PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH ATAS KEMAMPUAN PENALARAN DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SERTA SIKAP TERHADAP MATEMATIKA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS
Disertasi
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor Kependidikan dalam Pendidikan Matematika
Promovendus E. Elvis Napitupulu NIM. 0706551
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2011 i
HALAMAN PENGESAHAN DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA UJIAN DISERTASI UNTUK MENGIKUTI UJIAN TAHAP II
Promotor Merangkap Ketua
Prof. Dr. H. Didi Suryadi, M.Ed NIP. 1958 0201 1984 03 1001
Ko-Promotor Merangkap Sekretaris
Prof. H. Yaya Sukjaya Kusumah, M.Sc., Ph.D NIP. 1959 0922 1983 03 1003
Anggota
Bana Gurbana Kartasasmita, Ph.D
Mengetahui: Ketua Program Studi Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
Prof. H. Yaya Sukjaya Kusumah, M.Sc., Ph.D NIP. 1959 0922 1983 03 1003 ii
ABSTRAK E. Elvis Napitupulu, (2011). Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah atas Kemampuan Penalaran dan Pemecahan Masalah Matematis serta Sikap terhadap Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas. Penelitian dengan desain eksperimen perbandingan kelompok statis ini menyelidiki pengaruh pembelajaran berbasis Masalah (PBM) atas kemampuan penalaran matematis (KR), kemampuan pemecahan masalah matematis (KPS), dan sikap terhadap matematika serta persepsi siswa atas PBM. Populasi penelitian adalah seluruh siswa sekolah menengah atas negeri Se-kota Bandung. Penarikan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik penyampelan acak berkelompok. Penelitian melibatkan 158 siswa sekolah menengah atas berkategori sedang. Data diperoleh melalui tes pengetahuan matematis (PM), tes KR, tes KPS, skala sikap terhadap matematika, skala persepsi terhadap PBM, lembar observasi, wawancara, dan dari nilai ulangan bulanan (KAM). Data dianalisis dengan uji t dan ANAVA satu dan dua jalur. Hasil analisis data menunjukkan bahwa secara keseluruhan siswa yang mengikuti PBM memiliki KR yang lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran biasa. Demikian juga, secara keseluruhan siswa di kelas PBM memiliki KPS yang lebih baik daripada siswa di kelas biasa. Namun demikian, capaian siswa pada kedua kemampuan matematis tersebut masih tergolong rendah di kedua kelas. Tidak ditemukan adanya perbedaan sikap siswa terhadap matematika antar kedua kelas. Tidak pula ada perbedaan sikap siswa antara sebelum dengan sesudah pembelajaran dilaksanakan. Tidak ditemukan adanya interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor KAM baik terhadap kemampuan penalaran maupun pemecahan masalah matematis. Sebagian besar siswa melihat PBM memiliki unsur positif pembelajaran meski mereka merasa masih sulit menyesuaikan diri dengannya. Masalah yang diajukan dan tugas-tugas yang diberikan dinilai membuat dan menuntut mereka lebih aktif berpikir dan lebih aktif belajar dibandingkan dengan pembelajaran yang biasa mereka jalani. Temuan penelitian merekomendasikan kiranya PBM dijadikan salah satu pendekatan pembelajaran yang digunakan di sekolah utamanya untuk mencapai kompetensi berpikir tingkat tinggi terlebih di sekolah yang siswanya secara umum memiliki kemampuan matematis menengah dan tinggi. Kata Kunci: Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM), penalaran matematis, pemecahan masalah matematis, sikap terhadap matematika, persepsi terhadap PBM
iii
Abstract E. Elvis Napitupulu, (2011). The Effect of Problem-Based Learning on Mathematical Reasoning and Mathematical Problem Solving Ability, and Attitude toward Mathematics of Senior High School Students This static-group comparison design research was conducted to investigate the effect of problem-based learning (PBL) on mathematical reasoning ability (MRA), mathematical problem solving ability (MPSA), and attitude toward mathematics (AM), and perception on PBL of senior high school students. The population of the study is public senior high school students in Bandung. Sample was taken by using cluster sampling technique. There were 158 students from middle-level schools involved in the study. Data were collected from mathematical knowledge test, MRAtest, MPSA-test, AM-scale, perception on PBL scale, observations, interview, and teacher’s assessment on students’ performance in the last two months which is considered as mathematical prior ability (MPA). Data were analyzed by using t-test and one and two-factor ANOVA. Result showed that overall students in PBL achieved better MRA and MPSA than their counterparts in conventional classroom though the achievement of students in both abilities and in the both classrooms categorized low. Neither significant difference of AM between the PBL and the conventional classrooms found nor did between before and after PBL was conducted. Interaction between instruction and MPA factors towards either MRA or MPSA did not emerge. Most part of the participants viewed PBL contained positive instructional aspects though they found difficult to adapt with it. On the contrary, they perceived that the tasks given made and demanded them thinking and learning more actively than ever. The findings showed adopting PBL in schools to facilitate students getting their higher order thinking skills is a reasonable choice, especially for schools having middle or high ability students. Key words: Problem-based learning (PBL), Mathematical Reasoning Ability, Mathematical Problem Solving Ability, Attitude toward Mathematics, Perception on PBL
iv
PERNYATAAN
Dengan
ini
saya
menyatakan
bahwa
disertasi
dengan
judul
“Pengaruh
Pembelajaran Berbasis Masalah atas Kemampuan Penalaran dan Pemecahan Masalah Matematis serta Sikap terhadap Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang belaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.
Bandung, Juli 2011 Yang membuat Pernyataan
E. Elvis Napitupulu
v
KATA PENGANTAR
Atas berkat limpahan rahmat dan kurnia Allah SWT, disertasi dengan judul “Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah atas Kemampuan Penalaran dan Pemecahan Masalah Matematis serta Sikap terhadap Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas” ini dapat diselesaikan. Penulisan disertasi ini dilakukan dalam rangka memenuhi sebagian dari persyaratan untuk memperoleh gelar doktor kependidikan di Program Studi Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Disertasi ini menelaah pengaruh pengunaan pembelajaran berbasis masalah atas kemampuan penalaran matematis, kemampuan pemecahan masalah matematis, dan sikap terhadap matematika siswa sekolah menengah atas Se-Kota Bandung. Dalam proses mulai dari penulisan dan seminar proposal, pembuatan istrumen dan penyusunan bahan ajar dan rangkaian ujicobanya, penulis mendapat banyak bantuan, bimbingan, nasihat, dorongan, saran, dan kritik yang sangat berharga dari berbagai pihak. Untuk itu, ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya disampaikan pada yang terhormat Bapak Prof. Dr. H. Didi Suryadi, M.Ed. Beliau telah meluangkan waktu disela kesibukannya sebagai Pembantu Dekan Bidang Akademik FPMIPA dan kemudian Asisten Direktur I SPs UPI untuk membimbing dan mengarahkan penulisan. Sumbangan pikiran yang amat berharga sejak awal pemunculan ide dan kritik demi kritik serta pertanyaan kritis guna mempertajam vi
gagasan telah membuka dan memperluas cakrawala berpikir penulis dalam penyusunan disertasi ini. Juga untuk dorongan beliau agar penulis segera menyelesaikan studi secepatnya. Berikutnya, pada yang terhormat Bapak Prof. H. Yaya S. Kusumah, M.Sc, Ph.D selaku ko-promotor sekaligus Ketua Program Studi Pendidikan Matematika SPs UPI. Pertanyaan menggugah dan kritis yang sering beliau lontarkan serta nasihat yang disampaikan penuh kebapakan tanpa berpretensi menggurui, ibarat cahaya yang menerangi perjalanan penulisan disertasi ini. Ketelatenan dan kesabarannya memeriksa naskah dan mendengarkan argumen yang penulis sampaikan menjadi teladan tak ternilai harganya. Selanjutnya, pada yang terhormat Bapak Bana G. Kartasasmita selaku anggota tim promotor. Penuh kebapakan beliau upayakan memfasilitasi penulis melengkapi rujukan yang diperlukan. Dengan serius dan tulus beliau bertanya dan membimbing penulisan bahkan sejak studi individual dilakukan kali pertama yang seringkali pula diselingi oleh humor segar hingga ke akhir masa pembimbingan. Dengan arif dan sabar beliau utarakan pula beragam tamsil untuk mendorong penulis agar sabar dan ikhlas menerima dan melakukan perubahan menuju perbaikan terus-menerus. Teladan yang sama tak ternilai harganya bagi penulis. Berikut pada yang terhormat Ibu Prof. Dr. Utari Sumarmo. Ibu yang selalu mendorong kami semua muridnya agar bekerja keras, tidak mudah menyerah apalagi sampai kalah, kritis pada diri sendiri, dan berbuat yang terbaik secara maksimal. Ibu yang memberi inspirasi tidak hanya dengan kata tetapi juga karsa. vii
Selanjutnya, pada yang terhormat Bapak Prof. Jozua Sabandar, MA., Ph.D. Guru yang selalu tampil memberikan perbedaan dan tak habis-habisnya menginspirasi kami para muridnya. Mendorong kami untuk selalu melihat ke dalam sambil sesekali ke luar supaya kami tidak kecil hati bila salah langkah atau hanya mampu membuat langkah kecil. Nasehatnya menyejukkan hati tapi sekaligus membakar semangat. Tidak hentinya mendorong kami untuk setia dan sabar menjadi pelayan bagi kebaikan sesama manusia sebagaimana dicontohkannya. Seperti lainnya yang telah disebutkan, beliau juga menjadi teladan tak ternilai bagi kami muridmuridnya. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan pada yang terhormat Bapak Rektor, Dekan FMIPA, dan Ketua Jurusan Matematika Universitas Negeri Medan atas izin kepada penulis untuk menimba ilmu di Universitas Pendidikan Indonesia. Terima kasih juga yang sebesar-besarnya penulis sampaikan pada yang terhormat Bapak Kepala SMA Negeri 6, Ibu Kepala SMA Negeri 15 Bandung, dan Ibu Yayah Haryati dan Ibu Cici Kurniasih yang telah memberikan kesempatan dan bantuan yang memungkinkan penulis dapat melakukan penelitian. Tentu saja ucapan terima kasih disampaikan juga pada siswa-siswi yang terlibat dan menjadi subyek dalam penelitian ini. Begitu pula rasa terima kasih disampaikan kepada teman seperjuangan Pendidikan Matematika UPI angkatan 2007, khususnya Pak Lambertus, Mas Sugiman, Dik Ali Mahmudi, Dik Yerizon, dan Dinda Amin Fauzi atas kesediannya menjadi validator instrumen penelitian. viii
Dengan kekurangan dan keterbatasan yang ada, penulis berharap semoga karya ini dapat memperkaya khazanah keilmuan dan memberikan sumbangan berarti serta manfaat bagi para pembaca di samping kiranya mampu menginspirasi bagi wujudnya penelitian-penelitian lanjutan.
Bandung, Juli 2011 Penulis
ix
C’est Pour: Deux Dames Bien Aimées Mon demi cæur Ani Minarni Ma belle fille Haura Azra Et Deux Nos musketeers Rizal Afif A. Napitupulu Fajrul Malik A. Napitupulu Puis q‘ils me manquent toujours... et ... Pour que ce soi une travaille examplaire
x
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ..........................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................
ii
PERSEMBAHAN .............................................................................................. iii PERNYATAAN ................................................................................................. iv KATA PENGANTAR ........................................................................................ v Abstrak ................................................................................................................ ix Abstract ................................................................................................................. x Daftar Isi ............................................................................................................. xi Daftar Tabel ..................................................................................................... xiii Daftar Gambar .................................................................................................. xvii Daftar Diagram ................................................................................................. xviii Daftar Lampiran ................................................................................................ xix Bab I
PENDAHULUAN ..............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .....................................................................
1
B. Rumusan Masalah ..............................................................................
22
C. Tujuan Penelitian ................................................................................
23
D. Manfaat Penelitian .............................................................................
24
E. Definisi Operasional ..........................................................................
25
Bab II KAJIAN PUSTAKA .........................................................................
27
A. Pandangan Aliran Behaviorisme dan Konstruktivisme tentang Belajar ..................................................................................... 27 B. Pemecahan Masalah ...........................................................................
33
C. Penalaran Matematis ..........................................................................
43
D. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) .............................................
56
E. Sikap terhadap Matematika .................................................................
72
xi
F. Penelitian yang Relevan ....................................................................
75
G. Hipotesis Penelitian ...........................................................................
79
Bab III METODE PENELITIAN ..................................................................
81
A. Disain Penelitian ................................................................................
81
B. Populasi dan Sampel Penelitian .........................................................
83
C. Waktu Penelitian ................................................................................
88
D. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ....................................
90
E. Bahan Ajar dan Pengembangannya .................................................... 118 F. Kegiatan Pembelajaran ....................................................................... 123 Bab IV HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN ........................................... 126 A. Analisis Data dan Hasil Penelitian ..................................................... 126 1. Analisis Kemampuan Penalaran Matematis ................................... 128 2. Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis .................. 137 3. Gambaran Kinerja Siswa atas Penalaran dan Pemecahan Masalah Mat ............................................................... 148 4. Analisis Sikap Siswa terhadap Matematika dan Pendapat Siswa terhadap PBM ..................................................... 154 B. Analisis Hasil Kerja Siswa .................................................................. 170 1. Analisis Kinerja Siswa pada Tes Kemampuan Penalaran Matematis ................................................ 171 2. Analisis Kinerja Siswa pada Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis................................ 174 C. Pembahasan ........................................................................................ 178 Bab V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI .................... 202 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 213 LAMPIRAN ..................................................................................................... 223
xii
DAFTAR TABEL Hal Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 3.1
Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4 Tabel 3.5
: : : :
: : : :
Tabel 3.6 : Tabel 3.7 : Tabel 3.8 : Tabel 3.9 : Tabel 3.10 : Tabel 3.11 : Tabel 3.12 : Tabel 3.13 : Tabel 3.14 : Tabel 3.15 : Tabel 3.16 : Tabel 3.17 : Tabel 3.18 : Tabel 3.19 : Tabel 3.20 : Tabel 3.21 :
Langkah dan Tindakan Guru dalam PBM ................................................................ 61 Perbedaan PBM dengan Pembelajaran Biasa ........................................................... 63 Peran Guru, Siswa, dan Masalah dalam PBM 64 Keterkaitan antara Pembelajaran, Kemampuan Penalaran Matematis, Pemecahan Masalah Matematis, Sikap terhadap
Matematika, dan Kategori KAM siswa ..............................................................633 82 Hasil Uji Normalitas Data UN SMAN Se-Kota Bandung ....................................... 85 Hasil Uji Tanda Peringkat Wilcoxon ........................................................................ 86 Kriteria Penentuan Kategori Sekolah .....................................................................ii 87 Hasil Uji Normalitas Data Pengetahuan Matematis Siswa per Kelas ..................................................................................................................ii 92 Hasil Uji Homogenitas Varians Data Pengetahuan Matematis Subyek Sampel ......................................................................................ii 92 Hasil Anava Satu Jalur Uji Perbedaan Rataan Pengetahuan Matematis Siswa Antar Kelas .................................................................................ii 92 Hasil Uji Post Hoc Rataan Pengetahuan Matematis Siswa .....................................ii 93 Hasil Uji Kehomogenan Pengetahuan Matematis Antar 93 Kelas ........................................................................................................................ii Kriteria Penentuan Kategori Kelompok Siswa........................................................ii 94 Sebaran Siswa Berdasarkan Kategori Kemampuan ................................................ii 94 Uji Hasil Timbangan Kesahihan Isi dan Wajah Tes Penalaran Matematis ...............................................................................................ii 100 Data Hasil Ujicoba Kemampuan Penalaran Matematis ............................................ 102 Uji Hasil Timbangan Kesahihan Isi dan Wajah Tes Pemecahan Masalah Matematis ............................................................................... 107 Data Hasil Ujicoba Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ................................................................................................................. 111 Teknik Penskoran untuk Kemampuan Penalaran Matematis ................................... 110 Teknik Penskoran untuk Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ...............................................................................................................ii 112 Hasil Uji Validitas Instrumen Skala Sikap terhadap Matematika ................................................................................................ 114 Kriteria Penentuan Kualitas Kinerja Siswa atas KR dan KPS .............................................................................................................. 115 Kriteria Penentuan Kategori Sikap Siswa terhadap matematika (AS) dan pendapat siswa terhadap PBM (PS) ....................................... 116 Perbandingan Model Pedagogi Pembelajaran .......................................................... 124
xiii
Tabel 4.1 : Tabel 4.2 : Tabel 4.3 : Tabel 4.4 : Tabel 4.5 :
Tabel 4.6 :
Tabel 4.7 :
Tabel 4.8 :
Tabel 4.9 :
Tabel 4.10 : Tabel 4.11 : Tabel 4.12 : Tabel 4.13 : Tabel 4.14 : Tabel 4.15 :
Tabel 4.16 :
Tabel 4.17 :
Skor Rataan Kemampuan Penalaran Matematis......................................................ii 127 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Kemampuan Penalaran Matematis Menurut Kelompok Pembelajaran ........................................ii 129 Hasil Uji Kehomogenan Varians Data Kemampuan Penalaran Matematis Menurut Kelompok Pembelajaran .......................................ii 129 Hasil Uji Perbedaan Kemampuan Penalaran Matematis Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran ..................................................................ii 130 Hasil Uji Normalitas Skor Kemampuan Penalaran Matematis Menurut Kelompok KAM dan Kelompok Pembelajaran ...........................................................................................................ii 131 Hasil Uji Kehomogenan Varians Data Skor Kemampuan Penalaran Matematis berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan Kam Siswa ........................................................................................................ii 132 Haisl Uji Interaksi antara Faktor Pembelajaran dengan Faktor KAM terhadap Kemampuan Penalaran Matematis ................................................................................................................ii 133 Hasil Uji Beda Rataan Kemampuan Penalaran Matematis menurut Faktor Pembelajaran pada Masing-masing KAM Siswa ......................................................................................................................ii 135 Rangkuman Hasil Pengujian Hipotesis Penelitian Kemampuan Penalaran Matematis pada Taraf Signifikansi 5% ............................................................................................................................ii 136 Skor Rataan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis.....................................ii 137 Skor Rataan Kemampuan Penalaran dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa berdasarkan KAM.........................................................ii 138 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis...............................................................................ii 139 Hasil Uji Kehomogenan Varians Populasi ........................................................ii140 140 Hasil Uji Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis berdasarkan Pendekatan Pembelajaran ..................................................ii 140 Hasil Uji Normalitas Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Menurut Kelompok KAM dan Kelompok Pembelajaran............................................................................................................ii 142 Hasil Uji Kehomogenan Varians Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan KAM Siswa................................................................................ii 143 Hasil Uji Interaksi antara Faktor Pembelajaran dan Faktor KAM terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ................................................................................................................ii 143
xiv
Tabel 4.18 :
Tabel 4.19 :
Tabel 4.20 :
Tabel 4.21 :
Tabel 4.22 :
Tabel 4.23 : Tabel 4.24 : Tabel 4.25 : Tabel 4.26 : Tabel 4.27 :
Tabel 4.28 :
Tabel 4.29 :
Tabel 4.30 :
Tabel 4.31 : Tabel 4.32 : Tabel 4.33 :
Hasil Uji Beda Rataan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis menurut Faktor Pembelajaran pada Masingmasing KAM Siswa.................................................................................................ii 146 Rangkuman Hasil Pengujian Hipotesis Penelitian atas Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis pada Taraf Signifikansi 5%........................................................................................................ii 147 Banyak dan Persentase Siswa yang Memperoleh Skor Minimal 50% dan 65% pada Kemampuan Penalaran Matematis berdasarkan Faktor Pembelajaran dan KAM.........................................ii 148 Banyak dan Persentase Siswa yang Memperoleh Skor Minimal 50% atau 65% pada Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis berdasarkan Faktor Pembelajaran dan KAM .................................................................................................................ii 149 Skor Rataan Kemampuan Penalaran dan Pemecahan Masalah Matematis Tiap Butir Soal Menurut Faktor Pembelajaran............................................................................................................ii 149 Deskripsi Sikap Siswa terhadap Matematika Menurut Faktor Pembelajaran .................................................................................ii 150 Hasil Uji Normalitas Skor Sikap Siswa terhadap Matematika Menurut Kelompok Pembelajaran.......................................................ii 155 Hasil Uji Kehomogenan Varians Skor Sikap Siswa terhadap Matematika Menurut Kelompok Pembelajaran ........................................ii 156 Hasil Uji Signifikansi Perbedaan Sikap Siswa terhadap Matematika antara Kedua Kelompok Pembelajaran.................................ii 156 Rekapitulasi Data Sikap Siswa terhadap Matematika menurut Faktor KAM pada Kedua Kelompok Pembelajaran............................................................................................................ii 157 Hasil Uji Normalitas Skor Sikap Siswa terhadapMatematika Berdasarkan Faktor Pembelajaran pada Ketiga Kategori KAM ........................................................................................................................ii 158 Hasil Uji Kehomogenan Varians Populasi Skor Sikap Siswa berdasarkan Kelompok Pembelajaran pada Ketiga Kategori KAM ......................................................................................................................... 158 Hasil Uji Signifikansi Perbedaan Sikap Siswa terhadap Matematika pada Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Kategori KAM ............................................................................................... 159 Deskripsi Sikap Siswa terhadap Matematika Sebelum dan Sesudah PBM Dilaksanakan ..................................................................................... 161 Hasil Uji Normalitas Skor Sikap Siswa terhadap Matematika Sebelum dan Sesudah PBM .................................................................. 162 Hasil Uji Kehomogenan varians Skor Sikap Siswa terhadap Matematika Sebelum dan Sesudah PBM .................................................................. 162
xv
Tabel 4.34 : Tabel 4.35 : Tabel 4.36 :
Tabel 4.37 :
Tabel 4.38 :
Tabel 4.39 : Tabel 4.40 : Tabel 4.41 : Tabel 4.42 : Tabel 4.43 :
Tabel 4.44 : Tabel 4.45 : Tabel 4.46 :
Hasil Uji Signifikansi Perbedaan Sikap Sikap Siswa 163 terhadap Matematika Sebelum dan Sesudah PBM ................................................... Data Sikap Siswa terhadap Matematika Sebelum dan 163 Sesudah Pelaksanaan PBM Berdasarkan Kategori KAM ......................................... Hasil Uji Normalitas Skor Sikap Siswa terhadap Matematika Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan PBM pada 164 Ketiga Kategori KAM .............................................................................................. Hasil Uji Kehomogenan Varians Skor Sikap Siswa terhadap Matematika antara Sebelum dan Sesudah PBM 164 dilaksanakan ............................................................................................................. Hasil Uji Signifikansi Perbedaan Sikap Siswa terhadap Matematika antara Sebelum dengan Sesudah Pembelajaran 165 untuk Setiak Kategori KAM...................................................................................... Hasil Uji Interaksi antara Faktor Pembelajaran dengan 166 KAM atas Sikap Siswa terhadap Matematika ........................................................... Pendapat Siswa tentang Aspek PBM berdasarkan Kategori 169 KAM .......................................................................................................................... Skor Rataan Tiap Indikator (Soal) Kemampuan Penalaran 171 Matematis Siswa Ditinjau dari Pendekatan Pembelajaran ........................................ Skor Rataan Tiap Aspek Kemampuan Penalaran Matematis 172 Siswa Ditinjau dari Pendekatan Pembelajaran .......................................................... Skor Rataan Tiap Indikator (Soal) Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Ditinjau dari Pendekatan 174 Pembelajaran ............................................................................................................. Skor Rataan Tiap Aspek Kemampuan Pemecahan Masalah 175 Matematis Siswa Ditinjau dari Pendekatan Pembelajaran ....................................... Sebaran SiswaMenurut Kategori Kinerja atas Penalaran 189 Matematis .................................................................................................................. Sebaran SiswaMenurut Kategori Kinerja atas Pemecahan 193 Masalah Matematis....................................................................................................
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 4.1
: : : : : :
Gambar 4.2 : Gambar 4.3 : Gambar 4.4 :
Gambar 4.5 : Gambar 4.6 :
Gambar 4.7 : Gambar 4.8 : Gambar 4.9 :
Hal. Dua Garis Saling Berpotongan................................................................................ii 47 Segi-5 Beraturan......................................................................................................ii 48 Tahapan dan Prosedur Pelaksanaan Penelitian ............................................................... 89 Masalah 1 ................................................................................................................ii 120 Masalah 2 ................................................................................................................. 123 Perbandingan Kemampuan Penalaran Matematis menurut Kelompok Pembelajaran ........................................................................................ 130 ii Grafik Interaksi antara Faktor Pembelajaran dengan Faktor KAM terhadap Kemampuan Penalaran Matematis .....................................ii 133 Perbandingan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis menurut Kelompok Pembelajaran...........................................ii 141 Grafik Interaksi antara Faktor Pembelajaran dengan Faktor KAM terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ...............................................................................................................ii 144 Perbandingan Skor Rataan Sikap Siswa terhadap Matematika Berdasarkan Kategori Pembelajaran ...................................................ii 155 Perbandingan Skor Rataan Sikap Siswa terhadap Matematika Menurut Faktor KAM pada Kedua Kelompok Pembelajaran ......................................................................................... 157 ii Perbandingan Skor Rataan Sikap Siswa terhadap Matematika Sebelum dan Sesudah PBM ................................................................ 161 ii Interaksi antara Pembelajaran dengan KAM atas Sikap Siswa terhadap Matemaika .....................................................................................ii 167 Faktor yang berpengaruh terhadap pengerjaan tugas matematika ..............................................................................................................ii 202
xvii
DAFTAR DIAGRAM Hal Diagram 3.1 : Diagram 4.1 : Diagram 4.2 : Diagram 4.3 :
Sebaran Kelompok Sekolah Berdasarkan Nilai UN ...................................................... 87
Skor Rataan Kemampuan Penalaran Matematis ...................................................... 127 Skor Rataan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik .................................... 137 Diagram Garis Rerata Skor Kemampuan Penalaran Matematis Tiap Nomor berdasarkan Faktor Pembelajaran....................................... 150 Diagram 4.4 : Diagram Garis Rerata Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Tiap Nomor berdasarkan Faktor Pembelajaran ............................................................................................................. 150 Diagram Batang Rataan Sikap Siswa terhadap Matematika Diagram 4.5 : Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan PBM Berdasarkan Kategori KAM .......................................................................................................... 163
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Hal. A
B
C
D E F G
Instrumentasi Penelitian 1. Data Nilai UN SMAN Se-Kota Bandung 2006-2008 .......................................ii 225 2. Data Pengetahuan Matematis dan KAM ........................................................... 229 ii 3. Hasil Timbangan Tes KR ..................................................................................ii 237 4. Hasil Ujicoba Tes KR ........................................................................................ 238 5. Hasil Ujicoba Tes KPS ........................................................................................ 245 6. Hasil Ujicoba Skala Sikap dan Persepsi .............................................................. 253 7. Lembar Observasi dan Wawancara ..................................................................... 262 RPP dan Bahan Ajar 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran .................................................................ii 268 2. Bahan Ajar ........................................................................................................ii 274 Hasil Analisis Data Penelitian 1. Uji Anova Satu Jalur Data KR ............................................................................ii 297 2. Uji Anova Dua Jalur Data KR .............................................................................. 298 3. Uji Beda Rataan KR ............................................................................................. 300 4. Uji Anova Satu Jalur Data KPS ........................................................................... 301 5. Uji Anova Dua Jalur Data KPS ............................................................................ 302 6. Uji Beda Rataan KPS ........................................................................................... 305 7. Uji Data Sikap ...................................................................................................... 307 8. Deskripsi Pendapat tentang PBM ......................................................................... 313 9. Data Sikap dan Pendapat Siswa ........................................................................... 318 Analisis Kinerja Siswa atas Soal KR .....................................................................ii 321 Analisis Kinerja Siswa atas Soal KPS ...................................................................... 333 Data KR dan KPS ..................................................................................................... 344 Lain-lain 1. Dokumentasi Penelitian ...................................................................................... 349 ii 2. Riwayat Hidup....................................................................................................... 350
xix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Republik Indonesia melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (PerMendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (Depdiknas, 2006) menekankan bahwa matematika mendasari perkembangan teknologi maju, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin, dan memajukan daya pikir manusia. Selanjutnya ditambahkan, matematika diberikan sejak dini di sekolah untuk membekali anak dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Semua kemampuan itu merupakan bekal dan modal penting yang diperlukan anak dalam meniti kehidupan di masa depan yang penuh dengan tantangan dan berubah dengan cepat. Pandangan di atas mengisyaratkan dua arah sasaran pendidikan matematika, yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Sasaran jangka pendek ditujukan pada penguasaan obyek matematika yang diperlukan guna penguasaan dan pengembangan teknologi dan memahami disiplin lain. Sasaran jangka panjang bersifat pada penataan dan pengembangan nalar dan pembentukan sikap positif terhadap matematika. Sejalan dengan pandangan Depdiknas di atas, sebelumnya Schoenfeld (1992) dan Sumarmo (2005) telah menegaskan bahwa sasaran jangka pendek pembelajaran matematika ditujukan pada penguasaan obyek matematika yang
1
kemudian digunakan untuk memecahkan masalah baik rutin maupun tak-rutin, bernalar, berkomunikasi, dan menyusun koneksi matematis dan pengetahuan lainnya. Sedangkan sasaran jangka panjangnya bersifat lebih luas sebab menjangkau seluruh ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dan mengarah ke masa depan, seperti mengembangkan kemampuan penalaran matematis, berpikir kritis, kreatif, sistematis, obyektif, dan cermat. Selain itu, membiasakan siswa berkerja keras dan mandiri, bersifat jujur, terbuka, berdisiplin, memiliki sikap sosial, dan menumbuhkan rasa percaya diri dan penghargaan terhadap keindahan dan keteraturan matematika. Di sekolah, sejak di bangku pendidikan dasar hingga menengah atau bahkan sampai perguruan tinggi, para siswa menjalani, berlatih, dan mengalami proses pembelajaran berbagai pengetahuan dan keterampilan. Dengan bekal ini, diharapkan kelak mereka dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya sehingga ia menjadi anggota masyarakat yang cerdas, produktif, handal, tangguh, dan berguna dengan turut menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk menyelesaikan persoalan yang selalu akan muncul di mana pun dia berada. Untuk itu, terutama dalam mengarungi kehidupan di masa depan yang sarat dengan ketidakpastian, persaingan antara bangsa yang kian tajam, perubahan yang begitu cepat di dalam hampir segala aspek kehidupan, dan permasalahan yang dihadapi kian rumit maka selama menjalani proses pendidikan, menjadi penting siswa diberi pengalaman menyelesaikan berbagai masalah. Masalah yang dihadapkan kepada siswa di sekolah dapat muncul dari berbagai
disiplin
pengetahuan,
termasuk
matematika.
Seiring
dengan
2
perkembangan teknologi yang kian pesat semakin tampak pula penggunaan dan peranan matematika di dalamnya. Bekal pengetahuan matematika dan pengalaman serta keterampilan memecahkan masalah matematis yang dimiliki anak, diharapkan pada gilirannya memfasilitasi mereka beradaptasi sekaligus menguasai teknologi. Berkaitan dengan hal ini, National Council of Teachers of Mathematics (NCTM)
dalam Principles and Standards for School Mathematics (PSSM)
(NCTM, 2000) bahkan menegaskan bahwa dalam masyarakat dunia yang berubah dengan cepat (seperti sekarang ini, apalagi kiranya ke depan), pemahaman dan penguasaan matematika akan meningkatkan kesempatan dan pilihan secara berarti untuk membangun masa depan. Ini menunjukkan pentingnya anak berhasil dalam belajar dan menguasai matematika dan menggunakannya untuk memecahkan masalah. Pemecahan masalah merupakan inti bermatematika. NCTM dalam Agenda for Action: Problem Solving (NCTM,
2010) menghimbau agar pemecahan
masalah menjadi fokus matematika sekolah. National Council of Supervisors of Mathematics (NCSM) (Wilson,et al., 1997) menyatakan belajar menyelesaikan masalahlah yang jadi alasan utama mengapa anak mesti belajar matematika. Dalam pengertian ini, belajar memecahkan masalah dipandang sebagai tujuan belajar matematika. Sejalan dengan itu, PerMendiknasnomor 22 tahun 2006 dan Ministry of Education of Singapore (MoE, 2006) juga menekankan agar pendekatan pemecahan masalah menjadi fokus pembelajaran matematika di sekolah. Hal ini dapat dimengerti karena dengan belajar menyelesaikan masalah maka anak berkesempatan luas mengalami dan menjalani proses membangun
3
pengetahuan dan keterampilan yang nanti pada gilirannya dapat diterapkannya untuk memecahkan masalah baik dalam konteks matematika sendiri maupun dalam konteks lain. Banyak komponen yang terlibat pada diri seseorang sewaktu memecahkan masalah matematis. Namun NCTM (2000) membaginya ke dalam dua aspek utama yang saling dukung-mendukung, yaitu kognitif dan afektif. Kedua-duanya sama penting. Yang termasuk kepada aspek kognitif ialah kemampuan memformulasikan,
mengajukan
dan
menyelidiki
masalah,
kemampuan
mengumpulkan, mengorganisasikan, dan menganalisis masalah dari sudut pandang matematika, kemampuan menentukan strategi yang cocok, kemampuan menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipunyai, dan kemampuan merefleksi dan memantau proses berpikir matematis. Sedangkan yang termasuk ke dalam aspek afektif ialah menanamkan karakter yang kokoh dan berpikir positif seperti gigih, ingin tahu dan percaya diri, memahami kegunaan dan peran matematika dalam kehidupan nyata, dan kecenderungan menggali pengetahuan baru dari sudut pandang matematika. Oleh karenanya, pemecahan masalah niscaya memuat semua keterampilan matematis lainnya yang termuat dalam PSSM (NCTM, 2000) yaitu penalaran, representasi, koneksi, dan komunikasi matematis. Belajar memecahkan masalah penting dalam pembelajaran matematika. Dengan memecahkan masalah, anak membangun pengetahuannya sendiri di samping belajar mengaitkan antara konsep atau prinsip yang sudah dipunyainya dan bersesuaian dengan masalah yang dihadapi. Melalui pemecahan masalah anak
4
dituntut untuk dapat memilih dan/atau menemukan strategi yang sesuai lalu menerapkannya untuk memecahkan masalah itu. Anak yang terlibat dalam proses pemecahan masalah dengan sendirinya sedang membangun keterampilannya bernalar. Hal ini karena modal utama yang digunakan untuk dapat menjalankan seluruh kegiatan dalam pemecahan masalah tersebut adalah kemampuan bernalar. Dengan menjalani semua proses itu, diharapkan dalam diri anak tumbuh rasa percaya diri dan sikap positif terhadap matematika atau penghargaan akan kegunaan matematika yang juga diperlukan untuk dapat tumbuh menjadi seorang pemecah masalah matematis. Namun fakta di lapangan memperlihatkan keadaan yang masih jauh dari harapan itu. Di Amerika Serikat, penelitian Gorofalo dan Lester (1985) dan Schoenfeld (1987) (NCTM, 2000) melaporkan siswa gagal memecahkan masalah bukan karena kekurangan pengetahuan matematika tetapi justru karena mereka tidak efektif menggunakan pengetahuannya itu. Di Turki, penelitian Arslan dan Altun (2007) mengungkap bahwa siswa tidak memiliki kepercayaan diri dan kecakapan yang cukup ketika menghadapi masalah matematis, utamanya yang tak rutin. Menurut keduanya, ada dua faktor penyebab kelemahan ini pada siswa sekolah dasar dan sekolah menengah. Pertama, minimnya spesifikasi pengetahuan dan keterampilan peserta didik (misalnya konsep, rumus, algoritma, pemecahan masalah). Kedua, kegagalan heuristik, metakognitif, dan aspek afektif. Sehubungan dengan kegagalan siswa memecahkan masalah matematis, De Corte, et al. (Marcou dan Philippou, 2005) mengatakan belajar pemecahan masalah matematis memang merupakan salah satu tugas tersulit untuk ditangani
5
karena memerlukan penggunaan banyak keterampilan. Akibatnya, banyak siswa yang tidak mempunyai keyakinan diri ketika berhadapan dengan masalah matematis. Akibat lanjutannya, sikap siswa terhadap matematika secara keseluruhan cenderung negatif dan menghindardari tugas-tugas yang bertalian dengan matematika. Keadaan semacam ini tentu tidak menguntungkan bagi proses kelancaran pembelajaran matematika di kelas dan ditengarai sebagai satu unsur penting yang turut mempengaruhi rendahnya hasil belajar matematika siswa secara keseluruhan. Telah sejak lama para ahli psikologi pendidikan dan peneliti pendidikan matematika menduga keberadaan dan kemudian menyelidiki peran dan pengaruh keyakinan, sikap, emosi, nilai dan motivasi internal siswa sewaktu mereka menyelesaikan masalah matematis (DeBellis dan Goldin, 1997; Mcleod, (Grows (Ed)), 1992;Marcou dan Philippou, 2005; Wong, 2000). Diduga kuat keempat komponen itu berhubungan erat dengan kognisi dan oleh karena itu dapat memperlancar sebagaimana dapat pula memperlambat proses kerja selama memecahkan masalah. Berlawanan dengan dugaan tersebut, Bassarear (1986) melaporkan bahwa sikap bukan merupakan prediktor berarti untuk kinerja anak dalam pelajaran matematika. Laporan ini menyatakan bahwa sikap anak terhadap matematika dapat saja negatif namun tetap memiliki kinerja yang baik dalam matematika. Selain itu, sikap anak terhadap matematika tidak cukup kuat untuk meramalkan kinerja mereka dalam matematika. Selanjutnya, Ma dan Kishor (1997) (Zan dan Di Martino, 2007) melakukan meta-analisis atas 113 studi tentang hubungan sikap
6
dengan capaian belajar. Ditemukan adanya hubungan meskipun lemah di antara keduanya. Mengomentari temuan ini, Zan dan Di Martino menduga kemungkinan tidak sesuainya instrumen yang digunakan. Beberapa studi lain (Hannula, Maijala, & Pehkonen, 2004; Wong, 2000) mengungkap bahwa keyakinan anak pada matematika dan pada diri mereka sebagai pelajar matematika mempengaruhi motivasi, kinerja, dan keberhasilannya dalam mata pelajaran ini. Penulis lain seperti McLeod (1989); Furinghetti & Pehkonen (2000); Leder, Pehkonen, & Törner(2002); Pehkonen (2003); Schoenfeld (1992); Thompson (1992) (Kislenko, Grevholm, dan Lepik, 2007) melaporkan keyakinan dan sikap siswa terhadap matematika memainkan peran penting dan terkait erat dengan hasil belajar matematika. Terkait sikap dengan pendekatan pembelajaran yang digunakan, di dalam negeri penelitian Saragih (2007) di jenjang sekolah menengah pertama menunjukkan sikap siswa terhadap matematika yang belajar dengan Pendidikan Matematika Realistik lebih positif dibandingkan sikaprekan mereka di kelas konvensional. Hasil serupa ditemukan Gani (2007) di tingkat sekolah menengah atas yang membelajarkan siswa dengan pendekatan inkuiri model Alberta. Berkat pendekatan ini pula Gani berhasil meningkatkan secara berarti sikap positif siswa terhadap matematika. Namun sebaliknya, di kelas konvensional sikap siswa terhadap matematika ditemukan ragu-ragu atau netral atau tidak tahu. Terlepas dari temuan yang terkesan tidak konsisten itu, sewaktu belajar matematika, guru di samping membantu siswa untuk terlibat dalam memahami obyek-obyek matematis perlu juga membangun sikap positif anak baik terhadap
7
matematika maupun pada pemecahan masalah matematis. Sebab bagaimanapun adanya sikap positif dalam belajar lebih memberi keuntungan motivatif daripada tidak punya sama sekali. Patut diperhatikan, NCTM (2000) juga mengingatkan pentingnya membangun sikap positif pada diri siswa terhadap matematika. Untuk itu perlu diingat peluang terbesar bagi guru untuk melakukan hal itu ialah saat pembelajaran berlangsung di kelas. Sehubungan dengan kegagalan siswa memecahkan masalah matematis dan untuk membangun sikap positif mereka terhadap matematika, Pugalee, et al. (2002) menawarkan satu model pembelajaran berupa pemberian tugas otentik yang meliput empat dimensi, yaitu berpikir dan bernalar, berwacana, alat matematis, dan sikap dan karakter. Pugalee dan kawan-kawannya berpendapat model pembelajaran seperti ini akan mendukung pengembangan literasi matematis dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggali topik-topik penting matematika dalam suatu masalah di mana siswa terlibat secara aktif di dalam pemecahannya. Jika pemecahan masalah memainkan peran sentral dalam matematika, maka penalaran memainkan peran serupa dalam pemecahan masalah. Hal ini karena lewat penalaranlah orang berupaya memahami masalah, lalu mengaitkan unsur-unsur dalam masalah itu dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Berdasarkan pengaitan-pengaitan itu, ia selanjutnya membuat dugaan atau simpulan sementara untuk kemudian memilih dan menjalankan strategi yang dipandangnya cocok untuk menguji dugaan tersebut dan akhirnya untuk memecahkan masalah yang dihadapinya secara tuntas. Jadi, kemampuan bernalar
8
sangat penting dan merupakan inti untuk memahami gagasan dan obyek matematis sekaligus merangkainya dengan berbagai strategi huristik untuk menyelesaikan bermacam masalah matematis. Bernalar dalam matematika umumnya dimulai dari eksplorasi, membuat dugaan, atau munculnya pertentangan antara fenomena baru dengan skemata yang tersimpan dalam struktur kognitif seseorang. Di sepanjang masa belajarnya di sekolah, siswa seyogianya terus menerus mengembangkan kemampuannya memberikan penjelasan atas pernyataan yang dibangunnya. Memberi makna mencakup mengembangkan pemahaman atas situasi, konteks, atau konsep dengan cara menyambungkannya dengan pengetahuan yang telah ada pada dirinya. Bernalar dan memaknai merupakan dua kegiatan matematis yang berjalin berkelindan dan bergantungan satu sama lain dan menjadi landasan bagi prosesproses matematika lainnya. NCTM dalam Curriculum and Evaluation Standards (NCTM, 1989) merinci tanda-tanda yang dapat terjadi saat proses penalaran sedang berlangsung, yaitu tatkala orang: (a) menggunakan coba-ralat dan bekerja mundur untuk menyelesaikan masalah, (b) membuat dan menguji dugaan, (c) menciptakan argumen induktif dan deduktif, (d) mencari pola untuk membuat perumuman, dan (e) menggunakan penalaran ruang dan logis. Rincian ini memperlihatkan peran inti yang dimainkan penalaran di dalam proses pemecahan masalah matematis. Di sisi lain, terkait dengan obyek matematis yang bersifat abstrak, tampak pula peran penting bernalar lantaran penalaranlah alat yang dipunyai orang untuk memahami dan melakukan abstraksi, merumuskan sifat-sifat sekumpulan obyek matematis,
9
dan mengembangkan perumuman yang dikenakan padanya (Russel, 1999). Jadi, tampak penalaran matematis merupakan bagian inti dari pemecahan masalah matematis. Penalaran mendasari semua aspek atau komponen tingkat tinggi dari pemecahan masalah. Ringkasnya, penalaran adalah alat untuk memahami matematika dan pemahaman matematis itu digunakan untuk menyelesaikan masalah. Pengalaman menyelesaikan masalah pada gilirannya memperkuat dan mengembangkan pemahaman dan penalaran matematis yang kemudian kembali menjadi modal untuk memecahkan masalah baru atau masalah yang lain yang tingkat kerumitannya lebih tinggi dan lebih dalam lagi. Demikian alur itu seharusnya berlangsung, seperti layaknya spiral mengembang. Oleh sebab itu, belajar memecahkan masalah sangat sesuai untuk mengajarkan dan sekaligus meningkatkan keterampilan bernalar. Penalaran dan pemahaman adalah dua aspek daya matematis yang harusnya berkembang terus menerus seiring dengan berlangsungnya proses pemecahan masalah dari waktu ke waktu. Dari uraian di atas tampak terampil memecahkan masalah dan terampil bernalar merupakan dua kemampuan yang seharusnya diraih siswa dalam pembelajaran matematika di sekolah. Namun sayangnya, fakta menunjukkan kecakapan siswa pada kedua keterampilan itu baik di jenjang SMP maupun SMA masih memprihatinkan (Hamzah, 2003; Herman, 2006; Martin, et al., 2008; Sumarmo, 1987; Suryadi, 2005; Zulkardi, 2001). Khusus di tingkat sekolah menengah atas, Sumarmo (1987) menemukan skor kemampuan siswa dalam penalaran matematis masih rendah. Sebanyak 55%
10
dari mereka belum dapat berpikir formal (penalaran deduktif). Temuan ini setidaknya berbeda dengan teori tingkat perkembangan mental dari Piaget (1971). Namun hal ini tidak serta-merta berarti adanya suatu pertentangan di antara keduanya. Ada kemungkinan model atau strategi pembelajaran yang digunakan sejak di sekolah dasar dan lingkungan kehidupannyalah (budaya) yang belum memberi kesempatan dan mendorong anak untuk mengembangkan kemampuan penalarannya. Selain itu, Sumarmo (1987) juga menemukan kemampuan penalaran logis siswa - yang ditemukan merupakan prediktor yang baik untuk penalaran dan pemahaman matematis - belum termanfaatkan secara optimal. Lebih jauh ditemukan kemampuan penalaran logis lebih ajeg pengaruhnya terhadap hasil belajar matematika ketimbang kegiatan belajar siswa dan kegiatan mengajar guru. Sehubungan dengan temuan ini, kiranya perlu dipikirkan dan dikembangkan suatu pembelajaran matematika yang lebih memberi kesempatan dan mendorong siswa untuk melatih dan menumbuh-suburkan penalaran logisnya. Hal ini terasa sangat penting karena dengan tumbuhnya penalaran logis maka penalaran matematis berkembang dan pada gilirannya nanti kecakapan terakhir inilah yang memainkan peran utama dalam pemecahan masalah matematis. Untuk menggali lebih dalam dan mengungkap lebih jelas lagi tentang kemampuan bernalar dan kemampuan memecahkan masalah matematis siswa SMA, penulis melaksanakan ujicoba di SMA Negeri 1 Parongpong Kabupaten Bandung Barat. Ujicoba tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Mei 2008 dan diikuti peserta sebanyak 32 orang. Materi ujicoba diambil dari topik-topik
11
matematika di kelas X. Ada 6 butir soal yang diujikan, masing-masing satu dari Bentuk Akar, dua dari Persamaan Kuadrat, dua dari Perbandingan Trigonometri, dan satu dari Sistem Persamaan Campuran Linear dan Tidak-Linear. Berikut analisis kinerja siswa terhadap 4 dari 6 butir soal yang diujikan. Soal 1. Perajin di Cibaduyut dapat membuat 3 pasang sepatu dari bahan kulit √
sebanyak sebanyak 5
. Berapa pasang yang dapat mereka buat dari bahan .
Soal ini lebih menuntut penalaran kesebandingan dan menarik simpulan atas hasil perhitungan ke dalam konteks masalah. Bagi siswa kelas X soal ini mestinya rutin dan mudah menyelesaikannya lantaran telah sering menyelesaikan soal kesebandingan sejak di sekolah menengah pertama dan bentuk akar pada soal termasuk sederhana. Namun demikian, seluruh siswa melakukan perhitungan dengan caranya sendiri, tidak ada yang membuat rumusan formal kesebandingan seperti
√
= , misalnya. Selain itu, seluruh siswa tak melakukan refleksi atas
hasil perhitungan untuk melihat kebermaknaannya dalam konteks masalah. Mereka berhenti setelah melakukan perhitungan dan memperoleh hasil
√
. Tidak
seorang pun siswa yang melanjutkan kerjanya dengan memaknai berapa sebenarnya nilai bilangan
√
untuk konteks pasangan sepatu. Dari kinerja siswa
terhadap soal ini disimpulkan mereka belum dapat merumuskan format kesebandingan secara formal dan belum dapat mengaitkan atau memeriksa kembali hasil perhitungan ke dalam konteks masalah atau dengan kata lain tidak menjalankan langkah keempat dari tahapan pemecahan masalah Polya (refleksi).
12
Soal 2. Upah pekerja pada suatu proyek bangunan dihitung berdasarkan rumusan fungsi U( ) = 2 - 30 + 6000, dengan adalah banyak pekerja. a. Berapakah upah minimum proyek tersebu? b. Upah minimum tercapai bila proyek dikerjakan oleh berapa orang? Seluruh siswa merespon soal ini dengan langsung menghitung
=−
=
15, lalu menyulihkannya ke fungsi dan memperoleh angka 5775. Namun hampir semua darimereka melakukan ini secara mekanistik tanpa makna. Hanya 7 orang yang memaknai 5775 sebagai upah minimum tetapi gagal memaknai
= 15
sebagai banyaknya pekerja yang membuat upah tersebut menjadi minimum
kecuali 2 orang saja. Malah untuk menjawab pertanyaan (b) seluruh siswa menghitung
= 385 meski pada soal jelas tertulis
menyatakan banyak
pekerja. Kinerja siswa atas soal ini memperlihatkan kurangnya pemahaman mereka terhadap masalah, pengetahuannya hanya sebatas prosedural, dan sekaligus tidak melakukan refleksi atas proses menyelesaikan masalah. Soal 3. Tabel berikut menunjukkan hubungan antara luas (L) dan lebar (w) persegi panjang yang kelilingnya 40 cm. Buat persamaan yang menyatakan hubungan antara L dengan w.
