7
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Torbangun merupakan suatu tanaman jenis perdu, yang memiliki batang tebal, berdaging lunak, dan agak berkayu dengan cabang-cabang yang mencapai ketinggian satu meter. Pada bagian batang terdapat ruas-ruas yang bila menyentuh tanah, maka bisa keluar akar pada bagian tersebut. Torbangun umumnya ditanam di kebun-kebun di daerah dataran rendah dengan ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Batang torbangun memiliki karakteristik lunak dan berair, sementara daun torbangun berwarna hijau muda, berbentuk lonjong serta bergerigi kasar dan tebal. Daun torbangun memiliki bau yang khas dan bermanfaat untuk pengobatan. Pengembangbiakan tanaman ini dapat dilakukan dengan cara stek dan dapat ditanam dalam pot maupun ditanam langsung di tanah. Torbangun tumbuh di tempat-tempat yang tidak terlalu banyak terkena sinar matahari dan mengandung cukup air atau tidak terlalu kering (Tanaman Obat Indonesia 2005). Asal usul tanaman torbangun ini tidak diketahui secara pasti, namun torbangun dikenal sebagai tanaman tahunan di daerah tropis, hidup di dataran rendah hingga ketinggian kira-kira 1100 m di atas permukaan laut. Batangnya berbentuk bulat dan sedikit berambut dan pada kakinya seringkali agak seperti kayu. Jarang berbunga (warnanya ungu putih) namun mudah sekali dibiakkan dengan stek dan cepat berakar didalam tanah (Heyne 1987).
Gambar 1 Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Daun torbangun (coleus amboinicus Lour) memiliki daun tunggal berwarna hijau dengan ukuran panjang 6-7 cm, lebar 5-6 cm. Daging daun torbangun tebal
8
dan letak satu daun berhadapan dengan daun yang lainnya. Daun torbangun memiliki tangkai dan berbentuk bulat telur berujung runcing dengan tepian bergerigi. Tulang daun nampak menonjol seperti jala dan jika diremas daun akan mengeluarkan aroma yang khas (Tanaman Obat Indonesia 2005). Daun torbangun merupakan salah satu sumber bahan pangan yang secara turun temurun dipercaya oleh ibu-ibu suku Batak di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki khasiat sebagai menstimulasi produksi air susu ibu menyusui (Laktagogum). Masyarakat Batak khususnya Batak Karo biasa mengkonsumsi sayur daun torbangun untuk menu sehari-hari dan terutama disajikan untuk ibu yang baru melahirkan. Daun torbangun dikonsumsi secara khusus oleh wanita batak yang sedang menyusui yang diyakini dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas air susu (ASI) (Damanik 2009; Damanik et al 2001) dan dapat meningkatkan status gizi anak yang dilahirkan (Damanik 2005). Selain berkhasiat sebagai lactagogum, masyarakat Batak juga meyakini khasiat daun torbangun sebagai pembersih rahim ibu yang baru melahirkan (uterine cleansing agent), penambah tenaga (tonikum), pengurang rasa nyeri (analgesik), penawar racun (antimikroba/antibakteri) dan obat untuk menyembuhkan penyakit seperti sariawan dan batuk (Damanik et al 2004). Disamping itu hasil suatu penelitian menunjukkan bahwa konsumsi daun Torbangun berpengaruh nyata terhadap peningkatan kadar beberapa mineral seperti zat besi, kalium, seng dan magnesium dalam ASI serta mengakibatkan peningkatan berat badan bayi secara nyata (Damanik et al 2005). Daun torbangun juga dapat dijumpai di hampir semua daerah di Indonesia dengan penamaan yang berbeda. Di Sumatera Utara selain nama torbangun, masyarakat juga menyebutnya sebagai daun Jinten, daun Hati-hati, atau Sukan. Orang Sunda di Jawa Barat menamakannya Ajeran atau Acerang, di Jawa dikenal sebagai daun Kucing sedangkan di Madura dikenal sebagai Majha Nereng atau daun Kambing. Masyarakat Bali menyebutnya sebagai Iwak, sedangkan masyarakat Timor menyebutnya Kumuetu. Pada keadaan segar, helaian daun torbangun bertekstur tebal, sangat berdaging dan berair, tulang daun bercabang-cabang dan menonjol sehingga membentuk bangunan menyerupai jala, permukaan atas berbungkul-bungkul,
9
berwarna hijau muda dan kedua permukaan berambut halus berwarna putih. Pada keadaan kering helaian daun tipis dan sangat berkerut, permukaan atas kasar, warna coklat, permukaan bawah berwarna lebih muda dari permukaan atas, tulang daun kurang menonjol (Depkes RI 1989). Komposisi kandungan kimia daun torbangun secara ilmiah juga belum banyak diketahui. Beberapa yang sudah pernah diteliti oleh Dr. Boorsma (Heyne 1987, Depkes RI 1989) dan Mardisiswojo et al (1985) menunjukkan bahwa dalam daun torbangun terdapat banyak kalium (6,46 persen dari berat kering pada K2O) dan minyak atsiri (0,043 persen pada daun segar atau 0,2 persen daun kering). Menurut Heyne (1987), dari 120 kg daun segar terdapat sekitar 25 ml minyak atsiri yang mengandung fenol (isopopyl-O-kresol) dan atas dasar hal tersebut daun torbangun dianggap sebagai antisepticum yang bernilai tinggi. Minyak atsiri dari daun torbangun juga mempunyai aktivitas tinggi melawan infeksi cacing (Vasquez et al 2000). Selain itu, menurut Mardisiswojo et al (1985) daun dan buah torbangun mengandung zat lemak dan protein. Komposisi zat gizi daun torbangun menunjukkan bahwa dalam 100 g daun torbangun, kandungan kalsium, besi dan karoten total lebih tinggi dibandingkan dengan daun katuk (Sauropus androgynus). Data selengkapnya tentang komposisi zat gizi daun torbangun dan daun katuk disajikan pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1 Komposisi Zat Gizi Daun Torbangun dan Katuk dalam 100 g Berat Basah Komposisi Zat Gizi Energi (kal) Protein (g) Lemak (g) Hidrat arang (g) Serat (g) Abu (g) Kalsium (mg) Phosfor (mg) Besi (mg) Karoten total (µg) Vitamin A (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air (g) Berat dapat dimakan (%) Sumber : (Devi 2009)
Daun Torbangun 27 1.3 0.6 4.0 1.0 1.6 273.86 40 21.37 13288 0 0.16 5.1 92.5 66
Katuk 59 6.4 1.0 9.9 1.5 1.7 233 98 3.5 10020 0 0 164 81 42
10
Manfaat lain dari daun torbangun adalah dapat dimasak sebagai sayur ataupun sebagai lalapan. Di pulau Jawa, daun torbangun seringkali digunakan untuk memberi aroma tajam pada masakan daging kambing. Selain itu daun ini juga bermanfaat sebagai penyembuh luka dengan cara digerus kemudian ditempelkan pada daerah luka, atau dibuat jamu penurun panas, atau langsung dikunyah untuk obat sariawan (Heyne 1987). Di daerah China Penisula, jus daun torbangun dengan ditambahkan gula, seringkali digunakan sebagai obat batuk untuk anak-anak. Di Indo China, daun torbangun seringkali dimanfaatkan sebagai obat asma dan bronkitis (Burkill 1996). Di Malaysia daun torbangun juga dimanfaatkan untuk jamu-jamuan yang direbus dan diberikan setelah melahirkan (Burkill 1996). Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa daun torbangun memiliki banyak manfaat bagi kesehatan.
