Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan Jurnal Hukum dan Peradilan memuat naskah/artikel yang bersumber dari hasil penelitian/penelaahan tentang Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan. Jurnal Hukum dan Peradilan terbit tiga kali dalam setahun (Maret, Juli, November) Penasehat
:
Penasehat Penanggung Jawab Ketua Dewan Editor Editor
: : : :
Editor Tamu
:
Mitra Bestari
:
Kepala Sekretariat Anggota
: :
Prof. Dr. H.M. Hatta Ali, SH. MH. Dr. H. Mohammad Saleh, SH. MH. H. Suwardi, SH. MH. Ny. Siti Nurdjanah, SH. MH. Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH., MS. Dr. Ismail Rumadan, MH Moch. Iqbal, SH., MH. Rita Herlina, SH. LLM. Johanes Brata Wijaya, SH. Budi Suhariyanto, SH., MH. 1. Zezen Zainal Muttaqin, SHI., LLM 2. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA 1. Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., MS 2. Prof. Dr. Jaih Mubarok, M.Ag 3. Prof. Dr. Sri Hajati, SH., MS 4. Prof. Dr. Yohanes Sogar Simamora, SH., M.Hum 5. Prof. Dr. Galang Asmara, SH., M.Hum 6. Prof. Dr. Widodo Eka Tjahyana, SH., M.Hum 7. Prof. Dr. dr. Herkutanto, SpF., SH., LLM 8. Prof. Dr. Topo Santoso, SH., MH., PhD 9. Imam Prihandono, SH., LLM., PhD 10. Dr. Eva Achjani Zulfa, SH., MH 11. Dr. M. Hadi Subhan, SH., MH H. Moch. Amirullah Sholeh, SH., MM 1. Suhenda, SH 2. Bintang Alvita, Ss 3. Tri Mulyani, A.Md 4. Maryam Sugiarti, S.Sos 5. Dinar Wardani, SHI 6. Dini Widaningsih 7. Imam Buchori
Alamat Redaksi : Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI Jln. Jend. A. Yani (By Pass) Kav. 58 Lt.10 Cempaka Putih, Jakarta Pusat 13011 Email:
[email protected] [email protected] Isi Jurnal dapat dikutip dengan menyebut nama sumbernya (Citation is permitted with acknowledgement of the source)
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Volume 4 Nomor 2 Juli 2015
Daftar Isi Pengantar Redaksi Daftar isi Daftar Abstrak Penghinaan terhadap
Pengadilan
Versus
Kebebasan
Pers …………………………………………………………………………………………….
189-198
Bagir Manan Upaya Perancangan Undang-Undang tentang Larangan Merendahkan
Martabat
Pengadilan
(Contempt
of
Court) …………………………………………………………………………………………
199-222
Jimly Asshiddiqie Pencemaran dan Perusakan Lingkungan dalam Perspektif Hukum Islam ………………………………………………………. 223-240 Abdul Manan Urgensi Pembuatan Undang-Undang Contempt of Court Untuk Menegakkan Martabat dan Wibawa Peradilan ….
241-256
H.P. Panggabean Urgensi
Pembentukan
Undang-Undang
tentang
Penghinaan dalam Persidangan (Contempt of Court) untuk Menegakkan Martabat dan Wibawa Peradilan …
257-266
Sareh Wiyono Contempt of Court di Indonesia, Perlukah? ………………….
267-274
Otto Hasibuan Urgensi dan Prospek Pengaturan (Ius Constituendum) UU tentang Contempt of Court untuk Menegakkan Martabat dan Wibawa Peradilan ………………………………………. Lilik Mulyadi
275-298
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Masalah “Legal Standing” dalam Putusan-Putusan Hak Uji Materiil Mahkamah Agung Republik Indonesia ………. 299-322 Dani Elpah Pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Mendorong Percepatan Penyelesaian Perkara di Mahkamah Agung.
323-334
Asep Nursobah Aspek Hukum Peninjauan Kembali Lebih dari Satu Kali dalam Perkara Pidana (Perspektif Penegakan Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan Hukum) ………………………………… 335-350 Budi Suhariyanto
Biodata Penulis Pedoman Penulisan Jurnal Hukum dan Peradilan
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
PENGANTAR REDAKSI Bisminllahirrahmannirrahim Puji dan syukur sepatutnya senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Dzat Yang Maha Sempurna, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita bisa berbuat yang terbaik, amin. Salah satu program prioritas Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, yakni penerbitan jurnal Hukum dan Peradilan diharapkan menjadi upaya positif Puslitbang MA-RI sebagai Supporting Unit Mahkamah Agung RI secara kelembagaan untuk mendukung terwujudnya visi dan misi Mahkamah Agung RI yaitu: “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung”. Kehadiran Jurnal Hukum dan Peradilan sebagai media bagi insan peradilan, akademisi, praktisi dan pemerhati hukum diharapkan dapat menjadi wadah mengaktuasikan ide pemikiran melalui penelitian, pengkajian dan pengembangan hukum dan peradilan secara ilmiah, yang nantinya dapat menjadi pencerah ditengah upaya besar bangsa untuk menata pembangunan hukum dan peradilan di masa mendatang. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada yang mulia Ketua Mahkamah Agung RI dan seluruh Unsur Pimpinan Mahkamah Agung RI yang terus memberi dukungan untuk terbitnya jurnal ini, Juga terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI dan Kepala Puslitbang Kumdil MA-RI yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam proses penerbitan jurnal ini. Begitupun kepada para penulis yang telah berkontribusi mengirimkan artikelnya dan para Mitra Bestari yang telah meluangkan waktu untuknya mereview artikel para penulis, Semoga amal kebaikannya mendapat pahala yang setimpal dari Allah SWT. Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin.
Jakarta, Juli 2015.
Redaksi
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Bagir Manan PENGHINAAN TERHADAP PENGADILAN VERSUS KEBEBASAN PERS Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No. 2 hlm. 189-198 Pers adalah perwujudan public soverignty terhadap kekuasaan. Fungsi kontrol pers meliputi mengkritik, menilai dan menyampaikan kepada publik agar semua kegiatan berbagai cabang kekuasaan sesuai dengan kehendak dan harapan publik. Kebebasan pers dibatasi oleh Undang-Undang Pers dan Kode Etik. Kebebasan pers tidak dapat digunakan untuk mempermalukan, melecehkan, atau mencampuri proses peradilan. Pers harus menghormati lembaga dan independensi peradilan. Kata kunci : Penghinaan terhadap Pengadilan, Kebebasan, Pers Bagir Manan CONTEMPT OF COURT VS FREEDOM OF PRESS Journal of Law and Justice, Vol. 4 No. 2 page 189-198 Press is manifestation of public soverignty to the power. Press control function covers critic, analytic, and information to the public, so all the activities which are from branches of power based on the public wish and hope. Freedom of press is limited by the press law and code of conduct. The freedom of press can not be used for humaliation, harassment, or interference of judicature process. Press must respect the institution and independency of judiciary. Keywords : Contempt of Court, Freedom and Press
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Jimly Asshiddiqie UPAYA PERANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN MERENDAHKAN MARTABAT PENGADILAN (CONTEMPT OF COURT) Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No. 2 hlm. 199-222 Untuk menjaga martabat dan kehormatan peradilan tidak semata menggunakan pendekatan melalui mekanisme hukum pidana, melainkan juga diperlukan pendekatan melalui mekanisme civil contempt of court dan ethical contempt of court secara integral. Kata kunci: Perancangan Undang-Undang, Merendahkan Martabat Pengadilan Jimly Asshiddiqie THE EFFORT OF PROPOSING A BILL ON DISRESPECTFUL PROHIBITION THE COURT (CONTEMPT OF COURT) Journal of Law and Justice, Vol. 4 No. 2 page 199-222 To protect the dignity and soverignty of judiciary not only uses criminal law mechanism but also uses both civil contempt of court and ethical contempt of court integrally. Keywords : Act proposal, Contempt of Court
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Abdul Manan PENCEMARAN DAN PERUSAKAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
LINGKUNGAN
DALAM
Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No. 2 hlm. 223-240 Peraturan yang mengatur tentang lingkungan hidup di Indonesia cukup banyak dan tersebar dalam berbagai peraturan. Tetapi tampaknya peraturan-peraturan tersebut berdiri sendiri, tidak ada aktivitas dan efektivitasnya. Cara pengelolaan lingkungan hidup yang tidak terencana dan tidak terpadu secara serasi dan integral menyebabkan perusakan dan pencemaran lingkungan. Hukum Islam memiliki prinsip-prinsip yang wajib menjadi landasan dan titik tolak aktivitas kekuatan-kekuatan sosial agar terjamin kehidupan yang teratur, seimbang, dan harmonis sehingga tidak terjadi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang menyebabkan hilangnya keseimbangan dan keserasian kehidupan di dunia ini. Diantara prinsip-prinsip tersebut yaitu persamaan, keseimbangan, kemaslahatan, kegotongroyongan dan keadilan. Melalui implementasi prinsip-prinsip tersebut diharapkan aturan tentang lingkungan hidup yang telah ditetapkan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kata kunci : Pencemaran dan Perusakan, Lingkungan, Hukum Islam Abdul Manan ENVIRONMENTAL POLLUTION AND DAMAGE IN ISLAMIC LAW PERSPECTIVE Journal of Law and Justice, Vol. 4 No. 2 page 223-240 Regulations governing the environment in Indonesia are many and scattered in various regulations. But it seems that these regulations stand alone, no activity and effectiveness. How to environmental management are not planned and are not integrated in a harmonious and integral cause destruction and environmental pollution. Islamic law has principles that must form the basis and starting point of the activity of the social forces in order to ensure an orderly life, balance, and harmony so there is no pollution and environmental destruction that causes loss of balance and harmony of life in this world. Among these principles, namely equality, balance, benefit, mutual cooperation and justice. Through the implementation of these principles is expected to rule on the environment that has been set it can run properly. Keywords : Environmental Pollution and Destruction, Environment, Islamic Law
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya H.P. Panggabean URGENSI PEMBUATAN UNDANG-UNDANG CONTEMPT OF COURT UNTUK MENEGAKKAN MARTABAT DAN WIBAWA PERADILAN Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No. 2 hlm. 241-256 UU Contempt of Court sudah saatnya disusun agar dapat menjamin kewibawaan dan martabat badan peradilan serta proses penegakan hukum. Mahkamah Agung berupaya meningkatkan pembinaan kualitas kinerja hakim dan pejabat administratif peradilan. Kata kunci : Urgensi Undang-Undang, Penghinaan terhadap Pengadilan, Wibawa Peradilan H.P. Panggabean THE URGENCY OF DRAFTING THE LAW OF CONTEMPT OF COURT TO REINFORCE DIGNITY AND AUTHORITY OF THE COURT Journal of Law and Justice, Vol. 4 No. 2 page 241-256 It’s time to draft the contempt of court bill to guarantee the dignity and souverignity of court institution and the law enforcement process, the supreme of court makes strong effort to improve the supervision of judge performance quality and administrative official judiciary Keywords : Act Urgency, Contempt of Court, Court Dignity
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Sareh Wiyono M. URGENSI PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHINAAN DALAM PERSIDANGAN (CONTEMPT OF COURT) UNTUK MENEGAKKAN MARTABAT DAN WIBAWA PERADILAN Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No. 2 hlm. 257-266 UU tentang Penghinaan dalam Persidangan perlu segera dibentuk disertai restriksi terhadap perbuatan mana yang termasuk penghinaan dalam persidangan dan perbuatan mana yang tidak. Para hakim wajib meningkatkan profesionalisme dan integritas pribadi dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Kata kunci : Urgensi Undang-Undang, Penghinaan, Persidangan Sareh Wiyono M. THE URGENCY OF DRAFTING ON POOR BEHAVIOUR IN THE COURT (CONTEMPT OF COURT) TO REINFORCE THE DIGNITY AND AUTHORITY OF THE COURT Journal of Law and Justice, Vol. 4 No. 2 page 257-266 The law of contempt of court must be formed immediately along with the restriction of which action becomes part of contempt in the court or which one doesn’t. The judge must improve the professionalism and self-Integrity in running the duty and obligation Keywords : Urgency, Contempt, Court
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Otto Hasibuan CONTEMPT OF COURT DI INDONESIA, PERLUKAH? Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No. 2 hlm. 267-274 UU Contempt of Court perlu dibuat dalam UU tersendiri. Tetapi menunggu atau setidak-tidaknya dilakukan serta-merta dilakukannya perubahan sistem hukum yang komprehensif dan peningkatan profesionalitas hakim, jaksa, polisi, advokat, wartawan serta penyuluhan intensif kepada masyarakat pencari keadilan. Kata kunci : Penghinaan terhadap Pengadilan, Indonesia Otto Hasibuan CONTEMPT OF COURT IN INDONESIA, IS IT REQUIRED? Journal of Law and Justice, Vol. 4 No. 2 page 267-274 Contempt of court law needs to be made apart with specific law, but waiting or at least fulfillment at once the changed of law system with the comprehensive way and improving the professionalism of judge, attorney, police officer, advocat, journalist, and socialization to the society of justice seeker. Keywords : Contempt of Court, Indonesia
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Lilik Mulyadi URGENSI DAN PROSPEK PENGATURAN (IUS CONSTITUENDUM) UU TENTANG CONTEMPT OF COURT UNTUK MENEGAKKAN MARTABAT DAN WIBAWA PERADILAN Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No. 2 hlm. 275-298 UU Contempt of Court merupakan kebutuhan yang bersifat urgent, segera dan mendesak, sehingga perlu dilakukan kajian dan penelitian secara kritis, akademis dan bersifat komprehensif untuk menjaga keluhuran dan menegakkan martabat dan wibawa peradilan. Kata kunci : Prospek Pengaturan, Penghinaan terhadap Pengadilan, Wibawa Peradilan Lilik Mulyadi URGENCY AND PROSPECTS SETTINGS (IUS CONSTITUENDUM) ON CONTEMPT OF COURT ACT TO UPHOLD THE DIGNITY AND JUSTICE AUTHORITY Journal of Law and Justice, Vol. 4 No. 2 page 275-298 Contempt of court law is urgent, immediately, and urge, so need critically, academicly, and comprehendship analyzing and research to protect the honour and uphold the dignity and souverignty of the court Keywords : Ius Constituendum, Contempt of Court, Court Dignity
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Dani Elpah MASALAH “LEGAL STANDING” DALAM PUTUSAN-PUTUSAN HAK UJI MATERIIL MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 - 2014 Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No. 2 hlm. 299-322 Telah terjadi pergeseran paradigma dari hak yang dirugikan disejajarkan dengan kepentingan tanpa memerinci syarat-syarat kerugian hak menjadi kerugian pemohon yang harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu : (a). adanya hak pemohon yang diberikan oleh peraturan Perundang-undangan; (b). hak tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya peraturan Perundang-undangan yang dimohon pengujian; (c). kerugian tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial; (d). adanya hubungan kausalitas; (e). kemungkinan dengan dikabulkannya maka kerugian tidak akan terjadi lagi. Kata kunci : Legal Standing, Hak Uji Materiil, Mahkamah Agung Dani Elpah “LEGAL STANDING” ISSUE IN DECISION OF JUDICIAL REVIEW OF SUPREME COURT OF REPUBLIC OF INDONESIA YEAR 20122014 Journal of Law and Justice, Vol. 4 No. 2 page 299-322 The paradigm has changed from disadvantaged right equalized with the interest, without classifying the requirement of disadvantaged right that must fulfill 5 (five) requirement, those are : (a) there is a right for applicant that is given on law and regulation (b) this right is disadvantaged if considered by applicant c) the disadvantage must be specific and actual or at least potential (d) causality connectivity must be exist; (e) the disadvantage will not happen if the application is accepted Keywords : Legal Standing, Judicial Review, Supreme Court
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Asep Nursobah PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK MENDORONG PERCEPATAN PENYELESAIAN PERKARA DI MAHKAMAH AGUNG Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No. 2 hlm. 323-334 Pemanfaatan teknologi informasi oleh Mahkamah Agung bertujuan mendorong peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelesaian perkara yang salah satunya diindikasikan dengan pengikisan tunggak perkara. Namun ternyata penggunaan teknoogi informasi masih menitikberatkan upaya pencatatan elektronis saja. Teknologi belum dioptimalkan secara maksimal untuk meningkatkan kinerja badan peradilan. Kata kunci : Teknologi Informasi, Penyelesaian Perkara, Mahkamah Agung Asep Nursobah UTILIZATION OF INFORMATION TECHNOLOGY TO BOOST ACCELERATION OF SETTLEMENT CASE IN SUPREME COURT Journal of Law and Justice, Vol. 4 No. 2 page 323-334 Utilization of information technology by Supreme Court is to boost the eficiency and effectivity the resolution of the case, but in fact the Utilization of information technology still focus on electronic record only, the technology hasn’t been optimalized yet to improve the performance of judiciary institution. Keywords : Information Technology, Cases Settlement, Supreme Court
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Budi Suhariyanto ASPEK HUKUM PENINJAUAN KEMBALI LEBIH DARI SATU KALI DALAM PERKARA PIDANA (PERSPEKTIF PENEGAKAN KEADILAN, KEPASTIAN DAN KEMANFAATAN HUKUM) Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No. 2 hlm. 335-350 Putusan Mahkamah Konstitusi No.34/PUU-XI/2013 telah membuka ruang PK tidak saja satu kali sebagaimana diatur selama ini oleh Pasal 268 ayat (3) KUHAP sehingga PK dapat dilakukan berkali-kali selama ditemukan dan diajukannya novum meskipun telah dilakukan PK sebelumnya. Perspektif yang menjadi dasar dari putusan ini adalah keadilan. Menanggapi Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana. Melalui SEMA tersebut Mahkamah Agung mengingatkan bahwa ketentuan PK hanya sekali di luar Pasal 268 KUHAP yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, oleh karenanya PK perkara pidana (dalam suatu perkara yang sama) yang lebih dari 1 (satu) kali dinyatakan tidak dapat diterima. Pembatasan PK perkara pidana yang dikehendaki Mahkamah Agung ini untuk memberikan kepastian hukum dalam proses penyelesaian akhir perkara pidana. Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM mengambil langkah strategis bervisi kemanfaatan hukum dalam menyelesaikan polemik upaya hukum pengajuan PK perkara pidana, dengan mengkoordinasikan lembaga negara dan kementerian terkait sehingga menghasilkan kesepakatan bahwa pengajuan PK berkali-kali tidak bisa dijalankan hingga terbitnya PP. Oleh karenanya masih berlaku yang diatur dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah Agung. Kata kunci : Aspek Hukum, Peninjauan Kembali, Perkara Pidana
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Budi Suhariyanto LEGAL ASPECTS OF REVIEW MORE THAN ONE IN A CRIMINAL CASE (PERSPECTIVE ENFORCEMENT JUSTICE, CERTAINTY AND BENEFITS LAW) Journal of Law and Justice, Vol. 4 No. 2 page 335-350 Constitutional Court Decision No.34/PUU-XI/2013 has opened the space PK is not just one time as provided for by the Article 268 paragraph (3) Criminal Procedure Code so that PK can be done many times during found and submission of PK Novum although it has done previously. Perspective is the basis of this decision is justice. Responding to the verdict of the Constitutional Court, the Supreme Court publishes SEMA No.7 Year 2014 on Reconsideration Request Submission In Criminal Case. Through the SEMA Supreme Court warned that provisions PK only once outside the Article 268 Criminal Procedure Code which was canceled by the Constitutional Court, therefore, PK criminal cases (in a similar case) is more than 1 (one) can not be accepted. Restrictions on the desired PK criminal case the Supreme Court is to provide legal certainty in the process of final settlement of criminal matters. Government through Minister of Law and Human Rights take strategic steps in resolving the legal expediency vision polemic filing legal remedies PK criminal cases, by coordinating state agencies and relevant ministries so as to produce an agreement that filing PK many times can not be executed until the issuance of PP. Therefore still valid set forth in the Judicial Authority Law and the Law on the Supreme Court. Keywords : Legal Aspects, Reconsideration, Criminal Case
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
PENGHINAAN TERHADAP PENGADILAN VERSUS KEBEBASAN PERS (Contempt of Court Vs Freedom of Press)
Bagir Manan Ketua Dewan Pers Indonesia Email :
Abstrak Pers adalah perwujudan public soverignty terhadap kekuasaan. Fungsi kontrol pers meliputi mengkritik, menilai dan menyampaikan kepada publik agar semua kegiatan berbagai cabang kekuasaan sesuai dengan kehendak dan harapan publik. Kebebasan pers dibatasi oleh Undang-Undang Pers dan Kode Etik. Kebebasan pers tidak dapat digunakan untuk mempermalukan, melecehkan, atau mencampuri proses peradilan. Pers harus menghormati lembaga dan independensi peradilan. Kata kunci : Penghinaan terhadap Pengadilan, Kebebasan, Pers. Abstract Press is manifestation of public soverignty to the power. Press control function covers critic, analytic, and information to the public, so all the activities which are from branches of power based on the public wish and hope. Freedom of press is limited by the press law and code of conduct. The freedom of press can not be used for humaliation, harassment, or interference of judicature process. Press must respect the institution and independency of judiciary. Keywords : Contempt of Court, Freedom and Press 1. Pembukaan Diskusi-diskusi mingguan yang diselenggarakan Indonesia Lawyers Club (dulu; Jakarta Lawyers Club) yang dipimpin oleh Karni Ilyas dan disiarkan secara langsung oleh stasiun TVOne (juga dipimpin Karni Ilyas), hampir selalu membahas penegakan hukum, terutama korupsi. Tidak jarang pula pengadilan atau hakim menjadi obyek kejengkelan para peserta. Kadang-kadang bukan sekedar kritik tetapi ucapan-ucapan yang mempermalukan bahkan merendahkan. Ada beberapa persoalan, diskusi yang disiarkan langsung ini: Pertama; Apakah diskusi dengan ucapan atau ungkapan yang terlalu bebas itu masih dalam lingkup freedom of expression and speech atau 189
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 189-198
freedom of opinion. Apakah hak atas kebebasan berekspresi atau mengeluarkan pendapat memang merupakan hak asasi yang absolut sehingga tidak dapat dibatasi baik secara hukum, etik, sopan santun dan lain-lain, terutama hidup bersama. Kedua; Apakah diskusi langsung yang dilakukan tanpa verifikasi, bahkan ada kalanya menghakimi bukan suatu pelanggaran kalau dilihat dari kewajiban wartawan atau media mentaati dan menjunjung tinggi kode etik. Forum itu acapkali menjadi media trial by the press. Ketiga; Ada sejumlah asas pemidanaan yang dulu sebagai mahasiswa dituntut benar-benar dikuasai karena bertalian dengan hak asasi –antara lain– the right to be heard atau procedural fairness sebagai wujud the principle of natural justice, due process of law. Memang forum mingguan ini bukan pengadilan (court) yang sedang mengadili, sehingga dapat didalilkan tidak terikat pada asas-asas di atas. Tetapi dalam kenyataan tertentu dalam bahasa jurnalistik orang-orang tertentu ketika berbicara menghakimi bahkan melecehkan atau merendahkan martabat pengadilan atau hakim. Kalaupun saya menyebut Indonesia Lawyers Club, TVOne, Bang Karni (Bang One), tetapi pertanyaan-pertanyaan di atas berlaku juga untuk diskusi, di stasiun TV lain. Saya sadar, sejumlah pihak seperti dalam suasana tidak berdaya menghadapi keadaan yang penuh kegundahan, seperti korupsi yang makin merajalela, kemiskinan dan lain-lain sekarang ini. Di pihak lain, ada sementara pihak yang mengatakan kita on the right track. Pertumbuhan ekonomi tinggi. Tingkat pengangguran menurun. Berbagai program kesejahteraan berjalan dengan lancar. Bahkan dikatakan kita sekarang dapat menegakkan kepala di tengah-tengah krisis keuangan dan kemandekan ekonomi di berbagai negara yang sudah mapan. Mana yang benar? Tidak mungkin dua pihak sama-sama 100% benar, atau sama-sama 100% bohong. Berbagai perbuatan pidana atau dugaan telah terjadi tindak pidana, terutama korupsi terjadi dimana-mana: di badan-badan politik (supra dan infra struktur), di badan pemerintahan (pusat dan daerah), badan-badan penegak hukum (polisi, jaksa, hakim). Kemiskinan nampak dimana-mana, kepincangan sosial dan ekonomi adalah suatu kenyataan. Di pihak lain, tidak pula dapat dibantah ada pertumbuhan ekonomi yang tinggi (lebih dari 6%). Pemerintah yang disinyalir lemah, kenyataan-nya kuat. Hal ini dibuktikan Presiden hampir tiap dua minggu melakukan perjalanan ke luar negeri. Ini menunjukkan pemerintah stabil dan Presiden benar-benar menggenggam seluruh keadaan. Aneh juga. Ada dua kutub yang sama-sama merupakan kenyataan. Paling-paling dapat dikatakan, dua-duanya sama benar, tetapi tidak ada satu pihak yang benar seluruhnya. Tinggal hati nurani 190
Penghinaan terhadap Pengadilan Versus Kebebasan Pers, Bagir Manan
kita menilainya mana yang lebih banyak benar atau lebih banyak salah dari sudut pandang peri kehidupan rakyat sehari-hari. 2. Contempt of Court Pranata contempt of court (melecehkan atau meremehkan pengadilan) adalah pranata yang berasal pada common law (bukan sistem common law) yaitu hukum tidak tertulis di Inggris. Common law yang berakar pada putusan hakim (judge made law) yang berkembang menjadi hukum yang mengikat Selain common law dikenal juga ketentuan tidak tertulis lain yang disebut konvensi (khusus di bidang ketatanegaraan). Dicey menyebutnya Convention of the Constitution. Berbeda dengan common law sebagai kaidah hukum (law) konvensi adalah ketentuan (rule) tetapi bukan kaidah hukum. Konvensi adalah rule of ethics atau political ethics. Ketaatan terhadap konvensi semata-mata karena tuntutan etik, karena itu tidak dapat ditegakkan atau dipertahankan melalui proses peradilan (lihat: Dicey, Ivor Jennings, K.C. Wheare, dll). Terpengaruh oleh bentuk hukum (tidak tertulis) yang berakar pada putusan hakim, Ter Haar (guru besar hukum adat pada Rechtshoogeschool, Batavia) membuat ajaran yang disebut teori keputusan (beslissingenleer) yang mengajarkan bahwa hukum adat adalah hukum yang lahir dari putusan penguasa adat. Sekedar tambahan, nasib Ter Haar sangat tragis. Beliau pulang cuti bersamaan dengan penyerbuan Nazi ke Belanda, dimasukkan dan meninggal di kamp konsentrasi. Bukunya: “Beginselen en Stelsel van het Adatrecht” (ada terjemahan) masih wajib dibaca mahasiswa hukum, terutama mengenai susunan masyarakat adat, sistem kewarisan adat, dan sistem perkawinan adat. Sebenarnya, sebutan contempt of court tidak akurat dan menyesatkan (inaccurate and misleading). Sebutan itu mengesankan seolah-olah yang akan dilindungi adalah keagungan pengadilan. Sesungguhnya, dalam contempt of court, keadilan (justice) itu sendiri yang dicemoohkan, bukan pengadilan sebagai sebuah badan, bukan hakim. Tetapi – seperti dikatakan Hakim Agung Lord Scarman, meskipun disadari sebutan itu tidak tepat, tetapi belum diketemukan alternatif lain. Berdasarkan common law dibedakan antara civil contemp dan criminal contempt (di Skotlandia, tidak dibedakan). Perbedaan ini bukan mengenai sanksi yang dapat dijatuhkan (sanksi perdata atau sanksi pidana). Civil contempt terjadi karena tidak menjalankan atau mengabaikan (disobedience) perintah pengadilan (order of the court) dalam perkara keperdataan. Criminal contempt terjadi karena berbagai hal (diuraikan di bawah). Baik civil contempt maupun criminal contempt sama-sama diancam sanksi pidana dan cara-cara pembuktian dilaksanakan menurut hukum acara pidana. Dalam praktek, criminal contempt diperiksa sebagai perkara sumir 191
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 189-198
(sumier, Belanda, summerily, Inggris) dengan ancaman pidana lebih ringan. Menurut common law tidak ada banding atas putusan criminal contempt. Tetapi berdasarkan Administration of Justice Act (1960), baik terhadap putusan civil contempt maupun criminal contempt dapat diajuka banding. Perbuatan-perbuatan criminal contempt meliputi: (1) Mempermalukan pengadilan (scandalizing the court). Di Skotlandia disebut murmuring judges (menggosipkan hakim). Mempermalukan dilakukan dengan menuduh secara samar-samar dan tanpa dasar telah terjadi penyelewengan (korupsi) dan praktek yang melenceng (malpractice) di pengadilan. Ancaman sanksi ini dimaksudkan untuk menjaga kepentingan publik terhadap pengadilan. (2) Mencampuri proses peradilan yang sedang berjalan (interference with justice as a continueing process). Salah satu bentuk mencampuri – misalnya, mempublikasikan atau mengungkapkan kepada pihak lain perundingan-perundingan yang dilakukan juri (yang selalu dilakukan secara tertutup). Ada juga kemungkinan larangan mempublikasikan namun atas nama korban pemerasan, atau saksi. Selain untuk menjaga kepercayaan publik terhadap pengadilan, pembatasan ini untuk mencegah korban lain enggan melapor atau keengganan menjadi saksi. (3) Melecehkan pengadilan secara langsung (contempt in face of court). Melecehkan atau meremehkan ini meliputi menyerang (assault), mengancam (threat), memaki (insult), atau meng-ganngu jalannya persidangan dengan cara-cara seperti berteriak atau bersorak (shouting), menyanyi-nyanyi di dalam persidangan. Ada pula kemungkinan seseorang terkena sanksi atas dasar contempt of court karena tidak menghadiri sidang, tidak menyampaikan dokumen atau tidak menjawab pertanyaan penting yang diperlukan persidangan. (4) Dengan sengaja mencampuri proses peradilan dengan cara tertentu (deliberate interference with particular proceedings). Pelecehan ini menyangkut perbuatan atau tindakan untuk mempengaruhi kesimpulan suatu proses peradilan, seperti percobaan menyuap atau mengintimidasi hakim, juri, atau saksi. (5) Mencampuri secara tidak sengaja melalui publikasi yang dapat merugikan proses peradilan (unintentional interference by prejudicial publications). Digolongkan sebagai pelecehan apabila dapat secara substansial menimbulkan resiko menghalangi atau merugikan proses peradilan.1
Catatan-catatan di atas secara keseluruhan diambil dari O. Hood Phillips – Paul Jackson – Patricia Leopold, Constitutional And Administrative Law, Sweet & Maxwell, 2001, hlm. 442 – 448. 1
192
Penghinaan terhadap Pengadilan Versus Kebebasan Pers, Bagir Manan
Hampir dalam semua hal, contemp of court di India serupa dengan Inggris, misalnya, membedakan antara civil contempt dan criminal contempt. Di India, selain diatur dalam Undang-Undang khusus (Contempt of Court Act, 1971), juga disebut dalam Undang-Undang Dasar sebagai salah satu cara membatasi hak atas kebebasan berekspresi dan kebebasan berbicara (speach) atau kebebasan berpendapat (opinion). Inggris tidak memiliki UUD. Telah disebutkan, selain berakar dari common law, contempt of court diatur dalam Undang-Undang. Civil contempt di India tidak hanya karena tidak menjalankan perintah pengadilan (order of court). Civil contempt meliputi pula tidak mematuhi atau tidak menjalankan putusan pengadilan, ketetapan pengadilan, petunjuk pengadilan atau proses lain di pengadilan, atau dengan sengaja menghalangi proses peradilan. Criminal contempt meliputi: (1) Mempermalukan atau bermaksud mempermalukan, atau merendahkan atau bermaksud merendahkan pengadilan. (2) Berprasangka, atau mencampuri atau bermaksud mencampuri jalannya peradilan. (3) Mencampuri atau bermaksud mencampuri, atau menghalangi atau bermaksud menghalangi penyelenggaraan peradilan. Namun, ada berbagai publikasi atau penggunaan hak berekspresi atau menyatakan pendapat yang tidak tergolong contempt of court: (1) Publikasi atau penyebaran suatu bahan peradilan secara tidak sengaja atau tanpa bermaksud melanggar larangan yang tergolong contempt of court. (2) Kritik yang disampaikan secara jujur (fair) terhadap tindakan pengadilan. (3) Keluhan (complaint) terhadap pimpinan sidang yang dibuat atas dasar etikad baik (made in good faith). (4) Publikasi secara fair informasi perundingan di kamar-kamar (chambers) atau melalui kamera. Hakim boleh dikritik sepanjang dilakukan dengan etikad baik.2 Dalam UUD 1945 tidak dijumpai ketentuan mengenai contempt of court. Karena itu tidaklah mengherankan – terutama sejak reformasi – setiap orang di depan umum dapat mencampuri, menelanjangi, meremehkan dan melecehkan pengadilan. Hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat dilakukan hampir-hampir tanpa batas, kecuali yang sangat nyata di atur dalam Undang-Undang seperti KUHPidana. Berbagai kelemahan pengadilan atau hakim dijadikan pula alasan “mengeritik”. sampai-sampai J.N. Pandey, Constitutional Law Of India, 43rd ed, CLA, Allahabad, 2006, hlm. 190 – 191. 2
193
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 189-198
ada yang minta kocok ulang Hakim Agung, memeriksa putusan hakim, menghukum hakim, mencampuri agar seseorang diadili atau tidak diadili. Bahkan ada pengamat yang secara terbuka mengatakan tidak lagi percaya kepada pengadilan (walaupun yang bersangkutan tetap mencari uang dari berperkara di pengadilan). Belum lagi berbagai ucapan profane lainnya. Anehnya, yang menjadi sasaran hanya pengadilan atau hakim. Tidak ada yang menyoroti, misalnya advokat yang terus menerus dengan cara-cara melawan hukum mempengaruhi hakim dengan menghalalkan segala cara. Begitu pula pihak-pihak lain. Pers yang memiliki kode etik jurnalistik acapkali ikut terbuai oleh keadaan serba bebas itu. Seolah-olah menggunakan mulut orang lain pers turut melakukan “peradilan” terhadap seseorang atau sekelompok orang di luar sidang pengadilan. Akibat tingkah laku bebas ini ada yang menganggap pers sudah kebablasan. Dalam suasana euforia kebebasan ini, semestinya pers menjadi bintang pemandu membangun tata kehidupan bangsa dan negara yang bertanggung jawab dan berdisiplin. Dari segala segi (akan dicatat di bawah) pers berpeluang bahkan sangat berpeluang menjalankan peran luhur tersebut. 3.
Freedom of Press Kemerdekaan (kebebasan) pers dalam masyarakat yang mendambakan demokrasi, menjunjung tinggi hak asasi, dan masyarakat yang mendambakan kemajuan, dipandang sebagi sebuah kemestian. Menurut American Press Comission: “Freedom of press is essential to political liberty. When man cannot freely convey their thoughts to one another, no freedom is secured, where freedom of expression exists the beginning of a free society and means of every retention of liberty are already present”.3 Sejalan dengan pernyataan di atas, Indian Press Comission menyatakan: “Democracy can thrive not only under the vigilant eye of its legislature, but also under the care and guidance of public opinion and the press is par excellence, the vihicle through with opinion can become articulate”.4
3
Kemerdekaan pers merupakan sesuatu yang esensial untuk kebebasan politik. Ketika seseorang tidak dapat secara bebas menyampaikan pikirannya kepada orang lain, maka tidak akan ada jaminan kemerdekaan. Apabila ada kebebasan berekspresi, berarti suatu permulaan kehadiran suatu masyarakat bebas dan itu berarti bahwa telah ada semua hak atas kebebasan. 4 Demokrasi tidak hanya berkembang melalui kesigapan badan legislatif, tetapi juga melalui perawatan dan bimbingan pendapat umum dan terutama pers sebagai sarana mengartikulasikan berbagai pendapat. (J.N. Pandey, ibid, hlm. 179). 194
Penghinaan terhadap Pengadilan Versus Kebebasan Pers, Bagir Manan
Kemerdekaan pers juga penting dari segi hak asasi manusia. Pers sekaligus sebagai hak asasi dan sebagai instrumen bagi individu atau masyarakat menyalurkan hak atas kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Contemp of court merupakan pranata yang setiap saat dapat menyandra kemerdekaan pers. Dapat lebih ditegaskan, pers yang berfungsi menyampaikan informasi kepada publik dalam kenyataan, paling merasakan akibat contempt of court. Lebih-lebih, pembatasan-pembatasan dalam contempt of court tidak selalu terang benderang. Acapkali abu-abu. Tidak begitu mudah menentukan misalnya suatu pemberitaan atau siaran dilakukan dengan good faith (ter goede frouw atau bad faith ter kwade trouw), atau dipenuhi syarat fairness atau tidak, dan lain-lain. Hakim akhirnya yang akan menentukan. Tetapi karena pengadilan yang terkena atau yang dilindungi, ada semacam kemungkinan bias karena ada conflict of interest pada pengadilan atau hakim. Apakah mungkin ada jaminan peradilan yang fair dan impartial dalam perkara contempt of court. Berdasarkan catatan di atas, ada satu pelajaran yang musti diperhatikan yaitu ada satu asas atau prinsip tetapi menghasilkan sesuatu yang dapat bertentangan satu sama lain karena kepentingan (interest), tujuan akhir (final end), dan manfaat yang hendak dicapai berbeda. Dalam negara demokrasi dan negara hukum atau negara hukum demokratik (democratische rechtsstaat), kekuasaan kehakiman yang merdeka, hakim yang bebas dan pers yang merdeka sama-sama merupakan satu kemestian. Tetapi apabila masing-masing hanya menegakkan kemerdekaan atau kebebasannya sendiri, maka akan meniadakan atau merusak tujuan kemerdekaan atau kebebasan itu sendiri. Telah lama dikenal (paling tidak, disebutkan), pers sebagai cabang kekuasaan keempat (the fourth power) di samping cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Fungsi esensial pers sebagai cabang kekuasaan keempat adalah untuk mengontrol dan sekaligus menjaga keseimbangan antar cabang-cabang kekuasaan yang lain. Selain itu pers sebagai cabang kekuasaan keempat memfungsikan secara nyata pengawasan dan kendali publik terhadap kekuasaan. Pers adalah perwujudan public sovereignty terhadap kekuasaan. Fungsi kontrol pers meliputi mengeritik, menilai dan menyampaikan kepada publik untuk menjamin agar semua kegiatan berbagai cabang kekuasaan sesuai dengan kehendak dan harapan publik. Di pihak lain, betapa penting kekuasaan kehakiman atau hakim yang independen, terhormat dan dihormati untuk menjamin terwujudnya keadilan. Bahkan ada penulis yang mengatakan, esensi contempt of court bukanlah untuk menjaga pengadilan atau hakim, melainkan menjaga 195
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 189-198
keadilan (justice) itu sendiri. Setiap upaya mempengaruhi hakim atau memaksa hakim, yang dipertaruhkan adalah keadilan. Karena itu betapa penting menjaga kekuasaan kehakiman yang merdeka atau hakim yang merdeka. Namun, ada beberapa persoalan yang dihadapi. Pertama; dalam negara yang menjalankan demokrasi dan negara hukum, semua kekuasaan harus dapat dikontrol agar selalu berjalan sesuai dengan kehendak rakyat (tunduk pada kemauan rakyat). Kedua; kekuasaan mengandung dorongan atau godaan untuk disalahgunakan bahkan sewenang-wenang (ajaran Montesquieu dan Lord Acton). Ketiga; paling tidak kenyataan di negara kita, pengadilan atau hakim menjadi salah satu berita sehari-hari penyalahgunaan kekuasaan. Apakah pranata contempt of court tidak akan dimanfaatkan sebagai pelindung penyalahgunaan kekuasaan, perbuatan sewenang-wenang yang menghancurkan keadilan. Dengan demikian, kontrol terhadap pengadilan atau hakim, selain menjamin pelaksanaan kemerdekaan pers, juga untuk menjamin perwujudan keadilan. 4.
Contempt of Court dan Pers di Indonesia Judul rubrik ini sebenarnya tidak begitu tepat, karena hingga saat ini di Indonesia tidak ada pranata contempt of court. Apakah dapat diartikan pers dapat memberitakan atau menyiarkan mengenai pengadilan termasuk melecehkan peradilan atau hakim tanpa batas. Tidak! Walaupun tidak ada Undang-Undang contempt of court, pers tidak dapat (tidak diperbolehkan) memberitakan, menyiarkan, apalagi melecehkan (meremehkan) pengadilan atau hakim. Pertama; pers terikat pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Menurut KEJ, wartawan (pers) tidak membuat berita yang menghakimi, tidak menyiarkan korban kejahatan kesusilaan, tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Semestinya, wartawan (pers) tidak dibenarkan memberitakan atau menyiarkan penyelidikan dan penyidikan. Pada tingkat penyelidikan dan penyidikan, wartawan tidak dibenarkan menulis nama lengkap terperiksa atau identitas lain yang akan menjadi informasi untuk mengenali yang bersangkutan. Juga, semestinya wartawan (pers) tidak boleh memberitakan atau menyiarkan wanita yang tersangkut tindakan asusila (baik sebagai korban atau pelaku), dan perkara rumah tangga (domestic cases). Kedua; wartawan (pers) wajib menghormati asas-asas umum keadilan (general principles of justice), kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan hakim.
196
Penghinaan terhadap Pengadilan Versus Kebebasan Pers, Bagir Manan
Ketiga; wartawan (pers) dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang diatur hukum pidana seperti pelanggaran privasi (privacy), perbuatan tidak menyenangkan atau fitnah, dan lain-lain.
197
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 189-198
198
UPAYA PERANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN MERENDAHKAN MARTABAT PENGADILAN (CONTEMPT OF COURT)1 (The Effort of Proposing an Act About Contempt of Court)
Jimly Asshiddiqie 2 Email :
[email protected] Abstrak Untuk menjaga martabat dan kehormatan peradilan tidak semata menggunakan pendekatan melalui mekanisme hukum pidana, melainkan juga diperlukan pendekatan melalui mekanisme civil contempt of court dan ethical contempt of court secara integral. Kata kunci: Perancangan Undang-Undang, Merendahkan Martabat Pengadilan Abstract To protect the dignity and soverignty of judiciary not only uses criminal law mechanism but also uses both civil contempt of court and ethical contempt of court integrally. Keywords : Act Proposal, Contempt of Court 1. Perkembangan Upaya Perancangan Sejak lama, dunia kehakiman mengimpikan adanya Undang-Undang yang melindungi peradilan dari upaya penghinaan atau tindakan yang merendahkan martabat pengadilan yang dilakukan oleh pelbagai pihak atau kalangan yang tidak puas terhadap kinerja atau putusan pengadilan. Pengkajian mengenai hal ini juga sudah banyak dilakukan oleh para ahli dan pelbagai kalangan yang peduli. Bahkan, dalam draf Rancangan KUHP Baru yang dewasa ini telah termasuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) di Badan Legislasi DPR-RI, ketentuan mengenai ‘contempt of court’ ini telah pula dimuat dalam Bab IV Buku II di bawah titel Tindak Disampaikan dalam rangka Seminar Nasional tentang “Urgensi Pembentukan UU Contempt of Court untuk Menegakkan Martabat dan Wibawa Peradilan” yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung, di Jakarta, 29 April, 2015. 2 Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (2012-2017), Ketua Dewan Penasihat KOMNASHAM (2013-2018), mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (2003-2008), Ketua Dewan Pembina Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI), dan Ketua Dewan Pembina Asosiasi Auditor Hukum Indonesia (ASAHI). 1
199
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 199-222
Pidana terhadap Proses Peradilan. Namun, tidak semua orang setuju dengan ide perumusan ketentuan mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan ini. Salah satu contohnya adalah hasil kajian ELSAM tahun 2005.3 Di antara hasil kajian ELSAM ini merekomendasikan agar ketentuan mengenai materi ‘contempt of court’yang sudah ada secara tersebar dalam pelbagai UndangUndang, tidak perlu dirumuskan dalam 1 bab tersendiri dalam RUU KUHP. ‘Contempt of court’ lahir dari tradisi hukum ‘common law’, sehingga tidak diperlukan kebijakan khusus untuk diterapkan di Indonesia yang mempunyai tradisi hukum yang berbeda. Menurut ELSAM, dalam sistem peradilan kita, hakim memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara. Apabila dibuat ketentuan khusus mengenai tindak pidana untuk melindungi proses peradilan (criminal contempt of court) dikhawatirkan akan semakin memerkuat kedudukan hakim dalam proses peradilan. Akibatnya, tidak ada satu lembaga atau kekuasaan pun yang dapat melakukan control terhadap kinerja para hakim dalam menjalankan tugasnya. ELSAM malah mengusulkan perlu dibuat suatu Undang-Undang yang justru memungkinkan untuk dilakukannya reformasi terhadap peradilan dan pejabatnya, yang dengan keberadaan Undang-Undang tersebut, kewibawaan, martabat, dan wibawa lembaga peradilan dapat dikembalikan sebagaimana yang diharapkan. Sebelum diusulkan dimuat dalam rangka Rancangan KUHP Baru tersebut, gagasan dan upaya pengaturan ‘Contempt of Court’ ini sudah pula tercermin dalam pelbagai Undang-Undang sejak tahun 1985. Adalah UU No. 14 Tahun 1985 yang pertama kali memuat ide perlindungan terhadap kehormatan peradilan ini, yaitu dalam Penjelasan Umum butir 4. UU No. 14 Tahun 1985 ini kemudian diubah oleh UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang menyebut, “Untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu Undang-Undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dari rongrongan kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai ‘Contempt of Court’.” Dari rumusan Penjelasan kedua Undang-Undang ini jelas tergambar bahwa politik hukum Indonesia telah mengadopsi ide pengundangan ketentuan ‘contempt of court’ itu dalam sistem hukum dan peradilan Indonesia ini dan mendatang. Akan tetapi, oleh karena terus menerus muncul pro dan kontra dalam masyarakat, ide 3
Lihat Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 2, yang ditulis oleh Wahyu Wagiman dkk., “Contempt of Court dalam Rancangan KUHP 2005”, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM, 2005. 200
Perancangan UU Larangan Merendahkan Martabat Pengadilan, Jimly Asshiddiqie
pembentukan Undang-Undang yang dimaksud belum juga terwujud sampai kini. Bahkan, jauh sebelum terbentuknya UU No. 14 Tahun 1985 itu pun, wacana tentang UU Contempt of Court ini sebenarnya sudah digulirkan sejak lama. Ide pembentukan Undang-Undang ‘contempt of court’ ini sudah dimulai pada tahun 1978 dalam Konferensi Tingkat Tinggi ketua-ketua Mahkamah Agung se-Asia Pasifik. Dalam konferensi tersebut, delegasi beberapa Negara, seperti India, Filipina, dan Pakistan menyampaikan pandangan mengenai perlunya pengaturan yang bersifat khusus tentang ‘Contempt of Court’ ini untuk menjamin kehormatan dan kewibawaan peradilan yang bersifat bebas dan independen. Namun, ketika itu, ide pembentukan Undang-Undang tersendiri masih sekedar wacana yang belum mendapatkan momentum untuk berkembang.Istilah “contempt of court” itu baru diadopsi dalam kosakata Perundang-undangan resmi pada tahun 1985, yaitu dalam Penjelasan Umum Angka 4 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Setelah itu, pada tahun 1986, IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional dengan salah satu topik bahasannya mengenai pembentukan UU tentang Contempt of Court sebagaimana yang diamanatkan dalam Penjelasan Umum UU No. 14 Tahun 1985 itu. Dalam Rakernas tersebut berkembang tiga kelompok pendapat mengenai hal ini, yaitu (i) kelompok yang berpendapat bahwa pengaturan ‘Contempt of Court’ dianggap sangat penting untuk dituangkan dalam bentuk UU yang tersendiri; (ii) kelompok yang berpendapat bahwa pembentukan Undang-Undang tersendiri belumlah mendesak dan upaya melindungi kewibawaan dan kehormatan peradilan cukup dilakukan dengan menggunakan instrumen KUHP yang sudah ada secara efektif; dan (iii) kelompok ketiga yang berpendapat bahwa pengaturan ‘contempt of court’ dalam Undang-Undang tidaklah diperlukan, karena yang menjadi sumber masalah bukanlah ‘contempt of court’ melainkan justru persoalan moral dan etika hakim dan aparat pengadilan lainnya yang dapat menghasilkan kepercayaan publik yang menimbulkan kewibawaan dan rasa hormat dari masyarakat. Selanjutnya, pada tahun 2012 diadakan lagi Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung di Manado, Sulawesi Utara, dengan topik antara juga berkenaan dengan wacana pembentukan UU tentang ‘Contempt of Court’. Dalam salah satu butir kesimpulan Rakernas 2012 ini, disepakatiagar MA merekomendasikan sekaligus mendorong pembentuk UU untuk segera menyusun UU tentang ‘Contempt of Court’. Kesepakatan muncul lahir dari keprihatinan mengenai pentingnya perlindungan terhadap hakim dan jajaran aparatur peradilan lainnya dari ancaman/intervensi pihak 201
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 199-222
luar yang mempengaruhi independensi hakim.Disamping itu, ide pembentukan UU tentang Contempt of Court juga dikaitkan dengan salah satu upaya untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri, berwibawa, dan bermartabat. Sekarang, di tahun 2015, sekali lagi kita mengadakan seminar mengenai ‘contempt of court’ ini dengan maksud tentu saja agar UndangUndang yang diharapkan itu atau setidaknya ketentuan hukum mengenai ‘contempt of court’ itu, seperti melalui rumusan KUHP Baru, dapat segera terwujud. Seminar yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung ini bahkan diberi judul, “Urgensi Pembentukan UU Contempt of Court untuk Menegakkan Martabat dan Wibawa Peradilan”. Sesuai dengan judulnya, tujuannya tidak lain adalah agar martabat dan wibawa peradilan tegak, terhormat, dan dihormati. 2. Praktik ‘Contempt of Court’ di Berbagai Negara Perbuatan yang merendahkan peradilan dikenal dengan istilah “contempt of court”.‘Contempt’ dalam bahasa Inggeris biasa diartikan sebagai perbuatan merendahkan atau menghina, sedangkan ‘court’ adalah pengadilan. Kata ‘contempt’ dalam bahasa Inggeris mengandung 5 arti, yaitu: 1) Lack of respect accompanied by a feeling of intense dislike. (noun, feeling); 2) A manner that is generally disrespectful and contemptuous. (noun, attribute); 3) Open disrespect for a person or thing. (noun, communication); 4) A willful disobedience to or disrespect for the authority of a court or legislative body (non, act); 5) The act of contemning or despising; the feeling with which one regards that which is esteemed mean, vile, or worthless, disdain, scorn. (noun). Menurut sejarahnya, praktik mengenai ‘contempt of court’ ini timbul dalam tradisi hukum ‘common law’, dimulai di Inggeris pada abad ke-13. Ketika itu, ‘contempt of court’ masih diidentikkan dengan atau setidaknya terkait dengan pengertian ‘Contempt of the King’. Karena itu, ‘contempt of court’ tergolong tindak pidana yang berat, seperti dikatakan oleh Bracton (1260), “There is no greater crime than contempt and disobedience, for all person ought to be subject to the king as supreme and to his officer”.4 Bahkan, pada tahun 1634, James Williamson yang melempar batu pada hakim yang sedang menjalankan tugasnya di ruang sidang pengadilan, dinyatakan bersalah karena tindak pidana ‘contempt of court’. James 4
Nico Keyzer, lihat Wahyu Wagiman dkk, hal. 6.