Luas (L) Lebar (w) 75 5 96 8 100 10 96 12 75 15
Untuk menjawab soal ini, siswa mesti memusatkan perhatian pada pengaitan antara rumusan luas dengan keliling suatu persegi panjang dan dengan informasi yang diberikan dalam soal (keliling persegi panjang) diharapkan dapat membuat persamaan yang diminta (model matematis). Dari 32 siswa, hanya 9 orang yang membuat pengaitan rumusan luas dan keliling persegi panjang untuk kemudian merumuskan persamaan yang diminta. Enam diantaranya mengutak-
13
atik angka yang terdapat pada tabel untuk menghitung panjang tanpa pernah tiba pada apa yang diminta soal. Selebihnya tidak merespon. Dari kinerja siswa atas soal ini disimpulkan sebagian besar siswa tidak dapat mengaitkan dan menerapkan konsep yang dimilikinya dan pengalamannya bekerja atas konsep tersebut ke dalam konteks masalah baru. Ini menunjukkan rendahnya kemampuan bernalar dan transfer pengetahuan siswa. Soal 4. Kabayan mendaki jalan sejauh ½ km dengan kemiringan 60terhadapgaris horisontal, kemudian mendaki lagi sejauh ¾ km dengan kemiringan 150 juga terhadapgaris horisontal. Coba bantu Kabayan menghitung jarak horisontal dan vertikal yang telah dilaluinya. Soal ini dapat dijawab lebih mudah bila menggunakan representasi masalah dengan menggunakan dua buah segitiga siku-siku. Kemudian siswa mesti paham bahwa yang diinginkan adalah jarak total yang ditempuh, baik arah vertikal maupun horisontal. Sebanyak 17 orang (53%) dapat merepresentasikan masalah dan membuat perbandingan trigonometri untuk menghitung jarak tempuh arah vertikal dan arah horisontal. Namun, hanya dua saja diantaranya yang tuntas menghitung total jarak yang ditempuh itu. Dalam hal ini diduga lemahnya kemampuan bernalar yang membuat siswa tidak utuh memahami masalah dan mengakibatkan mereka tidak tuntas menyelesaikannya. Dari kinerja siswa atas soal terakhir ini disimpulkan hampir separuh dari seluruh siswa masih kesulitan menerjemahkan soal cerita ke dalam sebuah representasi matematis yang akan membuatnya lebih mudah memahami masalah. Kesulitan siswa dalam mengembangkan representasi untuk masalah yang diberikan diperkirakan karena pengetahuan yang dimiliki siswa tentang perbandingan triogonometri hanya sebatas prosedural, belum relasional. Selain 14
itu, meski dapat membuat representasi masalah, tampak banyak juga diantara mereka
yang
mendapat
kesulitan
menghadapi
masalah
yang
dalam
penyelesaiannya memerlukan banyak langkah. Hasil ujicoba di atas menunjukkan bahwa pada umumnya siswa lemah dalam penalaran matematis dan pemecahan masalah matematis. Pengetahuan siswa baru sebatas prosedural yang berakibat pada kurangnya kemampuan untuk memahami masalah yang diajukan secara utuh. Selain itu, mereka juga tidak dapat melakukan pengaitan konsep yang dimilikinya dan pengalamannya bekerja atas konsep tersebut ke dalam konteks masalah; masih kesulitan menerjemahkan soal cerita ke dalam sebuah representasi matematis yang akan membuatnya lebih mudah memahami masalah; kesulitan menghadapi masalah yang dalam penyelesaiannya memerlukan banyak langkah; dan belum dapat mengaitkan atau memeriksa kembali hasil perhitungan ke dalam konteks masalah atau dengan kata lain tidak menjalankan langkah refleksi dalam menyelesaikan masalah (Napitupulu dan Mansyur, 2011). Mengomentari kinerja siswanya, guru reguler di kelas tersebut mengatakan siswa memang hampir tidak pernah diberikan pengalaman menyelesaikan soalsoal sejenis. Dalam pembelajaran, guru hanya melatih siswa menyelesaikan soalsoal rutin yang ada di dalam buku teks baik di kelas maupun untuk tugas rumah. Terkait dengan penjelasan guru ini, NCTM (2000) telah menekankan bahwa pengalaman belajar yang diberikan gurulah yang banyak berperan dalam menentukan keluasan dan kualitas belajar siswa, termasuk untuk keterampilan anak bernalar dan memecahkan masalah.
15
Sehubungan dengan rendahnya kemampuan bernalar dan memecahkan masalah matematis siswa, para peneliti menduga hal itu tidak lepas dari sistem pembelajaran yang berlangsung di sekolah. Secara umum, ditemukan pola pembelajaran masih didominasi model atau pendekatan atau strategi tradisional (biasa) yang kurang atau hampir tidak memberi perhatian pada belajar bermakna. Wahyudin (1999) melaporkan pembelajaran di kelas didominasi oleh guru melalui metoda ceramah dan ekspositorinya. Guru jarang mengajak siswa untuk menganalisis secara mendalam tentang suatu konsep dan jarang mendorong siswa untuk menggunakan penalaran logik yang lebih tinggi seperti membuktikan suatu prinsip. Marpaung, seperti dikutip Pomalato (2005) juga melaporkan hal senada. Demikian juga Hulukati (2005) yang mengutip Sumarmo melaporkan hal serupa. Keadaan itu diperkuat oleh laporan Shadiq (2007: 2) yang menyatakan penekanan pembelajaran di Indonesia lebih banyak pada penguasaan keterampilan dasar, namun sedikit atau sama sekali tidak ada penekanan untuk penerapan matematika dalam konteks kehidupan sehari-hari, berkomunikasi secara matematis, dan bernalar secara matematis. Sistem pembelajaran yang demikian tentu saja tidak sejalan dan senafas dengan tuntutan yang menginginkan agar siswa membangun pengetahuan disertai pemahaman melalui penalaran. Lebih jauh lagi, hampir dapat dipastikan siswa yang mengalami pembelajaran seperti itu akan kewalahan dan tak dapat bergerak sewaktu dihadapkan pada soal cerita atau masalah tak rutin terutama yang rumit. Menyikapi himbauan akan perlunya proses pembelajaran matematika yang mendorong dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi anak untuk turut
16
terlibat
dalam
membangun
pengetahuan,
keterampilan
bernalar,
dan
menerapkannya untuk memecahkan masalah (Depdiknas, 2006; Kilpatrick, J., Swafford, J., and Findell, B., 2001; NCTM, 2000; Schoenfeld, 1994), maka beberapa peneliti telah mencobakan model, pendekatan, strategi, dan atau metoda yang diduga kuat dapat mendukung pencapaian tujuan tersebut. Dahlan
(2004)
dan
Alhadad
(2010)
menggunakan
pembelajaran
pendekatan open-ended. Kemudian, Suryadi (2005) menggunakan pembelajaran langsung, tidak langsung, dan gabungan langsung dengan tak langsung. Pomalato (2005) menggunakan pembelajaran model Treffinger. Selanjutnya Hulukati (2005) menerapkan model pembelajaran generatif. Herman (2006) dan Noer (2010) menggunakan pembelajaran berbasis masalah (PBM). Bahkan secara khusus Herman menerapkan PBM terbuka dan terstruktur. Nanang (2009) menggunakan pendekatan kontekstual dan metakognitif. Terakhir, Kadir (2010) menggunakan pembelajaran kontekstual berbasis potensi pesisir. Semua studi tersebut mengambil siswa SMP sebagai subyek penelitian. Di tingkat SMA, Gani (2007) menerapkan Pembelajaran Inkuiri Model Alberta. Kemudian, Ratnaningsih (2007) menerapkan model pembelajaran kontekstual dengan pendekatan pembelajaran
berbasis
masalah
(PBM).
Wardani
(2009)
menggunakan
pembelajaran inkuiri model Silver. Rohendi menggunakan pembelajaran ELearning. Berikutnya Risnanosanti (2010) menjalankan pembelajaran inkuiri. Semua model atau pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam penelitian tersebut di atas menunjukkan penguatan atas hampir semua hipotesis penelitian yang dirumuskan para peneliti.
17
Problem-Based Learning (PBL) atau PBM merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang berdasarkan karakteristiknya memenuhi himbauan yang disebutkan dalam paragraf satu sebelum terakhir. Hal ini karena dalam PBM, pembelajaran diawali dan dipicu oleh konflik kognitif dalam bentuk masalah yang disajikan guru dan siswa mempelajarinya berkelompok dan kolaboratif untuk kemudian memecahkannya. Guru berperan sebagai fasilitator membantu siswa memanggil dan mengaitkan pengetahuan dan pengalamannya pada masalah yang dihadapi. Melalui pertanyaan menggugah sebagai teknik scaffolding, guru juga memainkan perannya merangsang anak menggunakan beragam bentuk penalaran untuk melihat berbagai kemungkinan yang dapat digunakan siswa sebagai jalan menuju selesaian antara maupun selesaian akhir dari masalah tersebut. Studi eksperimen yang memfokuskan penelitiannya pada kemampuan pemecahan masalah matematis di jenjang sekolah menengah atas telah dilakukan beberapa peneliti (Gani, 2007; Wardani, 2009; Yonandi, 2011). Namun, kedua peneliti pertama menggunakan model pembelajaran inkuiri dalam penelitiannya. Gani menggunakan inkuiri model Alberta dan Wardani menerapkan inkuiri model Silver. Berbeda dengan pendekatan PBM yang dilakukan dalam penelitian ini, dalam penelitian inkuiri yang dijalankan kedua peneliti di atas bahan ajar dirancang secara lebih rinci dalam bentuk petunjuk atas langkah-langkah yang harus dikerjakan siswa. Lebih dari itu, dalam penelitian Gani rubrik penskoran atas performa anak dalam menyelesaikan masalah matematis mengikuti langkah penyelesaian masalah dari Polya secara ketat. Sementara peneliti ke-tiga
18
menggunakan model pembelajaran kontekstual berbantuan komputer. Dengan demikian pertanyaan bagaimana kinerja siswa yang belajar dengan pendekatan PBM dalam pemecahan masalah matematis perlu dan terbuka untuk diteliti. Berkaitan dengan PBM dan melihat peran sentral penalaran dalam pemecahan masalah matematis, pertanyaan bagaimana kinerja penalaran matematiss iswa yang belajar dengan PBM juga perlu dan penting mendapat jawaban. Berdasarkan karakteristik yang dipunyainya di samping beberapa kelemahan yang dapat terjadi selama PBM dijalankan, maka pendekatan ini secara teoretis sangat sesuai untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika yang menginginkan peningkatan kemampuan anak dalam bernalar dan keterampilan anak dalam memecahkan masalah matematis. Tanpa mengesampingkan daya matematis lainnya, berdasarkan paparan di atas penalaran memegang peran sentral dalam pemecahan masalah, sedangkan pemecahan masalah adalah inti bermatematika. Ini berarti sangat penting mengembangkan penalaran matematis anak dan mestinya anak pada usia sekolah menengah atas sudah mempunyai beragam cara bernalar untuk menyelesaikan masalah matematis sesuai dengan pengalaman dan kematangannya bermatematika. Beragam cara bernalar yang dikuasai itu nantinya sangat berguna dalam kehidupan, apakah ia melanjutkan pendidikannya ke tingkat perguruan tinggi, dalam lingkup pekerjaan, atau dalam bermasyarakat. Berdasarkan paparan di depan, telah terlihat sangat pentingnya mengembangkan kemampuan bernalar dan memecahkan masalah matematis dalam diri anak. Pekerjaan ini bahkan sudah harus dikerjakan sejak anak duduk di
19
bangku sekolah dasar dan mestinya telah mencapai derajat formal deduktif pada saat anak berada di tahun terakhir ia berada di sekolah menengah atas. Bahkan para penulis PSSM menekankan bahwa siswa SMA mesti belajar teknik pemecahan masalah yang lebih bervariasi dan canggih. Mereka harus mengembangkan kemampuannya memvisualkan, menjelaskan, dan menganalisis situasi dalam terminologi matematis (NCTM, 2000). Salah satu pendekatan pembelajaran yang sesuai dan memfasilitasi untuk tercapainya tujuan itu ialah PBM.
Oleh sebab itu,
kuat
dugaan
PBM
berpengaruh
positif
pada
penumbuhkembangan kemampuan bernalar dan memecahkan masalah matematis siswa sekolah menengah atas. Untuk itu, perlu dan mendesak dilakukan penelitian guna mengungkap dan mengkaji secara tuntas dan mendalam isu tersebut. Mengingat dan memperhatikan peran penting kedua aspek kognitif dan afektif dalam proses bernalar dan memecahkan masalah matematis sebagai bagian integral dari bermatematika, maka keduanya perlu menjadi titik perhatian dalam sebuah penelitian. Oleh karena itu, perlu diteliti apakah kemampuan bernalar dan memecahkan masalah matematis siswa yang belajar dengan pendekatan PBM lebih baik dibandingkan dengan mereka yang belajar dengan pembelajaran biasa. Selain itu, sebagaimana telah dipaparkan di bagian depan, sikap siswa terhadap matematika juga diduga kuat mengambil peran pada pencapaian hasil belajar anak. Sikap siswa yang lebih memandang positif terhadap matematika dan pembelajarannya pada gilirannya diharapkan dapat menumbuhkan disposisi matematis yang kuat pada diri mereka. Adanya disposisi matematis yang kuat akan menumbuhkan kesenangan pada diri anak bekerja dengan matematika.
20
Dengan demikian, pertanyaan apakah ada perbedaan sikap siswa terhadap matematika di kelas PBM dan kelas kendali sebelum pembelajaran dilaksanakan, dan apakah ada perubahan sikap siswa dikelas PBM terhadap matematika setelah mengalami proses pembelajaran dengan PBM perlu memperoleh jawaban. Berdasarkan karakteristik PBM dan beberapa hasil penelitian terdahulu yang dilakukan di sekolah menengah pertama dan atas, pendekatan PBM ini dinilai kurang sesuai diterapkan pada anak berkemampuan matematika rendah atau pada sekolah berperingkat kurang. Sementara untuk sekolah berperingkat atas pendekatan ini selalu memberikan hasil positif. Oleh sebab itu, penelitian ini diarahkan hanya kepada kelompok sekolah berperingkat sedang atau menengah. Berkaitan dengan kemampuan matematika yang dipunyai anak, terungkap bahwa kemampuan ini memiliki peran penting dalam memuluskan mereka memaknai dan menguasai pengetahuan dan keterampilan baru yang diajarkan. Umumnya, semakin kuat kemampuan matematika yang dimiliki anak, kian mampu dan cepat pula mereka beradaptasi dan menguasai pengetahuan baru yang harus mereka raih. Oleh karena itu, dalam penelitian ini faktor kemampuan ini menjadi salah satu unsur yang mendapat perhatian pula di samping faktor pendekatan pembelajaran yang sudah dikemukakan di depan. Dalam hal ini, kemampuan awal matematis siswa dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan kurang. Jadi efek pembelajaran dilihat pada tiga kategori kelompok kemampuan awal matematis siswa di sekolah berperingkat sedang. Untuk
menyelesaikan
permasalahan
dan
menjawab
pertanyaan
sebagaimana telah dipaparkan, maka telah dilaksanakan penelitian berjudul:
21
Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah atas Kemampuan Penalaran dan Pemecahan Masalah Matematis serta Sikap terhadap Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas. B.Rumusan Masalah Berdasarkan paparan di latar belakang, maka rumusan masalah yang diajukan untuk diteliti dan ditemukan jawabannya dalam penelitian ini ialah: 1. Apakah kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapat PBM lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa ditinjau dari (a) keseluruhan siswa dan (b) kemampuan awal matematis siswa. 2. Apakah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat PBM lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa ditinjau dari (a) keseluruhan siswa dan (b) kemampuan awal matematis siswa. 3. Apakah sikap siswa terhadap matematika yang mendapat PBM lebih positif daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa ditinjau dari (a) keseluruhan siswa dan (b) kemampuan awal matematis siswa. Di samping itu, diselidiki juga apakah ada perubahan sikap terhadap matematika setelah siswa mendapat PBM. 4. Bagaimanakah kinerja dan apa sajakah kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal penalaran matematis dan pemecahan masalah matematis berdasarkan faktor pembelajaran dan kemampuan awal matematisnya.
22
5. Apa dan bagaimana intensitas dan ragam kegiatan siswa dalam proses PBM. Terkait dengan kegiatan PBM, apa dan bagaimana tindakan pedagogik guru sebagai fasilitator pembelajaran terhadap kegiatan siswa tersebut. Kemudian, adakah perubahan strategi dan dinamika kelompok dalam menyelesaikan masalah di sepanjang proses PBM dijalankan dan apa dan bagaimana perubahan itu terjadi. C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan secara komprehensif pengaruh penggunaan pendekatan PBM terhadap kinerja siswa dalam penalaran matematis baik secara keseluruhan maupun ditinjau dari kemampuan awal matematis siswa. 2. Mendeskripsikan secara komprehensif pengaruh penggunaan pendekatan PBM terhadap kinerja siswa dalam pemecahan masalah matematis baik secara keseluruhan maupun ditinjau dari kemampuan awal matematis siswa. 3. Mendeskripsikan secara komprehensif pengaruh penggunaan pendekatan PBM atas sikap siswa terhadap matematika baik secara keseluruhan maupun ditinjau dari kemampuan awal matematis siswa. 4. Mendeskripsikan kinerja siswa dan menganalisis kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal penalaran metematis dan pemecahan masalah matematis berdasarkan faktor pembelajaran dan kemampuan awal matematisnya.
23
5. Mengungkap dan menganalisis intensitas dan ragam aksi siswa dalam rangkaian kegiatan PBM dan tindakan pedagogik guru mengantisipasi aksi tersebut. Seterusnya, mendeskripsikan, jika ada, perubahan strategi dan dinamika kelompok dalam menyelesaikan masalah di sepanjang proses PBM dijalankan dan apa dan bagaimana perubahan itu terjadi. 6. Menyusun simpulan dan implikasi praktis danteoretis penelitian yang bermanfaat bagi kalangan praktisi dan pemerhati pendidikan matematika di sekolah menengah terutama dalam rangka menumbuhkembangkan tingkat kemampuan penalaran dan pemecahan masalah matematis serta sikap positifsiswa terhadap matematika. D.Manfaat Penelitian Dari sisi teoretis, penelitian ini memberi sumbangan dan memperkaya khazanah pengetahuan tentang keberlakuan dan keandalan PBM dalam mengantar siswa mengembangkan kemampuan penalaran dan pemecahan masalah matematis serta dalam menumbuhkan sikap positif siswa terhadap matematika. Dari sisi praktis, penelitian ini menawarkan sebuah model pembelajaran yang berlandaskan konstruktivisme kepada guru-guru matematika sekolah menengah atas dalam rangka membangun keterampilan dan kebiasaan berpikir tingkat tinggi siswa sekolah menengah atas di samping menumbuhkan sikap positif siswa terhadap matematika. Hasil penelitian dapat pula dijadikan bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam mengembangkan kurikulum pendidikan calon guru matematika sekolah menengah atas. E.Definisi Operasional
24
1. Pembelajaran Berbasis Masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menjadikan masalah kontekstual sebagai pemicu belajar melalui tahap-tahap menentukan/mendefinisikan masalah, mengumpulkan fakta yang
diketahui,
membuat/membangun/membangkitkan
pertanyaan,
membuat dugaan, mengantisipasi informasi yang diperlukan, merumuskan ulang masalah, dan perlahan membangun/mengajukan alternatif solusi, serta menjastifikasi saran yang diajukan dalam konteks masalah. 2. Kemampuan penalaran matematis meliputi: a. Menarik simpulan logis. b. Memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada. c. Membuat dugaan dan menyusun pembuktian. d. Menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi, atau membuat analogi, ataugeneralisasi. 3. Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan menyelesaikan masalah yang meliputi. a. Membuat model matematis dari suatu situasi atau masalah sehari-hari. b. Memilih dan menerapkan strategi yang cocok. c. Menjelaskan atau menafsirkan hasil sesuai masalah asal, serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban. 4. Sikap terhadap matematika ialah pandangan seseorang terhadap matematika,terhadap kemampuannya untuk belajar matematika, persepsi
25
terhadap kegunaan matematika dalam kehidupan dan dalam mata pelajaran lain, dan persepsi terhadap guru matematika. 5. Kemampuan Awal Matematis adalah penguasaan matematika sebelum penelitian dilaksanakan.
26
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pandangan Aliran Behaviorisme dan Konstruktivisme tentang Belajar Di penghujung tahun lima puluhan, dipicu keberhasilan Uni Soviet meluncurkan
Sputnik,
di
Amerika
Serikat
angin
gerakan
untuk
mengimplementasikan perubahan paradigma belajar mengajar matematika (di) sekolah semakin menguat. Dari sisi isi, gerakan itu mengajukan apa yang disebut sebagai New Mathematics. Dari sisi pembelajaran, dimotori oleh Polya (1981), gerakan perubahan menginginkan agar siswa turut dalam proses membangun pengetahuan bagi dirinya secara bermakna dan dengan itu pula mereka diberi pengalaman melihat dan melakukan sendiri proses pemecahan masalah. Di samping banyak proyek lainnya, School Mathematics Study Group (SMSG) adalah satu proyek di Amerika Serikat yang paling besar dan paling terkenal dan didirikan untuk meneliti dan mengembangkan pengajaran matematika baik dari isi maupun metodologi (Ruseffendi, 2006). Menurut Ruseffendi, pengajaran matematika modern itu bercirikan: 1) memuat materi baru seperti himpunan, statistika, teori kemungkinan, logika matematika, sistem numerasi kuno, bilangan dasar nondesimal, aljabar Boole, ring, field, group, program linear, dan lain-lain; 2) Menggunakan metoda dan pendekatan baru, seperti: penekanan pada mengajar konsep, pengertian, penggunaan terminologi/ bahasa dan simbol yang lebih tepat, pendekatan spiral, mendorong penggunaan alat peraga dan permainan, penemuan, dan pemecahan masalah.
27
Meskipun kerja Vygotsky dan Piaget dengan rekan kerjanya masingmasing telah dipublikasikan pada masa itu, namun gaungnya belum mendapat respon kuat dari para pemerhati pendidikan di Amerika Serikat. Hal ini karena pengaruh paradigma belajar aliran behaviorisme masih begitu mengakar. Baru kemudian tahun enam puluhan teori epistemologi pengetahuan dari Piaget dan kontruksi sosial dari Vygotsky mulai mendapat tempat dan diadopsi dalam kerangka teroretis belajar mengajar (Vygotsky, 1978). De Corte, Depaepe, dan Verschaffell (2006) mencatat, sejak itu (tahun tujuh puluhan), di berbagai penjuru dunia berkembang suatu kecenderungan pemikiran bahwa pendidikan matematika seharusnya ditujukan pada pengembangan penalaran matematis, keterampilan memecahkan masalah, pembentukan sikap, dan kemampuan menggunakan keterampilan tersebut secara bermakna dalam situasi kehidupan nyata (aplikasi). Sebagaimana diketahui, pesatnya perkembangan teknologi dan informasi di era pasca-modernisme ini berakibat pada mengglobalnya hampir seluruh sektor kehidupan, membuat setiap bangsa di dunia mau tak mau mesti berjuang untuk mempersiapkan anak bangsanya agar dapat hidup kompetitif di tengah persaingan global yang semakin ketat dan terbuka. Dalam konteks inilah eksistensi pendidikan di sekolah terutama pendidikan yang dapat menghantar anak didiknya menghadapi kancah persainganitu semakin penting dan tak dapat ditawar lagi. Pendidikan matematika pun tentu saja tidak terlepas dari kondisi ini. Pembelajaran matematika tidak cukup hanya sampai pada keterampilan anak mengingat atau menghafal rumus dan menggunakannya dalam situasi yang rutin. Namun lebih jauh dari itu, hendaknya potensi yang dipunyai anak didorong untuk
28
tumbuh dan berkembang dalam kerangka memahami materi matematika secara bermakna dan melakukan kegiatan bermatematika melalui pemecahan masalah. Kegiatan bermatematika, menurut rumusan Principles and Standards for School Mathematics (PSSM) (NCTM, 2000) meliputi terampil bernalar dan membuktikan pernyataan matematis, terampil memecahkan masalah, terampil menghubungkan, menyajikan, dan mengkomunikasikannya. Semua keterampilan itu saling terkait dan saling dukung-mendukung satu sama lain tatkala seseorang belajar matematika. Adanya pemahaman terhadap materi awal akan membantu anak melakukan matematika dan dengan bermatematika ini pemahaman anak semakin utuh dan lengkap dan menjadi modal lagi untuk melakukan kegiatan matematika berikutnya yang pasti lebih rumit dan lebih tinggi tingkatannya. Hal inilah yang menjadi perbedaan utama antara paham konstruktivisme dengan paham pendahulunya, behaviorisme. Menurut paham behaviorisme tidak ada sesuatupun di dalam pikiran yang tidak lebih dulu dirasakan. Ini mengasumsikan seseorang dimungkinkan memperoleh pengetahuan langsung dari tiap realitas karena melalui rasa (sense) kita menciptakan exact image (replika atau fotokopi) dari realitas itu. Karenanya pengetahuan dapat dialihkan secara utuh (intact) dari seorang ke orang lain. Paham ini memiliki motto you understand what you see (Olivier, 1999). Dalam pandangan Behaviorisme, belajar adalah respon terhadap adanya rangsangan yang diberikan. Oleh sebab itu, jika diinginkan seorang anak agar berperilaku dan bertindak seperti yang diinginkan maka ia harus diberi dan dibiasakan mendapat rangsangan dan melatihnya untuk merespon sesuai dengan
29
yang dikehendaki. Dalam konteks pembelajaran matematika, paham ini lebih menekankan pada penyajian materi atau bahan ajar yang sudah jadi kepada siswa untuk diterima dan dicerna. Setelah itu, lalu anak dilatih (drill) untuk menyelesaikan soal-soal berdasarkan konsep atau prinsip yang telah disajikan itu. Akibatnya, pembelajaran yang berlandaskan paham ini kurang memberi tempat dan kesempatan pada anak untuk melakukan penyelidikan, melatih nalar memanggil dan mengaitkan antar konsep,berpikir divergen atau berpikir alternatif, dan berpikir kreatif dalam kerangka memecahkan masalah. Pembelajaran yang seperti ini juga berpotensi mencetak anak menjadi pemamah pengetahuan dan bukan penghasil pengetahuan. Padahal, penghasil atau penemu pengetahuan merupakan salah satu ukuran kemajuan budaya dan kemandirian suatu bangsa. Di sisi lain, pembelajaran seperti itu membuat topik-topik matematika bagi anak bagaikan serpihan-serpihan yang tak berkaitan satu sama lain. Matematika tampak sebagai sesuatu yang kering, monoton, dan tidak membumi karena hampir tidak pernah dikaitkan dengan kehidupan keseharian (kontekstual). Dalam pandangan anak, matematika tidak lebih dari sekumpulan rumus dan prosedur yang mesti dihafalkan agar dapat menyelesaikan soal.Di samping itu, tiap soal harus selesai dikerjakan dalam rentang waktu dua sampai sepuluh menitan bila sudah hafal rumus dan prosedurnya. Kalau tidak demikian maka ia mencap dirinya sebagai orang bodoh yang tidak mampu mempelajari matematika dan berakhir pada sikap apatis dan tidak percaya diri setiap kali berhadapan dengan matematika.
30
Untuk menghadapi tantangan global dan persaingan antara bangsa yang kian ketat dan tajam, tentu saja model pembelajaran dalam kerangka paradigma behaviorisme tidak lagi memadai. Sebagaimana ditegaskan Cai (2003: 5) bahwa : “The traditional ways of teaching, which involve memorizing and reciting facts, rules, andprocedures, with an emphasis on the application of well-rehearsed procedures to solve routineproblems, are clearly not adequate”.Hal ini karena dalam menjawab berbagai tantangan dan masalah yang rumit dan kian rumit diperlukan kemampuan bernalar dan berpikir kritis, kreatif, dan divergen.Untuk membangun kemampuan itu, di sekolah, anak harus terbiasa untuk bertanya dan/atau menjawab pertanyaan “mengapa begitu ”, “bagaimana jika”, “bagaimana mengetahuinya”, “apa ada cara lain mengerjakannya”, dan seterusnya. Agar kemampuan ini muncul dan berkembang, maka pembelajaran matematika mesti menciptakan lingkungan belajar yang dapat mendorong dan memfasilitasinya. Di titik inilah paham konstruktivisme mendapat tempat dan giliran untuk turut memainkan peran. Berbeda dari behaviorisme, pahamkonstruktivisme tidak memandang pelajar sebagai penerima pasif pengetahuan, wadah kosong yang mesti dituangi dan siap menampungpengetahuan. Pengetahuan konseptual tidak dapat dialihkan begitu saja dalam bentuk jadi dan sempurna dari satu orang ke orang lain. Sebaliknya, pelajar dipandang sebagai partisipan aktif yang membangun pengetahuannya sendiri berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dipunyainya. Gagasan baru dipahami dan ditafsirkan berdasarkan apa yang sudah ada pada dirinya. Untuk itu ia perlu mengorganisasi dan menyusun kembali
31
struktur pengetahuannya dan ini hanya ia yang dapat melakukannya. Selain itu, belajar dipandang sebagai proses sosial. Pelajar belajar dari sesama dan dari guru melalui diskusi, berkomunikasi dan saling berbagi gagasan, membandingkan gagasan-gagasan, merefleksi pikiran sendiri dan mencoba memahami pikiran orang lain dengan negosiasi pemaknaan (Olivier, 1999). Pendekatan
pembelajaran
biasa
(behaviorisme)
tidak
serta-merta
selamanya buruk dan tidak layak digunakan, sebab karakteristik beberapa topik matematika,terutama fakta dasar yang hanya menekankan pada ingatan seperti perbandingan trigonometri misalnya, lebih efektif bila diajarkan dengannya. Apalagi, hasil telaah terhadap banyak studi yang menerapkan pendekatan pembelajaran dengan landasan konstruktivisme, mengungkap adanya kendala seperti boros waktu, sulit merancang bahan pembelajaran, sulit menyusun bentuk penilaian, sulitnya guru melakonkan peran sebagai fasilitator, sulitnya guru mengubah mind-set dari guru mengajar menjadi siswa belajar, sulitnya siswa mengambil peran sebagai penanggung jawab sendiri belajarnya,dan lain-lain. Tampaknya, jalan ideal atau setidaknya lebih baik untuk ditempuh ialah dengan mencampur atau menggabungkankedua paham itu. Sebagaimana telaah Resnick dan Hall, yang dikutip dalam
Shinn, et al. (2003),menegaskan
konstruktivisme berbasis pengetahuan yaitu gabungan kegiatan pengajaran langsung dengan konstruktivisme bisa jadi bersesuaian dan efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran. Lagi pula, bagaimana pun tak dapat dipungkiri awal manusia belajar ialah dengan adanya masalah atau rangsangan.
32
Hal di atas ditegaskan pula oleh Piaget (1971) setelah melakukan kajian dalam psikogenesis dengan mengatakan pengetahuan muncul dari interaksi antara kesadaran diri subyek dengan obyek yang melibatkan keduanya dalam waktu bersamaan secara utuh menyatu. Untuk itu, guru dapat memulai proses belajar mengajar dengan pendekatan behaviorisme untuk menanamkan konsep atau prinsip tertentu. Setelah itu, untuk materi lanjutan yang bersesuaian, dapat dilanjutkan dengan pendekatan konstruktivisme untuk memfasilitasi dan mendorong anak belajar membangun pengetahuan bagi dirinya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya bersama-sama dengan teman dan guru sebagai fasilitator. Hal inilah yang digagas Bruner dengan teori belajar bermaknanya. B. Pemecahan Masalah 1. Pengertian Masalah dan Pemecahan Masalah National Council of Supervisors of Mathematics(NCSM) (dalam Branca, 1980) menyebutkan pemecahan masalah adalah proses menerapkan pengetahuan yang
dipunyai
ke
situasi
baru
dan
tidak
dikenal.
Polya
(1981)
mengatakan,mempunyai masalah artinya mencari secara sadar tindakan yang sesuai untuk mencapai usaha yang tersusun dan jelas, meski tidak segera didapat. Ia melanjutkan, menyelesaikan masalah artinya mencari tindakan itu. Hampir senada dengan NCSM, Marshall (1989) berpendapat memecahkan masalah adalah respon seseorang terhadap suatu situasi atau pengalaman baru yang menghendaki aksi orang tersebut. Sementara itu secara singkat, Matlin (2004) menjelaskan seseorang memecahkan masalah bila ia ingin mencapai tujuan tertentu tetapi
33
caranya tidak langsung didapatnya. Ruseffendi (2006) merinci masalah bagi seseorang adalah suatu persoalan yang tidak dikenalnya dan orang tersebut berkeinginan dan berkemampuan untuk menyelesaikannya, terlepas apakah ia dapat mengerjakannya dengan benar atau tidak. Intinya, suatu persoalan jadi masalah bagi seseorang bila ia tidak punya prosedur untuk memecahkannya namun ia berkemauan menyelesaikannya dan dapat menyelesaikannya meski barangkali memakan waktu yang relatif lama. Polya (dalam Krulik dan Reys, 1980) menegaskan pemecahan masalah merupakan capaian khas dari inteligensi dan inteligensi adalah bakat khusus dari manusia.
Ditambahkannya,
pendidikan
harusnya
berkontribusi
pada
pengembangan kecerdasan (inteligensi). Untuk itulah di sekolah, hendaknya pelajaran matematika mestinya memberikan kontribusi paling besar dalam pengembangan kecerdasan ini. Itu karena matematika memberikan cara, kesempatan, dan pengalaman pada anak untuk menyelesaikan masalah secara saintifik. Polya bahkan menyatakan matematika merupakan satu-satunya pelajaran di sekolah di mana siswa dapat memecahkan masalah di tingkat saintifik lewat geometri Euclid misalnya. Di sekolah, masalah matematis yang dihadapkan kepada siswa adalah masalah penemuan kembali. Bukan masalah yang sama sekali baru dalam artian umum yang memerlukan pembuktian matematis. Kebaruan masalah hanya berlaku bagi siswa. 2. Posisi Pemecahan Masalah dalam Matematika Pemecahan (penyelesaian) masalah menempati kedudukan sentral dalam matematika. Jika matematika dipandang sebagai produk maka pemecahan
34
masalah berada di jantungnya. Berbagai konsep, prinsip, dan prosedur dicari dan ditemukan dengan tujuan agar dapat dimanfaatkan dan bermuara pada pemecahan masalah. Sementara bila matematika dipandang sebagai suatu proses, maka pemecahan masalah juga berada di jantungnya. Umumnya, kemunculan berbagai obyek matematis dimulai dan dipicu oleh adanya masalah yang harus diselesaikan atau adanya pertanyaan yang menuntut jawaban. Lester (Branca, 1980) dan Halmos (NCTM, 2000) mengatakan pemecahan masalah adalah jantungnya matematisa. Secara tajam NCSM (Wilson,et al., 1997) menyatakan bahwa belajar memecahkan masalah merupakan alasan utama mengapa anak harus belajar matematika. Dalam konteks ini NCSM memandang pemecahan masalah sebagai tujuan belajar matematika.De Corte, Depaepe, dan Verschaffel (2006) mencatat, di berbagai penjuru dunia sejak tahun tujuh puluhan berkembang suatu kecenderungan pemikiran bahwa pendidikan matematika seharusnya ditujukan pada pengembangan penalaran matematis, keterampilan memecahkan masalah, pembentukan sikap, dan kemampuan menggunakan keterampilan tersebut secara bermakna dalam situasi kehidupan nyata (aplikasi). Menyambut penegasan NCSM di atas, National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000) merumuskan standar pemecahan masalah. Rumusan tersebut menguraikan pembelajaran matematika harusnya memungkinkan siswa untuk (a) membangun pengetahuan yang baru baginya melalui pemecahan masalah; (b) menerapkan dan mengadaptasikan berbagai strategi yang bersesuaian untuk memecahkan masalah; (c) memonitor dan merefleksi proses pemecahan
35
masalah matematis; dan (d) menyelesaikan masalah yang muncul dari matematika atau disiplin lain. Jadi, melalui pemecahan masalah, siswa dengan bantuan kelompok dan/atau guru, membangun pengetahuan matematika yang baru baginya sambil belajar menggunakan strategi untuk memecahkan masalah berdasarkan pada pengetahuan yang sudah dipunyainya. Dalam konteks ini NCTM memandang memecahkan masalah sebagai sebuah proses untuk membangun pengetahuan. Sehubungan dengan pemecahan masalah sebagai sebuah proses, maka basis pengetahuan matematis dan keterampilan mengelolanya memberikan sumbangan berarti pada proses itu (Wilsonet al., 1997). Telaah Wilson,et al.atas beberapa studi tentang pemecahan masalah matematis mengungkap siswa dengan basis pengetahuan yang baik adalah yang paling mampu menggunakan strategi heuristik dalam belajar geometri. Selain itu, pemula fokus pada permukaan masalah sedangkan ahli mengkategorikan masalah atas dasar prinsip dasar yang termuat dan ke struktur matematis mana yang paling mirip. Jadi pemecahan masalah dapat dipandang sebagai penerapan pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang dipunyai pada situasi baru atau tidak dikenal untuk membangun pengetahuan baru. Wilson,et al. (1997) melihat salah satu tujuan utama belajar matematika adalah mengembangkan kemampuan menyelesaikan beragam masalah matematis yang rumit. Dengan nada serupa, Kilpatrick,et al. (2001) menjelaskan, studi di hampir setiap dari ranah matematika menunjukkan pemecahan masalah memberikan konteks penting di mana siswa dapat belajar beragam topik
36
matematika. Kemampuan pemecahan masalah meningkat manakala anak berkesempatan menyelesaikan masalah dan melihat bagaimana masalah dipecahkan. Lebih jauh, pemecahan masalah menyediakan sarana mempelajari konsep baru dan melatih keterampilan yang sudah dipelajari. Selain sebagai tujuan dan proses, pemecahan masalah juga dipandang sebagai suatu keterampilan dasar. Branca (dalam Krulik, 1980) menulis, pemecahan masalah juga merupakan sebuah keterampilan dasar.
Branca
kemudian melanjutkan, konsekuensi memandang pemecahan masalah sebagai sebuah keterampilan memaksa kita berpikir tentang muatan spesifik dari masalah, jenis-jenis masalah, dan metoda penyelesaian. Jika dipandang sebagai sebuah keterampilan, maka fokusnya terletak pada keesensialan pemecahan masalah yang mesti dipelajari semua siswa dan memilih masalah dan teknik yang mesti dipakai. Banyak aspek belajar yang turut mempengaruhi capaian dan sikap peserta ajar terhadap materi ajar. Budaya belajar yang tidak mendorong atau kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bereksplorasi dan dan melakukan berbagai penyelidikan dari berbagai sudut pandang terhadap masalah yang dihadapinya sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan yang sudah dipunyai tentu tidak akan membuat siswa terbiasa memecahkan masalah. Arslan dan Altun (2007) menyatakan sewaktu siswa menghadapi situasi masalah kompleks dan tidak biasa baginya, maka kebanyakan dari mereka tidak secara spontan menerapkan strategi heuristik seperti membuat skema atau tabel untuk membantu memecahkan masalah tersebut. Mereka biasanya hanya melihat sepintas masalah
37
itu lalu mencoba menentukan perhitungan apa yang harus dilakukannya berkenaan dengan bilangan-bilangan yang ada pada masalah tersebut. Telaah Killen (1998) terhadap berbagai hasil penelitian menunjukkan pemecahan masalah sangat tergantung pada pengetahuan khusus dalam domainnya. Penelitian Garofalo dan Lester, demikian juga oleh Schoenfeld yang dikutip NCTM (2000) menemukan kegagalan siswa memecahkan masalah bukan disebabkan kurangnya pengetahuan awal mereka, tetapi lebih pada ketidaktepatan strategi yang digunakan. Sehaluan dengan Killen, hasil studi Arslan dan Altun (2007) di Turki terhadap anak kelas 7 dan 8 mengungkap selain strategi yang digunakan tidak cocok, minimnya spesifikasi pengetahuan dan keterampilan anak adalah faktor penanggung jawab lain dari kegagalan itu. Hal ini semakin menguatkan betapa pentingnya memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak untuk membangun pengetahuan secara bermakna dan mengalami serta melakukan sendiri pemecahan masalah dalam pembelajaran di kelas. Polya (1981) menegaskan, menyelesaikan masalah adalah tema utama bermatematika, sedang mengajar siswa berpikir (know-how) adalah yang terpenting, jauh lebih penting dari hanya sekedar memiliki segudang informasi (know-what). Oleh sebab itu, di kelas, guru selain memberikan sejumlah informasi juga mesti membekali siswa dengan know-how sampai derajat tertentu. Semua itu ditujukan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah matematika yang rumit. Know-how, menurut Polya, adalah kemampuan untuk menggunakan informasi, memecahkan masalah, membangun bukti, mengkritisi argumen,
38
menggunakan bahasa matematisa dengan tingkat kefasihan tertentu, dan mengenali konsep matematis yang terkandung dalam situasi kongkrit. Masalah yang dipecahkan adalah masalah yang memerlukan kebebasan, putusan (judgement), keaslian (originality), dan kekreatifan. Untuk itu guru dalam pembelajaran, sesuai dengan uraian Kilpatrick dan kawan-kawannya, mesti mencontohkan dan melatih siswanya memecahkan masalah dan melakukan refleksi atas jalan dan metoda yang mereka pakai. Terkait dengan proses pemecahan masalah sebagai wahana pembelajaran matematika, selanjutnya Polya mengajukan 3 prinsip belajar yang mesti dikembangkan para guru di kelas. Pertama, belajar aktif. Cara terbaik belajar ialah dengan melakukan atau menemukannya sendiri (learning by doing). Prinsip ini sudah sangat tua, berakar pada ide metoda Socrates. Kedua, dengan motivasi terbaik. Untuk dapat aktif maka diperlukan motif. Agar belajar jadi efisien, maka pebelajar mestinya tertarik pada apa yang dipelajari dan memperoleh kepuasan dari kegiatan belajar itu. Inilah motif terbaik. Ketiga, dengan tahap terurut. Menurut Kant (Polya, 1981), kognisi manusia dimulai dari intuisi, berlanjut ke konsepsi, dan berakhir pada gagasan. Dengan kata lain urutan belajar itu mestinya dimulai dari eksplorasi, lalu formalisasi, dan berakhir padaasimilasi. Jadi, dalam belajar, tahap eksplorasi harus mendahului verbalisasi dan pembentukan konsep, dan perlahan-lahan materi ajar menyatu dan berkontribusi pada sikap mental pebelajar secara menyeluruh. Belajar pemecahan masalah merupakan salah satu media yang sangat sesuai dengan prinsip belajar seperti yang dikemukakan Kant di atas.
39
Sejalan dengan tahapan belajar dari Kant, Kilpatrick,et al. (2001) menegaskan kalau kita menginginkan anak mahir bermatematika, maka pembelajaran mestinya menciptakan kesempatan belajar secara menantang dan terbuka. Selanjutnya, mereka merinci kemahiran bermatematika itu merupakan ramuan simultan dari aspek: (i) Pemahaman konseptual, yaitu memahami konsep matematika, operasi, dan relasi; (ii) kemahiran prosedural, yaitu keterampilan menjalankan prosedur, fleksibel, akurat, efisien, dan bersesuaian; (iii) kompetensi strategik, yaitu memformulasi, menyajikan, dan menyelesaikan masalah; (iv) penalaran adaptif, yaitu kapasitas untuk berpikir logis, reflektif, menjelaskan , dan membenarkan; dan (v) disposisi produktif, yaitu kebiasaan peka melihat matematika, berguna, berharga, beriringan dengan teguh dalam kesungguhan dan keyakinan diri. Dari sudut pandang Kilpatrick dan kawan-kawan, penelitian ini menyoroti aspek ketiga dan keempat dari kemahiran bermatematika. Agar pemecahan masalah dapat memfasilitasi anak belajar tentang obyek matematis dan keterampilan matematis sebagaimana diuraikan Kilpatrick dan kawan-kawannya dan juga NCTM, maka memilih masalah yang sesuai untuk tujuan itu menjadi sangat penting. Menurut NCTM (2000) masalah yang baik mestinya mencakup berbagai topik penting dari matematika. Selain itu, masalah yang baik memberi kesempatan pada anak untuk memantapkan dan meluaskan pengetahuannya dan juga merangsang keinginan anak belajar. Diakui, merancang masalah yang memenuhi kriteria itu merupakan salah satu tugas tersulit bagi guru. Banyak komponen yang terlibat pada diri seseorang sewaktu memecahkan masalah matematika. Namun NCTM (2000) membaginya ke dalam dua aspek
40
yang saling dukung-mendukung, yaitu kognitif dan afektif. Yang termasuk kepada aspek kognitif ialah kemampuan memformulasi, mengajukan dan menyelidiki masalah, kemampuan mengumpulkan, mengorganisasi, dan menganalisis masalah dari sudut pandang matematika, kemampuan menentukan strategi yang cocok, kemampuan menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipunyai, dan kemampuan merefleksi dan memantau proses berpikir matematis. Sedangkan yang termasuk kepada aspek afektif ialah menanamkan karakter dan berpikir positif seperti gigih, ingin tahu dan percaya diri, memahami peran matematika dalam kehidupan nyata, dan kecenderungan menggali pengetahuan baru dari sudut pandang matematika. Oleh karenanya, pemecahan masalah niscaya memuat semua keterampilan matematika lainnya yang termuat dalam Principles and Standards (NCTM, 2000), yaitu penalaran, representasi, koneksi, dan komunikasi matematis. Dari paparan di atas tampak posisi sentral pemecahan masalah dalam kegiatan bermatematika. Pemecahan masalah ibarat jantungnya bermatematika. Dalam proses memecahkan masalah siswa berupaya memahaminya sebelum melakukan proses lain dengan cara mengaitkan informasi yang diberikan dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dipunyainya. Di sini berperan keterampilan bernalar guna membuat simpulan sementara yang diperlukan untuk menentukan langkah proses penyelesaian masalah berikutnya. Selanjutnya, siswa menggunakan kemampuan representasinya untuk membantu menentukan cara yang paling layak diterapkan. Sepanjang proses itu berlangsung, siswa menulis apa yang dipikirkan dan tindakan yang diambilnya untuk mengkomunikasikan
41
kerja tersebut ke hadapan orang lain. Jadi, proses memecahkan masalah matematikamelibatkan keterampilan proses matematis lainnya dan dengan demikian terasah keterampilan tersebut turut terasah. Sebaliknya, keterampilan bernalar, pemahaman konseptual dan prosedural, kemampuan representasi, komunikasi, dan koneksi semuanya ditujukan untuk mendukung pada proses penyelesaian masalah. 3. Menilai Kemampuan Pemecahan MasalahMatematika Berdasarkan pada pengertiannya, syarat awal yang harus ada pada diri siswa agar terjadi pemecahan masalah ialah kemauan untuk itu. Untuk ini, guru perlu memotivasi jika memang dibutuhkan. Kemudian anak punya pengetahuan siap yang mendukungnya. Selanjutnya ialah guru memberikan bantuan seperlunya sesuai dengan kebutuhan anak dalam kegiatannya. Bersamaan dengan itu pula, sepanjang proses, guru menilai kegiatan anak. Karena tingkat pengetahuan siap dan kemampuan penalaran anak berbedabeda, maka sangat mungkin jenis dan banyak bantuan yang dibutuhkan anak berbeda pula. Ini pulalah yang menjadi salah satu unsur penilaian dalam kegiatan pemecahan masalah. Terkait dengan ini, analisis kebutuhan anak yang dilakukan guru guna memberikan bantuan sekecil mungkin akan lebih efektif ketimbang memberikan bantuan secara generik bagi semua anak. Campione, Brown, dan Connell (dalam Herman, 2006) memberikan tiga tahap penilaian untuk mengukur kemajuan kegiatan pemecahan masalah secara berkelompok. Pertama, pemahaman terhadap masalah, yaitu apakah informasi penting dan gagasan dalam masalah itu telah diketahui. Kedua representasi, yaitu
42
apakah mereka telah dapat membuat representasi eksternal terhadap masalah yang memudahkan mereka menanganinya. Ketiga penyelesaian, yaitu apakah strategi yang dipilih telah tepat dan dijalankan dengan benar pula. Dalam proses ini akan terpantau ada tidaknya diskusi dan/atau refleksi terhadap pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Dari sini pulalah guru dapat memantau sekaligus memperbaiki jika diperlukan tingkat partisipasi, antusiasme, dan kinerja siswa dalam bekerja berkelompok. Teknik lain untuk menilai kinerja pemecahan masalah adalah penskoran dari tes tertulis. Dalam hal ini siswa diberikan masalah untuk diselesaikan secara tertulis dan yang jadi fokus penilaian adalah proses penyelesaian yang dibuat anak, bukan hanyapada hasil akhir.Gronlund (2006) mengatakan tujuan alat penilaian ini ialah untuk mengarahkan pengamatan langsung pada unsur-unsur terpenting dari kinerja siswadan memberikan tempat buat merekam penskoran. Dalam penelitian ini digunakan teknik yang disebutkan terakhir. C. Penalaran Matematis 1.Pentingnya PenalaranMatematis Jika pemecahan masalah memainkan peran sentral dalam matematika, maka penalaran memainkan peran serupa dalam pemecahan masalah. Mengutip O’Daffler dan Thornquist, Artzt dan Yaloz-Femia (1999) merumuskan bahwa penalaran matematis adalah bagian dari berpikir matematis yang meliputi membuat perumuman dan menarik simpulan sahih tentang gagasan-gagasan dan bagaimana gagasan tersebut saling terkait.
