Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan
Jurnal Hukum dan Peradilan memuat naskah/artikel yang bersumber dari hasil penelitian/penelaahan tentang Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan. Jurnal Hukum dan Peradilan terbit tiga kali dalam setahun (Maret, Juli, Nopember)
Penasehat
:
Penasehat Penanggung Jawab Pemimpin Umum Wakil Pemimpim Umum Dewan Redaksi : Pemimpin Redaksi Sekretaris Anggota
: : : :
Mitra Bestari
:
Tata Usaha
:
: : :
Dr. H.M. Hatta Ali, SH. MH. Dr. H. Mohammad Saleh, SH. MH. H. Suwardi, SH. MH. Ny. Siti Nurdjanah, SH. MH. Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH., MS. H. Moch. Amirullah Sholeh, SH. MM. R. Wijaya Brata K, S.Kom. MM. Dr. Ismail Rumadan, MH. Budi Suhariyanto, SH., MH. Moch. Iqbal, SH. Johanes Brata Wijaya, SH. Rita Herlina, SH. LLM. Mila Kurnia Rahma, SH. Dr. Lilik Mulyadi, SH., MH. Dr. M. Fauzan Anshori, SH. MH. Dr. Eva Achjani Zulfa, SH. MH. Hudan Isnawan, SH. M.SI. Rofran Samera, SH. MH Magdalena, S. Kom.
Alamat Redaksi : Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI Jln. Jend. A. Yani (By Pass) Kav. 58 Lt.10 Cempaka Putih, Jakarta Pusat 13011 Email:
[email protected] [email protected]
Isi Jurnal dapat dikutip dengan menyebut nama sumbernya (Citation is permitted with acknowledgement of the source)
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
Volume 3 Nomor 2 Juli 2014
Daftar Isi Pengantar Redaksi …………………………………………………..……………………………………………….… Judge’s Discretion in Islamic Family Law : Indonesian Religious Courts Experience …………………………………………………………….................................................
203
Muhamad Isna Wahyudi Membangun Hukum Nasional Berdasarkan Pancasila ….........…………………………..
213
Teguh Prasetyo Menegaskan Kembali Keberadaan Klausula Baku Dalam Perjanjian ……....….
223
Miko Susanto Ginting Sinergi Pelaksanaan Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia …………………..….
237
Eka Merdekawati Djafar Problematika
Pelaksanaan
Kekuasaan
Kehakiman
(Dalam
Konteks
Pelaksanaan Fungsi Check and Balances System) ……................…………………..
243
Ismail Rumadan Rekonseptualisasi Pengadilan Pertanahan …………………………………….....................
253
Enrico Simanjuntak Hukum Perdata Progresif : Perubahan dan Kesinambungan Penemuan Hukum di Bidang Hukum Perdata .....…………………………………………………………………..
269
Maskur Hidayat Struktur Regulasi Independensi Otoritas Jasa Keuangan ……………………………. Bismar Nasution Biodata Penulis Pedoman Penulisan Jurnal Hukum dan Peradilan Ucapan terima kasih kepada Mitra Bestari
281
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
DARI REDAKSI Bisminllahirrahmannirrahim Puji dan syukur sepatutnya senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Dzat Yang Maha Sempurna, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita bisa berbuat yang terbaik, amin. Salah satu program prioritas Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, yakni penerbitan jurnal Hukum dan Peradilan diharapkan menjadi upaya positif Puslitbang MA-RI sebagai Supporting Unit Mahkamah Agung RI secara kelembagaan untuk mendukung terwujudnya visi dan misi Mahkamah Agung RI yaitu: “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung”. Kehadiran Jurnal Hukum dan Peradilan sebagai media bagi insan peradilan, akademisi, praktisi dan pemerhati hukum diharapkan dapat menjadi wadah mengaktuasikan ide pemikiran melalui penelitian, pengkajian dan pengembangan hukum dan peradilan secara ilmiah, yang nantinya dapat menjadi pencerah ditengah upaya besar bangsa untuk menata pembangunan hukum dan peradilan di masa mendatang. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada yang mulia Ketua Mahkamah Agung RI dan seluruh Unsur Pimpinan Mahkamah Agung RI yang terus memberi dukungan untuk terbitnya jurnal ini, Juga terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI dan Kepala Puslitbang Kumdil MA-RI yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam proses penerbitan jurnal ini. Begitupun kepada para penulis yang telah berkontribusi mengirimkan artikelnya dan para Mitra Bestari yang telah meluangkan waktu untuknya mereview artikel para penulis, Semoga amal kebaikannya mendapat pahala yang setimpal dari Allah SWT. Yuhan Yang Maha Kuasa. Amin.
Jakarta, Nopember 2014.
Redaksi
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Muhamad Isna Wahyudi JUDGE’S DISCRETION IN ISLAMIC FAMILY LAW: INDONESIAN RELIGIOUS COURTS’ EXPERIENCE Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 3 hlm. 203-212 Tension between Islamic legal tradition and the modern nation state’s role in establishing dan reforming law has become the global controversies and conflicts in Muslim countries over the last decades including Indonesia. Since the enactment of Law No.1/1974 on Marriage, then Compilation of Islamic Law (Kompilasi Hukum Islam/KHI) under President Instruction No.1/1991, dualism of the validity of marriage has been arising in Indonesian Muslim society. The dualism has led to ambivalence towards law enforcement among judges of religious courts in dealing with the petitions for the legalization of marriage while the Law restricts the petitions to marriages before the enactment of Law No.1/1974. In this case, judges of religious court have deviated from the state law by granting legalization to marriages occurred after the enactment of Law No.1/1974. Such deviation is known as judge’s discretion. Despite judges of religious courts seem to adhere to the Islamic legal tradition than the State law in the case of legalization of marriage; they have deviated from Islamic legal tradition or state law in terms of the fulfillment of divorced wife’s rights, joint property, custody, and inheritance. Their discretion is merely to provide the justice to the litigants when the application the letter of the law is contradictory to justice. In this way, they have also taken a part in reforming the Islamic Family Law. Key words: judge, discretion, justice.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Teguh Prasetyo MEMBANGUN HUKUM NASIONAL BERDASARKAN PANCASILA Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 3 hlm. 213-222 Era reformasi seharusnya dijadikan tonggak pembangunan hukum nasional yang berjiwa Indonesia, yaitu hukum yang dibangun dari proses penggalian, penemuan, dan pengembangan yang bersumber dari nilai-nilai kehidupan budaya dan jiwa rakyat Indonesia yaitu Pancasila. Pembangunan hukum nasional berdasarkan Pancasila tersebut bertujuan untuk mengakhiri perbenturan dan pertentangan yang terjadi akibat penerapan pluralisme di bidang hukum. Kata kunci: Pembangunan hukum Nasional, Pancasila, pluralisme hukum.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Miko Susanto Ginting MENEGASKAN KEMBALI KEBERADAAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 3 hlm. 223-236 Pencantuman klausula baku dalam perjanjian tidak dapat disangkal marak dilakukan dengan alasan efektivitas dan efisiensi dalam bertransaksi. Keberadaan klausula baku didasarkan pada persetujuan terhadap perjanjian sehingga berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Namun, di sisi lain, terdapat pendapatpendapat yang menentang adanya pencantuman klausula baku dalam perjanjian, terutama dengan didasarkan pada asas keseimbangan serta keadilan dalam berkontrak. Dengan menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dan pendekatan yuridis normatif, penulis ingin menjawab sejauh mana keberlakuan dan ketidakberlakuan klausula baku dalam perjanjian. Selain itu, turut pula dijabarkan beberapa putusan pengadilan dalam mempertimbangkan dan memutus adanya klausula baku dalam perjanjian. Pada akhirnya, baik pendapat sarjana hukum maupun putusan pengadilan masih cukup beragam dalam memandang pencantuman klausula baku dalam perjanjian. Meskipun, perbedaan pandangan tersebut, sudah coba dicari titik temunya melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana pencantuman klausula baku tidak dilarang sepanjang tidak memuat klausul-klausul yang menurut substansi dan bentuknya bertentangan dengan undang-undang. Kata kunci: klausula baku, persetujuan, keseimbangan dalam perjanjian. Inclusion of standardized clause in contract should not be denied often done by reason of effectiveness and efficiency in the transaction. The existence of standardized clause based on approval towards contract so that applies as a Law for the parties. However, at the other side, there are arguments who opposed inclusion of the standardized clause in contract, especially based on the balance and fairness principles in contract. By using descriptive analytical method and juridical normative approach, I am trying to answer validity or invalidity of standardized clause in contract. In addition, also elaborated some decisions of the court in considering and deciding the standardized clause in contract. In the end, either scholar’s opinions or court decisions was still quite varied in viewing inclusion of standardized clause in contract. Nevertheless, toward that difference view already tried to find the meeting point through Law No. 8/1999 on Consumer Protection, where the standardized clause inclusion in contract is not prohibited, along do not contain substance or shape contrary with the Law. Keywords: standardized clause, agreement, balance in contract.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Eka Merdekawati Djafar SINERGI PELAKSANAAN INDONESIA
PENEGAKAN
HUKUM
LINGKUNGAN
Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 3 hlm. 237-242 Penegakan hukum lingkungan diharapkan dapat dilakukan secara sinergi oleh aparat penegak hukum yang tersebar dalam pelbagai instansi penegak hukum pada umumnya dan khususnya yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup. Pemahaman substansi hukum lingkungan tidak boleh dilakukan secara parsial agar dapat terlaksana ketaatan terhadap hukum lingkungan, baik oleh masyarakat maupun aparat penegak hukum itu sendiri sehingga tercipta substansi hukum yang utuh dan menyeluruh agar pemahaman dapat dihilangkan terhadap undang-undang yang bersifat sektoral. Demikian pula budaya hukum sangat menunjang terciptanya pelaksanaan penegakan hukum lingkungan secara sinergi di kalangan aparat penegak hukum. Hal ini bertujuan agar di kalangan aparat penegak hukum memiliki persepsi yang sama terhadap pelaksanaan penegakan hukum lingkungan. Kata kunci : Penegakan hukum, Hukum lingkungan Enforcement of environmental laws is expected to be carried out in synergy by law officers who are scattered in various law enforcement agencies in general and particularly in relation to environmental management. Understanding of the substance of environmental law should not be done partially adherence to environmental laws, both by the public and law enforcement officers itself so to create a legal substance is completely and thoroughly that understanding can be removed to the sectoral legislation. Likewise strongly support the creation of culture law enforcement of environmental law implementation synergies among law enforcement officers. It is intended that the law enforcement agencies have the same perception of the implementation of environmental law enforcement. Keyword : Law enforcement, Environmental Law
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Ismail Rumadan PROBLEMATIKA PELAKSANAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN (Dalam Konteks Pelaksanaan Fungsi Check and Balances System) Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 3 hlm. 243-252 Upaya untuk mendukung terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai amanat konstitusi dalam perkembangannya telah diadakan beberapa kali perubahan terhadap Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, perubahan terakhir adalah UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman. Namun perubahan tersebut, apabila dikaji secara mendalam masih menyisihkan beberapa permasalahan yang sangat mendasar. Pertama adalah terkait dengan fungsi penegakan hukum dalam konteks criminal justice system. Konsep ini menghendaki bahwa dalam proses penegakan hukum harus terpadu dalam suatu sistem peradilan, namun pada kenyataanya dalam proses peradilan pidana, Polisi dan Jaksa berada dalam lingkup kekuasaan yang berbeda peradilan, sehingga dalam posisi demikian dapat dipastikan adanya intervensi dalam proses penegakan hukum yang semestinya merdeka dan bebas dari pengaruh apapun. Permasalahan kedua adalah, mengenai pengawasan secara eksternal terhadap jalannya fungsi kekuasaan kehakiman, yang secara formal dilakukan oleh Komisi Yudisial maupun pengawasan yang dikehendaki oleh DPR (sebagaimana dalam RUU Mahkamah Agung). Model pengawasan yang dijalankan oleh KY maupun yang dikehendaki oleh DPR sangat berpengaruh serius terhadap pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman bahkan menambah rumitnya pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman itu sendiri, sehingga pelaksanaan kekuasaan kehaiman dianggap tidak mampu menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan bagi pencari keadilan. Tulisan ini dibatasi pada kajian terhadap dua permasalahan tersebut dalam rangka mempertegas komitmen kita untuk membangun penyelenggaraan peradilan yang sehat dan mandiri agar dapat memberikan akses keadilan kepada semua orang dan peradilan yang sehat hanya akan terwujud dalam satu hubungan timbal balik antara lingkungan peradilan dan lingkungan masyarakat. Kata Kunci: Kekuasaan Kehakiman, Penegakan Hukum Efforts to support the creation of an independent judiciary as a constitutional mandate in its development has held several changes to the Judicial Authority Law, the last change is the Act Nomber 48 of 2009 on Judicial Authority. But these changes, when studied in depth is still set aside some very fundamental issues. The first is related to the function of law enforcement in the context of the criminal justice system. This concept requires that the law enforcement process should be integrated into a system of justice, but in fact the process of criminal justice, police and prosecutors are in a different scope of judicial power, so that the position can thus be ensured in the intervention process should be independent of law enforcement and free from any influence. The second problem is, of externally monitoring the functioning of the judicial power, which formally made by the Judicial Commission and the desired control by Parliament (as in the draft of the
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
Supreme Court). Supervision models run by Judicial Commission nor desired by the House very serious effect on the performance of the functions of the judicial authorities even add complexity implementation of judicial power function itself, so that the implementation of judicial power considered not able to guarantee legal certainty and justice for litigants. This paper is limited to the study of these two issues in order to reinforce our commitment to build a sound administration of justice and independent in order to provide access to justice for all people and a healthy justice will only be realized in a reciprocal relationship between the environment and the environmental justice community. Keywords: The Judiciary, Law Enforcement
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Enrico Simanjuntak REKONSEPTUALISASI PENGADILAN PERTANAHAN Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 3 hlm. 253-268 Dibalik rencana pembentukan pengadilan pertanahan, paling tidak terdapat tiga argumentasi pokok yang melandasi ide pembentukan pengadilan khusus di bidang pertanahan tersebut, yakni : Pertama, pengakuan pembuat konsep RUU Pertanahan terhadap kompleksitas sengketa pertanahan. Kedua, ide pembentukan pengadilan agraria bermaksud menjiplak eksistensi pengadilan landreform pada tahun 60-an. Ketiga, Pengadilan pertanahan dibentuk karena pengadilan yang ada tidak dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat oleh karena itu pengadilan pertanahan harus berada di bawah lingkungan peradilan umum. Mencermati ketiga pokok argumentasi yang tertuang dalam Naskah Akademik dan draft RUU Pertanahan, maka sejumlah pertanyaan patut dialamatkan kepada penggagas pengadilan pertanahan karena terdapat sejumlah kelemahan mendasar di dalamnya. Penulis memperkirakan kelemahan tersebut bersumber dari kurangnya pemetaan persoalan pertanahan dari penggagas pengadilan pertanahan itu sendiri, termasuk kurangnya penguasaan sistem hukum yang menaungi sistem penyelesaian sengketa pertanahan. Kelemahan tersebut merefleksikan kedangkalan data dan analisis (banality of analysis and data) sehingga tidak mampu menangkap titik-titik elemental keterkaitan aspek normatif hukum dengan struktur kelembagaan serta aspek sosialnya. Akibatnya di beberapa bagian Naskah Akademik RUU Pertanahan terdapat penarikan kesimpulan yang dipaksakan atau melompat (jumpling to conclusion). Akhirnya, solusi-solusi masalah pertanahan yang ditawarkan terlihat kontradiktif dengan kebutuhan yang paling mendasar di bidang pembaruan agraria dan usaha pemberdayaan lembaga peradilan, khususnya lembaga peradilan administrasi. Kata Kunci : RUU Pertanahan, Pengadilan Pertanahan, Peradilan Administrasi. There are at least three basic argument behind the idea of settlement of the special land dispute court, namely : first, the recognizing of the land bill drafter of the complexity of the land disputes. Second, the idea of settlement of special land dispute court is intended to restore the previous special court (Landreform Court) in the sixties era. Three, the special land dispute court of land is basically intended to repair the malfuncion of present court in settlement of the land disputes. But the academic draft and bill of land rises some questions about the know-how land disputes of the bill’s drafter, it proposes that this academic draft and bill of land does not take a sufficiently deep assessment. The author assumes that the flaws of academic draft is relating to the lack of legal problem mapping in land disputes, including the basic knowledge of legal system in land disputes. This situation reflects the banality of data and legal situation analysis which affects the misconception of the elemental interconection of legal normative with the structure of social aspect by jumpling to conclusion and forced conclusion. Finally, some solution which is proposed in this bill of land is diametrically opposed with the
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
basic need of agrarian reforms and judicial empowerment project, especially administrative court. Keywords : Bill of land, Land Court, Administrative Court.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Maskur Hidayat HUKUM PERDATA PROGRESIF : KESINAMBUNGAN PENEMUAN HUKUM PERDATA
PERUBAHAN DAN DI BIDANG HUKUM
Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 3 hlm. 269-280 Hukum adalah alat supaya manusia bisa mencapai keteraturan dan keterlindungan hak-hak dasar manusia. Antara lain hak untuk hidup serta perlindungan, baik perlindungan fisik/jasmani, perlindungan kehormatan serta kesusilaan dan perlindungan terhadap hak milik atau property. Ungkapan bahwa tidak ada yang abadi kecuali perubahan niscaya juga berlaku dalam dunia hukum. Setiap saat permasalahan manusia selalu berkembang, begitu juga metode penyelesaian konflik juga harus mengikuti perkembangan permasalahan yang berkembang. Hukum menjadi media yang berada ditengah tuntutan, yaitu antara kepastian hukum dan rasa keadilan. Di sisi kepastian hukum, tuntutan supaya keadilan bisa diletakkan secara pasti lebih disisi lain rasa keadilan juga menjadi tuntutan yang mengharuskan hakim untuk memberi sentuhan personal (kasus per kasus) dalam menghadapi setiap permasalahan yang dihadapi dalam persidangan. Kata kunci : Kepastian hukum, rasa keadilan dan hukum progresif. Law is a tool that people can achieve order and the protection of basic human rights. Among others, the right to life and protection, both physical protection, protection of honor and decency and the protection of property rights or properties. The phrase that nothing is eternal except change undoubtedly also applies in the legal world. Every moment is always evolving human problems, as well as a method of conflict resolution must also keep abreast of developing issues. Became law at the center of media demands, namely the rule of law and sense of justice. On the side of the rule of law, justice demands that can be placed exactly over the other side into a sense of justice also demands that require judges to give a personal touch (case by case) in the face of any problems encountered in the trial. Keywords : rule of law, justice and progressive law.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Bismar Nasution STRUKTUR REGULASI INDEPENDENSI OTORITAS JASA KEUANGAN Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 3 hlm. 281-294 Struktur regulasi yang tidak indepeden dalam sektor jasa keuangan telah mengakibatkan kondisi perekonomian yang sangat buruk pada beberapa Negara pada tahun 1990-an. Belajar dari pengalaman tersebut, maka keberadaan OJK di Indonesia harus didukung oleh adanya struktur regulasi yang independen, sehingga tujuan dari dibentuknya OJK dapat diwujudkan. Keberadaan struktur regulasi yang independen tersebut dapat diukur dari independensi OJK dari segi regulasi, pengawasan, institusi dan independensi dari segi pembiayaan. Dalam konteks OJK di Indonesia struktur regulasi yang independen tidak dimaksudkan untuk menjadikan OJK sebagai lembaga yang memiliki independensi yang absolut, tetapi struktur regulasi yang menjadikan OJK sebagai katalisator pembangunan ekonomi dan wasit untuk fair play. Independensi OJK harus dapat diperankan guna menyeimbangkan kepentingan pemerintah, konsumen, dan industri jasa keuangan agar arah kebijakan perekonomian dapat berjalan selaras. Meskipun belum pada bentuk yang sempurna, namun secara umum, UU OJK telah mengadopsi semua segi dari struktur regulasi yang independen tersebut. Dikatakan belum pada bentuk yang sempurna karena masih diperlukan upaya harmonisasi pada sejumlah perundang-undangan terkait, penyempurnaan peraturan yang ada, dan pembentukan peraturan pelaksanaan pada tataran teknis operasional. Dengan ini diharapkan OJK benar-benar menjadi lebih objektif, dapat melaksanakan wewenangnya secara memadai, transparan dan akuntabel. Di samping itu, OJK diharapkan memiliki kewenangan hukum yang cukup untuk melakukan penyidikan dalam masalah-masalah sektor jasa keuangan. Kata Kunci : struktur regulasi, independensi, OJK A non-independent regulatory structure in the financial services sector had already conduced poor economic condition for some countries in the 1990s. Learned from that experience, the existence of OJK in Indonesia must be supported by the existence of an independent regulatory structure so that the purpose of OJK being formed in the first place can be materialized. The existence of the independent regulatory structure, can be measured by OJK’s independence in terms of regulation, supervision, institutional, and independence in terms of financing. In the context of OJK in Indonesia, the independent regulatory structure, is not intended to make OJK as a catalyst for economic development or a referee for a fair play. OJK’s independence must be played to balance the interests of the government, consumer, and financial services industry so that the direction of economic policy can go hand in hand. Though not in the perfect shape
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
yet, the regulation of OJK has already adopted all aspects from that independent regulatory structure. It was said not in the perfect shape yet, because a harmonization is still needed on a number of laws and regulations relating, and establishment of implementing regulations at the technical level of operational. With these, OJK is expected to be more objective and also can run its authority adequately, transparently, and accountably. Furthermore, OJK is expected to have a sufficient legal authority to conduct an investigation into the financial services issues. Key words: Regulatory structure, independence, OJK
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
JUDGE’S DISCRETION IN ISLAMIC FAMILY LAW: INDONESIAN RELIGIOUS COURTS EXPERIENCE1 Muhamad Isna Wahyudi, S.H.I, M.S.I2 Judge of Religious Court Badung
[email protected]
Abstract Tension between Islamic legal tradition and the modern nation state’s role in establishing dan reforming law has become the global controversies and conflicts in Muslim countries over the last decades including Indonesia. Since the enactment of Law No.1/1974 on Marriage, then Compilation of Islamic Law (Kompilasi Hukum Islam/KHI) under President Instruction No.1/1991, dualism of the validity of marriage has been arising in Indonesian Muslim society. The dualism has led to ambivalence towards law enforcement among judges of religious courts in dealing with the petitions for the legalization of marriage while the Law restricts the petitions to marriages before the enactment of Law No.1/1974. In this case, judges of religious court have deviated from the state law by granting legalization to marriages occurred after the enactment of Law No.1/1974. Such deviation is known as judge’s discretion. Despite judges of religious courts seem to adhere to the Islamic legal tradition than the State law in the case of legalization of marriage; they have deviated from Islamic legal tradition or state law in terms of the fulfillment of divorced wife’s rights, joint property, custody, and inheritance. Their discretion is merely to provide the justice to the litigants when the application the letter of the law is contradictory to justice. In this way, they have also taken a part in reforming the Islamic Family Law. Key words: judge, discretion, justice. I.
Introduction Under civil law system in which codification becomes the main feature as the impact of legal positivism or legisme, the sole source of law is state legislation. In this case, judge is merely the loudspeaker of state law. However, when judges find that the state law can’t provide justice to the justice seekers based on their consideration on facts during the hearing, they must be brave to deviate from the state law. Law is merely an instrument to create justice, while justice is the ultimate purpose of law. In this case, judges of religious courts among those who are brave. They have used their discretion in the field of Islamic Family Law. In this way, they have also taken a part in reforming the law. Indonesia as the ex-colony of Netherland has adhered to the civil law system.3 Since its independence, the state has succeeded in codifying Islamic law, particularly Islamic Family Law, as manifested in Law No.1/1974 and KHI. One of significant reform introduced in both of Law No.1/1974
Paper presented at the 4th International Conference and Graduate Workshop on “Islamic Justice System in Classical and Modern Times: Discourses and Practices,” held by the Faculty of Sharia and Law Sunan Kalijaga Yogyakarta in cooperation with the Faculty of Humanities Georg August University of Gottingen, Germany, in Yogyakarta, 28-30 October, 2014. 2 Judge of Religious Court, Badung, Bali, and graduate of Postgraduate Program Sunan Kalijaga State Islamic University, Yogyakarta. 3 Indonesia adheres to juridical positivism stream. According to juridical positivism, law is state legislation, and law prevails due to its positive form provided by authoritative institution (state). Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia: Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, (Cirebon: ISIF, 2014), p. 4. 1
203
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 203-212
and KHI is that every marriage is registered according to the regulation,4 and marriage conducted without marriage registrar supervision has no legal force.5 Although the state law requires marriage to be registered by marriage registrar in order to have legal force, unregistered marriages have been the common practice in Indonesian Muslim society. According to the living law in the society which is based on Islamic legal tradition as contained in books of fikih, the registration is not a condition of marriage validity. Tension between the state law and the living law on the validity of marriage has led to ambivalence towards law enforcement among judges of religious court. The judges have to use their discretion in granting the petitions for the legalization of marriage. Judge’s discretion on the legalization of marriage has led to a conclusion that their discretion demonstrates their weakness in enforcing the state law and they do not enjoy strong position in society.6 This paper tries to discuss how such discretion could be justified in Indonesian legal system that tends to adhere to civil law system and on what cases judges of religious court use their discretion. To discuss the topic above, the author starts with the discussion on judge’s discretion in Indonesian legal system. The discussion is important to explain the position of judge in Indonesia not as the loudspeaker of state law despite Indonesia tends to adhere to civil law system. Then the author discusses on what field of Islamic Family Law judges of religious courts use their discretion. This is to explain that judges of religious court have used their discretion on broader sphere and not restricted to legalization of marriage, and to know the reasons behind their discretion. Finally, the author will summarize some important points in conclusion. Judge’s Discretion The word discretion is a noun that means the power or right to decide or act according to one’s own judgment, freedom of judgment or choice.7 In the context of judge’s authority in dealing with case, discretion is a freedom to decide attitude and policy, freedom of thought and freedom to act against a case he/she deals with.8 Right of discretion is related to the obligation to choose among two or more choices as regulated by law (restricted discretion) or even to choose either applying law or deviating from law (contra legem). The latter is regarded as violation by those who support positivism stream because law enforcement is impossible to be different with the state law. Right of discretion also emerges when the law does not regulate clearly what to do with certain case (free discretion). This is related to the principle of ius curia novit, that judge is prohibited to refuse a case due to the vacuum of law or unclear law.9 Judge independence is clearly guaranteed in Art. 5 (1) Law No. 48/2009 on Judicial Authority that judge must trace, follow, and understand the legal values and sense of justice living in the society. Chapter IX Art. 24 (1) of Indonesian Constitution (UUD 1945 amendment product) declares that Judicial Authority is independent authority to run judicature in order to enforce law and justice (see also Art. 1 (1) Law No.48/2009). The phrase “enforce law and justice” means that the duty of judge is not only to enforce law but also provide justice. Ideally, law and justice are inherent as one unity.
4
Art. 2 (1) Law No.1 (1974) , Art. 4 KHI. Art. 6 (2) of KHI. It is only KHI that clearly declares unregistered marriage has no legal force. 6 Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition, and Identity: The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice in the Indonesian Religious Courts, (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010), hal. 224. 7 See dictionary.reference.com/browse/discretion, accessed on October 10, 2014 at 9.10 am. 8 Darmoko Yuti Witanto, S.H and Arya Putra Kuta Waringin, S.H, M.H, Diskresi Hakim: Sebuah Instrumen menegakkan keadilan substantif dalam perkara-perkara pidana, (Bandung: Alfabeta, 2013), p. 67. 9 Ibid, p.68. 5
204
Judge’s Discretion in Islamic Family Law, Muhamad Isna Wahyudi
Enforcing law is a process to reach the justice, while justice is the goal of law enforcement. Law in this case should be interpreted as not only state law but also the living norms in society.10 Despite judicial activism is limited by law, judge is not merely the loudspeaker of law who enforces the law rigidly, judge applies law as long as the law can provide justice. When the law can’t provide justice and will lead to injustice, judge must be brave to deviate from it. The fundamental base in deciding case is for the sake of justice and not for the sake of Law.11 Despite the judge’s discretion, judges must take a part in maintaining unified legal framework and unified legal opinion. It is necessary to create uniform legal base and uniform legal perspective among judges to avoid the high disparity of verdicts.12 According to Gustav Radbruch’s theory, the purpose of law consists of justice, legal certainty,13 and utility. Judge is often faced by two difficult choices when justice and legal certainty can’t be unified in a judgment. In this case, judge has got to decide a choice by sacrificing one for the sake of other. If judge faces tension between justice and legal certainty, he/she should takes judgment which provides utility to law and society in general.14 Judge’s position between justice and legal certainty is neither loudspeaker of law nor lawmaker.15 This is due to judge’s decision on particular case binds to the case only and to the litigants involved in the case. The decision does not prevail as general rules applied to all similar cases.16 Tension between justice and legal certainty is also faced by judges of religious courts, particularly in dealing with the legalization of marriage. In this case, they have used their discretion to grant petitions for the legalization of marriage not restricted to marriages before Law No. 1/1974. On what reason they rely on to use their discretion will be discussed in the next section. Judge’s Discretion in Islamic Family Law cases After discussing how judge’s discretion in Indonesian legal system in previous section, this section will discuss how judges of religious courts use their discretion in dealing with cases in the field of Islamic Family Law. Discretion on legalization of marriage According to the explanation of Art. 49 (22) Law No. 7/1989 and Art. 7 (3d) of KHI, legalization of marriage is restricted to marriage occurred before the enactment of Law No. 1/1974. In fact, there are numerous petitions for legalization of marriage occurred after Law No.1/1974 filed to the religious courts. Giri Menang Religious Court, West Lombok, West Nusa Tenggara is one of the busy courts in dealing with the legalization of marriage. The average number of legalization of marriage to be heard by the court reaches 2000 cases in a year, with 99.9 percent consists of marriages after the enactment of Law No. 1(1974). Both the Supreme Court and the local government 10
Ibid, p.19. Ibid, p.25. See also Art. 2 (1) Law No. 48/2009. Yahya Harahap explains that judge’s role in enforcing truth and justice towards concrete case includes interpreting, making new law (judge made law), seeking new principles, conducting contra legem, and hearing case by case. M. Yahya Harahap, S.H, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 1993), p.63-5. 12 Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama, p.74. 13 Legal certainty includes certainty in the letter of law and certainty due to law. The former means that every legal norm must be formulated in clear and distinct sentences to avoid multiple interpretations, while the latter means that law provides certainty. Syafrudin Kalo,”Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan Masyarakat: Suatu Sumbangan Pemikiran,” Majalah Komisi Yudisial, Ed. May-June, 2014, p. 12. 14 Witanto and Waringin, Diskresi Hakim,p. 25. 15 Ibid, p. 26. 16 As an exception, a verdict of cassation case may become a jurisprudence or stare decesis if the verdict containing judge made law value and constantly followed in similar case by many verdicts. Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama, p.74. 11
205
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 203-212
have supplied budget in supporting the court to carry out circuit court to give mobile service to the society to get legal identity through legalization of marriage.17 The program involves religious court, religious affairs office, and civil registration office which is known as Integrated Service Program for Legal Identity. The program is sponsored by Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ), and legalization of marriage is the main service of the program to get legal identity such as certificate of marriage, certificate of birth, and certificate of divorce.18 The great number of unregistered marriage in society demonstrates the living law (legal awareness) in the society on the validity of marriage; that registration of marriage is not a requirement for the validity of marriage according to religious doctrine. Marriage is valid provided that it has met the conditions and components of marriage according to Islamic legal tradition. This living law is then understood as representative interpretation19 to Art. 2 (1) Law No.1/1974 that the legal marriage must be conducted according to religious law and beliefs of the bride and groom. Moreover, the provision that every marriage is registered according to the regulation is separately formulated in Art. 2 (2) Law No.1/1974.20 However, for those who insist on registration of marriage as the requirement for valid marriage, paragraph (1) and (2) of Art. 2 Law No.1/1974 are one unity. As a result, there is dualism of law on the validity of marriage. The provision on the validity of marriage became one of controversial issues during the formation of Law No.1/1974. According to Art. 2 (1) Bill of Marriage 1973, registration of marriage become the decisive factor on the validity of marriage, regardless of the marriage conducted according to the Law or marriage law of the bride and groom including Islamic law, customary law, Huwelijks Ordonantie vor de Christen Indonesien (HOCI) which is colonial product of law that regulates marriage for Indonesian Christian, and Burgelijk Wetboek (BW) which is colonial product of law on civil law.21 Such provision had been contested by Muslim society during the formation of Law No.1/1974. Besides the above reason, based on the author’s experience in dealing with petitions for the legalization of marriage,22 there are different grounds why the couples do not conduct their marriage before marriage registrar so that they could have certificate of marriage. Those grounds include the
17
Interview with Huda Lukoni, a judge at Giri Menang Religious Court, October 12, 2014. Art. 7 (3a) of KHI enables unregistered marriage before and after Law No.1/1974 to be legalized for the sake of divorce. 19 The term “representative interpretation” means the interpretation which is largerly accepted by the society although it is not guaranteed as the “authoritative interpretation.” To be authoritative, according to Abou El Fadl, an interpretation of law should meet at least five authoritative requirements: 1) honesty, 2) diligence, 3) comprehensiveness, 4) reasonableness, and 5) self-restraint. See Khaled M. Abou El-Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women, (Oxford: Oneworld, 2001), p. 55-56, as quoted by Ahmad Ali MD, “Metodologi Penerapan Hukum Islam Berkeadilan Gender,” in Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, Edisi No. 76, 2013, p. 163-5. For the interpretation on registration of marriage as a component of marriage see Muhamad Isna Wahyudi, Pembaruan Hukum Perdata Islam: Pendekatan dan Penerapan, (Bandung: Mandar Maju, 2014), p. 36-8. 20 The present formulation of Art. 2 (1) Law No. 1/1974 is proposed by Development Unity Party faction (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan) as the consensus between Development Unity Party faction and Indonesian Republic Army faction. The formulation triggered sharp conflict between Development Unity Party faction and Indonesian Democratic Party faction during the discussion on the Bill of Marriage 1973 at the House of Representatives that lasted 6-20 December 1973. Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia: Pro-Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, First Edition (Jakarta: Kencana, 2013), p. 132-7 21 Ibid., p. 109. 22 During the author’s duty at Kotabumi Religious Court, North Lampung, the author involved in some circuit courts dealing with the petition for legalization of marriage in remote areas. 18
206
Judge’s Discretion in Islamic Family Law, Muhamad Isna Wahyudi
low legal awareness, poverty, legal smuggling, the negligence of marriage registrar assistance (P3N), and the status of widow or widower from unregistered marriage.23 The low legal awareness of the couples is closely related to the level of study, backwardness, and living in remote area. These factors are still easily found in Indonesia. The importance of marriage registration is not well understood by those who conduct unregistered marriage. In Lombok, marriage before tuan guru (religious leader) is worthier than marriage before the marriage registrar, according to the society.24 Except the legal smuggling, the rest of grounds are beyond the couples’ capability. Ignoring social facts such as the living law on the validity of marriage, the low legal awareness of the society, poverty, and the negligence of marriage registrar assistance (P3N), and restricting petition for the legalization of marriage to marriages before the enactment of Law No. 1/1974 based on the explanation of Art. 49 (22) Law No. 7/1989 and Art. 7 (3d) of KHI will be contradictory to social justice. The impact of unregistered marriage towards right and duty both of husband and wife, marriage property, and the status of children born from the marriage must be considered by judge in dealing with the legalization of marriage so that the judgment can provide utility to the justice seekers. Relying on the above considerations, judge must be brave to deviate from the explanation of Art. 49 (22) Law No. 7/1989 and Art. 7 (3d) of KHI by granting petitions for the legalization of marriage that occurred after the enactment of Law No. 1/1974. Regarding legalization of marriage, the author tends to view the case employing ideal law and realistic law theory. The ideal law is the idealized law, while the realistic law is law resulting from the synergy between the ideal law and the prevailing law in society. The ideal law contains universal sense of justice, while the realistic contains local and temporal justice. The former is impossible to be applied in certain society and in certain time without considering legal awareness of the society of the time. The process of synergy, thus, is unavoidable to make law meets the sense of justice of the society.25 Based on the theory above, registration of marriage as requirement for valid marriage is the ideal law, while the legalization of marriage is the realistic law. The question arises is that how long will the realistic law be applied in Indonesian Muslim society. The question is not a simple question. As long as tension between state (government) and religion (religious leaders/ulama) continues, the synergy is unavoidable instrument. Therefore, the institution of itsbat or legalization becomes the solution to the unfinished relation between the state and religion. The dualism of law enforcement in the field of Islamic family law becomes the historical legacy of the muslim countries after accepting western law system with half-hearted adoption, except Turkey that wholly adopts the western law. The muslim countries adopt Western law to modernize its marriage law only in formal legislation (codification), while the substance of law is still derived from Islamic law to which the society adheres, besides some changes which are not contradictory to the principles of Islamic law.26 The dualism of law on the validity of marriage, to some extent, has exposed the problem of law enforcement. Regarding law enforcement, at least there are three components which are interconnected. Those components include the legal structure, the legal substance, and the legal 23
See Muhamad Isna Wahyudi, Berbagai Argumentasi Hukum dalam Pengesahan Nikah, at http://aipj.or.id/in/legal_identity/article/76. 24 Interview with Huda Lukoni, a judge at Giri Menang Religious Court, October 13, 2014 25 Edi Riadi, “ Paradigma Baru Hukum Waris Islam di Inonesia,” in Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, Ed. Muchit A. Karim, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012), p. 62. 26 Edi Riadi, Dinamika Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Bidang Perdata Islam, (Jakarta: Gramata Publishing, 2011), p. 98. 207
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 203-212
culture as proposed by Lawrence M. Friedman. In the case of legalization of marriage, the legal culture is more dominant than the two others component. Legal culture includes view, custom, and behavior of the society regarding thought, values, and hope towards the prevailing system of law, or in other words, legal culture is the climate of social thought on how the law applied, trespassed, or obeyed.27 One of the ways to change legal culture maintained by the society is by enlightening the society. At this point, legal education plays an important role to change the legal culture/legal awareness of the society. Therefore, legal education should be the component of law enforcement as proposed by Barda Nawawi Arif in his inauguration speech as Professor of Law at Diponegoro University.28 Moreover, Indonesia as developing country faces the high cost of education for its citizens, while the level of education can influence the legal awareness of the society. Many ideas of legal reform introduced by scholars are not well delivered to and understood by the society. As a result, there is a tendency to maintain the tradition due to lack of knowledge that will lead to ineffective law reform and dualism of law. Discretion on the fulfillment of rights of divorced wife In dealing with talak divorces (divorce initiated by husband), judges of religious court sometime find that the wife as the defendant does not claim her rights as the consequence of talak. While according to Art. 149 of KHI, in the case of talak, a husband is obligated to provide mut’ah, maintenance during the waiting period (nafkah iddah), and child maintenance. Art. 41(c) of Law No. 1/1974 also enables judges to use their discretion to obligate husband to give maintenance to his exwife. According to Art. 189 (3) R.Bg/Art. 178 (3) HIR (the principle of ultra petita), judge is prohibited to grant anything that the litigants do not claim. However, realizing that a great number of justice seekers at religious court consists of those who are from the lower-class society, and most of them do not understand both the procedural law and substantive law related to the case of divorce, and considering the impact of divorce to the wife and children, judges of religious courts tend to use their discretion to sentence the husband to fulfill his duties as the consequence of talak according to his capability provided that the wife is not guilty (nusyuz).29 Such discretion also used in case the husband is found guilty, while it is found difficult to maintain the relationship of the couple, in order to give fair judgment for the wife when judges grant the husband’s petition for talak. Moreover, such fulfillment must be paid by the husband before his talak pronouncement at the hearing court. If the husband has not paid the fulfillment, judge may postpone the hearing of talak pronouncement (ikrar talak) until the husband is ready to do his duty. Judge’s discretion on the fulfillment of maintenance during waiting period is also applied to divorce initiated by wife (cerai gugat), despite KHI doesn’t give such right to wife. In case, wife files divorce claim due to the violence and cruelty of husband, judges may use their discretion to sentence the husband to provide nafkah iddah to her wife in order to fulfill the sense of justice,30 and because the obligation of iddah is to ascertain the condition of womb (lil istibra’) that related to the husband’s interest.
Kalo, “Penegakan Hukum …,” Majalah Komisi Yudisial, Ed. May-June, 2014, p. 11. Witanto and Waringin, Diskresi Hakim…, p. 66. 29 According to Art. 152 of KHI, the ex-wife is entitled to iddah maintenance, except she is guilty (nusyuz). 30 Mahkamah Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II, 2013, p. 150. The book has been the manual for judges of religious courts in conducting their duty. It contains procedural law and technical guidance for court administration. 27 28
208
Judge’s Discretion in Islamic Family Law, Muhamad Isna Wahyudi
Discretion on joint property According to Art. 97 of KHI, widow or widower of divorce has right to get half of joint property, provided that there is no other provision in marriage contract. In fact, in legal practice of religious courts judges, the application of the Law on joint property cases is different. The share of joint property is sometime one-third and two-third or one-fourth and three-fourth. Such sharing, for example, can be found in verdict of cassation number 266 K/AG/201031 July 12, 2010 that shared the joint property three-fourth for the wife and the rest for the husband. The verdict based on argumentation that during marriage, the husband did not provide maintenance to his wife, the husband made his wife depressed, the joint property was resulted from the wife’s effort, and the husband disobeyed religious teaching. It will be contradictory to sense of justice to share the joint property according to KHI which shares the joint property fifty-fifty for both the husband and the wife. In this case, judges have used their discretion to create the justice when the letter of Law is unable to provide the justice.32 Discretion on child custody According to Art. 105 (a) of KHI, custody for child who has not been mumayyiz (under 12 years) is the mother’s right. However, in practice, verdicts on child custody are not always in line with the provision. Judges, in this case, will emphasize on the principle the best interest of the child. Judges need to consider the mother’s behavior, her activity, and the child’s feeling.33 If the mother is incapable to guarantee the best interest of the child, right of custody (hadhanah) will be given to the father.34 Among the reasons used by Supreme Court to provide custody to father include: 1) the mother has converted to other religion, 2) the mother has bad behavior, 3) the mother has married with other man, and 4) the mother neglects her duty to child.35 Discretion on inheritance Islamic Law of Inheritance constitutes the subject in which judges of religious court have made some reforms. In this case, the Supreme Court plays an important role in leading the reform. The reforms in the application of Islamic law of inheritance are as follow: 1. According to Art. 209 (1) and (2) of KHI, adopter parent receives obligatory testament from the adopted child with the maximum share is one third from the inheritance of adopted child, provided that the adopter does not receive testament and vice versa. In fact, the application of obligatory testament has been extended to give share to non muslim relative and step child. It was the Supreme Court’s verdict number 368 K/AG/1995, 10 July 1998, that pioneered to give share to non muslim child, and then the verdict number 51 K/AG/1999, 29 September 1999, that gave share to non muslim in position as child of pre-deceased heir. At the recent time, the obligatory testament has been used to give share to step child as can be found in Supreme Court’s verdict number 489/K/AG/2011, 23 December 2011. 2. According to Art. 176 of KHI, if daughter together with son as heirs, she is entitled to half of share of that of son. In practice, according to the Supreme Court judge, Mukhtar Zamzami, there are many religious courts’ verdicts that provide equal share to male and female heirs based on 31
The verdict can be download at http://putusan.mahkamah agung.go.id/main/pencarian/?q=266+ K%2FAG%2F2010. 32 Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Majalah Peradilan Agama, First Edition, May 2013, p. 27. See also verdict of Bukittinggi Religious Court number 278/Pdt.G/2005/PA.Bkt, 27 May 2006. 33 Ibid, p. 49. 34 For example, see verdict number 2/Pdt.G/2013/PA.Kbj, 14 May 2013, and verdict number 39/Pdt.G/2012/PTA.Yk, 8 November 2012. 35 Edi Riadi, Dinamika, p. 174. 209
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 203-212
the reality that women have role and responsibility as big as men in the modern time. There were at least 12 verdicts of the Supreme Court since 1958 to 1991 that provided equal share to male and female heirs.36 Judge’s discretion in Islamic Family Law as discussed above, generally speaking, emphasizes on justice when the Law can’t provide justice. Law enforcement should consider the living law and legal culture to capture attitudes, beliefs, values, hopes and thought of the society towards law in the prevailing legal system.37 Conclusion As the state that adheres to civil legal system, Indonesia does not strictly limits judges as merely the loudspeaker of law. Indonesian Constitution and Law No. 48/2009 enable judges to use their discretion by declaring the function of judiciary is to enforce law and justice and for the sake of justice, besides judge must trace, follow, and understand the legal values and sense of justice living in the society. Despite judge’s discretion on legalization of marriage, to some extent, shows the ineffective law reform on the validity of marriage and the law has failed to be a tool of social engineering, judge’s discretions in other areas of Islamic Family Law show that judges of religious courts among those who are brave to deviate from Law to provide justice to the justice seekers. Some reforms introduced by Supreme Court to Islamic law of inheritance through jurisprudences which are constantly followed in similar case by many judges of religious courts are quietly accepted by Indonesian Muslim society without resistance. In this case, judges of religious court have taken a part in reforming the law when such reform is difficult to be forced by the state through legislation.
