Trio Hukum dan Lembaga Peradilan Oleh : Drs. M. Amin, SH., MH
Telah diterbitkan di Waspada tgl 20 Desember 2010
D
engan terpilihnya Trio Penegak Hukum Indonesia, yakni Bustro Muqaddas (58), sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Basrie Arief (63), sebagai Jaksa Agung dan Timur
Pradopo sebagai Kapolri, ekspektase masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia sangat tinggi. Busro Muqaddas, banyak diyakini sebagai sosok yang memiliki karakter lemah gemulai namun tegas dalam prinsip, akan mampu mengemban tugas-tugas KPK yang semakin berat dan mengalami banyak tantangan, antara lain, karena adanya dugaan upaya memperlemah peran KPK, terutama dari orang yang memiliki sikap koruptif. Basrie Arief, sebagai orang “dalam” yang banyak mengetahui seluk beluk perilaku koruptif dan manipulatif di jajaran kejaksaan, diharapkan akan sukses memperbaiki lembaga kejaksaan, dan bukan justru sebaliknya menampilkan kompromistis. Sedangkan Timur Pradopo diharapkan mampu membenahi institusi kepolisian yang dinilai sangat jauh dari memenuhi harapan dalam penegakan hukum. Di satu sisi, tingkat korupsi di berbagai lini kehidupan bernegara dan
bermasyarakat
telah
sangat
mengkhawatirkan
dan
dapat
meruntuhkan sendi-sendi kehidupan manusia bermoral di bumi Indonesia, di sisi lain, rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum sangat membutuhkan kerja nyata. Sehingga ketiga lembaga penegak hukum itu harus sungguh-sungguh bersinergi dalam upaya membongkar berbagai kasus korupsi dan membawa pelakunya ke pengadilan guna diberi hukuman yang berat dan setimpal. Mengenai
menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum, juga diakui oleh Presiden SBY ketika membuka rapat kerja Kejaksaan Agung baru-baru ini. Sesungguhnya, institusi kepolisian dan kejaksaan sebagai lembaga pertama dan utama penjerat pelaku korupsi sudah cukup “malu” dengan dibentuknya lembaga lain, seperti KPK dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH). Karena dengan begitu menunjukkan betapa kurang efektifnya lembaga-lembaga itu menjalankan tugasnya, sehingga harus dibentuk lembaga lain. Penulis
berpendapat,
penegak
hukum
sebenarnya
telah
mengetahui betul berbagai modus operandi dan praktek koruptif serta cara membongkar dan menemukan bukti-buktinya, sehingga sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak dapat bekerja dengan baik dan profesional, tinggal lagi, sayangnya, faktor non hukum selalu mempengaruhi dalam setiap menangani sebuah perkara. Oleh karena itu, menjadi tantangan bagi pimpinan Kepolisian dan Kejaksaan untuk memperbaiki kinerjanya. Hal yang sama, sebagai sebuah tantangan, juga bagi lembaga peradilan, sebagai benteng pemberi keadilan masyarakat. Lembaga yang aparatnya
telah
memperoleh
tunjangan
kinerja
ini
tidak
boleh
mengabaikan kondisi dan semangat Negara dalam memberantas korupsi dan segala kejahatan yang ada. Survey TII (Transparency International Indonesia) tahun 2009 yang menempatkan institusi peradilan di bawah Partai Politik, Legislatif dan Kepolisian pada posisi lima besar lembaga Negara terkorup, harus memacu kinerjanya dalam menegakkan hukum secara profesional dengan tidak terpengaruh oleh pertimbangan non hukum. Adanya keluhan masyarakat yang merasa tersayat hatinya oleh perilaku penegak hukum, kepolisian dan kejaksaan di tingkat penyidikan dan penuntutan, serta peradilan, akibat putusan yang dinilai tidak adil,
harus diterima sebagai sebuah kenyataan dan sekaligus dijadikan sebagai pemicu perubahan. Pendekatan humanis Pelaku dan perilaku korupsi adalah sebuah perilaku yang menganggap materi menjadi tujuan hidup. Menjadi tuhan-nya. Yang berarti pula, harta adalah sumber kebahagiaan dan kesenangan, namun ia lupa bahwa kesenangan seperti itu bersifat sementara, yang pada akhirnya, lambat atau cepat, akan timbul berbagai ketidaktenangan. Oleh karena itu, perlawanan terhadap pelaku dan perilaku korupsi yang digulirkan saat ini, menurut Busro, kurang efektif. Maka konsep kenabian yang ditawarkan Busyro Muqaddas, ketika mengikuti tes kandidat pimpinan KPK, adalah relevan, yaitu selain menggunakan tindakan yang bersifat perlawanan, juga menggunakan cara-cara humanis transendental, tanggung jawab kepada Tuhan. Tindakan korupsi dianggap sebagai upaya dehumanisasi sehingga konsep kenabian sebagai upaya “me-manusia-kan” kembali manusia Sebagaimana diketahui bahwa pelaku korupsi banyak melibatkan pejabat dan pengusaha dan orang-orang yang telah memiliki harta kekayaan yang melimpah. Hal tersebut menunjukkan bahwa hidupnya mengutamakan mencari harta
dan
kesenangan
Kesenangannya
hidup
digantungkan
tanpa kepada
dilandasi seberapa
oleh
nilai-nilai
banyak
harta
agama. yang
dikumpulkan dan dimilikinya, sehingga berbagai cara dilakukannya asal menghasilkan harta kekayaan. Menyuap, memeras dan me-“nyunat” dana pembangunan adalah cara-cara yang dilakukan tanpa memperhatikan kerugian di pihak lain. Hati dan jiwa orang seperti inilah yang mesti di-“garap” untuk diberi pencerahan dan keyakinan sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw bahwa “Jika manusia diberi dua gunung dari emas, ia masih akan mencari yang ketiganya”. Agaknya, antara lain inilah yang diinginkan oleh Busro Muqaddas dengan konsep ke-nabian-nya.
