Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan
Jurnal Hukum dan Peradilan memuat naskah/artikel yang bersumber dari hasil penelitian/penelaahan tentang Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan. Jurnal Hukum dan Peradilan terbit tiga kali dalam setahun (Maret, Juli, Nopember)
Penasehat
:
Penasehat Penanggung Jawab Pemimpin Umum Wakil Pemimpim Umum Dewan Redaksi : Pemimpin Redaksi Sekretaris Anggota
: : : :
Mitra Bestari
:
Tata Usaha
:
: : :
Dr. H.M. Hatta Ali, SH. MH. Dr. H. Mohammad Saleh, SH. MH. H. Suwardi, SH. MH. Ny. Siti Nurdjanah, SH. MH. Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH., MS. H. Moch. Amirullah Sholeh, SH. MM. R. Wijaya Brata K, S.Kom. MM. Dr. Ismail Rumadan, MH. Budi Suhariyanto, SH., MH. Moch. Iqbal, SH. Johanes Brata Wijaya, SH. Rita Herlina, SH. LLM. Mila Kurnia Rahma, SH. Dr. Lilik Mulyadi, SH., MH. Dr. M. Fauzan Anshori, SH. MH. Dr. Eva Achjani Zulfa, SH. MH. Hudan Isnawan, SH. M.SI. Rofran Samera, SH. MH Magdalena, S. Kom.
Alamat Redaksi : Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI Jln. Jend. A. Yani (By Pass) Kav. 58 Lt.10 Cempaka Putih, Jakarta Pusat 13011 Email:
[email protected] [email protected]
Isi Jurnal dapat dikutip dengan menyebut nama sumbernya (Citation is permitted with acknowledgement of the source)
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
Volume 3 Nomor 2 Juli 2014
Daftar Isi Pengantar Redaksi ………………………………………………………………………………………………….… Menggagas Konsep Dan Model Ideal Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Dan Justice Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime Di Indonesia Masa Mendatang .................................................
101
Lilik Mulyadi Penyelesaian Sengketa Wakaf di Pengadilan Agama …........…………………………..
117
Hj. Upi Komariah Green Constitution Indonesia (Diskursus Paradigmatik
Pembangunan
Berkelanjutan) ………………………....................……………………………………………………………….
127
Lucas Prakoso Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung (RUU MA) : Pengkajian Filosofi,
Sejarah,
Asas,
Norma
Dalam
Dinamika
Perkembangan
Ketatanegaraan Indonesia …………………………………………………………………………………….
137
Teguh Satya Bhakti Perbaikan
Prosedur
Pengujian
Peraturan
Perundang-Undangan
di
Mahkamah Agung …….............................................……………………………………………………..
149
M. Nur Sholikin Prospek Ombudsman Republik Indonesia Dalam Rangka Memperkuat Pelaksanaan Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara ....................
163
Enrico Simanjuntak Urgensi Harmonisasi Pola Promosi dan Mutasi Kepaniteraan Lingkungan Peradilan Umum Dan Agama .......………………………………………………………………………..
177
Budi Suhariyanto Testimonium de Auditu Telaah Perspektif Hukum Acara Perdata Dan Fiqh Asmuni Biodata Penulis Pedoman Penulisan Jurnal Hukum dan Peradilan Ucapan terima kasih kepada Mitra Bestari
191
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
DARI REDAKSI Bisminllahirrahmannirrahim Puji dan syukur sepatutnya senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Dzat Yang Maha Sempurna, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita bisa berbuat yang terbaik, amin. Salah satu program prioritas Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, yakni penerbitan jurnal Hukum dan Peradilan diharapkan menjadi upaya positif Puslitbang MA-RI sebagai Supporting Unit Mahkamah Agung RI secara kelembagaan untuk mendukung terwujudnya visi dan misi Mahkamah Agung RI yaitu: “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung”. Kehadiran Jurnal Hukum dan Peradilan sebagai media bagi insan peradilan, akademisi, praktisi dan pemerhati hukum diharapkan dapat menjadi wadah mengaktuasikan ide pemikiran melalui penelitian, pengkajian dan pengembangan hukum dan peradilan secara ilmiah, yang nantinya dapat menjadi pencerah ditengah upaya besar bangsa untuk menata pembangunan hukum dan peradilan di masa mendatang. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada yang mulia Ketua Mahkamah Agung RI dan seluruh Unsur Pimpinan Mahkamah Agung RI yang terus memberi dukungan untuk terbitnya jurnal ini, Juga terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI dan Kepala Puslitbang Kumdil MA-RI yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam proses penerbitan jurnal ini. Begitupun kepada para penulis yang telah berkontribusi mengirimkan artikelnya dan para Mitra Bestari yang telah meluangkan waktu untuknya mereview artikel para penulis, Semoga amal kebaikannya mendapat pahala yang setimpal dari Allah SWT. Yuhan Yang Maha Kuasa. Amin.
Jakarta, Maret 2014.
Redaksi
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Lilik Mulyadi MENGGAGAS KONSEP DAN MODEL IDEAL PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM UPAYA PENANGGULANGAN ORGANIZED CRIME DI INDONESIA MASA MENDATANG Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 2 hlm. 101 - 116 Praktek perlindungan hukum whistleblower dan justice collaborator khususnya dalam upaya penanggulangan organized crime di Negara Belanda, Jerman, dan Australia terhadap lembaga dan orientasi perlindungannya bersifat variatif dan parsial. Praktek perlindungan di Negara Belanda mempergunakan mekanisme Perjanjian Saksi (Witness Agreements) yaitu perjanjian antara jaksa penuntut umum dan saksi untuk memberikan kesaksian (testimoni) dengan penghargaan (reward) terutama terhadap kejahatan terorganizir (organized crime). Pada negara Jerman melalui undang-undang Perlindungan Saksi Dalam Proses Pemeriksaan Pidana dan Perlindungan Terhadap Korban (Zeugenschutzgesetz/ZschG). Pada hakikatnya, Zeugenschutzgesetz/ZschG mengatur dimensi untuk para saksi, baik saksi korban dan bukan saksi korban. Selain itu, juga diatur masalah hak-hak saksi baik sebelum proses persidangan maupun pada saat proses persidangan. Dalam aspek hak-hak saksi sebelum proses persidangan meliputi proses pemeriksaan saksi di Kepolisian dan Kejaksaan, perahasiaan identitas saksi, dan perubahan identitas saksi. Kemudian hak saksi pada saat proses persidangan berupa pemeriksaan secara terpisah dari tersangka dan pemeriksaan dengan rekaman kamera. Kemudian pada negara Australia melalui Program Perlindungan Saksi Nasional (National Witness Protection Program) dengan cara identitasnya dirahasiakan, tidak ada pertanggungjawaban secara pidana atau perdata, perlindungan dari pencemaran nama baik, perlindungan dari tindak pidana pembalasan dan perlindungan kondisional apabila namanya dipublikasikan ke media. Kata Kunci: Perlindungan hukum, whistleblower , justice collaborator dan organized crime Practice of whistleblower and justice collaborator law protection especially in the effort to destroy the organized crime in Holland, germany and Australia to institution and the protect orientation is variatif and partial. Protection practice in Holland uses witness agreements, it is the agreement between the public prosecutor and witness to give the testimony with reward especially to organized crime. In Germany, trough Witness Protection Law In Process Criminal Investigation and Protection Against Victims (Zeugenschutzgesetz/ZschG). Essentially, Zeugenschutzgesetz/ZschG rules the dimention for the witnesses, both witnesses and not the victims. Besides, it is also ruled about rights issues witnesses before the trial and during the trial process. On the aspect of witness rights before the trial include the examination of witnesses in the policemen and prosecution, the secret of witness identity and the changes of witness identity. Then, the witness right in the trial are separated examination of the suspect and inspection with a
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
camera recording. Then in Australia trough the National witness Protection Program with a secret identity, no responsibility in criminal and civil, the protection from the defamation, the protection from criminal acts of retaliation and conditional protection if their names are published to the media. Keywords: Law Protection, whistleblower, justice collaborator and organized crime.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Hj. Upi Komariah PENYELESAIAN SENGKETA WAKAF DI PENGADILAN AGAMA Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 2 hlm. 117 - 126 Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. (Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf). Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang; a). perkawinan; b). waris; c). wasiat; d). hibah; e). wakaf; f). zakat; g). infaq; h). shadaqah; dan i). ekonomi syari’ah. (Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diamandemen dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama). Dalam hal terjadi sengketa wakaf, upaya penyelesaian yang dilakukan pertama-tama adalah melalui upaya musyawarah, baru apabila kemudian dari musyawarah yang dilakukan belum menemukan titik temu, penyelesaiannya diupayakan melalui Pengadilan Agama Kata kunci: Sengketa, Waqaf, Pengadilan Agama Waqf is a legal act wakif to separate and / or give up some of their wealth either permanently or for a specified period in accordance with its importance for religious purposes and / or general welfare according to sharia. (Article 1, paragraph 1 of Law No. 41 of 2004 on Waqf). Religious Court duty and authority to examine, decide, and resolve the matter in the first instance between people who are Muslims in the field; a). marriage; b). inheritance; c). wills; d). grants; e). endowments; f). zakat; g). infaq; h). Sadaqah; and i). Shariah economy. (Article 49 paragraph (1) of Law No. 7 of 1989 as amended by Act No. 3 of 2006 on the Religious Courts). In the event of a dispute endowments, the remedies are done first is through the efforts of deliberation, new if done then of deliberation not come to fruition, the solution sought by the Religious Courts Keywords: Dispute, Waqf, Islamic Court
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Lucas Prakoso GREEN CONSTITUTION INDONESIA (DISKURSUS PARADIGMATIK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN) Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 2 hlm. 127 – 136 Upaya pemenuhan kebutuhan ekonomis manusia telah mengakibatkan kerusakan yang parah bagi ekosistem. Sadar bahwa sedang terjadi kerusakan terhadap sumber daya alam dan ekosistem yang semakin parah, berbagai upaya mulai dilakukan dengan mengadakan konvensi-konvensi internasional di bidang perlindungan lingkungan hidup yang telah menghasilkan kesepakatankesepakatan, baik yang bersifat mengikat (hard law) maupun yang tidak mengikat (soft law). Negara-negara peserta konvensi mengadopsi aturan-aturan yang telah disepakati kedalam legislasi mereka, dan bahkan untuk memperkuat perlindungan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan dan hak atas lingkungan yang baik untuk generasi sekarang maupun untuk generasi mendatang, norma-norma lingkungan hidup tersebut kemudian dimuat dalam konstitusi, termasuk konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945 paska amandemen. Kata kunci : kerusakan lingkungan, prinsip hukum lingkungan Internasional, keadilan antar generasi, pembangunan berkelanjutan dan konstitusi. Efforts to meet the economic needs of humans has resulted in severe damage to the ecosystem. Being aware that there is damage to natural resources and ecosystem are getting worse, various efforts underway to hold international conventions in the field of environmental protection has resulted in agreements, both of which are binding (hard law) and non-binding (soft law). Participating countries adopted the convention rules agrred up on into their legaislation, and even to strengthen the protection and enforcement of laws relating to environmental protection and the right to a good environment for the present dan future generations, environmental norms are then contained in the constitution including the Indonesian constitution, namely the post-UUD 1945 amandement. Keywords : environmental damage, international environmental law damage, intergerational equity, sustainable development, and constitution
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Teguh Satya Bhakti RANCANGAN UNDANG-UNDANG MAHKAMAH AGUNG (RUU MA): PENGKAJIAN FILOSOFI, SEJARAH, ASAS, NORMA DALAM DINAMIKA PERKEMBANGAN KETATANEGARAAN INDONESIA Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 2 hlm. 137 - 148 DPR mengajukan usul inisiatifnya untuk merubah kembali RUU MA karena 3 (tiga) landasan yaitu: pertama, adanya keinginan DPR untuk membentuk MA yang dapat mengemban kekusaan kehakiman untuk mewujudkan negara hukum dan mencapai tujuan negara, kedua, Undang-Undang tentang MA yang berlaku saat ini, dipandang masih terdapat kelemahan. ketiga, perlunya keperdulian atas harmonisasi dan sinkronisasi dengan RUU MA yang akan disusun dengan memperhatikan kepentingan penegakan hukum dan keadilan yang harus berbanding searah dengan kepentingan hukum dan keadilan masyarakat. Menurut hasil analisa, materi muatan RUU MA inisiatif DPR belum sesuai dengan prinsipprinsip Kekuasaan kehakiman yang merdeka khususnya menyangkut: Pertama, Pengawasan DPR Terhadap MA; Kedua, Pengaturan tengang subtansi putusan MA (pasal 97) yang tidak hanya melanggar indepedensi peradilan, namun juga mengenyampingkan prinsip negara berdasarkan hukum; Ketiga, Kriminalisasi Hakim jika hakim melanggar atau mengabaikan Pasal 94 jo. Pasal 96; Keempat, struktur organisasi kesekretariatan MA (pasal 35) menyebabkan penumpukan tugas, fungsi dan kewenangan yang amat besar pada Sekretariat MA; Kelima, Hukum Acara Hak Uji Materiil (pasal 90 ayat (8)) yang tidak dijelaskan lebih lanjut; Keenam, Pembagian Kamar Perkara yang menyebabkan terjadinya penggemukan sumber daya manusia dalam tingkat dan dengan tugas dan fungsi yang sama di Kepaniteraan MA; dan Ketujuh, Batasan Usia Minimal Hakim Agung. Kata kunci: Rancangan Undang-Undang, Mahkamah Agung, Perkembangan Ketatanegaraan Parliament proposed initiative to change back the bill MA for three (3) foundation: first, the desire of the House to form a Supreme Court that can carry kekusaan judiciary to realize the state of law and achieve the objectives of the state, second, the Law on the current MA , seen there are still weaknesses. Third, awareness of the need for harmonization and synchronization with the MA bill to be prepared with due regard to the interests of law enforcement and justice must be directly in line with the interests of law and public justice. According to the analysis, the substance of the bill by parliament yet the Supreme Court in accordance with the principles of independent judicial power, especially concerning: First, the House Oversight Against MA; Second, the Supreme Court decision setting tengang substance (Article 97), which not only violates the independency of the judiciary, but also waives the rule of law; Third, criminalization judge if the judge violated or ignored the Article 94 jo. Article 96; Fourth, the organizational structure of the secretariat of the Supreme Court (Article 35) causes a buildup of duties, functions and authority of the Secretariat
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
tremendous MA; Fifth, the Material Test Procedure Law Rights (Article 90 paragraph (8)) are not further described; Sixth, Room Sharing Case that cause fattening of human resources in the rate and with the same duties and functions by the Clerk of the Supreme Court; and Seventh, Minimum Age Limits for Supreme Court Justices. Keywords: Bill, the Supreme Court, constitutional development
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya M. Nur Sholikin PERBAIKAN PROSEDUR PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN DI MAHKAMAH AGUNG Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 2 hlm. 149 - 162 Peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang merupakan produk proses politik dan birokratik memerlukan mekanisme pengawasan melalui kekuasaan kehakiman. Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif diberi kewenangan untuk melakukan pengujiannya. Persoalan efektiifitas prosedur pemeriksaan permohonan di Mahkamah Agung menjadi topik utama yang diteliti. Metode yang digunakan untuk mengkaji persoalan tersebut dilakukan melalui penelitian normatif yang bersifat deskriptif dengan mengkaji peraturan perundangundangan dan bahan pustaka lainnya yang relevan. Penelitian menyimpulkan bahwa pengaturan dan praktek pemeriksaan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung saat ini belum mendukung penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. Kata kunci: Prosedur, Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Mahkamah Agung. Regulations under Laws which is the output of political and bureaucratic processes need to be supervised with a review mechanism by judicial power. Supreme Court as a judicial body have an authority to conduct the judicial review. The issue of the effectiveness procedures for judiical review regulation under law in the Supreme Court became the main topic of this research. This research is conducted through normative research methode, descriptive by studied legislation and other relevant library materials. The study concluded that the regulation and implementation for the judicial review application in the Supreme Court do not support the principles of transparency and accountability. Therefore, it is necessary to make revisions to the Supreme Court Regulation No. 1 Year 2011 on the Rights of the Judicial Review. Keywords: Procedures, Testing Laws and Regulations, the Supreme Court
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Enrico Simanjuntak PROSPEK OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DALAM RANGKA MEMPERKUAT PELAKSANAAN EKSEKUSI PUTUSAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 2 hlm. 163 -176 Posisi dan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) masih belum optimal sebagaimana ditandai banyaknya putusan yang diabaikan. Mengacu kepada pendekatan sistem hukum, dimana antara PERATUN dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) sama-sama bertujuan untuk mendorong terwujudnya good governance serta menjamin perlindungan hukum bagi masyarakat dari tindakan hukum publik administrasi pemerintahan, maka ORI sangat memungkinkan untuk diserahkan tugas dan tanggung jawab sebagai eksekutor independen putusan PERATUN. Dalam pada itu, ORI perlu diberi kewenangan untuk mendorong, mengawasi dan menjatuhkan sanksi terhadap pihak Tergugat yang tidak bersedia melaksanakan putusan PERATUN maupun terhadap pihak lain yang menghalanghalangi pelaksanaan putusan PERATUN. Kata Kunci : Peradilan Tata Usaha Negara, Ombudsman Republik Indonesia, Eksekutor Independen The position and function of Administrative Court so weak that the verdict is much neglected. Referring to the approach of the legal system, where the Administrative Court and Ombudsmen of Republic of Indonesia (ORI) equally aims to promote good governance and ensure the legal protection of the public from the actions of public administration law, the ORI is possible to be handed the duties and responsibilities as independent executor PERATUN decision. In the meantime, the Ombudsmen should be given the authority to promote, supervise and impose sanctions against the defendant who is not willing to implement the decision PERATUN or against other parties who obstruct the implementation of the decision PERATUN. Keywords : Administrative Court, Ombudsmen of the Republic of Indonesia, Independet Executor.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Budi Suhariyanto URGENSI HARMONISASI POLA PROMOSI DAN MUTASI KEPANITERAAN LINGKUNGAN PERADILAN UMUM DAN AGAMA Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 2 hlm. 177 - 190 Terdapat perbedaan pola promosi dan mutasi kepaniteraan pada lingkungan peradilan Umum (SK KMA No: 140/KMA/SK/VIII/2013) dan Agama (SK Dirjen Badilag No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013). Menyikapi perbedaan tersebut, maka upaya harmonisasi pengaturan pola promosi dan mutasi kepaniteraan antar lingkungan peradilan (khususnya Lingkungan Peradilan Umum dengan Agama) di bawah Mahkamah Agung adalah cukup urgen. Perlu dipertimbangkan beberapa upaya yaitu: (1). Sinkronisasi kedudukan peraturan atau jenis ketentuan yang mengatur tentang pola promosi dan mutasi kepaniteraan (disetarakan dalam SK KMA); (2). Kebijakan pemisahan pengaturan pola promosi dan mutasi Hakim dengan kepaniteraan dalam SK KMA yang berbeda; (3). Harmonisasi ketentuan dalam pengaturan promosi dan mutasi kepaniteraan. Kata Kunci: Jabatan, Karir, Kepaniteraan There is a different registrar promotion pattern and mutation on general to religious court. Accordingly, important to get promotion pattern harmony and mutation to taking on this differences among of court (in particular general to religious court) under the supreme of court. Some efforts to consider are: (1). The equality of regulation or types of regulation on registrar promotion pattern and mutation (which is synchonized on the head desicion supreme of court. (2). The regulatory separation promotion pattern and judges mutation to registrar on the head desicion supreme of court. (3). Regulatory harmony on the registrar promotion and mutation. Keyword: function, career, registrar
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci bersumber dari artikel lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya Asmuni TESTIMONIUM DE AUDITU TELAAH PERSPEKTIF HUKUM ACARA PERDATA DAN FIQH Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 2 hlm. 191 - 202 Saksi adalah orang atau pihak yang mendengar dan mengetahui sendiri apa yang menjadi kesaksiannya. Akan tetapi, ada juga saksi yang disebut testimonium de auditu yaitu kesaksian dari pendengaran orang lain, artinya keterangan yang didapat dari orang lain atau tidak diketahui secara langsung. Kesaksian ini menurut fiqh disebut dengan Syahādah al Istifāḍah dan ada pula yang menyebutnya dengan al-Syahâdah bi al-Tasâmu’i. Secara teoritis, testimonium de auditu menjadi masalah karena berseberangan dengan makna saksi yang sebenarnya. Oleh karena itu dalam penerapannya terutama di kalangan para fuqaha’ terjadi silang pendapat. Berangkat dari silang pendapat ini, permasalahan kekuatan kesaksian testimoni dibahas dalam dua perspektif yaitu dalam hukum acara perdata dan fiqh. Dari telaah eksploratif ini ditemukan bahwa testimonium de auditu tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti langsung dalam persidangan, akan tetapi kesaksian de auditu dapat dikonstruksikan oleh hakim sebagai bahan persangkaan oleh hakim. Sedangkan Syahādah al Istifāḍah dalam hukum acara perdata Islam memiliki kekuatan dan bahkan kekuatannya bersifat sempurna pada masalah-masalah tertentu semisal kepemilikan dan penetapan keturunan. Bahkan para fuqahâ’ lebih jauh menyatakan bahwa kekuatan kesaksian testimonium ini lebih kuat dari dua orang saksi yang memenuhi syarat formil dan syarat materiil. Kata kunci: Testimonium de Auditu, Hukum Acara, Fiqh The witness is the person or party who hear and know themselves what the testimony. However, there are also witnesses called testimonium de auditu namely hearing the testimony of others, meaning that the information obtained from another person or not known directly. This testimony is called the Shahadah according fiqh al Istifāḍah and some are calling it the bi al-Shahada al-Tasâmu'i. Theoretically, testimonium de auditu be a problem as opposed to the actual meaning of the witness. Therefore in practice, especially among the jurists' disagreement occurs. Departing from this disagreement, the problems discussed in the testimony of the strength of the testimony of two perspectives: in civil law and jurisprudence. From this exploratory study found that testimonium de auditu can not be used as direct evidence in the trial, but a testimony de auditu can be constructed by a judge as an allegation by a judge. While Shahada al Istifāḍah in Islamic civil law has the power and strength are perfect even on specific issues such as ownership and determination of offspring. Even the jurists' further states that the strength of this testimonium stronger testimony of two witnesses who qualify formal and material requirements. Keywords: Testimonium de Auditu, Procedural Law, Fiqh
MENGGAGAS KONSEP DAN MODEL IDEAL PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM UPAYA PENANGGULANGAN ORGANIZED CRIME DI INDONESIA MASA MENDATANG Lilik Mulyadi Pengadilan Negeri Jakarta Utara Jl. Laks. RE. Martadinata No.4, Ancol Selatan
[email protected]
Abstrak Praktek perlindungan hukum whistleblower dan justice collaborator khususnya dalam upaya penanggulangan organized crime di Negara Belanda, Jerman, dan Australia terhadap lembaga dan orientasi perlindungannya bersifat variatif dan parsial. Praktek perlindungan di Negara Belanda mempergunakan mekanisme Perjanjian Saksi (Witness Agreements) yaitu perjanjian antara jaksa penuntut umum dan saksi untuk memberikan kesaksian (testimoni) dengan penghargaan (reward) terutama terhadap kejahatan terorganizir (organized crime). Pada negara Jerman melalui undangundang Perlindungan Saksi Dalam Proses Pemeriksaan Pidana dan Perlindungan Terhadap Korban (Zeugenschutzgesetz/ZschG). Pada hakikatnya, Zeugenschutzgesetz/ZschG mengatur dimensi untuk para saksi, baik saksi korban dan bukan saksi korban. Selain itu, juga diatur masalah hak-hak saksi baik sebelum proses persidangan maupun pada saat proses persidangan. Dalam aspek hak-hak saksi sebelum proses persidangan meliputi proses pemeriksaan saksi di Kepolisian dan Kejaksaan, perahasiaan identitas saksi, dan perubahan identitas saksi. Kemudian hak saksi pada saat proses persidangan berupa pemeriksaan secara terpisah dari tersangka dan pemeriksaan dengan rekaman kamera. Kemudian pada negara Australia melalui Program Perlindungan Saksi Nasional (National Witness Protection Program) dengan cara identitasnya dirahasiakan, tidak ada pertanggungjawaban secara pidana atau perdata, perlindungan dari pencemaran nama baik, perlindungan dari tindak pidana pembalasan dan perlindungan kondisional apabila namanya dipublikasikan ke media. Kata Kunci: Perlindungan hukum, whistleblower , justice collaborator dan organized crime Abstract Practice of whistleblower and justice collaborator law protection especially in the effort to destroy the organized crime in Holland, germany and Australia to institution and the protect orientation is variatif and partial. Protection practice in Holland uses witness agreements, it is the agreement between the public prosecutor and witness to give the testimony with reward especially to organized crime. In Germany, trough Witness Protection Law In Process Criminal Investigation and Protection Against Victims (Zeugenschutzgesetz/ZschG). Essentially, Zeugenschutzgesetz/ZschG rules the dimention for the witnesses, both witnesses and not the victims. Besides, it is also ruled about rights issues witnesses before the trial and during the trial process. On the aspect of witness rights before the trial include the examination of witnesses in the policemen and prosecution, the secret of witness identity and the changes of witness identity. Then, the witness right in the trial are separated
Ketua Pengadilan Negeri / Perikanan Klas IA Khusus Jakarta Utara, Lektor Kepala Fakultas Hukum Universitas Prima Indonesia Medan, Universitas Jayabaya Jakarta, Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Universitas Veteran Jakarta dan Universitas Merdeka Malang, Email:
[email protected]
101
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 101-116
examination of the suspect and inspection with a camera recording. Then in Australia trough the National witness Protection Program with a secret identity, no responsibility in criminal and civil, the protection from the defamation, the protection from criminal acts of retaliation and conditional protection if their names are published to the media. Keywords: Law Protection, whistleblower, justice collaborator and organized crime.
A.
Terminologis, Regulasi dan Praktek terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator di Indonesia Dikaji dari perspektif terminologis, whistleblower dan justice collaborator diartikan sebagai “peniup peluit”, ada juga menyebutnya sebagai “saksi pelapor”, “pengadu”, “pembocor rahasia”, “saksi pelaku yang bekerja sama”, “pemukul kentongan”, “cooperative whistleblower”, “participant whistleblower”, “collaborator with justice”, “supergrasses”“pentiti”/“pentito”/“callaboratore della giustizia” atau bahkan “pengungkap fakta”. Pada perkembangan terakhir, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor: 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu disebutkan sebagai pelapor tindak pidana adalah orang yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya, sehingga seorang pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. Terminologis whistleblower dalam bahasa Inggris disebut sebagai “peniup peluit” karena dianalogkan sebagai wasit dalam pertandingan sepakbola atau olahraga lainnya yang meniup peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran sehingga dalam konteks ini diartikan sebagai orang yang mengungkapkan fakta kepada publik adanya sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi, serta tindak pidana lainnya. Selain itu, whistleblower diartikan sebagai “peniup peluit” juga dimaknai sebagai pelaku kriminal yang membongkar kejahatan (saksi mahkota). Dalam perkembangan berikutnya, whistleblower berkembang dipelbagai negara baik dalam ruang lingkup negara penganut anglo saxon maupun negara eropa kontinental maupun juga negara penganut quasi anglo saxon dan eropa kontinental, antara lain Amerika Serikat melalui Whistleblower Act 1989 dimana whistleblower yang dilindungi terhadap tindakan pemecatan, penurunan pangkat, pemberhentian sementara, ancaman, gangguan dan tindakan diskriminasi;Afrika Selatan melalui Pasal 3 Protected Disclosures Act Nomor 26 Tahun 2000 dimana whistleblower diberi perlindungan dari accupational detriment atau kerugian yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan; Canada melalui Section 425.1 Criminal Code of Canada dimana whistleblower dilindungi dari pemberi pekerjaan yang memberikan hukuman disiplin, menurunkan pangkat, memecat atau melakukan tindakan apapun yang merugikan dari segi pekerjaan dengan tujuan untuk mencegah pekerja memberikan informasi kepada pemerintah atau badan pelaksanaan hukum atau untuk membalas pekerja yang memberikan informasi;Australia melalui Pasal 20 dan Pasal 21 Protected Disclosures Act 1994 dimana whistleblower identitasnya dirahasiakan, tidak ada pertanggungjawaban secara pidana dan perdata, perlindungan dari pencemaran nama baik, perlindungan dari pembalasan dan perlindungan kondisional apabila namanya dipublikasikan ke media; dan Inggris diatur dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Public Interest Disclousures Act 1998 dimana whistleblower tidak boleh dipecah dan dilindungi dari viktimisasi serta perlakuan yang merugikan. Di Negara Indonesia, hakikat whistleblower dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan sebagai orang yang memberi informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor. 102
Konsep dan Model Ideal Perlindungan Hukum Whistleblower dan Justice Collaborator, Lilik Mulyadi
Kemudian dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban hanya disebut sebagai “pengungkap fakta” tanpa memberi pengertiannya. Quentin Dempster menyebut whistleblower sebagai orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya malpraktik, atau korupsi.1Mardjono Reksodiputro menyebut sebagai pembocor rahasia atau pengadu.2 Perkembangan ide justice collaborator sebenarnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 37 ayat (2) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) dimana ditegaskan bahwa, “Each State Party shall consider providing for the possibility, in appropriate cases, of mitigating punishment of an accused person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in accordance with this Convention”. Kemudian dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC dikemukakan bahwa, “Each State Party shall consider providing for the possibility, in accordance with fundamental principles of its domestic law, of granting immunity from prosecution to a person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in accordance with this Convention”.Selanjutnya, dalam Surat Keputusan Bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan Mahkamah Agung maka justice collaborator adalah seorang saksi, yang juga merupakan pelaku, namun mau bekerja sama dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya. Pada dasarnya, lahirnya undang-undang yang memfasilitasi kerja sama saksi pelaku (justice collaborator) dengan penegak hukum diperkenalkan pertama kali di Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Fasilitasi tersebut tak lain untuk menghadapi para mafia, yang sejak lama telah menerapkan omerta (sumpah tutup mulut sekaligus merupakan hukum tertua dalam dunia Mafioso Sisilia). Untuk kejahatan terorisme, penggunaan justice collaborator dipraktikkan di Italia (1979), Portugal (1980), Irlandia Utara, Spanyol (1981), Prancis (1986) dan Jerman (1989) sedangkan untuk kejahatan narkoba diterapkan di Yunani (1970), Perancis, Luxemburg dan Jerman. Kemudian dalam negara-negara tersebut terminologis justice collaborator dipergunakan berbeda seperti “supergrasses” (Irlandia), “pentiti” atau “pentito” (Italia) yang berarti “mereka telah bertobat” atau disebut “callaboratore della giustizia”. Dalam ketentuan hukum positif Indonesia, whistleblower dan justice collaborator selintas diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme, UU Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Yang Terorganisir (United Nations Convention Against Transnational Organized Crime 2000), UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana PerdaganganOrang, PPNomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, PP Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi di Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, PP Nomor 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi dan Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme, 1
Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Calloborator Dalam Perspektif Hukum, Penaku, Jakarta, 2012, hlm. 7 2 Mardjono Reksodiputro, Pembocor Rahasia/Wistle Blowers dan Penyadapan (Wiretapping, Electronic Interception) Dalam Menanggulangi Kejahatan Di Indonesia, Wacana Goverminyboard, hlm. 13 103
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 101-116
PP Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Tata Cara dan Syarat Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Peraturan Kapolri Nopol 5 Tahun 2005 tentang Teknis Pelaksanaan Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Keluarganya dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme, Peraturan Kapolri Nopol 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana, Peraturan BersamaMenteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,Jaksa Agung Republik Indonesia,Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor: M.HH-11.HM..03.02.th. 2011 Nomor: PER-045/A/JA/12/2011, Nomor: 1 Tahun 2011, Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011 Nomor: 4 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama,Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor:08/M.PAN-RB/06/12 tanggal 29 Juni 2012 tentang Sistem Penanganan Pengaduan (Whistleblower System) Tindak Pidana korupsi Di Lingkungan Kementrian/Lembaga dan pemerintah Daerah, Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor: 04 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu dan lain sebagainya. Di Indonesia, praktik perlindungan whistleblower dan justice collabolator dilakukan terhadap Vincentius Amin Sutanto, Agus Condro Prayitno, Yohanes Waworuntu, Susno Duadji, dan Endin Wahyudin3.Kemudian di negara asing, misalnya pada Colen Rowey (Amerika Serikat), Jeffrey Wigand (Amerika Serikat), Shanmughan Manjunath (India), Yoichi Mitzuni (Jepang)4, dan lain sebagainya. B.
3
Menggagas Konsep Dan Model Ideal Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collabolator Dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime Di Indonesia Masa Mendatang 1. Lembaga Perlindungan Sebuah persoalan krusial dan substansial dari perspektif lembaga perlindungan masa mendatang (ius constituendum) adalah dimensi tentang eksistensi lembaga mana sekiranya paling ideal berwenang untuk menangani dan memberikan perlindungan terhadap seorang whistleblower maupun justice collaborator. Dimensi ini perlu mendapat atensi penting karena berkorelasi dengan proses penanganan laporan agar dapat ditangani secara tepat, cepat, efektif
Vincentius Amin Sutanto mantan financial controller di Asina Agri Group melakukan pembobolan uang Asian Agri dengan membuat dua aplikasi transfer fiktif dari PT Asian Agri Oils and Fats Ltd ke Bank Fortis, Singapura dengan memalsukan tanda tangan dan kemudian memberi keterangan tentang penggelapan yang dilakukan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Kemudian Agus Condro Prayitno dalam kasus dugaan suap BI kepada Hamka Yandu, Yohanes Waworuntu mengenai masalah Sisminbankum dan Endin Wahyudin tentang kasus yang melibatkan suap terhadap tiga hakim agung. 4 Colen Rowey adalah seorang agen khusus FBI yang mengungkapkan kelambanan FBI yang mungkin menyebabkan terjadnya serangan teroris pada tanggal 11 September 2001 di World Trade Center dan pentagon. Jeffrey Wigand seorang direksi di Bagian Riset dan Pengembangan (1988-1993) perusahaan rokok Brown and Williamson Tobacoo Coorporation yang memberi laporan atau kesaksian atas praktik manipulasi kadar nikotin rokok yang diduga terjadi diperusahaan itu kemudian kisah ini diangkat dilayar lebar (1996) dengan judul film ”The Insider” dimana film tersebut memenangi Piala Oscar 1996. Shanmughan Manjunath seorang manajer di perusahaan minyak milik negara India yang mengungkapkan skema penjualan bensin tidak murni, dan Yoichi Mitzutani seorang presiden direktur perusahaan penyimpanan Nishinomiya Reizo di Jepang yang melaporkan mengenai penipuan yang dilakukan oleh Snow Brand Food Co. Snow telah melakukan pelabelan palsu. 104
Konsep dan Model Ideal Perlindungan Hukum Whistleblower dan Justice Collaborator, Lilik Mulyadi
dan di sisi lainnya seorang whistleblower maupun justice collaborator mendapat perlindungan, jaminan keamanan atas informasi yang diberikannya. Dikaji dari peraturan perundang-undangan masa kini (ius constitutum) seorang whistleblower maupun justice collaborator dapat melaporkan kepada LPSK, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Yudisial, Ombudsman Republik Indonesia, PPATK, Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Kejaksaan. Terdapat permasalahan tersendiri dalam konteks ini yaitu banyaknya lembaga yang dapat menerima laporan dari seorang whistleblower maupun justice collaborator. Dikaji dari perspektif sistem peradilan pidana maka dimensi ini berkorelatif terhadap lembaga mana paling krusial untuk menangani laporan tersebut dan akhirnya nanti bermuara kepada penjatuhan pidana terhadap seorang whistleblower maupun justice collaborator. Secara tegas dengan lain perkataan dapat disebutkan bahwa apakah lembaga-lembaga sebagaimana konteks di atas, di luar sistem peradilan pidana mempunyai legitimasi dalam hal dapat memberi keringanan hukuman terhadap seorang whistleblower maupun justice collaborator.Kemudian dari perspektif banyaknya lembaga berwenang menangani laporan seorang whistleblower maupun justice collaborator akan menimbulkan problem tersendiri dapat muncul kepermukaan seperti problem kewenangan berkorelasi dengan perlindungan hukum, seperti dapat bersinggungan dengan kewenangan antar aparat penegak hukum atau lembaga satu dengan lainnya. Misalnya, pelaksanaan UU Nomor 13 Tahun 2006 terkait pemahaman atas fungsi, tugas dan kewenangan LPSK dalam konteks pemberian perlindungan terhadap seorang whistleblower maupun justice collaborator dimana pelaksanaan tugas tersebut potensial bersinggungan dengan kewenangan penegak hukum lain (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK) khususnya terkait pelaksanaan Pasal 10 UU Nomor 13 Tahun 2006. Konsekuensi logisnya, diperlukan ada penegasan kewenangan, fungsi dan tugas serta kordinasi antar lembaga untuk melakukan perlindungan terhadap whistleblower maupun justice collaborator sehingga diharapkan hubungan dan kordinasi antar lembaga tersebut relatif tidak menjadi kendala ketika dilakukan implementasi praktek dan pelaporan terhadap seorang whistleblower maupun justice collaborator. Terlebih dengan adanya sistem pengajuan permohonan perlindungan terlebih dahulu kepada LPSK, kemudian dilanjutkan proses penilaian memakan waktu dan energi dari para whistleblower dan/atau justice collaborator sehingga birokratisasi demikian akan menyulitkan bagi mereka yang memiliki keterbatasan akses misalnya berada dipelosok daerah yang jauh dari Kantor LPSK di Jakarta maka hal ini tentu akan membuat pelayanan perlindungan terhadap mereka menjadi kurang efektif dan efisien. Oleh karena itu apabila eksistensi LPSK tetap dipertahankan dan secara fungsional juga dibutuhkan sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana sebagaimana penegak hukum lain (guna menguatkan LPSK diakomodir dan dikuatkan kewenangannya dalam reformulasi pembaharuan hukum acara pidana agar tidak terjadi tumpang tindih dengan penegak hukum dan menghilangkan anggapan saling intervensi), maka perlu didirikan kantor-kantor LPSK di daerah, bahkan bila perlu di setiap Kabupaten dan Kota. Namun apabila eksistensi LPSK yang notabene adalah ad hock tersebut dan keberadaannya hanyalah sementara sembari menunggu proses perbaikan paradigma perlindungan saksi, pelapor dan justice collaborator dari penegak hukum maka sudah tentu kantor-kantor perwakilan LPSK di daerah tersebut tidak diperlukan, mengingat anggaran negara yang dikeluarkan akan sangat besar sekali. Selain itu ditinjau dari perspektif asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, penggemukan institusi sistem peradilan pidana secara lambat laun akan memperlambat proses penyelesaian perkara pidana. Sehingga kewenangan perlindungan saksi, pelapor dan justice collaborator tersebut dilekatkan pada unit internal dari penegak hukum. Misalnya seperti unit perlindungan khusus di kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Idealnya memang dari kajian perspektif perbandingan kelembagaan hendaknya dibuat peraturan tentang lembaga khusus yang hanya mengatur, menangani dan berwenang khusus 105
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 101-116
terhadap whistleblower maupun justice collaborator secara tersendiri dan bersifat integral seperti di Amerika Serikat dengan The U.S. Office of Special Counsel (OSC), sesuai dengan sistem peradilan pidana yang hendak dibangun. Konsekuensi logis dimensi ini, memang diperlukan adanya sebuah pembaharuan sistem hukum pada umumnya dan khususnya pembaharuan tentang ketentuan hukum acara pidana yang sesuai dengan jiwa, sistem, kultur masyarakat Indonesia yang berkorelasi dengan sistem peradilan pidana Indonesia.
2. Konsep Pendekatan Keadilan Restoratif (Restorative Justice Approach) Konsep Pendekatan Keadilan Restoratif5(Restorative Justice Approach) kiranya relatif cocok untuk perlindungan hukum terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam upaya penanggulangan organized crime di Indonesia masa mendatang. Ada beberapa argumentasi yang dapat dikemukakan dalam hal ini mengapa konsep pendekatan keadilan restoratif yang dikedepankan, yaitu: Bahwa dalam hal penanganan perlindungan hukum terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam upaya penanggulangan organized crime relatif tidak dapat diterapkan asas equality before the law dan asas non-impunity karena tindak pidana yang bersifat organized crime terlalu kompleks, multi dimensional dan melintasi batas negara dimana untuk pengungkapannya mutlak memerlukan adanya whistleblower dan justice collaborator sehingga konsekuensi logisnya tidak semua orang harus diperlakuan sama karena ada aspek tertentu yang membedakan orang tersebut dengan orang lain sehingga perbedaan itu membuka ruang dan dimensi seseorang dapat saja tidak dijatuhi pidana asal bertanggung jawab atas perbuatannya dengan melakukan pemulihan keseimbangan seperti keadaan semula (restitutio in integrum) akibat perbuatan yang telah dilakukannya. Tegasnya, dalam hal ini diterapkan asas kesamaan hukum yang adil (equality before the justice) ; Konsep pendekatan restorative justice berlandaskan pada asas ketidaksamaan sebagai keadilan. Kontribusi yang diberikan oleh justice collaborator dalam mengungkap kasus
5
Keadilan restoratif (restorative justice) diperkenalkan pertama kali oleh Albert Eglash yang diartikan sebagai suatu alternatif pendekatan restitutif terhadap pendekatan keadilan retributif dan keadilan rehabilitatif. (J. Hudson dan Galaway, Restitution in Criminal Justice, Lexington, Massachusset, USA, 1977, hlm. 95). Oleh karena itu, prinsip-prinsip umum pendekatan restoratif adalah prinsip penyelesaian yang adil (due process), perlindungan yang setara, hak-hak korban, proporsionalitas, praduga tak bersalah dan hak bantuan konsultasi atau penasihat hukum. (Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 126-136). Pasal 1 angka 6 UU 11 Tahun 2012 menyebutkan keadilan restorative adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihaan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Howard Zehr menyebutkan bahwa, “Restorative justice is touded as a long-overdue third model or a new “lens” a way of hopping off the seesaw, of heading more consistently in a new direction while enrolling both liberal politicanc who support the welfare model and conservatives who support the justice model”. (Howard Zehr, Retributive Justice, Restorative Justice, New Perspectives on Crime and Justice: Occasional papers of the MCC Canada Victims Offender Ministeries Program the MCC, U.s. Office of Criminal Justice, No. 4, Canada Victim Offender Ministries Program, Ontario, 1985, hlm. 10) dan Tony Marshall menyebut, “Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future”. (Tony Marshall, Restorative Justice on Tial in Britain, in Restorative Justice on Trial: Pitfalls and Potentials of victim-offender MediationInternational Research Perspectives, edited by H. Messmer and H.U. Otto Dordrecht, Kluwer Academic Publishers, Boston, 1992, hlm. 11) 106
Konsep dan Model Ideal Perlindungan Hukum Whistleblower dan Justice Collaborator, Lilik Mulyadi
korupsi ini dijadikan dasar yang membedakannya dengan koruptor biasa. Sehingga, kontribusinya ini menjadi dasar untuk menghindarkannya dari pemidanaan; 6 Pengungkapan kasus-kasus yang pelik dengan perlindungan hukum terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam upaya penanggulangan organized crime melalui pendekatan keadilan restoratif (restorative justice approach) akan memberikan rangsangan, berani mengungkapkan kebenaran, serta perasaan tidak takut sehingga diharapkan nantinya berdampak orang akan berlomba-lomba untuk menjadi seorang whistleblower dan justice collaborator ; Penjatuhan pidana terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam perkara yang termasuk organized crime pada hakikatnya adalah untuk memanusiakan manusia agar menjadi orang yang baik. Aspek dan dimensi ini pararel dengan eksistensi UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan dimana lembaga pemasyarakatan merupakan tempat untuk membuat narapidana menjadi orang yang baik. Filsafat pemidanaan dan penjatuhan pidana di Indonesia bukan berdasarkan filsafat retributif, melainkan filsafat integratif. Oleh karena ini, untuk masa kini hendaknya pendekatan keadilan restoratif yang paling harus dikedepankan Indonesia; dan Konsep pendekatan restorative justice di satu sisi dengan perlindungan hukum terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam upaya penanggulangan organized crime di sisi lainnya, kemudian adanya reward dan sekaligus melekat tanggung jawab bagi whistleblower dan justice collaborator diharapkan dapat mengungkapkan secara signifikan terhadap perkara yang berdimensi organized crime. Dalam dimensi ini, memang diperlukan perlindungan khusus bagi whistleblower dan justice collaborator. Mengapa demikian, tiada lain karena para whistleblower dan justice collaborator tidak akan berani memberikan keterangan apa yang dilihat dan dialami karena ancaman tekanan dan intimidasi bahkan terancam keselamatan jiwanya, sementara itu organized crime tersebut menimbulkan masalah dan ancaman serius terhadap stabilitas ekonomi, perdagangan, ancaman dan ketertiban masyarakat, sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. Pada dasarnya, konsep pendekatan keadilan restoratif (restorative justice approach) membangun dimensi agar seseorang berani untuk menjadi seorang whistleblower dan justice collaborator dalam perkara yang termasuk organized crime. Keputusan dan pendirian seseorang akan menjadi seorang whisterblower dan justice collaborator perlu diapresiasi dengan baik sehingga membangun kesadaran dan polarisasi berfikir bahwa keputusan tersebut akan sangat berguna dan mempunyai jasa dalam rangka mengungkapkan perkara organized crime. Konsekuensi logisnya, penjatuhan pidana yang akan dijatuhkan hakim kepada seorang whistleblower dan justice collaborator mempunyai dimensi keadilan. Pemidanaan yang berdimensi keadilan di satu sisi, pararel dengan pengungkapan kasus yang bersifat organized crime di sisi lainnya, membawa pemidanaan seseorang sesuai asas pemasyarakatan, memanusiakan narapidana atau pelaku tindak pidana (offender) menjadi manusia yang baik.