Bibliography Abou El-Fadl, Khaled M., Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women, Oxford: Oneworld, 2001. Ali MD, Ahmad, “Metodologi Penerapan Hukum Islam Berkeadilan Gender,” in Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, Edisi No. 76, 2013, p. 152-72. Dictionary.reference.com/browse/discretion. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Majalah Peradilan Agama, First Edition, May 2013. Gatra Magazine, Ed. 1 February 2012. Harahap, M. Yahya, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama, Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 1993. Kalo, Syafrudin,”Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan Masyarakat: Suatu Sumbangan Pemikiran,” Majalah Komisi Yudisial, Ed. May-June, 2014. Mahkamah Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II, 2013. Nurlaelawati, Euis, Modernization, Tradition, and Identity: The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice in the Indonesian Religious Courts, Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010.
“Disertasi Menggugat Hukum Waris,” Gatra Magazine, 1 Februari 2012, p. 78. Among the verdicts that provide equal share to male and female heirs are verdict of Makasar Religious Court Number 338/Pdt.G/1998/PA.Upg, Number 230/Pdt.G/2000/PA.Mks, and verdict of Medan religious court Number 92/Pdt.G/2009/PA.Mdn. 37 Kalo, “Penegakan Hukum …,” Majalah Komisi Yudisial, Ed. May-June, 2014, p. 12. 36
210
Judge’s Discretion in Islamic Family Law, Muhamad Isna Wahyudi
Riadi, Edi, “ Paradigma Baru Hukum Waris Islam di Inonesia,” in Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, Ed. Muchit A. Karim, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012, 59-82. ------------, Dinamika Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Bidang Perdata Islam, Jakarta: Gramata Publishing, 2011. Syahuri, Taufiqurrohman, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia: Pro-Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, First Edition, Jakarta: Kencana, 2013. Wahid, Marzuki, Fiqh Indonesia: Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, Cirebon: ISIF, 2014. Wahyudi, Muhamad Isna, Berbagai Argumentasi Hukum dalam Pengesahan Nikah, at http://aipj.or.id/in/legal_identity/article/76. -------------, Pembaruan Hukum Perdata Islam: Pendekatan dan Penerapan, Bandung: Mandar Maju, 2014. Witanto, Darmoko Yuti, and Arya Putra Kuta Waringin, Diskresi Hakim: Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-Perkara Pidana, Bandung: Alfabeta, 2013. Law No. 1/1974 on Marriage President Instruction No. 1/1991 on Compilation of Islamic Law UUD RI 1945 (Indonesian Constitution) Law No. 48/2009 on Judicial Authority Law No. 7/1989 on Religious Judicature
211
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 203-212
212
MEMBANGUN HUKUM NASIONAL BERDASARKAN PANCASILA Teguh Prasetyo Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Jln. Diponegoro 52-60 Salatiga 50711
[email protected]
Abstrak Era reformasi seharusnya dijadikan tonggak pembangunan hukum nasional yang berjiwa Indonesia, yaitu hukum yang dibangun dari proses penggalian, penemuan, dan pengembangan yang bersumber dari nilai-nilai kehidupan budaya dan jiwa rakyat Indonesia yaitu Pancasila. Pembangunan hukum nasional berdasarkan Pancasila tersebut bertujuan untuk mengakhiri perbenturan dan pertentangan yang terjadi akibat penerapan pluralisme di bidang hukum. Kata kunci: Pembangunan hukum Nasional, Pancasila, pluralisme hukum.
A. Pendahuluan Pada dasarnya hukum tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, karena pada saat kelahirannya manusia telah bergaul dengan manusia lainnya yang disebut dengan masyarakat. Sehingga oleh Cicero di katakan bahwa ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Hukum dibentuk oleh manusia untuk mengendalikan setiap pergaulan di antara manusia itu sendiri. Manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup berkelompok (zoon politicon). Dalam hidup berkelompok tersebut manusia berinteraksi dengan manusia yang lainnya sehingga hal tersebut tidak menutup kemungkinan untuk terjadi konflik atau pertentangan diantara mereka. Dengan konflik atau pertentangan tersebut maka akan terjadi perang semua orang melawan semua orang (bellum omnium contra omnes) yang berebut dan mempertahankan hak yang dimilikinya. Dengan adanya konflik dan pertentangan tersebut maka diperlukan pemulihan keadaan seperti semula (restitutio in integrum) yaitu suatu keadaan yang seimbang dalam suasana yang damai, tertib dan aman. Untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur maka diperlukan suatu hukum. Hukum tersebut mempunyai peran yang sentral dalam menciptakan dan memberikan keadaan dimana masyarakat merasa terlindungi. Hukum menawarkan perlindungan terhadap sewenang-wenang, perlindungan terhadap anarki dan juga perlindungan terhadap tirani yang dilakukan oleh pihak lain.38 Perlindungan yang diberikan oleh hukum tersebut merupakan salah satu tujuan yang terdapat di dalam suatu negara hukum. Sehingga dalam negara hukum dijamin adanya tertib hukum dalam masyarakat yang berarti bahwa negara memberikan perlindungan hukum pada masyarakat, antara hukum dan kekuasaan ada hubungan timbal balik.39 Begitu juga halnya dengan Indonesia, sebagai negara yang merdeka Indonesia seharusnya juga mempunyai hukum dan sistem hukumnya sendiri. Namun sampai saat ini Indonesia masih belum mempunyai hukum dan sistem hukumnya tersendiri, sehingga dalam menerapkan hukum dan sistem hukum yang berlaku, Indonesia memberlakukan pluralisme hukum dan sistem hukum. Hal ini terlihat dari beberapa macam sistem hukum yang diterapkan di Indonesia, setidaknya ada empat sistem hukum
38
Teguh Prasetyo, Hukum Dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, Media Perkasa, Yogyakarta, 2013, hlm.
2. 39
Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Cet. Kedua, Bayu Media Publishing, Malang, 2005, hlm. 7. 213
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 213-222
yang diberlakukan di Indonesia, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum islam, sistem civil law; dan sistem common law. Bagi bangsa Indonesia, membangun hukum nasional merupakan persoalan serius yang harus segera diperbaharui. Terkait dengan hal tersebut setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi, sebagaimana yang diyatakan oleh Lili Rasjidi, yaitu: 1. tidak terlampau banyak ahli hukum yang menaruh perhatian terhadap masalah-masalah hukum yang bersifat konseptual; 2. diantara ahli-ahli yang menaruh perhatian terhadap hal ini masih terdapat perbedaan pandangan tentang konsepsi dan ruang lingkup hukum sebagai suatu sistem; 3. kedua masalah tersebut didukung pula oleh berbagai masalah yang sangat berpengaruh terhadap gerak hukum dalam menyelenggarakan fungsinya, baik yang berasal dari faktorfaktor internal maupun dari faktor-faktor eksternal.40 Dengan ketiga faktor sebagaimana diungkapkan oleh Lili Rasjidi, maka tidaklah mudah bagi bangsa dan negara Indonesia untuk membentuk hukumnya tersendiri. Alasan sulitnya bangsa dan negara Indonesia membentuk hukumnya sendiri diperkuat oleh pernyataan dari Soetandyo Wignyosoebroto.Menurut beliau, sulitnya bangsa Indonesia untuk membentuk hukumnya sendiri dikarenakan bukan hanya karena keragaman hukum rakyat yang umumnya tak terumus secara eksplisit itu saja, akan tetapi juga karena sistem pengelolaan hukum yang modern meliputi tata organisasi, prosedur-prosedur dan asas-asas doktrinal pengadaan dan penegakannya telah terlanjut tercipta sepenuhnya sebagai warisan kolonial yang tidak akan mudah di rombak atau digantikan begitu saja dalam waktu singkat. Apalagi membangun hukum nasional dengan bermula dari titik nol atau bertolak dari suatu konfigurasi baru yang masih harus ditemukan terlebih dahulu jelaslah tidak mungkin.41 Meskipun sulit untuk membangun hukum dan sistem hukum tersendiri, namun dengan keberadaan ke empat sistem hukum tersebut, telah memberikan jalan bagi Indonesia untuk mempunyai sistem hukumnya tersendiri yang digali berdasarkan kepada nilai-nilai, budaya yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia serta berlandaskan kepada kepribadian bangsa dan negara Indonesia. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Karl Von Savigny bahwa hukum itu tidak dibuat, melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (das recht wird gemacht, est ist und wird mit dem volke). Oleh karena itu maka dalam hal pembentukan hukum dan sistem hukum di Indonesia harus di dasarkan dan di landasi oleh nilai-nilai kehidupan dan kebudayaan Indonesia yaitu Pancasila yang oleh para founding father telah ditetapkan sebagai falsafah dan dasar negara Indonesia. Dengan demikian maka tatanan hukum dan sistem hukum di Indonesia harus mengacu pada cita hukum (rechtsidee) Pancasila.42 Dari paparan diatas maka pembentukan sistem hukum nasional Indonesia sangat diperlukan. Hal ini karena dengan dibentuknya sistem hukum nasional berdasarkan Pancasila maka akan terciptanya hukum dan sistem hukum yang terintegrasi dan menghilangkan pluralisme hukum dan sistem hukum sehingga menghasilkan hukum dan sistem hukum yang harmonis dalam arti selaras, serasi, seimbang dan konsisten serta tidak berbenturan dan tidak terdapat pertentangan diantara normanorma hukum yang satu dengan yang lainnya baik secara horisontal maupun vertikal. Dengan demikian maka norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sub sistem dalam satu
40
Lili Rasjidi, Pembangunan Sistem Hukum Dalam Rangka Pembinaan Hukum Nasional, Dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri (Penyunting), Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum (Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. Bernard Arief Sidharta, SH), Refika Aditama, Bandung, 2008, Hlm. 130. 41 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Cet. Kedua, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 187-188. 42 Teguh Prasetyo, Loc Cit, hlm. 83. 214
Membangun Hukum Nasional Berdasarkan Pancasila, Teguh Prasetyo
kesatuan kerangka sistem hukum nasional tidak terhalang oleh perbedaan-perbedaan, tidak saling bertentangan dan tidak terjadi duplikasi dan tumpang tindih.43 B. Pancasila Sebagai Landasan Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara Sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila mempunyai empat kedudukan, yaitu: sebagai dasar negara; sebagai falsafah negara; ideologi negara; serta cita hukum dan sumber dari segala sumber hukum Indonesia. 1. Pancasila Sebagai Dasar Negara. Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara berakar nilai-nilai dan budaya masyarakat dan bangsa Indonesia yang digali dari pandangan hidup bangsa yang merupakan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara merupakan asli atau murni dari Indonesia meskipun secara tidak langsung juga mendapat pengaruh dari bangsa lain. Pancasila sebagai dasar negara memperoleh pengesahan secara normatif setelah Indonesia merdeka, yaitu pada saat disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Dengan disahkannya Pancasila sebagai dasar negara, maka Pancasila mempunyai fungsi sebagai: a. dasar berdiri atau membentuk dan tegaknya negara Indonesia; b. dasar untuk mengatur kegiatan penyelenggaraan negara; c. dasar partisipasi warga negara; d. dasar pergaulan antar warga negara; dan e. dasar dan sumber hukum nasional.44 2. Pancasila Sebagai Falsafah Negara. Pancasila sebagai falsafah negara diperoleh dari sumber nilai dalam konteks perjalanan dinamis sejarah kebudayaan bangsa. Pembentukan sumber nilai yang tercakup kedalam sistem falsafah kebangsaan, berjalan dalam sejarah yang panjang, yang melibatkan bukan saja kaum cendikia dan primus interparis, melainkan juga masyarakat. Bagi bangsa Indonesia, falsafah Pancasila adalah bagian dari sistem filsafat timur yang memancarkan nilai keunggulannya sebagai sistem filsafat theisme – religious.45 Oleh Darmosoegondo, Pancasila telah memenuhi syarat sebagai falsafah negara. Syarat bagi pemenuhan Pancasila sebagai falsafah negara yaitu: a. dapat mempersatukan seluruh bangsa dan rakyat Indonesia yang susunan masyarakatnya majemuk; b. bahwa dasar falsafah negara itu diterima dan disetujui oleh seluruh bangsa dan rakyat Indonesia; c. bahwa dasar falsafah negara itu telah berakar dalam hati bangsa dan rakyat Indonesia; d. bahwa dasar falsafah negara itu mampu memberikan pengarahan tujuan sehingga dapat dijadikan pedoman bagi perjalanan hidup bangsa kita dikemudian hari.46 Sementara itu Winarno berpendapat bahwa Pancasila sebagai falsafah negara Indonesia karena lima hal berikut, yaitu: a. Pancasila merupakan hasil perenungan (contemplative) secara individual maupun kelompok yang dilakukan secara radikal, sistematis dan univesal dengan mendasarkan diri kepada kenyataan/realitas yang ada pada bangsa Indonesia. Perenungan individual
43
Op Cit, hlm. 91-92. Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila, Nusa Media, Bandung, 2014, hlm. 21 45 Op Cit, hlm. 22. 46 Soesanto Darmosoegondo, Falsafah Pancasila, Alumni, Bandung, 1975, hlm. 60. 44
215
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 213-222
b. c. d.
e.
dilakukan oleh Muhammad Yamin, Soekarno dan Soepomo. Sedangkan secara kelompok dilakukan oleh panitia sembilan, anggota BPUPKI dan PPKI; rumusan sila-sila Pancasila merupakan rumusan abstrak disusun secara sistematis yang dipakai sebagai filsafat negara, ideologi negara; rumusan hakekat Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial merupakan konsep universal yang dapat berlaku pada setiap bangsa di dunia; rumusan Pancasila dipergunakan bagi kepentingan manusia (khususnya manusia Indonesia) dan secara mendalam/radikal menempatkan dan mengakui eksistensi Tuhan Yang Maha Esa dan manusia; nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila hakekatnya dapat diterima secara benar, baik dan universal, walaupun ada juga nilai-nilai yang bersifat spesifik/singulir berlaku bagi bangsa Indonesia dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Ketuhananan dan kemanusiaan.47
3. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia kemudian disistematisasikan dan dimasyarakatkan kembali melalui penyebarluasan beserta dengan pelaksanaannya. Dengan keadaan yang demikian maka Pancasila sebagai pandangan hidup telah memenuhi syarat sebagai ideologi negara. Hal ini juga diperkuat setidaknya oleh tiga syarat yang telah dipenuhi oleh Pancasila sebagai suatu ideologi, yaitu: a. realitas, dalam arti bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila mencerminkan realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Ideologi harus memberikan citra bahwa dirinya adalah kenyataan dalam masyarakat itu sendiri; b. identitas, dalam arti bahwa kadar idealisme yang terkandung dalam Pancasila mampu menumbuhkan motivasi, gairah, kepada para subyek pendukungnya sehingga apa yang terkandung dalam dirinya bukan sekedar utopi, tanpa makna, melainkan pada suatu saat benarbenar akan diwujudkan dalam kenyataan hidup; c. fleksibilitas, dalam arti bahwa Pancasila tetap relevan dan tetap fungsional sebagai deseingrund dan leitsmotif dalam kenyataan hidup.48 Dengan pemahaman diatas dapatlah dikatakan bahwa Pancasila sebagai tipe ideologi terbuka. Hal ini dikarenakan Pancasila sebagai ideologi digali dan ditemukan dari nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat Indonesia itu sendiri sehingga ideologi pancasila yang bersifat terbuka tersebut akan mempunyai sifat tanggap terhadap permasalahan dan dinamika kehidupan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat berbangsa serta bernegara. 4. Pancasila Sebagai Cita Hukum dan Sumber dari Segala Sumber Hukum. Cita hukum Pancasila dapat dipahami sebagai bangunan berfikir yang mengarahkan hukum kepada cita-cita yang di cita-citakan oleh masyarakat Indonesia. menurut Attamimi, Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) akan melakukan dua fungsinya yang konstitutif dan yang regulatif terhadap sistem norma hukum Indonesia secara konsisten dan terus menerus. Sebagai cita hukum (rechsidee) maka Pancasila mempunyai tiga nilai, yaitu: a. nilai dasar, yaitu asas-asas yang diterima sebagai dalil yang sedikit banyak mutlak. Nilai dasar Pancasila tersebut adalah Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan. 47
Winarno, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi (Panduan Praktis Pembelajaran),Yuma Pustaka, Surakarta, 2012, hlm. 49. 48 Koento Wibisono Siswomihardjo, Pancasila Suatu Telaah Ideologik Dalam Perspektif 25 Tahun Mendatang, Pusat Studi Pancasila Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1996, hlm. 9 216
Membangun Hukum Nasional Berdasarkan Pancasila, Teguh Prasetyo
b. nilai instrumental, yaitu pelaksanaan umum dari nilai-nilai dasar. terutama berbentuk norma hukum yang selanjutnya dikristalisasi dalam peraturan perundang-undangan. c. nilai praktis, yaitu nilai yang sesungguhnya dilaksanakan dalam kenyataan yang berasal dari nilai dasar dan nilai instrumental. Sehingga nilai praktis sesungguhnya menjadi batu uji apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat Indonesia. Misalnya kepatuhan masyarakat terhadap hukum atau penegakan hukum. 49 Ketiga nilai tersebut kemudian dikonkritisasikan ke dalam norma-norma hukum. Pengkonkritisasian ketiga nilai tersebut sangatlah penting karena hukum yang hendak dibangun harus dapat memadukan dan menyelaraskan kepentingan nasional Indonesia baik yang bertaraf nasional, regional maupun global. Sehingga dengan berpijak pada nilai-nilai Pancasila sebagai bintang pemandu untuk menguji dan memberikan arah pada hukum positif di Indonesia.50 Dengan asumsi yang demikian telah menjadikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum di Indonesia. Atau dengan kata lain bahwa Pancasila sebagai norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) yang menempatkan Pancasila sebagai landasan bagi pembentukan konstitusi atau UUD Indonesia dan juga pembentukan peraturan perundang-undangan dibawahnya. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkan sebagai norma fundamental negara (staatfundamentalnorm) maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaannya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian Pancasila merupakan norma tertinggi yang kedudukannya lebih tinggi dari Konstitusi atau Undang-Undang Dasar. C. Membangun Hukum Nasional Berdasarkan Pancasila Sebagai negara yang merdeka sampai saat ini Indonesia masih menerapkan pluralisme dalam hukum. Pluralisme tersebut dapat terlihat dengan diadopsinya empat sistem hukum, yaitu hukum adat, hukum Islam, civil law dan common law.Hukum adat diberlakukan di Indonesia karena hukum adat merupakan hukum asli Indonesia karena yang lahir dari kebudayaan dan hidup ditengah-tengah masyarakat setempat. hukum Islam diterapkan di Indonesia sejak masuknya agama Islam di Nusantara. Dengan mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam, maka hukum Islam atau syariat Islam mendominasi berhukum penduduk Indonesia terutama dalam hal hukum perkawinan, hukum waris dan hukum kekeluargaan.51 Hukum sipil (civil law) diterapkan di Indonesia karena masuknya Belanda di Indonesia. Masuknya Belanda ke Indonesia maka secara langsung maupun tidak juga membawa sistem hukumnya ke Indonesia. Pengaruh sistem hukum sipil (civil law) terlihat dibidang hukum perdata, hukum pidana dan hukum dagang. Terutama dalam hal pengkodifikasian perundang-undangan. Sedangkan common law diterapkan di Indonesia melalui perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi internasional yang mana Indonesia menjadi anggotanya, perjanjian antara para pengusaha, lahirnya institusi-institusi keuangan baru dan pengaruh sarjana hukum yang mendapat pendidikan di negaranegara anglo saxon seperti Amerika Serikat dan Australia.52 Masalah pembangunan hukum nasional bagi bangsa Indonesia sangat urgen atau mendesak untuk dilakukan. Karena masyarakat sudah tidak percaya lagi pada hukum yang ada pada saat ini, terutama dibidang penegakan hukum. Ketidakpercayaan masyarakat tersebut disebabkan karena
49
Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi, Loc Cit, hlm. 156. Ibid. 51 Op Cit, hlm. 3 52 Op Cit, hlm. 3-4. 50
217
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 213-222
hukum di Indonesia sebagian besar merupakan peninggalan kolonial Belanda yang menganut sistem “civil law”.53 Keberadaan ke empat sistem hukum tersebut seharusnya memberikan jalan bagi bangsa Indonesia untuk membentuk hukum nasionalnya sendiri yang berdasarkan kepada nilai-nilai yang terkandung di dalam masyarakat dan bangsa Indonesia. Yaitu suatu hukum yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari berbagai sistem yang telah ada. Dengan kata lain bahwa hukum Indonesia setidak-tidaknya harus bersumber dari bumi Indonesia sendiri. Hal ini berarti bahwa hukum Indonesia harus mencerminkan jiwa rakyat dan jiwa bangsa (volkgeist) Indonesia. Sehingga dalam pembangunan sistem hukum Indonesia harus menggali dan memahaminya dari nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat di Indonesia.Sehingga hukum yang hendak dibangun tidak bersifat statis dan beku melainkan hukum yang bersifat dinamis diperbarui terus menerus menurut kebutuhan dan kemauan masyarakat. Dengan demikian, bisa diartikan bahwa negara Indonesia menganut hukum yang hidup atau living law karena kemauan rakyat menjadi sumber dari pembangunan dan pembaruan hukum tersebut. Hal ini sesuai dengan pandangan dari aliran sociological jurisprudence bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Pembangunan hukum di Indonesia harus dilandasi oleh nilai-nilai kehidupan dan kebudayaan bangsa Indonesia yaitu Pancasila yang oleh para pendiri bangsa telah ditetapkan sebagai dasar falsafah bangsa dan negara. Dengan demikian maka tatanan hukum di Indonesia harus mengacu kepada cita hukum (rechtsidee) Pancasila. Pembangunan hukum nasional yang berdasarkan kepada Pancasila harus diarahkan untuk menampung dan mendukung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan perkembangan dan kemajuan pembangunan yang terjadi di bidang lain, sehingga hukum Pancasila mampu untuk menciptakan ketertiban dan kepastian hukum yang bertujuan untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara. Dalam pembentukan hukum nasional, harus ada jaminan bagi penegakan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Yang mampu menampung kebutuhan hukum yang sesuai dengan perkembangan masyarakat guna menciptakan kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Selain itu juga yang mampu memberikan kerangka dan aturan-aturan hukum yang efisien dan responsif terhadap penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa kini dan masa yang akan datang. Sehingga dalam pembangunan hukum nasional harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang terumus di dalam Pancasila. Oleh karena itu pembangunan hukum nasional harus dilandasi oleh (1) nilai ideologis, yaitu nilai yang berdasarkan pada ideologi nasional yaitu Pancasila; (2) nilai historis, yaitu nilai didasari pada sejarah bangsa Indonesia; (3) nilai sosiologis, yaitu nilai yang sesuai dengan tata nilai budaya masyarakat Indonesia; (4) nilai juridis yaitu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia; serta (5) nilai filosofis, yaitu nilai yang berintikan pada rasa keadilan dan kebenaran masyarakat. Selain itu dalam pembentukan hukum juga harus mencakup nilai-nilai yang terdapat di dalam sila-sila Pancasila, yaitu: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya bahwa dalam pembentukan hukum di Indonesia harus dilandasi oleh nilai-nilai Ketuhanan atau keagamaan. Selain itu juga, dalam setiap pembentukan hukum harus ada jaminan bagi kebebasan beragama dan tidak boleh ada hukum yang mengistimewakan salah satu agama tertentu dan menganaktirikan agama yang lainnya; 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya bahwa dalam setiap pembentukan hukum harus adan jaminan dan penghormatan hak-hak asasi manusia;
53
Op Cit, hlm. 146.
218
Membangun Hukum Nasional Berdasarkan Pancasila, Teguh Prasetyo
3. Persatuan Indonesia. Ini berarti bahwa dalam pembentukan hukum harus memperhatikan persatuan atau integritas bangsa dan negara. Dalam pembentukan hukum tidak boleh mengakibatkan perpecahan (disintegrasi) dan memecah belah bangsa dan negara; 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Artinya bahwa dalam pembentukan hukum harus dilandasi oleh nilai-nilai demokratis yang melibatkan semua unsur yang ada di negara baik pemerintah, Legislatif maupun masyarakat; 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya bahwa dalam pembentukan hukum nasional harus bertujuan untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.54 Dengan berpatokan pada kaidah dan ciri sebagaimana yang telah disebutkan diatas, maka hukum nasional Indonesia berdasarkan Pancasila setidaknya mempunyai karakter dan alur pikir sebagai berikut: 1. hukum nasional dibuat sesuai dengan cita-cita bangsa, yakni masyarakat adil dan makmur berdasar falsafah negara; 2. hukum nasional dirancang untuk mencapai tahap tertentu dari tujuan negara sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945; 3. hukum nasional harus menjamin integrasi bangsa dan negara baik teritori maupun ideologi, mengintegrasikan prinsip demokrasi dan nomokrasi, artinya pembangunan hukum harus mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat melalui prosedur dan mekanisme yang fair, transparan dan akuntabel; dan berorientasi pada pembangunan keadilan sosial; dan menjamin hidupnya toleransi beragama yang berkeadaban.55 Hukum yang dilandasi dan dipedomani serta dijiwaiPancasila bertujuan agar hukum nasional di Indonesia mampu memuaskan berbagai pihak, karena hukum berdasarkan Pancasila bersifat terbuka yang mampu menampung aspirasi yang tumbuh dan berkembang di dunia internasional karena adanya pengaruh globalisasi, juga harus bersifat adaptif yaitu dapat menyesuaikan diri dengan kepribadian bangsa Indonesia. Sehingga hukum Pancasila merupakan suatu hukum yang responsif. Dalam hukum yang responsif penekanannya adalah hukum sebagai legitimasi keinginan atau nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, dengan bercirikan peran dominasi masyarakat dibandingkan dengan peran negara. Hukum yang responsif hanya dapat lahir jika ada demokratisasi legislasi, tanpa demokratisasi (partisipasi masyarakat) dalam proses legislasi tidak akan pernah melahirkan hukum yang mandiri. Hukum yang bersifat mandiri inilah yang diharapkan untuk menciptakan hukum yang mengakomodasi nilai-nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Dengan demikian maka hukum Indonesia mengandung unsur melindungi, memajukan kesejahteraan, melaksanakan ketertiban, perdamaian dan keadilan bagi masyarakat. Sehingga dengan meminjam istilah Sahardjo maka sistem hukum Pancasila berfungsi sebagai pengayoman. Fungsi pengayoman tersebut mengisyaratkan bahwa keberadaan negara beserta dengan perangkat yang mendukungnya mempunyai tugas untuk memberikan pengayoman dan perlindungan terhadap segenap elemen bangsa Indonesia. Dalam artian ini bahwa hukum pengayoman mengandung makna melindungi manusia secara pasif (negatif) dengan mencegah tindakan sewenang-wenang, dan secara aktif (positif) dengan menciptakan kondisi kemasyarakatan yang manusia yang memungkinkan proses kemasyarakatan berlangsung secara wajar sehingga secara adil tiap manusia memperoleh kesempatan yang luas dan sama untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh.56 Hukum pengayoman dilakukan dengan usaha mewujudkan: 54
Teguh Prasetyo, Loc Cit, hlm. 85. Ahmad M. Ramli, Membangun Hukum Nasional Yang Demokratis Serta Masyarakat Yang Berbudaya dan Cerdas Hukum, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 6, No. 2, Agustus 2008, hlm. 13. 56 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Pengembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Padjajaran, Jilid III, No. 1, 1970. 55
219
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 213-222
1. 2. 3. 4. 5.
ketertiban dan keteraturan yang memunculkan prediktabilitas; kedamaian yang berkentraman; keadilan (distributif, komutatif, vindikatif dan protektif); kesejahteraan dan keadilan sosial; pembinaan akhlak luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.57 Fungsi hukum pengayoman dapat terwujud apabila hukum mampu memberikan rasa aman kepada kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Hukum dijadikan oleh rakyat sebagai tempat untuk mengayomi dan melindungi dari tindakan-tindakan yang menimbulkan keresahan, ketidak amanan serta tindakan yang dapat melanggar hak-hak individu setiap orang. Bila hukum dapat melindungi dan mengayomi seluruh rakyat Indonesia, maka hukum akan memperoleh kewibawaan di mata dan hati rakyat. Bertolak dari pemikiran diatas diharapkan hukum Pancasila dapat menjadi kekuatan yang memberikan keseimbangan di antara nilai-nilai yang bertentangan di dalam masyarakat. hukum harus mampu memberikan “titik-titik keseimbangan” dalam upaya negara melakukan pembangunan yang perubahannya sangat cepat. Perubahan sangat cepat tersebut pada hakekatnya akan menyebabkan hilangnya keseimbangan lama, baik dalam hubungan antar individu maupun kelompok di dalam masyarakat. Selain itu diharapkan dalam sistem hukum nasional akan terjadi harmonisasi hukum dan menghilangkan pluralisme hukum seperti yang selama ini terjadi sehingga menjadi sistem hukum nasional yang harmonis, dalam arti selaras, serasi, seimbang dan konsisten, serta tidak berbenturan dan tidak terdapat pertentangan diantara norma hukum yang satu dengan yang lainnya, baik secara horisontal maupun vertikal. Atau dengan kata lain bahwa terjadi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, keseimbangan, diantara norma-norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sistem hukum dalam satu kesatuan kerangka sistem hukum nasional. Dengan demikian normanorma hukum di dalam peraturan perundang-undangan sebagai subsistem dalam satu kesatuan kerangka sistem hukum nasional, tidak terhalang oleh perbedaan-perbedaan, tidak saling bertentangan dan tidak terjadi duplikasi atau tumpang tindih. Dengan adanya harmonisasi hukum maka diharapkan akan terjadinya kepastian hukum, ketertiban hukum, penegakan hukum dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran sehingga secara ilmiah dan mendalam sehingga bisa melahirkan teori keadilan berdasarkan Pancasila yaitu teori berkeadilan dan bermartabat. Keadilan yang bermartabat adalah keadilan yang memanusiakan manusia yang artinya bahwa suatu keadilan yang memperlakukan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan menurut hakikat dan tujuan hidupnya. Sehingga keadilan bermartabat menempatkan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang mulia dan beradab sebagaimana sila kedua Pancasila yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradabyang mempunyai nilai pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dengan segala hak dan kewajibannya serta mendapatkan perlakuan yang adil terhadap manusia, terhadap diri sendiri, alam sekitar dan terhadap Tuhan. Dengan adanya rumusan keadilan ini, maka pembangunan hukum berdasarkan Pancasila pada dasarnya bertujuan mengarahkan untuk melindungi: (1) segenap bangsa Indonesia, (2) seluruh tumpah darah Indonesia, (3) cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia, (4) masyarakat Indonesia dan Individuindividu (5) jiwa, kebebasan individu, kehormatan, dan harta bendanya, (6) pelaksanaan pembangunan (hukum harus berfungsi sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh).58 57
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Cet. Kedua, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 191. 58 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Cet. Ketujuh, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 231. 220
Membangun Hukum Nasional Berdasarkan Pancasila, Teguh Prasetyo
D. Penutup Hukum sejatinya harus sesuai dengan kepentingan masyarakat yang diaturnya, hal ini sebagaimana pandangan dari aliran hukum sejarah (historical jurisprudence) dan juga aliran sociological jurisprudence. Dalam aliran hukum sejarah dikatakan bahwa hukum bersumber pada jiwa rakyat. Sedangkan dalam aliran sociological jurisprudence dikatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (living law) di dalam masyarakat. Dengan konsep ini setiap negara harus mempunyai hukumnyasendiri yang sesuai dengan kepribadian bangsa tersebut. Indonesia sebagai suatu bangsa yang merdeka seyogianya juga memiliki hukumnya tersendiri. Yaitu suatu hukum yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari berbagai hukum yang telah ada. Dengan kata lain bahwa hukum Indonesia setidak-tidaknya harus bersumber dari bumi Indonesia sendiri yang bercirikan pada watak dan kepribadian bangsa Indonesia. Oleh karena itu, hukum di Indonesia harus didasarkan dan dilandasi oleh nilai-nilai kehidupan dan kebudayaan bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Sehingga dalam hukum nasional Indonesia, harus ada jaminan bagi penegakan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.Dengan dijabarkannya nilai-nilai Pancasila kedalam hukum nasional, diharapkan hukum nasional mampu mencapai tujuan berikut, yaitu: Pertama, hukum yang dapat mengikuti perkembangan dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Kedua, Hukum dapat berlaku secara efektif di dalam masyarakat. Ketiga, adanya harmonisasi antar hukum. Keempat, hukum yang tidak bertentangan dengan tujuan bangsa dan negara Indonesia. Sehingga hukum Pancasila mampu menjadi landasan bagi terwujudnya keadilan yang bermartabat.
Daftar Pustaka Ahmad M. Ramli, Membangun Hukum Nasional Yang Demokratis Serta Masyarakat Yang Berbudaya dan Cerdas Hukum, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 6, No. 2, Agustus 2008. Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Cet. Kedua, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000. Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Cet. Ketujuh, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008 Koento Wibisono Siswomihardjo, Pancasila Suatu Telaah Ideologik Dalam Perspektif 25 Tahun Mendatang, Pusat Studi Pancasila Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1996. Lili Rasjidi, Pembangunan Sistem Hukum Dalam Rangka Pembinaan Hukum Nasional, Dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri (Penyunting), Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum (Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. Bernard Arief Sidharta, SH), Refika Aditama, Bandung, 2008. Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Pengembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Padjajaran, Jilid III, No. 1, 1970. Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Cet. Kedua, Bayu Media Publishing, Malang, 2005. Soesanto Darmosoegondo, Falsafah Pancasila, Alumni, Bandung, 1975. Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Cet. Kedua, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995. Teguh Prasetyo, Hukum Dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, Media Perkasa, Yogyakarta, 2013.
221
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 213-222
Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila, Nusa Media, Bandung, 2014. Winarno, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi (Panduan Praktis Pembelajaran), Yuma Pustaka, Surakarta, 2012
222
MENEGASKAN KEMBALI KEBERADAAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN* Miko Susanto Ginting59 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
[email protected] [email protected]
Abstrak Pencantuman klausula baku dalam perjanjian tidak dapat disangkal marak dilakukan dengan alasan efektivitas dan efisiensi dalam bertransaksi. Keberadaan klausula baku didasarkan pada persetujuan terhadap perjanjian sehingga berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Namun, di sisi lain, terdapat pendapat-pendapat yang menentang adanya pencantuman klausula baku dalam perjanjian, terutama dengan didasarkan pada asas keseimbangan serta keadilan dalam berkontrak. Dengan menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dan pendekatan yuridis normatif, penulis ingin menjawab sejauh mana keberlakuan dan ketidakberlakuan klausula baku dalam perjanjian. Selain itu, turut pula dijabarkan beberapa putusan pengadilan dalam mempertimbangkan dan memutus adanya klausula baku dalam perjanjian. Pada akhirnya, baik pendapat sarjana hukum maupun putusan pengadilan masih cukup beragam dalam memandang pencantuman klausula baku dalam perjanjian. Meskipun, perbedaan pandangan tersebut, sudah coba dicari titik temunya melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana pencantuman klausula baku tidak dilarang sepanjang tidak memuat klausul-klausul yang menurut substansi dan bentuknya bertentangan dengan undang-undang. Kata kunci: klausula baku, persetujuan, keseimbangan dalam perjanjian. Abstract Inclusion of standardized clause in contract should not be denied often done by reason of effectiveness and efficiency in the transaction. The existence of standardized clause based on approval towards contract so that applies as a Law for the parties. However, at the other side, there are arguments who opposed inclusion of the standardized clause in contract, especially based on the balance and fairness principles in contract. By using descriptive analytical method and juridical normative approach, I am trying to answer validity or invalidity of standardized clause in contract. In addition, also elaborated some decisions of the court in considering and deciding the standardized clause in contract. In the end, either scholar’s opinions or court decisions was still quite varied in viewing inclusion of standardized clause in contract. Nevertheless, toward that difference view already tried to find the meeting point through Law No. 8/1999 on Consumer Protection, where the standardized clause inclusion in contract is not prohibited, along do not contain substance or shape contrary with the Law. Keywords: standardized clause, agreement, balance in contract.
* Tulisan ini merupakan pengembangan dari satu bagian pembahasan dari penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dengan didukung oleh Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ). Penelitian tersebut diberi judul “Penjelasan Hukum (Restatement) Tentang Klausula Baku” dan telah diterbitkan pada Agustus 2014. 59 Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]. 223
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 223-236
I. Pendahuluan Meskipun perjanjian dalam bentuk baku–atau memuat klausul/klausula baku–telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno, seperti misalnya Plato (423-347 SM) yang pernah memaparkan adanya praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak oleh pihak penjual, tanpa memperhatikan perbedaan mutu makanan tersebut,60 tak dapat disangkal bahwa klausula baku juga hadir secara luas pada praktik perjanjian dalam hukum modern, terutama terkait hukum bisnis. Hal ini pernah dikemukakan oleh Slawson yang menyatakan bahwa “standard form of contract probably account for more than ninety percent of all the contracts now made. Most person have difficult remaining the last time they contracted other than standard form”.61 Demikian pula W. Friedmann yang menegaskan bahwa “most contract which govern our daily lives are standard contracts”.62 Dalam perkembangannya, penentuan klausul secara sepihak oleh produsen/penyalur produk (penjual), tidak sekadar menyangkut masalah harga, tetapi sudah mencakup syarat-syarat yang lebih terperinci. Selain itu, bidang-bidang yang diatur dengan perjanjian dalam bentuk baku ini pun semakin bertambah luas. Di Indonesia sendiri, perjanjian dalam bentuk baku sudah merambah ke berbagai sektor dengan cara-cara yang secara yuridis masih menjadi perdebatan.63 Latar belakang yang mendasari lahirnya klausula baku adalah efisiensi dan efektifitas dalam berkontrak.64 Soedjono Dirdjosisworo65 berpendapat bahwa perjanjian baku (standard contract), pada dasarnya merupakan pembakuan atau standardisasi agar transaksi dapat dilaksanakan secara cepat. Oleh karena itu, syarat-syarat yang telah disepakati itu dibakukan, artinya ditetapkan sebagai tolok ukur bagi setiap pihak yang membuat perjanjian dengan pengusaha yang bersangkutan. Menurut Adrian Sutedi66, “Fenomena yang demikian (perjanjian dalam bentuk baku –penulis) tidak selamanya berkonotasi negatif. Tujuan dibuatnya perjanjian baku tidak lain adalah untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan”. Sementara itu, Abdulkadir Muhammad67 menyatakan kontrak baku yang dirancang secara sepihak oleh pengusaha akan menguntungkan pengusaha berupa : a. Efisiensi biaya, waktu, dan tenaga; b. Praktis, karena telah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko yang telah siap untuk diisi dan ditandatangani; c. Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan atau menandatangani kontrak yang diberikan kepadanya; dan d. Homogenitas kontrak yang dibuat dalam jumlah yang banyak. Namun, klausula baku yang pada awalnya lahir demi menunjang efisiensi dan efektivitas dalam transaksi ini, pada perkembangannya dianggap berpotensi atau telah berbenturan dengan keseimbangan para pihak dalam perjanjian.
