TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA oleh Susi Zulvina email Susi_Sadeq @yahoo.com Widyaiswara STAN editor Ali Tafriji Biswan email
[email protected]
Abstrak Pemikiran/konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan selalu berkembang sampai saat ini. Meskipun dianggap universal dan klasik, pada implementasinya ketatanegaraan mempunyai banyak aspek aktual karena pengaruh falsafah, ideologi, dan norma dasar masing-masing negara. Secara tegas, sistem pemerintahan negara kita berdasarkan hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Oleh karenanya, pertimbangan hukum menjadi penting, melengkapi pertimbangan administratif jalannya kepemerintahan. Sejalan dengan hal tersebut, diatur beberapa kekuasaan kehakiman dan peradilan, termasuk Pengadilan Pajak. Berdasarkan UU 14 Tahun 2002, disebutkan bahwa pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung; sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan. Sejalan dengan perkembangannya, berdasarkan semangat UU Nomor 4 Tahun 2004, lembaga peradilan termasuk yang terdapat pada kementerian, sudah seharusnya menginduk pada Mahkamah Agung. Dengan demikian, sebagai bagian dari Peradilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Pajak dapat diposisikan kembali berada di bawah Mahkamah Agung, bukan lagi di bawah kementerian. Tulisan ini pada akhirnya membahas runtutan pengaturan peradilan sampai dengan pentingnya kejelasan status dan eksistensi Pengadilan Pajak sebagai salah satu pilar perwujudan negara hukum. Kata kunci: yudikatif, kekuasaan kehakiman dan peradilan, Pengadilan Pajak O000O Ikhwal Kekuasaan Kepemerintahan Hal mendasar tentang teori kekuasaan agar efektif ialah bahwa kekuasaan perlu dibatasi. Montesquieu membagi kekuasaan ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan yudikatif memperoleh penekanan karena pada titik inilah kemerdekaan individu dan hak-hak asasi warga negara dijamin. Dengan adanya kekuasaan yudikatif yang merdeka, 1
hak-hak warga negara dapat terlindungi dari korban kekuasaan yang tidak terkontrol. Kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif inilah yang secara teknis merupakan alat-alat perlengkapan negara (Asshiddiqie, 2006). Kekuasaan pemerintahan dalam peraturan perundang-undangan ditujukan pada perlindungan hukum dan jaminan bagi masyarakat. Apabila pembentuk peraturan perundang-undangan hanya memperhatikan pertimbangan efisiensi (daripada pertimbangan hukum), maka akibatnya kekuasaan pemerintahan “melampaui”, dan semata-mata menjadi negara administratif. Tidak bisa demikian, karena dalam perkembangannya penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan pembangunan semakin luas dan kompleks membutuhkan aturan main yang jelas dan baku. Penerapan asas negara hukum oleh pejabat administrasi terikat dengan penggunaan wewenang kekuasaan. Kewenangan pemerintah dalam negara hukum yang menerapkan asas legalitas dalam konstitusinya, mengandung arti bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat. Asas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintah. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Presiden dan Kementerian Sebagaimana diamanatkan UUD 1945, Presiden adalah penyelenggara kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan kekuasaannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden dan para menteri. Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 menyatakan, “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”, “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”, “Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”. Akan tetapi, Pasal 17 ayat (4) menentukan pula bahwa “Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang”. Maksudnya ialah meskipun penunjukan orangnya merupakan kewenangan mutlak Presiden, struktur organisasi kementerian diatur dalam undang-undang (tidak mudah diubah atau dibubarkan oleh Presiden). Pembentukan, pengubahan, atau pembubaran organisasi kementerian negara harus diatur bersama oleh Presiden dan wakil rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat). Berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, dapat diperoleh pemahaman bahwa pengaturan kementerian negara mengenal sistem parlementer dan presidentil. Dalam sistem pemerintahan kabinet atau parlementer, menteri tunduk dan bertanggung jawab kepada parlemen, sedangkan dalam sistem presidentil, para menteri tunduk dan bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam sistem parlementer jelas sekali bahwa kedudukan menteri adalah bersifat sentral. Perdana Menteri sebagai menteri utama, menteri koordinator, atau menteri yang memimpin para menteri lainnya dalam kabinet adalah kepala pemerintahan, yaitu memimpin pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan secara operasional sehari-hari. Kinerja pemerintahan sepenuhnya berada di tangan para menteri yang dipimpin oleh Perdana Menteri. Dikarenakan sangat kuatnya kedudukan para menteri,
2
