EC
LA EC LA EC LA EC LA EC LA EC
LA EC LA EC LA EC LA
EC
LA EC
masing-masing orang punya pendapatnya sendiri, gitu lho sementara pengetahuan dasar tentang kebebasan informasi public, jadi filosofi-filosofi tentang pentingnya mengakomodasi, memperhatikan, memperjuangkan hak-hak dasar public itu kan tidak sama bahkan pengetahuan seperti itu tuh kan masuk pengetahuan yang tidak dipahami oleh banyak orang, hanya orang tertentu saja. : Jadi waktu itu nggak ada semacam untuk biar bisa bersatu, biar bisa kompak gitu, jadi Bapak. Nggak ada. Begini Mbak, DPR mulai jaman dulu sampai sekarang itu nggak ada korp. Korp DPR mempertahankan ide DPR, itu tidak ada. Itu nggak ada jadi kalau dikejar pertanyaan itu jawabannya nggak ada. : Jadi walaupun lagi bahas satu tugas nggak bisa nyatu juga ya Pak ya? : Ya kadang ada yang bisa nyatu ada yang tidak, tetapi yang saya, ya bisa nyatu bisa tidak, tapi tidak ada satu pandangan, jadi bebas saja berpendapat. Kalo sama-sama ya sama-sama aja tujuannya. DPR itu masing-masing fraksi, nanti kemudian menyamakan. : Biasanya kalau lagi kumpul diluar rapat gitu pernah tidak pak? : Ya pernah. : Aktivitasnya pada waktu kumpul biasanya gimana pak? : Ya nggak gimana-gimana juga si, standar aja bicara kalau ada waktu istirahat. : Kata bapak tadi di DPR itu ide kurang bisa menyatu begitu saja, namun kalau misalnya ada pendapat luar yang memojokkan apakah ada upaya untuk melindungi kelompok pak? : Ya lihat dulu mbak urgensi pendapatnya, kalu misalnya dirasa sangat mengganggu dan tidak benar ya perlu kita klarifikasi. : Kalau bapak dibiang cukup vokal di Komisi I, berarti frekuensi kehadiran bapak dalam rapat pembahasan lumayan tinggi ya pak? : Oiya saya cukup banyak bersuara dan saya memang jarang absen mbak. : Kalau peran fraksi waktu bapak di Komisi I membahas RUU KIP bagaimana pak?apakah banyak memberikan masukan? : Yang jelas dari fraksi ada himbauan untuk mengoalkan RUU KIP namun kalau untuk banyak terlibat ya tidak juga si, kita relatif bebas karena interaksi lebih sering dengan komisi kalau lagi ada garapan Undang-undang. : Waktu di Komisi I Pimpinannya dipilih berdasarkan apa pak? : Ooh itu sesuai kesepakatan fraksi yang bersangkutan saja mbak siapa yang paling gede suaranya maka nanti ada yang ditunjuk jadi pimpinan untuk Komisi I gitu. : Kalau kemampuan pimpinan untuk mengakomodir pendapat anggota gimana pak? : Ya sama aja, pimpinan itu kan moderator, pimpinan itu tidak punya hak untuk memaksakan ide. : Tapi semua pendapat yang ada mereka tampung ya pak walaupun dari berbeda-beda fraksi? : Iya begitu ditampung saja semua sama pimpinan. : Jadi kalau Bapak nilai berjalannya pembahasan UU KIP secara umum itu kira-kira prosedurnya berjalan nggak Pak, misalnya kan ada jadwal yang tertulis, terus yang di umumkan kepada anggota sebelum pembahasan, itu kira-kira semuanya berjalan atau tidak Pak? : Ya, fleksibel lah ya. Satu saja DPR itu fleksibel, bisa mundur tapi nggak pernah maju yang terjadi lebih banyak mundurnya, tetapi mundurnya ada, ya mundurnya banyak sekali makanya KMIP ini kan salah satu Undang-undang yang paling lama, bahkan yang sudah di bahas Undang-undang lain di DPR itu sudah di bahas sudah hampir di putuskan juga bisa di batalkan bisa di nol kan. Ya lah, misalnya kayak Undang-undang tentang rahasia Negara, jadi, dulu setelah membahas Undang-undang KMIP, RUU KMIP itu kan setelah itu membahas tentang UU tentang Rahasia Negara. Itu sudah hampir rampung, kan terus kemudian batal semua total sampai sekarang kan nggak dibahas lagi kan, sampai sekarang belum di ajukan lagi. : Bisa sampai begitu ya Pak ya? : Ya, di DPR memang begitu, itu DPR kita ya, nggak tahu DPR Negara lain ya, DPR kita begitu. 22
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA EC LA EC LA
EC LA EC LA EC
LA
EC LA EC LA EC
: Jadi walaupun ini, jadwal tuh bisa mundur tapi nggak pernah maju ya Pak? : Nggak pernah maju.. : Tapi akhirnya juga sampai disahkan itu. : Iya, itu perjuangan panjang juga. : 2004 – 2009 itu memakan waktu 2 tahun ya Pak ya, sampai 2008. Kalau untuk kompromikompromi Pak kira-kira seberapa banyak ya Pak, terutama untuk pasal definisi badan public itu Pak? : Wah itu perdebatannya panjang sekali lah. : Bisa cerita nggak Pak kira-kira apa sih. : Saya lupa ya, tapi begini ya, yang begini ini kan ada dalam pembahasan Undang Undang seperti ini, ini ada namanya memorie van toelichting. : Apa tuh Pak? : Memorie Van Toelichting itu bahasa Belanda, itu ada satu catatan yang, catatan dari perdebatan yang terjadi dan itu mungkin ada di Komisi I atau ada di Pansus yang terkait dengan ini. Nah, itu pasti siapa ngomong apa, jam berapa, hari apa, itu ada semua. Nah kalau disuruh menceritakan yang seperti itu saya sudah lupa. : Bapak cukup aktif waktu itu Pak saya lihat di risalah dan saya dengar dari beberapa orang kan Bapak termasuk cukup aktif di pembahasan RUU KIP. Nah untuk yang badan public itu Pak, itu kan awalnya usulan dari DPR itu kan memasukan BUMN dan BUMD dalam rumusan definisi badan public sementara dari pemerintah tidak seperti itu dan akhirnya yang keluar di produk Undang-undang juga tidak keluar tapi menjadi subjek hukum sendiri di pasal 14 tentang masyarakat yang boleh, informasi yang boleh di buka oleh BUMN itu kira-kira seperti apa, maksudnya kenapa sampai akhirnya, akhirnya usulan DPR tidak jadi muncul di situ sementara saya baca di buku anotasi Undang-undang KIP yang di terbitkan oleh Komisi Informasi disebutkan bahwa sebelumnya telah terjadi kesepakatan dengan Menteri Mochammad Nuh bahwa pemerintah akhirnya menyetujui untuk memasukan BUMN sebagai badan public, seperti itu, itu kira-kira bagaimana ya Pak, kenapa ada semacam, sepertinya terjadi perubahan lagi, seperti itu? : Wah itu perdebatannya panjang sekalilah, saya udah banyak agak lupa ya, tapi di risalah ada. Intinya waktu itu komprominya lumayan kencang. : Waktu itu yang sering Bapak tekankan untuk badan public yang sering Bapak suarakan apa Pak? : Badan public itu yang sering kami suarakan adalah badan yang aktivitasnya memang di public, untuk kepentingan public, dibiayai oleh public atau dibantu oleh public. : Jadi waktu itu Bapak menginginkan, termasuk orang yang menginginkan BUMN, BUMD dicantumkan dalam? : Iya, karena apa, karena itu kan uang, nah disini ada perbedaan pandangan, jadi saya masih inget kalau nggak salah BUMN atau BUMD itu kan dibiayai oleh Negara, itu kan uang Negara yang dipisahkan untuk berbisnis mewakili Negara, jadi BUMN atau BUMD itu badan bisnis yang mewakili Negara. Nah itu berarti juga badan public sementara pemerintah pada saat itu punya pandangan “Oh, tidak, itu kan perusahaan terbatas, itu bukan badan public, dia kan bisnis, memang dia menggunakan uang Negara yang dipisahkan tapi pertanggungjawabannya tidak langsung ke public, pertanggungjawabannya adalah si PT itu, pelaku pelaksana perusahaan itu kepada pemerintah” kira-kira seperti itu, jadi disitu ada perbedaan, sementara kita punya pandangan semua apakah itu uang Negara yang dipisahkan atau apapun namanya intinya harus, apalagi kalau, ya itu pemahaman birokrasi lama, meskipun di pisahkan tapi kalau kita untuk demokrasi sekarang ini ketika kita mau nyuntik BUMN berapa itukan harus lewat APBN, kalau lewat APBN itu mutlak, itu public. Ya kan misalnya sekarang ini memang jaman Pak Harto dulu kan pikiran-pikiran lama kan, bahwa menyuntik BUMN langsung bahwa pemerintah dipisahkan langsung masukan disitu, kan begitu kan? Nah sekarang kan buktinya Bank mandiri mau minta suntikan, uang tambahan, ini uang itu kan minta kepada DPR ini, melalui APBN, kira-kira begitu.
23
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
: Bagaimana dengan upaya yang dilakukan oleh DPR Komisi I sendiri untuk semacam menganalisis perdebatan tentang Badan Publik itu demi mencapai hasil kesepakatan yang dianggap baik pak? EC : Ya perdebatan itu lumrah ya dan kita bersuara sesuai dengan pikiran dan nurani kita saja. Analisisnya sebatas obrolan antara kita aj kenapa begini kalau harus begitu gimana. Kan beda banget waktu itu sama pemerintah tarik menariknya lumayan juga. LA : UU KIP ini kan tadi seperti yang bapak bilang merupakan usulan DPR RI, berarti bisa dibilang satu visi kan pak ya, ada perasaan menyatu ga pak walau beda pendapat? EC : Wah kalo di DPR itu kadang nyatu kadang nggak mbak, tergantung isi kepala masingmasinglah. Tapi kalau dibilang kita sevisi iya. LA : Cuma banyak bedanya ya pak? EC : Ya banyak bedanya si karena kan pemikiran sendiri. Mungkin kalo sama-sama pengen jadi undang-undang ya itu, tapi kalo soal sama-sama soal pendapat ya itu ga bisa tetap, ada dinamikalah. LA : Tapi waktu itu Bapak sempat terus mengingatkan rekan-rekan Pak untuk tetap teguh di atas rumusan dari DPR atau bagaimana? EC: Begini Mbak, jadi jangan dikira di DPR itu bisa saling mengingatkan, tidak bisa, di DPR itu sejajar jadi kita per orang ini tidak bisa mengingatkan DPR yang lain, itu nggak bisa, di DPR itu adalah berfikir sendiri. LA: Walaupun fraksi juga nggak bisa Pak? EC: Nggak bisa, nah kalau fraksi sih bisa dengan pendapat fraksi kan ada tapi dengan fraksi lain itu nggak bisa, itu saling ini aja, bahkan kadang kala saja bisa berbeda kalau sudah begitu. LA : Jadi waktu itu yang Bapak ingat kira-kira yang agak kuat untuk mempertahankan rumusan soal BUMN atau BUMD masuk kedalam definisi badan public, kira-kira fraksi yang manamana saja Pak atau malah yang akhirnya ngekor jadi pro ke pemerintah yang mana-mana saja mungkin masih ingat Pak? EC : Sebenarnya di DPR itu mbak ga ada yang terlalu pro ke siapa ke siapa semua bebas berpendapat dan kalaupun pada akhirnya disepakati semua ya alamiah saja. LA : Bapak waktu itu ikut sampai selesai atau gimana Pak? EC : Ya iya lah, saya kan komandan dari PKB. LA : Iya, iya betul, tapi waktu itu PKB terus bertahan ya Pak ya dengan rumusan awal? EC : Perdebatannya seperti itu. LA : Tapi kira-kira ketika Bapak merasa sebagai inisiator terus kemudian hasil akhirnya di pasal 1 ayat 3 itu tetap dengan rumusan pemerintah, itu kira-kira ada semacam kekecewaan nggak Pak? EC : Ah, ya biasa lah Mbak di DPR itu, pembahasan Undang-undang ya memang begitu lah. Biasa lah Mbak, kita ini, jadi kita punya pedoman juga tidak ada kebenaran mutlak semuanya menjadi relative karena pendapat kita juga kan belum tentu benar 100%. LA : Kendala-kendala yang dirasakan ada waktu membahas ruu kip itu ee tentang keberagaman pendapat itu ya pak? Atau ada yang lain mungkin pak? EC : Ya itu aja LA : Mungkin menurut pak efendy, khusus mengenai pembahasan definisi badan publik itu kendala yg dirasa agak menggajal itu mungkin bisa dijelaskan lagi pak? EC : Ya pengetahuan pemahaman dasar tentang publik dan komponen-komponen dan variasivariasinya itu berbeda LA : Ooh itu dari masing-masing anggota komisi I maksud bapak? EC : Ya baik pansus maupun Pemerintah. LA : oh oke. Kalau untuk tekanan-tekanan yang berasal dari dalam anggota pak.ada yang dirasa menggangu ga pak? EC : oh ga ada LA : Misalnya tentang pemenuhan target pembahasan dari pimpinan atau ketidakpuasan dari berlangsungnya pembahasan atau kekecewaan terhadap kelompok fraksi atau dari fraksi yang lainnya? EC : ga ada sih, kita jalani biasa saja. 24
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA EC LA EC
LA
EC LA EC
LA EC LA EC
LA
EC: LA
EC
:dorongan-dorongan dari parpol, atau dari koalisi atau dari alat kelengkapan dewan ada ga kira-kira pak? :ga ada. Ga ada dpr itu longgar aja, biasa aja.perbedaan itu biasa aja.ga ada tekanan apalagi pimpinan. Pimpinan kan hanya moderator jadi ga bisa nekan-nekan anggota. : Kalau dari luar pak?ada tekanan ga kira-kira? : Dari luar itu ya paling pendapat-pendapat yang bersebrangan yang maunya disamaain gitu kan. Misalnya pendapat pemerintah sama LSM maunya begini terus ya kasih masukanmasukan buat pengaruhi DPR gitulah. Kadang diajak diskusi kita tapi ya ga sampai mengganggu juga si. : Oogitu. Kalau untuk perasaan bapak sendiri ketika membahas ruu kip itu ada semacam perasaan yang agak berbeda mungkin istimewa karena sedang melaksanakan tugas yang berfaedah atau apa..kira-kira ada ga yang bapak rasakan? : sama aja.semua undang-undang kan bermanfaat jadi sama aja.Istimewanya karena ini penting bagi penciptaan good governance. :oke, jadi bapak waktu membahas ruu kip itu ada semacam perasaan wah ini penting untuk publik jadi kita harus berhasil.kira kira begitu ga pak? : oh pastilah. Undang-undang ini bagian dari transparansi. Penciptaan suatu kehidupan berbangsa dan benegara yang diselenggrakan oleh penyelenggara negara namanya eksekutif, legislatif, yudikatif. Itukan harus transparan dan undang-undang ini memaksa mereka untuk transparan. Undang-undang ini memaksa ke mereka mau tidak mau para pemerintah khususnya itu harus terbuka kepada rakyatnya.karena ada fakta selama ini pemerintah itu tidak terbuka kepada rakyatnya padahal pemerintah kan dipilih. Pemerintah demokrasi kan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Karena itu semua yang dia lakukan termasuk anggaran yang dia miliki termasuk kalau rakyatnya ingin tahu apa-apa yang dilakukan, berapa anggarannya kan harus diketahui.harus diberikan harus diinformasikan pada publik gitu. Nah undang-undang ini ee kesitu arahnya dan otomatis dengan begitu lagi maka berikutnya akan semakin mengurangi ee apa korupsi.kan begitu.. : Ya itu tujuan utamanya ya pak? : Yaa salah satu tujuannya : Kalau untuk diskusi dengan pihak-pihak luar dengan harapan mungkin mendapatkan perspektif lebih luas tentang ee definisi badan publik itu kira-kira ada tidak pak? : Ada kan kita ee pikiran-pikiran yang kita kemukakan itu ya pikiran-pikiran dari publik dari lsm, penggiat-penggiat ee demokrasi dari kelompok-kelompok civil society yang ahli di bidang kepentingan publik itu. : Kalau dari pemerintah sendiri ee mungkin yang bapak ketahui dari menteri bumn atau pihak yang lagi diperdebatkan disitu, kira-kira mereka ada semacam lobi-lobi atau apa bahwa di dpr ini BUMN tidak boleh utuh ditampilkan seperti itu? Kira-kira mungkin bapak tahu? Nggak ada lobi-lobi khusus ga ada : Ga ada ya pak ya. Kalau pihak-pihak yang tadi ga setuju termasuk mungkin bapak kurang setuju terhadap keputusan kalau BUMN itu ee apa tidak bisa untuk tidak dijadikan atau tidak dimasukkan menjadi badan publik, itu yang lain gimana pak pendapat-pendapat yang kurang setuju itu ditanggap seperti apa oleh yang lainnya? : Ya itu aja itu kan soal pengetahuan. Jadi belum semua orang Indonesia khususnya di DPR termasuk pemerintah, ini kan sesuatu yang baru.undang-undang ini sesuatu yang baru sama sekali, bukan merevisi undang-undang yang sebelumnya ada ya kan?, sehingga pengetahuan tentang badan-bdan publik, informasi publik, mana yang rahasia mana yang tidak Itu kan sesuatu yang baru. sehingga kalo beragam pendpat itu wajar. Yang kedua jadi harus dimaknai bukan sesuatu yang aneh gitu loh. Itu wajar aja, karena kita juga proses belajar karena kita ini baru demokrasi ya kan?
LA: iya EC : Jadi pemahaman terhadap hal-hal yang seperti itu ee baru mengemuka sekarang kan. Baru mengemuka era reformasi kan. Yang kedua tentu saja orang-orang birokrat yang begitu lama di dalam pemerintahan itu ada kemudian mantan-mantan tentara misalnya gitu kan. Itu kan punya pandangan seolah-olah ee apa yang mereka urus semua itu rahasia ka begitu? 25
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA EC
: Iya : Padahal kan tidak. Justru negara itu hal-hal yang terkait dengan APBN terkait dengan kebijakan yang meyangkut hajat hidup orang banyak, itu bukan rahasia. Itu hak publik harus tahu. Sehingga ada unsur kekhawatiran-kekhawatiran dari pihak pemerintah. Atau pihak DPR juga yang memang DPR kan juga banyak dari kalangan birokrat. Artinya pengalaman birokrasi, pengalaman di tentara kan begitu kan? Bukan semua orang DPR itu produk aktivis civil society.bukaaan....sehingga pikiran-pikirannya kadang tidak maju, tidak pro publik itu kan juga masih banyak DPR itu. Lain dengan orang yang dulunya wartawan, dulunya aktivis pergerakan itu kan cepat menangkap hal-hal terkait dengan kepentingan-kepentingan publik. Okeh yaa apa lagi? LA : jadi untuk hasil akhirnya itu kira-kira ada seperti ini, Ya sudah ikut suara terbanyak aja misalnya ketika ada perdebatan? EC : Jadi begini semua adalah hasil proses dialektik intelektual, dialektik wawasan, dialektik kepentingan, dialektik wacana, lalu kemudian...itu wajar dalam konteks demokrasi. Yang kedua semua gagasan, pendapat, segala macem itu masing-masing mengandung unsur relativitas. Tidak ada pendapat satu manusia itu mutlak benar. Nah kemudian hasil proses itu terjadilah keputusan seperti itu. Menurut saya yaa sesuatu yang terbaik. Ini kan cermin dari perjalanan suatu bangsa yang diwakili yang di representasikan oleh wakil-wakilnya yang ada dilembaga negara gitu kan? LA: iya betul. EC: Itu juga sekaligus cermin masyarakat gitu ya. Jadi kalau produk apa yang kita produk itu tidak modern betul tidak hebat betul itu juga cermin dari masyarakat. LA: hmmm gitu ya pak ya EC: Iya.seperti media massa itu kan cermin dari masyarakat. Kalau media massa itu burem warna warninya begitu beragam itu masyarakat kita juga burem ya beragam ya seperti itu. LA : Ok. jadi bapak menilai ee hasil akhir kputusan ruu kip itu kira-kira sudah baik atau belum pak? EC : Ya itulah hasil maksimal yang kita capai. Itu produk dari apa namanya tingkat kemampuan kita itu juga cermina dari keberagaman masyarakat kita.itu aja. LA : Perlu pengkajian lagi atau revisi mungkin pak UU KIP? EC : Moso baru satu tahun dua tahun tiga tahun direvisi lagi sementara belum semua diterapkan. Ini belum semua kepala daerah menerapkan itu. Belum semua menerapkan itu, belum semua kedutaan besar kita menerapkan itu, belum semua lembaga-lembaga yang lain menerapkan itu. Jadi dicoba dulu itu kan. LA : Jadi harapan bapak ke depan untuk undang-undang ini terutama untuk bagian badan publik tadi kira-kira apa pak? EC : Ya semua diterapkan dulu, diterapkan dulu.aa setelah itu kemudian ee ini apa namanya mana yang kurang mana yang kurang sempurna ya perlu disempurnakan. Jangan setiap orang yang tidak cocok kemudian ingin langsung merevisi kan gitu ya...setiap undang-undang itu kan ada landasannya, satu filosofis, dua yuridis, tiga sosiologis. Nah yang saya ceritakan tadi itu semua produk kita itu cermin dari masyarakat kita itu kan cermin sosiologis. Nah yang sosiologis itu menjadi salah satu dasar untuk pembuatan undang-undang. LA: Ok. Waktu itu bapak masuk sebagai tim perumus juga ga pak? EC: Iyalah LA: Iya pak?waktu di tim perumus itu hal-hal yang belum EC: Pokoknya begini deh, saya lupa detil-detilnya tapi initinya yang dari PKB yang menekuni bidang itu dulu saya mulai dari proses awal ee inisiator sampai proses pembahasan sampe berikutnya berikutnya itu ya secara umum saya ikutlah. Detil-detilnya itu sudah lupa. LA: Bapak happy ga pak dengan undang-undang ini? EC: Ya setiap yang kita putuskan ya..sekali lagi happy ga happy ya itu yang kita produk untuk kepentingan negara bangsa. Undang-undang itu hasil maksimal dari sebuah proses. Ijtihad bersama LA: Jadi kira-kira sudah berhasil belum pak untuk undang-undang yang ini nih menurut bapak? EC: Lha saya tadi sudah jawab. 26
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Cerminan masyarkat ya pak ya? EC: Iya dan dpr itu juga cerminan masyarakat. produk dpr itu ya juga cerminan dari beragam kepentingan masyarakat. LA: Baik. Terima kasih atas waktu untuk wawancaranya pak. EC: Ya ya.
Hasil Informan Utama 4 Narasumber Tempat Tanggal Narasumber Pewawancara LA
: Drs. Hajriyanto Y Thohari, MA (FGolkar) : Jakarta : 10 Maret 2015, Pukul 12.00 WIB : Hajriyanto Tohari (HT) : Lisa Adhrianti (LA)
: Ya pak mungkin kita bisa mulai. Terimakasih untuk waktunya pada siang ini sudah bersedia menjadi narasumber penelitian saya. Penelitian saya ini tentang pembahasan RUU KIP di Komisi I periode 2004-2009 pak. Jadi saya khusus melihat tentang pembahasan mengenai definisi badan publik. Jadi kan waktu itu RUU KIP kan memang agak lama dibahas dan 27
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
HT LA HT
LA HT
LA HT LA HT
LA HT LA HT
LA HT
LA HT
LA HT
LA HT
LA HT
mungkin Bapak bisa cerita mengapa bisa itu akhirnya nggak selesai di periode sebelumnya dan dilanjutkan ke periode berikutnya? : Ya, factor pembahasan Undang-undang KIP yang begitu Panjang itu banyak ya, tapi yang pertama pemerintah. : Pemerintah ya pak? : Ya, pemerintah memang tidak memiliki kesadaran yang cukup bagi pentingnya Undangundang kebebasan menerima informasi public. Ini dulu kan namanya KMIP (Kebebasan Menerima Informasi Publik) jadi KIP belakangan. Jadi kesadaran pemerintah tentang pentingnya KIP memang tidak cukup sehingga tidak nampak sekali adanya antusiasme. : Keseriusan ya pak ya? : Ya, antusiasmenya saja tidak nampak, jadi akhirnya pemerintah menyetujui untuk membahas RUU itu ya lebih karena terpaksa, karena dipaksa terus jadi hampir dalam setiap rapat kerja anggota Komisi I selalu mendesak pada menteri, menteri Kominfo pada waktu itu. : Sofyan DJalil? : Ya, jadi maunya karena terdesak saja itu yang pertama. Yang kedua, pemerintah ada resistensi karena Undang-undang ini akan menjadi beban bagi pemerintah. : Begitu ya pak? : Karena jadi beban pemerintah yang selama ini suka mempunyai banyak informasi yang dia sebutkan sebagai rahasia nanti akan dibuka, jadi intinya pemerintah ngak mau berubah sebetulnya. : Walaupun sudah. : Reformasi. : Iya. : Sudah mereka kan nggak ngerti reformasi, ini kan manusia-manusianya kan sama. Manusia sebelum reformasi sama reformasi ini kan sama nggak beda, jadi sesuatu yang selama ini jadi privilege ya dia tidak mau dibuka. Yang ketiga, pemerintah tidak tahu manfaatnya. : Oh gitu ya pak? : Ya, kan kira-kira teorinya kan begini, korupsi itu kan dari ketidakterbukaan, korupsi itu kan sembunyi-sembunyi tertutup, nah maka salah satu cara untuk mencegah terjadinya korupsi itu dengan memulai keterbukaan. : Iya. : Tentu KIP ini nggak bisa untuk memberantas korupsi tapi untuk mencegah korupsi bisa. Nah kalau sudah memberantas ya bukan KIP tapi untuk mencegah. Kalau segala sesuatunya terbuka kalau orang buat anggaran terbuka semua tahu, peruntukannya untuk apa terbuka tahu, kan nggak kan ada korupsi. Beli computer harganya berapa terbuka ya nggak kan ada yang korupsi begitu kan. Kalau diam-diam tendernya, diam-diam sembunyi-sembunyi ya pasti akan membuka itu. Nah itu factor yang paling besar. : Yang ketiga ya pak ya? : Factor yang paling besar itu. Jadi pemerintah memang dari awalnya nggak bersemangat. Yang kedua tidak mau sesuatu yang selama ini menjadi keistimewaan mereka untuk sembunyi-sembunyi, untuk tidak membuka informasi sedikit-sedikit bilang rahasia Negara maka dia nggak mau. : Iya. : Dan yang ketiga mereka nggak ngerti manfaatnya, nggak ngerti manfaatnya bahwa itu menjadi tool menjadi Instrument untuk pencegahan korupsi, bahkan pemerinta nggak tahu bahwa Undang-undang KIP itu merupakan bagian dari apa, dari rumpun Undang-undang pencegahan dan pemberantasan korupsi, jadi yang masuk rumpun Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi itu kan KPK, Undang-undang tentang KPK, Undang-undang tentang perlindungan saksi dan korban, keterbukaan informasi public, Undang-undang tetnang pencucian uang, Undang-undang Tipikor, banyak banget. Nah Undang-undang tentang KIP salah satuya ini pemerintah nggak ngerti nggak dong. : Nggak dong jadi lama. : Jadi pemerintahannya kaya kebo gitu loh, artinya dia jalan kalau di pecut kalau di gebuggebug kita jalan-jalan-jalan. 28
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA : Setelah di pecut baru jalan. HT: Iya bolak balik ditanyain, diprotes, didesak baru akhirnya mau. LA : Tapi ini merupakan unsur inisiatif DPR yang datang dari LSM atau murni dari DPR pak? HT : Undang-undang ini dari sudut ide, itu dari para anggota DPR yang juga merangkap menjadi. LA : Aktivis pak waktu itu? HT : Bukan, menjadi badan pekerja MPR. LA : Oh. HT : Kenapa itu? LA : Badan pekerja MPR pak. HT : Badan pekerja MPR yang meng-amandemen Undang-undang dasar membuat macemmacem itu, termasuk membuat tap MPR tentang penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme kan desainnya dari situ. Wah ini untuk mencegah korupsi ini harus ada sekian Undang-undang dan sekian lembaga. Undang-undang tentang KPK, wah harus dibuat Komisi KPK, Undang-undang tentang perlindungan saksi dan korban harus dibuat apa itu LPSK lembaganya LPSK tapi Undang undang dibuat, terus Undangundang tentang pencucian uang dibuat PPATK. Nah tentang ini supaya yang sembunyisembunyi tiu dibuka maka dibuat Undang-undang tentang KMIP harus ada Komisi Informasi Public, dibawa dari sana idenya tapi kemudian dapat sambutan dari LSM, LSM juga tahu pentingnya soal itu maka kemudian rancangan drafnya di buat oleh LSM terutama oleh Koalisi Kebebasan Informasi. Ada koalisi. LA : Poin-poinnya dari mereka ya pak? HT : Iya, Koalisi Masyarakat Sipil tapi yang bergerak dibidang ini mereka tapi kan nerubah-rubah tergantung apa itu, sebagai kepanitiaan ad hock itu atau apa namanya lalu buat itu. LA : Draf itu ya pak? HT : Iya draf itu. LA : Mereka yang buat atau bersama-sama dengan DPR? HT : Mereka buat kemudian diserahkan ke DPR. LA : Ke badan? HT : Ke anggota-anggota dulu lalu anggota-anggota buat usulan. LA : Ke badan legislasi? HT : Ya kan untuk rancangan Undang-undang inisiatif DPR kan harus ada usulan, minimal ditanda tangani berapa orang waktu itu ya, Kalau nggak salah waktu itu masih 13 atau sudah 25 ya? LA : Waktu awal itu ya pak? HT : Iya. Ya tentu dilakukan pembenahan juga meskipun nggak terlalu baik. LA : Kalau untuk di baleg sendiri ada orang yang ikut memudahkan jalannya biar masuk kedalam program legislasi itu? HT : Ya relative kalau di DPR tidak terlalu ada penentangan ya. Mungkin tidak adanya penentangan di DPR karena nggak paham juga anggotanya DPR. LA : Akhirnya yang masuk. HT : Akhirnya yang paham inisiator-inisiator itu, ya kami-kami yang di badan pekerja MPR yang tahu desain, desain kedepan ini, ya tapi dimana saja selalu begitu kan nggak usah banyakbanyak kan, yang tahu tahu dikit saja yang lain diyakinkan iki penting wes menengo wae setuju gitu loh kalau bahasa jawanya. LA : Iya jadi masuk ke prolegnas itu ya pak ya? HT :Iya. LA : Setelah tidak selesai dibahas itu berarti apa diusulkan lagi kemudian dimasukan lagi. HT: Memang belum dibahas pada waktu itu artinya kan dibahas dalam pengertian. LA : Berbentuk draf ya pak? HT : Gini sudah diputuskan di DPR ini jadi inisiatif tapi pemerintah belum setuju. LA : Waktu itu Ibu Mega ya pak ya? HT: Iya kalau pemerintah belum setuju kan nggak bisa dibahas di Undang-undang, kalau Undang-undang kan harus dibahas bersama-sama antara DPR dengan pemerintah dengan presiden. 29
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA HT
LA HT LA HT LA: HT LA HT LA HT: LA
HT:
LA HT LA HT LA HT
LA HT LA HT LA HT LA HT LA HT LA HT LA HT LA HT LA
: Tapi waktu itu sudah ada penunjukkan untuk Komisi I? : Belum, awalnya belum sampai berakhir bab pemilu 2000, itu kan periode 1999-2004 tapi sampai selesai 2004 itu nggak jadi, baru setelah 2004 terbentuk DPR yang baru lagi, didorong-dorong lagi maka mulai baru bisa presiden setuju, masuk prolegnas, presiden setuju presiden membuat Ampres kan, siapa menteri yang ditugaskan lalu disepakati si Komisi I itu. : Berarti awal pembahasannya itu semua Komisi I terlibat ya pak? : Ya, karena Komisi menjadi Pansus. : Oh Komisi I menjadi Pansus? : Ya kan begini di DPR ini Pansus itu bisa lintas Komisi dibentuk Pansus sendiri anggotanya dari berbagai Komisi tetapi bisa juga kalau disepakati Komisi yang bertindak sebagai Pansus. Jadi kalau untuk ini Komisi I ya pak ya? : Ya, kalau dimensinya nggak terlalu banyak itu Komisi biasanya, misalnya Undang-undang tentang haji itu kan Komisi Agama saja lah gitu. : Jadi memang Pansus ya pak waktu awalnya itu. : Jadi Komisi yang bertindak sebagai Pansus. : Pansus ya pak ya? Pimpinannya yang pimpinan Komisi itu. : Cuma lama kelamaan sampai ke timus-timus ini nggak semuanya ikut ya pak ya? Pembahasan rapat kerja kemudian Panja kemudian ke tim perumus, tim singronisasi semuanya nggak ikutan lagi kan yang di anggota Komisi I yang perwakilan saja ya pak ya mengerucut ? Iya Pansus juga begitu sebetulnya sama nggak ada bedanya. Komisi yang menjadi Pansus atau dibentuk Pansus itu namanya ada sidang pleno Pansus, kalau Komisi ya berarti sidang Pleno Komisi, nanti kalau sudah ada pembahasan dibentuk Panja yang lain di Pansus pun juga nggak ikut Panja, nanti Panja itu biasanya separuh dari anggota Pansus. : Itu memang prosedurnya ya pak? : Iya, setelah itu timus, tim perumus itu lebih kecil lagi nanti 1/4nya anggota Pansus, 1/2nya Panja. : Penunjukan-penunjukan yang ikut ke Panja yang ikut timus itu? : Itu haknya fraksi. : Haknya fraksi ya pak ya, bukan pimpinan ya pak? : Bukan, fraksi. Pimpinan minta kepada fraksi ini anggota Panja misalnya 25 lalu dibuat proposional ,PDIP 3, Golkar 2 ini gini ya sudah, mana Golkar 2, mana PDIP 3 yang nunjuk orangnya fraksi. : Waktu itu bapak berarti di Komisi I terus ya pak ya dari tahun 1999 itu bapak Komisi I ya pak ya? : Iya. : Sampai 2009 itu masih di Komisi I ya pak? : Iya. : Itu bapak yang mengajukan atau memang penunjukan fraksi Bapak harus di Komisi I? : Setiap fraksi beda-beda. : Iya. : Setiap fraksi itu cara menunjuk anggota di Komisi beda-beda, ada yang fraksi aja kamu tugasnya di Komisi ini ini ini. : Kalau bapak waktu itu seperti apa pak? : Ada juga yang kombinasi, kombinasi gini artinya setiap anggota boleh menulis pilihan di formulir 3 Komisi nanti yang menentukan pimpinan fraksi. : Kalau Bapak waktu itu? : Saya memang Komisi I. : Mengajukan bapak? : Iya saya memang daftar no pilihan 1 Komisi I. : Oh gitu. : Saya dua periode di Komisi I, 1999-2004 di Komisi ,I 2004-2009 di Komisi I. : Setelah itu baru ganti ya pak? Yang kemaren 2014. 30
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
HT LA HT LA HT LA
HT LA HT
LA HT LA HT LA HT LA HT LA HT: LA HT LA HT LA HT LA HT
LA HT LA HT
LA HT LA HT
: 2009-2014 saya jadi wakil ketua MPR. : Oh ya. : Jadi kalau jadi pimpinan MPR atau DPR itu nggak boleh jadi anggota Komisi. : Waktu sudah berhasil masuk di komisi I gimana pak? : Ya sesuai saja dengan pilihan, senenglah. : Pak kan di Komisi I kan berbagai macam fraksi yang tergabung Komisi disiitu, ini selama membahas RUU KIP ini itu ininya bagaimana pak, menjadi akrab atau memang sudah saling kenal sebelumya atau ini kan baru periode nih 2004-2009 misalnya seperti itu, waktu itu bagaimana pak waktu membahas UU KIP ini? : Nggak ada masalah biasanya politisi di DPR itu kan adaptasinya cepat. : Cepat ya pak ya? : Adaptasinya cepat kemudian segera tune in lah gitu, apalagi kalau Undang-undang dimensi politiknya nggak terlalu menonjol, artinya dimensi politik menonjol itu tidak terlalu terkait dengan kepentingan partai politik. Kalau misalnya Undang-undang tentang partai politik atau tentang pemilu, wah itukan dimensi politiknya tinggi, kKalau Undang-undang tentang KIP ini kan nggak terlalu politis. : Biasanya lebih cair ya pak ya? : Lebih cair. : Oke, biasanya selama, selain didalam lingkup pembahasan itu sering ketemu nggak pak di luar, sering kumpul nggak pak sering interaksi si luar dengan sesama Komisi I seperti itu? : Iya sering, tapi kalau di luar nggak pernah menbicarakan, anggota DPR kalau di luar mana mau membicarakan itu. : Nggak pernah ya pak? : Nggak penah kalau ini ketemu di luar di restoran atau di. : Misalnya ada rapat yang di luar gitu pak nggak ada? : Nggak ada, paling di puncak itu. : Tapi memang rapat ya pak ya? Di Wisma Kopo iya. : Jadi selain substansi kerjaan. : Diluar paling Wisma Kopo memang wisma DPR kan? : Iya, selebihnya jarang ketemu pak? : Selebihnya ketemu sering tapi nggak membahas begitu, mana mau anggota DPR kalau sudah kumpul-kumpul di tempat itu. : Biasanya yang dibahas apa pak, yang ringan-ringan? : Yang ringan-ringan ngakak-ngakak saja, mana ada anggota DPR diluar mau membahas Undang-undang, kecuali politik tapi Undang-undang, males terlalu serius. : Kalau mengemukakan pendapat biasanya lebih sering pakai kata kita atau kami atau saya pak? : Oh campur-campur itu, tergantung apa yang diutarakan. Kalau misalnya belum ada pembicaraan sebelumnya artinya spontan ya saya tapi kalau misalnya sudah ada pembahasan dulu sama rekan-rekan ya kita gitu. : Yang lebih sering mana pak? : Wah lupa,coba cek di risalah saja deh. : Oke pak. Waktu membahas itu kan lama tadi ya pak ya? Pastinya penilaian masyarakat atau opini media beragam. Ada tidak yang memojokkan pak? Menyikapinya bagaimana? : Oya pasti ada itu, kita sikapi dengan bijak saja. Kalau saya sih cukup blak-blakan ya misalnya ada wartawan nanya yang kurang sesuai gitu. Biasalah ada pro kontra. Yang jelas kita kan kerja, lama itu ya karena kerja bukan lama dianggurin. : Ooiya. Terus waktu itu bapak hadir terus pak dalam tiap rapat? : Oiya saya sering hadir, jarang absen kok. : Kalau untuk peran fraksi dan interaksi dengan fraksi waktu bahas RUU KIP gimana pak? : Fraksi dengan bahasan RUU KIP ini si ngga terlalu gimana juga ya, mendukung aja tapi ya tetap kita ada himbauan mengenai sikap begitu. Cuma kalau saya ini orangnya berani ya kalau lihat mana yang dianggap logis ya jalan walaupun harus diprotes fraksi. 31
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA HT LA HT LA HT LA HT LA HT
LA HT
LA HT LA HT
LA HT LA
HT
LA HT LA HT LA HT
: Oke oke....kalau untuk interaksi dengan fraksi dibanding komisi banyakan mana pak? : Ya banyakan komisi, rapat fraksi kadang-kadang saja. : Pak waktu itu yang menjadi pimpinan dalam membahas RUU KIP? : Pimpinan Komisi. : Termasuk Bapak ya? : Nggak, saya baru ikut pimpinan di Panja. : Oh setelah beberapa kali raker ya pak ya? : Iya. : Itu pilihan pimpinan untuk itu memang berdasarkan pimpinan Komisi saja atau ada factor lain pak? : Ya seperti saya tadi bilang Pansus itu bisa di bentuk Pansus yang lintas Komisi yang anggotanya dari berbagai macam Komisi, walau itu nanti kemudian Pansus kumpul terbentuk lalu kumpul milih pimpinan. : Nah itu berdasarkan apa pak? : Tetapi kalau Pansus itu Komisi yang bertindak sebagai Pansus artinya Pansusnya pada saat itu Komisi I itu ya pimpinannya ya nggak usah dipilih lagi udah dari Komisi. Berdasarkan siapa yang dijagokan fraksi saja terus kita biasanya ya setuju aja. : Itu pimpinan kira-kira menurut Bapak memberikan kesempatan yang sama nggak pada seluruh anggota untuk mengajukan pendapatnya atau ada yang pro hanya ke fraksinya saja? : Iya semua dipersilahkan kok selagi ada waktu : Kalau ada yang berbeda pendapat terutama sama Fraksinya pimpinan, iitu pimpinan jadi gimana pak?terlihat acuh tak acuh atau ada semacam himbauan tegas tidak? : Oh nggak. Karena ini Undang-undang yang sifatnya itu inisiatif dari DPR, itu sudah satu suara DPR itu sehingga yang menjadi problem dalam pembahasan ini dengan pemerintah bukan lagi antar fraksi. : Oh gitu ya pak ya? : Karena nggak ada lagi dim fraksi, yang ada dim-nya DPR dan dim nya pemerintah. : Lebih susah, pak saya dengar itu katanya lebih susah Undang-undang yang memang unsur inisiatif DPR dari pada unsur inisiatif presiden atau pemerintah, apakah begitu pak. Jadi kalau pembahasan dari inisatif dari DPR memang kayaknya agak susah karena memang pemerintah kurang tadi seperti yang tadi bapak bilang? : Iya resikonya sama saja, cuma kan begini anggota DPR kan sering tidak ngeh misalnya kalau RUU itu dari DPR itu kan logikanya suara DPR itu sudah satu, nah tetapi karena lebih banyak RUU itu datangnya dari pemerintah maka ketika membahas RUU yang datangnya dari DPR itu, ada kecenderungan nggak ngehnya itu mengira tanpa sadar ini kayak RUU yang datang dari pemerintah sehingga masing-masing fraksi ngomong bergiliran padahal kalau UU itu inisiatif dari DPR itu sebenarnya nggak perlu giliran sudah wakil dari DPR gimana, nah ibaratnya pemerintah pengen kata dapat, DPR pengen kata bisa yang benar ya dapat. apa bisa gitu lho nggak ada pendapat fraksi-fraksi yang lain. Itu pembahasan di situ ya sering kali seperti itu, baru nanti diingatkan oleh pimpinan, ini inisiatif lho ya, oh ya oke. Maka ketika misalnya issue tentang judul , DPR ingin KMIP (Kebebasan Memperoleh Informasi Public), pemerintah nggak mau pengertiannya kok kebebasan itu konotasinya kok liberal. Kenapa nggak menghilangkan kata itu, saja pemerintah takut waktu itu, nah DPR ingin ganti. Yang kedua misalnya definisi tentang badan public, pemerintah beda dengan DPR ya gitu persoalan-persoalannya. : Kalau untuk prosedur secara umum menurut Bapak itu memang berjalan sesudah sesuai terjadwal, urut atau bagaimana pak untuk pembahasan RUU KIP ini. : Ya sama dengan pembahasan UU yang lain di DPR kalau sudah seperti itu kan jadwal itu disepakati dari awal. : Ngaak ada yang molor, maksudnya ada yang nggak dijalankan atau. : Ya dijalankan. : Jalan semua ya sesuai prosedur ya. : oh iya. 32