60
E. H. Hondius, Konsumentenrecht, Kluwer-Deventer, 1976, hlm. 11, dikutip dari Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen (Bogor : Ghalia Indonesia, 2008), hlm. 46. 61 D. W. Slawson, Standard form of Contract and Democratic control of Law making Power, 84 Harvard Law Review 529-556-529, 1971. 62 W. Friedman, Law in Changing Society, Hamendsworth, 1972, hlm. 130. 63 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk, Loc.cit. 64 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), hlm. 112. 65 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Hukum Dagang Internasional (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 51. 66 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk, Op. cit. 67 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 6. 224
Menegaskan Kembali Keberadaan Klausula Baku Dalam Perjanjian, Miko Susanto Ginting
Salim HS68 berpendapat bahwa standar kontrak merupakan telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap pihak ekonomi lemah. Bahkan dengan bahasa yang lebih tajam, Pitlo69 mengungkapkan latar belakang timbulnya perjanjian baku adalah adanya kesenjangan sosial ekonomi. Perusahaan yang besar, perusahaan pemerintah, mengadakan kerjasama dengan debitur dan untuk kepentingannya mereka menentukan syarat secara sepihak. Pihak lawannya, pada umumnya mempunyai kedudukan yang lemah, baik karena posisinya atau karena ketidaktahuannya, sehingga hanya menerima syarat yang disodorkan itu. W. Friedman menyatakan bahwa salah satu pihak—biasanya konsumen sebagai pihak kedua—dalam kontrak berada dalam posisi yang lemah, umumnya tidak mempunyai peluang atau dengan hanya sedikit kesempatan untuk dapat melakukan perubahan dalam klausula-klausula yang sudah dibuat oleh pihak pertama, sehingga perjanjian baku pada umumnya sangat berat sebelah.70 Friedman menambahkan dengan pola demikian dalam praktik hampir dipastikan terdapat ketimpangan posisi dari para pihak dalam perjanjian. Keberadaan perjanjan baku dapat dilihat sebagai penggerogotan pilihan tawar-menawar (bargaining position) salah satu pihak—umumnya konsumen—karena baginya tidak tersedia pilihan-pilihan untuk dapat dinegosiasikan. Pada umumnya salah satu pihak berada dalam posisi sangat lemah untuk bernegosiasi dan berada dalam posisi “take it or leave it”.71 II. Permasalahan Pencantuman klausula baku dalam perjanjian pada awalnya lahir demi menunjang efektivitas dan efisiensi dalam melakukan transaksi. Namun, pada perkembangan dan praktiknya, keberadaan klausula baku menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan berikut argumentasinya. Oleh karena itu, permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini meliputi: pertama, sejauh mana keberlakuan serta ketidakberlakukan klausula baku dalam perjanjian. Kemudian, kedua, bagaimana pengadilan melalui beberapa putusan-putusannya mempertimbangkan serta memutus keberlakuan dan ketidakberlakuan klausula baku dalam perjanjian. III. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah deskriptif analitis, yaitu berupa penggambaran, penelahaan, dan penganalisaan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.72 Selain itu, penulis juga menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian terhadap kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal yang dapat diartikan sebagai penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.73 Metode penelitian hukum normatif pada penulisan ini menggunakan tipe penelitian hukum yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum dan penelitian terhadap putusan pengadilan untuk menemukan hukum secara faktual (in concreto). IV. Pembahasan A. Pengertian Klausula Baku Dalam KUHPerdata tidak ditemukan ketentuan yang memberikan pengertian mengenai klausula baku. Pengertian klausula baku dibangun berdasarkan pendapat sarjana-sarjana hukum yang
68
Salim HS, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 26. Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya (Jakarta: Alumni, 1981), hlm. 58. 70 W. Friedman, Law in Changing, Loc. cit. 71 Ibid. 72 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudi, Penelitian Hukum Normatif –Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), hlm. 14. 73 Ibid. hlm 13-14. 69
225
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 223-236
berkembang dalam doktrin maupun tulisan-tulisan yang membahas mengenai hal tersebut.74 Meski demikian, pada dasarnya di kalangan para sarjana hukum tidak ditemukan keseragaman pengertian, tetapi melalui pendapat-pendapat dibawah ini dapat digambarkan mengenai apa yang dimaksud dengan klausula baku tersebut. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, pendapat yang cukup sering digunakan untuk menerangkan pengertian klausula baku adalah pendapat dari Hondius dan Droogever Fotuijin.75 Hondius sendiri merumuskan perjanjian baku (standaardvoorwaarden) sebagai berikut: “Staandardvoorwaarden zijn schriftelijke konceptbedingen welke zijn opgesteld om zonder onder handelingen omtrent huninhoud opgenomen teworden in een gewoonlijk onbepaald aantal nog te sluiten overeenkomsten van een bepaalde aard”.76 Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka yang dimaksud dengan klausul-klausul baku adalah usulan klausul-klausul tertulis yang diajukan untuk ditetapkan tanpa negosiasi terlebih dahulu mengenai isinya, di dalam perjanjian-perjanjian umum dengan sifat tertentu yang masih harus dibuat dalam jumlah tak tentu.77 Sementara itu, Drooglever Fotuijn merumuskan perjanjian baku sebagai “[c]ontracten waarvan een belangrijk deel van de inhoud wordt bepaald door een vast samenstel van contracts bedingen”.78 Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka artinya perjanjian baku adalah perjanjian-perjanjian yang sebagian penting dari isinya ditentukan oleh sebuah susunan klausulklausul perjanjian yang telah ditetapkan.79 Dalam literatur yang lain, Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa perjanjian baku adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi siapapun yang menutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan disusun terlebih dahulu secara sepihak serta dibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan kepada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan bagi para pihak yang diberi penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa yang ditawarkan, sedangkan hal yang dibakukan, biasanya meliputi model, rumusan, dan ukuran.80 Sementara itu, Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa perjanjian baku ialah perjanjian yang hampir semua klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pihak yang membuat klausula tersebut, sehingga pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tetapi klausul-klausulnya.81 Pada level undang-undang, klausula baku didefinisikan secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen –penulis). Pasal 1 angka 10 UU Perlindungan Konsumen menguraikan bahwa klausula
74
Ini berlaku untuk situasi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menguraikan pengertian klausula baku di dalam salah satu ketentuannya. 75 Mariam Darus Badrulzaman dalam “Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut Peraturan Perjanjian Baku (Standar)”, Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen (Jakarta: Binacipta, 1986), hlm. 58. 76 Hondius (II), Standaardvoorwaarden, diss. Leiden, 1978, hal 230, sebagaimana dikutip oleh Mariam Darus, ibid. Perhatikan penggunaan istilah ‘perjanjian baku’ di sini yang seharusnya dipahami sebagai klausul-klausul atau syarat-syarat baku, merujuk pada bagian-bagian tertentu dari perjanjian. 77 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Penjelasan Hukum (Restatement) tentang Klausula Baku (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2014), hlm. 15. 78 Drooglever Fortuijn, De Overheid en de Standaardcontracte, WPNR 5607 : 1970, sebagaimana dikutip oleh Mariam Darus, Loc.cit. 79 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Penjelasan Hukum, Op.cit, hlm. 16. 80 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standar) dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 1990), hlm. 96. 81 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hlm. 66. 226
Menegaskan Kembali Keberadaan Klausula Baku Dalam Perjanjian, Miko Susanto Ginting
baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. B. Keberlakukan Klausula Baku B.1. Pendapat Mendukung Keberlakuan Klausula Baku Stein menyatakan bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan dirinya pada perjanjian itu, jika debitur menerima dokumen perjanjian itu, berarti secara sukarela setuju pada isi perjanjian itu.82 Lalu, Asser Rutten menambahkan bahwa seseorang terikat kepada kontrak baku karena dia sudah menandatangani kontrak tersebut, sehingga dia harus dianggap mengetahui, serta menghendaki dan karenanya bertanggungjawab kepada isi dari kontrak tersebut. Jadi setiap orang yang menandatangani kontrak, bertanggungjawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya, sehingga jika ada seseorang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir kontrak baku maka tanda tangan tersebut akan membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertandatangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya.83 Sementara itu, Hondius menambahkan perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan “kebiasaan” (gebruik) yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.84 Munir Fuady berpendapat keberadaan klausula baku tidak dapat dilarang sepenuhnya, karena meskipun potensial melanggar doktrin hukum kontrak, tetapi juga dapat di justifikasi dengan beberapa prinsip hukum kontrak lainnya, selain alasan “kebebasan berkontrak” yang sangat umum digunakan di pengadilan. Beberapa asas hukum perdata yang sangat mendukung eksistensi suatu kontrak baku, yaitu prinsip-prinsip hukum sebagai berikut:85 a) prinsip kesepakatan kehendak dari para pihak; b) prinsip asumsi risiko dari para pihak; c) prinsip kewajiban membaca (duty to read); dan d) prinsip kontrak mengikuti kebiasaan. Salah satu putusan dimana para pihak mendasarkan pendapatnya pada dalil-dalil diatas adalah Putusan No. 335 K/Pdt.Sus/2012. Pemohon keberatan terhadap putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut BPSK –penulis), yang pada pokoknya menyatakan bahwa aplikasi perjanjian pembiayaan merupakan klausula baku. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa “Setiap aturan dan/atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Hal ini dibantah oleh Pemohon dengan argumentasi bahwa Termohon mengakui adanya perjanjian tersebut dan dengan itikad baik telah disepakati oleh dan antara Pemohon dan Termohon. Kemudian, Pemohon menyatakan bahwa sebagaimana pendapat ahli hukum, dalam teori perjanjian dikenal adanya takluk secara diam-diam dan menyerahkan segalanya pada pihak pembuat perjanjian, seperti yang dikemukakan Stein, yaitu “Perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian 82
Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Konsumen, Loc. cit. Ibid. 84 Ibid. 85 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 60. 83
227
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 223-236
berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan dirinya pada perjanjian itu, jika debitur menerima dokumen perjanjian itu berarti secara sukarela setuju pada isi perjanjian itu”. Hal tersebut menurut Pemohon sesuai pula dengan asas kebebasan berkontrak. Apabila dikaitkan dengan klausula baku sebagaimana pertimbangan BPSK, maka Termohon tidak ikut menentukan isi perjanjian yang menyebabkan keseimbangan para pihak dalam suatu perjanjian tidak terjadi mengenai perjanjian tersebut. Namun, disini Termohon selaku konsumen sendiri telah sepakat secara diam-diam dan sukarela takluk terhadap pembuat perjanjian tersebut, dengan catatan takluknya Termohon selaku konsumen dikarenakan itikad baik dari masing-masing pihak demi terciptanya efisiensi dalam hubungan pelaku usaha dan konsumen. Dengan demikian, perjanjian baku yaitu perjanjian pembiayaan tersebut dapat diterima sebagai suatu perjanjian yang sah dan mengikat kedua pihak. Pengadilan Negeri Purworejo dalam amarnya menyatakan menolak keberatan pemohon. Untuk itu, Pemohon mengajukan permohonan kasasi, yang dalam memori kasasinya menyatakan bahwa BPSK telah mengambil dasar-dasar pertimbangan hukumnya hanya dari pihak Termohon saja yang terdapat dalam jawabannya tanpa sedikitpun mempertimbangkan dalil-dalil/alasan-alasan dan bukti-bukti yang ada dari Pemohon. Mahkamah Agung menyatakan bahwa alasan-alasan Pemohon tidak dapat dibenarkan karena judex facti tidak salah menerapkan hukum, pertimbangannya sudah tepat dan benar. Selain pendapat sarjana hukum diatas, keberlakukan klausula baku dalam perjanjian juga seringkali didasarkan pada Pasal 1 angka 10 UU Perlindungan Konsumen, yaitu bahwa “Klausula baku […] yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian […] mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.” Begitu juga, meskipun tidak secara spesifik tertuju pada ihwal klausula baku, patut diperhatikan pengaturan Pasal 1253 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa “Suatu perikatan bersyarat adalah manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perjanjian menurut terjadi atau tidaknya peristiwa tersebut.” Selain itu, sebagai bagian dari suatu perjanjian, keberlakukan klausula baku juga dapat didasarkan pada keberlakukan perjanjian yang isinya meliputi klausula tersebut, sebagaimana dimaksud pada kalimat pertama Pasal 1338 KUH Perdata bahwa “semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. […]”. Dalam beberapa putusan, hakim juga memutus dengan menggunakan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian. Hal ini cukup beralasan karena salah satu pihak dalam petitumnya seringkali meminta pembatalan perjanjian. Keberadaan klausula baku dimaknai sebagai syarat “suatu sebab yang tidak dilarang” dalam perjanjian, sementara perjanjian yang ditetapkan secara sepihak dibenturkan dengan syarat “kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya”. Salah satu putusan yang menyatakan keberlakuan klausula baku dengan dalil penandatanganan yang berarti persetujuan terhadap perjanjian sehingga memenuhi syarat sahnya perjanjian adalah Putusan No. 2362 K/Pdt/2009, dimana Pemohon menyatakan bahwa telah terjadi pemanfaatan kelemahan dengan cara menyodorkan formulir/blanko perjanjian sewa beli yang telah dibuat baku untuk ditandatangani Pemohon, yang isinya dibuat dengan syarat-syarat tidak seimbang dan tidak adil dan sebagian masih kosong belum diisi (titik-titik). Termohon dalam jawabannya menyatakan bahwa dengan telah ditandatanganinya perjanjian sewa beli oleh para pihak, maka perjanjian tersebut telah sah, serta mengikat para pihak untuk melaksanakannya sebagaimana diatur Pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memutus menolak gugatan Pemohon untuk seluruhnya. Kemudian, Pengadilan Tinggi 228
Menegaskan Kembali Keberadaan Klausula Baku Dalam Perjanjian, Miko Susanto Ginting
telah menguatkan putusan tersebut. Mahkamah Agung kemudian berpendapat bahwa Pemohon dan Termohon terikat dalam perjanjian sewa beli yang telah ditandatangani kedua belah pihak sehingga berlaku sebagai undang-undang bagi keduanya (Pasal 1338 KUH Perdata). Mengenai keberlakukan klausula baku dalam perjanjian dengan dasar syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata) juga dapat ditinjau melalui Putusan No. 274/PDT/G/2010/PN.BDG. Penggugat menyatakan bahwa perjanjian tersebut dibuat dengan cara-cara yang tidak lazim dan melanggar hukum, serta cenderung menguntungkan Tergugat. Penggugat juga menyatakan bahwa perjanjian memuat klausula baku dan ditandatangani tidak di tempat sebagaimana tertuang dalam perjanjian. Hal mana Penggugat disuruh menandatangani perjanjian tanpa dibacakan atau diterangkan terlebih dahulu oleh Tergugat. Perjanjian telah dibuat dalam bentuk baku oleh Tergugat dengan dalam dalam font yang tidak wajar kecil (dibawah standar font ukuran 12), apalagi pada bagian belakang perjanjian ada syarat-syarat yang dibuat secara baku oleh Tergugat dengan ukuran yang sangat kecil. Tergugat membantah dalil Penggugat tersebut dengan argumentasi perjanjian masih dapat terbaca dengan jelas dan sebelum perjanjian ditandatangani. Tergugat juga telah memberikan penjelasan singkat mengenai fasilitas pinjaman dana yang tercantum dalam perjanjian dan memberikan kesempatan kepada Penggugat untuk membaca perjanjian tersebut. Terlebih lagi, Penggugat telah melakukan pembayaran angsuran kepada Tergugat sehingga dengan demikian Penggugat dianggap telah menyetujui hal-hal yang tercantum dalam perjanjian tersebut. Majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa tolok ukur untuk menentukan apakah suatu perjanjian batal atau dapat dibatalkan haruslah didasarkan pada ketentuan Pasal 1320 dan 1321 KUH Perdata. Bahwa dari gugatan Penggugat tersebut tidak ada satu dalilpun yang menyatakan bahwa perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat bertentangan dengan Pasal 1320 dan 1321 KUH Perdata, sehingga perjanjian tersebut adalah sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUH Perdata). Majelis hakim kemudian memutus menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya. Selain itu, terdapat Putusan No. 65/Pdt.G/2011/PN.SMG, dimana Penggugat berdalil bahwa pada waktu penandatanganan, perjanjian dalam bentuk format baku yang disusun oleh Tergugat. Oleh karena itu, Penggugat tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk mempelajari format perjanjian baku tersebut untuk dipahami secara sadar dan sukarela. Penggugat juga menyatakan beberapa ketentuan dalam perjanjian tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Isi ketentuan-ketentuan tersebut merupakan bentuk klausula baku/klausula eksonerasi, berupa pengaturan sepihak oleh Tergugat, tanpa meminta kesepakatan dengan Penggugat. Selain membenturkan dengan Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen, Penggugat juga menyatakan perjanjian tersebut bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian. Perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat objektif sahnya perjanjian, yaitu Pasal 1320 angka 4 KUH Perdata. Majelis hakim dalam pertimbangannya, dengan menjabarkan satu per satu pasal tersebut, menyatakan bahwa perjanjian kredit tersebut adalah suatu bentuk perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yang berkaitan dengan Pasal 1320, 1321, 1338, dan 1339 KUH Perdata. Perjanjian tersebut telah memenuhi unsur-unsur dan tidak bertentangan dengan pasal-pasal tersebut. B.2. Pendapat Kritis Terhadap Keberlakuan Klausula Baku Selain terdapat pendapat yang mendukung adanya klausula baku dalam perjanjian, di sisi lain terdapat juga pendapat kritis terhadap klausula tersebut dalam perjanjian, seperti Sudargo Gautama86 yang menyatakan bahwa kontrak standar pada umumnya, dibuat dan dipersiapkan oleh pihak yang secara ekonomi kedudukannya lebih baik/kuat dari pihak lainnya. 86
Sudargo Gautama, Hukum Antar Golongan (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1991), hlm. 62. 229
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 223-236
Sementara Gunawan Widjadja menyatakan bahwa adakalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang, sehingga pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak.87 Ketidakseimbangan dalam negosiasi tersebut menurut Abdulkadir Muhammad88 bahwa dalam membuat kontrak baku, pihak penjual selalu berada dalam posisi yang kuat sedangkan pihak pembeli umumnya berada dalam posisi yang lemah. Pihak pembeli hanya dihadapkan pada dua pilihan, yaitu: a. Jika pihak pembeli membutuhkan produksi atau jasa yang ditawarkan kepadanya, maka pihak pembeli dapat menyetujui kontrak baku yang diberikan oleh pihak penjual. Hal ini diungkapkan dengan istilah “take it”. b. Jika pihak pembeli tidak setuju dengan kontrak baku yang diberikan, maka pihak pembeli jangan membuat perjanjian dengan pihak penjual yang bersangkutan. Hal ini diungkapkan dengan istilah “leave it”. Putusan yang cukup sering dirujuk ketika membahas kebatalan klausula baku adalah perkara Anny R Gultom melawan Secure Parking dalam Putusan 1264 K/Pdt/2003. Penggugat dalam pemeriksaan kasasi mengaitkan perkara ini dengan UU Perlindungan Konsumen, terutama mengenai pencantuman klausula baku. Klausula baku yang dimaksud adalah sebagaimana yang tertera di depan pintu masuk area parkir maupun dalam karcis parkir, yang berbunyi: “Pihak pengelola (parkir) tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan, kerusakan, kecelakaan atas kendaraan atau kehilangan barang-barang yang terdapat di dalam kendaraan dan atau yang menimpa orang yang menggunakan area parkir pihak pengelola (parkir)”. Mahkamah Agung menyatakan pada hakekatnya klausul tersebut merupakan perjanjian yang kesepakatannya bercacad hukum karena timbul dari ketidakbebasan pihak yang menerima klausul. Sebab manakala pengendara mobil memasuki areal parkir, ia tidak punya pilihan lain selain memilih parkir di areal parkir tersebut sehingga dapat diterima seolah-olah dalam keadaan terpaksa oleh pihak pengendara. Selain itu, terdapat pula putusan yang membatalkan klausula baku dalam perjanjian dengan dasar ketidakseimbangan bahkan dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum, yaitu dalam perkara Lion Air melawan David Tobing.89 Dimana putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa Lion Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan mencantumkan klausula baku dalam tiket pesawat. Pengadilan pada tingkat pertama memenangkan pihak konsumen dan menyatakan bahwa Lion Air terbukti telah melanggar larangan pencantuman klausula baku pengalihan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Perlindungan Konsumen. Hal tersebut dikuatkan oleh putusan hakim di tingkat banding dan kasasi yang memenangkan pihak konsumen. Dengan demikian berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen, konsekuensi yuridis atas pencantuman klausula baku pengalihan tanggung jawab tersebut berakibat pada perjanjian yang batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Perlu diperhatikan ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen dalam penjelasannya disebutkan bahwa larangan dicantumkannya klausula baku tertentu dalam pasal tersebut dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Pihak Lion Air secara sepihak telah menyiapkan klausula baku tersebut sehingga kedudukan para pihak yang berkontrak menjadi tidak seimbang karena konsumen tidak memiliki posisi tawar yang sama. Pengaturan pencantuman klausula baku diatur dalam UU 87
Gunawan Widjadja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 53. 88 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku, Op. cit, hlm. 6. 89 Putusan dari perkara ini tidak ditemukan melalui penelusuran pada direktori.mahkamahagung.go.id, sehingga kronologi dan putusan didapatkan melalui sumber alternatif. 230
Menegaskan Kembali Keberadaan Klausula Baku Dalam Perjanjian, Miko Susanto Ginting
Perlindungan Konsumen berguna untuk melindungi kepentingan konsumen dari penyalahgunaan kedudukan yang tidak seimbang. Sarjana hukum lainnya berpendapat pencantuman klausula baku banyak menimbulkan permasalahan hukum antara pihak dalam hubungan dengan pemberlakuan perjanjian baku/standar. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa keabsahan perjanjian baku/standar sulit diterima. Hal ini misalnya, pendapat Sluijter yang menyatakan perjanjian baku ini bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgever).90 Begitu juga dengan pendapat Pitlo yang menyatakan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa.91 Selain itu, terdapat juga putusan yang mengkualifikasikan pencantuman klausula baku yang mengalihkan tanggung jawab sebagai perbuatan melawan hukum. Hal tersebut dapat ditinjau melalui Putusan No. 1391 K/PDT/2011. Dimana Termohon menyatakan bahwa Pemohon telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan mencantumkan klausula baku pengalihan tanggung jawab yang bertentangan dan sudah dilarang oleh undang-undang pada syarat dan ketentuan di dalam tiket pesawat yang dikeluarkan Pemohon. Termohon menyatakan bahwa pencantuman klausula baku tersebut bertentangan dengan Pasal 18 huruf a UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan “pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada dokumen dan/atau perjanjian apabila: menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha”. Kemudian Termohon menyatakan bahwa dalam suatu putusan yang terkenal pada 31 Januari 1919, Hoge Raad Belanda memutuskan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan atau kelalaian yang: i. melanggar hak orang lain, atau ii. bertentangan dengan kewajiban pelaku, atau melanggar iii. kesusilaan atau iv. kecermatan yang harus diperhatikan terhadap pribadi atau milik seseorang. Pengadilan Negeri Tangerang telah memutus perkara ini dengan amar mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, dan menyatakan klausula baku pengalihan tanggung jawab pada tiket pesawat batal demi hukum. Putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Banten. Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan kasasi Pemohon tidak dapat dibenarkan, karena judex facti tidak salah menerapkan hukum. Kemudian, terdapat pula pendapat yang menyatakan bahwa ketidakberlakukan klausula baku adalah karena timbulnya ketidakadilan bagi salah satu pihak dalam perjanjian. Yang menjadi kriteria utama agar suatu kontrak batal atau dapat dibatalkan karena alasan ketidakadilan (unconscionability) adalah apakah dalam pengertian dan kebutuhan komersil dari suatu perdagangan atau suatu kasus, klausula dalam kontrak tersebut terlalu memihak ke salah satu pihak sehingga hal tersebut menjadi tidak adil terhadap pihak lainnya menurut situasi dan kondisi pada saat dibuatnya kontrak yang bersangkutan.92 Batalnya atau dibatalkannya kontrak karena alasan ketidakadilan dapat didasari atas dasar : a. Tidak terpenuhinya unsur kesepakatan kehendak (Pasal 1320 KUHPerdata); b. Kontrak tersebut melanggar ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata); dan c. Kontrak tersebut melanggar kesusilaan (Pasal 1337 KUH Perdata).93
90
Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Konsumen, Loc. cit. Ibid. 92 Ibid. 93 Abdul Kadir Muhammad, Perjanjian Baku, Op.cit, hlm. 85. 91
231
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 223-236
Mengenai uraian diatas dapat dirujuk pada praktik di Belanda. Berdasarkan praktik di Belanda, sebelum diadakan pembaharuan Burgerlijk Wetboek (BW), peraturan yang berlaku adalah KUH Perdata yang sama dengan yang dipergunakan Indonesia dan tidak memuat ketentuan khusus mengenai klausula baku, sehingga hakim menerapkan doktrin/teori hukum umum untuk menguji keberlakuan klausula baku, yaitu:94 a. Teori kehendak (Pasal 1320 butir 1 KUH Perdata), dimana asumsinya salah satu pihak menerima suatu klausul yang tak sewajarnya dia terima, sehingga itu dapat dianggap batal. b. Teori sebab yang halal (Pasal 1337 jo. 1335 KUH Perdata), yaitu penafsiran terhadap klausula perjanjian untuk melindungi pihak yang lemah dengan alasan ketertiban umum dan/atau kesusilaan. c. Teori itikad baik (Pasal 1338 KUH Perdata), yang memerintahkan dilaksanakannya suatu klausula/perjanjian dengan itikad baik. Setelah Nieuw Burgerlijk Wetboek berlaku pada 1992, terdapat sebuah pasal yang kurang lebih serupa, meskipun tidak sama, dengan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Perbedaan mendasarnya ada pada undang-undang perlindungan konsumen di Indonesia yang hanya mengenal larangan (klausul-klausul yang dilarang), sedangkan di Belanda (Pasal 6:236 dan 237 NBW), selain terdapat “daftar hitam (klausul-klausul yang dianggap pasti memberatkan)” juga terdapat “daftar abuabu (dianggap diduga/dapat memberatkan)”. Pengalihan tanggung jawab pelaku usaha yang dilarang di Indonesia, misalnya, apabila di Belanda akan termasuk ke dalam daftar abu-abu yang penilaiannya akan ditentukan oleh hakim berdasarkan fakta dan keadaan tertentu kasusnya. Jadi, di satu pihak eksistensi dari kontrak baku dalam praktik sehari-hari memang tidak dapat dielakkan karena memang sudah merupakan kebutuhan yang nyata, tetapi di lain pihak banyak ramburambu hukum yang harus diperhatikan. Salah satu palang pintu hukum yang menjadi benteng pertahanan agar pelaksanaan kontrak baku tidak memberatkan salah satu pihak dalam kontrak adalah terdapatnya berbagai metode penafsiran kontrak yang tidak memihak kepada pembuat kontrak baku. Metode-metode penafsiran kontrak tersebut adalah sebagai berikut: a. Apabila ada pertentangan antara klausula baku dengan klausula yang tidak baku dalam suatu kontrak, maka yang dimenangkan adalah klausula yang tidak baku tersebut. b. Penafsiran klausula baku haruslah untuk kerugian pihak yang menyediakan kontrak baku tersebut (asas contra proferentem). c. Seperti juga penafsiran kontrak lainnya, maka penafsiran terhadap klasula baku dilakukan dengan lebih melihat kepada maksud para pihak daripada hanya melihat kepada kata-kata demi kata-kata dalam kontrak tersebut (metode penafsiran historis/teleologis).95 Selain itu, UU Perlindungan Konsumen pada hakekatnya sudah memberikan perlindungan terhadap konsumen, yaitu dengan memberikan larangan pada perjanjian baku yang ada klausul baku yang sifatnya merugikan pihak konsumen, tetapi pada prinsipnya undang-undang tersebut tidak melarang adanya klausula baku asal tidak bertentangan dengan apa yang dirumuskan pada Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen. Klausula baku yang dilarang untuk dimuat atau dicantumkan pada setiap dokumen dan/atau perjanjian (i)berdasarkan substansinya, menurut Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen, akan dianggap ada, apabila klausula tersebut terkait dengan: 1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; 2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
94 95
Hijma, Jac, Algemene Voorwaarden (Kluwer, 2010), hlm. 3. Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Op.cit, hlm. 87-88.
232
Menegaskan Kembali Keberadaan Klausula Baku Dalam Perjanjian, Miko Susanto Ginting
3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; 4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; 5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; 6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; 7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; 8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Sementara itu, klausula baku yang dilarang berdasarkan (ii)letak dan bentuknya sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen. Menurut ketentuan tersebut, pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Dalam bagian Penjelasan terhadap kedua pasal diatas, UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Sehingga konsekuensi dari pencantuman klausula baku yang dilarang tersebut, baik dari sisi substansi maupun bentuknya, menurut Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen, menyebabkan dokumen atau perjanjian terkait dinyatakan batal demi hukum. Selain berdasarkan ketentuan UU Perlindungan Konsumen diatas, dasar pembatalan klausula baku, dapat juga didasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata. Secara konseptual, pembatalan klausula baku berdasarkan KUH Perdata, dapat dilakukan berdasarkan dua konsep pokok, yaitu (i) unconscionability, jika klausula terkait bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, atau itikad baik/kewajaran dan kepatutan, dan (ii) undue influence, jika terdapat kedudukan atau pengaruh tidak seimbang yang mengakibatkan cacatnya kehendak salah satu pihak dalam menyepakati berlakunya tersebut. Begitu juga dengan Pasal 1254 KUH Perdata yang memberikan pengaturan bahwa semua syarat yang bertujuan untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang, adalah batal, dan berakibat bahwa perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dasar-dasar pembatalan berdasarkan KUH Perdata yang dapat digunakan untuk menuntut pembatalan terhadap klausula baku di hadapan hakim yaitu: 1. Cacatnya kehendak pihak lawan yang diasumsikan menerima tawaran klausula baku, hanya berdasarkan kepercayaan atas kewajaran tindakan pengguna klausula itu. Mengenai kesepakatan atau bertemunya penawaran dengan penerimaan ini, diatur dalam Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata. Apabila klausula benar-benar keterlaluan (tidak wajar), maka pihak lawan dapat beralasan bahwa pada umumnya orang tidak akan mau menerima tawaran untuk terkait klausula seperti itu. Hal ini membuat pihak tersebut dapat menyatakan bahwa sebenarnya tak pernah ada kesepakatan para pihak, sehingga (klausul dalam) perjanjian itu seharusnya dinyatakan tidak mengikat. 2. Klausula (sebagian dari isi perjanjian) yang sangat memberatkan pihak lawan/konsumen juga dapat dianggap sebagai suatu sebab yang bertentangan dengan ketertiban umum 233
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 223-236
dan/atau kesusilaan, misalnya, karena klausul tersebut membuat orang atau konsumen secara umum menjadi takut untuk bertransaksi). Dalam hal ini Pasal 1320 angka 4 jo. Pasal 1337 KUH Perdata dapat digunakan sebagai dasar pembatalan perjanjian yang memuat klausula baku tersebut. 3. Suatu perjanjian juga dapat dibatalkan, ketika dalam pelaksanaan isinya, karena ada satu atau lebih klausula yang sangat memberatkan salah satu pihaknya, sehingga menyebabkannya bertentangan dengan prinsip itikad baik. Prinsip itikad baik tersebut pada dasarnya, tercapai apabila kedua belah pihak akan bertindak berdasarkan kewajaran dan kepatutan dalam melaksanakan perjanjian. Terkait hal ini, gugatan dapat didasarkan pada Pasal 1338 KUH Perdata. Namun, perlu diperhatikan bahwa bukan perjanjiannya yang dibatalkan, melainkan klausula (baku) yang tidak memenuhi itikad baik (salah satu/para) pihaknya itu menjadi tidak perlu dilaksanakan atau tidak mengikat. V. Penutup Pada awalnya, klausula baku dalam perjanjian lahir demi mendukung efektivitas dan efisiensi dalam bertransaksi. Namun, dalam perkembangannya, terdapat pendapat yang mendukung serta menolak adanya klausula baku dalam perjanjian. Pendapat yang mendukung keberadaan klausula baku mendasarkan diri pada fiksi adanya kemauan dan kepercayaan dari para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian. Selain itu, secara konseptual juga didasarkan pada asas kebebasan berkontrak dan kebiasaan. Asas-asas dalam perjanjian tersebut secara nyata dituangkan melalui penandatanganan, yang berarti persetujuan terhadap isi perjanjian. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 1338 dan Pasal 1320 KUHPerdata, klausul tersebut mengikat para pihak dalam perjanjian. Di sisi lain, pendapat yang memberikan kritik terhadap adanya klausula baku dalam perjanjian mendasarkan diri pada ketidakseimbangan kedudukan dan ketiadaan negosiasi dalam perjanjian. Selain itu, terdapat pula beberapa sarjana hukum yang membenturkan klausula baku dengan ketidakadilan bagi salah satu pihak dalam perjanjian. Ketidakadilan tersebut diturunkan menjadi tidak terpenuhinya unsur kesepakatan kehendak (Pasal 1320 butir 1 KUHPerdata), pelanggaran terhadap ketertiban umum dikaitkan dengan sebab yang hal (Pasal 1337 jo. 1335 KUHPerdata), dan pelanggaran terhadap itikad baik dan kesusilaan (Pasal 1337 jo. 1338 KUH Perdata). Meskipun pada praktiknya digunakan oleh pihak yang mendukung maupun menolak klausula baku, UU Perlindungan Konsumen sebenarnya telah cukup memberi rambu-rambu terhadap pencantuman klausula baku dalam perjanjian. Bahwa pencantuman klausula baku tidaklah dilarang asal tidak bertentangan, baik menurut substansi maupun bentuk dan letaknya, dengan apa yang dirumuskan pada Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen. Tujuannya adalah menempatkan kedudukan yang setara antara produsen dan konsumen berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Daftar Pustaka Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992). Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen (Bogor : Ghalia Indonesia, 2008). Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005). D. W. Slawson, Standard form of Contract and Democratic control of Law making Power, 84 Harvard Law Review 529-556-529, 1971.
234
Menegaskan Kembali Keberadaan Klausula Baku Dalam Perjanjian, Miko Susanto Ginting
Gunawan Widjadja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003). Hijma, Jac, Algemene Voorwaarden, Kluwer, 2010. Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya (Jakarta: Alumni, 1981). --------------------------------------, Perjanjian Baku (Standar) dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 1990). --------------------------------------, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut Peraturan Perjanjian Baku (Standar)”, Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen (Jakarta: Binacipta, 1986). Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999). Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Penjelasan Hukum (Restatement) tentang Klausula Baku (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2014). Salim HS, Hukum Kontrak : Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2003). Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudi, Penelitian Hukum Normatif –Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 2007). Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Hukum Dagang Internasional (Bandung: Refika Aditama, 2006). Sudargo Gautama, Hukum Antar Golongan (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1991). Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993). W. Friedman, Law in Changing Society, Hamendsworth, 1972.
235
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 223-236
236
SINERGI PELAKSANAAN PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA Eka Merdekawati Djafar, SH., MH. Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
[email protected]
Abstrak Penegakan hukum lingkungan diharapkan dapat dilakukan secara sinergi oleh aparat penegak hukum yang tersebar dalam pelbagai instansi penegak hukum pada umumnya dan khususnya yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup. Pemahaman substansi hukum lingkungan tidak boleh dilakukan secara parsial agar dapat terlaksana ketaatan terhadap hukum lingkungan, baik oleh masyarakat maupun aparat penegak hukum itu sendiri sehingga tercipta substansi hukum yang utuh dan menyeluruh agar pemahaman dapat dihilangkan terhadap undang-undang yang bersifat sektoral. Demikian pula budaya hukum sangat menunjang terciptanya pelaksanaan penegakan hukum lingkungan secara sinergi di kalangan aparat penegak hukum. Hal ini bertujuan agar di kalangan aparat penegak hukum memiliki persepsi yang sama terhadap pelaksanaan penegakan hukum lingkungan. Keynod : “Penegakan hukum” dan “Hukum lingkungan” Abstract Enforcement of environmental laws is expected to be carried out in synergy by law officers who are scattered in various law enforcement agencies in general and particularly in relation to environmental management. Understanding of the substance of environmental law should not be done partially adherence to environmental laws, both by the public and law enforcement officers itself so to create a legal substance is completely and thoroughly that understanding can be removed to the sectoral legislation. Likewise strongly support the creation of culture law enforcement of environmental law implementation synergies among law enforcement officers. It is intended that the law enforcement agencies have the same perception of the implementation of environmental law enforcement. Keyword : “ Law enforcement” and “ Environmental Law”
A. Latar Belakang Pendiri negara telah mengamanatkan kepada Pemerintah Indonesia agar lingkungan hidup Indonesia memperoleh perlindungan ketika dikelola dalam rangka mewujudkan kemakmuran rakyat. Perlindungan tersebut terdapat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan “Maka dari pada itu negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Pengertian segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia pada hakikatnya dipersonifikasi sebagai lingkungan hidup sebagaimana dikatakan oleh Koesnadi Hardjasoemantri. Oleh karena itu lingkungan hidup wajib dilindungi dan dikelola berdasarkan hukum Indonesia bukan hukum dari negara lain yang mengelola lingkungan hidup di Indonesia. Perlindungan lingkungan hidup sebagaimana tersirat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 masih merupakan norma dasar (grondnorm) yang memerlukan penjabaran lebih lanjut ke dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Ketika ditelusuri batang tubuh Undang-Undang Dasar Republik Tahun 1945 terlihat suatu norma sebagaimana diatur pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 237
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 237-242
1945 yang menegaskan “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan diperuntukkan sebesar-besar kemakuran rakyat”. Norma dasar dan norma dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan satu kesatuan yang bertujuan agar lingkungan hidup Indonesia wajib dilindungi tatkala dilakukan pengelolaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal dapat dibuktikan ketika dilakukan amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dari Tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 ternyata tidak dilakukan perubahan, baik Pembukan maupun Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Akan tetapi, penamaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 berubah menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan itu sebagai konsekuensi dari kehendak pemangku kedaulatan rakyat untuk mewujudkan ketaatan hukum di segala bidang pemerintahan termasuk di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diamanatkan dalam alinea keempat Pembukaan dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menghendaki agar diatur dengan undang-undang. Hal ini merupakan konsekuensi “Indonesia sebagai negara hukum”, karena undang-undang pada hakikatnya merupakan hukum tertulis dan menjadi hukum yang bersifat modern namun tidak mudah mengikuti perkembangan dalam rangka bernegara dan berbangsa. Undang-undang yang berkenaan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan tanggungjawab Pembuat Undang-Undang (Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat), maka pada tanggal tahun 2009 telah disahkan dan diundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Suatu kenyataan yang tidak boleh dipungkiri bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tidak hanya diatur dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009. Dalam arti, ternyata terdapat berbagai undang-undang yang bersifat sektoral yang memiliki fungsi untuk memberikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat sektoral pula. Keberadaan undang-undang yang bersifat sektoral mengakibatkan tidak sinergi pelaksanaan penegakan hukum lingkungan karena aparat penegak hukum melaksanakan wewenangnya tanpa koordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya. Padahal keberadaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 merupakan “kaderwet” atau “payung hukum” terhadap undang-undang yang bersifat sektoral yang memberikan upaya perlindungan terhadap pengelolaan lingkungan hidup. B.
Penegakan Hukum Lingkungan Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berupaya secara maksimal untuk mencegah dan atau menanggulangi pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada hakikatnya merupakan substansi hukum lingkungan. Penegak hukum lingkungan sebagai bagian dari institusi penegak hukum wajib memahami dan bersinergi dalam pelaksanaan penegakan hukum lingkungan karena adanya perbuatan hukum atau tidak melakukan perbuatan hukum yang bersentuhan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang wajib ditegakan. Suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup memiliki 3 (tiga) potensi yang sangat berpengaruh adalah sebagai berikut; 1. Pengaruh terhadap Lingkungan hidup Ketika lingkungan hidup tidak dilindungi dan dikelola secara yuridis serta benar dapat berakibat pada pencemaran dan atau kerusakannya. Bahkan berpengaruh secara global tanpa batas wilayah dan waktu yang merugikan bukan hanya negara yang bersangkutan tetapi masuk ke wilayah negara lain. Hal ini memerlukan sinergi pelaksanaan penegakan hukum lingkungan oleh aparat penegak hukum lingkungan diantara negara-negara yang mengalami pencemaran udara dan atau kerusakan hutan yang tidak dikelola secara lestari. 238
Sinergi Pelaksanaan Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Eka Merdekawati Djafar
2.
