Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan Jurnal Hukum dan Peradilan memuat naskah/artikel yang bersumber dari hasil penelitian/penelaahan tentang Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan. Jurnal Hukum dan Peradilan terbit tiga kali dalam setahun (Maret, Juli, November) Penasehat
:
Penasehat Penanggung Jawab Ketua Dewan Editor Editor
: : : :
Editor Tamu
:
Mitra Bestari
:
Kepala Sekretariat Anggota
: :
Prof. Dr. H.M. Hatta Ali, SH. MH. Dr. H. Mohammad Saleh, SH. MH. H. Suwardi, SH. MH. Ny. Siti Nurdjanah, SH. MH. Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH., MS. Dr. Ismail Rumadan, MH Moch. Iqbal, SH., MH. Rita Herlina, SH. LLM. Johanes Brata Wijaya, SH. Budi Suhariyanto, SH., MH. 1. Zezen Zainal Muttaqin, SHI., LLM 2. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA 1. Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., MS 2. Prof. Dr. Jaih Mubarok, M.Ag 3. Prof. Dr. Sri Hajati, SH., MS 4. Prof. Dr. Yohanes Sogar Simamora, SH., M.Hum 5. Prof. Dr. Galang Asmara, SH., M.Hum 6. Prof. Dr. Widodo Eka Tjahyana, SH., M.Hum 7. Prof. Dr. dr. Herkutanto, SpF., SH., LLM 8. Prof. Dr. Topo Santoso, SH., MH., PhD 9. Imam Prihandono, SH., LLM., PhD 10. Dr. Eva Achjani Zulfa, SH., MH 11. Dr. M. Hadi Subhan, SH., MH H. Moch. Amirullah Sholeh, SH., MM 1. Suhenda, SH 2. Bintang Alvita, Ss 3. Tri Mulyani, A.Md 4. Maryam Sugiarti, S.Sos 5. Dinar Wardani, SHI 6. Dini Widaningsih 7. Imam Buchori
Alamat Redaksi: Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI Jln. Jend. A. Yani (By Pass) Kav. 58 Lt.10 Cempaka Putih, Jakarta Pusat 13011 Email:
[email protected] [email protected] Isi Jurnal dapat dikutip dengan menyebut nama sumbernya (Citation is permitted with acknowledgement of the source)
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Volume 4 Nomor 3 November 2015
Daftar Isi Pengantar Redaksi Daftar isi Daftar Abstrak Aspek
Hukum
Negara
dan
Administrasi
Negara
Kelembagaan Pengadilan Pajak ………………………………………….
351-360
Moh. Mahfud MD Perkembangan
Pemikiran
Penyalahgunaan
Wewenang
dan di
Pengaturan
Indonesia
(Tinjauan
Singkat dari Perspektif Hukum Administrasi Negara Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 ……………………………………………………………………………………………
361-384
Yulius Moralitas Hukum dalam Hukum Praksis sebagai Suatu Keutamaan ……………………………………………………………………………….
385-398
Subiharta Penerapan Penyelesaian
Asas
Kelangsungan
Perkara
Kepailitan
Usaha dan
dalam
Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang ……………………………………………
399-418
Catur Irianto Peradilan Tata Usaha Negara Pasca Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Ditinjau dari Segi Access to Justice …………………………………………………………………………………
419-442
Tri Cahya Indra Permana Hakim Komisaris (Apresiasi Terhadap RKUHAP) …………… Noor Ichwan Ichlas Ria Adha
443-462
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Pentingnya
Memahami
Perbuatan
Hukum
Telekomunikasi dalam Kerjasama antara PT. IM2 dengan PT. Indosat ……………………………………………………………….
463-484
Nonot Harsono Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan oleh Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) dalam Perspektif Undang-Undang RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan ………………………………………………………………………………….
485-500
Ketut Darmika Pengiriman Tenaga Kerja Migran sebagai Salah Satu Bentuk
Perbudakan
Modern
dari
Tindak
Pidana
Perdagangan Orang ……………………………………………………………….
501-518
Henny Nuraeny Beberapa Pendekatan untuk Memahami Hukum ……………. Tommy Hendra Purwaka Biodata Penulis Pedoman Penulisan Jurnal Hukum dan Peradilan
519-536
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
PENGANTAR REDAKSI Bisminllahirrahmannirrahim Puji dan syukur sepatutnya senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Dzat Yang Maha Sempurna, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita bisa berbuat yang terbaik, amin. Salah satu program prioritas Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, yakni penerbitan jurnal Hukum dan Peradilan diharapkan menjadi upaya positif Puslitbang MA-RI sebagai Supporting Unit Mahkamah Agung RI secara kelembagaan untuk mendukung terwujudnya visi dan misi Mahkamah Agung RI yaitu: “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung”. Kehadiran Jurnal Hukum dan Peradilan sebagai media bagi insan peradilan, akademisi, praktisi dan pemerhati hukum diharapkan dapat menjadi wadah mengaktuasikan ide pemikiran melalui penelitian, pengkajian dan pengembangan hukum dan peradilan secara ilmiah, yang nantinya dapat menjadi pencerah ditengah upaya besar bangsa untuk menata pembangunan hukum dan peradilan di masa mendatang. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada yang mulia Ketua Mahkamah Agung RI dan seluruh Unsur Pimpinan Mahkamah Agung RI yang terus memberi dukungan untuk terbitnya jurnal ini, Juga terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI dan Kepala Puslitbang Kumdil MA-RI yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam proses penerbitan jurnal ini. Begitupun kepada para penulis yang telah berkontribusi mengirimkan artikelnya dan para Mitra Bestari yang telah meluangkan waktu untuknya mereview artikel para penulis, Semoga amal kebaikannya mendapat pahala yang setimpal dari Allah SWT. Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin.
Jakarta, November 2015
Redaksi
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Moh. Mahfud MD ASPEK HUKUM NEGARA DAN ADMINISTRASI KELEMBAGAAN PENGADILAN PAJAK
NEGARA
Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No.3 hlm. 351-360
Kata kunci: Moh. Mahfud MD THE LAW OF THE STATE ADMINISTRATIVE TAX COURT
ASPECT
AND
Journal of Law and Justice, Vol. 4 No.3 page 351-360
Keywords:
INSTITUTIONAL
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Yulius PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PENGATURAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG DI INDONESIA (TINJAUAN SINGKAT DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014) Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No.3 hlm. 361-384 Penyalahgunaan wewenang merupakan konsep yang selalu tumbuh dan berkembang dalam ranah hukum publik. Konsep ini merupakan alat uji yang penting, bagi jalannya roda pemerintahan. Karena, tindakan dan/atau keputusan badan dan/atau pejabat pemerintahan bukan otoritas yang tanpa batas. Perlu adanya pembatasan atau lembaga yang mengawasi tindakan dan/atau keputusan pemerintahan tersebut. Lembaga yang dimaksud adalah lembaga peradilan. Pasca dinormakannya penyalahgunaan wewenang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (khususnya Pasal 21), ada pandangan yang berbeda dalam menyikapi penegakan hukumnya. Hal ini terkait dengan kompetensi absolut lembaga peradilan, yaitu PTUN dan Peradilan Umum (Pidana/Tipikor). Untuk itu, perlu ada kejelasan makna dalam norma yang mengatur penyalahgunaan wewenang tersebut. Agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam implementasinya. Oleh karenanya, perlu adanya pemahaman makna penyalahgunaan wewenang dengan mengkajinya dari sudut perkembangan pemikiran dan pengaturannya dari perspektif hukum administrasi negara. Kata kunci: Makna, Kemenangan, Penegakan Hukum
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Yulius THE DEVELOPMENT OF THE TOUGHT AND THE ARRANGEMENT OF AUTHORITY ABUSE IN INDONESIA (A BRIEF REVIEW OF THE ADMINISTRATIVE LAW PERPECTIVE AFTER THE ENACTMENT NO.30 YEAR 2014 ACTS) Journal of Law and Justice, Vol. 4 No.3 page 361-384 The authority abuse is a concept that is always develop behind the realm of public law. This concept is an important measurement, for the wheels of the government. The actions and/or decisions of the agency and/or government officials are not unlimited authority. It is important for restriction or agency that oversees the actions and/or decisions of the government. The institution in question is the judiciary. Post the normalization of authority abuse in the Act No.30 of 2014 About Administration (particularly Article 21), there are different views in dealing with law enforcement. This is related to the absolute competence of the judiciary, namely the Administrative Court and the General Court (Criminal/Corruption). In that case, there needs to be clarity of meaning in the norms that regulate the abuse of authority. To avoid confusion in its implementation. Therefore, the need for understanding the meaning of abuse of authority by evaluating them in terms of the development of thinking and the settings from the perspective of administrative law. Keywords: Meaning, Authority, Law Enforcement
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Subiharta MORALITAS HUKUM DALAM HUKUM PRAKSIS SEBAGAI SUATU KEUTAMAAN Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No.3 hlm. 385-398 Moral tanpa hukum tidak berdaya dan hukum tanpa moral tidak bernilai. Hukum praktis sebagai keutamaan bersendikan moral, memberikan keadilan, kepastian hukum, keseimbangan dan manfaat. Praksis hukum adalah hukum bukan berbicara hitam dan putih tetapi mampu melakukan perubahan terhadap masyarakat, berdimensi etis, mengandung nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Kata kunci: Moralitas Hukum, Keutamaan Hukum Praksis, Keadilan, Kepastian Hukum, Keseimbangan, Manfaat Subiharta LEGAL MORALITY IN PRACTICAL LAW AS A VIRTUE Journal of Law and Justice, Vol. 4 No.3 page 385-398 Morality without law is powerless and law without morality is meaningless. Practical law as a virtue emphasizes on morality, providing justice, legal certainty, balance and expediency. Practical law isn’t the kind of law in the sense of merely black and white, but it is one that is able to make change in society, have and ethical dimension, contain legal values which live among people in the community. Keywords: Legal Morality, Virtue of Practical Law, Justice, Legal Certainty, Balance, Expediency
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Catur Irianto PENERAPAN ASAS KELANGSUNGAN USAHA DALAM PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No.3 hlm. 399-418 Asas kelangsungan usaha merupakan prinsip atau asas hukum yang dirumuskan secara luas dan menjadi dasar norma hukum kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Penerapan asas kelangsungan usaha tidak terbatas pada teks yang dinormakan, tetapi bermakna luas yang juga meliputi keseluruhan proses penjatuhan putusan pailit maupun penundaan kewajiban pembayaan utang. Penerapan asas kelangsungan usaha dalam perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah dalam rangka perlindungan hukum terhadap debitor dan mempunyai dampak positif terhadap peningkatan nilai ekonomi perusahaan yang pada gilirannya dipergunakan untuk membayar utang kepada para kreditornya. Kata kunci: Asas Kelangsungan Usaha, Kepailitan, PKPU
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Catur Irianto THE APPLICATION OF THE PRINCIPLE OF BUSINESS CONTINUITY IN BANKCRUPTCY SETTLEMENT AND DEBT PAYMENT SUSPENSION Journal of Law and Justice, Vol. 4 No.3 page 399-418 The sustainable business principles that is defined broadly and underlying the norm of bankruptcy law and the suspension payment of debt. Implementation of the principle of sustainable business is not limited to the texts that is legally regulated, but has a broader meaning which also include the whole process of bankruptcy judgement as well as payment suspension of the debt. This implementation of sustainable business principle in bankruptcy and debt payment suspension is to give positive impact in increasing the economic value of the company which will be used to pay the debt to the creditor. Keywords: Sustainable Business Principle, Bankruptcy, Suspension Payment of Debt
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Tri Cahya Indra Permana PERADILAN TATA USAHA NEGARA PASCA UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DITINJAU DARI SEGI ACCESS TO JUSTICE Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No.3 hlm. 419-442 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan telah memperluas access to justice bagi pencari keadilan di Peradilan Tata Usaha Negara dengan cara membuka “ruang-ruang hampa” yang sebelumnya tidak dapat dimasuki oleh pencari keadilan. Oleh karena Undang-Undang Administrasi Pemerintahan telah membuka access to justice, maka Hakim sebagai figur sentral penegak hukum dan keadilan sepatutnya juga terbuka terhadap perubahan dan perkembangan termasuk perubahan dan perkembangan hukum di bidang Administrasi Pemerintahan. Access to justice merupakan hak asasi manusia yang harus dijamin pelaksanaannya, bukan sekedar memindahkan kewenangan absolut peradilan lain ke Peradilan Tata Usaha Negara. Upayanya dengan menutup ruang kosong/ruang hampa yang tidak dapat diisi oleh Peradilan Tata Usaha Negara maupun lingkungan peradilan lain. Bagi Hakim Peradilan Tata Usaha Negara tidak sepatutnya lagi mempersempit wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dengan dalih obyek sengketa tidak individual, belum final, sengketa perdata terlebih karena obyek sengketa merupakan keputusan deklaratif. Hakim tentu harus melaksanakan isi Undang-Undang Administrasi Pemerintahan beserta Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2015 dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2015. Untuk menghindari kegaduhan hukum, maka hukum yang baru tersebut diterapkan dengan beberapa strategi penerapan yaitu memahami sungguh-sungguh apa yang menjadi maksud dan tujuan dari Undang-Undang Administrasi Pemerintahan termasuk aturan pelaksanaannya. Namun demikian jika didalam Peraturan Mahkamah Agung dirasakan ada hal-hal yang tidak sesuai dengan Undang-Undang ataupun kebutuhan praktek persidangan, maka Hakim dapat melakukan upaya constitutional question kepada Mahkamah Konstitusi atau sementara mengesampingkannya sambil menunggu dilakukannya revisi terhadap Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2015 dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2015. Kata kunci: Legal Standing, Hak Uji Materiil, Mahkamah Agung
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Tri Cahya Indra Permana THE ADMINISTRATIVE COURT AFTER GOVERNMENT ADMINISTRATION ACTS IN TERMS OF ACCESS OF JUSTICE Journal of Law and Justice, Vol. 4 No.3 page 419-442 The Government Administration Act has expanded the access to justice for justice seekers in Administrative Court by opening the "empty spaces" that were not previously accessible for justice seekers. Hence Government Administration Act has opened access to justice, the Judge as the central figure of law enforcement should also committed to changes and developments, including changes and legal developments in the field of Government Administration. Access to justice is a human right that must be guaranteed, not just move the absolute power of the other judicial authority to the Administrative Court. His attempt is to cover the empty space/vacuum which cannot be filled by the Administrative Court and other courts. The Administrative Court Judge are no longer narrow the authorization of Administrative Court on the pretext object of the dispute is not individual, not final, civil disputes especially since the disputed a declarative decision. The judge would have to implement the content of Government Administration Act along with the Supreme Court Regulation No. 4 of 2015 and the Supreme Court Regulation No. 5 Year 2015. To avoid disagreement of the law, the new law is applied with some implementation strategies that really understood what the intent and purpose of the Government Administration Act, including the rules of procedure. However, if in the Rules of the Supreme Court felt there are things that are not in accordance with the Law or the needs of the practice of the trial, the judge can make an effort constitutional question to the Constitutional Court or temporarily set it aside pending the revision of the Rules of the Supreme Court No. 4 of 2015 and the Supreme Court Regulation No.5 in 2015. Keywords: Administrative Court, Government Administration Act, Access to Justice
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Noor Ichwan Ichlas Ria Adha HAKIM KOMISARIS (APRESIASI TERHADAP RKUHAP) Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No.3 hlm. 443-462 Dalam RKUHAP termuat lembaga baru yaitu Hakim Komisaris, tentang Hakim Komisaris ini terdapat perbedaan pandangan ada yang mengatakan perlu keberadaan Hakim Komisaris sebagai konsekuensi Indonesia telah meratifikasi konvensi ICCPR, dimana dalam pasal 9 harus ada Hakim Komisaris. Dan ada pihak lain yang merasa tidak perlu karena kewenangan Hakim Komisaris tersebut sudah termuat dalam lembaga praperadilan karenanya untuk itu yang diperlukan penguatan dalam lembaga praperadilan saja. Namun bila kita melihat kepentingan korban belum banyak terakomodir baik dalam KUHAP maupun KUHP sekarang ini, penulis melihat dalam RKUHAP perlu mengakomodir kepentingan korban dan masyarakat tempat terjadinya tindak pidana. Kemudian setelah mengkaji pelaksanaan Hukum Acara Pidana baik pada Hukum Islam maupun Hukum Adat maka penulis memandang perlu ada Hakim Komisaris dalam RKUHAP namun dengan kewenangan menjembatani kepentingan korban dan kepentingan pelaku pidana serta masyarakatnya. Kata kunci: Hakim, Komisioner, Rancangan KUHAP
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Noor Ichwan Ichlas Ria Adha JUDICIAL COMMISSIONER (THE APPRECIATION TO CRIMINAL PROCEDURE CODE BILL) Journal of Law and Justice, Vol. 4 No.3 page 443-462 Inside RKUHAP contain new institution, that is commissioner judge, regarding the commissioner judge to be diversification opinion, that is to be must the commissioner judge as consequences ratification ICCPR convention. And then to be needn’t because of competence the commissioner judge to be done deep institution prior to judicature. Nevertheless when we see interest victims not yet including with fine on the KUHAP and the KUHP, writer to see inside RKUHAP necessary to be need interest victims and interest community take place criminal act. After inspect criminal procedure law inside Islam and adat recht, writer contemplate necessary to be commissioner judge inside the RKUHAP with of competence to bridge interest victims, interest community society and interest offender. Keywords: Judge, Commissioner, Criminal Procedure Code Bill
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Nonot Harsono PENTINGNYA MEMAHAMI PERBUATAN HUKUM TELEKOMUNIKASI DALAM KERJASAMA ANTARA PT. IM2 DENGAN PT. INDOSAT Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No.3 hlm. 463-484 Terjadi perbedaan pandangan antara Regulator Telekomunikasi/ Kementerian Kominfo dengan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor tentang perbuatan yang dilakukan oleh PT. IM2 dalam kerjasamanya dengan PT. Indosat. Judul kerjasama antara penyelenggara jasa dan penyelenggara jaringan ini adalah “Akses Internet melalui jaringan seluler Indosat”. Dalam pandangan Regulator, kerjasama ini sudah sesuai dengan regulasi, bahkan diwajibkan atas penyelenggara jaringan untuk bekerjasama dengan para penyelenggara jasa telekomunikasi. Namun dalam pandangan JPU dan Hakim, kerjasama ini dipandang sebagai perbuatan yang melanggar regulasi telekomunikasi. Perbedaan pandangan antara penegak regulasi versus penegak hukum ini tentu amat penting untuk dicermati karena dampaknya akan sangat besar bagi pembangunan telekomunikasi sebagai tulang punggung ekonomi nasional dan pembangunan sistem dan budaya hukum nasional. Kata kunci: Jaringan, Menggunakan Jaringan, Frekuensi, Menggunakan Frekuensi, Alokasi Frekuensi, Menggunakan Alokasi Frekuensi
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Nonot Harsono THE IMPORTANCE OF TELECOMMUNICATION LEGAL ACTS KNOWLEDGE IN PT. IM2 AND PT. INDOSAT COLLABORATION Journal of Law and Justice, Vol. 4 No.3 page 463-484 There is a difference between regulatory opinion of the Telecommunications Regulator/Ministry of Communications with the Corruption Court Judge on act did by PT. IM2 in collaboration with PT. Indosat. Title of cooperation between this service providers and network operators are "Internet access via cellular networks Indosat". In view of the regulator, this cooperation is in conformity with the regulations, even obligatory upon network operators to cooperate with the service provider. However, in view of the prosecutor and the judge, this cooperation violates the regulations. A difference of views between regulatory enforcement versus law enforcement is certainly very noteworthy because it will has very big impact to telecommunication development as the backbone of the national economy and the development of national legal systems and culture. Keywords: Networks, Network Usage, Frequency, Frequency Usage, Frequency Allocation, Frequency Allocation Usage
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Ketut Darmika PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PERIKANAN OLEH KAPAL PERANG REPUBLIK INDONESIA (KRI) DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG RI NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERIKANAN Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No.3 hlm. 485-500 Illegal fishing merupakan masalah serius yang harus segera ditanggulangi sebab sangat membahayakan kelestarian sumber daya dan merugikan secara ekonomi bagi negara. Berdasarkan Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 penyidik tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 69 ayat (4) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa tindakan khusus ini dilakukan tidak sewenang-wenang akan tetapi dilakukan apabila penyidik dan/atau pengawas perikanan yakin bahwa kapal ikan asing tersebut telah melakukan tindak pidana perikanan. Bagi Komandan KRI tindakan penembakan dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbender asing harus memenuhi persyaratan adanya kondisi dimana kapal-kapal tersebut melakukan hal-hal yang bertentangan dengan proses pengejaran, penangkapan, pemeriksaan dan penyelidikan. Hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan bahwa tindakan penembakan atau penenggelaman kapal dan pemusnahan barang bukti kapal perikanan berbendera asing yang cukup bukti melakukan tindak pidana perikanan di WPP RI dalam praktek dapat dilakukan dengan cara pengejaran seketika, dalam proses penyidikan dan melaksanakan penetapan pengadilan. Akibat penenggelaman kapal tersebut tidak membawa pengaruh buruk terhadap hubungan persahabatan NKRI dengan negara terkait serta akan memberikan efek jera kepada para calon pelanggar tindak pidana perikanan yang lainnya. Tindakan tegas Pemerintah terhadap para pelaku illegal fishing dilakukan sesuai dengan prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku. Kata kunci: Illegal Fishing, Legalitas Penyidik TNI AL, Penenggelaman Kapal Perikanan Berbendera Asing
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Ketut Darmika FISHERIES LAW ENFORCEMENT OF NAVY VESSEL OF THE REPUBLIC OF INDONESIA IN THE PERSPECTIVE OF INDONESIAN LAW NO.45 YEAR OF 2009 CONCERNING FISHERY Journal of Law and Justice, Vol. 4 No.3 page 485-500 Illegal fishing is a serious problem that must be addressed because it is very harmful to the preservation of resources and economically detrimental for the country. According to Article 73 paragraph (1) of Law Number 45 Year 2009 investigation of criminal offenses in the field of fisheries carried out by the Civil Servant of Fisheries Investigators, Navy Investigators (TNI AL), and/or Police Investigator of the Republic of Indonesia. Furthermore, in Article 69 paragraph (4) the investigator and/or fisheries supervisor can perform specific actions such as burning and/or sinking of foreign-flagged fishing vessels based on sufficient preliminary evidence. In the explanation mentioned that special action is performed is not arbitrary but is done when the investigator and/or fisheries supervisor convinced that foreign fishing vessels that have committed the crime of fisheries. For the commander of KRI the act of shooting and/or sinking foreign fishing vessels must meet the requirements of the state where the vessels are doing things that are contrary to the pursuit, arrest, inspection and investigation, for example escape or resistance. Research results can be concluded that the act of shooting or sinking and exterminating evidence of foreign-flagged fishing vessels that sufficient evidence of a criminal act fisheries in WPP RI in practice can be done by means of hot pursuit, in the process of investigation and carry out the determination of the court. Due to the sinking of the vessel does not bring bad influence on Homeland relationships with the countries concerned and will provide a deterrent to potential offenders of other fisheries crime act. Government stern action against the perpetrators of the illegal fishing carried out in accordance with the procedures and provisions of applicable law. Keywords: Illegal Fishing, The Legality of The Navy (TNI AL) Investigators, Sinking Foreign Fishing Vessel
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Henny Nuraeny PENGIRIMAN TENAGA KERJA MIGRAN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK PERBUDAKAN MODERN DARI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No.3 hlm. 501-518 Indonesia merupakan salah satu negara pengirim Tenaga Kerja Migran (migrant worker) terbesar di Asia. Pengiriman Tenaga Kerja Migran umumnya dilakukan dengan berbagai cara, baik legal ataupun illegal. Pengiriman Tenaga Kerja Migran illegal selalu dihubungkan dengan perbudakan sebagai salah satu bentuk dari tindak pidana perdagangan orang. Tindak Pidana Perdagangan Orang dapat terjadi dalam berbagai bentuk, namun biasanya bertujuan untuk mengeksploitasi korban guna mendapatkan keuntungan. Sekalipun berbagai rencana strategis dalam upaya penanggulangan sudah direncanakan dan dilaksanakan, namun realita dalam masyarakat masih banyak kendala yang dihadapai dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang dengan modus pengiriman Tenaga Kerja Migran. Oleh karena itu diperlukan kerjasama dan sinergitas antara semua Komponen dalam mayarakat, aparat penegak hukum dan Pemerintah. Kata kunci: Pekerja Migran, Perbudakan, Perdagangan Orang
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Henny Nuraeny MIGRANT WORKERS, A NEW MODERN-DAY FORM OF SLAVERY, IS A PART OF HUMAN TRAFFICKING CRIME Journal of Law and Justice, Vol. 4 No.3 page 501-518 Indonesia in one of the sending country of labour migrants in Asia. The delivery of migrant workers are generally carried out in a variety of ways, legal or the illegal. The delivery of migrant workers illegal is always associated with slavery as a form of criminal act of trafficking. Criminal act of trafficking can happen in various forms, but usually aims to exploits victims in order to benefit. Though a variety of strategic plan in prevention efforts already planned and implemented, but the reality in people are still many obstacles faced in the prevention of criminal trafficking with the mode of delivery of migrant workers. Therefore necessary cooperation and united fleets weapons between all components of society, law enforcement officers and government. Keywords: Migrant Worker, Slavery, Trafficking
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Tommy Hendra Purwaka BEBERAPA PENDEKATAN UNTUK MEMAHAMI HUKUM Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No.3 hlm. 519-536 Hukum secara umum dipahami sebagai aturan yang dibuat oleh penguasa untuk mengatur masyarakat dan seluruh kegiatannya demi terciptanya ketertiban umum dan keadilan. Hukum tersebut ditegakkan oleh aparat-aparat penegak hukum dengan memakai upaya-upaya penaatan dan penindakan atau paksaan. Disamping pemahaman yang bersifat umum tersebut, pemahaman terhadap hukum juga dapat diperoleh dengan menerapkan beberapa pendekatan yang berbeda, seperti pendekatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan cara tersebut, pemahaman tentang hukum dapat diperkaya dan ditingkatkan bagi upaya-upaya penegakkan dan penaatan hukum. Kata kunci: Pendekatan, Memahami, Hukum Tommy Hendra Purwaka SEVERAL APPROACHES FOR UNDERSTANDING THE LAW Journal of Law and Justice, Vol. 4 No.3 page 519-536 Law in general is understood as regulations formed by authority to regulate community and its activities for the purpose of creating public order and justice. The law is enforced by legal apparatus by applying compliance and coercive measures. In addition, understanding on law can also be obtained by the use of several different approaches in viewing the law, such as from political, economic, social and cultural approaches. By so doing, understanding on law can be enriched and improved for the benefit of law enforcement and compliance. Keywords: Approaches, Understanding, Law
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
ASPEK HUKUM NEGARA DAN ADMINISTRASI NEGARA KELEMBAGAAN PENGADILAN PAJAK1 (The Law of the State Aspect and Institutional Administrative Tax Court)
Moh. Mahfud MD Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII Yogyakarta Email:
[email protected]
Abstrak Kata kunci: Abstract Keywords:
Pajak dan Pengaturannya dalam UU Di dalam teori politik atau Ilmu Negara disebutkan bahwa unsurunsur dan atau syarat-syarat konstitutif berdirinya negara, minimal, ada tiga yaitu adanya rakyat, adanya wilayah, dan adanya pemerintah yang berdaulat. Ada juga yang menambahkan syarat lain sebagai syarat deklaratif yakni adanya pengakuan dari negara lain. Tetapi sangat penting ditekankan bahwa meskipun syarat-syarat konstitutif dan deklaratif tersebut dipenuhi suatu negara tidak akan berdaya jika tidak mempunyai uang untuk menghidupi dirinya. Uang untuk penyelenggaraan pemerintah seringkali disebut sebagai urat nadi bagi negara yang tanpanya negara bisa mati. Dari mana uang dapat diperoleh? Sebagian besar uang untuk keperluan negara diperoleh dari pajak-pajak yang dapat ditarik dari rakyat baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah. Jadi kewenangan bagi negara untuk menarik pajak dari rakyatnya menjadi konsekuensi dari adanya negara itu sendiri. Meskipun begitu, karena negara didirikan untuk melindungi hak-hak rakyat atau warga negara maka penarikan pajak oleh negara haruslah didasarkan pada UU, yakni produk hukum yang ditentukan oleh rakyat melalui pembentuk UU yang terdiri dari orang-orang yang merupakan wakilnya di parlemen atau Disampaikan pada Focus Group Discussion tentang “Kelembagaan Pengadilan Pajak” yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, tanggal 7 Oktober 2014. 1
351
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 351-360
pemerintahan. Maka itu ada adagium yang sangat terkenal di dalam hukum administrasi negara, “No taxation without representation, taxation without representation is robbery”, tidak ada penarikan pajak tanpa dasar undangundang (yang dibuat wakil-wakil rakyat) sebab penarikan pajak tanpa dasar undang-undang adalah perampokan. Di Indonesia adagium pengaturan penarikan pajak harus melalui undang-undang sudah diatur juga di dalam UUD 1945. Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 menentukan, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, sedangkan pasal 23A UUD 1945 menentukan pula, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undangundang”. Ketentuan yang bisa ditarik dari kedua pasal di dalam UUD 1945 tersebut adalah: Pertama, APBN yang merupakan urat nadi negara tidak boleh ditarik dan dikelola secara sembarangan, ia harus ditetapkan dengan undang-undang dan dikelola secara transparan dan bertanggungjawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; Kedua, Pajak sebagai bagian dari sumber penerimaan negara untu APBN harus pula diatur dulu dengan undangundang. Kita sudah memenuhi ketentuan UUD 1945 tentang keharusan adanya undang-undang untuk APBN sebagai pedoman pengelolaan uang untuk membiayai kegiatan penyelenggaraan negara setiap tahun. Kita juga sudah mempunyai banyak undang-undang yang mengatur pajak dan berbagai jenisnya. Namun selama ini jika berbicara undang-undang tentang perpajakan kita lebih banyak berbicara pada ketentuan tentang teknis dan tata cara menghitung pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak dan harus ditagih oleh negara. Kita jarang berbicara hal yang juga sangat penting dalam masalah perpajakan ini yakni pengadilan pajak padahal pengadilan pajak ini sangat penting untuk memastikan bahwa penarikan pajak dilakukan secara benar menurut hukum. Pengadilan Pajak dalam Lintasan Sejarah Dimensi hukum yang juga sangat penting dalam perpajakan adalah peradilan pajak, sebab dalam praktik banyak wajib pajak yang merasa dirugikan oleh aparat dalam menentukan besarnya pajak. Para wajib pajak harus diberi kepastian bahwa dirinya tidak dirugikan dan tidak diperlakukan secara semena-mena dalam penetapan pajak yang dibebankan kepada mereka sehingga kalau hal itu terjadi harus ada lembaga peradilan yang menyelesaikannya sesuai dengan undang-undang. Pengadilan pajak
352
Aspek Hukum dan Administrasi Kelembagaan Pengadilan Pajak, Moh. Mahfud MD
diperlukan untuk memberikan perlindungan dan jaminan hukum kepada para wajib pajak2 agar tidak diperlakukan semena-mena. Bahwa lembaga peradilan pajak sangat penting di Indonesia terbukti dari adanya lembaga penyelesaian sengketa pajak yang berkembang dari waktu ke waktu sejak zaman kolonial Belanda meskipun pada mulanya tidak dinamakan pengadilan pajak. Pada zaman kolonial belanda, peradilan pajak semula diselesaikan secara final oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Namun untuk memenuhi tuntutan perkembangan zaman pada 11 Desember 1915 dibentuk Raad van Beroep voor Belastingzaken yang diatur dalam Staatsblad 1915 No. 707 sebagai lembaga khusus yang mengadili sengketa pajak. Dasar hukum pengadilan pajak ini diubah sampai beberapa kali, termasuk setelah Indonesia merdeka mengubahnya dengan Stb 1949 No. 251 dan kemudian dengan UU No. 5 tahun 1959. Dengan dibentuknya Raad van Beroep voor Belastingzaken ini maka sengketa pajak yang semula final pada keputusan Gubernur Jenderal menjadi bisa dibanding ke lembaga Raad van Beroep voor Belastingzaken tersebut. Kalau semula kompetensi absolutnya hanya mencakup pajak pendapatan, pajak rumah tangga, dan pajak verponding maka sejak tahun 1927 (Stb.29) kompetensinya diperluas mencakup surat minta banding atas: 1. Pajak negara, sepanjang minta banding dimungkinkan oleh undangundang 2. Pajak propinsi, kabupaten, dan kotapraja, sepanjang dalam pasal 6 Stb. 1927 No.517 diperkenankan minta banding 3. Pajak yang dikenakan oleh Swapraja sekedar permohonan untuk naik banding diperkenankan oleh Swapraja yang bersangkutan Setelah Indonesia merdeka Raad van Beroep voor Belastingzaken diakomodasi di dalam Stb. No. 1949 No.251 yang kemudian diubah dengan UU No.5 Tahun 1959, tanggal 9 Maret 1959. Selanjutnya pada era Indonesia merdeka Raad van Beroep voor Belastingzaken ini lebih dikenal dalam nama bahasa Indonesia yakni Majelis Pertimbangan Pajak (MPP).3 Pada tahun 1983 pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang didalamnya, antara lain, memuat perluasan kompetensi absolut MPP sehingga mencakup hampir seluruh pengaduan mengenai pemungutan pajak oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, termasuk bea dan cukai yang bisa diselesaikan oleh Badan Peradilan Pajak (BPP). Pasal 27 UU No.6 Tahun 1983 tersebut memang mengamanatkan pembentukan Badan 2
Lihat dalam Rochmat Soemitro, Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia, PT. Eresco Bandung, 1991, 132. 3 Lihat pula dalam Galang Asrama, Peradilan Pajak dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) dalam Hukum Pajak di Indonesia, Laksbang, Yogyakarta, 2006, hlm. 15. 353
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 351-360
Peradilan Pajak (BPP) dengan rumusan, “Wajib pajak dapat mengajukan banding kepada Badan Peradilan Pajak terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatannya dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal keputusan ditetapkan dengan dilampiri salinan Surat Keputusan tersebut”. Akan tetapi sampai waktu yang lama BPP tidak dapat segera dibentuk sehingga pada saat Pemerintah mengundangkan UU No.17 Tahun 1997 ditentukan lagi pembentukan lembaga baru yang berwenang menyelesaikan sengketa pajak yakni Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Sebelum itu, tepatnya selama BPP belum bisa dibentuk sesuai dengan perintah UU No.6 Tahun 1983 dan sesuai dengan Penjelasan atas Pasal 27 UU No.6 Tahun 1983 (selama BPP belum terbentuk) banding terhadap keputusan Dirjen Pajak tetap diselesaikan oleh MPP. Bahkan ketika Pemerintah mengundangkan UU No.5 Tahun 1986tentang Peradilan Tata Usaha Negara status MPP ini masih dijadikan contoh sebagai lembaga yang bisa menerima upaya administratif baik untuk banding administratif 4 maupun untuk keberatan.5 Jadi MPP merupakan semacam lembaga peradilan tingkat pertama yang bisa dilakukan perlawanan dengan banding administratif dalam sistem PTUN sehingga jika putusan MPP masih tidak memuaskan bisa langsung dilakukan upaya hukum ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara untuk akhirnya bisa dibawa lagi ke Mahkamah Agung untuk kasasi. Karena prosedur itu memakan waktu lama maka melalui UU No.17 Tahun 1997 fungsi MPP langsung diganti dengan BPSP seperti yang telah disinggung di atas. BPSP mempunyai kompetensi untuk memeriksa sengketa pajak pada tingkat “banding” atas keputusan pejabat yang berwenang dan “gugatan” terhadap pelaksanaan peraturan perundangundangan perpajakan di bidang penagihan. Putusan BPSP mempunyai kekuatan eksekutorial dan sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tak bisa dilawan lagi dengan upaya hukum ke PTUN maupun ke Pengadilan Umum. Eksistensi BPSP pun tidak lama sebab pada tahun 2002, mengikuti semangat reformasi, Pemerintah mengundangkan UU No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Sebelum itu Pemerintah sudah pernah mengeluarkan UU No.16 Tahun 2000 yang juga merupakan perubahan atas UU No.6 Tahun 1983. Dengan UU No.14 Tahun 2002 maka Pengadilan Pajak menjadi Pengadilan sendiri yang berpuncak di Mahkamah Agung. 4
Banding administratif adalah permintaan penyelesaian kepada atasan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan. 5 Keberatan adalah permintaan penyelesaian kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu sendiri. 354
Aspek Hukum dan Administrasi Kelembagaan Pengadilan Pajak, Moh. Mahfud MD
Peradilan pajak melalui BPSP dianggap kurang sesuai dengan sistem ketatanegaraan karena BPSP terlepas dari Mahkamah Agung sehingga kurang pas untuk diberi wewenang menangani sengketa pajak yang seharusnya ditangani oleh lembaga peradilan yang berpuncak pada lembaga yudikatif tertinggi yaitu Mahkamah Agung. Di dalam UU No. 17 Tahun 1997 memang tidak ada ketentuan lembaga mana yang membina dan mengawasi teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan keuangan atas badan tersebut. Jika hanya ditilik dari Pasal 2 UU No.14 Tahun 2002 memang masih belum jelas, berada pada lingkungan peradilan apakah Pengadilan Pajak tersebut. Sebab pasal 2 tersebut hanya menyatakan, Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman tanpa menyebutkan berada di lingkungan peradilan yang mana jika dikaitkan dengan Pasal 24 Ayat (2) yang menegaskan bahwa di Mahkamah Agung ada empat lingkungan peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Pengadilan pajak memang merupakan peradilan khusus tetapi betapa pun khususnya ia harus menjadi bagian dari salah satu lingkungan peradilan sebagaimana disebutkan didalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 tersebut. Ini penting karena menurut Pasal 15 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UU Kekuasaan Kehakiman. Namun dari penjelasan Pasal 15 Ayat (1) itu ternyata ada penyebutan bahwa pengadilan khusus sebagaimana di maksud Pasal 15 Ayat (1), “....antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga,....” dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara”. Penegasan yang sama ditemukan juga di dalam Pasal 27 angka (2) UU No. 28 Tahun 2007 yang berbunyi, “Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara”. Pengadilan pajak bukanlah pengadilan administrasi secara murni melainkan peradilan pajak secara murni karena memenuhi unsur-unsur: (1) Pajak sebagai obyek sengketa yang konkret; (2) Ada hukum pajaknya yang abstrak untuk diterapkan ke dalam kasus konkret tersebut; (3) ada sekurang-kurangnya dua pihak yang bersengketa dan; (4) ada hakim pemutus yang bukan menjadi pihak yang berperkara.6 Pembinaan dan Pengawasan Berdasar jelajah singkat atas sejarah peradilan pajak tersebut jelas bagi kita bahwa keinginan untuk mengatur perpajakan agar berfungsi 6
Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Hlm. 58-59. 355
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 351-360
sebagai bagian dari urat nadi negara sekaligus melindungi dan menjamin secara hukum wajib pajak mendapat perhatian yang serius dari negara. Pemantapan kelembagaan sudah diatur dan disempurnakan dari waktu agar selalu menjadi semakin baik dan memenuhi syarat sebagai lembaga peradilan murni sebagai peradilan pajak. Meskipun begitu masih menjadi persoalan jika eksistensi Pengadilan Pajak sebagaimana diatur UU No. 14 Tahun 2002 ini dikaitkan dengan pengawasan terhadapnya. Ternyata UU ini masih menganut dualisme pembinaan, tidak sejalan dengan semangat yang menggelora pada awal reformasi bahwa pembinaan kekuasaan kehakiman harus diletakkan dibawah satu atap, baik pembinaan teknis-judicial maupun pembinaan administratif, organisatoris, dan finasial. Ternyata pembinaan atas Pengadilan Pajak masih bersifat dualistis seperti terlihat dalam Pasal 5 UU No.14 Tahun 2002 yang berbunyi: 1. Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. 2. Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan. 3. Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Untuk mengikuti semangat reformasi seharusnya pembinaan Pengadilan Pajak ini segera diintegrasikan ke dalam satu atap Mahkamah Agung sebagai puncak kekuasaan kehakiman. Sebagai ide, peletakan kelembagaan Pengadilan Pajak secara terintegrasi di bawah satu atap Mahkamah Agung akan lebih memudahkan pembinaan dan pengawasan. Untuk itu ketentuan Pasal 5 UU 14 Tahun 2000, terutama Ayat (2) Ayat (2), yang berbunyi, “Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan” dan pasal-pasal serta ayat-ayat lain yang senafas dengan itu perlu segera dicabut dan diperbaharui. Sejalan dengan itu agar ada kesatuan atau mekanisme pembinaan yang terintegrasi maka pembinaan kepaniteraan pada Pengadilan Pajak juga perlu disatuatapkan di Mahkamah Agung baik dalam teknis maupun dalam organisasi, administrasi, dan keuangannya. Memang dalam praktik, berdasar pengalaman sampai saat ini, penyatuatapan kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung tidak dengan sendirinya menyebabkan dunia peradilan kita bebas dari kolusi dan korupsi. Akhir-akhir ini banyak sinyalemen dunia peradilan kita semakin korup dan banyak dihantui oleh mafia yang melibatkan banyak hakim sehingga banyak yang skeptis, penyatuatapan pembinaan hakim di bawah MA tidak memperbaiki keadaan. Dalam catatan masyarakat, pemisahan pembinaan hakim-hakim dari lembaga eksekutif untuk disatuatapkan di 356
Aspek Hukum dan Administrasi Kelembagaan Pengadilan Pajak, Moh. Mahfud MD
bawah Mahkamah Agung yang semula dimaksudkan agar hakim bisa “bebas dari intervensi” pemerintah ternyata bisa dimanfaatkan juga oleh banyak hakim untuk “bebas berkolusi” dan menjualbelikan perkara dan putusan-putusannya sehingga kebebasan itu menjadi liar. Tetapi meskipun fakta “bebas-liar” itu memang ada, bahkan cukup banyak, ide penyatuatapan kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung harus terus diperkuat, termasuk penempatan pembinaan organisatoris, administratif dan finansial Pengadilan Pajak yang juga harus disatuatapkan di bawah Mahkamah Agung. Sebab struktur yang seperti itulah yang lebih tepat dalam sistem ketatanegaraan yang kita gagas dan inginkan. Soal munculnya fenomena “bebas-liar” di kalangan hakim-hakim haruslah dipandang sebagai soal lain yang menjadi bagian dari kreativitas buruk para pejabat kita untuk selalu mencari celah korupsi meskipun sudah diatur seperti apapun. Itu adalah soal lain yang harus diatasi secara sistematik dalam kaitan dengan lingkungan di luar Mahkamah Agung. Bukan hanya hakim. Pejabat publik kita ini memang banyak yang kreatif untuk mencari cara dan menciptakan korupsi-korupsi baru melalui celah-celah peraturan yang ada. Setiap ada peraturan baru yang ingin memperbaiki dicari saja celahnya agar bisa ditemukan pintu untuk melakukan korupsi dari peraturan itu. Lihatlah fakta di bidang lain yang juga banyak terjadi, seperti, upaya penguatan kedudukan DPRD sebagai tulang punggung otonomi daerah. Pada awal-awal reformasi, 1999, kita bersemangat memberi energi yang besar kepada DPRD agar bisa leluasa membuat keputusan-keputusan politik dan pembangunan daerah tanpa dibelenggu oleh kekuasaan Pemerintah (lembaga eksekutif). Maka melalui UU No.22 Tahun 1999 kita memberi wewenang kepada DPRD untuk memilih Kepala Daerah secara final, mengawasinya, meminta pertanggungjawabannya, dan memberhentikannya. Ternyata kekuasaan ini banyak disalahgunakan sehingga terjadi jual beli suara dalam pencalonan kepala daerah, terjadi pemerasan kepada kepala daerah dengan ancaman pertanggungjawabannya akan ditolak, dan sebagainya. Akibatnya koruptor-koruptor muncul dari gedung DPRD dan banyak kepala daerah yang tidak bisa leluasa bekerja. Oleh sebab itu pada tahun 2004 kita mengganti UU No.22 Tahun 1999 dengan UU No.32 Tahun 2004 yang mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Maksudnya, agar rakyat bisa memilih kepala daerahnya sendiri tanpa melalui agen yang bersama DPRD. Bayangan kita waktu itu, takkan mungkin ada calon kepala daerah yang kuat bermain politik uang dengan seluruh rakyat pemilih. Tetapi sesudah pemilihan kepala daerah diserahkan kepada rakyat secara langsung masalah korupsi dan penyuapan, termasuk biaya sewa perahu (parpol) dan money politics serta penyalahgunaan dana 357
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 351-360
Negara/daerah masih merebak juga dengan berbagai cara. Kreativitas buruk yakni kreativitas untuk mencari celah korupsi dari peraturan-peraturan yang tersedia muncul juga dalam kasus pemilihan kepala daerah ini. Maka itu muncul lagi gagasan untuk kembali ke pilkada melalui lembaga perwakilan atau DPRD, padahal dulu kita meninggalkan pilkada melalui DPRD banyak memunculkan korupsi yang mengiriskan. Problemnya, sebenarnya, bukan pada mekanisme melainkan pada mental korup yang sudah masif. Dengan mental seperti itu maka dengan cara apa pun sesuatu itu diatur akan ada saja akal kreatif untuk menyiasatinya agar bisa dikorupsi dan dikolusikan. Dengan demikian, tanpa mengaitkan dulu dengan korupsi-korupsi yang selalu timbul karena kreativitas yang lahir dari mental yang bobrok, maka penyatuatapan Pengadilan Pajak ke bawah Mahkamah Agung tetaplah penting untuk diwujudkan agar sesuai dengan disain ketatanegaraan sebagai sistem yang kita gagas dan inginkan pada saat memulai reformasi. Marilah kita bangun sistemnya, sedangkan soal mental dan perilaku orang yang “kreatif korup” biar diantisipasi dan ditangani dengan hukum sebagai hal tersendiri yang lain lagi. Terkait dengan itu maka hubungan pengawasan antara Pengadilan Pajak dengan lembaga pengawas fungsional dan struktur yang bersifat eksternal harus sama dengan yang berlaku pada lingkungan peradilan yang sudah ada. Pengawasan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku terhadap hakim Pengadilan Pajak harus juga dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY). Kewenangan KY untuk juga mengawasi hakim-hakim pada Pengadilan Pajak sudah melekat pada filosofi dan latar belakang pilihan politik hukum bahwa Komisi Yudisial kita bangun untuk melakukan pengawasan perilaku tertentu yang bersifat moral dan etik terhadap hakim, termasuk (tentu saja) hakim pada Pengadilan Pajak. Ini sejalan dengan ketentuan di dalam Pasal 39 Angka (3) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung”; sedangkan yang dimaksud hakim (sesuai dengan definisi) menurut UU tersebut adalah “hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada dibawahnya, termasuk Pengadilan Pajak”. Oleh karena Pengadilan Pajak menjadi bagian khusus dari lingkungan peradilan tata usaha negara di Mahkamah Agung dan pengawasan internal atas hakim-hakimnya berada dibawah Mahkamah Agung, maka kewenangan pengawasan eksternal terhadap hakim-hakim Pengadilan Pajak juga menjadi bagian dari kompetensi Komisi Yudisial, seperti halnya yang berlaku untuk hakimhakim di semua lingkungan peradilan yang bernaung di bawah Mahkamah Agung.
358
Aspek Hukum dan Administrasi Kelembagaan Pengadilan Pajak, Moh. Mahfud MD
Terkait dengan ini perlu juga dipertimbangkan, apakah hakim ad hoc seperti yang diatur dalam Pasal 9 Ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 masih diperlukan di Pengadilan Pajak. Mungkin sebaiknya Pengadilan Pajak tidak menggunakan hakim ad hoc sehingga semua hakimnya adalah hakim-hakim tetap yang langsung bisa diawasi juga oleh Komisi Yudisial. Sebab, kalau tidak begitu, bisa saja timbul problem bagi Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan atas perilaku hakim ad hoc karena pada dasarnya hakim ad hoc bukanlah orang yang berprofesi sebagai hakim. Jika seorang ahli dan berpengalaman diperlukan untuk ikut memberi masukan dalam satu kasus maka yang bersangkutan tak perlu dijadikan hakim ad hoc tetapi cukup dipanggil sebagai (Saksi) Ahli dalam sidang resmi Pengadilan Pajak seperti yang berlaku di Mahkamah Konstitusi. Kesimpulan Pengadilan Pajak merupakan pengadilan pajak murni (administratief rechtspraak) yang memenuhi unsur-unsur sebagai lembaga peradilan, bukan pengadilan internal administrasi murni (administratif beroep) di bidang perpajakan. Pengadilan pajak merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan tata usaha negara di Mahkamah Agung. 7 Dengan demikian secara kelembagaan Pengadilan Pajak berkedudukan sebagai bagian dari Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945. Oleh karena kedudukannya yang seperti itu maka pembinaan Pengadilan Pajak yang dualistis dipandang kurang tepat karena tidak sejalan dengan politik hukum dalam reformasi kita yang menghendaki penyatuatapan pembinaan pengadilan dan hakim-hakimnya serta paniterapaniteranya. Oleh sebab itu pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan pada Pengadilan Pajak yang selama ini masih ada Kementerian Keuangan sebaiknya segera disatukan dengan pembinaan teknis-yudisialnya di Mahkamah Agung agar politik hukum penyatuatapan berlaku juga untuk Pengadilan Pajak. Oleh karena secara yuridis para hakim pengadilan pajak adalah hakim pada pengadilan murni yang berada di bawah Mahkamah Agung maka mereka pun menjadi bagian dari hakim pada umumnya yang dapat diawasi secara eksternal oleh Komisi Yudisial. Artinya hakim-hakim pada Pengadilan Pajak diawasi oleh Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Terkait dengan ini maka perlu dipertimbangkan lagi 7
Lihat misalnya dalam UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, UU No.14 Tahun 2002 tentang Perpajakan, dan UU 52 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 359
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 351-360
adanya hakim ad hoc pada Pengadilan Pajak sebab pada dasarnya hakim yang bisa diawasi oleh Komisi Yudisial adalah hakim tetap profesional.
360
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PENGATURAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG DI INDONESIA (TINJAUAN SINGKAT DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014) (The Development of the Tought and the Arrangement of Authority Abuse in Indonesia (a Brief Review of the Administrative Law Perspective after the Enactment No.30 Year 2014 Acts))
Yulius Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia Jl. Medan Merdeka Utara No.9-13, Jakarta Pusat Email:
[email protected]
Abstrak Penyalahgunaan wewenang merupakan konsep yang selalu tumbuh dan berkembang dalam ranah hukum publik. Konsep ini merupakan alat uji yang penting, bagi jalannya roda pemerintahan. Karena, tindakan dan/atau keputusan badan dan/atau pejabat pemerintahan bukan otoritas yang tanpa batas. Perlu adanya pembatasan atau lembaga yang mengawasi tindakan dan/atau keputusan pemerintahan tersebut. Lembaga yang dimaksud adalah lembaga peradilan. Pasca dinormakannya penyalahgunaan wewenang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (khususnya Pasal 21), ada pandangan yang berbeda dalam menyikapi penegakan hukumnya. Hal ini terkait dengan kompetensi absolut lembaga peradilan, yaitu PTUN dan Peradilan Umum (Pidana/Tipikor). Untuk itu, perlu ada kejelasan makna dalam norma yang mengatur penyalahgunaan wewenang tersebut. Agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam implementasinya. Oleh karenanya, perlu adanya pemahaman makna penyalahgunaan wewenang dengan mengkajinya dari sudut perkembangan pemikiran dan pengaturannya dari perspektif hukum administrasi negara. Kata kunci: Makna, Kewenangan, Penegakan Hukum Abstract The authority abuse is a concept that is always develop behind the realm of public law. This concept is an important measurement, for the wheels of the government. The actions and/or decisions of the agency and/or government officials are not unlimited authority. It is important for restriction or agency that oversees the actions and/or decisions of the government. The institution 361
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 361-384
in question is the judiciary. Post the normalization of authority abuse in the Act No.30 of 2014 About Administration (particularly Article 21), there are different views in dealing with law enforcement. This is related to the absolute competence of the judiciary, namely the Administrative Court and the General Court (Criminal/Corruption). In that case, there needs to be clarity of meaning in the norms that regulate the abuse of authority. To avoid confusion in its implementation. Therefore, the need for understanding the meaning of abuse of authority by evaluating them in terms of the development of thinking and the settings from the perspective of administrative law. Keywords: Meaning, Authority, Law Enforcement A. Pendahuluan Untuk memahami konsep dan norma “penyalahgunaan wewenang” di Indonesia, dapat ditelusuri melaui sejarah perkembangannya. Penyalahgunaan wewenang selalu dikaitkan dengan entitas yang namanya “jabatan”. Hubungan antara keduanya (“penyalahgunaan wewenang” dan “jabatan”), tidak lepas dari “wewenang” (atau sebagian ahli membedakannya dengan istilah “kewenangan”). Istilah wewenang disejajarkan dengan kekuasaan hukum dalam bertindak. Istilah tersebut merupakan terjemahan dari bahasa Prancis (pouvoir), Belanda (bevoegdheid), dan bahasa Inggris (authority). F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, menganggap wewenang sebagai konsep inti dari hukum administrasi negara (HAN) dan hukum tata negara (HTN) (het begrip bevoegdheid is dan ook een kembergrip in het staats-en administratief recht).1 Dalam hukum kenegaraan (HAN dan HTN), wewenang dijadikan sebagai dasar hukum. Terutama, ketika menjadikannya sebagai parameter badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam bertindak dan/atau mengeluarkan keputusan. Wewenang di sini, juga berfungsi sebagai penjaga kestabilan kekuasaan melalui check and balance dan memproteksi adanya penyalahgunaan wewenang. Penyalahgunaan wewenang kerap terjadi di Indonesia. Akan tetapi, pasca diterapkannya Undang-Undang No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP), beberapa kalangan memperdebatkan ranah penegakan hukum penyalahgunaan wewenang, karena terkait kompetensi absolut lembaga peradilan.
