i
ANALISIS PERBANDINGAN TIGA KLON TORBANGUN (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) BERDASARKAN KARAKTERISTIK FENOTIPE DAN KANDUNGAN SENYAWA FENOLIK
ELVA HASNA
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Perbandingan Tiga Klon Torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Berdasarkan Karakteristik Fenotipe dan Kandungan Senyawa Fenolik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2013 Elva Hasna NIM F24080123
4
ABSTRAK ELVA HASNA. Analisis Perbandingan Tiga Klon Torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Berdasarkan Karakteristik Fenotipe dan Kandungan Senyawa Fenolik. Dibimbing oleh NURI ANDARWULAN dan SANDRA ARIFIN AZIZ. Torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) merupakan salah satu sayuran berkhasiat obat yang dikonsumsi di Indonesia. Khasiat merupakan efek dari komponen bioaktif yang berada dalam tanaman, yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pada penelitian ini dilakukan perbandingan tiga klon torbangun berdasarkan karakteristik fenotipe, fenolik, serta dikuatkan dengan PLS-DA (Partial Least Square - Discriminant Analysis). Dari hasil identifikasi fenotipe menggunakan deskriptor torbangun yang disusun berdasarkan panduan dari IPGRI diketahui bahwa terdapat dua tipe torbangun: klon A merupakan torbangun bertipe daun tebal, sedangkan klon B dan C bertipe daun tipis. Namun, ketiga klon berbeda signifikan dalam kuantitas total fenolnya, yaitu antara 78.68-149.78 mg GAE/100 g BK. Lain halnya dengan kadar total antosianin yang tidak berbeda signifikan pada klon A dan C, dengan kisaran konsentrasi antara 0.08-0.18 mg C3GE/100 g BK. Metode ekstraksi dan hidrolisis flavonoid yang dilakukan, yaitu selama 2 jam, [HCl] 1.2 M (metode flavonol) dan selama 4 jam, [HCl] 2.0 M (metode flavon). Dengan kedua metode tersebut kelima flavonoid utama (myricetin, quercetin, kaempferol, luteolin, dan apigenin) berhasil dikuantifikasi, dimana kadar yang diperoleh bervariasi mulai 2.35 hingga 86.87 mg/100 g BK. Luteolin diketahui merupakan flavonoid terbanyak yang teridentifikasi, sedangkan yang terendah adalah myricetin. Hasil PLS-DA terhadap data spektrum HPLC yang diperoleh dari kedua metode tersebut mengilustrasikan perbedaan karakteristik flavonoid dari ketiga klon. Dari metode flavonol, senyawa marker klon A adalah unknown peak-4 dan 6; senyawa marker klon B adalah myricetin dan quercetin; sedangkan klon C hanya kaempferol. Dari metode flavon, diketahui bahwa senyawa marker dari klon A adalah apigenin, kaempferol, unknown peak4, dan 6; bagi klon B, yaitu myricetin dan quercetin; sedangkan bagi klon C, yaitu kaempferol. Kata kunci: Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng, torbangun, flavonoid, flavonol, flavon, fenol, antosianin, PLS-DA
5
ABSTRACT ELVA HASNA. Comparative Analysis of Three Clones Torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Based on Phenotype Characteristics and Phenolics Content. Supervised by NURI ANDARWULAN and SANDRA ARIFIN AZIZ. Torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) is a medicinal vegetable consumed in Indonesia. Efficacy of bioactive components within the plant are influenced by environmental factors. In this study, comparison of three clones of torbangun (A, B, and C clones) were analysed through its phenotype and phenolic characteristics, then strengthened by PLS-DA (Partial Least Square Discriminant Analysis). Initially, the results of the phenotype identification using torbangun descriptor, which was prepared under IPGRI guidelines, showed two types of torbangun: A clone is a thick-leaved torbangun, whereas clones B and C were thin-leaved. These three clones differed significantly in total phenolics content, between 78.68-149.78 mg GAE/100 g DB. Total anthocyanins content was not significantly different in clones A and C, the concentrations are between 0.08-0.18 C3GE/100 mg g DB. Methods of extraction and hydrolysis of flavonoids are flavonol method (2 hours extraction, [HCl] 1.2 M) and flavon method (4 hours extraction, [HCl] 2.0 M). Both methods were successfully quantified the five main flavonoids (myricetin, quercetin, kaempferol, luteolin, and apigenin), where the contents obtained varied from 2.35-86.87 mg/100 g DB. Luteolin was the highest identified flavonoid, while the lowest one was myricetin. PLS-DA of HPLC flavonoids spectral data which obtained from both methods, illustrated the different characteristics of the three clones torbangun. In flavonol method, the marker compounds for A clone were unknown peak-4 and 6; while marker compounds for B clone were myricetin and quercetin, and C clone had only kaempferol. In flavone method, the marker compounds of A clone were apigenin, kaempferol, unknown peak-4, and 6; for B clone, myricetin and quercetin; whereas C clone had only kaempferol. Keywords: Plectranthus amboinicus (Lour). Spreng, torbangun, flavonoids, flavonol, flavone, anthocyanins, phenolics, PLS-DA.
6
7
ANALISIS PERBANDINGAN TIGA KLON TORBANGUN (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) BERDASARKAN KARAKTERISTIK FENOTIPE DAN KANDUNGAN SENYAWA FENOLIK
ELVA HASNA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
8
9 Judul Skripsi :
Nama NIM
: :
Analisis Perbandingan Tiga Klon Torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Berdasarkan Karakteristik Fenotipe dan Kandungan Senyawa Fenolik Elva Hasna F24080123
Disetujui oleh
Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si Pembimbing I
Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz M.S Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Ir. Feri Kusnandar M.Sc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
10
PRAKATA Alhamdulillahilladzi bi ni’matiHi tatimmush-shalihat. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia dan pertolongan-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 hingga Februari 2013 ini ialah flavonoid, dengan judul Analisis Perbandingan Tiga Klon Torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Berdasarkan Karakteristik Fenotipe dan Kandungan Senyawa Fenolik. Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan M.Si dan Ibu Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz M.S selaku pembimbing, serta Ibu Dr. Nancy Dewi Yuliana, S.TP, M.Sc. yang telah menjadi penguji dan memberi banyak masukan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Mbak Ria Noviar, Mbak Ria CN, dan Mbak Irin yang telah membantu dan memberi masukan selama proses analisis kimia, Ibu Sekaryati yang telah banyak membantu penulis selama di lapangan. Ungkapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Papa, Ibu, serta adik saya atas segala doa dan kasih sayangnya. Tak lupa kepada teman-teman sebimbingan (Hilda, Atikah, Harum), juga teman-teman ITP 45 yang selalu memberi dukungan terutama Lathifah, Intan, Diah, serta teman-teman lab mikrobiologi-SEAFAST (Riyah, Yani, Sarah, dan Ranti). Semoga Allah membalas kebaikan kalian dengan yang lebih baik. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memperberat timbangan kebaikan bagi penulis dan pembimbing di akhirat kelak. Shalawat dan salam semoga tercurah atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarganya, para sahabatnya, serta umatnya yang setia hingga akhir zaman.
Bogor, Mei 2013 Elva Hasna
11
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Torbangun
2
Komponen Bioaktif
6
Partial Least Square – Discriminant Analysis METODE PENELITIAN
12 12
Bahan Penelitian
12
Peralatan Penelitian
13
Lokasi dan Waktu Penelitian
14
Prosedur Penelitian
14
HASIL DAN PEMBAHASAN
28
Identifikasi Tiga Klon Torbangun Secara Agronomis
28
Komponen Bioaktif Tanaman Torbangun
32
SIMPULAN DAN SARAN
49
Simpulan
50
Saran
50
DAFTAR PUSTAKA
51
LAMPIRAN
55
RIWAYAT HIDUP
81
12
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7
Kandungan gizi daun torbangun Hasil analisis kualitatif buah takokak Spesifikasi HPLC LOD kelima senyawa flavonoid Perbandingan morfologi tanaman torbangun Linieritas standar dan limit deteksinya Kadar senyawa flavonol dan flavon yang terdeteksi dari tiga klon torbangun (mg/100 g BK) 8 Perbandingan kadar flavonoid sampel daun torbangun dengan daun katuk 9 Peak yang terdeteksi pada tiga klon daun torbangun 10 Senyawa marker dari tiap klon dan metode
5 6 13 18 32 38 41 42 44 46
DAFTAR GAMBAR 1 Torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) 2 Struktur dasar antosianin (Sumber: Lee et al. 2005) 3 Struktur dasar flavonoid dan ringkasan struktur flavonol dan flavon yang diidentifikasi 4 Ukuran pucuk yang dipanen 5 Alat refluks berkondensor spiral yang digunakan 6 Persiapan sampel 7 Prosedur analisis total fenol 8 Prosedur analisis total antosianin 9 Prosedur pembuatan ekstrak flavonol 10 Prosedur pembuatan ekstrak flavon 11 Prosedur pembuatan larutan standar flavonoid 12 Alur penentuan konsentrasi standar flavonoid 13 Keadaan lahan pembudidayaan torbangun 14 Ketiga klon torbangun yang digunakan dalam penelitian 15 Penampang daun dari ketiga klon torbangun (ki-ka: klon A, B, dan C) 16 Diagram total fenol tiga klon torbangun. 17 Perubahan struktur antosianin pada pH berbeda (diadaptasi dari Lee et al. 2005) 18 Diagram total antosianin tiga klon torbangun (diekspresikan dalam cyanidin-3-glucoside/C3G) 19 Tipikal kromatogram standar campuran (konsentrasi 10 ppm, kecuali apigenin [20 ppm]) 20 Tipikal kromatogram klon B yang dihasilkan dari metode ekstraksi dan hidrolisis flavonol (atas) dan flavon (bawah) 21 Profil senyawa flavonol dan flavon pada tiga klon torbangun 22 Kromatogram HPLC tipikal untuk senyawa flavonoid dari tiap klon dan waktu reaksi. Peak: myricetin (M), quercetin (Q), kaempferol (K), luteolin (L), apigenin (A), unknown peaks didefinisikan dengan nomor 1-9.
3 8 9 15 17 21 22 23 24 25 26 27 29 29 30 34 36 36 38 40 41
45
13 23 (a) Score SP dan (b) Loading SP PLS-DA dari spektrum HPLC torbangun klon A, B, dan C dengan metode hidrolisis flavonol. 24 (a) Score SP dan (b) Loading SP PLS-DA dari spektrum HPLC torbangun klon A, B, dan C dengan metode hidrolisis flavon.
48 49
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Dokumen hasil identifikasi/determinasi tumbuhan Tata letak pembudidayaan tanaman di lahan Deskriptor torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Kadar air ketiga klon daun torbangun segar Kadar air ketiga klon daun torbangun setelah freeze drying Kurva standar asam galat Total fenol ketiga klon daun torbangun Hasil ANOVA total fenol (BK) Total antosianin tiga klon daun torbangun Hasil ANOVA total antosianin (BK) Kurva standar flavonoid (myricetin, quercetin, kaempferol, luteolin, dan apigenin) 12 Kadar flavonoid ketiga klon daun torbangun dengan lama reaksi 2 jam, konsentrasi HCl 1.2 M 13 Kadar flavonoid ketiga klon daun torbangun dengan lama reaksi 4 jam, konsentrasi HCl 2.0 M 14 Hasil ANOVA kadar flavonoid (BK)
55 56 57 63 64 65 66 67 68 69 71 73 74 75
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng.) merupakan salah satu tanaman obat (medicinal plants) yang daunnya telah digunakan selama ratusan tahun oleh masyarakat Batak sebagai sayuran untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ASI yang telah terbukti pada manusia (Damanik et al. 2006). Daun torbangun juga dikonsumsi sebagai sayuran oleh masyarakat suku Batak secara umum, tidak hanya oleh ibu-ibu pasca melahirkan. Selain itu, efek farmakologis dari daun ini juga telah dikenal, antara lain sebagai penurun panas (antipiretik), antiseptik, peluruh angin (karminatif), penghilang rasa nyeri (analgesik), pengobat batuk, sakit tenggorokan, hidung tersumbat, serta rematik (Wijayakusuma 2006; Dalimartha 2008; Grace 2011). Berbagai macam khasiat dari tanaman tersebut berkaitan dengan komponen bioaktifnya (Polya 2003). Komponen bioaktif adalah zat-zat ekstranutrisi yang biasa terdapat dalam jumlah sedikit di dalam makanan. Pengonsumsian senyawa ini dapat meningkatkan status kesehatan, serta mengurangi risiko penyakitpenyakit kronis seperti kanker, penyakit jantung koroner, stroke, dan mungkin juga penyakit Alzheimer (Denny dan Buttriss 2005). Masih banyak informasi yang diperlukan untuk mengevaluasi kemanfaatannya bagi kesehatan, salah satunya mengenai kuantitas komponen bioaktif dalam bahan pangan. Analisis menunjukkan bahwa torbangun mengandung komponen bioaktif antara lain alkaloid, terpenoid, saponin, tanin, dan flavonoid (Sathasivam dan Elangovan 2011; Kundu et al. 2011; dan Thenmozhi et al. 2011). Roshan et al. (2009) menuliskan bahwa senyawa flavonoid yang dikandung tanaman ini antara lain apigenin, luteolin, dan quercetin. Jayadeepa (2011) menyatakan bahwa flavonoid seperti quercetin dan kaempferol berpotensi mengaktifkan reseptor prolaktin untuk menginduksi sekresi ASI. Oleh karena itu, penelitian ini dikerucutkan pada senyawa flavonoid, yang merupakan bagian dari senyawa fenolik. Lebih lanjut, flavonoid terbutkti mencegah oksidasi LDL secara in vitro. Studi in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa senyawa flavonol dalam diet dapat menghambat kanker pada manusia dengan perannya sebagai antioksidan dalam plasma darah (Hollman dan Katan 1999). Dari sekian banyak kelas senyawanya, flavonoid yang dominan terkandung dalam sayuran dan dipelajari secara luas dalam studi antikarsinogenesis, antara lain flavonol; yaitu quercetin, kaempferol, dan myricetin; dan flavon; yaitu apigenin dan luteolin (Hertog 1992b dan Lee 2000). Bagian dari kelompok flavonoid yang kerap diidentifikasi karena kemampuannya sebagai antioksidan adalah senyawa antosianin. Kahkonen dan Heinonen (2003) menyatakan bahwa kemampuan antioksidan dari antosianin dapat disandingkan dengan katekin, flavonol (quercetin dan rutin), asam galat, kafeat, serta klorogenat. Senyawa ini pewarna paling penting yang tersebar luas dalam tumbuhan. Pigmen berwarna kuat dan larut dalam air ini menimbulkan hampir semua warna merah, ungu, dan biru pada bunga, daun, dan buah dari tumbuhan tinggi. Secara kimia, semua antosianin merupakan turunan suatu struktur aromatik tunggal, yaitu sianidin, dan semuanya terbentuk dari pigmen
2 sianidin dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil, atau dengan metilasi atau glikosilasi (Harborne 1984). Objek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah tiga klon (tanaman yang didapat dari perbanyakan secara vegetatif) tanaman torbangun berbeda fenotipe yang dapat ditemukan di toko-toko tanaman obat. Masing-masing klon diberi identitas A, B, dan C. Perbedaan fenotipe yang mudah diamati dari ketiga klon tanaman torbangun ini adalah pada ukuran dan tebal daun, serta warna batangnya. Istilah klon berarti kelompok tanaman yang berasal dari induk yang sama dan disebarkan secara aseksual (vegetatif), seperti penyetekan, pencangkokan, pembelahan, atau penyambungan (grafting) (Reed 2007). Kandungan komponen bioaktif dalam tanaman terutama dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti iklim, tanah, dan pemupukan. Namun, variasi atau perbedaan genetik memegang peran yang paling penting (Bernhoft 2010). Oleh sebab itu, dalam penelitian ini peneliti melakukan kontrol terhadap lingkungan hidup tanaman torbangun yang berasal dari tiga klon berbeda. Dari ketiga klon tanaman ini dapat dipelajari lebih lanjut perbedaan senyawa bioaktif yang dikandung. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perbandingan tiga klon torbangun berdasarkan karakteristik fenotipe, data kuantitatif senyawa fenolik, serta menganalisis spektrum hasil HPLC dengan metode PLS-DA untuk memperkuat karakterisasinya.
TINJAUAN PUSTAKA Torbangun Botani dan Taksonomi Torbangun Torbangun berasal dari famili Lamiaceae, genus Plectranthus (ITIS 2012). Peringkat taksonominya adalah sebagai berikut: Kingdom Subkingdom Superdivisi Divisi Kelas Subkelas Ordo Famili Genus Spesies
: Plantae : Tracheobionta : Spermatophyta : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Asteridae : Lamiales : Lamiaceae : Plectranthus L'Hér. : Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng.
3 Tanaman ini memiliki beberapa sinonim secara botani, yaitu Coleus amboinicus Lour., Solenostemon scutellarioides (L.) Codd (ITIS 2012), Coleus aromaticus Benth., Coleus carnosus Hassk., Coleus suborbiculata Zoll & Mor., Plectranthus aromaticus (Benth.) Roxb (Dalimartha 2008). Dari keseluruhan sinonim nama botaninya, torbangun secara resmi memiliki nama latin Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng. yang berlaku secara internasional (ITIS 2012). Dalam Bahasa Inggris, torbangun dikenal dengan beragam nama, seperti country-borage, Cuban-oregano, French-thyme, Indian-borage, Indian-mint, Mexican-mint, soup-mint, dan Spanish-thyme. Dalam bahasa lain, tanaman ini juga dikenal dengan nama berbeda seperti oreille (Prancis), Jamaica-thymian (Jerman), orégano (Spanyol), orégano de cartagena (Kuba), torongil de limon (Filipina), kryddkarlbergare (Swedia) (GRIN 2010). Sedangkan, di Indonesia sendiri penamaannya juga beragam untuk daerah yang berbeda, seperti torbangun atau bangun-bangun, daun jinten, daun ati-ati, sukan, dan tramun di daerah Sumatera; acerang, ajeran (Sunda), daun jinten, daun kucing (Jawa), daun kambing, dan majha nereng (Madura) di daerah Jawa; iwak (Bali), golong (Flores), dan kumu etu (Timor) di daerah Nusa Tenggara (Dalimartha 2008).
