HUKUM ACARA PERDATA
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
PENGAJAR : Ibu Retno Ibu Fatimah Ibu S. Laksmi Ibu Hening Hapsari Ibu Sony Endah Bpk Yusak Sanip Bpk Arman Bustaman
BUKU : Soepomo Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Retno Wulan Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Sudikno Mertokusumo Hukum Acara Perdata Indonesia. Yahya Harahap Hukum Acara Perdata. Lilik Mulyadi Hukum Acara Perdata menurut Teori dan Praktek Pengadilan RIB/HIR. UU No. 14 Tahun 1970 Æ UU No. 35 Tahun 1999 Æ UU No. 4 Tahun 2004
Pengertian Hukum Acara Perdata: Hukum yang mengatur mengenai bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim (Prof. Sudikno Mertokusumo). Fungsi: Untuk melaksanakan hukum perdata materiil Sifat: Inisiatif berasal dari seseorang atau beberapa orang yang merasa haknya dilanggar.
LINGKUNGAN PERADILAN Pasal 1 UU No. 4/2004 menyatakan bahwa: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dan demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa: ”Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.” Dalam Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa: ”Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 2 UU No 4/ 2004 menyebutkan bahwa: Badan peradilan yang berada di bawah MA meliputi badan peradilan dalam lingkungan: •
Peradilan Umum
•
Peradilan Agama
•
Peradilan Militer
•
Peradilan Tata Usaha Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
1
Menurut Pasal 15 ayat (1) UU No. 4/2004, Pengadilan Khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang dimaksud dalam Pasal 10. Yang dimaksud ”Pengadilan Khusus” menurut Penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU No. 4/2004 misalnya Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di lingkungan Peradilan Umum, dan Pengadilan Pajak di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilakukan oleh Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) dan berpuncak pada mahkamah agung (MA). Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU No. 4/2004, Mahkamah Agung Merupakan Pengadilan Negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan dibawahnya.” PN dalam melaksanakan tugas pokoknya: menerima, emeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara dan merupakan pengadilan tingkat pertama, (judex factie). PT merupakan pengadilan tingkat banding, memeriksa kembali/ulang perkara yang telah diputus di PN (judex factie). MA merupakan pengadilan tingkat kasasi dan PK, merupakan pengadilan negara tertinggi, MA tidak memeriksa kembali/ulang perkara yang telah diputus di PN dan/atau PT, MA memeriksa mengenai penerapan hukumnya saja (judex juris). MAHKAMAH AGUNG
PENGADILAN TINGGI
PENGADILAN TINGGI AGAMA
PENGADILAN TINGGI PTUN
MAHKAMAH MILITER TINGGI
PENGADILAN NEGERI
PENGADILAN AGAMA
PENGADILAN PTUN
MAHKAMAH MILITER
Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
2
SUMBER HUKUM ACARA PERDATA Dasar Hukum : 1.
HIR (Herziene Inlands Reglement) S. 1941:44 atau RID (Reglemen Indonesia yang Diperbaharui) berlaku di Jawa dan Madura.
2.
Rbg (Reglement Buitengewesten) S. 1927:229 yang berlaku di luar Jawa dan Madura.
3.
UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
4.
UU tentang Peradilan Umum No. 2/1986 jo. UU No. 8/2004.
5.
UU tentang Mahkamah Agung No. 14/1985 jo UU No. 5/2004.
6.
Pengadilan Niaga: UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU.
7.
Arbitrase: UU No. 31/1999.
8.
Class Action: Perma No. 1/2002.
9.
Mediasi: Perma No. 1/2008 menggantikan Perma No. 2/2003
10. Gijzeling: Perma No. 1/2000. Penggolongan penduduk pada masa Belanda: 1. Golongan Eropa dan yang dipersamakan 2. Golongan Timur Asing dan yang dipersamakan 3. Golongan Bumiputera Berlaku surut
Pada saat diundangkan
Ditentukan
Berlakunya suatu undang‐undang
Pada masa yang akan datang Tidak Ditentukan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
3
ASAS‐ASAS HUKUM ACARA PERDATA 1. Hakim bersifat menunggu (Pasal 16 ayat (1) dan 28 ayat (1) UU No. 4/2004). 2. Hakim Pasif (Pasal 5 ayat (2) UU No. 4/2004). 3. Persidangan bersifat terbuka (Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU No. 4 Tahun 2004). 4. Mendengar kedua belah pihak (Pasal 5 ayat (1) UU No.4/2004). 5. Putusan harus disertai alasan‐alasan (Pasal 25 ayat (1) jo. 19 ayat (4) UU No.4/2004). 6. Beracara dikenakan biaya (Pasal 4 ayat (2) jo. 5 ayat (2) UU No. 4/2004). Kecuali bagi orang yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan ijin untuk berperkara dengan tidak dikenakan biaya (Prodeo) Pasal 237 HIR. 7. Tidak ada keharusan mewakilkan (Pasal 123 ayat (1) HIR).
KEWENANGAN MENGADILI (KOMPETENSI) Kompetensi absolut: Kewenangan mengadili antara berbagai macam badan peradilan (Pasal 134 HIR/ 160 Rbg). Kompetensi relatif: Kewenangan mengadili antara pengadilan yang setingkat dan sejenis (Pasal 118 ayat (1) HIR) Asas: Actor Sequitur Forum Rei Makna Pasal 118 ayat (1) HIR: 1. Kompetensi relatif 2. Cara mengajukan gugatan 3. Cara menghadap Ad.1 Kompetensi Relatif •
Ayat 1 : gugatan diajukan ke PN di wilayah tergugat bertempat tinggal (Actor Sequitur Forum Rei).
•
Ayat 2 : bila tergugat > 1 orang, atau jika antara para tergugat terdapat hubungan sebagai pengutang utama dan penanggung/penjamin.
•
Ayat 3 : jika tergugat tidak diketahui, maka gugatan dapat diajukan ke PN dimana penggugat bertempat tinggal, atau jika gugatan mengenai benda tetap, maka gugatan dapat diajukan ke PN dimana barang tetap tersebut terletak (Forum rei sitae).
•
Ayat 4 : gugatan dapat diajukan ke PN yang dipilih oleh para pihak (dalam perjanjian/dengan suatu akta). Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
4
Ad. 2 Cara mengajukan gugatan •
Lisan : Untuk yang buta huruf (120 HIR).1
•
Tertulis : ditandatangani oleh yang bersangkutan atau kuasanya.
Ad. 3 Cara menghadap •
proses partij materiil (tanpa kuasa): pemohon/penggugat sendiri.
•
proses partij formil (dengan kuasa khusus) Pasal 123 ayat (1): o
pengadilan mana gugatan ditujukan;
o
apa masalahnya;
o
siapa kuasanya.
Permohonan (Jurisdictie
Voluntair)
Perkara Perdata
Gugatan
(Jurisdictie Contentiousa)
Perbedaan Permohonan dan Gugatan: Permohonan
Gugatan
Satu pihak
Sekurang‐kurangnya 2 pihak
Tidak ada sengketa
Ada sengketa
Hasilnya berupa PENETAPAN: awal dan akhir atau Hasilnya berupa PUTUSAN tidak ada banding Sifatnya : konstitutif (menciptakan suatu hal baru), Sifatnya : condemnatoir (menghukum) deklaratif (pengakuan) Diajukan
ke
Pengadilan
Negeri
tempat Diajukan ke Pengadilan Negeri tempat Tergugat
Pemohon/Penggugat bertempat tinggal
bertempat tinggal
Contoh permohonan:
Contoh Gugatan:
1. Adopsi
1. Gugatan wanprestasi
2. Penetapan ahli waris
2. Gugatan perbutan melawan hukum (PMH)
1 Untuk yang buta huruf dapat langsung pergi menghadap Ketua Pengadilan Negeri yang dimaksud selanjutnya perkara tersebut dicatat, dapat diwakilkan oleh kuasanya tetapi harus dengan cap jempol penggugat/pemohon yang dilegalisisr oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
5
3. Permohonana talak 4. Permohonan pernyataan pailit
Menerima
Jenis kewenangan Hakim terhadap Permohonan atau Gugatan
Menolak
Tidak Berwenang
Tidak Masuk Akal
TAHAPAN BERACARA Terbagi menjadi: 1. Segi administratif 2. Segi yudisial ad.1 Segi administratif • Pihak Penggugat 1. mengajukan gugatan/permohonan; 2. membayar ongkos perkara (persekot); 3. menerima tanda bukti pembayaran. • Pihak Pengadilan 1. Panitera menerima perkara yg diajukan dan memberi no register perkara; 2. Panitera menyampaikan Ketua Pengadilan Negeri (KPN); 3. KPN menentukan Majelis Hakim; 4. Majelis Hakim menentukan hari sidang pertama; 5. Panitera membuat surat panggilan; 6. Juru Sita menyampaikan surat panggilan kepada para pihak. 4 Dokumen penting dalam segi administratif: •
Surat penetapan hari sidang pertama;
•
Surat panggilan;
•
Berita Acara Pemanggilan (relass);
•
Daftar Perkara (roll).
Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
6
Syarat menyampaikan surat panggilan: •
Disampaikan langsung;
•
Minimal 3 hari kerja;
•
Pendelegasian wewenang bila berbeda tempat tinggal (388, 389, 390 HIR).
Juru sita menyampaikan: •
Surat panggilan
•
Relass
•
Salinan gugatan
Ad. 2 Segi Yudisial Terbagi atas 4 tahap: 1. Tahap hari sidang pertama; 2. Tahap jawab menjawab; 3. Tahap pembuktian; 4. Tahap putusan hakim dan pelaksanaannya.
Hari Sidang Pertama 4 kemungkinan yang terjadi pada hari sidang pertama: 1.
Penggugat dan Tergugat sama‐sama hadir •
Majelis Hakim harus berusaha mendamaikan secara ex officio (130 HIR)
•
Jika perdamaian tercapai maka dibuat Akta Perdamaian (Akta van Dading) yang bersifat final and binding (terakhir dan mengikat).
• 2.
Jika perdamaian tidak tercapai maka persidangan dilanjutkan.
Penggugat hadir – Tergugat tidak hadir •
Majelis Hakim memeriksa apakah pemanggilan telah dilakukan dengan sah dan patut (122 HIR);
•
Tergugat dipanggil sekali lagi (126 dan 127 HIR);
•
Jika Tergugat pada pemanggilan kedua tetap tidak hadir maka gugatan akan diputus Verstek (125 ayat (1) HIR);
• 3.
Upaya hukum terhadap putusan Verstek adalah Verzet (129 jo 125 ayat (3) HIR).
Penggugat tidak hadir – Tergugat hadir •
Majelis Hakim memeriksa apakah pemanggilan telah dilakukan dengan sah dan patut (122 HIR);
•
Penggugat dipanggil sekali lagi (126 HIR);
Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
7
•
Jika Penggugat pada pemanggilan kedua tetap tidak hadir maka gugatan dianggap gugur dan Penggugat dibebankan biaya perkara (124 HIR).
4.
Penggugat dan Tergugat sama‐sama tidak hadir •
Sidang ditunda dan para pihak akan dipanggil lagi secara sah dan patut.
Syarat‐Syarat Putusan Verstek yg Mengabulkan Gugatan Penggugat: 1.
Tergugat atau para Tergugat dan/atau kuasanya semuanya tidak datang pada hari sidang yg telah ditentukan;
2.
Petitum gugatan tidak melawan hak;
3.
Petitum gugatan beralasan (125 ayat (1) HIR).
Tenggang waktu mengajukan verzet: 14 hari (Pasal 129 (1) HIR)
Tahap Jawab Menjawab 1. Jawaban Tergugat atas gugatan 2. Replik 3. Duplik 4. Kesimpulan Penggugat dan Tergugat Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
8
MEDIASI Dasar Hukum : Perma No. 1/2008 yang menggantikan Perma No. 2/ 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Pertimbangan: 1.
Mengurangi masalah penumpukan perkara; (lihat konsiderans/pertimbangan huruf b)
2.
Salah satu proses penyelesaian sengketa yang dianggap lebih cepat dan murah serta dapat memberikan akses seluas mungkin kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan; (lihat konsiderans/pertimbangan huruf a)
3.
Memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa disamping proses ajudikatif; (lihat konsiderans/pertimbangan huruf b)
4.
Sebagai penyempurnaan lebih lanjut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1/ 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Pasal 130 HIR/154 Rbg); (lihat konsiderans/pertimbangan huruf c)
5.
Mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan
proses
mediasi
ke
dalam
prosedur
berperkara
di
PN;
(lihat
konsiderans/pertimbangan huruf c) Mediasi bersifat wajib (mandatory) atas seluruh perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama (Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2009), kecuali untuk perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2009). Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
9
TAHAP PRA MEDIASI
Surat Gugatan
Diberikan kepada Panitera PN
Panitera menyerahkan kepada KPN
KPN menunjuk majelis hakim Hakim menjelaskan dan mewajibkan Mediasi
Penentuan hari sidang
Hari pertama sidang hakim mewajibkan para pihak menempuh mediasi
Sidang Pertama
Hari itu juga atau Wajib memilih mediator di luar atau di dalam
kerja (Pasal 11)
paling lambat 2 hari
Sepakat memilih
Tidak sepakat memilih
Penunjukan mediator oleh Ketua Majelis Hakim
TAHAP MEDIASI Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
10
Mendapatkan Mediator
Para pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator (Pasal 13)
Dilakukan Mediasi selama 40 hari kerja (Pasal 13 ayat 3) Dapat diperpanjang selama 14 hari kerja (Pasal 13 ayat 4)
Hasil Mediasi
Mencapai Kesepakatan
Tidak Mencapai Kesepakatan
1. Para pihak dengan bantuan mediator
1. Mediator wajib menyatakan secara
wajib merumuskan secara tertulis
tertulis bahwa proses mediasi telah
kesepakatan
gagal dan pemberitahukan kegagalan
yang
dicapai
dan
ditandatangani oleh para pihak atau
2. Hakim
kuasa hukumnya dan mediator. 2. Mediator
memeriksa
kesepakatan
materi
perdamaian
kepada hakim.
untuk
melanjutkan
pemeriksaan
perkara. 3. Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara,
menghindari kesepakatan bertentangan
hakim
pemeriksa
perkara
hukum atau tidak dapat dilaksanakan
berwenang untuk mendorong atau
atau yang memuat iktikad tidak baik.
mengusahakan
perdamaian
tetap
hingga
3. Para pihak wajib menghadap kembali
sebelum pengucapan putusan paling
kepada hakim pada hari sidang untuk
lama 14 hari kerja sejak hari para pihak
memberitahukan
menyampaikan
kesepakatan
pihak
berdamai
kepada hakim.
perdamaian. 4. Para
keinginan
dapat
mengajukan
kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian yang memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai.
Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
11
Keterlibatan ahli (Pasal 16) Atas persetujuan para pihak seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu para pihak dalam penyelesaian perbedaan. Semua biaya jasa seorang ahli atau lebih ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan. Proses mediasi tidak terbuka untuk umum, kecuali (Pasal 6): •
dikehendaki oleh para pihak
•
untuk sengketa publik
Kesepakatan (Pasal 11) •
Memuat pencabutan perkara, atau
•
Menyatakan bahwa perkara telah selesai
•
Wajib diperiksa oleh mediator untuk menghindari adanya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum
•
Wajib diberitahukan kepada hakim yang memeriksa perkara
•
Dapat dikukuhkan sebagai suatu Akta perdamaian
Tidak dapat dijadikan alat bukti (Pasal 13) Notulen atau catatan mediator dalam proses mediasi wajib dimusnahkan sehingga tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lainnya, begitu juga dengan pernyataan dan pengakuan para pihak. Mediator atau salah satu pihak yang terlibat tidak dapat diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan. Tempat pelaksanaan mediasi 1. Dilaksanakan di salah satu ruangan pengadilan (Pasal 20 ayat 1) dengan tanpa dikenakan biaya (Pasal 20 ayat 3). 2. Dapat dilaksanakan di luar pengadilan atas biaya para pihak sendiri berdasarkan kesepakatan para pihak (Pasal 20 ayat 4). Biaya mediator 1. Penggunaan mediator hakim tidak dipungut biaya (pasal 10 ayat 1). 2. Biaya mediator bukan hakim ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan (pasal 10 ayat 2). 3. Mediator wajib menaati Kode Etik Mediator dalam melaksanakan fungsinya: netral dan bersertifikat. Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
12
SURAT KUASA Dasar Hukum: Pasal 1792 ‐ 1813 KUHPerdata dan 123 HIR Pengertian surat kuasa: Pasal 1792 KUHPerdata Cara pemberian kuasa (Pasal 1793 KUHPerdata): •
lisan
•
tertulis
Bentuk pemberian kuasa (Pasal 1795 KUHPerdata): 1. secara khusus 2. secara umum Untuk beracara di pengadilan harus dilakukan dengan surat kuasa khusus (fatwa MA No 531K/Sip/1973). Penerima kuasa khusus tidak diperbolehkan melakukan tindakan yang melampaui kuasa yg diberikan kepadanya (Pasal 1797 KUHPerdata), Hak‐Hak: •
Hak Substitusi (pasal 1802 KUHPerdata)
•
Hak Honorarium: untuk mendapatkan honor (upah) dari pekerjaan yang dilakukan kepada pemberi kuasa.