202
Perancangan UU Larangan Merendahkan Martabat Pengadilan, Jimly Asshiddiqie
Williamson dijatuhi hukuman potong tangan dan potongan tangannya itu digantungkan di pintu masuk pengadilan sebagai peringatan bagi anggota masyarakat luas.5 Dewasa ini, dalam tradisi hukum ‘common law’, ketentuan mengenai ‘contempt of court’ ini terus diberlakukan. Bahkan, pada tahun 1981, Kerajaan Inggeris menerbitkan UU yang sangat kuat melindungi pengadilan dari pelbagai bentuk perlakuan yang dinilai dapat merendahkan martabat dan kehormatannya, yaitu ‘Contempt of Court Act 1981”. Dalam Undang-Undang ini, ditentukan adanya aturan pertanggungjawaban mutlak ‘strict liability rule’ dimana suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai ‘contempt of court’ yang dapat mengganggu atau mempengaruhi proses peradilan, terlepas dari ada tidaknya niat atau maksud pelaku untuk itu.6 UU ini mengatur secara ketat mengenai ‘contempt in the face of the court, ‘contempt by the jurors’, dan yang terpenting adalah ‘contempt by publication’. Karena itu, dalam penerapannya, pemberlakuan “Contempt of Court Act” sangat berpengaruh pada pelaksanaan prinsip kebebasan pers7. ‘Contempt of Court Act of 1971’ di India juga melarang publikasi yang merendahkan martabat pengadilan sebagai suatu tindak pidana. Dalam sistem peradilan, dibedakan antara ‘civil contempt’ dan ‘criminal contempt’, yaitu (1) ‘Civil Contempt’ sebagai “willful disobedience to any judgment, decree, direction, order, writ or other process of a court or wilfull breach of an undertaking given to a court”; dan (2) ‘Criminal Contempt’ sebagai “the publication of any matter or the doing of any other act whatsoever which: (i) Scandalises or tends to scandalize, or lowers or tends to lower the authority of, any court; or (ii) Prejudices, or interferes or tends to interfere with the due course of any judicial proceeding; or (iii) Interferes or tends to interfere with, or obstructs or tends to obstruct, the administration of justice in any other manner”. 5
Ibid. Pada Chapter 49 Section 1 “Contempt of Court Act 1981” ini dinyatakan, “In this Act, ‘the strict liability rule’ means the rule of law whereby conduct may be treated as a contempt of court as tending to interfere with the course of justice in particular legal proceedings regardless of intent to do so”. 7 Article 10 butir 1 dan 2 Appendix B “Contempt of Court and The European Convention on Human Rights” menentukan, (1) “Everyone has the right to freedom of expression. This right shall include freedom to hold opinions and to receive and impart information and ideas without interference by public authority and regardless of frontiers. This article shall not prevent states from requiring the licensing of broadcasting, television or cinema enterprises.” (2) The exercise of these freedoms, since it carries with it duties and responsibilities, may be subject to such formalities, conditions, restrictions or penalties as are prescribed by law and are necessary in a democratic society, in the interest of national security, territorial integrity or public safety, for the prevention of disorder or crime, for the protection of health or morals, for the protection of the reputation or rights of others, for preventing the disclosure of information received in confidence, or for maintaining the authority and impartiality of the judiciary.” 6
203
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 199-222
Di Hongkong, para hakim di semua tingkatan juga diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi secara langsung dalam hal terjadi tindakan yang merendahkan martabat di pengadilan (contempt in the face of the court). Kewenangan ini tumbu dari tradisi ‘common law’ dan ditentukan pula dalam Perundang-undangan. Tindakan-tindakan yang dipandang merendahkan martabat pengadilan mencakup hal-hal berikut: 1) Insult a judge or justice, witness or officers of the court; 2) Interrupts the proceedings of the court; 3) Interfere with the course of justice; 4) Misbehaves in court (seperti penggunaan handphone atau alat perekam tanpa izin); 5) Juror yang meninggalkan ruangan selama persidangan tanpa permisi; 6) Disobeying a judgement or court order; 7) Breach of undertaking; dan 8) Breach of a duty imposed upon a solicitor by rules of court. Di Amerika Serikat, rujukan mengenai ‘Contempt of Court’ juga dapat ditemukan dalam pelbagai yurisprudensi dan Perundang-undangan, termasuk Federal Rule of Criminal Procedure 42 dan USC 18. ‘Contempt’ dapat dilakukan ‘in the face of the court’ (in facie curiae) yang disebut sebagai ‘direct contempt of court’ atau di luar pengadilan yang disebut ‘indirect contempt of court’ (ex facie curiae), seperti tindakan pihak-pihak yang tidak menaati perintah atau putusan pengadilan. Namun, berbeda dari praktik di Inggris, media komunikasi massa atau media pers mendapatkan perlindungan yang sangat kuat berdasarkan Amandemen Kesatu Konstitusi Amerika Serikat dengan pengecualian yang sangat ketat. Kecuali jika media tersebut merupakan salah satu pihak yang berperkara di pengadilan, media pers tidak termasuk subjek hukum yang diancam oleh ketentuan “contempt of court” dalam memberitakan atau melaporkan suatu kasus dalam persidangan di pengadilan. Pengadilan tidak dapat memerintahkan suatu media pers untuk tidak memberitakan atau melaporkan sesuatu peristiwa factual kepada publik yang berkepentingan. Media cetak ataupun elektronik tidak dapat ditutup karena isi pemberitaan atau laporan yang dipublikasikannya. Dapat dikatakan, tradisi kebebasan pers di Amerika Serikat sangat kuat, sehingga aturan mengenai ‘contempt of court’ tidak mengurangi tradisi kebebasan pers yang kuat itu. Sangat boleh jadi, hal inilah yang menyebabkan kebebasan pers di Indonesia juga seakan tidak dapat disentuh oleh siapapun. Tradisi demikian sangat berbeda dengan tradisi yang dikembangkan di Inggris dan di banyak negara ‘common law’ lainnya. Misalnya, di Australia, dapat dikemukakan beberapa contoh kasus yang melibatkan wartawan yang telah diputus bersalah karena terbukti melakukan 204
Perancangan UU Larangan Merendahkan Martabat Pengadilan, Jimly Asshiddiqie
‘contempt of court’. Tony Barrass dipidana penjara dan didenda dalam kasus di Australia Barat pada tahun 1989-1990 (DPP v. Luders, unreported, District Court of WA No. 177 of 1990). Pada bulan Maret 1992, Joe Budd dipenjarakan karena menutupi sumber informasinya untuk cerita yang ditulisnya yang menyebabkan perkara penghinaan (defamation case) terhadap Brisbane Courier-Mail. Kasus-kasus lainnya juga terjadi pada tahun 1993. Di Australia Selatan, jurnalis iklan (advertiser journalist) David Hellaby didenda, dan wartawan ABC, Chris Nicholls, dipenjarakan karena pelanggaran yang berbeda terkait ‘contempt of court’. Di New South Wales, Deborah Cornwall, kemudian dengan The Sydney Morning Herald, diperintahkan oleh pengadilan untuk melaksanakan ‘a community service’ setelah dinyatakan bersalah karena terbukti melanggar ketentuan ‘Contempt of the ICAC’. Pada tahun 1994, di Queensland, Madonna King of The Australian dan Paul Whittaker of The Courier-Mail, diancam dengan tuduhan ‘contempt of court’ setelah mencetak dan menerbitan material yang berasal dari pemeriksaan persidangan di pengadilan (CJC investigations). Pada tahun 2006-2007, jurnalis Herald Sun, McManus and Harvey, diputus bersalah dan dikenakan denda karena menolak menyebutkan nama sumber berita atau informasi yang dipublikasikannya pada tahap pemeriksaan pendahuluan (preliminary stage of the trial) atas terdakwa whistleblower, Desmmond Kelly. Kasus-kasus kriminalisasi terhadap profesi wartawan yang terjadi di Australia tersebut di atas, dapat dikatakan merupakan konsekuensi logis dari adanya ketentuan mengenai ‘contempt of court by publication’ seperti yang dipraktikkan di Inggris dan di negara-negara ‘common law’ lainya, minus Amerika Serikat. Hal itu terjadi, salah satunya dapat dikaitkan dengan tidak atau belum efektifnya fungsi kode etik profesi wartawan dalam mengoreksi praktik perilaku menyimpang terhadap standar perilaku professional yang diidealkan oleh profesi yang bersangkutan. Jika kode etik jurnalistik berfungsi dengan baik dalam mengontrol perilaku para jurnalis, tentu tidak diperlukan upaya hukum yang melibatkan pengadilan, ataupun tindakan kriminalisasi melalui pengaturan Undang-Undang mengenai ‘contempt of court’ yang memungkinkan pengadilan bertindak untuk menjatuhkan sanksi hukum kepada para professional yang melanggar aturan yang dinilai merendahkan martabat pengadilan melalui publikasi yang dibuatnya.8 8
Dalam sistem hukum Australia, seorang jurnalis dapat diperkarakan melalui mekanisme Kode Etik Jurnalistik atau setidaknya harus lebih dulu diproses etika, daripada langsung diperkarakan melalui proses hukum di atau oleh pengadilan hukum. Misalnya, dalam kasus John Fairfax & Sons Limited v. Cojuangco pada tahun 1987 (8 NSWLR 145) atau dikenal “Cojuangco Case”, the defendant had to withdraw its reliance on the defence of qualified 205
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 199-222
Di Kanada, hukum pidana diatur dalam “Criminal Code of Canada” dan Undang-Undang federal dan provinsi lainnya mengenai hukum pidana. Namun, tradisi ‘contempt of court’ yang berasal dari Inggris masih terus dipraktikkan sampai sekarang menurut tradisi ‘common law’. ‘Contempt of Court’ mencakup perbuatan sebagai berikut: 1) Fail to maintain a respectful attitude, remain silent or refrain from showing approval or disapproval of the proceeding; 2) Refuses or neglects to obey a subpoena; 3) Willfully disobeys a process or order of the court; 4) Interfere with the orderly administration of justice or to impair the authority or dignity of the court; 5) Officer of the court fails to perform his or her duties; 6) Sheriff and/or bailiff does not execute a writ of forthwith or does not make a return thereof. Hanya saja, dalam perkembangan sesudah disahkannya Piagam Hak Asasi Manusia (Charter of Rights and Freedoms (1982), prinsip-prinsip ‘common law’ di Kanada berkembang semakin substantif sejalan dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia, terutama “freedom of expression”. Dalam kasus R vs Koptyo (1987), seorang pengacara didakwa melakukan ‘contempt of court’ karena membuat pernyataan yang dikutip oleh wartawan media Globe dan Mail sesudah mengikuti sidang pembacaan putusan dalam perkara yang ditanganinya. Ia menyatakan, “This decision is a mockery of justice. It stinks to high hell. It says that it is okay to break the law and you are immune so long as someone above you said to do it. Mr. Dowson and I have lost faith in the judicial system to render justice”. “We’re wondering what is the point of appealing and continuing this charade of the courts in this country which are warped in favour of protecting the police. The courts and the RCMP are sticking so close together you’d think they were put together with Krazy Glue.”9 Pernyataannya ini menimbulkan masalah di Pengadilan Ontario. Untuk meluruskan informasi dan mengklarifikasi pernyataannya, pada tanggal 18 Desember 1987, ia kembali diberitakan di Harian Globe dan Harian Mail dengan menyatakan bahwa apa yang diberitakan sebelumnya memang benar pernyataannya. Karena pernyataannya itu Harry Kaptyo didakwa telah melakukan ‘contempt of court’, tetapi 3 dari 5 orang hakim Ontario Court of Appeal membuat putusan dengan suara mayoritas bahwa “scandalizing the court principle” dalam hukum ‘contempt of court’ hanya privilege, rather than have its reporter required to reveal a confidential source, even in the early stages of the litigation. 9 R. vs Koptyo (1987), 62 OR (2nd) hal.449, 455. http://caselaw.canada.globe24h.com/ 0/0/ontario/court-of-appeal-for-ontario/1987/11/27/r-v-kopyto-1987-176-on-ca.shtml. 206
Perancangan UU Larangan Merendahkan Martabat Pengadilan, Jimly Asshiddiqie
dapat diterima apabila memang terbukti adanya “clear and present” atau “real and imminent danger to the administration of justice”. Dalam pertimbangan putusan itu dinyatakan pula, “As a result of their importance, the courts are bound to be the subject of comment and criticism. Not all will wetly reasoned. An unsuccessful litigant may well make comments after the decision is rendered that are not feliciously worded. Some criticism may well be founded, some suggestions for change worth adopting. But the courts are fragile flowers that will wither in the hot heat of controversy….. The courts have functioned well and effectively in difficult times. They are well-regarded in the community because they merit respect. They need not fear criticism nor need to sustain unnecessary barriers to complaint about their operations or decisions”.10 Karena itu, dapat dikatakan bahwa perkembangan di Kanada mendekati praktik yang ada di Amerika Serikat yang memungkinkan media bersikap kritis terhadap kinerja pengadilan dan bahkan terhadap putusan pengadilan.Kritik terhadap pengadilan dan putusan pengadilan hanya dapat dinilai sebagai ancaman terhadap kewibawaan pengadilan, jika pernyataan kritis itu benar-benar terbukti “constitute a real and imminent danger to the administration of justice”, bukan sekedar ancaman yang bersifat hipotetis. Sejak awal abad ke-20, dalam menghadapi kasus ‘contempt of court’, terutama yang terkait dengan pelaksanaan prinsip ‘freedom of expression’ dan ‘freedom of the press’, prinsip ini terus dijadikan pegangan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat sampai sekarang. ‘Contempt of court’ baru dianggap ada, jika terbukti adanya‘a real and imminent danger to the administration of justice’. Hakim Agung Amerika Serikat Hugo L. Black (1937-1971), dalam pertimbangan hukum putusan perkara Schenck v. United States, menyatakan, “the State could only curtail freedom of expression where "the words used are used in such circumstances and are of such a nature as to create a clear and present danger that they will bring about the substantive evils". Editorial dan informasi yang dipublikasikan oleh penerbitan Telegram diperkarakan karena dianggap sebagai bentuk ‘contempt of court’.Namun, Black mempersoalkan asumsi mengenai bahaya yang dapat ditimbulkan oleh publikasi dan editorial yang kritis itu yang disebutnya sebagai “the substantive evils” yang dikatakannya harus bersifat “clear and present”. Sejak putusan yang memuat dalil "clear and present danger" inilah muncul prinsipkerja bahwa “the substantive evil must be extremely serious and the degree of imminence extremely high before utterances can be punished”. 10
Ibid., hal. 469. 207
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 199-222
Hanya “substantive evil” yang dapat menyebabkan orang merendahkan martabat pengadilan, sehingga dapat dipakai untuk membenarkan adanya ‘contempt of court’.Asumsi bahwa rasa hormat kepada pengadilan dapat diperoleh dengan melindungi hakim dari kritik, menurut Hugo Black, justru didasarkan atas penilaian yang salah mengenai karakter pendapat umum orang Amerika. Semua orang mempunyai kebanggaannya sendiri untuk menyampaikan pikirannya secara bebas, meskipun tidak selalu dengan cara yang baik dan dengan cita-rasa yang sempurna mengenai institusi-institusi publik. Akan tetapi, suatu kesenyapan yang dipaksakan (enforced silence), betapapun terbatasnya, hanya untuk kepentingan dan atas nama menjaga kewibawaan pengadilan (the dignity of the bench), tentu akan menyebabkan rasa tidak puas, ketidaksukaan, dan bahkan kecurigaan dan pelecehan (contempt) yang jauh lebih besar dari pada menyebabkan timbulnya rasa hormat. Sehubungan dengan itu, menurut Hugo L. Black “…neither the editorials nor the publication of the telegram actually posed such a threat”. Oleh sebab itu, dakwaan mengenai adanya “contempt of court” dalam perkara Schenck v. United States dikesampingkan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat.Sejak itu, yurisprudensi mengenai ‘contempt of court’ tidak lagi dipertentangkan dengan jaminan kebebasan setiap warga negara Amerika Serikat untuk berekspresi, termasuk untuk mengeritik putusan pengadilan melalui media pers yang bebas. Apa yang dipraktikkan di Amerika Serikat tersebut tentu besar pengaruhnya bagi perkembangan praktik demokrasi dan kebebasan pers, serta semangat untuk menghormati lembaga peradilan sebagai simbol kekuatan pengimbang demokrasi di seluruh dunia. Di satu pihak, demokrasi harus diimbangi oleh rule of law (dan rule of ethics). Tetapi ‘rule of law’ yang tercermin dalam independensi dan kewibawaan pengadilan serta sikap hormat kepada hakim dan lembaga peradilan juga jangan sampai menghalang-halangi kebebasan dan tuntutan akan pelayanan keadilan yang terbuka dan dapat dipercaya. Di zaman sekarang, bagaimanapun juga, tradisi penghormatan yang biasa diberikan terhadap hakim dan lembaga peradilan terus tumbuh dan harus menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan baru dalam perkembangan masyarakat demokratis. Di samping diperlukan perlindungan terhadap kewibawaan dan kehormatan hakim dan lembaga peradilan, tuntutan akan jaminan kebebasan berekspresi, kebebasan pers, keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas publik juga terus meningkat dimana lembaga peradilan juga berkewajiban memenuhinya. Tentu saja, apa yang diuraikan di atas, semuanya terjadi di lingkungan negara-negara dengan tradisi ‘common law’. Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa, meskipun terdapat perbedaan antara praktik di 208
Perancangan UU Larangan Merendahkan Martabat Pengadilan, Jimly Asshiddiqie
Amerika Serikat dan Kanada dengan negara-negara ‘common law’ lainnya terutama terkait publikasi oleh media pers, tetapi di semua negara dengan tradisi ‘common law’ selalu ada pengaturan dan praktik mengenai larangan ‘contempt of court’ dalam sistem peradilan masing-masing. Lalu, apakah benar, seperti kesimpulan yang dibuat oleh ELSAM tersebut di atas, bahwa oleh karena ‘contempt of court’ merupakan tradisi ‘common law’ maka Indonesia yang mempunyai tradisi ‘civil law’ tidak memerlukan UU ‘Contempt of Court’. Apakah negara-negara dengan tradisi ‘civil law’ memang tidak dikenal adanya Undang-Undang yang melindungi martabat dan kehormatan pengadilan? Harus diakui, banyak sarjana yang menyatakan bahwa doktrin ‘contempt of court’ ini tidak dikenal dalam tradisi ‘civil law’. Menurut John Henry Merryman, Rogelio Pérez-Perdomo (2007), “Civil law jurisdictions have nothing comparable to the common law notion of civil contempt of court”.11 Namun, dikatakan oleh Michael Chesterman, doktrin ‘contempt of court’ dalam pengertian dan kewenangannya yang luas memang tidak dikenal dalam tradisi ‘civil law’.12 Akan tetapi, di banyak negara ‘civil law’ juga diatur mengenai larangan merendahkan martabat pejabat umum, mengeritik hakim dan lembaga peradilan.13 Misalnya, dalam KUHP, yang berasal dari Wetboek van Strafrechts Belanda, juga diatur larangan merendahkan martabat pengadilan mulai dari Pasal 207 sampai dengan 233. Bahkan, dalam kaitannya dengan kebebasan berekspresi, ada juga doktrin dengan fungsi yang sejenis yang juga diterapkan di negara-negara ‘civil law’.Misalnya, dalam Pasal 207 dan 208 KUHP dan dalam Artikel 9-1 Kode Civil Perancis, juga diatur mengenai asas praduga tidak bersalah yang juga dikaitkan dengan publikasi. Demikian pula di Belanda dan Jerman serta negara-negara dengan tradisi ‘civil law’ di Eropa Barat, semua memiliki instrumen hukum untuk melindungi kewibawaan dan kehormatan hakim dan lembaga pengadilan. 3. Gelombang Demokrasi, Akuntabilitas dan Profesionalisme Dari perkembangan yang terjadi di banyak negara, terutama di Amerika Serikat, harus dicatat adanya perubahan dalam cara pandang umat manusia tentang martabat dan kehormatan peradilan. Di satu pihak, perkembangan demokrasi tidak dapat dipisahkan dari tegaknya keadilan dan John Henry Merryman dan Rogelio Pérez-Perdomo, The Civil Law Tradition: An Introduction to the Legal Systems of Europe and Latin America, Stanford University Press, 2007, hal. 123. 12 Michael Chesterman, “Contempt: In The Common Law, but Not The Civil Law”, International and Comparative Law Quarterly (ICLQ), Vol. 46, No.3, 1997, Cambridge University Press, hal. 521. 13 M.K. Addo, Freedom of Expression and Criticism of Judges, Ashgate Publishing, 2000. 11
209
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 199-222
‘rule of law’. Karena itu, muncul doktrin “democracy and the rule of law” sebagai dua konsep yang saling berpasangan satu sama lain. Demokrasi membuka ruang kebebasan, sedangkan ‘rule of law’ menjamin keadilan dan tertib sosial. Dalam demokrasi, rakyat yang berdaulat, sedangkan dalam prinsip ‘rule of law’, hukumlah yang dianggap sebagai panglima yang dikaitkan dengan istilah nomokrasi atau ‘rechtsstaat’. Karena keduanya dianggap saling melengkapi, maka demokrasi yang dianggap ideal adalah demokrasi yang berdasar atas hukum yang disebut dengan istilah “constitutional democracy”, sedangkan dari konsepsi Negara Hukum, yang diidealkan adalah “democratische rechtsstaat” atau “democratic rule of law”. Puncak dari sistem Negara Hukum itu sendiri terletak pada doktrin mengenai “Independence of Judiciary” yang dipandang sebagai pilar utama Negara Hukum dan Demokrasi.Karena itu, dalam perwujudan prinsip Negara Hukum, kewibawaan dan kehormatan lembaga-lembaga peradilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi menjadi sangat penting. Tidak aka nada demokrasi tanpa hukum yang tegak dan berkeadilan. Tidak akan ada keadilan tanpa lembaga peradilan yang terpercaya dan dihormati. Karena itu, di tengah gelombang kebebasan di segala bidang kehidupan, penghormatan atas martabat dan kewibawaan peradilan perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Sebagai akibat demokrasi dan demokratisasi, dimana-mana orang merasakan kebebasan berpendapat dan berekspresi, dan terkadang dengan cara yang sangat vulgar. Ketiga sistem norma belum terbentuk dan efektif berfungsi, kebebasan yang dibuka secara tiba-tiba melalui reformasi nasional, tidak selalu berdampak positif. Ada saja orang yang menyalahgunakan kebebasan itu untuk kepentingannya sendiri tanpa memperdulikan kepentingan orang lain. Di tengah gelombang demokrasi dan demokratisasi yang luas itu, (i) muncul kebebasan yang luas dan terbuka di segala bidang kehidupan; (ii) semakin luas pula tuntutan masyarakat akan partisipasi di segala bidang kehidupan bersama; yang (iii) diikuti oleh berkembangnya tuntutan akan akuntablitas publik yang lebih meningkat; dan (iii) tuntutan akan pelayanan professional yang juga meningkat, sehingga dibutuhkan efektifitas standarstandar etika professional yang semakin fungsional dan dapat mencegah munculnya tuntutan untuk kriminalisasi profesi yang juga menguat. Jika sistem etika professional tidak berfungsi dengan baik, dapat dipastikan tuntutan akan peningkatan mutu pelayanan akan diiringi oleh tuntutan kriminalisasi sebagai response yang logis dan rasional untuk mengawal kepentingan umum yang terabaikan oleh kualitas pelayanan profesi yang tidak meningkat dari waktu ke waktu.
210
Perancangan UU Larangan Merendahkan Martabat Pengadilan, Jimly Asshiddiqie
Karena itu dapat dikatakan wajar ada sikap pro dan kontra, bahkan terhadap ide pembentukan Undang-Undang ‘contempt of court’ ini. Dari kalangan aktifis lembaga swadaya masyarakat juga banyak muncul keberatan-keberatan. Munculnya keberatan dari kalangan LSM seperti tercermin dalam sikap ELSAM terhadap ide pembentukan UU ‘Contempt of Court’ seperti tergambar di atas, merupakan cermin ketidakpuasan publik terhadap kinerja peradilan atau cabang kekuasaan kehakiman selama ini. Sikap kritis masyarakat terhadap dunia peradilan mendorong mereka untuk bersikap, daripada memperkuat dan melindungi kekuasaan para hakim dengan UU ‘Contempt of Court’, jauh lebih baik justru menghadapkan profesi hakim dengan ancaman kriminalisasi yang dapat memaksa para hakim memenuhi hasrat masyarakat akan pelayanan keadilan yang professional. Sebenarnya, dalam sejarah, bukan hanya hakim yang dilindungi oleh aturan semacam hukum ‘contempt of court’ ini. Para pejabat umum (public official) lainnya juga mendapatkan perlindungan, sehingga adanya pengaturan hukum mengenai “contempt of parliament”, dan bahkan delik penghinaan terhadap Raja atau “contempt of the King”. Namun, dalam perkembangan iklim demokrasi di zaman pasca modern dewasa ini, peri kehidupan bersama terus didorong menjadi semakin liberal dan terbuka di semua aspek kehidupan bersama dalam masyarakat. Karena itu, pasal-pasal penghinaan terhadap kepala negara yang diwarisi dari sistem KUHP Belanda yang melindungi Raja dan Ratu yang dianggap sebagai simbol negara, sampai sekarang masih terus dipertahankan, meskipun dalam praktik tidak pernah lagi diterapkan. Karena itu, atas dorong semangat demokratisasi itu, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia juga telah memutus bahwa pasal-pasal demikian itu tidak lagi sesuai dengan semangat zaman, dan jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip modern hak asasi manusia yang telah diadopsi ke dalam rumusan UUD 1945. Oleh karena itu, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, pasal penghindaan terhadap kepala negara sebagai tindak pidana umum dalam KUHP telah diubah menjadi tindak pidana aduan (klachtdelict) agar ketentuan itu tidak lagi disalahgunakan oleh aparat penegak hukum karena dorongan budaya hukum feudal yang memberi cenderung memperkukan seorang Presiden sebagai “the King that can do no wrong”. Penghinaan tetap dilarang, tetapi oleh karena Presiden adalah institusi, maka dipandang tidak mungkin mempunyai perasaan terhina. Yang mungkin merasa terhina adalah perasaan orang per orang pribadi yang sedang menduduki jabatan Presiden. Karena itu, jika seorang presiden merasa terhina, ia seperti orang lain yang mempunyai kedudukan
211
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 199-222
yang sama, maka secara pribadi ia berhak mengadu ke pihak kepolisian, karena penghinaan merupakan delik aduan. Penghapusan pasal penghinaan terhadap Presiden ini mendapat perlawanan keras dari banyak ahli hukum pidana. Bahkan, dalam Rancangan KUHP Baru pasal itu diperjuangkan agar dimasukkan kembali sebagai akibat kultur hukum kita yang masih sangat feudal dalam melihat kedudukan seorang Presiden. Sebagian sarjana hukum masih bersikap romantic dengan teori lama bahwa Presiden itu adalah simbol negara, seperti di zaman Kerajaan di Eropah Barat, tempat daripada teori-teori tentang simbol kekuasaan negara itu berasal. Padahal dalam UUD 1945, simbol atau lambing negara sudah jelas diatur dalam Pasal 36A, yaitu “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”. Pertimbangan yang sama sudah seharusnya diterapkan untuk delik penghinaan terhadap lembaga pengadilan. Institusi pengadilan tidaklah mempunyai perasaan terhina apabila dikritik dan dimaki ataupun tersanjung apabila dipuji. Yang merasa terhina atau tersanjung adalah orang per orang hakim, yang apabila itu terjadi, maka hal tersebut harus dikonstruksi sebagai delik aduan juga. Hakim harus mengadukan penghinaan itu kepada pihak kepolisian. Karena itu, delik ‘contempt of court’ terhadap institusi dan terhadap proses peradilan, harus dibedakan dari delik terhadap pribadi hakim atau petugas pengadilan lainnya. Delik terhadap hakim dan pejabat harus dikembangkan sebagai delik aduan, sedangkan delik terhadap institusi dapat diatur sebagai tindak pidana umum, tetapi tidak disebut sebagai delik penghinaan terhadap peradilan. Karena itu, diusulkan agar penerjemahan perkataan “contempt of court” tidak menggunakan kata penghinaan terhadap peradilan, tetapi menggunakan istilah lain, sehingga dapat dibedakan secara tegas dengan penghinaan terhadap pribadi hakim sebagai delik aduan. Pendek kata, pengaturan mengenai “contempt of court” harus lah seiring dengan semangat untuk membangun keterbukaan peradilan dan akuntabilitas publik, yang dapat menjaga kepercayaan publik (public trust) sebagai modal bagi berkembangnya martabat dan kehormatan peradilan di mata masyarakat. Standar demokrasi dan kebebasan dari waktu ke waktu terus berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban bangsa dan nilainilai universal peradaban umat manusia. Karena itu, upaya perlindungan martabat dan kehormatan peradilan itu perlu dikembangkan dengan hati-hati agar tidak mengurangi semangat dan proses pematangan demokrasi yang sedang berjalan menuju peradaban bangsa kita yang semakin demokratis sesuai dengan standar-standar yang bersifat universal itu. Karena itu, kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang dianggap dapat merendahkan martabat dan kehormatan peradilan harus diatur secara ketat 212
Perancangan UU Larangan Merendahkan Martabat Pengadilan, Jimly Asshiddiqie
dan terbatas. Sebaliknya, perbuatan-perbuatan yang dianggap merendahkan itu perlu lebih banyak dikembangkan melalui mekanisme fungsionalisasi dan penegakan etika, sehingga sistem peradilan dapat ditopang oleh tegaknya prinsip-prinsip ‘rule of law’ dan sekaligus ‘rule of ethics’. 4. Objek Perbuatan dan Subjek yang Merendahkan Ketentuan dalam KUHP yang dapat dikaitkan dengan pengertian perbuatan Contempt of Court terdapat dalam 18 pasal, yaitu: 1) Pasal 207, pernyataan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia; dan 2) Pasal 208, perbuatan menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum suatu tulisan atau lukian yang memuat penghinaan terhadap suatu penguasa atau badan umum. 3) Pasal 209, perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; 4) Pasal 210, perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang hakim, penasihat atau adviseur; 5) Pasal 211, perbuatan memaksa seorang pejabat untuk melakukan perbuatan jabatan atau untuk tidak melakukan perbuatan jabatan yang sah; 6) Pasal 212, perbuatan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah; 7) Pasal 216, perbuatan tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut Undang-Undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu; 8) Pasal 217, perbuatan menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan; 9) Pasal 220, pengaduan palsu; 10) Pasal 221, menyembunyikan orang yang melakukan tindak pidana; 11) Pasal 222, mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk kepentingan pengadilan; 12) Pasal 223, melepaskan atau memberi pertolongan ketika meloloskan diri kepada orang yang ditahan atas perintah penguasa umum, atas putusan atau ketetapan hakim; 13) Pasal 224, perbuatan sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut Undang-Undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban; 14) Pasal 233, perbuatan merusak/menghilangkan barang bukti; 15) Pasal 242, keterangan palsu; 16) Pasal 420, seorang hakim yang menerima hadiah atau janji;
213
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 199-222
17) Pasal 422, seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana, menggunakan sarana paksaan baik untuk memeras pengakuan maupun untuk mendapatkan keterangan; 18) Pasal 522, saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum. Dalam ketentuan KUHAP, pasal-pasal yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan “Contempt of Court” adalah: 1) Pasal 217 yang menentukan, (1) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib di persidangan; (2) Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat; 2) Pasal 218 yang menentukan, (1) Dalam ruang sidang siapa pun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan; (2) Siapa pun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak mentaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintahnya yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang; (3) Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat suatu tindak pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya; 3) Penjelasan Pasal 218 ini menyatakan bahwa tugas pengadilan luhur sifatnya, karena tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, sesama manusia dan dirinya, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, setiap orang wajib menghormati martabat lembaga ini, khususnya bagi mereka yang berada di ruang sidang sewaktu persidangan sedang berlangsung bersikap hormat secara wajar dan sopan serta tingkah laku yang tidak menyebabkan kegaduhan atau terhalangnya persidangan. Dalam peraturan Perundang-undangan lainnya, seperti misalnya, Keputusan Menteri Kehakiman No.01/M.01.PW.07.03 Th.1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP juga menyinggung tentang kemungkinan adanya Contempt of Court, sehingga perlu diberikannya kewenangan bagi hakim yang memeriksa perkara di persidangan untuk menjaga ketertiban selama sidang berlangsung. Dalam Keputusan ini ditegaskan bahwa KUHAP mengisyaratkan adanya keharusan sifat terbuka dalam sidangsidang pengadilan. Hal ini dianggap mencerminkan asas demokrasi di bidang pengadilan dan tidak dapat dilepaskan dari fungsi pers untuk mengadakan pemberitaan, reportase tentang jalannya peradilan. Dalam persidangan pengadilan yang terbuka itulah pemeriksaan dijalankan seobyektif-obyektifnya dan dihadiri oleh khalayak ramai dengan tertib agar dapat mengikuti atau mengawasi jalannya pemeriksaan.
214
Perancangan UU Larangan Merendahkan Martabat Pengadilan, Jimly Asshiddiqie
Sifat terbukanya suatu proses peradilan bukanlah terletak pada kenyataan adanya orang yang keluar masuk ruang sidang pengadilan, tetapi terletak pada pemberitaan atau publikasi oleh media yang bebas pers dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun demikian, dari segi yang lain, pemberitaan dan publikasi yang bebas dan terbuka itu juga jangan sampai menyebabkan prinsip “fair administration of justice” menjadi terganggu. Persidangan terbuka demi keadilan menangkut hak seseorang untuk diadili secara terbuka, tetapi juga tidak boleh mengakibatkan ia diadili oleh “publik” melalui “trial by the press”. Karena itu, hakim ketua sidang diwajibkan menjaga jalannya persidangan dengan tertib. Ketertiban di ruang sidang pengadilan tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Para pelaku pelanggaran tata tertib persidangan dapat diancam sebagai tindak pidana menurut ketentuan Pasal 218 KUHAP. Semua ketentuan tersebut memuat jenis-jenis perbuatan yang dapat dipidana sebagai “criminal contempt of court”. Di samping yang diatur dalam KUHP dan KUHAP tersebut, banyak tulisan yang telah menguraikan ragam bentuk dan jenis pelanggaran yang biasa disebut sebagai “offences against the administration of justice” ini. Ada pula yang disebut dengan “civil contempt of court” yaitu tindakan yang dengan sengaja mengabaikan perintah pengadilan, atau tindakan menolak untuk melaksanakan putusan pengadilan bagi kepentingan pihak yang telah dimenangkan oleh pengadilan. Mengenai “criminal contempt of court”, Profesor Barda Nawawi Arief membaginya menjadi 7 kelompok, yaitu: 1) Gangguan di muka atau di dalam ruang sidang pengadilan; 2) Perbuatan-perbuatan untuk mempengaruhi proses peradilan yang tidak memihak; 3) Perbuatan yang memalukan atau menimbulkan kandal bagi pengadilan; 4) Mengganggu pejabat pengadilan; 5) Pembalasan terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan selama proses peradilan berjalan; 6) Pelanggaran kewajiban oleh pejabat pengadilan; dan 7) Pelanggaran oleh pengacara. Dalam pelbagai literatur, banyak juga yang menggambarkan bahwa bentuk-bentuk konstitutif perbuatan yang dikategorikan sebagai ‘contempt of court’ itu dapat berupa: 1) Misbahaving in court; 2) Disobeying a court order; 3) The subjudice rule; 4) Obstructing justice; dan 5) Scandalizing the court. 215
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 199-222
Kesemuanya itu dapat dibedakan antara ‘direct contempt and indirect contempt of court’, atau ‘contempt in the face of the court’ (in face curiae) dan ‘contempt out of the court’ (ex face curiae). Jika dirinci, dapat pula kita bedakan antara ‘contempt of court’: 1) ‘Contempt of Court’ di pengadilan sebagai ‘direct contempt’, yaitu: a) di dalam ruang sidang dan selama persidangan sedang berlangsung; b) di dalam ruang sidang tetapi di luar persidangan; c) di luar ruang sidang dan gedung pengadilan, tetapi di pekarangan atau di sekitar gedung pengadilan, seperti unjuk rasa besar-besaran dengan pengeras suara yang mengganggu persidangan; 2) ‘Contempt of Court’ di luar pengadilan dalam bentuk “indirect contempt of court” melalui: a) pernyataan-pernyataan yang merendahkan hakim dan pengadilan secara terbuka di media massa cetak, elektronik, atau media sosial; b) pernyataan-pernyataan yang merendahkan hakim melalui surat atau tulisan yang ditujukan kepada pihak-pihak lain, selain kepada hakim dan para pihak yang berpekara dan pihak-pihak yang berperan atau memberikan keterangan dalam proses persidangan peradilan, dengan tujuan mempengaruhi independensi dan imparsialitas pengadilan; c) keterlibatan fisik dalam kegiatan unjuk rasa dan pernyataanpernyataan terbuka advokat dan pihak-pihak yang dikalahkan oleh putusan pengadilan dengan nada merendahkan hakim dan tidak menghormati putusan pengadilan; d) penolakan untuk melaksanakan perintah atau putusan pengadilan; e) perbuatan mengganggu dan menghalang-halangan hakim dan pejabat pengadilan lainnya dalam menjalankan tugasnya; f) Tindakan pembalasan terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pihak selama proses peradilan berjalan. Perbuatan yang dikualifikasikan sebagai ‘contempt of court’ tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja. Namun, untuk kepentingan pengaturan mengenai “Contempt of Court”, perbuatan dimaksud perlu dibatasi hanya sepanjang yang dilakukan oleh: 1) Pejabat negara atau pejabat pemerintahan yang harus saling menghormati antar pejabat negara, baik (a) yang terlibat dalam proses persidangan di pengadilan, maupun (b) yang tidak terlibat dalam proses persidangan di pengadilan; 2) Penyandang profesi yang harus saling menghormati antar profesi, terutama para advokat dan jaksa penuntut, baik (a) yang terlibat dalam proses persidangan di pengadilan, maupun (b) yang tidak terlibat dalam proses persidangan di pengadilan;
216
Perancangan UU Larangan Merendahkan Martabat Pengadilan, Jimly Asshiddiqie
3) Jurnalis dan pengelola industri media yang memberitakan atau mempublikasikan informasi tentang dan yang berasal persidangan di pengadilan. Pengaturan yang jelas mengenai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang dinilai merendahkan martabat hakim dan kehormatan lembaga peradilan perlu disertai dengan alternatif solusi normatif yang tidak hanya terpaku pada pendekatan hukum. Sebagian dari perbuatan yang dipandang menyimpang dari keharusan idealitas nilai yang dikategorikan sebagai ‘contempt of court’ itu lebih tepat disebut sebagai pelanggaran etika daripada pelanggaran hukum.Apalagi untuk dikaitkan dengan pelanggaran hukum pidana (criminal contempt) yang sudah seharusnya difungsikan sebagai upaya paling terakhir atau ‘ultimum remedium’. Tidak perlu semua jenis perbuatan yang dinilai tidak ideal dalam rangka menjaga kewibawaan dan kehormatan hakim, proses peradilan, dan lembaga peradilan, harus selalu diatasi dengan pendekatan hukum, apalagi dengan hukum pidana. 5. ‘Contempt of Court’ dan Solusi Etika Dalam makalah ini, saya tidak menampik adanya kebutuhan yang logis dan rasional untuk mengkriminalisasikan sebagian perbuatan yang dipandang tidak ideal bagi upaya menjaga kehormatan hakim dan kewibawaan lembaga serta proses pengadilan. Apalagi, sistem hukum di semua negara dapat dikatakan mengenal adanya ketentuan mengenai ‘contempt of court’ ini.Akan tetapi, tidak semua perbuatan harus dikualifikasi sebagai bentuk ‘criminal contempt of court’.Di samping yang bersifat pidana, perlu dikembangkan juga aspek non-pidananya atau ‘civil contempt of court’. Bahkan, tulisan ini menawarkan perspektif baru, yaitu dengan pendekatan etika yang dapat dinamakan ‘ethical contempt of court’. Sepanjang perbuatan ‘contempt of court’ dimaksud dilakukan oleh (i) pejabat negara atau pemerintahan yang terikat pada prinsp ‘rule of law’ dan ‘rule of ethics’ dalam jabatannya, atau oleh (ii) penyandang status sebagai professional berdasarkan standar kompetensi dan etika profesi yang resmi, seperti advokat, notaris, akuntan, dan sebagainya, yang juga terikat oleh prinsip-prinsip ‘the rule of law and the rule of ethics’, maka upaya penindakan hukum terhadapnya sebaiknya hanya dapat dilakukan setelah upaya yang bersifat etika dilakukan sebagaimana mestinya, atau dengan kewenangannya hakim memerintahkan untuk difungsikannya sistem sanksi etika sebagaimana mestinya. Sebaiknya, hanya untuk perbuatan-perbuatan yang tergolong sebagai pelanggaran yang sangat berat yang nyata-nyata berakibat fatal saja yang perlu dikenakan sanksi pidana. Pelanggaran yang dimaksud harus terbukti 217
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 199-222
merupakan perbuatan yang benar-benar menimbulkan “a clear and present”, dan “real and imminent danger” terhadap proses peradilan perlu dikenakan sistem sanksi pidana. Sedangkan terhadap perbuatan yang nyatanyata menolak untuk melaksanakan perintah atau putusan pengadilan, hakim dapat menjatuhkan sanksi “civil contempt of court”, di samping melalui mekanisme etika sebagaimana mestinya. Mengenai mekanisme etika dan hukum untuk mengatasi upaya penghinaan yang merendahkan martabat dan kehormatan hakim, lembaga dan proses peradilan, dapat direkomendasikan beberapa kemungkinan pendekatan sebagai berikut. 1) Subjek yang dihadapi: a) bukan warga negara biasa yang berhak atas kebebasan berpendapat; b) pejabat negara dalam arti luas yang sudah diikat oleh kode etik atau yang belum; dan c) penyandang profesi yang terikat oleh kode etik profesi masingmasing. 2) Criminal approach against criminal contempt : a) Pendekatan pidana (kriminalisasi) harus diminalisasi sebagai ‘ultimum remedium’ dengan cara memfungsikan dan memperkuat sistem etika dalam rangka meningkatkan kehormatan dan kewibawaan peradilan. Fungsionalisasi dan penguatan sistem etika itu dilakukan, baik mengenai (i) etika hakim sendiri dalam upaya melayani para pencari keadilan dan para pihak dalam proses peradilan, maupun (ii) etika pejabat negara dan para professional lainnya terhadap hakim dan pengadilan; b) Criminal contempt terhadap pribadi hakim di luar sidang pengadilan sebagai tindak pidana dengan delik aduan; c) Criminal contempt sebagai tindak pidana umum dibatasi hanya terjadi (i) di dalam ruang sidang, seperti tindakan kerusuhan, (ii) di luar sidang dalam jarak di sekitar gedung pengadilan dilarang mengadakan unjuk rasa. 3) Civil approach against civil contempt; a) Sanksi terhadap advokat dan para pihak yang tidak mengindahkan perintah pengadilan atau putusan pengadilan, dilakukan dengan ancaman pencabutan hak untuk berperkara di pengadilan secara permanen dan ancaman sanksi lainnya sampai yang bersangkutan melaksanakan kewajibannya; b) Selain itu, ‘civil contempt’ terhadap institusi dapat pula diselesaikan sebagai masalah etika profesional dan ethical contempt. 218
Perancangan UU Larangan Merendahkan Martabat Pengadilan, Jimly Asshiddiqie
4) Ethical approach against contempt of court : a) Penguatan kewenangan hakim untuk menjatuhkan sanksi di ruang pengadilan kepada para professional hukum, seperti jaksa, advokat, ahli, dan profesi lain dengan sanksi (i) teguran/peringatan, (ii) skorsing untuk bersidang, atau (iii) larangan bersidang secara permanen. b) Penguatan kewenangan ketua pengadilan untuk memerintahkan kepada organisasi profesinya untuk menjatuhkan sanksi (i) teguran/ peringatan, (ii) skorsing untuk jangka waktu tertentu, atau (ii) sanksi pemberhentian dari profesinya secara permanen dengan akibat segala perbuatan profesionalnya dalam profesi yang bersangkutan sesudah putusan pengadilan dianggap tidak sah untuk seterusnya; c) Penguatan kewenangan pengadilan untuk memerintahkan Dewan Pers, dan penguatan kewenangan Dewan Pers untuk menjatuhkan sanksi kepada wartawan, penanggungjawab redaksi, dan perusahaan pers berdasarkan perintah pengadilan, dengan (i) teguran/peringatan, (ii) sanksi skorsing, atau (iii) pemberhentian. d) Penguatan kewenangan pengadilan untuk memerintahkan kepada badan atau majelis penegak kode etik pegawai atau pejabat negara, atau di lingkungan lembaga atau badan-badan pemerintahan yang tidak atau belum mempunyai lembaga penegak kode etik, memerintahkan kepada atasan yang berwenang, untuk menjatuhkan sanksi (i) teguran/peringatan, (ii) skorsing untuk jangka waktu tertentu, atau (iii) pemberhentian secara tetap dari jabatannya. Dengan demikian subjek hukum yang dilarang dengan pendekatan etik untuk menghina, melecehkan, atau merendahkan martabat hakim dan pengadilan adalah: 1) Para pihak dalam ruang sidang; 2) Pejabat negara atau pemerintahan; 3) Profesional yang terikat kode etika profesi, termasuk para advokat dan wartawan; 4) Industri pers sebagai ‘the fourth estate of democracy’, yaitu penanggungjawab redaksi dan perusahaan pers. Sedangkan warga negara biasa tidak terkena larangan ‘contempt of court’ ini. Setiap warga negara berhak untuk bebas dalam mengekspresikan pendapat negatif atau positif mengenai hakim dan proses peradilan, sepanjang (i) tidak di dalam ruang sidang, (ii) tidak di sekitar gedung pengadilan, dan (iii) tidak dimuat di media massa, yang apabila dimuat, maka penulis, penanggungjawab, dan/atau pengelola media tersebut dapat diminta pertanggungjawabannya secara etika atau hukum (secara terbatas) sebagai ‘Contempt of Court’. Kriminalisasi terhadap publikasi dibatasi 219
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 199-222
hanya apabila suatu statemen kritis terbukti benar-benar menimbulkan akibat timbulnya “clear and present, real and imminent danger to the administration of justice”. 6. Tentang RUU KUHP atau RUU ‘Contempt Of Court’ Masalah yang terakhir adalah apakah sebaiknya, ketentuan mengenai ‘contempt of court’ itu dituangkan dalam KUHP Baru saja atau harus dengan Undang-Undang yang tersendiri, yaitu UU tentang Martabat Peradilan atau UU tentang Larangan Merendahkan Martabat Peradilan. Jika dipelajari, apa yang dirumuskan dalam Rancangan KUHP Baru jelas belum mencakup semua kebutuhan normatif untuk menjaga kehormatan dan kewibawaan peradilan. Lagi pula KUHP hanya akan memuat ketentuan mengenai tindak pidana saja atau ‘criminal contempt’, belum mencakup mengenai ‘civil contempt’ dan apalagi ‘ethical contempt’ yang diusulkan dalam tulisan ini. Namun demikian, Rancangan KUHP Baru, sepanjang menyangkut aspek perlindungan hukum pidana (criminal contempt) terhadap peradilan, dapat dikatakan sudah cukup memadai untuk segera dibahas oleh DPR. Upaya pembaruan KUHP ini sudah terlalu lama diimpikan dan bahkan dipersiapkan, setidaknya sejak tahun 1963.Namun sampai sekarang belum juga kunjung selesai. Karena itu, ada baiknya Rancangan KUHP yang sudah masuk dalam program legislasi nasional di DPR segera saja dibahas sebagaimana mestinya. Namun demikian, saya juga mendukung usaha Pimpinan Mahkamah Agung untuk mengusulkan dibentuknya satu Undang-Undang yang tersendiri mengenai hal ini, yaitu UU tentang Martabat dan Kehormatan Peradilan. Usaha serius Mahkamah Agung ini tercermin pada judul seminar ini, yaitu “Urgensi Pembentukan UU Contempt of Court untuk Menegakkan Martabat dan Wibawa Peradilan”. Undang-Undang yang tersendiri ini penting untuk memastikan bahwa upaya membangun integritas, kepercayaan, dan kewibawaan martabat peradilan harus diatur secara integral, tidak hanya dari segi hukum pidana saja, tetapi juga dari segi perdata dan bahkan dari segi etika. Karena itu, memang lebih baik dibentuk satu Undang-Undang yang tersendiri mengenai hal itu, meskipun KUHP Baru sudah memuat beberapa aspek mengenai hukum pidana yang berkenaan dengan “contempt of court” secara terbatas. Di samping untuk tujuan (i) menjaga dan menegakkan martabat dan wibawa hakim dan peradilan, Undang-Undang ini dapat dimanfaatkan pula untuk (ii) menyempurnakan kekurangan UU tentang Komisi Yudisial, yang berkaitan langsung dengan upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim, (iii) menyempurnakan kekurangan semua Undang-Undang yang berkaitan dengan profesi hukum yang dalam 220
Perancangan UU Larangan Merendahkan Martabat Pengadilan, Jimly Asshiddiqie
pelaksanaan tugasnya mempunyai hubungan baik langsung atau pun tidak langsung dengan proses penegakan hukum dan proses persidangan di pengadilan, seperti advokat, jaksa penuntut, dan lain-lain, terutama menyangkut sistem etika profesi hukum itu masing-masing, dan (iv) menyempurnakan kekurangan UU tentang Penyiaran dan UU tentang Pers, sepanjang menyangkut penegakan kode etika yang berhubungan dengan pemberitaan dan publikasi mengenai peradilan. Dalam Rancangan KUHP Baru, sudah terdapat beberapa pasal yang mencerminkan usaha untuk melindungi kekuasaan kehakiman yang merdeka dari usaha-usaha untuk mengganggu proses peradilan. Aturan tersebut terdapat dalam Buku II RUU KUHP, pada Bab IV yang dirumuskan dengan judul Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan. Bab IV ini dimulai dari Pasal 325 sampai dengan Pasal 335 yang dapat dikelompokkan dalam tiga bagian, yaitu (1) Bagian Kesatuan, tentang penyesatan proses peradilan; (2) Bagian Kedua, tentang menghalang-halangi proses peradilan; dan (3) Bagian Ketiga, tentang perluasan perbuatan dan pemberatan pidana. Dalam kajian ELSAM pada Lampiran I, terdapat 18 butir ketentuan mengenai tindak pidana terhadap peradilan ini, yaitu pada Pasal 327, 328, 329, 330, 331, 332, 333, 334, 335, 336, 337, 338, 339, 415, 420, 424, 436, dan Pasal 537 Rancangan KUHP Baru.14 Semua norma yang diusulkan dalam Rancangan KUHP ini tentu sudah didasarkan atas pengkajian yang lama dan mendalam. Akan tetapi, selama ini belum dipertimbangkan mengenai kemungkinan dikembangkannya sistem etika profesional yang dapat menopang bekerjanya sistem norma hukum pidana yang hendak dirumuskan dalam KUHP Baru ini. Karena itu, seperti usulan ELSAM, disarankan agar DPR dan Pemerintah dapat segera membahas rancangan KUHP Baru itu secara terbuka dengan melibatkan masyarakat luas dan para ahli hukum dan etika, selain para ahli hukum pidana yang sudah berperan selama ini. Dengan demikian, upaya menjaga martabat dan kehormatan peradilan tidak saja didekati melalui mekanisme hukum pidana yang tercermin dalam Rancangan KUHP ini, tetapi juga melalui mekanisme ‘civil contempt of court’ dan ‘ethical contempt of court’ secara terintegrasi. Karenanya, bersamaan dengan itu, saya juga mendukung upaya Mahkamah Agung untuk mengusulkan disusunnya Rancangan Undang-Undang yang dapat saja dinamakan Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Merendahkan Martabat Pengadilan.