Gambar 1 Torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Torbangun (Gambar 1) tergolong tanaman berhabitus herba (Joy et al. 1998). Istilah herba berarti tanaman tak berkayu yang tumbuh tidak jauh dari tanah seperti pohon pada umumnya (Rice-Evans dan Packer 2003). Tumbuhan terna (tidak berkayu) ini berbatang lunak, tetapi pangkalnya seringkali berkayu, menaik tinggi hingga 1 meter. Batangnya beruas, ruas yang menyentuh tanah akan keluar akar, batang muda berambut kasar, berwarna hijau pucat. Daun tunggal tebal berdaging, bertangkai, letak berhadapan bersilang. Helaian daun berbentuk bulat telur, ujung dan pangkal runcing, tepi bergerigi sampai beringgit kecuali bagian pangkalnya, pertulangan menyirip dan bercabang-cabang membentuk gambaran seperti jala, permukaan berambut tebal seperti beledu berwarna putih,
4 panjang 5-7 cm, lebar 4-6 cm, warna hijau muda, jika diremas berbau harum. Permukaan majemuk berupa tandan dengan panjang 20 cm, keluar dari ujung percabangan dan ketiak daun, berwarna biru keunguan. Biji keras, berbentuk pipih, berwarna cokelat muda. Perbanyakan torbangun dilakukan dengan stek batang atau biji (Dalimartha 2008). Torbangun memiliki bunga yang dalam bentuk mayang, yang memuat sekitar 10-20 bunga dalam satu mayang. Pada bunganya dipenuhi rambut halus. Satu mayang berukuran sekitar 10-20 cm. Tangkai bunga berbentuk ramping, panjangnya hanya mencapai 5 mm. Kelopak bunganya berbentuk lonceng, sekitar 1.5-4 mm. Mahkota bunga berwarna biru pucat, lembayung muda, hingga merah muda, berukuran 8-12 mm. Filamen benang sari menyatu dalam sepal (Joshi 2013). Torbangun mudah tumbuh pada kondisi kering dan area semiteduh. Demikian pula pada daerah sub-tropis dan tropis, iklim dingin, di dalam pot, di dalam ruangan, atau pada lokasi terlindung yang hangat saat musim dingin (Grace et al. 2011). Dalimartha (2008) menyatakan bahwa tanaman ini biasa tumbuh liar di pegunungan atau tempat-tempat lainnya yang terlindung, terkadang ditanam di halaman dan kebun sebagai tanaman obat. Terdapat berbagai literatur mengenai asal tanaman torbangun. Kundu et al. (2011) menyatakan bahwa spesies ini berasal dari India dan Mediterania. Germplasm Resources Information Network-GRIN (2010), sebuah proyek perangkat lunak online dari National Genetic Resources Program USDA yang menangani basis data dari seluruh koleksi plasma nutfah yang dimiliki National Plant Germplasm System, menuliskan bahwa tanaman torbangun berasal dari Afrika atau Asia. Lain halnya dengan Integrated Taxonomic Information System/ITIS (2011), yang menginformasikan bahwa tanaman tersebut berasal dari Karibia, Benua Amerika, dan Hawai. Dalimartha (2008) menyatakan bahwa torbangun diperkirakan berasal dari India kemudian tersebar di kawasan tropika dan pantropika. Metabolisme Sekunder Tumbuhan dan Perkembangbiakan Vegetatif Tanaman Torbangun Metabolisme utama pada tumbuhan, atau biasa disebut metabolisme primer, merupakan jalur metabolisme yang menghasilkan produk berupa polisakarida, protein, lemak, dan senyawa lainnya yang digunakan untuk kebutuhan hidup tumbuhan tersebut. Metabolit primer seringkali merupakan senyawa nutrisional bagi manusia. Lain halnya dengan metabolisme sekunder, produknya dapat berupa alkaloid, antosianin, flavonoid, quinon, lignan, steroid, dan terpenoid. Disebut “metabolisme sekunder” karena produknya dihasilkan melalui jalur turunan dari metabolit primer (Oksman-Caldentey 2002). Jumlah besar dari metabolit sekunder ini memiliki cakupan efikasi yang beragam, baik yang bersifat racun maupun kuratif terhadap kesehatan (Bernhoft 2010). Menjaga kesehatan agar tetap optimal dan mereduksi risiko berkembangnya jumlah penyakit degeneratif merupakan landasan pesatnya studi tentang hal ini. Dalam berbagai pustaka, istilah metabolit sekunder tanaman dapat berkembang menjadi fitokimia (phytochemical) atau komponen bioaktif (bioactive compound). Perkembangan vegetatif pada tanaman dapat dilakukan dengan cara penyetekan, pencangkokan, pembelahan, atau penyambungan pucuk (grafting) (Reed 2007). Torbangun merupakan salah satu tanaman yang dapat diperbanyak
5 dengan cara penyetekan (Joy et al. 1998). Istilah klon berkaitan dengan varietas dan kultivar. Sekelompok tanaman dikatakan satu klon yang memiliki gen identik jika berasal dari satu individu, yang direproduksi secara vegetatif. Klon merupakan tipe spesifik dari sebuah kultivar, tetapi kultivar belum tentu dikatakan satu klon, karena kultivar dapat dihasilkan secara seksual (dengan biji) atau secara aseksual (Pittenger 2004). Oleh karena itu, istilah klon digunakan dalam penelitian ini. Fitonutrien Torbangun Bagian yang biasa dikonsumsi dari tanaman torbangun adalah bagian daunnya (Joy et al. 1998), yang memiliki rasa agak pedas, agak asam, getir, membuat rasa tebal di lidah, serta berbau tajam (khas torbangun) (Dalimartha 2008). Analisis proksimat untuk menunjukkan bahwa dalam setiap 100 g edible portion daun torbangun terkandung kalsium dan total karoten yang cukup tinggi, berturut-turut 279 g dan 13288 µg (Mahmud et al. 1990). Adapun zat gizi lain yang terkandung dalam daun torbangun dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Kandungan gizi daun torbangun No
Zat Gizi
1. Energi 2. Protein 3. Lemak 4. Hidrat arang 5. Serat 6. Abu 7. Kalsium 8. Fosfor 9. Zat Besi 10 Karoten Total 11. Vit A 12. Vit B1 13. Vit C 14. Air Sumber: Mahmud et al. (1990)
Kadar per 100 g edible portion daun torbangun 27 kal 1.3 g 0.6 g 4.0 g 1.0 g 1.6 g 279 g 40 g 13.6 g 13288 µg 0 SI 0.16 mg 5.1 mg 92.5 g
Fitokimia Torbangun Fitokimia atau komponen bioaktif merupakan unsur ekstranutrisi yang biasa terdapat dalam jumlah sedikit dalam makanan. Senyawa-senyawa ini banyak intensif mengenai efeknya terhadap kesehatan dipelajari secara (Kris-Etherthon et al. 2002). Hal ini karena senyawa tersebut mampu meningkatkan status kesehatan, mengurangi risiko penyakit-penyakit kronis seperti kanker, penyakit jantung koroner, stroke, dan mungkin juga penyakit Alzheimer (Denny dan Buttriss 2005). Komponen bioaktif pada tanaman dapat didefinisikan sebagai metabolit sekunder tumbuhan yang memunculkan efek farmakologis atau toksikologi pada manusia dan hewan, dimana zat tersebut tidak dibutuhkan untuk fungsi sehari-hari dari tanaman (Bernhoft 2010).
6 Selain bermanfaat dari segi nilai gizi, mengonsumsi daun torbangun juga bermanfaat dari segi fitokimia yang terkandung di dalamnya. Analisis bahan secara kualitatif dengan kromatografi lapis tipis yang dilakukan Sathasivam dan Elangovan (2011), serta dikuatkan pula oleh Kundu et al. (2011), dan Thenmozhi et al. (2011), bahwa secara kualitatif daun torbangun mengandung senyawa alkaloid, terpenoid, saponin, tanin, dan flavonoid (Tabel 2). Roshan et al. (2009) dalam jurnal ulasannya tentang tanaman torbangun menuliskan bahwa tanaman ini mengandung beragam senyawa flavonoid, antara lain apigenin, luteolin, dan quercetin. Tabel 2 Hasil analisis kualitatif buah takokak Senyawa Alkaloid Terpenoid Saponin Tanin Flavonoid
Referensi
Etanol + + + + + Sathasivam dan Elangovan (2011)
Pelarut Petroleum KloroEter form + + + -
Metanol + + + +
Kundu et al. (2011)
Air + + +
Air + + + +
Etanol + + + +
Thenmozhi et al. (2011)
Efikasi Torbangun Wanita-wanita suku Batak di Simalungun, Sumatera Utara, memiliki kepercayaan yang telah bertahan selama ratusan tahun bahwa daun torbangun yang dimasak menjadi sup, dengan campuran ikan atau ayam, dapat meningkatkan produksi ASI. Di daerah tersebut, wanita yang baru melahirkan biasa mengonsumsi sup torbangun minimal selama satu bulan (Damanik 2009). Selain oleh ibu-ibu pasca melahirkan, sayur torbangun juga biasa dikonsumsi oleh masyarakat suku Batak secara umum. Selain itu, efek farmakologis dari daun ini juga telah dikenal, antara lain sebagai penurun panas (antipiretik), antiseptik, peluruh angin (karminatif), penghilang rasa nyeri (analgesik), pengobat batuk, sakit tenggorokan, hidung tersumbat, serta rematik (Wijayakusuma 2006; Dalimartha 2008; dan Grace 2011).
Komponen Bioaktif Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya oleh Kris-Etherthon et al. (2002), komponen bioaktif merupakan unsur ekstranutrisi yang biasa terdapat dalam jumlah sedikit dalam makanan. Walaupun terdapat dalam jumlah sedikit, peranan senyawa-senyawa ini dalam menjaga kesehatan tidak dapat diabaikan, terutama peran potensialnya dalam menjaga kesehatan yang optimal dan menurunkan risiko penyakit degeneratif (Dreosti 2000).
7 Senyawa Fenolik Senyawa fenol merupakan metabolit sekunder yang disintesis tanaman selama perkembangan normal, sebagai respon terhadap stres seperti infeksi, luka, radiasi ultraviolet, dan sebagainya. Senyawa ini tersebar luas pada tanaman dan merupakan metabolit sekunder yang melimpah dalam tumbuhan, dengan lebih dari 8000 struktur fenol yang telah diketahui, bentuk molekul beragam dari yang sederhana seperti asam fenolat hingga substansi yang sangat terpolimerasi seperti tanin. Dalam tanaman fenolat berperan dalam pertahanan terhadap radiasi ultraviolet atau agresi patogen, parasit, dan predator, sebagaimana kontribusinya dalam pemberian warna bagi tanaman. Komponen ini tersebar dalam seluruh organ tumbuhan dan merupakan bagian dari diet manusia. Fenol merupakan konstituen yang tersebar luas dalam makanan nabati (buah-buahan, sayuran, sereal, zaitun, kacang-kacangan, coklat, dll) dan minuman (teh, kopi, bir, anggur, dll), dan sebagian mempengaruhi sifat organoleptik keseluruhan makanan nabati. Contohnya, kontribusi senyawa fenol dalam rasa pahit dan rasa asam buah dan jus buah, karena interaksi antar-fenolat, terutama procyanidin, dan glikoprotein dalam air liur (Naczk dan Shahidi 2004). Komponen fenol juga berpengaruh pada penampakan pangan, seperti timbulnya warna gelap yang berkaitan dengan fenomena browning pada produk buahbuahan dan sayuran (Lee 2000). Istilah senyawa fenolik meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mempunyai ciri yang sama, yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Senyawa fenol cenderung mudah larut dalam air karena umumnya seringkali berikatan dengan gula sebagai glikosida, biasanya terdapat dalam vakuola sel (Harborne 1984). Struktur kimia fenolat dari tanaman bervariasi mulai yang sederhana hingga yang terpolimerasi seperti asam fenolat, fenilpropanoat, antosianin, tanin, dan lain-lain. Senyawa ini juga ada yang terkompleks dengan karbohidrat, protein, serta komponen lainnya, dimana senyawa fenol yang memiliki berat molekul yang tinggi menjadi agak sulit larut. Oleh karena itu, hasil ekstrak fenolik dari tanaman merupakan campuran dari kelompok senyawa fenol yang berbeda, tergantung dari sistem pelarut yang digunakan Metode kimia dan alat analisis seperti kromatografi dan spektrofotometri digunakan untuk kuantifikasi senyawa ini. Metode ekstraksi fenol dipengaruhi oleh substansi kimia dasar, metode ekstraksi, ukuran partikel sampel, waktu dan kondisi penyimpanan, serta senyawa lain yang mempengaruhinya. Fenolik dapat diekstrak dari sampel segar, beku, atau yang telah dikeringkan. Umumnya, sebelum ekstraksi sampel tanaman digiling dan dihomogenisasi, yang sebelumnya telah dikeringkan dengan oven udara atau freeze dryer. Kelarutan senyawa fenolik dipengaruhi oleh polaritas pelarut yang digunakan, tingkat kepolimeran fenolik, interaksi senyawa fenolik dengan komponen lainnya yang terdapat dalam pangan, dan ikatan dengan substansi yang sulit larut. Oleh karena itu, tidak ada prosedur yang sangat sempurna/sesuai untuk mengekstrak seluruh senyawa fenolik maupun kelompok fenolik tertentu dari sampel tanaman. Metanol, etanol, aseton, air, etil-asetat, hingga pelarut yang jarang dipakai seperti propanol, dimetilformamide, dan campurannya sering digunakan dalam mengekstraksi komponen fenolik. Periode ekstraksi yang telah dilakukan bervariasi dari 1 menit hingga 24 jam. Waktu ekstraksi yang semakin lama meningkatkan kemampuan fenolik
8 untuk teroksidasi tanpa perlu menambahkan reagen. Deshpande, dalam disertasinya yang dikutip Naczk dan Shahidi (2004), mendemonstrasikan bahwa waktu optimum untuk ekstraksi senyawa fenolik kacang kering adalah sekitar 50-60 menit. Antosianin Senyawa antosianin merupakan bagian dari senyawa flavonoid yang mencakup berbagai warna termasuk biru, ungu, magenta violet, merah, dan oranye. Antosianin terdapat paling banyak dalam buah beri dan anggur, serta terdapat dalam anggur merah, sereal jenis tertentu, dan beberapa sayuran dan akar seperti kubis, kacang, bawang, dan lobak. Sianidin adalah antosianin yang paling umum terdapat dalam makanan (Erdman 2007). Molekul antosianin terdiri dari aglikon antosianidin dan beberapa gugus gula. Satu atau lebih molekul gula dapat dihubungkan dengan antosianidin melalui ikatan glikosidik. Terdapat lebih dari 600 jenis antosianin di alam. Warnanya yang cerah dan kelarutannya yang tinggi dalam air, antosianin menjadi pigmen alami yang potensial untuk menggantikan pewarna makanan buatan (Mazza 1993). Struktur senyawa antosianin dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur dasar antosianin (Sumber: Lee et al. 2005) Selain berfungsi sebagai pewarna, antosianin dalam makanan juga memiliki kapasitas antioksidan untuk meningkatkan status kesehatan, antosianin diyakini mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler. Antosianin berperan sebagai antioksidan karena dapat menyumbang atom hidrogen kepada radikal bebas yang sangat reaktif untuk menghambat reaksi berantai radikal bebas (Rice-Evans et al. 2009). Konsumsi makanan yang kaya antosianin dapat meningkatkan status kesehatan dan mencegah penyakit tertentu, termasuk penyakit kardiovaskuler dan beberapa penyakit peradangan (Huang 2009). Flavonoid Flavonoid merupakan senyawa fenolik dengan aktivitas antioksidan tinggi yang terdapat dalam buah-buahan, sayuran, dan tanaman lainnya, terkonsentrasi pada biji, kulit buah, kulit kayu, dan bunga (Erdman 2007 dan Miller 1996). Flavonoid berfungsi sebagai pigmen bagi warna kuning, oranye, dan merah pada
9 tanaman berbunga, sebagai faktor pertumbuhan, perkembangan, serta pertahanan bagi tanaman (Erdman 2007). Dalam makanan, flavonoid muncul dalam berbagai bentuk dan berkonjugasi kompleks dengan gula dan asam organik (Lee 2000). Glukosa merupakan bentuk gula yang paling sering ditemukan terikat dengan flavonoid; tetapi galaktosa, ramnosa, xilosa, arabinosa dan berbagai bentuk gula lainnya juga sering ditemukan terikat dengan flavonoid (Markham 1982). Flavonoid merupakan komponen berkarbon 15/C15 (C6-C3-C6), sebagai aglikon atau glikosida yang berikatan dengan beragam jenis gula seperti arabinosa, glukosa, galaktosa, ramnosa, dan xilosa (Lee 2000). Struktur kimia dasar flavonoid dapat dilihat pada Gambar 3. Secara struktural, flavonoid terdiri dari 2 cincin aromatik (cincin A dan B) yang dihubungkan oleh sebuah cincin heterosiklik berkarbon 3 yang teroksigenasi (cincin C). Variasi dari struktur umum cincin C heterosiklik (dipengaruhi kondisi oksidasi dan gugus fungsional dari cincin C pusat) membuat flavonoid terklasifikasi sebagai flavonol, flavon, flavanon, flavan-3-ol (flavan), flavanol, dan antosianin (Erdman 2007). Variasi struktur dari tiap kelompok ini disebabkan tingkat dan pola hidroksilasi, metoksilasi, prenilasi, atau glikosilasi yang berbeda (Naczk dan Shahidi 2004). Keterikatan cincin C dengan cincin B pada karbon ke-2 disebut isoflavon. Proantosianidin merupakan oligomer dari flavan-3-ol. Antosianidin dibedakan dari flavonoid lain dalam kelas terpisah berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kation flavylium. Senyawa X R1 R2 Flavonol yang diidentifikasi Myricetin OH OH OH Quercetin OH OH H Kaempferol OH H H Flavon yang diidentifikasi Luteolin H OH H Apigenin H H H Sumber: Hertog et al. (1992b) Gambar 3 Struktur dasar flavonoid dan ringkasan struktur flavonol dan flavon yang diidentifikasi Gugus hidroksil fungsional terdapat pada semua cincin yang memiliki sisi yang berpotensi untuk berikatan dengan karbohidrat. Flavonoid yang terikat dengan satu atau lebih molekul gula dikenal sebagai glikosida, sedangkan flavonoid yang tidak terikat ke molekul gula disebut aglikon. Kecuali untuk flavan-3-ol, flavonoid terkandung dalam tanaman dan sebagian besar makanan dalam bentuk glikosida. Struktur flavonoid akan semakin kompleks dengan terikatnya gugus asetil dan malonil dengan gugus gula (Erdman 2007). Flavonol dan flavon merupakan komponen yang memiliki fungsi sebagai antioksidan dan menghentikan reaksi berantai radikal bebas dalam dalam bahan pangan. Flavonol merupakan flavonoid yang paling tersebar luas pada makanan, flavonol yang paling banyak terdapat dalam pangan adalah quercetin, kemudian
10 kaempferol, sedangkan myricetin termasuk komponen yang biasa terdapat dalam sayuran (Lee 2000). Sumber utama dari ketiga flavonol ini adalah bawang, kangkung keriting, brokoli, bluberi, tomat, dan teh. Flavon terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit dibanding flavonol dalam buah dan sayuran. Jenis flavon yang dominan terdapat dalam bahan pangan adalah luteolin dan apigenin. Sumber utamanya adalah peterseli dan seledri (Erdman et al. 2007). Seluruh flavonoid ini merupakan komponen yang dipelajari secara luas dalam studi antikarsinogenesis (Hertog et al. 1992a). Flavonoid pada tumbuhan sangat bervariasi komposisinya karena perbedaan faktor genetik, iklim, kualitas tanah, dan faktor-faktor eksternal lainnya. Seleksi dan kultivasi yang terkontrol merupakan langkah awal untuk menghasilkan konsentrasi yang konsisten dari komponen tertentu. Langkah kedua, yaitu produk yang dihasilkan dari ekstraksi komponen herbal dengan pelarut haruslah dikontrol secara hati-hati untuk memisahkan komponen yang penting bagi fungsi dan efikasi (khasiat) produk. Sebagian besar flavonoid memiliki aktivitas sebagai anti-inflamasi, antialergi, anti-gumpal, imunomodulator, dan anti-tumor. Selain itu, flavonoid juga berfungsi menghambat beberapa enzim, termasuk lipoksigenase, fosfolipase A2, protein kinase, dan lain-lain (Rice-Evans 2003). A. Ekstraksi Senyawa Flavonoid dari Tumbuhan Flavonoid umumnya terdapat dalam bentuk O-glikosida, dimana satu atau lebih dari gugus hidroksil flavonoidnya terikat dengan satu atau lebih gula dengan ikatan hemiasetal yang labil terhadap asam. Dalam identifikasinya, sering dilakukan proses glikosilasi dengan tujuan menurunkan kereaktifan dan membuat senyawa flavonoid lebih larut air. Flavonoid umumnya berada di bagian vakuola dari tanaman. Selain dalam bentuk O-glikosida, flavonoid juga dapat berikatan dengan gula dari gugus karbonnya. Kondisi ini diistilahkan dengan C-glikosida. Gula berikatan langsung dengan inti gugus benzen dari flavonoid, dimana ikatan tersebut merupakan ikatan yang lebih tahan asam. Ikatan jenis ini umumnya ditemukan hanya pada karbon nomor 6 atau 8 dari inti flavonoid. Jenis gula yang terikat juga lebih sedikit dibanding gula yang terikat dengan O-glikosida. Jenis flavonoid yang terikat pun lebih terbatas, semisal apigenin, luteolin, chrysoeriol, kaempferol, naringenin, daidzein, dan genistein (Markham 1982). Terdapatnya flavonoid dalam bentuk terikatnya mendasari langkah awal dari analisis bagi senyawa tersebut, yaitu dengan melakukan proses glikosilasi. Proses ini dilakukan menggunakan panas dan asam, seperti yang disarankan oleh Harborne (1984). Bentuk ikatan glikosida dari flavonoid yang dapat berupa O-glikosida atau C-glikosida, dimana ikatan O-glikosida lebih tidak tahan asam dibanding C-glikosida, kemudian menjadi dasar penentuan konsentrasi asam yang efektif digunakan untuk senyawa flavonoid tertentu. Optimisasi konsentrasi asam dan waktu reaksi yang digunakan telah diteliti oleh Hertog et al. (1992b) seperti yang akan dipaparkan selanjutnya pada bab Metode.
