Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan Jurnal Hukum dan Peradilan memuat naskah/artikel yang bersumber dari hasil penelitian/penelaahan tentang Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan. Jurnal Hukum dan Peradilan terbit tiga kali dalam setahun (Maret, Juli, Nopember) Penasehat
Penasehat Penanggung Jawab Pemimpin Umum Wakil Pemimpim Umum Dewan Redaksi Pemimpin Redaksi Sekretaris Anggota
Dewan Pakar
Mitra Bestari
Tata Usaha
: 1. Dr. H.M. Hatta Ali, SH. MH. 2. Dr. H. Ahmad Kamil, SH. M.Hum. 3. Dr. H. Mohammad Saleh, SH. MH. : Ny. Siti Nurdjanah, SH. MH. : Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH., MS. : H. Amirullah Sholeh, SH. MM. : R. Wijaya Brata K, S.Kom. MM. : : Dr. Ismail Rumadan, MH. : Hudan Isnawan, SH., M.SI. : 1. Moch. Iqbal, SH. 2. Johanes Brata Wijaya, SH. 3. Budi Suhariyanto, SH., MH. 4. Mila Kurnia Rahma, SH. : 1. Dr. Andi Syamsu Alam, SH. MH. 2. Suwardi, SH. 3. Dr. Artidjo Alkostar, SH. LLM. 4 Timur Manurung, SH., MH. 5. Widayatno Sastro Hardjono, SH., M.Sc. 6. H.M. Imron Anwari, SH., Sp.N., MH. : 1. Prof. Dr. Abdul Latif, SH. MH. 2. Dr. Lilik Mulyadi, SH., MH. 3. Dr. Hasbi Hasan, SH. MH. 4. Dr. M. Fauzan Anshori, SH. MH. 5. Laksamana Muda A.R. Tampubolon, SH, MH. : Enny Yuniarti, S.Sos., Muchtar, SH, Sudaryanto, SH. MH., Auto, SH., Suhenda, SH.
Alamat Redaksi : Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI Jln. Jend. A. Yani (By Pass) Kav. 58 Lt.10 Cempaka Putih, Jakarta Pusat 13011 Email:
[email protected] [email protected]
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
DAFTAR ISI Pengantar Redaksi Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan Agama ……………………………………………….
189
Abdul Manan Pengecualian Azas Legalitas Dalam Hukum Pidana …………..
203
Made Darma Weda Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia ……………….….
225
Lilik Mulyadi Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia …………………………………………..
247
Hasbi Hasan Problem Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan ………………………….........
263
Ismail Rumadan Pengungkapan Keuangan Perkara Secara Memadai Dalam Laporan Keuangan Satuan Kerja Peradilan ……………………
277
Muhammad Anis Reformulasi Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan atau Pejabat Pemerintah Dalam Konteks Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara …………………………..……….
291
Agus Budi Susilo Kriminalisasi Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi Terkait BUMN Persero …………………………………………... Moch. Iqbal
309
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
Biodata Penulis Pedoman Penulisan Jurnal Hukum dan Peradilan Ucapan terima kasih kepada Mitra Bestari
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
DARI REDAKSI Bisminllahirrahmannirrahim Puji dan syukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Dzat Yang Maha Segala atas segala, yang selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, menuntun gerak dan memotivasi, memberi kemampuan berfikir kepada hambaNya untuk berbuat kearah yang terbaik, memberikan penghargaan yang tinggi kepada hamba-Nya yang selalu mengkaji berbagai problem kehidupan disekitarnya. Sebagai salah satu program prioritas Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI Penerbitan Jurnal Hukum dan Peradilan menjadi upaya positif yang dilakukan oleh Puslitbang MA-RI sebagai Supporting Unit Mahkamah Agung RI secara kelembagaan untuk mendukung terwujudnya visi dan misi Mahkamah Agung RI yaitu: ―Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung‖. Kehadiran Jurnal Hukum dan Peradilan ini diharapkan menjadi media bagi insan peradilan, akademisi, praktisi dan pemerhati hukum dan peradilan untuk mengaktuasikan ide, pemikiran melalui penelitian, pengkajian dan pengembangan hukum dan peradilan secara ilmiah. Kehadirannya patut diapresiasi, dan diharapkan menjadi pencerah ditengah upaya besar bangsa menata pembangunan hukum dan peradilan masa mendatang. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung RI dan seluruh unsur Pimpinan Mahkamah Agung RI yang telah memberikan dukungan terbitnya jurnal ini, Juga Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI dan Kepala Puslitbang Kumdil MA-RI yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam proses penerbitan jurnal ini. Selanjutnya ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada para penulis yang telah berkontribusi mengirimkan artikelnya,para Mitra Bestari yang telah meluangkan waktunya untuknya mereview artikel para penulis, Semoga mendapat pahala yang setimpal dari Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa. Amin. Jakarta, Juli 2013.
Redaksi
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya Abdul Manan Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama. Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 2, hlm. 189 - 202 Pada dasarnya Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya‖. Ketentuan pasal ini memberi makna bahwa hakim sebagai organ utama Pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi Hakim untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 (1) menjelaskan bahwa ―Hakim wajib mengali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang diperiksa dan diadili hendaknya mengunakan Teknik pengambilan putusan yang meliputi Tehnik Analitik, Tehnik Equatable, dan Tehnik Silogisme. Kata Kunci : Penemuan Hukum, Hakim, Hukum Acara, Peradilan Agama. The court essentially banned refused to examine, decide a case filed with no legal argument or less clear, but obliged to examine and judge ". Provisions of this chapter gives the sense that as major organs Court judge and as executor of judicial power is obligatory for the Judge to find the law in a case despite legal provisions do not exist or are less clear. Law No. 48 of 2009 Article 5 (1) explains that "Judges shall multiply, follow and understand the values of law and justice that lives within the community. the judges in the religious court in making decisions on matters that should be examined and judged using the technique of taking decisions which include Analytical Techniques, Technical equatable, and techniques syllogism. Keywords : Rechtvinding, Justice, Law Events, Religious Courts.
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya Made Darma Weda Pengecualian Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana. Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 2, hlm. 203 - 224 Perdebatan terkait dengan pengecualian asas legalitas dalam hukum pidana, telah ada pada International Criminal Tribunal for The Farmer Yugoslavia (ICTY) yang dibentuk berdasarkan United Nation‘s Resolution No. 827 Tahun 1993 dan The International Criminal Tribunal for the Rwanda (ICTR), yang didasarkan pada United Nation‘s Resolution No. 995 Tahun1994. Pada peradilan (tibunal) tersebut asas non-retroaktif menjadi permasalahan yang muncul dalam persidangan.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Pemberlakuan secara retroaktif menjadi materi yang bertentangan dengan dengan asas nullum delictum crimen sine dan larangan pemberlakuan secara retroaktif. Kata kunci : Perkecualian, retroaktif, hukum pidana. Debating for exceptional of legality principle in criminal law could be learned by establishing of the International Criminal Tribunal for The Farmer Yugoslavia (ICTY) which was based on United Nation‟s Resolution in 1993, No. 827 and The International Criminal Tribunal for the Rwanda (ICTR) which was based on United Nation‟s Resolution in 1994, No. 955. Even though these tribunals were rejected by the parties who supported the dependents, they still to cross-examine those cases, even though it was against the principle of nullum crimen sine lege as retroactive principe in criminal law. Key words: Retroactive, criminal law, exceptional.
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya Lilik Mulyadi Eksistensi Hukum Pidana Adat Di Indonesia: Pengkajian Asas, Norma, Teori, Praktik dan Prosedurnya. Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 2, hlm. 225 - 246 Eksistensi hukum pidana adat Indonesia dikaji dari perspektif normatif (ius constitutum) diatur Pasal 18 B UUD 1945 hasil Amandemen, Pasal 1, Pasal 5 ayat (3) sub b UU Nomor 1 Drt tahun 1951, Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009. Kemudian secara parsial dalam daerah tertentu seperti Aceh Nangroe Darussalam diatur dalam UU Nomor 44 Tahun 1999, UU Nomor 11 Tahun 2006, berikutnya diimplementasikan dalam bentuk Qanun baik tingkat Propinsi dan Kabupaten. Berikutnya di Bali diatur dan diimplementasikan dalam bentuk Awig-Awig Desa Adat (Pakraman) serta dari perspektif ius constituendum diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1), (2) RUU KUHP Tahun 2012. Kemudian tataran asas diatur Kitab Ciwasasana atau Kitab Purwadhigama, Kitab Gajahmada, Kitab Simbur Cahaya, Kitab Kuntara Raja Niti, Kitab Lontara „ade‟ dan awig-awig. Selain itu, dikaji dari perspektif teori, praktik dan prosedurnya ditemukan dalam bentuk yurispudensi Mahkamah Agung RI seperti Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983 serta penjatuhan sanksi adat (obat adat) hakikatnya bersifat untuk pemulihan keseimbangan alam magis, pemulihan alam kosmos guna mengembalikan pada keseimbangan yang terganggu agar bersifat religio magis kembali. Kemudian dalam kajian hukum pidana maka eksistensi hukum pidana adat Indonesia berada pada tataran dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Oleh karena itu hukum pidana adat secara holistik menjiwai seluruh lapisan ilmu hukum dalam praktek hukum sehingga eksistensi dari dimensi ilmu hukum maka hakikatnya hukum pidana adat tidak diragukan kapabilitasnya sebagai karakteristik praktek hukum di Indonesia.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Kata kunci : Hukum pidana adat, sanksi adat, serta asas, norma, teori, praktik dan prosedurnya.
Existence of indigenous Indonesian criminal law examined from the perspective of normative ( ius constitutum ) set forth in Article 18 B of the 1945 Amendment, Article 1, Article 5 paragraph (3) sub B Drt Law No. 1 of 1951, Article 5 paragraph (1), Article 10 paragraph (1) and Article 50 paragraph (1) of Law No. 48 of 2009. Then partial in certain areas such as Nanggroe Aceh Darussalam stipulated in Law No. 44 of 1999, Act No. 11 of 2006, the next is implemented in the form of Qanun both provincial and district levels . Next in Bali set up and implemented in the form of Awig Awig Village People (Pakraman) as well as from the perspective of ius constituendum set out in Article 2 paragraph (1) , (2) of the RUU KUHP of 2012. Then the level of principle set Ciwasasana book or book Purwadhigama, Book of Gajah Mada, Simbur Cahaya, Book Kuntara Raja Niti, Book Lontara 'ade' and Awig awig. In addition , examined from the perspective of theory, practice and procedures found in the form jurisprudence Mahkamah Agung RI as Putusan Mahkamah Agung RI No. 42 K/Kr/1966 Tanggal 8 Januari 1966, Putusan Mahkamah Agung RI No. 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983 and sanctions adat (traditional medicine) for recovery of the balance essentially magical nature , the cosmos recovery to restore the disturbed balance in order to be religio magic back . Later in the study of criminal law the existence of indigenous Indonesian criminal law is at the level of dogmatic law, legal theory and philosophy of law. Therefore customary criminal law holistically animates all levels of law in the practice of law so that the existence of the law dimensional nature of criminal law is undoubtedly indigenous capabilities as a characteristic practice of law in Indonesia. Keywords : Criminal law customary, traditional sanctions, as well as the principles, norms, theories, practices and procedures.
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya Hasbi Hasan Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 2, hlm. 247 - 262 Salah satu perubahan paling signifikan yang terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2012 adalah diakomodirnya prinsip keadilan restoratif dan asas diversi dalam sistem peradilan pidana anak. Kendati demikian, penerapan prinsip keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana anak yang diatur dalam dalam UU No. 11 Tahun 2012 cenderung bersifat parsial dan tidak komprehensif. Hal tersebut disebabkan oleh adanya miskonsepsi umum dalam memahami keadilan restoratif
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
sebagai suatu usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan. Penelitian ini menunjukkan bahwa keadilan restoratif pada dasarnya bersifat melengkapi dan bukan menggantikan sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, program keadilan restoratif dapat diintegrasikan ke dalam seluruh rangkaian proses peradilan pidana anak tanpa mengorbankan prinsip dasar dan tujuan utama keadilan restoratif, dan pada saat bersamaan, tidak pula mengecilkan peranan sistem peradilan pidana anak yang didasarkan pada ketentuan hukum formil. Kata kunci : Keadilan restoratif, peradilan pidana anak, kejahatan, diversi. One of the most significant changes contained in the UU No. 11 Tahun 2012 One of the most significant changes contained in the UU No. 11 Tahun 2012 is to accomodate principles of restorative justice and the principle of diversion in the juvenile justice system. Nevertheless, the application of the principles of restorative justice in the juvenile justice system are set out in the UU No. 11 Tahun 2012, tend to be partial and non-exhaustive. This is caused by the presence of common misconceptions in the understanding of restorative justice as an attempt to seek a peaceful settlement of the conflict out of court. This study shows that restorative justice is essentially complement rather than replace the criminal justice system. Therefore, restorative justice programs can be integrated into the whole process of juvenile justice without compromising the basic principles and main objectives of restorative justice, and at the same time , did not downplay the role of juvenile justice system that is based on formal legal requirements. Keywords : Restorative justice, juvenile justice, crime, diversion.
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya Ismail Rumadan Problem Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia Dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan. Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 2, hlm. 263 - 276 Berbagai persoalan kriminal yang terjadi di dalam Lembaga Pemasyarakatan menunjukan bahwa tujuan mulia dibentuknya lembaga pemasyarakatan yang digagas oleh Sahardjo sejak awal pembentukannya sebagai lembaga Pembinaan, etika dan kehormatan. Bahwa orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat menjadi hal yang sulit untuk diwujudkan. Kondisi ini menggugah kita untuk kembali mengkaji ulang (reorientasi) model pemidanaan yang dugunakan dalam penegakan hukum pidana. Orientasi penegakan hukum pidana tidak semistinya berakhir pada penjatuhan sanksi pidana berupa penjara terhadap terdakwa, namun penjatuhan sanksi berupa sanksi sosial terhadap terdakwa dengan skala tindak pidana yang rekatif ringan perlu untuk dikedepankan atau diutamakan melalui pendekatan restoratif justice. Kata Kunci: Peradilan Pidana, tujuan pemidanaan, restoratif justice.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Many criminal problems that occurred in the prison showed that noble goal penitentiary establishment initiated by Sahardjo since its inception as a coaching institute, ethics and honor. That the person who lost had to give him stock diayomi live as good citizens and useful in society to be a difficult thing to achieve. This condition inspires us to re-review the (re-orientation) models that are used in a criminal prosecution of criminal law enforcement. Criminal law enforcement orientation semistinya not end at the prison in the form of criminal sanctions against the defendant, but the imposition of sanctions in the form of social sanction against the defendant with the crime scale reactive light need to be prioritized or preferably through a restorative justice approach. Keywords: Criminal Justice, the purpose of punishment, restorative justice.
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya Muhammad Anis Pengungkapan Keuangan Perkara Secara Memadai Dalam Laporan Keuangan Satuan Kerja Peradilan. Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 2, hlm. 277 - 290 Biaya perkara yang dipungut dan dikelola pada Mahkamah Agung dan lembaga peradilan dibawahnya sampai dengan saat ini masih menjadi persoalan terkait transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan penatausahaannya. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 09 Tahun 2008 tentang Pelaporan Penerimaan dan Penggunaan Biaya Perkara pada Pengadilan dan Peraturan Mahkamah Agung RI. No. 03 Tahun 2012 tentang Biaya Proses penyelesaian perkara dan Pengelolaannya pada MA dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya telah diatur bahwa Biaya Perkara pada pengadilan dalam bentuk agregat ditampilkan ke muka publik secara berkala dan dikelola secara efektif, efisien, transparan dan dicatat dalam Catatan atas Laporan Keuangan Mahkamah Agung RI. Berdasarkan Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Nomor 09 Tahun 2008, pelaporan biaya perkara telah berjalan namun belum ditampilkan dalam Laporan keuangan lembaga. Biaya perkara merupakan bagian dari informasi penting yang harus dilaporkan dalam laporan keuangan lembaga sebagai bentuk akuntabilitas lembaga atas biaya yang dipungut dan atau diterima dari pihak ke tiga. Kata kunci : Biaya perkara, pengungkapan memadai. Legal fees are collected and maintained by Supreme Court and the courts underneath it so far still an issue related to the management of accounting and reporting. Based on Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 09 tahun 2008 tentang Pelaporan Penerimaan dan Penggunaan Biaya Perkara pada Pengadilan and Peraturan Mahkamah Agung RI. No. 03 Tahun 2012 tentang Biaya Proses penyelesaian perkara dan Pengelolaannya pada MA dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya In these rules have arranged that legal fees in the court aggregately were published periodically and managed effectively, efficiently, transparency and stored in a note upon the financial report of the supreme court.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Based on Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 09 tahun 2008, report of legal fees has been running well but not yet shown in the financial statements of the institution. The legal fees become important information that must be reported in in the financial statementsas a form of accountability upon a fee levied and to or received from third party. Keywords : Court fees, adequate disclosure.
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya Agus Budi Susilo Reformulasi Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan Atau Pejabat Pemerintahan Dalam Konteks Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara. Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 2, hlm. 291-308 Badan atau Pejabat pemerintahan mempunyai wewenang yang luas dalam melaksanakan urusan pemerintahan. Dengan wewenang yang luas ini cenderung untuk disalahgunakan, sehingga menimbulkan kerugian dan ketidakadilan di pihak masyarakat maupun aparatur pemerintah ditingkat bawahnya, oleh karena itu harus ada lembaga lain yang mengontrolnya. Berdasarkan teori trias politika, lembaga eksekutif secara politis dikontrol oleh lembaga legislatif dan secara yuridis dikontrol oleh lembaga yudikatif, karena badan atau pejabat pemerintahan menjalankan fungsi eksekutif, maka lembaga yudikatif yang mengontrol secara yuridis adalah Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan TUN). Kontrol yuridis oleh Peradilan TUN saat ini sangat sumir, karena dibatasi oleh undang-undang tentang Peradilan TUN yang sudah direvisi dua kali (Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 yang kemudian direvisi oleh Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009). Pengujian PTUN hanya terbatas pada pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dalam arti sempit. Dapat dikatakan bahwa undang-undang tentang Peradilan TUN tersebut secara filosofis bertentangan dengan tujuan dibentuknya lembaga Peradilan TUN, yaitu menyelesaikan sengketa administrasi dalam arti luas. Oleh karenanya berdasarkan pemikiran yang futuristik perlu ditelaah lebih lanjut kewenangan abolut Peradilan TUN dalam melakukan kontrol atau pengujian terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukan badan atau pejabat pemerintahan. Semua ini tiada lain bertujuan untuk mereposisi kembali hakikat penegakan hukum administrasi negara oleh Peradilan TUN dan menyederhanakan semua penyelesaian sengketa administrasi negara berdasarkan prinsip efektifitas dan efisiensi. Kata Kunci : Perbuatan Melanggar hukum, Pejabat Pemerintah, Pengadilan Tata Usaha Negara. Agency or government officials have broad authority in implementing government affairs. Broad authority was likely to be abused, causing loss and injustice in the society as well as lower level government officials, therefore there must be other institutions that control it. Based on the theory of triad politics, the executive is politically controlled by the legislature and are legally controlled by the judiciary, because the agency or government officials running the executive function, which controls the judiciary juridical is the State Administrative Court
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
(Judicial TUN). TUN judicial control by the Court at this time is so vague, because it is limited by the law on the Judiciary TUN revised twice (Law No.5 of 1986 which was later revised by Law No.9 of 2004 and Act No 51 of 2009). Testing is limited to understanding the Administrative Court Administrative Decision (KTUN) in the strict sense. It can be said that the law on the Judiciary TUN philosophically opposed to the purpose of the establishment TUN Judicial institutions, namely resolve administrative disputes in a broad sense. Therefore, based on futuristic ideas that need to be explored further in the TUN Courts abolut authority to exercise control or testing for unlawful acts committed government agencies or officials. All this is nothing else aims to reposition back nature of administrative law enforcement by the state Judicial TUN and simplify all the administrative state dispute settlement based on the principles of effectiveness and efficiency. Keyword : Deeds Against the Law, Government Officials, Administrative Court.
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya
Moch. Iqbal Kriminalisasi Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi Terkait Bumn Persero. Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 2, hlm. 308 - 324 Perbedaan penafsiran terhadap makna uang Negara dan kerugian keuangan Negara dalam sistem hukum kita terkait dengan kriminalisasi koorporasi telah menghadirkan ketidak jelasan terhadap norma dan nilai universal hukum itu sendiri, ketika delik korupsi terkesan dipaksakan dalam sebuah perjanjian kerjasama bisnis internasional dengan subyek hukum yang melibatkan Negara lain, menimbulkan pandangan internasional bahwa tidak ada kepastian hukum di Indonesia. Seyogianya dalam pilihan pemikiran soal keuangan Negara dan kerugian Negara tersebut, pilihannya bukan pada Living Law (menerima kehendak public yang keliru), melainkan pada kesadaran hukum masyarakat yang harus diubah oleh hukum, Law as a tool of social engineering , jadi para penegak hukum yang harus aktif mengubah kesadaran hukum masyarakat. Kata Kunci : Korupsi, Koorporasi, BUMN Persero. Differences in the interpretation of the meaning of money the State and the State financial losses in our legal system relating to the criminalization of corporations has presented obscurity to universal norms and the law itself, when the offense of corruption seemed forced into a business cooperation agreement with the subject of international law involving other countries, raises international view that there is no rule of law in Indonesia. Should the option of thinking about state finances and the State loss, the choice is not on the Living Law (public will accept false), but the awareness of the public law that should be changed by law, Law as a tool of social engineering, so that law enforcement officers must actively change the legal awareness. Keywords : Corruption, corporations, State-Owned Limited.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM PRAKTEK HUKUM ACARA DI PERADILAN AGAMA
Abdul Manan Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI Abstrak Pada dasarnya Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya‖. Ketentuan pasal ini memberi makna bahwa hakim sebagai organ utama Pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi Hakim untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 (1) menjelaskan bahwa ―Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang diperiksa dan diadili hendaknya mengunakan Teknik pengambilan putusan yang meliputi Tehnik Analitik, Tehnik Equatable, dan Tehnik Silogisme. Kata Kunci: Penemuan Hukum, Hakim, Hukum Acara, Peradilan Agama Abstract The court essentially banned refused to examine, decide a case filed with no legal argument or less clear, but obliged to examine and judge ". Provisions of this chapter gives the sense that as major organs Court judge and as executor of judicial power is obligatory for the Judge to find the law in a case despite legal provisions do not exist or are less clear. Law No. 48 of 2009 Article 5 (1) explains that "Judges shall multiply, follow and understand the values of law and justice that lives within the community. the judges in the religious court in making decisions on matters that should be examined and judged using the technique of taking decisions which include Analytical Techniques, Technical equatable, and techniques syllogism. Keywords: Rechtsvinding, Justice, Law Events, Religious Courts. A. Pendahuluan Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, pertama kali harus menggunakan hukum tertulis sebagai dasar putusannya. Jika dalam hukum tertulis tidak cukup, tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumbersumber hukum yang lain seperti yurisprudensi, dokrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan ―bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya‖. Ketentuan pasal ini memberi makna bahwa hakim sebagai organ utama Pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi Hakim untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 (1) juga menjelaskan bahwa ―Hakim dan Hakim Konstitusi wajib mengali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat‖. Kata ―menggali‖ biasanya diartikan bahwa hukumnya sudah ada, dalam aturan perundangan tapi masih samar-samar, sulit untuk diterapkan dalam perkara konkrit, sehingga untuk menemukan hukumnya harus berusaha mencarinya dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila sudah ketemu hukum dalam penggalian tersebut, maka Hakim harus mengikutinya dan memahaminya serta menjadikan dasar dalam putusannya agar sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam praktek Pengadilan, ada 3 (tiga) istilah yang sering dipergunakan oleh Hakim yaitu penemuan hukum, pembentukan hukum atau menciptakan hukum dan penerapan hukum. Diantara tiga istilah ini, istilah penemuan hukum paling sering di pergunakan oleh Hakim, sedangkan istilah pembentukan hukum biasanya dipergunakan oleh lembaga pembentuk undang-undang (DPR). Dalam perkembangan lebih lanjut, penggunaan ketiga istilah itu saling bercampur baur, tetapi ketiga istilah itu berujung kepada pemahaman bahwa aturan hukum yang ada dalam undang-undang tidak jelas, oleh karenanya diperlukan suatu penemuan hukum atau pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam memutus suatu perkara. Jazim Hamidi (2005:51) mengatakan bahwa penemuan hukum mempunyai cakupan wilayah kerja hukum yang sangat luas, karena penemuan hukum itu dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu perorangan, ilmuwan, peneliti hukum, para hakim, jaksa, polisi, advokat, dosen, notaris dan lain-lain. Akan tetapi menurut Sudikno Mertokusumo (2007:5) profesi yang paling banyak melakukan penemuan hukum adalah para hakim, karena setiap harinya hakim dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik yang harus diselesaikan. Penemuan hukum oleh hakim dianggap suatu hal yang mempunyai wibawa sebab penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena hasil penemuan hukum itu di tuangkan dalam bentuk putusan. Berangkat dari hal tersebut di atas, penulis merasa terpanggil untuk menulis tentang penemuan hukum oleh Hakim, sebab berdasarkan hasil monitoring kedaerah-daerah dalam rangka Bintek Hukum Acara di lingkungan Peradilan Agama, banyak putusan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan yang seharusnya harus ada dalam putusan tersebut. Hal ini disebabkan para hakim masih banyak yang belum memahami tentang cara menemukan hukum untuk diterapkan dalam peristiwa konkrit yang sedang diadilinya.
190
Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan Agama
B. Metode Penemuan Hukum Tugas menemukan hukum terhadap suatu perkara yang sedang diperiksa oleh Majelis Hakim merupakan suatu hal yang paling sulit dilaksanakan. Meskipun para hakim dianggap tahu hukum (ius curianovit), sebenarnya para hakim itu tidak mengetahui semua hukum, sebab hukum itu berbagai macam ragamnya, ada yang tertulis dan ada pula yang tidak tertulis. Tetapi Hakim harus mengadili dengan benar terhadap perkara yang diajukan kepadanya, ia tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan hukum tidak ada atau belum jelas, melainkan ia wajib mengadilinya. Sebagai penegak hukum ia wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Lihat Pasal 27 UndangUndang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hakim dalam mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya harus mengetahui dengan jelas tentang fakta dan peristiwa yang ada dalam perkara tersebut. Oleh karena itu, Majelis Hakim sebelum menjatuhkan putusannya terlebih dahulu harus menemukan fakta dan peristiwa yang terungkap dari Penggugat dan Tergugat, serta alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak dalam persidangan. Terhadap hal yang terakhir ini, Majelis Hakim harus mengonstatir dan mengkualifisir peristiwa dan fakta tersebut sehingga ditemukan peristiwa/fakta yang konkrit. Setelah Majelis Hakim menemukan peristiwa dan fakta secara objektif, maka Majelis Hakim berusaha menemukan hukumnya secara tepat dan akurat terhadap peristiwa yang terjadi itu. Jika dasar-dasar hukum yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara kurang lengkap, maka Majelis Hakim karena jabatannya dapat menambah/ melengkapi dasar-dasar hukum itu sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang berperkara (lihat Pasal178 ayat (1) HIR dan Pasal 189 ayat (1) R.Bg). Dalam usaha menemukan hukum terhadap suatu perkara yang sedang diperiksa dalam persidangan, Majelis Hakim dapat mencarinya dalam: (1) kitab-kitab perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis, (2) Kepala Adat dan penasihat agama sebagaimana tersebut dalam Pasal 44 dan 15 Ordonansi Adat bagi hukum yang tidak tertulis, (3) sumber yurisprudensi, dengan catatan bahwa hakim sama sekali tidak boleh terikat dengan putusanputusan yang terdahulu itu, ia dapat menyimpang dan berbeda pendapat jika ia yakin terdapat ketidakbenaran atas putusan atau tidak sesuai dengan perkembangan hukum kontemporer. Tetapi hakim dapat berpedoman sepanjang putusan tersebut dapat memenuhi rasa keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara, (4) tulisan-tulisan ilmiah para pakar hukum, dan buku-buku ilmu pengetahuan lain yang ada sangkutpautnya dengan perkara yang sedang diperiksa itu, Hakim menemukan hukum melalui sumber-sumber sebagaimana tersebut di atas. Jika tidak diketemukan dalam sumber-sumber tersebut maka ia harus mencarinya dengan mernpergunakan metode interpretasi dan konstruksi. Metode interpretasi adalah penafsiran terhadap teks undang-undang, masih tetap berpegang pada bunyi teks itu. Sedangkan metode konstruksi hakim mempergunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, di mana hakim tidak lagi terikat dan berpegang pada bunyi teks itu, tetapi dengan 191
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem (Achmad Ali, SH., MH, 1996: 167). Dahulu dikenal dengan doktrin Sens clair yang mengatakan bahwa penemuan oleh hakim hanya boleh dilakukan kalau peraturannya belum ada untuk suatu kasus in konkreto atau peraturannya sudah ada tetapi belum jelas, di luar ketentuan ini penemuan hukum oleh hakim tidak dibenarkan atau tidak ada. Tetapi sekarang doktrin Sens clair ini sudah banyak ditinggalkan, sebab sekarang muncul doktrin baru yang menganggap bahwa hakim dalam setiap putusannya selalu melakukan penemuan hukum karena bahasa hukum senantiasa terlalu miskin bagi pikiran manusia yang sangat bernuansa. Dalam arus globalisasi seperti sekarang ini banyak hal terus berkembang dan memerlukan interpretasi, sedangkan peraturan perundang-undangan banyak yang statis dan lamban dalam menyesuaikan diri dengan kondisi perubahan zaman. 1. Penemuan hukum dengan metode interpretasi. Di Indonesia metode interpretasi dapat dibedakan jenis-jenisnya sebagai berikut: a. Metode penafsiran substantif. Metode penafsiran seperti ini adalah di mana hakim harus menerapkan suatu teks undang-undang terhadap kasus in konkreto dengan belum memasuki rapat penggunaan penalaran yang lebih rumit, tetapi sekadar menerapkan silogisme. b. Metode penafsiran gramatikal Peraturan perundang-undangan dituangkan dalam bentuk bahasa tertulis, putusan pengadilan juga disusun dalam bahasa yang logis sistematis. Untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang yang belum jelas perlu ditafsirkan dengan menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari. Metode penafsiran gramatikal ini merupakan penafsiran yang paling sederhana dibandingkan dengan penafsiran yang lain. c. Metode penafsiran sistematis atau logis Menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan meng- hubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum. Dalam metode penafsiran ini, hukum dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak merupakan bagian yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari satu sistem. d. Metode penafsiran historis Penafsiran historis adalah penafsiran yang didasarkan kepada sejarah terjadinya, peraturan tersebut. Dalam praktik Peradilan, penafsiran historis dapat dibedakan antara penafsiran menurut sejarah lahirnya undang-undang dengan penafsiran menurut sejarah hukum. Interpretasi menurut sejarah undang-undang (wetshistorisch) adalah mencari maksud dari perundang-undangan itu seperti apa yang dilihat oleh pembuat undang-undang ketika undang- undang itu dibentuk dulu, di sini kehendak pembuat undang- undang yang menentukan. Interpretasi menurut sejarah hukum (rechtshistorisch) adalah metode interpretasi yang ingin memahami Undang-undang dalam konteks seluruh ajaran hukum. Jika kita ingin 192
Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan Agama
mengetahui makna yang terkandung dalam suatu peraturan perundang- undangan, tidak cukup dilihat pada sejarah lahirnya Undang- undang itu saja, melainkan juga harus diteliti lebih jauh proses sejarah yang mendahuluinya (Ibid.: 179). e. Metode penafsiran sosiologis atau teleologis Metode ini menerapkan makna undang-undang berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Di sini hakirn menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang, titik beratnya adalah pada tujuan undang-undang itu dibuat, bukan pada bunyi kata-katanya saja. Peraturan perundang-undangan yang telah usang, disesuaikan penggunaannya dengan menghubungkan dengan kondisi dan situasi saat ini atau situasi sosial yang baru. f. Metode penafsiran komperatif Interpretasi komperatif adalah metode penafsiran undang- undang dengan memperbandingkan antara berbagai sistem hukum. Penafsiran model ini paling banyak dipergunakan dalam bidang hukum perjanjian internasionaI. Di luar hukum internasional, penafsiran komperatif sangat jarang dipakai. g. Metode penafsiran restriktif Interpretasi restriktif adalah penafsiran untuk menjelaskan undang-undang dengan cara ruang lingkup ketentuan undang-undang itu dibatasi dengan mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa. h. Metode penafsiran ekstensif Interpretasi ekstensif adalah metode interpretasi yang membuat penafsiran melampaui batas yang diberikan oleh penafsiran gramatikal. Seperti perkataan menjual dalam Pasal 1576 KUH Perdata; ditafsirkan bukan hanya jualbeli sematarnata, tetapi juga "peralihan hak". i. Metode penafsiran futuristis. Interprestasi futuristis adalah penafsiran undang-undang yang bersifat antisipasi dengan berpedoman kepada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius constituendum). Misalnya suatu rancangan undang-undang yang masih dalam proses perundangan, tetapi pasti akan diundangkan. 2. Penemuan hukum dengan metode konstruksi Pada umumnya para praktisi hukum di kalangan Eropa Kontinental tidak memisahkan secara tegas antara metode penemuan hukum interpretasi dengan penemuan hukum metode konstruksi. Sebaliknya para praktisi hukum di kalangan Anglo Saxon dalam karangannya telah memisahkan dengan tegas penemuan hukum dengan metode interpretasi dengan penemuan hukum metode konstruksi. LB Curzon sebagaimana yang dikutip oleh Achmad Ali, SH., MH. (1996 : 167) mengatakan bahwa interpretasi dan konstruksi mempunyai arti yang berbeda, interpretasi hanya menentukan arti kata-kata dalam suatu undang-undang, sedangkan konstruksi mengandung arti pemecahan atau menguraikan makna ganda, kekaburan, dan ketidakpastian dari perundang-undangan sehingga tidak bisa dipakai dalam peristiwa konkrit yang diadilinya. Para hakim dalam melakukan konstruksi dalam penemuan dan pemecahan masalah hukum, harus mengetahui 193
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
tiga syarat utama yaitu: (1) konstruksi harus mampu meliput semua bidang hukum positif yang bersangkutan, (2) dalam pembuatan konstruksi tidak boleh ada pertentangan logis di dalamnya, (3) konstruksi kiranya mengandung faktor keindahan dalam arti tidak dibuat-buat, tetapi dengan dilakukan konstruksi persoalan yang belum jelas dalam peraturan-peraturan itu diharapkan muncul kejelasan-kejelasan. Konstruksi harus dapat memberikan gambaran yang jelas tentang sesuatu hal, oleh karena itu harus cukup sederhana dan tidak menimbulkan masalah baru dan boleh tidak dilaksanakan. Sedangkan tujuan dari konstruksi adalah agar putusan hakim dalam peristiwa konkrit dapat memenuhi tuntutan keadilan dan bermanfaat bagi pencari keadilan (Achmad Ali, SH., MH., 1996: 192). Dalam praktik Peradilan, penemuan hukum dengan metode konstruksi dapat dijumpai dalam bentuk sebagai berikut: a. Argumen peranalogian Konstruksi ini juga disebut dengan "analohi" yang dalam hukum Islam dikenal dengan "qiyas". Konstruksi hukum model ini dipergunakan apabila hakim harus menjatuhkan putusan dalam suatu konflik yang tidak tersedia peraturannya, tetapi peristiwa itu mirip dengan yang diatur dalam undang-undang. Di sini hakim bersikap seperti pembentuk undang-undang yang mengetahui adanya kekosongan hukum, akan melengkapi kekosongan itu dengan peraturan-peraturan yang serupa dengan mencari unsur-unsur. Persamaannya dengan menggunakan penalaran pikiran secara analogi. Jika pemakaian analogi dilaksanakan secara baik, maka akan memecahkan problem yang dihadapi itu dengan menemukan hukum yang baru pula dengan tidak meninggalkan unsurunsur yang ada dalam peraturan yang dijadikan persamaan itu. Misalnya dalam hal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 17 56 KUH Perdata yang mengatur tentang mata uang (goldspecie). Apakah uang kertas termasuk dalam hal yang diatur dalam peraturan tersebut? Dengan jalan argumentum peranalogian atau analogi, mata uang tersebut ditafsirkan termasuk juga uang kertas. Di Indonesia, penggunaan metode argumentum peranalogian, atau analogi baru terbatas dalam bidang hukum perdata, belum disepakati oleh pakar hukum untuk dipergunakan dalam bidang hukum pidana. b. Metode argumentum a'contrario Metode ini menggunakan penalaran bahwa jika undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya ( Achmad Ali, SH, MH, 1996: 197). Sedangkan Sudikno Mertokusumo (1996: 69) mengemukakan bahwa argumentum a'contrario titik beratnya diletakkan pada ketidakpastian peristiwanya. Di sini diperlakukan segi negatif dari undang-undang, Hakim menemukan peraturan untuk peristiwa yang mirip, di sini hakim mengatakan "peraturan ini saya terapkan pada peristiwa yang tidak diatur, tetapi secara kebalikannya". Dalam hal ketidaksamaan ada unsur kemiripan. Misalnya seorang duda yang hendak kawin lagi tidak tersedia peraturan yang khusus. Peraturan yang tersedia bagi peristiwa yang tidak sama tetapi mirip, ialah bagi janda yaitu Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Bagi janda yang 194
Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan Agama
hendak kawin lagi harus menunggu masa iddah. Maka Pasal itu juga diberlakukan untuk duda secara argumentum a'contrario, sehingga duda kalau hendak kawin lagi tidak perlu menunggu. Tujuan argumentum a'contrario ini adalah untuk mengisi kekosongan hukum atau ketidaklengkapan undang-undang, Jadi, argumentum a'contrario bukan merupakan argumentasi untuk membenarkan rumusan peraturan tertentu. c. Pengkonkretan hukum (Rechtsvervijnings) Kontruksi model ini ada yang menyebutnya dengan penghalusan hukum, penyempitan hukum, dan ada pengkonkretan hukum. Dalam tulisan ini dipergunakan istilah pengkonkretan hukum yang merupakan pengkonkretan terhadap suatu masalah hukum yang tersebut dalam peraturan perundangundangan, karena peraturan perundang-undangan tersebut terlalu umum dan sangat luas ruang lingkupnya. Agar dapat dipergunakan dalam menemukan hukum terhadap suatu perkara yang sedang diperiksa, masalah hukum yang sangat luas itu dipersempit ruang lingkupnya sehingga dapat diterapkan dalam suatu perkara secara konkrit. Dalam pengkonkretan hukum ini, dibentuk pengecualianpengecualian atau penyimpangan-penyimpangan dari peraturan-peraturan yang bersifat umum, yang kemudian diterapkan kepada peristiwa yang bersifat khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri. Misalnya pengertian melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang luas ruang lingkupnya karena dalam peraturan itu tidak dijelaskan tentang apakah kerugian harus diganti juga oleh yang dirugikan, yang ikut bersalah menyebabkan kerugian. Tetapi dalam yurisprudensi ditentukan bahwa kalau ada kesalahan pada yang dirugikan, ini hanya dapat menuntut sebagian dari kerugian yang diakibatkan olehnya. Jadi di sini ada pengkonkretan ruang lingkup tentang pengertian perbuatan melawan hukum (Sudikno Mertokusumo, 1996: 69). d. Fiksi hukum Metode fiksi sebagai penemuan hukum ini sebenarnya berlandaskan asas "in dubio pro reo" yaitu asas yang menyatakan bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum. Pada fiksi hukum pembentuk undang-undang dengan sadar menerima sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan sebagai kenyataan yang nyata (Achmad Ali, SH, MH, 1996: 200). Fiksi adalah metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru kepada kita, sehingga tampil suatu personifikasi baru di hadapan kita (Satjipto Rahardjo, 1982: 136). Ada pun fungsi dari fiksi hukum ini di samping untuk memenuhi hasrat untuk menciptakan stabilitas hukum, juga utamanya untuk mengisi kekosongan undang-undang. Menurut Achmad AIi, SH., MH. (1996 :200) harus dibedakan antara fiksi yang sudah tertuang dalam putusan hakim, bukan lagi fiksi melainkan telah menjadi judge made law, telah menjadi kenyataan. Dalam kaitan ini Scholten berpendapat bahwa fiksi itu hanya berfungsi pada saat-saat peralihan, dan manakala peralihan usai berakhir pula fungsi fiksi itu. Jadi dalam fiksi hukum setiap orang mengetahui semua ketentuan-hukum yang berlaku dan hal ini sangat diperlukan oleh hakim dalam praktik hukum. Fiksi hukum sangat bermanfaat untuk mengajukan hukum, yaitu untuk mengatasi benturan antara tuntutan-tuntutan baru dan sistem yang ada. 195
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Hakim dalam menghubungkan antara teks undang-undang dengan suatu peristiwa konkrit yang diadilinya, wajib menggunakan pikiran dan nalarnya untuk memilih, metode penemuan mana yang paling cocok dan relevan Untuk diterapkan dalam suatu perkara. Hakim harus jeli dan memiliki profesionalisme tinggi dalam menerapkan metode penemuan hukum sebagaimana tersebut di atas. Apabila seorang hakim dapat rnempergunakan metode hukum yang relevan dan sesuai dengan yang diharapkan dalam kasus yang sedang diperiksanya, maka putusan yang dilahirkan akan mempunyai nilai keadilan dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. 3. Metode Hermeneutika Hukum. Metode penemuan Hukum oleh Hakim berupa interpretasi Hukum dan kontruksi Hukum sebagaimana yang telah di urakan di atas masih relevan dipergunakan oleh Hakim hingga saat ini, akan tetapi pada abad ke 19 dan permulaan abad 20 sudah ditemukan metode penemuan hukum lain yang dapat dipergunakan oleh Hakim dalam memutus perkara yaitu metode Hermeneutika Hukum. Menurut Gadamer sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Rifai (2010:87) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Hermeneutika Hukum adalah Legal hermeneutics is then, in reality no special case but is, on the contrary, fitted to restore the full scope of the hermeneutical problem and so to restrieve the former unity of hermeneutics, in which jurist and theologian meet the student of the humanities. (Terjemahan bebas: Hermeneutika hukum dalam kenyataannya bukanlah merupakan suatu kasus yang khusus/baru, tetapi sebaliknya, ia hanya merekonstruksikan kembali dari seluruh problem hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, di mana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora). Fungsi dan tujuan Hermeneutika Hukum adalah untuk memperjelas sesuatu yang tidak jelas supaya lebih jelas (bringing the unclear in to clarity), sedangkan tujuan yang lain dari Hermeneutika Hukum adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer hukum dalam kerangka Hermeneutika pada umumnya. Upaya mengkontekstualisasi teori hukum dengan cara ini serta mengasumsikan bahwa Hermeneutika memiliki korelasi pemikiran dengan ilmu hukum dan Yurisprudensi. Hermeneutika Hukum mempunyai relevansi dengan teori penemuan hukum, yang ditampilkan dalam kerangka pemahaman proses timbal balik antara kaedah-kaedah dan fakta-fakta. Dalil Hermeneutika menjelaskan bahwa orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaedah-kaedah dan mengintepretasi kaedah-kaedah dalam cahaya fakta-fakta termasuk paradigma dari teori penemuan hukum modern saat ini. Jadi Hermeneutika Hukum dapat dipahami sebagai metode interpretasi teks hukum atau metode memahami terhaap suatu naskah normatif. Penggunaan dan penerapan Hermeneutika Hukum sebagai teori dan meode penemuan hukum baru akan sangat membantu para hakim dalam memeriksa serta memutus perkara yang diadilinya. Kelebihan metode Hermeneutika Hukum terletak pada cara dan lingkup interpretasinya yang tajam, mendalam dan halistik dalam bingkai keastuan antara teks, kontek dan 196
Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan Agama
kontektualisasinya. Peristiwa hukum maupun peraturan perundang-undangan tidak semata-mata dilihat atau ditafsirkan dari aspek legal formal berdasarkan bunyi teksnya semata, tetapi juga harus dilihat dari faktor-faktor yang melatar belakangi peristiwa atau sengketa yang muncul, apa akar masalahnya adakah intervensi politik (atau intervensi lainnya) yang melahirkan dikeluarkan suatu putusan, serta tindakkan dampak dari putusan itu dipikirkan bagi proses penegakan hukum dan keadilan di kemudian hari (idem Hal 88,89). Dalam praktek peradilan tampaknya metode Hermeneutika Hukum ini tidak banyak atau jarang sekali di pergunakan sebagai metode penemuan hukum. Hal ini disebabkan karena dominannya metode interptestasi dan Hantruksi Hukum yang sudah sangat mengakar dalam praktek di Peradilan Indonesia. Mungkin juga para hakim belum begitu familiar dengan metode Hermeneutika ini sehingga tidak menggunakannya dalam penemuan hukum. Padahal metode ini dianggap paling baik sebab ia merupakan sutau metode menginterpretasikan teks hukum yang tidak semata-mata melihat teksnya saja, tetapi juga konteks-konteks hukum itu dilahirkan serta bagaimana kontekstualisasi atau penerapan hukumnya dimasa kini dan masa mendatang. C. Teknik Pengambilan Putusan Acara Bimbingan Teknis (BINTEK) tahun 2010 yang diselenggarakan di Banjarmasin, Manado, Makassar dan Palembang untuk sebahagian Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia telah dilaksanakan pelatihan tentang peningkatan mutu putusan Hakim dengan cara meningkatkan ketrampilan dalam metode dan teknik pengambilan putusan oleh Hakim dalam memutus suatu perkara. Bintek Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia. Dilaksanakan sehubungan dengan pengamatan selama ini bahwa putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama masih sangat lemah dalam pertimbangan hukumnya. Menurut H. Taufiq, S.H. (1995: 19) kelemahan putusan Pengadilan Agama di samping terletak pada kekurangan fakta, juga kurangnya penganalisaan dan penilaian terhadap fakta. Penganalisaan mereka terhadap fakta untuk disimpulkan kepada fakta yang benar (dikonstatir) tidak tajam. Hal ini karena kurang tajamnya penggunaan metode induksinya, proses pikir yang bertolak dari satu atau sejumlah fenomena individual untuk mengambil kesimpulan dalam suatu masalah hukum juga masih sangat kurang. Mereka juga sangat kurang dalam hal menggunakan metode generalisasi, analogi induktif dan kausal. Data yang diproses oleh mereka sangat minim karena mereka kurang memahami tentang konsep fakta dan konsep hukum yang harus mereka pergunakan. Penganalisaan terhadap fakta yang telah dinyatakan terbukti juga tidak tajam bahkan sering tidak dianalisis sebagaimana mestinya. Disamping itu, metode yang dipergunakan untuk menarik kesimpulan dalam menemukan fakta umumnya tidak jelas, status pencantuman pendapat para ahli hukum Islam (fuqaha) juga tidak jelas, apakah sebagai sumber hukum atau sebagai sarana untuk menafsir belaka. Akibat dari kelemahan-kelemahan sebagaimana tersebut di atas maka sebagian besar putusan Pengadilan Agama pertimbangannya (pertimbangan 197
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
hukumnya) tidak sistematis, tidak lengkap, dan kurang meyakinkan. Di samping itu, bunyi amar putusan juga belum baku, masih beragam, padahal kasus yang diperiksanya masih ada kesamaan antara satu dengan yang lain. Putusan tersebut masih belum bisa dipertanggungjawabkan dari segi hukum formal dan materiil. Diharapkan pada masa yang akan datang, setiap putusan hasil produk Pengadilan Agama hendaknya haruslah lebih berbobot dan ilmiah. Sehubungan dengan hal ini, diharapkan kepada hakim di lingkungan Peradilan Agama agar dalam memutus suatu perkara haruslah memperhatikan dengan saksama tentang tahapan-tahapan yang harus diambil dan dilalui sebelum putusan itu dijatuhkan. Dengan demikian, putusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak-pihak yang berperkara, masyarakat, dan juga ilmu pengetahuan hukum. Hakim dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang diperiksa dapat memilih 3 (tiga) tehnis pengambilan putusan dan penerapan hukum yaitu: 1. Teknik Analitik. Metode ini juga disebut dengan yuridis giometris. Kalau para Hakim mempergunakan metode ini maka ia harus menguasai Hukum Acara secara lengkap. Teknik Analitik paling cocok di pergunakan pada perkara-perkara yang berskala besar dan biasanya dalam hukum kebendaan (Zaken Rech). Metode ini dimulai dengan hal-hal yang bersifat khusus, lalu ditarik kesimpulan kepada halhal umum (kesimpulan deduktif). Dalam pertimbangan hukum, Hakim harus menguasai pokok masalahnya terlebih dahulu secara real dan akurat, lalu disusunlah pertanyaan sehubungan dengan pokok masalah tersebut, misalnya dalam bidang kewarisan, hakim harus memulai dengan pernyataan siapa pewaris, lalu siapa ahli warisnya, barang-barang waris apa saja, berapa bagianmasingmasing, dan bagaimana pelaksanaannya. Tentu saja analisa dari pertanyaan tersebut sekaligus mempertimbangkan alat-alat bukti dan menjawab petitum dari gugatan. Jika penjelasan tentang Hukum Acara belum begitu lengkap, sebaiknya jangan pakai metode ini, sebab sangat sulit dalam hal analisa masalah dan pengambilan keputusan. 2. Teknik Equatable. Teknik ini harus dilihat dari segi kosmistis yang dikembanangkan dari prinsip keadilan. Isu pokok dulu yang harus dipertimbangkan, lalu alat-alat bukti yang diajukan penggugat dan tergugat. Apabila alat-alat bukti itu telah diuji kebenarannya maka hakim menetapkan alat-alat bukti itu dalam peristiwa konkrit, yang kemudian di cari rule nya (hukumnya). 3. Teknik Silogisme. Teknik ini paling banyak dipakai oleh Hakim karena ia sederhana dan dapat diterapkan dalam peristiwa apa saja. Teknis ini disebut juga dengan metode penalaran induktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus. Penggunaan hukum logika yang dinamakan dengan silogisme menjadi dasar utama aliran ini, dan hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu peraturan hukumnya, dan primesse minor, yaitu peristiwanya. Sebagai contoh, siapa mencuri dihukum. A terbukti mencuri, maka A harus 198
Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan Agama
dihukum. Jadi rasio dan logika ditempatkan dalam ranah yang istimewa. Kekurangan undang-undang dapat dilengkapi oleh hakim dengan penggunaan hukum logika dan memperluas pengertian undang-undang berdasarkan rasio. Kritik terhadap aliran ini, terutama berpendapat bahwa hukum bukan sekedar persoalan logika dan rasio, tetapi juga merupakan persoalan hati nurani maupun pertimbangan akal budi manusia, yang kadang-kadang bersifat irrasional. Dari segi metodologi, secara sederhana para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang diperiksa dan diadili hendaknya melalui proses tahapan-tahapan sebagai berikut: a. Perumusan masalah atau pokok sengketa Perumusan masalah atau sengketa dari suatu perkara dapat disimpulkan dari informasi baik dari Penggugat maupun dari Tergugat, yang termuat dalam gugatannya dan jawaban Tergugat, replik dan duplik. Dari persidangan tahap jawab-menjawab inilah hakim yang memeriksa perkara tersebut memperoleh kepastian tentang peristiwa konkrit yang disengketakan oleh para pihak. Peristiwa yang disengketakan inilah yang merupakan pokok masalah dalam suatu perkara. Perumusan pokok masalah dalam proses pengambilan keputusan oleh hakim merupakan kunci dari proses tersebut. Kalau pokok masalah sudah salah rumusannya, maka proses selanjutnya juga akan salah. b. Pengumpulan data dalam proses pembuktian. Setelah hakim merumuskan pokok masalahnya, kemudian hakim menentukan siapa yang dibebani pembuktian untuk pertama kali. Dari pembuktian inilah, hakim akan mendapatkan data untuk diolah guna rnenemukan fakta yang dianggap benar atau fakta yang dianggap salah (dikonstatir). Data berupa fakta yang dinyatakan oleh alat-alat bukti dan sudah diuji kebenarannya. c. Analisa data untuk menemukan fakta. Data yang telah diolah akan melahirkan fakta yang akan diproses lebih lanjut sehingga melahirkan suatu keputusan yang akurat dan benar. Menurut Black's Law Dictionary sebagaimana yang ditulis oleh H. Taufiq, SH. (1995: 8) ―fakta adalah kegiatan yang dilaksanakan atau sesuatu yang dikerjakan, atau kejadian yang sedang berlangsung, atau kejadian yang benar-benar telah terwujud, atau kejadian yang telah terwujud dalam waktu, dan ruang atau peristiwa fisik atau mental yang telah menjelma dalam ruang”. Jadi fakta itu dapat berupa keadaan suatu benda, gerakan, kejadian, atau kualitas sesuatu yang benar-benar ada. Fakta bisa berbentuk eksistensi suatu benda, atau kejadian yang benar-benar wujud dalam kenyataan, ruang, dan waktu. Fakta berbeda dengan angan-angan, fiksi dan pendapat seseorang. Fakta ditentukan berdasarkan pembuktian. Fakta berbeda dengan hukum, hukum merupakan asas sedangkan fakta merupakan kejadian. Hukum sesuatu yang dihayati, sedangkan fakta sesuatu yang wujud. Hukum merupakan tentang hak dan kewajiban, sedangkan fakta merupakan kejadian yang sesuai atau bertentangan dengan hukum. Hukum adat kebiasaan, putusan hakim dan ilmu pengetahuan hukum, sedangkan fakta ditemukan dari pembuktian suatu peristiwa dengan mendengarkan keterangan para saksi dan para ahli. akta ada yang sederhana dan ada pula yang kompleks, ada 199
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
yang ditemukan dengan hanya dari keterangan para saksi, tetapi ada juga yang harus ditemukan dengan penalaran dari beberapa fakta (H.Taufik S.H., 1995: 9). d. Penentuan hukum dan penerapannya. Setelah fakta yang dianggap benar ditemukan, selanjutnya hakim menemukan dan menerapkan hukumnya. Menemukan hukum tidak hanya sekadar mencari undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa yang konkrit, tetapi yang dicarikan hukumnya untuk diterapkan pada suatu peristiwa yang konkrit. Kegiatan ini tidaklah semudah yang dibayangkan. Untuk menemukan hukumnya atau undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus diarahkan kepada undang-undangnya, sebaliknya undang-undang harus disesuaikan dengan peristiwa yang konkrit. Jika peristiwa konkrit itu telah ditemukan hukumnya maka langsung menerapkan hukum tersebut, jika tidak ditemukan hukumnya maka hakim harus mengadakan interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan tersebut. Sekiranya interpretasi tidak dapat dilakukannya maka ia harus mengadakan konstruksi hukum sebagaimana yang telah diuraikan di atas. e. Pengambilan keputusan. Jika penemuan hukum dan penerapan hukum telah dilaksanakan oleh hakim, maka ia harus menuangkannya dalam bentuk tertulis yang disebut dengan putusan. Hasil proses sebagaimana yang telah diuraikan di atas, para hakim yang menyidangkan suatu perkara hendaknya menuangkannya dalam bentuk tulisan yang disebut dengan putusan. Putusan tersebut merupakan suatu penulisan argumentatif dengan format yang telah ditentukan undang-undang. Dengan dibuat putusan tersebut diharapkan dapat menimbulkan keyakinan atas kebenaran peristiwa hukum dan penerapan peraturan perundang-undangan secara tepat dalam perkara yang diadili tersebut. D. Kesimpulan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal tentang Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan Agama. Dari segi metodologi, secara sederhana para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang diperiksa dan diadili hendaknya melalui proses tahapan-tahapan, Perumusan masalah atau sengketa dari suatu perkara dapat disimpulkan dari informasi baik dari Penggugat maupun dari Tergugat, yang termuat dalam gugatannya dan jawaban Tergugat, replik dan duplik, Setelah hakim merumuskan pokok masalahnya, kemudian hakim menentukan siapa yang dibebani pembuktian untuk pertama kali. Kemudian Data yang telah diolah akan melahirkan fakta yang akan diproses lebih lanjut sehingga melahirkan suatu keputusan yang akurat dan benar. Setelah fakta yang dianggap benar ditemukan, selanjutnya hakim menemukan dan menerapkan hukumnya. Jika penemuan hukum dan penerapan hukum telah dilaksanakan oleh hakim, maka ia harus menuangkannya dalam bentuk tertulis yang disebut dengan putusan.