Lihat Posisiton Paper ELSAM Seri #2, Lampiran I. “Contempt of Court” Dalam Rancangan KUHP 2005, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2005, hal. 27-31. 14
221
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 199-222
222
PENCEMARAN DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Environmental Pollution and Damage in Islamic Law Perspective)
Abdul Manan Hakim Agung MA RI Jl. Medan Merdeka Utara No. 9-13, Jakarta Pusat Email :
Abstrak Peraturan yang mengatur tentang lingkungan hidup di Indonesia cukup banyak dan tersebar dalam berbagai peraturan. Tetapi tampaknya peraturanperaturan tersebut berdiri sendiri, tidak ada aktivitas dan efektivitasnya. Cara pengelolaan lingkungan hidup yang tidak terencana dan tidak terpadu secara serasi dan integral menyebabkan perusakan dan pencemaran lingkungan. Hukum Islam memiliki prinsip-prinsip yang wajib menjadi landasan dan titik tolak aktivitas kekuatan-kekuatan sosial agar terjamin kehidupan yang teratur, seimbang, dan harmonis sehingga tidak terjadi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang menyebabkan hilangnya keseimbangan dan keserasian kehidupan di dunia ini. Diantara prinsipprinsip tersebut yaitu persamaan, keseimbangan, kemaslahatan, kegotongroyongan dan keadilan. Melalui implementasi prinsip-prinsip tersebut diharapkan aturan tentang lingkungan hidup yang telah ditetapkan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kata kunci : Pencemaran dan Perusakan, Lingkungan, Hukum Islam Abstract Regulations governing the environment in Indonesia are many and scattered in various regulations. But it seems that these regulations stand alone, no activity and effectiveness. How to environmental management are not planned and are not integrated in a harmonious and integral cause destruction and environmental pollution. Islamic law has principles that must form the basis and starting point of the activity of the social forces in order to ensure an orderly life, balance, and harmony so there is no pollution and environmental destruction that causes loss of balance and harmony of life in this world. Among these principles, namely equality, balance, benefit, mutual cooperation and justice. Through the implementation of these principles is expected to rule on the environment that has been set it can run properly. 223
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 223-240
Keywords : Environmental Pollution and Destruction, Environment, Islamic law A. Pendahuluan Istilah lingkungan yang dipergunakan dalam makalah ini adalah merupakan terjemahan dari istilah “Environment” dalam bahasa Inggris, atau “I’evironemen” dalam bahasa Perancis, “Umwelt” dalam bahasa Jerman, “Millieu” dalam bahasa Belanda, “Alam Sekitar” dalam bahasa Malaysia, “Kapaligiran” dalam bahasa Tagalog, atau “Sinvat-lom” dalam bahasa Thai. (Munadjad Danusaputra: 1980). Istilah tersebut secara teknis dimaksudkan dengan lingkungan hidup atau lengkapnya lagi adalah lingkungan hidup manusia. Menurut UU No. 4 Tahun 1982 Pasal 1 Ayat (1) yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang memengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. UU No. 4 Tahun 1982 membuka kemungkinan untuk mengatur berbagai kebijaksanaan mengenai pemeliharaan lingkungan hidup dengan ketentuan sendiri. Oleh karena itu, untuk membentuk dan mengembangkan satu hukum lingkungan yang relatif sanggup menjangkau pengaturan semua aspek yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan hidup secara integral, masih diperlukan penyusunan dan perbuatan berbagai Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan pelaksanaannya. Hal ini membutuhkan waktu yang cukup panjang sangat luas ruang lingkupnya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, banyak sekali ayat-ayat AlQur’an dan al-Hadist yang membicarakan tentang keharusan umat manusia menjaga kelestarian alam, kiranya di sinilah nilai-nilai yang ada dalam Syariat Islam dapat ditransformasikan ke dalam peraturan Perundangundangan yang dibentuk dan dilaksanakan dalam rangka mengatur tata lingkungan hidup di Indonesia ini. Dalam makalah ini, akan dikemukakan beberapa hal mengenai prinsip-prinsip Hukum Islam dalam mengelola lingkungan hidup, khususnya yang berkenaan dengan masalah pencemaran dan perusakan lingkungan B. Lingkungan Hidup di Indonesia Masalah lingkungan hidup di Indonesia diatur dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ada dua hal yang ditonjolkan oleh Undang-Undang ini, yaitu : (1) Undang-Undang ini hanya mengatur tentang lingkungan hidup secara garis besar dalam pokok-pokoknya saja, sedangkan aturan secara rinci diatur 224
Pencemaran dan Perusakan Lingkungan dalam Hukum Islam, Abdul Manan
dalam peraturan pelaksana atau petunjuk pelaksanaan lainnya. (2) UndangUndang ini bukan mengatur tentang lingkungan hidup secara keseluruhan, akan tetapi hanya mengatur segi pengelolaannya saja (Abdurrahman, 1986). Dalam hubungannya dengan peraturan Perundang-undangan tentang lingkungan sebagaimana tersebut di atas, Munadjat Danusaputra (1980) menyatakan bahwa Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pengelolaan Hidup disusun untuk dapat berfungsi sebagai “Ketentuan Payung” atau Umbrella Provision bagi penyusunan peraturanperaturan Perundang-undangan tentang lingkungan hidup selanjutnya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sifat dari Undang-Undang Lingkungan Hidup itu secara khusus memberikan arah dan ciri-ciri bagi semua jenis tata pengaturan lingkungan hidup yang perlu dituangkan dalam bentuk pengaturan-pengaturan perundangan tersendiri. Undang-Undang ini harus mampu menjadi dasar dan landasan bagi pengembangan hukum lingkungan lainnya, termasuk di dalamnya pembaruan dan penyesuaian peraturanperaturan hukum lama. Peraturan yang mengatur tentang lingkungan hidup di Indonesia cukup banyak dan tersebar dalam berbagai peraturan sebagian dari peraturan itu sudah ada sejak zaman Belanda, dan sebagian lagi dibuat setelah zaman kemerdekaan. Tetapi tampaknya peraturan-peraturan tersebut berdiri sendiri, tidak ada aktivitas dan efektivitas dari peraturan itu (Abdurrahman, 1986). Dari inventarisasi mengenai peraturan yang menyangkut aspek lingkungan, nyatalah bahwa belum ada dan masih diperlukan peraturan untuk melindungi hidup manusia dan sumber alam dalam kaitannya dengan pembangunan, seperti masalah pestisida, pencemaran air dan sungai dan air laut oleh pengangkutan minyak dan pembuangan sampah dan kotoran oleh industri. Hal ini berarti bahwa problem perusakan dan pencemaran di bidang kehidupan lain, seperti dalam bidang sosial-budaya tidak begitu penting. Tentang masalah ini tetap mempunyai arti penting dalam penanggulangannya, hanya urutan prioritas penanganannya perlu diadakan (Siti Sundari Rangkuti, 1975). Urusan prioritas tersebut diperlukan karena kondisi yang tidak menguntungkan untuk dilaksanakan Undang-Undang tersebut sekaligus. Di samping itu, ada pula Undang-Undang yang secara konvensional sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip lingkungan hidup yang dikembangkan pada saat ini. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sangat diperlukan adanya penyempurnaan dari peraturan Perundang-undangan yang berlaku saat ini. Di samping itu, diperlukan juga suatu peraturan Perundang-undangan yang merangkum segala macam peraturan yang ada ke dalam suatu pola berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan yang sudah digariskan.
225
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 223-240
Karena itu diperlukan adanya suatu Undang-Undang yang memuat ketentuan pokok mengenai lingkungan hidup secara keseluruhan. Asas pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan UU No. 4 Tahun 1982 adalah pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Sedangkan tujuannya adalah (1) Tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, (2) Tercapainya dan terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana, (3) Terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup, (4) Terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang, (5) Terlindunginya negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Pasal 1 Ayat (4) Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 dirumuskan bahwa ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi. Lingkungan hidup Indonesia adalah lingkungan hidup yang ada dalam batas wilayah Negara Republik Indonesia. Menurut Penjelasan Umum UU No. 4 Tahun 1982, lingkungan hidup dalam pengertian ekologi tidaklah mengenai batas wilayah negara ataupun wilayah administrasi. Akan tetapi kalau lingkungan hidup dikaitkan dengan pengelolaannya, maka haruslah jelas batas wewenang pengelolaan tersebut. Jadi konsep tentang lingkungan hidup Indonesia bukanlah konsep ekologi semata tetapi juga konsep hukum dan politis. C. Pencemaran dan Perusakan Lingkungan UU No. 4 Tahun 1982 membedakan istilah pencemaran lingkungan dengan perusakan lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkanya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan dan/atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi berkurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Sedangkan perusakan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik atau hayati lingkungan, yang mengakibatkan lingkungan itu kurang atau tidak berfungsi, lagi dalam menunjang pembangunan yang berkesinambungan (Abdurrahman, 1986). Ada beberapa peraturan yang telah diatur oleh pemerintah dalam penanggulangan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, antara lain:
226
Pencemaran dan Perusakan Lingkungan dalam Hukum Islam, Abdul Manan
1. Di Dalam Bidang Pertambangan Guna terwujudnya keserasian dan keseimbangan dalam mengelola pertambangan, telah dikeluarkan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokokpokok Pertambangan. Dalam peraturan ini dikemukakan bahwa pekerjaan usaha pertambangan tidak boleh dilakukan di wilayah yang tertutup untuk kepentingan umum, dan pada lapangan dan bangunan pertahanan (Pasal 16 Ayat (1) UUPP). Pemegang kuasa pertambangan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat sekitarnya, apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan (Pasal 30 UUPP). 2. Di Dalam Lingkungan Kerja Mengenai lingkungan kerja diatur dalam UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja. Tiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan, kesusilaan, pemeliharaan moral kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama (Pasal 9 UUTK). Kemudian dalam UU No. 1 Tahun 1970 Pasal 2 Ayat (1) dikemukan bahwa yang dimaksud dengan keselamatan kerja adalah dalam segala hal di tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. 3. Di Bidang Perindustrian Di dalam bidang perindustrian telah dikeluarkan UU No. 5 Tahun 1985 tentang Perindustrian. Yang dimaksud dengan industri adalah kegiatan ekonomi yang mengelola bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi dan/atau barang jadi menjadi barang-barang dengan nilai yang lebih tinggi penggunaannya (Pasal 1 angka 2). Dalam rangka melaksanakan kegiatan industri, pengusaha diwajibkan untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya gangguan dan pencemaran terhadap tata lingkungan. Kepada pengusaha diwajibkan untuk menyusun rencana keadaan darurat (emergency plan) dalam rangka menanggulangi kemungkinan terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan akibat lepasnya sesuatu bahan atau zat yang berbahaya. Rencana keadaan darurat berisi tindakan-tindakan penanggulangan untuk membatasi, membersihkan serta meniadakan pencemaran-pencemaran oleh bahan atau zat yang berbahaya itu, diajukan kepada Dirjen Pembinaan Industri Departemen Perindustrian untuk mendapat pengesahan.
227
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 223-240
Pencemaran dan perusakan lingkungan menimbulkan kerugian, dan kerugian ini dapat terjadi (1) Kerugian ekonomi dan sosial (economic and social injury), (2) Gangguan sanitari (sanitary hazard), (3) Gangguan keseimbangan dalam kehidupan manusia, terutama dalam hal menyangkut ekologi. Kerusakan dan pencemaran lingkungan dapat digolongkan kepada beberapa kelompok, yaitu: (1) Kronis, dalam keadaan ini kerusakan dan pencemaran lingkungan terjadi secara progresif tetapi prosesnya lambat, (2) Kejutan atau akut, dalam keadaan ini perusakan dan pencemaran lingkungan terjadi secara mendadak dan kondisinya sangat berat, (3) Berbahaya, terjadi kerugian biologis cukup berat, dan dalam hal ada radioaktivitas maka terjadi kerusakan genetis, (4) Katastrofis, di sini kematian organis hidup cukup banyak, organisme hidup menjadi punah sama sekali (Sutamiharja, 1978). Pembicaraan tentang ganti rugi tidak bisa dipisahkan daripada tanggung jawab dari pihak pencemar dan perusakan lingkungan. Dalam Pasal 27 UU No. 4 Tahun 1982 ditegaskan bahwa dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu, tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak dan/atau pencemaran pada saat terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan yang pengaturannya diatur dalam peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Ketentuan tersebut di atas mengandung prinsip yang dinamakan “Strict Liability”, atau menurut istilah Komar Kantaatmadja (1977) disebut “asas tanggung jawab mutlak” dan menurut Munadjat Danusaputra (1980) disebut tanggung jawab secara langsung dan seketika. Istilah-istilah tersebut mengandung arti bahwa kewajiban membayar ganti kerugian timbul segera dan seketika terjadinya kerugian dengan tidak mempersoalkan salah tindaknya penyebab kerugian tersebut. Sistem pertanggungjawaban yang demikian, adalah merupakan penyimpangan dari sistem ganti rugi penh (absolute liability) yang dikenal dalam hukum perdata, yang mendasarkan adanya pertanggungjawaban berdasarkan pada kesalahan (liability based on fault). Mengingat luas wilayah negara kepulauan Indonesia yang dua pertiga merupakan lingkungan laut, serta letak geografis yang sangat strategis, maka pelaksanaan prinsip strict liability merupakan upaya dan langkah yang dapat lebih menjamin kepentingan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan sumber daya lautnya (Kusnadi Hardjasoemantri, 1982). Dan mengingat pula akan manfaatnya yang sedemikian besar daripada prinsip ini, maka adalah wajar bilamana prinsip pertanggungjawaban dan ganti rugi ini dijadikan dasar bagi sistem hukum lingkungan nasional negara Indonesia. Jadi, masalah perusakan dan pencemaran lingkungan sebenarnya merupakan slah satu masalah saja dari problematika lingkungan yang lebih 228
Pencemaran dan Perusakan Lingkungan dalam Hukum Islam, Abdul Manan
mendasar. Hal ini terjadi karena cara pengelolaan lingkungan hidup yang tidak terencana dan tidak terpadu secara serasi dan integral. Oleh karena itu, pengamanan masalah lingkungan hidup merupakan pengamanan terhadap masalah hukum secara menyeluruh (Dirdjosisworo, 1991). D. Islam dan Lingkungan Hidup Berbicara mengenai kesadaran dan sikap hidup manusia maka unsur motivasi yang ampuh adalah keyakinan agama. Bagi negara Indonesia yang sebahagian besar masyarakat memeluk agama Islam, maka keyakinan agama Islam merupakan motivasi yang sangat besar bagi masyarakat muslim di Indonesia ini. Dalam kitab suci Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna dan indah bentuknya (at-Tiin ayat 4). Ini berarti bahwa manusia adalah lebih sempurna dari hewan, tumbuh-tumbuhan, jin bahkan malaikat sekalipun. Hal ini disebabkan karena manusia dibekali Allah SWT dengan akal, perasaan, nafsu, dan syahwat, sedangkan makhluk-makhluk lain hanya dibekali sebagian unsur-unsur tersebut. Kemampuan potensial yang ada pada manusia adalah lebih mampu memikul amanah dari Allah SWT, sedangkan langit, bumi, dan gunung-gunung takut dan tidak mampu memikul amanah dari Allah SWT ini, hanya manusialah yang bersedia memikul amanah Allah SWT tersebut (al-Ahzab ayat 72). Sehubungan dengan hal tersebut di atas itu, maka kehadiran manusia di muka bumi ini adalah untuk memenuhi amanah Allah SWT itu. Dalam rangkaian surat Al-Qur’an banyak tersimpan petunjuk bahwa amanah Allah SWT itu mencakup kewajiban dan tanggung jawab sesama manusia dan juga terhadap alam sekitarnya. Untuk melaksanakan amanah dengan baik sebagaimana diharapkan oleh Allah SWT, maka sudah sewajarnya manusia terlebih dahulu mengenal apa dan siapa ia berkewajiban bertanggung jawab melaksanakan amanah itu. Oleh karena itu, yang terpenting adalah mengenal Allah SWT terlebih dahulu, mengenal diri manusia itu sendiri, mengenal sesama manusia lain dan juga mengenal alam ini. Manusia di dunia ini diharapkan oleh Allah SWT agar menjadi insan kamil, sebab hal itu akan membedakan dirinya dengan makhluk yang lain. Sebagai insan kamil dan anggota masyarakat, ia harus berbuat baik dan mengelak untuk berbuat jahat terhadap sesama manusia dan alam ini. Dalam menjalani hidup di dunia ini, manusia harus menjaga keseimbangan dan keselarasan, keseimbangan antara hidup akhirat dengan kehidupan hidup dunia, keseimbangan dalam berbuat baik bagi masyarakat dengan berbuat baik untuk diri sendiri. Manusia harus memelihara keseimbangan alam dalam ekosistem, dan harus mencegah terjadi kerusakan bumi (Emil Salim, 1980). 229
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 223-240
Manusia diperintahkan oleh Allah SWT untuk mencari apa yang telah dianugerahkan kepadanya di muka bumi ini, tetapi Allah SWT juga memerintahkan agar manusia tidak melupakan tentang persiapan untuk kepentingan akhirat. Allah SWT selalu memerintahkan manusia agar berbuat baik sesama manusia dalam kehidupan di dunia ini, Allah SWT juga mengecam terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi ini dan Allah SWT juga mengatakan bahwa terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan di bumi ini adalah paling tidak disukainya dan terhadap orangorang itu akan dimasukkan ke dalam api neraka di hari akhirat nanti (alQashash ayat 77). Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Allah SWT menghendaki agar manusia dalam hidup di dunia ini haruslah menegakkan hidup yang berimbang antara hidup ukhrawi dengan hidup duniawi. Pedoman keseimbangan ini juga digariskan oleh Rasulullah dalam sebuah hadis, di mana dikemukakan bahwa beramallah wahai manusia untuk kepentingan hidup di dunia ini seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya, dan ibadahlah wahai manusia seolah-olah kamu akan mati besok pagi (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim). Keseimbangan yang diciptakan Allah dalam suatu lingkungan hidup akan terus berlangsung dan baru akan terganggu bila terjadi sesuatu keadaan luar biasa, seperti terjadinya bencana alam. Bencana alam ini ada yang berada di luar penguasaan manusia seperti gempa tektonik, banjir bandang, gelombang pasang, angin puting beliung, dan sebagainya. Tetapi kebanyakkan bencana itu terjadi akibat ulah tangan manusia itu sendiri. Allah SWT mengatakan bahwa telah tampak kerusakan di darat dan di laut yang disebabkan oleh tangan manusia, kemudia Allah merasakan kepada mereka akibat dari perbuatan itu agar mereka kembali ke jalan yang benar (ar-Ruum ayat 41). Menegakkan hidup dalam keseimbangan antara kepentingan ukhrawi dengan kepentingan duniawi, mengharuskan manusia menempatkan dirinya sebagai bagian dari lingkungan alam. Sungguhpun manusia dalam Surah AtTiin disebutkan sebagai makhluk yang terbaik, tetapi akan menjadi orang yang amat rendah derajatnya jika ia tidak beriman dan beramal saleh. Hidup berimbang merupakan perwujudan daripada pertumbuhan iman yang kuat dan sikap orientasi hidup untuk beramal saleh. Semakin seimbang perikehidupan manusia di dunia ini maka semakin terbuka kemungkinan ia akan menjadi insan kamil. Dalam kerangka pikiran inilah perlu dikembangkan hubungan manusia dengan lingkungan hidup. Menurut ekologi, memang tidak ada makhluk, baik tumbuhtumbuhan, binatang, dan manusia saling kait-mengait dalam suatu lingkungan hidup. Bila terjadi gangguan terhadap salah satu jenis makhluk 230
Pencemaran dan Perusakan Lingkungan dalam Hukum Islam, Abdul Manan
akan terjadilah gangguan terhadap lingkungan hidup secara keseluruhan. Karena itu yang penting adalah keserasian antara ilmu dan iman, keserasian antara kepercayaan terhadap kemahakuasaan Allah ikhtiar manusia. Syariat Islam menghendaki agar manusia memanfaatkan alam ini dengan sebaikbaiknya dengan bertanggung jawab. Manusia harus hidup dengan keseimbangan antara ukhrawi dan duniawi dan juga imbang antara kehidupan ekologi. Apabila terjadi gangguan terhadap keseimbangan maka diperlukan tindakan-tindakan untuk mengembalikan keseimbangan itu seperti semula, yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, perlu diambil langkah-langkah yang baik agar jangan sampai keseimbangan lingkungan hidup itu terganggu. Pendekatan secara ekosistem sangat dianjurkan oleh Syariat Islam di dalam melaksanakan pembangunan di segala bidang, karena hal ini dapat mencegah terjadinya pengaruh sampingan yang merugikan, yang pada hakikatnya merupakan beban yang harus dipikul oleh masyarakat. Dengan pendekatan seperti ini diharapkan akan memperoleh hasil optimal dari usaha-usaha pembangunan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat sepanjang masa. E. Sikap Syariat Islam terhadap Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Bumi yang satu-satunya ini, telah diciptakan oleh Allah SWT dengan kekuasaan-Nya, dan diserahkan kepada manusia untuk dimanfaatkan demi kemaslahatan bersama. Bagaimanapun dan apa pun keadaan isi bumi ini, yang jelas tidak ada sesuatu yang diciptakan oleh Allah dengan sia-sia, asalkan dikelola dengan baik dan penuh keimanan untuk kebaikan manusia, tanpa itu semua, hanya kerusakan yang akan menimpa dunia ini. Oleh karena itu, maka hendaknya diusahakan agar jangan sampai bumi yang satusatunya ini rusak di tangan manusia. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Ronald Higgins (1978) menyimpulkan bahwa ada tujuh macam ancaman yang menghadang manusia saat ini, yaitu (1) Ledakan pendudukan yang tetap mengancam bumi. Diperkirakan bahwa dalam waktu kurang dari empat puluh tahun ke depan nanti, bumi yang satu-satunya ini harus menampung kenaikan jumlah penduduk dari empat miliar menjadi delapan miliar jiwa dalam ruang lingkup yang tidak berubah, (2) Kelaparan dan kekurangan gizi mengancam jutaan penduduk negara-negara berkembang dan belum ada tanda-tanda bahwa krisis ini dapat segera diatasi di masa yang akan datang, (3) Semakin langkanya sumber alam berhadapan dengan kebutuhan yang semakin meningkat, seperti minyak bumi, mineral, kayu, dan sebagainya, (4) Menurunnya kualitas lingkungan hidup sehingga semakin sulit menopang kehidupan manusia, (5) Ancaman nuklir yang berkembang di tangan lebih 231
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 223-240
banyak terdapat pada sebagian bangsa tanpa kendali, (6) Pertumbuhan ilmu dan teknologi yang pesat di luar kendali manusia, (7) Runtuhnya moral manusia dengan kadar kesadaran yang rendah dan agak sulit diperbaiki. Untuk memecahkan permasalahan tersebut di atas, Ronald Higgins (1979) telah mencari jawabannya dengan mengemukakan bahwa hal tersebut bisa dipecahkan asalkan manusia dikembalikan kepada dimensi spiritual masing-masing, dimensi spiritual ini perlu dikembangkan agar manusia kembali kepada ajaran Tuhannya. Lebih lanjut Higgins mengemukakan bahwa satu etika kesadaran baru (new ethic of conscousness) harus ditumbuhkan dengan dimensi kehidupan spiritual yang mampu mematahkan pemujaan manusia kepada kehidupan sekuler, yang mampu membangkitkan kesadaran bahwa manusia sangat tergantung kepada bumi ini, dan perlu adanya manusia sangat tergantung kepada bumi ini, dan perlu adanya jalinan persaudaraan spiritual yang kukuh antara sesama manusia untuk memecahkan tantangan permasalahan tersebut di atas. Menurut ajaran Islam, permasalahan tersebut di atas, tidaklah sulit untuk mencari jalan pemecahannya sekiranya manusia taat atas petunjuk Allah SWT. Manusia harus menyadari bahwa segala sesuatu yang ada di dalam alam semesta ini adalah milik Allah SWT (al-Maa’idah ayat 117). Tetapi Allah SWT dengan kasih sayangnya telah memberikan hak kepada manusia untuk menfaatkan alam ini dengan sebaik-baiknya dan mengolah sumbernya untuk kemakmuran manusia (al-Baqarah 29). Sebagai makhluk yang memperoleh hak menggunakan alam ini, manusia haruslah mematuhi ketentuan-ketentuan yang diatur oleh pemiliknya yaitu Allah SWT. Manusia tidak berhak memanfaatkan dan menggunakan alam ini secara sembarangan dan bertentangan dengan ketentuan yang ditetapkan Allah SWT. Manusia sebagai khalifah Allah di bumi ini haruslah mempergunakan alam ini secara bertanggung jawab sesuai dengan amanah yang diberikan Allah kepadanya. Di antara ketentuan Allah SWT dalam memanfaatkan alam ini adalah (1) Jangan berbuat kerusakan atau bencana terhadap bumi, tanam-tanaman, dan keturunan (al-Baqarah ayat 125), (2) Jangan mudaratkan diri sendiri maupun orang lain (HR. Bukhari dan Muslim), (3) Jangan memperoleh harta atau kekayaan dengan jalan yang tidak halal (al-Baqarah ayat 168). Oleh karena itu, manusia dalam memanfaatkan alam ini hendaknya meminta petunjuk kepada para ahli, dan mematuhi petunjuk para ahli tersebut dalam berbagai bidang profesi ilmu pengetahuan (Al-Anbiya ayat 7). Allah juga memperingatkan manusia agar menghindari perbuatan-perbuatan yang buruk dan tidak mencelakakan sesama manusia. Dalam Islam telah ada ajaran untuk menggerakkan hati manusia agar tidak merusak lingkungan dan sumber alam ini. Dalam sebuah 232
Pencemaran dan Perusakan Lingkungan dalam Hukum Islam, Abdul Manan
Hadis Rasulullah SAW memerintahkan pengikut-pengikutnya agar tidak membuang air kecil pada air yang tenang, atau air yang dipergunakan untuk keperluan hidup manusia, seperti mandi, cuci, dan sebagainya (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadis ini terdapat petunjuk kepada semua orang Islam agar tidak mencemarkan air dan lingkungan hidup manusia. Jadi ajaran tentang memelihara lingkungan dalam Islam sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW, hanya pemahamannya yang perlu dikembangkan. Dahulu ketika manusia masih sedikit pemahaman hanya ditujukan kepada air sumur saja, tetapi sekarang setelah manusia semakin banyak, dan kehidupan semakin kompleks maka pemahaman itu diperluas menjadi lingkungan hidup secara menyeluruh dan sangat perlu dijaga keseimbangannya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka sekarang perlu mengkaji kembali ajaran Islam tentang lingkungan hidup ini, agar agama Islam tetap menjadi rahmat segala zaman, baik dalam kehidupan di dunia ini maupun di akhirat kelak. Hal ini penting karena Islam diturunkan ke bumi ini adalah untuk menjadi rahmat sekalian alam (al-Anbiya ayat 207). Salah satu segi yang memerlukan pendalaman kembali paham Islam dalam masalah lingkungan hidup ini adalah masalah pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang meliputi pemeliharaan pemukiman dan sumber alam. Dalam memelihara lingkungan hidup dari perusakan dan pencemaran dari limbah industri, limbah pemukiman dan kota, limbah kendaraan bermotor, limbah pertanian dan pariwisata yang menyebabkan rusaknya perairan sungai, danau, udara, dan tanah, ajaran Islam memerintahkan agar manusia tunduk kepada peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh para penguasa yang sah (ulu amri) sebagaimana dijelaskan dalam Surah an-Nisaa’ ayat 59 bahwa ada kewajiban taat kepada Allah, Rasul, dan penguasa yang sah di mana pun manusia itu berada. Kewajiban seorang warga negara terhadap negara sangatlah erat hubungannya dengan kewajiban warga negara kepada pemerintah. Inti dari kewajiban ini adalah bahwa seorang warga negara harus taat dan patuh kepada pimpinan negara, selama pimpinan negara itu patuh kepada Allah dan Rasul-Nya (al-An’am ayat 2). Selain dari itu, seorang warga negara diwajibkan untuk menjadi warga negara yang baik, selalu siap sedia membela kepentingan negara. Seorang warga negara berkewajiban menaati hukum dan peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya penguasa negara berkewajiban menghormati, menghargai martabat warga negaranya dan bersifat adil (al-Maa’idah ayat 4 dan al-An’am ayat 8).
233
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 223-240
F. Prinsip-Prinsip Hukum Islam dalam Penegakan Hukum Lingkungan Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT melukiskan betapa hebatnya kerusakan-kerusakan dan kehancuran baik di darat maupun di laut sebagai akibat dari perbuatan dan ulah tangan manusia (ar-Ruum ayat 41). Dalam kaitan dengan sinyalemen Al-Qur’an ini, maka manusia diwajibkan untuk mengendalikan diri dan mencegah agar tidak terjadi kerusakan dan kebinasaan di muka bumi dan permukaan laut. Manusia wajib memelihara kelestarian lingkungan hidupnya, karena dengan demikian manusia telah memelihara kelangsungan hidup generasi penerusnya yang akan datang. Kewajiban untuk memelihara lingkungan hidup ini, tidak lain adalah kewajiban untuk melindungi kepentingan manusia sendiri, karena dalam perut bumi ini tersedia beraneka ragam sumber kehidupan yang bermanfaat untuk manusia. Dalam rangka memelihara keseimbangan dan keserasian hubungan mansia dengan alam, memelihara terwujudnya ketertiban dan kesejahteraan sosial sesama manusia, Hukum Islam menegakkan prinsip-prinsip yang wajib menjadi landasan dan titik tolak aktivitas kekuatan-kekuatan sosial, sehingga terjamin kehidupan yang teratur, seimbang, dan harmonis. Dengan demikian akan terjadi kehidupan di dunia dengan penuh kedamaian dalam suasana alam dan lingkungan yang baik, terjaminnya perkembangan dan gerak sosial secara stabil dan teratur. Tidak terjadi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang menyebabkan hilangnya keseimbangan dan keserasian kehidupan di dunia ini. Di antara prinsip-prinsip yang ditegakkan Hukum Islam dalam menegakkan hukum lingkungan, sebagai berikut : 1. Prinsip Persamaan Hukum Islam mempersamakan derajat dan kedudukan manusia di hadapan hukum, yakni semua manusia diperlakukan secara sama di muka hukum (equality before the lawi), tidak ada perbedaan kasta dan tidak ada pilih kasih dalam ketetapan hukum. Setiap individu dalam masyarakat di hadapan hukum dipandang beridir sama tinggi, duduk sama rendah dan yang membedakan nilai dan derajat di hadapan hukum adalah takwa dan amal nyata (al-Ahqaaf ayat 19). Dalam hubungannya dengan pelaksanaan dan penegakan hukum serta pelaksanaan prinsip equality before the law di atas, Nabi Muhammad SAW mengingatkan kepada para pengikutnya dengan mengatakan bahwa orang-orang yang sebelum kamu hancur binasa, oleh karena apabila golongan elitenya mencuri mereka membiarkan saja pencurian tersebut, tetapi apabila rakyat biasa yang mencuri mereka tegakkan hukum itu atas orang-orang tersebut dengan sungguh234
Pencemaran dan Perusakan Lingkungan dalam Hukum Islam, Abdul Manan
2.
sungguh. Demi Allah; Andaikata Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan aku potong tangannya juga (HR. Abu Daud dan Nasa’i). Dari teks hadis tersebut di atas, maka dapat ditarik dua kesimpulan, yaitu (1) Bahwa pelaksanaan hukum harus dipersamakan pada setiap orang, atau dengan kata lain bahwa persamaan di hadapan hukum adalah hak setiap orang, (2) Melaksanakan persamaan di dalam hukum adalah kewajiban penguasa. Dalam hubungan ini satu hal yang perlu dijaga yakni para penegak hukum dalam melaksanakan asas persamaan hukum itu harus menghindari perbuatan zalim (aniaya) dan wajib menegakkan keadilan serta menempatkan manusia pada martabatnya (al-Maa’idah ayat 8). Manusia sebagai pribadi wajib diperlakukan sesuai dengan martabatnya sebagai manusia yang mempunyai kemuliaan. Oleh karena itu, penguasa tidak boleh memperlakukannya dengan sewenangwenang. Penguasa wajib memberikan perlakuan hukum yang sama secara adil kepada warga negara. Prinsip Keseimbangan Menurut Hukum Islam, dalam tata kehidupan di dunia ini harus selalu terpelihara kepentingan antara individu-individu secara seimbang dalam kehidupan masyarakat, antara kepentingan pribadi dan kepentingan orang lain, antara urusan perorangan dan urusan umum, antara urusan individu dan urusan bersama. Jika harus ditempuh dalam suatu hal antara kedua kepentingan itu, maka kepentingan umum wajib diutamakan. Dalam konsepsi Hukum Islam, masyarakat tiada lain adalah perbuatan individu-individu yang saling berhubungan dan tukarmenukar kepentingan hidup satu sama lain, sehingga individu membentuk masyarakat dan masyarakat membentuk individu. Jika individu-individu dalam masyarakat itu lebih baik, maka masyarakatnya pun baik pula, sebaliknya jika individu-individu itu jelek, maka masyarakat yang dibentuk menjadi jelek pula. Oleh karena itu, Hukum Islam berusaha mendidik dan memperbaiki individu dengan berbagai ketentuan hukum supaya masing-masing individu itu menjadi insaninsan yang baik dan bermoral saleh (Zahri Hamid, 1975). Menurut Hukum Islam, individu masyarakat haruslah bermanfaat bagi masyarakatnya, sebaliknya masyarakat haruslah bermanfaat bagi masing-masing individunya. Dalam kehidupan di dunia ini, individu haruslah hidup berimbang dengan kepentingannya untuk kehidupan akhirat nanti, sama sekali tidak membuat kerusakan di atas bumi dan harus tunduk kepada aturan hukum yang dibentuk oleh penguasa yang sah. 235
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 223-240
3.
4.
236
Prinsip Kemaslahatan Hukum Islam sangat mengutamakan kebaikan, kemanfaatan, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia, menjauhkan kemudaratan, kerusakan dan kesulitan hidup. Kemaslahatan hidup manusia itu, baik selaku manusia individu maupun selaku anggota masyarakat, baik kemaslahatan ukhrawiyah maupun kemaslahatan duniawiyah adalah merupakan inti daripada prinsip-prinsip yang ditegaskan dalam Hukum Islam. Bahkan kemaslahatan manusia itulah yang menjadi tujuan pokok Hukum Islam. Tujuan pokok Hukum Islam ialah merealisir kemaslahatan hidup manusia, dan kemaslahatan ini meliputi tiga graduasi, yaitu (1) Kemaslahatan yang mesti adanya dalam hidup manusia, yang disebut dengan kemaslahatan dlaruriyat yang terdiri dari kemaslahatan agama, kemaslahatan jiwa, kemaslahatan akal, kemaslahatan keturunan, dan kemaslahatan harta, (2) Kemaslahatan Hajiyat, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan hidup manusia, (3) Kemaslahatan Tahsiniyat, yaitu kemaslahatan yang berkenaan dengan keindahan hidup (Zahri Hamid, 1975). Kemaslahatan yang bersifat individual disebut dengan kemaslahatan khusus, sedangkan kemaslahatan yang bersifat kemasyarakatan, atau yang menyangkut mayoritas anggota masyarakat disebut dengan kemaslahatan umum. Dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup, maka baik individu maupun masyarakat haruslah memerhatikan kemaslahatan tersebut agar kehidupan di bumi ini tidak terjadi pencemaran dan perusakan, yang pada akhirnya akan terjadi bencana kepada umat manusia. Tentang hal ini sungguh tidak diinginkan oleh ajaran Islam yang sangat memerhatikan kepentingan umat manusia di muka bumi ini, dan juga kehidupan di akhirat kelak. Prinsip Kegotongroyongan Hukum Islam selalu mengharapkan agar selalu terdapat rasa terpanggil pada diri individu-individu dalam masyarakat untuk ikut membantu, menolong, dan meringankan beban sesama individu dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Prinsip ini diharapkan terpencar dari hati nurani masing-masing individu secara murni, dan didorong oleh rasa kemanusiaan yang sejati, jauh dari motif pamrih dan tujuan materi. Dengan tertanam rasa kegotongroyongan dalam hati sanubari masing-masing individu, maka secara serta-merta tanpa diminta apabila terjadi sesuatu musibah dan bencana yang menimpa sesama manusia, untuk bersama-sama memikul dan mengangkat beban sosial dalam kehidupan bersama menurut bakat dan keahlian masing-masing. Menurut Hukum Islam, manusia adalah makhluk sosial, karena itu betapapun majunya modernisasi dan teknologi suatu bangsa, dan
Pencemaran dan Perusakan Lingkungan dalam Hukum Islam, Abdul Manan
5.
betapapun majunya peradaban manusia, tetapi manusia dalam kehidupannya pasti memerlukan bantuan orang lain untuk menyeleksinya. Semakin majunya masyarakat dalam melakukan aktivitas hidup di dunia ini, maka semakin banyak pula problem sosial yang memerlukan penyelesaiannya secara kegotongroyongan. Bagi bangsa Indonesia, prinsip kegotongroyongan ini merupakan watak kejiwaan yang asli dan berlaku sejak zaman dahulu. Prinsip Keadilan Setiap pemangku hak akan memperoleh dan menerima haknya secara baik dan ia dilindungi mempergunakan haknya itu. Kebalikan dari keadilan adalah kezaliman, yaitu memperoleh hak tanpa atau secara tidak benar. Keadilan berlaku antara individu dengan individu, antara individu dengan masyarakat dan antara masyarakat dengan pemerintah. Keadilan hukum mengandung asas persamaan hukum atau disebut equality before the law. Setiap orang harus diperlakukan sama terhadap hukum. Dengan kata lain hukum harus diterapkan terhadap siapa pun juga secara adil. Keadilan hukum sangat erat kaitannya dengan implementasi hukum. Keadilan hukum tidak akan tercapai apabila hukum tidak diterapkan secara adil. Untuk mencapai penerapan dan pelaksanaan hukum secara adil diperlukan hukum bagi para penegak hukum untuk melaksanakannya dengan baik. Dengan demikian, untuk mencapai keadilan hukum, maka faktor manusia yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan hukum sangat penting. Apabila mereka melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan penuh kesadaran dan tidak dapat dipengaruhi oleh siapa pun juga, maka tercapailah keadilan hukum itu. Konsep keadilan hukum menurut Al-Qur’an dikemukakan bahwa “Hai orang-orang yang beriman, hendaknya kamu jadi manusia yang lurus karena Allah, menjadi saksi dengan adil, janganlah kebencianmu terhadap satu kaum menyebabkan kamu berlaku tidak adil. Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada takwa dan takutlah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah sangat mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Surah al-Maa’idah ayat 8, an-Nisaa’ ayat 133). Dalam hubungannya dengan keadilan hukum ini, ada tiga hal yang perlu disimpulkan, bahwa (1) Keadilan hukum merupakan pusat gerak dari nilai-nilai moral yang pokok, (2) Keadilan hukum adalah suatu yang legal, lurus, sesuai dengan hukum yang diwahyukan. Tercakup dalam pengertian ini bahwa keadilan hukum adalah sama dengan kebenaran atau disebut Ia justice est la justesse, (3) Di dalam pengertian keadilan hukum, terdapat konsep-konsep persamaan. Ketiga hal ini menggambarkan secara lengkap bagaimana konsep keadilan hukum menurut Hukum Islam. 237
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 223-240
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan bahwa Hukum Islam dalam membangun suatu masyarakat agar tidak terjadi kerusakan dan bencana yang dapat memusnahkan masyarakat itu, sangat diperlukan prinsip-prinsip tersebut di atas dilaksanakan dengan baik dan bertanggung jawab. Dengan demikian aturan tentang lingkungan hidup yang telah ditetapkan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga lingkungan hidup yang serasi dan seimbang dalam pertumbuhannya dapat terwujud sebagaimana yang diharapkan oleh semua umat manusia. Dalam rangka menunjang secara aktif dan positif terhadap pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia ini, maka umat Islam diharapkan ikut berpartisipasi aktif melaksanakan pembangunan itu dengan mengamalkan prinsip-prinsip Hukum Islam sebagaimana tersebut di atas itu.