3. Syarat dan Jenis Perlindungan Pada hakikatnya, sebenarnya syarat dan jenis perlindungan kepada whistleblower dan justice collaborator berorientasi kepada ketentuan Pasal 37 ayat (3) Konvensi PBB Anti
6
Yutirsa Yunus, Rekomendasi Kebijakan Perlindungan Hukum Justice Callaborator: Solusi Akselerasi Pelaporan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Konferensi Kebijakan Perencanaan Pembangunan Nasional 2013, Paper, hlm. 16 107
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 101-116
Korupsi 2003 yang diratifikasi Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 2006. Ketentuan tersebut menentukan bahwa, “Each State Party shall consider providing for the possibility, in accordance with fundamental principles of its domestic law, of granting immunity from prosecution to a person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in accordance with this Convention”, (setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini). Ide dasar perlindungan berupa imunitas terhadap justice collaborator tersebut identik dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2006, dimana pemberian imunitas dapat dijadikan sebagai “bargain position” bagi para pelaku ketika memberikan informasi akurat dan berkualitas kepada aparat penegak hukum. Dimensi ini berkorelasi dengan ketentuan Pasal 32 Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dimana diwajibkan untuk diberikan perlindungan. Pemberian perlindungan kepada justice collaborator diharapkan untuk mengungkap jaringan kasus bersifat organized crime, sebagaimana termaktub dalam Pasal 24 Konvensi Palermo tentang Transnational Organize Crime, tentang protection of witnesses atau perlindungan saksi, yang menentukan bahwa: 1. Each State Party shall take appropriate measures within its means to provide effective protection from potential retaliation or intimidation for witnesses in criminal proceedings who gives testimony concerning offences covered by this convention and, as appropriate, for their relatives an other persons close to them. 2. The measures envisaged in paragraph 1 of this article may include, inter alia, without prejudice to the rights of the defendant, including the right o due process: (a) Establishing procedures for the physical protection of such persons, such as, to the extend necessary and feasible, relocating them and permitting, where appropriate, non disclosure of information concerning the identity and whereabouts of such persons; (b) Providing evidentiary rules to permit witness testimony to be given in a manner that ensures the safety of the witness, such as permitting testimony to be given through the use of communications technology such as video links or other adequate means. 3. States Parties shall consider entering into agreements or arrangements with other States for the relocation of persons referred to in paragraph 1 of this article. 4. They provisions of this article shall also apply to victims insofar as they are witnesses. Selanjutnya, dari dimensi konteks di atas maka seorang whistleblower dan justice collaborator merupakan pelapor ada dugaan tindak pidana, atau pelaku dari tindak pidana yang dilaporkannya. Konsekuensi logis aspek tersebut, maka syarat untuk dapat dilindunginya seorang whistleblower dan justice collaborator mengakui keterlibatannya dalam perkara yang bersifat organized crime, mau melakukan kerjasama yang integral, kooperatif dan partisipatif dengan aparat penegak hukum dalam mengungkapkan kasus tersebut, serta mau melakukan pengembalian terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana bersifat organized crime. Kemudian dengan bertitik tolak kepada ide dan syarat perlindungan, selanjutnya jenis perlindungan yang mungkin dapat diperoleh seorang whistleblower dan justice collaborator adalah perlindungan terhadap tuntutan pidana dan/atau perdata dari laporannya, kemudian juga dapat berupa perlindungan terhadap tuntutan pidana dan/atau perdata atas kasus atau perkara yang telah dilaporkannya, dan juga perlindungan dari tuntutan pidana dan/atau perdata atas kasus yang lain. 108
Konsep dan Model Ideal Perlindungan Hukum Whistleblower dan Justice Collaborator, Lilik Mulyadi
4. Model Perlindungan 4.1. Model hak-hak prosedural atau model partisipasi langsung atau aktif (the procedural rights model/partie civile model/civil action system). Model ini memungkinkan berperan aktifnya (saksi korban/pelapor)7 dalam proses peradilan pidana seperti membantu Jaksa/Penuntut Umum, dilibatkan dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara, wajib didengar pendapatnya apabila terpidana dilepas bersyarat, memberi pertimbangan dalam menentukan pidana (victim opinion statement) dan lain sebagainya. Akan tetapi, dengan adanya keterlibatan saksi korban/pelapor mempunyai segi positif dalam penegakan hukum seperti memenuhi semangat pembalasan saksi korban/pelapor serta meningkatkan arus informasi kepada hakim. Akan tetapi ada juga segi negatif karena partisipasi aktif saksi korban/pelapor dalam pelaksanaan proses peradilan pidana dapat menyebabkan terciptanya konflik antara kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi saksi korban/pelapor yang dapat memicu dendam baru yang menjurus pada “secondary victimization”. Pada hakikatnya, model ini pada negaranegara Anglo Saxon yang sistem peradilan pidananya dibangun atas dasar “Adversary or Battle Model” akan menimbulkan kesulitan untuk melibatkan peranan pihak ketiga (korban). Dalam sistem Eropa Kontinental dimana berlaku sistem Inquisitur lebih terbuka kemungkinan untuk memberikan ruang gerak kepada kontribusi korban selama persidangan karena persidangan bukan merupakan “legal contest” antara jaksa dan pengacara/pelaku.8 4.2. Model pelayanan atau model partisipasi secara tidak langsung atau model pasif (the services model). Dimensi ini menekankan pada pemberian ganti kerugian dalam bentuk kompensasi, restitusi dan upaya pengambilan kondisi korban yang mengalami trauma, rasa takut dan tertekan akibat kejahatan.9Model ini penekanannya diletakkan pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan (saksi korban/pelapor), yang dapat digunakan oleh polisi. Contoh pembinaan disini yakni dalam bentuk pedoman dalam rangka notifikasi kepada korban atau kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan saksi korban sebelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para penegak hukum yang lain. Keuntungan model ini adalah bahwa model ini dapat digunakan sebagai sarana pengembalian apa yang dinamakan integrity of the system of institutionalized trust, dalam kerangka perspektif komunal. Saksi dan atau korban (saksi korban/pelapor) akan merasa dijamin kembali 7
Korban kejahatan dipergunakan dalam beberapa terminologis dikaji dari perspektif ilmu kriminologi, victimologi dan hukum positif Indonesia (ius constitutum) sesuai Sistem Peradilan Pidana Indonesia yaitu sebagai pelapor (Pasal 108 KUHAP, Pasal 32-34 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 jo UU 15 Tahun 2003, Pasal 8387 UU Nomor 8 Tahun 2010), pengadu (Pasal 72 KUHAP), saksi korban (Pasal 160 KUHAP), pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 80, 81 KUHAP), pihak ketiga yang dirugikan (Pasal 98, 99 KUHAP), dan perseorangan, masyarakat dan negara (Pasal 18, 41, 42 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001). Pada hakikatnya secara konseptual korban kejahatan tidak diakui eksistensinya sebagai pihak yang dirugikan karena kejahatan dalam perspektif hukum pidana sehingga korban tidak sebagai pihak/bagian dari sistem peradilan pidana. Konsekuensi logisnya, maka adanya implikasi sistem peradilan pidana yang tidak ada korelasi yang jelas antara korban, pelanggar hukum pidana (tersangka, terdakwa, terpidana), polisi dan jaksa penuntut umum. 8 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus Indonesia Dalam Teori dan Praktik, PT Alumni, Bandung, 2012, hlm. 211 9 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum..., Ibid. 109
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 101-116
kepentingannya dalam suasana tertib sosial yang adil sehingga diciptakan suasana tertib, terkendali, dan saling mempercayai. Keuntungan yang lainnya pada model ini dianggap dapat menghemat biaya sebab dengan bantuan pedoman yang baku, peradilan pidana dapat mempertimbangkan kerugian-kerugian yang diderita oleh saksi dan atau korban dalam rangka menentukan kompensasi bagi si korban. Kelemahan model semacam ini antara lain: kewajiban-keajiban yang di bebankan kepada polisi, jaksa dan pengadilan untuk selalu melakukan tindakan-tindakan tertentu kepada saksi dan atau korban, dianggap akan membebani aparat penegak hukum karena semuanya didasarkan atas sarana dan prasarana yang sama. Efisiensi dianggap juga akan terganggu, sebab pekerjaan yang bersifat profesional tidak mungkin digabungkan dengan urusan-urusan yang dianggap dapat mengganggu efesiensi. Model ini menentukan standar baku tentang pelayanan terhadap saksi korban yang dilakukan oleh polisi, jaksa dan hakim, misalnya: Pelayanan kesehatan, pendampingan, pemberian kompensasi dan ganti rugi serta restitusi. Masalah yang timbul dalam model ini adalah sulit untuk memantau, apakah pelayanan itu benar-benar diterima saksi dan korban.10 4.3. Model Persuasif/Partisipatif Model persuasif/partisipatif merupakan perlindungan terhadap whistleblower dan justice collaborator yang bersifat menyeluruh yang melibatkan komponen Sistem Peradilan Pidana yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan/pemasyarakatan dan KPK untuk perkara korupsi. Pada pokoknya tugas dan kewenangan dari Kepolisian sebagai lembaga penyidikan terhadap perkara pidana umum dan pidana khusus. Lembaga Kejaksaan merupakan lembaga yang melakukan penuntutan terhadap perkara pidana umum dan khusus yang dilimpahkan oleh lembaga Kepolisian. Kemudian KPK merupakan lembaga yang berwenang melakukan penyidikan dan sekaligus penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang bersifat extra ordinary crime ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Berikutnya lembaga pengadilan yang mempunyai tugas dan kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara perdata, tindak pidana umum dan tindak pidana khusus yang diajukan kepadanya. Akhirnya, lembaga pemasyarakatan/pemasyarakatan merupakan lembaga pelaksana pidana dengan tugas dan wewenang sebagai tempat pembinaan narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan yaitu suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Dimensi ini dilakukan karena konsisten dengan alur bagan dari Sistem Peradilan Pidana baik secara teoretis maupun sesuai pandangan doktrina. Model persuasif/partisipatif sesuai Sistem Peradilan Pidana dalam arti sempit ini terlihat dari bagan 1 berikut ini.
10
Imam Turmudhi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower..., Op. Cit., hlm. 51-52
110
Konsep dan Model Ideal Perlindungan Hukum Whistleblower dan Justice Collaborator, Lilik Mulyadi
Bagan 1: Model Persuasif/Partisipatif Sesuai Sistem Peradilan Pidana Dalam Arti Sempit Kepolisian
Lembaga Pemasyarakatan
Justice Collaborator/Whistleblower
Kejaksaan
Pengadilan Dalam dimensi ini, timbul permasalahan bagaimana dengan LPSK? Apabila eksistensi LPSK sebagaimana ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2006 masih tetap dipertahankan, atau LPSK dimodefikasi dengan memperluas kewenangannya, maka hendaknya harus juga dimasukan dalam komponen Sistem Peradilan Pidana yang diperluas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara masa mendatang. Begitu pula halnya, apabila ingin membangun lembaga baru bersifat independen dan mandiri yang khusus menangani mengenai whistleblower dan justice collaborator sebagaimana dikenal di negara AS, Jerman, Belanda, dan lain-lain. Model persuasif/partisipatif sesuai Sistem Peradilan Pidana dalam arti luas terlihat dari model bagan 2 berikut ini. Bagan 2: Model Persuasif/Partisipatif Sesuai Sistem Peradilan Pidana Dalam Arti Luas Kepolisian
LPSK / Lembaga Baru
KPK
Justice Collaborator/Whistleblower
Lembaga Pemasyarakatan
Pengadilan
Kejaksaan
111
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 101-116
Model persuasif / partisipatif baik sesuai dengan Sistem Peradilan Pidana dalam arti sempit maupun arti luas bersifat integral dimana antara komponen tersebut saling berkorelasi antara satu dengan lainnya. Apabila seorang whistleblower dan justice collaborator melapor kepada satu lembaga saja, maka keseluruhan komponen lembaga tersebut akan melindungi. Aspek positif dapat dikedepankan dalam dimensi ini relatif dapat dihindarkan adanya kriminalisasi terhadap whistleblower dan justice collaborator sehingga model perlindungan persuasif/partisipatif ini akan memberi dimensi rasa aman, menghindarkan rasa takut terhadap tuntutan pidana dan/atau perdata serta mempunyai dimensi kepastian hukum (rechts-zekerheid) kepada whistleblower dan justice collaborator. 4.4. Model Perlindungan Komprehensif Model perlindungan komprehensif ini direkomendasikan oleh Yutirsa Yunus. Perlindungan justice collaborator harus dilakukan secara komprehensif atau menyeluruh mulai dari: (1) tahap pemberian laporan oleh justice collaborator; (2) tahap penindaklanjutan laporan yang terdiri atas penyelidikan, penyidikan, hingga pengadilan; dan (3) tahap putusan oleh pengadilan atas kasus korupsi yang dilaporkan tersebut. Dimensi ini dapat dilihat sebagaimana tabel 1 berikut ini. Tabel 1: Perlindungan Komprehensif Bagi Justice Collaborator
LAPORAN Justice Collaborator Penindaklanjutan Laporan Penyelidikan Penyidikan
Perlindungan Komprehensif
Pengadilan
Putusan Pengadilan
Perlindungan komprehensif ini dimaksudkan agar justice collaborator dituntut oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan atas laporannya. Tuntutan balik tersebut memberikan dampak negatif terhadap upaya pemberantasan korupsi, oleh karenanya
112
Konsep dan Model Ideal Perlindungan Hukum Whistleblower dan Justice Collaborator, Lilik Mulyadi
justice collaborator jatuhnya putusan pengadilan yang bersifat tetap (Inkracht) atas kasus yang dilaporkannya tersebut.11 4.5. Model Penjatuhan Pidana Bersyarat Hakikat model penjatuhan pidana bersyarat adalah mengelaborasi dari Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2011 dan ketentuan Pasal 37 ayat (2) UNCAC/Konvensi PBB Anti Korupsi 2003. Seorang pelapor tindak pidana (whistleblower) merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Kemudian terhadap saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator), maka pelaku merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan sebagai pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan. Kemudian Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutan pidananya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang mempunyai peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana. Atas bantuan tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dalam dalam menjatuhkan pidana yang akan dijatuhkan dapat menjatuhkan pidana bersayarat khusus dan/atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara tersebut. Dalam pemberian perlakuan khusus berupa keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan keadilan masyarakat. Hakekat dimensi ini, identik dengan ketentuan Pasal 37 ayat (2) UNCAC/Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang berbunyi, “Each State Party shall consider providing for the possibility, in appropriate cases, of mitigating punishment of an accused person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in accordance with this Convention”. (Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberi kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu, memberi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi ini).Dalam prakteknya, model penjatuhan pidana bersyarat ini telah dilakukan oleh Mahkamah Agung RI melalui Putusan Nomor 920K/Pid.Sus/2013 terhadap terdakwa Thomas Claudius Ali Junaididengan ratio decidendi Putusan Mahkamah Agung tersebut membenarkan alasan kasasi terdakwa sebagai justice collaborator kemudian Mahkamah Agung membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi, mengadili sendiri dengan menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 1 (satu) tahun dengan ketentuan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jikalau dikemudian hari terdakwa melakukan tindak pidana sebelum masa percobaan selama 2 (dua) tahun berakhir. Putusan Mahkamah Agung ini menerobos ketentuan pidana minimal selama 5 (lima) tahun sesuai ketentuan Pasal 114 ayat (1) UU 35 Tahun 2009 yang didakwakan kepada terdakwa. 4.6. Model Perlindungan Melalui Teleconference Salah satu bentuk perlindungan menangani perkara bersifat organized crime terhadap whistleblower dan justice collaborator yang merasa terancam jiwanya ketika dilakukan pemeriksaan didepan persidangan adalah melalui pemeriksaan dengan 11
Yutirsa Yunus, Rekomendasi Kebijakan Perlindungan Hukum..., Op. Cit., hlm. 19 113
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 101-116
teleconference. Pemeriksaan demikian dalam hukum positif Indonesia belum diatur, walaupun prakteknya telah dikenal dan dilakukan. Pada awalnya, persidangan menggunakan media teleconference mengundang perdebatan panjang. Ada pendapat yang pro dan tak sedikitnya menentangnya. Padahal apabila disimak lebih jauh dalam dunia peradilan di Indonesia, teleconference pernah dilakukan dalam persidangan Rahardi Ramelan, Pengadilan HAM Ad Hoc serta perkara Abu Bakar Ba’asyir dan untuk di Bali dalam perkara peradilan kasus Bom Bali dengan terdakwa Ali Gufron Alias Muhklas diselenggarakan teleconference dari kesaksian Wan Min bin Wan Mat dari Malaysia. Akan tetapi terlepas dari dimensi di atas, untuk menyiasati teleconference sebagai bentuk kemajuan teknologi dalam hukum acara pidana sebagai salah satu cara mendapatkan kebenaran materiel maka sangat memungkinkan dan rasional apabila pemeriksaan di depan persidangan terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam upaya penanggulangan organized crime di Indonesia masa mendatang hendaknya dipergunakan media teleconference. Urgensi, eksistensi dan relevansi adanya media teleconference ini diakui oleh M. Mohammad Saleh sebagai berikut: “Pada tahun 2002 ketika saya menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri/Niaga/HAM Jakarta Pusat dalam memberikan perlindungan pada Whistleblower dan Justice Collaborator yaitu pada saat persidangan perkara Abu Bakar Ba’asyir yang didakwakan melakukan tindak pidana makar pada Negara Republik Indonesia dengan bertempat di gedung BMG Kemayoran telah melakukan pemeriksaan saksi-saksi yang berada di Singapura dan malaysia dengan melalui Teleconference pada saat itu belum diundangkan Undang-Undang Terorisme dan undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, pada saat itu undang-undang belum mengatur tentang pembuktian melalui teleconference. Memang harus diakui perkembangan teknologi lebih cepat perkembangannya daripada perkembangan hukum. Namun, demi untuk mencari kebenaran materiil dirasa perlu untuk mendengarkan keterangan saksi-saksi yang berada di Singapura dan Malaysia terutama mereka yang ikut kegiatan yang dilakukan oleh Abubakar Ba’syir di Malaysia dan Singapura pada saat itu (Justice Collaborator). Alhasil setelah teleconference tersebut dilaksanakan cukup memberikan gambaran bagi Majelis tentang kegiatan Abu Bakar Ba’syir dikedua negara itu”.12 C. Kesimpulan dan Saran Menggagas konsep dan model ideal perlindungan hukum terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam upaya penanggulangan organized crime di Indonesia masa mendatang hendaknya meliputi dimensi lembaga perlindungannya, syarat, jenis dan juga model perlindungannya berupa model hak-hak prosedural atau model partisipasi langsung atau aktif (the procedural rights model/partie civile model/civil action system), model pelayanan atau model partisipasi secara tidak langsung atau model pasif (the services model), model persuasif/partisipatif, model perlindungan komprehensif, atau model penjatuhan pidana bersyarat dan model perlindungan melalui teleconference. Hendaknya perlu dipikirkan secara lebih mendalam apakah tetap mempertahankan LPSK seperti sekarang ini, LPSK baru dengan diperluas kewenangannya ataukah lembaga baru bersifat mandiri dan independen yang mengatur khusus tentang whistleblower dan justice collaborator 12
H. Mohammad Saleh, Keynote SpeechWakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Dalam Rapat Koordinasi Antara LPSK Dengan Unsur Aparat Penegak Hukum Dalam Proses peradilan Pidana Dengan Tema “Membangun Sistem perlindungan Dan Pemberian Penghargaan Kepada Justice Collaborator (Saksi Pelaku Yang Bekerja Sama) Pada Tindak Pidana Terorganisasi”, dalam: Majalah Varia Peradilan, Majalah Hukum, Tahun XXVII No. 333, Agustus 2013, hlm. 8 114
Konsep dan Model Ideal Perlindungan Hukum Whistleblower dan Justice Collaborator, Lilik Mulyadi
sebagaimana dikenal di Negara Amerika Serikat, Afrika Selatan, Belanda, Jerman, Albania, dan lain sebagainya. Selain itu, hendaknya dibuat regulasi baru sebagai penyempurnaan UU Nomor 13 Tahun 2006 dan hukum positif Indonesia lainnya yang mengatur mengenai whistleblower dan justice collaborator sehingga perlindungan tersebut bersifat lebih lengkap, memadai dan komprehensif.Perlu difikirkan lebih mendalam dengan mempertimbangkan dari pelbagai sudut pandang tentang apakah terhadap whistleblower dan justice collaborator khususnya dalam upaya penanggulangan organized crime perlu dilakukan penuntutan ataukah tidak, atau juga hanya dijatuhkan pidana ringan berupa penjatuhan pidana percobaan.
Daftar Pustaka Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Calloborator Dalam Perspektif Hukum, Penaku, Jakarta, 2012 H. Mohammad Saleh, Keynote SpeechWakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Dalam Rapat Koordinasi Antara LPSK Dengan Unsur Aparat Penegak Hukum Dalam Proses peradilan Pidana Dengan Tema “Membangun Sistem perlindungan Dan Pemberian Penghargaan Kepada Justice Collaborator (Saksi Pelaku Yang Bekerja Sama) Pada Tindak Pidana Terorganisasi”, dalam: Majalah Varia Peradilan, Majalah Hukum, Tahun XXVII No. 333, Agustus 2013 Howard Zehr, Retributive Justice, Restorative Justice, New Perspectives on Crime and Justice: Occasional papers of the MCC Canada Victims Offender Ministeries Program the MCC, U.s. Office of Criminal Justice, No. 4, Canada Victim Offender Ministries Program, Ontario, 1985 Imam Turmudhi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Kasus Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Studi Kasus Susno Djuadji), Tesis, Program Studi Pasca Sarjana Kekhususan Kejahatan Ekonomi dan Anti Korupsi, Jakarta, Juli 2011 J. Hudson dan Galaway, Restitution in Criminal Justice, Lexington, Massachusset, USA, 1977 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus Indonesia Dalam Teori dan Praktik, PT Alumni, Bandung, 2012 Mardjono Reksodiputro, Pembocor Rahasia/Wistle Blowers dan Penyadapan (Wiretapping, Electronic Interception) Dalam Menanggulangi Kejahatan Di Indonesia, Wacana Goverminyboard Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013 Tony Marshall, Restorative Justice on Tial in Britain, in Restorative Justice on Trial: Pitfalls and Potentials of victim-offender Mediation-International Research Perspectives, edited by H. Messmer and H.U. Otto Dordrecht, Kluwer Academic Publishers, Boston, 1992 Yutirsa Yunus, Rekomendasi Kebijakan Perlindungan Hukum Justice Callaborator: Solusi Akselerasi Pelaporan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Konferensi Kebijakan Perencanaan Pembangunan Nasional 2013, Paper
115
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 101-116
116
PENYELESAIAN SENGKETA WAKAF DI PENGADILAN AGAMA Upi Komariah Pengadilan Agama Bandung Jl. Terusan Antapani No. 120 Antapani Tengah, Kota Bandung
[email protected]
Abstrak Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. (Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf). Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang; a). perkawinan; b). waris; c). wasiat; d). hibah; e). wakaf; f). zakat; g). infaq; h). shadaqah; dan i). ekonomi syari’ah. (Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diamandemen dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama). Dalam hal terjadi sengketa wakaf, upaya penyelesaian yang dilakukan pertama-tama adalah melalui upaya musyawarah, baru apabila kemudian dari musyawarah yang dilakukan belum menemukan titik temu, penyelesaiannya diupayakan melalui Pengadilan Agama Kata kunci: Sengketa, Waqaf, Pengadilan Agama Abstract Waqf is a legal act wakif to separate and / or give up some of their wealth either permanently or for a specified period in accordance with its importance for religious purposes and / or general welfare according to sharia. (Article 1, paragraph 1 of Law No. 41 of 2004 on Waqf). Religious Court duty and authority to examine, decide, and resolve the matter in the first instance between people who are Muslims in the field; a). marriage; b). inheritance; c). wills; d). grants; e). endowments; f). zakat; g). infaq; h). Sadaqah; and i). Shariah economy. (Article 49 paragraph (1) of Law No. 7 of 1989 as amended by Act No. 3 of 2006 on the Religious Courts). In the event of a dispute endowments, the remedies are done first is through the efforts of deliberation, new if done then of deliberation not come to fruition, the solution sought by the Religious Courts Keywords: Dispute, Waqf, Islamic Court
A. Pendahuluan Peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, hal mana memiliki kompetensi relatif maupun kompetensi absolut. Kewenangan relatif berkaitan dengan wilayah yurisdiksi pengadilan, sedangkan kompetensi absolut merupakan kewenangan peradilan agama dalam materi hukum, seperti sengketa pada wakaf, baik tingkat pertama, banding maupun kasasi. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan perubahan pertama dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, dalam undang-undang tersebut di dalamnya membahas tentang kompetensi absolut berkaitan dengan Penyelesaian perkara sengketa wakaf.13 Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya
13
Lihat : Pasal 49 Ayat 1 Huruf b, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama 117
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 117-126
untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.14 Praktek wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus harta wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian disebabkan tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan Nadzir dalam mengelola dan mengembangkan benda wakaf, melainkan juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf. Harta wakaf pada prinsipnya adalah milik umat, dengan demikian manfaatnya juga harus dirasakan oleh umat dan oleh karena itu pada tataran idealnya, maka harta wakaf adalah tanggung jawab kolektif guna menjaga keeksisannya. Dengan demikian maka keberadaan lembaga yang mengurusi harta wakaf mutlak diperlukan sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian negaranegara Islam. Indonesia masih terkesan lamban dalam mengurusi wakaf sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Implikasinya menyebabkan banyaknya harta-harta wakaf yang kurang terurus dan bahkan masih ada yang belum dimanfaatkan. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf tersebut, memberikan setitik harapan bagi perkembangan dinamis wakaf di Indonesia. UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 tersebut mengamanatkan pemerintah untuk memberikan pembinaan terhadap lembaga wakaf di Indonesia agar dapat berperan meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum. Negara Indonesia memiliki masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Kondisi yang demikian ini tentunya menjadikan masalah pengelolaan wakaf, menjadi suatu masalah yang sangat urgen dan sangat rentan. Munculnya penyimpangan pada pengelolaan wakaf akan menjadikan suatu masalah serius dalam dinamika kehidupan beragama di negara Indonesia apabila penyelesaian atas masalah tersebut tidak dilakukan secara hati-hati dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku15. Sebagai contoh wakaf tanah di Indonesia sampai Juni 2013 tercatat sebanyak 429.911 lokasi yang tersebar di seluruh pelosok tanah air Indonesia dengan luas mencapai 3.996.056.866,102 M2. Dari jumlah lokasi tersebut 287.112 lokasi di antaranya sudah mempunyai sertifikat, sedangkan sisanya 142.799 lokasi belum bersertifikat dengan rincian sebagai berikut, 33.544 (16%) lokasi terdaftar di BPN, 107.745 (51%) lokasi belum terdaftar di BPN, 39.141 (18,5%) sudah AIW (Akta Ikrar Wakaf) dan 30.709 (14,5%) belum AIW.16 Berdasarkan data tersebut, menunjukan bahwa banyaknya wakaf tanah yang dilakukan dengan berbagai cara, termasuk pula data-data pendukung yang kurang akurat, sehingga menimbulkan rentan permasalahan di kemudian hari. Hal ini memungkinkan terjadinya sengketa yang ujungnya diselesaikan di Pengadilan Agama, baik di tingkat pertama, banding, dan tingkat kasasi. Wakaf sebagai suatu institusi keagamaan, disamping berfungsi “ubudiyah” juga berfungsi sosial. Ia adalah sebagai suatu pernyataan dari perasaan iman yang mantap dan rasa solidaritas yang tinggi antar sesama manusia. Oleh karenanya, wakaf adalah salah satu usaha mewujudkan dan memelihara hablum minallah dan hablum minnass. Dalam fungsinya sebagai ibadat, ia diharapkan akan menjadi bekal bagi kehidupan si wakif (orang yang berwakaf ) di hari kemudian. Ia adalah suatu
14
Pasal 1 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf http://jelita249.blogspot.com/2009/08/penyelesaian-sengketa-wakaf.html 16 Kementerian Agama RI, Bimas Islam dalam Angka 2012, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2012, hlm. 54 15
118
Penyelesaian Sengketa Wakaf di Pengadilan Agama, Upi Komariah
bentuk amal yang pahalanya akan terus menerus mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan17. Dalam sebuah hadits dijelaskan, ada 3 (tiga) hal yang akan terus mengalir manfaatnya dari amal seseorang sampai sesudah ia wafat, yaitu: Shadaqah jariyah, ilmu yang diajarkan yang terus menerus diamalkan orang, dan anak yang sholeh yang mendo’akannya (HR Muslim). Yang dimaksud dengan shodaqoh jariyah dalam hadits tersebut ialah wakaf18. Maka dengan wakaf si wakif akan selalu mendapat kiriman pertolongan disaat tak seorang pun yang dapat memberikan pertolongan. Begitu tinggi nilai ‘Ubudiyah praktek wakaf, sehingga seperti diceritakan oleh Jabir bin Abdullah, tidak seorangpun di antara sahabat Rasulullah yang mempunyai harta yang tidak diwakafkan sebagian hartanya. Dalam fungsi sosialnya wakaf merupakan aset amat bernilai dalam pembangunan. Wakaf, di samping merupakan usaha pembentukan watak dan kepribadian seorang muslim untuk rela melepaskan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain, juga merupakan investasi pembangunan yang bernilai tinggi, tanpa memperhitungkan jangka waktu dan keuntungan materi bagi yang mewakafkan. Peranannya dalam pemerataan kesejahteraan di kalangan umat dan penanggulangan kemiskinan adalah termasuk diantara sekian sasaran membutuhkan pertolongan. Itulah sebabnya mengapa ketika seorang sahabat Rasulullah yang ingin mewakafkan sebagian hartanya. Rasulullah menasehati agar ia berwakaf kepada sanak familinya yang sedang membutuhkan pertolongan. Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari disebutkan bahwa Tsabit dan Anas menceritakan bahwa Rasulullah bersabda kepada Abi Thalhah, “Jadikanlah harta wakafmu itu untuk para fakir miskin dari kalangan kaum kerabatmu”. Lalu Thalhah berwakaf kepada Hasan dan Ubay bin Ka’bah (keduanya adalah kerabat dekat Abi Thalhah). Wakaf kepada keluarga termasuk anak dan cucu, dalam Fiqih Islam disebut dengan wakaf az-Zurry atau wakaf al-Akhly, sedangkan untuk kepentinga umum disebut wakaf al-Khuiry. Kedua bentuk wakaf itu mendapat perhatian besar dalam ajaran Islam.19 Dari apa yang dikemukakan di atas, diperoleh gamabaran betapa pentingnya kedudukan wakaf dalam masyarakat Islam. Oleh karena itu, ia mendapat perhatian serius di kalangan ahli hukum fiqih, baik dari persyaratan yang menyangkut dengan sah dan batalnya, maupun dari segi efisiensi pendayagunaannya. Dalam buku-buku fiqih, wakaf mendapat perhatian tersendiri dan teorinya dibicarakan secara terinci. Namun dalam prakteknya di kalangan umat Islam wakaf mempunyai banyak permasalahan. Permasalahan-permasalahan itu, bukan saja muncul dalam masyarakat Islam di Indonesia, tetapi juga di negera-negera lain, dalam berbagai periode sejarah umat Islam. Diantara permasalahan yang dihadapi adalah tidak jelasnya status tanah wakaf yang diwakafkan sebelum adanya ketentuan pensertifikatan atau pendaftaran tanah wakaf secara resmi. Dalam kondisi yang demikian, bisa jadi seseorang atau ahli waris tidak mengakui adanya ikrar wakaf dari wakif. Banyak faktor yang mendorong seseorang untuk tidak mengakui adanya ikrar wakaf atau untuk menarik kembali harta yang telah diwakafkan, baik oleh yang mewakafkan sendiri, maupun oleh ahli warisnya. Diantaranya, makin langkanya tanah, makin tingginya harga, menipisnya kesadaran beragama, dan bisa jadi disebabkan orang yang berwakaf telah mewakafkan seluruh atau sebagoan besar dari hartanya, sehingga dengan demikian keturunannya merasa kehilangan sumber rejeki dan menjadi terlantar20. Praktek wakaf yang tidak memperhitungkan sumber rejeki bagi keturunan yang menjadi tanggung jawabnya, bisa menjadi malapetaka bagi generasi yang ditinggalkan.oleh sebab itu, tidak mustahil dijumpai ahli waris yang mengingkari adanya ikrar wakaf dari orang tuanya, tidak mau menyerahkan tanah wakaf kepada nazir yang ditunjuk, atau sama sekali tidak memberitahukan kepada 17
Satria Effendi, Analisa Yurisprudensi Peradilan Agama tentang Hahanah, Harta Bersama, Wasiat, Hibah, dan Wakaf, Jakarta: Pusdiklat Teknis Balitbang Diklat Kumdil MA RI, 2008, hal. 383 18 Ibid, 19 Ibid, hal. 384 20 Ibid, hal. 385 119
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 117-126
petugas adanya ikrar wakaf yang didengarnya dari orang tuanya. Disamping faktor-faktor tersebut di atas, tidak mengakui adanya ikrar wakaf bisa jadi juga disebabkan karena sikap serakah ahli waris, atau karena memang sama sekali tidak mengatahui adanya ikrar wakaf, karena tidak pernah diberitahu oleh orang tuanya. Wakaf dalam perspektif fikih didefinisikan sebagai perbuatan hukum menahan benda yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan bendanya untuk digunakan di jalan kebaikan. Hak milik berupa materi yang telah diwakafkan dianggap sebagai milik Allah yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat sesuai dengan tujuan wakaf. Sementara itu, menurut Abu Yusuf sebagaimana yang dikutip oleh Imbang J. Mangkuto, wakaf adalah melepaskan kepemilikan individu atas suatu harta (properti), menyerahkannya secara permanen kepada Allah SWT, dan mendedikasikan manfaatnya untuk orang lain.21 Kompilasi Hukum Islam memberikan definisi wakaf melalui Pasal 215 yang menyebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang, atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.22 Selanjutnya dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dinyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.23 Dari beberapa pengertian wakaf di atas, dapat ditarik cakupan wakaf, yaitu: a. Harta benda milik seseorang atau sekelompok orang. b. Harta tersebut dilepas kepemilikannya oleh pemiliknya. c. Harta yang dilepas kepemilikannya tersebut, tidak bisa dihibahkan, diwariskan, atau diperjualbelikan. d. Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum sesuai dengan ajaran agama Islam. Dalam fiqih Islam, wakaf sebenarnya dapat meliputi berbagai benda, walaupun berbagai riwayat atau hadits yang menceritakan masalah wakaf ini adalah mengenai tanah, tapi berbagai ulama memahami bahwa wakaf non tanahpun boleh saja asal bendanya tidak langsung musnah/habis ketika diambil manfaatnya. Hal tersebut juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, dimana dicantumkan dalam Pasal 16 yang menyebutkan bahwa harta benda wakaf terdiri dari benda bergerak dan benda tidak bergerak. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tidak membatasi bahwa wakaf hanya diperuntukkan untuk tanah saja, tetapi juga benda bergerak. Namun dalam praktik yang terjadi di Indonesia, pada umumnya kalau berbicara tentang wakaf, maka akan dikaitkan dengan tanah. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 mengatur wakaf secara umum, artinya UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 tidak mengatur secara khusus mengenai wakaf tanah hak milik, sehingga pelaksanaan wakaf tanah hak milik yang banyak terjadi di Indonesia tetap didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Di sinilah letak kekurangan dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, walaupun tujuan diterbitkannya UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 untuk memberikan pengaturan tentang pelaksanaan wakaf, namun Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 sendiri tidak mengatur secara khusus tentang wakaf tanah hak milik yang lebih banyak terjadi di Indonesia dibandingkan wakaf benda bergerak.
21
http://jelita249.blogspot.com Lihat pasal 215 Kompilasi Hukum Islam 23 Lihat pasal 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf 22
120
Penyelesaian Sengketa Wakaf di Pengadilan Agama, Upi Komariah
Adanya perkembangan lembaga perwakafan tanah milik yang berkembang di Indonesia mengilhami pembuat/perancang UUPA memasukkan salah satu pasal dalam UUPA yang mengatur khusus mengenai Perwakafan Tanah Milik ini, yaitu Pasal 49 yang berbunyi sebagai berikut: 1) Hak milik tanah benda-benda keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi; 2) Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam Pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai; 3) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Mengacu pada ketentuan yang termaktub dalam Pasal 49 UUPA di atas, maka ini merupakan pengakuan secara yuridis formal keberadaan perwakafan tanah milik oleh negara sehingga telah disejajarkan dengan hak-hak yang terdapat dalam UUPA lainnya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Namun demikian, perintah ayat (3) Pasal 49 tersebut terjawab setelah berlakunya UUPA kurang lebih 17 tahun, ketika setelah pada tahun 1977 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Kegunaan tanah wakaf adalah sebagaimana fungsi wakaf pada umumnya, yaitu untuk kemaslahatan umat, namun secara khusus Undang- Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mengatur bahwa peruntukan tanah wakaf adalah tergantung pada ikrar wakaf yang dibuat. Ikrar wakaf merupakan pengucapan suci yang diucapkan secara ikhlas untuk menyerahkan hartanya yang akan dipergunakan di jalan Allah. Oleh karena itu pihak yang akan memanfaatkan tanahnya harus melengkapi dengan surat-surat yang berkaitan dengan tanah tersebut. Hal tersebut diatur dalam Pasal 9 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, yaitu sebagai berikut: ”Dalam melaksanakan ikrar seperti dimaksud ayat (1), pihak yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada pejabat tersebut surat-surat berikut: (a) sertifikat hak milik atau bukti pemilikan tanah lainnya, (b) surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh kepala kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran kepemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu perkara, (c) surat keterangan pendaftaran tanah, (d) izin dari bupati/wali kota madya kepala daerah c.q. Kepala Subdirektorat Agararia setempat”. Apabila memperhatikan ketentuan Pasal 9 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 berikut penjelasannya di atas, tersirat bahwa Akta Ikrar Wakaf merupakan akta otentik yang dapat dipergunakan dalam penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari tentang tanah yang diwakafkan. Dengan perkataan lain, Akta Ikrar Wakaf merupakan alat bukti atas pelaksanaan wakaf sekaligus menerangkan status tanah wakafnya. Hal pokok yang sering menimbulkan permasalahan perwakafan dalam praktik adalah masih banyaknya wakaf tanah yang tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan akta ikrar wakaf. Pelaksanaan wakaf yang terjadi di Indonesia masih banyak yang dilakukan secara agamis atau mendasarkan pada rasa saling percaya. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan tanah yang diwakafkan tidak memiliki dasar hukum, sehingga apabila dikemudian hari terjadi permasalahan mengenai kepemilikan tanah wakaf penyelesaiannya akan menemui kesulitan, khususnya dalam hal pembuktian. Hal lain yang sering menimbulkan permasalahan dalam praktik wakaf di Indonesia adalah dimintanya kembali tanah wakaf oleh ahli waris wakif dan tanah wakaf dikuasai secara turun temurun oleh Nadzir yang penggunaannya menyimpang dari akad wakaf. Dalam praktik sering didengar dan dilihat adanya tanah wakaf yang diminta kembali oleh ahli waris wakif setelah wakif tersebut meninggal dunia. Kondisi ini pada dasarnya bukanlah masalah yang serius, karena apabila mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan, wakaf dapat dilakukan untuk waktu tertentu, sehingga apabila waktu yang ditentukan telah terlampaui, wakaf dikembalikan 121
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 117-126
lagi kepada ahli waris wakif. Namun khusus untuk wakaf tanah, ketentuan pembuatan akta ikrar wakaf telah menghapuskan kepemilikan hak atas tanah yang diwakafkan sehingga tanah yang diwakafkan tersebut tidak dapat diminta kembali. Selanjutnya mengenai dikuasainya tanah wakaf oleh Nadzir secara turun temurun dan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ikrar wakaf, hal ini dikarenakan kurangnya pengawasan dari instansi yang terkait. Ahli waris atau keturunan Nadzir beranggapan bahwa tanah tersebut milik Nadzir sehingga penggunaannya bebas sesuai kepentingan mereka sendiri. Hal ini akibat ketidaktahuan ahli waris Nadzir. Mendasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa alasan atau penyebab terjadinya sengketa wakaf adalah belum tertampungnya pengaturan tentang tanah wakaf yang banyak terjadi di Indonesia pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, masih banyaknya wakaf tanah yang tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan akta ikrar wakaf, dimintanya kembali tanah wakaf oleh ahli waris wakif dan tanah wakaf dikuasai secara turun temurun oleh Nadzir. B. Sengketa Wakaf Wakaf sebagai aset perekonomian umat memiliki potensi produktifitas yang besar untuk dikembangkan. Potensi ini didapat dari adanya akumulasi aset yang dimiliki. Berdasarkan data Departemen Agama RI pada tahun 2007 saja jumlah tanah wakaf di Indonesia mencapai 2.686.536.656,68 M2 atau sekitar 268.653,67 hektar (ha) yang tersebar di 366.595 lokasi di seluruh Indonesia.24 Jumlah tanah wakaf yang besar ini merupakan harta wakaf terbesar di dunia. Data ini sebagaimana potensi zakat yang diperoleh pada koran Republika yang memberitakan bahwa potensi zakat di seluruh Indonesia mencapai Rp 19 triliun per tahun, tetapi yang berhasil dikumpulkan oleh Badan Amil Zakat Daerah (Bazda) pada periode 2008 baru Rp 900 miliar.25 Begitupun data dari hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dilakukan pada tahun 2006, terhadap 500 responden nazir di 11 Propinsi, menunjukkan bahwa harta wakaf lebih banyak bersifat diam (77%) daripada yang menghasilkan atau produktif (23%). Temuan umum lainnya juga menunjukkan pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid (79%) daripada peruntukkan lainnya, dan lebih banyak berada di wilayah pedesaan (59%) daripada perkotaan (41%). Sedangkan para nazir pun tidak terfokus dalam mengelola, mereka mayoritas bekerja sambilan dan tidak diberi upah (84%), dan yang bekerja secara penuh dan terfokus ternyata amatlah minim (16 %). Selain itu, wakaf di Indonesia lebih banyak dikelola oleh perseorangan (66%) alias tradisional, dari pada organisasi professional (16%) dan berbadan hukum (18%). Dengan demikian, paling tidak ada dua problem mendasar untuk kemudian diperhatikan, yakni aset wakaf yang tidak diproduktifkan (diam) dan kapasitas nazir yang tidak profesional. Dalam kandungan potensi wakaf yang demikian besar ini dengan pengelolaan yang belum sepenuhnya ditangani secara profesional dan bervisi produktif, wakaf juga menyimpan potensi untuk lahirnya potensi konflik ataupun sengketa dalam pengelolaannya. Dalam hal penyelesaian kasus sengketa, Pengadilan Agama (selanjutnya ditulis “PA”) memiliki kompetensi untuk memutuskan kasus-kasus tersebut, karena PA bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam, yakni dalam bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, shadaqah, dan ekonomi syari’ah. Dari perkara yang diterima oleh PA secara nasional pada tahun 2007, sejumlah 217.084, perkara di bidang perkawinan merupakan jumlah terbesar, yaitu 213.933 perkara, atau sama dengan 98,5%. Perkara lainnya adalah di bidang
24 25
http://jie.staimafa.ac.id Republika, Senin. 02 Maret 2009
122
Penyelesaian Sengketa Wakaf di Pengadilan Agama, Upi Komariah
ekonomi syari’ah (12), kewarisan (1.373), wasiat (25), hibah (46), wakaf (19), shodaqah/zakat/infaq (25).26 Lahirnya Undang-undang Republik Indonesia No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf selain mampu memberikan pemberdayaan wakaf secara produktif, yakni pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern kiranya diharapkan mampu menjadi pedoman terhadap penyelesaian kasus-kasus sengketa wakaf yang muncul dalam realitas sosial. Apabila dalam Peraturan Pemerintah No.28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, konsep wakaf identik dengan tanah milik, dalam UndangUndang Wakaf yang baru ini konsep wakaf mengandung dimensi yang lebih luas. Ia mencakup harta tidak bergerak maupun yang bergerak, dan penggunaannya tidak terbatas untuk pendirian tempat ibadah. Dengan demikian, Undang-Undang Wakaf yang telah diperjuangkan ini harapannya akan diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial melakukan perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam terhadap perwakafan era kekinian. C. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Penanganan Sengketa Wakaf Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia Priesterrad (Pengadilan Agama) didirikan berdasarkan pada Staatsblad No. 152 tahun 1882, salah satu kewenangannya adalah menyelesaikan masalah wakaf. Setelah Indonesia merdeka pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan perwakafan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Kompilasi Hukum Islam dan kemudian UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Di dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dinyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang; a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari’ah. Dalam penjelasan pasal 49 UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 dinyatakan bahwa penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah didefinisikan sebagai perbuatan yang dijalankan menurut prinsip syari’ah, yaitu bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syaraiah, reksa dana syari’ah, obligasi syaraiah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah dana pensiun lembaga keuanagan syari’ah dan bisnis syari’ah. Pada pasal 50 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dinyatakan pula bahwa; (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. (2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49. Penjelasan pasal 50 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 menyebutkan bahwa “ketentuan ini memberi wewenang kepada pengadilan agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam pasal 49 apabila subjek sengketa antara orang-orang yang beragama Islam”. Sebagaimana data penelitian Legal Development Facility, kemitraan antara Indonesia dengan Australia yang dikutip oleh Jaih Mubarok (2008:181) bahwa selama tahun 2006 ada 181.077 perkara telah diputuskan di pengadilan Agama, sedangkan perkara wakaf hanya berjumlah 21 perkara (0,01%), perkara yang diselesaikan pada tingkat banding berjumlah 1.521 perkara, perkara wakaf hanya 4 (0,26 26
http://jie.staimafa.ac.id 123
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 117-126
%). Dan dengan dasar undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 ini ditetapkan perkara yang diterima oleh Pengadilan Agama secara nasional pada tahun 2007, sejumlah 217.084, perkara di bidang perkawinan merupakan jumlah terbesar, yaitu 213.933 perkara, atau sama dengan 98,5%. Perkara lainnya adalah di bidang ekonomi syari’ah (12), kewarisan (1.373), wasiat (25), hibah (46), wakaf (19), shodaqah atau zakat atau infaq (25). Penyelesaian sengketa wakaf pada dasarnya harus ditempuh melalui musyawarah. Berdasarkan UUW No.41 tahun 2004 pasal 62 ayat (2) apabila mekanisme musyawarah tidak membuahkan hasil, sengketa dapat dilakukan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan. Artinya bahwa kekuasaan yang diberikan kepada Pengadilan Agama sebagai penyelesai masalah sengketa wakaf adalah lembaga terakhir ketika proses musyawarah tidak mampu lagi menyelesaikan sengketa. Pasal 62 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menegaskan bahwa penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mufakat. Apabila penyelesaian sengketa melalui musyawarah tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan. Selanjutnya disebutkan dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh pihak yang bersengketa. Dalam hal mediasi tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa kepada badan arbitrase syariah. Dalam hal badan arbitrase syariah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah syariah. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang menyebutkan “Pengadilan Agama bertugas dan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam, di bidang: 1) perkawinan; 2) waris; 3) wasiat; 4) hibah; 5) wakaf; 6) zakat; 7) infaq; 8) shadaqah; dan 9) ekonomi syari’ah. D. Prosedur dan Tata Cara Penyelesaian Sengketa Wakaf Mengenai teknis dan tata cara pengajuan gugatan ke Pengadilan Agama, dilakukan menurut ketentuan yang berlaku. Kemudian Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa “Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan”. Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur masalah ketentuan pidana dalam perwakafan, namun demikian bukan karena kompilasi tidak setuju adanya ketentuan ini, akan tetapi lebih karena posisi kompilasi adalah merupakan pedoman dalam perwakafan. Oleh karena itu apabila terjadi pelanggaran pidana dalam perwakafan, maka penyelesaiannya dapat didasarkan pada Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, yaitu: (1) Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana penjara paling 124
Penyelesaian Sengketa Wakaf di Pengadilan Agama, Upi Komariah
lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Selain sanksi pidana tersebut di atas, juga terdapat sanksi administrasi, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, yaitu sebagai berikut: (1) Menteri dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak didaftarkannya harta benda wakaf oleh lembaga keuangan syariah dan PPAIW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 32; (2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi lembaga keuangan syariah; c. penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan PPAIW. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pengaturan dalam Peraturan Pemerintah dimaksud pada Pasal 68 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tersebut adalah Pasal 57 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 yang menyatakan sebagai berikut : (1) Menteri dapat memberikan peringatan tertulis kepada LKS-PWU yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25. (2) Peringatan tertulis paling banyak diberikan 3 (tiga) kali untuk 3 (tiga) kali kejadian yang berbeda. (3) Penghentian sementara atau pencabutan izin sebagai LKS-PWU dapat dilakukan setelah LKSPWU dimaksud telah menerima 3 kali surat peringatan tertulis. (4) Penghentian sementara atau pencabutan izin sebagai LKS-PWU dapat dilakukan setelah mendengar pembelaan dari LKS-PWU dimaksud dan/atau rekomendasi dari instansi terkait. Apabila diuraikan, muatan pasal-pasal pelaksanaan wakaf yang apabila dilanggar dikenakan sanksi adalah : a. Wakif yang mewakafkan bendanya tidak diikrarkan secara tegas, dihadapan PPAIW kepada nadzir tanpa disaksikan dua saksi; b. Nadzir tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat; c. Nadzir tidak mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf dan hasilnya; d. Nadzir tidak membuat laporan secara periodik; e. Wakif tidak datang dihadapan PPAIW untuk ikrar wakaf; f. PPAIW tidak mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikotamadya c.q Kepala Badan Pertanahan untuk mendaftarkan perwakafan; g. Kepala Badan Pertanahan Kabupaten/Kotamadya atas nama Bupati/Wali kota madya tidak mencatat permohonan pencatatan tanah wakaf; h. Perubahan peruntukan tanah wakaf tanpa persetujuan Menteri Agama.
