TUGAS AKHIR PANCASILA ”KEKERASAN YANG ADA DI DALAM AGAMA”
DI SUSUN OLEH :
NAMA
: AJI PAMUNGKAS
NIM
: 11.11.5641
KELOMPOK
:F
DOSEN
: ABIDARIN ROSIDI, Dr, M.Ma.
MATA KULIAH PANCASILA JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011
”KEKERASAN YANG ADA DI DIDALAM AGAMA” ABSTRAK Indonesia bukanlah Negara agama, dan tak satu pun agama di Indonesia menjadi agama Negara, dengan kata lain agama dan negara tidak terdapat hubungan structural. Dalam konteks seperti ini, timbul persoalan, yakni bagaimana posisi agama dalam kehidupan bernegara. Sebenarnya sumber terjadinya agama terdapat dua katagori, antara lain: agama yang diperoleh melalui Wahyu Illahi antara lain Islam, Kristen dan Yahudi dan agama Wad’i atau agama bumi yang juga sering disebut sebagai agama budaya yang diperoleh berdasarkan kekuatan pikiran atau akal budi manusia antara lain Hindu, Buddha, Tao, Khonghucu dan berbagai aliran keagamaan lain atau kepercayaan. Kerusuhan atau konflik antar agama bukan merupakan sesuatu hal yang baru, pengertian terhadap agama mengakibatkan kesalahan dalam pelaksanaan ajaran agama. Salah penggunaan agama ini bisa berwujud eksklusifisme sehingga menimbulkan rawan konflik atau liberalisasi yang menumbuhkan rawan peniadaan terhadap pelaksaan agama itu sendiri Seharusnya ada kesadaran bahwa agama adalah sebuah kesucian, tetapi pemeluk agama bukanlah orang suci. Sehingga ada jarak antara kualitas pemeluk agama dengan kesucian mutlak agama itu sendiri. Dengan demikian, klaim seseorang bahwa dia mewakili keseluruhan kesucian agama sukar untuk dimengerti. Yang sama dan sebangun antara ajaran agama dengan pelakunya
KATA PENGANTAR Dengan mengucap syukur alhamdulillah atas kehadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat dan karunianya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tugas akhir pancasila. Penyusunan makalah tugas akhir pancasila ini adalah salah satu syarat untuk mengikuti Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS) tahun 2011/2012 dan makalah ini juga sebagai bukti bahwa saya (penulis) telah mengikuti dan menyelisaikan mata kuliah pancasila selama 4 hari. Saya sadar bahwasanya makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu dengan senang hati kami akan menerima kritik dan saran sebagai masukan guna penyempurnaan makalah ini di masa yang akan datang. Akirnya dengan selalu memohon ridho Allah SWT, saya berharap semoga makalah ini ada manfaatnya bagi kita semuanya. Amien.
Yogyakarta, 28 Oktober 2011 Penyusun
Cahyo Dwi Prabowo NIM. 11.11.4960
LATAR BELAKANG MASALAH Agama adalah seperangkat
ajaran Tuhan yang transendental,
meliputi
kepercayaan terhadap Tuhan itu sendiri dan segala yang gaib, ditambah dengan sistem peribadatan yang semuanya diatur secara utuh dalam setiap agama. Maka, ajaran agama yang meliputi adanya Tuhan, adanya orang suci yang membawa agama sebagai perantara antara Tuhan dan manusia, adanya kitab suci, adanya system keyakinan dan peribadatan, serta adanya hari-hari besar dan sejumlah simbol sacral lainya, adalah formal agama yang tidak mungkin menjadi subsistem dari suatu Negara. Negara sebagai karya budaya manusia tidak mungkin ditempatkan di atas agama yang di yakini sebagai “karya” transendental dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “KeTuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2010, kira-kira 85,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 9,2% Protestan, 3,5% Katolik, 1,8% Hindu, dan 0,4% Budha Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya". Bagaimanapun pemerintah Indonesia secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi yang di lakukan pemerintah secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.
RUMUSAN MASALAH 1. Apa penyebab terjadinya konflik antar umat beragama? 2. Mengapa kasus konflik agama ini muncul bersamaan di tempat yang berbeda, seolah ada yang menggerakkannya; 3. Kalau ada yang menggerakkannya, siapa? 4. Siapa yang beruntung atas munculnya kasus konflik horisontal ini? 5. Apakah Pancasila termasuk agama?
