TUGAS AKHIR “PENDIDIKAN PANCASILA”
DISUSUN OLEH :
11.12.5976 Dian Pramudita Kelompok : Keadilan Dosen : Mohammad Idris .P, Drs, MM
JURUSAN SISTEM INFORMATIKA JENJANG STRATA SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK “AMIKOM” YOGYAKARTA
ABSTRAK Sebenarnya kebebasan pers di Indonesia sudah diatur dalam undang – undang. Namun kebebasan pers di Indonesia kadang – kadang belum berjalan sesuai dengan aturan undang – undang yang sudah dibuat dan berlaku di Indonesia. Di Indonesia penghargaan pers terhadap profesinya dianggap masih rendah. Masih banyak orang yang melanggar etika dan profesionalisme dalam kebebasan pers. Selain itu juga masih ada yang melanggar kode etik jurlanisme yang dianggap sangat penting. Banyaknya aksi massa terhadap kantor pernerbit pers menunjukan apresiasi masyarakat terhadap kebebasan pers. Tujuan dibuatnya tugas akhir yang bertema kebebasan pers adalah menunjukan betapa pentingnya kebebasab pers dalam kehidupan sehari – hari. Oleh karena itu kita harus menjunjung tinggi kebebasan dalam pers tetapi tidak melanggar kode etik jurnalisme dan undang – undang yang mengatur dalam kebebasan pers.
Latar Belakang Masalah Dulu di Indonesia kebebasan pers sempat mengalam kerterpurukan. Dan ketika reformasi tahun 1998 kebebasan pers mulai bangkit lagi. Undang – undang kebebasan pers dibuat pada tahun 1999. Namun seiring menjunjung asas demokrasi, acap kali disalah gunakan dengan tidak benar. Banyak ide – ide yang merusak norma – norma dan kode etik jurnalisme dalam kebebasan pers. Bahkan banyak orang yang melanggar kaidah profesonalisme. Kadang instansi pemerintah swasta dan masyarakat beranggapan terhadap aktivis jurnalistik tidak lagi menghormati hak – hak narasumber. Penampilan pers banyak menuai kritik dan tudingan oleh masyarakat. Tetapi disisi lain ada kasus dan kejadian yang menimpa media massa dan maraknya intimidasi serta kekerasan terhadap wartawan yang menimbulkan pro dan kontra. Dan sampai saat ini masih ada saja masalah tentang masalah kebebasan pers. Kadang para wartawan pada demo terhadap pemerintah tentang kode etik pers dan masalah hak asasi terhadap wartawan tentang kebebasan pers. Oleh karena itu pemerintah harus menindak lanjuti semua masalah kebebasan pers yang melanggar aturan.
Rumusan Masalah Kebebasan pers sudah muncul pada era reformasi tetapi masyarakat masih belum memahami betul apa itu kebebasan pers ? Masyarakat belum sadar sebenarnya kebebasan pers tersebut bukanlah untuk kepentingan kalangan pers itu sendiri melainkan untuk kepentingan bersama. Selain itu masyarakat yang jenuh dari media juga dapat menggambarkan efek yang menyimpang dari media massa itu sendiri. Peningkatan Pers yang tajam kadang kala tidak disertai dengan kualitas jurnalisme. Ada juga media massa yang dituduh melakukan hal yang tidak pantas melalui pembuatan judul yang menampilkan bahasa yang erotis. Pers juga terus disorot bahkan ada yang menyebut pers memiliki berita yang tidak benar karena tidak mampu memahami permasalahan yang diberitakan dan kurangnya ketrampilan dalam menuliskan berita. Untuk itu wartawan dirasa perlu menguasai pengetahuan umum, skill, dan ketrampilam dalam munulis serta berprestasi dalam menuliskan berita. Berita yang ditulis pun dari narasumber yang terpercaya agar berita tersebut berkualitas dan berita tersebut bukan berita bohong. Jika berita yang ditulis itu tidak benar akan mengecewakan semua orang.
PENDEKATAN A. Historis Sejarah kebebasan pers di Indonesia masa orde baru dan era reformasi. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers. Bagi Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846, yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.Sebagai contoh adanya pembatasan terhadap pers dengan adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sesuai dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h. Dengan definisi ”pers yang bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan pembredelan.Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter yang di kembangkan pada rezim orde baru.Tak ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Sesuai Prinsip Hukum dan Demokrasi, bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu ada keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu, kebebasan pers, hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan informasi harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi. Hal ini sesuai dengan UUD 45 Pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat.
Suatu pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara. Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan tersebut. Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia. Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara
rakyat
dengan
pemimpinnya
mengenai
informasi
tentang
jalannya
pemerintahan.Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral.