125
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 117-126
Untuk mengetahui praktik penyelesaian sengketa wakaf, berikut disampaikan terlebih dahulu salah satu contoh kasus sengketa wakaf yang terjadi di Kabupaten Kudus, yaitu antara Raginah sebagai wakif dan Ridwan sebagai Nadzirnya.27 Seorang penduduk Desa Beru Genjang Kecamatan Undaan Kudus yang tidak mempunyai keturunan bernama Raginah mewakafkan sebidang tanah berupa tanah sawah terletak di blok Pereng. Tanah wakaf tersebut diterima dan dikelola untuk keperluan masjid yang bernama masjid Al Mubarok sedang yang bertindak sebagai Nadzir pada waktu itu adalah Ridwan. Sejak diikrarkan lafal wakaf tanah oleh wakif yang bernama Raginah pada tahun 1974 dengan diketahui dan disaksikan oleh adik kandung Raginah, maka wakaf oleh Raginah dinyatakan sah. Dalam perkembangannya, setelah Raginah selaku wakif dan Ridwan selaku Nadzir meninggal dunia, ahli waris Ridwan menjual tanah wakaf tersebut kepada pihak ketiga. Dari pihak Raginah, yaitu kedua adik kandungnya yang pernah menjadi saksi merasa keberatan atas jual beli tanah yang diwakafkan oleh Raginah. Kedua adik Raginah tersebut sempat berkonsultasi kepada Kepala Desa dan tokoh agama setempat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara kekeluargaan, namun karena ahli waris Ridwan bersikukuh bahwa tanah yang dijualnya bukan tanah wakaf tetapi hak milik almarhum Ridwan, maka pihak Raginah mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama Kudus, yang pada akhirnya sesuai dengan bukti-bukti dan fakta yang ada Pengadilan Agama Kudus memenangkan gugatan kedua adik kandung Raginah. Mendasarkan pada contoh kasus tersebut di atas, dapat diketahui bahwa dalam hal terjadi sengketa wakaf, upaya penyelesaian yang dilakukan pertama-tama adalah melalui upaya musyawarah, baru apabila kemudian dari musyawarah yang dilakukan belum menemukan titik temu, penyelesaiannya diupayakan melalui Pengadilan Agama.28 E. Kesimpulan Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. (Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf). Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang; a). perkawinan; b). waris; c). wasiat; d). hibah; e). wakaf; f). zakat; g). infaq; h). shadaqah; dan i). ekonomi syari’ah. (Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diamandemen dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama). Dalam hal terjadi sengketa wakaf, upaya penyelesaian yang dilakukan pertama-tama adalah melalui upaya musyawarah, baru apabila kemudian dari musyawarah yang dilakukan belum menemukan titik temu, penyelesaiannya diupayakan melalui Pengadilan Agama. Daftar Pustaka Kementerian Agama RI, Bimas Islam dalam Angka 2012, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2012 Satria Effendi, Analisa Yurisprudensi Peradilan Agama tentang Hahanah, Harta Bersama, Wasiat, Hibah, dan Wakaf, Jakarta: Pusdiklat Teknis Balitbang Diklat Kumdil MA RI, 2008 http://jelita249.blogspot.com/2009/08/penyelesaian-sengketa-wakaf.html http://jie.staimafa.ac.id Republika, Senin. 02 Maret 2009 27 28
http://jelita249.blogspot.com/2009/08/penyelesaian-sengketa-wakaf.html http://jelita249.blogspot.com/2009/08/penyelesaian-sengketa-wakaf.html
126
GREEN CONSTITUTION INDONESIA (DISKURSUS PARADIGMATIK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN) Lucas Prakoso Pengadilan Negeri Malang Jl. Jenderal A. Yani Utara No. 198, Malang
[email protected]
Abstrak Upaya pemenuhan kebutuhan ekonomis manusia telah mengakibatkan kerusakan yang parah bagi ekosistem. Sadar bahwa sedang terjadi kerusakan terhadap sumber daya alam dan ekosistem yang semakin parah, berbagai upaya mulai dilakukan dengan mengadakan konvensikonvensi internasional di bidang perlindungan lingkungan hidup yang telah menghasilkan kesepakatan-kesepakatan, baik yang bersifat mengikat (hard law) maupun yang tidak mengikat (soft law). Negara-negara peserta konvensi mengadopsi aturan-aturan yang telah disepakati kedalam legislasi mereka, dan bahkan untuk memperkuat perlindungan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan dan hak atas lingkungan yang baik untuk generasi sekarang maupun untuk generasi mendatang, norma-norma lingkungan hidup tersebut kemudian dimuat dalam konstitusi, termasuk konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945 paska amandemen. Kata kunci : kerusakan lingkungan, prinsip hukum lingkungan Internasional, keadilan antar generasi, pembangunan berkelanjutan dan konstitusi. Abstract Efforts to meet the economic needs of humans has resulted in severe damage to the ecosystem. Being aware that there is damage to natural resources and ecosystem are getting worse, various efforts underway to hold international conventions in the field of environmental protection has resulted in agreements, both of which are binding (hard law) and non-binding (soft law). Participating countries adopted the convention rules agrred up on into their legaislation, and even to strengthen the protection and enforcement of laws relating to environmental protection and the right to a good environment for the present dan future generations, environmental norms are then contained in the constitution including the Indonesian constitution, namely the post-UUD 1945 amandement. Keywords : environmental damage, international environmental law damage, intergerational equity, sustainable development, and constitution.
A. Pendahuluan Bencana alam banjir, longsor, kekeringan, kebakaran yang tidak pernah putus melanda sepanjang tahun menunjukkan dalam beberapa dekade Indonesia sudah berubah dari negeri kaya sumber alam menjadi krisis hutan. Kondisi hutan yang hampir separuhnya sudah berubah menjadi lahan kritis dan rangkaian bencana yang diakibatkannya, sebenarnya buah dari ketidak tegasan dan lemahnya penegakan hukum di negara ini. 29 Lebih jauh lagi, laju deforestasi terus mengalami peningkatan hingga mencapai 2,8 juta hektar per tahun, tercepat didunia. Pembagian dua musim di Indonesia – kemarau dan hujan – sudah tidak bisa dipercaya lagi, karena April – Oktober yang seharusnya musim kemarau diwarnai dengan curah hutan yang tinggi. 29
Hutan Dihancurkan, Bencana Didapat, Kompas, 13/01/2007. 127
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 127-136
Tidak hanya di Indonesia, banjir besar juga melanda negara-negara lain seperti di Inggris, Perancis, Brazil dan Argentina, bahkan gelombang panas telah menyebabkan kebakaran hutan yang hebat di Australia, sebaliknya di Amerika Serikat sedang terjadi dilanda musim dingin yang sangat parah sepanjang sejarah.30 Fenomena itu, meski merisaukan, manusia masih bisa menanggulanginya. Yang lebih serius, menurut Andrew C. Revkin (mantan reporter lingkungan The New York Times), ekstremitas cuaca ini hanya pendahulu (preview) dari fenomena mendatang yang tentunya lebih hebat bila emisi (karbon) tidak bisa dikendalikan. 31 Perubahan iklim yang bukan karena fenomena alam, akan tetapi sebab-sebab dari tindakan manusia dalam memenuhi keinginannya dan kasus-kasus pencemaran lingkungan seperti kasus Minamata di Jepang, deforestasi yang tidak terkendali, pencemaran laut, pencemaran udara di daerah industri yang menghasilkan Carbon dioksida berlebihan dan berpotensi merusak lapisan ozon, kebakaran hutan di daerah perbatasan yang menyebabkan polusi bagi negara tetangga, adalah indikator-indikator yang menunjukkan kepada kita semua bahwa sedang terjadi perusakan terhadap lingkungan akibat perbuatan manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Ada beberapa indikasi yang membuktikan bahwa telah terjadi perubahan terhadap lingkungan dan ekosistem di bumi yang dikarenakan eksploitasi terhadap seluruh sumber-sumber alam untuk kepentingan ekonomi, yaitu : 32 1. Adanya pemanasan global. Dari data yang ada, tahun 1990 merupakan tahun yang paling panas, yaitu ada peningkatan 0,7 derajat C dibandingkan tahun 1980. Tahun 1980an ada peningkatan suhu 0,5 derajat C. Ini berarti bahwa dalam kurun waktu 12 tahun telah terjadi peningkatan suhu udara sebesar 0,2 derajat C. Kontribusi terbesar terhadap terjadinya pemanasan global tersebut adalah adanya carbon diaoksida yang dilepaskan dari pembakaran batubara, minyak dan gas alam yang cepat terakumulasi di atmosfir. Dewasa ini, 5,3 milyar orang tiap tahun membakar sekitar lebih dari 1 ton/orang barubara. 2. Robeknya lapisan ozon. Robeknya lapisan ozon ini diketahui tahun 1985 di Antartika namun sebenarnya kerusakan tersebut telah berlangsung pada setiap musim semi sejak tahun 1979. Dampak dari rusaknya lapisan ozon ini adalah meningkatnya radiasi sinar ultra violet B dan kanker kulit serta katarak. 3. Degradasi tanah. Hampir 97% sumber makanan kita berasal dari tanah namun menurut data yang ada, tanah di bumi ini 35% nya telah terdegradasi. Menurut perhitungan, rata-rata tanah yang lenyap setiap tahunnya sekitar 10 ha sampai 100 ha. 4. Keanekaragaman hayati yang semakin berkurang. Hutan tropis yang merupakan habitat spesies telah hancur sekitar 55% nya. Kehancuran ini mencapai lebih dari 168.000 Km/tahun. Ada perkiraan lebih dari 5.000 spesies yang ada dalam kepustakaan, punah setiap tahunnya. Eksploitasi sumber-sumber alam untuk pembangunan ekonomi beserta dampaknya akan menjadi beban yang sangat mahal yang harus dibayar oleh generasi mendatang. Pemuasan kebutuhan ekonomi oleh generasi sekarang tidak sebanding dengan beban dan persoalan-persoalan yang harus dihadapi oleh generasi mendatang. Dengan demikian, ini menempatkan persoalan keadilan antar dua atau lebih generasi dalam menikmati, memanfaatkan dan meningkatkan kesejahteraan di semua aspek kehidupan dan dengan demikian perlu cara pandang pembangunan yang tidak hanya untuk generasi sekarang saja yaitu pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
30
Koran Jakarta, 26 Januari 2014, hlm. 3. Ninok Leksono, Bumi, Cuaca Aneh dan Kelestarian Homo Sapiens, Kompas. 32 Robert Goodland, “The Case that the World has Reached its Limits “in Goodland, Robert et al, Environmentally Suistainable Economic Development : Building on Brundland (UNESCO, 1991) 15-27, Modul Training on Environmental Law and Enforcement, Australia, 2000. 31
128
Green Constitution Indonesia, Lucas Prakoso
B. Rumusan Masalah Indikator-indikator yang menunjukkan adanya kerusakan dan perubahan terhadap lingkungan secara global tersebut kemudian telah menempatkan urgensi persoalan sumber-sumber daya alam dan keterbatasannya dalam suatu regulasi yang bersifat global, dan hal ini menjadi semakin menarik perhatian masyarakan internasional yang kemudian menjadi suatu cabang hukum tersendiri dari hukum internasional yaitu hukum lingkungan internasional, yang ditandai dengan lahir dan berkembangnya kebersamaan dengan kesadaran atau gerakan lingkungan internasional yang merupakan ekspresi perubahan fundamental persepsi umat manusia terhadap kehidupan di permukaan bumi. Gerakan dan kesadaran terhadap lingkungan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan banyaknya konferensi-konferensi, seminar-seminar dan pertemuan bilateral, regional dan internasional untuk merumuskan ketentuan berbagai aspek untuk keperluan perlindungan lingkungan. Negaranegara penandatangan konvensi internasional di bidang lingkungan hidup kemudian mengadopsi rules yang ada dalam konvensi-konvensi tersebut di dalam legislasi nasional mereka, demikian juga Indonesia telah mengadopsi rules yang ada dalam konvensi-konvensi internasional kedalam perundang-undangan lingkungan hidup seperti UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan payung hukum bagi sekalian perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Salah satu prinsip dalam pembangunan berkelanjutan yaitu intergenarational equiity menjadi prinsip yang sangat penting dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Paradigma pembangunan berkelanjutan yang harus dapat menjamin dan memperhatikan ketersediaan sumber-sumber daya alam bagi generasi yang akan datang memerlukan landasan yang paling tinggi untuk menguji semua aktivitas/ kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan para pelaku pembangunan yang berkaitan dengan ketersediaan sumber-sumber daya alam. C. Intergenerational Equity Dalam pembukaan tulisan ini telah disinggung bahwa ada beberapa indikasi yang membuktikan bahwa telah terjadi perubahan terhadap lingkungan dan ekosistem di bumi yang dikarenakan eksploitasi terhadap seluruh sumber-sumber alam untuk kepentingan ekonomi. Dampak dari indikasi-indikasi tersebut pada jangka yang panjang dan lama yang pada akhirnya akan menjadi beban bagi generasi mendatang. Kerusakan ekosistem dan lingkungan hidup, perubahan iklim yang tidak menentu, rusaknya lapisan ozon yang menyebabkan mencairnya es di Kutub Utara dan Selatan serta naiknya suhu bumi akan menjadi penghalang dan penyebab generasi yang akan datang tidak akan mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka sama dengan pemenuhan kebutuhan generasi sekarang. Hal ini menimbulkan hubungan antar generasi untuk mendapatkan jaminan dan hak yang sama. Dalam konteks hubungan antar generasi, intergenerational equity (keadilan antar generasi) dapat didekati dengan beberapa model, yaitu : 33 1. Preservasionist model. Pendekatan ini bertolak dari adanya kemauan dari generasi sekarang untuk tidak merusak atau menghabiskan sumber-sumber kekayaan alam melainkan memeliharanya untuk kepentingan generasi yang akan datang. 2. Opulence model. Generasi sekarang dapat mengkonsumsi semua kekayaan alam dengan sepuas-puasnya serta mencapai kesejahteraan setinggi-tingginya. Asumsi dasar dari model ini adalah karena adanya
Edith Brown Weiss, “ Intergenerational equity : A Legal Framework for Global Environmental Change “ in Environmental Change and International Law : New Challenges and Dimensions, Japan : UN University Press, 1992, 345-412, Modul Training on Environmental Law and Enforcement, Australia, 2000, 15. 33
129
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 127-136
ketidak-pastian mengenai generasi yang akan datang, apakah akan ada ataukah tidak. Memaksimalkan konsumsi sekarang adalah cara yang terbaik untuk memaksimalkan kesejahteraan bagi generasi yang akan datang. 3. Technology model. Pendekatan ini menyatakan bahwa kita tidak perlu terlalu menaruh perhatian terhadap lingkungan untuk kelangsungan generasi yang akan datang karena inovasi teknologi akan memungkinkan kita untuk mengenalkan pada sumber-sumber pengganti yang tidak terbatas. 4. Environmental economic model. Kewajiban kita kepada generasi yang akan datang dapat kita penuhi apabila kita memperhitungkan dan mempergunakan sumber-sumber kekayaan alam dengan layak. Prasarana ekonomi yang kita kembangkan selanjutnya akan berpedoman pada pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan. Model keempat inilah yang lebih tepat dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan. Pemenuhan target keadilan antar generasi hanya mungkin akan dicapai apabila kita berpandangan bahwa bumi dengan segala sumber kekayaannya bukan hanya sebagai suatu kesempatan untuk berinvestasi melainkan sebagai suatu kepercayaan yang diberikan kepada kita oleh nenek moyang untuk dinikmati dan memberikannya pula pada keturunan kita untuk mereka manfaatkan. Oleh karena itu generasi sekarang mengemban kepercayaan dari generasi yang akan datang untuk menguasai bumi dan sumber-sumber kekayaan alamnya dan pada saat yang sama kita berhak untuk memanfaatkannya dan memperoleh keuntungan dari padanya. Ada tiga bentuk prinsip yang merupakan dasar dari intergenerational equity, yaitu : 34 Pertama, tiap-tiap generasi hendaknya memelihara keanekaragaman hayati dan budaya, sehingga hal ini tidak akan membatasi kemampuan generasi yang akan datang dalam memecahkan permasalahan mereka dan sebanding dengan yang telah dinikmati oleh generasi sebelumnya. Kedua : tiap-tiap generasi hendaknya memelihara kualitas dari lingkungan alam ini, sehingga tidak akan sampai pada kondisi rusak. Ketiga : tiap generasi hendaknya memberikan hak-hak yang seimbang untuk mendapatkan akses peninggalan generasi lalu dan memelihara akses tersebut untuk generasi yang akan datang. Teori intergenerational equity dalam konteks lingkungan alam kita, telah menciptakan dua bentuk hubungan, yaitu hubungan kita pada sesama manusia pada generasi lain dan hubungan kita dengan lingkungan alam dimana kita menjadi bagian dari padanya. Hubungan fundamental kedua adalah hubungan sesama manusia dengan generasi yang berbeda. Teori intergenerational equity menentukan bahwa semua generasi memiliki tempat yang sama dalam hubungannya dengan lingkungan alam. Tidak ada alasan untuk mendahulukan/ mengistimewakan generasi sekarang daripada generasi yang akan datang dalam memanfaatkan bumi ini. Pernyataan tersebut tersirat dalam hukum internasional. Pembukaan deklarasi universal hak asasi manusia dimulai dengan kalimat : Whereas recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable raights of all members of the human family is the foundation of freedom justice and peace in the world … Kalimat “all members of the human family“ menunjukkan adanya dimensi waktu, sehingga ruang lingkup terhadap pengakuan akan kesamaan hak atas kebebasan, keadilan dan perdamaian adalah meliputi seluruh generasi. 35
34 35
Edith Brown Weiss, Ibid, hlm. 19. Edith Brown Weiss, Ibid, hlm. 17.
130
Green Constitution Indonesia, Lucas Prakoso
D. Pembangunan Berkelanjutan Jauh sebelum tahun 1970-an, kesadaran akan pentingnya perlindungan terhadap lingkungan secara global dipicu oleh lahirnya sebuah buku dari Rachel Carson pada tahun 1962 yang berjudul Silent Spring yang menggambarkan buruknya akibat kerusakan lingkungan terhadap kehidupan. Buku tersebut oleh banyak ahli lingkungan diakui sebagai karya tulis yang berandil besar bagi kebangkitan kesadaran lingkungan hidup internasional dalam kaitan dengan perlindungan lingkungan. 36 Isu perlindungan terhadap lingkungan hidup secara global, muncul ketika pada tahun 1972 dilakukan suatu Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm, Swedia yang kemudian melahirkan Stockholm Declaration 1972 yang terdiri dari Preamble dan 26 prinsip/ azas. Selanjutnya pada tahun 1983, PBB membentuk sebuah badan yaitu The World Commission on Environment and Development (WCED) yang diketuai oleh Perdana Menteri Norwegia, Gro Harlem Bruntland. Komisi ini juga dikenal dengan sebutan Komisi Bruntland yang kemudian menghasilkan laporan yang dipublikasikan “ Our Common Future “. 37 Isi laporan ini memuat pendekatan yang terpadu terhadap masalah-masalah lingkungan hidup dan pembangunan. Komisi ini telah menggunakan dan mempopulerkan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan merumuskan definisinya sebagai : “ development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs “. Rekomendasi-rekomendasi laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh PBB dengan menyelenggarakan Konferensi di Rio de Jeneiro, Brazil pada tahun 1992. Konferensi Rio ini menghasilkan kesepakatan antara lain : Deklarasi Rio (Rio Declaration, 1992) yang memuat 27 prinsip. Deklarasi Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang juga disebut sebagai The Earth Charter merupakan “ soft law agreement “. Beberapa prinsip yang menjadi unsur penting dalam konsep pembangunan berkelanjutan adalah : 38 a. Prinsip kedaulatan dan tanggung jawab negara (prinsip 2), b. Prinsip keadilan antargenerasi (prinsip 3), c. Prinsip keadilan intragenerasi (prinsip 5 dan 6), d. Prinsip keterpaduan antara perlindungan lingkungan dan pembangunan (prinsip 4), e. Prinsip tanggung jawab bersama tetapi berbeda (prinsip 7), f. Prinsip tindakan pencegahan (prinsip 11), g. Prinsip bekerja sama dan bertetangga baik dan kerjasama internasional (prinsip 18, 19 dan 27), h. Prinsip keberhati-hatian (prinsip 15), i. Prinsip pencemar membayar (prinsip 16), j. Prinsip demokrasi dan peranserta masyarakat (prinsip 10). Konsep pembangunan berkelanjutan sudah menjadi ‘ paradigma ‘ 39 bagi negara-negara yang peduli terhadap pemenuhan kebutuhan bagi generasi mendatang, yang kemudian dijabarkan pelaksanaannya dengan mempergunakan prinsip-prinsip tersebut. Paradigma pembangunan berkelanjutan menitikberatkan pada pembangunan dengan tetap memperhatikan kebutuhan bagi generasi yang akan generasi yang akan datang, namun disisi lain ada aliran lain pemikiran tentang pembangunan.
36
Ida Bagus Wiyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional, Bandung, Refika, 2003, hlm. 19. The World Commission on Environment and Development, Our Common Future, sebagaimana dikutip oleh Takdir Rahmadi dalam Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2013, hlm. 12. 38 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Perkasa, 2013,. Hlm. 13,14. 39 Dalam konteks ilmiah, paradigma acap kali juga dipahami sebagai suatu citra yang fundamental dari pokok permasalahan dari suatu ilmu. Paradigma menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan-pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan dan kaidah-kaidah apa seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperolehnya. (lihat lebih lanjut catatan Rachmad Safaat (penyunting) dalam : Satjipto Rahardjo, LapisanLapisan Dalam Studi Hukum, Malang, Bayumedia Publishing, 2009, hlm. xi. 37
131
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 127-136
Sejak konferensi Stockhom 1972 muncul dua aliran besar dalam paradigma pemikiran pembangunan di dunia, yaitu kaum developmentalis dan kaum environmentalis. Perdebatan yang panjang dan meluas antara kedua aliran ini tanpa disadari juga semakin meningkatkan pemahaman dan penghayatan umat manusia akan pentingnya lingkungan hidup di seluruh dunia. 40 Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan, termasuk sumber dayanya, ke dalam proses pembangunan yang menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa sekarang dan generasi yang akan datang. Istilah ini baru secara resmi dipakai di Indonesia pada tahun 1997 yaitu dengan dicantumkannya dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 41 E. Konstitusi Dasar yang paling tepat dan kokoh bagi negara demokrasi adalah sebuah negara konstitusional (constitutional state) yang bersandar pada sebuah konstitusi yang kokoh pula. Konstitusi yang kokoh hanyalah konstitusi yang jelas faham konstitusinya atau konstitualismenya, yaitu yang mengatur secara rinci batas-batas kewenangan dan kekuasaan lembaga legislatif, eksekutif dan yudisial secara seimbang dan saling mengawasi (check and balances) serta memberikan jaminan yang cukup luas dalam arti penghormatan (to respect), perlindungan (to protect) dan pemenuhan (to fulfil) hak warga negara dan hak asasi manusia (HAM). 42 Sebuah Konstitusi menurut Thomas Paine, is not the act of a government but the people constituting a government. 43 Konstatasi in kemudian diperkuat oleh McIlwain, bahwa secara tradisional, sebelum abad ke 18, konstitusionalisme selalu dilihat sebagai a set of principles embodied in the institutions of a nation yang superior, tidak ada kekuatan lain yang mengatasinya. 44 Konstitusionalisme adalah paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi. 45 Dalam dunia modern, konstitusi tidak hanya menunjuk pada dokumen tertulis, tetapi juga termasuk praktik-praktik ketatanegaraan. Ini tercermin dalam konsep yang dikemukakan oleh Philips Hood dan Jackson, bahwa konstitusi merupakan “ a body of law, customs and conventions that define the composition and powers of the organ of the states and that regulate the relations of the various state organs to another and to the private citizen. 46 Konstitusionalisme memuat baik aspek prosedural/ formil maupun substansial/ materiil dari konstitusi. Aspek prosedural/ formil berkaitan dengan prosedur pembuatan dan prosedur perubahan konstitusi serta apakah konsitusi bersifat supreme atau superior atau tidak. Aspek substansial/ materiil berkaitan dengan isi konstitusi yang meliputi isu-isu : a. bentuk negara kesatuan atau federal, b. bentuk pemerintahan, c. sistem pemerintahan presidensial atau perlementer, d. sistem perwakilan unikameral atau bikameral, e. sistem pembagian/ pemisahan kekuasaan, f. sistem kekuasaan kehakiman, g. hubungan negara dengan rakyat (hak warga negara/ HAM), h. berbagai sistem kehidupan bernegara (ekonomi, pendidikan, pertahanan dan keamanan, agama dan lain-lain). Salah satu aspek substansial dari konstitusi adalah hubungan negara dengan rakyat/ warganya. Hubungan ini merupakan penegasan atas hak-hak rakyat dan hak asasi rakyat yang dijamin oleh konstitusi, seperti misalnya hak untuk mendapat pekerjaan yang layak, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak atas pendidikan, dan yang dewasa ini mulai banyak dilakukan oleh negara-negara 40
Jimly Assiddiqie, Green Constitution Nuansa Hijau UUD Negara RI Tahun 1945, Jakarta, Rajawali Pers, 2010, hlm. 136. 41 Jimly Assiddiqie, Ibid, hlm. 135. 42 Abdul Mukhtie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konsitusi, Jakarta, Konstitusi Press, 2006, hlm. 34. 43 Thomas Paine, sebagaimana dikutip oleh Bernard L Tanya, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, Yogjakarta, Genta Publishing, 2011, hlm. 27. 44 Brian Thompson, sebagaimana dikutip oleh Bernard L Tanya, Ibid, hlm. 28. 45 Abdul Mukthie Fadjar, Opcit, hlm.35. 46 Sebagaimana dikutip oleh Bernard L Tanya, Opcit, hlm. 28. 132
Green Constitution Indonesia, Lucas Prakoso
demokratis adalah hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat dengan berbagai aspek dari hak tersebut karena keadaan lingkungan yang rusak dan sumber daya alam yang menurun sehingga memerlukan penegasan dalam konstitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap lingkungan. F. Konstitusi Hijau UUD 1945 Istilah atau terminologi Konstitusi Hijau (Green Constitution) bukanlah istilah yang baru, karena sejak tahun 1970 an, istilah tersebut sudah sering dipakai untuk menggambarkan keterkaitan sesuatu dengan ide perlindungan lingkungan hidup. Sekarang ini makin banyak istilah yang dikaitkan dengan kata green, seperti green economy, green paper, green jobs, green collar jobs, green market, green building dan sebagainya. Dalam dunia peradilan muncul pula istilah green court dan green benches. Penggunaan istilah green didepan suatu kata kerja/ kata sifat adalah untuk memberikan tekanan bahwa ada upaya penyadaran dan keterkaitan antara isu perlindungan lingkungan dengan kegiatan yang diemban. Secara teoritis, salah satu motif perlunya konstitusi bagi suatu negara adalah keinginan untuk menjamin hak-hak asasi rakyat dan mengendalikan kekuasaan negara. 47 Substansi UUD 1945 Indonesia telah memasukkan hak-hak asasi rakyat di dalamnya yang antara lain hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 H ayat (1) tersebut. UUD 1945 setelah amandemen, telah mencerminkan gagasan tentang kekuasaan dan hak asasi manusia serta konsep demokrasi ekonomi. Kekuasaan tertinggi atau kedaulatan yang ada ditangan rakyat yang tercermin dalam konsep hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebahaimana dimaksud oleh Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 serta tercermin pula dalam konsep demokrasi yang terkait dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan wawasan lingkungan, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 33 ayat (4) UUD 1945. 48 Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 berbunyi : “ Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan “. 49 Dengan demikian, norma lingkungan hidup telah mengalami konstitusionalisasi menjadi materi muatan konstitusi sebagai hukum tertinggi, dan oleh karena itu segala kebijakan pemerintahan dan pembangunan haruslah tunduk pada ketentuan mengenai hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tidak dibenarkan kebijakan yang tertuang dalam undang-undang yang bertentangan dengan ketentuan konstitusional yang pro lingkungan ini. Sementara itu, Pasal 33 ayat (4) berbunyi : “ perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisien-berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional “. 50 Konstitusionalisasi dari azas pembangunan yang berkelanjutan tersebut menjadi materi muatan konstitusi dalam UUD 1945 adalah hukum tertinggi, dan karena itu sekalian kebijakan pemerintahan dalam pembangunan harus berdasarkan pada norma tersebut. Semua produk perundang-undangan yang bekaitan dengan lingkungan, seperti halnya UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) sebagai ganti dari UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), UU Kehutanan, UU Minerba, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan sebagainya tersebut harus sejalan 47
Bernard L Tanya dalam bukunya : Politik Hukum, Yogjakarta, Genta Publishing, 2011, hlm.30 dalam catatan kakinya menyatakan bahwa motif-motif tersebut adalah : (1). Keingingan untuk menjamin hak-hak asasi rakyat dan mengendalikan kekuasaan negara, (2). Keinginan untuk memperjelas rule of the game bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, (3). Keinginan untuk mencipkan sistem politik yang emansipatoris, (4). Hasrat untuk menciptakan arah kehidupan bersama yang adil, damai dan sejahtera. 48 Jimly Assiddiqie, Opcit, hlm. 8. 49 Pasal 28 H ayat (1) merupakan hasil Perubahan Kedua UUD 1945, Tahun 2000. 50 Pasal 33 ayat (4) merupakan hasil Perubahan Keempat UUD 1945, Tahun 2002. 133
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 127-136
dengan hak warga negara untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat oleh karena konstitusi in casu UUD 1945 adalah merupakan hukum tertinggi yang menjadi titik tolak dan batu uji semua produk hukum dibawahnya. Sesuai dengan prinsip stufenbau, konstitusi menjadi dasar justifikasi validitas peraturan perundangan dibawahnya. Untuk disebut sebagai hukum yang valid maka sekalian peraturan yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. 51 Indonesia sebagai salah satu penandatangan deklarasi Rio disamping telah menuangkan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan hidup dan sebagai jaminan hak-hak asasi rakyat di dalam undang-undang dasar (UUD 1945), juga telah mengadopsi prinsip-prinsip perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup didalam perundang-undangan lingkungan hidup. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), dalam Pasal 1 angka 3 juga dinyatakan bahwa : Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi kedalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa mendatang. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup didasarkan atas asas, antara lain : tanggung jawab negara, kelestarian dan keberlanjutan, keserasian dan keseimbangan, keterpaduan, manfaat, kehati-hatian, keadilan, ekoregion, keanekaragaman hayati, pencemar membayar, partisipatif, kearifan lokal, tatakelola pemerintahan yang baik dan otonomi daerah (Pasal 3 UUPPLH). Penjabaran lebih lanjut tentang tujuan perlindungan dan pengelolaan atas lingkungan hidup yang baik sebagai bagian dari HAM dan untuk pemenuhan generasi sekarang dan generasi mendatang didalam UUPPLH juga telah ditentukan sebagaimana dalam Pasal 3 pada huruf f : “ Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan “, dan pada huruf g : “ Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia “. G. Kedaulatan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan Norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 33 ayat (4) tersebut adalah norma yang mengakui adanya kedaulatan lingkungan yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam pembangunan ekonomi dengan tetap memperhatikan lingkungan sebagai batu ujinya. Konsep kedaulatan yang dikenal di negara-negara demokratis modern dewasa ini meliputi Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulatan Hukum, Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Negara. Dari kelima ajaran kedaulatan tersebut, empat yang pertama bersifat internal, sedangkan yang terakhir bersifat eksternal. Jimly Assiddiqie memperkenalkan konsep kedaulatan lingkungan sebagai ajaran kedaulatan yang juga sudah diakui dalam UUD 1945 paska reformasi. Yaitu kekuasaan oleh lingkungan dan oleh ekosistem. Jika konsep Kedaulatan Tuhan dikaitkan dengan doktrin Teokrasi, Kedaulatan Rakyat terkait dengan Demokrasi, Kedaulatan Hukum terkait dengan Nomokrasi, konsep Kedaulatan Raja terkat dengan Monarki, maka konsep Kedaulatan Lingkungan dapat dikaitkan dengan istilah Ekokrasi atau kekuasaan ekologi.52 Gagasan ekokrasi dan kedaulatan lingkungan tersebut dapat dikembangkan dalam konteks kekuasaan yang dikonstruksikan dalam mekanisme hubungan antara Tuhan, Alam dan Manusia, dengan cara merubah cara pandang dimana selama ini manusia ditempatkan sebagai titik sentral dalam kehidupan (anthropocentris) menjadi Theocentrisme yang menempatkan kedudukan manusia dan alam dalam kedudukan yang seimbang, yang dihubungkan dengan Tuhan. Dalam cara pandang yang demikian tersebut, Manusia dan Alam harus dihubungkan dengan Tuhan. Dalam hubungan “ triadik “ di antara ketiganya. Tuhanlah yang harus ditempatkan di tengah,
51 52
Bernard L Tanya, Ibid, hlm. 26. Jimly Assiddiqie, Opcit, hlm. 117.
134
Green Constitution Indonesia, Lucas Prakoso
A L A M
MANUSIA
sehingga Manusia dan Alam berada dalam posisi yang seimbang, bahkan ketiga-tiganya, yaitu Tuhan, Alam dan Manusia harus dipandang memiliki hak-hak dan konteks kekuasaannya masing-masing.53
T UHAN
Gambar 1 : Konsep dan hubungan antara Tuhan, Manusia dan Alam Pengakuan atas adanya kehadiran Tuhan, selanjutnya harus dibarengi dengan adanya tindakan manusia yang harus bertindak adil terhadap sesama makhluk Tuhan, yaitu alam sekitar dan alam semesta yang berada diluar diri manusia. Lingkungan harus dipandang sebagai subyek hukum. Alam mempunyai hak-hak dasar atau hak-hak asasinya sendiri untuk tidak dirusak dan diganggu keseimbangannya. Daya dukung alam untuk kehidupan manusia dari generrasi ke generasi harus dijaga keberlangsungannya sepanjang masa. Inilah yang menjadi substansi pokok dari prinsip sustainable development yang diterima luas sebagai prinsip pembangunan di jaman sekarang ini. 54 Dari ke enam ajaran tentang kedaulatan tersebut, yaitu kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulatan Hukum, Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Negara, dan Kedaulatan Lingkungan yang penting untuk dikembangkan lebih lanjut dalam perspektif operasional adalah kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum dan kedaulatan lingkungan. Jika dalam kedaulatan rakyat muncul gagasan demokrasi, dari kedaulatan hukum lahir konsep nomokrasi, maka dari kedaulatan lingkungan dapat dikembangkan ide ekokrasi dalam sistem kekuasaan negara. 55
Nomokrasi
Demokrasi
Teokrasi
Ekokrasi
Gambar 2 : Nomokrasi, Demokrasi dan Ekokrasi Ketiga ajaran tersebut menjadi kandungan materiil filosofis UUD 1945 yang merupakan pancaran dari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang diakui sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa atau Tuhan yang Memiliki Kekuasaan Tertinggi dalam Alinea Ketiga Pembukaan UUD 1945. Dalam perspektif yang demikian tersebut, ada keharusan bagi kita untuk mengembangkan pemahaman bahwa prinsip demokrasi dan pelaksanaannya di lapangan tidak boleh mengabaikan pentingnya ekokrasi dan
53
Jimly Assiddiqie, Opcit, hlm. 119. Jimly Assiddiqie, Opcit, hlm. 120. 55 Jimly Assiddiqie, Opcit, hlm. 122. 54
135
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 127-136
nomokrasi. Demokrasi dan nomokrasi tidak boleh menafikan atau melawan kepentingan ekokrasi, demikian juga ekokrasi tidak boleh menolak demokrasi dan nomokrasi. Ekokrasi haruslah merupakan produk demokrasi dan tercermin dalam nomokrasi sekaligus. Sebaliknya nomokrasi haruslah berjiwa demokrasi dan sekaligus ekokrasi. 56 Nuansa hijau di dalam UUD 1945, memberikan jaminan bahwa pemerintah akan menjungjung tinggi hak-hak tertentu rakyat yang tidak dapat diganggu gugat. Inilah yang inti dari keadilan konstitusional, atau meminjam istilah dari Bernard L Tanya 57 bahwa core conception dari keadilan konstitusional terletak pada adanya keharusan konstitusi bagi pemerintah untuk tidak melanggar hakhak tertentu dari rakyat bagi generasi sekarang maupun rakyat generasi yang akan datang. H. Kesimpulan Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang salah satunya menitikberatkan pada keadilan antar generasi yang semula berasal dari norma-norma hukum lingkungan internasional, telah menjadi materi muatan dalam perundang-undangan di Indonesia. Sebagai norma yang berpihak pada keberlanjutan dan kelestarian ekosistem dan ketersediaan sumber-sumber daya alam, maka harus dijadikan pedoman dalam melaksanakan pemenuhan kebutuhan ekonomis generasi sekarang tanpa mengabaikan ketersediaan sumber daya alam tersebut untuk pemenuhan kebutuhan bagi generasi mendatang sehingga akan tercipta jaminan dan keadilan bagi semua generasi. Norma lingkungan hidup yang telah dimuat dalam konstitusi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 dan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu hak asasi atas lingkungan dan pembangunan berkelanjutan telah mengalami konstitusionalisasi yang menjadi materi muatan konstitusi sebagai hukum tertinggi dan menjadi landasan norma penguji bagi setiap kebijakan pembangunan untuk menjamin ketersediaan sumber-suber daya alam bagi seluruh rakyat Indonesia, sekarang maupun yang akan datang. Daftar Pustaka Assiddiqie, Jimly, Green Constitution Nuansa Hijau UUD Negara R.I Tahun 1945, Jakarta : Rajawali Press, 2010. Edith Brown, Weiss, “Intergenerational Equity : A Legal Framework for Global Environmental Change “in Environmental Change and International Law : New Challenges and Dimentions, Japan : United Nations University Press, 1992, 385-412, Modul Training on Environmental Law and Enforcement, Australia, 2000. Goodland, Robert, “The Case that the World has Reached its Limits “in Goodland, Robert et al, Environmentally Suistainable Economic Development : Building on Brundland (UNESCO, 1991) 15-27, Modul Training on Environmental Law and Enforcement, Australia, 2000. L. Tanya, Bernard, Politik Hukum Agenda Kepentingan, Yogjakarta : Genta Publishing, 2011. Muktie Fadjar, Abdul, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta : Konstitusi Press, 2006. Rahmadi, Takdir, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta : RahaGrafindo Persada, 2013. Wiyasa Putra, Ida Bagus, Hukum Lingkungan Internasional, Bandung : Refika, 2003. UUD 1945 paska amandemen. UU Nomor 32 Tahun 2009. Kliping Koran : a. Hutan Dihancurkan, Bencana Didapat, Kompas, 13/01/2007. b. Koran Jakarta, 26 Januari 2014. c. Ninok Leksono, Bumi, Cuaca Aneh dan Kelestarian Homo Sapiens, Kompas. 56 57
Jimly assiddiqie, Opcit, hlm. 123. Bernard L Tanya, Opcit, hlm.34.
136
RANCANGAN UNDANG-UNDANG MAHKAMAH AGUNG (RUU MA) : PENGKAJIAN FILOSOFI, SEJARAH, ASAS, NORMA DALAM DINAMIKA PERKEMBANGAN KETATANEGARAAN INDONESIA Teguh Satya Bhakti Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta JL. Sentra Primer Baru Timur, Pulo Gebang, Jakarta Timur, DKI Jakarta
[email protected]
Abstrak DPR mengajukan usul inisiatifnya untuk merubah kembali RUU MA karena 3 (tiga) landasan yaitu: pertama, adanya keinginan DPR untuk membentuk MA yang dapat mengemban kekusaan kehakiman untuk mewujudkan negara hukum dan mencapai tujuan negara, kedua, Undang-Undang tentang MA yang berlaku saat ini, dipandang masih terdapat kelemahan. ketiga, perlunya keperdulian atas harmonisasi dan sinkronisasi dengan RUU MA yang akan disusun dengan memperhatikan kepentingan penegakan hukum dan keadilan yang harus berbanding searah dengan kepentingan hukum dan keadilan masyarakat. Menurut hasil analisa, materi muatan RUU MA inisiatif DPR belum sesuai dengan prinsip-prinsip Kekuasaan kehakiman yang merdeka khususnya menyangkut: Pertama, Pengawasan DPR Terhadap MA; Kedua, Pengaturan tengang subtansi putusan MA (pasal 97) yang tidak hanya melanggar indepedensi peradilan, namun juga mengenyampingkan prinsip negara berdasarkan hukum; Ketiga, Kriminalisasi Hakim jika hakim melanggar atau mengabaikan Pasal 94 jo. Pasal 96; Keempat, struktur organisasi kesekretariatan MA (pasal 35) menyebabkan penumpukan tugas, fungsi dan kewenangan yang amat besar pada Sekretariat MA; Kelima, Hukum Acara Hak Uji Materiil (pasal 90 ayat (8)) yang tidak dijelaskan lebih lanjut; Keenam, Pembagian Kamar Perkara yang menyebabkan terjadinya penggemukan sumber daya manusia dalam tingkat dan dengan tugas dan fungsi yang sama di Kepaniteraan MA; dan Ketujuh, Batasan Usia Minimal Hakim Agung. Kata kunci: Rancangan Undang-Undang, Mahkamah Agung, Perkembangan Ketatanegaraan Abstract Parliament proposed initiative to change back the bill MA for three (3) foundation: first, the desire of the House to form a Supreme Court that can carry kekusaan judiciary to realize the state of law and achieve the objectives of the state, second, the Law on the current MA , seen there are still weaknesses. Third, awareness of the need for harmonization and synchronization with the MA bill to be prepared with due regard to the interests of law enforcement and justice must be directly in line with the interests of law and public justice. According to the analysis, the substance of the bill by parliament yet the Supreme Court in accordance with the principles of independent judicial power, especially concerning: First, the House Oversight Against MA; Second, the Supreme Court decision setting tengang substance (Article 97), which not only violates the independency of the judiciary, but also waives the rule of law; Third, criminalization judge if the judge violated or ignored the Article 94 jo. Article 96; Fourth, the organizational structure of the secretariat of the Supreme Court (Article 35) causes a buildup of duties, functions and authority of the Secretariat tremendous MA; Fifth, the Material Test Procedure Law Rights (Article 90 paragraph (8)) are not further described; Sixth, Room Sharing Case that cause fattening of human resources in the rate and with the same duties and functions by the Clerk of the Supreme Court; and Seventh, Minimum Age Limits for Supreme Court Justices. Keywords: Bill, the Supreme Court, constitutional development 137
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 137-148
A.
Pendahuluan Salah satu agenda reformasi adalah Perubahan terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan tersebut selanjutnya telah mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap sistem ketatanegaraan yang berlaku, termasuk salah satunya menyangkut kekuasaan kehakiman. Rumusan tentang Kekuasaan Kehakiman yang semula hanya terdiri dari dua pasal dan tiga ayat, sekarang pasca perubahan menjadi lima pasal dan 19 ayat yang terdiri dari Pasal 24, Pasal 24A sampai dengan Pasal 24C, dan Pasal 25 yang diatur dalam Bab IX UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan terhadap rumusan ini mengakibatkan perubahan terhadap struktur kelembagaan kekuasaan kehakiman dan pergeseran terhadap fungsi peradilan. Perubahan terhadap struktur kelembagaan kekuasaan kehakiman dapat dilihat pada bunyi ketentuan Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24B Ayat (1) yang menegaskan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (Ketentuan Pasal 24 Ayat (2)), dan Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. (Pasal 24B Ayat (1)) Kedua rumusan di atas menjelaskan bahwa Perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengintroduksi dua lembaga baru dalam struktur kelembagaan kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Selanjutnya mengenai pergeseran terhadap fungsi peradilan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 24 Ayat (1) yang menegaskan bahwa Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.58 Sebagai konsekuensi pelaksanaan Pasal 24 Ayat (1) UUD NRI 1945 di atas, peraturan perundang-undangan organik yang terkait dengan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya juga diubah, diantaranya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan telah direvisi oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, serta diperbaiki kembali melalui Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Justifikasi tersebut juga termuat dalam berbagai undang-undang, yaitu antara lain melalui: Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 juncto Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang MA, Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 juncto Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 juncto Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Atas dasar latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, fokus studi atau perhatian peneliti dalam penelitian ini ditujukan pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Mahkamah Agung. Hal tersebut dipilih karena saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas usul inisiatifnya, kembali membuat berbagai rancangan undang-undang terhadap lembaga-lembaga negara 58
Penjabaran lebih lanjut mengenai rumusan ini diatur dalam Pasal 1 Angka (1) Pasal 5 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 Angka (1) UU No. 48 Tahun 2009 menegaskan bahwa: Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Sedangkan Pasal 5 Ayat (1) -nya berbunyi: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Rumusan Pasal-pasal di atas menekankan bahwa pelaksanaan penegakan hukum dan keadilan oleh kekuasaan kehakiman harus mengacu kepada pancasila sebagai norma fundamental negara dan UUD 1945 sebagai hukum dasar negara. Sebelum UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman berlaku, didahului oleh beberapa UU yang lain diantaranya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang kemudian dicabut serta dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman 138
Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung, Teguh Satya Bhakti
di bidang yudikatif. Salah satu dari rancangan undang-undang tersebut adalah Rancangan UndangUndang mengenai Mahkamah Agung, namun di dalam rancangan undang-undang ini masih terdapat masalah apabila dibandingkan dengan undang-undang mengenai Mahkamah Agung sebelumnya.59 Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa perlu kiranya dicari latar belakang pemikiran mengenai RUU MA, yang sangat penting untuk dikaji secara teoritis menurut sejarah perkembangan teori-teori hukum, sehingga nantinya diperoleh pemahaman mengenai gagasan perubahan struktur kelembagaan Mahkamah Agung dan fungsi peradilan yang ideal. B.
Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: mengapa DPR mengajukan usul inisiatifnya untuk merubah kembali RUU MA dan apakah materi muatan RUU MA inisiatif DPR telah sesuai dengan prinsip Kekuasaan kehakiman yang merdeka? C. 1.