200
Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan Agama
DAFTAR PUSTAKA Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Prenada Media Group, Jakarta, Cet ke 5, 2008. Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Cet I, 2010, Jakarta. Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi Teks, UII Press, Yogyakarta, 2005. Ahmad Ali, Mengenal Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Chandra Pratama, Jakarta, Cet. I, 1996. M. Taufiq, Tehnik Membuat Putusan, Makalah Pada Temu Karya Hukum Hakim PTA se Jawa PPHIM, Jakarta, 1988. Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian, Pidana dan Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. J.A. Pontier, Penemuan Hukum, penerjemah B. Arief Sidharta, Jendela Mas Pustaka, Bandung, 2008. Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXV No. 297 Agustus 2010, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2010. Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia, Teori, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. I, 2009.
201
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
202
ISSN : 2303-3274
PENGECUALIAN ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA
Made Darma Weda Dosen Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta Abstrak Perdebatan terkait dengan pengecualian asas legalitas dalam hukum pidana, telah ada pada International Criminal Tribunal for The Farmer Yugoslavia (ICTY) yang dibentuk berdasarkan United Nation‘s Resolution No. 827 Tahun 1993 dan The International Criminal Tribunal for the Rwanda (ICTR), yang didasarkan pada United Nation‘s Resolution No. 995 Tahun1994. Pada peradilan (tibunal) tersebut asas non-retroaktif menjadi permasalahan yang muncul dalam persidangan. Pemberlakuan secara retroaktif menjadi materi yang bertentangan dengan dengan asas nullum delictum crimen sine dan larangan pemberlakuan secara retroaktif. Kata kunci : Perkecualian, retroaktif, hukum pidana. Abstract Debating for exceptional of legality principle in criminal law could be learned by establishing of the International Criminal Tribunal for The Farmer Yugoslavia (ICTY) which was based on United Nation‟s Resolution in 1993, No. 827 and The International Criminal Tribunal for the Rwanda (ICTR) which was based on United Nation‟s Resolution in 1994, No. 955. Even though these tribunals were rejected by the parties who supported the dependents, they still to cross-examine those cases, even though it was against the principle of nullum crimen sine lege as retroactive principe in criminal law. Key words : Retroactive, criminal law, exceptional. A. Pendahuluan Dalam teori dan praktek hukum pidana, dikenal adanya asas legalitas -yang salah satunya -- melarang pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif. Hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan ‖tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan‖. Dalam perkembangan hukum pidana terjadi penyimpangan yang didasarkan pada kebutuhan. Beberapa pengadilan internasional yang pernah memberlakukan hukum pidana secara retroaktif dan menjadi diskursus dalam pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif, yaitu The International Military Tribunal in Nuremberg dan The International Military Tribunal at Tokyo. Kedua pengadilan militer ini merupakan pengadilan yang dibentuk untuk mengadili para pelaku kejahatan perang, semasa terjadinya Perang Dunia II. The International Military Tribunal in Nuremberg dan The International Military Tribunal at Tokyo yang dibentuk berdasarkan London Agreement, tidak
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
dapat dilepaskan dari nuansa politik, sehingga pengadilan ini disebut pula sebagai keadilan bagi para pemenang (victor justice). Pada tahun 1990-an, Dewan Keamanan PBB melalui Resolusinya No. 827 Tahun 1993 telah membentuk International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia (ICTY).1 Kemudian, dengan Resolusi No. 995 Tahun 1994, PBB telah membentuk International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Dalam Criminal Tribunal tersebut pun terdapat perdebatan tentang pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif. Pembentukan ICTY dan ICTR tidak dapat dilepaskan dari nuansa politik. Keputusan Dewan Keamanan PBB, dalam menentukan konflik yang terjadi di Yugoslavia dan Rwanda, serta individu-individu yang harus bertanggung jawab dalam konlik tersebut, merupakan keputusan yang sarat dengan nuansa politik. Ketika Pengadilan Militer Nuremberg dan Tokyo dibentuk, terdapat perlawanan dari berbagai pihak, khususnya mereka yang ditangkap dan diadili, karena didasarkan pada hukum yang berlaku secara retroaktif.2 Demikian pula ketika dibentuk Pengadilan Ad Hoc di Yugoslavia dan Rwanda. Ketika pengadilan ini dibentuk, terdapat perlawanan dari pengacara para tersangka, karena dalam hukum pidana terdapat larangan untuk memberlakukan hukum pidana secara retroaktif. Permasalahan sebagaimana terjadi di beberapa Negara, juga terjadi di Indonesia. Meskipun terdapat larangan konstitusional untuk memberlakukan hukum pidana secara retroaktif, terdapat Undang-undang mengandung perumusan yang diberlakukan secara retroaktif. Dalam Penjelasan Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU tentang HAM) secara gamblang disebutkan bahwa ―Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketentuan tersebut dijadikan landasan bagi Pasal 43 Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang menyatakan bahwa ―pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc‖. Selain UU tentang HAM, pemberlakuan secara retroaktif juga dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Perpu ini, pada tanggal 4 April 2003 ditetapkan menjadi UU, yaitu UU No.15 Tahun 2003. Dalam Pasal 46 UU No.15 Tahun 2003 disebutkan sebagi berikut: Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu 1
2
204
M. Cherif Bassiouni, The Commission of Experts Established Pursuant to Security Council Resolution 780: Investigating Violations of International Humanitarian Law in The Former Yugolsavia, dalam Roger S. Clark dan Madeleine Sann, The Prosecution of International Crimes, Transaction Publishers, New Jersey, 1996, hal. 64. Gerry J. Simpson, War Crimes: A Critical Introduction, dalam Timothy L.H. McCormack dan Gerry J. Simpson, Editor, The Law of War Crime, National and International Approaches, Kluwer Law International, Netherlands, 1997, hal 1.
Pengecualian Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana
sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersendiri. Berdasarkan Pasal 46 tersebut di atas, nampak bahwa pemberlakuan secara retroaktif berkaitan dengan materi UU No. 15 tahun 2003 dapat dilakukan bila hal tersebut ditetapkan melalui Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu). Hal ini mendasari dikeluarkannya UU No.16 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No.1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002. Di tengah terjadinya perdebatan tentang pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) memutus permohonan yudicial review terhadap UU No. 16 Tahun 2003. Melalui Putusan Perkara No 013/PUU-I/2003, pada tangga 22 Juli 2004, MK menyatakan bahwa UU No. 16 Tahun 2003 tidak memiliki kekuatan mengikat. Salah satu pertimbangan hakim adalah bahwa pada dasarnya hukum itu harus berlaku ke depan. Adalah tidak fair, jika seseorang dihukum karena perbuatan yang pada saat dilakukannya merupakan perbuatan yang sah. Adalah tidak fair pula jika pada diri seseorang diberlakukan suatu ketentuan hukum yang lebih berat terhadap suatu perbuatan yang ketika dilakukannya diancam oleh ketentuan hukum yang lebih ringan, baik yang berkenaan dengan hukum acara (prosedural), maupun hukum material (substance). Tulisan ini mencoba untuk mengkaji dan menganalisa eksistensi asas legalitas, khususnya terkait dengan kejahatan yang tergolong dalam pelanggaran HAM berat. B. Pembahasan 1. Retroaktif Dalam Pengadilan Internasional Berdasarkan London Agreement tanggal 8 Agustus 1945, oleh pemerintah Amerika, Perancis, Inggris, Irlandia Utara, dan Sovyet, didirikanlah The International Military Tribunal At Nuremberg, yang bertugas untuk menyelenggarakan peradilan yang cepat dan adil untuk menghukum tokoh-tokoh utama penjahat perang dari negara-negara European AXIS3. Pembentukan Pengadilan Nuremberg, menurut Geoffrey di dasarkan bahwa tidak ada hak-hak tanpa pemulihan kembali. Sama halnya bahwa tidak ada hak-hak asasi manusia tanpa pemulihan untuk setiap pelanggarannya. Pendekatan
3
Pasal 6 dari Statuta, yang menyatakan “The Tribunal established by the Agreement referred to in Article 1 hereof for the trial and punishment of the major war criminals of the European Axis countries shall have the power to try and punish persons who, acting in the interests of the European Axis countries, whether as individuals or as members of organizations, committed any of the following crimes”. 205
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
inilah yang dipergunakan sebagai dasar untuk menghukum mereka yang bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan4. Tribunal ini mempunyai kewenangan untuk mengadili dan menghukum para pelaku baik secara individual maupun sebagai suatu organisasi yang telah melakukan kejahatan sebagaimana disebut dalam Statuta. Adapun jenis kejahatan tersebut adalah 5 : (a). Kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace); (b) Kejahatan perang (war Crime); (c). Kejahatan terhadap Kemanusiaan (crimes against Humanity). Peradilan yang berlangsung dari tanggal 14 November 1945 sampai dengan 1 Oktober 1946 ini mengatur beberapa hal, yaitu6: 1. Setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu kejahatan internasional bertanggung jawab atas perbuatannya dan harus dihukum; 2. Fakta bahwa hukum internal (nasional) tidak mengancam dengan pidana atas perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasional tidaklah membebaskan orang yang melakukan perbuatan itu dari tanggung jawab menurut hukum internasional; 3. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasional bertindak sebagai Kepala Negara atau pejabat pemerintah yang bertanggung jawab, tidak membebaskan dia dari tanggung jawab menurut hukum internasional; 4. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan itu untuk melaksanakan perintah dari Pemerintahnya atau dari atasannya tidaklah membebaskan dia dari tanggung jawab menurut hukum internasional, asal saja pilihan moral (moral choice) yang bebas dimungkinkan olehnya; 5. Setiap orang yang didakwa melakukan kejahatan menurut hukum internasional mempunyai hak untuk mendapatkan peradilan yang adil berdasarkan fakta dan hukum; 6. Kejahatan-kejahatan tersebut di bawah ini dapat dihukum menurut hukum internasional: (a) Kejahatan terhadap perdamaian (jus ad bellum): i. Merencanakan, menyiapkan, memulai atau menggerakkan perang yang bersifat agresi yang melanggar treaty, persetujuan (agreements), atau jaminan (assurances) internasional;
4
5
6
206
Geoffrey Robertson QC, Crimes Against Humanity, The Struggle For Global Justice, Penguin Books, England, 2000, hal. 203. Lihat pula: Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi), Universitas Indonesia, Jakarta, 1999, hal. 8. Roger S. Clark, Nuremberg and Tokyo In Contemporary Perspective, dalam Timothy L.H. McCormack dan Gerry J. Simpson, Editor, The Law of War Crime, National and International Approaches, Kluwer Law International, Netherlands, 1997, hal 173. Machteld Boot, Nullum Crimen Sine Lege and The Subject Matter Jurisdiction of The International Criminal Court, Genocide, Crimes Against Humanity, War Crimes, Intersentia, Leiden, 2001, hal. 313-314.
Pengecualian Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana
ii. Turut serta dalam menyusun rencana umum atau berkonspirasi untuk melaksanakan perbuatan apa saja yang tercantum dalam (i). (b) Kejahatan Perang (jus in bello); Pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan perang meliputi, tapi tak terbatas kepada pembunuhan, perlakuan tidak manusiawi (illtreatment) atau deportasi ke tempat kerja paksa sebagai budak untuk tujuan apapun, juga terhadap penduduk sipil dari atau yang berasal dari wilayah yang dikuasai; pembunuhan atau perlakuan yang tidak manusiawi terhadap tawanan perang, orang-orang di lautan (kapal), membunuh tawanan, merampok milik umum atau pribadi, perusakan yang berkelebihan atau tidak diperlukan atas kota-kota, desa-desa atau pemusnahan yang secara militer tidak dianggap perlu. (c) Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi dan perbuatan yang tidak manusiawi terhadap penduduk sipil, atau penyiksaan tersebut berdasarkan politik, ras, atau agama, apabila perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan atau penyiksaan tersebut diambil dalam pelaksanaan atau berkaitan dengan kejahatan terhadap perdamaian atau kejahatan perang apa saja. 7. Keterlibatan dalam pelaksanaan suatu kejahatan terhadap perdamaian, suatu kejahatan perang, atau suatu kejahatan terhadap kemanusiaan seperti disebutkan dalam Prinsip VI adalah suatu kejahatan menurut hukum internasional. Ketujuh hal tersebut di atas, kemudian diformulasikan menjadi prinsipprinsip hukum internasional, yang kemudian pada tanggal 29 Juli 1950 oleh International Law Commission dikenal sebagai Nuremberg Principles. Prinsipprinsip inilah kemudian yang menjiwai peradilan HAM yang dibentuk pada masa berikutnya, seperti International Criminal Tribunal For Yugoslavia (ICTY), International Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR) dan International Criminal Court (ICC). Beberapa hal baru yang diberlakukan dan dilaksanakan di peradilan Nuremberg, adalah: (1) tanggung jawab pribadi yang secara jelas tercantum dalam Pasal 6 Statuta; (2) keberlakuan hukum pidana secara retroaktif, di mana statuta yang dibuat pada tahun 1945 ini diberlakukan secara retroaktif untuk kejahatan yang dilakukan sebelumnya, yaitu selama Perang Dunia II dan berlangsung di mana saja. Pemberlakuan secara retroaktif ini, dalam persidangan telah ditolak dan mendapatkan tantangan dari para pengacara terdakwa karena bertentangan dengan prinsip hukum pidana yang berlaku. Bantahan ini ditolak oleh Majelis Hakim IMT Nuremberg dengan alasan bahwa prinsip non retroaktif hanya berlaku: (a) bagi kejahatan biasa (ordinary crimes), dan (b) yang terjadi di wilayah hukum nasional, di mana yang berlaku adalah hukum nasional. Para terdakwa di Pengadilan Nuremberg tidak dapat membantah lagi, meskipun mereka tetap mencoba berdalih bahwa adalah merupakan pelanggaran terhadap aturan bila mereka diajukan ke 207
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
pengadilan atas pelanggaran yang tidak memiliki kesepadanan dalam hukum Nazi Jerman. Pelanggaran tersebut terdapat dalam hukum internasional.7 Lebih lanjut dikemukakan oleh Majelis Hakim bahwa asas non-retroaktif tidak berlaku bagi kejahatan internasional, terlebih hukum internasional, konvensikonvensi internasional, dan hukum perang telah ada sebelumnya dan telah diterima oleh negara-negara di dunia.8 Perdebatan tentang pemberlakuan secara retroaktif tidak hanya terjadi ketika persidangan berlangsung, tetapi juga terjadi ketika Statute Nuremberg dirumuskan. Justice Jakson menyatakan “I want these acts defined as crime”.9 Keinginan ini disepakati oleh Trainin, seorang guru besar, yang menyatakan “it is quite true that the American draft is quite precise in that states these are violations”.10 Tidak ada argumen yang memuaskan untuk menjelaskan, mengapa diberlakukan secara retroaktif. Dalam kaitan dengan pemberlakuan secara retroaktif, Kelsen menyatakan bahwa11: “the infliction of an evil, if not carried out as a reaction against a wrong, is a wrong itself. The non-aplication of the rule against ex post facto law is a first sanction inflicted upon those who have violated this rule and hence have forfeited the privilege to be protected by it.” Pernyataan Jackson dan Kelsen tersebut di atas, jelas menunjukkan bahwa suatu kejahatan haruslah mendapatkan hukuman. Pembiaran terhadap kejahatan karena adanya asas non retroaktif merupakan suatu sikap yang salah. Dengan demikian, menurut penulis, nampak bahwa keadilan yang diterapkan dalam pengadilan Nuremberg adalah keadilan retributif. Para pelaku kejahatan yang telah menghilangkan nyawa orang lain, harus dapat mempertanggung jawabkan segala perbuatannya. Setahun setelah dibentuknya IMT Nuremberg, pada tanggal 19 Januari 1946, MacArthur dengan mendapatkan persetujuan dari negara-negara sekutu lainnya yang memenangkan peperangan, mengeluarkan piagam yang dikenal sebagai Charter of the International Military Tribunal for the Far East. Charter ini merupakan dasar untuk pembentukan pengadilan yang ditujukan untuk mengadili para pelaku pencetus Perang Dunia II, yang mereka sebut sebagai para penjahat perang, di wilayah Timur Jauh. Pengadilan yang berkedudukan di Tokyo ini, memiliki yurisdiksi terhadap beberapa kejahatan, yaitu: (a) kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace); (b) kejahatan perang konvensional (Conventional war crimes); (c) kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity), Sebagaimana halnya
7 8 9
10 11
208
Ibid., hal. 112. Ibid. M. Cherif Bassiouni, Crimes Against Humanity in International Criminal Law, Cluwer Law International, Netherland, 1999, hal. 147. Ibid. Ibid., hal. 166.
Pengecualian Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana
Pengadilan Nuremberg, di Pengadilan Tokyo mayoritas berpendapat bahwa nullum crimen sinus lege bukanlah suatu pembatasan kedaulatan yang akan mencegah pemberlakuan secara retroaktif, tetapi hanyalah merupakan prinsip keadilan.12 Dalam kaitannya dengan pemberlakuan secara retroaktif, Hakim dari Philipina menyatakan “nullum crimen, nulla poena sine lege not applicable to international law, distinguishing between national laws and national violators of those laws on the one hand, and authors of international crimes on the other13. Dalam IMT Nuremberg dan Tokyo nampak bahwa keadilan yang diterapkan adalah keadilan retributif. Proses pembentukan Statuta, yang dilakukan oleh beberapa Negara pemenang perang –bahkan untuk IMT Tokyo hanya dibuat oleh McArthur saja—menunjukkan bahwa hanya Negara-negara besar dan kuat yang akan mengadili para pelaku penjahat perang. Dalam sejarah tidak pernah pengadilan internasional terbentuk oleh Negara yang kalah perang. Oleh karena itu tidak salah bila dikatakan bahwa pembentukan IMT Nurember dan Tokyo didasarkan atas keadilan para pemenang (victor justice).14 Bahkan, Geoffrey, mengatakan bahwa pengadilan Nuremberg menciptakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan menghukum mereka secara tidak manusiawi. Dikatakan menghukum secara tidak manusiawi karena pengadilan Nuremberg telah menghukum gantung 12 orang terdakwa, yang kemudian jenasahnya dikremasi untuk kemudian dibuang di sungai yang tidak teridentifikasi.15 Bahkan salah seorang terdakwa yang bernama Goering memilih menenggak racun daripada harus menghadapi proses eksekusi.16 Prinsip-prinsip Nuremberg yang telah diterima sebagai prinsip-prinsip umum dalam hukum internasional, menunjukkan bahwa keadilan retributive lebih mendasari proses pengadilan Nuremberg dan Tokyo. Dengan adanya kalimat ―setiap orang yang melakukan perbuatan kejahatan internasional harus dihukum‖ menunjukkan bahwa keadilan yang diterapkan adalah keadilan retributif. Tidaklah salah bila Ruti G. Teitel menyatakan bahwa “retribution justification related to punishment”.17 International Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia (ICTY) dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan No.827 Tahun 1993, dengan tujuan untuk menghukum para pelaku kejahatan perang, genosida, dan kejahatan kemanusiaan, yang terjadi sejak 1 Januari 1991 di wilayah bekas negara Yugoslavia. Pembentukan ICTY oleh Dewan Keamanan PBB ini didasarkan pada Chapter VII, Piagam PBB. Sedangkan International Criminal Tribunal For The Rwanda (ICTR) dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 955 12
Machteld Boot, op.cit.hal. 199. Ibid. 14 Roger S. Clark, Nuremberg and Tokyo in Contemporary Perspective, dalam McCormack, Timothy L.H., dan Gerry J. Simpson, Ed., The Law of War Crime National and International Approaches, Kluwer Law International, Netherlands, 1997, hal. 180. Lihat pula: Geoffrey Robertson QC, op.cit. hal. 220. 15 Geoffrey Robertson QC, op.cit. hal. 220. 16 Ibid. 17 Ruti G. Teitel, op.cit., hal. 50. 13
209
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Tahun 1994, dengan tujuan untuk mengadili dan menghukum para pelaku genosida, pelanggaran terhadap Konvensi Genewa, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang berlangsung sejak tanggal 1 Januari 1994 sampai 31 Desember 1994, di wilayah Rwanda. ICTY merupakan peradilan internasional ad hoc pertama yang dibentuk untuk mengadili dan menghukum mereka yang bertanggung jawab telah menghilangkan 800.000 orang dalam konflik yang terjadi di Yugoslavia. Berbeda dengan IMT Nuremberg yang dibentuk hanya oleh empat Negara pemenang Perang Dunia II, ICTY dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB. Dalam resolusi tersebut dinyatakan ―pengadilan internasional harus diselenggarakan untuk mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional, yang dilakukan di wilayah bekas Yugoslavia sejak 1991‖. Dalam Statuta, dinyatakan bahwa yurisdiksi ICTY adalah18: (a) pelanggaran berat terhadap the Genewa Convention of 1949; (b) pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan perang; (c) Genosida; (d) kejahatan terhadap kemanusiaan. Permasalahan yang berkaitan dengan pemberlakuan secara retroaktif, dalam Statuta ICTY, dikemukakan oleh Sekretaris Jenderal PBB, bahwa aplikasi dari prinsip nullum crimen sine lege di pengadilan internasional perlu menggunakan ketentuan dari hukum humaniter internasional yang diyakini sebagai bagian dari hukum kebiasaan. Hal ini penting dalam konteks pengadilan internasional yang menuntut orang yang bertanggung jawab untuk pelanggaran yang serius terhadap hukum humaniter internasional.19 Dengan demikian jelas bahwa nullum crimen sine lege tidak hanya didasarkan pada hukum nasional tetapi juga hukum internasional. Prinsip legalitas merupakan hak terdakwa. Hal ini penting untuk menyatakan bahwa Yugoslavia adalah negara peserta konvensi, yakni Konvensi Genewa, Konvensi Hague dan Konvensi Genosida.20 Hakim ICTY dalam kasus Delalic, menyatakan bahwa prinsip legalitas ada dan dikenal di dalam sistem peradilan pidana di dunia. Prinsip tersebut tidaklah begitu luas, meliputi apa yang mereka telah akui sebagai bagian dari praktek undang-undang yang bersifat internasional. Hal ini sangat penting karena adanya metoda yang berbeda dalam menentukan kriminalisasi di dalam hukum nasional dan sistem peradilan pidana internasional. Dalam hukum nasional, kriminalisasi sangat tergantung pada waktu dan materi dari larangan tersebut. Sedangkan dalam sistem peradilan pidana internasional kriminalisasi dilakukan melalui perjanjian atau konvensi, atau praktek sepihak dari suatu Negara.21 Oleh karena itu dapat didalilkan bahwa prinsip legalitas dalam hukum pidana internasional memiliki standar aplikasi yang berbeda dengan sistem undang-undang nasional. 18 19
20 21
Machteld Boot, op.cit., hal. 237-242 John R.W.D. Jones dan Steven Powless, International Criminal Practice, Oxford, hal. 401. Ibid. Ibid., hal 402.
210
Pengecualian Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana
Hakim yang mengadili Delalic menyatakan bahwa untuk memberikan makna dari prinsip legalitas, dua kesimpulan penting harus diterima, pertama, hukum pidana harus dikonstruksikan secara jelas, kedua, hukum pidana tidak berlaku surut. Ini adalah bagian tambahan yang merupakan tugas dari judicial interpreter atau hakim untuk menafsirkan dan menyimpulkan bahasa dari badan pembuat undang-undang. Dengan demikian nampak bahwa prinsip ini dapat dipastikan untuk badan pembuat undang-undang dan bukan pengadilan atau hakim untuk menentukan kejahatan dan hukumannya.22 Kritik terhadap pengadilan yang memberlakukan hukum secara retroaktif merupakan suatu kewajaran. Oleh karena itu dikatakan bahwa ICTY dan ICTR yang diberlakukan secara retroaktif hanyalah merupakan prosedural. Substansi hukum yang melarang perbuatan tersebut telah ada sebelumnya, hanya saja pengadilan untuk memproses mereka baru kemudian diwujudkan. Oleh karena itu, pengadilan yang baru harus memastikan bahwa ia hanya menghukum pelanggar sebagaimana mereka telah mendefinisikan perbuatan tersebut dan dapat dijatuhi pidana.23 Di samping itu, tuduhan tentang pemberlakuan secara retroaktif bagi terdakwa Serbia dan Kroasia, juga tidak dapat dibenarkan karena tindakan yang dilakukan telah berlawanan dengan hukum humaniter internasional dan hukum Yugoslavia.24 Bahkan, hukum Yugoslavia mengancam perbuatan tersebut dengan ancaman pidana mati. Dengan demikian jelas bahwa keberatan atas pemberlakuan secara retroaktif yang diajukan oleh para pembela terdakwa, merupakan upaya untuk menyelamatkan para terdakwa dari tuntutan pengadilan. Christopher L. Blakesley memaparkan bahwa berdasarkan Pasal 1 dan 2 Statuta Yugoslavia dan Rwanda, pemberlakuan secara retroaktif mendapatkan pembenaran atas dasar konvensi hukum humaniter dan hukum kebiasaan internasional25. Demikian pula argument yang dikemukakan oleh Sekjen PBB, ketika pembentukan Pengadilan ad hoc untuk Yugoslavia dan Rwanda.26 Masalahnya adalah bahwa “customary international law” tidak dicantumkan 22 23 24
25
26
Ibid., hal 406. Ibid., hal 405. Geoffrey Robertson QC, op.cit., hal. 301. Pasal 125 Penal Code Yugoslavia telah mencantumkan materi konvensi Genewa. Lihat Roamn A. Kolodkin, An Ad Hoc International Tribunal for the Prosecution of Serious Violations of InternationalHumanitarian Law in the Former Yugoslavia, Roger S. Clark dan Madeleine Sann, Ed., The prosecution Of International Crimes, op.cit., hal. 179. Christopher L. Blakesley, Atrocity and Its Prosecution: The Ad Hoc Tribunals for the Former Yugoslavia dan Rwanda, Timothy L.H. McCormack dan Gerry J. Simpson, Ed., The Law of War Crimes, National and International Approaches, Kluwer Law International, USA, hal 205. Menurut Sekjen Security Council, hukum kebiasaan internasional telah diadopsi melalui beberapa konvensi, yaitu The Genewa Conventions of 12 August 1949 for the protection of War Victims; the (fourth) Hague Convention Respecting the Laws and Customs of War on Land and the Regulations annexed thereto of 18 October 1907; the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide of 9 Desember1948; the Charter of the International Military Tribunal of 8 August 1945. Ibid. 211
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
secara tertulis. Machteld Boot, menyatakan bahwa ICTY dan ICTR didirikan berdasarkan pada system common law, yang berbeda dengan civil law, dimana setiap perbuatan yang dinyatakan sebagai kejahatan serta dapat dipidana harus dituangkan dalam aturan tertulis.27 Dalam ICTR, hakim yang mengadili Akayesu menyatakan bahwa untuk memenuhi persyaratan Nullum crimen sine lege, pengadilan berpegang pada hukum humaniter internasional yang merupakan bagian dari hukum kebiasaan. Hakim yang mengadili Akayesu menyatakan28: (a)lthough the Secretary Council elected to take a more expansive approach to the choice of the subject-matter jurisdiction of the Tribunal than that of the ICTY, by incorporating international instruments regardless of whether they were considered part of customary international law or whether they entailed the individual criminal responsibility of the perpetrator of the crime, an essential question which should be addressed at this stage is whether Article 4 of the Statute includes norms which did not, at the time the crimes alleged in the Indictment were committed, form part of existing international customary law. Hakim yang mengadili Kayishema dan Ruzindana, para tersangka pelaku pelanggaran HAM berat di Rwanda, secara gambling menyatakan bahwa Rwanda merupakan Negara yang telah meratifikasi Konvensi Genewa dan Protokol II. Oleh karena itu tidak ada masalah dengan retroaktif, karena semua konvensi tersebut merupakan hukum kebiasaan internasional.29 Pengadilan terhadap Masema, Akayesu dan Tadic, merupakan pengadilan yang memiliki permasalahan yang sama, yaitu mempermasalahkan hukum kebiasaan. Dengan demikian, baik dalam ICTY maupun ICTR, tidak ada pelanggaran terhadap asas nullum delictum. 2. Penerapan Hukum Pidana Secara Retroaktif di Indonesia Di Indonesia, pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif untuk pertama kalinya dirumuskan dalam Pasal 43 ayat (1) UU tentang Pengadilan HAM yang menyatakan: ―Pelanggaran hak asasi yang berat, yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.‖ Ketentuan sebagaimana tersebut di atas dihadapkan pada Pasal 4 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM,30 yang melarang pemberlakuan secara retroaktif. 27
28 29 30
Machteld Boot, op.cit., hal. 150-151. ICTY dianggap sebagai pengadilan yang berjalan paling lambat karena terdakwa pertama baru muncul pada tahun 1995. Sedangkan proses pengadilannya baru dimulai pada tahun 1996. Dusko Tadic merupakan terdakwa pertama yang akhirnya dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Ibid., hal 278. Ibid., hal. 279. Pasal 4 UU No.39 Tahun 1999 menyatakan : “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.”
212
Pengecualian Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana
Yang cukup menarik adalah bahwa keberlakuan secara retroaktif dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 4, yang menyatakan bahwa: ―hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan kemanusiaan.‖ Mekanisme formal untuk memberlakukan hukum secara retroaktif diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang tentang Pengadilan HAM,31 atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat, yang kemudian ditetapkan oleh Keputusan Presiden32. Dengan mekanisme ini diharapkan bahwa pemberlakuan secara retroaktif tidak menjadi ranah lembaga eksekutif, tetapi merupakan ranah lembaga legislatif. DPR yang merupakan representasi rakyat Indonesia, dapat menentukan kasus-kasus mana yang diberlakukan secara retroaktif. Pemberlakuan secara retroaktif mendapatkan reaksi pro dan kontra dari berbagai kalangan, ketika RUU tersebut dibahas di DPR. Keinginan pemerintah untuk memberlakukan UU tentang HAM secara retroaktif, dengan tujuan untuk mengungkap pelanggaran HAM yang pernah terjadi di masa lalu nampak dalam pembahasan RUU tentang Pengadilan HAM. Keterangan Pemerintah dihadapan rapat paripurna DPR-RI pada tanggal 5 Juni 2000, menyatakan bahwa ―untuk pertama kali dalam sejarah perundang-undangan dimuat ketentuan mengenai berlaku surut dalam RUU tentang Pengadilan HAM sebagai suatu kekhususan lain‖. 33: Tuntutan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu, tidak dapat dilepaskan dari kondisi politik di masa lalu, yang dirasakan sangat otoriter. Ada dua hal yang perlu mendapatkan perhatian berkaitan dengan pemberlakuan surut UU tentang Pengadilan HAM, yaitu: (1) desakan dari masyarakat Indonesia agar kasus-kaus pelanggaran HAM berat di masa lalu dapat diadili dan para pelakunya dijatuhi pidana; (2) desakan dari masyarakat internasional berkaitan dengan terjadinya pelanggaran HAM berat pasca jejak pendapat di Tim-Tim. Memuncaknya desakan dari dalam negeri agar kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dapat diungkap, merupakan bagian dari proses bangsa Indonesia untuk mencari solusi dalam menyelesaikan berbagai persoalan pelanggaran HAM berat pada masa lalu. Penyelesaian terhadap pelanggaran HAM berat tidak boleh dilakukan dengan mempertahankan impunity (kekebalan hukum). Impunity harus dihilangkan dan proses mencari keadilan serta pertanggung jawaban dari para pelaku harus ada. Proses kriminalisasi pelanggaran HAM berat, dengan dikeluarkannya UU tentang HAM dan Pengadilan HAM, merupakan upaya untuk mencapai transitional 31
32 33
Pasal 43 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyatakan: (1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. (2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Keterangan Pemerintah Di hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang Pengadilan HAM tanggal 5 Juni 2000. 213
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
justice. Dalam hal ini ketentuan-ketentuan hukum baru yang dapat mewujudkan keadilan di masa transisi menjadi sangat penting. Oleh karena itu tepat apa yang telah dikemukakan oleh Ketua Komnas HAM, yang menyatakan: Kalau hanya mendasarkan pada perangkat hukum yang ada sekarang, sangatlah mustahil keadilan itu dapat diwujudkan. Oleh karena kita menghadapi kenyataan yaitu peraturan perundang-undangan warisan orde baru, sistem peradilan yang bobrok dan aparat hukum yang dulu sepenuhnya mengabdi kepada rezim lama. Mulai saat inilah yang penting bagi kita untuk melangkah ke masa depan, yaitu dimana kita dituntut untuk menyelesaikan berbagai bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di masa lampau. Pengungkapan dan penyelesaian masalah tersebut bukanlah bertujuan untuk membuka luka-luka lama, akan tetapi justru untuk menyembuhkan luka lama. Kita bisa belajar dari permasalahan yang terjadi di masa lampau, agar kita tidak melakukan kesalahan yang sama di masa mendatang.34 Hal yang sama juga dikemukakan oleh Huntington.35 Ketika Lokakarya berlangsung, Mary Robinson dari UNHCR menyampaikan pandangannya bahwa masyarakat internasional dan khususnya kantor Komisi Tinggi HAM PBB sangat berkepentingan untuk melihat apakah impunity itu masih dipertahankan atau benarbenar sudah dihapuskan. ‖Untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat, sikap kami tegas yaitu tidak boleh ada impunity. Proses untuk mencari keadilan harus dilakukan dan harus ada pertanggungjawaban dari para pelaku pelanggaran tersebut‖, demikian ungkap Mary Robinson.36 Adanya tekanan dari masyarakat internasional, pada awalnya tidak diakui oleh Romli Atmasasmita. Dikatakan bahwa pembentukan pengadilan HAM merupakan amanat dari Pasal 104 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.37 Dengan demikian, ada atau tidak ada kasus Timtim, Pengadilan HAM tetap harus dibentuk paling lambat dalam jangka waktu empat tahun sejak berlakunya UU No 39/1999. Namun akhirnya diakui pula oleh Romli Atmasasmita bahwa pembentukan Pengadilan HAM dilakukan lebih cepat karena adanya kasus Tim Tim yang diiringi dengan tekanan masyarakat internasional.38 34 35
36
37 38
214
Kompas, Kamis 23 November 2000 Samuel P Huntington, penulis buku The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, yang dikutip kembali oleh Ifdhal Kasim, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dalam sebuah seminar mengenai Transitional Justice di Bandung, 13 Januari 2002. Wejangan Huntington itu diberikan kepada aktivis prodemokrasi di negara yang sedang mengalami transisi politik untuk menyelesaikan masalah masa lalu yang kelam. Tuntutan akan keadilan di masa transisi, mengalami banyak kendala. Selain kendala peraturan perundang-undangan, juga adanya kendala di pihak aparat, yang sebagain besar merupakan rezim lama. Komisioner Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (UNHCR), Mary Robinson saat menyampaikan pandangannya pada lokakarya Nasional VI Komnas HAM dengan tema “Transitional Justice menentukan Kualitas Demokrasi Indonesia di Masa Depan”, di Surabaya, Jawa Timur, Kompas, Kamis 23 November 2000. Pengadilan HAM atau Pengadilan Umum ?, Kompas, Sabtu 19 Februari 2000. Ibid.
Pengecualian Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana
Pernyataan Romli tersebut di atas menjelaskan kepada publik bahwa pemberlakuan secara retroaktif tidak berkaitan dengan ―desakan‖ komisi Tinggi HAM PBB terhadap kasus Tim Tim. Artinya bahwa bangsa Indonesiapun menginginkan diselesaikannya kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Terhadap permasalahan ini, Muladi menyatakan bahwa dalam menghadapi kasus Timtim, Indonesia dihadapkan pada dilema antara menerima pemberlakuan secara surut hukum pidana demi keadilan dan hukum kebiasaan internasional atau dianggap dunia internasional sebagai unwilling, unable, dan impunity terhadap pelanggar HAM berat. Akibtanya akan terbuka kemungkinan bagi Dewan Keamanan PBB untuk menerapkan primacy jurisdiction, dengan solusi untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional ad hoc untuk Tim Tim. Masyarakat Indonesia tidak menginginkan kasus Tim Tim diambil alih oleh Dewan Keamanan PBB, sehingga pilihan satu-satunya adalah menerima pemberlakuan secara retroaktif.39 Alasan lainnya adalah bahwa pelanggaran HAM berat merupakan “extra ordinary crime” sehingga di dalam menghadapi para pelaku pelanggaran HAM berat, penggunaan hukum pidana yang memuat “ordinary crime” tidak diperbolehkan40. Dengan demikian, para pelanggar HAM berat tidak dapat dijaring dengan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pembunuhan, perkosaan, penganiayaan, dan sebagainya. Dalam proses persidangan, baik dalam kasus pelanggaran HAM berat maupun dalam kasus terorisme yang terjadi di Bali, para terdakwa melalui kuasa hukumnya mengajukan keberatan terhadap pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif. Keberatan ini didasarkan pada adanya larangan di dalam Pasal 28 I UUD 1945. Dari segi substansi, pertimbangan hakim menunjukkan bahwa kejahatan yang dilakukan terdakwa merupakan kejahatan yang harus dijatuhi pidana. Argumentasi yang didasarkan pada ketentuan undang-undang yang berlaku serta konvensi-konvensi internasional menunjukkan komitmen hakim bahwa perbuatan yang dilakukan para terdakwa merupakan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, menimbulkan penderitaan terhadap korban, keluarga, serta lingkungan korban, sehingga perbuatan tersebut bukanlah merupakan perbuatan yang patut untuk diampuni. Pemberlakuan secara retroaktif sebagai upaya untuk memberikan pidana kepada para pelaku pelanggaran HAM berat merupakan perwujudan dari keadilan retributive. Keadilan retributive nampak dengan berbagai upaya yang dilakukan, termasuk pemberlakuan secara retroaktif, dengan tujuan untuk menjatuhkan pidana kepada para pelakunya.
39
40
Muladi, Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat, Makalah, Penataran Nasional Hukum Pidana Dan Kriminologi ke XI, Surabaya, 2005. Ibid.. 215
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Yang menjadi permasalahan adalah apakah pengadilan terhadap HAM berat benarbenar merupakan perwujudan dari retributive justice ? Keadilan retributif bukanlah merupakan satu-satunya keadilan yang ingin dicapai. Putusan Majelis Hakim dalam kasus pelanggaran HAM berat atas nama Rudolf Adolf Butar-Butar, dalam pertimbangannya, menyatakan sebagai berikut41 Menimbang bahwa walaupun permintaan kompensasi tersebut tidak termuat dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum Ad Hoc tetapi berdasarkan fakta hukum dimuka persidangan seperti dikemukakan di atas, maka untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat dan bahwa tujuan dari sebuah peradilan bukan hanya untuk penghukuman (retributive justice) maka Majelis mempertimbangkan mengenai kompensasi tersebut. Berdasarkan pertimbangan tersebut nampak bahwa peradilan HAM berat tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana kepada pelakunya, tetapi yang terpenting adalah keadilan terhadap korban dan masyarakat. Pemberian kompensasi merupakan alternatif untuk memulihkan kerugian yang diderita korban. Apabila dilihat upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia, maka selain upaya penyelesaian melalui proses peradilan, juga terdapat upaya non yudisial, yang merupakan sarana alternatif. Oleh karena itu, di dalam Pasal 47 UU No.26 Tahun 2000 ditegaskan bahwa: pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No.26 Tahun 2000 tidak menutup kemungkinan penyelesaian dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang akan dibentuk dengan undang-undang. Sebagai realisasi dari Pasal 47 tersebut, telah diterbitkan Undang-Undang No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, (untuk selanjutnya disebut sebagai KKR) yang tugas dan kewenangannya berkisar pada mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran HAM berat di masa lalu dan melaksanakan rekonsiliasi. Selain itu, KKR juga berwenang memberikan rekomendasi kepada Presiden dalam hal permohonan Amnesti dan pemberian Kompensasi, Restitusi, dan atau Rehabilitasi kepada korban atau keluarga yang merupakan ahli warisnya. KKR sebagai alternatif penyelesaian pelanggaran HAM berat merupakan hal baru dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Lazimnya, dalam kasus-kasus pidana tidak ada upaya lain yang dapat dilakukan selain proses peradilan. Sistem peradilan telah menunjukkan keberhasilan dalam menuntut dan memenjarakan seseorang. Tetapi gagal untuk menciptakan rasa aman bagi kehidupan masyarakat.42 Idealnya, korban kejahatan harus diperhatikan secara proporsional, yang pada akhirnya antara pelaku dan korban harus dirukunkan kembali. Hal ini tidak berarti terdapat pengampunan kepada si pelaku. Pelaku tetap harus 41
42
216
Putusan No.03/PID/HAM/AD.HOC/2003/PN.JKT.PST atas nama terdakwa Rudolf Adolf Butar-Butar. Muladi, Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat, loc.cit..