Daftar Pustaka Abdurrahman, SH., (1986). Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta, Arika Media Cipta. BPHN Departemen Kehakiman, (1977). Seminar Segi-segi Hukum dari Pengelolaan Lingkungan Hidup, Bandung, Bina Cipta. Curzon, L.B., (1977). Criminal Law, Macdonald and Evans, Plymouth. Danusaputra, Munadjat, (1980). Hukum Lingkungan, Buku I dan II, Jakarta, Bina Cipta. Departemen Agama RI, (1977). Al-Qur’an dan Terjemahannya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an. Dirdjosiswono, Soedjono, Prof. Dr. SH., MBA., (1991). Upaya Teknologi dan Menegakkan Hukum Menghadapi Pencemaran Lingkungan Akibat Industri, Bandung, Citra Aditya Bakti. Hamid, Zahri, H. Drs., (1975). Prinsip-prinsip Hukum Islam tentang Pembangunan Nasional di Indonesia, Yogyakarta, Bina Cipta. Hamzah, A. Dr. SH., (1995). Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta, Arika Media Cipta. Hardjasumantri, Kusnadi, (1982). Prospek Hukum Lingkungan di Indonesia, Kuliah Umum pada MUNAS ISMAILI Universitas Brawidjaya Malang. Husein, Harun M., SH., (1992). Berbagai Aspek Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Jakarta, Bina Aksara. Kantaatmadja, Komar, Prof. Dr., (1977). Konvensi Internasional tentang Polusi Minyak di Laut, Bandung, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
238
Pencemaran dan Perusakan Lingkungan dalam Hukum Islam, Abdul Manan
Mahkamah Agung RI, (1993). TAP-MPR RI No. II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia, Proyek MARI. Salim, Emil, Prof. Dr. H., (1982). Laporan Menteri Negara PPLH, pada Presiden pada peringatan Hari Lingkungan Hidup tanggal 5/6/1982 Jakarta. Ibid., (1990). Islam dan Lingkungan Hidup, Makalah dalam majalah Al Jami’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, No. 24. Silalahi, Daud, Dr. SH., (1992). Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Bandung, Alumni. Soedjono, D., (1979). Penggunaan Hukum Terhadap Pencemaran Lingkungan Akibat Industri, Bandung, Alumni. Soeginto, Aprilani, (1976). Bibliografi Beranotasi tentang Lingkungan Laut dan Pencemaran Laut, Jakarta, Lembaga Oceanologi Nasional LIPI. Sutamihardja, RTM., (1978). Kualitas dan Pencemaran Lingkungan, Pascasarjana IPB Bogor. Usman, Rachmadi. Pokok-pokok Hukum Lingkungan Nasional, Jakarta, Akademika Essiondo.
239
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 223-240
240
URGENSI PEMBUATAN UNDANG-UNDANG CONTEMPT OF COURT UNTUK MENEGAKKAN MARTABAT DAN WIBAWA PERADILAN (The Urgency of Drafting The Law of Contempt of Court to Reinforce Dignity and Authority of The Court)
H.P. Panggabean Dosen Universitas Pelita Harapan Email :
[email protected]
Abstrak UU Contempt of Court sudah saatnya disusun agar dapat menjamin kewibawaan dan martabat badan peradilan serta proses penegakan hukum. Mahkamah Agung berupaya meningkatkan pembinaan kualitas kinerja hakim dan pejabat administratif peradilan. Kata kunci : Urgensi Undang-Undang, Penghinaan terhadap Pengadilan, Wibawa Peradilan Abstract It’s time to draft the contempt of court bill to guarantee the dignity and soverignity of court institution and the law enforcement process, the supreme of court makes strong effort to improve the supervision of judge performance quality and administrative official judiciary Keywords : Act Urgency, Contempt of Court, Court Dignity I. Pendahuluan A. Latar Belakang Terselenggaranya pemerintahan yang demokratis dibawah Rule of law memerlukan 6 (enam) syarat dasar (Paulus E. Lotulung, 2003, mengangkat hasil pertemuan “International Communication of Jurist” di Bangkok Tahun 1965), yakni: 1. Perlindungan konstitusional. 2. Peradilan atau badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak. 3. Pemilihan Umum yang bebas. 4. Kebebasan menyatakan pendapat. 5. Kebebasan berserikat / berorganisasi dan oposisi. 6. Pendidik kewarganegaraan
241
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 241-256
Terhadap syarat kedua tersebut, terlaksananya peradilan atau badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, diperlukan adanya tanggung jawab etika profesionalisme Hakim (sebagai penegak hukum) dalam 4 unsur etika, yaitu: 1. Akuntabilitas 2. Integritas moral dan etika 3. Transparansi 4. Pengawasan atau kontrol 5. Profesionalisme Dengan berbagai unsur/syarat terlaksananya pemerintahan yang demokratis dan/atau peradilan yang bebas, perlu diajukan ulasan akademik yang berisi dukungan pembentukan UU Contempt of Court. B. Pengertian 1. Pengertian Contempt of Court dalam Black’s Law Dictionary menyebut Contempt of Court adalah : Setiap perbuatan yang dapat dianggap mempermalukan, menghalangi atau merintangi tugas peradilan dari badan-badan pengadilan ataupun segala tindakan yang dapat mengurangi kewibawaannya atau martabatnya. 2. Pengertian menurut Thomas E Baker berdasarkan Judiciary Act of 1789 Conffered Power on Federal of America, menyatakan Contempt of Court adalah : Pembangkangan terhadap perintah pengadilan atau melecehkan kekuasaan pengadilan, baik yang dilakukan didalam maupun diluar pengadilan. (diringkas oleh Tjipta Lesmana, Suara Pembaharuan, Contempt of Court Terhadap Pembela Susno, 7 Mei 2013) C. Berbagai Aspek Contempt of Court 1. Aspek-aspek Contempt of Court di Inggris (Ruby Hadiarti Johni, Contempt of Court (Kajian tentang Ide Dasar dan Implementasinya Dalam Hukum Pidana) FH UJS Purwokerto, hal. 139), terdiri dari 2 aspek : a. Civil Contempt yaitu ketidakpatuhan putusan atau perintah pengadilan, jadi merupakan perlawanan terhadap pelaksanaan hukum (on ofference against the enforcement of justice). Contonya menolak untuk mematuhi perintah pengadilan (dalam perkara perdata) untuk menghentikan gangguan, untuk membayar kerugian dan sebagainya. Kasus perebutan hak asuh anak oleh Pangki Suwito terhadap mantan menantunya yang 242
Urgensi UU Contempt of Court, H.P. Panggabean
telah diputus pengadilan untuk memiliki hak asuh putrinya. Sanksi terhadap civil contempt ini bersifat paksaan (coercive nature). b. Criminal Contempt yaitu perbuatan-perbuatan yang bertujuan mengganggu atau merintangi penyelenggaraan peradilan pidana, jadi merupakan bentuk perlawanan terhadap penyelenggaraan peradilan (an offence against the administrator of justice). Sanksi terhadap criminal contempt ini bersifat pidana (primitive nature). Criminal contempt dapat diklasifikasikan antara lain: a. Contempt in the face the court, direct contempt in the face Gangguan dimuka atau didalam ruang sidang dapat berupa: kata-kata jaksa atau perbuatan, misalnya mengancam, menghina, serangan fisik kepada hakim, jaksa, penasehat hukum, saksi dan lain-lain. b. Act calsulated to prejudice te fair trail indirect contempt ex facie Perbuatan untuk mempengaruhi proses peradilan yang tidak memihak ini dilakukan diluar pengadilan. Perbuatan yang termasuk kategori ini antara lain: 1. mengancam, intimidasi, penyuapan, melakukan komunikasi pribadi untuk mempengaruhi putusan. 2. memberi komentar disurat kabar suatu kasus yang sedang menunggu putusan. 3. memberi informasi atau publikasi-publikasi yang sifatnya memihak untuk mempengaruhi putusan. c. Scandalizing in the court Perbuatan yang memalukan atau menimbulkan skandal bagi pengadilan. Contempt of Court ini tujuannya untuk menurunkan wibawa pengadilan, misalnya kabar tentang perbuatan yang tercela yang dilakukan oleh hakim. d. Obstructing Court Officer Menggangu pejabat pengadilan dilakukan diluar, mengancam, menyerang, memukul, mengancam hakim, jaksa atau juru sita setelah meninggalkan ruang sidang. e. Revenge for acts in the course of litigation Contempt ini berupa pembalasan terhadap perbuatan yang dilakukan selama proses pengadilan berjalan yaitu perbuatan yang ditujukan pada saksi yang telah bersaksi dari pengadilan.
243
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 241-256
2.
3.
244
Bentuk-bentuk Contempt of Court oleh DR. Eddy Djunaedy, SH, MC (Varia Peradilan, XV No. 176, 2000, hal. 101-108) disebut dalam 2 (dua) aspek : a. Contempt atau pelecehan yang berupa mencapuri jalannya proses peradilan (contempt by interference). Termasuk dalam contempt in the face of the court ialah: 1. Assaulting of threathening persons in court yaitu meliputi penyerangan atau pengancaman terhadap hakim atau orang lain di persidangan. 2. Insulting the court (menghina pengadilan) yang meliputi perbuatan yang dilakukan di persidangan, seperti menghina hakim secara pribadi, misalnya “teriakan kepada hakim bahwa ia tidak adil dan rasialis”, mencemoohkan keterangan saksi-saksi yang diperiksa di dalam persidangan pengadilan, menyerang atau mengancam para hakim, seperti melempar telur, atau cat atau bom mainan kearah hakim, mengancam terdakwa, menganggu jalannya persidangan, tidak menjawab pertanyaan hakim, dan lainnya. Contempt of court ini juga dapat berupa publikasi yang dianggap mencampuri jalannya peradilan tertentu atau sebagai proses lanjutan pemeriksaan perkara. Termasuk publikasi berisi informasi yang mempermalukan pengadilan (scandalizing the court) atau mengancam para saksi, atau menganjurkan agar pengadilan memutus sesuai dengan kehendak penulis dalam media massa. Pada akhir-akhir ini di beberapa negara, seperti Australia, Inggris dan Amerika Serikat terlihat kecenderungan meningkatnya peradilan kasus-kasus contempt of court melalui publikasi, dengan variasi yang bermacam-macam, sehingga para hakim dimintakan kejelian dalam memeriksa perkara mana yang termasuk contempt of court dan mana-mana yang termasuk “freedom of expression”. Tindakan-tindakan yang tidak mematuhi perintah pengadilan Sejumlah putusan baik yang dijatuhkan oleh pengadilan rendahan maupun oleh pengadilan tinggi di luar negeri dengan tegas memutus bahwa perintah pengadilan wajib diikuti oleh para pihak sampai perintah itu dicabut kembali. Pada tahun 1778 Chief Justice McKean dari Amerika Serikat dalam putusannya dimana salah satu pihak tidak mau menjawab pertanyaan hakim mengatakan bahwa: “Persoalan
Urgensi UU Contempt of Court, H.P. Panggabean
hukumnya ialah apakah hakim harus patuh pada hukum ataukah hakim harus membengkokkan hukum ; maka jawabannya sudah jelah bahwa yang pertamalah yang harus ditegakkan. Dalam kasus Isaacs v. Rovertson (1985) Privy Council (London) memutus bahwa pembanding telah melakukan “contempt of court” dengan tidak mengikuti perintah High Court terlepas dari apakah High Court berwenang untuk mengeluarkan perintah itu atau tidak. Lebih lanjut, Eddy Djunaedy mengajukan beberapa pembahasan: a. Contoh hukum acara Contempt of Court berdasarkan Court Rules : Di negara-negara common law pengadilan pada umumnya diberikan kewenangan untuk mengatur hukum acaranya sendiri (rule making). Pasal 40 Federal Court Rules (of Australia), misalnya mengatur: 1. Penahanan : dimana dituduhkan, atau menurut pendapat Pengadilan seseorang itu bersalah melakukan penghinaan terhadap pengadilan, tindakan mana dilakukan di depan atau pada saat sidang berlangsung, maka Pengadilan dapat : (a) Secara lisan menyatakan dan memerintahkan supaya orang itu dihadirkan di pengadilan. (b) Mengeluarkan surat penahanan untuk menahan orang tersebut. 2. Penuntutan, Pembelaan dan Keputusan Bila tersangka dibawa kesidang pengadilan, maka Pengadilan dapat: (a) Memberitahukan secara lisan tentang dakwaan atas dirinya tentang tindakan pelecehan; (b) Meminta kepada terdakwa untuk melakukan pembelaan atas dirinya; (c) Setelah mendengar pembelaan terdakwa, pengadilan menentukan penuntutan, dan (d) Memutuskan apakah terdakwa dipidana atau dibebaskan. b. Contoh kasus civil contempt - Tidak mengikuti perintah hakim untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (breach of injunction to do a particular act or to refrain from doing a particular act). - Membantu dan menganjurkan untuk tidak melaksanakan perintah (injuction) hakim, atau menghalangi atau mengacaukan perintah pengadilan, (aiding and abetting a
245
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 241-256
breach of injunction or otherwise obstucting of frustrating a court order). - Melanggar kesepakatan yang diberikan di pengadilan. - Tidak melaksanakan pembayaran kepada pihak lain atau kepada pengadilan. - Tidak melaksanakan suatu putusan atau perintah untuk waktu tertentu. - Tidak menyampaikan bukti-bukti yang diminta pengadilan atau tidak menjawab pertanyaan. - Tidak melaksanakan perintah pengadilan untuk menghadapkan di pengadilan seseorang yang diperkirakan ditahan tanpa hak (alleged to be unlawfully detained). - Pelanggaran kewajiban yang dibebankan kepada pengacara (breach of various obligations of solicitors). Pengacara adalah pejabat pengadilan, maka pengadilan mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan sanksi dan disiplin kepada mereka yang tidak menegakkan kode etik. c. The Canadian Charter of Rights and freedoms of 1982, misalnya, menjamin “freedom of expression” dalam pasal 2 (b), dan hak terdakwa untuk memperoleh “fair trial; dijamin pula dalam pasal II (d). Sedangkan hak masyarakat the societal interest – untuk mengetahui peradilan yang fair secara jelas diatur dalam pasal 26. Salah satu pasal Charter itu mengatakan bahwa: “The guarantee in this Charter of certain rights and freedoms shall not be construed as denying the existence of any other rights or freedoms that exist in Canada”. Ini berarti bahwa “Freedom if exoressuib” tidak boleh mengganggu terlaksananya “the interests of the due administration of justice”. Tampaknya di Inggris dan negara common law lainnya diperlakukan prinsip pembatasan terhadap apa yang dapat dibicarakan dalam suatu publikasi tentang kasus yang sedang diperiksa, terutama dalam peradilan pidana. d. Di Inggris, peraturan mengenai contempt of court yang telah lama diundangkan telah disempurnakan kembali oleh Contempt of Court Act tahun 1981. Namun demikian prinsip-prinsip “common law” (jurisprudensi) masih tetap diperhatikan. Dari semua ulasan akademik tersebut, penulis Eddy Djunaedy menegaskan penindakan terhadap Contempt of Court merupakan kewenangan inheren (inheren power) badan peradilan.
246
Urgensi UU Contempt of Court, H.P. Panggabean
II. Berbagai Ketentuan tentang Contempt Of Court dalam Hukum Materiil Indonesia Penulis Ruby Hardianti Johny (Contempt of Court (Kajian tentang Ide Dasar dan Implementasinya Dalam Hukum Pidana, hal. 140) menuliskan berbagai ketentuan Contempt of Court dalam uraian sebagai berikut : A. Ketentuan dalam KUHP 1. Khusus : a. Pasal 224 KUHP. b. Pasal 522 KUHP. c. Pasal 242 KUHP. d. Pasal 217 KUHP. e. Pasal 210 KUHP. 2. Umum : a. Pasal 220 KUHP. b. Pasal 317 KUHP. c. Pasal 310 KUHP. d. Pasal 311 KUHP. e. Pasal 313 KUHP. f. Pasal 314 KUHP. g. Pasal 312 KUHP. h. Pasal 221 KUHP. i. Pasal 223 KUHP. j. Pasal 231 KUHP. k. Pasal 232 KUHP. l. Pasal 233 KUHP. m. Pasal 44 KUHP. n. Pasal 420 KUHP. B. Ketentuan dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP 1. Pasal 154 ayat (6) 2. Pasal 159 ayat (2). 3. Pasal 161 ayat (1). 4. Pasal 167 ayat (3). 5. Pasal 174 ayat (2). 6. Pasal 218 ayat (1) C. Ketentuan dalam RUU KUHP Aturan pada bab VI tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan dimulai Pasal 325 sampai dengan Pasal 335 RUU KUHP nasional yang digolongkan 3 bagian : 1. Bagian kesatu, yaitu penyesatan proses peradilan. 2. Bagian kedua, yaitu menghalang-halangi proses peradilan. 247
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 241-256
3. Bagian ketiga yaitu perluasan perbuatan dan pemberantasan pidana. Perbuatan-perbuatan tersebut antara lain : a. Pasal 325 RUU KUHP Dipidana karena melakukan tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan dengan pidana penjara maksimal 5 tahun atau denda paling banyak kategori IV. 1. Advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara melawan hukum mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan yang patut diketahui dapat merugikan kliennya. 2. Advokat yang berusaha memenangkan kliennya, meminta imbalan dengan maksud mempengaruhi saksi, juru bahasa penyidik, penuntut umum, atau hakim. 3. Setiap orang yang menampilkan diri untuk orang lain sebagai peserta atau pembantu tindak pidana sehingga ia dijatuhi dan menjalani pidana untuk orang lain. 4. Tidak mematuhi perintah pengadilan untuk kepentingan proses peradilan. 5. Menghina hakim atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang. 6. Mempublikasikan atau memperkenankan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang. b. Pasal 326 RUU KUHP lebih umum dipidana karena melakukan tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 5 tahun dan denda paling banyak kategori IV. Unsur-unsurnya : 1. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau intimidasi terhadap penyelidik penyidik, penuntut umum, advokat dan atau hakim sehingga mengganggu peradilan. 2. Menyampaikan alat bukti palsu, mempengaruhi saksi dalam memberi keterangan disidang pengadilan. 3. Melakukan penyerangan terhadap saksi atau petugas pengadilan dalam suatu proses peradilan. 4. Mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan. c. Pasal 327 RUU KUHP 1. Menyembunyikan orang yang melakukan tindak pidana atau orang yang dituntut karena melakukan tindak pidana, atau memberikan pertolongan kepadanya guna menghindari penyidikan atau penahanan. 248
Urgensi UU Contempt of Court, H.P. Panggabean
2.
Dengan maksud menutupi, menghalangi, mempersulit penyidikan atau penuntutan, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda yang menjadi sasaran, sarana melakukan tindak pidana atau berkas-berkasnya. d. Pasal 328 RUU KUHP Mencegah, menghalangi, menggagalkan pemeriksaan jenasah untuk kepentingan pengadilan. e. Pasal 329 RUU KUHP Melepaskan atau menolong orang untuk meloloskan diri dari penahanan atau pidana perampasan kemerdekaan berdasarkan putusan hakim. f. Pasal 330 RUU KUHP Secara melawan hukum tidak datang sebagai saksi ahli atau juru bahasa atau tidak memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi. g. Pasal 331, 332 RUU KUHP 1. Melepaskan barang dari sitaan atau menyembunyikan, menghancurkan, merusak atau membuat tidak dapat dipakai suatu barang yang disita. 2. Memberikan keterangan palsu di atas sumpah baik dengan lisan atau tulisan. h. Pasal 333 RUU KUHP Saksi dan orang lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme, korupsi, HAM atau pencucian uang yang menyebutkan identitas pelapor. i. Pasal 335 RUU KUHP Perbuatan sebagaimana rumusan Pasal 326 apabila dilakukan terkait dengan perkara terorisme ada pemberatan pidananya. Lebih lanjut, Penulis Ruby Hadiarti Johny, Contempt of Court (Kajian tentang Ide Dasar dan Implementasinya Dalam Hukum Pidana, hal. 142-143) menambahkan adanya persamaan dan perbedaan antara KUHP dan RUU KUHP. Persamaannya antara lain: a. Perbuatan-perbuatan yang terkategorikan merupakan Contempt of Court. b. Pelaku adalah setiap orang baik di dalam sidang maupun di luar sidang. c. Ruang lingkupnya di dalam sidang maupun di luar sidang. Perbedaannya pada RUU KUHP terdapat perluasan delik atau perbuatan-perbuatan yang diperluas dengan pemberatan pidana yang termuat dalam Pasal 334 RUU KUHP, termasuk pidana denda menurut
249
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 241-256
Pasal 77 RUU KUHP wajib dibayar dengan minimal khusus paling sedikit Rp.15.000,- dan maksimal denda ditetapkan dengan kategori. Sebagai rekomendasi, Penulis, Ruby Hadiarti Johny menyatakan bahwa permasalaan Contempt of Court saat ini di Indonesia masih menjadi sekedar wacana saja karena selama ini belum ada tindakan yang tegas dari para hakim terhadap para pelaku yang perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan Contempt of Court, padahal pasalpasal yang tersebar di dalam KUHP dapat dipergunakan dan untuk menjaga agar lembaga peradilan tetap terhormat dan berwibawa, hakim hendaknya menindak tegas bagi pelaku yang hendak mencemarkan harkat martabat dan wibawa lembaga peradilan bukan sekedar hanya peringatan. III. Wibawa Mahkamah Agung di Indonesia a. Landasan kewibawaan Mahkamah Agung dalam UU No. 3 Tahun 2009 jo UU No. 14 Tahun 1985 diatur dalam Mukadimah UU MA (No. 3 Tahun 2009) dengan rumusan : “Bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Penulis Tjipta Lesmana (Suara Pembaharuan, Selasa 7 Mei 2013, Contempt of Court Terhadap Pembelaan Susno) mengutarakan salah astu contoh wibawa peradilan USA ketika MA mengeluarkan putusan hasil pemilihan presiden tanggal 7 November 2000 antara George W. Bush dan Al. Gore dengan suara 5 banding 4, MA Federal menyatakan G.W. Bush memenangkan pemilihan di Florida. Skor kemenangan G.W Bush adalah jumlah 271 electrik votes melawan jumlah 266. Meski angka kemenangan G.W Bush hanya 5 electric votes, masyarakat USA tidak ada yang melecehkan putusan MA tersebut. Di Indonesia, putusan Mahkamah Konstitusi atas hasil pemilu selalu diikuti berbagai sikap yang bersifat hukum dan non hukum. Dimasa yang akan datang, hasil PILKADA akan diputus Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi setempat, dan lembaga peradilan akan diuji sesuai dengan adanya UU Contempt of Court yang berlaku nantinya.
250
Urgensi UU Contempt of Court, H.P. Panggabean
b.
Berbagai “kasus” yang mencemari wibawa Mahkamah Agung di Indonesia. 1. Kasus Contempt of Court terhadap pembela Susno Duadji. Penulis Tjipta Lesmana (Suara Pembaharuan, Selasa 7 Mei 2013) mengutarakan sikap perilaku para pembela terpidana Susno Duadji (a.l. Yusril Mahendra) yang menolak eksekusi pidana yang sah diputus MA (Kasasi) dengan alasan : berlindung dari balik Pasal 197 KUHAP, yang didasari fakta bahwa putusan MA memuat amar: perintah penahanan atas terpidana, personil POLRI juga melindungi terpidana Susno Duadji (secara mati-matian) seolaholah, Pemohon Peninjauan Kembali oleh terpidana bisa menghalangi putusan kasasi yang sudah berkekuatan hukum tetap. 2. Kasus “Contempt of Court” terhadap terdakwa Sutan Bhatugana dalam persidangan KORUPSI tanggal 27 April 2015 di Jakarta Utara (Merdeka.com, Senin, 27 April 2015). Terdakwa pada saat persidangan melontarkan kata-kata dengan nada tinggi sehubungan dengan adanya sikap pengacaranya mengundurkan diri dan karena majelis menolak eksepsi terdakwa. Dalam persidangan tersebut, Terdakwa juga melontarkan kata-kata dengan nada tinggi berisi: “Ibu kira saya takut, mau ibu berapa puluh tahun silahkan”. Akhirnya Terdakwa telah menyampaikan permintaan maaf setelah Majelis memberikan Terdakwa kesempatan untuk panjang lebar berbicara di persidangan. 3. Kasus putusan PN Jakarta Selatan atas kasus J.I.S (Jakarta International school)
IV. Urgensi Pembuatan UU Contempt of Court a. Landasan Konseptual Penegakkan Hukum adalah bagian proses Pembangunan Hukum yang menempatkan peranan Mahkamah Agung melalui berbagai Yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber Hukum Formal. Proses penegakkan Hukum, dilandasi tanggung jawab etika Profesi Hukum, E.Y. Kanter (H.P. Panggabean, Tanggung Jawab Etika Profesi Hukum, tahun 2009, hal: 13) menyebutkan adanya 2 (dua) karakter tanggung jawab profesi Hukum yaitu: 1. Tanggung Jawab terhadap pekerjaan dan hasilnya 2. Tanggung jawab terhadap dampak pekerjaan bagi kehidupan orang lain Landasan etika profesi tersebut dapat dikaitkan dengan amanat penjelasan UU No. 14 Tahun 1985 (tentang Mahkamah Agung), yang menentukan:
251
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 241-256
“Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu pula dibuat suatu UndangUndang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court.” Dari aspek insipiratif para Hakim, dukungan kewibawaan Mahkamah Agung adalah juga menjadi tanggung jawab para Hakim Indonesia melalui pimpinan Mahkamah Agung. Selanjutnya dapat dicatat adanya 6 (enam) kritik Masyarakat terhadap kinerja Mahkamah Agung, yaitu: 1. Terjadinya tunggakan perkara di Mahkamah Agung yang semakin bertambah 2. Adanya beberapa putusan Hakim yang disparatif 3. Kelambanan eksekusi putusan 4. Maraknya dugaan perilaku Hakim tertentu karena suap 5. Kurang adanya publikasi pemerintah (Mahkamah Agung) terhadap Hakim yang bermasalah 6. Kurangnya pengalokasian dana APBN untuk menunjang kegiatan operasional Mahkamah Agung Berkaitan dengan adanya 6 (enam) aspek kritikan tersebut, maka pembuatan UU Contempt of Court tidak dapat dilepaskan dari upaya pengawasan terhadap kinerja profesi Hakim yang dapat dilakukan melalui 2 (dua) pendekatan yaitu: 1. Pembinaan kualitas dari aspek perilaku moral 2. Pembinaan kualitas dari aspek kinerja kedinasan Ternyata UU No. 22 Tahun 2004 telah menentukan tugas dan wewenang Komisi Yudisial yang dirinci sebagai berikut: untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim. Dengan demikian tugas utama Komisi Yudisial adalah: 1. Menjaga dan Mengawasi perilaku Hakim 2. Mengusulkan kepada Mahkamah Agung dana atau Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan sanksi bagi Hakim nakal. Kedepan, tugas wewenang Komisi Yudisial haruslah didasari ke dua aspek tugas diatas, karena pembinaan kualitas dari aspek kinerja kedinasan adalah wewenang penuh Mahkamah Agung. Landasan konseptual pembinaan kualitas dari aspek kinerja kedinasan haruslah dilandasi penerapan 3 (tiga) teori tentang Tujuan 252
Urgensi UU Contempt of Court, H.P. Panggabean
Penegakkan Hukum yang diajukan oleh Sudikno Mertokusumo (H.P. Panggabean, Tanggung Jawab Etika Profesi Hukum, tahun 2009, hal: 32), yakni: 1) Teori etis yang mengedepankan aspek keadilan: sesuai dengan pendapat Aristoteles yang membedakan adanya dua macam keadilan, yaitu: (a). justitia distribution = menuntut hak setiap orang atas apa yang menjadi haknya (suum cuique tribuere/to each his own), dan (b). justitia commutativa = menuntut kesamaan kedudukan. 2) Teori utilitis yang bertujuan menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of greatest number) 3) Teori Campuran yang menghendaki adanya tatanan ketertiban yang menjadi syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat yang teratur demi tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya. b. Usulan Implementasi RUU tentang Contempt of Court Usulan implementasi dibagi dalam 2 aspek : 1. Adanya definisi yang tegas dan rinci tentang Contempt of Court 2. Penyebutan pihak-pihak yang dapat melaksanakan proses penanganan Contempt of Court di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan di Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya perlu dipahami isi pendapat penulis; Denis Wan dalam http://praktekdanteori hukumindonesia.blogspot.com, pada tanggal 17 Mei 2010 yang mengenalkan usulan naskah akademis RUU tentang Contempt of Court : Berprilaku tercela dan tidak pantas (misbehaving in court); Perilaku ini dilakukan di dalam sidang, pada saat pemeriksaan oleh hakim berlangsung. Contoh: mengeluarkan kata-kata, sikap dan tingkah laku yang tidak sopan. Tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (disobeying court ordersi); Dapat dilakukan di dalam sidang maupun di luar sidang atau setelah keputusan dibacakan. Contoh: Pelanggaran terhadap perintah pengadilan untuk menjaga jarak atau menjauhi suatu obyek tertentu, baik manusia maupun tempat tertentu. 1. Menyerang integritas dan impartilitas pengadilan (scandalising the court); Dapat dilakukan di dalam sidang maupun di luar sidang pengadilan. Contoh: Tanpa bukti yang cukup, pihak tertentu menuduh bahwa pengadilan telah tidak adil atau diskriminasi atau memihak salah satu pihak yang berseberangan (tergugat dan penggugat; terdakwa atau penuntut). 253
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 241-256
2.
3.
Menghalang-halangi jalannya penyelenggaraan pengadilan (obstructing justice); Suatu pihak tertentu dengan sistematis mengatur agar penyelenggaraan suatu pengadilan menjadi tertunda ataupun batal. Contoh: Mengatur dengan pihak medis atau pihak lainnya untuk memberikan data kesehatan palsu atau tidak sesuai kenyataannya, sehingga terdakwa dikatakan tidak bisa mengikuti persidangan, yang menyebabkan proses pengadilan menjadi tertunda atau gagal. Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan yang dilakukan dengan publikasi atau pemberitahuan (subjudice rule). Pengunaan media publikasi atau secara sengaja memberitahukan kepada media publikasi dengan maksud menghina pengadilan. Contoh: Ketidakpuasan kepada putusan pengadilan diungkapkan dengan cara mempublikasikan kepada pihak umum dengan memberikan dasar-dasar atau alasan sepihak, yang dapat dikategorikan sebagai penghinaan.
V. Kesimpulan dan Saran 1. UU Contempt of Court sudah saatnya disusun agar dapat terjaminnya kewibawaan/martabat Badan Kehakiman/Peradilan, proses penegakkan Hukum dapat ditempuh sesuai cita Hukum dalam UUD 1945. 2a. RUU Contempt of Court sebagai sarana pendukung wibawa/martabat Badan Peradilan tidak dapat dilepaskan dari upaya Mahkamah Agung meningkatkan pembinaan kualitas kinerja kedinasan para Hakim dan pejabat administratif dalam lingkungan peradilan. 2b. Peranan Pembinaan Komisi Yudisial perlu dijelaskan hanya terbatas di bidang pembinaan perilaku para Hakim. 3. Berbagai ketentuan tentang Contempt of Court yang sudah tercantum dalam KUHP dan KUHAP, perlu dikaitkan dengan proses acara penangangan contempt of court. 4. Proses penanganan UU Contempt of Court harus dijadian sebagai inheren power di lingkungan Mahkamah Agung dan jajarannya serta di lingkungan Mahkamah Konstitusi. 5. Penyusunan RUU Contempt of Court perlu dukungan dari DPN – PERADI, Ketua Komisi Yudisial, Ketum DPP IKAHI, Dewan Kehormatan Jaksa, Komisi Polisi Nasional, dan lain-lain lembaga terkait.
254
Urgensi UU Contempt of Court, H.P. Panggabean
Daftar Pustaka Ruby Hadiarti Johni, Contempt of Court (Kajian tentang Ide Dasar dan Implementasinya Dalam Hukum Pidana) DR. Eddy Djunaedi, SH, MC, 2000, Contempt of Court, Suatu Kajian Perbandingan, Varia Peradilan XV No. 176 Mei 2000 DR. H.P. Panggabean, SH., MS, Kewenangan Komisi Yudisial Mendukung Reformasi Pengawasan di Mahkamah Agung (Telaah Sistematik UU No. 22 Tahun 2004 Terhadap Pengawasan Represif), Majalah Hukum dan HAM, Maret, 2006 Tjipta Lesmana, Contempt of Court Terhadap Pembela Susno, Suara Pembaharuan, 7 Mei 2013 Yohanes Usfunan, Hakim Harus Dinilai Oleh Lembaga Independen, Kompas, 11 Februari 2006 UU No. 14 Tahun 1985 yang telah dirubah oleh UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung UU No. KUHP UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Black’s Law Dictionary
255
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 241-256
256
URGENSI PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHINAAN DALAM PERSIDANGAN (CONTEMPT OF COURT) UNTUK MENEGAKKAN MARTABAT DAN WIBAWA PERADILAN (The Urgency of Drafting on Poor Behaviour in The Court (Contempt of Court) to Reinforce The Dignity and Authority of The Court)
Sareh Wiyono M. Ketua Badan Legislasi DPR RI Email :
Abstrak UU tentang Penghindaan dalam Persidangan perlu segera dibentuk disertai restriksi terhadap perbuatan mana yang termasuk penghinaan dalam persidangan dan perbuatan mana yang tidak. Para hakim wajib meningkatkan profesionalisme dan integritas pribadi dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Kata kunci : Urgensi Undang-Undang, Penghinaan, Persidangan Abstract The law of contempt of court must be formed immediately along with the restriction of which action becomes part of contempt in the court or which one doesn’t. The judge must improve the professionalism and self-Integrity in running the duty and obligation Keywords : Urgency, Contempt, Court A. Pendahuluan Dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) diatur bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Adanya ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mempertegas bahwa tugas kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yakni untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak manapun, guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut lebih lanjut diatur dalam UU tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 angka 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti atas UU Nomor 14 Tahun 1970 dan UU Nomor 4 Tahun 2004, mengatur bahwa “Kekuasaan Kehakiman 257
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 257-266
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Kemudian Pasal 3 ayat (1) mengatur bahwa “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan” dan ayat (2) nya menyebutkan “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Yang dimaksud dengan “kemandirian peradilan” adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis (Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Terkait kemandirian tersebut, Bagir Manan menegaskan bahwa upaya perlindungan terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka, untuk (1) menjamin putusan pengadilan ditaati atau dipatuhi; (2) mencegah segala bentuk campur tangan atau intervensi tehadap proses peradilan; dan (3) menjamin peradilan yang jujur (dan tidak memihak) (tanpa tahun: 5). Kekuasaan kehakiman yang menyelenggarakan peradilan rentan terhadap berbagai praktik yang merendahkan institusi tersebut. Perbuatan penghinaan terhadap pribadi dan/atau lembaga pengadilan kerap dilakukan, baik secara lisan, tertulis, dan/atau perbuatan fisik. Perbuatan penghinaan tersebut, kerap terjadi baik di dalam maupun di luar pengadilan. Bahkan media pun turut berperan serta terhadap berbagai upaya yang mengarah pada sikap merendahkan kewibawaan lembaga pengadilan tersebut. Kewibawaan lembaga pengadilan yang dahulu sangat “disakralkan” kini seolah menjadi suatu yang “biasa” saja di “era kebebasan berekspresi” yang tanpa batas. Banyak orang beranggapan bahwa era “demokrasi” orang berhak bebas berekspresi tanpa memperhatikan aturan yang ada. Padahal tegas diatur dalam Pasal 28J ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bahwa “setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” Berbagai kasus penghinaan dalam persidangan (contempt of court), antara lain dicontohkan sebagai berikut (1) kasus pada sidang pembacaan amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Provinsi Maluku, yang berlangsung ricuh. Tidak hanya mencaci-maki, perusuh juga merusak beberapa fasilitas sidang; (2) kasus kerusuhan yang menjadi sorotan masyarakat, antara lain kasus kerusuhan Ampera di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; (3) kasus keributan dalam sidang Ariel “Peter Pan” di Pengadilan Negeri Bandung;
258
Urgensi Pembentukan UU tentang Penghinaan dalam Persidangan, Sareh Wiyono
dan (4) kasus kerusuhan di Temanggung karena massa yang tidak puas dengan tuntutan Jaksa. Selain kasus-kasus tersebut, ada juga kasus berupa intervensi atau tekanan secara publik terhadap perkara yang sedang diperiksa atau belum mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap. Bahkan, lembaga pengadilan dan/atau hakim kerap mendapat cercaan atau kritik yang melecehkan. Hal ini tentu sangat berbahaya karena kemandirian dan kemerdekaan hakim yang dijamin oleh konstitusi dalam memutus suatu perkara sangat terganggu dalam keyakinannya. Contoh teranyar adalah Putusan Praperadilan Hakim Sarpin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di mana terhadap putusan tersebut ada berbagai penghinaan yang dilakukan oleh pihak luar. Bahkan hakim tersebut dihina dan diaggap secara subyektif tidak mempunyai kemampuan atau hakim yang bodoh. Sanksi pidana apa yang dapat diterapkan terhadap orang-orang tersebut? Apakah Pasal 310 atau Pasal 311 KUHP dapat diterapkan? Contoh lain lagi, seperti lemahnya pelaksaan putusan dalam perkara tata usaha negara. Dalam perkara ini, banyak pejabat tata usaha negara yang tidak mau mematuhi putusan tersebut. Akibatnya, wibawa pengadilan di mata masyarakat dipandang sangat rendah. Hasil riset Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) menunjukkan bahwa sejak September 2005 hingga 8 Februari 2011 terjadi tidak kurang dari 30 kali aksi penghinaan dalam persidangan. Bagaimana sekarang ini, agar wibawa pengadilan dapat dijaga dan tidak ditekan oleh berbagai pihak sehingga ada kemandirian bagi seorang hakim. Bahkan terkesan lembaga yang diberi kewenangan untuk menjaga harkat dan martabat hakim pun turut berperan memberikan opini yang negatif terhadap lembaga peradilan. Apakah bagi mereka dapat diberikan sanksi pidana? Menurut hemat penulis, hukum berlaku untuk siapa saja sehingga bagi merekapun dapat dikenai sanksi pidana. Sehubungan dengan banyaknya kasus penghinaan dalam persidangan, kekuasaan kehakiman perlu mendapat perlindungan dari segala bentuk tindakan yang dapat merendahkan kewibawaan lembaga penyelenggara kekuasaan tersebut, baik secara institusi maupun personal. Dalam konteks ini, diperlukan suatu aturan hukum untuk melindungi institusi tersebut dari segala bentuk perbuatan yang dapat merendahkan kewibawaannya. Aturan hukum yang ada saat ini belum cukup mengakomodasi semua jenis penghinaan dalam persidangan. Pasal 217 KUHP misalnya, hanya mengancam siapapun yang menimbulkan kegaduhan di sidang pengadilan dengan sanksi yang ringan, sehingga dalam pelaksanaannya kurang efektif. 259
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 257-266
Saat ini merupakan waktu yang tepat untuk merumuskan RUU tentang Contempt of Court agar wibawa dan marwah pengadilan bias terjaga. Oleh karena itu, diharapkan Mahkamah Agung sebagai lembaga yang memiliki kepentingan terhadap RUU tersebut, segera membentuk tim dengan melibatkan berbagai pihak (stakeholders) agar RUU tentang Contempt of Court tersebut dapat diajukan dan disetujui. Beberapa negara seperti Inggris, Amerika Serikat, India, dan Pakistan telah memiliki UU tentang Contempt of Court. B. Posisi RUU tentang Penghinaan dalam Persidangan (Contempt of Court) dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2015-2019 Saat ini, RUU tentang Penghinaan dalam Persidangan telah terdaftar dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2015-2019. RUU tersebut diusulkan oleh masyarakat dan Fraksi Gerindra DPR RI serta tercatat menjadi RUU usulan DPR RI. Pertimbangan yang menjadi alasan dimasukkannya RUU tentang Penghinaan dalam Persidangan dikarenakan: (1) secara filosofis, untuk menjaga kekuasaan kehakiman agar tetap merdeka dalam menegakkan hukum dan keadilan; (2) secara sosiologis, untuk mengatasi berbagai perbuatan yang sering terjadi yang dapat merendahkan kewibawaan lembaga peradilan; dan (3) secara yuridis, sampai saat ini belum ada Undang-Undang yang secara khusus mengatur mengenai penghinaan dalam persidangan. C. Pengertian dan Ruang Lingkup Contempt of Court Lingkup pengertian Contempt of Court masih menimbulkan berbagai perdebatan. Hal ini dapat dimaklumi karena konsep Contempt of Court telah lama tumbuh dan berkembang di negara-negara yang menganut Common Law, khususnya negara Inggris. Adapun negara Indonesia cenderung dipengaruhi oleh tradisi hukum Eropa Continental atau Civil Law. Uniknya, konsep Contempt of Court dalam Common Law dibedakan antara Civil Contempt dan Criminal Contempt. Meskipun demikian, keduanya (Civil Contempt dan Criminal Contempt), sama-sama diancam dengan sanksi pidana. Definisi Contempt of Court dalam berbagai rumusan yang ada sebagai berikut: Inggris (Contempt of Court Act 1981) a) Civil Contempt of Court Civil Contempt of Court terjadi jika pihak atau pihak-pihak “failure to confirm with the order of a superior court (tidak menjalankan perintah pengadilan yang lebih tinggi).” Lebih lajut Philip S. James (1989: 161) mengatakan bahwa “a civil judge may commit to 260
Urgensi Pembentukan UU tentang Penghinaan dalam Persidangan, Sareh Wiyono
prison any person who disobeys his orders, as by refusing to obey an injunction. The disobedient person may also be fined or the judge may order sequestration of assets (hakim dalam perkara perdata dapat memenjarakan setiap orang yang mengabaikan perintahnya, seperti menolak injunction. Pembangkang dapat juga didenda atau hakim memerintahkan penyitaan aset yang bersangkutan). b) Criminal Contempt of Court Criminal Contempt of Court meliputi: 1) Scandalizing the court (merendahkan pengadilan), yang meliputi “ucapan atau tingkah laku kasar (menghina), meragukan imparsialitas pengadilan atau melemparkan tuduhan tanpa dasar telah terjadi malpraktik atau penyelewengan di pengadilan, termasuk pula apabila dimuat dalam media (news media); 2) Interference with the justice as continuing process (intervensi terhadap suatu peradilan sebagai satu kesatuan proses berkelanjutan). Demi keadilan dan menjaga kepercayaan publik, dilarang mengungkapkan proses peradilan sebagai kesatuan yang berkelanjutan. Pelanggaran ini mencakup : (1) Mengungkapkan atau berusaha mendapatkan rincian proses yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang atau penetapan majelis sebagai suatu proses yang tertutup atau tidak terbuka untuk umum. Misalkan, mengungkapkan atau berusaha mendapatkan rincian rapat-rapat juri/hakim yang tertutup. Dalam hukum acara Indonesia, permusyawaratan majelis untuk mengambil keputusan adalah tertutup dan rahasia; (2) Mempublikasikan nama-nama korban yang harus dirahasiakan, yang dapat mengakibatkan korban-korban lain enggan melapor. Hukum acara Inggris tidak mengenal sistem anonim; 3) Contempt in the face of court (pelanggaran dalam ruang sidang pengadilan), yang meliputi: (1) Melakukan interupsi di sidang pengadilan atau membuat sidang pengadilan menjadi bahan tertawaan; (2) Menyerang, mengancam, mencaci, atau mengganggu (misalkan berteriak-teriak atau menyanyi dalam sidang yang sedang berjalan); (3) Penolakan wartawan menyebut sumber berita;
261
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 257-266
(4) Pengambilan foto persidangan, merekam persidangan, kecuali dengan izin hakim. 4) Deliberate interference with particular proceedings (dengan sengaja mencampuri bagian-bagian tertentu pemeriksaan perkara) dengan maksud mempengaruhi putusan, seperti percobaan menyuap hakim, mengintimidasi hakim atau saksi. 5) Unintentional interference by prejudicial publication (campur tangan yang tidak disengaja yang dilakukan dengan cara mempublikasikan sesuatu sebelum proses yudisial dijalankan), yang menimbulkan risiko substansial atau persangkaan terhadap suatu proses peradilan. India (Contempt of Court Act 1971) 1) Civil Contempt of Court Civil Contempt of Court means “willful disobedience to any judgment, decree, direction, order, write or other process of a court or willful breach of an undertaking given to the court.” 2) Criminal Contempt of Court Criminal Contempt of Court meliputi: a) Scandalizes or tend to scandalizes, lowers or tend to lower the authority of any court (meremehkan atau bermaksud meremehkan, merendahkan atau bermaksud merendahkan kekuasaan pengadilan). b) Prejudice or interference, or tend to interfere with due course of any judicial proceeding (purbasangka atau mencampuri atau bermaksud mencampuri setiap proses peradilan). c) Interferes or tends to interfere with, or obstruct, or tend to obstruct the administration of justice in any other manner (segala bentuk mencampuri atau bermaksud mencampuri atau menghalangi penyelenggaraan pengadilan). Menurut Bagir Manan (tanpa tahun: 4-6), perbuatan Contempt of Court meliputi: a. Mempermalukan pengadilan (scandalizing the court). Di Skotlandia disebut murmuring judges (menggosipkan hakim). Mempermalukan dilakukan dengan menuduh secara samar-samar dan tanpa dasar telah terjadi penyelewengan (korupsi) dan praktik yang melenceng (malpractice) di pengadilan. Ancaman sanksi ini dimaksudkan untuk menjaga kepentingan publik terhadap pengadilan. b. Mencampuri proses peradilan yang sedang berjalan (interference with justice as a continuing process). Salah satu bentuknya, misalkan mempublikasikan atau mengungkapkan kepada pihak lain perundinganperundingan yang dilakukan juri (yang selalu dilakukan secara 262
Urgensi Pembentukan UU tentang Penghinaan dalam Persidangan, Sareh Wiyono
tertutup). Ada juga kemungkinan larangan mempublikasikan namun atas nama korban pemerasan, atau saksi. Selain untuk menjaga kepercayaan publik terhadap pengadilan, pembatasan ini untuk mencegah korban lain enggan melapor atau keengganan menjadi saksi. c. Melecehkan pengadilan secara langsung (contempt in face of court). Melecehkan atau meremehkan ini meliputi: (1) menyerang (assault); (2) mengancam (threat); (3) memaki (insult); atau mengganggu jalannya persidangan dengan cara-cara seperti berteriak atau bersorak (shouting), menyanyi-nyanyi di dalam persidangan. Ada pula kemungkinan seseorang terkena sanksi atas dasar Contempt of Court karena tidak menghadiri sidang, tidak menyampaikan dokumen atau tidak menjawab pertanyaan penting yang diperlukan persidangan. d. Dengan sengaja mencampuri proses peradilan dengan cara tertentu (deliberate interference with particular proceedings). Pelecehan ini menyangkut perbuatan atau tindakan untuk mempengaruhi kesimpulan suatu proses peradilan, seperti percobaan menyuap atau mengintimidasi hakim, juri, atau saksi. e. Mencampuri secara tidak sengaja melalui publikasi yang dapat merugikan proses peradilan (unintentional interperence by prejudicial publications). Digolongkan sebagai pelecehan apabila dapat secara substansial menimbulkan risiko menghalangi atau merugikan proses peradilan. Menurut Naskah Akademik RUU tentang Contempt of Court yang disusun oleh Mahkamah Agung (2002 : 8-9), bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk dalam pengertian Contempt of Court, sebagai berikut. a. Berperilaku tercela dan tidak pantas di pengadilan (misbehaving in court); b. Tidak menaati perintah-perintah pengadilan (disobeying court orders); c. Menyerang integritas dan imparsialitas pengadilan (scandalizing the court); d. Menghalangi jalannya penyelenggara peradilan (obstructing justrice); dan e. Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court) dilakukan dengan cara pemberitahuan/publikasi (sub-justice rule). Berdasarkan uraian tersebut di atas, disimpulkan bahwa Contempt of Court, meliputi dua hal yaitu (1) perbuatan yang dilakukan di dalam sidang pengadilan (contempt in the face of the court); dan (2) publikasi yang dianggap mencampuri suatu proses peradilan yang adil 263
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 257-266
dalam perkara tertentu (publications interfering with the due course of justice in particular legal proceedings). D. Pokok-Pokok Materi Muatan RUU tentang Penghinaan dalam Persidangan (Contempt of Court) Dalam RUU tentang Penghinaan dalam Persidangan, antara lain perlu dimuat hal-hal sebagai berikut: 1. Definisi yang jelas dan tegas mengenai Penghinaan dalam Persidangan Definisi yang dimaksud ialah definisi mengenai perbuatan penghinaan dalam persidangan, baik di dalam maupun di luar lembaga pengadilan. Namun tetap memperhatikan hak asasi setiap orang dalam berekpresi. 2. Ruang lingkup keberlakuan RUU tentang Penghinaan dalam Persidangan Ruang lingkup keberlakuan RUU tentang Penghinaan dalam Persidangan, meliputi lembaga pengadilan tingkat pertama hingga akhir, termasuk dalam hal ini, baik yang berada di dalam kekuasaan Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi. 3. Ketertiban dalam Persidangan Dalam bagian ini perlu diatur mengenai ketertiban dalam persidangan. Upaya yang diperlukan agar persidangan dapat berjalan lancar dan tertib, tanpa hambatan apapun dalam rangka mewujudkan keluhuran martabat lembaga pengadilan. 4. Pengamanan Penyelenggaraan Peradilan Dalam bagian ini perlu diatur mekanisme pengamanan selama peradilan berlangsung. Pengamanan dimaksud, baik menyangkut institusi maupun sumberdaya manusianya. Setiap orang yang terlibat dalam penegakan hukum dan keadilan harus mendapatkan keamanan, baik di dalam maupun di luar persidangan. Hakim dan para pihak yang berperkara semuanya harus mendapat perlindungan sehingga penegakan hukum dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, serta merdeka dari segala tekanan yang ada. 5. Ketentuan Pidana Dalam bagian ini diatur berbagai jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada setiap orang yang terbukti melakukan penghinaan dalam persidangan. Sanksi harus tegas dan jelas terhadap setiap perbuatan penghinaan dalam persidangan.
