KRISIS LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA
1
DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar ................................................................................ v Daftar Isi ................................................................................. viii Bab I.
Bab II.
Bab III.
Bab IV.
2
Pendahuluan ............................................................... A. Pengadilan Membangun Peradaban Bangsa.... B. Pengadilan Dan Simulakrum Hukum .............. C. Pengadilan Dan Intervensi Kekuasaan Eksekutif ................................................................ D. Pengadilan Dan Pelayanan Penegakan Hukum ................................................................... E. Bingkai Tulisan Dan Penghampiran Topik ...... Independensi Pengadilan : Perspektif Penghampiran Awal ................................................................... A. Kekuasaan: Entitas Dan Konfigurasi Makna ... B. Negara Hukum: Penghampiran Konsep .......... C. Independensi Pengadilan.................................... D. Pengadilan Sebagai Realitas Sosial .................... E. Hakim, Hukum, Dan Pengadilan ...................... Gelar Pentas Mahkamah Agung: Antara Normatif Dan Realita.............................................................. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman......... B. Potret Pengadilan Indonesia Dari Masa Ke Masa ....................................................................... C. Sistematika Fungsi Dan Organisasi Mahkamah Agung ....................................................... D. Cela Dan Celah Ketidakmampuan Fungsi Mahkamah Agung ............................................... Putusan “Kasus Kedung Ombo”: Sebuah Episode Pentas Mahkamah Agung Di Panggung Indonesia...................................................................... A. Jalan Panjang Menggapai Putusan Hakim ....... B. Krisis Putusan Hakim .......................................... C. Kasus Posisi: Tinjauan Sekilas Lintas ................
1 1 7 11 17 31
35 35 45 59 66 74
87 87 88 112 114
151 151 156 168
D. Prinsip-Prinsip Hukum Acara Perdata ............. E. Putusan Majelis Asikin: “Lentera Hukum” Dalam Gulita Keadilan ........................................ F. Peninjauan Kembali: “Amputasi” Keadilan Dari Penguasa ....................................................... Bab V.
169 173 176
Menyemai Harapan Dari Cahaya Mutiara: Sebuah Hampiran Hamparan Untuk Keadilan Hukum ......................................................................... A. Reformasi Hukum Dan Kelembagaan .............. B. Membangun Penegakan Hukum Dengan Paradigma Moral .................................................. C. Menggagas Akuntabilitas Pengadilan ..............
181 197
Daftar Pustaka .................................................................................
199
179 179
3
KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan syukur alhamdulillah ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan dan hidayah-Nya sehingga di sela-sela kesibukan penulis yang sedang mengemban amanah menjalankan tugas selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Solo masih dituntun Allah SWT untuk bisa menyelesaikan buku yang diberi judul Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia. Perjalanan Republik Indonesia yang sudah mencapai usia 60 tahun, memberikan pelajaran sejarah menarik sehubungan dengan peranan lembaga peradilan dalam mendistribusikan keadilan pada masyarakat. Ketika UUD 1945 secara tegas mengklaim sebagai konstitusi yang berbasis hak asasi manusia (human rights based on) dan didirikan dalam pilar negara hukum, maka mengkaji dinamika lembaga peradilan menjadi menarik. Sejak era Presiden Soekarno dan dilanjutkan era Presiden Soeharto paradigma kekuasaan lebih mengemuka dibandingkan dengan kehendak luhur mewujudkan paradigma negara hukum. Akibatnya, peradilan dan pengadilan menjadi tertekan dan tidak mempunyai kemandirian. Konsekuensi lebih jauh, kehendak warganegara untuk menjadikan pengadilan sebagai saluran menggapai harapan keadilan dalam sengketa hukum, menjadi impian yang tak pernah terwujud. Proses reformasi peradilan, semenjak tahun 1999, cukup berhasil memisahkan kekuasaan kehakiman dari cengkeraman eksekutif dan mewujudkan “manajemen satu atap” di mana semua badan pengadilan dalam aspek yuridis, administratif, dan finansial di bawah kendali Mahkamah Agung. Reformasi konstitusi juga berhasil menempatkan kekuasaan kehakiman dengan 2 (dua) fungsi, yaitu sebagai court of law (oleh Mahkamah Konstitusi) dan court of justice (berpuncak di Mahkamah Agung). Namun demikian, walaupun sistem telah direformasi, yang masih menjadi masalah adalah moralitas hakim yang sekarang ada masih belum berubah. Dengan tingkat moral yang masih rendah adanya kemandirian kekuasaan kehakiman dikuatirkan akan memunculkan tyrani judicial, karena tak ada imbangan kekuasaan lain untuk melakukan pengawasan. Upaya melakukan pengawasan sebenar-
4
nya telah banyak dilakukan oleh komponen masyarakat maupun media massa, tapi seringkali kandas karena pengadilan dibentengi oleh jalur dan jalan birokratis yang saling melindungi korpsnya. Keberadaan Komisi Yudisial, sebagai lembaga negara independen untuk mengontrol kinerja dan kualitas hakim, walaupun sekarang telah mendapat dukungan dan kepercayaan masyarakat. Namun demikian sebenarnya secara normatif terbentur kepada tidak sinkronnya aturan yang mengatur pengawasan terhadap hakim antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial. Buku ini akan membahas krisis menahun lembaga peradilan di Indonesia yang menyebabkan sebagian besar masyarakat Indonesia yang tidak punya akses kuat, secara langsung atau tidak langsung, dengan Hakim akan menemui kesulitan untuk menggapai keadilan. Secara teori keberadaan pengadilan merupakan suatu lembaga yang berfungsi untuk menegakkan rule of law, mengkoordinasi sengketa-sengketa yang terjadi di masyarakat dan mengeluarkan produk keadilan yang tidak hanya bisa diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, tapi juga semua masyarakat. Jadi sebenarnya tugas dan fungsi pengadilan tidak sekedar menyelesaikan sengketa, tetapi lebih dari itu juga menjamin suatu bentuk ketertiban umum dalam masyarakat. Berdasarkan hal inilah maka beberapa pakar memberi tempat yang terhormat pada lembaga pengadilan. R. Dworkin menyatakan the courts are the capital of law’s empire. Menurut J.P. Dawson, hakim merupakan anggota masyarakat setempat yang terkemuka dan terhormat. Bahkan, JR. Spencer menyebutkan, putusan yang dijatuhkan pengadilan diibaratkan seperti “putusan tuhan” atau “the judgment was that of God”. Krisis merupakan keadaan yang tidak normal, di mana lembaga pengadilan yang seharusnya merupakan lembaga terhormat untuk menjalankan fungsi menyelesaikan sengketa secara adil bagi masyarakat pencari keadilan telah kehilangan pamornya menjadi tempat mendapatkan putusan hakim dengan menghalalkan segala cara. Namun demikian di tengah-tengah krisis tersebut masih ditemukan ‘mutiara keadilan’ yang keluar dari pertimbangan hukum seorang hakim bijak yang sudah sangat langka ditemukan lagi di Indonesia. Untuk itu, agar bisa menjadi kajian para mahasiswa, rujukan hakim muda, dan ‘membasahi’ kehausan masyarakat pencari keadilan dalam buku ini juga akan dipaparkan analisis secara sosiologis putusan majelis Asikin berkaitan dengan Kasus Kedung Ombo. Putusan ini sengaja di-
5
pilih karena pertimbangan-pertimbangan hukum yang digunakan majelis Asikin mempunyai kadar ilmiah yang tinggi, dan mendapatkan apresiasi dari kalangan pemikir hukum. Di samping itu putusan tersebut penulis prediksi akan senantiasa menjadi rujukan staf pengajar sosiologi hukum di seluruh Indonesia ketika membahas tentang lembaga peradilan. Penulis melihat bahwa kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan tak boleh dikhianati, meskipun masyarakat sering merasakan ketidakadilan atas putusannya, namun harus semakin ditingkatkan mutu dan wibawanya. Reformasi peradilan tak boleh stagnan, berhenti pada aras aturan dan kelembagaan, namun harus disertai moral yang tinggi bagi semua aktor yang terlibat dalam gerak langkah badan peradilan. Hal itu merupakan suatu “jalan pencarian” yang tidak akan pernah selesai, tetapi sebagai bangsa yang berperadaban, harus ada upaya nyata untuk menjadikan pengadilan sebagai salah satu simbol keberhasilan reformasi di Republik ini. Dengan terbitnya buku ini, penulis tidak berpretensi apa yang terkandung di dalamnya sudah final. Penulis termasuk orang yang percaya, bahwa kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari jumlah karya tulis yang dihasilkannya. Sehubungan dengan ini, penulis menyampaikan harapan agar buku ini mampu mengundang peminat lain untuk juga menyampaikan ide-ide cerdasnya lewat media penulisan dalam topik yang sama. Jika ada sesuatu yang menarik dalam buku ini, penulis berharap mampu menjadi proposal awal untuk melakukan aksi. Jika ada kekurangan, maka itu tak lepas dari keterbatasan pengetahuan penulis terhadap fenomena yang dikaji. Atas terbitnya buku ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah bekerja keras untuk membantu terwujudnya karya ini. Khusus pada Sdr. Isharyanto, SH. M.Hum., yang telah mengedit naskah buku, memasukkan informasi baru yang belum terekam penulis, dan ikut membantu memberikan analisis yang cerdas, penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam. Semoga buku ini dapat bermanfaat.
Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.H.
6
BAB I PENDAHULUAN A. Pengadilan Membangun Peradaban Bangsa Setiap bangsa atau kelompok masyarakat mempunyai kewajiban moral1 untuk menorehkan risalah peradabannya. Bangsa yang sanggup merasa mampu menuliskan risalah peradaban telah dan akan menjadi saksi sejarah eksistensi dan perjalanan manusia. Hukum yang berlaku dalam suatu komunitas sosial atau bangsa menjadi guru yang memberi pelajaran tentang interaksi antarinsani dan sekaligus memberi arahan dinamika sosial bagi bangsa tersebut.2 Sejalan dengan hal ini, Apeldoorn3, dengan merujuk pada pikiran yang hidup di kalangan bangsa Jerman pada masa 500 Tahun SM, menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai. Istilah damai pada masa itu (dan juga masih dalam ranah Bahasa Belanda dewasa ini, vrede) adalah apa yang kini disebut sebagai “tertib hukum.”4 Oleh karena hukum menurut substansinya adalah sesuatu yang berlaku umum dan tidak secara sebagian atau diskriminatif, tertib hukum 1
2
3
4
Konsep “moral” mengandung 2 makna, yaitu: (1) keseluruhan aturan dan norma yang berlaku dan diterima oleh masyarakat tertentu sebagai arah atau pegangan dalam bertindak dan diungkapkan dalam kerangka yang baik dan yang buruk; dan (2) disiplin filsafat yang merefleksikan tentang aturan-aturan tersebut dalam rangka mencari pendasaran dan tujuan atau finalitasnya. Suatu tanggang jawab moral, didefinisikan dan diputuskan dari dalam bukan karena tekanan aturan dari luar. Lalu pelaku menemukan dalam dirinya kemampuan inisiatif dan kemampuan yang ditumbuhkan oleh kewajiban dalam situasi tidak terduga. Periksa: Haryatmoko, 2003, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 141 dan 186-187. Artijo Alkostar, “Fenomena-fenomena Paradigmatik Dunia Pengadilan di Indonesia (Telaah Kritis terhadap Putusan Sengketa Konsumen”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 26 Vol. 11-2004, hlm. 1. L.J.van Apeldoorn, 1960, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Mr. Oetarid Sadino), Jakarta: Noordhoff-Kolff, hlm. 20. Ibid.