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA HT
LA
HT: LA
HT
LA HT
LA HT
LA
HT
: Kalau untuk metode pengambilan keputusannya pak, kira-kira sudah sesuai juga tidak atau banyak kompromi-kompromi didalam pembahasan KIP. : Ya pasti ya, kalau sudah dilembaga politik itu kan misinya kompromi-kompromi, misalnya DPR minta judulnya KMIP, pemerintah apa ya, akhirnya disepakatinya jadi KIP, kata kebebasannya dihilangkan, misalnya pemerintah nggak mau Bank BUMN itu terbuka pemerintah nggak mau misalnya. DPR maunya ya bank itu harus terbuka juga dong dibuka, aksesnya public juga pemerintah tidak mau maksudnya dibuat kompromi oke bank boleh dibuka pada aspek-aspek tertentu, tadinya kan pemerintah mengatakan nggak bisa , bank itu rahasia, DPR bilang nggak rahasia ini uang public kok dan sebagainya harus dibuka. Komprominya oke boleh dibuka tapi apa yang dibuka misalnya satu, komposisi permodalan, yang kedua laporan keuangan tahunan, yang ketiga misalnya jumlah funding dan jumlah landing misalnya gitu. Tapi yang tidak bisa dibuka misalnya satu, nama-nama nasabah, nama komisaris nama direksi boleh dong itu dibuka, tapi nama-nama nasabah nggak boleh itu rahasia bank. Eni misalnya punya tabungan seratus milyar rahasia itu nggak boleh dibuka itu rahasia Negara itu, tapi nanti ada klausul di informasi yang dikecualikan boleh itu dibuka kalau Eni menjadi tersangka kasus korupsi, baru boleh dibuka misalnya gitu. : Waktu itu saya baca di risalah kan agak lumayan alot dan panjang sampai timus itu sampai Panja terakhir itu belum diputus untuk definisi badan public untuk pasal 1 ayat 3 itu, kira-kira keberatan-keberatannya itu dimana pak apa seperti tadi yang bapak sebutkan sebelumnya. Ya, yang saya sebutkan tiga tadi, yang bikin ini. : Terus saya baca di buku anotasi UU KIP yang diterbitkan Komisi Informasi sama LSM ICEL, itu katanya sebenarnya sudah ada kesepakatan antara Menkominfo Muhammad Nuh sama DPR bahwa BUMN akan dimasukan kedalam definisi badan public pasal 1 ayat 3 berdasarkan isi rapat pada tanggal 18 apa gitu ya Cuma saya tidak menemukan risalahnya di DPR. Saya tidak menemukan risalahnya dan mungkin Bapak ingat nggak pak kira-kira memang begitu atau bagaimana ya pak soalnya kan terakhir hasil akhir dipasal 1 ayat 3 nggak ada seperti rumusan yang dari pemerintah saja jadinya bukan seperti yang di DPR tapi malah adanya di pasal 14 BUMN masuk dengan syarat-syarat informasi yang bpleh dibuka seperti ini ini seperti itu. Kira-kira itu gimana pak, saktu itu siapa saja yang mungkin agak vocal atau agak menentang pemerintah gitu gitu gimana pak. : Saya termasuk yang menentang ketidakbersediaan pemerintah untuk BUMN, terutama bank ya. Saya juga bukan hanya di sidang saya berdebat dengan menteri Sofyan Djalil bahkan juga di polemic di Koran ya, di Koran saya juga banyak mengkritik dan menghantam menteri Djalil atau kalau bilang keras kepala, ya sudahlah. : Bapak ada mengingatkan anggota lain nggak pak maksudnya diKomisi satu yang untuk tetap konsisten dengan rumusan awal dari DPR. : Ya, karena itu tidak interfensi kok dan menteri Sofyan Djalil ini juga melobi ketua-ketua umum partai. Golkar kan ketua umumya Jusuf Kalla waktu itu tapi Jusuf Kalla di laporin juga sama Sofyan Djalil kenapa begitu karena saya dimarahin oleh pak Jusuf Kalla. : Oh gitu pak. : Ya, Pak Jusuf Kalla itu panggil saya marah dia, “Hajriyanto itu apa-apaan, masa BCA tidak kamu wajibkan dibuka tapi bank Mandiri kamu wajibkan buka karena bank Mandiri BUMN, kalau gitu jebol dong sudah pokoknya nggak bisa bank itu aspek bisnis tidak bisa untuk dibuka gitu” marah-marah dia karena saya dimarahi oleh ketua umum dirapat ganti saya marahi menteri nya saya bilang “kalau memang berdebat disini debat disini dong jangan lapor-lapor diluar saya bilang gitu kan. : Kalau untuk partai-partai pengusung pemerintah misalnya Demokrat kan sepertinya mendukung pemerintah pak, sementara yang lain mencoba bertahan terhadap rumusan DPR. Apa waktu itu ada semacam himbauan mungkin pak untuk opini yang minoritas ? : Ya pro pemerintah tapi menduukung kita juga kok. Kebetulan di fraksi Demokrat kan orangnya sedang, pada waktu itu ya nggak pintar-pintar juga jadi gampang lah kita pengaruhi, ya diapusin dikit. Tapi disitu saya rasa yang paling perannya besar menteri pada waktu itu masih Sofyan Djalil, Nuh itu akhir-akhir aja dia nemu karena dia jadi menteri Kominfo baru, 33
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
ya tinggal beberapa kali rapat gitu, lalu dia yang tandatangan yang mewakili pemerintah kayaknya produk dia padahal bukan produk dia, sebenarnya produknya Sofyan Djalil itu. LA: Tapi kan sempat berganti ke Muhammad Nuh. HT: Oh iya, bagaimana nggak ganti orang dia ikut rapat akhir-akhir. LA: Berarti yang duluan Sofyan Djalil atau Muhammad Nuh pak? HT: Ya Sofyan Djalil dong kan itu, Nuh itu mengganti Sofyan Djalil jadi menteri. LA: Jadi waktu ketika Muhammad Nuh, kira-kira pemerintah masih agak keras atau. HT: Sudah mau selesai seperti saya bilang tadi, Nuh itu kurang, nggak berperan banyak sudah mau rampung seperti tadi saya bilang berkelahinya kan dengan Sofyan Djalil. LA: Ya ya ya. HT: Ini sudah mau selesai, itu ibarat orang mau pergi ke Bandung atau dimana sudah sampai pada Padalarang baru supirnya diganti Nuh. LA : Terus kira-kira dengan putusan akhir yang hanya muncul dipasal 14 bukan didefinisi badan public seperti yang rumusan DPR itu kira-kira kesannya menurut Bapak ada nggak semacam kekecewaan atau apa? HT : Ya tentu ada kekecewaan tapi kan Negara ini kan diurusi oleh orang banyak, masa kita ikut pusing-pusing sendiri juga kalau mau diperbaiki ya oke lah ayuk, tapi kalau diajak perbaiki ya sulit-sulit sudah kan bukan Negara saya Negara orang banyak gitu kan. LA : Tapi akhirnya yang waktu itu yang menurunkan tensi berarti DPR ya pak ya. HT : Ya memang. LA : Di akhir-akhir itu. HT : Ya, karena defensif sekali pemerintah ini seperti saya bilang tadi defensif, resisten. Misalnya gini kalau pemerintah suruh terbuka, LSM-LSM juga dong maka nanti definisi publicnya akhirnya diperluas bukan hanya tadi. Tadinya kan konsep awalnya itu yang dimaksud dengan badan public yang harus terbuka itu adalah eksecutive, legislative, yudikatif, BUMN termasuk BUMD, Universitas-universitas Negeri atau lembaga-lembaga yang dibiayai dengan APBN gitu aja kan, lalu pemerintah bilang, kalau kami suruh terbuka LSM-LSM itu dapat dana dari luar, ngumpulin dana dari masyarakat juga kalau gitu dibuka juga dong. LA : Akhirnya komprominya di situ pak ya. HT : Pemerintah kan kayak gitu, jadi kayak orang curi listrik dipinggir jalan lalu ditegur bilang, itu tetangga saya juga. Kalau saya suruh terbuka yang lainnya juga. LA : Akhirnya semuanya pada nerima dong pak ya. HT : Partai politik akhirnya juga dimasukin disitu padahal sebenarnya di UU partai politik sudah ada, jadi itu menunjukan defensifnya pemerintah itu disitu. LA : Bapak selama membahas RUU KIP ada semacam perasaan menyatu ga pak dengan yang sesama komisi? HT : Kita cukup terbuka aja adiskusi, soal menyatunya itu ya lumyanlah ada beberapa orang yang cukup concern dan klik dengan saya. LA : Jadi waktu itu pak ketika akhirnya DPR mulai menurunkan tensi dan akhirnya mungkin akan mengikuti maunya pemerintah, itu kira-kira waktu itu didalam Komisi I sendiri ada semacam pergolakan ngak pak maksudnya ada semacam konflik mungkin atau tetap menyatu atau akhirnya ya sudahlah atau gimana? HT: Nggak ada konflik yang serius. Ya di DPR itu kalau politisnya sudah senior-senior, canggihcanggih itu kan kalau berubah kan nggak kelihatan kan, ya pelan-pelan, kalau terlalu cepat kelihatan bisa ketahuan. Ketahuan ada apa ini mungkin dia sudah dilobi oleh menteri . LA: Jadi yang Bapak lihat gimana pak waktu itu. HT: Ya saya rasa memang ada banyak kompromi di UU itu. LA: Tapi nggak ada konflik yang serius ya pak. HT: Nggak ada. LA: Antara anggota? HT: Nggak ada. LA : Atau mungkin ada tekanan-tekanan dari luar gitu pak atau dari dalam anggota Komisi I sendiri yang. HT : Yang paling kayak gitu kalau saya dipanggil ketua umum, kemudian Wapres. 34
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA HT
: Atau mungkin dari pimpinan ada nggak pak semacaam. : Kalau pimpinan di DPR itu kan tidak bisa nekan-nekan, pimpinan DPR itu beda dengan menteri, dengan rektor. LA : Kalau dari fraksi nggak ada juga pak tekanan itu sendiri. HT : Nggak. LA : Keanggota harus begini gitu pak. HT : Kadang pimpinan fraksi nggak dong juga. LA : Jadi kendala yang dirasa agak berat yaitu mungkin sikap pemerintah aja pak ya. HT : Ya. LA : Pak waktu membahas itu pak, ada semacam perasaan yang istimewa nggak pak, apa yang agak berbeda ketika bergabung di Komisi I dan membahas RUU KIP ini. HT : Adalah walaupun nggak juga, karena sudah biasa sih dengan pekerjaan anggota DPR itu. LA : Nggak ada perasaan ini misi mulia harus jadi. HT : Ya biasa karena memang tugasnya itu, karena semua UU kan bentuknya mulia, yang nggak mulia itu kalau ada transaksi itu lho. LA : kalau khusus KIP nggak ada istimewanya pak. HT : Ya istimewanya itu begini bagai yang,kalau saya gitu bisa mengalir dengan baik. Saya membuat tab MPR tentang penyelenggaraan, KKN rekomendasi percepatan pencegahan korupsi, oh ini diperlukan sekian UU diperlukan sekian badan yang dibentuk berdasarkan UU ini kok bisa mengalir dan jadi gitu, senang, bangga, “wah Indonesia akan jadi Negara yang bersih, nanti tidak akan ada korupsi gitu kan”. LA: Bayangannya seperti itu pak ya. HT: O iya, ternyata makin marak juga korupsinya. LA: Kalau untuk diskusi dengan pihak-pihak luar pak untuk mendapat prospektif tentang badan public tadi itu sudah sejauh mana dilakukan waktu itu, kan pembahasannya pending-pending terus tuh yang badan public, ada nggak pak dari pihak-pihak luar yang dimintain masukan untuk mungkin lebih mengerucut ininya seperti itu mendapatkan masukan seperti itu. HT: Nggak. LA : Yakin hasil RUU KIP bisa baik ga pak? Masukan dari menteri BUMN waktu itu ada nggak? kalangan LSM mungkin? HT : Ya biasanya gitu-gitu kan RDPU, RDPU itu sebenarnya sebelum pembahasan, sebelum masuk pembahasan pasal perpasal itu kita rapat dengar pendapat dengan misalnya ada pikiran LSM-LSM harus terbuka kita undang LSM-LSM. Sehingga memang posisi argumen kita juga cukup kuat untuk dihadapkan sama pemerintah. LA: Itu sebelum kan pak, kalau setelah berjalan ditengah-tengah itu. HT: Nggak ada dan nggak lazim. LA: Oh gitu pak ya, diskusi-diskusi yang nggak resmi juga nggak ada ya pak diluar itu. HT: Ada tapi yang menyelenggarakan LSM-LSM itu. LA: Mengundang orang DPR nggak pak. HT: Ya, mengundang. Ada juga studi banding, melihat Negara lain gimana itu waktu itu kan sempat. LA: Tadi kan Bapak bilang termasuk yang menentang pemerintah untuk definisi badan public yang dari rumusan pemerintah, nah kalau untuk teman-teman yang pro ke pemerintah misalnya pak, itu gimana sikap bapak terhadap mereka, apa ditegur atau diingatkan atau apa gitu untuk kembali ini lho rumusan DPR itu seperti ini kita harus bertahan dengan ini, itu ada nggak bapak mengingatkan seperti itu? HT: Ya, menginggatkan itu dalam rapat-rapat.. LA: Di luar rapat nggak ada pak? HT: Nggak, anggota DPR itu kalau diluar tempat rapat malu membicarakan materi persidangan itu malu. LA: Tapi bapak sempat. HT: Meskipun di situ dia debat macam-macam begitu keluar dari pintu tempat rapat itu sudah bicara yang lain, ngopi-ngopi yuk, udud-udud yuk, gitu aja.
35
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
: Kalau untuk syarat-syarat yang akhirnya muncul di pasal 14 itu kok nggak ada beberapa persyaratan informasi yang boleh dibuka oleh BUMN, itu kira-kira kalangan DPR atau LSM itu bisa menerima nggak dengan gitu? HT : Ya itu juga banyak perdebatan, pemerintah maunya banyak sekali informasi maunya DPR yang dibelakangnya LSM-LSM itu maunya informasi yang dikecualikan itu sedikit saja tapi pemerintah maunya yang banyak. Logikanya DPR kalau yang dikecualikan banyak namanya yang tidak dikecualikan dong , dikecualikan ini misalnya dari sepuluh kecuali dua atau kecuali satu. Nah ini dari sepuluh kok kecualinya sembilan itu namanya ya nggak benar, itu yang pertama itu. Yang kedua, definisi yang dikecualikan, bagi pemerintah pokoknya asal tertulis disitu dikecualikan artinya. LA : Nggak boleh. HT : Artinya tidak boleh dibuka tapi bagi DPR yang dikecualikan itu harus diuji oleh pengadilan. LA : Uji konsekuensi. HT : Uji konsekuensi tidak otomatis saja, karena ini dikecualikan maka ini ditutup nggak boleh. LA : Terus waktu itu gimana Pak akhirnya? HT : Ya dia panjang, dia debat-debat panjang. LA : Cuma untuk yang ini Pak, untuk yang sudah tertera di Undang-undang ini kan ada point sampai ini Pak yang boleh dibuka sama BUMN dan BUMD, ini hasil akhir seperti ini ini sudah merupakan kesepakatan. HT : Ya kalau sudah sampai di situ ya kesepakatan, sampai kesempatan di DPR itu begini jadi kalau rapat pada tingkat Pansus kalau disepakati isinya, disepakati kalimatnya langsung di tok sepakat gitu kan, yang kedua disepakati isinya atau disepakati substansinya tapi rumusannya belum disepakati, rumusan kalimatnya itu dilempar ke Panja atau dilempar ke timus nanti, eh tim perumus sajalah pokoknya intinya setiap orang harus pergi kekampus misalnya gitu intinya itu, kalimatnya seperti apa nanti di timus. Ada juga yang belum disepakati substansinya apalagi rumusannya, nah itu dibawa ke lobi. LA : Ke lobi. HT : Lobi itu ya lobi itu di situ-situ ya, ngobrol pura-pura dulu deh, dimana saja kalau lobi itu. LA: Cuma di point-point ini kan tidak menjelaskan bahwa BUMN harus membuka asal usul kepemilikan dari badan usaha itu siapa punya siapa, direksinya darimana, Komisarisnya darimana, nah itu kira-kira waktu pada waktu itu ada pembicaraan nggak untuk hal ini apakah mungkin? HT: Kepemilikan beda dengan Direksi, kepemilikan itu pemegang saham. LA: Ya itu kan nggak ada disini Pak, itu waktu itu ada pembicaraan nggak mengenai itu harus dibuka atau mungkin pemerintah mempunyai kekhawatiran kan kalau itu dibuka seperti itu, pernah ada usulan nggak Pak mengenai hal itu? HT: Lupa saya, coba dibuka di risalah ya, mungkin saya yang background-background aja kalau isinya risalah saya lupa ya. LA: Ya mungkin ada kekhawatiran dengan pemerintah gitu ka.n HT: Ya pasti isinya khawatir aja takut seperti yang saya bilang tadi khawatir, takut, nanti rahasiarahasia harus dibuka. LA: Kalau Bapak nggak takut ya Pak? HT: Memo, ada memo saja disebut rahasia gimana, kan ada istilah rahasia Negara. LA : Bapak dan rekan-rekan kira-kira pernah berpikir tidak bahwa pendapat yang berseberangan katakanlah pemerintah itu ga layak didengar saja? HT : Ya nggak begitu juga karena kita kan mencari kesepakatan. Saya bertahan sampai itu, BUMN yang tidak boleh masuk, tidak dimasukkan dalam badan publik. BUMN tidak dibolehkan masuk dalam badan publik. Ya sampai kemudian ada kompromi, di pasal itu coba saya lihat. Sampai terjadi kompromi di pasal sehingga munculnya pasal 14 sebagai konsekuensi dari tidak disetujui, tidak disepakatinya BUMN sebagai badan publik dalam rumusan di Pasal 1 ayat 3. LA : Diantara rekan sekelompok tugas itu ada tidak pak upaya untuk saling menguatkan pendapat untuk meminimalisisr keraguan terhadap argumen-argumen yang menentang ?
36
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
HT
: Ya ada, di risalah kan kelihatan itu bagaimana kita. Ya waktu itu siapa ya? Paling Andreas Pariera dari PDIP terus pak Deddy dari PAN, Pak Efenndy Choirie dari PKB. Kita ya mengingatkan dalam rapat-rapat agar konsisten gitu.
LA
: Jadi Pak waktu akhirnya DPR menurunkan tensi itu, banyak yang akhirnya seperti tanda kutip menyerah ya Pak, maksudnya ya udahlah ikutin suara yang terbanyak ajalah gitu nggak Pak waktu itu kondisinya? HT : Ya hasil kompromi ya. Untuk UU pertama itu so far so good kok artinya hasil dari pembahasan Undang-undang itu relative bagus artinya tidak banyak yang ini. LA : LSM juga waktu itu menerima dengan ini Pak. HT : Oh kalau itu kita nggak ada urusannya, kalau LSM-LSM menolak ya tolak saja, kita kalau gitu. LA : Nggak DPR waktu itu sudah. HT : Ya kita nggak ada. LA : Kesepakatan ya HT : LSM judul itu juga menolak tapi kita nggak perduli memang kita orangnya suruhannya LSM gitu, kalau kita melihat ukurannya kalau kita membuat Undang-undang itu adalah Undangundang dasar, kalau Undang-undang dasarnya kalau cuma dekat dan tidak bertentangan dengan Undang-undang dasar, ya oke-oke saja. LA: Pak waktu itu yang dapat tekanan kan Bapak bilang Pak Yusuf Kalla negur Bapak gitu, ada nggak Pak teman-teman lain yang sama? HT: Nggak tahu saya, oh kalau dari Golkar nggak ada sih. LA: Kalau dari fraksi lain? HT: Kalau dari Golkar saya saja. LA: Kalau dari fraksi lain mungkin HT: Karena saya yang paling depan untuk itu. LA: Kalau yang lain Bapak nggak tahu? HT: Nggak tahu. LA: Bapak waktu itu bertahan dengan pendapat Bapak sampai dimana Pak waktu itu Pak? HT: Sampai itu, BUMN yang tidak boleh masuk, tidak dimasukkan dalam badan public, BUMN tidak dibolehkan masuk dalam badan public. LA: Mempertahankan pendapat Bapak tuh sampai . HT: Ya sampai kemudian ada di kompromi, di pasal itu coba saya lihat. Sampai terjadi kompromi di pasal. LA: 14 Pak. HT: Ya, ya betul sampai ke “N” itu, tadinya nggak ada pasal ini. LA: Nggak ada Pak ya, dari DPR juga belum ada kan pak ya waktu itu? HT: Belum ada, nggak relevan dong, nggak relevan untuk ada, kalau namanya BUMN apalagi Bank BUMN sudah masuk di pekerjaan badan public ya sudah otomatis nggak perlu ada pasal 14 itu. LA: Jadi ini baru ya Pak ya waktu pembahasan itu baru muncul ya? HT: Itu sebagai konsekeensi dari tidak disetujui, tidak disepakatinya BUMN sebagai badan public. LA : Bapak waktu itu termasuk yang berani dan vokal ya pak? Bersama beberapa nama lain saya lihat berusaha untuk mempertahankan argumen tentan definisi Badan Publik. Merasa perlu seperti itu ya pak? HT : Lha iya dong harus kalo nggak buat apa jadi anggota DPR? Harus berani beragumen jika memang dirasa ada yang penting dan benar untuk disampaikan. LA : Pertanyaan 3 terakhir nih, rencana Bapak yang Bapak fikirkan untuk UU KIP terutama tentang badan public tadi apa Pak, mungkin ada semacam pemikiran ke depan yang tergambar di fikiran Bapak? HT : Ya, yang biasanya orang, kita di DPR itu kalau sudah selesai selesai membahas UU lalu membentuk apa yang jadi amanat UU itu kan berharap kinerja dari badan itu maksimal sesuai dengan apa yang kita cita-citakan, atau ketika kemudian UU KIP disahkan kemudian Komisi Informasi masih terbentuk, kita Komisi Informasi betul-betul berfungsi untuk mengawal barisan informasi public itu, tapi dalam perjalanannya seringkali kita mesti kecewa ternyata 37
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA HT
LA HT LA LA HT LA HT LA HT
Komisi Informasi nggak terlalu beken amat, kinerjanya kita nggak begitu bagus terbukti dari public masih sangat asing dengan lembaga itu, banyak yang nggak tahu tentang KIP. Ini kan berarti kelemahan-kelemahan di Komisi itu, ya itu kita kecewa, kita berharap Komisi itu kinerjanya baik, masyarakat tahu, public bisa mengambil manfaat sesuai dengan kewenangan yang diberikan UU. Kita ingin kan Komisi- Komisi itu menjadi seperti KPK, artinya kelihatan, jadi seperti MK, seperti Komnasham dan state regulation body lainnya. : Tapi kalau untuk UU nya sendiri Bapak lihat udah cukup sempurna? : Ya, untuk UU pertama itu so far so good, itu lebih maju dari UU KIP yang dipunyai Jepang. Itu termasuk maju bahwa itu tidak seperti yang di angan-angankan oleh kalangan LSM iya, tetapi itu sebenarnya sudah sangat maju sebagai UU yang pertama. Kedepan nanti setelah 10 atau 15 tahun mungkin perlu dilakukan revisi-revisi agar dapat dilihat bagaimana ketika UU itu diimpelentasikan selama ini, tapi revisinya sudah sampai pada tingkat apa kelemahankelemahan yang terjadi ketika diimplementasikan bukan lagi teoritis seperti kemarin kan ketika belum ada Komisi informasi, belum ada UU tentang informasi public orang cuma perlu teori kan. Nah sekarang sudah ada UU itu prakteknya seperti apa, kendalanya dimana, kelemahannya dimana, perlu ditambah apa, perlu dikurangi yang mana itu kan lebih kongkrit. : Berarti harus berdasarkan evaluasi Pak ya? : Ya, jadi harus di audit UU itu dan juga implementasinya. : Baik Pak, sudah cukup, terimakasih atas waktunya. : Pak, waktu bahas ruu kip paling akrab sama siapa saja pak? : Wah ya akrab semualah....saya ga punya musuh politik. : Hehehehe yang paling sering bareng gitu pak? : Sama saja suka bareng semua : Yang suka dicurhatin mungkin pak? : Kayak abg saja curhat-curhatan. Yaaa waktu itu siapa ya?paling andreas pariera dari PDIP terus pak Dedy dari PAN, pak Efendy Choirie dari PKB
Hasil Wawancara Informan Utama 5 Narasumber Tempat Tanggal Narasumber Pewawancara
: Drs. Tosari Widjaja (FPPP) : Jakarta : 17 Maret 2015 : Tosari Widjaja (TW) : Lisa Adhrianti (LA) 38
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA TW LA TW LA TW LA TW LA TW: LA TW LA TW LA TW
LA TW
LA TW
LA TW LA TW LA
LA TW LA TW LA TW LA TW LA
: Terimakasih Pak waktunya atas wawancara ini, nanti akan ada beberapa pertanyaan yang saya ajukan dan mohon Bapak bisa mengalir saja ceritanya. : Ya. : Bapak waktu itu menjadi anggota DPR berapa periode pak? : Kalau sampai saya berhenti periodenya ada lima, lima periode. : Ada lima ya pak, jadi yang terakhir itu UU KIP atau 2009? : KIP kalau nggak salah periode ke empat. : Oh berarti setelah itu Bapak menjabat lagi ya? : Saya terakhir kan 2004-2009 itu KIP itu. : Oh itu terakhir? Iya terakhir. : Berarti itu yang kelima dong pak? : Kelima iya, waktunya saya kurang hafal. : Ya karena KIP dibahasnya dua periode, maksudnya bukan dibahas, ada usulannya di periode sebelumnya. : Sebelumnya iya, terus dimulai lagi. : RUU KIP kan sebelumnya ada di 1999-2004 ya pak ya? : Iya, nah itu begini, memang ada ketentuan tata tertib jika UU yang dibahas dalam periode tertentu tidak selesai itu kemudian boleh diusulkan pada periode berikutnya tidak saat yang sama. : Itu mudah nggak pak mengusulkannya itu? : Tidak mudah karena harus, prosedurnya kan begini, yang mengusulkan siapa, baik pemerintah maupun parlemen boleh mengusulkan, dulu jaman orde baru kan tidak. Era demokrasi itu artinya DPR boleh mengajukan usul kemudian pemerintah juga boleh mengajukan usul, masuk kedalam kalau kemudian usul itu masuk kedalam Bamus (Badan Musyawarah). : Iya. : Badan Musyawarah itu menyusun program menyusun agenda rancangan UU yang akan dibahas. Lalu itulah yang disebut dengan setahun harus sekian, selama lima tahun sekian tapi setiap tahun itu ada. Biasanya kalau yang mengusulkan itu dari DRP, itu DPR harus membuat draftnya. : Oh iya. : Kalau yang mengusulkan pemerintah itu mereka yang buat draftnya. : DPR bikin DIMnya ya pak? : DIM nya di kita dan sebaliknya juga begitu. : Biasanya yang lebih lama responya dari pemerintah atau dari, maksudnya begini saya mendengar ketika undang undang itu menjadi usulan DPR itu akan jauh lebih sulit ketika itu usulan dari pemerintah apa betul begitu pak? TW: Kalau saya begini, tidak menjadi apa ya perumusan seperti itu, tidak dijadikan kesimpulan seperti itu. Kadang-kadang begini, kalau memang terkait dengan kepentingan pemerintah, itu pemerintah lama karena didiskusikan dengan parlemen, dengan menterimenteri yang lain. Kalau kita kan sama semua semua apa yang masuk dari pemerintah kan mesti dibahas dalam penyusunan DIM itu. : Jadi selama lima periode itu Bapak di Komisi I terus atau? : Tidak, berpindah. : Yang di Komisi I berapa kali pak? : Yang terakhir saja. : Oh terakhir saja, berarti yang di 1999-2004 Bapak nggak di Komisi I? : Di Komisi I tapi sebagian. : Maksudnya? : Jadi begini, kan fraksi itu punya jumlah anggota tidak selamanya berada di Komisi I terus gitu. : Oh begitu pak? 39
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
TW
: Jadi dilihat kalau memang dalam periode ini titik beratnya pada pembicaraan-pembicaraan apa, lalu siapa anggota yang punya. LA : Jadi dipindah ya pak ya? TW : Iya dimutasi. LA : Dimutasi, oh bisa begitu ya pak ya? TW : Bisa, jadi saya pernah di Komisi Perhubungan pada periode sebelumnya, pernah di Komisi ESDM Minyak dan Gas, pernah di Komisi Ketenagakerjaan dan Kesehatan kemudian tapi ketika saya menjadi wakil ketua DPR kan pernah mejadi wakil ketua DPR di tahun 19992004, saya tidak boleh masuk dalam Komisi. LA : Karena pimpinan? TW : Karena pimpinan tetapi mengkoordinir sejumlah Komisi. LA : Berarti yang full di komisi I di 2004-2009 ya pak? TW: Iya 2004-2009 dan sebelum 19. LA : 1999. TW : Iya 1999. LA : Di ujung atau diawal Bapak di Komisi I ketika periode 1999? TW : Disebelumnya sebelum 2004 kan saya sudah masuk. LA : Oh berarti Bapak dari awal UU KMIP diusulkan itu sudah ada ya Pak ya? TW : Nggak, saya belum masuk karena masih pimpinan waktu itu sampai 2004 kan saya? LA : Iya TW : Lalu masuk ke, sebenarnya di Komisi I saja saya 1 tahun sama saya, di komisi IX jadi Kesehatan dan Tenagakerjaan. LA : Penempatan Bapak di Komisi I dan itu memang usulan dari fraksi atau pernah bapak usulkan juga Pak, mengajukan? TW : Oh nggak, saya tidak pernah meminta. LA : Oh oke oke. TW : Jadi saya menyerahkan penilaian kepada fraksi tetapi kalau saya merasa tidak mampu saya memberikan alasan. LA : Berarti memang itu keputusan berdasarkan fraksi ya pak? TW : Keputusan fraksi, itulah perlunya fraksi tapi sekarang kan lain. LA : Ya kan da juga pak yang jawabannya saya mengajukan kok karena sesuai dengan. TW : Ada memang karena lebih interest pada bidang-bidang tertentu gitu. LA : IYa ya, ternyata kalau bapak nggak ya Pak ya? TW : Nggak saya nggak saya berikan kebebasan kepada fraksi, bahkan disini kurang, boleh diisi saya. LA : Perasaan waktu itu ditempatkan di Komisi I gimana pak? TW : Perasaannya terutama ya harus disyukuri. Saya senang ditempatkan berdasarkan ketertarikan bidang tertentu termasuk di Komisi I. LA : Oke, Pak selama di Komisi I kan banyak fraksi pak beda-beda? TW : Iya. LA : Itu semuanya kan apa ada beberapa anggota ya Pak ya di Komisi itu? TW : Iya. LA : Ada berapa pak kira-kira 50an? TW : Ada 50 ya kurang lebih sedikit. LA : Tapi ketika membahas RUU KIP itu Pak, kira-kira sering ada semacam solidaritas nggak Pak yang terbentuk berkumpul misalnya atau jadi akrab satu sama lain walapun beda fraksi? TW : Oh iya cukup akrablah. LA : Prosedurnya RUU KIP gimana pak? TW : Jadi begini, prosedur resminya dulu setelah rancangan RUU diterima oleh pemerintah kemudian dijadwalkan oleh Badan Musyawarah dilengkapkan, disahkan oleh Paripurna. LA : Paripurna. TW : Paripurna yang menyebutkan dibahas di Komisi I. Ketika dibahas di Komisi I itu terus masing-masing fraksi di Komisi I itu terus melakukan pembahasan di fraksinya. Nah itulah yang disebut dengan DIM (Daftar Isian Masalah) jadi masing-masing begitu. Itu memang agak lama karena 40
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
pada penyusunan DIM itu tidak cukup anggota Komisi di Komisi I dan tidak juga tidak cukup hanya dengan hanya anggota fraksi PPP yang membahas. Bisa juga kita mengundang pihak-pihak luar, para ahli untuk memberikan masukan. LA: Termasuk LSM ya pak? TW: Termasuk LSM, semua yang perorangan, professor di perguruan tinggi itu diundang memberikan masukan. Nah sebenarnya pada dasarnya proses belajar disitu juga terjadi yang saya berada di Komisi I, Komisi yang lain juga belajar disitu, disitu terjadi perumusan-perumusan. LA : Disitu terjadi semacam rasa keterkaitan ya pak ya? TW : Ya keterkaitan karena memang begini posisi fraksi itu pada dasarnya kan sebenarnya instrument. LA : Iya. TW : Bukan penguasa. LA : Iya. TW : Instrument itu artinya media atau saluran untuk menampung dari masyarakat, apakah dari cabang, apakah Wilayah atau di luar itu kan masuknya ke fraksi. Nah fraksi lalu mengistruksikan “nih ada masukan dari luar” silahkan. LA : Iya. TW : Jadi salurannya jelas. LA: Jadi waktu itu selain rapat-rapat di dalam Pak, sering nggak ketemu di luar kumpul membicarakan? TW: Oh bisa soal kesempatan saja kan kadang-kadang begini, salah satu contoh umpamanya kita rapat kerja dengan Menteri itu kan kadang-kadang dari jam 09.00-02.00 malam dengan Menteri itu hanya berhenti sholat lalu makan jam 02.00 padahal hari berikutnya akan ada rapat dan ternyata rapat lagi yang lain kan rapat itu tidak hanya di Komisi I, ada yang lain. LA: Iya. TW: Ada jabatan-jabatan tertentu yang juga harus diisi, merangkap lah. LA: Merangkap. TW: Saya sendiri juga ada di badan kerja sama antar parlemen. LA: Antar parlemen? TW: Ya, itu tadi nggak memerlukan perhatian juga karena politik luar negerinya parlemen itu disitu. Itu juga tejadi waktu pembahasan yang cukup panjang, apa yang terjadi, nah disini bagaimana mengkompromikan dengan yang ada di Komisi I dan saya tidak ingin ditinggal karena saya sudah ada ide, ada gagasan, ada DIM yang harus kita diperjuangkan. Nah itu yang kadang-kadang membuat terhambat apa memerlukan waktu panjang, molor. LA: Ya ya, jadi sering ya pak ya ada interaksi di luar membahas ini? TW: Oh iya biasanya. LA: Biasanya ngomongin apa sih Pak, ngomongin UU KIP atau banyak hal-hal pribadi? TW: Oh nggak, ya kalau pribadi itu kan tidak temasuk dalam lah itu cuma sambilan yang tidak pernah menjadi pertimbangan. LA: Oh gitu ya pak ya, cuma fokus pada saat itu membahas apa? TW: Kalau memang menghendaki umpamanya kita ingin bicara di luar kumpul karena begini, kalau siapa namanya mba? LA: Lisa. TW: Mba Lisa tahu kondisi ruangan kerja kita ini sangat pengap jadi kalau dibandingkan dengan parlemen di luar itu sehingga kadang-kadang kita mengundang orang luar, kita adakan di luar. LA: Di luar ya pak ya? TW: Jadi kita diskusi disitu kadang-kadang istilahnya itu morning tea. LA: Morning tea. TW: Kita sodorkan itu sebelumnya, kita sodorkan mereka bicara kita diskusi makan pagi di situ, nggak ada masalah itu. LA: Waktu itu Bapak yang paling akrab sama siapa sih pak selain, maksudnya begini loh kan mungkin ada dari anggota fraksi lain atau siapa yang paling sering bareng-bareng Bapak siapa waktu itu? 41
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
TW: Saya agak lupa-lupa ingat, saya kira begini, biasanya dalam suatu pembahasan saya ini nggak tahu kalau yang lain, oh ini dari fraksi ini jalan pikirannya jernih begitu jadi obyektif, saya dekati itu saya jadikan sahabat. LA: Siapa itu pak? TW: Ya umpamanya kalau di PDIP yang saya ingat itu almarhum siapa yang meninggal itu. LA: PDIP pak? TW: PDIP. LA: Bukan pak Arif, kalau pak Arif satu fraksi ya pak ya? TW: Siapa? LA: Pak Arif. TW: Pak Arif Mutasir oh dia satu fraksi, ya ada yang meninggal ada lagi Pereira namanya. LA: Oh pak Andreas Pereira. TW: Andreas Pereira kalau kau ketemu salam pak Tosari begitu kan. Ada lagi siapa namanya yang agak pincang? LA: Happy Bone bukan pak? TW: Bukan Happy Bone itu, Golkar. LA: Ini PDIP ya pak ya? TW: Ini PDIP dua. LA: PDIP ada dua orang ya pak ya? TW: Ya yang sering. LA : Yang sering bapak. TW: Umpamanya ada di luar duduk-duduk, kita dekat kita ngobrol kita mendiskusikan bagaimana pendirian kita ini pendirian mereka, bagaimana kita mempertemukan kadang-kadang maksudnya sama tapi merumuskannya berbeda, nah itu juga perlu waktu itu. LA: Iya ya. TW: Kemudian dari PKS. LA: PKS. TW: PKS itu yang ada beberapa. LA: Coba saya cek. TW: Coba kalau ada nama-nama fraksi di fraksi I. LA: Pak Suripto PKS, Hilman Rosyad. TW: Pak Suripto jarang. LA: Hilman Rosyad. TW: Siapa? LA: Hilman Rosyad. TW: Nggak-nggak disitu. LA: Untung Wahyono terus Annis Mata bukan Pak? TW: Iya Annis Mata, dia masih anggota Komisi I, jadi sering begitu. LA: Kumpul ya pak ya? TW: Ya bahkan ketika saya di Maroko, dia beberpa kali kesana. LA: Oh pak Annis ya pak ya? TW: Pak Annis iya. LA: Oh ya ya. TW: Ya seperti itu, kalau Golkar seperti Happy Bone terus. LA: Kalau pak Dedy Pak? TW: Siapa? LA: Dedy Djamaluddin. TW: Dedy Djamaluddin iya dari PAN, itu dekat. LA: Dekat juga ya pak ya? TW: Ya saya dekat paling tidak ya punya basis yang sama lah begitu, sama Islamnya yang idenya sama. LA: Kalau pak Andreas idenya ya Pak ya karena beda agama TW: Beda agama tapi ide-ide kerakyatannya sama jadi dinamikanya disitu. 42
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Waktu itu yang menjadi pimpinan dalam membahas RUU KIP ini Pimpinan Komisi I atau dipilih lagi pak? TW: Nggak, Pimpinan komisi I. LA: Berarti dari perwakilan fraksi-fraksi juga pak ya. TW: Ya ada perwakilan termasuk ada pemerintahnya disitu. LA: Waktu itu bapak termasuk pimpinan nggak? TW: Nggak saya begini, saya menghindari kalau bisa tapi kadang-kadang nggak bisa, menghindari jadi pimpinan. LA: Kenapa pak? TW: Kalau jadi pimpinan itu cuma jadi polisi lalu lintas nggak sempat ngomong, oke oke. LA: Jadi cuma ini ya pak ya, memberi kesempatan. TW: Iya ngatur-ngatur begini-begini padahal banyak ide kadang kalau kita ketemu dengan teman kita diskusikan. LA: Itu alasannya ya pak ya. TW: Saya juga kadang-kadang heran banyak teman-teman kepengin duduk dipimpinan. LA: Oh gitu. TW: Ya silahkan saja kalau menurut saya, bahkan ketika UU Kementerian Negara merumuskan itu sampai saat terakhir karena saya tidak mau jadi pimpinan jadi ada teman saya yang jadi pimpinan, saya mengatakan minderheit nota, pendirian saya seperti ini walaupun tidak diintruksi oleh fraksi. Materinya begini syarat-syarat calon menteri, saya mengusulkan menteri itu tidak merangkap ketua umum partai, karena saya punya pengalaman praktis, jadi harus nonaktif tapi kalau sudah berhenti jadi menteri boleh kembali lagi. Nah itu ternyata pemerintah juga nggak setuju usulan saya. Jadi dipikir saya mau menolong pemerintah begitu supaya kabinet ini bekerja dengan bersih dengan tenang ngurusi Negara, ternyata pemerintah juga beda. Saat terakhir tinggal saya satu-satunya mengatakan tidak setuju dan silahkan ambil keputusan catat saya tidak setuju, boleh. LA: Ya ya, jadi memang berdasarkan itu akhirnya bapak nggak dijadikan pimpinan pak ya. TW: Nggak saya harus menolak pimpinan, karena kalau jadi pimpinan nggak bisa begitu. LA: Tapi waktu yang Bapak amati dari pimpinan yang ada selama membahas UU KIP mereka mau memberi kesempatan yang sama tidak? TW: Sama. LA: Untuk semua anggota yang misalnya ingin berpendapat. TW: Ya, saya kira sangat terbuka. LA: Nggak ada memihak ke fraksinya mungkin? TW: Oh nggak, bahkan kalau sudah sampai keputusan-keputusan yang diambil itu tidak dikonsultasi lagi ke fraksinya karena dia sudah mendapat mandat penuh berbicara untuk mengambil keputusan. LA: Gitu pak ya. TW: Iya. LA: Jadi nggak dibolehin ke fraksinya ya. TW: Nggak, nah ada terjadi pada sisi-sisi lain di luar ini, mungkin kepentingan partai politik tidak terakomodasi di sini karena ini kepentingan public. Itu terjadi sudah di Panja atau di Komisi itu sudah disepakati begitu dibawa ke Paripurna, ada yang usul begini biasanya PDIP itu yang suka begitu karena masih oposisi itu. Nah sekarang sudah nggak berani. LA: Karena sekarang ini. TW: Sudah dianggap berkuasa. LA: Iya, pemerintah. TW: Jadi ada, tapi pada dasarnya menurut saya kebersamaan itu muncul bukan karena kepentingankepentingan kolektif tapi sebenarnya karena orientasinya untuk kepentingan siapa. Nah itu kebersamaan itu muncul, kadang-kadang kalau saya usulkan kata-kata begini, kurang tepat harus diganti begini. Itu biasanya tidak dalam forum sidang biasanya kan di skors kalau ada yang macet kan kita di skors. Perundingannya itu detail sekali kalau sudah dig anti, lho kok diganti begini kalau begini bagaimana, sebenarnya kata-kata keterbukaan itu datangnya dari pemerintah akhirnya sebelumnya kan bukan keterbukaan, kebebasan. Nah kebebasan itu berarti dihawatirkan, belakangan itu usul dari pemerintah. Kita semua mencari itu, kata-kata apa yang tepat jadi jangan kebebasan kalau kebebasan itu artinya tanpa batas. 43