1
Nur Basuki Winarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Leksbang Mediatama, Surabaya, 2009, hlm. 65 362
Pemikiran dan Pengaturan Penyalahgunaan Wewenang di Indonesia, Yulius
Seperti, yang terjadi pada waktu seminar nasional yang diselenggarakan oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) tanggal 26 Maret 2015 di Hotel Mercure Jakarta. Dalam seminar ini, beberapa akademisi dan praktisi yang kebetulan juga sebagai narasumber, maupun para peserta mempunyai pandangan yang berbeda mengenai penegakan hukum terkait penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. Khususnya, dalam memahami ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan (2) UU AP. Perbedaan pemahaman beberapa ahli hukum dalam seminar tersebut, cenderung berkenaan dengan permasalahan apakah norma penyalahgunaan wewenang dalam ketentuan Pasal 21 UU AP berdiri sendiri atau saling terkait antara satu pasal dengan pasal lainnya? Di satu sisi, ketentuan tersebut dipahami dari aspek sejarah kelahirannya (norma), terutama maksud dan tujuan terbentuknya (norma) pada saat pembahasan di lembaga legislatif (DPR). Salah satu tujuan penormaan ini adalah memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil kepada penyelenggara pemerintahan. Sehingga penormaan dalam ketentuan tersebut dibentuk untuk mencegah adanya kriminalisasi jabatan.2 Di sisi lain, memahaminya dengan mengaitkan pada ketentuan (pasal) lainnya secara sistematis. Jadi pendapat yang kedua ini, hanya melihat dari aspek norma yang sudah disahkan dan diberlakukan, sehingga terlepas dari ada atau tidaknya perdebatan ketika pasal tersebut akan dibentuk atau dibahas di DPR. Hal ini mempunyai konsekuensi dalam penegakan hukum. Terutama dalam menentukan kompetensi absolut lembaga peradilan, yaitu apakah menjadi kewenangan Peradilan TUN atau Peradilan Umum (Pidana/ Tipikor)? Bahkan ada yang berpandangan, penyelesaian perkara penyalahgunaan wewenang ini tetap diselesaikan di kedua lembaga peradilan tersebut, hanya saja lebih didahulukan penyelesaiannya secara administratif di Peradilan TUN, setelahnya baru dapat diajukan ke Peradilan Umum (Pidana/Tipikor). Keadaan yang demikian, tidak lepas dari adanya sudut pandang dan basis (cabang keilmuan hukum) yang berbeda, terlebih banyak yang mencampur adukan makna “Penyalahgunaan Wewenang” antara teks yang tertuang dalam ketentuan Pasal 21 UU AP dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Oleh karenanya, untuk memahami ketentuan tersebut secara komprehensif, perlu dikaji bagaimana perkembangan pemikiran 2
Zudan Arif Fakrulloh, Tindakan Hukum Bagi Aparatur Penyelenggara Pemerintahan, disampaikan dalam Seminar Nasional Dalam Rangka HUT IKAHI Ke-62, 2015 363
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 361-384
penyalahgunaan wewenang dan perkembangan pengaturannya di Indonesia? Apakah pengaturan penyalahgunaan wewenang dalam UU AP terdapat titik singgung dengan UU Tipikor? Dan untuk menjawab permasalahan tersebut, perlu ada suatu kajian secara mendalam, yang menurut Joseph Raz, “The problem of the individuation of laws is the link between the analysis of a law and that of a legal system, and as such it is of immense importance to legal philosophy”. Namun, kajian yang digunakan di sini adalah dalam rangka penegakan hukum terhadap perkara penyalahgunaan wewenang dalam perspektif HAN. B. Perkembangan Pemikiran Penyalahgunaan Wewenang di Indonesia Secara konseptual, dalam memahami pemikiran penyalahgunaan wewenang dapat dikaji dari tiga aspek, yaitu: 1. Asal Muasal Konsep Penyalahgunaan Wewenang Penyalahgunaan wewenang lahir dari doktrin hukum administrasi negara (HAN). Penyalahgunaan wewenang tidak dapat lepas dari istilah aslinya (yang digunakan oleh banyak literatur hukum nasional maupun internasional), yaitu “détournement de pouvoir”. Kemudian istilah tersebut, dalam literatur hukum berbahasa Inggris diserap dan diartikan sebagai “misuse of power” atau “abuse of power”. Sebagaimana terminologi bahasanya tersebut, konsep ini pertama kali muncul di Prancis. Di Prancis, pejabat pemerintahan dinyatakan melanggar prinsip détournement de pouvoir, apabila dalam mengeluarkan keputusan atau melakukan tindakannya bertujuan untuk kepentingan pribadi si pejabat (termasuk keluarga atau rekannya), bukan untuk kepentingan atau ketertiban umum.3 Di negara tersebut, konsep détournement de pouvoir merupakan dasar pengujian lembaga peradilan administrasi negara terhadap suatu tindakan pemerintahan (a ground of review upon which the Conseil d’Etat analyses the reasons which led the administrative body to take a particular act or enact a particular measure). Dalam sejarahnya, lembaga peradilan pertama yang menggunakannya sebagai alat uji adalah Conseil d’Etat (Mahkamah Agung Khusus Peradilan Administrasi Negara Di Perancis), yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain. Sebagai alat uji oleh Conseil d’Etat, pada tahun 1945 détournement de pouvoir dianggap sebagai asas hukum yang merupakan bagian dari “de principes generaux du droit”.4
3 4
John Bell, dkk, Principles of French Law, Oxford University Press, 1998, hlm.184 G.H. Addink, Algemene beginselen van behoorlijk bestuur, kluwer, 1999, hlm.47
364
Pemikiran dan Pengaturan Penyalahgunaan Wewenang di Indonesia, Yulius
Pada saat ini, Conseil d’Etat telah mengembangkan konsep détournement de pouvoir menjadi tiga kategori: a) Ketika tindakan pejabat pemerintahan tersebut benar-benar diambil tanpa didasari kepentingan publik (when the administrative act is completely taken without the public interest in mind). b) Ketika tindakan pejabat pemerintahan diambil atas dasar kepentingan umum, tetapi diskresi yang dilakukannya itu tidak sesuai tujuan dari peraturan dasarnya (when the administrative act is taken on the basis of the public interest but the discretion which the administration exercises in doing so was not conferred by law for that purpose). c) Dalam kasus yang bersifat prosedural, pejabat pemerintahan bertindak menyimpang ketika menerapkan suatu norma dalam peraturan, yang prosedurnya sesuai ketentuan yang ada, tetapi tujuannya lain dari apa yang ada dalam peraturan tersebut (in cases of détournement de procedure where the administration, concealing the real content of the act under a false appearance, follows a procedure reserved by law for other purposes). Konsep di Prancis ini membawa pengaruh pada penegakan hukum di Belanda. Mahkamah Agungnya (Hoge Raad) juga menjadikan penyalahgunaan wewenang sebagai unsur dalam membuat (pertimbangan hukum) Putusan.5 2. Pengertian Penyalahgunaan Wewenang Secara Teoritis Berdasarkan asal muasalnya tersebut, konsep penyalahgunaan wewenang selalu diparalelkan dengan istilah détournement de pouvoir. Konsep ini diikuti dan berkembang juga di Belanda. Verklarend Woordenboek Openbaar Bestuur merumuskannya sebagai penggunaan wewenang tidak sebagaimana mestinya. Maksudnya, pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu. Dengan demikian pejabat melanggar asas spesialitas (asas tujuan).6 Tolok ukur terjadinya penyalahgunaan wewenang, harus didahului dengan adanya pembuktian secara faktual bahwa badan dan/atau pejabat pemerintahan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain. Namun, terjadinya penyalahgunaan wewenang bukanlah karena suatu kealpaan. Tindakan dan/atau keputusan tersebut dilakukan secara sadar, yaitu mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu. Pengalihan 5
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Sinar Mas, Surabaya, 1994, hlm. 157 dan 159 6 Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktek Tindak Pidana Korupsi, Kencana, Jakarta, 2014, hlm. 35 365
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 361-384
tujuan juga didasarkan atas kepentingan (interest) pribadi, baik yang sifatnya untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.7 Dengan demikian, parameternya adalah untuk kepentingan umum. Menurut Ten Berge, implikasi kewenangan atau kekuasaan pemerintahan dari adanya penyalahgunaan wewenang, bukan semata-mata sebagai wewenang terikat (gebonden bestuur), tetapi juga merupakan suatu wewenang bebas (vrij bestuur, Freies Ermessen, discretionary power). Jadi, wewenang atau kekuasaan bebas itu meliputi kebebasan kebijakan dan kebebasan penilaian yang dilakukan badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam bertindak dan/atau mengeluarkan keputusan.8 Adanya wewenang yang luas ini, dapat berdampak negatif, maka memerlukan lembaga penyeimbang yang mengontrolnya, sebagai konsekuensi adanya pemisahan kekuasaan dalam lembaga negara, sehingga ada check and balances terhadap tindakan dan/atau keputusan pemerintahan. Lembaga dimaksud adalah lembaga yudikatif (peradilan). Konsep penyalahgunaan wewenang inilah yang kemudian dijadikan alat uji di lembaga peradilan. 3. Penyalahgunaan Wewenang sebagai Asas Hukum Sebagai asas hukum, penyalahgunaan wewenang merupakan bagian dari asas hukum publik (khususnya HAN). Dalam HAN dikenal asas larangan penyalahgunaan wewenang, yang merupakan salah satu dari asasasas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). UU Nomor 9 Tahun 2004 menjadi dasar hukum bahwa AAUPB merupakan salah satu sarana pengujian keputusan dan/atau tindakan pemerintahan. Perkembangan AAUPB dalam area ilmu pengetahuan, ditemukan melalui discours (wacana ilmiah) dalam pandangan antagonistis antara Struycken dan Krabbe yang sama-sama dilatar-belakangi oleh kebencian mereka terhadap asas legalisme, meskipun di antara mereka terdapat perbedaan di dalam menemukan dasar bagi pentingnya kehadiran AAUPB tersebut.9 Kemudian dalam literatur Indonesia, AAUPB sudah mulai dikenal sejak tahun 1953, melalui buku G.A. van Poelje yang diterjemahkan oleh B. Mang Reng Say, akan tetapi asas-asas tersebut tidak banyak memperoleh perhatian di lingkungan HAN Indonesia. Kemudian barulah sejak diperkenalkan oleh Crince de Roy dalam kuliahnya pada penataran Lanjutan
7
Ibid Ibid., hlm. 36 9 SF. Marbun, Eksistensi Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Layak Dalam Menjelmakan Pemerintahan Yang Baik dan Bersih di Indonesia, Disertasi Unpad, Bandung, 2001, hlm. 146 8
366
Pemikiran dan Pengaturan Penyalahgunaan Wewenang di Indonesia, Yulius
HAN di tahun 1978 di Surabaya, AAUPB tersebut mulai banyak memperoleh perhatian di lingkungan HAN Indonesia.10 AAUPB yang banyak dimuat dalam literatur HAN Indonesia, sebagian besar bahkan hampir seluruhnya berasal dari HAN Belanda, meskipun AAUPB tersebut sebagai asas tidak bersifat universal. Artinya sebagai asas hukum AAUPB tersebut sangat dipengaruhi oleh manusia, alam dan tradisi yang sifatnya dapat berubah-ubah (variabel) sesuai tempat, waktu, dan keadaan.11 Oleh karenanya, penyalahgunaan wewenang sebagai asas hukum tidak bersifat rigid sebagaimana halnya norma hukum, melainkan dinamis mengikuti kontekstualitasnya. Beranjak dari konsep tersebut, maka dapat digambarkan aspek penting dalam pengujian atau penilaian penyalahgunaan wewenang adalah sebagai berikut: Pengujian/Penilaian Lembaga Peradilan
Kewenangan/Wewenang
Prosedural
Substansial
Ditinjau: - Ratione materiae - Ratione loci - Ratione temporis
Peraturan Per-UU-an
AAUPB Penyalahgunaan Wewenang
C. Perkembangan Penyalahgunaan Wewenang secara Normatif dan Implementasinya di Indonesia Sebelum berlakunya UU AP, norma hukum yang mengatur mengenai penyalahgunaan wewenang hanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU Peratun), khususnya ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b. Dari aspek pembentukannya, ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b ini dimaksudkan untuk dijadikan alasan (dasar) 10 11
Ibid., hlm. 166 Ibid., hlm. 169 367
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 361-384
gugatan pihak Penggugat. Keberadaannya tidak statis, melainkan dimungkinkan adanya perkembangan oleh yurisprudensi. Artinya, aspek pengujian PTUN tidak hanya bersifat wetmatigheid akan tetap juga rechtmatigheid.12 Substansi dalam norma tersebut menentukan bahwa, “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut”. Sebagai tafsir otentiknya (dapat dilihat dalam penjelasannya), yaitu setiap penentuan norma-norma hukum di dalam tiap-tiap peraturan itu tentu dengan tujuan dan maksud tertentu. Oleh karena itu, penerapan ketentuan tersebut harus selalu sesuai dengan tujuan dan maksud khusus diadakannya peraturan yang bersangkutan. Dengan demikian, peraturan yang bersangkutan tidak dibenarkan untuk diterapkan guna mencapai halhal yang di luar maksud tersebut. Jadi, wewenang materiil badan atau pejabat pemerintahan yang bersangkutan dalam mengeluarkan KTUN juga terbatas pada ruang lingkup maksud bidang khusus yang telah ditentukan dalam peraturan dasarnya. Dengan demikian, secara normatif ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 telah memberikan pengakuan terhadap eksistensi asas larangan penyalahgunaan wewenang, sehingga setiap badan atau pejabat pemerintahan harus menggunakan wewenang yang dimilikinya sesuai dengan maksud dan tujuan semula diberikannya wewenang itu kepadanya. Sebab, setiap penentuan norma hukum di dalam setiap peraturan tentu dengan maksud dan tujuan tertentu, sehingga norma hukum itu tidak dibenarkan diterapkan atau digunakan untuk hal-hal lain di luar maksud dan tujuan norma hukum tersebut. Menariknya, norma penyalahgunaan wewenang dalam UU Peratun ini dijadikan dasar pertimbangan hukum oleh Majelis Kasasi ketika menangani perkara pidana. Berikut beberapa perkara pidana terkait penyalahgunaan wewenang yang sudah menjadi yurisprudensi, dan terbentuknya kaidah hukum didasari oleh konsep HAN: 1) Putusan Nomor 977 K/PID/2004 dan Putusan Nomor 979 K/PID/2004 Pertimbangan Hukum Majelis Kasasi terkait Penyalahgunaan Wewenang: - Bahwa judex facti telah keliru dalam menafsirkan "unsur menyalahgunakan kewenangan" sebagaimana dimaksud dalam Pasal I ayat (1) sub.b, Undang-Undang No.3 Tahun 1971.
12
Catatan Rapat Pembahasan RUU PTUN antara Pansus DPR RI dengan Pemerintah, Sabtu 25 Oktober 1986 368
Pemikiran dan Pengaturan Penyalahgunaan Wewenang di Indonesia, Yulius
-
-
-
-
Bahwa sehubungan dengan unsur tidak pidana tersebut, terlebih dahulu perlu dikemukakan pendapat-pendapat Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, SH.MH. dalam makalahnya "Antara" Kebijaksaan Publik" (Publiek Beleid, Azas Perbuatan Melawan Hukum Materiil Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia yang pokoknya adalah "Pengertian penyalahgunaan "menyalahgunakan wewenang" dalam Hukum Pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi tidak memiliki pengertian yang eksplisitas sifatnya. Bahwa mengingat tidak adanya eksplisitas pengertian tersebut dalam Hukum Pidana, maka dipergunakan pendekatan ektensif berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen tentang kajian "De Autonomie van bet Materiele Strafrecbt" (Otonomi dari Hukum Pidana Materiel). Intinya mempertanyakan apakah ada harmoni dan disharmoni antara pengertian yang sama antara Hukum Pidana, khususnya dengan Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara sebagai suatu cabang hukum lainnya. Disini akan diupayakan keterkaitan pengertian yang sama bunyinya antara cabang ilmu Hukum Pidana dengan cabang ilmu hukum lainnya. Bahwa apakah yang dimaksudkan dengan disharmoni dalam halhal dimana kita memberikan pengertian dalam Undang-Undang Hukum Pidana dengan isi lain mengenai pengertian yang sama bunyinya dalam cabang hukum lain, ataupun dikesampingkan teori, fiksi dan konstruksi dalam menerapkan hukum Pidana pada cabang hukum lain. Kesimpulannya dikatakan bahwa mengenai perkataan yang sama, Hukum Pidana mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi jika Hukum Pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Dengan demikian, apabila pengertian "menyalahgunakan kewenangan" tidak ditemukan eksplisitasnya dalam Hukum Pidana, maka Hukum Pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya. Bahwa Ajaran tentang "Autonomie van het Materiele Strafrecht" diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang selanjutnya dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung RI. No.1340 K/Pid/ 1992 tanggal 17 Februari 1992 sewaktu adanya perkara tindak pidana korupsi yang dikenal dengan perkara "Sertifikat Ekspor" dimana Drs. Menyok Wijono didakwa melanggar Pasal 1 ayat (1) sub B Undang- Undang No.3 Tahun 1971 sebagai Kepala Bidang 369
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 361-384
Ekspor Kantor Wilayah IV, Direktorat Jenderal Bea & Cukai Tanjung Priok, Jakarta.Oleh Mahkamah Agung RI. Dilakukan penghalusan hukum (rechtsvervijning") pengertian yang luas dari Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No.3 Tahun 1971 dengan cara mengambil alih pengertian "menyalahgunakan kewenangan" yang ada pada Pasal 52 ayat (2) huruf b Undang-Undang No.5 Tahun 1986 (tentang Peradilan Tata Usaha Negara), yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut atau yang dikenal dengan "detournement de poivoir". Memang, pengertian detournement de pouvoir, dalam kaitannya dengan Freies Ermessen ini mengalami perluasan arti berdasarkan Yurisprudensi di Perancis. Menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu: 1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakantindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. 2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh Undang-Undang atau peraturanperaturan lain. 3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana. Kaidah Hukum: Lamanya pidana yang dijatuhkan perlu disesuaikan dengan rasa keadilan bagi Terdakwa, mengingat Terdakwa tidak terbukti telah ikut menikmati hasil kejahatan tersebut dan perbuatan terdakwa dilaksanakan dalam rangka kebijaksanaan pemerintah, hanya saja dalam pelaksanaannya tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian yang dianut oleh perbankan (prudential banking). Penjatuhan pidana lamanya dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang lebih bersifat korektif dan edukatif, dengan tetap memperhatikan tujuan pemidanaan yang bersifat preventif. 2) Putusan Nomor 742 K/PID/2007 Pertimbangan hukum Majelis wewenang: 370
Kasasi
terkait
penyalahgunaan
Pemikiran dan Pengaturan Penyalahgunaan Wewenang di Indonesia, Yulius
Bahwa sehubungan dengan pengertian unsur “menyalahgunakan kewenangan” dalam pasal 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001, Mahkamah Agung adalah berpedoman pada putusannya tertanggal 17 Pebruari 1992, No.1340 K/Pid/1992, yang telah mengambil alih pengertian “menyalahgunakan kewenangan” yang pada pada pasal 52 ayat (2) huruf b Undang-undang No.5 Tahun 1986, yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikan wewenang tersebut atau yang dikenal dengan “detournement de pouvoir” in casu dengan tidak terbuktinya kerjasama antara para terdakwa dengan penjaga gudang berikat, Mudakir dan petugas lainnya pada Kantor Pelayanan Bea dan cukai Tipe H khusus Tanjung Priok I serta Drs. H.A.M Nurdin selaku Ketua Umum INKUD dan Y. Gordianus R. Setyo Lelono selaku Direktur Utama PT. Hexatama Finindo dalam pelaksanaan dikeluarkannya beras yang belum dibayar bea masuknya dari gudang berikat tersebut, menurut pendapat Mahkamah Agung tidak terbukti para terdakwa telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut berdasarkan Bab XII Undang-undang No.10 Tahun 1995, peraturan administrasi lainnya, dan in casu masingmasing telah melaksanakan tugas wewenangnya sesuai dengan Surat Keputusan pengangkatan dalam masing-masing jabatannya. Kaidah Hukum: Putusan bebas yang dijatuhkan adalah didasarkan tidak terbuktinya salah satu unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jis Undang-undang No.20 Tahun 2001 dan pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dalam dakwaan Subsidair, yaitu unsur “menyalahgunakan kewenangan”. Pada saat sekarang, norma Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang dijadikan pertimbangan hukum oleh MA tersebut sudah direvisi menjadi bagian AAUPB dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Namun perkembangannya, secara eksplisit konsep penyalahgunaan wewenang ini, dinormatifkan lagi dalam UU AP. Ketentuan Pasal 17 ayat (2) UU AP mengartikan penyalahgunaan wewenang, meliputi: melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan bertindak sewenang-wenang. Jadi, norma ini memberi pengertian yang lebih luas atas penyalahgunaan wewenang, karena selama ini adanya pembedaan konsep antara penyalahgunaan wewenang dengan sewenang-wenang (yang di dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 diatur oleh Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c).
371
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 361-384
D. Kajian HAN terhadap Penyalahgunaan Wewenang dalam UU AP Untuk mengurai problematika hukum berupa norma, perlu menggunakan kerangka interpretasi yang lebih komprehensif. Artinya, dalam memahami norma hukum, tidak cukup hanya menggunakan interpretasi yang tinjauannya bersifat tekstual-gramatikal. Perlu mengkontekstualisasikan norma hukum dimaksud. Tujuannya adalah agar hukum tidak lagi dianggap tertatih-tatih mengikuti permasalahan hukum kekinian yang demikian kompleks. Sarananya, dengan menggunakan kajian tafsir hukum yang berkarakter filosofis, yakni hermeneutika hukum. Hermeneutika hukum merupakan suatu upaya untuk mengidentifikasi kondisi pemahaman manusia yang tidak dapat direduksi (is an attempt to identify the irreducible conditions of human understanding). Selain itu, menurut Gregory Leyh metode ini juga menjalani tugas ontologis, maksudnya tugas yang terkait dengan sebuah hubungan yang tidak akan terelakkan lagi antara teks dan pembaca, masa lalu dan masa kini, yang memungkinkan terjadi kesepemahaman (that of accounting for the ineluctable relationships between text and reader, past and present, that allow for understanding to occur in the first place).13 Artinya, hukum selalu berada dalam sebuah konfigurasi-logis, sehingga senantiasa perlu dikontekstualisasikan. Untuk memahami penyalahgunaan wewenang dalam UU AP dari perspektif hermeneutika hukum juga harus dipahami dari aspek terbentuknya norma hukumnya sampai dengan adanya konfigurasi yang ada pasca pemberlakuannya. Oleh karenanya perlu adanya penelusuran adanya benang merah antara teks penyalahgunaan wewenang dan kontekstualitasnya. Ketentuan Pasal 21 UU AP lebih jelasnya tertera sebagai berikut: Ayat (1): Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan. Ayat (2) : Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/atau tindakan. Kedua norma tersebut, konteksnya menyesuaikan tujuan pengaturannya, yakni agar tercipta tertib administrasi pemerintahan, ada kepastian hukum, mencegah adanya penyalahgunaan wewenang, menjamin akuntabilitas badan dan/atau pejabat pemerintahan, dan memberikan 13
Gregory Leyh, Legal Hermeneutics: History, Theory, And Practice, University Of California Press, Oxford, hlm. xii 372
Pemikiran dan Pengaturan Penyalahgunaan Wewenang di Indonesia, Yulius
perlindungan hukum yang seimbang antara warga masyarakat dengan badan dan/atau pejabat pemerintahan. Lebih lengkapnya, tujuan UU AP diatur dalam ketentuan Pasal 3 UU AP. Akan tetapi, yang mempunyai relevansi dengan penegakan hukum penyalahgunaan wewenang hanya lima hal tersebut. Kelima tujuan inilah dapat dijadikan asumsi dasar dalam memahami ketentuan Pasal 21 UU AP. Lebih lanjut, secara eksplisit dan tegas, Pasal 21 menyatakan bahwa untuk menentukan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan merupakan kewenangan lembaga peradilan (Pengadilan). Pengadilan yang dimaksud, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 18 UU AP adalah PTUN. Dengan demikian, konteks penegakan hukum dalam ketentuan pasal ini hanya penyalahgunaan wewenang yang menjadi kompetensi absolut PTUN. Penyalahgunaan wewenang di sini berkaitan dengan apa yang namanya “jabatannya”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 UU AP, yang dimaksud dengan “wewenang” adalah hak yang dimiliki oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Secara letterlijk, istilah ini dibedakan dengan “kewenangan”, yang di dalam ketentuan Pasal 1 angka 6-nya diartikan sebagai kekuasaan badan dan/atau pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik. Meskipun secara terminologi, UU AP membedakan antara “wewenang” dan “kewenangan”, akan tetapi sejatinya sama-sama ditujukan kepada “jabatan” yang melekat pada badan dan/atau pejabat pemerintahan atau penyelenggara lainnya. Perbedaannya hanya pada kata “hak” pada wewenang dan “kekuasaan” pada kewenangan. Menurut penulis, pembedaan ini hanya sebatas “spesies” dan “genus” dari sebuah jabatan. “Hak” (bersifat privasi) merupakan spesies dari “kekuasaan” (bersifat lebih umum), karena wewenang dalam ketentuan ini diikuti dengan kalimat “untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan”. Sedangkan “kekuasaan”, merupakan tindakan dalam ranah hukum publik. Hukum publik di sini, tentunya lebih luas dari sekedar penyelenggaraan pemerintahan (pemerintah dalam arti aktif). Jadi, secara teoritis “wewenang” secara spesifik masuk dalam ranah hukum administrasi negara (HAN), dan “kewenangan’ lebih ekstensif lagi, yaitu masuk dalam ranah hukum kenegaraan dalam arti luas. Perbedaan kedua pengertian tersebut (“wewenang” dan “kewenangan”), ada yang membawanya pada permasalahan ke arah “titik
373
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 361-384
singgung” antara PTUN dan PN (Pidana/Tipikor).14 Istilah penyalahgunaan kewenangan inilah yang muncul secara tekstual dalam ketentuan Pasal 3 UU Tipikor, yang selengkapnya menyatakan sebagai berikut: “Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Ketentuan ini menjadikan penyalahgunaan wewenang (istilah dalam undang-undang Tipikor adalah penyalahgunaan kewenangan) sebagai unsur penting dalam menentukan suatu tindak pidana. Secara tekstual norma ini berkaitan dengan badan dan/atau pejabat pemerintahan, karena dilanjuti dengan kalimat “kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Meskipun UU AP dan UU Tipikor memberikan istilah yang berbeda, yaitu penyalahgunaan wewenang dan penyalahgunaan kewenangan, akan tetapi dalam tataran praktis-teoritis, maknanya tidak ada perbedaan. Sebagaimana dinyatakan oleh Guntur Hamzah, bahwa pada saat UU AP di disain tidak ada perbedaan prinsipil/substantif antara wewenang dan kewenangan, yang ada hanya perbedaan gradual. Perbedaan gradual, bahwa ketika yang melakukan kewenangan maka addressat-nya adalah lembaga, dan apabila yang menjalankan itu pejabat pemerintahan maka itu merupakan wewenang. Jadi, kalau ada perbedaan atau dipisahkan antara istilah wewenang dan kewenangan akan menimbulkan kontradiksi-kontradiksi.15 Dengan demikian, baik “penyalahgunaan wewenang” maupun “penyalahgunaan kewenangan”, sama-sama tindakan yang melanggar salah satu prinsip dalam hukum publik, dan secara teoritis lahir dan berkembang di rumpun HAN. Terlepas dari adanya perbedaan istilah tersebut, yang perlu dijadikan dasar berpikir adalah lahirnya UU Tipikor ini berdasarkan konsiderannya menginginkan adanya pemberantasan korupsi, karena sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan 14
Dr. D. Andhi Nirwanto, Arah Pemberantasan Korupsi Ke Depan (Pasca UU AP), disampaikan dalam Seminar Nasional Dalam Rangka HUT IKAHI Ke-62, 2015 15 Guntur Hamzah, UUAP, Menguatkan atau Melemahkan Upaya Pemberantasan Korupsi, Seminar Nasional Dalam Rangka HUT IKAHI Ke-62, 2015 374
Pemikiran dan Pengaturan Penyalahgunaan Wewenang di Indonesia, Yulius
nasional, sehingga korupsi harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Jadi, konteks penormaan Pasal 3 UU Tipikor tidak lepas dari dasar berpikir tersebut. Hal ini secara kontekstual, sejalan dengan diberlakukannya UU AP, yang di dalam Penjelasan Umumnya menyatakan bahwa undangundang ini menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan di dalam meningkatkan kepemerintahan yang baik (good governance) dan upaya untuk mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dapat disimpulkan di sini, antara UU Tipikor dan UU AP senafas dalam melakukan kontrol hukum terhadap jalannya (birokrasi) roda pemerintahan. Hanya saja, masing-masing berbeda dalam implementasi penegakan hukumnya, UU AP bergerak pada penegakan HAN, sedangkan UU Tipikor dilaksanakan dalam ranah penegakan hukum pidana (korupsi). Benang merahnya dapat dilihat juga dalam substansi pengaturan penyelenggaraan negara oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, yang di dalamnya kental mengatur hubungan antara HAN dan hukum pidana (korupsi). Selanjutnya yang perlu dikaji adalah apakah ketentuan Pasal 21 UU AP yang mengatur penyalahgunaan wewenang, merupakan norma hukum tunggal (berdiri sendiri)? Artinya, tidak terikat dengan pasal lainnya, ataukah memang saling berkaitan dengan pasal yang berkaitan atau norma hukum berpasangan (antara primer dan sekunder). Mengingat, UU AP pada “Bagian Ketujuh”nya secara khusus membahas larangan penyalahgunaan wewenang sebagai salah satu materi muatan dalam UU AP, maka dalam ketentuan Pasal 21 UU AP tersebut yang merupakan bagian dari bagian materi muatan ini, normanya tidak berdiri sendiri. Artinya ada pasal-pasal lain sebelumnya yang saling berkaitan, yakni Pasal 17 sampai dengan Pasal 20 UU AP. Hal tersebut berdasarkan isi norma Pasal 17 dan 18 UU AP yang sifatnya norma hukum primer, yang selengkapnya Pasal 17 ayat (1) dan (2) menentukan sebagai berikut: Ayat (1) : Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang. Ayat (2) : Larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Larangan melampaui wewenang. b. Larangan mencampuradukkan wewenang, dan/atau c. Larangan bertindak sewenang-wenang. Kemudian, ketentuan Pasal 18 ayat (1), (2), dan (3) UU AP, menyatakan sebagai berikut: 375
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 361-384
Ayat (1) : Badan dan/atau Pejabat dikategorikan melampaui wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. Melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya wewenang. b. Melampaui batas wilayah berlakunya wewenang, dan atau c. Bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ayat (2) : Badan dan/atau Pejabat dikategorikan melampaui wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. Di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan, dan/atau b. Bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan. Ayat (3) : Badan dan/atau Pejabat dikategorikan melampaui wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. Tanpa dasar kewenangan, dan/atau b. Bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Ketentuan norma-norma tersebut hanya berupa patokan yang harus dipatuhi oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, sehingga perlu norma hukum lain (norma sekunder) yang mengatur tata cara penanggulangannya apabila norma primer tidak dipenuhi atau dipatuhi. Oleh karenanya berkaitan dengan ketentuan selanjutnya, yaitu Pasal 19 sampai dengan Pasal 21 UU AP. Pasal 19 ayat (1) dan (2) di sini menentukan bahwa penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat pemerintahan itu sah atau tidak sah dan batal atau tidak batal berdasarkan Putusan Pengadilan yang berkedudukan hukum tetap. Akan tetapi, sebelum adanya permohonan ke Pengadilan, menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan (2) tersebut, terlebih dahulu harus adanya hasil pengawasan dari aparat pengawasan intern pemerintah (APIP). Hasil pengawasan ini berupa: a. Tidak terdapat kesalahan. b. Terdapat kesalahan administratif, atau c. Terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Apabila terdapat kesalahan administratif, maka berdasarkan Pasal 20 ayat (3) UU AP dilakukan tindak lanjut dalam bentuk penyempurnaan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan terhadap adanya kesalahan administratif yang menimbulkan 376
Pemikiran dan Pengaturan Penyalahgunaan Wewenang di Indonesia, Yulius
kerugian keuangan negara, Pasal 20 ayat (4)-nya menentukan adanya keharusan bagi badan dan/atau pejabat pemerintahan mengembalikan kerugian keuangan negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja yang dihitung sejak diputuskan dan diterbitkan hasil pengawasan APIP. Kemudian, apabila kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara terjadi bukan karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang, maka pengembalian keuangan kerugian negara dibebankan kepada Badan Pemerintahan. Sebaliknya, apabila kejadian tersebut terbukti karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang, maka pembebanan kerugian negara ditanggung oleh Pejabat Pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (5) dan (6) ketentuan ini. Jadi, maksud ketentuan tersebut, PTUN hanya berwenang menilai unsur penyalahgunaan wewenang setelah adanya permohonan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Penilaiannya hanya sebatas kesalahan administratif Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, berupa terpenuhi atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan 18 UU AP. Itu pun setelah adanya hasil pengawasan APIP. Akan tetapi, PTUN tidak dapat menilai hasil pengawasan APIP secara keseluruhan (termasuk kerugian keuangan negara). Dengan demikian, konteks kompetensi absolut PTUN terhadap penilaian perkara penyalahgunaan wewenang, hanya berupa pertanggungjawaban (liability dan responsibility) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atas kesalahan administratif yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Ada kemiripannya dengan teori Kranenburg dan Vegtig mengenai “fautes personalles” dan “fautes de service”. Dimana penentuan ada atau tidaknya kesalahan secara administratif, berkonsekuensi pada tanggung jawab pribadi atau jabatan. Perlu menjadi catatan di sini, dalam menguji penyalahgunaan wewenang pada tataran praktis (penerapan UU AP), tidak perlu mempertentangkan antara konsep secara teoritis “penyalahgunaan wewenang” dengan ketentuan Pasal 17 dan 18 UU AP. Penyalahgunaan wewenang merupakan definisi yang selalu diperdebatkan dalam ranah teori (kajian ilmiah), sehingga dalam perluasan makna penyalahgunaan wewenang dalam norma UU AP yang sudah menjadi norma harus dijalankan, karena undang-undang menurut asas legalitas adalah sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara yang berwenang (Presiden dan DPR) mengikat secara umum (tanpa terkecuali). Dengan demikian, norma dalam undang-undang tidak dapat disimpangi sebelum dicabut atau dibatalkan oleh lembaga negara yang berwenang.
377
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 361-384
Gambarannya sebagai berikut:
Terbukti
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
Penilaian PTUN
Unsur Penyalahgunaan Wewenang Penyalahgunaan Wewenang Hasil Pengawasan APIP Kesalahan Administratif dan Kerugian Keuangan Negara
Kerugian Keuangan Negara Dibebankan Kepada Pejabat Pemerintahan Kerugian Keuangan Negara Dibebankan Kepada Badan Pemerintahan
Tidak Terbukti
Untuk mengetahui siapa dan apa tupoksi lembaga APIP, dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Dalam ketentuan Pasal 49 ayat (1)-nya, disebutkan APIP terdiri dari: BPKP, Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern, inspektorat Provinsi; dan Inspektorat Kabupaten/Kota. Menurut ketentuan ini, secara garis besar ada 5 (lima) tugas pokok APIP, yaitu: 1. Audit, adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi bukti yang dilakukan secara independen, obyektif dan profesional berdasarkan standar audit, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, efektivitas, efisiensi, dan keandalan informasi pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. 2. Review adalah penelaahan ulang bukti-bukti suatu kegiatan untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, standar, rencana, atau norma yang telah ditetapkan. 3. Evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan hasil atau prestasi suatu kegiatan dengan standar, rencana, atau norma yang telah ditetapkan, dan menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan. 4. Pemantauan adalah proses penilaian kemajuan suatu program atau kegiatan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 5. Kegiatan pengawasan lainnya, antara lain berupa sosialisasi mengenai pengawasan, pendidikan dan pelatihan pengawasan, pembimbingan dan konsultansi, pengelolaan hasil pengawasan, dan pemaparan hasil pengawasan. Atas dasar uraian pemikiran tersebut, sudah jelas dan tegas apa yang menjadi objek pengujian perkara penyalahgunaan wewenang di PTUN. Jadi, 378
Pemikiran dan Pengaturan Penyalahgunaan Wewenang di Indonesia, Yulius
tidak ada tumpang tindih antara norma penyalahgunaan wewenang dalam UU AP dan UU Tipikor, karena masing-masing mempunyai kompetensi absolut yang berbeda. Sehingga, tidak tepat apabila PTUN menguji penyalahgunaan wewenang yang actus reus (tindak pidana yang dilakukan) dan mens rea (sikap-batin atau niatnya) kesalahan bersifat kepidanaan. Belum lagi, ketentuan Pasal 2 angka 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang PTUN Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang PTUN menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab UndangUndang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana, termasuk yang dikecualikan atau tidak dapat digugat ke PTUN. Dengan demikian, ketentuan Pasal 2 angka 4 UU PTUN ini semakin memperkokoh kewenangan PTUN dalam menguji ada atau tidak adanya penyalahgunaan wewenang dan tidak masuk ke dalam ranah hukum pidana. Dalam memahami konteks yang demikian, sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsip antara norma hukum dalam Pasal 21 UU AP dengan Pasal 3 UU Tipikor. Karena, masing-masing tidak saling bersinggungan dan berjalan secara paralel. Bahkan di Perancis terhadap perkara penyalahgunaan wewenang penyelesaian secara litigasinya dapat berjalan bersamaan dan tidak saling menunggu antara PTUN dengan Peradilan Umum (pidana). Di sini, hakim TUN tidak boleh menjalankan fungsi sebagai hakim pidana. Begitu juga sebaliknya, hakim pidana tidak dapat mendudukan dirinya sebagai hakim TUN. Kedua lembaga peradilan ini mempunyai prinsip-prinsip hukum masing-masing yang tidak saling bertentangan, akan tetapi dapat saling mengisi.16 Dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Pasal 21 UU AP tidak ada hubungannya dengan Pasal 3 UU Tipikor Perkara Penyalahgunaan Wewenang proses PTUN (Pasal 21 UU AP) Perkara Penyalahgunaan Wewenang proses PN (Pidana/Tipikor) (Pasal 3 UU Tipikor)
16
Sebagaimana yang dideskripsikan oleh Marc Clement (Hakim Pengadilan Banding TUN Lyon di Perancis) ketika berkunjung dan berdiskusi dengan Para Hakim Agung, Hakim Tinggi, dan Hakim Tingkat Pertama TUN di Mahkamah Agung pada tanggal 19 Oktober 2015. 379
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 361-384
Pasal 21 UU AP tidak bersinggungan dengan Pasal 3 UU Tipikor Perkara Penyalahgunaan Wewenang PTUN (Pasal 21 UU AP) proses Perkara Penyalahgunaan Wewenang PN (Pidana/Tipikor) (Pasal 3 UU Tipikor) Dalam ranah hukum keduanya mempunyai asas hukum dan pengaturan tersendiri, seperti dalam hukum pidana dikenal asas “autonomie van het materiele straftrecht” (hak otonomi hukum pidana materiel), akan tetapi asas ini tidak boleh bertentangan atau memasuki wilayah asas hukum lainnya, misalnya asas dalam HAN. Artinya, penerapan asas hukum jangan sampai terjadi ketidakteraturan hukum (disorder of law), karena akan terjadi kesesatan dan kehancuran tatanan hukum sehingga hukum tidak lagi berfungsi (chaos of law). Akan tetapi harus dipahami secara konstruktif menuju ke arah keutuhan (tatanan) hukum, yaitu dapat saling melengkapi. Misalnya: ketentuan Pasal 3 UU Tipikor yang dalam hukum pidananya tidak memaknai istilah “penyalahgunaan kewenangan”, dapat menggunakan makna yang ada dalam ranah HAN, karena konsep penyalahgunaan wewenang atau kewenangan hanya ada dalam asas HAN. Selanjutnya, untuk menghindari adanya perbedaan persepsi dalam implementasi ketentuan mengenai ketentuan Pasal 21 UU AP, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang (selanjutnya disebut Perma No. 4 Tahun 2015). Perma ini terbentuk dikarenakan belum adanya hukum acara yang dapat mengakomodir berlakunya ketentuan Pasal 21 UU AP, padahal berdasarkan Pasal 89 UU AP menentukan undangundang ini berlaku pada tanggal diberlakukan, dan pemberlakuan undangundang ini pada tanggal 17 Oktober 2014. Hal-hal penting yang diatur dalam Perma adalah sebagai berikut: 1. Pihak Pemohon adalah Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang kepentingannya merasa dirugikan oleh hasil pengawasan APIP. 2. PTUN baru berwenang menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penilaian ada atau tidak adanya penyalahgunaan wewenang sebelum adanya proses pidana dan setelah adanya hasil pengawasan APIP. 3. Syarat-syarat formal yang harus ada dalam permohonan Pemohon. 4. Prosedur beracara (tata cara) permohonan. 5. Adanya jadwal sidang (court calendar) yang pasti. 6. Putusan PTUN hanya menyatakan ada atau tidak adanya unsur penyalahgunaan wewenang.
380
Pemikiran dan Pengaturan Penyalahgunaan Wewenang di Indonesia, Yulius
Perma No. 4 Tahun 2015 tersebut pada dasarnya mengisi kekosongan peraturan dan hanya berupa pedoman (guidance) atau semacam hukum formil bagi penegakan hukum materiil (UU AP) berupa penyalahgunaan wewenang di PTUN. Hanya saja, ada hal penting lainnya yang perlu diperhatikan oleh hakim TUN, yaitu karena tidak adanya pengaturan keharusan bagi pihak APIP untuk menanggapi permohonan Pemohon terhadap hasil pengawasan yang dibuat APIP, bukan berarti pihak APIP tidak dapat dimintai keterangannya. Padahal fakta-fakta dan bukti hasil pengawasan tersebut hanya pihak APIP yang dapat menjelaskannya. Hal ini juga untuk memenuhi prinsip universal yang berlaku dalam hukum formil, yaitu asas audi at alteram partem. Dengan demikian, perlu ada kesepemahaman dan kesepakatan bersama para penegak hukum (khususnya jajaran Peradilan TUN) dalam menerapkan Perma tersebut. Utamanya, dalam persidangan Majelis Hakim perlu memintai keterangan dari pihak APIP yang lebih mengetahui isi atau kronologis adanya hasil pengawasannya, sehingga badan dan/atau pejabat pemerintahan itu dinyatakan melakukan kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Keterangan ini untuk menggali ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang dan mencari kebenaran materiil. Selain itu, masih perlu ada penafsiran lebih lanjut mengenai ketentuan Pasal 2 ayat (1) Perma ini yang membatasi kewenangan PTUN dalam menilai unsur penyalahgunaan wewenang, yaitu sebelum adanya proses pidana. Untuk memastikannya perlu ada kesepakatan, mengenai batasan proses pidana tersebut sampai mana, apakah ketika adanya pelaporan atau penyelidikan atau penyidikan. Agar tidak ada perbedaan pendapat dalam penerapan hukum acara ini. E. Penutup Berdasarkan uraian di atas, untuk memahami perkembangan penyalahgunaan wewenang ditinjau dari perspektif HAN, kaitannya dengan UU AP dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pemikiran penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) lahir dari ranah HAN. Konsep ini lahir dan berkembang di negara Prancis, kemudian diikuti oleh negara lainnya, khususnya di Eropa. Pemikiran penyalahgunaan wewenang masuk ke Indonesia melalui pemikiran HAN yang dibawa oleh ahli hukum dari Belanda. Meskipun berasal dari ranah HAN, namun demikian dalam perkembangannya ranah hukum lain dapat menggunakannya sepanjang ada relevansinya. Hukum pidana misalnya, mempunyai relevansi yang kuat dengan HAN karena
381
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 361-384
2.
3.
4.
5.
selain sama-sama dalam ranah hukum publik, juga sama-sama mengkaji jabatan dalam pemerintahan (negara). Norma penyalahgunaan wewenang merupakan derivasi dari AAUPB. Kemudian norma tersebut secara eksplisit tertera dalam UU Peratun. Perkembangannya, norma tersebut secara gamblang menjadi parameter tindakan dan/atau keputusan badan dan/atau pemerintahan dalam UU AP. Dari perspektif hermeneutika hukum, teks Pasal 21 UU AP harus dipahami secara komprehensif, tidak dianggap sebagai norma tunggal yang berdiri sendiri. Selain itu, juga harus dipahami dalam perkembangan situasional dan kondisional perkembangan hukum publik (HAN), khususnya melihat aspek sosio-politik-kultural pada saat norma penyalahgunaan wewenang diberlakukan sampai dengan berfikir menuju ius constituendum, misalnya: diskursus pengintegrasian HAN dan Hukum Pidana atau semacam admininistrative penal law. Tidak ada konflik norma antara Pasal 21 UU AP maupun Pasal 3 UU Tipikor, karena baik PTUN maupun PN (Pidana/Tipikor) menjalankan fungsinya masing-masing. Meskipun dimungkinkan adanya satu permasalahan hukum diselesaikan di kedua lembaga peradilan tersebut, akan tetapi keduanya mempunyai aspek pengujian yang berbeda, sehingga tidak saling mencampuri atau menguji Putusannya. Nilai yang terkandung dalam norma penyalahgunaan wewenang (Pasal 21 UU AP) ada dua, yaitu bersifat instrumental dan protektif. Nilai instrumental, artinya badan dan/atau pejabat pemerintahan harus menggunakan wewenangnya sesuai apa yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan dan/atau AAUPB. Sedangkan, nilai protektif lebih memberikan perlindungan hukum bagi badan dan/atau pejabat pemerintahan yang mempunyai itikad baik dalam menjalankan tupoksinya sesuai wewenangnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan/atau AAUPB. Perma No. 4 Tahun 2015 sifatnya hanya mengisi kekosongan peraturan perundang-undangan (wetvacuum), sehingga perlu ada perubahan hukum formil (UU PTUN) setingkat undang-undang yang mengatur lebih terperinci lagi dan sesuai asas dan kaidah hukum yang universal.
Daftar Pustaka Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktek Tindak Pidana Korupsi, Kencana, Jakarta, 2014.
382
Pemikiran dan Pengaturan Penyalahgunaan Wewenang di Indonesia, Yulius
D. Andhi Nirwanto, Arah Pemberantasan Korupsi Ke Depan (Pasca UU AP), Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Dalam Rangka HUT IKAHI Ke-62, 2015. E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Sinar Mas, Surabaya, 1994. G.H. Addink, Algemene beginselen van behoorlijk bestuur, Kluwer, 1999. Gregory Leyh, Legal Hermeneutics: History, Theory, and Practice, University Of California Press, Oxford. Guntur Hamzah, UUAP, Menguatkan atau Melemahkan Upaya Pemberantasan Korupsi, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Dalam Rangka HUT IKAHI Ke-62, 2015. John Bell, dkk, Principles of French Law, Oxford University Press, 1998. Nur Basuki Winarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Leksbang Mediatama, Surabaya, 2009. SF. Marbun, Eksistensi Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Layak Dalam Menjelmakan Pemerintahan Yang Baik Dan Bersih Di Indonesia, Disertasi Unpad, Bandung, 2001. Zudan Arif Fakrulloh, Tindakan Hukum Bagi Aparatur Penyelenggara Pemerintahan, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Dalam Rangka HUT IKAHI Ke-62, 2015.
383
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 361-384
384
MORALITAS HUKUM DALAM HUKUM PRAKSIS SEBAGAI SUATU KEUTAMAAN (Legal Morality in Practical Law as a Virtue)
Subiharta Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Kendari Jl. Mayjen DI. Panjaitan No.165, Kendari Email:
[email protected]
Abstrak Moral tanpa hukum tidak berdaya dan hukum tanpa moral tidak bernilai. Hukum praktis sebagai keutamaan bersendikan moral, memberikan keadilan, kepastian hukum, keseimbangan dan manfaat. Praksis hukum adalah hukum bukan berbicara hitam dan putih tetapi mampu melakukan perubahan terhadap masyarakat, berdimensi etis, mengandung nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Kata kunci: Moralitas Hukum, Keutamaan Hukum Praksis, Keadilan, Kepastian Hukum, Keseimbangan dan Manfaat Abstract Morality without law is powerless and law without morality is meaningless. Practical law as a virtue emphasizes on morality, providing justice, legal certainty, balance and expediency. Practical law isn’t the kind of law in the sense of merely black and white, but it is one that is able to make change in society, have and ethical dimension, contain legal values which live among people in the community. Keywords: Legal Morality, Virtue of Practical Law, Justice, Legal Certainty, Balance, Expediency A. Pendahuluan Pembahasan tentang hukum pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dengan pembahasan terhadap aspek lainnya yaitu aspek moral dan keadilan, hukum juga dapat dilihat dari dimensi teori maupun dimensi praksis. Sehingga dikenal adanya ilmu hukum dogmatik, hukum praksis, hukum yang bertujuan bagi pengembangan ilmu pengetahuan (teori hukum), maupun hukum digunakan sebagai sarana penyelesaian sengketa yang ada di masyarakat. Pada saat membahas masalah hukum tidak dapat dilepaskan kaitan antara ilmu hukum, teori hukum, filsafat hukum dan hukum dalam tataran 385
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 385-398
praksis. Hans Kelsen memandang teori hukum sama sekali tidak menolak persyaratan bagi hukum yang adil. Dengan menyatakan bahwa teori itu sendiri tidak berkompeten untuk menjawab pertanyaan tentang adil atau tidaknya hukum tertentu, dan dimana letak unsur terpenting dari keadilan tersebut. Hans Kelsen berpendapat bahwa keadilan adalah kebahagiaan sosial, dia berpendapat pula bahwa hukum merupakan bagian dari moral, dan keadilan merupakan bagian penting dari hukum positif. Ada hubungan yang erat antara teori hukum dan praksis hukum, teori hukum dapat berkembang dan dikembangkan dari praksis hukum. Sedangkan praksis hukum dapat berkembang dikarenakan adanya teori hukum yang dipelajari oleh para teorisi maupun praktisi, sehingga praksis hukum menjadi mampu untuk memecahkan berbagai masalah sosial yang ada di masyarakat. Perkembangan dari praksis hukum tersebut dapat dilihat dari lahirnya jurisprudensi tetap yang dihormati oleh hakim di bawahnya. Perkembangan teori hukum terus berjalan dengan dilakukannya berbagai pertemuan ilmiah, penelitian dan penulisan ilmiah. Ilmu hukum dan teori hukum juga mempunyai andil yang besar bagi praksis hukum, meskipun demikian objek antara ilmu hukum dan teori hukum mempunyai perbedaan yang mendasar. Paul Scholten membandingkan objek kajian antara ilmu hukum dan teori hukum: 1. Objek ilmu hukum adalah hukum positif dari suatu rakyat tertentu yang berlaku pada suatu waktu tertentu. Objek teori hukum adalah bentuk dari hukum positif, yang menyebabkan menjadi hukum. 2. Ilmu hukum mempersoalkan hal yang banyak keberagaman (veelvuldiheid), sedangkan teori hukum mempersoalkan kesatuan (eenheid). 3. Teori hukum meneliti suatu bagian dari jiwa manusia, dalam ungkapanungkapan historisnya, dan tidak demi ungkapan-ungkapan pada dirinya sendiri, melainkan demi kesatuan yang menjadi cirinya (yang menengarainya), ia demi jiwa itu sendirilah yang menjadi urusannya. 4. Ilmu hukum menanyakan apa yang berlaku sebagai hukum. Teori hukum menanyakan apa hukum itu. 5. Ilmu hukum mencari sistematika dari suatu hukum tertentu, misalnya Hukum Tata Negara Belanda pada masa kini. Teori hukum akan dapat menunjukkan batas-batas pada kemungkinan itu. 6. Teori hukum berhadapan dengan pertanyaan mengenai arti keberadaan sebagai sistem (kebersisteman) tersebut. Ilmu Hukum tidak dapat tanpa ada tanpa pengendalian logis dari teori hukum. 7. Teori Hukum memperoleh bahannya dari Ilmu Hukum.
386
Moralitas Hukum dalam Hukum Praksis sebagai Suatu Keutamaan, Subiharta
8.
Teori Hukum tidak membentuk hukum. Ilmu Hukum melakukan secara teratur.1 Hukum praksis sering disebut dengan hukum yang selalu bergerak, mengikuti kebutuhan dan perkembangan manusia. Karena fungsi hukum antara lain sebagai sarana untuk memecahkan masalah yang ada di masyarakat maka antara hukum dan masyarakat selalu berkaitan. Hukum dibuat untuk kepentingan masyarakat, masyarakat membutuhkan hukum agar tercapai keamanan, kedamaian, keadilan, keseimbangan dan kesejahteraan. Hukum yang bergerak adalah hukum yang dapat mengikuti kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Agar hukum dapat memberikan manfaat bagi masyarakat maka hukum harus bersendikan moral, hukum yang menjunjung etika, hukum yang ada bukan saja sebagai suatu aturan baik tertulis atau tidak tertulis tetapi dapat mengikuti dinamika masyarakat. Keterlambatan hukum dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sering terjadi dalam sistem hukum yang menganut kodifikasi seperti negara Indonesia. Hal demikian tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum modern yang bersifat rasional, formal, berlaku sama bagi setiap warga negara, prosedural dan otonom. Oleh karena itu maka antara hukum dan moral harus saling berkaitan agar hukum praksis memberikan perlindungan terhadap masyarakat, demikian pula hukum harus bermoral baik dari segi teori maupun praksis. B. Definisi Hukum Dari dulu sampai dengan sekarang tidak pernah ada kesamaan pendapat di antara para sarjana tentang definisi dari hukum. Hal demikian terjadi disebabkan masing-masing memberikan definisi dari sudut pandang yang berbeda. Bahkan perbedaan tersebut berkembang menjadi semakin luas yaitu hukum itu sebagai ilmu atau bukan, kalau sebagai ilmu apakah sebagai ilmu eksakta atau ilmu humaniora dan sebagainya. Abdul Manan mengemukakan: Para ahli hukum tidak sependapat dalam memberikan definisi tentang hukum, bahkan sebagian ahli hukum mengatakan bahwa hukum itu tidak dapat didefinisikan karena luas sekali ruang cakupannya dan meliputi semua bidang kehidupan masyarakat yang selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Jika hendak membuat definisi hukum, hendaknya harus dilihat dari berbagai segi dan sudut pandangan.2 1 Paul Scholten, dalam Salim, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2012, hlm.61. 2 Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Pranata Media Group, Cetakan keempat, Jakarta, April 2003, hlm.1.
387
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 385-398
Pendapat Abdul Manan tersebut pada hakikatnya selaras dengan pendapat J. Van Apeldoorn yang mengatakan tidak mungkin memberikan definsi mengenai Pengertian Hukum, karena begitu luas yang diaturnya hanya tujuan saja yang mengatur pergaulan hidup secara damai. Pengertian hukum menurut E. Utrecht adalah: Himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karenanya pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah/ masyarakat itu. Sunaryati Hartono memberikan definisi mengenai Pengertian Hukum yaitu hukum itu tidak menyangkut kehidupan pribadi seseorang, akan tetapi jika mengatur berbagai aktivitas manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya, atau dengan kata lain hukum mengatur berbagai aktivitas manusia di dalam hidup bermasyarakat. Pengertian hukum menurut E. Meyers adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditunjuk kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam melaksanakan tugasnya. Menurut Kant, pengertian hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain, menurut peraturan hukum mengenai kemerdekaan.3 Terlepas dari berbagai pendapat tentang definisi dari hukum maka dapat ditarik pengertian bahwa hukum adalah sebagai suatu norma yang di dalamnya ada sanksi. Hukum sebagai suatu kebutuhan dari masyarakat agar masyarakat mendapatkan keadilan, kedamaian, kemanfaatan, kepastian hukum, kesejahteraan dan ketenteraman. Hukum dapat tertulis atau tidak tertulis, hukum tertulis dapat mengatur berbagai permasalahan yang ada dalam masyarakat, sehingga dikenal adanya hukum publik dan hukum privat. Karena hukum dibutuhkan oleh masyarakat, maka hukum harus ditegakkan oleh penegak hukum yang berkualitas, memegang teguh moralitas dan menjalankan dengan etis. Penegakan hukum di dalam negara yang menganut Civil Law System seringkali berhadapan dengan hukum yang tertulis, sehingga hukum sering tidak dapat mengikuti kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Di dalam civil law memang yang diatur hal-hal yang sudah pernah terjadi di masyarakat, sehingga kejadian yang akan datang sering belum diatur.
3
http://www.hukumsumberhukum.com, download, 20 September 2015.