•
Hak Retensi (pasal 1808 KUHPerdata): hak untuk menahan segala kepunyaan pemberi kuasa yang ada ditangannya sampai terbayar lunas upah yang telah disepakati (misalnya sertifikat tanah atas sengketa warisan).
Berakhirnya pemberian kuasa: pasal 1813 KUHPerdata. Format umum surat kuasa
SURAT KUASA
Identitas para pihak (Pemberi Kuasa dan Penerima Kuasa) ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐KHUSUS‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ • Pihak yang digugat • Pokok sengketa: wanprestasi/ PMH • Kompetensi relatif • Kewenangan penerima kuasa • Hak–hak penerima kuasa Pemberi Kuasa Penerima Kuasa Materai ttd ttd Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
13
RIKI SUSANTO & PARTNERS
Advocates and Legal Consultants
Susanto Tower, 8 - 9th Floor, Jalan Jenderal Sudirman No. 123, Jakarta Pusat Phone: +6221 789 1234, Fax: +6221 789 1233 Website: www.rslaw.com Email:
[email protected]
SURAT KUASA KHUSUS
Yang bertanda‐tangan di bawah ini:
1. Yanto Suyanto, S.E., M.A., pekerjaan wiraswasta bertempat tinggal di Margonda Raya No. 7, RT 03/09, Kelurahan Pondok Cina, Depok. 2. Roni, S.T., M.M., bertempat tinggal Akses UI No. 8, RT 005/002, Kelurahan Desa Tugu, Depok.
(untuk selanjutnya disebut sebagai Pemberi Kuasa), dan yang dalam perkara ini memilih domisili di kantor kuasanya sebagaimana akan disebut di bawah ini, dengan ini memberikan kuasa kepada:
Prof. DR. Iur. Riki Susanto, S.H., LL.M., Ph.D.
Angga Bastian Simamora, S.H., LL.M.
Advokat pada kantor hukum, Riki Susanto & Partners beralamat di Susanto Tower, Lantai 8 ‐ 9, Jalan Jenderal Sudirman No. 123, Jakarta Pusat, (selanjutnya baik bersama‐sama atau sendiri‐sendiri disebut sebagai Penerima Kuasa). ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ KHUSUS ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐
1. Asep Resepsiong, bertempat tinggal di Jalan Sudirman No. 1 Kecamatan Kebayoran
Baru, Kelurahan Senayan, Jakarta Pusat.
2. Jojon Kojonik, bertempat tinggal di Jalan Sudirman No. 2, Kecamatan Kebayoran
Baru, Kelurahan Senayan, Jakarta Pusat.
Untuk dan atas nama serta mewakili Pemberi Kuasa selaku Penggugat melawan:
dalam perkara Perbuatan Melawan Hukum (PMH) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Serta melakukan segala tindakan menurut hukum yang berhubungan perkara tersebut di
atas. Sehubungan dengan itu Penerima Kuasa untuk dan atas nama Pemberi Kuasa dapat menghadap semua pengadilan, petugas dan atau pejabat yang berwenang maupun pihak‐pihak yang terkait di seluruh Indonesia; mengajukan dan menandatangani gugatan; menghadiri persidangan; mengajukan replik; Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
14
bukti‐bukti; menghadirkan saksi‐saksi di persidangan; membuat kesimpulan; mengambil, menerima segala surat‐surat, dokumen‐dokumen; membuat, memberi dan sekaligus menerima keterangan‐ keterangan, memorie‐memorie; membuat dan menyuruh membuat segala panggilan‐panggilan, penetapan‐penetapan; meminta salinan atau petikan dari semua surat‐surat; meminta angkat sumpah; menyerahkan kepada dan/atau menerima pertimbangan pengadilan; membuat penawaran‐ penawaran/perundingan‐perundingan/perdamaian yang materinya telah disetujui oleh Pemberi Kuasa; menandatangani surat‐surat yang diperlukan; menghadap atau menghubungi semua instansi‐instansi, pejabat‐pejabat negara atau swasta guna memperoleh keterangan‐keterangan, salinan‐salinan, petikan‐ petikan, fotocopy‐fotocopy surat atau dokumen yang diperlukan; menerima pembayaran dan membuat kwitansi atas pembayaran tersebut; menjalankan perbuatan‐perbuatan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa untuk mempertahankan kepentingan Pemberi Kuasa, serta mengadakan kompromi.
Singkatnya Penerima Kuasa diberi hak untuk melakukan segala sesuatu yang berguna dan bermanfaat bagi Pemberi Kuasa serta diberi hak untuk memberi kuasa kepada pihak lain/subtitusi baik sebagian atau seluruhnya, selanjutnya untuk menilai dan melaksanakan segalanya sesuatu yang dianggap perlu, cepat, bermanfaat dan tepat, sesuai dengan yang ditentukan dalam peraturan perundang‐undangan yang berlaku bagi Penerima Kuasa.
Surat Kuasa ini dikeluarkan berdasarkan hak honorarium dan hak retensi, serta dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Pemberi Kuasa,
Jakarta, 22 Oktober 2009
Penerima Kuasa,
Yanto Suyanto, S.E., M.A.
Prof. DR. Iur. Riki Susanto, S.H., LL.M., Ph.D.
Roni, S.T., M.M.
Angga Bastian Simamora, S.H., LL.M.
Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
15
GUGATAN HIR tidak mengatur secara tegas, namun berdasarkan yurisprudensi dikenal bahwa gugatan terdiri dari: 1.
Persona Standi In Judicio a. kompetensi b. para pihak c. kualitas para pihak
2.
Posita/Fundamentum Petendi a. kejadian/ peristiwa b. penjelasan duduk perkara c. adanya hubungan hukum
3.
Petitum/Tuntutan apa yang oleh penggugat diminta/diharapkan agar diputuskan hakim.
Penambahan atau Perubahan Gugatan HIR tidak mengatur mengenai Penambahan atau Perubahan Gugatan. Hal ini merupakan kewenangan hakim, akan tetapi dalam praktek mengenai masalah perubahan, pencabutan dan penggabungan surat gugatan dapat dilakukan berdasarkan Pasal 393 HIR. Pada asasnya, perubahan surat gugatan dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah atau menambah pokok gugatan (Pasal 127 RV) selama tidak merugikan Tergugat, pengurangan senantiasa diperbolehkan. Perubahan gugatan juga diperbolehkan sepanjang tidak mengubah atau menambah petitum. Perubahan gugatan dilarang: •
Bila berdasarkan hukum yg sama dimohon pelaksanaan suatu hak lain Contoh: semula dimohon ganti rugi berdasarkan wanprestasi diubah menjadi pemenuhan perjanjian.
•
Adanya penambahan keadaan‐keadaan baru shg diperlukan putusan hakim ttg suatu perhubungan hukum antara para pihak yang lain daripada yang semula telah dikemukakan Contoh: semula dasar gugatan perceraian adalah perzinahan kemudian diubah menjadi keretakan yang tidak dapat diperbaiki lagi.