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Tanpa control. TW: Iya tanpa control, tanpa batas. Semua sepakat oke, cari kesimpan nggak tuh ini yang dari pemerintah itu kalau tidak salah dulu dekan Fakultas Prof. Ramli, saya dekat dengan dia sering kalau lagi istirahat disini ada konflik apa gitu kita berdua mojok. LA: Jadi yang tergambar nggak ada sikap yang berbeda dari pimpinan Pak ketika apa melihat anggotanya punya pendapat yang berbeda dengan fraksinya tidak ada ya? TW: Tidak, bahwa berbeda itu dipersilahkan jadi tidak kemudian dimusuhi gitu, jadi karena begini. LA: Jadi nggak ada yang sepertinya sikapnya membela atau apa, itu nggak ya. TW: Oh nggak, jadi sangat demokratais lah. LA: Kalau untuk berjalan secara umum pembahasan pak, apakah sudah sesuai prosedur terjadwal secara urut kemudian disosialisasikan kepada anggota yang akan membahas di Komisi I atau mungkin banyak yang molor-molor, bolong-bolong atau nggak sesuai jadwal mungkin pak. TW: Kalau itu memang agak sulit ya, kadang-kadang begini, kenapa nggak ikut kemarin umpamanya gitu, wah saya dapat tugas dari partai apa yang mau lagi saya katakan. LA: Berarti faktornya dari anggota kalau untuk terjadwal dari sekertariat ini. TW: Sudah bagus kita susun bersama, jadi kita ikut nyusun kadang-kadang kita juga melanggar. LA: Jadi kalau banyak yang nggak hadir bisa jadi tertunda ya pak ya. TW: Tertunda. Nah paling tidak perwakilan fraksi ada karena setiap fraksi tidak sama jumlahnya. Nah yang susah kan ada fraksi umpamanya sudah sampai di Panja ada fraksi cuma satu tidak datang itu ditunggu itu, coba bayangkan kalau Panja itu kadang-kadang diambilnya Jumat, Sabtu, Minggu di hotel, karena terlalu mahal kalau berada di gedung itu juga masyarakat, Pers protes gitu, coba bayangin kalau kita sidang diruangan harus nyalakan AC seluruh gedung kan lebih baik sewa hotel lebih murah. Nah itu juga kadang-kadang nggak dipandang. LA: Jadi dipandangnya sebelah mata ya pak ya. TW: Jadi situasi itu nggak dipahami, sama halnya juga uang kerja anggota DPR itu sendiri walaupun sekarang sudah dianggap lebih baik ketimbang dulu tapi itu masih belum memenuhi persyaratan sebagai legislator. Legislator itu mestinya hari ini mau pergi tidak perlu tanya ada uang apa nggak. Itu harus sudah jalan, kalau sekarang kan nggak. LA: Kondisi di Indonesia ya pak ya. TW: Jadi legislatornya itu masih setengah fungsi. LA: Pak itu kalau, berarti Komisi I yang membahas KIP ini dinamakan Panja atau atau apa. TW: Pansus. LA: Jadi bedanya itu gimana pak penetapannya? TW: Jadi gini, Paripurna itu menyerahkan kepada Pansus. LA: Pansus. TW: Ya. LA: Komisi I. TW: Belum menyebut Komisi I ini umum ya, jadi RUU itu disetujui oleh paripurna diserahkan kepada Pansus. Nah Pansus itu bisa Pansus antar Komisi, bisa Pansus hanya di satu Komisi, itu tergantung kepada substansi RUU kalau substansi itu RUU memang menyangkut beberapa Komisi, umpamanya tadi Kementerian Negara kan tidak ada Komisinya itu, semua fraksi mengambil dari beberapa Komisi, tapi kalau karena ini keterbukaan itu seperti UU Penyiaran itu juga ada di Komisi I maka pimpinan paripurna lalu mengarahkan untuk Komisi I sebagai Pansus. Pansus itu apa, seluruh anggota Komisi menjadi Pansus. LA: Gitu ya pak ya. TW: Tapi setelah Pansus itu terus membahas tentang DIM, ada yang disetujui, ada yang nggak disetujui itu boleh diputar lagi ke Pansus atau Pansus sepakat yang tidak ada kesepakatan diserahkan pada Panja. LA: Itu dibentuk lagi pak? TW: Dibentuk lagi, jadi biasanya Panja itu kalau tidak salah sekitar 26 orang dari 50 itu, karena juga. LA: Itu pemilihannya berdasarkan apa pak? TW: Berdasarkan pada fraksi, jadi umpamanya ada beberapa fraksi lalu setiap fraksi dapat berapa, umpamanya yang anggota fraksinya banyak dapat banyak tapi tidak ada fraksi yang tidak dapat jadi fraksi yang paling kecilpun juga dapat. 44
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Itu yang mentukan pimpinan pak? TW: Pimpinan fraksinya, tapi pimpinan fraksi kalau sudah berada di Komisi, Komisi yang mengusulkan ini, ini, ini. LA: Setelah Panja baru ke Timmus. TW: Setelah panja Timmus (Tim Perumus). LA: Itu dipilih lagi. TW: Dipilih lagi diantara 26 itu, setelah Timmus ada Timci (Tim Kecil) itu sudah lebih teliti. LA: Sinkronisasi sama nggak pak? TW: Ya, termasuk Timcil itu. LA: Jadi ketika misalnya seseorang dari Panja dia nggak dipilih ke Timmus akhirnya sudah selesai. TW: Sudah selesai, tapi kalau saya kebetulan dijadikan Timus ada masalah saya bisa konsultasi, tetap kita minta pendapatnya. LA: Untuk rapat-rapat dia nggak ikut? TW: Nggak ikut, itu dia sudah sibuk di Pansus yang lain. LA: Oh gitu. TW: Ya, nah yang berbahaya, bukan berbahaya, menyulitkan itu yang anggota fraksinya sedikit di Komisi I saja anggotanya sudah 1 dia kemudian menjadi Pansus di Komisi lalu juga ditunjuk oleh fraksinya suruh menjadi Pansus ditempat lain bisa 2, 3, 4 Pansus dan itu yang sering menghambat. LA: Karena ketidakhadiran gitu ya pak. TW: Karena tidak ada orang sehingga tidak bisa hadir, ketia oke Pansus taruh di Komisi I, dia ikut dalam Pansus kalau Panja dia tetap ikut lagi saja, kalau di Panja terus masuk terus itu tapi isinya ya gitu-gitu aja jadi tidak ada kemajuan. LA: Jadi kalau untuk jadwal Komisi I sendiri yang bikin ya pak? TW: Oh ya. LA: Bukan sekertariat Komisi I pak? TW: Ngakk, jadi seketariat itu draf, bisa draft ya bisa dajukan tapi pada akhirnya Pansus atau Komisi harus menyetujui jadi draf tetap ada tapi kalau dikerjakan sendiri oleh Komisi, saya kira nggak cukup waktu. LA: Kalau untuk metode pengambilan keputusannya Pak kira-kira sudah sesuai prosedur yang ditetapkan atau tata-tertib atau banyak kompromi-kompromi. TW: Pada akhirnya kan harus kompromi, jadi ini politik, komprominya itu kan sebenarnya. LA: Untuk UU KIP banyak nggak pak? TW: Banyak, jadi komprominya kan begini kadang-kadang begini, pemahaman satu orang terhadap satu bahasa itu berbeda dengan yang lain, tujuannya sama lalu yang mana yang mau dipakai, ini kan kampromi itu. Jadi itu tidak dianggap sebagai kekalahan karena memang ingin menyelesaikan pekerjaan. LA: Oke, kalau terkait dengan masalah pembahasan badan public Pak, kan kalau saya lihat dirisalah agak panjang ya pak ya. TW: Itu yang draft. LA: Sampai di Panja juga belum putus akhirnya di Timsin, akhirnya baru diputusin sidang. TW: Ada konsultasi pimpinan, konsultasi itu ya kalau kaitannya dengan pembahasan bisa konsultasi dengan pimpinan fraksi atau bisa konsultasi dengan partai kalau fraksinya menghendaki, tapi kalau Pansus atau Panja itu ada deadlock pembahasan secara kolektif sama, ya konsultasinya ke pimpinan DPR. LA: Oh pimpinan DPR. TW: Pimpinan DPR dikonsultasikan, jadi antara Panja atau Pansus berbicara bertukar informasi lalu cari way out nya seperti apa, nah kalau sampai juga tidak bisa. Nah ada kesepakatan di kita yang melakukan dengan membangun konsultasi itu antar partai, jadi antar partai itu bisa juga atau antar fraksi, jadi tidak boleh ada loncatan-loncatan sehingga pengambil keputusan, kalau difraksi ada pimpinan kalau di partai ada pimpinan nah itu jangan sampai berontak sampai kalau diperlukan nanti pimpinan DPR konsultasi dengan pimpinan Negara yaitu Presiden. LA: Kalau untuk khusus badan public tadi Pak, kira-kira apa saja sih yang menjadi titik-titik kompromi yang? 45
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
TW: Ya banyak jadi gini, kan idenya kalau dilihat dirumusan pasal 1 ayat 3 itu kan idenya dalam kerangka membangun menegakan demokrasi itu, ini salah satu pilarnya keterbukaan informasi sehingga tidak ada lagi otoriter dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan public. Nah lalu siapa itu, sementara awalnya dikira hanya badan-badan yang mengelola keuangan, itu tidak, jadi semua lembaga Negara yang menggunakan anggaran belanja Negara itu harus terbuka tapi kayaknya sekarang belum dilaksanakan, bukan belum dilaksanakan, masyarakat belum tahu kepentingannya. LA: Cuma waktu itu kan pak usulan dari DPR itu memasukan BUMN, BUMD, dan BUMN sebagai badan public dalam definisi ya badan public. TW: Betul. LA: Tapi kan dari pemerintah kemudian nggak setuju. TW: Tadinya keberatan. LA: Malah mereka menginginkan Parpol dan LSM masuk dan menjadi badan public. TW: Akhirnya masuk semua. LA: Akhirnya Masuk semua ya pak ya dipasal 14, 15, 16. TW: BUMN masuk, Parpol, pokoknya begini jadi pada prinsipnya setiap lembaga yang menerima apakah karena kewajiban menerima atau karena bantuan dana APBN atau APBD atau bantuan luar negeri, dia harus masuk dalam kategori lembaga yang berhak melakukan KIP. LA: Tapi waktu itu tidak full ya pak dibuka jadi ada persyaratan lagi yang wajib dibuka, yang bisa dibuka sehingga poin-poin ini, ini. TW: Ya, jadi begini kita juga harus menerima dan kita harus memahami bahwa kalau kaitannya dengan anggaran atau policy yang jika menimbulkan konflik kenegaraan, nah itu harus berani kita, tidak termasuk dalam yang harus diinformasikan. LA: Waktu itu suasananya kira-kira kan sempat adu argumennya cukup panjang kan pak ya. TW: Panjang dan tegang. LA: Dan DPR sepertinya tetap kukuh mempertahankan pendapatnya untuk memasukkan BUMN itu sebagai badan public. TW: Ya. LA: Dan pemerintah juga tetap tegas menolaknya, nah akhirnya itu terjadilah suatu kesepakatan yang akhirnya mengakomodir semuanya. TW: Ya. LA: Walaupun dipasal yang berbeda tidak lagi dipasal 1 ayat 3 tapi di pasal 14, 15, 16. TW: Ya, jadi itu yang disebut pengecualian. LA: Ya, waktu itu gimana Pak sampai akhirnya tercapai semacam kesamaan, kesatuan, apakah ada semacam ya sudahlah lah sudah terlalu lama seperti itu. TW: Nggak, jadi gini. LA: Apa lagi yang vokal-vokal seperti PDIP, kan waktu itu keras juga ya pak ya terus. TW: Saya kira semua vocal, cuma kadang-kadang begini. LA: Maksudnya DPR kayaknya satu suara untuk menolak suara pemerintah. TW: Memang begini kita harus mengerti temperamen orang. Ada yang suara keras menolak kayak mau perang gitu tapi ada yang lemah lembut, tapi isinya nolak juga kan gitu yang kayak begini ini kalau jadi pimpinan kan harus paham itu, jadi semuanya didengarkan akhirnya perbedaan itu didekatkan lalu rumusannya apa tapi rumusan yang dekat itu masih juga ada perbedaan, nah itu. LA: Waktu itu sempat nggak pak ada semacam kayak tanda kutip provokasi lah dari DPR apa salah satu anggota kelompok Komisi I yang ingin agar kita jangan goyang nih, jangan sampai ini ni. TW: Bisa, kalau soal itu kan biasa itu. LA: Waktu itu ada pak? TW: Jadi begini, umpamanya kita lagi duduk ngopi, ini ada topic yang dibahas berbeda kan kita diskusi disitu itu provokasi atau diskusi kan gitu, jadi bagaimana ide-ide saya itu juga bisa diterima dan didukung oleh dia tapi juga tidak jarang juga ide-ide saya juga bisa ditolak. LA: Waktu itu siapa Pak yang cukup gencar untuk merangkul sesama anggota agar tetap satu suara seperti itu pak? TW: Saya kira nggak ada itu. LA: Nggak ada pak? 46
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
TW: Memang pada dasarnya kan begini ketika terjadi katakan PPP lah ya, terjadi perbedaanperbedaan itu pada kesempatan tertentu diluar persidangan kan kita kumpul sesama anggota fraksi, kita diskusikan, bisa saja yang tadinya saya punya pendapat A bisa berubah menjadi pendapat B setelah kita diskusikan. Jadi itu satu dinamika saya kira jadi tidak ada masalah kok, jadi jangan perbedaan-perbedaan untuk menemukan persamaan itu dijadikan hambatan, itu yang penting sehingga semua yang diterima dalam bentuk pembahasan pada keputusan terakhir itu sebenarnya menjadi kesepakatan kita semua jangan ada yang mengganjal, nah biasanya kalau ada yang mengganjal terus di Paripurna, ribut. LA: Berarti cukup kondusif ya Pak ya? TW: Menurut saya kalau orang melihat dari luar ya bukan anggota DPR kan mesti tegang adu, bukan adu argumentasi, tegang mempertahankan idenya untuk menangkan partainya kan begitu, sebenarnya tidak kesana jadi kalau sudah pembicaraan-pembicaraan kaitannya dengan kepentingan public, kepentingan rakyat itu saya kira semua partai sama cuma kadang-kadang cara merumuskannya berbeda. LA: Itu kalau misalnya nggak ada yang terlalu seperti itu kok bisa lama sekali itu Pak yang khusus untuk badan public ini. TW: Ya saya kira bisa mengerti lama bukan saja di pembahasan kan kadang-kadang begini pemerintah minta di skors, mau konsultasi dulu dengan antar departemen itu dan jangan lupa disitu juga ada tentara, itu kan susah disentuh itu. Nah kita minta tetap harus dibuka. LA: Berarti tujuan atau alasan dari kompromi-kompromi yang ada itu khususnya dalam membahas UU KIP ini lebih kepada bagaimana suatu rumusan yang akan dihasilkan nanti menjadi rumusan yang bisa diterima secara umum dengan baik ya Pak ya. TW: Betul, pertama diterima oleh parlemen tapi ketika oleh parlemen sudah disahkan itu tidak menjadi kontroversial diluar, itu juga menjadi pertimbangan oleh karena itu kan ada juga LSM-LSM yang selalu kirim SMS ketika ada pembahasan. LA: Jadi nggak melalui jalur resmi ya. TW: Jalur resmi ada SMS itu ada. LA: Berarti dia agak nekan-nekan juga ya pak ya. TW: Ya ada unsur-unsur nekan juga, tapi kan kita bekerja untuk kepentingan rakyat, sepanjang usulannya itu untuk kepentingan rakyat kita terima oh ya saya lupa itu, kita masukan. LA: Berarti memang ada perasaan menyatu ya pak ya waktu membahas itu. TW: Hampir semua pembahasan itu sebenarnya sama, yang berat begini begini ada partai-partai yang mengutus anggotanya itu yang tidak punya kemampuan pada bidang ini juga ditempat lain juga begitu, saya kan bertemu dengan beberapa contohnya yang sederhana aja, artis lah. LA: Ya. TW: Iya, jadi saya hanya ingin menunjukkan bahwa anggota DPR itu yang dikatakan hebat itu bukan karena di Pers, tapi semua yang enak dilihat bagaimana anggota DPR itu memperjuangkan kepentingan rakyat ketika membahas perUUan, cuma ada keliru juga dari rakyat, yang namanya anggota DPR itu harus datang membawa uang, padahal perjuangan anggota DPR itu kan membuat UU kepentingan rakyat, bukan bagi-bagi duit. LA: Ya itu. TW: Itu dampaknya buruk itu. LA: Persepsi yang keliru ya. TW: Keliru, yang pasti yang keliru jadi akhirnya apa, anggota DPR itu lalu berusaha untuk merapikan korup lah katakan begitu, apa kerjasama dengan perusahaan, kerjasama dengan pemerintah, bahkan pemerintah juga kasih DPR disalahkan korupsi tapi ya pemerintah ngasih nggak diperiksa, ya gitu. LA: Jadi Pak waktu itu yang dirasakan itu lebih banyak persamaan yang berkembang atau perbedaannya yang berkembang Pak? TW: Ya biasanya begini, diawal mungkin kira-kira setengah atau tiga perempat itu banyak perbedaannya. LA: Gitu ya Pak diawal. TW: Diawal, karena kita punya konsep sendiri-sendiri tapi setelah mendengar disana dengan alasannya, artinya menyatu, menyiapkan sepertiga terakhir itu sudah mulai mendekat. LA: Gitu ya Pak. 47
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
TW: Jadi itu gini prosesnya seperti itu, jadi kalau ada pembahasaan UU diawal sudah setuju-setuju, itu nggak benar itu. LA: Ya jadi garing ya Pak. TW: Ya iya ngapain perlu anggota DPR kalau begitu. LA: Jadi kendala-kendala yang dirasa agak berat waktu itu apa Pak, yang menurut Bapak kendala mungkin yang agak berat? TW: Nah pertama begini, kalau dari kalangan DPR ya, kalangan DPR itu tidak semua anggota DPR mempunyai visi dan kemampuan yang sama. LA: Oh gitu ya. TW: Itu yang juga kadang-kadang kita harus mengerti dan ini masih panjang perjalanan DPR yang sesungguhnya, bahkan buku yang sedang saya persiapkan itu saya membayangkan DPR pada 2030. LA: 2030 Pak. TW: Iya. LA: Lagi nulis ya Pak. TW: Saya lagi nulis mau jadi buku. LA: Jadi itu ya Pak yang lebih utama itu ya. TW: Iya. LA: Kurangnya. TW: Kemampuan, latar belakang, kalau begini saya juga punya pengalaman tidak selamanya seorang Professor atau katakan intelektual mampu bermain di dalam DPR, karena berbeda, karena pernah anggota saya begitu jadi sesudah tiga bulan berada disini dia datang pada saya pada waktu saya pimpinan partai juga pimpinan fraksi, saya minta mengundurkan diri, professor dia. Kemudian kenapa saya kira ini bukan lapangan saya, jadi sportif dia tetapi dia sudah terpilih, saya katakan oke, saya berikan kesempatan tiga bulan lagi. Jadi baru tiga bulan menjadi anggota DPR coba lakukan beginibegini lalu tiga bulan lagi datang dia akhirnya menerima, saya baru paham. LA: Gitu ya Pak. TW: Iya, nah ini kebetulan professor jadi enak diajak ngomongnya. LA: Iya. TW: Coba bayangin kalau tukang tambal ban. LA: Bakalan lama lagi ya Pak, iya betul-betul kalau tekanan-tekanan yang berasal dari dalam yang dirasa mengganggu itu ada nggak Pak, misalnya pemenuhan target pembahasaan dari pimpinan atau Komisi sendiri atau tidak kepuasaan dari berlangsungnya pembahasan mungkin, atau kekecewaan terhadap rekan atau kelompok dari yang sama fraksi atau yang dari beda-beda fraksi, ada nggak kirakira Pak? TW: Ada tapi kecil. LA: Dari dalam itu kecil. TW: Ada tapi kecil, artinya begini namanya kita punya jadwal waktu Panja ini sekian, kemudian masuk team Timus, tapi kan ada anggota-anggota kita yang sebenarnya dia hanya satu-satunya sering tidak datang, dia tidak mau melepas itu jangan, jadi kita ingin memberikan sumbangsih juga. LA: Iya jadi itu ya yang dirasa agak menganjal ya Pak? TW: Iya mengganjal, jadi mungkin kedepan bisa anggota fraksi itulah harus jumlahnya minimalnya berapa, kalau saya seharusnya anggota fraksi itu tiga kali jumlah Komisi. LA: Lebih banyak ya. TW: Lebih banyak jadi sehingga ketika di Komisi itu ada satu partainya, fraksi itu ada disitu kalau ada ditugaskan ke lain masih ada orang gitu. LA: Kalau dari luar Pak misalnya dari parpol atau koalisi atau dari pimpinan DPR atau kelengkapan dewan, media atau pengusaha, nah itu ada nggak Pak tekanan-tekanan? TW: Oh nggak-nggak kalau yang saya tahu LSM. LA: LSM ya. TW: LSM, karena LSM bergerak pada bidang itu. LA: Khususnya yang badan public tadi yang LSM juga ya Pak. TW: Iya hampir semua pembahasaan itu LSM ada, kalau parpol kan lewat fraksinya. LA: Nggak ada ya Pak? TW: Nggak ada. 48
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Kalau pengusaha, pengusaha mungkin yang dibidang telekomunikasi atau di badan-badan public yang ini? TW: Saya kira LA: Yang kira-kira? TW: Saya tidak tahu ya kepada saya tidak, saya tidak menemukan nggak tahu mungkin tidak mau didekati barangkali, karena saya objektif saja. Saya ingin berikan contoh begini ketika saya jadi wakil ketua DPR, kasus BLBI itu berlangsung dan kebetulan saya bidang ekonomi dan keuangan, berapa banyak pengusaha datang kepada saya, mau datang kerumah, mau makan dimana, saya suka bilang di kantor saja? LA: Jadi mereka agak kapok juga ya Pak. TW: Ya masih saja anu pikiran saya begini, apa sih yang mau dicari kok sampai berkolaborasi, korupsi dan sebagainya dengan pengusaha. Coba pikir makan paling cuma satu piring kan nggak berpiring-piring, tidur paling satu tempat tidur satu malam, masak ada enam tempat tidur pindahpindah. Jadi saya sudah merasa senang bisa makan, cukup, ingin haji sudah ada yang bayarin karena tugas, ya udah lebih baik bersih-bersih saja. LA: Jadi lebih kepada orientasinya ya Pak. TW: Orientasi. LA: Pribadi ya Pak. TW: Pribadi, iya kemungkinan saja ada tapi saya tidak mau tahu dan tidak ingin tahu. LA: Iya Pak jadi waktu itu membahas UU KIP itu ada semacam perasaan istimewa ya Pak, ketika maksudnya gini ini lagi sesuatu UU yang akan berguna buat masyarakat ada nggak Pak perasaan istimewa itu? TW: Saya merasa bangga ikut di situ, karena apa jadi kalau kita bicara soal demokrasi itu artinya keterbukaan, bagaimana kita bisa bilang keterbukaan kalau proses keterbukaannya sendiri tidak ada aturannya. LA: Iya betul. TW: Jadi sebenarnya UU KIP itu adalah pilar penegakan demokrasi, jadi bukan partai politik saja, partai politik iya kemudian Pers iya, LSM iya tetapi jangan lupa UU itu sendiri punya peran. LA: Iya betul betul, jadi ada semacam perasaan bangga dan merasakan bahwa ini adalah tugas yang mulia ya Pak seperti itu, tugas besar yang akan berdampak besar sehingga pada waktu itu diramalkan nggak Pak, sehingga pasti nih nanti hasil akhirnya akan baik, itu ada nggak Pak? TW: Oh ya. LA: Pandangan begitu. TW: Hampir semua pada akhirnya berharap rumusan yang kita ini ingin mengabdi buat sebaikbaiknya karena untuk kepentingan akhir baiknya seperti umpamanya saya tidak ikut membahas tapi menjadi bagian ketika UU PPATK. LA: Oh PPATK. TW: Jadi itu kemudian termasuk koordinasi saya. LA: Koordinasi keuangan ya Pak? TW: Iya, koordinasi saya yang menandatangani saya UU itu dari DPR yang dikirim ke presiden. Saya merasa bangga itu jadi ternyata pada saat itu saya berfikir kalau ini berhasil, apa lagi bisa dilakukan, apalagi saya menandatangani, saya memimpin rapat paripurna disetujui dan saya tandatangani bukan kontribusi saya loh. LA: Bermanfaat ya. TW: Bermanfaat, nah sekarang baru dirasakan waktu itu seperti apa dampaknya PPATK itu, ternyata sekarang kalau ada transaksi diatas lima ratus juta harus lapor. LA: Harus lapor. TW: Karena di kita ini pendapatan manusia Indonesia itu tidak ada kontrol, sementara dinegara lain ada control. Nah itu saya mengganggap ini salah satu untuk melakukan control artinya bisa mengurangi korupsi, bisa orang Indonesia lebih pada tidak konsumtif pada produktif dari keuangannya itu. Nah itu kan secara tidak langsung itu menjadi sumbangan saya sekecil apa pun. LA: Pak mungkin kita stop. LA: Iya Pak, jadi tadi kan memang merasa ada sesuatu yang bisa dianggap bernilai besar ya pak bagi bangsa dan Negara dengan hadirnya UU KIP itu ya Pak. 49
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
TW: Saya yakin kita berhasil setelah sebelumnya gagal di periode 1999-2004. Undang-undang sangat bermanfaat bagi negara kita apalagi di Asia belum semua nya punya.Walaupun artinya juga sangat tergantung pada pelaksananya, siapa yang melaksanakan, pemerintah. LA: Iya, waktu itu diskusi dengan pihak luar itu seberapa sering pak dilakukan? TW: Setiap kebutuhan, ada deadlock satu rumusan, itu kita cari, kita lapor ke fraksi. LA: Kalau badan public itu Pak. TW: Iya, itu sama. LA: Cukup sering juga ya pak, waktu itu siapa saja yang sering dimintai pendapat? TW: Biasanya yang begitu-begitu pengamat politik, itu kita undang, saya lupa namanya. Pengamat politik kemudian kalangan universitas juga kita undang. Nah yang ahli agama di Islam itu kita undang juga karena jangan sampai kita PPP punya asas Islam jangan sampai bertentangan rumusan-rumusan itu. Jadi kalau rumusan yang dimasukkan bertentangan dengan Islam kita harus berteriak. Jadi di situ kontrolnya, bukan benderanya. LA: Jadi memang cukup ini ya Pak, maksudnya DPR, Komisi I banyak mendapatkan masukan dari luar juga. TW: Oh iya, saya rasa semua Komisi, setiap Pansus saya kira begitu. Jadi begini, masukan dari luar itu bisa Pansus itu sendiri meminta atas usul anggota, minta dengar pendapat, siapa usulkan ini diundang, itu bisa tetapi fraksi-fraksi juga mengadakan sendiri-sendiri, semua fraksi karena itu nanti kan saya sebagai kopral di lapangan kan diadu. Kalau saya tidak diberi peluru iya nggak bisa bunyi. Saya tidak tahu anggota DPR. LA: Waktu itu kalau mengundang mereka yang dari luar itu sifat rapatnya terbuka ya Pak? TW: Terbuka. LA: Kalau tertutup itu gimana Pak, waktu itu kan, ini kan UU KIP kenapa masih ada rapat-rapat yang tertutup, gitu lho pak? TW: Iya, jadi kalau tertutup itu ada pada tingkat perumusan. Sebenarnya garis besarnya, prinsipnya sudah diketahui. Nah, terus ini masih boleh didengar orang tapi kalau sudah tingkat perumusan, itu sebenarnya sudah tidak ada lagi yang perlu diberitahukan kepada mereka dan dikhawatirkan pula nanti mengintervensi, justru akan merusak tatanan itu. LA: Iya, iya, kalau persepsi Bapak sebagai bagian dari kelompok Komisi I terhadap pihak-pihak luar yang menentang atau kurang setuju lah terhadap keputusan tentang badan public atau misalnya dari LSM yang menyatakan kekecewaan bahwa kenapa informasi-informasi yang dibuka itu harus disyaratkan sedemikian rupa untuk badan-badan public, itu gimana Pak menurut Bapak persepsinya? TW: Iya begini, bagaimanapun kita akan memberikan keterbukaan itu, kan pada dasarnya tidak ingin menghancurkan Negara, kalau kita tanpa batas melakukan keterbukaan itu justru akan menimbulkan persoalan-persoalan di luar. Nah siapa yang bertanggung jawab kalau sudah begitu. Orang hanya akan mengatakan kan UU nya bunyinya begitu, tapi dampak di masyarakat itu kan bisa luar biasa merusak tatanan itu. Nah kalau sudah begitu kan artinya tidak arif, tidak bijak kalau begitu, Nah kita juga berbicara tentang itu. LA: Sering menasehati pak, maksudnya sering berargumen ketika ada pendapat atau banyak yang tidak setuju dari luar misalnya. TW: Iya kita diskusikan, yakinkan, diyakinkan dan kita tidak bermaksud untuk melakukan tindakantindakan otoriter ya. Kita buka saja, umpamanya begini, BUMN harus buka apa adanya, lalu bagaimana persaingan BUMN 1 dengan BUMN yang lainnya, iya kan kan umpamanya kan ada dana cadangan, itu dibuka nggak, kalau dibuka cadangan untuk apa, berapa banyak, kan perusahaan lain, yang sejenis, yang mestinya bersaing. Dia tahu “wah ini harus dilawan kan terjadi perang, tetapi tetap hal-hal yang layak diketahui oleh public harus kita buka. Jadi yang saya sebut pengecualian tadi, ada yang mesti dikecualikan seperti di BUMN, di militer, intelligent mana ada laporan pertanggungjawaban di situ. Nah itukan tidak boleh dipaksa, umpamanya saya menyogok ini untuk keperluan mata-mata kan nggak bisa, tidak ada kuitansinya. LA: jadi waktu itu terus diyakinkan bahwa sesuatu yang akan diambil didalam situ yang sesuai, yang relevan dengan public. TW: Iya, jadi kalau tingkat pertama begini, dari tidak ada jadi ada walaupun tidak 100%. Nah, kita sudah sepakat kan untuk menyatakan, kita membahas RUU KIP itu sendiri kan harus meyakinkan pemerintah bahwa itu perlu tapi untuk meyakinkan pemerintah bahwa itu perlu, mau menerima untuk 50
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
bersidang itu kan persoalan sendiri kan. Nah tapi setelah itu artinya perlu ada, kita setahap demi setahap itulah akhirnya menjadi lama, kan tidak bisa semua. LA: Waktu itu yang bantuin, maksudnya yang sering meyakinkan itu selain Bapak, siapa saja Pak? TW: Oh iya hampir semua. LA: Hampir semua. TW: Dan ini kadang-kadang juga perlu barangkali ya, kita mengadakan studi banding ke Kuwait. Ini kadang-kadang diprotes itu, saya dikirim ke Jepang umpamanya, saya kan harus bertemu dengan beberapa pimpinan lembaga di sana. Saya tanya “bagimana dengan UU KIP karena dia punya”, tidak dijelaskan. Coba bayangkan kalau saya tidak bisa membanding-bandingkan di sana, apa jadinya kan tenden sekali. Nah, tidak bisa dipungkiri ada anggota studi banding cuma main-main, tapi yang sungguh-sungguh juga banyak. LA: Pak tadi yang dekat-dekat sama Bapak serius semua ya Pak, maksudnya yang. TW: Yang mikir-mikirnya dia, serius ini. LA: Iya iya, yang ikut membantu meyakinkan, urgensinya. TW: Kadang-kadang juga bisa saling menopang seperti yang dikemukakan oleh fraksi PPP. Saya berpendapat setuju karena begini, begini, begini resmi dibuka jadi tidak diam-diam. Jadi sebaliknya saya juga begitu, saya menghargai, saya sependapat dengan Anda, saya menghargai kalau pemerintah mengatas ini perlu kita perbincangkan. LA: Pernah mengalami kebuntuan nggak waktu itu? TW: Pernah, deadlock. LA: Banyak Pak. TW: Saya lupa ya tapi ada waktu itu seperti umpamanya ketika akan menetapkan BUMN, tadinya kan BUMN mau ditolak, tidak. Itu sudah dilihat atau belum artinya kita runding, kita bertemu di luar. LA: Nah, di rundingan itu ada nggak yang merasa “ya sudahlah ikut saja gitu”. TW : Kita sangat terbuka untuk mendiskusikan, hasil keputusan cukup logis. LA: Jadi terbuka ya pak, kalau untuk apa, tadi kan misalkan banyak opini yang berlawanan dengan mayoritas seperti itu Pak, itu kira-kira ada nggak yang jadi baris terdepan nih yang membela yang ini gitu loh Pak? TW: Jadi pada pembahasan-pembahasan seperti itu, katakan hanya satu fraksi yang punya pendapat, yang lain fraksi tidak berpendapat, itu artinya bisa diterima semua fraksi. Jadi saya mencatat situasi seperti itu disorientasinya memang untuk kepentingan membuat aturan-aturan yang bisa diterima oleh public. LA: Pendapat-pendapat yang diteguhkan didalam hati oleh, dari anggota Komisi I DPR berdasarkan rumusan awal tentang badan public itu kira-kira berdasarkan hasil pemikiran, diskusi atau memang berdasarkan keteguhan hati “ini lho paling betul, ini lho yang paling baik itu menurut saya” TW: Dari UU nya atau dari substansinya? LA: Dari substansi badan public ini Pak. TW: Biasanya kan begini, kita ini setiap menghadapi pembahasan UU, itu kita mendapatkan masukan katakanlah peluru dari berbagai penjuru, dari kalangan partai, dari kalangan public, dari kalangan cendekiawan. Itu kan kita undang semua, kita dengar. Nah ketika ada masalah yang mungkin kita tidak bisa merumuskan sedangkan pikiran-pikiran yang akan dirumuskan itu tidak pas, kan kita undang, jadi tetap kita. LA: Jadi ketika suatu pendapat itu keluar dari pikiran masing-masing anggota, itu memang berdasarkan sudah kemantapan hati, keteguhan hati bahwa ya ini yang paling dirasakan baik, begini pak. TW: Betul, semua melakukan begitu dan biasanya dia bertahan tapi setelah terjadi proses, itu baru bergeser. LA: Tadi ya Pak, diawal-awal tensinya agak tinggi akhirnya turun gitu-gitu. TW: Turun itu bukan karena loyo kehabisan tenaga karena memang sudah waktunya ada pendekatan. Nah di situ barangkali banyak orang menyatakan politik itu kompromi, ya komprominya seperti itu, bukan kompromi dapat berapa, bukan tapi komprominya itu yang tadinya kita berbeda kemudian kita lakukan pendekatan, kayak tawar menawar juga. LA: Bargaining. TW: Bargain itu. 51
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Jadi kalau upaya untuk melindungi kondusifitas yang ada di pembahasan itu dari informasiinformasi yang tidak mendukung dari luar atau dari dalam sendiri, katakanlah itu ada upaya? TW: Ada umpamanya begini, LSM itu kan keras, ditolak saja ini jadi kita diadu, nah ini kan semua dapat, gimana ini, kumpul itu. LA: Jadi ada semacam upaya untuk melindungi kondusifitas didalam kelompok ya Pak. TW: Jadi bukan saya kondisinya yang harus kita lindungi tapi substansinya. Jangan sampai kita menerima masukan yang sebenarnya mengadu domba kita atau menjerumuskan kita dan itu kita jaga juga. LA: Betul, betul, betul kalau rencana kedepan yang Bapak pikirkan untuk keputusan badan public secara umum UU KIP lah, kira-kira ada nggak Pak rencana kedepan, mungkin masih ada pemikiran Bapak yang menganjal untuk itu? TW: Tidak, itu kan, kalau yang saya rasakan ya, itu UU itu belum berjalan. LA: Implementasinya. TW: Implementasi, nah sehingga tidak bisa mengukur. Nah tidak berjalannya itu karena begini, sosialisasi tentang pelaksanaan itu sangat elit sekali. Mungkin umpamanya kalau saya di KBRI tahutahu ada intruksi ada tim memberikan sosialisasi tentang KIP, itu cuma begitu, tapi seberapa jauh rakyat itu nangkap terus mau bergerak waktu itu belum ada, masih kurang. Nah sebenarnya ini sangat penting bagi kalangan Pers, karena Pers bisa mengkoreksi banyak dengan menggunakan UU ini, tapi kalau salah menggunakannya dia bisa masuk penjara, karena kita kan perlu dilindungi juga, di perusahaan-perusahaan, di lembaga-lembaga kalau kita cuma ingin menekan, itu mencari informasi menekan lalu diberitakan. Kepentingannya sebenarnya tidak ada hanya sekedar berita, kan itu akan menjerumuskan, nah kita lindungi. Jadi berhak juga menolak kalau memang dikhawatirkan tetapi nanti ada Komisinya. LA: Kesan umum untuk pembahasan RUU KIP sendiri menurut Bapak sudah sempurna atau perlu direvisi? TW: Saya kira, saya kira belum sempurna tapi secara minimal untuk memulai sebuah pekerjaan saya kira sudah ada. Jadi artinya yang ada ini lembaga-lembaga Negara terutama, kan ada 2 aspek, aspek keuangan dan aspek kebijakan itu kan harus siap tetapi juga masyarakatnya juga merasakan membutuhkan itu. Nah ini sekarang kayaknya nggak, jadi sosialisasi mungkin ditingkatkan sekarang. LA: Kalau untuk pembahasannya sudah belum mencapai kesempurnaan? TW: Iya, saya kira belum sempurna. LA: Tapi hasilnya menurut Bapak cukup baik atau? TW: Hasilnya saya anggap sudah maksimal sesuai dengan kondisi pada saat itu, seperti umpamanya bagaimana begini, yang saya tahu atau yang saya dengar, BUMN itu selama ini sejak zaman orde baru itu kan cuma menjadi ATM nya pejabat. Nah dengan UU ini kan sebenarnya harus tahu, berapa sih anggaran yang kau punya, itu kan bisa dikorek, ada nggak yang mengalir ke pejabat, kan tidak ada yang mengorek, biarkan saja jalan begitu. Coba Pertamina, di beberapa Negara perusahaan minyak itu yang menghidupi Negara. Di sini malah menghidupi pejabat. Nah ini sebenarnya itu hati saya, bahwa ya wartawan itu atau yang punya idealisme ini memberikan sosialisasi terus lakukan gerakan itu. Kita bukan bermaksud ingin menjatuhkan atau menuduh, ingin membersihkan jangan sampai terjadi. Jadi semacam preventif, kalau ada tindakan itu kan prevensi untuk tindakan-tindakan korupsi. LA: Tapi nama pemilik BUMN, komisaris atau pemegang saham di situ kalau saya lihat di UU juga nggak ada ya Pak, tidak disertakan untuk dibuka. Nah itu kira-kira Bapak tahu nggak kenapa, pernah ada usulan nggak, kan kadang. TW: Yang mana itu? LA: Tentang informasi yang boleh dibuka oleh BUMN, itu kan hanya nama perusahaan. Di sini kan tercatatnya kan. TW: Saya sudah lupa-lupa. LA: Lupa, ini kan nama dan kedudukan, maksud, tujuan, jenis kegiatan, jangka waktu, permodalan dan sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar. Apa memang ada juga nama pemegang saham, siapa anggota direksi cuma untuk menjelaskan asal-usul sang direksi atau komisaris ini darimana, latar belakanganya apa, itu nggak ada di sini, waktu itu. TW: Nggak tahu, ada nggak itu disebutkan selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah? LA: Nggak ada Pak. 52
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
TW: Biasanya kan prinsipnya itu UU itu tidak detail tapi membuat koridor tapi detailnya itu diatur dalam Peraturan Pemerintah. Nah kalau tidak ada di situ kemudian dipertanyakan oleh masyarakat, itu kan suatu permulaan yang bagus, kemudian pemerintah harus berfikir membuat Peraturan Pemerintah karena nanti kalau tidak diatur sementara itu dibutuhkan oleh masyarakat, kan akhirnya. LA: Karena tadi seperti yang Bapak bilang seperti ATM pejabat. Perusahaan ini kan kita tidak tahu siapa, memang sih namanya si A yang tercantum cuman kan yang tidak tahu asal-usul si A siapa, anaknya siapa, kerabatnya siapa, kan kita tidak bisa tahu? TW: Istri pejabat datang ke London itu dibiayai semua satu keluarga. Nah itu yang harus kita jaga gitu, kepentingannya dimana, apakah itu uang suaminya atau bonus suaminya. LA: Itu kadang nggak ada di sini, jadi mungkin agak ada yang mengganjal ya Pak. TW: Iya jadi memang begini, BUMN kayaknya diprotect oleh pemerintah tapi paling tidak bahwa dia sudah bisa disentuh. LA: Iya betul dengan UU ini. TW: Dengan UU ini, yang selama ini kan tidak bisa disentuh. Coba, namanya BUMN, BUMN itu paling tidak assetnya itu kan asset Negara. Sudah diberi asset masih ditambah lagi dengan modal APBN setiap tahun dan tidak pernah untung. Coba bayangin, terus merugi, merugi terus. LA: Merugi terus laporannya. TW: Nah paling tidak sekarang ke sana, kalau ada umpamanya lembaga katakan LSM yang punya perhatian terhadap anggaran BUMN umpamanya itu, anggaran Pertamina usut saja itu, buntutin terus begitu. Itu akan pelan-pelan akan termotivasi untuk menjadi bersih dan itu belum. LA: Iya betul. TW: Nah prinsip saya, pikiran-pikiran saya ketika yang pokok sudah bisa diterima kemudian ada yang sebenarnya pokok tapi ada belum diterima, ya saya bisa mengatakan paling tidak sudah bisa disentuh, masuk ke sana sudah ada jalan. Nah selama ini kan tidak aja jalan, dianggap hanya akan mengacaukan saja. Jadi banyak hal-hal seperti itu. Nah kalau saya berharap sebenarnya masyarakat punya perhatian terhadap persoalan ini, bukan saja karena aspek pengawasan, itu kan sebagai aspek pengawasan, tapi aspek membangun demokrasi yang benar. Jadi kan kalau mau demokrasi yang benar kan sebenarnya kan semuanya terbuka. Kita musyawarahkan, anggarannya terbuka, jadi kita musyawarahkan, jangan ada yang disembunyikan, ada uang siluman. LA: Iya kan tujuannya juga good government itu ya Pak. TW: Iya arahnya ke sana. LA: RUU KIP ini, iya Pak mungkin saya rasa untuk sekarang cukup, kalau misalnya nanti ada yang saya perlukan sebagai tambahan, berkenan ya Pak. TW: Silahkan, jadi kalau nggak bisa kontak saya, kalau kontak saya bisa, saya nggak apa-apa, Cuma kan kebetulan saya berada di belakang karena komputer saya ada di belakang, sinyal nggak ada. Tapi kalau tidak bisa lewat Dek Tita, dia sering kesini, tadi malam di sini. LA: Baik Pak, terima kasih banyak waktunya.