Gizi Ibu Menyusui Menyusui merupakan aspek yang sangat penting untuk kelangsungan hidup bayi guna mencapai tumbuh kembang yang optimal. Sejak lahir bayi hanya diberikan ASI hingga usia 6 bulan yang disebut sebagai ASI eksklusif. Selanjutnya ASI diteruskan hingga berusia 2 tahun dengan penambahan makanan lunak/padat yang disebut Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang cukup dalam jumlah maupun mutunya (WHO 2002). Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan terbaik dan alamiah untuk bayi. Produksi ASI yang cukup dipengaruhi oleh konsumsi makanan ibu menyusui yang harus dapat memenuhi kebutuhan ganda. Selain untuk memenuhi kebutuhan ibu juga untuk produksi ASI sebagai makanan terbaik bagi bayi baru lahir karena ASI mengandung gizi yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan bayi. ASI juga mengandung antibodi yang dapat melindungi bati dari infeksi dan penyakit tertentu (Soetjiningsih, 1997). Pada saat menyusui ibu harus makan makanan yang cukup agar mampu menghasilkan ASI yang cukup bagi bayinya, memulihkan kesehatan setelah melahirkan dan memenuhi kebutuhan gizi yang meningkat karena kegiatan seharihari yang bertambah. Ibu menyusui memerlukan zat gizi dan minuman lebih banyak daripada saat hamil, banyaknya makanan ibu menyusui disesuaikan
11
dengan kebutuhan gizi ibu (Depkes RI, 2005). Prinsip makanan ibu menyusui sama dengan makanan wanita dewasa hanya jumlah lebih banyak dan mutunya lebih baik. Kebutuhan gizi ibu menyusui meningkat dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Bila sebelum menyusui kebutuhan energi dan protein perempuan usia 19-29 tahun sebesar 1.900 kkal dan 50 g per hari, pada waktu menyusui kebutuhannya akan meningkat menjadi 2.400 kkal dan 67 g per hari pada enam bulan pertama, serta 2.450 kkal dan 67 g per hari pada enam bulan kedua. Demikian juga dengan kebutuhan zat-zat gizi lain, juga akan meningkat selama menyusui. Kebutuhan lemak ibu menyusui disesuaikan dengan kebutuhan energi, yaitu seperlima dari total kebutuhan energi (Kurniasih, 2010). Tabel 2 Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata yang Dianjurkan untuk Ibu Menyusui (per Orang per Hari) Kelompok Energi Protein Vit C Ca Fosfor Umur (th) (kkal) (g) (mg) (mg) (mg) Wanita: - 19 – 29 1900 50 75 800 600 - 30 – 49 1800 50 75 800 600 Menyusui: - 0 – 6 bln +500 +17 +25 +150 +0 - 7 – 12 bln +550 +17 +25 +150 +0 Sumber : Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (2004)
Besi (mg)
Seng (mg)
26 26
9,3 9,8
+6 +6
+4,6 +4,6
Kuantitas makanan untuk ibu menyusui lebih besar dibanding dengan ibu hamil, karena metabolisme meningkat akan tetapi kualitasnya tetap sama. Pada ibu menyusui diharapkan mengkonsumsi makanan yang bergizi dan berenergi tinggi untuk kebutuhan diri sendiri dan produksi ASI (Depkes RI, 2005). Kecukupan gizi ASI juga dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi ibu. Makanan bagi ibu menyusui harus beragam untuk menjamin konsumsi yang cukup akan protein, bermacam vitamin, dan makanan yang mengandung gizi essensial lainnya (Perinasia, 1990).
Zat Besi Zat besi (Fe) merupakan zat gizi mikro yang essensial dalam memproduksi hemoglobin yang berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh dan mengangkut elektron dalam sel. Selain itu zat besi berperan dalam proses
12
sintesis enzim yang mengandung zat besi yang dibutuhkan dalam pemanfaatan oksigen selama proses produksi energi seluler (Linder 1992). Selain itu, zat besi merupakan salah satu komponen penyusun hemoglobin. Jika tubuh kekurangan zat besi (defisiensi zat besi), maka pembentukan hemoglobin akan terhambat yang berakibat pada terhambatnya pembentukan sel darah merah. Selanjutnya timbullah anemia akibat kekurangan zat besi yang disebut sebagai anemia defisiensi zat besi (Wijayakusumah 2007). Daging pangan hewani lengkap dengan residu darah dan sel-sel ototnya, pada umumnya kaya akan zat besi dalam bentuk heme yang bersifat lebih tersedia bagi tubuh bila dibandingkan dengan zat besi anorganik dan zat besi dalam bahan nabati (Linder 1992). Bioavailabilitas zat besi dalam bahan pangan nabati relatif rendah. Senyawa-senyawa lain yang kemungkinan terkandung dalam bahan nabati antara lain asam fitat yang terdapat pada biji-bijian, tanin dan oksalat yang terdapat didalam teh dan beberapa sayuran berdaun hijau, serta pektin yang banyak terdapat pada buah-buahan. Zat besi memiliki kemampuan untuk berubah bentuk antara dua keadaan ionik. Dalam keadaan tereduksi, besi kehilangan dua buah elektron sehingga mempunyai dua buah muatan positif. Besi dalam keadaan tereduksi disebut besi ferro (Fe2+). Dalam keadaan teroksidasi, besi kehilangan tiga buah elektron sehingga memiliki tiga muatan positif. Besi dalam keadaan teroksidasi disebut besi ferri (Fe3+). Karena dapat berada dalam keadaan ionik yang berbeda maka besi dapat berfungsi sebagai kofaktor bagi enzim-enzim yang terlibat dalam reaksi oksidasi-reduksi (Whitney et al 1998). Di dalam bahan pangan, terdapat dua macam zat besi yang berpengaruh terhadap mekanisme penyerapan (absorpsi), yaitu zat besi heme dan non heme. Zat besi heme berasal dari bahan pangan hewani terutama hemoglobin dan mioglobin. Sedangkan zat besi non-heme berasal dari serealia, sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan serta beberapa bahan pangan hewani seperti telur dan produk-produk susu (Halberg 1981). Zat besi heme dapat diabsorpsi secara langsung dalam bentuk kompleks besi porfirin. Jumlah zat besi heme yang diabsorpsi lebih tinggi dibandingkan dengan zat besi non heme. Monsen (1988) mengemukakan bahwa zat besi heme dapat
13
diabsorpsi sebesar 15-35 persen, sedangkan zat besi non-heme hanya sekitar 2-20 persen. Pada umumnya 50 persen dari total zat besi dalam daging, ikan serta ayam berada dalam bentuk heme, dan selebihnya dalam bentuk non heme. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, zat besi non heme sebagian besar berasal dari bahan pangan nabati. Informasi mengenai bentuk kimia zat besi pada bahan pangan nabati masih sangat sedikit. Beberapa diantaranya yang telah diketahui adalah senyawa fitat monoferik yang merupakan bentuk utama zat besi dalam gandum, dan fitoferritin yang ditemukan dalam kacang-kacangan (Latunde and Neale 1986). Suhardjo dan Kusharto (1992) menyatakan bahwa pada umumnya dalam bahan pangan nabati, zat besi berada dalam bentuk ikatan ferri, sedangkan dalam bahan pangan hewani berada dalam bentuk ikatan ferro. Zat besi yang berbentuk ferri oleh HCL didalam lambung direduksi menjadi ferro yang lebih mudah diserap oleh sel-sel mukosa usus. Bentuk ferro (Fe2+) dan ferri (Fe3+) bersifat sukar larut dalam pH netral. Lambung yang mempunyai pH rendah menyebabkan Fe3+ dapat berdisosiasi dan bereaksi dengan senyawa-senyawa yang mempunyai berat molekul rendah, seperti fruktosa, asam askorbat, asam sitrat, dan asam-asam amino untuk membentuk senyawa kompleks yang memungkinkan zat besi tetap bersifat larut pada pH netral dengan adanya cairan usus. Zat besi heme diserap terutama di bagian duodenum, sedangkan zat besi non heme juga diserap di daerah jejenum usus halus (Skikne 1988).