Pengecualian Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana
mempertanggung jawabkan perbuatannya tetapi wajib diintegrasikan kembali ke dalam masyarakat. Hal inilah yang menunjukkan adanya pergeseran dari distributive justice ke arah restorative justice.43 Selain KKR, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Timor Leste, telah sepakat untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP).44 Deklarasi yang ditandatangi pada tanggal 9 Maret 2005 itu bertugas untuk menemukan dan menggali fakta-fakta yang dapat mengungkap kebenaran tentang peristiwa pelanggaran HAM berat pasca jejak pendapat. Kebenaran yang ingin ditemukan adalah kebenaran tanpa melalui penuntutan, tetapi hanya untuk pemberian amnesty atau kompensasi atau reparasi terhadap para korban. Hal ini merupakan salah satu prinsip yang dituangkan dalam term of reference pembentukan KKP.45 Melihat pada upaya yang dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, nampak bahwa upaya yang dilakukan dimaksudkan untuk memberikan keadilan bagi para korban (restorative justice). Bila dilihat dari putusan pengadilan terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat Timor Timur, maka tujuan pemidanaan yang dimaksudkan dengan memberlakukan hukum pidana secara retroaktif perlu dipertanyakan. Banyaknya pelaku pelanggaran HAM berat untuk kasus Timor Timur serta Tanjung Priok, yang diputus bebas oleh pengadilan menunjukkan bahwa hukum pidana yang diberlakukan secara retroaktif tidak memiliki kekuatan sebagai upaya pencegahan (detterence), tetapi sebagai limited criminal sanction, sebagaimana dikemukakan oleh Ruti G. Teitel. Penulis memandang bahwa pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif – untuk kasus pelanggaran HAM berat -- memiliki kelemahan sebagai berikut : 1. proses peradilan tidak ditentukan oleh dipidana tidaknya para terdakwa. Dalam proses peradilan pidana, bila tuntutan jaksa tidak dapat dibuktikan, maka terdakwa harus dibebaskan; 2. pemberlakuan secara retroaktif, untuk kasus-kasus yang telah cukup lama terjadi, akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam menemukan alat bukti, sehingga dapat dipastikan bahwa apa yang ingin dicapai dalam pemberlakuan secara retroaktif, tidak terpenuhi; 3. penanganan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat merupakan kasus baru untuk peradilan Indonesia, sehingga aparat yang telibat dalam proses peradilan pidana belum sepenuhnya memahami; 4. pelanggaran HAM berat, yang melibatkan unsur-unsur yang pernah berkuasa, sarat dengan kepentingan politik, sehingga mekanisme peradilan tidak dapat berjalan secara fair. Tiga putusan MK terkait dengan penyimpangan asas legalitas, bila dikaji secara lebih teliti, maka terdapat keragaman dalam pertimbangan hakim. Keragaman ini semakin nyata dengan adanya dissenting opinion yang dikemukakan oleh hakim, yang menunjukkan adanya perbedaan pendapat. Putusan 43 44
45
Ibid. “Pengadilan HAM Timor Timur Tak Mungkin Diulang”, Koran Tempo, Kamis 23 Juni 2005. Romli Atmasasmita, Komisi Kebenaran dan Persahabatan, Tempo, 19 Juni 2005. 217
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
yang sangat kontroversial adalah Putusan MK Perkara Nomor 013/PUU-I/2003, yang berkaitan dengan Undang-Undang Terorisme. Dikatakan sangat kontroversi karena terdapat pertimbangan yang berbeda, yang didasarkan pada dasar yang sama yaitu keadilan. Demikian pula dengan argumentasi yang saling bertentangan berkaitan dengan penafsiran terhadap Pasal 28 I UUD 1945. Kembali pada Putusan MK Perkara Nomor 013/PUU-I/2003, yang amarnya menyatakan bahwa Undang-Undang No.16 Tahun 2003 tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat, sangat mengejutkan masyarakat luas. Terlebih lagi dalam putusan tersebut terdapat dissenting opinion dari 4 orang Hakim, sehingga perbandingan yang pro dan kontra terhadap putusan tersebut adalah 5:4. Rasio perbandingan ini sangat tipis, sehingga banyak keraguan dan kritik dari masyarakat terhadap putusan tersebut. Rasio perbandingan dalam Putusan Perkara No.013/PUU-I/2003 berbeda dengan Putusan Perkara No. 065/PUU-II/2004 yang memiliki perbandingan 6:3. Dalam putusan yang terakhir ini nampak sekali adanya perbedaan. Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa di satu sisi terdapat pandangan yang posivistik, yang hanya menekankan pada ―ketaatan‖ norma, tanpa mengindahkan nilai-nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat, sedangkan di sisi lain terdapat pandangan yang berpegang pada nilai-nilai keadilan. Pandangan ini nampak pula dalam Putusan MK No.065/PUU-II/2004 berkaitan dengan yudicial review terhadap undang-undang tentang Pengadilan HAM. Pemberlakuan secara retroaktif, yang menjadi permasalahan dalam yudicial review di MK, sebagaimana nampak dalam alasan pemohon, pada prinsipnya terdapat dua kategori, yaitu: pertama, berkaitan dengan substansi suatu undang-undang yang diberlakukan secara retroaktif; dan kedua, berkaitan dengan pemberlakuan secara retroaktif dalam hukum acara. Yang pertama merupakan substansi dari Putusan MK No. 013/PUU-I/2003 dan Putusan MK No.065/PUU-II/2004. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan Putusan MK No.069/PUU-II/2004. Pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif, sebagaimana terdapat dalam Undang-undang tentang HAM dan Terorisme Untuk Kasus Bom di Bali, merupakan pemberlakuan secara retroaktif bagi hukum pidana materiil. Komariah E. Sapardjaja, mengemukakan pandangannya yang dikemukakan dalam persidangan Perkara No. 069/PUU-II/2004 bahwa asas retroaktif ini sebetulnya hanya dikenal di dalam bidang hukum pidana materiil. Azas non retroaktif ini dapat disimpangi berdasarkan Pasal 103 KUHP, di mana dalam hal ini berlaku asas umum lex specialis derogat lex generali.46 Tidak berbeda dengan Komariah, Romli Atmasasmita dalam persidangan di MK juga mengatakan hal yang sama. Menurut Romli, dalam sejarah hukum pidana, retroaktif itu hanya untuk delik materiil, hukum pidana materiil, tidak dalam hukum acara pidana. Asas legalitas dimaksudkan untuk membatasi kesewenang-wenangan, dan hingga saat ini tidak ada perubahan. Ditegaskan oleh Romli bahwa Pasal 1 ayat (1) KUHP yang memuat azas nullum delictum nulla
46
218
Lihat Putusan MK Perkara No. 069/PUU-II/2004, hal. 54.
Pengecualian Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana
poena sine previa lege poenali tersebut, substansinya menyangkut hukum materiil, materiele recht, dan tidak menyangkut hukum formil.47 Penulis sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh Komariah dan Romli tersebut bahwa penentuan delik berkaitan dengan ranah hukum pidana materiil, yang ditetapkan oleh pembuat undang-undang (legislative). Dengan demikian pemberlakuan secara retroaktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) secara jelas menunjuk pada hukum pidana materiil. Hal ini sejalan pula dengan Pertimbangan MK dalam Putusan No.069/PUU-II/2004, yang menyatakan bahwa suatu ketentuan adalah mengandung pemberlakuan secara retroaktif jika ketentuan tersebut48: (a) menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; dan (b) menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan. Penulis tidak sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh komariah bahwa pemberlakuan secara retroaktif dapat dilakukan berdasarkan Pasal 103 KUHP. Pasal 103 KUHP tidak cukup untuk memberikan dasar atas pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif. Kalau Pasal 103 dipergunakan sebagai dasar untuk memberlakukan hukum pidana secara retroaktif, maka sepanjang retroaktif dilaksanakan berdasarkan undang-undang, maka tidak ada permasalahan lagi. Retroaktif hanya merupakan perkecualian, yang hanya dapat diterapkan pada kondisi tertentu serta terhadap kejahatan tertentu pula. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa retroaktif hanya berkaitan dengan hukum pidana materiil, tidak berarti tertutup kemungkinan bahwa terdapat hukum pidana formil, yang diberlakukan secara retroaktif. Permohonan pengujian UU tentang KPK yang diajukan oleh Bram D. Manoppo, merupakan permohonan pengujian yang diajukan berdasarkan atas dasar hukum pidana formil, yang diberlakukan secara retroaktif. Dalam kasus penyidikan KPK terhadap Bram D. Manoppo, penulis melihat tidak ada hukum acara yang diberlakukan secara retroaktif. Bram D. Manoppo, yang disangka melakukan tindak pidana korupsi, sebelum KPK dibentuk, tetap merupakan perbuatan korupsi. Hukum materiil yang menyatakan perbuatan tersebut sebagai perbuatan korupsi telah ada. Pandangan tentang asas legalitas dalam hukum acara pidana, dikaji oleh Andi Hamzah, yang menyatakan bahwa asas legalitas dalam hukum acara pidana lebih keras dibandingkan dengan hukum pidana materiil. Dengan mengutip pendapat Duisterwinkel dan Melai, Andi Hamzah mengemukakan bahwa dalam Pasal 3 KUHAP49 disebutkan ―undang-undang‖ (wet) yang artinya hanya undang47 48 49
Ibid., hal. 58 Ibid., hal. 73 Pasal 3 KUHAP menyatakan: “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.’ Ketentuan ini sama dengan Pasal 1 Ned. Strafvordering yang menyatakan: “Strafvordering heft alleen plaats op de wijze bij de wet voorzien.” (Acara pidana dijalankan hanya menurut cara yang ditentukan oleh undang-undang). Uraian lebih lanjut lihat: Andi Hamzah, Asas-Asas Penting Dalam Hukum Acara Pidana, Makalah, Disampaikan pada Penataran Nasional Hukum Pidana Dan 219
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
undang dalam arti formil. Jadi hanya berkaitan dengan undang-undang, yang untuk di Indonesia, dibuat oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR. Dengan demikian, hukum acara pidana tidak dapat diatur dengan Perda (Peraturan Daerah). Berbeda dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menggunakan istilah ―perundangundangan pidana‖, yang berarti hukum pidana materiil dapat diatur dalam Perda, karena Perda merupakan perundang-undangan (pidana). Dengan demikian orang dapat dipidana berdasarkan Perda tetapi tidak dapat ditangkap, dan ditahan perdasarkan Perda. Dengan demikian asas hukum acara pidana lebih keras daripada hukum pidana materiil.50 C. Kesimpulan Larangan pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif merupakan asas yang mendasar dalam hukum pidana. Namun perkembangan hukum pidana menunjukkan adanya perkecualian yang didasarkan pada hukum pidana internasional serta kebiasaan yang diakui masyarakat internasional. Artinya, asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali tidak hanya didasarkan pada hukum nasional, tetapi juga hukum internasional dan kebiasaan yang diakui masyarakat internasional. Pemberlakukan hukum pidana secara retroaktif di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari unsur politik. Sebagaimana pembentukan IMT Nuremberg dan Tokyo, yang dikatakan sebagai keadilan bagi para pemenang (victor‟s justice), pembentukan pengadilan untuk pelanggaran HAM berat di Indonesia pun dilakukan atas desakan dunia internasional, walau ada pula desakan nasional. Indonesia sebagai pihak yang kalah atas desakan internasional, harus melaksanakan peradilan bagi para pelaku pelanggaran HAM berat. Pengalaman tribunal internasional yang didirikan di berbagai negara berdasarkan hukum internasional, menjadi rujukan dalam memberlakukan hukum pidana secara retroaktif di Indonesia. Hal ini nampak dalam proses pembuatan UU yang terkait dengan pelanggaran HAM berat. Demikian juga dalam pertimbangan hakim ketika menjawab keberatan yang diajukan oleh terdakwa. Prinsip-prinsip hukum, doktrin hukum serta pertimbangan-pertimbangan hakim yang berkembang sejak didirikannya IMT Nuremberg, Tokyo serta International Tribunal For Rwanda dan International Tribunal For Former Yugoslavia, menjadi alasan pembenar dalam memberlakukan hukum pidana secara retroaktif. Perbedaan pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif di Indonesia dengan beberapa tribunal terletak pada mekanisme pembentukan serta format hukum yang mendasari pembentukan pengadilan. Di Indonesia, pemberlakuan secara surut dibuat oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR, serta dibuat dalam format undang-undang. Penerapan secara retroaktif, ditentukan melalui mekanisme tersendiri serta proses peradilan yang bersifat ad hoc. Dalam tingkat internasional,
50
220
Kriminologi ke XI Tahun 2005, Fakultas Hukum Universitas Surabaya, 13-16 Maret 2005, hal 2. Andi Hamzah, Asas-Asas Penting Dalam Hukum Acara Pidana, loc.cit.
Pengecualian Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana
Tribunal yang ada selama ini juga bersifat ad hoc, tetapi dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB atas usul negara-negara tertentu, serta substansi hukum yang dibuat tidak melalui mekanisme yang ada dalam negara tersebut. Dengan demikian hanya Indonesia yang memberlakukan hukum pidana secara retroaktif melalui produk hukum nasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asas non retroaktif tidak diberlakukan secara mutlak. Hukum pidana dapat diberlakukan secara retroaktif dengan syarat: a. substansi yang diatur bukanlah merupakan hal yang baru dan tidak ditentukan secara sewenang-wenang oleh penguasa. Substansi yang diatur harus jelas dan terperinci, sehingga tidak menimbulkan penafsiran lain (syarat lex certa). b. berdasarkan keadilan bagi masyarakat luas, hukum pidana dapat diberlakukan secara retroaktif. Keadilan di sini adalah keadilan bagi masyarakat banyak. Demi keadilan, kejahatan harus dihukum. Kejahatan tidak boleh berlalu karena sang waktu. c. Harus diberlakukan secara limitatif, dalam batasan-batasan waktu, serta tertuang secara jelas dalam undang-undang. Keberlakuan surut harus jelas, berkaitan dengan locus dan tempus delicti agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. d. Merupakan upaya terakhir, dalam masa transisi untuk mewujudkan transitional justice, dengan maksud dan tujuan untuk mengembalikan kedaulatan hukum serta melakukan perbaikan terhadap korban (restorative justice).
DAFTAR PUSTAKA Buku Abidin, Andi Zainal, Asas-Asas Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1987. Allen, Michael J., Textbook on Criminal Law, Blackstone Press Limited, Fourth Edition, London, 1997. Arinanto, Satya, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003. ------, Patricia Rinwigati, Topo Santoso, Fatahilah, Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional, Diterjemahkan dan diterbitkan atas kerja sama Lembaga Kajian Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Forum Asia dalam Hak Asasi Manusia dan Pembangunan (FORUM- ASIA) dan didukung oleh Uni Eropa (European Union), Jakarta, 2001. ------, Pengantar Mahkamah Pidana Internasional, Diterjemahkan dan diterbitkan atas kerja sama Lembaga Kajian Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Forum Asia dalam Hak Asasi Manusia dan Pembangunan (FORUM- ASIA) dan didukung oleh Uni Eropa (European Union), Jakarta, 2001. 221
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Ashworth, Andrew, Principles of Criminal Law, Clarendon Press Oxford, New York, 1991. Atmasasmita, Romli, Pengadilan Hak Asasi Manusia Dan Penegakannya Di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Ham. RI., 2002. ------, Masalah Pengaturan Terorisme Dan Perspektif Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Ham. RI., 2002. Bassiouni, ―Human Rights in the Context of Criminal Justice‖, 3Duke J. Comp. & Int‘L, 1993. ------, Crimes Against Humanity in International Criminal Law, Cluwer Law International, Netherkand, 1999. Bentham, J., Introduction to the Principles of Moral and Legislation, New York, Hafner Publishing, 1948. Boot, Machteld, Nullum Crimen Sine Lege and The Subject Matter Jurisdiction of The International Criminal Court, Genocide, Crimes Against Humanity, War Crimes, Intersentia, Leiden, 2001. Braithwaite, John, Restorative Justice & Responsive Regulation, Oxford University Press, New York, 2002. Cohen, David, Dimaksudkan Supaya Gagal Proses Persidangan Pada Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc di Jakarta, Disunting Oleh International Center for Transisional Justice, 2004. Curzon L.B, Criminal Law, Macdonald & Evans, London, 1973. Clark Roger S. dan Madeleine Sann, The Prosecution of International Crimes,Transaction Publishers, New Jersey, 1996. Hamzah, Andi., Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994. Karnasudirdja, Eddy Djunaedi, Dari Pengadilan Militer Internasional Nuremberg ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, Tatanusa, Jakarta, 2003. Kuitenbrouwer, Maarten, Colonialism and Human Rights, Indonesia and Netherlands in Comparative Perspective, Netherlands Quarterly of Human Rights, Vol.21, Intersentia, Netherland, March 2003. McCormack, Timothy L.H., dan Gerry J. Simpson, Ed., The Law of War Crime National and International Approaches, Kluwer Law International, Netherlands, 1997. Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Gadjah Mada University Press, 1980. Robertson QC, Geoffrey, Crimes Against Humanity, The Struggle For Global Justice, Penguin Books, England, 2000. Roht-Arriaza, N., Impunity and Human Rights in International Law and Practice, Oxford University Press, New York and London, 1995. Williams, Glanville, Textbook of Criminal Law, Stevens & Sons, London, 1978. Wise, Edward M. dan Ellen S. Podgor, International Criminal Law: Cases and Materials, Lexis Publishing, United States, 2000.
222
Pengecualian Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana
Peraturan Perundang Undangan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia. No. 39 Tahun 1999, LN No.165 tahun 1999, TLN No.3886. Indonesia. Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. No. 26 Tahun 2000, LN No.208 tahun 2000, TLN No.4026. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Perpu, No.1 Tahun 2002, TLN No.106 tahun 2002, TLN No. 4232. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemberlakuan Perpu No.1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002, Perpu No. 2 Tahun 2002, TLN No.107 tahun 2002, TLN No.4233. Undang-Undang tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. UU No.15 Tahun 2003, LN No.45 tahun 2003, TLN No. 4284. Undang-Undang tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No.1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002. UU No.16 Tahun 2003, LN. No. 46 tahun 2003, TLN No. 4285 Putusan Pengadilan Putusan Perkara No 013/PUU-I/2003, pada tangga 22 Juli 2004. Putusan Perkara No 069/PUU-II/2004, pada tangga 15 Pebruari 2005. Putusan Perkara No 065/PUU-II/2004, pada tangga 3 Maret 2005.
223
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
224
ISSN : 2303-3274
EKSISTENSI HUKUM PIDANA ADAT DI INDONESIA : Pengkajian Asas, Norma, Teori, Praktik dan Prosedurnya
Lilik Mulyadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Jayabaya Ketua Pengadilan Negeri/Perikanan Klas 1A Khusus Jakarta Utara Abstrak Eksistensi hukum pidana adat Indonesia dikaji dari perspektif normatif (ius constitutum) diatur Pasal 18 B UUD 1945 hasil Amandemen, Pasal 1, Pasal 5 ayat (3) sub b UU Nomor 1 Drt tahun 1951, Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009. Kemudian secara parsial dalam daerah tertentu seperti Aceh Nangroe Darussalam diatur dalam UU Nomor 44 Tahun 1999, UU Nomor 11 Tahun 2006, berikutnya diimplementasikan dalam bentuk Qanun baik tingkat Propinsi dan Kabupaten. Berikutnya di Bali diatur dan diimplementasikan dalam bentuk Awig-Awig Desa Adat (Pakraman) serta dari perspektif ius constituendum diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1), (2) RUU KUHP Tahun 2012. Kemudian tataran asas diatur Kitab Ciwasasana atau Kitab Purwadhigama, Kitab Gajahmada, Kitab Simbur Cahaya, Kitab Kuntara Raja Niti, Kitab Lontara „ade‟ dan awig-awig. Selain itu, dikaji dari perspektif teori, praktik dan prosedurnya ditemukan dalam bentuk yurispudensi Mahkamah Agung RI seperti Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983 serta penjatuhan sanksi adat (obat adat) hakikatnya bersifat untuk pemulihan keseimbangan alam magis, pemulihan alam kosmos guna mengembalikan pada keseimbangan yang terganggu agar bersifat religio magis kembali. Kemudian dalam kajian hukum pidana maka eksistensi hukum pidana adat Indonesia berada pada tataran dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Oleh karena itu hukum pidana adat secara holistik menjiwai seluruh lapisan ilmu hukum dalam praktek hukum sehingga eksistensi dari dimensi ilmu hukum maka hakikatnya hukum pidana adat tidak diragukan kapabilitasnya sebagai karakteristik praktek hukum di Indonesia. Kata kunci: hukum pidana adat, sanksi adat, serta asas, norma, teori, praktik dan prosedurnya Abstract Existence of indigenous Indonesian criminal law examined from the perspective of normative (ius constitutum) set forth in Article 18 B of the 1945 Amendment, Article 1, Article 5 paragraph (3) sub B Drt Law No. 1 of 1951, Article 5 paragraph (1), Article 10 paragraph (1) and Article 50 paragraph (1) of Law No. 48 of 2009. Then partial in certain areas such as Nanggroe Aceh Darussalam stipulated in Law No. 44 of 1999, Act No. 11 of 2006, the next is
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
implemented in the form of Qanun both provincial and district levels. Next in Bali set up and implemented in the form of Awig - Awig Village People (Pakraman) as well as from the perspective of ius constituendum set out in Article 2 paragraph (1), (2) of the RUU KUHP of 2012. Then the level of principle set Ciwasasana book or book Purwadhigama, Book of Gajah Mada, Simbur Cahaya, Book Kuntara Raja Niti, Book Lontara 'ade' and Awig awig. In addition, examined from the perspective of theory, practice and procedures found in the form jurisprudence Mahkamah Agung RI as Putusan Mahkamah Agung RI No. 42 K/Kr/1966 Tanggal 8 Januari 1966, Putusan Mahkamah Agung RI No. 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983 and sanctions adat (traditional medicine) for recovery of the balance essentially magical nature, the cosmos recovery to restore the disturbed balance in order to be religio magic back. Later in the study of criminal law the existence of indigenous Indonesian criminal law is at the level of dogmatic law, legal theory and philosophy of law. Therefore customary criminal law holistically animates all levels of law in the practice of law so that the existence of the law dimensional nature of criminal law is undoubtedly indigenous capabilities as a characteristic practice of law in Indonesia. Keywords: criminal law customary, traditional sanctions, as well as the principles, norms, theories, practices and procedures A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Pada asasnya, terminologi hukum adat51 berasal dari kata adatrecht dipergunakan oleh Snouck Hurgronye dan dipakai sebagai terminologi teknis yuridis oleh van Vollenhoven. Kemudian, terminologi hukum adat dikenal dalam zaman Hindia Belanda diatur ketentuan Pasal 11 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (AB) dengan terminologi godsdientige wetten, volksinstelingen en gebruiken, ketentuan Pasal 75 ayat 3 Reglement op het Beleid der Regeling van Nederlands Indie (RR) dengan terminologi Instellingen en gebruiken des volks, berikutnya menurut ketentuan Pasal 128 Wet op de Staatsinrichting van Nederlandsch Indie atau Indische Saatsregeling (IS) dipergunakan terminologi godsdientige wetten en oude herkomsten dan berdasarkan ketentuan Stb. 1929 Nomor 221 jo Nomor 487 terakhir dipergunakan terminologi adatrecht. Dikaji dari perspektif peraturan perundang-undangan Indonesia saat ini (ius constitutum) terminologi hukum adat dikaji dari perspektif asas, norma, teoretis dan praktik dikenal dengan istilah, “hukum yang hidup dalam masyarakat”, “living law”, “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, “hukum tidak tertulis”, “hukum kebiasaan”, dan lain sebagainya. 51
226
Berdasarkan kesimpulan Hasil Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional pada tahun 1976 yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) maka Hukum Adat diartikan sebagai, “hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama.”
Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia
Selain itu, dari dimensi demikian terminologi hukum adat beserta masyarakat adatnya mempunyai korelasi erat, integral dan bahkan tak terpisahkan yang lazim diungkapkan dalam bentuk petatah petatih. Sebagai contoh, misalnya dalam masyarakat Aceh dikenal dengan ungkapan “matee anek mepat jerat matee adat phat tamita” yang diartikan kalau anak mati masih dapat dilihat pusaranya, akan tetapi kalau adat dihilangkan/mati, maka akan sulit dicari. Ungkapan lainnya, berupa “murip i kanung edet, mate i kanung bumi” yang berarti bahwa keharusan mengikuti aturan adat sama dengan keharusan ketika mati harus masuk ke perut bumi. Eksistensi berlakunya hukum adat selain dikenal dalam instrumen hukum nasional juga diatur instrumen Internasional. Ketentuan Pasal 15 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menyebutkan bahwa, “Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according to the general principles of law recognized by the community of nations”. Kemudian rekomendasi dari Konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” dinyatakan bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara (terutama yang berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial), pada umumnya bersifat “obsolete and unjust” (telah usang dan tidak adil) serta “outmoded and unreal” (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan). Alasannya karena sistem hukum di beberapa negara tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada ―diskrepansi‖ dengan aspirasi masyarakat, serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Kondisi demikian oleh konggres PBB dinyatakan sebagai faktor kontribusi untuk terjadinya kejahatan. Ruang lingkup dan dimensi hukum adat sebagaimana konteks di atas teramat luas dimana diatur dalam instrumen hukum, baik instrumen Nasional dan Internasional. Selain itu, dikaji dari dimensi substansinya hukum adat dapat terbagi menjadi hukum perdata adat, hukum tata negara adat, hukum pidana adat (delichtentrecht) dan lain sebagainya. Terminologi hukum pidana adat, delik adat, hukum pelanggaran adat atau hukum adat pidana52 cikal bakal sebenarnya berasal dari hukum adat. 52
Lilik Mulyadi, Makalah Penelitian Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik dan Prosedurnya, untuk wilayah Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Medan, Denpasar, Mataram dan Banjarmasin, bulan Juni-Juli 2010, hlm. 2 dimana hasil penelitian dari para respondent sejumlah 150 orang pada 5 (lima) Pengadilan Tinggi dalam 4 (empat) lingkungan peradilan menentukan istilah Hukum Pidana Adat untuk PT Banda Aceh sebanyak 68%, PT Medan (72%), PT Denpasar (55%), PT Mataram (90%), PT Banjarmasin (80%), Delik Adat untuk PT Banda Aceh (24%), PT Medan (20%), PT Denpasar (10%), PT Mataram (0%), PT Banjarmasin (16%), Hukum Adat Pidana untuk PT Banda Aceh (4%), PT Medan (0%), PT Denpasar (3%), PT Mataram (0%) dan PT Banjarmasin (8%) dan Hukum Pelanggaran Adat untuk PT Banda Aceh (20%), PT Medan (4%), PT Denpasar (31%), PT Mataram (10%), dan PT Banjarmasin (16%). Apabila dianalisis, ternyata para responden memilih terminologi hukum pidana adat dibandingkan terminologi yang salah satu alasannya disebabkan terminologi hukum pidana adat dianggap lebih 227
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Apabila dikaji dari perspektif sumbernya, hukum pidana adat bersumber tertulis dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tertulis dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti serta ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat bersangkutan. Misalnya dapat dilihat dalam Kitab Ciwasasana atau Kitab Purwadhigama pada masa Raja Dharmawangsa pada abad ke-10, Kitab Gajahmada, Kitab Simbur Cahaya di Palembang, Kitab Kuntara Raja Niti di Lampung, Kitab Lontara “ade” di Sulawesi Selatan, Kitab Adi Agama dan AwigAwig di Bali, dan lain sebagainya. Kemudian sumber tidak tertulis dari hukum pidana adat adalah semua peraturan yang dituliskan seperti di atas daun lontar, kulit atau bahan lainnya. I Made Widnyana menyebutkan di Bali sumber tertulis dari hukum pidana adat dapat ditemukan pada beberapa sumber seperti: Pertama, Manawa Dharmasastra (Manu Dharmacastra) atau Weda Smrti (Compendium Hukum Hindu). Kedua, Kitab Catur Agama yaitu Kitab Agama, Kitab Adi Agama, Kitab Purwa Agama, Kitab Kutara Agama. Ketiga, Awig-Awig (Desa Adat, Banjar) adalah aturan-aturann atau keinginan-keinginan masyarakat hukum adat setempat yang dibuat dan disahkan melalui suatu musyawarah dan dituliskan di atas daun lontar atau kertas. Di dalam awig-awig ini dimuat/diatur larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh warga masyarakat yang bersangkutan atau kewajiban-kewajiban yang harus diikuti oleh masyarakat tersebut, yang apabila dilanggar mengakibatkan dikenakannya sanksi oleh masyarakat melalui pimpinan adatnya.53 Eksistensi hukum pidana adat di Indonesia telah lama dikenal baik dikaji dari perspektif asas, teoretis, norma, praktik dan prosedurnya. Sebagai salah satu contoh eksistensi pengaturan hukum pidana adat terdapat dalam Oendang-Oendang Simboer Tjahaja54 pada abad ke-16 di wilayah Kesultanan Palembang Durussalam Sumatera Selatan. Pada Oendang-Oendang Simboer Tjahaja (UUSC) dikenal
53
54
228
familier sebagaimana terdpat dalam pelbagai literatur hukum, pendapat doktrin serta terminologi yang dipakai dalam beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI dan bukan disebabkan dari aspek substansi pokok bahwa hukum pidana adat merupakan bagian dan bersumber dari hukum pidana. Hal ini terbukti dari jawaban responden karena memilih bahwa hukum pidana adat merupakan cabang dari hukum pidana lebih dominan berbanding terbalik dengan responden yang memilih hukum adat pidana, sebagai bagian atau bersumber dari hukum adat. Konklusi dasarnya, apabila responden memilih terminologi hukum pidana adat merupakan bagian dari hukum pidana atau bagian dari hukum adat maka responden yang memilih terminologi hukum pidana adat dan terminologi hukum adat pidana relatif berimbang dan bukan sebaliknya. I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, PT Eresco, Bandung, 1993, hlm. 4 Oendang-Oendang Simboer Tjahaja merupakan karya dari Ratu Sinuhun yang merupakan istri Pangeran Sending Kenayan. Pangeran Sending Kenayan disebut juga Pangeran Sido Ing Kenayan merupakan salah satu sultan di Kesultanan Palembang Darussalam yang memerintah dari tahun 1639-1650 Masehi. Oendang-Oendang Simboer Tjahaja berlaku untuk sebagian di daerah uluan kota Palembang (daerah pedalaman Sumatera Selatan) dan juga sebagian berlaku untuk masyarakat Kota Palembang dan belum dikodifikasikan.
Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia
hukum pidana adat dimana sanksi denda dikenakan pada delik kesusilaan diatur Pasal 18-23 Bab I tentang Adat Bujang Gadis dan Kawin UUSC, maka pidana denda yang dikenakan sesuai dengan tingkatan perbuatan seseorang, yaitu senggol tangan perempuan (naro gawe) kena denda 2 ringgit. Dimensi”Naro Gawe” ini, diatur Pasal 18 UUSC dengan redaksional“Djika laki-laki senggol tangan gadis atau rangda “Naro Gawe” namanja, ia kena denda 2 ringgit djika itoe perampoean mengadoe: dan 1 R poelang pada itoe perampoean “tekap maloe” namanja dan 1 R pada kepala doesoen serta pengawanja.”(Jika laki-laki senggol tangan gadis atau janda, disebut “Naro Gawe”, maka ia kena denda 2 ringgit jika perempuan tersebut mengadu, dan 1 Ringgit diberikan kepada si perempuan sebagai ―tekap malu‖, serta satu ringgit diberikan kepada kepala dusun serta perangkatnya). Selain itu, juga diatur mengenai Pegang lengan perempuan (meranting gawe) didenda 4 Ringgit. Pegang di atas siku perempuan (meragang gawe) kena denda 6 ringgit. Peluk badan (meragang gawe) dan nangkap badan gadis (nangkap rimau) serta pegang istri orang lain, masing-masing kena denda 12 ringgit. Konteks di atas mendeskripsikan bahwa hukum pidana adat tersebut eksistensinya telah ada, lahir, tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia sejak lama. Kemudian dalam bentuk kodefikasi hukum pidana adat setelah kemerdekaan diatur dalam ketentuan Pasal 1 dan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 195155 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara PengadilanPengadilan Sipil. Pada ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 disebutkan bahwa kecuali pengadilan desa seluruh badan pengadilan yang meliputi badan pengadilan gubernemen, badan pengadilan swapraja (zelbestuurrechtspraak), kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian dari pengadilan swapraja, dan badan pengadilan adat (Inheemse rechtspraak in rechtsreeks bestuur gebied), kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari pengadilan adat telah dihapuskan. Hakikat dasar adanya ketentuan tersebut berarti sebetulnya Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951
55
Selain diatur dalam UU Nomor 1 Drt 1951 maka eksistensi hukum pidana adat juga diatur dalam Pasal 18 B UUD 1945 hasil Amandemen, UU Nomor 48 Tahun 2009, yurisprudensi Mahkamah Agung. Kemudian secara parsial dalam daerah tertentu juga diatur seperti misalnya di Aceh Nangroe Darussalam dengan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, berikutnya diimplementasikan dalam bentuk Qanun baik tingkat Propinsi maupun Kabupaten seperti Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 10 Tahun 2002 tentang Hukum Adat Gayo, dan lain sebagainya. Kemudian di Bali diatur dan diimplementasikan dalam bentuk Awig-Awig Desa Adat (Pakraman) seperti Awig-Awig Desa Adat (Pakraman) Karangasem, Awig-Awig Desa Adat Mengwi, Kabupaten Badung dan lain sebagainya. 229
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
telah meniadakan badan-badan pengadilan lain kecuali badan pengadilan umum, agama dan pengadilan desa. 2. Fokus Penulisan Dari titik tolak bahwa eksistensi hukum pidana adat Indonesia bersifat multi dimensional baik dalam perspektif kebijakan formulatif maupun aplikatif maka kajian berikut lebih menitikberatkan fokus penulisan tentang: (a) Bagaimana eksistensi hukum pidana adat Indonesia dikaji dari perspektif asas, norma, teori, praktik dan prosedurnya (b) Bagaimana eksistensi hukum pidana adat Indonesia dikaji dalam korelasinya dengan Filsafat Hukum, Teori Hukum dan Dogmatik Hukum 3. Kajian Pustaka Melalui sejarah hukum dapat diketahui bahwa hukum yang mula pertama berlaku dan merupakan pencerminan kesadaran hukum rakyat Indonesia ialah hukum adat. Aspek dan dimensi ini identik dengan theorie receptie dari Snouck Hurgronje.56 Untuk jangka masa yang cukup lama hukum adat ini sebagai suatu norma hukum, bersama-sama dengan norma-norma sosial lainnya dan norma agama Hindu, memainkan peranannya berfungsi sebagai alat pengendalian sosial.57 Konsekuensi logis sebagai alat pengendalian sosial maka hukum adat lahir, tumbuh dan berkembang dalam suatu sistem sosial. Sistem sosial adalah suatu sistem interaksi, jadi suatu tindakan manusia, yang melibatkan sejumlah individu. Sistem tindakan manusia itu, sebagai suatu sistem, tersusun atas jumlah bagian, yang disebut subsistem, yang saling berkaitan dan saling mendukung. Tiap bagian atau subsistem mempunyai fungsi tertentu terhadp sistem yang meliputinya. Talcott Parsons menyebut ada 4 (empat) fungsi yang meliputi, yaitu: 1. Fungsi adaptasi (Adaptation), yaitu penyesuaian diri terhadap situasi dan lingkungan. Fungsi ini menunjuk pada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya; 2. Fungsi pencapaian tujuan (Goal attainment), yang merupakan pencapaian sasaran atau tujuan. Parsons beranggapan bahwa suatu tindakan diarahkan pada
56
57
230
Theori Receptie dari Snouck Hurgronje pada pokoknya menyebutkan hukum yang hidup dan berlaku dikalangan rakyat Indonesia (Bumi Putra) adalah hukum adat. Teori ini menanggapi teori Receptio in Complexu dari L.W.C. van den Berg dan Solomon Keyzer yang pada pokoknya menyebutkan adat istiadat dan hukum sesuatu golongan (hukum) masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Kemudian teori ini ditentang oleh Hazairin dengan teori Receptio a Contrario yang menyebutkan hukum adat adalah suatu ketentuan yang berbeda dan tidak serta merta dapat diberlakukan dengan hukum Islam sehingga keduanya harus tetap terpisah dan ketentuan hukum agama bersifat mutlak dan hukum adat baru dapat diberlakukan kalau tidak bertentangan dengan hukum agama Islam. H.R. Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, PT Alumni, Bandung, 2007, hlm. 21
Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia
tujuannya. Namun perhatian yang diutamakan di sini bukanlah tujuan pribadi individu, melainkan tujuan bersama para anggota dalam suatu sistem sosial; 3. Fungsi integrasi (Integration) adalah memadukan atau mengakomodasikan pelbagai faktor yang terkait pada pencapaian tujuan. Yang terdiri atas penjaminan koordinasi yang perlu antara unit-unit dari sistem sosial berkaitan dengan kontribusi tiap unit pada organisasi dan berfungsinya secara keseluruhan; 4. Fungsi pemeliharaan pola atau latensi (patterns maintence atau latency) yaitu melestarikan pola-pola yang sudah terbentuk berdasarkan nilai-nilai.58 Hukum adat sebagai suatu model sosial dari Talcott Parsons titik beratnya pada fungsi integrasi. H.R. Otje Salman lebih lanjut menyebutkan hukum diarahkan untuk mengakomodasikan keseluruhan sistem sosial kemasyarakatan. Fungsi ini meliputi sistem kaidah (sistem norma) yang bertugas untuk mengoreksi perilaku yang menyimpang dari kaidah-kaidah yang bersangkutan. Jadi kaidahkaidah itu dalam integrasi sosial menuntut perilaku tertentu yang mewujudkan peranan-peranan tertentu. Dengan demikian, kaidah-kaidah ini merupakan kerangka orientasi perilaku manusia (anggota sistem kemasyarakatan).59 Hukum Adat, menurut pandangan Soepomo diartikan sebagai ―suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat, serta hukum adat bersifat dinamis dan akan tumbuh serta berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya.‖60 Temuan Soepomo tersebut bertitik tolak dari konsepsi pemikiran Friedrich Carl von Savigny dengan madzab sejarah dan kebudayaannya dari van Vollenhoven. Oleh sebab itu maka hukum adat bersifat dinamis dan akan tumbuh serta berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Dalam bahasa Friedrich Carl von Savigny, hal tersebut disebut Volksgeist (jiwa bangsa). Volksgeist berbeda-beda menurut tempat dan zaman yang dinyatakan dalam bahasa adat-istiadat dan organisasi sosial rakyat.61 Hampir identik dengan pendapat tersebut maka penggagas sosiologi hukum (sosiology of law) Eugene Ehrlich mengatakan bahwa, “The centre of gravity of legal development lies not ini legislation nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society it self”. Eugene Ehrlich mengganti term voksgeist Savigny dengan term yang khusus dan lebih rasional yaitu fakta-fakta hukum (Rechtstaatsachen / fact of law) dan hukum yang hidup di dalam masyaraat (living law of the people).62 Pada dasarnya, hukum adat tidak saja merupakan adat-adat yang mempunyai akibat-akibat hukum, atau keputusan-keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat, karena antara adat yang mempunyai akibat hukum dan yang tidak mempunyai akibat hukum tidak ada pemisahan yang tegas. Dengan kata lain 58
59 60 61 62
Doyle P. Johson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, PT Gramedia, Jakarta, 1985, hlm. 128-144 H.R. Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat..., Op. Cit, hlm. 45 Soepomo, Bab-Bab Tentang....., Op. Cit., hlm. 7 L.B. Curzon, Jurisprudence, Macdonald & Evans Ltd, Playmouth, 1979, hlm. 155-156 Eugene Ehrlich, Fundamental Principles of the Sociology of Law, New York, 1936, hlm. 21 231
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
bahwa setiap kebiasaan yang kemudian menjadi perilaku sehari-hari merupakan hukum adat. 63 Polarisasi hukum adat tersebut tidak membedakan antara hukum pidana adat, hukum perdata adat, hukum tata negara adat dan lain sebagainya. Konsekuensi logisnya bahwa hukum adat tidak mengenal pemisahan secara tegas antara hukum pidana dengan hukum perdata (privat) dan diantara keduanya saling berkorelasi satu sama lain. Sehubungan dengan hal tersebut, tidak ada perbedaan prinsip dalam prosedur penyelesaian perkara-perkara pelanggaran hukum adat. Jika terjadi pelanggaran para fungsionaris hukum (penguasa/kepala adat) berwenang mengambil tindakan konkret, baik atas inisiatif sendiri atau berdasarkan pengaduan pihak yang dirugikan. Dalam konteks hukum pidana adat maka terhadap pelanggarnya dapat dituntut atas dasar norma hukum pidana dan norma hukum perdata. Pada norma hukum pidana dituntut berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Dart Nomor 1 Tahun 1951 jo Pasal-Pasal dalam KUHP. Menurut H.R. Otje Salman Soemadiningrat disebutkan bahwa hukum pidana adat berikut sanksi-sanksi adat diupayakan untuk dihapus dari sistem hukum di Indonesia dan diganti oleh peraturan perundang-undangan sehingga prosedur penyelesaian perkara-perkara pidana pada umumnya disalurkan melalui peradilan umum. Akan tetapi, sampai sekarang masih terdapat hakim-hakim yang mendasarkan putusannya pada “hukum adat” (dalam tanda petik) atau setidak-tidaknya pada hukum yang dianggap sebagai hukum adat dengan penafsirannya atas Pasal 5 ayat 3 UU No. 1/Drt/1951.64 Eksistensi norma, asas dan praktek hukum pidana adat sampai sekarang masih diterapkan hakim yang bertitik tolak pada hukum pidana adat atau mengganggap hukum pidana adat masih berlaku seperti dalam praktek yurisprudensi Mahkamah Agung RI salah satunya tercermin pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 199165 yang menyatakan bahwa terhadap terdakwa yang telah melakukan perbuatan hubungan kelamin di luar perkawinan dijatuhi sanksi adat (reaksi adat) oleh kepala adat, tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) kepada badan peradilan negara (pengadilan negeri) dengan dakwaan yang sama melanggar hukum adat dan dijatuhkan hukuman penjara menurut ketentuan hukum pidana. Kemudian terhadap pelanggaran adat juga dalam praktek peradilan bertitik tolak pada dimensi hukum perdata. Misalnya, pada pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 3898 K/Pdt/1989 tanggal 19 November 1992 yang menyebutkan bahwa jika dua orang dewasa melakukan hubungan kelamin atas dasar suka sama suka yang mengakibatkan si perempuan hamil, dan si laki-laki tidak bertanggung 63
64
65
232
Soerjono Soekanto, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia, Kurnia Esa, Jakarta, 1982, hlm. 36-37 H.R. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, PT Alumni, Bandung, 2002, hlm. 155 Selain putusan tersebut ada juga Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 yang menganggap bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan suatu perbuatan yang dikategorisasikan sebagai perbuatan zinah menurut hukum adat.
Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia
jawab atas kehamilan tersebut, harus ditetapkan suatu sanksi adat berupa pembayaran belis (biaya atau mas kawin) dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan (dikenal dengan nama Adat Pualeu Manleu). Apabila si laki-laki sudah beristri serta ingin keluar dari lingkungan keluarga di perempuan (yang dihamilinya), si laki-laki tersebut diharuskan pula membayar belis berupa seorang anak hasil perkawinannya dan beberapa ekor sapi (binatang piaraan) dan sejumlah uang atau obat adat (dikenal dengan nama Adat Tam-noni). Apabila diperbandingkan dari dua putusan Mahkamah Agung tersebut maka pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 perbuatan melakukan hubungan kelamin di luar perkawinan dikategorisasikan sebagai delik (pidana) yang tidak ada kualifikasinya dalam KUHP (hukum pidana adat), sedangkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3898 K/Pdt/1989 tanggal 19 November 1992 yang diselesaikan secara perdata maka perbuatan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum perkawinan sehingga harus dikenakan sanksi adat. Dikaji dari perspektif asas, teori, norma, praktek dan prosedurnya maka dalam hukum pidana adat penjatuhan sanksi adat (obat adat) hakikatnya bersifat untuk pemulihan keseimbangan alam magis, pemulihan alam kosmos guna mengembalikan pada keseimbangan yang terganggu agar bersifat religio magis kembali. Penjatuhan sanksi pidana ini penting eksistensinya. Di satu sisi, penjatuhan sanksi pidana bersifat preventif dan represif dan di sisi lainnya pemulihan kesimbangan magis yang terganggu sehingga diharapkan masyarakat hukum adat tersebut seperti sedia kala. Pada hakikatnya, “sanksi pidana” merupakan “penjamin / garansi yang utama / terbaik” atau (prime guarantor) dan sekaligus sebagai “pengancam yang utama” (prime threatener) atau serta merupakan alat atau sarana terbaik dalam menghadapi kejahatan. Konklusi dasar asumsi Herbert L. Packer ini diformulasikan dengan redaksional sebagai berikut:66 a. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana. (The criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the foresecable future, get along without it) b. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. (The criminal sanction is the best available device are have for dealing with gross and immediate harm and threats of harm) c. Sanksi pidana suatu ketika merupakan ―penjamin yang utama/terbaik‖ dan suatu ketika merupakan ―pengancam yang utama‖ dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara cermat dan manusiawi; ia merupakan pengancam apabila digunakan secara
66
Herbert L. Packer, The Limits Criminal of Criminal Sanctions, Stanford University Press, California, 1968, hlm. 364-366. 233
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
sembarangan dan secara paksa. (The criminal sanction is at once prime guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener). Pada hukum pidana adat eksistensi sanksi pidana dan tujuan pemidanaan mempunyai korelasi yang erat dan penting. Pada asasnya, konsep RUU KUHP Tahun 2012 merumuskan tujuan pemidanaan. Aspek dan dimensi ini merupakan sebuah kemajuan yang cukup representatif dalam hukum pidana Indonesia. Ketentuan Pasal 54 ayat (1) huruf c RUU KUHP menentukan, “pemidanaan bertujuan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat”. Dimensi ini harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan putusan sehingga secara menyeluruh putusan hakim mempunyai dimensi legal justice, moral justice dan social justice. Tegasnya, agar dapat terpenuhinya dimensi ini secara konkrit pada praktik penegakan hukum telah ditentukan pula adanya eksistensi pidana tambahan sebagaimana ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf e berupa, “pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat”. Pada dasarnya, pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain. Konsepsi pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Eksistensi adanya penjatuhan pidana tambahan dimaksudkan untuk menambah pidana pokok yang dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat fakultatif. Pidana berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dianggap setara sebanding dengan pidana denda Kategori I dengan besaran sejumlah Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat setempat ata kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana. Barda Nawawi Arief67 menyebutkan bahwa pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat di dalam konsep RUU KUHP merupakan salah satu aspek perlindungan terhadap korban dimana jenis pidana ini pada dasarnya dapat juga dilihat sebagai bentuk pemberian ganti rugi kepada korban. Hanya saja yang menjadi korban di sini adalah masyarakat adat. Konsekuensi logis diakui dan adanya dasar hukum yang tegas eksistensi hukum yang hidup (hukum pidana adat) akan memberikan tugas, tanggung jawab dan beban relatif lebih berat kepada hakim untuk lebih dapat memahami dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim harus benarbenar memahami perasaan masyarakat, keadaan masyarakat, terlebih masyarakat Indonesia yang majemuk dengan pelbagai macam adat istiadat, tradisi dan budaya 67
234
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 59
Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia
yang berbeda-beda yang tetap dipertahankan sebagai hukum yang hidup. Soedarto68 menyebutkan bahwa mata, pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat menangkap apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, agar supaya keputusannya tidak kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh kepribadiannya harus bertanggung jawab atas kebenaran putusannya baik secara formal maupun materiil. 4. Metode Penelitian Tulisan ini merupakan hasil penelitian hukum dogmatik (dogmatic law research) dan diperkuat dengan penelitian hukum imperis dan sudut pendekatannya melalui perundangan-undangan (Statute Approach), pendekatan konseptual (Analytical and Conceptual Approach), pendekatan kasus (Case Approach) dan pendekatan presepsional (perceptional approach). Kemudian sumber data sekunder berasal dari penelitian kepustakaan (library reserach) didukung oleh data primer berupa data lapangan (field research) yang diperoleh dari pengamatan (observasi) di lapangan dan serangkaian teknik wawancara terstruktur berupa pengisian questioner terhadap 150 (seratus lima puluh) responden para hakim pada Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Medan, Denpasar, Mataram, dan Banjarmasin. Data primair yang diperoleh dianalisis dan diolah secara kualitatif dan kuantitatif dan ditulis secara deskriptif analisis. B. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Eksistensi Hukum Pidana Adat Indonesia Dikaji Dari Perspektif Asas, Teori, Norma, Praktik dan Prosedurnya Eksistensi hukum pidana adat tersebut dapat dikatakan antara “ada” dan “tiada”. Ada 2 (dua) argumentasi yang patut dikemukakan dalam konteks ini mengapa kajian terhadap hukum pidana adat diasumsikan eksistensinya antara ―ada‖ dan ―tiada‖. Pertama, dikaji dari dimensi asas legalitas formal (selanjutnya disebut sebagai asas legalitas) dan asas legalitas materiil. Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut dengan terminologi “principle of legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP Indonesia yang berbunyi: ―Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.‖ (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). Dikaji dari perspektif sejarah terbentuknya asas legalitas dalam KUHP Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht Nederland (WvS. Ned), sebagaimana berasal dari ketentuan Pasal 8 Declaration des Droits De L‟Homme Et Du Citoyen tahun 1789 yang berbunyi, ―tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya‖, dan merupakan pandangan Lafayette dari Amerika ke Perancis dan bersumber dari Bill of Rights Virgina tahun 1776. 68
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, PT Alumni, Bandung, 1983, hlm. 81 235
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Dari dimensi konteks di atas, nyatalah bahwa asas legalitas lahir, tumbuh dan berkembang dalam alam liberalisme. Akan tetapi pada dimensi kekinian ternyata alam liberalisme tersebut relatif kurang cocok diterapkan dalam kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistis sehingga konsekuensi logisnya perlu dicari suatu formula berupa adanya keinginan untuk menerapkan keseimbangan monodualistik antara asas legalitas formal dan asas legalitas materiil.69 Eksistensi asas legalitas materiil sebagaimana dikaji dari perspektif ius constituendum diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2012 yang berbunyi sebagai berikut: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Apabila dipadankan asas legalitas formal dan materiil hendaknya diatur dalam peraturan perundang-undangan dan diimplementasikan secara integral. Pada asas legalitas dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Kemudian asas legalitas materiel menentukan bahwa dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu hukum tidak tertulis atau hukum adat. Barda Nawawi Arief menyebutkan dengan adanya perumusan asas legalitas yang formal di dalam Pasal 1 KUHP, hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup di dalam masyarakat sama sekali tidak mempunyai tempat sebagai sumber hukum yang positif. Dengan perkata lain, adanya Pasal 1 KUHP itu seolah-olah hukum pidana tidak tertulis yang hidup atau pernah ada di masyarakat, sering ―ditidurkan atau dimatikan‖. Semasa zaman penjajahan, ditidurkannya hukum pidana tidak tertulis itu masih dapat dimaklumi karena memang sesuai dengan politik hukum Belanda pada saat itu. Namun, akan dirasakan lain apabila kebijakan itu juga diteruskan seusai kemerdekaan. Dengan adanya Pasal 1 KUHP, hukum tidak tertulis / hukum yang hidup itu tidak pernah tergali dan terungkap secara utuh kepermukaan, khususnya dalam praktek peradilan pidana maupun dalam kajian akademik di perguruan tinggi. Selanjutnya, berarti tidak pernah berkembang dengan baik ―tradisi yurisprudensi‖ maupun ―tradisi akademik / keilmuan‖ mengenai hukum pidana tidak tertulis itu. Kalau toh ada, hanya dalam ruang yang sangat terbatas dan (sekali lagi) ―tidak utuh‖ atau ―tidak lengkap‖.70 Konklusi dasar dari apa yang diterangkan di atas menyebutkan asas legalitas sebagaimana ketentuan Pasal 1 KUHP memang merupakan salah satu asas fundamental yang harus tetap dipertahankan, namun penggunaan harus dengan bijaksana dan hati-hati, karena kalau kurang bijaksana dan kurang hati-hati, justru 69
70
236
Berdasarkan hasil penelitian mayoritas responden menghendaki untuk masa mendatang disamping adanya asas legalitas formal juga diatur adanya asas legalitas materiil dalam KUHP diterapkan dalam praktik peradilan sehingga dapat menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana adat yaitu PT Banda Aceh (92%), PT Medan (86%), PT Denpasar (88%), PT Mataram (97%) dan PT Banjarmasin (100%) Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidana Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1994, hlm. 25
Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia
dapat menjadi ―bumerang‖. Sungguh sangat tragis dan menyayat hati apabila dengan dalih Pasal 1 KUHP, nilai-nilai hukum yang ada dan hidup dalam masyarakat tidak dapat tersalur dengan baik atau bahkan ditolak sama sekali. Dikatakan tragis dan menyayat hati karena berarti nilai-nilai hukum adat/hukum yang hidup di dalam masyarakat telah dibunuh/dimatikan oleh bangsanya sendiri lewat senjata/peluru/pisau yang diperoleh dari bekas penjajah (yaitu lewat Pasal 1 KUHP/WvS).71 Kedua, dikaji dari perspektif UU Nomor 1 dart Tahun 1951 dimana dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b masih dikenal eksistensinya Pengadilan Adat. Akan tetapi, setelah dikodefikasikan Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970), yang kemudian dirubah dengan UU Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 35 Tahun 1999, jis UU Nomor 4 Tahun 2004, UU Nomor 48 Tahun 2009) tidak dikenal lagi eksitensi Pengadilan Adat dalam tataran kebijakan legislasi walaupun untuk daerah Aceh Nangroe Darussalam sebagaimana UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh eksistensi Pengadilan Adat masih diterapkan dan dikenal dengan istilah Peradilan Gampong atau Peradilan Damai. Akan tetapi walaupun kebijakan formulatif sejak UU 14 Tahun 1970 (berikut UU Nomor 35 Tahun 1999, jis UU Nomor 4 Tahun 2004, UU Nomor 48 Tahun 2009) yang tidak mengakui eksistensi peradilan adat fakta aktual dalam kebijakan aplikatif baik dikaji dari praktik di yudex facti (Pengadilan Negeri)72 dan yudex yuris (Mahkamah Agung) melalui yurisprudensi eksistensi peradilan adat tetap mengakuinya. Misalnya, sebagai salah satu contohnya pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 dimana dalam ratio decidendi putusan disebutkan bahwa apabila seseorang melanggar hukum adat kemudian Kepala dan Para Pemuka Adat memberikan reaksi adat (sanksi adat) maka yang bersangkutan tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai 71
72
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 298 Berdasarkan hasil penelitian eksistensi ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt Nomor1 Tahun 1951 oleh mayoritas responden dianggap tepat diterapkan dalam praktik peradilan untuk pelaku tindak pidana adat yaitu PT Banda Aceh (92%), PT Medan (88%), PT Denpasar (83%), PT Mataram (79%) dan PT Banjarmasin (74%). Kemudian terhadap cara penyelesaian kasus (tindak pidana adat) para responden bervariasi untuk memberi jawaban yaitu melalui fungsionaris hukum adat untuk PT Banda Aceh (55%), PT Medan (48%), PT Denpasar (48%), PT Mataram (55%) dan PT Banjarmasin (10%), melalui peradilan umum untuk PT Banda Aceh (40%), PT Medan (50%), PT Denpasar (24%), PT Mataram (24%) dan PT Banjarmasin (80%) dan melalui mediasi penal untuk PT Banda Aceh (5%), PT Medan (2%), PT Denpasar (21%), PT Mataram (10%) dan PT Banjarmasin (10%). Kemudian untuk penjatuhan pidana yang paling tepat berupa pidana pemenuhan kewajiban adat pada PT Banda Aceh (20%), PT Medan (36%), PT Denpasar (14%), PT Mataram (34%) dan PT Banjarmasin (16%) untuk pidana penjara dan pemenuhan kewajiban adat pada PT Banda Aceh (36%), PT Medan (24%), PT Denpasar (41%), PT Mataram (31%) dan PT Banjarmasin (52%) sedangkan untuk pidana kurungan dan/atau pemeuhan kewajiban adat pada PT Banda Aceh (48%), PT Medan (32%), PT Denpasar (38%), PT Mataram (31%) dan PT Banjarmasin (52%) 237
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
terdakwa dalam persidangan Badan Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama melanggar hukum ada dan dijatuhkan pidana penjara menurut ketentuan KUH Pidana (Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt Nomor 1 Tahun 1951) sehingga dalam keadaan demikian pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk Verklaard). Konklusi dasar dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut menentukan bahwa Mahkamah Agung RI sebagai Badan Peradilan Tertinggi di Indonesia tetap menghormati putusan Kepala Adat (Pemuka Adat) yang memberikan ―sanksi adat‖ terhadap para pelanggar norma hukum adat. Badan Peradilan Umum tidak dapat dibenarkan mengadili untuk kedua kalinya pelanggar hukum adat tersebut dengan cara memberikan pidana penjara (ex Pasal 5 ayat (3) sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana). Oleh karena itu, konsekuensi logisnya dapat dikatakan bahwa bila Kepala Adat tidak pernah memberikan ―sanksi adat‖ terhadap pelanggar hukum adat, maka hakim badan peradilan negara berwenang penuh mengadilinya berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana. Dikaji dari perspektif normatif, teoretis, asas dan praktek dimensi dasar hukum dan eksistensi keberlakukan hukum pidana adat bertitik tolak berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 (LN 1951 Nomor 9). Selanjutnya pada ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UndangUndang Nomor 1 Drt tahun 1951 disebutkan, bahwa: “Hukum materiil & sipil dan untuk sementara waktupun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orangorang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu dengan pengertian bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh Hakim dengan besar kesalahan terhukum, bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas, bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana yang ada bandingnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana tersebut”.