53
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LAMPIRAN 4
Hasil Wawancara Informan Pendukung 1. Informan Pendukung 1 Nama : Paulus Widiyanto (Koalisi Masyarakat Sipil) Tempat : Jakarta Tanggal : 27 Februari 2015, Pukul 12.00 WIB Narasumber : Paulus Widianto (PW) Pewawancara : Lisa Adhrianti (LA)
LA : Terima kasih atas waktunya pak, saya mulai rekam ya pak. Bisa cerita pak bagaimana perjalanan UU KIP? PW: Ya jadi ada tahap perumusan dan tahap pemeriksaan. Nah sebagai penyiapan itu Undang-undang ini berasal dari masyarakat sipil itu 1998, 1999. Jadi tahapan penyiapan itu, kalau sudah penyiapan dari Masyarakat Sipil itu ada dua lembaga penting yang sebetulnya harus kamu, tanya kalau seandainya kamu akan bertanya, yang pertama itu ICEL. Itu reformasi. Nah takkala 1998 itu apa jadi reformasi DPR itu pada waktu itu 97, 98, 99 itu kan bergolak reformasi, nah pada saat itulah kemudian di situ masuk usaha-usaha untuk menempatkan hak-hak masyarakat untuk reformasi fredoom of the press masuk. Nah pada tahun 1999 berakhir reformasi regurali per Undang-undangan itu hanya berhasil me-reform Undang-undang Pers 40, 1999 dan Undangundang Telekomunikasi 36, 1999 tetapi tidak sempurna. Undang-undang Penyiaran yang akan direformasi juga itu nggak sempat selesai, sehingga dilanjutkan oleh DPR 1999-2004. Nah saya masuk pada disitu, pada masa 1999-2004 itu setelah Undang-undang Penyiaran saya sebagai ketua Pansus ya kan kemudian masuk juga masyarakat sipil menggolkan RUU KMIP. Nah disitulah pada saat yang bersamaan saya ditunjuk sebagai ketua Pansus KMIP. LA: Oh waktu itu ya Pak. PW: Dua, nah status saya kalau mau ditanya saya adalah Ketua Pansus dari penyiapan dan perumusan draft RUU KMIP. LA: Ketua Pansus ya Pak? PW: Ketua Pansus saya, wakil ketuanya waktu itu dari Golkar Prof. Bapak Patunrumi Parawansyah terus wakil ketua berikutnya adalah Ibu Aisyah Amini, wakil ketua Pansus berikutnya Effendi Choirie. Nah tiga orang ini kan nggak pernah ketemu tapi anggota-anggota Pansus Undangundang KMIP tadi itu menjadi juga anggota DPR pada periode 2004-2009. Nah saya tidak lagi menjadi ketua karena sudah tidak terpilih lagi, saya berada di Koalisi Masyarakat Sipil. LA: Posisinya waktu itu ya Pak. PW: Saya pengawal pengawasan UU KMIP pada periode 2004-2009 saya berada pada masyarakat sipil. Nah pada waktu mereka membahas, saya selalu mengingatkan teman-teman saya yang di Pansus itu apa-apa saja yang harus dipertahankan blab la bla, jadi saya sebagai fraksi balkon lah yang memberikan masukan kepada mereka dan pada waktu diketok Pak Theo Sambuaga memberikan applause kepada saya sebagai pengawas disebutkan di pidatonya “kita berterima kasih kepada Pak Paulus Widiayanto yang mengawal, ucapan terima kasih kepada saya”, pada waktu diketok 2008 itu saya diwawancara wartawan bagaimana sikap saya terhadap Undangundang ini, saya belum puas dengan Undang-undang ini karena apa yang saya perjuangkan baru 65%, saya ngerti anak mata panah termasuk pasal yang dipertanyakan itu, nah itu pasal yang paling berat yang masuk dalam wilayah yang paling berat. LA: Tapi paling menarik ya Pak? PW: Paling berat tapi ada juga part yang paling berat tapi dia masa kamu hanya separuh. LA: Iya. PW: Yang masalah badan public itu adalah informasi public. LA: Oh iya betul-betul. 54
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
PW: Jadi definisi badan public dan informasi pribadi, itu semacam dua sisi dalam satu mata uang yang sama. LA: Iya. PW: Dua-duanya tidak bisa dipisahkan karena apa tatkala kita bicara public information dan public body, dua-duanya ini perdefinisi itu sangat berat dirumuskan. Sekarang tinggal point yang kamu mau kejar mana persoalan yang ini. LA: Jadi Bapak terlibat di UU KIP yang ? PW: Namanya KMIP, kemudian dirubah menjadi KIP. LA: Yang awal KMIP itu Bapak terlibat sampai mana itu Pak. PW: Sampai jadi draft. LA: Sampai jadi draft ya. PW: Draft itu kita kirim buat pemerintah, udah selesai nih draftnya. LA: Udah selesai terus nunggu. PW: Pada waktu dibahas eh sorry pada waktu kita kirim ke pemerintah bulan Juli tahun 2004 sudah selesai isi draft pemerintah itu sedang menyiapkan DIMnya, peringati pemerintah. LA: Oke Pak, Pak coba kita stop. PW: Ini di meja ini sudah sebulan, karena persoalan biasanya kalau ganti tahun saya membuang kertas, kalau nggak masuk keranjang sampah, tempat pot. Nah kemudian ini saya sisihkan karena memang pada permintaan kepada saya soal pada waktu itu kan teman-teman men-GR Undangundang KIP yang soal pasal secretariat. LA: Oh sekretaris komisi. PW: Sekretarias komisi yang berada dibawah komisi. LA: Informasi. PW: Pasal itu yang diganti, GR itu. Nah sebelumnya di NTT itulah saya ceramah terakhir dikalangan komisioner KIP, KIP provinsi dan kabupaten pusat, gimana? LA: Sampai draft nunggu DIM belum sudah habis masa itunya, terus berikutnya Bapak ngawalin dari awal sampai akhir itu Pak? PW: Sampai akhir, LA: Jadi Bapak ikut rapat-rapat terus, PW: Iya di fraksi balkon LA: Fraksi balkon yang diatas itu? PW: Iya kemudian. LA: Selalu itu Pak? PW: Selalu dan ada yang. LA: Tertutup juga. PW: Tertutup dan nggak bisa tetapi saya hanya memberikan masukan-masukan kepada mereka itu. LA: Jadi Bapak berdebat nggak bisa ya Pak? PW: Perdebatan-perdebatan tidak hanya di DPR, persoalan ini adalah perdebatan di DPR yang kau sebutkan tertutup dan terbuka juga dilakukan perdebatan lebih semacam pertarungan pendapat di kalangan pemerintah, masyarakat sipil dan DPR, jadi kan kamu hanya bicara pada level low makersnya, kamu komunikasi kan? LA: Iya. PW: Oke, hanya diantara pemerintah dan DPR padahal Masyarakat Sipil juga punya kepentingan yang DPR pun juga bertanya kepada kita, jadi tidak hanya pertarungan yang kamu sebutkan ada kelompok ini, kelompok ini juga butuh amunisi, kami berikan amunisinya. LA: Oke oke, jadi yang mendasari usul utama membuat RUU KIP pada waktu awalnya itu sebenarnya apa sih Pak? PW: Nah itu kan banyak sekali tapi intinya. LA: Intinya kenapa itu bukan dari pemerintah Pak datangnya? PW: Nah ini kamu harus tahu filosofinya, filosofinya kamu harus ambil pada Undang-undang HAM. LA: Ya ya yang 28 f itu. PW: Pasal 28 f kemudian yang amademen 28 itu ya disitulah kita memperjuangkan hak-hak masyarakat. Nah amandemen Undang-undang Dasar 1945 itu kan juga mendepankan hak-hak masyarakat juga, jadi itu prinsip utamanya adalah bahwa memperoleh informasi merupakan hak. 55
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Iya. PW: Nah itu tu filosofinya disitu hak untuk tahu, hak untuk memperoleh informasi dan itu jadi sebetulnya kami memperjuangkan hak. LA: Iya. PW: Memperjuangkan hak sudah dijamin secara konstitusional tapi juga legal formalnya harus lebih diurai pada Undang-undang. LA: Ya maksud saya sayangnya usul itu tidak datang dari pemerintah kan tapi dari masyarakat. PW: Karena pemerintah kan bukan tidak tapi justru karena desakannya dari masyarakat kan kita. LA: Desakannya ya Pak? PW: Kan kita reformasi desakannya kan dari masyarakat iya kan, membutuhkan apa, membutuhkan hak-haknya termasuk hak-haknya apa? Termasuk dalam konstitusi kemudian diturunkan pada Undang-undang kan begitu, jadi pemerintah kan pada waktu itu kan pemerintah sedang kolaps. LA: Iya. PW: Transisi, berubah rezim, nah kami yang memperjuangkannya gitu. LA: Jadi waktu awalnya itu ada kendala nggak sih Pak? PW: Maksudnya? LA: Waktu awal-awal Bapak jadi perumusan draft itu ada kendala nggak, selain dari menunggu DIM yang tidak pernah turun, nah itu kenapa bisa lama itu? PW: Itu terlalu jauh masih jauh. Gini masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak memperoleh informasi itu juga tidak masyarakat Republik Indonesia itu juga harus belajar dari pengalaman Negara-negara lain yang mempercayakan hak-hak sipil dan itu kan hak-hak dunia. Nah pada waktu masyarakat sipil belajar memperjuangkan hak-haknya, dia kan harus belajar bagaimana standar hak-hak memperoleh informasi itu diakui oleh global dunia. Nah masyarakat sipil itu juga melakukan study, mengadakan rujukan, mencari rujukan termasuk saya pun melakukan study atau mencari rujukan. Salah satunya itu dulu standar yang juga kita rujuki malah dari teman-teman artikel Nineteen tau kan artikel Nineteen Artikel Nineteen itu ada NGO dunia yang ada di London yang mencoba membuat standar tentang Undang-undang Penyiaran, Undangundang, kita juga belajar dari standar itu punya segudang tapi nggak sempat saya bongkar itu, nah itu ada standartnya. LA: Iya. PW: Saya juga pergi ke Inggris artikel Nineteen pada waktu saya ketua Pansus untuk berdialog dengan artikel Nineteen tentang apa model, model Undang-undang. Nah model Undang-undang ini masyarakat sipil peroleh kemudian mereka men-draft, daaftnya itu berkembang dari ini-ini jadi konsep berfikirnya ini yang harus dilihat bagaimana merumuskan yang kau sebut badan public, bagaimana merumuskan apa informasi public jadi hak-haknya itu apa saja. Jadi haknya banyak itu, badan publiknya juga banyak, informasinya juga banyak yang menarik dari tiga sisi tadi maka sebetulnya ketika kamu bicara badan public, ini kan orang yang kita desak untuk mengeluarkan informasi public kan begitu. Jadi kalau badan public adalah Negara maka kita bicara warga Negara yang mempunyai hak memperoleh informasi iya kan, tapi hak memperoleh informasinya itu apa saja, itu ada beberapa banyak. Nah badan public Negara yang harus mempunyai kewajiban untuk tell jadi obligation to tell-nya pada dia right to know-nya kita, obligation to tell-nya pada dia, ya disitulah kita saling belajar bagaimana hak-hak kami itu terungkap dengan jelas kayak gini-gini dan pemerintah juga mengerti bahwa dia punya kewajiban apa saja, kan dua ini. Nah badan public yang kamu tanyakan itu pada waktu kami mendraft itu kan diajak bicara tahapnya baru pada penyiapan dan perumusan, iya kan. Nah ini pun saya minta pada mereka ini bahan-bahan dari mereka yang saya peroleh bisa dimulai dari awal apa itu yang namanya badan public. Jadi badan public yang sudah dirumuskan didalam Undang-undang KIP 14 2008 itu adalah sebuah proses kompromi dari pertarungan konsep sejak awal. LA: Jadi gini Pak apa namanya itu intinya saya mau melihat suatu model pengambilan keputusan yang didasarin oleh kohesivitas tinggi dari kelompok kohesif, tapi sepertinya menghasilkan keputusan yang keliru gitu, kenapa disebut keliru karena saya menemukan dari petisi masyarakat sipil kan ada beberapa catatan atas RUU KIP itu kenapa teks kategori BUMN sebagai badan publik akhirnya berubah. 56
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
PW: Iya itu makanya tadi yang saya katakan pertarungan kepentingan. LA: Iya. PW: Si Felix kan pernah, saya memang mau mengatakan dia, dulu kan pilihan, akhirnya pilih dia Felix itu pertarungan kepentingan luar biasa Felix terus saya ambil pertarungan kepentingan. Nah saya mengatakan sebab teori Undang-undang, sebab Undang-undang itu punya elemen-elemen kepentingan, punya elemen kepentingan secara lebih akademis itu kita melihat anatomi kepentingan itu. Anatomi kepentingannya itu selalu saya katakan empat atau lima, yang pertama itu adalah kepentingan state atau Negara tapi kemudian direduksi menjadi bukan state Negara tapi direduksi menjadi kepentingan birokrasi. LA: Itu yang pertama ya Pak. PW: Itu selalu direduit jadi tidak untuk merumuskan kepentingan negara, kepentingan pemerintah yang melibatkan birokrasi itupun tidak sanggup, karena antara birokrasi satu dengan yang lain pun nggak sama. Cara berfikirnya kan saya baru tahap berfikirnya, yang kedua itu kepentingan masyarakat atau warga Negara (public interest), ini pun cara berfikirnya tidak utuh tetapi dia lebih apa ya, lebih luas kepentingan publiknya. Yang ketiga itu kepentingan korporasi, dia motifnya berbeda-beda iya kan terus derajat, korporasi kan punya sector birokrasi paling macet, itu kan berbeda-beda. Yang keempat itu adalah kepentingan individu-individu (individual interest) yang sebetulnya kalau dikaitkan dengan individual semacam konsumen (consumer interest). Nah yang tidak bisa dipisahkan juga dengan umum juga biasanya adalah proffesional interest. Jadi sebenarnya lima ini yang selalu saya lihat ada didalam kerangka besar konflik kepentingan selain mengesampingkan sementara global interest. Saya kesampingkan dulu tapi didalam konteks Indonesia ada lima sudut tadi, segi lima kepentingan tadi, contoh yang konkrit itu adalah profesi misalnya wartawan itu profesi tapi perusahaan media lain, bisa aja kepentingan wartawan dan kepentingan koorperasi media itu bertabrak-tabrakan gitu loh. Individual juga ada kepentingannya dengan demikian kepentingan profesi untuk Undang-undang KIP juga ada misalnya pengacara, professional interest misalnya konsultan, misalnya notaris, misalnya dokter, nah itu kepentingan-kepentingan juga tidak bisa dikelompokkan menjadi kelompok public tapi lebih pada professional interest, nah itu juga masuk didalam perdebatan-perdebatan. Nah takkala mau membicarakan badan public itu nah disitu persoalannya siapa yang harus tunduk kepada Undang-undang KIP itu, namanya badan public tadi, nah ini yang pertarungan kepentingan besar yang mengatakan “aku nggak masuk loh” . LA: Iya. PW: Aku masuk dong iya begitu kan nah di situ namanya subject punya rumusan itu padahal sebetulnya public information tadi yang paling utama, jadi melihatnya, kalau saya melihatnya bukan pada public internal tapi pada public informationnya dulu. LA: Informasi yang mana dulu ya Pak ya yang harus disediakan. PW: Nah ini yang saya menjadi saksi ahli tatkala Bank Syariah, BNI bank Syariah itu ingin dikeluarkan sebagai bukan badan public yang tunduk pada Undang-undang kita. Padahal dulu bank BNI Syariah itu adalah bagian dari entitas Bank BNI, dia ada didalam. Pada waktu ada orang meminta informasi kepada Bank BNI terkait dengan bank Syariah itu dia masih masuk tapi kemudian dia dipisahkan, dikeluarkan dari entitas baru. Nah orang yang meminta informasi ini, meminta informasi pertama kali itu ke bank BNI nya dilanjutkan tapi sekarang kan Bank Syariahnya sudah terpisah bukan lagi Bank BNI, dipisah. Nah Bank BNI Syariah tadi “kan saya bukan badan public, kan saya bukan BUMN”. Nah saya menjadi saksi ahli di Jakarta Pusat apa itu tapi intinya itu KIP (komisi informasi pusat) itu dianggap melanggar perbuatan melawan hukum karena memerintahkan supaya informasi yang dimiliki oleh bank BNI Syariah ini dibuka dan ini dibutuhkan untuk penegakkan hukum dan saya jadi saksi ahli, dalam kesaksian saya sebagai saksi ahli didalam maupun diluar dengan pengacara saya sampaikan, yang utama yang harus disepakati bukan badan publiknya tapi informasi publiknya. Saya dengan hakimnya “hakim yang utama persoalannya bukan pada badan public atau bukan badan public, yang harus utama adalah informasi public itu apa, karena yang menghasilkan informasi public bukan saja badan public tapi individu”. Individupun menghasilkan information public, apa yang dikejar apa, kalau dirumah saya misalkan ada gas beracun wajib hukumnya saya mengatakan kepada masyarakat sebagai individu dirumah saya ada gas beracun yang membahayakan masyarakat luas 57
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
beedasarkan informasi itu karena tanggung jawab saya sebagai individu bahwa akan ada masyarakat yang kena dampaknya apabila saya tidak memberikan informasi public, jadi informasi public tidak hanya dihasil badan public tapi juga individupun mempunyai kewajiban memberikan informasi public. Misalnya di jalan raya ada BBM tumpah yang licin kami pasang supaya hati-hati yang akan mencelakakan, itu informasi public kan harus saya lapor kepada Dinas Perhubungan bahwa itu, langsung saya serta merta saya umumkan bahwa disana ada ini, dan segera saya laporkan Pak disana ada itu tapi masalahnya sudah terselamatkan, public information kekuatannya di situ. Nah kemudian ini hakim kaget juga bahwa terus kemudian saya contohkan juga kepada Bapak pengacara, PDAM Air dan PT Palyja Jaya sama-sama meghasilkan air tapi satunya PDAM pada BUMD, PT Palyja adalah PT swasta kalau ada orang minta informasi tentang air kepada PT Palyja sama derajatnya informasi yang diberikan oleh PT PDAM tadi, karena apa, air merupakan sumber kehidupan manusia dan ia mempunyai public interest yang sangat tinggi dan informasi harus disebut. Nah ini jadi sebetulnya kamu mulai dengan badan public, apa itu badan public? Nah ini sangat, ini sangat multi dimensi, nah sekarang kamu akan masuk dimensinya dimana gitu loh. Nah itu menjadi perumusan apakah definisi tadi yang jadi, ini kelemahannya dalam rumusan itu karena pasal kompromi bukan di hidden, disembunyikan rumusan yang menyembunyikan sesuatu. LA: Iya nah itu Pak. PW: Nah disini persoalannya, kamu mengejar pada orang-orang yang kamu tanyakan itu dimana kok sampai mengeluarkan ini dan ini, bagi saya itu adalah bisa para low makers, low makersnya ada dua, pemerintah dan DPR, tim anggotanya yang saya sebutkan tadi dan pemerintah juga orang yang bekerja, dia itu memperjuangkan public interest ataukah yang saya sebutkan tadi corporate interest atau ini-ini disitulah apa, statement problemnya akan kelihatan. Saya berikan contoh perkembangan definisi itu karena dulu saya tetap memperjuangkan badan usaha swasta pun ada badan public apabila dia mengerjakan-mengerjakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya oleh Negara untuk menjalankan itu atau dia juga menjalankan sesuatu yang merupakan kekayaan negara. LA: Waktu itu Bapak mau begitu ya Pak? PW: Saya sejak awal prinsip saya itu, perjuangan saya misalnya Freeport itu adalah badan public. LA: Oh asing PW: Karena apa dia mengolah kekayaan Indonesia. LA: Ya seharusnya. PW: Kekayaan itu terus kemudian telling, tau telling itu sisa-sisa tanah yang dibuang itu mencemari di ujung sungai sana, pencemaran yang dihasilkan oleh Freeport, aliran ini, itu public information tapi kan dulu saya kan diawal corporate interest kan lihat badan publiknya lemah . LA: Iya PW: Nah yang menguasai dalam pemikiran mereka namanya rezim keuangan . LA: Rezim keuangan iya. PW: Yang menguasai rezim keuangan itu dia, maka teori tentang kekayaan Negara yang dipisahkan itu menjadi rezim keuangan. Nah di situ sebenarnya kekalahan dari teman-teman menterjemahkan konsep keuangan Negara yang kemudian sudah berhasil merumuskan bagus oleh MK beberapa bulan yang lalu. Jadi BUMN itu juga kalau nggak salah BPKP itu akan mengawasi sampai mana, termasuk mana oleh MK disebutkan kekayaan Negara yang dipisahkan itu pun menjadi kekayaan yang harus diawasi oleh BPKP, jadi kekayaan modal yang dipisahkan itu tetap juga adalah subjek pengawasan BPKP karena dia menjadi subjek yang diawasi oleh BPKP analogi berfikirnya adalah dia subjek untuk UU KIP. LA: Ya harusnya masuk ya Pak ya? PW: Bukannya harus masuk, dengan keputusan itu saya mengatakan itu adalah suatu perintah dari MK bahwa BUMN pun dan badan-badan lain pun adalah. LA: Badan public. PW: Badan public tapi kan kemarin waktu saya disuruh teman-teman KIP kan saya juga masih di aktif di jaringan masyarakat sipil kan ini masuk badan informasi extand, jadi perusahaanperusahaan extraktif yang mengolah kekayaan itu kan harus subjek to Undang-undang KIP juga baik swasta maupun Negara. 58
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Tapi usulan dari pemerintah itu kok nggak ada ya Pak, itu karena tadi rezim keuangan tadi. PW: Rezim keuangan, kepentingannya keuangan kuat, jadi rezim keuangan itu ada rezim keuangan Negara, rezim BUMN itu kan cara berfikirnya kuat tapi saya kan rezimnya adalah bukan itu, makanya kan disini diperdebatkan saya bisa tunjukkan kamu, saya nggak tahu kamu dapatkan di teman kamu, saya juga punya data. LA: Apa tu Pak? PW: Ada pendekatan financial, pendekatan fungsional, dan pendekatan insiden yuridis. Tadi yang saya katakan rezim keuangan itu pendekatan financial gitu loh yaitu badan-badan yang pendanaannya bersumber dari badan Negara oke yang tadi. Pendekatan fungsional yaitu badanbadan yang lingkup tugas dan visinya adalahuntuk pelayanan public (public service) iya kan terus pendekatan insiden yuridis yaitu badan-badan yang berasal dari perUndang-undangan yang akan sebagai badan public, ini definisi dari ketiga pendekatan itu. Pendekatan Pemerintah yang pada undang kita yang terakhir itu, itu pendekatan financial pada rezim keuangan, ngerti nggak? Jadi kalau misalnya Negara memberikan tugas itu namanya delegasi, mendelegasikan kewenangannya kepada institusi, pendelegasian, delegation of, maka dia badan hokum. Bisa didelegasikan misalkan PT X itu diberikan tugas untuk mengerjakan proyek Kapuas, kan dananya dari APBN, dia melaksanakan tugas untuk mengerjakan itu, dia open harus. LA: Iya. PW: Tapi nggak dengan Undang-undang ini nggak, gitu loh ngerti nggak maksud saya, karena apa. LA: Nggak masuk. PW: Iya gitu loh salah satu contoh. Nah kemudian yang berikutnya penugasannya misalkan kontrak minyak, kan dia yang mengolah minyak juga berapa sih yang keluar, berapa ini kan orang Tanya dia harus memberikan informasinya. LA: Tapi yang ini-ini nggak bisa. PW: Nggak bisa, itu yang tadi saya melakukan pendekatan informasi disini, kamu melihatnya badan public. Nah itu yang kemudian, jadi lupa saya nggak intinya itu kemudian diselundupkan. Kamu nggak bawa Undang-undangnya? LA: Ada Pak. PW: Coba yang saya coret-coret. LA: Yang dicoret-coret. PW: Jadi yang diselundupkan itu rumusannya yang ini, ini kan sangat lemah. Nah jadi yang badan public yang sangat lemah sehingga tadi apa yang saya sebutkan sebagai diselundupkan, disembunyikan itu masuknya pada rumusan informasi, informasi lain yang terkait dengan kepentingan public itu adalah pintu masuk apa yang saya perjuangkan baru selamat disitu sebetulnya. Takkala si Komisi Informasi mengatakan dia termasuk informasi yang berkaitan dengan public apapun badan harus, nah disitu. LA: Tapi ini dimanfaatkan karena BUMN nggak ada disini mereka bisa. PW: Bukan BUMN masuk disini, ada pasal berikutnya kan, BUMN kan ada. Badan public kan termasuk BUMN, ini pasalnya BUMN pasal 14 ini. BUMN adalah badan perusahaan milik Negara dan badan usaha lainnya yang dimiliki oleh Negara dalam Undang-undang, yang pasal 14. LA: Tapi kok nggak disebutin ya Pak di pasal 1 ayat 3. PW:Kan tadi saya sudah bicarakan bahwa cara pembahasan ini, itu saling sembunyi menyembunyikan, makanya waktu saya kritik Undang-undang ini tidak konsisten, rumusannya tidak ada didalam dalam-dalam apa namanya. Itu namanya pertarungan kepentingan. LA: Kalau dipasal 14 bunyinya baru ada ya pak BUMN? PW: Ya pasal itu sudah ada duluan tapi rumusannya badan itu yang terakhir, detik-detik terakhir. LA: Iya yang diadaptasi, makanya saya di halaman 34 ini saya bawakan, agak mengherankan juga tentang BUMN, BUMD ini Pak, halaman 34. PW: Ini? LA: Iya, tapi saya agak bingung di risalah rapat yang tercantum itu nggak ada rapat tanggal 18 Juni ini Pak, itu bagaimana Pak? ini Pak di DPR kan ada buku satu sampai tujuh itu nggak ada yang tanggal 18. 59
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
PW: Begini DPR membikin risalah itu tidak lengkap. LA: Ooooo. PW: Jadi kalau kamu hanya mengandalkan pada itu, itukan kemampuan si mendokumenkan tadi. Apakah seratus persen itu lengkap atau tidak lengkap kan disitu persoalannya . LA: Tapi ini ada Pak, apakah betul? PW: Ya makanya saya harus buka, itu kan dulu lembaran kertas-kertas dulu, kertas-kertas di. LA: Tapi Menkominkonya bukannya Sofyan Djalil Pak? PW: Siapa yang bilang itu. LA: Kok disini dibilang Mohammad Nuh. PW: Siapanya. LA: Ini dibuku itu Mohammad Nuh apa salah tulis atau gimana? PW: Bukan kan dulu ada dua Pak Sofyan Djalil dengan Mohammad Nuh. LA: Mohammad Nuh sebagai apa waktu itu. PW: Menteri selama Sofyan Djalil maka dilihat pada pergantian Menterinya . LA: Iya ya dua kali ya Pak . PW: Iya dua kali, Pak Sofyan Djalil. LA: Yang pertama Mohammad Nuh dulu. PW: Jadi Pak Sofyan yang pertama. LA: Oh Pak Sofyan Djalil yang pertama . PW: Iya dia yang pertama kemudian dia menjadi Menteri BUMN, Pak Mohammad Nuh yang meneruskan, coba di cek. LA: Iya tapi nah gini kan, jadi ada salah satu anggota berkaitan dengan pembahasan Undang-undang Komisi Satu dan ini kan disebutkan “salah satu anggota DPR mengingatkan hasil kesepakatan pada raker sebelumnya tanggal 18 Juni 2007 menyatakan pada kesimpulan butir kesembilan bahwa ini Pak” terkait berkaitan dengan itu Menkominfo sepakat bahwa BUMN dan BUMD masuk dalam kategori. PW: Itu ada dua rapat, satu rapat Pansus satu lagi rapat bukan Pansus tapi materi Pansus bisa dirapatkan pada raker yaitu rapat kerja biasa. LA: Iya. PW: Bisa saja waktu di raker Pansus mentok dibicarakan lagi di raker yang non Pansus jadi dua. Nah itu kesimpulan rapat, nah itu beda laporan ada namanya laporan singkat. Laporan ada jenis-jenis laporannya, dugaan saya itu adalah diputuskan diluar raker Pansus tapi dilakukan pada raker non Pansus, itu harus di cek ulang. LA: Gitu ya, makanya kan jadi agak nggak tahu salah satu anggotanya nggak tahu siapa ya Pak? kan disebutin disini salah satu anggota DPR mengingatkan, nah itu Bapak tahu nggak kira-kira. PW: Saya tidak jelas siapa ya tapi itu memang itu ada rekamannya, rekaman rapat-rapat Komisi Satu tahun itu. LA: Iya tapi itu nggak ada, nggak keluar. PW: Ya itulah makanya kan saya kan Tanya, pada itu kan anak-anak buah saya, kok nggak semuanya di transkrip misalkan gitu, ada lagi karena hilang jadi itu masih berupa kaset yang dikerjakan oleh waktu pada jaman saya dulu itu. Nah makanya itu ini kan sebenarnya soal-soal alat bukti yang mendukung ya memang harus dikejar, siapa yang itu tapi kan kemudian masuk ini kan. LA: Disini sih dibilang memang yang berikutnya PDI yang. PW: Ya makanya si PDI bisa Andreas Parera, bisa Pak Sidarto, bisa. LA: Effendi Simbolan, nggak aktif sih ini siapa lagi. PW: Nanti bisa di cek Andre Parera. LA: Andre Parera ya Pak. PW: Saya sms no telepon yang dia tapi nggak jawab-jawab mungkin sudah ganti , nanti saya cek ulang ke teman. LA: Iya makanya saya siapa nih bertanya-tanya juga kalau memang sempat ada begini kan kenapa akhirnya berubah lagi gitu loh Pak? PW: Kan ada rapat kerja Pansus, ada rapat kerja Komisi Satu, nah itu ada dua raker. LA: Nah itu berarti kan dilobi lagi Pak. PW: Tapi yang saya ingin katakan cara berfikir tadi semacam itu. 60
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Pak dalam arti didalam UU KIP ini masuk lagi di prolegnas 2005 ya? sebelumnya di 2001. PW: Ya itu di 2000 pas jaman saya kan ada terminology prolegnas tapi kan cepat sekali jaman SBY. Kita kan dulu reformasi betul mana Undang-undang. Nah intinya membuat draft itu dilanjutkan oleh teman-teman 2004, 2009 LA: Kalau Tumbu Saraswati itu siapa pak? PW: Teman saya, itu anggota Pansus saya. Jadi kan begini saya jelaskan jadi draft ini disusun oleh Pansus DPR RI kami itu Pansus besar. Pansus besar itu terdiri dari beberapa anggota DPR RI masing-masing Komisi. Pada waktu Undang-undang ini dibahas namanya Pansus kecil karena hanya dibahas oleh Komisi Satu. Nah yang kamu sebutkan ibu Tumbu Saraswati tadi itu adalah anggota DPR Komisi Dua pada waktu itu. LA: Oh Komisi Dua. PW: Tapi anggota Pansus saya Komisi Dua dari PDI Perjuangan, kamu kenapa Tanya Bu Tumbu kenapa? LA: Saya lihat di internet katanya diusulkan oleh Bu Tumbu Saraswati, ya KIP ini. PW: Oh bukan dia itu baleg. LA: Iya baleg. PW: Kan gini untuk mengusulkan tanda tangan ini kan teman-teman kan baleg Bu Tumbu gitu loh. LA: Dia dulu Komisi Dua. PW: Komisi Dua, PDI Perjuangan teman saya, bu kamu yang ngusulin teman saya dia yang ketuanya, LA: Jadi dibaleg ya Pak? PW: Jadi terminology itu harus pas. Ad : Dulu Pak Paulus PDI ya Pak? PW: Iya PDI, saya ketua Pansus banyak sebenarnya. Waktu itu rahasia Negara mau dikasihkan ke saya, ya saya tolak, wah saya nggak mau. LA: Nah terus rahasia Negara posisinya kayaknya UUKIP dibawah rahasia Negara ya Pak waktu. PW: Rahasia Negara kita tunggu. LA: Nggak jadi ya Pak? PW: Dari jaman saya, saya mau dijadikan ketua Pansus saya nggak mau, udah saya bilang sama teman-teman di DPR. jangan deh itu, itu istilahnya dua Undang-undang yang saling tarik menarik. LA: Iya. PW: Jangan deh. LA: Tadinya kan mau barengan kan ya Pak? PW: Jadi kalau secara historis itu Undang-undang ini diusulkan melalui baleg kan, dia memang ditempat baleg. Nah jadi baleg itu sebagai tempat keluarnya inisiatif DPR tempatnya disitu biar cepat gitu loh. Ada Nyoman Gunawan, ada nama saya juga itu teman-teman saya juga, saya masih pegang Undang undang penyiaran kan nah kamu teken-teken, soal teken kan teken saja saya bilang ya keabsahan itu paling nggak 26 orang. LA: Jadi risalah itu yang tertulis itu sebenarnya nggak lengkap ya Pak? PW: Ya nggak lengkap? LA: Nggak semuanya. PW: Iya. LA: Buktinya kan yang tanggal 18 itu. PW: Yang inipun mungkin nggak ada juga, yang diluar ini juga nggak ada usulan Polri ada. LA: Itu kenapa kira-kira kenapa kok bisa nggak lengkap itu apa karena mereka ini atau. PW: Apakah kesadaran dari teman-teman mengarsip dokumentasi itu sederajat atau selevel dengan teman-teman di Komisi Satu. Kadang-kadang kan kalau nggak diperintahkan nggak jalan. LA: Yang nggak jalan Komisi Satu atau ardocnya Pak? PW: Ardocnya, kalau mereka bisa karena anggarannya nggak ada ini nggak ada. Sampai dulu itu saya waktu ketua Pansus dengan uang saya saya mintakan transkrip, saya kasih uang. LA: Oh gitu. PW: Jadi jangan bicara bahwa nggak ada, kamu mencari bukti . Kelemahannya adalah seolah-olah terbius alat bukti yang paling utama padahal itu adalah bagian dari kesepakatan-kesepakatan. Jadi alat tertulis itu kesepakatan. 61
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Iya. PW: Ini bukti lisan, yang lainnya kan bukti tertulis ada buktinya, atau lobi itu tidak tertulis, dulu kita lobi itu tidak tertulis kalau tertulis kan gimana. LA: Jadi yang saya terima risalah dari mereka itu yang saya lihat kan ada di rapat beberapa tanggal dari raker sampai Panja itu, itu memang nggak, dipending-pending terus gitu Pak ya yang badan public ini. PW: Iya di pending-pending terus sampai . LA: Iya gitu kan dari tanggal Maret sampai beberapa kali sampai akhirnya diputuskan ya udah kita bawa ke Timus saja katanya gitu kan, kira-kira kok sampai begitu yang lain-lain kan sudah diputus semua, diputus sudah sepakat-sepakat. PW: Justru itu, cara membahasnya saya kan sekarang menjadi orang yang bebas menilai, cara membahasnya itu tidak runtun dari awal jadi rumusan-rumusan yang ini tadi yang kept tadi itu loncat-loncat, zig zag tadi konsistensi terminology. Misalkan terminology kelompok, terminology pengguna, pemakai itu juga nggak benar. Contohnya saya dulu pernah minta sama namanya si Krishma, Krishma baca ulang, nggak usah Pak kalau dibaca ulang nanti dua tahun lagi baru selesai karena dulu si Krishma staff ahlinya Komisi Satu. Ini dia saya sederhanakan saja kan kita harus konsisten dengan terminology informasi, kamu lihat aja deh ini kan informasi yang wajib disegan dan diunggah kok hilang publiknya, kalau kita concern dengan informasi maka yang harus kamu tangkap adalah definisi informasi butir pertama. Kalau kamu bicara informasi public maka kamu harus merujuk pada definisi ini, ini nggak salah ini yang wajib. Informasi wajib diumumkan kenapa bukan informasi public yang wajib diumumkan ini satu yang tidak konsisten, informasi lain nggak konsisten padahal ini Undang-undang informasi public coba ini aja. LA: Iya maksudnya. PW: Iya itu tadi karena mereka tidak membaca lagi secara keseluruhan. Oke tadi itu pasal masih yang wajib, informasi yang wajib didalamnya tapi punya informasi public dari terminologyterminology ini nggak sama. LA: Oh iya. PW: Nah sekarang informasi public oke. LA: Jadi kekurang ketelitian pada waktu itu. PW: Ya kesana-kesini, kesana-kesini pas waktu baca kecampur aduk, mana awal mana akhir, terus ini pasal ini kategorisasi ada terminology yang lupa, eh bukan lupa yang tadinya ada dibuang tapi masih wujud. Lihat pasal 52 “…public bla-bla bla-bla tidak…public”, tidak menerbitkan informasi public berupa informasi public secara berkala masuk kategorisasi, informasi public yang masih diunggah secara serta merta apa satu kali berikutnya, yang wajib kerja setiap saat kategori berikutnya dan keempat informasi yang harus diberikan bedasarkan permintaan. Jadi harus ada kategori disini informasi bedasarkan kategori permintaan kan, kok hilang di situ, yang dihilangkan kan tapi pada pasal ini masih muncul lupa dia mengdeletenya. Nah jadi disini tempatnya kategorisasinya disini, kategorinya di awal karena mereka nggak teliti karena informasi yang wajib bedasarkan permintaan, ini termasuk kategori tapi dihilangkan. LA: Nggak ada ya Pak. PW: Tapi disana nggak kehapus, tapi didalam perdebatan-perdebatan karena ada di sana, pasti masuk juga dong tapi terlalu tersembunyi. Jadi hak orang untuk informasi itu tetap ada. LA: Tapi karena disini nggak. PW: Tapi kemudian itu dihidupkan oleh standar informasi public, itu dihidupkan di ininya. LA: Jadi bisa ya Pak. PW: Ya artinya begitu cara-caranya menghidupkan yang hilang itu kan saya kasih tahu dulu. Itulah Undang-undang ini minta di ini kan kategorinya, disediakan, serta merta. LA: Serta merta, ada empat tadi ya Pak? PW: Setiap saat dikecualikan yang satu itu ada permintaan. Salah satunya ada kata permintaannya, jadi diminta, jadi ada informasi yang diminta, ini tahun berapa yang 2013 kalau nggak salah. LA: Oh beda-beda terus Pak? PW: Ya dikembangkan. LA: Direvisi ya Pak? 62
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
PW: Jadi ada terminology yang atas permintaan. Kamu bisa lihat ini kan ada kategori keempat, kategori setiap saat tadi, nih. LA: Berkala. PW: Berkala, formatnya setiap saat atas adanya permintaan, baru informasi yang dikecilkan ini historisnya. Jadi kalau kamu mau bisa mindset Undang-undang itu tidak konsisten, penuh dengan kompromi untuk menyembunyikan sesuatu yang kemudian sangat multi interperasi hasilnya. Multi interperasi itu maksud saya, itu didalam istilahnya itu perdebatannya itu mungkin interprasi, kamu sekarang meneliti itu yang saya sampaikan waktu saya di Mataram, saya punya paper nya ternyata. LA: Boleh dong Pak minta. PW: Itu yang saya, ini dia. LA: Jadi Pak pencantuman BUMN, BUMD yang nggak ada dalam pasal 1 ayat 3 itu bisa dibilang karena tadi itu ya Pak, ada kompromi dan aspek-aspek itu tadi kepentingan anggaran tadi ya Pak. PW: Ini ni dulu waktu saya di Mataram. Suami kamu ada disana saya kan membaca ulang kalau membaca Undang-undang kept itu tadi secara yang saya sebutkan. Tahapan pembahasan di DPR tadi yang penyiapan, perumusan, pembahasan terus aturan-aturan atau registrasi yang tadi disebutkan Bu Tumbu bla-bla, Pansus besar, Pansus kecil. Nah ini yang penting text awal sampai text akhir. Nah kamu itu mempelajari sebuah text yang akhir kalau tidak tahu proses awalnya itu akan-akan bingung. Nah itu kan artinya ada intensi integritasnya apa ini dia ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. LA: Nah itu Pak maksud saya seolah-olah DPR kalah dong. PW: Ya apapun lah yang disebut ya silahkan aku bebas, kamu akademisi punya freedom of LA: Nah itu yang mau saya kritik kenapa bisa ini nih? PW: Oke pasal-pasal buat kompromi, ambigu, trade-off, apa itu trade-off? LA: Maksudnya apa Pak saya nggak ngerti. PW: You masuk yang lain juga harus masuk. LA: Oh, pasal-pasal yang begitu. PW: Trade-off, iya. LA: Yang ini masuk yang ini juga harus masuk. PW: Pasal trade-off nya ini. Trade-offnya adalah dimasukkannya terminology partai politik dan NGO dalam Undang-undang, kok pemerintah aja DPR juga dong loh partai-partai politik, masuklah partai-partai politik. LA: Di badan public. PW: Diawalnya kan nggak ada begini-begini ini, makanya subjeknya siapa badan publiknya kan badan public dapat uang dari Negara APBN itu wajib dong. LA: Akhirnya ngalah ya mau juga. PW: Rezim, rezimnya ada rezim keuangan. LA: Tapi BUMN kenapa nggak dimasukin. PW: Masuk, masuk juga, itu treat- off tapi tidak dirumuskan didalam tapi ditransaksikan pada ini tadi. LA: Pasal 14 tadi. PW: Yang itu transaksinya disitu makanya disembunyikan dimana. LA: Di pasal 14 kan Pak. PW: Bukan-bukan itu penjelasannya, kamu nggak lihat di pasal penjelasannya, kamu nggak lihat penjelasannya. LA: Nggak, belum. PW: Ini pasal 14 kan BUMN, oke pasal 15 kamu nggak sebutkan, pasal 16 tidak mau sebutkan padahal trade-off. LA: Pasal 15 juga. PW: 14, 15 itu trade-off jual beli, transaksi, draft pada awalnya nggak ada itu. LA: BUMN nggak ada ya. PW: Artinya begitulah. Nah ini kamu, buku saya yang sudah saya coret jelas banget ketumpuk, nah ini dia. Jadi waktu ada disini sebetulnya, jadi waktu. LA: Harusnya di pasal 1 ayat 3 disebutin aja ya Pak kalau memang ada di pasal 14, 15. PW: Bukan pasal-pasal, pasal 14 sudah ada tapi nggak mau dirumuskan diawal itu. 63