11 B. Identifikasi Senyawa Flavonoid Senyawa flavonoid pada sayuran, dewasa ini banyak dipelajari dan dianalisis dengan metode HPLC (Andarwulan et al. 2010, 2012; Hertog et al 1992a). HPLC merupakan teknik analisis yang cepat, serta memiliki presisi dan akurasi yang tinggi dalam memisahkan campuran menjadi zat tunggal (Nollet 2000). HPLC termasuk metode analisis kromatografi, yang menurut definisi IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemistry), merupakan metode separasi fisik dimana komponen yang akan dipisahkan dialirkan di antara dua fase, yaitu fase yang tetap (fase diam) dan fase yang bergerak ke arah yang telah ditentukan (fase gerak) (Ettre 1993). Komponen utama dari HPLC adalah pompa, injektor, kolom, detektor dan rekorder/integrator/sistem data. Terdapat berbagai cara pengklasifikasian jenisjenis HPLC. Jika didasarkan pada cara pemisahannya, terdapat lima tipe HPLC menurut Rounds dan Gregory (1998), yaitu HPLC tipe normal phase, reversed phase, ion exchange, size exclusion, serta pemisahan yang berdasarkan afinitas. Pada berbagai penelitian tentang pemisahan senyawa flavonoid, sistem yang digunakan berbasis pada kromatografi reversed phase dengan silika C18 sebagai fase yang terikat pada kolom. Sebagian besar metode HPLC untuk analisis fenolik pada pangan menggunakan eluen isokratik dengan mengunakan campuran pelarut asam asetat, format, atau fosfat dengan metanol atau asetonitril sebagai larutan organik. Variasi kekuatan solven yang digunakan sebagai gradien elusi dan waktu yang dibutuhkan untuk analisis bergantung pada jumlah dan jenis komponen fenolik pada matriks pangan. Untuk sampel yang kompleks, seringkali dibutuhkan beberapa tahap gradien. Namun, untuk ekstrak yang telah dipurifikasi sebagian atau ekstrak kasar yang hanya mengandung sedikit komponen dengan polaritas yang sama dapat digunakan metode isokratik (Lee 2000). Agar pemisahan komponen target dari sampel dapat berhasil dengan baik, ada dua metode elusi yang biasa digunakan, yaitu elusi isokratik dan elusi gradien. Tipe elusi isokratik adalah eluen yang menggunakan satu pelarut dari awal hingga akhir. Sedangkan, elusi gradien adalah eluen yang menggunakan campuran dua atau lebih pelarut yang berbeda sehingga komposisi fase gerak berubah seiring waktu. Pelarut diganti mulai dari yang memiliki kemampuan elusi paling rendah hingga yang paling tinggi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan resolusi dan mempersingkat waktu elusi (Rubinson 2000). Lebih dari 70 % teknik pemisahan dengan HPLC menggunakan tipe reversed phase. Fase diamnya terbuat dari silika dengan fase terikatnya berupa octadecylsilyl (ODS) yang merupakan salah satu bahan reversed-phase yang banyak digunakan. HPLC reversed phase menggunakan fase gerak polar, biasanya berupa campuran air dengan metanol, asetonitril, atau tetrahidrofuran. Larutan tersebut tertahan karena interaksi hidrofobik dengan fase diam non-polar dan terelusi untuk menurunkan polaritas (meningkatkan hidrofobisitas) (Rounds dan Gregory 1998). Flavonoid, yang merupakan salah satu bagian dari komponen fenolik, memiliki ikatan aromatik sehingga dapat diserap dengan baik pada panjang gelombang sinar UV. Panjang gelombang untuk komponen ini berada pada kisaran 320-380 nm dan 240-270 nm (Lee 2000). Sayuran merupakan sumber pangan yang utama untuk flavonol. Di dalamnya banyak terkandung glikosida quercetin, juga glikosida lain seperti
12 kaempferol, luteolin, dan apigenin. Flavonol dan flavon merupakan bagian dari flavonoid yang penting karena memiliki aktivitas antioksidan (Lee 2000). Panjang gelombang UV maksimum dan urutan elusi untuk flavonol dan flavon sebagaimana yang dikutip Lee (2000) dari Justesen et al. (1998) adalah sebagai berikut: myricetin 375 nm, quercetin 374 nm, kaempferol 366 nm, luteolin 351 nm, apigenin 341 nm. Lee (2000) melanjutkan bahwa kuantifikasi quercetin lebih sulit dibanding aglikon lainnya karena lebih tidak stabil. Degradasi komponen dapat dicegah dengan pendinginan tabung sampel, pelindungan vial dari cahaya UV, serta penyiapan standar yang baru untuk setiap analisis. Hertog et al. (1992b) mengembangkan metode identifikasi yang cepat dengan HPLC untuk kuantifikasi lima komponen besar dari aglikon flavonoid (quercetin, kaempferol, myricetin, luteolin, apigenin) untuk sayuran dan buah yang dikeringbekukan. Pada prinsipnya, sampel diekstrak kemudian dihidrolisis asam untuk memecah gula, kemudian dianalisis jumlahnya dengan HPLC. Identifikasi senyawa flavonoid dilakukan dengan menggunakan fase gerak 25 % asetonitril dalam buffer fosfat 0.025 M, laju aliran 0.9 ml/menit. Kolom yang digunakan adalah kolom HPLC C18 phase, Develosil ODS-UG-3. Partial Least Square – Discriminant Analysis Partial Least Square – Discriminant Analysis (PLS-DA) merupakan salah satu metode analisis multivariat yang dapat mempertajam pemisahan antara kelompok pengamatan. PLS-DA dihasilkan dari pemutaran komponen PCA (Principal Components Analysis) sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan pemisahan maksimum antarkelas. Dari PLS-DA dapat diketahui variabel mana yang memisahkan sampel berdasarkan kelas-kelas tersebut. PLS-DA termasuk dalam PLS-regresi klasik, di mana variabel respon kategori mengekspresikan keanggotaan kelas pada unit statistik. Oleh karena itu, PLS-DA tidak memungkinkan variabel respon selain variabel untuk mendefinisikan kelompok (CAMO 2013). Seperti halnya PCA, PLS-DA menghasilkan dua plot grafik, yaitu score plot dan loading plot. Score plot menggambarkan hubungan antara sampel yangdiamati, sedangkan loading plot merupakan rangkuman dari variabel (misal: waktu retensi). Loading plot digunakan untuk menginterpretasikan pola yang tergambar pada score plot. Kedua plot ini bersifat komplementer satu sama lain. Arah dari plot yang satu berkorelasi dengan arah yang sama pada plot lainnya (Umetrics 2006).
METODE PENELITIAN Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan untuk pembudidayaan tanaman dan bahan untuk analisis. Bahan yang digunakan untuk pembudidayaan tanaman adalah bibit torbangun dari tiga klon berbeda. Dua klon (klon A dan B) didapat dari “Sringanis” (toko tanaman obat di Cipaku, Bogor),
13 satu klon (klon C) dari kebun pribadi keluarga bersuku Batak yang berdomisili di Bekasi. Bahan-bahan yang digunakan adalah etanol, metanol, reagen FolinCiocalteu, HCl, Na2CO3, Na2COOH, KCl, dan KH2PO4 dari Merck (Darmstadt, Germany). TBHQ (Tertiary Butyl Hydroquinone), asam galat, standar quercetin, kaempferol, myricetin, apigenin, dan luteolin dari Sigma-Aldrich (St. Louis, MO, USA). Acetonitril HPLC grade, metanol HPLC grade, dan water HPLC grade dari JT Baker (Phillipsburg, NJ, USA). Peralatan Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat untuk budidaya tanaman, alat-alat persiapan sampel, dan alat untuk analisis. Alat yang digunakan untuk budidaya tanaman, yaitu alat-alat pertanian, polibag kecil untuk persemaian, gunting, cutter, pupuk kandang, arang sekam, paranet, plastik UV, bambu, kawat, serta paku. Alat-alat yang digunakan untuk persiapan sampel adalah plastik tahan panas ukuran 2 kg, tray plastik, freezer, freeze dryer, blender kering, plastik klip, serta toples kedap udara untuk penyimpanan sampel bubuk kering beku. Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah oven, neraca analitik, desikator, gegep, sudip, cawan aluminium, gelas piala, erlenmeyer, gelas ukur, mikropipet, labu takar, tabung reaksi bertutup beserta raknya, alumunium foil, botol gelap ukuran kecil (5-10 ml) dan besar (100-500 ml), magnetic stirrer, batang pengaduk, botol semprot, parafilm, sonikator, sentrifus, tabung sentrifus, alat vorteks, syringe, syringe filter selulosa 0.45 µm (Minisart, Sartorius Stedim Biotech, Germany). Tabel 3 Spesifikasi HPLC Komponen HPLC Solvent cabinet Degasser Pump Detector UV-Vis Manual injector Injector Syringe Column Mobile phase Flow rate
Tipe Shimadzu LC-20 AD Shimadzu DGU-20A5 Shimadzu LC-20 AD Shimadzu SPD-20A Hewlett Packard Series 1100 Rheodyne 20 µl Agilent Technologies, LC 50 µl C-18 phase; Develosil ODS-UG-3, Nomura Chemical 25% acetonitrile in 0.025 M KH2PO4 0.9 ml/min (isocratic)
Instrumen yang digunakan yaitu spektrofotometer (Shimadzu UV-2450, UV-Vis Spectrophotometer, Kyoto, Japan), High Performance Liquid Chromatography LC-2040 (Shimadzu, Kyoto, Japan) yang dilengkapi dengan detektor UV–Vis Shimadzu SPD-20A (Shimadzu, Kyoto, Japan) dan kolom reversed phase Develosil ODS-UG-3 (4.6 mm i.d.; 75 mm) (Nomura Chemical, Seto, Japan) (Tabel 3).
14 Lokasi dan Waktu Penelitian Secara garis besar, penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap budidaya tanaman torbangun di Kampung Konservasi Toga, Gunung Leutik, Desa Benteng, Bogor; dan tahap analisis kimia di Food Chemistry Laboratory SEAFAST (South East Asia Food Agricultural Science and Technology) Center, Institut Pertanian Bogor. Tahap budidaya tanaman dilaksanakan mulai Maret hingga Mei 2012, sedangkan tahap analisis kimia dilakukan sejak Mei 2012 hingga Februari 2013. Prosedur Penelitian Dalam penelitian ini dilakukan tiga tahap penelitian, yaitu tahap budidaya, tahap identifikasi fenotipe, dan tahap analisis komponen bioaktif dari tiga klon tanaman torbangun. Penjabaran ketiga tahap tersebut adalah sebagai berikut: Tahap Budidaya Tahap awal yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah tahap pembudidayaan tanaman torbangun klon A, B, dan C. Ketiga klon tanaman ini diidentifikasi oleh Pusat Penelitian Biologi (Lampiran 1), kemudian dibudidayakan di Kampung Konservasi Toga, Gunung Leutik, Desa Benteng, Bogor. Setiap klon torbangun dibudidayakan di bedeng seluas 1 m x 4.5 m, sebanyak 42 stek. Tata letak pembudidayaan stek torbangun di lahan disajikan pada Lampiran 2. Persiapan bibit. Penanaman dilakukan saat musim kemarau. Sebelum penanaman di bedeng, terlebih dahulu dilakukan penyemaian stek yang memiliki tiga buku pada polibag kecil berisi media tanam. Media tanam dimasukkan ke dalam polibag hingga memenuhi ¾ volumenya. Bibit disiapkan lebih banyak dari kebutuhan untuk keperluan penyulaman tanaman yang dilakukan jika tanaman mati. Persemaian bibit ini dilakukan di tempat yang diberi naungan, disiram setiap dua hari sekali. Persiapan media tanam dan pupuk. Media tanam yang digunakan adalah campuran tanah, arang sekam, dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1:1. Dosis pupuk kandang yang dipakai adalah 1 ton/ha. Penanaman. Setelah kira-kira 14 hari disemai dalam polibag, bibit yang akarnya sudah cukup kuat dipindahkan ke bedeng dengan jarak tanam 30 cm. Media tanam yang digunakan pada penanaman sama dengan yang digunakan pada persemaian agar air lebih lama tertahan dalam media tanam karena penanaman dilakukan ketika musim kemarau (Maret-Juni). Pembuatan naungan. Paranet 60 % dipasang pada bagian atas dan sekeliling lahan membentuk rumah berukuran 5x2.2 m, tinggi sekitar 2 m. Paranet 60 % berarti cahaya yang ditahan adalah 60 %, yang lolos sebesar 40 %. Pemeliharaan. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan selama budidaya tanaman, yaitu penyiraman dan penyiangan gulma. Penyiraman dilakukan pada sore hari setiap 2 hari sekali. Penyulaman tanaman diambil dari bibit yang telah dipersiapkan lebih. Pengendalian hama dilakukan secara manual setiap dua hari sekali.
15 Pengamatan. Pengamatan pertumbuhan tanaman dilakukan saat usia panen, yaitu kira-kira delapan minggu. Peubah yang diamati mengacu pada deskriptor tanaman yang dibuat pada tahap identifikasi fenotipe. Pemanenan. Tahap ini dilakukan pada saat tanaman dan daun torbangun mencapai ukuran yang cukup besar untuk dipanen (sekitar 8 minggu). Bagian yang dipanen dari tanaman adalah bagian daun utuh (tidak terserang hama), yang tumbuh sekitar 10 cm dari pucuk (Gambar 4). Sampel yang digunakan adalah daun hingga batang daunnya (porsi edibel).
Gambar 4 Ukuran pucuk yang dipanen Tahap Identifikasi Fenotipe Identifikasi fenotipe dilakukan dengan cara mengamati morfologi dari ketiga klon torbangun yang digunakan. Identifikasi dilakukan secara keseluruhan, mulai dari akar, batang, daun, hingga bunganya, dengan kriteria yang telah ditetapkan dalam lembar deskriptor tanaman yang dimodifikasi dari deskriptor tanaman pala (Marzuki 2007). Deskriptor torbangun dapat dilihat di Lampiran 3. Setiap klon diambil gambarnya untuk perbandingan secara visual. Tahap Analisis Kimia Komponen Bioaktif A. Persiapan Sampel (Andarwulan et al. 2010) Sampel yang digunakan adalah porsi sampel yang biasa dikonsumsi, yaitu daun berikut sebagian batang daunnya. Setelah pemanenan, sampel bersih segera disimpan pada -20 ºC selama 12 jam (tidak dicuci untuk menghindari kerusakan permukaan daun yang berambut halus akibat gesekan) hingga benar-benar beku, kemudian di-liofilisasi selama 48 jam dengan freeze dryer (FreeZone 6 l Console Freeze Dry System, Labconco, Kansas City, MO). Setelah itu, sampel hasil freeze dry diblender dengan blender kering, lalu disaring dengan saringan 30 mesh. Bubuk daun torbangun disimpan pada suhu -20 ºC di tempat gelap hingga analisis selanjutnya (Gambar 6). B. Analisis Kadar Air (3.7.01, AOAC 1984) Analisis kadar air dilakukan pada sampel daun segar dan setelah liofilisasi (pengeringan beku) agar diketahui kadar air awal dan yang dapat hilang setelah proses liofilisasi. Penentuan kadar air dilakukan menggunakan oven biasa dengan
16 mengeringkan cawan alumunium terlebih dahulu pada suhu 105 ºC selama 15 menit, kemudian didinginkan di desikator selama 10 menit. Setelah dingin, cawan kosong ditimbang dengan neraca analitik dan dicatat bobotnya. Sampel dimasukkan sebanyak 1-2 gram (dicatat bobot tepatnya), lalu dikeringkan dalam oven bersuhu 105 ºC selama 3 jam, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel tersebut dimasukkan kembali ke dalam oven selama 30 menit, lalu ditimbang. Tahap ini terus dilakukan hingga tercapai bobot yang relatif konstan (bobot dianggap konstan jika selisihnya ≤0.0010 g). Kadar air (%) =
-(
-
)
x 100%
Keterangan: W = bobot sampel sebelum dikeringkan W1 = bobot (sampel+cawan) sesudah dikeringkan (g) W2 = bobot cawan kosong (g) C. Analisis Total Fenol (dimodifikasi dari Shetty et al. 1995) Bubuk sampel yang telah diliofilisasi dimasukkan sebanyak 50 mg ke dalam tabung sentrifus 15 ml, ditambahkan 2.5 ml etanol 95 %, kemudian divorteks. Kemudian, campuran tersebut disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan putaran 2500 rpm. Supernatan diambil sebanyak 0.1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Setelah itu, ditambahkan 0.9 ml etanol 95 %, 2.5 ml akuades, dan 2.5 ml reagen Folin Ciocalteu 50 %. Campuran tersebut didiamkan dahulu selama 5 menit, lalu ditambahkan 0.5 ml Na2CO3 5 %, kemudian divorteks kembali. Setelah itu, sampel disimpan dalam ruang gelap selama satu jam, lalu dilakukan pengukuran dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 725 nm. Standar yang digunakan dalam penentuan total fenol adalah asam galat. Standar asam galat dibuat dengan variasi konsentrasi antara 250 – 1250 mg/L (Gambar 7). D. Analisis Antosianin Ekstraksi antosianin (dimodifikasi dari Sims dan Gamon 2002) Sebanyak 50.0 mg bubuk sampel kering beku diekstrak dengan 4 ml larutan metanol:HCl:air dengan perbandingan 90:1:1. Campuran ini divorteks hingga rata, kemudian disentrifus dengan kecepatan 2500 rpm selama 15 menit, hingga diperoleh filtratnya. Supernatan/filtrat tersebut dipisahkan dari endapan dan dianalisis kandungan antosianinnya dengan metode AOAC (2005) (Gambar 8). Penentuan konsentrasi total antosianin (diadaptasi dari Lee et al. 2005) Sebanyak 0.5 ml supernatan dimasukkan ke dalam dua tabung reaksi bertutup. Ke dalam salah satu tabung ditambahkan 6.5 ml buffer pH 1, sedangkan ke dalam tabung lainnya ditambahkan 6.5 ml buffer pH 4.5, kemudian divorteks. Campuran tersebut disimpan selama 20 menit, kemudian masing-masing diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm dan 700 nm. Konsentrasi antosianin total pada sampel yang diekspresikan sebagai sianidin-3-glukosida, dihitung dengan rumus sebagai berikut :
17 Total antosianin (ekivalen dengan sianidin-3-glukosida, mg/l)= Ket:
A Mr FP Ԑ 103
= (A520nm – A700nm) pH 1.0 - (A520nm – A700nm) pH 4.5 = 449.2 g/mol (sianidin-3-glukosida) = Faktor Pengenceran = 26900 L x mol-1 x cm-1 = faktor konversi g ke mg
E. Analisis Flavonoid Ekstraksi Senyawa Flavonoid dari Daun Torbangun (diadaptasi dari Hertog et al. 1992b) Terdapat dua metode ekstraksi yang dilakukan untuk menguantifikasi jumlah flavonoid pada sampel. Menurut Hertog et al (1992a), flavonoid jenis flavonol (myricetin, quercetin, dan kaempferol) lebih optimum diperoleh apabila metode ekstraksi menggunakan HCl 1.2 M, dengan lama reaksi hidrolisis 2 jam. Flavonoid golongan flavon (luteolin dan apigenin) lebih optimum diperoleh menggunakan HCl 2.0 M, dengan waktu reaksi selama 4 jam. Berikut ini diuraikan metode untuk mengekstrak komponen flavonoid dari golongan flavonol, adapun untuk golongan flavon hanya berbeda dari segi konsentrasi HCl dan waktu reaksi.