7
menjadi tertib yang berlaku umum. Hukum dapat mempertahankan ‘perdamaian’ (atau “tertib hukum”) jika dia berhasil menjaga keseimbangan antarkepentingan manusia yang tidak selalu tidak bertentangan satu sama lain.5 Artinya, tertib hukum itu hanya bisa ditegakkan jika dia mendatangkan keadilan bagi mereka yang berkepentingan terhadap keadaan tertib itu. Dengan demikian, atas argumentasi Apeldoorn ini, keadilan adalah substansi dari tertib hukum maupun ketertiban umum, sehingga tidak berlebihan jika ditegaskan bahwa fungsi utama dari hukum itu pada akhirnya adalah keadilan. Dalam bahasa yang lain, hukum merupakan salah satu proses (produksi) manusia (sebagai aktor) dalam membangun dunianya yang dapat dicermati dan ditelaah melalui interaksi yang berlangsung di dalam masyarakat. Fenomena ini mampu menampilkan hukum lebih mengedepankan persoalan-persoalan yang berkembang di dalam masyarakat. Aktivitas masyarakat terus menerus dalam kehidupan sehari-hari memberikan makna penting bagi pembentukan hukum.6 Dalam hubungan ini, lembaga pengadilan merupakan salah satu institusi yang menjalankan fungsi hukum atau menegakkan keadilan. Kata peradilan terdiri atas kata dasar ‘adil’ dan mendapatkan awalan ‘per’ serta akhiran ‘an’ berarti segala sesuatu yang bertalian dengan pengadilan. Pengadilan di sini bukanlah diartikan semata-mata sebagai badan yang mengadili, melainkan sebagai pengertian yang abstrak, yaitu ‘hal memberikan keadilan’. Hal yang memberikan keadilan berarti, yang bertalian dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam memberi keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan, konkritnya kepada yang mohon keadilan apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya7. Tidak ada bangsa yang dapat dikategorikan beradab tanpa mempunyai hukum yang adil dan pengadilan yang baik dan berdaulat.8 Sampai sekarang pengadilan masih dipercaya masyarakat sebagai lembaga untuk menyelesaikan sengketa. Bahkan sebagian 5 6
7
8
8
Ibid., hlm. 21. Anthon F. Susanto, 2004, Wajah Peradilan Kita: Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol, dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Bandung: Refika Aditama, hlm. 36. Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangnya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Bandung, Kilat Madju, 1971, hlm.2. Stephen M. Friedman, 2000, American Legal Thought: From Premodernism to Postmodernism, New Yor: An Intelectual Voyage Oxford University Press, hlm. 121.
masyarakat pernah memberikan cap sebagai “benteng keadilan.”9 Secara teori keberadaan pengadilan merupakan suatu lembaga yang berfungsi untuk mengkoordinasi sengketa-sengketa yang terjadi dalam masyarakat, dan merupakan ‘rumah pengayom’ bagi masyarakat pencari keadilan, yang mempercayai jalur litigasi; serta dianggap sebagai ‘perusahaan keadilan’ yang mampu mengelola sengketa dan mengeluarkan produk keadilan10 yang bisa diterima oleh semua masyarakat. Jadi sebenarnya tugas dan fungsi pengadilan tidak sekadar menyelesaikan sengketa, tetapi lebih dari itu juga menjamin suatu bentuk ketertiban umum dalam masyarakat. Berdasarkan hal inilah maka beberapa pakar memberi tempat yang terhormat pada pengadilan. R. Dworkin menyatakan the courts are the capital of law’s empire11. Menurut J.P. Dawson12, hakim merupakan anggota masyarakat setempat yang terkemuka dan terhormat. Bahkan, JR. Spencer menyebutkan, putusan yang dijatuhkan pengadilan diibaratkan seperti “putusan tuhan” atau “the judgment was that of God”13. Berdasarkan hal inilah maka beberapa pakar memberi tempat yang terhormat pada pengadilan. R. Dworkin menyatakan the courts are the capital of law’s empire14. Menurut J.P. Dawson15, hakim merupakan anggota masyarakat setempat yang terkemuka dan 9
10
11 12
13
14 15
Suatu kondisi yang agak lain terjadi di Korea, sebagaimana ditulis oleh Satjipto Rahardjo, ”Kehadiran pengadilan modern di tengah-tengah masyarakat Korea merupakan suatu ganjalan karena konsep serta doktrin yang dipakai oleh pengadilan modern itu tidak sesuai dengan kultur Korea. Oleh karena itu tidak akan muncul hakimhakim besar di negara tersebut, karena filsafat, konsep, dan ukuran tentang hakim dan pengadilan bagi bangsa Korea adalah berbeda dengan yang umum dikenal dalam sistem modern.” Lihat dalam: Satjipto Rahardjo, “Sosiologi Hakim”, Kompas, 10 Januari 1992, hlm. 4. Menurut Satjipto Rahardjo, Keadilan memang barang yang abstrak dan oleh karena itu perburuan terhadap keadilan merupakan usaha yang berat dan melelahkan. Lihat Satjipto Rahardjo, “Tidak Menjadi Tawanan Undang-undang”, Kompas, 24 Mei 2000. Sedangkan menurut Clarence Darrow, “There is no such thing as justice. In fact, the word cannot be defined”, Lihat dalam Gerry Spence, With Justice for None, New York, Penguin Book, 1989, hlm. 5. Ronald Dworkin, Op.cit., hlm. 407. John P. Dawson, “Peranan Hakim di Amerika Serikat,” dalam Harold J Berman, Ceramah-Ceramah Tentang Hukum Amerika Serikat, terjemahan Gregory Churchill, Jakarta, PT.Tatanusa, 1996, hlm. 22. J.R. Spencer, Jackson’s Machinery of Justice, Cambridge University Press, 1989, h.19. Lihat juga Harold J. Berman. “Segi-segi Filosofis Hukum Amerika”. Harrold J. Berman, Ceramah-Ceramah Tentang Hukum Amerika Serikat, penterjemah Gregory Churchil, J.D., PT.Tatanusa, 1996, h. 271. Ronald Dworkin, Op.cit., h. 407. John P. Dawson, “Peranan Hakim di Amerika Serikat,” dalam Harold J Berman, Ceramah-Ceramah Tentang Hukum Amerika Serikat, terjemahan Gregory Churchill, Jakarta, PT.Tatanusa, 1996, h. 22.
9
terhormat. Bahkan, JR. Spencer menyebutkan, putusan yang dijatuhkan pengadilan diibaratkan seperti “putusan tuhan” atau “the judgment was that of God”16. Berdasarkan alasan itulah masyarakat di segala penjuru dunia17, termasuk di Indonesia selama beberapa dekade telah memberikan kepercayaan pada pengadilan untuk mengelola sengketa yang dialaminya, dengan harapan akan mendapatkan keadilan sebagaimana secara normatif disebutkan dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Charles Himawan, pada dasarnya penegakan hukum dilakukan oleh alat penegak hukum (law enforcement agency) yang umumnya meliputi kepolisian, kejaksanan, pengadilan, dan yang juga dikenal sebagai jalur hukum (legal corridor). Kita semua mengetahui bahwa jalur hukum terakhir adalah badan peradilan. Oleh karenanya orang melihat badan peradilan sebagai the last bastion of legal orde atau benteng terakhir tertib hukum.18 Dalam sengketa perdata misalnya, sebenarnya ada upaya lain yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa, yaitu Alternative Dispute Resolution (ADR), seperti mediasi, arbitrase, dan konsiliasi. Dalam hal ini ia merupakan eksperimen baru terhadap metode lama, forum baru bagi penyelesaian sengketa, dan penekanan yang berbeda dalam pendidikan hukum.19 Namun demikian, karena berbagai sebab, mekanisme tersebut sampai sekarang belum terlalu melembaga di dalam masyarakat. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa tuntutan yang diajukan selama ini memperlihatkan bahwa pengadilan berada di balik layar pemberian keadilan, mitos tentang agen-agen hukum yang jujur dan cerdas memberikan gambaran bahwa melalui tangan mereka keadilan akan dibagikan. Pernyataan itu diperkuat oleh tugas dan kewenangan yang mereka lakukan sehari-hari. Memutus dan menentukan bahwa seseorang harus dihukum atau tidak. Dengan kata lain, di tangan mereka nasib seseorang ditentukan. Namun 16
17
18
19
10
J.R. Spencer, Jackson’s Machinery of Justice, Cambridge University Press, 1989, h.19. Lihat juga Harold J. Berman. “Segi-segi Filosofis Hukum Amerika”. Harrold J. Berman, Ceramah-Ceramah Tentang Hukum Amerika Serikat, penterjemah Gregory Churchil, J.D., PT.Tatanusa, 1996, hlm. 27. Namun demikian bagi masyarakat Jepang penyelesaian menggunakan litigasi. ....has been condemned as morally wrong, subversive, and rebellious”. Lihat dalam Hideo Tanaka (ed.), The Japanese Legal System. Japan, University of Tokyo Press, 1976, h. 278. Charles Himawan, 2003, Hukum sebagai Panglima, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 5. Sri Wardah, “Institutionalisasi Proses Mediasi dalam Sistem Peradilan di Indonesia”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 26 Vol. 11-2004, hlm. 47-48.
ternyata “mitos” ini lama-lama makin menyusut sejalan dengan keadaan bahwa masyarakat semakin cerdas dan memiliki kesadaran bahwa penegakan hukum bukan satu-satunya pilihan untuk menyelesaikan masalah dalam negara demokrasi.20 Rasa tidak menyukai pengadilan merupakan faktor lain yang mempengaruhi kinerja pengadilan. Dikatakan oleh Bredemeier, ”Orang yang merasa konsep-konsep pengadilan mengenai apa-apa yang boleh diharapkan sebagai sesuatu yang bersifat hak itu sering memiliki konsepsi-konsepsi berbeda yang dia miliki.” Hal demikian benar ada benarnya mengingat kenyataan bahwa kelompok-kelompok sosial yang dijadikan referensi oleh hakim itu hampir selalu berbeda dengan kelompok-kelompok referensi para klien. Selanjutnya, ada mekanisme yang memaksa badan pengadilan itu untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan kelembagaan yang ada. Pengadilan berada di bawah tekanan politik kritis untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki nilai yang sepadan dengan biaya yang selama ini telah dikeluarkan. Legitimasi mereka sudah tidak lagi dijamin oleh misi dan hak mereka di bawah hukum.21 Hal ini sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo ketika dikatakan bahwa betapa salahnya orang menganggap perjalanan hukum itu sebagai sesuatu yang lurus dan mulus, seolah-olah hanya ada satu jalan menuju hukum. Bertentangan dengan anggapan yang sedikit banyak eksak dan matematis itu, sesungguhnya perjalanan hukum penuh dengan liku-liku yang tidak bisa dipolakan secara absoluteksak. Akan tetapi, harus segera ditambahkan bahwa hal itu berarti hukum merupakan sesuatu institusi yang bisa dibengkokbengkokan menurut selera orang. Hanya ingin ditunjukkan bahwa penegakan hukum itu tidak segampang dan sejelas seperti yang dikatakan oleh undang-undang, melainkan ia sarat dengan berbagai intervensi sosial, politik, ekonomi, serta praktik perilaku substansial dari orang-orang yang menjalankannya. Singkat kata, hukum itu tidak sama dengan buku telepon dengan ini orang tinggal memutar saja nomor yang dikehendaki dan selesai. Dengan padat dan sederhana, hakim agung Amerika, Oliver Wendell Hoolmes, mengatakan, bahwa The life of the law has not been logic, it has been experience (“hukum itu bukan logika,
20
21
Anthon Freddy Susanto, 2005, Semiotika Hukum: Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, Bandung: P.T.Refika Aditama, hlm. 142. Ibid., hlm. 143-144.