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Iya, ya harusnya. PW: Nah kamu kan seharusnya nggak mau kan. LA: Iya itu dia. PW: Apa penjelasannya, ini kamu harus lihat penjelasannya kan tadi kan pasal 14, nih oke, yang dimaksud dengan Undang-undang yang terkait dengan bla-bla bla-bla hanya ini-ini ini-ini, ini koma kan ini kan penjelasan yang disembunyikan, yang dimaksud ini adalah ini-ini, ini-ini, ini harus kamu baca hati-hati. Sekarang pasal d, yang dimaksud dengan Undang-undang yang terkait dengan Undang-undang di partai politik yang dimaksud dengan organisasi non poltik dalah organisasi baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, arisan pun, kelompok ibu-ibu majelis taklim pun itu wajib membuka informasinya, yang tidak berbadan hukum toh yang meliputi perkumpulan. Perkumpulan loh lembaga masyarakat badan usaha pemerintah disini disembunyikan, badan usaha non pemerintah. Apakah yang dimaksud dengan badan usaha swasta, saya mengatakan badan usaha swasta. LA: Berarti badan usaha swasta juga bisa. PW: Karena Undang-undang ini disembuyikan tadi yang sebagian dan seluruhnya bersumber dari APBN, sumbangan masyarakat dan atau luar negeri, yang dimaksud dengan badan usaha. LA: Ini pasal 16 Pak bukan 15. PW: Pasal 15 partai politik kalau 16 NGO, ini cara menyembunyikannya. LA: Ya, ya-ya. PW: Ngerti kan sekarang badan public. LA: Iya ya disembunyi-sembunyikan kalau nggak jeli juga nggak ini juga ya PW: Ya tadi saya kan ngerti, pertarungan saya dan mereka diluar dengan BUMN dengan Said Didu. Jadi sekretaris utama Menteri BUMN dan Said Didu teman saya. Oh gubrak, beradu argument di luar kan tapi bukan di DPR, di diskusi di luar, di jurnal nasional yang tadi kompromi ketidaksesuaian antar pihak. Nah kalau kita mau membantu harus menyatu dan bukan parsial. Sekarang menilai undang undang KIP, ini Undang-undang KIP gimana kemanjuran, kemujaraban Undang-undang ini untuk keterbukaan informasi public. Apakah secara kapasitas itu menghasilkan pengaruh yang diinginkan, sesuai yang diharapkan kan saya ini kan mengajak orang. Ternyata sudah diputuskan oleh KIP Badan Publik Negara nggak mau juga jadi lemah pada kekuatan eksekusinya oke. Ini dia apakah kemudahan, kecepatan, saya melihat ada birokratis baru dalam proses ini. Membaca Undang-undang KPI semacam ini termasuk yang tadi saya katakan, kan saya menjadi saksi ahi untuk Bank BNI Syariah tunduk nggak saya bilang tunduk. Nah, penulisan naskah KIP, penggunaan kata yang sah, yang jelas apa ambigu apa manipulasi, rumusan-rumusan dan tekhnis jenis hukum dan kebijakan. Nah yang rumusan tadi rumusan akademis, rumusan tekhnis, rumusan hukum atau semua kebijakan, iya kan. Batang tubuh dan penjelasan tadi kan yang disebut batang tubuh ini, penjelasannya ini kan beda-beda. Pengkaidahan dan norma yang tersisa gila lo yang ini nggak dibahas ini mau dimasukin kemana ya, dimasukan yang tadi yang layan tadi. Norma yang tersulit masuk tanpa sadar dan terselubungi pasal 52 itu lupa kan terselip, jadi membaca ,saya kan mengajari mereka membaca Undang-undang itu tolong dibaca kamu. Membaca ini membaca soal ini, soal penulisan kan ini namanya teks-tekstual, terus cara umum menafsirkan jadi the theory off interpretation-nya. Nah text koalistis, pemahaman arti isi semantik dan biasa umum dari naskah tadi intensionalistis atau intensionitasnya, keinginan perancang yang tadi kau sebutkan, secara proporsinya apa tujuan Undang-undang tapi kemudian kita juga bisa menggambungkan dua pendekatan untuk menilai sebuah Undang-undang. Saya kan memberikan masukan karena ada hal-hal yang ditafsirkan macam-macam oleh merekamereka itu kan secara masuk sudah, nah ini tadi disampaikan oleh informasi public, yang berkaitan dengan ini, ini yang disembunyikan. LA: Padahal ada disitu Cuma ya ya ya. PW: Serta informasi lain atau entry apa pintu masuk untuk, kalau nggak bisa nah ini yang jadi kita berdalil, berarti pada ini berkaitan dengan public jadi harus dong apa rumusannya, saya rumusannya bisa, ini pandangan public yang saya sebutkan tadi bahwa . 64
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Hmm Iya. PW: Iya kan. LA: Rezim keuangan dominan, ya betul. PW: Ini dia, ini waktu saya ceramah di NTT udah beberapa kali tempat terbuka. Suamimu mungkin dia tahu karena dia tahu Saya, saya, ini penjelasan pasal 16 tadi ya. Yang dimaksud dengan organisasi non formil adalah organisasi baik berbadan hukum dan tidak berbadan hukum yang melebihi perkumpulan, lembaga swadaya masyarakat badan usaha non pemerintah, ini yang saya inikan ini penjelasannya. Ini yang sisinya kemudian orang perorang, pengguna dan pemohon tad,i oke. Nah ini yang saya larikan ke sengketa nggak penting tapi intinya apa saya katakan ini. Nah ini juga penting ini, nah ini kan kamu badan public maka akan bertarung pada konsep badan hokum public dan badan hokum private. Badan hukum itu bisa public bisa privat, hal dan kewajiban badan hukum apa, badan melakukan perbuatan hokum, apa badan hukum dilakukan oleh pengurusnya, badan public, penyelenggara Negara. Nah pendelegasian Negara kepada swasta, perizinan Negara kepada swasta. Jadi rezim perizinan pun harus tunduk kepada Undangundang . LA: Ya harus tunduk. PW: Misalkan, nah itu yang masuk Undang-undang penyiaran itu memberikan frekwensi yang digunakan 5 tahun, 10 tahun, itu rezim perizinan menggunakan ranah public. LA: Pak maksudnya yang pasal 3 ini pasal 1 ayat 3 ini badan public adalah badan eksekutif yang legislatif, dan edukatif dan lain, badan lain ini bisa maksudnya. PW: Nah itu dia, lembaga KIB, KPI, Komnasham, KPK. LA: BUMN juga termasuk disini. PW: Bukan, BUMN sebetulnya dari tad,i badan lain ini badan lain yang kau sebut ini yang ini harus dikaitkan dengan penyelenggara Negara. LA: Ya berarti BUMN. PW: Kategorinya pada Negara ya bukan, pda waktu itu yang masuk adalah badan lain yang lembaga non Negara non structural, Badan pengawasan obat, makanan dan minuman, BKMG, apa namanya KBI, KIP, Komnasham, KPK, Kompolnas badan lain yang penyelenggara Negara gitu iya kan. LA: Kalau kayak Pertamina itu. PW: Itu yang tunduknya pada BUMN yang merupakan uang Negara masuk, kan ada uang Negaranya. LA: Maksudnya kenapa tidak dicantumin saja sekalian aja BUMN. PW: Bukan, bukan itu kompromi supaya BUMN gitu loh. LA: Iya ya betul. PW: Jadi kamu jangan meng-insert khayalan kamu, cara berfikir kamu itu kan itu namanya. LA: Nah itu makanya selama mereka membahas kan ribut soal itu saja pencantuman tentang BUMN, merek BUMN dan BUMD maksudnya ex BUMN, BUMD. PW: Sebagai term yang mudah artinya sebagai term yang mudah untuk di LA: Iya gitu kalau ada itu kan orang jadi mudah inget. PW: Justru itu yang disembunyikan. LA: Kita bisa meminta informasi kepada mereka dengan mudah gitu loh Pak tapi kalau nggak ada teksnya itu kan orang-orang jadi bertanya-tanya gitu loh Pak, oh nggak kalau orang nggak baca semuanya. PW:Makanya kalau kamu bicara badan public yang diperdebatkan itu, kalau rezimnya rezim keuangan itu sangat lemah. Jadi kita melihat sesuatu secara utuh komperensif, saya melakukan itu dengan pendekatan tiga dimensi. Mana yang badan public atau mana yang tidak badan public itu dengan tiga dimensi bukan dua dimensi iya kan. Apakah public atau private bukan itu melainkan pengajuan pertanyaan apakah entitas itu adalah public atau private harus terkait dengan sesuai sebagai cara pendekatan dalam tiga dimensi itu saya gunakan teori ini. LA: Dengan kata lain walaupun BUMN nggak tercantum di pasal 1 di ayat 3 itu ya tetap aja dia termasuk badan public?. PW: Nah itu dia teorinya apa, nah itu makanya teori. Jadi kalau menurunkan rezim keuangan Negara nah itu terus kemudian teori hajat hidup orang banyak dalam pasal 33 bumi, air dan kekayaan alam yang dikuasai oleh Negara ini adalah badan public. Penyiaran itu telekomunikasi itu badan 65
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
public menurut saya karena dia menguasai hidup orang banyak. Nah teori hajat hidup banyak saya masukkan sebagai teori untuk mengatakan siapapun masuk. Nah informasi yang berkaitan dengan kepentingan public tadi, pasal oh rumusan yang terakhir yang no 2 adalah yang berkaitan dengan. LA: Informasi lain. PW: Nah kan. LA: Yang berkaitan dengan kepentingan public. PW: Apa itu nah public offences, public comitmen, public function, public head, public order, public important, public anxiety, itu adalah badan public karena menggait kepada kepentingan public tadi karena saya tadi masuk kedalam ranah kepentingan public masih badan public, kalau masih nggak bisa masuk dari sana ya masuk dari sini. Kepentingan sebagian masyarakat atau semua orang atau sekelompok orang adalah kepentingan public juga karena sekecil apapun kelompok itu mereka dapat mempengaruhi kuantitas atau bobot dari kepentingan public sehingga lebih besar dan banyak manfaat. Mungkin teorinya adalah teori tentang menimbang public test, public test pasal ini kan pakai uji test. Public test ini ada dua teori yang satu Harm test, itu apakah test itu akan mencampurkan, membahayakan tapi yang pertama public interest testnya dulu, di test pada kepentingan publiknya. Nah ini yang harus melakukan adalah badan public tapi yang penting argumentnya, nah tatkala anda mengatakan ini bukan kepentingan public, test ya gimana. Nah kecil ajapun itu menjadi, nah ini yang kemarin saya ceramahkan di Mataram dan ditempat lain ini. LA: Jadi kalau Bapak melihat perdebatan, pertarungan didalam pembahasan itu mulai dari Raker, Panja. PW: Karena perdebatannya hanya masuk pada perdebatan rezim keuangan Negara bukan rezim pada public interest. LA: Rezim keuangan Negara ya Pak. PW:Tadi kan ada tiga ada pendekatan ada pendekatan financial, pendekatan fungsional dan pendekatan yuridis formal. Nah saya menggunakan, bukan financial tapi pendekatan fungsional tadi. LA: Tapi kalau Bapak melihat mereka itu begitu, mereka itu kompak nggak si Pak? PW: Ya nggak lah mungkin ada yang suaranya siapa, ada yang suaranya siapa. Itulah yang namanya fraksi balkon tadi memberikan masukan supaya mereka ya berdebat kan mereka amunisinya kadang-kadang amunisinya apa lagi. LA: Mereka cenderung ngikutin pimpinan disitu atau masing-masing? PW: Saya tidak tahu tapi kadang-kadang juga tidak mengikuti atau kadang mereka mengikuti dirinya sendiri kadang-kadang mereka juga ada yang kritis juga. LA: Walaupun satu fraksi . PW: Bisa saja satu fraksi tapi nggak sepaham. LA: Bisa juga yang Golkar sepaham dengan yang PDI gitu ya. PW: Jadi low makers ya disitu. LA: Kalau untuk pimpinanya pak sama juga kayak begitu maksudnya usulan-usulan dari anggota mereka banyak tampung atau banyak apa atau malah mereka banyak memihak kepada yang satu ini aja. PW: Makanya cara untuk tadi mengetest, menguji apakah pemikiran dia orisinal atau tidak orisinal ada pada konsistensi cara berfikirnya. Si X, Abdullah siapalah namanya ngomongnya nggak, tatkala pada detiknya kok berubah, nah dia kok pemikirannya berubah dipengaruhi atau apalah saya nggak tahu, tapi kamu kan bicara soal badan public, badan public itu yang tadi. Apakah badan public melobi anggota DPR, sikap kompromi atau tidak, merekalah. LA: Jadi berarti nggak semua masukan-masukan dari anggota-anggotanya ditampung juga sama pimpinan ya Pak PW: Nggak bisa tapi makanya tadi yang disebut dengan keputusan terakhir adalah teks, tapikan rumusan tapi didalam rumusan mengandung makna-makna pertanyaanya mengapa badan public tadi enggan untuk dimasukkan secara textual. LA: Betul, Bapak tahu nggak pak siapa saja orang yang nggak setuju apa. PW: Susah saya kan nggak sudah agak lupa paling tidak. 66
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Maksudnya siapa saja yang pro ke pemerintah yang. PW: Saya di PDI Perjuangan. LA: Berarti kan Bapak pengennya. PW: Saya kan ke Andre Parera, Apakah Sidarto Danusobroto tapi kan saya sulit untuk. LA: Nggak maksudnya kan ini kalau PDI pengennya dimasukkin nih teks ini tapi akhirnya nggak dimasukkin nah itu berarti kan. PW: Kompromi. LA: Secara teori ini PDI nurut kan PW: Bisa ngalah. LA: Ngalah ya maksudnya. PW: Mengalah karena kan sudah dimasukkan kesana. LA: Bapak tahu nggak siapa si kira-kira maksudnya orang-orang yang ngotot nggak usahlah, nggak usah dimasukkin ke itu. PW: Saya nggak baca semuanya, LA: Ketika Bapak mengamati perdebatan itu kan, kira-kira siapa gitu, PW: Ya yang lumayan vokal tadi itu. LA: Kalau ngelobi-lobinya Bapak suka ikut nggak? PW: Tanya ke saya. LA: Nanya. PW: Nanya ke saya. LA: Mereka biasanya ketemu di luar rapat itu. PW: Ya kita ajak pergi ada diskusi disini, kami harus lembur disini. LA: Berarti ngundang ahli-ahli lain juga ya waktu itu? PW: Iya. LA: Ngundang dari itunya sendiri dari BUMN nya sendiri yang waktu itu ada Pak Said DiDu itu diajakin. PW: Komisaris utamanya BUMN itu dia. LA: Tetap diajakin diluar-luar itu berarti kan. PW: Muncul nama Said Didu nggak? LA: Nggak. PW: Saya buka ada semua disitu. LA: Berarti yang dibicarakan waktu itu misalkan ketemu pengen ngebahas waktu itu aja atau sama yang lain-lain Pak. PW: Yang lain-lain juga. LA: Yang lain juga nyampur ya Pak, itu sering nggak sih Pak ketemu-ketemu di luar-luar gitu. PW: Wah saya lupa ini kepentingan notaries, ini kepentingan BI, ini IKAPI ada semua ini, saya nggak tahu ini masuk apa nggak tapi intinya begitu. Nah ini saya nggak bongkar-bongkar, sekretaris saya yang kan ini yang menerapkan laporan singkat Panja. Wapanja itu wakil saya misalkan begini ini draft ya nih, informasi adalah fraksi KP kamu punya ini kan dim-dim ini? LA: Ada, ini yang pertama ya Pak? PW: Ini draft perdebatan, perdebatan kan masuk draft. Waktu draft pun ada, ini ketua rapatnya saya. Nah ini loh anggota-anggota saya dulu ini, ada Pak Toni, Aisyah Amini, Effendi Choirie, Darmono Bupati Sumedang, Golkar, ini dia. Ini kan nyusun draft kan yang saya sebutkan ini, nah draft ini yang DIM, ada semua yang intinya memberikan masukkan tadi. LA: Berarti Bapak melihat banyak tekanan ya Pak dari dalam DPR maupun dari luar. PW: Terminology tekanannya dimana. LA: Ya maksudnya, ini harus dimasukkin, ini nggak usah gitu. PW: Intinya. LA: Atau kompromi PW: Nggak intinya ini, setiap kepentingan tadi berusaha memasukkan kepentingannya, caranya apa? Caranya bisa satu, dua, tiga, empat, lima, caranya ini kan cara melobi bisa beragument secara nalar tapi dengan juga argument-argument lain kan gitu yaitu kemudian secara teori kan namanya itu kan kalau teori tentang regulatory, itu memasukan kepentingan dengan cara-cara apapun itu dilakukan oleh siapapun termasuk korporasi termasuk BUMN. Namanya kalau didalam teori 67
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
regulatory capture jadi regulatory capture adalah sebuah teori kepentingan-kepentingan perusahaan tadi dimasukkan oleh anggota untukmemperoleh pasal pasal yang akan menguntungkan dia. Nah dia akan menjadi rugi apabila terminology BUMN ini masuk, dia mendapat kerugian karena dia ada beban tapi kemudian yang badan usaha swasta tadi kan nggak masuk, nah dia juga mendapat keuntungan dengan dia masuk kan padahal harus disisi sebelumnya, ini pendapat saya semata kan. Kemenangan korporasi cukup signifikan karena dia atau mereka tidak terekplisitkan secara factual tapi tatkala dia disembunyikan maka akan ada cara-cara untuk menafsir kepentingan yang tersembunyi tadi lewat jalur-jalur hukum tertentu yang bagi perusahaan itu sangat mudah karena dia bisa beli lawyer kan, tapi masyarakat biasa yang lemah, yang tidak mempunyai kemampuan ekonomis untuk membayar lawyer mesti akan diabaikan. Makanya waktu saya menjadi saksi, lawyer yang main, masyarakat pasti nggak akan kuat jadi gitu lah makanya saya mengatakan bahwa terminology perundang-undangan hukum yang mengatakan, ini nanti akan diselesaikan di peradilan tidak akan kekal lagi warga Negara, karena warga Negara di set lemahnya. Warga Negara mencari keadlian itu susah, korporasi mencari keadilan dia punya kekuatan, lawyer. Nah ini saya mengatakan pasal-pasal tatkala masuk itu akan melemah tapi kalau diungkapkan secara terbuka tidak interpretasi lagi. LA: Berarti masukan-masukan koalisi, ya para pengawal KIP itu lah berarti bisa dikatakan mungkin tidak terakomodir dengan baik ya pak ya. PW: Ya artinya dia tidak, makanya tadi saya mengatakan broadcast ada di Hukum Online, ada di pernyataan saya sebetulnya,ini tahun 2000 waktu diundangkan itu, saya langsung dikomentar oleh teman-teman itu, pak gimana komentarnya, komentar saya ada disini. Saya mengatakan waktu itu 65% saya puas, 65%. LA: Bapak bilang waktu itu ya. PW: Dapat poin 65% jadi saya dulu iti diwawancarai Hukum Online. LA: Hukum Online, pendapat bapak waktu itu ya. PW: Tahun 2008 bulan April ingat betul. LA: April 2008 ya pak ya, setelah disahkan ya. PW: Pada waktu disahkan langsung. LA: 65 ya pak, jadi kurang memuaskan ya pak. Jadi kalau misalnya tadi yang bapak bilang akhirnya jadi ikhlas ini PDI sepertinya akhirnya ikhlas, itu artinya buat menjaga nama baik atau. PW: Sudah terlalu lama UU dibuat . LA: Solidaritas kelompoknya atau apa pak. PW: Bisa, bukan kelompoknya, mungkin sudah tidak punya cara lain untuk mempercepat proses UU ini sehingga dia menurunkan derajatnya. Derajatnya Itu tidak pada tekstualistis sudah pada terakomodasi pada tempat lain. LA: Ya ya. PW: Jadi bukan pada tapi lebih pada sudah terakomodasi di tempat lain. LA: Nah kalau bapak lihat sendiri waktu itu orang-orang di Komisi I kira-kira setelah dengan disyahkan RU KIP itu mereka gimana puas nggak si pak dengan hasil akhir yang mereka bikin itu. PW: Saya tidak tahu pasti, akan kelihatan pada waktu mereka rapat kerja. Mereka pun tidak paham betul anggota-anggota dewan DPR berikutnya tidak paham betul UU KIP itu. LA: Jadi ya mereka kayaknya hambar-hambar aja pak ya. PW: Ya, jadi kasihan juga. LA: Ya ya betul. PW: Karena itu mereka kemudian selalu tanya saya, saya masih dianggap sesepuhnya Komisi I atau pakarnya Komisi I untuk hal-hal kalau mereka nggak bertanya saya. LA: Jadi kalau Bapak lihat jalannya pembahasan itu dari dua periode itu, kesan bapak yang bapak timbulin ya tadi pak ya, kurang memuaskan tadi pak ya karena. PW: Ya tadi kekuasaannya, pada rumusan badan public, rumusan pada informasi-informasi public, klasifikasi informasi yang tadi saya sebutkan terus pada sekertariat KIP terus kemudian pada proses test nya, public interest, test-nya kurang terurai dan ini karena pasal ini tidak mengurai. Jadi hak untuk menghadiri pertemuan-pertemuan public ,itu mereka tidak elaborasi. LA: Di pasal berapa itu pak? 68
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
PW: Pasal awal, setiap orang berhak melihat dan menghadiri pertemuan public yang terbuka untuk umum untuk informasi public, ini nggak ada. LA: Nggak ada penjelasan. PW: Ini sebenarnya informasi public namanya badan public itu, namaya public. Misalkan ikut rapat ke DPR itu public terbuka, kamu bilang nggak boleh jadi menhadiri pertemuan public nggak boleh, terus rapat-rapat itu nggak ada padahal pada waktu drafnya, ada standart yang namanya menghadiri pertemuan public misalkan rapat Desa atau apa nah itu bahan rapat itu harus diserahkan seminggu sebelumnya. LA: Kepada public. PW: Kepada orang akan diundang dengan demikian dia akan mempersiapkan kehadiran itu dan memberikan kontribusi untuk kepentingan public itu nggak ada, padahal dulu ada. LA: Waktu draft ada. PW: Model itu ada dua, jadi banyak yang begitu-begitu pak ya. LA: Jadi banyak yang begitu-begitu pak ya, jadi bisa dibilang belum sesuai prosedur ya pak ya. PW: Tidak sesuai dengan standar. LA: Tidak sesuai dengan standar. PW: Jadi kita main pada, kan kita tadi mengatakan UU itu harus punya standar. Standar itu mencakupi prinsip-prinsip apa yang ada dalam UU itu, salah satunya prinsip menghadiri public forum nggak ada padahal publik forum itu juga menjadi sangat penting. LA: Jadi bisa dibilang juga UU ini belum terlalu ideal ya pak ya, agak mengecewakan. PW: Ya tadi yang saya katakan nilainya kan begitu. LA: Berarti sama juga dengan belum ideal ya pak ya secara umum . PW: Untuk kepentingan public sudah punya landasan tapi tatkala kita akan menggunakan itu implimentasinya mendapat hambatan karena birokratisasi karena badan public masih resisten. Nah pada waktu awal saya ceramah UU ini adalah UU itu menimbulkan penyakit apa. Penyakitnya adalah penyakit endemic, penyakit endemic,satu lain adalah mereka rentan, resisten untuk memberikan informasi, yang kedua enggan itu kemudian menjadi mereka selalu menunda, delay dengan alasan yang tadi ya. LA: Ya yang bermacam macam ya. PW: Dan bagi dia kenapa nggak karena dia terbebani karena kulturnya masih kultur dia berubah kultur. Nah ini kan berubah kultur. Nah itu tidak terjadi, ya itu saja yang, kalau dari segi masyarakat, penyakit masyarakat apa kan gitu. Penyakit masyarakat adalah UU KIP masih berfikiran sempit. LA: Nanti saya mau copy ya pak ya. PW: Unduh aja. PW: Ini dia, pada malam bercuaca cerah itu Komisi I DPR bersama menteri Informasi Mohammad Nuh, Menteri Hukum Andi dan Rahmat Rambi sedang ngebut menyelesaikan sebuah rancangan UU. Tatkala aturan yang dimaksud ada RUU kepentingan public, itulah PR yang Paulus Widiyanto, pria itu wariskan kepada anggota DPR periode 2004-2009. Meski sudah tidak duduk lagi di kursi DPR, Paulus jadi anggota Komisi I DPR baik pemerintah tetap menanti pandangan dan usulannya. Saya bukan ngarang, ini tulisan orang, maklum penggerak pemenangan. Ini menjadi ketua Pansus. Malam itu Paulus muncul dan menyimak jalannya rapat kerja. Terimakasih kepada Pak Paulus yang menaruh perhatian sangat besar pada ini. Pujian Komisi I mengakui dedikasi Pak Paulus, rapat usai tengah malam. Bukan saya ya yang bercerita. Nih Kamis esok harinya disaat Paripurna kembali Pak Paulus menyambangi Senayan saya detik demi detik dia simak, ketika siap disahkan, inilah saat monumental anak yang dia tunggu-tunggu akan lahir ahkirnya lahir juga, Paulus bisa menghela nafas lega setelah sekian lama, pujian siapa namanya saya lupa deh dia selalu mgikutin saya kemana-mana, disela-sela sidang diantara deretan kursi balkon. LA: Kursi balkon. PW: Saya masih penasihat ATVLI, masih mengeluarkan catatan kritis kepada produk umum yang dia gadang-gadangkan berikut-berikut ini. ini sebagai sumber sah balik nggak. LA: Judulnya apa pak teksnya? 69
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
PW: Aduh ini 2008 bukan ya, UU KIP masih berfikiran sempit iya kan, sebenarnya ngulang, saya disuruh baca ini sebenarnya. LA: Iya itu menarik tuh Pak PW: Apakah mengapa butuh waktu sekian lama untuk menyelesaikan Undang-undang KIP ini, ada dua RUU yang masuk dalam, RUU Penyiaran disahkan di Undang-undang ini dan dua-duanya saya jadi ketua Pansusnya. Keduanya penting karena menyangkut public interest. Dua Undangundang ini menyangkut banyak kepentingan yang disebutkan tadi. Undang-undang ini bercover pada kepentingan korporasi atau industry korporasi. Undang-undang lain juga begitu malah lebih banyak menyinggung birokrasi. Nah Undang-undang ini didesain untuk mengatur kepentingan Government dan publiknya, policy dan konsumennya. Tadi yang analisis ya tadi saya bilang selamat punya kerangka itu, yang lama adalah menentukan batasan-batasan badan public. Badan public inilah yang wajib memberikan informasi, entry pointnya kan ini, jadi kalau mau ngutip aku Hukum Online sudah mengatakan ini. Jadi kalau suami kamu mengatakan tanya pak Paulus, saya sudah mengkritisi sejak lama, treatment-nya apa? Treatment-nya dalam hal apa, satu contoh saja apakah badan usaha milik Negara termasuk badan milik Negara ni yang bikin lama. LA: Iya. PW: Iya kan bagi saya BUMN termasuk, lantas pemerintah berfikir jika ada Undang-undang ini mereka bisa merasakan kekuasaan mereka yang berkurang iya kan kok bisa, mereka pasti timbang menimbang Undang-undang ini bisa men-cross interest pemerintah atau sebaliknya, untuk setiap undang-undang tarik menarik interest pasti ada apalagi goverment sebagai birokrat apakah interest akan tercabut. LA: Menarik ya Pak. LA: Terakhir nih Pak harapan Bapak untuk UU KIP. PW: Direvisi. LA: Direvisi, terutama pasal 1 ayat 3. PW: Oh banyak yang aku sebutkan tadi. LA: Semuanya ya. PW: Saya sudah minta Undang-undang dibaca ulang namanya direview, review dibaca kembali dengan rekomendasi direvisi. Mah persoalannya revisinya total atau tidak total, itu bisa diperdebatkan karena apa Undang-undang ITE ini direvisi, yang lebih gaung lahirnya beberapa minggu sebelum undang-undang itu, kan dia No.11 kan ini no 14, dua-duanya saya kawal tapi dia tidak kawal saya penuh. Ini saya kawal penuh, yang saya kawalpun masih bolong apalagi ini. LA: Menarik Pak, makasih Pak waktunya, wawancaranya, kalau nanti ada yang perlu ditanyain lagi bersedia ya Pak. PW : Ok Lanjutan wawancara Paulus Widiyanto (IP-1) Tanggal 28 April 2015 Pukul 18.00 WIB LA : Pak, mungkin bapak bisa jabarkan lagi pendapat bapak tentang penilaian UU KIP yang hanya dianggap 65% ? PW : Ya memang ini intinya ada dua ya sebenarnya, satu badan publik yang harus memberikan informasi kemudian yang kedua informasi apa yang bisa diberikan. Dari segi badan publik nya itu kan banyak resisten ee penolakan karena mereka tidak ingin tunduk kepada UU KIP, karena saya punya undang-undang tersendiri menurut mereka. Nah itu polemik itu saya ingin mengatakan bahwa secara persentase memang ee badan publik yang tidak mau atau keberatan kan pada umumnya kan dunia usaha terus kemudian sektor-sektor keamanan. Itu kan sangat resisten untuk menolak ee sedangkan Departemen Pertahanan, TNI, kemudian Kepolisian, kemudian Inteligen, Luar Negeri ee dan sekitarnya, dari segi itu kan ini porsi informasi yang ada pada dia kan cukup banyak yang penting bagi negara, kemudian sektor dunia usaha yang paling keberatan kan sektor perbankan ya. Sektor perbankan itu mulai BI, sampe pada badan usaha milik negara di bidang perbankan maupun juga asuransi, juga mengenai jasa-jasa keuangan yang lain ya nah ini juga keberatan. Keberatan itu memang sudah muncul sejak masa pembahasan, jadi mereka sudah menyatakan ee dia punya ee punya hukum aturan tersendirinya kan gitu. Nah dari segi itu saya ingin mengatakan bahwa mereka 70
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
tidak memahami esensi bahwa badan publik itu bukan hanya badan yang ee apa mendapat anggaran dari negara dari APBN tapi juga memang ada beberapa hal-hal yang secara prinsip dimana mereka harus tetap memberikan informasi karena informasi publik itu bermanfaat bagi kepentingan publik, jadi dari segi itu dia itu bekerja di sektor publik kan dia bukan bekerja di sektor yang ga jelas. Kalo kita bicara publik kan sebenarnya warga negara secara keseluruhan, dari segi itu kan mereka sudah menolak sejak awal yah, sehingga tatkala saya berdebat atau mengatakan dengan mereka ee ke Departemen Luar Nageri, ee Pertahanan, Keamaan dan sebagainya tadi, itu mereka memang sejak awal mau tersendiri. Saya kan pakai UU Pertahanan, saya kan UU TNI, saya kan dengan UU Kepolisian, saya kan dengan UU Luar Negeri dan seterusnya dan seterusnya gitu. Padahal kalau mereka sadar betul bahwa ee informasi yang dipegang dia itu bukan hanya milik dia sebagai institusi tapi juga milik masyarakat, nah persoalannya mereka tidak semua mengerti itu, informasi publik itu bisa diberikan secara bertahap gitu loh, jadi seolah-olah mereka hanya memahami informasi publik itu tidak diminta tidak diberi, tidak informasi publik itu bisa diberikan dengan masa retensi, masa berlakunya misalnya dua puluh lima tahun jadi tetap mereka maunya tertutup secara absolut dia bilang. Jadi ini yang pertama, yang kedua dari sudut pandang informasi publik itu ya. Informasi publik itu sangat keliru atau sangat tidak tepat didefinisikan kalau seolah-olah hanya informasi yang diakui oleh badan publik, padahal informasi itu pun dapat diberikan oleh badan publik, badan swasta bahkan oleh perorangan atau siapapun memang yang bisa menghasilkan informasi-informasi publik. Jadi ini pengertian dari dua ini saya katakan belum pas kalau saya bilang sehingga klasifikasi informasi yang ada dalam undang-undang itu kan ada informasi publik yang serta merta, yang berkala, sampai ke yang dikecualikan, tapi sebetulnya ada yang hilang. Yang hilang adalah informasi yang diminta, ee prosesnya meminta. Kalau yang tadi informasi publik yang serta merta, berkala, yang harus tersedia setiap saat itu sifatnya ee aktif pro aktif tapi ada informasi lain yang sifatnya tu diminta karena misalnya belum masuk ketegori informasi yang tadi disebutkan, masih kategori informasi lainnya tapi prosesnya diminta. Terus kemudian ada informasi yang betul-betul dikecualikan. Nah dari kategori ini kemarin tidak sempat membahas tentang informasi publik yang diminta. LA: Oh ee waktu pembahasan itu ya pak? PW: Tapi dalam draft awalnya ada itu, draft awalnya ada tapi hilang gitu kan. LA: Oogitu PW: Jadi makanya itu kalau ibu lihat pasal tentang ketentuan Pidana itu, mereka lupa bahwa kalimat itu yang diminta. LA: Oh.. di draft awalnya ada ya pak ya? PW: Draft awalnya ada yang diminta. Jadi informasi itu memnag dihasilkan, yang pro aktif itu badan publiknya, tetapi kemudian di masyarakat itu kan bisa meminta informasi, apakah informasi itu dikecualikan kan tidak tahu, nah informasi yang diminta itu, itu harus terus diurai terus kemudian ada lagi yang hilang. Yang hilang itu adalah hak publik untuk memperoleh informasi dengan menghadiri pertemuan-pertemuan publik, nah itu hilang itu. LA: Oh itu hilang ya pak ya? Kalu untuk Badan Publik sendiri ada yang hilang tidak pak? PW: Ee badan publik itu waktu mendefinisikan itu hilangnya adalah badan usaha swasta. Waktu draft awal ada badan usaha swasta. LA: Draft awal itu masih bapak pegang pak? PW: Masih-masih, tapi kemudian point-ponit itulah yang menyebabkan saya mengatakan itu masih 65%. LA: Oke,waktu bapak menyusun draft awal itu, masukan itu banyaknya dari LSM atau? PW: Ooh tidak tidak tidak, jadi dulu waktu awalnya itu usul inisiatif DPR itu paling tidak punya tiga draft ya, draft dari LSM, Draft dari DPR dan draft dari Kominfo yang sebelumnya itu ee Lembaga Informasi Nasional. Jadi prosesnya tuh gini, ini Undang-undang yang diusuklan oleh masyarakat, okee...nah masyarakat menyampaikan itu ke DPR. Nah DPR kemudian menyambutnya, menerimanya terus kemudian mengkaji. Jadi setelah dikaji undang-undang ini perlu ada kemudian diputuskan untuk 71
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
menyiapkan. Nah menyiapkan itu tugasnya Badan Legislasi DPR yang kemudian setelah disiapkan itu saya mendukung karena waktu saya juga terbatas tapi saya sempat banyak interaksi termasuk dengan beberapa teman termasuk ibu teman saya Ibu Tumbu Saraswati pada waktu itu. Nah pada masa membuat drfat itu kan studi banding ke berbagai negara menyiapkan diri, nah alhasil jadilah draft itu namanya draft inisiatif DPR, percis DPR. Tetapi pada waktu itu pun masyarakat sipil menggiatkan draftnya mereka, sehingga ada yang sama ada yang berbeda draft dari lembaga DPR dengan draft dari masyarakat sipil. Terus kemudian pemerintah pun itu menyiapkan draft sendiri, itu namanya saya lupa padahal itu masih menjadi bagian informasi nasional. Oke.., nah itu Undang-undangnya, RUU nya namanya undang-undang transparansi ee informasi publik, lupa.saya ada drfat-draftnya. Karena draft inilah kemudian kita sering sosialisasi. Ya jadi sosialisasi kemana-mana LA: Berarti draft usulan DPR itu berubah setelah adanya draft-draft itu atau dikombinasi? PW : Begini ee kemudian draft itu kamis susun. Saya ketua pansusnya terus kemudiann pada pembahasan di tingkat DPR saja itu perbedaan anggota DPR pun sudah tajam, nah tajamnya antara lain ada kelompok yang setuju, ada kelompok fraksi yang setuju adanya kelompok komisi informasi, ada fraksi yang tidak setuju adanya komisi informasi. Nah itu sempat deadlock. LA: Itu pembahasan pada waktu periode 2004? PW: oh bukan-bukan, itu pada era saya, masih namanya RUU KMIP. Nah pada waktu menyusun drfat saja itu pecah dua, ada drfat yang ada, ada draft yang ada komisi informasi, ada drfat yang tidak ada komisi infromasi. Nah sebagai ketua Pansus, saya menundanya, kita melakukan lobbi intern, pada akhirnya disepakati draft yang ada komisi informasinya yang menjadi draft DPR. LA : Oooh seperti itu ya pak? PW : Iya, nah kemudian baru draft itu dikirn kepada pemerintah untuk diberikan DIMnya. Pada waktu itu bulan Juni kalau ga salah, pemerintah belum berhasil memberikan DIMnya keburu DPR selesai pada era saya, ganti pemerintahan baru. LA: Hmm ok pak, PW: Ok 2004 tak berasa tidak menjadi anggota DPR, saya berada di masyarakat sipil untuk mengawal proses pembahasan Undang-undang ini. Nah pada era 2004-2009 tadi itu draft inisiatif DPR pada periode saya menjadi tidak bisa dilanjutkan, kemudian draft itu dipakai kembali sebagai draft inisiatif DPR dengan perubahan kecil. LA : Perubahan kecil itu apa pak? PW : Nama Presidennya berubah yang jelas, dari Presiden Megawati ke Pak SBY LA : Kalau untuk susunannya ga ada yang berubah pak? PW : Ga ada ga ada yang berubah LA : Berarti draft lama diajukan kembali ya pak? PW: Iya iya, pada waktu 2004-2009 itu anggota pansus saya di era saya masih juga terpilih menjadi anggota DPR Komisi 1, beberapa nama. LA : Siapa tuh pak? PW: Misalnya Djoko Susilo, kemudian Effendy Choirie, kemudian Hajriyanto Thohari. Pokoknya beberapa nama saya ga bisa ingat semua. Saya masih memberikan masukan kepada DPR untuk ee memperhatikan beberapa hal yang perlu diwaspadai dan menjadi narasumber juga berkali-kali dengan mereka dan pada akhirnya perdebatan itu cukup seru dan kemudia paling tidak ee yang tadi saya sebutkan, rumusan badan publik itu menjadi rumusan yang paaaling berat ya. Dan kami mati-matian di masyarakat sipil untuk mengusahakan agar BUMN masuk dan agar badan usaha swasta juga ikut masuk didalamnya. LA : Waktu draft awal itu ya pak ya semua BUMN dan badan usaha swasta ya pak?