Perubahan surat gugatan dapat dilaksanakan dalam 2 tahap: 1. Tahap sebelum tergugat mengajukan jawaban 2. tahap sesudah tergugat mengajukan jawaban
Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
16
Apabila perubahan surat gugatan dilakukan sebelum tergugat memberikan jawaban, maka dapat dilakukan tanpa perlu seizin tergugat. Akan tetapi, jika diajukan sesudah ada jawaban dari tergugat harus dilakukan dengan seizin tergugat. Perubahan dapat dilakukan jika: 1. perubahan tersebut tidak merugikan kepentingan kedua belah pihak terutama tergugat. 2. perubahan tersebut tidak menyinggung pokok perkara. 3. perubahan tersebut tidak boleh menimbulkan keadaan baru. 4. Perubahan gugatan dapat dilakukan pada tingkat banding. Sedangkan pencabutan surat gugatan pada dasarnya dilakukan sebelum ada jawaban dari tergugat. Apabila pencabutan dilakukan setelah adanya jawaban tergugat hanya dapat dilakukan dengan seizin tergugat. Pencabutan surat gugatan lazimnya dinyatakan dalam suatu ”penetapan”, apabila sudah ada jawaban dari tergugat. Apabila sebelum adanya jawaban lazimnya dinyatakan dalam ”Berita Acara Sidang” yang kemudian dicatat dalam buku register perkara perdata. Penggabungan Kumulasi Gugatan dan Penggabungan gugatan Bila dalam 1 pengadilan ada 2 perkara yg satu dan lainnya saling berhubungan terutama apabila pgg dan tgg nya sama maka salah satu pihak atau ke‐2nya dapat meminta kepada majelis hakim agar perkara tsb digabung.
Kumulasi gugatan
Kumulasi subyektif
Kumulasi obyektif
Pada umumnya tiap gugatan
Penggabungan
harus berdiri sendiri.
subyek.
tuntutan.
Adanya
2
gugatan
yang
beberapa
Penggabungan
beberapa
dituangkan dalam 1 surat gugatan diperbolehkan apabila pihak penggugat dan pihak tergugat adalah orang yang sama. Dilarang: •
Apabila diperlukan acara khusus Contoh: gugatan cerai tidak boleh digabung dengan gugatan wanprestasi.
•
Apabila gugatan ditujukan kepada seseorang dalam 2 kualitas Contoh: sebagai wali menggugat pengembalian barang milik anaknya dan sebagai pribadi menggugat pembayaran utang.
Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
17
Konkursus (kebersamaan adanya tuntutan hak) Terjadi apabila penggugat mengajukan gugatan yang mengandung beberapa tuntutan yang menuju pada suatu akibat yang sama, dengan dikabulkannya salah satu dari tuntutan maka tuntutan lainnya sekaligus terkabul. Contoh: para debitur tanggung renteng. Pencabutan dan Penarikan Gugatan Tidak diatur dalam HIR, sedangkan dalam Pasal 271 Rv hanya diperbolehkan apabila tergugat belum memberikan jawaban, kecuali apabila tergugat setuju apabila gugatan dicabut. Hal ini untuk mencegah kerugian di pihak tergugat.
RIKI SUSANTO & PARTNERS
Advocates and Legal Consultants
Susanto Tower, 8 - 9th Floor, Jalan Jenderal Sudirman No. 123, Jakarta Pusat Phone: +6221 789 1234, Fax: +6221 789 1233 Website: www.rslaw.com Email:
[email protected]
Jakarta, 12 Juni 1998
Kepada Yth.
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Di Jalan Gajah Mada No. 17, Jakarta 10130 Perihal: GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM Antara PENGGUGAT Yanto Suyanto, S.E., M.A. Roni, S.T., M.M.
Melawan
TERGUGAT
Asep Resepsiong
Jojon Kojonik
Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
18
•
Yang bertanda tangan dibawah ini: 1. Prof. DR. Iur. Riki Susanto, S.H., LL.M., Ph.D. 2. Angga Bastian Simamora, S.H., LL.M. Secara sendiri‐sendiri ataupun bersama‐sama, Advokat di Riki Susanto & Partners beralamat di Susanto Tower, Lantai 8 ‐ 9, Jalan Jenderal Sudirman Nomor 123, Jakarta Pusat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 589/SK/XI/PDT.G/RSP/1997, tanggal 15 November 2009, bertindak untuk dan atas nama:
3. Yanto Suyanto, S.E., M.A., bertempat tinggal di Margonda Raya No. 7, RT 03/09, Kelurahan
Pondok Cina, Depok.
(Untuk selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT I)
4. Roni, S.T., M.M., bertempat tinggal Akses UI No. 8, RT 005/002, Kelurahan Desa Tugu, Depok.
(Untuk selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT II) Selanjutnya PENGGUGAT I dan PENGGUGAT II secara bersama‐sama disebut PARA PENGGUGAT. PARA PENGGUGAT bersama ini mengajukan gugatan terhadap:
1. Asep Resepsiong, bertempat tinggal di Jalan Sudirman No. 1, Kecamatan Kebayoran Baru,
Kelurahan Senayan, Jakarta Pusat.
(Untuk selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT I)
2. Jojon Kojonik, bertempat tinggal di Jalan Sudirman No. 2, Kecamatan Kebayoran Baru,
Kelurahan Senayan, Jakarta Pusat.
(Untuk selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT II) Selanjutnya TERGUGAT I dan TERGUGAT II, secara bersama‐sama disebut PARA TERGUGAT. Adapun alasan dan dasar PARA PENGGUGAT mengajukan gugatan ini adalah sebagai berikut. 1. Bahwa PARA PENGGUGAT adalah ahli waris dari Bapak Nurdin S. Top berdasarkan Surat Wasiat atas nama Bapak Nurdin S. Top yang secara sah terbuka pada tanggal 25 Oktober 1997 (vide Bukti P‐1 Akta Penetapan dan Pembagian Warisan Nomor: 116/APW/1997/PA.JAK‐PUS tanggal 17‐8‐1997). 2. Bahwa berdasarkan Pasal 584 Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata menyatakan “hak milik atas suatu barang tidak dapat diperoleh selain dengan pengambilan untuk dimiliki, dengan perlekatan, dengan kedaluwarsa, dengan pewarisan, baik menurut undang‐undang maupun menurut surat wasiat, dan dengan penunjukan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk pemindahan hak milik, yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat terhadap barang itu.”
Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
19
3. Bahwa Harta Warisan Bapak Nurdin S. Top salah satunya ialah sebidang tanah Hak Milik seluas ± 1000 meter2 (seribu meter persegi), berdasarkan Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 52 Tahun 1961 di Jalan Jenderal Sudirman No. 1 – 20, Blok D 1 Persil 1a–S‐IN atas nama Bapak Nurdin S. Top (vide Bukti P‐2) yang kini dimiliki secara sah oleh PARA PENGGUGAT. 4. Bahwa tanah aquo yang dimiliki oleh Bapak Nurdin S. Top memiliki batas‐batas sebagai berikut: Utara
: Tanah milik Ucok Bambang
Selatan
: Jalan raya Sudirman
Barat
: Tanah milik Ko Acong
Timur
: Tanah milik Jamal Udin
5. Bahwa sebelumnya pada tanggal 13 Juni 1962 terjadi pembebasan lahan atas tanah milik Bapak Nurdin S. Top yang terletak di Jalan Sudirman tersebut untuk pembangunan jalan umum sesuai dengan Keputusan Presiden No. 52/VI/1962 seluas ± 150 meter2 (seratus lima puluh meter persegi) (vide Bukti P‐3), dimana tanah milik Bapak Nurdin S. Top tersisa ± 850 meter2 (delapan ratus lima puluh meter persegi). 6. Bahwa pada tanggal 15 Juni 1962 Bapak Nurdin S. Top melaporkan kepada Menteri Agraria perihal perubahan luas tanah yang dimilikinya menjadi ± 850 meter2 (delapan ratus lima puluh meter persegi) dengan keluarnya Keputusan Menteri Agraria No. 23/VII/1962 tertanggal 24 Juli 1962 (vide Bukti P‐4). 7. Bahwa pada bulan 28 Desember 1963, tanpa sepengetahuan, tanpa hak dan tanpa seizin Bapak Nurdin S. Top, PARA TERGUGAT telah menempati tanah milik Bapak Nurdin S. Top. 8. Bahwa pada tanggal 5 Januari 1964 Bapak Nurdin S. Top memberikan peringatan/somasi yang pertama kepada TERGUGAT I (vide Bukti P‐5a) dan TERGUGAT II (vide Bukti P‐5b) untuk musyawarah baik secara langsung maupun melalui RT dan RW setempat, akan tetapi tidak digubris sama sekali oleh PARA TERGUGAT. 9. Bahwa selanjutnya pada tanggal 10 Maret 1964 Bapak Nurdin S. Top kembali memberikan somasi yang kedua kepada TERGUGAT I (vide Bukti P‐6a) dan TERGUGAT II (vide Bukti P‐6b) untuk musyawarah, namun tetap tidak ada itikad baik dari PARA TERGUGAT untuk menyerahkan tanah aquo kepada Bapak Nurdin S. Top bahkan PARA TERGUGAT menyerang balik Bapak Nurdin S. Top dengan mengakui tanah yang ditempati adalah milik PARA TERGUGAT. 10. Bahwa pada tanggal 19 Maret 1964 Bapak Nurdin S. Top telah melaporkan kepada Kepolisian Resort (Polres) Jakarta Pusat (vide Bukti P‐7) untuk mendapatkan perlindungan hukum atas tanah miliknya di Jalan Jenderal Sudirman No. 1 – 20, Blok D 1 Persil 1a–S‐IN seluas ± 850 meter2 (delapan ratus lima puluh meter persegi).
Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
20
11.Bahwa pada tanggal 13 April 1964, sesuai dengan surat perintah pengosongan tanah No.
1364/IV/1964 (vide Bukti P‐8) Polres Jakarta Pusat mengadakan pengamanan terhadap tanah
milik Bapak Nurdin S. Top dengan cara membantu mengosongkan tanah milik Bapak Nurdin S.
Top yang telah di duduki oleh PARA TERGUGAT.
12. Bahwa setelah PARA TERGUGAT tidak menempati tanah tersebut pada tanggal 26 November
1968, PARA TERGUGAT kembali menempati dan membuat bangunan pada tanah milik Bapak
Nurdin S. Top yang sudah dipagari oleh pagar besi.
13. Bahwa pada tanggal 17 Desember 1968 Bapak Nurdin S. Top kembali memberikan somasi
kepada TERGUGAT I (vide Bukti P‐9a) dan TERGUGAT II (vide Bukti P‐9b) untuk kembali
mengosongkan tanah milik Bapak Nurdin S. Top, akan tetapi tidak dihiraukan oleh PARA
TERGUGAT.
14. Bahwa Bapak Nurdin S. Top yang mengalami sakit jantung dari tahun 1962 akhirnya pada
tanggal 18 Oktpber 1997, Bapak Nurdin S. Top meninggal dunia sehingga tanah miliknya jatuh
kepada ahli warisnya, yaitu PARA PENGGUGAT, dimana PARA PENGGUGAT melakukan
kunjungan ke tanah yang pernah dimiliki oleh ayahnya, akan tetapi PARA PENGGUGAT terkejut
melihat tanah yang miliki ayahnya telah ditempati PARA TERGUGAT.
15. Bahwa pada tanggal 17 Januari 1998, PARA PENGGUGAT melakukan somasi yang pertama
kepada TERGUGAT I (vide Bukti P‐10a) dan TERGUGAT II (vide Bukti P‐10b) untuk segera
mengosongkan tanah milik PARA PENGGUGAT, akan tetapi PARA TERGUGAT mengabaikan
somasi yang dilakukan oleh PARA PENGGUGAT.
16. Bahwa pada tanggal 17 Februari 1998, PARA PENGGUGAT melakukan somasi yang kedua dan
terakhir kepada TERGUGAT I (vide Bukti P‐11a) dan TERGUGAT II (vide Bukti P‐11b) yang
menyatakan apabila somasi yang terakhir ini tidak dilakukan, maka PARA PENGGUGAT akan
mengambil langkah hukum untuk menyelesaikan permasalahan ini.
17. Bahwa dengan telah dikuasainya tanah milik PARA PENGGUGAT sebagai ahli waris yang sah
dari Bapak Nurdin S. Top semenjak tahun 1968 sampai saat ini PARA PENGGUGAT maupun
Bapak Nurdin S. Top belum pernah merasa menjual tanah aquo kepada siapapun termasuk
kepada PARA TERGUGAT.
18. Bahwa berdasarkan Pasal 2 Undang‐Undang Nomor 51 prp Tahun 1960 tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya menyatakan “dilarang memakai tanah
tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah.”
19. Bahwa penguasaan tanah milik PARA PENGGUGAT oleh PARA TERGUGAT dengan mengaku
sebagai pemilik tanpa pernah membeli dari PARA PENGGUGAT dan telah mendirikan bangunan
di atas tanah PARA PENGGUGAT tanpa sepengetahuan, tanpa hak dan tanpa seizin Bapak
Nurdin S. Top ataupun PARA PENGGUGAT, merupakan suatu Perbuatan Melawan Hukum yang
menimbulkan kerugian pada diri PARA PENGGUGAT. Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
21
20. Bahwa berdasarkan pasal 1365 Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata menyatakan “tiap
perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian
tersebut.”
pertanggungjawaban dengan memberikan ganti rugi kepada PARA PENGGUGAT karena PARA
TERGUGAT telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang menimbulkan kerugian bagi diri
PARA PENGGUGAT.
Dengan
demikian,
terhadap
PARA
TERGUGAT
dapat
dimintakan
21. Bahwa sejak tahun 1961 hingga sekarang Bapak Nurdin S. Top dan PARA PENGGUGAT sebagai
ahli warisnya yang sah selalu membayar pajak atas tanah tersebut berdasarkan bukti
pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan/PBB (vide Bukti P‐12).
22. Bahwa setiap orang atau badan yang memperoleh manfaat dari suatu bidang tanah bisa
menjadi subyek pajak PBB, termasuk mereka yang menjadi pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan dapat diketahui dari ketentuan pasal 4 ayat (1) Undang‐undang No. 12 tahun
1985 menyatakan “yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata
mempunyai sesuatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau
memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan."
23. Bahwa tindakan PARA TERGUGAT yang menguasai tanah aquo tanpa dasar hukum yang sah
semenjak tahun 1968 hingga saat ini sangat merugikan PARA PENGGUGAT baik secara materiil
karena tidak dapat menikmati miliknya sendiri dan imateriil yaitu kehilangan keuntungan yang
diharapkan; karenanya wajar bila PARA PENGGUGAT menuntut ganti rugi kepada PARA
TERGUGAT dengan perincian:
Materiil
a. Pengrusakan lahan
b. Batalnya pembelian atas tanah kepada pembeli
Imateriil:
Total
Rp. 750.000.000,00
Rp. 9.500.000.000,00
Rp. 1.500.000.000,00
Rp. 11.750.000.000,00
(sebelas milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah)
24. Bahwa agar PARA TERGUGAT mematuhi putusan ini, maka wajar bila PARA PENGGUGAT
memohon agar PARA TERGUGAT secara tanggung renteng membayar uang paksa sebesar
Rp.10.000.000,‐ (sepuluh juta rupiah) per hari apabila lalai dalam melaksanakan putusan ini
setelah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
25. Bahwa agar gugatan ini tidak sia‐sia dan untuk mencegah PARA TERGUGAT menghindar dari
tanggung jawab gugatan ini, maka PARA PENGGUGAT mohon agar diletakan sita jaminan
(conservatoir beslag) terhadap bangunan milik PARA TERGUGAT berikut inventaris diatasnya
yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman No. 1 – 20, Jakarta. Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
22
26. Bahwa untuk menjamin agar tanah milik PARA PENGGUGAT tidak dijual oleh PARA TERGUGAT
kepada pihak lain, maka PARA PENGGUGAT mohon agar dilakukan sita jaminan (conservatoir
beslag) atas tanah aquo yang terletak di Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 52 Tahun 1961 di Jalan
Jenderal Sudirman No. 1 – 20, Blok D 1 Persil 1a–S‐IN atas nama Bapak Nurdin S. Top seluas ±
850 meter2 (delapan ratus lima puluh meter persegi) dengan batas‐batas:
Utara
: Tanah milik Ucok Bambang
Selatan
: Jalan raya Sudirman
Barat
: Tanah milik Ko Acong
Timur
: Tanah milik Jamal Udin
27. Bahwa semenjak PARA PENGGUGAT sebagai ahli waris Bapak Nurdin S. Top dari tahun 1968
hingga kini belum dapat menikmatinya, maka PARA PENGGUGAT menuntut agar PARA
TERGUGAT untuk menyerahkan tanah aquo kepada PARA PENGGUGAT dalam keadaan kosong
dan baik kepada PARA PENGGUGAT.
28. Bahwa karena gugatan ini didukung oleh bukti‐bukti yang otentik maka mohon agar perkara ini
dapat dijalankan terlebih dahulu walau terdapat upaya hukum Banding, Verzet maupun Kasasi
(Uitvoerbaar bij Vorraad).