Gambar 5 Alat refluks berkondensor spiral yang digunakan Tahap ekstraksi sampel diawali dengan pelarutan sebanyak 0.5 gram sampel kering beku ke dalam 20 ml metanol HPLC grade 62.5 % yang telah dicampurkan dengan g/L TBHQ (selanjutnya disebut “metanol TBHQ”) sebagai antioksidan. Kemudian, ditambahkan 5 ml HCl 6 M, lalu direfluks dengan refluks berkondensor spiral (Gambar 5). Suhu reaksi dijaga stabil 90 ºC selama dua jam. Tujuan penambahan asam adalah untuk menjaga komponen agar tidak terdegradasi, sedangkan perefluksan dilakukan untuk menghidrolisis gula pada
18 sampel. Flavonoid terkandung dalam tanaman dan sebagian besar makanan dalam bentuk glikosida. Ikatan ini perlu diputus secara maksimal agar flavonoid dapat terdeteksi oleh instrumen pengukur (HPLC). Setelah dua jam, larutan didinginkan, lalu ditambahkan metanol TBHQ hingga volume larutan menjadi 50 ml. Larutan tersebut diekstrak kembali menggunakan sonikator selama 5 menit untuk menyempurnakan ekstraksi flavonoid. Proses pembuatan ekstrak flavonol dan flavon dari sampel secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10. Pembuatan larutan dan kurva standar campuran (Hertog et al. 1992b) Pembuatan larutan standar stok Masing-masing sebanyak 1.5 mg standar myricetin, luteolin, quercetin, dan kaempferol ditimbang, lalu dilarutkan dengan 3 ml metanol TBHQ. Standar apigenin dilarutkan sebanyak dua kali lipat, yaitu 3.0 mg dalam 3 ml metanol TBHQ. Konsentrasi standar apigenin dibuat dua kali dari standar yang lainnya karena apigenin memiliki respon yang paling rendah, dilihat dari nilai limit deteksi yang paling tinggi dibanding keempat senyawa lainnya (Batari 2007 dan Rahmat 2009). Nilai LOD kelima senyawa tersebut dapat dilihat di Tabel 4. Keseluruhan wadah penimbangan standar dibilas berulang kali dengan metanol TBHQ. Kemudian, larutan tersebut dicampurkan dengan 5 ml HCl 6 M untuk menjaga agar larutan tetap asam agar komponen flavonoid tidak terdegradasi. Setelah itu, larutan ditepatkan volumenya hingga 50 ml, sehingga diperoleh larutan standar stock dengan konsentrasi 30 ppm untuk standar myricetin, luteolin, quercetin, dan kaempferol; sedangkan untuk standar apigenin sebesar 60 ppm. Secara ringkas, proses pembuatan larutan standar stok flavonoid dapat dilihat pada Gambar 11. Tabel 4 LOD kelima senyawa flavonoid Komponen Myricetin Luteolin Quercetin Apigenin Kaempferol
LOD (ppm) Batari (2007) Rahmat (2009) 0.026 0.039 0.038 0.056 0.022 0.028 0.190 0.220 0.037 0.047
Penentuan konsentrasi larutan standar flavonoid Sebelum membuat larutan standar, terlebih dahulu diperkirakan konsentrasi yang dapat terdeteksi oleh instrumen serta mencakup kuantitas senyawa yang dimaksud pada sampel. Oleh karena itu, konsentrasi larutan standar dapat ditentukan setelah diketahui respon instrumen untuk keseluruhan sampel. Cara ini dapat memaksimalkan efisiensi penggunaan larutan, termasuk fase gerak. Alur penentuan konsentrasi larutan standar dapat dilihat pada Gambar 12. Setelah larutan standar stok dibuat, larutan standar stok diencerkan (minimal) menjadi dua tingkat konsentrasi berbeda (misal: 2 dan 4 ppm), sehingga
19 diperoleh respon gambaran (berupa area) dari instrumen pada tingkat konsentrasi tersebut. Data respon ini digunakan untuk memperkirakan respon yang akan diberikan instrumen untuk beragam tingkat konsentrasi larutan standar. Setelah didapat range respon instrumen untuk keseluruhan sampel, range kurva standar kemudian disesuaikan sehingga didapat sedikitnya 5 tingkat konsentrasi standar bagi masing-masing komponen standar campuran. Tingkat konsentrasi yang digunakan untuk standar myricetin adalah 0.2; 0.4; 2.0; 4.0; dan 6.0 ppm. Luteolin 0.5; 2.0; 4.0; 6.0; 8.0; dan 10.0 ppm. Quercetin 0.3; 0.4; 0.5; 2.0; 4.0; 6.0; dan 8.0 ppm. Apigenin ; 0.2; 0.4; 0.6; 1.0; dan 4.0 ppm. Kaempferol 0.5; 2.0; 4.0; 6.0; dan 8.0 ppm. Jika digabungkan, maka keseluruhan konsentrasi larutan standar ada 10 tingkat, yaitu 0.1; 0.2; 0.3; 0.4; 0.5; 2.0; 4.0; 6.0; 8.0; dan 10.0 ppm. Angka-angka ini berlaku untuk standar myricetin, luteolin, quercetin, dan kaempferol, sedangkan apigenin 2 kali lipatnya. Pembuatan kurva standar Setelah larutan standar campuran dari ke-10 konsentrasi tersebut dibuat, larutan tersebut diinjeksikan ke kolom HPLC C-18 phase; Develosil ODS-UG-3 yang memiliki dimensi panjang 75 mm dan diameter dalam 4.6 mm. Fase gerak yang digunakan adalah 25 % acetonitril di dalam 0.025 M KH2PO4, dengan laju aliran 0.9 ml/menit. Komponen-komponen flavonoid dideteksi dengan panjang gelombang 370 nm, sehingga instrumen memberi respon berupa peak yang dapat diketahui luas areanya. Respon dari instrumen HPLC ditampilkan dalam suatu kromatogram. Setelah kromatogram standar campuran pada berbagai konsentrasi yang diperoleh, selanjutnya disatukan ke dalam satu grafik untuk tiap komponen standar. Kemudian, dibuat persamaan garis masing-masing kurva standar. Persamaan ini akan digunakan pada perhitungan komponen flavonoid pada sampel. Injeksi ekstrak sampel dan larutan standar ke kolom HPLC (Hertog et al. 1992b) Sampel yang telah selesai diekstrak, kemudian disaring dengan syringe filter selulosa berdiameter pori 0.45 μm hingga menghasilkan sedikitnya 2 mL sampel yang siap untuk diinjeksikan ke kolom HPLC. Berbeda dengan sampel, penginjeksian larutan standar dapat dilakukan tanpa harus terlebih dahulu menyaring larutan dengan syringe filter. Volume yang diinjeksikan ke dalam kolom yaitu sebanyak 20 µL. Identifikasi flavonoid Penentuan jenis komponen dari peak yang dihasilkan mengacu pada penelitian Hertog et al. (1992b), sedangkan waktu retensinya diklarifikasi ulang dengan penelitian Hardianzah (2009) karena menggunakan instrumen dan jenis kolom yang sama. Jenis flavonoid ditentukan dengan cara membandingkan kromatogram sampel dengan kromatogram standar, berdasarkan waktu retensi masing-masing standar. Kestabilan waktu retensi dari standar dapat ditinjau kembali dengan menginjeksikan larutan standar, minimal setiap pergantian larutan eluen lama dengan yang baru. Larutan standar yang digunakan hendaknya memiliki tingkat konsentrasi yang tidak terlalu rendah. Konsentrasi flavonoid
20 dihitung dengan memasukkan luas area ke dalam persamaan kurva standar campuran yang telah diperoleh. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua metode, yaitu: A. Analisis of Variance (ANOVA) Analisis ragam (Analysis of variance) dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antara variabel-variabel yang diuji, dalam hal ini yaitu perbandingan komponen bioaktif antarklonal. Jika ditemukan perbedaan yang signifikan (output Anova menunjukkan angka yang kurang dari α yang digunakan, yaitu 0,05), maka dilanjutkan dengan uji lanjut yang mengkaji seberapa besar perbedaan yang terjadi antar variabel. Uji lanjut dilakukan dengan Tukey HSD apabila dari analisis ragam diketahui adanya perbedaan signifikan antarsampel pada taraf nyata (α) 5 %. Analisis data dilakukan menggunakan software SPSS 20.0 (IBM, New York, USA). B. Partial Least Square – Discriminant Analysis (PLS-DA) Seluruh spektrum yang dihasilkan oleh instrumen HPLC dikonversi ke bentuk ASCII dalam format berekstensi .txt, kemudian dipindahkan ke Microsoft Excel (Microsoft Corp. USA) dan dilakukan bucketing data dengan selang waktu 0.08 menit, lalu diimpor ke software SIMCA-P 13.0 (Umetrics AB, Umea, Sweden). Set data disusun sedemikian rupa sehingga baris matriks data berupa klon dengan ulangannya, sedangkan kolom berupa waktu retensi setiap 0.08 menit. Data spektrum yang diperoleh dari metode ekstraksi dan hidrolisis flavonol dipisahkan dengan metode ekstraksi dan hidrolisis flavon agar dapat diketahui perubahan karakter data akibat perubahan metode yang digunakan. Ukuran set data dari tiap metode yaitu 276x12. Dua jenis output dari SIMCA-P yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: score plot (Score SP) dan loading scatter plot (Loading SP). Score SP menunjukkan posisi sampel dalam kuadran, sedangkan loading SP menunjukkan variabel yang dominan dalam penentuan posisi titik pada score SP. Variabel loading SP berupa waktu retensi, dari waktu retensi ini dapat diketahui jenis senyawa yang dimaksud.
21 Sampel bersih
Pembekuan cepat (-20 ⁰C) selama 24 jam
Freeze drying selama 48 jam
Sampel kering beku
Penghancuran dengan blender kering
Sampel bubuk kering beku (simpan dalam freezer)
Gambar 6 Persiapan sampel
22 50.0 mg sampel kering beku (bubuk) 2.5 ml etanol 95 % Pelarutan
Pemisahan supernatan dan endapan dengan sentrifus selama 15 menit; 2500 rpm
Endapan
Supernatan
0.1 ml supernatan 0.9 ml etanol 95 % 2.5 ml air deion
2.5 ml Folin Ciocalteu 50 %
Pencampuran dengan vorteks Pereaksian selama 5 menit
0.5 ml Na2CO3 5 % Pencampuran dengan vorteks
Pereaksian dalam ruang gelap selama 1 jam
Pembacaan absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 725 nm
Gambar 7 Prosedur analisis total fenol
23 50.0 mg sampel kering beku (bubuk)
4 ml larutan metanol:HCl: air (90:1:1)
Pencampuran dengan vorteks
Pemisahan supernatan dan endapan dengan sentrifus selama 15 menit; 2500 rpm
Supernatan 6.5 ml buffer pH 1
@ 0.5 ml
6.5 ml buffer pH 4.5
Penyimpanan selama 20 menit
Pembacaan absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 dan 700 nm.
24 0.500 g sampel kering beku (bubuk)
20 ml MeOH 62.5 % (+TBHQ 2 g/L)
Erlenmeyer 100 ml
Pelarutan 5 ml HCl 6 M Pencampuran Perefluksan dengan refluks spiral selama 2 jam; 90 ⁰C
Pendinginan
20 ml MeOH 62.5 % (+TBHQ 2 g/L)
Labu takar 50 ml
Pencampuran (sampai volume 50 ml) Pengekstrakan dengan sonikator selama 5 menit
Penyaringan dengan syringe filter selulosa berdiameter pori 0.45 µm
Ekstrak flavonol daun torbangun
Gambar 9 Prosedur pembuatan ekstrak flavonol
25 0.500 g sampel kering beku (bubuk)
20 ml MeOH 62.5 % (+TBHQ 2 g/L)
Erlenmeyer 100 ml
Pelarutan 5 ml HCl 10 M Pencampuran Perefluksan dengan refluks spiral selama 4 jam; 90 ⁰C
Pendinginan
20 ml MeOH 62.5 % (+TBHQ 2 g/L)
Labu takar 50 ml
Pencampuran (sampai volume 50 ml) Pengekstrakan dengan sonikator selama 5 menit
Penyaringan dengan syringe filter selulosa berdiameter pori 0.45 µm
Ekstrak flavon daun torbangun
Gambar 10 Prosedur pembuatan ekstrak flavon
26
Pencampuran @1.5 mg standar quercetin, myricetin, kaempferol, luteolin, dan 3 mg 20 ml MeOH 62.5 % + TBHQ (2g/L) Pelarutan
5 ml HCl 6M Pencampuran
Labu takar 50 ml
Pencampuran (sampai volume 50 ml)
Larutan standar stok flavonoid
Gambar 11 Prosedur pembuatan larutan standar flavonoid
27 Pembuatan larutan standar stok 30 ppm
Area sampel keseluruhan
Pengidentifikasian range area sampel (min-max)
Pembuatan larutan standar untuk mengecek respon instrumen (min. 2 tingkat konsentrasi). Mis: 2 ppm dan 3 ppm
Gap respon instrumen untuk 2 konsentrasi
Penyesuaian range area standar dengan range area sampel
Penentuan min. 5 tingkat konsentrasi larutan standar untuk masing-masing komponen standar campuran
Penggabungan keseluruhan tingkat konsentrasi dari masing-masing komponen standar campuran
Diperoleh 12 tingkat konsentrasi (0.1; 0.2; 0.3; 0.4; 0.5; 2.0; 4.0; 6.0; 8.0; dan 10.0 ppm)
Gambar 12 Alur penentuan konsentrasi standar flavonoid
28
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Tiga Klon Torbangun Secara Agronomis Determinasi Tanaman Torbangun Determinasi tanaman dilakukan oleh pihak “Herbarium Bogoriense”, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor, dengan Kepala Bidang Botani LIPI, yaitu Dr. Joeni Setijo Rahajoe. Dokumen hasil identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil determinasi menyatakan bahwa seluruh tanaman yang diidentifikasi (klon A, B, dan C) memiliki nama latin Coleus amboinicus Lour. Untuk menjustifikasi kevalidan nama ilmiah tersebut, dilakukan crosscheck dengan mencocokkan nama tersebut dengan database nama ilmiah yang dimiliki oleh Integrated Taxonomic Information System (ITIS). ITIS merupakan sebuah lembaga internasional yang dirancang untuk menyediakan informasi taksonomi yang konsisten dan terpercaya. Menurut ITIS (2012), nama latin Coleus amboinicus Lour. sudah tidak berlaku lagi untuk tanaman torbangun. Saat ini, nama latin yang diterima secara internasional untuk torbangun, yaitu Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng. Oleh karena itu, nama latin tersebut digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini. Hasil Pembudidayaan Tanaman Torbangun Tiga klon torbangun yang digunakan dalam penelitian ini dibudidayakan ketika musim peralihan hujan ke kemarau, pada bulan Maret hingga Mei 2012. Ketika awal penanaman, bibit tanaman stek dari indukannya ditanam langsung pada lahan terbuka. Namun kemudian, untuk melindungi rebahnya bibit yang sedang tumbuh karena paparan hujan serta cepatnya respirasi dari tanaman karena panas yang tinggi, area pembudidayaan dipindah ke area greenhouse dengan atap berupa plastik UV yang berlapis paranet 60 %. Penentuan paranet berdasar penelitian Urnemi (2002), bahwa taraf naungan hingga 75 % meningkatkan pertumbuhan tanaman torbangun. Tata letak pembudidayaan tanaman di lahan dapat dilihat pada Lampiran 2, keadaan lahan pada Gambar 13. Klon torbangun ditanam dalam tiga bedeng terpisah, masing-masing memliki tiga lajur. Bedeng klon A dan C berada di area tepi lahan, sedangkan bedeng klon B berada di tengah. Bentuk greenhouse dan posisi penanaman membuat cahaya matahari lebih banyak memapar bagian tengah lahan, bedeng klon B. Cahaya, khususnya panjang gelombang biru meningkatkan pembentukan flavonoid (Salisbury dan Ross 1995). Dengan demikian, dari teori tersebut dapat diduga bahwa klon B akan mengandung senyawa flavonoid lebih banyak dari dua klon lainnya. Walaupun area telah dilapisi paranet, terdapat beberapa tanaman yang daunnya diserang oleh hama belalang (Valanga nigricornis). Namun, serangan ini tidak terlalu mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Serangan belalang dikendalikan secara manual dengan cara diambil dengan tangan. Selain serangan belalang, setelah akar pada tanaman tumbuh, terdapat beberapa tanaman yang terkena busuk akar yang kemudian merambat pada kelayuan batang. Diperkirakan, hal ini terjadi akibat ketidaksesuaian lingkungan dan iklim bagi tanaman untuk tumbuh, sebab pada bagian dalam tanaman dan area sekitarnya tidak ditemukan serangga penggerek batang maupun cendawan.
29
Gambar 13 Keadaan lahan pembudidayaan torbangun Identifikasi Fenotipe Tanaman Bagian yang dapat diamati pada tanaman torbangun yang dibudidayakan pada penelitian ini hanya daun, batang, dan akarnya. Bagian bunga tidak dapat diamati karena belum tumbuh semasa pengamatan. Mugnisjah dan Setiawan (1995) memaparkan bahwa sebagian besar spesies tanaman tidak akan memasuki masa reproduktif jika pertumbuhan vegetatifnya belum selesai dan belum mencapai tahapan yang matang untuk berbunga. Sehubungan dengan ini, terdapat dua rangsangan yang menyebabkan perubahan itu terjadi, yaitu suhu dan panjang hari. Pembudidayaan tanaman dilakukan ketika musim kemarau. Dengan meninjau ulang faktor yang dipaparkan Mugnisjah dan Setiawan (1995), ketidaksesuaian tanaman dengan musim, terutama faktor suhu, merupakan faktor utama yang mungkin menghambat pertumbuhan bunga torbangun. Penampakan tanaman dari ketiga klon torbangun yang telah dibudidayakan dalam lingkungan yang sama disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14 Ketiga klon torbangun yang digunakan dalam penelitian
30 Untuk membedakan ketiga klon dari tanaman ini, diperlukan deskripsi karakteristik dari masing-masing tanaman. Karakteristik tanaman torbangun secara umum dapat digambarkan dalam sebuah deskriptor tanaman. Deskriptor didefinisikan sebagai sebuah alat yang digunakan untuk mengarakterisasi atau mengukur ciri dari tanaman. Identifikasi tanaman dilakukan dengan menggunakan deskriptor tanaman yang disusun berdasarkan panduan yang disediakan oleh Bioversity International (IPGRI 2007). Untuk membantu penyusunan deskriptor torbangun, digunakan pula beberapa deskriptor tanaman yang telah dipublikasi oleh IPGRI (International Plant Genetic Resources Institute) seperti deskriptor ubi dan cabe. Deskriptor tanaman torbangun yang telah dibuat dapat dilihat pada Lampiran 3. Pada Tabel 5 disajikan hasil ringkasan dari data yang dikoleksi di lapangan menggunakan deskriptor torbangun. Perbedaan penampang daun dari ketiga klon torbangun dapat dilihat pada Gambar 15. Penampang daun klon B dan C tampak mirip, sedangkan klon A lebih tebal. Pengkarakterisasian lebih lanjut dari ketiga klon tanaman tersebut adalah sebagai berikut :
Gambar 15 Penampang daun dari ketiga klon torbangun (ki-ka: klon A, B, dan C) 1. Torbangun Klon A Tanaman torbangun yang diberi kode A memiliki bentuk daun bulat telur, ketika dewasa ukuran daunnya sekitar 5.2-6 cm, berwarna hijau kekuningan yang disebabkan karena cuaca yang sangat panas. Tangkai daun yang panjangnya kurang lebih 2-2.6 cm berwarna hijau, terkadang berwarna hijau keunguan. Kerapatan daunnya tergolong sedang. Tanaman torbangun memiliki rambut halus di seluruh permukaan tanamannya. Pada klon A ini, rambut halus yang menyelimutinya tergolong tipis. Daun dari torbangun klon A lebih tebal dan agak keras dari kedua klon lain yang digunakan pada penelitian ini, tebalnya antara 1.5-2.2 mm, serta memiliki aroma daun yang kuat dan khas. Jika daun telah cukup dewasa, daunnya akan memiliki gerigi yang agak dalam. Batang dari torbangun klon A berwarna hijau hingga hijau keunguan, pertumbuhan batangnya masuk ke kategori rimbun, diameter batang antara 5-6 mm. Lebar dari kanopi tanaman ini dapat mencapai
31 40 cm pada umur kurang lebih 3 bulan, dengan pola pertumbuhan batang yang kompak sehingga sudut-sudut percabangannya tidak mencapai 45 ⁰, dan tinggi tanaman berkisar antara 24-41 cm. 2. Torbangun Klon B Tanaman torbangun yang diberi kode B memiliki ciri bentuk daun berbentuk bulat telur juga seperti klon sebelumnya. Saat dewasa ukuran daunnya sekitar 7.1-8.8 cm, lebih lebar dari klon A. Warna daunnya hijau tua, tangkai daun berwarna hijau keunguan dengan panjang sekitar 3.1-4.4 cm, dengan kerapatan daun yang tergolong sedang. Pada klon B, rambut halus yang menyelimutinya juga tergolong tipis. Daun torbangun klon B lebih tipis dari klon A, yakni tebalnya antara 0.5-0.8 mm, serta memiliki kekuatan aroma daun yang tergolong sedang, namun khas. Gerigi daun yang agak dalam akan terbentuk saat daun telah cukup dewasa. Batang dari torbangun klon B berwarna hijau keunguan, pertumbuhan batangnya termasuk ke dalam kategori menengah (tidak rimbun), diameter batangnya antara 6-7 mm. Lebar dari kanopi tanaman ini dapat mencapai 33 cm (minimalnya 22 cm), pada umur kurang lebih 3 bulan, dengan pola pertumbuhan batang yang tegak, sudut-sudut percabangannya tidak mencapai 45⁰, dan tinggi tanaman berkisar antara 31-56 cm. 3. Torbangun Klon C Tanaman torbangun yang diberi kode C memiliki bentuk daun kurang lebih sama seperti kedua klon sebelumnya, yaitu bulat telur. Saat dewasa, ukuran daun torbangun dari klon C dapat mencapai antara 7.3-8.9 cm, lebih lebar dari klon A, kurang lebih mirip klon C. Daunnya berwarna hijau tua, tangkai daun berwarna hijau keunguan dengan panjang sekitar 3-4.3 cm, dengan kerapatan daun yang tergolong sedang, sama dengan kedua klon lainnya. Pada klon C, rambut halus yang menyelimutinya juga tergolong tipis. Daun dari torbangun klon C lebih tipis dari klon A, kurang lebih sama dengan daun torbangun klon B, yakni tebalnya antara 0.5-0.7 mm. Kekuatan aroma daunnya tergolong sedang, namun cukup khas. Gerigi daun yang agak dalam akan terbentuk saat daunnya telah cukup dewasa. Batang dari torbangun klon C berwarna hijau keunguan, pertumbuhan batangnya termasuk ke dalam kategori menengah (tidak rimbun), diameter batangnya antara 5-6.5 mm. Lebar dari kanopi tanaman ini dapat mencapai 35 cm -minimalnya 22 cm-, pada umur kurang lebih 3 bulan, dengan pola pertumbuhan batang yang tegak, sudut-sudut percabangannya tidak mencapai 45 ⁰, dan tinggi tanaman sekitar 32-43 cm. Secara empiris, dari seluruh klon yang diidentifikasi, torbangun klon A memiliki kemampuan lebih baik dalam memproduksi cabang. Selain itu, torbangun klon A lebih tahan cuaca ekstrim. Respon percabangan dan ketahanan terhadap cuaca ekstrim dari ketiga klon torbangun ini menarik untuk dipelajari lebih lanjut agar dapat diketahui klon yang lebih potensial untuk dibudidayakan sebagai sayuran.