PENDEKATAN SOSIOLOGIS Didalam masalah “Kekerasan Dalam Agama” terdapat nilai-nilai pancasila yang harus ditegakkan atau dilaksanakan agar terjadinya kerukunan dan kemakmuran antara umat beragama, berikut nilai-nilai yang harus ditegakkan: Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, mengandung keharusan bangsa Indonesia untuk beriman kepada Tuhan. Selain itu nilai-nilai yang dikandung Pancasila tumbuh dari dan membudaya dalam kehidupan religius bangsa Indonesia, jauh sebelum dirumuskannya teks Pancasila itu sendiri. Tak dapat dipungkiri juga bahwa secara kultural Pancasila merupakan bahagian dari ajaran agama-agama, dan merupakan bentuk pengamalan agama dalam konteks kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Indonesia. Atau menurut universal agama dalam konteks kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat
secara keindonesiaan berarti telah
mengamalkan cara hidup ber-Pancasila. Dengan kata lain untuk mengamalkan Pancasila secara uatuh dan konsekuen, mustahil tanpa memandangnya sebagai ajaran (nilai) agama yang secara moral wajib dilaksanakan oleh warganegara Indonesia. Sila Kemanusian Yang Adil dan Beradap Kemanusian berasal dari kata manusia, yaitu makhluk berbudi yang memiliki potensi piker, rasa, karsa, dan cipta karena berpotensi memiliki martabat yang tinggi. Dengan akal budinya manusia berkebudayaan dan dengan budi nuraninya manusia menyadari nilai-nilai dan norma-norma. Adil mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas norma-norma yang objektif, tidak subjektif apalagi sewenag-wenang dan otoriter. Beradab berasal dari kata adab, memiliki arti budaya yang
telah
berabad-abad
dalam
kehidupan
berkebudayaan yang lama berabad-abad, dan
manusia.
Jadi,
berabad
berarti
perbuatan manusia dalam hubungan
dengan norma-norma dan kebudayaan umumnya, baik terhadap diri pribadi, sesame manusia, terhadap alam, dan Sang Pecipta. Sila Persatuan Indonesia Persatuan, berasal asal kata satu, berarti utuh tidak terpecah-belah, mengandung bersatunya bermacam corak yang beraneka ragam yang bersifat kedaerahan menjadi satu kebulatan secara nasional, juga persatuan segenap unsure Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam mewujudkan secara nyata bhenika tunggal ika yang meliputi wilayah, sumber daya alam, dan sumber daya manusia dalam kesatuan yang utuh.
Selain itu, persatuan bangsa yang bersifat nasional mendiami seluruh wilayah Indonesia, bersatu menuju kehidupan bangsa yang berbudaya bebas dalam wadah Negara RI yang merdeka dan berdaulat, menuju terbentuknya suatu masyarakat madani.
PEMBAHASAN Makna sila pertama Pancasila berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa, tidaklah berati bahwa agama yang transendental itu menjadi aspek yang tunduk dalam aturan negara. Sila tersebut adalah statement dari komitmen bangsa Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai bangsa yang ber-Tuhan. Karena itu, yang menjadi persoalan dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah soal Tuhan dan ajaran agamaNya, melainkan soal bangsa Indonesia yang beriman kepada Tuhan. Artinya, kehidupan bangsa Indonesia sebagai warga negara yang beragama, atau disebut pula sebagai umat beragama. Negara tidaklah
bertanggung jawab menyangkut formal agama, tetapi
bertanggung jawab menyangkut umat beragama, agar mereka dapat menunaikan agamanya secara benar dan sempurna. Dengan demikian, sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila yang mengatur kehidupan umat beragama, bukan mengatur agama. Khusus mengenai kehidupan umat Islam, (alm) Abdurrahman Wahid (lebih akrab disapa: Gus Dur) pernah mengucapkan bahwa secara kelembagaan Islam justru mengundang peranan Negara dalam kehidupan kaum Muslimin, tetapi tidak berarti bahwa Pancasila dapat menggantikan ajaran-ajaran agama yang sudah baku. Beberapa waktu terakhir, dunia berita kita diwarnai dengan berbagai informasi penting seputar pertikaian antar pemeluk agama. Pengalaman buruk masa silam terulang