388
Moralitas Hukum dalam Hukum Praksis sebagai Suatu Keutamaan, Subiharta
Di dalam sistem Civil Law, “code” (undang-undang) sekumpulan klausula dan prinsip hukum umum yang otoritatif, komprehensif dan sistematis, yang dimuat dalam Kitab atau Bagian yang disusun secara logis sesuai dengan hukum terkait. Oleh sebab itu peraturan civil law dianggap sebagai sumber hukum utama, dimana semua sumber hukum lainnya menjadi subordinatnya, dan dalam masalah tertentu seringkali menjadi satusatunya sumber hukum. 4 Sistem hukum tertulis memang mempunyai kelebihan dan kelemahan dibandingkan dengan sistem hukum yang tidak tertulis. Hukum dalam Sistem hukum tertulis (Civil Law System) biasanya cepat tertinggal dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Meskipun demikian mempunyai kelebihan yaitu memberikan jaminan pada kepastian hukum, sehingga penyelesaian suatu kasus dapat berjalan dengan cepat. Sedangkan Common Law Sistem mempunyai kelebihan tersendiri yaitu cepat mengikuti kebutuhan dan perkembangan masyarakat, meskipun demikian seakan tidak memberikan jaminan kepastian hukum, sebab hukumnya tidak tertulis. Peter de Cruz mengemukakan: Common Law tercipta bukan dengan sarana legislasi, melainkan dibuat oleh pengadilan-pengadilan yang mempergunakan keputusankeputusan peradilan mereka sebagai preseden. Dalam waktu singkat telah berkembang prinsip bahwa keputusan-keputusan peradilan sebelumnya, yang dibuat dalam keadaan serupa harus diikuti, artinya, bahwa preseden-preseden harus dihormati (prinsip stare decisis).5 Kaitannya dengan sistem common law maka Satjipto Rahardjo mengemukakan: Di Indonesia, yang sistem hukumnya digolongkan ke dalam civil law system, peranan hakim sebagai pembentuk hukum memang tidak menonjol, seperti di negara-negara dengan sistem common law. Negara-Negara yang mengikuti sistem common law lebih mempercayakan pembentukan hukumnya melalui keputusankeputusan hakim daripada melalui peraturan perundang-undangan. Dalam hubungan tersebut terkenal bunyi suatu diktum yang berasal dari Holmes yang melambangkan besarnya peranan hakim dalam common law system sebagai berikut, “The prophecies of what the courts will do in fact, and nothing more pretentious, are what I mean by the law”. Di bawah ini diragakan diktum Holmes tersebut dengan 4
Teguh Prasetyo et.al. , Filsafat, Teori & Ilmu Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakatrta, 2012, hlm.125. 5 Peter de ruz, penerjemah Narulita Yusron, Perbandingan Sistem Hukum, Common Law, Civil Law dan Socialist Law, cetakan I, Nusa Media, Bandung, April, 2010, hlm.66. 389
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 385-398
ucapan seorang Ketua Mahkamah Agung di negara yang mengikuti civil law system.6 C. Hukum dan Moral Pengertian hukum dapat dikelompokan menjadi dua yaitu hukum yang berupa undang-undang dan hukum dalam arti pelaksanaan penegakan hukum oleh aparatur penegak hukum. Hukum yang berupa produk hukum yang dibuat oleh negara dibuat dalam rangka menjalankan roda pemerintahan untuk melaksanakan tujuan dari didirikannya suatu negara. Hukum selalu sarat dengan nilai-nilai tertentu. Apabila memulai berbicara tentang nilai-nilai, maka telah masuk pula kegiatan menilai dan memilih. Keadaan tersebut memberikan arah-arah tertentu kepada jalannya hukum di suatu negara. Sejak kedudukan negara dalam artian modern, seperti telah dibicarakan di muka menjadi semakin kokoh, maka peranan hukum menjadi penting, yaitu sebagai sarana untuk mengimplementasikan keputusan-keputusan negara. Legitimasi tidak dicari lagi melalui jalur kharisma atau tradisi (lihat Weber di muka), melainkan melalui apa yang disebut oleh Weber sebagai legal rational. Salah satu segi dari rasionalitas hukum adalah hukum yang menjadi semakin formal dan prosedural dengan segala akibat dan perlengkapan yang mendukungnya. Singkatnya, hukum menjadi sarana yang makin diterima dan dipakai.7 Hukum pada jaman sekarang adalah hukum yang modern dengan ciri-ciri formal, rasional, sistematis, berlaku secara sama bagi orang, prosedural, dijalankan oleh birokrasi negara, tertulis, otonom. Dengan demikian hukum dijalankan oleh penegak hukum yang memang dibentuk untuk melakukan tugasnya sesuai dengan profesinya. Oleh sebab itu maka penegakan hukum di Indonesia dijalankan oleh para lawyer yang memang dididik secara khusus agar ahli dalam melaksanakan fungsinya bagi penegakan hukum yang berkualitas dan bersendikan moral. Abdul Manan mengemukakan: Meskipun seorang profesi hukum memiliki keahlian, keterampilan dan cerdas serta memiliki intelektual yang tinggi dalam bidang hukum, tetapi jika hal tersebut tidak didukung oleh integritas moral yang solid, maka kesemuanya yang dimiliki itu tidak akan mempunyai arti sama sekali. Oleh karena itu, intelektualitas dan profesionalisme yang dimiliki oleh profesi hukum itu hendaknya harus didukung oleh integritas moral yang prima, sebab hal tersebut
6
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, cetakan ke II, Genta Publishing, Yogyakarta, April 2011, hlm.95. 7 Ibid., hlm.137. 390
Moralitas Hukum dalam Hukum Praksis sebagai Suatu Keutamaan, Subiharta
merupakan hal yang menentukan berhasil atau tidaknya seorang profesi hukum yang menjalankan tugasnya.8 Hukum dan moral ada kaitannya, hukum yang baik adalah hukum yang bersendikan moral, sehingga suatu hukum ada rohnya, baik dari produk hukum tersebut maupun roh dari penegak hukum, sehingga hukum dapat ditegakkan agar diperoleh keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Hukum memberikan batasan bagaimana moral bisa dilaksanakan dengan berbagai upaya penegakan hukum bukan semata dengan ancaman/sanksi bagi yang melanggar. Kaitannya antara hukum dan moral maka K. Bertens mengemukakan: Sebagaimana terdapat hubungan erat antara moral dan agama, demikian juga antara moral dan hukum. Kita mulai saja dengan memandang hubungan ini dari segi hukum: hukum membutuhkan moral. Untuk itu terutama ada dua alasan. Pertama, dalam kekaisaran Roma sudah terdapat pepatah Quid leges sine moribus? “Apa artinya undang-undang, kalau tidak disertai moralitas? Hukum tidak berarti banyak, kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa moralitas hukum akan kosong. Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya. Karena itu hukum selalu harus diukur dengan moral. Undang-Undang immoral tidak boleh tidak harus diganti, bila dalam suatu masyarakat kesadaran moral mencapai tahap cukup matang.9 Socrates adalah penganut moral absolut, yang meyakini bahwa menegakkan moral merupakan tugas filsuf yang berdasarkan ide-ide rasional dan keahlian dalam pengetahuan. Filsafat adalah kebenaran objektif, dan untuk membuktikan adanya kebenaran objektif, Socrates menggunakan metode yang bersifat praktis. Socrates dikenang karena pemikirannya bahwa pemerintah yang ideal harus melibatkan orang-orang yang bijak yang dipersiapkan dengan baik, serta mengatur kebaikan-kebaikan untuk masyarakat.10 Selain itu hukum ditegakkan oleh birokrasi pemerintah yang memang dibentuk untuk melakukan tugasnya dengan dukungan sarana dan prasarana yang ada. Di samping itu didukung pula dengan prosedur baku yang ditetapkan dalam peraturan perundangan-undangan, sehingga prosedur penegakan hukum belum tentu selalu dimengerti oleh masyarakat. Kaitannya dengan hukum modern maka Weber mengemukakan “bahwa 8
Abdul Manan, Op.Cit.,hlm. 155. K.Bertens, Etika, cetakan kesebelas, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Jakarta, Oktober, 2011, hlm. 43-44. 10 Hans Kelsen, penerjemah Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, cetakan VIII, Nusa Media Bandung, September 2011, hlm. 67. 9
391
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 385-398
hukum menjadi rasional, hukum dijalankan secara formal, prosedural dan didukung oleh perlengkapan pendukungnya”. Dengan demikian masyarakat masih sering menganggap hukum tidak selalu berpihak pada masyarakat atau ada pandangan yang mengatakan tidak adanya kesatuan antara hukum dan moral. Kaitannya dengan moral maka Murdoch mengemukakan: Pengertian kita terjadi dalam cahaya “Yang Baik”. Karena itu, di satu sisi, pengertian yang sungguh-sungguh, yang sudah bebas dari belenggu fantasi-fantasi egois, dengan sendiri membuat kita menyadari tarikan “Yang Baik” yang “harus” kita taati. Dan di sisi lainnya tarikan “Yang Baik” mendorong kita untuk melihat dengan lebih benar, dengan “pandangan adil dan penuh kasih yang diarahkan pada sebuah realitas individual.11 Penegak hukum yang menjalankan penegakan hukum telah dibekali pendidikan yang cukup, pendidikan khusus profesi dan sebelum menjalankan tugasnya telah bersumpah/berjanji sesuai dengan agamanya masing-masing. Dengan demikian maka dalam melakukan penegakan hukum, penegak hukum harus bermoral. Dalam melengkapi penegakan hukum yang bermoral tersebut maka di dalam aturan hukum dibutuhkan pula nilai-nilai moralitas yang tinggi agar hukum menjadi humanis. Masyarakat di jaman modern ini telah mengalami perubahan sosial, disebabkan oleh berbagai hal antara lain perpindahan penduduk dari desa ke kota, lapangan pekerjaan yang semakin beraneka ragam, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat. Sebagian besar masyarakat sekarang sudah individualistik sehingga akar budaya yang dulu dihormati dan dijunjung tinggi sudah semakin luntur, akhirnya membawa pengaruh pada perilaku. Ditambah lagi pemukiman masyarakat sudah berubah, dari kehidupan saling bertetangga menjadi tinggal di rumah bertingkat dan seterusnya. Perubahan masyarakat demikian berpengaruh pada tingkat kesadaran hukum masyarakat. Untuk itu diperlukan wawasan yang luas dari aparatur hukum dan pemangku kepentingan untuk memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat agar hukum praksis mencapai tujuannya. D. Hukum Praksis Ada kaitan yang erat antara hukum dan masyarakat, tidak mungkin ada hukum tanpa masyarakat, sedangkan hukum diperuntukkan bagi kebutuhan masyarakat. Hukum yang yang ditegakkan dalam menyelesaikan 11
Franz Magnis Suseno, Etika Abad Kedua Puluh, Pustaka Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 2010, hlm. 135. 392
Moralitas Hukum dalam Hukum Praksis sebagai Suatu Keutamaan, Subiharta
kasus yang ada dalam masyarakat tidak terlepas dari sosiologi hukum. K.N. Llewellyn mengemukakan: mula-mula bahwa yang dapat menjadi dasar ilmiah dari jurisprudensi hanyalah sosiologi hukum: “adalah suatu hal yang tak dapat dihindarkan untuk memberi sosiologi hukum kemungkinan untuk melakukan pekerjaan sendiri, tanpa gangguan, sebelum hasilnya yang pasti dapat digunakan terhadap jurisprudensi”.12 Di dalam Harvard Law Review: Sosiologi hukum bergerak lebih cepat daripada hukum sehingga selalu ada kemungkinan setiap bagian hukum memerlukan pemeriksaan kembali untuk menentukan betapa ia sesuai dengan masyarakat. Konsepsi bahwa hukum itu selalu mengalir atau bergerak selalu adalah salah suatu konsekuensi saja dari kenyataan bahwa masyarakatlah yang melahirkan hukum, bukan hukum yang melahirkan masyarakat.13 Perkembangan masyarakat yang cepat maka memerlukan kajian terhadap berbagai persoalan yang ada dalam masyarakat, sehingga perlu dilakukan penelitian hukum apa saja yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Dengan demikian antara hukum sebagai suatu norma, penegakan hukum di satu sisi dan perkembangan masyarakat selalu bersinergi. Sinergitas menuju hukum yang berkualitas memerlukan kerja yang optimal. Bagi seorang lawyer kebutuhan akan penguasaan ilmu yang luas mutlak diperlukan, pemahaman terhadap hukum sebagai aturan dan hukum yang ada dalam masyarakat mutlak dikuasai. Oleh karenanya penelitian terhadap hukum perlu terus dilakukan agar diketahui apakah hukum masih aktual untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus yang ada di masyarakat. Undang-Undang yang disahkan oleh pemerintah dan telah dibahas oleh wakil rakyat dan pemerintah, banyak yang tidak berlaku dalam kurun waktu yang lama. Masih banyaknya undang-undang atau produk hukum yang tidak sempurna menandakan bahwa masih kurangnya pemahaman yang baik terhadap perancangan undang-undang. Penyebab yang utama adalah masih sedikitnya pemangku kepentingan yang kurang memahami teknik pembuatan undang-undang (legal drafting), dan masih ditambah lagi masih kuatnya nuansa politik yang masuk dalam pembahasan undangundang. Problema bangsa kaitannya dengan hukum dan penegakan hukum masih terus berlangsung, seakan pelanggaran terhadap norma hukum 12
Georges Gurvits, penerjemah Sumantri Mertodipuro dan Moh. Rajab, Sosiologi Hukum, Penerbit Bhatara, Jakarta, 1988, hlm. 157. 13 Ibid. hlm. 158. 393
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 385-398
semakin bertambah. Penambahan bukan hanya dari segi kuantitas tetapi juga dari segi kualitas, hal demikian nampak semakin maraknya kejahatan dengan menggunakan teknologi digital (cyber crime) dan tindak pidana penyelendupan obat-obat terlarang, tindak pidana korporasi dan seterusnya. Ada suatu keprihatinan cukup serius yang perlu ditanggapi sebagai bentuk “warming” bahwa para sarjana hukum Indonesia saat ini kebanyakan sudah tidak paham lagi dengan hakikat penelitian hukum (legal research). Tanpa memahami hakikat penelitian hukum maka kualitas seorang sarjana hukum sebagai seorang yuris jauh dari lengkap. Mengapa demikian? Karena pekerjaan sehari-hari seorang sarjana hukum sebagai yuris tidak pernah jauh dari kegiatan melakukan penelitian hukum baik sebagai hakim, jaksa, advokat atau legal scholars. Invasi besar-besaran ilmu-ilmu sosial dalam studi hukum merupakan penyebab makin jauhnya pemahaman para sarjana hukum sekarang terhadap hakikat penelitian hukum.14 Agar hukum sesuai dengan kebutuhan masyarakat maka penegak hukum dituntut untuk menjunjung tinggi moral dan memperhatikan nilainilai dan kesadaran hukum yang ada dalam masyarakat. Penegakan hukum yang dilakukan mesti jauh dari mementingkan kepentingan diri sendiri, kelompok atau golongan. Penegakan hukum yang humanis merupakan dambaan dan kebutuhan masyarakat. Koreksi terhadap hukum yang kaku dapat kita lihat diaturnya beberapa ketentuan dalam perkara pidana yang memperhatikan kedudukan korban, bahkan pelaku tindak pidana oleh anak diberikan penyelesaian melalui mekanisme restorative justice, diversi maupun rehabilitasi. Pendidikan dan pelatihan yang diberikan kepada hakim, jaksa dan polisi terhadap materi sistem peradilan pidana anak memberikan harapan tersendiri. Sebab anak yang melakukan kejahatan pada hakikatnya adalah korban dari problema sosial yang dihadapinya. Mereka adalah korban dari pembangunan yang tidak selalu memberikan ruang bagi anak untuk tumbuh dan berkembang secara normal. Bagi penegakan hukum yang benar berarti penegakan dilakukan dengan memperhatikan berbagai aspek yang ada dalam masyarakat. Pendekatan penyelesaian masalah hukum pada hakikatnya tidak semata masalah teknis hukum, tetapi merupakan penyelesaian terhadap problema sosial yang dihadapi oleh masyarakat, maka bantuan dari ilmu lain termasuk sosiologi hukum sangat diperlukan. Untuk mengenal pemahaman tentang hukum sebagai praksis maka Yovita A. Mangesti dan Bernar L.Tanya mengemukakan: 14
Peter Marzuki, dalam Titon Slamet Kurnia, et.al., Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum & Penelitian Hukum di Indonesia, Sebuah Reorientasi, Pustaka Pelajar, Cetakan pertama, Yogyakarta, 2013, hlm. 121. 394
Moralitas Hukum dalam Hukum Praksis sebagai Suatu Keutamaan, Subiharta
………., hukum sebagai praksis diposisikan sebagai salah satu keutamaan dalam hukum. Hukum praksis, hukum tidak dihadapi sebagai barang jadi yang siap dipakai. Ia perlu diolah dengan benar agar bermakna, perlu kecerdasan agar tepat dan efektif. Perlu ketulusan dan kearifan agar adil. Perlu dedikasi agar menjadi rahmat. Dan semua itu harus dilakukan setiap saat manakala kita mengelola hukum pada semua faset. Praksis berarti memakai kewenangan secara tulus untuk mempengaruhi penyelesaian masalah-masalah real atas cara yang lebih sesuai dengan keadilan dan lebih menjawab aspirasi orang banyak. Praksis adalah, menyadari tanggung jawab, menunaikan tugas dengan tulus dan cerdas, menyelami kebutuhan sosial, dan memperjuangkan perwujudannya dengan mempergunakan hukum yang ada pada genggamanannya. Maka hukum praksis, tidak mengizinkan tatanan hukum bermetamorfosa menjadi teknis. Masalah hukum tidak boleh diubah menjadi masalah teknis dan dipecahkan dengan analisa teknis berdasarkan technical knowhow. Hukum adalah sebuah bidang yang juga mempunyai batas secara etis. Sebab jika tidak, maka dia bisa berubah menjadi tatanan yang dapat melegalkan apa saja, dan dapat menghancurkan apa saja. Hukum, perlu diberi rambu-rambu nilai. Dengan begitu hukum menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dari humaniora. Secara demikian, hendak dikatakan bahwa hukum bukan karya mesin yang tunduk pada logika teknis yang bebas nilai. Sesungguhnyalah, hukum merupakan tatanan manusiawi untuk kebaikan manusia. Hukum sebagai praksis, penuh dengan nuansa pilihan dan modalitas, seperti kepedulian, empati dan komitmen. Itu berarti, dalam penyelesaian problem hukum, kita tidak hanya berurusan dengan “the logic of” secara hitam putih. Lebih dari itu kita juga mengaitkannya dengan penyelesaian problem sosial. Sambil menyelesaikan sebuah kasus, maka pada saat yang sama kita patut bertanya: masalah sosial/kemanusiaan apakah yang turut diselesaikan, dibenahi, atau paling tidak, turut disentuh melalui penyelesaian kasus hukum a quo? Disinilah inti hukum sebagai praksis, bukan teknis. Hukum, adalah praksis/bertindak, yang secara aktif mencari dan menemukan avenues baru sehingga manfaat kehadirannya dalam masyarakat lebih meningkat dan bermakna. Oleh karena itu spirit hukum sebagai tindakan atau praksis, adalah usaha yang tidak henti-hentinya melakukan pencarian terhadap apa yang dapat dikerjakan untuk memecahkan persoalan sosial/ kemanusiaan melalui hukum.
395
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 385-398
Dalam konteks hukum sebagai praksis/tindakan, tidak ada aturan yang beku dan statis. Hukum itu mengandung fungsi penyelesaian problem sosial dan penanganan problem kemanusiaan yang kuat. Kita dapat melakukan pembacaan terhadap teks-teks hukum, tidak dengan mengeja pasal-pasalnya, melainkan secara bermakna atau mendalami maknanya. Hukum tidak mesti diterima dan dipahami sebagai sejumlah aksioma atau kitab matematika, melainkan juga bisa ditangkap kekayaan maknawinya. Perburuan makna itu, dilakukan dengan menggali lebih dalam sampai ke akar maknanya, sampai menemukan prinsip yang terdalam. Disitulah akan teruji, seberapa jauh jangkauan peraturan tersebut jika dilihat dari prinsip dan spirit yang mendasarinya.15 Dari pembahasan di muka maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian hukum tidak dapat didefinisikan secara seragam disebabkan oleh dasar/sudut pandangan yang berbeda dalam memberikan definisi tentang hukum. Antara hukum dan moral saling berkaitan, keduanya saling isi mengisi, hukum yang baik adalah hukum yang bermoral, maka apabila hukum tidak bermoral sudah saatnya untuk diganti. Hukum praksis pada hakikatnya hukum yang ada dalam praktek, hukum praksis memperhatikan berbagai dimensi tentang kebaikan, keadilan, kemanfaatan. Sehingga hukum praksis berkaitan dan bersinergi dengan moralitas dalam hukum. Moralitas hukum bukan hanya dari aspek undang-undang (norma) tetapi juga dalam aspek penegakan hukum (law enforcement). Untuk itu pemahaman yang baik dari penegak hukum terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan suatu keutamaan. Penelitian terhadap hukum oleh para lawyer perlu dilakukan agar menambah wawasannya tentang hukum agar hukum praksis eksis dalam ranah hukum dan penegakan hukum di Indonesia.
Daftar Pustaka Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, cetakan ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005; Bertens, K., Etika, cetakan kesebelas, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Oktober, 2011; Franz Magnis Suseno, Etika Abad Kedua Puluh, Kanius Yogyakarta, 2006; Georges Gurvitch, penerjemah Sumantri Mertodipuro dan Moh. Radjab, Sosiologi Hukum, Bhratara, Jakarta, 1988;
15
Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, cetakan II, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 84. 396
Moralitas Hukum dalam Hukum Praksis sebagai Suatu Keutamaan, Subiharta
Hans Kelsen, penerjemah Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni, DasarDasar Ilmu Hukum Normatif, cetakan VIII, Nusa Media Bandung, September, 2011; Peter de Cruz, penerjemah Narulita Yusron, Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Socialist Law, cetakan I, Nusa Media, Jakarta, April, 2010; Salim, HS., Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, cetakan kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Januari, 2012; Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009; Teguh Prasetyo, et.al., Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum, Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, cetakan ke 1, RajaGrafindo, Jakarta, Juni, 2012; Titon Slamet Kurnia, et. Al., Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum & Penelitian Hukum di Indonesia, Sebuah Reformasi, cetakan pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Maret, 2013; Yovita Mangesti, et.al., Moralitas Hukum, cetakan kedua, Genta Publishing, Yogyakarta; http://www.hukumsumberhukum.com
397
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 385-398
398
PENERAPAN ASAS KELANGSUNGAN USAHA DALAM PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAAN UTANG (PKPU) (The Application of the Principle of Business Continuity in Bankruptcy Settlement and Debt Payment Suspention)
Catur Irianto Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Pekanbaru Jl. Jenderal Sudirman No.315, Pekanbaru Email:
[email protected]
Abstrak Asas kelangsungan usaha merupakan prinsip atau asas hukum yang dirumuskan secara luas dan menjadi dasar norma hukum kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Penerapan asas kelangsungan usaha tidak terbatas pada teks yang dinormakan, tetapi bermakna luas yang juga meliputi keseluruhan proses penjatuhan putusan pailit maupun penundaan kewajiban pembayaan utang. Penerapan asas kelangsungan usaha dalam perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah dalam rangka perlindungan hukum terhadap debitor dan mempunyai dampak positif terhadap peningkatan nilai ekonomi perusahaan yang pada gilirannya dipergunakan untuk membayar utang kepada para kreditornya. Kata kunci: Asas Kelangsungan Usaha, Kepailitan, PKPU Abstract The sustainable business principles that is defined broadly and underlying the norm of bankruptcy law and the suspension payment of debt. Implementation of the principle of sustainable business is not limited to the texts that is legally regulated, but has a broader meaning which also include the whole process of bankruptcy judgement as well as payment suspension of the debt. This implementation of sustainable business principle in bankruptcy and debt payment suspension is to give positive impact in increasing the economic value of the company which will be used to pay the debt to the creditor. Keywords: Sustainable Business Principle, Bankruptcy, Suspension Payment of Debt
399
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 399-418
Pendahuluan Reformasi hukum kepailitan1 merupakan sebuah agenda penting bagi pemerintah pasca gejolak moneter yang menimpa Indonesia di pertengahan tahun 1997 hingga akhir tahun 1998. Pada kurun waktu tersebut telah terjadi sebuah depresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing khususnya Dollar Amerika yaitu dari nilai kurs Rp.2.300/US Dolar pada sekitar bulan Maret 1997 menjadi Rp.5.000/US Dolar di akhir tahun 1997, bahkan pada pertengahan tahun 2008 rupiah sempat anjlok hingga menyentuh ke level terendah di kisaran Rp.16.000/US Dollar. Pertumbuhan ekonomi terus merosot hingga minus 13 sampai dengan minus 14% dan tingkat inflasi membumbung tinggi dari angka 10% menjadi sekitar 70%.2 Kondisi perekonomian tersebut menimbulkan kelumpuhan total pada hampir seluruh sektor usaha dan perdagangan, terlebih bagi perusahaan yang menggunakan US Dollar sebagai sistem pembayarannya. Ada beberapa faktor yang mendorong perlunya revisi terhadap undang undang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, antara lain: Pertama, untuk menghindari perbuatan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya. Kedua, untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau pihak kreditor lainnya. Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri.3 Pada tahun 2004 pemerintah telah merevisi undang-undang kepailitan lama dan mengeluarkan undang-undang baru tentang kepalitian “Reformasi hukum” adalah perubahan secara drastis untuk tujuan perbaikan di bidang hukum dalam suatu masyarakat atau negara, sedangkan istilah “kepailitan” menunjuk pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 4 Tahun 1998 yang berarti: “debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonan debitor sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya” setelah berlaku UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pengertian kepailitan disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 sebagai “sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya, dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undangundang kepailitan,” sedangkan menurut Black’s Law Dictionary pailit atau bankrupt adalah “the state or conditional of a person (individual, partnership, corporation, municipality, who is unable to pays its dept as they are, or became due the term includes a person against whom am involuntary petition has been field or who has field a voluntary petition or who has been adjudged a bankrupt”. 2 Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia (Civil Law System) dengan Amerika Serikat (Common Law System), -USU Reprosity Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2004, hlm 2. 3 Catur Iriantoro, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pengadilan Niaga, Makalah Hukum, tanpa tahun, hlm. 3 1
400
Asas Kelangsungan Usaha dalam Perkara Kepailitan dan PKPU, Catur Irianto
yaitu Undang-Undang Nomor: 37 tahun 2004 yang diberi judul “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, selanjutnya disebut UUKPKPU. Secara substansi undang-undang baru tersebut bertujuan untuk lebih melindungi kepentingan kreditor dalam upaya mendapatkan pelunasan terhadap piutang-piutangnya dengan prinsip adil, cepat terbuka dan efektif. Pasal 307 UUK-PKPU menyatakan secara tegas menghapus berlakunya Peraturan Kepailitan sebelumnya yaitu: Faillissements Verordening Staatsblad 1905 Nomor: 217 jo Staatsblad 1906 Nomor: 348 dan UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135. Perubahan dalam UUK-PKPU antara lain adanya asas kelangsungan usaha sebagai salah satu asas hukum kepailitan dan PKPU. Pengertian dari asas kelangsungan usaha sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum UUK-PKPU adalah dimungkinkannya perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. Sehubungan dengan pengertian tersebut, terdapat pendapat bahwa kelangsungan usaha diberikan dalam konteks perusahaan yang telah dinyatakan pailit. Pandangan ini didasarkan pada norma dalam Pasal 104 ayat (1) yang menyebutkan, “Berdasarkan persetujuan panitia kreditor sementara, Kurator dapat melanjutkan usaha Debitor yang dinyatakan pailit walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.” Demikian juga Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU menyebutkan bahwa “permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi” Pasal tersebut memberikan penegasan bahwa patokan hakim untuk mengabulkan sebuah permohonan pailit hanya didasarkan pada syarat yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1). Bahkan undang-undang menyatakannya dengan kata –kata “harus dikabulkan,” yang mempunyai makna norma tersebut bersifat imperatif, Akibatnya pengadilan niaga dapat menjatuhkan putusan pailit tanpa mempertimbangkan prospek kelangsungan usaha, sedangkan kondisi perusahaan masih memiliki prospek bisnis dan solvabilitas yang baik. Jika penerapan asas kelangsungan usaha hanya dalam proses pemberesan harta pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 104 ayat (1) dan (2). Pasal 178 ayat (2), Pasal 179 ayat (1) dan Pasal 184 ayat (2), maka akan banyak perusahaan besar yang menjadi penyangga perekonomian, baik sebagai penghasil devisa maupun sebagai wadah penyerapan tenaga kerja. Dengan demikian, asas kelangsungan usaha sangat penting menjadi 401
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 399-418
pertimbangan bagi hakim sebelum menjatuhkan putusan pailit dengan memperluas makna “asas kelangsungan usaha” sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Umum UUK-PKPU. Penerapan asas kelangsungan usaha dalam mengadili perkara pailit dapat memberikan dorongan kepada hakim untuk terlebih dahulu melihat kondisi keuangan perusahaan dengan menggunakan metode insolvensi test meskipun UUK- PKPU sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut.4 Tindakan tersebut akan mencerminkan sikap kehati-hatian bagi para hakim kepailitan sebelum benar-benar menempatkan sebuah perusahaan dalam kondisi pailit. Permasalahan Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, masalah yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah filosofi asas kelangsungan usaha dalam hukum kepailitan dan PKPU? 2. Bagaimanakah penormaan asas kelangsungan usaha dalam UndangUndang Kepailitan dan PKPU? 3. Bagaimanakah praktek penerapan asas kelangsungan usaha dalam perkara kepailitan dan PKPU? Pembahasan 1. Pengertian dan Makna Prinsip atau Asas Hukum Undang Undang sebagai kebijakan legislatif5 senantiasa terdapat dasar-dasar fundamental ataupun dasar pemikiran yang menjadi dasar bagi norma hukum dalam undang-undang yang dalam aktualisasinya berbentuk perintah (command), larangan (prohibition), dan membolehkan (permit). Suruhan, larangan, maupun membolehkan tersebut bertumpu atau bersandar pada asas (principle).6 Black Law Dictionary memberi pengertian prinsip sebagai:
4
Adi Nugroho, Analisis Yuridis terhadap Keadaan Insolvensi dalam Kepailitan (Studi Normatif Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Artikel Ilmiah, Kementrian Pendidikan Nasional Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2013, hlm. 5 5 Kebijakan legislatif, merupakan kebijakan (policy) dalam menetapkan dan merumuskan sesuatu di dalam peraturan perundang-undangan. Itulah sebabnya sering juga kebijakan legislatif disebut dengan istilah kebijakan formulatif, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 245. 6 Asas (principle) adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai tempat untuk menyandarkan,untuk mengembalikan sesuatu hal yang hendak kita jelaskan. Dalam Mahadi, Falsafah Hukum, Suatu Pengantar, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hlm. 119. 402
Asas Kelangsungan Usaha dalam Perkara Kepailitan dan PKPU, Catur Irianto
“A fundamental truth or doctrine, as of law; a comprehensive rule or doctrine which furnishes a basis or origin for others; a settled rule of action, procedure, or legal determination. A thruth or proposition so clear that it cannot be proved or contradicted unless by proposition which is still clearer. That which constituent the essence of a body or its constituent parts. That which pertain to the theoretical part of a science”.7 (Prinsip adalah suatu dasar kebenaran atau doktrin sebagai hukum; atau sebuah pengertian peraturan atau doktrin yang mana melengkapi sebuah dasar atau keaslian, atau sebuah keteraturan peraturan dalam tindakan, prosedur, atau kepastian yang legal). Berkaitan dengan pengertian asas, Paton memberikan rumusan asas sebagai: “A principle is the board reason, which lies at the base of a rule of law”.8 (Asas ialah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan yang mendasari adanya suatu norma hukum). Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa asas hukum, atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkret melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam atau di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dari peraturan perundangan dan putusan Hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut.9 Sifat-sifat khusus dari suatu peraturan perundang-undangan yang teraktualisasi sebagai suatu asas hukum diperoleh melalui penilaian oleh pembentuk undang-undang, yakni mempresentasikan pertimbangan nilainilai etis yang berperan sebagai pedoman hidup bersama. Sebagai nilai-nilai etis yang dipilih, maka asas hukum merupakan faktor idiil dari kehidupan bermasyarakat. Pembentuk undang-undang berperan besar dalam pencarian, penilaian dan perumusan suatu asas hukum. Asas hukum merupakan intisari atau jantungnya dari hukum. Barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan, bahwa asas hukum ini merupakan jantungnya peraturan hukum.10 Sebagai intisari dari hukum, asas merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini bermakna peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya dapat dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Berdasarkan pengertian asas hukum, maka dapat dinyatakan bahwa asas hukum itu berfungsi: 1) sebagai tali pengikat antara berbagai kaidah 7
Black Law Dictionary, hlm. 1074. Mahadi, ibid, hlm. 120 . 9 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty, Yogyakarta, edisi ke-3, 1991, hlm. 33. 10 Satjipto Rahardjo, hlm. 45. 8
403
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 399-418
hukum, yang akan menjamin keterkaitan kaidah dalam satu ikatan sistem; 2) menjamin kaidah hukum dibentuk dan dilaksanakan sesuai dengan tujuan hukum (keadilan dan kepastian hukum); 3) menjamin keluwesan (fleksibel) penerapan kaidah hukum pada suatu situasi konkret; dan 4) sebagai instrumen untuk mengarahkan penerapan kaidah hukum yang akan bertentangan dengan asas-asas hukum umum yang berlaku. 2.
Asas Kelangsungan Usaha dalam Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Asas kelangsungan usaha merupakan salah satu asas hukum dalam Undang Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.11 Sebagai asas hukum yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan, maka asas kelangsungan usaha telah melalui proses penilaian etis dari pembentuk undang-undang. Dengan demikian, asas kelangsungan usaha sesungguhnya merupakan hasil pengejawantahan pemikiran manusia yang harus menjadi intisari dalam penyelesaian sengketa utang melalui kepailitan dan penundaan pembayaran. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, khususnya dalam penjelasan umum tidak menyebutkan secara rinci makna asas kelangsungan usaha. Dalam penjelasan umum secara singkat dinyatakan bahwa perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. Penilaian etis atas asas kelangsungan usaha setidaknya mempunyai bobot kemaslahatan bagi kehidupan bersama khususnya dalam lingkup kegiatan usaha. Keberlangsungan kegiatan usaha diharapkan dapat berdampak positif bagi pemilik perusahaan, para tenaga kerja, para pemasok, masyarakat maupun negara. Penilaian etis ini juga didasarkan tradisi diantara pelaku bisnis dalam cara menyelesaikan sengketa. Kedudukan kreditor yang dapat berganti posisi sebagai debitor dalam perjanjian ataupun perikatan lainnya memerlukan perlakuan yang standar manakala debitor mengalami kesulitan keuangan, dengan demikian perlu ditetapkan standar toleransi yang akan melindungi debitor yang mengalami kesulitan keuangan. Pengertian asas kelangsungan usaha sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum UUK-PKPU adalah dimungkinkannya perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. Norma tersebut dalam Pasal 104 ayat (1) dirumuskan sebagai berikut:
11
Penjelasan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyebutkan terdapat empat asas, yakni asas keseimbangan, asas keadilan, dan asas kelangsungan usaha serta asas integrasi. 404
Asas Kelangsungan Usaha dalam Perkara Kepailitan dan PKPU, Catur Irianto
“Berdasarkan persetujuan panitia kreditor sementara, Kurator dapat melanjutkan usaha Debitor yang dinyatakan pailit walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.” Sedangkan menurut Pasal 104 ayat (2) “Apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditor, Kurator memerlukan izin Hakim Pengawas untuk melanjutkan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Penormaan asas kelangsungan usaha dalam Pasal 104 UUKPKPU adalah dalam konteks setelah penjatuhan putusan pailit. Sedangkan penormaan dalam rangka penjatuhan keputusan pailit tidak secara tegas mengaturnya. Dengan demikian, penjatuhan putusan pailit mengacu pada ketentuan norma dalam Pasal 8 ayat (4) UU K-PKPU menyebutkan bahwa “permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi” Pasal tersebut memberikan penegasan bahwa patokan hakim untuk mengabulkan sebuah permohonan pailit hanya didasarkan pada syarat yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) bahkan undangundang menyatakannya dengan kata “harus dikabulkan.” Dalam penundaan pembayaran utang, dimungkinkan debitor dapat terus menjalankan usahanya sebagai suatu going concern dengan memberikan kesempatan kepada debitor untuk memperoleh kelonggaran waktu yang wajar dari kreditor-kreditornya guna dapat melunasi utang-utangnya, baik dengan atau tanpa memperbaharui syarat-syarat perjanjian kredit. Dengan demikian, melalui pemberian penundaan pembayaran yang diimplementasikan dalam bentuk kelangsungan usaha yang diberikan kepada debitor, maka debitor dapat melakukan restrukturisasi utang. Munir Fuady12 menyatakan bahwa biasanya programprogram restrukturisasi utang antara lain: 1. Moratorium, yakni merupakan penundaan pembayaran yang sudah jatuh tempo; 2. Haircut, merupakan pemotongan pokok pinjaman dan bunga; 3. Pengurangan tingkat suku bunga; 4. Perpanjangan jangka waktu pelunasan; 5. Konversi utang kepada saham; 6. Debt forgiveness (pembebasan utang); 6. Bailout, yakni pengambilaalihan utangutang, misalnya pengambilalihan utang-utang swasta oleh pemerintah; 7. Write-off, yakni penghapusbukuan utang-utang. 12
Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Edisi Revisi (Disesuaikan dengan UU Nomor 37 Tahun 2004), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 200. 405
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 399-418
Secara nyata kelangsungan usaha berpotensi memberikan nilai tambah berupa laba yang pada gilirannya didistribusikan untuk membiayai perusahaan, dibagikan kepada tenaga kerja sebagai upah, sebagai penerimaan negara berupa pajak maupun membiayai kegiatan yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan. Secara lebih rinci dapat digambarkan sumber keuntungan (profit) oleh perusahaan adalah sebagai berikut; a) untuk mendisain produk-produk yang lebih baik sesuai dengan keinginan pelanggan, b) membayar upah dan keuntungan yang adil kepada para pegawainya, c) membayar para pemasok dengan harga yang pantas dengan jangka waktu yang layak, d) mendanai kegiatan yang berkenaan dengan tanggung jawab sosial perusahaan, dan e) membayar para direksi dan pemegang saham perusahaan atas penggunaan modal mereka. 3.
Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Kegiatan usaha dalam skala yang lebih luas, secara makro dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (economic growth) yang biasanya diukur dengan kenaikan pendapatan domestik bruto (PDB) dari waktu ke waktu, atau kenaikan pendapatan domestik bruto perorangan dari populasi yang mencerminkan pengaruhnya terhadap standar hidup masyarakat. Sebaliknya terhentinya usaha dapat berdampak negatif terhadap kondisi finansial perusahaan. Problem finansial yang berat, manakala perusahaan harus melaksanakan kewajiban untuk mengembalikan pinjaman kepada pihak lain. Kalau kekayaan perusahaan (debitor) sudah tidak cukup melunasi utang, bisa dikatakan perusahaan itu sudah bangkrut.13 Kondisi krisis keuangan pada tahun 1998 banyak memberi pelajaran kepada dunia usaha. Krisis ekonomi telah mengakibatkan sektor riil dan non riil mengalami kemunduran.14 Awalnya adalah depresi rupiah (krisis moneter),15 kemudian menjadi krisis kepercayaan (confidential crisis), kemudian rush yang menyebabkan spiral inflasi, berlanjut pada ketidakpastian atau instabilitas. Faktor ketidakpastian dan instabilitas memberi dampak kepada depresiasi rupiah dalam stadium lanjutan, lalu
13
Kepailitan: Penyalahgunaan Hak oleh Debitor, Harian Republika, tanggal 18 Februari 1998. 14 Restrukturisasi Perusahaan Tercatat Pulihkan Kepercayaan Investor, Business News, tanggal 29 Oktober 1998. 15 Pada Juli 1997, kurs berada pada Rp. 2.430/US$. Pada bulan Agustus 1997, kurs terdepresiasi ke level Rp.2.400-an/US$. Pada tanggal 14 Agustus 1997 Bank Indonesia mengumumkan pelepasan ambang batas kurs investasi. Artinya, sistem tukar diganti dari managed floating menuju free float exchange rate. Kurs langsung turun ke Rp.2.600-an/ US$. Pada bulan Oktober 1997 mencapai Rp.3.300/US$. Pada minggu pertama Desember 1997 Rp.4.000-an/US$. Akhir tahun 1997 kurs dollar mencapai Rp.6.000/US$. Pertengahan Januari 1998 mencapai Rp.16.500,-/US$. 406
Asas Kelangsungan Usaha dalam Perkara Kepailitan dan PKPU, Catur Irianto
merembes lagi ke krisis kepercayaan dan seterusnya.16 Lebih lanjut digambarkan, bahwa multiplier effect dari krisis moneter di tanah air membuat pelaku dunia usaha terbebani problem finansial yang berat. Persoalannya terletak pada kewajiban untuk mengembalikan pinjaman kepada pihak lain. Apabila kekayaan perusahaan (debitor) sudah tidak cukup untuk melunasi utang, maka dapat dikatakan perusahaan dalam keadaan pailit. Kesulitan keuangan yang terjadi di perusahaan berdampak kepada pekerja. Harian Media Indonesia, antara lain memberitakan ambruknya perusahaan-perusahaan properti dan manufaktur telah membuat ratusan ribu pekerja Indonesia kehilangan pekerjaan17. Demikian halnya harian Suara Karya memberitakan, bahwa belakangan ini banyak perusahaan di daerah Surakarta diketahui terancam gulung tikar dan menutup usahanya yang disebabkan selain akibat krisis moneter juga dihadapkan dengan maraknya tuntutan buruh untuk kesejahteraan18. Terpuruknya kondisi perekonomian nasional pada tahun 1998 salah satunya disebabkan utang luar negeri yang sangat besar. Dalam situasi krisis diperlukan peraturan kepailitan modern yang memberi kesempatan kepada perusahaan untuk memulihkan usahanya. Upaya ini juga demi kepentingan kreditor atau investor. Lagi pula, keadaan ini bukanlah kesalahan perusahaan tersebut, tetapi karena keadaan ekonomi di luar kekuasaan mereka.19 Secara historis, pemerintah dalam membentuk undang undang kepailitan dimaksudkan untuk menyempurnakan kekurangan ketentuan hukum yang ada. Menteri Kehakiman Oetojo Oesman menyatakan, bahwa undang undang kepailitan relevan diterapkan setelah terjadi krisis ekonomi di Indonesia.20 Undang-Undang Kebangkrutan diperlukan untuk memberikan kerangka hukum bagi perusahaan yang terancam bangkrut dalam kaitannya dengan kewajiban terhadap kreditor21. Kalau perusahaan itu dinyatakan pailit, maka akan merugikan kepentingan nasional, misalnya lapangan pekerjaan22. Bagaimanapun juga masalah kesempatan pekerjaan 16
Indra Ismawan, Dimensi Krisis Ekonomi Indonesia, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 1998, hlm. 1. 17 Kepailitan Atau Menghindari Tanggung Jawab, Harian Media Indonesia, tanggal 5 Januari 1998. 18 Perusahaan di Solo Banyak yang Bangkrut, Harian Suara Karya, 7 Juli 1998. 19 Undang-Undang Kepailitan Harus Beri Peluang Pulihkan Usaha, Harian Kompas, tanggal 30 Maret 1998. 20 Dibutuhkan Undang-Undang Kepailitan Menyusul Krisis Ekonomi, Harian Kompas, tanggal 10 Februari 1998. 21 Menyoroti Undang-Undang Kepailitan, Menyederhanakan Mekanisme, Melindungi Kreditor, Majalah Forum, Minggu 15 Februari 1998. 22 Undang-Undang Kepailitan Harus Beri Peluang Pulihkan Usaha, Harian Kompas, tanggal 30 Maret 1998. 407
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 399-418
merupakan masalah yang sensitif. Ketika suatu perusahaan dinyatakan pailit dan berakibat terhentinya kegiatan usaha, maka masalah buruh atau tenaga kerja merupakan masalah krusial. Secara lebih rinci, Sutan Remy Sjahdeini23 menyatakan kepentingan masyarakat yang harus diperhatikan oleh undang Undang Kepailitan adalah kepentingan-kepentingan: 1. Negara yang hidup dari pajak yang dibayar oleh debitor; 2. Masyarakat yang memerlukan kesempatan kerja dari debitor; 3. Masyarakat yang memasok barang dan jasa kepada debitor; 4. Masyarakat yang tergantung hidupnya dari pasokan barang dan jasa debitor, baik mereka selaku konsumen maupun selaku pedagang. Jika perusahaan diberi kesempatan waktu yang cukup untuk menata kembali masalah keuangan perusahaannya, dan adanya etikat baik dari debitor untuk menyelesaikan permasalahan utang, maka secara rasional kemungkinan besar perusahaan akan pulih kembali, dan kepailitan debitor dapat dicegah, serta para/tenaga kerja/buruh tidak khawatir akan dikenakan pemutusan hubungan kerja (PHK). Perusahaan-perusahaan itu merupakan aset negara, sehingga apabila yang bermasalah dilikuidasikan atau dipailitkan, negara akan kehilangan sumber-sumber pendapatan lain dari sektor pajak. Dengan demikian, utangutang perusahaan harus dijadwal ulang, direstrukturisasi. Perusahaan yang diberi kesempatan akan berpotensi terbayar semua. Sedangkan dalam kondisi krisis ekonomi, jika sebuah perusahaan dilikuidasi atau dipailitkan, maka kemungkinan besar asetnya tidak laku terjual. Lembaga peradilan merupakan tumpuan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat yang mendambakan keadilan. Ia merupakan tumpuan harapan terakhir para pencari keadilan atau pihak-pihak yang bersengketa. Dalam memberikan pelayanan hukum dan keadilan kepada masyarakat, pengadilan mempunyai tugas-tugas utama secara normatif antara lain. Pertama, memberikan perlakuan yang adil dan manusiawi kepada pencari keadilan. Kedua, memberikan pelayanan yang baik dan bantuan yang diperlukan bagi pencari keadilan. Ketiga, memberikan penyelesaian perkara secara efektif, efisien, tuntas dan final, sehingga memuaskan semua pihak dan masyarakat.24 Dalam kepailitan, perusahaan tidak selalu secara otomatis menyebabkan perseroan berhenti melakukan segala perbuatan hukumnya termasuk melakukan kegiatan usaha. Terdapat pihak-pihak tertentu antara lain Hakim Pengawas dan Kurator yang akan menilai dan 23
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Cetakan ke-4, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2010, hlm. 35-36. 24 Mukti Arto, Mencari Keadilan, Kritik dan Sosial Terhadap Praktik Peradilan Perdata, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 12-13. 408
Asas Kelangsungan Usaha dalam Perkara Kepailitan dan PKPU, Catur Irianto
mempertimbangkan berlakunya akibat hukum kepailitan, antara lain menentukan kelangsungan usaha perusahaan. Kurator, pada prinsipnya mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan pengurusan harta pailit dari perusahaan tersebut. Pasal 69 Ayat (1) UUK-PKPU antara lain secara tegas menyatakan kurator harus meminta persetujuan terhadap hakim pengawas, misalnya dalam meneruskan jalannya usaha perseroan. Rasio dari proporsisi tersebut, ketika perusahaan dalam pailit masih melanjutkan usahanya (going concern), perseroan pailit akan banyak melakukan transaksi dalam lalu lintas hukum seperti menjaminkan aset perseroan dan melepas aset perseroan. Dalam wawancara yang dilakukan terhadap Hakim Ifa Sudewi dan Hakim Lidya Sasando Parapat serta Hakim Sudjatmiko25, Hakim-hakim pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang banyak menangani perkara kepailitan dan bertindak sebagai Hakim Pengawas kepailitan menyatakan bahwa penerapan asas kelangsungan usaha terhadap debitor perseroan pailit suatu hal yang lazim dilakukan, sepanjang debitor pailit mempunyai potensi dan prospek. Lagi pula, direksi dan/atau komisarisnya kooperatif dan membantu pelaksanaan pailit perseroan. Pertimbangan utama untuk melanjutkan kegiatan usaha terhadap perusahaan yang telah dinyatakan pailit adalah bahwa nilai ekonomis {economic value) perusahaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai aset fisik dari perusahaan tersebut. M. Hadi Shubhan26 memberikan contoh dari proposisi ini adalah perusahaan asuransi, perusahaan sekuritas, perusahaan pengembang (developer) dan perusahaan pembiayaan (multifinance). Perusahaan-perusahaan tersebut ini seringkali memiliki aset yang positif, melainkan sering terjadi negative cash flow. Perusahaan yang mempunyai masalah cash flow yang negatif akan jauh berbeda penanganannya dengan perusahaan yang mempunyai masalah aset yang negatif. Kepailitan sebenarnya diperuntukan terhadap perusahaan yang mempunyai aset negatif dan tidak ditujukan kepada perusahaan yang hanya sekedar masalah dengan kinerja cash flow-nya. Manfaat dari pelanjutan usaha perusahaan yang pailit sebagaimana dikemukakan oleh J.B. Huizink bahwa nilai suatu perusahaan sering lebih tinggi dari pada jumlah nilai dari masing-masing unitnya. Jika suatu perusahaan dibekukan, karyawannya diberhentikan serta aktiva-nya dilikuidasi, maka hasil yang diperoleh jelas akan lebih sedikit daripada jika
25
Disampaikan dalam In Focus Discussion, di Mahkamah Agung, Jakarta pada tanggal 21 Maret 2014. 26 M. Shubhan, op.cit. him. 206. 409
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 399-418
perusahaan itu dijual sebagai suatu on going concern.27 Lebih lanjut Huizink menyatakan bahwa pelanjutan kegiatan usaha dapat didorong juga oleh berbagai alasan, misalnya karena kurator melihat kemungkinankemungkinan untuk meneruskan perusahaan pailit itu dalam bentuk yang lebih ramping, baik oleh si pailit (setelah penawaran suatu perdamaian) atau yang lebih sering, oleh pihak lain. Alasan kedua, yang lebih umum, adalah untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang sedang berjalan atau untuk mewujudkan tercapainya hasil yang lebih besar dalam rangka pencairan perusahaan tersebut.28 Sehubungan dengan tidak dinormakan secara tegas asas kelangsungan usaha dalam pasal UUK-PKPU dan adanya ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU, terdapat putusan pengadilan niaga yang tidak mempertimbangkan asas kelangsungan usaha. Namun, putusan tersebut telah dikoreksi oleh Mahkamah Agung, antara lain dalam perkara berikut ini. Sebagai contoh, pertimbangan Majelis Hakim Peninjauan Kembali (PK) dalam putusan Nomor: 024/PK/N/1999 dalam perkara PT. Citra Jimbaran Indah Hotel melawan Sangyong Engineering & Construction Co.Ltd, yang dalam hal ini mengabulkan permohonan PK dengan pertimbangan majelis hakim bahwa: “Potensi dan prospek dari usaha Debitor harus pula dipertimbangkan secara baik. Jika Debitor masih mempunyai potensi dan prospek, sehingga merupakan tunas-tunas yang masih dapat berkembang seharusnya masih dapat diberi kesempatan untuk hidup dan berkembang. Oleh karena itu penjatuhan pailit merupakan ultimum remedium”. Lebih lanjut Majelis Hakim PK mengemukakan alasan penolakan terhadap perkara kepailitan tersebut bahwa; Usaha Debitor masih mempunyai potensi dan prospek untuk berkembang dan selanjutnya dapat memenuhi kewajibannya kepada seluruh Kreditor dikemudian hari dan oleh karena itu Debitor/Termohon Pailit bukan merupakan a Debitor is hopelessly in debt. Mengacu kepada pertimbangan putusan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Majelis hakim dalam Peninjauan Kembali perkara tersebut berpendirian bahwa, tidak dibenarkan untuk mengabulkan suatu permohonan pernyataan pailit terhadap Debitor yang masih memiliki potensi dan perospek usaha untuk berkembang sehingga dikemudian hari akan dapat melunasi hutang-hutangnya kepada para Kreditor.29 27
J.B. Huizink, Insolventie, Terjemahan Linus Doludjawa, Penerbit Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2004, hlm. 10-11. 28 Ibid. hlm. 70. 29 Sutan Remy Sjahdeini, Ibid, hlm. 29. 410
Asas Kelangsungan Usaha dalam Perkara Kepailitan dan PKPU, Catur Irianto
Penormaan ini bermakna penting terutama dalam penerapan hukum oleh hakim, dengan adanya ketentuan asas kelangsungan usaha, maka para hakim seyogyanya senantiasa memperhatikan ketentuan asas kelangsungan usaha, yang berarti tetap memperhatikan potensi dan prospektif perusahaan debitor, dan kepailitan merupakan ultimum remedium. Seandainya, terhadap perusahaan pailit, Kurator dengan persetujuan Kreditor dan Hakim Pengawas tetap memberi kemungkinan perusahaan debitor on going concern dalam rangka meningkatkan harta pailit yang barang tentu menguntungkan para kreditornya. Dalam pada itu, putusan atas penundaan kewajiban pembayaran utang umumnya mempertimbangkan kelangsungan usaha, pertimbangan pengadilan niaga antara lain sebagai berikut. a. Dalam Perkara No.08/PKPU/1998/PN.Niaga.Jkt.Pst, antara lain dipertimbangkan: “… pengadilan melihat masih ada kemungkinan perusahaan dapat dijalankan apabila tenggang waktu untuk menunda pembayaran utangnya.” b. Dalam Perkara No.09/PKPU/1998/PN.Niaga.Jkt.Pst, antara lain dipertimbangkan: “… pengadilan beralasan menurut hukum memberi kesempatan untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian kepada kreditor konkuren.” c. Dalam Perkara No.10/PKPU/1998/PN.Niaga.Jkt.Pst, antara lain dipertimbangkan: “…pengadilan melihat permohonan mempunyai kemungkinan perusahaan dapat dijalankan apabila diberi tenggang waktu untuk menunda pembayaran utangnya.” Dari data tersebut, maka dapat dikatakan pertimbangan pengadilan niaga mengacu kepada prospek kelangsungan usaha. Kegiatan usaha yang dilakukan oleh perusahaan berpretensi menghasilkan keuntungan perusahaan dan pada gilirannya akan menyelesaikan permasalahan utangutang. 3.1. Kelanjutan Usaha Perusahaan Debitor setelah Putusan Pailit Ketentuan Pasal 24 Ayat (1) UUK-PKPU menyatakan bahwa, demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Dengan demikian, terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan oleh hakim, debitor demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit. 411
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 399-418
putusan. Sesuai dengan ketentuan UUK - PKPU, pengurusan mengenai hal-hal tersebut di atas dilakukan oleh Kurator. Pasal 1 Angka 5 UUK - PKPU memberi makna Kurator adalah Balai Harta Peninggalan (BHP) atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Berkenaan dengan tugas Kurator dalam kepailitan, Pasal 69 Ayat (1) UUK - PKPU menyebutkan, “tugas Kurator adalah melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit”. Namun dalam penjelasan pasal tersebut tidak memberi keterangan mengenai apa yang dimaksud “pengurusan harta pailit” maupun “pemberesan harta pailit”, penjelasan pasal tersebut hanya menyebut “cukup jelas”. Dari ketentuan Pasal 69 Ayat (1) UUK - PKPU tersebut tersirat bahwa tugas Kurator dalam kepailitan tidak selalu berkenaan dengan pemberesan harta pailit, tetapi dimungkinkan adanya “pengurusan harta pailit” yang dapat meningkatkan nilai harta pailit melalui kelanjutan usaha perusahaan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Pasal 104 Ayat (1) UUK - PKPU memberi kemungkinan Kurator dengan persetujuan para Kreditor sementara dapat melanjutkan usaha debitor yang dinyatakan pailit walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali (PK). Sedangkan menurut ketentuan Pasal 104 Ayat (20 UUK - PKPU, apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditor, kurator memerlukan izin Hakim Pengawas untuk melanjutkan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 Ayat (1) UUK - PKPU. 3.2. Kelanjutan Usaha Perusahaan Debitor dalam PKPU Memungkinkan Restrukturisasi Utang. Permohonan kepailitan melalui pengadilan niaga diajukan oleh kreditor dengan tujuan debitor dinyatakan pailit dan harta kekayaan debitor dieksekusi massal dan hasil penjualan barangbarang tersebut akan dibagi kepada para kreditornya secara seimbang (pari pasu), cara ini merupakan penyelesaian utang sekalipun dalam kenyataannya tidak seluruh utang terselesaikan secara penuh. Menghadapi permohonan kepailitan dari kreditornya, debitor pada waktu yang sama dapat mengajukan penangguhan pembayaran sesuai ketentuan Pasal 246 UUK-PKPU. Penangguhan pembayaran ini sebagai perlawanan atas 412
Asas Kelangsungan Usaha dalam Perkara Kepailitan dan PKPU, Catur Irianto
permohonan kepailitan yang diajukan oleh kreditornya. Permohonan penundaan pembayaran dari debitor tersebut diajukan pada waktu menjawab permohonan kepailitan. Permohonan penundaan pembayaran dilakukan oleh debitor dengan tujuan debitor diberikan waktu (tempo) oleh pengadilan niaga untuk menunda kewajiban pembayaran utangutangnya kepada para kreditor. Dalam rangka memenuhi tujuannya, debitor dalam surat permohonan yang ditujukan kepada ketua pengadilan niaga harus menyertakan daftar pertelaan utangutang serta nama-nama si berpiutang beserta surat-surat bukti secukupnya. Alasan-Alasan permohonan PKPU yang diajukan oleh debitor harus sinkron (sesuai) dengan apa yang dimohon, yaitu berupa penundaan pembayaran. Jadi, alasan-alasan yang diajukan atau dikemukakan oleh debitor harus mendukung positumnya. Dari permohonan-permohonan PKPU yang diajukan debitor, secara formil telah memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang dan hal tersebut layak untuk dipertimbangkan. Umumnya pemohon (debitor) belum mengajukan rencana damai dalam hal penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) kepada kreditor konkuren, namun hal tersebut masih dapat diajukan pemohon dalam waktu selama penundaan kewajiban pembayaran utang sementara. Hak tagih harta kekayaan debitor dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata kemudian dijabarkan dalam pasal 20 UU Kepailitan. Dasar filosofi hukum kepailitan Indonesia lebih ditujukan kepada pembagian harta pailit yang mengakibatkan tidak adanya konsep fresh start terhadap si pailit setelah kepailitan berakhir. Hal ini berbeda dengan hukum kepailitan Amerika Serikat yang memiliki tujuan utama untuk memberi kesempatan kepada debitor untuk berusaha kembali agar terlepas dari utang yang lama, penekanannya lebih pada konsep fresh start.30 Dalam Hukum Kepailitan Amerika Serikat dikenal adanya Reorganisasi Perusahaan.31 Debitor yang dalam keadaan berhenti membayar atau tidak mampu membayar utang-
30
George J. Churcil, Prinsip-Prinsip Hukum Kepailitan: Suatu Perbandingan Hukum Kepailitan di Amerika Serikat dengan Hukum Kepailitan Indonesia, Makalah pada Pendidikan Ianjutan Bidang Hukum Kepailitan Program Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum Fakultas Hukum UI, Jakarta 13-19 Agustus 1998, hlm. 4. 31 Chapter 11 Bankruptcy Code sangat dikenal dan menjadi acuan penyusunan UU tentang Restrukturisasi Utang dari berbagai negara di dunia. 413
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 399-418
utangnya memiliki beberapa alternatif, yaitu Liquidation, dan Reorganizations.32 Restrukturisasi utang adalah kepentingan debitor. Dari sisi debitor, restrukturisasi utang merupakan suatu tindakan yang perlu diambil oleh karena perusahaan tidak memiliki lagi kemampuan atau kekuatan untuk memenuhi komitmen-nya kepada para kreditor. Penutup 1. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan sebagaimana tersebut di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. 1.1. Asas kelangsungan usaha adalah landasan berpikir yang memungkinkan perusahaan debitor tetap menjalankan kegiatan usaha (on going concern) dalam rangka meningkatkan nilai ekonomi (economic value) perusahaan. Secara etis, asas kelangsungan usaha merupakan perwujudan sikap etis dan toleransi dari para kreditor terhadap debitor yang sedang mengalami kesulitan keuangan. Kelanjutan usaha debitor dalam perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagai bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-undang terhadap debitor yang beretiket baik dengan cara memberi kesempatan kepada perusahaan debitor untuk tetap menjalankan kegiatan usaha. 1.2. Penormaan asas kelangsungan usaha dalam Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur dalam Penjelasan Umum. Pengaturan selanjutnya dituangkan dalam batang tubuh Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang mengimplementasikan pemberian kelangsungan usaha terhadap perusahaan debitor pailit.. 1.3. Dalam penyelesaian perkara PKPU, penerapan asas kelangsungan usaha akan memungkinkan perusahaan debitor melakukan restrukturisasi utang yang bermuara pada perjanjian perdamaian dan mengakhiri sengketa utang. Penerapan asas kelangsungan usaha dalam penyelesaian perkara kepailitan berdampak positif terhadap nilai ekonomi (economic value) perusahaan debitor, nilai aset akan jauh lebih tinggi 32
Henry R. Cheesemen, Business Law, The Legal, Ethical, and International Environment, New Jersey: Prentice HI, Cliff, 195, him 491 dalam Sumarni, Prinsip Keseimbangan..., hlm. 394. 414
Asas Kelangsungan Usaha dalam Perkara Kepailitan dan PKPU, Catur Irianto
2.
dibandingkan dengan perusahaan yang tidak menjalankan kegiatan usaha. Naiknya nilai ekonomi perusahaan debitor akan menguntungkan pihak debitor maupun para kreditornya. Rekomendasi 2.1. Perusahaan debitor yang menjalankan kegiatan usaha dalam scame PKPU seyogyanya tidak hanya diberi kesempatan waktu untuk merestrukturisasi utang, tetapi yang lebih penting adalah restrukturisasi perusahaan debitor dengan pemberian refinance. 2.2. Dalam perkara kepailitan, khususnya setelah perusahaan debitor dinyatakan pailit seyogyanya terhadap perusahaan debitor yang beretikat baik dan terdapat potensi serta prospek yang baik, maka peran aktif Kurator sangat diperlukan dalam rangka meyakinkan para kreditornya untuk tetap memberikan kelangsungan usaha debitor demi menaikan nilai ekonomi (economic value) perusahaan yang telah dinyatakan pailit.