Pembahasan Kajian Teoritis dan Praktek Empiris tentang Gagasan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia Muhammad Yamin sebagai salah satu penyusun UUD 1945 didalam bukunya yang berjudul, Proklamasi Dan Konstitusi Republik Indonesia menyatakan bahwa: ”Kekuasaan yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia itu hanya berdasarkan dan berasal daripada undang-undang dan sekali-kali tidak berdasarkan kekuasaan senjata, kekuasaan sewenangwenang atau kepercayaan, bahwa kekuatan badanlah yang boleh memutuskan segala pertikaian dalam Republik Indonesia adalah suatu negara hukum (rechtstaat, government of laws) tempat keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara hakim atau negara militer, tempat hakim atau prajurit memegang pemerintahan dan keadilan, bukanlah pula negara kekuasaan (machstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan badan melakukan sewenang-wenang. Republik Indonesia ialah negara yang melaksanakan keadilan yang dituliskan dalam undang-undang dibuat oleh badan-badan negara yang sah dan mendapat penyerahan kekuasaan yang sementara dari kekuasaan tertinggi dalam tangan rakyat indonesia. Dalam negara republik Indonesia itu, maka warga negara diperintahi dan diperlakukan oleh undang-undang yang dibuat oleh rakyat sendiri, secara jalan yang sah dan menurut syarat-syarat yang dapat diselidiki dan diawasi oleh rakyat pula.” 60 Uraian diatas memberikan pemahaman terhadap makna negara hukum yang dianut dalam UUD 1945. Pengaturan rumusan Asas Negara Hukum dalam UUD 1945 sebelum dirubah, tidak diatur secara eksplisit didalam Pasal-pasal atau Batang Tubuh dari UUD 1945 tersebut, melainkan ditempatkan pada bagian Penjelasannya dengan bunyi “negara berdasar atas hukum (Rechtsstaat)”.61 Padmo Wahjono didalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UI menyatakan bahwa: ”....berpangkal tolak pada perumusan sebagai yang digariskan oleh pembentuk undang-undang dasar Indonesia kita yaitu, Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, dengan rumusan “rechtstaat” dikurung; dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara hukum pada umumnya (genus-begrip), disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, artinya digunakan dengan ukuran pandang hidup maupun pandangan bernegara bangsa Indonesia Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Pola ini merupakan suatu hasil pemikiran yang disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, nampak jelas kalau dihubungkan dengan teori-teori lainnya 59
Undang-Undang tentang Mahkamah Agung yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 telah diubah beberapa terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 60 Muhammad Yamin, Proklamasi Dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta : Djambatan, 1954, hal. 75 61 Lihat Penjelasan UUD 1945 Sebelum Perubahan 139
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 137-148
yang digunakan pembentuk-pembentuk Undang-undang Dasar kita dalam menyusun dan menggerakkan organisasi negara kita.....”.62 Penormaan Asas negara hukum ke dalam Pasal UUD 1945 dilakukan pada saat Perubahan Ketiga UUD 1945, yang dikonkritkan ke dalam Pasal 1 Ayat (3) dengan bunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Penegasan Ketentuan ini merupakan perwujudan dari kesepakatan dasar di kalangan anggota MPR yang dihasilkan Sidang Umum tahun 1999 yang menentukan agar Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif dimasukkan ke dalam pasal-pasal atau batang tubuh.63 Sebagaimana diketahui, bahwa unsur-unsur pokok Negara Hukum yang telah menjadi komitmen politik, secara umum memiliki 4 (empat) unsur dan bersifar universal, yakni:64 a. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar hukum atau perundang-undangan. b. Adanya Jaminan terhadap Hak Asasi Manusia. c. Adanya Pembagian kekuasaan dalam negara. d. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle). Konsekuensi logis dari dianut asas negara hukum oleh Indonesia, maka penempatan badanbadan peradilan (rechterlijke controle) dilakukan didalam rumusan UUD 1945 yakni dalam Bab Kekuasaan Kehakiman. Pasal 24 UUD 1945 menyatakan: ”Kekuasaan kehakiman dijalankan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.” Di dalam Penjelasan Pasal tersebut ditegaskan bahwa, Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim. Kehadiran Kekuasaan Kehakiman yang merdeka menurut Bagir Manan tidak lagi ditentukan oleh stelsel pemisahan atau pembagian kekuasaan, tetapi sebagai suatu ”conditio sine quanon” bagi terwujudnya negara berdasarkan atas hukum, terjaminnya kebebasan, serta pengendalian atas jalannya pemerintahan negara.65 Atas dasar itulah Bagir Manan berpendapat bahwa asas Kekuasaan kehakiman yang merdeka itu mengandung beberapa pengertian (begrip), yaitu:66 1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kebebasan dalam urusan peradilan atau kebebasan menyelenggarakan fungsi peradilan (fungsi yustisial). Kebebasan ini mencangkup kebebasan memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara; 2. Kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung makna larangan bagi kekuasaan ekstra yudisial mencampuri proses penyelenggaraan peradilan. 3. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diadakan dalam rangka terselenggaranya negara berdasarkan atas hukum (de rechtstaat). Dengan penegasan ini, maka kekuasaan kehakiman dimungkinkan untuk melakukan pengawasan yustisial (rechtelijke control) terhadap tindakan badan penyelenggara negara atau penyelenggara pemerintahan lainnya. 4. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu putusan atau ketetapan hukum yang dibuat. 62
Padmo Wahjono, Indonesia ialah Negara Yang Berdasar Atas Hukum, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UI, 15 Nopember 1979, dalam Hendra Nurtjahyo, Politik Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hal. 82 63 Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, 2001, Risalah Rapat Komisi A ke-3 (Lanjutan) s/d ke-5 Tanggal 6 Nopember s/d 8 Nopember 2001 Masa Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2001 Buku Keempat Jilid 2A, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI. 64 Sri Soemantri, Asas Negara Hukum Dan Perwujudannya Dalam Sistem Hukum Nasional, dalam M.B. Muqoddas, et. All, Politik Pembagunan Hukum Nasional, Yogjakarta: UII press, 1992, hal. 28 65 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung, 1995, hal. 7 66 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun 2002, Yogjakarta: FH UII Press, 2007, hal. 30, lihat juga Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, STIH IBLAM, 2004, hal. 4 140
Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung, Teguh Satya Bhakti
5. Kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim bertindak objektif, jujur dan tidak berpihak. 6. pengawasan Kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan semata-mata melalui upaya hukum – biasa atau luar biasa – oleh dan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri. 7. semua tindakan terhadap hakim semata-mata dilakukan menurut undang-undang. Selama ini, banyak yang menafsirkan bahwa dalam perkataan merdeka dan terlepas dari ”pengaruh” kekuasaan pemerintah itu, terkandung pengertian yang bersifat fungsional dan sekaligus institusional. Tetapi, ada yang hanya membatasi pengertian perkataan itu secara fungsional saja, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah itu tidak boleh melakukan intervensi yang bersifat atau yang patut dapat diduga akan mempengaruhi jalannya proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian perkara yang dihadapi oleh Hakim. Karena itu penjelasan kedua pasal itu mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung, langsung dikaitkan dengan jaminan mengenai kedudukan para Hakim. Maksudnya ialah agar para Hakim dapat bekerja profesional dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah, kedudukannya haruslah dijamin dalam undang-undang.67 Jimly Asshidiqie mengatakan bahwa, kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu haruslah dipahami dalam konteks kemerdekaan para Hakim dalam menjalankan tugasnya. Karena itu, menurut pandangan ini, kedudukan para Hakim yang merdeka itu tidak mutlak harus diwujudkan dalam bentuk pelembagaan yang tersendiri. Jalan pikiran demikian inilah yang berlaku selama ini, sehingga tidak pernah terbayangkan bahwa kekuasaan Mahkamah Agung dapat dikembangkan dalam satu atap kekuasaan kehakiman yang mandiri secara institusional. Celakanya, praktek yang terjadi sejak Indonesia merdeka sampai berakhirnya era Orde Baru cenderung menunjukkan bahwa proses peradilan di lingkungan lembaga-lembaga pengadilan di seluruh tanah air juga seringkali justru dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah. Akibatnya, kekuasaan kehakiman kita bukan saja tidak merdeka secara institusional administratif, tetapi juga secara fungsional-prosesual dalam proses penyelesaian perkara keadilan.68 Praktek penyelenggaraan negara di Indonesia dalam mengebiri Kekuasaan Kehakiman adalah dengan cara tidak mengatur dan tidak dibentuknya pengaturan terhadap konsep Kekuasaan Kehakiman itu oleh Pemerintah. Kekuasaan Kehakiman dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan. Sehingga makna dan arti dari konsep Kekuasaan Kehakiman yang merdeka itu tidak lagi murni mengacu kepada cita hukum yang sesungguhnya, melainkan mengabdi kepada kepentingan kekuasaan pemerintah. 2.
Evaluasi dan Analisis terhadap RUU Mahkamah Agung dalam Hubungannya dengan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman Dalam Naskah Akademis RUU Tentang Mahkamah Agung yang dibuat oleh Badan Legislasi DPR, terdapat tiga alasan yang menjadi dasar perubahan atau revisi terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yaitu pembaharuan muatan filosofis, yuridis dan sosiologis. Pembaharuan muatan filosofis dimaksudkan untuk mengkaji ulang relevansi konsep dasar dan asas-asas hukumnya, pembaharuan muatan yuridis dimaksudkan untuk mengevaluasi muatan dari norma-norma atau kaidah hukum yang akan diberlakukan ke depan, sedangkan pembaharuan muatan sosiologis dimaksudkan agar lahirnya suatu peraturan perundang-undangan baru tidak mendapat tantangan dari masyarakat, oleh karena itu sedapat mungkin aspirasi dari masyarakat dapat terwadahi dengan baik. 69 Jimly Asshidiqie, “ Kekuasaan Kehakiman Di Masa Depan” (Disampaikan dalam Seminar di Jakarta yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, Kamis, 13 Juli, 2000). 68 Ibid 69 Disarikan dari Naskah Akademis RUU Tentang Mahkamah Agung, Jakarta: Badan Legislasi DPR, 2012 67
141
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 137-148
Selain itu, revisi terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dalam Naskah Akademis menekankan pada konsistensi, sinkronisasi, dan harmonisasi dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan undang-undang lain yang terkait.70 Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis RUU Mahkamah Agung71 Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib. Hal ini ditegaskan secara eksplisit dalam Pasal 1 ayat (3)72 dan Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.73 Sebagai bagian dari bukti wujud Indonesia sebagai negara hukum, maka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus berlangsung suatu tata kehidupan dimana Negara benar-benar menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum serta menciptakan dan menegakkan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat. Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan tata usaha negara, serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung sebagai salah satu pemangku kekuasaan kehakiman dan merupakan lembaga peradilan tertinggi, tentu memiliki peranan yang strategis dalam mewujudkan Negara Hukum Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tujuan bernegara Indonesia (Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) sebagaimana diuraikan di atas. Dalam konteks ini, pengaturan secara yuridis dalam bentuk undang-undang amat strategis pula dalam mewujudkan peran strategis Mahkamah Agung. Artinya, bagaimana membentuk Mahkamah Agung yang benar-benar mengemban kekusaan kehakiman untuk mwujudkan negara hukum dan mencapai tujuan negara sangat terkait dengan undang-undang yang mengaturnya. Bahwa Undang-Undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku saat ini, masih terdapat kelemahan sehingga diperlukan perubahan agar sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, diperlukannya perubahan Undang-Undang ini untuk lebih menjamin kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan bagi para pencari keadilan dan masyarakat pada umumnya. Adanya fenomena sosial yang menuntut adanya keadilan prosedural maupun keadilan substansial, kadang-kadang tidak terpenuhi melalui proses peradilan yang dipandang oleh fenomena sosiologis sebagai pertanda lemahnya penegakan hukum yang berujung pada lemahnya penegakan hukum dan keadilan. a.
70
Disarikan dari Naskah Akademis RUU Tentang Mahkamah Agung, Jakarta: Badan Legislasi DPR, 2012 Disarikan dari Naskah Akademis RUU Tentang Mahkamah Agung, Jakarta: Badan Legislasi DPR, 2012 72 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” 73 Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UndangUndang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” 71
142
Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung, Teguh Satya Bhakti
Persepsi masyarakat yang demikian ketika berinteraksi dengan intervensi politik berupa lahirnya tuntutan peran politik dipandang dapat mendongkrak kepercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum dan keadilan justru akan mendukung persepsi masyarakat, yang pada gilirannya secara teoritis dipandang sebagai telah terjadinya pergumulan politik hukum dengan teori hukum dan ranah penegakan hukum. Dengan perkataan lain bahwa ketika intervensi politik dalam proses penegakan hukum diasumsikan oleh pandangan teoritik sebagai sebuah pelemahan penegakan hukum. Dengan demikian, pelemahan penegakan hukum bukan merupakan pelemahan penegakan hukum itu sendiri akan tetapi merupakan pelemahan penegakan hukum yang diciptakan oleh politik hukum yang berkumulasi dengan persepsi sosial. Adalah menjadi alternatif yang dapat memberikan solusi dalam menghadapi fenomena demikian seperti di atas dengan penguatan kelembagaan lembaga peradilan, khususnya Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi dalam melakukan pembinaan terhadap badan peradilan yang ada di bawahnya, melalui perubahan undang-undang yang mengatur Mahkamah Agung. Hal itu didukung pula oleh performansi kinerja Mahkamah Agung. Selain itu pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, dan sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 secara yuridis-normatif perlu ditinjau ulang dan dilakukan perubahan sebagaimana mestinya. Dasar konstitusional bagi Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman sebagaimana tersebut dalam Pasal 24 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memberi arah kepada Mahkamah Agung dalam melaksanakan tugas konstitusional baik dalam menegakkan hukum dan keadilan maupun dalam melakukan pembinaan terhadap badan peradilan yang ada di bawahnya dalam 4 (empat) lingkungan peradilan. Selain dari pada itu pelaksanaan tugas dalam menegakkan hukum dan keadilan sesuai dengan arahan konstitusional harus bebas dari segala pengaruh dari manapun, akan berkait dengan lembaga pemerintahan baik dalam kaitannya dengan penegakan hukum maupun politik hukum yang berorientasi pada pembentukan hukum beserta segala perubahannya. Aspek yuridis maupun konstitusional seperti tersebut di atas menunjukkan adanya keterkaitan dengan berbagai undang-undang yang mengatur berbagai bentuk struktur hukum yang berakibat pada perlunya keperdulian atas harmonisasi dan sinkronisasi dengan rancangan undang-undang Mahkamah Agung yang akan disusun dengan memperhatikan kepentingan penegakan hukum dan keadilan yang harus berbanding searah dengan kepentingan hukum dan keadilan masyarakat. Dari sanalah terjadinya perkembangan yang signifikan yang selalu mendorong Mahkamah Agung melakukan penyesuaian dan penyelarasan pelaksanaan tugas Mahkamah Agung dengan segala instrumen kelembagaannya yang pada gilirannya diperlukan adanya perubahan atas undang-undang yang berkaitan dengan Mahkamah Agung, dan pada khususnya penyesuaian Undang-Undang Mahkamah Agung dengan perkembangan hukum dan masyarakat dan juga sebagai dampak dari perkembangan ketatanegaraan menurut UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Urgensi perubahan Undang-Undang Mahkamah Agung mempunyai posisi signifikan yang berbanding searah dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada proses penegakan hukum dan keadilan. Penyusunan RUU tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung berkait secara langsung dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997tentang Peradilan Militer. Undang-Undang lain yang mengatur lembaga lain yang tugas dan fungsinya berkait dengan penegakan hukum dan keadilan yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Undang-Undang Nomor 24 tentang Tahun 2003 143
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 137-148
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 8 Tahun 2011, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Tentara Nasional Indonesia. Selain dari pada itu masih terdapat Undang-Undang yang mengatur mengenai pengadilan khusus baik yang melekat pada pengadilan negeri, pengadilan agama, maupun pengadilan tata usaha negara. Pada pengadilan negeri terdapat pengadilan khusus yaitu pengadilan HAM berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, pengadilan hubungan industrial berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, pengadilan niaga berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, pengadilan perikanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, pengadilan tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 tahun 2009. b.
Pokok-pokok Materi Muatan Perubahan Undang-Undang Mahkamah Agung yang diusulkan oleh DPR74 1. Rekrutmen Sistem rekrutmen masih belum berjalan secara transparan dan akuntabel untuk dapat menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang sesuai kebutuhan pengadilan. 75 Sistem yang tidak transparan tersebut menghasilkan proses perekrutan calon hakim agung belum mampu menghasilkan calon hakim agung yang berkualitas. Selain itu, sistem pembinaan yang meliputi peningkatan kapabilitas/keahlian, dan pengembangan sistem rotasi, mutasi serta pengembangan karir hakim serta non-hakim juga perlu disempurnakan dengan menyertakan parameter obyektif. Parameter obyektif ini dirasakan mendesak terutama berkaitan dengan adanya kebutuhan untuk menerapkan sistem reward and punishment yang tepat. Masalah lain yang juga mengemuka adalah distribusi hakim dan aparatur peradilan yang belum merata. 76 2. Struktur Organisasi. Pengaruh sistem birokrasi dan pengaturan birokratis berlatar belakang regulasi PNS dalam struktur organisasi MA saat ini menjadi penghambat kinerja MA. Akibatnya senioritas berpengaruh dalam struktur, senioritas selalu didahulukan baik dalam posisi maupun pendapat dengan alasan pangkat/jabatan maupun pengalaman.77 Berkaitan dengan struktur organisasi di Mahkamah Agung yang saat ini sedang berjalan, setidaknya ada tiga bagian yang perlu untuk mendapatkan perbaikan yaitu: Pimpinan, Kepaniteraan, dan Kesekretariatan 3. Sistem Kamar dan Spesialisasi Hakim Agung Sampai saat ini belum adanya sistem kamar dan spesialisasi hakim agung mengakibatkan hakim agung yang berlatar belakang hakim agama kemudian ikut memutus perkara perdata danatau pidana atau sebaliknya. Seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi, karena seharusnya seorang hakim memutus perkara sesuai bidang keahliannya atau spesialisasinya. Oleh karena itu, agar hakim bekerja sesuai keahliannya dan kesatuan hukum dapat terwujud serta upaya untuk memaksimalisasi pembinaan terhadap masing-masing lingkungan peradilan maka diperlukan adanya sistem kamar. 4. Penumpukan Perkara. Meskipun dalam Pasal 45A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 terdapat ketentuan mengenai pembatasan perkara kasasi namun sampai saat ini masih terjadi penumpukan perkara di MA. Penumpukan perkara tersebut telah mengakibatkan tertundanya putusan dan keadilan bagi pencari keadilan sampai bertahun-tahun. Pada tahun 2006, perkara yang masuk ke MA sebanyak 7825 74
Disarikan dari Naskah Akademis RUU Tentang Mahkamah Agung, Jakarta: Badan Legislasi DPR, 2012 Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010 – 2035, Mahkamah Agung Republik Indonesia, tahun 2010, hal. 10. 76 Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010 – 2035, Mahkamah Agung Republik Indonesia, tahun 2010, hal. 10. 77 Wawancara dengan Zen Zanibar MZ, Pakar Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, tanggal 13 Mei 2011. 75
144
Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung, Teguh Satya Bhakti
perkara. Pada tahun 2007 sejumlah 9.516 perkara, dan meningkat pada tahun 2008 yaitu sebanyak 11.338 perkara.78 Pada Tahun 2009 perkara yang masuk meningkat menjadi 12.540 perkara. Jumlah ini naik 11% dibandingkan tahun 2008. Perkara terbanyak adalah perdata umum yang mencapai 3.900 perkara (31%) yang diikuti oleh perkara pidana khusus yang naik signifikan melebihi masuknya perkara pidana umum yaitu sebanyak 2.900 perkara (24%). Sedangkan perkara pidana umum sebanyak 2.481 perkara (20%).79 Pada tahun 2010, MA menerima sejumlah 13.480 perkara. Jumlah ini naik 7.50 % dari tahun 2009. Jumlah perkara masuk pada tahun 2010 ini merupakan jumlah terbesar dalam enam tahun terakhir. Sedangkan sisa perkara tahun sebelumnya berjumlah 8.835 perkara, sehingga jumlah perkara yang ditangani MA selama tahun 2010 berjumlah 22.315 perkara.80 5. Peninjauan Kembali Pasal 24 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa terhadap peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Demikian pula dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menentukan bahwa permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. Namun dalam praktek terdapat permohonan peninjauan kembali diajukan untuk dua bahkan ketiga kalinya. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana peranan MA untuk menjamin adanya kepastian hukum?. 6. Pengawasan dan Pemberhentian Hakim Agung. Berdasarkan ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, pengawasan internal atas tingkah laku hakim agung dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan pengawasan eksternal atas perilaku hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial. Meskipun terdapat pembagian pengawasan tersebut, dalam pelaksanaannya masih terdapat permasalahan. Meskipun sudah ada kode etik dan pedoman perilaku hakim (putusan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV.2009), namun masih sering terjadi perbedaan pandangan antara MA dan KY. Perbedaan pandangan tersebut mengenai pengawasan, dimana KY beranggapan bahwa hakim yang bersangkutan telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim, akan tetapi Mahkamah Agung berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh hakim yang bersangkutan masuk dalam ranah teknis yudisial yang tidak boleh dicampuri oleh siapapun, termasuk MA dan KY. Mengenai peranan pengawasan hakim oleh MA dan KY perlu adanya suatu ketentuan yang menegaskan kerangka hubungan kedua lembaga tersebut sebagai hubungan fungsional dan tidak saling membawahi satu dengan lainnya. Oleh karena itu kedua lembaga tersebut masing-masing memiliki independensi dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya dan tidak perlu saling intervensi kewenangan. c.
Materi Muatan RUU Tentang Mahkamah Agung Bertentangan Dengan Prinsip-prinsip Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Terdapat beberapa hal dalam materi muatan yang terkandung dalam RUU MA yang belum sesuai dengan prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, diantaranya: Pertama, Pengawasan DPR Terhadap Mahkamah Agung (MA) sebagaimana tercermin dalam ketentuan Pasal 94 ayat (1) dan (2) RUU MA yang berbunyi: DPR RI melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan pengawasan terhadap penyimpangan-penyimpangan terhadap undang-undang 78
Sumber : Laporan Tahunan MA, diolah oleh Lembaga Independensi Peradilan (LEIP), disampaikan dalam diskusi dengan Tim Asistensi tahun 2011. 79 Laporan Tahunan MA Tahun 2009. 80 Laporan Tahunan MA Tahun 2010, hal 69. 145
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 137-148
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Ketentuan ini dapat menyebabkan terjadinya ketegangan antara prinsip independensi peradilan dengan prinsip akuntabilitas yang dilakukan oleh DPR. Kedua, Subtansi Putusan MA sebagaimana tersirat dalam ketentuan Pasal 97 yang menegaskan bahwa: MA dalam tingkat kasasi dilarang: (a) membuat putusan yang melanggar Undang-Undang; (b) membuat putusan yang menimbulkan keonaran dan kerusakan serta mengakibatkan kerusuhan dan huru hara; (c) dilarang membuat putusan yang tidak mungkin dilaksanakan karena bertentangan dengan realitas di tengah-tengah masyarakat, adat istiadat dan kebiasaan yang turun temurun sehingga akan mengakibatkan pertikaian dan keributan; (d) dilarang mengubah Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial secara sepihak, dan/atau Keputusan Bersama tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara sepihak. Ketentuan ini tidak hanya melanggar indepedensi peradilan, namun juga mengabaikan prinsip negara berdasarkan hukum, yaitu dengan menempatkan supremasi politik di atas supremasi hukum dan menempatkan supremasi hukum dibawah kehendak mayoritas. Ketiga, Kriminalisasi Hakim jika hakim melanggar atau mengabaikan Pasal 94 jo. Pasal 96 dan sebagaimana tercermin dalam ketentuan Pasal 98 RUU MA. Keempat, Struktur organisasi Kesekretariatan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 35 RUU MA. Ketentuan ini menunjukan bahwa terjadi penumpukan tugas di Sekretariat MA sebagai satuan kerja yang melaksanakan dua tugas dan fungsi pokok, yaitu: (1) tugas dan fungsi organisasi, administrasi dan keuangan MA; (2) tugas dan fungsi organisasi, administrasi dan keuangan badan-badan peradilan. Meski sejatinya tugas dan fungsi organisasi, administrasi dan keuangan badan-badan peradilan dilakukan oleh masing-masing badan peradilan. Namun badan-badan peradilan ini tetap berinduk pada Sekretariat MA, dan menyebabkan penumpukan tugas, fungsi dan kewenangan yang amat besar pada Sekretariat MA. Kelima, Hukum Acara Hak Uji Materiil sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 90 ayat (8) yang berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.” Pengujian ini dikenal dengan istilah hak uji materiil. Selama ini tata cara uji materiil diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma). Hal ini terjadi disebabkan karena adanya kekosongan hukum terkait dengan tata cara pengajuan uji materiil. Namun dalam RUU MA tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai hukum acara hak uji materiil. Keenam, Pembagian Kamar Perkara yang menyebabkan terjadinya penggemukan sumber daya manusia dalam tingkat dan dengan tugas dan fungsi yang sama di Kepaniteraan MA, yaitu Panitera Muda Perkara dan Panitera Muda Kamar. Ketujuh, Batasan Usia Minimal Hakim Agung. Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa Materi muatan RUU MA inisiatif DPR yang telah disusun belum sesuai dengan prinsip Kekuasaan kehakiman yang merdeka. D. Penutup Berdasarkan uraian pembahasan dalam bab sebelumnya, berikut ini disampaikan kesimpulannya: a. DPR mengajukan usul inisiatifnya untuk merubah kembali RUU MA karena 3 (tiga) landasan yaitu: pertama, Landasan Filosofis, yaitu adanya keinginan DPR untuk membentuk Mahkamah Agung yang benar-benar mengemban kekusaan kehakiman untuk mwujudkan negara hukum dan mencapai tujuan negara, kedua, Landasan Sosiologis, yaitu Undang-Undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku saat ini, dipandang masih terdapat kelemahan sehingga diperlukan perubahan agar sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ketiga, ditinjau dari aspek yuridis maupun konstitusional, menunjukkan bahwa adanya keterkaitan 146
Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung, Teguh Satya Bhakti
antara UU MA yang berlaku saat ini dengan berbagai undang-undang yang mengatur berbagai bentuk struktur hukum yang berakibat pada perlunya keperdulian atas harmonisasi dan sinkronisasi dengan rancangan undang-undang Mahkamah Agung yang akan disusun dengan memperhatikan kepentingan penegakan hukum dan keadilan yang harus berbanding searah dengan kepentingan hukum dan keadilan masyarakat. b. Materi muatan RUU MA inisiatif DPR belum sesuai dengan prinsip-prinsip Kekuasaan kehakiman yang merdeka khususnya menyangkut: Pertama, Pengawasan DPR Terhadap Mahkamah Agung (MA) sebagaimana tercermin dalam ketentuan Pasal 94 ayat (1) dan (2) RUU MA yang berbunyi: DPR RI melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undangundang dan pengawasan terhadap penyimpangan-penyimpangan terhadap undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Ketentuan ini dapat menyebabkan terjadinya ketegangan antara prinsip independensi peradilan dengan prinsip akuntabilitas yang dilakukan oleh DPR. Kedua, Subtansi Putusan MA sebagaimana tersirat dalam ketentuan Pasal 97 yang menegaskan bahwa: MA dalam tingkat kasasi dilarang: (a) membuat putusan yang melanggar Undang-Undang; (b) membuat putusan yang menimbulkan keonaran dan kerusakan serta mengakibatkan kerusuhan dan huru hara; (c) dilarang membuat putusan yang tidak mungkin dilaksanakan karena bertentangan dengan realitas di tengah-tengah masyarakat, adat istiadat dan kebiasaan yang turun temurun sehingga akan mengakibatkan pertikaian dan keributan; (d) dilarang mengubah Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial secara sepihak, dan/atau Keputusan Bersama tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara sepihak. Ketentuan ini tidak hanya melanggar indepedensi peradilan, namun juga mengenyampingkan prinsip negara berdasarkan hukum, yaitu dengan menempatkan supremasi politik diatas supremasi hukum dan menempatkan supremasi hukum dibawah kehendak mayoritas. Ketiga, Kriminalisasi Hakim jika hakim melanggar atau mengabaikan Pasal 94 jo. Pasal 96 dan sebagaimana tercermin dalam ketentuan Pasal 98 RUU MA. Keempat, Struktur organisasi Kesekretariatan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 35 RUU MA. Ketentuan ini menunjukan bahwa terjadi penumpukan tugas di Sekretariat MA sebagai satuan kerja yang melaksanakan dua tugas dan fungsi pokok, yaitu: (1) tugas dan fungsi organisasi, administrasi dan keuangan MA; (2) tugas dan fungsi organisasi, administrasi dan keuangan badan-badan peradilan. Meski sejatinya tugas dan fungsi organisasi, administrasi dan keuangan badan-badan peradilan dilakukan oleh masing-masing badan peradilan. Namun badan-badan peradilan ini tetap berinduk pada Sekretariat MA, dan menyebabkan penumpukan tugas, fungsi dan kewenangan yang amat besar pada Sekretariat MA. Kelima, Hukum Acara Hak Uji Materiil sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 90 ayat (8) yang berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.” Pengujian ini dikenal dengan istilah hak uji materiil. Selama ini tata cara uji materiil diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma). Hal ini terjadi disebabkan karena adanya kekosongan hukum terkait dengan tata cara pengajuan uji materiil. Namun dalam RUU MA tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai hukum acara hak uji materiil. Keenam, Pembagian Kamar Perkara yang menyebabkan terjadinya penggemukan sumber daya manusia dalam tingkat dan dengan tugas dan fungsi yang sama di Kepaniteraan MA, yaitu Panitera Muda Perkara dan Panitera Muda Kamar. Ketujuh, Batasan Usia Minimal Hakim Agung. Adapun untuk melengkapi penelitian ini, berikut disampaikan saran. a. Badan Legislasi DPR hendaknya mereview kembali Naskah Akademis yang menjadi dasar RUU MA, dengan melakukan studi yang lebih komprehensif, sehingga nantinya diperoleh suatu pemahaman yang lebih mendalam tentang gagasan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam konstitusi dan pelaksanaannya di indonesia. 147
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 137-148
b. Hendaknya materi muatan RUU MA inisiatif DPR harus diselaraskan dengan prinsip-prinsip Kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 24 UUD NRI.
Daftar Pustaka Muhammad Yamin, Proklamasi Dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta : Djambatan, 1954 Padmo Wahjono, Indonesia ialah Negara Yang Berdasar Atas Hukum, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UI, 15 Nopember 1979, dalam Hendra Nurtjahyo, Politik Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004 Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, 2001, Risalah Rapat Komisi A ke-3 (Lanjutan) s/d ke-5 Tanggal 6 Nopember s/d 8 Nopember 2001 Masa Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2001 Buku Keempat Jilid 2A, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI. Sri Soemantri, Asas Negara Hukum Dan Perwujudannya Dalam Sistem Hukum Nasional, dalam M.B. Muqoddas, et. All, Politik Pembagunan Hukum Nasional, Yogjakarta: UII press, 1992 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung, 1995 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun 2002, Yogjakarta: FH UII Press, 2007, hal. 30, lihat juga Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, STIH IBLAM, 2004 Jimly Asshidiqie, “ Kekuasaan Kehakiman Di Masa Depan” (Disampaikan dalam Seminar di Jakarta yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, Kamis, 13 Juli, 2000). Badan Legislasi DPR, Naskah Akademis RUU Tentang Mahkamah Agung, Jakarta: Badan Legislasi DPR, 2012 Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010 – 2035, Jakarta, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2010
148
PERBAIKAN PROSEDUR PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI MAHKAMAH AGUNG M. Nur Sholikin Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Puri Imperium Office Plasa UG 11-12, Kuningan Madya, Jakarta Selatan 12980
[email protected]
Abstrak Peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang merupakan produk proses politik dan birokratik memerlukan mekanisme pengawasan melalui kekuasaan kehakiman. Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif diberi kewenangan untuk melakukan pengujiannya. Persoalan efektiifitas prosedur pemeriksaan permohonan di Mahkamah Agung menjadi topik utama yang diteliti. Metode yang digunakan untuk mengkaji persoalan tersebut dilakukan melalui penelitian normatif yang bersifat deskriptif dengan mengkaji peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka lainnya yang relevan. Penelitian menyimpulkan bahwa pengaturan dan praktek pemeriksaan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung saat ini belum mendukung penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. Kata kunci: Prosedur, Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Mahkamah Agung Abstract Regulations under Laws which is the output of political and bureaucratic processes need to be supervised with a review mechanism by judicial power. Supreme Court as a judicial body have an authority to conduct the judicial review. The issue of the effectiveness procedures for judiical review regulation under law in the Supreme Court became the main topic of this research. This research is conducted through normative research methode, descriptive by studied legislation and other relevant library materials. The study concluded that the regulation and implementation for the judicial review application in the Supreme Court do not support the principles of transparency and accountability. Therefore, it is necessary to make revisions to the Supreme Court Regulation No. 1 Year 2011 on the Rights of the Judicial Review. Keywords: Procedures, Testing Laws and Regulations, the Supreme Court
A. Pendahuluan Sistem ketatanegaraan Indonesia mengatur beberapa jenis peraturan perundang-undangan dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jenis dan hirarkis peraturan perundang-undangan tersebut meliputi: Undang-Undang Dasar, Ketetapan MPR, Undangundang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Propinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Selain jenis peraturan perundangundangan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12/2011 tersebut, terdapat beberapa jenis peraturan yang dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan. Ketentuan yang mengatur jenis lain peraturan perundang-undangan tersebut terdapat dalam pasal 8 ayat (1) UU No, 12/2011 antara lain meliputi peraturan yang ditetapkan oleh lembaga negara yang diatur kedudukannya dalam UUD, Menteri, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang. 149
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 149-162
UU No. 12/2011 juga mengatur tentang prosedur pengujian peraturan perundang-undangan. Pasal 9 ayat (1) UU No. 12/2011 mengatur bahwa pengujian terhadap undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Konsitusi. Selanjutnya, Pasal 9 ayat (2) mengatur bahwa pengujian peraturan perundangundangan di bawah Undang-undang yaitu Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Propinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Objek pengujian yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung ini masih ditambah dengan peraturan perundang-undangan yang termasuk dalam kategori Pasal 8 ayat (1) UU No. 12/2011. Pengujian peraturan perundang-undangan ini menjadi faktor penting dalam menjaga kualitas peraturan perundang-undangan di negara kita. Pengujian peraturan perundang-undangan ini merupakan suatu alat kontrol masyarakat terhadap hukum (peraturan perundang-undangan) yang dibuat oleh lembaga negara. Mekanisme ini bertujuan untuk menjaga konsistensi peraturan perundangundangan terutama terhadap prinsip-prinsip dasar kehidupan bernegara yang sudah dijamin dalam UUD. Selain itu, konsistensi pengaturan antara peraturan perundang-undangan juga perlu dikontrol melalui mekanisme ini. Paska amandemen UUD, terdapat mekanisme baru dalam sistem ketatanegaraan dengan diaturnya judicial review Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi. Mekanisme ini membuka hak bagi warga negara untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang apabila terdapat undangundang yang merugikan hak konstitusional warga negara. Pengujian untuk tingkat undang-undang merupakan sistem yang baru, sebelumnya dalam sistem perundang-undangan Indonesia telah diterapkan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Kewenangan Mahkamah Agung ini diatur dalam Undang-Undang No. 14/1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Walaupun masih relatif baru, apabila dibandingkan dengan pengujian peraturan yang diatur dalam UU No. 14/1970, mekanisme judicial review oleh Mahkamah Konstitusi mendapat respon yang positif. Mahkamah Konstitusi telah menguji sebanyak 317 undang-undang sejak 2003 sampai dengan 2014.81 Respon berbeda dapat dilihat dari pelaksanaan kewenangan pengujian peraturan perundangundangan oleh Mahkamah Agung. Dengan potensi objek perkara yang sangat besar yaitu mulai dari PP, Perpres, peraturan lembaga negara lainnya yang masuk dalam peraturan perundang-undangan, pertauran menteri/lembaga/badan/komisi, peraturan daerah propinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota, jumlah pengujian oleh Mahkamah Agung masih sangat sedikit. Kondisi ini tidak bisa diartikan bahwa kualitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sudah baik, karena sangat sedikit yang diajukan pengujiannya ke Mahkamah Agung. Hal ini mengingat untuk tingkat Perda saja pada periode 2004 sampai dengan 2009, terdapat 1691 peraturan daerah yang dibatalkan oleh Kemendagri.82 Sementara itu, data Kemendagri menyebutkan bahwa pada 2010 terdapat 407 peraturan daerah yang bermasalah dan pada 2011 terdapat 251 peraturan daerah yang bermasalah.83 Berbagai media juga marak memberitakan adanya peraturan daerah yang merugikan masyarakat. Selain itu, konflik peraturan perundang-undangan baik peraturan yang dibuat oleh pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah yang menimbulkan persoalan dalam implementasi juga sering mengemuka bahkan menjadi alasan tidak berjalan lancarnya suatu program pemerintah. Kondisi ini menunjukkan adanya persoalan kualitas peraturan perundang-undangan untuk tingkat di bawah undang-undang dan seharusnya proses pengujian oleh Mahkamah Agung dapat menjadi solusi. Akan tetapi, melihat pada data permohonan pengujian oleh Mahkamah Agung, menunjukkan bahwa belum ada perbandingan 81
Mahkamah Konstitusi, Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang, http://www.mahkamahkonstitusi. go.id/index.php?page=web.RekapPUU (diakses pada 13 Oktober 2014). 82 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Laporan Kajian Implementasi Pengawasan Peraturan Daerah oleh Pemerintah dan Mahkamah Agung, 2011. 83 Ria Casmi Arrsa, Restorasi Politik Legislasi Pembentukan Peraturan Daerah Berbasis Riset, Rechtvinding (2013). 150
Perbaikan Prosedur Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di MA, M. Nur Sholikin
yang proporsional dengan potensi perkara pengujian. Pada tahun 2013, Mahkamah Agung menangani 104 perkara pengujian peraturan perundang-undangan dengan rincian 76 perkara baru dan 28 merupakan perkara sisa tahun sebelumnya. Jumlah perkara yang diterima ini mengalami kenaikan sebesar 46,15 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 52 perkara. No. Jenis Peraturan Jumlah 1. Peraturan Pemerintah 19 2. Peraturan Menteri 16 3. Peraturan KPU 14 4. Peraturan Daerah 11 5. Peraturan Gubernur 4 6. Keputusan KPU 2 7. Keputusan Presiden 2 8. Keputusan Bupati 2 9. Peraturan Presiden 2 10. Peraturan Walikota 2 11. Keputusan Direksi 1 12. Direktur Jenderal 1 Tabel 1. Klasifikasi Perkara dan jumlah Permohonan Uji Materiil ke Mahkamah Agung Tahun 201384 Beberapa kalangan menilai bahwa prosedur pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung memiliki persoalan terkait dengan keterbukaan penanganan perkara, pelaksanaan persidangan dan akses permohonan.85 Salah satu yang mengkritik prosedur tersebut adalah Komnas Perempuan yang menuntut adanya proses pemeriksaan permohonan judicial review oleh Mahkamah Agung yang terbuka dan akuntabel.86 Dalam proses peradilan, aspek prosedur juga menjadi bagian penting dalam mewujudkan keadilan itu sendiri. Proses peradilan harus dijalankan dengan mengedepankan asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Kemudahan akses, transparansi dan akuntabilitas proses ini akan memudahkan berbagai pihak untuk mengikuti proses hukum dalam memperjuangkan hak-haknya. Penelitian ini akan mengkaji mengenai proses penanganan perkara permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung dengan meneliti aspek formal prosedur yang diatur dalam peraturan perundangundangan berdasarkan pada aspek transparansi dan akuntabilitas persidangan. B. Permasalahan - Bagaimana prosedur penanganan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung? - Apa saja upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki proses penanganan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung?
84
Mahkamah Agung, Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2013. https://www. mahkamahagung.go.id/images/LTMARI-2013.pdf. (diakses 16 Oktober 2014), hlm. 41. 85 Perma Hak Uji Materiil Perlu Direvisi, 25 Maret 2011. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d8c2c c5ef50d/perma-hak-uji-materiil-perlu-direvisi, (diakses 13 Oktober 2014). 86 Komnas Perempuan: Uji Materi di MA Harus Terbuka dan Akuntabel, 26 Februari 2014. http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20140226/komnas-perempuan-uji-materi-di-ma-harus-terbukadan-akuntabel.html (diakses 13 Oktober 2014). 151
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 149-162
C. Metode Penelitian Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan mengkaji objek berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung. Sebagai penelitian yuridis normatif maka penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan dengan mendasarkan pada bahan hukum primer yang meliputi peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, bahan hukum sekunder yang meliputi pendapat/doktrin pakar, karya ilmiah, dan artikel berita yang relevan. D. Pembahasan 1. Sejarah Pengaturan dan Dasar Hukum Kewenangan Mahkamah Agung dalam Menguji Peraturan Perundang-Undangan di Bawah Undang-Undang Persoalan tentang pengujian peraturan perundang-undangan sudah terjadi ketika penyusunan UUD 1945. Pada persidangan BPUPKI, terdapat perbedaan mengenai perlu tidaknya pengaturan mengenai pengujian peraturan perundang-undangan. Perbedaan itu antara Prof Soepomo dengan Muhammad Yamin. Prof Soepomo menolak pengaturan mengenai pengujian peraturan perundangundangan dalam UUD 1945. Argumentasi Prof. Soepomo karena pengujian peraturan perundangundangan dianut dalam sistem dengan konsep trias politika. Sedangkan UUD 1945 tidak menganut sistem trias politika. Sementara itu, Muhammad Yamin memiliki pandangan bahwa pengujian peraturan perundang-undangan penting untuk diberikan kepada Mahkamah Agung. Hal seiring dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.87 Namun, akhirnya pendapat Prof. Soepomo yang disepakati sehingga pengujian peraturan perundang-undangan tidak diatur dalam UUD 1945. Pengujian peraturan perundang-undangan mulai dikenal pada saat berlakunya Konstitusi RIS sepanjang tahun 1949 – 1950. Pada periode tersebut, berlaku sistem undang-undang negara bagian dan undang-undang negara federal. Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk menguji undangundang negara bagian. Sedangkan undang-undang nengara federal tidak dapat dilakukan pengujian. Berdasarkan Pasal 130 ayat (2) Konstitusi RIS, undang-undang negara federal tidak dapat diganggu gugat.88 Pada periode 1950-1959 saat berlakunya UUDS 1950, pengujian peraturan perundangundangan tidak dikenal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat itu. Pasal 95 ayat (2) UUDS mengatur bahwa undang-undang tidak dapat diganggu gugat. Selanjutnya pada periode tersebut, Ikatan Hakim Indonesia dan MA mengusulkan seharusnya diatur kewenangan untuk menyatakan peraturan perundang-undangan bertentangan dengan UUD. Selanjutnya, Badan Konstituante memutuskan membentuk peradilan khusus yang terdiri Hakim Agung yang berwenang menilai peraturan perundang-undangan.89 Namun, dengan berlakunya kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka tidak ada sistem pengujian peraturan perundang-undangan lagi. Pengujian peraturan-perundangan kembali dikenal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dengan diaturnya kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan dalam UU No. 14/1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 26 ayat (1) UU No. 14/1970 mengatur kewenangan MA melakukan uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan dalam di bawah undang-undang. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU No. 14/1970 sebagai berikut:
87
Petra Stockman, The New Indonesian Constitutional Court (Jakarta, April 2007). Hal 7. Dikutip dalam Sholikin, M Nur. et.al., Pengujian Undang-Undang dan Proses Legislasi (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2007), hlm. 14 88 Sholikin, M Nur. et.al., Pengujian Undang-Undang dan Proses Legislasi, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2007), hlm. 14 89 Dian Rositawati, “Judicial Review” Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. 152
Perbaikan Prosedur Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di MA, M. Nur Sholikin
Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan-peraturan dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Ketentuan tersebut menjadi dasar pertama adanya kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, setelah sebelumnya pernah diatur dalam Konstitusi RIS untuk undang-undang negara bagian. Kewenangan MA tersebut dibatasi pada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Sehingga untuk undang-undang, tetap tidak ada mekanisme pengujiannya. Gerakan reformasi pada 1998, salah satunya menuntut adanya pembenahan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Isu kebutuhan adanya mekanisme judicial review menguat pada saat itu. Beberapa fraksi berpandangan perlunya pengaturan pengujian undang-undang diantaranya Fraksi Partai Golkar dan Fraksi Partai Bulan Bintang.90 Fraksi Partai Golkar dalam pengantar musyawarah tanggal 6 Desember 1999 butir 5 menyatakan: Tugas dan wewenang lembaga kekuasaan kehakiman. Mengenai hal ini perlu pengaturan yang lebih tegas menyangkut kewenangan kekuasaan Mahkamah Agung didalam melakukan hak uji materiil. Kebutuhan adanya pengaturan pengujian peraturan perundang-undangan juga disampaikan oleh Fraksi Partai Bulan Bintang dalam pengantar musyawarah tanggal 6 Desember 1999. Pandangan yang dimaksud sebagai berikut: Oleh karena itu kami berpendapat bahwa mengenai susunan dan kedudukan Mahkamah Agung ini diatur secara tegas dalam UUD termasuk kewenangan yang diberikan kepadanya mengenai hak uji materil maupun formil atas produk hukum Undang-Undang ke bawah. Pengaturan kewenangan ini dirasa sangat diperlukan untuk menumbuhkan check and balance antara berbagai lembaga tinggi negara. Diskusi mengenai perlunya pengaturan pengujian peraturan perundang-undangan dalam proses amandemen UUD terus bergulir hingga akhirnya disepakati pengaturan mengenai Mahkamah Konstitusi yang salah satu kewenangannya menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Selanjutnya, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Pasal 24A ayat (1) UUD mengatur sebagai berikut: Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Pada 2004, Presiden menetapkan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-Undang tersebut, kewenangan MA untuk melakukan pengujian peraturan perundangundangan diatur Pasal 11 ayat (2) huruf b. Ketentuan mengenai kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang tersebut, sebagai berikut: Mahkamah Agung mempunyai kewenangan a. ... b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; c. ... Selanjutnya, UU No. 4/2004 tersebut juga memberikan penjelasan mengenai kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung. Penjelasan dalam terhadap Pasal 11 ayat (2) huruf b, sebagai berikut: Ketentuan ini mengatur tentang hak uji Mahkamah Agung terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari undang-undang. Hak uji tersebut dapat dilakukan baik terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan tersebut yang bertentangan dengan
90
Sholikin, M Nur. et.al., Op.Cit., hlm. 17 153
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 149-162
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan perundangundangan tersebut. UU No. 4/2004 kemudian digantikan dengan UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Terkait dengan ketentuan mengenai pengujian peraturan perundang-undangan, UU No. 48/2009 tidak melakukan perubahan pengaturan kewenangan. Bahkan secara redaksional baik rumusan dalam batang tubuh maupun penjelasan sama dengan UU No. 4/2004. Ketentuan mengenai kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 20 ayat 2 huruf b UU No. 48/2009. Selain diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman, kewenangan pengujian peraturan perundangundangan juga diatur dalam UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung. Pasal 31 ayat (1) mengatur sebagai berikut: Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang Selanjutnya Penjelasan Pasal 31 ayat (1) menjelaskan sebagai berikut : Pasal ini mengatur hak menguji materiil Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berhak menguji peraturan yang lebih rendah daripada undang-undang mengenai sah atau tidaknya suatu peraturan atau bertentangan tidaknya suatu peraturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Uraian dalam penjelasan tersebut mempertegas kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan baik secara materiil yaitu substansi pengaturan maupun secara formil yaitu terhadap proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Selain itu, uraian tersebut juga menjelaskan tentang acuan pengujian peraturan perundang-undangan yang dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b hanya disebutkan pengujiannya terhadap undang-undang, namun dalam penjelasannya disebutkan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Penjelasan ketentuan tersebut memperluas cakupan pengujian. Hal ini perlu karena terdapat beberapa bentuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan bisa jadi ketentuannya tidak selalu mengacu secara langsung pada Undang-Undang atau pertentangannya tidak selalu dengan Undang-Undang. Selain ketentuan dalam Undang-Undang yang mengatur kekuasaaan kehakiman dan lembaga Mahkamah Agung, kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung juga diatur dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 9 ayat (2) UU No. 12/2011 mengatur sebagai berikut: Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Ketentuan ini mempertegas kedudukan kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dalam sistem perundang-undangan atau legislasi di Indonesia. Namun, ketentuan dalam UU No. 12/2011 tersebut hanya menyebutkan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan Undang-Undang. Penjelasan dalam Undang-Undang tersebut tidak menjabarkan lebih lanjut seperti yang terdapat dalam UU No. 4/2004. Penjelasan Pasal 9 UU No. 12/2011 hanya menyebutkan “cukup jelas”. Rumusan ini sebenarnya berpotensi menimbulkan persoalan dalam praktek pengujiannya, apakah pemohon harus selalu membuktikan bahwa peraturan perundang-undangan yang diajukan pengujiannnya bertentangan dengan Undang-Undang. Bagaimana apabila peraturan tersebut hanya bertentangan dengan peraturan di atasnya? Misal Peraturan Daerah bertentangan dengan Peraturan Menteri atau suatu Peraturan Daerah bertentangan dengan ketentuan dalam UUD. Terlepas dari pertentangan tersebut, Mahkamah Agung memiliki kewenangan yang kuat dalam menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Pengaturan dalam UUD, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menunjukkan adanya
154
Perbaikan Prosedur Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di MA, M. Nur Sholikin
kewenangan dari sisi kelembagaan maupun kewenangan dari aspek peraturan perundang-undangan terhadap Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan. 2.