32 Tabel 5 Perbandingan morfologi tanaman torbangun No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Klon
Kriteria DAUN Bentuk daun secara umum Ukuran daun dewasa (cm) Warna daun dewasa Panjang tangkai daun Pigmentasi tangkai daun Kerapatan daun Ketebalan daun Gerigi pinggir daun Rambut daun Aroma daun Tingkat kekerasan daun
A
B
C
Bulat telur
Bulat telur
Bulat telur
5.2 – 6 cm
7.1 – 8.8 cm
7.3 – 8.9 c
Hijau kekuningan
Hijau tua
Hijau tua
2 – 2.6 cm
3.1 – 4.4 cm
3 – 4.3 cm
Sedang 1.5 – 2.2 mm Agak dalam Tipis Kuat
Hijau keunguan Sedang 0.5 – 1 mm Agak dalam Tipis Sedang
Hijau keunguan Sedang 0.5 – 0.7 mm Agak dalam Tipis Sedang
Agak keras
Lunak
Lunak
Hijau
Hijau keunguan
Hijau keunguan
Rimbun
Menengah
Menengah
5 – 6 mm
6 – 7 mm
5 – 6.5 mm
20 – 40 cm
22 – 33 cm
22 – 35 cm
Tipis Menengah (kompak)
Tipis Menengah– tegak
Tipis Menengah– tegak
Lancip
Lancip
Lancip
24 – 41 cm
31 – 56 cm
32 – 43 cm
Hijau
BATANG 1 2 3 4 5 6 7 8
Warna batang Pertumbuhan batang Diameter batang Lebar kanopi tanaman Rambut batang Pola pertumbuhan tanaman Sudut cabang dominan Tinggi
Komponen Bioaktif Tanaman Torbangun Seluruh perhitungan kadar komponen bioaktif dilakukan dalam basis basah dan basis kering. Pengonversian basis basah dalam kondisi segar (fresh weight/FW) diperlukan untuk mengetahui kadar senyawa dalam porsi edibel, sehingga perlu diketahui kadar air sampel segar dan setelah pengeringan beku.
33 Data kadar air segar dan setelah pengeringan beku dapat diacu pada Lampiran 4 dan 5. Total Fenolik Tepung daun torbangun hasil pengeringan beku selanjutnya dianalisis kandungan total fenol dan antosianinnya untuk mengetahui karakteristik lebih lanjut. Komponen fenol merupakan senyawa yang strukturnya terdiri dari cincin aromatik yang memiliki satu atau dua gugus hidroksil (Harborne 1984). Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa fenol merupakan kelompok besar dari senyawa-senyawa seperti asam fenolat, fenilpropanoat, antosianin, tanin, dan lainlain. Senyawa fenol juga telah dikenal kemampuannya sebagai antioksidan. Namun, Atalay et al. (2010) menyatakan bahwa tidak seluruh senyawa fenol memiliki kapasitas sebagai antioksidan, seperti asam usnat (usnic acid) dan asam difraktat yang merupakan senyawa turunan asam fenolat. Pengukuran senyawa fenol dilakukan dengan mereaksikan ekstrak sampel dengan reagen Folin-Ciocalteu. Reagen yang mengandung asam fosfomolibdat ini dalam suasana basa akan bereaksi dengan senyawa fenol membentuk kromogen biru molibdenum yang dapat dideteksi secara spektrofotometri. Kompleks ini mengakibatkan larutan berwarna kebiruan. Pengukuran total fenol dilakukan dengan membandingkan absorbansi dari sampel dengan larutan standar yang dibuat dari asam galat. Senyawa asam galat digunakan sebagai standar karena senyawa ini banyak terdapat pada sayuran dan umum digunakan dalam analisis total fenol (Hedges dan Lister 2008). Larutan standar dalam penelitian ini dibuat dalam konsentrasi antara 250-1250 ppm, yang kemudian dibuat persamaan garisnya untuk digunakan dalam penentuan konsentrasi total fenol sampel. Sampel yang berbeda sangat mungkin memiliki konsentrasi fenol yang jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah dari sampel torbangun dalam penelitian ini. Konsentrasi standar yang terlalu tinggi di atas sampel menyebabkan hasil perhitungan terlalu besar, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, agar perhitungan valid, konsentrasi sampel harus berada diantara konsentrasi standar. Untuk menentukan range konsentrasi standar yang akan digunakan, sebaiknya dilakukan analisis percobaan terhadap sampel menggunakan konsentrasi larutan standar yang didapat dari literatur. Setelah itu, range konsentrasi standar dapat disesuaikan. Kurva standar asam galat yang dibuat dapat diacu pada Lampiran 6. Total fenol yang tertinggi dari ketiga klon torbangun (lihat Gambar 16), yaitu klon B (sebesar 149.78 mg GAE/100 g sampel segar), diiikuti klon C (121.35 mg), dan klon A (78.68 mg). Jika dikonversikan ke dalam berat keringnya, urutan ke-2 dan ke-3-nya berubah. Torbangun klon B diketahui mengandung senyawa fenol tertinggi, yaitu sebesar 1887.63 mg GAE/100 g sampel kering, diikuti torbangun klon A (1770.57 mg), dan klon C (1357.67 mg). Jumlah senyawa dihitung berdasarkan basis keringnya agar kandungan air dalam sampel tidak mempengaruhi penentuan kandungan senyawa tersebut sehingga dapat diketahui jumlah sebenarnya dari senyawa yang diuji. Perhitungan basis kering dapat digunakan untuk mengetahui sampel mana yang lebih efisien jika digunakan untuk tujuan isolasi senyawa. Perhitungan berdasarkan basis basah digunakan untuk tujuan pengonsumsian sampel. Data total fenol selengkapnya dapat diacu pada Lampiran 7.
Total Fenol (mg GAE/100 g sampel )
34
2000.00 1800.00 1600.00 1400.00 1200.00 1000.00 800.00 600.00 400.00 200.00 0.00
1770.57a
1887.63b
1357.67c
FW FD 149.78
78.68 1
2 Klon
121.35 3
Gambar 16 Diagram total fenol tiga klon torbangun. Rata-rata dengan subskrip berbeda merupakan sampel yang berbeda nyata (p<0.05) Berdasarkan hasil penelitian Marinova et al. (2005), sayuran yang dikonsumsi daunnya umumnya memiliki kandungan senyawa fenol 35.7 – 188.0 mg GAE/100 g FW. Dari hasil penelitian Andarwulan et al. (2012) diketahui pula bahwa total fenol dari beberapa sayuran indigenous asal Indonesia berada di kisaran 21.01 – 847.41 mg GAE/100 g FW. Chun et al. (2005) menemukan bahwa sayuran dedaunan yang biasa dikonsumsi masyarakat Amerika memiliki kandungan total fenol 9.82 – 32.54 mg GAE/100 g FW. Jika ditilik dari data-data tersebut, ketiga nilai total fenol ketiga klon torbangun ini berada di antara angka kandungan total fenol sayuran dari penelitian Marinova et al. (2005) dan Andarwulan et al. (2012), namun lebih tinggi dari hasil penelitian Chun et al. (2005). Perbedaan ini dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (seperti iklim, tanah, dan pemupukan) sebagaimana yang dinyatakan Bernhoft (2010). Torbangun yang ditanam di India memiliki kandungan senyawa fenol sebesar 19.62 mg GAE/100 g FW (Hullatti dan Bhattacharjee 2011). Angka tersebut jauh lebih kecil dibanding kandungan fenol dari penelitian ini, yang dimungkinkan karena perbedaan persiapan sampel yang dilakukan. Sampel pada penelitian Hullatti dan Bhattacharjee (2011) dikeringkan dengan pengeringan udara. Keinanen dan Julkunen-Tiitto (dalam Asami et al. 2003) menyatakan bahwa freeze drying merupakan kunci keefisienan ekstraksi untuk analisis total fenol, karena dalam metode freeze drying terjadi pengembangan kristal es dalam matriks sampel. Kristal es menghasilkan pemecahan (rupturing) sel tanaman yang lebih besar, sehingga dapat meningkatkan efisiensi akses dari pelarut saat ekstraksi. Asami et al. (2003) menambahkan, pada pengeringan udara hampir tidak ada atau kecil kemungkinan sel mengalami pemecahan dan adanya efek panas menyebabkan degradasi kandungan fenolik dan asam askorbat.
35 Dari hasil Analysis of Variance (one-way ANOVA; Lampiran 8) diketahui bahwa nilai total fenol dari ketiga sampel ini berbeda secara signifikan satu sama lainnya (p<0.05). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara statistik, dari segi total fenol, ketiga klon berbeda nyata. Total Antosianin Antosianin merupakan bagian dari senyawa flavonoid yang mencakup berbagai warna termasuk biru, ungu, magenta violet, merah, dan oranye. Senyawa ini terdistribusi secara luas pada dunia tumbuhan. Eder (2000) mengulas bahwa senyawa antosianin memiliki efikasi yang baik bagi aliran darah, dan sebagai antioksidan, sehingga memiliki peran penting dalam pencegahan peroksidasi membran sel dan karsinogenesis. Namun, senyawa ini dapat terdegradasi dengan mudah oleh berbagai mekanisme reaksi semisal pemprosesan dan penyimpanan. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa proses degradasi dan polimerisasi antosianin dipengaruhi oleh oksigen, asam askorbat, cahaya, pH, dan suhu. Dari pengamatan fenotipe, beberapa tanaman dari seluruh populasi tanaman torbangun diketahui memiliki semburat keunguan pada batang daunnya. Berdasarkan temuan tersebut, total antosianin pada tanaman ini memiliki potensi untuk dianalisis. Pengukuran total antosianin dapat dilakukan dengan metode diferensial pH (spektrofotometri) (dan HPLC. Lee et al (2005) menyatakan bahwa kedua metode ini saling berkorelasi dalam penentuan total antosianin. Meski ditemukan bahwa hasil dengan metode HPLC lebih besar pada beberapa sampel, hasil korelasi yang tinggi antara keduanya mengantarkan pada kesimpulan bahwa metode diferensial pH (spektrofotometri) memiliki validitas tinggi. Metode ini unggul dari segi ekonomis, waktu, dan simplisitas. Oleh karena itu, total antosianin sampel dalam penelitian ini dianalisis menggunakan metode diferensial pH. Pada metode diferensial pH, prosedur ekstraksi antosianin dilakukan maserasi sampel dalam campuran metanol-HCl. Asidifikasi dengan HCl ini bertujuan untuk menjaga nilai pH tetap rendah (Eder 2000). Pencampuran dengan buffer pH 1.0 dan 4.5 pada tahap selanjutnya bertujuan untuk memanfaatkan terjadinya transformasi struktur antosianin yang bersifat reversibel ketika pH berubah (berwarna saat berbentuk oxonium pada pH 1, tak berwarna saat berbentuk hemiketal pada pH 4.5; Gambar 17) (Lee et al. 2005). Transformasi struktur ini menghasilkan nilai absorbansi berbeda pada panjang gelombang pengukuran (520 nm). Untuk mengoreksi bias pada larutan sampel, dilakukan pula pengukuran pada panjang gelombang 700 nm. Dalam perhitungan digunakan koefisien absorbsi (Ԑ) untuk glukosida sianidin (diekspresikan dalam cyanidin-3glucoside equivalent/C3GE) sebesar 26900 L/mol/cm. Sianindin dipilih karena senyawa ini merupakan senyawa yang paling umum terdapat di alam. Wu et al. (2006) menemukan bahwa sianidin ditemukan pada hampir seluruh buah dan sayuran yang biasa dikonsumsi masyarakat Amerika Serikat.
36
Gambar 17 Perubahan struktur antosianin pada pH berbeda (diadaptasi dari Lee et al. 2005) Berdasarkan basis keringnya (Gambar 18), total antosianin yang tertinggi dari ketiga klon terdapat dalam sampel klon B, yaitu sebesar 1.82 mg C3GE/100 g sampel, diikuti sampel klon C (2.33 mg), dan klon A (1.69 mg). Data total antosianin selengkapnya dapat diacu pada Lampiran 9. ANOVA dari data total antosianin (Lampiran 10) menunjukkan bahwa kadar antosianin pada sampel klon A tidak berbeda nyata dengan klon C, sedangkan dengan klon B berbeda nyata dengan kedua klon lainnya. Berdasarkan basis basahnya, total antosianin tertinggi sama dengan basis keringnya, yaitu klon B (0.18 mg). Namun, urutan keduanya ditempati oleh klon C (0.15 mg), diikuti klon A (0.08 mg). Perbedaan tingkat total antosianin jika ditilik dari basis berbeda ini terjadi karena daun torbangun klon A memiliki kadar air yang lebih tinggi dari daun torbangun klon B dan C.
Total antosianin (mg C3GE/100 g sampel BK)
3.00 2.33b
2.50 1.82a
2.00
1.69a
1.50
FW
1.00
FD
0.50
0.18
0.08
0.15
0.00 A
B Klon
C
Gambar 18 Diagram total antosianin tiga klon torbangun (diekspresikan dalam cyanidin-3-glucoside/C3G) Rata-rata dengan subskrip berbeda merupakan sampel yang berbeda nyata (p<0.05)
37 Kadar total antosianin pada sayuran indigenous asal Indonesia yang biasa dikonsumsi bagian daunnya berkisar antara 0.07-4.44 mg/100 g FW (Andarwulan et al. 2012). Penelitian Wu et al. (2006) menunjukkan angka 2.2-322 mg/100 g FW untuk total antosianin pada sampel sayuran berupa dedaunan yang biasa dikonsumsi masyarakat Amerika Serikat. Kadar total antosianin dari ketiga klon torbangun berada dalam kisaran kadar antosianin penelitian Andarwulan et al. (2012). Namun, hasil ini sedikit di bawah kadar total antosianin sayuran dari penelitian Wu et al. (2006). Hal tersebut karena sayuran yang dianalisis pada penelitian ini berupa dedaunan berwarna hijau, sedangkan Wu et al. (2006) menggunakan sayuran berwarna merah. Data ini menunjukkan bahwa kadar total antosianin ketiga klon torbangun berada dalam kisaran kadar total antosianin pada umumnya. Perbandingan kadar total antosianin dengan spesies sampel yang sama belum dapat dilakukan karena keterbatasan data literatur. Kadar Flavonoid A. Pembuatan dan penentuan konsentrasi standar campuran Senyawa flavonoid yang terdapat dalam bahan pangan umumnya dalam bentuk campuran, yang tentunya menimbulkan interaksi antarsenyawa, baik antarflavonoid maupun yang lainnya. Hal ini tentunya akan mempengaruhi respon alat dalam hal waktu retensi serta area yang dihasilkan. Oleh karena itu, diperlukan pembuatan standar campuran agar penentuan respon alat terhadap senyawa yang diinginkan dapat mendekati kondisi sampel. Standar campuran dibuat sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab metode. Konsentrasi yang diplotkan untuk setiap standar tidak sama satu dengan lainnya disebabkan oleh berbedanya respon alat untuk masing-masing standar. Penentuan tingkat konsentrasi mempertimbangkan nilai limit deteksi masingmasing standar dan termuatnya respon alat terhadap sampel dalam range standar yang dibuat. Nilai limit deteksi (Limit of Detection; LOD) merupakan batas minimal konsentrasi yang masih dapat dideteksi oleh instrumen. Limit deteksi kelima standar flavonoid yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai limit deteksi yang dijadikan patokan adalah nilai yang tertinggi agar konsentrasi yang dibuat dapat seluruhnya terdeteksi oleh alat. Dalam penelitian ini, konsentrasi standar terendah yang digunakan adalah 0.2 ppm untuk apigenin. Dari penelitian Batari (2007) dapat dilihat bahwa nilai ini masih dapat dideteksi oleh instrumen. Dari hasil penginjeksian standar campuran dalam berbagai konsentrasi tersebut kemudian dibuat kurva standar campuran, beserta persamaan garisnya. Tipikal kromatogram standar campuran dapat dilihat pada Gambar 19. Kurva standar dan persamaan garis dari kelima standar campuran dapat dilihat pada Lampiran 11. Seluruh kurva standar memiliki nilai korelasi 0.99. Karena eluen yang digunakan berupa eluen polar, yaitu campuran air dengan acetonitrile, maka berdasarkan teori “like dissolves like” senyawa yang akan terelusi lebih dahulu adalah senyawa yang memiliki kepolaran lebih tinggi. Dari kromatogram (Gambar 19) diketahui bahwa urutan senyawa yang pertama terelusi dari golongan flavonol adalah myricetin. Hal ini terjadi karena myricetin memiliki struktur kimia yang paling polar dibanding senyawa lainnya, dengan melekatnya 6 gugus hidroksil pada strukturnya (lihat kembali Gambar 3). Senyawa flavonol yang terelusi berikutnya adalah quercetin dan kaempferol,
38 dimana masing-masing memiliki 5 dan 4 gugus hidroksil. Jumlah gugus hidroksil yang melekat pada senyawa mempengaruhi polaritas dari senyawa tersebut. Demikian pula yang terjadi pada senyawa flavon. Luteolin yang mengandung lebih banyak gugus OH menjadi lebih polar dibanding apigenin yang gugus hidroksilnya lebih sedikit dan lebih cepat terelusi dari kolom karena gugus nonpolar dari senyawa akan tertahan pada fase diam kolom dan membutuhkan waktu lebih lama untuk terelusi.