Metabolisme Zat Besi Zat besi yang ada dalam tubuh berasal dari tiga sumber, yaitu besi yang diperoleh dari hasil perusakan sel-sel darah merah (hemolisis), besi yang diambil dari penyimpanan dalam tubuh, dan zat besi yang diserap dari saluran pencernaan (Winarno 1997). Sel-sel darah merah yang telah tua didegradasi oleh retikulum endoplasma yang berlangsung terutama dalam organ hati dan ginjal. Secara cepat zat besi yang dibebaskan dari hemoglobin dan profirin akan terikat pada protein transferin dan ferritin serum plasma. Transferin berfungsi untuk mentransfer zat besi kembali ke sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin atau ke bagian tubuh yang
14
memerlukan, sedangkan ferritin akan dikirim langsung ke organ hati (Linder 1992). Ferro dioksidasi menjadi ferri di dalam sel mukosa, kemudian bergabung dengan apoferritin membentuk protein yang mengandung zat besi yaitu ferritin. Untuk masuk ke plasma darah, zat besi dilepaskan dari ferritin dalam bentuk ferro, sedangkan apoferritin yang terbentuk akan kembali lagi kedalam fungsi semula. Zat besi ferro didalam plasma dioksidasi menjadi ferri untuk digabungkan dengan protein spesifik yang mengikat zat besi yaitu transferin. Besi yang ada dalam protein heme harus dibebaskan terlebih dahulu melalui pencernaan protein sehingga gugus heme terlepas. Proses ini terjadi di dalam lumen duodenum. Selanjutnya besi dalam gugus heme ini dibebaskan dari protoforfirin dengan bantuan enzim hemoksigenase yang memecah cincin porfirin (Fairbanks 1999). Mekanisme penyerapan zat besi non heme dibagi menjadi tiga tahap utama, yaitu 1) tahap intraluminal dimana makanan dicerna oleh asam lambung (gastrik) dan enzim pankreatin dan besi dilepaskan dalam bentuk larutan, 2) tahap mukosa dimana zat besi diambil oleh sel mukosa dan diangkut pada sisi serosal atau disimpan sebagai ferritin, dan 3) tahap corporeal, dimana zat besi diambil oleh transferin dalam plasma pada sisi serosa sel mukosa dan dibawa ke hati dan jaringan hemopoitetik (Latunde and Neale 1986). Plasma darah disamping menerima zat besi yang berasal dari penyerapan makanan, juga menerima zat besi dari simpanan (hati, limpa, dan sumsum tulang belakang), pemecahan hemoglobin dan sel-sel yang telah mati. Sebaliknya plasma harus mengirim zat besi ke sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin, juga ke sel endotelial untuk disimpan, dan ke semua sel untuk fungsi enzim yang mengandung zat besi. Jumlah zat besi yang diganti (turnover) sebanyak 30-40 mg/hari dan dari jumlah itu hanya sekitar 1 mg berasal dari makanan (Suhardjo dan Kusharto 1992). Selanjutnya dikatakan pula, bahwa banyaknya zat besi yang dimanfaatkan untuk pembentukan hemoglobin umumnya sebesar 20-25 mg/hari. Zat besi yang berlebihan disimpan sebagai cadangan dalam bentuk ferritin dan hemosiderin di dalam sel parenkim hepatik, sel retikuloendotelial, sumsum tulang, hati dan limpa.
15
Ekskresi zat besi dari tubuh sebanyak 0,5-1,0 mg/hari, dikeluarkan bersama urin, keringat dan feses. Disamping itu zat besi dalam bentuk hemoglobin juga dapat diekskresikan dari dalam tubuh melalui pendarahan dan menstruasi (Suhardjo dan Kusharto 1992).
Bioavailabilitas Zat Besi Latunde dan Neale (1986), menyatakan bahwa bioavailabilitas zat besi diartikan sebagai jumlah zat besi dari bahan pangan yang ditransfer dari lumen usus ke dalam darah. Bioavailabilitas zat besi dipengaruhi oleh kebutuhan gizi seseorang, kecukupan sekresi enzim pencernaan dan interaksi berbagai macam komponen dalam bahan pangan yang berperan dalam pelepasan zat besi. Faktor yang terakhir dapat berupa faktor pendorong dan faktor penghambat absorpsi juga kandungan zat besi dan bentuk kimianya. Kebutuhan zat besi seseorang berbeda-beda. Umur, jenis kelamin, kondisi fisiologis (kehamilan dan menyusui, masa bayi dan remaja), status zat besi individu, dan penyakit dapat mempengaruhi kebutuhan zat besi seseorang. Wanita membutuhkan zat besi lebih banyak daripada pria karena wanita mengalami kehilangan besi selama menstruasi dan membutuhkan lebih banyak besi saat hamil dan menyusui (Halberg 1988). Dalam keadaan defisiensi, seseorang akan menyerap zat besi dari makanan lebih banyak dibandingkan dengan orang lain yang memiliki status besi normal (Husaini et all, 1989). Absorpsi besi non heme dapat meningkat sampai sepuluh kali bila tubuh kekurangan besi atau karena kebutuhan yang meningkat pada masa pertumbuhan (Almatsier 2001). Zat besi dalam tubuh hanya dapat diserap dalam bentuk ferro (Fe2+). Akan tetapi selama pencernaan, valensi zat besi non heme (Fe3+) dapat berubah dan membentuk kompleks zat besi dengan ligan makanan seperti asam askorbat, fitat, tanin dan oksalat. Bioavailabilitas zat besi ditentukan oleh tingkat afinitas setiap ligan terhadap zat besi dan kelarutan kompleks ligan zat besi (Allen et al 1997). Zat besi heme dan non heme juga memiliki perbedaan dalam bioavailabilitasnya. Zat besi heme memiliki bioavailabilitas yang tinggi, yaitu sekitar 15-30 persen, karena diserap secara utuh dalam cincin profirin dan tidak terekspos ligan-ligan penghambat (pengikat) yang ada dalam makanan. Zat besi
16
non heme dalam bahan pangan masuk ke dalam pool yang mudah dipertukarkan (exchangeable pool). Pool ini menyebabkan adanya efek dari ligan-ligan pendorong dan penghambat, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu hanya 2-20 persen besi non heme yang dapat diserap, tergantung pada ligan dan status besi seseorang (Hallberg 1988).