Daftar Pustaka Buku Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Kepailitan Seri Hukum Bisnis, Raja Grafindo Persada, 2002. Ismail Rumadan, Interpretasi Tentang Makna Utang Jatuh Tempo Dalam Perkara Kepailitan, (Kajian Terhadap Putusan mahkamah Agung 2009-2013), Laporan Hasil Penelitian, Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2013. Kartini Mulyadi, Actio Pauliana dan Pokok-Pokok tentang Pengadilan Niaga, Dalam Rudhy A. Lontoh et.al., Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001. --------------, Kreditor Preferen dan Kreditor Sparatis dalam Kepailitan, Dalam Emmy Yuhassarie, Undang Undang Kepailitan dan Perkembangannya, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 200 ------------, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Serta Dampak Hukumnya,. Dalam Rudy Lontoh et. al., Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau penundaan Kewajiban pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001. M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktek di Peradilan, cet- ketiga, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.
415
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 399-418
Mukti Arto, Mencari Keadilan, Kritik dan Sosial Terhadap Praktek Peradilan Perdata, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001. Muladi, dalam Ruddy A. Lontoh dkk, Hukum Kepailitan, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001. Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Edisi Revisi (Disesuaikan dengan UU Nomor 37 Tahun 2004), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. -------------, Hukum Pailit 1998, (Dalam Teori dan Praktik) Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. ------------, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, UMM Press Malang, 2008 . Rudhy A. Lontoh, dkk., Penyelesaian Utang Piutang, Djambatan, Jakarta. Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia (Civil Law System) dengan Amerika Serikat (Common Law System), -USU Reprosity Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2004. ------------, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia (Civil Law System) dengan Amerika Serikat (Common Law System), e-USU Reprosity Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2004. -------------, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Edisi ke-2, PT. Sofmedia, Jakarta, 2010. Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Cetakan ke-4, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2010.. Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, 2002. Paper/Jurnal/Makalah Adi Nugroho Setiarso, Analisis Yuridis terhadap Keadaan Insolvensi Dalam Kepailitan (Study Normatif Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), Artikel Ilmiah, Kementrian Pendidikan dan kebudayaan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2013. Catur Iriantoro, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pengadilan Niaga, Makalah Hukum, tanpa tahun. Dibutuhkan Undang Undang Kepailitan Menyusul Krisis Ekonomi, Harian Kompas, tanggal 10 Februari 1998. Direktori Putusan Mahkamah Agung. Putusan MA No. 075 K/Pdt.Sus/2007 dalam Perkara antara PT. Dirgantara Indonesia dan PT. Perusahaan Pengelola Asset (Persero) melawan Heryono dkk.
416
Asas Kelangsungan Usaha dalam Perkara Kepailitan dan PKPU, Catur Irianto
Menyoroti Undang-Undang Kepailitan, Menyederhanakan Mekanisme, Melindungi Kreditor, Majalah Forum, Minggu 15 Februari 1998. Moh. Kusnoe, Asas Toleransi Yuridis Dan Badan Peradilan Kita, Varia Peradilan, Majalah Hukum, Tahun X No.110, November 1994. Surat Kabar/Internet 207 Perusahaan Alami Kesulitan Serius Akibat Krisis, Harian Republika, tanggal 3 Maret 1998. 207 Perusahaan Bakal Macet Berproduksi, Harian Kompas, 3 Maret 1998. 207 Perusahaan Korban Krisis Lapor ke BKPM, Harian Merdeka, tanggal 3 Maret 1998. id.m.wikipedia.org/wiki/solvabilitas. 20 Juni 2011. Kepailitan: Penyalahgunaan Hak Oleh Debitor, Harian Republika, tanggal 18 Februari 1998. Kepailitan Atau Menghindari Tanggung Jawab, Harian Media Indonesia, tanggal 5 Januari 1998. Laporan Tahun 2011, Resilience of The Domestic Economy Through Sustainable Growth of Finance Companies” Biro Pembiayaan dan Penjaminan Badan Pengawas Pasar Modal Undang-Undang Kepailitan Harus Beri Peluang Pulihkan Usaha, Harian Kompas, tanggal 30 Maret 1998. www.direktoriputusanmahkamahagung.go.id Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Kepailitan Harus Beri Peluang Pulihkan Usaha, Harian Kompas, tanggal 30 Maret 1998. Undang-Undang Kepailitan Harus Beri Peluang Pulihkan Usaha, Harian Kompas, tanggal 30 Maret 1998. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (lama).
417
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 399-418
418
PERADILAN TATA USAHA NEGARA PASCA UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DITINJAU DARI SEGI ACCESS TO JUSTICE (The Administrative Court after Government Administration Acts in Terms of Access of Justice)
Tri Cahya Indra Permana Hakim PTUN Jakarta Jl. A. Sentra Primer Baru Timur, Pulogebang, Jakarta Timur 13950 Email:
[email protected]
Abstrak Undang-Undang Administrasi Pemerintahan telah memperluas access to justice bagi pencari keadilan di Peradilan Tata Usaha Negara dengan cara membuka “ruang-ruang hampa” yang sebelumnya tidak dapat dimasuki oleh pencari keadilan. Oleh karena Undang-Undang Administrasi Pemerintahan telah membuka access to justice, maka Hakim sebagai figur sentral penegak hukum dan keadilan sepatutnya juga terbuka terhadap perubahan dan perkembangan termasuk perubahan dan perkembangan hukum di bidang Administrasi Pemerintahan. Access to justice merupakan hak asasi manusia yang harus dijamin pelaksanaannya, bukan sekedar memindahkan kewenangan absolut peradilan lain ke Peradilan Tata Usaha Negara. Upayanya dengan menutup ruang kosong/ruang hampa yang tidak dapat diisi oleh Peradilan Tata Usaha Negara maupun lingkungan peradilan lain. Bagi Hakim Peradilan Tata Usaha Negara tidak sepatutnya lagi mempersempit wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dengan dalih obyek sengketa tidak individual, belum final, sengketa perdata terlebih karena obyek sengketa merupakan keputusan deklaratif. Hakim tentu harus melaksanakan isi Undang-Undang Administrasi Pemerintahan beserta Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2015 dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2015. Untuk menghindari kegaduhan hukum, maka hukum yang baru tersebut diterapkan dengan beberapa strategi penerapan yaitu memahami sungguh-sungguh apa yang menjadi maksud dan tujuan dari Undang-Undang Administrasi Pemerintahan termasuk aturan pelaksanaannya. Namun demikian jika didalam Peraturan Mahkamah Agung dirasakan ada hal-hal yang tidak sesuai dengan Undang-Undang ataupun kebutuhan praktek persidangan, 419
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 419-442
maka Hakim dapat melakukan upaya constitutional question kepada Mahkamah Konstitusi atau sementara mengesampingkannya sambil menunggu dilakukannya revisi terhadap Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2015 dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2015. Kata kunci: Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Access to Justice Abstract The Government Administration Act has expanded the access to justice for justice seekers in Administrative Court by opening the "empty spaces" that were not previously accessible for justice seekers. Hence Government Administration Act has opened access to justice, the Judge as the central figure of law enforcement should also committed to changes and developments, including changes and legal developments in the field of Government Administration. Access to justice is a human right that must be guaranteed, not just move the absolute power of the other judicial authority to the Administrative Court. His attempt is to cover the empty space/ vacuum which cannot be filled by the Administrative Court and other courts. The Administrative Court Judge are no longer narrow the authorization of Administrative Court on the pretext object of the dispute is not individual, not final, civil disputes especially since the disputed a declarative decision. The judge would have to implement the content of Government Administration Act along with the Supreme Court Regulation No. 4 of 2015 and the Supreme Court Regulation No. 5 Year 2015. To avoid disagreement of the law, the new law is applied with some implementation strategies that really understood what the intent and purpose of the Government Administration Act, including the rules of procedure. However, if in the Rules of the Supreme Court felt there are things that are not in accordance with the Law or the needs of the practice of the trial, the judge can make an effort constitutional question to the Constitutional Court or temporarily set it aside pending the revision of the Rules of the Supreme Court No. 4 of 2015 and the Supreme Court Regulation No. 5 in 2015. Keywords: Administrative Court, Government Administration Act, Access to Justice A. Latar Belakang Masalah Dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada tanggal 17 Oktober 2014, maka hukum materil bagi Hakim Peradilan TUN dalam menguji suatu 420
Peradilan TUN Pasca UU Administrasi Pemerintahan, Tri Cahya Indra Permana
keputusan atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan telah ada acuannya (berlaku sebagai toetsing gronden). Meskipun Undang-Undang Administrasi Pemerintahan hanya mengatur mengenai hukum materiil, namun Undang-Undang Administrasi Pemerintahan telah merubah pula kompetensi absolut pengadilan bahkan beberapa hal mengenai hukum acara yang berlaku di Peradilan Tata Usaha Negara. Dari segi politik hukum, maka Undang-Undang Administrasi Pemerintahan merupakan perwujudan dari kehendak politik pembentuk Undang-Undang untuk memperbaiki administrasi pemerintahan yang carutmarut akibat tidak adanya pedoman untuk menjalankan pemerintahan. Bagi jajaran Peradilan Tata Usaha Negara, lahirnya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan bisa dijadikan sebagai landasan untuk melakukan jihad judicial, sedangkan dari segi justitia belen (peziarah keadilan), access to justice1 diharapkan akan lebih terbuka. Maftuh Effendi mengatakan reformasi PTUN di Indonesia sudah seharusnya dilakukan, terutama yang berkaitan dengan kompetensi absolut pengadilan, dengan alasan: (1) kompetensi absolut PTUN yang sangat sempit itu merupakan salah satu penyebab kegagalan penyelesaian sengketa TUN, karena banyak sengketa TUN lain yang tidak dapat dijangkau oleh PTUN, sehingga secara langsung telah mempersempit akses keadilan (access to justice) yang ditawarkan kepada masyarakat; dan (2) harmonisasi UU PTUN dalam rangka menyongsong disahkannya RUU AP yang memungkinkan perluasan kompetensi absolut PTUN2. Dengan lahirnya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan serta memperluas access to justice, maka Hakim sebagai figur sentral penegakan hukum dan keadilan di pengadilan dituntut untuk memahami materi muatan yang terdapat didalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, termasuk dampak ikutannya berupa hukum acara yang dituangkan didalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan. Penguasaan materi muatan serta penguasaan hukum acara bagi hakim sebagai pendistribusi keadilan merupakan conditio sine quanon, oleh 1
Access to justice is defined as the ability of people to seek and obtain a remedy through formal or informal institutions of justice for grievances in compliance with human rights standards. sumber www.usip.org diunduh tanggal 6 Oktober 2015 2 Maftuh Effendi, Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia Suatu Pemikiran ke Arah Perluasan Kompetensi Pasca Amandemen Kedua Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 1 Maret 2014, halaman 27 421
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 419-442
karenanya pendistribusian keadilan harus dilakukan dengan cara-cara yang adil pula setidak-tidaknya menurut hukum materiil dan hukum acara yang diatur didalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Eman Suparman mengatakan mencari keadilan perlu teknikalitas hukum. Hal itu mengandung makna, bagaimana pun seseorang berkeyakinan bahwa suatu perkara serta keadilan ada pada dirinya, namun apabila yang bersangkutan gagal memenuhi dan mengikuti ketentuan dalam proses berperkara, orang tersebut akan dikalahkan oleh pihak lawan yang dengan cerdik mampu memanfaatkan sekalian teknikalitas hukum3. Dimasa-masa awal berlakunya suatu Undang-Undang, kemungkinan besar teknikalitas hukum para pihak yang bersengketa mengenai UndangUndang yang baru tersebut masih sangat minim, oleh karenanya melalui penguasaan hukum acara yang baik, peran Hakim Peradilan Tata Usaha Negara yang bersifat aktif harus menjadi trigger bagi para pihak untuk meningkatkan teknikalitas hukumnya masing-masing. Hukum acara itu sendiri merupakan peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara untuk menjamin dipatuhinya hukum dengan perantaraan hakim yang menjalankan kekuasaan negara. Hakim menjalankan kekuasaan dimaksud dengan melakukan pemeriksaan, mengambil putusan dengan menentukan secara tegas apa dan siapa yang memperoleh kemenangan secara hukum dalam suatu sengketa hukum itu. Salah satu pihak harus melaksanakan suatu perbuatan tertentu untuk pihak yang lain. Bila pihak yang berdasarkan putusan tersebut harus melaksanakan, tapi tidak melaksanakan secara sukarela, maka pengadilan demi hukum dan keadilan, akan menjalankannya sendiri secara paksa. Hukum, dalam hal ini hukum acara, sebagai cara pendekatan juga harus ditaati baik oleh hakim maupun oleh para pihak pencari keadilan dalam proses penegakan hukum ini4. 2.
Perumusan Masalah Dari latar belakang masalah tersebut diatas, dapat ditarik beberapa permasalahan untuk diteliti yaitu: a. Mengapa access to justice di peradilan tata usaha negara perlu untuk diperluas? b. Apakah Undang-Undang Administrasi Pemerintahan semakin memperluas access to justice di Peradilan Tata Usaha Negara atau justru sebaliknya? 3
Eman Suparman, Pengarusutamaan Peran Hakim dalam Perwujudan Keadilan, Bahan Kuliah Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Jakarta, 12 September 2015, halaman 1 4 Sudikno Mertokusumo, Hukum acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, halaman 3-4 422
Peradilan TUN Pasca UU Administrasi Pemerintahan, Tri Cahya Indra Permana
c.
Bagaimana seharusnya sikap Hakim dalam menghadapi diberlakukannya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan?
3.
Pembahasan Untuk menjawab persoalan pertama, tidak bisa access to justice dikaitkan semata-mata dengan sempit atau kecilnya kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara sehingga harus diperluas. Bisa jadi diperluasnya kewenangan absolut PTUN merupakan “rampasan” dari wewenang absolut peradilan lain. Bagi pencari keadilan, sepanjang ada access to justice di lingkungan Peradilan lain, hal tersebut bukan merupakan sebuah masalah. Peradilan Tata Usaha Negara juga tidak memiliki pretensi apapun agar diperluas kewenangannya. Persoalannya adalah karena adanya “ruang hampa” yang tidak dapat disentuh oleh Peradilan Tata Usaha Negara begitu pula oleh lingkungan peradilan lainnya. Ruang hampa dimaksud misalnya baru-baru ini ada gugatan masuk di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta mempersoalkan keputusan KPU tentang perpanjangan masa pendaftaran pasangan calon Kepala Daerah pada Pilkada Kota Surabaya untuk yang kedua kalinya. Oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, gugatan tersebut dinyatakan tidak lolos dismissal karena nyata-nyata bukan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara. Persoalannya lalu perkara tersebut menjadi kewenangan siapa karena Bawaslu dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara hanya diberi wewenang menyelesaikan sengketa yang terkait dengan penetapan pasangan calon. Pasal 153 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang menyatakan bahwa Sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan merupakan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara pemilihan antara calon Gubernur, Calon Bupati dan calon Walikota dengan KPU Provinsi dan atau KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota; Selanjutnya Pasal 154 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang menyebutkan Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara pemilihan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dilakukan setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas Kabupaten/Kota telah dilakukan. Oleh karena sengketa tersebut terjadi sebelum adanya penetapan pasangan calon, maka terjadilah kekosongan forum. Kekosongan forum yang dapat mengadili seperti ini bisa saja terjadi di kasus-kasus yang lain 423
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 419-442
yang membuat masyarakat terlanggar haknya yang sesungguhnya pokok gugatannya sangat dekat dengan kewenangan absolut Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal yang lebih hakiki dari dibukanya access to justice sesungguhnya adalah karena hal tersebut merupakan salah satu hak asasi manusia yang sudah dituangkan didalam UUD 1945. Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Access to justice sebagaimana disebut diatas, baru sekedar access to justice yang didasarkan pada materi, sedangkan didalam praktek ada hambatan terhadap access to justice yang didasarkan pada subyek hukum Penggugat. Sebagai contoh Undang-Undang sudah memberi legal standing kepada Lembaga Swadaya Masyarakat untuk mengajukan gugatan dalam bidang lingkungan hidup, perlindungan konsumen dan kehutanan, akan tetapi dalam bidang lain masih ada sumbatan. Sebagai contoh dalam kasus gugatan terhadap surat pengangkatan pejabat publik, gugatan yang diajukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dinyatakan tidak diterima karena dianggap tidak memiliki kepentingan yang dirugikan. Atas dasar fakta-fakta tersebut, maka oleh karena access to justice merupakan hak asasi manusia dan masih adanya rung hampa yang tidak dapat dimasuki oleh masyarakat, kiranya access to justice semakin perlu dibuka baik dari segi materi maupun dari segi subyek hukum penggugat. Terhadap persoalan kedua, haruslah dilihat dari materi muatan apa saja yang diatur didalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan serta apakah Undang-Undang Administrasi Pemerintahan berusaha menghilangkan ruang-ruang hampa atau menambah access to justice ataukah tidak?. Materi muatan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan selain mengatur mengenai materi yang sudah diatur didalam Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga memuat hal-hal baru yang sebelumnya tidak termuat didalam Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara beserta perubahan-perubahannya; Meskipun Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan hanya mengatur mengenai materi, tidak campur aduk sebagaimana Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, dan tidak secara tegas menyatakan mencabut atau tidak berlaku lagi beberapa Pasal didalam Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan perubahan-perubahannya, namun sesuai asas hukum lex posteriory derogate legi priory, maka hukum yang terkini mengalahkan hukum yang lebih lampau/terdahulu. Hal tersebut bermakna, beberapa ketentuan didalam Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan perubahan424
Peradilan TUN Pasca UU Administrasi Pemerintahan, Tri Cahya Indra Permana
perubahannya yang tidak lagi sesuai dengan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan sudah sepatutnya tidak lagi diterapkan. Didalam praktek, dengan lahirnya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan ternyata norma-norma yang terkandung didalamnya tidak serta merta dapat langsung diterapkan oleh Pengadilan. Selain karena norma yang masih baru memerlukan penyesuaian dengan praktek hukum, juga karena masih terdapat perbedaan persepsi khususnya di kalangan para Hakim didalam menerapkan pasal-pasalnya. Hal tersebut terjadi akibat beberapa sebab seperti kurangnya sosialisasi atau keengganan Hakim untuk menambah pengetahuannya, kengganan Hakim untuk memulai sesuatu yang baru atau sebab-sebab lainnya. Mengenai persamaan persepsi, Paulus Effendi Lotulung mengatakan didalam penerapan hukum, persamaan persepsi akan mewujudkan kepastian hukum, yang pada gilirannya akan mencegah atau menghindarkan disparitas putusan dan inkonsistensi putusan disebabkan hakim telah menerapkan standar yang tidak sama terhadap kasus atau perkara yang sama atau serupa dengan perkara yang telah diputus atau diadili oleh hakim sebelumnya5. Didalam masa transisi seperti saat ini, inkonsistensi Hakim mungkin saja terjadi semisal didalam satu perkara ia masih membolehkan gugatan dengan konstruksi hukum fiktif negatif padahal permohonan diajukan pada saat Undang-Undang Administrasi Pemerintahan sudah diundangkan, namun didalam perkara yang lain ia sudah menerapkan konstruksi hukum fiktif positif, dimana kedua sikap tersebut tentu saling bertolak belakang. Bahkan yang dikhawatirkan adalah jika di beberapa Pengadilan menerapkan hal yang berbeda terhadap sesuatu hal yang sama. Disparitas putusan memang suatu keniscayaan, namun harus ada legal reasoning yang kuat atau ada paradigma yang berbeda yang digunakan oleh Hakim dalam memutus suatu perkara yang hampir sama dengan perkara lain. Jika tidak ada, maka bisa jadi Hukum telah “dipermainkan” oleh sang Hakim. Beberapa hal didalam Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara beserta perubahan-perubahannya yang menurut hemat penulis tidak lagi sesuai dengan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan serta beberapa hal baru yang termuat didalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang perlu untuk mendapat perhatian dari masyarakat luas khususnya para Hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara antara lain:
5
Paulus Effendi Lotulung, Hukum Tata Usaha Negara dan Kekuasaan, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta, 2013, halaman 15-16 425
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 419-442
a. Perihal Upaya Administratif Jika dibuatkan bagan perbedaan upaya administratif berdasarkan Undang-Undang Peratun dan upaya administratif berdasarkan UndangUndang Administrasi Pemerintahan, antara lain sebagai berikut: No. 1.
2.
3.
Upaya Administratif menurut Undang-Undang Peratun Jika suatu penyelesaian sengketa mengharuskan dilakukannya upaya administrasi, maka seluruh upaya administrasi tersebut harus ditempuh terlebih dahulu Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan Pengadilan yang berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa pada tingkat pertama adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN)
Upaya Administratif menurut UndangUndang Administrasi Pemerintahan Warga masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dapat mengajukan upaya administratif kepada Pejabat pemerintahan atau atasan pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan Konsekuensi dari adanya kata dapat, maka Pengadilan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa yang diajukan tanpa melalui upaya administratif Pengadilan yang berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa pada tingkat pertama adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
b. Perihal Keputusan Fiktif Positif Perbedaan Prinsip didalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan adalah aturan mengenai keputusan fiktif negatif dan keputusan fiktif positif. Pasal 3 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara mengatur mengenai keputusan fiktif negatif yaitu jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon sedangkan jangka waktu telah lewat, maka badan atau pejabat tata usaha negara dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. Adapun Pasal 53 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan secara prinsip mengatur apabila dalam batas waktu yang ditentukan, Badan atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan atau melakukan keputusan dan/atau tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. Hal itulah yang dimaknai dengan keputusan fiktif positif. Lahirnya keputusan fiktif positif tidak lepas dari perubahan paradigma pelayanan publik yang mengharuskan badan atau pejabat pemerintah lebih responsif terhadap permohonan masyarakat. Zudan Arif Fakrulloh mengatakan salah satu keinginan dasar dan arah politik hukum
426
Peradilan TUN Pasca UU Administrasi Pemerintahan, Tri Cahya Indra Permana
dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan adalah meningkatnya kualitas penyelenggaraan pemerintahan6. Jika dituangkan dalam sebuah bagan, maka karakter hukum keputusan fiktif negatif dan keputusan fiktif positif adalah sebagai berikut: No. 1.
2.
3.
4.
5.
6. 7.
Keputusan Fiktif Negatif Berdasarkan Pasal 3 UndangUndang Peratun Prinsipnya jika permohonan tidak dijawab padahal hal tersebut merupakan kewajiban Badan atau Pejabat TUN, maka permohonan dianggap ditolak Tenggang waktu untuk menjawab permohonan sesuai dengan aturan dasar. Jika tidak diatur maka 4 (empat) bulan sejak diterimanya permohonan secara lengkap tidak dijawab, dianggap mengeluarkan keputusan penolakan
Berlaku tenggang waktu pengajuan gugatan dimulai 90 (sembilan puluh) hari sejak terlewatinya jangka waktu sesuai aturan dasar atau sejak terlewatinya 4 (empat) bulan dari diterimanya permohonan yang tidak dijawab Untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan yang sudah lengkap, diajukan Gugatan ke PTUN Hukum acara dengan acara biasa sesuai Undang-Undang Peratun
Terhadap putusan dapat diajukan upaya hukum Saat pendaftaran gugatan dilampiri bukti pembayaran biaya proses (panjar), salinan gugatan, fotokopi obyek sengketa (jika ada), Surat Kuasa, fotokopi kartu advokat dan Berita Acara Sumpah (jika menggunakan kuasa hukum)
Keputusan Fiktif Positif Berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Prinsipnya jika permohonan tidak dijawab oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan, maka permohonan dianggap dikabulkan Tenggang waktu untuk menjawab permohonan sesuai dengan aturan dasar. Jika tidak diatur, maka dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan, maka permohonan dianggap dikabulkan Berlaku tenggang waktu pengajuan Permohonan dimulai 90 (sembilan puluh) hari sejak terlewatinya jangka waktu sesuai aturan dasar atau sejak terlewatinya 10 (sepuluh) hari kerja dari permohonan yang tidak dijawab Untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan yang sudah lengkap diajukan Permohonan ke PTUN Hukum acara sesuai Perma langsung pada pokok permohonan, tanpa pemeriksaan persiapan, replik, dan duplik serta harus diputus paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan Putusan bersifat final dan mengikat Saat pendaftaran permohonan, dilampiri fotokopi KTP (jika orang), fotokopi akta pendirian (jika badan hukum perdata), bukti surat yang lengkap, daftar calon saksi/ahli, daftar bukti lain, Surat Kuasa, fotokopi kartu advokat dan Berita Acara Sumpah (jika menggunakan kuasa
6
Zudan Arif Fakrulloh, Tindakan Hukum Bagi Aparatur Penyelenggara Pemerintahan, Seminar Nasional IKAHI ke 62, Jakarta 26 Maret 2015 halaman 6 427
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 419-442
8. 9.
Pembayaran biaya proses/panjar sebelum gugatan didaftarkan Dalam proses berperkara dimungkinkan intervensi namun tidak mengacaukan hukum acara
hukum). Pembayaran biaya proses/panjar setelah berkas dinyatakan lengkap Dalam proses berperkara tidak terlarang intervensi, namun akan merubah jadwal persidangan yang telah ditetapkan
c. Perihal Keputusan Deklaratif Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara tidak mengenal keputusan konstitutif ataupun keputusan deklaratif, namun hanya mengenal Keputusan Tata Usaha Negara yang unsur-unsurnya disebutkan secara kumulatif didalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu: Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual dan final serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Adapun Undang-Undang Administrasi Pemerintahan membedakan keputusan menjadi 2 (dua) yaitu Keputusan yang bersifat Konstitutif dan Keputusan yang bersifat Deklaratif. Pasal 54 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menyebutkan Keputusan meliputi keputusan yang bersifat konstitutif dan deklaratif. Didalam penjelasannya disebutkan bahwa keputusan yang bersifat konstitutif adalah keputusan yang bersifat penetapan mandiri oleh Pejabat Pemerintahan. Sedangkan Keputusan deklaratif didefinisikan sebagai keputusan yang bersifat pengesahan setelah melalui proses pembahasan di tingkat pejabat pemerintahan yang menetapkan keputusan yang bersifat konstitutif. Dari definisi keputusan yang bersifat deklaratif tersebut, setidaknya muncul 3 (tiga) pertanyaan yaitu, Pertama: Apakah selama ini ada keputusan yang bersifat deklaratif yang dijadikan sebagai obyek sengketa di Peradilan TUN? Kedua, Apakah keputusan deklaratif dapat dijadikan sebagai obyek sengketa di Peradilan TUN? Ketiga, Jika keputusan yang bersifat konsitutif bukan diterbitkan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan (misalnya notaris), siapa yang didudukan sebagai Tergugat? Terhadap pertanyaan pertama dan kedua, berdasarkan pengalaman penulis memeriksa perkara, maka cukup banyak keputusan deklaratif yang dijadikan sebagai obyek sengketa di Peradilan TUN misalnya Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas, Keputusan Gubernur tentang Pengesahan Anggaran Dasar Persatuan Penghuni dan Pemilik Satuan 428
Peradilan TUN Pasca UU Administrasi Pemerintahan, Tri Cahya Indra Permana
Rumah Susun (PPPSRS), Keputusan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tentang Perkawinan secara kultural sudah bertahun-tahun menjadi obyek sengketa di Peradilan TUN dan tidak pernah dipersoalkan. Namun demikian ternyata belakangan ada pula Putusan-Putusan yang mulai mempersoalkan keputusan deklaratif sebagai contoh Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 120/B/2015/ PTTUN.JKT tanggal 10 Juli 2015 dan Nomor 162/B/2015/PTTUN.JKT tanggal 10 Juli 2015 yang keduanya memuat pertimbangan obyek sengketa bersifat deklaratif, pencatatan semata untuk menjalankan perintah dari Undang-Undang. Berkaitan dengan pertanyaan ketiga tersebut diatas, maka didalam kedua Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta tersebut keputusan yang bersifat konstitutif juga tidak diterbitkan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan karena keputusan yang bersifat konstitutif diterbitkan oleh Mahkamah Partai, adapun Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia hanya sekedar mencatatkan dan mengesahkan apa yang tertuang didalam putusan Mahkamah Partai. Didalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 180/G/2011/PTUN.JKT dan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No. 105/B/2012/PTTUN.JKT juga menyatakan gugatan Penggugat tidak diterima karena keputusan Gubernur DKI Jakarta bersifat deklaratif yaitu mengesahkan apa yang tertuang didalam Akta Notaris sehingga tidak ada kewenangan Tergugat (Gubernur DKI Jakarta) untuk mempersoalkan Akta Notaris yang hingga saat diajukannya gugatan bahkan hingga putusan tidak pernah dibatalkan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika pencatatan yang dilakukan oleh Menkumham ternyata salah, tidak teliti atau bahkan melanggar prosedur? sebagai analogi bagaimana jika didalam keputusan konstitutif terdapat kesalahan didalam pencatatan pernikahan? misalnya dalam suatu pernikahan yang menikah adalah Roni dengan Tuti akan tetapi yang dicatatkan oleh Tergugat adalah Toni dengan Tuti. Apakah keputusan deklaratif yang hanya mencatatkan perkawinan tersebut dapat dijadikan sebagai obyek gugatan di Pengadilan? Apakah ada ketentuan didalam Undang-undang Peradilan Tata usaha Negara maupun didalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang melarang atau mengecualikan keputusan deklaratif sebagai obyek sengketa di Pengadilan? Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menyebutkan “Keputusan yang bersifat deklaratif menjadi tanggung jawab pejabat pemerintahan yang menetapkan keputusan yang bersifat konstitutif”. Undang-Undang tidak memberikan penjelasan mengenai tanggung jawab 429
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 419-442
yang dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) tersebut. Jangan sampai karena tidak adanya penjelasan maka dapat diartikan bahwa Pejabat yang menerbitkan keputusan deklaratif tidak dapat dimintai pertanggungjawaban yuridis. Meskipun secara kultural keputusan deklaratif pada umumnya telah diterima sebagai obyek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, namun ada beberapa Putusan Pengadilan yang menyatakan gugatan Penggugat tidak diterima karena obyek sengketa adalah keputusan deklaratif. Oleh karenanya sikap Mahkamah Agung ditunggu terlebih Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan didalam penjelasannya hanya menyebutkan cukup jelas. Sikap Mahkamah Agung dapat dituangkan dalam bentuk putusan yang akan berfungsi sebagai yurisprudensi ataupun dalam bentuk Juklak. d. Perihal Obyek Sengketa Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara mendefinisikan Keputusan Tata Usaha Negara sebagai penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual dan final serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Unsur-unsur keputusan tata usaha negara pada prinsipnya meliputi: a. Ditinjau dari segi pembuatnya: dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara dalam rangka melaksanakan kegiatan yang bersifat eksekutif (urusan pemerintahan). b. Ditinjau dari segi wujud materiilnya: berisi tindakan hukum tata usaha negara yaitu tindakan hukum administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. c. Ditinjau dari segi sifatnya: Konkret, Individual dan Final. d. Ditinjau dari segi akibatnya: menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata7. Sedangkan Pasal 87 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan memperluas obyek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara menjadi: a. Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual. b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya. c. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB. d. Bersifat final dalam arti lebih luas. 7
M. Ali Abdullah, Teori dan Praktek Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca Amandemen, Kencana, Jakarta, 2015, halaman 38 430
Peradilan TUN Pasca UU Administrasi Pemerintahan, Tri Cahya Indra Permana
e. f.
Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum. Dan/atau Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat. Dari beberapa poin tersebut diatas, menurut hemat penulis yang menarik untuk dicermati adalah poin a, e dan f. Poin a menyebutkan Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual. Selama ini terhadap tindakan faktual telah ada Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor. 144 K/TUN/1998 tanggal 29 September 1999 yang dalam kaidah hukumnya menyatakan oleh karena pembongkaran dilakukan tanpa surat perintah/surat pemberitahuan terlebih dahulu, maka pembongkaran tersebut merupakan perbuatan faktual dan bukan wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan menyelesaikannya tetapi harus digugat berdasarkan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), di peradilan umum8. Dengan diberikannya kewenangan untuk menguji tindakan faktual badan atau pejabat pemerintahan secara atributif dari Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, maka secara otomatis Yurisprudensi tersebut diatas tidak relevan lagi untuk diikuti. Selanjutnya Hakim Peradilan Tata Usaha Negara haruslah pula dibekali dengan pengetahuan yang cukup bagaimana cara untuk menguji dan menjatuhkan putusan atas tindakan faktual badan atau pejabat pemerintahan. Poin e adalah Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum. Frasa “berpotensi” menunjukan belum adanya akibat hukum. Dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka hanya orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan yang dapat diterima legal standingnya. Prinsip tersebut telah berlaku secara universal9 bahwa hanya orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan yang dapat mengajukan gugatan. Adapun perluasannya diberikan oleh beberapa Undang-Undang tertentu kepada organisasi kemasyarakatan yang karena tujuan didalam Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangganya, berhak mewakili masyarakat atau lingkungan. Dari segi yuridis, selain itu frasa “berpotensi” menimbulkan ketidakpastian hukum karena akan sulit bagi para pihak maupun Hakim dari segi pembuktiannya, dari segi sosiologis dikhawatirkan pengadilan akan kebanjiran perkara akibat dari tidak adanya syarat kepentingan yang dirugikan. Untuk itu penulis pesimis, bahwa ketentuan Pasal 87 huruf e akan diikuti oleh para Hakim. 8
Ali Abdullah, Ibid, halaman 55-56 Di Perancis ada prinsip point d’interest point d’action, sedangkan di Inggris ada prinsip no interest no action 9
431
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 419-442
Hal selanjutnya yang menarik untuk diperhatikan adalah adanya perluasan access to justice dalam Pasal 87 huruf f yaitu Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat. Didalam praktek peradilan sudah sering terjadi suatu obyek sengketa ditujukan kepada warga masyarakat di suatu lokasi tanpa menyebutkan individu-individunya. Misalnya surat keputusan tentang pembongkaran rumah di sepanjang jalan X di kota Y. Rumah di sepanjang jalan X di Kota Y tidak disebutkan individu-individunya, namun sesungguhnya dapat ditentukan siapa-siapa saja yang terkena akibat dari surat keputusan tersebut. Akibatnya Hakim sering berbeda pendapat mengenai sifat individualnya keputusan tersebut sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 jo penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Didalam penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 disebutkan bahwa bersifat individual artinya keputusan tata usaha negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Dengan adanya perluasan acces to justice tersebut, diharapkan tidak ada lagi perdebatan di kalangan para Hakim mengenai sifat individualnya suatu keputusan. Namun demikian, untuk dapat diterima legal standingnya oleh Pengadilan, tidak cukup hanya mendasarkan Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat, karena yang berkedudukan sebagai Penggugat tetaplah harus memenuhi syarat adanya kepentingan yang dirugikan. Berarti Penggugat haruslah bagian dari masyarakat yang dituju oleh surat keputusan tersebut meskipun tidak disebutkan individu-individunya atau pihak ketiga yang tidak dituju oleh keputusan namun kepentingannya dirugikan oleh keputusan dan atau tindakan administrasi pemerintahan. e.
Perihal kewenangan Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang Undang-Undang Administrasi Pemerintahan memberikan kewenangan kepada PTUN untuk menilai ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan. Ketentuan tersebut diatur didalam Pasal 21 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 menyebutkan: ”Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/atau tindakan”. Beleid tersebut muncul sebagai akibat dari tidak adanya forum pembelaan bagi badan atau pejabat pemerintahan yang diduga telah 432
Peradilan TUN Pasca UU Administrasi Pemerintahan, Tri Cahya Indra Permana
melakukan penyalahgunaan wewenang selain di ranah hukum pidana dan yang bersangkutan merasa menjadi korban kriminalisasi terhadap kebijakan pejabat publik. Kriminalisasi yang terjadi terhadap kebijakan-kebijakan pejabat publik, dapat menimbulkan berbagai ketidakpastian hukum, bahkan dalam konteks yang lebih luas dapat merusak hukum itu sendiri karena telah mensuperiorkan aspek hukum tertentu (pidana) dan menegasi fungsi dan peran yang seharusnya dijalankan oleh aspek/domain hukum lain seperti hukum perdata dan administrasi negara dan segmen hukum lain yang ada10. Disamping itu, konsep penyalahgunaan wewenang merupakan konsep didalam hukum administrasi negara yang diabsorsi kedalam hukum pidana, sehingga lebih tepat kiranya untuk membawa persoalan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/atau tindakan ke ranah peradilan administrasi negara. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan membedakan tiga bentuk penyalahgunaan wewenang sebagaimana tertuang didalam Pasal 17 Undang-undang Administrasi Pemerintahan yaitu sebagai berikut: Pasal 17 (1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang. (2) Larangan Penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. larangan melampaui wewenang; b. larangan mencampuradukkan wewenang; dan/atau c. larangan bertindak sewenang-wenang. Kriteria dari melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang diatur lebih lanjut didalam Pasal 18 sebagai berikut: Pasal 18 (1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan: a. Melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya wewenang; b. Melampaui batas wilayah berlakunya wewenang; dan/atau c. Bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
10
Moch Iqbal, Kriminalisasi Kebijakan Pejabat Publik, Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, 2014, halaman 103 433
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 419-442
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan: a. Diluar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan; dan/atau b. Bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan; (3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan: a. Tanpa dasar kewenangan; dan/atau b. Bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap Akibat hukum dari keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan sewenang-wenang diatur didalam Pasal 19 sebagai berikut: Pasal 19 (1) Keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 18 ayat (1) serta keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenangwenang sebagaimana dimaksud dalam 17 ayat (2) huruf c dan Pasal 18 ayat (3) tidak sah apabila telah diuji dan ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. (2) Keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan mencampuradukkan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dan Pasal 18 ayat (2) dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pasal 19 tersebut, selain berisi tentang akibat hukum dari keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan sewenang-wenang, juga merupakan petunjuk (guidance) bagi Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dalam menjatuhkan amar putusan. Agar lebih memudahkan dalam menentukan akibat hukum dari keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan sewenang-wenang dibuatkan bagan sebagai berikut:
434
Peradilan TUN Pasca UU Administrasi Pemerintahan, Tri Cahya Indra Permana
a. b. c. d. e.
Akibat Hukum Berupa Tidak Sah melampaui masa jabatan atau batas berlakunya wewenang. melampaui batas wilayah berlakunya wewenang. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. tanpa dasar kewenangan. Dan bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Akibat Hukum Berupa Dapat Dibatalkan a. Diluar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan. Dan b. Bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan.
Selanjutnya sebelum berbicara mengenai hukum acara dalam penilaian unsur penyalahgunaan wewenang, pertanyaan yang mendasar adalah kepada badan atau pejabat yang seperti apa hak untuk mengajukan permohonan tersebut diberikan, karena baik Undang-Undang Administrasi Pemerintahan maupun Peraturan Mahkamah Agung tidak menjelaskan mengenai hal itu. Paulus Effendi Lotulung mengatakan bahwa pemberian hak gugat bagi pejabat merupakan pengejawantahan dari prinsip equality before the law yang menunjukan asas persamaan kedudukan bagi semua warga negara, baik selaku pribadi maupun dalam kualifikasinya sebagai pejabat negara. Dengan demikian asas persamaan hukum berlaku, baik sebagai Penggugat yang mengajukan gugatan di Pengadilan maupun sebagai Tergugat yang dikenakan suatu gugatan di Pengadilan. Dengan kata lain, pejabat bisa berkedudukan sebagai Penggugat ataupun Tergugat di forum Pengadilan 11 Untuk memahami secara utuh dan sistematis, maka Hak badan atau pejabat pemerintahan yang tertuang didalam Pasal 21 Undang-Undang administrasi Pemerintahan tersebut diatas tidak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang menyebutkan: (1) Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah. (2) Hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. tidak terdapat kesalahan; b. terdapat kesalahan administratif; atau c. terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara; 11
Paulus Effendi Lotulung, Hukum Tata Usaha Negara dan Kekuasaan, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta 2013, hlm 163 435
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 419-442
(3) Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan tindak lanjut dalam bentuk penyempurnaan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (4) Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan. (5) Pengembalian kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan kepada Badan Pemerintahan, apabila kesalahan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi bukan karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang. (6) Pengembalian kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan kepada Pejabat Pemerintahan, apabila kesalahan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang12. Atas dasar ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan tersebut diatas, maka pada prinsipnya hak untuk mengajukan permohonan ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang hanya diberikan kepada Badan atau Pejabat pemerintahan yang sudah diperiksa atau dilakukan pengawasan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dimana hasil pengawasan APIP menyatakan terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara yang terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang. Jika diurai, maka unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh Badan atau Pejabat yang dapat mengajukan permohonan ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang adalah: 1. Badan atau Pejabat pemerintahan. 2. sudah diperiksa atau dilakukan pengawasan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). 3. hasil pengawasan APIP menyatakan terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara 4. terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang
12
Teknis pengembalian kerugian negara perlu diatur didalam Peraturan Pemerintah
436
Peradilan TUN Pasca UU Administrasi Pemerintahan, Tri Cahya Indra Permana
Konsekuensi-konsekuensi dari 4 (empat) kriteria tersebut antara lain: Jika ada badan atau pejabat pemerintahan diluar dari 4 (empat) kriteria tersebut diatas mengajukan permohonan, haruslah dinyatakan tidak diterima. 2. Jika Pemeriksaan APIP menyatakan tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang, maka pihak lain termasuk penyidik harus menghormatinya. Jika pihak lain termasuk penyidik tetap mempersoalkan keputusan dan/atau tindakan pejabat atau badan yang sudah diperiksa oleh APIP, maka APIP sebagai pihak yang telah melakukan pengawasan dan pemeriksaan harus “membela” pejabat atau badan yang sudah diperiksanya demi mempertanggungjawabkan hasil pemeriksaannya. 3. Jika hasil pemeriksaan APIP menyatakan ada unsur penyalahgunaan wewenang, maka pejabat atau badan harus diberi kesempatan terlebih dahulu untuk menguji ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang di forum PTUN. Zudan Arif Fakrulloh mengatakan dalam hal putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap menyatakan tidak ada penyalahgunaan wewenang, maka pejabat tersebut tidak dapat diperiksa dalam konteks hukum pidana, perdata maupun administrasi. Sedangkan apabila hakm PTUN dalam putusannya menyatakan pejabat tersebut terbukti menyalahgunakan wewenang maka terbukalah pintu bagi aparat penegak hukum untuk membawanya ke ranah pidana maupun ke ranah hukum lainnya. Mekanisme dengan putusan PTUN yang berkekuatan hukum hanya sampai di tingkat banding diharapkan dapat memberikan kepastian hukum yang adil secara lebih cepat kepada pejabat penyelenggara pemerintahan terhadap status yang sedang dihadapinya13. Selanjutnya oleh karena subyek pemohon sudah jelas yaitu badan atau pejabat pemerintahan yang sudah diperiksa atau dilakukan pengawasan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), maka obyek sengketa dalam permohonan sesuai Pasal 21 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan adalah hasil pengawasan APIP. Menjadi rancu kiranya jika didalam Perma Nomor 4 Tahun 2015 khususnya didalam Pasal 4 ayat (1) huruf d angka 1 dan 2 membedakan dalam hal pemohonnya adalah badan pemerintahan atau dalam hal pemohon adalah pejabat pemerintahan. Terlebih didalam Pasal 4 ayat (1) huruf d angka 1 menyebutkan “Dalam hal pemohon badan pemerintahan amar putusan menyatakan keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan ada unsur penyalahgunaan wewenang. 1.
13
Zudan Arif Fakrulloh, op cit, halaman 13 437
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 419-442
Hal tersebut menunjukan ketidaktepatan Perma dalam memahami Badan Pemerintahan yang mempunyai hak untuk mengajukan permohonan, seolah-olah hak juga diberikan kepada badan pemerintahan penegak hukum/ penyidik. Oleh karenanya tidak relevan untuk membedakan jika pemohonnya adalah badan pemerintahan dan jika pemohonnya pejabat pemerintahan, karena sesungguhnya kedua-duanya ingin dinyatakan tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dan menyatakan batal hasil pemeriksaan APIP. Sedangkan bagi Badan Pemerintah Penegak Hukum tidak diberikan hak karena mempunyai kemandirian untuk bertindak, tanpa harus meminta putusan dulu dari PTUN mengenai ada atau tidaknya unsur menyalahgunakan wewenang yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan. Terlebih jika tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang diduga menyalahgunakan wewenang itu belum dilakukan pemeriksaan oleh APIP. Disamping itu tidak ada ketentuan didalam peraturan perundangundangan yang mengharuskan penegak hukum/penyidik menempuh upaya permohonan di PTUN terlebih dahulu sebelum melakukan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana penyalahgunaan wewenang. Akibat ketidaktepatan siapa yang diberi hak untuk mengajukan permohonan, maka Pasal 17 huruf b PERMA Nomor 4 Tahun 2015 yang berisi mengenai amar putusan menjadi membingungkan khususnya dalam hal pemohon adalah badan pemerintahan yaitu “Menyatakan keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan ada unsur penyalahgunaan wewenang”. Amar putusan tersebut berorientasi jika pemohonnya adalah badan pemerintah yang juga penegak hukum/penyidik. Persoalan lain adalah mengapa Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 tidak menyebutkan siapa Termohonnya, bahkan seolah-olah tidak perlu ada Termohon dalam menegakkan Pasal 21 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Hal tersebut mengundang pertanyaan apakah memang sebaiknya tidak ada Termohon ataukah sebaiknya ada Termohon? Jika ada Termohon maka siapa yang tepat untuk didudukkan sebagai Termohon? Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus ditentukan terlebih dahulu apa obyek sengketa atau obyek permohonan? apakah hasil pengawasan APIP? jika obyek sengketa adalah hasil pengawasan APIP, maka APIP seharusnya didudukan sebagai Termohon dan diberi hak untuk mengajukan dalil sanggahannya, terlebih Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menyatakan “terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara”. Pasal tersebut tidak menyebutkan Pemohon dapat mengajukan banding, sehingga Pengertian dapat diajukan banding 438
Peradilan TUN Pasca UU Administrasi Pemerintahan, Tri Cahya Indra Permana
bermakna kedua belah pihak yaitu Pemohon atau Termohon dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Namun jika mengingat hasil pengawasan dan pemeriksaan APIP adalah sebuah LHP yang berupa rekomendasi yang akan ditindaklanjuti oleh Pejabat yang berwenang menjatuhkan surat keputusan, maka lebih jika SK Pejabat yang berwenang tersebutlah yang dijadikan sebagai obyek sengketa. Tepat kiranya jika APIP nantinya didudukan sebagai pihak terkait yang dapat dimintai keterangan. APIP tidak dapat dipersamakan dengan Komisi Informasi yang pernah didudukan sebagai Termohon namun kemudian dikoreksi setelah terbitnya PERMA Nomor 2 Tahun 2011. Produk Komisi Informasi adalah Putusan sedangkan produk APIP adalah LHP. Mahkamah Agung beserta Peradilan Tata Usaha Negara memang sedang mencari bentuk yang ideal konstruksi hukum permohonan ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang. Atas dasar uraian-uraian tersebut diatas, kritik membangun penulis terhadap PERMA Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang untuk dapat dilakukan revisi adalah sebagai berikut: 1. Didalam ketentuan umumnya Perma tidak menjelaskan siapa Termohon. Lebih tepat kiranya Badan atau Pejabat yang berwenang menerbitkan SK atas LHP yang direkomendasikan oleh APIP yang didudukkan sebagai Termohon. 2. Pemberian hak untuk mengajukan permohonan seolah diberikan juga kepada badan pemerintah penegak hukum/penyidik padahal sesungguhnya tidak diberikan. 3. Amar putusan dalam hal permohonan diajukan oleh badan pemerintah yaitu menyatakan keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan ada unsur penyalahgunaan wewenang, tidak sesuai dengan maksud diberikannya hak permohonan. Kesimpulan Dari uraian-uraian tersebut diatas, dapat diketahui bahwa UndangUndang Administrasi Pemerintahan telah memperluas access to justice bagi pencari keadilan dengan cara membuka “ruang-ruang hampa” yang sebelumnya tidak dapat disentuh oleh pencari keadilan. Oleh karena Undang-Undang Administrasi Pemerintahan telah membuka access to justice, maka Hakim sebagai figur sentral penegak hukum dan keadilan sepatutnya juga terbuka terhadap perubahan dan perkembangan termasuk perubahan dan perkembangan hukum di bidang Administrasi Pemerintahan karena sebagaimana sering diungkapkan oleh 439
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 419-442
Yang Mulia Dr H. Supandi, S.H, M.H, dalam berbagai pertemuan bahwa jika insan peradilan tidak membuka diri terhadap perubahan maka dirinya yang akan tergilas oleh perubahan. Hasil penelitian ini juga menambahkan apa yang telah diteliti oleh Maftuh Effendi, S.H., M.H, bahwa kewenangan absolut Peradilan TUN terlalu sempit, maka perlu diperluas untuk menjamin access to justice. Adapun penambahannya adalah access to justice merupakan hak asasi manusia yang harus dijamin pelaksanaannya, bukan sekedar memindahkan kewenangan absolut peradilan lain ke Peradilan Tata Usaha Negara. Upayanya dengan menutup ruang kosong/ruang hampa yang tidak dapat diisi oleh Peradilan Tata Usaha Negara maupun lingkungan peradilan lain. Bagi Hakim Peradilan Tata Usaha Negara tidak sepatutnya lagi mempersempit wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dengan dalih obyek sengketa tidak individual, belum final, sengketa perdata terlebih karena obyek sengketa merupakan keputusan deklaratif. Sebagai hukum yang telah dinyatakan berlaku, maka mau tidak mau, suka atau tidak suka Hakim harus melaksanakan isi Undang-Undang Administrasi Pemerintahan beserta Perma Nomor 4 Tahun 2015 dan Perma Nomor 5 Tahun 2015. Untuk menghindari kegaduhan hukum, maka hukum yang baru tersebut diterapkan dengan beberapa strategi penerapan yaitu memahami sungguh-sungguh apa yang menjadi maksud dan tujuan dari Undang-Undang Administrasi Pemerintahan termasuk aturan pelaksanaannya. Namun demikian jika didalam Perma dirasakan ada hal-hal yang tidak sesuai dengan Undang-Undang ataupun kebutuhan praktek persidangan, maka Hakim dapat melakukan upaya constitutional question kepada Mahkamah Konstitusi atau sementara mengesampingkannya sambil menunggu dilakukannya revisi terhadap Perma Nomor 4 Tahun 2015 dan Perma Nomor 5 Tahun 2015.
Daftar Pustaka Buku dan Jurnal: Abdullah M. Ali, Teori dan Praktek Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca Amandemen, Kencana, Jakarta, 2015 Effendi Maftuh, Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia Suatu Pemikiran ke Arah Perluasan Kompetensi Pasca Amandemen Kedua UndangUndang Peradilan Tata Usaha Negara, Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 1 Maret 2014
440
Peradilan TUN Pasca UU Administrasi Pemerintahan, Tri Cahya Indra Permana
Iqbal Moch, Kriminalisasi Kebijakan Pejabat Publik, Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, 2014 Fakrulloh Zudan Arif, Tindakan Hukum Bagi Aparatur Penyelenggara Pemerintahan, Seminar Nasional IKAHI ke 62, Jakarta 26 Maret 2015 Lotulung Paulus Effendi, Hukum Tata Usaha Negara dan Kekuasaan, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta, 2013 Mertokusumo Sudikno, Hukum acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988 Suparman Eman, Pengarusutamaan Peran Hakim dalam Perwujudan Keadilan, Bahan Kuliah Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Jakarta, 12 September 2015 Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintah Internet: www.usip.org diunduh tanggal 6 Oktober 2015
441
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 419-442
442
HAKIM KOMISARIS (APRESIASI TERHADAP RKUHAP) (Judicial Commissioner (The Appreciation to Criminal Procedure Code Bill))
Noor Ichwan Ichlas Ria Adha Ketua Pengadilan Negeri Sabang Jl. Jenderal Ahmad Yani No.4, Gampong, Sabang Email:
Abstrak Dalam RKUHAP termuat lembaga baru yaitu Hakim Komisaris, tentang Hakim Komisaris ini terdapat perbedaan pandangan ada yang mengatakan perlu keberadaan Hakim Komisaris sebagai konsekuensi Indonesia telah meratifikasi konvensi ICCPR, dimana dalam pasal 9 harus ada Hakim Komisaris. Dan ada pihak lain yang merasa tidak perlu karena kewenangan Hakim Komisaris tersebut sudah termuat dalam lembaga praperadilan karenanya untuk itu yang diperlukan penguatan dalam lembaga praperadilan saja. Namun bila kita melihat kepentingan korban belum banyak terakomodir baik dalam KUHAP maupun KUHP sekarang ini, penulis melihat dalam RKUHAP perlu mengakomodir kepentingan korban dan masyarakat tempat terjadinya tindak pidana. Kemudian setelah mengkaji pelaksanaan Hukum Acara Pidana baik pada Hukum Islam maupun Hukum Adat maka penulis memandang perlu ada Hakim Komisaris dalam RKUHAP namun dengan kewenangan menjembatani kepentingan korban dan kepentingan pelaku pidana serta masyarakatnya. Kata kunci: Hakim, Komisioner, Rancangan KUHAP Abstract Inside RKUHAP contain new institution, that is commissioner judge, regarding the commissioner judge to be diversification opinion, that is to be must the commissioner judge as consequences ratification ICCPR convention. And then to be needn’t because of competence the commissioner judge to be done deep institution prior to judicature. Nevertheless when we see interest victims not yet including with fine on the KUHAP and the KUHP, writer to see inside RKUHAP necessary to be need interest victims and interest community take place criminal act. After inspect criminal procedure law inside Islam and adat recht, writer contemplate necessary to be commissioner judge inside the RKUHAP with
443
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 443-462
of competence to bridge interest victims, interest community society and interest offender. Keywords: Judge, Commissioner, Criminal Procedure Code Bill Pendahuluan Rancangan KUHAP yang sekarang ini sedang digodok oleh Pemerintah dan DPRRI sangat perlu dikritisi atau diberikan masukan untuk kesempurnaan RKUHAP menjadi KUHAP yang baik dengan mengakomodir semua kepentingan pihak- pihak dalam tindak pidana. Penulis dalam hal ini akan menyoroti atau memberi masukan tentang Bab mengenai Hakim Komisaris. Karena itulah Penulis juga merujuk kepada Seminar Nasional Ikatan Hakim Indonesia pada tanggal 29 Maret 2011 dalam rangka HUT IKAHI ke 58 tentang Hakim Komisaris yang diselenggarakan di Hotel REDTOP Jakarta. Hakim Komisaris yang menjadi tema dalam Seminar Nasional Ikatan Hakim Indonesia di Hotel REDTOP Jakarta pada tanggal 29 Maret 2011 dalam rangka HUT IKAHI yang ke 58, menjadi perdebatan hangat didalam seminar tersebut yang mengarah kepada dua pandangan yang berbeda sebagaimana kesimpulan akhir seminar tersebut yang termuat dalam Varia Peradilan edisi No.306 Mei 2011, yaitu: 1. Sebagai konsekuensi negara Indonesia yang telah meratifikasi konvensi ICCPR dalam pasal 9 harus memuat keberadaan Hakim Komisaris/ Hakim Investigasi/Hakim Prasidang dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. 2. Karena pembentukan Lembaga Hakim Komisaris/Hakim Investigasi/ Hakim Prasidang dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana akan membawa konsekuensi terjadinya perubahan berbagai peraturan perudang-undangan yang terkait dengan peradilan pidana serta diperlukan kesiapan Sumber Daya Hakim yang memadai, maka cukup diperlukan penguatan lembaga praperadilan dengan memberikan wewenang kepada Hakim pemeriksa perkara dalam proses acara pidana.1 Dua pandangan yang berbeda tentang adanya Hakim Komisaris ini masih mempunyai kesamaan yaitu sama-sama melihat kepentingan terdakwa, dimana kepentingan terdakwa harus benar-benar terlindungi. Dalam pasal 9 ICCPR segera seorang yang ditangkap harus dibawa secara fisik ke Hakim untuk dilakukan penahanan, hal ini tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan terdakwa. Begitu pula pendapat kedua yang menyatakan sekarang ini cukup dengan penguatan lembaga praperadilan dalam Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang KUHAP dengan 1
Varia Peradilan, Majalah Hukum tahun XXVI No.306 Mei 2011 hal.60.