Gambar 19 Tipikal kromatogram standar campuran (konsentrasi 10 ppm, kecuali apigenin [20 ppm]) Tabel 6 Linieritas standar dan limit deteksinya Standar Flavonoid
Rt/waktu retensi (menit ke-)
Persamaan kurva standar
Myricetin Luteolin Quercetin Apigenin Kaempferol
3.974 - 4.051 7.811 - 8.315 8.334 - 8.996 14.397 - 15.509 18.178 - 19.550
y = 103833x - 1823.4 y = 31160x + 426.73 y = 53135x - 760.75 y = 69610x - 8365 y = 107746x +512.17
Ket:
1 2
LOD (ppm) Batari Hardianzah (2007)1 (2009)2 0.026 0.039 0.038 0.056 0.022 0.028 0.19 0.22 0.037 0.037
dianalisis dengan spesifikasi HPLC berbeda, jenis kolom sama dianalisis dengan spesifikasi dan jenis kolom HPLC yang sama dengan yang digunakan dalam penelitian ini
B. Kondisi Ekstraksi dan Hidrolisis Beragamnya peran senyawa flavonoid bagi kesehatan manusia menyebabkan komponen ini banyak dipelajari hingga saat ini. Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan berpembuluh, tetapi beberapa kelas lebih tersebar dibanding yang lainnya, seperti flavon dan flavonol, sedangkan isoflavon dan
39 biflavonol hanya terdapat dalam beberapa suku tumbuhan (Harborne 1984). Hal ini melandasi dikerucutkannya penelitian pada senyawa flavonol (dengan myricetin, quercetin, dan kaempferol sebagai senyawa flavonol yang sering ditemukan pada sayuran) dan flavon (dengan luteolin dan apigenin-nya). Dalam tumbuhan, flavonoid umumnya terdapat dalam bentuk glikosida. Dalam bentuk ini, flavonoid lebih sulit dideteksi. Proses hidrolisis glikosida menjadi bentuk aglikon membuat metode penentuan kuantitas flavonoid dalam bahan pangan menjadi lebih praktis (Harborne 1984). Oleh karenanya, perlu dilakukan proses hidrolisis dalam ekstraksi untuk mendapatkan aglikon yang diinginkan dalam jumlah maksimal. Metode hidrolisis yang dianjurkan adalah hidrolisis asam, sebagaimana telah dipaparkan oleh Harborne (1984). Metode ini kemudian dioptimisasi oleh Hertog et al. (1992b), dengan menggunakan variasi konsentrasi asam dan lama waktu reaksi hidrolisis. Dari penelitian tersebut diketahui pula bahwa asam klorida (HCl) lebih optimum untuk ekstraksi dibanding asam sulfat (H2SO4). Stabilitas flavonoid dalam kondisi hidrolisis telah diujicoba pula oleh peneliti yang sama, dimana hasilnya menunjukkan bahwa seluruh senyawa flavonoid yang diujicobakan stabil dalam larutan 50 % metanol dengan penambahan 2 g/L TBHQ, konsentrasi HCl 2.0 M, yang direaksikan selama 6 jam. Atas dasar tersebut, dalam analisis flavonoid torbangun ini digunakan 2 g/L TBHQ. Hasil penelitian Hertog et al. (1992b) menunjukkan bahwa kondisi ekstraksi optimum untuk senyawa flavonol adalah dengan menghidrolisis sampel dalam larutan HCl 1.2 M, periode reaksi 2 jam. Untuk senyawa flavon, kondisi optimum ekstraksinya yaitu dengan menghidrolisis sampel dalam larutan berkonsentrasi HCl yang lebih tinggi, yaitu 2.0 M selama 4 jam. Walaupun kondisi tersebut bervariasi untuk sampel berbeda, kedua kondisi ini digunakan dalam riset Hertog et al. (1992a) selanjutnya untuk sampel sayuran dan buah-buahan yang umum dikonsumsi di Belanda. Ekstraksi dan hidrolisis metode flavonol menggunakan HCl dengan konsentrasi 6.0 M (setelah dicampur dengan sampel, konsentrasi akhirnya 1.2 M) selama 2 jam. Karena dari hasil analisis tersebut diketahui bahwa terdapat sedikit komponen flavon pada sampel, maka analisis dilanjutkan dengan metode ekstraksi dan hidrolisis flavon, yaitu menggunakan HCl berkonsentrasi 10.0 M (setelah dicampur dengan sampel, konsentrasi akhirnya 2.0 M) selama 4 jam. Agar proses ekstraksi lebih maksimal, dilakukan pula ekstraksi menggunakan sonikator karena efek mekanis dari gelombang ultrasonik lebih dapat menginduksi penetrasi pelarut ke dalam material sel dan meningkatkan transfer massanya. Dalam proses ekstraksi, gelombang ultrasonikdapat merusak dinding sel, sehingga lebih mudah mengeluarkan isi sel. Prinsip ekstraksi ini berlawanan dengan prinsip ekstraksi konvensional dimana ekstrak tanaman hanya berdifusi melewati dinding sel (Wang dan Weller 2006). Meskipun masing-masing metode juga dapat mendeteksi baik komponen flavonol maupun flavon, kadar senyawa flavon dan flavon yang diambil berasal dari masing-masing metode. Dengan kata lain, dari hasil kuantifikasi dengan metode flavonol (Lampiran 12) diambil data jumlah komponen flavonolnya saja (myricetin, quercetin, kaempferol), sedangkan dari metode flavon (Lampiran 13) diambil data jumlah komponen flavon-nya saja (luteolin dan apigenin). Hal ini dilakukan karena diketahui dari keseluruhan data bahwa metode ekstraksi
40 hidrolisis flavonol menghasilkan jumlah komponen flavonol yang lebih besar dibanding komponen flavon, serta sebaliknya. Hasil penelitian Hertog et al. (1992b) membuktikan bahwa flavon merupakan komponen yang lebih tahan dengan hidrolisis asam. C. Profil Senyawa Flavonoid
Respon detektor (mAU)
Hasil analisis tiga klon daun torbangun menunjukkan bahwa perpaduan dua metode dari Hertog et al. (1992a) dapat menguantifikasi kelima senyawa flavonoid daun yang diperoleh dari ketiga klon torbangun. Dengan menggunakan kedua metode ini hasil kuantifikasi senyawa flavonoid lebih maksimal dibanding hanya menggunakan satu metode. Hal ini karena setiap senyawa memiliki tipe kondisi ekstraksi berbeda, tergantung gugus-gugus fungsional yang terikat dengan glukosidanya. Tipikal kromatogram yang dihasilkan dari kedua metode ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 20, peak dari senyawa flavon muncul ketika diekstrak dengan metode flavon, yaitu selama 4 jam dengan kadar HCl 2.0 M. Lain halnya dengan peak senyawa flavonol yang menurun atau hilang pada kondisi ekstraksi flavon. Kadar masing-masing senyawa flavonid yang teridentifikasi dirangkum dalam Tabel 7.
Waktu retensi (menit) Gambar 20 Tipikal kromatogram klon B yang dihasilkan dari metode ekstraksi dan hidrolisis flavonol (atas) dan flavon (bawah)
41 Tabel 7 Kadar senyawa flavonol dan flavon yang terdeteksi dari tiga klon torbangun (mg/100 g BK) Rt/waktu retensi (menit ke-)
Senyawa Myricetin Luteolin Quercetin Apigenin Kaempferol Total
3.82 - 4.05 7.81 - 8.51 8.33 - 8.99 14.39 - 15.94 17.14 - 19.55
Klon A Klon B Klon C Kadar flavonoid pada waktu hidrolisis 2 jam 4 jam 2 jam 4 jam 2 jam 4 jam 3.17 2.01 33.33 23.71 15.99 12.25 2.53 23.79 2.31 81.94 -- 42.83 7.3 -- 8.87 -- 5.48 --- 5.89 3.81 5.66 -- 4.19 9.74 10.68 12.66 9.75 10.98 10.05 22.74 44.83 60.98 123.47 32.45 71.74
44.23 f
86.87 e
Myr
Klon A
23.45 d
6.99 l 12.66 m 10.98 n
5.32 j 5.11 j 3.85 k
Klon B 5.49 g 7.25 h 3.51 i
37.04 b 17.10 c
100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
2.35 a
Kadar flavonoid (mg/100 g BK)
Penurunan luas area senyawa flavonol ketika dianalisis dengan metode flavon dikarenakan senyawa flavonol umumnya terdapat dalam bentuk O-glikosida. Ikatan O-glikosida merupakan ikatan yang menghubungkan gugus hidroksil dari flavonol dengan gugus gulanya, dengan ikatan hemiasetal yang labil terhadap asam (Markham 1982). Namun, pada kondisi asam yang lebih tinggi dan waktu hidrolisis lebih lama, senyawa ini cenderung terdegradasi (Hertog et al. 1992b). Selain itu, terdeteksi pula senyawa flavon pada metode flavonol. Senyawa ini diduga merupakan senyawa flavon yang memiliki ikatan O-glikosidik, seperti apigenin 7-O-β-D-glukopiranosida (Markham 1982).
Klon C
Lut Que Api Kae Senyawa flavonoid terdeteksi
Gambar 21 Profil senyawa flavonol dan flavon pada tiga klon torbangun Rata-rata dengan subskrip berbeda merupakan sampel yang berbeda nyata (p<0.05)
42 Jumlah flavonoid yang diperoleh sangat bervariasi. Secara umum dari seluruh klon torbangun, luteolin merupakan flavonoid yang paling banyak terkuantifikasi. Sebagian kaempferol yang terkandung dalam torbangun klon A, diduga berada dalam bentuk C-glikosida karena ketika dianalisis menggunkan metode flavon, jumlah senyawa kaempferol meningkat, tidak seperti kaempferol pada torbangun klon B dan C. Kaempferol dalam bentuk C-glikosida, seperti 7-metil kaempferol (Markham 1982), merupakan jenis kaempferol yang mungkin terdapat dalam sampel klon A tersebut. Senyawa terbanyak kedua pada klon A adalah kaempferol, diikuti quercetin, apigenin, dan myricetin. Urutan kedua dan ketiga dari torbangun klon B dan C sama, yaitu myricetin dan kaempferol, sedangkan urutan selanjutnya untuk klon B adalah quercetin dan apigenin sebagai yang terkecil, posisi sebaliknya untuk klon C (lihat Gambar 21). Hasil ANOVA senyawa flavonoid (Lampiran 14) menunjukkan bahwa setiap senyawa flavonoid yang dideteksi saling berbeda nyata satu sama lain pada setiap klon. Namun, tidak demikian halnya untuk senyawa apigenin pada klon A dan B, kuantitas senyawa apigenin pada kedua klon ini tidak berbeda nyata. Jika dibandingkan dengan katuk, tanaman yang daunnya dikenal luas kemampuannya dalam menginduksi ASI, ketiga klon torbangun terdeteksi lebih kaya flavonoid (Tabel 8). Penelitian (Andarwulan et al. 2012) menunjukkan bahwa daun katuk tidak terdeteksi mengandung flavonol myricetin, tetapi mengandung senyawa kaempferol yang sangat tinggi. Namun, penelitian tersebut dilakukan dengan metode flavonol saja, sehingga senyawa flavon luteolin dan apigenin tidak terdeteksi. Dibandingkan dengan total flavonoid yang terdeteksi pada daun torbangun, total flavonoid pada daun katuk tidak jauh dengan total flavonoid torbangun klon B. Tabel 8 Perbandingan kadar flavonoid dari tiga klon torbangun dengan daun katuk Klon torbangun Flavonoid
A
B
C
Myricetin 3.17 ± 0.05 33.33 ± 0.21 15.99 ± 0.08 Luteolin 23.79 ± 1.13 81.94 ± 7.31 42.83 ± 2.60 Quercetin 7.30 ± 0.17 8.87 ± 0.05 5.48 ± 0.25 Apigenin 5.89 ± 0.36 5.66 ± 0.33 4.19 ± 0.20 Kaempferol 9.74 ± 0.25 12.66 ± 0.26 10.98 ± 0.17 Total 49.89 142.46 79.47
Daun katuk (Andarwulan et al. 2012) --4.50 ± 0.22 -138.14 ± 5.81 142.64
Unknown peak (UP) yang diidentifikasi dinotasikan dengan nomor 1-9, masing-masing peak memiliki luas area lebih dari 10000 mAU. UP setelah nomor 9 yang berada pada waktu retensi 12.31-12.99 merupakan peak dari TBHQ (Gambar 22), sehingga dapat diabaikan. Seluruh UP yang lebih dari 10000 mAU hanya terdapat pada kromatogram sampel klon A. Dari Tabel 9 diketahui bahwa waktu retensi UP 1-9 berada di sekitar menit ke 2.58 hingga 11.92. Selain itu, diketahui pula efek yang dihasilkan dari kedua
43 metode yang dilakukan. UP 2, 3, 7, dan 8 memiliki ketahanan terhadap waktu reaksi dan asam yang rendah. Terbukti dengan menurunnya peak ketika sampel dianalisis menggunakan metode flavon. UP 1, 4, dan 5 memiliki respon berkebalikan dari UP yang dipaparkan sebelumnya. Terdapat pengecualian untuk UP 6 dan 9, kedua senyawa ini tidak memiliki tren area yang konstan dari kedua metode yang telah dilakukan. Dua alasan yang mungkin mempengaruhi hal itu, antara lain karena metode ekstraksi yang kurang optimal bagi senyawa tersebut atau senyawa tersebut bukan flavonoid, sehingga tidak memiliki kecenderungan seperti senyawa flavonoid pada umumnya. Sebagaimana simpulan yang didapat dari dari penelitian Hertog et al. (1992b) dan Nuutila et al. (2002), tidak ada satu metode analisis flavonoid yang dapat digunakan untuk seluruh material tanaman. Jenis flavonoid yang berbeda dari sampel berbeda memiliki metode ekstraksi tersendiri. Faktor yang mempengaruhinya antara lain tipe matriks yang mengikat senyawa tersebut. Oleh karena itu, ekstraksi senyawa UP 6 dan 9 perlu dioptimisasi lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang lebih konsisten. Efisiensi ekstraksi dapat ditingkatkan antara lain dengan melakukan optimasi jenis pelarut, waktu homogenisasi, waktu & suhu ekstraksi, jenis & konsentrasi asam, uji ketahanan senyawa, jenis antioksidan yang digunakan, panjang gelombang deteksi, serta hal-hal lain yang mungkin mempengaruhi kondisi ekstraksi (Nuutila et al. 2002 dan Bae et al. 2012). Lebih lanjut, dari Tabel 9 diketahui bahwa sebagian besar sampel memiliki persentase area senyawa unknown cukup besar, yaitu kurang lebih antara 47-89 % bila dibandingkan dengan total area komponen yang terdeteksi. Senyawa unkown yang terbesar adalah pada klon A dengan metode ekstraksi flavonol. Jumlah yang cukup besar ini menarik untuk dianalisis lebih lanjut. Karena mungkin masih banyak memiliki potensi yang dapat bermanfaat. Senyawa-senyawa unknown tersebut dapat berupa senyawa lain dari golongan flavonol dan flavon, karena analisis pada penelitian ini dilakukan menggunakan HPLC dengan detector UVVis pada panjang gelombang 370 nm, dimana pada kisaran panjang gelombang tersebut komponen flavonol dan flavon memiliki serapan maksimum (Lee 2000). Namun, untuk mengetahui identitas sebenarnya dari senyawa unknown ini, dapat dilakukan deteksi lebih lanjut menggunakan instrumen LC-MS atau NMR.
44
44 Tabel 9 Peak yang terdeteksi pada tiga klon daun torbangun
Unknown Peak
Area Senyawa
Rt
1 2 3 4 5 6 7 8 9
2.58 - 2.71 3.18 - 3.25 3.68 - 3.74 4.83 - 5.14 5.47 - 5.93 6.22 - 6.47 6.74 - 7.19 7.33 - 7.74 10.82 - 11.92
Jumlah senyawa unknown % (dari total area peak)
Klon A 2h
4h
Klon B 2h
Klon C 4h
2h
4h
22914 20316 10728 345941 18876 101809 26054 27140 408069
27300 --410417 65163 85178 -17271 42293
9248 43919 -301758 19395 34425 36655 -516926
28821 --353895 60812 45770 16841 -50872
10841 19344 -176240 -27871 29352 -230219
13816 --266066 33283 42712 19834 -22940
981847 88.98
647622 77.58
962326 64.53
557011 47.26
493867 64.33
398651 53.93
Keadaan kadar akibat perubahan metode ekstraksi & hidrolisis Meningkat Menurun Menurun Meningkat Meningkat -Menurun Menurun --
Klon C
Klon B
Klon A
45
Reaksi 2 jam; [HCl] 1.2 M
Reaksi 4 jam; [HCl] 2.0 M
45
46 D. Partial Least Square – Discrimination Analysis (PLS-DA) untuk diferensiasi profil senyawa flavonoid tiga klon torbangun PLS-DA dilakukan untuk mengidentifikasi data secara komprehensif sehingga dapat membedakan karakteristik senyawa dari suatu sampel dengan sampel lain. Analisis data multivariat ini bertujuan untuk memudahkan memperoleh model yang dapat membuat separasi antarkelas yang diamati, berdasarkan variabel X-nya. Model analisis ini dikembangkan dari set pengamatan berdasarkan keanggotaan kelas yang telah ditentukan sebelumnya (Umetrics 2006). Dengan kapabilitasnya untuk mendiskriminasi data antarkelas, PLS-DA cocok digunakan dalam menganalisis data multivariat dari spektrum HPLC klon-klon torbangun yang telah terbagi menjadi tiga kelas. Hasil PLS-DA diolah dari data dari spektrum HPLC yang telah dikelompokkan (di-bucket) per-0.08 menit. Data dianalisis terpisah berdasarkan metode ekstraksi dan hidrolisisnya, agar dapat diketahui perubahan karakter senyawa akibat perbedaan metode yang digunakan. Metode ekstraksi dan hidrolisis selama 2 jam; [HCl] 1.2 M selanjutnya disebut metode flavonol, sedangkan metode ekstraksi dan hidrolisis selama 4 jam; [HCl] 2.0 M selanjutnya disebut metode flavon. Terdapat dua jenis output PLS-DA yang digunakan, yaitu score scatter plot (Score SP) dan loading scatter plot (Loading SP) (Gambar 23-24). Dari gambar tersebut terlihat bahwa score SP yang dihasilkan dari metode flavonol dan flavon memiliki posisi titik sampel klon A, B, dan C yang tidak jauh berbeda. Namun, jika dibandingkan loading SP-nya, hasil metode flavon memiliki lebih banyak senyawa dibanding metode flavonol. Hal ini terjadi karena pada metode flavon, hidrolisis dilakukan lebih lama sehingga lebih memungkinkan komponen bioaktif untuk lepas dari glukosidanya dan terdeteksi oleh instrumen. Senyawa-senyawa yang belum diberi label unknown peak (UP) 1-9. Namun, hanya senyawa yang memiliki luas area yang cukup signifikan yang disertakan dalam penentuan senyawa marker dengan metode PLS-DA ini, yaitu UP4, UP6, dan UP9. Karena UP9 terdapat berdekatan dengan titik acuan di seluruh klon, maka senyawa tersebut tidak dimasukkan dalam senyawa marker. Dari loading SP (Gambar 23b dan 24b) dapat diketahui waktu retensi (ditandai dengan titik hijau) yang menjadi marker pada suatu sampel, dengan melihat kedekatannya dengan titik sampel dalam kuadran (ditandai dengan titik biru). Semakin dekat titik waktu retensi dengan titik sampel, maka semakin banyak pula senyawa dengan waktu retensi tersebut terdapat dalam sampel. Berikut merupakan rangkuman senyawa marker dari masing-masing klon dan metode: Tabel 10 Senyawa marker dari tiap klon dan metode Metode Flavonol
Flavon
Klon A B C A B C
Senyawa marker UP 4, UP6 Myricetin, Quercetin Kaempferol Apigenin, UP 4, UP6 Myricetin, Luteolin Kaempferol
47 PLS-DA Profil Senyawa Flavonoid untuk Ekstraksi dan Hidrolisis Senyawa Flavonol Score SP PLS-DA untuk metode ekstraksi dan hidrolisis flavonol ditampilkan pada Gambar 23a. Metode ini menghasilkan respon PLS-DA dengan persentase variabel yang dapat dijelaskan dari data yaitu sebesar 75.7 %. Angka ini diperoleh dengan menjumlah persentase PC1 dan PC2, masing-masing 57.6 % dan 18.1 %. Score SP tersebut menunjukkan separasi yang nyata antara klon A, B, dan C. Separasi ini menunjukkan bahwa ketiganya memiliki karakteristik senyawa yang berbeda, yang dapat diamati lebih lanjut dari senyawa marker-nya. Bagian kuadran dari loading SP yang digunakan untuk mengamati variabel yang berpengaruh pada pengelompokan data komponen utama dapat ditentukan dengan mencocokkan loading SP dengan posisi mengelompoknya titik-titik pada score SP. Contohnya, untuk sampel dengan metode ekstraksi dan hidrolisis flavonol ini, sampel A mengelompok pada kuadran atas (Gambar 23a), maka untuk mengetahui waktu retensi dominan yang mempengaruhi pengelompokan tersebut dapat dilihat pada kuadran loading SP bagian atas (Gambar 23b). Titik acuan yang digunakan adalah titik yang berwarna biru pada loading SP. Demikian pula untuk klon B dan C. Senyawa yang muncul sebagai marker bagi suatu sampel karena konsentrasi tertingginya terdapat pada sampel yang bersangkutan. Dari loading SP (Gambar 23b) dapat diketahui bahwa waktu retensi dominan untuk sampel klon A adalah pada menit ke-5; 6.25, 6.5; 10.75 dan 11. Seluruh waktu retensi ini dimliki oleh dua jenis senyawa, yaitu UP 5 dan UP6. Bagi klon B, waktu retensi yang dominan adalah pada menit ke-4 (myricetin); 4.5, 4.25 (UP4); serta 8.5, 8.75 (quercetin). Bagi klon C, waktu retensi yang dominan adalah 18.5, 18.75 (kaempferol). Senyawa yang disebutkan merupakan senyawa marker bagi klon terkait. Waktu retensi selain yang dipaparkan merupakan noise dari data spektrum yang digunakan dalam analisis. PLS-DA Profil Senyawa Flavonoid untuk Ekstraksi dan Hidrolisis Senyawa Flavon Gambar 24a menunjukkan score SP PLS-DA untuk metode flavon, dimana persentase variabel yang dapat dijelaskan dari data lebih rendah dari metode sebelumnya, yaitu sebesar 57.3 %. Angka tersebut diperoleh dari jumlah persentase PC1 dan PC2, masing-masing 55.4 % dan 19.0 %. Score SP pada Gambar 24a menunjukkan separasi yang nyata antara klon A, B, dan C. Separasi ketiga klon ini menunjukkan bahwa ketiganya memiliki karakteristik senyawa yang berbeda, yang dapat dilihat dari senyawa marker-nya. Dari loading SP metode flavon (Gambar 24b) diketahui bahwa waktu retensi dominan untuk sampel klon A adalah pada menit 4.916 (UP4); 6.33, 6.4 (UP6); dan 14.58-14.91 (apigenin). Klon B memiliki waktu retensi dominan pada menit 3.916-4 (myricetin) dan 7.916 (luteolin). Klon C memiliki waktu retensi dominan pada menit 17.08-17.58, yang merupakan senyawa waktu retensi dari senyawa kaempferol. Senyawa-senyawa tersebut merupakan senyawa marker bagi klon terkait. Waktu retensi selain yang dipaparkan merupakan noise dari data spektrum yang digunakan dalam analisis.