Berdasarkan uraian yang telah diuraikan di atas maka PARA PENGGUGAT dengan segala kerendahan hati memohon agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berkenan memutus sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan PARA PENGGUGAT untuk seluruhnya;
2. Menyatakan secara hukum PARA TERGUGAT bersalah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
3. Menyatakan secara hukum tanah yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman No. 1 – 20, Blok D 1
Persil 1a–S‐IN atas nama Bapak Nurdin S. Top seluas ± 850 meter2 (delapan ratus lima puluh
meter persegi) yang selama ini dimilikinya dengan batas‐batas sebagai berikut:
Utara
: Tanah milik Ucok Bambang
Selatan
: Jalan Raya Sudirman
Barat
: Tanah milik Ko Acong
Timur
: Tanah milik Jamal Udin
Adalah sah secara hukum milik PARA PENGGUGAT;
4. Menghukum PARA TERGUGAT untuk membayar secara sekaligus dan tunai ganti kerugian
materiil dan imateriil Bapak Nurdin S. Top kepada PARA PENGGUGAT sebagai ahli warisnya
yang sah sebesar Rp. 11.750.000.000,‐ (sebelas milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah),
dengan perincian:
a. Ganti rugi Materiil Rp. 10.250.000.000,00
b. Ganti rugi Imateriil Rp. 1.500.000.000,00
Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
23
6. Menghukum PARA TERGUGAT secara tanggung renteng membayar uang paksa sebesar
Rp.10.000.000,‐ (sepuluh juta rupiah) per hari apabila lalai dalam melaksanakan putusan ini
setelah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
7. Menyatakan sah dan berharga Sita Jaminan (conservatoir beslag) yang dilakukan oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap bangunan milik PARA TERGUGAT berikut inventaris
diatasnya yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman No. 1 – 20 dan tanah aquo yang terletak di
Jalan Jenderal Sudirman No. 1 – 20, seluas ± 850 meter2 (delapan ratus lima puluh meter
persegi) dengan batas‐batas:
Utara
: Tanah milik Ucok Bambang
Selatan
: Jalan raya Sudirman
Barat
: Tanah milik Ko Acong
Timur
: Tanah milik Jamal Udin
8. Menghukum PARA TERGUGAT untuk menyerahkan tanah aquo dalam keadaan kosong dan baik
kepada PARA PENGGUGAT.
9. Menyatakan putusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada perlawanan,
banding, kasasi ataupun upaya hukuman lainnya dari PARA TERGUGAT atau pihak ketiga
lainnya (Uitvoerbaar bij Vorraad);
10. Menghukum PARA TERGUGAT untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini.
Atau apabila Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berpendapat lain, PARA
PENGGUGAT mohon putusan yang seadil‐adilnya (ex aequo et bono);
Hormat Kami,
Kuasa Hukum Para Penggugat
Prof. DR. Iur. Riki Susanto, S.H., LL.M., Ph.D.
Angga Bastian Simamora, S.H., LL.M.
Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
24
JAWABAN Dibedakan menjadi: Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara (eksepsi/ tangkisan). 1. Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara. Eksepsi/Tangkisan (Pasal 136 HIR), terdiri dari: 1. Eksepsi Prosesuil Contoh: kewenangan absolut dan relatif, Nebis in idem. 2. Eksepsi Materiil a. Eksepsi Dillatoir, adalah eksepsi yag menyatakan bahwa gugatan Penggugat belum dapat dikabulkan. Contoh: Penggugat telah memberikan penundaan pembayaran (belum jatuh tempo). b. Eksepsi Peremptoir, adalah eksepsi mengenai hal yg menghalangi dikabulkannya gugatan. Contoh: Gugatan diajukan telah lampau waktu (daluwarsa). Jawaban mengenai pokok perkara: 1. Jawaban dalam konpensi (gugatan asli/asal), berisi: •
Pengakuan;
•
Penyangkalan;
•
Referte.
2. Jawaban berupa rekopensi (gugatan balik) Pasal 132a HIR Dalam rekonpensi penggugat asli menjadi tergugat dalam rekonpensi dan tergugat asli menjadi penggugat dalam rekonpensi. Pada asasnya rekopensi dapat diajukan untuk setiap perkara, kecuali: 1. Jika Pengugat dalam konpensi mengenai sifat sedangkan rekopensi mengenai dirinya sendiri, dan sebaliknya. 2. Jika PN kepada siapa konpensi itu dimasukkan tidak berhak, oleh karena berhubungan dengan pokok perselisihan. 3. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan putusan (perkara sudah selesai) 4. Jika dalam pemeriksaan tingkat 1 tidak dimasukkan rekopensi maka dalam tingkat banding tidak boleh mengajukan rekonpensi Mamfaat Rekopensi: 1. Menghemat biaya; 2. Mempermudah prosedur pemeriksaan; Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
25
3. Mempercepat penyelesaian sengketa; 4. Menghindarkan putusan yg saling bertentangan.
MASUKNYA PIHAK KETIGA (INTERVENSI) INTERVENSI adalah Masuknya pihak ketiga selama proses persidangan dan belum ada putusan. Terdiri dari: 1. Masuknya pihak ketiga secara sukarela a. Tussenkomt (pasal 279‐282 Rv) Untuk menempatkan diri di tengah‐tengah pihak yang berperkara membela kepentingannya sendiri. b. Voeging (pasal 279‐282 Rv) Untuk menggabungkan diri membela kepentingan salah satu pihak (penggugat/tergugat). 2. Masuknya pihak ketiga karena ditarik oleh salah satu pihak dalam perkara (penggugat/tergugat) dan untuk membela kepentingan pihak tersebut (Vrijwaring/penjaminan ) Pasal 70‐76 Rv. DERDENVERZET (perlawanan pihak ketiga) adalah Masuknya pihak ketiga setelah ada putusan. Merupakan salah satu upaya hukum luar biasa, karena pada dasarnya suatu putusan hanya mengikat para pihak yang berperkara saja dan tidak mengikat pihak ketiga (Pasal 1917 KUHPerdata). Namun, bila ada putusan yang merugikan kepentingan pihak ketiga maka pihak ketiga tersebut dapat melakukan perlawanan terhadap putusan tersebut. Pasal 378‐384 Rv.
REPLIK Replik terdiri dari dalil‐dalil yg dikemukakan penggugat, merupakan sanggahan atau penolakan atas sebagian atau seluruh dalil‐dalil yg dikemukakan tergugat dalam jawabannya.
DUPLIK Dalam duplik tergugat akan memperkuat dalil‐dalil yg dikemukakan dalam jawaban dan berusaha mematahkan dalil‐dalil yg ada dalam replik penggugat. Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
26
PEMBUKTIAN Dasar Hukum: 1. Pasal 162 – 177 HIR 2. Pasal 282 – 388 Rbg 3. Pasal 1865 – 1945 KUHPerdata Hakim dalam melaksanakan tugas pengadilan membutuhkan: 1. Pengetahuan tentang hukum: a. hukum tertulis yang berlaku; b. hukum kebiasaan; c. kaedah‐kaedah hukum asing. 2. Pengetahuan tentang fakta: a. Dalam hal hakim menjatuhkan putusan verstek; b. Dalam hal tergugat mengakui kebenaran gugatan pengugat; c. Dalam hal salah satu pihak mengangkat sumpah decissoir (sumpah penentu); d. Dalam hal tidak ada penyangkalan; e. Dalam hal hakim karena jabatannya dianggap telah mengetahui fakta‐faktanya yaitu: i.