444
Hakim Komisaris (Apresiasi terhadap RKUHAP), Noor Ichwan Ichlas Ria Adha
memberikan kewenangan Hakim pemeriksa perkara dalam proses acara pidana, pendapat ini juga untuk melindungi kepentingan terdakwa. Melindungi kepentingan terdakwa agar terlindungi hak asasi terdakwa/tersangka tidaklah cukup, terlihat tidak adil karena ICCPR yang telah diratifikasi Indonesia dan penguatan lembaga praperadilan dengan memberi wewenang yang cukup kepada Hakim dalam proses acara pidana hanya melihat sisi kepentingan tersangka/terdakwa saja. Dimana kepentingan korban sama sekali tidak disinggung pada hal korban adalah pihak yang sangat dirugikan akibat terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa. Bila terjadi tindak pidana dalam hukum nasional kita yang mendapat perhatian porsi besar adalah pelaku mulai dari penangkapan sampai eksekusi hak-hak tersangka atau terdakwa yang dijaga agar tidak dilanggar dalam proses beracara. Sementara kepentingan stakeholder lain kurang dapat perhatian seperti kepentingan masyarakat yang telah terganggu oleh adanya tindak pidana tidak terpulihkan atau dibiarkan pulih seiring dengan waktu yang cukup lama, apalagi kepentingan korban betul-betul kurang perhatian dari sistem hukum nasional kita, korban tetaplah korban tidak dapat terpulihkan, pelaku tertangkap kemudian dipidana sampai selesai menjalani pidana tetapi hak-hak atau kepentingan korbannya tidak dapat kembali. Karena itulah Penulis berpandangan lembaga Hakim Komisaris belum mendesak ada walau Indonesia telah meratifikasi ICCPR dengan Undang-undang No.12 tahun 2005 dengan alasan seperti yang dikemukakan oleh Hakim Agung Komariah Emong Sapardja2, dan Guru Besar Unpad Romli Atmasasmita3 dalam makalahnya pada seminar tersebut. Namun 2
Antara lain: - Kewenangan Hakim Komisaris dalam Pasal 111 RKUHAP memperpanjang masalah proses penegakan hukum; - Kewenangan tersebut memaksa Hakim Komisaris melakukan investigasi sendiri, sehingga tidak sesuai dengan prinsip peradilan yang cepat,sederhana dan biaya ringan - Mampukah SDM Pengadilan/Hakim melaksanakan kewenangan yang diperintahkan RKUHAP? 3 Antara lain: 1. RUU-KUHAP (2009) telah berusaha memperbaiki kelemahan KUHAP 1981 dengan fokus pada pembentukan lembaga baru Hakim Komisaris sebagai pengganti Hakim Praperadilan. Sedangkan wewenang Hakim Komisaris yang begitu luas dan pengaturan keberadaan Hakim Komisaris didalam KUHAP sebagai payung hukum seluruh peraturan perundang-undangan pidana, berdampak luas dan dapat menimbulkan konflik fungsional dan konflik kelembagaan di tingkat pelaksanaannya. 2. Tim Penyusun RUU-KUHAP (2009) sama sekali mengabaikan perkembangan pandangan model hukum pembangunan dan hukum progresif didalam menyerap aspirasi nilai-nilai yang berkembang dan hidup dalam masyarakat serta fakta saling pengaruh yang tidak terelakan antara faktor non-hukum dan faktor hukum baik dalam proses legislasi maupun pada proses implementasi. 445
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 443-462
apabila kita melihat kepentingan korban yang belum banyak disentuh maka dalam Hukum Acara Pidana Indonesia yang akan datang yang terpenting adalah bagaimana mengakomodir kepentingan korban tindak pidana, karena itu kita harus masukan dalam RKUHAP lebih dari sekedar lembaga Hakim Komisaris yang mana diberi kewenangan untuk mengembalikan hak-hak dan atau kepentingan korban tindak pidana yang merupakan pihak yang sangat menderita, tetapi bukan sebagai Hakim Komisaris yang mengontrol penyidikan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan serta menentukan layak tidaknya suatu perkara diajukan ke pengadilan (pretrial), melainkan sebagai Hakim yang memeriksa dan menjembatani hak-hak dan atau kepentingan korban yang telah diambil atau terlangkahi oleh tersangka. Hakim Komisaris/Hakim Investigasi Pembentukan lembaga Hakim Komisaris/Hakim Investigasi di Indonesia sepertinya dalam RKUHAP lebih karena Indonesia telah meratifikasi ICCPR, sehingga pembentukannya terkesan dipaksakan. Penulis termasuk orang yang tidak setuju dengan adanya lembaga Hakim Komisaris/Hakim Investigasi seperti dalam RKUHAP yang ada sekarang, karena kewenangan penyidikan dan penahanan sudah cukup baik dilakukan oleh pihak penyidik Polri maupun Kejaksaan seperti sekarang ini. Begitu 3. Tim penyusun mengabaikan kondisi objektif penegakan hukum pidana di Indonesia termasuk aspek data statistik perkara pidana lima tahun terakhir dan faktor geografis serta sarana dan prasarana penegakan hukum pidana. 4. Keberadaan Hakim Komisaris yang dianggap dapat menjadi solusi hukum dari masalah besar (makro) yang kini tengah dihadapi dalam penegakan hukum di negeri Belanda dan Perancis justru dalam praktek telah menimbulkan efek samping yang negatif terhadap dalam sistem peradilan pidana. Bahkan upaya pemerintah untuk memperkuat lembaga ini dalam Rancangan Undang-Undang (2010)belum disahkan sampai saat ini. Usulan dimasukannya lembaga hakim komisaris dalam RUU-KUHAP (2009) belum merupakan jaminan utuh efektivitas dan efisiensi perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa. 5. Keberadaan Hakim Komisaris dalam RUU-KUHAP (2009) sesungguhnya merupakan peralihan persoalan wewenang dan tanggung jawab penyidik dan penuntut umum yang selama ini menjadi beban penyidik dan penuntut umum kepada Hakim. Peralihan wewenang dan tanggung jawab tersebut tanpa diimbangi dengan peningkatan integritas dan akuntabilitas serta keahlian para Hakim (komisaris) hanya akan menambah ketidakpercayaan masyarakat luas terhadap sistem kekuasaan kehakiman. 6. Penguatan lembaga praperadilan dalam kurun waktu sepuluh tahun kedepan masih tetap relevan dan strategis untuk membenahi implementasi KUHAP sebagai payung hukum terhadap seluruh peraturan perundang-undangan pidana. Penguatan lembaga praperadilan termasuk hukum acara dan ketentuan mengenai wewenang hakim praperadilan yang memadai dan sesuai dengan prinsip kebenaran materiil dalam proses beracara pidana.
446
Hakim Komisaris (Apresiasi terhadap RKUHAP), Noor Ichwan Ichlas Ria Adha
pula kewenangan penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh Polisi sekarang ini harus seizin atau sepengetahuan Ketua Pengadilan Negeri setempat, proses penuntutan yang dilakukan Jaksa sekarang juga sudah baik dan bila ada pelanggaran terhadap hal-hal tersebut maka dapat dibawa atau diajukan ke lembaga Praperadilan. Jadi sampai disini kontrol atau pengawasan yang dilakukan oleh Hakim terhadap kewenangan penyidik Polri dan Jaksa sudah cukup lewat praperadilan. Bahkan kewenangan praperadilan kini diperluas baik akibat putusan praperadilan yang dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan H. Sarpin Rizaldi, atas permohonan tersangka Budi Gunawan4 lebih-lebih dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tentang praperadilan putusan Nomor 21/ PUU-XII/2014 tanggal 28 Oktober 2014.5 4
Mengadili Dalam Eksepsi: - Menolak eksepsi termohon untuk seluruhnya. Dalam Pokok Perkara: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon Praperadilan untuk sebagian. 2. Menyatakan surat perintah penyidikan Nomor: Sprin.Dik-03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 huruf a atau b, pasal 5 ayat (2), pasal 11 atau 12 B Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat, 3. Menyatakan penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 huruf a atau b, pasal 5 ayat (2), pasal 11 atau 12 B Undang-undang No.20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke.1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat. 4. Menyatakan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah. 5. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon. 6. Membebankan biaya perkara kepada negara sebesar nihil, 7. Menolak Permohonan Pemohon Praperadilan selain dan selebihnya. 5 Antara lain: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; 1.1 Frasa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup" sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup" adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; 1.2 Frasa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup" 447
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 443-462
Pembentukan lembaga Hakim Komisaris ini sepertinya ada ketidakpercayaan secara formal oleh Negara terhadap kewenangan Polisi dan Jaksa yang melakukan penyidikan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan, yang kemudian kewenangan tersebut secara formal sebagian dibebankan kepada Hakim Komisaris. Sangat disayangkan pula dalam RKUHAP yang ada Hakim Komisaris tersebut hanya sendiri walau dibantu oleh stafnya hal ini akan menjadikan pekerjaan yang cukup berat bagi Hakim Komisaris untuk memeriksa tersangka dan saksi-saksinya untuk melakukan kelayakan penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan serta penyadapan, apalagi harus diputus dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak permohonan diterima (pasal 112 ayat (1) RKUHAP). Kewenangan penyidikan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan seperti KUHAP tahun 1981 saja yang dilakukan instansi banyak orang seperti pada Polri dan Kejaksaan banyak terjadi pelanggaran, apalagi nanti kewenangan tersebut diambil atau dikontrol oleh seorang Hakim Komisaris dimana pekerjaan yang begitu berat harus dilaksanakan oleh seorang Hakim Komisaris yang harus diputus dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari sejak permohonan diterima, terbayang bertambah berat pekerjaan seorang Hakim Komisaris apabila daerah kewenangan Hakim Komisaris tersebut termasuk daerah yang banyak penduduknya sehingga tindak pidana pun banyak terjadi, apakah Hakim Komisaris tersebut dapat melaksanakan tugasnya sesuai yang telah ditentukan dalam pasal 112 ayat (1) RKUHAP walaupun dibantu oleh seorang Panitera dan beberapa orang staf.6 Disamping itu tidak tertutup kemungkinan nanti akan terjadi konflik
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup" adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; 1.3 Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan; 1.4 Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan; 2. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya; 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. 6 Pasal 121 ayat (3) RKUHAP. 448
Hakim Komisaris (Apresiasi terhadap RKUHAP), Noor Ichwan Ichlas Ria Adha
kepentingan yang pada akhirnya dapat merugikan lembaga Hakim Komisaris dan lembaga penyidikan serta tersangka. Seperti pendapat Romli Atmasasmita, dalam makalahnya pada Varia Peradilan No.306 Mei 2011 halaman 25 alinea kedua, “Maksud baik membatasi wewenang penyidik dan penuntut dengan tujuan mencegah ekses negatif yang sering terjadi dalam praktek, tidak mutatis mutandis keharusan membentuk lembaga baru yang disebut Hakim Komisaris. Hal ini disebabkan kemelut penyidikan yang berlarut-larut dan koordinasi penyidik dan penuntut yang tidak efektif, sehingga merugikan kepentingan pencari keadilan, bukanlah terletak pada integritas dan independensi Hakim Komisaris, melainkan terletak pada sistem pengawasan internal (atasanbawahan) dan sistem pengawasan eksternal yang belum efektif. Pembentukan lembaga Hakim Komisaris sebagaimana tercantum dalam RKUHAP sepertinya semata-mata untuk melindungi kepentingan tersangka, hal ini seperti pendapat Andi Hamzah dalam makalahnya pada Varia Peradilan No.306 Mein 2011 halaman 9 alinea pertama, “seperti pasal 9 (ICCPR): segera (promptly) seorang ditangkap harus dibawa (be brougth) secara fisik ke Hakim untuk dilakukan penahanan. Jadi, maksudnya harus Hakim yang melakukan penahanan dan harus melihat orangnya dan menanyai beberapa hal sebelum surat perintah penahanan ditandatangani”. Pada hal keberadaan Hakim Komisaris ini menurut Komariah Emong Sapardja pada makalahnya dalam Varia Peradilan No.306 Mei 2011 hal. 16 “di Eropa, dengan sistem Continental hanya 3 negara yang masih mengenal lembaga Hakim Komisaris, yaitu Perancis, Belgia dan Spanyol. Pemerintah Perancis pada tahun 2009 telah mengajukan penghapusan lembaga ini kepada parlemennya, karena sering terjadi friksi antara hasil JI dengan seharusnya Jaksa membuat dakwaan, satu sama lain karena Jaksa tidak mempunyai kewenangan penyidik. Hakim Komisaris sebagai Hakim Penyelesai Perkara di Tingkat Penyidik Keberadaan lembaga Hakim Komisaris pada RKUHAP yang ada tidak dapat menjawab atau menemui solusi ketidakadilan, karena pembaharuan pada RKUHAP tersebut lebih melihat kepentingan pelaku tindak pidana dengan memberikan kewenangan kepada Hakim Komisaris7 7
BAB IX HAKIM KOMISARIS Bagian Kesatu Kewenangan Pasal 111: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan atau penyadapan. b. pembatalan atau penangguhan penahanan. c. dst .......... d. pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan. 449
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 443-462
hampir sama dengan kewenangan praperadilan dan ditambah dengan kewenangan lain yang berhubungan dengan hak-hak terdakwa, sementara pihak yang paling dirugikan yaitu korban atau keluarganya sebagai pihak yang menderita karena kepentingan atau hak-haknya yang telah dirampas oleh tersangka atau terdakwa tidak dapat dikembalikan. Penulis melihat tidak ada keadaan yang mendesak untuk diperbaharui baik KUHAP maupun KUHP kalau pembaharuan itu hanya untuk kepentingan pelaku tindak pidana, kepentingan pelaku tindak pidana sudah cukup terakomodir dalam KUHAP sekarang dengan adanya lembaga praperadilan. Pembaharuan yang akan dilakukan seperti dalam RKUHAP sekarang ini akan berdampak luas tidak cukup hanya dengan membuat KUHAP yang baru saja tetapi juga peraturan lain yang bersangkutan terhadap KUHAP itu harus pula segera dibuat atau diperbaharui, demikian pula dengan penyediaan SDM Hakim yang harus baik, dan penyediaan sarana dan prasarana agar Hakim Komisaris tersebut dapat bekerja dengan optimal8. Belum disentuh dalam KUHP dan KUHAP kita sekarang ini adalah bagaimana mengembalikan hak-hak dan atau kepentingan korban atau mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat yang sudah terganggu akibat terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka. Dengan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku maka telah terjadi gangguan terhadap hak-hak atau kepentingan korbannya begitu pula keseimbangan yang ada pada masyarakatnya pun menjadi terganggu. Misalnya ada tindak pidana pencurian terhadap seseorang pasti korbannya rugi karena ada hak-hak atau barang miliknya yang hilang, ini tidak cukup sampai disitu karena masyarakat sekitarpun merasa resah akibat adanya aksi pencurian tersebut sehingga keseimbangan dalam masyarakat menjadi terganggu. Karenanya negara sebagai Grand Stakeholder atau pihak yang paling berkepentingan atas kesejahteraan dan keseimbangan dalam masyarakat harus dapat mewujudkan keadilan bagi setiap rakyatnya dengan mengembalikan hak-hak dan atau kepentingan korban tindak pidana serta mengembalikan keseimbangan atau menghilangkan keresahan yang terjadi dalam masyarakat akibat adanya tindak pidana. Artidjo Alkostar dalam artikelnya Restorative Justice dalam Varia Peradilan No.262 September 2007 mengatakan, “Proses mengadili dalam perkara pidana merupakan proses interaksi nalar hukum dan batin untuk mencapai puncak kearifan dalam memutus suatu perkara”. Proses mengadili perkara pidana sejak mulai dari penyidikan dan penyelidikan sampai kepada eksekusi dalam pelaksanaan pidananya yang sesungguhnya merupakan 8
Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXVI No.306 Mei 2011.
450
Hakim Komisaris (Apresiasi terhadap RKUHAP), Noor Ichwan Ichlas Ria Adha
perpaduan antara peraturan atau hukum dengan perasaan batin terhadap apa yang harus diperbuat akibat adanya tindak pidana tersebut, haruslah menghasilkan suatu konstruksi keadilan bagi semua stakeholder. Sementara KUHAP dan KUHP kita sekarang ini sudah ketinggalan karena tidak mengakomodir kepentingan korban dan keseimbangan pada masyarakat akibat adanya tindak pidana, karenanya perlu ada perubahan dalam KUHAP dan KUHP kita yang harus mengkonstruksikan keadilan bagi setiap stakeholder dengan memadukan antara hukum dan perasaan batiniah sehingga tercapai tujuan pemidanaan. Apakah tujuan pemidanaan itu? Untuk mengkonstruksikan keadilan bagi setiap stakeholder agar tercapai tujuan pemidanaan Penulis terlebih dahulu mencari makna tujuan pemidanaan dari Hukum Islam dan didalam Hukum Adat9. Dalam Hukum Islam antara pemidanaan dengan hubungan sosial kemasyarakatan atau hablumminannas sangat berkaitan erat. Contoh penjatuhan pidana baru dapat dilakukan bila pelaku pencurian melakukan perbuatannnya bertujuan untuk memperkaya diri bukan karena keterpaksaan10. Begitu pula terhadap tindak pidana yang mengakibatkan matinya orang, Hukum Islam dalam menjatuhkan pidana akan melihat semua kepentingan stakeholder baik tersangka/terdakwa, korban atau keluarganya dan masyarakat. Surah Al-Baqarah ayat 178 yang berbunyi,”hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula, yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”. Dalam hukuman mati tersebut kepentingan masyarakat terayomi, dimana tindakan pelaku kejahatan yang telah meresahkan masyarakat menjadi tidak ada lagi dengan dihukum matinya si pelaku. Kepentingan korban atau keluarganya juga dapat terlaksana dengan dua cara yaitu pertama, terbalaskannya piutang sakit hati keluarga korban dengan dihukum matinya pelaku pembunuhan atau yang kedua, dimana keluarga korban akan menerima diat atau denda yang dibayarkan oleh pelaku pembunuhan karena telah dimaafkannya kesalahan pelaku oleh keluarga korban.
9
Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXV No.290 Januari 2010 hal 63 – hal 67. H. Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta,Sinar Grafika, 2007.
10
451
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 443-462
Disini ternyata kepentingan pelaku pembunuhan pun dapat terlaksana yaitu ketika keluarga korban memaafkan kesalahan pelaku, maka kepentingan pelaku berupa kebebasan dapat terlaksana dengan membayar denda atau diat lebih dulu kepada keluarga korban. Hal ini tidak terjadi dalam hukum pidana nasional. Misalnya dalam hal pembunuhan yang sebetulnya dipicu oleh tindakan korban sendiri karena pelaku membela diri akhirnya korban menjadi terbunuh, atau korban meninggal karena ketidaksengajaan atau khilafnya pelaku yang dalam hukum pidana nasional masuk kedalam pasal 359 KUHP, contohnya korban meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Disini walaupun keluarga korban sudah memaafkan pelaku tetapi hukuman berupa penjatuhan pidana harus tetap dilalui oleh pelaku tindak pidana. Dalam tindak pidana ini hukum pidana Islam lebih memperhatikan kepentingan yang ada pada keluarga korban yang berhubungan langsung dengan kepentingan pelaku tindak pidana. Dalam hal ini dimana pihak keluarga korban yang telah dirugikan oleh tindakan pelaku yang telah tersalah menyebabkan orang lain mati, dapat menerima kenyataan yang ada dimana meninggalnya korban akibat perbuatan korban sendiri yang ternyata telah memicu pembunuhan, atau akibat ketidak sengajaan pelaku yang meyebabkan korban meninggal dunia sehingga keluarga korban memaafkan pelaku. Disisi pelaku yang telah diberi maaf oleh keluarga korban akan membayarkan diat atau denda kepada keluarga korban yang tentunya dapat bermanfaat bagi keluarga korban dan selanjutnya pelaku dapat bebas tidak perlu menjalani pidana pada seperti hukum pidana nasional. Disini ternyata hukum pidana Islam secara tidak langsung juga telah melakukan reformation atau rehabilitasi untuk memperbaiki pelaku tindak pidana, dimana pelaku tentu akan lebih berhati-hati dalam kehidupannya bermasyarakat agar tidak lagi jatuh korban. Disamping itu hukum pidana Islam juga berusaha untuk memulihkan hubungan antara pelaku dan keluarganya dengan keluarga korban11. Sementara dalam hukum adat sejak sebelum kedatangan bangsa asing di Indonesia sudah berjalan sangat baik, Bangsa Indonesia dikenal mempunyai adat istiadat yang cukup tinggi salah satunya adalah hukum adat. Masyarakat adat Indonesia bersifat demokratis, dimana aturan-aturan yang akan diterapkan lebih dahulu dimusyawarahkan oleh tetua adat atau rembug desa, kalau di Minangkabau atau Sumatera Barat dikenal dengan orang 4 (empat) jenis dan orang-orang tua disetiap suku atau nagari, baru kemudian diterapkan berikut dengan sanksinya.
11
Varia Peradilan Majalah Hukum tahun XXV No.290 Januari 2010 hal.64.
452
Hakim Komisaris (Apresiasi terhadap RKUHAP), Noor Ichwan Ichlas Ria Adha
Bila terjadi pelanggaran dalam masyarakat maka telah terjadi ketidakseimbangan dan ketidakseimbangan tersebut harus dipulihkan. Misalnya ada pengerusakan lahan anggota masyarakat maka si pelaku akan dihadapkan ke musyawarah adat atau suku atau dihadapkan ke Kepala adat. Lalu ditanya apa penyebabnya, kemudian diberi sanksi meminta maaf kepada korban disertai dengan membayar denda baik berupa barang dan atau tenaga, contohnya memperbaiki lahan yang dirusak. Atau ada yang melakukan perjinahan maka keduanya akan dihadapkan ke Ketua adat atau dalam rembug tokoh adat, lalu keduanya akan dijatuhkan sanksi membersihkan kampung dan atau akan diasingkan dari kampungnya. Bahkan di propinsi Aceh Darussalam hukum adatnya sudah diformalkan lewat peraturan daerah atau Qanun nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. Kini diwilayah tempat bertugas penulis sekarang yaitu Pengadilan Negeri Sabang penyelesaian sengketa atau tindak pidana dapat diselesaikan dengan baik, tindak pidana tersebut tidak perlu terus berlanjut sampai ranah peradilan karena dapat diselesaikan oleh majelis adat di tingkat Gampong di wilayah Sabang, sehingga jumlah perkara yang masuk atau disidangkan oleh Pengadilan Negeri Sabang sangat sedikit sekali pada tahun 2014 perkara pidana yang disidangkan di Pengadilan Negeri Sabang hanya berjumlah 27 (dua puluh tujuh perkara). Dan berdasarkan pengakuan Geuchik Adnan yaitu Geuchik dari Gampong atau desa Cot Bau’ yang juga merupakan kepala Geuchik untuk wilayah Sabang mengatakan bahwa penyelesaian perkara ditingkat gampong ini dapat diterima oleh semua pihak termasuk masyarakat setempat, untuk di Gampong Desa Cot Bau’ pada tahun 2014 dapat diselesaikan oleh Geuchik Adnan dengan Majelis Adatnya sebanyak 9 (sembilan) kasus sengketa di masyarakat Gampong Cot Bau’, ini data yang langsung penulis ketahui dari Geuchik Adnan, belum lagi di GampongGampong lainnya di Kota Sabang berjumlah 18 (delapan belas) gampong yang menurut Geuchik Adnan sebagai Ketua para Geuchik di Pulau Weh Kota Sabang juga banyak berhasil mendamaikan sengketa, jadi wajar kalau jumlah perkara pidana yang masuk ke Pengadilan Negeri Sabang di tahun 2014 hanya 27 perkara. Inilah cerminan keberhasilan majelis adat yang ada di Kota Sabang. Pada masyarakat adat penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana akan berkaitan dengan kepentingan korban dan lingkungan masyarakatnya, cara-cara penjatuhan hukuman atau sanksi terhadap pelanggar sangat sederhana namun dapat diterima dan proses beracaranya pun tidak memerlukan waktu yang panjang. Dalam praktek masyarakat adat Indonesia ternyata musyawarah memegang peranan yang cukup penting untuk memulihkan hubungan 453
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 443-462
pelaku pelanggaran dengan korban sekaligus untuk memulihkan keseimbangan dimasyarakat yang telah terganggu. Praktek hukum dimasyarakat adat Indonesia tidak jauh berbeda satu sama lain, masyarakat adat Indonesia lebih mementingkan kepentingan korban dan keseimbangan dalam masyarakat yang telah terganggu, dengan memulihkan hubungan itu agar menjadi lebih baik. Hal ini menunjukan kearifan masyarakat adat dalam menyikapi persoalan hukum yang terjadi didalam masyarakat. Ismail Rumadan mengatakan,”Dalam hal ini unsur utama dari Restorative Justice yaitu kerelaan dan partisipasi dari korban, pelaku dan masyarakat dalam melakukan perbaikan atas tindak pidana yang terjadi juga merupakan ciri dari hukum adat12. Dalam hukum adat kita tujuan penegakan hukum adalah bagaimana memulihkan keseimbangan yang telah rusak agar harmonis kembali baik antara pelaku, korban dan lingkungan masyarakatnya. Dari uraian singkat diatas kita dapati, dalam Hukum Islam bila terjadi tindak pidana maka dalam pemidanaan atau sanksi yang akan dijatuhkan kepada pelaku kejahatan benar-benar memperhatikan kepentingan korban dan kepentingan pelaku kejahatan (karena pencuri yang dipotong tangan mempunyai syarat-syarat), bahkan dalam tindak pidana pembunuhan dalam hal sanksi yang diberikan disinergikan hingga diharapkan pulih hubungan antara pelaku pembunuhan dengan keluarga korban. Dalam Hukum Adat bila terjadi pelanggaran atau tindak pidana yang menjadi tujuan penegakan hukumnya adalah bagaimana memulihkan keseimbangan yang telah rusak agar harmonis kembali antara pelaku, korban dan masyarakatnya. Sebenarnya makna tindak pidana adalah adanya kepentingan atau hak-hak korban atau keseimbangan dalam masyarakat yang diambil atau dilangkahi oleh si pelaku kejahatan. Karena itulah sebaiknya pemidanaan atau hukuman yang akan dijatuhkan harus mengacu kepada pemulihan keseimbangan dan atau pengembalian kepentingan atau hak-hak korban yang telah dirugikan oleh pelaku.13 Dengan merujuk penjatuhan pidana pada model Hukum Islam dan Hukum Adat maka kita dapati tujuan pemidanaan adalah bagaimana memulihkan kembali hubungan yang telah rusak antara korbannya dengan pelaku tindak pidana dan keseimbangan dalam masyarakat yang telah terganggu akibat adanya tindak pidana tersebut . Terjadinya suatu tindak pidana sesungguhnya tidak lain adalah adanya kepentingan dan atau hak-hak korban yang diambil atau terlangkahi oleh pelaku tindak pidana. Karenanya untuk mengkonstruksikan keadilan 12
Jurnal Hukum Dan Peradilan Volume 02 No.2 Juli 2013 Mahkamah Agung RI Badan Penelitian Dan Pengembangan Hukum dan Peradilan. 13 Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXV No.290 Januari 2010 hal.66 – 67. 454
Hakim Komisaris (Apresiasi terhadap RKUHAP), Noor Ichwan Ichlas Ria Adha
akibat tindak pidana tersebut sedapat mungkin adalah dengan mengembalikan kepentingan dan atau hak-hak korban tersebut terlebih dahulu yang kemudian baru diikuti dengan mengakomodir kepentingan stakeholder lainnya. Sementara dalam konstruksi hukum pidana kita sekarang ini yang termuat dalam KUHAP dan KUHP kepentingan korban sudah terwakili oleh Negara dalam hal ini Jaksa yang mengajukan dakwaan dan tuntutan terhadap pelaku tindak pidana, pada hal kerugian atas kepentingan atau hak-hak korban tidak dapat dikembalikan dengan cara proses pemidanaan sekarang ini, korban tetaplah mengalami kenestapaan atau kerugian yang tidak dapat dipulihkan kembali. Pemulihan akibat terjadinya suatu tindak pidana terlebih dahulu harus memenuhi atau mengembalikan kepentingan dan atau hak-hak korban (victim) yang telah diambil atau terlangkahi oleh pelaku (offender), baru kemudian melihat kepentingan atau hak-hak pelaku tindak pidana dan kepentingan lainnya. Setelah itu apabila pemulihan atas hak-hak dan atau kepentingan korban telah dilakukan maka seyogyanya proses litigasi atau peradilan terhadap tindak pidana tersebut juga harus berakhir, hal ini penting agar tidak ada kepentingan atau hak-hak dari korban maupun offender menjadi terganggu karena permasalahan pidana keduanya sudah selesai. Misalnya seperti yang penulis sidangkan sewaktu bertugas di pengadilan Negeri Solok seorang pencuri ikan nila/mujair yang tidak sampai 1 kg dengan harga waktu itu sekitar Rp.5.000,00 oleh korbannya telah dimaafkan. Penulis berpendapat secara hakiki permasalahan antara korban dengan pelaku pencurian sudah selesai, namun karena Hukum Acara Pidana kita mengharuskan agar tindak pidana seperti ini tetap harus berlanjut dipersidangan maka kepentingan korban dan offender sebagai pelaku kejahatan juga menjadi terganggu, dimana korban yang sudah merelakan ikannya harus terus bolak-balik memenuhi panggilan baik dari penyidik, kejaksaan sampai disidang pengadilan begitu juga saksi-saksi lainnya, padahal korban juga saksi-saksi lainnya punya kepentingan lain yang harus dipenuhi misalnya mencari nafkah dan sebagainya. Begitu pula dengan pelakunya seharusnya sudah dapat menghirup udara kebebasan dengan dimaafkan perbuatannya oleh korban, namun tetap menghadapi penderitaan berupa penahanan sampai perkara mempunyai kekuatan hukum tetap akibat keangkuhan hukum acara pidana kita, pada hal korban mencuri ikan nila tersebut terpaksa untuk memenuhi kebutuhan makan keluarganya. Begitu juga contoh pasal 362 KUHP misalnya korban pencurian sepeda motor yang biasa dipakai untuk ojek, pelakunya sudah tertangkap barang bukti juga sudah ditemukan namun karena proses hukum acara pidana sepeda motor tersebut dijadikan barang bukti sebagai kelengkapan 455
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 443-462
proses beracara. Hal ini menjadi ironi seharusnya korban tersebut sudah dapat mencari nafkah dengan sepeda motornya namun karena Hukum Acara Pidana kita sepeda motor dijadikan barang bukti. Jadi yang membuat korban tidak dapat mencari nafkah dengan ojek sepeda motornya bukan lagi pelaku pencurian melainkan akibat adanya Hukum Acara Pidana kita yang demikian. Berdasarkan hal-hal diatas terutama untuk memulihkan kepentingan dan atau hak-hak korban Penulis memandang diperlukan adanya lembaga Hakim Komisaris yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi akibat adanya tindak pidana. Hakim Komisaris ini keberadaannya ada pada tingkat penyidikan untuk menyelesaikan permasalahan antara korban dengan pelaku tindak pidana. Bila terjadi kesepakatan antara korban dengan pelaku dimana pelaku harus mengembalikan hak-hak dan atau kepentingan korbannya, bisa jadi korban memaafkan kesalahan pelaku dan merelakan barang yang telah diambilnya dan berdasarkan pengalaman Penulis hal ini banyak terjadi, dengan demikian persoalan antara pelaku dengan korban telah selesai maka senyatanya harus selesai pula proses peradilan atau litigasi terhadap tindak pidana tersebut. Produk yang keluar atas pemeriksaan tindak pidana ditingkat penyidikan ini berupa Penetapan karena Hakim tidak bertugas untuk mengadili melainkan hanya menyelesaikan sengketa berupa tindak pidana yang telah merugikan korban akibat kesalahan pelaku tindak pidana. Dengan penyelesaian seperti ini diharapkan hubungan antara pelaku dengan korbannya dapat terpulihkan dan diharapkan pelaku juga menjadi terpulihkan keadaannya sehingga ia berubah untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Disamping itu pelaku tidak perlu berlama-lama menjalani penahanan apalagi pidana penjara, korbannya juga tidak perlu berkali-kali dipanggil dalam tiap tingkat proses peradilan dan terhadap barang bukti hasil kejahatan juga sudah dapat dinikmati kembali oleh empunya barang dalam hal ini korban. Jenis tindak pidana yang dapat diproses model ini adalah tindak pidana yang jelas korbannya, maksudnya tindak pidana tersebut jelas menjadikan korban kehilangan hak-hak dan atau kepentingannya. Sehingga memudahkan penyelesaiannya dengan mencari kesepakatan antara pelaku dengan korban agar hak-hak dan atau kepentingan korban dapat terpulihkan. Contohnya tindak pidana pencurian, penipuan, penggelapan, penghinaan dan penadahan, Tetapi tidak tertutup kemungkinan untuk tindak pidana lain bila ternyata penyelesaiannya bisa dengan cara islah atau kesepakatan, atau perkara-perkara yang tidak mungkin dapat disidangkan di Pengadilan misalnya karena pelaku atau terdakwanya berhalangan tetap karena sakit yang tidak tahu kapan akan sembuhnya, jika terdakwa mengikuti 456
Hakim Komisaris (Apresiasi terhadap RKUHAP), Noor Ichwan Ichlas Ria Adha
persidangan di pengadilan tentu tidak bisa karena dalam keadaan sakit, namun terdakwa masih dapat diajak berbicara dan berpikir, disinilah peran Hakim untuk menyelesaikan permasalahan antara pelaku dengan korbannya yang bukan dalam bentuk persidangan di pengadilan. Penyelesaian tindak pidana oleh Hakim dalam tahap penyidikan ini memang berupa kesepakatan-kesepakatan antara pelaku dengan korban atau keluarganya untuk mengembalikan hak-hak dan atau kepentingan korban yang telah terlangkahi oleh pelaku. Hasil pemeriksaan tindak pidana dalam tahap ini berbentuk penetapan hakim yang harus dijalani oleh pelaku tindak pidana. Proses penyelesaian tindak pidana dalam tahap ini terlihat bersentuhan dengan hukum privat atau hukum perdata, itu memang benar tetapi tetap tindak pidana tersebut merupakan hukum publik karena penyelenggaraan terhadap acaranya diselenggarakan oleh Negara dalam hal ini perangkat hukum penyidik dan Hakim, disamping tindak pidana yang bersangkutan juga harus diatur dalam KUHP (yang baru). Atau dapat juga disebut model cara ini merupakan Hukum Acara Pidana (hukum publik) yang mengakomodir kepentingan-kepentingan dari pihak korban (victim) dan kepentingan pihak pelaku (offender), dimana dalam KUHP dan KUHAP kita sekarang ini kepentingan korban dan juga pelaku masih banyak belum disentuh. Penulis berpikir seharusnya penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana merupakan suatu “Ultimum Remedium”, buat apa perangkat hukum utamanya Hakim menjatuhkan pemidanaan kepada pelaku jika ternyata pemidanaan yang dijatuhkan tersebut tidak membawa perubahan positif bagi pelaku (offender) dan bagi korban (victim) juga tidak dapat mengembalikan hak-hak dan atau kepentingannya yang telah dilanggar oleh pelaku. Adalah lebih baik menyelesaikan masalah tindak pidana dengan cara yang lebih arif yaitu dapat mengembalikan hak-hak dan atau kepentingan korban yang telah hilang dan dapat merubah pelaku untuk tidak melakukan tindak pidana lagi14. Artidjo Alkostar dalam tulisannya menyatakan,” Kejahatan HAM, corporate crimes, kejahatan sadis dan kejahatan lain yang melibatkan penderitaan korban dan/atau keluarganya serta masyarakat stakeholder, banyak terjadi di Indonesia. Hal ini menuntut penggalian pendalaman ilmu, mengasah kecerdasan moral serta memperpeka naluri keadilan. Dalam arti penegak hukum bertanggung jawab untuk menegakan restoratif justice agar korban atau keluarganya terayomi oleh hukum, masyarakat stakeholder terpulihkan dari luka (batin) akibat kejahatan dan pelaku kejahatan disadarkan atas perbuatannya agar tidak melakukan kembali dan meminta 14
Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXV No.295 Juni 2010 hal.56. 457
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 443-462
maaf kepada korban dan/atau keluarganya sehingga dapat meredakan rasa bersalah. Dengan restoratif justice kehidupan dan penghidupan korban dan/ atau keluarganya, masyarakat stakeholder dan pelaku menjadi pulih kembali melakukan tugas dan kewajibannya sesuai dengan porsi hak dan posisi sosial masing-masing. Sejatinya menegakkan hukum mengemban misi luhur menjaga dan menegakan martabat kemanusiaan.15 Artidjo Alkostar sepertinya berharap dari penegakan hukum pidana atau dalam beracara pidana oleh Penegak Hukum dapat mengayomi semua stakeholder bukan hanya pelaku tindak pidana tetapi juga korban yang mengalami penderitaan dan masyarakat sekitar yang terkena dampak baik langsung maupun tidak langsung akibat terjadinya tindak pidana tersebut. Dengan tidak melihat apakah dapat selesai setelah proses persidangan di pengadilan atau selesai sebelum dibawa ke pengadilan untuk disidangkan, yang terpenting semua stakeholder dapat terpenuhi kepentingannya. Namun restorative justice yang dimaksud Artidjo Alkostar, tidak dapat diterapkan dengan begitu saja melainkan harus diatur dalam hukum acara agar menjadi teratur dan ada kepastian proses acara pidana dengan restorative justice ini agar benar-benar dilaksanakan oleh Penegak Hukum. Kalau hal ini tidak diatur justru akan menjadi pelanggaran terhadap hukum acara pidana itu sendiri, dan tidak tertutup kemungkinan akan dimanfaatkan oleh oknumoknum yang mencari keuntungan dengan adanya tindak pidana tersebut walaupun pencari keadilan dapat memakluminya. Atau perkara tersebut mungkin saja dapat selesai dan dapat diterima oleh semua stakeholder namun tidak mempunyai legitimasi hukum, seperti dalam kasus pelanggaran HAM berat pada kasus Tanjung Priok, Jenderal Try Sutrisno pernah mencoba menggunakan islah dengan para korban pelanggaran HAM Tanjung Priok. Tetapi karena prosedur pembentukan lembaga islah tidak memiliki dasar legitimasi maka hasilnya pun kurang memuaskan.16 Bagir Manan berpendapat, walaupun “restorative justice” menjanjikan konsep yang baik dalam sistem pemidanaan, tetap tidak luput dari beberapa kekhawatiran: Pertama; konsep “restorative justice dapat mengendorkan kepastian hukum dan konsistensi. Penegakan Hukum menjadi begitu subyektif bergantung kepada “stakeholder” yang terlibat dalam penyelesaian suatu kasus. Kedua; konsep “restorative justice” dapat mengendorkan peraturan hukum, khususnya peraturan perundang-undangan dalam menyelesaikan suatu kasus. Hal ini akan mempengaruhi asas “nullum delictum...” dalam pemidanaan. 15 16
Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun ke XXII No.262 September 2007 hal.12. Varia Peradilan Majalah Hukum tahun ke XXII No.262 September 2007 hal.11.
458
Hakim Komisaris (Apresiasi terhadap RKUHAP), Noor Ichwan Ichlas Ria Adha
Ketiga; konsep “restorative justice” akan mengubah sifat hukum pidana sebagai “geslotenrecht” menjadi seperti hukum perdata yang bersifat terbuka (open system). Hubungan dan akibat hukum ditentukan oleh kehendak pihak-pihak. Pembatasan hanya dalam bentuk larangan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan ketentuan imperatif yang diatur dalam undang-undang; (dwingenrecht)17 Oleh karenanya hukum dalam hal ini Hukum Acara Pidana harus memberikan kesempatan untuk penerapan restorative justice bagi kepentingan semua pencari keadilan dengan tepat sesuai kewenangan petugas hukum dalam proses/acara pidana. Jangan sampai dengan semangat restorative justice sampai melanggar aturan yang telah ada atau menjalankan kebijakan tetapi sudah bukan kewenangannya. Penulis melihat penerapan restorative justice yang dimaksud Artidjo Alkostar agar semua kepentingan stakeholder dapat diayomi, maka negara sebagai grandstakeholder dalam RKUHAP perlu memasukan restorative justice sebagai kewenangan Hakim Komisaris yang menjembatani kepentingan pelaku tindak pidana dengan kepentingan korbannya dan kepentingan masyarakat secara tidak langsung sebagaimana dijelaskan seperti diatas. Disamping itu bentuk pemidanaan dalam pasal 10 KUHP perlu ditambah dengan mengadopsi model pemidanaan dalam Hukum Islam yaitu memperhatikan kepentingan korban dan pelaku kejahatan secara bersamaan, serta model pemidanaan dalam Hukum Adat dengan memulihkan keseimbangan yang telah rusak menjadi harmonis kembali antara pelaku kejahatan, korban dan masyarakatnya. Untuk itulah bentuk pidana dalam pasal 10 KUHP perlu ditambah dengan pembayaran denda atau pengembalian barang dan/atau hak-hak korban oleh pelaku tindak pidana, serta mencantumkan pidana kerja sosial yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana untuk memulihkan keharmonisan dalam masyarakat yang telah terganggu akibat adanya tindak pidana tersebut. Dengan bentuk pemidanaan seperti ini maka diharapkan tujuan pemidanaan dapat tercapai, dimana hak-hak dan/atau kepentingan korban akan kembali pulih baik didapat dari denda atau pengembalian hak-hak dan/atau kepentingan korban yang telah diambil oleh pelaku, keseimbangan pada masyarakat yang telah terganggu dapat pulih kembali lewat kerja sosial yang dilakukan oleh terdakwa atau pelaku kejahatan. Sehingga pelaku yang harus mengembalikan hak-hak atau milik korbannya dan juga menjalankan kerja sosial untuk kepentingan masyarakat diharapkan menjadi jera tidak akan melakukan tindak pidana lagi karena apa yang diambilnya dari korban harus dikembalikan lagi, hal ini juga berefek kepada pelaku-pelaku lain 17
Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun ke XXI No.247 Juni 2006 hal.9. 459
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 443-462
yang ingin melakukan tindak pidana akan berpikir lebih lanjut karena sanksi yang akan dijatuhkan sedemikian rupa adanya. Dengan memasukan hal-hal seperti restorative justice diatas baik pada KUHAP maupun KUHP yang baru nantinya, maka kekhawatiran Bagir Manan terhadap penerapan restorative justice dalam mencapai tujuan pemidanaan dapat diminimalisir. Lagi pula dahulu bukankah dinegara tercinta ini sebelum datang bangsa Eropa kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha serta diikuti oleh kerajaan-kerajaan Islam Nusantara tidak ada pembedaan hukum publik dan hukum privat semua sama, perkara baru ada jika ada pihak yang merasa dirugikan mengadukannya. Dalam masa-masa sebelum penjajah mencengkeramkan kukunya ditanah air tercinta ini kita mengenal adanya peradilan atau pengadilan serambi, dimana jika ada pengaduan masuk baru akan diperiksa atau disidangkan oleh orang arif bijaksana (alim ulama) yang ditunjuk oleh Sultan untuk disidangkan diserambi masjid atau serambi istana. Kelebihan Hakim Komisaris/Hakim Penyelesai Perkara di Tingkat Penyidik Hakim Komisaris yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan perkara tindak pidana di tingkat penyidikan akan bertugas untuk mengembalikan kepentingan dan atau hak-hak korban yang sudah diambil atau terlangkahi oleh pelaku tindak pidana. Hal ini dapat dilakukan oleh Hakim Komisaris apabila sudah jelas siapa pelaku dan siapa korbannya yang memang sudah diakui oleh pelaku dan korbannya. Hakim Komisaris akan menjembatani kepentingan dan atau hak-hak korban yang sudah hilang agar dapat dikembalikan lagi oleh pelaku tindak pidana, misalnya tindak pidana pencurian ikan nila/mujair Hakim Komisaris akan menjembatani sengketa perkara pidana ini, bisa saja pelaku tindak pidana mengembalikan ikan nila tersebut kepada korbannya, bila ternyata ikan nila itu sudah tidak ada bisa pelaku menggantinya dengan uang seharga ikan nila tersebut, atau kalau pelaku tidak mempunyai uang maka pelaku diwajibkan bekerja untuk kepentingan korbannya atau pelaku bekerja dengan memperoleh upah dan upahnya diberikan kepada korbannya seharga ikan nila tersebut, tidak tertutup kemungkinan dan ini sering Penulis alami ternyata korbannya merelakan barang yang telah dicuri oleh pelakunya hal ini akan lebih mudah lagi. Begitu pula untuk perkara tindak pidana lainnya seperti penipuan, penggelapan, merusak barang, membunuh hewan dan sebagainya. Untuk perkara tindak pidana pencemaran nama baik, Hakim Komisaris akan berusaha menyelesaikan permasalahan antara pelaku dan korbannya dimana Hakim Komisaris akan memerintahkan kepada
460
Hakim Komisaris (Apresiasi terhadap RKUHAP), Noor Ichwan Ichlas Ria Adha
pelakunya untuk bekerja bagi kepentingan korbannya atau kepentingan masyarakat sebagai kerja sosial. Untuk perkara penganiayaan dan pembunuhan demikian pula setelah Hakim Komisaris mengetahui penyebabnya akan menjembatani kepentingan dan atau hak-hak korban dengan pelakunya, sering terjadi tindak pidana ini didahului oleh tindakan korban yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana penganiayaan dan pembunuhan ini, karenanya sering antara korban atau keluarga korban dengan pelaku sering terjadi pemaafan atas kesalahan ini yang diikuti dengan Pelaku atau keluarga Pelaku memberikan biaya untuk pengobatan atau biaya duka, hal ini menandakan antara kedua belah pihak baik korban atau keluarga korban dengan Pelaku sudah tidak ada permasalahan lagi yang berarti kepentingan korban dianggap telah dikembalikan oleh Pelaku tindak pidana, maka tindak pidana ini sudah dapat diselesaikan ditingkat penyidikan oleh Hakim Komisaris sehingga tidak perlu sampai berlanjut. Khusus untuk tindak pidana yang pelakunya dibawah umur 18 tahun dapat pula diselesaikan oleh Hakim Komisaris ditingkat penyidikan ini tanpa perlu dibawa ke persidangan dan perkara anak ini dapat diselesaikan dengan cepat dengan harapan tidak menjadikan trauma psikologis terhadap anak tersebut untuk perkembangan masa depannya. Hakim Komisaris ini juga dapat menetapkan barang bukti-barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana untuk tetap sebagai barang bukti sampai perkara putus ataukah barang bukti tersebut dikembalikan kepada pemiliknya, agar pemilik barang tersebut dapat memakainya. Dengan model Hakim Komisaris sebagai Hakim Penyelesai perkara di Tingkat Penyidik ini sangat diharapkan sekali dapat menyelesaikan permasalahan yang utama dari suatu tindak pidana, yaitu memulihkan kepentingan dan atau hak-hak korban yang telah dilangkahi oleh pelaku pidana. Dengan model Hakim Komisaris seperti ini akan menjadikan banyak keuntungan lain, yaitu: 1. Jumlah tindak pidana yang sampai ke proses persidangan akan sangat berkurang, karena perkara-perkara tersebut sudah dapat terselesaikan ditingkat penyidik oleh Hakim Komisaris. 2. Pelaku tindak pidana yang baru sekali atau dua kali melakukan tindak pidana tidak perlu menjalani masa tahanan yang lama dan bukan merupakan narapidana, sehingga pelaku dapat memperbaiki kehidupannya. 3. Tindak pidana yang pelakunya masih dibawah umur dimungkinkan sekali dapat diselesaikan ditingkat penyidikan ini oleh Hakim Komisaris dengan menekan trauma psiklogis bagi masa depan anak tersebut. 461
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 443-462
4.
5.
6.
Tindak pidana yang tidak dapat dibawa ke persidangan karena Pelakunya berhalangan tetap karena sakit, dimungkinkan sekali dapat diselesaikan ditingkat penyidik oleh Hakim Komisaris. Barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana sudah dapat ditentukan keberadaannya sejak ditingkat penyidikan oleh Hakim Komisaris. Dapat terpenuhi azas peradilan pidana yang baik.
Daftar Pustaka Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun ke XXI No.247 Juni 2006 Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun ke XXII No.262 September 2007. Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun ke XXV No.290 Januari 2010. Varia Perdailan, Majalah Hukum Tahun ke XXV No.295 Juni 2010. Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun ke XXVI No.306 Mei 2011. Jurnal Hukum Dan Peradilan, Volume 02 Nomor 2 Juli 2013 H. Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2007 Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009. Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2010.
462
PENTINGNYA MEMAHAMI PERBUATAN HUKUM TELEKOMUNIKASI DALAM KERJASAMA ANTARA PT. IM2 DENGAN PT. INDOSAT (The Importance of Telecommunication Legal Acts Knowledge in PT. IM2 and PT. Indosat Collaboration)
Nonot Harsono Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia1 2009-2015 Menara Ravindo Lt. 11, Jl. Kebon Sirih Kav.75, Jakarta Email:
[email protected]
Abstrak Terjadi perbedaan pandangan antara Regulator Telekomunikasi/ Kementerian Kominfo dengan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor tentang perbuatan yang dilakukan oleh PT. IM2 dalam kerjasamanya dengan PT. Indosat. Judul kerjasama antara penyelenggara jasa dan penyelenggara jaringan ini adalah “Akses Internet melalui jaringan seluler Indosat”. Dalam pandangan Regulator, kerjasama ini sudah sesuai dengan regulasi, bahkan diwajibkan atas penyelenggara jaringan untuk bekerjasama dengan para penyelenggara jasa telekomunikasi. Namun dalam pandangan JPU dan Hakim, kerjasama ini dipandang sebagai perbuatan yang melanggar regulasi telekomunikasi. Perbedaan pandangan antara penegak regulasi versus penegak hukum ini tentu amat penting untuk dicermati karena dampaknya akan sangat besar bagi pembangunan telekomunikasi sebagai tulangpunggung ekonomi nasional dan pembangunan sistem dan budaya hukum nasional. Kata kunci: Jaringan, Menggunakan Jaringan, Frekuensi, Menggunakan Frekuensi, Alokasi Frekuensi, Menggunakan Alokasi Frekuensi Abstract There is a difference between regulatory opinion of the Telecommunications Regulator/Ministry of Communications with the Corruption Court Judge on act did by PT. IM2 in collaboration with PT. Indosat. Title of cooperation between this service providers and network operators are "Internet access via cellular networks Indosat". In view of the regulator, this cooperation is 1
Komite Regulasi Telekomunikasi unsur masyarakat dalam Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. 463
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 463-484
in conformity with the regulations, even obligatory upon network operators to cooperate with the service provider. However, in view of the prosecutor and the judge, this cooperation violates the regulations. A difference of views between regulatory enforcement versus law enforcement is certainly very noteworthy because it will has very big impact to telecommunication development as the backbone of the national economy and the development of national legal systems and culture. Keywords: Networks, Network Usage, Frequency, Frequency Usage, Frequency Allocation, Frequency Allocation Usage I.
Pendahuluan PT. IM2 sebagai penyelenggara jasa penyedia akses internet (menghubungkan masyarakat Indonesia ke internet global) dan PT. Indosat yang penyelenggara jaringan seluler 3G/HSPA melakukan kerjasama dengan judul penyediaan Akses Internet Broadband melalui Jaringan Seluler 3G/HSPA PT. Indosat. Penyelenggara jaringan diuntungkan karena berkat adanya server milik PT. IM2, maka saluran/jaringannya bisa terpakai dan memperoleh pendapatan dari saluran yang terpakai oleh para pelanggan IM2. Sedangkan PT. IM2 memperoleh pendapatan dari ongkos menyediakan akses ke internet global seluruh dunia. Misalnya, setiap pelanggan mengakses internet 1MB data, dikenakan biaya Rp. 100,-; lalu PT. IM2 mendapat bagian Rp.34,- sebagai ongkos layanan/jasa dan PT.. Indosat mendapat bagian Rp.66,- sebagai ongkos penggunaan saluran. Demikianlah skema kerjasama antara PT. IM2 sebagai penyelenggara jasa dengan PT. Indosat sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana diatur dalam UU 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan aturan turunannya. Perbuatan para pelanggan IM2 yang mengakses server PT. IM2 melalui jaringan seluler PT. Indosat ini kemudian dipersepsikan sebagai perbuatan PT. IM2 menggunakan alokasi frekuensi PT. Indosat. Akibatnya, kemudian dikira harus membayar biaya hak penggunaan pita frekuensi radio (BHP-frekuensi) sebesar yang telah dibayar lunas oleh PT. Indosat sebagai pemilik jaringan seluler. Karena didapati PT. IM2 tidak membayar BHPfrekuensi, lalu didakwa telah melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara. Akhirnya, PT. IM2 didakwa dan diputus telah melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) sebesar tarif BHP-frekuensi yang telah dibayar lunas oleh PT. Indosat. Padahal menurut ketentuan regulasi telekomunikasi, izin penggunaan spektrum frekuensi radio (izin alokasi frekuensi) itu melekat pada pemilik BTS, bukan pada yang mengakses BTS. Jadi, PT. IM2 bukan pihak yang wajib membayar BHP-frekuensi, karena PT. IM2 tidak memiliki ataupun tidak mengoperasikan jaringan seluler. 464
Perbuatan Hukum dalam Kerjasama PT. IM2 dengan PT. Indosat, Nonot Harsono
II. Permasalahan: Perbuatan Hukum yang Dipahami Berbeda Perbuatan “melalui jaringan seluler frekuensi 2.1GHz” telah dipahami sebagai perbuatan “menggunakan alokasi frekuensi pita 2.1GHz” yang maksudnya berbeda. Perbuatan “melalui jaringan seluler frekuensi 2.1GHz” maksudnya adalah bahwa jaringan seluler itu telah ada, lalu dimanfaatkan oleh jutaan pengguna atau pelanggan individu maupun korporasi; para pelanggan ini harus menggunakan alat komunikasi misalnya handphone yang bisa beroperasi pada frekuensi 2.1GHz agar bisa mengakses jaringan seluler pita 2.1GHz. Sedangkan perbuatan “menggunakan alokasi frekuensi di pita 2.1GHz” artinya diawali dari jaringan belum ada, mendapatkan izin penggunaan alokasi frekuensi melalui lelang2, lalu membangun, dan mengoperasikan jaringan seluler yang terdiri dari ribuan BTS yang harus beroperasi pada frekuensi radio 2.1GHz. Dalam bahasa regulasi, perbuatan PT. IM2 adalah menggunakan jaringan seluler milik PT. Indosat. Sedangkan perbuatan PT. Indosat adalah membangun/ menyediakan jaringan seluler/BTS yang harus berfrekuensi 2.1GHz. Jadi, PT. IM2 tidak membangun ribuan BTS dan tidak pula menyelenggarakan jaringan seluler, sehingga PT. IM2 tidak memerlukan alokasi frekuensi di pita 2.1GHz dan tentu tidak membayar BHP-frekuensi. Beginilah UU 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, pasal 7, telah mengatur bahwa ada dua jenis penyelenggaraan, yaitu (1) Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi, dan (2) Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi. Terkait dengan kewajiban pembayaran BHP-frekuensi; Jaksa/JPU mendakwa bahwa PT. IM2 melakukan kerjasama dengan PT. Indosat dengan motivasi/tujuan untuk menghindari kewajiban pembayaran BHPfrekuensi.3 Dalam hal ini, JPU mungkin lupa menyadari bahwa semua pelanggan IM2 telah berkontribusi dalam pembayaran BHP-frekuensi dalam bentuk “membayar pulsa”. Majelis Hakim seolah terbawa ke dalam pemikiran bahwa PT. IM2 adalah perusahaan telekomunikasi yang harus membayar BHP-frekuensi karena telah memanfaatkan jaringan seluler milik PT. Indosat. Padahal PT. IM2 adalah mitra bisnis PT. Indosat untuk mencarikan pengguna jaringan sebanyak mungkin agar banyak yang “membeli pulsa Indosat”; dari sini IM2 mendapat bagian.