11
melainkan pengalaman”).22 Dalam kesempatan yang lain, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa erat berkaitan dengan hukum sebagai lambang keadilan, maka hukum juga merupakan institusi kepercayaan. Sampai di sini hukum tidak bisa hanya dilihat dan diterima sebagai sesuatu yang rasional semata-mata. Contohnya adalah kendati masyarakat terkadang mengalami kekecewaan terhadap pengadilan-pengadilannya, dan oleh kalangan pengadilan sendiri diakui terjadinya manipulasi terhadap putusan pengadilan, namun tetap saja orang menerima kehadirannya. Dengan tetap menerima dan mempertahankan keduanya itu, maka masyarakat ingin merasakan, bahwa di tengah-tengah mereka ada lembaga yang mengusahakan agar keadilan tercipta di dalam masyarakat. Di sini masyarakat melihat hukum dan pengadilan dengan mata kepercayaannya.23 Pengadilan, sebagai suatu representatif dari abstrac system, baru bisa menjalankan tugas tersebut dengan baik kalau mendapat kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa24. Sedangkan pengadilan dalam menjalankan tugasnya diwakili oleh hakim. Atau dengan kata lain kepercayan (trust) atau tidak percaya (distrust) para pihak pada pengadilan ditentukan oleh kredibilitas dan profesionalitas hakim dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa. Apabila hakim mampu menjalankan tugasnya dengan baik, maka kepercayaan pada pengadilan akan terpelihara. Namun, apabila terjadi sebaliknya, di mana hakim melakukan ‘perbuatan kotor’ pada saat menyelesaikan sengketa, maka akan merusak kepercayaan (disrust) pihak-pihak bersengketa pada pengadilan. Kalau hal tersebut berlangsung terus menerus akan menyebabkan ‘krisis’ yang mengganggu rutinitas praktik-praktik penyelesaian sengketa yang terjadi di pengadilan. Situasi krisis ini akan mengurangi rasa aman pihak-pihak yang bersengketa, dan menghancurkan kedatangan masa depan yang sebelumnya bisa diramalkan dalam hal penye22 23
24
12
Satjipto Rahardjo, “Banyak Jalan Menuju Hukum”, Kompas, 12 Oktober 1991, hlm. 4. Satjipto Rahardjo, “Sekitar Hukum yang Diperdagangkan”, Kompas, 3 September 1992, hlm. 4. Menurut Satjipto Rahardjo, pihak-pihak bersengketa membawa sengketanya melalui pengadilan karena: Percaya, bahwa ditempat itu mereka akan memperoleh keadilan seperti mereka kehendaki; Percaya, bahwa pengadilan merupakan lembaga yang mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup dan nilai-nilai utama lainnya.Percaya, bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia. Percaya, bahwa pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benar-benar memperoleh perlindungan hukum. S. Rahardjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Op.cit. h. 107. Lihat juga Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan ....Op.cit. h. 370.
lesaian sengketa. Apabila kepercayaan itu dikhianati maka yang terjadi sebetulnya adalah suatu realitas yang berada di balik topeng kenyataan atau simulakrum. B. Pengadilan dan Simulakrum Hukum Sejarah perjalanan umat manusia menunjukkan bahwa semakin baik hukum dan pengadilan suatu bangsa, akan semakin tinggi kualitas peradaban bangsa yang bersangkutan. Proses pengadilan yang transparan, logis, independen, dan adil telah dan akan memberikan konstribusi kebenaran moral dan pencerahan bagi pemikiran dan tingkah laku masyarakat secara anggun. Sebaliknya, putusan pengadilan yang tidak nalar dan bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat akan menimbulkan the dead of common sense atau matinya akal sehat. Putusan pengadilan memikul beban tanggung jawab agar menjadi figur puncak kearifan dari penyelesaian perkara di dalam masyarakat. Putusan pengadilan yang benar dan penuh kearifan akan mencegah timbulnya sikap main hakim sendiri, ketidakpercayaan terhadap institusi pengadilan, sikap balas dendam, dan sikap-sikap tidak beradab lainnya.25 Hal ini dapat disebandingkan dengan ucapan Rose E. Bired, sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali26 yang mengatakan bahwa “If our courts lose their authority and their rullings are no longer respected, there will be no one left to resolve the divisive issue that can rip the social fabric apart. The courts are a safety valve without which no democratic society can survice.” Meskipun relevan, pernyataan Bird tadi masih harus dikritisi karena seolah-olah berpegang kepada tesis bahwa pengadilan merupakan saluran pengaman karena tanpa saluran ini tidak akan ada masyarakat demokratis yang mampu bertahan. Namun secara sosiologis kalimat itu masih harus ditambahkan bahwa pengadilan bukan satu-satunya saluran pengaman yang ada di dalam masyarakat. Oleh karena itu, tepat apa yang dikatakan oleh Charles Himawan bahwa badan peradilan adalah badan terpenting dari proses hukum suatu negara, karena badan peradilan dapat secara jelas mencerminkan aplikasi ketentuan hukum yang berlaku. Tidak dilaksanakannya suatu
25 26
Artidjo Alkostar, op.cit., hlm. 2. Achmad Ali, 2004, Sosiologi Hukum: Kajian Empiris terhadap Pengadilan, Jakarta: Penerbit STIH “IBLAM”, hlm. 1.
13
ketentuan hukum oleh badan peradilan akan dengan sendirinya melemahkan ketahanan nasional.27 Peranan pengadilan menjadi penting, dalam hal sebagai salah satu benteng tertib hukum, jika dikaitkan dengan perubahan besar yang terjadi pada awal Milenium Ketiga, yaitu terbentuknya sebuah dunia baru sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, yang di dalamnya tercipta berbagai definisi dan pemahaman baru mengenai apa yang disebut realitas. Di dalam relasi baru realitas tersebut, tanda tidak lagi merefleksikan realitas, representasi tidak lagi berkaitan dengan kebenaran, dan informasi tidak lagi menjadi objektivitas pengetahuan. Dunia baru itu sebaliknya, merupakan dunia yang dibangun oleh berbentuk distorsi realitas, permainan bebas tanda, penyimpangan makna, dan kesemuan makna. Dunia realitas baru itu disebut sebagai kondisi posrealitas (post-reality), sebuah kondisi yang di dalamnya prinsip-prinsip realitas itu telah dilampaui, dalam pengertian diambil alih oleh substitusinya, yang diciptakan secara artifisial lewat bantuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni mutakhir, yang telah menghancurkan asumsi-asumsi konvensional tentang apa yang disebut sebagai yang nyata (the real).28 Di dalam konfigurasi masyarakat yang demikian, ada sebuah perubahan mendasar dalam wacana hukum (legal discourse), terutama sebagai akibat beroperasinya di balik wacana hukum berbagai bentuk teknologi media, komunikasi, dan pencitraan (imagology), yang memungkinkan wacana hukum menghasilkan berbagai produk hukum dalam wujud tanda (sign) dan citra (image). Imagologi di dalam wacana hukum telah membuka ruang bagi produksi tanda dan citra, dalam bentuk simulakrum hukum, yaitu tanda dan citra hukum yang menyimpang, distorsif, dan palsu, akan tetapi diklaim seakan-akan representasi dari realitas dan kebenaran hukum.29 Lebih lanjut, kondisi simulakrum hukum dapat menjelma ke dalam beberapa bentuk sebagai berikut:30 1. Sebuah dunia hukum yang dibentuk oleh permainan bahasa (language game) dan permainan citra (game of image) dalam bentuknya yang khusus, yaitu bentuk ironis dan absurd. 27 28
29 30
14
Charles Himawan, op.cit., hlm. 40. Yasraf Amir Piliang, 2004, Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Yogyakarta: Jalasutra, hlm. 54. Ibid., hlm. 297. Ibid., hlm. 308-309.
Wacana hukum dipenuhi oleh trik-trik permainan dan pengelabuhan informasi (disinformation) yang di dalamnya informasi yang benar (true information) dan informasi yang palsu (pseudo information) dengan sengaja dicampuradukkan hingga muncul kegalauan informasi (information disturbance). Pengadilan, misalnya, membatalkan proses hukum seorang terdakwa yang dianggap sudah pikun (tidak bisa lagi berbicara, tidak bisa mengingat kata-kata), sementara publik mempertontonkan terdakwa yang sama dalam keadaan sehat atau tidak pikun. Sehat atau pikun lalu menjadi permainan bahasa yang pada tingkat hukum an sich telah tercabut dari realitas sesungguhnya (seperti dilaporkan media) yang telanjang. 2. Sebuah dunia, yang di dalamnya berlangsung permainan hukum (justice game), sebuah wacana permainan pengadilan, yang di dalamnya digunakan bahasa-bahasa distorsi. Bagian dari permainan hukum itu adalah permainan bahasa hukum. Untuk mengatakan sesuatu itu benar atau salah, baik atau buruk, dan moral atau amoral, semuanya dilakukan lewat permainan kata-kata “akan diselediki”, “akan diusut tuntas”, dan sebagainya, yang dianggap dapat mengembangkan persoalan-persoalan keadilan yang sesungguhnya. 3. Sebuah dunia yang di dalamnya ditampilkan sifat kepurapuraan (pervesity), sebuah dunia yang penuh dengan topeng, kedok, dan make-up. Ada terdakwa pura-pura (pseudo-accused), pengadilan pura-pura (pseudo-court), dan keadilan pura-pura (pseudo-justice). Hukum menjadi sebuah panggung teater yang di dalamnya ada tema atau cerita yang diangkat, narasi, skenario, berbagai aktor, make up, kostum, panggung, dekorasi, setting, pencahayaan, durasi waktu, dan tentunya panggung. Orang yang berperan pikun akan disetting seakan-akan benar pikun. Bahkan bisa diciptakan simulakrum gejala (the simulacrum of symptom), misalnya tampak seperti pucat, lemah, tidak bisa bicara, tidak bisa mendengar, dan tidak bisa merespon, dan 4. Sebuah dunia hukum yang di dalamnya kebenaran diambil alih oleh tiruan-tiruan yang bersifat fiktif, retoris, dan palsu. Di dalamnya perbedaan antara benar-salah, asli-palsu, realitasilusi, jujur-dusta, sakit-sehat, waras-pikun, dibuat menjadi samar-samar. Kebenaran tidak dapat lagi dibedakan dari topeng kebenaran. Garis-garis batas tersebut secara sengaja
15
dibuat menjadi samar-samar, abu-abu dan hukum dibiarkan hidup di atas garis batas yang samar-samar itu. Dengan membaca kondisi semacam itu maka secara ringkas dapat dikatakan bahwa dalam realitanya, peranan pengadilan belum bisa memenuhi harapan masyarakat, karena banyak putusan-putusan yang dikeluarkan tidak menyelesaikan masalah tapi justru menimbulkan masalah baru. Bahkan peran pengadilan tidak lagi hanya sebagai tempat mencari keadilan tapi juga sebagai tempat untuk mencari kemenangan dengan segala cara, dan sebagai tempat jual beli putusan. Hal ini menyebabkan pengadilan mengalami krisis kepercayaan dan kewibaannya di mata masyarakat. Krisis ini merupakan keadaan yang tidak normal, di mana pengadilan yang seharusnya menjalankan fungsi untuk menyelesaikan sengketa secara adil bagi masyarakat telah kehilangan pamornya sebagai tempat mencari keadilan. Parahnya, aktivitas kehidupan masyarakat dewasa ini telah jauh melampaui pemahaman dan batas-batas nalar tradisional31 karena telah muncul tumpang tindih dan silang menyilang di antara berbagai entitas (politik, sosial, hukum, budaya, seksual, media, mistik, agama) berikut kepentingan di belakangnya, sehingga mengkondisikan semacam perkawinan silang di antara entitas-entitas ini, yang menciptakan berbagai bentuk hibrid dan mutan di dalam berbagai aspek kehidupan.32 Meskipun berbagai aktvitas sosial, politik, hukum, agama, budaya, media, militer, perang, dan lain-lain, adalah aktivitas dengan kondisi, prinsip, alam, dan realitasnya sendiri-sendiri, akan tetapi ketika ia bercampur dengan entitas lainnya, maka ia menciptakan berbagai prinsip dasar, kondisi umum, atau sebutlah paradigma yang bersifat hibrid sebagai model operasionalnya. Dalam bentuk lainnya, ketika suatu entitas bersentuhan dengan entitas-entitas lainnya, ia menciptakan semacam perubahan dan evolusi genus pada entitas itu sendiri, yang telah mengubah prinsip dasar, kondisi umum, dan paradigmanya.