43
NCTM dalam Curriculum and Evaluation Standards (NCTM, 1989) merinci komponen penting dari proses bernalar yang seharusnya menjadi bagian dari pengukuran kemampuan penalaran matematis, yaitu: (a) menggunakan penalaran induktif untuk mengenali pola dan membangun dugaan, (b) menggunakan penalaran untuk mengembangkan beragam argumen pernyataan matematika, menyelesaikan
(c)
menggunakan masalah,
(d)
penalaran
sebanding
menggunakan
dan
penalaran
ruang
untuk
deduktif
untuk
memverifikasi simpulan, membenarkan validitas argumen, dan membangun argumen yang valid, dan (e) menganalisis situasi untuk menentukan sifat dan struktur umum. Berdasarkan komponen penalaran ini dan standar pemecahan masalah oleh NCTM tampak penalaran matematis merupakan bagian utuh dari pemecahan masalah. Penalaran mendasari semua aspek atau komponen tingkat tinggi dari pemecahan masalah. Peressini dan Webb (1999) berpendapat penalaran dapat dipandang sebagai suatu kegiatan dinamis yang mencakup berbagai jenis cara berpikir. Mengutip O’Daffler dan Thornquist, kedua penulis selanjutnya mengatakan penalaran matematis, yang memainkan peran mutlak dalam proses berpikir, meliputi mengumpulkan fakta, membuat dugaan, membuat perumuman, membangun argumen, dan menarik (dan menyahihkan) simpulan logis mengenai beragam gagasan itu dan hubungan-hubungannya. Sehubungan dengan itu, keduanya mengatakan penalaran matematis mencakup, namun tidak terbatas pada, induktif (termasuk mengenali dan mengembangkan pola), deduktif, bersyarat,
44
kesebandingan, grafikal, spasial, dan abstrak. Dapat ditambahkan, sebenarnya penalaran pula yang digunakan untuk melakukan abstraksi. Russel (1999) mengatakan penalaran matematis adalah pusat belajar matematika. Ia berargumen, matematika adalah suatu disiplin berkenaan dengan obyek abstrak dan penalaranlah alat untuk memahami abstraksi. Ia tambahkan penalaranlah yang digunakan untuk berpikir tentang sifat-sifat sekumpulan obyek matematis dan mengembangkan perumuman yang dikenakan padanya. Kita lihat pernyataan Russel sejalan dengan pengertian penalaran matematis dari O’Daffler dan Thornquist di atas, bahwa penalaran melibatkan beberapa keterampilan penting seperti menyelidiki pola, membuat dan menguji dugaan (conjecture), dan menggunakan penalaran deduktif dan induktif formal untuk memformulasikan argumen matematis. Dominowski (2002) menyatakan penalaran adalah jenis khusus dari pemecahan masalah. Dengan kata lain, penalaran adalah bagian tertentu dari pekerjaan memecahkan masalah yang dengan demikian merupakan bagian dari bermatematika (doing mathematics). Semuanya sejalan. Intinya, penalaran adalah alat untuk memahami matematika dan pemahaman matematis itu digunakan untuk menyelesaikan masalah. Pengalaman menyelesaikan masalah pada gilirannya memperkuat pemahaman dan penalaran matematis yang kemudian kembali menjadi modal untuk memecahkan masalah baru atau masalah lain yang tingkat kerumitannya lebih tinggi dan dalam lagi. Demikian alur itu seharusnya berlangsung, seperti layaknya spiral mengembang.
45
Seumpamabermain catur, bernalar merupakan sebuah keterampilan dan sebagaimana keterampilan lainnya ia dapat dilatih dan dikembangkan. Menurut NCTM (2000), bernalar matematis adalah suatu kebiasaan, dan seperti kebiasaan lainnya, maka ia mesti dikembangkan melalui pemakaian yang konsisten dan dalam berbagai konteks. NCTM menambahkan, orang yang bernalar dan berpikir secara analitik akan cenderung mengenal pola, struktur, atau keteraturan baik di dunia nyata maupun pada simbol-simbol. Orang ini gigih mencari tahu apakah pola itu terjadi secara kebetulan ataukah ada alasan tertentu. Ia membuat dugaan dan menyelidiki kebenaran atau ketidakbenaran dugaan itu. Membuat dan menyelidiki dugaan adalah hal yang sangat penting dalam matematika, karena melalui dugaan berbasis informasilah penemuan matematika sering terjadi. Disposisi matematis seperti ini sangat diperlukan untuk menghadapi berbagai masalah terutama yang rumit untuk dipecahkan. Menurut NCTM (2000), standar penalaran matematis meliputi (a) mengenal penalaran sebagai aspek mendasar dari matematika; (b) membuat dan menyelidiki dugaan matematis; (c) mengembangkan dan mengevaluasi argumen matematis; dan (d) memilih dan menggunakan berbagai tipe penalaran. Sehubungan dengan itu, dorongan dan kesempatan yang didapat anak di kelas untuk melakukan penalaran dalam kerangka memecahkan masalah matematis merupakan fondasi yang diperlukan untuk mencapai standar penalaran yang dirumuskan NCTM tersebut. Membiasakan bernalar sejak hari-hari pertamanya di sekolah akan membuat anak sadar kalau tiap pernyataan yang dibuatnya memerlukan alasan
46
pembenaran. Pertanyaan guru atau teman seperti, “mengapa bisa begitu”, “bagaimana kita tahu itu benar”, “adakah yang punya jawaban berbeda”, atau “adakah cara lain mengerjakannya”, dapat membantu anak melakukan penalaran untuk mengajukan argumentasi pendukung atau fakta yang berlawanan atau berpikir alternatif (divergen). Sebagai contoh, guru dapat meminta siswa untuk membuktikan garis yang membagi dua sama besar sudut yang dibentuk dua garis yang saling berpotongan di satu bidang, berjarak sama terhadap kedua garis itu (Gambar 2.1). Namun, penalaran anak akan lebih berkembang secara lentur dan dorongan untuk menyelidik akan tumbuh bila tugas itu diungkap dengan menanyakan misalnya apa ada garis yang berjarak sama terhadap dua garis yang berpotongan di sebuah bidang, dan kalau ya, bagaimana kita tahu bahwa jarak itu sama.
l
m
Gambar 2.1 Dua Garis Saling Berpotongan
Russel (1999) mengingatkan betapa penalaran membawa kita pada satu jenis ingatan yang berbeda dengan menghafal biasa (usaha untuk mengingat fakta tanpa ada hubungannya dengan jalinan penalaran). Menurutnya, dampak dari pengembangan dan penggunaan penalaran matematis lebih kuat, berupa ingatan yang lebih dapat dipercaya, yaitu ingatan tentang esensi hubungan matematis yang betul-betul mendasar. Misalnya, alih-alih menghafalkan rumus besar sudut dalam dari segi− beraturan, maka akan jauh lebih bermakna bila pengetahuan 47
anak tentang besar sudut keliling satu putaran dan sudut lurus digunakan dalam penalaran dan anak diajak untuk menyelidiki masalah tersebut. Berikutcontoh untuk
= 5 (Gambar 2.2). F
J
G
I
H
Gambar 2.2 Segi-5 Beraturan
Jumlah sudut-sudut (luar) F, G, H, I, dan J adalah 360 . Sudut yang besar-nya akan dicari adalah sudut dalam (komplemen dari masingmasing sudut itu). Karena segilima ini beraturan, maka kita tahu besar satu sudut luar itu adalah . Dari itu diperoleh besar satu sudut dalam adalah 1800 . Penalaran dapat dilanjutkan untuk mendapatkan rumus umum untuk segi− .
Malloy (1999) mengatakan pertanyaan guru dan siswa merupakan suatu strategi untuk membantu anak menggunakan potensi kemampuan penalarannya terhadap obyek matematis. Dengan mengutip Wolf dan Sawada, Malloy menambahkan, sewaktu guru meminta siswa untuk bernalar mengenai matematika lewat pertanyaan-pertanyaan menyelidik, maka anak pada dasarnya memiliki pemahaman matematis yang lebih baik dari yang kita bayangkan. Dalam hal ini perlu dicamkan bahwa bertanya (reflektif) merupakan bagian dari rangkaian pembelajaran. Oleh sebab itu, guru dituntut pula agar terampil mengajukan pertanyaan yang merangsang anak bernalar. Untuk itu, pembelajaran di kelas mesti dirancang demikian rupa sehingga anak berani mengemukakan pikirannya tanpa harus merasa malu atau takut ditertawakan, dan tiap anak berkontribusi dengan cara menilai dan menanggapi pemikiran kawannya. Dengan demikian, seiring perjalanan proses pembelajaran
48
berbagai ragam topik matematika yang dilalui dan dialaminya di sekolah, maka penalaran aljabar, geometri, kesebandingan, peluang, statistika, dan sebagainya dari anak akan berkembang. 2. Jenis-jenis Penalaran Dalam matematika ada beberapa jenis bentuk penalaran. Diantaranya ialah penalaran logis, ruang, kesebandingan, statistik, probabilistik, aljabar (simbolik), grafik. Menurut Principles and Standards (NCTM, 2000) siswa harus bernalar dalam berbagai ranah dan latar matematis. Penalaran ruang membawa anak pada capaian geometrik yang bermakna dan mendalam, terutama pada dimensi-2 dan dimensi-3. Penalaran probabilistik membantu anak menganalisis seberapa mungkin suatu kejadian akan muncul. Penalaran statistik memungkinkan siswa menilai resiko dan membuat perumuman tentang sebuah populasi dengan menggunakan sampel perwakilan dari populasi tersebut. Aljabar merupakan sumber penalaran simbolik. Beberapa ahli (Polya, 1981; Ruseffendi, 2006; Sumarmo, 1987) menggolongkan bentuk penalaran logiske dalam dua kelompok utama, induktif dan deduktif. Polya (1981) mengindikasikan penalaran induktif adalah suatu metoda untuk menemukan sifat-sifat dari fenomena dan untuk mencari keteraturan dengan cara logis. Jadi penalaran induktif bertujuan untuk menentukan aturan. Jenis penalaran ini seringkali dipakai dalam dunia sains alam. Sesuai dengan karakter matematika yang sarat dengan keteraturan, maka jenis penalaran ini sangat penting dalam mempelajari dan melakukan kegiatan bermatematika. Pada umumnya kelahiran suatu teori dalam matematika justru diawali dari bekerjanya
49
penalaran induktif hingga menemukan atau terbentuk suatu dugaan yang kemudian dugaan ini dibuktikan atau disangkal melalui penalaran satunya lagi, deduktif.Itulah sebabnya Polya (1981) menyatakan penalaran induktif adalah jenis penalaran alami yang membawa orang pada pengetahuan saintifik. Penalaran induktif fokus pada menemukan keteraturan pola, gambar, bentuk, dan lain-lain sejenisnya. Misalnya melihat keserupaan yang dikandung dari contoh-contoh berbeda. Perhatian difokuskan pada ciri kesamaan yang dipunyai obyek dan ini menjadi dasar dari pembentukan konsep. Oleh sebab itu, sering dikatakan penalaran induktif menarik simpulan secara umum dari contohcontoh khusus. Sementara penalaran deduktif menarik simpulan dari premispremisnya menuruti aturan logika matematika secara ketat. Perlu diingat, penalaran deduktif adalah satu-satunya cara membuktikan pernyataan yang diterima dalam matematika. Itulah sebabnya sering matematika disebut sebagai ilmu deduktif. Penalaran induktif biasa diartikan sebagai penalaran yang berjalan dari hal khusus ke umum, yaitu bentuk penalaran yang membuat pernyataan umum berdasarkan pada sejumlah pengamatan atau contoh. Sebaliknya penalaran deduktif diartikan sebagai penalaran yang berjalan dari hal umum ke yang khusus. Namun Sumarmo (1987) menegaskan penalaran induktif dapat juga berjalan dari umum ke umum dan penalaran deduktif dapat juga berjalan dari umum ke umum. Menurutnya, kedua jenis penalaran merupakan argumen. Argumen adalah serangkaian proposisi yang mempunyai struktur, terdiri dari beberapa premis dan satu simpulan.
50
Penalaran deduktif dan induktif yang berjalan dari umum ke umum berturut-turutdapat kita lihat pada contoh 1 dan 2 berikut ini. Contoh 1. Semua persegi panjang adalah jajar genjang. Semua jajar genjang adalah segi empat. Jadi, semua persegi panjang adalah segi empat. Contoh 2. Jumlah semua sudut sebuah persegi panjang adalah 3600. Jumlah semua sudut sebuah trapesium adalah 3600. Jadi, mungkin jumlah semua sudut segi empat adalah 3600. Lebih jauh Sumarmo mengatakan deduksi berhubungan dengan kesahihan argumen, sedang induksi berhubungan dengan derajat kemungkinan kebenaran dari simpulan. Mengutip Copi, Sumarmo (1987) menyatakan argumen deduktif adalah proses penalaran yang simpulannya ditarik secara mutlak menurut premispremisnya, sedang argumen induktif adalah proses penalaran yang simpulannya ditarik menurut premis-premisnya dengan suatu probabilitas. Memperhatikan bagaimana orang membuat simpulan dari penalaran induktif dan deduktif, maka dari berbagai pendapat tersebut di atas, pengertian yang dibuat Copi tampaknya yang paling sesuai. Berdasarkancara penarikan simpulan yang bersifat probabilistik, maka sebagian ahli meragukan keabsahan penalaran induktif. Alasan yang dikemukakan ialah bagaimana mungkin kebenaran suatu pernyataan umum dapat ditentukan hanya oleh beberapa pengamatan. Meski demikian, sebagaimana telah dinyatakan, fakta menunjukkan bahwa penalaran induktif berperanan penting dalam penemuan berbagai obyek matematis.Selain itu, sehubungan dengan kepentingan
51
proses pembelajaran matematika di sekolah prinsip penalaran induktif tetap diperlukan. Hal ini terutama disebabkan karena tingkat perkembangan kognitif sebagian besar anak belum mencapai operasi formal meski telah duduk di bangku sekolah menengah atas. Penalaran induktif berperan penting dalam perkembangan matematika. Dengan mengamati beberapa kasus seseorang dapat membuat suatu simpulan sebagai perumuman atau abstraksi dari kasus. Namun simpulan itu masih bersifat sementara sebelum berhasil dibuktikan secara deduktif. Jika tidak/belum berhasil dibuktikan maka perumuman itu hanya disebut sebagai dugaan (conjecture). Dari sini tampak peran besar penalaran induktif membangun pengetahuan matematika karena penemuan-penemuan matematika sering terjadi melalui pengamatan yang dibantu oleh penalaran induktif ini. Perlu diingat, pembuktian dengan cara induksi matematika merupakan pembuktian matematis atau pembuktian deduktif. Dalam konteks pembelajaran di sekolah, Pellegrino dan Glaser (Csapo, 1997) menafsirkan penalaran induktif sebagai salah satu kemampuan belajar mendasar, atau menurut Rapo (Csapo, 1997) sebagai keterampilan belajar. Bahkan Csapo selanjutnya mengatakan beberapa peneliti seperti Resing, Tissink, Hamers, dan Van Luit menggunakan tugas-tugas induktif untuk mengukur potensi belajar.Lebih dari itu, Csapo mengatakan penalaran induktif, khususnya penalaran analog merupakan satu cara alih pengetahuan, yaitu menerapkan pengetahuan siap dalam suatu konteks kepada situasi baru. Dan hal ini tidak mudah dilakukan, karena studi kognitif kontemporer (Csapo, 1997) mengungkap mayoritas pengetahuan kita bersifat terbatas-isi atau khas ranah.
52
Untukmelakukan proses yang benar dalam penalaran induktif, Polya (1981) mengajukan empat langkah yang seyogianya dilalui, yaitu: mengalami kasus
khusus,
memformulasikan
dugaan,
membuktikan
dugaan,
dan
memeriksakannya dengan kasus khusus baru. Berdasarkan empat langkah ini, Santiago dan Martinez (2004) meneliti tindakan yang diambil siswa terkait dengan pembenaran pernyataan yang di dalamnya muncul penalaran induktif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa menemukan pola merupakan langkah relevan dalam proses penalaran induktif dan suatu strategi penting dalam pemecahan masalah matematis. Di sisi lain, Csapo (1997) meneliti peran penalaran induktif dalam belajar, terutama belajar bermakna, yang tercermin dari pengetahuan terapan. Dalam hal ini Csapo membagi pengetahuan ke dalam dua jenis, yaitu pengetahuan sekolah (didapat dan dikuasai dalam konteks yang berhubungan dengan sekolah) dan pengetahuan terapan (jenis pengetahuan yang dapat diterapkan di luar konteks dari saat ia didapat). Csapo menemukan korelasi tinggi antara penalaran induktif dengan pengetahuan terapan dan korelasi berarti antara penalaran induktif dengan tingkat kelas. Namun Csapo juga melaporkan perkembangan tercepat penalaran induktif terjadi pada anak sekolah dasar, dan ini berarti masa sensitif. Temuan dua penelitianyang disebut terakhir jelas menunjukkan peran penting kemampuan penalaran induktif meningkatkan belajar yang tercermin pada capaian hasil belajar anak dan sekaligus menunjukkan pentingnya mengembangkan kemampuan penalaran induktif bahkan sejak anak di sekolah dasar.
53
Oleh karena itu, hendaknya pembelajaran matematika di kelas dirancang demikian rupa sehingga memberi kesempatan luas bagi anak bereksplorasi mengembangkan kemampuan penalaran induktif ini. Sebab berdasarkan telaah Csapo, eksperimen yang ditujukan pada mekanisma alih pengetahuan secara langsung atau penalaran induktif secara umum mengungkap bahwa penalaran jenis ini dapat ditingkatkan. Jadi, meningkatkan kemampuan penalaran induktif berarti meningkatkan belajar. Sementara itu, Wikipedia (2008) menjelaskan penalaran deduktif menggunakan argumen deduktif untuk bergerak dari pernyataan yang diberikan (premis), yang diasumsikan benar, kepada simpulan, yang mestinya benar bila premisnya benar. Artinya penalaran deduktif bertujuan menarik simpulan dengan menggunakan aturan dan kondisi awal yang diberikan.Contoh klasik penalaran deduktif diberikan Aristotle berikut ini. Semua manusia akan mati. (Premis mayor) Socrates adalah manusia. (Premis minor) Socrates akan mati. (Simpulan) Menurut Peirce (Sowa dan Majumdar, 2003), selain induktif dan deduktif, ada satu lagi jenis penalaran logis, yaitu abduktif. Pekerjaan menebak atau membangun hipotesis awal disebut abduksi. Jika diberikan pernyataan q dan aksioma p mengakibatkan q, maka dugaan p yang menjelaskan atau membuat q adalah penalaran abduksi. Wikipedia mengatakan abduksi adalah sebuah metoda penalaran yang memilih hipotesis yang paling baik dalam menjelaskan, jika benar, suatu fenomena. Karena bernalar dengan metoda ini lebih sulit dilakukan di
54
tingkat sekolah menengah dan menurut Peirce tidak dapat diajarkan, maka yang jadi fokus perhatian dalam penelitian ialah penalaran induktif dan deduktif. Adapun aspek penalaran induktif dan deduktif yang menjadi pusat perhatian
adalah
kemampuan
menganalisis,
memperumum,
mensintesis/mengintegrasi, memberikan alasan/penjelasan (justification), dan memecahkan masalah takrutin (Garden, et al., 2006). Kemampuan analisis mencakup menyelidiki dan menarik simpulan sahih dari informasi yang diberikan. Memilih fakta matematika yang perlu untuk menyelesaikan masalah tertentu. Menentukan dan menjelaskan atau menggunakan hubungan antar peubah dalam suatu situasi matematis. Kemampuan membuat perumuman adalah memperluas ranah keberlakuan hasil
kegiatan
bernalar
dan
memecahkan
masalah.
Mensintesis
atau
mengintegrasikan mencakup mengombinasikan berbagai prosedur matematis untuk memperoleh hasil lanjutan. Membuat kaitan antar kepingan pengetahuan dan representasi terkait, dan mengaitkan antar ide matematis. Menjastifikasi adalah memberikan alasan membenarkan atau menyalahkan suatu pernyataan merujuk pada hasil atau sifat yang telah diketahui. Selanjutnya, memecahkan masalah tak-rutin ialah menyelesaikan sekumpulan masalah yang kiranya belum pernah dihadapi siswa dan menerapkan prosedur matematis dalam konteks asing atau rumit.
55
D. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) 1. Landasan dan Latar PBM Boud dan Feletti (dalam Duch, Groh, dan Allen(2001)) mengatakan prinsip yang melandasi PBM lebih tua dari pendidikan formal sendiri, yaitu orang belajar dimulai dari adanya masalah yang harus dipecahkan, pertanyaan yang memerlukan jawaban, atau teka-teki yang memerlukan penyelesaian. PBM berbeda secara diametral dengan pembelajaran biasa. Jika pembelajaran biasa berpuncak pada pemecahan masalah setelah penyajian obyek matematis, maka PBM berawal dari sebuah masalah untuk membangun pengetahuan dan keterampilan dalam konteks yang relevan. Beberapa peneliti (Barrett, Mac Labhrainn, dan Falon, 2005; Besana, Fries, dan Kilibarda, 2002; Chung dan Chow, 1996; Savery & Duffy, 1995) mencatat PBM pertama kali dijalankan tahun enam puluhan di sekolah medik McMaster Ontario, Kanada, berdasarkan riset yang dilakukan Barrows dan Tamblyn. Barrett dan kawan-kawannya (2005) menjelaskan alasan penggunaan PBM ini di dalam bukunya. Berdasarkan riset pada klinik, Barrows dan Tamblyn menyimpulkan mengajar mahasiswa sekolah medik dengan cara mengajak mereka langsung memecahkan masalah lebih efektif ketimbang dengan cara pendidikan medik yang biasa dilakukan (sistem perkuliahan). Menurut telaah Savery dan Duffy (1995), sejak masaBarrows dan Tamblyn, PBM telah dikembangkan dan diterapkan di 60 sekolah medik. Selanjutnya kedua penulis menjelaskan setelah itu PBM menyebar ke berbagai disiplin seperti bisnis, pendidikan, arsitektur, hukum, teknik rekayasa, sosial, dan
56
sekolah menengah. Untuk tingkat sekolah menengah, Illinois Mathematics and Science Academy (IMSA) mengadopsi PBM sebagai pendekatan pembelajaran sejak tahun 1992. Bok (Center for Learning Teaching and Scholarship(CLTS), 2006) menulis, peningkatan pemakaian PBM berlanjut karena berdasarkan penelitian diketahui mahasiswa menyimpan sangat sedikit informasi hasil dari pembelajaran biasa. Schmidt (CLTS, 2006) menambahkan lewat pembelajaran biasa mahasiswa mengalami kesulitan mengalihkan pengetahuannya ke dalam situasi baru. Meier, Hovde, dan Meier (dalamWard dan Lee, 2002) mencatat keinginan pasar kerja di Amerika Serikat terhadap para pencari kerja. Disebutkan antara lain calon pekerja hendaknya memiliki keterampilan komunikasi yang handal, berkemampuan bekerja kolaboratif memecahkan masalah, pemahaman terhadap statistik, dan kemampuan menyelesaikan masalah ill-defined secara kreatif. Selain itu para pekerja juga diharapkan dapat menyerap gagasan baru, menyesuaikan diri dengan perubahan, tidak peragu, dapat mengamati pola, bekerja koperatif, dan menggunakan keterampilan bernalar menyelesaikan masalah non-konvensional. Temuan Meier dan kawan-kawan kian mendorong para pendukung PBM mempromosikan PBM sebagai alternatif pembelajaran yang memberi harapan tercapainya keinginan pasar tersebut. Berdasarkan telaah Ward dan Lee, beberapa peneliti (Dabbagh, Jonassen, & Yueh, 2000; Gordon, Rogers, & Comfort, 2001; Meier,etal.,
1996;
Sage,
2000;
Tchudi
&
Lafer,
1996)
lebih
jauh
merekomendasikan agar sistem perkuliahan digeser dari sistem belajar per mata kuliah menjadi belajar antar disiplin. Meier berargumentasi bahwa mereka yang
57
dididik dalam sistem per disiplin jelas tidak memiliki kemampuan menyelesaikan masalah yang menuntut mereka membuat pengaitan dan hubungan antar konsep dan isi materi. 2. Pengertian dan Karakteristik PBM Fogarty (1997) mendefinisikan PBM sebagai model kurikulum yang dirancang di seputar masalah kehidupan nyata yang ill-structured, open-ended, atau meragukan. Ia lebih lanjut mengatakan, dipicu oleh masalah, siswa berkelompok menentukan/mendefinisikan masalah, mengumpulkan fakta yang diketahui, membuat/membangun/membangkitkan pertanyaan, membuat dugaan, mengantisipasi informasi yang diperlukan, merumuskan ulang masalah, dan perlahan membangun/mengajukan alternatif solusi, serta menjastifikasi saran yang diajukan dalam konteks masalah. Menurut Barrows (Barrett, et al., 2005), PBM adalah belajar sebagai hasil dari proses upaya menuju pemahaman atau penyelesaian suatu masalah. Masalah yang pertama kali dijumpai dalam proses itu. Dengan segera Barrett menambahkan bukan berarti tidak boleh ada unsur lain dalam pembelajaran seperti ceramah atau praktek laboratorium. Namun pertama-tama mahasiswa dihadapkan kepada masalah sebagai pemicu belajar setelah itu unsur lainnya menyusul. Tan (Lee dan Tan, 2004) mendefinisikan PBM sebagai pembelajaran yang mengintegrasikan belajar dari sumber dan disiplin berbeda melalui sintesis dan penyelidikan kolaboratif. Tan menambahkan PBM berkenaan dengan situasi di mana kita tidak pasti tentang data, informasi, begitu pula dengan solusi, dan
58
menguasai seni pengendalianinteligensi melalui belajar mandiri dan juga belajar kolaboratif. Menurut Barrows dan Gijselaers(dalam Contextual Teaching and Learning (CTL), 2001),PBM berangkat dari asumsi bahwa belajar adalah proses aktif, terpadu, dan konstruktif yang dipengaruhi faktor sosial dan kontekstual. Wilkerson dan Gijselaers (dalam CTL, 2001) menyatakan PBM bercirikan berpusat pada siswa, guru lebih sebagai fasilitator, masalah ill-structured sebagai pemicu awal dan kerangka kerja bagi strategi penyelidikan, menuntun eksplorasi, dan membantu siswa mengklarifikasi dan menelusuri jawab atas pertanyaan penyelidikannya. Untuk memberikan pengertian yang lebih rinci terhadap PBM, Boud (dalam Savin-Baden dan Major, 2004) menguraikan 8 karakteristiknya, yaitu: 1. Memanfaatkan pengalaman pebelajar 2. Menekankan pada siswa sebagai penanggung-jawab belajar 3. Belajar lintas disiplin 4. Mengaitkan praktek dengan teori 5. Fokus pada proses ketimbang prosedur pemerolehan pengetahuan 6. Perubahan peran guru dari pengajar ke fasilitator 7. Perubahan penilaian terhadap hasil belajar oleh guru kepada penilaian siswa sendiri dan kelompok 8. Fokus pada komunikasi dan keterampilan interpersonal
59
Barrett, et al. (2005) merumuskan ciri PBM sebagai berikut. 1. Mula-mula masalah diberikan kepada siswa. 2. Siswa mendiskusikan masalah itu dalam kelompok. Mereka mengklarifikasi fakta, mendefinisikan apa masalahnya. Menggali gagasan berdasarkan pengetahuan sebelumnya. Menemu-kenali apa yang mesti diketahui (dipelajari) untuk memecahkan masalah itu (isu belajar terletak di sini). Bernalar melalui masalah dan menentukan apa tindakan atas masalah tersebut. 3. Setiap siswa secara perorangan aktif terlibat mempelajari pengetahuan yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah mereka. 4. Bekerja kembali berkelompok untuk menyelesaikan masalah 5. Menyajikan selesaian atas masalah 6. Melihat dan menilai kembali apa yang telah mereka pelajari dari pengalaman memecahkan masalah itu. Dengan nada serupa, Fong, O’Toole, dan Keppel (2007) menguraikan PBM fokus pada proses pemecahan masalah secara menyeluruh di mana guru-fasilitator dapat memantau keefektifan masalah, kemajuan pebelajar, dan kualitas produk dan kinerjanya. Dengan mengutip Norman dan Schmidt, Schmidt, et al. (2007) menjelaskan bahwa PBM adalah sebuah usaha untuk menciptakan lingkungan belajar yang memungkinkan siswa: (a) belajar dalam konteks masalah yang bermakna, (b) aktif membangun model mental guna membantu memahami masalah dengan menggunakan pengetahuan siap, (c) belajar berbagi kognisi mengenai masalah dengan teman sekelompok, dan (d) mengembangkan
60
keterampilan belajar mandiri. Dengan demikian, sambil membangun pengetahuan di dalam kelompok, PBM juga secara tak langsung membimbing pebelajar menuju ke arah kemandirian belajar.Jadi secara ringkas, PBM adalah suatu pendekatan pembelajaran aktif, kolaboratif, dan konstruktif dengan masalah sebagai pemicu belajar. Rumusan Barrett, et al., dan Schmidt, et al. tentang PBM di atas mencirikan proses yang terjadi dalam pembelajaran berbasis masalah dari sisi siswa. Di sisi lain, Arends(2004) merinci langkah-langkah yang dilakukan guru dalam PBM sebagaimana diungkap dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1 Langkahdan TindakanGuru dalam PBM
Langkah
Tindakan Guru
1
Mengorientasikan siswa pada masalah
2
Mengorganisasikan belajarsiswa
3
Membantu penyelidikan individual maupun kelompok
4
Mengembangkan dan menyajikan karya
5
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Kegiatan guru Menjelaskan tujuan belajar, logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa agar terlibat aktif dalam memecahkan masalah. Membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tsb. Mendorong siswa mengumpulkan informasi yang sesuai, melakukan percobaan, mencari penjelasan dan penyelesaian masalah. Membantu siswa dalam merencanakan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model dan membantu mereka saling berbagi dengan temannya. Membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses yang mereka gunakan.
1.Mengorientasikan Siswa pada Masalah Di awal pelajaran guru menyampaikan secara jelas tujuan belajar, membangun sikap positif siswa terhadap pelajaran, dan menjelaskan apa yang
61
harus dilakukan siswa. Bagi siswa pemula dalam PBM, guru juga harus menjelaskan lebih rinci mengenai proses dan prosedur pendekatan pembelajaran ini. 2. Mengorganisasikan Belajar Siswa PBM menuntut guru untuk mengembangkan keterampilan siswa bekerja sama dan membantu mereka melakukan penyelidikan bersama. Selain itu guru membantu merencanakan penyelidikan dan melaporkan tugas-tugas mereka. 3. Membantu Penyelidikan Penyelidikan baik perorangan maupun berkelompok merupakan intinya PBM. Meski tiap situasi masalah memerlukan teknik penyelidikan yang dapat berbeda, namun umumnya terdiri dari proses mengumpulkan data dan coba-coba, membuat dugaan dan menjelaskan, dan menemukan selesaian. 4. Mengembangkan dan Menyajikan Karya Tahap penyelidikan diikuti pembuatan karya hasil kerja untuk disajikan. Pameran atau penyajian karya ini diamati dan dinilai oleh kelompok kerja lainnya untuk bertukar gagasan dan memberikan umpan balik. 5. Menganalisis dan Mengevaluasi Proses Tahap akhir PBM mencakup kegiatan yang ditujukan untuk menolong siswa menganalisis dan mengevaluasi keterampilan berpikir dan proses penyelidikan mereka. Di tahap ini, guru meminta siswa merekonstruksi pikiran dan kegiatan mereka sepanjang penyelidikan berlangsung. Kapan mereka mulai jelas memahami masalah; saat mana mereka yakin akan kebenaran selesaian mereka; mengapa mereka lebih menerima penjelasan yang satu ketimbang
62
lainnya; mengapa mereka menolak penjelasan tertentu; mengapa mereka menerima selesaian akhir yang mereka buat; apakah pikiran mereka berubah sepanjang proses pencarian selesaian atas masalah; jika ya, apa yang membuat perubahan pikiran itu; dan sebagainya. Dalam artikelnya, Fong dan kawan-kawannya merinci perbedaan antara PBM dengan pembelajaran biasa seperti diuraikan dalam Tabel 2.2. Tabel 2.2 Perbedaan PBM dengan Pembelajaran Biasa
No 1 2 3.
4.
5
Pembelajaran Berbasis Masalah Tekanannya pada pengetahuan siap anak Belajar berpusat pada anak dan mempromosikan belajar mendalam Pengetahuan diperoleh melalui kerja kolaboratif dalam proses pemecahan masalah Pengetahuan dibangun secara independen oleh siswa sendiri menggunakan kasus otentik sebagai contoh dan guru berperan sebagai fasilitator Masalah diposisikan sebagai pemicu belajar dan untuk pengembangan keterampilan memecahkan masalah dalam cara yang otentik.
Pembelajaran Biasa Tekanannya pada pengetahuan guru dan keterampilan menyaji Belajar berpusat pada guru dan bisa jadi belajar jadi dangkal dan pasif Pengetahuan umumnya berbasis buku teks Pengetahuan umumnya didapat dari guru. Contoh diberikan sebagai alat utuk bernalar secara simbolik Kuliah adalah alat utama (kalau bukan satu-satunya) untuk belajar. Konsep dan informasi disajikan sebagai kebenaran dengan penalaran simbolik
Masalah memegang peran sentral dalam PBM. Satu pertanyaan penting dalam menjalankan PBM adalah apa yang dimaksud dengan masalah. Norman (Kolmos, et al., 2007) menjelaskan masalah dalam PBM ialah suatu rangsangan dan tantangan bagi siswa untuk menggerakkan mereka belajar. Mengutip Bloom, Kolmos, et al. (2007) menerangkan ciri-ciri masalah yang baik sebagai berikut. 1. Melibatkan dan berorientasi pada dunia nyata
63
2. Ill-structured dan rumit 3. Membangkitkan banyak dugaan 4. Memerlukan usaha tim 5. Konsisten dengan sasaran pembelajaran 6. Dibangun atas pengetahuan dan pengalaman yang ada 7. Mendorong pengembangan keterampilan kognitif tingkat tinggi. Sementara itu, Herman (2006) menjelaskan peran guru, siswa, dan masalah dalam PBM seperti terurai dalam Tabel 2.3. Tabel 2.3 Peran guru, siswa, dan masalah dalam PBM
Guru sebagai instruktur 1. Bertanya untuk berpikir 2. Memonitor pembelajaran 3. menjaga agar siswa terlibat aktif 4. mengatur dinamika kelompok 5. Menjaga berlangsungnya proses belajar
Siswa sebagai pemecah Masalah sebagai awal masalah tantangan dan motivator 1. Aktif dan 1. Menarik untuk bertanggung jawab dipecahkan siswa 2. Terlibat langsung 2. memicu konflik kognitif dalam pembelajaran 3. memuat matematika yang 3. membangun dipelajari berdasarkan pemahaman sendiri pengetahuan awal siswa melalui interaksi
Salah satu kendala dalam menerapkan pembelajaran berbasis masalah ialah beragamnya kemampuan awal dan potensi kognitif anak. Apalagi faktor ini berperan pula mempengaruhi rasa keyakinan diri siswa. Untuk mengatasi hal ini, strategi belajar kolaboratif menjadi pilihan. Dengan strategi ini anak bekerjaberkelompok, berinteraksi untuk saling berbagi gagasan, berdiskusi, memeriksa kebenaran jawaban dan penalaran serta simpulan.
64
Perubahan peran guru dari pengajar menjadi fasilitator dalam PBM dapat pula menjadi kendala dalam pelaksanaannya. Untuk mengatasi hal ini dan agar berhasil, Barrett (2005) dan kawan-kawannya menganjurkan guru sebagai fasilitator agar: 1. Tertarik dan antusias 2. Melupakan ceramah 3. Menenggang keheningan 4. Membuat siswa berinteraksi satu sama lain 5. Mendorong penggunaan sumber informasi akurat sewaktu siswa menyelidiki isu belajarnya 6. Berorientasi sasaran masalah dan belajar 7. Menciptakan lingkungan belajar yang mendukung untuk kelompok belajar Selain peran masalah, guru-fasilitator yang begitu krusial dalam pelaksanaan PBM, maka dinamika diskusi kelompok belajar juga perlu mendapat perhatian guru lantaran siswa belajar dan menyelesaikan masalah secara berkelompok. Oleh karena keberhasilan diskusi dalam PBM ada di tangan siswa maka mereka perlu diarahkan/diorientasikan pada belajar berbasis masalah. Untuk itu, Azer (2004) menyarankan agar guru mengarahkan siswa pada 12kondisi berikut guna mengoptimalkan diskusi kelompok. Keduabelas kondisi itu ialah: 1. Membangun komitmen 2. Tiap siswa mengetahui perannya 3. Semua siswa aktif baik fisik maupun mental 4. Menjaga dinamika kelompok
65
5. Menggunakan pertanyaan yang memberdayakan 6. Menjadi pebelajar bertujuan 7. Menggunakan umpan balik guru, fokus pada masalah 8. Memantau kemajuan sendiri 9. Berpacu menjadi pemenang 10. Berpikir kritis 11. Beralih ke sikap juara 12. Menjadi pebelajar kolaboratif Sekaitan dengan pengertian dan karakteristik penalaran serta indikator yang menunjukkan penalaran sedang berlangsung pada diri seseorang, maka dari uraian di depan jelas tampak PBM merupakan salah satu proses pembelajaran yang mempromosikan peningkatan dan pengembangan kompetensi anak dalam bernalar dan memecahkan masalah. Secara singkat hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, masalah yang disajikan guru sebagai pemicu belajar selain merangsang
minat
dan
memicu
anak
melakukan
penyelidikan
juga
menggerakkannya untuk melakukan pengaitan-pengaitan antar berbagai konsep, algoritma, prinsip, dan fakta serta pengalaman yang telah dimikilinya untuk memahami masalah lalu menentukan starategi dan menjalankannya guna menyelesaikan masalah itu. Kedua, tujuan belajar matematika berupa menyelesaikan masalah dengan sendirinya terfasilitasi melalui pendekatan PBM. Dalam menyelesaikan masalah, anak mengeksploitasi kebisaannya mengklarifikasi masalah, mendefinisikan dan
66
merangkai kembali masalah, menganalisis masalah, dan meringkas dan mensintesis masalah. Semua hal tersebut dilakukan dengan penalaran sebagai pusat dan alat utamanya. Ketiga, anak melalui interaksinya dengan masalah tanpa atau dengan bantuan scaffolding dari guru membuat dugaan dan mengujinya, merumuskan pola atau perumuman, mengembangkan dan mengevaluasi argumenmatematis, dan menarik simpulan sahih tentang gagasannya mengenai masalah yang dihadapinya. Singkat kata, PBM membuka semua kemungkinan bagi dan mendorong anak untuk mengembangkan keterampilannya bernalar untuk meraih standar penalaran rumusan NCTM guna dan dalam rangka menyelesaikan masalah. 3. PBM dan Teori Situasi Didaktik Matematis Didaktik adalah suatu proses yang di dalamnya anak memperoleh pengetahuan dalam disiplin tertentu atau proses transmisi pengetahuan kepada pelajar. Didaktik diartikan pula sebagai suatu riset mendalam tentang cara membelajarkan konsep-konsep dan tentang strategi untuk memperoleh konsep tersebut. Menurut pandangan disiplin didaktik dalam lingkungan pembelajaran di mana anak beraktivitas sendirian atau berkelompok, penilaian guru terhadap apa yang dipahami anak atau usaha kerasnya mempelajari sesuatu akan lebih baik ketimbang melalui bertanya langsung (wawancara). Menurut Brousseau (1997), hipotesis yang mendasari didaktik mengatakan proses belajar dapat dicirikan oleh serangkaian situasi yang dapat dibuat ulang di mana siswa dituntun untuk meraih sepenggal pengetahuan. Situasi yang
67
diciptakan memberi konteks pada anak tentang kebermaknaan pengetahuan yang sedang dipelajarinya. Untuk disiplin matematika, Balacheff (1999) mengatakan riset didaktik matematis dibangun di atas fondasi tesis konstruktivistik dari epistemologi genetik Piaget: bahwa manusia mengeksplorasi secara aktif lingkungannya, berpartisipasi dalam menciptakan ruang, waktu, dan kausalitas. Ini
berarti
anak
aktif
berpartisipasi
dalam
membangun
pengetahuan
matematikanya. Namun untuk terjadinya belajar dalam arti terjadi perubahan struktur kognitif pada diri siswa berkat masuk dan menyatunya pengetahuan baru tidak cukup hanya dengan kehadiran basis psikologik ini. Menurut Balacheff (1999) setidaknya ada dua alasan untuk itu. Pertama, pemerolehan pengetahuan matematika memerlukan situasi yang khas dan merupakan fungsi dari disiplin matematika itu sendiri. Dalam bahasa Brousseau: “Tidak ada metoda alamiah untuk mengajar matematika”. Artinya, tidak mungkin mengharapkan anak merekonstruksi matematika secara spontan dari interaksi bebasnya dengan lingkungan. Kedua, pengajaran matematika memiliki dimensi sosial yang diungkap melalui dua jenis kendala. Kendala pertama berkaitan dengan pengetahuan yang akan dipelajari/diajarkan itu sendiri, dan kendala kedua berhubungan dengan organisasi pengetahuan yang diajarkan. Secara kongkrit apa yang dikatakan Balacheff mengindikasikan perlunya situasi problematik yang disajikan guru ke hadapan murid dalam bentuk masalah. Masalah inilah yang menjadi wahana pemicu bagi siswa untuk melakukan eksplorasi matematis guna menyelesaikan masalah tersebut sekaligus pada saat
68
bersamaan memperoleh pengetahuan ,keterampilan, dan pengalaman baru. Hal ini terkait dengan klasifikasi pengetahuan dari Piaget (Olivier, 1999). Bahwa pengetahuan logico-mathematic (pengetahuan konseptual) tidak mungkin diperoleh hanya dengan cara langsung menangani atau melakukan aksi atas obyek fisik atau obyek matematik itu sendiri. Dalam konteks inilah guru menciptakan situasi didaktik yang menggiring siswa meraih pengetahuan. Lebih lanjut Balacheff menjelaskan matematika memiliki status sosial yang sangat kuat. Siswa mesti meraih pengetahuan yang sudah dikenal dan digunakan secara luas oleh masyarakat matematika. Misalnya, notasi atau representasi khas dari pengetahuan matematika. Selain itu, meski anak belajar secara perorangan, namun guru memiliki tanggung-jawab untuk memastikan kehomogenan penggalan pengetahuan yang dibangun dan koherensinya untuk level kelas itu secara umum. Homogenisasi ini hanya dapat terjadi dalam interaksi sosial. Karakteristik PBM yang diuraikan Barret dan kawan-kawannya dapat kita pandang sebagai sintaksnya PBM. Kemudian, dari terminologi teori situasi didaktik Brousseau maka ciri-ciri PBM yang diajukan Barret maupun Arends itu merupakan unsur-unsur vital sebagaimana dikemukakan dalam Invitation to Didactique (Warfield, 2006). Melalui masalah yang dilemparkan, guru bermaksud menggiring anak pada situasi didaktik yang diinginkan. Anak diminta merespon masalah itu dan ini adalah Situasi Aksi. Bilamana perlu guru mendorong anak melalui teknik scaffolding agar Situasi yang diinginkan itu muncul. Ciri ke-2, ke3, dan ke-4 dari Barrett tak lain merupakan Situasi Formulasi di mana anak
69
memiliki sejumlah informasi, tapi mungkin masih memerlukan lebih lagi namun harus mencarinya baik sendiri maupun bertanya pada kawan kelompok. Pada ciri ke-5 dari Barrett, seorang anak yang merasa solusi atas masalah yang dibuatnya telah benar perlu meyakinkan teman dan gurunya dan untuk itu ia mengkomunikasikan solusi itu dengan cara menyajikannya dihadapan kelas. Di sini tiap anak dapat mengajukan pertanyaan atau sanggahan atau komentar yang semuanya itu merupakan bagian dari elaborasi guna menuju pemahaman bersama. Tahap inilah yang disebut sebagai Situasi Validasi dalam Teori Didaktik. Yang terakhir dari ciri tersebut tentu saja tak lain adalah Situasi Institusionalisasi di mana anak telah dapat menjadikan pengalamannya memecahkan masalah itu menjadi bagian dari sturuktur kognitifnya dan siap digunakan setiap saat dibutuhkan untuk menangani masalah baru bilamana perlu. 4. PBM dan Psikologi Belajar Pada prinsipnya teori belajar yang mendasari pembelajaran berbasis masalah ialah kontruktivisme. Menurut Dewey (Arends,2004), sekolah hendaknya mencerminkan keadaan masyarakat luas dan kelas sebagai laboratorium penyelidikan kehidupan nyata dan pemecahan masalah. Belajar di sekolah seyogianya lebih bertujuan kongkrit ketimbang abstrak. Guru didorong untuk melibatkan siswa menyelidiki masalah penting sosial dan intelektual. Dewey menambahkan belajar seperti itu terbaik dilakukan bila siswa berkelompok menelusuri dan menyelesaikan masalah yang menarik minat mereka. Pandangan pedagogis dan psikologis yang diajukan Dewey tersebut jelas sejalan dengan dasar filosofis PBM.
70
Sekaitan dengan pandangan Dewey, terlepas dari perbedaan yang ada, Piaget maupun Vygotsky sependapat bahwa anak pada dasarnya aktif membangun sendiri pengetahuannya dengan fasilitas dari lingkungannya. Dalam pandangan kognitivis, Schmidt (Barrett, 2005) mengatakan PBM adalah suatu proses mental yang aktif mengakses pengetahuan sebelumnya, membuat kaitan antara konsep lama dan konsep baru, dan mengelaborasi hubungan tersebut untuk terlibat dalam konstruksi teori. Dalam PBM, anak bersama temannya membangun pengetahuan mereka. Dengan ini PBM memiliki pandangan belajar merupakan kegiatan konstrutivis sosial. PBM memandang belajar sebagai hasil dari tindakan pelajar dan peran tutor adalah mendorong dan memberi kesempatan kepada mereka untuk membangun pengetahuan. 5. Kelebihan dan Kekurangan Sebagaimana pendekatan pembelajaran lainnya, PBM memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu dicermati untuk keberhasilan penggunaannya. Beberapa kelebihan yang terungkap dari penelitian tentang PBM (Center for Instructional Development Researches (CIDR), 2004) ialah: a. Retensi siswa pada apa yang dipelajari lebih lama dan kuat. b. Pengetahuan terintegrasi dengan lebih baik c. Mengembangkan keterampilan belajar jangka panjang, yaitu bagaimana meneliti, berkomunikasi dalam kelompok, dan bagaimana menangani masalah. d. Meningkatkan motivasi, minat dalam bidang studi, dan kemandirian belajar. e. Meningkatkan interaksi siswa-siswa, siswa-masalah, dan siswa-guru.
71
Hasil penelitian Ward dan Lee (Ward dan Lee, 2002) mengungkap beberapa kelemahan PBM seperti: a. Instrumen penilaian hasil belajar yang valid dan dapat diterima, sulit dibuat atau ditafsirkan. b. Waktu yang diperlukan dalam pembelajaran lebih banyak. c. Kendala pada faktor guru yang sulit berubah orientasi dari guru mengajar menjadi siswa belajar. d. Sulitnya merancang masalah yang memenuhi standar pembelajaran berbasis masalah. e. Siswa yang terbiasa dengan pembelajaran langsung, sulit beradaptasi dengan konsep belajar mandiri dan dapat merasa terkejut, menolak, marah, dan bertahan (resisten) pada awal pembelajaran. E. Sikap terhadap Matematika Ranah afektif telah sejak lama menarik perhatian peneliti pendidikan dan psikologi.Perhatian itu masih terus berlanjut hingga kini karena penyelidikan tentang andilnya dalam pencapaian target belajar khususnya matematika dianggap belum tuntas (Akinsola dan Olowojaiye, 2008). Menyitir Boekaerts, Marcou dan Philippou (2005) menyatakan penelitian pendidikan dan psikologi dewasa ini kian menyoroti pentingnya peranan banyak aspek afektif terutama motivasi guna mendukung tercapainya tujuan pendidikan yang diinginkan. Breiteig, Grevholm, dan Kislenko (2005) menyatakan keyakinan diri mengambil peran besar dalam belajar dan mengajar matematika. Mengutip Furinghetti dan Pehkonen, mereka tambahkan capaian belajar siswa sangat
72
berhubungan erat dengan keyakinan diri dan sikap mereka terhadap matematika. Oleh sebab itu, menilai atau mengevaluasi pengetahuan matematika siswa harus dilakukan dengan menyadari adanya pengaruh aspek keyakinan diri ini. Selain masalah pembelajaran di kelas yang kurang menyediakan kesempatan bagi siswa untuk turut terlibat dalam membangun pengetahuan, melihat dan mengalami proses pemecahan masalah, banyak pula dijumpai siswa yang tidak punya keyakinan dan sikap positif yang memadai terhadap matematikanya sendiri, pada belajar matematika, dan pada pemecahan masalah matematis. Sikap seperti ini, tentu saja membawa dampak negatif pada diri siswa dan keinginan untuk giat terlibat dalam pemecahan masalah menjadi menipis atau hilang sama sekali. Telaah Bergeson (2000) atas berbagai studi terhadap sikap anak pada matematika mengungkap banyak hal berguna, antara lain: 1. Siswa mengembangkan sikap positif terhadap matematika bila kesan pengamatannya pada matematika berguna dan menarik, dan sebaliknya. 2. Pengembangan sikap positif anak pada matematika berhubungan dengan pelibatan mereka secara langsung dalam kegiatan yang mencakup baik matematika itu sendiri maupun komunikasi dalam suatu komunitas yang dikenalnya baik seperti kelas. 3. Sikap anak terhadap matematika berhubungan kuat dengan kecermatan guru mereka dalam menggunakan/pemilihan kata yang berhati-hati, diskusi selama pemecahan
masalah,
dan
kemampuan
guru
membangkitkan
jalinan
pertalianantar topik dalam kurikulum.