Prosedur Penanganan Perkara Permohonan Pengujian Peraturan Perundang-undangan Peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak mengatur secara rinci mengenai prosedur atau hukum acara pengujian ini. Pengaturan mengenai prosedur pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang disinggung dalam UU No. 3/2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Beberapa materi yang diatur dalam Undang-Undang tersebut antara lain mengenai subyek pemohon, waktu dimulainya pemeriksaan, amar putusan, dan pemuatan putusan dalam berita negara. Selanjutnya. prosedur mengenai penanganan atau hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 1/2011 tentang Hak Uji Materiil. Prosedur pengajuan dan pemeriksaan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang diatur dalam Perma No. 1/2011, sebagai berikut: a. Pengajuan permohonan Pengajuan permohonan dapat diajukan langsung kepada Mahkamamh Agung atau melalui Pengadilan Negeri di wilayah tempat tinggal pemohon. b. Pendaftaran permohonan Pendaftaran permohonan yang ditujukan kepada Mahkamah Agung dilakukan melalui Kepaniteraan untuk selanjutnya diregister. Panitera memeriksa kelengkapa berkas dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada pemohon atau kuasanya. Apabila permohonanan diajukan melalui Pengadilan Negeri, pemohon mendaftarkannya kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang selanjutnya akan melakukan register. Apabila terdapat kekurangan, panitera dapat meminta langsung kepada pemohon maupun kuasanya. Kemudian, panitera pengadilan mengirimkan permohonan kepada Mahkamah Agung. c. Pengiriman salinan permohonan kepada termohon Panitera Mahkamah Agung setelah melakukan register permohonan dan setelah berkas lengkap, wajib mengirimkan salinan tersebut kepada termohon. Untuk permohonan yang diajukan melalui pengadilan negeri, tidak diatur secara jelas siapa yang mengirimkan permohonan kepada termohon. Perma tersebut hanya mengatur setelah berkas lengkap panitera mengirikan permohonannya kepada Mahkamah Agung. d. Pengiriman jawaban dari termohon Termohon wajib mengirimkan jawaban kepada Mahkamah Agung dalam waktu 14 hari sejak termohon menerima salinan permohonan tersebut. e. Penunjukan majelis hakim Panitera Mahkamah Agung menyampaikan berkas permohonan yang sudah lengkap, baik yang didaftarkan secara langsung oleh pemohon kepada Mahkamah Agung maupun yang diajukan melalui pengadilan negeri, kepada Ketua Mahkamah Agung untuk penetapan majelis hakim. Penetapan majelis hakim ini dilakukan oleh Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara (sekarang ketua Kamar TUN) atas nama Ketua Mahkamah Agung. f. Pemeriksaan perkara Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara menetapkan majelis hakim agung. Selanjutnya, Majelis Hakim Agung akan memeriksa dan memutusa permohonan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. g. Putusan Apabila Mahkamah Agung mengabulkan permohonan, Mahkamah Agung menyatakan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah atau tidak berlaku untuk umum dan 155
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 149-162
memerintahkan instansi yang bersangkutan segera melakukan pencabutan. Apabila Mahkamah Agung berpendapat permohonan tidah beralasan maka Mahkamah Agung menolak permohonan tersebut. h. Pemberitahuan putusan Mahkamah Agung memberitahukan putusan dengan menyerahkan salinan putusan kepada para pihak dengan surat tercatat. Untuk permohonan yang diajukan melalui pengadilan negeri, salinan putusan juga disampaikan kepada Pengadilan Negeri yang mengirimkan permohonan. i. Pelaksanaan putusan Panitera Mahkamah Agung mencantumkan petikan putusan dalam berita negara. Selanjutnya, dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan dikirimkan kepada instansi yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, dan tidak dilakukan pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah maka demi hukum peraturan perundang-undangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
1. Pengajuan permohonan •Mahkamah Agung •Pengadilan Negeri
6. Pemeriksaan perkara • Majelis Hakim Agung akan memeriksa dan memutusa permohonan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
7. Putusan
•mengabulkan •perintah pencabutan •menolak
2. Pendaftaran permohonan
5. Penunjukan majelis hakim
8. Pemberitahuan putusan
•Kepaniteraan Mahkamah Agung •Kepaniteraan Pengadilan Negeri
•Penetapan majelis hakim ini dilakukan oleh Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara (sekarang ketua Kamar TUN) atas nama Ketua Mahkamah Agung.
•kepada para pihak dan •kepada Pengadilan Negeri (yg didaftarkan melalui PN)
3. Pengiriman salinan permohonan kepada termohon
4. Pengiriman jawaban dari termohon
9. Pelaksanaan putusan
• Panitera Mahkamah Agung setelah melakukan register permohonan dan setalah berkas lengkap, wajib mengirimkan salinan tersebut kepada termohon.
•Termohon wajib mengirimkan jawaban kepada Mahkamah Agung dalam waktu 14 hari sejak termohon menerima salinan permohonan tersebut.
•Pencantuman dalam berita negara. •90 hari tidak dicabut, peraturan perundang-undangan yang tidak sah tidak mempunyai kekuatan hukum
Tabel 2. Alur Penanganan Permohonan Pengujian peraturan Perundang-undangan di Bawah Undang-Undang oleh MA Secara normatif, prosedur penanganan perkara tersebut nampak bahwa pengaturannya hanya terletak pada aspek administrasi perkara. Sementara hukum acara pemeriksaan atau persidangan tidak diatur. Namun, pengaturan aspek administrasi juga masih terdapat potensi persoalan, diantaranya ketidak jelasan pengaturan pengiriman naskah kepada termohon dalam hal permohonan diajukan melalui pengadilan negeri. Selain itu, tidak ada pengaturan batas waktu penyelesaian tahapan yang menjadi wilayah kewenangan Mahkamah Agung. Apabila dilihat dari proses pengajuan permohonan, prosedur yang diatur dalam Perma tersebut sudah cukup baik yaitu adanya dua cara pengajuan melalui pengadilan negeri atau langsung ke Mahkamah Agung. Pengaturan penyampaian pengajuan melalui pengadilan negeri ini dapat membantu masyarakat sebagai pemohon yang secara lokasi mudah menjangkau pengadilan negeri daripada langsung ke Mahkamah Agung. 156
Perbaikan Prosedur Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di MA, M. Nur Sholikin
Ketiadaan pengaturan batas waktu ini dapat dilihat pada tahapan MA melakukan pengiriman berkas kepada termohon, penunjukan majelis hakim, pelaksanaan persidangan, dan pemberitahuan putusan. Tidak adanya pengaturan batas waktu ini dapat menimbulkan persoalan dalam penanganan perkara. Salah satunya tida ada standard waktu dalam penanganan perkara, padahal objek yang diuji merupakan peraturan perundang-undangan yang tentunya penting untuk segera diputus karena berhubungan dengan kepentingan umum. Tabel di bawah ini menunjukkan beberapa contoh penanganan perkara pengujian peraturan daerah oleh Mahkamah Agung. No dan Judul Perda Perda Kota Jambi No. 3 tentang Pelarangan Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Perda Kabupaten Deli Serdang No. 21 tahun 2003 tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Retribusi Pengawasan Mutu Bibit Ayam Ras Niaga Umum Sehari Perda Kota DKI Jakarta No. 13 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Yayasan Rumah Sakit Haji Jakarta Perda Kota Surabaya No. 2 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Perda Kotamadya Tingkat II Surabaya No. 1 tentang Ijin Pemakaian Tanah & Peraturan Daerah Kota Surabaya No.21 Tahun 2003 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
Jenis Perda
Putusan
Larangan Dikabulkan Pengedaran dan penjualan minuman berlakohol Retribusi Tolak
Tanggal Diajukan 4-Mar-08
Tanggal Putusan 3-Mar-09
Durasi
16-Jan-04
21-Feb08
50 bulan
12 bulan
Pelayanan publik
Dikabulkan
7-Feb-05
21-Feb06
12 bulan
administrasi kependudukan
Tolak
14-Agus07
21-Feb08
6 bulan
Perijinan
Tolak
28-Feb-07
13-Feb08
12 bulan
157
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 149-162
No dan Judul Perda
Jenis Perda
Putusan
Tanggal Diajukan 8-Mar-06
Tanggal Putusan 30-May07
Durasi
Perda Kabupaten Organisasi Tolak 14 bulan Tanggerang No. 3 pemerintahan tentang Pembentukan 77 Kelurahan Di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang Tanggal 16 September 2005 Tabel 3. Jangka Waktu Penanganan Permohonan Judicial Review Perda91 Dari tabel tersebut terlihat tidak adanya standard waktu penyelesaian perkara. Ada satu perda yang diputus kurang dari satu tahun, akan tetapi beberapa yang lain diputusa lebih dari satu tahun. Bahkan ada pengujian perda yang baru diputus dalam jangka waktu 50 bulan sejak diajukan. Perma No. 1/2011 memang tidak memberikan batas waktu pemeriksaan permohonan. Dalam Perma tersebut hanya disebutkan bahwa pemeriksaan perkara dilakukan dalam waktu yang sesingkatsingkatnya. Pasal 5 ayat (2) Perma No. 1/2011 mengatur bahwa: Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus permohonan keberatan tentang Hak Uji Materiil tersebut dengan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku bagi perkara permohonan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Pengaturan pemeriksaan dengan norma yang “sesingkat-singkatnya” sebenarnya membuka peluang penafsiran tentang tenggat waktu yang beragam. Sehingga praktek penanganan perkaranya pun juga beragam dari segi waktu penyelesaian. Persoalan ketidakpastian waktu juga terjadi dalam pemberitahuan putusan kepada para pihak. Salah satu contoh adalah perkara pengujian Perda No. 8/2007 tentang Ketertiban Umum dan Perpres 112 tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Putusan pengujian Perda tersebut baru diberitahukan atau diterima oleh pihak pemohon enam bulan setelah perkaranya diputuskan. Sedangkan putusan pengujian Perpres baru diberitahukan atau diterima pemohon sekitar lima bulan setelah putusan. Untuk melihat detil jeda antara pendaftaran, putudan dan pemberitahuan dapat dilihat dalam tabel di bawah.
Perda No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum
Pendaftaran permohonan Putusan Pemberitahuan ke pemohon
: : :
18 Maret 2008 30 Desember 2008 27 Juli 2009
25 Juni 2008 Perpres No. 112 Tahun 2007 Pendaftaran permohonan tentang Penataan dan Putusan 14 Desember 2009 Pembinaan Pasar tradisional , Pemberitahuan ke pemohon 21 Juni 2010 Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern Tabel 4. Perbandingan Rentang Waktu antara Pendaftaran, Putusan dan Pemberitahuan Putusan92 91 92
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Op.Cit., hlm. 87-88. Ibid, hal. 89.
158
Perbaikan Prosedur Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di MA, M. Nur Sholikin
Jeda waktu yang lama antara putusan dengan pemberitahuan kepada para pihak ini berpotensi menimbulkan kerugian dan ketidakpastian hukum, terutama bagi pemohon. Bagi termohon pun juga akan berpengaruh pada eksekusi putusan, apabila termohon harus mencabut peraturan perundangundangan yang diuji dalam hal permohonan dikabulkan. Persoalan lain yang muncul dari aspek normatif pengaturan pengujian peraturan perundangundangan di MA adalah mengenai pemeriksaan permohonan. Selama ini, proses pemeriksaan permohonan tidak melibatkan para pihak secara langsung dalam persidangan. Pemohon maupun termohon hanya berhubungan secara surat dengan Mahkamah Agung pada saat pengajuan permohonan oleh pemohon dan penyampaia jawaban oleh termohon. Majelis Hakim tidak meminta keterangan lebih lanjut mengenai permohonan maupun jawaban termohon. Pertimbangannya dalam memutus perkara pengujian dibangun berdasarkan dokumen yang disampaikan para pihak. Di sisi lain, para pihak pun juga tidak dipertemukan untuk beradu argumentasi dan mengajukan ahli untuk meyakinkan hakim dalam menjelaskan posisi masing-masing terkait dengan pengujian peraturan perundang-undangan. Cakupan materi pengujian yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung sangat luas dari materi pengaturan Peraturan Pemerintah sampai Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah. Bidang materi muatannya pun beragam. Dari karakter perkara ini sebenarnya menunjukkan kebutuhan hakim terhadap keterangan ahli atau pakar untuk bidang-bidang yang memang membutuhkan spesialisasi pengetahuan dan pengalaman tertentu yang tidak dimiliki hakim. Tidak adanya proses pemeriksaan yang melibatkan para pihak dan ahli/pakar ini dapat mempengaruhi kualitas putusan pengujian peraturan perundang-undangan. Pertimbangan hakim dala memutus perkara bisa saja menjadi lemah karena kurangnya informasi yang diperoleh hakim terkait dengan materi-materi yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan yang sedang diuji. Tidak adanya proses persidangan yang melibatkan para pihak dan pakar/ahli ini juga berimplikasi pada penyelenggaraan sidang pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara tertutup. Padahal objek yang dikaji merupakan peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur dan mengikat secara umum. Bentuk peraturan perundang-undangan ini merupakan bagian dari produk legislasi yang sifatnya delegasian dari kekuasaan legislasi. Oleh karena itu, sebenarnya menjadi hak masyarakat untuk dapat mengetahui proses persidangan dengan segala informasi yang terjadi dalam proses tersebut. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan saat ini sudah lebih transparan dan partisipatif, seharusnya proses pengujiannya pun berjalan secara transparan dan melibatkan pihak yang berkepentingan. 3. Pengujian Peraturan Perundang-undangan sebagai Mekanisme Kontrol Kualitas Studi Tata Kelola Proses Proses Legislasi yang disusun oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada 2009 membedakan empat karakter dalam tahapan proses legislasi. Karakter tersebut terdiri atas karakter politik elit, politik publik, teknokratis dan administratif. Karakter politik elit merupakan karakter proses legislasi yang diisi dan digerakkan oleh kalangan politisi melalui forum pembahasan di parlemen, pemerintahan maupun lobi-lobi para politisi. Karakter politik publik merupakan karakter tahapan yang melibatkan masyarakat umum, misalnya penyelenggaraan forum ilmiah, advokasi oleh kelompok masyarakat, maupun pemberitaan melalui media. Karakter teknokratis merupakan tahapan yang diisi oleh kalangan fungsional misalnya tenaga fungsional perancangan maupun peneliti yang memberikan dukungan substansi pada proses formal pembentukan peraturan perundang-undangan. Sedangkan karakter administrtif merupakan proses formal yang lebih bersifat birokratis dalam tahapan proses legislasi misalnya pengesahan atau pengundangan. Seringkali dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, proses politik elit yang mendominasi tahapan proses legislasi. Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang kewenangannya dimiliki oleh institusi politik, maka kekuatan politik yang duduk dan menguasai 159
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 149-162
institusi tersebut sangat menentukan.93 Sehingga hukum, dalam arti peraturan perundang-undangan merupakan produk politik. Oleh karena itu baik dari segi proses maupun substansi hasil, perlu dilakukan pengawasan atau kontrol. Mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan merupakan salah satu bentuk kontrol terhadap peraturan perudang-undangan.94 Kontrol ini berperan untuk menguji terhadap hasil proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang di dalamnya terdapat karakter proses politik. Sebagai sumber hukum perundang-undangan mempunyai kelebihan dari norma-norma sosial yang lain, karena peraturan perundang-undanga tersebut dikaitkan atau dibentuk pada kekuasaan tertinggi di suatu negara dan karenanya pula memiliki kekuasaan memaksa yang besar sekali.95 Judicial review merupakan pengawasan kekuasaan kehakiman terhadap kekuasaan legislatif dan eksekutif.96 Kekuasaan kehakiman yang independen diharapkan mampu secara obyektif menilai produk politik dan birokrasi berupa peraturan perundang-undangan. Independensi hakim menjadi syarat mutlak dalam melakukan pengujian peraturan perundang-undangan ini, seiring dengan tuntutan adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak dalam mendukung negara hukum. Pengawasan melalu pengujian peraturan perundang-undangan ini untuk melindungi kepentingan masyarakat dari penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan membentuk peraturan oleh legislatif dan eksekutif. Efektifitas sistem kontrol atau pengawasan tersebut perlu didukung dengan penyelenggaran sistem pengujian peraturan perundang-undangan, termasuk di Mahkamah Agung secara transparan dan akuntabel. Sehingga tujuan yang ingin dicapai dalam struktur konstitusi dalam pengujian peraturan perundang-undangan dapat tercapai. Dari aspek transparansi maupun akuntabilitas proses, perlu upaya Mahkamah Agung untuk memperbaiki hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Urgensi pembenahan tersebut terlihat jelas dalam pengaturan pemeriksaan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan oleh majelis hakim antara lain meliputi: penyelenggaraan sidang secara terbuka, pemeriksaan permohonan pengujian dengan melibatkan kehadiran para pihak atau kuasanya dan ahli/pakar terkait, dan penyelenggaraan sistem administrasi persidangan yang lebih akuntabel antara lain terkait dengan batas waktu pemeriksaan dan pemberitahuan putusan. E. 1.
Penutup Kesimpulan Mahkamah Agung memiliki kewenangan yang kuat secara hukum untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan. Kewenangan tersebut dinyatakan dalam konstitusi dan berbagai undang-undang yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman, kelembagaan Mahkamah Agung maupun undang-undang yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah Agung merupakan bentuk kontrol atau pengawasan kekuasaan kehakiman terhadap kekuasaan membentuk peraturan perundang-undangan yang dimiliki oleh legislatif dan eksekuti. Pengawasan tersebut merupakan perwujudan check and balances dalam penyelenggaraan fungsifungsi kekuasaan negara serta melindungi masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan dalam membentuk norma yang mengikat masyarakat. Pengawasan ini juga untuk menghapuskan kepentingan politik tertentu melalui peraturan perundang-undangan yang merugikan kepentingan umum dan melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
93
Merdi Hajiji, Relasi Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia, Rechtsvinding, hlm. 368. Pasaribu, Reny Rawasita. et. al. Meninjau Ulang Mekanisme Pembentukan Peraturan Pemerintah (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2006), hlm. 37. 95 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti. 1996), hlm. 85-86. 96 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm.74 94
160
Perbaikan Prosedur Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di MA, M. Nur Sholikin
Kekuasaan kehakiman yang independen diharapkan mampu menjalankan kontrol terhadap kualitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undangan yang merupakan produk legislatif maupun eksekutif. Namun, jaminan independensi lembaga ini mutlak perlu ditindaklanjuti dengan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang transparan dan akuntabel. Berbagai undang-undang yang mengatur mengenai kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak banyak mengatur tentang hukum acara pemeriksaan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undangundang. Undang-undang mendelegasikan pengaturan hukum acara dalam bentuk peraturan Mahkamah Agung. Saat ini, hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diatur dalam Perma No. 1/2011. Perma tersebut tidak mengatur tentang proses pemeriksaan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan secara terbuka dan melibatkan para pihak. Sehingga menimbulkan persoalan dalam transparansi dan akuntabilitas pemeriksaannya. 2. Saran Untuk mengefektifkan pelaksanaan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sebagai bentuk kontrol kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam membentuk regulasi, membuka akses luas masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya serta mendukung terbentuknya sistem peraturan perundang-undangan yang tertib hukum dan berkualitas, maka Mahkamah Agung perlu segera melakukan revisi Perma No. 1/2011 tentang Hak Uji Materiil. Revisi ini diperlukan untuk memperbaiki hukum acara pemeriksaan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah Agung. Beberapa materi yang perlu dimasukkan dalam hukum acara tersebut meliputi : - Pemeriksaan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dengan menghadirkan para pihak atau kuasanya dan pihak terkait; - Pengaturan mengenai pemanggilan pakar/ahli untuk memberikan keterangan yang dibutuhkan untuk mendalami persoalan yang terkait dengan pengujian suatu peraturan perundangundangan; - Pengaturan batas waktu pemeriksaan dan batas waktu proses administrasi untuk setiap tahapan penanganan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan; - Pengaturan batas waktu penyerahan atau pemberitahuan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu yang wajar agar apabila ada perintah pencabutan dapat segara ditindaklanjuti oleh pihak terkait; - Pengaturan mengenai publikasi penanganan perkara atau sistem informasi perkara khusus tentang pengujian peraturan perundang-undangan melalui media informasi yang dikelola Mahkamah Agung; - Pengaturan pemberitahuan atau publikasi putusan dalam jangka waktu yang wajar melalui media informasi yang dikelola oleh Mahkamah Agung sehingga dapat lebih mudah dan segera diketahui oleh masyarakat umum.
Daftar Pustaka Buku Asshiddiqie, Jimly. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI 2006. Huda, Ni’matul, Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, (Yogyakarta: UII Press, 2005).
161
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 149-162
Pasaribu, Reny Rawasita. et. al. Meninjau Ulang Mekanisme Pembentukan Peraturan Pemerintah (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2006). Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti. 1996). Sholikin, M Nur. et.al., Pengujian Undang-Undang dan Proses Legislasi, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2007). Soemantri, Sri. Hak Menguji Materiil di Indonesia, (Alumni, Bandung, 1982) Stockman, Petra, The New Indonesian Constitutional Court (Jakarta, April 2007). Suyudi, Aria. et.al., Studi Tata Kelola Proses Legislasi, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2009) Artikel Arrsa, Ria Casmi, Restorasi Politik Legislasi Pembentukan Peraturan Daerah Berbasis Riset, Rechtvinding (2013). Hajiji, Merdi, Relasi Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia, Rechtsvinding (2013). Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Laporan Kajian Implementasi Pengawasan Peraturan Daerah oleh Pemerintah dan Mahkamah Agung, 2011. Rositawati, Dian, “Judicial Review” Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. Internet Mahkamah Agung, Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2013. https://www.mahkamahagung.go.id/images/LTMARI-2013.pdf. (diakses 16 Oktober 2014) Mahkamah Konstitusi, Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU (diakses pada 13 Oktober 2014). Perma Hak Uji Materiil Perlu Direvisi, 25 Maret 2011. http://www.hukumonline.com/berita /baca/lt4d8c2cc5ef50d/perma-hak-uji-materiil-perlu-direvisi, (diakses 13 Oktober 2014). Komnas Perempuan: Uji Materi di MA Harus Terbuka dan Akuntabel, 26 Februari 2014. http://www. berdikarionline.com/kabar-rakyat/20140226/komnas-perempuan-uji-materi-di-ma-harusterbuka-dan-akuntabel.html (diakses 13 Oktober 2014). Peraturan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil
162
PROSPEK OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DALAM RANGKA MEMPERKUAT PELAKSANAAN EKSEKUSI PUTUSAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA Enrico Simanjuntak Pengadilan Tata Usaha Negara Serang Jl. Tubagus Suwandi, Nomor 2 E, F, G Ciracas, Serang
[email protected]
Abstrak Posisi dan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) masih belum optimal sebagaimana ditandai banyaknya putusan yang diabaikan. Mengacu kepada pendekatan sistem hukum, dimana antara PERATUN dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) sama-sama bertujuan untuk mendorong terwujudnya good governance serta menjamin perlindungan hukum bagi masyarakat dari tindakan hukum publik administrasi pemerintahan, maka ORI sangat memungkinkan untuk diserahkan tugas dan tanggung jawab sebagai eksekutor independen putusan PERATUN. Dalam pada itu, ORI perlu diberi kewenangan untuk mendorong, mengawasi dan menjatuhkan sanksi terhadap pihak Tergugat yang tidak bersedia melaksanakan putusan PERATUN maupun terhadap pihak lain yang menghalang-halangi pelaksanaan putusan PERATUN. Kata Kunci : Peradilan Tata Usaha Negara, Ombudsman Republik Indonesia, Eksekutor Independen Abstract The position and function of Administrative Court so weak that the verdict is much neglected. Referring to the approach of the legal system, where the Administrative Court and Ombudsmen of Republic of Indonesia (ORI) equally aims to promote good governance and ensure the legal protection of the public from the actions of public administration law, the ORI is possible to be handed the duties and responsibilities as independent executor PERATUN decision. In the meantime, the Ombudsmen should be given the authority to promote, supervise and impose sanctions against the defendant who is not willing to implement the decision PERATUN or against other parties who obstruct the implementation of the decision PERATUN. Keywords : Administrative Court, Ombudsmen of the Republic of Indonesia, Independet Executor.
A. Pendahuluan Berdasarkan fase sejarah, sistem dan mekanisme pelaksanaan eksekusi putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) dapat dibagi ke dalam tiga fase periodesasi yaitu : fase pertama, periode tahun 1996 s/d tahun 2004 dengan sistem pelaksanaan eksekusi secara sukarela dan dengan pengawasan eksekusi secara hirarkhi jabatan yang dilakukan oleh atasan tergugat dan oleh Presiden RI. Fase kedua, tahun 2004 s/d tahun 2009 : dimungkinkannya upaya paksa dalam pelaksanaan eksekusi putusan berupa pengenaan uang paksa dan/atau sanksi administratif serta pengumuman di media massa. Fase ketiga, tahun 2009 s/d sekarang : selain penerapan upaya paksa dan pengumuman melalui media massa juga diikuti dengan pelaporan kepada Presiden RI selaku pelaksana pemerintahan tertinggi dan kepada DPR dalam rangka pengawasan politik. 163
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 163-176
Dalam ketiga fase periodesasi tersebut, kepatuhan Badan/Pejabat TUN untuk melaksanakan putusan baik melalui upaya paksa, apalagi secara sukarela, masih memprihatinkan dan belum mencerminkan ketaatan para Badan/Pejabat TUN untuk melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana mestinya. Beberapa kali perubahan terhadap UU PERATUN yang sudah dilakukan belum mampu memberikan upaya maksimal dalam pelaksanaan putusan PERATUN, bahkan mekanisme eksekusi yang ditempuh terkesan mengambang dan tidak ada penyelesaian akhir.97 Salah satu faktor penyebab mengapa kepatuhan Badan/Pejabat TUN melaksanakan putusan PERATUN masih terbilang rendah adalah disebabkan ketidakjelasan norma hukum yang menjamin kepastian pelaksanaan eksekusi putusan PERATUN itu sendiri. Ketidakjelasan tersebut menyangkut institusi mana yang berwenang menetapkan sanksi administratif maupun uang paksa serta bagaimana kriteria hukum penerapan kedua jenis upaya paksa tersebut terhadap Badan/Pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan PERATUN. Artinya, tidak terdapat lembaga eksekutor yang secara khusus dibentuk untuk mengawal dan memastikan pelaksanaan eksekusi. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, Dr. Supandi, S.H., M.Hum98 menyatakan bahwa apabila Tergugat atau Badan/Pejabat TUN tidak melaksanakan putusan PERATUN sesuai dengan ketentuan pasal 116 UU. PERATUN, maka Pejabat yang bersangkutan telah melangar kewajiban jabatannya atau telah melawan perintah jabatannya. Lebih lanjut dikemukakan seharusnya posisi eksekutor tidak diserahkan kepada Tergugat oleh karena belum adanya budaya kepatuhan hukum dari Tergugat/Badan atau Pejabat TUN untuk melaksanakan eksekusi secara sukarela. Di tengah keterbatasan sarana hukum positif (ius constitutum) untuk mengoptimalkan pelaksanaan eksekusi putusan PERATUN, melalui pendekatan sistem hukum (system approach) dalam rangka pengembangan hukum ke depan (ius constituendum), para pembuat kebijakan peraturan perundang-undangan maupun badan peradilan sendiri diharapkan lebih mendayagunakan inovasi hukum untuk mewujudkan penegakan hukum di bidang hukum administrasi dan meningkatkan kualitas perlindungan hukum (legal protection) bagi para pencari keadilan (justice seekers). Terlebih lagi, di era demokratisasi seperti sekarang dengan makin menguatnya kesadaran hukum dan hak asasi manusia berbagai komponen bangsa dan negara, maka semakin disadari bahwa setiap institusi negara harus lebih meningkatkan kerjasama dan sinergi guna mengawal tujuan bernegara dan berbangsa. Dalam hal ini, semakin dibutuhkan penanggulangan berbagai masalah hukum nasional dengan memakai pola pendekatan sistem (system approach). Sejalan dengan itu, maka pendekatan sistem merupakan salah satu tawaran alternatif guna membenahi permasalahan sistem penegakan hukum oleh PERATUN yakni dengan mendorong bagaimana penguatan pelaksanaan eksekusi putusan PERATUN. Dalam hal ini, berbagai instrumen dan kelembagaan yang dimaksudkan mendukung perwujudan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) harus disenergikan dan lebih dipererat kerjasama kelembagaannya. Dengan pendekatan ini, paradigma membentuk lembaga baru yang senantiasa diikuti dengan pembuatan peraturan-peraturan baru (rules approach dan agencies aproach) sebagai pijakan hukum lembaga baru tersebut yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu sebagaimana cenderung diterapkan dalam pola kebijakan politik hukum pasca reformasi dalam sistem hukum nasional sudah selayaknya mulai ditinggalkan mengingat pendekatan seperti itu dari segi anggaran justru sangat menguras keuangan negara serta sering menimbulkan tumpang tindih peraturan maupun lembaga untuk mengatasi permasalahan tertentu. Pembangunan hukum selama ini terlampau bertumpu kepada rules approach dan agencies aproach namun hasilnya masih menunjukan bahwa negara hukum masih lemah (the weak rule of law) karena belum mampu mendatangkan keadilan. Banyaknya peraturan dan lembaga negara tidak menyelesaikan masalah. 97
Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Eksekutabilitas Putusan Peradilan Tata Usaha Negara, Laporan Penelitian, Jakarta, 2010. Hlm.79. 98 Supandi, Filosofi Lembaga-Lembaga Hukum Penting Dalam Hukum Acara Peradilan TUN. Makalah tidak diterbitkan. 164
Prospek Ombudsman RI Dalam Memperkuat Pelaksanaan Eksekusi Putusan PTUN, Enrico Simanjuntak
Sebaliknya, pendekatan sistem lebih mengacu kepada bagaimana optimalisasi infrastruktur hukum yang sudah ada guna lebih diberdayakan dan disinergikan dalam rangka mewujudkan visi dan misi masing-masing lembaga dan kemudian diseleraskan dengan cita-cita kemerdekaan yang salah satunya mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Patut dicatat bahwa tidak akan ada suatu lembaga hukum (sub-sistem infrastruktur hukum) mampu bekerja sendiri secara soliter tanpa melibatkan dukungan dan sinergi lembaga lain. Lembaga-lembaga hukum (maupun non hukun) sebagai bagian dari sub-sistem dalam infrastruktur hukum tersebut memiliki inter-relasi atau keterkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Dalam paradigma seperti inilah, keberadaan atau eksistensi lembaga negara seperti Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dapat dijadikan sebagai mitra strategis untuk mendorong kepatuhan hukum pemerintahan terhadap pelaksanaan putusan PERATUN dalam rangka perwujudan pemerintah yang bersih dan berwibawa. Hal itu sesuai dengan kewenangan ORI yang antara lain adalah untuk mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang bersih di pusat dan daerah serta mengawal optimalisasi pelayanan publik. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam tataran sistemik hukum, peranan dan fungsi ORI dapat ditingkatkan menjadi eksekutor atau lembaga independen pelaksana eksekusi putusan PERATUN. Dasar pertimbangannya adalah dari segi teknis hukum terdapat ganjalan yang bersumber dari dogmatik hukum yang menyatakan Hakim tidak dapat duduk di kursi pemerintah. Dalam pandangan ini, dipahami bahwa apabila hakim atau PERATUN menerapkan secara langsung upaya paksa seperti membebankan sanksi administratif kepada Tergugat yang dituangkan dalam amar putusan, guna menjamin pelaksanaan putusan, maka tindakan ini dianggap bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers)99. Oleh karena, dalam tradisi dan pemahaman hukum yang diterima umum seperti sekarang yang menyatakan hakim PERATUN tidak berwenang menjatuhkan upaya paksa dalam amar putusan kepada Tergugat, maka dengan demikian dibutuhkan pihak atau lembaga yang berwenang untuk melaksanakan upaya paksa terhadap Pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan. Diantara berbagai lembaga negara, fungsi dan tugas ORI paling memiliki keterkaitan dengan tugas dan fungsi PERATUN sebagai lembaga kontrol yuridis terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabila ORI diberikan kewenangan upaya paksa terhadap Tergugat yang tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan. Dalam hal tersebut, independensi ORI sebagai lembaga negara yang tidak memiliki hubungan organik yang bersifat sturuktural dan hierarkis dengan lembaga negara atau lembaga lain menjamin ORI akan terbebas dari konflik kepentingan (conflict of interest) dengan PERATUN. Artinya, apabila menyerahkan fungsi eksekutor PERATUN misalnya kepada Mendagri atau Menpan RB, dimana kedua lembaga ini berada dibawah hirarki lembaga Kepresidenan, maka dapat dipastikan fungsi eksekutor akan rentan mengalami konflik kepentingan baik secara horisontal maupun vertikal, bagaimana Menpan RB atau Mendagri mampu menjadi eksekutor putusan PERATUN manakala Presiden tidak bersedia melaksanakan putusan PERATUN ? Lalu bagaimana pula kedua Kementerian tersebut mampu menjangkau lembaga-lembaga independen negara (state auxiliary organs) seperti KPU, KPK, KY, KPPU dsb yang sama sekali tidak memiliki hubungan organik dengan kedua kementerian tersebut manakala lembaga-lembaga negara independen tersebut berkedudukan sebagai Tergugat dalam suatu sengketa TUN. Belum lagi apabila dikaji secara empiris dan hipotetis bahwa Menpan/RB atau Mendagri sering didudukan sebagai pihak Tergugat dalam sengketa TUN, sehingga potensi konflik kepentingan akan semakin besar apabila lembaga-lembaga tersebut berposisi sebagai eksekutor putusan PERATUN.
99
Sebagaimana tercermin dalam yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 136 K/TUN/2003 Tanggal 15 Oktober 2003. Pokok pertimbangan yurisprudensi tersebut adalah PERATUN tidak berwenang untuk menentukan bentuk jenis hukuman disiplin terhadap PNS, melainkan kewenangan tersebut sepenuhnya berada pada Pejabat TUN. 165
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 163-176
B.
Permasalahan Berdasarkan masalah tersebut di atas, maka yang menjadi pertanyaan penelitian dalam makalah ini adalah : 1. Bagaimana aspek pelaksanaan putusan PERATUN mampu mencerminkan kepatuhan hukum para aparatur pemerintahan? 2. Bagaimana mekanisme hukum dalam sistem hukum yang ada dalam menjamin pelaksanaan eksekusi putusan PERATUN? 3. Bagaimana prospek hukum pelaksanaan fungsi eksekutor putusan PERATUN oleh Ombudsman RI ditinjau dari sistem hukum yang berlaku? C. Pembahasan 1) Pelaksanaan Putusan Pengadilan Sebagai Cermin Keberhasilan Penegakan Hukum. Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Hukum tidak dapat dikatakan lagi sebagai hukum, apabila hukum tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, hukum dapat disebut konsisten dengan pengertian hukum sebagai suatu yang harus dilaksanakan100. Hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya, artinya hukum tidak mampu mewujudkan sendiri-sendiri janji-janji, larangan, perintah yang terkandung dalam peraturan, keputusan dan putusan pengadilan (vonnis). Oleh karena itu, untuk mewujudkan norma-norma hukum ke dalam kenyataan dibutuhkan penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik-formalis101. Keadaan penegakan hukum di Indonesia sulit dilihat secara sederhana, berbagai aspek sosial politik yang sifatnya saling mempengaruhi ikut menambah kompleksitas pengamatan efektifitas penegakan hukum. Faktor-faktor lain yang tak bisa dipisahkan dalam memahami efektiftas hukum di masyarakat adalah seperti kondisi demografi yakni jumlah penduduk yang terbesar keempat di dunia, bentang geografis yang luas dan beragam, heterogenitas suku dan budaya, transisi masyarakat agraris menuju masyarakat industri Modern, sehingga dalam proses pergulatan Bangsa Indonesia untuk menegakan hukum dan demokrasi, akibatnya tantangan dan kendala yang dihadapi memang tidaklah selalu sederhana. Kondisi terkini penegakan hukum Indonesia tidak bisa juga dipisahkan dari akumulasi persoalan yang selama ini kait mengkait satu sama lain, namun perlahan tapi pasti terus diperjuangkan agar ditemukan jalan keluarnya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas penegakan hukum adalah : Pertama, faktor hukumnya sendiri dalam hal ini dibatasi pada Undang-Undang. Dalam hal ini, pendapat Prof. Muchsan, sebagaimana dikutip W. Riawan Tjandra102, menyebutkan bahwa pengaturan pasal 116 ayat (4) UU. PERATUN termasuk peraturan perundangan-undangan yang tidak tuntas mengatur permasalahannya, karena adanya delegatie van wetgeving yang menyerahkan wewenang regulasi dari parlemen kepada eksekutif. Akibatnya, sebagaimana dikonfirmasi oleh pernyataan Pokja TUN (Kelompok Kerja TUN) MARI tertanggal 5 Nopember 2007 yang antara lain menyatakan pembayaran uang paksa dan saksi administratif belum dapat diterapkan karena menunggu tata cara 100
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Cetakan II, Yogyakarta, 201. Hal.1 101 Zudan Arif Fakrulloh, Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan keadilan, Jurnal Hukum Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005. Hal. 22–34. 102 Tjandra, W. Riawan. Peradilan Tata Usaha Negara Mendorong Terwujudnya Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa, Penerbit Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2009. Hal. 231. 166
Prospek Ombudsman RI Dalam Memperkuat Pelaksanaan Eksekusi Putusan PTUN, Enrico Simanjuntak
pelaksanaannya yang akan diatur dalam peraturan perundang-undangan ataupun peraturan yang terkait dalam hal tersebut. Kecuali pengumuman Pejabat media massa cetak setempat sudah dapat dilaksanakan dengan mengacu kepada JUKLAK MARI No. 2/2005.103 Kedua, faktor Penegak Hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menegakkan hukum. Penegak Hukum adalah manusia biasa yang punya keterbatasan-keterbatasan kodrati dan duniawi, apalagi iman dan taqwanya minim, apabila dihadapkan pada keadaan yang tidak pasti dan di lingkungan masyarakat yang keadaan sosial dan ekonominya serba dalam keterbatasan, kemudian dipengaruhi oleh orang atau kelompok orang yang berpunya tetapi karakternya hedonistis, dan mau enaknya dan menangnya sendiri, patut diduga akan terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya dalam penegakan hukum. Ketiga, faktor saran dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Walaupun saran-saran yang telah diberikan oleh para pengamat hukum, praktisi hukum, para ahli hukum dan masyarakat hukum, dengan fasilitas yang cukup tersedia, akan tetapi kalau keadaan seperti pada butir 2 tersebut di atas, sudah dapat dipastikan tidak akan efektif pengaruhnya. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Masyarakat Indonesia yang keadaan sosial dan ekonominya masih serba kekurangan dan struktur masyarakat Indonesia adalah paternalistik, di mana keteladanan pimpinan, tokoh masyarakat, pendidik dan figur-figur yang berpengaruh di masyarakat sangat dipanuti, namun kenyataannya panutan-panutan masyarakat itu banyak yang melakukan tindakan yang tidak terpuji bahkan melanggar hukum, baik karena faktor keterpaksaan maupun memang karakter seseorang, sehingga masyarakatnya akan mengikuti saja perilaku panutannya itu sangat merugikan dalam penegakan hukum. Kelima, faktor kebudayaan, sebagai hasil karya, cipta, rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup. Budaya dimaksud adalah budaya hukum yang berupa disiplin dan sadar hukum, patuh dan taat terhadap hukum, kenyataannya masyarakat Indonesia budaya hukumnya masih terpengaruh oleh formalisme, artinya antara kaedah hukum yang tertulis sangat berbeda dengan tindak pelaksanaannya, atau belum seperti yang diidam-idamkan oleh cita-cita dalam UUD 1945.104 Uraian di atas, dimaksudkan untuk menunjukan bahwa permasalahan eksekusi adalah salah satu bagian penting dari penegakan dan kepatuhan hukum. Tentu saja, kepatuhan terhadap hukum semestinya tidak semata-mata didasari oleh adanya upaya paksa yang dilakukan oleh aparatur Pengadilan dengan meminta bantuan alat-alat negara. Kepatuhan hukum juga diperlukan dalam arti bagaimana para pihak yang terkait atau diminta dalam suatu proses peradilan untuk dapat mengikuti jalannya proses peradilan dengan baik. Permasalahan eksekusi adalah salah satu simpul masalah kepatuhan hukum. Untuk menegakan hukum juga sangat ditentukan oleh kepatuhan hukum pihak yang terkait. Indikator kepatuhan hukum para pihak dalam proses persidangan sebenarnya tidak dapat dilihat semata-mata apakah pihak Tergugat menaati pelaksanaan eksekusi secara sukarela atau tidak, namun lebih kompleks daripada itu adalah bagaimana para pihak yang terlibat dalam proses persidangan atau yang terkait dengan pelaksanaan jalannya proses peradilan mampu menaati dan 103
Peraturan pelaksana dari ketentuan pasal 116 ayat (4) UU PERATUN sangat diperlukan mengingat norma tersebut mengandung ketidakjelasan pejabat mana yang berwenang menerapkan sanksi administrasi kepada Pejabat TUN (Tergugat) apabila yang bersangkutan tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan. Pentingnya dasar kewenangan penerapan sanksi administrasi seperti tersebut di atas, sangat besar artinya dalam mengoreksi penerapan sanksi administrasi yang ditentukan dalam Pasal 116 ayat (4) tersebut, karena dalam ketentuan itu tidak terdapat dasar kewenangan yang jelas mengenai penerapan sanksi administratif. Keadaan norma hukum seperti itu menunjukkan adanya kekosongan hukum (open systeem van het recht). Hal itu menimbulkan persoalan hukum apakah Ketua Pengadilan dapat memerintahkan pejabat yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi administratif. Selanjutnya apakah dimungkinkan Hakim/Ketua Pengadilan untuk menyebut secara tegas jenis sanksi administratif yang ditujukan kepada Badan/Pejabat TUN. Arifin Marpaung, Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Melalui Upaya Paksa, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2010. Hal. 30. 104 Bagir Manan, Penegakan Hukum Sebagai Unsur System Hukum, Bogor, 17 Desember 1997, Hal. 23-25. 167
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 163-176
mengikuti tahapan atau proses persidangan dengan baik dan benar. Praktek persidangan selama ini sering menunjukan ketidakpatuhan para pihak untuk mengikuti proses persidangan, baik secara sukarela maupun secara imperatif. Tujuan pihak-pihak yang berperkara adalah menyelesaikan perkara mereka secara tuntas dengan putusan pengadilan disertai pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan tersebut. Baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara TUN, problematik pelaksanaan/eksekusi putusan pengadilan terjadi manakala pihak yang kalah atau pihak Tergugat dalam sengketa TUN tidak melaksanakan secara sukarela isi amar putusan pengadilan. Apabila putusan pengadilan dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan maka tidak diperlukan upaya paksa berupa eksekusi putusan pengadilan tersebut. Apabila putusan perdata tidak dilaksanakan secara sukarela maka tersedia mekanisme hukum yang memberikan jaminan dengan bantuan alat negara untuk memaksakan isi putusan perdata tersebut untuk dilaksanakan. Dalam kerangka perdata, eksekusi pada dasarnya mengandung makna pelaksanaan putusan pengadilan oleh atau dengan bantuan pihak lain di luar para pihak yang bersengketa. Eksekusi atau pelaksanaan putusan yang menurut Prof. Supomo (dalam Hukum Acara Perdata) diartikan sebagai aturan tentang cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat-alat negara, guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim apabila pihak yang kalah tidak bersedia mematuhi substansi putusan dalam waktu yang ditentukan. Pendapat Prof. Supomo di atas menunjukkan adanya fungsi pembantuan dari aparat negara, untuk melaksanakan isi putusan tersebut manakala terjadinya pembangkangan pihak terhukum atas isi putusan. Kondisi demikian menunjukkan bahwa keberhasilan dari pelaksanaan putusan, harus mendapatkan dukungan dari aparat (alat negara) sebagai determinant factor sehingga penekanan-nya lebih ke pertanggungjawaban hukum. Hal ini mengandung arti, hukum dengan segenap instrumen pemaksanya, yang akan memaksa seseorang untuk melakukan isi putusan tersebut. 2)
Mekanisme Pelaksanaan Putusan PERATUN Berdasarkan Ketentuan Pasal 116 UU PERATUN. Pelaksanaan putusan yang telah memperoleh hukum tetap diawali dengan Ketua PTUN/PTTUN sebagai pengadilan tingkat pertama membuat penetapan berisi perintah kepada Panitera agar mengirimkan salinan putusan kepada para pihak dengan surat tercatat selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja dihitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap; Panitera Pengadilan mengirimkan salinan putusan Pengadilan tersebut kepada para pihak. Pengiriman dilaksanakan oleh Juru Sita atas nama Panitera. Setelah 2 (dua) bulan salinan putusan Pengadilan dikirimkan kepada Tergugat, dan ternyata Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a UU. PERATUN yaitu tidak mencabut KTUN yang bersangkutan, maka Ketua Pengadilan membuat surat yang menyatakan KTUN yang telah dibatalkan atau dinyatakan tidak sah oleh putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan hukum berlaku. Surat tersebut dikirimkan kepada para pihak oleh Panitera Pengadilan dengan surat tercatat, yang pelaksanaan pengirimannya dilakukan oleh Juru Sita Pengadilan. Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, yaitu pencabutan KTUN dan menerbitkan KTUN yang baru, atau penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3, kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, Penggugat mengajukan permohonan agar Ketua PTUN/PTTUN sebagai pengadilan tingkat pertama memerintahkan kepada Tergugat untuk melaksanakan putusan Pengadilan.105 Selanjutnya, dalam hal Tergugat setelah diperintahkan untuk 105
Menurut Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar ketentuan ayat (2) pasal 116 tersebut merupakan sebuah kontradiksi dari semangat UU PERATUN. Karena setelah ditempuh waktu yang cukup panjang dan proses 168
Prospek Ombudsman RI Dalam Memperkuat Pelaksanaan Eksekusi Putusan PTUN, Enrico Simanjuntak
melaksanakan putusan ternyata tetap tidak bersedia melaksanakannya, maka terhadap Pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif, serta diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera Pengadilan. Apabila eksekusi yang menyangkut Kepegawaian sebagaimana dimaksud dalam pasal 97 ayat (11) UU. PERATUN, maupun eksekusi selain yang menyangkut kepegawaian yang tidak dapat atau tidak sempurna dilaksanakan akibat berubahnya keadaan setelah putusan dijatuhkan, maka Tergugat wajib memberitahukan kepada Ketua Pengadilan dan Penggugat. Ketua Pengadilan menerbitkan penetapan bahwa eksekusi tidak dapat dilaksanakan (non eksekutabel), dan memberitahukannya kepada Pemohon dan Termohon eksekusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 116 ayat (1) UU. PERATUN. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah menerima pemberitahuan, pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar terhadap termohon eksekusi dibebankan kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain yang diinginkannya 106. 3)
Prospek Hukum Pelaksanaan Fungsi Eksekutor Putusan PERATUN Oleh Ombusdman RI Pada bagian sebelumnya telah diuraikan persoalan ketidakjelasan kriteria penerapan uang paksa dan sanksi administratif lebih dalam Pasal 116 ayat (4) UU PERATUN yang secara juridis formal menjadi landasan hukum penerapan uang paksa dan sanksi adminstratif, dimana pasal tersebut belum dapat menjawab bagaimana kriteria penerapan upaya paksa, yakni yang terkait dengan pejabat yang mengenakan upaya paksa, pihak yang menanggung beban uang paksa, serta jenis sanksi administratif yang akan dikenakan kepada pejabat TUN manakala ia tidak melaksanakan putusan PERATUN. Ketidakjelasan lembaga mana yang berwenang menerapkan upaya paksa berupa sanksi
peradilan yang relatif berbelit-belit, bahkan setelah dijatuhkan putusan yang berkekuatan hukum tetap, ternyata implementasi putusan tetap tidak bisa dilakukan dengan segera. Problemnya menurut kedua pakar hukum tersebut adalah Penggugat harus menunggu tengat waktu 3 (tiga) bulan untuk dapat mengajukan permohonan pada Ketua PTUN. Disamping itu, pengajuan permohonan itu sendiri dalam tataran praktek menyisakan ruang potensi tidak digubrisnya permohonan yang diajukan. Selain kontradiksi dengan semangat pembentukan UU PERATUN, ketentuan ketentuan ayat (2) pasal 116 tersebut dapat dikatakan kurang relevan dengan asas-asas peradilan yang dianut dalam UU Kekuasaan Kehakiman yaitu asas peradilan yang “Sederhana, cepat dan biaya ringan”. Kondisi yang sama dapat dilihat dari ketentuan pasal 8 Perma No. 1 Tahun 2011 yang mengatur apabila dalam 90 hari setelah putusan Hak Uji Materi oleh Mahkamah Agung disampaikan namun belum juga dicabut oleh Badan/Pejabat TUN ybs, maka peraturan yang dibatalkan tersebut, tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, Komparasi Sifat Mengikat Putusan Judicial Review Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Tata Usaha Negara, Jurnal Mimbar Hukum Volume 19, Nomor 3, Oktober 2007. 106 Ketua Pengadilan selanjutnya memerintahkan Panitera agar memanggil kedua belah pihak untuk mengupayakan tercapainya kesepakatan tentang jumlah uang atau kompensasi lain yang harus dibebankan kepada Tergugat. Apabila upaya untuk mencapai kesepakatan tidak berhasil, maka Ketua Pengadilan dengan Penetapan disertai pertimbangan yang cukup menentukan jumlah uang atau kompensasi lain yang dimaksud. Penetapan Ketua Pengadilan tentang jumlah uang atau kompensasi lain dapat diajukan baik oleh pemohon eksekusi maupun termohon eksekusi kepada Mahkamah Agung untuk ditetapkan kembali. Putusan Mahkamah Agung tentang penetapan kembali jumlah uang atau kompensasi lain, wajib ditaati kedua belah pihak. Kompensasi adalah kewajiban Tergugat untuk membayar sejumlah uang atau bentuk lain yang diinginkan Penggugat dalam hal Tergugat tidak dapat melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang disebabkan oleh perubahan keadaan yang terjadi setelah putusan dijatuhkan; Dalam ketentuan Pasal 117 UU No 5 tahun 1986 diatur bahwa pemberian kompensasi berkaitan dengan sengketa kepegawaian. Kompensasi diberikan, sebagai konsekuensi badan atau pejabat TUN yang bersangkutan tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan PTUN. Kompensasi itu berbentuk sejumlah uang yang besarnya berdasarkan Pasal 14 PP No. 43/1991 adalah paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah), dengan memperhatikan keadaan nyata. Besaran jumlah minimal dan maksimal kompensasi tersebut sangat tidak memadai dibandingkan dengan kerugian yang mungkin dapat menimpa pegawai yang bersangkutan. Kelemahan lain dari ketentuan pasal tersebut adalah tidak tersedianya upaya pemaksa agar badan atau pejabat TUN agar membayar kompensasi, dan sanksi yang dapat diberikan kepada Badan/Pejabat TUN. 169
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 163-176
administratif atau dwangsom sangat berkaitan dengan pandangan yang menyatakan bahwa pelaksana eksekusi putusan PERATUN adalah pihak Tergugat itu sendiri. Ambivalensi administrasi pemerintahan sebagai Tergugat sekaligus sebagai eksekutor putusan PERATUN mendorong pemikiran untuk mencari alternatif lembaga mana yang lebih sesuai sebagai eksekutor putusan PERATUN. Lembaga eksekutor putusan PERATUN tersebut harus terbebas dari hubungan hirarkis struktural dengan lembaga publik pemerintahan/negara lainnya, mengingat setiap lembaga publik pemerintahan berpotensi berstatus sebagai Tergugat dalam sengketa TUN. Sehingga kriteria utamanya adalah independensi kelembagaan. Dari berbagai alternatif lembaga publik pemerintahan yang ada, kriteria tersebut paling sesuai dimiliki oleh ORI. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, maka mengacu kepada pendekatan sistem hukum, dimana antara PERATUN dan ORI sama-sama bertujuan untuk mendorong terwujudnya good governance serta menjamin perlindungan hukum (legal protection) bagi masyarakat dari tindakan hukum publik administrasi pemerintahan, sehingga ORI sangat memungkinkan untuk diserahkan tugas dan tanggung jawab sebagai eksekutor independen putusan PERATUN dalam arti, ORI diberi kewenangan untuk mendorong, mengawasi dan menjatuhkan sanksi terhadap pihak Tergugat yang tidak bersedia melaksanakan putusan PERATUN maupun terhadap pihak lain yang menghalanghalangi pelaksanaan putusan PERATUN. Dibandingkan lembaga negara lainnya, karakteristik ORI paling memenuhi kriteria untuk menjalankan tugas dan fungsi sebagai eksekutor independen putusan PERATUN. Karakteristik tersebut terkait dengan independensi ORI sebagaimana ditandai dengan tidak adanya hubungan struktural maupun hirarkis antara ORI baik dengan lembaga kepresidenan maupun lembaga parlemen. Kedudukan ORI berada diantara kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Independensi kelembagaan merupakan prasyarat terpenting untuk menjalankan tugas dan fungsi eksekutor, dalam hal ini meskipun ORI dimaksudkan melaksanakan produk pengadilan berupa putusan maupun penetapan namun kedudukan ORI janganlah dipandang sebagai subordinasi dari PERATUN, namun sebagai mitra (partner) yang sejajar dalam satu kesatuan sistem hukum yang terdiri dari berbagai jejaring kelembagaan yang mengawal perlindungan hukum dan penghormatan hak asasi manusia dalam cita negara hukum yang demokratis. Apabila suatu lembaga tidak independen maka ia rentan mengalami konflik kepentingan manakala menjalankan tugas dan fungsi pelaksanaan eksekusi. Sebagai ilustrasi apabila Menpan RB berposisi sebagai eksekutor, maka manakala Presiden tidak menjalankan putusan Pengadilan, akan terjadi konflik kepentingan antara Menpan RB dengan Presiden, disatu sisi Menpan RB sebagai instansi di bawah Presiden namun di sisi lain Menpan RB berposisi sebagai eksekutor putusan PERATUN. Meskipun Presiden secara hukum dibebani kewajiban untuk mengawasi pelaksanaan putusan PERATUN, namun dalam prakteknya Presiden ditemukan tidak mematuhi putusan PERATUN. Jangankan mematuhi putusan PERATUN, bahkan untuk menghadiri persidangan pun Presiden beberapa kali tercatat secara sengaja tidak mengindahkan panggilan Pengadilan.107 Fenomena ini tentu tidak dapat dibandingkan dengan kenyataan bahwa penegak hukum lain seperti Kepolisian 107
Dalam praktek malah ditemukan permasalahan dalam hal Presiden berstatus sebagai Tergugat dan tidak hadir 2 (dua) kali berturut-turut dalam persidangan pertama (artinya belum memberikan jawaban terhadap gugatan Penggugat). Secara normatif, berdasarkan UU PERATUN, jika pihak Tergugat tidak hadir dalam persidangan pertama setelah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut maka disampaikan kepada atasannya, menjadi kesulitan jika Tergugat adalah Presiden, kepada siapa atasan Presiden mengingat Presiden pemegang tertinggi kekuasaan eksekutif. Mengatasi permasalahan tersebut, terdapat dua pendapat yakni : Pertama, Ketua Majelis mengeluarkan Penetapan yang berisi perintah kepada Presiden untuk hadir di persidangan dengan tembusan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat selaku pemegang kekuasaan fungsi pengawasan politik terhadap administrasi pemerintahan. Kedua, Ketua Majelis Hakim membuat Penetapan jika Tergugat/Presiden atau Kuasanya dalam jangka waktu 2 (dua) bulan tetap tidak hadir, persidangan akan dilanjutkan tanpa kehadiran Tergugat . 170
Prospek Ombudsman RI Dalam Memperkuat Pelaksanaan Eksekusi Putusan PTUN, Enrico Simanjuntak
dan Kejaksaan berada di bawah hirarki Presiden. Potensi Presiden sebagai Tergugat dalam sengketa tentu jauh lebih besar dibandingkan dengan Presiden melakukan pelanggaran Pidana, bahkan dalam hal tertentu Presiden memiliki kekebalan dari proses pidana namun dalam bidang hukum administrasi tidak terdapat keistimewaan antara Presiden dengan Masyarakat, berbeda dalam pidana, Presiden memiliki privilese tertentu yang tidak dinikmati oleh Pejabat Pemerintahan lainnya. Sebaliknya, apabila Mendagri berposisi sebagai eksekutor disamping secara empiris Mendagri sering berstatus sebagai Tergugat dalam sengketa TUN, rentang kendali Mendagri pasca otonomi daerah makin menyusut, berbeda halnya ketika jaman sentralisme, kedudukan Mendagri sebagai representasi Presiden sangat berwibawa dan disegani namun kini rentang kendali Mendagri tidak seleluasa dan sekuat dulu. Dengan sistem pilkada, para Kepala Daerah merasa legitimasinya lebih ditentukan oleh para konstituen dibandingkan oleh pengawasan dari pemerintah pusat (Mendagri). Disamping faktor independensi ORI tersebut, faktor lain yang menjanjikan ORI berpeluang sebagai lembaga eksekutor putusan PERATUN adalah faktor kemiripan/kesamaan karakter tugas dan fungsi PERATUN dan ORI, bahkan sebagaimana diuraikan di atas, kedua lembaga tersebut memiliki sinergi dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan perlindungan hukum bagi masyarakat. ORI berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN/D serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.108 Dalam menjalankan tugasnya untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenai terjadinya/penyimpangan oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya, maupun dalam memberikan pelayanan umum, ORI berpegang pada asas mendengarkan kedua belah pihak (imparsial) serta tidak menerima imbalan apapun baik dari masyarakat yang melapor atau pun instansi yang dilaporkan. Dalam menjalankan tugasnya, ORI dilarang mencampuri kebebasan hakim dalam memberikan putusan109. Namun sebaliknya, dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, ORI tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan110. Oleh karena itu, sangat terbuka peluang sinergi antara PERATUN dengan ORI. Sinergi tersebut dalam arti saling isi mengisi, sehingga keterbatasan PERATUN dapat diisi oleh kewenangan yang dimiliki ORI, sebaliknya tujuan dibentuknya lembaga ORI akan lebih dapat diwujudkan dengan optimalisasi fungsi peradilan oleh PERATUN. Sebagai contoh UU PERATUN tidak menyediakan sarana untuk memanggil secara paksa saksi yang dibutuhkan pengadilan. Padahal kebutuhan praktek menghendaki adanya sarana hukum yang jelas untuk mengatur secara teknis bagaimana prosedur pemanggilan saksi yang dibutuhkan oleh Pengadilan. Ketiadaan aturan ini menyebabkan permasalahan apabila pemanggilan saksi dilakukan dengan menggunakan bantuan polisi, yakni bagaimana cara menghadirkan saksi di persidangan serta bagaimana dari segi biaya pemanggilan. Berbeda halnya dengan UU. No. 37/2008 Tentang ORI yang memberikan kewenangan kepada ORI dalam melakukan pemeriksaan atas Laporan yang diterimanya, ORI dapat memanggil Terlapor dan saksi untuk dimintai keterangannya. Apabila Terlapor dan saksi telah dipanggil tiga kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, ORI dapat meminta bantuan Kepolisian Negara RI untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa (subpoena power). Selanjutnya, setiap orang yang menghalangi ORI dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)111.