B. Sosiologis Kebebasan pers di Indonesia sendiri secara sosiologis kutural berpijak pada tata nilai dan norma sosial budaya a g a m a . Pers indonesia adalah pers naisonal yang sarat dimuat i nilai serta tanggung jawab. Pers kit a bukanlah pers liberal. Dalam segala sikap dan perilakunya, pers nasional dipengaruhi dan dipagari nilai-nilai kultural. C. Yuridis S e c a r a yu r i d i s k e be b a s a n p e r s d i I n d o ne s i a m e n g a c u k e p a d a U U P o k o k P e r s N o . 4 0 / 1 9 9 9 unutk pers, dan UU Pokok Penyiaran No.32/2002 untuk media radio siaran danmedia telivisi siaran. Sekedar catatan, dalam UU Pokok Pers No.40/1999, pers dalam arti media cetak berkala dan pers dalam arti media radio siaran berkala dan media televsisi siaran berkala, diart ikan sekaligus diperlakukan sama sehingga menjadi rancu serta difungsional.
PEMBAHASAN Kalangan pers seharusnya menyalagunakan kebebasan pers secara benar dan tidak melanggar peraturan yang sudah dibuat. Kebebasan pers bukan hanya datang dari aksi – aksi massa yang membabi buta atau dari lemahnya kualitas sumber daya manusia dan profesonalisme dalam bekerja. Ancaman bagi kebebasan pers juga datang dari sejumlah perundang – undangan yang tidak kondusif bagi hak – hak publik untuk mendapat informasi. Kebebasan pers itu sudah diatur dalam undang – undang pokok pers nomor 40 tahun 1999. Pers mempunyai peran dan fungsi yang penting oleh karena itu untuk menjalankan fungsi dan peranan pers tersebut pers membutuhkan kebebasan dalam mengerjakan tugas – tugasnya asal tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan. Masyarakat tentunya harus mendukung kebebasan pers asal tidak melanggar aturan. Tetapi penyimpangan – penyimpangan yang terjadi memojokkan salah satu pihak dan memberikan pandangan yang negatif terhadap pers. Selain permasalahan pers media elektronok seperti televisi kadang – kadang memberikan acara yang tidak mendidik bagi anak – anak atau memberikan isu yang tidak benar sebagai contoh yaitu acara silet yang disiarkan oleh salah satu tv swasta yang memberitakan sebauh isu yang tidak benar sontan saja waktu itu masyarakat langsung memberi tahu lembaga KPI. Setelah itu perwakilan silet meminta maaf kepada permisa karena di tegur oleh lembaga KPI. Sebagai pemirsa televisi kita harus cermat memilih tontonan yang mendidik dan jika acara tersebut tidak layak ditonton kita bisa mengadukan itu ke lembaga KPI. Oleh karena itu lembaga pers dan media elektronik harus memberikan berita dan tontonan yang berkualitas dan mendidik agar masyarakat percaya terhadap lembaga pers. Tetapi selain itu wartawan juga sering mendapat diskriminasi. Salah satu contoh wartawan dipukul oleh narasumber. Mungkin narasumber kesal terhadap wartawan. Tetapi walaupun narasumber kesal tidak sepantasnya si narasumber memukul wartawan tersebut. Dan sebaliknya jika wartawan tersebut meminta keterangan kepada narasumber, wartawan tidak boleh membuat narasumber kesal dan terus memojokannya. Hormati hak asasi masing – masing. Jika wartawan dan narasumber saling bekerja sama akan terjalin hubungan yang kondusif.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan : Kebebasan pers di Indonesia dimulai dari era reformasi. Dan pada tahun 1999 dibuat undang – undang kebebasan pers yaitu pokok pers nomor 40 tahun 1999. Kebebasan pers juga harus digunakan sesuai peraturan yang dibuat. Lembaga pers harus memberikan berita yang berkualitas dan masyarakat harus menghormati kebebasan pers agar peran dan fungsi pers dapat berjalan untuk kepentingan bersama tetapi tidak melanggar aturan. Saran: 1. Lembaga pers dan media elektronik menanyangkan berita atau tontonan yang berkualitas dan mendidik. 2. Lembaga pers harus menaati kode etik jurnalistik. 3. Lembaga pers tidak boleh menyimpang dari peraturan yang sudah dibuat.
REFERENSI 1. Sudiliyo, Agus. Kabar – kabar kebencian, Jakarta: Insistut Studi Arus Informasi. 2001 2. Wikipedia.org 3. Oetama, Jaecoeb. Perspektif Per Indonesia : LP3ES Jakarta.