73
4. Anak yang mengaitkan keberhasilan dalam matematika dengan kemampuan tinggi atau kerja keras akan termotivasi belajar matematika. Sebaliknya anak yang mengaitkan kegagalan dengan rendahnya kemampuan atau sulitnya materi matematika tidak termotivasi belajar matematika dan tak berharap dapat belajar matematika. 5. Guru matematika perlu memusatkan motivasi dan ketekunan siswanya pada memetik makna dari tugas ketimbang hanya sekedar mengerjakannya. Selain itu juga mengembangkan berpikir bebas dan strategi menyelesaikan masalah ketimbang sekedar memperoleh jawaban benar atas masalah. Berkaitan dengan laporan Bergeson di atas, kiranya penerapan PBM dalam membelajarkan topik matematika tertentu dapat menanggulangi hal-hal yang kurang menguntungkan pada pembentukan sikap positif anak terhadap matematika. Sebab dengan memulai memecahkan masalah untuk mendapatkan pengetahuan, anak disadarkan bahwa belajar matematika adalah kerja keras. Melalui masalah anak akan melihat kegunaan dan menariknya matematika. Pelibatan tiap anak dalam kelompok secara langsung untuk memecahkan masalah dan meraih pengetahuan dapat menebalkan rasa percaya dirinya. Terkhir, dengan teknik scaffoldingnya guru cermat memilih kata atau melontarkan pertanyaan membimbing
sambil
mendorong
anak
memanfaatkan
pengetahuan
dan
pengalamannya menuju pada selesaian masalah. Belum tampak ada kesepakatan di antara para peneliti tentang pengertian dan komponen pembentuk sikap terhadap matematika kecuali bahwa sikap merupakan konstruk psikologik yang karenanya tak dapat diamati secara
74
langsung. Zan dan Di Martino (2007) mengatakan sebagian besar studi tentang sikap tidak memberikan definisi dengan jelas. Sikap cenderung didefinisikan implisit dan belakangan lewat instrumen yang digunakan untuk mengukurnya. Meski demikian, Zan dan Di Martino mengutipkan juga beberapa definisi yang dibuat beberapa peneliti. Sikap terhadap matematika diartikan sebagai disposisi emosional positif atau negatif terhadap matematika; emosi yang terkait dengan matematika, keyakinan terhadap matematika, dan perilakunya terhadap matematika; pola keyakinan dan emosi terhadap matematika. Dalam penelitian ini pengertian sikap diambil dari Azwar (1995) yang mengartikan sikap sebagai penilaian positif atau negatif terhadap suatu obyek. Beberapa peneliti (Akinsola dan Olowojaiye, 2008; Bassarear, 1986; Breiteig, Grevholm, dan Kislenko,2005; Howe dan Berenson, 2003; Tapia dan Marsh II, 2004; Zan dan Di Martino, 2007) mencantumkan beberapa komponen sikap terhadap matematika, di antaranya tingkat kecemasan, kegunaan matematika, kepercayaan diri mampu belajar matematika, atribut untuk berhasil dan gagal dalam belajar matematika, perilaku terhadap matematika. Dalam penelitian ini komponen yang dijadikan dasar untuk menurunkan butir pernyataan adalah kepercayaan diri dan dorongan untuk berhasil dalam belajar matematika, senang dengan matematika, dan keyakinan akan kegunaan matematika. F. Penelitian yang Relevan Killen (1998) menulis bahwa berbagai hasil penelitian menunjukkan pemecahan masalah sangat tergantung pada pengetahuan khusus dalam domainnya. Untuk matematika, pengetahuan dasar terkait yang menjadi tumpuan
75
saat menyelesaikan masalah matematis merupakan sesuatu yang mutlak harus dipunyai anak. Selain itu, kelenturan anak memanggil dan menggunakan pengetahuannya itu sesuai dengan masalah yang dihadapi juga menjadi syarat mutlak guna kelancaran proses penyelesaian masalah.Penelitian Garofalo dan Lester, demikian juga oleh Schoenfeld yang dikutip NCTM (2000) menunjukkan kegagalan siswa memecahkan masalah bukan disebabkan kurangnya pengetahuan awal mereka, tetapi lebih pada ketidaktepatan strategi yang digunakan. Sebaliknya, studi Arslan dan Altun (2007) di Turki terhadap anak kelas 7 dan 8 mengungkap selain strategi yang digunakan tidak cocok, minimnya spesifikasi pengetahuan dan keterampilan anak adalah faktor penanggung jawab lain dari kegagalan itu. Hal ini menunjukkan penguasaan materi dalam domain matematika adalah mutlak. Namun itu saja tidak cukup, apalagi untuk menghadapi soal-soal tak-rutin. Oleh karena itu, semakin penting memberikan kesempatan seluasluasnya kepada anak untuk membangun pengetahuan secara bermakna dan mengalami serta melakukan sendiri pemecahan beragam masalah dalam pembelajaran di kelas. Di Indonesia, Dahlan (2004), dalam upayanya meningkatkan kemampuan penalaran siswa sekolah lanjutan tingkat pertama di kota Bandung, telah menggunakan pendekatan pembelajaran open-ended dikombinasikan dengan strategi kooperatif. Dahlan menemukan kualitas penalaran siswa di kelas ini berkategori cukup sementara di kelas open-ended ekspositori dan kelas biasa berkategori kurang. Secara statistik, kemampuan penalaran di kelas open-ended kooperatif lebih baik dibandingkan di kelas kendali.
76
Hasil lain dari studi Dahlan ialah kemampuan siswa menganalogikan suatu keadaan dengan keadaan lainnya cukup baik. Penalaran proporsional siswa hanya pada obyek tunggal saja. Penalaran deduktif siswa belum tampak atau dengan kata lain siswa belum mampu mencapai tahap pembuktian formal. Bahkan siswa menyatakan konvers suatu pernyataan setara dengan pernyataan itu sendiri. Untuk penalaran ruang, siswa belum mampu menemukan suatu rangkaian dari potongan suatu bangun bidang yang diberikan bila dikaitkan dengan bidang lainnya. Hal terakhir ini terkait dengan kelemahan siswa dalam menemukan pola umum dari suatu keteraturan. Studi Herman (2006) menunjukkan pembelajaran berbasis masalah mengambil peran berarti dalam meningkatkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa SMP. Namun, perlakuan membedakan pembelajaran masalah atas tipe terbuka dan terstruktur tidak membuat adanya perbedaan peningkatan yang berarti. Hal penting lain dari studi ini ialah kegiatan belajar berbasis masalah membawa siswa pada pemahaman matematis yang lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran cara biasa. Dwijanto (2007) meneliti pengaruh penerapan PBM berbantuan komputer terhadap kemampuan memecahkan masalah matematis. Ditemukan kemampuan memecahkan masalah matematis mahasiswa yang mendapat PBM lebih baik dibandingkan
kemampuan
mahasiswa
yang
belajar
dengan
pendekatan
konvensional untuk semua kelompok atas, tengah, maupun bawah. Selain itu ditemukan
perkembangan
kemampuan
memecahkan
masalah
matematis
mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan pendekatan PBM berbantuan
77
komputer lebih baik daripada mereka yang mengikuti perkuliahan dengan pendekatan konvensional. Gani (2007) telah menggunakan metoda inkuiri model Alberta untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan melihat ada atau tidak perubahan sikap terhadap matematisa siswa SMA. Studi ini menunjukkan adanya peningkatan berarti baik dari sisi pemecahan masalah maupun dari sisi perubahan sikap siswa secara keseluruhan berkat pengaruh metoda pembelajaran yang digunakan. Namun, ditemukan pula kemampuan awal matematika siswa tidak memberikan perbedaan peningkatan berarti dari pemecahan masalah. Selanjutnya ditemukan siswa mengalami peningkatan berarti untuk semua aspek pemecahan masalah (memahami, menyusun rencana, menyelesaikan, dan evaluasi). Dengan menggunakan PBM, Dewanto (2007) berhasil meningkatkan kemampuan representasi multipel mahasiswa meskipun tidak ada interaksi antara PBM dengan kategori tingkat kemampuan (tinggi, sedang, dan rendah) mahasiswa. Namun tidak ada perbedaan berarti pada keyakinan diri mahasiswa dari kedua kelompok sampel. Hal lain yang terdeteksi ialah PBM memberi lebih banyak kesempatan untuk kegiatanbermatematika. Mahasiswa lebih berani bertanya, menjawab, beradu argumentasi dengan teman dan fasilitatornya baik dalam diskusi kelompok maupun diskusi kelas. Berikutnya, berangkat dari minimnya keterampilan berpikir tingkat tinggi, khususnya kritis dan kreatif, yang dipunyai siswa dan berdasarkan karakteristik yang melekat padanya, maka Ratnaningsih (2007) menjalankan pembelajaran model kontekstual dengan pendekatan PBM pada siswa sekolah menengah atas
78
kelas X. Studi ini melaporkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa yang belajar lewat PBM lebih baik daripada yang belajar secara konvensional. Meski demikian, kemampuan siswa dari kedua kelompok itu tergolong pada kategori cukup kecuali bila ditinjau parsial, kualitas kedua kemampuan itu untuk kelompok siswa dari sekolah berperingkat tinggi masuk pada kategori baik. Belakangan, Wardani (2009) menerapkanpembelajaran inkuiri model Silver di kelas X. Hasil penelitian menunjukkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa di kelas inkuiri baik secara grup maupun klasikal lebih baik dibandingkan kemampuan siswa di kelas biasa. Demikian juga halnya bila ditinjau dari kemampuan awal siswa. Hanya saja, seluruh siswa di ketiga kelas masih kesulitan dalam menyusun strategi/pendekatan menyelesaikan masalah. Selain itu ditemukan kualitas kemampuan pemecahan masalah matematis siswa tergolong baik hanya pada kelompok siswa berkualifikasi baik. G. Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, dikaitkan dengan berbagai pandangan dan teori yang bersesuaian dengan masalah tersebut, dengan ini dikemukakanbeberapa hipotesis yang berkaitan dengan masalah penelitian sebagai berikut: a. Kemampuan penalaran matematissiswa yang mendapat PBM secara keseluruhan lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa. b. Kemampuan penalaran matematissiswa yang mendapat PBM lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa ditinjau dari kemampuan awal matematissiswa (tinggi, sedang, kurang).
79
c. Ada interaksi antara PBM dengan KAM terhadap kemampuan penalaran matematis siswa. d. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat PBM secara keseluruhan lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa. e. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat PBM lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa ditinjau dari kemampuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, kurang). f. Ada interaksi antara PBM dengan KAM terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. g. Sikap siswa terhadap matematika yang mendapat PBM lebih positif daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa. h. Sikap siswa terhadap matematika yang mendapat PBM lebih positif secara signifikan daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa ditinjau dari kemampuan awal matematisa siswa (tinggi, sedang, kurang). i. Ada interaksi antara PBM dengan KAM terhadap sikap siswa terhadap matematika. j. Sikap siswa terhadap matematikasetelah mendapat PBM lebih baik daripada sikap mereka sebelumnya.
80
BAB III METODE PENELITIAN
A. Disain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah eksperimen perbandingan kelompok statis (Fraenkel dan Wallen, 1993; Ruseffendi, 2005)karena dua kelompok sampel yang hendak dibandingkan sudah terbentuk sebelum penelitian dilaksanakan. Selain adanya pembedaan pendekatan pembelajaran terhadap kedua kelompok sampel, pengkajian lebih komprehensif dilakukan dengan melibatkan faktor kemampuan awal matematis (KAM) siswa.KAM dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu tinggi, sedang, dan kurang. Sementara pendekatan pembelajaran yang digunakan ialah Pembelajaran Berbasis Masalah (X) di kelas eksperimen dan Pembelajaran Biasa (PB) di kelas kendali. Setelah pembelajaran selesai seluruhnya, kedua kelas diberi tes akhir (O) yaitu tes kemampuan penalaran matematis dan tes kemampuan pemecahan masalah matematis. Dengan demikian disain eksperimen untuk penelitian ini digambarkan sebagai berikut. X O -------O Sebelum pelaksanaan pembelajaran, siswa baik di kelas eksperimen maupun di kelas kendali menjalani uji pengetahuan matematis (PM). Data hasil uji ini digunakan untuk memeriksa kesetaraan kedua kelompok sampel.Sementara data dokumentasi guru tentang capaian belajar siswa dua bulan terakhir dijadikan
81
representasi KAM siswa dan digunakan sebagai dasar untuk menentukan kategori peringkat anak di kelasnya. Untuk melihat apakah ada atau tidak ada perubahan sikap siswa terhadap matematika di kelas eksperimen setelah pembelajaran, maka khusus di kelas ini skala sikap terhadap matematika diisi siswa sebelum dan sesudah PBM dijalankan. Sementara di kelas kendali, skala sikap ini hanya diisi sesudah pembelajaran dilaksanakan. Data ini diperlukan untuk mendeskripsikan sikap mereka terhadap matematika dan untuk melihat apakah ada perbedaan sikap terhadap matematika di antara kedua kelas. Selain sikap terhadap matematika, skala sikap juga digunakan peneliti di kelas eksperimen untuk mengungkap pendapat siswa terhadap pembelajaran matematika berbasis masalah yang mereka jalani. Tabel 3.1. Keterkaitan antara Pembelajaran, Kemampuan Penalaran Matematis, Pemecahan Masalah Matematis, Sikap terhadap Matematika, dan Kategori KAM siswa
KAM Siswa
Pembelajaran Tinggi (T) Sedang (S) Kurang (K)
Kemampuan Penalaran (R) PBM Biasa (M) (B)
Kemampuan Pemecahan Masalah (PS) PBM (M)
Biasa (B)
Sikap terhadap Matematika (A) PBM Biasa (M) (B)
RT-M
RT-B
PST-M
PST-B
AT-M
AT-B
RS-M
RS-B
PSS-M
PSS-B
AS-M
AS-B
RK-M
RK-B
PSK-M
PSK-B
AK-M
AK-B
Keterangan (contoh): RT-M: Kemampuan penalaran matematis siswa kategori kelompok tinggi yang mendapat pembelajaran berbasis masalah PSS-B: Kemampuan pemecahan masalah matematissiswa kategori kelompok sedang yang mendapat pembelajaran biasa AK-M: Sikap siswa berkategori kelompok kurang terhadap matematika yang mendapat pembelajaran berbasis masalah
82
Peubah bebas dalam penelitian ini pembelajaran berbasis masalah dan peubah terikatnya kemampuan penalaranmatematis dan pemecahan masalah matematis serta sikap siswa terhadap matematika. Selain itu, dalam penelitian ini kategori kelompok siswa (tinggi, sedang, dan kurang) ditetapkan sebagai peubah kendali. Keterkaitan antara peubah bebas, terikat, dan kendali disajikan dalam Tabel Weiner (Tabel 3.1). B. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini siswa SMA Negeri Se-Kota Bandung dan kota besar lainnya di Indonesia yang memiliki karakteristik serupa dengannya. Pemilihan siswa SMA sebagai subyek populasi didasarkan pada pertimbangan teoretis bahwa perkembangan mental mereka sudah berada pada tahap operasi formal. Orang yang telah berada di tahap ini diharapkan telah mampu bernalar baik secara induktif maupun deduktif. Oleh karena itu kemampuan dan pengalaman bernalarnya sudah lebih beragam dan lebih terasah di samping mereka sudah lebih matang bermatematika dibandingkan siswa SMP, misalnya. Berkaitan dengan hal ini, Center for Science, Mathematics, and Engineering Education (CSMEE, 2000) mengatakan bahwa siswa sekolah kelas menengah sedang tumbuh kemampuannya bernalar secara abstrak. Mereka mulai cakap membuat perumuman, abstraksi, dan argumen dalam matematika. Penarikan sampel dilakukan dengan cara kelompok (cluster) bertingkat. Sampel penelitian diambil dari kelas XI IPA, dengan pertimbangan kemampuan strategi dan pengalaman memecahkan masalah yang mereka miliki sudah lebih memadai dibandingkan siswa kelas X. Di samping itu kemampuan, keterampilan,
83
dan pengalaman yang mereka miliki diharapkan telah lebih homogen dibandingkan siswa kelas X. Lebih dari itu, di kelas X mereka telah mendapatkan materi logika formal dan penerapannya pada beragam topik matematika. Pengetahuan dan pengalaman ini tentu menjadi modal berharga bagi mereka dalam bernalar dan memecahkan masalah matematis. Sementara pemilihan program IPA mengingat topik matematika pada program ini lebih beragam sehingga lebih dapat mengakomodasikan keperluan pembelajaran berbasis masalah. Sedangkan siswa kelas tiga tidak dipilih karena sudah harus memusatkan perhatian pada pemantapan materi untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir. Dinas Pendidikan Kota Bandung mengelompokkan sekolah menengah atas di Kota Bandung ke dalam empat klaster, dari satu hingga empat. Salah satu dasar pengelompokan adalah besar rataannilai ujian nasional (UN) sekolah yang bersangkutan. Di klaster satu umumnya ditempati sekolah-sekolah dengan nilai UN relatif tinggi (tertinggi), dan klaster empat berisi sekolah dengan nilai UN relatif rendah (terendah). Sedangkan sekolah dengan nilai UN menengah atau sedang berada klaster dua dan tiga. Pada awalnya, peneliti bermaksud mengambil subyek sampel dari klaster 2 dan 3 karena sekolah yang menempati klaster inilah yang memiliki kualifikasi menengah atau sedang. Pemilihan sekolah berkualifikasi menengah dilakukan mengingat di sekolah ini tersebar anak dengan kemampuan akademik lebih beragam. Artinya di sekolah ini pun dapat ditemukan siswa berkemampuan tinggi sebagaimana yang berkemampuan rendah dan penyebarannya pun lebih merata
84
dibandingkan di sekolah berperingkat tinggi atau rendah. Terlebih lagi, sekolah yang ada itu kebanyakan berada di posisi ini. Selain itu penelitian terdahulu (Darhim, 2004; Ratnaningsih, 2007) mengisyaratkan pendekatan pembelajaran yang akan diterapkan kurang cocok untuk sekolah berkualifikasi kurang. Sedangkan untuk sekolah berkualifikasi baik hasil belajarnya cenderung baik meski baiknya itu belum tentu terutama disumbang pembelajaran yang dijalankan. Jadi sampel tidak dipilih dari sekolah berperingkat baik dan kurang. Data rataan nilai UN seluruh Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) di Kota Bandung yang diperoleh dari Dinas Pendidikan Nasional Kota Bandungdiuji normalitas dan konsistensi peringkatnyauntuk 3 tahun terakhir (2006, 2007, dan 2008). Dari pengujian yang dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 17 diketahui data UN ini untuk ketiga tahun tersebut berdistribusi normal namun peringkatnya tidak konsisten (Tabel 3.2). Uji konsistensi peringkat dilakukan untuk menjamin sampel yang terpilih memang betul berasal dari klaster yang dimaksudkan. Tabel 3.2. Hasil Uji Normalitas Data UN SMAN Se-Kota Bandung
26
K-S Z 0,72
0,68
Diterima
2007
26
0,60
0,87
Diterima
2008
26
0,71
0,70
Diterima
Tahun
N
2006
Sig
Untuk uji kenormalan data, hipotesis yang diuji adalah H0: data berdistribusi normal melawan H1: data tidak berdistribusi secara normal. Kriteria pengujiannya adalah diterima H0 bila signifikansi lebih besar dari 0,05 dan ditolak
85
bila sebaliknya. Dari Tabel 3.2,dengan uji Kolmogorov-Smirnov, sebab jenis data adalah interval, didapat nilai signifikansi untuk tahun 2006, 2007, dan 2008 semuanya lebih besar dari 0,05 yang berarti data berdistribusi normal. Untuk uji kekonsistenan rangking digunakan uji tanda peringkat Wilcoxon karena distribusi selisih tiap pasang data mungkin saja tidak normal.Hipotesis yang diuji adalah H0: tidak ada perbedaan urutan ranking sekolah antara tahun 2006 dengan 2007 melawan H1: ada perbedaan urutan ranking sekolah antara tahun 2006 dengan 2007. Kriteria pengujiannya adalah diterima H0 bila signifikansi lebih besar dari 0,05 dan ditolak bila sebaliknya. Tabel 3.3. HasilUji Tanda Peringkat Wilcoxon Nilai2007 - Nilai2006
Nilai2008 - Nilai2007
Nilai2008 - Nilai2006
Z
-3,73
-4,46
-4,46
Sig
0,00
0,00
0,00
Dari Tabel 3.3didapat nilai signifikansi 0,00 dan ini lebih kecil dari 0,05 yang berarti ada perbedaan urutan rangking SMAN di Kota Bandung antara tahun 2006 dengan 2007.Hal serupa terjadi untuk tahun 2007 dengan tahun 2008 dan untuk tahun 2006 dengan 2008 berdasarkan Tabel 3.3. Akibat ketidakkonsistenan ranking ini, peneliti kemudian memutuskan untuk mengelompokkan ke-26 sekolah menengah atas negeri yang ada di Kota Bandung itu ke dalam tiga kategori: Baik, Sedang, dan Kurang. Pengelompokan ini didasarkan pada besar nilai UN sekolah untuk tiga tahun terakhir itu dengan ketentuan seperti tertera pada Tabel 3-4.
86
Tabel 3-4. Kriteria Penentuan Kategori Sekolah
Kategori Sekolah Baik
Kriteria >
+ 0,65
− 0,65 ≤ < − 0,65
≤
+ 0,65
Sedang Kurang
Keterangan : Rataan Nilai UN 26 SMAN di kota Bandung S: Simpangan Baku R: Nilai UN sekolah
Pengambilan nilai 0,65 dimaksudkan untuk mendapatkan sekitar 25% dari banyaknya sekolah masuk kategori baik dan demikian juga untuk kategori kurang serta sekaligus memperbesar peluang lebih banyak sekolah masuk pada kategori peringkat menengah. Dengan demikian subyek sampel terpilih diharapkan lebih mewakili keseluruhan populasi. Melalui rumusan di atas diperoleh sekolah yang relatif konsisten masuk pada kategori sedang di Kota Bandung dalam 3 tahun itu ialahSMAN 1,2, 5, 6, 7, 9, 14, 15, 16, 17, 18, 20, 21, 22, 23 dan 25.Data UN, perhitungan lengkap, dan distribusi pengelompokan sekolah untuk ketiga tahun itu terdapat padaLampiran A-1 halaman 225-228.Diagram 3.1 memperlihatkan
Banyak Sekolah
sebaran pengelompokan tersebut. 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Baik 2006
2007
2008
20062008
Tahun Baik
8
6
6
6
Sedang
15
14
14
16
Kurang
3
6
6
4
Sedang Kurang
Diagram 3-1. Sebaran Kelompok Sekolah Berdasarkan Nilai UN
87
Berdasarkan pengelompokan ini peneliti selanjutnya mengambil secara acak dua sekolah dari kategori sedang sebagai sampel. Terpilih SMAN SMAN
dan
. Setelah itu dari masing-masing sekolah diambil secara acak dua kelas
dari lima kelas XI IPA yang ada untuk dijadikan kelas eksperimen dan kelas kendali. Dari SMAN
terpilih kelas XI IPA 3 yang menerima pembelajaran
berbasis masalah (kelas eksperimen) dan kelas XI IPA 4 menjalani pembelajaran biasa. Untuk SMAN
berturut-turut terpilih kelas XI IPA 4 dan kelas XI IPA 2.
Banyaknya siswa yang terlibat dalam penelitian 158 orang.Setelah seluruh pembelajaran selesai dilaksanakan segera diikuti oleh uji kemampuan penalaran matematisdan pemecahan masalah matematis serta pengisian skala sikapbaik di kelas eksperimen maupun kelas kendali, pendapat siswa kelas eksperimen atas PBM, dan diakhiri dengan wawancara. C.Waktu dan Prosedur Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2009 sampai dengan Mei 2010 dengan rincian sebagai berikut. 1. Juni – September 2009: Tahap Persiapan. 2. Oktober – Desember 2009: Pelaksanaan (tes pengetahuan matematis, pengisian skala sikap, pembelajaran, tes bernalar dan pemecahan masalah, dan wawancara). 3. Januari – Mei 2010: Pengolahan dan analisis data serta penulisan laporan. 4. Gambaran tahapan dan prosedur pelaksanaan penelitian disajikan dalam Gambar 3.1.
88
Studi Pendahuluan,Identifikasi danPerumusan Masalah, Studi Literatur, dll.
Pengembangan Instrumen Penelitian, bahan ajar,validasi dan Ujicobanya
Kelas Kendali
Penetapan Subyek Penelitian
Tes PM
Kelas Eksprimen Tes PM
Biasa
PBM
Tes KR, KPS, dan Skala Sikap/Pendapat
Observasi
Data: KR, KPS, Sikap, Pendapat, Kegiatan Guru dan Siswa, Wawancara Analisa Data Pembahasan Simpulan, Implikasi, dan Rekomendasi Gambar 3.1 Tahapan dan Prosedur Pelaksanaan Penelitian
89
D.Instrumen Penelitian dan Pengembangannya Penelitian ini menggunakan dua jenis instrumen, tes dan bukan tes. Instrumen tes pertama digunakan untuk mengukur pengetahuan matematis siswa. Instrumen tes kedua untuk mengukur kemampuan bernalar dan kemampuan siswamemecahkan masalah matematis. Adapun langkah yang ditempuh untuk membuat instrumen kedua ini adalah: (1) merumuskan kisi instrumen, (2) membuat butir soal, (3) memvalidasi isi dan konstruk butir soal, (4) mengujicobakan instrumen, (5) memeriksa kesahihan dan keterandalan butir soal hasil ujicoba, dan (6) menentukan butir soal yang memadai untuk dijadikan instrumen penelitian. Jenis soal yang dikembangkan berbentuk uraian, lantaran kemampuan yang hendak diukur adalah proses (kinerja) yang ditampilkan siswa sewaktu memecahkan masalah dan keterampilan bernalar yang digunakan untuk itu. Menurut Gronlund (2006), soal uraian biasanya mengandung hasil belajar ganda, pengintegrasian gagasan dan keterampilan dari beragam sumber, adanya kemungkinan banyak selesaian, dan memerlukan kriteria ganda untuk mengevaluasi selesaian yang diperoleh. Instrumen yang berbentuk bukan tes terdiri dari skala sikap, lembar observasi, dan pedoman wawancara. Skala sikap digunakan untuk mengukur sikap siswa terhadap matematika dan untuk mengungkap pendapat siswa terhadap pembelajaran matematika berbasis masalah.Lembar observasi digunakan untuk memantau dan mencatat interaksi siswa-siswa dan siswa-guru selama pelaksanaan kegiatan pembelajaran berlangsung. Terakhir, pedoman wawancara digunakan
90
untuk mengungkap yang belum tampak pada dan/atau konfirmasi jawaban siswa baik terhadap tes maupun terhadap skala sikapuntuk kemudian dianalisis. 1.Tes Pengetahuan Matematis Pengetahuan matematis siswa ialah pengetahuan yang dipunyai dan diperlihatkan siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematika sebelum pembelajaran dijalankan. Soal yang digunakan untuk menguji pengetahuan ini diambil dari soal UN menyangkut materi ajar Kelas X. Materi yang diujikan mewakili seluruh topik matematika di kelas X, yaitu: Bentuk Pangkat, Akar, dan Logaritma; Pesamaan Kuadrat; Sistem Persamaan Linier; Logika Matematika; Trigonometri; dan Geometri. Pengambilan soal UN dilakukan dengan pertimbangan bahwa soal tersebut telah memenuhi persyaratan kesahihan dan keterandalan lantaran telah melalui ujicoba. Tes ini digunakan sebagai alat pemeriksa kesetaraan kedua kelompok sampel, eksperimen dan kendali. Banyaknya soal 20 butir dan waktu yang disediakan untuk mengerjakannya 60 menit. Untuk memeriksa kesetaraan keempat kelas subyek sampel sebelum pembelajaran dilaksanakan, dilakukan uji normalitas dan homogenitas varians data pengetahuan matematis keempat kelas itu. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa data dari keempat tersebut berdistribusi normal seperti terlihat pada Tabel 3.5.Dari Tabel 3.5 dapat disimpulkan data pengetahuan matematis subyek sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal pada taraf signifikansi 0,05. Selanjutnya hasil uji Levene menunjukkan bahwa varians data pengetahuan matematis keempat kelas adalah homogen sebagaimana disajikan pada Tabel 3.6.
91
Tabel 3.5. HasilUji Normalitas Data Pengetahuan MatematisSiswa per Kelas Sekolah/ Kelas
N
Rataan
Simpangan Baku
Sig
Simpulan
SMA /XIIPA4
42
6,98
3,97
0,38
Normal
SMA /XIIPA3
37
6,00
2,59
0,28
Normal
SMA /XIIPA2
41
6,17
2,66
0,46
Normal
SMA /XIIPA4
38
7,08
3,19
0,47
Normal
Tabel 3.6. HasilUji Homogenitas Varians Data Pengetahuan MatematisSubyek Sampel Statistik Levene
dk1
dk2
Sig.
2,43
3
154
0,07
Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas varians data, selanjutnya dilakukan pengujian keberartian perbedaan rataan dari keempat kelompok subyek sampel tersebut dengan menggunakan analisis varians satu jalur. Hasilnya disajikan pada Tabel 3.7. Hipotesis yang diuji ialah H0: tidak ada perbedaan rataan pengetahuan matematissiswa antar kelas. Berdasarkan Tabel 3.7 nilai signifikan hasil pengujian didapat 0,323 lebih besar dari 0,05. Ini berarti hipotesis nol diterima. Jadi tidak ada perbedaan signifikanatasnilai rataan pengetahuan matematissiswa. Tabel 3.7HasilAnava Satu Jalur Uji Perbedaan Rataan Pengetahuan Matematis Siswa Antar Kelas
Antar Kelompok Dalam Kelompok Total
Jumlah Kuadrat
dk
Kuadrat Rataan
F
Sig
35,32 1549,54 1584,87
3 154 157
11,77 10,06
1,17
0,32
Untuk melihat lebih jauh apakah ada perbedaan rataan minimal dua dari keempat kelompok subyek tersebut dilakukan uji post hoc yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3.8. Dari hasil perhitungan yang tertera pada Tabel 3.8 terlihat
92
bahwa taraf signifikan yang diperoleh lebih besar dari 0,05.Ini berarti hipotesis nol yang menyatakan tidak ada perbedaan rataan yang signifikan antar kelas dalam keempat kelompok subyek tersebut dapat diterima. Simpulan ini diperkuat pula oleh hasil analisis kehomogenan antar kelas melalui uji Scheffe yang menghasilkan taraf signifikan 0,52(lebih besar dari taraf signifikansi 0,05) (Tabel 3.9). Tabel 3.8Hasil Uji Post Hoc RataanPengetahuan Matematis Siswa
Nama Sekolah Nama Sekolah (J) Beda Rataan (I-J) (I) SMA XI IPA 4
SMA SMA SMA SMA SMA SMA SMA SMA SMA SMA SMA SMA
SMA XI IPA 3 SMA XI IPA 2 SMA XI IPA 4
0,976 0,805 −0,103 −0,976 −0,171 −1,079 −0,805 0,171 −0,908 0,103 1,079 0,908
XI IPA 3 XI IPA 2 XI IPA 4 XI IPA 4 XI IPA 2 XI IPA 4 XI IPA 4 XI IPA 3 XI IPA 4 XI IPA 4 XI IPA 3 XI IPA 2
Sig 0,602. 0,721 0,999 0,602 0,996 0,540 0,721 0,996 0,656 0,999 0,540 0,656
Tabel 3.9Hasil Uji Kehomogenan Pengetahuan MatematisAntar Kelas Nama Sekolah
N
α= 0.05
SMA SMA SMA SMA
42 37 41 38
6,00
XIIPA4 XIIPA3 XIIPA2 XIIPA4 Sig.
6,17 6,98 7,08 0,52
Dari hasil perhitungan di atasdapat disimpulkan bahwa sebelum perlakuan diberikan,
validitas
tergangguolehadanya
internal perbedaan
pengetahuanmatematis kelas
dan
siswa
tidak
asalsekolah.Dengandasarini,
93
dapatdiasumsikanpengetahuanmatematissiswapadamasingmasingkelompokkategoridarikeempatkelassampeltersebutsetara.Data
skor
pengetahuanmatematis
siswa
danseluruhperhitunganstatistiknyasecaralengkapdicantumkan pada Lampiran A2halaman229-236. Berikutnya, untuk keperluan penentuan kategori kelompok siswa di kelasnyadigunakan nilai ulangan bulanan dari dua bulan terakhir sebelum penelitian dimulai. Selain itu, nilai ini menjadi acuan untuk menyebarkan siswa ke dalam kelompok belajar di kelas eksperimen. Penentuan kategori siswa di kelasnya diatur menurut aturan seperti tertulis pada Tabel 3.10. Tabel 3.10 Kriteria Penentuan Kategori Kelompok Siswa
Kriteria ≥ ̅ + 0,75s ̅ - 0,75s ≤ < ̅ + 0,75s < ̅ –0,75s
Kategori Kelompok siswa Tinggi Sedang
Keterangan : nilai rataan ulangan siswa ̅ : nilai rataan ulangan kelas s: simpangan baku ulangan kelas
Kurang
Pengambilan bilangan 0,75 dimaksudkan untuk menyeleksi agar siswa yang masuk kategori tinggi dan kurang masing-masing sebanyak sekitar 25%. Tabel 3.11Sebaran Siswa Berdasarkan Kategori Kemampuan
SMAN SMAN Kategori Jumlah Kemampuan XI IPA 3 XI IPA 4 XI IPA 4 XI IPA 2 Tinggi
11
8
10
12
41
Sedang
20
23
19
18
80
Kurang
6
7
13
11
37
Jumlah
37
38
42
41
158
94
Berdasarkan kriteria itu diperoleh distribusi banyaknya siswa ke dalam ketiga kategori seperti ditampilkan Tabel 3.11. 2. Tes Kemampuan Penalaran Matematis Tes ini disusun untuk mengukur kemampuan penalaran matematis siswa dalam aspek menarik simpulan logis; memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada; memperkirakan jawaban dan proses solusi; menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi, atau membuat analogi, generalisasi, dan menyusun konjektur; dan menyusun pembuktian. Tes penalaran matematis ini dikembangkan terutama bukan berdasarkan bahan ajar yang digunakan dalam penelitian. Tes disusun dengan merujuk pada materi ajar yang telah diperoleh siswa sampai di kelas X. Artinya, hampir semua soal dapat diselesaikan siswa dengan menggunakan penalarannya tanpa tergantung pada materi ajar yang diberikan pada saat penelitian berlangsung. Namun demikian pertanyaan yang diajukan tetap berkaitan dengan bahan ajar penelitian, yaitu trigonometri dan lingkaran. Dengan demikian materi tes untuk mengukur penalaran dan pemecahan masalah matematis tidak tumpang tindih. Dengan materi yang masih terkait erat diharapkan pula kinerja penalaran siswa lebih teraktualisasikan. Tes terdiri dari 6 butir soal, 4 darinya berkenaan dengan trigonometri dan sisanya terkait dengan lingkaran. Butir tes yang dikembangkan berupa soal uraian lantaran yang hendak diukur adalah kinerja kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Tes yang dikembangkan dimaksudkan untuk dapat menjadi alat pengukur kemampuan penalaran matematis yang merupakan bagian berpikir tingkat tinggi
95
dalam aspek seperti yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu butirnya tentu harus dibuat demikian rupa sehingga menuntut siswa mendemonstrasikan kinerjanya menarik simpulan baik induktif maupun deduktif dari data atau fakta yang diberikan, membuat pengaitan fakta dan informasi dengan pengetahuan yang dipunyainya secara bermakna, menggunakan pengetahuan yang ada pada dirinya untuk menunjukkan kesahihan sebuah pernyataan, dan mengintegrasikan prosedur matematis atau mengombinasikan beberapa hasil untuk memperoleh hasil lanjutan. Untuk memenuhi maksud tersebut dapat dipastikan bahwa butir soal yang dibuat bukanlah soal yang selesaiannya satu atau dua langkah. Bukan pula soal yang langsung dapat diselesaikan dengan menggunakan rumus atauprosedur tertentu.Dalam penelitian ini soal penalaran yang disusun beberapa kali mengalami pergantian lantaran tidak memenuhi kriteria kesahihan empirik. Dua dari lima butir soal yang pertama kali diajukan untuk itu ditampilkan berikut ini. Soal 1. Gambar di samping menunjukkan sebuah segitiga sama sisi. Pada daerah segitiga itu diletakkan tiga buah lingkaran berjari-jari satu satuan yang saling bersinggungan dan menyentuh sisi-sisi segitiga itu. Hitunglah luas daerah segitiga itu.
Menghitung luas daerah segitiga untuk siswa kelas XI SMA pasti bukan masalah jika alas dan tingginya diketahui. Oleh karena itu, yang diperlukan di sini ialah menentukan panjang alas dan tinggi segitiga itu. Dan memang di sinilah
96
letak persoalannya. Siswa dituntut menjalankan penalaran matematisnya bersesuaian dengan fakta dan informasi yang diberikan. Salah satu cara menyelesaikan soal di atas ialah dengan melengkapi gambar seperti tampak di samping ini. adalah pusat salah satu lingkaran itu. Dengan mengetahui = dan masing-masing tegak lurus terhadap dan maka diperoleh kedua segitiga dan kongruen. Karenanya besar sudut adalah 0 30 sebab besar sudut adalah 600. Selanjutnya dengan rumus perbandingan trigonometri berturutturut didapat panjang , , , dan . Akhirnya diperoleh luas daerah segitiga itu.
C
F O A
E
D
B
Soal di atas diajukan kepada para ahli untuk ditimbang dari segi kesahihan isi dan wajah. Dua dari lima penimbang berpendapat bahwa soal ini tidak cocok untuk siswa SMA kelas XI karena terlalu sukar. Meski demikian, soal tetap diuji cobakan secara terbatas kepada enam orang siswa kelas XI dari SMA berkategori sedang. Hasil uji coba menunjukkan tidak seorang pun siswa yang mampu mengaitkan fakta dan informasi yang diberikan dengan pengetahuan awal yang yang mereka miliki. Tidak juga seorang pun yang dapat mengembangkan informasi yang diberikan untuk menarik simpulan yang akan membawanya pada langkah menuju penyelesaian soal. Mereka hanya menuliskan rumus luas daerah segitiga dan luas daerah lingkaran. Bahkan ada yang menulis luas yang diminta adalah selisih dari luas daerah segitiga dengan luas ketiga lingkaran di dalamnya. Hasil ini mendukung pendapat penimbang yang mengatakan bahwa soal ini terlalu
97
sulit bagi siswa SMA kelas XI. Oleh karena itu untuk selanjutnya soal ini tidak diikutkan dalam perangkat soal penelitian. Berikut adalah soal kedua yang diujicobakan bersamaan dengan soal 1 di atas. Soal 2. Lihat gambar di samping. Diketahui segitiga ABC siku-siku di A. Jika panjang BE = ED = DC, AD = 7, dan AE = 9, hitung panjang BC.
Modal pengetahuan yang diperlukan untuk menyelesaikan soal di atas adalah rumus Pythagoras, rumus perbandingan trigonometri, dan rumus kosinus. Tentu saja siswa SMA kelas XI telah mendapatnya. Prosedur yang diperlukan adalah keterampilan memisalkan dan menyelesaikan dua persamaan. Namun untuk menyelesaikannya, mutlak berperan kebisaan siswa menerapkan ketiga rumus itu pada segitiga yang diberikan. Kebisaan berikutnya yang diperlukan adalah menggunakan prosedur untuk mengaitkan fakta yang dipunyai dalam rangka memperoleh hasil lanjutan. Menurut satu dari lima penimbang soal ini termasuk sukar bagi siswa SMA kelas XI. Hasil ujicoba memperlihatkan bahwa pendapat penimbang itu tepat. Dua subyek coba tidak merespon. Empat lainnya menyatakan bahwa sudut siku-siku dan menggunakan rumus Pythagoras untuk menentukan panjang lalu panjang
. Hasil ini pun menunjukkan bahwa siswa tidak dapat melihat
masalah dalam soal ini secara lebih mendalam. Tidak seorang pun subyek coba yang mampu mengaitkan dan menggunakan pengetahuan trigonometrinya untuk
98
merintis jalan menuju penyelesaian soal. Seperti soal nomor 1, soal kedua ini pun tidak layak untuk diikutkan dalam uji coba berikutnya. Selanjutnya disusun kembali soal yang tetap menuntut siswa menjalankan penalaran matematis namun yang tingkat kesukarannya diperkirakan berkurang bila dibandingkan dengan kedua soal yang telah disebutkan di atas. Perangkat soal itu kemudian diajukan kembali kepada para ahli untuk ditimbang dari sisi kesahihan isi dan wajah agar memenuhi persyaratan sebagai instrumen yang memadai digunakan dalam penelitian. Seluruh penimbang berstatus mahasiswa Program Doktor Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana UPI. Dua orang penimbang berlatar belakang pendidikan magister matematika lulusan ITB dan tiga orang lainnya merupakan lulusan magister pendidikan matematika lulusan Unesa. Pertimbangan penilaian tentang kesahihan isi didasarkan pada kesesuaian soal dengan tujuan yang ingin diukur, kesesuaian soal dengan aspek penalaran matematik, kesesuaian soal dengan materi ajar dan kesesuaian tingkat kesulitan soal bagi siswa SMA kelas XI. Sementara untuk kesahihan wajah pertimbangan didasarkan pada kejelasan soal dari segi bahasa dan peristilahan, sajian, dan kesesuaian gambar atau ilustrasi. Hasil timbangan itu tersaji pada Lampiran A-3 halaman
237.Hasil
timbangan
tersebut
selanjutnya
dianalisis
dengan
menggunakan statistik Q-Cochran melalui perangkat lunak SPSS 17. Pengujian dimaksudkan untuk memeriksa apakah semua penimbang telah menimbang secara seragam atau tidak. Hasilnya disajikan pada Tabel 3.12 (i). Hal serupa dilakukan
99
terhadap timbangan atas kesahihan wajah yang hasilnya tersaji pada Tabel 3.12 (ii). Untuk pengujian hasil timbangan tersebut, hipotesis yang diuji adalah H0: para penimbang menimbang secara sama (seragam) melawan H1: para penimbang menimbang secara tidak sama. Kriteria pengujiannya adalah terima H0 bila nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 pada taraf signifikansi 5% dan tolak H0 bila sebaliknya. Dari Tabel 3.12(i) didapat nilai signifikansi 0,416 yang jauh lebih besar dari 0,05. Harga statistik Q hasil perhitungan adalah 5,0 sedangkan dari tabel didapat harga
(0,05;5) = 11,07 yang jauh lebih besar dari harga Q. Jadi
disimpulkan bahwa para penimbang telah menimbang kesahihan perangkat tes dari segi isi secara seragam. Hasil serupa diperoleh untuk kesahihan perangkat tes dari segi wajah berdasarkan Tabel 3.12(ii). Tabel 3.12 (i) Uji Hasil Timbangan Kesahihan Isi Soal Penalaran Matematis N Cochran's Q Df Asymp. Sig.
5 5.000 5 .416
(ii) Uji Hasil Timbangan Kesahihan Wajah Soal Penalaran Matematis N Cochran's Q Df Asymp. Sig.
5 4.474 5 .483
Meski hasil pengujian menunjukkan para penimbang telah melakukan pertimbangan secara seragam, namun masih perlu ditelaah butir soal yang dianggap tidak sahih oleh beberapa penimbang. Menurut Penimbang 2 dan 4, soal nomor 2 tidak sahih dari segi wajah. Keduanya menyarankan agar memperbaiki perwajahan gambar supaya lebih representatif. Agar jelas berikut disajikan soal tersebut beserta perbaikannya. Soal no. 2 100
Dengan sudut depresi sebesar 300 (lihat gambar di samping) dari puncak menara yang tingginya 100 m, seseorang melihat sebuah mobil di bawah bergerak menuju kaki menara. Sesaat kemudian besar sudut depresi menjadi 600. Hitung jarak yang ditempuh mobil ( ) dalamwaktu sesaat itu. Penimbang 2 dan 4 berpendapat gambar tersebut kurang representatif karena gambar tidak memberi kesan bahwa mobil sedang bergerak menuju kaki menara. Selain itu, dikuatirkan anak terkendala oleh istilah sudut depresi dan disarankan agar pada gambar sudut tersebut dieksplisitkan. Berdasarkan saran itu, tampilan gambar kemudian diperbaiki sebagaimana terlihat di samping. Selanjutnya, menurut Penimbang 3 butir soal nomor 1 tidak valid dari segi wajah. Terhadap soal ini telah dilakukan perbaikan dengan menambahkan frasa seperti yang disarankan. Berikutnya, Penimbang 3 telah pula memberikan saran perbaikan redaksi kalimat terhadap soal nomor 5 dan 6. Saran perbaikan tidak sampai membuat perubahan mendasar pada soal dan telah pula dilaksanakan seperti yang disarankan. Terakhir dari segi isi, menurut Penimbang 5 soal nomor 6 terlalu sulit bagi siswa
kelas
XI
SMA.
Terhadap
pendapat
ini
tidak
ada
perbaikan
dilakukan.Setelah melalui uji kesahihan isi dan muka yang dilanjutkan dengan perbaikan terhadap beberapa soal sesuai dengan saran para penimbang, kemudian dilakukan ujicoba dengan subyek siswa SMA kelas XII. Pengambilan siswa kelas XII sebagai subyek coba karena semua persyaratan yang diperlukan untuk
101
menyelesaikan instrumen tersebut telah mereka miliki. Selain itu, kematangan dan pengalaman bermatematika mereka saat ujicoba berlangsung diperkirakan tidak berbeda secara berarti dengan yang dipunyai subyek penelitian saat instrumen diujikan pada mereka. Selanjutnya hasil ujicoba dianalisis untuk melihat reliabilitas dan validitas empirik tiap butir soal. Reliabilitas perangkat tes diuji dengan menggunakan statistik Cronbach Alpha karena bentuk soal berupa uraian yang mengakibatkan skor jawaban siswa per soal bisa bervariasi.Menurut Ruseffendi (2005) Rumus Alpha digunakan untuk jawaban seperti itu. Di sini prinsip yang digunakan ialah ketetapan internal karena reliabilitas yang diperoleh bukan dari tes-ulang, tesekivalensi, atau tes bagidua (Ruseffendi, 2005).Data skor ujicoba soal tes penalaran matematik disajikan pada Tabel 3.13. Tabel 3.13 Data Hasil Ujicoba Kemampuan Penalaran Matematis Subyek Coba Cb1 Cb2 Cb3 Cb4 Cb5 Cb6 Cb7 Cb8 Cb9 Cb10 Cb11 Cb12 Cb13
Skor SubyekCoba Skor 16 7 6 2 11 9 9 3 1 10 2 2 4
Cb14 Cb15 Cb16 Cb17 Cb18 Cb19 Cb20 Cb21 Cb22 Cb23 Cb24 Cb25 Cb26
1 8 0 13 8 4 16 4 11 10 5 3 2
Subyek Skor Coba Cb27 6 Cb28 1 Cb29 11 Cb30 13 Cb31 17 Cb32 17 Cb33 12 Cb34 11 Cb35 1 Cb36 2 Cb37 0 Cb38 0
102
Analisis dengan menggunakan SPSS 17 menghasilkan nilai
sebesar
0,69. Menurut Guilford dan Winarno (Ruseffendi, 2005) reliabilitas perangkat tes dengan nilai demikian termasuk kategori sedang. Terhadap soal penalaran ini turut pula diperiksa validitas bandingnya. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan mengingat perangkat soal telah dinyatakan valid dari segi isi dan wajah. Validitas banding dilakukan dengan cara mengkorelasikan skor tiap butir dengan skor total seluruh soal (Ruseffendi, 1991, 2005). Statistik yang digunakan ialah korelasi produk momen Pearson. Hipotesis yang diuji adalah H0: Tidak ada korelasi positif yang berarti antara skor butir soal dengan skor total. Kriteria pengujiannya adalah menolak H0 bila nilai r hitung lebih besar dari r tabel. Untuk n = 38 dengan α = 0,05, diperoleh r tabel sebesar 0,32. Berdasarkan tabel padanomor 5 dalam Lampiran A-4disimpulkan bahwa keenam butir soal penalaran matematis yang digunakan dalam penelitian ini sahih. Dengan demikian perangkat soal penalaran matematik yang dibuat telah memenuhi kriteria yang memadai untuk digunakan sebagai instrumen dalam penelitian ini. Kisi-kisi dan perangkat soal tes penalaran matematis beserta perhitungan statistiknyasecara lengkap disajikan dalam Lampiran A-4 halaman 238-244. 3. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Tes ini terdiri dari 7 soal. Tes disusun untuk mengukur kemampuan siswa memecahkan masalah matematis berdasarkan aspek: (i) Membuat model matematis dari suatu situasi atau masalah sehari-hari; (ii) Memilih dan
103
menerapkan strategi yang cocok; (iii) Menjelaskan atau menafsirkan hasil sesuai masalah asal, serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban. Tes pemecahan masalah matematis ini dikembangkan berdasarkan bahan ajar yang digunakan dalam penelitian, yaitu trigonometri dan lingkaran. Sebagaimana halnya dengan penalaran, pemecahan masalah matematis juga merupakan bagian dari kemampuan berpikir tingkat tinggi. Oleh karena itu butir soal yang akan digunakan untuk mengukurnya harus dibuat demikian rupa sehingga menuntut siswa mendemonstrasikan kebisaannya dalam berbagai hal seperti (i) mengeksplorasi, mengaitkan, dan menggunakan informasi yang diberikan dengan konsep dan rumus trigonometri untuk menyelesaikan masalah; (ii) menyajikan, mengubah, atau menafsirkan data atau informasi pada masalah atau representasi masalah ke dalam model matematik untuk menyelesaikan masalah; (iii) melakukan manipulasi aljabar dan menerapkan rumus matematik yang sesuai untuk menyelesaikan masalah. Untuk memenuhi maksud tersebut sebagaimana mestinya mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat dipastikan bahwa butir soal yang dibuat bukanlah soal yang selesaiannya satu atau dua langkah. Bukan pula soal yang langsung dapat diselesaikan dengan menggunakan rumus atau prosedur tertentu. Selain itu soal juga harus tidak serupa dengan soal yang dibahas dalam pembelajaran. Dua dari lima butir soal yang pertama kali diajukan untuk itu ditampilkan berikut ini. Soal 1. Dalam segitiga ABC diketahui + besar − . Uraikan jawabanmu.