2
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika nomor: 07/Per/M.Kominfo/2/2006 tentang Ketentuan Penggunaan Pita Frekuensi Radio 2,1 Ghz untuk Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Seluler, pasal 2 ayat (1). 3 Surat Putusan Pengadilan Negeri Tipikor 01/PID.Sus/TPK/2013/PN.JKT.PST, halaman 24. 465
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 463-484
III. Batasan dan Metodologi Pembahasan Tulisan ini menyajikan tinjauan dan analisis tentang peristiwa hukum yang terjadi dalam perkara dakwaan pelanggaran regulasi telekomunikasi yang dikemas menjadi dakwaan tindak pidana korupsi. Banyak hal menarik dan penting untuk dikaji secara mendalam yang akan sangat bermanfaat dalam membangun sistem hukum dan budaya hukum nasional Indonesia. Misalnya, harmoni antara Kejaksaan RI, Pengadilan Negeri, dan BPKP dengan Kementerian Kominfo dalam upaya penegakan regulasi telekomunikasi, dan dampak ketidakpastian hukum bagi dunia usaha akibat dari ketidakharmonisan itu. Namun, tulisan ini hanya menyajikan tinjauan dan analisis tentang perbuatan hukum yang dipahami secara berbeda di antara Kementerian Kominfo, Kejaksaan RI, dan Pengadilan Negeri. Dalam tulisan ini disajikan dimana letak perbedaan pemahaman itu dan apa yang menjadi penyebab perbedaan itu ditinjau dari sudut pandang regulasi dan ilmu telekomunikasi. Untuk mendukung argumentasi dalam bahasan, disajikan cuplikan dari berkas surat Putusan Pengadilan Negeri Tipikor yang memuat pandangan JPU, Majelis Hakim, dan keterangan ahli yang digunakan sebagai dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara. Penjelasan disampaikan sedapat mungkin menggunakan bahasa dunia usaha telekomunikasi agar dapat dipahami oleh banyak kalangan. IV. Pembuktian Dakwaan yang Membingungkan Hakim Di tahap ini menjadi amat menarik untuk dicermati, bahwa dakwaan tipikor tentu di bawa ke Pengadilan Tipikor. Namun karena hanya kemasannya yang tipikor, sedangkan substansi dakwaannya adalah dakwaan “menggunakan alokasi frekuensi”, maka yang terjadi dalam Pengadilan Tipikor kasus IM2-Indosat dengan terdakwa Indar Atmanto (tanpa IM2) dari awal hingga akhir adalah sidang pembuktian bahwa PT. IM2 telah menggunakan alokasi frekuensi pita 2.1GHz yang ditetapkan untuk PT. Indosat. Sidang sengketa regulasi yang biasa terjadi di Kementerian Kominfo, untuk pertama kalinya terjadi di Pengadilan Tipikor. Sungguh amat layak untuk dicermati. Pembuktian atas dakwaan “menggunakan alokasi frekuensi pita 2.1GHz” yang diajukan JPU di Pengadilan Tipikor adalah pengukuran yang dilakukan di beberapa kota yang secara singkat disimpulkan bahwa pelanggan IM2 terbukti mengakses BTS milik Indosat melalui kanal 7 dan 8 di pita frekuensi 2.1GHz. Dalam ilmu telekomunikasi, pengukuran ini membuktikan bahwa pelanggan PT. IM2 terbukti menggunakan jaringan seluler milik PT. Indosat; dan memang harus demikian yang terjadi karena pelanggan IM2 memang harus mengakses Server-IM2 melalui jaringan 466
Perbuatan Hukum dalam Kerjasama PT. IM2 dengan PT. Indosat, Nonot Harsono
seluler PT. Indosat. Bagi Majelis Hakim yang awam ilmu telekomunikasi, mungkin pembuktian ini tampak amat meyakinkan, namun bagi masyarakat dunia telekomunikasi, pembuktian ini sangat memprihatinkan karena akibat hukumnya akan sangat merugikan banyak pihak. Majelis Hakim seharusnya mengingat dan memahami PM nomor 1 tahun 2006 tentang Penataan Pita Frekuensi 2.1GHz untuk Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Seluler IMT-2000. Jadi, subyek hukum dari perbuatan ‘menggunakan alokasi frekuensi pita 2.1GHz’ adalah penyelenggara jaringan seluler. Maka mendakwa PT. IM2 telah menggunakan alokasi frekuensi pita 2.1GHz, berarti mendakwa bahwa PT. IM2 telah membangun dan menyelenggarakan jaringan seluler 3G di pita 2.1GHz. Seharusnya yang dibuktikan adalah apakah PT. IM2 telah membangun dan mengoperasikan ribuan BTS, apakah PT. IM2 telah menyelenggarakan jaringan seluler di pita 2.1GHz. Cara pembuktiannya dapat dilakukan oleh siapapun menggunakan handphone. Melalui menu “setting” dan pemilihan jaringan secara manual akan muncul nama-nama jaringan seluler di sekitarnya. Perhatikan gambar berikut ini. Gambar 1 Cara membuktikan apakah IM2 menggunakan alokasi frekuensi
Dengan cara sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1 di atas, tidak didapati ada jaringan seluler bernama IM2 yang berarti bahwa PT. IM2 tidak memiliki jaringan seluler. Hal ini membuktikan bahwa PT. IM2 tidak menggunakan alokasi frekuensi sebagaimana didakwakan. Sehingga tidak berkewajiban membayar BHP-frekuensi yang telah dibayar lunas oleh pemilik jaringan seluler. V. Putusan Tipikor atas Perbuatan Telekomunikasi Pemahaman yang berbeda atas perbuatan hukum dalam kerjasama antara PT. IM2 sebagai penyelenggara jasa dengan PT. Indosat sebagai 467
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 463-484
penyelenggara jaringan, telah menghasilkan putusan atas PT. IM2 wajib membayar biaya BHP-frekuensi sebesar 1,358 Triliun rupiah dan vonis penjara 8 tahun atas terdakwa Indar Atmanto Dirut IM2 yang telah menandatangani perjanjian kerjasama “Akses Internet Broadband melalui Jaringan Seluler 3G/HSPA Indosat”. Ringkasan isi Putusan atas perbuatan kerjasama penyediaan akses internet melalui jaringan seluler 3G/HSPA Indosat pada tiga tingkat Pengadilan Tipikor adalah sebagai berikut: 1. Putusan nomor 01/PID.Sus/TPK/2013/PN.JKT.PST, 8 juli 2013 Memutus PT. IM2 wajib membayar 1,358 trilliun yang merupakan tarif BHP-frekuensi sejak tahun 2006 karena dianggap terbukti menggunakan alokasi pita frekuensi dan pidana 4 tahun penjara atas mantan Dirut IM2 Indar Atmanto karena telah menandatangani Perjanjian Kerjasama. Dalam sidang tipikor ini, ada 5 (lima) putusan regulatif serangkai yang saling berurutan (bila yang huruf a tidak ada, maka yang lain otomatis gugur), yaitu: a. PT. IM2 dianggap menggunakan alokasi pita frekuensi bersama PT. Indosat. b. PT. IM2 dianggap wajib membayar BHP-frekuensi sebesar Rp.1,358 T. c. PT. IM2 dianggap menghindari kewajiban membayar BHPfrekuensi. d. Maka, berarti PT. IM2 telah melakukan Tipikor sebesar tarif Rp. 1,358 T. e. Maka Indar Atmanto, Dirut PT. IM2 (terdakwa) dipenjara 4 tahun. Putusan tipikor berasal dari putusan huruf a yang lahir dari keawaman Hakim memahami keterangan ahli. Selain itu, pengadilan ini telah mengadili PT. IM2, meskipun tidak dihadirkan sebagai terdakwa. Menurut UU 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, subyek hukum dari perbuatan hukum telekomunikasi adalah korporasi [Pasal 8 ayat 1]. Indar Atmanto diputus pidana penjara 4-tahun karena dianggap menyebabkan PT. IM2 tidak membayar BHP-frekuensi. 2. Putusan nomor 33/PID/TPK/2013/ PT.DKI – 12 desember 2013 Membatalkan putusan kewajiban membayar 1,358 triliun atas PT. IM2 karena bukan terdakwa, tetapi menambah hukuman terdakwa menjadi 8 tahun. Pengadilan Tinggi memandang adalah melanggar hukum jika menjatuhkan putusan kepada PT. IM2 yang bukan terdakwa4. Pengadilan Tinggi juga memandang bahwa uang 4
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta nomor 33/PID/TPK/2013/PT.DKI – tanggal 12
468
Perbuatan Hukum dalam Kerjasama PT. IM2 dengan PT. Indosat, Nonot Harsono
pengganti 1,358 Triliun tersebut adalah pidana tambahan, bukan pidana pokok. Disarankan kepada JPU untuk mengajukan kembali perkara uang pengganti ini ke pengadilan perdata atau pidana sebagai terdakwa dalam perkara ini. Andai Majelis Hakim PT mengetahui bahwa subyek hukum utama dalam telekomunikasi adalah korporasi, yaitu PT. IM2, dan menyadari bahwa dakwaan tipikornya adalah “menghindari kewajiban membayar BHP-frekuensi 1,358T”, maka hakim akan menyadari bahwa membatalkan putusan wajib membayar 1,358T ini sama artinya dengan membatalkan 5(lima) putusan serial dari PN Tipikor; yang berarti Indar Atmanto seharusnya dibebaskan. Namun, Majelis Hakim PT justru menambah hukuman menjadi 8-tahun. Kenapa seharusnya dibebaskan? Karena angka biaya Rp. 1,358 Trilliun ini muncul dari dua dakwaan perbuatan hukum, yaitu “IM2 menggunakan alokasi frekuensi 2.1GHz” dan “IM2 tidak membayar kewajiban BHP-frekuensi”, yang diberi predikat sebagai Tipikor. Maka, saat Hakim PT membatalkan angka Rp. 1,358 Triliun, saat itu pula predikat tipikor itu gugur dan Indar Atmanto seharusnya dibebaskan. 3. Putusan nomor 787K/PID.SUS/2014 Mahkamah Agung, Juli 2014 Menolak kasasi terpidana dan JPU, mengadili sendiri dan memberlakukan lagi putusan PN atas PT. IM2 untuk membayar Rp.1,358 Triliun dan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi atas terdakwa Indar yakni pidana 8 tahun penjara. Tampaknya Majelis Hakim Agung tidak sempat mempelajari bahwa substansi perbuatan hukum dalam kasus ini bukanlah perbuatan tipikor, melainkan perbuatan telekomunikasi. Perbuatan yang menurut Regulator/Pemerintah tidak melanggar regulasi telekomunikasi. Namun menurut Hakim PN, akses internet melalui jaringan seluler ini divonis melanggar regulasi telekomunikasi. Lalu membawa akibat hukum wajib membayar BHP-frek, lalu di-vonis tipikor. Kemasan tipikor telah berhasil menutupi pokok perkara yang sebenarnya, yaitu sengketa pemahaman atas perbuatan telekomunikasi. Bukti bahwa pokok perkara sebenarnya adalah pemahaman atas perbuatan “akses internet melalui jaringan seluler 3G/HSPA Indosat”, dapat dilihat pada surat Putusan nomor 01/PID.Sus/TPK/2013/PN.JKT.PST, di halaman 274 dan 275 yang diulang di 305, yang sama dengan pokok isi dakwaan di halaman 32 sebagai berikut: Desember 2013, halaman 77. 469
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 463-484
Pada uraian di atas, tampak jelas bahwa dakwaan tipikor Rp. 1,358 triliun ditimpakan kepada PT. IM2 dan Indar Atmanto karena dikira telah menggunakan alokasi frekuensi PT. Indosat. Andai Hakim mengingat bahwa perbuatan jutaan pelanggan PT. IM2 adalah mengakses internet melalui saluran komunikasi yang telah dibangun oleh Indosat dan telah membayar biaya saluran yang dipakainya dalam bentuk “pulsa prabayar”, maka tentu hakim tidak akan mewajibkan PT. IM2 untuk membayar BHPfrekuensi. VI. Kerancuan dalam Mendakwa Perbuatan Kerancuan dalam memahami perbuatan hukum telah tampak sejak dari masa pembacaan dakwaan. Perbuatan hukum yang didakwa melanggar regulasi adalah “kerjasama akses internet melalui jaringan seluler 3G berfrekuensi 2.1GHz”. Lalu perbuatan ‘melalui jaringan seluler berfrekuensi 2.1GHz’ tersebut dipecah menjadi dua perbuatan telekomunikasi, yaitu “menggunakan jaringan seluler” dan “menggunakan frekuensi 2.1GHz”. Pemahaman memecah satu perbuatan menjadi dua perbuatan inilah asal 470
Perbuatan Hukum dalam Kerjasama PT. IM2 dengan PT. Indosat, Nonot Harsono
mula munculnya gagasan mengemas tuduhan pelanggaran regulasi menjadi dakwaan tipikor sebesar tarif BHP-frekuensi. Hal ini dapat dilihat dari konstruksi logika dakwaan JPU dalam cuplikan berikut5:
Dalam dunia telekomunikasi, tidak pernah ada kalimat “selain menggunakan jaringan ber-frekuensi 2.1GHz, PT. IM2 juga menggunakan frekuensi 2.1GHz.’ Kata keterangan ‘frekuensi 2.1GHz’ serupa dengan kata ‘kecepatan 400 km/jam’ dalam kalimat “mobil balap dengan kecepatan 400 km/jam”. Kata “frekuensi 2.1GHz” dalam kalimat di atas bukan obyek hukum. JPU tampaknya mengira bahwa kalimat ‘melalui jaringan seluler’ sama dengan kalimat ‘menggunakan alokasi-frekuensi seluler’, dimana maksud dari kata ‘alokasi-frekuensi’ adalah jatah ruang udara dimana Indosat boleh memancarkan sinyal BTS-nya. Nah, alokasi frekuensi pita 2.1 GHz ini merupakan obyek hukum yang diperoleh melalui proses lelang. Obyek hukum berupa hak-membangun dan hak untuk memancarkan sinyal BTS. Jadi, pangkal munculnya dakwaan tipikor berasal dari kekeliruan JPU dalam memahami “akses internet pelanggan IM2 melalui jaringan seluler Indosat” dikira sama dengan “IM2 menggunakan alokasi frekuensi Indosat”. VII. Kekeliruan dalam Memahami Keterangan Ahli Keyakinan Majelis Hakim dalam memutus perkara didasarkan pada kepahaman hakim mendengarkan keterangan para saksi dan ahli. Berikut ini disajikan cuplikan tanya-jawab yang sangat penting karena memuat keterangan ahli yang menjadi dasar argumentasi JPU dan dijadikan dasar oleh Majelis Hakim dalam memutus. Meskipun ahli telah tegas menyatakan bahwa tidak ada penggunaan frekuensi oleh PT. IM2, namun JPU mengajukan rangkaian pertanyaan yang menunjukkan kerancuan pemahaman tentang jaringan seluler dengan parameter frekuensinya. Cuplikan jawaban ahli dan pertanyaan JPU adalah sebagai berikut:
5
Surat dakwaan: No.Reg. Perkara: PDS-23/JKT.SL/12/2012, atas nama tersangka Indar Atmanto, hal 13. 471
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 463-484
Tanya Jawab Ahli dari pihak JPU dengan Penasihat Hukum:
Tanya Jawab Ahli dari pihak JPU dengan JPU:
Dalam tanya jawab di atas, ahli (dari pihak JPU) telah menegaskan kepada penasihat hukum bahwa IM2 tidak menggunakan frekuensi dan kepada JPU telah menjelaskan bahwa IM2 menggunakan jaringan seluler Indosat yang berfrekuensi 2.1GHz. Tetapi JPU lalu mengajukan pertanyaan rancu yang mencampur 2 obyek hukum, yaitu “Jadi IM2 menggunakan jaringan 2.1? Spektrum 2.1?”. Sungguh sangat berbahaya karena mengaburkan dua obyek hukum seolah satu obyek yang sama, yaitu jaringan dan spektrum. Untuk pertanyaan “apakah IM2 menggunakan spektrum frekuensi?” sudah dijawab “Tidak ada penggunaan frekuensi oleh IM2”. Untuk pertanyaan “apakah IM2 menggunakan jaringan?”, tentu dijawab “Ya”. Hal ini dikuatkan dengan jawaban berikutnya, dari pertanyaan: “Apakah telah terjadi sharing frekuensi?” yang dijawab oleh ahli “Sharing dilakukan terhadap kapasitas jaringan”. Diulang lagi oleh JPU “Sharing frekuensi 2.1?” dan dijawab lagi oleh ahli “Sharing dilakukan terhadap kapasitas jaringan yang bekerja pada frekuensi 2.1”. 472
Perbuatan Hukum dalam Kerjasama PT. IM2 dengan PT. Indosat, Nonot Harsono
Kalimat terakhir JPU dalam tanya-jawab di atas yang berbunyi “Terjadi sharing. Cukup”. Menjadi tanda tanya apakah JPU telah memahami bahwa saudara ahli dengan sangat jelas menyampaikan bahwa yang terjadi dalam kerjasama antara PT. IM2 dan PT. Indosat adalah “sharing jaringan” bukan “sharing alokasi frekuensi”. kalau Hakim dan JPU memahami keterangan ahli sebagai “sharing jaringan” maka benar sesuai dengan maksud regulasi telekomunikasi, namun jika ditangkap sebagai “sharing frekuensi” maka tentu amat fatal akibatnya . Dalam repliknya, sebenarnya JPU telah menulis ulang keterangan ahli yang memuat bahwa perbuatan hukum yang terjadi dalam kerjasama PT. IM2 dan PT. Indosat adalah penggunaan jaringan secara bersama dan jaringan dimaksud adalah jaringan Indosat. Cuplikan dari replik JPU di halaman 43 adalah sebagai berikut: Jika secara keseluruhan kita perhatikan maka dapat diketahui bahwa: - Ada yang disebut dengan teknologi multiple access dimana satu kanal itu dapat diakses secara bersama oleh lebih dari satu pelanggan. Teknologi dasar yang digunakan pada 3G adalah wide band CDMA, dilakukan pembagian kode secara dinamis dimana kode-kode inilah yang dilakukan untuk penyekatan antar sinyal yang digunakan oleh suatu koneksi, suatu layanan. Sebutan untuk wide band CDMA ini karena sebelumnya ada teknologi CDMA yang tidak wideband tapi narrow band yang lebarnya hanya 1,25 MHz, sedangkan untuk wide band CDMA ini menggunakan 5 MHz, dan ini sesuai dengan yang ditetapkan pada kanalisasi alokasi spektrum 3G untuk Indonesia. - Ada penggunaan jaringan secara bersama, dalam hal penggunaan kapasitas total digunakan oleh dua layanan jasa. Jaringan inilah yang bekerja pada frekuensi 2,1 GHz yang bekerja pada khususnya pada kanal 7 dan 8. Jadi persinyalan yang bekerja pada spektrum itu, di kanal 7 dan 8 itu sepenuhnya adalah sinyal yang dimiliki dan disediakan oleh jaringan Indosat. Jaringan ini memiliki kapasitas dalam melayani jumlah pelanggan. Nah, kapasitas inilah yang dilakukan pembagian atau sharing untuk layanan jasanya. Tentang pembelaan Terdakwa dalam pembelaan pribadinya dalam unsur melawan hukum, kiranya telah terpatahkan secara keseluruhan dari uraian kami di atas. Berdasarkan uraian tersebut di atas dan uraian pada surat tuntutan, kami berpendapat bahwa unsur “secara melawan hukum” telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Dalam uraiannya di atas, jelas dinyatakan bahwa yang menempati atau menggunakan kanal 7 dan kanal 8 adalah jaringan seluler Indosat. Tidak ada pernyataan bahwa yang menempati kanal 7 dan kanal 8 adalah 473
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 463-484
jaringan seluler IM2. Sehingga jelas pula bahwa yang digunakan adalah jaringan seluler Indosat yang ditegaskan dengan kalimat “Nah, kapasitas inilah yang dilakukan pembagian atau sharing untuk layanan jasanya “. Bagi awam memang sulit memahami perbedaan antara teknik CDMA yang dipakai untuk sharing-frekuensi antar dua jaringan seluler dengan teknik CDMA untuk sharing-jaringan antar jutaan pengguna satu jaringan seluler. Sehingga meskipun telah jelas bahwa yang menggunakan alokasi frekuensi pita 2.1GHz hanya ada satu jaringan seluler milik PT. Indosat saja, JPU menyimpulkan secara keliru bahwa PT. IM2 telah menggunakan alokasi frekuensi yang sama (sharing frekuensi). Jika paham ini yang dianut, maka jutaan masyarakat yang memiliki handphone akan dianggap telah turut menggunakan alokasi frekuensi milik jaringan seluler/ BTS. VIII. Dua Dakwaan yang Saling Menggugurkan Dalam dakwaan yang dimuat dalam Surat Putusan, ada dua perbuatan hukum yang didakwakan. Menurut ilmu telekomunikasi, 2dakwaan itu saling menggugurkan karena tidak bisa terjadi secara bersamaan. Dua dakwaan utama tersebut adalah: 1. PT. Indosat didakwa mengalihkan alokasi frekuensi radionya kepada PT. IM2; 2. PT. IM2 didakwa menggunakan-bersama (sharing) spektrum frekuensi radio. Logikanya, jika alokasi frekuensi sudah dialihkan, kenapa faktanya jaringan seluler yang ada adalah jaringan Indosat dan yang membayar BHPfrek tetap Indosat?. Bukankah IM2 seharusnya yang memiliki jaringan seluler dan membayar BHP-frekuensi?. Sebaliknya, jika IM2 dan Indosat melakukan sharing-frekuensi, maka tidak mungkin ada pengalihan alokasi frekuensi?. Ataukah JPU/Hakim berfikir “alokasi frekuensi dialihkan sebagian” yang menurut standar seluler 3G, jika alokasi frekuensinya hanya setengahnya atau sebagian, jaringan tidak bisa berfungsi. Maka dua dakwaan ini saling melemahkan karena dua perbuatan hukum yang didakwakan mustahil terjadi secara bersamaan. IX. Hakim pun Keliru Memahami Keterangan Saksi Substansi perkara yang hendak dibuktikan adalah apakah PT. IM2 menggunakan alokasi frekuensi 2.1GHz. Keterangan ahli yang diajukan oleh pihak JPU, yaitu Dr. Ir. Heroe Wijanto, MT adalah yang paling penting karena keterangan dari saksi dan ahli yang lain terkait pertanyaan “apakah PT. IM2 telah menggunakan alokasi frekuensi” telah terjawab dengan tegas bahwa “tidak ada penggunaan frekuensi oleh IM2”. Keterangan ahli Dr.Ir. 474
Perbuatan Hukum dalam Kerjasama PT. IM2 dengan PT. Indosat, Nonot Harsono
Heroe Wijanto, MT ini adalah penjelasan teknis yang menjadi acuan utama JPU dan Hakim dalam menyatakan PT. IM2 memenuhi unsur melawan hukum. Cuplikannya adalah sebagai berikut:
Hakim Ketua (HK) meminta konfirmasi atas keterangan ahli yang sebelumnya menyatakan “tidak ada penggunaan bersama frekuensi”, tetapi Hakim Ketua salah tangkap dengan mengatakan “Tadi saudara Ahli menerangkan tidak ada penggunaan jaringan bersama IM2 dengan Indosat”. Maka atas pernyataan ini, saudara Heroe Wijanto menjelaskan bahwa yang terjadi adalah penggunaan bersama jaringan. Jaringan ini memiliki kapasitas (kemampuan) melayani banyak pelanggan. Nah, kapasitas jaringan milik Indosat inilah yang digunakan bersama oleh IM2 dan Indosat untuk melayani pelanggan masing-masing. PT. IM2 menyediakan jasa akses internet dan Indosat menyediakan saluran/jaringan untuk para penyelenggara jasa dan juga untuk jasanya sendiri (misalnya layanan voice dan SMS yang IM2 tidak menyediakan). PT. Indosat juga menyediakan jaringannya untuk digunakan oleh banyak penyelenggara konten dan ISP yang lain karena PT. Indosat dilarang memonopoli jaringannya6 hanya untuk saluran bagi layanan sendiri. Dari uraian di atas tampak bahwa Hakim tidak mengingat hubungan antara penyelenggara PP 52 tahun 2000, pasal 12: “Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan jaringan (penyelenggara jasa) telekomunikasi yang telah memenuhi syarat-syarat berlangganan jaringan telekomunikasi sepanjang jaringan telekomunikasi tersedia.” 6
475
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 463-484
jaringan dengan para penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana diatur dalam UU 36 tahun 1999 dan PP 52 tahun 2000. Pada tanya jawab di atas, tampak seolah Hakim memahami penjelasan dari saudara Ahli dalam kalimat “Jadi jaringannya ya. Sharing (jaringan) dengan siapa?”. Lalu dijawab oleh sdr. Ahli dengan kalimat “Berdasarkan pengukuran yang (telah) dilakukan, adalah (sharing jaringan) Indosat dengan IM2”. Namun ternyata dalam putusannya, Hakim menyatakan bahwa PT. IM2 telah menggunakan alokasi frekuensi 2.1GHz yang dialokasikan secara eksklusif kepada PT. Indosat. Hakim mengatakan kata “eksklusif” namun melupakan artinya, yaitu hanya bisa dipakai oleh satu pihak saja, yaitu PT. Indosat , sesuai penjelasan Pasal 33 ayat 2, UU 36/1999. Dasar keyakinan Hakim yang penting berikutnya adalah termuat pada Putusan halaman 289 dan 290 yang cuplikannya adalah sebagai berikut:
- - - deretan data frekuensi dari kanal 7 dan 8 di beberapa kota - - -
Pada menimbang ini, Hakim menyatakan kalimat bersambung “ PT. IM2 menggunakan Jaringan PT. Indosat yang menggunakan frekuensi 2.1GHz”. Seharusnya Hakim paham bahwa kalimat itu berarti PT. IM2 menggunakan Jaringan PT. Indosat dan Jaringan PT. Indosat menggunakan frekuensi 2.1GHz. Jadi, yang menggunakan alokasi frekuensi adalah PT. Indosat. Inilah substansi kekeliruan Hakim dalam memutus perkara. Ketidakpahaman majelis hakim tentang jaringan dan jasa, dapat diketahui dari pertimbangan hakim di halaman 291 Putusan, yang 476
Perbuatan Hukum dalam Kerjasama PT. IM2 dengan PT. Indosat, Nonot Harsono
cuplikannya sebagai berikut:
Pada bagian akhir dari uraian pertimbangan di atas, hakim menafsirkan maksud dari Pasal 9 ayat (2) bahwa “yang boleh menyewa jaringan milik penyelenggara jaringan adalah hanya penyelenggara jasa yang telah memiliki izin sebagai penyelenggara jaringan”. Tidak mungkin penyelenggara jasa memiliki izin penyelenggaraan jaringan jika tidak menyelenggarakan jaringan. Hakim keliru memahami penjelasan Pasal 9 ayat (2), yaitu kalimat “yang menyewakan kembali (jaringan) tersebut harus memperoleh izin sebagai penyelenggara jaringan”. Ini ditujukan bagi penyelenggara jasa yang menyewa kapasitas jaringan cukup besar, lalu saluran ini disewakan kembali kepada pengguna jaringan lainnya. Dalam konteks ini, penyelenggara jasa tersebut berkembang usahanya menjadi menyewakan jaringan. Kegiatan menyewakan kembali jaringan ini harus memiliki izin sebagai penyelenggara jaringan (tidak cukup hanya dengan memiliki izin sebagai penyelenggara jasa). X. Perbuatan Hukum yang Diwajibkan Menjadi Terlarang Ketidakpahaman tentang kerangka regulasi dan proses bisnis telekomunikasi telah menjadikan Hakim memiliki persepsi keliru bahwa PT. IM2 harus memiliki izin sebagai penyelenggara jaringan seluler. Sedangkan ketidakpahaman tentang teknis jaringan seluler telah menjadikan Hakim tidak bisa membedakan antara perbuatan “menggunakan jaringan berfrekuensi 2.1GHz” dengan perbuatan “menggunakan alokasi frekuensi pita 2.1GHz”. Akumulasi dari keduanya telah melahirkan putusan 477
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 463-484
(menimbang) dan konsekuensi hukum yang tidak bisa dipahami oleh dunia usaha telekomunikasi. Pada halaman 291, Majelis Hakim menyatakan sebagai berikut:
Konsekuensi hukumnya akan merugikan dunia usaha dan kontraproduktif, tidak sejalan dengan upaya negara untuk mendorong pembangunan sektor telekomunikasi sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi nasional. Penyelenggara jasa yang tidak memiliki dan tidak menyelenggarakan jaringan seluler menjadi harus memiliki izin penyelenggara jaringan seluler. Semua penyelenggara jasa yang bekerja sama dengan penyelenggara jaringan seluler menjadi terlarang dan bisnisnya ilegal. XI. Pasal yang Dianggap Dilanggar Tidak Relevan Pada halaman 292 Putusan, berdasarkan keyakinan yang keliru Majelis Hakim menyebutkan pasal-pasal yang dikira telah dilanggar oleh PT. IM2. Penunjukan pasal-pasal berdasarkan keyakinan yang keliru menjadikan alur logika Hakim tidak relevan dengan proses bisnis di lapangan. Pasal-pasal yang dianggap dilanggar yaitu:
478
Perbuatan Hukum dalam Kerjasama PT. IM2 dengan PT. Indosat, Nonot Harsono
Pasal 2 ayat (2) dari PM 7 tahun 2006 menyatakan bahwa untuk dapat menggunakan alokasi frekuensi di pita 2.1 GHz harus melalui proses lelang. Berarti PT. IM2 dan semua penyelenggara jasa yang akan memanfaatkan jaringan seluler harus ikut lelang. Bila ini diterapkan, pasti tidak akan ada UKM telekomunikasi. Hal ini bertentangan dengan UU 36 tahun 1999 dan PP 52 tahun 2000. Selanjutnya, Hakim menyatakan PT. IM2 telah melanggar Pasal 25 ayat (1) dari PP 53 tahun 2000, bahwa pemegang alokasi frekuensi radio tidak dapat mengalihkan alokasi frekuensi radio yang telah diperolehnya kepada pihak lain. Hakim mengira bahwa telah terjadi pengalihan alokasi frekuensi dari PT. Indosat ke PT. IM2; padahal faktanya jaringan seluler adalah milik PT. Indosat. Berikutnya, Hakim menyatakan PT. IM2 melanggar Pasal 29 ayat (1) namun telah mengabaikan ayat (3) yang berbunyi “Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio mulai dikenakan pada saat izin stasiun radio diterbitkan”. PT. IM2 yang tidak memiliki jaringan seluler tentu tidak mungkin memiliki izin stasiun radio. Berikutnya Hakim menyatakan PT. IM2 melanggar Pasal 30 dari PP 53 tahun 2000 yang menentukan bahwa “Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio bagi penggunaan bersama pita frekuensi radio dan atau kanal frekuensi radio dibebankan secara penuh kepada masing-masing pengguna”. Hakim melupakan keterangan ahli (Heroe Wijanto, yang menjadi acuan utamanya) yang menerangkan bahwa “tidak ada penggunaan bersama pita frekuensi, yang ada adalah penggunaan bersama jaringan”. Penerapan Pasal 30 bersamaan dengan Pasal 25 adalah bukti kuat tentang pemahaman yang keliru. Pasal 25 adalah tentang perbuatan mengalihkan alokasi frekuensi radio, sedangkan Pasal 30 adalah tentang perbuatan sharing (penggunaan bersama) frekuensi radio, dimana dua perbuatan ini tidak mungkin terjadi bersamaan. 479
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 463-484
Terakhir, anggapan bahwa PT. IM2 telah melanggar Pasal 34 ayat (1) dari UU nomor 36 tahun 1999: “Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar biaya penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi.”, tidak relevan. Hal ini terbantah oleh Penjelasan Pasal 33 ayat (2) yang berbunyi “Penggunaan frekuensi radio didasarkan pada ruang, jumlah getaran, dan lebar pita, yang hanya dapat digunakan oleh 1 (satu) pihak. Penggunaan secara bersamaan pada ruang, jumlah getaran, dan lebar yang sama atau berhimpitan akan saling mengganggu”. Jadi penerapan Pasal 34 menjadi tidak relevan. XII. Hakim Menyatakan Melanggar Permen, Menteri Menyatakan Tidak Bisa terbayang ketidakpastian hukum dalam industri telekomunikasi manakala empat lembaga regulasi dan hukum berbeda persepsi dan mengaburkan batas tugas kewenangan dalam membina industri. Putusan halaman 293 adalah sebagai berikut:
480
Perbuatan Hukum dalam Kerjasama PT. IM2 dengan PT. Indosat, Nonot Harsono
Hakim menyatakan PT. IM2 dan PT. Indosat telah melanggar Peraturan Menteri, tetapi Menteri menyatakan tidak ada pelanggaran 7. Yang membuat peraturan menyatakan tidak melanggar, tetapi pihak lain menyatakan melanggar. Bagaimana mungkin negara menerapkan sistem hukum dan budaya hukum semacam ini?. XIII. Putusan Tipitel menjadi Putusan Tipikor Jika dicermati, Hakim lebih dahulu memutus bahwa PT. IM2 dan PT. Indosat melanggar regulasi telekomunikasi, lalu berlanjut memutus bahwa kerjasama IM2 dengan Indosat adalah tindak pidana korupsi. Pertama diputus “menggunakan alokasi frekuensi”, lalu berakibat hukum (diputus) “wajib membayar BHP-frekuensi”. Akhirnya, karena tidak membayar BHP- frekuensi radio, maka diputus Tipikor.
Pada paragraf pertama di atas, keterangan 3 ahli yang sudah dikenal luas di masyarakat karena kepakaran dalam teknik telekomunikasi, 7
Surat Menkominfo nomor 65/M.Kominfo/02/2012, tertanggal 24 Februari 2012, dan Surat Menkominfo nomor T-684/M.Kominfo/KU.04.01/11/2012, tertanggal 13 Nopember 2012. 481
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 463-484
dikalahkan oleh keyakinan awam Majelis Hakim yang mendasarkan putusan pada keterangan Ahli Heroe Wijanto yang sebenarnya sependapat dengan ketiga Ahli di atas, hanya saja keterangannya telah keliru dipahami. Pada paragraf kedua, Majelis Hakim mengesampingkan pula fatwa resmi dari Menteri yang menerbitkan Peraturan Menteri. Maka hukum tatanegara dan hukum tata usaha negara yang mana yang sebaiknya diterapkan dalam membina industri telekomunikasi nasional agar dapat terwujud sebagai infrastruktur ekonomi nasional?. XIV. Penutup Sungguh amat penting memahami perbuatan hukum telekomunikasi yang sarat ilmu teknis, bisnis, dan regulasi, karena akibat hukumnya bisa melahirkan putusan yang amat buruk dan merugikan terdakwa, keluarga terdakwa, penuntut, hakim, korporasi, dan seluruh rakyat. Predikasi atas perbuatan PT. IM2 seharusnya adalah “menggunakan jaringan seluler PT. Indosat”, tetapi oleh majelis hakim diberi predikasi “menggunakan alokasi pita frekuensi PT. Indosat”. Banyak pelajaran yang bisa didapat dari kasus telekomunikasi ini dalam rangka membangun Sistem Hukum dan Budaya Hukum yang ber-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang berKetuhanan YME. Harmoni antara Kementerian sebagai Regulator dan Lembaga Penegak Hukum perlu dibangun dengan menjunjung-tinggi Persatuan Indonesia. Melaksanakan tugas negara dengan penuh Hikmah Kebijaksanaan, berkomunikasi dengan semangat musyawarah untuk mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Daftar Pustaka International Telecommunication Union, ITU-Radio Regulation, Edisi 2012, Volume I~IV, (ITU, Geneva 2012). Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 Tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Peraturan Menteri Kominfo Nomor 01 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi. Keputusan Menteri Perhubungan nomor 21 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi.
482
Perbuatan Hukum dalam Kerjasama PT. IM2 dengan PT. Indosat, Nonot Harsono
Keputusan Menteri Kominfo Nomor 01 Tahun 2006 tentang Penataan Pita Frekuensi Radio 2.1 Ghz Untuk Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Seluler IMT-2000. Peraturan Menteri Kominfo Nomor 7 Tahun 2006 tentang Ketentuan Penggunaan Pita Frekuensi Radio 2,1 Ghz Untuk Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Seluler.
483
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 463-484
484
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PERIKANAN OLEH KAPAL PERANG REPUBLIK INDONESIA (KRI) DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG RI NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERIKANAN (Fisheries Law Enforcement of Navy Vessel of the Republic of Indonesia in the Perspective of Indonesian Law No.45 Year of 2009, Concerning Fishery)
Ketut Darmika Dinas Pembinaan Hukum Angkatan Laut Gedung B4 Lantai 5 Mabes TNI AL Cilangkap Jakarta Timur Email:
[email protected]
Abstrak Illegal fishing merupakan masalah serius yang harus segera ditanggulangi sebab sangat membahayakan kelestarian sumber daya dan merugikan secara ekonomi bagi negara. Berdasarkan Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 penyidik tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 69 ayat (4) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa tindakan khusus ini dilakukan tidak sewenang-wenang akan tetapi dilakukan apabila penyidik dan/atau pengawas perikanan yakin bahwa kapal ikan asing tersebut telah melakukan tindak pidana perikanan. Bagi Komandan KRI tindakan penembakan dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing harus memenuhi persyaratan adanya kondisi dimana kapal-kapal tersebut melakukan hal-hal yang bertentangan dengan proses pengejaran, penangkapan, pemeriksaan dan penyelidikan. Hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan bahwa tindakan penembakan atau penenggelaman kapal dan pemusnahan barang bukti kapal perikanan berbendera asing yang cukup bukti melakukan tindak pidana perikanan di WPP RI dalam praktek dapat dilakukan dengan cara pengejaran seketika, dalam proses penyidikan dan melaksanakan penetapan pengadilan. Akibat penenggelaman kapal tersebut tidak membawa pengaruh buruk terhadap hubungan persahabatan NKRI dengan negara terkait serta akan memberikan efek jera kepada para calon pelanggar tindak pidana perikanan yang lainnya. Tindakan tegas 485
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 485-500
Pemerintah terhadap para pelaku illegal fishing dilakukan sesuai dengan prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku. Kata kunci: Illegal Fishing, Legalitas Penyidik TNI AL, Penenggelaman Kapal Perikanan Berbendera Asing Abstract Illegal fishing is a serious problem that must be addressed because it is very harmful to the preservation of resources and economically detrimental for the country. According to Article 73 paragraph (1) of Law Number 45 Year 2009 investigation of criminal offenses in the field of fisheries carried out by the Civil Servant of Fisheries Investigators, Navy Investigators (TNI AL), and/or Police Investigator of the Republic of Indonesia. Furthermore, in Article 69 paragraph (4) the investigator and/or fisheries supervisor can perform specific actions such as burning and/or sinking of foreign-flagged fishing vessels based on sufficient preliminary evidence. In the explanation mentioned that special action is performed is not arbitrary but is done when the investigator and/or fisheries supervisor convinced that foreign fishing vessels that have committed the crime of fisheries. For the commander of KRI the act of shooting and/or sinking foreign fishing vessels must meet the requirements of the state where the vessels are doing things that are contrary to the pursuit, arrest, inspection and investigation, for example escape or resistance. Research results can be concluded that the act of shooting or sinking and exterminating evidence of foreign-flagged fishing vessels that sufficient evidence of a criminal act fisheries in WPP RI in practice can be done by means of hot pursuit, in the process of investigation and carry out the determination of the court. Due to the sinking of the vessel does not bring bad influence on Homeland relationships with the countries concerned and will provide a deterrent to potential offenders of other fisheries crime act. Government stern action against the perpetrators of the illegal fishing carried out in accordance with the procedures and provisions of applicable law. Keywords: Illegal Fishing, the Legality of the Navy (TNI AL) Investigators, Sinking Foreign Fishing Vessel A. Latar Belakang Masalah Maraknya kasus illegal fishing yang terjadi di wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia di ZEEI sangat merugikan bangsa Indonesia. Berdasarkan data audit BPK 2012 menemukan potensi pendapatan Negara hilang mencapai Rp.300 triliun/tahun akibat illegal fishing yang dilakukan oleh kapal-kapal ikan berbendera asing dengan menggunakan peralatanperalatan modern. Illegal fishing merupakan masalah serius yang harus 486
Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan oleh KRI, Ketut Darmika
segera ditanggulangi, Untuk itu, pemerintah menyatakan perang terhadap illegal fishing. Praktek illegal fishing untuk negara Indonesia dengan luas laut lebih dari 5 juta km2 memang bukan hal yang mudah untuk diatasi. Kent Sondakh (Kepala Staf Angkatan Laut 2002-2005) memasukkan pelanggaran hukum di laut sebagai bentuk ancaman karena berpotensi merusak perekonomian negara.1 Hal ini sejalan dengan apa yang telah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), menginstruksikan agar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) menenggelamkan ratusan kapal perikanan berbendera asing yang masuk ke perairan Indonesia secara ilegal. Menurut Presiden illegal fishing yang dilakukan oleh kapal asing selama ini telah merugikan negara cukup besar. Laporan menyebutkan setiap hari 5.400 kapal yang masuk perairan Indonesia tanpa izin.2 Kegiatan tindak pidana perikanan telah lama merugikan negara kita. Beberapa macam tindak pidana perikanan yang dalam dunia internasional dikenal dengan istilah “Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing” (IUU Fishimg) artinya penangkapan ikan yang illegal, tidak dilaporkan dan tidak sesuai aturan yang berlaku.3 Pengertian IUU Fishing secara harfiah dapat diartikan sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia.4 Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3.1, Pasal 3.2 dan Pasal 3.3 International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IPOA – IUU Fishing).5 a. Illegal Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan wilayah atau ZEE suatu negara, tidak memiliki ijin dari negara pantai. b. Unregulated Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut.
1
Camelia Sukmawati (et.al,), Laksamana Kent, Gagasan, Tindakan dan Harapan Bernard Kent Sondakh, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2014, hlm. 168 2 Rarasati Syarief, “Jokowi Ancam Tenggelamkan 100 Kapal Illegal Pencuri”, Koran Sindo, Jakarta, Rabu 19 November 2014, hlm. 5 3 Tommy Sihotang, “Masalah Illegal, Unregulated, Unreported Fishing & Penanggulangan Melalui Pengadilan Perikanan”, Jurnal Keadilan, Vol. 4. No. 2, Tahun 2005/2006, hlm. 58. 4 PSDKP Kendari, Mengenal IUU Fishing Yang Merugikan Negara 3 Trilyun Rupiah/ Tahun, Rabu 12 Maret 2008, http://p2sdkpkendari.com. 5 Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum Yang Hidup, Diadit Media, Jakarta, 2007, hlm. 125. 487
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 485-500
c.
Unreported Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik operaionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya.6 IUU Fishing dapat terjadi disemua kegiatan perikanan tangkap tanpa tergantung pada lokasi, target spesies, alat tangkap yang digunakan serta intensitas exploitasi. Dapat muncul di semua tipe perikanan baik skala kecil dan industri, perikanan di zona juridiksi nasional maupun internasional. TNI AL sebagai komponen utama pertahanan negara matra laut sesuai amanat Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dalam Pasal 9 huruf b TNI AL memiliki tugas “menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan internasional yang telah diratifikasi”.7 Tugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan mengandung arti bahwa TNI AL melaksanakan segala bentuk kegiatan yang berhubungan dengan penegakan hukum di laut sesuai dengan kewenangannya yang berlaku secara universal dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk mengatasi ancaman tindakan kekerasan, ancaman navigasi, serta pelanggaran hukum di wilayah laut yurisdiksi nasional. Penegakan hukum yang dilaksanakan oleh TNI AL, terbatas dalam lingkup pengejaran, penangkapan, penyelidikan dan penyidikan perkara yang selanjutnya diserahkan kepada Kejaksaan. Dalam melaksanakan pengejaran terhadap kapal yang diduga cukup bukti melakukan tindak pidana inilah insiden penembakan dan/atau penenggelaman kapal biasa terjadi. Berdasarkan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, menyatakan sebagai berikut:8 1. Kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. 2. Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilengkapi dengan senjata api. 3. Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan lebih lanjut.
Aji Sularso,”Permasalahan IUU Fishing”, Jakarta, Seminar, 2002. Lihat Pasal 9 huruf b Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. 8 Lihat Pasal 69 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 6 7
488
Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan oleh KRI, Ketut Darmika
4.
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Ketentuan Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 secara substansi dan redaksional menimbulkan penafsiran dalam penerapannya. Apakah tindakan khusus itu hanya diberikan kepada penyidik PPNS Perikanan atau termasuk penyidik Perwira TNI AL dan penyidik Polri. Berdasarkan ketentuan Pasal 73 ayat (1) penyidik tindak pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP RI) dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia . B. Permasalahan Berdasarkan deskripsi dari latar belakang di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana dasar hukum KRI melakukan penenggelaman kapal perikanan berbendera asing dalam rangka melaksanakan penegakan hukum tindak pidana perikanan di ZEEI? 2. Bagaimana status hukum barang bukti kapal yang sudah tenggelam di ZEEI dalam proses pembuktian? 3. Bagaimana implikasi penenggelaman kapal perikanan berbendera asing terhadap hubungan NKRI dengan negara bendera kapal? C. Dasar Hukum Komandan KRI Melakukan Penenggelaman Kapal Ikan Berbendera Asing TNI AL berdasarkan Pasal 9 huruf b Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia mempunyai tugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Tugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan mengandung arti bahwa TNI AL melaksanakan segala bentuk kegiatan yang berhubungan dengan penegakan hukum di laut sesuai dengan kewenangannya (constabulary function) yang berlaku secara universal dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk mengatasi ancaman tindakan kekerasan, ancaman navigasi, serta pelanggaran hukum di wilayah laut yurisdiksi nasional. Dengan demikian, kewenangan TNI AL sebagai penegak hukum dan penyidik tindak pidana di laut diperoleh secara atribusi yaitu kewenangan 489
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 485-500
yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini bersifat asli (original), yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang berkompeten.9 Komandan KRI mengemban amanah yang diberikan oleh undangundang yang salah satu tugasnya melaksanakan penegakan hukum dan sekaligus sebagai penyidik tindak pidana perikanan. Sebagai aparat penegak hukum dan penyidik tindak pidana perikanan rujukannya adalah KUHAP dan ketentuan hukum nasional maupun internasional yang telah diratifikasi. Dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum di laut, khususnya penanganan tindak pidana perikanan, KRI dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing. Agar dalam melaksanakan penenggelaman tidak menimbulkan pelanggaran dan permasalahan, perlu adanya kecermatan serta kepastian dasar hukumnya bagi Komandan KRI. Beberapa ketentuan perundangundangan baik nasional maupun internasional berkaitan legalitas Komandan KRI melaksanakan penenggelaman terhadap kapal ikan asing yang diduga cukup bukti melakukan tindak pidana perikanan sebagai berikut: 1. Hukum Nasional. Tindakan tegas terhadap para pelaku illegal fishing berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing dapat dilaksanakan pada saat dilakukan pemeriksaan di tengah laut (dalam proses penyidikan). Tindakan penenggelam kapal ikan berbendera asing dapat dilaksanakan pada saat dilakukan pemeriksaan di tengah laut berdasarkan ketentuan Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang menyatakan: “Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup”. Di dalam penjelasan Pasal 69 ayat (4) tersebut, Yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana di bidang perikanan 9
Nuryanto A. Daim, Hukum Administrasi Perbandingan Penyelesaian Maladministrasi Oleh Ombudsman dan Pengadilan Tata Usaha Negara, Laksbang, Surabaya, 2014, hlm. 42. 490
Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan oleh KRI, Ketut Darmika
oleh kapal perikanan berbendera asing, misalnya kapal perikanan berbendera asing tidak memiliki SIPI dan SIKPI, serta nyata-nyata menangkap dan/atau mengangkut ikan ketika memasuki wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia . Ketentuan ini menunjukkan bahwa tindakan khusus tersebut tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi hanya dilakukan apabila penyidik dan/atau pengawas perikanan yakin bahwa kapal perikanan berbendera asing tersebut betul-betul melakukan tindak pidana di bidang perikanan. Tindakan khusus yang diatur pada Pasal 69 ayat (4) secara substansial dan redaksional berpotensi menimbulkan problem yuridis dalam penerapannya, mengingat: Pasal 69 adalah ketentuan tentang Kegiatan Pengawas Perikanan (BAB XII) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Ketentuan tentang Tindakan Khusus sebagaimana diatur dalam ayat (4) secara tegas diimplementasikan dalam rangka melaksanakan ketentuan ayat (1) yang menyatakan: “Kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia Dengan demikian, penerapan ayat (4) semata-mata dalam konteks pelaksanaan fungsi kapal pengawas perikanan, bukan dilaksanakan oleh kapal-kapal patroli yang dimiliki oleh TNI AL dan atau Polri karena mereka bukanlah Kapal Pengawas Perikanan, meskipun kedua instansi tersebut, merupakan penyidik Tindak Pidana Perikanan (Pasal 73). Apabila penyidik TNI AL dan Polri diasumsikan memiliki kewenangan tersebut, seharusnya pengaturan kewenangan pembakaran dan/ atau penenggelaman kapal ikan berbendera asing, muncul dalam ketentuan Pasal 73A dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Kewenangan Penyidik), bukan pada ketentuan Pasal Pasal 69 ayat (4) dan Pasal 66C huruf k (wewenang Pengawas Perikanan). Namun demikian, Secara umum dalam melaksanakan penegakan kedaulatan dan hukum di laut, bagi unsur operasional TNI AL (KRI/Pesud) berlaku ketentuan Peraturan Kasal Nomor Perkasal 32/V/2009 tanggal 4 Mei 2009 tentang Prosedur Tetap Penegakkan Hukum dan Penjagaan Keamanan di Wilayah Laut Yurisdiksi Nasional oleh TNI AL. Dalam pelaksanaan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing KRI tetap berpedoman pada Protap Kamla. KRI akan melaksanakan pengamatan terhadap semua kapal yang dicurigai melaksanakan kegiatan illegal di perairan yurisdiksi Indonesia, selanjutnya menghentikan, memeriksa dan menentukan apakah kapal tersebut melakukan pelanggaran atau tidak. Jika tidak ditemukan bukti awal yang cukup maka kapal tersebut diijinkan melanjutkan pelayaran, tetapi jika 491
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 485-500
terdapat bukti permulaan yang cukup, maka KRI akan menangkap kapal tersebut dan dibawa ke pelabuhan/pangkalan terdekat dengan cara diadhock, digandeng dan/atau dikawal untuk menjalani proses hukum lebih lanjut. Tindakan penenggelaman kapal harus memenuhi persyaratan adanya kondisi dimana kapal-kapal illegal tersebut melakukan hal-hal yang bertentangan dengan proses pengejaran, penangkapan, pemeriksaan dan penyelidikan oleh KRI misalnya melarikan diri atau melakukan perlawanan. Peristiwa penembakan melalui pengejaran seketika (hot pursuit) oleh KRI terhadap kapal asing yang cukup bukti diduga melakukan tindak pidana sebagaimana yang dijelaskan pada tahapan-tahapan di atas, dapat dicontohkan dalam kasus penembakan kapal ikan China Qionghai-09028 oleh KRI Kerapu (KRP-812) pada tanggal 11 Maret 2010 di sekitar perairan laut Sulawesi (ZEEI). Selanjutnya tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal yang telah disita oleh penyidikan. Berdasarkan Pasal 76A Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa “Benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan Ketua Pengadilan Negeri. Peristiwa pemusnahan/ penenggelaman kapal ikan berbendera asing yang diberi kewenangan kepada penyidik TNI AL adalah melaksanakan perintah pengadilan. Data pemusnahan barang bukti kapal perikanan berbendera asing sejak bulan Desember 2014 sampai dengan bulan Maret 2015 ada 12 kapal ikan asing. Namun data terakhir s/d bulan Mei 2015 sudah ada 41 kapal ikan asing yang dimusnahkan/ditenggelamkan oleh TNI AL. 2.
Hukum Internasional Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982 (UNCLOS 1982) melalui Undang-Undang RI No 17 Tahun 1985. Berikut ini beberapa ketentuan dalam UNCLOS 1982 yang dapat dijadikan dasar hukum bagi TNI AL (KRI) dalam penegakan hukum di laut: 1. Batasan Kapal Perang Pasal 29 UNCLOS 1982: “Untuk maksud konvensi ini “kapal perang” berarti suatu kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu Negara yang memakai tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando seorang perwira yang diangkat untuk itu oleh Pemerintah Negaranya yang namanya terdapat di dalam daftar dinas militer yang tepat atau daftar serupa, dan
492
Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan oleh KRI, Ketut Darmika
2.
3.
4.
5.
yang diawaki oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata regular”.10 Kapal perang suatu negara harus memenuhi unsur-unsur tertentu sesuai dengan ketentuan hukum internasional. Adanya eksklusivitas kapal perang disebabkan peran kapal perang yang sangat berbeda dengan kapal-kapal lainnya, perbedaan yang menonjol adalah adanya imunitas terhadap kapal perang tersebut. Penegakan peraturan perundang-undangan negara pantai, Pasal 73 UNCLOS 1982. “negara pantai dapat melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan penggelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundangundangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan konvensi ini; Hak melakukan pemeriksaan, Pasal 110 UNCLOS 1982. Dalam Pasal 110 memberikan kewenangan penuh kepada Kapal perang suatu negara untuk melakukan pemeriksaan terhadap kapal-kapal yang mengganggu yurisdiksi suatu negara. Sesuai Pasal 95 dan 96 UNCLOS 1982 bahwa Kapal perang adalah kapal yang dimiliki atau dioperasikan oleh suatu Negara dan digunakan hanya untuk dinas pemerintah non-komersial di laut lepas, memiliki kekebalan penuh terhadap yurisdiksi negara manapun selain negara bendera. Hak Pengejaran Seketika (hot fursuit) Pasal 111. Pengejaran seketika suatu kapal asing dapat dilakukan apabila pihak yang berwenang dari negara pantai mempunyai alasan cukup untuk mengira bahwa kapal tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan negara pantai. Hak pengejaran seketika dapat dilakukan hanya oleh kapal-kapal perang atau pesawat udara militer atau kapal-kapal atau pesawat udara lainnya yang diberi tanda yang jelas dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara dalam dinas pemerintah dan berwenang untuk melakukan tugas itu. Pelaksanaan wewenang pemaksaan pentaatan oleh kapal perang dan kapal dinas pemerintah (Pasal 224). “wewenang
10
Markas Besar Angkatan Laut Dinas Pembinaan Hukum, Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Tentang Hukum Laut (Unclos 1982), Dijen Politik Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 27. 493
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 485-500
untuk pemaksaan pentaatan terhadap kendaraan air asing hanya dapat dilaksanakan oleh pejabat-pejabat atau oleh kapal-kapal perang, pesawat udara militer atau kapal laut lainnya atau pesawat udara yang mempunyai tanda jelas dan dapat dikenal yang berada dalam dinas pemerintah dan berwenang melakukan tindakan-tindakan itu”.11 D. Status Hukum Barang Bukti Kapal yang Sudah Tenggelam dalam Proses Pembuktian Perihal status barang bukti berupa kapal ikan berbendera asing yang tenggelam akibat dilakukan penembakan oleh Komandan KRI dapat dianalisa sebagai berikut: 1. Alat bukti yang sah. Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: 1. Keterangan Saksi. 2. Keterangan Ahli. 3. Surat. 4. Petunjuk. 5. Keterangan Terdakwa. Kelima alat bukti inilah yang digunakan oleh aparat penegak hukum dalam memeriksa dan mengungkap suatu perkara pidana termasuk tindak pidana perikanan. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian.12 2. Barang bukti KUHAP tidak secara jelas menyebutkan tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu: a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang
11
Ibid, hlm 205. Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 19 12
494
Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan oleh KRI, Ketut Darmika
bukti.13 Pengertian benda sitaan erat sekali kaitannya dengan barang bukti karena benda sitaan adalah barang bukti dari suatu perkara pidana yang disita oleh aparat penegak hukum yang berwenang guna kepentingan pembuktian di sidang pengadilan. Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat (1) KUHP).14 Juga kapal ikan yang sudah telah terbakar/tenggelam dalam proses penyidikan di tengah laut. Tindakan penyidik diperkuat dengan dikeluarkannya Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Barang Bukti Kapal Dalam Perkara Pidana Perikanan yang memberikan penguatan kepada penyidik dan/atau pengawas perikanan untuk melakukan tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing. Pada prinsipnya Mahkamah Agung RI mendukung harapan pemerintah untuk memberikan hukuman yang menimbulkan efek jera bagi terdakwa, perusahaan, pemilik/operator kapal yang melakukan tindak pidana perikanan di wilayah kedaulatan hukum laut Indonesia. Untuk memberikan efek jera bagi pelaku dan korporasinya, maka barang bukti kapal yang digunakan untuk melakukan kejahatan pencurian ikan di laut dapat ditenggelamkan atau dimusnahkan. Teknis hukum tentang pemusnahan kapal telah diatur sesuai ketentuan Pasal 69 ayat (4) UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo Pasal 76A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo Pasal 38, Pasal 45 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Sesuai ketentuan tersebut maka pemusnahan kapal ditentukan sebagai berikut:15 a. Terhadap Pasal 69 ayat (4) dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Terhadap Pasal 69 ayat (4) ini, Ketua Pengadilan Negeri tidak 13
Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1986, hlm. 14 14 Ratna Nurul Afiah, O. Cit, hlm.19 15 Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Barang Bukti Kapal Dalam Perkara Pidana Perikanan, tanggal 5 Maret 2015. 495
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 485-500
mempunyai kewenangan untuk memberikan persetujuan. Bahwa kapal yang terlibat kejahatan pencurian ikan di laut yang telah disita oleh penyidik secara sah menurut hukum dan dijadikan barang bukti maka apabila hendak dimusnahkan atau dilelang, penyidik harus meminta persetujuan Ketua Pengadilan Negeri setempat. c. Apabila perkara telah dilimpahkan ke pengadilan tingkat pertama, banding dan kasasi maka persetujuan pemusnahan diterbitkan oleh ketua yang bersangkutan, namun apabila perkara telah dilimpahkan ke majelis, maka persetujuan pemusnahan diterbitkan oleh majelis hakim yang bersangkutan. Berdasarkan uraian di atas, pada poin a maka jelaslah bahwa dalam tindak pidana perikanan, meskipun barang bukti kapal sudah ditenggelamkan oleh penyidik pada saat pemeriksaan di laut, proses hukumnya masih dapat dilanjutkan ke tahap penyidikan, penuntutan dan tahap persidangan di pengadilan. Proses Penenggelaman kapal pelaku illegal fishing, tanpa harus melalui persetujuan Pengadilan Negeri setempat. Terkait barang bukti yang akan dihadirkan pada saat persidangan, dapat berupa dokumentasi baik menggunakan kamera maupun audio visual (video), ikan hasil tangkapan yang disisihkan untuk kepentingan pembuktian serta dengan membuat berita acara pembakaran dan/atau penenggelaman kapal sepanjang peristiwa tersebut didukung oleh minimal dua alat bukti yang sah. b.