parlemen dapat dibubarkan. Sebaliknya, kabinet juga dapat dibubarkan oleh parlemen apabila mendapat mosi tidak percaya dari parlemen. Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, dalam sistem presidentil, kedudukan menteri sepenuhnya tergantung pada Presiden. Para menteri diangkat dan diberhentikan serta bertanggung jawab kepada Presiden. Meskipun demikian, dalam pelaksanaan tugasnya, tentu saja, para menteri itu membutuhkan dukungan parlemen agar kebijakannya berlangsung lancar. Secara umum dapat dikatakan bahwa para menteri dalam sistem pemerintahan presidentil itu mensyaratkan kualifikasi yang lebih teknis/profesional daripada politis seperti dalam sistem parlementer. Dalam sistem presidentil, yang bertanggung jawab adalah Presiden, bukan menteri, sehingga pekerjaan para menteri dalam sistem presidentil itu bersifat lebih profesional daripada politis. Oleh sebab itu, untuk diangkat menjadi menteri seharusnya seseorang memiliki kualifikasi teknis/profesional berdasarkan prinsip meritokrasi. Sistem pemerintahan presidentil menuntut kabinetnya sebagai zaken-kabinet (kabinet ahli) daripada kabinet dalam sistem parlementer yang menonjol sifat politisnya. Dengan demikian, Presiden dan Wakil Presiden yang menjalankan fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan, tidak mungkin terlibat terlalu detail dalam urusan-urusan operasional pemerintahan sehari-hari, karena kewenangan itu telah diberikan kepada para menteri. Berdasarkan amanat Pasal 17 UUD 1945, saat ini kedudukan, tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja kementerian diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 dan peraturan pelaksanaannya yaitu Perpres Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara (Pasal 16). Sebagai sistem pemerintahan presidentil, kedudukan kementerian berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kekuasaan Kehakiman Sebagai negara hukum, konstitusi mengatur bahwa kekuasaan kehakiman dan peradilan, adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara yang diserahkan kepadanya. Badan yang memegang kekuasaan kehakiman dan peradilan itu bekerja untuk menghasilkan putusanputusan yang objektif, dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman antara lain mempunyai lembaga peradilan yaitu Mahkamah Agung yang bebas dari kekuasaan lain atau pengaruh kekuasaan pemerintahan. Menurut ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945, kekuasaan kehakiman tidak sepenuhnya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dalam hal memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi, kekuasaan ini menjadi prerogatif Presiden. Dengan melihat pengaturan hukum atas kewenangan Mahkamah Agung yang tercantum dalam Pasal 24 UUD 1945, maka diketahui adanya kewenangan mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, serta kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Kekuasaan kehakiman lainnya dilaksanakan oleh dua lembaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Konsepsi pemikiran Mahkamah Konstitusi adalah jaminan atas prinsip konstitusionalitas hukum. Mahkamah Konstitusi kedudukannya sejajar dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi 3
memiliki tugas dan kewenangan khusus, sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 C UUD 1945 amandemen yaitu berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutuskan sengketa kewenangan yang diberikan oleh UUD, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Di samping itu, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Adapun Komisi Yudisial hadir untuk menghilangkan krisis kepercayaan terhadap lembaga penegakan hukum, di samping upaya mewujudkan pemisahan yang jelas antara fungsi yudikatif dan eksekutif. Kedudukan lembaga ini bersifat mandiri yang dalam menjalankan tugasnya terlepas dari lembaga lainnya. Kewenangan Komisi Yudisial ditetapkan dalam ketentuan Pasal 24 A dan Pasal 24 B yang intinya menyatakan bahwa Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Urusan Pemerintahan Kementerian Negara Dalam UU Nomor 38 Tahun 2009 disebutkan bahwa kementerian negara adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan sebagai berikut: • urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD1945, meliputi urusan luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan; • urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945, meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan; • urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah meliputi urusan perencanaan pembangunan nasional, aparatur negara, kesekretariatan negara, Badan Usaha Milik Negara, pertanahan, kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi, koperasi, usaha kecil dan menengah, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pemuda, olahraga, perumahan, dan pembangunan kawasan atau daerah tertinggal. Dari pengaturan itu, pola tugas setiap kementerian yaitu menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Terdapat pengecualian mengenai rentang kendali Kementerian Keuangan yang diatur khusus sebagai pengecualian rentang kendali yang berbeda dengan rentang kendali yang diperlakukan pada kementerian yang lain. Berdasarkan Perpres Nomor 47 Tahun 2009 tampak kalau Kementerian Keuangan merupakan kementerian yang besar, memiliki pola struktur organisasi yang besar pula, sebagaimana diatur dalam Perpres tersebut.