=
, dan
= 2
. Carilah
104
Menurut para penimbang, soal ini sahih dari segi isi dan wajah. Untuk menyelesaikannya,siswa perlu memadukan rumus yang sesuai dengan data yang diberikan dan melakukan operasi aljabar dalam menyelesaikan dua persamaan dengan dua peubah. Hasil uji coba memperlihatkan siswa tidak bekerja seperti yang diharapkan. Dari 34 orang subyek coba, 30 orang menyelesaikannya dengan cara langsung mencobakan = 900 dan
= 1 dan 2
= 1 dan mengambil simpulan nilai
= 300 karena didapat +
= 1200. Meski jawaban siswa
benar tetapi itu tidak diperoleh dari suatu prosesseperti yang diminta pada soal dan tidak melalui argumentasi yang benar. Dalam hal ini siswa tidak dapat mengaitkan pengetahuan bersesuaian yang dimilikinya yakni rumus sinus selisih dua sudut untuk menyelesaikan soal. Di sisi lain, tampak siswa belum sepenuhnya memahami syarat cukup dan perlu dari suatu pernyataan implikasi. Empat subyek coba lainnya memperlakukan fungsi sinus sebagai suatu operator linier. Dari yang diketahui +
=
+
= 1200, mereka langsung menuliskan
1200. Hal ini menunjukkan bahwa siswa belum sepenuhnya
memahami dan menguasai rumus sinus jumlah dua sudutdan tidak mampu memilih starategi yang tepat dalam menyelesaikan soal. Soal 2. Lihat gambar di samping. Lingkaran yang kecil berpusat di (3,0) berjarijari 2 satuan dan lingkaran yang besar berpusat di (−5,0) berjarijari 4 satuan. adalah garis singgung persekutuan kedua lingkaran. Tentukan gradien garis .
105
Kelima penimbang berpendapat soal ini sahih dari segi isi dan wajah. Siswa dapat menyelesaikannya dengan cara aljabar lewat koordinat dua titik atau dengan perbandingan trigonometri melalui segitiga sikusiku. Masalah ini akan lebih mudah diselesaikan bila gambar dilengkapi seperti di samping ini misalnya.
Terhadap soal ini, 3 orang dari 34 subyek coba tidak memberikan respon apapun. Empat orang menghitung jumlah kuadrat dari 2 dan 4 yang tak jelas apa maksudnya. Empat lainnya menghitung jarak kedua titik singgung pada kedua lingkaran. Seorang siswa melengkapi gambar seperti di atas dan merumuskan gradien garis
sebagai perbandingan dari 2 dan 8. Selebihnya menggunakan
rumus gradien lewat koordinat dua titik, hanya saja titik yang digunakan ialah titik dan . Lagi-lagi hasil uji coba ini menunjukkan bahwa hampir semua siswa belum dapat melihat masalah secara mendalam. Mereka asal saja melakukan operasi hitung terhadap bilangan yang ada pada soal tanpa makna. Selain itu, mereka juga langsung saja menerapkan rumus secara membabi buta tanpa melihat konteks masalah. Oleh karena analisis butir soal menunjukkan kedua soal di atas tidak sahih secara empirik maka tidak diikutkan lagi pada uji coba berikutnya dan diganti dengan soal yang diperkirakan berkurang tingkat kesukarannya dibandingkan kedua soal tersebut. Selanjutnya keduanya dimasukkan ke dalam soal tugas. Seperti untuk soal-soal penalaran, selanjutnya disusun kembali soal pemecahan masalah namun yang tingkat kesukarannya diperkirakan berkurang
106
bila dibandingkan dengan kedua soal yang telah disebutkan di atas. Perangkat soal itu kemudian diajukan kembali kepada para ahli untuk ditimbang dari sisi kesahihan isi dan wajah agar memenuhi persyaratan sebagai instrumen yang memadai digunakan dalam penelitian. Hasil timbangan itu tersaji pada Lampiran A-5.Hasil timbangan tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan statistik Q-Cochran melalui perangkat lunak SPSS 17. Pengujian dimaksudkan untuk memeriksa apakah semua penimbang telah menimbang secara seragam atau tidak. Hasilnya disajikan pada Tabel 3.14(i). Hal serupa dilakukan terhadap timbangan atas kesahihan wajah yang hasilnya tersaji pada Tabel 3.14(ii). Tabel 3-14 (i) Uji Hasil Timbangan Kesahihan Isi (ii) Uji Hasil Timbangan Kesahihan Soal Pemecahan Masalah Matematis wajah Soal Pemecahan Masalah Matematis N Cochran's Q Df Asymp. Sig.
5 5.000a 6 .544
N Cochran's Q Df Asymp. Sig.
5 8.769a 6 .187
Hipotesis yang diuji dan kriteria pengujian untuk soal pemecahan masalah sama dengan yang dilakukan untuk soal penalaran matematis. Dari Tabel 3.14(i) didapat nilai signifikansi 0,416 yang jauh lebih besar dari 0,05. Harga statistik Q hasil perhitungan adalah 5,0 sedangkan dari tabel didapat harga
(0,05;5) =
11,07 yang jauh lebih besar dari harga Q. Jadi disimpulkan bahwa para penimbang telah menimbang kesahihan perangkat tes dari segi isi secara seragam. Hasil serupa diperoleh untuk kesahihan perangkat tes dari segi wajah berdasarkan Tabel 3.14(ii).
107
Meski hasil pengujian menunjukkan para penimbang telah melakukan pertimbangan secara seragam, namun masih perlu ditelaah butir soal yang dianggap tidak sahih oleh beberapa penimbang. Menurut Penimbang 3 dan 4, soal nomor 1 tidak sahih dari segi wajah. Kedua penimbang menyarankan agar gambar dilengkapi dengan memberi nama pada persegi panjang yang ditunjuk. Selain itu, karena teks soal tidak memuat
dan
maka pada gambar agar simbol tersebut
dihilangkan. Agar jelas berikut disajikan soal tersebut beserta perbaikannya. Soal no. 1 Pada sebidang tanah yang bentuknya setengah lingkaran dengan pusat berjari-jari 1 akan dibuat kolam ikan berbentuk persegi panjang (lihat gambar di samping). a. Jika menyatakan luas kolam itu, tunjukkan bahwa = 2α. b. Berapa besar sudut agar maksimum?
y
.
O
α x
Sesuai dengan saran tersebut, redaksi dan perwajahan gambar soal kemudian diperbaiki sebagaimana tersaji berikut ini. Soal no. 1 Pada sebidang tanah yang bentuknyasetengah lingkaran dengan pusat dan berjari-jari 1 satuan, akan dibuat kolam ikan berbentuk persegi panjang seperti dilukiskan pada gambar di samping. a. Jika menyatakan luas kolam itu, tunjukkan bahwa = 2α. b. Berapa besar sudut agar maksimum. Berikutnya, menurut Penimbang 3 soal nomor 3 tidak valid dan memberikan perbaikan redaksi kalimat. Terhadap soal ini telah dilakukan
108
perbaikan seperti yang disarankan. Terakhir, Penimbang 2 dan 4 berpendapat soal nomor 6 tidak valid dan menyarankan agar dilakukan perbaikan pada gambar agar representatif. Untuk jelasnya, berikut disajikan soal nomor 6 sebelum dan sesudah perbaikan. Soal nomor 6 sebelum perbaikan. Perhatikan gambar di bawah ini. Rumuskan hubungan antara sudut + dan sudut (petunjuk: Gunakan tangen jumlah dua sudut).
Diberikan tiga buah persegi , , dan yang masingmasing panjang sisinya 1 satuan(lihat gambar di bawah). Rumuskan hubungan antara sudut ( + ) dan sudut (petunjuk: Gunakan rumus tangen jumlah dua sudut). H
G
F
E
1
Soal nomor 6 sesudah perbaikan.
A
u 1
B
w
v 1
C
1
D
Dari segi isi, Penimbang 1 berpendapat perlu ditambah tingkat kekompleksan soal nomor 7. Namun mengingat hasil yang diperoleh dari ujicoba pertama dengan soal yang lebih sukar, diputuskan untuk tidak menukar soal tersebut. Setelah melalui uji kesahihan isi dan muka yang dilanjutkan dengan perbaikan terhadap beberapa soal sesuai dengan saran para penimbang, kemudian dilakukan ujicoba dengan subyek siswa SMA kelas XII. Pertimbangan pengambilan subyek coba ini serupa dengan pada ujicoba soal penalaran matematis. Selanjutnya hasil ujicoba dianalisis untuk melihat reliabilitas dan validitas empirik tiap butir soal. Reliabilitas perangkat tes diuji dengan menggunakan statistik Cronbach Alpha karena bentuk soal berupa uraian yang mengakibatkan
109
skor jawaban siswa per soal bisa bervariasi. Hasil ujicoba perangkat tes penalaran matematik disajikan pada Tabel 3.15. Analisis dengan menggunakan SPSS 17 menghasilkan nilai
sebesar 0,83
(tabel nomor 5 pada Lampiran A-5). Menurut Guilford dan Winarno (Ruseffendi, 2005) reliabilitas perangkat tes dengan nilai demikian termasuk kategori baik/tinggi.
Tabel 3-15 Data Hasil Ujicoba Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Subyek Coba Cb1 Cb2 Cb3 Cb4 Cb5 Cb6 Cb7 Cb8 Cb9 Cb10 Cb11 Cb12 Cb13 Cb14
Jumlah Jumlah Subyek Jumlah SubyekCoba Skor Skor Coba Skor
1 15 28 19 18 2 1 6 21 15 1 19 2 1
Cb15 Cb16 Cb17 Cb18 Cb19 Cb20 Cb21 Cb22 Cb23 Cb24 Cb25 Cb26 Cb27 Cb28
11 21 9 18 11 7 3 8 3 7 1 5 17 6
Cb29 Cb30 Cb31 Cb32 Cb33 Cb34 Cb35 Cb36 Cb37 Cb38 Cb39 Cb40 Cb41
2 7 1 5 0 6 15 2 10 4 14 6 0
Seperti terhadap soal penalaran, turut pula diperiksa validitas banding soal pemecahan masalah matematis ini. Validitas banding dilakukan dengan cara mengkorelasikan skor tiap butir dengan skor total seluruh soal (Ruseffendi, 1991, 2005). Statistik yang digunakan ialah korelasi produk momen Pearson. Hipotesis yang diuji adalah H0: Tidak ada korelasi positif yang berarti antara skor butir soal dengan skor total. Kriteria pengujiannya adalah menolak H0 bila nilai r hitung
110
lebih besar dari r tabel. Untuk n = 41 dengan α = 0,05, diperoleh r tabel sebesar 0,308. Berdasarkan tabel padanomor 6 dalam Lampiran A-5 disimpulkan bahwa ketujuh butir soal pemecahan masalah matematik yang digunakan dalam penelitian ini sahih. Dengan demikian perangkat soal penalaran matematik yang dibuat telah memenuhi kriteria yang memadai untuk digunakan sebagai instrumen dalam penelitian ini. Kisi-kisi dan perangkat soal tes pemecahan masalah matematisbeserta perhitungan statistiknya secara lengkap disajikan dalam Lampiran A-5 halaman 245-252. Untuk
memperoleh
data
kemampuan
penalaran
matematis
dan
kemampuan pemecahan masalah matematis dari penelitian secara obyektif, dilakukan penskoran terhadap jawaban siswa bagi tiap butir soal. Adapun teknik penskoran kemampuan penalaran matematis yang digunakan adalah rubrik holistik menggunakan skala 5 yang mengacu pada Hancock (dalam Dahlan, 2004) sebagaimana terurai dalam Tabel 3.16. Tabel 3.16 Teknik Penskoran untuk Kemampuan Penalaran Matematis
Kriteria Skor Jawaban lengkap dan benar. Penalaran dalam pemecahan masalah dan 4 komunikasinya lengkap. Langkah penyelesaian diberi penjelasan cukup. Hanya mengandung sedikit cacat. Jawaban benar. Penalaran dalam pemecahan masalah dan komunikasinya 3 baik. Ada penjelasan untuk langkah penyelesaian. Memuat beberapa kesalahan penalaran. Beberapa jawaban dari pertanyaan tidak lengkap. Penalaran dalam 2 pemecahan masalah dan komunikasinya cukup. Penalaran cacat muncul dengan jelas. Tidak akurat menarik simpulan. Muncul keterbatasan dalam memahami konsep matematika. Banyak kesalahan penalaran yang muncul. Muncul masalah dalam meniru ide matematik dan tidak dapat 1 mengembangkannya. Penalaran dalam pemecahan masalah dan komunikasinya kurang. Banyak muncul salah perhitungan. Hanya sedikit pemahaman matematika yang diilustrasikan. Tidak ada jawaban yang benar. Tidak muncul penalaran dalam pemecahan 0 masalah. Tidak muncul pemahaman matematiknya. Tidak merespon semua 111
kemungkinan yang diberikan. Hanya menebak-nebak.
Sementara untuk mengukur kinerja pemecahan masalah digunakan teknik penskoran yang diadopsi dari Schreyer Institute for Teaching Excellence. Penskoran dilakukan berdasarkan kepada langkah holistik berskala 5 dalam pemecahan masalah. Aspek yang diukur dan diberi skor pada tiap langkah itu disarikan dalam Tabel 3.17. Tabel 3.17 Teknik Penskoran untuk Kemampuan Pemecahan MasalahMatematis
Komponen Proses Pemecahan Masalah Respon memenuhi semua aspek berikut - Memilih dan mengimplementasikan konsep relevan dan prosedur/strategi yang diperlukan untuk memecahkan masalah. - Memperhatikan semua kendala dalam masalah. - Jawaban dan semua pekerjaan relevan benar, atau ada kesalahan kecil dalam perhitungan atau dalam menulis ulang Siswa menerapkan strategi yang cocok untuk menyelesaikan masalah, namun respon/solusi tidak seluruhnya benar, ditandai dengan munculnya salah satu dari yang berikut - Ada miskonsepsi atau gagal memperhatikan suatu konsep relevan yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah dengan benar. - Gagal memperhatikan suatu kendala dalam masalah. - Memasukkan suatu peubah tak relevan atau tidak melibatkan suatu peubah yang relevan. - Jawaban secara umum benar; namun, dari semua informasi yang diberikan tidak jelas bagaimana siswa tiba pada jawaban ini. Siswa memilih prosedur/strategi yang cocok untuk menyelesaikan masalah; namun jawaban tidak benar karena kemunculan satu atau lebih dari yang berikut - Tampak siswa mengalami beberapa miskonsepsi atau gagal memperhatikan beberapa konsep yang relevan yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah dengan benar - Siswa gagal memperhatikan beberapa kendala dalam masalah - Siswa melibatkan beberapa peubah tak relevan atau gagal memperhatikan beberapa peubah relevan - Tidak menjalankan prosedur/strategi cukup jauh untuk mencapai solusi - Jawaban secara umum benar; namun tidak ada informasi yang menunjukkan bagaimana siswa tiba pada jawaban/respon ini
Skor 4
3
2
112
Ada usaha memecahkan masalah namun jawaban/respon tak benar/tak lengkap. Satu atau lebih dari yang berikut muncul - Siswa memperhatikan suatu kendala atau peubah dari masalah - Siswa memahami beberapa konsep relevan dengan tugas masalah - Siswa memilih prosedur/strategi yang sama sekali tak cocok Lembar jawaban kosong, atau siswa hanya menulis ulang informasi yang ada pada masalah, atau respon/jawaban salah tanpa ada informasi lainnya, atau respon/jawaban sama sekali tidak relevan dengan tugas masalah
1
0
4. Skala Sikap Daftar pernyataan tertutup digunakan untuk menjaring data tentang sikap siswa terhadap matematika. Daftar disusun berdasarkan kisi-kisi sikap siswa terhadap matematika yang dijabarkan ke dalam tiga aspek obyek sikap yaitu potensi diri untuk belajar dan berhasil dalam matematika, nilai (value), dan gurumatematika. Dari indikator pengukuran terhadap ketiga obyek sikap tersebut diturunkan sebanyak 23 butir pernyataan untuk diujicobakan secara empirik. Sebanyak 12 diantaranya adalah pernyataan sikap positif terhadap matematika dan yang 11 lagi sebaliknya. Sebelum diujicobakan, kisi-kisi dan daftar pernyataan dalam skala sikap terlebih dulu diajukan ke hadapan ahli (Tim Pembimbing) untuk diberikan komentar dan saran-saran perbaikan. Ujicoba pertama dilakukan secara terbatas kepada 5 orang siswa di luar sampel penelitian tetapi setara. Ujicoba ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa tiap butir pernyataan skala tersebut dapat dimengerti dengan baik oleh siswa. Berdasarkan ujicoba ini dilakukan perbaikan seperlunya menuruti tanggapan dari peserta. Ujicoba kedua dilakukan guna menyeleksi butir pernyataan yang valid dan andal digunakan sebagai instrumen penjaring data. Sebanyak 39 orang terlibat sebagai subyek. Tiap pernyataan memiliki lima pilihan jawaban, yakni ss (sangat setuju), s (setuju), n (tidak yakin atau tidak tahu), ts (tidak setuju), dan sts (sangat 113
tidak setuju). Penskoran skala dilakukan dengan cara sederhana (Azwar, 1995). Untuk pernyataan positif diberikan skor berurutan 5, 4, 3, 2, 1 masing-masing untuk pilihan ss, s, n, ts, sts dan urutan sebaliknya untuk pernyataan negatif. Setelah dihitung dengan rumus Cronbach Alpha, diperoleh reliabilitas instrumen ini sebesar 0,79 yang termasuk kategori tinggi (Ruseffendi, 1991). Data hasil ujicoba dan perhitungan reliabilitas dan validitas untuk tiap butir skala dapat dilihat pada Lampiran A-6halaman 253-261. Tabel 3-18menyajikan hasil uji validitas tiap butirnya. Dengan menggunakan rumus korelasi produk momen dari Pearson, diperoleh koefisien korelasi butir pernyataan nomor 5, 8, 11, 17, dan 23 semuanya lebih kecil dari 0,30. Menurut Azwar (1995), pernyataan yang diikutkan dalam sebuah instrumen skala sikap hendaknya yang memiliki koefisien korelasi minimal 0,30. Dengan demikian kelima butir tersebut di atas dinyatakan tidak valid dan dibuang sehingga pernyataan yang digunakan tinggal sebanyak 18 butir. Tabel 3-18Hasil Uji Validitas Instrumen Skala Sikap terhadap Matematika Nomor Butir
Nilai r hit
Simpulan
Nomor Butir
Nilai r hit
Simpulan
1
0,56
valid
13
0,68
valid
2
0,57
valid
14
0,48
valid
3
0,61
valid
15
0,49
valid
4
0,70
valid
16
0,51
valid
5
0,04
tidak valid
17
-0,03
tidak valid
6
0,58
valid
18
0,38
valid
7
0,32
valid
19
0,52
valid
8
0,27
tidak valid
20
0,46
valid
9
0,57
valid
21
0,54
valid
10
0,51
valid
22
0,35
valid
11
0,13
tidak valid
23
0,12
tidak valid
114
12
0,39
valid
Dalam penelitian ini telah diterapkan pendekatan pembelajaran berbasis masalah. Menurut keterangan guru reguler di sekolah tempat penelitian dilakukan kebanyakan komponennya baru dan asing bagi siswa. Oleh karena itu perlu juga diketahui bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran yang baru bagi mereka ini. Untuk itu telah digunakan daftar pernyataan yang dirancang dan diturunkan dari indikator pengukuran terhadap tiga aspek obyek sikap. Kisi-kisi dan daftar pernyataan untuk menjaring pendapat siswa tentang pembelajaran berbasis masalah juga telah diajukan ke hadapan ahli (Tim Pembimbing) untuk mendapat masukan dan saran perbaikan. Kisi-kisi dan butir pernyataan tersebut dapat dilihat pada Lampiran A-6 halaman 261. Penentuan kualitas kinerja siswa pada kedua kemampuan dan kategori sikap siswa didasarkan pada skor rataan yang diperoleh untuk tiap peubah tersebut. Kualitas kinerja siswa dibedakan atas tiga sebutan yakni tinggi, sedang, dan rendah. Sebutan bagi sikap siswa terhadap matematika dan pendapat siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah dibagi ke dalam tiga kelompok juga yaitu positif, biasa, dan kurang positif. Tabel 3.19 dan 3.20 memberikan rincian atas batasan kriteria untuk seluruh peubah yang terlibat dalam penelitian ini. Nilai 12 dan 15,6 pada Tabel 3.19 berturut-turut diperoleh dari perhitungan 50% x 24 dan 65% x 24. Tabel 3.19 Kriteria penentuan kualitas kinerja siswa atas KR dan KPS Rataan KR Rataan KPS
̅ < 12 12 ≤ ̅ < 15,6 15,6 ≤ ̅ Skor maksimal: 24 ̅ < 14 14 ≤ ̅ < 18,2 18,2 ≤ ̅ Skor maksimal: 28 115
Kategori
rendah
Sedang
Tinggi
Sementara nilai 14 dan 18,2 masih pada Tabel 3.19 diperoleh berturut-turut dari perhitungan 50% x 28 dan 65% x 28. Untuk menghitung batas-batas bawah dan atas bagi tiap sebutan pada sikap siswa terhadap matematika dan pendapat siswa terhadap PBM, terlebih dulu skor keduanya diubah ke skor baku T dengan rumusan:
Keterangan:
= 50 + 10(
adalah skor responden,
adalah simpangan baku skor kelompok.
̅
) (Azwar, 1995: 156).
̅ adalah rataan skor kelompok, dan s
Tabel 3.20 Kriteria penentuan kategori sikap siswa terhadap matematika (AS) dan pendapat siswa terhadap PBM (PS) Skor AS Skor PS Kategori
≥ 55 ≥ 55
Positif
55 > 55 >
≥ 45 ≥ 45
Biasa
< 45 < 45
Negatif
Pengubahan skor mentah ke skor baku dimaksudkan untuk menghasilkan tafsiran atas skor mentah perorangan tersebut sebagai lebih berpihak atau kurang berpihak dibandingkan terhadap rataan kelompoknya. Dengan dasar skor T itu ditetapkan bagaimana sikap atau pendapat responden terhadap matematika atau tentang PBM sebagaimana tertera pada Tabel 3.20. Secara keseluruhan sikap siswa terhadap matematika dikatakan positif bila terdapat sekurangnya 50% dari seluruh siswa memiliki sikap positif terhadap matematika. Sebaliknya, sikap tersebut dikatakan negatif bila terdapat sekurangnya 50% dari seluruh siswa bersikap negatif
116
terhadap matematika. Dalam hal lainnya dikatakan biasa. Cara serupa dikenakan pada pendapat siswa tentang PBM. 5. Pedoman Wawancara Wawancara dimaksudkan untuk mengungkap yang belum tampak pada jawaban siswa. Hal ini dilakukan dengan menggali informasi lebih jauh dan dalam dari siswa tentang kesalahan, kekeliruan, atau kegagalan dalam menyelesaikan soal-soal penalaran dan pemecahan masalah matematik. Selain itu, digunakan juga untuk mengkonfirmasi jawaban siswa yang tampak tidak konsisten atas pernyataan
tentang
sikap
baik
terhadap
matematika
maupun
terhadap
pembelajaran matematika berbasis masalah. Wawancara dilakukan dengan beberapa siswa yang dipilih secara acak mewakili ketiga kelompok kategori siswa yaitu atas, tengah, dan bawah dan juga mewakili jenis kekeliruan dan kesalahan yang mereka buat. Lembar Pedoman Wawancara terdapat pada Lampiran A-7 halaman 262-267. 6. Lembar Observasi Untuk memperoleh hasil penelitian seoptimal mungkin, telah dilaksanakan kegiatan pengamatan di kelas eksperimen. Pengamatan yang dilakukan mengacu pada lembar pedoman yang telah disiapkan. Lembar ini berisi pernyataan yang harus dicontreng pengamat sesuai dengan kegiatan yang terjadi di kelas selama pembelajaran berlangsung. Kegiatan yang diamati dari kedua sisi, yaitu sisi guru dan siswa. Lembar pengamatan ini digunakan untuk memantau dan mencatat aksi dan respon guru terhadap aksi siswa selama pelaksanaan kegiatan pembelajaran.
117
Lembar pengamatan terhadap kegiatan guru disusun menurut indikator yang harus muncul dalam pembelajaran berbasis masalah (Ratnaningsih, 2007) yaitu menggunakan masalah kontekstual, membangun pengetahuan siswa, menggunakan scaffolding, membangun komunitas belajar, menilai secara otentik, dan melakukan refleksi. Sedangkan lembar observasi terhadap kegiatan siswa dibuat berdasarkan keaktifan siswa dalam diskusi kelas dan diskusi kelompok serta keaktifan siswa merespon arahan guru. Terhadap kedua jenis lembar amatan tersebut, pengamat hanya perlu memeriksa kesesuaian antara kejadian yang berlangsung di kelas dengan daftar ceklis yang tersedia dan memberi komentar atau catatan khusus manakala perlu. Pengamat adalah guru matematika reguler di kelas tempat penelitian berlangsung. Sebelum pembelajaran dimulai, peneliti dan pengamat telah mendiskusikan butirbutir amatan dan memiliki kesepahaman terhadap unsur-unsur yang ada dalam lembar amatan. Pengamatan dilakukan tiap kali pembelajaran berlangsung dan dijadikan bahan diskusi dan refleksi bagi guru untuk memperbaiki proses pembelajaran berikutnya. Lembar observasi ini terdapat pada LampiranA-7. E. Bahan Ajar dan Pengembangannya Untuk kepentingan tujuan penelitian telah dikembangkan bahan ajar. Hal ini berpijak pada prinsip bahwa bahan ajar merupakan bagian yang sangat penting dalam suatu proses pembelajaran. Terlebih lagi karena pada penelitian ini kemampuan yang hendak ditumbuhkembangkan pada diri anak adalah kemampuan berpikir tingkat tinggidan pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran berbasis masalah. Oleh sebab itu bahan ajar yang digunakan
118
dalam penelitian dirancang demikian rupa agar sesuai dengan pendekatan pembelajaran tersebut meski tetap mengacu pada kerangka Standar Isi, Kompetensi Dasar, dan Standar Kompetensi KTSP. Guna mengembangkan bahan ajar, semua topik yang disajikan di Kelas XI IPA ditelaah untuk dipilih sesuai keperluan. Mengingat kompetensi yang akan diteliti adalah keterampilan bernalar dan memecahkan masalah matematik, juga mengingat hasil ujicoba pemecahan masalah matematik di SMA Negeri 1 Parongpong, dan kecocokan materi untuk diajarkan dengan PBM maka dipilih topik Trigonometri dan Lingkaran di Kelas XI Semester Ganjil. Sesuai dengan tuntutan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pada KTSP, materi ini cocok dijadikan media untuk mengembangkan keterampilan bernalar dan memecahkan masalah matematik.Dalam rumusan standar kompetensi untuk topik ini pada KTSP, dituntut kebisaan siswa untuk dapat mengaitkan pengetahuan siapnya dengan tugas yang mesti diselesaikan. Selain itu, agar dapat menyelesaikan tugas ini, maka keterampilan bernalar siswa mutlak diperlukan. Terlebih lagi, di bagian akhir materi siswa harus menyelesaikan tugas membuktikan identitas trigonometri sederhana yang jelas akan mengasah keterampilan siswa bernalar dalam kerangka memecahkan masalah. Jadi, materi ini sangat cocok diajarkan dengan menggunakan PBM. Selanjutnya, dengan merujuk pada standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam KTSP, diturunkan indikator pembelajaran. Berdasarkan indikator inilah
kemudian
dikembangkan
masalah
dan
tahap-tahap
pelaksanaan
pembelajaran menurut PBM dan Teori Situasi Didaktik Matematik dari Brousseau
119
berupa aksi, formulasi, validasi, dan institusionalisasi. Sebagaimana diketahui, PBM menempatkan siswa sebagai pusat belajar. Melalui pemecahan masalah, siswa baik secara perorangan maupun berkelompok, membangun pengetahuan baru mereka dengan modal pengetahuan awal dan pengalaman yang dipunyainya. Guru berperan sebagai fasilitator dengan memberikan bantuan seperlunya manakala melihat anak mengalami kebuntuan. Sebagai contoh, berikut adalah salah satu masalah yang dirancang untuk menjadi bagian dari bahan ajar dan diujicobakan dalam studi pendahuluan. Misi yang diemban masalah ini ialah agar siswa menemukan kembali rumus
dan
jumlah dari dua sudut. Salah satu lintasan belajar yang
dapat ditempuh untuk menyelesaikannya ialah dengan menjawab pertanyaan yang diajukan. Untuk itu, siswa mesti memanggil kembali pengetahuannya tentang rumus perbandingan trigonometri pada segitiga siku-siku. Setelah itu, siswa diharapkan dapat membuat dugaan dan menjastifikasi bahwa kedua segitiga dan
kongruen. Bergerak meLingkar
Sebuah benda (diwakili oleh sebuah titik) bergerakdan lintasannya membentuk lingkaran berjari-jari 1 satuanseperti terlukis pada Gambar 1.
Berdasarkan Gambar 1, 1. tentukan posisi (koordinat) benda saat berada di titik , , dan ; 2. berapa panjang lintasan yang ditempuhnya dari titik ke dan dari titik ke ?;apa simpulanmu?apa akibatnya terhadap tali busur dan ?; 3. rumuskan posisi mendatar (absis) benda saat berada di titik ;gunakan jawaban nomor 2 untuk menguraikan rumusan absis tersebut; 4. berdasarkan jawaban nomor 3, jabarkan ( − ).
120
Gambar 1
Gambar 3.2 Masalah 1
Atau siswa diharapkan dapat menarik dan membenarkan simpulan bahwa sisi dan
sama panjang. Dengan hasil itu, siswa kiranya dapat menggunakan
konsep jarak antara dua titik untuk menentukan panjang
dan
yang akan
melahirkan rumus yang dicari. Dari ujicoba, ditemukan banyak kendala yang menghambat laju kerja siswa dalam menyelesaikan masalah tersebut meski pertanyaan yang diajukan sebenarnya telah menggiring mereka pada penemuan rumus dimaksud. Pertama, sangat sedikit dari siswa yang dapat menggunakan rumus perbandingan trigonometri dengan tepat untuk menetapkan koordinat titik
, , dan
. Bahkan
banyak juga dari mereka yang kesulitan menentukan koordinat titik
. Mereka
tidak dapat segera melihat kaitan bahwa titik A terletak di lingkaran dan bahwa jari-jari lingkaran itu 1 satuan. Kedua, hampir seluruh siswa tidak dapat memanfaatkan pengetahuan mereka tentang kongruensi dua segitiga atau kesamaan panjang dua busur untuk menyimpulkan bahwa tali busur
dan
sama panjang. Ke-tiga, semua siswa
121
juga tidak dapat mengaitkan pengetahuan mereka tentang jarak antara dua titik untuk diterapkan pada kesamaan
=
guna memperoleh hasil akhir. Bahkan
sebagian besar dari mereka tidak ingat lagi konsep jarak antara dua titik yang mereka peroleh di kelas X. Hasil ujicoba tersebut mengindikasikan perlunya mengajak anakmelihat kembali konsep-konsep yang terkait langsung dengan proses penyelesaian masalah sebelum masalah tersebut dihadapkan kepada anak untuk diselesaikan. Untuk keperluan ini disusun materi yang menjadi bahan apersepsi di awal pembelajaran. Materi itu disampaikan secara langsung kepada siswa dan disajikan di bawah. Perbandingan Trigonometri Perhatikan gambar segitiga siku-siku di samping. Pada segitiga tersebut didefinisikan perbandingan trigonometri sebagai berikut. = , = , dan = . Selanjutnya dirumuskan = , = , dan =
.
Dari rumusan perbandingan trigonometri di atas didapat = =
dan
=
=
=
( −
) = =
) = =
= ( ) + ( ) = 1.
+
Bentuk terakhir ini disebut suatu identitas trigonometri.
.
Berdasarkan gambar di atas, diketahui sudut = ( − ) , sehingga
( −
Berdasarkan teorema Pythagoras diperoleh + = sehingga
dan
.
Jika segitiga di atas diletakkan pada bidang kartesius dengan posisi (koordinat) titik ( , )dan ( , ), jarak antara titik ke tittik dinyatakan oleh
=
(
) + (
−
) . 122
Gambar di samping memperlihatkan sebuah menara yang berdiri tegak.Bagian atasnya adalah ruang pengawas. Seorang pengamat berada sejauh satuan dari kaki menara. Sudut pandang pengamat terhadap bagian menara diperlihatkan pada gambar. Jika tinggi ruang pengawas adalah , tunjukkan bahwa
=
(
)
. Gambar 3.3 Masalah 2
Dalam pembelajaran, selain siswa dituntut menemukan kembali rumus trigonometri, kemampuan mereka juga diasah untuk terampil memilih dan menerapkan kombinasi pengetahuan awal dan baru dalam rangka menyelesaikan masalah berikutnya. Sebagai contoh, masalah 2 (Gambar 3.3) diajukan untuk memfasilitasi siswa meraih keterampilan tersebut. Soal ini menuntut kejelian siswa melihat keberadaan dua segitiga siku-siku pada representasi masalah. Dengan informasi yang diberikan, siswa dapat menggunakan perbandingan tangen pada kedua segitiga dan melakukan manipulasi aljabar untuk tiba pada formula yang diinginkan. Rencana Pembelajaran dan bahan ajar yang digunakan dalam penelitian ini selengkapnya disajikan pada Lampiran B halaman 268296. F. Kegiatan Pembelajaran
123
Pada penelitian ini telah digunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah. Sebagai pembanding digunakan pendekatan pembelajaran biasa. Peneliti bertindak sebagai guru baik di kelas kendali maupun di kelas eksperimen. Guru matematika reguler di kedua kelas tersebut bertindak sebagai pengamat dan mitra diskusi peneliti saat melakukan refleksi atas pembelajaran yang dijalankan. Di kelas kendali tidak ada perlakuan lain selain pembelajaran dilaksanakan seperti biasa. Adapun perbandingan model pedagogi yang dijalankan di kedua kelas tersaji pada Tabel 3.21. Sebagai ciri khasnya, PBM dimulai dengan memunculkan suatu masalah yang akan menjadi pemicu dan media bagi anak untuk belajar pengetahuan baru melalui bimbingan guru atau teman yang lebih ahli atau duluan mengetahuinya. Tabel 3.21 Perbandingan Model Pedagogi Pembelajaran No 1
2
3
Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran Biasa
Bahan Ajar disajikan dalam bentuk masalah terstruktur. Siswa dalam (ber)kelompok menelaah dan mengelaborasi informasi dan pengetahuan awal untuk masuk pada situasi aksi, formulasi, validasi. Guru bertindaksebagaifasilitator yang membimbing dan mengarahkan siswa secara terbatas. Guru mengorganisasikan agar semua siswa aktif dan bekerjasama dalam kelompok atau antar kelompok untuk memecahkan masalah. Saat siswa menyajikan hasil kerja kelompok, guru bertindak sebagai ahli yang membimbing siswa masuk pada situasi institusionalisasi pengetahuan baru yang baru diperoleh. Siswa berperan sebagai pemecah masalah dalam rangka membangun pengetahuan. Dalam kelompok siswa berkolaborasi menjalankan penalaran dan memilih strategi serta saling berbagi
Bahan Ajar dikemas dan tersaji dalam buku ajar pegangan guru dan siswa. Guru menjelaskan konsep, prinsip, dan prosedur disertai penyajian penyelesaian contoh soal. Guru berperan aktif sebagai sumber belajar dan pemecah masalah yang dihadapi siswa. Guru meminta siswa berlatih menyelesaikan soal-soal dan mengawasi serta membimbing mereka untuk menyelesaikannya.
Siswa lebih pasif dan berperan sebagai penerima pengetahuan yang disampaikan guru. Mengerjakan tugas dan bertanya pada guru hal-hal yang belum (sepenuhnya) dipahami.
124
4
menuju pemahaman bersama Komunikasi yang dibangun multi arah: Komunikasi relatif satu arah antar siswa siswa-siswa dalam kelompok, siswa- dan guru. siswa antar kelompok, dan siswa-guru
Agar terjadi aksi mental, masalah yang disajikan dirancang demikian rupa sehingga anak terdorong menggunakan pengetahuan siap dan pengalaman yang sudah dipunyainya untuk menangani tugas-tugas dalam masalah tersebut. Dalam terminologi Vygotsky, melalui pemecahan masalah anak diharapkan dapat mencapai perkembangan aktualnya secara mulus dan begitu pula dengan perkembangan potensialnya baik secara perorangan, atau berkelompok, ataupun dengan bantuan guru. Dalam prosesnya pola kegiatan yang terjadi di kelas diarahkan demikian rupa sehingga empat tahap situasi yang dinyatakan dalam Teori Brousseau muncul. Bersamaan dengan itu pula, belajar secara kolaboratif sebagai salah satu karakteristik belajar berbasis masalah dimanfaatkan dan didorong guru agar berfungsi secara optimal bagi semua siswa dalam memunculkan situasi tersebut. Dalam kelompoknya, masing-masing siswa diminta mengelaborasi informasi yang diberikan dan didorong untuk mengaitkannya dengan pengetahuan awalnya yang relevan untuk menyelesaikan masalah.
125
B A B IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Data dan Hasil Penelitian Sebagaimana dinyatakan pada Bab I, penelitian ini bertujuan mengungkap dan menganalisis secara komprehensif perbedaan yang mungkin terjadi sebagai akibat dari proses pendekatan pembelajaran berbasis masalah yang dilaksanakan di dalam kelas. Perbedaan dimaksud fokus pada kemampuan penalaran matematis (KR), kemampuan pemecahan masalah matematis (KPS), dan sikap siswa (AS) terhadap matematika. Selain itu, diungkap dan dianalisis juga pendapat siswa (PS) terhadap pembelajaran berbasis masalah. Lebih jauh lagi dianalisis kemungkinan adanya interaksi antara aspek pembelajaran dengan aspek kemampuan awal matematika siswa terhadap kedua kemampuan KR dan KPS. Selanjutnya diidentifikasi dan dideskripsikan secara tuntas kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal-soal KR dan KPS berdasarkan aspeknya masing-masing. Terakhir, diungkap dinamika proses belajar-mengajar yang terjadi saat pendekatan pembelajaran berbasis masalah dijalankan di kelas eksperimen. Data yang diperoleh dari penelitian berbentuk kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif berupa dokumentasi nilai ulangan bulanan dua bulan terakhir dari guru yang selanjutnya disebut kemampuan awal matematis (KAM), tes pengetahuan matematis (PM) sebagai alat untuk memeriksa kehomogenan subyek sampel, tes KR, tes KPS, skala sikap terhadap matematika, dan skala pendapat
126
siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah. Sedangkan data kualitatif berasal dari hasil observasi, wawancara dengan siswa, diskusi dengan guru, lembar jawaban tes, dan pendapat tertulis dari siswa di kelas eksperimen terhadap proses pembelajaran berbasis masalah. Data kualitatif dianalisis untuk digunakan melengkapi hasil analisis data kuantitatif. Anggota sampel penelitian pada awalnya tercatat sebanyak 174 orang. Namun beberapa diantaranya ada yang tidak mengikuti tes pengetahuan matematis, atau tes KR, atau tes KPS, atau tidak mengikuti proses belajarmengajar dari awal. Dari 174 orang itu akhirnya yang memiliki data lengkap untuk dilibatkan dalam proses pengolahan dan analisis ada sebanyak 158 orang. Uraian dalam bab ini dimulai dari penyajian hasil analisis atas KR dan KPS. Selanjutnya dipaparkan sikap siswa terhadap matematika dan pendapat siswa tentang pembelajaran berbasis masalah. Uraian berikutnya adalah pembahasan mengenai temuan yang diperoleh baik berdasarkan data kuantitatif (deskriptif dan inferensial) maupun data kualitatif. Untuk keperluan statistika inferensial dilakukan pengujian terpenuhi atau tidaknya persyaratan yang dituntut. Untuk memeriksa normalitas data digunakan uji Kolmogorov-Smirnov (KS-Z) karena data yang diuji berbentuk interval. Kehomogenan subyek sampel diperiksa dengan menggunakan uji Levene. Uji statistik lain yang digunakan adalah uji t, Anava satu jalur dan Anava dua jalur. Semua deskripsi statistik dan pengujian inferensial dilakukan dengan bantuan SPSS versi 17. Data hasil seluruh pengujian dalam Bab IV ini secara lengkap disajikan pada Lampiran C halaman 297-320, sedangkan di bagian ini disajikan rangkuman dan analisisnya saja.
127
1. Analisis Kemampuan Penalaran Matematis Data hasil tes KR dideskripsikan dan dianalisis berdasarkan faktor pendekatan pembelajaran dan KAM siswa seperti tersaji pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Skor Total Rataan Kemampuan Penalaran Matematis
PBM
Kategori KAM
n
Rataan
Tinggi
21
13,81
Sedang
39
Kurang
Biasa SB
n
Gabungan
Rataan
SB
n
Rataan
SB
3,75 20
12,65
3,22
41
13,24
3,51
8,64
3,54 41
6,51
3,36
80
7,55
3,59
19
6,37
2,83 18
5,61
3,62
37
6,00
3,22
Gabungan 79
9,47
4,40 79
7,86
4,38 158
8,66
4,45
Catatan: SB adalah Simpangan Baku; Skor maksimum = 24
Tabel 4.1 memperlihatkan gambaran umum secara kuantitatif kemampuan penalaran matematis siswa menurut faktor yang dilibatkan. Pada tabel itu terlihat, secara keseluruhan, skor rataan kemampuan penalaran matematis siswa yang belajar dengan PBM lebih tinggi dibandingkan skor siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa. Hal ini juga berlaku untuk ketiga kategori KAM siswa secara
Skor Rataan KR (dari skor maksimum 24)
linear. 14 12 10 8 6 4 2 0
PBM Biasa
PBM
Tinggi 13,81
Sedang 8,64
Kurang 6,37
Total 9,47
Biasa
12,65
6,51
5,61
7,86
Diagram 4.1 Skor Total Rataan Kemampuan Penalaran Matematis
128
Data skor rataan kemampuan penalaran matematis berdasarkan kategori KAM siswa dan pendekatan pembelajaran dan data gabungannya dalam diagram batang disajikan pada Diagram 4.1. Gambaran umum yang ditampilkan Tabel 4.1 sekilas memperlihatkan adanya perbedaan di antara besaran-besaran itu. Untuk melihat keberartian perbedaan itu perlu dilakukan uji statistik. Sebelumnya, terlebih dulu dilakukan uji persyaratan analisis. Berikut disajikan uji persyaratan analisis yakni normalitas distribusi data dan kehomogenan varians populasi. Setelah itu data dianalisis dengan menggunakan Anova satu dan dua jalur. Untuk menguji normalitas populasi, hipotesis yang diuji ialah berdistribusi normal, melawan
: Data sampel berasal dari populasi yang
: Data sampel berasal dari populasi yang tidak
berdistribusi normal, dengan kriteria pengujian
diterima jika nilai probabilitas
(sig) dari Z lebih besar dari 0,05 dan ditolak dalam hal lainnya. Sementara untuk kehomogenan varians, hipotesis statistik yang diuji ialah :
≠
. Kriteria ujinya ialah menolak
kecil dari 0,05 dan menerima
:
=
melawan
bila nilai probabilitas (sig) lebih
dalam hal lainnya.
a. Perbandingan Kemampuan Penalaran Matematis berdasarkan Faktor Pembelajaran Rangkuman hasil pengujian normalitas distribusi data dan kehomogenan varians kemampuan penalaran matematis untuk tiap kelompok pembelajaran diperlihatkan berturut-turut pada Tabel 4.2 dan Tabel 4.3. Dari Tabel 4.2 dapat disimpulkan bahwa data kemampuan penalaran matematis kedua pendekatan pembelajaran berasal dari populasi yang berdistribusi normal karena signifikansi untuk keduanya adalah 0,592 dan 0,739 yang jelas lebih besar dari 0,05.
129
Tabel 4.2 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Kemampuan Penalaran Matematis Menurut Kelompok Pembelajaran
Kelompok Pembelajaran PBM Biasa
79
K-S Z 0,771
0,592
Diterima
79
0,683
0,739
Diterima
N
Sig
Tabel 4.3 Hasil Uji Kehomogenan Varians Data Kemampuan Penalaran Matematis Menurut Kelompok Pembelajaran
Statistik Levene (F) 0,00
dk1
dk2
Sig
1
156
0,986
Diterima
Dari Tabel 4.3, diketahui nilai probabilitas hasil pengujian adalah 0,986 dan jelas lebih besar dari 0,05 yang berarti varians populasi untuk skor kemampuan penalaran matematis dari kedua pendekatan pembelajaran adalah sama atau homogen. Selanjutnya, pengujian hipotesis ada atau tidak adanya pengaruh pembelajaran terhadap kemampuan penalaran matematis dapat dilakukan karena persyaratan uji telah dipenuhi. Pengujian dilakukan lewat uji ANOVA satu jalur dan hasilnya ditampilkan pada Tabel 4.4. Perhitungan lengkap terdapat pada Lampiran C-1 halaman 297. Hipotesis yang diuji adalah: : Tidak terdapat perbedaan kemampuan penalaran matematis antara siswa di kelas PBM dengan siswa di kelas biasa. : Kemampuan penalaran matematis siswa di kelas PBM lebih baik daripada kemampuan siswa di kelas biasa. Kriteria pengujiannya adalah menerima hipotesis nol bila probabilitas (sig) lebih besar dari 0,05 dan menolak dalam hal lainnya. Dari Tabel 4.4 diketahui nilai F 130
adalah 5,303 dengan nilai probabilitas (sig) 0,023. Karena signifikansi ini lebih kecil dari 0,05 berarti hipotesis nol ditolak. Jadi kemampuan penalaran matematis siswa di kelas PBM lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan kemampuan penalaran matematis siswa di kelas biasa. Tabel 4.4 Hasil Uji Perbedaan Kemampuan Penalaran Matematis Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran Sumber Varians
Jumlah Kuadrat
dk
Kuadrat Rataan
Antar Kelompok
102, 082
1
102,082 5,303 0,023 Ditolak
Dalam Kelompok 3003,139 156
F
Sig
19,251
Secara grafik, perbandingan rataan kemampuan penalaran matematis berdasarkan kelompok pendekatan pembelajaran disajikan dalam Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Perbandingan Kemampuan Penalaran Matematis menurut Kelompok Pembelajaran
Dari Gambar 4.1, secara keseluruhan pendekatan PBM lebih memberikan efek
positif
pada
pencapaian
kemampuan
penalaran
matematis
siswa
dibandingkan pembelajaran biasa.