Pengaruh terhadap Sosial Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berpengaruh kepada kehidupan masyarakat yang berkaitan dengan penciptaan lapangan pekerjaan. Sejalan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, berarti sebagian perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Penyerahan sebagian perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ke daerah dapat berakibat kualitas dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup juga dipengaruhi oleh komitmen Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. 3. Pengaruh terhadap Keuangan Negara Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi aktivitas perencanaan, pelaksanaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, berimplikasi terhadap keuangan negara, antara lain; a) Perencanaan, seperti kebijakan yang tdak tepat, misalnya kebijakan tata ruang; b) Pelaksanaan, seperti pemberian perizinan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan c) Pelaporan, seperti kegagalan memperhitungkan dampak lingkungan (dana dan kewajiban reklamasi). Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sangat terkait dengan sumber pendapatan negara yang bermuara kepada pajak lingkungan dan penerimaan negara bukan pajak sebagai sumber keuangan negara. Ketika tidak dikelola secara benar dapat menghabiskan keuangan negara yang dihasilkan. Oleh karena itu, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berujung pada pertanggunganjawaban keuangan negara harus menjamin kelestarian dan peningkatan kualitas lingkungan hidup. Sehubungan dengan ketiga potensi yang sangat berpengaruh tersebut, maka Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah tidak boleh berperilaku negatif dalam rangka penegakan hukum lingkungan. Berhubung karena, penaatan terhadap hukum lingkungan sangat bergantung pada budaya hukum yang dimiliki oleh penegak hukum lingkungan. Itulah sebabnya Siti Sundari Rangkuti mengatakan bahwa penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan (atau ancaman) sarana administratif, keperdataan, dan kepidanaan. Tujuan penegakan hukum lingkungan adalah penaatan (compliance) terhadap nilai-nilai perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup yang pada umumnya diformalkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Substansi hukum yang terkandung dalam hukum lingkungan pada hakikatnya meliputi aspek hukum administrasi, aspek hukum keuangan negara, aspek hukum perdata, dan aspek hukum pidana. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum lingkungan meliputi aspek; 1. Hukum administrasi negara; 2. Hukum keuangan negara; 3. Hukum perdata; dan 4. Hukum pidana. Keempat aspek hukum tersebut dapat ditempuh secara terpisah maupun dilakukan penggabungan lebih dari satu aspek hukum, bilamana dilakukan penegakan hukum lingkungan. Sebenarnya perlakuan tersebut pada hakikatnya untuk lebih memudahkan penegak hukum lingkungan untuk mengantisipasi kasus lingkungan yang dihadapi atau ditangani. Lebih utamanya adalah adanya kesepahaman sesama penegak hukum lingkungan untuk menyelesaikan kasus lingkungan ke depan. Jika ditelusuri norma hukum yang terkandung dalam hukum lingkungan, ternyata bahwa penegakan hukum lingkungan lebih mengutamakan aspek hukum administrasi dan aspek hukum 239
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 237-242
keuangan negara daripada aspek hukum perdata dan aspek hukum pidana. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena fungsi dan tugas yang lebih dominan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berada pada pejabat administrasi selaku pengambil keputusan untuk menjaga dan melindungi kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sementara itu, aspek hukum perdata dan aspek hukum pidana dapat diterapkan ketika telah menimbulkan kerugian, baik pada Negara yang meliputi daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota maupun terhadap orang perorangan, kelompok orang, dan badan hukum. Penerapan satu atau lebih dari keempat apek hukum tersebut dalam rangka penegakan hukum lingkungan, bergantung pada kepentingan yang dilindungi dengan tujuan menetralkan atau menormalkan keadaan semula terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup. Penegakan hukum lingkungan tidak boleh ditentukan secara sektoral karena kebutuhan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan barometer dalam rangka pencegahan dan atau penanggulangan faktor yang berpengaruh. Sebenarnya penegakan hukum lingkungan boleh dilakukan berdasarkan “modus operandi” yang terkandung dari kasus lingkungan hidup sehingga mencapai sasaran yang hendak dicapai. Hal ini berarti penegakan hukum lingkungan telah melampaui atau melewati kendala yang kadangkala merupakan suatu hambatan yang tidak pernah terpikirkan. C. Kendala Penegakan Hukum Lingkungan Penegakan hukum lingkungan tidak selalu dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan karena kadangkala mengalami kendala atau hambatan. Kendala yang berpengaruh dalam rangka penegakan hukum lingkungan dapat bersumber dalam diri penegak hukum lingkungan maupun bersumber dari luar diri penegak hukum lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa penegak hukum lingkungan merupakan sentral atau poros untuk tegaknya hukum lingkungan sehingga lingkungan hidup tetap berada pada perlindungan dan pengelolaannya benar dan sah secara hukum. Kendala yang bersumber dalam diri penegak hukum lingkungan dapat berupa, seperti : 1. tidak memahami substansi hukum lingkungan; 2. kurang penguasaan dan pemahaman terhadap materi hukum lingkungan; 3. perilaku yang merusak sistem penegakan hukum lingkungan, misalnya menerima gratifikasi dan sejenisnya sehingga kadangkala tidak melaksanakan wewenang atau melaksanakan wewenang tetapi melanggar hukum; 4. adanya perbedaan penerapan penafsiran hukum terhadap norma atau kaidah hukum lingkungan di kalangan penegak hokum lingkungan; 5. kurangnya pemahaman penegak hukum lingkungan kepada kejahatan di bidang lingkungan hidup yang berkaitan dengan keuangan negara. Sementara itu, kendala yang bersumber dari luar diri penegak hukum lingkungan dapat berupa, seperti; 1. peraturan hukum lingkungan lingkungan tidak jelas makna yang dikandungnya; 2. adanya dua peraturan hukum yang mengatur satu hal yang sama, sehingga penegak hukum lingkungan mengalami kebingungan untuk menerapkannya; 3. tidak adanya peraturan pelaksanaan yang dapat menjelaskan substansi hukum yang memerlukan pengaturan lebih lanjut; 4. terbatasnya biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup; 5. penanganan kasus lingkungan hidup masih bersifat sektoral karena diakibatkan oleh undangundang yang bersifat sektoral pula. Kendala penegakan hukum lingkungan tersebut, tidak boleh dianggap sebagai suatu pernyataan yang tidak memerlukan pemecahan yang konkrit dari pihak penentu kebijakan terhadap penegakan hukum lingkungan. Kendala itu merupakan faktor yang menyulitkan para pihak yang memperoleh tanggungjawab hukum untuk menangani kasus lingkungan. Oleh karena itu, saatnya 240
Sinergi Pelaksanaan Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Eka Merdekawati Djafar
pengambil keputusan menentukan sikap untuk meniadakan kendala penegakan hukum lingkungan agar dapat terjadi sinergi pelaksanaan penegakan hukum lingkungan sehingga terwujud norma hukum atau kaidah hukum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara tegas menentukan bahwa Indonesia adalah negara hukum. D. Mensinergikan Pelaksanaan Penegakan Hukum Lingkungan Untuk mensinergikan penegakan hukum lingkungan maka “political will” dari pemerintah sangat memegang peranan peting. Dalam praktek ketatanegaraan, penentuan kebijakan penegakan hukum pada umumnya dan khususnya hukum lingkungan berada dalam kewenangan Presiden. Kadangkala kewenangan itu, didelegasikan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup selaku pembantu Presiden untuk dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Setelah itu, kewenangan penegakan hukum lingkungan yang ada pada Menteri Negara Lingkungan Hidup dimandatkan kepada pembantunya, baik yang bertugas di pusat maupun bertugas di daerah propinsi dan di daerah kabupaten/kota serta setiap saat harus bertanggungjawab kepada pemberi mandat. Dalam rangka mengatasi kendala penegakan hukum lingkungan maka perlu ditempuh tahaptahap untuk mensinergikan penegakan hukum lingkungan, dengan cara sebagai berikut; 1. penegak hukum lingkungan yang berasal dari berbagai instansi dapat terhimpun dalam suatu lembaga atau instansi tertentu; 2. lembaga atau instansi tersebut harus berada di luar dari lembaga atau instansi yang ada selama ini; 3. pembentukan lembaga atau instansi itu harus berpedoman pada hirarki peraturan perundangundangan di Indonesia; 4. penegak hukum lingkungan yang telah terhimpun harus memperoleh pengembangan keilmuan tentang penegakan hukum lingkungan secara modern; 5. penegak hukum harus memperoleh penghasilan yang sepatutnya dalam kerangka menjamin penegakan hukum lingkungan ke depan; Ketika ada kemauan politik untuk melakukan sinergi pelaksanaan penegakan hukum lingkungan maka pengambil kebijakan tidak boleh mengenyampinkan hirarki peraturan perundangundangan yang selama ini berlaku. Hal ini bertujuan agar pengambil kebijakan tidak melakukan perbuatan secara melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan yang berakibat pada kebijakan tersebut. Akibat hukum terhadap kebijakan yang tidak sesuai dengan hirarki peraturan perundangundangan adalah dapat dinyatakan “batal” atau “batal demi hukum”. Hirarki peraturan perundang-undangan yang selama ini berlaku ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang terdiri atas; 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonersia Tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan Daerah Provinsi; dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Mensinergikan pelaksanaan penegakan hukum lingkungan merupakan suatu kebijakan yang berada dalam tataran hukum. Oleh karena itu, harus bertindak berdasarkan hukum yang mengatur tentang hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini. Penuangan kebijakan tersebut ke dalam salah satu bentuk peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban yang harus ditaati, sepanjang di luar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Hal ini dimaksudkan agar terdapat sinkronisasi hukum terhadap 241
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 237-242
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai “kaderwet” atau “payung hukum” dalam rangka penegakan hukum lingkungan. Apabila kebijakan itu dilakukan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup maka bentuk peraturan yang dibolehkan adalah peraturan menteri. Namun, Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tidak mengatur keberadaan Peraturan Menteri. Akan tetapi, bila ditelusuri norma hukum atau kaidah hukum dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ternyata memberi peluang bagi Menteri Negara Lingkungan Hidup menetapkan Peraturan Menteri. Dengan demikian, kehendak untuk melakukan sinergi pelaksanaan penegakan hukum lingkungan dapat terlaksana dengan tidak mengabaikan penegakan hukum lainnya. E.
Penutup Ide untuk melakukan sinergi pelaksanaan penegakan hukum lingkungan merupakan wacana yang cemerlang, tetapi tidak boleh melakukan perbuatan secara melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan. Di samping itu, perlu secara tegas ditentukan bentuk peraturan yang menjadi dasar hukum “sinergi pelaksanaan penegakan hukum lingkungan” agar terdapat suatu kepastian hukum. Jangan menyengsarakan penegak hukum yang terkait dengan penegakan hukum lingkungan ketika telah terjadi sinergi pelaksanaan penegakan hukum lingkungan. Sinergi pelaksanaan penegakan hukum lingkungan pada hakikatnya bertujuan untuk memudahkan bagi penegak hukum lingkungan untuk menangani kasus lingkungan yang dihadapinya. Di samping itu, penegak hukum lingkungan diharapkan dapat saling tukar pikiran terhadap kasus lingkungan yang ditagani secara bersama. Dengan demikian, sinergi pelaksanaan penegakan hukum lingkungan sangat membantu penegak hukum lingkungan untuk menegakan hukum lingkungan yang menjadi tanggungjawabnya.
Daftar Pustaka Emil Salim; 1986; Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Cetakan Pertama, LP3ES, Jakarta. Koesnadi Hardjasoemantri; 1995; Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Cetakan Ketiga, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Muhammad Djafar Saidi; 1989; Hukum Lingkungan, Cetakan Pertama, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. ----------------------, 2009; Pajak sebagai Instrumen Perlindungan Lingkungan Hidup, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, Makassar. Munadjat Danusaputro; 1985; Hukum Lingkungan, Buku I : Umum, Cetakan Kedua, Binacipta, Jakarta. Paulus Effendi Lotulung; 1998; Penegakan Hukum Lingkungan Oleh Hakim Perdata, Cetakan Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Siti Sundari Rangkuti; 1991; Inovasi Hukum Lingkungan : Dari Ius Constitutum Ke Ius Constituendum, Universitas Airlangga, Surabaya. ------------------------, 1996; Hukum Lingkungan Dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Cetakan Pertama, Airlangga University Press, Surabaya.
242
PROBLEMATIKA PELAKSANAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN (Dalam Konteks Pelaksanaan Fungsi Check and Balances System) Ismail Rumadan Puslitbang Hukum dan Peradilan MA RI Jalan. A. Yani Kav. 58 Jakarta Pusat
[email protected]
Abstrak Upaya untuk mendukung terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai amanat konstitusi dalam perkembangannya telah diadakan beberapa kali perubahan terhadap Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, perubahan terakhir adalah UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman. Namun perubahan tersebut, apabila dikaji secara mendalam masih menyisihkan beberapa permasalahan yang sangat mendasar. Pertama adalah terkait dengan fungsi penegakan hukum dalam konteks criminal justice system. Konsep ini menghendaki bahwa dalam proses penegakan hukum harus terpadu dalam suatu sistem peradilan, namun pada kenyataanya dalam proses peradilan pidana, Polisi dan Jaksa berada dalam lingkup kekuasaan yang berbeda peradilan, sehingga dalam posisi demikian dapat dipastikan adanya intervensi dalam proses penegakan hukum yang semestinya merdeka dan bebas dari pengaruh apapun. Permasalahan kedua adalah, mengenai pengawasan secara eksternal terhadap jalannya fungsi kekuasaan kehakiman, yang secara formal dilakukan oleh Komisi Yudisial maupun pengawasan yang dikehendaki oleh DPR (sebagaimana dalam RUU Mahkamah Agung). Model pengawasan yang dijalankan oleh KY maupun yang dikehendaki oleh DPR sangat berpengaruh serius terhadap pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman bahkan menambah rumitnya pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman itu sendiri, sehingga pelaksanaan kekuasaan kehaiman dianggap tidak mampu menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan bagi pencari keadilan. Tulisan ini dibatasi pada kajian terhadap dua permasalahan tersebut dalam rangka mempertegas komitmen kita untuk membangun penyelenggaraan peradilan yang sehat dan mandiri agar dapat memberikan akses keadilan kepada semua orang dan peradilan yang sehat hanya akan terwujud dalam satu hubungan timbal balik antara lingkungan peradilan dan lingkungan masyarakat. Kata Kunci: Kekuasaan Kehakiman, Penegakan Hukum Abstract Efforts to support the creation of an independent judiciary as a constitutional mandate in its development has held several changes to the Judicial Authority Law, the last change is the Act Nomber 48 of 2009 on Judicial Authority. But these changes, when studied in depth is still set aside some very fundamental issues. The first is related to the function of law enforcement in the context of the criminal justice system. This concept requires that the law enforcement process should be integrated into a system of justice, but in fact the process of criminal justice, police and prosecutors are in a different scope of judicial power, so that the position can thus be ensured in the intervention process should be independent of law enforcement and free from any influence. The second problem is, of externally monitoring the functioning of the judicial power, which formally made by the Judicial Commission and the desired control by Parliament (as in the draft of the Supreme Court). Supervision models run by Judicial Commission nor desired by the House very serious effect on the performance of the functions of the judicial authorities even add complexity implementation of judicial power
Tulisan ini pernah disampaikan dalam Konfrensi Negara Hukum 2012, Hotel Bidakara, Jakarta 9-10 Oktober 2012. 243
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 243-252
function itself, so that the implementation of judicial power considered not able to guarantee legal certainty and justice for litigants. This paper is limited to the study of these two issues in order to reinforce our commitment to build a sound administration of justice and independent in order to provide access to justice for all people and a healthy justice will only be realized in a reciprocal relationship between the environment and the environmental justice community. Keywords: The Judiciary, Law Enforcement
A. Pendahuluan Perubahan ketiga Pasal 24 UUD 1945 yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman merupakan salah satu poin penting dari beberapa permasalahan yang menjadi angenda reformasi pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru tahun 1998. Tujuan perubahan UUD 1945 adalah dalam rangka penyempurnaan aturan dasar ketatanegaraan, kedaulatan rakyat, perlindungan terhadap hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Ketentuan ini sejalan dengan cita-cita universal dalam Basic Principles On Independence of The Judiciary, yang diajukan oleh Majelis Umum PBB (Resolusi 40/32 tanggal 29 Nopember 1985 dan resolusi 40/146 tanggal 13 Desember 1985). Juga bisa dilihat pada Beijing Statement Of Principles Of The Independence The Law Asia Region Of The Judiciary di Manila tanggal 28 Agustus 1997, dimana didalamnya ditegaskan bahwa: 1. Kehakiman merupakan institusi nilai yang tertinggi pada setiap masyarakat; 2. Kemerdekaan hakim mempersyaratkan bahwa hukum memutuskan sebuah perkara sepenuhnya atas dasar pemahaman undang-undang dan terbebas dari pengaruh dari manapun, baik langsung maupun tidak langsung, hakim memiliki yurisdiksi atas segala isu yang memerlukan keadilan. (Muchsin; 2009). Di Indonesia kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan TUN, peradilan militer, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Demikian ketentuan yang terdapat dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Upaya untuk mendukung terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai amanat konstitusi dalam perkembangannya telah diadakan beberapa kali perubahan terhadap Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman UU No. 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasan kehakiman dan UU No. 35 Tahun 1999 tentang perubahan UU No. 14 tahun 1970, kemudian diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam perkembangannya UU No. 4 Tahun 2004 tersebut diubah menjadi UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman. Berbagai alasan tentu mendasari adanya perubahan terhadap UU Kekuasaan Kehakiman tersebut. Misalnya eksistensi UU No. 4 tahun 2004 adalah dalam rangka pelaksanaan prinsip satu atap (one roof system) terhadap lembaga peradilan baik itu terkait dengan kelembagaan maupun teknis administrasi dan finansial peradilan sebagaimana ketentuan pasal 13 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004. Demikian juga alasan yang mengharuskan adanya perubahan atas UU No. 4 Tahun 204 menjadi UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman adalah karena UU No. 4 Tahun 2004 belum mengatur secara komprehensif tentang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan perubahan tersebut untuk memperkuat penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan mewujudkan sistem peradilan yang terpadu (integrated justice system). (Ahmad Zaenal Fanani; 2009). Di samping itu juga untuk memenuhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU/2006 yang salah satu amarnya telah
244
Problematika Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman, Ismail Rumadan
membatalkan Pasal 34 UU No. 4 Tahun 2004. Putusan MK tersebut juga telah membatalkan ketentuan yang terkait dengan pengawasan hakim dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Terkait dengan kekuasaan kehakiman, kondisi paling akhir melalui hak inisiaf DPR untuk mengajukan RUU tentang Mahkamah Agung, dalam rangka perubahan terhadap UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Perubahan UU ini untuk menunjukan komitmen terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang mandiri. Salah satu alasan perubahan terhadap UU Mahkamah Agung ini adalah menyambut pemisahan kamar-kamar pada Mahkamah Agung. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini terdapat tuju kamar berdasarkan spesialisasi keahlian para Hakim Agung yaitu, perdata, pidana, tata usaha negara, tata negara, agama, militer dan kamar pajak. Demikian juga maksud RUU ini untuk penyempurnaan proses pengajuan banding, kasasi dan peninjauan kembali dengan batasan waktu tertentu dengan harapan menjamin adanya kepastian hukum bagi pencari keadilan. (Romli Atmasasmita; 2012). Berbagai perubahan tersebut di atas, apabila dikaji secara mendalam masih menyisihkan beberapa permasalahan yang sangat mendasar. Pertama adalah terkait dengan fungsi penegakan hukum, walaupun secara formal dan teoritis dalam konteks penegakan hukum pidana misalnya dikenal dengan konsep criminal justice system. Konsep ini menghendaki bahwa dalam proses penegakan hukum harus terpadu dalam suatu sistem peradilan, namun pada kenyataanya dalam proses peradilan pidana misalnya, Polisi dan Jaksa berada dalam lingkup kekuasaan eksekutif, sementara pengadilan berada dalam lingkup kekuasaan yudikatif, sehingga dalam posisi demikian dapat dipastikan adanya intervensi dalam proses penegakan hukum yang semestinya merdeka dan bebas dari pengaruh apapun. Permasalahan kedua adalah, mengenai pengawasan secara eksternal terhadap jalannya fungsi kekuasaan kehakiman, yang secara formal dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY) maupun pengawasan yang dikehendaki oleh DPR (sebagaimana dalam RUU Mahkamah Agung). Model pengawasan yang dijalankan oleh KY maupun yang dikehendaki oleh DPR sangat berpengaruh serius terhadap pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman bahkan menambah rumitnya pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman itu sendiri, sehingga pelaksanaan kehaiman dianggap tidak mampu menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan bagi pencari keadilan. Permasalahan tersebut di atas hanya sebagian kecil dari permasalahan-permasalahan lain yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang tentu tidak akan dikaji dalam tulisan ini secara keseluruhan. Tulisan ini dibatasi pada kajian terhadap dua permasalahan tersebut dalam rangka mempertegas komitmen kita untuk membangun penyelenggaraan peradilan yang sehat dan mandiri agar dapat memberikan akses keadilan kepada semua orang dan peradilan yang sehat hanya akan terwujud dalam satu hubungan timbal balik antara lingkungan peradilan dan lingkungan masyarakat. Pengadilan bukan sekedar institusi kenegaraan (state institusional) tetapi harus dilihat pula sebagai institusional (social institution). B. Konsep Kekuasaan Kehakiman Pemahaman terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak terlepas dari prinsip pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh John Locke dan Montesquieu. John Lock dalam bukunya Two Treatises on Civil Government yang terbit pada tahun 1690, membagi kekuasaan negara atas, kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif), kekuasaan melakukan undang-undang (eksekutif), dan kekuasaan federatif. Kekuasaan eksekutif menurut John Lock meliputi kekuasaan melaksanakan atau mempertahankan undang-undang, termasuk mengadili. Kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang meliputi semua kekuasaan yang tidak termasuk dalam kekuasaan eksekutif dan legislatif, yang meliputi hubungan luar negeri. (Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim ; 1998). Sementara, Monteusquieu, dalam bukunya L”Esprit des Louis atas pengaruh pemikiran John Lock, mengemukakan konsep pemisahan kekuasaan negara dalam tiga kekuasaan, pertama, la puissance legislative, yang membentuk undang-undang; kedua, la puissance executive, yang 245
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 243-252
melaksanakan undang-undang, dan yang ketiga, la puissanc de juger, yang menjalankan kekuasaan kehakiman. (Utrecht; 1990). Theberge (1979), dengan mengintrodusir ucapan dari Mountesquieu, mengungkapkan bahwa, pemisahan fungsi eksekutif dari legislatif bertujuan untuk memberlakukan hukum bagi semua orang, dan fungsi kemerdekaan peradilan untuk menjaga supaya hukum dan hanya hukum yang berlaku. Apabila peradilan digabung dengan legislatif, kehidupan dan kebebasan akan berada dalam suatu kendali yang dilakukan secara sewenang-wenang. Bila pengadilan digabung dengan eksekutif, hakim dapat berprilaku kejam dan menindas. Meskipun dalam perkembangan selanjutnya ajaran pemisahan kekuasaan mendapat berbagai modifikasi melalui berbagai ajaran, seperti ajaran pembagian kekuasaan (distribustion of powers) yang menekankan pada pembagian fungsi dan bukan pada organ, dan ajaran cheks and balances yang menekankan pada penting adanya hubungan saling mengendalikan antara berbagai cabang penyelenggara negara, tetapi asas kekuasaan kehakiman tetap dipertahankan. Bahkan pada negaranegara yang menganut sistem parlementer, dimana terdapat fusi antara fungsi eksekutif dan legislatif, kekuasaan kehakiman tetap berdiri sendiri terpisah dari kekuasaan eksekutif dan legislatif (Bagir Manan; 1998). Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan dasar bagi berfungsinya sistem hukum dengan baik. Dengan adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka, setiap orang akan mendapat jaminan bahwa pemerintah akan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku, dan dengan hanya berdasarkan hukum yang berkuasa itulah kekuasaan kehakiman yang merdeka itu bebas memutus suatu perkara yang dibutuhkan penyelesaianya pada lembaga peradilan. Keterkaitan kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan penyelenggaraan pemerintahan telah menimbulkan fungsi kontrol kekuasaan kehakiman (rechtelijke control) terhadap penyelenggara pemerintahan. Fungsi kontrol ini berupa kewenangan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menilai keabsahan secara hukum tindakan atau penyelenggaraan pemerintah (Bagir Manan, Ibid). Tujuan utama dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang mandiri adalah untuk menjamin dan melindungi kekuasaan individual; dan mencegah penyelenggara pemerintah bertindak semenamena dan menindas. Hal yang sangat penting dari kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur atau netral (impartiality). Apabila kebebasan tidak dimiliki oleh kekuasaan kehakiman, dapat bersikap tidak netral, terutama apabila terjadi sengketa antara penguasa dengan rakyat. C. Problematika Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman 1. Problem mendasar dalam Penegakan Hukum Dalam konteks fungsi penegakan hukum, Amandemen UUD 1945 tetap memposisikan secara terpisah antara institusi penegak hukum Kepolisian dan Kejaksaan dengan lembaga Peradilan dalam lingkup kekuasaan yang berbeda di bawah Mahkamah Agung. Polisi dan Kejaksaan tetap dalam lingkup kekuasaan eksekutif sementara lembaga peradilan dalam lingkup kekuasaan yudikatif. Hal ini tentu berimplikasi pada sistem penegakan hukum dalam rangka menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Seyogianya sistem peradilan terpadu mensyaratkan, instansi penegak hukum saling kontrol dan semuanya independen dengan tugas utamanya mejalankan fungsi kekuasaan yudikatif. KUHAP menunjukkan kurang adanya saling kontrol antara penegak hukum, sehingga sulit untuk mengatakan ada sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Sebenarnya sistem hukum acara pidana Indonesia yang bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental, hakim tidak saja melakukan perbuatan mengadili tetapi juga perbuatan penuntutan (daden van vervolging), misalnya perpanjangan penahanan, izin penggeledahan, penuntutan hari sidang dan lain-lain yang merupakan kontrol kepada penyidik dan penuntut umum. 246
Problematika Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman, Ismail Rumadan
Demikian juga, Jaksapun melakukan kontrol negatif (negatieve controle van het OM) terhadap hakim, karena dalam tuntutannya ia menuntut pidana, sesudah menguraikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Tidak semua negara yang jaksa meminta pidana tertentu Jadi hakim harus memperhatikan tuntutan tersebut jika tidak, jaksa akan naik banding (A. Hamzah; 2003). Pada masa Orde Lama, walaupun Kejaksaan dan Pengadilan tidak mandiri karena berada dibawah depertemen kehakiman, namun dalam pelaksanaan fungsi yudikatif bersifat independen karena Jaksa Agung pada Mahkamah Agung bukan anggota kabinet, sehingga dapat menahan menteri kehakiman yang secara administratif adalah atasannya. Pengalaman empiris menunjukan bahwa baik hakim maupun jaksa sungguh-sungguh independen pada waktu itu. Misalnya Jaksa Agung Suprapto menangkap menteri kehakiman yang secara administratif adalah atasannya. Itulah bukti betapa independennya Jaksa Agung pada waktu itu. Kondisi semacam ini menunjukan bahwa boleh saja tidak mandiri asal independen dalam menjalankan tugasnya (Andi Hamza; 2003). Perkembangan selanjutnya sesudah tahun 1959 (tahun 1961 resminya) kejaksaan “mandiri” mempunyai badan sendiri terlepas dari Departemen Kehakiman namun independensinya hilang, karena Jaksa Agung bukan lagi "Jaksa Agung pada Mahkamah Agung" tetapi menteri atau anggota kabinet (pembantu presiden) bukan. Dengan sendirinya dalam menjalankan tugas penegakan hukum tidak terlepas dari intervensi kekuasaan politik yang pada akhirnya tidak independen dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum. Jika jaksa tidak independen dalam penuntutan, maka hakim pun menjadi tidak independen, karena putusannya tergantung pada apa yang didakwakan jaksa. Sebaliknya jika kejaksaan independen akan menunjang putusan hakim yang independen pula, karena hakim tidak dapat mencari perkara sendiri, sangat tergantung pada apa yang didakwakan jaksa. Hakim tidak boleh memutus lain dari yang didakwakan jaksa. Jadi, jika dakwaan jaksa penuntut umum lain dari perbuatan yang sungguhsungguh dilakukan, maka hakim akan memutus pula lain dari perbuatan yang sungguh-sungguh dilakukan. Kondisi seperti inilah menunjukan bahwa kebebasan hakim dalam memutus ada batasbatasnya baik secara teknis yuridis maupun secara praktis. Putusan hakim di dalam perkara pidana dibatasi pula oleh apa yang didakwakan jaksa penuntut umum, sama halnya dengan perkara perdata dibatasi oleh apa yang digugat. Hakim tidak boleh memutus di luar yang didakwakan jaksa. Idealnya ialah perbuatan yang sungguh-sungguh terjadi yang didakwakan dan itu pula yang dibuktikan. Memang benar dominus litis adalah jaksa (yang mewakili negara). Jaksa boleh menuntut satu feit (perbuatan) saja walaupun terdakwa melakukan lebih dari satu feiten (perbuatan), tetapi yang satu itu sungguh-sungguh terjadi dan sungguh-sungguh dibuktikan dengan alat bukti yang cukup ditambah dengan keyakinan hakim. Kebebasan menuntut jaksa dilakukan pula oleh jaksa di Amerika Serikat dengan praktek plea bargaining, artinya jika terdakwa mengakui kesalahannya jaksa dapat mengurangi delik yang akan didakwakan (A. Hamzah, ibid). Oleh karena itu kebebasan atau kemerdekaan hakim untuk memutus perkara pidana tergantung pula pada bebas atau merdeka tidaknya penuntut umum. Dalam konteks inilah, jika terdapat suatu kasus pidana, terutama kasus-kasus yang menyita perhatian publik akhir-akhir ini, seperti kasus pencurian buah kakao, kasus sandal jepit dan kasuskasus lain, terlepas dari benar tidaknya seorang hakim yang memutus kasus tersebut, harus dikonstruksikan bahwa putusan tersebut bukan semata-mata adalah kesalahan hakim, namun putusan tersebut hendaknya dipahami berdasarkan pada tuntutan Jaksa, sehingga kesalahan itu tidak sematamata adalah kesalahan hakim, karena hakim tentu memutus berdasarkan tuntutan jaksa penuntut umum. Salah satu upaya untuk memperbaiki akses keadilan bagi pelaku tindak pidana ringan yang umumnya melibatkan masyarakat atau orang-orang lemah, dan tidak mampu, Mahkamah Agung telah mengeluarkan PERMA No. 20 Tahun 2012 tentang Penyesuaian batas tindak pidana ringan dan 247
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 243-252
jumlah denda dalam KUHP. PERMA ini mengatur kenaikan nilai uang denda atau nilai kerugian dengan harapan penanganan tindak pidana ringan, seperti pencurian ringan, penggelapan ringan, penipuan ringan dan sejenisnya tidak perlu ditahan dan tidak perlu diajukan upaya hukum kasasi, dan pemeriksaannya dilakukan dengan acara cepat, dengan suatu harapan penangan terhadap tindak pidana seperti ini dapat ditangani secara proporsional dan dapat menjangkau rasa keadilan masayarakat. Namun upaya untuk memperbaiki akses keadilan bagi masyarakat yang kurang mampu pada pengadilan berdasarkan kewenangan MA hanya dapat diterapkan di lingkungan peradilan. Perma ini tidak mampu secara hukum mengikat pihak penagak hukum lain dalam sistem peradilan pidana, Jaksa maupun Polisi yang berada pada lingkup kekuasaan eksekutif. Kondisi inilah menjadi titik lemah atau tidak berjalannya fungsi kekuasaan kehakiman secara integral dalam penegakan hukum kita. 2.
Problematika Pengawasan Terhadap Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman Aspek pengawasan terhadap lembaga peradilan sebagai pelaksana kekuasan kehakiman adalah hal yang amat sensitif dan menjadi pertarungan ketegangan antara prinsip independensi peradilan dengan prinsip akuntabilitas. Prinsip independensi peradilan berfungsi untuk memastikan peradilan terbebas dari tekanan berbagai pihak dengan cara apa pun dan menjadi prasyarat sekaligus jaminan terhadap jalannya peradilan yang adil. Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Meski demikian, prinsip independensi tidak menempatkan pengadilan dan hakim dalam posisi kebal hukum, melainkan ditempatkan dalam konteks akuntabilitas.96 Hakim terikat pada tanggung jawab kepada hukum, negara, serta masyarakat, dan jika ia diduga melakukan pelanggaran perilaku, maka terhadapnya berlaku ketentuan disiplin. Pengawasan terhadap lembaga peradilan di Indonesia dilakukan oleh MA, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. MA melakukan pengawasan tertinggi terhadap: (a) penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah MA; (b) pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan; dan (c) mengawasi internal tingkah laku hakim. Sejalan dengan prinsip independensi, pengawasan yang dilakukan MA tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (Pasal 39 ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009). Menjadi permasalahan adalah ketika pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman yang dilakukan secara eksternal baik oleh Komisi Yudisial (KY) maupun yang hendak dilakukan oleh DPR apakah tidak dapat menghabat atau mengganggu jalannya peran peradilan dalam menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Tugas pengawasan yang dilakukan oleh kedua lembaga ini tentu sangat baik namun apabila, pengawasan yang dilakukan tersebut melampui batas kewenangan maka dapat berpotensi menggangu kemandirian pelaksanaan kekuasaan kehakiman. a. Pengawasan oleh Komisi Yudisial Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY) merupakan suatu hal yang luar biasa dibutuhkan untuk menjawab keresahan dan harapan masyarakat agar dunia peradilan di Indonesia bebas dari praktik-praktik korup. Harapan tersebut tentu sangat mulia, tetapi dalam konteks struktur ketatanegaraan Indonesia harapan itu diterjemahkan secara kurang tepat. Pertama, jikalau sanksi pemberhentian terhadap hakim dimaknai sama dengan proses impeachment hakim federal di AS, hal
96
Prinsip akuntablitas dapat membawa kebaikan bagi masyarakat dan lembaga peradilan, namun jika digunakan secara sembrono, prinsip ini dapat melukai prinsip independensi (Miftahul Huda, “Judicial Accountability,” http://www.miftakhulhuda.com/2010/11/judicial-liability.html) 248
Problematika Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman, Ismail Rumadan
itu tidak bisa diterapkan. Karena, menurut Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 7A, hanya Presiden dan Wakil Presiden saja yang bisa diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usulan DPR. Hal ini berbeda dengan Konstitusi AS yang mengatur bahwa hakim federal juga termasuk pejabat publik yang bisa di-impeach. Kedua, konsep impeachment terhadap hakim adalah salah satu terjemahan dari konsep pemisahan kekuasaan (separation of powers) di mana antarcabang kekuasaan terdapat sebuah proses pengawasan dan penyeimbangan (check and balances). Kalaupun diasumsikan KY diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan dalam kerangka check and balances, maka pemikiran tersebut juga mengandung masalah, karena tugas tersebut hanya bisa dijalankan oleh badan Legislatif dan Eksekutif terhadap Yudikatif. Jikalau KY adalah organ pendukung MA tentu tidak tepat jika dia menjalankan check and balances terhadap MA sebagai organ utamanya, sedangkan di sisi lain KY juga tidak diposisikan secara jelas sebagai organ pendukung pemerintah ataupun DPR. Permasalahan ini bersumber dari keberadaan KY pasca Amandemen ketiga UUD 1945 yang menempatkan KY dalam posisi yang sejajar dengan lembagan tinggi negeara lainnya, sehingga dalam prakteknya KY menjelma menjadi cabang kekuasaan keempat dalam struktur ketatanegaraan kita padahal KY adalah sebuah Komisi, yang sama posisinya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Posisi semacam inilah memicu hubungan yang tidak harmonis atara KY dengan MA dalam hal melakukan tugas pengawasan. KY dianggap menggunakan kewenangannya diluar batas kewenangan yang diberikan. Padahal kewenangan KY adalah menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. (Psal 24B UUD 1945 dan Pasal 13 UU No. 22 Tahun 2004). Jadi dapat dipahami bahwa objek yang menjadi kewenangan pengawasan adalah, perilaku hakim dengan tujuan untuk menegakkan martabat hakim. Perilaku hakim tentu diterjmahkan sesuatu yang terkait dengan kehidupan sehari-hari hakim, nilai-nilai etika dan moral yang melekat pada seorang hakim. Sehingga aspek pengawasan inipun harus dibarengi dengan pola pembinaan dan pendidikan. Dengan demikian KY tidak boleh memaksa untuk masuk pada wilayah pengawasan terhadap putusan hakim secara teknis yudisial, jika kewenangan pengawasan pada teknis yudisial ini dipaksakan maka KY melampui batas kewenangan sebagaimana ditentukan undang-undang. Bahkan kewenangan semacam ini dapat membatasi atau meghambat kemandirian hakim yang harus bersifat bebas dan merdeka dalam memutus suatu perkara. b.
Pengawasan oleh DPR Keinginan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman juga dinginkan oleh DPR, hal ini terlihat ketika ada wacana dari beberapa anggota DPR untuk membentuk Panitia Kerja (Panja) evaluasi terhadap putusan pengadilan (Harifin Tumpa; 2012). Upaya yang paling kongkrit dilakukan DPR untuk melakukan pengawasan terhadap Mahkamah Agung adalah melalui usulan perubahan terhadap UU Mahkamah Aggung. Rancangan Undang-undang (RUU) Mahkamah Agung yang merupakan hak inisiatif DPR RI yang diajukan, apabila dikaji RUU Mahkamah Agung yang diusulkan DPR tersebut, terdapat beberapa pasal substatif yang sangat berpotensi untuk melakukan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman. Bahwa DPR sebagai wakil rakyat pada dasarnya memiliki fungsi pengawasan, yaitu pengawasan terhadap lembaga eksekutif. Dalam artian, kalaupun DPR ingin melaksanakan pengawasan terhadap lembaga peradilan (yudikatif), maka sejalan dengan prinsip independensi dan akuntabilitas di atas, maka pengawasan yang dilakukan DPR terhadap lembaga peradilan adalah pengawasan hanya terhadap fungsi non yudisial (seperti administrasi kepegawaian, keuangan, dst). Pasal 94 ayat (1) dan (2): RUU menyebutkan bahwa:
249
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 243-252
“DPR RI melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan pengawasan terhadap penyimpangan-penyimpangan terhadap undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Konsep pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 adalah konsep yang menyalahi hakikat pengawasan dalam konteks menjalankan fungsi check and balances system. Konsep tersebut telah menyentuh aspek fungsi yudisial karena memberi kewenangan bagi DPR untuk mengawasi apakah suatu putusan Mahkamah Agung telah melanggar undang-undang atau tidak. Konsep ini telah mengancam independensi peradilan dengan membuka peluang yang sangat besar terjadinya intervensi (partai) politik terhadap Mahkamah Agung dalam mengatur perkara.97 Kemudian Pasal 97 RUU MA meneyebutkan bahwa: “MA dalam tingkat kasasi dilarang: (a) membuat putusan yang melanggar Undang-Undang; (b) membuat putusan yang menimbulkan keonaran dan kerusakan serta mengakibatkan kerusuhan dan huru hara; (c) dilarang membuat putusan yang tidak mungkin dilaksanakan karena bertentangan dengan realitas di tengah-tengah masyarakat, adat istiadat dan kebiasaan yang turun temurun sehingga akan mengakibatkan pertikaian dan keributan; (d) dilarang mengubah Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial secara sepihak, dan/atau Keputusan Bersama tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara sepihak.” Selain mencampur adukan antara dua hal yang subtansinya berbeda, yaitu putusan kasasi, sebagaimana kalimat awal dalam pasal tersebut diatas dengan Surat Keputusan Bersama, pasal ini mensiratkan bahwa DPR berwenang untuk mengatur isi putusan (kasasi) MA dan putusan tersebut harus sesuai dengan kehendak mayoritas. Meski pasal tersebut memang tidak secara langsung mengatur bahwa MA harus menuruti kehendak mayoritas, namun jika dikontekstualkan dengan praktik, bagaimana para hakim agung dapat memprediksi apakah putusan yang akan dibuatnya akan menimbulkan keonaran, kerusuhan atau huru-hara atau tidak? Padahal, tugas memastikan bahwa jika seseorang dinyatakan tidak bersalah tidak akan terjadi kerusuhan akibat masyarakat menolak putusan tersebut bukanlah tugas pengadilan, melainkan tugas pemerintah untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Perlu digarisbawahi bahwa, hakim atas nama pengadilan berperan penting dalam menerapkan dan menegakkan prinsip-prinsip hukum yang terkadang tidak selalu merupakan putusan yang populer atau sejalan dengan dukungan pihak-pihak tertentu atau bahkan masyarakat umum. Dalam kondisi pengadilan harus mengalahkan kepentingan mayoritas dalam kasus-kasus individual prinsip independensi sangat penting untuk diterapkan. Karenanya, apa yang diatur dalam Pasal 97 ini tidak hanya melanggar independensi peradilan, namun juga mengangkangi prinsip negara berdasarkan hukum, yaitu dengan menempatkan supremasi politik diatas supremasi hukum dan menempatkan supremasi hukum dibawah kehendak mayoritas (Dian Rosita. 2012). D. Kesimpulan Perlu disadari bahwa, sistem yang tidak sehat dapat diterjadi bukan semata-mata mencerminkan suasana internal peradilan yang tidak sehat, akan tetapi dapat pula terjadi karena, peradilan yang tidak sehat merupakan cerminan bahkan akibat sistem kelembagaan penegakan hukum kita secara keseluruhan dalam lingkup struktur ketatanegaraan, dan kehidupan sosial yang tidak sehat. Apabila kondisi ini yang terjadi, maka peradilan yang tidak sehat bisa jadi merupakan bayang-bayang gelap atau penumbar dari tidak sehatnya kehidupan ketetanegaraan dan kehidupan sosial kita secara keseluruhan. Jika kondisi yang demikian ini terjadi maka, fungsi pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam konteks pelaksanaan check and balaces system tidak akan efektif antara sesama lembaga tinggi 97
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Jakarta, 23 April 2012
250
Problematika Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman, Ismail Rumadan
negara tidak dapat berfungsi, namun hal ini tidak menjadi alasan sebagai toleransi apalagi pembenaran terhadap mendung atau suasana kelabu praktik peradilan saat ini. Secara kongkrit dapat disimpulkan bahwa putusan hakim dalam suatu perkara pidana misalnya, dibatasi oleh asas legalitas baik hukum substantif maupun hukum acara dan apa yang didakwakan Jaksa. Sehingga apa yang diputuskan hakim tidak terlepas dari apa yang didakwakan oleh Jaksa. Kondisi semacam inilah menyebabkan hakim tidak mandiri dalam menjatuhkan putusannya. Hal yang dapat dilakukan dalam mengantisipasi kondisi semacam ini adalah dengan melakukan upaya singkronisasi atau kesepahaman antar lembaga penegak hukum dalam suatu proses penegakan hukum. Sebab undang-undang menempatkan fungsi penegakan hukum yang terpisah antara penyidikan, penuntutan dan pengadilan berbeda dalam lingkungan kekuasaan yang berbeda pula. Dalam konteks pengawasan perlu untuk dibatasi kewenangan pengawasan yang dilakukan terhadap kekuasaan kehakiman baik yang dilakukan oleh KY maupun yang dilakukan oleh DPR. Batasan pengawasan oleh KY misalnya hanya sebatas kode etik dan perilaku hakim, sementara pengawasan yang dilakukan oleh DPR hanya sebatas pengawasan administrasi peradilan. Pengawasan yang dilakukan baik oleh KY maupun DPR tidak boleh masuk pada wilayah teknis yudisial. Apabila lingkup pengawasan masuk pada wilayah teknis yudisial, maka kemandirian hakimpun tergaggu, yang pada akhirnya berimplikasi pada menurunnya funsi kontrol atau terganggunya mekanisme check and balances system yudikatif terhadap kekuasaan eksekutif maupun legislatif.
Daftar Pustaka A. Hamzah, 2003, Kemandirian dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, Makalah Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional Viii, Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Badan Pembinaan Hukum Nasiona. Ahmad Zaenal Fanani, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dan Masa Depan Peradilan Agama (Analisi UU No. 48 Tahun 2009 dan UU No. 50 Tahun 2009), tth. Leonard J. Theberge, 1979, The Judiciary in a Democratic Society, Lexington Books, Lexinton, Massachussetts, Toronto. Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Study HTN, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1998. Muchsin, 2009, Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan UUD 1945 Program Doktor Ilmu Hukum Untag Surabaya. Romli Atmasasmita, Quo Vadis RUU Mahkamah Agung, Kompas 25 April 2012. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, 1990. Montesquieu, The Spirit of the Law, translated by Thomas Nugent, Hafner Press, New York, Bagir Manan, Organisasi Peradilan di Indonesia, Makalah disampaikan pada Penataran Hukum Administrasi, Pelaksanaan Program Kerjasama Hukum Indonesia – Belanda, Fakultas Hukum Airlangga, Surabaya, 1998. Harifin Tumpa, MA Kecam Wacana Intervensi DPR, htt://www.beritasatu.com, Kamis, 2 Februari 2012. Miftahul Huda, “Judicial Accountability,” http://www.miftakhulhuda.com/2010/11/judicialliability.html) Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Jakarta, 23 April 2012 Dian Rosita, “Menghakimi Para Hakim,” http://leip.or.id/artikel/195-menghakimi-para-hakim.html
251
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 243-252
252
REKONSEPTUALISASI PENGADILAN PERTANAHAN Enrico Simanjuntak Pengadilan Tata Usaha Negara Serang Jl. TB. Suwandi No.2 E.F.G, Ciracas, Serang
[email protected]
Abstrak Dibalik rencana pembentukan pengadilan pertanahan, paling tidak terdapat tiga argumentasi pokok yang melandasi ide pembentukan pengadilan khusus di bidang pertanahan tersebut, yakni : Pertama, pengakuan pembuat konsep RUU Pertanahan terhadap kompleksitas sengketa pertanahan. Kedua, ide pembentukan pengadilan agraria bermaksud menjiplak eksistensi pengadilan landreform pada tahun 60-an. Ketiga, Pengadilan pertanahan dibentuk karena pengadilan yang ada tidak dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat oleh karena itu pengadilan pertanahan harus berada di bawah lingkungan peradilan umum. Mencermati ketiga pokok argumentasi yang tertuang dalam Naskah Akademik dan draft RUU Pertanahan, maka sejumlah pertanyaan patut dialamatkan kepada penggagas pengadilan pertanahan karena terdapat sejumlah kelemahan mendasar di dalamnya. Penulis memperkirakan kelemahan tersebut bersumber dari kurangnya pemetaan persoalan pertanahan dari penggagas pengadilan pertanahan itu sendiri, termasuk kurangnya penguasaan sistem hukum yang menaungi sistem penyelesaian sengketa pertanahan. Kelemahan tersebut merefleksikan kedangkalan data dan analisis (banality of analysis and data) sehingga tidak mampu menangkap titik-titik elemental keterkaitan aspek normatif hukum dengan struktur kelembagaan serta aspek sosialnya. Akibatnya di beberapa bagian Naskah Akademik RUU Pertanahan terdapat penarikan kesimpulan yang dipaksakan atau melompat (jumpling to conclusion). Akhirnya, solusisolusi masalah pertanahan yang ditawarkan terlihat kontradiktif dengan kebutuhan yang paling mendasar di bidang pembaruan agraria dan usaha pemberdayaan lembaga peradilan, khususnya lembaga peradilan administrasi. Kata Kunci : RUU Pertanahan, Pengadilan Pertanahan, Peradilan Administrasi. Abstract There are at least three basic argument behind the idea of settlement of the special land dispute court, namely : first, the recognizing of the land bill drafter of the complexity of the land disputes. Second, the idea of settlement of special land dispute court is intended to restore the previous special court (Landreform Court) in the sixties era. Three, the special land dispute court of land is basically intended to repair the malfuncion of present court in settlement of the land disputes. But the academic draft and bill of land rises some questions about the know-how land disputes of the bill’s drafter, it proposes that this academic draft and bill of land does not take a sufficiently deep assessment. The author assumes that the flaws of academic draft is relating to the lack of legal problem mapping in land disputes, including the basic knowledge of legal system in land disputes. This situation reflects the banality of data and legal situation analysis which affects the misconception of the elemental interconection of legal normative with the structure of social aspect by jumpling to conclusion and forced conclusion. Finally, some solution which is proposed in this bill of land is diametrically
Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Serang. Secara khusus, tulisan ini dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban publikasi tulisan terakhir dalam program Beasiswa yang penulis terima dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI selama mengikuti studi magister hukum di Universitas Indonesia (Desember 2011 s/d Januari 2014). 253
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 253-268
opposed with the basic need of agrarian reforms and judicial empowerment project, especially administrative court. Keywords : Bill of land, Land Court, Administrative Court.