E. Implikasi Penenggelaman Kapal Ikan Asing terhadap Hubungan NKRI dengan Negara Bendera Kapal Kebijakan pemerintah Indonesia menenggelamkan kapal-kapal ikan asing yang terbukti melakukan illegal fishing di wilayah perairan Indonesia menuai berbagai reaksi pro dan kontra, banyak yang mendukung tapi juga tak sedikit yang menolak, demikian pula dengan protes dari negara bendera kapal. Sebenarnya kebijakan tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap hubungan persahabatan antar negara-negara. Dari sekian banyak negara yang nyata-nyata melakukan keberatan atas kebijakan penenggelaman kapal adalah Thailand, dimana negara tersebut secara resmi membuat surat keberatan ditujukan kepada pemerintah Indonesia. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berupa pemidanaan dalam bentuk apapun, tidak dapat dibatalkan oleh kekuasaan pemerintahan di luar lingkup badan peradilan. Dengan kata lain, putusan tersebut tidak dapat diganggu gugat. Putusan pidana akan menimbulkan efek jera jika pemidanaan yang dijatuhkan setimpal dengan perbuatan jahat yang dilakukan oleh si terdakwa, hal ini akan 496
Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan oleh KRI, Ketut Darmika
mempengaruhi suasana mental secara luas agar tidak melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh si terdakwa.16 Instruksi Presiden Republik Indonesia kepada TNI AL untuk menenggelamkan kapal ilegal, tidak melanggar hukum baik hukum nasional maupun internasional. Untuk itu negara lain harus menghormati proses penegakan hukum dan pengadilan yang dilakukan oleh Indonesia. Hal ini merujuk kepada asas-asas hukum pidana yang berlaku di Indonesia, salah satunya adalah asas teritorialitas. Titik berat asas teritorialitas adalah pada tempat atau teritorial terjadinya tindak pidana. Dengan demikian, berdasarkan asas teritorial ini maka setiap orang, baik orang Indonesia maupun orang asing yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah atau teritorial Indonesia, harus tunduk pada aturan pidana Indonesia.17 Jadi kesimpulannya bahwa penenggelaman kapal pelaku illegal fishing Tidak membawa pengaruh buruk terhadap hubungan persahabatan NKRI dg negara berbendera kapal. 1. Tindakan penembakan dan/atau pembakaran memiliki dasar hukum yang sah yaitu Pasal 69 ayat (4) UU RI Nomor 45 Th 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 2. Tindakan pemusnahan kapal berdasarkan Penetapan Pengadilan (Pasal 76A). 3. Dilakukan sesuai dengan prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku. 4. Akan memberikan efek jera kepada para calon pelanggar tindak pidana perikanan yang lainnya. F. Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa: 1. Penembakan dan penenggelaman kapal ikan berbendera asing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP RI) merupakan tindakan khusus yang diambil oleh Komandan KRI dalam rangka penegakan hukum di bidang perikanan. Proses dan prosedur penembakan dan penenggelaman kapal ikan berbendera asing dapat dilaksanakan dalam hal pengejaran seketika maupun melaksanakan penetapan pengadilan. Tindakan Komandan KRI secara substansi dan prosedur dapat dibenarkan sesuai wewenang yang dimiliki baik dalam kapasitasnya sebagai aparat penegak hukum maupun sebagai penyidik tindak pidana perikanan. Adapun legalitas Komandan KRI melakukan 16
Ibid, hlm.43. Nurfika Maliq, “Berlakunya Asas Teritorialitas dan Asas Universalitas Dalam Hukum Pidana Indonesia”, fikamaliq. blogspot.com/2011/11/berlakunya-asas-teritorialitas-danasashtml. Diunggah pada hari Kamis, tanggal 2 April 2015, pkl. 13.35. 17
497
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 485-500
2.
3.
498
tindakan penembakan dan penenggelaman kapal ikan berbendera asing, sebagai berikut: a. Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. b. Di lingkungan TNI AL, pemeriksaan di laut bagi unsur operasional TNI AL (KRI/Pesud) berpedoman kepada ketentuan Peraturan Kasal Nomor Perkasal 32/V/2009 tanggal 4 Mei 2009 tentang Prosedur Tetap Penegakan Hukum dan Penjagaan Keamanan di Wilayah Laut Yurisdiksi Nasional oleh TNI AL. c. Melaksanakan Penetapan Pengadilan yang memberikan ijin kepada Penyidik TNI AL untuk melakukan pemusnahan/ penenggelaman barang bukti kapal ikan berbendara asing. d. Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982 (UNCLOS 1982) melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985, tepatnya Pasal 29, Pasal 73, Pasal 110 Pasal 111 dan Pasal 224. Barang bukti berupa kapal ikan berbendera asing yang sudah ditenggelamkan oleh penyidik, proses hukumnya masih dapat dilanjutkan ke proses penyidikan, penuntutan dan proses persidangan di pengadilan, sepanjang peristiwa tersebut didukung oleh minimal dua alat bukti yang sah. Terkait barang bukti yang akan dihadirkan pada saat persidangan, dapat berupa dokumentasi baik menggunakan kamera maupun audio visual (video), ikan hasil tangkapan yang disisihkan untuk kepentingan pembuktian serta membuat Berita Acara pembakaran dan/atau penenggelaman kapal. Ketentuan ini telah diperkuat dengan dikeluarkannya Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Barang Bukti Kapal Dalam Perkara Pidana Perikanan. Instruksi Presiden Republik Indonesia kepada TNI AL untuk menembak, membakar dan memusnahkan kapal ikan berbendera asing yang cukup bukti melakukan tindak pidana perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia tidak membawa pengaruh buruk terhadap hubungan persahabatan antar negara. Adapun alasan yang dapat dijadikan argumentasi terhadap perintah untuk menembak, membakar dan memusnahkan kapal ikan berbendera asing yang cukup bukti melakukan tindak pidana perikanan adalah: a) tindakan penembakan dan pembakaran memiliki dasar hukum yang sah yaitu Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan berdasarkan Penetapan Pengadilan (Pasal 76A). b) Tindakan tegas dari Pemerintah Indonesia terhadap para pelaku
Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan oleh KRI, Ketut Darmika
illegal fishing oleh kapal perikanan berbendera asing berupa penenggelaman, sudah dilakukan sesuai dengan prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku. c) Penenggelaman kapal ikan yang melakukan illegal fishing akan memberikan efek jera kepada para calon pelanggar tindak pidana perikanan yang lainnya.
Daftar Pustaka Camelia Sukmawati (et.al,), Laksamana Kent, Gagasan, Tindakan dan Harapan Bernard Kent Sondakh, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2001. Lawrence M Friedman, American Law: an Introduction, 2nd Edition, PT. Tata Nusa, Jakarta, 2001. Markas Besar Angkatan Laut Dinas Pembinaan Hukum, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut (Unclos 1982), Dijen Politik Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta, 2007 Rarasati Syarief, “Jokowi Ancam Tenggelamkan 100 Kapal ilegal Pencuri”, Koran Sindo, Jakarta, Rabu 19 November 2014. Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana,, Sinar Grafika, Jakarta, 1986. Rusli Muhammad, Hukum Acara Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2007, hlm. 185- 192, lihat juga Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Sidik Sunaryo, Sidik Sunaryo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011. Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983. Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi, Mandar Maju, Bandung, 2001. Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum Yang Hidup, Diadit Media, Jakarta, 2007. Nuryanto A. Daim, Hukum Administrasi Perbandingan Penyelesaian Maladministrasi Oleh Ombudsman dan Pengadilan Tata Usaha Negara, Laksbang, Surabaya, 2014. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 499
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 485-500
Aji Sularso,”Permasalahan IUU Fishing”, Jakarta, Seminar, 2002. Tommy Sihotang, “Masalah Illegal, Unregulated, Unreported Fishing dan Penanggulangan Melalui Pengadilan Perikanan”, Jurnal Keadilan, Vol. 4. No. 2, Tahun 2005/2006. Nurfika Maliq, “Berlakunya Asas Teritorialitas dan Asas Universalitas Dalam Hukum Pidana Indonesia”, fikamaliq. blogspot.com/2011/11/ berlakunya-asas-teritorialitas-dan-asashtml. Diunggah pada hari Kamis, tanggal 2 April 2015. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Barang Bukti Kapal Dalam Perkara Pidana Perikanan, tanggal 5 Maret 2015. Jieanggie, “Penegakan Hukum di Indonesia”, http://www.jieanggie.blogspot.com/2012/03/ penegakan- hukum- diIndonesia_17.html, diakses pada hari Jumat, tanggal 5 September 2014. PSDKP Kendari, Mengenal IUU Fishing Yang Merugikan Negara 3 Triliun Rupiah/Tahun, Rabu 12 Maret 2008, http://p2sdkpkendari.com.
500
PENGIRIMAN TENAGA KERJA MIGRAN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK PERBUDAKAN MODERN DARI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Migrant Workers, a New Modern-Day Form of Slavery, is a Part of Human Trafficking Crime)
Henny Nuraeny Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Jl. Pasir Gede Raya, Cianjur, Jawa Barat Email:
[email protected]
Abstrak Indonesia merupakan salah satu negara pengirim Tenaga Kerja Migran (migrant worker) terbesar di Asia. Pengiriman Tenaga Kerja Migran umumnya dilakukan dengan berbagai cara, baik legal ataupun illegal. Pengiriman Tenaga Kerja Migran illegal selalu dihubungkan dengan perbudakan sebagai salah satu bentuk dari tindak pidana perdagangan orang. Tindak Pidana Perdagangan Orang dapat terjadi dalam berbagai bentuk, namun biasanya bertujuan untuk mengeksploitasi korban guna mendapatkan keuntungan. Sekalipun berbagai rencana strategis dalam upaya penanggulangan sudah direncanakan dan dilaksanakan, namun realita dalam masyarakat masih banyak kendala yang dihadapi dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang dengan modus pengiriman Tenaga Kerja Migran. Oleh karena itu diperlukan kerjasama dan sinergitas antara semua Komponen dalam masyarakat, aparat penegak hukum dan Pemerintah. Kata kunci: Pekerja Migran, Perbudakan, Perdagangan Orang Abstract Indonesia in one of the sending country of labour migrants in Asia. The delivery of migrant workers are generally carried out in a variety of ways, legal or the illegal. The delivery of migrant workers illegal is always associated with slavery as a form of criminal act of trafficking. Criminal act of trafficking can happen in various forms, but usually aims to exploits victims in order to benefit. Though a variety of strategic plan in prevention efforts already planned and implemented, but the reality in people are still many obstacles faced in the prevention of criminal trafficking with the mode of delivery of migrant workers. Therefore necessary cooperation and united fleets weapons between all components of society, law enforcement officers and government. 501
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 501-518
Keywords: Migrant Worker, Slavery, Trafficking A. Pendahuluan Pembangunan nasional yang dilakukan dewasa ini bertujuan untuk mengejar sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia, yang ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan penduduk, menciptakan kemandirian, keadilan, serta menjunjung tinggi moral agama. Namun dalam realitanya, masih ada rakyat Indonesia yang belum mendapatkan kesejahteraan, bahkan cenderung menjadi “budak” dan tidak selaras dengan rencana pembangunan bangsa dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Hak asasi (fundamental right) merupakan hak dasar (grounded), pokok dan prinsipil. 1 Hal ini berati bahwa hak seseorang itu mempunyai keistimewaan, terutama karena HAM merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.Manusia tidak menciptakannya dan tidak dapat mencabutnya. HAM menjadi tanggung jawab bagi setiap pihak untuk menjaga dan melindunginya, baik negara, hukum, masyarakat maupun setiap individu dimana pun dan kapan pun. HAM terdiri dari hak dibidang sipil, politik, sosial, ekonomi, bahkan hak untuk hidup bebas dari ancaman yang merendahkan harkat dan martabat dari kemanusiaan.2 Salah satu perbuatan yang dianggap merendahkan harkat dan martabat manusia adalah adanya perbudakan. Dewasa ini Indonesia merupakan salah satu negara pengirim Tenaga Kerja Migran (migrant wolker) terbesar di Asia. Pengiriman Tenaga Kerja Migran umumnya dilakukan dengan berbagai cara, baik legal ataupun illegal. Pengiriman illegal selalu dihubungkan dengan “perbudakan” sebagai salah satu bentuk dari tindak pidana perdagangan orang. Pemerintah sangat memperhatikan fenomena dan realita adanya “perbudakan” (disebut juga sebagai perbudakan modern), sebagai salah satu modus dari tindak pidana perdagangan orang terutama terhadap perempuan dan anak. Perempuan dan anak lebih dilindungi daripada kaum laki-laki, karena perempuan dan anak sangat rentan dengan kekerasan, terutama perdagangan orang yang merupakan perwujudan dari perbudakan modern. Sementara perdagangan orang selain melanggar HAM, juga memuat aspek-aspek yang bertentangan dengan perlindungan dan juga berlawanan dengan kesejahteraan umum. Lebih-lebih praktek perdagangan orang selalu disertai dengan berbagai tindak ancaman dan kekerasan, sehingga menimbulkan ketersiksaan bagi si korban pada masa depannya, apalagi korban perdagangan orang pada umumnya adalah pihak yang dalam kondisi tidak 1
Pius A Prananto dan M Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 48. 2 Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat in Court System & out System, (Jakarta: Gramata Publishing 2011), hlm. 7. 502
Pengiriman Tenaga Kerja Migran sebagai Perbudakan Modern, Henny Nuraeny
berdaya baik, secara fisik (perempuan dan anak-anak), psikis, maupun ekonomi. Atas dasar itulah kemudian pemerintah Indonesia melakukan upaya atau kebijakan hukum, dengan cara meratifikasi beberapa konvensi internasional yang berhubungan dengan hak asasi manusia. Menurut Blacks Law Dictionary perbudakan/slavery adalah A Situational in which one person has absolute power over the live, fortune, and liberty of another. Slavery was big problem for the Constitution makers. Those who profited by it insisted on protecting it; those who loathed it dreaded even more the prospect that to insist on abolition would mean that the Constitution would die aborning. So the framers reached a compromise, of sorts. The words “slave” and “slavery” would safeguard the ‘peculiar institution’ from the abolitionist.3 Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, perbudakan diartikan sama dengan hamba atau memperlakukan sebagai budak, segala sesuatu mengenai budak belian.4 Dalam perkembangannya bentuk perbudakan yang dewasa ini banyak terjadi adalah pengiriman buruh migran yang mengarah pada perbudakan dan merupakan salah satu bentuk dari “perdagangan orang”, yang merupakan kejahatan yang sudah meluas, sehingga menimbulkan ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara, serta terhadap normanorma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu perlu semangat untuk mencegah, menanggulangi, dan bahkan memberantas perdagangan orang yang dilandasi nilai-nilai luhur, komitmen nasional, dan bahkan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama. Atas dasar semangat itulah Pemerintah Indonesia mengundangkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), sebagai upaya penegakan hukum yang komprehensif dan integral. B. Permasalahan 1. Mengapa pengiriman tenaga kerja migran sering disebut sebagai perbudakan modern? 2. Mengapa perbudakan dimasukkan sebagai tindak pidana perdagangan orang?
3
Bryan A. Garner, Blacks Law Dictionary, ninthedition, (USA: West Group St Paul, 2009), hlm. 1393. 4 Anton M. Moeliono (ed), KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA, (Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1993), hlm. 156. 503
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 501-518
C. Metode Penulisan 1. Pendekatan Metode adalah cara yang berfungsi untuk mencapai tujuan. Metode merupakan suatu cara tertentu yang di dalamnya mengandung suatu teknik yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu.5 Penelitian ini menggunakan metode normatif/yuridis normatif, yaitu penelitian yang tidak menggunakan perhitungan-perhitungan (angka-angka), namun mencoba melihat hubungan antara manusia dan budaya hukumnya. 2.
Spesifikasi Penulisan Spesifikasi penulisan ini adalah bersifat deskriptif analisis, sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian ini. Deskriptif ini bukan dalam arti sempit, artinya dalam memberikan gambaran tentang fenomena yang ada dilakukan sesuai dengan metode penelitian. Fakta-fakta yang ada digambarkan dengan interpretasi, evaluasi dan pengetahuan umum, karena fakta tidak mempunyai arti tanpa interpretasi, evaluasi dan pengetahuan umum.6 3.
Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini, data-data diambil dari berbagai sumber, terutama menggunakan data sekunder dengan bahan hukum primer berupa: a. Bahan Hukum Primer, yaitu: 1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana. 3. Undang-Undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 4. Peraturan Menteri No.25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 Tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan TPPO dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) tahun 2009 – 2012 b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu: Berupa Buku-buku dan hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu: Kamus, Jurnal, dan Koran.
5
Arief Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, (Surabaya: Usaha Nasional, 1997), hlm. 11. 6 Nawawi H. Hadari, Methode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), hlm. 61. 504
Pengiriman Tenaga Kerja Migran sebagai Perbudakan Modern, Henny Nuraeny
D. Pembahasan Menurut sejarah di Indonesia, perbudakan sudah dimulai sejak masa kolonial di Hindia Belanda pada tahun 1854 ketika pemerintah (Raja) dan Parlemen Belanda mengundangkannya dalam Wet (Undang-Undang) Belanda No. 2 Tahun 1854 (Staatblad No.2 Tahun 1855) yaitu Reglement op het Beleid der Regering van Nederlands – Indie (RR) yaitu dalam Pasal 169 yang menentukan paling lambat 1 Januari 1860 perbudakan di Hindia Belanda sudah harus dihapus total. Upaya ini kemudian diimplementasikan dalam Wetboek van Strafrecht (KUH Pidana Hindia Belanda), walaupun baru sebatas peraturan normatif saja, karena dalam kenyataannya belum dijalankan.7 Hal ini karena pemerintah kolonial di Hindia Belanda masih melaksanakan perbudakan walaupun dengan alasan-alasan politis tertentu. Salah satu alasan pemerintah kolonial masih mempertahankan adanya perbudakan, karena wilayah Hindia Belanda adalah Negara jajahan, dimana pada Negara jajahan menerapkan sistem hukum yang berlaku harus bersifat memaksa dan mengatur agar stabilitas di negara jajahan tetap berjalan. Warga jajahan tidak boleh sama kedudukannya, termasuk di depan hukum. Atas dasar itu, walaupun secara normatif pelanggaran HAM yang berupa perbudakan sudah di atur dan dilindungi, namun dalam realitanya tidak berjalan. Disamping itu, hal ini dipengaruhi oleh pemikiran dari Jean Bodin yang menyatakan bahwa Raja memiliki hak mutlak untuk mengikat rakyatnya melalui undang-undang yang disusunnya, dan menurut Thomas Hobes bahwa kehidupan manusia di alam bebas penuh dengan pertentangan dan peperangan yang akan menghasilkan kehancuran. Oleh karena itu perlu adanya kesepakatan dari masyarakat untuk menyerahkan kekuasaan negara kepada Raja.Raja yang mendapat mandat dari masyarakat memiliki hak mutlak (absolut). Sementara itu John Locke (1632-1704), Pemikir (Filsuf) yang mendukung negara hukum dan HAM menyatakan bahwa “setiap individu memiliki hak-hak kodrati, seperti hak hidup dan lain-lain, sedangkan peranan Raja dan Pemerintah harus melindungi hak-hak tersebut dan tidak boleh melanggar.”8 Kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk tidak menegakkan/ memberlakukan HAM di negara jajahan dipengaruhi juga oleh budaya hukum yang dimiliki oleh Negara Belanda, bahwa kekuasaan Raja sangat mutlak, termasuk untuk mendapat penghormatan dari seluruh warga di negara jajahan. 7
L.M. Gandhi Lapian & Hetty A. Geru, Trafficking Perempuan dan Anak Penanggulangan Komprehensif Studi Kasus: Sulawesi Utara, (Jakarta: Kerja sama Yayasan Obor, Convention Watch, Pusat Kajian Perempuan Universitas Indonesia dan NZAID, 2006), hlm. 47. 8 Mansyur Effendi, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional, Cetakan Pertama, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 28 - 29. 505
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 501-518
Budaya hukum sebagaimana dipahami oleh Lawrence M. Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya.9 Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum sistem hukum tidak akan berdaya. Oleh karena itu, suatu institusi hukum akan menjadi hukum yang benar-benar diterima dan digunakan oleh masyarakat ataupun suatu komunitas tertentu sangat ditentukan oleh budaya hukum masyarakat/komunitas yang bersangkutan. Ironisnya hukum yang merupakan kebijakan pemerintah sering kontradiktif dan tidak diimbangi dengan tindakan yang riil untuk benar– benar mewujudkan keadaan yang kondusif dengan nilai-nilai dalam tatanan kehidupan masyarakat, terutama terhadap pelanggaran HAM dengan berbagai modus dan jenis pelanggarannya, terhadap penegakan hukum. Upaya penegakan hukum dalam membersihkan wilayah terutama daerah yang disinyalir sebagai daerah yang banyak pelanggaran HAM perlu ditingkatkan. Salah satu kontradiktif antara kebijakan pemerintah yang didasari budaya hukum yang berupa nilai-nilai agama dan budaya, masih adanya usaha-usaha yang telah dilakukan baik secara perorangan maupun kelompok, yang memfasilitasi praktek-praktek pekerjaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan budaya masyarakat Indonesia yaitu perdagangan orang dengan modus pengiriman tenaga kerja/buruh migran baik tingkat domestik (dalam negeri), maupun tingkat publik (ke luar negeri). Atas dasar itu, pemerintah kemudian membuat kebijakan yang merupakan suatu upaya dalam mendukung pembangunan, khususnya pembangunan hukum. Setiap pembangunan dibidang apapun diperlukan peraturan hukum, karena setiap pembangunan tidak akan berarti apabila tidak diikuti oleh aturan hukum.10 Hubungan hukum dengan pembangunan sangatlah imperatif, karena hukum dapat membantu mengantarkan masyarakat kearah pembangunan serta menampung akibat-akibat yang timbul dari pembangunan tersebut. Konflik yang terjadi antara hukum dan pembangunan, beragam bentuk dan macamnya. Realita yang ada adalah banyak warga masyarakat yang pola dan gaya hidupnya berubah mengikuti perkembangan jaman (konsumtif). Keadaan ini akan memprihatinkan, apabila tidak disertai peraturan dan yang mengacu pada nilai-nilai dan budaya masyarakat, mulai dari tingkah laku, gaya hidup sampai pada nilainilai yang bersumber pada pemahaman budaya dan agama.
9
Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction, alih Bahasa Wisnu Basuki, (Jakarta: PT. Tata Nusa, 2001), hlm. 8. 10 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980), hlm. 131. 506
Pengiriman Tenaga Kerja Migran sebagai Perbudakan Modern, Henny Nuraeny
Secara umum, perubahan–perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai sistem nilai-nilai, norma-norma, pola-pola perilaku, organisasi, susunan lembaga-lembaga sosial, stratifikasi, kekuasaan, interaksi sosial dan sebagainya.11 Diantara budaya masyarakat Indonesia yang mempengaruhi adanya tindak pidana perdagangan orang adalah faktor ekonomi, pendidikan, lingkungan dan pola hidup yang konsumtif. Keadaan ini sangat mempengaruhi dan mendorong masyarakat untuk bekerja dengan cepat dan mendapatkan imbalan penghasilan yang tinggi. Oleh karena itu perubahan sosial masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut di atas, dan untuk mengatasinya diperlukan berbagai kebijakan terutama kebijakan dibidang hukum. Berbagai kebijakan dan peraturan hukum yang diciptakan ini tentu mempunyai tujuan, yaitu untuk kesejahteraan manusia (Social welfare) dalam pergaulan hidupnya. Atas dasar itu hukum sebaiknya ditaati, diikuti dan dilaksanakan, karena itu hukum disatu tempat harus sesuai dengan kondisi sosial (budaya hukum) masyarakatnya. Jika tidak, maka hukum tersebut tidak akan berjalan secara efektif. Demikian juga dengan supremasi hukum sangat berkaitan dengan penegakkan hukum. Mengingat fungsi hukum sebagai sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat (law as a tool of social engineering). Menurut Roscoe Pound, hukum harus dapat melindungi kepentingan umum (public interest); kepentingan masyarakat (social interest); dan kepentingan pribadi (private interest). Berdasarkan pemikiran antara hukum dan masyarakat inilah konsep Roscoe Pound kemudian di Indonesia dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yang melahirkan Teori Hukum Pembangunan di Indonesia. Teorinya dipengaruhi oleh pandangan Roscoe Pound, yang menyatakan bahwa peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin perubahan yang terjadi secara teratur, yang dibantu oleh undang-undang, Keputusan Hakim dan Kombinasi keduanya.12 Atas dasar itu, maka hukum juga berperan sebagai alat untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik. Kenyataan yang ada sekarang, sebagian besar masyarakat kurang mempercayai hukum, baik terhadap aparat penegak hukum maupun lembaga peradilan, sehingga tindakan masyarakat cenderung main hakim sendiri. Tindakan ini diantaranya diakibatkan karena kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap jaminan keadilan yang diberikan oleh hukum.
11
Soerjono Soekanto, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hlm.1. 12 Mochtar Kusumaatmaja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Cet ke-2, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 19–20. 507
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 501-518
Realita lainnya, dewasa ini kesejahteraan masyarakat belum merata, baik antar daerah maupun antar negara. Di negara berkembang identik dengan masyarakat miskin, sedangkan di negara maju terkesan dengan kekayaan dan sumber penghidupan yang mudah, sehingga menimbulkan minat untuk migrasi bagi warga negara berkembang ke negara maju. Potensi migrasi ini dipengaruhi juga oleh potensi dan kekayaan suatu negara, terutama yang berhubungan dengan masalah sosial, politik dan ekonomi. Secara umum, aktivitas migrasi umumnya berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi, politik dan sosial (terutama perubahan pola konsumsi masyarakat). Demikian juga dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan berbagai modus sudah di atur dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), sekalipun sudah diancam dengan sanksi pidana, tetapi dalam pelaksanaannya perbuatan ini masih banyak dilakukan, bahkan dijadikan mata pencarian atau sumber nafkah kehidupan keluarga. Dilihat dari efektivitasnya, ternyata peraturan ini tidak efektif. Penyebabnya tentu berbagai macam alasan, dapat karena faktor ekonomi, faktor lingkungan, faktor pendidikan, dan proses penegakan hukum yang tidak efektif atau bahkan faktor–faktor lainnya, seperti ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi hukum, karena menganggap tidak akan mendapatkan keadilan. Pengiriman Tenaga Kerja Migran sebagai Salah Satu Bentuk Perbudakan Modern dari Tindak Pidana Perdagangan Orang Secara historis, perbudakan telah berkembang sejak beberapa ribu tahun yang lalu yang diawali dengan adanya penaklukan atas suatu kelompok oleh kelompok lainnya, kelompok yang kuat dan mempunyai kekuasaan akan menguasai kelompok yang lemah. Kekuasaan ekonomi dan politik menjadi sumber dan peluang untuk dapat berkembangnya perbudakan, sebagai konsekuensi dari penaklukan yang dibayar dengan ‘pengabdian mutlak’. Di Benua Eropa khususnya Inggris, perbudakan diawali dengan adanya penaklukan negara Inggris ke beberapa negara di luar Benua Eropa. Kasus perbudakan pertama-tama diketahui terjadi di masyarakat Sumeria, yang sekarang adalah Irak, lebih dari lima ribu tahun yang lalu. Perbudakan juga terjadi di masyarakat Cina, India, Afrika, Timur Tengah dan Amerika. Perbudakan berkembang, seiring dengan perkembangan perdagangan dengan meningkatnya permintaan akan tenaga kerja untuk menghasilkan barang-barang keperluan ekspor. Pada masa itu perbudakan merupakan keadaan umum yang wajar, yang dapat terjadi terhadap siapapun dan kapanpun. Tidak banyak yang memandang perbudakan sebagai praktek 508
Pengiriman Tenaga Kerja Migran sebagai Perbudakan Modern, Henny Nuraeny
jahat atau tidak adil. Kampanye anti perbudakan dan perdagangan manusia pertama kali dilakukan di Eropa dan Amerika, dengan melahirkan beberapa konvensi anti perbudakan dan eksploitasi tenaga manusia, yang kemudian berkembang ke negara-negara lainnya di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia. Dewasa ini, Indonesia merupakan salah satu pengirim tenaga kerja migran secara internasional, khususnya pekerja kasar dan pembantu rumah tangga (PRT), atau pekerja domestik terbesar di Asia. Keadaan ini menjadi peluang bagi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), untuk memanfaatkan dan mengakomodasi berbagai kepentingan tenaga kerja. Namun kondisi tenaga kerja dari Indonesia berbeda dengan kondisi tenaga kerja dari negara lain. Tenaga kerja Indonesia (TKI) sering bermasalah baik secara individual bagi dirinya, maupun secara umum bagi pemerintah Indonesia. Masalah yang paling besar adalah TKI yang berasal dari Indonesia sering menjadi korban dalam perekrutan TKI yang akhirnya menjurus pada perdagangan orang. Berbagai masalah sering dialami oleh TKI yang menjadi korban, baik menjadi tenaga kerja di dalam negeri, maupun di luar negeri. Korban yang berharap untuk bekerja guna memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, malah menjadi korban eksploitasi perdagangan orang. Perempuan dan laki-laki dewasa, anak laki-laki dan perempuan, telah diperdagangkan dari Indonesia melalui perbatasan wilayah ke negara-negara lain. Beberapa negara yang menjadi tujuan adalah Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, dan negara-negara di Timur Tengah (Arab Saudi). Situasi dan kondisi yang dialami korban dapat berupa kondisi ekonomi, sosial, politik, pendidikan, lingkungan, dan bahkan kondisi fisik, dan mental dapat mempengaruhi situasi korban. Pelaku dan korban dalam suatu kejahatan dapat saling kenal, tidak kenal, atau diperkenalkan oleh orang lain, sebelum, atau pada saat kejahatan terjadi. Korban seperti halnya juga pelaku kejahatan dapat perseorangan, kelompok dan masyarakat, yang mendapat kerugian akibat dari perbuatan-perbuatan dari pelaku kejahatan. Kerugian yang diderita korban akan menimbulkan beban dan tekanan psikologis, sepeti rasa kesal, jengkel, takut yang berkepanjangan, trauma, stress, atau bahkan gangguan kejiwaan.13 Di Indonesia, dari beberapa kasus yang menimpa korban kebanyakan menimpa wanita dan anak perempuan, demikian juga dengan TPPO. Latar belakang TPPO umumnya disebabkan oleh kondisi kerja dan sistem kerja, terutama di negara-negara penerima Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yaitu 13
Soedjono Dirdjosisworo, Respon Terhadap Kejahatan, (Bandung: STHB Press, 2002), hlm. 5. 509
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 501-518
Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah, terutama Arab Saudi, bahkan ke berbagai pelosok daerah di Indonesia untuk dipaksa menjadi Pekerja Seks Komersial/Pelacur dan pekerja paksa. Begitu juga TPPO di dalam negeri masih menjadi masalah besar, dimana para wanita dan anak dieksploitasi menjadi pembantu rumah tangga, pekerja seks, dan buruh di pabrik-pabrik kecil. Para pelaku TPPO kadang-kadang bekerja sama dengan pihak sekolah untuk merekrut pelajar-pelajar di Sekolah-Sekolah (terutama Sekolah Kejuruan), dengan modus untuk praktek kerja lapangan (magang) di hotelhotel, yang sebenarnya fiktif. Disamping itu, warga Indonesia yang direkrut dengan tawaran untuk bekerja di restoran, pabrik, atau sebagai pembantu rumah tangga, dan kemudian dipaksa menjalani komoditas dalam perdagangan seks. Modus baru yang dewasa ini berkembang adalah rekrutmen para wanita dan gadis belia untuk bekerja sebagai pelayan di industri pertambangan, yang kemudian akan dipaksa menjadi Pekerja Seks Komersial/Pelacur, beberapa gadis-gadis di bawah umur dilarikan dan diculik ke penampungan-penampungan di pertambangan atau pembalakan liar di pedalaman beberapa pulau di Indonesia, yang kemudian dipaksa menjadi pekerja seks. Beberapa kasus Tenaga Kerja Migran tidak hanya menimpa yang bekerja di luar negeri, tetapi dapat juga terjadi di dalam negeri. Kasus yang sangat menggemparkan adalah adanya perbudakan yang menimpa pekerja migran asal Kabupaten Cianjur, yang terjadi di Tangerang – Banten, yaitu Tenaga Kerja di “Pabrik Kuali”. Kasus ini sangat menarik perhatian dunia, karena dimasa modern masih ditemukan adanya perlakuan terhadap Tenaga Kerja yang menyerupai “perbudakan modern” sebagai salah satu modus dari TPPO. Perdagangan orang dapat terjadi dalam berbagai bentuk, namun biasanya bertujuan untuk mengeksploitasi korban untuk keuntungan orang lain. Secara ringkas, TPPO memiliki 3 (tiga) unsur, yaitu: 1. Proses yang dilakukan biasanya pelaku memindahkan korban jauh dari komunitasnya dengan merekrut, mengangkut, mengirim, memindahkan atau menerima. 2. Cara yang dilakukan adalah pelaku menggunakan ancaman, kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penyalahgunaan kekuasaan/posisi rentan, atau jeratan hutang untuk mendapat kendali atas diri korban, sehingga dapat melakukan pemaksaan. 3. Tujuannya adalah ditujukan untuk eksploitasi atau menyebabkan korban tereksploitasi untuk keuntungan finansial pelaku. Eksploitasi selalu dihubungkan dengan prostitusi, mengurung korban dengan kekerasan fisik atau psikologis (kerja paksa), menempatkan korban dalam situasi jeratan hutang atau perbudakan. Dalam beberapa kasus 510
Pengiriman Tenaga Kerja Migran sebagai Perbudakan Modern, Henny Nuraeny
eksploitasi dapat juga berarti pemanfaatan atau transpalansi organ tubuh.14 Dalam realita, TPPO dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok, korporasi, dan terkadang dilakukan oleh keluarga (orang tua/saudara kandung), kerabat, teman, atau tetangga dari korban. Korban TPPO umumnya perempuan dan anak, hal ini dimungkinkan karena Korban sangat rentan dan dianggap lemah (phisik dan psikis), sehingga para trafficker sangat mudah memperdayanya. Korban sering mendapat perlakuan kejam, penderitaan, bahkan tidak sedikit yang mengalami kekerasan dan ancaman kekerasan. Korban terjebak dalam jaringan ketidakberdayaan, karena trafficker berupaya dengan berbagai cara, baik legal atau illegal secara terang-terangan ataupun dengan cara menjebak, menipu, membujuk, dengan iming-iming dan janji-janji berupa cerita-cerita keberhasilan, bantuan ekonomi, atau memberikan pinjaman yang pada akhirnya merupakan penjeratan hutang. Tidak sedikit pula korban mengalami siksaan berupa penyekapan sebelum berangkat (mulai dari perekrutan), dalam perjalanan (pengangkutan), di tempat kerja, bahkan pada saat dalam perjalanan pulang ke kampung halaman, sering pula mengalami penipuan dan perampokan. Tindakan yang paling memprihatinkan adalah adanya dorongan dari keluarga (Suami, atau Orang Tua/Wali) untuk mengikuti bujukan trafficker, dan dibantu dalam proses pemberangkatan dengan adanya dokumen yang dimanipulasi oleh penyelenggara negara (aparat pemerintah) setempat. Beberapa kasus perdagangan orang dari berbagai daerah di Indonesia, yang paling banyak adalah eksploitasi terhadap buruh migran (migrant worker), eksploitasi seksual, kawin kontrak dan pemalsuan dokumen, serta kasus yang paling mutakhir adalah penculikan untuk transplantasi organ tubuh. Bentuk-bentuk eksploitasi perdagangan orang tersebut umumnya bermuara dari penjeratan hutang, walaupun ada modus lain yang mungkin terjadi, tetapi modus penjeratan hutanglah yang paling banyak dilakukan. Adapun macam penjeratan hutang yang dilakukan, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Perdagangan orang untuk eksploitasi pekerja/buruh migran. 2. Perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual. 3. Perdagangan orang untuk tujuan perkawinan kontrak. 4. Perdagangan orang untuk tujuan Adopsi Anak.
14
Buku Saku Bagi Anggota Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Perdagangan Orang Di Indonesia, Badan Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Barat. 511
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 501-518
Dari kasus yang terjadi di Indonesia, kebanyakan/sebagian besar calon korban/korban adalah pekerja/buruh migran, yang sejak awal mengetahui dan mengerti maksud dan tujuan para calo/sponsor/penghubung (Trafficker) untuk membantu, namun karena calon korban/korban mempunyai kehendak untuk menjadi pekerja/buruh migran menggunakan jasa tersebut, dengan berbagai alasan. Alasan yang sering diterima dan masuk akal adalah para calo/sponsor/penghubung (Trafficker) bermaksud membantu proses pengurusan administrasi dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, terutama untuk yang akan bekerja ke luar negeri, tetapi dalam proses pengurusan ini calon korban/korban tidak diberitahukan biaya akomodasi dan administrasi yang sebenarnya, dan baru diberitahukan besaran biayanya pada saat akan berangkat atau sudah di tempat tujuan, sehingga tidak ada cara lain yang dapat dilakukan calon korban/korban selain (terpaksa) menyetujui. Bahkan tidak sedikit calon korban/korban tidak mengetahui hak dan kewajibannya, yang diketahuinya adalah hanya menandatangi surat-surat yang disodorkan dengan alasan surat administrasi, tanpa mengetahui isi surat dan perjanjian yang telah ditandatangani tersebut. Dalam beberapa kasus tersebut, yang dianggap paling memprihatinkan adalah adanya eksploitasi, terutama eksploitasi seksual. Eksploitasi seksual umumnya terjadi pada perempuan dan anak, dengan iming-iming bekerja di salon atau rumah makan, tetapi setelah sampai ke tempat tujuan, kemudian dihadapkan pada pilihan yang terpaksa harus dilakukan. Beberapa modus dalam kasus tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan, sampai saat ini tidak didapat data secara resmi berapa besar dan tingkatannya, karena dilakukan secara terselubung dan sulit untuk diidentifikasi dan didokumentasikan, sehingga akurasi data antara realita dan fakta berbeda. Selain itu data-data yang didapat umumnya dari hasil investigasi dan laporan media cetak, sedangkan data dari aparat dan pemerintah lebih sedikit dari fakta yang terjadi, karena tidak semua kasus diselesaikan secara hukum. Perkiraan jumlah korban tindak pidana perdagangan orang seringkali bersifat sementara, hal ini dimungkinkan karena seseorang yang tadinya dianggap sebagai korban tindak pidana perdagangan orang, tetapi pada akhirnya korban dapat menerima keadaan, tidak merasa sebagai korban, karena merasa diuntungkan oleh kondisi yang terjadi. Korban tindak pidana perdagangan orang akan diketahui secara pasti apabila (telah) merasa dirugikan dan melaporkan kepada pihak-pihak yang dipercaya dan dianggap dapat membantu menguruskan kasus yang terjadi. Pihak-pihak yang dapat dianggap membantu korban biasanya instansi pemerintah (Gugus Tugas), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Advokasi Hukum (seperti
512
Pengiriman Tenaga Kerja Migran sebagai Perbudakan Modern, Henny Nuraeny
LBH), dan apabila dianggap tidak memenuhi sesuai keinginan, korban baru melapor ke aparat pemerintah (Polisi dan Gugus Tugas). Berdasarkan pemantauan dari International Organization Migrant (IOM), dari tahun ke tahun, kasus perdagangan orang di Indonesia terus meningkat. Sepanjang bulan Maret 2005 hingga Desember 2012, sebanyak 4.873 (empat ribu delapan ratus tujuh puluh tiga) kasus human trafficking (tindak pidana perdagangan orang/TPPO) yang telah ditangani oleh The International Organization of Migration (IOM). Berdasarkan jenis kelamin, 85,37 persen korban human trafficking merupakan perempuan, dengan jumlah 4.160 (empat ribu seratus enam puluh) orang dimana 837 (delapan ratus tiga puluh tujuh) diantaranya merupakan anak-anak. Sementara korban berjenis kelamin lelaki sebanyak 713 (tujuh ratus tiga belas) orang, diantaranya 162 (seratus enam puluh dua) anak-anak. Jika dilihat dari pergerakannya, TPPO melewati batas negara sebesar 80,42 persen, terdiri atas 564 (lima ratus enam puluh empat) anak-anak dan 3.355 (tiga ribu tiga ratus lima puluh lima) dewasa, dengan 2.845 (dua ribu delapan ratus empat puluh lima) diantaranya adalah perempuan. TPPO dalam negeri sebesar 19,58 persen, terdiri atas 435 (empat ratus tiga puluh lima) anak-anak dan 519 (lima ratus sembilan belas) dewasa. Sebanyak 478 (empat ratus tujuh puluh delapan) diantaranya adalah perempuan. Jumlah itu diperkirakan masih dapat lebih besar, mengingat data dimiliki IOM adalah berdasarkan kasus yang telah ditangani. Jumlah ini diprediksi akan meningkat. 15 Sedangkan pada 2012 saja jumlah yang ditangani IOM Indonesia 796 (tujuh puluh sembilan enam) orang. Sebagai gambaran, untuk Januari hingga Maret 2013 saja data kasus sudah 600 (enam ratus) lebih, jadi melonjak tajam 100 persen naiknya antara 2012 ke 2013, melihat angka yang sudah ada. Selanjutnya sejak bulan Januari sampai bulan Juli 2013, IOM sudah menerima laporan sebanyak 1.045 (seribu empat puluh lima) kasus pelaporan tindak pidana perdagangan orang. Sebanyak 85 persen kasus dialami oleh perempuan. Sedangkan korban perdagangan orang terhadap laki-laki diperkerjakan sebagai buruh sawit, dan pelaut. Masih menurut Nurul, penyebabnya adalah Tenaga kerja Indonesia (TKI) bermasalah yang masuk dalam kategori human trafficking semakin banyak. Perekrutan TKI ilegal akibat moratorium juga semakin beraneka ragam modusnya. Latar belakang penyebabnya masih sama, kondisi kemiskinan, lapangan kerja, dan kesempatan pendidikan jadi faktor pemicu. Ada banyak faktor, tetapi itu penyebab utama saja.16 15
Nurul Qoiriah, TPPO Meningkat, "Planning Program" Harus Serius, in share, International Organization Migrant Indonesia, Jakarta, 24 Juni 2014. 16 Ibid. 513
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 501-518
Sedangkan modus TPPO, dapat diawali mulai dari perekrutan dan pengiriman menggunakan jalur-jalur tikus yang panjang, dipakai untuk mengelabui aparat. Misal menuju Yordania, TKI di-job order ke BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) dibilang mau dikirim ke Singapura. Sampai di Singapura, ternyata melanjutkan perjalanan ke Yordania karena disana dapat minta visa on arrival. Setelah dari Yordania, TKI dibawa ke Suriah, Turki, dan lainnya. Selain itu dapat melalui jalan darat dan laut instead of lewat Batam dibawa ke Tanjung Pinang baru ke Singapura. PPTKIS (Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta) resmi pun melakukan modus perekrutan dengan cara yang sama. Korban yang umroh dan tidak balik juga semakin banyak, sehingga dideportasi dan repatriasi tinggi tahun 2012 dan 2013 ini karena perang dan lain-lain. Selanjutnya korban yang dulu tidak terdaftar bahwa tinggal di luar negeri, semua lapor setelah telantar. TKI pelaut juga tinggi angkanya. Untuk trafficking dalam negeri, korban anak direkrut oleh bujuk rayu pelaku utama. Trafficking dalam negeri umumnya dipekerjakan di perkebunan, pembantu rumah tangga, dan sektor industri.17 Korban yang terjerat praktek tindak pidana perdagangan orang ini pada awalnya tidak menyadari telah menjadi korban. Para korban umumnya bekerja ke luar negeri melalui jasa calo “trafficker” yang membantu pengurusan administrasi dan dokumen imigrasi. Mayoritas pekerja perempuan bekerja sebagai pekerja rumah tangga tanpa dibayar, mendapat pelecehan seksual dari majikan, dan dipekerjakan tidak sesuai perjanjian. Korban telah diperdagangkan orang dan dieksploitasi tenaga serta seksualitasnya.18 Berdasarkan Laporan Tahunan Departemen Luar Negeri Amerika pada tahun 2011, Indonesia dimasukkan pada lapis kedua dalam memenuhi standar perlindungan korban perdagangan orang (TPPO). Indonesia dinilai termasuk sumber utama perdagangan perempuan, anak-anak dan laki-laki, baik sebagai budak seks maupun korban kerja paksa. Menurut data pemerintah Indonesia, seperti dikutip dalam laporan itu, sekitar 6.000.000 (enam juta) warga Indonesia menjadi pekerja migran di luar negeri, termasuk 2.600.000 (dua juta enam ratus) pekerja di Malaysia dan 1.800.000 (satu juta delapan ratus) di Timur Tengah. Dari keseluruhan pekerja migran itu, 4.300.000 (empat juta tiga ratus) diantaranya berdokumen resmi dan 1.700.000 (satu juta tujuh ratus) lainnya digolongkan sebagai pekerja tanpa dokumen. Sekitar 69 persen pekerja migran Indonesia adalah perempuan.19 17
Ibid. Ibid. 19 Laporan Departemen Luar Negeri AS mengenai Perdagangan Manusia tahun 2012. 18
514
Pengiriman Tenaga Kerja Migran sebagai Perbudakan Modern, Henny Nuraeny
Terhadap hal ini, Pemerintah seharusnya mengalokasikan biaya dan planning program pencegahan dan penanganan secara serius. Selama ini hanya masih pada tataran teori, UU, dan kebijakan sudah memadai, tetapi tidak didukung dengan program yang komprehensif dan dana yang cukup, terutama di tingkat Kabupaten dan Provinsi. Harus ada kemauan dan keberanian. Keseriusan pemerintah harus berwujud dalam tindakan. Atas dasar itu, terhadap pencegahan dapat dilakukan melalui sosialisasi di desa-desa akan bahaya trafficking dengan dana pemerintah yang memadai. Selama ini upaya pencegahan cenderung dianggap relatif kurang, karena upaya Penegakan hukum yang dilakukan terhadap kasuskasus TPPO hanya menjerat pelaku dan korporasi seperti PJTKIS (agen TKI). Sedangkan untuk perlindungan korban, pemerintah sudah selayaknya menyediakan anggaran untuk membantu korban dalam biaya medis, biaya pemulangan, rehabilitasi korban, dan reintegrasi sosial bagi korban. Pada umumnya Korban bekerja sebagai: 1. Pembantu Rumah Tangga (PRT). 2. Penari, penghibur dan pertukaran budaya (terutama di luar negeri). 3. Pengantin pesanan, terutama di luar negeri. 4. Beberapa bentuk buruh/pekerja anak. 5. Pekerja Seks Komersial dan eksploitasi seks. 6. Penjualan bayi melalui perkawinan palsu/Kawin kontrak. 7. Bentuk lain dari kerja migran. Melihat pola dan cara kerja para pelaku/trafficker tindak pidana perdagangan orang, dilakukan dengan berbagai macam cara dan ragamnya. Ada yang dilakukan secara perseorangan (calo/penghubung/sponsor/ trafficker), dan ada juga yang melalui Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), baik resmi ataupun tidak resmi. Dari contoh tersebut di atas, ternyata tidak semua perjanjian kerja dilakukan secara tertulis. Ada beberapa kasus baik yang diberangkatkan oleh PJTKI ataupun oleh calo/ sponsor (Trafficker) secara mandiri, dilakukan secara tidak tertulis. Apabila dilihat dari sahnya perikatan yang mengacu pada Pasal 1320 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUH Perdata), perjanjian kerja itu dapat dikatakan sah secara hukum (legal), karena telah terjadi kesepakatan. Namun dari segi perlindungan dan keselamatan, ini akan dijadikan celah oleh penyalur (Trafficker), untuk melepaskan tanggung jawab apabila pekerja melanggar kesepakatan. Umumnya kerugian lebih banyak menimpa pekerja/buruh, terutama apabila perbuatan ingkar janji dilakukan karena keterpaksaan akibat mengalami kekerasan atau perbuatan tidak manusiawi. Untuk itu, Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak selalu melanggar satu aturan hukum (hukum pidana) saja, tetapi dapat juga melanggar lebih dari satu aturan/undang-undang. Karena itu, dalam menerapkan sanksi 515
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 501-518
hukum bagi pelaku sudah selayaknya mendapat sanksi yang berat, baik sanksi penal (pemidanaan) atau non penal (ganti rugi dan sanksi administrasi) agar menimbulkan efek jera bagi pelaku/Trafficker. Oleh karena itu, upaya yang dapat dilakukan ke depan untuk pencegahan Human Trafficking adalah: 1. Penyadaran masyarakat untuk mencegah trafficking melalui sosialisasi kepada berbagai kalangan (Camat, Kepala Desa/Lurah, Guru, Anak Sekolah). 2. Memperluas peluang kerja melalui pelatihan keterampilan kewirausahaan, pemberdayaan ekonomi dan lain-lain. 3. Peningkatan partisipasi pendidikan anak-anak baik formal maupun informal. 4. Kerjasama lintas kabupaten/provinsi dalam rangka pencegahan dan penanganan trafficking. Adapun kebijakan hukum yang dapat dilakukan dalam upaya penegakan hukum dan pencegahan dapat dilakukan dengan berpedoman pada peraturan hukum yang berlaku ataupun melakukan regulasi peraturan, yaitu: 1. Berpedoman dan mengacu pada Undang-Undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). 2. Memperluas sosialisasi Undang-Undang No.21 Tahun 2007 Tentang PTPPO. 3. Mempedomani Undang-Undang No.23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan anak apabila korban masih di bawah umur (anak-anak). 4. Pembentukkan Pusat Pelayanan Terpadu sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi Atau Korban TPPO. 5. Melaksanakan Peraturan Menteri Nomor 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/ 2009 Tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan TPPO dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) tahun 2009 – 2012. 6. Pembentukkan Gugus Tugas PTPPO terdiri dari berbagai elemen pemerintah dan masyarakat (sesuai dengan PERPRES No.69 Tahun 2008 Tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO). 7. Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang/Trafficking. 8. Menyediakan Dana untuk menunjang terwujudnya Upaya Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang/Trafficking. Kesemuanya ini bukan hanya kewajiban pemerintah saja, tetapi juga menjadi kewajiban masyarakat dalam mencegah human trafficking yaitu wajib berperan serta membantu upaya pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang dengan memberikan informasi/laporan 516
Pengiriman Tenaga Kerja Migran sebagai Perbudakan Modern, Henny Nuraeny
adanya tindak pidana perdagangan orang kepada pihak berwajib. Dalam melakukan upaya pencegahan hal tersebut, masyarakat berhak memperoleh perlindungan hukum. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan juga dengan Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. E. Penutup Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa pengiriman tenaga kerja migran, sering dijadikan salah satu bentuk dari modus perdagangan orang. Perdagangan orang, sehingga merupakan salah satu bentuk perbudakan modern, karena umumnya korban sering mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Keadaan ini didukung oleh adanya budaya masyarakat yang masih banyak memfasilitasi praktek perdagangan orang dengan modus pengiriman tenaga kerja/buruh migran baik tingkat domestik (dalam negeri), maupun tingkat publik (ke luar negeri). Hal ini dilakukan melalui berbagai cara dan modus, dengan berbagai iming-iming, sehingga korban tertarik untuk bekerja dengan cepat dan mendapatkan imbalan penghasilan yang tinggi. Pengiriman tenaga kerja migran baik pada lingkup domestik maupun publik sudah sangat memprihatinkan, terutama dilihat dari sisi korban. Korban yang semula bertujuan untuk memperbaiki tingkat ekonomi keluarga, kemudian bahkan sering menjadi korban perlakuan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan norma yang ada di Indonesia, bahkan menjurus pada ‘perdagangan orang’ sebagai salah satu bentuk perbudakan modern.
Daftar Pustaka Anton M. Moeliono (ed), KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1993. Bryan A. Garner, Blacks Law Dictionary, ninth edition, West Group St Paul Minn. USA, 2009. Buku Saku Bagi Anggota Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Perdagangan Orang Di Indonesia, Badan Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Barat. L.M. Gandhi Lapian & Hetty A. Geru, Trafficking Perempuan dan Anak Penanggulangan Komprehensif Studi Kasus: Sulawesi Utara, Kerja
517
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 501-518
sama Yayasan Obor, Convention Watch, Pusat Kajian Perempuan Universitas Indonesia dan NZAID, Jakarta, 2006. Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction, alih Bahaha Wisnu Basuki, PT. Tata Nusa, Jakarta, 2001. Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat in Court System & out System, Gramata Publishing, Jakarta, 2011. Mansyur Effendi, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994. Mochtar Kusumaatmaja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Cet ke 2, Alumni, Bandung, 2006. Nurul Qoiriah, TPPO Meningkat, "Planing Program" Harus Serius, International Organitation Migrant Indonesia, Jakarta, 24 Juni 2014. Pius A Prananto dan M Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arkola Surabaya, 1994. Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980 Soedjono Dirdjosisworo, Respon Terhadap Kejahatan, STHB Press, Bandung, 2002. Soerjono Soekanto, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Peraturan Menteri No.25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 Tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan TPPO dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) tahun 2009–2012.