Kalsium Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh, yaitu 1,5 – 2% dari berat badan orang dewasa atau kurang lebih sebanyak 1,3 kg. Dari jumlah ini, 99% berada didalam jaringan keras, yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit 3Ca3(PO4)2Ca(OH)2. Hidroksiapatit merupakan kristal mineral yang terdiri atas kalsium fosfat atau kombinasi kalsium fosfat dan kalsium hidroksida. Kristal mineral ini terbentuk melalui proses klasifikasi matriks tulang yang terdiri atas serabut yang terbuat dari protein kolagen yang diselubungi oleh bahan gelatin. Selebihnya kalsium tersebar luas di dalam tubuh (Almatsier 2001). Mervyn (1989) menyatakan bahwa kalsium merupakan makroelemen logam yang terdapat dalam skeleton dan gigi (1100 g) dan sisanya (10 g) berada dalam sel-sel syaraf, otot dan darah. Fungsi kalsium didalam tubuh antara lain berperan dalam pembentukan tulang dan gigi, mengatur pembekuan darah, katalisator reaksi biologik dan berperan dalam kontraksi otot (Almatsier 2001). Menurut Winarno (1997), disamping berperan dalam pembentukan trombin dan proses penggumpalan darah, kalsium juga diperlukan dalam proses penyerapan vitamin B12 serta bermanfaat dalam struktur dan fungsi membran. Kebutuhan kalsium dapat dicukupi dengan mengkonsumsi bahan pangan sumber kalsium. Bahan makanan yang kaya akan kalsium adalah susu dan hasil olahannya seperti keju dan es krim. Selain itu, ikan, serealia, kacang-kacangan tahu dan tempe serta sayuran hijau juga merupakan sumber kalsium yang baik (Almatsier 2001). Kalsium diabsorpsi dari usus melalui pengangkutan aktif, yaitu melewati suatu perbedaan konsentrasi dengan suatu proses yang membutuhkan energi. Vitamin D dibutuhkan untuk pengangkutan aktif tersebut (Olson et all 1988).
17
Lebih lanjut Muchtadi et al (1993) menjelaskan bahwa absorpsi kalsium terjadi terutama di dalam duodenum dan jejunum. Penyerapan ini terjadi pada pH 6. kurang lebih sebanyak 0,5 g kalsium hilang dan disimpan kembali dalam tulang setiap harinya. Menurut Weaver et al (1999), kehilangan kalsium dari tubuh dapat melalui urin, feses dan keringat. Kehilangan kalsium melalui urin mencapai 100-200 mg per hari, melalui feses mencapai 100-120 mg per hari, dan melalui keringat hanya 16-24 mg, tetapi mencapai 100 mg per hari untuk orang yang bekerja berat. Konsentrasi kalsium dan feses berhubungan dengan intake kalsium. Sebagian besar kalsium pada feses adalah kalsium yang tidak dapat diserap dan hanya sejumlah kecil yang diekskresi dalam tubuh setelah absorpsi, sedangkan sisanya dibuang melalui keringat.
Metabolisme Kalsium Kurang lebih sebesar 20% kalsium diserap dari asupan kalsium 800 mg/hari. Kalsium diabsorpsi melalui duodenum dan jejenum proksimal oleh protein pengikat kalsium yang disintesis sebagai respon terhadap kerja 1,25dihidroksikolekalsiferol (1,25-dihidroksivitamin D3). Absorpsi dihambat oleh senyawa-senyawa yang membentuk garam-garam kalsium yang tidak larut (Martin et al 1987). Kalsium tulang tersebar di antara: a) pool (cadangan) yang relatif tidak berubah/stabil, yang tidak dapat digunakan untuk pengaturan jangka pendek keseimbangan kalsium; dan b) pool yang cepat dan berubah, yang terlibat dalam kegiatan metabolisme kalsium (kurang lebih 1% kalsium tulang). Komponen yang dapat berubah ini dapat dianggap sebagai cadangan yang menumpuk bila makanan cukup kalsium. Cadangan kalsium ini terutama disimpan pada bagian ujung tulang panjang dalam bentuk kristal yang dinamakan trabekula dan dapat dimobilisasi
untuk
memenuhi
kebutuhan
yang
meningkat
pada
masa
pertumbuhan, kehamilan dan menyusui. Kekurangan konsumsi kalsium untuk jangka panjang menyebabkan struktur tulang yang tidak sempurna. Tulang senantiasa berada dalam keadaan dibentuk dan diresorpsi (diserap kembali). Sintesis tulang dominan pada anak-anak, ibu hamil dan menyusui. Pada orang
18
dewasa kedua proses berada dalam keadaan seimbang dimana kurang lebih 600 hingga 700 mg kalsium dipertukarkan tiap hari (Almatsier 2001). Kalsium dalam tulang merupakan sumber kalsium darah. Walaupun makanan kurang mengandung kalsium, konsentrasinya dalam darah akan tetap normal (Almatsier 2001). Konsentrasi kalsium plasma dikontrol oleh kombinasi daya kerja dari hormon paratiroid (PTH), kalsitonin dan metabolit-metabolit aktif vitamin D. Dalam cakupan konsentrasi kalsium plasma 4-10 mg/dl, kadar PTH merupakan kebalikan dari kadar kalsium. Penurunan kadar kalsium plasma sekalipun dalam jumlah kecil akan mengakibatkan kenaikan sekresi PTH, yang kemudian merangsang resorbsi tulang secara aktif. PTH juga merangsang perubahan vitamin D menjadi metabolit yang paling aktif yaitu 1,25dihidroksivitamin D yang bekerja secara sinergis dengan PTH untuk meningkatkan resorbsi tulang. Sistem hormonal vitamin D ini juga terlibat dalam homeostatis kalsium plasma melalui perannya dalam merangsang absorpsi kalsium di usus. Bila kadar kalsium plasma meningkat lebih dari 9,5 mg/dl, jumlah kalsitonin yang dilepaskan meningkat secara proporsional dan menurunkan sekresi PTH yang mengakibatkan turunnya produksi 1,25-(OH)2D3 (Schuette et al 1998).