A. Beberapa Kelemahan Ide Pembentukan Pengadilan Pertanahan Ide pembentukan pengadilan pertanahan/agraria telah berkembang sejak lama. Namun, pendekatan yang digunakan oleh pembuat undang-undang dalam menyelesaikan permasalahan pertanahan masih menggunakan pola pendekatan rules approach dan agencies approach. Artinya untuk menyelesaikan permasalahan selalu diikuti dengan pembentukan lembaga atau peraturan baru. Dengan membentuk lembaga baru berarti negara harus menanggung biaya yang besar, penyediaan infrastruktur, konsolidasi, sosialisasi dsb. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana jaminan efektifitas peradilan pertanahan tersebut kelak?. Apakah jika peradilan pertanahan kelak dianggap tidak efektif lantas akan dilikuidasi dan dibentuk peradilan lainnya ? Apakah sistem penyelesaian sengketa yang ada sudah tidak dapat diperbaiki lagi sehingga solusi satu-satunya hanyalah dengan membentuk pengadilan pertanahan. Dalam RUU Pertanahan, ide pembentukan pertanahan dituangkan secara eksplisit dalam ketentuan pasal 60, 61 dan 82 RUU Pertanahan yang berbunyi : Pasal 60 Sengketa mengenai status kepemilikan Tanah dan kebenaran materiil data fisik dan yuridis, diselesaikan melalui badan peradilan.
(1)
(2) (3) (4)
Pasal 61 Untuk pertama kali dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 pada setiap pengadilan negeri yang berada di setiap ibukota provinsi. Wilayah hukum Pengadilan Pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi provinsi yang bersangkutan. Pengadilan Pertanahan merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. Pengadilan Pertanahan bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara sengketa di bidang Pertanahan.
Pasal 82 Hukum acara pada Pengadilan Pertanahan menggunakan hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini. Ketentuan pasal 60 dan 61 di atas sangat identik dengan pendapat Prof. Arie Hutagalung pada tahun 2001 yang sejauh penelusuran penulis merupakan pakar hukum pertanahan yang pertama kali mengagas ide pembentukan pengadilan pertanahan. Namun gagasannya tersebut disampaikan dalam sebuah kerangka kemungkinan (possibility), bukan keharusan (mandatory), sebagaimana dikutip berikut ini : “Dalam perkembangan sengketa pertanahan yang melibatkan sekelompok anggota masyarakat (tanda garis bawah dari Penulis), dilandasi oleh sikap pesimis terhadap jalur pengadilan, pernah timbul gagasan untuk membentuk pengadilan pertanahan di dalam lingkup peradilan umum. Secara teoritis, pembentukan pengadilan pertanahan dapat saja 254
Rekonseptualisasi Pengadilan Pertanahan, Enrico Simanjuntak
dilakukan. Sebagai contoh di masa yang lalu pernah dibentuk pengadilan ekonomi sebagai konsekuensi diterbitkannya UU. No. 7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pengadilan Tindak Pidana Ekonomi (ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU. No. 1 Tahun 1961). Setelah terbitnya UU. No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dasar hukum pembentukan pengadilan pertanahan dalam lingkungan peradilan umum dapat dilihat dalam pasal 8, yang menyebutkan bahwa di lingkungan Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang. Ciri pokok Pengadilan Pertanahan yang diharapkan adalah sebagai berikut : a. Di setiap Pengadilan Negeri ditempatkan seorang hakim atau lebih yang semata-mata diberi tugas (dengan demikian : diangkat) untuk mengadili perkara-perkara pertanahan. Dengan demikian, maka hakim Pengadilan Pertanahan adalah Hakim Pengadilan Negeri dengan penugasan khusus. b. hukum acara yang dipergunakan adalah hukum acara perdata yang berlaku di Pengadilan Negeri…dst”98 Berbeda dengan kebijakan perancang RUU Pertanahan, pakar hukum tanah, Maria S.W. Sumardjono menyatakan tidak diperlukan pembentukan peradilan khusus masalah tanah, karena sengketa perdata berkenaan dengan tanah sudah memperoleh tempat penyelesaian melalui peradilan umum sedangkan dalam hal pihak yang bersengketa dalam bidang pertanahan adalah orang atau badan hukum perdata dengan pemerintah maka diselesaikan dalam lingkup peradilan tata usaha negara.99 Oleh karena sengketa di pengadilan menimbulkan banyak keluhan, maka masalahnya adalah bagaimana mengupayakan agar lembaga pengadilan ini dapat berfungsi secara optimal. Selanjutnya pakar hukum tanah tersebut menambahkan karena penyelesaian melalui pengadilan meurpakan upaya terakhir, seyogianya alternatif penyelesaian sengketa yang lain di luar pengadilan misalnya musyawarah, mediasi, dan lain-lain perlu semakin ditingkatkan pemanfaatannya.100 Dalam kerangka pemikiran seperti itu, Hamdan Zoelva101 menyatakan pembentukan pengadilan khusus bukanlah satusatunya jalan untuk menjamin profesionalisme serta kecepatan dalam penyelesaian perkara. Untuk mencapai maksud tersebut tidak harus membentuk pengadilan khusus tetapi cukup mengangkat hakim ad hoc yang bisa dilakukan, pertama, hakim ad hoc permanen yang diangkat berdasarkan periode tertentu dari unsur luar profesi hakim; kedua, hakim ad-hoc non permanen (temporal) sesuai keperluan untuk ikut menangani perkara tertentu. Dapat juga dilakukan dengan melatih hakim pengadilan yang telah ada untuk menangani perkara-perkara spesifik. Jadi, tidak selalu harus membentuk pengadilan khusus untuk setiap masalah yang spesifik. Sehubungan dengan hal ini, dapat dicatat disini, program dan kebijakan sertifikasi hakim tipikor, hakim lingkungan, hakim sengketa pemilu dsb dalam beberapa hal cukup menjanjikan peningkatan profesionalisme hakim sebagaimana yang diharapkan. Mengingat kompleksitas masalah pertanahan (menyangkut berbagai isu hukum), dahulu pembuat undang-undang landreform justru membatasi dirinya untuk tidak bermaksud dan merasa mampu untuk menyelesaikan segala jenis sengketa pertanahan dalam satu wadah pengadilan khusus. Pada waktu itu, Pengadilan landreform, bukan dimaksudkan sebagai suatu pengadilan agraria melainkan lebih dimaksudkan sebagai sarana untuk memperlancar program landreform yang tidak terlepas dari suasana revolusi pada era demokrasi terpimpin. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada penjelasan undang-undang landreform yang berbunyi antara lain sbb :
98
Selengkapnya lihat Hutagalung, Arie. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, 2005. Hal. 373-374. 99 Sumardjono, Maria S.W., Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2001. Hal. 197. 100 Ibid. Hal. 198. 101 Zoelva, Hamdan. Aspek Konstitusionalitas Pengadilan Khusus di Indonesia, dalam Putih Hitam Pengadilan Khusus, Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta, 2013. Hal. 178. 255
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 253-268
Pengadilan Landreform tidak bermaksud untuk memutus segala perkara mengenai tanah atau agraria sebagai suatu kebulatan. Hal ini disebabkan, karena sifatnya yang khusus untuk memperlancar berjalannya landreform dan lagi pula tidak mengurangi wewenang Pengadilan Negeri untuk memutus tentang soal- soal tanah, soal waris-mewaris dan sebagainya yang bila juga akan dibebankan kepada Pengadilan Landreform, pasti akan menghambat pelaksanaan Landreform. Itulah sebabnya, bahwa Pemerintah hanya berkehendak membentuk Pengadilan Landreform, bukan Pengadilan Agraria. Untuk tetap berdiri atas azas di atas, maka dalam pasal 3 dan 4 diatur tentang pembagian kekuasaan dengan pengadilan-pengadilan lain. Dengan cara ini memang diketahui bahwa perjalanan peradilan akan terlambat, akan tetapi akan diperoleh kepastian hukum bahwa pengadilan yang lebih berwenanglah yang akan memberikan putusan, sehingga akan lebih memuaskan perasaan keadilan para pencari keadilan.102 Dilihat dari uraian di atas, pembuat Naskah Akademik RUU Pertanahan tampak tidak konsisten dalam mengunakan istilah “Peradilan Pertanahan” dan “Peradilan Agraria”, kedua istilah ini dipertukarkan begitu saja untuk menyampaikan satu maksud tertentu tanpa menyadari konsekuensi lebih jauh dari masing-masing istilah tersebut. Perlu disadari bahwa tanah, kekayaan alam dan ruang itu adalah bagian dari hukum agraria. Kendati demikian, UU. No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, kemudian dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), tidak memberikan penjelasan tentang istilah agraria yang digunakannya. Namun, dalam beberapa bagiannya, UUPA menyebutkan frasa “bumi, air, ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”—mirip dengan rumusan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Frasa inilah yang kemudian ditafsirkan sebagai cakupan agraria nasional secara luas sebagai lawan dari pengertian sempit yang menyamakan hukum agraria sebagai hukum tanah. Terkait hal ini, Budi Harsono103 menyatakan bahwa hukum agraria sebagaimana terdapat dalam UUPA adalah “suatu kelompok berbagai bidang hukum yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber daya alam tertentu”. Mryna Safitri mengistilahkan kompleksitas hukum agraria dengan istilah “keragaman intra sistem hukum”. Termasuk ke dalam cakupan hukum agraria ini adalah hukum tanah, hukum air, hukum pertambangan, dan sebagainya. Dengan demikian konsep “tanah” adalah bagian kecil dari pengertian yang lebih luas dan kompleks dari “agraria”. Bahkan, secara generik, penguasaan atas tanah dan kekayaan alam masuk ke dalam cakupan yang luas dari hukum agraria.104 Namun apabila mencermati ketentuan pasal 60 RUU Pertanahan, terlihat maksud penggagas RUU Pertanahan sesungguhnya hanya membatasi diri dalam bidang pertanahan, sehingga nomenklatur pengadilan khusus di bidang pertanahan yang hendak dibentuk memang hanya sebagai “pengadilan pertanahan”. Akan tetapi meskipun demikian, apabila diperhatikan secara keseluruhan gagasan reformasi kebijakan pertanahan ini maka kebijakan perubahan yang hendak disasar adalah jauh lebih luas yaitu mencakup perubahaan agraria (agrarian reform). Jika RUU Pertanahan dimaksudkan sebagai bagian dari program reformasi agraria seyogianya RUU Pertanahan memperhatikan sinkronisasi dengan pembahasan RUU lain yang berkaitan langsung dengan kebijakan di bidang reformasi agraria seperti RUU Migas, RUU Kehutanan yang secara khusus memuat rencana pembentukan pengadilan kehutanan. Dapat disimpulkan bahwa pembentukan pengadilan khusus pertanahan akan akan membawa konsekuensi secara langsung dan tidak langsung terhadap penyatuan yuridiksi (unifikasi) yang 102
Penjelasan UU No. 21/1964 Tentang Landreform. Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Edisi Revisi, Cetakan ke-11, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2007. Hal. 5. 104 Mryna A. Safitri dan Tristam Moeliono, Bernegara Hukum dan Berbagai Kuasa Dalam Urusan Agraria di Indonesia : Sebuah Pengantar. Dalam Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (Ed), Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia : Studi Tentang Tanah, Kekayaan Alam, dan Ruang di Masa Kolonial dan Desentralisasi, Huma; Van Vollenhoven Institute; KLTV, Jakarta, 2010. Hal. 3 103
256
Rekonseptualisasi Pengadilan Pertanahan, Enrico Simanjuntak
mengadili sengketa pertanahan di Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum. Pengadilan pertanahan, sebagai satu-satunya badan peradilan yang mengadili sengketa pertanahan, dipercaya menggunakan hukum acara perdata, untuk menyelesaikan berbagai jenis sengketa hukum pertanahan, seolah-oleh semua karakteristik sengketa pertanahan hanya dan dapat direduksi ke dalam satu jenis sengketa yaitu sengketa keperdataan semata. Memang, sengketa tentang “kepemilikan” tanah jelas merupakan bagian dari sengketa keperdataan dan wajar menggunakan hukum acara perdata untuk menegakan hukum perdata materil, meskipun sampai sekarang hukum perdata nasional belum berhasil mereformulasi aturan dan kerangka hukum perdata materil yang mengatur soal-soal kebendaan yang dulu diatur dalam buku II Burgerlijk Wetboek. Barangkali inilah sebabnya ketentuan pasal 60 RUU Pertanahan maupun dalam penjelasannya tidak mengatur lebih jauh tentang ruang lingkup sengketa pertanahan tersebut. Karena tidak dijelaskan menjadi timbul berbagai pertanyaan mengingat luasnya cakupan sengketa di bidang pertanahan. Misalnya, bagaimana sengketa kepemilikan tanah versi naskah akademik RUU Pertanahan ini dikaitkan dengan pranata penyelesaian hukum adat kepemilikan tanah yang di beberapa daerah masih berlaku seperti di Papua dan Nusa Tenggara Timur ? Atau bagaimana jadinya hukum acara perdata dan hukum perdata materil diterapkan untuk memeriksa, menyelesaikan dan mengadili sengketa pertanahan yang menyangkut data fisik dan yuridis suatu objek tanah ?. Sengketa pertanahan yang menyangkut keabsahan data fisik dan data yuridis dalam suatu sertipikat tanah selama ini menjadi bagian dari kompetensi absolut peradilan administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara). Tentu, hal ini tidak terlepas dari konsepsi sertipikat sebagai suatu dokumen formal yang dipergunakan sebagai instrument yuridis bukti kepemilikan hak atas tanah yang diterbitkan oleh lembaga Negara (pemerintah) sebagaimana yang disampaikan Boedi Harsono105, sertifikat (tanah) adalah suatu surat tanda bukti hak yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah atau merupakan suatu tanda bukti bahwa seseorang atau suatu badan hukum mempunyai suatu hak atas tanah atas suatu bidang tanah tertentu. Dikatakan Irawan Soerodjo106, bahwa sertipikat tanah merupakan surat tanah bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Dari sini sudah dapat ditangkap bahwa makna sertifikat tanah dalam konstruksi yuridisnya merupakan suatu dokumen formal yang dipergunakan sebagai tanda dan atau instrument yuridis bukti hak kepemilikan atas tanah yang dikeluarkan oleh BPN RI (Badan Pertanahan Nasional RI) lembaga/Institusi negara yang ditunjuk dan diberikan wewenang oleh negara untuk menerbitkannya. Sertipikat sebagai tanda dan atau sekaligus alat bukti hak kepemilikan atas tanah merupakan produk hukum yang diterbitkan oleh BPN RI didalamnya memuat data fisik dan yuridis. Sejalan dengan itu, Maria SW Sumardjono107, menyatakan sertipikat hak atas tanah merupakan hasil akhir proses pendaftaran tanah berisi data fisik (keterangan tentang letak, batas, luas bidang tanah, serta bagian bangunan atau bangunan yang ada diatasnya bila dianggap perlu) dan data yuridis (keterangan tentang status tanah dan bangunan yang didaftar, pemegang hak atas tanah dan hak-hak pihak lain, serta beban-beban lain yang berada diatasnya).108 105
Harsono, Boedi. Op. Cit. Hal. 478. Soerodjo, Irawan, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Cetakan Pertama, Arkola, Surabaya, 2003.Hal.78. 107 Sumarjono, Maria, S.W., Puspita Serangkum Aneka masalah Hukum Agraria, Andi Offset, Yogyakarta, 1982. Hal. 25. 108 Lebih jelasnya lagi, ketentuan Pasal 107 dan 106 (1) Permen Agraria 9/1999 memasukan kesalahan pengadministrasian data fisik dan data yuridis suatu sertipikat tanah sebagai bagian dari kesalahan “Cacat hukum administratif” yang selengkapnya terdiri dari : a. kesalahan prosedur; b) kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan; c) kesalahan subjek hak; d) kesalahan objek hak; e) kesalahan jenis hak; f) kesalahan perhitungan luas; g) terdapat tumpang tindih hak atas tanah; h) data yuridis atau data data fisik tidak benar;atau i) kesalahan lainnya yang bersifat administratif;. Ketentuan yang mengatur kriteria cacad hukum 106
257
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 253-268
B.
Ancaman Penderogasian Hukum Publik Oleh Hukum Perdata. Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa hukum publik adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum, seperti hubungan antara warga negara dengan negara dan seluruh komponen yang terlibat dalam negara. Hukum publik berurusan dengan beberapa hal yang berhubungan dengan masalah kenegaraan serta bagaimana negara melaksanakan tugasnya.109 Inti dari pendapat ini adalah bahwa ciri tindakan hukum publik adalah mengatur kepentingan umum. Sudikno Mertokusomo110, antara lain mengatakan bahwa : “…hukum publik mengatur hubungan hukum antara negara dengan individu”. Wirjono Projodikoro111 mengemukakan bahwa hukum publik sebagai hukum yang mengatur kepentingan umum (masyarakat). Dari beberapa pendapat tersebut Sudarsono112 menyimpulkan bahwa ciri atau karakter hukum publik adalah mengatur kepentingan umum dan mengatur hubungan negara dengan individu (warga negara). Dari ciri hukum publik tersebut, selanjutnya Prof. Sudarsono melanjutkan ciri hukum administrasi sebagai bagian dari hukum publik, hal ini perlu karena tindakan hukum publik yang dilakukan oleh pemerintah (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) masuk dalam ranah hukum administrasi negara sehingga dengan demikian dapat diketahui ciri-ciri atau karakteristik dari tindakan hukum publik yang dilakukan oleh pemerintah. Karakter utama hukum administrasi menurut Prof. Sudarsono adalah pembatasan kekuasaan pemerintah sekaligus pembatasan kebebasan individu. Berbeda dengan hukum adat dan hukum agama yang tidak mengenal kriteria antara hukum perdata dan hukum publik, hukum nasional, termasuk hukum internasional, mengenal dikotomi yang kuat antara hukum perdata dan hukum publik. Masalah hukum pertanahan adalah merupakan masalah yang didominasi isu hukum publik. Lebih persisnya, materi hukum agraria sebagian besar merupakan masalah hukum administrasi negara.113 Prof. Arie S. Hutagalung114 menyatakan hukum tanah administrasi merupakan bagian yang sangat penting dari hukum tanah nasional karena walaupun secara teoritis mempunyai perbedaan, tetapi secara praktis unsur-unsur hukum tanah administrasi itu dapat kita jumpai dalam seluruh peraturan hukum tanah. Bahkan, Prof. E. Utrecht dalam buku-buku yang ditulisnya menyamakan hukum agraria dengan hukum tanah dan menempatkannya sebagai bagian dari hukum administrasi negara sebagaimana kelaziman penggunaannya di Indonesia dulu115. Hukum pertanahan merupakan bagian integral dari hukum publik. Untuk itulah, pemerintah membentuk BPN, termasuk membagi kewenangan lain diluar BPN kepada berbagai instansi lain pemerintahan maupun instansi pemerintahan116. Bahkan, sejumlah putusan MK dalam beberapa tahun administratif yang dalam hal penetapan administrasi di bidang pertanahan tersebut saling isi mengisi dengan ketentuan lain yang telah diatur pemerintah dalam bidang pelayanan publik oleh administrasi pemerintahan, termasuk di bidang pelayanan pertanahan. Antara lain lihat ketentuan pasal 7 PP. No. 96 / 2012 Tentang Tentang Pelaksanaan UU. No. 25 / 2009 Tentang Pelayanan Publik. 109 Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991. Hal. 73. 110 Mertokusomo, Sudikno. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1986. Hal. 108. 111 Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Perdata, Sumur Bandung, Jakarta, 1966. Hal. 7-11. 112 Sudarsono, Pilihan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Di Peradilan Tata Usaha Negara, Dalam I Gede Dewa Atmadja, et al, Demokrasi, HAM, dan Konstitusi, Persfektif Negara Bangsa untuk Menghadirkan Keadilan, Setara Press, Malang, September 2011.Hal. 278-279. 113 Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Akar Filosofis, Genta Publishing, Yogyakarta, Hal. 353. 114 Hutagalung, Arie S. dkk (editor), Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, Universitas Indonesia, Universitas Groningen, Universitas Leiden, Pustaka Larasan, Denpasar, 2012. Hal. 130. 115 Ibid. 116 Di luar rezim kewenangan pemerintah daerah, sistem hukum agraria di Indonesia telah menempatkan paling tidak kewenangan tiga instansi sebagai pihak yang memiliki kuasa untuk mengatur peruntukan hak atas tanah sekaligus mengatur pemanfaatannya dan pemanfaatan kekayaan alam yang ada padanya. Pertama adalah Departemen Kehutanan yang menguasai sekitar (lebih-kurang) 70% dari seluruh daratan di Indonesia yang dinyatakan sebagai kawasan hutan negara. Bekerja berdasarkan Undang-undang Pokok Kehutanan, maka segala hak yang berhubungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan hutan negara berada di dalam kewenangannya. Undang-undang ini juga menentukan bahwa aspek penguasaan tanah hutan dengan sendirinya menyertai setiap 258
Rekonseptualisasi Pengadilan Pertanahan, Enrico Simanjuntak
terakhir telah menjelaskan dengan mengkonstruksi lima kewenangan negara dalam penguasaan tanah dan kekayaan alam : pengaturan (regelendaad), pembuatan kebijakan (beleid), pengurusan (bestuursdaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad). Kewenangan Negara tersebut bersumber dari dari hak menguasai negara sebagai pelaksanaan hak bangsa di bidang legislatif yang rincian ruang lingkupnya menurut Budi Harsono117 meliputi penentuan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bagian-bagian tanah. Tugas kewenangan ini menentukan dan mengatur penguasaan tanah oleh perorangan dan badan-badan hukum dengan berbagai hak atas tanah yang diatur dalam hukum tanah nasional. Penguasaan atas tanah secara yuridis selalu mengandung kewenangan yang diberikan hukum untuk menguasai fisik tanahnya. Oleh karena itu penguasaan yuridis memberikan alas hak terhadap adanya hubungan hukum mengenai tanah yang bersangkutan. Apabila tanahnya sudah dikuasai secara fisik dan sudah ada alas haknya, maka persoalannya hanya menindaklanjuti alas hak yang melandasi hubungan tersebut menjadi hak atas tanah yang ditetapkan dan diakui oleh Negara agar hubungan tersebut memperoleh perlindungan hukum. Proses alas hak menjadi hak atas tanah yang diformalkan melalui penetapan Pemerintah disebut pendaftaran tanah yang produknya adalah sertipikat tanah. Oleh karena itu alas hak sebenarnya sudah merupakan suatu legitimasi awal atau pengakuan atas penguasaan tanah oleh subyek hak yang bersangkutan, namun idealnya agar penguasaan suatu bidang tanah juga mendapat legitimasi dari Negara, maka harus diformalkan yang dilandasi dengan suatu hak atas tanah yang ditetapkan oleh Negara / Pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Sementara itu, esensi peradilan perdata dalam sengketa pertanahan adalah pada dasarnya menelusuri bagaimana suatu hak milik atas tanah melekat pada diri seseorang sebagai subjek hukum. Pengadilan akan memeriksa dan meneliti secara seksama bagaimana hak milik itu diperoleh dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan berlaku. Kewenangan pengadilan dalam sengketa hak milik atas tanah adalah mengadili siapa yang paling berhak secara hukum atas tanah terperkara. Sekalipun terdapat aspek hukum perdata, dalam penentuan subyek hukum hak kebendaan atas tanah, namun sifat keperdataan dari masalah hak-hak kebendaan tidak dapat menafikan atau menderogasi pengaruh dari hukum publik. Bahkan, dalam peristiwa hukum perdata seperti jual-beli atas tanah, negara turut memberi otorisasi yang direpresentasikan oleh tanda tangan Pejabat Pembuat Akta Tanah baik oleh Camat atau Notaris118. Dalam konteks itulah dapat dipahami
hak untuk mengelola hutan dikarenakan (menurut undang-undang ini) seluruh hutan negara berada di bawah penguasaan Departemen Kehutanan. Selain itu juga ditetapkan bahwa kawasan hutan hanya meliputi dua kategori, yaitu: kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung dan konservasi. Dengan orientasi lebih mengedepankan kepentingan bisnis eksploitasi dan pengelolaan hutan dalam skala besar, maka hutan-hutan produksi dikapling-kapling untuk para pengusaha yang diberikan HPH/HPHTI. Itu artinya, di dalam kawasan hutan negara tidak ada ruang untuk tempat tinggal (pemukiman) dan aktivitas pertanian. Padahal kenyataannya tidak lah demikian. Ada kelompok-kelompok masyarakat yang telah tinggal dan memanfaatkan tanah, baik untuk pemukiman maupun lahan-lahan pertanian dan untuk kegiatan sosial-budaya lainnya, yang kemudian diklaim sebagai kawasan hutan negara. Atau ada kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di dalam kawasan yang sesungguhnya memang telah berbentuk bukan hutan lagi akibat proses pembukaan hutan yang telah berlangsung puluhan bahkan ratusan, tahun, tetapi masih diklaim sebagai kawasan hutan. Akibatnya tentu saja yang terjadi adalah konflik. Konflik yang didasari pada sengketa klaim atas tanah yang dinyatakan sebagai kawasan hutan negara 117 Harsono, Boedi. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2007. Hal. 46. 118 Surat Keterangan dan surat jual beli yang dibuat di bawah tangan dan dilegalisir oleh Kepala Desa serta dikuatkan oleh Kepala Kecamatan yang bersangkutan dapat dianggap sebagai bukti hak yang dimaksudkan dalam pasal 3 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 Tahun 1962. Sedangkan berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah, pemindahan, atau peralihan hak atas tanah dan satuan rumah susun baik jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan 259
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 253-268
bahwa hak kebendaan menjelma menjadi suatu hak hukum tidak lepas pengaturan dari negara : “The State has subsumed authority to regulate property at least practically speaking”119. Bukan berarti hak kebendaan atau hak milik atas tanah bersumber dari negara, melainkan negara bertugas melindungi dan menjaga hak-hak warga negara, sekalipun hak tersebut bersifat keperdataan, sebab hak kebendaan merupakan bagian dari hak sosial ekonomi warga negara, merupakan bagian dari hak-hak konstitusional warga negara. Dalam masalah pertanahan, maupun agraria, hak-hak kepemilikan baik dari persfektif hukum perdata ataupun hukum publik harus mendapat jaminan, otorisasi dan perlindungan dari negara, untuk menggunakan istilah John Locke yang menyebutkan : “The State to act as the guarantor of title”120. Lebih lanjut Richard Barnes menyatakan : “property rights (at least in positive law) cannot exist without a supporting legal system”.121 Melalui konstruksi hukum (negara) dan tatanan kemasyarakatan lah, konsep hak milik, terlebih lagi berbagai jenis hak atas tanah yang lain, mendapatkan eksistensinya.122. Kekuasaan negara untuk memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap warga negara termasuk untuk menjamin hak keperdataan warga negara dalam soal kepemilikan tanah juga diimbangi dengan kewenangan negara untuk mempengaruhi, mengatur eksistensi hak keperdataan warga negara, dalam kondisi ekstrim bahkan dapat mencabut hak kebendaan warga negara atas tanah. Hal ini tercermin dari kewenangan pemerintah untuk mencabut hak atas tanah yang dimiliki oleh subyek hukum orang atau badan hukum perdata yang menelantarkan tanah kepemilikannya. Selain itu atas dasar kepentingan umum, dalam kegiatan pengadaan tanah maupun penataan tanah (konsolidasi tanah, land consolidation), pemerintah dapat “mencabut” hak-hak keperdatan warga negara atas tanah. Konstitusionalitas dan legalitas kewenangan pemerintah tersebut bersumber dari ketentuan pasal 33 UUD 1945 yang kemudian diterjemahkan dalam ketentuan pasal 6 UUPA yang menyebutkan : “bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.123 Penegasan fungsi sosial ditafsirkan hak hukum pemindahan hak lainnya kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. 119 Barnes, Richard. Property Rights and Natural Resources, Hart Publishing, Oxford and Portland, Oregon, 2009. Catatan Kaki No. 60. Hal. 139. 120 Ibid. P.138. Meskipun dalam konteks Indonesia Pendapat John Locke ini perlu diperdebatkan mengingat sistem pendaftaran tanah yang masih menganut stelsel negatif. 121 Ibid. 138-139. Lebih lanjut dikemukakan beberapa percikan para ahli hukum termasyur seperti Jeremy Bentham dari buku Theory of Legislation yang menyatakan : “(T)here is no such thing as natural property…it is entirely the work of law…Property and law are born together. Before laws were made there was no property; take away laws, and property ceases”; Sedangkan pendapat David Hume dari buku A Treatise of Human Nature disebutkan bahwa “Property is nothing but those goods, whose constant possesion is estabalish’d by the laws of society, that is, by the law of justice…Tis very preposterous, therefore, to imagine, that we can have any idea of property, without fully comprehending the nature of justice, and shewing its origin in the artifice and contrivance of man”. Ibid. 122 http://agrarianresourcescenter.blogspot.com Diakses 16 Agustus 2013. 123 Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, S.H., konsepsi hak milik dalam UUD 1945 pasca reformasi mengalami liberalisasi dengan meninggalkan unsur sosialisme dalam fungsi hak milik. Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa : “setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”. Dengan ketentuan bahwa hak milik pribadi tidak dapat diambil oleh siapa pun, menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, S.H. berarti konsepsi hak milik pribadi dalam UUD 1945 bersifat mutlak, kecuali atas ganti kerugian yang didasarkan atas transaksi yang bersifat sukarela. Penggantian kerugian juga harus ditentukan atas kesepakatan harga secara bersama. Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi Ekonomi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2010. Hal. 265. Menurut Penulis konsepsi hak milik pribadi yang bersifat mutlak tersebut perlu disikapi dengan cermat dan seksama, karena dengan istilah “mutlak” mengandung kesan hak milik warga negara tidak dapat difungsikan untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas. Sebagai contoh dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum, kendati warga masyarakat keberatan terhadap penetapan rencana lokasi pembangunan oleh Gubernur, maka pihak yang keberatan dapat mengajukan gugatan ke PTUN. Sedangkan, dalam hal tidak terjadi kesepakatan tentang nilai ganti rugi, pihak yang keberatan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 hari kerja setelah musyawarah penetapan ganti rugi. Dalam putusan No. 50/PUU-X/2012, MK menegaskan 260
Rekonseptualisasi Pengadilan Pertanahan, Enrico Simanjuntak
atas tanah pada dasarnya tidak menjadi penghalang bagi pemerintah untuk melakukan kewenangan publiknya melakukan konsolidasi (penataan) tanah124 maupun untuk melakukan kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Namun, untuk menghindari tirani kekuasaan negara, kesewenangwenangan yang mengatasnamakan kepentingan negara atau kepentingan umum, negara menyediakan sarana hukum bagi pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah dalam rangka menjalankan kewenangan publik di bidang pertanahan, hal ini tidak terlepas dari konsep negara hukum Pancasila yang menjadi landasan kekuasaan pemerintahan (rechtsaats atau rule of law). Sehingga, pihak yang merasa dirugikan dapat menggunakan berbagai sarana hukum untuk menjaga kepentingan dan hak asasinya atas tanah. Berbagai produk hukum baik secara langsung atau tidak langsung telah didesain agar perlindungan hukum masyarakat di bidang pertanahan dapat terjaga. Sebagai contoh UU No. 2 Tahun 2012 telah menyediakan sarana bagi masyarakat yang keberatan dalam pembebasan tanahnya dalam rangka kepentingan umum untuk mengajukan gugatan ke Peratun. Peradilan Tata Usaha Negara adalah pemegang kekuasaan kehakiman yang melaksanakan fungsi kontrol terhadap tindakan hukum pemerintah. Sehubungan dengan tipologi konflik pertanahan yang bersifat struktural, lebih didominasi sengketa antara warga negara dengan pemerintah, hal ini mempengaruhi jenis sengketa yang ditangani oleh Peratun yang didominasi juga oleh sengketa di bidang pertanahan. Sumber permasalahan agraria, termasuk pertanahan, lebih disebabkan oleh inkonsistensi kebijakan publik negara di bidang pertanahan yang tidak menunjukan keberpihakan kepada kaum marginal. Padahal dalam hukum pertanahan sudah sejak Simpronius Tahun 133 sebelum masehi, berlaku ketentuan lex simpronius yaitu hukum pertanahan agar mementingkan rakyat jelata, bahwa hukum harus membantu orang-orang bodoh (lex succurit ignoranti).125 Akar permasalahannya sudah berlangsung sejak zaman kolonial dengan diberlakukannya Agrarische Wet Tahun 1870, dimana sumber utama konflik dan sengketa pertanahan adalah ketidakharmonisan, ketidakselarasan atau ketimpangan dalam struktur kepemilikan dan penguasaan tanah.126 Namun permasalahan hukum di zaman kolonial terus berlangsung pada periode hukum nasional berlangsung. Prof. Moh. Mahfud MD dengan ungkapan yang lebih lugas mengemukakan bahwa ambiguitas sikap pemerintah, ketidaktegasan yang menciptakan gap antara legalitas dan legitimasi, bahkan korup sehingga banyak rakyat yang menentukan sikap dan memainkan hukumnya sendiri merupakan beberapa faktor lain yang menyebabkan lemahnya implementasi politik hukum UUPA dalam praktik sehari-hari.127 Senada dengan beberapa pendapat di atas, Prof. Arie Hutagalung128 juga mengemukakan bahwa munculnya berbagai kasus pertanahan tidak dapat dilepaskan dari kebijakan Orde Baru (pada saat itu) yang banyak bersifat ad hoc, inkonsisten dan ambivalen antara satu kebijakan dan kebijakan lain. Menurut pakar hukum pertanahan dari Universitas Indonesia ini UUPA yang awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara substantial terdapat pertentangan dengan berbagai peraturan sektoral
kontitusionalitas ketentuan Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 14, Pasal 21 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 40, dan Pasal 42 UU. Tentang Pengadaan Tanah (UU. No. 2 Tahun 2012) dengan salah satu pertimbangan yakni telah disediakannya upaya hukum bagi pihak yang keberatan dengan penetapaan tanah untuk kepentingan umum melalui lembaga Peratun. 124 Setiawan, Yudhi. Instrumen Hukum Campuran (gemeenschapelijkrecht) Dalam Konsolidasi Tanah, Raja Grafindo, Jakarta, Juni 2009. Hal. 5-6. 125 Achmad Sodiki, Achmad. Politik Hukum Agraria, Konstitusi Press, Jakarta, 2013. Hal. 45. 126 BF. Sihombing sebagaimana mengutip Surjadi Soedirja, B.F. Sihombing, S.H., M.H., Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 2005. Hal. 2. 127 Mahfud MD, Moh. Kata Pengatar Dalam Buku Prof. Dr. Achmad Sodiki, Politik Hukum Agraria, Konstitusi Press, Jakarta, 2013. Hal. XVI. 128 Hutagalung, Arie. Op. Cit. Hal. 369 261
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 253-268
seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, UU Transmigrasi, UU Pengairan, UU Pemerintahan Desa, UU Pengelolaan Lingkungan Hidup dsb. Berbagai undang-undang tersebut menempatkan tanah sebagai objek yang sama, namun praktik di lapangan menjadi tidak terhindarkan karena berbagai undang-undang tersebut tidak dibingkai dalam satu grand design politik hukum agraria nasional yang mengandung harmonisasi hukum dalam muatan materi-materi legislasi dan regulasi di dalamnya. Dengan kata lain negara gagal menjalankan tugas dan fungsinya memberi perlindungan hukum bagi masyarakat untuk memperoleh keadilan agraria, sebagaimana ditandai oleh maraknya konflik struktural di bidang pertanahan sebagai akibat inkonsistensi kebijakan negara di bidang pertanahan serta masih tingginya tingkat ketidakpastian hukum dalam bidang perlindungan hukum oleh negara di bidang pertanahan. Pemerintah bukannya tidak menyadari akar permasalahan dan karakteristik permasalahan tanah yang bersifat struktural tersebut. Itulah sebabnya dalam pasal 2 Keppres No. 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, pemerintah memilih pendekatan struktural-kelembagaan dalam menyelesaikan permasalahan tanah nasional.129 C. Prospek Kontrol Yuridis Terhadap Tindakan/Keputusan Pemerintah Dalam Bidang Pertanahan. Dari uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa karakteristik masalah pertanahan lebih bersifat hukum publik. Oleh karena itu, akan terlihat kerancuan pengadilan pertanahan yang didesain akan berada di bawah naungan peradilan umum tersebut, dengan menggunakan hukum acara perdata untuk menyelesaikan persoalan sengketa pertanahan yang diajukan kepadanya, termasuk untuk menguji tindakan/keputusan hukum pemerintah di bidang pertanahan. Di berbagai negara kedudukan pengadilan khusus pertanahan berada di bawah naungan peradilan administrasi. Perbandingan seperti ini semestinya tidak lepas dari perhatian para penggagas kebijakan hukum nasional khususnya, penggagas dan penyokong lahirnya pengadilan pertanahan. Kedudukan pengadilan pertanahan di negara-negara lain berada di bawah yuridiksi peradilan tata usaha negara melalui tribunal-tribunal khusus seperti yang dikenal di negara-negara anglo saxon seperti keberadaan tribunal pertanahan di Australia yaitu The National Native Title Tribunals yang mengkhususkan diri untuk menyelesaikan klaim berkenaan dengan traditional native title.130 Bahkan di negara dengan sistem hukum civil law seperti Belanda, pengadilan pertanahan tetap berada di bawah naungan yuridiksi peradilan tata usaha negara, walaupun prosedur hukum di tingkat pertama diselesaikan oleh seorang hakim perdata 129
Selengkapnya lihat Hutagalung, Ny. Arie Sukanti dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, Rajawali Pers, Jakarta, 2009. Hal. 81. dst. Ironisnya, Naskah Akademik RUU Pertanahan sebenarnya menyadari akar permasalahan agraria seperti itu, sebagaimana tertuang dalam Naskah Akademik tersebut yang berbunyi : “(D)ilihat dari adanya kebijakan publik yang menjadi penyebab terjadinya kasus-kasus sengketa dan/atau konflik tersebut, maka konflik yang paling tinggi intensitasnya adalah yang terjadi karena sengketa atas lahan perkebunan besar (344 kasus). Selanjutnya secara berturut-turut adalah kasus-kasus yang terjadi akibat adanya kebijakan publik yang berkaitan dengan pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), pembangunan perumahan dan kota baru (232 kasus), pengembangan kawasan kehutanan produksi (141 kasus), pembangunan kawasan industri dan pabrik (115 kasus), pembangunan bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), pembangunan sarana wisata [tourism, hotels and resorts (73 kasus)], pengembangan kawasan pertambangan besar (59 kasus) dan pembangunan sarana militer (47 kasus)”.129 Hasil penelitian tersebut sebetulnya tidak banyak berbeda dengan pemaparan Prof. Paulus Effendie Lotulung beberapa tahun sebelumnya, dengan mengutip sebuah hasil penelitian di Jawa Barat pada tahun 1994, mengambarkan pihak-pihak yang bersengketa adalah didominasi antara masyarakat dan pemerintah (57%), selanjutnya antara masyarakat dengan pengusaha (30%) dan sisanya antara sesama masyarakat (11%). Sedangkan karateristik permasalahan sengketa tanah tersebut adalah mengenai status pemilikan tanah (22,6 %), status penguasaan tanah (31, 5%), ganti rugi pembebasan tanah (34, 7%), status pengunaan (11, 3%). Selengkapnya lihat Paulus Effendie Lotulung, Tanah dan Permasalahannya di Peradilan Tata Usaha Negara, makalah disampaikan pada Seminar yang diselenggarakan Sigma Research Insitute, 26 Maret 1996. 130 Sumardjono, Maria S.W. Loc. Cit. Hal.197. 262
Rekonseptualisasi Pengadilan Pertanahan, Enrico Simanjuntak
(panel).131 Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pernah menyatakan bahwa kewenangan pengadilan landreform, sebagai pengadilan pertanahan di zaman Orde Lama, mencakup kewenangan di bidang penegakan hukum administrasi sehingga oleh karena itu dalam kertas kerja pemerintah Indonesia dalam simposium hukum negara-negara di kawasan Asia Tenggara menyebutkan pengadilan landreform dibawah naungan dan hirarkis kekuasaan kehakiman di bidang peradilan tata usaha negara (BPHN, 1979)132. Harus diakui Mahkamah Agung dengan jajaran peradilan di bawahnya sering tidak dilibatkan secara serius dalam pembahasan undang-undang baik yang secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman. Akibatnya, sering terjadi hambatan ketika proses implementasi harus dilakukan. Semestinya, impelementasi beberapa undang-undang yang di dalamnya mengamanatkan pembentukan pengadilan khusus harus didahului dengan pembahasan intensif dengan MA. Pembentukan pengadilan khusus yang ada selama ini, antara lain Pengadilan HAM, Niaga, Tipikor, tidak pernah didahului dengan studi dan pemahaman yang matang tentang permasalahan yang dihadapi. Sehingga pengaturan tentang pengadilan khusus dalam UU cenderung bersifat tambal sulam dan menyederhanakan masalah. Pembentukan beberapa pengadilan khusus baru yang sedang dalam proses di antaranya pengadilan perikanan, dan hubungan industrial meskipun telah mengambil beberapa pelajaran dari pengalaman sebelumnya, tetap saja mengundang beberapa masalah133. Permasalahan utama yang mengakibatkan hal-hal di atas memperlihatkan ketiadaan konsep yang cukup jelas dari DPR dalam menyusun UU bidang peradilan. Bahkan dalam beberapa hal terlihat DPR kurang memperhatikan hasil kajian dari Mahkamah Agung seperti Cetak Biru Mahkamah Agung RI dan Kertas-Kertas Kerja lainnya baik berupa Kertas Kerja Pembaruan SDM Pengadilan, Anggaran Pengadilan, Pendidikan dan Pelatihan Pengadilan maupun Komisi Yudisial.134 Tidak mengherankan kini, apabila pengadilan pertanahan yang akan dibentuk, kewenangannya tidak disadari akan menafikan atau menderogasi eksistensi dan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa-sengketa pertanahan. Pembentukan pengadilan pertanahan dengan menderogasi kewenangan Peradilan Administrasi Negara merupakan langkah mundur dari semangat reformasi hukum, dimana pasca amandemen UUD 1945, pengaturan kekuasaan absolut peradilan disesuaikan dengan asas pemisahan kekuasaan kehakiman sesuai dengan amanat pasal 25 UUD 1945. Selain itu, rencana pembentukan pengadilan pertanahan, dengan menghapus kewenangan Peratun dalam penyelesaian sengketa pertanahan, perlu memperhatikan “kegagalan eksperimen” yang secara empiris terjadi dalam pengalaman pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial135. Salah satu dasar pembentukan pengadilan hubungan industrial adalah karena prosedur penyelesaian sengketa perburuhan di peratun dianggap terlalu panjang dan menyita waktu sehingga atas dasar tersebut
131
Hutagalung, Arie S. dkk (editor), Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, Universitas Indonesia, Universitas Groningen, Universitas Leiden, Pustaka Larasan, Denpasar, 2012. Hal. 77. 132 Teuku Mohammad Radhie (Editor), Conference On Legal Development In ASEAN Countries February 1979, Volume Two, National Law Development Agency and The Asia Foundation Jakarta, P. 170. Lihat juga uraian Prof. Djenal Hoesen Koesoemahatmadja tentang kedudukan pengadilan landreform dalam struktur peradilan tata usaha negara dimana pendapatnya menyatakan agar “pengadilan tata usaha negara” itu, mempunyai wewenang umum, bukan khusus. Oleh karena itu pada tempatnya jika peradilan administrasi itu memutus sengketa TUN dalam bidang-bidang : perumahan, pajak, kepegawaian, landreform dan lain-lain bidang yang ditentukan oleh Presiden, atas usul Menteri Kehakiman dengan mendengar Menteri yang bersangkutan. Untuk sementara pengadilan landreform dan majelis pertimbangan pajak, bagian banding dari dewan oktroi, sebagai pengadilan administratif yang khusus, dapat dipertahankan, akan tetapi pada akhirnya seyogianya kita mengadakan satu peradilan tata usaha negara untuk seluruh Indonesia. Koesoemahatmadja, Djenal Hoesen. Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, Jilid 2, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1990. Hlm. 81-80. 133 Lihat Permasalahan Dan Rekomendasi Pembaruan Peradilan Dalam Program Legislasi Nasional oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, www.parlemen.net diakses 12 Juli 2012. 134 Ibid. 135 Lihat konsideran UU PHI. 263