108
Pasal 6 UU. No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Pasal 9 Ibid. 110 Pasal 10 Ibid. 111 Pasal 44 Ibid. 109
171
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 163-176
Dasar pemikiran terhadap ORI sebagai eksekutor putusan PERATUN sebenarnya sudah mengakar sejak ORI diperkenalkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kiprah dan rekam jejak ORI telah mewarnai dan memberikan harapan bagi percepatan perwujudan negara hukum Indonesia yang demokratis. Beberapa contoh peran serta ORI dalam mendorong pelaksanaan putusan PERATUN adalah sbb : 1. Terlepas dari dipatuhi atau tidaknya rekomendasi ORI oleh Walikota Bogor dalam kasus GKI Yasmin, namun usaha dan komitmen serius dari ORI untuk mendorong pelaksanaan putusan pengadilan, patut diapresiasi dan dijadikan momentum untuk lebih memperkenalkan eksistensi dan fungsi ORI kepada masyarakat luas. Kasus pembangkangan Wali Kota Bogor, Diani Budiarto, terhadap putusan MA yang mengizinkan berdirinya GKI Yasmin adalah dimulai ketika GKI Yasmin telah memperoleh IMB Gereja di Taman Yasmin, Bogor, melalui SK Wali Kota Bogor No 645.8-372 Tahun 2006 tertanggal 13 Juli 2006 namun dalam proses pelaksanaannya Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor ketika itu justru melakukan pembekuan izin melalui suratnya No 03/2080 TKP tertanggal 14 Februari 2008.112 2. Upaya ORI mendorong Kapolda Sumatera Utara dalam melaksanakan putusan PTUN Medan. Kasus ini bermula dari surat yang diterima ORI dari Sdr. AS beralamat di Medan mengenai sikap Kapoldasu yang belum melaksanakan putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap (Putusan No.52/G/TUN/2005/PTUN-MDN. Jo. 18/BDG/2006/PT.MDN jo. 228K/TUN/2006) kendati sudah disurati Ketua PTUN Medan pada tanggal 24 Juli 2007 dengan suratnya No. W1TUN/402.AT.02.07/I/2007 yang intinya menyampaikan perintah agar putusan PTUN Medan tersebut dilaksanakan oleh Kapoldasu.113 3. Berdasarkan kesimpulan dari hasil investigasi dan monitoring asisten ombudsman yang melakukan investigasi dan monitoring ke PTUN Padang dan Kepolisian daerah Sumatera disimpulkan bahwa Penggugat harus memohon pelaksanaan eksekusi kepada Ketua PTUN Padang untuk memohon eksekusi dalam hal ini kaitannya dengan pengumuman di media massa yang belum dilaksanakan. Selanjutnya, berdasarkan permohonan tersebut, Ketua PTUN Padang memerintahkan Tergugat (Kapolda Sumatera Barat) untuk melaksanakan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yaitu dengan surat tertanggal 8 Januari 2010 Ketua PTUN Padang Nomor: W1TUN/024/AT.02.05/I/2010 perihal Perintah Pelaksanaan Putusan PTUN Padang No. 20/G/2003/PTUN-PDG Tanggal 14 April 2004 Jo.Putusan PT.TUN No. 80/BDG/2004/PT.TUN-
112
Pembekuan IMB GKI Yasmin oleh Kepala Dinas tersebut kemudian menjadi objek sengketa TUN di PTUN Bandung. Hasilnya, PTUN Bandung mengabulkan gugatan GKI melalui putusan No. 41/G/2008/PTUN-BDG tertanggal 4 September 2008. Pada tingkat banding, PTTUN DKI Jakarta telah menguatkan putusan PTUN Bandung melalui putusan No 241/B/2008 tertanggal 2 Februari 2009. Kemudian pada tingkat kasasi, MA telah menolak permohonan kasasi Pemerintah Kota Bogor Kemudian MA mengeluarkan putusan yang mengukuhkan keabsahan IMB GKI di Yasmin melalui Putusan MA Nomor 127 PK/TUN/2009. Namun, Diani Budiarto tetap membatalkan IMB GKI Yasmin melalui SK Nomor 645.45-137 tertanggal 11 Maret 2011. Media Indonesia, 16 Februari 2012 dan Koran Tempo, 17 Nopember 2011 113 Akan tetapi putusan dimaksud juga belum dilaksanakan. Kemudian, ORI mengirimkan Surat Rekomendasi kepada Kapolri tanggal 2 Oktober 2007 yang intinya meminta kepatuhan pejabat TUN terhadap Putusan PTUN serta menyatakan perhatian sungguh-sungguh ORI atas permasalahan tersebut, dan berharap kiranya Kapolri dapat memberikan penjelasan atas tindaklanjut yang telah dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Akhirnya, surat ORI tersebut ditanggapi secara positif oleh pihak Tergugat, melalui Irwasum (Inspektur Jenderal Pengawasan Umum) kemudian mengirim surat balasan kepada ORI yang isinya menyatakan bahwa Kapoldasu telah mengeluarkan SK Pembatalan Skep pensiun mantan anggota Polri a.n. Ipda AS dan mengembalikan hak gaji dan tunjangan lainnya. Dengan demikian Kepala Kapoldasu telah melaksanakan putusan PTUN dengan mengangkat kembali dan merehabilitasi Ipda AS aktif kembali dalam dinas Polri. Suara Ombudsman, No. 1 Tahun 2008, Hal. 8-9. 172
Prospek Ombudsman RI Dalam Memperkuat Pelaksanaan Eksekusi Putusan PTUN, Enrico Simanjuntak
MDN tanggal 23 September 2004 Jo. Putusan Kasasi No. 430.K/TUN/2004 tanggal 25 Maret 2008.114 Beberapa usaha dan upaya tersebut yang dapat dijadikan sebagai instrumen hukum oleh ORI antara lain sbb : Pertama, ORI membuat daftar Pejabat TUN yang melalaikan dan/atau menghalangi kewajiban hukumnya untuk melaksanakan putusan PERATUN. Instrumen ini mengadopsi sanksi black list dalam kegiatan pengadaan barang/jasa yakni apabila penyedia barang/jasa melanggar kewajiban-kewajibannya dalam kegiatan pengadaan barang/jasa maka yang bersangkutan untuk jangka waktu tertentu dilarang untuk mengikuti kegiatan pelelangan barang/jasa. Berkaca pada pengenaan sanksi semacam tersebut, maka apabila menjelang kegiatan Pemilu, Pilkada, Pileg maupun Pilkades terdapat kandidat-kandidat yang ketika menjabat sebagai Badan/Pejabat TUN pernah menolak melaksanakan putusan Pengadilan, maka ybs dilarang untuk ikut tampil dalam kegiatan pemilu tersebut. Dalam UU. Pemerintahan Daerah diatur tentang Sumpah Kepala Daerah (pasal 42) dan kewajiban Kepala Daerah dalam pasal 43 huruf d : menegakkan seluruh peraturan perundangundangan.115 Dengan demikian adalah kewajiban seorang Kepala Daerah melaksanakan putusan PTUN dalam rangka memenuhi kewajibannya tersebut pasal 42 huruf c dan pasal 43 huruf d. Sehubungan dengan itu disarankan agar Ketua Pengadilan dalam melaksanakan ketentuan pasal 116 ayat (3) UU. PERATUN mencamtumkan kata-kata yang mengingatkan Kepala Daerah akan kewajibannya menegakkan peraturan perundang-undangan sesuai sumpahnya pasal 42 dan ketentuan kewajibannya khususnya pasal 43 huruf d UU PEMDA. Kedua, ORI memberikan sanksi administrasi bagi Badan/Pejabat TUN yang menolak atau melalaikan kewajiban pelaksanaan eksekusi putusan. Upaya hukum administrasi dimaksudkan untuk pejabat karier yang tunduk kepada ketentuan disiplin kepegawaian mengingat sanksi yang diterapkan menurut ketentuan pasal 116 ayat (4) UU. PERATUN adalah sanksi administrasi. Sanksi administrasi tersebut harus mencakup pejabat karier (appointed officials) maupun non karier (elected officials) yang secara maksimal harus memungkinkan penerapan sanksi maksimal berupa pemberhentian dari jabatan (removing from the office). Ketiga, ORI menginisiasi pengajuan gugatan ganti rugi melalui Peradilan Umum dalam perkara Perdata terhadap Badan/Pejabat TUN yang menolak melaksanakan putusan PTUN, hal ini harus dikaitkan dengan ketentuan pasal 116 ayat (4), (5), (6), dimana setelah memenuhi jangka waktu yang ditentukan oleh pasal 116 ayat (3) UU PERATUN, namun putusan belum juga dilaksanakan, maka ORI mendorong pengajuan gugatan ganti rugi ke peradilan umum, dengan dasar hukum pasal 1365 KUHPerdata. Keempat, ORI melaporkan kepada penyidik tentang tindakan Badan/Pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan PERATUN sebagaimana mestinya. Beberapa pihak mengusulkan untuk meningkatkan efektifitas eksekusi putusan PTUN, maka ketentuan pasal 216 KUHP dapat diterapkan terhadap pribadi pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan PTUN. Di beberapa negara seperti Mesir, Turki, Thailand, Amerika Serikat dsb berdasarkan pranata ‘contempt of court’, maka dalam hal seseorang menolak perintah hakim atau melaksanakan isi putusan pengadilan, termasuk putusan peradilan administrasi, pihak ybs dapat dikenakan delik pidana berupa penghinaan peradilan “contempt of court”. Dalam kepustakaan commmon law sering dinyatakan bahwa contempt of court merupakan istilah umum untuk menggambarkan setiap perbuatan atau tidak berbuat yang pada hakekatnya bermaksud untuk mencampuri atau mengganggu sistem atau proses penyelenggaraan peradilan yang seharusnya (due process of law). Istilah contempt of court dikatakan sebagai istilah umum karena dapat dibedakan antara civil contempt dan criminal contempt, direct contempt dan indirect contempt. Sanksi yang diberikan terhadap pelaku civil contempt adalah bersifat paksaan
114
Syafaat, Peran Ombudsman Republik Indonesia Dalam Hal Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Tidak Dapat Dilaksanakan, Artikel, Program Pasca Sarjana Universitas Andalas Padang, 2011. Hal. 23. 115 UU. No. 32 Tahun 2004 jo. UU. No. 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah. 173
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 163-176
(coercive nature), dimana sanksi akan berhenti apabila pelaku melaksanakan perintah pengadilan. Sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku civil contempt di samping untuk melindungi hak-hak dari pihak yang memenangkan gugatan juga untuk melindungi efektifitas penyelenggaraan administrasi peradilan dengan menunjukkan bahwa perintah pengadilan akan dilaksanakan. Jadi, sebenarnya civil contempt ini lebih merupakan keengganan salah satu pihak untuk melaksanakan kewajibannya terhadap pihak yang lain dan tidak mempunyai kecenderungan untuk menghina pengadilan. Sedangkan, criminal contempt sebagai perbuatan yang tidak menghormati pengadilan dan proses peradilannya yang bertujuan untuk merintangi, menghalangi, mengganggu jalannya peradilan atau cenderung untuk menyebabkan pengadilan tidak dihormati116. Pranata contempt of court dalam arti criminal contempt dalam UU PERATUN sendiri sebenarnya telah dianut sebagaimana tersirat dari ketentuan pasal 69 UU PERATUN jo. Pasal 217 KUHP yang mengisyaratkan setiap orang dalam ruang persidangan wajib menunjukkan sikap, perbuatan, tingkah laku, dan ucapan yang menjungjung tinggi wibawa, martabat, dan kehormatan Pengadilan dengan menaati tata tertib persidangan. Dimana setiap orang yang tidak menaati tata tertib persidangan dapat berujung kepada penuntutan, jika pelanggaran itu merupakan tindak pidana. Dengan demikian, apabila dalam proses persidangan saja pihak yang mengganggu jalannya persidangan dapat dituntut secara pidana berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka tidaklah berlebihan apabila pejabat TUN yang secara nyata dan dengan itikad buruk tidak bersedia melaksanakan putusan PERATUN untuk dikenakan pemidanaan, baik dalam bentuk denda bahkan pengenaan kurungan penjara. Harus diakui bahwa untuk memaksakan kepatuhan hukum administrasi salah cara pemerintah adalah dengan mengenakan ancaman pidana bagi pelaku pelanggaran administrasi, sehingga adalah tidak adil jika jika aparat administrasi tidak mungkin dapat dipidana, apabila melakukan pembangkangan terhadap putusan pengadilan administrasi yang merupakan puncak dari rangkaian proses sengketa TUN selama sekian waktu yang tidak jarang juga menguras waktu, energi, materi dan imateril. D. Penutup Beberapa kali perubahan terhadap UU PERATUN tetapi perubahan tersebut belum memberikan upaya maksimal dalam pelaksanaan putusan PERATUN, bahkan mekanisme eksekusi yang ditempuh terkesan mengambang dan tidak ada penyelesaian akhir. Oleh karena itu, diperlukan perubahan terhadap UU. PERATUN yang diikuti dengan sinkronisasi dengan peraturan perundangundangan terkait, khususnya yang terkait dengan mekanisme eksekusi putusan PERATUN yang telah berkekuatan hukum tetap. Ambivalensi administrasi pemerintahan sebagai Tergugat sekaligus sebagai eksekutor putusan PERATUN mendorong pemikiran untuk mencari alternatif lembaga mana yang lebih sesuai sebagai eksekutor putusan PERATUN. Lembaga eksekutor putusan PERATUN tersebut harus terbebas dari hubungan hirarkis struktural dengan lembaga publik pemerintahan/negara lainnya, mengingat setiap lembaga publik pemerintahan berpotensi berstatus sebagai Tergugat dalam sengketa TUN. Sehingga kriteria utamanya adalah independensi kelembagaan. Dari berbagai alternatif lembaga publik pemerintahan yang ada, kriteria tersebut paling sesuai dimiliki oleh ORI. Mengacu kepada pendekatan sistem hukum, dimana antara PERATUN dan ORI sama-sama bertujuan untuk mendorong terwujudnya good governance serta menjamin perlindungan hukum bagi masyarakat dari tindakan hukum publik administrasi pemerintahan, maka ORI sangat memungkinkan untuk diserahkan tugas 116
Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku criminal contempt adalah sanksi yang bersifat menghukum (punitive). Di negara-negara common law, pelaku dapat dijatuhi pidana denda atau pidana penjara. Tujuan dari pemidanaan pelaku criminal contempt adalah untuk membuat pelaku jera dan membuat orang lain tidak melakukan perbuatan yang sama. Pentingnya pemidanaan terhadap pelaku criminal contempt adalah untuk melindungi kekuasaan peradilan dan martabat pengadilan, di mana dalam hal ini, negara, pemerintah, pengadilan dan masyarakat berkepentingan terhadap terselenggaranya peradilan yang seharusnya (the due administration of justice). 174
Prospek Ombudsman RI Dalam Memperkuat Pelaksanaan Eksekusi Putusan PTUN, Enrico Simanjuntak
dan tanggung jawab sebagai eksekutor putusan PERATUN dalam arti, ORI diberi kewenangan untuk mendorong, mengawasi dan menjatuhkan sanksi terhadap pihak Tergugat yang tidak bersedia melaksanakan putusan PERATUN maupun terhadap pihak lain yang menghalang-halangi pelaksanaan putusan PERATUN.
Daftar Pustaka Arto, A. Mukti, Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Kajian Historis, Filosofis, Ideologis, Politis, Yuridis, Futuristis, Pragmatis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012. Andyna Susiawaty Achmad, Prinsip Perjanjian Campuran Dalam Perjanjian Lisensi dan Perjanjian Waralaba, Jurnal Gema Aktualita, Vol. 1 No. 1, Desember 2012. Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pelita Harapan Surabaya, Indonesia Bagir Manan, Penegakan Hukum Sebagai Unsur System Hukum, Bogor, 17 Desember 1997 Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, Komparasi Sifat Mengikat Putusan Judicial Review Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Tata Usaha Negara, Jurnal Mimbar Hukum Volume 19, Nomor 3, Oktober 2007. Damar Bayukesumo, Kajian Normatif Eksekusi Atas Putusan Peradilan Tata Usaha Negara, Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010. FX Joki Priyono, Fungsi Pendekatan Sistem Sebagai Landasan Metedologis Bagi Ilmu Hukum, Makalah disampaikan pada diskusi Reguler Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum UNDIP, 24 Januari 2000 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku : I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993 Jimly Asshiddiqie, Negara Hukum Indonesia: Paradigma Penyelenggaraan Negara dan Pembangunan Nasional Berwawasan Hukum, Pertemuan Nasional Ormas-Ormas Kristen di Jakarta, 10 November 2005. Philipus M. Hadjon, et.al., Pengantar Hukum Administrasi di Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1997. Philipus M. Hadjon, S.H., Penerapan Eksekusi Putusan PTUN Terhadap Pejabat TUN Daerah, Disampaikan pada workshop Tentang Penerapan Eksekusi Putusan PTUN Dalam Kaitannya Dengan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta, 28 Agustus 2004, diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian Dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara (LPP-HAN) Bekerjasama dengan Komisi Hukum Nasional. Paulus Effendie Lotulung, State Administration Courts In Indonesia’s Judiciary System, 10th Congress International Assocciation of Supreme Administrative Jurisdictions, Sydney, Australia, Sunday 7-Thursday 11 March, 2010. Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Eksekutabilitas Putusan Peradilan Tata Usaha Negara, Laporan Penelitian, Jakarta, 2010 S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997. Soemaryono, dan Anna Erliyana, Tuntunan Praktik Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Primadiamedia Pustaka, Jakarta, 1999. Sudarsono, Upaya Memperkuat Pelaksanaan Eksekusi Pada Peradilan Tata Usaha Negara. Varia Peradilan No. 277 Desember 2008. Supandi, Filosofi Lembaga-Lembaga Hukum Penting Dalam Hukum Acara Peradilan TUN. Makalah tidak diterbitkan
175
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 163-176
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Cetakan II, Yogyakarta, 2010 Syafaat, Peran Ombudsman Republik Indonesia Dalam Hal Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Tidak Dapat Dilaksanakan, Artikel, Program Pasca Sarjana Universitas Andalas Padang, 201 Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999 Soemitro, Ronny Hanintijo, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dan Jurimetri, Galia Indonesia, Jakarta, 1994 Suara Ombudsman, No. 1 Tahun 2008 Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005 Yos Johan Utama, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Februari 2010. Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali Pers, Jakarta, 1996 W. Riawan Tjandra, Teori & Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atmajaya, Jogyakarta, 2010. W. Riawan Tjandra. Peradilan Tata Usaha Negara Mendorong Terwujudnya Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa, Penerbit Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2009 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, cet. ke 2, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2005 Zudan Arif Fakrulloh, Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan keadilan, Jurnal Hukum Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005.
176
URGENSI HARMONISASI POLA PROMOSI DAN MUTASI KEPANITERAAN LINGKUNGAN PERADILAN UMUM DAN AGAMA Budi Suhariyanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan MA-RI Jl. Jenderal Ahmad Yani Kav.58 Jakarta Pusat
[email protected]
Abstrak Terdapat perbedaan pola promosi dan mutasi kepaniteraan pada lingkungan peradilan Umum (SK KMA No: 140/KMA/SK/VIII/2013) dan Agama (SK Dirjen Badilag No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI /2013). Menyikapi perbedaan tersebut, maka upaya harmonisasi pengaturan pola promosi dan mutasi kepaniteraan antar lingkungan peradilan (khususnya Lingkungan Peradilan Umum dengan Agama) di bawah Mahkamah Agung adalah cukup urgen. Perlu dipertimbangkan beberapa upaya yaitu: (1). Sinkronisasi kedudukan peraturan atau jenis ketentuan yang mengatur tentang pola promosi dan mutasi kepaniteraan (disetarakan dalam SK KMA); (2). Kebijakan pemisahan pengaturan pola promosi dan mutasi Hakim dengan kepaniteraan dalam SK KMA yang berbeda; (3). Harmonisasi ketentuan dalam pengaturan promosi dan mutasi kepaniteraan. Kata Kunci: Jabatan, Karir, Kepaniteraan Abstract There is a different registrar promotion pattern and mutation on general to religious court. Accordingly, important to get promotion pattern harmony and mutation to taking on this differences among of court (in particular general to religious court) under the supreme of court. Some efforts to consider are: (1). The equality of regulation or types of regulation on registrar promotion pattern and mutation (which is synchonized on the head desicion supreme of court. (2). The regulatory separation promotion pattern and judges mutation to registrar on the head desicion supreme of court. (3). Regulatory harmony on the registrar promotion and mutation. Keyword: function, career, registrar
A. Pendahulaun Pengaturan pola promosi kepaniteraan peradilan pada umumnya diatur oleh peraturan perundang-undangan yang terkait (sesuai dengan lingkungan peradilannya). Namun ketentuan yang ada didalamnya hanya mengatur masalah promosi hanya sebatas persyaratan administratis semata dan belum menyertakan pengaturan yang bersifat teknis dan fungsional. Bahkan dalam konteks kebijakan rotasi atau mutasi kepaniteraan peradilan tidak diakomodir di dalam peraturan perundang-undangan terkait. Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang masih belum lengkap tersebut, maka untuk mengisi kekosongan hukum dan guna memberikan arah serta kepastian dalam pengembangan pola karir kepaniteraan maka Mahkamah Agung berinisiatif menyusun pola promosi dan mutasi dalam sebuah kebijakan. Untuk lingkungan peradilan Agama diterbitkan Surat Keputusan Dirjen Badan Peradilan Agama No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013 Tentang Pedoman Pola Karir Tenaga Teknis Peradilan Agama dan untuk lingkungan peradilan Umum diterbitkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 140/KMA/SK/VIII/2013 Tentang Penyempurnaan Pola Promosi dan Mutasi Kepaniteraan di Lingkungan Badan Peradilan Umum. 177
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 177-190
Progresivitas dari pimpinan Mahkamah Agung yang berinisiatif menerbitkan kebijakan pola promosi dan mutasi kepaniteraan tersebut sangat layak diapresiasi karena dengan upaya tersebut terlindungilah kepentingan karir dari aparatur peradilan khususnya kepaniteraan. Melalui promosi dan mutasi yang tersistem dengan baik, aparatur peradilan dapat berkompetisi secara sehat dan termotivasi untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan, kompetensi, dan profesionalisme serta kualitas kinerjanya. Dengan kata lain dapat dipedomani bahwa baik secara langsung maupun tidak langsung, promosi dan mutasi aparatur peradilan memiliki pengaruh yang cukup signifikan bagi semangat dan produktivitas kerja yudisial serta kualitas hidup diri dan keluarga aparatur peradilan yang bersangkutan. Berdasarkan pola promosi dan mutasi yang berkepastian hukum tersebut yang notabene mengakamodasi penilaian kompetensi dan integritas secara adil, objektif, transparan dan akuntabel maka terhindarkan dari sikap dan karakter budaya like and dislike. Dengan demikian secara yuridis, kebijakan pola promosi dan mutasi tersebut merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap kepentingan karier aparatur peradilan dari kesewenang-wenangan sehingga dapat memberikan jaminan keadilan dan kemanfaatan serta kepastian hukum secara proporsional. Namun sebagaimana pada umumnya suatu peraturan perundang-undangan yang notabene memiliki kekurang-sempurnaan seiring dengan perkembangan waktu dan kondisi oleh karenanya kebijaka evaluasi terhadapnya harus selalu dilakukan guna memberikan formulasi kebijakan yang responsif. Jika diperbandingkan kebijakan pola promosi dan mutasi kepaniteraan antar peradilan di bawah Mahkamah Agung khususnya lingkungan peradilan Umum (SK KMA No: 140/KMA/SK/VIII/2013) dengan Agama (SK Dirjen Badilag No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013), maka ditemukan beberapa perbedaan pengaturan diantaranya: a). Kedudukan atau level pengaturan yang berbeda (antara SK KMA dengan SK Dirjen Badilag); b). Subyek pejabat yang diatur (SK KMA No: 140/KMA/SK/VIII/2013 mengatur khusus kepaniteraan, sementara SK Dirjen Badilag No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013 mengatur secara bersama antara Hakim dan kepaniteraan); c). Persyaratan penguasaan Teknologi Informasi dalam promosi jabatan kepaniteraan (SK KMA No: 140/KMA/SK/VIII/2013 mengatur setiap level promosi jabatan ada syarat penguasaan teknologi informasi sedangkan SK Dirjen Badilag No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013 tidak setiap level disyaratkan penguasaan teknologi informasi); d). Persyaratan promosi bagi yang pernah mendapatkan hukuman disiplin dalam konteks penetapan batas waktu pemulihan dari sanksi hukuman disiplin (SK KMA No: 140/KMA/SK/VIII/2013 mensyaratkan 4 tahun sedangkan SK Dirjen Badilag No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013 mensyaratkan 2 tahun); e). Persyaratan batas minimum dapat diusulkan mutasi (SK KMA No: 140/KMA/SK/VIII/2013 mensyaratkan 4 tahun sedangkan SK Dirjen Badilag No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013 mensyaratkan 2 tahun). Ketidaksamaan atau ketidaksetaraan kedudukan level pengaturan maupun perbedaan syarat subtantif dalam pola promosi dan mutasi kepaniteraan masing-masing lingkungan peradilan ini dapat mengesankan masih adanya persepsi inkonsistensi kebijakan satu atap Mahkamah Agung. Seharusnya dalam optik kebijakan satu atap yang notabene tidak hanya sebatas restrukturisasi organisasi semata, maka diharapkan tiada terjadi perbedaan kebijakan terkait manajemen aparatur peradilan antar lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung khususnya kebijakan promosi dan mutasi. Oleh karena itu upaya singkronisasi dan harmonisasi pengaturan pola promosi dan mutasi kepaniteraan antar lingkungan peradilan (khususnya Lingkungan Peradilan Umum dengan Agama) di bawah Mahkamah Agung adalah cukup urgen. B. Metode Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang didasarkan pada pengkajian hukum positif. Bahan penelitian ini menggunakan bahan hukum primer berupa undangundang, sebagai objek penelitian. Norma peraturan perundang-undangan terkait pola promosi dan 178
Harmonisasi Pola Promosi dan Mutasi Kepaniteraan di Peradilan Umum dan Agama, Budi Suhariyanto
mutasi kepaniteraan yang menjadi objek penelitian adalah SK KMA No: 140/KMA/SK/VIII/2013 dan SK Dirjen Badilag No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013. Sehingga pendekatan pada penelitian ini dilakukan secara pendekatan yuridis normatif. Metode pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji, menguji dan menelaah aspek hukum promosi dan mutasi kepaniteraan peradilan khususnya pada lingkungan peradilan Umum dan Agama, dilakukan dengan cara mengadakan penelitian terhadap data sekunder di bidang hukum yaitu jenis data yang diperoleh dari riset kepustakaan (Library Reseach), serta dari data-data lain yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. Adapun spesifikasi penelitian dalam penelitian ini, termasuk penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yaitu; tidak hanya menggambarkan permasalahan saja, tetapi juga peraturan promosi dan mutasi kepaniteraan peradilan, khususnya yang berkaitan dengan lingkungan peradilan Umum dan Agama. Kemudian menjelaskan asas-asas yang terdapat dalam pembahasan persoalan yang ada. Dengan demikian penelitian ini dimaksudkan untuk mencari landasan teoritis atau yuridis mengenai harmonisasi pola promosi dan mutasi kepaniteraan peradilan dibawah Mahkamah Agung. C. Pembahasan 1. Tinjauan Pustaka tentang Promosi dan Mutasi Promosi secara sederhana diartikan sebagai suatu proses kenaikan jabatan, dari suatu jabatan kepada jabatan yang lebih tinggi. Pengertian promosi yang demikian sesuai dengan pendapat dari Daryanto dan Abdullah yang mendefinisikan promosi sebagai proses kegiatan pemindahan karyawan dari suatu jabatan ke jabatan yang lain yang lebih tinggi.117 Selain pengertian promosi yang diasosiasikan sebatas sebagai kenaikan jabatan semata, promosi juga diartikan secara luas dikaitkan dengan aspek teknis turunan dari kenaikan jabatan tersebut, diantaranya adanya tugas atau tanggungjawab lebih besar yang akan diemban, peningkatan status yang lebih tinggi, dan kompensasi penghasilan (gaji) yang lebih baik. Sebagaimana dikemukakan oleh Danang Sunyoto yang memberikan pengertian promosi adalah jika seorang karyawan atau pegawai dipindahkan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain yang tanggung jawabnya lebih besar, tingkatan hierarki jabatan lebih tinggi dan penghasilannya pun lebih besar pula.118 Berdasarkan pengertian promosi yang tersebut diatas, jika ditarik benang merahnya maka nampak bahwa kenaikan jabatan berupa promosi yang mempunyai implikasi penambahan tugas/tanggungjawab dan peningkatan status serta perbaikan penghasilan ini bukanlah suatu proses tanpa sebab. Sebab diberikannya promosi adalah buah dari prestasi kerja sehingga dipandang oleh pimpinan organisasi layak mengemban jabatan yang lebih tinggi. Jika promosi terkait dengan proses kenaikan status jabatan, maka mutasi adalah proses perpindahan tempat atau tugas dari seorang pegawai atau karyawan dalam status atau tingkat jabatan yang sama. Proses mutasi ini sering dikenal juga dengan kebijakan rotasi. Kebijakan rotasi ini merupakan kegiatan rutin dari organisasi untuk menghindarkan karyawan atau pegawai dari kejenuhan dan meningkatkan efektifitas dan efisiensi pekerjaan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Daryanto dan Abdullah bahwa mutasi merupakan suatu kegiatan rutin dari suatu perusahaan untuk dapat melaksanakan prinsip “the right man on the right place”. Dengan demikian mutasi yang dijalankan oleh perusahaan agar pekerjaan dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien.119
117
Daryanto dan Abdullah, Pengantar Ilmu Manajemen dan Komunikasi, Jakarta, Prestasi Pustaka, 2013, Hlm.41 118 Danang Sunyoto, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta, CAPS, 2013, Hlm.124 119 Daryanto dan Abdullah, Op Cit, Hlm.41 179
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 177-190
2. Pola Promosi dan Mutasi Kepaniteraan pada Lingkungan Peradilan Agama Pengaturan promosi jabatan Kepaniteraan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama hanya terkait dengan revisi atau perubahan persyaratan dari 2 (dua) jabatan yaitu Panitera Pengadilan Agama dan Wakil Panitera Panitera Pengadilan Tinggi Agama, sementara untuk selainnya yaitu Panitera Pengganti Pengadilan Agama, Panitera Muda Pengadilan Agama, Wakil Panitera Pengadilan Agama, Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama, Panitera Muda Pengadilan Tinggi Agama dan Panitera Pengadilan Tinggi Agama tidak dilakukan revisi persyaratan sehingga mengacu pada Undang-undang No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tersebut di dalam peraturan perundang-undangan, pengaturan pola promosi kepaniteraan peradilan Agama yang ada masih terbatas pada syarat administratif saja dan masih belum tercantumkan kriteria teknisnya. Selain itu ketentuan mutasi kepaniteraan Peradilan Agama juga belum diatur sepenuhnya oleh peraturan perundang-undangan di atas. Oleh karenanya untuk mengisi kekosongan hukum maka diterbitkanlah SK Dirjen Badilag No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013 Pola Karir Tenaga Teknis Peradilan Agama ini disusun dengan maksud untuk memberikan arah dan kepastian dalam pengembangan karir Tenaga Teknis Peradilan Agama,120 selain itu juga ditujukan untuk dijadikan sebagai pedoman bagi Pejabat Pembina Kepegawaian di lingkungan Peradilan Agama dalam melakukan pembinaan karir bagi Tenaga Teknis Peradilan Agama.121 Ruang lingkup Pola Karir Tenaga Teknis Peradilan Agama yang diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama ini meliputi formasi dan pola karir Hakim dan tenaga Kepaniteraan.122 Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama ini mengatur mengenai prinsip-prinsip, persyaratan dan prosedur promosi dan mutasi pejabat kepaniteraan peradilan Agama. Diantara prinsipprinsip promosi bagi pejabat kepaniteraan yang diatur adalah: Pertama, promosi dan mutasi adalah bagian dari pembinaan karir bagi Pegawai Negeri Sipil. Dalam pelaksanannya mengacu pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa pelaksanaan mutasi promosi harus didasarkan perpaduan 2 (dua) sistem yaitu sistem prestasi kerja (merit sistem) dan sistem karier (senioritas) yang menitikberatkan pada sistem prestasi kerja, sehingga tidak menutup kemungkinan pejabat kepaniteraan yang lebih senior dari sisi usia, pangkat atau jabatan tapi minim prestasi, kurang mempunyai kompetensi dan integritas, tidak akan mendapat kesempatan promosi, sebaliknya pejabat kepaniteraan yang berprestasi dan mempunyai kompetensi dan integritas, meskipun yang bersangkutan lebih yunior dari sisi usia, pangkat dan jabatan akan lebih diutamakan dalam promosi; Kedua, mutasi promosi dilaksanakan secara berjenjang, sesuai dengan tingkat kesetaraan eselon jabatan kepaniteraan dan juga mempertimbangkan besaran tunjangan jabatan dan tunjangan khusus kinerja (remunerasi) jabatan dimaksud; dan Ketiga, promosi adalah merupakan penghargaan (reward) bagi pejabat kepaniteraan yang berprestasi dan berkinerja tinggi. Oleh sebab itu dalam mutasi promosi diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup dan kinerja pejabat kepaniteraan yang dipromosikan tersebut. 123 Secara umum persyaratan promosi bagi pejabat kepaniteraan menurut Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama ini diantaranya: (a). Sehat jasmani dan rohani; (b). Mempunyai pengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dalam jabatan terakhir; (c). Memenuhi kualifikasi dan tingkat pendidikan sebagaimana ketentuan Undang120
Lampiran Surat Keputusan Dirjen Badan Peradilan Agama No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013 Tentang Pedoman Pola Karir Tenaga Teknis Peradilan Agama Hlm.1 121 Ibid, Hlm.2 122 Ibid, Hlm.3 123 Ibid, Hlm.28-29 180
Harmonisasi Pola Promosi dan Mutasi Kepaniteraan di Peradilan Umum dan Agama, Budi Suhariyanto
Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama; (d). Mempunyai pangkat minimal 1 (satu) tingkat di bawah pangkat terendah sesuai dengan tingkat eselon jabatan yang akan diisi; (e). Semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; (f). Lulus uji fit and proper test/assesment jabatan, khusus untuk Panitera Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah Aceh dan PA/M.Sy Kelas I.A; (g). Sebagai akibat mutasi pindah sekaligus promosi tersebut tidak menjadi penghalang dalam hal kenaikan pangkat bagi pejabat kepaniteraan yang dipromosi tersebut dan bagi bawahannya; (h). Mendapat persetujuan dari Tim Baperjakat Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah Aceh; dan (e). Tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil tingkat sedang maupun berat dalam 1 (satu) tahun terakhir.124 Prosedur mutasi jabatan (tour of duty) atau pindah wilayah kerja (tour of area) dalam rangka promosi menurut Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama ini diantaranya: (a). Tim Baperjakat Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah Aceh menginventarisir jabatanjabatan kepaniteraan yang kosong atau yang beberapa saat lagi akan kosong pada Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah Aceh dan/atau Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah masing-masing; (b). Tim Baperjakat Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah Aceh menyiapkan masingmasing untuk setiap pos jabatan adalah 3 (tiga) orang nama calon Pejabat Kepaniteraan yang sudah memenuhi persyaratan dan ketentuan perundangan yang berlaku; (c). Tim Baperjakat Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah Aceh membahas rencana mutasi promosi; (d). Ketua Tim Baperjakat Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah Aceh menyampaikan hasil keputusan rapat Baperjakat kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah Aceh untuk diproses lebih lanjut; (e). Hasil Tim Baperjakat Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah Aceh dengan persetujuan Ketua Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah Aceh, mengusulkan rencana mutasi promosi terhadap pejabat kepaniteraan di wilayahnya kepada Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama MA RI; (f). Tim Baperjakat Mutasi Panitera dan Jurusita – Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama melakukan rapat pembahasan terhadap usul mutasi promosi Pejabat Kepaniteraan yang diusulkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah Aceh, dengan menghasilkan rekomendasi, yakni menyetujui atau menolak usulan tersebut; dan (g). Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama c.q. Direktorat Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama memproses surat keputusan mutasi pindah berdasarkan rekomendasi/persetujuan Tim Baperjakat Mutasi Panitera dan Jurusita Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama.125 Terkait dengan mutasi jabatan kepaniteraan menurut Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama ini diantaranya: (a). Kebijakan mutasi pindah bagi pejabat Kepaniteraan adalah bagian dari pembinaan karier PNS khususnya bagi PNS yang menduduki jabatan struktural atau yang disetarakan; (b). Mutasi jabatan (tour of duty) dan/atau mutasi pindah tugas (tour of area) bagi Pejabat Kepaniteraan dilaksanakan secara teratur antara 2 (dua) sampai dengan 5 (lima) tahun sejak yang bersangkutan diangkat dalam jabatan kepaniteraan; (c). Untuk menjamin pembinaan karier yang sehat, mutasi jabatan dalam rangka penyegaran tugas dapat dilakukan sepanjang antar jabatan kepaniteraan yang mempunyai tingkat eselon atau grade yang sama; (d). Pada prinsipnya tidak diperbolehkan mutasi jabatan dari tingkat eselon atau grade yang lebih tinggi ke dalam eselon atau grade yang lebih rendah, kecuali perpindahan jabatan dalam rangka penjatuhan hukuman disiplin atau pindah tugas atas permohonan sendiri; (e). Mutasi jabatan (tour of duty) sekaligus mutasi pindah tugas (tour of area) dalam rangka penyegaran tugas dan kepentingan dinas bagi pejabat Kepaniteraan pada prinsipnya hanya terbatas pada wilayah masing-masing Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah Aceh, kecuali bagi Panitera dan 124 125
Ibid, Hlm.30 Ibid, Hlm.30-32 181
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 177-190
Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah Aceh; (f). Mutasi jabatan (tour of duty) sekaligus mutasi pindah tugas (tour of area) antar wilayah Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah Aceh bagi pejabat Kepaniteraan dimungkinkan jika dalam rangka mutasi promosi; dan (g). Perpindahan wilayah kerja (tour of area) atas permohonan sendiri bagi Pejabat Kepaniteraan harus memperhatikan formasi tempat tugas asal serta tempat tugas yang akan dituju.126 3.