48
Gambar 23 (a) Score SP dan (b) Loading SP PLS-DA dari spektrum HPLC torbangun klon A, B, dan C dengan metode hidrolisis flavonol. Ket: Notasi 1234 (setelah notasi klon) pada score SP merupakan ulangan yang dilakukan. Notasi pada loading SP merupakan waktu retensi. Waktu retensi dengan tanda panah menunjukkan senyawa marker dari sampel yang paling dekat. UP: Unknown Peak
49
Gambar 24 (a) Score SP dan (b) Loading SP PLS-DA dari spektrum HPLC torbangun klon A, B, dan C dengan metode hidrolisis flavon. Ket: Notasi 1234 (setelah notasi klon) pada score SP merupakan ulangan yang dilakukan. Notasi pada loading SP merupakan waktu retensi. Waktu retensi dengan tanda panah menunjukkan senyawa marker dari sampel yang paling dekat. UP: Unknown Peak
50
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ketiga klon torbangun yang digunakan dalam penelitian ini teridentifikasi memiliki nama ilmiah yang sama meskipun dari hasil identifikasi fenotipe, klon A terlihat sangat berbeda dari dua klon lainnya. Kedua klon lainnya, yaitu klon B dan C, memiliki morfologi daun yang mirip satu sama lain dari segi warna daun dewasa, pigmentasi tangkai daun, rambut daun, dan tingkat kekerasan daun. Kadar total fenol torbangun berkisar antara 78.68-149.78 mg GAE/100 g BK, sedangkan kadar total antosianinnya berkisar antara 0.08-0.18 mg C3GE/100 g BK. Dari ketiga klon yang dianalisis, sampel klon B memiliki kadar total fenol dan antosianin tertinggi. Perpaduan metode ekstraksi dengan waktu reaksi 2 jam; [HCl] 1.2 M dan metode ekstraksi dengan waktu reaksi 4 jam; [HCl] 2.0 M dapat menguantifikasi kelima jenis flavonoid yang umum terdapat pada sayuran. Jika dilihat dari sisi flavonoidnya, kadar tertinggi seluruh jenis flavonoid (myricetin 37.04; luteolin 86.87; quercetin 7.25; kaempferol 12.66 mg) dari torbangun klon B selalu tertinggi diantara dua klon lainnya, kecuali untuk flavonoid jenis apigenin (5.32 mg) terkandung pada torbangun klon A. Kadar flavonoid terendah umumnya terdapat pada sampel klon A (myricetin 2.35; luteolin 23.45; kaempferol 6.99 mg), kecuali untuk flavonoid jenis quercetin (3.51 mg) dan apigenin (3.83 mg), terdapat pada sampel klon B. Jika dilihat dari sisi klonnya, flavonoid tertinggi yang terdapat dalam seluruh klon adalah luteolin. Flavonoid terendahnya beraneka ragam, yaitu myricetin, apigenin, dan quercetin untuk masing-masing klon. Seluruh kadar flavonoid tersebut dihitung dalam 100 g BK. PLS-DA menggambarkan bahwa ketiga klon torbangun memiliki karakteristik senyawa bioaktif yang berbeda satu sama lain. Pada metode ekstraksi dan hidrolisis flavonol, senyawa marker bagi klon A adalah UP 4 dan UP6; sedangkan bagi klon B, yaitu myricetin, quercetin, dan UP4; dan bagi klon C, hanya kaempferol. Pada metode flavon, senyawa marker bagi klon A adalah apigenin, kaempferol, UP4, dan UP6; klon B memiliki senyawa marker myricetin, luteolin, dan UP4; sedangkan klon C memiliki senyawa marker yang sama seperti pada metode flavonol, yaitu kaempferol. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa torbangun klon A, B, dan C memiliki karakteristik senyawa fenolik yang berbeda. Nama ilmiah yang sama, fenotipe yang hampir mirip pada klon B dan C, serta pembudidayaan pada satu lahan ternyata tidak membuat ketiganya memiliki karakteristik fenotipe yang sama. Saran Identitas senyawa unknown yang mendapat respon tinggi yang dikandung oleh ketiga klon torbagun (UP4, UP6, dan UP9) berpotensi untuk dipelajari lebih lanjut.
51
DAFTAR PUSTAKA Andarwulan N, Batari R, Sandrasari DA, Bolling B, Wijaya H .2010. Flavonoid content and antioxidant activity of vegetables from Indonesia. J Food Chem 121: 1231–1235. Andarwulan N, Kurniasih D, Apriady RA, Rahmat H, Roto AV, Bolling BW. 2012. Polyphenols, carotenoids, and ascorbic acid in underutilized vegetables. Journal of Functional Foods 4: 339-347 AOAC. 1984. Official Method of Analysis of AOAC International. Washington DC: AOAC International. Asami DK, Hong YJ, Barrett DM, dan Mitchell AE. 2003. Comparison of the total phenolic and ascorbic acid content of freeze-dried and air-dried marionberry, strawberry, and corn grown using conventional, organic, and sustainable agricultural practices. J Agric Food Chem. 51: 1237-1241. Atalay F, Halici MB, Mavi A, Cakir A, Odabasoglu F, Kazaz C, Aslan A. Kufrevioglu OI. 2010. Antioxidant phenolics from Lobaria pulmonaria (L.) Hoffm. and Usnea longissima Ach. lichen species. J Turk Chem 35: 647-661. Bae H, Jayaprakasha GK, Jifon, J, Patil BS. 2012. Extraction and validation of an HPLC method for flavonoid analysis in peppers. Food Chemistry 130: 751-758. Batari. 2007. Identifikasi kandungan flavonoid pada sayuran indigenous Jawa Barat [skirpsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bernhoft A (ed). 2010. Bioactive compounds in plants – benefits and risks for man and animals. Proceedings from a symposium held at The Norwegian Academy of Science and Letters, Oslo, 13 – 14 November 2008. Chun OK, Kim DO, Smith N, David S, Han JT, Lee CY. 2005. Daily consumption of phenolics and total antioxidant capacity from fruit and vegetables in the American diet. J Sci Food Agric 85: 1715–1724. Dalimartha S. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 5. Jakarta: Pustaka Bunda. Damanik R, Wahlqvist ML, Wattanapenpaiboon N. 2006. Lactagogue effects of torbangun, a Bataknese traditional cuisine. Asia Pac J Clin Nutr 15 (2): 267-274. Damanik R. 2009. Torbangun (Coleus amboinicus Lour): A Bataknese traditional cuisine perceived as lactagogue by Bataknese lactating women in Simalungun, North Sumatera, Indonesia. Journal of Human Lactation 25 (1): 64-72 Denny A dan Buttriss J. 2005. Plant Foods and Health: Focus on Plant Bioactives. British Nutrition Foundation Deshpande SS. 2004. Investigation of dry beans (Phaseolus vulgaris L.): microstructure, processing and antinutrients [disertasi]. Di dalam: Naczk M dan Shahidi F. 2004. Extraction and analysis of phenolics in food. J. Chromatogr. 1054 (95–111) Eder R. 2000. Pigments. Di dalam : Nollet LML (Ed.). Food Analysis by HPLC, Second Edition, Revised and Expanded. Marcel Dekker, Inc., New York. Erdman JW et al.. 2008. Flavonoids and Heart Health: Proceedings of the ILSI North America Flavonoids Workshop. May 31–June 1, 2005, Washington, DC. The Journal of Nutrition 718S-737S. Ettre LS. 1993. Nomenclature for Chromatography. Pure & Appl Chem 65 (4): 819-872.
52 Grace VMB, Manjamalai A, Narala Y, Haridas A. 2011. Antifungal, antiinflammatory and GC-MS analysis of methanolic extract of Plectranthus amboinicus leaf. International Journal of Current Pharmaceutical Research 3(2): 130-136. [GRIN] Germplasm Resources Information Network. 2010. Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng. http://www.arsgrin.gov/cgibin/npgs/html/ taxon.pl?317147. [9 Februari 2012] Harborne JB. 1984. Phytocemical Methods. London: Chapman and Hall. Hardianzah R. 2009. Identifikasi senyawa flavonoid pada sayuran indigenous Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hedges LJ dan Lister CE. 2008. Nutritional attributes of Indian vegetables: Food Research Confidential Report No. 2291. New Zealand: New Zealand Institute for Plant & Food Research Limited. Hertog MGL, Hollman PCH, Katan MB. 1992a. Content of potentially anticarcinogenic flavonoids of 28 vegetables and 9 fruits commonly consumed in the Netherlands. J. Agric Food Chem. 40: 2379-2383. Hertog MGL, Hollman PCH, Venema DP. 1992b. Optimization of a quantitative HPLC determination of potentially anticarcinogenic flavonoids in vegetables and fruits. J Agric Food Chem 40: 1591-1598. Hollman PCH dan Katan MB. 1999. Dietary flavonoids: intake, health effects, and bioavailability. Food Chem Tox 37: 937-942. Huang Z, Wang B, Williams P, Pace RD. Identification of anthocyanins in muscadine grapes with HPLC-ESI-MS. 2009. J Food Sci and tech 42 (4): 819-824. Hullatti KK dan Bhattacharjee P. 2011. Pharmacognostical evaluation of different parts of Coleus amboinicus lour., Lamiaceae. Pharmacognosy Journal 3 (24): 39-44. [IPGRI]. 2007. Developing crop descriptor lists. Roma: Biodiversity International [http://www.bioversityinternational.org/fileadmin/bioversity/publications/pdfs/ 1226.pdf] [ITIS] Integrated Taxonomic Information System. 2011. Plectranthus amboinicus. http://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_v alue=504444 [3 Februari 2012] Jayadeepa RM. 2011. In silico techniques for identification of novel natural compounds for secreting human breast milk. Webmed Central 2(8): http://www.webmedcentral.com/article_view/2120 Joshi N. 2013. Cuban oregano. http://www.flowersofindia.net/catalog/slides /Cuban%20Oregano.html [terhubung berkala] Joy PP, Thomas J, Mathew S, Skaria BP. 1998. Medicinal Plants. Kerala: Kerala Agricultural University, Kerala, India. Kahkonen MP dan Heinonen M. 2003. Antioxidant activity of anthocyanins and their aglycons. J Agric Food Chem 51(3): 628-633. Kris-Etherthon PM, Hecker KD, Bonanome A, Coval SM, Binkoski AE, Hilpert KF, Griel AE, Etherton TD. 2002. Bioactive compounds in foods: their role in the prevention of cardiovascular disease and cancer. Am J Med 113 (9B): 71S88S.
53 Kundu K, Khare RS, Banerjee S. 2011. Coleus aromaticus Benth - A nutritive medicinal plant of potential therepeutic value. International Journal of Pharma and Bio Sciences. Medicinal Chemistry 2(3):488-500. Lee HS. 2000. HPLC analysis of phenolic compounds. Di dalam: Nollet LML (Ed.). Food Analysis by HPLC, Second Edition, Revised and Expanded. Marcel Dekker, Inc., New York. Lee J, Durst RW, Wrolstad RE. 2005. Determination of total monomeric anthocyanin pigment content of fruit juices, beverages, natural colorants, and wines by the pH differential method: collaborative study. Journal of AOAC International 88 (5): 1269 – 1278. Mahmud MK, Slamet DS, Apriyantono RR, Hermana. 1990. Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan. Maitra S dan Yan J. 2008. Principle Component Analysis and Partial Least Squares: two dimension reduction techniques for regression. Casualty Actuarial Society, Discussion Paper Program. Marinova D, Ribarova F, Atanassova M. 2005. Total phenolics and total flavonoids in Bulgarian fruits and vegetables. Journal of University of Chemical Technology and Metallurgy 40 (3): 255-260 Markham KR. 1982. Techniques of Flavonoid Identification. New York: Academic Press Inc. Marzuki I. 2007. Studi Morfoekotipe dan Karakterisasi Minyak Atsiri, Isozim, dan DNA Pala Banda (Myristica fragrans Houtt) Maluku [disertasi]. Bogor (ID): IPB Mazza G and Miniati E. 1993. Anthocyanins in fruits, vegetables and grains. Di dalam: Huang Z, Wang B, Williams P, Pace RD. Identification of anthocyanins in muscadine grapes with HPLC-ESI-MS. 2009. J Food Sci and tech 42(4): 819-824. Meilgaard M, Civile GV, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques. Boca Raton: CRC Press. Miller AL. 1996. Antioxidant flavonoids: structure, function and clinical usage. Alternative Medicine Review 1(2): 103-111. Mugnisjah,WQ dan Setiawan A. 1995. Produksi Benih. Jakarta: Bumi Aksara, bekerjasama dengan Pusat antar Universitas-Ilmu Hayat, Institut Pertanian, Bogor. Naczk M dan Shahidi F. 2004. Extraction and analysis of phenolics in food. J. Chromatogr. 1054 (95–111) Nollet LML (Ed.). 2000. Food Analysis by HPLC, Second Edition, Revised and Expanded. New York: Marcel Dekker, Inc. Nuutila AM, Kammiovirta K, Oksman-Caldentey KM. 2002. Comparison of methods for the hydrolysis of flavonoids and phenolic acids from onion and spinach for HPLC analysis. Food Chemistry 76: 519-525. Pittenger DR. 2004. California Master Gardener Handbook. Oakland, California: Divisi Agrikultur dan SDA, Universitas California Polya GM. 2003. Biochemical Targets of Plant Bioactive Compounds: A Pharmacological Reference Guide to Sites of Action and Biological Effects. New York: Taylor & Francis
54 Reed DW. 2007. Horticulture and Science of Plants. http://hort201.tamu.edu/ YouthAdventureProgram/AsexualPropagation/AsexaulPropagation.html [terhubung berkala] 9 November 2012 Rice-Evans CA dan Packer L (ed). 2003. Flavonoids in Health and Disease. New York: Marcell Dekker, Inc. Rice-Evans CA, Miller NJ, Paganga G. 2009. Structure–antioxidant activity relationships of flavonoids and phenolic acids. Di dalam: Huang Z, Wang B, williams P, Pace RD. Identification of anthocyanins in muscadine grapes with HPLC-ESI-MS. 2009. J Food Sci and Tech 42(4): 819-824. Roshan DP, Mahobia DP, Singh MP, Singh A, Sheikh NW, Alam G, Singh SK. 2010. Antioxidant potential of leaves of Plectranthus amboinicus (Lour) Spreng. Der Pharmacia Lettre 2(4): 240-245. Rounds MA dan Gregory JF. 1998. High Performance Liquid Chromatography. Di dalam: Nielsen SS (Ed). Food Analysis Second Edition. New York: Aspen Publisher Rubinson KA. 2000. Contemporary Instrumental Analysis. New Jersey: PrenticeHall Inc. Salisbury FB dan Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Bandung Penerbit ITB Sathasivam A dan Elangovan K. 2011. Evaluation of phytochemical and antibacterial activity of Plectranthus amboinicus. IJRAP 2(1): 292-294. Shetty K, Curtis OF, Levin RE, Witkowsky R, dan Ang W. 1995. Prevention of vitrification associated with in vitro shoot culture of oregano (Origanum vulgare) by Pseudomonas spp. J Plant Physiol 147: 447-451. Sims DA dan Gamon JA. 2002. Relationships between leaf pigment content and spectral reflectance across a wide range of species, leaf structures and developmental stages. Remote Sensing of Environment 81: 337-354. Thenmozhi S, Bhuvana M, John SA. 2011. Screening of antimicrobial and phytochemical investigation of Coleus aromaticus (Benth) leaf against five respiratory pathogens. Journal of Pharmacy Research 4 (7): 2261-2262. Urnemi. 2002. Pengaruh pupuk fosfor dan pupuk herbal pada tiga taraf naungan terhadap pertumbuhan dan kadar metabolit sekunder tanaman daun jinten (Coleus amboinicus Lour.) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Umetrics AB. 2006. Multi- and megavariate analysis, part 1: basic principles and applications. Wang L dan Weller CL. 2006. Recent advances in extraction of nutraceuticals from plants. Trends in Food Science & Technology 17: 300–312 Wijayakusuma H. 2006. Atasi Rematik dan Asam Urat ala Hembing. Jakarta: Puspa Swara Wu Xianli, Beecher GR, Holden JM, Haytowitz DB, Gebhardt SE, Prior RL. 2006. Concentrations of anthocyanins in common foods in the United States and estimation of normal consumption. J. Agric. Food Chem. 54: 4069-4075
55
LAMPIRAN Lampiran 1 Dokumen hasil identifikasi/determinasi tumbuhan
56 Lampiran 2 Gambar tata letak pembudidayaan tanaman di lahan Klon A
Klon B
Klon C
30 cm 15 cm 15 cm 30 cm 30 cm
57 Lampiran 3 Deskriptor torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Seluruh karakter diamati ketika tanaman sudah cukup dewasa dan sehat, yaitu ketika berusia minimal dua bulan. Catat umur tepatnya pada catatan descriptor [bulan] dan jumlah tanaman yang dikarakterisasi. Daun Bentuk daun secara umum Lihat Gambar 1 1 Bulat 2 Bentuk ginjal 3 Bentuk hati 4 Segitiga
1
2
3
Bentuk daun secara umum Ukuran daun dewasa Panjang dari lobus bawah ke ujung daun. Catat hasil rata-rata dari tiga daun yang terletak di tengah batang. 3 Kecil (<8 cm) 5 Sedang (8 – 15 cm) 7 Besar (16-25 cm) 9 Sangat besar (>25 cm)
Dimensi memanjang daun
4
58 Warna daun dewasa Deskripsikan warna daun dengan mempertimbangkan warna daun yang tua dan belum tua dari beberapa tanaman. Perbedaan warna daun karena virus tidak perlu dicatat. 3 Hijau kekuningan 5 Hijau 7 Hijau tua Panjang tangkai daun Rata-ratakan panjang tangkai daun, dari yang menyentuh batang hingga pangkal daun. Rataan diambil dari paling sedikit tiga daun di bagian tengah batang utama.
Panjang tangkai daun Pigmentasi tangkai daun Distribusi antosianin (pigmen berwarna ungu) pada tangkai daun. Utamakan warna yang dominan. 1 Hijau 2 Hijau dengan guratan ungu 3 Hijau keunguan 4 Ungu Kerapatan daun Diamati pada tanaman sehat, dewasa. Rata-rata dari 10 tanaman. 3 Jarang 5 Sedang 7 Rapat
59 Ketebalan daun [mm] Rata-ratakan ketebalan daun. Rataan diambil dari paling sedikit tiga daun di bagian tengah batang utama. Gerigi pinggir daun 3 Hampir bulat 5 Bentuk gerigi agak dalam 7 Bentuk gerigi runcing
Model gerigi daun Rambut daun 3 Tipis 5 Sedang 7 Lebat Aroma daun 3 Lemah 5 Sedang 7 Kuat Tingkat kekerasan daun 3 Lunak 5 Agak keras 7 Keras Batang Warna batang 3 Hijau 5 Hijau keunguan 7 Ungu
Pertumbuhan batang Tidak termasuk dua nodus di bawah akar. 3 Jarang 5 Menengah 7 Rimbun
60
Pertumbuhan batang Tinggi tanaman [cm] Ukur tinggi tanaman dari dasar tumbuhnya akar utama hingga daun paling ujung. Diameter batang [cm] Diukur pada pertengahan batang utama (daerah yang paling besar), atau pada pangkal percabangan pertama. Pola pertumbuhan tanaman 3 Tiarap 5 Menengah (kompak) 7 Tegak
Pola pertumbuhan tanaman
61 Lebar kanopi tanaman [cm] Ukur titik terlebar dari kanopi tanaman. Rambut batang 3 Tipis 5 Sedang 7 Tebal Sudut cabang dominan 1 Lancip (<450) 2 Sedang (450-900) 3 Tumpul (>900) Bunga Keterangan umum: Bunga dari tanaman torbangun biasanya tumbuh di ujung batang utama, berbentuk rangkaian yang menjulur (jika terdapat perbedaan, cantumkan pada catatan deskriptor).
Bentuk umum bunga torbangun Data dicatat dari sepuluh tanaman berbunga, dengan tiga ulangan. Objek diamati saat tanaman berbunga dari kuncup hingga terbuka penuh. Warna kuncup 1 Hijau 2 Kuning 3 Ungu 4 Lainnya (deskripsikan dalam catatan deskriptor) Warna petal 1 Putih 2 Pink 3 Ungu terang 4 Ungu gelap 5 Lainnya (deskripsikan dalam catatan deskriptor)
62 Warna benang sari 1 Putih 2 Pink 3 Ungu terang 4 Ungu gelap 5 Kuning 6 Lainnya (deskripsikan dalam catatan deskriptor) Warna tangkai benang sari 1 Putih 2 Pink 3 Ungu terang 4 Ungu gelap 5 Lainnya (deskripsikan dalam catatan deskriptor) Rambut pada bunga 3 Tipis 5 Sedang 7 Lebat Aroma bunga 3 Lemah 5 Sedang 7 Kuat Waktu tumbuhnya bunga [bulan] Dihitung dari waktu penyetekan hingga 50% dari tanaman berbunga. Akar Cabut tanaman, kemudian gambarkan penampang utama dari akar tanaman torbangun.