31
32
16
Masyarakat pada hakikatnya terdiri dari pelbagai lembaga kemasyarakatan yang saling mempengaruhi dan susunan lembaga kemasyarakatan tadi didasarkan kepada suatu pola tertentu. Soerjono Soekanto, 1982, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Jakarta: UI-Press, hlm. 158-162. Yasrad Amir Piliang, 2005, Transpolitika: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas, Yogyakarta: Jalasutra, hlm. 7-8.
Hibriditas ini tentunya tidak hanya pada tingkat fiskal, tetapi juga pada tingkat simbolik. Misalnya, polisi hibrid, yaitu polisi yang secara semiotik mengkombinasikan tanda-tanda positif (pengabdian, perlindungan, dan loyalitas) dengan tanda-tanda negatif (penipuan, pemerasan, dan pencurian). Ada politisi mutan, yaitu politisi yang telah berubah wujud menjadi seorang pedagang karena memperdagangkan ide-ide politik untuk mendapatkan kekayaan ekonomi, bukan kedudukan politik semata. Kesemuanya dihubungkan oleh semacam garis, terusan, tembusan, atau lintas (trans) yang terbentuk atau sengaja dibentuk sehingga menciptakan daerah antara, daerah abu-abu, atau daerah batas antara politik-hukum, ekonomi-politik, komoditi-agama, dan lain-lain. Dengan kata lain, perbincangan mengenai suatu entitas, misalnya hukum, tidak lagi dimungkinkan tanpa membicarakannya bersama entitas lain yang telah “mencemarinya” misalnya politik, ekonomi, media. Inilah semacam “perselingkuhan” lintas disiplin yang melibatkan politik di dalamnya.33 Dalam pengertian yang sama dengan di atas, dapat dibicarakan “transyudiridika”, di mana kemudian hukum telah terkontaminasi oleh berbagai entitas lain yang bukan merupakan jagat, alam, prinsip, hakikat, atau dunia dari hukum itu sendiri. Hukum menjelma sebagai hibrid pengadilan karena telah bercampur tandatanda positif pengadilan (pengayoman, perlindungan, dan keadilan) dengan tanda-tanda negatif pengadilan (diskriminasi, komoditas, dan penindasan). Kesemuanya menyebabkan munculnya simulakrum hukum seperti telah diuraikan di atas. C. Pengadilan dan Intervensi Kekuasaan Eksekutif Konfigurasi masyarakat yang demikian makin tidak menguntungkan terhadap posisi pengadilan jika ditunjang oleh kekuasaan yang otoriter. Kekuasaan pemerintahan otoriter senantiasa berupaya sistematik dan dengan berbagai cara mempengaruhi pengadilan baik melalui pengaturan peraturan perundang-undangan maupun intervensi langsung kekuasaan eksekutif terhadap proses peradilan. Menurut Zainal Abidin34 gambaran mengenai hal tersebut ada pada pemerintahan Stalin yang sangat kejam meng33 34
Ibid., hlm. 5. Zainal Abidin, “Rule of Law dan Hak-Hak Sosial Manusia dalam Rangka Pembangunan Nasional”, majalah LPHN, No. 10 Tahun 1970, hlm. 43.
17
hancurkan sendi-sendi pengadilan yang independen di Uni Soviet. Stalin menerapkan hukuman, baik bentuk pengasingan maupun hukuman penjara serta hukuman mati tanpa proses peradilan. Intervensi kekuasaan eksekutif terhadap proses peradilan telah memunculkan keberanian sejumlah hakim untuk menegakkan kekuasaan kehakiman yang independen dalam putusan mereka, terutama dalam kasus-kasus yang menyinggung kepentingan penguasa. Hakim-hakim yang telah mempunyai moral dengan aras pascakonvensional tersebut dapat diibaratkan sebagai sebuah “mutiara”, sebuah barang yang nilainya tinggi, tetapi tidak mudah untuk didapatkan. Pada aras pascakonvensional seorang hakim telah mampu menganggap standar benar atau salah sebagai seperangkat asas yang mengenai hak-hak dan kebaikan yang tidak dapat direduksikan dengan rasionalisasi. Hakim yang demikian, ibarat “mutiara terpendam”35, karena merupakan aktor yang mempunyai kapasitas sosial sama dengan sejawatnya, tetapi mempunyai kelebihan dalam hal keteguhan moral dan integritas intelektualnya. Di Amerika Serikat, hakim-hakim legendaris semacam Oliver Wandel Holmes dan Benyamin Cordozo dikenal sebagai hakim agung yang mempunyai reputasi dan integritas tinggi. Di Indonesiapun juga dikenal beberapa hakim agung yang mempunyai integritas tinggi, yang berani menghadapi ketidakadilan yang berada di sekelilingnya dengan membayar risiko tinggi seperti Zainal Asikin Kusumahatmaja, Bismar Siregar, Benyamin Mangkudilaga, dan Abdurrahman Saleh (kini Jaksa Agung). Studi mengenai dampak dari keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, tampaknya bisa dijadikan bahan oleh Mahkamah Agung untuk mengelola keputusannya secara baik. Adapun empat puluh satu hipotesa dari Stepen Wasby tersebut adalah sebagai berikut (dalam S. Rahardjo, tanpa tahun: 90-94) : 1. Berbagai karakteristik a. Suatu rangkaian kasus-kasus mempunyai dampak lebih besar daripada suatu kasus.
35
18
Penulis terinspirasi istilah ini dari ucapan yang sering disampaikan oleh (alm) Ki Nartosabdho (meninggal, 7 November 1985), seorang dalang wayang kulit kenamaan dan kreator gendhing-gendhing kreasi baru asal Semarang, Jawa Tengah, yang sering dianggap reformis dalam pembaruan pakem, sabet, gendhing, dan tata pertunjukan yang tidak lazim pada masanya. Ia mengucapkan kata itu untuk menyebutkan bahwa banyak gendhing-gendhing atau lagu-lagu lama yang bisa ditampilkan secara memikat asal ada pembaruan arransement kerawitan maupun cengkok dan syair yang disajikan.
b. Suatu keputusan yang presedennya pernah dikesampingkan akan menimbulkan penentang lebih besar, daripada yang tidak pernah. c. Ketidakpatuhan akan lebih besar, manakala di situ terlibat komponen ekonomi, daripada apabila tidak. d. Keputusan-keputusan yang membatalkan cacat-cacat prosedural lebih sering dihindari daripada keputusan-keputusan hukum substantif. e. Apabila basis suatu keputusan dinyatakan dengan jelas, akan timbul kepatuhan lebih besar, daripada apabila tidak. f. Penolakan terus-menerus terhadap certiorari mengenai suatu masalah tertentu akan mengalihkan aktivitas dari sistem pengadilan ke lain arena politik. (Certiorari adalah suatu perintah yang bersifat diskresioner yang dikeluarkan oleh pengadilan banding, untuk melakukan peninjauan kembali terhadap persoalan-persoalan, baik yang menyangkut hukum substantif maupun prosedural, demi keadilan). g. Percobaan untuk membatasi Mahkamah diperkirakan akan kurang berhasil, apabila di situ terlibat kepentingan-kepentingan ekonomi dan civil liberties, dibanding dengan manakala yang diputuskan oleh Mahkamah adalah masalahmasalah hubungan-hubungan antara federal dengan negara bagian, atau masalah-masalah pembagian kekuasaan. h. Makin luas keputusan, makin besar dampak dan makin luas ketidakpatuhan. i. Kepatuhan akan muncul dengan lebih segera manakala pengadilan-pengadilan memberikan tuntutan-tuntutan yang jelas, daripada apabila tidak. j. Makin besar sifat teknis dari bahasa yang dipakai dalam suatu keputusan, makin kecil dampaknya. k. Kekurangtegasan (ambiquity) keputusan-keputusan Mahkamah Agung akan menurunkan kepatuhan. l. Manakala tidak ada persetujuan yang jelas mengenai arti suatu keputusan, maka kepatuhan akan kurang, dibanding dengan apabila yang demikian itu ada. m. Ketidakpatuhan akan lebih besar manakala terdapat pendapat-pendapat yang tidak setuju dan/atau terdapat pen-
19
dapat-pendapat yang berbeda, dibanding dengan keputusan yang bulat. n. Makin luas lingkup suatu keputusan, makin susah penyimpangannya, o. Suatu keputusan Mahkamah Agung yang didasarkan pada konstitusi akan kurang menerima serangan dan akan menerima kepatuhan yang lebih besar, daripada suatu keputusan yang didasarkan pada undang-undang, kekuasaan pengawasan dari Mahkamah Agung, atau dasardasar yang lain. 2. Hubungan dengan komunikasi a. Makin banyak saluran untuk pemberitaan keputusan, makin besar dampaknya. b. Informasi mengenai ketentuan tentang bagaimana mematuhi suatu keputusan akan mendatangkan dampak lebih besar, daripada diskusi secara umum mengenai suatu kasus. c. Pemberitaan tentang reaksi negatif dengan segera, cenderung untuk menaikkan ketidakpatuhan. 3. Lingkungan Politik a. Apabila kebijakan sosial yang relevan mendapat dukungan dari mayoritas politik yang kuat, maka keputusan pengadilan yang sesuai dengan itu akan segera diterima. b. Makin besar jumlah peringkat-peringkat pemerintahan dan rakyat yang terkena, makin besar ketidakpatuhan. c. Kepatuhan diperkirakan akan lebih diperlambat, manakala para penentang melihat adanya kesempatan untuk menang dalam menentang Mahkamah, daripada apabila mereka tidak melihatnya. d. Manakala tidak jelas apakah Mahkamah Agung tidak akan mengikuti suatu keputusan terdahulu, maka kepatuhan terhadap keputusan tersebut akan menurun. e. Pertentangan antara partai-partai atau antara kelompokkelompok dalam partai akan meningkatkan ketidakpatuhan dan meningkatkan aksi yang dimaksud untuk menentang keputusan Mahkamah. f. Suatu keputusan diperkirakan akan lebih menggerakkan aksi, manakala ia mengganggu keseimbangan kepenting-
20
an-kepentingan, dibanding dengan keputusan yang menyangkut suatu kepentingan yang tidak melibatkan kepentingan pihak-pihak lain. g. Kemampuan presiden untuk secara sendirian menentang Mahkamah akan jauh berkurang dibanding dengan apabila ia bertindak bersama-sama dalam kongres. h. Golongan-golongan dengan perhatian politik yang luas tampaknya akan lebih dirangsang oleh keputusan Mahkamah daripada golongan-golongan dengan perhatian yang lebih sempit. i. Percobaan untuk menentang Mahkamah akan lebih sering, manakala dirasakan bahwa Mahkamah salah menafsirkan arti, dibanding dengan apabila tidak ada perasaan demikian itu. 4. Langkah-langkah kelanjutan a. Dampak akan terjadi lebih besar apabila dilakukan usahausaha untuk meneruskan suatu keputusan, dibanding dengan apabila yang demikian itu dilakukan. b. Jika keputusan-keputusan yang lalu tidak dijalankan, maka penentangan terhadap keputusan-keputusan yang sekarang akan lebih kecil, dibanding dengan apabila ia dijalankan. c. Kegagalan untuk menemukan lawan bagi keputusan yang tidak disukai akan meningkatkan serangan terhadap keputusan-keputusan Mahkamah yang kemudian. d. Kepatuhan diperkirakan akan lebih sering terjadi manakala dapat ditemukan badan-badan yang akan melakukan peninjauan (review) untuk kepentingan mereka yang menuntut untuk tidak patuh. e. Unit-unit pemerintah diperkirakan akan kurang mematuhi keputusan-keputusan pengadilan, dibanding dengan perorangan. 5. Mereka yang memberikan respon a. Hakim-hakim diperkirakan akan lebih mengikuti pendapat Mahkamah Agung dibanding dengan pejabat-pejabat pemerintah yang lain. b. Hakim-hakim pengadilan federal diperkirakan akan lebih mematuhi ketentuan Mahkamah Agung yang menyangkut