72
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
PW : Ada ada ada. Jadi dari segi itu, itu saya mengatakan kekuatan saya dan ee sekarang itu kelihatan sekali masalahnya seretnya dimana ya kan? Ada yang misalkan saya tidak setuju, itu komisi informasi itu terdiri dari unsur pemerintah dan masayarakat, saya tidak setuju itu. LA : Eee kenapa pak? PW : itu tidak independen itu, unsur pemerintah seharusnya ga usah ada, terus sekretariat komisi itu dari kominfo sehingga itu menjadi tidak independen. Ini point-point yang mengurangi independesi kemudian juga mengurangi ee gerak dari komisi informasi. LA : Waktu perumusan UU KIP atau waktu penyusunan draft itu kan ada kunjungan-kunjungan ya Pak ya ke luar negeri juga ya pak ya? Itu-kira-kira ee draft disusun dengan masukan-masukan dari mereka atau bagaimana pak? Adakah lembaga-lembaga asing yang berperan? PW : Gini, kalau dilihat dari model (sekarang kita model), UU KIP itu merupakan 100 standar dari negara-negara demokrasi yang menganut asas keterbukaan dan itu menjadi spirit dari pemerintahan era modern kan gitu, Nah pada waktu itu kan negara kita kan mulai terbuka mulai demokratis sehingga membutuhkan infrastrukstur hukum, regulasi yang bisa menjamin hak masayarakat terhadap informasi antara lain ee apa amandemen konstitusi. Amandemen konstitusi itu merupakan salah satu ciri memasukkan pasal 28 f dalam UU KIP kita, itu menjadi rujukan utamanya kan. Nah kalau ditanyakan apakah ada instansi asing yang berpengaruh saya ingin mengatakan bahwa ee Bank Dunia atau World Bank itu juga punya kegiatan yang mengoal kan ide-ide keterbukaan itu, sehingga tatkala Indonesia ee harus tunduk kepada IMF, harus tunduk kepada World Bank itu kan paling tidak meeka juga bekerja mendorong supaya pemerintahan terbuka, pemerintahan demokratis, pemerintahan transparan menjadi ciri yang mengelola Indoensia, ya kan? Nah sehingga ee World Bank sendiri itu mendorong keterbukaan informasi itu dari sektor-sektor ee dari wilayah-wilayah daerah. Jadi justru daerah-daerah tadi itu mempunyai Perda-Perda transparansi ee di berbagai wilayah bahkan kota Gorontalo adalah kota pertama yang mempunyai Perda transparansi dan itu menjadi contoh betapa World Bank yang bekerja untuk pemerataan pemerintah daerah khususnya untuk otonomi daerah itu berhasil untuk mengoal kan perda-perda transparansi di tingkat daerah. Nah pemerintah pusat itu justru ee terlambat dibandingkan dengan daerah-daerah, sehingga justru dulu saya mengatakan hanya desa mengepung kota atau daerah-daerah mengepung pusat karena daerah itu sudah punya perda transpransi tapi pusat belum ada. Jadi dari segi itu Bank Dunia itu berperan mendorong pergerakan perda-perda transparansi di daerah-daerah, di DPR pusat itu juga mendapat masukan dari berbagai pihak ya artinya era itu regulasi Indonesia mendapat perhatian penuh dari ee funding-funding maupun lembaga-lembaga dunia. LA: Misalnya siapa pak? PW: Ya tadi yang saya sebutkan World Bank. Banyak sekali banyak sekali... LA: Kalau National Democratic Institute itu termasuk ga pak? PW: Nah itu NDI itu termasuk yang mendorong dan membiayai seminar-seminar tentang keterbukaan informasi. Banyak sekali seminar-seminar yang dibiayai oleh internoasional, yang dibantu oleh berbagai funding-funding itu, bahkan kami pun mempelajari model undang-undang itu dari artikel nineteen dari UK. Itu ada model-model itu, model-model itu kemudian kita pelajari. LA: Itu DPR pelajari pak? PW: Pelajari semua, saya misalkan studi bandingnya ke Thailand. Ada yang studi bandingnya ke Swedia, kan gitu-gitu. Jadi pada waktu penyusunan draft kami studi banding. Dari segi itu rujukannya adalah bahwa Indonesia itu harus mempunyai undang-undang itu karena memang era sejak itu memang semangatnya adalah keterbukaan ya, flow of information. Apalagi pada waktu itu ada gerakan ee WSIS (World Summit of Information Society), nah itu adalah gerakan masyarakat informasi dunia, nah itu kemudian juga antara lain itu masuk di dalam pertimbangan dalam UU KIP, dalam menimbang itu ada usaha supaya terbentuknya masyarakat informasi. Itu adalah ide gagasan dunia, yang masuk dalam UU KIP itu adalah gagasan dunia tatkala Kominfo ikut World Summit of Information Society dan dari segi itu sebentulnya spirit dari Undang-Undang itu adalah dunia memang bergerak ke arah keterbukaan, negara yang terbuka itu akan menjadi negara yang mengangkat derajat masyarakatnya menjadi lebih demokratis. Dari segi itu saya ingin mengatakan 73
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
bawha anggota DPR juga belajar dan pada waktu itu funding-funding dunia pun ada di Indonesia untuk membantu termasi NDI, World Bank dan sebagainya. LA: Ok, tapi mereka ada semacam istilah menekan nggak pak dengan memberikan dana dana dan sebagainya itu? PW: saya tidak merasa ditekan ya, karena memang negara kita adalah negara otoriter ee setiap saat kita bisa dijerat masuk penjara kalau kita memberikan informasi, dan ini kita keluar dari sistem negara tertutup, jadi kita negara yang otoriter setiap informasi dikendalikan oleh departemen penerangan sementara informasi menjadi hak itu. Itu perubahan yang sangat ee dahsyat dari hasil reformasi. Dunia bergerak dan informasi ga bisa ditutup, apalagi teknologi. Kita sudah tahu bahwa teknologi akan mendobrak ketertutupan, jadi bukan hanya undang-undang, teknologi pun menunggu sehingga tadi saya sebutkan World Summit of Infromation Society tadi itu kan kita sudah ikut di dalamnya, itu gerakan dunia untuk menciptakan masyarakat informasi, meskipun ee masyarakat informasi tadi lebih infromation technology ya tapi paling tidak ee teknologi komunikasi informasi itu menjebol semua ketertutupan informasi. LA: Ok, kalau untuk badan publik itu sendiri pak, rumusan yang ada badan publiknya seperti BUMN, Bdan usaha swasta, itu ada masukan dari luar juga tidak pak? PW: Nggak, nggak ga ada masukan dari luar, karena itu begini loh prinsipnya itu kita itu punya pasal 33 kekayaan alam, bumi, air dan lainnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Makna apa itu?termasuk informasi tentang itu iya kan? Kemudian yang menguasai hajat hidup orang banyak, itu kan artinya kekayaan alam kita itu rakyat harus tahu apa yang kita miliki jadi tekanan asing saya merasa tidak pernah, malah saya ingin mengatakan justru kita itu punya pasal 33 sebetulnya dimana ee hak masayrakat untuk tahu tentang kekayaan alam kita itu harus dibukan kan? Hanya masalahnya sekarang pemerintah atau badan publik tadi ee belum berani keluar dari cara berpikir lama ya kan. Cara berpikir lama itu adalah cara berpikir yang tertutup. Intikan kita mendobrak kultur dari kultur yang disebut tertutup ke terbuka. Itu mengubahnya mind set, kemudian ada tekbologi yang tidak bisa dibendung, tidak bisa ditunda, tidak bisa dihalang-halangi dia menjebol ketertutupan itu. LA: Jadi tidak ada perbandingan dari luar ya pak untuk badan publik ini ga ada acuan dari luar gitu pak untuk penyusunan draft awalnya di DPR? PW: Tentu gini, kita kan mencoba ee mencoba mendefinisikan apa awalnya gimana gitu kan. Intinya kan badan publik itu ee jadi kekurangannya adalah karena didefinisikan dengan pendekatan dana atau uang, itu gagal, ketidak lengkapannya disitu gitu. Jadi yang pertama kan badan publik itu yang dibiayai APBN APBD sehingga pendekatannya kan keuangan, yang kedua kemudian lembagalembaga swasta atau partai politik yang memproleh dana jadi ada kata dana lagi kan sehingga terpaksa bahwa informasi publik itu mempunyai kegunaan jadi pendekataannya adalah manfaat. Kalau misalkan tidak ada uang kan itu tetap saja harusnya dibuka. Mereka kan swasta, swasta itu kan mempunyai informasi publik,dia mendapat dana dari APBN, kalau dia mempunyai informasi publik yang betul-betul penting bagi orang banyak, penting bagi hajat hidup orang banyak ya dibuka. LA: Tapi ternyata badan usaha swasta ga masuk ya pak? PW: Ya itu tadi, kalaupun BUMN masuk pasal 14 itu dengan trade off dengan lobby. Ok masuk tapi partai politik jug masuk gitu kan, LSM harus masuk. Padahal di dunia, ga ada LSM masuk dalam undang-undang semacam ini, karena LSM itu adalah masyarakat yang meminta informasi. LA: Itu bapak tahu ceritanya ga pak kenapa bisa masuk, kenapa bisa akhirnya masuk? PW : Nggak, kami kami kan diluar yang bermain kan di dalam. LA: Ada bisik-bisik apa ga gitu pak? PW: ya itu tadi trade off tadi, kalau begitu kamu harus masuk. LA: Ok pak, jadi dua-dua nya asal masuk ya pak ya. PW: Iya iya 74
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Pak mungkin badan publik ini jadi ee apa agak kurang takut dengan UU ini apa karena hukumannya juga rendah pak? Cuma 5 tahun pak. PW: Sebetulnya gini, UU ini bukan untuk menghukum. UU ini memberikan jaminan atas masyarakat atas informasi publik karena informasi publik tadi mempunyai manfaat bagi masyarakat ok? Tapi persoalannya tadi saya katakan, badan-badan publik itu mempunyai spirit untuk terbuka, jadi spirit keterbukaan tadi masih dianggap merugikan dia bukan menguntungkan, tertutup itu masih menguntungkan daripada terbuka. Nah itu sehingga membuka itu masih ragu-ragu karena memang selama ini kultur mereka tertutup, padahal sudah diatur bahwa yang terbuka itu hanya ini nya itu yang dikecualikan gitu loh, tapi mereka ga mempelajari secara keseluruhan. Tidak membaca ide gagasan secara utuh. Dia hanya melihat sekeping-keping seiris-iris, sepenggal sepenggal bukan merrupak total dari konsep sehingga konsep tidak utuh. LA : Jadi mungkin karena tidak ada spirit jadi kasus-kasus sengketa itu justu masih banyak ya pak ya? PW : Nah itu, kenapa terjadi banyak kasus? Itu tadi karena memang tidak keluar dari sebuah spirit yang sama untuk terbuka gitu loh, tidak keluar dari semangat untuk berbagi informasi, tidak keluar dari semangat untuk ee apa ini punya publik bukan hanya punya saya, jadi ini tidak ada pemahaman bahwa informasi yang ada itu juga milik publik, tidak ada. Ini murni punya organisasi bukan milik publik jadi pemahaman itu gitu loh. Misalnya secara sederhana sajalah, saya menjadi saksi ahli untuk bank syariah, bank syariah itu dulu punya bank Bank BNI menjadi unit dari bank BNI kemudia dipisah menjadi entitas tersendiri. Nah orang mengatakan entitas tersendiri tadi BNI syariah itu tidak menjadi badan publik karena terpisah menjadi sebuah PT katanya begitu, nah seolah tidak menjadi badan publik. Saya katakan bank syariah adalah badan publik juga karena dia merupakan anak dari BUMN sebagai badan publik jadi anaknya pun termasuk badan publik menurut saya, karena persentase kepemilikannya masih Bank BNI terbuka yang badan publik. Tidak mungkin saya bilang ee buaya itu melahirkan cicak dan cicak melahirkan buaya. LA : Iya iya betul-betul pak, apa karena hukuman masih terbilang kecil bagi badan publik hanya 5 tahun dengan denda 5 juta dibanding UU lainnya seperti UU ITE apa mungkin begitu ya pak? PW : Kalau dilihat hukuman nya itu ga seberapa tapi menderita hukuman itu juga mempunyai dimensi-dimensi negatif. Ya ginilah kemabali kepada badan publik itu mempunyai karakter. Tidak semua badan publik departemen misalkan mempunyai derajat keterbukaan informasi yang sama. Itu derajatnya berbeda-beda sehingga ee saya dan teman-teman juga masih kurang kerans untuk mengadvokasi bahwa badan publik itu tidak boleh dibedakan hanya badan publik dan badan privat, akrena menurut teori kalau misalkan sebuah undang-undang memberikan penugasan kepada badan swasta untuk mengerjakan tugas-tugas sebagai badan publik ya dia juga badan publik gitu. Jadi ada penugasan-penugasan kepada swasta untuk bekerja di sektor publik, misalnya pendidikan. Apa sih apakah pendidikan itu melakukan sesuatu yang harus dirahasiakan? Ada badan publik swasta di bidang pendidikan tapi ada juga swasta yang tiap menit menghasilkan anak-anak terdidik kan? Lha terus apa bedanya terhadap swasta? Belajar matematikanya juga sama, belajar bahasa inggrisnya juga sama, guru-gurunya mempunyai standar yang sama. Apa yang membedakan antara badan publik negara tadi dan badan publik swasta? Katakanlah atmajaya, apa bedanya atmajaya dan ui?jika jurusannya sama jurusan hukum paling hanya dosen-dosennya yang berbeda ya kan, tapi mata pelajaran dan cara menghitungnya apa beda? Badan publik kesehatan, rumah sakit swasta dan rumah sakit pemerintah, kan isinya orang-orang sakit juga toh, cara menyuntiknya sama, terus apa yang beda? Nah ini yang berkali-kali saya tekankan apa bedanya gitu loh? Yang beda hanyalah kepemilikan perusahaan itu ya kan? ini punya negara, ini punya orang perorang. Manajemennya sama, cara akuntasi publiknya sama. Terus apa yang membedakan?produknya apa? nah ini yang membedakan, cara melihat itu yang kurang muncul di dalam perdebatan tadi. LA: Baik pak, terima kasih. Kalau ada yang ingin ditanyakan kembali bisa saya hubungi kembali ya pak? PW: Oke-oke.
75
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Hasil Wawancara Informan Pendukung 2 Nama Tempat Tanggal Narasumber Pewawancara
: Agus Sudibyo (LSM) : Jakarta : 28 Februari 2015, Pukul 18.30 WIB : Agus Sudibyo (AS) : Lisa Adhrianti (LA)
LA : Terima kasih atas waktunya mas Agus, bisa cerita awal mula hadirnya UU KIP?kan sangat lama itu proses pembahasan sampai disahkannya. AS: Ya jadi UU KIP issue nya pada reformasi birokrasi. Maka sebenarnya banyak yang salah kaprah dalam prakteknya di Indonesia. Misalnya menteri yang membidangi UU KIP itu, itu harusnya Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara. LA: Menpan ya? AS: Iya, karena sebenarnya issue nya bukan freedom of the press, freedom of expression. Bagaimana bikrorasi itu lebih transparan, lebih terbuka, lebih akuntable. Jadi sebenarnya peletakan di Depkominfo itu sudah salah. LA: Peletakan di Depkominfo itu. AS: Sudah salah, karena sebenarnya issue nya bukan makanya banyak masalah waktu implementasinya karena mereka nggak paham, mereka nggak paham. Jadi either di Mendagri atau di Menpan sebenarnya. Issue nya adalah reformasi birokrasi, birokrasi sebenarnya. Nah peletakkan di Komisi I DPR itu juga salah. LA: Karena dia membidangi itu ya. AS: Komisi 1 DPR itu membidangi apa, pertahanan, hubungan luar negeri dan media. Media sebenarnya, jadi karena ada kata-kata keterbukaan informasi dikira terkait dengan media, padahal kecil saja yang berhubungan dengan media, lebih banyaknya issue reformasi birokrasi. Jadi ada banyak miss di sana, ada banyak. LA: Kenapa itu tidak bisa di, maksudnya direm dari awal? AS: Iya. LA: Kan issue nya ini kan? AS: Karena kebebasan informasi sendiri issue nya yang baru. Kita tidak mengenal, gitu ya. LA: Tapi waktu pertama kali diusulkan itu kan dari Koalisi Masyarakat Sipil kan awalnya? AS: Betul tapi meletakannya di Komisi 1 bukan, itu kan keputusan politik DPR dan bahwa kemudian leading sectornya Depkominfo itu kan keputusan pemerintah. Orang itu kan apriori karena ada keterbukaan informasi disangkanya itu adalah kompentensi Depkominfo. Disangkanya kompetensi dari Komisi 1 di DPR, nah itu. Nah para user dan peneliti itu juga sering salah sangka. Nah mudahmudahan mbak juga tidak masuk dalam itu, gitu. LA: Maksudnya pemahaman saya? AS: Iya pemahaman dan studinya macam-macam kan saya belum baca proposalnya, jangan sampai terjebak di situ, gitu ya. Banyak mbak skripsi, thesis itu yang setelah saya baca itu, jadi meletakkan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik itu pada domain studi media komunikasi. LA: Tapi saya studi komunikasi kelompok. AS: Nah, makanya prosesnya kan, oke jadi aman tapi jangan sampai itu karena freedom of information heavy nya itu terkait bagaimana birokrasi itu dirubah, ditransformasikan menjadi lebih transparan, akuntable. Kalau transparan akuntable itu memang ada hubungannya dengan media. Hubungan informasi jadi lebih lancer tapi heavy nya di sini, bukan di sana. Wartawan, peneliti, pakar itu banyak sekali yang miss mengenai ini. LA: Gitu ya. AS: Nggak ini hanya background saja. LA: Iya ya ya ya. AS: Oke silahkan lanjut. LA: Oke,oke, jadi waktu itu mas Agus dalam RUU KIP itu mengawal terus dari awal sampai. Dari awal tahun 1999. AS: 1999, 2000 lah. 76
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Itu sempat terhenti ya, maksudnya vakum dan diajukan lagi ya ketika itu tidak selesai pembahasannya. AS: Koalisinya jalan terus. LA: Itu kenapa sempat, ini apa, tidak selesai, apa? AS: Iya karena bagi DPR belum prioritas waktu itu, jadi kan Komisi 1 itu kan tahun-tahun 2000 – 2002 itu kan konsentrasinya Undang-undang Penyiaran. LA: Konsentrasi UU Penyiaran ya waktu itu. AS: RUU Penyiaran waktu itu, jadi UU KIP itu diduakan sampai tahun 2002. LA: Tapi di prolegnas itu dia di Komisi berapa, mas tahu nggak? AS: Wah, saya nggak ingat tahun berapa itu tapi begitu UU Penyiaran selesai, mulai jalan tapi lambat itu, lama sekali, 8 tahun berarti ya. 8 tahun tadi menurut saya hasilnya lumayan, lumayan bagus. Nggak sempurna, banyak kelemahan tapi kalau kita mampir ke Negara-negara lain, Undang-undang KIP kita not bad menurut saya. Atau kalau kita bandingkan dengan achievement yang dicapai oleh Koalisi-koalisi, NGO-NGO lain untuk Undang-undang lain, UU KIP itu mending. Jadi persentasipersentasi, klausul-klausul, pasal-pasal yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang diterima oleh DPR itu tinggi. Kalau mbak bandingkan dengan Undang-undang Pemilu itu kan banyak sekali kekecewaan masyarakat sipil, akhirnya banyak yang kecewa. Undang-undang KIP ini mending, menurut saya mending karena prinsip-prinsip dasarnya diadopsi oleh DPR, oleh Pemerintah. Mungkin mereka tidak sadar saja bahayanya apa buat mereka. LA: Jadi dari awal sampai akhir itu Mas yang ikut mengawal bersama mereka di rapat tertutup, termasuk juga? AS: Kalau tertutup kan tidak bisa. LA: Walaupun pengawal tidak bisa masuk ya? AS: nggak bisa, kalau terbuka baru bisa tapi lebih banyak terbukanya. LA: Jadi sebenarnya yang mendasari RUU KIP sebenarnya bukan kebebasan informasi pada freedom of the press itu ya awalnya tapi untuk kebebasan birokrasi ya. AS: Jadi reformasi birokrasi itu akan lebih akuntable, transparan, pelayanan public jadi lebih baik iya kan. Korupsi itu diminimalisir karena dari awal sudah transparan dan akuntable. LA: Iya ya ya, nah soal, khususnya pasal 1 ayat 3 yang soal definisi badan public. Kenapa ya Mas, nilai kenapa bisa sampai dari awal sampai akhir itu. Kenapa itu bisa sampai, kan yang lain-lain cepat diputus tapi khusus itu yang pasal 1 ayat 3 itu kan sampai dibawa ke Timmus atau tim itu kan. Akhirnya diputus pada terakhir itu tapi kan dengan beberapa catatan, dengan meninggalkan beberapa jejak seperti PDI kan yang tidak setuju kalau BUMN nggak dimasukin karena memang BUMN kan asal usulnya dari DPR kan ada tapi dari pemerintah kan tidak ada seperti di buku Anostasi. AS: Jadi begini, kita mengira yang kecewa dengan definisi badan public di KIP itu hanya masyarkat sipil. Orang mengira hanya masyarakat sipil yang kecewa, itu juga tidak benar karena pemerintah sendiri juga kecewa. Jadi masyarakat sipil itu kan maunya kan badan public itu dimasukkan dalam UU KIP termasuk BUMN tanpa pengecualian sama sekali tapi kan prakteknya kemudian kan definisi tentang apa yang harus transparan di BUMN, apa yang harus transparan di partai politik itu kan dirumuskan spesifik gitu ya. Jadi itu mengecewakan buat masyarakat sipil karena ya maunya tidak ada exception, transparansi yang berlaku dibadan public satu itu berlaku di badan public yang terkait partai politik, terkait dengan BUMN, terkait dengan militer itu sama. Itu kontinuenya masyarakat sipil. Ternyata kan yang diputuskan DPR, pemerintah kan beda. BUMN itu kan disendirikan, itu masyarakat sipil kecewa. Tapi sebenarnya kalau saya lihat pemerintah juga kecewa, gitu. LA: Kenapa, karena kan dari awal pemerintah tidak. AS: Tidak mau, pemerintah awalnya tidak mau Undang-undang ini ada. LA: Ohh, karena itu kecewanya. AS: Oh iya dan mereka sebenarnya, definisi badan public yang mengecewakan masyarakat sipil itu bukan kemenangan untuk pemerintah gitu lho, malah maunya pemerintah itu, pertama mungkin UU nya lebih baik nggak usah ada, yang kedua badan public itu dibikin longgar gitu, jadi mereka juga sebenarnya diam-diam. LA: Dibikin longgar itu maksudnya dalam arti. AS: Nggak pengertiannya itu dibikin nggak terlalu ketat gitu lho. Informasi apa sih yang harus di buka kepublik itu jangan terlalu banyak atau pengecualiannya diperbanyak gitu kan, tapi kan DPR 77
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
sendiri punya kepentingan, masyarakat sipil punya kepentingan, pemerintah punya kepentingan. Jadi ini kan beradu, beda urusannya kalau DPR pemerintah jadi satu ditambah lagi masyarakat sipil gitu kan maka mereka juga punya punya tadi yang mba bilang PDIP pun juga pengen BUMN itu terbuka. LA: Walaupun dipasal 14 sama 16 ya kalau nggak salah saya baca BUMN bisa mengeluarkan informasi public untuk yang begini-begini dengan syarat ini ini. AS: Nah makannya itu yang mengecewakan masyarakat sipil karena maunya BUMN itu nggak perlu didetailkan begitu jadi berlaku umum saja, tidak ada. LA: Mana informasi yang dibutuhkan oleh public itu harusnya bisa dibuka. AS: Ya, jadi tidak perlu didetailkan khusus untuk BUMN dan partai politik. Maunya masyarakat sipil itu karena, ya samakan saja dengan badan public yang lain. LA: Saya baca di buku Anatasya di halaman 34 itu disebutkan salah satu anggota DPR mengingatkan tentang hasil kesepakatan pada raker 18 Juni, ada kesimpulan butir ke 9 bahwa Menkominfo Mochammad Nuh sudah sepakat bahwa BUMN, BUMD itu masuk dalam kategori badan public dengan memperinci dan mempertegas substansi, ini gimana ceritanya mas. AS: Ya karena kenapa anggota DPR memperingatkan karena. LA: Ini siapa mas anggotanya. AS: Aku lupa mba waduh nggak mungkin hafal itu. LA: Mungkin ingat dari fraksi mana. AS: Waduh nggak ingat saya. LA: Nggak ingat. AS: Tapi begini saya akan jelaskan, kenapa ada anggota DPR mengingatkan karena sikap pemerintah itu berubah gitu lho, pemerintah jadi nggak setuju BUMN dimasukkan kedalam badan public. LA: Tadinya sudah setuju kan. AS: Ya itu tadinya setuju. LA: Ya tapi saya tidak menemukan rapat tanggal ini, risalahnya mas. AS: Memang sulit itu. LA: Tanggal 19 ada, tanggal 17 ada, tanggal 18 nggak ada. AS: Waduh saya nggak menbantu itu mba, saya juga nggak punya itu. LA: Maksudnya kenapa nih gitu kan di risalah sampai tujuh buku itu kan saya periksa, 18 aja yang nggak ada yang sesuai yang disini. Apa memang khusus disembunyikan atau gimana kan saya kurang tahu. AS: Belum ketemu saja saya yakin gitu. LA: Tapi ternyata memang ada ya mas ini sudah sempat ada tanggal 18 itu ini berarti memang ada kan kesimpulan butir ke 9 itu sudah ada. AS: Kalau di sini ada, pasti ada lah. LA: Ya maksudnya akhirnya kan diingatkan, awalnya kan sudah sepakat akhirnya berubah sikap gitu kan. AS: Memang dalam dinamika-dinamika sikap DPR, pemerintah itu ya berubah-ubah. LA: Sesuai dengan kepentingannya. AS: Ya kan mereka metting lagi, rapat lagi gini gigni. LA: Kalau penilaian Mas Dibyo sendiri menurut kelompok di Komisi I itu mulai dari rapat kerja, Panja, Timus sampai ke Timsin itu, yang bisa mas lihat itu mereka itu sepertinya ada semacam kekompakan yang tinggi atau mereka cenderung menuruti pendapat pimpinannya atau sebaliknya. AS: Siapa itu. LA: Angota-angota di Komisi I, kalau mas Dibyo lihat mulai dari rapat kerja, rapat Panja. AS: Kalau saya ingat dulu. LA: Mereka terlihat kompak menuruti pimpinannya atau cenderung banyak perdebatan diantara mereka. AS: Banyak perdebatan diantara mereka, artinya jaman itu saya melihat ada peluang bagi anggota DPR untuk menyuarakan opininya pribadi, pendapatnya pribadi. LA: Ada peluang? AS: Ada peluang, cukup besar untuk itu. LA: Maksudnya melalui forum-forum rapat itu? Tapi yang terjadi seperti apa? AS: Ya seperti itu, jadi. 78
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Banyak peluang? AS: Tidak ada instruksi yang tegas dari partai seperti apa, jadi anggota-anggota DPR itu bisa menyuarakan pendapatnya pribadi dia, dan itu konsisten. Saya mengikuti Undang-undang Penyiaran dan Undang-undang KIP itu saya juga punya sandi sendiri, jadi pada jaman itu, anggota DPR itu lumayan independensi relative lah terhadap partai politiknya sehingga ia cukup mudah untuk mengadopsi masukan-masukan dari luar kalau dibandingkan dengan sekarang ya beda jauh, dulu tuh menurut saya lebih sehat meskipun untuk jaman itu kita sudah kritik-kritik itu, DPR, anggota DPR kurang tegas, tapi kalau di bandingkan dengan hari ini atau katakanlah DPR periode lalu, periode waktu itu. LA: Boneka Partainya? Maksudnya ini banget sama. AS: Ya, kalau DPR periode itu ya, tahun 2000an itu sampai 2008, itu jauh lebih berkualitas ya, independent, bisa bersuara, bisa berbeda pendapat dengan fraksi lain. LA: Lebih berani ya mas? AS: Lebih banyak bisa menyerap aspirasi masyarakat juga, lebih bagus ya. Saya ngikutin UU Penyiaran juga begitu, sikap fraksi itu bisa berbeda dengan sikap anggotanya. LA: Berarti dengan kata lain dia bisa sejalan dengan fraksi yang lain kan? Bukan mentok dengan fraksinya saja kan, sikapnya itu? AS: Ya tergantung fraksi lain sikapnya bagaimana. LA: Ya maksudnya sesuai dengan pemikiran dia juga, ya kan? Jadi maksudnya nggak melulu memihak kita Golkar nhi harus sama-sama ini menurut ini, tapi kalau menurut dia baiknya, dia ngekor yang ini yang sepaham dia kompak dengan yang itu, seperti itu kan? Kalau untuk pimpinannya gimana mas? Tadi kan anggotanya kalau untuk pimpinannya kira-kira mereka bisa mengakomodir nggak usulan-usulan dari para anggota atau cenderung ada pemihakan-pemihakan hanya untuk kadernya saja atau gimana? AS: Kalau pimpinannya sih, kalau pimpinan DPR itu cenderung untuk mencoba mengambil jalan tengah, nggak mau terlalu berpihak kepada pemerintah tapi juga nggak mau terlalu menerima begitu saja masukan-masukan masyarakat sipil. LA: Tapi terhadap anggota yang di dalam sana anggota mereka, yang terdiri dari berbagai fraksi itu gimana mereka menangkap pendapat itu cenderung ada, misalnya apa untuk ketok palu itu lebih di ambil yang lebih pro. AS: Kalau di UU KIP pimpinan partai fraksi pun cukup akomodatif terhadap aspirasi ataupun pendapat anggota fraksinya karena yang menarik mungkin bisa dibandingkan dengan Undang-undang penyiaran, Undang-undang penyiaran itu disparitas antara sikap anggota DPR dengan sikap fraksinya itu bisa cukup lebar disparitas karena ada pihak ke tiga yang punya kepentingan yang sangat kuat dan mencoba mempengaruhi pimpinan DPR yaitu industri televise. Inikan bertanya waktu itu kan, kalau Undang-undang penyiaran ya itu ya. DPR, Masyarakat Sipil, Pemerintah, Industri, Media. Media ini berbeda pendapat dengan pemerintah, maka media ini mempengaruhi DPR, mempengaruhi pemerintah gitu lho. Jadi beberapa kali sikap pimpinan fraksi dengan anggota fraksi beda tapi kalau kalau dengan KIP kan cuma 3 pihaknya, pemerintah, DPR, Masyarakat Sipil untuk industri nggak ada. LA: Jadi cenderung lebih. LA: Jadi, lebih kohesifitas antara pimpinan fraksi dengan anggota fraksi itu lebih mudah. LA: Mas masih ingat nggak kira-kira pada waktu itu yang kuat banget mempertahankan bahwa harus masuk nih BUMN, BUMD. Siapa sih fraksi-fraksi yang cukup kuat, ngotot lah untuk mengusulkan itu, masih ingat nggak waktu itu siapa-siapa? AS: Individu-individu ya nggak inget ya, kalau DPRnya relative punya pendapat yang sama ya, kayaknya ingat DPR itu dari Golkar itu mas Hajriyanto Thohari. LA: Itu yang maksudnya yang pengen AS: Masuk, BUMN masuk. Dari Golkar itu mas Hajriyanto Thohari, dari PAN itu Pak Djoko Susilo terus kemudian PDI itu Andreas Parera kalau nggak salah, PKB itu Effendy Choirie, terus PAN itu Tristanti Mitayani. LA: PAN selain Djoko Susilo yang berarti, kalau dari PPP? Nggak ada? AS: PPP nggak ada 79
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Atau ada nggak yang cenderung pro ke pemerintah, maksudnya setuju pro pemerintah, setuju dengan usulan pemerintah. AS: Nggak ada seingatku tuh. LA: Nggak ada yang pro pemerintah? AS: Saya nggak inget, Demokrat tuh siapa ya? LA: Demokrat itu saya lihat di risalahnya ada Markus Silano, Siti Wahab, FX Soekarno. AS: Nah itu, Shidki Wahab itu yang pro pemerintah. LA: Shidki Wahab yang pro pemerintah? AS: Nah Pak Suparno itu bukan. LA: Suparno itu dari mana, Demokrat juga. Jadi hanya sebagian saja yang sepakat maksudnya yang pro usulan pemerintah ya. Kalau lobi-lobi di luar, Mas tahu nggak, banyak nggak terjadi lobi-lobi di luar? AS: Maksudnya lobi-lobi di luar gimana? LA: Di luar rapat. AS: Ya banyak, banyak, kita juga lobi-lobi. Kalo prosedur sesuai jadwal saya rasa si terpenuhi ya walaupun ada perubahan-perubahan jadwal, tapi memang lobi ga bisa dihindari. LA: Sering itu? AS: Diluar kita ketemu, gini gini gini. Pak Marzuki Darusman bea cukai waktu itu ya. LA: Iya, ada. AS: Terus, Mochtar Ngabalin. LA: Iya, PBR ya, sering ketemu ya Mas ya? AS Sering, LA: Jadi mereka yang undang atau gimana atau masyarakat sipil yang sering ngajakin? AS: Kita, kita ngundang seminar di daerah, diskusi. LA: Jadi memang, pembicaraannya memang khusus seputar, kebanyakan UU KIP aja waktu itu ya? AS: Ya, LA: Itu ada nggak berpuluh-puluh kali mas? AS: Wah, itu berpuluh-puluh kali, selama berapa tahun ya. LA: Selama dari tahun 2004 sampe 2005. Kalau untuk kompromi-kompromi? AS: Maksudnya untuk kompromi-kompromi gimana? LA: Ya maksudnya, katanya kan pasal-pasal itu banyak yang hasil-hasil kompromi, seperti itu. Nah terutama untuk pasal 1 ayat 3 ini kan kenapa akhirnya di sah kan, seperti itu kan, kata Pak Paulus memang ada banyak kompromi-kompromi di situ. AS: Iya, kompromi-kompromi kayak gitu dari BUMN, Partai Politik, di sendirikan, itu kompromi. Terus LSM masuk bagian dari badan public, kompromi juga. LA: LSM ya parpol ya? AS: Kalau parpol ya, tapi LSM yang masuk badan public itu agak aneh. LA: Ya benar-benar tapi kenapa bisa masuk,itu berdasarkan ini juga? AS: Ya karena pemerintah terlalu tinggi, nggak lucu dong. Pemerintah suruh transparan LSM nggak mau lantaran DPRnya ya gitu masa kalian nggak mau, ya udah kejepit ya sudah lah sekaligus pembelajaran buat LSM lah terbuka sekalian tapi sebenarnya nggak lazim karena harusnya hanya LSM-LSM yang medapatkan dana dari pemerintah yang bisa terbuka. LA: Kalau tekanan-tekanan sendiri relative nggak terlalu kuat ya mas, maksudnya ada nggak sih tekanan kalau kayak tadi untuk UU penyiaran kan ada perusahaan media yang banyak berkepentingan di situ kalau untuk UU KIP ini relative. AS: Nggak ada. LA: Lebih ini ya berarti ya dari dalam anggota sendiri dan dari luar itu nggak ada yang terlalu dominan untuk yang ini lho harus jadi terutama untuk pasal 1 ayat 3 itu. AS: Iya BUMN kan yang menekan. LA: BUMN menekan tapi BUMN nggak pernah di ikutsertakan kan. AS: BUMN nggak pernah tapi kan mereka diam-diam mempengaruhi pemerintah tapi kelihatan. LA: Siapa mas yang waktu itu? AS: Waktu itu nggak bisa diprediksi tapi kelihatan gitu, jadi kan waktu itu menteri BUMN siapa, Sofyan Djalil. 80
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Sofyan Djalil kan sempat jadi Menkominfo juga terus diganti pak Mochammad Nuh kan. AS: Ketika disah kan dia kayaknya mentri BUMN dia. LA: Jadi dia sempat maksudnya penekanan itu justru banyak datang dari BUMN itu sendiri ya. AS: Iya, tapi kita nggak punya bukti tapi kelihatan sekali mereka. LA: Contohnya gimana mas. AS: Yaitu tadi BUMN itu masuk nggak sebagai bagian dari badan public. LA: Pernah ini nggak apa maksudnya kelihatan nggak. AS: Nggak kelihatan karena BUMN itu kan bagian dari pemerintah ya tapi itu kan kelihatannya tadi risalah rapat tadi kan DPR mengatakan “kok anda berubah-ubah sikapnya?” itu kan indikasi. LA: Terus kalau yang mas lihat sendiri di hasil akhir Komisi I itu kira-kira merasa puas nggak sih dengan hasil akhir pasal 1 ayat 3 itu atau sama dengan masyarakat sipil? AS: Kalau komisi I ya bukan puas, nggak puas tapi mereka menerima itu kan keputusan mereka sendiri. LA: Jadi cukup-cukup legowo. AS: Mereka senang karena UUnya terlalu lama dan membebani kerja kita. LA: Termasuk dari partai-partai yang tadinya nggak setuju yang tadi yang sebagian besar yang nggak setuju tadi. AS: Parameternya kan nggak ada yang menolak kan, nggak ada yang istilahnya apa, walk out, nggak ada kan semuanya menerima, semuanya tanda tangan mereka berarti. LA: karena sudah terlalu lama juga kali ya. AS: Iya. LA: Jadi males. AS: Mungkin males. LA: Ya, oke oke oke. Kalau saran-saran dari koalisi terhadap pasal itu waktu itu tapi cukup ditampung dengan baik kan sama mereka? AS: Masukan yang gimana? LA: Yang masukkan yang tentang BUMN itu kan masyarakat. AS: jadi ditampung, tapi kan nggak maksimal , maksudnya ditampung dalam arti BUMN tetap menjadi bagian dari badan public, nah itu kan mengadopsi, itu kan mengafirmasi masukan pemerintah masyarakat sipil tapi ternyata pengaturannya itu disendirikan. Ada acception kan untuk BUMN begini begini, nah itu mengecewakan. LA: Kira-kira penerimaan mereka diakhir itu dengan kata mas tadi kan bilang mereka cukup senang dengan hasil akhirnya dengan segala keputusan itu terutama untuk pasal 1 ayat 3 itu, kira-kira itu maksudnya sudah terlalu lama mereka capek atau memang untuk mepertahankan solidaritas kelompok di antara mereka? AS: Saya nggak tahu ya, tapi satu terlalu lama, yang kedua ya mungkin tidak ada. LA: Atau menjaga nama baik? AS: Nggak, memang rumusannya mungkin sudah ketemu. Artinya DPR itu secara psikologis kan merasa nyaman kalau bisa sudah mengadopsi aspirasi masyarakat dan juga rumusan terakhirnya diterima oleh mereka. Itu keberhasilan DPR sebagai Legislator sebenarnya, karena ya karena itu tadi, di kompromi ngerti kan? Buat mereka kan kalau berhasil mempertemukan kepentingan masyarakat sipil dengan lembaga berarti mereka berhasil. LA: Tapi kan, bukannya dibilang keberhasilan itu sebenarnya milik pemerintah karena kan usulan tidak memasukan teks BUMN atau BUMD itu kan dari pemerintah, DPR kan awalnya memasukan itu, kira-kira gimana. Maksudnya tadi kan Mas bilang DPR cukup bisa senang dengan itu karena bisa mengakomodir kepentingan masyarakat sipil dengan pemerintah tapi maksudnya bukankah DPR terlihat jadinya kalah dengan pemerintah ketika pasal ini jadinya seperti mirip usulan pemerintah bukan usulan DPR. AS: Bukan, karena untuk usulan pertama kan BUMN belum masuk sama sekali, BUMN masuk kan. LA: Di pasal 14 itu. AS: Saya lupa, tapi di pasal, di pengaturan Undang-undang itu ada. LA: Tapi sepertinya di sembunyikan, AS: Bukan disembunyikan, tapi. LA: Tidak masuk di pasal. 81
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
AS: Jadi gini lho, kalau badan public yang lain itu kan setiap badan public itu harus terbuka kepada masyarakat, sebetulya begitu, untuk BUMN yang harus terbuka tu hanya ini, ini, ini gitu lho, perbedaannya itu. LA: Tapi definisi badan public itu tidak disebutkan, maksudnya kenapa mereka nggak mau menyebutkan, bahwa BUMN itu juga masuk lho dalam definisi badan public. AS: Masuk. LA: Di pasal 1 ayat 3 kan nggak disebutkan, AS: Saya lupa, Mbak bawa Undang-undangnya nggak? LA: Bawa. AS: Ada, mungkin nggak di pasal itu tapi di pasal bawah-bawahnya. LA: Iya di pasal ini nggak masuk, karena disebutin anggarannya aja. AS: Dan memang ini umum Mbak, umum tapi disini.. LA: Pasal 14 ya kalau nggak salah apa pasal 16. AS: Nah ini, ya. LA: Yang di informasi ya. AS: Informasi yang wajib disediakan oleh BUMN, BUMD adalah ini, jadi BUMN itu masuk bagian dari badan public, jelas sekali disini. LA: Cuman, di pasal ini yang disebutkan kan? AS: Ya, cuma hanya ini aja yang lain-lain nggak harus di buka dia padahal diluar ini tuh masih banyak menurut kami harus terbuka. Artinya nggak, harusnya nggak perlu di eksplisitkan begini, jadi berlaku umum saja seperti untuk seperti badan hukum yang lain begitu. Nah maunya pemerintah ini sama sekali nggak ada. LA: Maunya pemerintah. AS: Iya, pokoknya BUMN itu jangan masuk dalam kategori badan public. Awalnya, akhinya kan pemerintah “ya udah kalau mau tapi dirumuskan ini,.. ini,.. ini,…” jadi mereka juga,.. LA: Dan ngak muncul di awal ya, maksudnya nggak muncul di pasal 1 ayat 3 itu ya? AS: Sekarang kalau di pasal 1 ayat 3 itu. LA: Iya, teksnya, teksnya. AS: Di pasal 1 ayat 7 kang nggak ada yang muncul sama sekali kan. LA: Iya kan, kalau dari DPR awalnya di buku Anotasi itu kan ada Mas dari DPR, disebutin kalau usulan dari DPR. AS: Iya betul tapi legislative, eksekutif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan Negara. Nah itu BUMN sudah masuk, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN atau APBD, itu BUMN juga masuk. Jadi menurut saya nggak perlu eksplisit juga nggak apa-apa, buat saya nggak masalah. Yang masalah tuh di pasal 14 tadi, karena kalau gini aja nggak eksplisit aja tetap masuk. Karena misalnya begini, Rumah Sakit Umum nggak masuk kan disini, itu masuk dia. Misalnya lembaga Negara non departemen kayak Dewan Pers, Komnasham nggak masuk disini, nggak eksplisit kan. Dia bukan eksekutif, bukan legislative, bukan yudikatif, tapi dia masuk dengan definisi ini dia masuk. LA: Cuman informasinya itu yang nggak semuanya bisa di buka. Terakhir nih Mas, harapannya untuk UU KIP apa ya Mas? AS: Harapan saya sih, semakin banyak warga Negara apapun profesinya untuk menggunakan Undang-undang ini untuk kebutuhan hidup sehari-hari mereka, karena UUnya sudah ada, Komisinya sudah ada, lembaga-lembaga public juga saya lihat sudah mulai menyiapkan diri, jadi tinggal membangun public demand. Membangun public demand itu penting karena kalau nggak ada public demand undang-undang ini jadi termakan tempat aja. Nah public demand ini yang harus di gerakkan, mungkin teman-teman wartawan, teman-teman NGO, teman-teman kampus yang membantu ya, tapi ya pokoknya masyarakat harus menggunakan kalau nggak nanti ya. LA: Implementasinya sejauh ini menurut Mas gimana jalannya setelah beberapa tahun di sahkan? AS: Ya memang anu ya, kalau beberapa orang mengatakan lambat tapi Undang-undang yang lain juga banyak yang lebih lambat. LA: Perlu di revisi nggak kira-kira? AS: Revisi itu harus dipikirkan, hasilnya bisa lebih baik nggak, kalau kita ngotot revisi tapi hasilnya lebih buruk kenapa, buat apa. Jadi revisi Undang-undang itu harus mikir sejauh itu, kita harus lihat 82
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
perangai DPR seperti apa, kita harus perangai memerintah gimana? Kita mengajukan usulan revisi ya usulan kita bagus tapi kan yang mengesahkan DPR dan pemerintah. Jangan-jangan di revisi menjadi lebih buruk, kalau kondisinya begini menurut saya nggak usah revisi dulu, dimaksimalkan yang ada ini. Sikap saya terhadap Undang-undang Pers juga begitu, Undang-undang Pers itu banyak punya kelemahan, saya setuju tapi kalau kita ngotot, kita ajukan anggatan sekarang DPRnya kayak gitu, jadi malah lebih buruk rasanya. Lebih baik realistis aja, yang ada aja kita maksimalkan. LA: Waktu itu koalisi ada berapa ya Mas untuk Undang-undang yang tergabung, yang mengawal? AS: 43 NGO seingat saya. LA: Se- Indonesia? AS: Tapi kan berubah-ubah ya, LA: Maksudnya bertambah-tambah? AS: Bertambah, menurun. LA: Nah, Pak Paulus waktu itu kan sudah nggak, berarti dia ikut mengawal aja ya? AS: Iya dia dari DPR periode 1999-2004 terus nggak terpilih lagi pindah ke Masyarakat Sipil. LA: Iya kemarin saya wawancara Pak Paulus, dia bilang ya itu banyak ada, yang disembunyikan soal teks-teks konsep tekstual, jadi rancu-rancu. Oke deh Mas kalau begitu, terima kasih banyak. AS : Ya begitulah. Ok sama-sama.