264
Urgensi Pembentukan UU tentang Penghinaan dalam Persidangan, Sareh Wiyono
6.
7.
Ketentuan Peralihan Dalam bagian ini diatur mengenai penegakan hukum terhadap tindak pidana penghinaan dalam persidangan. Terhadap perkara yang telah ditangani sebelum UU ini berlaku, maka perkara tersebut diputus sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang ada. Ketentuan Penutup Dalam bagian ini diatur ketentuan mengenai keberlakuan UU tentang Penghinaan dalam Persidangan.
E. Penutup 1. Kesimpulan a. Hukum dan ketertiban harus ditegakkan di mana saja, terutama di pengadilan yang diberi tugas untuk menegakkan “supremacy of law”. Oleh karena itu sudah merupakan kewenangan yang melekat bagi pengadilan untuk menghukum secara efektif mereka yang melecehkan badan peradilan. b. Ketentuan mengenai Penghinaan dalam Persidangan dimaksudkan untuk menjamin terlaksana proses peradilan terhadap perbuatan penghinaan dalam persidangan dan dapat dilaksanakan secara efektif, yaitu antara lain dengan menjatuhkan sanksi terhadap mereka yang mengganggu proses peradilan atau tidak mau melaksanakan perintah pengadilan. 2.
Saran a. Demi terselenggaranya proses peradilan yang tertib guna menegakkan “supremacy of law” perlu dibentuk UU tentang Penghinaan dalam Persidangan. b. Untuk mengurangi terjadinya penghinaan dalam persidangan, secara internal para hakim juga wajib meningkatkan profesionalisme dan integritas pribadinya dalam menjalankan tugas yang diembannya. c. Selain itu, untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan untuk menyampaikan informasi dan kebebasan untuk melaksanakan peradilan yang merdeka dan efektif, RUU tentang Penghinaan dalam Persidangan harus memberikan restriksi terhadap perbuatan mana yang termasuk penghinaan dalam persidangan dan mana yang tidak.
265
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 257-266
Daftar Pustaka Alexander Hamilton, et.al., The Federalist Papers, New York: New American Library, 1961. Bagir Manan, “Tindak Pidana Contempt of Court (Suatu Perkenalan),” Makalah ditulis untuk memperingati 70 tahun Prof. Dr. Komariah E. Sapardjaja, S.H., Hakim Agung dan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran, tanpa tempat dan tahun. _______, “Contempt of Court Vs Freedom of Press,” Makalah, tanpa tempat dan tahun. MPR RI, Panduan Pemayarakatan UUD NRI Tahun 1945 dan Ketetapan MPR RI, Jakarta: Setjen MPR RI, 2014. Montesquieu, The Spirit of The Laws, New York: Hafner Press, 1949. Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Naskah Akademik Penelitian Contempt of Court, Jakarta: Puslitbang MA RI, 2002. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
266
CONTEMPT OF COURT DI INDONESIA, PERLUKAH? (Contempt of Court in Indonesia, is it Required?)
Otto Hasibuan Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Jl. Gajah Mada No.3-5, Jakarta Pusat Email :
[email protected]
Abstrak UU Contempt of Court perlu dibuat dalam UU tersendiri. Tetapi menunggu atau setidak-tidakna dilakukan serta merta dilakukannya perubahan sistem hukum yang komprehensif dan peningkatan profesionalitas hakim, jaksa, polisi, advokat, wartawan serta penyuluhan intensif kepada masyarakat pencari keadilan. Kata kunci : Penghinaan terhadap Pengadilan, Indonesia Abstract Contempt of Court law needs to be made apart with specific law, but waiting or at least fulfillment at once the changed of law system with the comprehendship way and improving the professionalism of judge, attorney, police officer, advocat, journalist, and socialization to the society of justice seeker. Keywords : Contempt of Court, Indonesia Pendahuluan Pembicaraan tentang Contempt of Court sudah lama di Indonesia, baik dikalangan Hakim, Akademisi dan Advokat.Tetapi sampai sekarang kehadiran Contempt of Court di Indonesia masih mengundang kontroversi. Ada yang menyatakan Undang-Undang Contempt of Court ini tidak perlu karena Undang-Undang Contempt of Court itu hanya melindungi Hakim dan membuat Hakim lebih otoriter. Tetapi sebagian orang menyatakan bahwa Undang-Undang Contempt of Court perlu ada di Indonesia dengan alasan bahwa Hakim perlu mendapatkan perlindungan dari perbuatan yang dapat membuat Hakim tidak bebas dan mandiri dalam melaksanakan tugas, sehingga kewibawaan dan martabatnya perlu dilindungi, agar Hakim dapat menegakkan hukum dengan adil, termasuk berani membebaskan orang yang tidak bersalah. Beragam pendapat pihak tentang perlunya Undang-Undang Contempt of Court ini di Indonesia. Namun sebelum membahasnya dengan 267
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 267-274
jauh, tentu perlu kita pahami terlebih dahulu apa sesungguhnya Contempt of Court itu dan Undang-Undang Contempt of Court yang bagaimana yang kita butuhkan. Pengertian Dalam Black’s Law Dictionary edisi ke 5 yang dipublikasikan oleh ST. Paul Minn, West Publishing CO. tahun 1979 disebutkan Contempt of court adalah: Any act which is calculated to embarrass, hinder, or obstruct court in administration of justice, or which is calculated to lessen its outhority or its dignity (kutip). Selanjutnya disebutkan bahwa Contempt of Court ada 2: 1. Direct Contempts/Criminal Contempts. Direct Contempts are those commited in the immediate view and presence of the court (such as insulting language or acts of violence) or so near the presence of the court as to obstruct or interrupt the due and orderly course of proceedings. These are punishable summarily. They ara also called “criminal” contempts, but that term is better used in contrast with “civil” contempts. 2.
Indirect Contempts/Civil Contempts. Constructive (or indirect) contempts are those which arise from matters not occurring in or near the presence of the court, but which tend to obstruct or defeat the administration of justice, and the term is chiefly used with reference to the failure or refusal of a party to obey a lawful order, injunction, or decree of the court laying upon him a duty of action or forbearance. Dari dua hal tersebut diatas dapat kita ketahui bahwa civil contempt bukanlah perbuatan yang tidak menghormati kewibawaan Hakim, tetapi adalah perbuatan terhadap pihak yang diberi mandat oleh Pengadilan. Di Indonesia belumlah ada definisi yang pasti tentang apa yang disebut Contempt of Court tersebut, dan ada yang menyatakan sebenarnya di dalam KUHP sudah ada pengaturan tentang Contempt of Court tersebut antara lain di dalam pasal 218, 217, 316, 216, 221, 223, 224, 207, 212, 214. Tetapi sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang diatur dalam pasalpasal tersebut hanya dipersepsikan saja sebagai Contempt of Court. Tetapi selama kita belum merumuskan dan menyepakati apa yang dimaksud dengan Contempt of Court, maka belumlah dapat kita katakan bahwa pasalpasal tersebut adalah merupakan pengertian tentang Contempt of Court. Jadi perlu dirumuskan dulu apa yang dimaksud dengan Contempt of Court itu di Indonesia. Contempt of Court di beberapa Negara (sumber Wikipedia) adalah: 268
Contempt of Court di Indonesia, Otto Hasibuan
Di Canada Di Canada perbuatan yang dimaksud sebagai Contempt of Court adalah termasuk beberapa perbuatan antara lain: Fails to maintain a respectful attitude, remain silent or refrain from showing approval or disapproval of the proceeding. Refuses or neglects to obey a subpoena Willfully disobeys a process or order of the Court. Interfere with the orderly administration of justice or to impair the authority or dignity of the Court. Officer of the Court fails to perform his or her duties. Shefiff and/or bailiff does not execute a writ forthwith or does not make a return thereof. Di Hongkong Yang dimaksud dengan Contempt of Court termasuk antara lain: Insult a judge or justice, witness or officers of the court. Interrupts the proceedings of the court. Interfere with the course of justice. Misbehaves in court (e.i., use of mobile phoneor recording devices without permission). Juror who leaves without permission of the court during proceedings. Disobeying a judgment or court order Breach of undertaking Breach of a duty imposed upon a solicitor by rules of court. Di India Perbuatan yang disebut sebagai Contempt of Court adalah: Wilful disobedience to any judgment, decree, direction, order, writ or other process of a court or willful breach of an undertaking given to a court. The publication (whether by words, spoken or written, or by signs, or by visible representation, or otherwise) of any matter or the doing of any other act whatsoever which : (i) Scandalises or tends to scandalise, or lowers or tends to lower the authority of, any court, or (ii) Prejudices, or interferes or tends to interfere with the due course of any judicial proceeding, or (iii) Interferes or tends to interfere with, or obstructs or tends to obstruct, the administration of justice in any other manner.
269
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 267-274
Criminal contempt of court 1. Contempt “in the face of the court” (not to be taken literally ; the judge does not need to see itu, provided it took place within the court precincts or relates to a case currently before that court) ; 2. Disobedience of a court order ; and 3. Breaches of undertakings to the court Di Amerika Perbuatan yang masuk Contempt of Court dibagi 2 : 1. Direct Contempt is that which occurs in the presence of the presiding judge (in facie curiae) and may be dealt with summarily; the judge notifies the offending party that he or she has acted in a manner which disrupts the tribunal and prejudices the administration of justice. After giving the person the opportunity to respond, the judge may impose the sanction immediately. 2. Indirect Contempt occurs outside the immediate presence of the court and consists of disobedience of a court’s prior order. Generally a party will be accused of indirect contempt by the party for whose benefit the order was entered. A person cited for indirect contempt is entitled to notice of the charge and an opportunity fo hearing of the evidence of contempt and, since there is no written procedure, may or may not be allowed to present evidence in rebuttal. Urgensi Undang-Undang Contempt of Court di Indonesia Sebagaimana kita ketahui bersama di banyak negara, Contempt of Court ini sudah sejak lama diterapkan bahwa di Inggris sudah mulai sejak beberapa abad yang lalu, tetapi justru di Indonesia Undang-Undang Contempt of Court ini belum ada dan bahkan masih ada penolakan dari masyarakat terhadap Undang-Undang Contempt of Court ini, padahal kita tahu secara normatif/dan idealnya Undang-Undang Contempt of Court ini adalah sangat baik dan perlu ada karena dengan Undang-Undang Contempt of Court diharapkan tegaknya hukum dan keadilan dapat tercapai. Namun membaca hasil penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Mahkamah Agung, ternyata diantara para Hakim sendiri masih cukup banyak yang tidak menyetujui adanya Undang-Undang Contempt of Court ini dibuat dalam Undang-Undang tersendiri walaupun lebih banyak yang menyetujuinya. Dari hasil penelitian Puslitbang Mahkamah Agung sendiri, dari 611 jumlah kuesioner yang diberikan kepada 611 Hakim, ternyata ada 260 Hakim yang tidak menyetujui Undang-Undang Contempt of Court ini diatur dalam Undang-Undang tersendiri. Terus terang, fakta ini sangat mengejutkan kita, karena secara logika mestinya semua Hakim akan setuju 270
Contempt of Court di Indonesia, Otto Hasibuan
dengan pengaturan Undang-Undang Contempt of Court tersendiri, karena biar bagaimanapun Undang-Undang Contempt of Court pasti sangat berguna untuk melindungi para Hakim dari Contempt of Court, ketika Hakim menjalankan tugasnya. Tetapi kenyataannya tidak semua Hakim yang setuju. Oleh karena itu perlu dikaji lebih lanjut apa yang menjadi alasan para Hakim tersebut tidak setuju apabila Undang-Undang tersebut diatur secara tersendiri. Dan sangat disayangkan penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Mahkamah Agung hanya menggunakan Hakim sebagai respondennya dan tidak meneliti dan meminta pendapat Jaksa, Advokat dan masyarakat pencari keadilan.Sehingga penelitian tersebut menurut penulis masih perlu ditindak lanjuti,agar mendapatkan hasil yang lebih komprehensif dan dapat mewakili semua pihak yang terlibat dengan pengadilan. Menurut penulis, banyaknya penolakan dari masyarakat termasuk Advokat tentang Undang-Undang Contempt of Court, ini hanyalah karena ketidakpercayaan atau adanya kecurigaan bahwa Undang-Undang Contempt of Court tersebut akan disalah gunakan oleh para Hakim. Masyarakat belum percaya bahwa Undang-Undang Contempt of Court tersebut akan berguna untuk menegakkan hukum dan tercapainya keadilan. Paradigma Pembentukan Undang-Undang Contempt of Court Ada paradigma atau pendekatan yang kurang tepat dalam pembentukan Undang-Undang Contempt of Court ini. Dari beberapa pendapat yang penulis baca di mass media dan beberapa tulisan, termasuk dalam Naskah Akademis Terbuka Puslitbang Mahkamah Agung tentang Contempt of Court terkesan bahwa UndangUndang Contempt of Court ini dibuat adalah untuk menjadikan Hakim lebih berwibawa dengan mempersenjatainya dengan Undang-Undang Contempt of Court. Pendekatan yang demikian ini adalah kurang tepat, dan membuat masyarakat anti dan menolak kehadiran Undang-Undang Contempt of Court. Mestinya penjelasan dan pendekatan kita dalam menghadirkan Undang-Undang Contempt of Court ini bukan untuk tujuan melindungi kehormatan dan kewibawaan Hakim tetapi Undang-Undang Contempt of Court hadir agar hakim dapat menegakkan hukum dan keadilan dengan bebas dan mandiri, karena Undang-Undang Contempt of Court bukan membuat Hakim berwibawa, tetapi Hakim memang sudah dan harus berwibawa, sehingga perlu dijaga dan dilindungi kewibawaan dan martabatnya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, butir 4 alinea 4 sebagai berikut : 271
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 267-274
“Selanjutnya untuk dapat menjamin terciptanya suasana yang sebaikbaiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, maka perlu pula dibuat suatu UndangUndang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai contempt of court. Bersamaan dengan introduksi terminologi itu sekaligus juga diberikan defenisinya.” Dalam penjelasan Undang-Undang No.14 Tahun 1985 diatas dapatlah kita ketahui bahwa tujuan pembentukan Undang-Undang Contempt of Court ini bukanlah untuk melindungi Hakim/kewibawaan Hakim melainkan adalah untuk menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Tentu kalau sudah tercipta penegakan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila serta merta kewibawaan dan martabat hakim pun pasti terlindungi. Undang-Undang Contempt of Court Vs Undang-Undang Advokat Kalau kita ingin membuat Undang-Undang Contempt of Court maka perlu dilakukan sinkronisasi dengan Undang-Undang Advokat No.18 Tahun 2003 agar tidak terjadi benturan ataupun disharmoni diantara kedua Undang-Undang tersebut. Hal tersebut mungkin terjadi karena didalam Undang-Undang Advokat No.18 Tahun 2003 pasal 16 mengatur tentang Hak Imunitas Advokat sebagai berikut: Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan. Kemudian pasal ini telah diperluas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan perlindungan kepada Advokat bukan saja tidak dapat dituntut dalam sidang pengadilan tetapi juga termasuk diluar sidang pengadilan. Selama ini “Advokat” berpendapat bahwa unsur “itikad baik” yang terdapat dalam pasal 16 Undang-Undang Advokat tersebut hanya bisa ditentukan melalui putusan Dewan Kehormatan Advokat, dalam hal ini PERADI, sehingga kalau ada Undang-Undang Contempt of Court dimana hakim diberikan wewenang untuk memerintahkan Advokat untuk ditahan karena perbuatan Contempt of Court, maka hal tersebut bisa bertentangan dengan Undang-Undang Advokat. Karena disini Hakim menjadi penafsir tunggal tentang kesalahan seseorang, padahal menurut Advokat perbuatan yang disebut sebagai Contempt of Court oleh Hakim tersebut bukanlah 272
Contempt of Court di Indonesia, Otto Hasibuan
Contempt of Court, karena dilakukannya dengan itikad baik. Jadi untuk menghindari terjadinya permasalahan sepeti ini maka seandainya UndangUndang tentang Contempt of Court ini jadi dibuat, perlu dilakukan sinkronisasi dan pengkajian mendalam agar tidak terjadi disharmoni dalam kedua Undang-Undang tersebut. Perlukah Undang-Undang Contempt of Court Diberlakukan di Indonesia? Penulis berpendapat bahwa Undang-Undang Contempt of Court adalah sangat baik dan perlu ada di suatu negara. Hal ini terbukti bahwa dibeberapa negara Undang-Undang Contempt of Court ini sudah sangat lama ada. Persoalannya adalah kapan dan dalam kondisi yang bagaimana Undang-Undang Contempt of Court dapat diberlakukan di setiap negara khususnya di Indonesia; dan apakah perlu diatur di dalam Undang-Undang tersendiri atau dimasukkan dalam KUHP? Kalau melihat kondisi sekarang maka dapat kita lihat sebenarnya beberapa ketentuan yang dipersepsikan sebagai Undang-Undang Contempt of Court sudah ada di KUHP antara lain pasal 218, 316, 310, dst tetapi kenyataannya, meskipun telah ada ketentuan tersebut hampir tidak ada Hakim yang mau melaporkan perbuatan Contempt of Court. Banyak peristiwa yang kita lihat, pengunjung berbuat gaduh dan merusak ruang sidang pengadilan, berita eksekusi dihalang-halangi tetapi hampir tidak ada (kalaupun ada jarang) Hakim yang mau melaporkan perbuatan tersebut. Kita juga tidak pernah jumpai adanya Hakim pengadilan yang mau melaporkan orang yang menghalang-halangi perintah eksekusi pengosongan rumah, dan tidak ada pula Hakim yang melaporkan wartawan yang melakukan Contempt of Court karena membuat berita trial by the press. Hanya ada satu Hakim yang baru mau melaporkan pelaku Contempt of Court ke Polisi yaitu Hakim Sarpin. Itupun hasilnya belum kita tahu sampai dimana. Tentu kita dapat memaklumi mengapa para Hakim tidak mau membuat laporan kepolisian atas perbuatan Contempt of Court karena membuat Laporan Polisi adalah pekerjaan yang rumit dan berbelit-belit dan posisi Hakim dalam membuat Laporan Polisi tersebut menjadikannya dalam posisi tidak terhormat karena harus menghadap Polisi, diperiksa Polisi dan menjadi saksi di pengadilan yang akhirnya tujuan untuk menjaga kehormatan Hakim tersebut menjadi tidak tercapai. Oleh karena itu idealnya kalaulah Undang-Undang Contempt of Court tersebut harus diberlakukan maka lebih baik dibuat dalam UndangUndang tersendiri dan Hakim diberi wewenang untuk memberikan hukuman langsung kepada pelaku Contempt of Court di muka pengadilan, apakah hukuman denda atau kurungan. Namun demikian ada negatifnya 273
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 267-274
karena Hakim akan menjadi penafsir tunggal tentang kesalahan seseorang dan tanpa diadili, seseorang menjadi dapat dihukum. Oleh karena itu kalau kita mau menerapkan Undang-Undang Contempt of Court maka terlebih dahulu kita harus memperbaiki sistim hukum kita, dan perlu ditingkatkan profesionalitas Hakim dan integritas Hakim, Advokat, Jaksa, Wartawan dan masyarakat pencari keadilan. Bagaimana mungkin kita membuat Undang-Undang Contempt of Court bila tata tertib sidang saja tidak pernah dibacakan kepada pengunjung sidang? Bagaimana mungkin Undang-Undang Contempt of Court kita terapkan kalau Hakim saja sidangnya tidak tepat waktu dan masih menggunakan handphone pada waktu sidang berjalan? Demikian juga, pegunjung sidang yang tidak memberi hormat ketika memasuki sidang tidak pernah ditegur oleh Hakim. Permasalahan-permasalahan seperti ini perlu diperbaiki dulu sebelum Undang-Undang Contempt of Court diberlakukan, sehingga Undang-Undang Contempt of Court tersebut nantinya tidak menjadi Undang-Undang yang tumpul dan dapat menjadi bumerang bagi penegakan hukum dan justru membuat martabat dan kehormatan Hakim tidak terlindungi. Kesimpulan Bahwa Undang-Undang Contempt of Court perlu dibuat dalam Undang-Undang tersendiri, tetapi menunggu atau setidak-tidaknya harus dilakukan serta merta dilakukannya perubahan sistem hukum yang konprehensif dan peningkatan profesionalitas dan integritas para Hakim, Jaksa, Polisi, Advokat, Wartawan dan penyuluhan yang intensif kepada masyarakat pencari keadilan.
274
URGENSI DAN PROSPEK PENGATURAN (IUS CONSTITUENDUM) UU TENTANG CONTEMPT OF COURT UNTUK MENEGAKKAN MARTABAT DAN WIBAWA PERADILAN 1 (Urgency and Prospects Settings (Ius Constituendum) on Contempt of Court Act to Uphold The Dignity and Justice Authority)
Lilik Mulyadi 2 Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara Jl. RE. Martadinata No.4, Ancol Selatan, Jakarta Utara Email :
[email protected]
Abstrak UU Contempt of Court merupakan kebutuhan yang bersifat urgent, segera dan mendesak, sehingga perlu dilakukan kajian dan penelitian secara kritis, akademis dan bersifat komprehensif untuk menjaga keluhuran dan menegakkan martabat dan wibawa peradilan. Kata kunci : Prospek Pengaturan, Penghinaan terhadap Pengadilan, Wibawa Peradilan
1
Sebahagian pokok pikiran dalam makalah ini telah dipresentasikan pada Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbangkumdil) Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, di Jalan Jenderal Ahmad Yani, Kav. 58, By pass Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat pada hari Kamis, 16 April 2015. Kemudian oleh Balitbangkumdil ditunjuk sebagai Koordinator Peneliti melakukan penelitian Lapangan bertempat di 3 (tiga kota) yaitu Surabaya, Makasar dan Pekanbaru yang merupakan Program Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (Balitbangkumdil) Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk Tahun Anggaran 2015. 2 Ketua Pengadilan Negeri / Perikanan Klas 1A Khusus Jakarta Utara dengan sertifikasi hakim umum, hakim niaga, hakim pengadilan hubungan industrial, hakim tipikor dan hakim lingkungan, Lektor Kepala Fakultas Hukum Universitas Prima Indonesia (Medan), Dosen Program Pascasarjana (S2/S3) Ilmu Hukum Universitas Jayabaya (Jakarta), Universitas 17 Agustus 1945 (Jakarta), Universitas Veteran (Jakarta), Universitas 17 Agustus 1945 (Semarang), Universitas Merdeka (Malang), Pengajar Diklat Hakim dan Peneliti pada Pusdiklat dan Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI, Penulis Buku Ilmu Hukum dan mempublikasikan tulisan dalam Jurnal Ilmu Hukum (terakreditasi) di Indonesia dan Malaysia, Doktor Ilmu Hukum predikat cumlaude Universitas Padjadjaran (2007) dan Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Bidang Publikasi dan Kajian Ilmiah masa bakti 2013-2016 275
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 275-298
Abstract Contempt of court law is urgent, immediately, and urge, so need critically, academicly, and comprehendship analyzing and research to protect the honour and uphold the dignity and souverignty of the court Keywords : Ius Constituendum, Contempt of Court, Court Dignity A. Pendahuluan Dikaji dari perspektif historis, terminologi contempt of court3 dikenal dalam common law system atau case law. Tradisi contempt of court lahir, tumbuh dan berkembang melalui faham pada abad pertengahan korelasi dengan bentuk kerajaan Inggris, dimana raja-raja memerintahkan dengan hak-hak seperti Tuhan. Semua orang harus tunduk pada raja sebagai kekuasaan tertinggi. Raja merupakan sumber hukum dan keadilan yang kekuasaannya didelegasikan kepada para aparatnya. Konsekuensi logisnya, contempt of court dipandang identik sebagai contempt of the King. Kenyataan tersebut diperkuat oleh Bracton, seorang penulis hukum Inggris pada tahun 1260, yang menyatakan There is no greater crime than contempt and disobedience, for all person ought to be subject to the king as supreme and to this officer.4 Pada negara Indonesia, terminologi dan pengertian contempt of court dari perspektif peraturan Perundang-undangan pertama kali terdapat dalam butir empat alinea keempat penjelasan umum UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pada peraturan tersebut, contempt of court dirasakan penting eksistensinya. Hakikatnya, penjelasan umum tersebut menyebutkan, bahwa: “Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaikbaiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu Undang-Undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai “Contempt of Court”. Dari perspektif butir empat alinea keempat penjelasan umum UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, pengertian contempt of 3
Terminologi Contempt of Court diterjemahkan sebagai Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan (RUU KUHP Tahun 2012), kemudian Tindak Pidana Terhadap Penyelenggaraan Peradilan (butir empat alinea keempat penjelasan umum UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung), Tindak Pidana Penghinaan Terhadap Lembaga Peradilan (Naskah Akademis Penelitian Contempt of Court 2002 dari Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia) dan Tindak Pidana Terhadap Penghinaan Dalam Persidangan (Nomor Urut 61 Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2015). 4 Nico Keyzer, Contempt of Court, Bahan Ceramah di Badan Pembinaan Hukum Nasional, 17 Agustus 1987, hlm. 2 276
Urgensi dan Prospek Pengaturan UU tentang Contempt of Court, Lilik Mulyadi
court merupakan segala perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan. Tegasnya, konteks tersebut terutama tendens kepada dimensi pada wibawa, martabat, dan kehormatan badan peradilan dimana dalam suatu lembaga yang abstrak hakekatnya tertuju kepada manusia yang menggerakkan lembaga tersebut, hasil buatan lembaga dan proses kegiatan dari lembaga tersebut. 5 Kemudian dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa, contempt of cout adalah: “An act which is calculated to embarrass, hinder or obstruct court in adminstration of justice or which is calculated to lessen its authority or its dignity. Committed by a person who does any act in willful contravention of its authority or its dignity, or tending to impede or frustate the administration of juctice or by one who, being under the the court’s authority as a party to a proceeding there in, willfully disobeys its lawful orders or fails to comply with an undertalking which he has given”.6 (setiap perbuatan yang dapat dianggap mempermalukan, menghalangi atau merintangi tugas peradilan dari badan-badan pengadilan, ataupun segala tindakan yang dapat mengurangi kewibawaannya atau martabatnya. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dengan sengaja menentang atau melanggar kewibawaannya atau menggagalkan tugas peradilan atau dilakukan oleh seseorang yang menjadi pihak dalam perkara yang diadili, yang dengan sengaja tidak mematuhi perintah pengadilan yang sah). Konklusi konteks di atas, ditarik suatu “benang merah” bahwa pengertian contempt of court adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh orang yang terlibat dalam suatu proses perkara maupun tidak, di dalam maupun di luar pengadilan, dilakukan perbuatan secara aktif ataupun pasif berupa tidak berbuat yang bermaksud mencampuri atau mengganggu sistem atau proses penyelenggaraan peradilan yang seharusnya (the due administration of justice), merendahkan kewibawaan dan martabat pengadilan atau menghalangi pejabat pengadilan di dalam menjalankan peradilan. Indonesia, sebagai sebuah Negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat) diartikan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara harus diatur, sesuai dan dijalankan berdasarkan atas hukum. Dalam konteks ini, selain kekuasaan eksekutif dan legislatif, terdapat kekuasaan yudikatif
5
Padmo Wahyono, Contempt of Court Dalam Proses Peradilan di Indonesia, Era Hukum, No. 1, Tahun I, Edisi November 1987, hlm. 22 6 Henry Black Campbell, Black’s Law Dictionary, St. Paul. MINN West Publishing Co, Fifth Edition, 1979, p. 390 277
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 275-298
dalam manifestasi berbentuk kekuasaan kehakiman.7 Pada kekuasaan kehakiman terdapat asas fundamental berupa independence of judiciary. Asas tersebut mengandung makna bahwa jalannya proses peradilan harus dijamin sedemikian rupa agar terhindar dari segala bentuk penggaruh, tekanan, ancaman yang datang dari pihak manapun juga yang berpotensi dapat mereduksi keluhuran asas tersebut. Asas independence of judiciary merupakan asas bersifat universal dan diberlakukan di pelbagai Negara. Dari konteks asas tersebut di atas, proses peradilan harus dijalankan secara terbuka, obyektif, imparsial sesuai dengan ketentuan hukum dan rasa keadilan. Sedemikian pentingnya kedudukan dan fungsi asas tersebut sehingga mendapatkan pengaturan secara khusus dalam UUD 1945 serta kemudian dijabarkan ke dalam pelbagai peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman. Siapapun juga, tanpa terkecuali, berkewajiban untuk menghormati martabat, keluhuran dan wibawa lembaga pengadilan maupun segenap aparaturnya. Namun demikian, dalam dinamika perkembangan akhir-akhir ini terdapat fenomena menarik yang dapat mereduksi martabat, keluhuran dan wibawa lembaga peradilan beserta aparaturnya. Terutama harkat dan wibawa hakim. Sikap dan tindakan yang ditampilkan oleh pencari keadilan, praktisi hukum, kalangan pers, organisasi sosial politik, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, komisi yudisial, serta berbagai pihak lainnya yang sedemikian rupa dapat dikategorisasikan mencederai martabat, keluhuran dan wibawa peradilan, baik sikap dan tindakan yang ditujukan terhadap proses peradilan, pejabat peradilan, maupun putusan pengadilan. Selain itu, pada pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam praktek ketatanegaraan relatif rentan dapat diintervensi, baik melalui kebijakan hukum pembuat Undang-Undang, lembaga harizontal, kekuatan di dalam masyarakat (organisasi massa, media massa, partai politik) melalui pembentukan pendapat umum (public opinion) pada saat peradilan sedang berlangsung. Pengaruh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan politik kekuasaan atau kekerasan atau pengerahan massa yang bersifat anarkhis, mewarnai proses peradilan sehingga mengganggu penyelenggaraan proses peradilan. Misalnya, pembunuhan Hakim Ahmad Taufik,8 pembunuhan Hakim Agung Syaifuddin Kartasasmita,9 gedung Pengadilan Negeri 7
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. 8 Indosiar Online, Tragedi Pembunuhan di Tengah Sidang, diunduh melalui http://www.indosiar.com/ragam/ pada tanggal 20 Maret 2015 9 Tempo.Co, Berkas Pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin telah Siap, diunduh melalui http://www.tempo.co/ read/news/2001/08/13/05536997/, pada tanggal 20 Maret 2015 278
Urgensi dan Prospek Pengaturan UU tentang Contempt of Court, Lilik Mulyadi
Larantuka dibakar massa,10 Pengadilan Negeri Temanggung dirusak massa,11 Pengadilan Negeri Pasuruan dilempar dengan bom Molotov,12 advokat Adnan Buyung Nasution berteriak di ruang persidangan,13 Terdakwa Abubakar Ba’asyir dan pengacaranya, serta hakim ad hoc tipikor walk out dari ruang persidangan,14 Pengacara terdakwa walk out,15 Putusan Mahkamah Agung tidak dipatuhi Institut Pertanian Bogor (IPB),16 Pengacara ngamuk,17 Pengadilan Negeri Gorontalo ditembaki orang,18 PN Depok diintimidasi,19 dan lain sebagainya. Pada hakekatnya, urgensi dan latar belakang tentang UndangUndang contempt of court penting eksistensinya. Hal ini dapat dilihat dari jalannya persidangan. Dalam kasus yang menarik perhatian masyarakat, gedung pengadilan hampir dapat dipastikan penuh pengunjung yang tidak jarang menimbulkan kegaduhan di ruang sidang dengan bersorak, bertepuk tangan, yang tentunya akan mengganggu jalannya persidangan. Selain itu, kadang ada massa berdemonstrasi menuntut dihentikan proses persidangan, dituntut hukum mati, dibebaskan terdakwa, dan lain sebagainya. Kemudian juga terjadi pengacara meninggalkan persidangan atau menginterupsi dengan keras putusan hakim, terdakwa menyerang hakim akibat tidak puas dengan putusan hakim.
10
Liputan 6, Kantor PN dan Kajari Larantuka Dibakar Massa, diunduh melalui http://m.liputan6.com/ news/read/66537/ pada tanggal 21 Maret 2015 11 Tempo.Co, Ini Bangunan yang jadi sasaran Amuk Massa di Temanggung, diunduh melalui http://www.tempo.co/read/news/2011/02/08/177311988/ pada tanggal 21 Maret 2015 12 Tribunnews.co, Diduga Tak Puas Putusan Hakim PN Dibakar, diunduh melalui http://www.tribunnews.com/ nasional/2010/06/29/ pada tanggal 21 Maret 2015 13 TEMPO online, Keputusan, Laporan, Rekomendasi, diunduh melalui http://majalah. tempointeraktif.com/ ld/arsip/1986/06/07/HK/mbm.19860607.HK33554.jd.html. diunduh pada tanggal 22 Maret 2015 14 Nasional.Kompas, Ba’asyir dan Pengacara “Walk Out”, diunduh melalui http://nasional.kompas.com/ read/2011/03/14/1125450/ pada tanggal 21 Maret 2015 dan Antaranews, Hakim Ad-Hoc Tipikor Walk Out Dari Ruang Persidangan, diunduh melalui http://www.antaranews.com/berita/32941/ pada tanggal 21 Maret 2015 15 Energitoday, Kasus Bioremediasi: Penasehat Hukum Terdakwa Herland Walk Out, diunduh melalui http://energitoday.com/2013/04/20/ pada tanggal 21 Maret 2015 16 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 87/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst tanggal 20 Agustus 2008 yang mengabulkan gugatan penggugat yang dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 83/Pdt/2009/PT.DKI tanggal 06 April 2009 dan kemudian dikuatkan pula oleh Putusan Mahkamah Agung RI Nomor; 2975 K/Pdt/2009, tanggal 26 April 2010 yang menolak kasasi tergugat I (IPB Bogor) 17 Metro.news.viva, Praperadilan Ditolak, Pengacara Ngamuk di PN Jaksel, diunduh melalui http://metro. news.viva.co.id/news/read/61035, pada tanggal 8 April 2015 18 Merdeka.com, PN Gorontalo ditembaki orang tak dikenal, diunduh melalui www. Merdeka.com, pada tanggal 11 April 2015 19 Harianjayaposonline, PN Depok Diintimidasi Eksekusi Terlaksana Di Bawah Tangan, diunduh melalui www.harianjayapos.com., pada tanggal 11 April 2015 279
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 275-298
Di luar persidangan, pemberitaan besar-besaran terhadap suatu kasus atau kritikan yang disampaikan secara terbuka melalui media massa (trial by the press) sering kali terjadi dan tidak jarang pula bahwa pers mengeluarkan pemberitaaan atau pernyataan yang menimbulkan situasi atau kondisi yang berpengaruh terhadap putusan yang akan dijatuhkan. Dampak dari pemberitaan tersebut adanya kesan bahwa seseorang yang diajukan ke depan pengadilan seolah-olah bersalah walaupun proses persidangan itu belum selesai.20 Dari dimensi lain, sebenarnya eksistensi contempt of court ibarat “pedang bermata dua”. Di satu sisi, upaya menegakkan kewibawaan lembaga peradilan, dan di sisi lainnya akan menjadi boomerang bagi masyarakat. Aspek ini lebih jauh disebutkan Wahyu Wagiman sebagai berikut: “Adanya ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court) di satu sisi merupakan upaya yang baik untuk menegakkan kewibawaan lembaga peradilan yang saat ini dinilai tidak lagi terhormat di mata masyarakat. Namun, disisi lain ketentuan ini akan menjadi boomerang bagi masyarakat, apabila adanya ketentuan mengenai tindak pidana contempt of court ini semata-mata untuk memperkuat posisi hakim atau pejabat peradilan lainnya, yang nota bene sudah memiliki kedudukan yang kuat dalam proses peradilan”. 21 B. Pengaturan Contempt of Court dalam Hukum Positif Indonesia (ius constitutum/ius operatum) dan Hukum yang Akan Datang (ius constituendum) Di Indonesia, pengaturan contempt of court dalam hukum positif (ius constitutum/ius operatum) selintas diatur dalam ketentuan hukum materiil (KUHP), hukum formal (KUHAP), maupun pengaturan di luar KUHP dan KUHAP, untuk ius constituendum dalam RUU KUHAP Tahun 2012 dan RUU KUHP Tahun 2012. Pada KUHP diatur ketentuan Pasal 209,22 210,23 20
Wahyu Wagiman, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 2 Contempt of Court Dalam Rancangan KUHP 2005, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), September, 2005, hlm. 4 21 Wahyu Wagiman, Position Paper Advokasi..., Ibid. 22 Pasal 209 KUHP berbunyi: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; 2. barang siapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. (2) Pencabutan hak tersebut dalam pasal 35 No. 1- 4 dapat dijatuhkan. 280
Urgensi dan Prospek Pengaturan UU tentang Contempt of Court, Lilik Mulyadi
211,24 212,25 216,26 217,27 220,28 221,29 222,30 223,31 224,32 233,33 242,34 420,35 422,36 dan 522.37 Pada KUHAP diatur dalam ketentuan Pasal 217,38 23
Pasal 210 KUHP berbunyi : (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun : 1. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan tentang perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; 2. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang yang menurut ketentuan Undang-Undang ditentukan menjadi penasihat atau adviseur untuk menghadiri sidang atau pengadilan, dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. (2) Jika pemberian atau janji dilakukan dengan maksud supaya dalam perkara pidana dijatuhkan pemidanaan, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (3) Pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1- 4 dapat dijatuhkan. 24 Pasal 211 KUHP berbunyi : “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang pejabat untuk melakukan perbuatan jabatan atau untuk tidak melakukan perbuatan jabatan yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. 25 Pasal 212 KUHP berbunyi : “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban Undang-Undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. 26 Pasal 216 KUHP berbunyi : (1) Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut Undang-Undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan Undang-Undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda puling banyak sembilan ribu rupiah. (2) Disamakan dengan pejahat tersebut di atas, setiap orang yang menurut ketentuan Undang-Undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi tugas menjalankan jabatan umum. (3) Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka pidananya dapat ditambah sepertiga. 27 Pasal 217 KUHP berbunyi : “Barang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan atau di tempat di mana seorang pejabat sedang menjalankan tugasnya yang sah di muka umum, dan tidak pergi sesudah diperintah oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah”. 28 Pasal 220 KUHP berbunyi: “Barang siapa memberitahukan atau mengadukan bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan”. 29 Pasal 221 KUHP berbunyi: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 281
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 275-298
1. barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh penjahat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan Undang-Undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian; 2. barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan Undang-Undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian. (2) Aturan di atas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut dengan maksud untuk menghindarkan atau menghalaukan bahaya penuntutan terhadap seorang keluarga sedarah atau semenda garis lurus atau dalam garis menyimpang derajat kedua atau ketiga, atau terhadap suami/istrinya atau bekas suami/istrinya. 30 Pasal 222 KUHP berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. 31 Pasal 223 KUHP berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja melepaskan atau memberi pertolongan ketika meloloskan diri kepada orang yang ditahan atas perintah penguasa umum, atas putusan atau ketetapan hakim, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan”. 32 Pasal 224 KUHP berbunyi: Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut Undang-Undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan Undang-Undang yang harus dipenuhinya, diancam: 1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan; 2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan. 33 Pasal 233 KUHP berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menghancurkan, merusak, membikin tak dapat dipakai, menghilangkan barang-barang yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-surat atau daftar-daftar yang atas perintah penguasa umum, terus-menerus atau untuk sementara waktu disimpan, atau diserahkan kepada seorang pejabat, ataupun kepada orang lain untuk kepentingan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. 34 Pasal 242 KUHP berbunyi: (1) Barang siapa dalam keadaan di mana Undang-Undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (2) Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (3) Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah. (4) Pidana pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 4 dapat dijatuhkan. 35 Pasal 420 KUHP berbunyi: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun : 282
Urgensi dan Prospek Pengaturan UU tentang Contempt of Court, Lilik Mulyadi
218.39 Kemudian ketentuan di luar KUHP dan KUHAP diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1985, UU Nomor 25 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri.40 Kemudian dalam RUU KUHAP Tahun 2012 terdapat dalam
1. seorang hakim yang menerima hadiah atau janji. padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang menjadi tugasnya; 2. barang siapa menurut ket.entuan Undang-Undang ditunjuk menjadi penasihat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat tentang perkara yang harus diputus oleh pengadilan itu. (2) Jika hadiah atau janji itu diterima dengan sadar bahwa hadiah atau janji itu diberikan supaya dipidana dalam suatu perkara pidana, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun 36 Pasal 422 KUHP berbunyi : Seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan barana paksaan, baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. 37 Pasal 522 KUHP berbunyi : Barang siapa menurut Undang-Undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. 38 Pasal 217 KUHAP berbunyi: (1) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib di persidangan. (2) Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat. 39 Pasal 218 KUHAP berbunyi: (1) Dalam ruang sidang siapapun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan. (2) Siapa pun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak mentaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintahnya yang bersangkutan di keluarkan dari ruang sidang. (3) Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat suatu tindak pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya. 40 Contempt of Court di Indonesia dikenal dalam penjelasan umum butir ke-4 alinea ke-4 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dimana disyaratkan perlu dibuat suatu Undang-Undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai “Contempt of Court”. Berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 1985 maka diterbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No.: M.03PR.08.05 Tahun 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Penasihat Hukum. Terbitnya SKB ini, tujuan pembuat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 telah terlaksana, akan tetapi relatif tidak sesuai yang diharapkan, dimana SKB ini hanya mengatur contempt of court yang dilakukan oleh Penasihat Hukum saja. Kemudian Menteri Kehakiman mengeluarkan Keputusan No. 01/M.01.PW.07.03. Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang menyinggung kemungkinan adanya contempt of court, sehingga diperlukan kewenangan dan eksistensi haki untuk memeriksa perkara dipersidangan guna menjaga kewibawaan, ketertiban selama persidangan berlangsung. Kemudian juga di dalam UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004 disebutkan bahwa pembuatan Undang-Undang tentang contempt of court menjadi bagian matriks kebijakan hukum tahun 2002 dan kemudian dalam Daftar RUU pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) untuk Tahun 2005 sampai dengan tahun 2009, serta juga dicantumkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 Nomor urut 61. 283
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 275-298
ketentuan Pasal 211,41 dan Pasal 212.42 Berikutnya, dalam RUU KUHP Tahun 2012 terdapat dalam ketentuan Pasal 326,43 Pasal 327,44 Pasal 328,45 Pasal 329,46 Pasal 330,47 Pasal 331,48 Pasal 332,49 Pasal 333,50 Pasal 334,51, 41
Pasal 211 RUU KUHAP berbunyi : (1) Hakim ketua sidang memimpin dan memelihara tata tertib persidangan. (2) Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat. 42 Pasal 212 RUU KUHAP berbunyi: (1) Dalam ruang sidang, siapa pun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan. (2) Siapa pun yang berada di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak menaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintah hakim ketua sidang, yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang. (3) Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tindak pidana yang ditentukan dalam suatu Undang-Undang, yang bersangkutan dapat dituntut berdasarkan Undang-Undang tersebut. 43 Ketentuan Pasal 326 RUU KUHP berbunyi : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. 44 Ketentuan Pasal 327 RUU KUHP berbunyi : Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV bagi setiap orang yang secara melawan hukum : a. menampilkan diri untuk orang lain sebagai peserta atau sebagai pembantu tindak pidana, yang karena itu dijatuhi pidana dan menjalani pidana tersebut untuk orang lain; b. tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan; c. menghina hakim atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau d. mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan. 45 Pasal 328 RUU KUHP berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV bagi advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara melawan hukum: a. mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan dari pihak yang dibantunya, sedangkan patut mengetahui bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak yang dibantunya; atau b. berusaha memenangkan pihak yang dibantunya, meminta imbalan dengan maksud mempengaruhi terhadap saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara yang bersangkutan. 46 Pasal 329 KUHP berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Kategori IV setiap orang yang secara melawan hukum: a. dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, advokat, atau hakim sehingga proses peradilan terganggu; b. menyampaikan alat bukti palsu atau mempengaruhi saksi dalam memberikan keterangan di sidang pengadilan; atau c. mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. 47 Pasal 330 KUHP berbunyi: 284
Urgensi dan Prospek Pengaturan UU tentang Contempt of Court, Lilik Mulyadi
Pasal 335,52 Pasal 336,53 Pasal 337,54 Pasal 338,55 Pasal 413,56 Pasal 414,57 Pasal 418,58 Pasal 422,59 Pasal 43460 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV, setiap orang yang: a. menyembunyikan orang yang telah melakukan tindak pidana atau orang yang dituntut karena melakukan tindak pidana; b. memberikan pertolongan kepada orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat yang berwenang melakukan penyidikan atau penahanan; atau c. setelah terjadi suatu tindak pidana, dengan maksud untuk menutupi atau menghalanghalangi atau mempersulit penyidikan atau penuntutan, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda yang menjadi sasaran atau sarana melakukan tindak pidana atau bekas-bekas tindak pidana lainnya atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan pejabat yang berwenang melakukan penyidikan atau penuntutan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika perbuatan tersebut dilakukan dengan maksud untuk menghindarkan dari penuntutan terhadap keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus derajat kedua atau dalam garis menyamping derajat ketiga atau terhadap istri atau suami atau bekas istri atau suaminya. 48 Pasal 331 RUU KUHP berbunyi : Setiap orang yang mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pemeriksaan jenazah untuk kepentingan peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II. 49 Pasal 332 RUU KUHP berbunyi : Setiap orang yang melepaskan atau memberi pertolongan ketika seseorang meloloskan diri dari penahanan yang dilakukan atas perintah pejabat yang berwenang melakukan penahanan atau meloloskan diri dari pidana perampasan kemerdekaan berdasarkan putusan hakim, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. 50 Pasal 333 RUU KUHP berbunyi : Setiap orang yang secara melawan hukum tidak datang pada saat dipanggil sebagai saksi, ahli, atau juru bahasa, atau tidak memenuhi suatu kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan, dipidana dengan: a. pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, bagi perkara pidana; atau b. pidana denda paling banyak Kategori II, bagi perkara lain. 51 Pasal 334 RUU KUHP berbunyi: (1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV, setiap orang yang: a. melepaskan barang dari sitaan berdasarkan peraturan Perundang-undangan atau melepaskan barang dari simpanan atas perintah hakim atau menyembunyikan barang tersebut, padahal diketahui bahwa barang tersebut berada dalam sitaan atau simpanan; atau b. menghancurkan, merusak, atau membuat tidak dapat dipakai suatu barang yang disita berdasarkan ketentuan peraturan Perundang-undangan. (2) Penyimpan barang yang melakukan, membiarkan dilakukan, atau membantu melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. (3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terjadi karena kealpaan penyimpan maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II. 52 Pasal 335 RUU KUHP berbunyi : Setiap orang yang berdasarkan ketentuan peraturan Perundang-undangan harus memberikan keterangan di atas sumpah atau keterangan tersebut menimbulkan akibat 285
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 275-298
hukum, memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, olehnya sendiri atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu yang diberikan dalam pemeriksaan perkara di sidang pengadilan dan merugikan pihak lawan, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V. 53 Pasal 336 RUU KUHP berbunyi : Setiap saksi dan orang lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme, korupsi, hak asasi manusia, atau pencucian uang yang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II. 54 Pasal 337 RUU KUHP berbunyi : (1) Setiap orang yang merusak gedung, ruang sidang pengadilan, atau alat-alat perlengkapan sidang pengadilan yang mengakibatkan hakim tidak dapat menyelenggarakan sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat sidang pengadilan sedang berlangsung yang menyebabkan sidang pengadilan tidak dapat dilanjutkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. (3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan aparat penegak hukum yang sedang menjalankan tugasnya mengalami luka-luka, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. (4) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya aparat penegak hukum yang sedang menjalankan tugasnya atau saksi saat memberikan kesaksiannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. 55 Pasal 338 RUU KUHP berbunyi : Setiap orang yang melakukan penyerangan langsung kepada saksi saat meberikan kesaksiannya, atau aparat penegak hukum dan petugas pengadilan yang sedang menjalankan tugasnya yang mengakibatkan saksi tidak dapat memberikan kesaksiannya, atau aparat penegak hukum dan petugas pengadilan tidak dapat menjalankan tugasnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. 56 Pasal 413 RUU KUHP berbunyi : Dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II setiap orang yang: a. membuat gaduh dalam sidang pengadilan atau di tempat pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah di muka umum dan tidak pergi sesudah diperintahkan sampai 3 (tiga) kali oleh atau atas nama petugas yang berwenang; atau b. membuat gaduh di dekat ruang sidang pengadilan pada saat sidang berlangsung dan tidak pergi sesudah diperintahkan sampai 3 (tiga) kali oleh atau atas nama petugas yang berwenang. 57 Ketentuan Pasal 414 RUU KUHP berbunyi: Setiap orang yang berkerumun atau berkelompok yang dapat menimbulkan kekacauan dan tidak pergi sesudah diperintahkan sampai 3 (tiga) kali oleh pejabat yang berwenang atau atas namanya, dipidana karena ikut perkelompokan dengan pidana denda paling banyak Kategori II. 58 Ketentuan Pasal 418 RUU KUHP berbunyi: Dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I, setiap orang yang tanpa alasan yang sah tidak datang menghadap atau dalam hal yang diizinkan tidak menyuruh wakilnya menghadap, jika: a. dipanggil di muka hakim untuk didengar karena sebagai keluarga sedarah atau keluarga semenda, suami atau istri, wali atau wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas dalam perkara orang yang akan ditaruh atau yang sudah ditaruh di bawah pengampuan atau dalam perkara orang yang akan dimasukkan atau sudah dimasukkan di rumah sakit jiwa; 286
Urgensi dan Prospek Pengaturan UU tentang Contempt of Court, Lilik Mulyadi
Ketentuan hukum materiil dan hukum formal yang mengatur contempt of court dalam kebijakan formulasi tersebut, relatif tidak dapat dilaksanakan untuk “menjerat” pelaku tindak pidana contempt of court pada tahap aplikatifnya. Tegasnya, dengan lain perkataan, dapat dikatakan bahwa kenyataannya hingga saat ini, Indonesia masih belum memiliki perangkat hukum tersendiri yang memadai untuk mengatur dan melindungi martabat, keluruhan dan wibawa peradilan dari berbagai tindakan berbagai pihak. Indikasinya, relatif sedikit yang diadili karena melakukan contempt of court. Konsekuensi logisnya, merupakan kebutuhan bersifat urgen, segera dan mendesak untuk dilakukan kajian dan penelitian secara kritis, akademis dan bersifat komprehensif terhadap lahirnya eksistensi UU tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan (Contempt of Court) untuk menjaga keluhuran dan menegakkan martabat dan wibawa peradilan. C. Formulasi Ruang Lingkup Karakteristik Perbuatan yang Dapat Dikategorisasikan Tindak Pidana Contempt of Court Masa Mendatang (ius constituendum) Konsekuensi logis dimensi konteks di atas, dirasakan kebutuhan relatif perlu dan mendesak negara Indonesia harus sesegera mungkin mempunyai dan mewujudkan adanya UU tentang Tindak Pidana Penyelenggara Peradilan (contempt of court) dalam kerangka negara hukum dan mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
b. dipanggil di muka Balai Harta Peninggalan atau atas permintaan Balai Harta Peninggalan tersebut, di muka pejabat yang berwenang untuk didengar dalam perkara orang yang akan ditaruh atau yang sudah ditaruh di bawah pengampuan; atau c. dipanggil di muka Dewan Perwalian atau atas permintaan Dewan Perwalian tersebut, di muka pejabat yang berwenang untuk didengar dalam perkara orang yang belum dewasa. 59 Pasal 422 RUU KUHP berbunyi : Setiap orang yang melaporkan atau mengadukan kepada pejabat yang berwenang bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, padahal diketahui bahwa tindak pidana tersebut tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II. 60 Ketentuan Pasal 434 RUU KUHP berbunyi: (1) Setiap orang yang berdasarkan ketentuan peraturan Perundang-undangan harus memberikan keterangan di atas sumpah atau keterangan tersebut menimbulkan akibat hukum, memberikan keterangan palsu di atas sumpah, (2) baik dengan lisan maupun tulisan, olehnya sendiri atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. (3) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d. (4) Disamakan dengan sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah janji atau pernyataan yang menguatkan yang diharuskan berdasarkan ketentuan peraturan Perundang-undangan yang berlaku atau yang menjadi pengganti sumpah. 287
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 275-298
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu, guna mencapai fungsi kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan yang merdeka, pada konferensi Ketua Mahkamah Agung se-Asia Pasifik mensyaratkan perlu adanya pengaturan Contempt of Court diantaranya “Safe Guard of Judiciary”. Kemudian Beijing Statement of Principles on the Independence of the Judiciary memberikan salah satu standart minimum menjaga independensi dan efektivitas fungsi peradilan melalui asas Independence of the Judiciary. Dalam rangka konteks demikian, Oemar Seno Adji menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman mengandung aspek kebebasan dalam menjalankan tugas peradilan (within the exercise of the judicial function), sehingga sebagai kebebasan “personlijk / rechtspositionil” mengandung di dalamnya “vervod” yaitu larangan bagi kekuasaan negara lainnya untuk melakukan intervensi dan “gebod” sebagai kewajiban bagi hakim dalam menjalankan tugasnya dibimbing oleh hati nurani yuridisnya.61 Refleksi konteks kekuasaan kehakiman yang merdeka di samping mengandung makna eksistensi independence of judiciary juga terdapat dimensi Hak Asasi Manusia (HAM). Aspek dan dimensi ini mutatis mutandis terdapat dalam Universal Declaration of Human Rights, yang kemudian tercermin dalam International Covenant on Civil and Political Rights dan UU Nomor 39 Tahun 1999. Pada dasarnya, contempt of court dapat dibedakan menjadi civil contempt of court dan criminal contempt of court. Adapun civil contempt of court adalah ketidakpatuhan terhadap putusan atau perintah pengadilan, jadi bersifat perlawanan terhadap pelaksanaan hukum (an offence against the enforcement of justice), dimana sanksinya bersifat paksaan (coercive nature). Kemudian criminal contempt of court merupakan perbuatanperbuatan yang bertujuan mengganggu atau merintangi penyelenggaraan peradilan (an offence against the administration of justice) dimana sanksinya berupa pidana (punitif nature). Selain itu, dikaji dari perspektif jenisnya, Oemar Seno Adji menyebutkan beberapa jenis contempt of court, yaitu: 1. Sub judice rule, yaitu perbuatan penghinaan dengan cara pemberitahuan/publikasi; 2. Disobeying court orders, yaitu tidak mentaati perintah-perintah pengadilan;
61
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980, hlm. 252
288
Urgensi dan Prospek Pengaturan UU tentang Contempt of Court, Lilik Mulyadi
3. 4. 5.