21
negara bagian, dibanding dengan hakim-hakim pengadilan negara bagian itu sendiri. c. Ahli-ahli hukum (lawyers) diperkirakan akan lebih mematuhi keputusan-keputusan Mahkamah Agung daripada bukan ahli hukum. d. Makin besar diskresi oleh para pejabat setempat, makin rendah kepatuhan terhadap keputusan Mahkamah Agung. 6. Kepercayaan dan nilai a. Legitimasi Mahkamah akan meningkat, manakala rakyat bersetuju dengan ketentuan-ketentuan yang dibuatnya. b. Kepercayaan akan kenetralan pengadilan dan kepercayaan bahwa hakim-hakim hanya menemukan hukum dan tidak membuatnya, akan meningkatkan penerimaan keputusankeputusan. c. Mereka yang menganggap, bahwa kekuasaan Mahkamah adalah sah, diperkirakan akan lebih patuh terhadap keputusan-keputusannya, daripada mereka yang tidak menganggapnya. d. Informasi yang lebih besar mengenai keputusan-keputusan Mahkamah akan mendatangkan penolakan yang lebih besar. e. Dukungan terhadap Mahkamah Agung tidak tergantung kepada pengetahuan tentang keputusan-keputusan Mahkamah. Sesungguhnya ancaman intervensi kekuasaan pemerintahan yang otoriter tersebut membawa pengaruh pada putusan hakim yang jauh dari rasa keadilan pada kasus-kasus yang menyinggung kepentingan penguasa. Kalaupun ada putusan pengadilan yang memberikan rasa keadilan kepada pencari keadilan dalam kasus, maka hakim tersebut telah berani mempertaruhkan masa depan kariernya. Putusan pengadilan seperti itu dapat dikatakan sebagai suatu fenomena keadilan personal36, bukan gambaran berjalannya 36
22
Sesungguhnya istilah “keadilan personal” merupakan suatu istilah yang mencerminkan contradictio in termini, yaitu nama untuk suatu kesalahan berpikir yang diidentifikasikan dalam konteks logika sehingga hasilnya adalah kesalahan dalam dirinya sendiri. Keadilan personal atau keadilan individual sering dianggap lawan dari keadilan sosial. Masalah keadilan selalu hanya relevan dalam hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Dengan demikian, persoalan adil atau tidak adil hanya bisa muncul sebagai akibat dari rangkaian aksi dan reaksi dalam kompleks perilaku manusia yang ko-eksistensial. Dengan demikian sesungguhnya tidak ada konsep “keadilan
sebuah sistem hukum suatu negara. Gejala keadilan personal tersebut jelas menggambarkan terjadinya krisis independensi pengadilan sehingga sistem hukum tidak bekerja di mana seharusnya ada sinergi antara perangkat peraturan perundangundangan, kerja aparat penegak hukum, dan tumbuhnya budaya hukum yang kondusif bagi bekerjanya sistem hukum.37 Dalam menghadapi perkara-perkara tersebut, para hakim yang jujur, adil, dan tidak memihak sesungguhnya telah mempertaruhkan masa depan karier dan keselamatan diri dan keluarganya karena mereka berhadapan dengan kekuasaan otoriter yang memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan kekuasaan peradilan. Fenomena keadilan personal yang hadir sebagai akibat bayangbayang ancaman dan campur tangan kekusaan di luar kekuasaan kehakiman terhadap pelaksanaan fungsi peradilan merupakan pelanggaran prinsip kekuasaan kehakiman yang independen. Problematik di sekitar upaya menghadirkan pengadilan yang jujur, adil, dan tidak memihak telah menjadi ciri khas negaranegara otoriter, karena suatu sistem politik yang otoriter mustahil melahirkan proses pengadilan yang ideal tersebut. Pengaruh sistem politik otoriter yang demikian kuat terhadap pelaksanaan fungsi peradilan dapat dilihat di negara-negara yang diperintah oleh junta militer38 atau pemerintahan pseudo demokratis di negara dunia ketiga39 dan negara-negara komunis. D. Pengadilan Dan Pelayanan Penegakan Hukum Dari uraian masalah di atas, dapat diketahui bahwa pengadilan di tengah-tengah masyarakat merupakan lembaga yang tidak steril, khususnya manusia yang ada di dalamnya, sehingga
37
38
39
sosial” dan “keadilan personal.” Tentang hal ini, baca: Budiono Kusumohamidjojo, 2004, Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil, Jakarta: Grasindo, hlm. 182-183. Lawrence M. Friedman, 1998, American Law an Introduction, New York-London: W.W. Norton, hlm. 19-22. Perilaku Junta Militer Argentina yang mengambilalih kekuasaan dari tangan Presiden Isabel Peron pada tahun 1976 memperlihatkan tindakan-tindakan kejam terhadap lawan-lawan politik dengan mengesampingkan proses peradilan. Negara-negara dunia ketiga digambarkan sebagai negara-negara yang sedang membangun infrastruktur industri sebagai bagian dari strategi untuk mencapai industrialisasi dan sangat tergantung pada bantuan modal dan teknologi pada negara-negara industri atau negara-negara dunia pertama. Sebagai contoh negara-negara dunia ketiga adalah sebagian besar negara-negara di Afrika, kecuali Afrika Selatan, dan negara-negara di Asia Tenggara tanpa Singapura dan negara Asia Selatan, serta negara-negara Amerika Latin. Dunia kedua direpresentasikan oleh negara-negara komunis terutama pada periode sebelum runtuhnya Uni Soviet pada 1991.
23
putusan yang dikeluarkan seringkali dilecehkan oleh masyarakat.40 Seperti yang terjadi di Indonesia dewasa ini, di mana kritik yang dilontarkan berbagai kalangan terhadap peradilan di Indonesia telah menjurus ke arah caci maki dan sumpah serapah. Hendak diapakan peradilan dalam kondisi seperti saat ini? Bukan semata-mata ungkapan sinis dan pesimis, namun realitas yang berlangsung mempertontonkan sebuah peradilan dagelan, peradilan yang di dalamnya penuh nuansa formalitas yang pada akhirnya menjadi peradilan sebagai “supermarket keadilan.” Hampir tiap hari kita disuguhi dengan berbagai cerita atau berita mengenai praktik peradilan yang tidak memuaskan. Berita-berita mengenai mafia peradilan41, suap menyuap pada setiap langkah dalam proses peradilan42, hakim-hakim yang tidak menjalankan tata cara pemeriksaan dengan benar, dan lain-lain hampir menjadi santapan sehari-hari. Selama beberapa dekade, pengadilan sebagai salah satu pranata dari hukum modern telah mendapat kepercayaan dari masyarakat dunia. Hal ini disebabkan dalam masyarakat, melalui hukum positif yang telah diundangkan oleh semua negara di dunia, telah tercipta suatu pendapat umum bahwa lembaga peradilan merupakan suatu mekanisme yang disediakan negara untuk menyelesaikan sengketa. Di samping itu, alasan yang mendorong masyarakat menyelesaikan sengketanya ke pengadilan, adalah43: 1. Kepercayaan, bahwa di tempat itu mereka akan memperoleh keadilan seperti mereka kehendaki,
40
41
42
43
24
Menurut Cordozo, hukum buatan hakim sebagai salah satu dari realitas-realitas kehidupan yang ada. Di hadapan para hakim, terdapat berbagai ramuan. Ia bukanlah hakim sampai terlibat dalam proses meramu itu. Unsur-unsur ramuan itu tidak secara kebetulan datang bersama-sama. Baca lebih lanjut: Achmad Ali, op.cit., hlm. 4-5. Dewasa ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat penggeledahan pada tanggal 20 September 2005 yang lalu telah menangkap seorang mantan hakim tinggi, Harini Wijoso, dan lima pegawai Mahkamah Agung serta menyita uang 400.000 ribu dolar AS dan Rp 800 juta dari mereka. Uang itu diberikan Harini Wijoso untuk mengurus perkara tingkat kasasi sehubungan dengan kasus Probosutedjo (adik tiri mantan Presiden Soeharto). Kasus ini telah menyeret nama Ketua Mahkamah Agug, Bagir Manan. Pada tanggal 16 Juni 2005, KPK menangkap pengacara Abdullah Puteh, Tengku Syaifuddin Popon di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ketika sedang melakukan transasksi dengan Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Syamsu Rizal Ramadhan. Transaksi yang dilakukan Popon terkait dengan proses banding kasus korupsi yang dilakukan oleh Abdullah Puteh. Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Loc.cit.
2. Kepercayaan, bahwa pengadilan merupakan lembaga yang mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup dan nilai-nilai utama lainnya. 3. Bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia. 4. Bahwa pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benarbenar memperoleh perlindungan hukum. Namun sayang kepercayaan masyarakat tersebut tidak mendapat respon yang memadai dari pengadilan. Dalam realitasnya, sebagaimana telah terurai di muka peranan pengadilan belum bisa memenuhi harapan masyarakat, karena banyak putusan-putusannya tidak menyelesaikan masalah tetapi justru menimbulkan masalah. Harapan sebagaimana dikemukakan Satjipto Rahardjo, agar pengadilan bukan menjadi tempat untuk membuat keputusan, melainkan untuk memberikan keadilan (dispensing justice)44 tampaknya agak sulit untuk diwujudkan. Krisis pengadilan yang parah tersebut menyebabkan masyarakat tidak lagi mempercayai kredibilitasnya. Di bawah ini dipaparkan pernyataan beberapa lapisan masyarakat yang menunjukkan ketidakpercayaan pada pengadilan. 1. Para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri, seperti UI, IPB, ITB melakukan demonstrasi menuntut Gus Dur dan Megawati menyelesaikan kasus Aceh dalam waktu tiga bulan, dan menuntut agar Soeharto (mantan presiden RI), dan para jendral yang terlibat masalah Aceh diadili dengan pengadilan adat. Hal ini menujukkan bahwa para mahasiswa tidak lagi mempercayai penyelesaian suatu kasus melalui lembaga peradilan formal45. 2. Sekitar 100 orang yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kerukunan (FKK) 24 - 27 Juli menuntut Ketua MA Sarwata mengundurkan diri. Hal ini disebabkan karena putusan Mahkamah Agung (kasasi), yang dilakukan oleh majelis hakim agung yang diketuai Soeharto, Soedarno, dan I Gusti Bagus Mahardika dianggap merupaka hasil kolusi politik. Putusan Mahkamah Agung yang dipersoalkan sebenarnya putusan atas gugatan perdata yang diajukan oleh Megawati Soekarnoputri terhadap Panitia Kongres IV PDI (tergugat I), Fatimah Achmad dan Panangian Siregar (Pimpinan Kongres IV PDI 44 45
Satjipto Rahardjo, Kompas, 7 Maret 1998. SCTV, “Liputan Siang”, 2 Desember 1999.