Bioavailabillitas Kalsium Walaupun bahan makanan mengandung berbagai mineral untuk keperluan tubuh, namun tidak semuanya dapat dimanfaatkan. Hal ini bergantung pada ketersediaan biologisnya (bioavailabilitas). Bioavailabilitas kalsium dapat diartikan sebagai jumlah kalsium yang tersedia dalam bahan pangan yang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh. Semakin tinggi kebutuhan dan semakin rendah persediaan kalsium dalam tubuh akan menyebabkan semakin efisien absorpsi kalsium (Almatsier 2001). Secara umum, bioavailabilitas kalsium dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik berkaitan dengan keadaan fisiologis individu seperti umur, jenis kelamin, kondisi kesehatan, genetik, status gizi, efisiensi absorpsi dan interaksi metabolisme dalam tubuh. Faktor ekstrinsik berkaitan dengan makanan, seperti perlakuan pengolahan dan pemasakan, daya
19
cerna makanan, keanekaragaman pangan, kelarutan zat gizi, interaksi sinergisme dan antagonisme dengan zat gizi lain dalam makanan yang berpengaruh terhadap penyerapan (O’dell et al 1997). Terdapat beberapa cara untuk mengukur bioavailabilitas dari kalsium dan zat besi, yakni secara in vitro ataupun in vivo. Metode in vivo mengukur absorpsi zat gizi pada manusia atau hewan. Adapun metode in vitro merupakan simulasi proses pencernaan makanan pada saluran gastrointestinal pada kondisi tetap (Roig et al 1998). Prinsip pengukuran bioavailabilitas metode in vitro adalah teknis dialisis menggunakan kantung dialisis. Dialisis digunakan untuk untuk memisahkan molekul-molekul besar dan molekul-molekul kecil berdasarkan sifat membran semi permeabel yang meloloskan molekul-molekul kecil dan menahan molekul besar (Gilmore 2002). Metode in vitro dapat digunakan untuk mendeteksi faktor yang mempengaruhi penyerapan kalsium dalam usus, namun tidak dapat mengukur bioavailabilitas secara tepat dibandingkan dengan metode in vivo. Hal ini dikarenakan pada metode in vitro enzim yang digunakan hanya dua jenis, yaitu pepsin dan pankreatin bile yang berfungsi untuk memecah protein sehingga kalsium yang terikat akan lepas dan dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis. Pada pencernaan manusia sebenarnya tidak hanya terdapat dua enzim dimana aktivitas enzim yang berbeda akan menghasilkan tingkat bioavailabilitas yang berbeda pula. Adanya interaksi yang kompleks antar mineral-mineral, serat pangan, dan komponen lain dalam makanan juga menyebabkan keseimbangan mineral pada manusia sulit dipelajari secara in vitro. Meskipun demikian, metode ini dinilai lebih menguntungkan karena dapat dilakukan dengan cepat, praktis dan lebih murah. Metode in vitro juga memungkinkan pengontrolan kondisi secara tepat selama pengujian dan mengurangi keragaman yang terjadi dalam penentuan secara in vivo (Gueguen et al 2000).
Faktor yang Berhubungan dengan Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi Faktor pendukung bioavailabilitas zat besi terutama adalah asam askorbat dan suatu faktor yang belum diketahui didalam bahan pangan daging, ikan dan ayam (Meat-fish-poultry=MFP factor) (Latunde and Neale 1986). Asam askorbat
20
sebagai bahan pereduksi akan melindungi zat besi dari pembentukan ferri hidroksida yang tidak larut. Selain itu, asam askorbat dapat membentuk kelat Feaskorbat yang tetap larut meskipun terjadi kenaikan pH dalam sistem pencernaan usus halus. Pengaruh asam askorbat dalam memperkuat bioavailabilitas zat besi hanya terlihat jika dikonsumsi bersamaan dengan makanan. Tidak ada pengaruh pemberian asam askorbat selama empat atau enam jam setelah mengkonsumsi makanan terhadap bioavailabilitas zat besi (Cook 1977 dalam Monsen 1988). Dikatakan pula oleh Monsen (1988) bahwa asam askorbat jika dikonsumsi bersamaan dengan daging dapat memperkuat penyerapan zat besi sebesar 3-6 kali. Meskipun demikian, asam askorbat yang telah mengalami oksidasi hampir tidak lagi mempunyai efek memperkuat bioavailabilitas zat besi (Monsen 1988). Asamasam organik lain yang juga dapat memperkuat bioavailabilitas zat besi diantaranya adalah asam malat, sitrat, suksinat, laktat dan tartarat (Latunde and Neale 1986). MFP factor dapat memperkuat bioavailabilitas zat besi, yang diduga karena adanya suatu faktor dalam bahan pangan yang dapat bereaksi (counteracting) dengan faktor-faktor yang dapat menghambat bioavailabilitas zat besi, seperti fitat atau ion-ion hidroksi (Lee and Gregor 1983). Menurut Almatsier (2001), faktor yang mendorong penyerapan kalsium adalah vitamin D dalam bentuk aktif. Vitamin D akan meningkatkan absorpsi pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein pengikat kalsium. Laktosa juga meningkatkan absorpsi bila tersedia enzim laktase dalam jumlah yang cukup. Protein di dalam makanan yang dikonsumsi juga mempengaruhi absorpsi kalsium. Garam kalsium lebih banyak larut didalam larutan asam amino daripada air. Penyerapan kalsium akan meningkat dengan meningkatnya konsumsi protein. Namun demikian, ekskresi kalsium melalui urin juga akan meningkat dengan meningkatnya konsumsi protein (Muchtadi dkk 1993). Komponen yang termasuk sebagai penghambat, kebanyakan membentuk kelat dengan zat besi yang bersifat tidak larut. Komponen tersebut antara lain asam fitat, tanin, asam oksalat, kalsium dan fosfor. Mertz et al (1987) menyatakan
21
bahwa senyawa polifenol yang terdapat pada teh dan kopi dapat menghambat bioavailabilitas zat besi, dimana tanin teh lebih berpotensi sebagai inhibitor. Penelitian pengaruh oksalat terhadap bioavailabilitas zat besi ternyata menunjukkan hasil yang kadang-kadang berlawanan. Pertama kali dilaporkan oleh Forth dan Rummel (1973) dalam Latunde and Neale (1986) bahwa asam oksalat merupakan penghambat yang potensial terhadap bioavailabilitas zat besi. Penelitian Gordon et al 1984 dalam Latunde and Neale (1986) menunjukkan bahwa komponen serat dari gandum dan jagung mengikat zat besi secara in vitro, namun penambahan serat dedak gandum pada roti dengan kandungan fitat yang sama tidak berpengaruh terhadap bioavailabilitas zat besi pada tikus. Lignin dan hemiselulosa menghambat bioavailabilitas zat besi pada manusia, sedangkan pektin dan selulosa menunjukkan pengaruh yang berlawanan. Sedangkan faktor yang menghambat penyerapan kalsium diantaranya adanya oksalat dan asam fitat akan membentuk kalsium oksalat dan kalsium fosfat yang tidak dapat larut sehingga tidak dapat diabsorpsi. Keberadaan asam fitat akan membentuk kompleks dengan mineral yang tidak dapat larut sehingga tidak dapat diabsorpsi (Almatsier 2001). Oksalat terdapat dalam jumlah yang besar pada sayuran daun berwarna hijau. Rasio kalsium dengan oksalat biasanya kurang dari 0,5 yang mengindikasikan bahwa semua kalsium yang terkandung dalam sayuran daun hijau seluruhnya berada dalam bentuk terikat dengan oksalat (Allen 1982). Absorpsi kalsium di usus dihambat oleh oksalat dengan mengkelat kalsium dan meningkatkan ekskresinya lewat feses. Absorpsi kalsium dalam bentuk kalsium oksalat hanya sekitar 10% (Gropper et al 2005). Beberapa penelitian secara in vitro menjelaskan bahwa serat makanan mengikat beberapa mineral sehingga menurunkan tingkat kelarutan dan bioavailabilitasnya (Ink 1988). Almatsier (2001) juga menyatakan bahwa serat juga menurunkan absorpsi kalsium, karena serat menurunkan waktu transit makanan dalam saluran pencernaan sehingga mengurangi kesempatan untuk absorpsi. Ekskresi kalsium juga dapat meningkat dengan meningkatnya konsumsi protein. Oleh karena itu, konsumsi protein yang berlebihan secara terus menerus juga dapat meningkatkan resiko osteoporosis dan penyakit batu ginjal (Muchtadi
22
dkk 1993). Konsumsi kafein juga dilaporkan dapat menungkatkan kehilangan kalsium melalui urin (Abdulla et al 1987).