Fakta notoir;
ii. Fakta prosesuil. 3. Pembuktian fakta a. Fakta notoir (fakta yg tdk memerlukan pembuktian karena dianggap sudah diketahui oleh umum), contoh : tanggal 17 Agustus adalah hari libur. b. Fakta prosesuil (fakta yg terjadi dalam proses dan disaksikan sendiri oleh hakim), contoh: tidak datangnya penggugat/tergugat dalam persidangan, pengakuan dalam sidang. Beban pembuktian (Pasal 163 HIR ): “Barang siapa yg menyatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”. Kesimpulan: siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia yang harus membuktikan. Titik tolak pembuktian (Pasal 162 HIR): “Tentang bukti dan tentang menerima atau menolak alat‐alat bukti dalam perkara perdata, Ketua Pengadilan Negeri wajib mengingat aturan utama yg disebut dibawah ini” Pasal 164 HIR, alat‐alat bukti terdiri dari : Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
27
1. Bukti surat (Pasal 165‐167 HIR); 2. Bukti saksi (Pasal 168‐172 HIR); 3. Persangkaan (Pasal 173‐174 HIR); 4. Pengakuan (Pasal 175‐176 HIR); 5. Sumpah (Pasal 177 jo 155, 156 HIR). Ad.1 Bukti Surat a. Surat akta; Dibagi menjadi akta otentik dan akta bawah tangan. b. Surat bukan akta. Dibuat tidak ditujukan untuk menjadi alat bukti. Contoh: memo, undangan. Akta otentik: suatu akta yang dibuat dalam bentuk menurut UU oleh atau dihadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu, di tempat di mana akta itu dibuat (165 HIR atau pasal 285 Rbg). Di dalam pasal 165 HIR ditentukan kekuatan hukum akta otentik merupakan bukti yang sempurna bagi para pihak dan ahli warisnya. Terhadap pihak ketiga akta tersebut merupakan alat bukti bebas. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat, formil dan materil. Contoh: surat‐surat yang dibuat oleh notaris, pegawai catatan sipil, panitera pengadilan. Akta di bawah tangan: surat yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak dengan maksud untuk dijadikan bukti dari suatu perbuatan hukum tetapi akta tersebut tidak dibuat dihadapan seorang pejabat umum. Apabila akta tersebut sudah diakui oleh para pihak maka itu memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna bagi akta tersebut (Ordonansi 1867/29 pasal 6, pasal 2). Ad.2 Keterangan saksi Yang dapat diterangkan oleh saksi adalah apa yang saksi lihat, dengar dan alami sendiri. Pasal 171 HIR kesaksian harus terbatas pada peristiwa‐peristiwa yang dialaminya sendiri, sedangkan pendapat‐pendapat atau persangkaan yang didapat secara berfikir bukan merupakan kesaksian. Pasal 169 HIR keterangan seorang saksi saja dengan tidak ada sesuatu alat bukti lainnya tidak dapat dianggap sebagai bukti yang cukup, Unus testis, Nullus testis (satu saksi bukan saksi). Pihak–pihak yang tidak dapat didengar sebagai saksi (Pasal 145 HIR). Pihak–pihak yang dapat mengundurkan diri dalam memberikan kesaksian (Pasal 146 HIR). Ahli diatur dalam Pasal 154 HIR.
Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
28
Ahli harus dibedakan dengan saksi biasa. Saksi biasa harus harus mengetahui sendiri peristiwanya, sedangkan untuk ahli keterangan yang diberikan berdasarkan bidang ilmu pengetahuan yang dimilikinya atau keahliannya. Ad.3 Persangkaan HIR tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan persangkaan, tetapi untuk dapat mengetahui definisi dari persangkaan ini dapat dilihat dalam pasal 1915 KUHPerdata. Persangkaan: kesimpulan yang oleh UU atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang dan nyata ke arah peristiwa lain yang belum terang dan nyata. Persangkaaan ada dua macam: 1. Persangkaan Hakim Contoh: dalam hal perkara gugatan perceraian atas dasar perzinahan 2. Persangkaan UU
Contoh: Pasal 1394 KUHPerdata yang menentukan bahwa tiga kwitansi terakhir sudah dapat membuktikan suatu perbuatan hukum kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya;
Ad.4 Pengakuan Pengakuan sebagai alat bukti adalah pengakuan yang diberikan oleh salah satu pihak yang berperkara yang dilakukan di depan persidangan atau di luar sidang pengadilan. Pengakuan di dalam sidang pengadilan mempunyai kekuatan bukti yang sempurna (pasal 174 HIR). Pengakuan di dalam sidang pengadilan oleh salah satu pihak yg berperkara dapat bersifat : a. Suatu pernyataan kehendak, b. Suatu perbuatan; dan c. Suatu perbuatan penguasaan. Pengakuan dibedakan: a. Pengakuan murni; b. Pengakuan dengan suatu kualifikasi; c. Pengakuan dengan suatu klausula. Ad.5 Sumpah Sumpah sebagai alat bukti berbeda dengan sumpah yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari‐hari. Arti sumpah disini yaitu dimana sebelumnya ada suatu keterangan yang diucapkan oleh salah satu pihak, dan keterangan tersebut kemudian diperkuat dengan sumpah. Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
29
Sumpah dibedakan menjadi : a. Sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak yang berperkara (sumpah supletoir) tujuannya untuk melengkapi bukti yang telah ada ditangan salah satu pihak; b. Sumpah yang dimohonkan oleh pihak lawan (sumpah pemutus/sumpah decissoir) Sumpah ini terdapat dalam salah satu pihak yang berperkara mohon kepada hakim agar kepada pihak lawan diperintahkan untuk melakukan sumpah meskipun tidak ada pembuktian sama sekali. Bila menyangkut perjanjian timbal balik, sumpah ini dapat dikembalikan (pasal 156 ayat 2 HIR). Sumpah ini harus bersifat Litis Decisoir yaitu benar‐benar mengenai suatu hal yang menjadi pokok perselisihan. Mengangkat sumpah dapat diwakilkan dengan suatu akta otentik yang menyebutkan dengan seksama tentang sumpah yang akan diangkat (pasal 157 HIR)
PELAKSANAAN PUTUSAN (EKSEKUSI) Asas : Suatu putusan yg telah berkekuatan hukum tetap yg dapat dilaksanakan. Kecuali: asas uitvoerbaar bij voorrad. Dasar Hukum: Pasal 195 – 208 HIR Putusan dilaksanakan dibawah pimpinan KPN yang memutus perkara tersebut. Pelaksanaan putusan dilakukan atas dasar permohonan pihak yang menang, kecuali pihak yang kalah mau melaksanakan putusan secara suka rela. Beberapa macam eksekusi : 1. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang. Prestasi yang diwajibkan adalah membayar sejumlah uang (pasal 196 HIR/208 Rbg). apabila tidak mampu membayar dapat meminta kepada KPN untuk meminta keringanan. 2. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan (Pasal 225 HIR/259 Rbg). Seseorang tidak dapat dipaksakan melakukan suatu perbuatan, tetapi pihak yang menang dapat meminta hakim (KPN) agar kepentingan yang diperolehnya dinilai dengan uang. 3. Eksekusi riil merupakan pelaksanaan prestasi yang dibebankan kepada debitur oleh putusan hakim secara langsung. Tidak diatur dalam HIR tapi dalam pasal 1033 Rv. disini tdk ada pengganti kecuali dia melaksanakan kewajibannya sesuai dengan apa yang diperjanjikannya. Disamping tiga macam eksekusi diatas, ada jenis eksekusi lain yaitu: Parate Eksekusi: apabila seorang kreditur menjual barang‐barang tertentu milik debitur tanpa adanya title eksekutorial (pasal 1155 KUHPerdata). Dalam Parate Eksekusi harus ada putusan pengadilan (title tertentu/title eksekutorial). Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
30
Pelaksanaan putusan hakim dalam perkara perdata dilakukan oleh juru sita dipimpin oleh KPN (pasal 195 dan pasal 197 ayat 2 HIR). Dalam pasal 196 HIR atau pasal 207 Rbg ditentukan bahwa untuk dapat melaksanakan suatu putusan hakim secara paksa oleh PN, maka pihak yang memenangkan perkara mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada KPN yang bersangkutan agar putusan dilaksanakan. Selanjutnya KPN berdasarkan permohonan tersebut memanggil pihak yang dikalahkan dan memperingatkan (aanmaning) supaya ia memenuhi keputusan itu dalam tempo 8 hari. Namun jika dalam tempo yang ditentukan itu pihak yang dikalahkan belum memenuhi isi putusan, atau jika ia sudah dipanggil dengan patut tidak datang menghadap, maka KPN karena jabatannya dapat memberi surat penetapan supaya disita barang‐barang bergerak milik orang yang dikalahkan atau jika tidak ada barang bergerak yang disita barang tetap (untuk kemudian dilelang) sebanyak jumlah nilai uang dalam putusan ditambah dengan semua biaya untuk menjalankan putusan (pasal 197 ayat 1 HIR).