238
Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia
Ada 3 (tiga) konklusi dasar dari ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UndangUndang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Pertama, bahwa tindak pidana adat yang tiada bandingan atau padanan dalam KUHP dimana sifatnya tidak berat atau dianggap tindak pidana adat yang ringan ancaman pidananya adalah pidana penjara dengan ancaman paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak lima ratus rupiah (setara dengan kejahatan ringan), minimumnya sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 12 KUHP yaitu 1 (satu) hari untuk pidana penjara dan pidana denda minimal 25 sen sesuai dengan ketentuan Pasal 30 KUHP. Akan tetapi, untuk tindak pidana adat yang berat ancaman pidana paling lama 10 (spuluh) tahun, sebagai pengganti dari hukuman adat yang tidak dijalani oleh terdakwa. Kedua, tindak pidana adat yang ada bandingnya dalam KUHP maka ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP seperti misalnya tindak pidana adat Drati Kerama di Bali atau Mapangaddi (Bugis) Zina (Makasar) yang sebanding dengan tindak pidana zinah sebagaimana ketentuan Pasal 284 KUHP. Ketiga, sanksi adat sebagaimana ketentuan konteks di atas dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perbuatan yang menurut hukum yang hidup (living law) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya dalam KUHP sedangkan tindak pidana yang ada bandingnya dalam KUHP harus dijatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan KUHP. Selain ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 maka dasar hukum berlakunya hukum pidana adat juga mengacu ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara eksplisit maupun implisit ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 meletakan dasar eksistensi hukum pidana adat. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menentukan bahwa, “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, kemudian ketentuan Pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa, “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”, berikutnya ketentuan Pasal 50 ayat (1) menentukan, ”Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Pada dasarnya, kalimat, ―nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”,“hukum tidak ada atau kurang jelas”, “sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili” mencerminkan baik tersurat maupun tersirat bahwa keberlakukan hukum pidana adat juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Selain dalam kebijakan legislasi keberlakukan hukum pidana diatur dan dibicarakan dalam pelbagai forum seminar hukum pidana adat untuk juga diarahkan dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional. Misalnya, dalam Resolusi Butir IV Seminar Hukum Nasional I Tahun 1963 Bidang Hukum Pidana 239
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
disebutkan bahwa, “yang dipandang sebagai purbuatan-perbuatan jahat itu adalah perbuatan-perbuatan yang dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP maupun dalam perundang-undangan lain. Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatan-perbuatan hukum adat yang hidup dan tidak enghambat pembentukan masyarakat yang dicita-citakan dengan sanksi adat yang masih dapat sesuai dengan martabat bangsa”. Berikutnya dalam Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun 1980, antara lain disebutkan, “...usaha pembaharuan hukum pidana agar didasarkan pada Politik Hukum Pidana dan Politik Kriminal yang mencerminkan aspirasi nasional...Dalam hubungan ini maka proses pembaharuan tersebut haruslah melalui penelitian dan pengkajian yang mendalam (antara lain) tentang: ...hukum pidana adat dan agama yang hidup dalam masyarakat Indonesia”. Kemudian dalam Laporan Seminar Hukum Nasional VI Tahun 1994 pada butir a ditentukan bahwa, “hukum tertulis dan hukum tidak tertulis hendaknya bersifat komplementer”, dan butir b menegaskan, “pembentukan hukum tidak tertulis lebih “luwes” dari pada pembentukan hukum tertulis, karena bisa mengatasi kesenjangan antara keabsahan hukum dan efektivitasnya”. Selain itu dalam dimensi internasional sejalan dengan strategi penganggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana adat selaras dengan kesimpulan dari The Seventh United Nations Conggres on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders pada point 15 ditentukan bahwa: Crime prevention and criminal justice should not to be treated as isolated problems to be tackled by simplistic, framentary methods, but rather as complex a wide-raging activities requiring sistematic strategies and differentiated approaches in relation to: (a) The socio-economic, political and cultural context and circumstances of society in which they are applied; (b) The development stage, with special emphasis on the changes taking place and likely to accur and the related requirements; (c) The respective traditions and customs, making maximum and effective use of human indigenous options. Selain itu, eksistensi hukum pidana adat ditataran yurispudensi Mahkamah Agung RI juga diakui melalui penafsiran sifat melawan hukum materiil baik dalam fungsi positif dan fungsi negatif. Pada yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang menerapkan sifat melawan hukum materiil dengan fungsi negatif termaktub dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 atas nama terdakwa Machroes Effendi dimana Mahkamah Agung membenarkan hapusnya sifat melawan hukum dikarenakan adanya tiga faktor yaitu negara tidak dirugikan, kepentingan umum terlayani dan terdakwa tidak mendapat untung serta suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifat melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga
240
Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia
berdasarkan azas-azas keadilan atau azas-azas hukum yang tidak tertulis.73 Adapun dasar pertimbangan diakui eksistensi hukum (pidana) adat disebutkan dengan redaksional sebagai berikut: “bahwa Mahkamah Agung pada azasnya dapat membenarkan pendapat dari Pengadilan Tinggi tersebut, bahwa suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan azasazas keadilan atau azas-azas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana Pengadilan Tinggi dianggap ada dalam perkara penggelapan yang formil terbukti dilakukan oleh terdakwa.” Dengan tolok ukur sebagaimana dimensi di atas, maka berdasarkan kasus Machroes Effendi inilah timbul suatu yurisprudensi Mahkamah Agung dengan Nomor 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 yang jelas menganut azas ―perbuatan melawan hukum materiil‖ (Materiile Wederrechtelijkheid) dalam artian Negatif. Sedangkan yurisprudensi Mahkamah Agung yang berpendirian perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi Positif terdapat dalam perkara Putusan Nomor 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983 atas nama terdakwa Drs. R.S. Natalegawa. Pada asasnya, yurisprudensi Mahkamah Agung ini pertimbangan putusannya bersifat futuristis dengan titik tolak penafsiran yang keliru pengertian ―melawan hukum‖ dari yudex facti diidentikan sebagai ―melawan peraturan yang ada sanksi pidananya‖, sebagaimana dikatakan dengan redaksional sebagai berikut: ―Menimbang, bahwa menurut Mahkamah Agung penafsiran terhadap sebutan ―melawan hukum‖ tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.‖ Konkretisasi dan konklusi detail eksistensi pengakuan hukum pidana adat terdapat baik dalam peraturan perundangan-undangan, forum ilmiah, pendapat doktrin maupun yurisprudensi Mahkamah Agung RI.
73
Berdasarkan hasil penelitian para responden menyatakan ratio decidendi yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 atas nama terdakwa Machroes Effendi tersebut tentang hilangnya sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif dalam tindak pidana korupsi berdasarkan azas-azas keadilan atau azas-azas hukum yang tidak tertulis oleh mayoritas responden dianggap tepat diterapkan dalam praktik peradilan untuk pelaku tindak pidana adat yaitu PT Banda Aceh (100%), PT Medan (93%), PT Denpasar (84%), PT Mataram (93%) dan PT Banjarmasin (100%) 241
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
2. Hukum Pidana Adat Dalam Korelasinya Dengan Filsafat Hukum, Teori Hukum dan Dogmatik Hukum Dikaji dari perspektif asas, teori, norma, praktek dan prosedurnya merupakan aspek krusial dan menarik untuk dikaji tentang dimanakah letak korelasi eksistensi hukum pidana adat dari dimensi filsafat hukum, teori hukum dan dogmatik hukum. Dari segi teori hukum maka ilmu hukum dibagi menjadi tiga lapisan yaitu dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Teori hukum menurut JJH Bruggink adalah keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut sebagian yang penting dipositipkan.74 Menurut JJH Bruggink lebih lanjut pengertian teori hukum memiliki makna ganda, yaitu dapat berarti produk, yaitu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan itu adalah hasil kegiatan teoretis bidang hukum. Dalam arti proses, yaitu kegiatan teoretis tentang hukum atau pada kegiatan penelitian teoretis bidang hukum sendiri. Kemudian dogmatik hukum hakikatnya berisikan hukum positif yaitu yang dibentuk dalam wujud tententu oleh kekuasaan yang berwenang. Gustav Radbruch dengan mengutif Lawrence Friedman dalam Legal teori menyebut tugas teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai hukum serta postulatpostulatnya sampai landasan filosofis yang terdalam. JJH Bruggink dengan titik tolak pendapat Jan Gijssels dan Mark van Hoeke menyebutkan hubungan dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat hukum dimana dogmatik hukum merupakan meta teori dari teori hukum, dan terhadap filsafat hukum bersifat metameta teori. Dogmatik Hukum menurut Bellefroid dan Kusumadi Pudjesewojo disebut sebagai Ilmu Hukum Positif mempelajari peraturan dari segi teknis yuridis, berbicara hukum dari aspek yuridis, problem hukum yang konkret, aktual dan potensial dan melihat hukum dari perspektif internal. Teori Hukum merupakan refleksi terhadap teknik hukum, pandangan doktrina tentang hukum, justifikasi terhadap hukum positif. Teori hukum mengarah pada pembentukan hukum (perundang-undangan) dan penemuan hukum (ajaran interpretasi). Filsafat Hukum merupakan refleksi terhadap hukum atau gejala hukum sehingga sebagai refleksi kefilsafatan eksistensinya tidak ditujukan mempersoalkan hukum positif tertentu melainkan merefleksikan hukum pada umumnya atau hukum sebagai yang demikian (law as such). Filsafat Hukum mencari hakikat hukum yang terdalam. Philipus Hadjon dalam “Pengkajian Ilmu Hukum” menyebutkan Filsafat Hukum sifatnya spekulatif, Teori hukum dan dogmatik hukum sifatnya normatif. Dogmatis Hukum obyeknya hukum positif nasional yang terdiri atas norma (dimensi penormaan), tujuannya teoretikal tetapi terutama praktekal), Teori Hukum obyeknya gejala umum dalam hukum positif, tujuannya teoretikal, Filsafat Hukum obyeknya batas-batas kaidah hukum, tujuannya teoretikal dimensinya normatif, emperis dan kontemplatif. Teori Hukum dalam arti sempit letaknya antara dogmatik hukum dengan filsafat hukum, Teori Hukum dalam arti luas 74
242
JJH Bruggink, Refleksi tentang Hukum, alih bahasa Arief Sidharta, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 159-160
Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia
(Rechtstheorie/Rechtswetenschap) meliputi Dogmatik Hukum, Teori Hukum (dalam arti sempit) dan Filsafat Hukum. Teori Hukum menurut Bernard Arief Sidharta dalam Hukum dan Logika mengkaji analisis bahan hukum, metode, dan kritik ideologikal terhadap hukum. Analisis Hukum berarti menganalisis pengertian hukum, asas hukum, kaidah hukum, sistem hukum dan konsep yuridis tentang hukum. Metodelogi hukum meliputi epistemologi hukum, metode pembentukan dan penerapan hukum, penemuan hukum, teori perundang-undangan. Ciri khas teori hukum memiliki karakter interdisipliner yang memandang hukum dari luar hukum. Menurut Posner memandang hukum dari interdisipliner merupakan tradisi American Realism dimana di Indonesia merupakan aspek Sosiologis menurut Satjipto Rahardjo atau menurut pandangan Rober Unger dengan gerakan studi hukum kritis, yang dipengaruhi oleh American Realist seperti Oliver Wendell Holmes, John Chipman Gray, Karl Llewellyn dan Jorome Frank dan di Eropa sesuai dengan pandangan Lawrence Wolfgang Friedman dalam Legal Theory. Ketiga lapisan ilmu hukum yaitu dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat hukum pada akhirnya diarahkan pada praktek hukum khususnya pembentukan hukum dan penerapan hukum. Philiphus Hadjon75 menyebutkan permasalahan penerapan hukum meliputi interprestasi hukum, kekosongan hukum (rechtsvacuum), kekosongan uu (wet vacuum), konflik norma hukum (antinomi), dan norma yang kabur (vage normen). Algra dan Duyvendik berpendapat bahwa orang lebih suka menggunakan istilah ―pembentukan hukum‖ (rechtsvorming) dari pada ―penemuan hukum‖ (rechtsvinding) karena istilah ―penemuan hukum‖ memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada. Dalam praktek, penemuan hukum dilakukan hakim dengan interprestasi, konstruksi dan penghaluasan hukum. Konklusi dasar apa yang diterangkan konteks di atas dapat diasumsikan bahwa praktek hukum merupakan implementasi dari dogmatik hukum ke dalam fakta hukum. Dari perspektif hermeunitika antara dogmatik hukum ke dalam fakta hukum dan sebaliknya maka teori hukum berfungsi sebagai meta teori dari dogmatik hukum sehingga filsafat hukum merupakan dimensi yang penting dan utama. Apa yang telah diterangkan di atas maka dapat ditarik suatu asumsi argumentatif bahwasanya dikaji dari dimensi kerangka praktek hukum maka ternyata hukum pidana adat berkorelasi dengan tataran dogmatik hukum, teori hukum dan dalam tataran filsafat hukum. Pada tataran dogmatik hukum yang secara teoretis berkorelasi dengan teori hukum khususnya hukum positif maka tindak pidana adat (hukum pidana adat) haruslah berupa sebuah rumusan yang bersifat tertulis sehingga dapat dikualifisir unsur perbuatan tindak pidana adat sebagai suatu ―primes mayor‖. Untuk itu, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Dart Nomor 1 Tahun 1951 sebagai berikut:
75
Philiphus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Jogyakarta, 2005, hlm. 10 243
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Pertama, bahwa tindak pidana adat yang tiada bandingan atau padanan dalam KUHP dimana sifatnya tidak berat atau dianggap tindak pidana adat yang ringan ancaman pidananya adalah pidana penjara dengan ancaman paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak lima ratus rupiah (setara dengan kejahatan riangan), minimumnya sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 12 KUHP yaitu 1 (satu) hari untuk pidana penjara dan pidana denda minimal 25 sen sesuai dengan ketentuan Pasal 30 KUHP. Akan tetapi, untuk tindak pidana adat yang berat ancaman pidana paling lama 10 (spuluh) tahun, sebagai pengganti dari hukuman adat yang tidak dijalani oleh terdakwa. Kedua, tindak pidana adat yang ada bandingnya dalam KUHP maka ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP seperti misalnya tindak pidana adat Drati Kerama di Bali atau Mapangaddi (Bugis) Zina (Makasar) yang sebanding dengan tindak pidana zinah sebagaimana ketentuan Pasal 284 KUHP. Ketiga, sanksi adat sebagaimana ketentuan konteks di atas dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perbuatan yang menurut hukum yang hidup (living law) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya dalam KUHP sedangkan tindak pidana yang ada bandingnya dalam KUHP harus dijatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan KUHP. Pada dimensi teori hukum maka hukum pidana adat dipandang sebagai norma hidup (living law) yang eksis dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena dimensi demikian maka hukum pidana adat dalam implementasinya dipergunakan penafsiran hukum berupa penafsiran sosiologi atau teleologis. Konsekuensi logis dimensi demikian yang mempergunakan penafsiran sosiologis atau teleologis ini dilakukan terhadap proses heurmanitika dalam praktek hukum sehingga harus mempunyai tolok ukurnya dalam hukum positif. Dikaji dari perspektif filsafat hukum maka hukum pidana adat mengatur tentang nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sehingga apabila nilai tersebut dilanggar akan terjadi kegoncangan keseimbangan magis dan oleh karena itu harus dipulihkan keseimbangan tersebut dengan sanksi adat atau obat adat. Nilai-nilai filosofis tersebut diatur dalam bentuk norma dan asas serta diterapkan dalam praktek hukum. Dari dimensi fisafat hukum nilai-nilai filosofis tersebut diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman khususnya pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) yang secara tegas meletakan dasar eksistensi hukum pidana adat. Konklusi dasarnya konteks di atas dapat ditegaskan bahwa dalam kajian ilmu hukum khususnya hukum pidana maka posisi hukum pidana adat berada pada dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Oleh karena itu hukum pidana adat secara holistik menjiwai seluruh lapisan ilmu hukum dalam praktek hukum sehingga eksistensi dari dimensi ilmu hukum hukum pidana adat tidak diragukan kapabilitasnya sebagai karakteristik praktek hukum di Indonesia. 244
Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia
C. Simpulan dan Saran Eksistensi hukum pidana adat Indonesia dikaji dari perspektif normatif (ius constitutum) diatur Pasal 18 B UUD 1945 hasil Amandemen, Pasal 1, Pasal 5 ayat (3) sub b UU Nomor 1 Drt tahun 1951, Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009. Kemudian secara parsial dalam daerah tertentu seperti Aceh Nangroe Darussalam diatur dalam UU Nomor 44 Tahun 1999, UU Nomor 11 Tahun 2006, berikutnya diimplementasikan dalam bentuk Qanun baik tingkat Propinsi dan Kabupaten seperti Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 10 Tahun 2002 tentang Hukum Adat Gayo. Berikutnya di Bali diatur dan diimplementasikan dalam bentuk Awig-Awig Desa Adat (Pakraman) serta dari perspektif ius constituendum diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1), (2) RUU KUHP Tahun 2012. Kemudian tataran asas diatur Kitab Ciwasasana atau Kitab Purwadhigama, Kitab Gajahmada, Kitab Simbur Cahaya, Kitab Kuntara Raja Niti, Kitab Lontara „ade‟ dan awig-awig. Selain itu, dikaji dari perspektif teori, praktik dan prosedurnya ditemukan dalam bentuk yurispudensi Mahkamah Agung RI seperti Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983 serta penjatuhan sanksi adat (obat adat) hakikatnya bersifat untuk pemulihan keseimbangan alam magis, pemulihan alam kosmos guna mengembalikan pada keseimbangan yang terganggu agar bersifat religio magis kembali. Kemudian dalam kajian hukum pidana maka eksistensi hukum pidana adat Indonesia berada pada tataran dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Oleh karena itu hukum pidana adat secara holistik menjiwai seluruh lapisan ilmu hukum dalam praktek hukum sehingga eksistensi dari dimensi ilmu hukum maka hakikatnya hukum pidana adat tidak diragukan kapabilitasnya sebagai karakteristik praktek hukum di Indonesia. Kemudian saran yang dapat diajukan dalam dimensi ini hendaknya kebijakan formulatif merevisi undang-undang dengan tetap mengakui eksistensi peradilan adat sehingga tidak menimbulkan dualisme dalam praktik ketika peradilan melakukan proses mengadili terhadap pelaku tindak pidana adat. Kemudian dalam pembentukan RUU KUHP masa mendatang (ius constituendum) hendaknya diperlukan adanya reorientasi dan perumusan kembali mengenai falsafah/filsafat pemidanaan yang bertitik tolak kepada asas, teori, norma, praktik dan nilai-nilai kearifan lokal yang bersumber pada masyarakat Indonesia sehingga kini sudah tiba saatnya bangsa Indonesia mempunyai filsafat pemidanaannya sendiri yang berorientasi kepada kearifan lokal hukum pidana adat untuk diterapkan terhadap bangsa Indonesia yang bersifat pluralistik.
DAFTAR PUSTAKA Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidana 245
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1994 -----------------------, Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001 Doyle P. Johson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, PT Gramedia, Jakarta, 1985 Eugene Ehrlich, Fundamental Principls of the Sociology of Law, New York, 1936 Herbert L. Packer, The Limits Criminal of Criminal Sanctions, Stanford University Press, California, 1968 H.R. Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, PT Alumni, Bandung, 2007 ---------------, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, PT Alumni, Bandung, 2002 I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, PT Eresco, Bandung, 1993 J.J.H. Bruggink, alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Banung, 1999 L.B. Curzon, Jurisprudence, Macdonald & Evans Ltd, Playmouth, 1979 Lilik Mulyadi, Makalah Penelitian Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktek dan Prosedurnya, untuk wilayah Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Medan, Denpasar, Mataram dan Banjarmasin, Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2010 Philipus M. Hadjon, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Jogyakarta, 2005 Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1979 Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, PT Alumni, Bandung, 1981 Soerjono Soekanto, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia, Kurnia Esa, Jakarta, 1982
246
PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA
Hasbi Hasan Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Jayabaya Jakarta Abstrak Salah satu perubahan paling signifikan yang terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2012 adalah diakomodirnya prinsip keadilan restoratif dan asas diversi dalam sistem peradilan pidana anak. Kendati demikian, penerapan prinsip keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana anak yang diatur dalam dalam UU No. 11 Tahun 2012 cenderung bersifat parsial dan tidak komprehensif. Hal tersebut disebabkan oleh adanya miskonsepsi umum dalam memahami keadilan restoratif sebagai suatu usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan. Penelitian ini menunjukkan bahwa keadilan restoratif pada dasarnya bersifat melengkapi dan bukan menggantikan sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, program keadilan restoratif dapat diintegrasikan ke dalam seluruh rangkaian proses peradilan pidana anak tanpa mengorbankan prinsip dasar dan tujuan utama keadilan restoratif, dan pada saat bersamaan, tidak pula mengecilkan peranan sistem peradilan pidana anak yang didasarkan pada ketentuan hukum formil. Kata kunci : keadilan restoratif, peradilan pidana anak, kejahatan, diversi. Abstract One of the most significant changes contained in the UU No. 11 Tahun 2012 One of the most significant changes contained in the UU No. 11 Tahun 2012 is to accomodate principles of restorative justice and the principle of diversion in the juvenile justice system . Nevertheless, the application of the principles of restorative justice in the juvenile justice system are set out in the UU No. 11 Tahun 2012, tend to be partial and non-exhaustive . This is caused by the presence of common misconceptions in the understanding of restorative justice as an attempt to seek a peaceful settlement of the conflict out of court . This study shows that restorative justice is essentially complement rather than replace the criminal justice system . Therefore , restorative justice programs can be integrated into the whole process of juvenile justice without compromising the basic principles and main objectives of restorative justice , and at the same time , did not downplay the role of juvenile justice system that is based on formal legal requirements. Keywords: restorative justice, juvenile justice, crime, diversion. Pendahuluan Perilaku kenakalan anak (juvenile delinquency) di Indonesia masih merupakan gejala sosial yang menimbulkan kekhawatiran kalangan orang tua pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Bentuk-bentuk perilaku kenakalan
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
anak seperti penyalahgunaan narkoba, perkelahian pelajar, pengeroyokan, penganiayaan, pencurian, dan sebagainya senantiasa mencuat ke permukaan. Berdasarkan data Direktorat III Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri pada 2011, tercatat 967 kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). 76 Dalam lingkup dunia peradilan, data Pengadilan Negeri Surabaya, misalnya, menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2012 terdapat 186 kasus pidana anak yang ditangani.77 Data tentang kasus ABH yang cukup signifikan ini sudah sepatutnya menjadi perhatian bersama semua komponen bangsa. Hal yang lebih memprihatinkan adalah kenyataan bahwa cara penanganan ABH pada umumnya ditempuh melalui jalur peradilan pidana konvensional yang pada gilirannya cenderung menggoreskan trauma pada diri anak. Banyak anak yang melakukan kejahatan ringan kemudian diadili dan dipenjara, seperti terjadi dalam kasus pencurian voucher pulsa Rp. 10.000 yang dilakukan oleh anak lakilaki kelas 1 SMP yang kemudian menjalani proses hukum dan dituntut Pasal 362 KUHP dan diancam penjara selama 7 tahun. Demikian pula kasus pencurian sandal jepit yang dilakukan oleh seorang anak yang berinisial AL di Palu yang kemudian diproses secara hukum formal dan dimejahijaukan.78 Kasus-kasus tersebut sempat menghebohkan dunia penegakkan hukum di Indonesia dan menuai protes dari kalangan pemerhati anak dan aktivis hak asasi manusia. Sebagai kelanjutannya, kritik terhadap penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak mulai bermunculan dari pelbagai kalangan. Pelbagai peristiwa memilukan di atas nampaknya terjadi karena selama ini penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak di Indonesia bertumpu pada ketentuan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang telah menuai banyak kritik dari pelbagai kalangan. Menurut Paulus Hadisuprapto, ketentuan substantif UU No. 3 T ahun 1997 tentang Pengadilan Anak memiliki beberapa kelemahan mendasar, antara lain: (1) UU No. 3 T ahun 1997 memberikan peran aktif dan dominan kepada hakim dalam proses pemidanaan dibandingkan dengan peran penuntut umum. Padahal sistem peradilan anak negara lain, posisi ―kunci‖ sistem peradilan anak berada di tangan penuntut umum, bukan pada hakim; (2) UU No. 3 T ahun 1997 tidak mengatur tentang diversi, yakni suatu bentuk pembelokan atau penyimpangan penanganan anak pelaku delinkuen di luar jalur yustisial-konvensional.79 Akibat kelemahan-kelemahan tersebut, implementasi UU No. 3 Tahun 1997 dalam penanganan kasus-kasus anak cenderung membekaskan 76
77
78
79
248
Lihat http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f3a36c521913/ empat-perkarayang-paling-banyak-menyeret-anak.%20%5B21, diakses pada 20 Juni 2013. Lihat http://www.lensaindonesia.com/2012/12/30/di-tahun-2012-ada-186-kasuspidana-anak-divonis-pengadilan.html, diakses pada 20 Juni 2013. Lihat http://catatansangfajar.blogspot.com/2013/01/restoratif-justiceupayamenyelamatkan.html, diakses pada 20 Juni 2013; dan http://www. sikolamang kasara. org/jauhkan-anak-dari-penjara-melalui-keadilan-restoratif.html, diakses pada 20 Juni 2013. Paulus Hadisuprapto, “Peradilan Restoratif: Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang”, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Kriminologi pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 18 Februari 2006, h. 15-16.
Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
stigma atas diri anak, mulai dari cara penanganan anak di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan di pengadilan hingga pelaksanaan pembinaan. Kesemuanya menunjukan indikator berupa stigmatisasi anak, yang pada gilirannya akan sangat merugikan perkembangan jiwa anak di masa datang. Kajian kriminologi mengisyaratkan bahwa stigmatisasi akan membekas pada diri anak sehingga terjadi apa yang disebut ―self prophecy process” dan sangat potensial sebagai faktor kriminogen anak akan mengulangi perbuatan kenakalannya lagi di masyarakat.80 Dengan demikian, hukuman terhadap ―anak nakal‖ yang diintroduksi dalam UU No. 3 Tahun 1997 lebih berorientasi pemidanaan, bukan pemulihan. Padahal pemidanaan terhadap anak seharusnya menjadi pilihan terakhir (ultimum remedium; the last resort) sebagaimana diamanatkan Pasal 16 ayat 3 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Peraturan ini sesuai dengan Convention of The Right of The Child yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Anak yang menegaskan bahwa proses hukum dilakukan sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak. Di samping itu, pemidanaan bagi anak sebagai ultimum remedium juga telah diharmonisasikan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagaimana termaktub dalam Pasal 66 ayat (4) yang menyebutkan bahwa penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir . Dalam rangka merespon kritik pelbagai kalangan atas kelemahan UU No. 3 Tahun 1997 tersebut, pemerintah kemudian memberlakukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. UU ini telah menyuguhkan beberapa perubahan yang cukup signifikan, antara lain lebih mengutamakan keadilan restoratif, mengadopsi asas diversi, memperjelas usia pertanggungjawaban pidana anak (12-18 tahun, sementara batasan usia anak yang dapat ditahan adalah 14-18 tahun), proses peradilan anak dipisahkan dengan peradilan umum dan sebagainya. Dari beberapa poin tersebut, perubahan yang paling signifikan adalah bahwa UU ini telah mengakomodir prinsip keadilan restoratif (Pasal 1 Angka 6) dan asas diversi (Pasal 1 Angka 7) dalam sistem peradilan pidana anak. Lahirnya UU No. 11 Tahun 2012 yang mengusung prinsip keadilan restoratif ini tentu saja menjadi angin segar yang menghembuskan harapan baru bagi perkembangan dunia hukum anak di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa penerapan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia— bahkan dalam sistem peradilan pidana secara umum—merupakan momen yang sudah sejak lama ditunggu oleh banyak kalangan, mengingat penegakan hukum di Indonesia selama ini selalu mengacu pada UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum 80
Paulus Hadisuprapto, “Peradilan Restoratif: Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang”, h. 22. 249
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Acara Pidana yang mengedepankan pendekatan hukum formil dan penjatuhan sanksi atau pidana. Kendati demikian, konsep keadilan restoratif itu sendiri nampaknya belum sepenuhnya dipahami secara komprehensif oleh para penegak hukum dan masyarakat secara umum. Lebih dari itu, sebagaimana dikemukakan oleh banyak penulis, kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan konsep keadilan restoratif dan bagaimana program keadilan restoratif diimplementasikan pada level praktik sesungguhnya masih diselimuti oleh perdebatan. Beberapa kalangan memahami keadilan restoratif dan mediasi sebagai sesuatu yang sinonim. Alhasil, keadilan restoratif kerap dipahami sebagai suatu usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan. Kalangan lain berpendapat bahwa meskipun mediasi secara tradisional kerap diasosiasikan dengan keadilan restoratif, tetapi keduanya bukanlah hal yang sama. Oleh karena itu, program keadilan restoratif pada dasarnya bersifat melengkapi dan bukan menggantikan sistem peradilan pidana yang sudah ada. Di lain pihak, ada pula yang berpendapat jika keadilan restoratif diintegrasikan ke dalam sistem peradilan pidana, dikhawatirkan kekuatan lembaga peradilan akan merusak dan mengubah tujuan keadilan restoratif. Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini berupaya menawarkan suatu perspektif tentang model penerapan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia dengan cara mempertautkan kerangka hukum (legal framework) yang berlaku, yakni UU No. 11 Tahun 2012, dengan kerangka teoretik (theoretical framework) yang telah dikonstruksi oleh para pendukung utama keadilan restoratif. Tesis utama yang dibangun dalam tulisan ini adalah bahwa keadilan restoratif pada dasarnya bersifat melengkapi dan bukan menggantikan sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, program keadilan restoratif dapat diintegrasikan ke dalam seluruh rangkaian proses peradilan pidana anak tanpa mengorbankan prinsip dasar dan tujuan utama keadilan restoratif, dan sebaliknya, tidak pula mengecilkan peranan sistem peradilan pidana anak yang didasarkan pada ketentuan hukum formil. Tesis ini didasarkan pada pengandaian bahwa keadilan restoratif pada intinya merupakan sebuah filsafat, prinsip dan pedoman yang menyediakan kerangka alternatif dalam kaitannya dengan pemikiran kita tentang kejahatan dan pelanggaran, yang dalam praktiknya mengejewantah ke dalam pelbagai bentuk yang beragam sesuai dengan sistem hukum, kerangka hukum, struktur hukum dan konteks sosio-kultural di mana konsep keadilan restoratif tersebut diimplementasikan. Konsep dan Praktik Keadilan Restoratif Sistem hukum Barat telah memainkan peranan besar dalam membentuk pemikiran kita tentang konsep kejahatan dan cara menangani tindakan tersebut melalui lembaga peradilan pidana. Pendekatan sistem hukum dan peradilan pidana Barat terhadap keadilan memiliki beberapa kekuatan penting. Namun demikian, terdapat pula pengakuan yang cukup luas bahwa sistem ini memiliki keterbatasan dan mengalami kegagalan pada level tertentu. Korban, pelaku dan anggota masyarakat seringkali merasakan bahwa keadilan tidak cukup memenuhi 250
Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
kebutuhan mereka. Praktisi hukum—hakim, pengacara, jaksa, staf penjara dan lembaga permasyarakatan—juga kerap mengekspresikan rasa frustrasi. Banyak kalangan yang merasa bahwa proses peradilan justru semakin memperdalam luka sosial dan konflik ketimbang berkontribusi terhadap pemulihan atau perdamaian. Konsep keadilan restoratif (restorative justice) adalah salah satu ikhtiar untuk mengatasi beberapa kebutuhan dan keterbatasan tersebut. Istilah ―restorative justice‖ pertama kali diperkenalkan dalam literatur dan praktik peradilan pidana kontemporer pada 1970-an. Namun beberapa bukti yang cukup kuat menunjukkan bahwa konsep tersebut pada dasarnya berakar dari tradisi kuno dan dapat ditelusuri ke belakang dalam adat istiadat dan agama sebagian besar masyarakat tradisional. Beberapa penulis berpendapat bahwa nilai-nilai restorative justice telah bersemayam sejak lama dalam tradisi peradilan yang berkembang dalam peradaban Yunani dan Romawi kuno.81 Daniel Van Ness berpendapat bahwa istilah restorative justice memang diciptakan oleh Albert Eglash dalam sebuah artikel tahun 1977, tetapi ide-ide yang mendasarinya serta banyak praktik-praktinya sesungguhnya dapat ditelusuri kembali ke jenis-jenis awal agregasi manusia.82 Istilah restorative justice diintroduksi oleh Albert Eglash ketika membicarakan krisis yang terjadi di dalam sistem peradilan pidana. Eglash menawarkan paradigma alternatif untuk menggantikan paradigma penghukuman (punitive) yang seringkali dipraktikkan dalam sistem peradilan pidana. Untuk memperjelas paradigma alternatif tersebut, Eglash membedakan tiga jenis keadilan dalam peradilan pidana: retributif, distributif dan restoratif. Keadilan retributif menaruh penekanan utama pada penghukuman pelaku atas apa yang mereka lakukan. Keadilan distributif menaruh penekanan utama pada rehabilitasi pelaku kejahatan. Sedangkan keadilan restoratif menekankan pertanggungjawaban pelaku sebagai usaha dalam memulihkan penderitaan korban tanpa mengesampingkan kepentingan rehabilitasi terhadap pelaku serta menciptakan dan menjaga ketertiban umum. Englash menyatakan bahwa dua jenis yang pertama memfokuskan pada tindak pidana, mengabaikan partisipasi korban dalam proses peradilan, dan melibatkan partisipasi pasif pelaku. Sementara jenis ketiga berfokus pada upaya mengembalikan efek berbahaya dari tindakan tersebut dan secara aktif melibatkan semua pihak dalam proses pidana. Menurut Englash, ―restorative justice memberikan kesempatan bagi pelaku dan korban untuk memulihkan hubungan mereka dan pada saat bersamaan memberikan kesempatan bagi pelaku untuk datang dengan sarana tertentu untuk memperbaiki kerugian yang ditanggung korban.‖83
81
82
83
J. Braithwaite, Restorative Justice & Responsive Regulation, (Oxford: Oxford University Press, 2002), h. 64-68. D. Van Ness dan K.S. Heetderks, Restoring Justice, (Cincinnati, OH: Anderson Publishing Company, 1997), h. 24. L. Mirsky, “Albert Eglash and Creative Restitution”, Restorative Practices E-Forum, h. 2, dalam http://www.realjustice.org/library/eglash.html, diakes pada 20 Juni 2013. 251
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Sudut pandangan Eglash kemudian dielaborasi secara lebih mendalam oleh Howard Zehr dalam karyanya yang paling menonjol, Changing Lenses. Zehr berpendapat bahwa ‗lensa‘ yang digunakan dalam sistem peradilan pidana selama ini adalah model retributif, yang memandang kejahatan sebagai pelanggaran hukum dan keadilan sebagai upaya mengalokasikan kesalahan dan hukuman. Menurut Zehr, kejahatan (crime) pada dasarnya merupakan ―luka dalam hubungan manusia dan tindakan yang menciptakan kewajiban untuk memulihkan dan memperbaiki.‖84 Untuk memperjelas konsep restorative justice, Zehr membandingkannya dengan model keadilan retributif. Zehr berargumen bahwa keadilan retributif memahami kejahatan sebagai pelanggaran terhadap hukum dan negara. Peradilan menentukan kesalahan dan mengelola rasa sakit dalam sebuah perseteruan antara pelaku dan negara yang diatur oleh aturan sistematis. Di sisi lain, restorative justice melihat kejahatan dengan cara yang berbeda, yakni ―kejahatan sebagai pelanggaran terhadap orang dan hubungan interpersonal.‖85 Restorative justice melihat kejahatan sebagai konflik bukan antara individu dan negara, tetapi antar individu. Dengan demikian, pemahaman ini mendorong korban dan pelaku untuk melihat satu sama lain sebagai orang (person). Karena itu, fokus dari proses ini adalah pada pemulihan ikatan-ikatan manusia (human bonds) dan reuni antara dua individu atau antara individu dengan masyarakat. Zehr menunjukkan bahwa pemahaman kejahatan semacam ini ―menciptakan suatu kewajiban untuk melakukan hal yang benar‖, dan sementara ―keadilan retributif berfokus pada pelanggaran hukum, restorative justice berfokus pada pelanggaran orang dan hubungan antar orang.‖86 Dalam Little Book of Restorative Justice, Howard Zehr membuat skema umum tentang perbedaan sudut pandang antara restorative justice dengan criminal justice sebagai berikut:87 TWO DIFFERENT VIEWS Criminal Justice Restorative Justice Crime is the violation of the law and Crime is a violation of people and the state obligations Violations create guilt Violations create obligations Justice requires the state to determine Justice involves victims, offenders blame (guilt) and impose pain and community members in an effort (punishment) to put things right Central focus: offenders getting what Central focus: victim needs and they deserve offender responsibility for repairing harm
84
85
86 87
252
H. Zehr, Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, (Scottdale, Pennsylvania, Waterloo, Ontario: Herald Press, 1990), h. 181. H. Zehr & H. Mika, “Fundamental Concepts of Restorative Justice”, dalam Contemporary Justice Review, 1 : 1 (1998), h. 17. H. Zehr, Changing Lenses, h. 199. H. Zehr, Little Book of Restorative Justice, (Intercourse, PA: Good Book, 2002), h. 21.
Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Dengan demikian, restorative justice merupakan suatu paradigma yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas hasil kerja sistem peradilan pidana yang ada saat ini. Pendekatan ini dipakai sebagai bingkai strategi penanganan perkara pidana yang melibatkan masyarakat, korban dan pelaku kejahatan dengan tujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak sehingga diharapkan terciptanya keadaan yang sama seperti sebelum terjadinya kejahatan dan mencegah terjadinya kejahatan lebih lanjut. Restorative justice adalah suatu cara untuk menanggapi perilaku kejahatan dengan menyeimbangkan kebutuhan korban, pelaku dan masyarakat. Kendati demikian, restorative justice adalah sebuah konsep yang terus berkembang dan telah menimbulkan interpretasi yang beragam di pelbagai negara yang berbeda sehingga tidak ada konsensus yang sempurna mengenai definisi formal dari konsep tersebut. Selain itu, karena kesulitan dalam menerjemahkan konsep tersebut ke pelbagai bahasa yang berbeda, pelbagai istilah lain juga kerap digunakan, antara lain ―communitarian justice‖, ―making amends‖, ―positive justice‖, ―relational justice‖, ―reparative justice‖ dan ―community justice‖.88 Para penulis telah menawarkan definisi yang beragam mengenai apa itu restorative justice sehingga tidak ada definisi tunggal (single definition) dari konsep tersebut. Howard Zehr mendefinisikan restorative justice sebagai ―suatu proses untuk melibatkan, sejauh mungkin, pihak-pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu untuk bersama-sama mengidentifikasi dan mengatasi bahaya, kebutuhan dan kewajiban dalam rangka memulihkan perkara sebaik mungkin.‖89 Tony Marshall menyodorkan definisi serupa yang seringkali dikutip oleh para penulis dan telah diterima secara luas, yakni ―suatu proses di mana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibat dari pelanggaran dan implikasinya di masa yang akan datang.‖90 Kedua definisi tersebut pada dasarnya menangkap esensi keadilan restoratif sebagai suatu proses (process). Definisi lain yang lebih luas dan menggambarkan keadilan restoratif dengan fokus pada hasil (outcomes) disodorkan oleh Bazemore and Walgrave, yakni ―setiap tindakan yang terutama berorientasi pada keadilan dengan memperbaiki kerugian yang telah disebabkan oleh kejahatan.‖91 Meskipun terdapat pelbagai definisi formal yang berbeda, konsep keadilan restoratif pada dasarnya memuat beberapa prinsip dan asumsi yang nampaknya telah disepakati oleh banyak kalangan. Keadilan restoratif didasarkan pada 88
89 90
91
D. Miers, An International Review of Restorative Justice, Crime Reduction Research Series Paper 10, (London: Home Office, 2001), h. 88; dan Jeff Latimer, Craig Dowden & Danielle Muise, “The Effectiveness of Restorative Justice Practices: A MetaAnalysis”, dalam The Prison Journal, Vol. 85 No. 2, June 2005, h. 128. Howard Zehr, Little Book of Restorative Justice, h. 37. Tony F. Marshall, Restorative Justice: An Overview, (London: Home Office, Information & Publications Group, 1999), h. 5. G. Bazemore dan L. Walgrave, “Restorative Juvenile Justice: In Search of Fundamental and an Outline for Systemic Reform”, dalam Bazemor and Walgrave (eds.), Restorative Juvenile Justice: Repairing the Harm of Youth Crime, (Monsey, N.Y.: Criminal Justice, 1999), h. 48. 253
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
beberapa prinsip sebagai berikut: (1) menciptakan ruang bagi keterlibatan personal kepada pihak-pihak yang terkait (terutama pelaku dan korban, tetapi juga keluarga dan masyarakat); (2) melihat problem kejahatan dalam konteks sosialnya; (3) pemecahan masalah yang berorientasi ke depan atau preventif; dan (4) fleksibilitas dalam tataran praktik (kreativitas).92 Selain prinsip-prinsip tersebut, keadilan restoratif juga didasarkan pada beberapa asumsi sebagai berikut: (a) respon terhadap kejahatan harus memperbaiki sebanyak mungkin kerugian yang diderita oleh korban; (b) pelaku harus diarahkan untuk memahami bahwa tindakannya tidak dapat diterima dan memiliki beberapa konsekuensi nyata bagi korban dan masyarakat; (c) pelaku dapat dan harus bertanggung jawab atas tindakannya; (d) korban harus memiliki kesempatan untuk mengekspresikan kebutuhannya dan berpartisipasi dalam menentukan cara terbaik bagi pelaku untuk melakukan perbaikan; dan (e) masyarakat memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi pada proses ini.93 Para praktisi keadilan restoratif cenderung setuju bahwa apa yang benarbenar membuat suatu respon tertentu terhadap kejahatan dianggap sebagai ―restoratif‖ tidak melulu ditentukan oleh praktik atau prosesnya yang spesifik, melainkan oleh kepatuhan terhadap seperangkat tujuan luas yang memberikan dasar umum untuk partisipasi para pihak dalam menanggapi insiden kriminal dan konsekuensinya. Dalam konteks ini, beberapa literatur mengemukakan tujuan keadilan restoratif dalam sejumlah cara yang berbeda, namun pada dasarnya memuat substansi yang sama. Menurut Marshal, tujuan keadilan restoratif adalah sebagai berikut: (1) memenuhi kebutuhan korban—material, finansial, emosional dan sosial (termasuk yang secara pribadi dekat dengan korban yang mungkin juga terkena dampak tindakan kejahatan); (2) mencegah pengulangan kejahatan dengan mengintegrasikan pelaku ke dalam masyarakat; (3) memungkinkan pelaku untuk memikul tanggung jawab aktif atas tindakannya; (4) menciptakan sebuah komunitas kerja yang mendukung rehabilitasi pelaku dan korban serta aktif dalam mencegah kejahatan; (5) menyediakan sarana untuk menghindari eskalasi keadilan hukum (legal justice) serta biaya-biaya dan keterlambatan-keterlambatan terkait.94 Menurut Handbook on Restorative Justice Programmes, tujuan keadilan restoratif adalah sebagai berikut: (1) mendukung korban, memberi mereka suara, mendorong mereka untuk mengekspresikan kebutuhannya, memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam proses penyelesaian dan memberikan bantuan kepada mereka; (2) memperbaiki hubungan yang rusak karena kejahatan dengan cara mencari suatu konsensus tentang bagaimana cara terbaik untuk menanggapinya; (3) mencela perilaku kriminal sebagai tindakan yang tidak dapat diterima dan memperkuat kembali nilai-nilai masyarakat; (4) mendorong pertanggungjawaban semua pihak yang terkait, terutama pelaku; (5) mengidentifikasi hasil yang bersifat restoratif dan berorientasi ke depan; (6) mengurangi residivisme dengan 92 93
94
254
Tony F. Marshall, Retorative Justice an Overview, h. 5. United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Handbook on Restorative Justice Programmes, (New York: United Nations Publication, 2006), h. 8. Tony F. Marshall, Retorative Justice an Overview, h. 6.
Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
mendorong perubahan pada pelaku individu dan memfasilitasi reintegrasi mereka ke dalam masyarakat; (7) mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kejahatan dan menginformasikan otoritas yang bertanggung jawab untuk melakukan strategi pengurangan kejahatan.95 Menurut Susan Sharpe, sebagaimana dikutip Zehr, program restorative justice bertujuan untuk: (1) menempatkan keputusan penting ke tangan mereka yang paling terdampak oleh kejahatan; (2) membuat keadilan lebih memulihkan dan, idealnya, lebih transformatif; dan (3) mengurangi kemungkinan pelanggaran di masa depan. Sharpe melanjutkan bahwa untuk mencapai tujuan ini mensyaratkan beberapa hal berikut: (1) korban terlibat dalam proses dan merasa puas atas proses tersebut; (2) pelanggar mengerti bahwa tindakan mereka berdampak terhadap orang lain dan bertanggung jawab atas tindakannya; (3) hasil membantu memperbaiki kerugian dan menyodorkan alasan-alasan atas pelanggaran—semacam rencana khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan korban dan pelaku; dan (4) korban dan pelaku memperoleh rasa ―penutupan‖ (closure) dan keduanya dintegrasikan kembali ke masyarakat.96 Program restorative justice dengan demikian dirancang untuk mempertemukan pelaku, korban, keluarga masing-masing, teman-teman dan perwakilan masyarakat, dan berusaha untuk melibatkan mereka dalam proses rekonsiliasi dan reparasi. Tujuannya adalah untuk memungkinkan pelaku dan korban bertemu dalam konteks tatap muka (face-to-face context)—meskipun kontak tidak langsung juga seringkali digunakan—untuk menyuarakan pengalaman dan pemahaman mereka dan untuk mencapai resolusi yang disetujui bersama. Kendati demikian, kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan restoratve justice tidak sepenuhnya jelas dan masih diselimuti oleh perdebatan. Dalam kurun waktu yang cukup panjang, restoratve justice dan mediasi dipahami sebagai sesuatu yang sinonim. Namun beberapa penulis berpendapat bahwa meskipun restoratve justice secara tradisional kerap diasosiasikan dengan mediasi, tetapi keduanya bukanlah hal yang sama. Dalam konteks ini, Handbook on Restorative Justice Programmes yang dirilis oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menegaskan bahwa program-program restoratve justice pada dasarnya bersifat melengkapi dan bukan menggantikan sistem peradilan pidana yang ada. Oleh karena itu, sebuah intervensi restoratif dapat digunakan pada setiap tahap proses peradilan pidana. Secara umum, dalam sistem peradilan pidana terdapat empat poin utama di mana proses restorative justice dapat berhasil dilakukan: (a) di tingkat kepolisian (pre-charge); (b) di tingkat penuntutan (post-charge)— biasanya sebelum pengadilan; (c) di tingkat pengadilan, baik pada tahap pra peradilan atau tahap hukuman; dan (d) koreksi, sebagai alternatif untuk penahanan, sebagai bagian dari 95
96
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Handbook on Restorative Justice Programmes, h. 9-11. Susan Sharpe, Restorative Justice: A Vision for Healing and Change (Canada: Edmonton Victim Offender Mediation Society, 1998), dalam Howard Zehr, Little Book of Restorative Justice, h. 37-38. 255
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
atau di samping hukuman non-penahanan, selama masa penahanan atau setelah pembebasan dari tahanan. Pada tiap-tiap poin ini, kesempatan dapat dibuat oleh para pejabat resmi untuk menggunakan kekuasaan diskresi mereka dan mengarahkan pelaku ke program restorative justice.97 Proses restorative justice dalam sistem peradilan pidana tersebut secara sederhana dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel I. Restorative Justice Programmes and the Criminal Justice System Cases not coming to the attention of the criminal justice system
Informal referrals
Pre-charge
Police and/or prosecution referrals
Post-charge Pre-conviction
Prosecution referrals
Post-conviction Pre-sentence
Court referrals
Probation and correction referrals
Post-sentence Prereintegration
Correction and prison referrals
Postconfinement Re-integration
Parole agency and/or NGO
Restorative Justice
Pada level praktik, program restorative justice cukup bervariasi lantaran perbedaan penafsiran mengenai konflik dan perspektif yang berbeda tentang bagaimana konflik tersebut diatasi dan diselesaikan. Namun demikian, pada hari ini telah terdapat penerimaan yang cukup luas bahwa ketika term restorative justice digunakan dalam konteks peradilan pidana, ia mengacu pada tiga program utama, yakni: (1) Victim-Offender Mediation; (2) Family Group Conferences; dan (3) Healing and Sentencing Circles. Ketiga program restorative justice ini dapat diintegrasikan ke dalam sistem peradilan pidana sesuai dengan proses restorative justice sebagaimana digambarkan di atas. Victim-Offender Mediation adalah salah satu program yang muncul paling awal dan paling umum digunakan dalam tradisi restorative justice kontemporer. Program ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan korban kejahatan sekaligus menjamin bahwa pelaku bertanggung jawab atas pelanggarannya. Program ini dapat dioperasikan baik oleh lembaga pemerintah maupun organisasi nirlaba dan umumnya terbatas pada kasus yang melibatkan pelanggaran ringan (less serious offences). Arahan dapat berasal dari polisi, jaksa, pengadilan dan kantor masa 97
256
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Handbook on Restorative Justice Programmes, h. 13.
Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
percobaan. Program ini dapat beroperasi pada level pre-charge, post-charge/pretrial dan pasca-charge, dan melibatkan partisipasi korban dan pelaku. Program ini juga dapat menawarkan proses pra-hukuman yang mengarah ke rekomendasi hukuman. Ketika proses berlangsung sebelum hukuman, hasil mediasi biasanya dibawa kembali ke pihak penuntut atau hakim untuk dipertimbangkan. Proses Victim-Offender Mediation juga dapat digunakan selama masa penahanan pelaku dan dapat menjadi bagian dari proses rehabilitasi pelaku bahkan dalam kasus pelaku menjalani hukuman panjang. Proses mediasi lebih mungkin untuk sepenuhnya memenuhi tujuan yang diharapkan jika korban dan pelaku bertatap muka, mengekspresikan perasaan mereka secara langsung satu sama lain, dan mengembangkan pemahaman baru tentang situasi. Dengan bantuan dari fasilitator yang terlatih, mereka dapat mencapai kesepakatan yang akan membantu menutup insiden yang mereka alami. Bahkan fasilitator biasanya bertemu dengan kedua belah pihak sebelum pertemuan tatap muka dan dapat membantu mereka mempersiapkan diri untuk kesempatan itu. Hal ini dilakukan untuk memastikan, antara lain, bahwa korban tidak kembali menjadi korban (re-victimized) dalam pertemuan dengan pelaku dan pelaku mengakui pertanggungjawabannya atas insiden itu dan tulus dalam keinginannya untuk menemui korban. Ketika kontak langsung antara korban dan pelaku dimungkinkan, lazimnya kedua belah pihak tidak disertai oleh seorang teman atau pendukung. Kalaupun didampingi, pendamping tersebut idealnya tidak berpartisipasi dalam diskusi. Namun demikian, meskipun fasilitas pertemuan tatap muka sangat bermanfaat, kontak langsung antara korban dan pelaku tidak selalu memungkinkan atau dikehendaki oleh korban. Oleh karena itu, proses mediasi tidak langsung di mana hanya fasilitator yang menemui para pihak secara berturutturut dan secara terpisah juga banyak digunakan.98 Dalam praktiknya, program Victim-Offender Mediation ini dapat dikategorikan berdasarkan dua matriks: (1) berdasarkan hubungannya dengan sistem peradilan pidana; dan (2) berdasarkan gaya operasionalnya. Pertama, berdasarkan hubungannya dengan sistem peradilan pidana, program VictimOffender Mediation dapat dibedakan ke dalam tiga jenis skema mediasi, yakni independen, relatif independen dan dependen. Pertama, program Victim-Offender Mediation yang independen terjadi ketika ditawarkan sebagai alternatif nyata dari litigasi pidana atau mengalihkan kasus pidana dari proses formal. Program ini dimaksudkan untuk menghindari setiap respon pidana (penal response) atas suatu kejahatan dan prosesnya terjadi pada tahap yang sangat awal dari suatu kasus. Kedua, program Victim-Offender Mediation yang relatif independen terjadi ketika ditawarkan sebagai bagian dari prosedur pidana biasa. Program ini dapat terjadi
98
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Handbook on Restorative Justice Programmes, h. 17-18; Howard Zehr, Little Book of Restorative Justice, h. 47; Theo Gavrielides, Restorative Justice Theory and Practice: Addressing the Discrepancy, (Helsinki: European Institute for Crime Prevention and Control, affiliated with the United Nations, 2007), h. 31, dalam http://www.heuni.fi/uploads/8oiteshk6w.pdf, diakses pada 20 Juni 2013. 257
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
pada setiap tahapan kasus yang dialihkan dan dibebankan kepada mediator dengan tujuan mencapai kesepakatan antara korban dan pelaku. Jika kesepakatan ini tercapai dengan sukses, maka akan berdampak pada hasil dari proses pidana. Efek yang paling umum adalah mengurangi hukuman, meskipun ada kasus di mana tuntutan benar-benar dijatuhkan. Ketiga, program Victim-Offender Mediation yang dependen terjadi ketika dipraktikan dalam batas-batas sistem konvensional. Program ini direalisasikan setelah sidang pengadilan pidana dilakukan dan terutama digunakan dalam kasus kejahatan yang paling serius atau dalam konteks penjara. Kedua, berdasarkan gaya operasionalnya, program Victim-Offender Mediation dapat dibedakan ke dalam lima bentuk—masing-masing bentuk ini tidak bersifat ekslusif, melainkan dapat saling berinteraksi antara satu sama lain. Pertama, program yang berorientasi pada kebutuhan pelaku versus program yang berorientasi pada kebutuhan korban. Kedua, program yang berorientasi mempertemukan korban dan pelaku versus program yang berorientasi mempertemukan perwakilan korban dan perwakilan pelaku. Ketiga, program yang melibatkan pertemuan tatap muka antara korban dan pelaku versus program yang hanya melibatkan pertemuan masing-masing mediator dari kedua belah pihak. Keempat, program mediasi korban-pelaku yang dilakukan oleh staf profesional versus program mediasi korban-pelaku yang dilakukan oleh relawan yang terlatih.99 Family Group Conferences adalah program yang memiliki akar-akar sosiokultural dalam tradisi. Banyak literatur menyebutkan bahwa program ini berasal dari praktik kuno suku Maori di Selandia Baru. Model ini dalam bentuk modernnya diadopsi ke dalam legislasi nasional dan diterapkan pada proses peradilan remaja di Selandia Baru pada tahun 1989, sehingga pada saat itu dianggap sebagai momen pelembagaan restorative justice yang paling sistemik. Program Family Group Conferences ini berbeda dengan Victim-Offender Mediation karena melibatkan lebih banyak pihak dalam prosesnya. Dalam program ini, bukan hanya korban dan pelaku yang dilibatkan, tetapi juga korban sekunder, keluarga para pihak dan teman dekat, perwakilan masyaralkat dan polisi. Para pihak tersebut hadir dalam satu forum yang juga dihadiri oleh pihak ketiga yang netral dan imparsial, yakni fasilitator yang telah terlatih menjalankan tugas tersebut. Namun demikian, fasilitator tersebut tidak memainkan peran signifikan dalam diskusi substantif. Beberapa bentuk pertemuan telah ditentukan dalam sebuah naskah tertulis (scripted), yang berarti bahwa fasilitator mengikuti pola yang telah ditentukan dalam membimbing diskusi. Sebuah pra-kondisi yang diperlukan dari semua Family Group Conferences adalah bahwa pelaku telah mengakui pelanggaran, semua pihak berpartisipasi berdasarkan kehendak mereka sendiri dan adanya keinginan untuk mendamaikan dan memulihkan hubungan masing-masing pihak secara tulus dan manusiawi. Family Group Conferences dapat digunakan dalam pelbagai tahapan proses pidana—lazimnya digunakan oleh polisi sebagai alternatif untuk 99
258
Theo Gavrielides, Restorative Justice Theory and Practice, h. 31-32.
Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
penangkapan dan rujukan ke sistem peradilan pidana formal. Program ini telah menghasilkan hubungan yang unik antara restorative justice dengan sistem peradilan formal. Secara keseluruhan, program ini menyediakan kesempatan bagi korban, pelaku dan semua pihak yang terkena dampak kejahatan untuk terlibat langsung dalam diskusi yang mengarah pada keputusan mengenai sanksi dan kesalahan. Narasi yang dikemukakan dalam pertemuan dapat meningkatkan kesadaran pelaku mengenai dampak manusiawi dari tindakannya dan memberikan kesempatan baginya untuk menyesal, meminta maaf dan bertanggung jawab penuh, serta kesempatan untuk memperoleh permaafan dari korban dan komunitas yang terdampak. Metode ini memberikan peluang kepada para pihak untuk membentuk perilaku mereka di masa depan dan mempertalikan kembali para pihak ke sistem dukungan masyarakat.100 Healing and Sentencing Circles adalah sebuah proses mediasi berorientasi komunitas dan biasanya berjalan beriringan dengan sistem peradilan pidana. Program ini berasal dari ritual tradisional—khususnya di lingkaran komunitas Aborigin di Kanada—di mana suku-suku menggunakannya untuk mengumpulkan para pihak dan mendiskusikan konflik mereka untuk mencari solusi dari perselisihan. Dalam Healing and Sentencing Circles, semua peserta—hakim, pembela, jaksa, polisi, korban dan pelaku serta keluarga masing-masing dan warga masyarakat—duduk menghadap satu sama lain dalam suatu lingkaran. Healing and Sentencing Circles pada umumnya diselenggarakan berdasarkan pengakuan pelaku kejahatan atas kesalahannya. Diskusi di antara mereka dalam lingkaran dirancang untuk mencapai konsensus tentang cara terbaik menyelesaikan konflik dan menutup kasus dengan mempertimbangkan kebutuhan untuk melindungi masyarakat, kebutuhan para korban, serta hukuman dan rehabilitasi pelaku. Pada hari ini, Healing and Sentencing Circles pada umumnya melibatkan prosedur multi-langkah, yang dimulai dari permohonan pelaku untuk berpartisipasi dalam proses dan berlanjut ke tahap ―lingkaran pemulihan‖ (healing circle) untuk pelaku dan korban. Jika pembahasan di tahap lingkaran pemulihan terbukti konstruktif, membantu dan tulus, maka ―lingkaran hukuman‖ (sentencing circle) mulai dibentuk untuk mediskusikan elemen-elemen rencana hukuman. Setelah semua pihak telah sepakat mengenai hukuman, maka ―lingkaran tindak lanjut‖ (follow-up circle) dibentuk untuk memantau kemajuan pelaku.101 Program-program restorative justice sebagaimana dipaparkan di atas sangat bervariasi dalam formalitas, dalam hubungannya dengan sistem peradilan pidana, dan bagaimana program tersebut dioperasikan dalam keterlibatan dari pelbagai pihak atau dalam tujuan utama yang hendak diraih. Idealnya, keseimbangan harus selalu dicapai agar sesuai dengan keadaan di mana program
100
101
Theo Gavrielides, Restorative Justice Theory and Practice, h. 33-34; United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Handbook on Restorative Justice Programmes, h. 20-21; H. Zehr, Little Book of Restorative Justice, h. 47-50. Theo Gavrielides, Restorative Justice Theory and Practice, h. 34-35; United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Handbook on Restorative Justice Programmes, h. 22-25; H. Zehr, Little Book of Restorative Justice, h. 50-52. 259
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
tersebut dikembangkan, misalnya dalam batas-batas kerangka hukum (legal framework) yang ada, dukungan terbatas dari aparat peradilan pidana, kendalakendala budaya, keterbatasan dukungan publik dan keterbatasan sarana. Dengan kata lain, program-program tersebut dapat muncul dalam pelbagai bentuk tergantung pada struktur sistem peradilan pidana di mana ia dipraktikan, tingkat toleransi masyarakat dan para politisi, serta latar belakang sejarah dan budaya negara masing-masing. Penerapan Keadilan Restoratif dalam UU No. 11 Tahun 2012 Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Term keadilan restoratif dalam UU ini dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 6 sebagai berikut: ―Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.‖ Konsep keadilan restoratif yang disodorkan dalam UU ini secara garis besar sejalan dengan kerangka teoretik sebagaimana diuraikan di atas. Hal ini dapat dilihat dari adanya ketentuan tentang kewajiban mengupayakan diversi dalam tindak pidana anak (Pasal 5 ayat (3)) dan ketentuan yang menyatakan bahwa pidana penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir (Pasal 81 ayat (5)). Namun demikian, sistem peradilan pidana anak dalam UU ini nampak belum sepenuhnya merefleksikan sistem peradilan restoratif yang bersifat komprehensif. Penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam UU ini cenderung memfokuskan pada program diversi, yakni ―pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana‖ (Pasal 1 Angka 7). Dengan kata lain, UU ini masih memahami keadilan restoratif sebagai suatu usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan. Padahal diversi itu sendiri hanyalah salah satu program dalam sistem peradilan restoratif. Menurut Zehr, pendekatan keadilan restoratif dapat diwujudkan ke dalam tiga kategori program restoratif, yakni program alternatif atau diversi (alternative or diversionary programs), program pemulihan atau terapi (Healing or therapeutic programs) dan program transisional (transitional programs). Program diversi bertujuan untuk mengalihkan kasus atau memberikan alternatif dari beberapa bagian proses peradilan pidana atau hukuman. Jaksa dapat membuat rujukan, menunda penuntutan dan akhirnya menghentikannya jika kasus tersebut dapat diselesaikan secara memuaskan. Demikian pula seorang hakim dapat merujuk kasus ke sebuah pertemuan restoratif untuk memilah-milah elemen-elemen hukuman, seperti restitusi. Di sisi lain, program pemulihan atau terapi biasanya dikembangkan untuk jenis kejahatan dan kekerasan yang paling parah, seperti pemerkosaan dan pembunuhan. Pelaku dalam konteks ini biasanya berada di dalam penjara. Program ini pada umumnya dilakukan sebagai suatu upaya untuk merehabilitasi pelaku. Sedangkan program transisional biasanya berkaitan dengan 260
Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
masa transisi pelaku setelah keluar dari penjara. Program ini dirancang untuk memulihkan luka korban dan menstimulus pertanggungjawaban pelaku serta membantu baik korban maupun pelaku untuk kembali ke masyarakat.102 Dalam konteks ini, pendekatan keadilan restoratif dalam UU No. 11 Tahun 2012 cenderung menekankan pada kejahatan ringan dan memfokuskan pada diversi sebagai salah satu bentuk program keadilan restoratif. Pemahaman semacam ini mengabaikan fakta bahwa keadilan restoratif sesungguhnya merupakan suatu prinsip dan pedoman yang harus dipenuhi dalam seluruh rangkaian proses peradilan pidana anak—demikian pula peradilan pidana secara umum—mulai dari proses penyidikan, penuntutan, penghukuman, penahanan dan pasca tahanan sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya. Penerapan prinsip keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana anak yang bersifat parsial ini nampaknya disebabkan oleh miskonsepsi umum dalam memahami keadilan restoratif, yakni menyepadankan keadilan restoratif dengan mediasi dan menganggapnya sebagai pengganti dari sistem peradilan pidana. Kendati demikian, terlepas dari pelbagai kekurangan tersebut, UU No. 11 Tahun 2012 telah menyodorkan terobosan baru dan diharapkan dapat menjadi ―gong pembuka‖ dalam agenda reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan restorative
DAFTAR PUSTAKA Bazemore, G. dan Walgrave, L., ―Restorative Juvenile Justice: In Search of Fundamental and an Outline for Systemic Reform‖, dalam Bazemor and Walgrave (eds.), Restorative Juvenile Justice: Repairing the Harm of Youth Crime, Monsey, N.Y.: Criminal Justice, 1999. Braithwaite, J., Restorative Justice & Responsive Regulation, Oxford: Oxford University Press, 2002. Gavrielides, Theo, Restorative Justice Theory and Practice: Addressing the Discrepancy, Helsinki: European Institute for Crime Prevention and Control, affiliated with the United Nations, 2007, h. 31, dalam http://www.heuni.fi/uploads/8oiteshk6w.pdf, diakses pada 20 Juni 2013. Hadisuprapto, Paulus, ―Peradilan Restoratif: Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang‖, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Kriminologi pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 18 Februari 2006. http://catatansangfajar.blogspot.com/2013/01/restoratif-justiceupayamenyelamatkan.html, diakses pada 20 Juni 2013; dan http://www.sikolamangkasara.org/jauhkan-anak-dari-penjara-melaluikeadilan-restoratif.html, diakses pada 20 Juni 2013. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f3a36c521913/empat-perkara-yangpaling-banyak-menyeret-anak.%20%5B21, diakses pada 20 Juni 2013. 102
H. Zehr, Little Book of Restorative Justice, h. 52-54. 261
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
http://www.lensaindonesia.com/2012/12/30/di-tahun-2012-ada-186-kasus-pidanaanak-divonis-pengadilan.html, diakses pada 20 Juni 2013. Latimer, Jeff, Dowden, Craig & Muise, Danielle, ―The Effectiveness of Restorative Justice Practices: A Meta-Analysis‖, dalam The Prison Journal, Vol. 85 No. 2, June 2005. Miers, D., An International Review of Restorative Justice, Crime Reduction Research Series Paper 10, London: Home Office, 2001. Mirsky, L., ―Albert Eglash and Creative Restitution‖, Restorative Practices EForum, dalam http://www.realjustice.org/library/eglash.html, diakes pada 20 Juni 2013. Ness, D. Van dan Heetderks, K.S., Restoring Justice, Cincinnati, OH: Anderson Publishing Company, 1997. Sharpe, Susan, Restorative Justice: A Vision for Healing and Change, Canada: Edmonton Victim Offender Mediation Society, 1998. Tony F. Marshall, Retorative Justice: An Overview, London: Home Office, Information & Publications Group, 1999. United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Handbook on Restorative Justice Programmes, New York: United Nations Publication, 2006. Zehr, H., Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, Scottdale, Pennsylvania, Waterloo, Ontario: Herald Press, 1990. Zehr, H., Little Book of Restorative Justice, Intercourse, PA: Good Book, 2002. Zehr, H. & Mika, H., ―Fundamental Concepts of Restorative Justice‖, dalam Contemporary Justice
262
PROBLEM LEMBAGA PEMASYARAKATAN DI INDONESIA DAN REORIENTASI TUJUAN PEMIDANAAN
Ismail Rumadan Peneliti Hukum dan Peradilan pada Mahkamah Agung RI. Dosen Pascasarjana Universitas Jayabaya Abstrak Berbagai persoalan kriminal yang terjadi di dalam Lembaga Pemasyarakatan menunjukan bahwa tujuan mulia dibentuknya lembaga pemasyarakatan yang digagas oleh Sahardjo sejak awal pembentukannya sebagai lembaga Pembinaan, etika dan kehormatan. Bahwa orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat menjadi hal yang sulit untuk diwujudkan. Kondisi ini menggugah kita untuk kembali mengkaji ulang (reorientasi) model pemidanaan yang dugunakan dalam penegakan hukum pidana. Orientasi penegakan hukum pidana tidak semistinya berakhir pada penjatuhan sanksi pidana berupa penjara terhadap terdakwa, namun penjatuhan sanksi berupa sanksi sosial terhadap terdakwa dengan skala tindak pidana yang rekatif ringan perlu untuk dikedepankan atau diutamakan melalui pendekatan restoratif justice. Kata Kunci: Peradilan Pidana, tujuan pemidanaan, restoratif justice. Abstract Many criminal problems that occurred in the prison showed that noble goal penitentiary establishment initiated by Sahardjo since its inception as a coaching institute, ethics and honor. That the person who lost had to give him stock diayomi live as good citizens and useful in society to be a difficult thing to achieve. This condition inspires us to re-review the (re-orientation) models that are used in a criminal prosecution of criminal law enforcement. Criminal law enforcement orientation semistinya not end at the prison in the form of criminal sanctions against the defendant, but the imposition of sanctions in the form of social sanction against the defendant with the crime scale reactive light need to be prioritized or preferably through a restorative justice approach. Keywords: Criminal Justice, the purpose of punishment, restorative justice. Pendahuluan Kondisi terbakarnya Lembaga Pemsyarakatan103 (LAPAS) Kelas 1 A Tanjung Gusta, Medan beberapa waktu yang lalu menambah panjang catatan 103
Istilah Lembaga Pemasyarakatan digunakan secara resmi sejak tanggal 27 April 1964 bersamaan dengan berubahnya sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan, Lihat Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Prespektif Sistem Peradilan Pidana Penjara, ( Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal 25
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
persoalan yang terjadi di sekitar kehidupan LAPAS di Indonesia. Diantara permasalahan yang terjadi di LP adalah keributan antar sesama narapidana, perlakuakn para petugas LAPAS terhadap narapidana, pelarian narapidana, terjadinya pembunuhan sesam narapidana, perdagangan narkoba, pelecehan seksual dan berbagai persoalan-persoalan negatif lain yang sering terdengar dari balik jeruji besi tersebut. Persoalan-persoalan tersebut di atas sering mewarnai kondisi kehidupan di berbagai LAPAS di mana saja lebih khusus di Indonesia. Beberapa deprivasi yang dialami narapidana selama menjalani masa pemidanaan di LAPAS serta adanya subkultur narapi dana merupakan penyebab timbulnya berbagai persoalan yang ada, misalnya proses prisosialisasi narapidana di LAPAS. Apabila pembicaraan diseputar narapidana dan LAPAS dalam melaksanaan tujuan pemidanaan, maka pembicaraan berbagai deprivasi yang dialami para narapidana, proses prisonisasi, maupun kegagalan proses sistem pemidanaan, khususnya pidana penjara yang masih berlangsung dan tetap ada di muka bumi ini. Setiap saat dan setiap waktu, selalu ada perubahan dan peristiwa di LAPAS. Di samping itu sering terjadi, narapidana yang pada awalnya tidak begitu mengenal kehidupan kasar yang seharusnya diresosialisasi melalui pembinaan di LAPAS, namun setelah mejalani masa pemidanaan yang cukup untuk dapat menerima proses prisonisasi di LAPAS, ternyata mempunyai perilaku yang mengarah kepada kehidupan yang keras dan kasar yang menjadi ciri utama sebagian besar subkultur narapidana. Sehingga sering kita dengar bahwa LAPAS merupakan tempat sekolah bagi narapidana yang ingin ke jenjang kejahatan yang lebih tinggi. Permasalahan tersebut diatas menunjukan bahwa suatu situasi yang sangat berbeda jauh dari tujuan dan cita-cita mulia yang digagas oleh Sahardjo sejak awal pembentukan LAPAS sebagai lembaga Pembinaan, etika dan kehormatan. Sahardjo mengemukakan sepuluh prinsip yang harus diperhatikan dalam membina dan membimbing narapidana yaitu:104 1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat. 2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam dari pemerintah. 3. Rasa tobat bukanlah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan. 4. Negara tidak berhak membuat seorang narapidana lebih buruk atau jahat daripada sebelum ia masuk lembaga. 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya di peruntukkan bagi kepentingan Lembaga atau Negara saja, pekerjaan yang diberikan harus ditujukan kepada pembangunan negara. 7. Bimbingan dan didikkan harus berdasarkan Pancasila. 104
264
Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta : Djambatan, 1995), hal 2
Problem Lembaga Pemasyarakatan dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan
8. Tiap orang adalah manusia yang harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat, tidak boleh dijatuhkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat. 9. Narapidana itu hanya dijatuhkan pidana hilang kemerdekaan. 10. Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan maka perlu didirikan lembaga pemasyarakatan atau sarana baru sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan. Prinsip-prinsip tersebut sebagaimana dikemukanan diatas tentu sangat jauh berbeda dengan melihat fakta dan realitas LAPAS saat ini, sehingga menjadi pertanyaan besar. Apa yang meyebabkan kondisi semacam ini bisa terjadi, dan apa yang harus dilakukan ke depan sehingga pandangan buram mengenai situasi dan kondisi LAPAS di Indonesia bisa ditata kembali sesuai dengan tujuannya? Gambaran Kondisi Umum Kehidupaan di dalam LAPAS Kerusuhan yang terjadi di LAPAS Tanjung Gusta Medan, Batam dan sebelumnya LAPAS Kuala Tungkal Jambi menyebabkan lebih dari 100 narapidana kasus narkoba dan terorisme kabur. Kemudian kita masih ingat kerusuhan yang terjadi di LAPAS Kerobogan di Bali tahun 2012 yang disebabkan pungutan liar yang dilakukan oleh oknum sipir, kebijakan yang deskriminatif, dan over capacity. Januari 2013 terjadi lagi kerusuhan di LAPAS Salemba, dan kerusuhan ini bukan yang pertama tetapi yang ke sekian kalinya. Dan masih banyak lagi kerusuhan dan disusul dengan pembakaran LP di beberapa tempat di Indonesia. Jumlah napi yang melebih kapasitas LAPAS ditengarai sebagai salah satu faktor mudahnya napi terpancing emosi.105 Kondisi LAPAS kita sungguh sangat tidak manusia. Manusia diperlakukan seperti hewan. Mereka berjejal-jelanan mirip seperti ikan kembung. Sebagian lantai LP tidak memiliki tikar, mereka dibiarkan tidur hanya dengan beralasan lantai dingin dan berlumut. Belum lagi cerita soal makanan. Makanan yang disajikan berasal beras ―catu‖ dengan lauk alakadarnya dengan tanpa garam atau malah kebanyakan garam. Sehingga banyak napi harus ―menyelundupkan‖ makanan dari luar karena buruknya kondisi makanan. Kondisi sanitasi lebih buruk lagi, air yang disedikan kebanyakan adalah air dari sumur bor yang berwarna kuning kecoklatan, hanya beberapa LP di Indonesia yang menggunakan air PAM.106 Secara umum kondisi LAPAS di Indonesia identik dengan penuh sesak, sarana yang buruk, kondisi yang kurang aman, dan kurangnya tenaga yang terdidik. Kondisi-kondisi ini telah dibiarkan berpuluh-puluh tahun tanpa ada sedikipun reformasi di bidang lembaga pemasyarakatan. Menarik pula untuk diketahui juga tentang kehidupan napi di lembaga pemasayarakatan, bagaimana sebuah kerajaan dibangun di dalam lapas. Melalui sistem ini, pengorganisasian napi diatur sedemikian rupa agar berjalan sempurna, mulai dari hubungan antarnapi, sipir, 105
106
Ahmad Sofian, Pernjara Kita Penuh Sesak dan Tidak Manusiawi, OPINI dalam Kompasiana| 12 July 2013 | 09:36 Ibid. 265
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
hubungan ke orang-orang di luar lapas, hingga melakukan sebuah pergerakan sebagaimana yang terjadi di Lapas Tanjung Gusta, Medan.107 Sistem Kerajaan biasanya terbentuk mulai dari sel penyidik hingga ke rutan. Di sel penyidik masih dalam skala kecil, yaitu dengan Kepala Kamar (PalKam) sebagai pemimpin di dalam sel yang dilayani oleh para Corve (pelayan). Satu Palkam memimpin beberapa orang tahanan di dalam sebuah sel.108 Di Rutan sistem kerajaan ini meluas dan mulai beraroma kesukuan. Hampir setiap suku atau beberapa suku (bersifat kedaerahan) membentuk sebuah kerajaan dan juga pemerintahan. Ada Kerajaan dan pemerintahan sudah pasti ada Raja dan para pembantunya serta rakyat. Sebelum era narkoba perebutan wilayah (dalam hal ini adalah blok dan kamar-kamar) terjadi dalam bentuk kontak fisik dan perang antar kerajaan. Begitu narkoba (kasus narkoba) mulai masuk di mulailah era ekonomi dan perdagangan. Perluasan wilayah terjadi dalam bentuk transaksi jual beli wilayah (kamar dan blok). Secara berurut tingkatan dari atas ke bawah Sistem Kerajaan tergambarkan sebagai berikut: 1. Raja atau Kepala Suku (Di kenal dengan istilah KS) 2. Wakil Raja atau Wakil Kepala Suku (Dikenal dengan istilah Wadan/wakil komandan KS) 3. Panglima-panglima pasukan yang memimpin pasukan-pasukan di tiap wilayah blok (dikenal dengan istilah PASTEM) 4. Kepala-kepala Kamar (Dikenal dengan istilah PALKAM) 5. Rakyat yang biasanya berasal dari suku yang sama (bisa juga dari suku lain yang menyeberang karena alasan tertentu atau semacam pencari suaka)109 Jika dikatakan era ekonomi pertanyaan yang timbul tentunya adalah bagaimana mereka mendapatkan uang? Uang bisa masuk melalui kunjungan, transferan, voucher pulsa yang diperjual belikan, dan lain-lainnya. Setiap hari seluruh rakyat membayar semacam pajak yang besarannya ditentukan sesuai aturan dari kerajaan (akan lebih besar jika rakyat mendapatkan kunjungan). Uang yang terkumpul ini kemudian di kelola termasuk salah satunya adalah untuk memasak. Memasak ini dilakukan karena konsidi makanan yang tidak layak jika mengandalkan dapur rutan/lapas. Jika dalam keuangan para petinggi kerajaan ini berseleweng dalam arti tidak benar dalam penggunaan dana dari sumber pajak ini, maka rakyat bisa melakukan kudeta dengan segala cara termasuk mengumpulkan uang untuk membuang sang Raja ataupun petinggi-petinggi lainnya ke rutan/lapas yang berbeda, untuk kemudian dilakukan pemilihan Raja dan petinggi yang baru.
107 108
109
266
Ibid Gambaran Keadaan Rutan dan Lapas serta Organisasi Narapidana, lihat, http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/07/12/gambaran-keadaan-rutan-danlapas-serta-organisasi-narapidana-573088.html. Ibid
Problem Lembaga Pemasyarakatan dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan
Sistem kerajaan ini rentan sekali dengan keributan antar kerajaan (suku). Kerajaan yang umum terdapat di beberapa rutan di jawa yaitu kerajaan DKI, Kerajaan Selatan Jakarta, Kerajaan Utara Jakarta, Kerajaan Arek (Jawa), Kerajaan PLG (persatuan Lampung Palembang), Kerajaan Korea (Medan), Kerajaan Cina, Kerajaan Timor dan Ambon, Kerajaan Tangerang, Kerajaan Pasundan, dan masih banyak lagi. Kondisi semacam inilah menimbulkan dampak negatif terhadap persepsi di kalangan publik bahwa LAPAS menjadi "sekolah" kejahatan, pusat pengaturan bisnis narkoba, pelecehan seksual dan diskriminasi terhadap sesama penghuni LAPAS, yang berunjung pada keributan dan aksi-aksi pembakaran yang sering menjadi tontonan masyarakat umum. Reorientasi Tujuan Pemidanaan Melihat pada situasi dan kondisi narapidana yang terjadi saat ini sebagaimana dijelaskan diatas, dan apabila fenomena LAPAS Tanjung Gusta dianggap sebagai problema umum LAPAS di seluruh Indonesia, nampaknya negara memang mernghadapi permasalahan serius yang memerlukan keputusan politik secara tegas untuk mengatasinya. Dalam jangka pendek mungkin yang bisa dilakukan adalah melaksanakan instruksi presiden agar sebagian narapidana dipindah ke LAPAS lain, kemudian perbaikan sarana yang berujung pada peningkatan anggaran. Hal ini mungkin menjadi solusi jangka pendek, sebab dalam jangka panjang solusi pemindahan narapidana ke tempat lain tidak mungkin juga dilakukan karena kondisi LAPAS di setiap daerah pada umumnya sama sudah over loaded, demikian juga dengan perbaikan sarana dengan peningkatan aggaran, daritahun ke tahun jumlah narapidana meningkat melebihi kapasitas daya tampung LAPAS. Dengan demikian maka, hal yang paling mendasar yang harus dilakukan dalam jangka panjang adalah bagaimana merumuskan kembali sistem pemidanaan dengan melakukan pengkajian ulang terhadap tujuan pemidanaan sebagaimana yang tergambar dalam tiga teori pemidanaan yang menjadi dasar system pemasyarakatan. 1. Teori absolut/ retributive Menurut teori absolut, pidana adalah suatu hal yang mutlak harus dijatuhkan terhadap adanya suatu kejahatan. Muladi dan Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa ―pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri‖.110 Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Andi Hamzah bahwa pidana adalah hal yang mutlak diberikan sebagai pembalasan terhadap suatu kejahatan.111 Teori ini menganggap bahwa hukuman yang diberikan kepada sipelaku tindak pidana menjadi suatu pembalasan yang adil terhadap kerugian yang diakibatkannya. 110
111
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,1992, hlm.10-11 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta : 1993, hlm. 26. 267
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
2.
ISSN : 2303-3274
Teori relatif/teori tujuan Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief ―pidana bukanlah untuk sekedar melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu, teori ini sering disebut teori tujuan (utilitarian theory). Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan ―quia peccatum est‖ (karena membuat kejahatan) melainkan ―ne peccetur‖ (supaya jangan melakukan kejahatan).112 Teori ini mengutamakan terciptanya ketertiban masyarakat melalui tujuan untuk membuat si pelaku tindak pidana tidak melakukan kejahatan lagi. Teori relatif ini dalam hukum pidana dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu prevensi umum (generale preventie) dan prevensi khusus (specialle preventie). Kedua bentuk ini mempunyai fokus perhatian yang berbeda, namun pada dasarnya keduanya adalah saling melengkapi. Sebagaimana dijelaskan E.Utrech bahwa prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada umumnya tidak melanggar, sedangkan prevensi khusus mempunyai tujuan menghindarkan supaya pembuat (dader) tidak melanggar.113 Prevensi umum menekankan bahwa dengan melakukan pemidanaan terhadap sipelaku, maka anggota masyarakat lainnya tidak melakukan suatu kejahatan yang sama atau kejahatan lainnya. Sedangkan teori prevensi khusus menekankan bahwa tujuan pidana itu adalah terhadap pelaku itu sendiri. Pemidanaan terhadap sipelaku adalah agar tidak diulanginya lagi kejahatan tersebut. Dalam hal ini pidana itu mempunyai fungsi untuk mendidik dan memperbaiki narapidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan martabatnya. 3. Teori gabungan Teori ini menurut Andi Hamzah bervariasi juga, ada yang menitik beratkan kepada pembalasan dan ada pula yang menginginkan supaya unsur pembalasan seimbang dengan unsur pencegahan.114 Van Bemmelen sebagai salah satu tokoh teori gabungan ini mengatakan bahwa ―pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi, pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat‖.115 Teori gabungan ini mengkombinasikan dua tujuan pemidanaan yaitu pembalasan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh sipelaku dan sebagai bentuk perlindungan terhadap masyakat. Dari ketiga teori pemidanaan tersebut terlihat bahwa pemikiran tentang tujuan pemidanaan itu bergerak kearah yang lebih baik. Munculnya teori absolut dengan sifat yang tegas terhadap perilaku jahat dirasa sangat keras dan tidak memberi peluang terhadap tujuan lebih besar yang ingin dicapai dalam menjatuhkan pidana. Sehingga melalui teori relatif dimunculkan konsep tujuan yang ingin dicapai dari pemidanaan. Kemudian disempurnakan lagi dengan 112 113 114 115
268
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal. 16. Djisman Samosir, hal.12 Andi Hamzah, Op.Cit, hal.31. Ibid
Problem Lembaga Pemasyarakatan dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan
munculnya teori gabungan dengan menekankan tujuan pemidanaan yang seimbang. Sehingga dengan teori ini akan terangkum semua tujuan yang ada pada masingmasing teori sebelumnya. Muladi mengelompokkan teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu, teori absolut (retributif), teori teleologis, dan teori retributif teleologis.116 Pendapat mengenai teori yang mendasari sistem pemasyarakatan adalah teori relative atau tujuan disampaikan oleh Sudarto yang menyatakan bahwa ―tidak sulit untuk mengatakan, bahwa sistem itu termasuk teori yang memandang pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang bermanfaat, jadi jelas tidak dapat digolongkan kedalam teori pembalasan‖.117 Pendapat ini dapat dibenarkan karena pelaksanaan sistem pemasyarakatan melalui pembinaan pada LAPAS tidak terlepas dari maksud untuk mencapai tujuan system pemasyarakatan. Sehingga dengan maksud tersebut, maka diupayakan perlakuan-perlakuan yang mengarah kepada tujuan yang akan dicapai. Pendapat berikutnya disampaikan oleh Muladi yang menyebutkan bahwa di Indonesia tujuan pemidanaan yang tepat diterapkan adalah teori integratif. Alasannya bahwa pada saat ini masalah pemidanaan menjadi permasalahan yang sangat kompleks, disebabkan karena perhatian lebih banyak terhadap hak asasi manusia serta keinginan untuk menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional. Sehingga pilihan terhadap teori integratif ini menghendaki adanya pendekatan multidimensi terhadap dampak pemidanaan.118 Pendapat ini menekankan kepada suatu maksud bahwa didalam sistem pemasyarakatan tersebut tidak semata-mata mengutamakan tujuan yang akan dicapai dan melepaskan diri sepenuhnya dari maksud pengimbalan atas perbuatan pelaku tindak pidana. Sistem pemasyarakatan merupakan penyempurnaan dari sistem kepenjaraan yang berangkat dari pemikiran perlunya perlakuan yang lebih baik terhadap narapidana. Meskipun pada dasarnya pelaksanaan sistem pemasyarakatan dilaksanakan untuk mencapai tujuan, namun unsur pembalasan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh narapidana tetap saja tidak dapat dipisahkan dalam pemikiran tujuan tersebut. Pendapat yang disampaikan oleh Muladi tersebut lebih tepat dan dapat diterima sebagai teori yang mendasari sistem pemasyarakatan di Indonesia. Dimana, teori integratif ini lebih jauh mempertimbangkan tujuan penjatuhan pidana dari berbagai aspek termasuk mengenai hak-hak asasi manusia. Didalam teori integratif tersebut terkandung maksud pembalasan dan tujuan yang hendak dicapai. Unsur teori retributif terlihat dengan adanya upaya untuk mengekang kebebasan seseorang yang bersalah dalam jangka waktu tertentu sebagai balasan atas perbuatannya. Pengekangan kebebasan tersebut dilakukan pada LAPAS Tertutup atau RUTAN dengan sistem maksimum security. Namun, pengekangan kebebasan tersebut tidak semata-mata hanya sebagai bentuk pembalasan terhadap perbuatan narapidana tetapi hal tersebut diselenggarakan 116 117
118
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, : Penerbit PT.Alumni, Bandung,2004, hlm.49-51. Sudarto, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, Ed.1. Cet .ke 4, Bandung :Penerbit PT.Alumni, hal.99 Muladi, ibid, hlm. 53 269
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
untuk mencapai tujuan sistem pemasyarakatan sebagai salah satu unsur teori relatif. Kedua hal ini termasuk kedalam pandangan dari teori integratif, hanya saja unsurunsur teori yang lebih lebih dominan muncul didalam penerapannya akan tergantung kepada tahap-tahap pembinaan yang dilaksanakan pada sistem pemasyarakatan. Tahap asimilasi yang dilaksanakan pada LAPAS Terbuka dengan metode community based corrections adalah bagian dari sistem pemasyarakatan. Pemikiran tentang teori dasar tujuan pemidanaan yang digunakan didalam sistem pemasyarakatan secara umum juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tahap asimilasi. Jika gabungan kedua teori yang ada dalam teori integratif lebih dikhususkan sesuai dengan tahap pembinaan narapidana, maka untuk tahap asimilasi dapat dikatakan lebih dekat hubungannya kepada teori relatif atau tujuan. Tahap asimilasi mengedepankan kepada tujuan akhir dari sistem pemasyarakatan, yaitu agar narapidana dapat diterima kembali oleh masyarakat. Tujuan tersebut didukung dengan penerapan metode community based corrections yang menghendaki adanya upaya mengintegrasikan narapidana dalam lingkungan masyarakat. Upaya mengintegrasikan dimaksudkan agar narapidana dapat hidup secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Tahap asimilasi dengan metode ini kegiatan pembinaannya semaksimal mungkin dengan melibatkan masyarakat pada lingkungan yang terbuka. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya upaya pengekangan kebebasan sebagai maksud pembalasan dari perbuatan yang telah dilakukan oleh narapidana. Penggunaan teori yang tepat menghadirkan tujuan pemasyarakatan yang mengandung makna bahwa, tidak saja masyarakat diayomi terhadap perbuatan jahat oleh terpidana melainkan juga orang yang tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna dalam masyarakat. Dari pengayoman itu nyata bahwa penjatuhan pidana bukanlah tindakan balas dendam oleh negara. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pada penyiksaan melainkan pada hilangnya kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu kepada masyarakat, yang mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat itu―119 Menurut Muladi, tujuan dari sistem peradilan pidana bersifat jangka pendek berupa resosialisasi pelaku tindak pidana, bersifat menengah berupa pengendalian kejahatan, dan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial.120 Maka, apabila dilihat dari sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System), pelaksanaan pidana dengan menerapkan sistem pemasyarakatan, merupakan salah satu sub-sistem yang saling berkaitan dengan sub-sistem lainnya. Sistem pemasyarakatan sebagai pelaksanaan pidana penjara, berpegang pada asumsi bahwa arti pemasyarakatan adalah memasyarakatkan kembali narapidana sehingga menjadi warga baik dan berguna atau healthy reentry into the community, 119 120
270
Ibid Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit Undip,1995), hal 75.