Proses Pengolahan Sayur Daun Torbangun Pada dasarnya tujuan pemasakan adalah untuk melunakkan selulosa dan hemiselulosa sehingga lebih mudah dicerna, mengubah zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan menjadi bentuk yang tersedia bagi tubuh, menambah dan mengubah cita rasa, memperbaiki warna tekstur serta membunuh organisme patogenik dan menghilangkan zat-zat yang terdapat pada bahan makanan mentah (Peckham et al 1969). Disamping itu pemasakan dapat merusak zat gizi makanan. Hal ini disebabkan karena zat gizi tersebut peka terhadap pH pelarut, oksigen, cahaya dan panas atau kombinasinya (Harris et al 1989). Faktor-faktor yang mempengaruhi zat gizi sayuran pada saat pemasakan adalah metode pemasakan, lama dan suhu pemasakan, volume air, ukuran sayuran, dan reaksi dengan media pemasak (Lowe 1963). Soedarmo dan Sediaoetama (1977) mengemukakan bahwa kehilangan zat gizi dapat terjadi karena pemasakan, dan sayur yang dipotong kecil-kecil. Lund (1977) dalam Yahya (1990) menyatakan bahwa perebusan dengan air menyebabkan pemasakan lebih merata, karena sayuran berhubungan langsung dengan panas yang dihasilkan oleh air mendidih sehingga mengakibatkan dinding parenkhim dan kromoplas cepat mengalami kerusakan dan proses osmosa. Keadaan ini mengakibatkan zatzat gizi keluar dari sayuran dan larut dalam cairan pengolah. Bender (1978) menemukan bahwa hilangnya zat besi akibat pemasakan adalah sekitar 32%, sedangkan Lowe (1963) menemukan kehilangan zat besi sebesar 20-30 persen. Kehilangan tersebut sebagian besar disebabkan oleh larutnya besi kedalam air yang digunakan dalam proses pemasakan. Wilmot and Batjer (1978) menyatakan bahwa pemasakan tidak akan merubah kandungan zat besi sayuran, sehingga kehilangan zat besi selama pemasakan adalah melalui cara terlarut dalam cairan pemasak. Zat besi yang terlarut dalam cairan pemasak disebabkan proses leaching zat besi dari sel tanaman. Pemasakan akan menyebabkan tekstur sayuran menjadi lunak. Hal ini terjadi karena protein dalam sitoplasma dan membran sel terdenaturasi sehingga sifat permeabilitas selektifnya
23
hilang. Akibat keluar masuknya air yang tidak legal secara osmosis melainkan secara difusi (Yahya 1990). Volume cairan yang digunakan dalam pemasakan sayuran berbanding lurus dengan tingkat leaching zat besi. Pemasakan sayuran yang direbus dengan santan merupakan macam pemasakan dengan tingkat leaching tertinggi, dibandingkan dengan pemasakan sayuran yang direbus dengan air. Selain itu alat masak yang digunakan juga berpengaruh terhadap tingkat leaching zat besi sayuran (Hardinsyah 1982). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ternyata secara eksplisit proses leaching zat besi dipengaruhi oleh pemanasan, pemasakan sayuran dengan santan, lemak atau minyak dan derajat keasaman cairan pemasak (pH). Klorofil yang terkandung dalam sayuran bersifat larut dalam lemak, dengan demikian klorofil akan larut dalam santan. Larutnya klorofil dalam santan akan merusak membran kloroplas yang mengakibatkan cairan enzim dan mineral lebih mudah keluar dan melepaskan ikatan dari asosiasi dalam kloroplas. Disamping itu lemak yang dikandung santan kelapa merupakan lemak tak jenuh yang mudah teroksidasi membentuk asam lemak bebas yang akan mempengaruhi keasaman cairan pengolah. Cairan pengolah yang semakin asam akan mengakibatkan peningkatan intensitas kerusakan pada dinding sel sayuran (Sukarni dan Kusno 1980). Metode pemasakan dengan cara merebus dapat menurunkan kadar vitamin C bahan pangan karena stabilitas vitamin C dalam cairan pemasak menjadi lebih rendah (Combs 1992). Menurut Muchtadi dan Astawan (1989) bahwa sayuran yang direbus mengalami kehilangan vitamin C lebih besar daripada sayuran yang dikukus. Perebusan dengan air menyebabkan pemanasan bahan, dalam hal ini sayuran, lebih merata karena bahan berhubungan langsung dengan panas yang dihasilkan dari air mendidih, yang mengakibatkan dinding sel parenkim dan kromoplas cepat mengalami kerusakan dan terjadi proses osmosa. Keadaan ini mengakibatkan vitamin C keluar dari sel sayuran dan melarut dalam cairan pengolah. Selanjutnya vitamin C ini akan lebih mudah teroksidasi oleh panas (Yahya 1990).