lagi. Beberapa orang menjadi korban, mati hanya karena berjuang untuk keyakinan yang dianutnya. Indonesia punya catatan panjang tentang ini dan selalu bermula dari tempat yang paling damai. Tanah Ambon yang kuat dengan filosofi Pela Gandong pernah porak-poranda tak tentu arah tahun 1999 silam, karena konflik saudara sedarah beda agama. Peristiwa tragis ini menyebar dengan mudah ke bergulir ke berbagai wilayah lain di negara ini. Sikap yang kemudian muncul adalah curiga, fitnah dan prasangka buruk atas kehadiran orang lain yang beda agama, meski sebenarnya memiliki pertalian darah. Raja Seith Mahfud Nukulele dan Raja Passo Ny. Theresye Maitimu dua tokoh beda agama, menjelang proses berakhirnya konflik mulai meragu. Mereka tidak sangat yakin bahwa konflik tersebut adalah persoalan yang muncul karena benturan soal keyakinan. Keduanya meyakini bahwa filosofi Pela dan Gandong tidak mungkin berantakan begitu saja hanya karena soal agama. Terbukti di pengungsian, kelompok Acang (Muslim) dan Obeth (Kristen) justru bisa hidup berdampingan dengan baik. Ini pernyataan Maitimu seperti dikutip KCM Sabtu, 8 September 2001: “Akibat
konflik meletus, sekitar 4.000 warga Muslim di Passo mengungsi mencari tempat yang dirasa lebih aman di Halong, kompleks milik TNI AL. Di sana komunitas Kristen dan Muslim bisa berbelanja bersama-sama. Saling ngobrol seperti biasa. Tidak ada permusuhan agama. Kami bertemu dan saling menyesal mengapa semua ini mesti terjadi. Kalau ini perang agama, mestinya kami membenci satu sama lain.” Komentar yang meragukan kemunculan konflik Ambon sebagai akibat sentimen pemeluk agama juga muncul dari Nukulele. “Kami bertanya-tanya apakah benar ini konflik agama atau hanya akibat kepentingan-kepentingan politik. Kami melihat bahwa yang jadi korban adalah rakyat kami sendiri, bukan orang lain. Isu agama telah dipakai untuk menjerumuskan dua komunitas Muslim dan Kristen dalam bentrok,” kata Nukulele (KCM, 8/9/01). Tetapi mengubah pandangan masyarakat tentang itu tentu sangat tidak mudah. Kedua tokoh ini juga mengakui hal tersebut Tetapi yang menarik di sini adalah, adanya metode keraguan yang memunculkan kemungkinan lain sebagai penyebab konflik tersebut. Sesuatu yang lebih besar kadar kepentingannya karena menyangkut orang besar mungkin menjadi penyebabnya. Teori Konspirasi; bisa jadi adalah satu-satunya alasan yang bisa dipakai untuk melihat konflik tersebut, bahwa penyebab tertinggi dari satu atau serangkaian peristiwa (pada umumnya peristiwa politik, sosial, atau sejarah) adalah suatu rahasia, dan seringkali memperdaya, direncanakan diam-diam oleh sekelompok rahasia orang-orang atau organisasi yang sangat berkuasa atau berpengaruh. Isu agama lalu dipakai sebagai alat, karena isu ini adalah yang paling sensitif di negeri bernama Indonesia ini. Teori konspirasi, mungkin digerakkan oleh kelompok kepentingan tertentu yang merasa terganggu dengan kasus-kasus besar yang mereka hadapi saat ini, dan merasa perlu menciptakan dan membiarkan tindak anarkis agar terjadi pengalihan isu. Ini dilakukan untuk melindungi kepentingan dan juga kursi yang mulai berderik tak nyaman. Maka, jiwa-jiwa tak bersalah menjadi penting untuk dimartirkan demi tak terusiknya kekuasaan. Maka jangan heran jika saat ini kita ramai bicara tentang konflik agama, karena kita sengaja dibuat amnesia pada kasus korupsi. Jika amnesia kita dirasa oleh pencipta konflik tidak sangat permanen, maka akan segera ada konflik lebih besar lagi agar kita benar-benar amnesia. Bisakah teori konspirasi juga dipakai untuk membaca situasi saat ini di Indonesia, ketiak konflik agama merebak terkait peristiwa Pandeglang yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dari Ahmadyiah dan rusaknya bangunan gereja buntut vonis pengadilan kasus penistaan agama oleh Antonius. Saya tentu saja tidak dalam kapasitas