Problem Lembaga Pemasyarakatan dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan
yang pada hakikatnya adalah resosialisasi.121 Oleh karena itu, keberhasilan pembinaan pelaku tindak pidana tidak dimulai sejak dia masuk pintu gerbang lembaga pemasyarakatan, tetapi bahkan pengalaman sejak diperiksa oleh polisi akan mempengaruhi keberhasilan resosialisasi.122 Alternatif Kebijakan Pemidanaan Dalam konteks Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) maka di Indonesia dikenal institusi yang merupakan sub Sistem Peradilan Pidana, yaitu Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Pada Sistem Peradilan Pidana tersebut yang berpuncak adanya ―putusan‖ atau ―vonnis‖ hakim hakekatnya dikaji dari perspektif teoritik dan praktik peradilan acapkali menimbulkan disparitas dalam hal pemidanaan (sentencing of disparity) dan juga berkorelasi dengan ―kebijakan pidana‖ dimana kebijakan formulatif merupakan kebijakan strategis dan menentukan bagi kebijakan aplikatif. Pada dasarnya, konteks ―kebijakan‖ dalam hukum pidana diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk penegak hukum) mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalahmasalah masyarakat atau bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).123 Pada koteks di atas maka, kebijakan hukum pidana hakikatnya merupakan ―usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana agar sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum)‖. Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam arti sempit. Dikaji dari perspektif politik hukum maka politik hukum pidana berusaha membuat dan merumuskan perundang-undangan pidana yang baik. Menurut Marc Ancel maka penal policy merupakan ―Ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif yang dirumuskan secara lebih baik‖. Peraturan hukum positif di sini diartikan sebagai peraturan perundang-undangan hukum pidana. Konkretnya, menurut Jeremy Bentham, janganlah hukum pidana dikenakan/digunakan apabila groundless, needless, unprofitable or inefficacious.124 Demikian pula Packer pernah mengingatkan bahwa penggunaan sanksi pidana secara sembarangan/tidak pandang bulu/menyamaratakan dan digunakan secara paksa (coercively) akan menyebabkan sarana pidana itu menjadi suatu ―pengancam yang utama‖ (prime threatener).125 121
122 123
124
125
Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum, Bandung : Alumni, 1982, hal. 30 Muladi, Op. Cit, hal 80. LILIK MULYADI, Pergeseran Perspektif dan Praktik dari Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan. Makalah, tth. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 2 Herbert L. Packer, The Limits of the Criminals Sanctions, Stanford University Press, California, 1968, hlm. 87 271
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Karena keterbatasan penal, maka dalam penanggulangan kejahatan (politik kriminal) hendaknya dimanfaatkan dua kebijakan yaitu kebijakan penal dengan menggunakan sanksi pidana (termasuk bidang politik hukum pidana) dan kebijakan nonpenal (termasuk menggunakan sanksi administrasi, sanksi perdata dan lainnya). Kedua kebijakan itu dilakukan melalui pendekatan terpadu (integrated approach) antara politik, kriminal dan sosial serta keterpaduan (integritas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana penal dan nonpenal. Dalam konteks kajian ini, maka salah satu alternatif yang ditawarkan secara permanen untuk mengatasi permasalah pada LAPAS adalah penggunaan sarana non panel dalam menanggulangi kejahatan dalam setiap tingkatan proses peradilan pidana yang terintegrated. Baik pada tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan maupun pada tahap akhir di LAPAS. Penggunaan sarana non panel ini dapat saja dilakukan melalui pendekatan ―restoratif justice‖. Konsep restorative justice merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional di mana masyarakat dan korban merasa tersisihkan. Pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Model pendekatan restorative justice merupakan suatu model pendekatan yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak hukum. Penanganan perkara pidana dengan pendekatan restorative justice menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan restorative justice makna tindak pidana pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan kemasyarakatan. Akan tetapi dalam pendekatan restorative justice, korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam sistem peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu tindak pidana. Sementara keadilan dimaknai sebagai proses pencarian pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana dimana keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usaha perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan tersebut. Sejumlah keuntungan yang dapat diperoleh melalui pendekatan ini adalah: a. Masyarakat telah diberikan ruang untuk menangani sendiri permasalahan hukumnya yang dirasakan lebih adil. Dalam hal ini asas sederhana, terang dan tunai yang lebih banyak dikenal dan dipergunakan dalam hukum adat untuk penanganan perkara-perkara keperdataan dapat juga diterapkan dalam hukum pidana. Apalagi karena pada dasarnya hukum adat Indonesia memang tidak mengenal perbedaan pidana dan perdata. b. Beban Negara dalam beberapa hal menjadi berkurang misalnya: Beban untuk mengurusi tindak pidana-tindak pidana yang masih dapat diselesaikan secara mandiri oleh masyarakat. Aparat kepolisian, 272
Problem Lembaga Pemasyarakatan dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan
kejaksaan dan pengadilan dapat lebih memfokuskan diri untuk memberantas tindak pidana-tindak pidana yang kualifikasinya lebih berbahaya seperti narkotika, terorisme, perdagangan manusia atau pelanggaran HAM berat. Kemudian secara administratif, jumlah perkara yang masuk ke dalam sistem peradilan dapat dikurangi sehingga beban institusi pengadilan sebagaimana diungkapkan di atas menjadi berkurang. c. Beban untuk menyediakan anggaran penyelenggaraan sistem peradilan pidana utamanya dalam hal penyelenggaraan lembaga pemasyarakatan dimana fokus penyelesaian perkara pidana kebanyakan berakhir pada penjatuhan pidana kurungan atau penjara menjadikan munculnya banyak permasalahan di dalam lembaga pemasyarakatan ini. Dapat diharapkan lahirnya bentuk sanksi-sanksi baru yang lebih baik dan berdayaguna (sebagaimana yang tengah dikembangkan dalam rancangan KUHP Indonesia saat ini). Sistem pemenjaraan dalam hukum pidana modern yang sangat mahal namun tidak efektif bahkan telah gagal dalam mengurangi kejahatan di dalam masyarakat. Maka para ahli hukum dengan pandangan barunya yaitu restorative justice mencari sistem hukum lain yang telah ada sebelumnya yaitu sistem hukum kuno untuk menggantikan sistem hukum pidana modern. Contoh-contoh pelaksanaan restorative justice, di mana digunakan hukuman denda, dan hukuman tanpa pemenjaraan lain. a) Kitab Hammurabi (1700 S.M) mendekripsikan adanya ganti rugi sebagai satu jenis sanksi atas tindak pidana terhadap harta benda; b) Kitab Ur-Nammi Sumeria (2060 S.M), mencantumkan ganti rugi sebagai satu jenis sanksi bagi semua tindak pidana; c) Hukum ‖Twelve Table‖ Romawi (496 M), mengatur mengenai pembayaran dengan jumlah dua kali harga barang bagi pelaku perkara pencurian. d) Kitab hukum pidana Kutara Manawa yang diterapkan pada masa pemerintahan Majapahit. e) Qonun Mangkuta Alam yang dibuat semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Dalam hal ini Marc Levin menyatakan bahwa pendekatan yang dulu dinyatakan sebagai usang, kuno dan tradisional kini justru dinyatakan sebagai pendekatan yang progresif. Dalam berbagai literatur antara lain dalam Kutara Manawa yang dinyatakan sebagai kitab hukum pidana yang diterapkan masa pemerintahan Majapahit, Qonun Mangkuta Alam yang dibuat semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda merupakan cerminan dari keberlakuan hukum adat yang hingga kini masih menjadi rujukan dari keberlakuan hukum adat di beberapa daerah di Indonesia. Dalam bagian X dari ‖Pandecten van het adatrecht (1936)‖ dijelaskan bahwa sanksi adat dapat berupa: a) Pengganti kerugian immaterieel dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan; 273
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
b)
Pembayaran ‖uang adat‖ kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani; c) Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib; d) Penutup malu, permintaan maaf; e) Pelbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati; f) Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum (dalam hal ini orang yang dikenai sanksi diberikan pembatasan haknya sebagai anggota masyarakat adat). Dalam hal ini unsur utama dari restorative justice yaitu kerelaan dan partisipasi dari korban, pelaku dan masyarakat dalam melakukan perbaikan atas tindak pidana yang terjadi juga merupakan ciri dari hukum adat. Dalam Kutara Manawa dari Bab Astacorah pasal 55-56, disebutkan bentuk pemidanaan pelaku pencurian sebagai berikut: Jika pencuri tertangkap dalam pencurian, dikenakan pidana mati, anak istrinya, miliknya dan tanahnya diambil alih oleh raja yang berkuasa. Jika pencuri memiliki hamba laki-laki dan perempuan, hamba tersebut tidak diambil alih oleh raja yang berkuasa, tetapi dibebaskan dari segala hutangnya kepada pencuri yang bersangkutan. Jika pencuri mengajukan permohonan hidup, maka ia harus menebus pembebasannya sebanyak delapan tali, membayar denda empat laksa kepada raja yang berkuasa, membayar kerugian kepada orang yang terkena curi dengan cara mengembalikan segala milik yang diambilnya dua kali lipat. Dalam hal ini Kutara Manawa telah menerapkan suatu ketetapan di mana kepentingan korban ikut diperhatikan dalam suatu putusan pemidanaan, berupa pengembalian kerugian. Pada dasarnya pendekatan restorative justice diasumsikan sebagai pergeseran paling mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana pada saat ini. PBB melalui Basic principles yang telah digariskannya menilai bahwa pendekatan restorative justice adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem peradilan pidana yang rasional. Jika saja pendekatan ini dilakukan maka apa yang menjadi prinsip dasar LAPAS yang digagas oleh Sahardjo yaitu, kemulian, jatidiri dan kehormatan, dapat terwujudkan. Kesimpulan Pada dasarnya kebijakan dalam hukum pidana diartikan sebagai prinsipprinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk penegak hukum) mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang penyusunan peraturan perundangundangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat. Oleh karena itu dalam penanggulangan kejahatan (politik kriminal) hendaknya dimanfaatkan dua kebijakan yaitu kebijakan penal dengan menggunakan sanksi pidana (termasuk bidang politik hukum pidana) dan kebijakan nonpenal (termasuk menggunakan sanksi administrasi, sanksi perdata dan lainnya). 274
Problem Lembaga Pemasyarakatan dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan
Kedua kebijakan itu dilakukan melalui pendekatan terpadu (integrated approach) antara politik, kriminal dan sosial. Model pendekatan restorative justice merupakan suatu model pendekatan yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak hukum untuk memberikan ruang bagi masyarakat dalam menangani sendiri permasalahan hukumnya (terutama dalam kasus-kasus pidana yang relatif ringan) yang dirasakan lebih adil. Dalam hal ini asas sederhana, terang dan tunai yang lebih banyak dikenal dan dipergunakan dalam hukum adat untuk penanganan perkara-perkara keperdataan dapat juga diterapkan dalam hukum pidana. Apalagi karena pada dasarnya hukum adat Indonesia memang tidak mengenal perbedaan pidana dan perdata. Dengan cara demikian setidaknya dapat mengurangi jumlah narapidana yang harus mendekam dalam lembaga pemasyarakatan.
DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta : 1993. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 Herbert L. Packer, The Limits of the Criminals Sanctions, Stanford University Press, California, 1968 Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Prespektif Sistem Peradilan Pidana Penjara, ( Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995. Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta : Djambatan, 1995. Ahmad Sofian, Pernjara Kita Penuh Sesak dan Tidak Manusiawi, OPINI dalam Kompasiana| 12 July 2013. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,1992. Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, : Penerbit PT.Alumni, Bandung, 2004. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit Undip,1995 Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum, Bandung : Alumni, 1982 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Ed.1. Cet .ke 4, Bandung :Penerbit PT.Alumni, 2010. LILIK MULYADI, Pergeseran Perspektif dan Praktik dari Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan. Maklah, tth
275
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
276
ISSN : 2303-3274
PENGUNGKAPAN KEUANGAN PERKARA SECARA MEMADAI DALAM LAPORAN KEUANGAN SATUAN KERJA PERADILAN
Muhammad Anis Auditor pada Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Abstrak Biaya perkara yang dipungut dan dikelola pada Mahkamah Agung dan lembaga peradilan dibawahnya sampai dengan saat ini masih menjadi persoalan terkait transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan penatausahaannya. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 09 Tahun 2008 tentang Pelaporan Penerimaan dan Penggunaan Biaya Perkara pada Pengadilan dan Peraturan Mahkamah Agung RI. No. 03 Tahun 2012 tentang Biaya Proses penyelesaian perkara dan Pengelolaannya pada MA dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya telah diatur bahwa Biaya Perkara pada pengadilan dalam bentuk agregat ditampilkan ke muka publik secara berkala dan dikelola secara efektif, efisien, transparan dan dicatat dalam Catatan atas Laporan Keuangan Mahkamah Agung RI. Berdasarkan Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Nomor 09 Tahun 2008, pelaporan biaya perkara telah berjalan namun belum ditampilkan dalam Laporan keuangan lembaga. Biaya perkara merupakan bagian dari informasi penting yang harus dilaporkan dalam laporan keuangan lembaga sebagai bentuk akuntabilitas lembaga atas biaya yang dipungut dan atau diterima dari pihak ke tiga. Kata kunci : Biaya perkara, pengungkapan memadai. Abstract Legal fees are collected and maintained by Supreme Court and the courts underneath it so far still an issue related to the management of accounting and reporting. Based on Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 09 tahun 2008 tentang Pelaporan Penerimaan dan Penggunaan Biaya Perkara pada Pengadilan and Peraturan Mahkamah Agung RI. No. 03 Tahun 2012 tentang Biaya Proses penyelesaian perkara dan Pengelolaannya pada MA dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya In these rules have arranged that legal fees in the court aggregately were published periodically and managed effectively, efficiently, transparency and stored in a note upon the financial report of the supreme court. Based on Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 09 tahun 2008, report of legal fees has been running well but not yet shown in the financial statements of the institution. The legal fees become important information that must be reported in in the financial statementsas a form of accountability upon a fee levied and to or received from third party. Keywords: court fees, adequatedisclosure
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Pendahuluan Salah satu prinsip akuntansi dalam pelaporan keuangan pemerintah adalah pengungkapan lengkap (full disclosure). Pengungkapan lengkap adalah penyajian secara lengkap informasi yang dibutuhkan oleh pengguna (user)126. Pengguna dalam konteks Laporan Keuangan Pemerintah meliputi127 : a) Masyarakat b) Para wakil rakyat, lembaga pengawas dan lembaga pemeriksa c) Pihak yang memberi, atau yang berperan dalam proses donasi, investasi dan pinjaman d) Pemerintah. Secara internal penatausahaan (pembukuaan dan pelaporan) keuangan perkara telah diatur melalui Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan. pada pengadilan tingkat pertama pembukuan diselenggarakan melalui buku keuangan perkara yang terdiri dari : buku-buku jurnal (KI-PA1/G; KI-PA1/P; KI-PA2; KI-PA3; KI-PA4; KI-PA5), buku Induk Keuangan Perkara (KI-PA6), Buku Keuangan Biaya Eksekusi (KI-PA7), Buku Penerimaan Uang Hak-hak Kepaniteraan (KI-PA8a), Buku Keuangan Hak Kepaniteraan lainnya (KI-PA8b); dan pada tingkat banding dan kasasi pembukuan keuangan perkara diselenggarakan melalui: buku jurnal keuangan perkara (KII-PA1); Buku Induk Keuangan Perkara (KII-PA2); dan Buku Penerimaan Uang Hak Kepaniteraan (KII-PA3). Terkait pelaporan keuangan perkara juga secara internal telah diatur, bahwa berdasarkan pembukan tersebut diatas masing-masing satuan kerja peradilan dari tingkat pertama dan banding membuat laporan bulanan keadaan keuangan perkara yang dilaporkan ke tingkat direktorat jenderal (dirjen) masing-masing128. Jika dipahami bahwa keuangan perkara merupakan bagian dari lingkup keuangan negara maka pertanggungjawabannya dalam menatausahakan setiap kejadian ekonomi (evidance) wajib menggunakan akuntansi129. Oleh karenanya terhadap penatausahaan keuangan perkara paling tidak ada 2 (dua) hal yang masih menjadi persoalan yaitu terkait mekanisme pembukuan / pencatatan yang diselenggarakan, apakah telah menggunakan akuntansi yang menjamin seluruh rangkaian kejadian (evidance) telah dibukukan/dicatat secara memadai dan terkait pelaporan yaitu apakah laporan keuangan perkara yang dihimpun pada masingmasing Direktorat Jenderal tersebut akan terkompilasi menjadi laporan keuangan perkara lembaga yang disajikan dalam laporan keuangan lembaga secara periodik (Laporan Keuangan Semester I dan Laporan Keuangan Tahunan)?. Bahwa pengungkapan keuangan perkara dalam Laporan Keuangan satuan kerja pengadilan belum sepenuhnya berjalan, kalaupun dibuat maka format dan sistimatika penyajiannya beragam sehingga sulit untuk dikompilasi baik ditingkat wilayah, dirjen dan Lembaga. Berdasarkan hal tersebut, maka topik yang akan 126 127 128
129
278
Kerangka konseptual Akuntansi Pemerintah Paragraf 53 SAP – Pernyataan No. 04 Catatan atas Laporan Keuangan Paragraf 36 Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI No. 09 Tahun 2008 tentang Pelaporan Penerimaan dan Penggunaan Biaya Perkara pada Pengadilan Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Pasal 51
Pengungkapan Keuangan Perkara Dalam Laporan Keuangan Satuan Kerja Peradilan
dibahas adalah terkait pengungkapan keuangan perkara dalam Laporan Keuangan. dan terhadap pencatatan / pembukuan yang diselenggarakan tidak dibahas. Pengungkapan Keuangan Perkara Pengertian Untuk memahami terminologi biaya perkara dapat dirujuk pada pasal 121 ayat (4) HIR / pasal 145 (4) RBg, yang menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan biaya perkara adalah biaya yang terlebih dahulu harus dibayar oleh penggugat ketika memasukan gugatan perkara perdata, sesuai dengan asas ―tidak ada biaya, tidak ada perkara”; Biaya perkara pada saat putusan akhir dibebankan kepada pihak yang kalah Dalam prakteknya lembaga peradialan tidak hanya mengelola / menerima biaya perkara namun juga dana-dana pihak 3 lainnya. Sehingga konteks pembahasan dalam tulisan ini dalam ruang lingkup (cakupan) terminologi sebagai berikut : 1) Biaya Perkara dalam arti luas; dalam hal ini mengacu pada pengertian Keuangan Perkara yaitu biaya dan atau fasilitas/jasa yang terlebih dahulu harus di bayar ‗pihak‟ ketika berperkara dan atau jasa yang diberikan oleh Peradilan sesuai dengan ketentuan perundangan, yang meliputi biaya perkara (biaya kepaniteraan dan biaya proses) dan lainnya yang ada di peradilan antara lain seperti biaya eksekusi, konsinyiasi/ titipan dan lain sebagainya yang berhubungan dengan pihak ke III 2) Biaya Perkara dalam arti sempit; mengacu pada surat Ketua Mahkamah Agung RI No. 43/TUAD/AG/III/UM/XI/1992 tanggal 23 Nov 1992 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama seluruh Indonesia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Biaya Perkara menurut pasal 121 HIR dan 145 R.Bg adalah biaya kepaniteraan dan biaya proses Pasca perseteruan antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA) RI puncaknya BPK melaporkan Mahkamah Agung (MA) ke Kepolisian tgl 13 September 2007 karena pencegahan terhadap pemeriksaan biaya perkara thn 2005-2006130. Yang pada masa itu menurut MA biaya perkara bukan merupakan keuangan Negara melainkan uang titipan pihak ke-3 (pihak yang berperkara) sehingga cukup dipertanggungjawabkan secara intern (kepada para pihak) sehingga tidak termasuk dalam obyek audit oleh BPK, ditambah lagi belum ada aturan yang mengatur terkait teknis pemeriksaan dan pengelolaan dana pihak-3 (Biaya Perkara) dimaksud pada saat itu, sehingga bukan merupakan obyek pemeriksaan BPK. hal ini didasarkan pada Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pengawasan dan Pemeriksaan Administrasi Perkara, yang memberi batasan pihak ekstern (eksekutif, BPKP dan BPK) untuk memeriksa biaya perkara hanya sekedar pada pungutan uang hak-hak kepaniteraan, lainya menyangkut administrasi perkara menjadi kewenangan Mahkamah 130
Hal ini dikatakan Anwar Nasution (Ketua BPK RI masa itu) dalam jumpa pers di kantor BPK RI Rabu tanggal 13 September 2007 (sumber : Wahyu Daniel - detikFinance) 279
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Agung131. Sedangkan BPK berpendapat bahwa Biaya Perkara merupakan lingkup keuangan Negara sehingga merupakan obyek pemerikasaan yang dipahami dari Undang-Undang No. 15 Thn 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Psl. 3 menyebutkan: ― Pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara dilakukan oleh BPK…” dan term ―keuangan negara” mengacu pada lingkup pengertian sebagaimana disebut dalam Psl. 2 UU No. 17 Tahun 2003 tentang tentang Keuangan Negara yang mencakup : a) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelesaian tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum. b) kekayahaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah Pemungutan biaya perkara yang dilakukan MA kepada pihak berperkara adalah atas nama negara dan dengan fasilitas yang diberikan negara, sehingga harus dianggap dalam lingkup keuangan Negara. Oleh karena itu sesuai dengan Pasal 24 ayat 2 UU No.15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyatakan bahwa ―Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi dan atau menggagalkan pemeriksaan diancam dengan pidana dan atau denda…‖ atas dasar inilah kemudian BPK beranggapan MA tidak kooperatif dan bahkan mencegah dilakukannya pemeriksaan atas biaya perkara dimaksud. Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008 yang ditandatangani oleh Presiden tanggal 23 Juli 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku Pada MA dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya sebagai pelaksanaan dari UU No. 20 tahun 2007 tentang PNBP, sekaligus menjadi dasar (payung hukum) pemungutan PNBP yang berasal dari biaya perkara. PP ini terdiri dari 4 pasal dilengkapi dengan lampiran berupa rincian jenis dan tarif PNBP atas biaya perkara. Macam Biaya Perkara Yang dimaksud dengan biaya perkara menurut pasal 121 HIR dan 145 R.Bg adalah:132 1. Biaya Kepaniteraan(Griffier Kosten)/Hak-hak kepaniteraan yang merupakan pungutan sebagai pelayanan/jasa pengadilan yang disetor ke kas Negara, jenis dan tarifnya telah diatur dalam PP No. 53 Thn 2008, yang secara umum dikelompokan dalam 5 jenis (pasal 1) yaitu : a) Hak Kepaniteraan Mahkamah Agung b) Hak Kepaniteraan Peradilan Umum c) Hak Kepaniteraan Peradilan Agama d) Hak Kepaniteraan Tata Usaha Negara e) Hak Kepaniteraan lainnya. 2. Ongkos/Biaya Proses, biaya yang merupakan biaya pelaksanaan peradilan yang digunakan untuk penyelesaian perkara perdata pada Pengadilan diluar 131 132
280
Surat Ketua MA.RI Nomor. MA/KUMDIL/002/I/K/1994 tertanggal 04 Januari 1994 Mahkamah Agung dalam suratnya No.43/TUAD/AG/III/UM/XI/1992 tgl 23 Nov. 1992
Pengungkapan Keuangan Perkara Dalam Laporan Keuangan Satuan Kerja Peradilan
biaya yang disebut pada point 1 (biaya kepaniteraan/hak-hak kepaniteraan yang merupakan PNBP). Pada Peradilan tingkat pertama disebut sebagai panjar biaya perkara Ongkos/Biaya Proses dalam prakteknya dipahami dalam berbagai bentukdan untuk simplifikasi (penyederhanaan) dapat diklasifikasikan dalam 2 (dua) jenis sebagai berikut: a) Biaya Administrasi proses penyelesaian perkara perdata (mengacu pada pasal 5 Perma 03 Tahun 2012) yang penggunaannya antara lain : i. ATK; ii. Materai; iii. Penggandaan/foto copy berkas perkara dan surat-surat yang berkaitan dengan berkas perkara; iv. Konsumsi Persidangan v. Penggandaan salinan putusan; vi. Pemberkasan dan penjilidan berkas perkara yang telah diminutasi; vii. Pengadaan perlengkapan kerja kepaniteraan yang habis pakai; b) Biaya Teknis proses penyelesaian perkara perdata (lampiran Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI No.09 Tahun 2009) yang penggunaannya antara lain : i. Biaya Panggilan; ii. Biaya Penerjemah; iii. Biaya Sita; iv. Biaya pemeriksaan setempat; v. Biaya sumpah; vi. Biaya pemberitahuan; vii. Pengiriman biaya perkara; Point a) dan b) pada pengadilan tingkat pertama disebut sebagai Panjar Biaya proses yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan dan pada Pengadilan Tingkat Banding dan Kasasi disebut sebagai Biaya proses yang ditetapkan sebagai berikut : 1. Kasasi Rp.500.000,2. Peninjauan Kembali (PK) Rp.2.500.000,3. Kasasi Perkara Perdata Niaga Rp.5.000.000,4. PK Perkara Perdata Niaga Rp.10.000.000,5. Kasasi Perkara Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) dengan nilai gugatan > 150 juta … Rp.500.000,6. PK perkara PHI dengan nilai gugatan > 150 juta Rp.2.500.000,7. Permohonan Pengujian Peraturan perundang-undangan dibawah undangundang (keberatan hak uji material) Rp.1.000.000,8. Biaya Proses pada Pengadilan Tingkat Banding Rp.150.000,- kecuali pada PT TUN Rp.250.000,9. Besaran Panjar Biaya Proses pada pengadilan tingkat pertama ditentukan oleh Ketua Pengadilan
281
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
10. Biaya penyelesaian perkara dengan acara prodeo pada tingkat pertama, banding dan kasasi serta perkara PHI yang nilai gugatannya di bawah Rp.150 juta rupiah dibebankan kepada Negara. Dasar Hukum Pengungkapan Biaya Perkara Undang-Undang No. 3 Thn 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Dalam Pasal 81 A : 1) Anggaran MA dibebankan tersendiri dalam mata anggaran tersendiri dalam APBN 2) Dalam mata anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak termasuk biaya kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian perkara perdata, baik diperadilan umum, peradilan agama maupun penyelesaian perkara tata usaha Negara 3) Untuk penyelesaian perkara perdata dan perkara tata usaha Negara sebagaimana dimaksud ayat (2), biaya kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian perkara dibebankan kepada pihak atau para pihak yang berperkara 4) Biaya kepaniteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), merupakan penerimaan Negara bukan pajak yang ditetapkan sesuai dengan ketentutan peraturan perundang-undangan. 5) Mahkamah agung berwenang menetapkan dan membebankan biaya proses penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) 6) Pengelolaan dan pertanggungjawaban atas anggaran dan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (4) dan ayat (5)diperiksa oleh BPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 2. SEMA 09 Tahun 2008 tentang Pelaporan Penerimaan dan Penggunaan Biaya Perkara pada Pengadilan : 1) Pelaporan penerimaan dan penggunaan Keuangan Perkara Perdata dilakukan secara bulanan dengan menggunakan formulir sebagaimana yang telah ditetapkan pada Buku II... 2) Laporan Keuangan hasil dari proses peradilan pidana yang harus dilaporkan adalah denda yang dikenakan pada perkara tipiring (tilang) 3) Laporan bulanan harus sudah dikirimkan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya ke tingkat banding dan dirjen terkait… 4) ….dst…. 9) Laporan Penerimaan dan Penggunaan Biaya Perkara pada pengadilan dalam bentuk agregat dapat ditampilkan ke muka publik secara berkala, sebagai bentuk akuntabilitas publik dan transparansi pengadilan. 10) Untuk keperluan transparansi berkala, informasi yang perlu ditampilkan adalah sebagai berikut : a. Sisa awal periode pelaporan b. Jumlah uang masuk selama periode pelaporan c. Jumlah uang terpakai selama periode pelaporan d. Jumlah uang dikembalikan pada pihak selama periode pelaporan 1.
282
Pengungkapan Keuangan Perkara Dalam Laporan Keuangan Satuan Kerja Peradilan
e. Sisa akhir periode pelaporan 3. Peraturan Mahkamah Agung RI. No. 03 Tahun 2012 tentang Biaya Proses penyelesaian perkara dan Pengelolaannya pada MA dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya. Dalam pasal 3 disebutkan : 1) Biaya proses sebagaimana tersebut pada pasal 2 dipertanggungjawabkan kepada pihak-pihak yang berperkara dengan ditetapkannya besaran biaya proses pada putusan 2) Seluruh biaya proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola secara efektif, efisien, transparan dan dicatat dalam Catatan atas Laporan Keuangan MA. RI. Pengungkapan Keuangan Perkara dalam Laporan Keuangan Dalam UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung Pasl 1 ayat 6) menyebutkan bahwa ―Pengelolaan dan pertanggungjawaban atas anggaran dan biaya…diperiksa oleh BPK. Anggaran yang dimaksud merujuk pada ayat 1) yaitu anggaran MA yang berasal dari APBN (DIPA), sedangkan biaya yang dimaksudkan merujuk pada 2 (dua) hal yaitu : 1) Biaya kepaniteraan (griffier kosten) yang disebutkan dalam ayat 4) yang merupakan PNBP sebagaimana terbaru telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 53 tahnu 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di Bawahnya. 2) Biaya Proses yang disebutkan dalam ayat 5) bahwa Mahkamah agung berwenang menetapkan dan membebankan biaya proses penyelesaian perkara…‘ yang kemudian terakhir diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 03 Thn 2012 tentang Proses Penyelesaian Perkara dan Pengelolaannya pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya Untuk memenuhi unsur keterbukaan (transparansi) dalam pengelolaan biaya perkara melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 09 Tahun 2008 tentang Pelaporan Penerimaan dan Penggunaan Biaya Perkara pada Pengadilan secara intern telah diatur model dan bentuk (form) pelaporan yang dihimpun oleh dirjendirjen terkait dan Laporan Penerimaan dan Penggunaan Biaya Perkara pada pengadilan dalam bentuk agregat dapat ditampilkan ke muka publik secara berkala, sebagai bentuk akuntabilitas publik dan transparansi pengadilan133 Mengenai biaya proses secara eksplisit dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 03 Tahun 2012 sebagaimana tersebut di atas mensyaratkan : 1) Pertanggungjawabannya kepada pihak-pihak yang berperkara dengan ditetapkannya besaran biaya proses pada putusan 2) Pengelolaannya secara efektif, efisien, transparan dan 3) dicatat dalam dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) Menyangkut point 1) pertanggungjawan kepada pihak melalui ditetapkannya besaran biaya proses pada putusan telah dilaksanakan namun apakah 133
Point 9) SEMA N0.09 th 2008-format pelaporan terlampir 283
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
akuntabilitas atas pengelolaan penetapan biaya proses tersebut telah diikuti dengan pengelolaannya secara efektif, efisien dan transparan, serta telah diungkapkan secara memadai dalam laporan keuangan satuan kerja..? hal inilah yang masih menjadi ganjalan.. Sebagaimana diketahui bahwa yang disebut sebagai Laporan Keuangan (LK) Kementrian/Lembaga itu terdiri dari134: a. Laporan Realisasi Anggaran (LRA) b. Neraca c. Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan Neraca oleh system (by system) telah dihasilkan melalui Aplikasi SAI yang terdiri dari SAK dan SIMAK-BMN, namun demikian terhadap CaLK masih diperlukan penjelasan naratif(manual). Penjelasan dalam CaLK inilah yang disebut dengan pengungkapan. Terdapat konsensus dalam akuntansi umum terkait dengan pengungkapan informasi yang dipandang penting dalam laporan keuangan. Evans (2002) mendefinisikan 3 tingkat pengungkapanyaitu135 : 1. Adequate disclosure (memadai) yaitu tingkat minimum yang harus dipenuhi agar statemen keuangan secara keseluruhan tidak menyesatkan user (pengguna) 2. Fair disclosure (wajar) yaitu tingkat yang harus dicapai agar user memperoleh perlakuan atau pelayanan akan informasi yang sama 3. Full disclosure (Pengungkapan lengkap) yaitu merupakan tingkat pengungkapan yang menuntut penyajian secara penuh semua informasi yang terkait dan relevan. Penyajian Informasi yang terlalu banyak karena penyajian rincian yang tidak penting justru akan mangaburkan informasi yang signifikan dan membuat laporan keuangan tersebut sulit dipahami dan sebaliknya minimnya pengungkapan yang disajikan dalam laporan keuangan dapat menyebabkan kekeliruan user dalam menerjemahkan angka dalam LK (prevent misleading information) Prinsip pengungkapan dalam laporan keuangan pemerintah adalah fulldisclosure (pengungkapan penuh/lengkap) yang dituangkan dalam CaLK. ―Pada prinsipnya CaLK bertujuan untuk memudahkan pengguna LK dalam memahami nilai yang disajikan dalam LK sehingga mencegah pengguna (user) atas kekeliruan dalam menerjemahkan angka dalam LK (prevent misleading information) karnanya pengungkapan penuh antara lain menginformasikan hal penting dan secara signifikan mempengaruhi LK, misalnya keputusan atau kebijakan pimpinan sebagai contoh misalnya dalam hal MOU terkait dengan status atas asset-aset yang belum clear and clean baik dari sisi pengelolaan maupun kepemilikan Sehingga dari contents CaLK jika kita ingin pilah berdasarkan peraturan136 hanya berisi/menjelaskan 3 (tiga) hal yaitu : 134
135
284
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Per-55/PB/2012 tentang Pedoman Penyusunan LK Kementrian/Lembaga Psl. 8 Evans, Thomas G. 2002. Accounting Theory: Contemporary Accounting
Pengungkapan Keuangan Perkara Dalam Laporan Keuangan Satuan Kerja Peradilan
a.
Penjelasan Umum ; menjelaskan dasar hukum, kebijakan teknis, kebijakan akuntansi dan lain-lain b. Penjelasan atas Pos-Pos LRA; Menggambarkan secara umum dan rinci besaran anggaran dan realisasinya baik pendapatan maupun belanja dengan perbandingan antar waktu c. Penjelasan atas Pos-Pos Neraca; Menggambarkan secara umum dan rinci besaran neraca meliputi saldo awal, mutasi dan saldo akhir dengan perbandingan antar waktu d. Pengungkapan Penting Lainnya; Kejadian-kejadian penting setelah tanggal neraca; temuan dan tindak lanjut temuan BPK; Informasi akrual; rekening pemerintah dan pengungkapan lain-lain. Oleh karenanya kewajiban penyajian keuangan perkara dalam sistimatika CaLK dimungkinan pada point D Pengungkapan penting lainnya sub Pengungkapan lain-lain. Terdapat paling tidak 2 hal yang menjadi permasalahan satker dalam pengungkapan Keuangan Perkara pada Laporan keuangan : 1. Apakah pengungkapan biaya perkara telah memadai dari sisi pelaporan, kaitannya dengan kecukupan informasi.? 2. Format dan sistimatika penyajiannya dalam Laporan Keuangan satuan kerja termasuk pengungkapannya..? Kedua hal inilah yang dari pengamatan penulis menjadi alasan sebagian besar satuan kerja tidak menyajikannya dalam Laporan Keuangan pada Catatan atas Laporan Keuangan Satuan Kerjanya untuk kemudian dikompilasi pada tingkat wilayah – Eselon I dan Lembaga dsamping sumber data laporan keuangan perkara dikelola pada bagian yang berbeda (teknis-keperdataan). Contents pengungkapan keuangan perkara secara memadai dalam LK sebenarnya terkait dengan pengungkapan informasiakan hal-hal yang material dan relevan. Dalam prinsip akuntansi berterima umum pengungkapan memadai dalam laporan keuangan berkenanan/mencakup bentuk, susunan, dan isi laporan keuangan, serta catatan atas laporan keuangan137. Hal-hal yang material yang dimaksudkan dalam pengungkapan biaya perkara menurut hemat penulis didasarkan pada apa yang telah disebutkan dalam SEMA 09 Tahun 2008 tentang Pelaporan Penerimaan dan Penggunaan Biaya Perkara pada Pengadilan dalam point 10) yang memberi batasan akan pengungungkapan biaya perkara: ―Untuk keperluan transparansi berkala‖, informasi yang perlu ditampilkan adalah sebagai berikut : a) Sisa awal periode pelaporan b) Jumlah uang masuk selama periode pelaporan c) Jumlah uang terpakai selama periode pelaporan d) Jumlah uang dikembalikan pada pihak selama periode pelaporan 136
137
Perdirjen Per-55/PB/2012 tentang Pedoman Penyusunan Laporan Keuangan Kementrian/Lembaga Lihat SPAP SA Seksi 431 [PSA No. 10] “Pengungkapan Memadai dalam Laporan Keuangan” paragraph 02. 285
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
e) Sisa akhir periode pelaporan Atas informasi yang disebutkan di atas selama ini pelaporan terkait dengan biaya perkara, secara berkala telah dilaporkan namun belum terintegrasi pada Laporan Keuangan satuan kerja melainkan dilaporkan kepada dirjen masingmasing. Dalam surat Kepala Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung RI No. 199/BUA/KEU/VI/2010 tanggal 22 Juni 2010 Hal : Laporan Keuangan Triwulan II/Semester I Tahun Anggaran 2010 yang kemudian ditegaskan lagi dalam Surat Kepala Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung RI. No. 414/BUA/KEU/XII/2010 tanggal 30 Desember 2010 Hal : Laporan Keuangan dan Laporan BMN Semester II/Tahun Anggaran 2010 yang ditujukan pada seluruh Ketua Pengadilan Tingkat Banding selaku Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Wilayah (UAKPA-W) dimintaantara lain yang terkait dengan keuangan perkara adalah rekapan data keuangan perkara pada masing-masing satuan kerja wilayah UAKPA-Wdengan format berikut, disertai copy halaman terakhir atas saldo Buku Induk Perkara dan foto copy rekening bank atas keuangan perkara. Contoh form rekap biaya perkara tingkat banding Data Keuangan Perkara Per 30Juni 2010 / (31 Des 2012) Wilayah Bandung
No
1
Nama Satker/ Pengadilan
Saldo Akhir Keuangan Perkara per 30 Juni 2011 / (31 Des 2012) HHK / Biaya Biaya Konsinyasi LainPNBP Proses Eksekusi lain *) *)
Jml
Ket.
Pengadilan Tinggi Bandung Pengadilan Negari Bandung Pengadilan Negeri Sumedang Pengadilan Negeri Tasikmalaya Pengadilan Negeri Garut dst….
2 3 4
5 6
Mengetahui: Pengelola Biaya Proses Ketua PT/PTA Bandung
……………………….. NIP…………………… 286
Bandung, ………...….20xx Panitera/Sekretaris PT/PTA Bandung
…….………………………………. NIP ………………………………..
Pengungkapan Keuangan Perkara Dalam Laporan Keuangan Satuan Kerja Peradilan
Bendahara By.Proses PT/PTA Bandung
……………………………………………. NIP……………………………………….. Catatan : *) awalnya Biaya perkara yang dirinci menjadi dari Biaya Proses+Hak-Hak Kepaniteraan = Kolom sengaja dikosongkan/tidak perlu diisi (tidak terkait) Dari Form ini yang merupakan rekapan yang diedarkan khususnya untuk Pengadilan tingkat banding (selaku UAKPA-W) menunjukan bahwa dana yang dikelola pada setiap pengadilan bukan hanya yang terkait dengan biaya perkara yang dipungut dari para pihak (pihak yang berperkara) akan tetapi terdapat dana-dana yang merupakan titipan, sebut saja misalnya biaya eksekusi, konsinyiasi dan lain-lain yang sifatnya merupakan titipan pihak ke-3 atas suatu permintaan/permohonan tertentu dari pihak dimaksud. Urgensi pengungkapan titipan pihak ke-3 ini bersamaan dengan biaya perkara adalah sebagai bentuk akuntabilitas yaitu pengungkapan penuh (full disclousure) disamping itu penyimpanan dana-dana titipan pihak ke-3 tersebut ditampung dalam satu jenis rekening (saat ini pembukaan rekening pada pengadilan hanya diizinkan maksimal 2 yaitu rekening an. Bendahara Pengeluaran yang digunakan untuk pengelolaan anggaran rutin (DIPA) satker dan Rekening biaya perkara diperuntukan untuk menampung pengelolaan biaya perkara, maka ketika mengungkapkan biaya perkara dengan lampiran rekening penyimpanannya maka dana-dana yang tedapatdalam rekening biaya perkara tersebut mestilah juga dijelaskan. Oleh karenanya model (form) pengungkapan biaya perkara pada tingkat pertama mengacu pada apa yang telah diamantkan dalam SEMA 09 Tahun 2008 tentang Pelaporan Penerimaan dan Penggunaan Biaya Perkara pada Pengadilan dalam point 10) yang menyebutkan bahwa: ―Untuk keperluan transparansi berkala, informasi yang perlu ditampilkan adalah sebagai berikut : a) Sisa awal periode pelaporan b) Jumlah uang masuk selama periode pelaporan c) Jumlah uang terpakai selama periode pelaporan d) Jumlah uang dikembalikan pada pihak selama periode pelaporan e) Sisa akhir periode pelaporana Untuk menyelaraskan form pada tingkat banding maka draft (form) pengungkapan Keuangan Perkara pada tingkat pertama adalah sebagai berikut : 287
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Data Keuangan Perkara Per 30 Juni 201X/(31Desember 201X) PN Bau-Bau Biaya Perkara N
HHK/PNBP
Uraian
o
Titipan Pihak III **) Saldo Akhir
Jml
Keuangan
Ket.
Perkara per 31 Desember 201X 1
2
3
Saldo
Awal
Periode
Pelaporan Penerimaan
periode
berjalan
`
Jumlah yang digunakan pada periode berjalan Pengembalian ke Para
4 Pihak Periode berjalan Sisa
akhir
periode
5 pelaporan (SALDO)
Catatan : Copy Rek. Koran Pengelolaan keuangan perkara dan halaman terakhir atas saldo Buku Induk Perkara dilampirkan
Mengetahui: Pengelola Ketua Pengadilan Negeri / Agama
……………………….. NIP……………………
………….., ………...….20xx Panitera/Sekretaris
…….………………………………. NIP ………………………………..
Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1) Biaya perkara hanya merujuk pada 2 (dua) hal yaitu Biaya Kepaniteraan(Griffier Kosten)/Hak-hak kepaniteraan dan Ongkos/Biaya Proses. Dalam prakteknya lembaga peradialan tidak hanya mengelola/menerima biaya perkara namun juga dana-dana pihak 3 lainnya. Sehingga terminologi yang merujuk pada biaya perkara dan dana pihak ke 3
288
Pengungkapan Keuangan Perkara Dalam Laporan Keuangan Satuan Kerja Peradilan
lainnya tersebut adalah Keuangan Perkara. Dan keuangan perkara merupakan lingkup keuangan negara. 2) Pelaporan keuangan perkara secara agregat sebagai bentuk akuntabilitas dan transparansi atas biaya yang dipungut dan atau dititipkanberdasarkan ketentuan perundangan dari pihak berperkara atau pihak ketiga lainnya merupakan informasi relevan dan material yang seharusnya diungkap dalam laporan keuangan entitas 3) Pengungkapan keuangan perkara secara memadai dalam LK akan hal-hal yang material dan relevan berkenanan/mencakup bentuk, susunan, dan isi laporan keuangan, serta catatan atas laporan keuangan. Sehingga pentingnya keseragaman format (bentuk dan susunan), isi dan standar pengungkapan dalam catatan atas laporan keuangan, sehingga memudahkan dalam kompilasi penyajian secara berjenjang (tingkat pertama, banding, dirjen dan lembaga).
DAFTAR PUSTAKA Republik Indonesia. 2003. Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara Republik Indonesia. 2004. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010. tentang Standar Akuntansi Pemerintahan; krangka konseptual Akuntansi Pemerintah Paragraf 53 Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010. tentang Standar Akuntansi Pemerintahan; Pernyataan No. 04 Catatan atas Laporan Keuangan Paragraf 36 Mahkamah Agung RI. 2008. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI No. 09 Tahun 2008 tentang Pelaporan Penerimaan dan Penggunaan Biaya Perkara pada Pengadilan Detik Finance-Wahyu Daniel. 2007. BPK akan laporkan MA ke MK. 2007 (online) (http://finance.detik.com/read/2007/09/19/150022/831965/4/bpk-akanlaporkan-ma-ke-mk) Mahkamah Agung RI. 1994. Surat edaran Mahkamah Agung Nomor.1 tahun1994 tentang Pengawasan dan Pemeriksaan Administrasi Perkara.tanggal 04 Januari 1994 Mahkamah Agung RI. 1992. Surat Ketua Muda MA RI - Urusan Lingkungan Peradilan Agama Nomor 43/TUAD/AG/III/UM/XI/1992 tgl 23 November 1992 Mahkamah Agung RI. 2008. Surat Edaran Nomor.09 tahun 2008 tentang Pelaporan Penerimaan dan Penggunaan Biaya Perkara pada Pengadilan Republik Indonesia. 2012. Peraturan Perbendaharaan Nomor Per-55/PB/2012 tentang Pedoman Penyusunan LK Kementrian/Lembaga Psl. 8; 289
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Evans, Thomas G. 2002. Accounting Theory: Contemporary AccountingSouth Western Educational Publishing. Ikatan Akuntan Indonesia. 2001. SA Seksi 431 [Pernyataan Standar Akuntans No. 10] ―Pengungkapan Memadai dalam Laporan Keuangan‖ paragraph 02. 2001. IAI. [alengwee.files.wordpress.com/2011/10/sa-seksi-431.pdf
290
REFORMULASI PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH BADAN ATAU PEJABAT PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Agus Budi Susilo Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung Jl. Diponeroro Bandung Abstrak Badan atau Pejabat pemerintahan mempunyai wewenang yang luas dalam melaksanakan urusan pemerintahan. Dengan wewenang yang luas ini cenderung untuk disalahgunakan, sehingga menimbulkan kerugian dan ketidakadilan di pihak masyarakat maupun aparatur pemerintah ditingkat bawahnya, oleh karena itu harus ada lembaga lain yang mengontrolnya. Berdasarkan teori trias politika, lembaga eksekutif secara politis dikontrol oleh lembaga legislatif dan secara yuridis dikontrol oleh lembaga yudikatif, karena badan atau pejabat pemerintahan menjalankan fungsi eksekutif, maka lembaga yudikatif yang mengontrol secara yuridis adalah Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan TUN). Kontrol yuridis oleh Peradilan TUN saat ini sangat sumir, karena dibatasi oleh undang-undang tentang Peradilan TUN yang sudah direvisi dua kali (Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 yang kemudian direvisi oleh Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dan UndangUndang No. 51 Tahun 2009). Pengujian PTUN hanya terbatas pada pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dalam arti sempit. Dapat dikatakan bahwa undang-undang tentang Peradilan TUN tersebut secara filosofis bertentangan dengan tujuan dibentuknya lembaga Peradilan TUN, yaitu menyelesaikan sengketa administrasi dalam arti luas. Oleh karenanya berdasarkan pemikiran yang futuristik perlu ditelaah lebih lanjut kewenangan abolut Peradilan TUN dalam melakukan kontrol atau pengujian terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukan badan atau pejabat pemerintahan. Semua ini tiada lain bertujuan untuk mereposisi kembali hakikat penegakan hukum administrasi negara oleh Peradilan TUN dan menyederhanakan semua penyelesaian sengketa administrasi negara berdasarkan prinsip efektifitas dan efisiensi. Kata Kunci; Perbuatan Melanggar hukum, Pejabat Pemerintah, Pengadilan Tata Usaha Negara Abstract Agency or government officials have broad authority in implementing government affairs. Broad authority was likely to be abused , causing loss and injustice in the society as well as lower level government officials , therefore there must be other institutions that control it . Based on the theory of triad politics , the executive is politically controlled by the legislature and are legally controlled by the judiciary , because the agency or government officials running the executive function , which controls the judiciary juridical is the State Administrative Court ( Judicial TUN ) .