25
(tergugat II), Soerjadi-Buttu Hutapea (tergugat III), Mendagri (tergugat IV), Panglima ABRI (tergugat V), dan Kapolri (tergugat VI). Dalam putusan sela, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan tidak berwenang menyidangkan gugatan tersebut. Sedangkan pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi (PT) DKI. Jakarta menyatakan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa gugatan tersebut. Pada tingkat kasasi, majelis hakim menyebutkan pihak Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya berwenang memeriksa Panitia Kongres IV, Pimpinan Kongres, dan Soerjadi-Buttu Hutapea. Sedangkan terhadap Mendagri, Panglima ABRI, dan Kapolri tidak bisa diperiksa karena Mahkamah Agung tidak dapat memberikan penilaian terhadap kebijakan pemerintah46. 3. Bahkan seorang dosen Jurusan Desain ITB-pun, Yasraf Amir Piliang, yang seharusnya disibukkan waktunya untuk mengajar dan belajar yang berkaitan dengan gambar, mengkritik kinerja lembaga peradilan “Cara-cara penyelesaian hukum yang serba palsu dan serba semu memperlihatkan bahwa sesungguhnya lembaga-lembaga hukum sudah tenggelam di dalam dunia virtualitas dan pervesiatas. Sehingga, apa yang dapat disajikan tak lebih dari wacana-wacana hukum yang semu the virtual law; keadilan yang palsu -the virtual justice47. 4. Lembaga keuangan internasional, World Bank, juga tidak percaya pada keputusan lembaga peradilan di Indonesia. Hal ini bisa diamati ketika mereka mempertanyakan keputusan hakim pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menyatakan tidak berwenang menangani kasus Djoko S. Tjandra (skandal Bank Bali). Alasan majelis hakim menyatakan tidak berwenang menangani kasus tersebut, karena kasus Djoko S. Tjandra merupakan kasus perdata bukan kasus pidana48. Krisis kepercayaan49 yang dialami selama ini oleh pengadilan dalam mengemban tugas menyelesaikan sengketa telah menim46
47
48 49
26
Kompas, “Korban 27 Juli Unjuk Rasa di MA, Tuntut Ketua MA Mundur”, 22 Februari 2000. Lihat tulisan Yasraf Amir Piliang yang menarik dalam “Justice Game”: Mengadili Bayang-bayang”, Kompas, 12 Juni 1999. Lihat Jakarta Pos, “WB Questions Ruling on Djoko”, March 8, 2000. Tiang utama lembaga peradilan adalah prinsip kepercayaan. Para pencari keadilan menyerahkan penyelesaian perkara kepada pengadilan, karena percaya bahwa mereka akan memperoleh keadilan. Tanpa adanya prinsip kepercayaan ini maka sendi-sendi peradilan akan goyah. Setiawan, Aneka Masalah...Op.cit., h.370.
bulkan krisis kewibawaan pada pengadilan. Bila suatu pengadilan melaksanakan tugasnya secara baik, harusnya kewibawaan itu akan terpancar pada jabatan para hakim. Bahkan masyarakat akan merasa menaruh hormat ketika melihat gedung pengadilan, apalagi kalau masuk di ruang sidang mengikuti jalannya persidangan. Sekarang ini, baik hakimnya maupun ruang sidang pengadilan sudah tidak dipandang lagi sebagai simbol-simbol kewibawaan pengadilan, tapi justru telah menjadi sasaran amuk massa atau pelecehan dari pihak-pihak yang berperkara. Menurut Mardjono50, ketidakpercayaan masyarakat kepada pengadilan adalah salah satu kendala besar dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum. Berikut ini akan dipaparkan beberapa kejadian masa lalu yang menandakan sejak lama kewibawan pengadilan telah runtuh. 1. Pentas Teater di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ketua majelis hakim pada saat itu bertanya pada terdakwa, “Apakah eksepsi Saudara sama dengan yang sudah dibacakan?” Belum sempat terdakwa menjawab, pengunjung sidang langsung berteriak dan menjawab, “Oh lain dong, masak semuanya mau sama.” Suasana sidang bergemuruh. Teriakan. Cacian. Cemooh-pun terjadi di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyidangkan kasus penghinaan Presiden Maret 1994. Beberapa saat kemudian lima orang pemuda dengan kepala berbalut perban, hanya bagian matanya yang terbuka, berjalan meloncat-loncat memasuki ruang sidang. Mereka melakukan pentas teater di ruang sidang sebagai ungkapan protes atas jalannya sidang. 2. Kasus pelemparan telor pada hakim oleh terdakwa Coky51. 3. Pelemparan sepatu oleh Ny. Mimi Lidawati terjadi di Pengadilan Negeri Pusat (Agustus 1987). Ny. Mimi Lidawati seorang saksi pelapor secara tiba-tiba mencopot sepatu sandal hitamnya dan kemudian dilemparkannya ke arah ketua majelis hakim Abdul Razak, begitu hakim itu membacakan vonis hukuman 10 bulan penjara terhadap Ny. Nani. Abdul Razak bisa mengelak, tapi palu hakim yang terletak di atas meja 50
51
Mardjono Reksodiputro, “Pembaharuan Hukum Sebaiknya dari Pembenahan Peradilan”, Kompas, 1 Mei 1999. Kompas, 25 Juli 1995.
27
4. 5.
6.
7.
8.
52 53 54 55
28
sempat terpental. Tampaknya Ny. Mimi tidak puas dengan rendahnya vonis hakim. Ny. Mimi menceritakan bahwa dirinya telah memberi uang Rp. 2.500.000,00 atas permintaan Abdul Razak, dengan harapan Ny. Nani yang telah menggelapkan uang sebanyak Rp. 76.000.000,00 bisa dihukum berat. Kasus hakim dikejar-kejar oleh keluarga terdakwa di pengadilan Negeri Medan.52 Di Lhokseumawe gedung Pengadilan Negeri Lhokseumawe dibakar karena tidak puas terhadap vonis yang dijatuhkan hakim. Di Pengadilan Negeri Jepara, majelis hakim dikejarkejar massa yang tidak puas terhadap vonisnya.53 Massa memecahkan kaca Pengadilan Negeri Cirebon (Jawa Barat) karena menilai proses persidangan atas ES (pengusaha terkenal di daerah Cirebon), terdakwa dalam perkara narkotika dan obat-obatan berbahaya berjalan penuh rekayasa. Pengusaha ini ditangkap di sebuah hotel berbintang di Cirebon bersama barang bukti shabu berikut kompor dan alat hisap, serta 48 butir pil ekstasi. Namun sejak proses penahanan di Polresta Cirebon, penanganan oleh kejaksaan, sampai pembacaan tuntutan di pengadilan, terdakwa banyak mendapat keistimewaan. Koordinator Urban Poor Consortium (UPC), Wardah Hafidz, bersama empat rekannya yang didakwa melakukan pelanggaran ketertiban umum, meninggalkan ruang sidang saat proses pengadilan tindak pidana ringan terhadap mereka sedang berlangsung.54 Terdakwa Bukit Sadikun alias Aciek menonjok muka Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan, setelah mendengar putusan penetapan majelis hakim atas penahanan dirinya. Majelis hakim menjatuhkan putusan itu setelah mendengar dakwaan Jaksa, yang menyatakan Aciek dituduh menipu teman bisnisnya, karena tak mau membayar utangnya sebesar Rp. 635.686.250,00 atas barang-barang aksesoris mobil yang dipesannya.55
Tempo, 26 September 1999. Tempo, 21 Desember 1998. Kompas, 1 Maret 2000. Kompas, 18 Juli 2000.
9. Sekitar 300 warga Desa Banaen, Kecamatan Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada tanggal 5 April 2000 melakukan aksi demo di DPRD karena kecewa terhadap putusan Kamarudin Simanjuntak, hakim di Pengadilan Negeri Kefamanu, yang memvonis bebas terdakwa Anastasia Manus yang di dalam sidang telah mengakui membunuh cucunya yang baru lahir tetapi tidak mempunyai ayah.56 10. Forum Penegak Supremasi Hukum (FPSH) Kabupaten Sikka, NTT memberikan penilaian pada Ketua Pengadilan Negeri Maumere, I.G.N. Pathi Putra, sebagai hakim pemeras dan pedagang perkara.57 11. Kipas-kipas uang di Pengadilan Negeri Surabaya (Oktober 1993). Sejumlah nasabah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) PT. Surya berteriak-teriak menggelar poster sambil mengipasngipas lembaran pecahan 10.000-an di PN Surabaya. Pengadilan Negeri Surabaya yang dipimpin Mansyur Idris waktu itu sedang menyidangkan perkara SRD pimpinan BPR PT.Surya Sahabat yang dituduh menipu dan menggelapkan uang sekitar Rp. 45 milyar. Dalam perkara tersebut, proses persidangan berjalan lambat dan berkali-kali mengalami penundaan. Sebenarnya tindakan masyarakat yang melecehkan hakim tersebut di atas tergolong tindakan yang merongrong kewibawaan peradilan atau sering juga disebut contempt of court58 yang bisa dikenai sanksi pidana. Namun demikian, di Indonesia sampai sekarang undang-undang khusus yang mengatur contempt of court belum ada.59 Pada saat sekarang ini ketentuan undang-undang yang dapat digunakan untuk menjerat pidana warga masyarakat yang melakukan contempt of court adalah hanya dengan KUHP 56 57 58
59
Gatra, 22 April 2000, h.29. Gatra, 22 April 2000, h.29. Contempt of court adalah perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan. Lihat dalam penjelasan Umum butir (4) dari Undang-undang No. 4 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Sedangkan dalam Black’s Law Dictionary, contempt of court. Any act which is calculated to embarrass, hinder, or obstruct court in administration of justice, or which is calculated to lessen its authority or its dignity. Commited by a person who does any act in wilful contravention of its authority or dignity, or tending to impede or frustrate the administration of justice, or by one who, being under the court’s authority as a party to a proceeding therein, wilfully disobeys its lawful order or fails to comply with an undertaking which he has given. Lihat Henry Campbell Black, Op.cit., hlm. 319. Dalam penjelasan Umum Undang-undang No.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung hanya mengatur anjuran untuk membuat undang-undang contempt of court.
29
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana).60 Masalahnya sekarang bukan hanya sekadar merealisasi undang-undang tentang contempt of court, tapi apakah sudah pantas hakim di Indonesia yang banyak terlibat korupsi tersebut dilindungi dengan undangundang contempt of court. Oleh karena itu, sambil menyusun konsep tentang contempt of court, wibawa dan citra hakim harus segera diperbaiki. Sebenarnya usaha-usaha untuk mengembalikan wibawa dan citra hakim sudah sering dilakukan. Misalnya dalam rapat kerja nasional ketua pengadilan di semua lingkungan peradilan, pada bulan Januari 1993, tiga dari lima keputusan rakernas bertujuan untuk mengembalikan wibawa hakim. Pertama, pelatihan hakim atau pembinaan kemampuan para hakim akan terus dilakukan di bawah koordinasi Mahkamah Agung. Kedua, pengawasan terhadap hakim dilakukan dengan sistem bertingkat, yang mengandalkan efektivitas kegiatan hakim banding sebagai ujung tombak. Sistem ini memberikan kewenangan kepada Ketua Pengadilan Tinggi untuk melakukan pengawasan terhadap pengadilan tingkat pertama. Sedangkan Ketua Pengadilan Negeri berhak mengawasi para bawahannya. Ketiga, pola pemantapan kepemimpinan pengadilan ditegaskan untuk mengantisipasi regenerasi hakim tinggi dan hakim agung.61 Namun demikian karena hasil rakernas tersebut bukan keinginan riil dari seluruh jajaran hakim yang ada, maka hasil tersebut tidak pernah ditindaklanjuti dengan langkah kongkrit secara menyeluruh, sehingga sampai sekarang hasil rakernas tersebut hanya sebatas menjadi dokumen di lingkungan pengadilan. Dari peristiwa yang menyangkut krisis pengadilan, dalam kurun waktu tahun 1982-1992, Ismail Saleh (mantan Menteri Kehakiman), berhasil menjaring 266 hakim yang terlibat penyelewengan. Bahkan menurut Zaenal Asikin Kusumahatmaja, mantan 60
61
30
Lihat Pasal 210 (penyuapan hakim); Pasal 216 (tidak menuruti perintah pejabat dimana perintah tersebut dilakukan menurut undang-undang); Pasal 217 (membuat kegaduhan dalam sidang pengadilan); Pasal 221(menyembunyikan orang yang telah melakukan kejahatan atau membantu orang melarikan diri atau menghilangkan/menyembunyikan barang bukti), Pasal 222 (menghalang-halangi pemeriksaan otopsi); Pasal 223 (melepaskan atau menolong orang yang ditahan untuk melarikan diri), Pasal 224 dan Pasal 522 (tidak menyerahkan surat yang dianggap surat palsu); Pasal 227 (memakai suatu hak dimana hak itu telah dicabut oleh hakim), Pasal 231 dan Pasal 232 (melepaskan barang bukti); Pasal 242 (memberikan keterangan/sumpah palsu), dan Pasal 417 (menghilangkan/merusak barang bukti yang dikuasainya karena jabatannya. Lihat Andi Hamzah, Delik-delik Terhadap Penyelenggaraan Peradilan (Contempt of Court), Jakarta, Sinar Grafika, 1989, hlm. 16. Forum Keadilan, 18 Februari 1993.