Hasil Wawancara Informan Pendukung 3 83
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Nama : Drs. Ismail Chawidu, M. Si (Humas Kemkominfo) Tempat : Jakarta Tanggal : 14 Maret 2015, Pukul 11.00 WIB Narasumber : Ismail (IC) Pewawancara : Lisa Adhrianti (LA) LA: Pak terimakasih waktunya atas kesempatan wawancara ini, jadi e..e penelitian yang ingin saya lakukan tentang e komunikasi yang terjadi, dinamika interaksi, tepatnya, yang terjadi pada saat membahas RUU KIP Komisi satu DPR periode 2004-2009. Jadi kan sebelumnya RUU KNIP itu kan diusulkan di tahun 99 udah kan ya pa, tapi akhirnya baru dibahas di 2004-2009. Mungkin bapak bisa cerita kenapa ee mungkin tau kronologis kenapa sampe RUU KIP dibahas sampe dua periode itu pak? IC : Jadi begini, ee dulu pertama sekali namanya ini Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Nah rancangan undang-undang itu sebagai itu diterusin oleh 63 lembaga swadaya masyarakat. Mereka tergabung dalam sebuah koalisi yang mereka sebutkan namanya itu sebagai koalisi kebebasan, itu sebuah LSM yang memperhatikan kebebasan dalam koalisi tersebut. Nah mereka ini langsung ke DPR, akhirnya ini menjadi apa namanya hak inisiatif DPR. Dalam perjalananya waktu itu kelembagaan yang ada di kementrian komite ada dua. Satu namanya lembaga informasi nasional, satu lagi kementrian negara komunikasi dan informasi. Waktu itu mentrinya almarhum Syamsyul Maarif. Nah setelah itu lalu ada dua konsep. L: Itu sebelum 2004 ya pak? karena diperiode sebelumnya I: Iya nah terus dari situ kementrian kominfo yang diwakili oleh mentri negara membuat satu draft, konsep, jadi ada dua draft, buat sama-sama maju ke DPR. Mulai 2009 itulah kemudian harus diputuskan. L: Oh jadi pemerintah juga bikin draft? I: Bikin draft L: Oh itu asalnya pemerintah bikin draft itu setelah ada ini dari DPR atau bagaimana? I: Nggak, setelah ada masukan dari koalisi itu ke DPR dulu kemudian disounding dibicarakan ke kominfo. Akhirnya kita waktu itu bekerjasama dengan UNPAD, kita juga mengadakan naskah kajian akademiklah, akhirnya dua konsep. Yang tajam waktu itu perbedaanya adalah tentang pengambilan keputusan tentang pembentukan sebuah ee waktu itu namanya lembaga informasi, sekarang namanya komisi informasi. Pertama ada dua pendapat, apakah dalam undang-undang ini harus ada komisi lagi, waktu itu, ee Pak Profesor Ahmad Ramli mengatakan yaa kalo mengacuhkan beberapa negara ya ga perlu ada, karena di beberapa negara kan juga ada dan tidak ada. Tapi ya sudah demikian kemudian dalam draft Kominfo itu ada namanya draft lembaga informasi, dua draft maju, akhirnya kemudian mulai 2009 disepakat nggak mungkin dua draft, akhirnya jadi satu draft terus langkahnya lalu adalah penyusunan DIM L: DIM I: DIM. kalo ga salah itu DIMnya kurang lebih 600 L: Enam ratus ya pak ya. Itu Komninfo semua yang bikin kerjasama? I: Kerjasama sudah, ia sudah dengan DPR waktu itu ya dibahaslah. Nah pada waktu itu biasalah, sebagai sebagai negara yang baru mulai, itu euforia kebebasan kan, sementara dari pihak pemerintah kan belum maksimal, masih transisi menuju keterbukaan. Tarik menarik terus, tarik menarik terus, titik temunya tuh panjang sekali, 2009, eh 99, kan baru terakhir 2008 ya. L: 2008 disahkan. I: Ya 2008 disahkan. L: Bagi pemerintah persepsi terhadap undang-undang KIP ini seperti apa? Kan saya sempat mendengar UUD ini kan nggak diharapkan ada sama pemerintah. Kalo bisa kata orang-orang LSM kan pemerintah tuh nggak suka ada undang-undang ini. Itu gimana sih pak? I: Secara resmi pemerintah tidak pernah memberikan state bahwa.... L: Iya, iya maksudnya ada ini ga, semacam apa, ya mungkin kaya keterkejutan atau gimana nih, kaya semacam kepanikan atau bagaiamana kira-kira? 84
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
I: Sebenernya yang saya tangkap tuh tidak ada. Tidak ada, hanya proses memahami sebuah ee keterbukaan itu memang tidak serta merta lalu oke. Karena gini, waktu itu apa yang ada dibenaknya pemerintah tentang LSM kadang-kadang tidak selalu baik, demikan sebaliknya apa yang ada dibenak LSM terhadap pemerintah juga tidak pernah baik. Jadi titik temunya yang tidak ada. Jadi kalau ada, semacam persepsi seperti itu, itu mungkin muncul dari seorang perorang, tapi secara kelembagaan tidak pernahlah L: Ga ada ya pak? I: Karena..kenapa tidak ada, waktu itu Departemen Penerangan sudah mengesahkan undang-undang namanya undang-undang pers. L: Pers, iya I: Itu betapa revolusionernya UU Pers itu, bahkan katanya tidak ada..hanya ada satu kata pemerintah dalam UU waktu itu. Kita juga waktu itu sudah mengesahkan rancangan undang-undang tentang kebebasan menyampaikan pendapat di depan umum, UU No.9 tahun 99, itu sama reformasinya juga sama L: Terus jadi sebenarnya I: Sebenernya, ga bisa, saya kalau dikatakan ada komen itu ga setuju saya. L: Ga setuju ya pak. Jadi emang ga ada semacam ini yah pak.. I: Ga ada L: Respon yang berlebihan I: Ga ada L: Misalnya dari pemerintah, ko ada ini lagi sih, nanti kita bisa kebablasan nih atau apa nih, gimana kira-kira? I: Waktu itu ada beberapa rancangan undang-undang yang sudah disounding, di samping UU tadi, KMIP dulu namanya, juga UU tentang, ee waktu itu Undang-undang masalah keamanan negara kalo ga salah, pertahanan keamanan negara. L: Iya kan? I: Sehingga pak Syamsul mengatakan udahlah tunggu itu, sehingga ini jadi undang-undang payung. Tapi dalam perjalanannya lalu.. L: Ini duluan I: Jadi pertama itu saya tidak setuju kalau dalam itu bahasanya itu seakan-akan nanti pemerintah tidak tidak.. L: Mendukung ya pak? I: Iya, bahwa ada persepsi masyarakat seperti itu karena kita itu kan masih menuju masa transisi yang dari rezim ketertutupan menjadi rezim keterbukaan. L: Keterbukaan I: Itu jadi nggak mungkin kita multi langkah. Jadi di approach abu-abu dulu kan. L: Iya jadi ga ada unsur yang mungkin dirasa berat dari pemerintah untuk kehadiran KIP ini pak? I: Ga ada L: Ga ada I: Dalil saya tadi itu, udah ada undang-undang pendahuluan yang sudah kita sahkan kok. Undangundang Pers. L: Kalo untuk rumusanya sendiri yang diajukan oleh DPR yang hasil masukan-masukan dari LSM pengusul itu yang masukan ke DPR kemudian diajukan ke pemerintah itu kira-kira ee apa namanya, bagaimana pak, pemerintah melihatnya terhadap rumusan-rumusan yang mereka ajukan? Ketika akan membahas? I: Terus terang gini, ada kesan pada waktu itu bahwa sebenarnya LSM, ee rumusan yang diajukan LSM ini sangat ee L: Maksudnya yang udah diiniin sama DPR ya pak ya? I: Ya..ya ini sangat ee copy paste dengan punyanya FOIA, Freedom of Information Act punyanya Amerika. I: Ini kesanlah ya, kesan ya karena kan terus terang mereka kan dalam menyusun ini kan dia tiga tahun sendiri, dia ambil punyanya Inggris, punyanya Amerika, punyanya punyanya siapa kan. Mereka kemudian diramu, diramulah. Itu akhirnya ada kesan, jadi kesanya ini adalah seperti ini, pada waktu itu kesannya sangat kebablasan. 85
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
L: Waktu itu ya pak ya? I: Iya L: Kesan pemerintah ya pak yang ditangkap? I: Iya, kalau begini caranya, ini kok jadi ini ee sangat-sangat liberal sekali. Sehingga tidak lagi, yang tadi kan jadi dulu ada UU rahasia negara tadi ya... L: Iya iya I: Tidak lagi menyisahkan bagian dari rahasia negara. Jadi sekali lagi persepsi kesan, kemudian tapi tidak dikeluarkan secara kelembagaan, nggak ada. L: Kalau disampikan secara terbuka di Komisi I tidak juga pak? I: Oh tidak, hanya tercermin dari pembahasan-pembahasan yang biasalah, ee mengajukkan argumenargumen antara pihak DPR dan pihak pemerintah. L: Termasuk khususnya bagian pembahasan tentang badan publik. Rumusan di pasal 1 ayat 3 itu kan awalnya dari DPR kan menuliskan BUMN, BUMD, BHMN, itu masuk dalam teks I: Itulah DIM yang terakhir yang paling susah diputuskan itu. L: Nah..itu kira-kira gimana pak? Maksudnya pemerintah menilai masalah itu seperti apa? I: Masalahnya Gini.. L: He eh, sementara dilain pihak pemerintah memasukkan LSM sama parpol I: Begini, kami dari pemerintah kan kita bahas internal dulu dengan pemerintah tentang pasal BUMN L: Itu bahas internal e..saat I: Tidak melibatkan DPR L: Iya maksudnya lintas kementrian? I: Lintas kementrian, kan emang ada namanya panitia antar lembaga. L: Iya, kementrian apa aja pa? I: Nah kita panggil BI, Bank Indonesia. Kita panggil BUMN, kita panggil BIN, kita panggil ee apa namanya, Departemen Pertahanan, itu harus mengakomodir semua L: Iya I: Nah jadi waktu itu ee kesannya waktu itu adalah, katakanlah BUMN di sini. Kan penjelasan dari ee BUMN bahwa ini rezim ini harus dibahas dipisahkan dua. L: He eh I: Ada rezim keterbukaan, ada rezim pure ekonomi. Sehingga pada saat menetapkan badan publik itu kan itulah ya, lalu kemudian pembahasan menjadi tajam, karena terdapat pertanyaan-pertanyaan di sini, apakah BUMN BUMND secara utuh itu masuk sebagai badan publik? nah dibahaslah pada waktu itu bahwa sebenarnya BUMN, BUMD, memang betul di situ ada unsur publik, karena dia bekerja untuk publik. L: Iya I: Tetapi jangan salah bahwa penyertaan modal negara di BUMN itu tidak semuanya harus terbit. Kenapa? karena kalau ada satu badan usaha yang berusaha di satu sektor yang sama lalu yang satu dibuka, satu ditutup ya ga bisa dong, ga fair. Contoh, PT. Telkom, ya antara Telkom dengan Indosat . Indosat tersebut perusahaan bisnis, jadi dia bukan badan publik. L: He..dia bukan badan publik? I: Bukan..sahamnya saham publik semua, tidak ada saham negara di situ. Tapi sementara Telkom, Telkomsel, dia kan badan publik, karena dia ada penyertaan saham negara di situ. Ada negara punya dana di situ. Kalau dia, apa namanya, ditutup, disamakan dengan dibuka semuanya L: Sama seperti Telkomsel maksudnya? I: Bagaimana dia bersaing, dalam hal yang sama, itu kan ada yang namanya rahasia perusahaan L: Hm, itu argumen pemerintah I: Argumen pemerintah yang diwakili oleh sekertaris BUMN, Pa Said Didu kan, ya jelas. Akhirnya kesepakatanya itu DIM yang terakhir dibahas itu masuk badan publik, tetapi yang boleh dibuka hanya tercantum dalam pasa berapa itu dalam undang-undang, pasal berapa katanya? L: 14 ya I: 14, makanya mulai dibuka adalah ini ini in, selain itu ga boleh. L: Kesepakatanya itu ya, waktu itu DPR gimana pak? I: Akhirnya paham L: Paham, setelah sebelumnya agak ini ngotot ya? 86
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
I: Iya waktu itu kan tuduhanya hanya kan begini, kalau BUMN itu tidak dibuka, itu kan, itu kan jadi satu perahan oleh negara sendiri, tempat pencowo partai-partai, makanya harus dibuka. L: Kata mereka? I: Kata mereka he eh, tapi pa Said Didu mengatakan, You kalo buka ini bagaimana BUMN kita mau bersaing dengan BUMN lainnya yang bisnisnya sama dengan itu? L: Waktu itu yang kira-kira keras, maksudnya anggota yang kira-kira agak susah diiniin siapa pa? I: Itu Pak siapa ya namanya, dia lagi jadi dubes di suatu negara L: Pa Tosari, eh I: Bukan L: PAN ini..Anis Mata I: Bukan Anis Mata, saya lupa siapa namanya L: Itu yang agak keras ya pak ya? I: Iya iya L: Dedi Jamaludin Malik oh bukan ya? I: Dedi Jamaludin Malik termasuk yang.. L: Keras juga? I: Keras tapi masih bisa menerimanya L: Kalo PDIP pak? I: PDIP e.. L: Andreas? I: Andreas Pareira L: Yang agak keras untuk bertahan dengan argumennya DPR I: Iya L: Berarti kalo ini pak, dari partai pendukung pemerintah seperti Demokrat waktu itu? I: Waktu itu ada Demokrat ya? L: Ada pak udah ada, tapi masih kecil porsinya, kan presidenya SBY kan I: Iya L: Itu gimana kira-kira kalo, berarti kira-kira partai-partai yang seolah mendukung pemerintah kayanya setuju sama pemerintah ya pak ya I: Itu sih itu kan suhu politik memang harus gitu, itu kan apa namanya suasana dalam pembahasan undang-undang yang sifatnya politik, produk politik. L: Itu akhirnya mereka bisa menurunkan tensinya itu kira-kira gimana pa? I: Waktu itu yang menjadi sebagai penengah itu pa Arif Mudasir, almarhum L: Oh dari PPP? Iya Almarhum I: Itu saya inget betul itu diputuskan di hotel Ibis di Petamburan kalo ga salah itu L: Itu dalam rapat I: Lobi bulan Ramadhan L: Lobi di Hotel Ibis Petamburan pa itu tentang badan publik itu? I: Iya L: Terus gimana pak? I: Sampe kita mau sahur itu L: Jadi rapatnya dari jam berapa pak? Dari pagi? I: Dari sebelum buka L: Oh waktu itu puasa ya pak? I: Puasa L: Oh dari sebelum buka sudah bahas terus? I: Iya tapi sebelumnya sudah juga di Kopo. L: Ya..ya tapi maksudnya yang hadir di sana semua panja atau apa? I: Iya L: Jadi itu terakhir tuh I: Terakhir itu, saya masih ingat L: Ingat tannggal berapa pa? I: Lupa kalo tanggal L: Lupa ya 87
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
I: Yang saya ingat bulan puasa L: Berarti sebelum diiniin di timsin I: Iya L: He eh timsin, sinkronisasi I: Iya udah kita sepakati L: Kira-kira gimana pa akhirnya waktu itu I: Makanya keluar pasal 14 itu L: Di situ keluar pasal 14 I: Ya artinya keputusanya mengatakan bahwa okelah kita terima juga usulan dari DPR bahwa BUMN memang harus terbuka tapi tidak boleh terbuka telanjang. Caranya bagaimana? ya tentukan mana yang boleh dibuka mana yang tidak. L: Itu pemerintah bilang seperti itu ya pak? I: Dan itu disepakati, karena tadi kita katakana bahwa dia juga ada rezim bisnis di situ gitu. Untuk menjaga kita punya, apa namanya ee eksistensi badan usaha negara L: Iya I: Bahwa sebuah rezim bisnis itu harus ada strategi-strategi binis yang harus di L: Jaga I: Dijaga, dalam rangka persaingan usaha. L: Tapi kenapa setelah itu baru akhirnya, oh iya kan dulu juga udah disampaikan waktu rapat I: Karena kan pandangan-pandangan yang tadi dikatakan lebih liberal itu. L: Atau ada tekanan dari luar mungkin pak? I: Oh ga ada L: Dari LSM mungkin? I: Kalo LSM iya si sudah pasti L: He eh I: Saya berikan suatu gambaran dalam pembahasan di komisi 1, bahwa penguasaan terhadap materi penerbitan undang-undang ya, itu tidak secanggih dibanding dengan penguasaan LSM, ngerti gak? L: He eh he eh I: Jadi kalau kita ada pembahasan itu kan Prof Ramli ahlinya L: Iya itu kan Prof Ramli itu I: Kalau Prof Ramli sudah bicara L: Itu orang kominfo juga ya? I: Iya L: Dia di mana sekarang? I: Dia staff ahli kan L: Oh sekarang jadi staff ahli? I: Enggak, sekarang jadi dirjen HAKI L: Oh di Jakarta juga? I: Iya di HAKI, dan itu Pak Ramli meenjadi staf ahli bidang hukum kan di kemkominfo, nah betulbetul kan kalo pak Ramli kan dia menguasai secara mendetail. Sehingga kalau dia memberikan pencerahan itu DPR tuh diem. L: Oh gitu I: Diem, tetapi begitu ada pertanyaan yang dibahas, kita lemparkan pertanyaanya itu tadi. Itu kan ada satu fraksi yang namanya fraksi balkon, isinya LSM semua. L: Iya I: Jadi sms ke anggota DPR, jawabnya begini L: Oh gitu ya pa I: Hehehe iya L: Permainan ya I: Iya heheheh kan maklum kan harap maklum, DPR kan waktunya untuk mendalami sebuah produk perundang-undangan kan juga terbatas. Jadi hanya ada beberapa orang-orang yang menonjol. L: Hajriyanto? I: Hajriyanto, Andreas Pareira. Ya begitulah, suasananya seperti itu. 88
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
L: Terus pa, akhirnya titik temunya di luar nih pasal 14 itu kan, bahwa informasi yang bisa dibuka oleh BUMN, BUMD ini ini ini I: Itu masukan dari mentri BUMN L: Iya. Kemudian kan pasal 15 dan 16 akhirnya mengakomodir keterbukaan I: Partai politik L: Dari parpol dan LSM, seperti yang diinginkan pemerintah dari awal. Itu kira-kira seperti apa pak? Kan DPR awalnya tidak menginginkan nih awalnya parpol dan LSM I: Loh kita berikan penjelasan, katakanlah seperti di dalam pasal 17 ada poin tentang memorandum, memo antar, memo antar apa ya yang tidak boleh dibuka, tadinya kan bahwa yang kan memorandum itu, ini contoh saja ya L: He eh I: Partai politik tuh ga mau dia kalau dikatakan memo memo itu dikatakan rahasia. Terus kita berikan gambaran, pak partai politik, kalau anda melakukan misalnya namanya PAW L: Penggantian Antar Waktu itu ya? I: Penggantian Antar Waktu. Lalu ada usulan masuk dari dalam, bahwa untuk membagikan si A ada 3 calon. Sekarang perrtanyaanya. Apakah nama 3 calon itu anda buka atau tidak? Yanggak dong. Anda mau buka atau tidak, ya engga dong, ya sama saja, jadi semua memo-memo jadi partai politik mempunyai sisi-sisi yang dilindungi. Kalau dia punya kebijakan yang on going proces itu biarkanlah dululah menjadi rahasia sampai dia betul-betul sampai pada sebuah keputusan yang menjadi milik publiik L: Hm jadi mereka bisa nerima itu ya I: Nah sekarang partai politik misalnya apakah semua benar-benar partai politik. Sekarang apakah sumber-sumber dana partai politik bersumber dari dana negara, kan engga..tapi kan juga bahwa setiap satu suara demi partai politik ini dihargai sekian rupiah oleh negara, sehingga kalau ada partai politik mendapatkan sekian kursi tinggal dihitung. Dia ada berapa konsituen di dalamnya pemilih ini, itu dikali rupiah, makanya dapet jatah sekian dari APBN. Nah itu kan bagian dari yang harus dibuka juga, tapi kan ada juga sumbangan-sumbangan ada juga bagian-bagian tidak perlu dibuka, kebijakankebijakan tertentu, maka keluarlah pasal itu L: Kalo bertemu selain dalam rapat komisi itu sering ga pak dilakukan di luar? I: Oh sering L: Sering I: Kalo lagi mentok L: He eh I: Ketemu di wisma DPR, kalo gak di DPR ya ketemu di L: Berarti itu membahas itu lagi pa? Bukan ngobrol santai atau I: Engga, jadi suasananya yang diindahkankan. Kalo lagi panas mungkin lagi siang-siang atau karena kehadiran orang LSM, sekali-kali lah tanpa kehadiran orang ketiga lah. Suasanya memang dialogis, lebih enak, tidak formal, tidak melalui sidang, sering ko L: Sering ya pa. Waktu itu pemerintah yang sering ikut mewakili pak mentri? Siapa aja? I: Prof Ramli, kemudian ada direktur harmonisasi dari KumHAM, saya lupa namanya, kemudian dari bank Indonesia ada, Mas Agus itu biro hukumnya. karena bank Indonesia juga punya kepentingan dari segi perbankan, kemudian dari BIN juga, kemudian dari Polhukam juga ada, lengkap kok. L: Bapak selalu ikut waktu itu? I: Selalu ikut L: Waktu itu bapak di kementrian kominfo sebagai apa pa? Menjabat I: Saya waktu itu asisten deputi bidang kelengkapan informasi ya L: Oh I: Kementrian negara L: Waktu itu programnya sebagai? I: Staff ahli L: Staff ahli Kominfo ya I: Staff ahli mentri bidang itu L: Kalau berarti, diskusi-diskusi dengan mereka perwakilan pemerintah itu sering kali dilakukan pak? Di luar sepengatahuan DPR, sering ga pak? Misalnya dengan BI 89
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
I: Oh iya dong. Kalo kita ada masalah yang, kan misalnya gini permasalahan bank Indonesia, kan kita tidak paham, jadi kita secara internal L: Itu biasanya secara resmi atau dalam situasi yang santai seperti tadi bapak bilang? I: Itu kan gampang, di hotel kesepakatanya juga bisa, kan bisa kita panggil di BI nya, kita panggil di kominfo L: Untuk Membahas ya pak? I: Iya karena kan kalau ada dim-dim yang itu milik salah satu kementerian, itu harus kita finalkan internal dulu untuk menghadapi pembahasan secara terbuka di Komisi I. L: Nah kalo secara umum bapak menilai orang-orang komisi 1 dalam mereka mengeluarkan pendapatnya, mempertahankan pendapatnya, itu kira-kira dinamikanya seperti apa? Mereka cukup solid atau ada semacam keraguan-keraguan mungkin konflik, bapak melihat mereka seperti itu untuk membahas badan publik tadi pa? I: Itu juga agak lama ya L: Lupa ya, kira-kira waktu itu gimana yang tergambar dari hari ke hari rapat sama badan publik. Itu kira-kira sikap mereka itu seperti apa pa? I: Gimana ya, pertama kan saya bilang perhatian dari sekian puluh anggota didominasi oleh orangorang tertentu yang memang memberikan perhatian penuh, gitu ya. Jadi otomatis kalo hanya orang tertentu-tertentu saja tidak bisa dikatakan itu pendapatnya seperti itu, yang diem cuma L: Banyak yang diem pa? I: Iyalah banyak yang diem L: Ngikut aja I: Ngikut aja, makanya tadi nama-nama yang L: Vokal, dominan ya pa I: Hajri apa L: Hajriyanto I: Hajriyanto, Andreas Parera, Dedy Djamaluddin ee L: Tosari pa? Pa Tosari? Cukup dominan ga waktu itu? I: Tosari L: Kalo pa Sidarto? I: Ga begitu, yang paling vokal itu tadi satu dari PAN L: Boleh saya sebut pa? I: Lalu menjadi duta besar.... L: Abdillah Toha? I: Bukan, Abdillah Toha enak L: Joko Susilo? I: Bukan Joko Susilo L: Hem I: Itu yang paling vokal itu. Kalau mau ketemu wawancara sama dia deh L: PAN ya pak ya. Saya ga punya nomernya, bapak ada ga? I: Ga ada, lagian sekarang dia jadi duta besar L: Oh sekarang jadi dubes? Sama kaya pa Tosari ya pak ya I: Iya saya ga tahu sekarang apakah masih apa sudah selesai. L: Oh ini termasuk yang vokal yah pa? I: Iya vokal L: Berarti yang dari PAN tuh ada Pa Dedi sama dia ya pak ya? I: Iya iya L: Kalo dari Golkar pa Hariyanto ya. Kalo dari PDI cuma pak Andreas itu ya? I: Betul L: Kalo PPP pak Tosari? I: Pak Tosari sama pak itu pak.. L: Arif ya I: Arif Mudatsir L: Tapi mereka sebagai pemimpin ya waktu itu ya? I: Ya 90
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
L: Ya oke oke oke. Jadi akhirya titik temunya ketika tadi itu ya pak yah di Petamburan? I: Tapi pada dasarnya begini, kalau dikatakan proses pengambilan keputusanya kenapa lama, karena dalam proses itulah terjadi pembelajaran, itu poin yang bisa ditarik. Bahwa manfaat dari sebuah proses pengambilan keputusan dalam sebuah undang-undang itu karena pengetahuan terhadap poin tersebut. L: Substansi ya I: Substansi tersebut tidak semuanya sama, kadang-kadang lebih kuat dari pemerintah, karena dia ingin mendalami, kalo dalam kasus BUMN, saya kira lebih kuat pemerintah. L: Makanya mereka akhirnya bisa nerima I: Akhirnya kalo kesan saya kalo itu diulur-ulur, diberikanlah kesempatan pemerintah untuk menjelaskan. Dikatakan dalam tanda petik “nguliahin” mereka. Itu kalo Prof ramli udah ngomong itu kita jadi kayak kuliah. L: Ehahaha dengerin ya pak ya? I: Dengerin kalo orang DPR ngedengerin. Sehingga kalau Prof. Ramli udah ngomong, udah diem. Karena apa? karena penguasaan substansinnya jauh beda, seorang politisi dan seorang birokrat yang membidangi. Waktu itu Prof. Ramli kan ini seorang dekan fakultas hukum Unpad, dia staff ahli dan memang mendalami itu. Enak sekali kalo pak Prof Ramli yang ini, karena dia yang saya ingat dari dia begini, L:Punya kontak Prof Ramli ga Pak? I: Punya, nanti saya kasih. Jadi ee dia dalam mengambil keputusan dalam setiap persoalan hukum diundang-undang itu pendekatannya itu tidak melulu kepada materi, ee apa namanya itu kebenaran materil dari undang-undang, tapi pandangan sosiologis masyarakat terhadap persoalan itu harus menjadi ukuran. L: Pertimbangan ya pak? I: Harus menjadi pertimbangan, karena masyarakat yang merasakan itu. L: Merasakan dampaknya I: Gituloh, kemudian budaya juga penting. Budaya keterbukaan misalnya, ukuranya kan beda dong kalo budaya liberalisme di barat dipaksakan, gak bisa kita harus mempertimbangkan budaya lokal seperti itu. L: Akhirnya judul tadi berubah I: Berubah, tadinya kan Kebebasan Mempeeroleh Informasi Publik menjadi Keterbukaan Informasi Publik. Itu saya ingat betul judul itu dirubah di Kopo itu sehingga tidak ada LSM waktu itu kan. L: Nah ketika itu sudah berubah pak keluar judul baru, terus nanti keluar pasal-pasal keluar untuk mengakomodir BUMN, Parpol, itu kira-kira ada semacam protes nggak pak dari LSM sendiri, dari luar terhadap rumusan yang baru? I: Yang saya tangkap itu ada beberapa kekecewaan-kekecewaan dari LSM terhadap antara konsep yang mereka ajukan dengan.. L: Hasil akhir. Jadi sempet dilontarkan pa? I: Kita liat dalam tulisan-tulisan kan, artikel-artikel tentang bagaimana menyikapi keputusan sebuah sebuah pasal dalam pembahasan, tapi akhirnya ya begitu. L: Yang sering nulis siapa pa? Pa Agus? Agus Sudibyo? Atau siapa? I: Agus Sudibyo itu kan temen saya juga tapi sering berbeda pendapat. Dia juga lagi proses belajar mba. L: Iya iya I: Dia juga lagi proses belajar, tidak bisa langsung dia ke ahli. Karena kan referensinya juga ke Amerika keluar. Ada juga yang sedang sekolah. Misalnya Katrina, Katrina kan sekolah di Australia. Itu dari ICEL, seperti siapa lagi yang botak itu di UKP4 yang plontos dari LSM itu, pinter juga itu. L: Jadi ada semacam kekecewaan pak dari mereka? I: Kekecewaan dari side mereka, dari kondisi pendapat mereka. L: Pendapat mereka I: Yang sudah didominasi oleh kepentingan-kepentingan asing, maka mementingkan kultur yang ada dalam negara kita, baik kultur ee di masyarakat maupun kultur di pemerintahan. L: Tapi waktu itu ga ada protes yang keras atau gimana pak? 91
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
I: Oh ga ada, akhirnya setelah itu disahkan mereka berterimakasih, bahwa itulah pencapaian keterbukaan yang terbaik bagi bangsa. L: Itu tujuan akhir mereka juga kan tabu kan, undang-undang itu sendiri ya pak. I: Adanya undang-undang sudah lompatan besar bagi Indonesia waktu itu. Karena coba bayangkan waktu 2008 itu di ASEAN yang punya Undang-Undang ini cuma Indonesia sama Filipin waktu itu, Thailand aja belum punya. Singapur belum ada. Kalau di Filipin kan ga ada undang-undang tersendiri, jadi dia ada di undang-undang. Jadi materi keterbukaanya di setiap ee Undang-undang dia tidak tersendiri. Kalo di Thailand malah sempet ditunda setahun kalo ga salah. L: Thailand ya pak ya. Kalau Pemerintah sendiri ee melihat UU KIP ini merasa terpuas juga ga pak? Atau mungkin ada..? I: Ukuran puas tidak puas itu sesungguhnya relatif. Justru kalo dari saya, saya yang ikut di dalam proses ee ini justru tidak puasnya saya terhadap filosofi UUD 45 L: 28 Pak? I: Oh tanggal 28 L: Oh bukan I: Pasal 28F UUD 45 L: Oh yang UUD 28 F yang awal I: Iya. Itu kan landasan filosofi undang-undang itu. Bahwa kebebasan memperoleh informasi itu diberikan oleh Undang-undang untuk meningkatkan kepribadian dan ilmu-ilmu sosial kan L : Selain dari untuk menciptakan Good Govenment? I : Ok waktu itu kan tuntutan waktu itu di sebuah negara demokrasi. Tapi sekarang coba yang meminta informasi siapa? 90 persen LSM minta informasi. L: Bukan Publik ya pak? I : Bukan mahasiswa yang meminta infromasi mau sarjana, bukan pedagang yang meminta informasi. L: Apa karena sosialisasinya pa? I: Tidak bisa ditebak seperti itu. Mungkin saja kalau nggak sebelum ada undang-undang ada riset, ada pooling belum tentu publik Indonesia langsung mau undang-undang itu karena banyak yang lebih prioritas. L: He eh he eh I: Nyatanya selama, misalkan 2008, berlaku 2010, sekarang tahun ke empat L: Iya I: Tapi yang dominan mengubah informasi adalah LSM dan semua terkait masalah keuangan. Sekian persen yang menyangkut untuk ee riset, untuk ee pendidikan, kesehatan, untuk tenaga kerja, hampir semua... L: Standarnya kecil ya pa I: Sangat kecil. Bahwa itu memberikan yang baik pemerintahan bagus. Kenapa, ee hitam putih tadi, persepsi dari kondisi pemerintahan yang tertutup menjadi terbuka. Secara konsepsional kan itu jadi sebuah ee lompatan besar. L: Ya I: Itu dalam konsep, tapi pertanyaanya apakah pejabat-pejabat badan publik yang ada di Indonesia, mulai dari pusat sampai ke daerah, terjadi perubahan mindset di benaknya? kan enggak. Indikatornya apa, waktu hari ini aja saja baru 28 persen bupati walikota yang mau membentuk PPID. Masih ada persepsi mengatakan, ga usah lah kan kalau ada PPID nanti malah nyusahin itu. L: Masih banyak yang begitu ya pa I: Jadi ee dengan kondisi undang-undang yang kaya gitu posrsinnya udah cukup L: Udah cukup I: Untuk sementara ini L: Sementara ini. Walaupun yang lebih diuntungkan LSM ya pak? hehe dengan kata lain. I: Kalo mau mendalami itu ada apa dibalik itu, ada apa di balik LSM bisa dibuat tesis juga itu haha L: Penelitian baru ya pak ya hahaha I: Ada apa kok dia intens sekali. Apakah supaya dia dapat biaya dari luar, supaya eksis menjadi LSM, apakah motivasinya seperti itu atau memang murni untuk bagaimana supaya filosofi Pasal 28 bekerja apa namanya ee keraguan pemerintah terjwab, kita kan ga tahu. L: Waktu itu ga tergambar pak? Waktu pembahasan 92
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
I: Yang tergambar pada waktu itu hanyalah..... L: Mediumnya publik I: Ini punya publik, tapi biar mereka dapat anggaran dari luar itu. L: Waktu itu kira-kira ini ga pak, ada biaya ga ke mereka? I: Ya pastilah L: Dibiayayain ya mereka I: Ya pastilah, dari mana mereka mengadakan workshop, darimana mereka melakukan penelitian, kalau bukan dari luar, dari mana? L: Tapi DPR sendiri cukup ini ya dengan mereka, maksudnya cukup pro I: Karena DPR diperiksa juga, juga nanti dianggap pro ketertutupan L: Iya..iya, karena DPR juga lembaga yang terbuka I: Iyaaa, akhirnya pada waktu itu juga penilaian terhadap lembaga yang tertutup yang terkorup juga termasuk DPR L: Iya I: Orang kalo studi banding ke luar negri kan ditanya, siapa yang berangkat, biayanya dari mana semua, istrinya ikut apanya ikut. L: Itu ga mau dibuka ya pak? Hahah I: Iyalah hahahah L: Harusnya boleh dibuka ya pa? I: Harusnya dong kalo mau konsisten, bahwa semua dana-dana negara yang dikelola oleh semua badan publik harus dibuka. L: Terus yang menjadi pertimbangan dalam poin-poin pasal 14 itu keluar, syarat BUMN, informasi yang bisa dibuka oleh BUMN ini, ini, ini, itu apa namanya, poin-poin itu murni semuanya dari usulan pemerintah, atau ada juga dari DPR yang ee berkontribusi di dalam? I: Pertama murni usulan pemerintah L: Poin-poin itu pak? I: Ya, karena pemerintah yang lebih ee berkepentingan terhadaap ee L: Ada sampai point N ya pak ya? I: Iya, bahwa itu dibahas iya L: Per poin itu dibahas pa? I: Dibahas, ga ada satu poin pun yang tidak memiliki bahasan, kata demi kata juga ada. Jangankan poin-poin, kata demi kata. L: Nah ini untuk setelah keluar pasal ini waktu yang bapak bilang di ee lobi Petamburan itu, berarti belum berwujud point-point ini ya pak? I: Belum, belum karena baru dasar L: Oke I: Kalo kenapa BUMN dikecualikan dengan poin-poin itu dengan penjelasan, karena betul-betul deadlock L: Deadlock I: Kalo misalkan waktu itu BUMN BUMD mau disamakan dengan badan publik lainnya, ga bisa, lebih baik ga usah. L: He eh, he eh I: Karena negara dipertaruhkan di situ. Dipertaruhkan namanya sebagai badan usaha yang mengemban rezim bisnis juga. Karena sudah ada undang-undang persaingan usaha. Logikanya di mana coba? Kalo sebuah badan usaha dibuka begitu saja. Sementara mereka menggunakan dana-dana pinjaman, dana apa, dana apa, kan ya ga fair. L: Iya, jadi poin ini belum ada ya pa? I: Secara pointersnya belum, hanya bahwa L: Garis besar I: Iya garis besar.. L: Setelah itu baru dibahas lagi diforum resmi ya pak? I: Ya, mana-mana yang dikecualikan, mana-mana yang harus dimasukkan. L: Itu kira-kira, pasti ada perdebatan lagi kan? I: Tapi tidak se.. 93