Obstructing justice, yaitu menghalang-halangi penyelenggaraan peradilan; Misbehaving in court, yaitu berprilaku tercela dan tidak pantas di pengadilan; Scandalising the court, yaitu menyerang integritas dan impartialitas pengadilan.62
Kemudian Barda Nawawi Arief mengklasifikan jenis contempt of court, yaitu: 1. Gangguan di muka atau di dalam ruang sidang pengadilan; 2. Perbuatan-perbuatan untuk mempengaruhi proses perasdilan yang tidak memihak; 3. Perbuatan yang memalukan atau menimbulkan skandal bagi pengadilan; 4. Mengganggu pejabat pengadilan; 5. Perbalasan terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan selama proses peradilan berjalan; 6. Pelanggaran kewajiban oleh pejabat peradilan; 7. Pelanggaran oleh pengacara.63 Pada hakekatnya, formulasi ruang lingkup karakteristik perbuatan yang dapat dikategorisasikan tindak pidana Contempt of Court masa mendatang (ius constituendum) melingkupi ada yang telah diuraikan konteks di atas. Penulis mencoba merumuskan RUU Tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan (Contempt of Court) terdiri dari IX Bab, 55 Pasal beserta penjelasannya dimana beberapa beberapa perbuatan yang dapat dikategorisasikan tindak pidana Contempt of Court masa mendatang (ius constituendum) sebagaimana ketentuan Pasal 17-41 selengkapnya berbunyi sebagai berikut : Pasal 17 Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan peradilan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah)
62
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara..., Ibid., hlm. 256 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2000, hlm. 72 63
289
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 275-298
Pasal 18 Setiap orang yang tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan penyelenggaraan peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp.75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). Pasal 19 Setiap orang yang menghina hakim atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim sehubungan dengan penyelenggaraan peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 20 Setiap orang yang merusak gedung, ruang sidang pengadilan, atau alatalat perlengkapan sidang pengadilan yang mengakibatkan hakim tidak dapat menyelenggarakan sidang pengadilan, dipidana dengan pidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat sidang pengadilan sedang berlangsung yang menyebabkan sidang pengadilan tidak dapat dilanjutkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan aparat penegak hukum yang sedang menjalankan tugasnya mengalami luka-luka dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya aparat penegak hukum yang sedang menjalankan tugasnya atau saksi saat memebrikan kesaksiannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 21 Setiap orang membuka keterangan yang telah disampaikan dalam penyelenggaraan peradilan dalam sidang tertutup, atau membuka identitas orang yang harus dilindungi, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,(satu milyar rupiah). Pasal 22 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.75.000.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) setiap orang yang : 290
Urgensi dan Prospek Pengaturan UU tentang Contempt of Court, Lilik Mulyadi
a. b.
Membocorkan proses persidangan yang dinyatakan tertutup untuk umum. Mempublikasikan atau membiarkan dipublikasikan proses persidangan yang dinyatakan tertutup untuk umum.
Pasal 23 Setiap orang yang tidak segera pergi dari ruang persidangan sehingga mengganggu penyelenggaraan peradilan setelah diperintah oleh hakim atau pengadilan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah). Pasal 24 Setiap orang yang mempublikasikan atau memperkenankan untuk dipublikasikan proses persidangan yang sedang berlangsung, atau perkara yang dalam tahap upaya hukum, yang bertendensi dapat mempengaruhi kemerdekaan atau sifat tidak memihak hakim, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Pasal 25 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.75.000.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) setiap orang yang : a. Menyembunyikan orang yang telah melakukan tindak pidana atau orang yang dituntut karena melakukan tindak pidana; b. Memberikan pertolongan kepada orang sebagaimana dimkasud pada huruf a untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat yang berwenang melakukan penyidikan atau penahanan, atau; c. Setelah terjadi suatu tindak pidana dengan maksud untuk menutupi atau menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan atau penuntutan menghancurkan menghilangkan, menyembunyikan benda-benda yang menjadi sasaran atau sarana melakukan tindak pidana atau bekas-bekas tindak pidana lainnya atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan pejabat yang berwenang melakukan penyidikan atau penuntutan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika perbuatan tersebut dilakukan dengan maksud untuk menghindarkan dari penuntutan terhadap keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus derajat kedua atau dalam garis menyamping derajatketiga atau terhadap istri atau suami atau bekas istri atau suaminya. 291
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 275-298
Pasal 26 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 4 (empat) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) bagi setiap orang yang: a. Menampilkan diri untuk orang lain sebagai peserta atau sebagai pembantu tindak pidana, yang karena itu dijatuhi pidana dan menjalani pidana tersebut untuk orang lain. b. Menampilkan diri untuk orang lain sebagai tahanan untuk menjalani masa penahanan yang ditetapkan; c. Menampilkan diri untuk orang lain sebagai narapidana untuk menjalani pidana. (2) Turut serta melakukan, sebagaimana disebut pada ayat (1) a, b, c, diancam pidana yang sama sebagaimana disebut pada ayat (1). Pasal 27 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar) setiap orang yang : a. Melepaskan, memberi pertolongan, daya upaya sehingga seseorang dapat meloloskan diri dari penahanan yang dilakukan atas perintah pejabat yang berwenang melakukan penahanan, atau; b. Melepaskan, memberi pertolongan, daya upaya sehingga seseorang dapat meloloskan diri dari pidana perampasan kemerdekaan berdasarkan putusan hakim. Pasal 28 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) setiap orang yang : a. melepaskan, memberi pertolongan atau membiarkan tahanan meloloskan diri dari penahanan yang dilakukan atas pemerintah pejabat yang berwenang melakukan penahanan, atau; b. meloloskan diri dari pidana perampasan kemerdekaan berdasarkan putusan hakim. Pasal 29 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) setiap orang yang :
292
Urgensi dan Prospek Pengaturan UU tentang Contempt of Court, Lilik Mulyadi
a.
Melepaskan barang dari sitaan berdasarkan peraturan perudang undangan atau dari simpanan atas perintah hakim atau menyembunyikan barang tersebut, padahal diketahui bahwa barang tersebut berada dalam sitaan atau simpanan, atau; b. Menghancurkan, merusak datau membuat tidak dapat dipakai suatu barang yang disita berdasarkan ketentuan peraturan Perundangundangan yang berlaku. (2) Penyimpanan barang yang melakukan, membiarkan dilakukan atau membantu melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah). (3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terjadi karena kealpaan penyimpanan, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah). Pasal 30 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) bagi advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya : a. Mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan dari pihak yang dibantunya sedangkan patut mengetahui bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak yang dibantunya atau; b. Berusaha memenangkan pihak yang dibantunya, meminta imbalan dengan maksud mempengaruhi terhadap saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara yang bersangkutan. Pasal 31 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.75.000.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) setiap orang yang; a. Dengan mengunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, advokad dan/atau hakim sehingga penyelengaraan peradilan terganggu. b. Menyampaikan alat bukti palsu atau mempengaruhi saksi dalam memberikan keterangan di sidang pengadilan, atau; c. Mencegah, merintangi atau mengagalkan secara langsung atau tidak langsung penyelenggaraan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
293
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 275-298
Pasal 32 Saksi yang tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya setelah hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.75.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah). Pasal 33 Saksi yang dengan sengaja memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana dimuka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun denda paling sedikit Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) Pasal 34 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum tidak datang pada saat dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa atau tidak memenuhi suatu kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku, dipidana dengan : a. pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) bagi perkara pidana, atau; b. pidana denda paling banyak Rp.7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) bagi perkara lain. (2) Setiap orang tidak mematuhi perintah pengadilan sehubungan dengan penyelengaraan peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. Pasal 35 Setiap orang yang berdasarkan ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku harus memberikan keterangan diatas sumpah atau keterangan tersebut menimbulkan akibat hukum, memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, oleh sendiri atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu yang diberikan dalam pemeriksaan perkara di sidang pengadilan dan merugikan pihak lawan, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Pasal 36 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun setiap orang; 294
Urgensi dan Prospek Pengaturan UU tentang Contempt of Court, Lilik Mulyadi
a. b.
c.
Melakukan penyerangan langsung kepada saksi saat memberikan kesaksiannya mengakibatkan terganggunya penyelanggaraan peradilan. Melakukan penyerangan langsung kepada aparat penegak hukum sehingga mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan peradilan, atau; Melakukan penyerangan langsung petugas pengadilan yang sedang menjalankan tugasnya sehingga mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan peradilan.
Pasal 37 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 329 huruf a atau huruf b KUHP dilakukan karena terkait dengan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Bab I bagian Keempat maka pembuat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal dimaksud dalam pasal 329 huruf c KUHP dilakukan karena terkait dengan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Bab I bagian Keempat maka pembuat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun. Pasal 38 Setiap orang yang tidak mematuhi perintah perampasan kemerdekaan dari putusan hakim, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. Pasal 39 Aparat penegak hukum, Advokat, petugas Rumah Tahanan Negara/Lembaga Pemasyarakatan yang tidak mematuhi atau menyalahgunakan putusan hakim, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat tahun) dan paling lama 10 (sepuluh) tahun Pasal 40 Aparat penegak hukum, petugas Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan yang tidak mematuhi atau menyalahgunakan putusan hakim, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. Pasal 41 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 413, Pasal 415, 416, 417, Pasal 425, Pasal 434 ayat (2), 295
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 275-298
Pasal 659, Pasal 664, Pasal 666, Pasal 667, Pasal 668, Pasal 680, Pasal 712 dan Pasal 713 KUHP sepanjang perbuatan tersebut menyangkut badan peradilan, dipidana karena melakukan tindak pidana terhadap proses peradilan dengan pidana sesuai dengan ketentuan pasal-pasal tersebut. Ketentuan pidana dalam RUU Tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan (Contempt of Court) terdiri dari IX Bab, 55 Pasal beserta penjelasannya dimana beberapa beberapa perbuatan yang dapat dikategorisasikan tindak pidana Contempt of Court masa mendatang (ius constituendum) sebagaimana ketentuan Pasal 17-41, mungkin lebih luas cakupan dan dimensinya dibandingkan pandangan dari Oemar Seno Adji dan Barda Nawawi Arief, karena juga mengatur tentang Aparat penegak hukum, Advokat, petugas Rumah Tahanan Negara/Lembaga Pemasyarakatan yang tidak mematuhi atau menyalahgunakan putusan hakim, kemudian tentang setiap orang membuka keterangan yang telah disampaikan dalam penyelenggaraan peradilan dalam sidang tertutup, atau membuka identitas orang yang harus dilindungi, berikutnya tentang setiap orang yang mempublikasikan atau memperkenankan untuk dipublikasikan proses persidangan yang sedang berlangsung, atau perkara yang dalam tahap upaya hukum, yang bertendensi dapat mempengaruhi kemerdekaan atau sifat tidak memihak hakim, atau Melepaskan barang dari sitaan berdasarkan peraturan perudang undangan atau dari simpanan atas perintah hakim atau menyembunyikan barang tersebut, padahal diketahui bahwa barang tersebut berada dalam sitaan atau simpanan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, kedepan yang perlu dipikirkan secara lebih mendalam terhadap pelaku contempt of court adalah tentang perumusan jenis sanksi pidana (strafsoort), perumusan lamanya sanksi pidana (straafmaat), dan perumusan pelaksanaan sanksi pidana (strafmodus). Dirasakan, jenis perumusan jenis, lama dan pelaksanaan sanksi pidana tersebut untuk masa kini dan mendatang memang memerlukan adanya pembaharuan dan modifikasi.
Daftar Pustaka Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2000 Henry Black Campbell, Black’s Law Dictionary, St. Paul. MINN West Publishing Co, Fifth Edition, 1979
296
Urgensi dan Prospek Pengaturan UU tentang Contempt of Court, Lilik Mulyadi
Indosiar Online, Tragedi Pembunuhan di Tengah Sidang, diunduh melalui http://www.indosiar.com/ ragam/ pada tanggal 20 Maret 2015 Liputan 6, Kantor PN dan Kajari Larantuka Dibakar Massa, diunduh melalui http://m.liputan6.com/news/read/66537/ pada tanggal 21 Maret 2015 Merdeka.com, PN Gorontalo ditembaki orang tak dikenal, diunduh melalui www.merdeka.com, pada tanggal 11 April 2015 Nasional Kompas, Ba’asyir dan Pengacara “Walk Out”, diunduh melalui http://nasional.kompas. com/read/2011/03/14/1125450/ pada tanggal 21 Maret 2015 dan Antaranews, Hakim Ad-Hoc Tipikor Walk Out Dari Ruang Persidangan, diunduh melalui http://www.antaranews. com/berita/32941/ pada tanggal 21 Maret 2015 Nico Keyzer, Contempt of Court, Bahan Ceramah di Badan Pembinaan Hukum Nasional, 17 Agustus 1987 Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1980 Padmo Wahyono, Contempt of Court Dalam Proses Peradilan di Indonesia, Era Hukum, No. 1, Tahun I, Edisi November 1987 Tempo.Co, Berkas Pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin telah Siap, diunduh melalui http://www.tempo.co/read/news/2001/08/13/ 05536997/, pada tanggal 20 Maret 2015 Tempo.Co, Ini Bangunan yang jadi sasaran Amuk Massa di Temanggung, diunduh melalui http://www.tempo.co/read/news/2011/02/08/177311988/ pada tanggal 21 Maret 2015 Tribunnews.co, Diduga Tak Puas Putusan Hakim PN Dibakar, diunduh melalui http://www.tribunnews.com/nasional/2010/06/29/ pada tanggal 21 Maret 2015 TEMPO online, Keputusan, Laporan, Rekomendasi, diunduh melalui http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1986/06/07/HK/mbm. 19860607.HK33554.jd.html. diunduh pada tanggal 22 Maret 2015 Wahyu Wagiman, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 2 Contempt of Court dalam rancangan KUHP 2005, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), September, 2005.
297
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 275-298
298
MASALAH “LEGAL STANDING” DALAM PUTUSAN - PUTUSAN HAK UJI MATERIIL MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 – 2014 (“Legal Standing” Issue in Decision of Judicial Review of Supreme Court of Republic of Indonesia Year 2012 – 2014)
Dani Elpah Hakim Tinggi PT TUN Email :
[email protected]
Abstrak Telah terjadi pergeseran paradigma dari hak yang dirugikan disejajarkan dengan kepentingan tanpa memerinci syarat-syarat kerugian hak menjadi kerugian pemohon yang harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu : (a). adanya hak pemohon yang diberikan oleh peraturan Perundang-undangan; (b). hak tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya peraturan Perundang-undangan yang dimohon pengujian; (c). kerugian tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial; (d). adanya hubungan kausalitas; (e). kemungkinan dengan dikabulkannya maka kerugian tidak akan terjadi lagi. Kata kunci : Legal Standing, Hak Uji Materiil, Mahkamah Agung Abstract The paradigm has changed from disadvantaged right equalized with the interest, without classifying the requirement of disadvantaged right that must fulfill 5 (five) requirement, those are : (a) there is a right for applicant that is given on law and regulation (b) this right is disadvantaged if considered by applicant c) the disadvantage must be specific and actual or at least potential (d) causality connectivity must be exist; (e) the disadvantage will not happen if the application is accepted Keywords : Legal Standing, Judicial Review, Supreme Court A. Pengantar Penulusuran terhadap ius constitutum tentang Hak Uji Materiil peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang di Indonesia sebagaimana diatur di dalam Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung 299
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 299-322
dilakukan retriksi (pembatasan) terhadap kedudukan hukum (legal standing) pemohon hak uji peraturan Perundang-undangan. Retriksi (pembatasan) tersebut meliputi 2 (dua) wilayah persoalan yaitu pertama, wilayah persoalan mengenai kualifikasi pemohon hak uji peraturan Perundang-undangan, yang memunculkan pertanyaan apakah pemohon hak uji peraturan Perundang-undangan dalam kualifikasi sebagai perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau badan hukum privat dan kedua, wilayah persoalan kerugian hak pemohon oleh berlakunya peraturan Perundang-undangan memunculkan pertanyaan, apakah pemohon hak uji peraturan Perundangundangan yang dijamin haknya oleh Undang-Undang itu dianggap dihilangkan, dikurangi, dibatasi, diabaikan, atau tidak dapat diwujudkan sebagaimana mestinya. Manakala kedua wilayah persoalan tersebut terpenuhi oleh pemohon hak uji materiil, barulah dapat dikatagorikan pemohon hak uji materiil mempunyai kedudukan hukum (legal standing) sebagai pemohon hak uji materiil peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap undang, yang untuk selanjutnya majelis Hakim Agung akan melakukan pemeriksaan terhadap substansi permohonan hak uji materiil. Ragaan 1. Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon Hak Uji Materiil
Adanya hak yang dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undangundang
Kedudukan hukum (legal standing) Perorangan warganegara Indonesia, kelompk masyarakat, kesatuan masyarakat hukum adat, atau badan hukum publik atau badan hukum perdata
Kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang mempunyai posisi sentral, oleh karena merupakan kanalisasi awal sebelum 300
Masalah “Legal Standing” dalam Putusan Hak Uji Materiil MA RI, Dani Elpah
masuk ke dalam proses pemeriksaan aspek substansi ada tidaknya pertentangan antara peraturan Perundang-undangan yang dimohonkan untuk diuji dengan peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukan peraturan Perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Kondisi objektif terhadap putusan-putusan Mahkamah Agung RI terkait dengan hak uji materiil berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Hukum Dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil MA RI pada tahun 2013 dengan judul “Kewenangan Uji Materiil Peraturan Perundang-undangan di Bawah Undang-Undang (Kajian Tentang Putusan Mahkamah Agung RI Tahun 2005-2011), satu diantara tiga simpulan yang dihasilkan adalah; Pertimbangan hakim tentang legal standing dalam putusan Hak Uji Materiil kebanyakan tidak memperlihatkan pertimbangan yang memadai. Bahkan beberapa putusan ditemukan tanpa diberikan pertimbangan sama sekali mengenai argumentasi yuridis mengapa pemohon memiliki standing in judicio15 (kursif dari penulis) Beranjak dari salah satu simpulan hasil penelitian Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil MA RI pada tahun 2013 dengan judul “Kewenangan Uji Materiil Peraturan Perundang-undangan di Bawah Undang-Undang (Kajian Tentang Putusan Mahkamah Agung RI Tahun 2005-2011) tersebut, maka diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui syarat-syarat bagi adanya kerugian hak sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Parameter pengujian terhadap aspek kualifikasi pemohon hak uji materiil di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diatur di dalam Pasal 31A ayat (2) kriterianya bersifat terukur, hanya diberikan kepada 3 (tiga) subjek hukum yaitu, perorangan warganegara Indonesia, Kesatuan masyarakat hukum adat, atau badan hukum publik atau badan hukum privat, sedangkan pengujian terhadap aspek “kerugian hak pemohon” oleh berlakunya peraturan perundag-undangan di bawah UndangUndang tidak bersifat terukur, dalam arti tidak ditentukan syarat-syarat bagi adanya hak yang dirugikan bagi pemohon oleh berlakunya peraturan Perundang-undangan. 15
Puslitbang Hukum Dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, Kewenangan Uji Materiil Peraturan Perundang-undang di Bawah Undang-Undang (Kajian tentang Putusan Mahkamah Agung RI Tahun 2005-2011) Laporan Hasil Penelitian, Jakarta, hal. 79-70. 301
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 299-322
Sebagai komparasi terhadap perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi RI telah menetapkan syarat-syarat yang bersifat kumulatif bagi adanya kerugian dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi melalui yurisprudensi yaitu Nomor 06/PUU-III/205 dan Nomor 11/PUU-V/2007 dan secara konsisten diiukti oleh putusan-putusan Mahkamah Konstitusi RI berikutnya. Adapun syarat-syarat bagi adanya kerugian dan/atau kewenangan konstitusional secara kumulatif adalah: a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945; b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang; c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang berdasarkan penalaran yang wajar dipastikan akan terjadi; d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verban) dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi. e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi.16 B. Perkembangan Pengaturan Legal Standing dalam Undang-Undang Mahkamah Agung Perkembangan pengaturan legal standing pengujian peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang mengikuti perkembangan pengaturan kewenangan Mahkamah Agung RI dengan tipologi sebagai berikut: a. Tidak mengatur kewenangan pengujian peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang tidak diberikan, maka secara otomatis legal standing pemohon tidak diatur. b. Mengatur Kewenangan pengujian peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, tetapi tidak mengatur mengenai legal standing pemohon.
16
Pusat Penelitian dan Pengkajian Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Dasar Pertimbangan Yuridis Kedudukan Hukum (legal Standing) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Proses Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2011, hal. 23-24. 302
Masalah “Legal Standing” dalam Putusan Hak Uji Materiil MA RI, Dani Elpah
c.
Mengatur kewenangan pengujian peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang dan mengatur mengenai legal standing pemohon. Ragaan 2. Pengaturan Legal Standing dalam UU MA RI
UU No. 13 Th. 1965
UU No. 14 Th. 1985
UU No. 5 Th. 2004
UU No. 3 Th. 2009
Tidak mengatur kewenangan pengujian peraturan Perundangundangan di bawah UndangUndang terhadap Undang-Undang
Mengatur kewenangan pengujian peraturan Perundangundangan di bawah Undang-Undang secara materiil Tidak mengatur mengenai legal standing pemohon.
Mengatur kewenangan pengujian peraturan Perundangundangan dibawah undang terhadap UndangUndang secara materiil dan formiil Tidak mengatur mengenai legal standing pemohon.
Mengatur kewenangan pengujian peraturan Perundangundangan dibawah undang terhadap Undang-Undang secara materiil dan formiil Mengatur tentang legal standing pemohon hak uji.
C. Analisa Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI Mengenai Hak Uji Peraturan Perundang-undangan di Bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang Kualifikasi Putusan Mahkamah Agung RI mengenai hak uji peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang yang akan dianalisa adalah: 1. Putusan Mahkamah Agung RI yang mempertimbangkan kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) pemohon dan pertimbangan mengenai hak dirugikan oleh berlakunya peraturan Perundangundangan dikaitkan dengan adanya tidak kepentingan pemohon untuk mengajukan hak uji peraturan Perundang-undangan. 2. Kedudukan hukum (legal standing) dikaitkan dengan masalah kualifikasi pemohon dan dipenuhinya syarat-syarat tertentu menurut Undang-Undang. Ad. 1. Analisa Putusan Mahkamah Agung RI yang mempertimbangkan kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) pemohon dan pertimbangan mengenai hak dirugikan oleh berlakunya peraturan Perundang-undangan dikaitkan dengan adanya tidak
303
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 299-322
kepentingan pemohon untuk mengajukan hak uji peraturan Perundang-undangan. a. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 36 P/HUM/2011 tanggal 9 Januari 2012 Objek permohonan : hak uji materiil adalah Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial Nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor : 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 dan butir 10.1, 10.2, 10.3 dan 10.4. diuji dengan Pasal 41 ayat (2), Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 jo Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Pemohon, Dr. Henry P Panggabean, S.H., pekerjaan Advokat, Humala Simanjutak, S.H., pekerjaan dvokat, Dr. Lontong O Siahaan, S.H., M.H. pekerjaan Advokat, dan Sarmanto Tambunan, S.H., pekerjaan Advokat. Termohon, Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI. Pertimbangan Kualifikasi kedudukan (legal standing) Pemohon Bahwa para pemohon memenuhi kualifikasi huruf a Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 berdasarkan identitas mereka yang dikeluarkan oleh Persatuan Advokat Indonesia dan pemohon adalah anggota Persatuan Advokat Indonesia. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 salah satu persyaratan untuk menjadi advokat adalah warganegara Indonesia. Pertimbangan hak dirugikan dikaitkan dengan kepentingan pemohon Bahwa sebagai warganegara terlebih mereka yang bergerak dalam profesi hukum sebagai advokat yang memiliki kepentingan terhadap terwujudnya dan dilaksanakan kewenangan kekuasaan kehakiman yang mandiri dan bebas sebagai bagian dari terwujudnya negara hukum, tidak ada pengaruh ataupun tekanan yang mempengaruhi dan menekan kekuasaan kehakiman. Bahwa pemohon hak uji materiil ini terkait erat dengan pelaksanaan tugas profesi mereka yang mewakili 304
Masalah “Legal Standing” dalam Putusan Hak Uji Materiil MA RI, Dani Elpah
kepentingan para pencari keadilan atau para pihak yang berperkara, sebab mereka berhak diadili oleh para pelaku hukum dan sistim peradilan terutama para hakim yang merasa bebas dan tidak mendapatkan tekanan yang mempengaruhi tugas mereka dalam mencari keadilan, sehingga oleh karena itu mereka memiliki hak dan kepentingan untuk mengajukan permohonan hak uji materiil dalam perkara a quo. Catatan: hak dan kepentingan diartikan sejajar, tidak terelaborasi dasar hukum hak dan kepentingan para pemohon. Mensejajarkan antara hak dan kepentingan sesuai dengan apa yang dikatakan von Jehring, hak adalah kepentingan yang dilindungi, karena perlindungan berarti kekuasaan17 b. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 10 P/HUM/2012 tanggal 12 September 2012 Pemohon : Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia disingkat (APKASI). Termohon : Menteri Energi Sumber Daya Mineral Republik Inonesia. Objek Permohonan HUM : Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor : 07 Tahun 2012 diuji dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan batubara. Pertimbangan Kualifikasi kedudukan (legal standing) Pemohon Tidak ditemukan pertimbangan mengenai kualifikasi kedudukan hukum pemohon, apakah sebagai perorangan warganegara Indonesia, kelompok masyarakat, kesatuan masyarakat hukum adat, atau badan hukum perdata atau badan hukum privat sesuai ketentuan Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
17
Von Jehring, dalam B.S. Pramono, Pokok-Pokok Pengantar Ilmu Hukum, Usaha Nasional, Surabaya, tanpa tahun, hal. 34. 305
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 299-322
Pertimbangan hak dirugikan dikaitkan dengan kepentingan pemohon Bahwa pemohon adalah Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), yang diwakili oleh Ketua Umum Apkasi, yang bertindak untuk dan atas nama Apkasi. Bahwa Pemohon yang seluruh anggota anggotanya terdiri dari Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia mempunyai kewenangan-kewenangan untuk mengurus sendiri-sendiri urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya berdasarkan prinsip otonomi daerah yang seluas-luasnya, namun dengan diterbitkan dan diberlakukan Peraturan Menteri objek keberatan HUM a quo mengakibatkan sebagian kewenangan Pemohon di dalam pengolahan usaha pertambangan mineral dan batubara telah diambil alih oleh Termohon. Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas terbukti bahwa Pemohon mempunyai kepentingan dan oleh karenanya memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan a quo, karena haknya dirugikan atas berlakunya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor : 07 Tahun 2012 sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 31A ayat (2) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009. Catatan: Kepentingan dan hak diartikan sejajar, kualifikasi pemohon tidak ditentukan apakah sebagai perseorangan, masyarakat hukum adat, atau Badan hukum publik atau hukum privat. Ad. 2. Analisa Putusan Mahkamah Agung RI yang mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) dikaitkan dengan masalah kualifikasi pemohon dan dipenuhinya syarat-syarat tertentu menurut Undang-Undang. a. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 54 P/HUM/2013 tanggal 19 Desember 2013 Pemohon : Darwin Marpaung, Astro Girsang, S.H., Gunawan Widyaamadja, Maria Lewerissa, S.H., Yulius Setiarto, S.H., Nian Rafles Siregar, S.H., Sandra Mangoy, S.H., Giri Muda Djadi, S.H., 306
Masalah “Legal Standing” dalam Putusan Hak Uji Materiil MA RI, Dani Elpah
Yunian Kurniasih, S.H. kesemuanya warganegara Indonesia. Termohon : Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI Objek Permohonan HUM : Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor : 01 Tahun 2013 Tentang Pedoman Imbalan Bagi Kurator dan Pengurus diuji dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pertimbangan hukum : Berdasarkan dalil-dalil permohonan dan bukti-bukti yang diajukan ternyata Pemohon Darwin Marpaung dkk, adalah kurator dan Pengurus yang terdaftar pada Direktorat jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum Dan HAM RI sebagaimana bukti P-5A dan P-5H. Dengan demikian Pemohon merupakan perorangan warganegara Indonesia, sehingga termasuk salah satu dari ketiga subjek hukum sebagaimana dimaksud Pasal 31A ayat (2) UndangUndang Nomor 3 tahun 2009. Bahwa dengan terdaftarnya Pemohon Darwin Marpaung, dkk pada Dirjen AHU Kementerian Hukum Dan HAM RI, maka Pemohon mempunyai hak dan kewajiban yang melekat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bahwa Pemohon sebagai Kurator dan pengurus bersinggungan langsung atas keluarnya Peraturan Menteri Hukum Dan HAM RI Nomor 01 Tahun 2013, sehingga mengancam keberadaan Profesi tersebut, karena imbalan jasa kurator dibebankan hanya kepada pemohon pailit, apabila kepailitan dibatalkan pada tingkat kasasi atau PK, padahal pemohon pailit adalah pihak pencari keadilan yang tagihannya tidak dibayar debitur. Dengan demikian Pemohon dirugikan dengan 307
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 299-322
diberlakukannya objek permohonan hak uji materiil yang dipersoalkan dalam perkara ini. Bahwa timbulnya kerugian tersebut terdapat hubungan kausal (causal verband), dan apabila permohonan yang bersangkutan kelak dikabulkan maka kerugian yang bersangkutan dapat dipulihkan kembali dengan dibatalkannya objek permohonan hak uji materiil tersebut. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, terbukti bahwa Pemohon mempunyai kepentingan dan oleh karenanya memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan keberatan HUM atas Peraturan Menteri Hukum Dan HAM RI Nomor 01 Tahun 2013. Catatan : Kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) telah dipertimbangkan sebagai Perorangan warganegara Indonesia, syarat mengenai kerugian hak telah dipertimbangkan telah dipertimbangkan secara inplisit, yaitu adanya hak pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang, hak tersebut dianggap dirugikan oleh berlakunya objek permohonan, kerugian hak bersifat spesifik, dan adanya hubungan kausal antara kerugian dengan objek permohonan yang diuji. Kerugian tersebut dapat dipulihkan jika objek yang dimohon diuji dibatalkan. b. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 62 P/HUM/2013 tanggal tanggal 18 Nopember 2013 Objek Permohonan HUM : Pasal 1 Angka 5, Pasal 28 dan Pasal 29 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 20/Menhut-II/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu, serta Pasal 37 dan Pasal 38 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/ Menhut-II/2011.diuji dengan;
308
Masalah “Legal Standing” dalam Putusan Hak Uji Materiil MA RI, Dani Elpah
Pemohon Termohon
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1998 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak; dan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 1999 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 1999 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan; : Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) : Menteri kehutanan Republik Indonesia
Pertimbangan hukum : Pemohon adalah Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang terbentuk pada tanggal 27 Februari 1981 berkedudukan di Jakarta merupakan suatu organisasi berbentuk badan hukum di bidang kelapa sawit, mempunyai tujuan untuk mempersatukan para pelaku bidang usaha perkelapasawitan di Indonesia dan menjadi mitra Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam rangka membuat kebijakan kelapa sawitan di Indonesia untuk meningkatkan daya saing usaha kelapa sawit Indonesia di pasar Internasional (bukti P.12). Singkatnya, bahwa GAPKI adalah merupakan badan atau organisasi yang berisi sekumpulan orang yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama, dan dengan tujuan untuk mewujudkan tujuan dan kepentingan yang sama, melalui hak dan kewajiban mereka sebagai pribadi untuk hal-hal tertentu yang diserahkan sepenuhnya 309
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 299-322
310
menjadi hak dan kewajiban badan hukum yang bersangkutan. Badan hukum mana baik organisasi maupun strukturnya dikuasai oleh hukum privat, sehingga Pemohon dapat dikatakan sebagai badan hukum privat. Dengan demikian, Pemohon merupakan salah satu dari ketiga subjek hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009; Bahwa objek permohonan hak uji materiil adalah pengaturan tentang Penggantian Nilai Tegakan sebagai salah satu kewajiban selain dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) yang harus dibayar kepada negara akibat dari izin pemanfaatan kayu, penggunaan kawasan hutan melalui izin pinjam pakai dan dari areal kawasan hutan yang telah dilepas dan diberikan dengan Hak Guna Usaha (HGU) yang masih terdapat hasil hutan berupa kayu dan pohon yang tumbuh secara alami sebelum lahirnya HGU. Pemohon sebagai gabungan pengusaha kelapa sawit dirugikan dengan diberlakukannya objek permohonan hak uji materiil yang dipersoalkan dalam perkara ini. Timbulnya kerugian dimaksud karena adanya hubungan sebab akibat (causal verband), dan apabila permohonan yang bersangkutan kelak dikabulkan, maka kerugian yang bersangkutan memang dapat dipulihkan kembali dengan dibatalkannya objek permohonan hak uji materiil dimaksud. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas terbukti Pemohon mempunyai kepentingan dan oleh karenanya memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil atas ketentuan Pasal 1 Angka 5, Pasal 28 dan Pasal 29 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.20/Menhut-II/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu, serta Pasal 37 dan Pasal 38 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu, sehingga memenuhi syarat formal yang ditentukan dalam Pasal 31 A ayat (2) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 dan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011;
Masalah “Legal Standing” dalam Putusan Hak Uji Materiil MA RI, Dani Elpah
c.