131
b. Interaksi antara Faktor Pembelajaran dengan Faktor KAM Siswa dalam Kemampuan Penalaran Matematis Sebelum melakukan pengujian untuk melihat adanya interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor KAM siswa dalam kemampuan penalaran matematis, terlebih dulu diperiksa terpenuhinya persyaratan uji. Pertama normalitas data berdasarkan faktor pembelajaran dan kategori KAM siswa. Rangkuman hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 4.5. Hipotesis yang diuji ialah berdistribusi normal, melawan
: Data sampel berasal dari populasi yang : Data sampel berasal dari populasi yang tidak
berdistribusi normal, dengan kriteria pengujian diterima
jika nilai probabilitas
(sig) dari Z lebih besar dari 0,05dan ditolak dalam hal lainnya. Tabel 4.5 Hasil Uji Normalitas Skor Kemampuan Penalaran Matematis Menurut Kelompok KAM dan Kelompok Pembelajaran Kel. KAM
Pendekatan Pembelajaran
N
K-S Z
Sig
PBM
21
0,487
0,972
Diterima
Biasa
20
0,805
0,535
Diterima
PBM
39
0,503
0,962
Diterima
Biasa
41
0,574
0,897
Diterima
PBM
19
0,605
0,858
Diterima
Biasa
18
0,494
0,968
Diterima
Tinggi
Sedang
Kurang
Pada Tabel 4.5 tampak nilai probabilitas untuk tiap kategori KAM dan pendekatan pembelajaran (PBM dan Biasa) lebih besar dari 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan data skor kemampuan penalaran matematis berdasarkan pendekatan pembelajaran dan kemampuan awal matematis siswa berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
132
Selanjutnya, uji Levene digunakan untuk memeriksa kehomogenan varians skor kemampuan penalaran matematis seluruh kelompok data. Hipotesis nol yang diuji ialah tidak terdapat perbedaan varians antar pasangan kelompok data. Hasil perhitungan ditampilkan dalam Tabel 4.6. Tabel 4.6 Hasil Uji Kehomogenan Varians Data Skor Kemampuan Penalaran Matematis berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan KAM Siswa Statistik Levene (F)
dk1
dk2
Sig
0,364
5
152
0,873
Diterima
Dari Tabel 4.6 disimpulkan bahwa hipotesis nol diterima karena nilai signifikansinya 0,873 yang jelas lebih besar dari 0,05. Jadi varians populasi dari skor kemampuan penalaran matematis berdasarkan kelompok pembelajaran dan kategori KAM siswa adalah homogen. Oleh karena persyaratan uji dipenuhi, pengujian ada atau tidak adanya interaksi antara faktor pembelajaran (PBM dan Biasa) dengan kategori KAM (tinggi, sedang, kurang) siswa dalam kemampuan penalaran matematis dapat dilakukan. Pengujian dilakukan dengan menggunakan ANOVA dua jalur. Hasil perhitungan secara lengkap ada dalam Lampiran C-2 halaman 298-299. Rangkumannya disajikan pada Tabel 4.7 dan diagram interaksi ditampilkan dalam Gambar 4.2. Hipotesis nol yang diuji ialah: : tidak ada interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor KAM siswa. Dari Tabel 4.7 terlihat bahwa nilai F untuk interaksi pembelajaran dan kemampuan awal matematis siswa sebesar 0,603 dengan nilai signifikansi sebesar 0,549. Nilai signifikansi ini lebih besar dari 0,05, sehingga dapat disimpulkan
133
bahwa hipotesis nol yang menyatakan tidak ada interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor kategori KAM siswa dapat diterima. Ini berarti bahwa pengaruh gabungan antara faktor pembelajaran dengan faktor kategori KAM siswa tidak memberikan perbedaan berarti pada pencapaian skor rataan kemampuan penalaran matematis siswa untuk ketiga kelompok kemampuan awal matematika siswa. Tabel 4.7 Hasil Uji Interaksi antara Faktor Pembelajaran dengan Faktor KAM terhadap Kemampuan Penalaran Matematis Sumber
Jumlah Kuadrat
dk
Kuadrat Rataan
F
Sig
Pembelajaran
63,976
1
63,976
5,482
0,021
Ditolak
KAM
1213,122
2
606,561
51,980
0,000
Ditolak
Interaksi
14,065
2
7,033
0,603
0,549
Diterima
Secara grafik, tidak adanya interaksi tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Grafik Interaksi antara Faktor Pembelajaran dengan Faktor KAM terhadap Kemampuan Penalaran Matematis
134
Gambar 4.2 memperlihatkan bahwa PBM lebih baik atau lebih berpengaruh dalam upaya mencapai kompetensi penalaran matematis karena skor rataan yang diperoleh siswa di kelas ini lebih tinggi dibandingkan dengan skor rataan yang diperoleh siswa di kelas biasa. Hal ini berlaku untuk ketiga kategori KAM siswa. Dari selisih skor dalam kategori kelompok, tampak kelompok siswa dengan kategori KAM sedang mendapat “keuntungan lebih besar” dari pendekatan PBM dengan selisih skor 2,13. Sementara selisih skor itu untuk siswa berkategori tinggi 1,16 dan berkategori kurang 0,76. Keberartian perbedaan selisih skor untuk tiap kelompok KAM tersebut akan diuji pada bagian berikut ini. c. Perbedaan Kemampuan Penalaran Matematis berdasarkan Faktor Pembelajaran dan Faktor KAM Menurut Tabel 4.7 di atas, hasil perhitungan nilai F untuk faktor pembelajaran sebesar 5,482 dengan nilai signifikansi 0,021. Signifikansi ini lebih kecil dari 0,05 dan itu artinya hipotesis yang menyatakan tidak terdapat perbedaan kemampuan penalaran matematis berdasarkan faktor pembelajaran ditolak. Dengan kata lain, ada pengaruh faktor pembelajaran terhadap kemampuan penalaran matematis siswa. Demikian juga halnya dengan faktor kategori KAM siswa, hasil perhitungan menunjukkan nilai F sebesar 51,980 dengan signifikansi 0,000 yang jelas lebih kecil dari 0,05. Ini berarti hipotesis yang menyatakan tidak terdapat perbedaan kemampuan penalaran matematis di antara kategori KAM siswa, ditolak. Dengan kata lain, ada pengaruh perbedaan kategori KAM siswa terhadap kemampuan penalaran matematisnya. Untuk mengetahui perbandingan pengaruh pendekatan pembelajaran yang digunakan pada masing-masing kategori KAM
135
siswa digunakan uji t. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 4.8. Perhitungan lengkap disajikan dalam Lampiran C-3 halaman 300. Tabel 4.8 Hasil Uji Beda Rataan Kemampuan Penalaran Matematis menurut Faktor Pembelajaran pada Masing-masing KAM Siswa
Tinggi
Uji Kehomogenan Varians (Levene) F Sig 0,211 0,649
t 1,060
dk 39
Sig 0,296
Sedang
0,169
0,682
2,757
78
0,007
Kurang
1,722
0,198
0,711
35
0,482
Kategori KAM
Uji Beda Rataan
Dari Tabel 4.8 dapat dilihat bahwa hasil perhitungan nilai t untuk kelompok kemampuan awal matematika siswa sedang sebesar 2,757 dengan signifikansi sebesar 0,007. Nilai ini lebih kecil dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol yang menyatakan
tidak terdapat perbedaan
kemampuan penalaran matematis antar pembelajaran yang digunakan berdasarkan kategori KAM siswa ditolak. Dengan kata lain kemampuan penalaran matematis siswa berkategori KAM sedang di kelas PBM secara signifikan lebih baik daripada kemampuan penalaran matematis siswa berkategori sama di kelas biasa. Sementara itu, pada kategori kelompok siswa tinggi dan kurang diperoleh nilai t berturut-turut sebesar 1,060 dengan nilai p (signifikansi) 0,296 dan 0,711 dengan nilai p (signifikansi) 0,482. Kedua nilai p ini lebih besar dari taraf signifikan 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesi nol yang menyatakan tidak terdapat perbedaan kemampuan penalaran matematis antar pembelajaran yang digunakan pada kelompok siswa berkategori tinggi dan kurang, diterima. Dengan kata lain kemampuan penalaran matematika siswa berkemampuan awal
136
matematika tinggi dan kurang yang diajar berdasarkan pendekatan PBM tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan kemampuan penalaran matematis siswa berkemampuan awal matematika yang sama tetapi diajar dengan pembelajaran biasa. Rangkuman hasil pengujian hipotesis penelitian yang berkenaan dengan kemampuan penalaran matematis yang diperoleh melalui pengujian statistik terhadap skor tes kemampuan penalaran matematis disajikan pada Tabel 4.9. Tabel 4.9 Rangkuman Hasil Pengujian Hipotesis Penelitian Kemampuan Penalaran Matematis pada Taraf Signifikansi 5% No
Hipotesis Penelitian
Hasil Pengujian
1.
Kemampuan penalaran matematis siswa di kelas PBM lebih baik secara signifikan dibandingkan kemampuan siswa di kelas biasa
Diterima
2.
Kelompok siswa berkategori KAM tinggi di kelas PBM mempunyai kemampuan penalaran matematis lebih baik secara signifikan dibandingkan kelompok siswa berkategori sama di kelas biasa Kelompok siswa berkategori KAM sedang di kelas PBM mempunyai kemampuan penalaran matematis lebih baik secara signifikan dibandingkan kelompok siswa berkategori sama di kelas biasa Kelompok siswa berkategori KAM kurang di kelas PBM mempunyai kemampuan penalaran matematis lebih baik secara signifikan dibandingkan kelompok siswa berkategori sama di kelas biasa Terdapat interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor KAM siswa terhadap kemampuan penalaran matematis
Ditolak
3.
4.
5.
Diterima
Ditolak
Ditolak
2. Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Seperti untuk penalaran matematis, data hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematis dideskripsikan dan dianalisis berdasarkan faktor pendekatan pembelajaran dan kategori KAM siswa. Tabel 4.10 memperlihatkan gambaran
137
umum tentang capaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa menurut faktor yang dilibatkan. Pada Tabel 4.10 terlihat raihan skor rataan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang belajar dengan PBM lebih tinggi dibandingkan raihan skor siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa. Hal ini juga berlaku untuk ketiga kategori KAM siswa secara linear. Data skor rataan kemampuan pemecahan masalah matematis berdasarkan kategori KAM dan pendekatan pembelajaran dan data gabungannya dalam diagram batang disajikan pada Diagram 4.3. Tabel 4.10 Skor Total Rataan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Kategori KAM
PBM N Rataan
Biasa SB
N Rataan
Gabungan SB
N
Rataan
SB
Tinggi
21
15,33
3,28 20
12,15
3,69
41
13,78
3,80
Sedang
39
9,33
4,11 41
7,76
3,52
80
8,53
3,88
Kurang
19
5,26
4,04 18
4,33
3,05
37
4,81
3,57
Gabungan 79
9,95
5,30 79
8,09
4,39 158
9,02
4,94
Catatan: SB adalah Simpangan Baku; Skor maksimum = 28
Skor Rataan KPS (dari skor maksimum 28)
16 14 12 10
PBM
8
Biasa
6 4 2 0
Tinggi
Sedang
Kurang
Total
Diagram 4.2 Skor Total Rataan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
138
Skor rataan yang dicapai siswa pada tes kemampuan pemecahan masalah ini relatif lebih rendah dibandingkan skor yang diraih siswa pada tes kemampuan penalaran matematis dan tergolong rendah untuk tiap kategori KAM. Kekecualian hanya berlaku pada siswa kelompok sedang di kelas pembelajaran biasa. Di kelompok ini skor rataan kemampuan pemecahan masalah sedikit lebih besar (0,02) dibanding skor rataan kemampuan penalaran. Tabel 4.11 memperlihatkan gambaran skor rataan tersebut dengan jelas untuk kedua kemampuan penalaran dan pemecahan masalah matematis siswa. Tabel 4.11 Perbandingan Skor Rataan Antara Kemampuan Penalaran dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa berdasarkan KAM
KAM
Penalaran PBM Biasa
Pemecahan Masalah PBM Biasa
Tinggi
2,30
2,11
2,19
1,74
Sedang
1,44
1,09
1,33
1,11
Kurang
1,06
0,94
0,75
0,62
Gabungan
1,58
1,31
1,42
1,16
Catatan: Skor maksimum adalah 4
Gambaran
umum
yang
ditampilkan
pada
Tabel
4.10
belum
memperlihatkan adanya perbedaan yang signifikan secara statistik. Untuk melihatnya perlu dilakukan uji statistik. Sebelum uji statistik, terlebih dulu dilakukan uji persyaratan analisis. Berikut disajikan uji persyaratan analisis yakni normalitas distribusi data dan kehomogenan varians populasi. Setelah itu data dianalisis dengan menggunakan Anova satu dan dua jalur. Untuk menguji normalitas populasi digunakan uji Kolmogorov-Smirnov Z (K-S Z). Hipotesis yang diuji ialah H0: Data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal, melawan Ha: Data sampel berasal dari populasi yang tidak
139
berdistribusi normal, dengan kriteria pengujian diterima H0 jika nilai probabilitas (sig) dari Z lebih besar dari 0,05 dan ditolak dalam hal lainnya. Sementara untuk menguji kehomogenan varians populasi digunakan uji Levene. Hipotesis yang diuji ialah H0:
=
melawan Ha:
≠
. Kriteria
ujinya menolak H0 bila probabilitas (sig) lebih kecil dari 0,05 dan menerima dalam hal lainnya. a. Perbandingan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Menurut Faktor Pembelajaran Hasil pengujian normalitas distribusi dan kehomogenan varians data kemampuan pemecahan masalah matematis diperlihatkan berturut-turut pada Tabel 4.12 dan Tabel 4.13. Dari Tabel 4.12 disimpulkan bahwa data skor kemampuan pemecahan masalah matematis kedua pendekatan pembelajaran berasal dari populasi yang berdistribusi normal karena probabilitas untuk keduanya berturut-turut sebesar 0,723 dan 0,718 dan nilai ini jelas lebih besar dari 0,05. Sementara menurut Tabel 4.13 nilai probabilitasnya adalah 0,066, juga lebih besar dari 0,05 yang berarti hipotesis nol diterima atau dengan kata lain varians populasi untuk skor kemampuan pemecahan masalah matematis dari kedua pendekatan pembelajaran adalah sama atau homogen. Tabel 4.12 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Kelompok Pembelajaran
N
K-S Z
Sig
PBM
79
0,693
0,723
Diterima
Biasa
79
0,696
0,718
Diterima
140
Tabel 4.13 Hasil Uji Kehomogenan Varians Populasi Statistik Levene
dk1
dk2
Sig.
3,423
1
156
0,066
Selanjutnya pengujian hipotesis ada atau tidak ada pengaruh pembelajaran terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis telah dapat dilakukan karena persyaratan uji telah dipenuhi. Pengujian dilakukan lewat uji ANOVA satu jalur dan ditampilkan pada Tabel 4.14. Hasil perhitungan lengkap disajikan dalam Lampiran C-4 halaman 301. Hipotesis yang diuji adalah: H0: Tidak terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang menjalani PBM dengan mereka yang menjalani pembelajaran biasa. Ha: Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang menjalani PBM lebih baik dibandingkan kemampuan mereka yang menjalani pembelajaran biasa. Kriteria pengujiannya adalah menerima hipotesis nol bila nilai probabilitas (sig) lebih besar dari 0,05 dan menolak dalam hal lainnya. Dari Tabel 4.14 diketahui nilai F = 5,779 dengan nilai probabilitas (sig) 0,017. Karena signifikansi ini lebih kecil dari 0,05 berarti hipotesis nol ditolak. Jadi kemampuan pemecahan masalah matematis siswa di kelas PBM lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa di kelas biasa. Tabel 4.14 Hasil Uji Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis berdasarkan Pendekatan Pembelajaran Sumber Variasi Antar Kelompok
Jumlah Kuadrat 136,766
Dk 1
Dalam Kelompok 3692,177 156
Kuadrat F Sig Rataan 136,766 5,779 0,017 Ditolak 23,668
141
Secara grafik, perbandingan rataan kemampuan pemecahan masalah matematis berdasarkan kelompok pendekatan pembelajaran disajikan dalam Gambar 4.3. Dari gambar tersebut tampak pendekatan PBM lebih berhasil membelajarkan siswa memperoleh kompetensi memecahkan masalah matematis daripada pendekatan pembelajaran biasa.
Gambar 4.3 Perbandingan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis menurut Kelompok Pembelajaran
b. Interaksi antara Faktor Pembelajaran dengan Faktor KAM Siswa dalam Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Sebelum melakukan pengujian untuk melihat ada atau tidak adanya interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor KAM siswa dalam kemampuan pemecahan masalah matematis, terlebih dulu diperiksa terpenuhinya persyaratan uji. Pertama normalitas data. Hasilnya disajikan pada Tabel 4.15. Hipotesis yang diuji ialah H0: Data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal, melawan Ha: Data sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal, dengan kriteria pengujian diterima H0 jika nilai probabilitas (sig) dari Z lebih besar dari 0,05 dan ditolak dalam hal lainnya.
142
Tabel 4.15 Hasil Uji Normalitas Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Menurut Kelompok KAM dan Kelompok Pembelajaran Kel. KAM
Pendekatan Pembelajaran
N
K-S Z
Sig
PBM
21
0,575
0,895
Diterima
Biasa
20
0,487
0,972
Diterima
PBM
39
0,582
0,887
Diterima
Biasa
41
0,584
0,885
Diterima
PBM
19
0,687
0,733
Diterima
Biasa
18
0,482
0,975
Diterima
Tinggi
Sedang
Kurang
Pada Tabel 4.15 tampak nilai probabilitas untuk tiap kategori kelompok siswa dan pendekatan pembelajaran (PBM dan Biasa) lebih besar dari 0,05. Dengan demikian disimpulkan data skor kemampuan pemecahan masalah matematis berdasarkan pendekatan pembelajaran dan kategori kelompok siswa berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Selanjutnya uji Levene digunakan untuk memeriksa kehomogenan varians dari skor kemampuan pemecahan masalah matematis seluruh kelompok data. Hipotesis nol yang diuji ialah tidak terdapat perbedaan varians antar pasangan kelompok data. Hasil perhitungannya ditampilkan dalam Tabel 4.16. Berdasarkan Tabel 4.16 disimpulkan bahwa hipotesis nol diterima karena nilai signifikansinya 0,745 yang jelas lebih besar dari 0,05. Jadi varians populasi dari skor kemampuan pemecahan masalah matematis berdasarkan kelompok pembelajaran dan kategori kelompok siswa adalah homogen.
143
Tabel 4.16 Hasil Uji Kehomogenan Varians Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan KAM Siswa
Statistik Levene (F)
dk1
dk2
0,541
5
152
Sig 0,745 Diterima
Selanjutnya untuk mengetahui signifikansi pengaruh interaksi antara faktor pembelajaran dengan kategori KAM siswa dalam kemampuan pemecahan masalah matematis dilakukan pengujian dengan menggunakan ANOVA dua jalur. Hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 4.17 dan grafik interaksi ditampilkan dalam Gambar 4.4. Hasil perhitungan lengkap disajikan pada Lampiran C-5 halaman 302-304. Tabel 4.17 Hasil Uji Interaksi antara Faktor Pembelajaran dan Faktor KAM terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Pembelajaran
Jumlah Kuadrat 126,567
KAM
1590,551
2
795,275
58,592 0,000
Interaksi
27,523
2
13,761
1,014
Sumber
F
Sig
1
Kuadrat Rataan 126,567
9,325
0,003
Ditolak Ditolak
dk
0,365 Diterima
Hipotesis nol yang diuji ialah H0: tidak ada interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor kategori KAM siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Dari Tabel 4.17 di atas terlihat bahwa nilai F untuk interaksi pembelajaran dan kemampuan awal matematika siswa adalah 1,014 dengan nilai signifikansi sebesar 0,365. Nilai signifikansi ini lebih besar dari taraf signifikan 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol yang menyatakan tidak ada interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor kategori
144
KAM siswa dapat diterima. Ini berarti bahwa selisih skor rataan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan kategori KAM berturut-turut tinggi, sedang, dan kurang antara yang diajar dengan PBM dan pembelajaran biasa tidak berbeda secara signifikan. Secara grafik, tidak adanya interaksi tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Grafik Interaksi antara Faktor Pembelajaran dengan Faktor KAM terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Gambar 4.4 memperlihatkan bahwa PBM lebih baik atau lebih berpengaruh dalam upaya meraih kompetensi pemecahan masalah matematis karena skor rataan yang dicapai siswa di kelas ini lebih tinggi dibandingkan dengan skor rataan yang dicapai siswa di kelas biasa. Hal ini berlaku untuk ketiga kategori KAM siswa. Dari selisih skor dalam kelompok, tampak siswa dengan kategori tinggi mendapat “keuntungan lebih besar” dari pendekatan PBM dengan
145
selisih skor 3,18. Sementara selisih skor itu untuk siswa berkategori KAM sedang 1,57 dan berkategori KAM kurang 0,93. Hasil yang diperoleh pada kemampuan pemecahan masalah ini berbeda bila dibandingkan dengan yang diperoleh siswa pada kemampuan penalaran. Untuk memecahkan masalah, selain kemampuan penalaran diperlukan keterampilan lainnya. Oleh karena itu, tugas pemecahan masalah menjadi lebih kompleks. Dalam konteks inilah tampaknya siswa berkategori kemampuan awal matematis tinggi mengindikasikan bahwa potensinya lebih dapat berkembang bila difasilitasi dengan pendekatan PBM. c. Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis berdasarkan Faktor Pembelajaran dan Faktor KAM Selanjutnya, masih berdasarkan Tabel 4.17, hasil perhitungan nilai F untuk faktor pembelajaran adalah 9,325 dengan nilai signifikansi 0,003. Nilai ini lebih kecil dari 0,05 dan itu artinya hipotesis yang menyatakan tidak terdapat perbedaan kemampuan pemecahaan masalah matematis berdasarkan faktor pembelajaran ditolak. Dengan kata lain, ada pengaruh faktor pembelajaran yang berbeda terhadap kemampuan pemecahaan masalah matematik. Demikian juga halnya dengan faktor kategori KAM siswa, hasil perhitungan menunjukkan nilai F sebesar 58,592 dengan signifikansi 0,000 yang jelas lebih kecil dari 0,05. Ini berarti hipotesis yang menyatakan tidak terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematik di antara siswa dengan kategori KAM berbeda ditolak. Dengan kata lain, ada pengaruh perbedaan KAM siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah matematisnya. Untuk mengetahui perbandingan pengaruh antar pendekatan pembelajaran yang digunakan berdasarkan tingkat
146
kategori KAM digunakan uji t. Perhitungan pengujiannya disajikan dalam Lampiran C-6 halaman 305-306. Rangkumannya disajikan pada Tabel 4.18. Tabel 4.18 Hasil Uji Beda Rataan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis menurut Faktor Pembelajaran pada Masing-masing KAM Siswa
Tinggi
Uji Kehomogenan Varians (Levene) F Sig 0,130 0,721
t 2,925
dk 39
Sig 0,006
Sedang
0,813
0,370
1,846
78
0,069
Kurang
1,511
0,227
0,787
35
0,437
Kategori KAM
Uji Beda Rataan
Dari Tabel 4.18 dapat dilihat bahwa hasil perhitungan signifikansi untuk kelompok siswa dengan kategori KAM sedang dan kurang lebih besar dari 0,05. Ini berarti hipotesis nol yang menyatakan tidak terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis berdasarkan pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk kategori KAM siswa sedang dan kurang, diterima. Dengan kata lain kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh PBM tidak berbeda secara signifikan dari kemampuan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (PMB) pada kategori KAM siswa tingkat sedang dan kurang. Sementara itu, masih dari Tabel 4.18 diperoleh hasil perhitungan signifikansi untuk kelompok siswa berkategori tinggi sebesar 0,006 dan ini lebih kecil dari 0,05. Artinya hipotesis nol yang menyatakan tidak terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis berdasarkan pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk kategori KAM siswa tinggi, ditolak. Dengan kata lain kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan kategori KAM tinggi yang yang memperoleh PBM berbeda secara signifikan dari kemampuan siswa
147
yang memperoleh pembelajaran biasa. Rangkuman hasil pengujian hipotesis penelitian yang berkenaan dengan kemampuan pemecahaan masalah matematis yang diperoleh melalui pengujian statistik terhadap skor tes kemampuan pemecahaan masalah matematis disajikan pada Tabel 4.19. Tabel 4.19 Rangkuman Hasil Pengujian Hipotesis Penelitian atas Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis pada Taraf Signifikansi 5%
No
Hipotesis Penelitian
Hasil Pengujian
1.
Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang Diterima memperoleh pembelajaran PBM lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan kemampuan mereka yang memperoleh pembelajaran biasa
2.
Siswa dengan kategori KAM tinggi yang memperoleh PBM mempunyai kemampuan pemecahan masalah matematis lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan mereka dengan kategori sama tetapi memperoleh pembelajaran biasa Siswa dengan kategori KAM sedang yang memperoleh PBM mempunyai kemampuan pemecahan masalah matematis lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan mereka dengan yang kemampuan awal matematikanya sama tetapi memperoleh pembelajaran biasa Siswa dengan kategori KAM rendah yang memperoleh PBM mempunyai kemampuan pemecahan masalah matematis lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan mereka dengan kategori sama tetapi memperoleh pembelajaran biasa Terdapat interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor kategori KAM siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis
3.
4.
5.
Diterima
Ditolak
Ditolak
Ditolak
3. Gambaran Kinerja Siswa atas Penalaran dan Pemecahan Masalah Matematis Gambaran kinerja siswa dalam menyelesaikan soal yang berkaitan dengan kemampuan penalaran dan pemecahan masalah matematis antara lain dapat dilihat melalui banyaknya (persentase) siswa yang memperoleh skor di atas nilai tertentu. Dalam laporan ini diambil dua nilai batas sebagai parameternya, yaitu 50% dan 148
65%. Selanjutnya pengelompokan sebaran kinerja siswa atas kemampuan penalaran matematis dan kemampuan pemecahan masalah matematis didasarkan pada batasan tersebut dan disajikan dalam Tabel 4.20 dan Tabel 4.21. Tabel 4.20 Banyak dan Persentase Siswa yang Memperoleh Skor Minimal 50% dan 65% pada Kemampuan Penalaran Matematis berdasarkan Faktor Pembelajaran dan KAM
Kelompok Pembelajaran
PBM
Biasa
Total
KAM Siswa
Banyak (n)
Skor ≥ 50%
Skor ≥ 65 %
n
%
n
%
Tinggi
21
16
76,19
6
28,57
Sedang
39
9
23,01
1
2,56
Kurang
19
0
0,00
0
0,00
Total
79
25
31,65
7
8,86
Tinggi
20
12
60,00
5
25,00
Sedang
41
3
7,32
0
0,00
Kurang
18
1
5,56
0
0,00
Total
79
16
20,25
5
6,33
Tinggi
41
28
68,29
11
26,83
Sedang
80
12
15,00
1
1,25
Kurang Total
37 158
1 41
2,70 25,95
0 12
0,00 7,60
Untuk penalaran matematis, banyaknya siswa di kelas PBM yang memperoleh skor minimal 50% dibandingkan dengan rekan mereka di kelas biasa relatif tidak terpaut jauh. Begitu juga perbandingan di antara kedua kelas untuk skor minimal 65%. Hal ini tampak jelas bila dibandingkan terhadap pemecahan masalah matematis sebagaimana ditampilkan pada Tabel 4.21.
149
Tabel 4.21 Banyak dan Persentase Siswa yang Memperoleh Skor Minimal 50% atau 65% pada Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis berdasarkan Faktor Pembelajaran dan KAM
Kelompok Pembelajaran
PBM
Biasa
Total
KAM Siswa Tinggi Sedang Kurang Total Tinggi Sedang Kurang Total Tinggi Sedang Kurang Total
Skor ≥ 50% n % 15 71,43 7 17,95 1 5,26 23 29,11 6 30,00 3 7,32 0 0,00 9 11,39 21 51,22 10 12,50 1 2,70 32 20,25
Banyak (n) 21 39 19 79 20 41 18 79 41 80 37 158
Skor ≥ 65 % n % 7 33,33 1 2,56 0 0,00 8 10,13 1 5,00 1 2,44 0 0,00 2 2,53 8 19,51 2 2,50 0 0,00 10 6,33
Sedikit berbeda dari penalaran matematis, untuk pemecahan masalah matematis, banyaknya siswa yang memperoleh skor minimal 50% di kelas PBM relatif jauh lebih besar dibandingkan banyaknya rekan mereka dari kelas biasa. Demikian juga halnya untuk skor minimal 65%. Tabel 4.22 Skor Rataan Kemampuan Penalaran dan Pemecahan Masalah Matematis Tiap Butir Soal Menurut Faktor Pembelajaran
No Soal 1 2 3 4 5 6 7
Penalaran
Pemecahan Masalah
PBM
Biasa
PBM
Biasa
1,35
0,92
2,27
1,09
0,60
0,38
1,24
1,06
1,91
1,75
0,58
0,49
2,62
2,32
1,54
1,41
1,54
1,59
2,91
2,81
1,53
0,89
0,95
0,65
0,46
0,56
Skor ideal adalah 4
150
Sementara itu rataan skor tiap butir soal penalaran dan pemecahan masalah matematis berdasarkan faktor pembelajaran disajikan pada Tabel 4.22. Diagram garisnya ditampilkan pada Diagram 4.3 dan Diagram 4.4. Dari Tabel 4.22 terlihat jelas skor yang diperoleh siswa baik di kelas PBM maupun di kelas biasa untuk kedua jenis kemampuan terbilang rendah. Bahkan untuk soal nomor 2 penalaran dan soal nomor 7 pemecahan masalah dapat dikatakan sangat rendah. 3,00 2,50 2,00 1,50
PBM
1,00
Biasa
0,50 0,00
1
2
3
4
5
6
1,35
0,60
1,91
2,62
1,54
1,53
Biasa 0,92
0,38
1,75
2,32
1,59
0,89
PBM
Diagram 4.3 Diagram Garis Skor Rataan Kemampuan Penalaran Matematis Tiap Nomor berdasarkan Faktor Pembelajaran 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50
PBM
1,00
Biasa
0,50 0,00
1
2
3
4
5
6
7
PBM 2,27 1,24 0,58 1,54 2,91 0,95 0,46 Biasa 1,09 1,06 0,49 1,41 2,81 0,65 0,56
Diagram 4.4 Diagram Garis Skor Rataan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Tiap Nomor berdasarkan Faktor Pembelajaran
151
Berdasarkan Tabel 4.20 – 22, ada beberapa hal yang dapat diungkap tentang kualitas kerja dan kinerja siswa dalam menyelesaikan soal yang berkenaan dengan kemampuan penalaran dan pemecahan masalah matematis. Pertama untuk butir soal dan kemampuan penalaran matematis: a. Secara keseluruhan, sangat sedikit siswa yang mencapai skor minimal 50% dari skor maksimal dan jauh menurun untuk siswa yang mencapai skor minimal 65%. Siswa yang mencapai skor tersebut terutama berasal dari dari kelompok dengan KAM tinggi. Jika skor minimal belajar tuntas ditetapkan 65%, sangat sedikit siswa yang mencapai ketuntasan dalam kompetensi penalaran matematis ini. b. Dari sisi pendekatan pembelajaran antara PBM dengan pembelajaran biasa, semakin tinggi batas skor capaian semakin kecil pula selisih banyaknya siswa dari kedua kelas yang mencapai batasan tersebut. Artinya, banyaknya siswa yang mencapai ketuntasan dalam kompetensi penalaran matematis dari kedua kelas tidak jauh berbeda. c. Dari sisi kategori KAM siswa, selisih persentase banyak siswa yang mencapai skor minimal 50% antara kelompok tinggi-tinggi dan sedang-sedang boleh dikatakan sama pada kedua jenis pembelajaran. Sedangkan pada kategori KAM rendah, capaian skor minimal 50% oleh siswa yang diajar dengan pembelajaran biasa lebih tinggi 5,56% dibandingkan capaian mereka yang belajar dengan PBM. Sementara itu, selisih persentase banyak siswa yang mencapai skor minimal 65% antara kelompok tinggi-tinggi dan sedang-sedang, pada kedua jenis pembelajaran dapat dikatakan sama. Sedangkan untuk kategori KAM
152
rendah tidak ada siswa yang mencapai skor minimal 65% untuk kedua jenis pembelajaran. d. Dilihat dari butir soal, skor rataan capaian siswa pada seluruh butir termasuk tidak tuntas kecuali soal nomor 4 di kelas PBM. Hal ini mengindikasikan bahwa semua butir soal yang diujikan dalam penelitian ini sulit bagi hampir keseluruhan siswa. Kedua, untuk butir soal dan kemampuan pemecahan masalah matematis: a. Secara keseluruhan, lebih sedikit siswa yang mencapai skor minimal 50% dan yang mencapai skor minimal 65% dibandingkan capaian siswa pada kemampuan penalaran matematis. Serupa dengan kasus pada penalaran, besar persentase ini terutama disumbang oleh kelompok siswa berkategori KAM tinggi. Hal ini diperkirakan karena tuntuan tugas soal pemecahan masalah memang lebih rumit dan kompleks dibandingkan tuntutan tugas soal penalaran matematis. b. Dari sisi pendekatan pembelajaran antara PBM dengan pembelajaran biasa, seperti pada kemampuan penalaran matematis, semakin tinggi batas skor capaian semakin kecil pula selisih banyaknya siswa dari kedua kelas yang mencapai
batasan
tersebut.
Namun
demikian,
dibandingkan
dengan
kemampuan penalaran matematis, selisih banyaknya siswa yang mencapai skor lebih dari 65% pada kemampuan pemecahan masalah matematis lebih besar. Hal ini menandakan bahwa pendekatan PBM lebih berhasil memfasilitasi siswa menyelesaikan soal pemecahan masalah matematis daripada pembelajaran biasa.
153
c. Dari sisi kategori KAM siswa, selisih persentase banyak siswa berkategori tinggi yang mencapai skor minimal 50% antara kedua jenis pembelajaran dapat dikatakan besar, yakni sebesar 41,43%. Sedangkan untuk kelompok berkategori sedang selisih itu hanya sebesar 10,63% dan untuk kelompok dengan kategori rendah hanya 5,26%. Sementara itu, selisih persentase banyak siswa berkategori KAM tinggi yang mencapai skor minimal 65% antara kedua jenis pembelajaran lebih kecil dibandingkan selisih untuk skor minimal 50%, yakni sebesar 28,33%. Sedangkan untuk kelompok berkategori sedang hampir tidak ada selisih sebab besarnya hanya 0,12%. Di kelompok dengan kategori rendah tidak seorang pun siswa yang mencapai skor 65% pada kedua jenis pembelajaran. d. Dilihat dari butir soal, skor rataan capaian siswa pada seluruh butir termasuk tidak tuntas kecuali soal nomor 5. Hal ini mengindikasikan bahwa semua butir soal yang diujikan dalam penelitian ini sulit bagi hampir keseluruhan siswa. 4. Analisis Sikap Siswa terhadap Matematika dan Pendapat Siswa terhadap Pembelajaran Berbasis Masalah Data sikap siswa terhadap matematika dideskripsikan dan dianalisis menurut faktor kelompok pembelajaran dan kemampuan awal matematisnya. Sebagaimana telah dipaparkan, data tentang sikap siswa terhadap matematika dijaring berdasarkan daftar pernyataan yang diturunkan dari tiga komponen yaitu: a) potensi diri untuk belajar dan berhasil dalam matematika, b) nilai (value), dan c) guru matematika. Dari tiga komponen tersebut terjaring 18 buah pernyataan sahih dan andal dengan skor maksimal untuk setiap pernyataannya 5. Dengan
154
demikian skor maksimal skala sikap adalah 90. Semakin besar skor yang dipunyai siswa berarti kian positif sikapnya terhadap matematika. Paparan pada bagian ini dimulai dari deskripsi data dan pengujian hipotesis secara keseluruhan menurut pendekatan pembelajaran. Berikutnya, deskripsi dan pengujian hipotesis berdasarkan faktor pembelajaran pada ketiga kategori kelompok KAM. Selanjutnya, deskripsi dan pengujian hipotesis sebelum dan sesudah PBM, menurut faktor KAM, dan terakhir pengujian ada atau tidak adanya interaksi antara pembelajaran dengan KAM atas sikap siswa terhadap matematika. Deskripsi, pengujian hipotesis, dan perhitungan statistik secara lengkap disajikan dalam Lampiran C-7 halaman 307-312. a. Perbandingan Sikap Siswa terhadap Matematika menurut Faktor Pembelajaran Gambaran kuantitatif sikap siswa terhadap matematika berdasarkan faktor pembelajaran disajikan dalam Tabel 4.22 dan Gambar 4.5. Gambaran yang ditampilkan Tabel 4.22 dan diperjelas Gambar 4.5 menunjukkan secara keseluruhan sikap siswa terhadap matematika antara kelas PBM dengan kelas biasa relatif sama. Kalaupun ada perbedaan skor, itu sangat tipis. Hanya saja, skor rataan sikap siswa di kelas PBM lebih rendah daripada skor rataan sikap siswa di kelas biasa. Fakta ini tidak sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 4.23 Deskripsi Sikap Siswa terhadap Matematika Menurut Faktor Pembelajaran Statistik
PBM
Biasa
N
79
79
Rataan
65,97
66,73
Simpangan Baku
6,92
6,86
155
Gambar 4.5 Perbandingan Rataan Sikap Siswa terhadap Matematika Berdasarkan Kategori Pembelajaran
Meski secara kasar tampak skor rataan di kedua kelompok relatif sama, namun tetap diperlukan pengujian secara statistik untuk memastikan tidak adanya perbedaan rataan dari ketiga kelompok data tersebut. Untuk itu terlebih dulu diperiksa normalitas dan kehomogenan variansnya yang disajikan berturut-turut pada Tabel 4.24 dan Tabel 4.25. Tabel 4.24 Hasil Uji Normalitas Skor Sikap Siswa terhadap Matematika Menurut Kelompok Pembelajaran Pendekatan
N
KS-Z
Sig.
H0
PBM
79
0,883
0,416
Diterima
Biasa
79
0,970
0,304
Diterima
Dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov yang rangkuman hasilnya disajikan dalam Tabel 4.24 tampak nilai probabilitas (sig) untuk setiap faktor pembelajaran lebih besar dari 0,025 yang berarti hipotesis nol diterima. Jadi, kedua kelompok data berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Sementara
156
dari Tabel 4.25 disimpulkan varians populasi kedua kelompok pembelajaran adalah homogen. Tabel 4.25 Hasil Uji Kehomogenan Varians Skor Sikap Siswa terhadap Matematika Menurut Kelompok Pembelajaran Pendekatan
N
Simpangan Baku
PBM
79
6,921
Biasa
79
6,861
F
Sig.
H0
0,538
0,464
Diterima
Oleh karena persyaratan uji telah dipenuhi, berikutnya adalah menguji hipotesis apakah perbedaan rataan sikap siswa terhadap matematika berarti secara statistik. Untuk itu hipotesis yang diuji adalah: : Tidak ada perbedaan sikap terhadap matematika antara siswa di kelas PBM dengan siswa di kelas biasa. : Ada perbedaan sikap terhadap matematika antara siswa di kelas PBM dengan siswa di kelas biasa. Kriteria ujinya ialah menerima
bila nilai probabilitas (sig) lebih besar dari
0,025 dan menolaknya dalam hal lain. Hasil pengujian dengan uji-t ditampilkan pada Tabel 4.26. Tabel 4.26 Hasil Uji Signifikansi Perbedaan Sikap Siswa terhadap Matematika antara Kedua Kelompok Pembelajaran T
dk
Beda Rata-rata
Sig
-0,693
156
-0,759
0,490
Diterima
Sebagaimana diduga, dari Tabel 4.26 disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan sikap siswa terhadap matematika antara siswa di kelas PBM dengan siswa di kelas biasa.
157
b. Perbandingan Sikap Siswa terhadap Matematika Berdasarkan Faktor Pembelajaran pada Ketiga Kategori KAM Data skor sikap siswa terhadap matematika menurut aspek kemampuan awal matematisnya untuk kedua kelompok pembelajaran disarikan dalam Tabel 4.27 dan diperjelas oleh Gambar 4.6. Dari Tabel 4.27 dan Gambar 4.6 tampak skor rataan sikap siswa kelompok KAM tinggi di kelas PBM sedikit lebih tinggi dibandingkan skor rekan mereka di kelas biasa. Sedangkan sikap siswa terhadap matematika pada kelompok KAM sedang di kedua kelas relatif sama. Sebaliknya dalam kelompok siswa berkategori KAM kurang, sikap siswa terhadap matematika di kelas biasa relatif jauh lebih positif dibandingkan sikap rekan mereka di kelas PBM. Tabel 4.27 Rekapitulasi Data Sikap Siswa terhadap Matematika menurut Faktor KAM pada Kedua Kelompok Pembelajaran
Kategori KAM
PBM
Biasa
Tinggi
N 21
Rataan 69,62
SB 5,714
N 20
Rataan 68,55
SB 7,352
Sedang
39
65,28
6,489
41
65,61
7,010
Kurang 19 63,37 7,661 Skor maksimum skala sikap adalah 90
18
67,28
5,717
Skor Rataan
72 70 68 66 64 62 60
Tinggi
Sedang
Kurang
PBM
69,62
65,28
63,37
Biasa
68,55
65,61
67,28
Gambar 4.6 Perbandingan Skor Rataan Sikap Siswa terhadap Matematika Menurut Faktor KAM Pada Kedua Kelompok Pembelajaran 158
Selanjutnya, di kelas PBM, kian tinggi kategori KAM siswa maka semakin positif sikapnya terhadap matematika. Dalam hal ini tampaknya ada hubungan linear antar kemampuan awal matematika dengan sikap siswa terhadap matematika. Hal ini tidak terjadi di kelas biasa. Meski skor rataan kelompok tinggi lebih besar dari kelompok sedang, namun skor kelompok kurang melebihi skor kelompok sedang. Untuk memenuhi persyaratan uji beda, terlebih dulu diperiksa normalitas dan kehomogenan varians populasi data skor sikap siswa terhadap matematika berdasarkan kategori KAM siswa pada kedua kelompok pembelajaran. Rangkuman hasil perhitungan ditampilkan dalam Tabel 4.28 dan Tabel 4.29. Tabel 4.28 Hasil Uji Normalitas Skor Sikap Siswa terhadap Matematika Berdasarkan Faktor Pembelajaran pada Ketiga Kategori KAM Kategori Pembelajaran KAM Tinggi Sedang Kurang
PBM Biasa PBM Biasa PBM Biasa
N
21 20 39 41 19 18
K-S Z
Sig
0,566 0,584 0,580
0,906 0,885 0,889
Diterima Diterima Diterima
1,058 0,503 0,738
0,213 0,962 0,647
Diterima Diterima Diterima
Tabel 4.29 Hasil Uji Kehomogenan Varians Populasi Skor Sikap Siswa berdasarkan Kelompok Pembelajaran pada Ketiga Kategori KAM Statistik dk1 dk2 Sig Levene (F) 0,767 5 152 0,575 Diterima
Tabel 4.28 menunjukkan tiap kategori KAM pada masing-masing pembelajaran memiliki nilai probabilitas (sig) lebih besar dari 0,025. Ini berarti
159
data skor sikap siswa terhadap matematika menurut kategori kemampuan awal matematika siswa pada kedua pendekatan pembelajaran mengikuti distribusi normal. Selanjutnya, dari Tabel 4.29 diperoleh hal serupa. Nilai signifikansi hasil perhitungan lebih besar juga dari 0,05 dan dengan demikian varians populasi skor sikap siswa terhadap matematika berdasarkan aspek KAM pada kedua kelompok pembelajaran adalah homogen. Berikutnya pengujian hipotesis. Hipotesis yang diuji ialah: : Rataan sikap siswa yang mendapat PBM berkatagori KAM tinggi (sedang, rendah) tidak berbeda dari rataan sikap siswa yang memperoleh pembelajaran biasa, melawan : Rataan sikap siswa yang mendapat PBM berkatagori KAM tinggi (sedang, rendah) berbeda dari rataan sikap siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Tabel 4.30 Hasil Uji Signifikansi Perbedaan Sikap Siswa terhadap Matematika pada Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Kategori KAM
Kategori Pendekatan KAM
N
RataBeda rata Rata-rata
PBM
21
69,62
Biasa
20
68,55
PBM
39
65,28
Biasa
41
65,61
PBM
19
63,37
Biasa
18
67,28
Tinggi
Sedang
Kurang
t
dk
Sig.
H0
1,07
0,521
39
0,605 Diterima
-0,33
-0,217 78
0,829 Diterima
-3,91
-1,751 35
0,089 Diterima
Kriteria pengujiannya adalah: jika nilai probabilitas (sig.) lebih besar dari α = 0,025, maka H0 diterima dan ditolak dalam hal lainnya. Hasil uji-t terhadap signifikansi perbedaan sikap terhadap matematika kedua kelompok siswa tersebut disajikan pada Tabel 4.30.
160
Dari Tabel 4.30 terlihat semua hipotesis penelitian diterima. Jadi, sikap siswa terhadap matematika di antara yang memperoleh PBM dengan yang mendapat pembelajaran biasa untuk semua kategori kemampuan awal tidak berbeda secara signifikan. Dari data, diperoleh selisih skor rataan sikap siswa terhadap matematika pada tiap kategori KAM berturut-turut 1,07 untuk kelompok tinggi, 0,33 untuk kelompok sedang, dan 3,91 untuk kelompok kurang. Nyata selisih ini relatif kecil untuk dapat memunculkan adanya perbedaan berarti atas sikap siswa terhadap matematika berdasarkan kategori KAM. Selain itu, tampak sikap siswa dari kategori KAM tinggi yang mendapat PBM lebih positif dibandingkan sikap rekan mereka sekategori yang menjalani pembelajaran biasa. Bahkan sikap kelompok ini yang paling positif dari seluruh kelompok KAM siswa yang ada. Namun, di kelompok KAM sedang dan rendah terjadi sebaliknya. Sikap siswa yang mendapat pembelajaran biasa yang justru lebih positif ketimbang sikap rekan sekategori mereka yang memperoleh PBM. Lebih jauh lagi, sikap siswa dari kelompok KAM kurang yang menjalani pembelajaran biasa yang paling positif di kelompok ini. Namun demikian, adanya perbedaan skor tersebut tidak sampai membuat adanya perbedaan sikap berarti secara statistik. c. Perbandingan Sikap Siswa terhadap Matematika Sebelum dan Sesudah PBM dilaksanakan Statistik yang ditampilkan Tabel 4.31 dan diperjelas Gambar 4.7 menunjukkan secara keseluruhan sikap siswa terhadap matematika di kelas PBM sebelum dan sesudah pembelajaran dilaksanakan relatif sama. Kalaupun ada perbedaan skor, itu sangat tipis. Hanya saja skor sikap siswa di kelas PBM setelah
161
menjalani pembelajaran malah menurun meski kecil dan lebih rendah daripada skor rataan sikap siswa di kelas biasa. Fakta ini tidak sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 4.31 Deskripsi Sikap Siswa terhadap Matematika Sebelum dan Sesudah PBM Dilaksanakan Statistik
PBM Pre
Post
N
79
79
Rataan
66,81
65,97
Simpangan Baku
7,17
6,92
Gambar 4.7 Perbandingan Skor Rataan Sikap Siswa terhadap Matematika Sebelum dan Sesudah PBM
Meski secara kasar tampak skor rataan di kedua kelompok relatif sama, namun tetap diperlukan pengujian secara statistik untuk memastikan tidak adanya perbedaan rataan dari kedua kelompok data tersebut. Untuk itu terlebih dulu diperiksa normalitas dan kehomogenan variansnya yang disajikan berturut-turut pada Tabel 4.32 dan Tabel 4.33. Dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov yang rangkuman hasilnya disajikan dalam Tabel 4.32 tampak nilai probabilitas (sig) untuk setiap faktor pembelajaran 162
lebih besar dari 0,025 yang berarti hipotesis nol diterima. Jadi, kedua kelompok data berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Sementara dari Tabel 4.33 disimpulkan varians populasi kedua kelompok data adalah homogen. Tabel 4.32 Hasil Uji Normalitas Skor Sikap Siswa terhadap Matematika Sebelum dan Sesudah PBM Pendekatan
N
KS-Z
Sig.
H0
Pre
79
0,637
0,811
Diterima
Post
79
0,883
0,416
Diterima
PBM
Tabel 4.33 Hasil Uji Kehomogenan Varians Skor Sikap Siswa terhadap Matematika Sebelum dan Sesudah PBM Dilaksanakan Statistik dk1 dk2 Sig Levene (F) 0,045 1 156 0,832 Diterima
Oleh karena persyaratan uji telah dipenuhi, berikutnya adalah menguji hipotesis apakah perbedaan rataan sikap siswa terhadap matematika sebelum dan sesudah PBM dijalankan itu berarti secara statistik. Hipotesis yang dijuji ialah:
: Tidak ada perbedaan sikap siswa terhadap matematika sebelum maupun sesudah mendapat PBM, melawan : Ada perbedaan sikap siswa terhadap matematika setelah mendapat PBM.
Kriteria pengujiannya ialah menerima
jika nilai probabilitas (sig.) lebih
besar dari α = 0,025 dan menolak dalam hal lainnya. Hasil uji statistik terhadap hipotesis tersebut disajikan pada Tabel 4.34. Tabel 4.34 membuktikan kebenaran dugaan yang disebutkan sebelumnya. Jadi, tidak ada perubahan berarti dalam sikap siswa terhadap matematika antara sebelum dengan sesudah mereka menjalani PBM.
163
Tabel 4.34 Hasil Uji Signifikansi Perbedaan Sikap Siswa terhadap Matematika Sebelum dan Sesudah PBM T
dk
Beda Rata-rata
Sig
0,745
156
0,835
0,457
Diterima
d. Perbandingan Sikap Siswa terhadap Matematika Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan PBM Berdasarkan Aspek Kategori KAM Tabel 4.35 dan Diagram 4.7 memperlihatkan sebaran data skor rataan sikap siswa terhadap matematika di kelas PBM menurut kelompok kategori KAM. Dari tabel dan diagram tersebut tampak ada perbedaan skor rataan pada semua kelompok kategori KAM antara sebelum dengan sesudah pembelajaran. Tabel 4.35 Data Sikap Siswa terhadap Matematika Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan PBM Berdasarkan Kategori KAM
Kategori KAM
PBM N
Pre Rataan
N
Post Rataan
SB
SB
Tinggi
21
71,43
7,593
21
69,62
5,714
Sedang
39
66,077
5,5507
39
65,28
6,489
Kurang
19
63,21
7,353
19
63,37
7,661
Diagram 4.5 Diagram Batang Rataan Sikap Siswa terhadap Matematika Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan PBM Berdasarkan Kategori KAM 164
Meski perbedaan skor tersebut relatif kecil, dan kuat dugaan tidak memberikan pengaruh berarti, namun tetap perlu dilakukan pengujian untuk memastikan bahwa perbedaan itu tidak berarti secara statistik. Dari tabel 4.36 diketahui bahwa data sampel pada setiap kategori KAM berasal dari populasi berdistribusi normal. Tinggal memeriksa kehomogenan varians data antara sebelum dengan sesudah pembelajaran dilaksanakan pada ketiga kelompok kategori tersebut dan hasilnya disajikan dalam Tabel 4.37. Menurut perhitungan yang hasilnya disajikan pada Tabel 4.37 dapat disimpulkan bahwa varians data sebelum dan sesudah PBM dilaksanakan pada ketiga kelompok kategori KAM adalah homogen. Dengan demikian pengujian hipotesis telah dapat dilakukan. Tabel 4.36 Hasil Uji Normalitas Skor Sikap Siswa terhadap Matematika Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan PBM pada Ketiga Kategori KAM Kategori KAM Tinggi Sedang Kurang
PBM
N
Pre Post Pre Post Pre Post
21 21 39 39 19 19
K-S Z
Sig
0,716 0,566 0,910
0,685 0,906 0,379
Diterima Diterima Diterima
0,580 0,584 0,503
0,889 0,885 0,962
Diterima Diterima Diterima
Tabel 4.37 Hasil Uji Kehomogenan Varians Populasi Skor Sikap Siswa terhadap Matematika antara Sebelum dengan Sesudah PBM dilaksanakan Statistik dk1 dk2 Sig Levene (F) 0,045 1 156 0,832 Diterima
165
Hipotesis yang diuji ialah: : Tidak ada perbedaan sikap terhadap matematika siswa berkategori KAM tinggi (sedang, kurang) antara sebelum dengan sesudah PBM dilaksanakan, melawan : Ada perbedaan sikap terhadap matematika siswa berkategori KAM tinggi (sedang, kurang) antara sebelum dengan sesudah PBM dilaksanakan. Kriteria pengujiannya adalah: jika nilai probabilitas (sig.) lebih besar dari α = 0,025, maka H0 diterima dan ditolak dalam hal lainnya. Hasil uji-t terhadap signifikansi perbedaan sikap terhadap matematika kedua kelompok siswa tersebut disajikan pada Tabel 4.38. Tabel 4.38 Hasil Uji Signifikansi Perbedaan Sikap Siswa terhadap Matematika antara Sebelum dengan Sesudah Pembelajaran untuk Setiap Kategori KAM
Kategori KAM
RataBeda rata Rata-rata
PBM
N
Pre
21
Post
21
69,62
Pre
39
66,08
Post
39
65,28
Pre
19
63,21
Post
19
63,37
Tinggi
Sedang
Kurang
t
dk
Sig.