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 253-268
dibentuklah pengadilan hubungan industrial. Namun kini ternyata kritik dan keluhan yang dulu dialamatkan kepada Peratun dalam penyelesaian sengketa perburuhan juga terulang kembali di pengadilan hubungan industrial. Dalam kesimpulan Adrian Bredner136tendensi pembentukan pengadilan khusus dalam sistem peradilan di Indonesia justru mengakibatkan pemindahan “masalah di lembaga asal kepada lembaga baru” atau sebagaimana ia kemukakan berikut ini: The strategy to establish special courts in order to improve judicial performance has been central to Indonesian policies pertaining to the administration of justice. In combination with attempts to reinforce dispute settlement outside the court system – for instance by regulating and promoting mediation, and by establishing a Human Right’s Commission and an Ombudsman – this should ultimately lead to a complete restructuring of the judiciary. It is clear that this strategy has not been entirely successful so far, something already evident from the experience with its first result, the administrative courts. These have themselves become part of the problem, having been labelled as ‘dysfunctional’ in various cases, and provided the reason to establish new specialised courts, such as the tax court and the industrial relations courts. This gives fuel to the idea that establishing special courts is just a way of transferring problems from one institution to the other. Tradisi hukum, sistem dan struktur pengawasan yang pemerintah yang selama ini sudah terlembaga melalui Peratun untuk menguji keputusan TUN di bidang pertanahan akan mengalami kemunduran siginikan dengan beralihnya sengketa pertanahan ke peradilan umum. Usaha pendidikan, pelatihan dan pengembangan hukum pertanahan yang selama ini telah dilaksanakan di lingkungan Peradilan TUN menjadi tidak ada artinya bagi para pembuat RUU Pertanahan. Di sisi lain, kewenangan Pengadilan Pertanahan dalam RUU Pertanahan berpotensi menimbulkan sengketa yuridiksi antara Peratun dengan Pengadilan Pertanahan. Karena berbagai produk hukum baik langsung seperti UU. No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik atau UU. No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah telah menegaskan kewenangan Peratun untuk menyelesaikan sengketa pertanahan sebagaimana dimaksud oleh undang-undang terkait. Tudingan kepada Peratun yang dianggap lebih berpihak kepada para pengusaha dibandingkan kepada kaum petani maupun kelompok marginal dalam sengketa pertanahan sebagaimana dinyatakan dalam Naskah Akademik RUU Pertanahan merupakan sebuah tindakan reaksioner, tidak didukung data yang valid dan pengkajian yang mendalam dan sistematis. Tudingan tersebut sebetulnya sangat berbahaya dan menyesatkan mengingat kiprah Peratun untuk membenahi masalah pertanahan tidaklah dapat dikecilkan artinya. Dari putusan-putusan Peratun di bidang sengketa pertanahan, para pembuat kebijakan seyogianya menyadari bagaimana buruknya administrasi pertanahan yang kurang memadai, buruknya pencatatan formal terhadap hak-hak atas tanah dan transaksi pertanahan. Dibalik kondisi tersebut terdapat persoalan lain yang sesungguhnya selama ini kurang mendapat perhatian yaitu masih tingginya angka maladministrasi di bidang pertanahan. Dari hasil pengkajian terhadap bentuk-bentuk mal administrasi yang terjadi, dapat disimpulkan ada 8 blok sumber persoalan yang saling terkait satu sama lain yang menyebabkan terjadinya mal administrasi di bidang pertanahan, yaitu: (1) adanya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, kompleks, terfragmentasi (tidak terintegratif) yang dibuat untuk lebih memenuhi kehendak mendahulukan (memfasilitasi) kegiatan-kegiatan investasi sektoral ketimbang memberikan sandaran hukum bagi keadilan di tengah masyarakat;
Bedner, Adriaan. Rebuilding the Judiciary in Indonesia: the Special Courts Strategy. In Hill, “Further Conceptualization and Practical Progress on Building Coherent and Effective Rule of Law Programmes and Strategies”, Paper Binder, pp. 157. 2008. 136
264
Rekonseptualisasi Pengadilan Pertanahan, Enrico Simanjuntak
(2) keberadaan sistem hukum seperti ini jelas memudahkan untuk bekerjanya suatu orientasi politik dan ekonomi sepihak ketimbang mendahulukan kepentingan orang banyak atau kepentingan publik secara berkeadilan; (3) perangkat administrasi untuk melayani publik yang tidak lengkap yang berakibatnya terjadinya multi tafsir terhadap penjabaran tugas, wewenang, dan proses administrasi itu sendiri; (4) sikap “berkuasa” dari aparat yang lebih dominan ketimbang melayani masyarakat (publik); (5) rendahnya inisiatif para aparat (pejabat publik) yang membuat mereka enggan untuk memperbaiki kesalahan maupun meningkatkan kualitas pelayanan dengan sendirinya; (6) lemahnya fungsi kontrol dan pengawasan serta sistem punishment and reward yang juga lemah; (7) tidak adanya keterbukaan, khususnya kepada masyarakat (publik); dan (8) organisasi pelayanan atau penyelenggara administrasi yang tidak efektif, termasuk di dalam proses koordinasi kerja internal maupun koordinasi kerja antar lembaga. Sejumlah mal administrasi yang dicirikan oleh tindakan-tindakan atau keputusan pejabat publik seperti yang disebut di atas menunjukan di dalam mekanisme pemberian pelayanan publik di bidang pertanahan tidak ada suatu standar prosedur pemberian pelayanan yang dapat dijadikan pegangan bersama, baik oleh para pelaku pemberi pelayanan itu sendiri maupun oleh publik (masyarakat) yang memperoleh pelayanan. Padahal dari “standar prosedur pemberian pelayanan” ini lah kinerja suatu organisasi pemberi pelayanan publik dapat dinilai tingkat keberhasilannya. Sejumlah ketentuan dan peraturan yang berisi prosedur-prosedur administrasi hak yang ada ternyata tidak mencukupi untuk dijadikan pedoman bagi para aparat pelaksana pemberi pelayanan administratif dalam melayani masyarakat (publik). Umumnya ketentuan-ketentuan tersebut disusun untuk lebih memenuhi pemberian justifikasi atau dasar hukum dalam bertindak dan menjalankan suatu tugas tertentu. Sehingga isinya disusun berdasarkan topik dan subyek tindakan yang memiliki implikasi hukum. Pada saat yang sama peraturan-peraturan tersebut tidak disusun dalam logika proses kerja yang dapat menjadi pedoman kerja yang terukur, baik dari segi proses maupun hasilnya.137 Dengan demikian, ini menyulitkan dalam proses kontrol kerja dan hasil yang dicapai oleh setiap posisi dalam instansi terkait. Apalagi untuk pengembangan kontrol publik terhadap kinerja pelayanan administrasi di bidang pertanahan138 Terhadap praktek maladministrasi di bidang pertanahan, selain menggunakan sarana yang internal di BPN maupun instrumen hukum lain yang terkait, sebetulnya warga masyarakat
Dalam Pasal 107 Permen Agraria 9/1999 disebutkan bahwa “Cacat hukum administratif” sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 (1) adalah : a. kesalahan prosedur; b) kesalahan penerapan peraturan perundangundangan; c) kesalahan subjek hak; d) kesalahan objek hak; e) kesalahan jenis hak; f) kesalahan perhitungan luas; g) terdapat tumpang tindih hak atas tanah; h) data yuridis atau data data fisik tidak benar;atau i) kesalahan lainnya yang bersifat administratif;.Dalam bentuknya maladministrasi pada pelayanan publik di bidang pertanahan terkait dengan sejumlah tindakan aparat yang melanggar ketentuan (hukum dan peraturan yang berlaku) (sekitar 46,2%), sewenang-wenang (18,5%), menyalahgunakan kekuasaan (10,1%), melakukan keterlambatan yang tidak perlu (7,6%), adanya keputusan yang ganjil (6,7%), adanya keputusan dan tindakan yang menyimpang (5,9%), serta adanya keputusan dan tindakan yang melanggar kepatutan (5,9%). Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa sistem administrasi pelayanan publik di bidang pertanahan telah rusak. Indikasinya adalah lebih dari 45% mal administrasi pelayanan terjadi karena para pejabat (aparat) melakukan tindakan-tindakan atau membuat keputusan-keputusan yang melanggar ketentuan atau melanggar hukum dan aturan yang ada/berlaku. Di sisi lain, ketika mal administrasi lebih banyak diakibatkan oleh tindakan atau keputusan para pejabat publik (aparat) yang melanggar ketentuan, tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan, dengan sendirinya mal administrasi itu telah menjadi suatu sistem tersendiri yang bekerja untuk kepentingan para aparatnya sendiri atau pun kepentingan sekelompok orang tertentu yang difasilitasinya ketimbang memberikan pelayanan kepada publik (masyarakat luas) secara merata dan berkeadilan. Dari sejumlah mal administrasi yang telah terjadi juga terungkap 23,3% dari kasus-kasus tersebut berhubungan dengan pelayanan informasi di bidang pertanahan. Sebagian besar (47,1%) masalah berkaitan dengan ketidaktahuan masyarakat yang kemudian diperparah oleh lembaga yang berwenang dengan memberikan informasi yang memadai. 138 http://agrarianresourcescenter.blogspot.com Diakses 16 Agustus 2013. 137
265
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 253-268
dapat menggunakan sarana UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Dalam kerangka itu, gugatan terhadap maladministrasi di bidang pertanahan dapat digugat ke Peratun. Kerawanan maladministrasi di bidang pelayanan publik pertanahan dipengaruhi juga oleh sistem pendaftaran pertanahan yang tidak mencerminkan jaminan yang seutuhnya dari negara terhadap perlindungan hak asasi manusia warga negara dalam soal hak-hak kebendaan/kepemilikan di bidang pertanahan. Sistem publikasi yang digunakan UUPA dan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah sistem negatif yang mengandung unsur positif. Secara teoritis, ciri pokok dari sistem negatif ini bahwa pejabat pertanahan bersifat pasif. Dalam pengalaman, manakala muncul sengketa, sifat pasif tersebut seolah menjadi justifikasi bagi pejabat pertanahan untuk melepaskan pertanggungjawaban hukum dan administrasi terhadap kebenaran data fisik atau yuridis yang tertuang dalam sertifikat tanah. Mereka berdalih bahwa mereka tidak wajib menelusuri kebenaran data atau keterangan yang diajukan pemohon pendaftaran tanah, mereka hanya mencatat sebatas apa yang disampaikan oleh pemohon. Justifikasi yang sebenarnya menyesatkan tersebut juga didukung oleh sejumlah doktrin yang menyatakan bahwa dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia hanya memberikan sifat ”kuat”, bukan mutlak, terhadap sertipikat sebagai alat bukti, sehingga hukum tanah nasional tidak dapat secara maksimal melindungi pemegang sertipikat. Berkaitan dengan kekuatan pembuktian yang "kuat" sertipikat hak atas tanah ini dikatakan oleh Maria SW Sumardjono139, kuat artinya “harus dianggap yang benar sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya di pengadilan dengan alat bukti yang lain”. Demikian juga yang dikatakan oleh Boedi Harsono140: “Bahwa surat-surat tanda bukti hak itu berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat berarti, bahwa keterangan-keterangan yang tercantum didalamnya (oleh hakim) sebagai keterangan yang benar, selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian yang lain yang membuktikan sebaliknya. Dalam hal yang demikian maka pengadilanlah yang akan memutuskan alat pembuktian yang benar”. Sistem pendaftaran negatif yang diatur dalam PP. 24 Tahun 1997, menurut Mohamad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis141 disebut sebagai kegiatan formalisasi, bukan legalisasi. Karena kegiatan pendaftaran tanah yang dilaksanakan oleh instansi BPN belum pada posisi pemberian jaminan kebenaran materil dari pemilikan tanah seseorang, tetapi hanya sampai pada pembenaran atau pengukuhan dari bukti formal yang disampaikan oleh pihak yang mengajukan permohonan hak atas bukti-bukti tertulis yang diterbitkan oleh pejabat yang diberi kewenangan untuk itu yang diajukan oleh pemohon sebagai bukti adanya penguasaan atau alas hak atau hubungan hukum antara orang yang bersangkutan dengan tanahnya. Peran pasif pejabat pertanahan justru menimbukan kerawanan permasalahan di bidang pertanahan, sebagaimana terbukti secara legal-empiris. Padahal proses pendaftaran tanah melewati proses panjang yang berliku, namun manakala sertipikat telah diterbitkan, dimana artinya negara memberikan pengakuan legal formal akan tetapi negara dapat menganulir produk sertipikat yang diterbitkannya tanpa kompensasi yang layak dan pertanggung-jawaban hukum yang memadai. Di sejumlah negara, pejabat pertanahan atau notaris yang melakukan kekeliruan atau pelanggaran hukum dalam proses pembuatan akta atau tanda hak atas tanah, termasuk sertipikat dapat dikenakan sanksi, bahkan sampai pencabutan lisensi (bagi notaris). Dengan dalih suatu sertipikat tidak memiliki nilai kepastian hukum yang absolut maka proses penerbitan sertipikat menjadi rentan disusupi oleh tindakan-tindakan maladministrasi. Masyarakat yang dengan itikad baik menempuh proses pendaftaran tidak terlindungi hak-hak konstitusionalnya terkait jaminan kepastian hukum, kompensasi kepada pihak yang dirugikan tidak sebanding dengan nilainya dan kerumitan prosedur hukumnya. 139
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Loc. Cit. Hal. 478. 140 Sumarjono, Maria, S.W., Puspita Serangkum Aneka masalah Hukum Agraria, Loc. Cit. 25. 141 Lubis, Mohammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2010. Hal. 208. 266
Rekonseptualisasi Pengadilan Pertanahan, Enrico Simanjuntak
Dalam perkembangannya yang ekstrim, suatu sertipikat tanah dapat menjadi sebuah sarana akrobatik hukum, seakan-akan gugatan dan pembatalan sertipikat oleh pengadilan dianggap sebagai bagian yang lumrah untuk menguji hakikat kebenaran materil dari sertipikat yang dikeluarkan oleh negara. Tidak jelas dimana pertanggung-jawaban negara terhadap suatu sertipikat yang terpaksa harus dibatalkan karena proses penerbitannya yang disertai penyimpangan atau maladministrasi. Padahal, terdapat bahasa yang berbeda antara negara dengan warga negara dalam memandang kedudukan suatu sertipikat. Negara memandang relatif kebenaran data fisik dan yuridis dalam suatu sertipikat sedangkan warga negara memandang absolut kebenaran sertipikat sebagai bukti yang sah dari tanah yang dimilikinya. Ironisnya, Naskah Akademik RUU Pertanahan nyaris tidak menyentuh problem maladministrasi bidang pertanahan ini, justru yang disorot hanya fungsi pengadilan dalam menyelesaikan pertanahan142. D. Penutup Pada akhirnya, hukum bukanlah sekadar norma-norma, tetapi juga menyangkut kelembagaan (institusi). Hukum di Indonesia ada yang diproduksi oleh otoritas negara, adat dan agama dan masingmasing sistem hukum tersebut membentuk ketentuan serta prinsip yang berbeda perihal penguasaan tanah dan kekayaan alam oleh rakyat. Di samping itu, interaksi ragam sistem norma (hukum) di atas memunculkan pula apa yang dapat kita namakan sebagai hukum-hukum persilangan atas tanah dan kekayaan alam. Bentuk hukum negara yang mengabstraksikan norma-norma hukum adat dan agama adalah suatu contoh darinya. Oleh karena itu, ide pembentukan peradilan pertanaan seyogianya memperhatikan kritik pembangunan hukum selama ini yang terlalu berorientasi kepada rules approach dan agencies approach. Pembangunan hukum bertumpu kepada rules approach dan agencies approach namun hasilnya masih menunjukan bahwa negara hukum masih lemah (the weak rule of law) karena belum mampu mendatangkan keadilan. Banyaknya peraturan dan lembaga negara tidak menyelesaikan masalah. Di sisi lain, pemaksaan pembentukan pengadilan pertanahan tanpa diikuti dengan sinkronisasi kewenangan antar peradilan akan mengakibatkan inkonsistensi sistem hukum. Daftar Pustaka AP Perlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1998. Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi Ekonomi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2010 Barnes, Richard. Property Rights and Natural Resources, Hart Publishing, Oxford and Portland, Oregon, 2009. Bedner, Adriaan. Rebuilding the Judiciary in Indonesia: the Special Courts Strategy. In Hill, “Further Conceptualization and Practical Progress on Building Coherent and Effective Rule of Law Programmes and Strategies”, Paper Binder, Sebagaimana dikemukakan berikut ini : “…Pengadilan tidak mampu memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berperkara sengketa tanah. Seringkali hakim di pengadilan yang memutus perkara tanah tidak memahami sepenuhnya tentang kasus tanah yang sedang diperkarakan, karena pembuktian alas hak tanah ini harus memiliki kemampuan khusus tentang sejarah tanah dan proses terjadinya hak atas tanah itu kepada seseorang atau badan hukum. Pembuktian alas hak atas tanah tidak bisa semata berdasarkan alat bukti yang ada, namun harus mengetahui hukum adat dan sejarah hukum tanah sejak masa kolonial Belanda hingga masa sekarang. Banyak kasus tanah dalam tipologi ini tidak dapat diselesaikan karena: 1) PTUN lebih sering tidak mengabulkan gugatan masyarakat terkait dengan penyerobotan pihak perusahaan terhadap tanah rakyat atau tanah hukum adat (tanah ulayat) meskipun sudah sangat jelas, perusahaan sering melakukan penyerobotan terhadap tanah masyarakat; 2) Pengadilan Indonesia sering tidak mengedepankan keadilan dalam memutuskan perkara pertanahan, sehingga orang cenderung tidak percaya kepada peradilan, dan bagi sebagian besar rakyat menilai bahwa sengketa tanah hanya akan memenangkan pihak yang mampu membayar pengacara. Dengan demikian masyarakat enggan mengadukan perkaranya kepada pengadilan”. 142
267
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 253-268
B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 2005. Hutagalung, Arie. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, 2005. Hutagalung, Arie Sukanti dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, Rajawali Pers, Jakarta, 2009. Hutagalung, Arie S. dkk (editor), Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, Universitas Indonesia, Universitas Groningen, Universitas Leiden, Pustaka Larasan, Denpasar, 2012. Harsono, Boedi. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2007. Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Edisi Revisi, Cetakan ke-11, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2007 Lubis, Mohammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2010. Lotulung, Paulus Effendie. Tanah dan Permasalahannya di Peradilan Tata Usaha Negara, makalah disampaikan pada Seminar yang diselenggarakan Sigma Research Insitute, 26 Maret 1996. Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991 Mertokusomo, Sudikno. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1986. Mryna A. Safitri dan Tristam Moeliono, Bernegara Hukum dan Berbagai Kuasa Dalam Urusan Agraria di Indonesia : Sebuah Pengantar. Dalam Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (Ed), Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia : Studi Tentang Tanah, Kekayaan Alam, dan Ruang di Masa Kolonial dan Desentralisasi, Huma; Van Vollenhoven Institute; KLTV, Jakarta, 2010 Mahfud MD, Moh. Kata Pengatar Dalam Buku Prof. Dr. Achmad Sodiki, Politik Hukum Agraria, Konstitusi Press, Jakarta, 2013. Koesoemahatmadja, Djenal Hoesen. Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, Jilid 2, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1990 Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Perdata, Sumur Bandung, Jakarta, 1966. Sudarsono, Pilihan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Di Peradilan Tata Usaha Negara, Dalam I Gede Dewa Atmadja, et al, Demokrasi, HAM, dan Konstitusi, Persfektif Negara Bangsa untuk Menghadirkan Keadilan, Setara Press, Malang, September 2011. Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Akar Filosofis, Genta Publishing, Yogyakarta. Setiawan, Yudhi. Instrumen Hukum Campuran (gemeenschapelijkrecht) Dalam Konsolidasi Tanah, Raja Grafindo, Jakarta, Juni 2009. Sodiki, Achmad. Politik Hukum Agraria, Konstitusi Press, Jakarta, 2013. Sumardjono, Maria S.W., Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2001. Permasalahan Dan Rekomendasi Pembaruan Peradilan Dalam Program Legislasi Nasional. Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net Teuku Mohammad Radhie (Editor), Conference On Legal Development In ASEAN Countries February 1979, Volume Two, National Law Development Agency and The Asia Foundation Jakarta. Zoelva, Hamdan. Aspek Konstitusionalitas Pengadilan Khusus di Indonesia, dalam Putih Hitam Pengadilan Khusus, Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta, 2013 http://agrarianresourcescenter.blogspot.com Diakses 16 Agustus 2013.
268
HUKUM PERDATA PROGRESIF : PERUBAHAN DAN KESINAMBUNGAN PENEMUAN HUKUM DI BIDANG HUKUM PERDATA Maskur Hidayat, SH., MH. Pengadilan Negeri Kelas IB Pamekasan Jl. P. Trunojoyo, Kotak Pos 48
[email protected]
Abstrak Hukum adalah alat supaya manusia bisa mencapai keteraturan dan keterlindungan hak-hak dasar manusia. Antara lain hak untuk hidup serta perlindungan, baik perlindungan fisik/jasmani, perlindungan kehormatan serta kesusilaan dan perlindungan terhadap hak milik atau property. Ungkapan bahwa tidak ada yang abadi kecuali perubahan niscaya juga berlaku dalam dunia hukum. Setiap saat permasalahan manusia selalu berkembang, begitu juga metode penyelesaian konflik juga harus mengikuti perkembangan permasalahan yang berkembang. Hukum menjadi media yang berada ditengah tuntutan, yaitu antara kepastian hukum dan rasa keadilan. Di sisi kepastian hukum, tuntutan supaya keadilan bisa diletakkan secara pasti lebih disisi lain rasa keadilan juga menjadi tuntutan yang mengharuskan hakim untuk memberi sentuhan personal (kasus per kasus) dalam menghadapi setiap permasalahan yang dihadapi dalam persidangan. Kata kunci : Kepastian hukum, rasa keadilan dan hukum progresif. Abstract Law is a tool that people can achieve order and the protection of basic human rights. Among others, the right to life and protection, both physical protection, protection of honor and decency and the protection of property rights or properties. The phrase that nothing is eternal except change undoubtedly also applies in the legal world. Every moment is always evolving human problems, as well as a method of conflict resolution must also keep abreast of developing issues. Became law at the center of media demands, namely the rule of law and sense of justice. On the side of the rule of law, justice demands that can be placed exactly over the other side into a sense of justice also demands that require judges to give a personal touch (case by case) in the face of any problems encountered in the trial. Keywords : rule of law, justice and progressive law.
A. Pendahuluan Konsep hukum progresif pertama kali diperkenalkan oleh almarhum Satjipto Rahardjo. Kegelisahan beliau atas praktek hukum yang mengedepankan prosedur formal positivistik yang kadang-kadang menjauhkan aktivitas peradilan dari tugas utamanya yaitu menyediakan keadilan substansial bagi masyarakat pencari keadilan. Konsep hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi tipe hukum liberal. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada hukum yang ideal dan menolak status-quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi
Hakim di Pengadilan Negeri Kelas I B Pamekasan 269
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 269-280
yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral. Konsep pemikiran tersebut ditawarkan untuk diimplementasikan dalam tataran agenda akademia dan agenda aksi.143 Kutub yang hendak dilawan oleh aliran hukum progresif adalah aliran hukum positivistic legalistic yang bermuara pada tradisi pemikiran eropa yang digagas antara lain Henri Saint Simon (1760-1825) dan Auguste Comte (1798-1857). Positivisme merupakan paham yang menuntut kebenaran lepas dari segala prasangka metafisis, jika diterapkan dalam bidang hukum maka aliran ini menginginkan hukum agar tidak lagi dikonsepsikan sebagai asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lex. Dengan kata lain hukum seharusnya terlepas dari hakikat keadilan bersifat metayuridis, hukum lebih identik dengan undang-undang atau hukum positif.144 Positifisme hukum tidak selalu bernilai negatif karena dalam positifisme terdapat hal yang juga dicari para pencari keadilan yaitu kepastian hukum. Tetapi disisi lain dengan berpegang teguh pada teks hukum positif maka sisi lain dari kebutuhan pencari keadilan yaitu rasa keadilan menjadi agak sukar untuk disajikan dalam suatu produk putusan pengadilan. Berbeda dengan aliran positivis konsep hukum progresif adalah hukum untuk manusia dan bukan sebaliknya, karena itu proses pencarian keadilan seharusnya sebuah prosedur yang ramah terhadap siapa saja baik orang yang mengerti hukum atau orang yang awam hukum. Juga bagi orang yang mempunyai kekuatan finansial sehingga bisa menyewa jasa pengacara atau orang yang secara finansial lemah sehingga tidak bisa minta bantuan jasa pengacara. Disadari bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia sebagian besar masih awam hukum, meskipun program penyuluhan hukum sudah sejak lama dilaksanakan tetapi belum semua level dan tempat sosial tersentuh oleh kesadaran pengetahuan hukum tersebut. Di tengah keterbatasan pengetahuan masyarakat mengenai prosedur dan substansi hukum ada tuntutan demi kepastian hukum supaya setiap persentuhan masyarakat dengan aparatur hukum harus selalu dilaksanakan menurut semua produk hukum positif yang berlaku. Bagi lembaga peradilan yaitu Mahkamah Agung tentunya terdapat tantangan antara keharusan untuk mengedepankan dan mempertahankan prosedur hukum dan disisi lain tuntutan masyarakat bagi tercapainya keadilan substantif harus direspon secara bijaksana. Sebelum wacana hukum progresif muncul telah lama kita kenal pola penemuan hukum yang yang berbasis pada interpretasi yang dilakukan hakim dengan metode-metode tertentu, misalnya : Interpretasi gramatikal, Interpretasi historis, Interpretasi sistematis, Interpretasi sosiologis, Interpretasi komparatif, Interpretasi futuristik, Interpretasi restriktif, Interpretasi ekstensif, Interpretasi autentik dan model-model lain. Karakteristik penemuan hukum yang progresif oleh Ahmad Rifai dikemukakan kedalam tiga model, yaitu :145 1. Metode penemuan hukum yang bersifat visioner dengan melihat permasalahan hukum tersebut untuk kepentingan jangka panjang ke depan dengan melihat case by case. 2. Metode penemuan hukum yang berani dalam melakukan suatu terobosan (rule breaking) dengan melihat dinamika masyarakat, tetapi berpedoman pada hukum, kebenaran dan keadilan serta memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya. 3. Metode penemuan hukum yang dapat membawa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan juga dapat membawa bangsa dan negara keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan sosial seperti saat ini. 143
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, cetakan I, Juli 2009, h.2. 144 Mahfud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif : Terapi Paradigmatik Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, Antonylib, Yogyakarta, h.11. 145 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, 2010,h.93. 270
Hukum Perdata Progresif : Perubahan dan Kesinambungan Penemuan Hukum Perdata, Maskur Hidayat
Kebutuhan untuk melakukan tafsir atau interpretasi hukum baik hukum acara maupun hukum materiil sebenarnya merupakan kegelisahan lama bahkan sejak hukum tertulis pertama disusun. Tidak heran bila ada pameo “Het Recht hinkt achter de feiten aan”146 atau hukum selalu ketinggalan dengan peristiwa yang diaturnya. Karena dinamika sosial yang sangat tinggi selalu diikuti masalah-masalah hukum yang selalu timbul dan berkembang. Sementara itu tidak setiap saat hukum bisa dirubah supaya bisa menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Di dalam dinamika sosial yang sangat rumit dan kompleks tersebut tentunya apabila nilai-nilai positivisme dianut secara ketat maka kompleksitas masalah hukum akan sulit untuk diurai. Mahkamah Agung sebagai garda depan yang berhadapan langsung dengan masyarakat pencari keadilan dihadapkan pada tantangan untuk memberikan yang terbaik. Produk utama dari lembaga peradilan adalah berupa putusan baik perdata maupun pidana. Aspek utama terhadap kerja dan kinerja Mahkamah Agung tentu tercermin pada putusan yang berkualitas. Demikian juga harapan serta kritik dari masyarakat tentunya juga bersumber dari putusan-putusan Mahkamah Agung. Kritik terhadap kinerja Mahkamah Agung yang cukup mengemuka antara lain dikemukakan oleh Jimly Assiddiqie yang pada pokoknya berpendapat bahwa putusan di Mahkamah Agung membuktikan orientasi penegak hukum, khususnya hakim lebih berorientasi pada penegakan peraturan ketimbang penegakan keadilan.147 Kritik yang disampaikan Jimly Assidiqie tersebut tidak sendirian, banyak kita jumpai kritik dari berbagai pihak terhadap kinerja Mahkamah Agung khususnya terhadap putusan-putusan yang dianggap belum bisa menyajikan keadilan dalam masyarakat. Kritik tersebut bisa digunakan sebagai pemacu supaya jajaran hakim di lingkungan Mahkamah Agung bisa lebih meningkatkan kualitas serta profesionalitas. Tidak ada salahnya bila setiap jenis kritik diterima dengan tangan terbuka dan dimanfaatkan untuk mencari kekurangan sambil membenahi diri untuk menjadi lebih baik. Terkait dengan kritikan mengenai kualitas putusan yang dianggap lebih kearah penegakan peraturan daripada penegakan keadilan. Dengan inventarisasi putusan-putusan yang tidak berkarakter “penegakan peraturan” sebagaimana dikemukakan Jimly Assiddiqie tersebut, setidaknya akan diketahui sisi lain dari putusan Mahkamah Agung yang perlu diketahui khalayak. Tulisan ini akan menelusuri putusan-putusan yang sifatnya progresif. Sifat progresif sebagaimana karakter yang dikemukakan Ahmad Rifai yaitu : bersifat visioner, berani dalam melakukan suatu terobosan dan membawa kesejahteraan. Penulis akan menginventarisir serta menelaah kaidah putusan-putusan perdata yang sifatnya berupa pembaruan terhadap asas atau pengertian-pengertian yang sudah baku. Tentu hanya terhadap putusan progresif yang sudah berkekuatan hukum tetap saja yang menjadi bahan telaahan dan kajian dalam penelitian ini. Sebagaimana dinyatakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa dalam hukum progresif terdapat dua hal yang mendasar yaitu agenda akademia dan agenda aksi.148 Dalam alur agenda akademia bisa ditelurusi dari pemikiran Satjipto Rahardjo serta kemudian juga didukung serta dikembangkan oleh para pengikutnya yang terkenal dengan sebutan kaum “Tjipian” (pengikut Satjipto Rahardjo). Penelitian ini akan berada pada langkah penelusuran agenda aksi, yaitu menginventarisir serta mengkaji putusan-putusan yang bersifat progresif. Supaya bisa diketahui sejauh mana perkembangan hukum progresif dalam konteks agenda aksi. Dari situ juga akan terlihat peranan Mahkamah Agung terhadap perkembangan hukum progresif melalui inventarisasi serta telaah terhadap putusan-putusan pengadilan. 146
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H, Beberapa Azas Pembuktian Perdata dan Penerapannya Dalam Praktek (Pidato pengukuhan jabatan guru besar pada Fakultas hukum UGM), Liberty, Yogyakarta, 1980, h.3. 147 lihat di www.hukumonline.com Kamis, tanggal 02 Pebruari 2012 dengan judul berita “Hakim Diminta Perhatikan Rasa Keadilan Masyarakat”. 148 Satjipto Rahardjo, ibid. 271
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 269-280
B. Permasalahan Berdasarkan uraian-uraian tersebut maka hal-hal yang hendak dikaji lebih lanjut dalam tulisan ini adalah : 1. Perkembangan yurisprudensi hukum perdata yang bersifat pembaruan hukum. 2. Sifat dan karakter progresif dalam putusan-putusan perdata (putusan tentang perkembangan konsep ultra petita, perkembangan nilai pembuktian bukti surat, perkembangan konsep hukum waris adat serta mengenai intervensi terhadap hal-hal yang diperjanjikan). C. Pembaruan Hukum Perdata Melalui Putusan Pengadilan Manusia sebagai makhluk hidup masing-masing mempunyai kebutuhan dan kepentingan yang beragam. Kebutuhan hidup tersebut bisa dipenuhi dengan cara berhubungan atau berinteraksi antara manusia yang satu dengan yang lain. Hubungan tersebut bersifat hubungan timbal balik atau hubungan yang saling membutuhkan. Atau hubungan yang bersifat kontraktuil yaitu masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban ketika bertemu dengan pihak lain. Hubungan hukum adalah obyek hukum yang diatur dan diberi akibat oleh hukum. Karena terjadi antara pribadi yang satu dengan pribadi yang lain, maka hubungan itu disebut hubungan hukum perdata (Verbintenis).149 Di dalam hukum perdata semua peraturan yang memuat hak dan kewajiban disebut hukum material (substantive law) atau lazim disebut sebagai hukum perdata. Hukum perdata meliputi hal-hal antara lain yaitu : 1. Hukum tentang diri seseorang, memuat tentang peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu. 2. Hukum Kekeluargaan, mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan. 3. Hukum Kekayaan, mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan. 4. Hukum warisan, mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Sedangkan apabila ada masalah atau sengketa antara manusia atau subyek hukum harus diselesaikan dengan cara yang diatur dalam hukum acara perdata (civil procedure law) yang meliputi Pada dasarnya hukum acara perdata dilengkapi dengan asas-asas pokok antara lain yaitu : hakim bersifat menunggu, hakim pasif, sifat terbukanya persidangan, mendengar kedua belah pihak, putusan harus disertai alasan-alasan, beracara dikenakan biaya dan tidak ada keharusan mewakilkan. Secara lebih mendetail sifat acara perdata diatur dan ditentukan dalam HIR dan RBG. Kebanyakan diskursus tentang perkembangan hukum progresif selalu mengarah pada wilayah hukum pidana. Karena memang wilayah hukum pidana sifatnya adalah hukum publik yang menyangkut kepentingan dan ketentraman umum (publik). Karena itu banyak-banyak masalah terkait hukum pidana yang mendapat perhatian dari masyarakat. Wilayah hukum pidana memang lebih banyak menjadi kajian dalam diskusi ilmu hukum. Termasuk pula kajian mengenai hukum progresif juga lebih cenderung kepada pembahasan dalam wilayah hukum pidana. Sedangkan pada wilayah hukum perdata karena sifatnya adalah hukum privat/persoon recht maka sifatnya lebih sunyi dan tidak terlalu menjadi perhatian masyarakat. Karena seolah-olah wilayah hukum perdata adalah hanya seputar masalah yang terjadi antara orang-orang untuk alasan-alasan komersial atau bisnis. Padahal kenyataannya wilayah hukum perdata juga menyangkut nasib 149
Prof. Abdul Kadir Muhammad, SH, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h.14. 272
Hukum Perdata Progresif : Perubahan dan Kesinambungan Penemuan Hukum Perdata, Maskur Hidayat
masyarakat banyak yang sebagian besar juga rakyat kecil yang kurang mempunyai kemampuan baik finansial maupun pengetahuan hukum yang memadai. Apabila tidak ada perhatian dari negara maka dikhawatirkan banyak rakyat yang kehilangan hak hanya karena tidak punya pengetahuan hukum yang memadai serta tidak mampu membayar pengacara untuk mempertahankan atau memperjuangkan hakhaknya. Perkara-perkara misalnya janda yang harus kehilangan tanah satu-satunya karena direbut oleh keluarga suami, atau masyarakat yang harus kehilangan rumah dan sawah karena diatas tanah yang sudah lama mereka tinggali tiba-tiba ada bukti hak (misalnya sertifikat) atas nama orang lain. Hal tersebut adalah contoh-contoh ketika masyarakat dihadapkan dengan masalah di bidang perdata. Hal-hal tersebut adalah fenomena yang relatif sunyi dari pemberitaan media massa. Tetapi realitas-realitas tersebut kerap ditemukan di lembaga peradilan di Indonesia. C.1 Putusan-Putusan Progresif. Proses peradilan yang dilaksanakan Mahkamah Agung khususnya di bidang hukum perdata membutuhkan rangkaian-rangkaian hukum lain untuk memastikan keberlangsungan hukum materiil perdata. Hukum acara perdata diperuntukkan untuk menjamin ditaatinya hukum materiil perdata dan tertib beracara. Ketentuan hukum acara perdata pada umumnya tidak membebani hak dan kewajiban seperti yang kita jumpai dalam hukum materiil perdata, tetapi melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah hukum materiil perdata yang ada, atau melindungi hak perseorangan.150 Secara lebih konkrit hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari sebuah putusan. Hukum acara dipertahankan dan dilaksanakan supaya pengadilan tidak menjadi lembaga yang bisa secara sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya untuk memeriksa dan mengadili sehingga hal tindakan main hakim sendiri (Eigenrichting) atau kesewenang-wenangan bisa dicegah. Pemberlakuan hukum acara tujuannya adalah untuk kebaikan pencari keadilan dan kepastian hukum yang dijaga oleh lembaga peradilan itu sendiri. Tetapi tentunya disisi lain sebagaimana sebuah “peribahasa tidak ada yang kekal kecuali perubahan itu sendiri”. Maka seiring dengan perubahan masa serta perbedaan pemahaman dan kemampuan hukum para pencari keadilan kadang-kadang apabila hukum acara dipegang teguh oleh lembaga peradilan maka justru tujuan dari dibuatnya hukum acara yaitu untuk melindungi pihak pencarai keadilan justru tidak tercapai. Menurut Hans Kelsen pengadilan dapat diberi wewenang melalui putusannya untuk tidak hanya menciptakan norma individual yang bersifat mengikat untuk kasus yang sedang ditangani, namun juga norma umum. Ini terjadi ketika putusan pengadilan menjadi preseden, yakni ketika putusan atas suatu perkara menjadi pedoman bagi putusan atas perkara serupa dimasa selanjutnya. Putusan pengadilan memiliki karakter preseden bila muatan norma individual yang diciptakan oleh putusan itu tidak ditetapkan oleh norma umum undang-undang atau hukum adat.151 Peluang bagi pengadilan melalui putusan hakim untuk membuat putusan yang bersifat individual atau tidak mengikuti konsep baku cukup terbuka. Sifat individual suatu putusan yang terkait dengan karakteristik suatu perkara tertentu memungkinkan hakim untuk menuangkan gagasan ilmiah kedalam putusannya. Ketika kondisi pencapaian menuju suatu putusan yang berkeadilan mengharuskan konsep-konsep baku dirubah atau dipakai (dalam perkara tertentu) maka pada saat itu pada dasarnya telah terjadi pembaruan hukum. Kemudian dimasa yang akan datang putusan yang tidak memakai konsep baku tersebut diikuti oleh hakim-hakim dalam putusan yang sebangun maka putusan tersebut menjadi yurisprudensi. Karakter-karakter putusan yang mendobrak nilai baku tersebut adalah putusan yang bersifat progresif. 150 151
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993, h.2 Hans kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa Media, Bandung, 2013, h.275. 273
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 269-280
Sejarah hukum Indonesia mencatat beberapa perubahan atau perkembangan mendasar yang dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui putusan pengadilan terkait hukum acara dan hukum materiil di wilayah hukum perdata di Indonesia, antara lain adalah : C.1.1. Perkembangan Konsep Ultra Petita. Pada dasarnya dalam hukum perdata berlaku asas iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur atau hakim hanya menentukan adakah hal-hal yang diajukan dan dibuktikan para pemohon atau penggugat. Hal tersebut juga diatur dalam pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement serta dalam pasal 189 ayat (2) dan (3) RBG yaitu “ia (hakim) dilarang akan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tiada dituntut, atau akan meluluskan lebih daripada yang dituntut”. Putusan yang sifatnya ultra petita dianggap sebagai tindakan yang melampaui kewenangan karena hakim memutus tidak sesuai dengan yang dimohon (petitum). Putusan yang tidak sesuai dengan petitum dianggap putusan yang ultra vires dan harus dinyatakan cacat meskipun putusan tersebut dilandasi oleh I’tikad baik maupun telah sesuai kepentingan umum. Tujuan dari larangan putusan yang ultra petita tersebut tentunya adalah cukup positif yaitu supaya hakim tidak berlaku sewenang-wenang dengan mengadili sesuai kemauan hakim sendiri padahal patokan atau batasan persidangan perdata adalah surat gugatan sebagaimana peradilan pidana juga dibatasi oleh surat dakwaan. Terhadap ketentuan tersebut faham yang berbeda yang pertama adalah yang mempertahankan ketentuan tersebut yaitu tidak akan memutuskan diluar apa dituntut, jadi isi amar putusan hanya sesuai dengan isi petitum gugatan tidak kurang dan tidak lebih. Faham ini bisa terbaca dalam Putusan MA No.339 K/Sip/1969 tanggal 21 Februari 1970, Putusan MA No.1001 K/Sip/1972, Putusan MA No.77 K/Sip/1973. Lebih lanjut larangan ultra petita diterangkan Mahkamah Agung sebagaimana dalam putusan Mahkamah Agung yaitu tindakan hakim yang mengabulkan sebagian petitum primair dan sebagian lagi petitum subsidair dianggap tindakan yang melampaui batas wewenang, oleh karena itu tidak dibenarkan (Putusan MA No.882 K/Sip/1974. Hakim tidak dibenarkan menggunakan kebebasan cara mengadili dengan jalan mengabulkan petitum primair atau mengambil sebagian dari petitum subsidair. Apalagi mengabulkan sesuatu yang sama sekali tidak diajukan dalam petitum nyata-nyata melanggar asas ultra petitum, karena itu harus dibatalkan (Putusan MA No.77 K/Sip/1973. Begitu juga putusan pengadilan yang didasarkan atas pertimbangan yang menyimpang dari dasar gugatan (Putusan MA No.372 K/Sip/1970). Tetapi tentu saja apabila ketentuan larangan ultra petita diberlakukan atau dilaksanakan secara ketat maka akan banyak masyarakat pencari keadilan yang karena kurangnya pemahaman mengenai hukum, tidak bisa membuat gugatan secara sistematis, disisi lain tidak punya dana untuk bisa membayar kuasa hukum maka kepentingannya dirugikan. Karena masih banyak kita jumpai masyarakat yang membuat sendiri gugatannya. Yang karena minimnya pengetahuan mengenai syarat dan tatacara pembuatan gugatan maka gugatan menjadi tidak memenuhi syarat formal atau tidak dibuat dengan bahasa yang sistematis. Sehingga mengakibatkan misalnya gugatan dikabulkan tetapi sulit untuk dilaksanakan atau dieksekusi karena dalam petitum tidak lengkap atau tidak jelas. Atau bisa juga dasar gugatan dengan petitum tidak sesuai sehingga apa yang sebenarnya ingin dituntut tidak tergambar secara sempurna dalam petitum. Karena itu Mahkamah Agung melakukan terobosan substantif dalam wilayah larangan ultra petita yaitu dalam putusan MA No.140 K/Sip/1971 yang membenarkan dikeluarkannya putusan yang sifatnya ultra petita yaitu dengan syarat harus ‘masih dalam kerangka yang serasi dengan inti gugatan”.