Catatan : Kualifikasi kedudukan pemohon (legal standing) sebagai badan hukum perdata, secara inplisit telah dipertimbangkan pemohon mempunyai hak, hak tersebut dianggap dirugikan dengan berlakunya objek yang dimohon diuji, kerugian tersebut bersifat spesifik, adanya hubungan kausal antara kerugian dengan berlakunya objek yang dimohonkan diuji. Kerugian tersebut dapat dipulihkan jika objek yang dimohon diuji tersebut dibatalkan. Analisa Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 64 P/HUM/2013 Objek Permohonan HUM, Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), dan Pasal 19 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Pemohon : KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA (INDONESIAN CHAMBER OF COMMERCE AND INDUSTRY). Termohon : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Pertimbangan hukum : Mahkamah Agung berpendirian bahwa agar Pemohon mempunyai kepentingan untuk mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil, sehingga Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal 311
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 299-322
312
standing) untuk mempersoalkan objek permohonan a quo, maka setiap Pemohon harus memenuhi krieteria sebagai berikut: (i) Pemohon merupakan salah satu dari ketiga kelompok subjek hukum tersebut di atas; (ii) subjek hukum tersebut memang mempunyai hak; (iii) hak yang bersangkutan dirugikan oleh berlakunya peraturan Perundang-undangan di bawah UndangUndang yang dipersoalkan; (iv) terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya objek permohonan yang dimohonkan pengujian, dan (v) apabila permohonan yang bersangkutan kelak dikabulkan, maka kerugian yang bersangkutan tidak lagi atau tidak akan terjadi dengan dibatalkannya peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang dimaksud; Bahwa dari bukti-bukti yang diajukan, Pemohon adalah Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN INDONESIA) yang didirikan pada 24 September 1968 berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri. Eksistensi KADIN ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2010 tentang Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Kamar Dagang dan Industri (bukti P-9 dan P-10); Bahwa KADIN adalah wadah bagi pengusaha Indonesia dan bergerak dalam bidang perekonomian (Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 dan Pasal 1 huruf b Anggaran Dasar KADIN). Selanjutnya kegiatan KADIN antara lain melakukan penyaluran aspirasi dan kepentingan para pengusaha di bidang perdagangan, perindustrian, dan jasa dalam rangka keikutsertaannya dalam pembangunan di bidang ekonomi (Pasal 7 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987); Bahwa sifat dari organisasi KADIN ini adalah mandiri, bukan organisasi Pemerintah, bukan organisasi politik dan/atau tidak merupakan bagiannya, yang dalam melakukannya kegiatannya tidak mencari keuntungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Anggaran Dasar KADIN;
Masalah “Legal Standing” dalam Putusan Hak Uji Materiil MA RI, Dani Elpah
Bahwa dari uraian definisi, kegiatan, dan sifat KADIN di atas serta mencermati materi muatan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1987, substansi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga KADIN sebagaimana terurai dalam bukti P-9 dan bukti P-10, Mahkamah Agung berpendapat bahwa KADIN merupakan suatu badan yang dapat bertindak dalam hukum dan mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain, sehingga dapat dikatakan sebagai badan hukum. Badan hukum tersebut baik organisasi maupun strukturnya dikuasai oleh hukum privat, sehingga KADIN dapat dikatakan sebagai badan hukum privat; Bahwa menurut Pasal 9 Anggaran Dasar KADIN, dinyatakan KADIN berfungsi sebagai wadah dan wahana komunikasi, informasi, representasi, konsultasi, fasilitasi dan advokasi pengusaha Indonesia, antara pengusaha Indonesia dan pemerintah, dan antara pengusaha Indonesia dengan para pengusaha asing, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perdagangan, perindustrian, dan jasa dalam arti luas yang mencakup seluruh kegiatan ekonomi, dalam rangka membentuk iklim usaha yang bersih, transparan dan profesional, serta mewujudkan seluruh sinergi potensi ekonomi nasional; Bahwa selanjutnya salah satu tugas pokok KADIN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b Anggaran Dasar KADIN adalah melaksanakan komunikasi, konsultasi dan advokasi dengan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan dunia usaha; Bahwa berdasarkan fungsi dan tugas pokok KADIN tersebut, maka KADIN sebagai wadah dan wahana induk dari seluruh pelaku usaha yang merupakan pembayar pajak (tax payer) berhak atas iklim peraturan Perundang-undangan perpajakan yang kondusif, berkeadilan dan jelas; Bahwa Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 mengatur bahwa pemakaian oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) sendiri untuk tujuan 313
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 299-322
314
produktif (untuk diproses lebih lanjut di tahap produksi selanjutnya) dianggap sebagai dasar untuk menentukan telah terjadinya penyerahan yang berakibat pada terutangnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN); Bahwa pemakaian sendiri oleh PKP untuk tujuan produktif tersebut, yang pada kenyataannya hanyalah arus produksi/pergerakan barang dan jasa (intra-entity flow of production/movement of goods and/or services) antara unit-unit kerja di dalam entitas PKP sendiri; Bahwa pengenaan PPN terhadap pemakaian sendiri oleh PKP untuk tujuan produktif menggunakan asas fiktif, karena secara kenyatannya tidak terjadi perpindahan hak antar entitas dan unit-unit produksi di dalam satu PKP bukanlah entitas hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum; Bahwa kerugian yang dialami oleh PKP di antaranya adalah posisi dilematis yang dihadapi oleh PKP saat penerbitan Faktur Pajak. Posisi dilematis PKP adalah apabila PKP mengikuti amanat UU PPN untuk menerbitkan Faktur Pajak terhadap setiap transaksi penyerahan (baik penyerahan yang nyata maupun penyerahan berdasarkan asas fiktif sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012), maka terhadap Faktur Pajak yang diterbitkan atas perpindahan barang antar unit kerja di dalam PKP sendiri (intra-entity flow of production/movement of goods and/or services) dapat berakibat dikenakannya sanksi sesuai Pasal 39A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang (UU KUP) (bukti P-13) bagi PKP tersebut. Berdasarkan Pasal 39A UU KUP, PKP tersebut melanggar ketentuan karena menerbitkan Faktur Pajak yang tidak berdasar transaksi sebenarnya sehingga berpotensi terkena sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6
Masalah “Legal Standing” dalam Putusan Hak Uji Materiil MA RI, Dani Elpah
(enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam Faktur Pajak; Bahwa sebaliknya, apabila PKP mengikuti penyimpangan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 yaitu tidak menerbitkan Faktur Pajak atas transaksi pemakaian sendiri untuk tujuan produktif (intra-entity flow of production/movement of goods and/or services), PKP tersebut juga memiliki potensi dikenakan sanksi karena lalai tidak menerbitkan Faktur Pajak sesuai amanat UU PPN. Dengan pengaturan asas fiktif, maka oleh Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 transaksi antar unit kerja dalam PKP pada hakikatnya disetarakan dengan transaksi yang terjadi antar entitas hukum PKP yang berbeda. Karena secara hakikat adalah setara, maka berdasarkan UU KUP, kewajiban penerbitan Faktur Pajaknya juga sama. Sanksi untuk tidak menerbitkan Faktur Pajak berdasarkan Pasal 14 ayat (4) juncto ayat (1) huruf d UU KUP (bukti P-13) adalah 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak yaitu dari nilai barang dan/atau jasa; Bahwa demikian juga halnya apabila PKP menerbitkan Faktur Pajak terhadap setiap transaksi penyerahan (baik penyerahan yang nyata maupun penyerahan berdasarkan asas fiktif sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012), PKP dihadapkan pada kesulitan-kesulitan. Kesulitan yang pertama adalah nilai barang dan/atau jasa yang ditransfer antar unit kerja dalam satu entitas PKP sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sulit untuk ditentukan. Kesulitan kedua adalah jumlah Faktur Pajak yang harus diterbitkan menjadi berlipat ganda karena harus diterbitkan di setiap tahapan produksi dan kesulitan lainnya adalah unit-unit kerja di dalam satu entitas PKP bukanlah entitas hukum yang definitif sehingga tidak mudah untuk bisa dirumuskan dan sifatnya bisa berubah-ubah; Bahwa kerugian lainnya yang diderita oleh PKP dengan diberlakukannya objek permohonan hak uji materiil adalah apabila terdapat Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang termasuk dalam kategori 315
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 299-322
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN atau Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang termasuk dalam kategori tidak dikenakan PPN di dalam mata rantai produksi (intra-entity flow of production/ movement of goods and/or services), maka Pajak Masukan (PPN Masukan) atas kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang termasuk dalam kategori tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan. Kerugian PPN yang diderita oleh PKP adalah 10% (sepuluh persen) dari nilai Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut; Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa terdapat hak Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya objek permohonan hak uji materiil; Bahwa terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya objek permohonan yang dimohonkan pengujian, dan apabila permohonan yang bersangkutan kelak dikabulkan, maka kerugian yang bersangkutan tidak lagi atau tidak akan terjadi dengan dibatalkannya peraturan Perundang-undangan yang menjadi objek permohonan; Bahwa dengan dengan demikian, Pemohon memenuhi seluruh kriteria sebagaimana dimaksud dalam peraturan Perundang-undangan; Catatan : telah mempertimbangkan kualifikasi kedudukan (legal standing) pemohon sebagai badan hukum privat. Secara eksplisit syarat-syarat untuk terpenuhinya kerugian hak telah dipertimbangkan secara rinci. d. Analisa Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 11 P/HUM/2014 tanggal 28 April 2014 Objek Permohonan HUM : Pasal 2 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2011 tentang Jabatan Yang Tidak Boleh Dirangkap Oleh Hakim Dan Hakim Agung diuji dengan Pasal 18, Pasal 19, 316
Masalah “Legal Standing” dalam Putusan Hak Uji Materiil MA RI, Dani Elpah
Pemohon
:
Termohon
:
Pasal 31 ayat (1) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 jo Pasal 1 dan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Djuyatmo, S.H., Rr Andy Nurvita, S.H. masing warganegara Indonesia. Presiden Republik Indonesia
Pertimbangan hukum : Bahwa MA RI sejak Putusan Nomor : 54 P/HUM 2013 tanggal 19 Desember 2013 dan Putusan Nomor : 62 P/HUM/2013 tanggal 18 Nopember 2013 serta putusanputusan berikutnya berpendirian bahwa kerugian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 harus memenuhi 5 (lima) syarat : 1. Adanya hak Pemohon yang diberikan oleh suatu peraturan Perundang-undangan : 2. Hak tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya peraturan Perundang-undangan yang dimohonkan pengujian; 3. Kerugian tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-setidaknya potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi; 4. Adanya hububungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya peraturan Perundang-undangan yang dimohonkan pengujian. 5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya maka kerugian seperti yang dikabulkan tidak akan atau tidak terjadi lagi. Bahwa sebagai warganegara Indonesia yang berprofesi dan menduduki jabatan hakim, maka Para pemohon memiliki hak atau kewenangan konstitutif sebagai pelaku nyata atau pelaku utama (sentral) yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang diberikan langsung oleh Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 dan ketentuan (peraturan) organik yang 317
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 299-322
318
pembentukannya oleh Undang-Undang dasar Negara RI Tahun 194. Bahwa secara konstitusional telah diletakkan induk paradigma yuridis yang menegaskan pada pokoknya bahwa secara yuridis normatif Hakim adalah Pejabat Negara yang bertugas dan berfungsi sebagai pelaku atau pemeran utama (sentral) dalam tataran praktek pelaksanaan tugas-tugas kekuasaan kehakiman. Akan tetapi dalam kenyataan praktek pelaksanaan pemerintahan yudisial (das sollen) ternyata masih dijumpai berbagai bentuk tindakan penyimpangan pelanggaran terhadap amanat konstitusi. Bahwa hal tersebut secara faktual telah menjadi penghambat yang nyata dalam proses pelaksanaan tugas kekuasaan kehakiman, dan berimplikasi yuridis pula telah mereduksi hak atau kewenangan konstitusional hakim termasuk diri para pemohon, sebagai pelaku nyata atau pelaksana utama (sentral) yang melaksanakan kekuasaan kehakiman atau setidaktidaknya berpotensi menimbulkan implikasi yuridis berupa tereduksinya hak atau kewenangan konstitusional hakim sebagai pelaku nyata atau pelaksana (sentral) yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Bahwa salah satu kaidah dalam Peraturan Pemerintah masa terkini yaitu mengatur tentang persoalan penyelenggaraan urusan rumah tangga Peradilan Indonesia dalam hal ini lembaga peradilan yang menjadi cacat yuridis (yuridische gebreken)sehingga berimplikasi yuridis mereduksi hak atau kewenangan konstitusional hakim sebagai pelaku nyata atau pelaksana utama (sentral) yang melaksanakan kekuasaan kehakiman atau setidak-tidaknya berpotensi menimbulkani implikasi yuridis berupa tereduksinya hak atau kewenangan konstitusional hakim sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 2 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2011 tentang Jabatan yang Tidak Boleh Dirangkap oleh Hakim dan Hakim Agung yang menjadi objek permohonan HUM dalam perkara ini.
Masalah “Legal Standing” dalam Putusan Hak Uji Materiil MA RI, Dani Elpah
Bahwa Para pemohon sebagai warganegara WNI yang berprofesi sebagai Hakim memiliki hak yang dijamin oleh peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Para Pemohon dirugikan oleh berlakunya peraturan yang menjadi objek permohonan. Kerugian tersebut bersifat Faktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial, spesifik, dan terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dengan norma peraturan yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing). Catatan: telah dipertimbangkan secara lengkap kualifikasi kedudukan hukum pemohon dan syaratsyarat kerugian hak. Mengapa harus dipertimbangkan hak pemohon harus ada dasar hukumnya?. Muchtar Kusumaatmaja dan B. Arief Sidahrta memberikan pengertian tentang hak sebagai berikut: Hak pada dasarnya berintikan kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan seuatu berkenaan dengan sesuatu atau terhadap subjek hukum tertentu atau semua subjek hukum tanpa halangan atau gangguan dari pihak manapun, dan kebebasan tersebut memiliki landasan hukum (diakui atau diberikan oleh hukum) dan karena itu dilindungi hukum.18 Hak mengandung unsur kebebasan di dalamnya, menurut Satjipto Rahardjo: Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keleluasaan ini dilakukan secara terukur. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut sebagai hak.19 Makna pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, adalah didasarkan atas aturan hukum, dengan demikian penggunaan hak juga harus didasarkan atas hukum.
18
Muchtar Kusumaatmadja Dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bndung, 2000, hal. 90. 19 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditiya Bakti, Bandung, 2006, cet. keenam , hal. 53. 319
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 299-322
Oleh karena hak berkaitan dengan kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang ada dasar hukumnya, maka orang lainpun harus menghormati hak orang lain. D. Kesimpulan 1. Berdasarkan ketentuan Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 ruang lingkup kedudukan hukum (legal standing) terdiri dari kualifikasi pemohon HUM apakah sebagai perorangan warganegara atau kelompok, masyarakat hukum adat, atau badan hukum publik atau badan hukum privat dan adanya hak yang dirugikan oleh berlakunya suatu peraturan Perundang-undangan, kedua hal tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. 2. Berdasarkan putusan Nomor : 54 P/HUM/2013, Putusan Nomor : 62 P/HUM/2013, Putusan Nomor 64 P/HUM/2013, dan Putusan Nomor 11 P/HUM/2014 telah terjadi pergeseran paradigma dari hak yang dirugikan disejajarkan dengan kepentingan tanpa memerinci syarat-syarat kerugian hak menjadi kerugian hak pemohon sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 harus memenuhi 5 (lima syarat) yaitu : a. Adanya hak Pemohon yang diberikan oleh suatu peraturan Perundang-undangan; b. Hak tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya peraturan Perundang-undangan yang dimohonkan pengujian; c. Kerugian tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-setidaknya potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi; d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya peraturan Perundangundangan yang dimohonkan pengujian; e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya maka kerugian seperti yang dikabulkan tidak akan atau tidak terjadi lagi. 3. Kelima syarat untuk dapat dikatagorikan terpenuhinya kerugian hak sebagaimana disebutkan pada putusan HUM MA-RI sebagaimana dimaksud dalam kesimpulan angka 2 tersebut di atas sejalan dengan syarat-syarat kerugian hak/kewenangan
320
Masalah “Legal Standing” dalam Putusan Hak Uji Materiil MA RI, Dani Elpah
konstitusional pada putusan Mahkamah Konstitusi (receptio practice) E. Saran 1. Putusan putusan Nomor : 54 P/HUM/2013, Putusan Nomor : 62 P/HUM/2013, Putusan Nomor 64 P/HUM/2013, dan Putusan Nomor 11 P/HUM/2014 menyangkut “Legal Statis” diusulkan untuk dimasukkan menjadi Land Mark Decision. 2. Kelima syarat supaya terpenuhinya kerugian hak pemohon sebagaimana tercantum di dalam Putusan putusan Nomor : 54 P/HUM/2013, Putusan Nomor : 62 P/HUM/2013, Putusan Nomor 64 P/HUM/2013, dan Putusan Nomor 11 P/HUM/2014 perlu dinormakan di dalam Perma atau Undang-Undang.
321
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 299-322
322
PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK MENDORONG PERCEPATAN PENYELESAIAN PERKARA DI MAHKAMAH AGUNG (Utilization of Information Technology to Boost Acceleration of Settlement Case in Supreme Court)
Asep Nursobah Hakim Yustisial Mahkamah Agung RI Jl. Medan Merdeka Utara No.9-13, Jakarta Pusat Email :
[email protected]
Abstrak Pemanfaatan teknologi informasi oleh Mahkamah Agung bertujuan mendorong peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelesaian perkara yang salah satunya diindikasikan dengan pengikisan tunggak perkara. Namun ternyata penggunaan teknologi informasi masih menitikberatkan upaya pencatatan elektronis saja. Teknologi belum dioptimalkan secara maksimal untuk meningkatkan kinerja badan peradilan. Kata kunci : Teknologi Informasi, Penyelesaian Perkara, Mahkamah Agung Abstract Utilization of information technology by Supreme Court is to boost the eficiency and effectivity the resolution of the case, but in fact the Utilization of information technology still focus on electronic record only, the technology hasn’t been optimalized yet to improve the performance of judiciary institution. Keywords : Information Technology, Cases Settlement, Supreme Court A. Pendahuluan Penyelenggaraan peradilan Indonesia didasarkan pada asas sederhana, cepat dan biaya ringan.1 Asas tersebut, khususnya asas peradilan cepat, merupakan asas universal yang dianut oleh seluruh peradilan di dunia. Universalitas asas ini terlihat dari adagium justice delayed is justice denied yang lahir sejak satu abad sebelum masehi dan senantiasa dirujuk oleh tokoh-tokoh dunia.2 Adagium tersebut bermakna bahwa proses peradilan 1
Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, LN No 157 Tahun 2009, TLN No 5076, Pasal 2 ayat (4). 2 Secara maknawi adagium justice delay is justice denied tertulis dalam Magna Charta 323
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 323-334
yang lambat sama dengan tidak memberikan keadilan kepada para pihak. Ia lahir secara induktif dari ekspektasi publik terhadap penanganan perkara yang cepat sehingga segera memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Senada dengan asas yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) UndangUndang Kekuasaan Kehakiman tersebut, Konsorsium Internasional untuk Pengadilan yang Unggul (International Consortium for Court Excellence, ICCE) menyebutkan bahwa penyelenggaraan peradilan harus dilakukan secara efektif dan efisien.3 International Framework for Court Excellence yang merupakan pedoman yang disusun oleh ICCE, menegaskan bahwa peradilan yang efektif dan efisien adalah salah satu indikator bagi sebuah peradilan yang unggul (court excellence). Hal ini dalam implementasinya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah sarana pendukung peradilan (court support) termasuk teknologi informasi.4 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menggariskan sebuah ketentuan bahwa pengadilan harus membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.5 Ketentuan tersebut diimplementasikan dengan dijalankannya sistem administrasi peradilan (case management) yang efektif dan efisien. Mahkamah Agung RI dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 menjadikan modernisasi manajemen perkara sebagai agenda pembaruan peradilan untuk mencapai visi badan peradilan Indonesia yang agung (baca: court excellence). Modernisasi manajemen perkara ini berkaitan erat dengan pembaruan teknologi informasi yang menjadi salah satu domain pembaruan fungsi pendukung.6
“International Framework for Court Excellence” http://www.courtexcellence.com/~/ media/Microsites/Files/ICCE/The%20International%20Framework%202E%202014%20V3 .ashx diakses tanggal 9 Mei 2015 4 The International Framework for Court Excellence, Edisi 2 Maret 2013 5 Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, LN No 157 Tahun 2009, TLN No 5076 Pasal 4 ayat (2) 6 Modernisasi manajemen perkara menjadi salah satu agenda pembaruan fungsi manajemen perkara. Agenda lainnya adalah penataan ulang organisasi manajemen perkara dan penataan ulang proses manajemen perkara. Pembaruan teknologi informasi meliputi semua lini organisasi di Mahkamah Agung, termasuk manajemen perkara (Lihat: Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035). Dalam konteks ketatanegaraan, inisiatif pemanfaatan teknologi informasi dalam penyelenggaraan kepemerintahan--yang mencakup juga di dalamnya penyelenggaraan peradilan--telah dilembagakan dalam Instruksi Presiden RI Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan eGovernment. Inpres ini lahir karena pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dan potensi pemanfaatannya secara luas membuka peluang bagi pengaksesan, pengolahan dan pendayagunaan informasi dan volume besar secara cepat dan akurat. Pengembangan eGovernment merupakan upaya penyelenggaraan kepemerinatahan berbasis elektronik untuk 3
324
Pemanfaatan TI untuk Percepatan Penyelesaian Perkara di MA, Asep Nursobah
Pemanfaatan teknologi informasi dalam manajemen perkara karena ia dipercaya dapat membantu meningkatkan efisiensi dan efektifitas prosesproses bisnis pengadilan. Penelitian Mahmood dan Mann (1993); Barua et al (1995): Brynjofsson dan Hitt (1996); Mitra dan Chaya (1996); Rai et al (1997) memberikan bukti secara empiris bahwa investasi di bidang teknologi informasi memberikan kontribusi terhadap kinerja dan produktivitas suatu organisasi.7 Penerapan teknologi informasi dapat memberikan berbagai keuntungan yaitu kecepatan (speed), konsistensi (consistency), ketepatan (precision), dan keandalan (reliability).8 Hal tersebut sejalan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Meskipun asas peradilan cepat merupakan asas universal, namun persoalan lambatnya penanganan perkara adalah isu yang dialami oleh semua organisasi peradilan di seluruh dunia. Hal tersebut dikemukakan oleh Dory Reiling dalam Technology for Justice: How Information Technology Can Support Judicial Reform.9 Reiling mengatakan bahwa ada tiga persoalan yang paling sering dikeluhkan kepada lembaga peradilan, yaitu: lambatnya penanganan perkara (delay), sulit diakses (access), dan integritas aparatur. Ketiga persoalan peradilan yang diungkap Reiling tersebut, juga menjadi persoalan yang dialami oleh Mahkamah Agung RI.10 Oleh karena itu, pada pertemuan antar institusi percontohan Reformasi Birokrasi pada tanggal 28 Juni 2007, Ketua Mahkamah Agung merespon ketiga persoalan tersebut dengan menjadikannya sebagai prioritas reformasi birokrasi di Mahkamah Agung yaitu: mengikis tunggakan perkara, transparansi peradilan dan pelatihan kode etik dan prilaku hakim.11 B. Potret Penanganan Perkara 2004-2014 Indikator yang menunjukkan bahwa lambatnya penanganan perkara (delay) menjadi persoalan yang cukup serius bagi Mahkamah Agung adalah tingginya jumlah sisa perkara pada akhir tahun 2004-2007. Pada periode ini meningkatkan efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas pemberian layanan publik. 7 Diana Rahmawati, “Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pemanfaatan Teknologi Informasi, Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume 5 Nomor 1, April 2008, hlm. 107 8 Sutarman, Pengantar Teknologi Informasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2009, hlm.19 9 Reiling, Dory, Technology for Juctice: How Informaton Technology Can Support Judicial Reform, 2009, (Leiden: Leiden University Press), hlm. 17 10 Lihat : Pidato Laporan Tahunan Ketua Mahkamah Agung tanggal 17 Maret 2015 11 Dalam pertemuan dengan pimpinan kementerian/lembaga yang dijadikan proyek percontohan reformasi birokrasi, Ketua Mahkamah Agung secara formal menyampaikan 5 (lima) quick win, yaitu: transparansi putusan, manajemen teknologi informasi, pelatihan kode etik hakim, penerimaan negara bukan pajak dan manajemen sumber daya manusia (lihat: Mahkamah Agung RI, Laporan Tahunan 2006, 2007, hlm. 14.) 325
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 323-334
jumlah sisa perkara Mahkamah Agung berada di atas 50% dari beban perkara. Sisa perkara tahun 2004 sebanyak 20.314 perkara atau 76,50% dari beban perkara yang berjumlah 26.555 perkara. Sisa perkara tahun 2005 sebanyak 15.975 atau 57,50% dari beban perkara yang berjumlah 27.782 perkara. Sisa perkara tahun 2006 sebanyak 12.025 atau 50,53% dari beban perkara yang berjumlah 23.800 perkara. Sisa perkara tahun 2007 sebanyak 10.827 atau 50,26% dari beban perkara yang berjumlah 21.541 perkara12. Jumlah sisa perkara setelah tahun 2007 berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Meskipun masih di atas 30% sisa perkara pada periode 2007-2013 tidak pernah menyentuh angka 50%. Bahkan, pada tahun 2014, sisa perkara mencapai jumlah terendah, yakni 4.425 perkara atau 23,38% dari beban perkara yang berjumlah 18.926 perkara13. Jumlah sisa perkara yang tinggi (di atas 50%) adalah perpaduan dampak jumlah beban penanganan perkara yang besar dan proses penanganan perkara yang lambat. Oleh karena itu jumlah sisa perkara dapat menjadi cerminan kinerja penanganan perkara karena ia berbanding lurus dengan tingkat produktifitas. Artinya jika produktifitas tinggi maka sisa perkara rendah. Sedangkan tingkat produktifitas itu sendiri dipengaruhi oleh jangka waktu penanganan perkara. Jika waktu penanganan perkara relatif cepat, maka akan semakin banyak perkara yang dapat diputus dalam satu periode. Selisih jumlah beban dan jumlah perkara yang diputus disebut sisa perkara. Sisa perkara yang telah melampaui jangka waktu penanganan perkara dikategorikan sebagai tunggakan. C. Proses Penanganan Perkara di Mahkamah Agung Proses penanganan perkara di Mahkamah Agung dimulai dengan penerimaan berkas bundel A dan Bundel B yang dikirim oleh pengadilan pengaju. Berkas tersebut selanjutnya ditelaah kelengkapannya oleh Direktorat Pranata dan Tatalaksana Perkara. Berkas yang telah dinyatakan lengkap akan diteruskan kepada Kepaniteraan Muda untuk diregistrasi. Panitera Muda menyampaikan daftar berkas yang sudah diregistrasi kepada Ketua Mahkamah Agung untuk didistribusi kepada Ketua Kamar terkait. Ketua Kamar selanjutnya menunjuk majelis yang akan memeriksa perkara tersebut. Setelah perkara diputus oleh majelis hakim, panitera pengganti 12
Mahkamah Agung, Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2014, (Jakarta: Mahkamah Agung), 2015 13 Fenomena tunggakan perkara yang tinggi terjadi sejak periode awal Mahkamah Agung. Sebastiaan Pompe membuat daftar tunggakan perkara Mahkamah Agung tahun 1969-1993. Dalam daftar tersebut, tergambar bahwa jumlah perkara yang dapat diselesaikan rata-rata dibawah 50 % yang berarti sisa perkara berada diatas 50% (lihat: Sebastiaan Pompe, The Indonesian Supreme Court, a Study of Institusional Collapse (alih bahasa Noor Cholis), Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2014, hlm. 679) 326
Pemanfaatan TI untuk Percepatan Penyelesaian Perkara di MA, Asep Nursobah
melakukan proses minutasi. Perkara yang sudah diminutasi dikirim ke pengadilan pengaju oleh Panitera Muda. Seluruh proses penanganan perkara tersebut berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 138/KMA/SK/IX/2009 tanggal 11 September 2009 harus diselesaikan dalam waktu 1 (satu) tahun. Bahkan, bagi perkara yang diregistrasi mulai tanggal 2 Januari 2015, seluruh rangkaian penanganan perkara tersebut harus dapat diselesaikan dalam waktu 250 hari. Hal ini tertuang dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 214/KMA/SK/XII/2014. Meskipun telah ditetapkan jangka waktu penanganan perkara tidak boleh melebihi 1 (satu) tahun, proses penanganan perkara di Mahkamah Agung masih lama (delay). Sebuah studi berbasis data hasil stock opname berkas perkara Mahkamah Agung menyebutkan bahwa rata-rata waktu yang dibutuhkan bagi suatu perkara mulai berkas diterima oleh Biro Umum sampai salinan putusan dikirim ke pengadilan pengaju terhadap perkara yang diregistrasi sebelum tahun 2011 adalah 528,2 hari (17,6 bulan). Sebuah jangka waktu yang relatif lama bagi pencari keadilan yang berpotensi mengurangi rasa keadilan yang diharapkan oleh para pihak.14 D. Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam Penanganan Perkara di Mahkamah Agung 1. Model Pemanfaatan Teknologi Informasi di Pengadilan CEPEJ (Commission Europeenne pour L’efficacite de la Justice) yaitu Komisi Eropa untuk Efisiensi Keadilan telah melakukan survey kategorisasi pemanfaatan teknologi informasi di pengadilan berdasarkan tujuan pemanfaatannya, yaitu: a. Memberi dukungan langsung kepada hakim dan staf pengadilan; b. Memberi dukungan kepada manajemen peradilan; c. Memberi dukungan untuk interaksi pengadilan dengan pihak.15 Dory Reiling mengembangkan konsepsi tentang kategori pemanfaatan teknologi informasi di pengadilan yang didasarkan pada hasil penelitian CEPEJ, sebagai berikut : 16 a. Teknologi Informasi dimanfaatkan secara berdiri sendiri (stand-alone, function information technologies). Pengadilan memanfaatkan fungsi standar dari teknologi informasi untuk membantu pengerjaan tugas-tugas administratif 14
Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independensi Peradilan (LeIP), Kertas Kerja Penyempurnaan Prosedur dan Penetapan Target Kinerja Penanganan Perkara Pada Mahkamah Agung RI, 2014, hlm. 9 15 Reiling, Dory, Op Cit, hlm. 49 16 Ibid, hlm. 50 327
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 323-334
(back office). Dalam pemanfaatan fungsi ini, tidak diperlukan jaringan antar komputer. Menurut Reiling, ada dua aplikasi yang lazim digunakan oleh pengadilan untuk kategori ini, yaitu: aplikasi pengolah kata (word processing) dan data base. Aplikasi pengolah kata ini digunakan oleh hakim dan staf pengadilan untuk menghasilkan dokumen berkas perkara. Termasuk pula dalam kategori ini adalah penggunaan kalender persidangan dan spreadsheets sederhana.17 Aplikasi data base digunakan untuk registrasi dan pengelolaan perkara. Sistem ini menggantikan proses pencatatan berkas manual. b. Teknologi Informasi Berbasis Sistem Jaringan (network information technologies). Secara historis, teknologi jaringan diperkenalkan setelah fungsi stand-alone teknologi dipergunakan pengadilan dalam beberapa waktu. Teknologi jaringan memfasilitasi interaksi antara pengguna tetapi tanpa ada parameter spesipik. Para pengguna mengijinkan pengguna lainnya untuk berinteraksi, namun tidak ditentukan bagaimana mereka harus berinteraksi. Pemanfaatan teknologi informasi berbasis jaringan di pengadilan diantaranya: surat elektronik, koneksi internet, data base yurisprudensi, share document, dan file elektronik. Termasuk dalam kategori ini, adalah sistem jaringan yang mengkombinasikan database dan aplikasi pengolah kata untuk menciptakan model standar putusan pengadilan (template).18 c. Enterprise teknologi informasi 19 dan komunikasi eksternal. Teknologi informasi dalam kategori ini telah menerapkan sistem manajemen alur kerja (work flow management systems), sistem manajemen hubungan dengan pengguna pengadilan (costumer relations management systems), dan komunikasi eksternal secara elektronik dengan pencari keadilan. Model ideal dari kategori ketiga ini adalah semua proses manajemen dilakukan secara elektronik meliputi: pengajuan berkas secara elektronik, penanganan perkara dilakukan dengan sistem work flow elektronik, produk dari pengadilan pun berbentuk berkas 17
Ibid Ibid, hlm 56 19 Enterprise teknologi informasi adalah platform teknologi yang bisa menyatukan semua informasi dari berbagai bagian menjadi satu (single) informasi secara logikal, sehingga Enterprise (perusahaan/organisasi) bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan dengan mudah. Dalam hal ini, tidak hanya sekedar penggunaan teknologi jaringan misal LAN (local area network) sehingga antar divisi terhubung secara fisik tapi juga integrasi proses bisnis masing masing divisi 18
328
Pemanfaatan TI untuk Percepatan Penyelesaian Perkara di MA, Asep Nursobah
elektronik. Meskipun proses persidangan masih mempertahankan persidangan secara fisik, namun pengadilan sudah meninggalkan berkas kertas (paperless).20 Pengadilan yang menerapkan teknologi informasi enterprise akan dapat melakukan penataan ulang bisnis proses, standardisasi alur kerja, dan efisiensi monitoring semua aktivitas. Hal ini berarti semua proses dapat lebih mudah dirancang ulang dan distandarkan, demikian pula pelaporan dapat disajikan setiap saat.21 Sistem komunikasi eksternal pengadilan dalam analisisnya Reiling dapat terjadi dengan beragam pihak, yang dikelompokkan sebagai berikut: pengguna dan bukan pengguna pengadilan, para advokat dan kalangan profesional lainnya, dan pengguna pengadilan yang bukan berasal dari kalangan profesional.22 2.
Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam Penanganan Perkara di Mahkamah Agung Peran teknologi informasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja penanganan perkara di Mahkamah Agung telah mulai diterapkan sejak pertengahan tahun 1986. Ketika itu, Mahkamah Agung menggunakan aplikasi Dbase IV untuk mencatat proses registrasi perkara kasasi dan peninjauan kembali perkara perdata. Aplikasi ini dapat membantu Mahkamah Agung untuk membuat relaas pemberitahuan registrasi dan format adviesblaad.23 Pada tahun-tahun berikutnya pemanfaatan teknologi informasi dalam penanganan perkara dilakukan Mahkamah Agung dengan penuh dinamika. Pada tahun 1996, Mahkamah Agung mengembangkan teknologi informasi untuk layanan informasi perkara yang dikenal dengan akses 121. Semula akses 121 didesain terhubung dengan mesin penjawab otomatis, interactive voice recognition (IVR), namun dalam implementasinya akses 121 hanyalah nomor telepon yang terhubung kepada operator yang duduk di meja lobby Mahkamah Agung. Operator tersebut memberikan informasi seputar nomor perkara, majelis hakim, dan klasifikasi perkara yang bersumber pada data base yang diinput oleh operator pada setiap direktorat perkara24. Tahun 2001, Mahkamah Agung membangun Sistem Informasi Mahkamah Agung RI (SIMARI) dengan salah satu varian aplikasinya 20
Dory Reiling, Op Cit, hlm 57 Ibid 22 Ibid, hlm. 58 23 Aria Suyudi, dkk, Pemetaan Implementasi Teknologi Informasi di Mahkamah Agung Repbulik Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan), 2010. Hlm. 9 24 Ibid, hlm. 11 21
329
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 323-334
adalah sistem dokumentasi informasi perkara atau disebut juga Sistem Informasi Administrasi Perkara (SIAP). Dalam aplikasi rintisan SIMARI ini layanan informasi perkara “Akses 121” diganti menjadi 14133 yang terkoneksi dengan IVR. Sistem informasi perkara pada periode ini mulai berbasis website yang dapat diakses di alamat http://www.mari.go.id. 25 Setelah satu atap sistem peradilan Indonesia pada tahun 2004, Mahkamah Agung melakukan redesign Sistem Informasi Administrasi Perkara (SIAP) yang telah dikembangkan dalam rintisan SIMARI. Aplikasi SIAP baru ini dirancang terintegrasi dengan pengadilan tingkat pertama dan banding. SIAP ini juga terkoneksi dengan portal website Mahkamah Agung baru http://www.mahkamahagung.go.id dengan fasilitas IVR di nomor 021 3849999 dan layanan SMS di nomor 0856 9111 9999.26 Pada tahun 2007, Mahkamah Agung mengembangkan Sistem Informasi perkara berbasis aplikasi Microsoft Excel. Kebijakan ini didasarkan pada hasil audit teknologi informasi yang dilakukan pada tahun 2007 yang menyimpulkan bahwa 72% dari 15 aplikasi yang dikembangkan berada dalam status telah selesai dikembangkan tetapi tidak operasional.27 Di sisi lain, Mahkamah Agung membutuhkan sistem informasi untuk mengetahui progress pengikisan tunggakan perkara yang menjadi prioritas reformasi birokrasi yang dicanangkan pada Juni 2007. Sementara itu, untuk kebutuhan pengikisan tunggakan perkara, telah dilakukan audit berkas perkara aktif pada Mahkamah Agung di tahun 2006. Data hasil audit ini menjadi base line data aplikasi SIAP Excel.28 Aplikasi ini hingga kini masih dipergunakan oleh Kepaniteraan Mahkamah Agung. Pada tahun 2011, Mahkamah Agung mengembangkan fitur komunikasi data pada aplikasi Direktori Putusan Mahkamah Agung. Aplikasi ini dikembangkan untuk mendukung kebijakan Mahkamah Agung yang dituangkan dalam SEMA Nomor 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Elektronik Sebagai Kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali. SEMA 14 Tahun 2014 mewajibkan pengadilan untuk menyertakan dokumen elektronik bagi setiap permohonan kasasi dan peninjauan kembali. Media pengiriman dokumen elektronik tersebut adalah compact disk, surat elektronik atau aplikasi Direktori Putusan. SEMA 14 Tahun 2010 lahir dengan tujuan percepatan 25
Ibid, hlm. 12 Ibid, hlm. 15 27 Ibid, hlm. 20 28 Ibid, hlm. 40-42 26
330
Pemanfaatan TI untuk Percepatan Penyelesaian Perkara di MA, Asep Nursobah
penyelesaian minutasi perkara. Dengan dimilikinya dokumen elektronik putusan pengadilan tingkat pertama dan banding proses penyusunan putusan Mahkamah Agung dapat dipercepat. Pada tahun 2014, aplikasi Direktori Putusan disempurnakan lagi sehingga memungkinkan pengadilan mengunggah dokumen elektronik dengan jumlah dan variasi yang lebih banyak. Hal ini untuk mendukung SEMA Nomor 1 Tahun 201429. SEMA 1 Tahun 2014 itu sendiri lahir untuk mendukung kebijakan sistem membaca berkas serentak yang diterapkan mulai bulan Agustus 2013 oleh Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 119/KMA/SK/VII/2013. Konsekuensi penerapan sistem membaca berkas serentak, adalah penggandaan berkas bundel B sesuai jumlah hakim anggota. Apabila proses penggandaan dilakukan secara hard copy maka akan menjadi isu serius.30 Konsumsi kertas untuk pemeriksaan berkas perkara akan berlipat ganda. Oleh karena itu, Mahkamah Agung mendorong pemeriksaan berkas berbasis dokumen elektronik. Berdasarkan SEMA 1 Tahun 2014, pengadilan harus menyediakan file elektronik beberapa dokumen dari Bundel B untuk kepentingan pemeriksaan berkas kasasi/peninjauan kembali. Pengirimannya dilakukan menggunakan aplikasi Direktori Putusan. Penerapan berkas perkara elektronik (e-Court File) di Mahkamah Agung memberikan dampak perubahan pada semua pihak yang terkait dengan proses penanganan perkara dari mulai pengadilan tingkat pertama, petugas di Biro Umum, Direktorat Pranata dan Tatalaksana, 29
SEMA Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Elektronik Sebagai Kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali. SEMA ini mewajibkan pengadilan untuk menyertakan dokumen elektronik yang lebih banyak dibandingkan SEMA sebelumnya (yaitu: relas pemberitahuan putusan banding, akta pernyataan kasasi, tanda terima memori kasasi, putusan tingkat pertama, putusan tingkat banding, memori kasasi dan kontra memori kasasi). SEMA ini juga menjadikan Direktori Putusan sebagai satu-satunya media dalam pengiriman dokumen elektronik tersebut. 30 Isu penggandaan berkas ini jika dilakukan secara hard copy akan menjadi isu serius. Konsumsi kertas untuk pemeriksaan berkas perkara akan sangat banyak. Padahal setelah pemeriksaan selesai, berkas yang digandakan akan menjadi sampah. Bayangkan saja, jika satu tahun MA rata-rata menerima 12.000 berkas, dan rata-rata berkas bundel B berjumlah 50 halaman, maka untuk kepentingan membaca berkas bersama untuk dua orang anggota majelis, diperlukan 1.200.000 lembar atau 2.400 rim. Berat satu rim kertas rata-rata 2,27 kg, sehingga per tahunnya MA akan mengkonsumsi 5,4 ton kertas. Artinya, MA akan membuang minimal 5,4 ton per tahunnya. (lihat: “SK KMA 119/2013: Empat Lembar Yang Membawa Perubahan Besar di Mahkamah Agung” dalam Newsletter Kepaniteraan Mahkamah Agung, Nomor 1 Edisi Desember 2013)
331
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 323-334
Kepaniteraan Muda, Panitera Pengganti dan Hakim Agung. Mereka harus beradaptasi dengan sistem kerja berbasis teknologi informasi, baik aspek kesiapan sumber daya, perangkat teknologi maupun budaya kerja. Protokol pemanfaatan dokumen elektronik diatur oleh Keputusan Panitera Mahkamah Agung RI Nomor: 821/PAN/OT.01.3/VI/2014 tanggal 3 Juni 2014 yang merupakan petunjuk pelaksanaan SEMA Nomor 1 Tahun 2014. Petunjuk teknis tersebut mengatur bahwa dokumen elektronik yang dikirimkan oleh Pengadilan melalui aplikasi komunikasi data direktori putusan diunduh dan diteliti oleh masingmasing petugas Direktorat Pranata dan Tatalaksana kemudian diunggah ke Media Penyimpanan Bersama (MPB). Dokumen elektronik yang telah tersimpan di MPB kemudian dibagi ke petugas Kepaniteraan Muda Perkara. Setelah berkas permohonan kasasi / PK ditunjuk majelis hakim yang menanganinya, petugas Panitera Muda Perkara mengirimkan dokumen elektronik ke e-mail hakim agung dan panitera pengganti. Para hakim anggota secara bertahap diharapkan dapat memberikan pendapat berdasarkan dokumen elektronik Bundel B yang dikirim melalui email tersebut.31 Berdasarkan konsepsi kategori pemanfaatan teknologi informasi di pengadilan yang dikembangkan Dory Reiling, dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan teknologi informasi dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung meliputi dua kategori, yaitu : pertama, teknologi Informasi dimanfaatkan secara berdiri sendiri (stand-alone, function information technologies). Kedua, teknologi informasi berbasis sistem jaringan (network information technologies). E. Penutup Pemanfaatan teknologi informasi oleh Mahkamah Agung dalam proses penanganan perkara sebagaimana tersebut diatas adalah pengejawantahan dari Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Tujuannya adalah untuk dapat mendorong peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelesaian perkara yang salah satunya diindikasikan dengan pengikisan tunggakan perkara. Namun jika dilihat dari jumlah sisa perkara di periode implementasi teknologi Informasi di Mahkamah Agung, khususnya tahun 1986 s.d 2007, tidak terjadi penurunan sisa perkara yang signifikan. Fenomena ini dialami oleh banyak negara dalam mengimplementasikan teknologi informasi di pengadilan. Penggunaan 31
Mahkamah Agung, Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2014, (Jakarta: Mahkamah Agung), 2015, hlm. 332
Pemanfaatan TI untuk Percepatan Penyelesaian Perkara di MA, Asep Nursobah
teknologi informasi masih menitikberatkan pada upaya pencatatan elektronis saja. Teknologi informasi belum dioptimalkan secara maksimal untuk meningkatkan kinerja badan peradilan. Penurunan sisa perkara perkara mulai terlihat pada tahun 2008 dengan jumlah yang cukup signifikan, di bawah angka 10.000. Sisa perkara kembali dapat direduksi lebih signifikan lagi terjadi pada tahun 2010-2014. Pada periode ini sisa perkara berada pada kisaran angka 30 %, bahkan pada tahun 2013 dan 2014, sisa perkara Mahkamah Agung berturut-turut sebesar 28,58% dan 23,38%. Penurunan sisa perkara pada periode 2010-2014 tidak bisa dilepaskan dari berbagai inisiatif modernisasi manajemen perkara yang berbasis pemanfaatan teknologi informasi sebagai implementasi cetak biru pembaruan peradilan 2010-2035.