hakim agung, hampir separuh dari tiga ribu hakim di Indonesia berbuat tidak benar.62 Dari peristiwa yang menyangkut parahnya kerusakan yang terjadi pada lembaga peradilan sebagaimana terurai di muka, seharusnya terdapat lebih banyak pegawai pengadilan ataupun hakim yang dikenai sanksi dari pejabat yang berwenang dibanding era Ismail Saleh. Namun demikian, kalau kita melihat data tentang jumlah hakim atau pegawai pengadilan yang kena sanksi dalam kurun waktu tahun 1990-1997 tampak jauh lebih sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Irjen Departemen Kehakiman Republik Indonesia, dalam kurun waktu tersebut telah terjadi 4 (empat ) orang telah melakukan pungutan liar, 8 (delapan) orang disuap, 2 (dua) orang menerima hadiah, 21 orang melakukan penyalahgunaan wewenang, 5 (lima) orang lalai melakukan tugas, 7 (tujuh) orang melanggar tatib kepegawaian, 23 orang melakukan perbuatan pribadi tercela, dan 1 (satu) orang hidup bersama. Jumlah yang melakukan penyimpangan selama kurun waktu 7 (tujuh) tahun berarti hanya 71 orang. Bila membandingkan dengan penyimpangan yang dilakukan pada kurun waktu 19821992, hal ini berarti Departemen Kehakiman telah berhasil menekan jumlah penyimpangan di lingkungan pengadilan. Namun, ternyata kondisi tersebut tidak terlihat dalam praktik di lapangan. Oleh karena berdasarkan realita, praktik korupsi justru semakin meningkat dari segi kuantitas maupun kualitas. Pertanyaan yang muncul kemudian, hakim dan pegawai pengadilannya yang pandai menyembunyikan perbuatannya atau tim pengawasnya yang tidak cermat? Jawaban tentatif yang mungkin bisa diberikan adalah data statistik tentang terjadinya pelanggaran di lingkungan pengadilan sebagaimana yang dilaporkan oleh Departemen Kehakiman tersebut belum tentu bisa dipercaya sepenuhnya, karena dalam kenyataannya pelanggaran yang dilakukan oleh hakim tidak semuanya dilaporkan atau tertabulasi secara resmi sebagai laporan.63 62 63
Kompas, 4 Desember 1994. Berkaitan dengan hal itu Richard Quinney mengemukakan bahwa “The probability that an offence will not be reported or recorded is controlled by several factors: 1) some offences are known only to the offender and are not likely to be reported; 2) because they lack knowledge of criminal law, victims and witnesses may not report criminal violations; 3) Witnesses to an offence may not want to report the offence because of inconvenience, embarrassment, fear, or lack of interest in law enforcement; 4) The
31
Realitasnya, kondisi krisis yang terjadi di lingkungan pengadilan telah menyebabkan masyarakat kurang memberikan penghargaan pada tugas atau kinerja hakim. Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas menunjukkan bahwa 69,5 persen masyarakat tidak puas dengan kualitas hakim pada saat ini; 27,2 persen puas; sedangkan 3,3 persen tidak tahu64. 70,1 persen masyarakat juga banyak yang tidak puas pada hasil kerja hakim ketika memutus perkara; hanya 19,7 persen yang menyatakan puas pada kinerja hakim.65 Di samping itu, masyarakat juga kurang percaya pada kemandirian hakim dalam memutus perkara. Dari jajak pendapat yang dilakukan Kompas menujukkan data 79,3 persen berpendapat hakim dalam memutus perkara belum terbebas pada kepentingan-kepentingan yang ada di sekelilingnya; dan hanya 7,7 persen menyatakan sudah terbebas; sedangkan 13 persen menyatakan tidak tahu.66 Pada akhirnya, dalam kondisi krisis yang demikian parah, jelas tidak memungkinkan pengadilan menjalankan fungsinya untuk menyelesaikan sengketa secara efektif dan efisien. Keberadaan pengadilan, meminjam istilah David M. Engel, justru dianggap berperan sebagai an anti-social act and as a contravention of established cultural norm,67 dan menciptakan transaction cost yang tinggi bagi dunia bisnis. Penilaian semacam itu jelas tidak menguntungkan bagi kepentingan bangsa, khususnya di hadapan investor asing, apalagi Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa68 dan
64
65
66
67
68
32
victim or witness may be afraid of being implicated in the violation or in other violation if investigated; 5) The victim or witness may fear reprisal if the criminal offence is reported; 6) Friends and relatives may try protect the offender and, therefore, will not report the offence; 7) The victim may fear unfavourable publicity and embarrassment; 8) Social values and public opinion do not favour full enforcement of some criminal laws; 9) Some criminal offences are not readily visible to the general publict or law enforcement agencies; 10) Law-enforcement agencies may wish to conceal some criminal offences. Richard Quinney, Criminology, Analisys and Critique of Crime in America, Boston, Little Brown and Company, 1975, hlm.20. Diselenggarakan oleh Litbang Kompas pada tanggal 21-23 Januari 2000, terhadap pemilik telepon di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Pekanbaru, Lampung, Samarinda, Banjarmasin, Pontianak, Manado, Makasar, Denpasar, dan Jayapura (n=1773). Jajak pendapat yang dilakukan Kompas, 3-4 Maret 2000, terhadap pemilik telepon (n=1.119) di Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makasar. Kompas, 13 Maret 2000. Diselenggarakan oleh litbang Kompas, 17-18 Oktober 1998 terhadap pemilik telepon di Jakarta (n=917). David M. Engel, “The Oven Bird’s Song: Insider, Outsiders, and Personal Injuries in an American Community”, dalam Richard L. Abel (Ed.), The Law and Society, New York, New York University Press, 1995, hlm.13. Lihat Jakarta Pos, “Any Hope for a Realible Judiciary in Indonesia?”, March 14, 2000.
World Bank69 juga menilai bahwa pengadilan di Indonesia tidak reliable. Dalam skala makro, hal ini membuktikan bahwa pengadilan telah gagal membantu pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia yang sedang terpuruk, atau telah gagal melaksanakan saran Adam Smith,70 yang menyatakan “hanya kedamaian, ringannya pajak, dan pelaksanaan peradilan yang dapat diterima yang diperlukan untuk mengangkat negara paling melarat menjadi negara paling sejahtera, selebihnya tergantung pada faktor-faktor alami”. Krisis ternyata telah menyebabkan pengadilan menjadi tidak peka dan responsif memahami tuntutan dunia bisnis yang membutuhkan kepastian hukum, efektivitas, efisiensi, dan velocity. Agar pengadilan bisa menjalankan fungsi sebagaimana mestinya harus dilakukan perubahan, namun demikian perlu juga diperhitungkan bahwa untuk membangun lagi kepercayaan masyarakat pada lembaga pengadilan jelas dibutuhkan waktu yang lama. Menurut Satjipto Rahardjo,71 membangun kepercayaan tidak terletak pada kawasan rasional-teknologis, melainkan pada perasaan. Usaha tersebut dapat dipertanggungjawabkan, oleh karena hukum juga mempunyai fungsi simbolik. Kepercayaan terhadap pengadilan tidak semata-mata terletak pada putusan-putusan pengadilan, tetapi juga pada hal-hal di luar itu. Disadari benar, bahwa membangun kepercayaan tidaklah sama dengan membangun aspek fisik, melainkan lebih kompleks. Membangun kepercayaan adalah merombak perilaku dan budaya hukum, atau dalam bahasa UUD, ‘membangun semangat penyelenggara hukum, dan membangun sumber daya manusia. Hal ini jelas tidak mungkin dilakukan dalam waktu singkat, karena moral hakim, jaksa, dan pengacara atau advokat di Indonesia yang telah mengalami kerusakan yang cukup parah. Sedangkan sekarang ini saja, untuk menemukan satu hakim karier yang mempunyai asas moral yang tinggi sekaligus mempunyai wawasan yang luas dan energi besar untuk membenahi lembaga peradilan juga sulit didapat. Dalam kondisi di mana pengadilan sedang mengalami krisis seperti sekarang ini, tampaknya mengembangkan untuk menyele69
70 71
Kompas, 8 Maret 2000, “Bank Dunia Mempertanyakan keputusan bebasnya Joko Tjandra”. Jakarta Pos, WB Questions Ruling on Djoko, March 8, 2000; Kompas, “Pembebasan Joko S Tjandra Ganggu Kepercayaan Asing”, 9 Maret 2000. Dalam Helen Hughes, Op.cit., h.1. Satjipto Rahardjo, “Negara Hukum dan Deregulasi Moral”, Kompas, 13 Agustus, 1997.
33
saikan sengketa merupakan suatu upaya harus ditempuh agar mekanisme alternatif penyelesaian sengketa mampu lebih berperan mendampingi pengadilan menjalankan fungsi penyelesaian sengketa. Meminjam istilahnya Hart, dalam kondisi masyarakat Indonesia yang telah sampai pada tahap secondary rules of obligation seperti sekarang ini, peranan pengadilan sebagai penyangga utama paradigma litigasi, merupakan tumpuan utama untuk menyelesaikan sengketa, namun demikian ketika pengadilan gagal menjalankan tugas dan fungsinya untuk menyelesaikan sengketa secara efektif dan efisien, maka perangkat-perangkat yang ada pada tahapan primary rules of obligation, yang menggunakan pendekatan konsensus, seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi atau perangkat yang lain akan muncul untuk menjadi alternatif pilihan masyarakat. Dalam tataran praktik hal ini juga telah dilakukan oleh Congress USA ketika mengatasi krisis pengadilan, dengan memberlakukan the Civil Justice Reform Act of 1990, yang salah satu isinya mengusulkan agar mendayagunakan program Alternative Dispute Resolution. Pelayanan penegakan hukum di pengadilan diperburuk lagi dengan tidak adanya kepastian kapan suatu perkara selesai diputus oleh hakim. Jika suatu kasus menarik perhatian publik, mungkin dapat selesai dalam satu tahun bahkan sampai di tingkat kasasi, kasus yang luput dari perhatian masyarakat dapat memakan waktu enam sampai delapan tahun untuk dapat selesai di tingkat kasasi. Hal ini dapat terjadi karena tidak transparannya waktu penyelesaian perkara,72 di samping faktor menumpuknya perkara di Mahkamah Agung. Secara umum, Henri Panggabean73 menyebutkan ada 4 (empat) faktor yang menyebabkan inefektivitas Mahkamah Agung, yaitu: (1) kelemahan court management;74 72
73
74
34
Banyak informasi yang tidak dapat disentuh publik, misalnya menyangkut berita acara persidangan, biaya yang diperlukan dalam proses berperkara, dan jumlah serta penggunaan anggaran pengadilan satu periode tertentu. Isu lain yang cukup menarik adalah salinan kasus korupsi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi. Caranya, memperlambat salinan putusan sampai ke tangan eksekutor. Bagi koruptor, perlambatan salinan tersebut tidak sekadar memperlambat eksekusi, tetapi juga membuka kesempatan melarikan dri. Henry P. Panggabean, 2005, Fungsi Mahkamah Agung Bersifat Pengaturan (Rule Making Power) Tahun 1966-2003, Yogyakarta: Penerbit Liberty, hlm. 46-49. Court management dapat diartikan sebagai pola penanganan berkas perkara yang diikuti oleh pengawasan fungsional yang diarahkan untuk penanganan berkas perkara. Dalam praktik sehari-hari, pendelegasian wewenang pembinaan dan pengawasan yang diatur dalam court management tidak berjalan efektif dan terkesan semua kegiatan itu berpusat di meja Ketua Mahkamah Agung dan Wakil Ketua Mahkamah Agung tanpa tindak lanjut oleh para pemimpin eselon di bawahnya.