Tinjauan Umum Pola Promosi dan Mutasi Kepaniteraan pada Lingkungan Peradilan Umum Secara normatif, pengaturan promosi jabatan Kepaniteraan pada Peradilan Umum diatur dalam beberapa Undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum dan Undang-undang No.8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. Pengaturan promosi jabatan Kepaniteraan yang diatur dalam Undang-Undang tersebut hanya terkait dengan revisi atau perubahan persyaratan dari 3 (tiga) jabatan yaitu Panitera Pengadilan Negeri, Panitera Pengadilan Tinggi dan Wakil Panitera Pengadilan Tinggi, sementara untuk selainnya yaitu Panitera Pengganti Pengadilan Negeri, Panitera Muda Pengadilan Negeri, Wakil Panitera Pengadilan Negeri, Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi, dan Panitera Muda Pengadilan Tinggi tidak dilakukan revisi persyaratan sehingga mengacu pada Undang-Undang No.8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tersebut di dalam peraturan perundang-undangan, pengaturan pola promosi kepaniteraan Peradilan Umum yang ada masih terbatas pada syarat administratif saja dan masih belum tercantumkan kriteria teknisnya. Selain itu ketentuan mutasi kepaniteraan Peradilan Umum juga belum diatur sepenuhnya oleh peraturan perundang-undangan di atas. Oleh karenanya untuk mengisi kekosongan hukum, Ketua Mahkamah Agung menerbitkan SK KMA No: 140/KMA/SK/VIII/2013. Keputusan Ketua Mahkamah Agung ini merupakan upaya penyempurnaan pola promosi dan mutasi kepaniteraan yang telah ada saat ini dirasa kurang memenuhi harapan yang sesuai dengan semangat reformasi birokrasi oleh karena itu dipandang perlu dilakukan penyempurnaan, dengan tujuan agar proses promosi dan mutasi terlaksana secara terencana, terarah, objektif, transparan, berkeadilan, terukur dan konsisten untuk mewujudkan pembinaan karir kepaniteraan.127 Beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar promosi dan mutasi kepaniteraan menurut Keputusan Ketua Mahkamah Agung ini diantaranya: Pertama, untuk mengisi kekosongan jabatan Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti dan Jurusita dan penyegaran bagi yang bersangkutan agar proses pelaksanaan tugas pokok dalam memberikan pelayanan hukum dan keadilan kepada masyarakat dapat berjalan dengan optimal; Kedua, untuk memberikan tambahan pengalaman regional maupun nasional secara bertahap di lingkungan pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi; dan Ketiga, untuk mewujudkan pembinaan karier panitera, wakil panitera, panitera muda,panitera pengganti dan jurusita yang terencana, bertahap, terarah dan objektif sehingga akan berimplikasi positif terhadap kinerja kepaniteraan dalam menjalankan tugasnya.128 Adapun batasan pelaksanaan promosi dan mutasi kepaniteraan menurut Keputusan Ketua Mahkamah Agung ini diantaranya: (a). Promosi dan mutasi Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti dan Jurusita sesuai dengan kompetensi serta mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki; (b). Panitera, Wakil 126
Ibid, Hlm.41-43 Lampiran Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 140/KMA/SK/VIII/2013 Tentang Penyempurnaan Pola Promosi dan Mutasi Kepaniteraan di Lingkungan Badan Peradilan Umum. Hlm.1 128 Ibid, Hlm.3 127
182
Harmonisasi Pola Promosi dan Mutasi Kepaniteraan di Peradilan Umum dan Agama, Budi Suhariyanto
Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti dan Jurusita mempunyai kesempatan yang sama dalam hal pelaksanaan promosi dan mutasi jabatan, yang didasarkan atas penilaian integritas, prestasi kerja, pengalaman pendidikan dan pelatihan; (c). Promosi dan mutasi dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan lembaga; (d). Memberikan penghargaan bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, panitera pengganti dan jurusita yang berprestasi dan berintegritas; dan (e). Memberikan hukuman bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, panitera pengganti dan jurusita yang melakukan pelanggaran kode etik, pelanggaran disiplin maupun terlibat tindak pidana.129 Secara umum persyaratan promosi dan mutasi menurut Keputusan Ketua Mahkamah Agung ini diantaranya: (a). Mutasi panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti dan Jurusita pada Pengadilan Negeri dilakukan apabila yang bersangkutan telah menjalankan tugas sekurang-kurangnya 4 tahun di pengadilan yang bersangkutan; (b). Promosi dan mutasi Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti tingkat Pertama maupun tingkat Banding yang bertugas di daerah terpencil dapat dilakukan apabila yang bersangkutan telah menjalankan tugas sekurang-kurangnya 3 tahun di pengadilan yang bersangkutan; (c). Syarat-syarat di atas diberikan pengecualian berdasarkan alasan khusus untuk kepentingan lembaga, direktur jenderal badan peradilan umum berwenang memutuskan dalam rapat tim promosi mutasi tanpa menunggu atau mempertimbangkan adanya usulan dari baperjakat pengadilan tinggi; (d). Pejabat struktural kesekretariatan pengadilan tinggi dan pengadilan negeri yang akan diusulkan untuk menduduki jabatan sebagai panitera pengganti maka pejabat tersebut terlebih dahulu harus melepas jabatan structural; (e). Pejabata panitera, wakil panitera, panitera muda, panitera pengganti, jurusita yang akan dipromosikan perlu diperhatikan senioritas dan kompetensi; (f). Pejabat kepaniteraan yang pernah dijatuhi hukuman disiplin dapat dipromosikan kembali menduduki jabatan kepaniteraan.130 4.
Perbedaan Pola Promosi dan Mutasi Kepaniteraan pada Lingkungan Peradilan Umum dan Agama Jika diperbandingkan pola promosi dan mutasi kepaniteraan pada lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung khususnya antara Agama dan Umum, nampak beberapa perbedaan. Perbedaan pengaturan tersebut diantaranya: No. Perbedaan Lingkungan Peradilan Lingkungan Peradilan Agama Pengaturan Umum (SK Dirjen Badilag No. Pola Promosi (SK KMA Nomor: 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013) dan Mutasi 140/KMA/SK/VIII/2013) Kepaniteraan 1. Kedudukan atau Surat Keputusan Ketua Surat Keputusan Direktur level peraturan Mahkamah Agung Jenderal Badan Peradilan Agama 2. Subjek Pejabat Kepaniteraan dan Juru Sita. Hakim, Kepaniteraan dan Juru yang diatur Untuk Hakim pada Sita Lingkungan Peradilan Umum diatur dalam SK KMA yang lain 3. Syarat Pada setiap jabatan Uji kompetensi Teknologi penguasaan kepaniteraan (Panitera Informasi diadakan saat akan Teknologi Pengganti, Panitera Muda, menduduki jabatan Panitera Informasi dalam Wakil Panitera dan Panitera Pengganti Pengadilan 129 130
Ibid. Ibid, Hlm.4 183
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 177-190
3.
184
promosi jabatan kepaniteraan
baik di Pengadilan Negeri Kelas II, IB, dan IA maupun Pengadilan Tinggi) disyaratkan harus “memahami Teknologi Informasi”. Dapat ditafsirkan bahwa terdapat uji kompetensi/penguasaan Teknologi Informasi dalam setiap promosi kenaikan tingkat jabatan.
Persyaratan promosi bagi yang pernah mendapatkan hukuman disiplin dalam konteks penetapan batas waktu pemulihan dari sanksi hukuman disiplin
Panitera Muda Pengadilan Negeri Klas II, Wakil Panitera Pengadilan Negeri Klas II, Panitera Pengadilan Negeri Klas II, Panitera Muda Pengadilan Negeri Klas IB, Wakil Panitera Pengadilan Negeri Klas IB, Panitera Pengadilan Negeri Klas IB, Panitera Muda Pengadilan Negeri Klas IA, Wakil Panitera Pengadilan Negeri Klas IA, Panitera Pengadilan Negeri Klas IA, Panitera Muda Pengadilan Negeri Klas I.AK, Wakil Panitera Pengadilan Negeri Klas I.AK, Panitera Pengadilan Negeri Klas I.AK, Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi, Panitera Muda Pengadilan Tinggi, Wakil Panitera Pengadilan Tinggi dan Panitera Pengadilan Tinggi disyaratkan “tidak pernah mendapatkan hukuman disiplin tingkat sedang atau berat sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun terakhir”. Sedangkan untuk Panitera Pengganti pengadilan Negeri Klas II, Panitera Pengganti pengadilan Negeri Klas IB, Panitera
Agama/Mahkamah Syar’iyah Kelas II, sedangkan untuk syarat menduduki jabatan Panitera Muda, Wakil Panitera dan Panitera baik di Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Kelas II, IB, dan IA maupun Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah Aceh), penguasaan atau pemahaman Teknologi informasi tidak disyaratkan secara normatif (eksplisit) Panitera Pengganti, Panitera Muda, Wakil Panitera dan Panitera baik di Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Kelas II, IB, dan IA maupun Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah Aceh, untuk persyaratan promosi jabatan kepaniteraan disyaratkan “tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin PNS tingkat berat dan sedang dalam 2 (dua) tahun terakhir serta ringan dalam 1 (satu) tahun terakhir”.
Harmonisasi Pola Promosi dan Mutasi Kepaniteraan di Peradilan Umum dan Agama, Budi Suhariyanto
Pengganti pengadilan Negeri Klas IA, dan Panitera Pengganti pengadilan Negeri Klas I.AK disyaratkan “tidak pernah mendapat Hukuman Disiplin”. 4.
Persyaratan batas minimum dapat diusulkan mutasi
Mengatur batas minimal “untuk dapat mengajukan usul mutasi setelah memiliki masa kerja 4 (empat) tahun” baik sebagai Panitera Pengganti, Panitera Muda, Wakil Panitera dan Panitera baik di Pengadilan Negeri Kelas II, IB, dan IA maupun Pengadilan Tinggi.
Mensyaratkan untuk dapat mutasi pindah jabatan (tour of duty) atau pindah wilayah kerja (tour of area) dalam rangka penyegaran tugas disyaratkan telah bertugas atau menjabat pada suatu jabatan kepaniteraan sekurangkurangnya 2 (dua) tahun dalam jabatan terakhir.
5.
Urgensi Harmonisasi Pola Promosi dan Mutasi Kepaniteraan Lingkungan Peradilan Umum dan Agama Sebagaimana yang ada saat ini, untuk pola promosi dan mutasi kepaniteraan pada lingkungan peradilan umum diatur oleh sebuah surat keputusan Ketua Mahkamah Agung (SK KMA No: 140/KMA/SK/VIII/2013) sementara itu untuk pola promosi dan mutasi kepaniteraan pada lingkungan peradilan Agama diatur oleh sebuah surat keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama (SK Dirjen Badilag No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013). Ketidaksamaan atau ketidaksetaraan kedudukan level pengaturan pola promosi dan mutasi kepaniteraan masing-masing lingkungan peradilan ini mengesankan masih adanya persepsi inkonsistensi kebijakan satu atap Mahkamah Agung. Seyogyanya kebijakan satu atap ini tidak hanya sebatas restrukturisasi organisasi namun juga diharapakan tiada terjadi perbedaan kebijakan terkait manajemen aparatur peradilan antar lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Oleh karena itu pengaturan pola promosi dan mutasi kepaniteraan pada lingkungan peradilan Agama yang saat ini berupa SK Dirjen Peradilan Agama seyogyanya diubah menjadi SK Ketua Mahkamah Agung, sehingga selevel dengan pengaturan pola promosi dan mutasi kepaniteraan pada lingkungan peradilan Umum. Selanjutnya muncul pertanyaan mana sebaiknya SK KMA nya disatukan saja ataukah masing-masing memiliki SK KMA sendiri-sendiri? Menurut penulis sebaiknya masing-masing lingkungan peradilan memiliki sendiri Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung dengan alasan dasar untuk menjaga ke”khas”an atau ke”unik”an. Selain itu jika disinkronkan dengan keberadaan perundang-undangan yang mengatur masing-masing lingkungan yang notabene berbeda atau tidak jadi satu antara umum, Agama dan Tata Usaha Negara, maka akan lebih baik juga dibedakan agar jelas silsilahnya. Pun juga masalah teknis dilapangan, disamping keunikan masing-masing lingkungan juga adalah masalah proporsionalitas eksistensi yang berbeda misalnya Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara memiliki jumlah dan klasifikasi pengadilan yang berbeda dengan umum dan agama. Demikian juga antara Lingkungan Peradilan Agama dengan Umum, meskipun memiliki banyak kesamaan dari segi kuantitas dan klasifikasi pengadilan tetapi mempunyai syarat kompetensi yang berbeda tentunya (bilamana di masa yang akan datang diterapkan standart atau profil kompetensi jabatan kepaniteraan).
185
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 177-190
Adapun terkait dengan perbedaan subyek yang diatur, jika lingkungan peradilan umum mengatur secara terpisah antara pola promosi dan mutasi Hakim (SK KMA No: 139/KMA/SK/VII/2013 tentang Pembaruan Pola Promosi dan Mutasi Hakim Karir dan Pola Pembinaan Hakim Ad Hoc pada Peradilan-peradilan Khusus di Lingkungan Peradilan Umum) dengan kepaniteraan (SK KMA No: 140/KMA/SK/VIII/2013), sedangkan pada lingkungan peradilan Agama dijadikan satu pengaturannya antara Hakim dengan kepaniteraan SK Dirjen Badilag No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013. Terhadap realitas perbedaan tersebut, demi menjaga konsistensi kebijakan satu atap perlu ada singkronisasi yaitu dengan kebijakan pemisahan pengaturan antara Hakim dengan kepaniteraan. Selain itu mengingat masing-masing meskipun sesama aparatur peradilan namun dalam optik merrit system, kompetensi keduanya berbeda. Sehingga bilamana di masa yang akan datang, diberlakukan profil kompetensi jabatan sebagai kebijakan turunan sistem promosi dan mutasi aparatur peradilan maka pemisahan pengaturan pola promosi dan mutasi Hakim dengan Kepaniteraan ini adalah sangat penting dipertimbangkan. Selain masalah singkronisasi level peraturan, terdapat problem disharmoni beberapa ketentuan pengaturan promosi dan mutasi kepaniteraan antara lingkungan peradilan Umum dengan Agama. Perbedaaan substantif tersebut merupakan implikasi dari adanya kebijakan masing-masing lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang notabene memiliki pengaturan pola promosi dan mutasi kepaniteraan sendiri-sendiri. Beberapa perbedaan substantif yang perlu diperhatikan secara seksama dan bila perlu juga ditinjau ulang untuk dilakukan harmonisasi pengaturan pola promosi dan mutasi kepaniteraan dalam konteks konsistensi kebijakan satu atap, diantaranya yaitu: Pertama, Persyaratan penguasaan Teknologi Informasi. Sebagaimana diketahui bahwa untuk bekerja dan berkarir dalam jabatan kepaniteraan, sangatlah penting dan dibutuhkan kemampuan serta pemahaman tentang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi untuk menunujang pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pekerjaannya secara efektif dan efisien. Pada setiap jabatan kepaniteraan dalam lingkungan peradilan umum (Panitera Pengganti, Panitera Muda, Wakil Panitera dan Panitera baik di Pengadilan Negeri Kelas II, IB, dan IA maupun Pengadilan Tinggi) disyaratkan oleh SK KMA No: 140/KMA/SK/VIII/2013 harus “memahami Teknologi Informasi”. Sementara itu pada kepaniteraan lingkungan peradilan Agama tidak disyaratkan penguasaan Teknologi Informasi secara explisit sebagaimana lingkungan peradilan umum pada setiap tingkat jabatan kepaniteraan. Secara teknis, SK Dirjen Badilag No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013 mengatur tahapan penyelenggaraan pola karir kepaniteraan yang terdiri atas rekrutmen, seleksi atau penyaringan dan pendidikan dan pelatihan. Jadi penyelenggaraan uji kompetensi penguasaan Teknologi Informasi diadakan saat akan menduduki jabatan Panitera Pengganti Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Kelas II, sedangkan untuk syarat menduduki jabatan selain Panitera Pengganti (Panitera Muda, Wakil Panitera dan Panitera baik di Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Kelas II, IB, dan IA maupun Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah Aceh), penguasaan atau pemahaman Teknologi informasi tidak disyaratkan secara normatif (eksplisit). Sebaiknya syarat penguasaan Teknologi Informasi ini dijadikan prasyarat utama dalam setiap level jabatan kepaniteraan, karena secara teknis masing-masing jabatan kepaniteraan menuntut adanya kemampuan yang lebih dalam secara linier atau secara berjenjang memiliki kualifikasi kompetensi penguasaan dan pemahaman Teknologi Informasi yang berbeda. Misalnya jika seorang Panitera Pengganti memiliki kemampuan mengolah data berupa transkrip atau recording sidang sampai dengan meng-uploaud-nya ke website pengadilan. Maka untuk jenjang jabatan kepaniteraan diatas harus memiliki kemampuan lebih dari itu misalnya mengontrol website pengadilan dan menambahkan variasi isi dan konten yang didalamnya dalam rangka transparansi informasi pengadilan kepada publik. Oleh karenanya sangat penting tes penguasaan teknologi informasi dalam setiap tahap atau jenjang promosi jabatan kepaniteraan dengan kualifikasi kemampuan kompetensi yang berjenjang
186
Harmonisasi Pola Promosi dan Mutasi Kepaniteraan di Peradilan Umum dan Agama, Budi Suhariyanto
pula. Dengan demikian kepaniteraan dapat mendukung Pimpinan Pengadilan dalam mengelola pengadilan dalam melayani masyarakat pencari keadilan secara optimal. Kedua, Persyaratan promosi bagi yang pernah mendapatkan hukuman disiplin, batas waktu pemulihan dari sanksi hukuman disiplin berbeda, antara SK KMA No: 140/KMA/SK/VIII/2013 dengan SK Dirjen Badilag No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013. Pada promosi jabatan kepaniteraan lingkungan peradilan umum khususnya Panitera Muda Pengadilan Negeri Klas II, Wakil Panitera Pengadilan Negeri Klas II, Panitera Pengadilan Negeri Klas II, Panitera Muda Pengadilan Negeri Klas IB, Wakil Panitera Pengadilan Negeri Klas IB, Panitera Pengadilan Negeri Klas IB, Panitera Muda Pengadilan Negeri Klas IA, Wakil Panitera Pengadilan Negeri Klas IA, Panitera Pengadilan Negeri Klas IA, Panitera Muda Pengadilan Negeri Klas I.AK, Wakil Panitera Pengadilan Negeri Klas I.AK, Panitera Pengadilan Negeri Klas I.AK, Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi, Panitera Muda Pengadilan Tinggi, Wakil Panitera Pengadilan Tinggi dan Panitera Pengadilan Tinggi disyaratkan “tidak pernah mendapatkan hukuman disiplin tingkat sedang atau berat sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun terakhir”. Sedangkan untuk Panitera Pengganti pengadilan Negeri Klas II, Panitera Pengganti pengadilan Negeri Klas IB, Panitera Pengganti pengadilan Negeri Klas IA, dan Panitera Pengganti pengadilan Negeri Klas I.AK disyaratkan “tidak pernah mendapat Hukuman Disiplin”. Sementara itu pada lingkungan peradilan Agama baik terhadap Panitera Pengganti, Panitera Muda, Wakil Panitera dan Panitera baik di Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Kelas II, IB, dan IA maupun Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah Aceh, untuk persyaratan promosi jabatan kepaniteraan disyaratkan “tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin PNS tingkat berat dan sedang dalam 2 (dua) tahun terakhir serta ringan dalam 1 (satu) tahun terakhir”. Perbedaan substantif mengenai lamanya recovery atau pemulihan dari suatu hukuman disiplin untuk dapat dianggap layak dipromosikan dalam jabatan kepaniteraan yang lebih tinggi antar lingkungan peradilan perlu ditata ulang bersama dan dilakukan harmonisasi. Akan jadi sebuah kontradiksi jika dalam sebuah institusi yang telah menegaskan diri dalam satu payung bersama yaitu “satu atap” memiliki jenis ketentuan penting terkait penilaian integritas kelayakan promosi jabatan kepaniteraan yang berbeda. Apalagi satuan kerja Badan Pengawasan yang menjadi pusat sentral penilaian integritas notabenenya sama. Jadi sangat diharapkan perbedaan substantif ini dapat diharmonisasikan, apakah disesuaikan dengan SK KMA No: 140/KMA/SK/VIII/2013 ataukah SK Dirjen Badilag No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013? Koordinasi antar pemegang kebijakan di masingmasing Dirjen penting untuk dilaksanakan dengan dipandu oleh Badan Pengawasan untuk mempertimbangkan klausul manakah yang akan lebih relevan dan objektif dan akuntabel. Peneliti berpendapat bahwa lamanya recovery atau pemulihan dari suatu hukuman disiplin untuk dapat dianggap layak dipromosikan dalam jabatan kepaniteraan yang lebih tinggi ini mengikuti Lingkungan Peradilan Umum yaitu “tidak pernah mendapatkan hukuman disiplin tingkat sedang atau berat sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun terakhir”. Alasan dasarnya diantaranya, merupakan suatu keniscayaan bahwa setiap manusia khususnya pejabat kepaniteraan berpeluang melakukan kesalahan atau kekhilafan dan terhadapnya diganjarkan suatu hukuman disiplin baik sedang maupun berat karena hal ini sudah ada dalam ketentuan pokok-pokok kepegawaian sebagai bentuk penjeraan dan edukasi bagi yang bersangkutan. Merupakan sebuah keniscayaan pula bahwa setiap manusia khususnya pejabat kepaniteraan yang telah atau pernah diberikan sanksi hukuman disiplin dapat menginsyafi kesalahannya dan bertaubat untuk tidak mengulanginya lagi sehingga menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan kembali bekerja secara produktif. Bilamana pekerjaannya produktif dan berprestasi maka sangat layak untuk dapat diberikan hak-hak berupa promosi jabatan ketika masa pemulihan atau recovery yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan ketentuan yang berlaku. Menurut asumsi Peneliti, waktu pemulihan 4 (empat) tahun adalah lebih proporsional mengingat institusi peradilan adalah institusi yang mengedepankan integritas dan keadilan sehingga agak lebih lama recovery-nya akan lebih baik bagi visi Peradilan Yang Agung. Sekaligus juga dapat meminimalisir perasaan iri atau 187
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 177-190
kecewa dari warga kepaniteraan lainnya yang lebih bersih namun belum mendapatkan akses yang lebih utama dari oknum kepaniteraan yang telah diganjar hukuman disiplin. Ketiga, perbedaan dalam mensyaratkan batasan minimum dapat diusulkan mutasi. SK KMA No: 140/KMA/SK/VIII/2013 mengatur batas minimal “untuk dapat mengajukan usul mutasi setelah memiliki masa kerja 4 (empat) tahun”baik sebagai Panitera Pengganti, Panitera Muda, Wakil Panitera dan Panitera baik di Pengadilan Negeri Kelas II, IB, dan IA maupun Pengadilan Tinggi. Sementara itu SK Dirjen Badilag No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013 mensyaratkan untuk dapat mutasi pindah jabatan (tour of duty) atau pindah wilayah kerja (tour of area) dalam rangka penyegaran tugas disyaratkan telah bertugas atau menjabat pada suatu jabatan kepaniteraan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dalam jabatan terakhir. Perbedaan mengenai lamanya waktu minimal untuk dapat diusulkan mutasi jabatan kepaniteraan antara lingkungan peradilan Umum dan Agama ini perlu diharmonisasikan. Akan jadi sebuah kontradiksi jika dalam sebuah institusi yang telah menegaskan diri dalam satu payung bersama yaitu “satu atap” memiliki jenis ketentuan penting terkait mengenai lamanya waktu minimal untuk dapat diusulkan mutasi jabatan yang berbeda. Jadi sangat diharapkan perbedaan substantif ini dapat diharmonisasikan, apakah disesuaikan dengan SK KMA No: 140/KMA/SK/VIII/2013 ataukah SK Dirjen Badilag No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013? Dalam konteks inilah koordinasi antar pemegang kebijakan di masing-masing Dirjen penting untuk dilaksanakan. Peneliti berpendapat bahwa akan lebih baik jika diharmonisasikan dengan yang ditentukan SK KMA No: 140/KMA/SK/VIII/2013 yang mengatur batas minimal “untuk dapat mengajukan usul mutasi setelah memiliki masa kerja 4 (empat) tahun”. Alasannya adalah waktu 4 (empat) tahun sebagai syarat minimum untuk dapat mengajukan mutasi merupakan ukuran yang proporsional baik bagi sistem produktivitas kerja organisasi dan efisiensi anggaran negara. Dengan minimum batas 4 (empat) tahun cukup logis, pekerjaan dan tugastugasnya bisa nampak lebih tertata dan secara estafet tidak menimbulkan permasalahan baru bagi yang menggantikannya mengingat proses adaptasi pekerjaan patut dipertimbangkan secara memadai. Demikian juga implikasi bagi kuota anggaran untuk mutasi dari negara akan semakin cepat terkuras pada proses rotasi, kecuali jika beban biaya mutasi yang notabene berasal dari usulan pribadi atau individu tersebut, anggaran dan sarana pra sarana mutasinya ditanggung secara pribadi oleh pejabat kepaniteraan yang mengusulkan. D. Kesimpulan Terdapat perbedaan pola promosi dan mutasi kepaniteraan pada lingkungan peradilan Umum (SK KMA No: 140/KMA/SK/VIII/2013) dan Agama (SK Dirjen Badilag No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/ XI/2013) diantaranya: a). Kedudukan atau level pengaturan (antara SK KMA vs SK Dirjen Badilag); b). Subyek pejabat yang diatur (Hakim vs kepaniteraan); c). Persyaratan penguasaan Teknologi Informasi dalam promosi jabatan kepaniteraan (setiap level promosi jabatan vs tertentu); d). Persyaratan promosi bagi yang pernah mendapatkan hukuman disiplin dalam konteks penetapan batas waktu pemulihan dari sanksi hukuman disiplin (4 tahun vs 2 tahun); e). Persyaratan batas minimum dapat diusulkan mutasi (4 tahun vs 2 tahun). Menyikapi perbedaan tersebut, maka upaya harmonisasi pengaturan pola promosi dan mutasi kepaniteraan antar lingkungan peradilan (khususnya Lingkungan Peradilan Umum dengan Agama) di bawah Mahkamah Agung adalah cukup urgen. Perlu dipertimbangkan beberapa upaya yaitu: (1). Sinkronisasi kedudukan peraturan atau jenis ketentuan yang mengatur tentang pola promosi dan mutasi kepaniteraan pada lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung (setara dalam SK KMA); (2). Kebijakan pemisahan pengaturan pola promosi dan mutasi Hakim dengan kepaniteraan dalam SK KMA yang berbeda; (3). Harmonisasi ketentuan dalam pengaturan promosi dan mutasi kepaniteraan, misalnya persyaratan penguasaan Teknologi Informasipada setiap level promosi jabatan, persyaratan promosi bagi yang pernah mendapatkan hukuman disiplin terkait batas waktu pemulihan dari sanksi 188
Harmonisasi Pola Promosi dan Mutasi Kepaniteraan di Peradilan Umum dan Agama, Budi Suhariyanto
hukuman disiplin (recovery) yaitu 4 tahun dan persyaratan batasan minimum dapat diusulkan mutasi yaitu 4 tahun.
Daftar Pustaka Daryanto dan Abdullah, Pengantar Ilmu Manajemen dan Komunikasi, Jakarta, Prestasi Pustaka, 2013 Danang Sunyoto, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta, CAPS, 2013 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 140/KMA/SK/VIII/2013 Tentang Penyempurnaan Pola Promosi dan Mutasi Kepaniteraan di Lingkungan Badan Peradilan Umum. Keputusan Dirjen Badan Peradilan Agama No. 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013 Tentang Pedoman Pola Karir Tenaga Teknis Peradilan Agama
189
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 177-190
190
TESTIMONIUM DE AUDITU TELAAH PERSPEKTIF HUKUM ACARA PERDATA DAN FIQH Asmuni Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Jl. Kaliurang Km 14.5, Besi, Sleman, Yogyakarta
[email protected]
Abstrak Saksi adalah orang atau pihak yang mendengar dan mengetahui sendiri apa yang menjadi kesaksiannya. Akan tetapi, ada juga saksi yang disebut testimonium de auditu yaitu kesaksian dari pendengaran orang lain, artinya keterangan yang didapat dari orang lain atau tidak diketahui secara langsung. Kesaksian ini menurut fiqh disebut dengan Syahādah al Istifāḍah dan ada pula yang menyebutnya dengan al-Syahâdah bi al-Tasâmu’i. Secara teoritis, testimonium de auditu menjadi masalah karena berseberangan dengan makna saksi yang sebenarnya. Oleh karena itu dalam penerapannya terutama di kalangan para fuqaha’ terjadi silang pendapat. Berangkat dari silang pendapat ini, permasalahan kekuatan kesaksian testimoni dibahas dalam dua perspektif yaitu dalam hukum acara perdata dan fiqh. Dari telaah eksploratif ini ditemukan bahwa testimonium de auditu tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti langsung dalam persidangan, akan tetapi kesaksian de auditu dapat dikonstruksikan oleh hakim sebagai bahan persangkaan oleh hakim. Sedangkan Syahādah al Istifāḍah dalam hukum acara perdata Islam memiliki kekuatan dan bahkan kekuatannya bersifat sempurna pada masalah-masalah tertentu semisal kepemilikan dan penetapan keturunan. Bahkan para fuqahâ’ lebih jauh menyatakan bahwa kekuatan kesaksian testimonium ini lebih kuat dari dua orang saksi yang memenuhi syarat formil dan syarat materiil. Kata kunci: Testimonium de Auditu, Hukum Acara, Fiqh Abstract The witness is the person or party who hear and know themselves what the testimony. However, there are also witnesses called testimonium de auditu namely hearing the testimony of others, meaning that the information obtained from another person or not known directly. This testimony is called the Shahadah according fiqh al Istifāḍah and some are calling it the bi al-Shahada al-Tasâmu'i. Theoretically, testimonium de auditu be a problem as opposed to the actual meaning of the witness. Therefore in practice, especially among the jurists' disagreement occurs. Departing from this disagreement, the problems discussed in the testimony of the strength of the testimony of two perspectives: in civil law and jurisprudence. From this exploratory study found that testimonium de auditu can not be used as direct evidence in the trial, but a testimony de auditu can be constructed by a judge as an allegation by a judge. While Shahada al Istifāḍah in Islamic civil law has the power and strength are perfect even on specific issues such as ownership and determination of offspring. Even the jurists' further states that the strength of this testimonium stronger testimony of two witnesses who qualify formal and material requirements. Keywords: Testimonium de Auditu, Procedural Law, Fiqh
A. Pendahuluan Hukum pembuktian merupakan bagian yang sangat rumit dan komplek dalam praktek perkara peradilan. Menurut Mukti Arto pembuktian bermakna mempertimbangkan secara logis kebenaran 191
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 191-202
suatu fakta/peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut hukum pembuktian yang berlaku.131 Selain itu, yang dimaksud dengan pembuktian adalah meyakini hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.132 Pembuktian tentunya berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi sebuah peristiwa masa lalu (Presiding Event) sebagai suatu kebenaran, meskipun kebenaran yang didapat dalam proses peradilan perdata bukanlah kebenaran yang bersifat absolut tetapi hanya kebenaran yang bersifat relatif. Tujuan dari sebuah pembuktian ialah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi. Dengan demikian, hakim dapat memutuskan suatu perkara dengan benar dan adil. Bagian dari unsur terpenting dalam pembuktian adalah alat bukti. Pihak-pihak yang bersengketa diwajibkan mengajukan alat bukti beserta argumen-argumen pendukung. Dakwaan penggugat tidak akan diterima tanpa adanya bukti yang mendukung atau membenarkannya. Keharusan bukti dalam dakwaan tersebut karena pendakwa dalam posisi lemah, sedang terdakwa dalam posisi yang kuat yang pada asalnya lepas dari tanggungan atau tanggung jawab, dengan adanya bukti menjadi kuatlah posisi terdakwa. Yahya harahap mendefinisikan alat bukti (Berwijsmiddel) sebagai segala hal yang dapat memberikan keterangan dan penjelasan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasar keterangan dan penjelasan yang diberikan alat-alat bukti tersebut, hakim kemudian melakukan penilaian (appraisal), pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.133 Alat bukti sangat beragam jenis. Satu diantaranya adalah alat bukti saksi. Pada dasarnya, Kesaksian dalam hukum acara perdata sudah disebutkan dalam pasal 171 HIR (Herziene Inlandsche Reglement).134 Pembuktian dengan saksi pada dasarnya diperlukan jika pembuktian dengan bukti tertulis (surat atau tulisan) tidak cukup kuat menerangkan pokok permasalahan yang ada.135 Dalam hukum acara perdata Islam kesaksian disebut dengan “Syahādah” sedangkan dalam hukum acara positif disebut dengan testimonium. Idealnya saksi adalah orang yang secara langsung mendengar, melihat dan menyaksikan fakta/peristiwa yang sedang diperkarakan di pengadilan. Oleh karenanya, menjadi seorang saksi bukanlah perkara mudah, harus ada syarat dan ketentuan sebagai ukuran seorang dapat menjadi saksi. Keterangan yang diberikan oleh saksi dipersidangan harus bersumber atau berdasarkan pada pengetahuan yang jelas, mengetahui secara pasti fakta ataupun peristiwa dalam persaksiannya. Artinya, kesaksian tersebut berdasarkan pada penglihatan atau pendengaran secara langsung dari peristiwa ataupun kejadian yang diperkarakan oleh para pihak. Namun pada kenyataannya, mencari seorang saksi yang dapat dipertanggungjawabkan kesaksiannya dalam arti orang yang melihat, mendengar dan menyaksikan secara langsung suatu peristiwa bukanlah hal mudah. Oleh sebab itu, adakalanya saksi yang diajukan oleh pihak yang bersengketa adalah seorang yang tidak mengetahui atau menyaksikan suatu sengketa secara langsung atau lazim disebut testimonium de auditu. Hal ini tentunya berada diluar kategori kesaksian yang dibebankan dalam pasal 171 HIR dan pasal 1907 KUHPerdata, di mana kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya. 136
131
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) hlm. 139. Baca juga Muhammad Na’îm Yâsîn, Nazariyat al-Da’wâ Baina al-Syarî’ah al-Islâmîyyah wa Qânûn al-Murafa’ât al-Madanîyyah wa al-Tijârîyyah, (Beirut: Dâr al-Nafâis, 1419 H/1999M). 132 R.Subekti, Hukum Pembuktian, cet 12 (Jakarta: Pradnya Paramita, 1999) hlm. 1 133 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan) cet. 6, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 554. 134 Riduan Syahrani, Himpunan Peraturan Hukum Acara perdata Indonesia, (Bandung: Alumni, 1991) hlm. 212-213. 135 M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2013), hlm. 62 136 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, hlm. 661 192
Testimonium de Auditu Telaah Perspektif Hukum Acara Perdata dan Fiqh
Kesaksian yang bersifat demikian tentu akan memicu sebuah permasalahan dalam kesaksiannya. Testimonium de auditu sebagai alat bukti saksi di persidangan telah diperdebatkan oleh kalangan akademisi maupun praktisi hukum. Permasalahan ini sudah ada sejak dulu dan bukanlah hal baru, bahkan dalam hukum Islam pun, masalah kesaksian testimonium de auditu ini telah dikenal dan diatur. Saksi testimonium de auditu dalam hukum Islam disebut dengan saksi Istifāḍah saksi bi altasâmu’i. Ibnu qayyim al jauzîyyah menyebutkan kesaksian Istifāḍah adalah berasal dari Khabar Istifāḍah, dengan penjelasan berita yang tersebar yaitu berita yang mencapai derajat antara mutawatir dan ahad (berita orang perorang) atau berita yang sudah menyebar dan menjadi pembicaraan dikalangan orang. Berita yang tersebar ini merupakan satu jenis berita yang boleh dijadikan sandaran persaksian.137 Sungguh pun bukanlah persoalan baru, melihat perkembangan realita sengketa saat ini, tentunya kesaksian de auditu memberikan ruang bagi upaya hakim dalam mengungkap suatu sengketa. Pada titik ini, hukum acara Islam telah memberikan penjelasan bagaimana fungsi kesaksian de auditu atau syahâdah istifâḍah dalam suatu persidangan. Tulisan ini, berupaya menjelaskan perdebatan ahli hukum Islam terkait persoalan ini, untuk kemudian menkontruksinya bagi kepentingan saat ini.138 B. 1.
Pembuktian dengan Testimoni de Auditu dalam Hukum Positif Pengertian testimonium de auditu Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, testimonium berarti penyaksian.139 Sedangkan dalam istilahnya testimony adalah pernyataan langsung dari saksi yang disampaikan di muka persidangan dan menyampaikan keterangan sebagai bukti tentang kebenaran dari apa yang dituntut. Kesaksian secara langsung (direct testimony) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pernyataan saksi yang menjelaskan kenyataan apa yang ia rasakan, fakta-fakta yang relevan atau peristiwa yang terjadi. Dengan kata lain, kesaksian yang berhubungan dengan fakta-fakta yang dimiliki oleh saksi atau tuntutan perseorangan atau hal-hal yang diketahui pertama kalinya (first hand knowledge). Lawan dari kesaksian secara langsung adalah kesaksian tidak langsung yang diperoleh dari hasil pendengaran (hearsay).140 Henry Campbell Black mendefenisikan de audity sebagai “Evidence not proceeding from the personal knowledge of the withness, but from the mere repetition of what he has heard others say”.141 Artinya, kesaksian de auditu adalah kesaksian yang diperoleh bukan dari pengetahuan, pengamatan, dan pengalaman sendiri, melainkan dari apa yang didengarnya dari orang lain. Oleh sebab itu, keterangan de auditu tidak berkualitas sebagai kesaksian, karena pada dasarnya kesaksian yang disampaikan adalah apa yang didengar dari pihak lain, atau dapat juga berupa kesimpulan yang didengarnya dari orang lain. Saksi Istifāḍah adalah saksi de auditu dalam hukum Islam. akan tetapi konsep Istifāḍah dalam islam lebih kompleks daripada konsep de auditu. Kabar Istifāḍah tidak hanya dikategorikan sebagai informasi yang diberikan oleh seseorang dari apa yang didengarnya dari orang lain, melainkan hal tersebut telah menjadi pengetahuan umum (telah tersebar di masyarakat) yang dalam Islam dikategorikan berada diantara derajat Mutawattir dan ahad. Jadi, saksi Istifāḍah dalam Islam dalam hal tertentu dapat digunakan sebagai alat bukti karena derajat kebenaran informasinya yang lebih tinggi dari sekedar informasi de auditu, lihat. Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah. Al Ṭuruq al Ḥukmiyyah fi al- Siyāsah Al Syar’iyyah, alih bahasa Adnan Qohar dan Anshoruddin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 344 138 Tulisan ini juga sangat terbantukan oleh “Kekuatan Testimonium de auditu dalam hukum Acara Perdata Positif dan Hukum Acara Perdata Islam (Studi Komparatif)” skripsi yang ditulis oleh Muhamad Subekti di Prodi Hukum Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia tahun akademik 2014-2015. 139 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap, (Semarang: Aneka Ilmu, tt) hlm. 820, HukumTim penyusun Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm. 1050 140 Harith Suleiman Faruqi, Law Dictionary English-Arabic, (Beirut: Libraire Du LIBAN, 1997), hlm. 624. 141 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary Fourth Edition, hlm. 852 137
193
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 191-202
Menurut Sudikno Mertokusumo, Testimonium de auditu adalah keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga. Dicontohkan pihak ketiga mengetahui secara langsung bahwa kedua belah pihak yang kemudian dalam pokok perkara disebut sebagai penggugat dan tergugat pernah mengadakan perjanjian hutang piutang. Kemudian pihak ketiga tersebut menceritakan pengetahuannya kepada saksi, dipersidangan saksi memberikan kesaksian bahwa ia mendengar dari pihak ketiga dan memberikan keterangan yang diperolehnya dari pihak ketiga tersebut.142 Berkaitan dengan hal ini Subekti membahasakannya dengan “Kesaksian dari Pendengaran”.143 Dalam tradisi hukum Common Law bentuk kesaksian yang demikian disebut dengan Hearsey Evidence. Hearsey Evidence dalam bahasa yang umum hearsay digunakan untuk menggambarkan pernyataan, kabar angin biasa yang belum tentu benar. Dalam hukum pembuktian, kata hearsay digunakan dalam pengertian yang luas, yaitu dapat diartikan sebagai setiap pernyataan, selain yang disampaikan oleh saksi dengan cara menyampaikan kesaksiannya di persidangan, berdasarkan hasil pendengaran dari pihak lain, baik di bawah sumpah atau janji dan dapat disampaikan secara lisan, tertulis atau dengan tanda dan isyarat, yang disampaikan untuk membuktikan kebenaran pokok perkara. Pada dasarnya tidak jauh berbeda perbedaan prinsip pengertian testimonium de auditu dengan hearsey evidence dalam common law, di mana sama-sama memiliki definisi yang mengandung pengertian berupa keterangan yang diberikan seseorang yang berisikan pernyataan orang lain baik secara lisan, tertulis maupun dengan cara lain. Dalam common law terdapat beberapa aturan atau ketentuan yang bersifat eksepsional yang membolehkan dan menerima kesaksian dari pendengaran ini sebagai alat bukti saksi (Testimonial evidence). Begitu pun sebaliknya, jika ketentuan eksepsional ini tidak ada, maka Hearsey Evidence dilarang secara absolut, meskipun keterangan yang diberikan benar-benar dipercaya.144 2.
Kekuatan testimonium de auditu Secara umum, testimonium de auditu ditolak sebagai alat bukti. Menolak atau tidak menerima saksi de auditu sebagai alat bukti merupakan aturan umum (general rules) yang masih dianut para praktisi sampai saat ini. Hal ini dilatarbelakangi oleh aturan yang digariskan dalam pasal 171 ayat (1) HIR dan pasal 1907 KUH Perdata. Dalam pasal 171 HIR disebutkan bahwa: “(1) Tiap-tiap kesaksian harus disertai sebab-sebab pengetahuan saksi itu, (2) Pendapat-pendapat atau persangkaan yang istimewa yang terjadi sebagai hasil pemikiran, bukan saksi”.145 Menurut Subekti, saksi de auditu sebagai keterangan yang didasarkan pada pandangan dari orang lain tentang sesuatu, tidak ada harganya sama sekali.146 Sudikno Mertokusumo juga berpendapat pada hal yang sama, pada umumnya kesaksian de auditu tidak diperkenankan karena keterangannya tidak berhubungan dengan peristiwa yang dialami sendiri. Dengan demikian, maka saksi de auditu bukan merupakan alat bukti dan tidak perlu dipertimbangkan. Saksi yang telah memenuhi syarat formil dan materiil berarti ia memiliki kekuatan nilai pembuktian yang bebas (Vrijbewijs Kracht). Dalam arti, hakim memiliki kebebasan untuk menilai kesaksian itu sesuai dengan nuraninya, hakim tidak terikat dengan keterangan saksi karena hakim dapat saja menyingkirkan keterangan saksi asal dipertimbangkan dengan cukup berdasarkan argumentasi yang kuat dan bahkan hakim dapat pula menerima keterangan meskipun saksi berkualitas testimonium de auditu asal ada dasar eksepsional untuk menerimanya. Dibalik penolakan saksi de auditu sebagai alat bukti, ia memiliki referensi yang cukup penting cakupannya sebagai pelengkap dari alat bukti, seperti halnya sebagai pelengkap keterangan saksi lain 142
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2009) hlm. 172 R.Subekti, Hukum Pembuktian, cet 12, hlm. 42 144 Raymond Emson, Evidence, (New York: MacMillan, 1999), hlm. 126, lihat juga Yahya Harahap, hlm. 661. 145 Riduan Syahrani, Himpunan Peraturan Hukum Acara Perdata.. hlm. 212-213 146 R.Subekti, Hukum Pembuktian, cet 12, hlm. 42 143
194
Testimonium de Auditu Telaah Perspektif Hukum Acara Perdata dan Fiqh
yang memenuhi syarat formil dan materiil sehingga memenuhi batas minimal seorang saksi bukanlah saksi. Di sisi lain, ketika beban pembuktian melalui saksi harus dihadirkan sementara saksi utama dalam perkara tersebut tidak ada, maka testimonium de auditu dapat diterima sebagai alat bukti yang berdiri sendiri mencapai batas minimal pembuktian jika saksi de auditu tersebut terdiri dari beberapa orang atau banyak orang. Selain itu, testimonium de auditu dalam persidangan dapat dikonstruksikan dalam persidangan untuk memperkuat bukti yang masih kurang dan mengungkapkan fakta baru yang berkaitan dengan jenis perkara yang dipersidangakan. Dalam hal kekuatannya, testimonium de auditu dihadirkan untuk melengkapi asas unus testis nullus testis. saksi harus lebih dari satu orang dan batas minimalnya adalah dua orang, ketika kurang, maka harus dilengkapi. unus testis nullus testis (one witness is no witness) dapat kita jumpai dalam hukum acara di peradilan umum maupun agama. Yang dimaksudkan dengan seorang saksi bukanlah saksi adalah dalam berperkara, jika hanya mendasarkan alat bukti satu orang saksi saja maka hakim tidak dapat memutuskan. Akan tetapi, asas unus testis nullus testis ini, sering disalah artikan oleh sejumlah orang, karena jika asas demikian benar-benar diterapkan secara lurus dan tegak maka akan berdampak pada sulitnya pembuktian sebuah kasus baik pidana maupun perdata. Padahal, keterangan saksi bisa diperkuat dengan kesaksian yang lain dan menjadi sebuah alat bukti yang sah.147 Perihal keterkaitan testimonium de auditu sebagai alat bukti untuk melengkapi batas minimal unus testis nullus testis sudah disebutkan dalam putusan Mahkamah Agung No. 818 K/Sip/1983 pada tanggal 13 Agustus 1984. Dalam putusan ini dijelaskan bahwa testimonium de auditu sebagai keterangan yang didapat dari orang lain dapat dipergunakan untuk menguatkan keterangan saksi biasa. Kasus dalam putusan perkara tersebut dijelaskan saksi yang langsung ikut dalam persoalan hukum tersebut (jual-beli) hanya saksi pertama, sedangkan saksi kedua dan ketiga hanya berkualitas sebagai de auditu, tetapi meskipun demikian ternyata keterangan yang mereka sampaikan dipersidangan adalah langsung berasal tergugat itu sendiri. Maka berdasarkan fakta yang demikian, MahkamahAgung berpendapat keterangan yang mereka sampaikan tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti untuk menguatkan keterangan seorang saksi.148 Subekti mengatakan bahwa saksi de auditu sebagai keterangan yang didasarkan pada pandangan dari orang lain tentang sesuatu tidak ada harganya sama sekali. Akan tetapi, menurut beliau bahwa hakim tidak serta merta menolak dan tidak dilarang untuk memeriksanya dalam sidang di pengadilan dan beliau membenarkan secara eksepsional menerima keterangan saksi de auditu dengan persyaratan tertentu.149 a.