274
Hukum Perdata Progresif : Perubahan dan Kesinambungan Penemuan Hukum Perdata, Maskur Hidayat
Selain Yurisprudensi tersebut diatas Mahkamah Agung dalam putusan No.556 K/Sip/1971 tanggal 8 Januari 1972 dimana hakim memutuskan mengabulkan gugatan yang melebihi permintaan dengan syarat yaitu harus “masih sesuai dengan kejadian materiil”. Juga dalam putusan MA No.1097 K/Pdt/2009 yang membolehkan putusan yang sifatnya Ultra Petita yang meskipun tidak secara jelas disebutkan dalam petitum dalam perkara a quo tetapi dalam gugatan memuat petitum subsider serta diperlukan guna efektifitas putusan. Dari beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut maka Mahkamah Agung telah mengisi kekosongan hukum yaitu memberikan batasan yang lebih moderat tanpa harus beranjak jauh dari aturan pokok tentang ultra petita. Sehingga kesewenang-wenangan hakim dalam memutus perkara perdata tetap suatu hal yang terlarang sementara itu disisi lain hal-hal yang sifatnya substansial tidak boleh terlewatkan hanya karena hal-hal misalnya ketidaksempurnaan gugatan. C.1.2. Perkembangan Nilai Bukti Surat Dalam Hukum Acara Perdata. Pada dasarnya setiap bukti surat yang diajukan untuk pembuktian atau sangkalan dalam persidangan perdata harus dilandasi atau dilengkapi dengan surat aslinya. Apabila suatu bukti surat diserahkan dipengadilan tanpa dilengkapi dengan surat aslinya maka bukti surat tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Hal itu diatur dalam pasal 301 RBG yang berbunyi : 1. Kekuatan bukti suatu surat terletak dalam akte yang asli. 2. Jika akte yang asli itu ada, maka turunan dan ringkasannya hanya dapat dipercayai bilamana sesuai dengan yang asli, yang selalu dapat diperintahkan untuk ditunjukkan. Juga dalam pasal 1888 BW : “Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekedar salinan serta ikhtisar ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya”. Konsep dasar nilai pembuktian surat tersebut sangat jelas dan sederhana, yaitu kalau ada aslinya dan bisa ditunjukkan di persidangan maka dianggap mempunyai kekuatan pembuktian dan bila tidak ada aslinya hanya menunjukkan fotocopynya saja maka dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian. Masalah-masalah yang kadang-kadang dihadapi dalam praktek persidangan adalah kadangkadang di daerah-daerah pelosok terpencil penyimpanan surat-surat dilakukan dengan tidak secara hati-hati sehingga yang tertinggal hanya fotocopynya saja sedangkan aslinya hilang entah kemana. Atau kadang-kadang juga bukti surat yang dipegang penggugat hanya fotocopynya saja dan aslinya malah di pegang pihak lawan atau tergugat. Bisa juga surat asli ada tetapi karena tidak disimpan dengan hati-hati maka kondisinya rusak karena faktor misalnya kertas lapuk, dimakan rayap, terkena air sehingga kondisi surat pada saat diajukan ke persidangan sudah dalam keadaan sulit untuk dibaca. Dalam hal-hal tersebut maka kalau teks hukum acara dipegang teguh tanpa ada usaha interpretasi teks secara lebih substantif maka akan banyak orang/pihak (terutama masyarakat kecil) akan kehilangan kesempatan untuk membuktikan dalil gugatan atau mengajukan dalil bantahan di persidangan. Karena itu Mahkamah Agung secara tersirat berpendapat bahwa dalam beberapa aspek hukum acara dan materiil terjadi hal sebagaimana yang dikatakaan oleh Hans Kelsen yaitu “Kekosongan teknis dikatakan ada ketika pembuatan undang-undang gagal mengatur sesuatu yang harus ia atur sehingga aplikasi undang-undang memungkinkan secara teknik”152 Ketika terjadi kekosongan tersebut maka dibutuhkan sikap cepat sekaligus terukur dengan syarat-syarat antara lain
152
Hans Kelsen, Introduction To The Problemas of Legal Theory/Pengantar Teori Hukum, Nusamedia, 2010, h.133. 275
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 269-280
yaitu tidak boleh bertentangan dengan asas-asas pokok hukum itu sendiri serta tidak merugikan hakhak subyektif para pencari keadilan. Karena itu karena dalam praktek hukum cukup kerap ditemui pengajuan bukti surat yang tanpa bisa diajukan aslinya sementara materi bukti surat tersebut dibenarkan atau diketahui oleh saksisaksi dalam jumlah yang cukup maka Mahkamah Agung memberikan petunjuk melalui Yurisprudensi MA No.410 K/Pdt/2004 tanggal 25 April 2005 dengan Ketua Majelis Bagir Manan dan anggota H. Abdul Kadir Mappong dan Marianna Sutadi memberikan petunjuk yaitu “suatu surat berupa fotocopy yang diajukan dipersidangan pengadilan sebagai bukti oleh salah satu fihak, baik penggugat maupun tergugat, walaupun tidak dapat diperlihatkan surat aslinya dipersidangan namun karena fotocopy surat tersebut telah diakui dan dibenarkan oleh fihak lawan maka fotocopy surat-surat tersebut dapat diterima sebagai bukti surat yang sah didalam persidangan. Jadi apabila suatu bukti surat diajukan tanpa aslinya di persidangan perdata maka apabila apa yang tertera atau tertulis didalamnya dikuatkan atau diterangkan oleh saksi-saksi dalam jumlah yang cukup maka surat yang diajukan tanpa aslinya tersebut bisa dinyatakan mempunyai nilai pembuktian. Dan boleh dipertimbangkan dalam putusan perdata. C.1.3. Perkembangan Bidang Hukum Waris Adat (Suku Batak Karo, Suku Sasak Dan Suku Rote) Sebagai sebuah negara besar dengan wilayah yang membentang dari Sabang sampai merauke maka pluralitas yang ada di Indonesia bukan hanya bahasa dan adat istiadat tetapi juga pluralitas hukum waris. Setiap persekutuan masyarakat adat di Indonesia misalnya Melayu, Jawa, Batak, Bali, Sasak, Gayo, Dayak dan lain-lain mempunyai ciri dan cara yang berbeda dalam cara pembagian waris menurut hukum adat mereka masing-masing. Beberapa putusan revolusiner yang dibuat oleh Mahkamah Agung melalui putusan-putusan terkait hukum waris adat telah membuat torehan tinta emas dalam perkembangan yurisprudensi di Indonesia, antara lain yaitu :
Putusan Perkara Sengketa Waris Dalam Wilayah Adat Batak Karo. Beberapa suku di Indonesia mempunyai ciri khas dalam pola pembagian waris, terutama yang memakai sistem patrilineal biasanya memberikan privilege lebih kepada anak laki-laki dalam hal pembagian waris. Misalnya menurut Hukum Adat Batak Karo di Sumatera Utara pada waktu itu, harta warisan hanya diberikan kepada anak laki-laki sesuai dengan tipologi masyarakat patrilineal yang dianut. Mahkamah Agung Indonesia pernah memutuskan suatu perkara waris berdasarkan hukum adat Batak Karo di Sumatera Utara yang menganut garis keturunan patrilineal, dalam perkara Sitepu v. Ginting (1961). Dengan alasan-alasan bahwa Menurut Mahkamah Agung Indonesia (Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 179/Sip/1961, tanggal 1-11-1961), berdasarkan rasa perikemanusian dan keadilan umum atas hakekat persamaan hak antara wanita dan pria sebagai hukum yang hidup di Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan bersama-sama berhak atas harta warisan, dalam arti, bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan, maka juga di tanah Karo seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahli waris yang berhak menerima bagian atas harta warisan dari orang tuanya. Putusan Mahkamah Agung ini merupakan hal baru bagi masyarakat Batak Karo di Sumatera Utara, namun mendapat sambutan hangat dari kaum wanita masyarakat tersebut. Putusan ini dianggap sebagai tonggak bersejarah dalam
276
Hukum Perdata Progresif : Perubahan dan Kesinambungan Penemuan Hukum Perdata, Maskur Hidayat
proses pencapaian persamaan hak antara kaum wanita dan kaum pria. Dengan putusan ini Mahkamah Agung telah membuat yurisprudensi baru dalam soal warisan di Tapanuli (Sumatera Utara).153
Putusan Perkara Waris Dalam Wilayah Adat Suku Sasak Putusan terkait waris adat menurut hukum adat Batak Karo tersebut juga di ikuti dengan putusan lain Mahkamah Agung terkait hukum adat suku Sasak di pulau Lombok Nusa Tenggara Barat. Dalam tradisi waris adat sasak wanita bukan ahli waris karena mengikuti sistem kekeluargaan patrilineal. Wanita tidak berhak mewarisi harta pusaka. Yang boleh diberi untuk ahli waris wanita hanya harta pesangu yaitu berupa perhiasan dan kebutuhan sehari-hari. Putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tetap telah telah menjatuhkan putusan yang sangat progresif, yaitu mengakui hak wanita sebagai ahli waris dan mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki. Dalam perkara Inaq Supar et.al. v. Amaq Mali et.al. (1976), Makamah Agung Indonesia kembali menyatakan bahwa perempuan adalah ahli waris dari orang tuanya almarhum. Dalam perkara ini Inaq Supar (wanita) dan Inaq Kamar (wanita) tinggal di Desa Peresak, Kecamatan Narmada, Lombok Barat telah mengajukan gugatan kepada Amaq Mali (laki-laki), Amaq Sani (laki-laki), Amaq Su (laki-laki), dan Amaq Mulinah (laki-laki).154 Duduk perkaranya adalah Amaq Siti (laki-laki) telah meninggal dunia dan bersaudara kandung dengan Amaq Ipah (laki-laki) dan bersaudara sepupu dengan Amaq Radiah. Kakek penggugat telah meninggalkan harta warisan berupa tanah sawah sejumlah 1,060 ha yang dikuasai oleh tergugat I dan tanah kebun jumlahnya 1,225 ha yang dikuasai oleh tergugat II, tergugat III, dan tergugat IV. Penggugat telah meminta bagian dari tanah-tanah itu dengan baik-baik tetapi tidak dikabulkan. Pengadilan Negeri Mataram dalam pertimbangan hukumnya, antara lain menyatakan, bahwa terhadap suku Sasak di Lombok Barat berdasarkan Yurisprudensi maupun kenyataan hukum adat yang masih hidup menjadi dasar penyelesaian sengketa waris-mewaris. Bahwa menurut Hukum Adat sekarang ini, diakui bahwa anak perempuan adalah ahli waris. Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat tentang Hukum Adat Waris di Lombok Barat bulan Pebruari 1974. (dalam Erman Rajagukguk, Pluralisme Hukum Waris : Studi Kasus Hak Wanita Di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat). Putusan lainnya yaitu Putusan PN Selong No.164/1982/Pdt tanggal 27 Desember 1982 jo Putusan PT Mataram No.17/Pdt/1984 tanggal 26 Maret 1983 jo Putusan MARI No.2662 K/Pdt/1984 tanggal 30 Nopember 1985. Dalam putusan tersebut pengadilan mengabulkan gugatan penggugat dengan menetapkan bahwa para penggugat (anak perempuan) dan para tergugat (anak laki-laki) adalah ahli waris yang sah dari almarhum Amaq Seniah dan bersama-sama berhak mewaris tanah sawah sengketa yang merupakan harta peninggalan almarhum ayahnya tersebut. Pertimbangan pengadilan dalam memutus perkara tersebut adalah : - Bahwa masyarakat adat sasak di Lombok telah mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat, serbagai jabatan dan profesi telah diisi oleh kaum wanita suku sasak. - Bahwa hukum adat waris yang tradisional telah usang ketinggalan jaman tidak sesuai lagi dengan kebutuhan zaman modern-tidak sesuai dengan rasa keadilan hukum dari masyrakat yang bersangkutan. - Bahwa hasil penelitian Fakultas Hukum Universitas Mataram 1979 ternyata pada masyarakat adat sasak di Lombok Timur telah terjadi pergeseran nilai dalam hukum adat waris tentang kedudukan anak perempuan, yang semula anak perempuan bukan ahli waris dan tidak berhak mewaris tanah sawah, melainkan hanya berhak atas barang bergerak ; perhiasan saja (pesangu)
153
Dalam Erman Rajagukguk, Pluralisme Hukum Waris : Studi Kasus Hak Wanita Di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat (Makalah). 154 Putusan Pengadilan Negeri Mataram, No. 049/PN.Mtr/Pdt/1970, tanggal 27 Desember 1976. 277
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 269-280
; sekarang telah berkembang kearah mengakui kedudukan anak perempuan sebagai ahli waris yang berhak mewaris harta peninggalan orangtuanya bersama-sama dengan saudara-saudara laki-lakinya.155 • Putusan Sengketa Waris Dalam Wilayah Adat Suku Rote Di wilayah berlakunya hukum adat suku Rote Nusa Tenggara Timur juga berlaku sistem kewarisan patrilineal murni, yaitu hanya anak laki-laki saja yang berhak bertindak sebagai ahli waris. Sedangkan posisi anak perempuan bukan termasuk sebagai ahli waris yang diperbolehkan mendapat harta peninggalan dari orang tua. Didalam putusan Nomor 1048 K/Pdt/2012 Mahkamah Agung memberikan acuan baru bahwa berlakunya hukum adat (dalam perkara waris) yang bersifat patrilineal di Rote Ndao Nusa Tenggara Timur dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum masyarakat dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Dalam pertimbangan putusan tersebut di nyatakan bahwa judex facti yang membatalkan putusan PN Rote Ndao salah dalam menerapkan hukum karena pertimbangan Pengadilan Tinggi Kupang tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku yaitu pasal 17 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.179 K/Sip/1961 tanggal 11 November 1961 yang menyatakan bahwa hak waris perempuan disamakan dengan laki-laki. Artinya hukum adat yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan kedudukan laki-laki, tidak dapat lagi dipertahankan.156 C.1.4. Intervensi Pengadilan Terhadap Hal Yang Diperjanjikan Dalam hukum perdata dikenal asas kebebasan berkontrak, asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undangundang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt). Asas kebebasan berkontrak bersumber dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak yang membuatnya untuk: 1. Membuat atau tidak membuat perjanjian ; 2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun ; 3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya ; 4. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan. Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang lahir pada zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah (juga Negara) sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Jadi ketika para pihak sudah bersepakat untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu maka hal tersebut harus ditaati para pihak yang membuatnya sebagaimana
155
Ali Budiarto, Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung Tentang Hukum Waris, Penerbit Ikatan Hakim Indonesia, h.15. 156 Yurisprudensi Putusan Penting (Landmark Decision) Tahun 2012 dan tahun 2013, MARI, 2013, h.97. 278
Hukum Perdata Progresif : Perubahan dan Kesinambungan Penemuan Hukum Perdata, Maskur Hidayat
berlakunya suatu undang-undang. Tetapi bisa saja karena ketidakseimbangan kedudukan para pihak maka perjanjian atau kontrak klausul-klausulnya merugikan salah satu pihak. Terhadap perjanjian atau kontrak yang meskipun telah disepakati oleh para pihak tetapi karena dianggap bertentangan dengan perikemanusiaan dan keadilan Mahkamah Agung memberi pendapat melalui putusan di tingkat kasasi bahwa meskipun para pihak berhak untuk menentukan klausulkalusul perjanjian yang disepakati tetapi ketika ada klausul yang memberatkan atau merugikan salah satu pihak serta bertentangan dengan kepatutan maka harus diubah menjadi klausul yang seimbang serta adil bagi para pihak. Di dalam putusan Mahkamah Agung No.1253K/Sip/1973 tanggal 14 Oktober 1976, meskipun para pihak telah menyetujui untuk membayar bunga sebesar 20% tetapi karena dianggap bertentangan dengan perikemanusiaan dan keadilan Mahkamah Agung berpendapat bunga yang patut adalah sebesar 3% perbulan sesuai dengan bunga pinjaman pada bank-bank Negara pada saat perjanjian berlangsung. Dalam putusan perkara perdata tersebut Mahkamah Agung telah melakukan intervensi dengan cara merubah apa yang telah disepakati atau diperjanjikan para pihak. D. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian tersebut maka beberapa hal yang bisa menjadi intisari atau kesimpulan dari pembahasan terkait perkembangan putusan perdata yang bersifat progresif di Mahkamah Agung, adalah : - Pembaruan di bidang hukum harus tetap berpijak pada beberapa hal yaitu asas hukum, kebutuhan mempertahankan hukum acara, tidak merugikan hak-hak subyektif para pencari keadilan dan bertujuan untuk memberikan keadilan substantif. - Sikap Mahkamah Agung terhadap masalah-masalah hukum konkret tersebut diatas merupakan bukti bahwa Mahkamah Agung tidak menganut positivisme hukum yang secara kaku menerapkan dogma-dogma hukum tanpa kompromi. Terhadap kebutuhan-kebutuhan penegakan hukum yang membutuhkan ruang tafsir serta interpretasi maka Mahkamah Agung secara terukur telah bisa menjalankan fungsi yang seimbang antara segi kepastian dan manfaat hukum. - Hal tersebut merupakan cermin progresifitas Mahkamah Agung untuk merespon perubahan sosial yang sangat dinamis dalam masyarakat. Sikap tersebut sejalan dengan konsep hukum progresif yang menolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi yang kaku dan positivistik. - Putusan-putusan progresif bisa ditemukan pada tahun-tahun ketika wacana hukum progresif belum lahir (putusan-putusan tahun 60-an dan tahun 70-an). - Dengan putusan-putusan yang progresif tersebut diharapkan terdapat kesinambungan yang memastikan bahwa nilai-nilai dasar tetap diterapkan, disisi lain ketika menghadapi hal-hal yang mengharuskan untuk memakai tindakan dan nalar progresif maka para hakim tidak segan untuk bernalar dan bertindak secara progresif. E. Saran Bagi profesi hakim putusan adalah laksana mahkota, artinya titik temu kerja mencari fakta serta proses dialektika narasi ilmiah dalam persidangan muaranya adalah pada putusan. Untuk menjamin kesinambungan lahirnya putusan-putusan yang progresif dan berkualitas maka iklim kebebasan hakim perlu selalu dijaga. Karena hanya dalam iklim peradilan yang bebas dan independen bisa dilahirkan putusan-putusan yang bisa menjadi preseden. Pokok-pokok putusan dalam Yurisprudensi yang dibuat pada masa terdahulu adalah contoh bahwa pada masanya para hakim telah berfikir dan bertindak progresif. Dengan semangat yang sama tradisi non positivistik tersebut perlu dilanjutkan. Tradisi dan yurisprudensi lama patut kita lestarikan pada saat yang sama progresifitas putusan juga harus dibangun. Diharapkan akan lahir yurisprudensi279
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 269-280
yurisprudensi baru yang akan semakin mendekatkan putusan-putusan MA dengan keadilan substansial yang didambakan masyarakat.
Daftar Pustaka Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, 2010. Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa Media, Bandung, 2013 J, Djohansyah, Reformasi Mahkamah Agung : Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, Kesaint Blanc, Bekasi, 2008. J.W. Harris, Law And Legal Science : An Inquiry Into The Concepts Legal Rule And Legal System, Clarendon Press Oxford, 1982. Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial (penerjemah M. Chozin), Bandung 2009. Moh Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, 2011. Mahfud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif : Terapi Paradigmatik Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, Antonylib, Yogyakarta. Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia : Kompilasi Hukum Islam Dan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam Dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, Penerbit Marja, Bandung, 2014. Paulus Effendie Lotulung, Kebebasan Hakim Dalam Sistem Penegakan Hukum, (Makalah disampaikan dalam seminar hukum nasional VIII yang diselenggarakan oleh badan pembinaan hukum nasional di Denpasar pada tanggal 14-18 Juli 2003). Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, 2009. Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, genta Publishing, 2010. Sudikno Mertokusumo, Beberapa Azas Pembuktian Perdata Dan Penerapannya Dalam Praktek (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum UGM), Liberty Yogyakarta, 1980. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993. Hans Kelsen, Introduction To The Problemas Of Legal Theory, Nusamedia, 2010. Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara Dalam Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 1969-2001, Mahkamah Agung RI 2002. Yurisprudensi Putusan Penting (Landmark Decision) Tahun 2012 dan tahun 2013, Mahkamah Agung RI, 2013. PUTUSAN-PUTUSAN Putusan MA No.179 K/Sip/1961. Putusan MA No.339 K/Sip/1969. Putusan MA No.372 K/Sip/1970. Putusan MA No.1001 K/Sip/1972. Putusan MA No.77 K/Sip/1973. Putusan MA No.882 K/ Sip/1974. Putusan PN Mataram No.049/PN.Mtr/Pdt/1970. Putusan MA No.1253K/Sip/1973. Putusan PN Selong No.164/1982/Pdt jo Putusan PT Mataram No.17/Pdt/1984 jo Putusan MARI No.2662 K/Pd/1984. 280
STRUKTUR REGULASI INDEPENDENSI OTORITAS JASA KEUANGAN * Bismar Nasution Universitas Sumatera Utara
[email protected]
Abstrak Struktur regulasi yang tidak indepeden dalam sektor jasa keuangan telah mengakibatkan kondisi perekonomian yang sangat buruk pada beberapa Negara pada tahun 1990-an. Belajar dari pengalaman tersebut, maka keberadaan OJK di Indonesia harus didukung oleh adanya struktur regulasi yang independen, sehingga tujuan dari dibentuknya OJK dapat diwujudkan. Keberadaan struktur regulasi yang independen tersebut dapat diukur dari independensi OJK dari segi regulasi, pengawasan, institusi dan independensi dari segi pembiayaan. Dalam konteks OJK di Indonesia struktur regulasi yang independen tidak dimaksudkan untuk menjadikan OJK sebagai lembaga yang memiliki independensi yang absolut, tetapi struktur regulasi yang menjadikan OJK sebagai katalisator pembangunan ekonomi dan wasit untuk fair play. Independensi OJK harus dapat diperankan guna menyeimbangkan kepentingan pemerintah, konsumen, dan industri jasa keuangan agar arah kebijakan perekonomian dapat berjalan selaras. Meskipun belum pada bentuk yang sempurna, namun secara umum, UU OJK telah mengadopsi semua segi dari struktur regulasi yang independen tersebut. Dikatakan belum pada bentuk yang sempurna karena masih diperlukan upaya harmonisasi pada sejumlah perundangundangan terkait, penyempurnaan peraturan yang ada, dan pembentukan peraturan pelaksanaan pada tataran teknis operasional. Dengan ini diharapkan OJK benar-benar menjadi lebih objektif, dapat melaksanakan wewenangnya secara memadai, transparan dan akuntabel. Di samping itu, OJK diharapkan memiliki kewenangan hukum yang cukup untuk melakukan penyidikan dalam masalahmasalah sektor jasa keuangan. Kata Kunci : struktur regulasi, independensi, OJK Abstract A non-independent regulatory structure in the financial services sector had already conduced poor economic condition for some countries in the 1990s. Learned from that experience, the existence of OJK in Indonesia must be supported by the existence of an independent regulatory structure so that the purpose of OJK being formed in the first place can be materialized. The existence of the independent regulatory structure, can be measured by OJK’s independence in terms of regulation, supervision, institutional, and independence in terms of financing. In the context of OJK in Indonesia, the independent regulatory structure, is not intended to make OJK as a catalyst for economic development or a referee for a fair play. OJK’s independence must be played to balance the interests of the government, consumer, and financial services industry so that the direction of economic policy can go hand in hand. Though not in the perfect shape yet, the regulation of OJK has already adopted all aspects from that independent regulatory structure. It was said not in the perfect shape yet, because a harmonization is still needed on a number of laws and regulations relating, and establishment of implementing regulations at the technical level of operational. With these, OJK is expected to be more objective and also can run its authority adequately, transparently, and accountably. Furthermore, OJK is expected to have a sufficient legal authority to conduct an investigation into the financial services issues. *
Disampaikan pada Seminar Eksistensi dan Tantangan OJK Dlam Menata Industri Jasa Keuangan Untuk Pembangunan Ekonomi, dilaksanakan Bening Institute, Jakarta, tanggal 23 April 2013. 281
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 281-294
Key words: Regulatory structure, independence, OJK
Pendahuluan : Latar Belakang Secara teoritis, terdapat dua aliran (school of thought) dalam hal pengawasan sektor jasa keuangan. Di satu pihak terdapat aliran yang mengatakan bahwa pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan sebaiknya dilakukan oleh institusi tunggal. Di pihak lain ada aliran yang berpendapat pengawasan sektor jasa keuangan lebih tepat apabila dilakukan oleh beberapa institusi. Pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, telah lebih dahulu diterapkan oleh Skandinavia sekitar tahun 1980an. Selanjutnya, Inggris menerapkan sistim pengawasan yang terintegrasi tersebut tahun 1998 dengan mendirikan United Kingdom Financial Supervisory Authority, begitu juga Jepang157 tahun 1998 membuat Financial Supervisory Authority (FSA) yang juga melakukan pengintegrasian fungsi pengawasan terhadap sektor jasa keuangan.158 Sementara itu, Australia membentuk Australian Prudential Regulation Authority (APRA) yang fungsinya sama dengan FSA. Berbeda dengan Amerika Serikat, dimana pengawasan terhadap sektor jasa tetap dilakukan oleh beberapa institusi. SEC misalnya mengawasi perusahaan sekuritas sedangkan industri perbankan diawasi oleh bank sentral (the Fed), FDIC, dan OCC. Sementara itu, Indonesia pada awalnya menerapkan sistim pengawasan terhadap sektor jasa keuangan dilakukan oleh beberapa institusi, berubah menjadi sistim pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan oleh satu institusi setelah lahirnya “Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas jasa Keuangan” (“UUOJK”) yang berlaku tanggal 22 November 2011. Dengan itu pengawasan keseluruhan sektor jasa keuangan di Indonesia dilakukan oleh institusi tunggal, yaitu “Otoritas Jasa Keuangan” (“OJK”). Pasal 5 UUOJK menetukan, bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Alasan dasar yang melatarbelakangi kedua aliran sistim pengawasan terhadap sektor jasa keuangan tersebut di muka adalah berdasarkan kesesuaian dengan sistem perbankan yang dianut oleh negara tersebut. Juga, seberapa dalam konvergensi di antara lembaga-lembaga keuangan. Paling tidak ada tiga alasan yang memicu dilakukan perubahan terhadap struktur kelembagaan pengawasan sektor jasa keuangan. Pertama, munculnya konglomerasi keuangan dan mulai diterapkan universal banking di banyak negara. Kondisi ini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor menjadi tidak efisien karena gap dalam regulasi dan supervisi. Kedua, stabilitas sistim keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas (dan lembaga pengawas) yang awalnya belum memperhatikan masalah stabilitas sistim keuangan, mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas sistim keuangan. Ketiga, kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance. Untuk meningkatkan good governance pada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak negara melakukan revisi struktur lembaga pengawas jasa keuangannya.159 Di sinilah pentingnya peran sebuah struktur regulasi dalam membentuk trust dari para pelaku pasar. Kepercayaan dari konsumen dan investor akan terbentuk apabila sebuah struktur regulasi dapat Takeo Hoshi dan Takatoshi Ito, “Finacial Regulation In Japan: A Sixth Year Review of The Financial Services Agency”, Journal of Financial Stability I (2004), hal. 229. 158 Mamiko Yokoi-Arai, “The Regulatory Efficiency of A Single Regulatory in Financial Services: Analysis of the UK and Japan”, Banking & Finance Law Review, October, 2006, hal. 1. 159 Zulkarnain Sitompul, “Konsepsi dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan”, Jurnal Legislasi Indonesia, (Juli, Vol. 9), hal. 344. Lihat juga. Mamiko Yokoi-Arai, Op. Cit, hal. 5. 157
282
Struktur Regulasi Independensi Otoritas Jasa Keuangan, Bismar Nasution
mengontrol penyalahgunaan pasar seperti insider trading, money laundering atau jenis kejahatan keuangan lainnya.160 Investor mempunyai kecenderungan untuk meletakkan investasinya pada pasar yang dapat mencapai objektif-objektif di atas untuk melindungi mereka dari resiko. Sehingga, apabila ada pengaturan yang jelas terhadap lembaga keuangan, pelaku pasar dan investor melalui cara seperti effective Chinese walls dan kode etik yang jelas, pasar akan cenderung terlindungi dari perilaku penyalahgunaan dari para pelaku pasar.161 Apabila digabungkan dengan pengaturan keterbukaan informasi yang efisien, hal ini dapat membentuk pasar yang fair, efisien dan transparan yang pada gilirannya akan menimbulkan kepercayaan dari pelaku pasar terhadap pasar tersebut. Berdasarkan hal-hal uraian di atas, adalah suatu hal yang sangat penting untuk mendesain sebuah struktur regulasi yang tepat sesuai dengan keadaan perekonomian di Indonesia. Makalah ini akan membahas isu independensi secara umum dengan titik berat khusus ke masalah independensi di bidang penyidikan. Bab Pertama, membahas tujuan pengaturan OJK. Bab Kedua, dari makalah ini akan membahas secara singkat mengenai independensi OJK. Bab Ketiga, membahas pentingnya struktur regulasi yang independen. Bab Keempat, menganalisis secara singkat pada struktur regulasi dalam UUOJK ditinjau dari kacamata panduan umum mengenai struktur regulasi yang independen. Bab Kelima, mengalisis permasalahan dalam struktur regulasi di tingkat penyidikan dan beberapa masukan untuk mengatasinya. I. Tujuan Pengaturan OJK Lembaga keuangan adalah sumber dari pertumbuhan karena fungsinya sentralnya yang membantu akumulasi dari sumber dana untuk produksi. Melalui proses intermediasi, arus dari sumber dana dapat tersalurkan yaitu dari mereka yang mempunyai sumber dana lebih ke mereka yang membutuhkan sumber dana untuk berproduksi. Agar dapat berfungsi dengan baik, hal ini tentunya memerlukan kepercayaan (trust) dari para pelaku pasar.162 Untuk itu, fungsi OJK sebagai regulator adalah menyelenggarakan sistim pengaturan dan pengawasan (audit) yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Berdasarkan itu, seluruh kegiatan jasa keuangan yang dilakukan oleh berbagai lembaga keuangan tunduk pada sistim pengaturan dan pengawasan OJK. Seperti sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Keberadaan OJK sebagai regulator tersebut harus dapat melakukan fungsi pengawasan untuk mengendalikan penyalahgunaan pasar (market abuses) dengan mencegah tindakan-tindakan perusahaan dan nasabah atau konsumen di dalam sektor jasa keuangan yang berpotensi merugikan kepentingan-kepentingan perusahaan, nasabah atau konsumen, dan investor dari keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Seperti, keterbukaan yang melanggar hukum dan keterbukaan yang tidak sah atau pernyataan menyesatkan (misleading statement), insider dealing, dan money laundering. Untuk itu, OJK harus membuat regulasi dengan suatu standarisasi yang mengandung stability dan predictabilty atas peraturan-peraturan keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Hal itu sejalan dengan apa yang diinginkan oleh UUOJK, dimana OJK dimaksudkan untuk mewujudkan OJK yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel.
160
Kenneth Kaoma Mwenda, "Legal Aspects of Financial Services Regulation and the Concept of a Unified Regulator", the World Bank, 2006, hal 3 161 ibid. 162 Nii K. Sowa, "Improving the Legal and Regulatory Framework of the Financial Services Sector: A Case for an Independent Financial Regulator", makalah presentasi pada Ghana @ 50: The Achievements, Challenges of the Financial Services Sector and the Expectations of the Next 50 Years, 2007, hal 3. 283
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 281-294
Sejalan dengan pembangunan UUOJK itu, tepatlah seperti diamati Ann Seidman, Robert B. Siedman dan Nalin Abeyesekere yang mengatakan, bahwa dalam proses pembangunan undangundang merupakan alat utama pemerintah melakukan perubahan pada lembaga-lembaga. Hal tersebut memperjelas tugas pembuat undang-undang, yaitu membuat undang-undang menjadi efektif dan mampu membawa perubahan. Suatu undang-undang yang efektif pada keadaan khusus di suatu negara harus mampu mendorong suatu perilaku yang dituju atau yang diaturnya.163 Secara umum, regulasi atau peraturan OJK itu harus meliputi beberapa sasaran, yaitu sebagai berikut: 164 1. Melindungi investor untuk membangun krepercayaan terhadap pasar. 2. Memastikan bahwa pasar yang terbentu adalah pasar yang fair, efisien, dan transparan. 3. Mengurangi risiko sistemik. 4. Melindungi lembaga keuangan dari penyalahgunaan atau malpraktek dari konsumen (seperti money Laundering). 5. Menjaga kepercayaan konsumen dalam sitim keuangan. II. Independensi OJK Konsep dari pengaturan independensi telah lebih menjadi terkait dengan sektor jasa dibandingkan dengan sektor barang.165 Selanjutnya, pengawasan yang independen (supervisory independence) sangat penting untuk sektor keuangan166. Sejalan dengan itu, ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUOJK telah menentukan, bahwa OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. Istilah indendensi tersebut dapat diartikan sebagai ide untuk tidak dipengaruhi atau dikendalikan oleh pihak lain, independensi setiap badan regulator dapat dilihat dari empat sudut yang terkait satu sama lain, yaitu regulasi, pengawasan, institusional, dan anggaran.167 Oleh karena itu, OJK membutuhkan independensi, baik dari pemerintah maupun dari industri yang diawasinya, sehingga tujuan OJK sebagaimana ditentukan Pasal 4 UUOJK dapat tercapai. Kejelasan tujuan OJK tersebut adalah alat mengukur tingkat independensi, yakni; 1) tujuan ditetapkan secara jelas dapat membantu pengurus membuat keputusan tentang alokasi sumber daya dan dalam menentukan respon kebijakan yang tepat dalam situasi tertentu, 2) tujuan adanya pengaturan (arrangement) tentang akuntabilitas untuk respon kebijakan.168 Pasal 4 UUOJK menyatakan, bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: a. terselenggaranya secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan c. mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Di samping itu, untuk mengukur tingkat independensi OJK dilihat dari indepensi, akuntabilitas, integritas, dan sumber daya yang memadai. Lembaga independen harus mampu memformulasikan kebijakan atas dasar strategi jangka panjang dan dapat mengambil keputusan yang kredibel. Independensi dapat diperoleh dengan adanya ketentuan yang mengatur tentang pemberhentian pengurus, otonomi anggaran dan kemampuan mengalokasikan sumber daya
163
Ann Seidman, Robert B. Seidman dan Nalin Abeyesekere, Legislative Drafting for Democratic Social Change A Manual for Drafters, (London: Kluwer Law Interenational, 2001), hal. xxi. 164 Kenneth Kaoma Mwenda, Op.Cit, hal. 3 165 P.S. Mehta, “Why a Steel Regulator Makes Little Sense”, dalam Kennet Kaoma Mwenda, Op.Cit, hal. 19. 166 Ibid, hal. 21. 167 Ibid, hal. 20. 168 Zulkarnain Sitompul, Op.Cit, hal 350. 284
Struktur Regulasi Independensi Otoritas Jasa Keuangan, Bismar Nasution
berdasarkan kebijakan internal lembaga.169 Pasal 34 UUOJK menyatakan, bahwa (1) Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran OJK. (2) Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner. Berkaitan dengan anggaran OJK itu, Pasal 37 menentukan sebagai berikut: (1) OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan disektor jasa keuangan. (2) Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK. (4) OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri. (5) Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Jika diamati dari ketentuan Pasal 37 UUOJK tersebut, maka OJK dapat melepaskan diri dari ketergantungan pada kesediaan anggaran yang berasal dari APBN, sehingga dapat mengurangi intervensi terhadap OJK. Dengan itu, akuntabilitas diperlukan OJK untuk melegitimasi tindakannya atas dasar kewenangan yang diberikan. Integritas direfleksikan dalam mekanisme yang mensyaratkan karyawan lembaga dalam mencapai tujuan organisasi tanpa menjadi takut terhadap intervensi.170 Sementara itu, ketentuan Pasal 17 UUOJK yang mengatur mengenai masa kerja Anggota Dewan Komisioner merupakan ukuran tingkat independensi OJK. Berdasarkan ketentuan Pasal 17 tersebut Anggota Dewan Komisioner tidak dapat diberhentikan berdasarkan alasan politik. Dengan ketentuan demikian akan memberikan keamanan bagi Anggota Dewan Komisioner dalam mengambil kebijakan yang tidak popular secara politik.171 Pasal 17 UUOJK menentukan, bahwa Anggota Dewan Komisioner tidak dapat dihentikan sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali apabila memenuhi alasan sebagai berikut: a. Meninggal dunia. b. Mengundurkan diri. c. Masa jabatannya telah berakhir dan tidak dipilih kembali. d. Berhalangan tetap sehingga tidak dapat melaksanakan tugas atau diperkirakan secara medis tidak dapat melaksanakan tugas lebih dari 6 (enam) bulan berturut-turut. e. Tidak menjalankan tugasnya sebagai anggota dewan komisioner lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. f. Tidak lagi menjadi anggota dewan gubernur bank indonesia bagi anggota ex-officio dewan komisioner yang berasal dari bank indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf h. g. Tidak lagi menjadi pejabat setingkat eselon i pada kementerian keuangan bagi anggota exofficio dewan komisioner yang berasal dari kementerian keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf i. h. Memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua dan/atau semenda dengan anggota dewan komisioner lain dan tidak ada satu pun yang mengundurkan diri dari jabatannya.
169
Ibid. Ibid, hal, 351. 171 Ibid, hal. 352. 170
285
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 281-294
i. j.