Reformasi Birokrasi Peradilan Lembaga yang tidak kurang mendapat sorotan tajam beberapa tahun ini adalah peradilan.
Lembaga
peradilan
sebagai harapan terakhir untuk
memperoleh keadilan ini menjadi sorotan karena putusan-putusan yang dikeluarkan dinilai tidak memihak kepada keadilan. Meskipun keadilan selalu mengandung nilai subyektif, ternyata sebagian besar masyarakat merasakan banyaknya ketidakadilan dari putusan yang dijatuhkan oleh lembaga ini. Masyarakat masih menilai banyak putusan yang tidak mencerminkan keadilan dan mencium adanya “faktor lain” sehingga putusannya seperti itu. Namun mereka tidak dapat menemukan “faktor lain” itu. Menyikapi hal tersebut, berbagai upaya perbaikan memang telah dan sedang dilakukan oleh Mahkamah Agung RI, yaitu melaksanakan program Reformasi Birokrasi (RB) sebagai tuntutan diberikannya remunerasi (tunjangan kinerja). Namun agaknya RB yang dilakukan belum terlalu dirasakan oleh masyarakat luas, karena kurang menyentuh sikap dan perilaku aparatnya. Setidaknya ada lima program RB yang disebut Quick Wins yang sedang giatgiatnya dilakukan oleh lingkungan peradilan (MA-RI), yaitu : 1. Publikasi Putusan, 2. Pengembangan TI, 3. Pedoman Perilaku Hakim, 4. PNBP, dan 5 Evaluasi Kinerja, dan ditambah lagi pelayanan publik. Dari program unggulan RB MA-RI terlihat setidaknya ada empat hal yang mesti dilakukan secara sungguh-sungguh, yaitu transparansi, perbaikan moral aparat peradilan serta peningkatan kinerja dan pelayanan kepada masyarakat. Kerja keras dan sungguh-sungguh dari seluruh unsur di lingkungan peradilan, terutama pimpinan, hakim dan panitera pengganti serta semua yang terlibat dalam program perbaikan birokrasi mutlak diperlukan. Jika kelima program RB tersebut dilaksanakan dan dijalankan dengan baik, maka diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum akan berangsur-angsur kesungguhan,
pulih.
jangan
Sebaliknya
harap
tanpa
lembaga
adanya
peradilan
kerja
akan
kerasa
menjadi
dan agung
sebagaimana visi Mahkamah Agung RI, yang ingin “mewujudkan lembaga
peradilan yang agung.” Hal tersebut juga sejalan dengan tema Rapat Kerja Nasional MA-RI di Balikpapan tanggal 10-14 Oktober 2010 dengan tema “Dengan semangat perubahan memperkokoh landasan menuju lembaga peradilan yang agung”. Sebuah lembaga publik yang dianggap agung (berwibawa dan disegani), manakala lembaga itu dipercaya oleh masyarakat sehingga masyarakat akan melaksanakan apa pun keputusan yang dijatuhkan. Karena sebagai lembaga yang memutus atas nama Tuhan (independen), sudah semestinya akan memutus suatu kejahatan atau sengketa didasarkan kepada fakta-fakta hukum yang konkrit (bukan dibuat-buat/rekayasa) dengan dilandasi kejujuran. Menurut penulis, setidaknya ada empat hal konkrit dari hasil sebuah upaya perbaikan lembaga peradilan, yaitu : 1) layanan yang cepat, yang berarti administrasi berjalan dengan tertib dan sederhana, 2) tidak ada pungutan uang selain yang ditentukan oleh suatu keputusan resmi yang didasarkan pula kepada peraturan perundang-undangan, 3) transparansi informasi mengenai berbagai hal peradilan berdasarkan Keterbukaan Informasi Publik (UU No 14/2008) dan UU Pelayanan Publik (UU No. 25/2009) serta KMA 144/2007, dan 4) putusan hakim yang baik yang jauh dari pertimbangan non hukum, misalnya karena adanya suap. Akhirnya, kini masyarakat luas sedang menanti tindakan konkrit dari para hamba hukum (penegak hukum). Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan Lembaga Peradilan, yang bertanggung jawab untuk meluruskan berbagai tindakan menyimpang dari oknum yang tidak bertanggung jawab. Kepolisian ditantang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu tindakan korupsi dan kejahatan lain secara jujur dan profesional serta jauh dari interest. Demikian juga Kejaksaan dan KPK agar dapat melaksanakan tugas secara sinergis guna membongkar berbagai kasus korupsi dan kejahatan lain dengan penuh tanggung jawab, tidak saja kepada bangsa dan Negara tetapi juga kepada Tuhan. Lebih-lebih lagi lembaga peradilan, agar benar-benar memberikan putusan secara adil dan sikap jujur atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Tanpa
adanya sikap tanggung jawab dan kejujuran, jangan harap penegakan hukum di Indonesia akan berjalan dengan baik. Kita berdoa semoga para pemimpin dan penegak hukum diberi kekuatan oleh Tuhan Yang Maha Esa, agar dapat melihat kebenaran adalah benar dan kebatilan (kesalahan) adalah batil adalah memang salah yang tak perlu mencari cara untuyk membenarkan. Penulis adalah Wakil Ketua PA Kabanjahe