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
TUN judicial control by the Court at this time is so vague , because it is limited by the law on the Judiciary TUN revised twice (Law No. . 5 of 1986 which was later revised by Law No. . 9 of 2004 and Act No. . 51 of 2009 ) . Testing is limited to understanding the Administrative Court Administrative Decision ( KTUN ) in the strict sense . It can be said that the law on the Judiciary TUN philosophically opposed to the purpose of the establishment TUN Judicial institutions , namely resolve administrative disputes in a broad sense . Therefore, based on futuristic ideas that need to be explored further in the TUN Courts abolut authority to exercise control or testing for unlawful acts committed government agencies or officials . All this is nothing else aims to reposition back nature of administrative law enforcement by the state Judicial TUN and simplify all the administrative state dispute settlement based on the principles of effectiveness and efficiency. Keyword; Deeds Against the Law, Government Officials, Administrative Court 1. Pendahuluan Pemerintah sebagai alat kelengkapan negara (organ of state), dapat diberi pengertian yang luas atau sempit. Pemerintah dalam arti luas adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara sendiri. Jadi tidak diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya termasuk legislatif dan yudikatif1. Dengan kata lain, Pemerintah dalam arti luas, mencakup semua alat kelengkapan negara, yang pada pokoknya terdiri dari cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif atau alat-alat kelengkapan negara lain yang juga bertindak untuk dan atas nama negara. Menurut C.Van Vollenhoven2, dalam arti yang luas ini Pemerintah sering disebut regering. Dalam artinya yang sempit, pemerintah (yang disebut bestuur) hanya mencakup organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan (eksekutif) yang bisa dilakukan oleh Kabinet dan aparat-aparatnya dari tingkat Pusat sampai ke Daerah3. Jadi, dalam pengertian yang sempit, pemerintah adalah cabang kekuasaan eksekutif (law applying organ). Hubungannya dengan sistem ketatanegaraan, cabang pemerintahan eksekutif mempunyai struktur dan fungsi organisasi yang berbeda dengan cabang-cabang pemerintahan yang lain (legislatif, yudikatif, dan lain-lain). Cabang pemerintahan eksekutif mewakili atau mengandung dua karakter. Pertama, sebagai alat kelengkapan negara. Kedua, sebagai badan administrasi negara. Sebagai alat kelengkapan negara, cabang pemerintahan eksekutif bertindak untuk dan atas nama negara. Tindakan eksekutif sebagai alat kelengkapan negara adalah tindakan negara. Sebagai administrasi negara, cabang pemerintahan 1
2
3
292
Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN FH UI dan CV “Sinar Bakti”, Jakarta, 1983, hlm. 171 Amrah Muslimin, Beberapa Asas Dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi Dan Hukum Administrasi, Penerbit Alumni, Bandung, 1985, hlm.83. Lihat pula : Moh. Mahfud, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 74 Ibid
Reformulasi Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan
eksekutif mempunyai kekuasaan mandiri yang dilimpahkan negara. Kekuasaan mandiri ini memungkinkan administrasi negara melakukan tindakan-tindakan mandiri baik di lapangan pengaturan (regelen) maupun penyelenggaraan administrasi negara (besturen) 4. Dalam lapangan bestuur inilah administrasi negara atau badan atau pejabat pemerintahan mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan negara dalam suatu bentuk yang dinamakan perbuatan atau tindakan administrasi pemerintahan. Badan atau pejabat pemerintahan ini dalam menjalankan fungsinya harus berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Biasanya badan atau pejabat pemerintahan ini dalam mengeluarkan kebijakan (beleid) berdasarkan interpretasi yang dipahami olehnya. Penafsiran suatu peraturan hukum memang sudah lazim terjadi di bidang hukum tertulis. Sifat dari suatu peraturan hukum yang sudah terpaku dalam suatu undang-undang yang tidak boleh tidak harus dilaksanakan, ialah ketika orang mulai melihat pada norma secara harfiah (eksplisit) telah dianggap sudah memenuhi rasa keadilan masyarakat. Sebaliknya kalau pelaksanaan undang-undang menurut norma secara eksplisit memaksakan badan atau pejabat pemerintahan mengambil tindakan yang tidak memuaskan, maka disitulah orang mulai mencari jalan dengan cara melakukan penafsiran-penafsiran hingga mendekati rasa keadilan tersebut. Dari aspek teoritis, badan atau pejabat pemerintahan seharusnya tidak boleh bertindak lain dari pada melaksanakan peraturan hukum sesuai norma secara eksplisit. Namun dalam beberapa kasus, dengan alasan demi kepastian hukum telah mengorbankan suatu kebutuhan lain yang lebih penting yaitu kebutuhan akan rasa keadilan, perlindungan, kenyamanan yang diterima masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Hal ini dilakukan sebagai konsekuensi bahwa badan atau pejabat pemerintahan adalah abdi masyarakat yang memperhatikan dan merumuskan kebijakan yang menyangkut hidup mereka. Akibat adanya kebebasan bertindak pada alat administrasi negara itu, maka seringkali terjadi perbuatan alat administrasi negara tersebut menyimpang dari peraturan hukum yang berlaku (hukum positif), yang tendensinya dapat menimbulkan kerugian pada pihak administrabele 5. Tindakan badan atau pejabat pemerintahan dalam lingkup hukum publik inilah yang terkadang dengan alasan untuk kepentingan umum dan kepastian hukum justru telah mengorbankan hak-hak individual masyarakat baik secara pribadi, kelompok maupun badan hukum perdata. Beranjak dari alasan ini pula, perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai ―perbuatan melanggar hukum oleh badan
4
5
Bagir Manan dan Kuntara Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1997, hlm. 159 Muchsan, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 74 293
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
atau pejabat pemerintahan‖6 atau yang secara umum dikenal dengan onrechtmatige overheidsdaad. Onrechtmatige overheidsdaad atau perbuatan melanggar hukum oleh penguasa (pemerintah atau badan atau pejabat pemerintahan) sebagaimana diketahui dalam sejarah hukum di Indonesia adalah bersumber pada Pasal 1365 B.W (KUHPerdata), yang termasuk lapangan hukum perdata7. Hal ini berdasarkan penafsiran Pasal 2 R.O dan Pasal 101 UUDS RI, karena pada saat itu belum terbentuk badan peradilan tata usaha negara. Pada awalnya istilah ―perbuatan melanggar hukum‖ ini mencuat ketika ada Putusan Hoogeraad mengenai perkara Lindenbaum vs Cohen. Mencuatnya kasus ini, dikarenakan adanya pengaruh doktrin terhadap putusan pengadilan yang menangani perkara tersebut. Dengan ini, dapatlah dipahami bahwa doktrin memberikan pengaruh dan tekanan yang besar atas penerimaan paham luas oleh pengadilan mengenai arti tindakan melanggar hukum (onrechtmatige daad)8. Kalau diamati, istilah perbuatan melanggar hukum tersebut masih bersifat umum. Artinya, bahwa siapapun yang melakukan pelanggaran hukum dapat terkena Pasal 1365 KUHPerdata, termasuk juga pemerintah (overheids). Pada perkembangannya timbul suatu sengketa, dalam arti badan atau pejabat pemerintahan sebagai salah satu pihak yang berperkara karena perbuatannya sebagai administrasi negara ketika menjalankan tugas kewajibannya di bidang public service, mendatangkan kerugian pada 6
7
8
294
Di sini dan seterusnya Penulis akan menggunakan istilah “melanggar hukum” berdasarkan terjemahan yang lebih tepat, lihat N.E. Algra, dkk, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae (Belanda-Indonesia),Bina Cipta, Bandung, 1983, hlm.347-348, bukan “melawan hukum”, karena, “melawan hukum” identik dengan tindak Pidana. Selain itu, onrechtmatige disini lebih tepat diartikan melanggar hukum, sedangkan “melawan hukum” dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah wedwerrechtelijk, lihat Ibid, hlm. 677 dan lihat pula Achmad S. Soema di praja, Pengertian serta sifatnya melawan hukum bagi terjadinya tindak Pidana, Armico, Bandung, 1983, hlm. 16. Selanjutnya, menurut Philipus M. Hadjon, onrerchmatig lebih tepat diartikan “melanggar hukum”, meskipun ada beberapa pendapat mengartikan “melawan hukum”, lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa hukum padahal tidak bisa dilawan melainkan hanya bisa dilanggar. Lihat Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam mewujudkan Pemerintahan yang bersih, dalam Pidato pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Senin, 10 Oktober 1994 T. Bustomi, Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara dalam Teori dan Praktek, Penerbit Alumni, Bandung, 1994, hlm. 19 J. Satrio, Hukum Perikatan : Perikatan yang lahir dari undang-undang (bagian pertama), P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 160. Doktrin disini adalah sebagaimana yang dikemukakan Molengraaff dalam “Rechtgeleerd Magajizn” tahun 1887, jauh sebelum Putusan Hoge Raad tahun 1919. Dimana menurut Molengraaff ; perbuatan melanggar hukum tidak hanya meliputi suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, melainkan juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan segala sesuatu yang ada diluar undang-undang yaitu kaidah-kaidah sosial lainnya (onrechtmatig sama dengan ombetamelijk). Jadi meliputi kebiasaan sopan santun dan kesusilaan. Bandingkan, R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1994. hlm. 76-77
Reformulasi Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan
warga masyarakat (termasuk badan hukum perdata). Perbuatan administrasi negara inilah yang disebut perbuatan badan atau pejabat pemerintahan yang melanggar hukum yaitu pelaksanaan yang salah, padahal ketentuannya sah dan benar secara hukum. Di negara Belanda sendiri, awal mula perkara onrechtmatige overheidsdaad muncul dalam perkara Ostermann, yaitu mengenai upaya izin ekspor barang ke luar negeri, akan tetapi instansi terkait tidak mengabulkannya. Dalam peradilan tingkat pertama dan banding gugatan Ostermann itu dinyatakan tidak dapat diterima, akan tetapi oleh Hoge Raad (Mahkamah Agungnya Belanda) gugatan tersebut dikabulkan dengan alasan bahwa bila tindakan tersebut melanggar suatu peraturan perundang-undangan, dapat dianggap melakukan perbuatan melanggar hukum, dengan tidak memperdulikan apa peraturan yang dilanggar itu berada di lapangan hukum publik atau hukum perdata, seperti juga pelanggaran terhadap hukum pidana juga dikatakan melakukan perbuatan melanggar hukum menurut Pasal 1365 BW. Dari Putusan Hoge Raad itulah, pada tahun 1924 terbentuk yurisprudensi yang berkaitan dengan onrechtmatige overheidsdaad atau dikenal dengan Ostermann-arrest9. Terhadap perbuatan melanggar hukum tersebut, meskipun dilakukan oleh seseorang yang mempunyai atau pemegang kekuasaan, menurut Sjachran Basah10, perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan itu merupakan suatu urgensi yang wajar, tampil dan menduduki posisi terdepan dalam merealisasi jalur pemerataan kesempatan memperoleh keadilan. Atas peristiwa yang demikian timbul suatu permasalahan, apakah dalam hal perlindungan hukum ini penyelesaian litigasinya menjadi kompetensi peradilan umum ataukah peradilan administrasi negara (peradilan tata usaha negara) ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dipahami terlebih dahulu istilah perbuatan melanggar hukum itu sendiri. Selain itu, perlu pula dibatasi pengertian perbuatan melanggar hukum menurut hukum privat dan hukum publik (hukum administrasi negara). Demikian pula, perlu ada pemahaman makna baik secara eksplisit maupun implisit pasal-pasal yang berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum, terutama dalam kaitannya dengan si pelaku, yaitu badan atau pejabat pemerintahan. Oleh karenanya perlu adanya interpretasi yurdis yang futuristik untuk mengkaji hal tersebut. Menurut banyak kalangan (baik dari akademisi maupun praktisi), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, belum secara tegas merumuskan ataupun memberikan pengertian mengenai perbuatan melanggar hukum 9
10
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum : Dipandang dari sudut Hukum Perdata, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 84-85 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum terhadap sikap-tindak Administrasi Negara, Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hlm.11 295
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan. Lain halnya dengan Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP), terutama dalam Pasal 40 secara gamblang menyatakan bahwa kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara yang berkaitan dengan tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang menimbulkan kerugian material maupun immaterial menurut undang-undang ini dilaksanakan oleh peradilan administrasi negara atau peradilan tata usaha negara. Pada kenyataannya, selama ini yang dijadikan sebagai objek sengketa dan dasar suatu gugatan (posita) di peradilan tata usaha negara adalah sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 9 dan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Pasal ini secara garis besar hanya menyebut dua hal yang dijadikan dasar gugatan terhadap keputusan tata usaha negara (beschikking) yang dijadikan objek sengketa, yaitu bertentangan dengan peraturan perundangundangan (melanggar undang-undang / onwetmatige daad) dan atau asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dari pengertian Pasal 1 angka 9 dan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009, apakah dapat disebut suatu perbuatan melanggar hukum oleh badan atau pejabat pemerintahan, bila ketentuan sebagaimana dimaksud tersebut terpenuhi unsur-unsurnya. Mengenai hal ini, tentu masih banyak yang berbeda pendapat, terutama dari para ahli hukum administrasi negara. Dalam perkembangannya, Pasal 1 angka 9 dan Pasal 53 ayat (2) UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009, menurut kalangan praktisi dan akademisi perlu ditinjau kembali. Hal ini terlihat dalam RUU AP yang diatur dalam Pasal 1 angka 4, yang menyebutkan keputusan pemerintahan adalah keputusan tertulis dan/ atau tidak tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat pemerintahan dalam lapangan hukum administrasi negara, serta Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan badan atau pejabat pemerintahan dalam menjalankan hak, wewenang, kewajiban dan tanggung jawabnya wajib melaksanakan : a. Asas legalitas b. Asas pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia c. Asas umum pemerintahan yang baik (Asas-asas ini dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat dan yurisprudensi). Adanya RUU tersebut, apabila dikomparisikan dengan undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) yang ada saat ini, terdapat perbedaan yang mencolok. Akan tetapi yang lebih penting untuk dibahas sesuai materi yang akan dianalisa, yaitu apakah ketentuan-ketentuan dalam RUU AP ini sudah mencakup pengertian perbuatan melanggar hukum oleh badan atau pejabat pemerintahan menurut hukum administrasi negara secara teoritis ? Karena pengertian dalam RUU AP tersebut hanya membatasi kewenangan untuk 296
Reformulasi Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan
memeriksa dan memutus perkara yang berkaitan dengan tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang menimbulkan kerugian material maupun immaterial menurut undang-undang ini dilaksanakan oleh peradilan administrasi negara (peradilan tata usaha negara). Untuk menjawabnya perlu pengkajian secara mendalam tentang pengertian perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan menurut konsepsi hukum administrasi negara. 2.
Pengertian Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan Menurut Hukum Administrasi Negara di Indonesia Secara harfiah ada beberapa pendapat mengenai arti kata ―perbuatan‖ di sini. Beberapa istilah lain yang digunakan tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan arti, seperti : istilah ―perbuatan pemerintah‖ (E.Utrecht)11, ―perbuatan administrasi negara‖ (Bachsan Mustafa)12, ―perbuatan alat administrasi negara‖ (Muchsan)13, ―sikap-tindak‖ (Sjachran Basah)14, ―tindak pemerintahan‖ (Kunjtoro)15, dan lain-lain (kursif Penulis). Penulis dalam tulisan ini akan terus mempergunakan istilah ―perbuatan‖, karena disamping bersifat umum juga berdasarkan tema yang akan penulis kaji yaitu perbuatan melanggar hukum. Dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan kepentingan umum, badan atau pejabat pemerintahan banyak melakukan kegiatan atau perbuatanperbuatan. Aktifitas atau perbuatan itu pada garis besarnya dibedakan kedalam dua golongan, yaitu: rechts handeling (golongan perbuatan hukum) dan feitelijke handeling (golongan perbuatan faktual)16. Berdasarkan kedua golongan tersebut, maka penulis berusaha membahasnya sebagai sebuah diskursus. Hal ini dilakukan karena selama ini dua penggolongan ini jarang dikaji dari aspek hukum adminstrasi negara secara komprehensif, terutama golongan perbuatan faktual yang umumnya dikaji dalam ranah hukum perdata. Badan atau pejabat pemerintahan, menurut Vollmar, Rutten, Hofmann dan Pitlo mempunyai 2 (dua) jenis tugas dan kewajiban yang terletak dalam lapangan hukum publik dan hukum privat17. 11
12
13
14 15
16
17
E.Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1994, hlm.86 Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.59 Muchsan, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm.21 Sjachran Basah, Op.Cit., hlm.4 Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, 1981, hlm.44 E.Utrecht, Op.Cit. hlm. 86-87. Asli pengertian Feitelijke handeling menurut E. Utrecht adalah perbuatan yang bukan perbuatan hukum. Mengenai klasifikasi “golongan yang bukan perbuatan hukum” ini menurut Philipus M. Hajdon terlalu berlebihan, karena secara teoritis tidak ada perbuatan karena jabatan yang bukan perbuatan hukum. M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979, hlm 184 297
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Mengenai permasalahan yang terjadi dalam kedua lapangan hukum tersebut, menurut Krabbe, Kranenburg Vegting, Donner dan Huart, ketika badan atau pejabat pemerintahan dalam menjalankan tugasnya menggunakan hukum privat, maka untuk menyelesaikan suatu soal khusus dalam lapangan administrasi negara telah tersedia peraturan-peraturan hukum publik, di sini badan atau pejabat pemerintahan harus menggunakan hukum publik itu dan tidak dapat menggunakan hukum privat18. Perbuatan hukum publik itu sendiri ada dua macam, yaitu perbuatan hukum publik yang bersegi dua (tweezijdige publiekrechtelijke handeling), dan perbuatan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke handeling)19. Van der Pot, Kranenberg Vegting, Wiarda dan Donner mengakui adanya hukum publik yang bersegi dua atau adanya perjanjian menurut hukum publik. Mereka memberi contoh tentang adanya ―kort verband contract― (perjanjian kerja jangka pendek) yang diadakan seorang sebagai pekerja dengan pihak pemerintah sebagai pihak pemberi pekerjaan20. Pada kort verband contract ada persesuaian kehendak antara pekerja dengan pemberi pekerjaan, dan perbuatan hukum itu diatur oleh hukum istimewa yaitu peraturan hukum publik sehingga tidak ditemui pengaturannya di dalam hukum privat (biasa), misalnya tenaga-tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia dalam satu beschiking21. Perbuatan hukum bersegi satu, yang diadakan oleh alat-alat pemerintahan menurut suatu wewenang yang istimewa, di Indonesia diberi nama keputusan tata usaha negara dan keputusan pemerintahan. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, mengartikannya dengan istilah keputusan tata usaha negara, yaitu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-undangan dan bersifat konkrit, individual, serta final. Lebih luas lagi dari pengertian tersebut, yaitu apa yang tertera dalam Pasal 1 angka 4 RUU AP, arti keputusan pemerintahan adalah keputusan tertulis dan / atau tidak tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat pemerintahan dalam lapangan hukum administrasi negara. Selanjutnya Pasal 4 RUU AP secara gamblang memperjelas ruang lingkup ketentuan tadi dengan menyatakan bahwa undang-undang ini berlaku bagi semua keputusan dan atau tindakan faktual administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan yang diberikan wewenang menyelenggarakan urusan pemerintahan. Pengertian yang kedua inilah menurut penulis lebih tepat digunakan, karena berkaitan dengan eksistensi dan tujuan sebenarnya dibentuk lembaga penegakan hukum administrasi negara yaitu peradilan tata usaha negara. 18
19 20 21
298
S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 2009, hlm.69-70 E. Utrecht, Op.Cit., hlm. 91 Ibid., hlm. 93. Ibid., hlm. 94.
Reformulasi Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan
Keputusan pemerintahan itu dibuat dengan maksud untuk menyelenggarakan hubungan-hubungan dalam lingkungan alat negara sendiri (keputusan pemerintahan intern) maupun untuk menyelenggarakan hubunganhubungan antara alat negara yang membuatnya dengan seorang partikelir atau badan privat atau antara dua atau lebih alat negara (keputusan pemerintahan ekstern). Apabila dalam menjalankan fungsi administrasinya terjadi pelanggaran hukum atas perbuatan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa badan atau pejabat pemerintahan itu telah melakukan perbuatan melanggar hukum atau saat belum disahkannya RUU AP banyak yang menyebutnya dengan onrechtmatige overheidsdaad. Akan tetapi dalam perkembangan hukum administrasi negara selanjutnya terjadi dikotomi terhadap pengertian onrechtmatige overheidsdaad tersebut. Sebagaimana dijabarkan oleh Paulus Effendie Lotulung22, dengan mengacu pada ketentuan Pasal 44 RUU AP, gugatan perdata yang didasarkan pada P.M.H.P (Perbuatan Melanggar Hukum oleh Penguasa atau dalam istilah bahasa belanda dikenal dengan onrechtmatige overheidsdaad yang selama ini menjadi kompetensi di peradilan umum, selanjutnya akan dilimpahkan kewenangan memeriksa dan mengadilinya pada peradilan administrasi negara atau peradilan tata usaha negara. Sehingga kelak peradilan tata usaha negara di Indonesia akan ada 2 (dua) jenis atau macam gugatan, yaitu : Pertama, gugatan pembatalan suatu keputusan badan atau pejabat pemerintahan atas dasar pelanggaran perundang-undangan yang berlaku dan pelanggaran asas-asas umum pemerintah yang baik. Kedua, gugatan ganti rugi material maupun immaterial atas dasar tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang menimbulkan kerugian material maupun immaterial menurut undang-undang ini. Dengan demikian, inti pokok yang menjadi pokok gugatan (objectum litis) jenis bagian Pertama ialah pembatalan suatu keputusan tata usaha negara, sedangkan jenis bagian Kedua ialah tuntutan sejumlah uang ganti rugi. Selanjutnya, beliau menyatakan apabila dibandingkan dengan sistem peradilan tata usaha negara yang berlaku di Perancis, maka tampak adanya kemiripan antara sistem di Indonesia pada waktu yang akan datang dengan sistem yang berlaku di Perancis pada waktu sekarang. Hal ini disebabkan, dalam perkara-perkara gugatan yang diajukan di peradilan tata usaha negara, dibedakan adanya 2 (dua) jenis perkara yang berdiri sendiri-sendiri, yaitu :
22
Paulus Effendie Lotulung, Menyongsong Pengesahan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentangadministrasi Pemerintahan, Makalah disampaikan pada Acara Bimbingan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara – Mahkamah Agung R.I. pada tanggal 9 Januari 2009 yang dihadiri oleh segenap Hakim Agung T.U.N., para Ketua Pengadilan Tinggi T.U.N., para ketua P.T.U.N. dan para Sekretaris/Panitera T.U.N. seluruh Indonesia di Jakarta, hlm.2 299
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
1.
Gugatan Pembatalan Surat Keputusan (recours d‟annulation des actes administratifs) 2. Gugatan Ganti Rugi Pertanggungan Jawab Penguasa/Pejabat. (recours d‟indemnites de la responsabilite de la puissance publique) Oleh karenanya, di Indonesia akan terjadi perluasan kewenangan atau kompetensi yurisdiksi peradilan tata usaha negara. Lain halnya, Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati termasuk kalangan ahli hukum yang tidak sependapat dengan menjumbuhkan istilah onrechtmatige overheidsdaad dengan sengketa administrasi negara yang berupa tindakan faktual, karena terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok antara onrechtmatige overheidsdaad dan sengketa administrasi negara yang berupa tindakan faktual, dan akan terjadi suatu kontradiksi oleh karena sengketanya adalah sengketa administrasi negara tapi hukum materiilnya adalah Pasal 1365 Burgelijk Wetboek (BW)23. Menurut Philipus M. Hadjon perbedaan antara onrechtmatige overheidsdaad dan sengketa administrasi negara yang berupa tindakan faktual adalah sebagai berikut : Sengketa TUN Tindakan Faktual OOD 1. Dasar Undang-Undang Yurisprudensi : kompetensi (sekarang masih RUU) Analogi Pasal 1365 BW pengadilan 2. Isu Hukum
3. Tolok Ukur
4. Karakter Hukum Sengketa 5. Pengadilan yang berwenang 23
300
- legalitas (keabsahan) tindakan asas negara hukum - kerugian yang timbul Legalitas: peraturan perundangundangan dan Aupb
Melanggar hukum asas : neminem l laedere
Sengketa hukum publik
Peraturan formil dan kepatuhan yang berlaku dalam masyarakat Sengketa hukum perdata
PTUN
Peradilan Umum
Philipus M. Hadjon, Peradilan Tata Usaha Negara dalam konteks (R) UU Administrasi Pemerintahan, makalah disampaikan pada bimbingan teknis Hakim Yunior Peratun Sewilayah Hukum PTTUN Surabaya, 17-20 2008 di Surabaya, hlm.1., Philipus M. Hadjon, (R) UU Administrasi Pemerintahan sebagai Kodifikasi (sebagian) Hukum Administrasi Umum (General Rules of Administrative Law) dan Peradilan Tata Usaa Negara, makalah disampaikan dalam rangka HUT PTUN tanggal 13-15 Maret tahun 2009 di Surabaya, hlm.6., dan Tatiek Sri Djatmiati, OOD dan Tanggung Jawab Jabatan serta Tanggung Jawab Pribadi dalam konteks (R) UU Administrasi Pemerintahan, makalah disampaikan pada bimbingan teknis Hakim Yunior Peratun Sewilayah Hukum PTTUN Surabaya, 17-20 2008 di Surabaya, hlm.4
Reformulasi Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan
Dengan demikian, mengacu pada RUU AP khususnya pada ketentuan Pasal 4 dan pendapat kedua ahli hukum administrasi negara diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum oleh badan atau pejabat pemerintahan adalah pelanggaran hukum terhadap semua keputusan dan atau tindakan faktual administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan yang diberikan wewenang menyelenggarakan urusan pemerintahan, dengan karekteristik sengketa hukum publik dan tolok ukur keabsahan suatu keputusan dan atau tindakan faktual tersebut adalah dari aspek legalitas peraturan perundang-undangan maupun asas umum pemerintahan yang baik. Mengenai siapa saja badan atau pejabat pemerintahan yang berwenang mengeluarkan keputusan dan / atau tindakan faktual tersebut, yaitu dengan melihat badan atau pejabat pemerintahan tersebut bertugas dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan berdasarkan wewenang melalui atribusi dan / atau delegasi dan / atau mandat berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, termasuk di dalamnya seperti : otorita, lembaga pendidikan, pengelola kawasan, notaris, BUMN atau BUMD. Terhadap dua dikotomi pengertian diatas, menurut penulis istilah onrechtmatige overheidsdaad tidak dapat secara serta merta atau mutlak disamakan pengertiannya dengan perbuatan melanggar hukum oleh badan atau pejabat pemerintahan, karena meskipun onrechtmatige overheidsdaad merupakan pengembangan arti dari onrechtmatige daad atau perbuatan melanggar hukum, akan tetapi pengertian ―overheids‖ yang secara etimologis diartikan ―penguasa‖ atau ―pemerintah‖ sangatlah terlalu luas. Sebagaimana telah penulis urai sebelumnya, pengertian ―pemerintah‖ ada dalam arti luas maupun dalam arti sempit. Sedangkan pengertian ―penguasa‖ dapat dijumbuhkan dengan pengertian pemerintah dalam arti luas yang tindakan hukumnya tidak selalu berupa perbuatan hukum publik dalam ranah hukum administrasi negara. Jadi dalam ruang lingkup hukum administrasi negara, untuk lebih tegasnya tetap menggunakan istilah dalam bahasa Indonesia, yaitu perbuatan melanggar hukum oleh badan atau pejabat pemerintahan. Selain pengertian secara terminologi, yang tidak kalah pentingnya adalah membahas pengertian ―onrechtmatige” atau ―melanggar hukum‖ ini meliputi apa saja. Menurut penulis, pengertian melanggar hukum tersebut, selain melanggar hukum tertulis yaitu norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, juga melanggar hukum tidak tertulis. Pelanggaran hukum tidak tertulis di sini, termasuk pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik atau asas-asas hukum nasional, hak asasi manusia, serta hukum yang tumbuh dan berkembang yang memiliki nilai atau norma kesusilaan dalam masyarakat.
301
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
3.
Perlindungan Hukum terhadap Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan menurut Hukum Administrasi Negara. Pengertian perlindungan hukum bagi rakyat berkaitan dengan rumusan ―rechtsbesherming van de burgers tegen de overheid‖ (dalam kepustakaan berbahasa belanda) dan ―legal protection of the individual in relation to acts of administrative authorities‖ (dalam kepustakaan berbahasa inggris)24. Meskipun memiliki pengertian yang sama, akan tetapi masing-masing negara mempunyai konsep yang berbeda mengenai perlindungan hukum bagi rakyatnya. Konsep perlindungan hukum di Indonesia, sejatinya beranjak dari makna Pancasila yang substansinya berarti kekeluargaan atau gotong royong, menurut Philipus M. Hadjon asas berdasarkan jiwa kekeluargaan ini dapat disebut pula sebagai asas kerukunan25. Asas kerukunan tersebut melandasi hubungan antara pemerintah dengan rakyat, serta antara organ kekuasaan negara yang satu dengan lainnya yang melahirkan hubungan fungsional proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara. Atas dasar keserasian hubungan berdasarkan asas kerukunan, maka sedapat mungkin penyelesaian sengketa dilakukan melalui cara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir. Hal itu karena musyawarah sebagai cerminan perlindungan hukum preventif berupa pemberian kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum pemerintah memberikan keputusan yang definitif. Musyawarah sangat besar artinya ditinjau dari perbuatan atau tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena pemerintah akan terdorong untuk mengambil sikap hati-hati, sehingga sengketa yang kemungkinan dapat terjadi dapat dicegah. Pada kenyataannya, sengketa administrasi negara atau sengketa tata usaha negara baru lahir jikalau seseorang atau masyarkat atau badan hukum perdata merasa dirugikan, sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan. Sebagaimana diketahui bahwa, badan atau pejabat pemerintahan dalam fungsi menyelenggarakan kepentingan umum tidak terlepas dari tindakan mengeluarkan keputusan, sehingga tidak menutup kemungkinan pula keputusan tadi menimbulkan kerugian. Berdasarkan elemen-elemen tersebut menurut Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terhadap perbuatan administrasi negara diarahkan kepada26: a. Usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa atau sedapat mungkin mengurangi terjadinya sengketa. Dalam hubungan ini sarana perlindungan hukum yang preventif patut diutamakan dari pada sarana 24
25
26
302
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia., PT Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm.1 Philipus Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Cetakan Kesepuluh, 2008, hlm.85-87 Op.Cit., hlm. 90
Reformulasi Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan
b. c.
perlindungan hukum represif dalam wujud musyawarah dengan pendapat. Usaha-usaha untuk menyelesaikan sengketa (hukum) antara pemerintah dengan rakyat dengan cara musyawarah. Penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir, peradilan hendaklah merupakan ―ultimum remedium‖ dan peradilan bukan forum konfrontasi sehingga peradilan haruslah mencerminkan suasana damai dan tenteram, terutama melalui hukum acaranya.
Perlindungan hukum preventif ditekankan pada adanya hak untuk di dengar dan hak untuk menerima informasi sebelum adanya suatu keputusan yang definitif, sedangkan penanganan perlindungan hukum represif di Indonesia dilakukan oleh organ pemerintah yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam bidang tertentu serta ditangani oleh peradilan umum dan peradilan tata usaha negara. Berkaitan dengan perlindungan hukum tersebut, Sjachran Basah27 berpendapat, bahwa dewasa ini perlindungan hukum merupakan suatu urgensi yang wajar tampil menduduki posisi terdepan, utamanya dalam merealisasikan pemerataan memperoleh keadilan. Perlindungan hukum menjadi sesuatu yang sangat urgen karena menurut Sjachran Basah, adakalanya administrasi negara salah bersikap dan bertindak dalam melaksanakan tugasnya, padahal hukumnya benar. Ada pula kalanya perbuatan administrasi negara itu menurut hukum dan bukan pelaksanaannya yang salah, melainkan hukumnya sendiri yang secara materiil tidak benar. Menurut Paulus Effendie Lotulung, penyelesaian sengketa antara rakyat dengan badan atau pejabat pemerintahan di Indonesia sebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 mengikuti pola28: 1. Penyelesaian sengketa melalui jalur intern administrasi yaitu atasan hirarki dari pejabat yang bersangkutan. Jalur ini lazim dikenal dengan sebutan administratief beroep atau prosedur pengajuan keberatan. 2. Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh peradilan semu, yang sebetulnya secara struktur organisatoris merupakan bagian dari pemerintah/ administratif. 3. Penyelesaian oleh suatu badan peradilan yang bisa berupa : a. Peradilan administrasi khusus, yaitu masalah pajak; b. Peradilan umum. Dasar kewenangan pengadilan umum adalah berdasarkan yurisprudensi tetap, penafsiran ketentuan Pasal 2 RO ind (sama bunyinya dengan Pasal 2 RO Ned), serta atas dasar peraturan perundang-undangan yang secara khusus 27 28
Sjachran Basah, Op,Cit.,hlm.7-8 Paulus Effendi Lotulung, Beberapa Sistem Kontrol Tentang Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Bhuana Pancakarsa, Jakarta, Cet. I, 1986, hlm.83 303
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
menunjuk kompetensi lembaga peradilan umum dalam perkara tertentu29. Oleh karena itu, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 semua gugatan perbuatan melanggar hukum oleh badan atau pejabat pemerintahan menjadi wewenang penuh Peradilan Umum. Pola tersebut mengalami perubahan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, apabila dilihat dari cara penyelesaiannya dapat dibedakan dan digolongkan menjadi : ―yang langsung dan tidak langsung‖30. ―Langsung‖ berarti bahwa untuk sengketa administrasi itu tidak berbuka kemungkinan menggunakan upaya administrasi, melainkan hal itu semata-mata menjadi kompetensi absolut pengadilan tata usaha negara. Sebaliknya, ―yang tidak langsung‖ masih terbuka kemungkinan sengketa administrasi itu diselesaikan melalui peradilan semu dengan menggunakan seluruh upaya administratif yang tersedia. Ukuran untuk membedakan hal tersebut ialah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan pemerintahan atau tolok ukur yuridis formal. Dari sini dapat diketahui, bahwa dapat digunakan atau tidaknya upaya administratif. Manakala seluruh upaya administratif telah dilakukan, akan tetapi hasilnya belum memenuhi rasa keadilan para pihak atau salah satu pihak, maka pemohon yang tidak puas dapat mengajukan gugatan yang disampaikan, diperiksa dan diputus oleh pengadilan tinggi tata usaha negara (Pasal 48 dan 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986). Pengadilan tinggi itu merupakan pemutus tingkat pertama (dalam arti pengadilan adiministrasi murni) dan bila putusan itu tidak memuaskan, maka penggugat dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (Pasal 51 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004). Mengenai upaya administratif, apabila RUU AP disahkan maka berdasar ketentuan dalam Pasal 36 dan 37 RUU AP ini pada pokoknya menyatakan bahwa merupakan suatu keharusan setiap sengketa administrasi negara sebelum diajukan di pengadilan tata usaha negara harus melalui upaya administratif, dengan demikian eksistensi pengadilan tinggi tata usaha negara sebagai peradilan tingkat pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 mau tidak mau perlu direvisi. Selain itu apabila RUU AP disahkan, perlindungan hukum bagi rakyat di Indonesia melalui peradilan tata usaha negara bukan lagi akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara (beschikking). Sebab berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4, Pasal 4 dan Pasal 40 RUU AP, peradilan administrasi negara berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara yang berkaitan dengan perbuatan badan 29
30
304
Indroharto, Usaha-Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, hlm.43 Sjachran Basah, Beberapa Hal Tentang Hukum Acara Administrasi, Bahan Penataran Peradilan Administrasi, Kerjasama Indonesia-Belanda, Bandung, 1987, hlm.8
Reformulasi Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan
atau pejabat pemerintahan yang menimbulkan kerugian material maupun immaterial menurut undang-undang ini. Termasuk di dalamnya keputusan pemerintahan tertulis atau tidak tertulis dan atau tindakan faktual administrasi pemerintahan yang dikategorikan dalam lapangan hukum administrasi negara, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Kaitannya dengan peradilan tata usaha negara sebagai salah satu badan peradilan yang menjalankan fungsi ―kekuasaan kehakiman yang bebas‖ dan sederajat dengan badan peradilan lainnya, akan mempunyai konsekuensi bahwa peradilan tata usaha negara wajib memberikan perlindungan maupun pengayoman hukum bagi para pihak, sehingga bermanfaat sebagai31: 1. Tindakan pembaharuan bagi perbaikan pemerintah untuk kepentingan rakyat. 2. Stabilisator hukum dalam pembangunan. 3. Pemelihara dan peningkat keadilan dalam masyatakat. 4. Penjaga keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum. Lebih lanjut Sjachran Basah mengemukakan bahwa32: Tujuan Pengadilan Administrasi ialah memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, tidak hanya untuk rakyat semata-mata melainkan juga bagi administrasi negara dalam arti menjaga dan memelihara keseimbangan kepentingan masyarakat dengan kepentingan individu. Untuk administasi negara akan terjaga ketertiban, ketentraman dan keamanan dalam melaksanakan tugastugasnya demi terwujudnya pemerintahan yang kuat bersih dan berwibawa dalam negara hukum beradasarkan Pancasila. Berdasarkan pendapat tersebut dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa di samping peradilan umum, peradilan tata usaha negara merupakan sarana perlindungan hukum represif, yang memberikan perlindungan hukum bagi rakyat dengan mengemban fungsi penasehat, perujukan, dan peradilan. Ketiga fungsi tersebut dilaksanakan sedemikian rupa sehingga senantiasa menjamin dan menjaga keserasian hubungan antara rakyat dengan pemerintah berdasarkan asas kerukunan yang tercermin dalam konsep Negara Hukum di Indonesia. 4. Penutup Keberadaan peradilan tata usaha negara di berbagai negara modern terutama negara-negara Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu tonggak yang menjadi tumpuan harapan masyarakat atau rakyat untuk mempertahankan kepentingan atau hak-hak materiil maupun immateriilnya yang dirugikan oleh perbuatan badan atau pejabat pemerintahan karena keputusan pemerintahan yang tertulis atau tidak tertulis dan atau perbuatan faktual administrasi pemerintahan yang dilakukannya. 31
32
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 2010, hlm.25 Ibid 305
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Maksud pembentukan peradilan tata usaha negara adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap perbuatan badan atau pejabat pemerintahan yang melanggar hukum maupun hak asasi dalam lapangan hukum administrasi negara. Selain itu, peradilan tata usaha negara pun akan memberikan perlindungan hukum yang sama kepada badan atau pejabat pemerintahan yang bertindak benar dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA Buku dan Artikel Achmad S. Soemadipraja, Pengertian serta sifatnya melawan hukum bagi terjadinya tindak Pidana, Armico, Bandung, 1983. Amrah Muslimin, Beberapa Asas Dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi Dan Hukum Administrasi, Penerbit Alumni, Bandung, 1985. Bagir Manan dan Kuntara Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1997. Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. E.Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1994. Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN FH UI dan CV ―Sinar Bakti‖, Jakarta, 1983. Moh. Mahfud, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit UII Press, Yogyakarta, 2001. Muchsan, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981. -----------, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Jogjakarta, Liberty, 1982. Indroharto, Usaha-Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000. J. Satrio, Hukum Perikatan : Perikatan yang lahir dari undang-undang (bagian pertama), P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993. Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, 1981. M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979. Paulus Effendie Lotulung, Beberapa Sistem Kontrol Tentang Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Bhuana Pancakarsa, Jakarta, Cet. I, 1986. Paulus Effendie Lotulung, Menyongsong Pengesahan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentangadministrasi Pemerintahan, Makalah disampaikan pada Acara Bimbingan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara – Mahkamah Agung R.I. pada tanggal 9 Januari 2009.
306
Reformulasi Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan
---------, Makalah yang disajikan dalam rangka peringatan sepuluh tahun berdirinya PERATUN, yang diselenggarakan pada tanggal 20 Januari 2001 di Jakarta. Philipus Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Cetakan Kesepuluh, 2008. ------------, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987. -----------, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam mewujudkan Pemerintahan yang bersih, dalam Pidato pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Senin, 10 Oktober 1994. ----------- Peradilan Tata Usaha Negara dalam konteks (R) UU Administrasi Pemerintahan, makalah disampaikan pada bimbingan teknis Hakim Yunior Peratun Sewilayah Hukum PTTUN Surabaya, 17-20 2008 di Surabaya. -----------, (R) UU Administrasi Pemerintahan sebagai Kodifikasi (sebagian) Hukum Administrasi Umum (General Rules of Administrative Law) dan Peradilan Tata Usaa Negara, makalah disampaikan dalam rangka HUT PTUN tanggal 13-15 Maret tahun 2009 di Surabaya. R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1994. S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 2009. Sjachran Basah, Beberapa Hal Tentang Hukum Acara Administrasi, Bahan Penataran Peradilan Administrasi, Kerjasama Indonesia-Belanda, Bandung, 1987. ---------, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 2010. ----------, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1992. T. Bustomi, Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara dalam Teori dan Praktek, Penerbit Alumni, Bandung, 1994. Tatiek Sri Djatmiati, OOD dan Tanggung Jawab Jabatan serta Tanggung Jawab Pribadi dalam konteks (R) UU Administrasi Pemerintahan, makalah disampaikan pada bimbingan teknis Hakim Yunior Peratun Sewilayah Hukum PTTUN Surabaya, 17-20 2008 di Surabaya. Peraturan perundang-undangan : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang No. 9 tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang No. 51 tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Rancangan Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan. 307
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Lain-lain : Gema Peradilan Tata Usaha Negara Tahun VI No.12 Triwulan II Agustus 2000, Diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. N.E. Algra, dkk, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae (Belanda-Indonesia), Bina Cipta, Bandung, 1983.
308
KRIMINALISASI KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT BUMN PERSERO
Moch. Iqbal Peneliti Madya pada Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. Abstrak Perbedaan penafsiran terhadap makna uang Negara dan kerugian keuangan Negara dalam sistem hukum kita terkait dengan kriminalisasi koorporasi telah menghadirkan ketidak jelasan terhadap norma dan nilai universal hukum itu sendiri, ketika delik korupsi terkesan dipaksakan dalam sebuah perjanjian kerjasama bisnis internasional dengan subyek hukum yang melibatkan Negara lain, menimbulkan pandangan internasional bahwa tidak ada kepastian hukum di Indonesia. Seyogianya dalam pilihan pemikiran soal keuangan Negara dan kerugian Negara tersebut, pilihannya bukan pada Living Law (menerima kehendak public yang keliru), melainkan pada kesadaran hukum masyarakat yang harus diubah oleh hukum, Law as a tool of social engineering, jadi para penegak hukum yang harus aktif mengubah kesadaran hukum masyarakat. Kata Kunci : Korupsi, Koorporasi, BUMN Persero Abstract Differences in the interpretation of the meaning of money the State and the State financial losses in our legal system relating to the criminalization of corporations has presented obscurity to universal norms and the law itself, when the offense of corruption seemed forced into a business cooperation agreement with the subject of international law involving other countries, raises international view that there is no rule of law in Indonesia. Should the option of thinking about state finances and the State loss, the choice is not on the Living Law (public will accept false), but the awareness of the public law that should be changed by law, Law as a tool of social engineering, so that law enforcement officers must actively change the legal awareness. Keywords: Corruption, corporations, State-Owned Limited A. Pendahuluan Kriminalisasi dalam bahasa inggris disebut dengan criminalization, sementara dalam ilmu kriminologi adalah bermakna sebuah proses saat terdapat sebuah perubahan perilaku individu-individu yang cenderung untuk menjadi pelaku kejahatan dan menjadi penjahat. Dalam perkembangan penggunaanya, kriminalisasi mengalami neologisme, yaitu menjadi sebuah keadaan saat seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau penjahat oleh karena adanya sebuah pemaksaan interpretasi atas perundang-undangan, melalui anggapan mengenai penafsiran terhadap perlakuan sebagai kriminalisasi formal dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh dalam perseteruan antara KPK
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
dan Polisi, kata kriminalisasi digunakan media untuk mendefinisikan upaya Polisi untuk menjerat KPK(138). Dalam pemahaman sederhana, kriminalisasi adalah mempidanakan seseorang atau badan hukum, yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat-syarat pemidanaan. Kriminalisasi berkonotasi sebuah proses pemidanaan yang dipaksakan, walaupun secara hakiki seharusnya tidak terdapat unsur pidana. Dalam sebuah rezim politik yang berkuasa pada suatu periode, dalam membuat kebijakan / tindakan tertentu ada yang dipandang merusak atau bernuansa kriminal, maka secara historis melalui sebuah telaah ilmiah atau bukti medis, atau melalui sebuah perubahan politik / perubahan sistem peradilan pidananya, boleh jadi kebijakan / tindakan sebuah rezim itu dapat diperlakukan sebagai tindakan kriminal. Keadaan semacam itu dikategorikan sebagai kriminalisasi (in formal academically published theory the real ruling class of a society reaches a temporary view on whether certain acts or behavior are harmful or criminal, historically this one theory will be modified by scientific, medical evidence, by political change, and the criminal justice system, may or may not treat those matters as crimes)(139). Kriminalisasi korporasi dalam tindak pidana korupsi, sesuai dengan judul diatas adalah suatu upaya pemaksaan pemidanaan terhadap sebuah korporasi, atau badan hukum / perusahaan dalam perngertian ekonomi melakukan sebuah tindak pidanan atau pun tuduhan akan adanya indikasi sebuah perusahaan / korporasi melakukan tindak pidana, yang dalam kenyataannya perusahaan (korporasi) tersebut itu sendiri tidak merasa melakukan apa yang dituduhkan. Kriminalisasi korporasi ini, akhir-akhir ini kiang menjadi pembicaraan umum, bahkan menjadi tema publik, dan menjadi sorotan utama dalam berbagai media, maupun menjadi topik bahasan diskusi / seminar di berbagai institusi ilmiah / perguruan tinggi, beberapa dari kalangan / pengamat menilai lahirnya kecenderungan mengkriminalisasikan perusahaan / korporasi ini, disebabkan oleh euforia pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; pendapat ini antara lain dilontarkan oleh Tudung Mulya Lubis dalam sebuah acara talk show di TVRI dengan tema quo vadis Indonesia. Pendapat lain tentang kriminalisasi korporasi ini juga datang dari Erman Raja Guguk, yang menyebutkan munculnya berbagai tindakan / tuduhan kriminalisasi korporasi ini karena penegak hukum terlalu merasa paling tahu tengtang semua hal, sehingga hal-hal menyangkut perusahaan maupun teknologi tidak lagi mengacu pada pendapat para ahli dibidangnya. Sementara apabila dimaknai, kriminalisasi ini datang dari pemaknaan perundang-undangan (statutory interpretation) maka kriminalisasi hadir, akibat penafsiran yang dipaksakan terhadap suatu undang-undang tertentu. Dalam konteks (penulisan) ini penafsiran / pemahaman terhadap uang negara / kerugian negara dalam undang-undang tentang keuangan negara, dan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi, serta
138 139
310
http://id.wikipedia.org/wiki/kriminalisasi http://en.wikipedia.org/wiki/criminalization
Kriminalisasi Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi Terkait BUMN Persero
undang-undang tentang BUMN, tentang uang Negara telah menjadi pemicu utama kriminalisasi terhadap korporasi. Ketika pemahaman / pengertian korporasi diartikan sebagai badan hukum atau perusahaan yang landasan hukum keberadaan dan eksistensinya adalah Perseroan Terbatas (PT), maka segala acuan keberlakuan dan peran bisnis dari PT itu sudah haruslah dihormati dan dihargai, demikian pula hukum yang harus ditegakkan dan diterapkan bagi alur dan mekanisme perusahaan (korporasi) adalah hukum yang mengatur korporasi, dalam hal ini Undang-Undang PT no. 40 tahun 2007. Badan hukum atau korporasi (PT) / Rechtspersoon, adalah suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak, serta kewajiban seperti orang pribadi (140) . Menurut Rachmat Soemitro, Badan Hukum ialah suatu badan yang mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang-orang pribadi. Badan hukum dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum, mengadakan perjanjian-perjanjian. Perbuatan hukum dilakukan oleh pengurus. Tindakan hukum dilakukan oleh pengurus atas nama PT dianggap perbuatan PT sebagai badan hukum dengan segala akibatnya(141). Karena PT sebagai badan hukum, maka PT dapat mempunyai harta kekayaan, serta hak dan kewajiban sendiri terlepas dari harta para Persero. Perseroan Terbatas adalah suatu badan hukum,artinya bahwa ia dapat mengikatkan diri, dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti orang pribadi, dan dapat mempunyai kekayaan atau hutang. B. Pendirian Sebuah PT (Korporasi) Guna lebih memahami eksistensi sebuah korporasi / Perseroan Terbatas, perlu lebih mengenal keberadaan Perseroan Terbatas (PT) sebagai korporasi yang harus dipahami oleh para penegak hukum, khususnya dalam menangani berbagai kasus / permasalahan yang berkaitan dengan badan hukum (korporasi) yang nota bene telah diatur dalam hukum positif, namun masih jauh dari pemahaman penegak hukum, sehingga memunculkan kriminalisasi terhadap korporasi / PT / Badan Hukum BUMN, karena BUMN sebagai badan hukum tunduk pada hukum PT. untuk mendirikan perusahaan Perseroan Terbatas, dibutuhkan beberapa persyaratan, untuk mudahnya persyaratan dimaksud dibagi menjadi dua, yaitu syarat formal dan syarat materil(142). 1. Syarat Formal Suatu PT yang hendak didirikan harus dibuat dengan akta Notaris. Hal ini dengan tegas disebutkan dalam Pasal 7 UUPT, sebagai berikut: a. Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang, atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. 140 141
142
Pengertian Rechtspersoon, menurut BW baru Belanda dalam pasal 264. BW. Soemitro,Rahmat. Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf. Bandung: Eresco. 1993. Hal 10 Sembiring, Santoso. “Hukum Perusahaan tentang Perseroan Terbatas” cetakan ketiga. 2012. CV. Nuansa Mulia. Hal 7 311
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
b. Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan. c. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam rangka Peleburan. d. Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan. e. Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain. f. Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian Perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut. g. Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ketentuan pada ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku bagi: 1) Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; atau 2) Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal. Dari ketentuan Pasal 7 UUPT diatas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, jika pelaku usaha hendak mendirikan PT harus ada setidaknya paling sedikit 2 (dua) orang. Tampaknya hal ini ada kaitannya dengan pengertian PT seperti yang dijelaskan dalam UUPT, PT adalah suatu badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian. Tepatnya dalam Pasal 1 butir 1 UUPT dijelaskan, Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah : “badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal pasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya”. Dari pengertian PT diatas, satu hal yang kiranya perlu dielaborasi lebih lanjut yakni lahirnya suatu PT berdasarkan perjanjian. Sebagaimana diketahui untuk melakukan suatu perjanjian sesuai dengan asas hukum perjanjian, seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) paling tidak harus ada 2 (dua) orang atau lebih untuk saling mengikatkan diri. Tepatnya dalam pasal 1313 KUHPdt dikemukakan, suatu perjanjian adalah : “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih “. 312
Kriminalisasi Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi Terkait BUMN Persero
Lebih lanjut dalam Pasal 1234 KUHPdt disebutkan : “ tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu “. Oleh karena itu, bila suatu perjanjian dibuat secara sah membawa konsekuensi pihak yang membuat perjanjian akan terikat satu sama lain. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1338 KUHPdt ayat (1) sebagai berikut : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnnya “. Dari ketentuan ini dapat diketahui bahwa, perjanjian yang telah dibuat secara sah wajib untuk dipatuhi oleh mereka yang membuatnya. Bila hal ini dikaitkan dengan pendirian PT, dapat disimpulkan hubungan perikatan yang bersumber pada hak dan kewajiban yang diatur sebagaimana yang tertuang dalam Anggaran Dasar Perseroan (ADPT). Dengan demikian ADPT adalah wujud dari perjanjian pendirian PT. Berangkat dari konsep hukum perjanjian, terjadinya suatu perikatan karena ada hubungan antara dua orang atau lebih. Maka, ketika suatu PT hendak didirikan secara teoritis harus ada minimal 2(dua) orang. Jadi penekanannya di sini adalah pada waktu mendirikan PT. Masalahnya sekarang adalah, apakah konsep hukum perjanjian berlaku selamanya untuk PT? Untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah gampang. Hal ini juga tercermin dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli hukum perusahaan, antara lain : Rudhy Prasetya mengemukakan, banyak pihak yang belum memahami apakah di dalam PT berlaku teori hukum perjanjian untuk PT berlaku selamanya. Selanjutnya dikemukakan, teori hukum perjanjian hanya berlaku pada saat PT hendak didirikan. Setelah PT berdiri, berlaku teori “institusional”. Menurut teori ini para pemegang saham tunduk kepada PT sebagai badan hukum. Dalam PT, perbuatan hukum dilakukan atas nama PT dan yang bertanggung jawab adalah PT itu sendiri. Pemegang saham tidak bertanggung jawab atas perbuatan PT. Artinya jika PT mengalami kabangkrutan, tidak akan mempengaruhi harta kekayaan pemegang saham. Bila diikuti pendapat ini, maka keberlakuan konsep hukum perjanjian berhenti sampai pendirian PT selesai. Pendapat yang lebih konkrit terkait syarat pendirian PT berdasarkan perjanjian, dikemukakan juga oleh Fred B. G. Tumbuan , berkaitan dengan pendirian Perseroan perlu diperhatikan bahwa perbuatan pendirian oleh 2 (dua) atau lebih pendiri tidak melahirkan perjanjian antara para pendiri, melainkan mengakibatkan adanya perjanjian antara semua pendiri di satu pihak dan perseroan di pihak lain. Dengan demikian sesungguhnya antara para pendiri di satu pihak dan perseoran di pihak lain terjadi hubungan keanggotaan (lidmaatschapsverhouding) dan oleh karena itu perbuatan hukum pendirian oleh para pendiri sekaligus mengakibatkan terjadinya penyertaan oleh semua pendiri dalam Perseroan selaku persekutuan modal (deelnemingsovereenkomst). Memperhatikan sifat khas perbuatan hukum pendirian perseroan, dapat disimpulkan bahwa perseroan dapat didirikan oleh 1 (satu) orang. Kebenaran kesimpulan ini ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (7) UUPT tentang pendirian PT Persero. 313
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Pendapat ahli hukum lainnnya yang masih terkait dengan perjanjian pendirian PT dikemukakan oleh Habib Adji, PT lahir karena perjanjian yang berarti hubungan (koneksitas) diantara para pendiri PT hanya merupakan hubungan yang bersifat ―kontraktual‖ yang tidak memungkinkan adanya pemegang saham tunggal. Hanya perlu digaris bawahi di sini, bahwa sifat perjanjian sebagaimana yang berlaku umum, melahirkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang berjanji, tidak berlaku setelah PT mendapat status sebagai badan hukum. Dengan kata lain setelah PT mendapat status badan, PT menjadi subyek hukum mandiri. Artinya PT sebagai pembawa hak dan kewajiban. Status para pendiri berubah menjadi pemegang saham. Yang satu tidak dapat menuntut yang lain. Yang dapat dituntunt dalam hal ini ialah PT melalui pengurus. Pendapat yang lebih moderat dikemukakan oleh Yufendy, penganut fanatik konsep bahwa PT didirikan berdasarkan perjanjian adalah Prancis. Tetapi pendirian Prancis mulai goyah, ketika awal tahun 1980, Jerman dan Belanda, mengumumkan bahwa PT tertutup dapat didirikan oleh hanya satu orang pendiri. Tujuan peraturan tersebut untuk mendorong individu pengusaha menengah dan kecil untuk memanfaatkan keuntungan berbisnis dalam bentuk badan hukum. Menurut hukum Belanda, PT merupakan suatu lembaga otonomi yang dibentuk melalui serangkaian tindakan hukum yang bertujuan untuk menimbulkan konsekuensi hukum. Kelemahan teori hukum perjanjian diantisipasi dalam UUPT. Hal ini dapat dilihat dalam pengertian PT dalam Pasal 1 butir 1 UUPT, PT sebagai badan hukum didirikan berdasarkan perjanjian (elemen 1) dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UU ini serta peraturan pelaksanaannya (elemen 2). Pencantuman 2 elemen ini menunjukkan UUPT tidak murni menganut teori perjanjian, melainkan perpaduan antara teori perjanjian dan kelembagaan. Dari berbagai pendapat diatas, tampak bahwa ada kesamaan pandang para ahli hukum bila dilihat dari perspektif teoritis, ketika PT didirikan mengacu kepada konsep hukum perjanjian. Untuk itu secara konseptual, bila perjanjian hendak dibuat harus ada dua orang. Bagaimana halnya setelah PT berdiri? Apakah dimungkinkan hanya satu pemegang saham? Apabila dikaji secara normatif, hal ini tegas dijawab dalam pasal 7 ayat (5) UUPT, setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut keadaan tersebut pemegang sahan yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain. Untuk itu bila suatu PT sudah berdiri dan pemegang saham kurang dari dua orang, maka pendiri harus mencari partner baru. Bila tidak, resiko yang akan diderita oleh PT akan menjadi tanggung jawab pribadi pendiri. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (6) UUPT, dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian Perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut.