Melanggar kode etik, atau Tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
III. Pentingnya Struktur Regulasi Yang Independen A. Pengalaman di Beberapa Negara Mendesain sebuah struktur regulasi yang independen adalah merupakan hal yang sangat penting. Hal ini dapat dilihat dari kegagalan beberapa negara yang mempunyai sebuah stuktur regulasi yang tidak independen. Pengalaman Korea dan Jepang sebelum di tahun 1990an merupakan contoh dari kegagalan struktur regulasi yang tidak independen. Di Korea regulator dan pengawasan bank khusus dan lembaga non-bank berada dalam kekuasaan Ministry of Finance and Economy. Pada saat itu banyak permasalahan dalam pengaturan dan pengawasan termasuk kekuasaan untuk mengenyampingkan persyaratan yang pada gilirannya di percaya menjadi salah satu faktor penyebab dari krisis di Korea.172 Permasalahan independensi pada pengawasan keuangan yang dipegang oleh Ministry of Finance di Jepang juga dipercaya menjadi sumber dari kelemahan sektor keuangan di Jepang di tahun 1990an.173 Perlu menjadi ingatan, bahwa berdasarkan penelitian tidak ada institusi yang independen dari pengaruh politik jangka pendek dan independen dari keterikatan dan pengaruh lembaga keuangan. 174 Terdapat pendapat yang mengatakan, bahwa meskipun independensi pengawas sangat penting untuk sektor keuangan, hal tersebut mungkin sulit dibuktikan untuk dapat berkembang dan memberikan jaminan. Karena pengawas sering bekerjasama dengan lembaga keuangan tidak hanya dalam memeriksa dan memantau, tetapi juga dalam menegakkan sanksi dan bahkan mencabut izin. Selanjutnya, dikatakan “because much supervisory activity takes place outside direct public view, interference, either by politicians or by industry, can be subtle, taking many form”.175 Secara umum, krisis di Asia Timur yang terjadi di akhir 1990an dipercaya terjadi karena adanya intervensi politik pada badan regulator dan supervisi di bidang keuangan. Pada kasus tertentu, badan regulator dan pengawasan bidang keuangan sebenarnya mengetahui permasalahan yang ada. Namun, tekanan politik oleh golongan tertentu memaksa mereka untuk mengambil kebijakan yang justru semakin membuat perekonomian semakin terpuruk.176 Contoh intervensi politik yang kuat dapat dilihat dari pengalaman Indonesia sendiri pada masa krisis ekonomi tahun 1997-1998 yang lalu. Banyak kebijakan dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang ditolak karena alasan politik. Tidak jarang juga BPPN mendapat tekanan politik yang sangat kuat baik dari pemerintah maupun politisi untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan golongan tertentu. Hal inilah yang dipercaya mengakibatkan gagalnya Indonesia untuk keluar dari krisis lebih cepat dan kerugian Negara yang sangat besar.177
Lihat Marc Quintyn and Michael W Taylor,”Regulatory and Supervisory Independence and Financial Stability, IMF Working Paper WP/02/46, 2002, hal 6 173 Ibid, hal 6-7 174 James R. Barth, et. Al., Guardians of Finance making Regulation Work for Us, (Cambrige: The MIT Press, 2012), hal. 10. 175 Kennet Kaoma Mwenda, Op.Cit, hal. 21. Lihat juga. M. Quintyn & M. W. Taylor, “Should Financial Sector Regulator Be Independen ?” 34 Economic Issues 6 (IMF 2004), hal. 7. 176 Lihat Carl-Johan Lindgren, Thomas JT Balino, et all, “Financial Sector Crisis and Lesson From Asia, IMF Occasional Paper 188, 1999, dalam Marc Quintyn, Ibid. 177 Untuk lebih lengkap ulasan mengenai hal ini, lihat Charles Enoch, Barbara Baldwin, et all, “Indonesia, Anatomy of Banking Crisis Two Years of Living Dangerously 1997-99, IMF Working Paper WP/01/52, 2001. 172
286
Struktur Regulasi Independensi Otoritas Jasa Keuangan, Bismar Nasution
B.
Bentuk Independensi Yang Sesuai Berdasarkan pengalaman di atas maka tidak dapat dipungkiri bahwa independensi merupakan faktor utama yang harus diperhatikan dalam mendesain sebuah struktur regulasi yang tepat untuk Indonesia, terutama independensi dari pengaruh politik kepentingan yang masih menjadi momok di Indonesia. Namun demikian, apabila tidak dicermati secara hati-hati, sebuah institusi yang mempunyai absolute independence juga dapat menyebabkan pengaruh negatif. Sebuah regulator yang terlalu independen dari pemerintah dan politik dapat menyebabkan “regulatory capture” dimana regulator terjebak untuk membuat kebijakan bias yang hanya menguntungkan golongan tertentu saja.178 Tanpa adanya kontrol yang cukup dari pemerintah dan stakeholders lainnya, sebuah regulator yang terjebak dalam “regulatory capture” dapat melihat kepentingan industri sebagai kepentingan publik.179 Hal ini dapat mengakibatkan regulasi yang dibuatnya hanya untuk bertujuan mengurangi biaya dari industri daripada menciptakan keseimbangan dari kepentingan industri dan kepentingan publik.180 Selain itu, akan sulit untuk mengukur akuntanbilitas dari regulator yang mempunyai independensi yang absolut. Regulator yang mempunyai independensi yang absolute dapat mengejar kepentingannya sendiri tanpa mempertimbangkan kebijakan ekonomi dari pemerintah.181 Beberapa pengamat bahkan menganggap regulator tersebut sebagai “fourth branch of government” dimana si regulator tersebut berada dalam sistem trias politica yang selama ini menjadikan dasar dari check and balances.182 Hal inilah yang menyebabkan perlunya untuk membentuk sebuah struktur regulasi yang independen sesuai dengan kondisi perekonomian dari Negara tersebut. Dalam perekonomian yang sedang berkembang, Intervensi dari pemerintah kadang diperlukan pada hal-hal tertentu dikarenakan belum adanya struktur regulasi dan infrastruktur perekonomian yang kuat dan masih belum terbentuknya legal culture yang mendukung instrumen perekonomian (misalnya pengakuan terhadap hak kontraktual).183 Indonesia adalah negara berkembang dengan perekonomian yang masih berkembang. Infrastruktur perekonomian yang ada juga masih belum sematang Negara lain yang mempunyai perekonomian yang maju. Oleh karenanya harmonisasi antara kebijakan pemerintah dan regulasi di bidang perekonomian menjadi sangat penting untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang sehat dan tepat untuk kesejahteraan rakyat. Dalam konteks inilah, struktur regulasi otoritas jasa keuangan di Indonesia (OJK) harus dapat menyeimbangkan antara kepentingan pemerintah dan kepentingan industri agar nantinya arah kebijakan perekonomian di bidang keuangan dapat berjalan dengan selaras. Oleh karenanya, independensi yang dimaksud dalam makalah ini bukanlah independensi yang absolut. OJK sebagai regulator dan pengawas jasa keuangan harus dapat berfungsi sebagai katalisator pembangunan ekonomi dan wasit untuk fair play. Untuk memahami independensi lembaga tersebut dapat dikaitkan dengan independensi bank central. Karena tidak ada satu negara pun yang menyesal telah memberikan independensi kepada bank sentralnya.184 Alan S. Blinder menyatakan bahwa independensi bank sentral dapat berarti dua hal. Pertama, bank sentral memiliki kebebasan
178
Lihat Nii Ka Sowa, Op.Cit, hal 5-6 Lihat M. Quintyn & M. W. Taylor,” Should Financial Sector Regulators Be Independent?” IMF Economic Issues No.32, 2004. 180 Ibid. 181 Ibid. 182 Kenneth Kaoma Mwenda,Op.Cit, hal 34. 183 Untuk ulasan mengenai kapan intervensi pemerintah diperlukan, lihat ibid, hal 31-33. 184 Lars Nyberg, “The Framework of Modern Central Banking”, Speech on Reforming the State Bank of Thailand, hanoi, 21 March 2006. 179
287
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 281-294
untuk menentukan bagaimana untuk mencapai tujuannya. Kedua, keputusan-keputusan yang diambil olehnya sulit untuk dibatalkan oleh cabang-cabang atau lembaga pemerintahan lainnya.185 Independen dalam menentukan bagaimana untuk mencapai tujuannya bukan berarti bahwa bank sentral dapat menentukan sendiri tujuannya, karena tujuan bank sentral secara umum tentu saja ditetapkan melalui legislasi yang disepakati bersama melalui suatu sistem demokrasi. Tapi yang dimaksud adalah bahwa bank sentral memiliki diskresi yang luas mengenai bagaimana menggunakan instrumen-instrumennya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui undang-undang. 186 IV. Analisis Singkat Struktur Regulasi Dalam Uuojk Ditinjau Dari Panduan Umum Mengenai Stuktur Regulasi Yang Independen Untuk mengukur struktur independensi yang diadopsi oleh UUOJK, maka ada beberapa panduan yang dapat digunakan. Panduan ini tidaklah dimaksudkan sebagai acuan untuk sistem yang sempurna karena seperti yang telah disampaikan di atas, struktur independensi yang tepat haruslah disesuaikan dengan kondisi dan struktur perekonomian dari Negara tersebut. Secara umum, struktur regulasi yang independen dapat diukur dari beberapa faktor sebagai berikut: A. Independensi Dari Segi Regulasi Pertama, Independensi dari segi regulasi (Regulatory Independence).187 Regulasi di bidang keuangan haruslah didesain untuk memberi keleluasaan untuk OJK dalam membentuk kebijakan yang tepat. Undang-undang yang ada haruslah memberi ruang dan fleksibilitas kepada OJK untuk dapat mendesain dan merubah kebijakan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ekonomi. Undangundang yang terlalu detail menjadi indirect intervention dimana secara tidak langsung OJK diarahkan dan dikekang untuk mengeluarkan sebuah kebijakan yang belum tentu sesuai dengan kondisi yang ada. Dalam konteks ini, secara umum UU OJK telah mengadopsi regulatory independence. Dalam UU OJK, OJK diberi kewenangan yang cukup luas untuk menformulasikan regulasi.188 Namun demikian, permasalahan ini sangatlah kompleks dan di luar dari pembahasan makalah ini karena isu regulatory independence juga harus dilihat dari sudut pandang UU terkait seperti UU Perbankan, UU Pasar Modal. Studi yang lebih mendalam terhadap peraturan yang ada haruslah dilakukan untuk menganalisis apakah peraturan perundang-undangan yang ada sudah mengakomodir independensi dari UU OJK. B. Independensi Dari Segi Pengawasan Kedua, independensi dari segi pengawasan (Supervisory Independence).189 Tanpa pengawasan yang konsisten dan menyeluruh, regulasi tidak akan menjadi efektif dalam membentuk rezim sistem keuangan yang efisien dan stabil. Ada beberapa aspek dalam membentuk pengawasan yang independen sebagai berikut:190 1. Perlindungan hukum kepada jajaran OJK dalam melakukan tugasnya. Jajaran OJK harus mendapat perlindungan hukum ketika mengeluarkan kebijakannya. Hal ini untuk menghindari adanya keragu-raguan dalam mengambil keputusan karena adanya ancaman tuntutan hukum. 185
Alan S. Blinder, Central Banking in Theory and Practice, (Cambridge: The MIT Press, 1998), hal. 54. Ibid. 187 Untuk diskusi lebih lanjut mengenai regulatory independence, lihat Marc Quintyn and Michael W Taylor hal 14-16, 188 Lihat pasal 8 UU OJK. 189 Untuk diskusi lebih lanjut mengenai supervisory independence, lhiat Marc Quintyn and Michael W Taylor, Op.Cit, hal 17-20 190 Ibid. 186
288
Struktur Regulasi Independensi Otoritas Jasa Keuangan, Bismar Nasution
Selain itu tuntutan hukum juga dapat menyebabkan lambatnya pengambilan keputusan dimana hal ini dapat mengakibatkan hasil yang negatif mengingat sifat perekonomian yang sangat kontekstual. Di banyak negara, undang-undang melindungi regulator dari kewajiban pelaksanaan tugas yang timbul dari kekuasaan negara, kecuali regulator yang beritikad buruk. Perlindungan regulator penting, agar mereka bekerja dengan rajin, kompeten, mandiri dan profesional.191 2. Adanya system dan standar yang jelas dalam peraturan OJK mengenai pengawasaan dan pengenaan sanksi. Sistem dan standar yang jelas dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menjadi alat check and balances karena keputusan yang diambil bukanlah berdasarkan kebijakan indvidu tetapi harus mengacu pada peraturan yang ada. Hal ini dapat meminimalisasi adanya kebijakan yang bersifat subjektif dan menjaga konsistensi dalam pengawasan regulasi. 3. Sistem remunerasi yang jelas dan terjamin. Harus ada standar gaji yang cukup dan sistem jenjang karir yang berdasarkan merit. Hal ini ditujukan untuk meminimalisir potensi korupsi dan juga memastikan bahwa OJK diisi oleh orang-orang yang professional dan kompeten dalam bidangnya. 4. Adanya sistem sanksi dan banding yang jelas. Struktur yang ada harus memberikan kejelasan dalam proses pengenaan sangsi dan upaya hukum yang dapat dilakukan serta jangka waktu dalam prosesnya. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk menjaga kepastian hukum, tetapi juga untuk memastikan bahwa otoritas jasa keuangan dapat mengambil tindakan dan kebijakan yang tepat. Upaya hukum yang berlebihan misalnya dapat menyebabkan C. Independensi Dari Segi Institusi Independensi dari segi institusi (Institutional Independence)192 mengacu pada status dari otoritas jasa keuangan yang terpisah dari lembaga eksekutif dan legislatif. Mengingat fungsinya yang sangat krusial untuk menyeimbangkan keadaan perekonomian dan kegagalan fungsi otoritas jasa keuangan yang tidak independen seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, menjadi sangat penting untuk menjaga independensi sebuah otoritas jasa keuangan dari pengaruh politik dan pemerintah. Untuk mencapai hal ini ada beberapa faktor penting yang harus diadopsi oleh sebuah struktur regulasi yang independen sebagai berikut: 1. Peraturan yang jelas mengenai pengangkatan dan pemberhentian dari personel senior. Kepastian mengenai proses pengangkatan dan pemberhentian diperlukan untuk memberikan jaminan kepada anggota OJK untuk dapat mengambil keputusan tanpa adanya kekhawatiran atas ancaman pemberhentian. 2. Struktur pengaturan yang jelas. Pengambil kebijakan di OJK sebaiknya bersifat kolektif dan diisi oleh para ahli di bidangnya. Hal ini untuk mencegah adanya satu individu yang terlalu dominan yang pada gilirannya dapat mempengaruhi kebijakan yang di ambil. 3. Proses pengambilan kebijakan yang transparan. Walaupun ada beberapa keputusan yang menurut sifatnya bersifat rahasia dan sensitif, proses pengambilan kebijakan yang transparan harus tetap dilakukan. Hal ini penting untuk memastikan adanya kontrol dari publik terhadap kebijakan yang diambil oleh OJK.
191 192
Kenneth Kaoma Mwenda,Op.Cit, hal 13. Ibid. hal 20 289
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 281-294
D. Independensi Dari Segi Pembiayaan Independensi dari segi pembiayaan (Budgetary Independence)193 mengacu pada keterlibatan dari eksekutif dan legislative dalam memutuskan besarnya anggaran OJK termasuk personel dan besarnya gaji. Otoritas yang mempunyai kebebasan dalam merancang anggaran dan sumber dayanya akan lebih siap untuk menghadapi tekanan politik. Sehinga, proses pengambilan keputusan akan dapat berjalan lebih cepat dan sesuai dengan perkembangan pasar. Dalam hal ini, maka sebaiknya pendanaan dari OJK diperoleh dari luar anggaran pemerintah. Namun demikian, di sisi lain, apabila pendanaan hanya berasal dari industri, ada kekhawatiran bila nantinya OJK akan mengalami conflict interest di saat mengambil keputusan yang berpotensi merugikan industri. Misalnya dalam situasi krisis dimana industri dapat menekan OJK untuk mengambil kebijakan yang menguntungkan industri tanpa melihat kepentingan publik secara umum. Dalam konteks ini, UUOJK telah mengambil langkah yang tepat. Dalam UUOJK, pendanaan OJK berasal dari kombinasi APBN dan premi dari Industri. Mengingat masih rentannya perekonomian Indonesia, kombinasi ini merupakan solusi yang baik dimana OJK tetap dapat berfungsi penuh di saat krisis dengan dukungan dari pemerintah. V. Analisis Struktur Independensi Di Tingkat Penyidikan Pada Stuktur Regulasi UUOJK A. Permasalahan Dalam Struktur Penyidikan di UUOJK Bab sebelumnya sudah membahas secara umum tentang struktur regulasi yang independen dan analisis singkat tentang struktur dalam UUOJK. Walaupun secara umum, UUOJK telah memberikan independensi yang cukup kepada OJK, tidak dapat dipungkiri juga bahwa masih banyak gap dalam UUOJK yang dapat berpotensi mempengaruhi independensi dari OJK. Mengingat kompleksnya isu yang ada, seperti yang telah diuraikan di muka, makalah ini akan di fokuskan kepada masalah penyidikan dimana terdapat gap yang besar dalam konteks independensi yang dapat berpotensi untuk menciptakan penyalahgunaan wewenang atau ketidakpastian dalam pelaksanaan sebuah kebijakan. Adapun beberapa masalah mendasar pada struktur yang ada yang berpotensi mempengaruhi level implementasi penyidikan adalah: Pertama, tidak ada standar dan hukum acara yang spesifik menyangkut tingkat penyidikan di UUOJK. Tidak dapat dipungkiri kalau sektor keuangan sangat kompleks. Banyak dimensi yang terlibat di dalamnya mulai dari masalah financial, sosial sampai hukum. Oleh karenanya, pemahaman yang menyeluruh dari seorang penyidik sangat diperlukan untuk dapat melihat permasalahan yang ada dari kacamata multi dimensi. Sayangnya, UUOJK tidak memberikan acuan yang jelas mengenai standar yang harus dipakai dan diterapkan. Tidak terintegrasinya fungsi penyidik dalam lembaga OJK berpotensi menimbulkan perbedaan interpretasi yang pada gilirannya dapat menimbulkan inkonsistensi dalam penerapan kebijakan. Kedua, adanya potensi multi interpertasi pada Pasal 49 angka 1 UUOJK yang menyatakan, “Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”. Di sini, dapat terlihat, di satu sisi, ketentuan Pasal 49 angka 1 tersebut dapat diinterpretasikan bahwa Kepolisian sebagai institusi mempunyai kewenangan penyidikan tersendiri terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan kejahatan di bidang keuangan. Di sisi lain, ketentuan Pasal 49 angka 1 itu juga diinterpretasikan bahwa hanya penyidik Kepolisian yang diperbantukan di OJK lah yang diberikan kewenangan khusus untuk menyidik kasus-kasus kejahatan
193
Ibid, hal 21
290
Struktur Regulasi Independensi Otoritas Jasa Keuangan, Bismar Nasution
di bidang keuangan. Sehingga, sebagai institusi, Kepolisian tidak lagi berwenang menangani kasuskasus di kejahatan bidang keuangan. Masalah interpretasi ini haruslah diperjelas karena perbedaan pandangan akan berpotensi mempengaruhi independensi penyidikan oleh OJK dan penegakkan hukum di bidang keuangan secara umumnya. Idealnya, penyidikan di bidang keuangan harus dilakukan oleh satu institusi untuk menjaga konsistensi dari kebijakan yang ada. Penyidikan yang dilakukan dua institusi yang berbeda dapat berpotensi menimbulkan perbedaan penanganan yang pada gilirannya membentuk sebuah ketidakpastian hukum dan kebijakan di bidang keuangan. Ketiga, Dalam hal struktur organisasi penyidikan, masih adanya kekosongan mengenai sejauhmana OJK dapat tetap independen dalam proses penyidikan. Walaupun ketentuan Pasal 1 angka 1 UUOJK telah memberikan fungsi, tugas, dan wewenang penyidikan kepada OJK. Namun dalam implementasinya OJK tidak bisa langsung mengontrol jalanya penyidikan. Dalam ketentuan Pasal 49 angka 1 UUOJK disebutkan bahwa penyidik adalah Kepolisian polisi atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Sementara itu dapat dipahami bahwa pegawai OJK bukanlah Pegawai Negeri Sipil. Hal ini berarti bahwa dalam melakukan penyidikan, OJK harus “meminjam” bantuan dari pemerintah (baik institusi polisi maupun institusi lainnya). Yang menjadi pertanyaan adalah: 1. Sejauh mana penyidik yang “diperbantukan” ke OJK dapat independen dari institusi asalnya mengingat bahwa mereka nantinya akan kembali lagi ke institusi asalnya tersebut? 2. Sejauh mana Dewan Komisioner OJK dapat mengawasi jalannya penyidikan untuk menjaga konsistensi kebijakan penegakkan hukum yang diambilnya mengingat tidak adanya direct line of command ke Dewan Komisioner? Kedua hal ini penting untuk dipikirkan karena penegakan hukum yang tidak konsisten dengan kebijakan yang dibuat akan menciptakan kebingungan dari pelaku pasar. Tidak jarang adanya penafsiran yang berbeda antara aparat penegak hukum dan regulator dalam menterjemahkan sebuah kebijakan. Tanpa adanya struktur dan peraturan yang jelas, institusi penyidikan juga sangat berpotensi menjadi channel terhadap intervensi dari pihak dan golongan tertentu kepada OJK. B. Beberapa Masukan Untuk mengatasi permasalahan di atas, maka ada beberapa masukan yang mungkin dapat dipertimbangkan oleh OJK untuk menutup gap yang ada sebagaimana diuraikan berikut ini: 1. Pembuatan sebuah standar dan kerjasama yang jelas dalam melakukan penyidikan. Harus ada komitment dari OJK dan institusi asal penyidik bahwa penyidikan kasus keuangan dilakukan melalui satu pintu dan kordinasi yaitu OJK. OJK juga harus membuat standard sistem penanganan perkara yang jelas dan objektif sehingga check and balances dari jalannya sebuah penyidikan dapat dengan mudah dilakukan dan di ukur. Standar yang ada harus paling tidak mencakup hal-hal mengenai tahapan sebelum dan sesudah penyidikan. Untuk mengatasi adanya perbedaan interpretasi antara OJK dan penyidik, sebaiknya setiap penyidikan yang dilakukan harus didahului oleh kesimpulan dan rekomendasi dari OJK dari level pemeriksaan. Hal ini penting agar penyidikan yang dilakukan didasarkan pada suatu landasan penafsiran kebijakan yang konsisten dan bukan berdasarkan penilaian subjektif. Selain itu, standard yang ada juga harus mengatur mengenai jangka waktu dari tahap pelaporan, pemeriksaan hingga penyidikan. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dan menjaga agar masalah yang ada dapat diselesaikan secepat mungkin. Perlu diingat bahwa sektor keuangan sangatlah dinamis. Keterlambatan penanganan atau proses yang terlalu berkepanjangan dapat menimbulkan permasalahan sistemik dan menimbulkan efek domino.
291
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 281-294
Oleh karenanya penting kiranya untuk membentuk sebuah standard dengan jangka waktu yang jelas. 2. Pembentukan struktur organisasi penyidikan di OJK. Kerancuan mengenai chain of command dari penyidikan harus dengan segera diatasi melalui regulasi internal mengenai struktur organisasi, yaitu melalui peraturan OJK.194 Idealnya, dalam struktur organisasi OJK nantinya, semua penyidik dimasukkan ke dalam sebuah satu department tersendiri yang diketuai oleh deputi bagian penyidikan. Deputi bagian penyidikan bertanggung jawab kepada Dewan Komisioner melalui Ketua OJK. Artinya, Deputi bagian penyidikan berada dalam pengawasan dan kontrol dari ketua OJK, dimana nantinya ketua OJK akan bertanggung jawab kepada Dewan Komisioner mengenai hasil penyidikan yang ada. Fungsi control dari Ketua OJK dalam penyidikan ini penting untuk menjaga divisi penyidikan tetap independen baik dari pengaruh negative institusi asalnya maupun dari pengaruh divisi atau lembaga lain di OJK yang mungkin mempunyai agenda dan kepentingan yang berbeda dengan divisi lainnya. Oleh karenanya, diharapkan kedudukan dan fungsi Ketua yang netral dapat meminimalisir adanya intervensi penyidikan baik dari eksternal maupun internal OJK. Selain itu, sistem kepangkatan dan remunerasi dari penyidik juga tidak kalah penting untuk diatur dengan jelas. OJK harus dapat menjamin adanya kontinuitas dari karir si penyidik ketika dia kembali ke institusi asalnya. Kepangkatan dan fungsi di OJK harus pararel dengan kepangkatan dan fungsi si penyidik di institusi asalnya. Hal ini penting agar nantinya si penyidik dapat fokus dalam melakukan penyidikan tanpa adanya kekhawatiran mengenai masa depannya. Selain itu dengan adanya struktur karir yang pararel independensi si penyidik juga dapat lebih terjaga dari pengaruh institusi asalnya karena kenaikan karirnya tidak tergantung pada institusi asalnya. 3. Ke depan, untuk lebih meningkatkan efektifitas dan keberhasilan penegakan hukum OJK, perlu dibuat ketentuan dalam regulasi OJK yang mengatur pegawai OJK sebagai penyidik disamping penyidik Kepolisian dan PPNS dan pemeriksaan dalam setiap tingkatan perlu diperjelas dan diperkuat. 4. Perlu kedudukan dan hubungan antara UUOJK dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) diperjelas dan harmonis. Berdasarkan penelitian Burg’s salah satu unsur hukum agar hukum dapat membuat sistim ekonomi berfungsi adalah definisi dan status yang jelas (definition and clarity of status)195. Oleh karena itu, dalam rangka pembaharuan KUHAP nantinya perlu menentukan “pihak lainnya yang melaksanakan tugas pemerintahan” disamping Kepolisian dan PPNS mendapat kewenangan melaksanakan tugas penyidikan. Pemberian kewenangan penyidikan kepada pihak lainnya yang melaksanakan tugas pemerintahan tersebut akan menciptakan multi investigator system yang dapat diharapkan nantinya menciptakan semangat kompetisi yang positif diantara institusi penyidik yang pada gilirannya bermanfaat untuk penegakan hukum. Multy Investigator System telah diterapkan negara lain, seperti Amerika Serikat yang mengatur berbagai institusi sebagai penyidik dalam kasus money laundering. Misalnya antara lain, DEA (Drugs Enforcement Administration) dan IRS (Internal Revenue Service).
194
Peraturan OJK adalah peraturan tertulis yang ditetapkan oleh Dewan Komisioner, mengikat secara umum, dan diundangkan dalam Lembaran Negara republik Indonesia. 195 Leonar J. Theberge, “Law and Economic Development”, Journal of International aw and Policy, (Vol. 9. 1980), hal. 232. 292
Struktur Regulasi Independensi Otoritas Jasa Keuangan, Bismar Nasution
Penutup Untuk mendorong struktur regulasi independen OJK yang efisien dan efektif, perlu mengkaji kembali peran OJK sebagai regulator untuk pengawasan sektor jasa keuangan. Dengan ini diharapkan OJK menjadi paling objektif, dapat melaksanakan wewenangnya secara memadai, transparan dan akuntabilitas. Di samping itu, OJK diharapkan memiliki kewenangan hukum yang cukup untuk melakukan penyidikan dalam masalah-masalah sektor jasa keuangan.
Daftar Pustaka Alan S. Blinder, Central Banking in Theory and Practice, Cambridge: The MIT Press, 1998. Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyesekere, Legislative Drafting for Democratic Social Change A Manual for Drafters, London: Kluwer Law Interenational, 2001. Barth, James R., et. Al., Guardians of Finance making Regulation Work for Us, Cambrige: The MIT Press, 2012. Charles Enoch, Barbara Baldwin, et all, “Indonesia, Anatomy of Banking Crisis Two Years of Living Dangerously 1997-99, IMF Working Paper WP/01/52, 2001. Kenneth Kaoma Mwenda, “Legal Aspects of Financial Services Regulation and the Concept of a Unified Regulator”, the World Bank, 2006. Lars Nyberg, “The Framework of Modern Central Banking”, Speech on Reforming the State Bank of Thailand, hanoi, 21 March 2006. Leonar J. Theberge, “Law and Economic Development”, Journal of International aw and Policy, Vol. 9. 1980. Mamiko Yokoi-Arai, “The Regulatory Efficiency of A Single Regulatory in Financial Services: Analysis of the UK and Japan”, Banking & Finance Law Review, October, 2006. Marc Quintyn and Michael W Taylor,”Regulatory and Supervisory Independence and Financial Stability, IMF Working Paper WP/02/46, 2002. M. Quintyn & M. W. Taylor, “Should Financial Sector Regulator Be Independen ?” 34 Economic Issues 6, IMF 2004. Nii K. Sowa, "Improving the Legal and Regulatory Framework of the Financial Services Sector: A Case for an Independent Financial Regulator", makalah presentasi pada Ghana @ 50: The Achievements, Challenges of the Financial Services Sector and the Expectations of the Next 50 Years, 2007. Takeo Hoshi dan Takatoshi Ito, “Finacial Regulation In Japan: A Sixth Year Review of The Financial Services Agency”, Journal of Financial Stability I, 2004. Zulkarnain Sitompul, “Konsepsi dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan”, Jurnal Legislasi Indonesia, Juli, Vol. 9.
293
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014 : 281-294
294
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
BIOGRAFI PENULIS Muhamad Isna Wahyudi, lahir: Semarang, 2 Mei 1981Alamat tempat tinggal : Jl. Bandeng Raya I/7, Minomartani, Ngaglik, Sleman Yogyakarta, 55581 Alamat e-mail:
[email protected];
[email protected] Nomor Telepon/Hp: (0274) 882464/ 081575096119 Pendidikan Formal : 1. SD Negeri Ngempon I, Semarang, lulus 1993. 2. SMP Negeri Karangjati, Semarang, lulus 1996. 3. Takhasus Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalaam Sukoharjo, lulus 1997. 4. MA Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalaam Sukoharjo, lulus 2000. 5. Fakultas Syari’ah, Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lulus 2004. 6. Program Studi Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Keluarga, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lulus 2006. Riwayat Pekerjaan Hakim di lingkungan Peradilan Agama, bertugas di Pengadilan Agama Kotabumi Lampung Utara sejak Juli 2010-2013, dan sejak Februari 2014 bertugas di Pengadilan Agama Badung sampai sekarang. Karya Tulis/Publikasi 1. -------------, Buku Fikih Praktis Salat, editor: M. Zaid Su’di, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2007. 2. -------------, “Membaca Ulang Konsep Perwalian Dalam Perspektif Mohammed Arkoun,” dalam Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 5, No. 2, April 2007, 259-279. 3. -------------, “Nilai Pembuktian Saksi Perempuan dalam Hukum Islam,” dalam Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 8, No. 1, Januari 2009, 113-124. 4. -------------, Fiqh ‘Iddah: Klasik dan Kontemporer, Cet.I, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009. 5. -------------, Review artikel Wael B. Hallaq “Was al-Shafi’i the Master Architect of Islamic Jurisprudence?” in Qanun: Journal of Islamic Law, Volume 1, Number 1, Februari 2010, Doctorate Programme of Islamic Law, UII, Yogyakarta. 6. --------------, “Catatan Kritis atas Artikel Rifyal Ka’bah “ Penegakan Syariat/Hukum Islam di Indonesia,” dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XXV No. 289, Desember 2009, hlm. 39-45. 7. -------------, Studi Kasus tentang Pengakuan Anak, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XXV No. 296, Juli 2010, hlm. 92-95. 8. -------------, “Menjadi Hakim Sensitif Gender,” dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XXVII No. 317, April 2012, hlm. 51-52. 9. ---------------, “Kerancuan Putusan Perceraian di Lingkungan Peradilan Agama,” dalam Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), Edisi No. 76, 2013, hlm. 116-123. 10. ---------------, Pembaruan Hukum Perdata Islam: Pendekatan dan Penerapan, Bandung: CV. Mandar Maju, 2014.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
Teguh Prasetyo, Lahir Jakarta, 8 Oktober 1955Hakim PA Bandung Pendidikan Strata I Jurusan Muamalah Jinayat IAIN Sunan Gunung Djati Bandung (1981), Strata I Jurusan Hukum Keperdataan Universitas Langlang Buana Bandung (1993), Strata II Jurusan Hukum Islam Universitas Islam Bandung (2005), Strata III Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung (2014) tinggal diJl. Sumber Hegar Raya No. 22 Komplek Sumber Sari Indah Bandun, Karya Tulis: Tinjauan Hukum Islam terhadap Penjualan Kotoran Ternak Ayam di PT. Hy-Band Mulya Cipadung. Karya Tulis Sarjana Muda di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. (1978); Study Komparatif tentang Turut Melakukan (medev legend) dalam Delik Pembunuhan dan kadar Hukumannya Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif. Skripsi di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. (1978); Kedudukan Anak Angkat Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif. Skripsi di Universitas Langlang Buana Bandung. (1993); Legenda Nyi Rambut Kasih dalam Upaya Pelestarian Fungsi-fungsi Lingkungan Hidup di Kabupaten majalengka Provinsi Jawa Barat. (Karya Tulis); Isbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam (Kajian Hukum Munakahat dan Praktek di Pengadilan Agama Garut dan Majalengka). Tesis di Universitas Islam Bandung (2005); Kekuatan Hukum Mengeliat Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam dalam Perspektif Kherarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia (Disertasi 2014 Universitas Islam Bandung). Miko Susanto Ginting, Bekerja sebagai peneliti dan pengajar mata kuliah hukum sejak lulus sampai dengan sekarang. Saat ini menempati posisi sebagai Direktur Riset dan Reformasi Kebijakan PSHK. Memiliki pengalaman terlibat dalam berbagai program penelitian, advokasi dan asistensi pada beberapa lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah, terutama terkait dengan kajian hukum, perancangan peraturan dan kebijakan lembaga. Berpengalaman sebagai trainer maupun narasumber dalam legislative drafting training Eka Merdekawati Djafar,S.H.,M.H., Lahir di Ampenan, (Nusa Tenggara Barat) 1980, meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Mataram (2002), kemudian melanjutkan pendidikan ke Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI) angkatan tahun 2002 dan selesai pada tahun 2004. Pada tahun 2011 melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Pada saat mahasiswa, pernah menjadi Anggota Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mataram (BPM) 2001–2002, Anggota Forum Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI) 2002-2004. Aktif menulis artikel yang dimuat di beberapa media massa diantaranya “Format Hubungan Presiden dan DPR” (Progresif, Edisi 150/Tahun V/Selasa, 07 September 2004), “Pedoman Utama Yang Digunakan Dalam Penentuan Politik Hukum Dalam Rangka Menuju Satu Sistem Hukum Nasional” dan “Review Buku Robert A.Dahl “Perihal Demokrasi” Menjelajahi Teori Dan Praktek Demokrasi Secara Singkat” (Swara Post, Edisi 3/TH.1/27-04 Oktober 2005), pernah menjadi editor sekaligus penulis di Jurnal Tata Negara Vol.1, No.1, Juli 2003 yang diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tulisan yang pernah dimuat berjudul “Perbandingan Konsep Trias Politika Menurut Jhone Locke, Montesquieu dan UUD 1945”, Pada tahun 20042007 penulis menjadi Calon Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung, dan sejak 20072010 menjadi Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin, 2010-2013 Menjadi hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, dan 2013- sekarang menjadi hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
Dr. Ismail Rumadan, M.H, Alumni program doctor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung 2009, lahir di Maluku tepatnya di Desa Kwaos, 7 Agustus 1976. Bekerja pada Pusat Peneliti Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat (BALITBANGDIKLAT) Mahkamah Agung RI, tercatat sebagai Dosen Program Pascasarjana Universitas Jayabaya dan Universitas Nasional Jakarta. Alamat: Puslitbang Hukum dan Peradilan MA RI, Lt. 10 Kantor Sekretarian Mahkamah Agung RI, Jalan. A. Yani Kav. 58 Cempaka Putih Timur - Jakarta Pusat. Tlp/HP : 021-29079286 / 081221951976 email :
[email protected]. Enrico Simanjuntak. : Hakim PTUN Serang, lahir di Dolok Sanggul, 27 Januari 1981, Strata Satu dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, sedangkan pendidikan Strata Dua diselesaikan di Pascasarjana Universitas Indonesia. Beberapa tulisan Penulis pernah dimuat di Jurnal Jurnal Penelitian, Puslitbang Hukum dan Peradilan, Badan diklat Litbang Kumdil MARI, termasuk beberapa kali di Varia Peradilan, Komisi Yudisial, Hukumonline dan beberapa media lain. Selain aktif menghadiri undangan Focus Grup Disscusion (FGD) dari Puslitbang Teknis Kumdil MARI, beberapa kegiatan lain yang pernah diikuti antara lain seperti Rapat Pembahasan Bahan Ajar Program Pendidikan Cakim III—Peradilan TUN. Hotel Mirah Bogor, 29-30 Mei 2012 serta Trainers Convention Program Pendidikan Cakim III—Peradilan TUN di Hotel Mercure, Jakarta, 14-15 Mei 2012. Dan terakhir, berdasarkan SK Ketua Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI No. 62/TUAKA.TUN/SK/VI/2014 tanggal 6 Juni 2014 terlibat dalam keanggotaan Pokja Penyusunan Rancangan Revisi RUU Peradilan Tata Usaha Negara. Maskur Hidayat, SH, MH., lahir di Lamongan 25 Agustus 1977. Menyelesaikan pendidikan S1 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, S2 Magister Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Saat ini sedang menempuh studi S3 di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Calon Hakim di Pengadilan Negeri Lamongan, Hakim di Pengadilan Negeri Soe (2005), Hakim di Pengadilan Negeri Praya (2008), Hakim di Pengadilan Negeri Lumajang (2010), Hakim di Pengadilan Negeri Pamekasan (2014), Pemateri dalam kajian Amandemen Konstitusi MPR RI, Penyuluhan hokum, Penulis Artikel di Varia Peradilan, Buletin Komisi Yudisial, Prakarsa-Jatim (Online) dan beberapa surat kabar. Bismar Nasution, Mendapat Sarjana Hukum dari USU (1983), Magister Hukum dari Universitas Indonesia (1994), Doktor dari Universitas Indonesia (2001), Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU, Dosen Fakultas Hukum USU Medan, tahun 1987-sekarang, Dosen Pascasarjana Hukum USU Medan, tahun 1999-sekarang, Dosen Magister Manajemen Pascasarjana USU Medan, tahun 2002, Dosen Magister Kenotariatan Pascasarjana USU Medan, tahun 2002, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Pancasila Jakarta, tahun 200-sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Krisnadwipayana Jakarta, tahun 200-sekarang, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta, tahun 1997-2000). Penguji Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, tahun 2002-sekarang. Dosen pada Program Pascasarjana IAIN Medan, 2007. Dosen pada Sekolah Tinggi Hukum Militer, 2005 – sekarang, Ketua Program Studi Magister Ilmu HUkum Sekolah Pascasarjana USU, Tahun 2001-2006, Ketua Program Studi Pascasarjana Hukum (S2&S3), tahun 2006-2010. Ketua Lembaga Kajian Hukum Ekonomi F. Hukum USU, tahun 2013.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
PEDOMAN PENULISAN JURNAL Jurnal Hukum dan Peradilan adalah media yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, terbit setahun 3 (tiga) kali (Maret, Juli dan Nopember). Jurnal Hukum dan Peradilan menerima sumbangan naskah di bidang Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan di media lain dengan ketentuan: 1. Naskah dikirim dalam bentuk karya tulis ilmiah seperti hasil penelitian lapangan, analisis/tinjauan putusan lembaga peradilan, kajian teori, studi kepustakaan serta gagasan kritis konseptual yang bersifat obyektif, sistematis, analitis, dan deskriptis. 2. Penulisan hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baku, lugas, sederhana dan mudah difahami dan tidak mengandung makna ganda. 3. Naskah harus orisinil dibuktikan dengan pernyataan akan keorisinilan naskah tersebut oleh penulis. 4. Naskah dapat dalam bahasa Indonesia sepanjang 15-25 halaman. Naskah diketik diatas kertas A4 menggunakan huruf Time New Roman ukuran 12, spasi 1,5. Naskah harus disertai abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, antara 100-150 kata. 5. Sistematika penulisan hasil penelitian harus mencakup: Judul, Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Abstrak (berhasa Indonesia dan bahasa Inggris), Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Metode Penelitian, Hasil penelitian dan Pembahasan, Kesimpulan, daftar Pustaka. 6. Sistematika penulisan analisis putusan, kajian teori, wacana hukum harus mencakup: Judul, Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Abstrak (berhasa Indonesia dan bahasa Inggris), Pendahuluan, Pembahasan (dibuat sub judul sesuai dengan permasalahan yang dibahas), Kesimpulan, Daftar Pustaka. 7. Penulisan daftar pustaka secara alfabetis mengikuti Turabian Style dengan tata cara penulisan sebagai berikut: Buku. Weiss, Daniel A. Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence, Seattle: University of Washington Press, 1962. Makalah. Knight, Robin. “Poland’s Feud in the Family.”, New York, 10 September 1990, 52-53, 56. Artikel Jurnal. Sommer, Robert. “The Personality of Vegetables: Bonatical Metaphors for Human Characteristics.” Journal of Personality 56, no. 4 (December 1988): 665-683. Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan. Tillich, Paul. “Being and Love” In Moral Principles of Action, ed. Ruth N. Anshen, 661-72. New York: Harper & Bros., 1952. Internet Rost, Nicolas, Gerald Schneider, and Johannes Kleibl. “A Global risk assessment model for civil wars.” Social Science research 38, no. 4 (December 2009): 921-933. http//www.sciencedirect.com/science/article/ B6WX84 WMM7CY1/2/aa8571448b4774e8831a (accessed October 15, 2009) 8. Daftar pustaka hendaknya dirujuk dari edisi paling mutakhir. 9. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (footnotes) mengikuti turabian Style dengan tata cara penulisan sebagai berikut: Buku.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 3 Nopember 2014
ISSN : 2303-3274
Daniel A. Weiss, Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence (Seattle: University of Washington Press, 1962), 62. Makalah. Robin Knight, “Poland’s Feud in the Family.”,U.S. New and Work Report, 10 September 1990, 52. Artikel Jurnal. Robert Sommer, “The Personality of Vegetables: Bonatical Metaphors for Human Characteristics.” Journal of Personality 56, no. 4 (December 1988): 670. Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan Paul Tillich, “Being and Love,” in Moral Principles of Action, ed. Ruth N. Anshen (New York): Harper & Bros., 1952), 663. Internet Nicolas Rost, Gerald Schneider, and Johannes Kleibl, “A global risk assessment model for civil wars,” Social Science Research 38, no.4 (December 2009): 922, http://www.sciencedirect.com/ science/ B6WX84WMM7CY1/2/aa85435453ae88c432a 10. Naskah kiriman dalam bentuk softcopy atau hardcopy yang dilampiri dengan biodata singkat (CV) penulis, copy NPWP penulis, alamat email, No. telp/hp, naskah dapat dikirim via email ke e-mail redaksi jurnal atau puslitbang kumdil Mahkamah Agung RI 11. Naskah dikirim atau diserahkan secara langsung, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum penerbitan kepada: Redaksi Jurnal Mahkamah Agung Gedung Skretariat Mahkamah Agung RI Jl. Jend. A. Yani Kav. 58 Lt. 10 Cempaka Putih Jakarta Pusat 13011 email: jurnalhukumperadilan @yahoo.co.id atau
[email protected] 12. Naskah yang tidak memenuhi format ketentuan diatas tidak akan diseleksi. Dewan editor berhak menyeleksi dan mengedit naskah yang masuk tanpa merubah substansi. Kepastian atau penolakan naskah akan diberitahukan kepada penulis. Prioritas pemuatan artikel didasarkan pada penilaian substansi dan urutan naskah yang masuk ke Redaksi Jurnal Mahkamah Agung. artikel yang tidak dimuat tidak dikembalikan kepada penulis.
Jurnal Hukum dan Peradilan Menyampaikan terima kasih Kepada para Mitra Bestari (referee) dan semua pihak Yang telah membantu penerbitan jurnal ini Volume 3 Nomor 3 Nopember 2014