333
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 323-334
334
ASPEK HUKUM PENINJAUAN KEMBALI LEBIH DARI SATU KALI DALAM PERKARA PIDANA (PERSPEKTIF PENEGAKAN KEADILAN, KEPASTIAN DAN KEMANFAATAN HUKUM) (Legal Aspects of Review More Than One in a Criminal Case (Perspective Enforcement Justice, Certainty and Benefits Law))
Budi Suhariyanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan MA-RI Jl. Jend. Ahmad Yani Kav.58 Jakarta Pusat Email :
[email protected]
Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 telah membuka ruang PK tidak saja satu kali sebagaimana diatur selama ini oleh Pasal 268 ayat (3) KUHAP sehingga PK dapat dilakukan berkali-kali selama ditemukan dan diajukannya novum meskipun telah dilakukan PK sebelumnya. Perspektif yang menjadi dasar dari putusan ini adalah keadilan. Menanggapi Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana. Melalui SEMA tersebut Mahkamah Agung mengingatkan bahwa ketentuan PK hanya sekali di luar Pasal 268 KUHAP yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, oleh karenanya PK perkara pidana (dalam suatu perkara yang sama) yang lebih dari 1 (satu) kali dinyatakan tidak dapat diterima. Pembatasan PK perkara pidana yang dikehendaki Mahkamah Agung ini untuk memberikan kepastian hukum dalam proses penyelesaian akhir perkara pidana. Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM mengambil langkah strategis bervisi kemanfaatan hukum dalam menyelesaikan polemik upaya hukum pengajuan PK perkara pidana, dengan mengkoordinasikan lembaga negara dan kementerian terkait sehingga menghasilkan kesepakatan bahwa pengajuan PK berkali-kali tidak bisa dijalankan hingga terbitnya PP. Oleh karenanya masih berlaku yang diatur dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah Agung. Kata kunci : Aspek Hukum, Peninjauan Kembali, Perkara Pidana Abstract Constitutional Court Decision No. 34 / PUU-XI / 2013 has opened the space PK is not just one time as provided for by the Article 268 paragraph (3) 335
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 335-350
Criminal Procedure Code so that PK can be done many times during found and submission of PK Novum although it has done previously. Perspective is the basis of this decision is justice. Responding to the verdict of the Constitutional Court, the Supreme Court publishes SEMA No. 7 Year 2014 on Reconsideration Request Submission In Criminal Case. Through the SEMA Supreme Court warned that provisions PK only once outside the Article 268 Criminal Procedure Code which was canceled by the Constitutional Court, therefore, PK criminal cases (in a similar case) is more than 1 (one) can not be accepted. Restrictions on the desired PK criminal case the Supreme Court is to provide legal certainty in the process of final settlement of criminal matters. Government through Minister of Law and Human Rights take strategic steps in resolving the legal expediency vision polemic filing legal remedies PK criminal cases, by coordinating state agencies and relevant ministries so as to produce an agreement that filing PK many times can not be executed until the issuance of PP. Therefore still valid set forth in the Judicial Authority Law and the Law on the Supreme Court. Keywords : Legal Aspects, Reconsideration, Criminal Case A. Pendahuluan Beberapa waktu lalu telah terjadi polemik hukum di Indonesia terkait aspek hukum Peninjauan Kembali (PK) putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT) lebih dari satu kali. Polemik ini berawal dari putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 yang dalam amarnya menyatakan bahwa “Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHP) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai hukum mengikat”. Adapun bunyi Pasal 268 ayat (3): “permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka ditetapkan bahwa PK perkara pidana dapat diajukan lebih dari satu kali. Salah satu pertimbangan hukum yang digunakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah asas keadilan yang harus dikedepankan daripada kepastian hukum terkait bilamana ditemukan keadaan baru (novum) kembali meskipun telah/sudah pernah mengajukan PK. Sebagaimana dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa: Benar dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet yakni setiap perkara harus ada akhirnya, namun menurut Mahkamah, hal itu berkait dengan kepastian hukum, sedangkan untuk keadilan dalam perkara pidana asas tersebut tidak secara rigid dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi manakala 336
Aspek Hukum PK Lebih dari Satu Kali dalam Perkara Pidana, Budi Suhariyanto
ditemukan adanya keadaan baru (novum). Hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan [vide Pasal 24 ayat (1) UUD 1945] serta sebagai konsekuensi dari asas negara hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka ruang PK lebih dari sekali ini telah menimbulkan polemik di kalangan akademisi hukum maupun praktisi/penegak hukum. Terdapat kalangan yang pro dan kontra terkait dengan aspek hukum PK lebih dari sekali. Bahkan dalam perspektif asas, teori, norma dan praktek memunculkan kontraversi. Pada perspektif filosofis, asas keadilan diperhadapkan dengan kepastian hukum. Berdasarkan kepastian hukum, perkara yang berkepanjangan atau tiada akhirnya (PK bisa berkali-kali tanpa batas) bisa menyebabkan keadilan tersandera hingga dapat merugikan pencari keadilan itu sendiri. Namun di sisi lain, keberadaan novum yang bisa muncul atau diajukan pada masamasa tertentu perlu diakomodir demi kebenaran materiil yang berlandaskan atas keadilan sehingga “kran” PK harus dibuka kembali meskipun telah/sudah pernah mengajukan PK sebelumnya. Sementara secara normatif, meskipun ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang mengatur PK harus sekali dinyatakan tidak mengikat, namun ketentuan peninjauan kembali dalam Undang-Undang lainnya yang menyatakan PK dapat diajukan hanya sekali (Pasal 24 ayat (2) UndangUndang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung) tidak termasuk dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Berdasarkan hal tersebut kemudian Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran No. 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana yang menyatakan bahwa “permohonan PK dalam perkara pidana dibatasi hanya 1 (satu) kali”. Mahkamah Agung memiliki tujuan melalui SEMA tersebut salah satunya adalah untuk mewujudkan kepastian hukum. Merupakan hal yang kontroversi jika diperhadapkan antara putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 tentang PK bisa lebih dari sekali yang berperspektif asas keadilan di satu sisi dengan SEMA No. 7 Tahun 2014 terkait PK dibatasi sekali yang berperspektif kepastian hukum di sisi yang lain. Implikasi dari kontraversi tersebut kemudian secara teoritis, para ahli hukum pidana terbelah dalam menyikapi aspek hukum PK perkara pidana lebih dari sekali. Keterbelahan tersebut tampak dari teori dasar yang digunakan oleh masing-masing dalam menganalisa aspek hukum PK lebih dari sekali yaitu antara teori negara hukum a quo asas hukum acara pidana dan kepastian hukum berbenturan dengan teori keadilan dan teori hak asasi manusia. Atas beberapa permasalahan kontraversi diatas, maka 337
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 335-350
dapat dijadikan sebuah kajian yang menarik terkait upaya hukum luar biasa PK lebih dari satu kali atas putusan pengadilan pidana yang BHT dalam hubungannya dengan penegakan hukum yang menjamin keadilan dan kepastian serta kemanfaatan hukum. B. Ruang Lingkup Permasalahan PK Lebih dari Satu Kali Permasalahan mendasar dari kajian ini yaitu PK lebih dari sekali perlu diidentifikasi ruang lingkup dan sasaran pembahasannya. Sebagaimana diatur dalam peraturan Perundang-undangan, lembaga PK yang berpotensi untuk dilakukan lebih dari sekali ini menyangkut pemahaman, pertama: apakah yang dimaksudkan lebih dari sekali adalah PK yang kedua kali dari pihak tertentu yang berhak mengajukan PK ataukah kedua: lebih dari sekali juga meliputi pengertian PK yang diajukan setelah pihak lain telah mengajukan PK. Terkait identifikasi pemahaman yang pertama Penulis rasa tidak ada hal yang perlu diklarifikasikan sehubungan dengan apa yang telah dibahas pada pendahuluan bahwa putusan MK terkait dengan permohonan Antasari Azhar yang meminta konstitusionalitas lembaga PK lebih dari sekali sebagai sarana/jalan keluar baginya yang notabene telah pernah mengajukan PK namun dirasakan terdapat novum kembali yang belum terakomodir atau ditemukan dalam PK sebelumnya. Dalam konteks ini maka dapat dikatakan bahwa sasaran masalah yang terklarifikasi dari PK “lebih dari sekali” adalah PK yang kedua, ketiga dan seterusnya senyampang ada atau ditemukan novum yang diajukan oleh Terpidana atau pihak yang mempunyai hak/kewenangan untuk mengajukan PK (ahli waris). Klarifikasi masalah yang kedua terkait PK lebih dari sekali yang dimaksudkan adalah PK dari pihak Terpidana atau ahli warisnya telah digunakan, kemudian diadakan PK oleh pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang notabene secara implisit dan berdasarkan jurisprudensi juga memiliki hak. Sepintas dari peraturan Perundang-undangan yang ada, terdapat tumpang tindih atau bias kewenangan terkait pihak-pihak yang berhak mengajukan PK terhadap putusan pidana. Dalam hal ini antara terpidana atau ahli warisnya di satu pihak dan JPU di pihak yang lain. Sehingga muncul polemik/problematika terkait hak/kewenangan JPU dalam mengajukan PK. Polemik ini muncul dari pemahaman berbeda dari pembacaan terhadap peraturan Perundang-undangan tersebut, atau dalam bahasa hukum disebut dengan penafsiran hukum. Dalam konteks penafsiran hukum oleh Hakim inilah kemudian “kran” JPU dapat diterima pengajuan PK nya terjadi. Meskipun demikian masih belum terdapat kesatuan hukum di Mahkamah Agung terkait PK dari JPU ini. Pada dasarnya praktek PK dalam 338
Aspek Hukum PK Lebih dari Satu Kali dalam Perkara Pidana, Budi Suhariyanto
hukum acara pidana di Indonesia umumnya mengikuti aturan yang ada dalam KUHAP. Pihak yang mengajukan permohonan PK pada umumnya (lazimnya) adalah pihak Terpidana atau Ahli Warisnya sebagaimana pasal 263 ayat (1) KUHAP berbunyi: ”Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Namun dalam prakteknya JPU juga mengajukan permohonan PK kepada Mahkamah Agung. Adapun respon dari Mahkamah Agung dalam putusan PK nya mempunyai 2 (dua) variasi diantaranya: pengajuan PK dari JPU diterima (contoh: Putusan No.55/PK/Pid/1996, Putusan No.3 PK/Pid/2001, Putusan No.15PK/Pid/2006, Putusan No.109PK/Pid/2007, Putusan No.12PK/Pid. Sus/2009, dll), pengajuan PK dari JPU tidak dapat diterima (contoh: Putusan No. 84PK/Pid/2006, Putusan No. 57PK/Pid/2009, dll). Mengacu penjelasan diatas dari point klarifikasi kedua, yang dimaksud “lebih dari sekali” terkait penggunaan hak pengajuan PK adalah dari masing-masing pihak menggunakan hak PK nya, kemudian muncul PK lebih dari sekali yaitu PK dari JPU yang diikuti di kemudian hari oleh PK dari Terpidana. Hal ini pernah terjadi pada kasus Joko S. Tjandra. Kedua PK tersebut baik dari Terpidana Joko S. Tjandra maupun dari JPU, oleh Mahkamah Agung diterima. Dengan demikian maka dapat dikatakan telah terjadi PK lebih dari sekali, yang tentunya telah terjadi penafsiran hukum secara progresif atas Pasal 268 ayat (3) tentang KUHAP dan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang notabene mengatur secara eksplisit PK dapat dilakukan hanya sekali. Berdasarkan klarifikasi dari point identifikasi pertama dan kedua, sesungguhnya memiliki perbedaan dan persamaan. Adapun persamaannya adalah sama-sama telah memunculkan PK lebih dari sekali. Sedangkan perbedaannya adalah pada point kedua, setelah masing-masing telah mengunakan hak PK nya maka tidak dimungkinkan lagi mengajukan PK kedua kali dari masing-masing pihak (Terpidana maupun JPU) yang notabene telah mengajukan PK nya. Sementara pada identifikasi point pertama, kemungkinan untuk mengajukan PK lebih dari sekali dari masingmasing pihak sangat besar bilamana telah ditemukan novum kembali selain daripada yang telah lalu (novum PK sebelumnya) artinya PK kedua, ketiga dan seterusnya bisa terjadi dan dibenarkan. Meskipun pemohon judicial review atas pasal 268 ayat (3) KUHAP adalah pihak Terpidana dan dikabulkan sehingga PK bisa lebih dari satu kali 339
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 335-350
asalkan terdapat novum, maka keberlakuan atas PK lebih dari satu kali tersebut juga dimiliki oleh JPU. Putusan Mahkamah Konstitusi atas tidak mengikatnya pasal tentang pembatasan PK perkara pidana satu kali dalam KUHAP tersebut juga meniscayakan bagi pihak lain selain Terpidana yaitu JPU yang notabene mewakili pihak korban/kepentingan umum/negara, karena sampai saat ini landasan tafsir atas pasal yang membolehkan JPU dapat mengajukan PK belum dicabut atau dianulir. Dengan demikian atas asas keadilan kedua pihak yang saling berhadapan tersebut diberikan peluang yang sama untuk “memperpanjang” penyelesaian perkara pidananya, dalam konteks inilah kemudian kepastian hukum atas PK lebih dari sekali dipertanyakan eksistensinya. C. Perspektif Keadilan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 terkait PK Lebih dari Satu Kali Pemohon perkara nomor 34/PUU-XI/2013 dalam pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diantaranya yaitu Antasari Azhar, Ida Laksmiwaty dan Ajeng Oktarifka Antasariputri. Adapun norma yang diajukan untuk duji adalah Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 1981, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) berbunyi: “Permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”. Sedangkan norma Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi penguji diantaranya yaitu: a. Pasal 1 ayat (3) berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”; b. Pasal 24 ayat (1) yang berbunyi: (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. c. Pasal 28A UUD 1945 secara eksplisit mengatakan: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya d. Pasal 28C ayat (1) yang berbunyi: (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. e. Pasal 28D ayat (1) berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
340
Aspek Hukum PK Lebih dari Satu Kali dalam Perkara Pidana, Budi Suhariyanto
Berdasakan penilaian hukum dan fakta persidangan, Mahkamah Konstitusi memutuskan mengabulkan permohonan para Pemohon dan menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Adapun pertimbangan hukum dari majelis Hakim Konstitusi diantaranya: Kebenaran materiil mengandung semangat keadilan sedangkan norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan. Oleh karena itu, upaya hukum untuk menemukan kebenaran materiil dengan tujuan untuk memenuhi kepastian hukum telah selesai dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan menempatkan status hukum terdakwa menjadi terpidana. Hal tersebut dipertegas dengan ketentuan Pasal 268 ayat (1) KUHAP yang menyatakan, “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut”. Bahwa Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”, menurut Mahkamah, pembatasan yang dimaksud oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tersebut tidak dapat diterapkan untuk membatasi pengajuan PK hanya satu kali karena pengajuan PK dalam perkara pidana sangat terkait dengan hak asasi manusia yang paling mendasar yaitu menyangkut kebebasan dan kehidupan manusia. Lagi pula, pengajuan PK tidak terkait dengan jaminan pengakuan, serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan tidak terkait pula dengan pemenuhan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis; Bahwa benar dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet yakni setiap perkara harus ada akhirnya, namun menurut Mahkamah, hal itu berkait dengan kepastian hukum, sedangkan untuk keadilan dalam perkara pidana asas tersebut tidak secara rigid dapat diterapkan karena dengan hanya 341
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 335-350
membolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum). Hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan [vide Pasal 24 ayat (1) UUD 1945] serta sebagai konsekuensi dari asas negara hukum. Berdasarkan putusan dan beberapa pertimbangan hukum diatas, dapat ditarik kaidah hukum yang mengemuka yaitu: “untuk keadilan dalam perkara pidana, asas litis finiri oportet yakni setiap perkara harus ada akhirnya yang berlandaskan atas kepastian hukum, tidak secara rigid dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum), justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan serta sebagai konsekuensi dari asas negara hukum”. Adapun novum atau keadaan baru yang dapat dijadikan dasar permintaan adalah keadaan baru yang mempunyai sifat dan kualitas “menimbulkan dugaan kuat”:32 a. Jika seandainya keadaan baru itu diketahui atau ditemukan dan dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau b. Keadaan baru itu jika diketemukan dan diketahui pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, atau c. Dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Sejauh dapat ditemukan novum, maka sepanjang itulah kesempatan PK perkara pidana harus dibuka dan terbuka. Karena jika PK dibatasi satu kali, sementara di belakang hari ditemukan novum yang daripadanya dapat dijadikan pertimbangan hukum dan putusan yang berbeda dari majelis Hakim PK. Jika novum ini diabaikan maka negara telah salah mempidana penduduk yang tidak berdosa yang tidak dapat diperbaiki lagi dengan upaya hukum biasa. Tidak dibenarkan negara berdiam diri menghadapi penduduk yang tidak berdosa terlanjur dipidana. Putusan menjatuhkan pidana pada orang yang tidak bersalah yang telah tetap, membawa akibat telah dirampasnya keadilan dan hak-hak terpidana secara tidak sah. Negara telah 32
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, Hlm.619 342
Aspek Hukum PK Lebih dari Satu Kali dalam Perkara Pidana, Budi Suhariyanto
berdosa mempidana penduduk negara yang tidak bersalah. Bentuk penebusan dosa tersebut yakni negara memberikan hak kepada terdakwa untuk melawan putusan yang salah tersebut. PK berfungsi untuk mengembalikan hak dan keadilan terpidana yang terlanjur dirampas.1 Oleh karena itu adanya upaya hukum peninjauan kembali (PK)/ Herziening oleh terpidana merupakan jalan yang ditempuh guna menghindari terjadinya kekeliruan Hakim dalam menerapkan hukum, karena hakim hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.2 Kesadaran akan sebuah kesempatan untuk memperoleh keadilan yang hakiki dan asasi merupakan bagian terpenting dari hak asasi manusia dan hubungan antar manusia. Sebagaimana dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo bahwa:3 Membicara hukum adalah membicarakan hubungan antar manusia. Membicarakan hubungan antar manusia adalah membicarakan keadilan. Dengan demikian setiap pembicaraan mengenai hukum, jelas atau samarsamar, senantiasa merupakan pembicaraan keadilan pula. Kita tidak dapat membicarakan hukum hanya sampai kepada wujudnya sebagai suatu bangunan formal. Kita juga perlu melihatnya sebagai ekspresi dari cita-cita keadilan masyarakatnya. Dari perspektif kemanusiaan, hukum baik materiil maupun formil atau prosedural untuk mendapatkan kebenaran materiil dan keadilan harus dilonggarkan dan bukan untuk dibatasi jika diperhadapkan dengan nilainilai kemanusiaan yang asasi. Sebagaimana sebuah adagium bahwa hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Dengan demikian untuk menjamin keadilan dan hak asasi manusia maka kepastian hukum dapat di”kesamping”kan. Dalam konteks tersebut PK dimungkinkan terbuka untuk diajukan berkali-kali selama ditemukan novum yang memenuhi syarat ketentuan peraturan Perundang-undangan. D. Perspektif Kepastian Hukum dalam SEMA No. 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Sesaat setelah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka timbullah polemik dimasyarakat, tidak terkecuali dikalangan penegak hukum khususnya para Hakim peradilan umum. Banyak kekhawatiran yang mengemuka bahwa dengan dibukanya kran PK perkara pidana yang 1
Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana: Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, Hlm.4 2 M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Bogor, Politeia, 1997, Hlm. 222. 3 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000, Hlm. 159 343
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 335-350
notabene lebih dari sekali, tentu pengadilan khususnya Mahkamah Agung akan kebanjiran perkara dan bahkan cenderung tidak selesai-selesai. Sebagaimana dimahfum bahwa seorang Terpidana atau pihak yang terkait dengan putusan pidana yang BHT akan berjuang sekuat tenaga bahkan sampai titik darah penghabisan untuk memperjuangkan kebenarran dan keadilan versi miliknya melalui PK berkali-kali. Eksistensi novum pun bisa diadakan atau dikemukakan dengan berbagai cara agar majelis PK berkenan menerima dan mengabulkan. Pada kondisi yang demikian, kepastian dan ketertiban hukum akan terganggu. Pengadilan dan Mahkamah Agung berkali-kali akan memeriksa perkara-perkara yang sama. Oleh karena itu untuk menjawab keresahan akibat adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dan demi mewujudkan kepastian hukum permohonan PK maka Mahkamah Agung berinisiatif memberikan petunjuk kepada pengadilan bawahannya dengan menerbitkan SEMA No. 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana. Ketua Mahkamah Agung dalam SEMA tersebut mengingatkan bahwa pengaturan upaya hukum PK, selain diatur dalam ketentuan KUHAP yang normanya (Pasal 268 ayat (3)) telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi, juga diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali” dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Jo. Undang-Undang No.5 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang No.3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan “permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali”. Disampaikan juga bahwa meskipun Pasal 268 ayat (3) KUHAP dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh putusan Mahkamah Konstitusi, tidak serta merta menghapus norma hukum yang mengatur permohonan PK yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UndangUndang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung tersebut. Oleh karenanya Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan PK dalam perkara pidana dibatasi hanya 1 (satu) kali. Dengan demikian maka permohonan PK yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali terbatas pada alasan yang diatur dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Peninjauan Kembali yaitu apabila ada suatu objek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan PK yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana. Selanjutnya bilamana terdapat permohonan PK yang tidak sesuai dengan 344
Aspek Hukum PK Lebih dari Satu Kali dalam Perkara Pidana, Budi Suhariyanto
ketentuan tersebut, agar dengan penetapan Ketua Pengadilan tingkat Pertama permohonan tersebut tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung. Berdasarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tersebut, sangat nyata bahwa Mahkamah Agung secara filosofi hendak menegakkan kepastian hukum dalam konteks melaksanakan kekuasaan kehakimannya sehingga menetapkan PK perkara pidana (dalam suatu perkara yang sama) yang lebih dari 1 (satu) kali dinyatakan tidak dapat diterima. Pembatasan PK perkara pidana yang dikehendaki Mahkamah Agung ini untuk memberikan kepastian hukum dalam proses penyelesaian akhir perkara pidana sehingga siapa pun tidak dengan mudah melakukan PK berkali-kali. Penekanan pada asas kepastian hukum lebih bernuansa pada terciptanya keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat.4 Sebagaimana dinyatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa: 5 Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini, syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Lepas dari segala kerinduan terhadap halhal lain yang juga menjadi tujuan dari hukum, merupakan suatu fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Disamping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan zamannya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Disamping kepastian hukum yang terabaikan, juga terkait dengan ketentuan penyelesaian perkara pidana dengan asas cepat, sederhana dan biaya murah. Dalam pelaksanaannya, asas penyelesaian perkara pidana secara cepat, sederhana dan biaya murah masih sangat jauh dari harapan, waktu yang lama bahkan mencapai usia tahunan,6 apalagi dengan lembaga PK yang terbuka dan dapat dilakukan berkali-kali tanpa batas akan berlangsung selama puluhan tahun bahkan lebih dari itu selama kemungkinan novum itu ditemukan dan diajukan. Selain itu secara yuridis bahwa terdapat aturan PK selain dari KUHAP yang notabene masih berlaku dan patut untuk dilaksanakan, secara sosiologis akibat PK lebih dari 1 (satu) kali menyebabkan masyarakat pencari keadilan tersandera dalam ketidakpastian karena selalu diliputi ketidak-tenangan atas upaya hukum PK kembali di kemudian hari. Semakin Ahmad Rifa’i, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, Hlm. 135. 5 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung, Alumni, 2006, Hlm. 3 6 Fachmi, Kepastian Hukum mengenai Putusan Batal Demi Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011, Hlm. 38 4
345
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 335-350
lama kondisi keterlambatan atas keadilan yang terjaminkan dalam putusan PK maka dalam hal ini pula keadilan itu sendiri teringkari. Sebagaimana adagium “justice delayed justice denied”. Dari sisi penyelenggara kekuasaan kehakiman, pengadilan atau Mahkamah Agung akan mengalami penumpukan perkara yang ujungnya dapat menghambat pelayanan keadilan substansial bagi perkara-perkara lain. Pada konteks landasan ideal meliputi aspek filosofis, yuridis dan sosiologis inilah Mahkamah Agung berorientasi mengembalikan “khittoh” PK sebagai upaya hukum “luar biasa” dan bukan peradilan tingkat keempat. E. Perspektif Kemanfaatan Hukum dalam Political Will Pemerintah Menyelesaikan Kontraversi PK Lebih dari Satu Kali Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa terdapat perbedaan perspektif dan keputusan antar institusi/lembaga tertinggi pelaksana kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Perbedaan perspektif dalam keputusan membuka ruang PK perkara pidana berkali-kali selama terdapat novum oleh Mahkamah Konstitusi di satu sisi dengan pembatasan PK perkara pidana hanya sekali (dan dimungkinkan maksimal dua kali jika terdapat putusan PK bertentangan sebagaimana dimaksud dalam SEMA) oleh Mahkamah Agung di sisi lain sesungguhnya memberikan deskripsi tumbukan paradigma klasik antara keadilan versus kepastian hukum. Menghadapi kondisi tumbukan tersebut, perlu diingat teori dari Gustav Radbruch bahwa selain ada keadilan dan kepastian hukum, masih ada yang fundamental keberadaanya dalam penegakan hukum yaitu perspektif kemanfaatan hukum. Perspektif kemanfaatan hukum inilah yang digunakan oleh Pemerintah (eksekutif) yang mencoba melakukan langkah strategis menyelesaikan permasalahan PK perkara pidana. Pemerintah dalam hal ini tidak dalam kapastitas intervensi kekuasaan yudikatif (yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung), namun kepentingan yang digunakan untuk menengahi adalah semata untuk sinergitas dan harmonisasi penegakan hukum. Sebagaimana diketahui bahwa Pemerintah memegang kendali Kepolisian, Kejaksaan dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang notabene merupakan bagian dari criminal justice system. Korelasi dari sebuah permasalahan PK perkara pidana tersebut berpengaruh terhadap kebijakan eksekusi atas putusan BHT, misalnya kasus eksekusi pidana mati yang sempat tertunda akibat polemik PK lebih dari satu kali. Pemerintah melalui Kemenkumham mengambil langkah strategis bervisi kemanfaatan hukum dalam menyelesaikan polemik upaya hukum pengajuan PK perkara pidana. Pada tanggal 9 Januari 2015 Kemenkumham 346
Aspek Hukum PK Lebih dari Satu Kali dalam Perkara Pidana, Budi Suhariyanto
berinisiatif mengkoordinasikan lembaga negara dan kementerian terkait daintaranya Kemenenterian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukkam), Kejaksaan Agung, Komnas HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Reserse Kriminal Polri, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung untuk membahas polemik tersebut. Berdasarkan rapat koordinasi tersebut terdapat beberapa poin kesepakatan atau keputusan bersama. Menurut Menteri Hukum dan Ham Yasonna H. Laoly, ada tiga poin yang tertuang dalam keputusan bersama untuk menindaklanjuti pengajuan PK serta pelaksanaan eksekusi hukuman mati. Pertama, sebagai jalan tengah polemik tersebut akan dibuat peraturan pelaksana yang mengakomodasi putusan MK soal PK itu melalui peraturan pemerintah (PP). Dengan adanya keputusan bersama ini, pelaksanaan eksekusi mati tetap bisa dilakukan. Namun eksekusi ini hanya berlaku untuk terpidana mati yang pengajuan grasinya ditolak presiden. Kedua, menindaklanjuti putusan MK Nomor 32 Tahun 2013, masih diperlukan peraturan pelaksanaan (dalam hal ini PP) secepatnya tentang pengajuan permohonan PK menyangkut pengertian novum, pembatasan waktu pengajuan, dan tata cara pengajuan PK. Ketiga, sebelum adanya peraturan pelaksana (PP), terpidana tidak dapat mengajukan PK berikutnya sesuai dengan undangundang yang telah diputuskan MK. Dengan demikian dapat dikatakan pengajuan PK berkali-kali tidak bisa dijalankan hingga terbitnya PP. Oleh karenanya masih berlaku yang diatur dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah Agung.7 Political will Pemerintah yang berperspektif kemanfaatan hukum ini telah memberikan kejelasan aspek hukum PK perkara pidana lebih dari satu kali. Di satu sisi mengindahkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 dan di sisi lain tidak menolak putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013. Setidaknya masing-masing kepentingan penegakan keadilan dan kepastian hukum yang diperjuangkan oleh kedua lembaga tersebut terakomodir dan di sisi lain berguna juga untuk masyarakat. Langkah koordinasi strategis ini patut diapresiasi baik sebagai sebuah political will maupun sebagai landasan bersama atas akomodasi perspektif keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum dari keputusan PK perkara pidana. F. Penutup Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 telah membuka ruang PK tidak saja satu kali sebagaimana diatur selama ini oleh Pasal 268 ayat (3) KUHAP sehingga PK dapat dilakukan berkali-kali selama 7
Koran Sindo, Pemerintah Terbitkan PP Pengajuan PK, Sabtu, 10 Januari 2015 347
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 335-350
ditemukan dan diajukannya novum meskipun telah dilakukan PK sebelumnya. Perspektif yang menjadi dasar dari putusan ini adalah keadilan. Sehingga kepastian hukum dari keberadaan hukum acara pidana dikesampingkan demi eksistensi hak asasi manusia atas sebuah peradilan pidana yang fair guna mendapat kebenaran materiil. Atas putusan Mahkamah Konstitusi yang demikian, Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana. SEMA tersebut mengingatkan bahwa pengaturan upaya hukum PK, selain diatur dalam ketentuan KUHAP yang normanya (Pasal 268 ayat (3)) telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi, juga diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UndangUndang No. 14 Tahun 1985 Jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang notabene keduanya tidak turut dibatalkan oleh Mahkamah konstitusi sehingga keberadaan norma tentang PK hanya satu kali dan tiadanya PK terhadap PK ini masih berlaku. Sehingga secara filosofi Mahkamah Agung hendak menegakkan kepastian hukum dalam konteks melaksanakan kekuasaan kehakimannya sehingga menetapkan PK perkara pidana (dalam suatu perkara yang sama) yang lebih dari 1 (satu) kali dinyatakan tidak dapat diterima. Pembatasan PK perkara pidana yang dikehendaki Mahkamah Agung ini untuk memberikan kepastian hukum dalam proses penyelesaian akhir perkara pidana sehingga siapa pun tidak dengan mudah melakukan PK berkali-kali. Perbedaan perspektif dan keputusan dari Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung ini akhirnya menjadi sebuah masalah dan polemik penegakan hukum. Korelasi dari permasalahan PK perkara pidana tersebut berpengaruh terhadap kebijakan eksekusi atas putusan BHT, misalnya kasus eksekusi pidana mati yang sempat tertunda akibat polemik PK lebih dari satu kali. Pemerintah melalui Kemenkumham mengambil langkah strategis bervisi kemanfaatan hukum dalam menyelesaikan polemik upaya hukum pengajuan PK perkara pidana, dengan mengkoordinasikan lembaga negara dan kementerian terkait diantaranya Kemenenterian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukkam), Kejaksaan Agung, Komnas HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Reserse Kriminal Polri, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung untuk membahas polemik tersebut. Tersepakat dari pertemuan tersebut bahwa pengajuan PK berkali-kali tidak bisa dijalankan hingga terbitnya PP. Oleh karenanya masih berlaku yang diatur dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah Agung. Political will Pemerintah yang 348
Aspek Hukum PK Lebih dari Satu Kali dalam Perkara Pidana, Budi Suhariyanto
berperspektif kemanfaatan hukum ini telah memberikan kejelasan aspek hukum PK perkara pidana lebih dari satu kali. Di satu sisi mengindahkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 dan di sisi lain tidak menolak putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013.
Daftar Pustaka Buku Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana: Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat, Jakarta, Sinar Grafika, 2010 Ahmad Rifa’i, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta, Sinar Grafika, 2011 Fachmi, Kepastian Hukum mengenai Putusan Batal Demi Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung, Alumni, 2006 M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Bogor, Politeia, 1997 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Jakarta, Sinar Grafika, 2009 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000 Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang No.19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang No.13 Tahun 1965 Tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum Dan Mahkamah Agung Undang-Undang No.14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang No.14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali Putusan yang Telah Meperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali Putusan yang Telah Meperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap 349
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015 : 335-350
Surat Edaran No. 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Putusan Pengadilan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Media Massa Koran Sindo, Pemerintah Terbitkan PP Pengajuan PK, Sabtu, 10 Januari 2015
350
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
BIOGRAFI PENULIS Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.CL., lahir di Kalibalangan, Abung Selatan, Lampung Utara, 6 Oktober 1941. Pada Februari 2010, Bagir terpilih sebagai Ketua Dewan Pers Indonesia Periode 2010 – 2013. Bagir menjabat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia periode 2001 – 2008. Sebelumnya, menduduki posisi sebagai Direktur Perundangundangan, Departemen Kehakiman (1990-1995), dan Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman (1995-1998). Bagir merupakan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Bagir adalah alumnus Master of Comparative Law, Southern Methodist University Law School Dallas, Texas, AS, dan meraih gelar Doktor Hukum Tata Negara di Unpad (1990). Bagir juga pernah menjadi anggota DPRD Kotamadya Bandung, Anggota Komisi Ombudsman Nasional, dan Rektor Universitas Islam Bandung (Unisba). Sejak 1987 menjadi penulis dan editor puluhan buku tentang hukum dan ketatanegaraan. Mendapat penghargaan “Distinguished Alumni Award” dari Southern Methodist University Dedman School of Law, Texas, AS. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., lahir di Palembang, 17 April 1956. Memperoleh gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1982) dan kemudian menjadi pengajar di almamaternya itu. Pendidikan S-2 (1987) diselesaikan di Fakultas Hukum UI (1987). Gelar Doktor Ilmu Hukum diraih dari Fakultas Pasca Sarjana UI, Sandwich Program kerjasama dengan Rechtssfaculteit Rijks-Universiteit dan Van Voolenhoven Institute, Leiden (1990). Tahun 1998 diangkat menjadi Guru Besar Penuh Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI dan dipercaya sebagai Ketua dan Penanggungjawab Program Pasca Sarjana Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI. Ia banyak mengikuti pendidikan dan pelatihan serta pertemuan internasional.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Prof. DR. H. Abdul Manan, S.H., S.IP, M.Hum., adalah Guru Besar Fakultas Hukum UMSU Medan Tahun 2007, lulusan Fakultas IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1974), Fakultas Hukum UMY (1991), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UT Jakarta (1994), Magister Ilmu Hukum Pascasarjana UMJ (1996). Doktor Ilmu Hukum PPs-USU Medan, lulus dengan predikat Coumlaude (2004),. Pendidikan non-degree, antara lain Pendidikan Hakim Senior Peradilan Agama di Bogor (1993), Training Program for Syari’ah Judges at National Center for Judicial Studies RAM, Kairo (2002), Australian Indonesia Intensive Judicial Training Program, Melbourne and Sidney Australia (2004), Short Training the Islamic Law in Modern State, Short Training the Family Law in European Countries, Islamich Zentrum, Koln, Germany (2005), Workshop Implementation of Competition Law, GT2, Katsuke-Bon, Germany, Tahun 2007, Short Training the Economic Law in Islam, MIHE, Leicenter-London, Inggris, Tahun 2007. Jabatan Terakhir sekarang adalah Hakim agung pada Mahkamah Agung RI. Sejumlah tulisan yang telah dipublikasikan baik dalam bentuk buku-buku maupun jurnal. Buku-buku beliau yang sudah diterbitkan, antara lain Penerapan Pola Bindalmin di Lingkungan Peradilan Agama (bersama Drs. H. Ahmad Kamil, SH; M. Hum; Yayasan Al Hikmah, Jakarta) dan Pokokpokok Hukum acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (bersama Drs. Fauzan, SH. Rajawali Pers, Jakarta), Aneka Masalah Hukum Materiel dalam Praktik Peradilan Agama, Hakim Peradilan Agama Hakim di Mata Hukum Ulama di Mata Hukum Ummat, dan Hukum Islam dalam berbagai wacana (Pustaka Bangsa Press Jakarta), dan Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Prenada Media). 1.
Nama
2. 3. 4.
Tempat Tgl. Lahir Jenis Kelamin/Agama Alamat Rumah
5.
Pekerjaan
6.
Alamat Kantor
7.
Jenjang
: DR. Henry Pandapotan Panggabean, S.H., M.S. : Sidikalang, 1 Juli 1937 : Pria/Kristen Protestan :
Jl. Tanah Kusir IV No. 52, Tanah Kusir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan : Advokat & Konsultan Hukum di Law Firm HP. Panggabean & Partners Dosen Fakultas Hukum Univ. Pelita Harapan : Law Firm H.P. Panggabean & Partners Jl. Kartika Alam II No. 35, Pondok Indah. Jakarta Selatan :
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
Pendidikan A. Umum B. Khusus a. 1951 : S.R. Sidikalang. a. 1964 b.
1954
c.
1957
d.
1960
e.
1964
f.
1992
g.
2005
ISSN : 2303-3274
: Refreshing Course Hakim DEPKEH : Post Graduate Course DEPKEH, Belanda (7 bulan)
: SMP Negeri Tarutung : SMA Negeri III Medan. : Baccalaureat Hukum UGM, Yogyakarta : S1 Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
b.
1970
c.
1978
: Penataran P4, Type A, DKI Jakarta
d.
19791980
: S2 Fakultas Hukum Pasca Sarjana, KPK S2 UGM, USU : Doktor Ilmu Hukum UGM Yogyakarta.
e.
1985
: Kursus Bahasa Belanda Erasmus Huis, Jakarta (Swadana) : SESPA DEPKEH di Jakarta (4 bulan)
f.
1991
: Studi Kepustakaan di Leiden oleh Mahkamah Agung RI
Riwayat Pekerjaan : -
1961 - 1963
Acting Hukum di Pengadilan Negeri Sawah Lunto, Solok, Sumatera Barat Tugas belajar untuk S1 di UGM Yogyakarta
-
1963 - 1964
-
1965 - 1972
-
1972 - 1981
Hakim/Ketua Pengadilan Negeri Tarakan, Kalimantan Timur Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Barat - Selatan
-
1981 - 1984
Hakim/Ketua Pengadilan Negeri Jambi
-
1984 - 1986
Hakim /Ketua Pengadilan Negeri Palembang
-
1986 - 1992
Hakim Tinggi di Pengadilan Medan
-
1992 - 1996
Wakil dan Ketua Pengadilan Tinggi Manado
-
1996 - 1997
Ketua Pengadilan Tinggi Palembang
-
1997 - 2002
Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI
-
2002 - sekarang
Advokat dan Konsultan Hukum pada Law Firm H.P. Panggabean & Partners di Jakarta
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Buku-buku yang telah ditulis No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9. 10. 11. 12.
13. 14.
Judul Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Praktik Peradilan Menangani Kasus Yayasan Fungsi Mahkamah Agung Bersifat Pengaturan Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan-Putusan hukum Perikatan Tanggung Jawab Etika Professi Hukum Penyalahgunaan Keadaan Manajemen Advokasi Pemberdayaan Hak Masyarakat Hukum Adat (Mahudat) dalam kegiatan Mendukung Otonomi Daerah Klinis Hukum, Dalam Sistem Hukum dan Peradilan Praktik Standard Contract/Perjanjian Baku Hukum Pembuktian Teori Praktik dan Yurisprudensi Indonesia Praktik Peradilan Menangani Kasus Aset Yayasan (termasuk Aset Keagamaan) dan upaya penanganan sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa Analisis Yurisprudensi Hukum Bisnis Penerapan Teori Hukum Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia (Analisis Pengembanan Ilmu Hukum Sistematik yang Responsif Untuk Penanganan Case Law (Hukum Kasus) yang Terjadi Akhirakhir ini)
Tahun 2006
Penerbit Jala Permata, Jakarta
2007
Jala Permata, Jakarta
2007
Liberty, Yogya
2008
Alumni, Bandung
2009 2010 2010 2010
Universitas Pelita Harapan Pers Liberty, Yogya Alumni, Bandung Jala Permata, Jakarta
2011
Alumni, Bandung
2012 2012
Alumni, Bandung Alumni, Bandung
2012
Jala Permata, Jakarta
2014 2014
Alumni, Bandung Alumni, Bandung
Artikel-artikel yang ditulis di Jurnal, Majalah No 1. 2.
3. 4.
Judul Jaringan Layanan Damai (Peace Ministry Networking) Inkonsistensi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba khususnya dalam hal pemberdayaan Hak Masyarakat Hukum Adat Kemiskinan Akar Radikalisme, Anarkisme dan Terorisme Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat mendukung kegiatan Otonomi Daerah
Tahun April 2010
Penerbit Suara HKBP
Juli 2011
Law Riview, UPH
Oktober 2011
Narwastu
Januari 2013
Dalihan Na Tolu
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
5. 6. 7.
8.
9. 10.
Konsep HP untuk benahi Sistem Hukum Bercermin pola pemberantasan pemberantasan korupsi di RRC Penegakan Hukum Tindak Pidana Karupsi Mendukung Pembangunan Hukum Berbasis Hak Asasi Manusia Penanganan berbagai Hak-Hak warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Dalam praktik sehari-hari Peranan Mahkamah Konstitusi Dalam kasus korupsi Pemilu Pemberdayaan Hak MAHUDAT dalam Sistim Pemerintahan Desa
ISSN : 2303-3274
Edisi 4/2013 Edisi 20/2013
Advokat Jia Xiang
Juni 2013
Legislasi Indonesia
Juli 2013
Varia Peradilan
Desember 2013 September 2014
Varia Peradilan Dalihan Na Tolu
Beberapa Penelitian yang telah dilaksanakan: 1. Analisa kasus-kasus Kredit Macet Perbankan sebagai Ketua Tim Anotasi Putusan Pengadilan tahun 2009-2010 2. Analisa Hukum Penelitian bidang Putusan Pengadilan tentang Cessi Tahun 2009 - 2010 3. Analisa Penyederhanaan Proses Pengadilan, sebagai Anggota Tim Penelitian Hukum BPHN, 2009 – 2010 4. Analisa atas Putusan Pidana Mati dalam Kasus Pidana Narkoba, sebagai Anggota Tim Penelitian Hukum BPHN, 2010 Seminar/Lokarkarya tentang Pemberdayaan Hak Masyarakat Hukum Adat (Mahudat) Mendukung Kegiatan Otonomi Daerah, sejak 2007 – sekarang. Dr. H. Sareh Wiyono M., S.H., M.H., lahir di Nganjuk, Jawa Timur, 26 Desember 1945, menyelesaikan pendidikan Sarjana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1978. Magister Hukum di Iblam tahun 2001, sejak 1 Januari 2013 pensiun hakim/PNS. Pada tahun 2013 dalam pendidikan ditunjuk sebagai Ketua Dewan Penyantun Universitas Nasional Jakarta dan Ketua Pusat Pengkajian dan Konsultasi Hukum “Grata” di Jalena. Sekarang Ketua Badan Legislasi DPR RI. Dr. Otto Hasibuan, mendapat gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum UGM pada Tahun 1981. Setelah lulus, Dia sempat “mengembara” ke negeri Paman Sam namun kembali lagi ke tanah air dan meneruskan profesinya sebagai advokat. Tahun 1997, dia kembali masuk kampus dan pada 1998 Otto berhasil memperoleh gelar Magister Manajemen di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IPWI, Jakarta. Beberapa tahun usai meraih gelar S2-nya di Jakarta, Otto pergi ke Australia. Selama dua tahun dia belajar di Negeri Kangguru di University of Technology, Sydney, Australia. Dia berhasil menuntaskan studinya pada 1990. Dia kembali ke
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Indonesia dan meneruskan profesinya sebagai advokat. Akhir 2004, Ketua DPP Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) itu diangkat menjadi Ketua DPP Peradi. Dia membawahi sekitar 16.000 pengacara dari delapan organisasi advokat yang ada di seluruh Indonesia. Otto merupakan salah satu figur Advokat yang dikenal sangat bersahaja dan progresif membela keadilan. Sampai detik ini beliau masih diberikan amanah sebagai Ketua Umum Peradi. Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. adalah Ketua Pengadilan Negeri/ Perikanan Klas 1A Khusus Jakarta Utara, Lektor Kepala Fakultas Hukum Universitas Prima Indonesia (Medan), Dosen, Penguji dan Pembimbing Disertasi (Co Promotor) Program Pascasarjana (S2/S3) Ilmu Hukum Universitas Jayabaya (Jakarta), Universitas 17 Agustus 1945 (Jakarta) dan Penguji Tamu Program S3 Universitas Brawijaya (Malang), Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Semarang), Universitas Veteran (Jakarta), Universitas Merdeka (Malang), dan Pusdiklat Mahkamah Agung RI. Menyelesaikan Program S1 (1985) dan S2 (2002) pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, dan Program S3 (2007) dalam waktu 2 (dua) tahun pada Program Doktor Universitas Padjadjaran dengan predikat cumlaude (IPK 3,97). Ketika Mahasiswa aktif sebagai Ketua Senat, Ketua BPM, Redaktur Pers Kampus, Penerima Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dan Mahasiswa Teladan I Fakultas Hukum dan Teladan I Universitas Udayana (1985). Sebagai Hakim Peradilan Umum mempunyai spesifikasi sebagai Hakim Umum, Hakim Niaga, Hakim TIPIKOR, Hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dan Hakim Lingkungan serta pernah melakukan studi banding tentang Sistem Peradilan Pidana, Terorisme dan Hak Kekayaan Intelektual ke Bangkok, Jerman, Perancis dan Spanyol serta mendapat Piagam Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya XX Tahun dari Presiden RI. Kemudian pernah bertugas di Pengadilan Negeri Serui/Papua (1991), Pengadilan Negeri Kandangan (1995), Pengadilan Negeri Bangli (1999), Pengadilan Negeri Denpasar (2000), Pengadilan Negeri/Niaga/ HAM/PHI dan TIPIKOR Jakarta Pusat (2004), Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen (2007), Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen (2009), Wakil Ketua Pengadilan Negeri/Perikanan Klas 1A Khusus Jakarta Utara (2011), dan sejak bulan Agustus 2013-sekarang sebagai Ketua Pengadilan Negeri/Perikanan Klas 1A Khusus Jakarta Utara. Disamping menulis Buku Ilmu Hukum juga mempublikasikan tulisan ilmiah tentang hukum pada Majalah Ilmu Hukum Kertha Wicaksana Fakultas Hukum Universitas Warmadewa (Terakreditasi), Jurnal Hukum
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Yustisia Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (Terakreditasi), Majalah Mahkamah Agung, Majalah Varia Peradilan, Jurnal Hukum dan Peradilan (Puslitbang Mahkamah Agung), serta sebagai Mitra Bestari pada Jurnal Yudisial Komisi Yudisial dan Jurnal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.Buku yang telah ditulisnya dan diterbitkan oleh Penerbit PT Alumni, PT Citra Aditya Bakti, PT Djambatan, CV Mandar Maju, Bayu Media Publising dan Puslitbang Mahkamah Agung RI sebanyak 27 (dua puluh tujuh) buku. Dr. Dani Elpah, S.H., M.H., lahir di Mataram, 20 Mei 1963, menyelesaikan pendidikan program S3 di Universitas Airlangga Surabaya, sekarang sebagai Hakim Tinggi pada PT TUN Makassar yang diperbantukan di Pusdiklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, ia pun menjadi pengajar dan/atau dosen pembimbing tesis, S2 UNRAM, Instruktur PKPA KAI, PERADI, Instruktur Pendidikan Keahlian Universitas 45 Mataram. Asep Nursobah, S.Ag., M.H., adalah hakim peradilan yang ditugaskan membantu Panitera Mahkamah Agung dalam proses manajemen perkara di Mahkamah Agung. Ia terlibat aktif dalam beberapa kelompok kerja di Mahkamah Agung, antara lain: Kelompok Kerja Manajemen Perkara dan Kelompok Kerja Business Process Reengineering. Asep Nursobah adalah person in charge untuk mengelola Direktori Putusan dan Sistem Informasi Perkara Mahkamah Agung. Bersama dengan Tim Kepaniteraan, saat ini sedang mendorong efektifitas pemanfaatan electronic court file untuk mendukung sistem pemeriksaan berkas kasasi secara serentak di Mahkamah Agung. Ia pun menjadi pengajar/instruktur di bidang manajemen peradilan khususnya modernisasi manajemen perkara di semua lingkungan peradilan. Lahir di Majalengka, Jawa Barat, 14 April 1975, mengawali karirnya sebagai pegawai pada Pengadilan Agama Cimahi. Beberapa jabatan di bidang manajemen sumber daya manusia peradilan pernah didudukinya, yaitu: Kepala Sub Bagian Kepegawaian Pengadilan Agama Cimahi (2002), Kepala Sub Bagian Kepegawaian Pengadilan Tinggi Agama Bandung (2004). Ia pun pernah menduduki jabatan sebagai Kepala Seksi Pengembangan Hukum Islam pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (2006) dan Kepala Sub Bagian Dokumentasi dan Informasi (2007). Pada tahun 2008, ia diangkat sebagai hakim pada Pengadilan Agama Kayuagung (Sumatera Selatan). Tahun 2010, ia mutasi menjadi Hakim pada Pengadilan Agama Depok (Jawa Barat) dengan status dipekerjakan sebagai Hakim Yustisial pada Kepaniteraan Mahkamah Agung.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Asep Nursobah menempuh pendidikan strata satu pada Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung (lulus tahun 1996). Sedangkan jenjang strata dua diselesaikan pada tahun 2014 pada Universitas Islam Jakarta dengan konsentrasi hukum bisnis. Prestasi yang pernah diraih Asep Nursobah adalah: Lulusan dengan IP tertinggi dan masa studi tercepat fakultas syariah pada wisuda tahun 2006, peserta pendidikan calon hakim terbaik (10 besar), meraih satya lancana karya satya masa pengabdian sepuluh tahun dari Presiden RI (2009). Budi Suhariyanto, lahir di Jember, Jawa Timur, 2 Mei 1983. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jember tahun 2006, dan Magister Hukum di Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2009. Bekerja sebagai Peneliti Muda bidang Hukum dan Peradilan pada Pusat Penalitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. Penulis dapat dihubungi melalui email
[email protected] atau surat ke alamat Kantor Puslitbang Kumdil lantai 10 Gedung Sekretariat Mahkamah Agung Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 Cempaka Putih Timur Jakarta Pusat.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
PEDOMAN PENULISAN JURNAL Jurnal Hukum dan Peradilan adalah media yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, terbit setahun 3 (tiga) kali (Maret, Juli dan November). Jurnal Hukum dan Peradilan menerima sumbangan naskah di bidang Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan di media lain dengan ketentuan: 1. Naskah dikirim dalam bentuk karya tulis ilmiah seperti hasil penelitian lapangan, analisis/tinjauan putusan lembaga peradilan, kajian teori, studi kepustakaan serta gagasan kritis konseptual yang bersifat obyektif, sistematis, analitis, dan deskriptis. 2. Penulisan hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baku, lugas, sederhana dan mudah difahami dan tidak mengandung makna ganda. 3. Naskah harus orisinil dibuktikan dengan pernyataan akan keorisinilan naskah tersebut oleh penulis. 4. Naskah dapat dalam bahasa Indonesia sepanjang 10-20 halaman. Naskah diketik diatas kertas A4 menggunakan huruf Time New Roman ukuran 12, spasi 1,5. Naskah harus disertai abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, antara 100-150 kata. 5. Sistematika penulisan hasil penelitian harus mencakup: Judul, Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Abstrak (berhasa Indonesia dan bahasa Inggris), Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Metode Penelitian, Hasil penelitian dan Pembahasan, Kesimpulan, daftar Pustaka. 6. Sistematika penulisan analisis putusan, kajian teori, wacana hukum harus mencakup: Judul, Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Abstrak (berhasa Indonesia dan bahasa Inggris), Pendahuluan, Pembahasan (dibuat sub judul sesuai dengan permasalahan yang dibahas), Kesimpulan, Daftar Pustaka. 7. Penulisan daftar pustaka secara alfabetis mengikuti Turabian Style dengan tata cara penulisan sebagai berikut: Buku. Weiss, Daniel A. Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence, Seattle: University of Washington Press, 1962. Makalah. Knight, Robin. “Poland’s Feud in the Family.”, New York, 10 September 1990, 52-53, 56.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Artikel Jurnal. Sommer, Robert. “The Personality of Vegetables: Bonatical Metaphors for Human Characteristics.” Journal of Personality 56, no. 4 (December 1988): 665-683. Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan. Tillich, Paul. “Being and Love” In Moral Principles of Action, ed. Ruth N. Anshen, 661-72. New York: Harper & Bros., 1952. Internet Rost, Nicolas, Gerald Schneider, and Johannes Kleibl. “A Global risk assessment model for civil wars.” Social Science research 38, no. 4 (December 2009): 921-933. http//www.sciencedirect.com/science/ article/B6WX84WMM7CY1/2/aa8571448b4774e8831a (accessed October 15, 2009) 8. Daftar pustaka hendaknya dirujuk dari edisi paling mutakhir. 9. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (footnotes) mengikuti turabian Style dengan tata cara penulisan sebagai berikut: Buku. Daniel A. Weiss, Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence (Seattle: University of Washington Press, 1962), 62. Makalah. Robin Knight, “Poland’s Feud in the Family.”,U.S. New and Work Report, 10 September 1990, 52. Artikel Jurnal. Robert Sommer, “The Personality of Vegetables: Bonatical Metaphors for Human Characteristics.” Journal of Personality 56, no. 4 (December 1988): 670. Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan Paul Tillich, “Being and Love,” in Moral Principles of Action, ed. Ruth N. Anshen (New York): Harper & Bros., 1952), 663. Internet Nicolas Rost, Gerald Schneider, and Johannes Kleibl, “A global risk assessment model for civil wars,” Social Science Research 38, no.4 (December 2009): 922, http://www.sciencedirect.com/science/ B6WX84WMM7CY1/2/aa85435453ae88c432a 10. Naskah kiriman dalam bentuk softcopy atau hardcopy yang dilampiri dengan biodata singkat (CV) penulis, copy NPWP penulis, alamat email, No. telp/hp, naskah dapat dikirim via email ke e-mail redaksi jurnal atau puslitbang kumdil Mahkamah Agung RI 11. Naskah dikirim atau diserahkan secara langsung, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum penerbitan kepada:
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274
Redaksi Jurnal Mahkamah Agung Gedung Skretariat Mahkamah Agung RI Jl. Jend. A. Yani Kav. 58 Lt. 10 Cempaka Putih Jakarta Pusat 13011 email:
[email protected] atau puslitbangkumdil@ yahoo.co.id 12. Naskah yang tidak memenuhi format ketentuan diatas tidak akan diseleksi. Dewan editor berhak menyeleksi dan mengedit naskah yang masuk tanpa merubah substansi. Kepastian atau penolakan naskah akan diberitahukan kepada penulis. Prioritas pemuatan artikel didasarkan pada penilaian substansi dan urutan naskah yang masuk ke Redaksi Jurnal Mahkamah Agung. artikel yang tidak dimuat tidak dikembalikan kepada penulis.
Jurnal Hukum dan Peradilan Menyampaikan terima kasih Kepada para Mitra Bestari (Referee) dan semua pihak Yang telah membantu penerbitan jurnal ini Volume 4 Nomor 2 Juli 2015
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 Juli 2015
ISSN : 2303-3274