314
Kriminalisasi Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi Terkait BUMN Persero
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa syarat formal pendirian PT minimal harus ada 2 (dua) tidaklah bersifat mutlak. Artinya UUPT membuka peluang untuk mendirikan PT hanya dengan satu pihak saja. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (7) UUPT, ketentuan yang mewajibkan perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ketentuan dalam ayat (3), serta ayat (4) tidak berlaku bagi perseroan yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Selanjutnya dalam penjelasan Pasal ini disebutkan: “Karena Status dan karakteristiknya yang khusus, maka persyaratan jumlah pendiri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diatur dalam perundangan yang tersendiri”. Lebih lanjut dalam penjelasan huruf a dikemukakan, yang dimaksud dengan ―persero‖ adalah BadanUsaha Milik Negara yang berbentuk perseroan yang modalnya terbagi atas saham yang diatur dalam Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara. 2. Syarat Materil Dalam batasan atau definisi PT sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1 butir 1 UUPT, dengan tegas dikemukakan PT adalah Persekutuan Modal yang terbagi atas saham (share). Jadi penekanannya di sini adalah modal (capital). Dengan kata lain, berbicara PT berbicara soal modal . Oleh karena itu ada benarnya, jika PT disebut sebagai kumpulan modal/ persekutuan modal ; Untuk itu tidaklah berkelebihan bila modal dalam PT dijadikan sebagai syarat materil dalam pendirian PT. Artinya bila hendak mendirikan PT, modal harus ada. Modal dalam PT terdiri atas 3 (tiga) jenis, yakni: a. Modal Dasar atau sering disebut sebagai modal statuair yaitu jumlah modal yang disebutkan dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas (ADPT). Dalam Pasal 31 UUPT disebutkan: (1) Modal dasar Perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham; (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup kemungkinan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal mengatur modal Perseroan terdiri atas saham tanpa nilai nominal. Selanjutnya dalam Pasal 32 UUPT disebutkan: (1) Modal dasar Perseroan paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); (2) Undang-Undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat menentukan jumlah minimum modal Perseroan yang lebih besar dari pada ketentuan modal pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1); (3) Perubahan besarnya modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. b. Modal ditempatkan atau modal yang telah diambil yaitu sebagian dari modal perseroan telah disetujui untuk diambil oleh para pendiri, dalam bentuk saham. Tepatnya dalam Pasal 33 UUPT ayat (1) disebutkan: Paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh. c. Modal disetor yaitu modal yang benar-benar telah ada dalam kas perseroan. Modal ini disetor oleh para pemegang saham. Seluruh saham 315
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
yang telah dikeluarkan harus disetor penuh pada saat pengesahan perseroan dengan bukti penyetoran yang sah. Tegasnya dalam Pasal 33 ayat (2) UUPT disebutkan: Modal ditempatkan dan disetor penuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal ini dikemukakan, yang dimaksud dengan ―bukti penyetoran yang sah‖ antara lain bukti setoran pemegang saham ke dalam rekening bank atas nama Perseroan, dan dari laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan, atau neraca perseroan yang ditandatangani oleh Direksi dan Dewan Komisaris. Sepintas kelihatannya modal yang harus disetorkan oleh para pendiri perusahaan harus dalam bentuk uang tunai. Namun tidaklah demikian halnya, artinya para pendiri boleh saja memasukkan modalnya tidak dalam bentuk uang tunai. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 34 UUPT, sebagai berikut: a. Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan / atau dalam bentuk lainnnya; b. ii. Dalam hal penyetoran modal saham dilakukan dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai harga pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan Perseroan, PT sebagai badan usaha sangat dinamis. Artinya adanya perubahan terhadap pemilik modal ataupun perubahan modal sangat mungkin terjadi tiap saat, apalagi dewasa ini yang menjadi objek transaksi tidak terbatas terhadap produk perusahaan semata, akan tetapi perusahaan itu sendiri dapat menjadi objek transaksi bisnis. C. Contoh-Contoh Kriminalisasi Korporasi Maraknya fenomena kriminalisasi kebijakan korporasi oleh Penegak hukum belakangan ini, dapat menimbulkan kekhawatiran berlebihan bagi pelaku bisnis terutama para pengambil keputusan (Key Decision Maker) apalagi bila tindakan/kebijakan tersebut telah diambil dengan etikat baik demi kepentingan terbaik Perseroan, serta tanpa adanya unsur memperkaya diri secara melawan hukum maupun benturan kepentingan. Indonesia merupakan suatu negara dimana kegiatan ekonomi banyak dijalankan melalui institusi negara maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tidak saja oleh badan usaha swasta murni. Hal ini berkonsekuensi pada keuangan korporasi (corporate finance) kerap bertumpang tindih dengan keuangan negarra (state finance). Proses penegakkan hukum tidak boleh sekedar menjaga adanya rule of law , tetapi lebih penting lagi menciptakan keadilan, yang antara lain mengandung iklim bisnis yang fair dan berkepastian hukum.(143) Dalam rangka menjaga adanya kerangka hukum ekonomi yang efisien dan efektif, seharusnya apa yang sudah menjadi ranah hukum korporasi jangan terlalu mudah ditarik ke ranah hukum pidana. Di republik ini, perlu diciptakan suatu 143
316
http://www.mediasionline.com/readnews.php.id=4515
Kriminalisasi Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi Terkait BUMN Persero
kepastian hukum yang berkeadilan, berintegritas, serta berorientasi pada stabilitas, dan pertumbuhan ekonomi yg sehat, guna sebesar-besarnya memakmurkan rakyat Indonesia. Tindakan kriminalisasi keputusan bisnis korporasi, semakin meningkat pada dua sampe tiga tahun terakhir ini, beberapa kasus telah terjadi (menjerat) perusahaan-perusahaan besar, seperti Merpati Nusantara, PT. Telkomsel, Tbk., PT. Chevron, dan yang terkini PT. Indosat, Tbk. Hal tersebut barakibat langsung pada tingkat kepercayaan investor internasional tentang kepastian hukum untuk kelangsungan berusaha di Indonesia. Kondisi ini pernah dibahas dalam sebuah diskusi bertema “Kriminalisasi Kebijakan Korporasi, Ancaman bagi Pekerja, dan Hambatan Serius Investaasi di Indonesia” , yang dilaksanakan oleh Indonesian Petroleum Association (IPA) dan Paramedina Public Policy Institute (PPPI)(144). 1. Kasus PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI) Kasus ini dikenal dengan kasus bioremediasi Chevron, mencuat setelah Badan Pemeriksa Keuangan Negara (BPKN), menemukan indikasi korupsi dari proyek bioremediasi Chevron. Proyek tersebut dianggap fiktif, dan merugikan Negara sebesar Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dari pengembalian cost recovery atas proyek tersebut.(145). Sebagaimana diketahui beberapa karyawan Chevron dan kontraktor proyek bioremediasi lapangan minyak di Riau dijerat pasal korupsi oleh Kejaksaan. Mereka dituduh melakukan proyek fiktif, sehingga berpotensi merugikan negara. Bahkan, Pengadilan Tipikor Jakarta pun sudah memvonis Risky Prematuri 5 tahun penjara dan denda Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), serta Harlan bin Ompu selama 6 tahun penjara dan denda Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Mereka juga dikenakan kewajiban mengembalikan kerugian negara sebesar sekitar US$ 9,9 juta. Keduanya adalah pimpinan perusahaan jasa bioremediasi (PT. Green Planet dan PT. Sumigita Jaya) di lapangan minyak Chevron. Kasus ini, menurut Presiden Indonesia Petroleum Association (IPA), Lukman Mahfoeds, merupakan kasus perdata yang ditarik ke ranah pidana. ―Bagi perusahaan migas, ini merupakan kejadian yang sangat mengejutkan, kami sebagai pelaku usaha tentu mendukung penegakkan hukum, tetapi kalau kasus perdata dibawa ke ranah pidana tentu kami sulit menerima‖ ujarnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa, 53 perusahaan migas dan 116 asosiasi penunjang migas kini tengah was-was dengan isu kriminalisasi yang kini membelit Chevron. ―Tentu ini sangat buruk bagi iklim investasi migas di Indonesia‖, kata Lukman, dalam seminar Kriminalisasi Kebijakan, yang diselenggarakan Paramedina Public Policy Institute. Kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI), mendapat perhatian dari dunia Internasional. Prinsipal raksasaraksasa perusahaan migas asing menilai kasus ini merupakan bentuk kriminalisasi 144
145
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/44871/kriminalisasi_kebijakan_ koperasi_hambatan_serius_investasi http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2003/05/09/2/152302/kasus_ chevron_dinilai_sebagai_kriminalisasi_korporasi. 317
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
terhadap dunia bisnis(146). Ditengah penurunan produksi minyak nasional, seharusnya Indonesia bisa memberikan iklim investasi yang nyaman dan menarik bagi investor. Tapi dengan adanya kasus ini (kasus Chevron), maka upaya menarik investasi makin sulit. Dimana pun, investor butuh certainty (kepastian), clarity (kejelasan), dan consistency (konsistensi), kasus kriminalisasi ini merusak ketiga aspek itu. Presiden IPA (Indonesian Petroleum Association), menggaris bawahi, bahwa industri hulu migas adalah industri padat modal, investasi tinggi ini memerlukan kepastian hukum. Peran sentral dari industri migas diungkapkan oleh Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas dan Gas Bumi (SKK Migas), J. Widjonarko, yang juga menyebut industri migas sebagai sektor yang beresiko tinggi. Menurutnya, investor harus bersiap kehilangan biaya dalam jumlah besar, jika eksplorasi yang dilakukan tidak memenuhi hasil, dengan memberi contoh sepanjang tahun 2003-2012 saja ada US$ 1,6 Milyar dana perusahaan yang hilang karena eksplorasi tidak mendapat migas, sehingga tidak diganti negara. Apalagi kontribusi sektor migas di Indonesia juga sangat besar, tahun 2012 penerimaan dari sektor migas mencapai US$ 36 Milyar atau hampir 350 Trilyun Rupiah, sekitar sepertiga dari APBN. Bayangkan jika hal ini terganggu akibat investor yang enggan berinvestasi, maka penerimaan Negara akan terpukul. Kalangan perminyakan berharap, melalui HUMAS SKK (Satuan Kerja Khusus Migas) jika ada permasalahan yang menyangkut hukum di industri hulu migas yang sangat spesifik pekerjaan teknisnya agar dibentuk komisi penyidik yang terdiri dari para pakar bidang teknis migas terlebih dahulu. Hal ini bertujuan agar tidak muncul multi persepsi dari berbagai kalangan yang masih awam. Humas SKK Migas menyebut, ketidak tahuan pihak Kejaksaan (awam) dan Pengadilan pada spesifikasi Industri Migas, contohnya adalah putusan hakim yang meminta pengembalian kerugian negara yang sebesar US$ 9,9 juta, padahal hingga saat ini belum ada sepeser pun uang negara yang dikeluarkan untuk proyek tersebut. ―Semua pengeluaran dan pembiayaan pekerjaan bioremediasi ini, belum dimasukkan dalam account cost recovery oleh SKK Migas. Jadi belum ada kerugian negara sedikitpun. Kasus bioremediasi Chevron ini, adalah pengerjaan pemurnian tanah yang tercemar minyak mentah, dan dilakukan sudah menurut aturan Kementerian ESDM, maupun Kementerian Lingkungan, dan telah mengikuti semua syarat-syarat yan ada. 500.000 meter kubik sudah dibersihkan dan sudah disertifikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup, untuk membersihkan satu siklus itu memerlukan beberapa bulan, landasan hukum pengerjaan bioremediasi, hingga mekanisme akuntansi pengembalian dana investasinya (cost recovery) dilakukan setelah audit, dan jika terjadi perselisihan dilakukan melalui jalur perdata. Ini adalah menurut standar Production Sharing Construction (PSC). Jadi dasar hukum pengerjaan dan standarnya adalah pada kontrak bagi hasil yang merupakan perjanjian keperdataan (Internasional)?
146
318
http://www.radartarakan.co.id/indo.php/kategori/detail/ekonomi/37032
Kriminalisasi Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi Terkait BUMN Persero
2. Kasus PT. Indosat IM2 (Indosat Mega Media) IM2 (Indosat Mega Media) dan Indosat adalah dua korporasi telekomunikasi dimana IM2 adalah anak perusahaan Indosat. Kedua perusahaan ini melakukan kerjasama bisnis layanan telekomunikasi. Oleh penegak hukum dalam hal ini (oknum) Kejaksaan Agung menuding telah terjadi Praktek Ilegal yang merugikan negara. Kejaksaan Agung nenetapkan Indar Atmanto (IA) mantan Dirut I IM2, dan Jhonny Swandy Sjam (JSS) mantan Dirut Indosat sebagai Tersangka. Sangkaan ini didasari laporan Deny A.K. Ketua LSM Konsumen Telekomunikasi Indonesia (KTI) yang bermotif pemerasan. Melalui LSM tersebut Deny A.K. melaporkan IM2 Indosat ke Kejaksaan Agung dengan tuduhan melakukan kegiatan layanan ilegal, tanpa ijin pemerintah. Deny A.K. menuding Indosat Mega Media (IM2), telah melakukan penyalahgunaan jaringan 3G, yang merugikan negara senilai Rp 3,8 Trilyun (147). Reaksi masyarakat pertelekomunikasian atas kriminalisasi terhadap Indosat ini bermunculan, tidak kurang dari 10 asosiasi yang terdiri dari; Mastel; Kadin; APJII; APMI; APKOMINDO; APW; Komitel; DPP-ID; WIBB; AOSI; IDTUG; dan PANDI, menilai kerja sama IM2 adalah legal dan sesuai aturan, karena Indosat membayar BHP, serta IM2 berkerja sama berdasarkan undang-undang. Ada 280 perusahaan ISP serupa yang bekerja dengan pola seperti yang dilakukan oleh Indosat. Perusahaan-perusahaan ISP tersebut bekerja sama dengan pengelola jarisan seperti Indosat, Smartfren, dan lain-lainny. Kekhawatiran yang muncul adalah, bila analogi kasus tersebut diterapkan pada perusahaan lain, bisa menimbulkan dampak yang fatal. Sebab, Perbankan juga menyewa jaringan dari pengelola ISP. Kalau ini diberlakukan kepada Indosat, itu berarti bisa diberlakukan kepada yang lain. Jaringan interner di Indonesia bisa mati. Menurut Asosiasi TIK Pusat, kerjasama antara penyelenggara jasa telekomunikasi merupakan hal yang biasa yang dijalankan selama ini. Kerjasama itu juga dilindungi dan dijamin undang-undang telekomunikasi, dan Keputusan Menteri no. 21 tahun 2001, tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi. Reaksi atas kasus Indosat-IM2 ini juga muncul dari para pakar telekomunikasi (IT) antara lain sebagai berikut: a. Dr. Agung Marsoyo pakar Telekomunikasi Teknik Elektronik ITB berpendapat bahwa, penggunaan jaringan telekomunikasi yang memakai frekuensi 2,1 Ghz milik PT. Indosat, sesuai dengan ketentuan dalam PP No. 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Jaringan tersebut tidak dikelola atau dioperasikan oleh IM2, dan bukan investasi dari IM2, tetapi oleh Indosat, hal tersebut dapat dibuktikan dengan antara lain: 1) BTS yang memancarkan sinyal radio dimiliki dan dioperasikan sendiri oleh Indosat. 2) Simcard/ kartu sim yang dipakai oleh pelanggan (IM2) dalam menggunakan jasa tersebut dikeluarkan/diproduksi, dijalankan 147
http://hukum.kompasiana.cin/2013/01/18/krimialisasi_terhadap_industri_ telekomunikasi_telaah_kasus_im2_ indosat_526608.html 319
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
operasionalnya oleh Indosat. Tidak pernah ditemukan sinyal IM2 pada band frekuensi yang dialokasikan kepada Indosat dalam setiap pengecekan lapangan bersama KPT Balmon, alokasi pita frekuensi tersebut hanya digunakan oleh Indosat. Tidak pernah ada IM2 dalam indikator sinyal di perangkat pengguna sinyal, yang muncul hanya selalu Indosat. b. Dr. Edmund Makarim, S.Kom., S.H., LL.M pakar hukum telekomunikasi Universitas Indonesia, berpendapat bahwa, penerapan undang-undang korupsi terhadap kerja sama Indosat selaku operator dengan IM2 sebagai penyelenggara jasa jaringan multimedia dalam penggunaan jaringan frekuensi tidaklah tepat. Penerapan delik korupsi selaku tindak pidana khusus dan bahkan luar biasa dalam konteks ini, justru merupakan indikasi adanya penyalahgunaan kewenangan, karena akan berdampak langsung pada sisi hulu industri jasa komunikasi, khususnya berdampak pada sisi persaingan usaha disektor telekomunikasi. c. Roy Suryo ahi teknologi informasi berpendapat bahwa, IM2 tidak salah, kalau IM2 salah maka semua operator juga salah. Kejagung mendapat informasi dari orang yang salah. Sesungguhnya, dari sisi otoritas dalam hal ini Menteri Telekomunikasi dan Informasi (Menkominfo), maupun dari sisi regulasi, melalui Undang-Undang No. 36 tahun 1999 dan PP No. 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, semua sudah jelas dan disampaikan kepada Kejaksaan Agung. Menkominfo para berbagai kesempatan telah menjelaskan dan menegaskan, bahwa tidak ada pelanggarran dalam kerja sama IM2-Indosat. Negara tidak dirugikan, karena Indosat telah membayar up front fee nya sebeser 320 Milyar Rupiah, dan sudah membayar sewa kanal 3G nya di blok 7-8 itu sebesar 160 Milyar Rupiah tiap tahunnya. Kalau Jaksa menyangka IM2 menggunakan frekuensi sehingga wajib bayar pajak BHP Frekuensi 1,3 Trilyun, menurut Tifatul berpendapat itu adalah salah kaprah karena IM2 tidak meggunakan frekuensi. Jaksa tidak tahu dan tidak paham bahwa frekuensi itu melekat pada jaringan seluler (148). Penjelasan Jaksa bahwa, selain menggunakan jaringan seluler 3G milik Indosat, IM2 juga menggunakan frekuensi, sehingga wajib membayar pajak 1,3 Trilyun seperti yang dibayar Indosat. Pernyataan tersebut dinilai konyol, karena sama saja dengan pernyataan ―anda boleh memakai hp, tetapi jangan memancarkan frekuensinya (sinyal radio)‖ atau ―anda boleh memakai hp, tapi jangan dinyalakan‖. Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), selaku badan yang mengatur dan mengawasi, dan mengendalikan bisnis telekomunikasi, telah pula mengkonfirmasi dan menjelaskan kasus IM2-Indosat ini, bahkan dijelaskan ketika Menkominfo, selaku saksi dalam kasus ini, namun pihak Kejaksaan terus melanjutkan kasus ini, dengan menetapkan Direktur Utama Indosat dan IM2, sebagai tersangka, dengan tuduhan penyalahgunaan alokasi frekuensi pada pita 2,1 148
320
http://hukum.kompasiana.com ibid.
Kriminalisasi Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi Terkait BUMN Persero
Ghz; hal ini menurut pandangan BRTI, penyidik Kejaksaan tidak memahami konteks telekomunikasi. Menurut salah satu anggota BRTI, Nonot, Kejaksaan cenderung memaksakan diri menjadikan kasus IM2 sebagai kasus korupsi yang merugikan negara. Penyidik Kejaksaan salah menafsirkan istilah ―menggunakan frekuensi‖, dan tidak memahami konteks telekomunikasi, terutama istilah ―menggunakan bersama pita frekuensi radio‖. Dijelaskan pula, makna menggunakan alokasi frekuensi itu artinya membangun pemancar penerima (jaringan seluler) sendiri, dan mengoperasikannya pada frekuensi tertentu. Sedangkan, makna ―menggunakan bersama pita frekuensi radio‖ artinya adalah ada dua atau lebih entitas, yang masing-masing membangun jaringan radionya sendirisendiri dan dioperasikan menggunakan frekuensi yang sama persis. Misalnya, ada 2 (dua) entitas pengguna alokasi frekuensi, maka agar tidak saling mengganggu, ada 3 pilihan cara yaitu : Pertama, dibedakan wilayah cakupannya, misalya yang satu di wilayah Sumatra, yang lain di wilayah Jawa. Kedua, dibedakan waktu operasinya, misalnya yang satu siang, yang satu malam. Ketiga, dipakai teknologi untuk membedakan kedua sinyal radio agar tidak saling mengganggu, yang disebut teknik multiple-access. Dalam konteks kasus (contoh) ini, IM2 tidak membangun jaringan radio sendiri, ia hanya menggunakan jaringan seluler milik PT. Indosat. Hal inilah yang amat perlu untuk dipahami, menggunakan jaringan seluler Indosat, tidak sama dengan menggunakan alokasi frekuensi Indosat. Sehingga kewajiban Biaya Hak Pemakaiana (BHP) frekuensi ada pada pihak pemilik jaringan seluler, yaitu Indosat, bukan pada IM2. Jadi, kerja sama yang dilakukan antara Indosat dan IM2 itu legal, dan tidak menyalahi aturan, dan merupakan praktek kerja sama yang lazim dilakukan di seluruh dunia. Dari beberapa contoh telaah kasus yang telah diuraikan tersebut, yang nota bene sebagai sorotan masyrakat dan dijustifikasi publik sebagai proses hukum yang mengkriminalisai korporasi, maka sudah sepatutnya, untuk memandang sebuah korporasi, perusahaan / PT, baik swasta maupun BUMN yang kehadirannnya sebagai mission of the nation. Eksistensi korporasi/ perusahaan/ PT, hendaknya dipahami benar oleh seluruh penegak hukum, korporasi hadir adalah bagian dari reformasi hukum nasional, dimana dengan jelas telah digariskan dalam arah reformasi hukum, semakin mengarah pada tujuan pemulihan ekonomi. Dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2007, tentang rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025, pada Bab IV, arah pembangunan hukum diarahkan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, terutama dunia usaha dan dunia industri, serta menciptakan kepastian investasi, terutama penegakkan dan perlindungan hukum (149). Ketika kepastian investasi mengandalkan kepastian hukum, dimana pelaku-pelaku investasi (investor) adalah korporasi/ PT, BUMN, ternyata senantiasa dibayang-bayangi kriminalisasi, yang 149
Komisi Hukum Nasional RI, “Kebijakan Penegakkan Hukum” suatu rekomendasi, op. cit. 321
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
adalah juga pelanggaran dan penistaan terhadap martabat dan hakekat seseorang dan keluarganya, karena pemaksaan penafsiran / interpretasi sepihak atas UndangUndang tertentu, seperti UU Tipikor, ataupun UU Keuangan Negara. Maka kriminalisasi terhadap korporasi tersebut sudah pasti akan merusak iklim investasi, dan kestabilan dunia usaha; Serta lebih jauh akan mengganggu perekonomian nasional. Oleh karenanya, hakekat pengertian kriminalisasi ini, berhembus dan tertuju pada penegak hukum, dan sejatinya adalah penyalahgunaan wewenang / kekuasaan yang/dengan bertopeng proses penegakkan hukum. Maka sudah saatnya segenap Aparatur penegak hukum berintrospeksi diri, dengan bekerja lebih profesional, tidak terlibat dalam mafia hukum, dan menjauhkan diri dari menjadikan kasus hukum sebagai sebuah konpirasi, dan lahan mencari keuntungan. Tidak kurang, dari suara ikatan Alumni Universitas Indonesia FHUI, menyebutkan kriminalisasi, tindakan dan kebijakan korporasi, berpotensi menggangggu stabilitas. Ikatan alumni FHUI, mencermati maraknya fenomena kriminalisasi tindakan dan kebijakan korporasi oleh penegak hukum belakangan ini, dan berpandangan bahwa, fenomena kriminalisasi tersebut dapat mengganggu stabilitas ekonomi serta menghambat terciptanya iklim bisnis yang berkepastian hukum (150). Dalam media onlinenya Iluni-FHUI menyebutkan : ― bahwa, kerangka hukum ekonomi berpilarkan kejujuran dan integritas merupakan konsep baru. Maka hukum seperti, pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian untuk dapat memenuhi ekspektasi masyarakat dalam memahami norma-norma hukum dalam kerangka ekonomi dan bisnis yang semakin kompleks. Semakin dirasakan bahwa proses penegakkan hukum tidak boleh sekedar menjaga adanya ―rule of law” tapi lebih penting menciptakan keadilan yang antara lain mengandung iklim bisnis yang fair dan berkepastian hukum‖. Dalam konteks Keuangan Negara yang diartikan semakin luas, serta dalam rangka melindungi kepentingan Negara, Penegak Hukum perlu juga memahami bahwa, direksi dan komisaris korporasi perlu ketenangan dalam bekerja. Bila direksi/komisaris tidak memiliki itikad buruk, tidak juga memiliki suatu benturan kepentingan atau kehendak untuk memperkaya diri sendiri melalui tindakan maupun kebijakan yang melawan hukum, maka tepatkah dalam konteks keuangan negara dan tindak pidana korupsi? Maka pada akhirnya prinsip-prinsip yang berlaku dalam corporate governance yang berlaku menjadi dikalahkan? Dalam rangka menjaga adanya kerangka hukum ekonomi yang efisien dan efektif, seharusnya apa yang sudah menjadi ranah hukum korporasi jangan terlalu mudah ditarik ke ranah hukum pidana. Kriminalisasi tindakan/ kebijakan korporasi dapat mendemotivasi pertumbuhan sehat dari korporasi, yang adalah pilar ekonomi dunia, yang pada pokoknya bergerak dalam prinsip “market economy”, karenanya suatu diskursus hukum multidisipliner terkait masalah yang strategis juga kompleks dan sensitif ini perlu dilakukan oleh para ahli hukum di Indonesia, baik akademisi, advokasi, maupun praktisi hukum lain, serta penegak hukum. Hal ini penting, tidak saja untuk menghindari preseden buruk dalam sejarah penegakkan 150
322
http://www.medasionline.com/readnews.php?id=45115
Kriminalisasi Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi Terkait BUMN Persero
hukum di Indonesia, lebih penting lagi perlu diciptakan di republik ini suatu kepastian hukum yang berkeadilan, berintegritas, serta berorientasi pada stabilitas dan pertumbuhan ekonomi guna sebesar-besarnya memakmurkan rakyat Indonesia. Kriminalisasi korporasi ini telah menimbulkan ketakutan, membuat kalangan pengurus korporasi tidak berani mengambil kebijakan atau pun keputusan yang dalam pengamatan dan pendapat Ganjar Laksamana Bonaparte, bukan kriminalisasi atau dekriminalisasi yang salah, melainkan karena ada kecenderungan menjadikan perbuatan tanpa actum reum atau mens rea, menjadi delik dan memasukkannya dalam Undang-Undang yang menurut Ganjar cukup mengkhawatirkan. Bahkan, lanjutnya, banyak ketentuan pidana yang normanya tidak mengakar dalam masyarakat. Akibatnya, penerapan Undang-Undang itu membuat masyarakat menjadi korban (151). Setidaknya ada beberapa undangundang yang menjadikan korporasi sebagai subyek hukum pidana. Hal ini membutuhkan peninjauan ulang terhadap produk perundang-undangan itu sendiri yang berakibat terjadinya banyak interpretasi yang keliru atau sepihak yang berakibat pada pemaksaan pidana pada orang atau kelompok atau korporasi. D. Kesimpulan Kriminalisasi Koorporasi yang menjadi kajian dalam tulisan ini , seyogyanya dipahami secara benar dan tidak terburu-buru oleh para penegak hukum yang mengklim bahwa kebijakan sebuah koorporasi adalah perbuatan criminal , yang kalau ini berlanjut akan ada sinyalemen bahwa penegak hukum telah terkesan mengkriminalisasi perbuatan hukum perdata kedalam delik korupsi yang dipaksakan. Yang pada gilirannya mempengaruhi /berdampak kinerja koorporasi yang akan mengembangkankan perusahaannya; dimana secara filosofis kehadirannya justru diperuntukkan guna mencari/pendapatan pemasukan bagi keuangan Negara dan perekonomian Negara.Dengan pemahaman makna uang Negara dan kerugian keuangan Negara yang sama melalui proses analisis dan metode penemuan makna hukum secara benar, secara sistimatis / logis, dapat disimpulkan suatu postulat hukum (baru) yang memastikan bahwa uang Negara dan kerugian keuangan Negara dalam koorporasi (BUMN Persero) yang merukan kekayaan Negara yang dipisahkan bukan uang Negara , sehingga pertanggugjawabannya tidak masuk dalam ranah tindak pidana korupsi atau pidana, tetapi melalui ranah perdata sebagai konsekwensi penerapan Bissines Judment Rule yang berlaku dimanapun di belahan duania ini.
DAFTAR PUSTAKA Soemitro, Rahmat. Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf. Bandung: Eresco. 1993
151
http://www.hukumonline.com/berita/baca/it518a426144236/lingkup_kejahatan_ korporasi_meluas 323
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Sembiring, Santosos. ―Hukum Perusahaan tentang Perseroan Terbatas‖ CV. Nuansa Mulia, cetakan ketiga. 2012. Komisi Hukum Nasional RI, ―Kebijakan Penegakan Hukum‖ suatu rekomendasi, 2013 http://id.wikipedia.org/wiki/kriminalisasi http://en.wikipedia.org/wiki/criminalization http://www.mediasionline.com/readnews.php.id=4515 http://www.indonesiafinancetoday.com/read/44871/kriminalisasi_kebijakan_koper asi_hambatan_serius_investasi http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2003/05/09/2/152302/kasus_chevro n_dinilai_sebagai_kriminalisasi_korporasi http://www.radartarkan.co.id/indo.php/kategori/detail/ekonomi/37032 http://hukum.kompasiana.cin/2013/01/18/kriminalisasi_terhadap_industri_telekom unikasi_telaah_kasus_im2_indosat_526608.html http://hukum.kompasiana.com http://www.mediasionline.com/readnews.php?id=45115 http://www.hukumonline.com/berita/baca/it518a426144236/lingkup_kejahatan_kor porasi_meluas Undang-undang Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 2190 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No.19 Tahun 2003, tentang BUMN Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 ,tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang No. 1 Tahun 2004, tentang Perbendaharaan Negara Undang-Undang No.17 Tahun 2003 ,tentang Keuangan Negara.
324
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
BIOGRAFI PENULIS
Prof. DR. H. Abdul Manan, SH; S.IP; M.Hum; adalah Guru Besar Fakultas Hukum UMSU Medan Tahun 2007, lulusan Fakultas IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1974), Fakultas Hukum UMY (1991), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UT Jakarta (1994), Magister Ilmu Hukum Pascasarjana UMJ (1996). Doktor Ilmu Hukum PPs-USU Medan, lulus dengan predikat Coumlaude (2004),. Pendidikan non-degree, antara lain Pendidikan Hakim Senior Peradilan Agama di Bogor (1993), Training Program for Syari‟ah Judges at National Center for Judicial Studies RAM, Kairo (2002), Australian Indonesia Intensive Judicial Training Program, Melbourne and Sidney Australia (2004), Short Training the Islamic Law in Modern State, Short Training the Family Law in European Countries, Islamich Zentrum, Koln, Germany (2005), Workshop Implementation of Competition Law, GT2, Katsuke-Bon, Germany, Tahun 2007, Short Training the Economic Law in Islam, MIHE, Leicenter-London, Inggris, Tahun 2007. Jabatan Terakhir sekarang adalah Hakim agung pada Mahkamah Agung RI. Sejumlah tulisan yang telah dipublikasikan baik dalam bentuk buku-buku maupun jurnal. Buku-buku beliau yang sudah diterbitkan, antara lain Penerapan Pola Bindalmin di Lingkungan Peradilan Agama (bersama Drs. H. Ahmad Kamil, SH; M. Hum; Yayasan Al Hikmah, Jakarta) dan Pokok-pokok Hukum acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (bersama Drs. Fauzan, SH. Rajawali Pers, Jakarta), Aneka Masalah Hukum Materiel dalam Praktik Peradilan Agama, Hakim Peradilan Agama Hakim di Mata Hukum Ulama di Mata Hukum Ummat, dan Hukum Islam dalam berbagai wacana (Pustaka Bangsa Press Jakarta), dan Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Prenada Media). Dr. Made Darma Weda, S.H.,MS, Tempat/Tgl lahir di Surabaya, 14 Pebruari 1963. Sarjana Hukum, Fakultas Hukum Unair, Surabaya; S2 Ilmu Hukum, Pascasarjana, Unair, Surabaya, dan Doktor Ilmu Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2000-2006. Dosen tetap Fakultas Hukum Unair, Surabaya, dalam mata kuliah: Hukum Pidana, Kriminologi, Viktimologi, dan Penologi. Menulis Berbagai artikel Hukum Pidana dan kriminalitas di berbagai media massa (Surabaya Post, Jawa Pos, Surya, Suara Pembaruan, dan Majalah Tiras) dan jurnal hukum (Sanyata Sumanasa Wira (Jurnal Sespim Polri), Mahadi (USU), Pro Justisia (Unpar), Yuridika (Unair), dan lain-lain. Buku yang telah dipublikasi Kriminologi, Rajawali Pers, Jakarta, 1996; dan Kronik Dalam Penegakan Hukum Pidana, Guna Widya, Jakarta, 1999. Berbagai penelitian yang telah dilakukan, antara lain adalah: Upaya Peningkatan Publik Ke Akses Peradilan‖ KHN – Sentra HAM UI (Sebagai Anggota Sentra HAM UI); Human Trafficking (Sentra HAM UI); Rehabilitasi Bagi Korban Pelanggaran HAM Berat (Sentra HAM FHUI—– Litbang HAM); Evaluasi Terhadap Kejahatan Pelanggaran HAM berat, Berkaitan Dengan Kekerasan Terhadap Perempuan (Litbang HAM, Dept. Hukum Dan HAM); Panduan Dalam Memberikan Kompensasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat (Litbang HAM, Dept. Hukum Dan HAM); Evaluasi Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (Litbang HAM, Dept. Hukum Dan HAM); Mekanisme Perlindungan Terhadap Pembela HAM (Litbang HAM, Dept. Hukum Dan HAM); Kompilasi Hukum Acara Pidana, World Bank dan
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Dan lain-lain. DR. Lilik Mulyadi, SH.,MH, menyelesaikan S1 (1985), S2 (2002) di Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Udayana, kemudian S3 (2007) di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran. Dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas Jayabaya Jakarta dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri/Perikanan Klas 1A Khusus Jakarta Utara serta spesialisasi Hakim Umum, Hakim Niaga, Hakim Tipikor, Hakim Lingkungan dan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial. Telah menulis buku Ilmu Hukum sebanyak 27 (dua puluh buah) tentang Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Perdata, Hukum Acara Perdata, Hukum Kepailitan dan Hukum Pengadilan Hubungan Industrial. DR. Hasbi Hasan, MH, Lahir di Menggala (Lampung) pada tanggal 22 Mei 1967, adalah Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Jayabaya, menjabat juga sebagai Hakim Yustisial/Kepala Bagian Sespim Biro Kesekretariatan Pimpinan Mahkamah Agung RI. Alumni S2 Sekolah Tinggi Ilmu Hukum ―IBLAM‖, dan Program Doktor sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Pendidikan dan pelatihan yang telah diikuti antara lain: Pendidikan dan Pelatihan Hakim di Pusat Pendidikan Hakim Cairo-Mesir 2002, Muhibbah ke Istambul-Turki dalam rangka Studi banding tentang Sistem Peradilan Mesir 2002, Studi banding pada Majelis Agama Islam Singapura 2003, Seminar Internasional tentang Kekuasaan Kehakiman di Ipoh Malaysia 2003, Pelatihan Hakim di Federal Court dan Family Court of Australia 2005, Konferensi Internasional Ketua-ketua Mahkamah Agung se-Negara Muslim di Teheran-Iran tahun 2008, Studi Banding Perkembangan Ekonomi Islam di Bahrain 2008, Konferensi Internasional Intellectual Property Right di Sudan 2008, Konferensi Internasional Peradilan Lokal dan Federal Ketuaketua Mahkamah Agung Se-Dunia di Abudhabi tahun 2008, Pelatihan Ekonomi Syariah di Saudi Arabia tahun 2008, Studi Banding ekonomi Syariah di KairoMesir 2008, Studi Banding Manajemen Pendidikan dan Pelatihan Hakim di Prancis, Inggris dan Belanda tahun 2008, Studi Banding tentang PelaksanaanArbitrase ekonomi Syariah di The Cairo Regional Center for Internasional Commercial Arbitration (CRCICA) Kementerian Kehakiman dan Mahkamah Agung Mesir tahun 2009, Studi Banding tentang Tahkim (Arbitrase) pada Mahkamah Agung Amman-Yordania 2009, Ziarah ke Masjidil Aqsha Yerussalem-Israel dalam rangka studi banding tentang Arbitrase di Mesir tahun 2009 dan Muhhibah ke Dubai dalam rangka studi banding tentang Arbitrase di Mesir tahun 2009, kunjungan ke Kedutaan Besar RI untuk Saudi Arabia di Riyadh dan Jeddah, serta ke Universitas Imam Ibnu Saud. Tim Penyusunan Buku Naskah Akademis Hukum Terapan Peradilan Agama (2004), Tim Penyusun Buku Sejarah Mahkamah Agung (2005), Tim Penyusun Buku Anotasi Putusan Peradilan Agama, Pusdiklat Mahkamah Agung RI (2005), Tim Penyusun Buku Jejak Langkah dan Dinamika Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat (2007), Tim Penyusun Buku Judicial System of Republic of Indonesia (2008), Tim Penyusun Buku Usia Ideal Perkawinan (2006), Tim Penyusun Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Mahkamah Agung RI (2008), Tim Penyusun Buku Bagir Manan sebagai Penegak Hukum, Mahkamah Agung RI (2008), Kesan dan Kenangan Bersama Prof. Dr. Bagir Manan SH, M.CL dalam pelbagai Lawatan ke Luar Negeri (2008), dan Politik Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, Mimbar Hukum, Mahkamah Agung RI (2009), Kompetensi Peradilan Agama dalam Penyelesain Perkara Ekonomi Syariah, Gramata
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Puslishing (2010). Segera terbit Perkembangan Dan Penegakan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam Kontemporer, Legislasi Hukum Islam dalam Berbagai Bidang, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Hukum Islam dalam Berbagai Bidang, dan Syariah Pemikiran Hukum Islam di Indonesia. Agus Budi Susilo, SH., MH, adalah Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung, Alumni S-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Tahun 1999, Magister Hukum (S-2) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung Tahun 2004, dan sejak tahun 2010 sampai saat ini sebagai mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum (S-3) sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. DR. Ismail Rumadan, MH, alumi Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran 2009, lahir di Kwaos (Provinsi Maluku), 7 Agustus 1976, kini menjabat sebagai fungsional peneliti pada Pusat Penelitian Hukum dan Peradian Mahkamah Agung RI. Beberapa karya tulis yang telah dipublikasi, Hukum Kontrak Minyak dan Gas Bumi di Indonesia (Unpad Press 2010), Kebijakan Hukum Investasi Minyak dan Gas Bumi di Indonesia (Adakah Keberpihakan Terhadap Kepentingan Daerah), (Bandung, Terace Book 2009), Eksekusi Putusan Pengadilan Terhadap Objek Jaminan Hak Tanggung, (Bandung, Terace Book 2011). Kedudukan Pengadilan Pajak dalasm Sistem Peradilan di Indonesia (Jurnal Hukum dan Peradilan MA RI, 2012). Problematika Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (Jurnal Hukum dan Peradilan MA RI, 2012). Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan antara laian adalah, Penefsiran Hakim Terhadap Pidana Minimum Kusus dalam UndangUndang Tindak Pidana Korupsi (2013) dan Makna Utang Jatuh Tempo dalam Perkara Kepailitan (2013). Muhammad Anis, SE., Ak, Tempat/tanggal lahir Raha, 05 Mei 1978, diangkat sebagai PNS tahun 2007 Pada Pengadilan Negeri Bau-Bau; saat ini adalah Auditor pada Badan Pengawasan MA. RI sejak tahun 2011, Pendidikan S-1 Akuntansi pada Universitas Haluoleo Kendari (1997), Pendidikan Profesi Akuntansi Universitas Gajah Mada Tahun 2010 (Program Beasiswa Badan Diklat MA RI). Moch. Iqbal, SH.,MH. Peneliti Madya Pada Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, berbagai Kajian yang telah dilakukan antara lain; Makna Uang Negara BUMN/Persero dalam Tindak Pidana Korupsi, 2013. Pembatasan Upaya Hukum Kasasi 2011, Penegakan Hukum Illegal Fishing pada Tingkat Pengadilan, 2012, dan lain-lain.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
PEDOMAN PENULISAN JURNAL Jurnal Hukum dan Peradilan adalah media yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, terbit 3 (tiga) kali dalam setahun (Maret, Juli dan November). Jurnal Hukum dan Peradilan menerima sumbangan naskah di bidang Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan di media lain dengan ketentuan: 1. Naskah dikirim dalam bentuk karya tulis ilmiah seperti hasil penelitian lapangan, analisis/tinjauan putusan lembaga peradilan, kajian teori, studi kepustakaan serta gagasan kritis konseptual yang bersifat obyektif, sistematis, analitis, dan deskriptis. 2. Penulisan hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baku, lugas, sederhana dan mudah difahami dan tidak mengandung makna ganda. 3. Naskah harus orisinil dengan dibuktikan pernyataan akan keorisinilan naskah tersebut oleh penulis. 4. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sepanjang 15-25 halaman. Naskah diketik diatas kertas A4 menggunakan huruf Time New Roman ukuran 12, spasi 1,5. Naskah harus disertai abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, antara 100-150 kata. 5. Sistematika penulisan hasil penelitian harus mencakup: Judul, Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Abstrak (berhasa Indonesia dan bahasa Inggris), Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Metode Penelitian, Hasil penelitian dan Pembahasan, Kesimpulan, daftar Pustaka. 6. Sistematika penulisan analisis putusan, kajian teori, wacana hukum harus mencakup: Judul, Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Abstrak (berhasa Indonesia dan bahasa Inggris), Pendahuluan, Pembahasan (langsung dibuat sub-sub judul sesuai dengan permasalahan yang dibahas), Kesimpulan, Daftar Pustaka. 7. Penulisan daftar pustaka secara alfabetis mengikuti Turabian Style dengan tata cara penulisan sebagai berikut: Buku. Weiss, Daniel A. Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence, Seattle: University of Washington Press, 1962. Makalah. Knight, Robin. ―Poland‘s Feud in the Family.‖, New York, 10 September 1990, 52-53, 56. Artikel Jurnal. Sommer, Robert. ―The Personality of Vegetables: Bonatical Metaphors for Human Characteristics.‖ Journal of Personality 56, no. 4 (December 1988): 665-683. Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan. Tillich, Paul. “Being and Love” In Moral Principles of Action, ed. Ruth N. Anshen, 661-72. New York: Harper & Bros., 1952.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Internet Rost, Nicolas, Gerald Schneider, and Johannes Kleibl. ―A Global risk assessment model for civil wars.‖ Social Science research 38, no. 4 (December 2009): 921-933. http//www.sciencedirect.com/science/ article/ B6WX84WMM7CY1/2/aa8571448b4774e8831a (accessed October 15, 2009) 8. Daftar pustaka hendaknya dirujuk dari edisi paling mutakhir. 9. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (footnotes) mengikuti turabian Style dengan tata cara penulisan sebagai berikut: Buku. Daniel A. Weiss, Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence (Seattle: University of Washington Press, 1962), 62. Makalah. Robin Knight, ―Poland‘s Feud in the Family.‖,U.S. New and Work Report, 10 September 1990, 52. Artikel Jurnal. Robert Sommer, “The Personality of Vegetables: Bonatical Metaphors for Human Characteristics.‖ Journal of Personality 56, no. 4 (December 1988): 670. Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan Paul Tillich, ―Being and Love,‖ in Moral Principles of Action, ed. Ruth N. Anshen (New York): Harper & Bros., 1952), 663. Internet Nicolas Rost, Gerald Schneider, and Johannes Kleibl, ―A global risk assessment model for civil wars,‖ Social Science Research 38, no.4 (December 2009): 922, http://www.sciencedirect.com/science/B6WX84WM M7CY1/2/aa85435453ae88c432a 10. Naskah kiriman dalam bentuk softcopy atau hardcopy yang dilampiri dengan biodata singkat (CV) penulis, copy NPWP penulis, alamat email, No. telp/hp, naskah dapat dikirim via email ke e-mail redaksi jurnal atau puslitbang kumdil Mahkamah Agung RI 11. Naskah dapat dikirim atau diserahkan secara langsung, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum penerbitan kepada: Redaksi Jurnal Mahkamah Agung Gedung Skretariat Mahkamah Agung RI Jl. Jend. A. Yani Kav. 58 Lt. 10 Cempaka Putih Jakarta Pusat 13011 email:
[email protected] atau
[email protected] 12. Naskah yang belum memenuhi format dan ketentuan diatas tidak akan diseleksi. Dewan editor berhak menyeleksi dan mengedit artikel yang masuk tanpa merubah substansi. Kepastian atau penolakan naskah akan diberitahukan kepada penulis. Prioritas pemuatan artikel didasarkan pada penilaian substansi dan urutan naskah yang masuk ke Redaksi Jurnal Mahkamah Agung. artikel yang tidak dimuat tidak dikembalikan kepada penulis.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan Menyampaikan terima kasih Kepada para Mitra Bestari (referee) dan semua pihak Yang telah membantu penerbitan jurnal ini Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274
VISI: Terwujudnya Sumber Daya Manusia yang Profesional di bidang teknis peradilan dan manajemen kepemimpinan serta hasil penelitian dan pengembangan yang berkualitas dalam membentuk terselenggaranya tugas pokok dan fungsi Mahkamah Agung RI untuk mewujudkan peradilan yang agung MISI: 1. 2. 3. 4.
Meningkatkan kualitas profesionalisme Sumber Daya Manusia teknis peradilan Meningkatkan kualitas profesionalisme manajemen dan kepemimpinan Meningkatkan kualitas hasil penelitian dan pengembangan di bidang hukum dan peradilan Meningkatkan pelayanan dan dukungan operasional diklat teknis peradilan dan diklat manajemen dan kepemimpinan dan penelitian dan pengembangan di bidang hukum dan peradilan yang memadai
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2303-3274