518
BEBERAPA PENDEKATAN UNTUK MEMAHAMI HUKUM (Several Approaches for Understanding the Law)
Tommy Hendra Purwaka Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jl. Jenderal Sudirman 51, Jakarta Email:
Abstrak Hukum secara umum dipahami sebagai aturan yang dibuat oleh penguasa untuk mengatur masyarakat dan seluruh kegiatannya demi terciptanya ketertiban umum dan keadilan. Hukum tersebut ditegakkan oleh aparataparat penegak hukum dengan memakai upaya-upaya penaatan dan penindakan atau paksaan. Disamping pemahaman yang bersifat umum tersebut, pemahaman terhadap hukum juga dapat diperoleh dengan menerapkan beberapa pendekatan yang berbeda, seperti pendekatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan cara tersebut, pemahaman tentang hukum dapat diperkaya dan ditingkatkan bagi upaya-upaya penegakkan dan penaatan hukum. Kata Kunci: Pendekatan, Memahami, Hukum Abstract Law in general is understood as regulations formed by authority to regulate community and its activities for the purpose of creating public order and justice. The law is enforced by legal apparatus by applying compliance and coercive measures. In addition, understanding on law can also be obtained by the use of several different approaches in viewing the law, such as from political, economic, social and cultural approaches. By so doing, understanding on law can be enriched and improved for the benefit of law enforcement and compliance. Keywords: Approaches, Understanding, Law Pemahaman Hukum pada Umumnya J.B. Daliyo, et. al. dalam buku Pengantar Ilmu Hukum (1989) 1 telah mengemukakan pengertian hukum dari beberapa ahli hukum seperti E.M. Meyers (hukum adalah pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya), Leon Duguit (hukum adalah aturan tingkah laku para 1
J.B. Daliyo, et. al., Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: APTIK dan Gramedia, 1989 (29-30). 519
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 519-536
anggota masyarakat yang menjadi jaminan kepentingan bersama), Immanuel Kant (hukum adalah aturan tentang penyesuaian kehendak bebas berasaskan kemerdekaan), Utrecht (hukum adalah aturan yang berisi perintah dan larangan), S.M. Amin (hukum adalah kumpulan aturan yang berisi normanorma dan sanksi-sanksi untuk mewujudkan ketertiban), J.C.T. Simorangkir (hukum adalah perturan yang dibuat oleh badan resmi, bersifat memaksa untuk mengatur tingkah laku manusia), dan M.H. Tirtaamidjya (hukum adalah aturan tingkah laku dalam pergualan hidup). Berdasarkan beberapa pengertian hukum tersebut, Daliyo, et. al. menyimpulkan bahwa hukum merupakan peraturan tingkah laku manusia yang dibuat oleh badan-badan resmi, yang memiliki sanksi sehingga berlakunya dapat dipaksakan. Dengan demikian hukum mengandung perintah dan/atau larangan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat dan badan-badan hukum, disertai dengan ancaman sanksi yang tegas. Pemahaman Hukum dari Pendekatan Politik Pendekatan politik2 menekankan pandangannya pada pendapat bahwa hukum adalah keputusan politik masyarakat.3 Keinginan masyarakat untuk membentuk hukum terdiri dari berbagai aspirasi rakyat. Aspirasiaspirasi itu harus disalurkan melalui saluran-saluran politik yang sesuai dengan aspirasi tersebut.4 Saluran politik tersebut meliputi berbagai bentuk kelembagaan seperti beberapa lembaga pemerintah, lembaga legislatif, partai politik, perguruan tinggi, organisasi kemahasiswaan, organisasi nonpemerintah, lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial keagamaan, dan organisasi sosial lainnya. Bentuk kelembagaan tersebut disebut sebagai saluran politik karena dipandang mampu untuk memperjuangkan (struggling) aspirasi tertentu dari masyarakat tertentu agar memperoleh perhatian (for power)5 dari pemerintah yang akan menempatkannya pada posisi prioritas, misalnya, dalam pembangunan nasional. Aspirasi masyarakat yang disalurkan melalui saluran-saluran politik akan membentuk konfigurasi politik. Konfigurasi politik di sini berarti perimbangan-perimbangan kepentingan politik sebagai cerminan dari berbagai aspirasi yang hidup di masyarakat. Konfigurasi politik ini terdiri 2
Politik adalah struggling for power untuk memperoleh kehidupan masyarakat yang lebih baik. Lihat Tommy Hendra Purwaka. Kerangka Pemahaman Politik Hukum Nasional. Jakarta: FH Unika Atma Jaya, 2009. 3 Lihat Mahfud M.D., Moh., Politik Hukum di Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009. 4 Lihat J.B. Daliyo, et.al. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: APTIK dan Gramedia, 1989 (hal. 13-15). Lihat juga Edisi Revisi (2009). 5 Struggling for power di sini berarti bahwa kelembagaan yang dipilih sebagai saluran politik tersebut mampu memperjuangkan agar aspirasi masyarakat memperoleh prioritas (“kekuasaan”) dari pemerintah. 520
Beberapa Pendekatan untuk Memahami Hukum, Tommy Hendra Purwaka
dari konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.6 Konfigurasi politik demokratis adalah perimbangan-perimbangan kepentingan rakyat yang dikendalikan oleh hukum yang berlaku, sedangkan konfigurasi politik otoriter adalah perimbangan-perimbangan kepentingan penguasa dengan mempergunakan hukum sebagai alat pelindung untuk mempertahankan kepentingan penguasa terhadap kepentingan rakyat. Di dalam praktek, konfigurasi politik tidak ada yang seratus persen demokratis dan juga tidak ada yang seratus persen otoriter. Konfigurasi politik senantiasa berada di antara kedua kutub tersebut. Ada konfigurasi politik yang cenderung demokratis, dan ada pula yang cenderung otoriter. Ada juga konfigurasi politik yang menampilkan diri sebagai demokratis, pada hal dalam kenyataannya adalah konfigurasi politik yang otoriter. Konfigurasi politik akan mempengaruhi karakteristik produk hukum. Konfigurasi politik yang demokratis akan menghasilkan produk hukum yang berkarakter populis, responsif, dan otonom, sedang konfigurasi politik otoriter akan menghasilkan produk hukum yang berkarakter elitis, orthodox/konservatif, dan menindas.7 Permasalahan yang muncul dalam kaitan ini adalah bahwa bagaimana produk hukum senantiasa berkarakter populis dan tidak elitis, responsif dan tidak ortodox, serta otonom dan tidak memaksa walaupun lebih banyak dipengaruhi oleh konfigurasi politik otoriter dari pada konfigurasi politik demokratis. Untuk melahirkan karakter produk hukum yang senantiasa berkarakter seperti itu, maka seluruh bahan-bahan produk hukum yang dipengaruhi oleh kedua macam konfigurasi politik tersebut perlu dialirkan melalui penyaringan oleh suatu sistem hukum. Proses penyaringan oleh sistem hukum diharapkan akan menghasilkan produkproduk hukum yang senantiasa berkarakter demokratis. Proses penyaringan oleh sistem hukum juga diharapkan mampu mengubah produk hukum yang berkarakter otoriter menjadi lebih berkarakter demokratis dalam implementasinya. Proses penyaringan atau pengolahan tersebut diharapkan dapat diselenggarakan secara berkelanjutan, sehingga setiap perubahan dan perkembangan aspirasi masyarakat dapat senantiasa diakomodasikan sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi, sosial dan lingkungan baik di tingkat nasional, regional maupun internasional. Pemahaman Hukum dari Pendekatan Ekonomi Pendekatan ekonomi dalam upaya memahami hukum mencakup pendekatan-pendekatan sebagai berikut: 6
Lihat J.B. Daliyo, et.al. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: APTIK dan Gramedia, 1989 (hal. 15-19). Lihat juga Edisi Revisi (2009). 7 Lihat Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009 (hal. 22 dan 27). 521
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 519-536
1.
Pemahaman Hukum dari Sudut Analisis Ekonomi Richard Posner dalam bukunya yang berjudul Economic Analysis of Law berpendapat bahwa hukum diadakan untuk menekan atau bahkan untuk meniadakan cost. Cost disini harus dipahami tidak hanya sebagai biaya, tetapi juga sebagai beban yang harus dipikul atau ditanggung oleh seseorang atau oleh suatu pihak. Dengan demikian, apabila keberadaan hukum meningkatkan cost sehingga beban yang ditanggung oleh rakyat banyak semakin besar, maka hukum seperti itu bukanlah hukum. Hukum yang demikian itu dapat menimbulkan ketidaktertiban, pada hal tujuan hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban di masyarakat. Apabila keberadaan suatu hukum menimbulkan cost bagi masyarakat, maka pembentuk hukum bertanggung jawab untuk mengubah hukum sesuai dengan aspirasi masyarakat dalam rangka memperkecil dan bila mungkin menghilangkan cost tersebut. Dalam kaitan ini, cost juga dapat timbul dan menjadi beban suatu pihak karena penerapan hukum oleh pihak lainnya. Cost yang demikian ini disebut external cost atau externalities. External cost yang terjadi dapat diinternalkan kembali oleh pihak yang terkena externalities kepada pihak yang perbuatannya menimbulkan externalities melalui proses hukum, baik melalui pengadilan atau di luar pengadilan. 2. Pemahaman Hukum dari Sudut Hubungan Hukum dan Ekonomi Hukum berisi norma-norma hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat dengan tujuan untuk mewujudkan keadilan. Hukum yang demikian ini disebut hukum normatif. Keadilan sebagai tujuan hukum normatif hendak diwujudkan melalui pelaksanaan hukum normatif di lapangan. Hukum normatif yang dilaksanakan di lapangan merupakan hukum yang berlaku saat ini yang disebut hukum positif atau ius constitutum. Hukum positif akan mengupayakan terwujudnya keseimbangan hak dan kewajiban sebagai cerminan dari keadilan sebagaimana dimaksud oleh hukum normatif. Sebagaimana halnya hukum, ekonomi juga dapat dipahami sebagai ekonomi normatif yang bertujuan untuk mewujudkan efisiensi dengan melaksanakan ekonomi positif untuk menghasilkan suatu keadaan dimana input senantiasa lebih kecil dari output (Gambar 1).
522
Beberapa Pendekatan untuk Memahami Hukum, Tommy Hendra Purwaka
Gambar 1 Hubungan Hukum dan Ekonomi HUKUM NORMATIF KEADILAN
POSITIF HAK/KEWAJIBAN
EFISIENSI NORMATIF
INPUT
Gambar 1 di atas menggambarkan hubungan antara hukum dan ekonomi yang dapat diilustrasikan sebagai berikut: kita dapat mengatakan bahwa dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah “adil” apabila input senantiasa lebih kecil dari output. Artinya, apabila pembiayaan pembangunan nasional senantiasa menghasilkan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat yang diikuti dengan pengurangan utang negara sampai dengan lunas, maka keadaan seperti ini merupakan pencerminan dari rasa keadilan masyarakat dimana hak seimbang dengan kewajiban. Dengan demikian, kehidupan berbangsa dan bernegara ditinjau dari sudut pandang ekonomi merupakan kehidupan yang efisien. Sebaliknya, apabila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara input senantiasa lebih besar dari output (tidak efisien) yang ditunjukkan semakin besarnya utang negara, maka dalam keadaan seperti itu pasti banyak terjadi ketidakadilan dimana banyak anggauta masyarakat yang kehilangan hakhaknya walaupun mereka masing-masing telah melaksanakan kewajibannya. Dari uraian singkat tentang hubungan hukum dan ekonomi tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum dan ekonomi merupakan dua sisi dari satu mata uang logam (coin) yang sama. 3.
Pemahaman Hukum dari Sudut Benefit and Cost Analysis Benefit and cost analysis mempunyai kemampuan untuk melihat hukum sebagai aturan yang dapat memberi manfaat (benefits) dan/atau memberi beban (costs) kepada masyarakat. Ada empat kemungkinan yang terjadi sebagai hasil benefits and costs analysis terhadap penerapan hukum, yaitu:
523
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 519-536
a.
b.
c.
d.
524
Diffused costs, diffused benefits Diffused costs adalah beban yang menyebar dan diffused benefits adalah manfaat yang menyebar. Artinya, masyarakat secara merata menanggung beban yang ditimbulkan oleh penerapan hukum dan seluruh anggota masyarakat menikmati manfaat dari penerapan hukum tersebut. Keadaan seperti ini adalah adil apabila masyarakat yang menanggung beban dan masyarakat yang menikmati manfaat adalah masyarakat yang sama. Keadaan ini menjadi tidak adil apabila masyarakat yang menanggung beban berbeda dengan masyarakat yang menikmati manfaat. Misalnya, manfaat dari penerapan hukum dinikmati oleh masyarakat di Jawa, sedang bebannya ditanggung oleh masyarakat luar Jawa. Diffused costs, concentrated benefits Diffused costs, concentrated benefits memiliki pengertian bahwa beban dari pelaksanaan hukum ditanggung oleh rakyat banyak, sedang manfaatnya dinikmati oleh segelintir orang. Keadaan seperti ini sudah barang tentu tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu penerapan hukum harus diupayakan untuk tidak membuahkan keadaan seperti ini. Concentrated costs, diffused benefits Concentrated costs, diffused benefits mempunyai arti bahwa beban yang timbul dari penerapan hukum ditanggung oleh sekelompok orang tertentu, sedang manfaatnya dinikmati oleh rakyat banyak. Keadaan seperti ini merupakan keadaan yang sangat ideal karena sangat diidam-idamkan oleh banyak orang. Contoh kongkrit dari keadaan seperti ini adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan oleh pemerintah yang telah meringankan biaya kehidupan rakyat banyak. Concentrated costs, concentrated benefits Concentrated costs, concentrated benefits mengandung pengertian bahwa beban yang timbul dari pelaksanaan hukum ditanggung oleh segelintir orang dan manfaatnya dinikmati oleh segelintir orang pula. Keadaan seperti ini mencerminkan bahwa rakyat banyak tidak dilibatkan dalam penerapan hukum. Hukum terkesan sebagai alat yang dipergunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Keadaan seperti ini sebaiknya dihindarkan karena mencerminkan suatu penerapan hukum yang tidak demokratis.
Beberapa Pendekatan untuk Memahami Hukum, Tommy Hendra Purwaka
Pemahaman Hukum dari Pendekatan Sosial Pendekatan sosial dalam memahami hukum menekankan pada interaksi antara subyek hukum yang satu dengan lainnya serta antara subyek hukum dengan obyek hukum dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Pendekatan sosial tersebut meliputi: 1. Pemahaman Hukum dari Sudut Interaksi Subyek Hukum Salah satu ciri hukum sebagaimana dikemukakan di atas adalah bahwa hukum dibuat oleh badan-badan resmi yang memiliki kewenangan atau kuasa untuk membentuk hukum. Setelah hukum terbentuk, maka hukum tersebut harus diterapkan untuk mengatur kehidupan manusia. Dalam kaitan ini dapat dipahami bahwa penerapan hukum merupakan hubungan antara pihak yang mengatur dan pihak yang diatur. Pihak yang mengatur lazimnya adalah pemerintah dan pihak yang diatur adalah masyarakat. Dalam lingkup pemerintahan negara, pemerintah dalam arti luas meliputi seluruh penyelenggara negara, yaitu eksekutif, legislatif dan judikatif, sedang dalam arti sempit hanya mencakup eksekutif saja sebagai penyelenggara pemerintahan. Masyarakat dalam kaitan ini meliputi berbagai unsur masyarakat seperti dunia usaha atau swasta, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi non-pemerintah, serta organisasi sosial kemasyarakatan lainnya dan warga/anggota masyarakat. Pemerintah dan masyarakat keduanya merupakan subyek hukum.8 Untuk menyederhanakan hubungan interaktif antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka memahami hukum, pemerintah dalam arti luas diwakili oleh eksekutif dan masyarakat diwakili oleh swasta sebagaimana digambarkan dalam Gambar 2 di bawah. Gambar 2 Interaksi Pihak yang Mengatur dan Pihak yang Diatur9
Pemerintah PIHAK YANG DIATUR
Swasta
PIHAK YANG MENGATUR Pemerintah Swasta Government Captured Self Regulation Tradition Private Self Regulation
Pemerintah sudah menjadi kelaziman atau sudah menjadi tradisi (tradition) mengatur swasta. Untuk dapat mengatur swasta dengan baik, 8
Kedua subyek hukum tersebut memperoleh hak dari hukum obyektif, yaitu hukum yang mengatur hubungan interaktif diantara mereka. Hukum yang memberi hak atau kewenangan tersebut disebut hukum subyektif. 9 Dimodifikasi dari Barry M. Mitnick, The Political Economy of Regulation. Guildford, Surrey, NY: Columbia University Press, 1980. 525
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 519-536
pemerintah haruslah bersih dan berwibawa. Oleh karena itu, pemerintah harus mengatur aparatnya (mengatur dirinya sendiri) melalui misalnya Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (government self regulation). Swasta juga dapat mengatur swasta lainnya atau swasta dapat mengatur dirinya sendiri misalnya melalui perjanjian atau kontrak-kontrak (private self regulation), seperti perjanjian jual beli, sewa-menyewa, ekspor-impor, dan pemborongan. Namun berikutnya sesuai matrix tersebut di atas timbul suatu pertanyaan “apakah swasta dapat mengatur pemerintah?” Dalam kehidupan nyata sehari-hari, swasta memiliki peluang untuk mempengaruhi pemerintah agar membuat peraturan perundang-undangan (hukum) yang berpihak kepada kepentingan swasta. Bila keadaan seperti itu terjadi secara berkelanjutan, maka pemerintah dalam posisi dikendalikan dan dapat dikatakan sebagai terperangkap (captured) oleh swasta. Keadaan nyata yang terjadi di lapangan adalah bahwa inisiatif diampaikan oleh swasta kepada pemerintah dan kemudian pemerintah akan mengundang swasta untuk berperan serta dalam rapat-rapat antar instansi atau antar lembaga dalam merumuskan suatu peraturan perundang-undangan (hukum). Dalam kaitan ini, swasta juga sering diundang oleh DPR untuk dengar pendapat dalam perumusan peraturan perundang-undangan. Dewasa ini, sejumlah wakil swasta telah bergabung dengan partai-partai politik dan menjadi anggota DPR, sehingga kesan pemerintah terperangkap oleh swasta sudah tidak terlihat jelas lagi. 2. Pemahaman Hukum dari Sudut Obyek Hukum Obyek hukum adalah obyek yang diatur oleh ketentuan-ketentuan hukum. Obyek hukum tersebut meliputi peristiwa-peristiwa hukum yang terdiri dari perbuatan-perbuatan hukum, hubungan-hubungan hukum, dan akibat-akibat hukum di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan lingkungan. Hukum diadakan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum, mewujudkan keadilan, dan menegakkan kebenaran. Kepastian, keadilan, dan kebenaran tersebut harus diwujudkan di seluruh segi kehidupan masyarakat yang meliputi bidang-bidang: a. Politik dalam wujud kestabilan. b. Ekonomi dalam wujud efisiensi.10 c. Sosial dalam wujud kesejahteraan. 10
Efisiensi sering disandingkan dengan efektivitas. Pengertian efektif sering disamakan dengan melakukan hal yang benar atau melakukan hal yang memang seharusnya dilakukan (do the right thing), sedang efisiensi sering diartikan sebagai melakukan sesuatu dengan benar (do the thing right). Efektif dan efisien berarti melakukan hal yang benar dengan cara yang benar (do the right thing on the right way). 526
Beberapa Pendekatan untuk Memahami Hukum, Tommy Hendra Purwaka
d. e. f. g.
Budaya dalam wujud kemapanan. Pertahanan dalam wujud kekuatan. Keamanan dalam wujud ketenteraman. Lingkungan dalam wujud keberlanjutan. Dari uraian tentang tujuan hukum dan perwujudan tujuan hukum tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa terwujud-tidaknya kestabilan, efisiensi, kesejahteraan, kemapanan nilai-nilai, kekuatan, ketenteraman, dan keberlanjutan dalam segi-segi kehidupan masyarakat dapat dipakai sebagai indikator apakah tujuan hukum tercapai atau tidak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terwujudnya kepastian hukum, keadilan dan kebenaran akan tercermin dalam kehidupan yang stabil, sejahtera, mapan, aman, dan tenteram secara berkelanjutan. Untuk memudahkan dalam memahami hukum dari sudut obyek pengaturan hukum, maka kedelapan bidang obyek pengaturan hukum tersebut di atas dikelompokkan menjadi tiga komponen pengaturan hukum, yaitu komponen ekonomi (ekonomi makro, ekonomi mikro yang menguasai hajat hidup rakyat banyak, dan ekonomi mikro yang tidak menguasai hajat hidup rakyat banyak), komponen sosial (politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan),11 dan komponen lingkungan. Cara memahami hukum dengan menggunakan ketiga komponen tersebut dapat digambarkan dalam Gambar 3 di bawah. Pengaturan hukum terhadap komponen ekonomi, sosial dan lingkungan lazim dilakukan di lingkungan internal organisasi dan antar organisasi. Dalam hal komponen ekonomi sebagai obyek pengaturan, maka hukum yang mengatur obyek tersebut akan menyatakan dirinya di lingkungan internal organisasi dalam wujud, misalnya, peraturan penetapan harga, peraturan gaji, dan ketentuan pemeriksaan atau audit keuangan. Dalam hal komponen ekonomi sebagai obyek pengaturan di lingkungan antar organisasi maka hukum akan berwujud, misalnya, sebagai peraturan anti monopoli, antitrust, larangan persaingan usaha tidak sehat, dan kesepakatan pengendalian harga. Pengaturan hukum komponen sosial di lingkungan internal organisasi dapat berbentuk ketentuan tentang asuransi kesehatan (askes), asuransi tenaga kerja (astek), dan jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek), sedangkan pengaturan hukum di lingkup hubungan antar organisasi dapat berwujud sebagai ketentuan tentang pemerataan berusaha, pemerataan kesempatan kerja, pemerataan pendidikan, pemerataan untuk menikmati hasil-hasil pembangunan. Pengaturan hukum komponen lingkungan dalam lingkup internal organisasi dapat berwujud sebagai 11
Pertahanan dan keamanan dimasukkan ke dalam kelompok tujuan sosial karena keduanya lebih banyak berhubungan dengan masalah masyarakat/masalah sosial dari pada masalah ekonomi dan lingkungan. 527
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 519-536
ketentuan-ketentuan tentang tata cara penciptaan dan pemeliharaan lingkungan. Gambar 3 Pemahaman Hukum dari Sudut Obyek Pengaturan12 OBYEK PENGATURAN Ekonomi
DI DALAM ORGANISASI Penetapan harga, penetapan gaji, audit keuangan
Sosial
Asuransi kesehatan (Askes), asuransi tenaga kerja (Astek), Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) Lingkungan kerja yang bersih dan sehat
Lingkungan
ANTAR ORGANISASI Anti monopoli, antitrust, larangan persaingan usaha tidak sehat, kesepakatan pengendalian harga Pemerataan berusaha, pemerataan bekerja, pemerataan pendidikan, pemerataan menikmati hasil pembangunan Penerapan prinsip pencemar wajib bayar (polluters pay principle)
kerja yang bersih dan sehat. Pengaturan komponen lingkungan di dalam hubungan antar organisasi dapat berwujud sebagai kesepakatan tentang, misalnya, tata cara penerapan polluters pay principle. 3.
Pemahaman Hukum dari Sudut Respon Subyek Hukum Sebagaimana telah dikemukakan di atas, subyek hukum terdiri dari pihak yang mengatur dan pihak yang diatur. Pihak yang mengatur meliputi lembaga-lembaga pembentuk dan penegak hukum yang mencakup unsurunsur kelembagaan eksekutif, legislatif, dan judikatif, sedang pihak yang diatur mencakup masyarakat luas, termasuk pengacara dan konsultan hukum. Lembaga pembentuk dan penegak hukum senantiasa akan memandang hukum tertulis yang berlaku saat ini (hukum positif; ius constitutum) sebagai hukum yang efektif dan efisien. Masyarakat di lain pihak akan berpandangan bahwa kebiasaan yang hidup dan berlaku di dalam kehidupan masyarakat (hukum kebiasaan; hukum tak tertulis) merupakan hukum yang efektif dan efisien. Dengan demikian, menurut pandangan masyarakat hukum tertulis itu efektif dan efisien apabila substansi dan pelaksanaannya sesuai dengan kebiasaan yang hidup di dalam masyarakat. Di samping itu, masing-masing anggota masyarakat akan memberikan respon secara ekonomis terhadap hukum yang berlaku. Masing-masing anggota masyarakat akan memandang hukum positif sebagai hukum yang berlaku bagi dirinya apabila hukum tersebut memberikan manfaat kepada 12
Dimodifikasi dari Barry M. Mitnick, The Political Economy of Regulation. Guildford, Surrey, NY: Columbia University Press, 1980. 528
Beberapa Pendekatan untuk Memahami Hukum, Tommy Hendra Purwaka
dirinya. Di dalam proses beracara di depan pengadilan (legal process), pengacara akan berupaya untuk menemukan hukum yang paling efektif dan efisien untuk memenangkan kliennya. Pemahaman hukum dari sudut pandang yang berbeda tersebut di atas ternyata harus menghadapi suatu kenyataan bahwa hukum yang berlaku efektif dan efisien tersebut, baik hukum tertulis maupun tak tertulis, tidak memiliki kemampuan untuk menampung seluruh perubahan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, hukum memerlukan penafsiran dan penalaran hukum serta argumentasi yang rasional agar hukum senantiasa up to date dan mampu mengikuti perubahan dan perkembangan zaman. Dengan demikian, hukum yang berlaku efektif dan efisien adalah hukum yang dihasilkan oleh upaya-upaya penafsiran dan penalaran hukum, serta pemberian argumentasi yang rasional terhadap hasil penafsiran dan penalaran hukum tersebut. 4. Pemahaman Hukum dari Sudut Dampak terhadap Subyek Hukum Setiap penerapan hukum pasti memiliki dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif, terhadap subyek hukum yang terdiri dari pihak yang mengatur dan pihak yang diatur. Dampak tersebut ada yang bersifat langsung dan tidak langsung. Dampak langsung adalah dampak positif atau negatif yang dirasakan langsung oleh para pihak yang mengatur dan/atau yang diatur karena mempunyai kepentingan langsung dengan obyek pengaturan. Sebaliknya, dampak tidak langsung adalah dampak positif atau negatif yang secara tidak langsung dirasakan oleh pihak yang mengatur dan/atau yang diatur karena kepentingan kedua pihak tersebut tidak berkaitan langsung dengan obyek pengaturan (Gambar 4). Gambar 4 Dampak Hukum terhadap Pihak yang Mengatur dan yang Diatur
Ya Pihak yang diatur
Tidak Ya Tidak
+ o + o
Pihak yang mengatur Ya ada Tidak ada dampak dampak + o I I D I I D D D S I I D I I D D D S
Area dampak langsung Area dampak tidak langsung
Dampak langsung yang positif bagi pihak yang mengatur di tingkat pusat dapat berupa, misalnya, pujian, penghargaan, atau kenaikan pangkat 529
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 519-536
karena keberhasilan dalam menerapkan, misalnya, larangan ekspor bahan baku, misalnya kayu gelondongan harus diolah dahulu sebelum diekspor agar memperoleh nilai tambah setelah diekspor. Dampak langsung yang negatif bagi pihak yang diatur dapat berwujud, misalnya, penurunan ekspor bahan baku karena adanya ketentuan hukum yang mewajibkan untuk mengolah bahan baku sebelum diekspor. Dampak tidak langsung yang negatif dari larangan ekspor bahan baku bagi pihak yang mengatur di daerah dapat berupa, misalnya, penyesuaian peraturan dan kebijakan yang terkait dengan larangan ekspor bahan baku. Dampak tidak langsung yang positif bagi pihak yang diatur dengan adanya ketentuan yang mewajibkan untuk mengolah bahan baku sebelum diekspor adalah, misalnya, peluang untuk mengembangkan usaha pendukung pengolahan bahan baku. Gambar 4 di atas menggambarkan hubungan antara pihak yang mengatur dengan yang diatur dalam kaitannya dengan adanya dampak langsung dan tidak langsung dari penerapan suatu ketentuan hukum. Apabila kedua belah pihak terkena dampak, maka wilayah hubungan antara keduanya diberi kode (I: interdependent), dan apabila hanya salah satu pihak saja yang terkena dampak, maka wilayah hubungan antara keduanya diberi kode (D: dependent), serta apabila keduanya tidak terkena dampak, maka wilayah hubungan antara keduanya diberi kode (S: separate). Apabila keduanya sama-sama terkena dampak positif atau negatif, maka hal ini berarti bahwa keduanya mempunyai kepentingan yang sama sehingga mudah untuk dijadikan landasan bagi pengembangan hubungan kerjasama. Apabila kedua belah pihak terkena dampak yang berbeda, maka hal ini berarti keduanya mempunyai perbedaan kepentingan yang dapat menjadi sumber konflik. Oleh karena itu, perbedaan kepentingan tersebut harus diselesaikan agar dapat dibangun hubungan kerjasama antara keduanya. Apabila hanya salah satu pihak saja yang terkena dampak, sedang pihak lainnya tidak merasakan adanya dampak tersebut, maka hubungan yang terjadi antara keduanya adalah hubungan “bertepuk sebelah tangan,” dimana upaya dari salah satu pihak untuk berhubungan tidak memperoleh tanggapan dari pihak lainnya karena pihak lain tersebut merasa tidak mempunyai kepentingan. Apabila kedua belah pihak sama sekali tidak terkena dampak, maka hal ini berarti bahwa keduanya sama sekali tidak mempunyai hubungan yang berkaitan dengan penerapan suatu ketentuan hukum. Uraian tersebut di atas merupakan hasil dari analisis statis atas dampak dari penerapan hukum terhadap hubungan antara pihak yang mengatur dan yang diatur. Analisis statis merupakan upaya analisis dengan melihat perubahan hubungan antara kedua belah pihak sebagai akibat adanya dampak yang berlangsung seperti deret hitung atau deret ukur. Dengan demikian, perubahan tersebut dapat diperkirakan atau dapat 530
Beberapa Pendekatan untuk Memahami Hukum, Tommy Hendra Purwaka
diperhitungkan sebelumnya. Namun demikian, kenyataan lapangan menunjukkan bahwa perubahan hubungan tersebut tidak dapat diperkirakan atau diperhitungkan seperti deret hitung atau deret ukur. Perubahan hubungan tersebut bersifat kompleks. Oleh karena itu, analisis statis tersebut perlu diiringi dengan analisis dinamis. Analisis dinamis memiliki kemampuan untuk menganalisis kompleksitas dinamika perubahan setiap dampak, misalnya dari dampak positif berubah menjadi dampak negatif atau berubah menjadi tak berdampak, yang berlangsung dengan intensitas dan frekuensi yang tinggi. Hubungan-hubungan tersebut merupakan hubungan dua dimensi yang dapat berkembang menjadi hubungan tiga dimensi atau bahkan sampai dengan hubungan enam dimensi yang sangat kompleks. Uraian di atas ingin menunjukkan bahwa hukum dapat dipahami dengan memperhatikan dampak yang ditimbulkan terhadap hubungan antara berbagai pihak dalam kehidupan bermasyarakat dan bagaimana respon atau tanggapan berbagai pihak tersebut terhadap dampak dari penerapan hukum. Respon atau tanggapan dari para pihak yang memperoleh dampak positif adalah tindakan mendukung (pro) penerapan hukum dan oleh karena itu para pihak tersebut akan berupaya meningkatkan dampak positif tersebut. Sebaliknya, respon atau tanggapan dari para pihak yang terkena dampak negatif adalah tindakan menolak (contra) penerapan hukum dan oleh karena itu para pihak tersebut akan berupaya mengubah dampak negatif menjadi dampak positif. Dalam kaitan ini, para pihak yang tidak terkena dampak tidak akan memberikan respon apapun. Boleh dikatakan mereka “acuh tak acuh.” Pihak yang mengatur dalam hal ini dapat mengambil inisiatif untuk melakukan penafsiran hukum, penalaran hukum dan argumentasi rasional yang dapat melibatkan unsur-unsur baik dari pihak yang mengatur maupun pihak yang diatur yang tidak terkena dampak agar terlibat dalam hubungan antar para pihak yang terkena dampak. Pemahaman Hukum dari Pendekatan Budaya Pendekatan budaya memfokuskan diri kepada pemahaman tentang nilai baik dan buruk serta tata nilai kehidupan yang menentukan sikap dan perilaku manusia dalam hidup bermasyarakat. Manusia sejak dilahirkan memiliki sifat baik dan buruk di dalam dirinya. Disamping sifat baik dan buruk tersebut, manusia di dalam dirinya juga mempunyai daya rasa apetitual, daya rasa spiritual, daya rasa intelektual, daya rasa sosial, dan daya rasa estetika.13 Daya rasa apetitual adalah suatu daya atau kekuatan yang ada di dalam diri manusia yang mampu merasakan adanya kebutuhan 13
Lihat E. Sumaryono, Etika Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas. Yogyakarta: Kanisius, 2002. 531
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 519-536
jasmani/badani yang harus dipenuhi, misalnya sandang, pangan dan papan. Daya rasa spiritual adalah daya atau kekuatan yang ada di dalam diri manusia yang mampu merasakan adanya kekuatan lain yang melebihi kekuatan manusia. Pengenalan tentang adanya kekuatan lain tersebut, dalam kaitan ini adalah kekuatan Tuhan YME, merupakan suatu kebutuhan rohani yang harus dipenuhi. Daya rasa intelektual adalah daya atau kekuatan yang ada di dalam diri manusia yang mampu berpikir dengan menggunakan akal sehat/berpikir secara rasional untuk merasakan bagaimana memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani tersebut secara seimbang. Daya rasa sosial adalah daya atau kekuatan yang ada di dalam diri manusia yang mampu merasakan perlunya bantuan manusia lainnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Daya rasa estetika adalah daya atau kekuatan yang terdapat di dalam diri manusia yang mampu merasakan adanya keindahan lahiriah dan batiniah. Perpaduan kelima daya rasa tersebut di atas menyebabkan manusia memiliki kencenderungan untuk mengedepankan sifat baik dan menjauhkan sifat buruknya dalam bersikap dan berperilaku. Daya rasa spiritual dan daya rasa intelektual menyadarkan manusia bahwa di luar dirinya ada kekuatankekuatan yang berada di luar kekuasaannya. Kekuatan-kekuatan tersebut berada di bawah kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah menciptakan manusia dan bumi beserta segala isinya. Hubungan antara manusia dan Tuhan menghasilkan kaidah agama. Sementara itu, hubungan antara sifat baik dan buruk di dalam diri manusia dengan kecenderungan untuk senantiasa memunculkan sifat-sifat manusia yang baik telah melahirkan kaidah kesusilaan. Daya rasa apetitual manusia yang bersifat jasmaniah mendorong manusia untuk berupaya memenuhi kebutuhan hidup jasmani. Dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut telah menjadikan manusia sebagai makhluk ekonomi. Kombinasi daya rasa apetitual, daya rasa intelektual dan daya rasa sosial menyadarkan manusia bahwa pemenuhan sebagian terbesar kebutuhan hidupnya tersebut hanya dapat dipenuhi dengan bantuan manusia lainnya. Manusia tidak dapat menolak takdirnya sebagai makhluk sosial yang harus hidup saling berdampingan, rukun dan damai dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Hubungan antar manusia dalam kehidupan masyarakat menumbuhkan kaidah kesopanan. Manusia juga merupakan makhluk budaya, yaitu makhluk yang bersikap dan berperilaku berdasarkan kaidah-kaidah sosial (kaidah agama, kesusilaan dan kesopanan) dan kaidah hukum yang berlaku. Kebutuhan hidup manusia dipenuhi dengan memanfaatkan sumber daya yang terdiri dari sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan. Dalam kaitan ini, manusia sebagai makhluk ekonomi 532
Beberapa Pendekatan untuk Memahami Hukum, Tommy Hendra Purwaka
mempunyai kecenderungan untuk memanfaatkan sumber daya yang terbatas sifatnya untuk memenuhi kebutuhannya yang tak terbatas sifatnya. Bila masing-masing manusia diberi kebebasan sekehendak hatinya untuk memanfaatkan sumber daya yang terbatas guna memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas, maka hanya manusia yang kuat saja yang akan dapat memenuhi kebutuhannya, sedangkan yang lemah akan sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keadaan seperti ini akan menimbulkan ketidaktertiban dalam kehidupan masyarakat. Untuk mencegah terjadinya ketidaktertiban dan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup manusia secara optimal, maka segala upaya pemenuhan kebutuhan hidup melalui pemanfaatan sumber daya harus diatur oleh hukum. Hukum akan mengatur hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan antar warga masyarakat sebagai makhluk ekonomi, makhluk sosial dan makhluk budaya dalam memanfaatkan sumber daya guna memenuhi kebutuhan hidup. Uraian singkat di atas menunjukkan bahwa keberadaan hukum memang dikehendaki oleh masyarakat berbudaya. Hukum merupakan aspirasi masyarakat dan oleh karena itu hukum adalah produk pergaulan hidup sosial kemasyarakatan. Keberadaan hukum disepakati dan diputuskan oleh masyarakat. Proses pengambilan keputusan untuk menyepakati keberadaan dan berlakunya hukum tersebut disebut sociological jurisprudence.14 Dalam keputusan tersebut disepakati bahwa seluruh anggota masyarakat akan tunduk dan patuh kepada hukum. Setiap anggota masyarakat akan mengarahkan setiap kegiatannya dengan senantiasa mengacu kepada hukum. Dengan kata lain, hukum melalui sociological jurisprudence tersebut didudukkan pada posisi untuk melakukan rekayasa sosial atau social engineering. Hukum sebagai the living law mampu mengarahkan kehidupan masyarakat ke arah terwujudnya masyarakat yang tertib dan adil. Hukum sebagai the living law memang hidup bersama dan bersatu dengan kehidupan masyarakat. Menurut Sir Carleton Kemp Allen (1978),15 hukum yang hidup di dalam masyarakat bersumber pada custom (adat/ kebiasaan), precedence (putusan hakim), equity (keadilan), dan legislation (legislasi). Custom atau adat/kebiasaan sebagai sumber hukum mengandung kaidah-kaidah sosial yang terdiri dari kaidah agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan. Kaidah-kaidah sosial yang hidup secara nyata dalam kegiatan masyarakat merupakan sumber hukum materiil, yaitu sumber materi hukum yang secara riil melandasi adanya hukum, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan dan lingkungan. Dalam 14
Lihat Andrew B.L. Phang, Theories of Law, Singapore: Faculty of Law, National University of Singapore, 2001 (pp. 8-30). 15 Sir Carleton Kemp Allen, Law in the Making. Reprinted. Oxford: Clarendon Press, 1978. 533
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 519-536
kaitan ini, equity/justice atau keadilan, certainty atau kepastian, dan truth atau kebenaran merupakan sumber hukum materiil, yaitu sumber materi hukum yang secara idiil melandasi adanya hukum. Sedangkan hasil proses legislasi (legislation) berupa peraturan perundang-undangan dan putusan hakim (precedence, jurisprudence) merupakan sumber hukum formil. Keberadaan hukum di dalam kehidupan masyarakat dimaksudkan untuk mengatur kepentingan publik dan kepentingan privat. Hukum yang mengatur kepentingan publik atau kepentingan umum disebut hukum publik, dan yang mengatur kepentingan privat atau kepentingan individu disebut hukum privat. Hukum publik dipertahankan oleh negara dan hukum privat dipertahankan oleh masing-masing individu. Walaupun demikian, keberadaan hukum privat tersebut merupakan kehendak umum atau aspirasi masyarakat. Adanya hukum privat yang seperti itu merupakan kepentingan publik. Dengan demikian dapat dikatakan di sini bahwa keberadaan hukum publik dan hukum privat merupakan kepentingan umum. Kepentingan umum ini terdiri dari berbagai aspirasi masyarakat yang disalurkan melalui berbagai saluran-saluran politik seperti pemerintah, parlemen, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, organisasi non pemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi sosial lainnya. Dari uraian ini dapat dipahami bahwa hukum merupakan keputusan politik, dan sociological jurisprudence sebagai proses pembentukan hukum dapat dikatakan sebagai proses politik. Pengembangan Pendekatan Pemahaman Hukum Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya tersebut di atas jelas dapat memperkaya pemahaman terhadap hukum. Masing-masing pendekatan tersebut masih dapat dikembangkan lebih spesifik lagi. Sebagai contohnya, pendekatan politik dapat dikembangkan dengan pendekatan kebijakan publik, pendekatan ekonomi dengan pendekatan supply and demand, pendekatan sosial dengan pendekatan stratifikasi sosial, dan pendekatan budaya dengan pendekatan pelembagaan nilai-nilai untuk memahami hukum. Disamping itu, pendekatan lainnya seperti pendekatan hukum, pendekatan kelembagaan, dan pendekatan lingkungan masih dapat dikembangkan. Dengan demikian, pemahaman terhadap hukum dengan mempergunakan pendekatan-pendekatan yang senantiasa dikembangkan akan mengakibatkan pemahaman terhadap hukum tersebut memiliki dinamika kehidupan.
534
Beberapa Pendekatan untuk Memahami Hukum, Tommy Hendra Purwaka
Daftar Pustaka Allen, Sir Carleton Kemp, Law in the Making. Reprinted. Oxford: Clarendon Press, 1978. Beckman, Robert C., Brady S. Coleman and Joel Lee, Case Analysis and Statutory Interpretation. Second Edition. Cases and Materials. Singapore: Faculty of Law, National University of Singapore, 2001 Daliyo, J.B. et. al., Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: APTIK dan Gramedia, 1989. Friedman, Lawrence M., Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial. Terjemahan M. Khozim. Judul asli “The Legal System, A Social Science Perspective.” Cetakan I. Bandung: Nusa Media, 2009. Garner, Bryan A., Black’s Law Dictionary. Seventh Edition, St. Paul, Minn: West Group, 1999. Gautama, Sudargo Undang-Undang Arbitrase Baru 1999, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999. Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan. Kumpulan karya tulis. Bandung: Alumni, 2002. Mahfud M.D., Moh., Politik Hukum di Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009. Mitnick, Barry M., The Political Economy of Regulation. Guildford, Surrey, NY: Columbia University Press, 1980. Ohmae, Kenichi, The End of The Nation State. London: Harper Collins, 1995. Phang, Andrew B. L., Theories of Law, Singapore: Faculty of Law, National University of Singapore, 2001. Purwaka, Tommy Hendra, Pengantar Hukum Bisnis. Jakarta: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, 2004. Purwaka, Tommy Hendra, Model Analisis Pengembangan Kapasitas. Jakarta: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Januari 2008. Purwaka, Tommy Hendra, Instrumentasi dan Standarisasi Kebijakan Lingkungan Hidup. Jakarta: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Oktober 2008. Romano, Roberta, Foundation of Corporate Law. NY: Oxford University Press, 1993. Sumaryono, E., Etika Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
535
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015: 519-536
536
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
BIOGRAFI PENULIS Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., SH., SU., lahir di Sampang, Madura, tanggal 13 Mei 1957, lebih dikenal sebagai staf pengajar dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta sejak tahun 1984. Sebelum menjabat sebagai Hakim Konstitusi Prof. Mahfud MD pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI (2000-2001), Menteri Kehakiman dan HAM (2001), Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) (20022005), Rektor Universitas Islam Kadiri (2003-2006), Anggota DPR-RI, duduk di Komisi III (2007-2008), Wakil Ketua Badan Legislatif DPR-RI (2007-2008), Pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), Anggota Tim Konsultan Ahli pada Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Depkum-HAM Republik Indonesia. Selain itu, beliau juga masih aktif mengajar di Universitas Islam Indonesia (UII), UGM, UNS, UI, Unsoed, dan lebih dari 10 Universitas lainnya pada program Pasca Sarjana S2 & S3. Mata kuliah yang diajarkan adalah Politik Hukum, Hukum Tata Negara, Negara Hukum dan Demokrasi serta pembimbing penulisan tesis dan desertasi. Nama : H. Yulius, SH., MH Pekerjaan : Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia Pendidikan : Saat ini sedang menempuh S-3 (kandidat Doktor) pada Universitas Padjadjaran Bandung Tempat/Lahir: Bukit Tinggi, tanggal 17 Juli 1958
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Nama Lengkap NIP KARPEG Tempat/Tanggal Lahir Jenis Kelamin Pangkat/Gol. Ruang Terhitung mulai tanggal Jabatan Terhitung mulai tanggal Unit Kerja Alamat Kantor
: : : : : : : : : : :
12. Alamat Rumah
:
13. Telepon/HP
:
H. Subiharta, S.H., M.H. 19570717 198512 1 004 C 0908986 Yogyakarta, 17-07-1957 Laki-Laki Pembina Utama Madya/(IV/d) 01-04-2014 Hakim Tinggi 17-05-2013 Pengadilan Tinggi Kendari Jl. Mayjend DI. Panjaitan No.165, Kendari Rumah Dinas Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Jl. Padae Puncak – Kendari, Sulawesi Tenggara 0817910912
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
14. Email
:
[email protected]
Riwayat Pendidikan No Jenjang 1. 2.
SD SMP
3.
SMA
4. 5. 6.
S1 S2 S3
Lembaga SD Negeri SLTP Muhammadiyah SLTA Muhammadiyah UGM UNDIP Universitas Jayabaya
Tempat
Fakultas/ Jurusan
Tahun
Yogyakarta Yogyakarta -
1970 1973
Yogyakarta IPS
1976
Yogyakarta Hukum Semarang Hukum Jakarta Hukum
1984 1999 2015
Riwayat Pengangkatan dan Kepangkatan No TMT Pangkat/ Jabatan 1. 01-12-1985 CPNS/Cakim 2. 01-04-1987 Penata Muda/PNS/ Cakim 3. 01-04-1990 Penata Muda Tk.1/ Hakim 4. 01-04-1994 Penata/Hakim 5. 01-04-1998 Penata Tk.1/Hakim 6. 01-04-2002 Pembina/Hakim 7. 01-04-2006 Pembina Tk.1/ Hakim 8. 01-04-2010 Pembina Utama Muda/ Hakim 9. 01-04-2014 Pembina Utama Madya/ Hakim Riwayat Pekerjaan No TMT Pangkat/Jabatan 1. 01-12-1985 CPNS/Cakim 2. 01-04-1987 PNS/Cakim 3. 02-09-1989 Hakim PN 4. 14-01-1991 Hakim PN 5. 15-06-1995 Hakim PN 6. 28-03-2000 Hakim PN 7. 11-07-2002 Hakim PN 8. 26-09-2006 Wakil Ketua PN 9. 26-07-2007 Ketua PN 10. 23-11-2009 Hakim PN 11. 19-11-2010 Hakim Niaga 12. 17-05-2013 Hakim Tinggi PT
G/R III/a III/a III/b III/c III/d IV/a IV/b IV/c
Keterangan
IV/d
Unit Kerja PN Klaten PN Klaten PN Takengon PN Sigli PN Demak PN Pamekasan PN Sukabumi PN Sukoharjo PN Sukoharjo PN Medan PN Medan PT Kendari
Keterangan
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Pendidikan/Pelatihan, Seminar, Workshop dan Kegiatan Selama 10 Tahun Terakhir Nama Pendidikan/ Pelatihan, Seminar, No Penyelenggara Tempat Simposium, Penataran, Karya Ilmiah 1. Workshop “Competition ACFC dan Jakarta Law & Policy for the Mahkamah Judiciary of Indonesia” Agung RI 2. Workshop Hukum Mahkamah Jakarta Persaingan Usaha Bagi Agung RI dan Hakim Pengadilan Negeri Komisi Pengawas 3. Seminar Hukum IDI Cab. Sukabumi Kesehatan Sukabumi dan “Keseimbangan Hak & IKAHI Kewajiban antara Dokter, Tenaga Kesehatan, Pasien & Keluarga Pasien 4. Seminar Hukum Mahkamah Semarang Persaingan Usaha Hakim Agung RI dan Pengadilan Negeri KPPU serta Deutsche GTZ 5. Seminar Hakim IKAHI Pusat Jakarta Komisaris 6. TOT Pengajar Hakim Mahkamah Bogor Muda Agung RI 7. Seminar HKI JICA/Dirjen Medan HKI 8. Diklat Hakim Perikanan Mahkamah Bogor Agung RI 9. Seminar Hukum Universitas Medan Pertanahan Prima Medan 10. Workshop Sistem Kanwil Hukum Medan Peradilan Pidana Anak dan HAM SUMUT 11. Pelatihan Hakim Tindak Mahkamah Bogor Pidana Korupsi Agung RI
Ilmiah
Tahun 2005
2005
2006
2006
2011 2011 2011 2011 2012 2013
2013
Dr. Catur Irianto, S.H., M.Hum., lahir tanggal 22 Juli 1962, pendidikan S1 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, lulus tahun 1985, pendidikan S2 Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang lulus tahun 2001. Pernah bertugas sebagai Hakim Niaga Pengadilan Negeri Medan, sebagai Ketua Pengadilan Negeri Sumedang, Tahun 2006-2008, Ketua Pengadilan Negeri Cianjur, Tahun 2012-2013, Ketua Pengadilan Negeri
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Bale Bandung 2014-2015. Sekarang Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Tri Cahya Indra Permana, S.H., M.H., dilahirkan di Jakarta 13 Mei 1978. Saat ini menjabat sebagai Hakim di PTUN Jakarta sejak Tahun 2013. Mengawali karier sebagai Junior Associate di SRLegal tahun 2000. Beralih profesi menjadi calon Hakim tahun 2001 di PTUN Yogyakarta, diangkat menjadi Hakim di PTUN Pekanbaru tahun 2004. Mutasi ke PTUN Semarang tahun 2008 dan ke PTUN Surabaya Tahun 2011. Pendidikan SMA Lulus dari SMAN 70 Jakarta Tahun 1995, S-1 lulus dari FH Unsoed Tahun 2000, S-2 dari Undip lulus Tahun 2010 dan saat ini sedang menempuh Program Doktor di PDIH Undip. Noor Ichwan Ichlas Ria Adha, S.H., lahir di Jakarta tanggal 4 Maret 1968 dan sekarang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Sabang. Ir. Nonot Harsono, M.T., lahir di Jember, 4 April 1965, meraih gelar Insinyur Teknik Elektro pada tahun 1989 dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Dari institut yang sama, gelar Magister Teknik diselesaikan pada tahun 1999. Sejak SMP memiliki kegemaran elektronika, seperti membuat radio penerima, dan sejenisnya, hingga akhirnya memilih kuliah di Teknik Elektro ITS Surabaya pada tahun 1983. Terpaksa memilih untuk tidak melanjutkan studi S3 meskipun banyak peluang dari pada professor universitas terkemuka di Jepang yang menjadi expert JICA selama proyek pengembangan pendidikan politeknik elektronika-telekomunikasi di Surabaya. Sungguh pilihan yang sulit karena sebenarnya ia menyukai penelitian yang rumit. Lebih dari 20 tahun mengajar di Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS). Beberapa posisi manajemen melengkapi karirnya, seperti: Ketua Jurusan Telekomunikasi, Direktur Administrasi Umum dan Keuangan di Manajemen PENS (2001-2005), Supervisor Project of JICA Grant for EEPIS expansion (2002-2004), Sekretaris LPIU di Project on Developmenr of Undergraduate Education (1999-2004), Ketua Curriculum Board of Telecom Department (2004-2007), Ketua UPT Jaringan Komputer PENS (2005-2008), Ketua Tim Persiapan Jurusan Multimedia Broadcast (2006-2008). Terpilih pertama kali sebagai salah satu Komisioner Komite Regulasi Telekomunikasi – Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (KRTBRTI) pada tahun 2009, dan terpilih kembali untuk periode kedua yaitu 2012-2015. Ia memiliki motto “Berbuat sebaik mungkin, sekecil apapun kontribusinya”.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Ketut Darmika, S.H., M.H. Lahir di Banjarmasin, 27 Desember 1973, adalah seorang Kowal/TNI AL yang berkantor di Dinas Hukum TNI AL, Mabes TNI AL, Gedung B-4 Lt. 5 Cilangkap, Jakarta Timur. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Udayana (S.1) di Denpasar Bali, tahun 2004, yang telah melakukan penelitian pada strata satu dengan judul kajian tentang Eksistensi Perwira TNI AL sebagai Penyidik Tindak Pidana Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)), kemudian alumus Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Jayabaya (S.2) lulus pada bulan Mei 2015, dengan konsentrasi kajian tentang Penegakan hukum tindak pidana perikanan oleh Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) dalam perspektif Undang-Undang RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Data Pribadi: 1. Nama Lengkap 2. Tempat Tanggal Lahir 3. Jenis Kelamin 4. Agama 5. Status 6. Golongan Fungsional 7. Golongan Jabatan 8. Alamat & No.Telp Rumah
9. Alamat & No Telp Kantor 10. Email 11. Telepon/HP
2.
: Dr. Hj. Henny Nuraeny, SH. MH : Rangkasbitung, 28 Maret 1962 : Perempuan : Islam : Kawin : Lektor Kepala : Pembina Utama Muda/ IV C : BTN Griya Nugratama B IV No. 1 Pasir Hayam - Cianjur Jawa Barat Telp (0263) 2289765 : Jl. Pasir Gede Raya (0263) 262773 :
[email protected]. : 0816610530.
B. Jabatan Struktural: 1. Tahun 1986 – 1987 : Dosen Kopertis Wil IV Dpk UNTIRTA Serang Tahun 1987-sekarang : Dosen Kopertis Wil IV Dpk pada Sekolah Tinggi Hukum (STH) Suryakancana Cianjur (Sekarang UNSUR Cianjur) 3. Tahun 1999 : Pembantu Ketua I STH Suryakancana 4. Tahun 2000 - 2004 : Pembantu Dekan I Fakultas Hukum UNSUR 5. Tahun 2004 – 2008 : Pembantu Dekan I Fakultas Hukum UNSUR 6. Tahun 2008 – 2013 : Dekan Fakultas Hukum UNSUR Periode ke I 7. Tahun 2013 – 2018 : Dekan Fakultas Hukum UNSUR Periode ke II
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
C. Pendidikan Formal: SD : SDN Teladan Rangkasbitung, Lulus Tahun 1973 SLTP : SMPN I Rangkasbitung, Lulus Tahun 1976 SLTA : SMAN 2 Bandung, Lulus Tahun 1980 Perguruan Tinggi : Fakultas Hukum UNPAR Bandung Jurusan Hukum Pidana Lulus Tahun 1986 Pascasarjana : Ilmu Hukum UNISBA Bandung Lulus Tahun 2002 Program Doktor : Ilmu Hukum UNPAR Bandung, Lulus Tahun 2010 Tommy Hendra Purwaka, SH, LLM, PhD, Lahir di Yogyakarta, 4 Maret 1951. Gelar Sarjana Hukum di bidang Hukum Perdata (SH) diperoleh dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta (1977), gelar LLM di bidang Law and Marine Affairs diperoleh dari School of Law University of Washington, Seattle, USA (1982), dan gelar PhD di bidang Marine and Economic Geography diperoleh dari Department of Geography, University of Hawaii at Manoa, Hawaii, USA (1989). Saat ini penulis adalah dosen tetap dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya, serta menjadi dosen tidak tetap pada Program Magister Hukum Universitas Pelita Harapan, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Tarumanegara, Program Magister dan Doktor Ilmu Lingkungan di Program Studi Kajian Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
PEDOMAN PENULISAN JURNAL Jurnal Hukum dan Peradilan adalah media yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, terbit setahun 3 (tiga) kali (Maret, Juli dan November). Jurnal Hukum dan Peradilan menerima sumbangan naskah di bidang Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan di media lain dengan ketentuan: 1. Naskah dikirim dalam bentuk karya tulis ilmiah seperti hasil penelitian lapangan, analisis/tinjauan putusan lembaga peradilan, kajian teori, studi kepustakaan serta gagasan kritis konseptual yang bersifat obyektif, sistematis, analitis, dan deskriptis. 2. Penulisan hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baku, lugas, sederhana dan mudah difahami dan tidak mengandung makna ganda. 3. Naskah harus orisinil dibuktikan dengan pernyataan akan keorisinilan naskah tersebut oleh penulis. 4. Naskah dapat dalam bahasa Indonesia sepanjang 10-20 halaman. Naskah diketik diatas kertas A4 menggunakan huruf Time New Roman ukuran 12, spasi 1,5. Naskah harus disertai abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, antara 100-150 kata. 5. Sistematika penulisan hasil penelitian harus mencakup: Judul, Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Abstrak (berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris), Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Metode Penelitian, Hasil penelitian dan Pembahasan, Kesimpulan, daftar Pustaka. 6. Sistematika penulisan analisis putusan, kajian teori, wacana hukum harus mencakup: Judul, Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Abstrak (berhasa Indonesia dan bahasa Inggris), Pendahuluan, Pembahasan (dibuat sub judul sesuai dengan permasalahan yang dibahas), Kesimpulan, Daftar Pustaka. 7. Penulisan daftar pustaka secara alfabetis mengikuti Turabian Style dengan tata cara penulisan sebagai berikut: Buku. Weiss, Daniel A. Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence, Seattle: University of Washington Press, 1962. Makalah. Knight, Robin. “Poland’s Feud in the Family.”, New York, 10 September 1990, 52-53, 56.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Artikel Jurnal. Sommer, Robert. “The Personality of Vegetables: Bonatical Metaphors for Human Characteristics.” Journal of Personality 56, no. 4 (December 1988): 665-683. Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan. Tillich, Paul. “Being and Love” In Moral Principles of Action, ed. Ruth N. Anshen, 661-72. New York: Harper & Bros., 1952. Internet Rost, Nicolas, Gerald Schneider, and Johannes Kleibl. “A Global risk assessment model for civil wars.” Social Science research 38, no. 4 (December 2009): 921-933. http//www.sciencedirect.com/science/ article/B6WX84WMM7CY1/2/aa8571448b4774e8831a (accessed October 15, 2009) 8. Daftar pustaka hendaknya dirujuk dari edisi paling mutakhir. 9. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (footnotes) mengikuti turabian Style dengan tata cara penulisan sebagai berikut: Buku. Daniel A. Weiss, Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence (Seattle: University of Washington Press, 1962), 62. Makalah. Robin Knight, “Poland’s Feud in the Family.”,U.S. New and Work Report, 10 September 1990, 52. Artikel Jurnal. Robert Sommer, “The Personality of Vegetables: Bonatical Metaphors for Human Characteristics.” Journal of Personality 56, no. 4 (December 1988): 670. Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan Paul Tillich, “Being and Love,” in Moral Principles of Action, ed. Ruth N. Anshen (New York): Harper & Bros., 1952), 663. Internet Nicolas Rost, Gerald Schneider, and Johannes Kleibl, “A global risk assessment model for civil wars,” Social Science Research 38, no.4 (December 2009): 922, http://www.sciencedirect.com/science/ B6WX84WMM7CY1/2/aa85435453ae88c432a 10. Naskah kiriman dalam bentuk softcopy atau hardcopy yang dilampiri dengan biodata singkat (CV) penulis, copy NPWP penulis, alamat email, No. telp/hp, naskah dapat dikirim via email ke e-mail redaksi jurnal atau puslitbang kumdil Mahkamah Agung RI 11. Naskah dikirim atau diserahkan secara langsung, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum penerbitan kepada:
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274
Redaksi Jurnal Mahkamah Agung Gedung Skretariat Mahkamah Agung RI Jl. Jend. A. Yani Kav. 58 Lt. 10 Cempaka Putih Jakarta Pusat 13011 email:
[email protected] atau puslitbangkumdil@ yahoo.co.id 12. Naskah yang tidak memenuhi format ketentuan diatas tidak akan diseleksi. Dewan editor berhak menyeleksi dan mengedit naskah yang masuk tanpa merubah substansi. Kepastian atau penolakan naskah akan diberitahukan kepada penulis. Prioritas pemuatan artikel didasarkan pada penilaian substansi dan urutan naskah yang masuk ke Redaksi Jurnal Mahkamah Agung. artikel yang tidak dimuat tidak dikembalikan kepada penulis.
Jurnal Hukum dan Peradilan Menyampaikan terima kasih Kepada para Mitra Bestari (Referee) dan semua pihak Yang telah membantu penerbitan jurnal ini Volume 4 Nomor 3 November 2015
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015 ISSN: 2303-3274