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
L: Tidak se.. I: Kita sudah sepakat bahwa ee filosifinya kenapa BUMN adalah badan publik dikecualikan karena begini, begini..begini L: Kalo untuk poin yang menjelaskan tentang latar belakang direksi, asal usul direksi dari mana, komisiaris dari mana, identitas mereka itu kenapa ga dimasukan ke sini pak? I: Asal itu saya sudah nggak bisa jawab, udah detail banget itu. L: Ahahhaa I: Detail banget. Yang pertama waktunya udah lama sekali, yang kedua itu ee memang ranahnya pak Said yang mewakili pemerintah. Termasuk pandangan-pandangan dari Indonesia. L: He eh. Jadi memang ee secara substansi I: Artinya kita memasukan poin-poin ini, juga untuk menjaga ee bunyi dari undang-undang yang lain L: Bunyi dari undang-undang yang sudah ada? I: Ya, artinya nanti jika ada satu poin yang dinyatakan itu tertutup atau terbuka, ada undang-undang lain menutup, kan salah juga. Semua ada argumentasinya kenapa di... tapi saya secara detail tidak bisa menjawab, itu kan substansinya dari badan usaha. L: Jadi secara substansi mugkin DPR kurang menguasai dibandingkan pemerintah ya pak khusus badan publik, sehingga akhinya mereka menurunkan tensi dan yaa ternyta benar juga? I: Menurut saya iya, persis seperti itu karena setiap kita sidang di depen kita ada komisi sebelah kanan ada fraksi balkon, jadi dimaklumi kan, sebagai seorang politisi, kan bukan hanya undangundang itu yang dia kuasi. L: Iya betul I: Pembahasan yang lain kan banyak juga. L: Iya banyak I: Dibanding sama pemerintah, memang belum. DPR kan memang tugasnya. L: Tugasnya I: Tugasnya he eh, dan waktu itu kan tenaga ahli DPR masih terbatas, terbatas L: Tapi memang katanya soal usulan undang-undang itu dari usulan DPR itu jauh lebih lama dan lebih susah ya pak daripada usulan pemerintah? I: Ada banyak faktor sih L: Kalo saya denger-denger sih begitu, lebih susah I: Iya iya lebih susah L: Kenapa tuh pak kira-kira? Karena mungkin kalo dari pemerintah cukup cencern, cukup satu, solid ya pak ya? I: Iya L: Sementara mereka kan banyak I: Pertama tergantung substansi yang dibawa dalam undang-undang tersebut. Sejauh mana dia berkolerasi dengan kepentingan orang banyak. Atau kepentingan pengusaha, atau kepentingan kelompok tertentu. Kalau itu ada pasti itu delay. L: Delay, eheh seperti ini ya pak ya? I: Iya L: Berarti emang banyak kepentingan ya pak di situ? I: Setiap undang-undang yang dibahas kadang-kadang ada titipan pasal L: Kalau di isi ada titipan pasal? I: Ga ada L: Ga ada pa? Yang ada menambah pasal ya pak? I: Menambah pasal, kemudian, apa namanya ee L: Kalau mengurangi pasal ada ga pa di sini? I: Saya sih sudah lupa kalau ada pengurangan. Tapi kalo ada pasal yang ditambahkan itu hanya untuk mengakomodir ee kepentingan-kepentingan pasal terhadap undang-undang yang lain. L: Sudah ada sebelumnya I: Karena itu kan melalui proses harmonisasi L: Iya I: Jangan sampe undang-undang itu bertabrakan. L: Bertabrakan, ya ya ya 94
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
I: Apalagi lembaga di situ fungsinya anu direktur harmonisasi, pak siapa itu. L: Kaya pemerintah ya pa? I: Dari kementrian hukum L: Oh yayaya. Terakhir pa, harapan bapak ke depanya untuk UU KIP apa pak selanjutnya? I: Ya itu tadi, kalau saya harapan saya bahwa undang-undang ini dikembalikan pada filosofi dasarnya. Harus bisa memberikan kemanfaatan dan peningkatan kepribadian dari masyarakat. Itu inti dari sebuah keterbukaan. Kalo yang namanya filososi, ee apa namanya, tuntutan keterbukaan itu sudah menjadi bagian dari demokrasi, siapapun harus terbuka tetapi,, L: Iya I: Tetapi ee keterbukaan ini harus bisa berbanding lurus untuk memberikan kesejahteraan pada masyarakat, bisa memberikan kepastian hukum dan mendorong partisipasi publik dengan adanya keterbukaan itu. L: Sejauh ini dengan adanya implementasi yang sudah dilakukan, kira-kira grafiknya menunjukkan hasil yang signifikan, meningkat? Dari tahun ke tahun pak? I: Ee kalau memberikan kontribusi positif iya, cuma lambat sekali. L: Lambat ya I: Karena tadi L: Itu ga ada tuntutan ya? Mislanya ini belum ada PPIP sampai sudah berapa tahun, itu kira-kira.. I: Ga ada karena di dalam undang-undang ga ada sanksinya kalo nggak bentuk PPIP. L: Oh jadi I: Sanksinya hanya mengatakan kalau badan publik tidak memberikan L: Informasi I: Informasi, tidak menerbitan, tidak mempublikasikan dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain maka baru ada pidananya. Jadi ada beberapa ee ketentuan di situ yang harus dipenuhi dulu baru bisa ya. Misalnya apakah betul kalau tidak memberikan informasi orang akan rugi, kalau dia rugi harus bisa membuktikan kerugianya dimana. Yang kedua harus ada yang mengadu, iya kan? baru bisa L: Ya I: Itu persoalanya, ya jadi lebih kepada kesadaran masing-masing. L: Kesadaran. Jadi memang karena ga ada tuntutan itu mungkin ya, yang masih keberatan agak susah ya pak ya untuk.. I: Sebenarnya dulu, perbedaan pandangan juga terjadi ketika mau mencantumkan pidana. Masa orang awal-awalnya hanya meminta informasi kok berujung pada pidana. Kan jauh, logikanya jauh ke sana. Tapi lalu mengatakan, iya kalo sebuah undang-undang mewajibkan sebuah konstitusi maupun institusi lalu tidak ada unsur pidananya, ya cenderung tidak diindahkan, seperti itu, akhirnya ya sudah cantumkan pidana, makanya pidananya lebih ringan, cuma setahun, ee 10 juta rupiah kan seperti itu. L: Tapi komisi informasi gaungnya agak kurang ya pa dibanding KPK? Karena apa tuh pa? Karena itu tadi kali ya pa, mungkin karena sosial budaya, ee kurang sebelumnya diamati, teramati, sehingga masyarakat juga.. I: Banyak faktor kali itu, tergantung komisionernya juga L: Tapi kalo komisi informasi ee orang-orang dari kementrian kominfo juga masih ada kan pak komposisinya di situ? I: Tidak, tidak dikatakan dari kominfo, tapi dikatakan itu dari unsur pemerintah. L: Oh I: Jadi unsure pemerintah dan masyarakat. Jadi kalo unsur komisionernya ada tujuh di pusat, biasanya yang lima dari masyarakat, yang dua dari pemerintah. L: Sejauh ini mereka bisa bekerjasama ga pak dengan komisi kominfo? Atau seolah-olah punya power sendiri I: Belakangan ini muncul tuntutan kepengen berdiri sendiri, terutama dalam ee penanganan administrasi kesekretariatan. Sehingga mereka mengajukan judicial review terhadap beberapa pasal yang sekarang belum ada keputusannya. L: Ya udah pak, silahkan dimakan dulu
95
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Hasil Wawancara Informan Pendukung 4 Nama Waktu Tempat Lisa Damayanti
: Dra. Damayanti (Sekretaris Komisi I periode 2004-2009) : Selasa, 10 maret 2015, Pukul 10.00 WIB : Jakarta (Sekjen DPR RI) :L :D
L D
: Bagaimana bu cerita soal pembahasan badan publik waktu membahas UU KIP : wah sudah banyak lupa tuh. Jadi pokoknya memang lama trakhir itu di timus trakhir baru oke setuju
L D
: Pas ditimus trakhir itu kenapa kira2 setuju? : eeh di timus apa ya..saya ga inget.pokokny agak lama.pokoknya disepadankan s sampe akhirnya lsm, terus psantren itu juga gitu. Saya ga inget ee L D L D L D
L D
L D L D
L D
L D
: Ogtu..waktu catat-catat bu.kira2 banyak perdebatan tidak? : Banyak2 dan agak lama : Maksudnya ada seperti semacam konflik gitu? : Maksudny pada tarik menarik itu iya banyak : Jadi kalau sudah diluar cair lagi atau gimana? : Cair lagi.jadi kalau ditempat saya dulu biar debat biar berantem tapi keluar ruangan ya biasa lagi. Jadi waktu itu memang rame bahasan tentang badan publik. Saling beradu pendapat gitu, misalny dari partai berbasis islam ngomongin tentang pesantren ya gitu-gitu : Waktu itu yang vokal di pembahasan siapa bu? : Vokal banyak yg vokal. Dari pks vokal, pan juga.rata 2 vokal jadi hanya partai kecil aja yang nggak terlalu vokal.tapi semua rata-2 mengeluarkan pendapat. Punya ide sendiri-sendiri. Yang basis islam spt yang saya bilang tadi lebih ke psantren, terus yang mana yang mana lebih ke BUMN/BUMD terus yang mana lebih ke lsm. Tapi saya ga inget partai mana, pokoknya rame waktu itu. : Itu diputusin di timus atau di timsun bu? : Jadi kalo keputusan yang secara global itu ada di raker biasa terus ke panja. Ini rasanya lama nya tuh di panjanya. : waktu yang BUMN itu kan belum putus bu? : belum belum putus. Tapi itu mungkin ke timus. Timus itu mungkin ada beberapa pasal 4 atau 5 yang dibawa ke timus. Namun sebagian besar timus itu masih kata perkata. Maksudnya kalau dibaca bersayap atau nggak. Tapi memang ada bebebrapa hal yang dibawa ke timus. Nanti timus slesai dibawa lagi ke panja. Panja ngelapor lagi ke raker kalo ga salah gitu. : ooh untuk penyetujuan gitu? : oiya tujuan akhirnya. Waktu udah sampe timus nanti digodok gali.tapi seingat saya memang di timus ada beberapa yang agak lama bolak baliknya beberapa pasal.saya ga ingat : soal badan publik kan yang dipakai lebih mengarah ke usulan pemerintah. Berarti DPR lebih ngalah dong ya bu? : Eh bukan soal kalah menang ya. Tapi ini kan soal lobi dilorong disini juga.kita kan ga pernah rapat dluar. Hanya skali kita rapat dikopo karena waktu itu kita pgen undang wartawan. Saya melihatnya ini ya sudahlah ini yang paling baik saja. Kalau semua mau ngotot-ngototan 2,5 tahun ga kelar juga. Itu aja udah 2,5 tahun. Dan ini adalan lungsuran dari periode sebelumnya. Saya yakin sudh dipikirkan. 96
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
L D
L D L D
L
D L D L D L D L D L D
L D
L D
L
: Terus kalau untuk rapat-rapat itu biasanya berlangsung bisa tiap hari atau gimana bu? : Kalau jaman periode itu ada hari ruu ya tetapi kalau menngejar supaya cepat memang bener.biasanya raker dulu untuk kerjaan biasa. Seingat saya kalo untuk yang ini kita dulu sering hari rabukamis. Rabu itu hari undang2, kamis hari badan. Hari badan biasanya kita malem rapatnya,pernah sampai pagi juga pernah. Maksudnya rapat teratur dan intens : Setiap rapat itu harus dicatat di risalah bu? : Catet. Karena kan direkam langsung. Kita merekam apa yang diomongin sama anggota : Ga ad yang terlewat itu bu? : Nggak dong. Nggak boleh dong karena gini mbak, rekaman itu kan jadi risalah. Risalah itu sangat berguna ketika ada judicial review. Jadi apa namanya jadi barang bukti. Jadi kita harus jadi ada standaranyalah risalah tu harus bagaimana. Jadi harus semua itu wajib : Tapi saya ada baca di buku tentang perumusan uu kip yang dibuat oleh komisi informasi sama lsm. Itu kan dia ada nulis ada rapat tanggal 18 mei 2007 kalo ga salah, tapi saya periksa di risalah ga ad bu. Itu gimana ya kira2? : Itu kata LSM kali kan bukan kata aku. Aku ga ngerti mbaak coba tanya itu kemana ya ke bagian ardok. : Iya sudah saya lihat ke bagian ardok bu, tapi ga ad tanggal itu bu : Ooh brarti LSM nya salah gitu aja.karena saya ga bisa jawab. Sepanjang saya disitu insyaAllah ga ada yang terlewat. Karena memang wajib semuanya harus ada : Jadi waktu itu mesin semua ya bu yang bekerja? : Waktu itu nggak. Kalo sekarang kan ada ip risalah.waktu itu kita yang buat semua.editornya saya. Eh bukan editor ya. Saya penyunting akhir gitu ya waktu itu : Jadi ngerekamnya pake alat terus baru diketik ya bu? : Iya pake alat terus langsung kita ketik. : Waktu itu ibu terlibat terus ga bu disetiap rapat itu? : Ya terliibat dong.ikut terus saya ya ga saya aja. : Bu waktu itu ibu liat di komisi I walaupun mereka berbeda-beda pendapat gitu mereka kelihatan kompak atau bagaimana bu? : Eehm...saya ngelihat untuk pembahasan uu kip ini kan amanat dari reformasi. Mereka semua concern, tidak ada yang anti. Maksudnya tidak ada yang menolak tetapi itulah isinya masih perdebatan tuh iya tapi tidak ada yang menolak. Cukup bagus : Terus kalo untuk tekanan-tekanan dari dalam ataupun dari luar ibu tau ga bu ada ga bu? : Tekanan itu justru datang dari LSM. Ya tapi kan itu hak mereka yah. Kadangkadang ada selebaran. Jadi kita kalo masukin bahan itu kan harus melalui saya. Saya kasih ke ketua, ketua membagikan apapun masukanlah. Tapi LSM tuh suka kurang ajar juga hehehehe, dia tanpa sepengetahuan saya langsung bagi keanggota. Itu yang saya ga suka tanpa permisi. Kayak gitu2 yang saya ga suka karena kan kita ada mekanisme. Jadi biasanya dikumpulkan ketua menyampaikan ini ada masukan dari anu. Ga boleh ee gelap begitu. Aku sebeeel banget, kita udah ngatur kan supaya semua itu tercatat masukan dari siapa aja ada mekanismenya. Kan ga fair tuh, dia maunya terbuka tapi dianya sendiri yang diem-diem masuk masukin gitu. : Jadi kalau secara umum jalannya pembahasan ruu kip sudah sesuai prosedur semua atau? : Sesuai prosedur. Kalau ga sesuai prosedur ga 2,5 tahun mbak. Mereka concern tapi memang substansinya susah ya jadi maksudnya kompleks jadi 2,5 tahun. Itupun cukup intens minimal seminggu 2 kali waktu itu yah. : Emang undang-undang biasanya berapa lama bu? 97
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
D L D
L D L D L D L D L D
: Biasanya si setahun lah apalagi yang di peraturan dpr yang sekarang itu mustinya 6 bulan. : Ooh berarti itu termasuk lama banget ya? : Lama banget. Terus waktu itu juga ga seperti sekarang ya. Dulu itu kan ad honor tapi dibayarnya nanti kalo udh kelar, kalo sekarang kan jauh lebih enaklah. Padahal ga seberapa si ya dapetnya uang rapat pembahasan. 400rb dapetnya anggota cuman.itu mau panjang mau pendek itu dapatnya segitu gitu loh kalo udah kelar. 2,5 tahun ya dibayar segitu heheheh. Tapi walau dibayar begitu saya lihat anggota itu cukup semangat. Dua setengah tahun loh mbak. Jadi tidak memandang honorariumnya, ga ada uang apa uang apa lagi. 425 apa ya kalo ga salah waktu itu saya lupa. : Bu kalau untuk pimpinan, itu dipilih dari pimpinan komisi ya? : Komisi. Pak Theo sambuaga, tetapi bukan brarti pak Theo terus. Jadi ketika pak theo ga ada wakil-wakilnya menggantikan. : Waktu itu sikap pimpinan di rapat kira2 cukup mengakomodir atau hanya memihak fraksinya? : Mengakomodir, tidak memihak, sebagai moderator. Idenya juga bagus gitu yah. : Jadi ga ada msalah waktu itu ya bu? Ga ad yang aksi walkout gitu bu? : Nggak ada. Jadi intinya mereka memang pengen undang-undang ini jadi. Aman terkendali. : Ibu hafal ga yang tidak setuju kalo BUMN masuk ke pasal RUU?maksudnya yang pro pemerintah? : Oh ga inget ga inget. Karena kan waktu itu kan waktu di timed out gitu yah keluar2 ruangany di komisi 1 itu. Maaf mbak saya harus dipanggil rapat. : Baik ibu terima kasih atas perkenan dan informasinya, jika harus ada tambahan saya bisa ya bikin jadwal kembali bu? : Oke mba, udah ya.
98
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Hasil Wawancara Informan Pendukung 5
Nama Hari/Tanggal Pukul Tempat Lisa Henny
: Henny S. Widyaningsih (Komisioner Informasi Pusat) : 31 Maret 2015 : 17.30 wib : Dewan Pers Jakarta : Li : Hn
Li : Terima kasih atas waktu dan perkenannya bu Henny diganggu disela-sela acara. Saya kan lagi susun disertasi tentang ee pembahasan RUU KIP di DPR. Mungkin waktu itu ibu bisa cerita perspektif ibu setelah undang-undang itu jadi karena banyak hal yang saya amati terjadi perdebatan di dalamnya. Hn : Oooh iya jadi itu kan memang terlalu lama dibuatnya, hampir sepuluh tahun dari 1999 2000, 2001 teruus saja hingga dua periode diskusinya lama. Awalnya adalah antara keterbukaan dan kebebasan informasi itu ya akhirnya menjadi keterbukaan informasi, tadinya kebebasan memperoleh informasi. Kemudian yang juga lama adalah perdebatan badan publik. Sampai mana batasan badan publik, juga sampai akhirnya sekarang komisioner juga masih menerima dampak-dampak itu karena ee kami akhirnya membuat juklak dan juknis untuk dua hal yaitu standar layanan informasi publik dan proses penyelesaian sengketa informasi sesuai dengan amanah yang diberkan pada kami. Nah di dalam standar layanan informasi publik itu namanya PERKI, Peraturan Komisi Informasi nomor 1, disitu kita sampai nyatakan yang mana Badan Publik. Kita gamau nanti kalau tidak dinyatakan dengan melihat PERKI nya itu ada semua nama Badan Publiknya ditulis karena jangan sampai nanti orang mengelak saya bukan Badan Publik dan termasuk Badan Publik lainnya yang tidak disebutkan tetapi sesuai aturan ini itu masuk Badan Publik karena kita waktu itu kesulitannya adalah untuk BUMN/BUMD, Parpol sama LSM. Tapi kalo LSM kan jelas banget di definisinya itu kan ada –dan lembaga non pemerintah lainnya yang anggarannya itu tadi- jadi dia basic ininya adalah anggaran. Nah maka kita gampang sekarang dengan mudahnya kita nyatakan ini badan publik atau tidak. Dulu kan yang anu mungkin baca ya itu yang paling menentang itu BUMN, yaa kenapa BUMN menentang saya bukan badan publik. Awal-awal dulu putusan kita anda bisa liat di web kita itu ada di Semarang itu ada BUMD yang bilang dia bukan badan publik dengan mudahnya. Kita bilang kita sampe pergi ke Presiden waktu komisioner periode satu dulu untuk khusus ee setelah cerita macem-macem, satu pertanyaan kita apakah BUMN Badan Publik gitu...kenapa harus bukan Badan Publik?padahal namanya Badan Umum Milik Negara. Selama itu semua itu adalah aset negara, walaupun sekarang sudah ada yang namanya pemisahan harta kekayaan itu tetap saja asetnya negara jadi itu tetap namanya Badan Publik, clear. Waktu itu awalnya seperti itu dan ternyata ya banyak berubah. Nah memang kelemahan undang-undang kan cuma bilang bahwa ukuran dari badan publik dari anggaran saja. Anggaran itu kan, sekarang misalnya gini, perusahaan swasta murni tapi dia dapat pinjaman, dapat internasional donor terus dia bukan badan publik? Dia badan publik, badan swasta murni. Jadi ukurannya bukan dari dia adalah asetnya mana ya, kalau BUMN kan jelas. Tapi ini dia bisa namanya adalah lembaga non pemerintah lainnya.
99
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Li : Ooh masuk kesitu bu ya, terus akhirnya dengan perdebatan itu kan muncul pasal baru yang 14, 15,16 yang berisi tentang informasi yang boleh dibuka. Hn : Nah itu juga mbacanya harus hati-hati.. karena badan publik kan dia disebut disitu tuh BUMN ga bisa mengelak dia sekarang. Nah masalahnya BUMN bersandar pada pasal itu doang, jadi saya hanya boleh buat ini doang yang lainnya nggak ikut saya. Nah kalau diperhatikan undangundang itu pas begini, yang bagian jenis informasi yang boleh dibuka ada tiga yaitu satu, dia tulisanya gini, bagian satu informasi yang wajib dan disediakan diumumkan secara berkala, bagian dua informasi yang wajib diumumkan secara serta merta, bagian satu bagian dua terus ada pasalnya lalu bagian tiga informasi yang wajib disediakan setiap saat, itu ada pasalnya juga. Jadi kalau mbacanya adalah pas bagian satu bagian dua itu adalah ikut tidak ada pembedaan tidak ada lex specialis maka pada saat bagian tiga dia yang ini, kalau badan publik lain ini kamu ini yang tiga itu tadi. Jadi mbacanya harusnya begitu jadi bukannya saya ini doang yang berkala dan lainnya ga ini ga ikut, siapa bilang? Ga bisa begitu..karena struktur undang-undangnya. Jadi kan undang-undang itu kan bisa dilihat dari pembacaan teksnya ya, penempatan teksnya. Jadi teks nya itu adalah maksudnya adalah apa maksudnya bagian satu? informasi yang bisa diakses publik informasi publik adalah pasal 9, 10,11. Nah si BUMN, Parpol dan itu Lex Specialis pasal 11 saja. Yang ini semua tapi untuk pasal 11 ada yang buat umum ada yang buat kamu gitu, jadi itu banyak kena semua. Ee misalnya yang tidak menjadi masalah adalah BUMN itu ee di pasal 9 laporan keuangan, profil badan publik yang harus diberkalai itu dia sudah terkena peraturan dia sendiri yang GCG itu yang SK Bappepam tahun 1997 yang menyatakan bahwa semua BUMN terutama yang Tbk itu adalah wajib terbuka, untuk yang selain itu tidak ada jadi yang ini tidak perlu dikhawtirkan oleh BUMN maka menurut dia seolah-olah dia hanya Pasal ini saja yang Pasal 14, pasal 11 saja yang buat saya tapi Pasal 9, 10 bukan, baca undang-undangnya. Kalau dirinci Pasal 14 nya BUMN itu nanti hanya disitu doang hanya informasi yang boleh disediakan setiap saat khusus BUMN adalah ini, khusus Parpol adalah ini, LSM ini, kalau yang umum ini, tapi kebanyakan mereka mbacanya hanya itu saja tidak melihat pasal lain 9 dan 10 itu sehingga mereka dengan mudahnya bilang saya ini saja, tapi kalau BUMN nggak perlu dikhawtirkan seperti yang saya bilang tadi. Yang sulit itu kan yayasan, LSM itu sulit untuk menyatakan yang Pasal 9 dan pasal 10 karena dia tidak biasa buat terbuka. Li : Tapi akhirnya ee pada akhirnya keputusan BUMN BUMD masuk sebagai badan publik itu ee apa berdasarkan proses tawar menawar juga di DPR kan ya bu ya, waktu itu ibu mengamatinya seperti apa bu? Kenapa akhirnya ee putusan itu bisa mengakomodir ya, maksudnya DPR akhirnya menerima gitu. Hn : Ehmmm saya gatau si jalannya, tapi ada yang saya denger jadi sebetulnya BUMN gamau tapi pada akhirnya jadi masuk pasal itu. Itu kaget banget BUMN. Jadi BUMN dulu awalnya kan yang paling menentang UU KIP karena dia kesel. Menurut dia tanggapan dia sudah diterima bahwa dia adalah bukan badan publik, tapi kenapa dia masih muncul juga. Kalau ditelusuri kan menarik, siapa sebetulnya yang di itu nya yang di Komisi 1 satu kan udah wawancara pak ini pak Paulus? Kata pak Paulus apa? Li : Pak Paulus kan waktu itu nyebutin beberapa yang vokal-vokal si di Komisi 1, tapi memang pak Paulus waktu itu bilang mereka itu tetap berkeras dengan rumusan dari DPR bahwa BUMN BUMD harus tetap masuk, tapi pemerintah tetap dengan argumennya bahwa nggak bisa dibuka secara begitu saja dan tidak bisa jadi badan publik juga.
100
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Hn : Ya...karena memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Yang dikhawatirkan apa? Persaingan usaha tidak sehat? Kan sudah ada di Pasal 17b UU KIP, ya silahkan BUMN melakukan uji konsekuensi kalau itu menurut dia adalah persaingan usaha tidak sehat, nanti akan dibuka jadi gini gini, tutup saja pakai uji konsekuensi. Jadi ga ada yang perlu dikhawatirkan gitu loh. Jadi memang dia harus terkena. Sekarang kamu juga begitu. Awal-awal sulit kan ada pertentangan besar besar waah saya pernah bicara di forum BUMN itu. Li : Tapi kemudian DPR menurunkan tensinya dan kemudia oklah berarti di Pasal 1 ayat 3 itu tidak dimunculkan kata-kata teks BUMN BUMD tapi dia merupakan badan publik yang akhirnya bisa membuka informasi di pasal berikutnya. HN : Ya karena memang ga perlu disebutin pokoknya udah termasuk itu yang punya anggaran sebagian atau seluruhnya. Kalo BUMN ga dapat dari kita, dapatnya dari internasional kan sama juga jadinya masuk juga. Li : Jadi menurut ibu, ketika ibu amati cerita-cerita dari pembahasan itu kira-kira rumusan yang dibawa dari pemerintah (DIM Pemerintah) dengan ee rumusan awal dari DPR, itu kira-kira yang lebih logis dan lebih pas untuk UU KIP itu yang mana bu? Hn : Yaa kalo kami sih, kalo badan publik itu kan harus setara. Kalau sudah dikasih rumusan badan publik adalah eksekutif, yudkatif dan legislatif dan badan lainnya dan dengan base nya adalah pada anggaran ya harus semunya, ga bisa lagi ini nggak itu nggak, apa previlige nya? Li
: Kalau untuk Parpol dan LSM?
Hn : Samma, iya justru disitulah yang rentan tentang kepentingan publik. Banyak tentang kepentingan publik ada disitu. Li
: Jadi menurut ibu, rumusan dari DPR yang lebih kuat atau yang dari pemerintah bu?
Hn
: DPR kan maunya BUMN masuk, Pemerintah gamau.
Li
: Jadi memang pasal baru itu lahir setelah ada loby-loby ya bu ya?
Hn
: He eh iya, itu saya inget banget tentang itu.
Li : Terus saya ada dengar isu lain soal lagi rame juga internal komisi sendiri sekarang, itu kirakira kenapa bu? Di Pasal 29 kalau tidak salah ada judicial review. Hn : Oiya...itu, JR nya kan memang bukan JR dari lembaga jadi memang tidak perlu diramaikan. Itu individu jadi bukan kami yang mengajukan, kami ga boleh. Tapi intinya kita ya bisa menerima juga itu adalah pasal 29 uu kip yang c dan d terutama yang d itu adalah melemahkan komisi informasi di propinsi, terutama di Propinsi, kalau yang di pusat itu KI pusat itu di pasal 29 itu membuat kita adalah bagian dari Kominfo. Disitu dikatakan bahwa ses kita adalah pejabat yang dari kementerian kominfo sehingga jadinya itu agak terganggu karena KI bukan menjadi lembaga mandiri, karena kan anggaran dan semuanya itu kan dari kominfo gitu, jadi bisa terganggu itu kalau di pusat, tapi kalau di Propinsi itu lebih parah lagi itu kata-katanya di situ pasalnya adalah sekretaris komisi informasi propinsi adalah pejabat...kalu di komisi informasi pusat sekrataris komisi adalah pejabat yang ditugaskan oleh kominfo jadi dia memang ditugaskan dan langsung di SK kan jadi ses kita. Kalau di Propinsi nggak, jadi sekretaris komisi informasi adalah pejabat yang bertugas disana, jadi dia adalah 101
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
ex officio, ksana kmari ga boleh kayak kami yang ditugaskan jadi JR kami itu JR dipusatnya itu adalah untuk kemandirian, di daerah di propinsi itu bukan hanya kemandirian-kemandirian tetapi bahwa si ses nya itu adalah orang kominfo. Kalo kita kan orang kominfo yang di SK kan jadi setengahnya baju nya udah dilepas, kalo ini nggak jadi kelemahannya apa?satu dia tidak bisa tetap disitu padahal komisi informasi kan menyelesaikan sengketa informasi dan itu sengketa informasi harus ada penitera itu udah pasti itu ga bisa diselesaikan oleh komisionernya sendiri. Jadi kalo dia jadi ses maka panitera mana? Nah terus kita kan sidang sengketa hampir setiap hari. Kalau mereka lagi sidang terus dipanggil sama atasannya kan dia harus kesana karena atasan dia disana, beda dengan pusat. Itu satu melemahkan. Kedua, kalau dia sebagai panitera yang disengketakan adalah badan publik propinsinya dia, maka yang bikin surat panggilan sidang itu adalah panitera, sementara surat itu ditujukan untuk atasannya dia, sehingga dia jadi ga enak. Li : Itu masalah itu mulai disadari kapan itu bu? Karena kan Undang-undang ini sudah berjalan beberapa tahun. Hn : Kami sudah mulai menyadari udah mulai terasa pada masa pembentukan ki propinsi dan ki propinsi berjalan dan euforia pembentukan masih ga terasa, mulai ada sengketa informasi akhirnya lok kok begini git loh. Li : Sejauh ini gimana bu untuk implementasi untuk UU KIP kira-kira sosialisasinya berjalan seperti apa? Apakah sudah tergambar keterbukaan itu di berbagai lini atau kesadaran tentang keterbukaan itu? Hn : Ya iya kita harus bicara data yah, untuk melihat terbuka ga terbuka harus dilihat dari data sengketanya kita. Sengketanya apa yang menarik. Dulu adalah selalu sengketa informasinya tentang komponen informasi laporan keuangan dan sebagainya namun semakin kemari udah mulai kepada sengketa yang berhubungan kepada substansi hak publik atas informasi misalnya hak-hak orang dikantor, informasi pertanahan, hak informasi nilai ujian SPMB, CPNS yang begitu sekarang sudah mulai marak. Dari situ artinya hak-hak individu sudah terasa dan berarti undang-undang ini sudah jalan, kemudian kedua yang juga lagi jalan adalah kita setiap tahun melakukan pemeringkatan badan publik. Jadi 2011 kita sudah bisa lihat badan publik mana yang paling patuh, ada datanya tahun ini siapa tahun kemarin saiapa. Itu adalah pemeringkatan, jadi kita menggunakan instrumen semua yang dari undang-undang jadi kepatuhan itu dilihatnya dari situ, nah dari data itulah kita bilang yaa more and less undang-undang itu juga jalan. Bahkan di 2014 ee rangking pertama 100 Korea, artinya kita di checklist punya ini punya ini divisit ada ini ga ada ini ga? Itu ada jadi itu termasuk yang patuh sehingga membuat kita juga seneng ya jadi artinya undang-undang ini berjalan. Li
: Jadi menurut ibu undang-undang ini sangat bermanfaat ya bu ya?
Hn : Justru sekarang ini saya dengar di badan publik itu dulu kalau mau ada proyek di badan publik itu rebutaan sampe geser-geseran, sekarang dorong-dorongan. Kenapa?karena dokumen semua dari pada ee perjanjian dengan pihak ketiga itu bisa diakses. Bayangkan? Siapa yang ga takut? Habis jadi pimpro lelang apa semua harus terbuka gitu, jadi PPID juga bukan yang mudah gitu ya orang pada takut, tapi itu artinya apa?artinya undang-undang ini cukup memberikan gaung tapi itu bukan hanya peranan komisi informasi saja namun juga peranan dari si pemohon, karena pemohon adalah peminta nya ya Li
: Terakhir bu, harapan ibu untuk UU KIP sendiri kedepannya apa? 102
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Hn : Saya bicara dokumen ya. Kalau dokumen itu bisa diakses, orang menyelenggarakan penyelenggaraan negara, uang negara uang rakyat terus hasilnya itu bisa dibuka tentunya penyelenggara negara itu tidak akan bermain-main ya kan?yang selama ini tidak bisa dibuka sekarang bisa dibuka, termasuk adalah penyalahgunaan keuangan negara, jadi saya berharap ini secara perlahan-lahan akan mengurangi korupsi itu sudah pasti. Apabila semua transparan, orang mudah akses, ga ada yang ditutup-tutupi ya kecuali yang dikecualikan tadi maka akan terjadilah penurunan korupsi. Di negara-negara lain juga pernah dibuktikan soalnya. Nah kedepannya harapan saya adalah komitmen dari pimpinan negara ini kita tunggu-tunggu sekali gitu loh, jadi kan kita ga bisa nih kita dilepas begitu aja kalau ga ada kominfo. Yang saya harapkan juga salah satunya di KPK itu kan ada interest substitusinya untuk percepatan pemberantasan korupsi, kenapa kita juga ga ada interest percepatan keterbukaan informasi sehingga bisa sampai di lembaga, saya sedang berjuang ke Bapennas. Li
: Iya menarik sekali begitu bu, baik bu terima kasih atas waktunya.
Hn : Baik, iya ini Undang-undang ini menariknya ini bagusnya undang-undang ini punya memori karena undang-undang ini berasal dari msayrakat sipil, coba undang-undang yang berasal dari pemerintah nggak punya..jarang. Menarik banget menelusuri itu. Li
: Iya bu.
103
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.