H0
0,521
39
0,605
Diterima
0,80
−0,217 78
0,829
Diterima
0,16
−1,751 35
0,089
Diterima
71,43 1,81
Semua nilai signifikasi pada Tabel 4.38 lebih besar dari 0,025 sehingga disimpulkan memang tidak ada perbedaan sikap siswa terhadap matematika antara sebelum dengan sesudah PBM dilaksanakan pada tiap kategori KAM siswa. e. Interaksi antara Faktor Pembelajaran dengan Kategori KAM atas Sikap Siswa terhadap Matematika Selanjutnya, untuk melihat ada atau tidak adanya interaksi antara aspek pembelajaran dengan KAM pada sikap siswa terhadap matematika dilakukan uji 166
ANOVA dua jalur. Rangkuman hasil uji disajikan dalam Tabel 4.39. Dari Tabel 4.39 disimpulkan bahwa aspek pembelajaran tidak memberikan perbedaan berarti pada sikap siswa terhadap matematika karena nilai signifikasinya 0,35 (> 0,05). Sebaliknya aspek KAM memberikan perbedaan berarti. Ini ditunjukkan oleh nilai signifikansi sebesar 0,01 (<0,05). Hasil pengujian selanjutnya (Lampiran C-7) menunjukkan perbedaan sikap tersebut terjadi pada pasangan kelompok KAM tinggi dengan kelompok KAM kurang pada kelas PBM. Namun perbedaan ini tidak terjadi karena PBM yang mereka jalani sebab sebelum pembelajaran dimulai pun sikap kedua kelompok ini sudah berbeda secara berarti. Tabel 4.39 Hasil Uji Interaksi antara Faktor Pembelajaran dengan KAM atas Sikap Siswa terhadap Matematika
Sumber
Jumlah dk Kuadrat Kuadrat Rataan
F
Sig
Pembelajaran
39,229
1
39,229
0,870 0,353 Diterima
KAM
410,719
2
205,359
4,552 0,012
Interaksi
129,608
2
64,804
1,436 0,241 Diterima
Ditolak
Sementara itu di pihak lain hipotesis yang mengatakan tidak ada interaksi antara aspek pembelajaran dengan aspek KAM atas sikap siswa terhadap matematika dapat diterima, karena nilai signifikansinya 0,24 (> 0,05). Grafik tidak adanya interaksi tersebut ditampilkan dalam Gambar 4.8. Rekapitulasi skor rataan dan simpangan baku ketiga peubah bergantung dalam penelitian ini yaitu KR, KPS, dan AS terdapat pada Lampiran C-8.
167
Gambar 4.8 Interaksi antara Pembelajaran dengan KAM atas Sikap Siswa terhadap Matematika
f. Deskripsi Pendapat Siswa tentang PBM Pendapat siswa tentang PBM dijaring melalui daftar pernyataan tertutup sebanyak 17 butir berbentuk skala Likert yang diturunkan dari 3 indikator, yaitu a) Persepsi siswa terhadap belajar dalam kelompok, b) Persepsi siswa terhadap penggunaan bahan ajar berbasis masalah, dan c) Persepsi siswa terhadap tugastugas berbasis konteks. Setiap butir mempunyai 5 pilihan, mulai dari sangat tidak setuju (sts), tidak setuju (ts), netral (n), setuju (s), hingga sangat setuju (ss). Distribusi persentase untuk tiap butir pernyataan ditampilkan pada Lampiran C-8 halaman 313-317. Beberapa hal menarik yang terungkap dari skala tersebut antara lain: 1) Banyak siswa yang merasa dirinya sulit belajar secara berkelompok (40,5 %). 2) Lebih banyak siswa yang melihat PBM membosankan (34,2 %) dibandingkan yang tidak (29,1 %).
168
3) Mayoritas siswa merasa lebih bebas bertanya dan berpendapat (73,5 %). 4) Lebih banyak siswa yang merasa lebih giat belajar bila langsung menyelesaikan soal (54,5 %). 5) Sebanyak 38 % siswa berpendapat PBM tidak lebih membantu memahami pelajaran berbanding 25,4 % yang merasa sebaliknya. 6) Lebih banyak siswa berpendapat bahwa belajar berkelompok lebih berhasil dibandingkan yang berpendapat sebaliknya (43 % : 21,5 %). 7) Mayoritas siswa berpendapat belajar berkelompok cocok untuk siswa SMA. 8) Lebih banyak siswa berpendapat (59,5 % :22,8 %) menghafal rumus lebih memudahkan menyelesaikan soal matematika. 9) Mayoritas siswa (83,5 %) melihat tugas yang diberikan menuntut siswa aktif belajar dan aktif berpikir. 10) Mayoritas siswa tidak melihat diskusi kelompok sebagai pemborosan waktu, malah sebaliknya memberi kesempatan saling berbagi gagasan. 11) Mayoritas siswa berpendapat tugas masalah yang diberikan menarik untuk didiskusikan. 12) Kebanyakan siswa melihat masalah yang diberikan sulit bila dikerjakan perorangan. 13) Mayoritas (88,6 %) siswa berpendapat tugas masalah yang diberikan bervariasi. 14) Kebanyakan siswa tidak melihat belajar berkelompok menghambat kemajuan belajar secara perorangan.
169
g. Pendapat Siswa tentang PBM Menurut Kategori KAM Gambaran mengenai pendapat siswa tentang PBM secara rinci menurut kategori KAM siswa disajikan pada Lampiran C-8 halaman 313-317. Uraian dalam lampiran tersebut dapat disarikan berdasarkan indikator sebagaimana ditampilkan pada Tabel 4.40. Tabel 4.40 Pendapat Siswa tentang Aspek PBM berdasarkan Kategori KAM Aspek Pendapat Siswa tentang PBM Persepsi siswa terhadap belajar dalam kelompok
Persepsi siswa terhadap penggunaan bahan ajar berbasis masalah Persepsi siswa terhadap tugastugas berbasis konteks
Kategori KAM Tinggi
Sedang
Kurang
Kebanyakan siswa lebih suka belajar secara perorangan karena membuat mereka lebih fokus dan konsentrasi pada pelajaran. Lebih banyak siswa menginginkan agar pelajaran disampaikan secara langsung.
Kebanyakan siswa melihat cara ini Lebih memberikan kesempatan bertanya dan mengajukan pendapat, dan tidak monoton. Sebagian besar siswa berpendapat mereka jadi lebih aktif belajar
Kebanyakan siswa mengatakan dengan cara ini mereka Lebih bebas bertanya dan berpendapat
Menarik untuk didiskusikan, variatif, dan sulit dikerjakan sendiri-sendiri
Menarik untuk didiskusikan, variatif, dan sulit dikerjakan sendiri-sendiri
Sebagian besar lebih menyukai bila guru menjelaskan pelajaran secara rinci lalu melatih mereka mengerjakan soal Menarik untuk didiskusikan, variatif, dan sulit dikerjakan sendirisendiri
B. Analisis Hasil Kerja Siswa Bagian ini memuat analisis hasil kerja siswa dalam menyelesaikan tes penalaran matematis dan pemecahan masalah matematis. Analisis hasil kerja siswa dalam menyelesaikan tes penalaran matematis dan tes pemecahan masalah matematis dilihat secara holistik berdasarkan rumusan setiap butir soal, baik yang disajikan dalam bentuk gambar, model matematis, maupun soal cerita. Kedua analisis dimaksudkan untuk mengetahui kinerja, letak kelemahan, dan kendala 170
yang dihadapi siswa dalam penalaran matematis dan pemecahan masalah matematis. Di samping analisis terhadap kinerja siswa dalam menyelesaikan tes kemampuan penalaran dan pemecahan masalah matematis, juga dilakukan analisis karakteristik pilihan jawaban siswa terhadap aspek-aspek skala sikap terhadap matematika dan pendapat mereka mengenai PBM. Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui pada aspek mana sikap siswa terhadap matematika paling positif dan sebaliknya. 1. Analisis Kinerja Siswa pada Tes Kemampuan Penalaran Matematis Analisis yang dilakukan terhadap hasil kerja siswa dalam menyelesaikan tes kemampuan penalaran matematis ditinjau dari pendekatan pembelajaran didasarkan pada Tabel 4.41 dan Tabel 4.42. Dari Tabel 4.41, terlihat skor siswa pada tiap butir soal penalaran matematis sangat rendah, terutama soal nomor 2. Untuk soal ini di kelas PBM, skor rataan hanya mencapai 15 dan di kelas biasa lebih rendah lagi, yaitu 9,5 pada skala 100. Skor tertinggi di kedua kelas pembelajaran dicapai pada soal nomor 4. Untuk soal nomor 4 di Kelas PBM, skor rataannya adalah 65,5 dan di kelas biasa 58 pada skala 100. Soal nomor 2 merupakan soal dengan skor terendah baik di kelas PBM maupun di kelas biasa. Sedangkan soal nomor 4 merupakan soal dengan skor tertinggi di kedua kelas pembelajaran. Sementara itu secara keseluruhan, skor rataan siswa untuk tiap butir soal di kelas PBM lebih tinggi daripada skor siswa di kelas biasa kecuali soal nomor 5. Untuk soal ini, siswa di kelas biasa unggul tipis, sebesar 0,05. Hasil yang dicapai siswa di atas relatif
171
berbeda dari hasil yang diperoleh pada saat soal tes tersebut diujicobakan. Saat ujicoba, soal yang termasuk kategori sukar adalah nomor 1, 3, 5 dan 6. Sedangkan soal nomor 2 dan 4 memiliki tingkat kesukaran sedang. Tabel 4.41 Skor Rataan Tiap Indikator (Soal) Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Ditinjau dari Pendekatan Pembelajaran
Indikator Pengukuran Mengubah bentuk aljabar ke bentuk ekivalen dan menggunakan data yang diberikan untuk membuat deduksi yang diperlukan dalam rangka menyelesaikan masalah Menggunakan hubungan antar obyek dalam situasi matematis dan gambar geometris untuk membuat model matematis dan menarik simpulan logis dalam proses pemecahan masalah. Membuat pengaitan antar berbagai konsep yang dimiliki dan sesuai untuk menyusun langkah-langkah pembuktian. Membuat gambar sebagai representasi masalah lalu mengggunakannya untuk membuat dan membuktikan dugaan. Membuat deduksi dari representasi masalah dan mengaitkan konsep matematika lain untuk menyelesaikan masalah. Memanipulasi bentuk informasi yang diberikan dan menarik simpulan logis untuk menyelesaikan masalah.
Nomor Soal
Pendekatan PBM Biasa
1
1,35
0,92
2
0,60
0,38
3
1,91
1,75
4
2,62
2,32
5
1,54
1,59
6
1,53
0,89
Keterangan: Skor maksimal tiap butir soal adalah 4
Dari Tabel 4.42 terlihat capaian terendah siswa terletak pada aspek kedua, sedangkan capaian tertinggi terletak pada aspek ketiga, baik di kelas PBM maupun kelas biasa. Sementara untuk aspek pertama dan keempat, capaian siswa relatif sama di kelas PBM namun di kelas biasa capaian siswa untuk aspek pertama lebih tinggi daripada capaian siswa pada aspek keempat. Analisis hasil kerja, kekeliruan, dan kesulitan siswa dalam menyelesaikan setiap nomor soal
172
kemampuan penalaran matematis secara rinci disajikan dalam Lampiran D halaman 321-333. Tabel 4.42 Skor Rataan Tiap Aspek Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Ditinjau dari Pendekatan Pembelajaran
Aspek yang Diukur
Soal Pembelajaran Nomor PBM %tase Biasa %tase
1. Menarik simpulan logis 5 2. Memberi penjelasan atas model, fakta, 2 sifat, hubungan, atau pola yang ada 3. Membuat dugaan dan menyusun 3 dan 4 pembuktian 4. Menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi, atau membuat 1 dan 6 analogi atau generalisasi Keterangan: Skor maksimal tiap aspek adalah 4
1,54
38,50
1,59
39,75
0,60
15,00
0,38
9,5
2,27
56,75
2,04
51,00
1,44
36
0,91
22,75
Berdasarkan uraian dalam Lampiran D, diduga capaian siswa yang demikian rendah pada aspek kedua lebih disebabkan oleh kekurangmampuan mereka melihat hubungan antar fakta yang ada dan mengaitkannya dengan pengetahuan trigonometri yang relevan untuk menafsirkan representasi masalah ke representasi geometris dan selanjutnya ke dalam persamaan matematis. Situasi ini dekat pada tuntutan kepada siswa untuk mencipta dan tugas itu kelihatan sangat sulit mereka penuhi. Meski dalam pembelajaran tugas-tugas seperti ini beberapa kali dicontohkan dan dilakukan juga oleh siswa sendiri, namun kelihatannya hal itu kurang mendalam bekasnya dalam sistem kognitif siswa sehingga mereka tidak fasih sewaktu dituntut menerapkan dan mengalihkan pengetahuan yang mereka miliki itu ke dalam situasi matematis baru. Dibandingkan masalah nomor 2 (mewakili aspek nomor 2 penalaran matematis), situasi masalah yang dihadapi siswa pada nomor 3 dan 4 (mewakili aspek ketiga dari penalaran matematis) tampaknya lebih mudah bagi mereka.
173
Tugas yang mereka hadapi pada soal nomor 3 misalnya tidak menuntut kebisaan mereka menafsirkan masalah ke dalam representasi matematis seperti dituntut pada masalah nomor 2. Dengan pengetahuan dasar trigonometri dan keterampilan manipulasi aljabar ditambah dengan pengalaman melakukan tugas serupa sepanjang pembelajaran berlangsung diduga banyak menolong siswa ketika dihadapkan pada soal ini. Tuntutan implisit untuk membuat gambar representasi geometris dari masalah nomor 4 tidak sesulit yang mereka hadapi pada masalah nomor 2. Hampir seluruh siswa dapat melakukannya. Dengan mencermati situasi gambar itu tampak pula siswa tidak mengalami kesulitan menduga jenis segitiga yang terbentuk dan menduga peran titik
pada lingkaran yang diberikan. Kesulitan berarti baru
mereka jumpai ketika harus membuktikan dugaan mereka secara matematis dan lebih banyak siswa yang gagal memenuhi tuntutan itu. Itulah sebabnya mengapa capaian siswa pada aspek ketiga dari penalaran matematis jauh melampaui capaian mereka pada aspek kedua. 2. Analisis Kinerja Siswa atas Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Analisis yang dilakukan terhadap hasil kerja siswa dalam menyelesaikan tes kemampuan pemecahan masalah matematis ditinjau dari pendekatan pembelajaran didasarkan pada Tabel 4.43 dan Tabel 4.44. Dari Tabel 4.43, terlihat skor siswa pada tiap butir soal penalaran matematis sangat rendah, terutama soal nomor 3 dan 7. Untuk soal nomor 3 di kelas PBM, skor rataan hanya mencapai 14,5 dan di kelas biasa lebih rendah lagi, yaitu 12,3. pada skala 100. Untuk soal nomor 7 di kelas PBM, skor rataan hanya
174
mencapai 11,5 tetapi di kelas biasa skornya lebih tinggi, yaitu 14 pada skala 100. Skor tertinggi di kedua kelas pembelajaran dicapai pada soal nomor 5. Untuk soal nomor 5 di Kelas PBM, skor rataannya adalah 65,5 dan di kelas biasa 58 pada skala 100. Tabel 4.43 Skor Rataan Tiap Indikator (Soal) Kemampuan Pemecahaan Masalah Matematis Siswa Ditinjau dari Pendekatan Pembelajaran
Indikator Pengukuran Menyajikan, mengubah atau menafsirkan informasi pada masalah ke dalam model matematika dan menggunakan sifat matematik yang sesuai untuk menyelesaikan masalah Mengeksplorasi dan menggunakan informasi yang diberikan serta menerapkan konsep trigonometri terkait untuk menyelesaikan masalah Menafsirkan informasi yang diberikan dan mengaitkannya dengan konsep matematik yang sesuai untuk menyelesaikan masalah Melakukan manipulasi aljabar terhadap infomasi yang diberikan dan menerapkan rumus matematik yang sesuai untuk menyelesaikan masalah Mengaitkan informasi yang diberikan dengan rumus trigonometri dan menggunakannya untuk menyelesaikan masalah Mengggunakan representasi masalah untuk membuat model matematika dan mengaitkannya dengan konsep matematik yang sesuai untuk menyelesaikan masalah Menggunakan data pada masalah untuk membuat model matematika dan mengaitkannya dengan konsep matematika yang sesuai guna menyelesaikan masalah
Nomor Soal
Pendekatan PBM Biasa
1
2,27
1,09
2
1,24
1,06
3
0,58
0,49
4
1,54
1,41
5
2,91
2,81
6
0,95
0,65
7
0,46
0,56
Keterangan: Skor maksimal tiap butir soal adalah 4
Sementara itu secara keseluruhan, skor rataan siswa untuk tiap butir soal di kelas PBM lebih tinggi daripada skor siswa di kelas biasa kecuali soal nomor 5. Untuk soal ini, siswa di kelas biasa unggul tipis, sebesar 0,05. Hasil yang dicapai siswa di atas sedikit berbeda dari hasil yang diperoleh pada saat soal tes tersebut
175
diujicobakan. Saat ujicoba, soal yang termasuk kategori sukar adalah nomor 1, 2, 3, dan 7. Sedangkan soal nomor 4, 5, dan 6 memiliki tingkat kesukaran sedang. Tabel 4.44 Skor Rataan Tiap Aspek Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Ditinjau dari Pendekatan Pembelajaran
Aspek yang Diukur 1. Membuat model matematis dari suatu
situasi atau masalah sehari-hari 2. Memilih dan menerapkan strategi yang cocok 3. Menjelaskan atau menafsirkan hasil sesuai masalah asal, serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban
Soal Nomor
Pembelajaran PBM %tase Biasa %tase
1 dan 6
1,61
40,25
0,87
21,75
2, 4, 5, dan 7
1,54
38,44
1,46
36,50
3
0,58
14,50
0,49
12,25
Keterangan: Skor maksimal tiap aspek adalah 4
Dari Tabel 4.44 di kelas PBM tampak capaian terendah siswa terletak pada aspek ketiga pemecahan masalah matematis (diwakili soal nomor 3), sedangkan capaian tertinggi terletak pada aspek pertama (diwakili soal nomor 1 dan 6). Seperti di kelas PBM, capain terendah di kelas biasa juga ada pada aspek ketiga sedangkan capaian tertinggi ada pada aspek kedua. Analisis hasil kerja, kekeliruan, dan kesulitan siswa dalam menyelesaikan setiap nomor soal kemampuan penalaran matematis secara rinci disajikan dalam Lampiran E halaman 334-343. Berdasarkan uraian dalam Lampiran E, capaian tertinggi siswa pada aspek pertama kemampuan pemecahan masalah di kelas PBM lebih banyak disumbang oleh relatif mudahnya membuat model matematis masalah nomor 1 bagi mereka. Hal ini didukung data kinerja siswa saat menyelesaikan masalah nomor 6. Jauh lebih sedikit siswa yang dapat membuat model matematis untuk soal nomor 6. Dengan demikian hasil ini dapat dikatakan sejalan dengan data ujicoba.
176
Capaian terendah yang diperoleh siswa pada aspek ketiga setidaknya sesuai dengan data hasil ujicoba. Kekompleksan masalah yang diajukan untuk mengukur kemampuan aspek tersebut diduga menjadi penyebab utama kesulitan siswa. Masalah yang diajukan memang memerlukan banyak langkah dalam penyelesaiannya. Penyebab lainnya diduga belum tertatanya dengan baik struktur pengetahuan siswa tentang materi utama yang berkaitan dengan masalah atau pengetahuan tersebut belum terinternalisasi dengan baik dalam struktur kognitif siswa sehingga mereka kesulitan ketika harus memanggil atau menerapkannya pada situasi baru. Rendahnya capaian siswa pada aspek ketiga dari kemampuan penalaran matematis yang diwakili soal nomor 3 terkait secara langsung atas capaian siswa pada soal nomor 7 yang materinya sama dengan soal nomor 3. Meski nomor 7 cenderung
masuk
pada
kategori
soal
rutin,
namun
siswa
terkendala
menyelesaikannya. Dapat dipastikan capaian tertinggi siswa sebenarnya ada pada aspek kedua dari kemampuan pemecahan masalah matematis jika soal ini tidak diikutkan sebagai alat ukurnya. Rendahnya capaian siswa pada aspek pertama kemampuan pemecahan masalah di kelas biasa lebih banyak disumbang oleh kesulitan siswa membuat model matematis dari masalah yang diajukan. Data menunjukkan tingkat kesulitan itu meningkat untuk masalah nomor 6. Kesulitan yang dialami siswa ini diduga kuat disebabkan masih kurangnya kesempatan dan pengalaman mereka menyelesaikan masalah serupa dalam pembelajaran. Seperti telah diungkap di
177
depan, sepanjang pembelajaran, di kelas PBM lebih banyak masalah yang diselesaikan siswa daripada di kelas biasa. C. Pembahasan Pembahasan atas hasil penelitian yang telah dipaparkan di bagian depan dari bab ini merujuk pada ketentuan yang diuraikan dalam BAB III. Urutan pembahasan dilakukan menurut faktor pembelajaran, pengetahuan matematis dan kemampuan
awal
matematis
siswa,
kemampuan
penalaran
matematis,
kemampuan pemecahan masalah matematis, dan sikap siswa terhadap matematika serta pendapat siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah. 1. Pendekatan Pembelajaran Analisis atas data penelitian telah menunjukkan bahwa PBM berpengaruh positif baik pada kemampuan penalaran maupun pada pemecahan masalah matematis siswa. Skor rataan siswa di kelas PBM pada kedua kemampuan tersebut lebih baik secara berarti dibandingkan skor rataan yang diperoleh siswa di kelas biasa. Hasil ini sesuai dengan dugaan teoretis yang dikemukakan sebelumnya. Sesuai dengan ciri khasnya, proses belajar siswa di kelas PBM dimulai dan dipicu oleh munculnya konflik kognitif dalam diri siswa melalui kehadiran masalah yang disajikan guru kepada mereka untuk diselesaikan. Meski dalam proses menyelesaikan masalah siswa secara berkelompok dimungkinkan mendapat bantuan petunjuk baik dari guru maupun dari kelompok lain, namun tugas utama dari mulai memahami masalah hingga ke penyelesaian akhir tetap di tangan kelompok itu. Pengalaman menyelesaikan masalah dengan cara itu
178
memberi siswa ruang dan waktu untuk mengasah dan mengembangkan kemampuannya bernalar sekaligus kemampuan memecahkan masalah matematis. Meski pendekatan PBM memberikan ruang dan waktu seluas mungkin bagi siswa mengembangkan keterampilannya bernalar dan memecahkan masalah matematis, bukan berarti pendekatan ini dapat dijalankan tanpa mengalami kesulitan berarti baik dari sisi guru maupun sisi siswa. Terlebih bagi siswa, terlibat dalam sebuah proses pembelajaran matematika yang menuntut keaktifan di kelas selama sembilan puluh menit untuk memecahkan masalah matematis adalah tugas yang berat. Sebagaimana dikemukakan Henningsen dan Stein (2002: 28) bahwa “Engaging in high-level reasoning and problem solving involves more ambiguity and higher levels of personal risk for students than more routine activities.” Akibatnya, kegiatan seperti ini menjadi sangat rentan terganggu oleh peristiwa sekecil apapun yang cenderung tidak mendukung keberlangsungan pelaksanaan tugas. Subyek penelitian ini adalah siswa sekolah menengah atas dari peringkat menengah di Kota Bandung. Berdasarkan keterangan guru reguler matematika di kelas PBM maupun kelas biasa proses belajar yang selama ini dilaksanakan adalah pembelajaran biasa. Jarang sekali, kalaupun tidak pernah, model atau pendekatan pembelajaran yang berpijak pada paham konstruktivisme digunakan. Bahkan sekadar belajar secara berkelompok di kelas pun jarang dilakukan. Kebiasaan dari hari ke hari belajar secara konvensional yang dijalani siswa terasa betul berdampak pada pelaksanaan PBM di kelas eksperimen. Sebagian besar siswa di kedua kelas eksperimen dapat dikatakan menolak pendekatan PBM untuk
179
dijadikan model proses belajar matematika mereka di kelas. Pernyataan terakhir di atas dibuktikan oleh
lebih banyaknya
siswa
yang berpendapat
PBM
membosankan dibanding yang tidak. Selain itu, lebih banyak juga siswa yang memandang PBM tidak lebih membantu memahami pelajaran dibanding yang merasa sebaliknya. Dari kajian literatur, peneliti menyadari kemungkinan akan munculnya penolakan atau ketidaknyamanan siswa terhadap proses belajar berbasis masalah. Oleh sebab itu di pertemuan pertama pembelajaran eksperimen dilaksanakan, kepada siswa dijelaskan proses belajar mengajar yang akan mereka jalani. Misalnya, bahwa selama belajar di kelas merekalah yang aktif menemukan pengetahuan baru melalui pemecahan masalah. Sehubungan dengan itu, diingatkan pula bahwa peran aktif merekalah yang akan menentukan seberapa banyak dan seberapa dalam pengetahuan yang mereka dapatkan. Ditekankan pula agar mereka saling tolong dan berbagi pengetahuan di dalam kelompokya atau bahkan antar kelompok. Sambil tetap memantau, guru memberikan keleluasaan kepada wakil dari suatu kelompok yang mendapat hambatan pergi ke kelompok lain untuk mendapatkan bantuan. Di samping itu, guru juga menjelaskan - dan ini diulangi di berbagai kesempatan relevan - betapa keterampilan bekerja sama dalam kelompok merupakan kemampuan yang penting dan diperlukan nantinya saat mereka bekerja sebagai profesional di bidang apapun. Selanjutnya, mengingat dan mempertimbangkan bahwa pengetahuan awal mutlak penting dan berperan besar dalam PBM serta kendala yang dihadapi siswa saat ujicoba pembelajaran dilakukan, di awal kegiatan belajar peneliti mengajak
180
siswa mengingat kembali konsep, prosedur, atau prinsip penting dan diperlukan tatkala menyelesaikan masalah di kegiatan inti proses belajar. Meski kegiatan seperti ini dilakukan beberapa kali dan berlangsung sebelum siswa duduk berkelompok, namun siswa tetap berpendapat proses pembelajaran berlangsung membosankan dan rasa bosan itu disumbang oleh kegiatan belajar yang hampir selalu duduk berkelompok. Pada saat wawancara beberapa siswa menjelaskan selain karena selalu duduk berkelompok sewaktu belajar, kebosanan itu juga ditimbulkan oleh tugas yang selalu menuntut mereka menyelesaikan sendiri masalah yang diajukan guru padahal mereka lebih suka jika guru memberikan pelajaran secara langsung dengan cara menjelaskan materi ajar. Meski muncul resistensi terhadap PBM saat dilaksanakan, namun fakta di lapangan sebenarnya menegaskan siswa cenderung siap secara mental menjalani proses pembelajaran itu. Hal ini setidaknya ditandai oleh 1. Semua masalah yang diajukan di tiap pertemuan selalu dapat diselesaikan walau tidak oleh seluruh kelompok; 2. Kian lama mereka menjalani kegiatan belajar, tercatat bantuan yang diberikan guru semakin sedikit terutama bila pertanyaan yang diajukan lebih rinci; 3. Lebih banyak siswa berpendapat belajar berkelompok lebih berhasil dibandingkan yang berpendapat sebaliknya, sebab menurut mereka masalah yang diberikan sangat sulit dikerjakan sendiri-sendiri. Oleh sebab itu, sepanjang karakteristik utama PBM dapat dijalankan guru di kelas terlebih bila PBM atau pendekatan pembelajaran sejenis sejak dini dikenalkan dan diterapkan secara berkesinambungan, diperkirakan resistensi tersebut dengan sendirinya turun atau mungkin lenyap.
181
Seperti diketahui, pemicu belajar dalam PBM ialah masalah. Karenanya, menjadi sangat penting guru sebagai fasilitator dan pembimbing belajar siswa merancang masalah kontekstual yang menarik dan menantang untuk disajikan sebagai pemicu konfik kognitif. Sepanjang penelitian berlangsung, masalah yang disajikan dalam penelitian ini menurut siswa bervariasi, menarik, menuntut siswa aktif belajar dan aktif berpikir. Di samping itu, dengan scaffolding yang diberikan guru atau pun teman, seluruh masalah yang disajikan di kelas dapat diselesaikan siswa dalam kelompoknya meski tidak semua kelompok selalu berhasil menyelesaikannya dalam batas waktu yang diberikan. Namun setelah kelompok tertentu menyajikan karya mereka di depan dan berlangsung diskusi kelas, kelompok yang tadinya mengalami kesulitan dan kendala tersebut akhirnya mendapat dan memahami proses penyelesaian masalah secara tuntas. Walaupun selalu ada beberapa kelompok yang dapat menyelesaikan tiap masalah yang diberikan di awal pembelajaran, namun menurut pengamatan guru reguler di kelas yang bersangkutan, intensitas diskusi kelompok masih bisa ditingkatkan sehingga memungkinkan semua kelompok dapat menyelesaikan tiap masalah yang diajukan guru peneliti. Pengamatan guru pengamat mengungkap bahwa pada beberapa kesempatan siswa kurang aktif mengemukakan pendapat berbeda saat diskusi kelompok berlangsung. Selain itu ditemukan pula kelompok yang kurang aktif bertanya pada guru atau kelompok lain ketika kelompoknya tidak dapat menyelesaikan masalah. Berdasarkan pengamatan guru pengamat, peneliti sebagai pengajar di awal-awal pertemuan masih kurang intens memotivasi siswa untuk aktif
182
berdiskusi menyelesaikan masalah. Untuk lebih memotivasi dan untuk lebih menciptakan nuansa kompetitif di kelas, pengamat menyarankan agar sebanyak mungkin kelompok dilibatkan dalam menyajikan hasil kerja di depan kelas. Saran ini sangat sulit direalisasikan karena peneliti dengan terpaksa justru lebih sering memberi petunjuk baik secara klasikal maupun kelompok agar proses penyelesaian masalah tetap berjalan. Akibatnya, sangat jarang terjadi cara penyelesaian masalah antar kelompok berbeda secara esensial. Bantuan guru peneliti kepada siswa dalam bentuk scaffolding di awal pembelajaran
termasuk
sering
dilakukan
guna
memfasilitasi
mereka
menyelesaikan masalah. Akibatnya proses pemecahan masalah memakan waktu lebih lama daripada yang disediakan. Untuk mengatasi agar tidak sampai kekurangan waktu, guru selalu meminta agar kelompok yang ditunjuk menyajikan kerjanya ke papan tulis justru saat kelompok tersebut belum menyelesaikan kerjanya secara tuntas namun telah menuju pada arah penyelesaian yang benar. Upaya lain yang dilakukan guru ialah mendorong agar tiap kelompok berlomba menampilkan karyanya sehingga setiap kelompok mendapat kesempatan menampilkan hasil kerjanya. Berdasarkan pengamatan terhadap aktivitas siswa sepanjang pembelajaran, ditemukan siswa lebih aktif terlibat dalam menyelesaikan masalah bila langkah atau petunjuk yang tersedia pada lembar kerja tersebut relatif rinci atau tugasnya mudah. Secara umum, intervensi guru atas proses pemecahan masalah tetap dilakukan sepanjang penelitian karena diperlukan agar proses tersebut tetap maju dan siswa sendiri yang menyelesaikan tugas yang diberikan. Intervensi juga sering
183
harus dilakukan untuk menjaga ritme kerja kognitif siswa dalam kelompok tetap terjaga. Sementara itu di kelas biasa, guru berperan aktif menyajikan bahan pelajaran di samping tetap mengupayakan agar siswa terus terlibat aktif secara mental dan fisik memahami pelajaran. Setelah menjelaskan contoh atau bukan contoh, guru selanjutnya meminta siswa bekerja menyelesaikan soal atau masalah yang sama dengan yang diberikan di kelas eksperimen. Siswa didorong bekerja sama dengan teman semejanya dan agar tidak ragu bertanya pada guru bila ada bagian dari pelajaran yang belum sepenuhnya mereka pahami. Selain itu, siswa juga didorong dan diberi kesempatan menyajikan hasil kerjanya di depan kelas dan siswa lain dapat mengajukan pertanyaan atau komentar atas sajian temannya. Dibandingkan dengan di kelas biasa, secara umum soal atau masalah yang terselesaikan di tiap pertemuan lebih banyak di kelas PBM. Hal ini terutama disebabkan di kelas PBM para siswa lebih agresif maju menyajikan hasil karyanya di papan tulis daripada siswa di kelas biasa. Di kedua kelas, sebagian soal atau masalah yang tidak terselesaikan di kelas dijadikan tugas untuk dikerjakan di rumah dan dikumpulkan di pertemuan berikutnya. Setiap kertas kerja siswa diperiksa guru dan diberi umpan balik secara klasikal sebelum kegiatan belajar hari itu dimulai. 2. Pengetahuan Matematis Siswa Uji pengetahuan matematis dilakukan sebelum penelitian dimulai dan tidak diberitahukan sebelumnya kepada siswa. Seperti telah dikemukakan, alat ini terutama digunakan untuk memeriksa kesetaraan (kehomogenan) kedua kelas
184
eksperimen dan kendali. Selain itu, hasil uji ini juga dipakai sebagai gambaran awal mengenai pengetahuan yang dimiliki siswa sebelum pembelajaran dilaksanakan. Data hasil uji pengetahuan matematika dari keempat kelas secara umum menunjukkan pengetahuan siswa terhadap materi ajar matematika kelas X tergolong rendah, atau sangat rendah. Skor rataan siswa dari seluruh kelas hanya 6,6 dan skor rataan tiap kelas berada di sekitar nilai 6,6 itu dari skor maksimal 20. Artinya skor rataan tersebut hanya mencapai 33% dari 100%. Rendahnya capaian siswa pada uji pengetahuan matematika ini sedikit-banyak sebenarnya menggambarkan capaian siswa sekolah menengah atas pada Ujian Nasional. Bahwa skor yang mereka peroleh begitu rendahnya diduga lebih banyak disebabkan karena mereka baru saja naik ke kelas XI sehingga kematangan bermatematika relatif belum setara dengan yang dipunyai siswa kelas XII yang sudah siap menghadapi Ujian Nasional. Selain itu, tentu saja karena mereka umumnya belum berlatih menyelesaikan soal-soal Ujian Nasional apalagi adanya ujian itu sendiri tidak mereka ketahui sebelumnya. Data dari uji pengetahuan matematika juga mengungkap bahwa sebelum penelitian dilakukan, pengetahuan awal di antara siswa di satu kelas begitu beragam. Hal ini tampak pada Tabel 3.5. Di salah satu kelas kendali misalnya, didapat skor rataan 7,08 dengan simpangan baku 3,19. Di samping itu, skor terendah di kelas ini adalah 2 dan skor tertingginya 15. Keadaan demikian kurang menguntungkan bagi kelancaran pembelajaran. Namun demikian, perbedaan
185
kemampuan awal yang pincang itu secara perlahan diharapkan dapat diperbaiki lewat kegiatan belajar berbasis masalah yang sifatnya kolaboratif. Daftar skor pengetahuan matematis dan daftar sebaran siswa berdasarkan kategori kelompok kemampuan awal matematis (KAM) disajikan pada Lampiran A-2 halaman 229-236. Dari skor rataan KAM siswa tampak kemampuan siswa di dua kelas berada pada kategori sedang, sementara di dua kelas lainnya berada pada kategori rendah. 3. Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Kemampuan penalaran matematis dalam penelitian ini meliputi:1. Menarik simpulan logis; 2. Memberi penjelasan atas model, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada; 3. Membuat dugaan dan menyusun pembuktian; 4. Menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi, atau membuat analogi, atau generalisasi. Seluruh kemampuan tersebut saling bertalian dan berjalin sehingga yang satu sulit dipandang sebagai satu kemampuan yang berdiri sendiri dan memiliki garis pembatas yang tegas dengan kemampuan lainnya. Hanya saja, dalam suatu masalah dapat dilihat atau ditandai komponen kemampuan mana yang lebih dominan memainkan peran untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam penelitian ini telah digunakan enam butir soal untuk mengungkap kinerja siswa atas keempat unsur kemampuan penalaran matematis yang disebutkan di paragraf terakhir. Soal nomor 1 lebih melihat kinerja siswa pada kemampuan nomor 4. Soal nomor 2 lebih melihat kinerja siswa dalam kemampuan nomor 2. Soal nomor 3 lebih melihat kinerja siswa pada kemampuan nomor 3. Soal nomor 4 lebih melihat kinerja siswa dalam kemampuan nomor 3.
186
Soal nomor 5 lebih melihat kinerja siswa pada kemampuan nomor 1. Terakhir, soal nomor 6 lebih melihat kinerja siswa atas kemampuan nomor 4. Dari seluruh butir soal kemampuan penalaran matematis, capaian terendah siswa di kelas PBM maupun kelas biasa terletak pada soal nomor 2 atau unsur kemampuan penalaran nomor 2 (Tabel 4.41). Capaian tersebut berbeda dengan data yang diperoleh sewaktu soal tersebut diujicobakan. Hasil ujicoba mengungkap soal nomor 2 memiliki daya pembeda baik, keandalan tinggi, dan tingkat kesukaran sedang. Sebagaimana diungkap di bagian analisis, soal nomor 2 memuat tugas yang tampaknya sangat kompleks bagi siswa. Pertama, siswa dituntut untuk dapat membuat gambar geometris dari masalah yang operasional secara matematis. Kedua, dari gambar tersebut siswa dituntut agar dapat merumuskan keterkaitan antar fakta yang ada dalam bentuk model matematis yang relevan dan selanjutnya menyelesaikan model guna memperoleh solusi atas masalah. Jadi, bagian tersulit dari penalaran matematis yang terungkap dari penelitian ini ialah membuat representasi operasional dari masalah, membuat kaitan bermakna antara fakta yang ada, dan merumuskan model matematis yang relevan darinya. Capaian terendah berikutnya baik di kelas PBM maupun di kelas biasa sama, berturut-turut terletak pada unsur kemampuan nomor 4, 1, dan 3. Dari Tabel 4.1, diketahui capaian skor rataan siswa di kelas PBM ialah 9, 47 dan di kelas biasa 7,86. Berdasarkan kriteria pengelompokan kualitas kinerja siswa pada Tabel 3.19, disimpulkan secara keseluruhan kinerja siswa di kedua kelas eksperimen dan kendali pada kemampuan penalaran matematis berada pada kategori rendah. Sementara itu bila dilihat menurut kelompok KAM, kinerja siswa
187
kelompok tinggi baik di kelas PBM maupun kelas biasa masuk pada kategori sedang. Di kelompok KAM sedang dan kurang, kinerja siswa di kedua kelas PBM dan biasa masuk pada kategori rendah. Hasil ini tidak mengejutkan mengingat hasil yang dicapai siswa pada uji pengetahuan matematis juga termasuk rendah dan kualifikasi KAM mereka hanya pada tingkat sedang dan rendah. Secara perorangan, baik di kelas PBM maupun di kelas biasa ditemukan siswa dengan kualitas kinerja kategori tinggi pada kemampuan penalaran matematis, meski jumlahnya sangat kecil (7,6%). Sebaran siswa berdasarkan kategori kinerja pada kemampuan penalaran matematis untuk tiap kelompok KAM di kedua kelas ditampilkan dalam Tabel 4.45. Tabel 4.45 Sebaran SiswaMenurut Kategori Kinerja atas Penalaran Matematis
PBM Biasa Kategori KR Tinggi Sedang Kurang Tinggi Sedang Kurang
Total
Tinggi
6
1
0
5
0
0
12
Sedang
10
8
0
7
3
1
29
Rendah
5
30
19
8
38
17
117
Total
21
39
19
20
41
18
158
Dari Tabel 4.45 terlihat kemampuan penalaran matematis mayoritas siswa, 117 orang (74,1%) berada pada kategori rendah dan jelas inilah penyumbang terbesar rendahnya kualitas kinerja siswa secara keseluruhan. Secara umum, capaian siswa atas seluruh soal penalaran matematis memang tidak memadai. Meski menurut hasil ujicoba terungkap hanya dua soal yang tingkat kesukarannya tergolong sedang (nomor 2 dan 4), namun menurut Tabel 4.41, tampaknya semua soal bagi seluruh siswa obyek penelitian ini
188
tergolong sukar. Dari lembar jawaban siswa dan jawaban beberapa orang dari mereka yang diwawancai terungkap bahwa kesulitan atau kesalahan yang mereka alami atau lakukan sewaktu menyelesaikan soal-soal penalaran matematis ialah: 1. Memahami tuntutan tugas, namun membuat tafsiran keliru atau menarik simpulan tak logis; 2. Tidak menjalankan proses metakognitif; 3. Kesulitan merumuskan hubungan/kaitan bermakna antar fakta yang ada menuju selesaian; 4. Tidak dapat membuat dugaan yang benar berbasis data atau pola yang diberikan atau tidak dapat memberikan alasan pembenaran atas dugaan tersebut; 5. Tidak dapat membedakan antara penalaran induktif dan penalaran deduktif dalam pembuktian. Secara umum, temuan serupa dilaporkan de Castro (2004) dan Harel dan Sowder (2007) (Yefdokimov, 2009). De Castro yang meneliti kualitas kemampuan penalaran matematis 11 orang mahasiswa calon guru matematika dari sebuah universitas terkemuka di Filipina mengungkap 73% dari mereka berkualifikasi rendah, 27% berkualifikasi sedang, dan tidak seorang pun berkualifikasi tinggi. Di bagian lain, Yevdokimov menduga sulitnya siswa mengkonstruksi bukti matematis karena kurangnya pemahaman mereka akan materi mana yang seharusnya digunakan. Selain itu, siswa gagal memberikan penjelasan atas konstruksi bukti diduga karena keterbatasan pemahaman tentang hubungan antar obyek matematika yang terlibat. Sementara secara parsial, temuan nomor 5 sejalan dengan laporan Sumarmo (1987) dan Williams (dalam Bergeson, 2000). Agar berpikir dan bernalar menjadi pilar dalam proses belajar mengajar di kelas diperlukan komitmen kuat dari seluruh guru di semua jenjang untuk: 1.
189
Mengarahkan perhatian dan pengetahuan awal siswa kepada unsur penting guna menunjang belajar secara dalam dan bermakna; 2. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis melalui teknik bertanya guru; 3. Menerapkan pengetahuan yang diperoleh ke situasi kehidupan nyata; 4. Memanfaatkan pengalaman belajar siswa; 5. Meningkatkan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar; dan 6. Memupuk pemahaman konseptual siswa guna menyokong belajar bermakna tanpa menyandarkannya pada belajar menghafal saja. 4. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Kemampuan pemecahan masalah matematis dalam penelitian ini meliputi:1. Membuat model matematis dari suatu situasi atau masalah sehari-hari; 2. Memilih dan menerapkan strategi yang cocok; 3. Menjelaskan atau menafsirkan hasil sesuai masalah asal, serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban. Rangkaian kemampuan tersebut dituntut untuk dipunyai atau dikuasai siswa agar dapat menyelesaikan tugas memecahkan masalah hingga tuntas. Dalam penelitian ini telah digunakan tujuh butir soal untuk mengungkap kinerja siswa atas ketiga unsur kemampuan penalaran matematis yang disebutkan di paragraf terakhir. Soal nomor 1 lebih melihat kinerja siswa pada kemampuan nomor 1. Soal nomor 2 lebih melihat kinerja siswa dalam kemampuan nomor 2. Soal nomor 3 lebih melihat kinerja siswa pada kemampuan nomor 3. Soal nomor 4 lebih melihat kinerja siswa dalam kemampuan nomor 2. Soal nomor 5 lebih melihat kinerja siswa pada kemampuan nomor 2. Soal nomor 6 lebih melihat kinerja siswa pada kemampuan nomor 1. Terakhir, soal nomor 7 lebih melihat kinerja siswa atas kemampuan nomor 2.
190
Dari seluruh butir soal kemampuan pemecahan masalah matematis, capaian terendah siswa di kelas PBM maupun kelas biasa terletak pada soal nomor 3 dan nomor 7 (Tabel 4.42). Hasil tersebut persis sama dengan data yang diperoleh sewaktu soal tersebut diujicobakan. Hasil ujicoba mengungkap soal nomor 3 dan 7 termasuk sukar di samping soal nomor 1 dan 2. Soal nomor 3 memiliki daya pembeda cukup dan tingkat keandalan sedang. Sementara soal nomor 7 berdaya pembeda baik dan tingkat keandalan tinggi. Bila diteliti lebih jauh, soal nomor 7 sebenarnya lebih bersifat rutin dalam artian prosedur tetap yang dapat digunakan untuk menyelesaikannya tersedia meskipun penyelesaian tersebut memang memerlukan banyak langkah. Hanya saja ketika pembelajaran mengenai materi ajar yang menyangkut soal nomor 7 berlangsung, durasi waktu yang sudah dialokasikan sebelumnya untuk itu tidak terpenuhi disebabkan pihak sekolah melaksanakan suatu kegiatan yang melibatkan seluruh siswa kelas XI IPA. Kejadian itu diduga menjadi penyumbang utama rendahnya capaian siswa pada soal nomor 7. Mayoritas siswa tidak mengerjakan soal nomor 3. Dari keterangan siswa sewaktu diwawancarai, mereka menilai soal ini sangat sulit, tidak tahu harus dari mana memulai, dan memerlukan jalan serta waktu yang panjang untuk mengerjakannya. Sementara siswa yang mencoba mengerjakan namun tidak tuntas mengatakan bahwa mereka tidak terpikir memanggil dan menggunakan konsep jarak antar dua titik untuk menyelesaikan masalah dan menemukan solusi akhir. Soal ini jelas menunjukkan ketidaklancaran siswa memanggil dan
191
menerapkan pengetahuan yang dimilikinya ke dalam situasi baru dalam rangka memecahkan masalah. Dari Tabel 4.10, diketahui capaian skor rataan siswa di kelas PBM ialah 9, 95 dan di kelas biasa 8,09. Berdasarkan kriteria pengelompokan kualitas kinerja siswa pada Tabel 3.19, disimpulkan secara keseluruhan kinerja siswa di kedua kelas eksperimen dan kendali pada kemampuan pemecahan masalah matematis berada pada kategori rendah. Sementara itu bila dilihat menurut kelompok KAM, kinerja siswa kelompok tinggi baik di kelas PBM maupun kelas biasa masuk pada kategori sedang. Di kelompok KAM sedang dan kurang, kinerja siswa di kedua kelas PBM dan biasa masuk pada kategori rendah. Hasil ini juga tidak mengejutkan mengingat hasil yang dicapai siswa pada uji pengetahuan matematis termasuk rendah dan kualifikasi KAM mereka hanya pada tingkat sedang dan rendah. Secara perorangan, baik di kelas PBM maupun di kelas biasa ditemukan siswa dengan kualitas kinerja kategori tinggi pada kemampuan pemecahan masalah matematis, meski jumlahnya sangat kecil (2,5%). Suatu ukuran yang jauh lebih kecil dibandingkan capaian siswa pada kemampuan penalaran matematis. Sebaran siswa berdasarkan kategori kinerja pada kemampuan pemecahan masalah matematis untuk tiap kelompok KAM di kedua kelas ditampilkan dalam Tabel 4.46. Dari Tabel 4.46 terlihat KPS mayoritas siswa, 126 orang (79,8%), berada pada kategori rendah dan jelas inilah penyumbang terbesar rendahnya kualitas kinerja siswa secara keseluruhan.