Diakui secara eksepsional Testimonium de auditu tidak mutlak ditolak dalam persidangan, walau kesaksian yang diberikan oleh saksi tersebut tidak bernilai sebagai alat bukti. Sehingga, dalam hal tertentu perlu diatur keadaan yang bersifat eksepsional yang membenarkan atau mengakui testimonium de auditu sebagai alat bukti. Salah satu alasan eksepsional yang dapat dibenarkan dalam common law, misalkan saja apabila saksi utama yang mengalami atau melihat peristiwa secara langsung meninggal dunia dan sebelum meninggal saksi utama tersebut telah terlebih dahulu menceritakan peristiwa yang sedang diperkarakan kepada orang lain. Kemudian peristiwa yang dipermasalahkan tidak dapat terungkap tanpa penjelasan dari seseorang yang mengetahuinya, maka dalam persoalan/kasus yang demikian testimonium de auditu dapat diterima secara eksepsional sebagai alat bukti. 147
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fa0d5e3591ae/iunus-testis-nullus-testis-i-kerap-disalahartikan, diakses pada 13 Agustus 2014 148 http://badilag.net/data/ARTIKEL/MENIMBANG%20ULANG%20TESTIMONIUM%20DE%20AUDITU%2 0SBG%20ALAT%20BUKTI%20(Pendekatan%20Praktik%20Yurisprudensi%20Dalam%20Sistem%20Civil%20 Law).pdf, diakses pada 13 Agustus 2014 149 R.Subekti, Hukum Pembuktian, cet 12 hlm. 42-43 195
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 191-202
Hakikatnya penerimaan testimonium de auditu sebagai alat bukti secara eksepsional telah dibenarkan yurisprudensi Peradilan Indonesia. Salah satu diantaranya adalah putusan Mahkamah Agung tanggal 25-11-1975, No. 239 K/Sip/1973.150 Berbunyi : Bahwa keterangan saksi-saksi pada umumnya adalah menurut pesan, tetapi haruslah pula dipertimbangkan bahwa hampir semua kejadian atau perbuatan atau peristiwa hukum yang terjadi dahulu tidak mempunyai surat, tetapi adalah berdasarkan pesan turun-temurun, sedang saksi-saksi yang berlangsung menghadapi perbuatan hukum itu dulunya tidak ada lagi yang diharapkan hidup sekarang, sehingga dengan demikian pesan turun-temurun itulah yang dapat diharapkan sebagai keterangan dan menurut pengetahuan Hakim Majelis sendiri pesan-pesan seperti ini oleh masyarakat Batak umumnya dianggap berlaku dan benar; dalam pada itu harus pula diperhatikan tentang dari siapa pesan itu diterima dan orang yang memberi keterangan bahwa dialah yang menerima pesan tersebut; oleh karena itu dari sudut inilah dinilai keterangan saksi-saksi tersebut; Memperhatikan secara cermat putusan tersebut bahwa Mahkamah Agung membenarkan testimonium de auditu secara eksepsional sebagai alat bukti yang memenuhi syarat materiil, apabila saksi memberikan keterangan dengan sumpah. Ada beberapa faktor yang dijadikan dasar membenarkan testimonium de auditu sebagai alat bukti, yaitu: pertama, saksi langsung yang terlibat dalam peristiwa atau perbuatan hukum yang diperkarakan tidak ada lagi karena semua sudah meninggal. Kedua, peristiwa atau perbuatan hukum itu tidak dapat dituliskan dalam bentuk surat atau bukti lain yang dapat dibaca atau dibuka kembali, seperti halnya rekaman, dokumen dan lain sebagainya. Ketiga, keterangan yang diberikan saksi de auditu tersebut merupakan pesan dari pelaku atau orang yang terlihat dalam peristiwa atau perbuatan hukum yang disengketakan dan dikemukakan kembali dalam persidangan seperti apa yang didengarkannya.151 Dalam persoalan testimonium de auditu, yang menjadi permasalahan pokok hakikatnya bukanlah diterima atau tidaknya (admissibility) sebagai alat bukti. Namun ada hal yang lebih pokok yaitu sejauh manakah nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya. Dalam artian bahwa tidak begitu penting memberdebatkan apakah testimonium de auditu dapat diakui atau tidaknya sebagai alat bukti, oleh karenanya bukanlah saatnya lagi secara otomatis menolak dan mengatakannya tidak sah sebagai alat bukti. Seharusnya, diterima terlebih dahulu kemudian dipertimbangkan apakah ada dasar eksepsional untuk menerimanya. Jika ada, baru dipertimbangkan sejauh mana nilai kekuatan kesaksian yang melekat pada keterangan saksi de auditu tersebut. b.
Dikonstruksi sebagai persangkaan Maksud dikonstruksi sebagai persangkaan di sini adalah bahwa persaksian tersebut tidak mengesampingkan keseluruhan aturan umum (general ruler) yang melarang menerima kesaksian testimonium de auditu sebagai alat bukti. Yang lebih diutamakan adalah analisa hakim pada kesaksian de auditu yang kemudian mengkonstruksi kesaksiannya sebagai alat bukti persangkaan, dan dilakukan atas dasar pertimbangan yang objektif dan rasional. Dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 11 November 2011, No. 308 K/Sip/1959 disebutkan bahwa: "Testimonium de auditu" tidak dapat digunakan sebagai bukti langsung, tetapi penggunaan kesaksian yang bersangkutan sebagai persangkaan yang dari persangkaan itu dibuktikan sesuatu, tidaklah dilarang.152 Dalam putusan tersebut sangat tegas disebutkan bahwa testiomium de auditu tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti langsung, tetapi kesaksiannya dapat diterapkan sebagai alat bukti persangkaan (vermoeden), dan persangkaan itu dapat dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu. 150
http://www.pn-sleman.go.id/index.php/51-acara-perdata/acara-perdata/147-persaksian, diakses pada 10 Juni 2014 151 M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia.. hlm. 155 152 http://www.pn-sleman.go.id/index.php/51-acara-perdata/acara-perdata/147-persaksian, diakses pada 14 Juni 2014 196
Testimonium de Auditu Telaah Perspektif Hukum Acara Perdata dan Fiqh
Pada dasarnya putusan ini berpegang pada aturan umum yang melarang kesaksian de auditu sebagai alat bukri. Kemudian, untuk menghindari larangan itu, kesaksian itu tidak dikategorikan sebagai alat bukti saksi, tetapi dikonstruksi menjadi alat bukti persangkaaan. Hal ini mungkin menjadi tanda tanya, akan tetapi tindakan hukum yang demikian adalah dibenarkan. Berdasarkan pada pasal 1922 KUH Perdata, pasal 173 HIR, dimana hakim diberikan kewenangan untuk mempertimbangkan suatu apakah dapat diwujudkan sebagai alat bukti persangkaan, asal hal itu dilakukan dengan hati-hati dan seksama. Dalam penerapan kesaksian de auditu sebagai persangkaan, hakim harus cermat dan teliti. Dalam hal ini, perlu dipedomani ketentuan sebagaimana disebutkan dalam pasal 173 HIR yang menyebutkan bahwa : “persangkaan-persangkaan saja yang tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan tertentu, hanya boleh diperhatikan hakim dalam menjatuhkan keputusannya, jika persangkaan itu teliti, tertentu, dan satu sama lain ada persesuaian”. Alat bukti persangkaan diatur dalam pasal 173 HIR, dan hanya terdiri dari satu pasal saja. Sehingga dapat dikatakan sangatlah ringkas, dan tidak meliputi segala hal yang esensi mengenai penerapan alat bukti tersebut. Yahya Harahap menguraikan makna dan proses persangkaan antara lain; Pertama, persangkaan yang bertitik tolak pada fakta-fakta yang diketahui, kemudian ditarik kesimpulan kearah suatu yang kongkrit kepastiannya yang sebelumnya tidak diketahui akan faktanya. Kedua, dari fakta itu kemudian ditarik kesimpulan yang mendekati kepastian tentang terbuktinya fakta lain yang sebelumnya tidak diketahui.153 Persangkaan dalam pasal 1915 KUHPerdata terbagi atas dua jenis yaitu persangkaan menurut hukum atau undang-undang (Presumption of law, rechts vermoeden) dan persangkaan hakim (presumption of fact, feitelijke vermoeden).154 Adapun persangkaan hakim adalah persangkaan yang didasarkan pada kenyataan atau fakta yang bersumber dari fakta yang terbukti dalam persidangan. Hal ini dilakukan oleh hakim karena undang-undang sendiri memberi kewenangan kepada hakim berupa kebebasan menyusun persangkaan.155 Kekuatan bukti persangkaan oleh hakim adalah bebas (vrij bewijskracht), dalam arti bebas kepada hakim bagaimana menyimpulkan persangkaannya tersebut. akan tetapi akan menjadi kuat dan sempurna kekuatan pembuktiannya dan mengikat jika tidak ada bukti lain yang mengalahkan bukti persangkaan yang dilakukan oleh hakim tersebut. Mengenai hal tersebut, maka testimonium de auditu secara tidak langsung masuk ke dalam bagian dari bukti persangkaan yang tidak berdasarkan pada undang-undang.156 Demikian karena peran hakim yang lebih dominan dalam menelaah apa yang sudah dijelaskan oleh seorang saksi de auditu guna melengkapi alat bukti perkara dalam persidangan. Adapun kekuatan alat bukti persangkaan hakim ini pada dasarnya adalah bebas (vrij bewijskracht). Jika persangkaan hakim tersebut tidak dilawan atau dilumpuhkan oleh bukti yang lain, maka kekuatan pembuktiannya menjadi sempurna dan bersifat mengikat.157
153
Yahya harahap, Hukum Acara Perdata, hlm. 684 M Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdara, hlm. 68 155 Yahya harahap, Hukum Acara Perdata, hlm. 696 156 Ibid, hlm. 665 157 Perlu diketahui bahwa, secara yuridis de auditu bukanlah alat bukti saksi, akan tetapi dikonstruksikan sebagai alat bukti persangkaan (vermoeden) dan ini sudah dibenarkan oleh undang-undang, dimana hakim mempunyai kewenangan untuk mempertimbangkannya. kemudian ketika muncul pertanyaan apakah sah persangkaan yang berasal dari de auditu (yang secara yuridis bukanlah alat bukti saksi)? Sehubungan dengan hal itu, tentu ada hal yang harus diperhatikan bahwa agar konstruksi alat bukti persangkaan yang diambil dari seorang de auditu tidak melanggar undang-undang maka landasannya tidak boleh semata-mata berdasarkan kesaksian tersebut, tetapi dibantu oleh alat bukti lain. 154
197
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 191-202
C.
Testimonium de Auditu dalam Hukum Acara Islam Testimonium de auditu dalam hukum acara Islam pada umumnya memiliki definisi yang tidak jauh berbeda dengan yang didefinisikan dalam hukum acara perdata. Dalam hukum acara Islam, testimonium de auditu biasa disebut dengan Istilah Syahādah al Istifāḍah. Syahādah diartikan yakni kesaksian, dan Istifāḍah menurut bahasa ialah tersebar atau tersiar luas.158 Secara istilah ialah kesaksian dari orang yang tidak mengetahui secara langsung, tidak mengalami dan mendengar sendiri dengan terjadinya perbuatan hukum. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa Syahādah al istifāḍah adalah kesaksian dari pihak ketiga dengan berdasar pada cerita orang lain, yang berita atau cerita tersebut sudah tersebar atau tersiar luas. Jadi secara umum kesaksian ini ialah kesaksian yang berasal dari isu yang tersebar luas dikalangan masyarakat. Ibnu Qoyyim al jauziyyah mengartikan Syahādah al istifāḍah sebagai sebuah reputasi atau kemasyhuran yang diperbincangkan banyak orang, karena reputasi itu memang benar-benar masyhur.159 Oleh karena pesan kesaksian itu dari berita yang sudah tersebar dan mashyur sifatnya, Ibnu Qayyim Al jauziyyah menyebut kesaksian Syahādah al istifāḍah dengan istilah khabar istifāḍah (berita tersebar). Khabar dalam arti disini adalah berita yang sifatnya bukan pada berita hasil karangan. Menurut Sayyid Muhammad khabar berarti berita yang itu kebalikan dari kata Insya yang berarti mengarang.160 Mengenai persoalan kabar atau berita tersebut, para ulama berbeda pendapat. Kebanyakan ulama ushul dan kalam telah membagi khabar dalam garis besarnya kepada dua, yaitu khabar ahad dan khabar mutawatir.161 Akan tetapi sebagian ulama membagi kepada tiga seperti halnya hanafiyah, yaitu Khabar ahad, khabar mutawatir, dan khabar istifāḍah (Masyhur).162 Untuk kepentingan tulisan ini, berikut dijelaskan yang dimaksud dengan khabar istifadah. Menurut bahasa Istifāḍah berarti yang tersebar, yang telah tersiar. Sedangkan menurut istilah adalah : ُس َوا ٌء ََُليَ ْنقِصُمِ ْنُث َ ََلثَة َ ُُِ َمايَك ْونُمِ ِنُا ْبتِدَائِه٬ُاَلم ْست َ ِفيْض “Mustafīḍ adalah khabar yang dari permulaannya sampai kesudahannya bersamaan tidak kurang dari tiga orang.”163 Menurut Ibnu Qoyyim Al Jauziyah khabar Istifāḍah adalah berita yang sudah menyebar dan menjadi pembicaraan dikalangan kebanyakan orang.164 Khabar istifāḍah berada diantara khabar ahad dan khabar mutawatir. Berita tersebar ini, merupakan satu jenis berita yang boleh menjadi sandaran persaksian. Ibnu Taimiyah pun membenarkan hal itu, bahwa berita yang tersebar adalah termasuk dalam bukti-bukti yang nyata.165 Dalam persoalan kekuatan khabar Istifāḍah ini, meskipun terdapat perbedaan pendapat, namun sesungguhnya tidak ada perbedaan yang fundamental. Silang pendapat mereka berada pada kisaran kasus apa saja yang dapat diberlakukan kesaksian istifâḍah terhadapnya, misalnya apakah pada kepemilikan, hutang piutang, wakaf, nasab dan lainnya.166 Artinya fuqaha’ Muhammad Rawâ Qal’ajy dan Hamid Sodiq Qunaibi, Mu’jam Lugat al-Fuqahâ’ ‘Arabî Inklîzi, (Beirut: Dâr al-Nafâ’is, 1988), hlm. 63. Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir, ditashihkan oleh Ali Ma’shum dan Zainal Abidin Munawwir, cet 14, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1082 159 Syahâdah Al-Istifāḍah Dalam Sengketa Perwakafan, oleh: Abd. Manaf (Ketua Pengadilan Agama Jakarta Utara) www.badilag.net (diakses pada, 10 Juli 2014) 160 Sayyid Muhammad alawi maliki, Al Manhalu Al Laṭīfu Fi Uṣūli Al Hadīṣi Al Syarīfi, , alih bahasa Adnan qohar, Ilmu Ushul hadis, cet.2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 46 161 Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirāyatul Hadiṡ, cet. 5, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm. 56 162 Ibid, hlm.56. Lihat juga; Ibnu Qoyyim al Jauziyyah. Al Ṭuruq al Ḥukmiyyah fi al- Siyāsah Al Syar’iyyah, hlm. 344 163 Ibid, hlm. 69 164 Ibnu Qoyyim al Jauziyyah. Al Ṭuruq al Ḥukmiyyah fi al- Siyāsah Al Syar’iyyah, hlm. 344 165 Ibid, hlm. 345 166 Mengenai masalah tersebut lihat: Syihâb al-Dîn Ibn Abi al-Dam, Kitâb adab al-Qadâ’ (al-Durar alManzûmât fi al-Aqdiyati wa al-Hukûmât, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyyah, 1407H/1987 M), hlm. 261 dst. 158
198
Testimonium de Auditu Telaah Perspektif Hukum Acara Perdata dan Fiqh
sepakat bahwa berita yang sudah tersebar merupakan satu kekuatan hukum acara dalam meniadakan kecurangan terhadap saksi dan hakim, dan ia lebih kuat nilai pembuktiannya dari kesaksian saksi dua orang laki-laki yang diterima kesaksiannya. Kekuatan testimonium de auditu (Syahādah Istifāḍah) dalam hukum acara Islam. Saksi de auditu (Istifāḍah), khusus dalam hukum peradilan Islam lebih banyak digunakan dalam bentuk perkara yang bersifat perkara permohonan (Voluntair), sedangkan dalam bentuk perkara gugatan (contentious) tidak begitu banyak.167 Hampir semua kasus di pengadilan agama dalam perkara contentiousa pembuktiannya sudah didahului oleh alat bukti lain. Misalnya saksi seorang yang mengetahui dan mengalami langsung suatu peristiwa, baru kemudian didukung oleh beberapa orang saksi de auditu, atau alat bukti lain yang sudah ada misalnya pengakuan, kemudian diperkuat oleh beberapa saksi de auditu. Melalui khabar Istifāḍah yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, ia pun mengatakan bahwa hakim boleh memutuskan suatu perkara berdasarkan Syahādah Istifāḍah, karena kesaksian tersebut merupakan bukti yang sangat kuat. Karena kesaksian ini pula sebagai salah satu kiat untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai perbuatan hukum yang disengketakan, sehingga dengan fakta tersebut dapat menepis kemungkinan ada kecurangan baik saksi maupun hakim. Oleh karenanya, Syahādah Istifāḍah lebih kuat nilainya dari kesaksian dua orang laki-laki yang memenuhi syarat formil dan materiil, dalam artian kesaksian saksi dua orang laki-laki yang diterima kesaksiannya.168 akan tetapi kuatnya Syahādah al istifāḍah tentu didukung melalui persyaratan seperti halnya saksi yang sedang memberikan keterangan benar-benar mengetahui berita yang tersebar dimasyarakat yang sudah disepakati akan kebenarannya dan bukan simpang siur beritanya. Para ulama sepakat bahwa dalam persoalan status keperdataan seseorang (nasab al wilādah) dibolehkan menggunakan Syahādah al istifāḍah, akan tetapi mereka tidak konsensus penggunaannya dalam bidang lain. Ulama hanabilah misalnya membolehkan penggunaan Syahādah al istifāḍah dalam bidang lain seperti perkawinan, hak-hak pribadi, wakaf dan kematian, dengan alasan bahwa dalam persoalan tersebut terhalang informasi aktual atau karena sebab-sebab lainnya secara langsung, sehingga jalan satu-satunya adalah menganalogikannya dengan status keperdataan.169 Menurut kalangan mazhab syafi’i bahwa Syahādah al istifāḍah boleh digunakan dalam hal nasab, kelahiran, kematian, kemerdekaan, kesetiaan, perwalian, wakaf, pengunduran diri, niikah, wasiat, kedewasaan, dan hak milik. Selain itu, menurut imam Abu Hanifah, beliau mengatakan bahwa kesaksian melalui istifāḍah dibolehkan dalam lima perkara, yaitu nikah, bersetubuh, nasab, kematian, dan perwalian dalam peradilan170termasuk juga perwakafan seperti disebutkan oleh Ibn Abi al-Dam. Pada dasarnya Mahkamah Agung dalam putusannya telah menggagas Syahādah Al Istifadah dalam bidang perwakafan, dengan mengartikannya sebagai suatu kesaksian dari orang yang tidak mendengar, mengalami sendiri proses terjadinya wakaf suatu benda, akan tetapi orang yang dijadikan sebagai saksi dan orang-orang lain yang jumlahnya banyak hanya mengetahui bahwa barang itu sudah dipakai sejak lama digunakan untuk kepentingan umum yang bersifat keagamaan/ibadah, sedang orang banyak menganggap bahwa benda itu adalah wakaf.171 Selain dalam bidang wakaf, Syahādah Al 1.
167
Dalam perkara perdata, ada dua jenis perkara yaitu contentiousa dan voluntaire. contentiousa ialah jenis perkara yang didalamnya terdapat sengketa atau perselisihan 2 orang atau lebih yang saling berhadapan, misal cerai gugat/talaq. Sedangkan voluntaire adalah kebalikan dari jenis perkara contentiousa, yaitu jenis perkara yang tidak terdapat sengketa didalamnya. Misal pada perkara penetapan ahli waris dll. 168 Ibnu qoyyim al jauziyyah. Al Ṭuruq al Ḥukmiyyah fi al- Siyāsah Al Syar’iyyah, hlm. 345 169 Syahadah Al-Istifāḍah Dalam Sengketa Perwakafan, oleh: Abd. Manaf (Ketua Pengadilan Agama Jakarta Utara) www.badilag.net (diakses pada, 12 Juli 2014). 170 Sayyid Sābiq, Fiqh Sunnah hlm. 361 171 Nomor Putusan: Nomor 281/Pdt.P/2011/PA.Clg, 199
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 191-202
Istifadah memiliki kekuatan yang sempurna dalam hal Isbath pernikahan, dimana pernikahan tersebut dilakukan sebelum berlakunya Undang-undang no 1 tahun 1974.172 Isbath nikah dilakukan karena berkaitan dengan unsur keperdataan yaitu adanya bukti otentik tentang penikahan/perkawinan yang telah dilakukan, hal ini karena pernikahan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah sesuai dengan peraturan yang berlaku sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam. Perihal mengenai Isbaṭ nikah ini boleh diajukan ke Pengadilan Agama yang berkenaan dengan; a. adanya perkawinan dalam penyelesaian perceraian; b. hilangnya akta nikah; c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang no 1. Tahun 1974, dan; e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang no 1 tahun 1974.173 2.
Analisi Komparasi Hukum acara perdata yang sumbernya dimuat dalam pasal-pasal serta hasil pemikiran manusia tentu memiliki perbedaan yang jauh ketika disandingkan dengan hukum acara Islam yang sumbernya adalah Quran, Sunnah dan Ijtihad. Inilah yang kemudian menjadi perbedaan mendasar antara hukum acara perdata dan hukum acara Islam. Namun, jika kita melihat dalam proses beracara di pengadilan, sebagian besar hakim di pengadilan agama sangatlah kurang minatnya dalam mengkaji hukum acara Islam yang tertuang dalam kitab-kitab fiqh klasik maupun kontemporer, khususnya dalam masalah saksi de auditu (Istifāḍah), apalagi melakukan studi perbandingan hukum acara Islam yang sudah menjadi undang-undang dinegara-negara timur tengah seperti mesir, sudan, maroko, dan lainnya.174 Selain itu, mungkin yang menjadi alasan mendasar adalah bahwa hukum acara yang digunakan di pengadilan agama adalah lebih dominan menggunakan hukum acara perdata walaupun pada hakikatnya hukum acara perdata terutama mengenai hukum pembuktian dan alat-alat bukti dalam penerapannya di pengadilan agama tidak boleh mengorbankan hukum materiil Islam. Lebih jauh lagi mengenai testimonium de auditu dan Syahādah al istifāḍah secara definitif tidak jauh berbeda. Jika dikomparasikan antara hukum acara perdata dan hukum acara Islam maka akan ditemui persamaan dan perbedaannya. Secara mendasar, persamaan antara testimonium de auditu dan Syahādah al istifāḍah adalah sama-sama merupakan keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain dan tidak mendengar sendiri sesuatu kejadian atau adanya hal-hal tertentu sebagai perbuatan hukum. Konsep de auditu dalam hukum acara perdata utamanya sebagaimana telah ditentukan dalam HIR tidak lebih komplek seperti konsep al-Istifdlah dalam hukum acara Islam. Demikian karena Syahādah al-istifāḍah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu qayyim khabar istifāḍah tidak hanya dikategorikan sebagai informasi yang diberikan oleh seseorang dari apa yang didengar dan dilihatnya dari orang lain, melainkan hal tersebut menjadi berita yang tersebar dimasyarakat yang dalam islam dikategorikan berada diantara derajat ahad dan mutawatir. Perbedaan testimonium de auditu dan Syahādah al istifāḍah itu terletak pada konsep penggunaannya, adapun diantara perbedaan tersebut adalah: 1. Testimonium de auditu tidaklah memenuhi secara keseluruhan syarat formil dan materiil dari kesaksian, dimana tiap-tiap kesaksian harus disertai sebab-sebab pengetahuan saksi itu. (pasal 171
Lihat:http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/553938aee27591b27087cc191de24062/pdf, Diakses pada: 12 Juli 2014 172 Derajat Syahādah al istifāḍah dan Testimonium de auditu , oleh: Abdul Malik , www.badilag.net , diakses pada 15 Juli 2014 173 Lihat Pasal 7 keseluruhan Kompilasi Hukum Islam 174 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Acara Positif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm 142 200
Testimonium de Auditu Telaah Perspektif Hukum Acara Perdata dan Fiqh
2.
3.
4.
(1) HIR dan pasal 1907 KUHPerdata). Sedangkan Syahādah al istifāḍah lebih kuat nilainya daripada kesaksian dua orang yang memenuhi syarat formil dan materiil. Demikian karena kesaksiannya didapat melalui informasi atau fakta yang akurat, sehingga dalam hal ini menghilangkan kemungkinan berbuat kebogongan. Testimonium de auditu tidak dapat dijadikan alat bukti langsung (direct evidence), akan tetapi ia masuk dalam alat bukti tidak langsung (indirect evidence). Dengan diterimanya melalui alasan eksepsional yang kemudian dikonstruksi sebagai bahan persangkaan (vermoeden). Dimana bukti persangkaan ini menyimpulkan terbuktinya suatu fakta dan peristiwa. Berbeda dengan Syahādah al istifāḍah yang dapat dijadikan sebagai alat bukti langsung, dalam arti sebagai alat bukti yang sah. Testimonium de auditu digunakan dalam beragam jenis hukum acara, baik itu pidana maupun perdata. Sedangkan Syahādah al Istifāḍah hanya digunakan dalam jenis hukum acara perdata saja. Testimonium de auditu pada umumnya tidak diterima sebagai alat bukti, karena ia cacat dalam arti materiil, sebab tidak berhubungan langsung atau menyaksikan peristiwa dengan penglihatan sendiri. Sedangkan Syahādah al istifāḍah dapat diterima dan dijadikan sebagai alat bukti, karena meskipun saksi tidak mengikuti atau menyaksikan peristiwa, akan tetapi berita yang dijadikan dasar pembuktian adalah berita orang yang memang sudah tidak menjadi asing kemudian ketika diceritakan, masyarakat sudah memahami dan mengerti kejadian tersebut. Sehingga, cerita yang dihadirkan memang sudah melekat dan falid.
D.
Penutup Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan beberapa poin penting konsep dan relevansi syahadah istifadah atau testimonium de auditu, sebagai berikut: 1. Testimonium de auditu diterima sebagai alat bukti yang berdiri sendiri mencapai batas minimal pembuktian tanpa memerlukan alat bukti yang lain jika saksi de auditu tersebut terdiri dari beberapa orang. Seperti halnya putusan Mahkamah Agung no 239/K/sip/1973 bahwa keterangan saksi pada umumnya adalah menurut pesan, akan tetapi berdasarkan pesan yang turun temurun. Sebagaimana peristiwa yang sudah lalu atau lampau terkadang saksi utama sudah tidak ada lagi, sehingga pesan turun temurun itu yang kemudian diharapkan oleh hakim untuk setidaknya memberikan gambaran mengenai perkara yang sedang diperkarakan di persidangan. 2. Testimonium de auditu tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti langsung, akan tetapi kesaksian de auditu dapat dikonstruksikan sebagai alat bukti persangkaan (vermoeden), tentunya dengan pertimbangan yang objektif dan rasional yang kemudian persangkaan tersebut dapat dijadikan sebagai dasar untuk membuktikan atau membuka fakta kebenaran. 3. Testimonium de auditu dibenarkan dan digunakan untuk melengkapi batas minimal asas unus testis nullus testis (one witness is no witness). Oleh karenanya, keterangan saksi de auditu tidak otomatis kemudian ditolak dengan berdasar pada pasal 1907 KUHperdata, akan tetapi lebih bijaknya menerima terlebih dahulu dan kemudian mempertimbangakan melalui alasan eksepsional yang kemudian dianalisis kesaksiannnya. 4. Sedangkan Syahādah Al Istifadah yang mempunyai sisi kemiripan dengan testimonium de auditu memiliki kekuatan hukum yang sempurna dalam hal wakaf dan pernikahan yang pernikahan tersebut dilakukan sebelum diterbitkannya undang-undang pernikahan nomor 1 tahun 1974.
201
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014 : 191-202
Daftar Pustaka Arto, A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996 Ibn Abi al-Dam, Syihab al-Din, Kitab adab al-Qada’ (al-Durar al-Manzumat fi al-Aqdiyati wa alHukumat, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1407H/1987 M). Subekti, R. Hukum Pembuktian, Jakarta : Pradnya Paramita, 1999 Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 Syahrani, Riduan, Himpunan Peraturan Hukum Acara perdata Indonesia, Bandung: Alumni, 1991 Asnawi, M. Natsir, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013 Al-Jauziyyah, Ibnu Qoyyim, Al Ṭuruq al Ḥukmiyyah fi al- Siyāsah Al Syar’iyyah, alih bahasa Adnan Qohar dan Anshoruddin , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007 Puspa, Yan Pramadya, Kamus Hukum, (Semarang: Aneka Ilmu, tt) Tim penyusun Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 2, Jakarta: Balai Pustaka, 1999 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary Fourth Edition Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2009 Emson, Raymond, Evidence, New York: MacMillan, 1999 Munawwir, Ahmad Warson, Al Munawwir, ditashihkan oleh Ali Ma’shum dan Zainal Abidin Munawwir, cet 14, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 Maliki, Sayyid Muhammad Alawi, Al Manhalu Al Laṭīfu Fi Uṣūli Al Hadīṣi Al Syarīfi, , alih bahasa Adnan Qohar, Ilmu Ushul hadis, cet.2 Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009 Ash-Shiddieqy, Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirāyatul Hadiṡ, cet. 5, Jakarta: Bulan Bintang, 1981 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Acara Positif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 Qal’aji, Muhammad Rawâs dan Hamid Sodiq Qunaibi, Mu’jam Lugat al-Fuqahâ’ ‘Arabî Inklîzi, (Beirut: Dâr al-Nafâ’is, 1988). Yâsîn, Muhammad Na’îm Yâsîn, Nazariyat al-Da’wâ Baina al-Syarî’ah al-Islâmîyyah wa Qânûn alMurafa’ât al-Madanîyyah wa al-Tijârîyyah, (Beirut: Dâr al-Nafâis), 1419 H/1999 M.
202
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
BIOGRAFI PENULIS Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. adalah Ketua Pengadilan Negeri/Perikanan Klas 1A Khusus Jakarta Utara, Lektor Kepala Fakultas Hukum Universitas Prima Indonesia (Medan), Dosen, Penguji dan Pembimbing Disertasi (Co Promotor) Program Pascasarjana (S2/S3) Ilmu Hukum Universitas Jayabaya (Jakarta), Universitas 17 Agustus 1945 (Jakarta) dan Penguji Tamu Program S3 Universitas Brawijaya (Malang), Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Semarang), Universitas Veteran (Jakarta), Universitas Merdeka (Malang), dan Pusdiklat Mahkamah Agung RI. Menyelesaikan Program S1 (1985) dan S2 (2002) pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, dan Program S3 (2007) dalam waktu 2 (dua) tahun pada Program Doktor Universitas Padjadjaran dengan predikat cumlaude (IPK 3,97). Ketika Mahasiswa aktif sebagai Ketua Senat, Ketua BPM, Redaktur Pers Kampus, Penerima Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dan Mahasiswa Teladan I Fakultas Hukum dan Teladan I Universitas Udayana (1985). Sebagai Hakim Peradilan Umum mempunyai spesifikasi sebagai Hakim Umum, Hakim Niaga, Hakim TIPIKOR, Hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dan Hakim Lingkungan serta pernah melakukan studi banding tentang Sistem Peradilan Pidana, Terorisme dan Hak Kekayaan Intelektual ke Bangkok, Jerman, Perancis dan Spanyol serta mendapat Piagam Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya XX Tahun dari Presiden RI. Kemudian pernah bertugas di Pengadilan Negeri Serui/Papua (1991), Pengadilan Negeri Kandangan (1995), Pengadilan Negeri Bangli (1999), Pengadilan Negeri Denpasar (2000), Pengadilan Negeri/Niaga/HAM/PHI dan TIPIKOR Jakarta Pusat (2004), Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen (2007), Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen (2009), Wakil Ketua Pengadilan Negeri/Perikanan Klas 1A Khusus Jakarta Utara (2011), dan sejak bulan Agustus 2013-sekarang sebagai Ketua Pengadilan Negeri/Perikanan Klas 1A Khusus Jakarta Utara. Disamping menulis Buku Ilmu Hukum juga mempublikasikan tulisan ilmiah tentang hukum pada Majalah Ilmu Hukum Kertha Wicaksana Fakultas Hukum Universitas Warmadewa (Terakreditasi), Jurnal Hukum Yustisia Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (Terakreditasi), Majalah Mahkamah Agung, Majalah Varia Peradilan, Jurnal Hukum dan Peradilan (Puslitbang Mahkamah Agung), serta sebagai Mitra Bestari pada Jurnal Yudisial Komisi Yudisial dan Jurnal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.Buku yang telah ditulisnya dan diterbitkan oleh Penerbit PT Alumni, PT Citra Aditya Bakti, PT Djambatan, CV Mandar Maju, Bayu Media Publising dan Puslitbang Mahkamah Agung RI sebanyak 27 (dua puluh tujuh) buku Hj. Upi Komariah, Lahir Jakarta, 8 Oktober 1955Hakim PA Bandung Pendidikan Strata I Jurusan Muamalah Jinayat IAIN Sunan Gunung Djati Bandung (1981), Strata I Jurusan Hukum Keperdataan Universitas Langlang Buana Bandung (1993), Strata II Jurusan Hukum Islam Universitas Islam Bandung (2005), Strata III Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung (2014) tinggal diJl. Sumber Hegar Raya No. 22 Komplek Sumber Sari Indah Bandun, Karya Tulis: Tinjauan Hukum Islam terhadap Penjualan Kotoran Ternak Ayam di PT. Hy-Band Mulya Cipadung. Karya Tulis Sarjana Muda di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. (1978); Study Komparatif tentang Turut Melakukan (medev legend) dalam Delik Pembunuhan dan kadar Hukumannya Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif. Skripsi di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. (1978); Kedudukan Anak Angkat Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif. Skripsi di Universitas Langlang Buana Bandung. (1993); Legenda Nyi Rambut Kasih dalam Upaya Pelestarian Fungsi-fungsi Lingkungan Hidup di Kabupaten majalengka Provinsi Jawa Barat. (Karya Tulis); Isbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam (Kajian Hukum Munakahat dan
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
Praktek di Pengadilan Agama Garut dan Majalengka). Tesis di Universitas Islam Bandung (2005); Kekuatan Hukum Mengeliat Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam dalam Perspektif Kherarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia (Disertasi 2014 Universitas Islam Bandung). Lucas Prakoso, lahir di Semarang, 17 Juli 1965 Alamat: Jl. Raya Candi IV, Perum Tidar View B.15, Tidar, Kota Malang, Kantor: Mahkamah Agung R.I Jl. Medan Merdeka Utara No. 9 – 13 Jakarta Pusat.Pendidikan : Strata – 1 ( S-1) Ilmu Hukum, 1990, Universitas 17 Agustus 1945 (Untag), Semarang,.Magister Ilmu Hukum, Universitas Merdeka Malang, 2009, Sedang mengikuti Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2013, rain Hakim PN. Ende, NTT, 1996 – 2000, Dosen tidak tetap FH. Universitas Flores, Ende, NTT, 1996 – 2000, Ketua Panwaslu, Kab. Ende, NTT, 1997, Hakim PN. Semarapura, Bali, 2000 – 2006 Hakim PN. Pacitan, Jatim, 2006 – 2008 Mengajar pada Diklat Cakim, 2007, 2009, PPC 2012, Hakim PN. Klaten, Jateng, 2009, Hakim Yustisial MA.RI, 2011 – 2014, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Malang 2014 – Sekarang Teguh Satya Bhakti, Lahir di Ampenan, (Nusa Tenggara Barat) 1980, meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Mataram (2002), kemudian melanjutkan pendidikan ke Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI) angkatan tahun 2002 dan selesai pada tahun 2004. Pada tahun 2011 melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Pada saat mahasiswa, pernah menjadi Anggota Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mataram (BPM) 2001–2002, Anggota Forum Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI) 2002-2004. Aktif menulis artikel yang dimuat di beberapa media massa diantaranya “Format Hubungan Presiden dan DPR” (Progresif, Edisi 150/Tahun V/Selasa, 07 September 2004), “Pedoman Utama Yang Digunakan Dalam Penentuan Politik Hukum Dalam Rangka Menuju Satu Sistem Hukum Nasional” dan “Review Buku Robert A.Dahl “Perihal Demokrasi” Menjelajahi Teori Dan Praktek Demokrasi Secara Singkat” (Swara Post, Edisi 3/TH.1/27-04 Oktober 2005), pernah menjadi editor sekaligus penulis di Jurnal Tata Negara Vol.1, No.1, Juli 2003 yang diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tulisan yang pernah dimuat berjudul “Perbandingan Konsep Trias Politika Menurut Jhone Locke, Montesquieu dan UUD 1945”, Pada tahun 20042007 penulis menjadi Calon Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung, dan sejak 20072010 menjadi Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin, 2010-2013 Menjadi hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, dan 2013- sekarang menjadi hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. M Nur Sholikin, Bekerja sebagai peneliti dan pengajar mata kuliah hukum sejak lulus sampai dengan sekarang. Saat ini menempati posisi sebagai Direktur Riset dan Reformasi Kebijakan PSHK. Memiliki pengalaman terlibat dalam berbagai program penelitian, advokasi dan asistensi pada beberapa lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah, terutama terkait dengan kajian hukum, perancangan peraturan dan kebijakan lembaga. Berpengalaman sebagai trainer maupun narasumber dalam legislative drafting training Enrico Simanjuntak. : Hakim PTUN Serang, lahir di Dolok Sanggul, 27 Januari 1981, Strata Satu dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, sedangkan pendidikan Strata Dua diselesaikan di Pascasarjana Universitas Indonesia. Beberapa tulisan Penulis pernah
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
dimuat di Jurnal Jurnal Penelitian, Puslitbang Hukum dan Peradilan, Badan diklat Litbang Kumdil MARI, termasuk beberapa kali di Varia Peradilan, Komisi Yudisial, Hukumonline dan beberapa media lain. Selain aktif menghadiri undangan Focus Grup Disscusion (FGD) dari Puslitbang Teknis Kumdil MARI, beberapa kegiatan lain yang pernah diikuti antara lain seperti Rapat Pembahasan Bahan Ajar Program Pendidikan Cakim III—Peradilan TUN. Hotel Mirah Bogor, 29-30 Mei 2012 serta Trainers Convention Program Pendidikan Cakim III—Peradilan TUN di Hotel Mercure, Jakarta, 14-15 Mei 2012. Dan terakhir, berdasarkan SK Ketua Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI No. 62/TUAKA.TUN/SK/VI/2014 tanggal 6 Juni 2014 terlibat dalam keanggotaan Pokja Penyusunan Rancangan Revisi RUU Peradilan Tata Usaha Negara. Budi Suhariyanto, lahir di Jember, Jawa Timur, 2 Mei 1983. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jember tahun 2006, dan Magister Hukum di Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2009. Bekerja sebagai Peneliti bidang Hukum dan Peradilan pada Pusat Penalitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. Penulis dapat dihubungi melalui email
[email protected] atau surat ke alamat Kantor Puslitbang Kumdil lantai 10 Gedung Sekertariat Mahkamah Agung Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 Cempaka Putih Timur Jakarta Pusat. H. Asmuni Mth., lahir di Lombok Timur (LOTIM) Nusa Tenggara Barat. Pendidikan Ibtida’iyah, Tsanawiyah, dan Aliyah diselesaikan di Madrasah Unwanul Falah Pao’lombok, NTB. Dan pernah mengenyam pendidikan di Madrasah Shaulatiyah al Hindiyah Mekkah alMukarromah Saudi Arabia dan mengikuti sejumlah halaqh kajian berbagai kitab turas pada sejumlah ulama besar dan ternama di tanah suci tersebut. Gelar Strata Satu (S1) diperolehnya dari Fakultas Syari’ah UII tahun 1992, dan pada tahun 2000 meraih gelar MA (S2) dari Jami’ah al-ALBAYT di Yordania dalam bidang studi Fiqh dan Ushul Fiqh dalam lingkup delapan mazhab yang masih dianut di berbagai negara Islam, termasuk juga mengkaji berbagai fatwa para fuqaha dari kalangan tabi’in yang menyebar di dalam berbagai karya tafsir dan Syarah Kutub al-Tis’ah (Sembilan Kitab Hadis yang terpopuler). Sedangkan kajian terhadap Ushul Fiqh baik klasik maupun kontemporer merupakan bidang yang paling disukainya. Tahun 2000-2001 menjabat sebagai Kapus Pendidikan Keagamaan LPPAI UII. Dan sejak tahun 2001-2010 menjabat sebagai Sekretaris Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Agama Islam UII. Sekarang selain menekuni profesi utama sebagai staf pengajar di Prodi Hukum Islam dan Ekonomi Islam di FIAI-UII dalam bidang Qawa’id Fiqhiyah (Legal Maxim), Ushul Fiqh dan Fiqh, juga aktif sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) di sejumlah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
PEDOMAN PENULISAN JURNAL Jurnal Hukum dan Peradilan adalah media yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, terbit setahun 3 (tiga) kali (Maret, Juli dan Nopember). Jurnal Hukum dan Peradilan menerima sumbangan naskah di bidang Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan di media lain dengan ketentuan: 1. Naskah dikirim dalam bentuk karya tulis ilmiah seperti hasil penelitian lapangan, analisis/tinjauan putusan lembaga peradilan, kajian teori, studi kepustakaan serta gagasan kritis konseptual yang bersifat obyektif, sistematis, analitis, dan deskriptis. 2. Penulisan hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baku, lugas, sederhana dan mudah difahami dan tidak mengandung makna ganda. 3. Naskah harus orisinil dibuktikan dengan pernyataan akan keorisinilan naskah tersebut oleh penulis. 4. Naskah dapat dalam bahasa Indonesia sepanjang 15-25 halaman. Naskah diketik diatas kertas A4 menggunakan huruf Time New Roman ukuran 12, spasi 1,5. Naskah harus disertai abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, antara 100-150 kata. 5. Sistematika penulisan hasil penelitian harus mencakup: Judul, Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Abstrak (berhasa Indonesia dan bahasa Inggris), Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Metode Penelitian, Hasil penelitian dan Pembahasan, Kesimpulan, daftar Pustaka. 6. Sistematika penulisan analisis putusan, kajian teori, wacana hukum harus mencakup: Judul, Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Abstrak (berhasa Indonesia dan bahasa Inggris), Pendahuluan, Pembahasan (dibuat sub judul sesuai dengan permasalahan yang dibahas), Kesimpulan, Daftar Pustaka. 7. Penulisan daftar pustaka secara alfabetis mengikuti Turabian Style dengan tata cara penulisan sebagai berikut: Buku. Weiss, Daniel A. Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence, Seattle: University of Washington Press, 1962. Makalah. Knight, Robin. “Poland’s Feud in the Family.”, New York, 10 September 1990, 52-53, 56. Artikel Jurnal. Sommer, Robert. “The Personality of Vegetables: Bonatical Metaphors for Human Characteristics.” Journal of Personality 56, no. 4 (December 1988): 665-683. Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan. Tillich, Paul. “Being and Love” In Moral Principles of Action, ed. Ruth N. Anshen, 661-72. New York: Harper & Bros., 1952. Internet Rost, Nicolas, Gerald Schneider, and Johannes Kleibl. “A Global risk assessment model for civil wars.” Social Science research 38, no. 4 (December 2009): 921-933. http//www.sciencedirect.com/science/article/ B6WX84 WMM7CY1/2/aa8571448b4774e8831a (accessed October 15, 2009) 8. Daftar pustaka hendaknya dirujuk dari edisi paling mutakhir. 9. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (footnotes) mengikuti turabian Style dengan tata cara penulisan sebagai berikut: Buku. Daniel A. Weiss, Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence (Seattle: University of Washington Press, 1962), 62.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014
ISSN : 2303-3274
Makalah. Robin Knight, “Poland’s Feud in the Family.”,U.S. New and Work Report, 10 September 1990, 52. Artikel Jurnal. Robert Sommer, “The Personality of Vegetables: Bonatical Metaphors for Human Characteristics.” Journal of Personality 56, no. 4 (December 1988): 670. Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan Paul Tillich, “Being and Love,” in Moral Principles of Action, ed. Ruth N. Anshen (New York): Harper & Bros., 1952), 663. Internet Nicolas Rost, Gerald Schneider, and Johannes Kleibl, “A global risk assessment model for civil wars,” Social Science Research 38, no.4 (December 2009): 922, http://www.sciencedirect.com/ science/ B6WX84WMM7CY1/2/aa85435453ae88c432a 10. Naskah kiriman dalam bentuk softcopy atau hardcopy yang dilampiri dengan biodata singkat (CV) penulis, copy NPWP penulis, alamat email, No. telp/hp, naskah dapat dikirim via email ke e-mail redaksi jurnal atau puslitbang kumdil Mahkamah Agung RI 11. Naskah dikirim atau diserahkan secara langsung, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum penerbitan kepada: Redaksi Jurnal Mahkamah Agung Gedung Skretariat Mahkamah Agung RI Jl. Jend. A. Yani Kav. 58 Lt. 10 Cempaka Putih Jakarta Pusat 13011 email: jurnalhukumperadilan @yahoo.co.id atau
[email protected] 12. Naskah yang tidak memenuhi format ketentuan diatas tidak akan diseleksi. Dewan editor berhak menyeleksi dan mengedit naskah yang masuk tanpa merubah substansi. Kepastian atau penolakan naskah akan diberitahukan kepada penulis. Prioritas pemuatan artikel didasarkan pada penilaian substansi dan urutan naskah yang masuk ke Redaksi Jurnal Mahkamah Agung. artikel yang tidak dimuat tidak dikembalikan kepada penulis.
Jurnal Hukum dan Peradilan Menyampaikan terima kasih Kepada para Mitra Bestari (referee) dan semua pihak Yang telah membantu penerbitan jurnal ini Volume 3 Nomor 2 Juli 2014