PUTUSAN Suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. (Prof. Sudikno Mertokusumo) HIR dan Rbg mengenal dua macam putusan: a. Putusan akhir (eindvonnis) b. Putusan sela (tussenvonnis). Suatu putusan perkara perdata dapat berbentuk : a. Suatu penolakan gugatan penggugat, yaitu dalam hal gugatan tersebut tidak dapat dibuktikan oleh penggugat; b. Suatu pernyataan tidak dapat diterima; c. Suatu pernyataan mengabulkan gugatan penggugat dalam hal pihak penggugat berhasil membuktikan secara sah menurut hukum mengenai gugatannya. Pada dasarnya bagian putusan dapat dibagi menjadi 4 bagian: 1. Kepala putusan 2. Identitas pihak‐pihak yg berperkara 3. Pertimbangan 4. Amar/ dictum putusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
31
Pasal 23 Undang‐Undang No.14 tahun 1970 Tentang Pokok‐Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa: 1. Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan‐alasan dan dasar‐dasar putusan itu, juga harus memuat pasal‐pasal tertentu dari peraturan‐peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. 2. Putusan‐putusan pengadilan ditandatangani oleh Ketua serta hakim‐hakim yang memutus dan panitera yang ikut bersidang. 3. Penetapan‐penetapan, ikhtisar‐ikhtisar rapat permusyawaratan dan berita‐berita acara tentang pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua dan panitera. Putusan Akhir: putusan yang mengakhiri suatu perkara perdata yang diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. Menurut sifatnya putusan akhir terdiri dari : a. Putusan Condemnatoir, yaitu keputusan yang bersifat menghukum, contoh: salah satu pihak dihukum untuk membayar kerugian, pihak yang kalah dihukum untuk membayar biaya perkara. b. Putusan yang bersifat declaratoir, yaitu dimana amarnya menciptakan suatu keadaan yg sah menurut hukum, contoh: putusan yang menyatakan bahwa penggugat sebagai pemilik sah atas tanah sengketa. c. Putusan Konstitutief, yaitu keputusan yang menghilangkan suatu keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru, contoh: putusan yang memutuskan suatu ikatan perkawinan. Putusan sela: Dijatuhkan sebelum hakim memutus perkara, putusan sela dimaksudkan untuk mempermudah kelanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Dalam pasal 185 HIR dan pasal 126 Rbg disebutkan bahwa putusan sela tidak dibuat dalam suatu surat tersendiri, tetapi dimaksudkan dalam berita acara sidang. Sedangkan dalam pasal 190 HIR dan 210 Rbg ditentukan bahwa permintaan banding terhadap putusan sela hanya dapat diajukan bersama‐sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir.
SITA JAMINAN Tujuan: Untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan (Tata cara dan akibat hukum sita jaminan diatur dalam pasal 197, 198,199 HIR). Sita Jaminan terdiri dari: 1. Sita Conservatoir; 2. Sita Revindicatoir. 3. Sita Marital 4. Pandbeslag Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
32
Ad.1 Sita Conservatoir (pasal 227 HIR) a. Harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang‐barangnya; b. Barang yang disita itu merupakan barang milik orang yang terkena sita, artinya bukan milik penggugat; c. Permohonan diajukan kepada KPN yang memeriksa perkara yang bersangkutan; d. Permohonan harus diajukan dalam surat tertulis; e. Sita conservatoir dapat diletakkan baik terhadap barang yang bergerak maupun barang tidak bergerak. Ad.2 Sita Revindicatoir (pasal 226 HIR) a. Harus berupa barang bergerak; b. Barang bergerak tersebut merupakan milik penggugat yang berada di tangan tergugat; c. Permohonan harus diajukan kepada KPN; d. Permohonan dapat diajukan secara lisan atau tertulis; e. Barang tersebut harus diterangkan dengan terperinci. Ad 3. Sita marital (823a Rv) Sita yang dimohonkan oleh pihak istri terhadap barang‐barang bergerak dan barang tidak bergerak milik suami, agar selama proses perceraian berlangsung suami tidak menjual atau menghilangkan barang‐barang tersebut. Ini untuk menjamin agar setelah proses perceraian selesai pihak istri tetap mendapat harta yang menjadi bagiannya. Ad. 4 Panbeslag (751Rv) Sita yang biasanya dimohonkan oleh seseorang yang menyewakan rumah, agar perabotan milik orang yang menyewa disita untuk menjamin agar ia membayar uang sewa rumah.
UPAYA HUKUM Biasa
Perlawanan (Verzet) Banding
UPAYA HUKUM
Kasasi
Luar Biasa
Peninjauan kembali/PK (Request Civil) Perlawanan pihak ketiga (Derden Verzet)
Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
33
Perlawanan (verzet) pasal 129 HIR Perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan di luar hadirnya tergugat (verstek). Banding Dilakukan apabila salah satu pihak tidak puas terhadap putusan PN. Diatur dalam UU No. 20/1947 dan UU No. 14/1970 jo UU No. 4/2004. Pasal 11 (1) UU No. 20/1947 menentukan bahwa jika waktu mengajukan permohonan banding adalah 14 hari sejak para pihak mengetahui putusan PN. Permohonan banding harus diajukan kepada Panitera PN yang menjatuhkan putusan. Pihak yg mengajukan banding (pembanding) boleh mengajukan alasan‐alasan permohonan banding dan bukti‐bukti baru dalam memori banding, sedangkan terbanding boleh menjawab memori banding ini dengan mengajukan kontra memori banding. Semua putusan akhir pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan pemeriksaan ulang di tingkat banding oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali UU menentukan lain (pasal 19 UU No.14/1970 jo. pasal 21 UU No. 4/2004 dan pasal 9 UU No. 20/1947). Kasasi Pasal 10 ayat 3 UU No.14 Tahun 1970 jo Pasal 22 UU No 4/2004 dan Pasal 43 UU No 14/1985 jo UU No 5/2005 menentukan bahwa terhadap putusan‐putusan yang diberikan dalam tingkat akhir oleh pengadilan‐ pengadilan lain daripada MA demikian juga terhadap putusan pengadilan yang dimintakan banding dapat dimintakan kasasi kepada MA oleh pihak‐pihak yang berkepentingan. Menurut pasal 29 dan pasal 30 UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5/2005, kasasi adalah pembatalan putusan atas penetapan pengadilan‐ pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan akhir. Permohonan kasasi diajukan kepada Panitera dari pengadilan yang menjatuhkan putusan yang dimohonkan. Jika waktu permohonan kasasi adalah 14 hari sejak putusan diketahui oleh pemohon. Dalam waktu 14 hari sejak permohonan kasasi diajukan, pemohon kasasi wajib untuk mengajukan memori kasasi (pasal 47 UU No.14/ 1985 jo UU No 5/ 2005) sedangkan pihak termohon kasasi wajib menanggapi memori kasasi dengan mengajukan kontra memori kasasi. Alasan yang dipergunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan dalam pasal 30 UU No. 14/1985 jo. UU No. 5/2005 adalah : 1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; 2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; 3. Lalai memenuhi syarat‐syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang‐undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
34
Peninjauan Kembali/PK Pasal 21 UU No. 14/1970 jo. Pasal 23 UU No. 4/2004 menyatakan bahwa apabila terdapat hal‐hal atau keadaan‐keadaan yang ditentukan dengan UU, terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dimintakan PK kepada MA dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak‐pihak yang berkepentingan. Tentang PK ini diatur juga dalam pasal 66 ‐ pasal 77 UU No. 14/1985 jo. UU No. 5/2005. Dalam pasal 67 UU No. 14/1985 jo. UU No 5/2005 alasan‐alasan PK adalah: a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti‐bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat‐surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan; c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak diituntut atau lebih daripada yang dituntut; d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab‐sebabnya; e. Apabila antara pihak‐pihak yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain; f.
Apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Kemudian dalam pasal 69 UU No. 14/1985 jo. UU No. 5/2005 mengatur mengenai tenggang waktu untuk mengajukan PK yaitu harus diajukan dalam waktu 180 hari untuk : 1. Yang disebut dalam huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara; 2. Yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat‐surat bukti, yang hari serta tanggal diketemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang; 3. Yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara. Selanjutnya dalam pasal 70 UU No. 14/1985 jo. UU No. 5/2005 menyatakan bahwa : 1. Permohonan PK diajukan oleh pemohon kepada MA melalui KPN yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang diperlukan; 2. MA memutus permohonan PK pada tingkat pertama dan terakhir. Perlawanan pihak ketiga (derden verzet) Terjadi apabila dalam suatu putusan pengadilan merugikan kepentingan dari pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut (pasal 378 RV). Fakultas Hukum Universitas Indonesia | © Riki Susanto
35