yang sangat tepat untuk menjawab ini terkait dengan keterbatasan sumber pustaka dan materi-materi lain yang dibutuhkan untuk membaca itu Munculnya kasus konflik agama langsung menarik perhatian media. Berbagai Headline, talkshow primetime sampai ke berita gosip pun selalu membahas soal ini. Bergantinya headline sampai gosip dari kasus korupsi ke soal agama berjalan sangat cepat, karena kemunculan konflik agama juga sangat cepat dan sporadis. Konsentrasi publik pun digiring dengan mudah, karena peralihan isu ini dilakukan oleh semua media bahkan para Kompasianer. Presiden SBY bahkan mengeluarkan pernyataan keras tentang kekerasan atas nama agama dan memberikan instruksi kepada pihak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus tersebut. “Bubarkan Ormas-ormas tersebut jika terbukti bersalah,” ungkap presiden dalam pidatonya di puncak peringatan Hari Pers Nasional Meskipun secara struktural, Negara tidak mengatur agama, dan agama pun tidak mengatur Negara (bukan Negara teokrasi), namun tidak berarti bahwa antara agama dan Negara tidak ada hubungan sama sekali. Antara keduanya terdapat hubungan cultural, bahwa Negara Indonesia dibangun oleh bangsa Indonesia yang beragama. Karena itu, dalam banyak aspek kehidupan bernegara tentu saja tidak luput dari nilainilai religious yang dianut masyarakat. Berbagai nilai menyangkut kewajaran dan kepatutan berperilaku dan hubungan antar warga Negara diwarnai oleh ajaran agama. Tradisi yang tumbuh dalam masyarakat berupa gotong-royong, kebrsamaan, kesetiakawanan, kejujuran, ketulusan dan rasa keadilan, bahkan sejumlah nilai luhur lainya, yang bersumber dari etos agama yang dianut bangsa Indonesia. Sebagai dasar Negara, Pancasila tidak lain adalah akumulasi dari simpul-simpul nilai agama yang tumbuh di tengah masyarakat Indonesia, yang karenanya Pancasila merupakan intisari dari ajaran luhur semua agama. Dengan kata lain, Pancasila mengandung nilai-nilai agama, walapun sebenarnya selama ini ada slogan bahwa Pancasila tidak bisa diagamakan dan agama tidak boleh dipancasilakan. Pancasila memang bukanlah agama dan tidak merupakan sinkretisasi ajaran agama-agama, tetapi Pancasila bukan pula produk pemikiran sekulerisme yang bertrntangan dengan budaya religious Indonesia. Pancasila adalah anak kandung dari peradaban Indonesia yang sejak dahulu kala telah menjadikan agama sebagai etosnya. Karena itu, tak ada jalan untuk melepaskan Pancasila menjadi sekuler, sebab hal itu berarti memisahkan manusia Indonesia dari jati diri religiusnya. Tak ada jalan pula untuk memformasikan agama tertentu di bawah Pancasila, karena hal itu merupakan
pengingkaran terhadap transendentalitas agama, sekaligus mecederai keagaman agama, etnis dan budaya yang sudah mengindonesiakan sejak sediakala.
KESIMPULAN Dalam pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab terjadinya konflik pertikaian antar agama di sebabkan oleh beberapa faktor dari semua elemen yang masuk dalam suatu agama di Indonesia, tidak hanya perbedaan keyakinan yang dianut saja, ada teori Konspirasi. Tidak sedikit konflik pertikaian antar agama yang mengakibatkan banyak korban jiwa dan rusaknya sarana dan prasarana umum serta rusaknya citra bangsa Indonesia di kalangan dunia. Bukan hal yang mudah menciptakan suasana perdamaian antara umat beragam di Indonesia, saat ini sudah banyak solusi yang sudah di lakukan pemerintah akan tetapi tidak layak guna atau dengan kata lain tidak tepat dalam memberikan solusi di saat seperti ini.pemikiran solusi yang tepat saat ini masih dipikirkan dan disusun oleh pemerintah dan lembaga-lembaga agama. Semoga kelak jika kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan lembaga-lembaga agama dapat memberikan suntikan positif terhadap umat-umat agama di Indonesia.
REFERENSI Setijo, Pandji. 2010. Pendidikan Pancasila Prspektif Sejarah Perjuangan Bangsa Edisi 4. Jakarta : Gramedia Haq, Hamka. 2011. Pancasila 1 Juni & Syariat Islam. Jakarta : RMBOOKS Kaelan. 1998. Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta : Paradigma Abdulgani, Roselan. 1998. Pancasila dan Reformasi. Yogyakarta : KAGAMA