(2) program pengikisan tunggakan perkara75 yang tidak berkesinambungan; (3) pola pengawasan dan pembinaan di Mahkamah Agung pun tidak berjalan efektif; dan (4) fungsi pengawasan tidak efektif karena bersifat tertutup. Menurut Novel Ali,76 secara umum pengadilan di Indonesia menghadapi masalah seperti: 1. Gagal memenuhi tegaknya hukum sekaligus sebagai tegaknya keadilan; 2. Tidak menjamin eksistensi (lembaga) pengadilan sebagai lembaga hukum yang mempunyai hati nurani; dan 3. Lebih berorientasi dan mengakses pemuasan kepentingan penguasa ketimbang rakyat sehingga hukum tidak berfungsi sebagai suara keadilan bagi rakyat. Praktik peradilan yang tidak memuaskan masyarakat telah lama dirasakan, yang bertentangan dengan prinsip peradilan murah, cepat, dan sederhana. Akibatnya, kerisauan dan sikap apriori terhadap “orde hukum” yang belum mampu menjawab dan menjelaskan berbagai problem ketidakadilan ternyata tidak semakin menipis, namun malah kian mengembang. Realitas itu menandai ekspektasi konstitusi, yaitu terciptanya supremasi hukum dan persamaan di depan hukum ibarat “jauh panggang dari api.” Peradilan yang independen dan tidak memihak sebagai salah satu prasyarat negara hukum dengan demikian masih penuh problematik. Bahkan secara konkret pengadilan menghadapi problem kegagalan merespon kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan sosial. Hal itu terjadi karena pengadilan masih dilihat sebagai lembaga resolusi sengketa yang sepenuhnya ajudikatif dan kurang menekankan pada kontribusi negosiasi di samping aspek regulasi. Padahal keduanya sangat berbeda dalam resolusi sengketa. Dalam perkara pidana sejatinya pengadilan belum terinspirasi konstribusinya seperti tersebut. Ide pengam75
76
Pada masa Ketua Mahkamah Agung dijabat oleh almarhum Mayjen (Purn.) Moedjono (1984-1988), pernah dilaksanakan Operasi Kikis yang intinya memberikan target tertentu bagi setiap majelis hakim agung guna memberikan putusan. Akibatnya, kebijakan ini “makan korban” karena sejumlah hakim agung meninggal dunia karena sakit akibat terlalu diporsir. Kemudian, program itu dihentikan saat Ketua Mahkamah Agung dijabat oleh almarhum Letjen (Purn.) Ali Said (1988-1993). Kemudian dalam masa Ketua Mahkamah Agung H.R. Poerwata Gandasubrata (1993-1995), kebijakan pengikisan perkara dilanjutkan kembali dan terhenti pada masa kepemimpinan Ketua Mahkamah Agung Soerjono (1995-1997), serta dilanjutkan lagi pada masa kepemimpinan Ketua Mahkamah Agung almarhum Sarwata (1997-2000). Novel Ali, “Reformasi Peradilan, Kemungkinan atau Kemustahilan”, makalah Lokakarya Mengembangkan Peranan Aktor Reformasi Peradilan Kerjasama ATMA dan ICW Jakarta, Surakarta, 27-28 Agustus 2005, hlm. 1.
35
punan para koruptor yang mengembalikan kerugian negara misalnya, belum dilihat dari perspektif tersebut.77 Mochtar Kusumaatmadja (pernah menjadi Menteri Kehakiman 1974-1978 dan Menteri Luar Negeri 1978-1988), sebagaimana dikutip oleh A. Muhammad Asrun,78 mengungkapkan adanya 6 faktor yang melatarbelakangi ketidakpuasan masyarakat terhadap proses peradilan selama ini. Faktor pertama adalah lambatnya penyelesaian perkara yang disebabkan oleh proses distribusi perkara di pengadilan, penentuan majelis hakim, dan penentuan sidang pertama untuk pemeriksaan satu perkara atau permohonan. Faktor kedua adalah adanya kesan bahwa terkadang hakim kurang berusaha memutuskan perkara dengan sungguh-sungguh yang didasarkan kepada pengetahuan hukum,79 hukum positif, dan keyakinannya. Faktor ketiga adalah sering kasus penyuapan atau percobaan penyuapan terhadap hakim tidak dapat dibuktikan, karena teknik pemberian uang suap dilakukan tanpa bukti cukup dan tanpa saksi-saksi. Faktor keempat adalah perkara yang diperiksa kadang di luar pengetahuan hakim yang bersangkutran, karena kompleksitas permasalahan maupun kemalasan hakim yang bersangkutan untuk membuka buku referensi tentang perkara itu. Oleh karena sangat sedikit hakim yang mampu memeriksa kasus transaksi ekonomi berdimensi modern atau kasus multimedia. Faktor kelima adalah para pengacara yang tidak selalu secara profesional bertindak demi klien yang mempercayakan perkara kepadanya dan melaksanakan tugas pengacara untuk turut menegakkan hukum dan keadilan. Faktor keenam adalah pencari keadilan sendiri tidak melihat proses peradilan itu sebagai suatu cara mencari keadilan menurut hukum, melainkan hanya sebagai sarana untuk memenangkan perkaranya dengan cara apapun.80 Segenap faktor terse77
78
79
80
36
Hari Purwadi, “Membangun Sistem Pengadilan yang Responsif”, makalah Lokakarya Mengembangkan Peranan Aktor Reformis Peradilan di Wilayah Eks Karisidenan Surakarta, Surakarta, 27-28 Agustus 2005, hlm. 1. A. Muhammad Asrun, 2004, Krisis Peradilan: Mahkamah Agug di Bawah Soeharto, Jakarta: ELSAM, hlm. 24-25. Cordozo, sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali, op.cit., hlm. 3, mengatakan bahwa pekerjaan memutuskan perkara memang berlangsung setiap hari di ratusan pengadilan di seluruh negeri, sehingga orang mungkin menduga bahwa hakim yang telah mengikuti ribuan kali atau lebih perkara-perkara di persidangan akan mudah menggambarkan proses peradilan itu. Ternyata di dalam faktanya, tidak sesuatu yang lebih jauh dari pengungkapan kebenaran. Ada masyarakat yang sangat dominan watak litigasinya, seperti di Amerika Serikat. Sebagai satu bangsa, orang Amerika digelari “masyarakat yang litigatif.” Terhadap perkara yang paling remeh sekalipun mereka senantiasa berteriak, “See you in court” atau “Kita meminta pengacara kita untuk menggugat sebelum kita meminta lawan
but kemudian menurunkan kinerja peradilan, kepercayaan publik terhadap pengadilan, dan profesi hukum secara keseluruhan. Padahal selama beberapa dekade, pengadilan sebagai salah satu pranata dari hukum modern telah mendapat kepercayaan dari masyarakat dunia. Hal ini disebabkan karena lembaga peradilan merupakan suatu mekanisme yang berfungsi untuk menciptakan integrasi yang menghasilkan koordinasi di dalam masyarakat. Oleh karena itu, praktik buruk peradilan akan memperlemah pengakuan dari masyarakat pencari keadilan terhadap fungsinya dalam menyelesaikan konflik di dalam masyarakat.81 E. Bingkai Tulisan dan Penghampiran Topik Daftar ketidakpuasan terhadap pelayanan penegakan hukum di atas, masih dapat diperpanjang lagi. Dalam kasus Indonesia, masalah yang laten dan terus menjadi perdebatan adalah masalah independensi pengadilan. Untuk itu buku ini hendak menyinggung hal tersebut sebagai arah teoritis eksistensi pengadilan sebagai pelaksanaan sendi negara hukum modern, termasuk keberadaan pengadilan dalam bingkai demokrasi dan berhadapan dengan kekuasaan eksekutif. Selanjutnya, disajikan topik sebuah putusan yang menarik perhatian publik, yaitu Putusan Perkara Kedung Ombo di tingkat kasasi Mahkamah Agung oleh majelis hakim yang dipimpin oleh Asikin Kusumaatmaja. Putusan ini hendak dipilih karena tergolong kontroversial di tengah kejayaan rezim Orde Baru yang represif dan mengandung cara pandang yang “tidak lazim” seperti konsep musyawarah yang harus bebas dari tekanan atau intimidasi baik langsung maupun tidak langsung; meluruskan pengertian konsinyasi yang sering disalahartikan dan disalahgunakan oleh penguasa sebagai alat justifikasi gati rugi, dan keberanian “menyimpangi” asas hukum, yaitu suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut. Dasar hukum kasus tersebut awalnya adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975 (terjadi tahun 1988 dan di-
81
berbicara.” Beberapa gugatan mungkin dapat dipandang lucu, seandainya mereka tidak terlalu serius memandangnya. Contohnya, ketika sekelompok wali murid menuntut dengan segala cara ke pengadilan federal atas suatu kesalahan yang dilakukan oleh seorang petugas di dalam suatu permainan sepak bola pada sebuah SMA; seseorang yang menggugat sebuah restoran hanya karena mentega dari makanan yang telah dipesan beratnya kurang dari dua ons penuh. Baca: Achmad Ali, op.cit., hlm. 18. Soerjono Soekanto, 1978, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan, Jakarta: UI-Press, hlm. 35.
37
tangani Pengadilan Negeri Semarang tahun 1990) yang kemudian diganti dengan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1993. Majelis Hakim ternyata mempergunakan Keputusan Presiden tersebut sebagai salah satu dasar hukum pemberian putusan. Hal yang mencolok juga majelis hakim berani menyimpangi asas hukum acara perdata yaitu “putusan tidak boleh melebihi tuntutan.” Pemohon, yaitu para warga Kedung Ombo, menuntut ganti rugi harga tanah Rp 10.000,00/meter persegi, namun majelis memutus demi keadilan, pemohon harus diberi tanah pengganti yang layak seharga Rp 50.000,00/meter persegi. Di samping itu juga majelis hakim mengabulkan gugatan immateriil sebesar Rp 2 milyar. Pembahasan juga akan dilanjutkan dengan ending dari putusan itu yang kemudian dibatalkan dalam proses Peninjauan Kembali (PK) oleh majelis hakim yang dipimpin oleh Purwata Gandasubrata. Dengan analisis tersebut diharapkan akan diperoleh gambaran ringkas mengenai bagaimana sendi negara hukum menghendaki suatu lembaga dan prinsip pengadilan yang bebas dan di dalam pelaksanaannya di Indonesia “dicemari” oleh intervensi kekuasaan eksekutif di bawah konfigurasi politik Orde Baru yang otoriter. Pertimbangan pemilihan perkara Kedung Ombo, selain mendapatkan perhatian masyarakat luas, juga dianggap putusan yang adil sehingga sebenarnya merupakan perlawanan terhadap kekuasaan otoriter dalam bentuk perlawanan individual. Putusan yang adil jelas bukan produk sistem politik otoriter. Oleh karena proses pengadilan sebagai elemen sistem hukum yang demokratis jelas tidak akan lahir dari sistem yang otoriter. Putusan tersebut jelas merupakan perlawanan terhadap sistem politik yang membelenggu kekuasaan kehakiman yang bebas. Diharapkan, sebagai suatu pengalaman hukum, keberadaan sistem yang demikian tidak terulang kembali dan dalam konteks ini, maka diharapkan akan lahir sistem dan prosedur pengadilan yang betul-betul berkeadilan dalam era reformasi dewasa ini. Pilihan acuan ini berkesebandingan dengan pendapat Satjipto Rahardjo bahwa Indonesia dewasa ini adalah laboratorium hukum yang sangat bagus, kalau tidak par exellence, di dunia. Hal ini memang suatu ironi, oleh karena kehidupan berhukum kita memang dewasa ini sangat
38
terpuruk, tetapi justru di sisi ilmiah negeri ini menjadi laboratorium yang menonjol.82
82
Satjipto Rahardjo, “Studi Hukum Kritis dan Sosiologi Hukum di Indonesia”, makalah, 18 November 1999, hlm. 1.
39