4
Reposisi Pengadilan Pajak Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 2003 tentang Sekretariat Pengadilan Pajak, di lingkungan Kementerian Keuangan terdapat Sekretariat Pengadilan Pajak. Lembaga ini dibentuk sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Kedudukan Sekretariat Pengadilan Pajak adalah unsur pelayanan administrasi di lingkungan Pengadilan Pajak. Sekretariat dipimpin oleh seorang sekretaris yang secara administratif berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan dan secara operasional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Pimpinan Pengadilan Pajak. Sekretariat mempunyai tugas memberikan pelayanan di bidang tata usaha, kepegawaian, keuangan, rumah tangga, administrasi persiapan berkas banding dan/atau gugatan, administrasi persiapan persidangan, administrasi persidangan, administrasi penyelesaian putusan, dokumentasi, administrasi peninjauan kembali, administrasi yurisprudensi, pengolahan data, dan pelayanan informasi. Sekretariat Pengadilan Pajak sebagai lembaga yang lahir dan sesuai konstruksi UU Nomor 14 Tahun 2002, apabila terdapat perubahan asas dan filosofi undangundang yang mendasarinya maka konsekuensinya adalah peraturan pelaksanaanya juga akan disusun kembali. Perubahan UUD 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Proses pembinaannya, baik segi teknis maupun administratif mengarah pada satu lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung. Hal ini akan memperjelas arah pengembangan lembaga peradilan, khususnya Pengadilan Pajak, ke depan. Hal ini mendorong pemenuhan prinsip negara hukum yakni jaminan penyelengaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Peraga 1 Pemahaman terhadap Status Pengadilan Pajak • UU 14/2002
Status Pengadilan Pajak
•
• UU 4/2004
Pembinaan teknis peradilan → Mahkamah Agung Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan → Kementerian Keuangan Pembinaan pengadilan khusus (termasuk peradilan tata usaha negara, di dalamnya termasuk Pengadilan Pajak) → dilakukan dalam lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung
5
Berdasarkan ilustrasi pada Peraga 1, dijelaskan bahwa sebelumnya, dalam Pasal 5 UU 14 Tahun 2002 disebutkan bahwa pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung; sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan. Namun demikian, semangat UU Nomor 4 Tahun 2004 adalah bahwa pembinaan pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Yang dimaksud dengan pengadilan khusus dalam ketentuan ini, antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan Pengadilan Pajak di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Akhirnya, semangat UU Nomor 4 Tahun 2004 sebagai “induk” peraturan perundang-undangan kekuasaan kehakiman memberikan panduan bahwa pembinaan organisasi, administrasi, dan finansial Pengadilan Pajak, yang dirumuskan sebagai bagian Peradilan Tata Usaha Negara, juga berada di bawah Mahkamah Agung, bukan lagi di bawah Kementerian Keuangan. Selanjutnya, peralihan kelembagaan akan diatur pada ketentuan peralihan yang diatur dalam undang-undang, tentunya dengan mempertimbangkan kesiapan aspek pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial secara menyeluruh. Berdasarkan pertimbangan kepastian hukum, asas peraturan perundangundangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferiori), maka ke depan Peraturan Menteri Keuangan tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (termasuk yang mengatur Pengadilan Pajak) secara menyeluruh memperhatikan dan mendasarkan diri pada peraturan perundang-undangan yang lebih baru. Demikian pula berbagai peraturan perundang-undangan di bidang organisasi yang berada di luar induk Peraturan Menteri Keuangan tentang Organisasi dan Tata kerja Kementerian Keuangan perlu menyesuaikan dengan asas-asas perundang-undangan. Bahan Bacaan 1) Manan, Bagir. 1994. Hubungan antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan) 2) Indroharto. 2004. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Buku I (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan) 3) Assiddiqie, Jimly. 2006. Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi (Jakarta: Konstitusi Press) 4) Atmosudirdjo, Prajudi. 1981. Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Ghalia Indonesia) 5) Sadjijono. 2008. Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta: Laks Bang Pressindo) 6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945: Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945. 2002 (Jakarta: Sinar Grafika) 7) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak 8) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman 9) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 6
10) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan 11) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara 12) Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 2003 tentang Sekretariat Pengadilan Pajak 13) Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara RI 14) Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara. O000O
7