24
Pangan Sumber Karbohidrat: Nasi (Oryza sativa) Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting, terutama mengacu pada jenis tanaman budidaya, pemberian nama padi juga untuk mengacu pada beberapa jenis dari marga (genus) yang sama, yang biasa disebut sebagai padi liar. Produksi padi dunia menempati urutan ketiga dari semua serelia, setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia. Hasil dari pengolahan padi dinamakan beras. Selama ini beras lebih dikenal sebagai bahan pangan sumber energi, bukan sebagai sumber vitamin A, mineral besi, seng, dan asam amino yang penting bagi kesehatan, khususnya anak-anak. Penelitian pemuliaan padi saat ini telah sampai pada pemanfaatan gen-gen yang berkaitan dengan vitamin dan mineral yang telah berhasil mengembangkan padi kaya besi dan padi kaya beta karoten sebagai sumber vitamin A (Cantrell and Hettel 2002). Karbohidrat umumnya merupakan sumber energi utama pada makanan. Bentuk karbohidrat yang dapat dicerna dalam bahan pangan umumnya adalah pati dan berbagai jenis gula seperti sukrosa, fruktosa, dan laktosa, sedangkan selulosa, pektin dan hemiselulosa tersedia dalam jumlah yang cukup tetapi tidak tercerna. Agar dapat diserap dalam tubuh, alat pencernaan menghidrolisa berbagai bentuk polimerik dari karbohidrat menjadi monomerik glukosa, yang merupakan monomerik utama karbohidrat yang dapat digunakan secara langsung sebagai sumber energi dalam seluruh bagian tubuh. Kelebihan glukosa yang tidak diperlukan diubah menjadi glikogen dan disimpan dalam hati dan jaringan otot, atau diubah menjadi lemak dan disimpan dalam jaringan adiposa (Haryadi 2006). Tabel 3 Kandungan Gizi Nasi per 100 gram Komposisi Zat Gizi
Jumlah
Air (g) 56.7 Energi (kkal) 180 Protein (g) 3 0.3 Lemak (g) Karbohidrat (g) 39.8 Serat (g) 0.2 Kalsium (mg) 25 Fosfor (mg) 27 Zat besi (mg) 0.4 Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (2008)
25
Sebagian terbesar bahan pangan pokok penduduk dunia merupakan hasil dari tanaman yang berpati, meliputi padi-padian, umbi-umbian dan beberapa jenis buah. Berdasarkan evolusi, secara garis besar dapat dengan mudah dibedakan tiga cara utama pengolahan pangan pokok, diantaranya yaitu 1) orang kulit putih umumnya mengolah padian berupa gandum rye menjadi roti, 2) orang kulit kuning dan orang Asia umumnya mengolah padian berupa beras butiran hanya dengan menanaknya, yaitu memanaskan bersama air menjadi nasi, 3) meliputi pembuatan pasta atau bubur dari semua sumber pangan berpati lainnya dengan cara mengaduk campuran tepung berpati tersebut kedalam air mendidih hingga membentuk pasta yang kental (Haryadi 2006). Distribusi kadar abu dalam beras pecah kulit adalah 15% dalam dedak, 10% dalam lembaga, 11% dalam bekatul, dan 28% dalam beras giling. Distribusi P, Fe, dan K menunjukkan kesamaan dengan distribusi abu total. Beberapa mineral lainnya seperti Na dan Ca menunjukkan distribusi yang lebih merata dalam biji. Pada beras giling, 63% kandungan Na dan 74% kandungan Ca diperkirakan berada dalam beras pecah kulit. Walaupun demikian, sebagian besar mineral seperti halnya vitamin dan lipida, terdapat dalam bagian luar biji, terutama di lapisan aleuron dan lembaga. Makin ke bagian tengah, kandungan mineral makin menurun (Damardjati 1988). Sebagian besar mineral dalam abu beras yang terdiri atas P, Mg, dan K terdapat dalam jumlah yang cukup besar pada abu beras pecah kulit dan beras giling. Di samping itu juga terdapat Ca, Cl, Na, Si, dan Fe. Fosfor dan K merupakan mineral utama dalam beras pecah kulit, disusul oleh Si dan Mg (Damardjati 1988).
Pangan Sumber Protein Daging Ayam Broiller Ayam potong atau ayam ras pedaging yang lebih populer disebut broiler, adalah ternak ayam yang cepat pertumbuhannya, ekonomis dalam pengolahannya sehingga memberi kepuasan kepada konsumen (Whinter et al 1960). Menurut Siregar dkk (1982) ayam broiler adalah ayam yang berumur di bawah delapan minggu dengan daging yang empuk dan lembut.
26
Daging ayam merupakan daging yang memiliki nilai gizi tinggi, dapat disajikan dengan mudah dan cepat, rendah kalori serta disukai oleh sebagian besar orang. Zat gizi yang terdapat dalam daging ayam adalah karbohidrat, mineral berupa sodium, potasium, magnesium, kalsium, zat besi, fosfor, slfur dan yodium, serta vitamin berupa vitamin A, niacin, riboflavin, thiamin dan asam askorbat (Mountney 1983). Smith dan Walter (1967) menambahkan, kandungan vitamin yang terdapat pada daging unggas terdiri dari vitamin A,B,D,E,K dan sedikit vitamin C. Perbedaan daging ayam dengan daging ternak lainnya terletak pada komposisi kandungan protein dan lemak yang ada pada daging tersebut. Pada daging ayam, sebagian besar lemak berada pada bagian bawah kulit dan setelah proses pemasakan hanya mengandung 1,3 % lemak. Tabel 4 Kandungan Gizi Daging Ayam Segar per 100 gram Komposisi Zat Gizi Jumlah Energi (kal) 298 Protein (g) 18.2 Lemak (g) 25 Vitamin A (SI) 243 Vitamin B (mg) 0.8 Vitamin C 0 Kalsium (mg) 14 Fosfor (mg) 200 Zat Besi (mg) 1.5 Air (%) 55.9 Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (2008) Forrest et al (1975) menambahkan bahwa nilai kalori pada daging ayam sangat rendah, pada daging ayam kandungan kalorinya adalah 200 kal per 100 g daging sementara pada ayam petelur kalorinya bernilai lebih tinggi yaitu 268 kal per 100 g daging. Sumber kalori daging secara umum diperoleh dari lemak, protein dan sedikit karbohitdrat. Karbohidrat pada daging ayam kebanyakan terdapat dalam bentuk glikogen dan asam laktat. Kadar glikogen kurang dari 1% dan asam laktat sebagai hasil utama glikolisis glikogen pada fase post mortem dan ketika ayam sekarat. Kandungan protein pada unggas cukup tinggi dibandingkan dengan hewan ternak lainnya. Menurut Mountney (1983), kandungan protein daging unggas masak sekitar 25–35%. Daging unggas memiliki kualitas protein yang tinggi dan
27
mempunyai seluruh asam amino esensial yang dibutuhkan tubuh. Pada daging ayam terdapat tiga kelompok protein, yaitu protein sarkoplasma, protein serabut otot dan protein jaringan ikat (Pearson dan Tauber 1984). Protein–protein ini berfungsi menahan daya ikat air pada jaringan yang akan membentuk jaringan yang rigid selama pemanasan (Haam 1981). Protein pada daging ayam memiliki kualitas tinggi yang kaya akan asam amino esensial dibandingkan dengan hewan selain unggas dan mudah dicerna serta diserap oleh tubuh (Muchtadi 1993).