192
Tabel 4.46 Sebaran SiswaMenurut Kategori Kinerja atas Pemecahan Masalah Matematis
PBM Biasa Kategori R Tinggi Sedang Kurang Tinggi Sedang Kurang 3 0 0 1 0 0 Tinggi 12 7 1 5 3 0 Sedang 6 32 18 14 38 18 Rendah 21 39 19 20 41 18 Total
Total 4 28 126 158
Secara umum, seperti pada kemampuan penalaran matematis, capaian siswa atas seluruh soal pemecahan masalah matematis memang tidak memadai. Meski menurut hasil ujicoba terungkap hanya tiga soal yang tingkat kesukarannya tergolong sedang (nomor 4, 5 dan 6), namun menurut Tabel 4.41, tampaknya semua soal bagi seluruh siswa obyek penelitian ini tergolong sukar. Kalau pun ada yang dapat dikecualikan, hanyalah soal nomor 5. Untuk soal nomor 5, skor rataan siswa di kelas PBM sebesar 72,75 pada skala 100. Di kelas biasa, skor itu mencapai 70,25 juga pada skala 100. Jika merujuk ke Tabel 3.19, skor rataan soal nomor 5 di kedua kelas eksperimen dan kendali termasuk kategori tinggi. Bila dicermati lebih jauh, soal nomor 5 memiliki karakteristik yang relatif sama dengan soal nomor 7. Meski memerlukan dua formula untuk menyelesaikannya, namun siswa dapat langsung menemukan solusi asalkan mengingat kedua rumus tersebut. Di sisi lain, dari Tabel 4.41 tampak selisih skor rataan yang dicapai siswa pada soal nomor 1 di kelas PBM dan kelas biasa relatif jauh lebih besar dibandingkan selisih skor rataan untuk soal lainnya. Skor rataan untuk soal nomor 1 di kelas PBM ialah 56,75 pada skala 100. Sementara skor rataan rekan mereka
193
di kelas biasa sebesar 27,25 juga pada skala 100. Setelah soal nomor 5, skor rataan tertinggi di kelas PBM memang dicapai siswa pada soal nomor 1 sementara di kelas biasa dicapai siswa pada soal nomor 4. Karakteristik kedua soal nomor 1 dan 4 memang berbeda. Soal nomor 1 memiliki tingkat ke rumitan masalah yang lebih tinggi dibandingkan nomor 4. Soal nomor 4 lebih fokus pada manipulasi aljabar dan penggunaan rumus, sementara soal nomor 1 menuntut siswa membuat model matematis dari masalah untuk kemudian mengaitkannya dengan sifat dan rumus yang sesuai guna menyelesaikan masalah secara tuntas. Temuan ini menunjukkan pendekatan PBM lebih unggul atas pembelajaran biasa dalam mengembangkan aspek kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Dari lembar jawaban siswa dan jawaban beberapa orang dari mereka yang diwawancai terungkap bahwa hambatan atau kesulitan atau kesalahan yang mereka alami atau lakukan sewaktu menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah matematis ialah: 1.Waktunya terlalu sedikit; 2. Tidak menjalankan proses metakognitif; 3. Tidak memahami sepenuhnya tuntutan tugas; 4 Kesulitan memanggil dan menerapkan pengetahuan yang relevan dengan masalah; 5. Kesulitan memanggil dan menerapkan strategi yang tepat untuk memecahkan masalah yang tengah dihadapi; 6. Lupa pada pengetahuan atau strategi yang harusnya dilibatkan dalam proses pemecahan masalah. Capaian siswa pada kemampuan pemecahan masalah matematis lebih rendah dibandingkan capaian mereka pada kemampuan penalaran matematis, terutama pada kelompok kategori KAM tinggi dan rendah. Sedangkan di kelompok KAM sedang, capaian itu relatif sama. Temuan ini tampaknya dapat
194
dijelaskan oleh lebih banyaknya tuntutan tugas dan lebih banyaknya hambatan atau kesulitan yang mereka hadapi tatkala menangani soal pemecahan masalah daripada sewaktu menyelesaikan soal penalaran matematis. Dalam konteks ini, Ministry of Education of Singapore (2006) mengatakan pengembangan kemampuan penyelesaian masalah sangat bergantung pada lima komponen yang saling terkait, yaitu: konsep, keterampilan, proses, sikap, dan metakognitif. Temuan penelitian ini berbeda dari yang ditemukan Wardani (2009). Dari penelitian Wardani terungkap kualitas kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas X yang memperoleh pembelajaran inkuiri model Silver secara grup maupun klasikal dan pembelajaran biasa tergolong baik dan cukup. Kualifikasi kurang hanya ditemukan pada siswa kelompok KAM kurang pada pembelajaran biasa. Hanya saja sampelnya berasal dari sekolah level tinggi dan sedang. Sebelumnya telah terungkap pengetahuan matematis siswa sebelum penelitian dilaksanakan sangat rendah. Di samping itu, diketahui pula kemampuan awal matematis siswa di dua kelas berkualifikasi sedang dan di dua kelas lainnya berkualifikasi rendah. Kedua faktor itu diduga kuat menjadi penyumbang terbesar atas kegagalan siswa menunjukkan kinerja yang baik sewaktu memecahkan masalah matematis. Sebagaimana penegasan banyak penulis (Lester dan Kroll, 1990; Schoenfeld, 1992; Sweller, Clark, dan Kirscher, 2010), keberhasilan siswa memecahkan masalah matematis sangat ditentukan oleh banyaknya dan luasnya jaringan skema pengetahuan spesifik domain yang tersimpan di dalam memori jangka panjang dan keterampilan mereka menggunakannya di saat yang tepat.
195
Temuan di atas sebagian besar sejalan dengan yang dilaporkan Yeo (2009). Dari hasil penelitiannya, Yeo mengemukakan beberapa aspek yang menyebabkan siswa tidak berhasil menyelesaikan masalah, yaitu: 1. Kurang memahami masalah; 2. Kurang pengetahuan strategik (hanya menggunakan satu strategi); 3. Tidak mampu memodelkan; 4. Tidak mampu menggunakan matematika yang relevan. Selanjutnya Yeo menemukan siswa yang menghasilkan jawaban salah disebabkan oleh: 1. Penggunaan strategi yang tak sesuai; 2. Model matematika yang tak benar; 3. Salah menghitung; 4. Pengetahuan matematika tak lengkap; 5. Salah memahami masalah. Berdasarkan temuan penelitian ini, hasil-hasil penelitian sebelumnya yang sejalan, agar kemampuan pemecahan masalah siswa dapat diperbaiki dari waktu ke waktu, kiranya dalam proses belajar mengajar di kelas diperlukan komitmen kuat dari seluruh guru di semua jenjang untuk: 1. Merancang dan menjalankan pembelajaran yang memberikan kesempatan lebih luas bagi siswa melihat dan mengalami sendiri, melalui keterlibatan dalam proses, bagaimana masalah yang beragam diselesaikan di dalam kelas; 2. Di samping menggunakan pembelajaran langsung, di saat yang memungkinkan juga menggunakan pembelajaran tak langsung untuk menanamkan dan memupuk kemampuan siswa membangun pengetahuan dan menemukan keterampilan matematis mereka sendiri melalui pemecahan masalah matematis; 3. Membangun kebiasaan siswa bekerja sama dalam kelompok secara bertanggung jawab.
196
5. Sikap Siswa terhadap Matematika Berdasarkan kajian teoretis tentang bagaimana PBM dijalankan di kelas, diharapkan sikap siswa terhadap matematika di kelas tersebut akan lebih positif dibandingkan sikap rekan mereka di kelas biasa. Harapan itu muncul mengingat langkah demi langkah yang dilakukan dalam PBM diperuntukkan mengajak dan melibatkan siswa mempelajari matematika secara bermakna dan bagaimana masalah matematis diselesaikan berbasis pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki dengan bantuan teman atau guru. Dengan mendapatkan pengalaman seperti itu diharapkan membuat mereka lebih melihat kegunaan matematika, keindahannya, merasakan keberhasilan berinteraksi dengannya, dan pada gilirannya menumbuhkan rasa penghargaan terhadapnya. Berkat pengalaman itu pula diharapkan sikap mereka terhadap matematika menjadi lebih positif dari sebelumnya. Namun analisis data menunjukkan lain. Perbedaan sikap yang diharapkan tidak muncul. Alih-alih berubah menjadi lebih positif, skor rataan sikap siswa di kelas PBM malah turun setelah pembelajaran dilaksanakan. Penurunan rataan tersebut memang relatif sangat kecil (0,84 pada skala 0-90) dan tidak membuat adanya perbedaan sikap antara sebelum dengan sesudah pembelajaran. Tidak adanya perbedaan sikap tersebut sedikitnya dapat dijelaskan oleh pernyataan atau pendapat siswa atas beberapa komponen pendekatan PBM yang cenderung lebih negatif ketimbang positif. Misalnya, PBM dinilai membosankan, tidak lebih membantu memahami pelajaran, dan menghafal rumus lebih memudahkan menyelesaikan soal matematika.
197
Penelaahan lebih jauh berdasarkan kategori KAM memperlihatkan penurunan skor rataan sikap justru disumbang oleh kelompok KAM tinggi (sebesar 1,81) dan sedang (0,80). Sedangkan di kelompok KAM kurang, skor tersebut relatif stabil (dari 63,21 menjadi 63,37). Berdasarkan fakta ini, tidak mengherankan bila kemudian tidak ada pengaruh gabungan (interaksi) antara pembelajaran dengan KAM atas sikap siswa terhadap matematika. Meski terjadi penurunan skor rataan sikap di kelas PBM, namun besar rataan tersebut tetap mengecil linear sesuai dengan kategori KAM. Artinya kian turun kategori KAM siswa, semakin kecil pula skor rataan sikap mereka terhadap matematika. Tidak adanya perubahan sikap siswa di kelas PBM diduga karena masa pembelajaran yang mereka jalani boleh dikatakan sangat singkat dan mereka belum pernah menjalani model pembelajaran seperti ini yang berakibat pada resistensi tinggi pada pembelajaran berbasis masalah. Sementara itu, perbandingan sikap terhadap matematika antara siswa di kelas PBM dengan siswa di kelas biasa juga menunjukkan tidak adanya perbedaan. Malah skor rataan siswa kelompok KAM kurang di kelas biasa lebih tinggi dibandingkan skor rataan siswa di kelompok KAM sedang dan kurang di kelas PBM. Fakta ini mengatakan bahwa mungkin saja sekelompok siswa yang kemampuan matematisnya lebih rendah justru memiliki sikap lebih positif terhadap matematika dibandingkan sikap mereka yang kemampuan matematisnya lebih tinggi meski perbedaan skor tersebut tidak berarti secara statistik. Tidak adanya perbedaan sikap mahasiswa terhadap matematika antar kelompok kategori kemampuan matematis di kelas PBM juga dilaporkan Juandi (2006). Sebaliknya,
198
Juandi menemukan adanya perbedaan berarti antara sikap mahasiswa di kelas PBM dengan sikap rekan mereka di kelas biasa. Secara keseluruhan, sikap siswa terhadap matematika di kedua kelas pembelajaran masuk kategori biasa (Lampiran C-9) halaman 318-320. 6. Pendapat Siswa terhadap PBM Di samping beberapa unsur positif, menurut sebagian siswa ada beberapa unsur PBM yang justru tidak membuat mereka lebih mudah belajar yaitu: belajar berkelompok, membosankan, dan tidak lebih membantu memahami pelajaran. Di sisi lain, sebenarnya siswa melihat aspek positif belajar berkelompok, yaitu merasa lebih bebas bertanya dan berpendapat dan lebih berhasil menyelesaikan masalah. Saat diwawancarai, siswa menjelaskan bahwa acap kali penyelesaian masalah di dalam kelompok berhenti karena setelah bertanya dan mendapat petunjuk satu kali, mereka enggan bertanya kembali manakala masih menemui kesulitan, baik kepada guru maupun kepada teman. Selain itu, sering pula penjelasan teman sekelompok atau kelompok lain sulit dimengerti. Bagi siswa, PBM membosankan karena jenuh terus-menerus belajar lewat memecahkan masalah dan mereka tidak merasa nyaman seperti itu karena lebih sulit dibandingkan belajar dengan cara biasa. Siswa lebih suka jika pelajaran baru dijelaskan oleh guru, rumus dihafal, lalu berlatih mengerjakan soal yang sesuai dengan penggunaan rumus yang dipelajari. Penjelasan tersebut memberi kesan bahwa kebanyakan siswa kurang memiliki sifat kerja keras dan kegigihan sewaktu menghadapi kesulitan belajar.
199
Bahkan terkesan mudah menyerah, karena kalau bertanya kepada guru dan seringkali bukan jawaban yang mereka inginkan yang diperoleh, melainkan pertanyaan
lanjutan,
mereka
enggan
bertanya
kembali.
Keadaan
ini
menggambarkan sulitnya menggeser kebiasaan belajar dari berpusat pada guru ke berpusat pada siswa membiasakan siswa berpikir reflektif. Meski siswa mengatakan belajar dengan cara biasa lebih mudah paham, namun yang mereka maksudkan paham ialah menghafal rumus lalu menggunakan rumus tersebut mengerjakan soal-soal rutin. Dalam wawancara mereka menafikan akan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang diberikan bila telah hafal rumus. Lebih jauh siswa mengatakan sulit beradaptasi dengan cara belajar baru yang menuntut lebih banyak peran mereka dalam memperoleh pengetahuan baru dan menyelesaikan masalah meski menurut mereka masalah itu memang baru, bervariasi, menarik, menuntut siswa aktif belajar dan berpikir, tapi sulit. Terlebih lagi menurut siswa, kelompok yang diisi oleh 5 atau 6 anggota terlalu banyak sehingga kurang efektif berdiskusi dan cenderung membuat anggota melepas tanggung jawab, saling mengandalkan satu sama lain. Selain itu, anggota kelompok yang tadinya diharapkan dapat memberikan penjelasan pada teman sekelompoknya mengaku sulit mengkomunikasikan cara penyelesaian masalah yang duluan diperolehnya. Secara keseluruhan pendapat siswa tentang PBM masuk kategori biasa (Lampiran C-9) halaman 318-320. Berkaitan dengan penjelasan siswa atas sikap mereka terhadap pendekatan PBM yang mereka alami selama penelitian berlangsung, Henningsen dan Stein (2002) telah mengajukan sebuah kerangka kerja yang menggambarkan faktor
200
berpengaruh terhadap kinerja siswa mengerjakan tugas matematika sebagaimana ditunjukkan Gambar 4.33. Dari gambar tersebut dapat dilihat salah satu aspek yang berperan sewaktu siswa mengerjakan tugas kognitif di kelas adalah disposisi belajar yang dimiliki siswa.
Gambar 4.9 Faktor yang berpengaruh terhadap pengerjaan tugas matematika (Diadaptasi dari Henningsen dan Stein, 2002)
Berdasarkan kerangka kerja dari Henningsen dan Stein, jelas tampak salah satu faktor yang membuat PBM tidak berjalan sebagaimana mestinya ialah disposisi belajar siswa yang tidak mendukung. Kondisi yang tidak mendukung ini diduga kuat disumbang antara lain oleh: 1. Siswa tidak pernah belajar matematika dalam lingkungan berpaham konstruktivisme, bahkan belajar berkelompok hampir tidak pernah; 2. Siswa yakin bahwa hafal rumus akan dapat menyelesaikan masalah matematika; 3. Siswa sangat jarang dihadapkan pada soal tidak rutin; dan 4. Terlalu banyak anggota (5 sampai dengan 6 orang) dalam satu kelompok sewaktu belajar di kelas.
201
BABV SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI
A. Simpulan Dari hasil penelitian dan pembahasannya pada Bab IV, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut. 1. a. Kemampuan penalaran matematis dan pemecahan masalah matematis siswa baik di kelas PBM maupun di kelas biasa secara keseluruhan terbilang rendah. Berdasarkan kategori KAM, kemampuan penalaran matematis dan pemecahan masalah matematis siswa kelompok KAM tinggi di kedua kelas tergolong sedang. Sedangkan pada kelompok KAM sedang dan Kurang, kedua kemampuan tersebut termasuk rendah di kedua kelas. Secara perorangan, ditemukan siswa yang memiliki kemampuan tinggi dalam penalaran matematis dan pemecahan masalah matematis. b. Capaian kemampuan penalaran matematis dan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa di kelas PBM secara linear berdasarkan kategori KAM lebih tinggi daripada capaian siswa pada kemampuan yang sama di kelas biasa. Demikian pula antar kelompok KAM di masing-masing kelas pembelajaran. Capaian siswa kelompok KAM tinggi pada kedua kemampuan lebih baik daripada capaian siswa di kelompok KAM sedang dan capaian siswa kelompok KAM sedang lebih baik daripada capaian siswa di kelompok KAM kurang di kedua kelas pembelajaran.
202
c. Secara keseluruhan, capaian siswa pada kemampuan penalaran matematis baik di kelas PBM maupun di kelas biasa lebih baik dibandingkan capaian siswa pada kemampuan pemecahan masalah matematis. Hasil serupa berlaku untuk semua kategori KAM kecuali pada kelompok KAM sedang di kelas biasa pada kemampuan pemecahan masalah. Di kelompok ini, kemampuan pemecahan masalah siswa unggul tipis dari kemampuan penalaran matematis. d. Dari empat aspek yang diukur pada kemampuan penalaran matematis, capaian terendah siswa ada pada aspek memberi penjelasan atas model, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada. e. Dari tiga aspek yang diukur pada kemampuan pemecahan masalah matematis, capaian terendah siswa terletak pada aspek menjelaskan atau menafsirkan hasil sesuai masalah asal, serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban. 2. a. Secara keseluruhan, kemampuan penalaran matematis siswa di kelas PBM lebih baik daripada kemampuan serupa siswa di kelas biasa. b. Kemampuan penalaran matematis siswa berkategori KAM sedang di kelas PBM lebih baik daripada kemampuan siswa berkategori sama di kelas biasa. Namun untuk kategori KAM tinggi dan kurang, tidak ditemukan adanya perbedaan kemampuan tersebut. c. Tidak ada interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor KAM siswa terhadap kemampuan penalaran matematis siswa.
203
3. a. Secara keseluruhan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa di kelas PBM lebih baik daripada kemampuan serupa siswa di kelas biasa. b. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa berkategori KAM tinggi di kelas PBM lebih baik dari pada kemampuan siswa berkategori sama di kelas biasa. Namun untuk kategori KAM sedang dan kurang, tidak ditemukan adanya perbedaan kemampuan tersebut. c. Tidak ada interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor KAM siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. 4. a. Secara keseluruhan, tidak ditemukan perbedaan sikap terhadap matematika antara siswa di kelas biasa dengan mereka di kelas PBM. Demikian juga, tidak ada perubahan sikap siswa terhadap matematika di kelas PBM dari sebelum dengan sesudah pelaksanaan pembelajaran. b. Tidak ditemukan perbedaan sikap siswa berkategori KAM tinggi (sedang/ rendah) terhadap matematika di kelas PBM dengan sikap siswa berkategori sama di kelas biasa. c. Tidak ada interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor KAM siswa pada perbedaan sikap siswa terhadap matematika. b. Sebagian besar siswa tidak melihat PBM sebagai suatu model pembelajaran positif dan tidak pula negatif. Menurut siswa, unsur-unsur positif yang terkandung dalam PBM adalah membuat mereka lebih bebas bertanya dan berpendapat, membuat lebih berhasil dalam belajar, dan tugas-tugas yang diberikan menuntut siswa aktif berpikir dan aktif belajar.
204
c. Sebagian siswa berpendapat negatif terhadap PBM. Mereka melihat PBM membosankan dan tidak lebih membantu memahami pelajaran. Selain itu, mereka berpendapat menghafal rumus lebih memudahkan menyelesaikan soal dan mereka merasa sulit belajar secara berkelompok. d. Kebanyakan siswa berkategori KAM tinggi dan kurang menyatakan lebih menyukai pembelajaran langsung dibanding PBM dan lebih memilih belajar secara perorangan ketimbang berkelompok. 5. a. Siswa yang tidak biasa belajar berbasis masalah cenderung akan lebih sering mengalami kendala dalam pembelajarannya terlebih bila masalah yang disajikan termasuk sulit bagi mereka. Akibatnya guru fasilitator harus lebih sering memberi arahan atau bantuan baik per kelompok maupun secara klasikal sesuai kebutuhan. b. Belajar secara berkelompok dengan banyak anggota 5 sampai dengan 6 orang dalam PBM lebih berpotensi membuat siswa tidak aktif bekerja, menghambat gerak maju penyelesaian masalah, dan cenderung melemahkan siswa untuk tetap berkonsentrasi dalam tuntutan tugas berpikir tingkat tinggi. c. Dalam tuntutan tugas kognitif tingkat tinggi, bantuan guru fasilitator kepada siswa yang bersikap menolak PBM dan lebih memilih pembelajaran biasa cenderung tidak berkurang dari waktu ke waktu. B. Implikasi Penelitian ini telah menggunakan PBM sebagai sebuah pendekatan untuk membelajarkan siswa sekolah menengah atas dalam rangka menumbuhkan dan
205
mengasah kemampuan penalaran matematis dan kemampuan pemecahan masalah matematis. Di samping itu, diselidiki pula kemungkinan adanya perbedaan sikap terhadap matematika di antara siswa di kelas PBM dengan siswa di kelas biasa, kemungkinan adanya perubahan sikap siswa terhadap matematika di kelas PBM setelah pembelajaran, dan pendapat siswa terhadap PBM yang mereka jalani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PBM lebih unggul dibandingkan pembelajaran biasa dalam meraih kemampuan penalaran matematis dan kemampuan pemecahan masalah matematis. Meski tidak ada perubahan sikap siswa terhadap matematika setelah menjalani proses PBM, namun siswa berpendapat pendekatan pembelajaran ini memiliki beberapa karaktersitik positif di samping beberapa karakteristik lain yang mereka pandang negatif. Pandangan negatif ini diduga memberi sumbangan besar atas tidak adanya perubahan pola interaksi dan diskusi baik sesama siswa dalam satu kelompok, antar kelompok, maupun pada saat diskus kelas berlangsung di sepanjang penelitian dilakukan. Selain itu, resistensi sebagian besar siswa atas PBM diduga menyumbang pada tidak muncul dan tumbuhnya kegigihan atau kemauan kuat pada diri sebagian siswa untuk tetap bekerja dalam tuntutan kognitif tingkat tinggi menyelesaikan masalah. Di tengah maraknya himbauan belakangan ini agar pembelajaran matematika di sekolah memberi tempat dan waktu bagi siswa untuk terlibat membangun pengetahuan dan memaknainya melalui proses pemecahan masalah matematis, pendekatan PBM dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan untuk itu. Pendekatan PBM dengan strategi belajar berkelompok berpotensi besar
206
memfasilitasi siswa membangun pengetahuan secara bermakna sambil memupuk rasa percaya diri dan sikap positif terhadap matematika. Di kelas PBM, masalah yang disajikan guru berperan sebagai pemicu belajar siswa. Masalah itu tentu harus memenuhi syarat agar mampu menjadi wadah bagi pencapaian tujuan belajar yang diinginkan. Masalah kontekstual yang menarik, menantang, dan cukup sulit bagi siswa adalah yang dikehendaki. Diakui, memang tidak mudah membuat masalah sedemikian itu. Namun, hasil penelitian ini telah menunjukkan siswa mengapresiasi masalah seperti itu dan berhasil menjaga agar siswa tetap bekerja dalam tuntutan kognitif tingkat tinggi meski harus selalu diintervensi oleh guru fasilitator melalui teknik scaffolding. Kedua hal inilah tampaknya berperan sehingga siswa tetap mengerjakan tugas yang diberikan kepada mereka. Dalam praktek pembelajaran dengan pendekatan PBM yang dilakukan lewat penelitian ini, terungkap resistensi tinggi siswa terhadapnya. Hal ini diduga kuat karena sebelumnya siswa jarang terlibat dalam pembelajaran berkelompok apalagi belajar dalam suasana konstruktivisme. Siswa lebih menginginkan belajar dengan cara biasa seperti yang mereka jalani selama ini yaitu guru menjelaskan pelajaran sampai tuntas lalu memberi contoh rutin dan kemudian melatih siswa mengerjakan tugas sejenis dengan yang dicontohkan guru. Temuan ini berimplikasi pada praktek pelaksanaan PBM di kelas. Pertama, guru fasilitator harus yakin benar bahwa masalah yang diajukannya menarik, menantang, dan cukup sulit bagi siswa. Kedua, untuk memfasilitasi kelancaran proses kerja siswa, guru perlu memastikan bahwa mereka memiliki modal
207
pengetahuan yang memadai untuk melaksanakan tugas. Bila perlu, guru mengajak siswa meninjau ulang konsep dan/atau prosedur penting terkait tugas. Ketiga, guru fasilitator harus senantiasa mengamati tiap kelompok agar selalu dapat memfasilitasi siswa tetap aktif bekerja dalam tuntutan tugas kognitif tingkat tinggi. Keempat, sedapatnya tiap kelompok diisi oleh sebanyaknya empat orang siswa dengan komposisi satu berkategori KAM tinggi, dua dari KAM sedang, dan satu dari KAM rendah. Dari sudut pandang teori konstruktivisme sosial Pasca-Vygotsky, hasil penelitian ini menunjukkan ternyata siswa tetap dapat mencapai perkembangan potensialnya lewat PBM meski siswa memperlihatkan sikap resistensi atau penolakan yang kuat terhadapnya. Keadaan ini sebenarnya sekaligus mengungkap bahwa jika pendekatan pembelajaran seperti ini sudah dikenalkan pada siswa sejak dini dan tidak muncul penolakan oleh sebagian besar siswa atasnya, PBM berpotensi besar untuk menumbuhkan, memupuk, dan memajukan keterampilan siswa bernalar dan memecahkan masalah matematis sekaligus membangun pengetahuan baru secara bermakna. Bahkan lebih jauh lagi, pendekatan ini berpotensi membawa siswa ke Zone advanced developmentnya (ZAD) (Tchosanov, 2002) setelah mendapatkan ZPDnya. Melalui masalah yang disajikan, guru membimbing siswanya membangun pengetahuan baru secara bermakna di atas pengetahuan dan pengalaman siswa sendiri. Dalam proses itu pula guru menumbuhkan, memupuk, dan mengasah keterampilan anak didiknya bernalar secara matematis dan memecahkan masalah matematis sehingga anak mencapai Zone of Proximal Developmentnya (ZPD). Di
208
tahap berikutnya, saat guru memberi anak tugas dengan tuntutan kognitif yang lebih tinggi lagi yaitu tatkala anak harus belajar sendiri secara mendalam, berdialog dengan dirinya sendiri untuk membangun dan berkreasi, di saat inilah anak mencapai ZADnya. Patut diperhitungkan bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dapat dicapai siswa. Yang penting di sini ialah kemauan dan kerja keras dari guru untuk menciptakan suatu atmosfir pembelajaran yang memberi anak kesempatan dan mendorongnya untuk memiliki perilaku akademik seperti penuh rasa ingin tahu; mencari, menggali, dan menyelidik untuk mencari jawab atas suatu masalah; dan memiliki disposisi produktif layaknya seorang ilmuwan. Berkaitan dengan perkembangan aktual dan potensial siswa, Suryadi (2005) mengajukan suatu model yang disebutnya Model Pengembangan ZPD seperti terlihat pada Gambar 5.1. Dalam model tersebut telah disisipkan faktorfaktor yang mempengaruhi proses pembelajaran. Berdasarkan model tersebut, setelah siswa mencapai ZPDnya lewat penyelesaian masalah dengan bantuan “ahli”, guru atau ahli dapat memberikan tugas lanjutan pada anak. Dalam menyelesaikan tugas lanjutan inilah anak bekerja sendirian, berkarya dan berkreasi untuk mencapai perkembangan aktual lanjutan (ZAD). Demikian proses tersebut diharapkan berlangsung terus-menerus sehingga pertumbuhan dan perkembangan potensi anak dapat terjadi secara optimal.
209
Gambar 5.1. Zona Perkembangan Kognitif
Level of Actual Development (LAD) adalah tingkat capaian siswa yang berisi pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman belajarnya sebelum pembelajaran kolaboratif dimulai. Melalui pembelajaran yang berpijak pada landasan konstruktivisme
(PBM
misalnya),
guru
membimbing
siswa
mencapai
perkembangan potensialnya (ZPD). Di wilayah ZPD ini siswa dengan siswa atau siswa dengan guru saling berinteraksi dan bernegosiasi tentang pemahaman dan makna materi ajar. Di wilayah ini dibangun pemahaman konseptual, diasah kelancaran stratejik dan keterampilan prosedural, ditumbuhkembangkan penalaran adaptif dan disposisi produktif. Seluruh kegiatan tersebut dapat dikatakan berlangsung di dalam kelas dan dengan bantuan sesama atau guru. Oleh karena itu, dimensi kegiatan sosial dan interpersonal kental dan kegiatan mental anak di
210
wilayah ini sarat oleh membanding, menghasilkan ulang, mengasimilasi, dan meniru (Tchoshanov, 2002). Sementara itu, di wilayah ZAD berlangsung kegiatan lanjutan perseorangan. Di sini kegiatan anak (biasanya dari berkemampuan kognitif dan afektif tinggi) diisi oleh belajar mendalam, mengkonstruksi, dan berkreasi. Dalam hal ini guru masih tetap memainkan perannya untuk memungkinkan kegiatan tersebut dapat terjadi melalui pemberian tugas menarik dan menantang dengan tuntutan kognitif tingkat tinggi. Di wilayah ini anak dimungkinkan bebas bereksplorasi dan berimajinasi sejauh yang dapat ia lakukan dalam rangka berkreasi bahkan hingga membuat standar dan aturan baru. Oleh sebab itu, kegiatan anak di wilayah ini berdimensi intrapsikologi dan intrapersonal (Tchoshanov, 2002). C. Rekomendasi Dari hal-hal yang dipaparkan pada bagian simpulan dan implikasi penelitian ini dikemukakan beberapa saran, yaitu: 1. Melihat keunggulan PBM dibandingkan pembelajaran biasa dalam pencapaian kemampuan penalaran matematis dan kemampuan pemecahan masalah matematis, hendaknya PBM dijadikan salah satu pendekatan yang digunakan di sekolah terutama dalam meraih kompetensi berpikir tingkat tinggi. 2. Hasil penelitian atas tiap kelompok kategori KAM siswa menunjukkan PBM cocok digunakan di sekolah peringkat tinggi dan menengah. Sebaliknya tidak sesuai untuk sekolah berperingkat kurang atau rendah. Oleh karena itu, PBM tidak disarankan untuk diterapkan di kelas atau sekolah berkategori rendah.
211
3. Dalam menjalankan PBM, guru harus mampu menyajikan masalah menarik, menantang, dan cukup sulit bagi kebanyakan siswa. Selain itu, guru mutlak mengamati dengan seksama kegiatan tiap kelompok dan sesegera mungkin memberi respon sesuai kebutuhan, apakah per kelompok atau secara klasikal. Selain itu, agar pelaksanaan PBM berjalan lebih baik, disarankan agar tiap kelompok beranggotakan tidak lebih dari 4 orang. 4. Mengingat pentingnya pembelajaran yang berlandaskan konstruktivisme dijalankan di samping pembelajaran biasa, hendaknya pembelajaran seperti PBM sudah mulai dikenalkan pada siswa sedini mungkin bahkan sejak pendidikan dasar untuk menghindari resistensi siswa terhadapnya di masa mendatang. Resistensi ini jelas-jelas merugikan siswa dari sisi pengembangan kapasitas intelektualnya. 5. Penelitian berikutnya perlu dan penting menyelidiki hingga sejauh mana siswa terutama dari kelompok kategori KAM tinggi mampu menjangkau ZADnya melalui PBM. Selain itu, perlu dan penting dilakukan penelitian mendalam yang mengkaji penyebab dan jalan untuk mengatasi rendahnya capaian siswa pada aspek kedua dari kemampuan penalaran matematis dan aspek ketiga dari kemampuan pemecahan masalah matematis dalam penelitian ini. 6. Selain kemampuan yang diteliti dalam penelitian ini, perlu dan penting dikaji apakah kemampuan bermatematika lainnya seperti kemampuan representasi matematis dapat ditumbuhkembangkan melalui PBM.
212
DAFTAR PUSTAKA
Akinsola, M. K. dan Olowojaiye, F. B. (2008). Teacher Instructional Methods and Student Attitudes towards Mathematics. International Electronic Journal of Mathematics Education, 3(1) [Online]. Tersedia: http://www.iejme.com. Alhadad, S.F. (2010). Meningkatkan Kemampuan Representasi Multipel Matematis, Pemecahan Masalah Matematis, dan Self Esteem Siswa SMP Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Open Ended. Disertasi pada PPS UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. Anonim, (2007). Problem Solving Rubric [Online]. Tersedia: www.schreyerinsti-tute. psu.edu. [27 September 2008]. Arends, R.I. (2004). Learning to Teach, 6th Edition. Boston: McGraw Hill. Arslan, C. dan Altun, M. (2007). Learning to Solve Non-routine Mathematical Problems [Online]. Tersedia: http://ilkogretim-online.org.tr. [21 Oktober 2007]. Artzt, A.F. dan Yaloz-Femia, S. (1999). Mathematical Reasoning during SmallGroup Problem Solving. Dalam L.V. Stiff (Ed). Developing Mathematical Reasoning in Grade K-12. Reston,VA: National Council of Teachers of Mathematics. Azer, S.A. (2004). Becoming a Student in a PBL Course: Twelve Tips for a Successful Group Discussion. Medical Teacher, Vol. 26, No.1, pp.12-15. Azwar, S. (1995). Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Balacheff, N. (1999). Contract and Custom: Two Registers of Didactical Interactions [Online]. Tersedia: http:// math.coe.uga.edu/TME/v09n2/1 balacheff.pdf Barrett, T., Mac Labhrainn, I., Falon, H. (Eds) (2005). Handbook of Enquiry & Problem-Based Learning. Galway: AISHE and CELT, NUI Galway. Bassarear, T. (1986). Attitude and Beliefs about Learning, about Mathematics, and about Self which Most Seriously Undermine Performance in Mathematics Courses. ERIC Digest. ED 299147. Bergeson, T. (2000). Teaching and Learning Mathematics. [Online]. Tersedia: www.k12.wa.us. [23 Maret 2008].
213
Besana, G.M., Fries, M., And Kilibarda, V. (2002). Problem-based learning in geometry courses: the impact on pre-service teachers. CBMS Issues in Mathematics Education. [Online]. Tersedia facweb.cs.depaul.edu/gbesana/ papers/giveCBMS. [23Februari 2008]. Breiteig, T., Grevholm, B., dan Kislenko, K. (2005). Beliefs and attitudes in mathematics teaching and learning [online]. Tersedia://www.fag.hia.no/ lcm/papers/Kislenko.pdf Branca, N.A., (1980). Problem Solving as a Goal, Process, and Basic Skill. Dalam Krulik, S. (ed). Problem Solving ini School Mathematics. 1980 Yearbook. Reston, VA: NCTM. Brousseau, G. (1997). Theory of Didactical Situations in Mathematics. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Cai, J. (2003). What Research Tells Us About Teaching Mathematics Through Problem Solving. Dalam F. Lester (Ed.), Research and issues in teaching mathematics through problem solving. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. Center for Science, Mathematics, and Engineering Education (CSMEE), 2000. Mathematics Education in the Middle Grades. Proceedings of a National Convocation and Action Conferences. National Research Council. Washington, DC: National Academy Press. Chung, J.C.C. & Chow, S. M.K. (1999). Embedded PBL in an Asian context: Opportunities and challenges. Dalam Marsh (ed.) Implementing Problem-Based Learning Project: Proceedings of the First Asia Pacific Conference on Problem Based Learning (pp. 25-34). Hong Kong: The University Grants Committee of Hong Kong, Teaching Development Project on Enhancing Health Science Education through Problem-Based Learning. CIDR, (2004). Teaching and Learning Bulletin, vol. 7, no. 3. [Online]. Tersedia http://depts.washington.edu/cidrweb [26 Februari 2008]. Center for Learning Teaching and Scholarship (CLTS), (2006). Background of Problem-Based Learning. Samford University. [Online]. Tersedia http:// www.samford.edu/pbl. [26 Februari 2008]. Csapo, B. (1997). The Development of Inductive Reasoning: Cross-sectional Assessments in an Educational Context. International Journal of Behavioral Development, 1997, 20 (4), 609–626
214
Contextual Teaching and Learning (CTL), (2001). Speaking of Teaching. Stanford University Newsletter on Teaching. Winter 2001 Vol.11, No. 1. Dahlan, J.A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematik Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Melalui Pendekatan Pembelajaran Open-Ended. Disertasi pada PPS UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. Darhim (2004). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual terhadap Hasil Belajar dan Sikap Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal dalam Matematika. Disertasi Doktor pada PPS UPI.: Tidak Diterbitkan. DeBellis, V. A. dan Goldin, G. A. (1997). The Affective Domain in Mathematical Problem Solving. Dalam Proceedings of the 21st Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education vol.2, pp. 209-216 [Online]. Tersedia: http://www.emis.de/proceedings/PME21. [12 Desember 2007]. de Castro, B. (2004). Pre-Service Teachers’ Mathematical Reasoning as an imperative for Codified Conceptual Pedagogy in Algebra: A case Study in Teacher Education. Asia Pacific Education Review, Vol. 5, No. 2, pp.157-166. De Corte, E., F. Depaepe, dan L. Verschaffel. (2006). Investigating Social and Individual Aspects in Teachers’ Approach to Mathematical Problem Solving. Dalam Proceedings of the 30th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education [Online], vol.2, pp.417-424. Tersedia: http:// www.emis.de/proceedings/PME30 [1 Desember 2007]. Depdiknas, (2006). Permendiknas No.22 tahun 2006. Jakarta : Depdiknas. Dewanto, S.P. (2007). Meningkatkan Kemampuan Representasi Multipel Mate-matis Mahasiswa Melalui Belajar Berbasis Masalah. Disertasi pada PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Dominowski, R. (2002). Teaching Undergraduates. New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates Publisher. Duch, B.J., Groh, S.E., dan Allen, D.E. (2001). Why Problem-Based Learning. Dalam Duch, Groh, dan Allen (eds). The Power of Problem-Based Learning. Sterling, Virginia: Stylus.
215
Dwijanto, (2007). Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Komputer terhadap Pencapaian Kemampuan Pemecahan Maslah dan Berpikir Kreatif Matematik Mahasiswa. Disertasi pada PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Fogarty, R. (1997). PBL and Other Curriculum Models for the Multiple Intelligence Classroom. Melbourne, Vic: Hawker Bronlow Education. Fong, A.M.K., O’Toole, J.M., dan Keppel, M. (2007). The Attitudes of Teacher Educators to the Use of PBL: The Video Triggers Approach. Proceeding Ascilite Singapore [Online]. Tersedia: // www.ascilite.org.au/conferences/ singapore 07/ procs/ma.pdf Fraenkel, J.R. and Wallen, N.E. (1993). How to Design and Evaluate Research in Education, 2nd Ed. Singapore: McGraw-Hill Book Co. Gani, R. A. (2007). Pengaruh Pembelajaran Metoda Inkuiri Model Alberta terhadap Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi pada PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Garden, et al. (2006). TIMSS Advanced 2008 Assessment Frameworks. TIMSS & PIRLS International Study Center Lynch School of Education, Boston College. Gonzales, P., Guzmán, J.C., Partelow, L., Pahlke, E., Jocelyn, L., Kastberg, D., dan Williams, T. (2004). Highlights From the Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2003 (NCES 2005–005). U.S. Department of Education, National Center for Education Statistics. Washington, DC: U.S. Government Printing Office. Gronlund, N.E., (2006). Assessment of Student Achievement. Boston: Pearson Education, Inc. Hamzah, (2003). Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah Matematika Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertma Negeri di Bandung Melalui Pendekatan Pengajuan Masalah. Disertasi pada PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Hannula, M.S., Maijala, H., & Pehkonen, E. (2004). Development of Understanding and Sef-confidence in Mathematics; Grades 5–8 dalam Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education vol.3, pp.17-24 [Online]. Tersedia: http:// www. emis.de/ proceedings/ PME28. [1 Desember 2007].
216
Henningsen, M, & Stein, M.K. (2002). Supporting Students’ High-Level Thinking, Reasoning, and Communication in Mathematics. Dalam Sowder dan Schappelle (Eds). Lesson Learned from Research. Reston, VA: NCTM Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Disertasi pada PPS UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. Howe, A.C., dan Berenson, S.B. (2003). High Achieving Girls Talk about Their Attitudes, Experiences, and Expectations in Mathematics [online]. Tersedia: http//www.starsalliance.org Hulukati, E. (2005). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Generatif. Disertasi pada PPS UPI: Tidak Diterbitkan. Kadir (2010). Penerapan Pembelajaran Kontekstual Berbasis Potensi Pesisir Sebagai Upaya Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik, Komunikasi Matematik, dan Keterampilan Sosial Siswa SMP. Disertasi pada SPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Killen, R. (1998). Effective Teaching Strategies, 2nd Ed. Social Science Press, Katoomba, NSW. Kilpatrick, J., Swafford, J., and Findell, B. (Eds.). (2001). Adding it up: Helping children learn mathematics. Washington, DC: National Academy Press. Kislenko, K., Grevholm, B., dan Lepik, M. (2007). Mathematics is Important but Boring: Students’ Beliefs and Attitudes Toward Mathematics [Online]. Tersedia: http://www fag.hia.no/lcm/papers/Kislenko.pdf. Kolmos et al., (2007). Problem-Based Learning. Teaching and Research in Engineering in Europe (TREE). [Online]. Tersedia http://www.unifi.it /tree/dl/oc/b5.pdf [26 Februari 2008]. Krulik, S. dan Reys, R.R. (1980). Problem Solving in School Mathematics. Reston:Va. The National Council of Teachers of Mathematics. Lester, F.K. and Kroll, D.L. (1990). Assessing Students Growth in Mathematical Problem Solving. Dalam G. Kulm (Ed.). Assessing High Order Thinking in Mathematics. Washington: American Association for the Advancement of Science.
217
Malloy, C.E. (1999). Developing Mathematical Reasoning in the Middle Grades: Recognizing Diversity. Dalam L.V. Stiff (Ed). Developing Mathematical Reasoning in Grades K-12. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. Marcou, A. dan Phipilippou, G. (2005). Motivational Beliefs, Self-regulated Learning, and Mathematical Problem Solving. Dalam Proceedings of the 29th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education vol.3, pp. 297-304. [Online]. Tersedia http://www. emis.de/ proceedings/PME29 [12 Desember 2007]. Marshall, S.P. (1989). Assessing Problem Solving dalam Charles dan Silver (Eds). The Teaching and Assessing of Mathematical Problem Solving. Reston, Va: National Council of Teachers of Mathematics. Martin, M.O, et al. (2008). TIMSS 2007 International Mathematics Report: Findings from IEA’s Trends in International Mathematics and Science Study at the Fourth and Eighth Grades. TIMSS & PIRLS International Study Center, Lynch School of Education, Boston College. Matlin, M.W. (2003). Cognition. Fifth Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc. McLeod, D.B. (1992). Research on Affect in Mathematics Education: A Reconceptualization. Dalam Grows, D.A. (Ed). Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York: Simon & Schuster MacMillan. Ministry of Education of Singapore [MoE], (2006). Secondary Mathematics Syllabuses. Singapore: Ministry of Education. Nanang, (2009). Studi Perbandingan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematik pada Kelompok Siswa yang Pembelajarannya Menggunakan Pendekatan Kontekstual dan Metakognitif serta Konvensional. Disertasi pada SPS UPI Bandung. Tidak diterbitkan. Napitupulu, E.E & Mansyur, A. (2011). Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa (Studi Kasus di SMA Negeri Parongpong Kabupaten Bandung Barat). Jurnal Generasi Kampus Vol. 4 No. 1, issn 1978-869X, April 2011. NCTM, (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston VA: National Council of Teachers of Mathematics.
218
NCTM, (2000). Principle and Standards for School Mathematics. RestonVA: National Council of Teachers of Mathematics. NCTM (2010). Agenda for Action: Problem Solving. [Online]. Tersedia http:// nctm.org [12 Maret 2010]. Noer, S.H. (2010). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis, Kreatif, dan Reflektif (K2R) Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi pada SPS UPI Bandung. Tidak diterbitkan. Olivier, A. (1999). Constructivist Learning Theory. Dalam P. Human, A. Olivier danH. Murray (Eds). Advanced Numeracy Course: Facilitator’s Guide. ParowEast: Ebony Books CC. Peressini, D. dan Webb, N. (1999). Analyzing Mathematical Reasoning in Students’ Response across Multiple Performance Assessmet Tasks. Dalam L.V. Stiff (Ed). Developing Mathematical Reasoning in Grade K-12. Reston,VA: NCTM. Piaget, J. (1971). The Principles of Genetic Epistemology. London : Routledge. Polya, G. (1981). Mathematical Discovery: Combined Edition. New York : John Wiley Interscience. Pomalato, S.W.Dj. (2005). Pengaruh Penerapan Model Treffinger dalam Mengembangkan Kemampuan Kreatif dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas 2 Sekolah Menengah Pertama. Disertasi pada PPS UPI. Tidak diterbitkan. Pugalee, D.K. et al., (2002). Authentic Tasks and Mathematical Problem Solving. [Online].Tersedia: http://math.unipa.it/~grim/SiPugalee.PDF [12 Desember 2007]. Ratnaningsih, N., (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi pada SPS IKIP Bandung: Tidak diterbitkan. Risnanosanti (2010). Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis dan Self Efficacy terhadap Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam Pembelajaran Inkuiri. Disertasi pada SPs IKIP Bandung: Tidak diterbitkan. Rohendi, D. (2009). Kemampuan Pemahaman, Koneksi, dan Pemecahan Masalah Matematik: Eksperimen terhadap Siswa Sekolah Menengah Atas Melalui
219
Pembelajaran Elektronik (E-Learning). Disertasi pada SPS UPI Bandung. Tidak diterbitkan. Ruseffendi, H. E. T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembang-kan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Penerbit “Tarsito”. Russell, S.J., (1999). Mathematical Reasoning in the Elementary Grades. Dalam L.V. Stiff (Ed). Developing Mathematical Reasoning in Grades K-12. Reston, VA: NCTM. Santiago, C.C. dan Martinez, E.C. (2004). Inductive Reasoning in the Justification of the Result of Adding Two Even Numbers. [Online].Tersedia:http://citeseerx.ist. psu.edu/viewdoc/download. [25 Januari 2008]. Saragih, S. (2007). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi pada SPS IKIP Bandung: Tidak diterbitkan. Savery, J.R., dan T.M. Duffy, (1995). Problem Based Learning: An instructional model and its constructivist framework. Educational Technology, 1995, 35, 3138. Savin-Baden, M., dan Major, C.H., (2004). Foundation of Problem-Based Learning. Buckingham: SRHE and OU Press. Schmidt, H.G., et al., (2007). Problem-Based Learning is Compatible with Human Cognitive Architecture: Commentary on Kirschner, Sweller, and Clark (2006). Educational Psychologist, 42(2), 91–97 Schoenfeld, A. H. (1992). Learning to Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition, and Sense Making in Mathematics. Dalam D. A. Grows (ed.), Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York: Macmillan. --------------------- (1994). Reflection on Doing and Teaching Mathematics, dalam Mathematical Thingking and Problem Solving, Schoenfeld (eds). New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Publisher. Shadiq, F., (2007). Laporan Hasil Seminar dan Lokakarya Pembelajaran Matematika 15 – 16 Maret 2007 di P4TK (PPPG) Matematika. Yogyakarta. Shinn, G. C., Briers, G. E., Christiansen, J. E., Edwards, M. C., Harlin, J. F., Lawver, D. E., Lindner, J. R., Murphy, T.H., and Parr, B.A. (2003). Improving student
220
achievement in mathematics: An important role for secondary agricultural education in the 21st Century. Unpublished manuscript. Texas A&M University. College Station, TX. Sowa, J.F., dan Majumdar, A.K. (2003). Dalam Proceedings of the International Conference on Conceptual Structures for Knowledge Creation and Communication, A. Aldo, W. Lex, & B. Ganter, eds. LNAI 2746, SpringerVerlag, pp. 16-36. Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi pada FPS IKIP Bandung: Tidak diterbitkan. Sumarmo, U. (2005). Pengembangan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu (S1) Melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Laporan Penelitian Hibah Pascasarjana. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan. Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi pada FPS IKIP Bandung: Tidak diterbitkan. Sweller, J., Clark, R.E., and Kirscher, P.A. (2010). Mathematical Ability Relies on Knowledge, Too. American Educator, Winter 2010-2011. Tapia, M., dan Marsh II, G.E., (2004). An Instrument to Measure Mathematics Atttitudes. Academic Exchange Quarterly, vol. 8, Issue 2. Tchoshanov, M.A. (2002). Representation and Cognition: Internalizing Mathematical Concepts. Dalam F. Hitt (Ed). Representationsand Mathematics Visualization. Mexico: PME-NA - Cinvestav-IPN, 2002. Pp.207-219. Vygotsky, L.V. (1978). Mind in Society. The Development of Higher Psycho-logical Processes. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. Wahyudin, (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Disertasi pada FPS IKIP Bandung: Tidak diterbitkan. Ward dan Lee, (2002). Review of Problem-Based Learning. Journal of Family and Consumer Sciences Education, Vol. 20, No. 1, Spring/Summer, 2002 A.
221
Wardani, S. (2009). Pembelajaran Inkuiri Model Silver untuk Mengembangkan Kreativitas dan kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi pada SPS UPI Bandung. Tidak diterbitkan. Warfield, V.M. (2006). Invitation to Didactique. Washington: University of Washington. Wilson, J.W., et al. (1997). Mathematical Problem Solving [Online]. Tersedia: http://jwilson.coe.uga.edu [10 Desember 2007]. Wikipedia, (2008). Inductive Reasoning [Online]. Tersedia: http://wikipedia. Wong, N.Y (2000). Investigating Conceptions of Mathematics by the use of Openended Mathematical Problems. Makalah disajikan pada ICME-9 TSG 11. Yefdokimov, O. (2009). Higher Order Reasoning Produced in Proof Construction: How Well Do Secondary School Students Explain and Write Mathematical Proofs. ICMI Study 19, Vol. 2, pp. 280-285. Yeo, K.K.J. (2009). Secondary 2 Students’ Difficulties in Solving Non-Routine problems. www.nie.edu.sg/profile/yeo-kai-kow-joseph. Yonandi, (2011). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematik melalui Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Komputer pada Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi pada SPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Zan, R. dan DiMartino, P. (2007). Attitude Toward Mathematics: Overcoming the Positive/Negative Dichotomy. The Montana Mathematics Enthusiast. Monograph 3, pp. 157-168. Zulkardi, (2001). Realistic Mathematics Education (RME). Teori, Contoh Pembelajaran dan Teman Belajar di Internet. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional pada tanggal 4 April 2001 di UPI: Tidak diterbitkan.
222