Ikan Lele (Clarias batrachus) FAO (1995) mendefinisikan ikan sebagai organisme yang hidup di air. Kelompok organisme yang dikelompokan sebagai ikan adalah ikan bersirip (finfish), krustasea, moluska, binatang air lainnya dan tanaman air. Ikan termasuk kelas Pisces yang merupakan kelas terbesar dalam golongan vertebrata (Djuwanah 1996). Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia terutama di Pulau Jawa. Budidaya Ikan lele berkembang pesat dikarenakan dapat dibudidayakan di lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar tinggi, teknologi budidaya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, pemasarannya relatif mudah dan modal usaha yang dibutuhkan relatif rendah. Klasifikasi Ikan lele menurut Sunarma (2004) adalah sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Pisces
Sub class
: Teleostei
Ordo
: Ostariophyci
Subordo
: Siluroidea
Famili
: Clariidae
Genus
: Clarias
Species
: Clarias sp
Ikan lele memiliki bentuk tubuh memanjang dan kulit yang licin serta tidak bersisik. Di Indonesia, Ikan lele memiliki beberapa nama daerah, antara lain: Ikan
28
Kalang di Padang, Ikan Maut di Gayo dan Aceh, Ikan Pintet di Kalimantan Selatan, Ikan Keling di Makasar, Ikan Cepi di Bugis, serta Ikan lele atau Lindi di Jawa Tengah. Ikan lele merupakan jenis ikan yang digemari masyarakat, dengan rasa yang lezat, daging empuk, duri teratur dan dapat disajikan dalam berbagai macam menu masakan. Tabel 5 Kandungan Gizi Ikan Lele per 100 gram Komposisi Zat Gizi Air (g) Protein (g) Lemak (g) Natrium (mg) Kalium (mg) Kalsium (mg) Magnesium (mg) Fosfor (mg) Klor (mg) Vitamin D (µg) Vitamin E (mg) Vitamin B (mg) Sumber: Holland et al 1997
Jumlah 80.1 17.6 2.8 95 280 20 27 180 110 0.5 2.1 7.2
Ikan lele banyak digemari karena rasa daging yang khas dan lezat. Selain itu, kandungan gizi pada setiap ekornya cukup tinggi, yaitu protein (17-37%); lemak (4,8%); mineral (1,2%) yang terdiri dari garam fosfat, kalsium, zat besi, tembaga dan yodium; vitamin (1,2%) yaitu vitamin B kompleks yang larut dalam air dan vitamin A, D dan E yang larut dalam lemak (Khairuman dan Amri 2006). Ditinjau dari aspek gizi, ikan merupakan bahan pangan sumber protein yang cukup potensial dan dapat dibandingkan dan disejajarkan dengan bahan pangan hewani lain seperti daging, unggas, telur dan susu.
Tempe Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi biji kedelai atau beberapa bahan lain, menggunakan beberapa spesies kapang Rhizopus, seperti Rhizopus oligosporus, Rh. oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), Rh. Arrhizus, Mucor rouxii dan mucor javanicus. Sediaan fermentasi ini secara umum dikenal sebagai "ragi tempe". Starter tempe adalah bahan yang mengandung biakan jamur tempe, digunakan sebagai agensia pengubah kedelai rebus menjadi tempe akibat
29
tumbuhnya jamur tempe pada kedelai dan melakukan kegiatan fermentasi yang menyebabkan kedelai berubah karakteristiknya menjadi tempe (Brown et al 1988). Selama proses fermentasi, kedelai akan mengalami perubahan fisik maupun kimianya. Protein kedelai dengan adanya aktivitas kapang proteolitik akan diuraikan menjadi asam-asam amino, sehingga nitrogen terlarutnya akan mengalami peningkatan. Adanya peningkatan dari nitrogen terlarut maka pH juga akan mengalami peningkatan. Nilai pH untuk tempe yang baik berkisar antara 6,3 sampai 6,5. Kedelai yang telah difermentasi menjadi tempe akan lebih mudah dicerna. Selama proses fermentasi, karbohidrat dan protein akan dipecah oleh kapang menjadi bagian-bagian yang lebih mudah larut, mudah dicerna dan bau langu dari kedelai dapat dihilangkan (Suliantri dan Rahayu 1990). Kacang kedelai mengandung sejenis enzim, yaitu enzim anti tripsin yang bekerja dalam menghambat aktivitas tripsin dalam usus untuk mencerna protein, tetapi enzim ini tidak aktif bila dipanaskan. Umumnya kedelai tidak digunakan dalam bentuk kedelai segar tetapi diolah terlebih dahulu sehingga menjadi bahan makanan lain yang memiliki nilai gizi tinggi seperti halnya tempe. Keuntungan dari tempe sebagai bahan makanan adalah karena tempe lebih mudah dicerna dan rasanya lebih enak (Suprapti 2003). Tabel 6 Kandungan Gizi Tempe Kedelai Goreng per 100 gram Kandungan Gizi
Nilai Air (g) 36.8 Energi (kkal) 350 Protein (g) 24.5 Lemak (g) 26.6 Karbohidrat (g) 10.4 Serat (g) 4.2 Kalsium (mg) 202 Fosfor (mg) 296 Zat besi (mg) 4.9 B.d.d (%) 100 Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (2008) Tempe memiliki banyak manfaat. Selain memiliki kandungan serat tidak larut yang tinggi dan protein, tempe juga mengandung zat antioksidan berupa karoten, vitamin E, dan isoflavon. Itulah sebabnya tempe sering disebut-sebut sebagai bahan makanan yang dapat mencegah kanker (Wardlaw 1999).
30
Isoflavon merupakan senyawa antioksidan yang terdapat dalam kedelai dan tempe. Isolate kedelai mengandung isoflavon yang dapat menurunkan kolesterol LDL dan menaikkan kolesterol HDL dibandingkan dengan pemberian kasein. Penurunan kolesterol LDL dan meningkatnya kolesterol HDL kemungkinan juga dapat disebabkan pengaruh senyawa antioksidan isoflavon, yang terdapat di dalam tempe maupun kedelai (Marsono et al 1997 dalam Deliani 2008). Tempe mengandung mineral makro dan mikro dalam jumlah yang cukup. Jumlah mineral besi, tembaga dan zink berturut-turut adalah 9,39; 2,87 dan 8,05 mg/100 g tempe. Kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang dapat menguraikan asam fitat (yang mengikat beberapa mineral) menjadi fosfor dan inositol. Dengan terurainya asam fitat, mineral-mineral tertentu (seperti besi, kalsium, magnesium dan zink) menjadi lebih tersedia untuk dimanfaatkan tubuh (Hidayat et al 2006).