63 Lampiran 4 Kadar air ketiga klon daun torbangun segar No
Klon
Ul 1
1
A 2
1 2
B 2
1 3
C 2
W cawan kosong (g)
W sampel (g)
1 2 1 2
6.6364 6.6981 6.7321 6.7178
2.2707 2.2296 2.4352 2.4263
1 2 1 2
6.6772 6.7379 6.7113 5.4654
2.0707 2.2209 2.0277 1.9331
Duplo
1 2 1 2
5.4856 5.4683 5.5855 5.4248
2.1422 2.4270 2.0823 2.0644
W cawan + sampel kering (g) 6.7359 6.7987 6.8400 6.8258 Rata-rata 6.8371 6.9161 6.8707 5.6226 Rata-rata 5.6733 5.6871 5.7717 5.6113 Rata-rata
KA (%BB)
SD
95.62 95.49 0.05 95.57 95.55 95.56 95.56 ± 0.05 92.28 91.98 92.14 0.18 91.87 92.07 92.07 ± 0.18 91.24 90.98 91.06 0.12 90.97 91.06 91.06 ± 0.12
RSD
0.06
0.20
0.14
KA (%BK)
SD
2182.11 2116.30 27.23 2156.90 2146.57 2150.47 2150.47 ± 27.23 1195.00 1146.30 1172.08 28.72 1129.71 1160.77 1160.77 ± 28.72 1041.29 1009.23 1018.31 15.69 1006.92 1018.94 1018.94 ± 15.69
RSD
1.27
2.47
1.54
63
64
64 Lampiran 5 Kadar air ketiga klon daun torbangun setelah freeze drying No Klon 1
A
2
B
3
C
1 2
W cawan kosong (g) 6.6970 6.7369
W sampel (g) 1.0003 1.0005
W cawan + sampel kering KA (g) (%BB) 7.6358 6.15 7.6769 6.05 Rata-rata 6.10
KA (%BK) 6.55 6.44 6.49
1
1 2
6.6762 6.7175
1.0000 1.0010
7.6167 7.6622 Rata-rata
5.95 5.62 5.79
6.33 5.96 6.14
1
1 2
6.7303 6.6362
1.0026 1.0000
7.6658 7.5655 Rata-rata
6.69 7.07 6.88
7.17 7.61 7.39
Ulangan
Duplo
1
65 Lampiran 6 Kurva standar asam galat Konsentrasi (ppm) 250 500 750 1000 1250
Absorbansi 0.154 0.354 0.555 0.731 0.967
1.200
Absorbansi
1.000 0.800
y = 0.0008x - 0.0486 R² = 0.9983
0.600 0.400 0.200 0.000
0
200
400
600 800 Konsentrasi
1000
1200
1400
65
66
66 Lampiran 7 Total fenol ketiga klon daun torbangun No Klon Ul 1 1
A
2
1 2
B 2
1 3
C 2
W spl (mg) 50.4 50.4 50.6 50.6
Duplo Abs
[ ](mg/L)
1 2 1 2
0.225 0.24 0.212 0.216
342.31 360.34 325.68 330.28 Rata-rata
50.5 50.5 50.4 50.4
1 2 1 2
0.247 0.248 0.242 0.247
369.19 370.85 363.25 370.09 Rata-rata
50.6 50.6 50.7 50.7
1 2 1 2
0.158 0.163 0.165 0.167
257.63 264.69 267.51 269.81 Rata-rata
Basis Kering Basis Segar [ ] (mg GAE/100 g [ ] (mg GAE/100 g SD RSD SD sampel kering) sampel segar) 1787.86 79.45 1882.01 83.64 80 4.52 3.74 1694.24 75.29 1718.17 76.36 1770.57 78.68 1770.57 ± 80.00 78.68 ± 3.74 1890.09 149.97 1898.60 150.65 16.65 0.88 1.32 1863.38 147.85 1898.45 150.64 1887.63 149.78 1887.63 ± 16.65 149.78 ± 1.32 1321.66 118.13 1357.89 121.37 25.86 1.9 2.31 1369.68 122.43 1381.45 123.48 1357.67 121.35 1357.67 ± 25.86 121.35 ± 2.31
RSD
4.76
0.88
1.9
67
Lampiran 8 Hasil ANOVA total fenol (BK) Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Total Fenol Type III Sum Source df Mean Square F of Squares Corrected 620059.298a 2 310029.649 115.653 Model Intercept 33545319.970 1 33545319.970 12513.696 Klon 620059.298 2 310029.649 115.653 Error 24126.196 9 2680.688 Total 34189505.464 12 Corrected 644185.494 11 Total
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .963 (Adjusted R Squared = .954)
Post Hoc Tests Multiple Comparisons Dependent Variable: Total Fenol Tukey HSD Mean (I) (J) Std. Difference Sig. Klon Klon Error (I-J) B -117.0577* 36.61071 .027 A * C 412.9002 36.61071 .000 * A 117.0577 36.61071 .027 B C 529.9579* 36.61071 .000 * A -412.9002 36.61071 .000 C * B -529.9579 36.61071 .000 Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 2680.688. *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets Tukey HSD Klon C A B Sig.
N
Subset 2
1 3 4 1357.6719 4 1770.5721 4 1887.6298 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 2680.688. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. b. Alpha = 0.05.
95% Confidence Interval Lower Upper Bound Bound -219.2751 -14.8404 310.6829 515.1175 14.8404 219.2751 427.7406 632.1752 -515.1175 -310.6829 -632.1752 -427.7406
68
68 Lampiran 9 Total antosianin tiga klon daun torbangun
No.
Klon
Ulangan 1
1
A 2
1 2
B 2
1 3
C 2
W spl (mg)
Duplo Abs
[ ](mg/L)
50.3 50.3 50.4 50.4
1 2 1 2
0.189 0.181 0.188 0.172
0.23 0.22 0.22 0.21 Rata-rata
50.1 50.1 50.4 50.4
1 2 1 2
0.23 0.23 0.245 0.244
0.27 0.27 0.29 0.29 Rata-rata
50.1 50.1 50.4 50.4
1 2 1 2
0.163 0.16 0.183 0.179
0.19 0.19 0.22 0.21 Rata-rata
Basis Kering [ ] (mg/100 g SD DB) 1.89 1.81 0.08 1.87 1.72 1.82 1.82 ± 0.08 2.27 2.27 0.07 2.40 2.39 2.33 2.33 ± 0.07 1.61 1.59 0.10 1.80 1.76 1.69 1.68 ± 0.10
Basis Basah [ ] (mg/100 g RSD SD FW) 0.08 0.08 4.15 0.00 0.08 0.08 0.08 0.08 ± 0.00 0.18 0.18 3.15 0.01 0.19 0.19 0.18 0.18 ± 0.01 0.14 0.14 6.19 0.01 0.16 0.16 0.15 0.15 ± 0.01
RSD
4.14
3.15
6.16
69 Lampiran 10 Hasil ANOVA total antosianin (BK) Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N A 4 Klon B 4 C 4 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kadar Antosianin Type III Sum Mean Source df F of Squares Square Corrected .921a 2 .460 62.251 Model Intercept 45.552 1 45.552 6160.305 Klon .921 2 .460 62.251 Error .067 9 .007 Total 46.539 12 Corrected .987 11 Total
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .933 (Adjusted R Squared = .918)
Post Hoc Tests Klon Multiple Comparisons Dependent Variable: Kadar Antosianin Tukey HSD Mean (I) (J) Std. Difference Sig. Klon Klon Error (I-J) B -.5100* .06080 .000 A C .1325 .06080 .129 A .5100* .06080 .000 B * C .6425 .06080 .000 A -.1325 .06080 .129 C * B -.6425 .06080 .000 Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .007. *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
95% Confidence Interval Lower Upper Bound Bound -.6798 -.3402 -.0373 .3023 .3402 .6798 .4727 .8123 -.3023 .0373 -.8123 -.4727
70 Homogeneous Subsets Kadar Antosianin Tukey HSD Subset Klon N 1 2 C 4 1.6900 A 4 1.8225 B 4 2.3325 Sig. .129 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .007 a. Uses Harmonic Mean Sample Size =4.000. b. Alpha = 0.05.
71 Lampiran 11 Kurva standar flavonoid (myricetin, quercetin, kaempferol, luteolin, dan apigenin)
Area (mAU) 15386 39938 210440 413994 619425
800000 Area (mAU)
Konsentrasi (ppm) 0.2 0.4 2 4 6
y = 103833x - 1823.4 R² = 0.9999
600000 400000 200000 0 0
2 4 6 Konsentrasi (ppm)
8
Konsentrasi (ppm) 0.5 2 4 6 8 10
Area (mAU) 11659 67218 119441 194272 255567 304774
Area (mAU)
Kurva standar campuran myricetin
350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0
y = 31160x + 426.73 R² = 0.9968
0
5
10
15
Konsentrasi (ppm)
Kurva standar campuran luteolin
0.3 0.4 0.5 2 4 6 8
300000 Area y = 69610x - 8365 (mAU) 250000 R² = 0.9993 200000 13650 150000 19401 100000 23737 50000 113506 0 204312 0 1 2 3 4 326785 Konsentrasi (ppm) 419737 Kurva standar campuran quercetin Area (mAU)
Konsentrasi (ppm)
5
72
Konsentrasi (ppm) 0.2 0.4 0.6 1.0 4.0
Area (mAU) 9644 18823 32761 57580 270947
Area (mAU)
500000 y = 53135x - 760.75 R² = 0.9986
400000 300000 200000 100000 0 0
2
4 6 8 Konsentrasi (ppm)
10
Kurva standar campuran apigenin
Konsentrasi (ppm) 0.5 2.0 4.0 6.0 8.0
Area (mAU) 48507 222382 416062 680777 843636
Area (mAU)
1000000 y = 107746x + 512.17 R² = 0.9957
800000 600000 400000 200000 0 0
5 Konsentrasi (ppm)
Kurva standar campuran kaempferol
10
73 Lampiran12 Kadar flavonoidketigaklondaun torbangun dengan lamareaksi 2 jam, konsentrasiHCl1.2 M Area Konsentrasi Klon Ul Duplo w Myr Lut Que Api Kae Myr Lut Que Api nd 74732 nd 71053 nd 68819 nd 73846 -- 72112.50
0.30 0.30 0.30 0.31
0.24 0.24 0.24 0.24
0.69 0.68 0.68 0.72
367680 0.5008 369735 0.5008 371622 0.5003 372771 0.5003 Rata-rata 370452.00
nd 36379 13751 102620 nd 36469 14501 109330 nd 36337 15461 106667 nd 36908 17718 107570 -- 36523.25 15357.75 106546.75
3.20 3.22 3.24 3.25
nd nd nd nd
0.86 0.86 0.86 0.86
0.34 1.19 0.35 1.25 0.37 1.23 0.41 1.23 Rata-rata SD RSD
170509 0.5008 169256 0.5008 167897 0.5000 169491 0.5000 Rata-rata 169288.25
nd 19295 nd 17157 nd 16142 nd 16368 -- 17240.50
1.55 1.54 1.53 1.54
nd nd nd nd
0.56 0.53 0.51 0.51
nd 1.06 nd 1.08 nd 1.06 nd 1.04 Rata-rata SD RSD
A
1 1 2 2 1 2
0.5002 0.5002 0.5008 0.5008 Rata-rata
B
1 1 2 2 1 2
C
1 1 2 2 1 2
20650 1317 26936 21016 1183 26276 21757 1261 26252 21880 1176 28325 21325.75 1234.25 26947.25
Kae nd 0.95 nd 0.92 nd 0.90 nd 0.94 Rata-rata SD RSD
nd 87864 nd 89632 nd 87190 nd 84788 -- 87368.50
DB(mg/100gBK) Myr Lut Que Api 3.11 2.55 7.31 nd 3.14 2.51 7.19 nd 3.20 2.53 7.18 nd 3.21 2.51 7.55 nd 3.17 2.53 7.30 -0.05 0.02 0.17 0.00 1.58 0.85 2.37 0.00 33.07 33.25 33.44 33.54 33.33 0.21 0.63
nd 2.32 2.31 nd 2.31 0.01 0.33
8.84 8.85 8.84 8.94 8.87 0.05 0.55
3.53 3.66 3.83 4.22 3.81 0.30 7.83
Kae 9.98 9.65 9.43 9.89 9.74 0.25 2.56
WB(mg/100gFW) Myr Lut Que Api Kae 0.14 0.11 0.32 nd 0.44 0.14 0.11 0.32 nd 0.43 0.14 0.11 0.32 nd 0.42 0.14 0.11 0.34 nd 0.44 0.14 0.11 0.32 -- 0.43 0.00 0.00 0.01 0.00 0.01 1.58 0.85 2.37 0.00 2.56
12.30 12.90 12.67 12.76 12.66 0.26 2.03
2.62 2.64 2.65 2.66 2.64 0.02 0.63
16.08 nd 5.84 nd 11.02 15.97 2.35 5.46 nd 11.18 15.88 nd 5.29 nd 10.97 16.02 nd 5.33 nd 10.76 15.99 2.35 5.48 -- 10.98 0.08 -- 0.25 0.00 0.17 0.53 -- 4.58 0.00 1.57
nd 0.18 0.18 nd 0.18 0.00 0.33
0.70 0.70 0.70 0.71 0.70 0.00 0.55
0.28 0.29 0.30 0.33 0.30 0.02 7.83
0.98 1.02 1.01 1.01 1.00 0.02 2.03
1.44 nd 0.52 nd 0.98 1.43 0.21 0.49 nd 1.00 1.42 nd 0.47 nd 0.98 1.43 nd 0.48 nd 0.96 1.43 0.21 0.49 -- 0.98 0.01 -- 0.02 0.00 0.02 0.53 -- 4.58 0.00 1.57
74 Lampiran13 Kadar flavonoidketigaklondaun torbangun dengan lamareaksi 4 jam, konsentrasiHCl2.0 M Area Konsentrasi Klon Ul Duplo w Myr Lut Que Api Kae Myr Lut Que Api
Kae 0.56 0.86 0.58 0.86 0.59 1.14 0.51 1.20 Rata-rata SD RSD
Myr 2.04 2.03 1.99 2.00 2.01 0.03 1.26
DB(mg/100gBK) Lut Que Api 24.63 nd 5.86 24.18 nd 6.12 22.13 nd 6.19 24.22 nd 5.40 23.79 -- 5.89 1.13 0.36 4.74 6.07
Kae 9.01 9.06 12.05 12.61 10.68 1.92 17.96
Myr 0.09 0.09 0.09 0.09 0.09 0.00 1.26
WB(mg/100gFW) Lut Que Api Kae 1.09 0.11 0.26 0.40 1.07 0.11 0.27 0.40 0.98 0.11 0.27 0.54 1.08 0.11 0.24 0.56 1.06 0.11 0.26 0.47 0.05 0.00 0.02 0.09 4.74 0.01 6.07 17.96
A
1 1 2 2 12
0.5001 0.5001 0.5000 0.5000 Rata-rata
8512 72537 8363 71077 7889 64445 8032 71204 8199.00 69815.75
nd 26667 64039 nd 28136 64566 nd 28500 97207 nd 24003 103424 -- 26826.50 82309.00
0.19 0.19 0.19 0.19
2.34 2.30 2.10 2.30
0.23 0.23 0.23 0.23
B
1 12 2 12
260144 277427 0.5002 263705 272654 0.5002 249233 226428 0.5003 263705 272654 0.5003 Rata-rata 259196.75 262290.75
nd 27949 79181 nd 24409 77283 nd 27547 62684 nd 24409 77283 -- 26078.50 74107.75
2.30 2.33 2.21 2.33
8.37 8.23 6.87 8.23
0.23 0.23 0.23 0.23
0.58 0.99 0.52 0.97 0.57 0.84 0.52 0.97 Rata-rata SD RSD
23.80 24.10 22.85 24.10 23.71 0.59 2.51
86.55 85.10 71.02 85.08 81.94 7.31 8.93
nd nd nd nd --
5.98 5.37 5.91 5.37 5.66 0.33 5.89
10.21 10.04 8.72 10.03 9.75 0.69 7.08
1.89 1.91 1.81 1.91 1.88 0.05 2.51
6.87 6.75 5.63 6.75 6.50 0.58 8.93
0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.00 0.01
0.47 0.43 0.47 0.43 0.45 0.03 5.89
0.81 0.80 0.69 0.80 0.77 0.05 7.08
C
1 12 2 12
117807 131967 0.5001 118619 127835 0.5001 134317 145654 0.5005 134493 127476 0.5005 126309.00 133233.00 Rata-rata
nd 17698 62222 1.11 4.09 nd 18589 113216 1.12 3.97 nd 15859 66528 1.25 4.49 nd 17605 66191 1.25 3.96 -- 17437.75 63532.75
0.23 0.23 0.23 0.23
0.41 0.84 0.42 1.28 0.38 0.88 0.41 0.87 Rata-rata SD RSD
11.52 11.58 12.94 12.96 12.25 0.81 6.61
42.46 41.19 46.60 41.05 42.83 2.60 6.06
nd nd nd nd --
4.23 4.39 3.91 4.21 4.19 0.20 4.75
8.40 12.83 8.76 8.73 9.68 2.11 21.75
1.03 1.03 1.16 1.16 1.09 0.07 6.61
3.79 3.68 4.17 3.67 3.83 0.23 6.06
0.22 0.22 0.22 0.22 0.22 0.00 0.05
0.38 0.39 0.35 0.38 0.37 0.02 4.75
8.72 13.32 9.10 9.07 10.05 2.19 21.75
75 Lampiran 14 Hasil ANOVA kadar flavonoid (BK)
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N A 4 Klon B 4 C 4
Myricetin Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Myricetin Type III Sum Source df Mean Square F of Squares Corrected 1832.841a 2 916.421 52044.714 Model Intercept 3671.851 1 3671.851 208529.144 Klon 1832.841 2 916.421 52044.714 Error .158 9 .018 Total 5504.851 12 Corrected Total 1833.000 11
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
Post Hoc Tests Klon Multiple Comparisons Dependent Variable: Myricetin Tukey HSD Mean 95% Confidence Interval (I) Klon (J) Klon Difference (I- Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound J) B -30.1600* .09383 .000 -30.4220 -29.8980 A * C -12.8225 .09383 .000 -13.0845 -12.5605 * A 30.1600 .09383 .000 29.8980 30.4220 B C 17.3375* .09383 .000 17.0755 17.5995 * A 12.8225 .09383 .000 12.5605 13.0845 C * B -17.3375 .09383 .000 -17.5995 -17.0755 Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .018. *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
76 Homogeneous Subsets Myricetin Tukey HSD Klon A C B Sig.
N 4 4 4
1 3.1650
Subset 2
3
15.9875 1.000
1.000
33.3250 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .018. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. b. Alpha = 0.05.
77
Luteolin Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Luteolin Type III Sum Source df Mean Square F of Squares Corrected 7031.001a 2 3515.500 171.628 Model Intercept 29423.794 1 29423.794 1436.478 Klon 7031.001 2 3515.500 171.628 Error 184.350 9 20.483 Total 36639.144 12 Corrected Total 7215.350 11 a. R Squared = .974 (Adjusted R Squared = .969)
Sig. .000 .000 .000
Post Hoc Tests Klon Multiple Comparisons Dependent Variable: Luteolin Tukey HSD Mean (I) Klon (J) Klon Difference (I- Std. Error J) B -58.1475* 3.20026 A C -19.0350* 3.20026 A 58.1475* 3.20026 B C 39.1125* 3.20026 A 19.0350* 3.20026 C B -39.1125* 3.20026
Sig.
Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 20.483. *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets Luteolin Tukey HSD Klon A C B Sig.
N 4 4 4
1 23.7900
Subset 2
3
42.8250 1.000
1.000
81.9375 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 20.483. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. b. Alpha = 0.05.
.000 .001 .000 .000 .001 .000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -67.0826 -27.9701 49.2124 30.1774 10.0999 -48.0476
-49.2124 -10.0999 67.0826 48.0476 27.9701 -30.1774
78
Quercetin Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Quercetin Type III Sum Source df Mean Square F of Squares Corrected 22.998a 2 11.499 363.701 Model Intercept 625.252 1 625.252 19776.026 Klon 22.998 2 11.499 363.701 Error .285 9 .032 Total 648.535 12 Corrected Total 23.283 11
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .988 (Adjusted R Squared = .985)
Post Hoc Tests Klon Multiple Comparisons Dependent Variable: Quercetin Tukey HSD Mean (I) Klon (J) Klon Difference (I-J) B -1.5600* A C 1.8275* A 1.5600* B C 3.3875* A -1.8275* C B -3.3875*
Std. Error .12573 .12573 .12573 .12573 .12573 .12573
Sig.
Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .032. *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets Quercetin Tukey HSD Klon C A B Sig.
N 4 4 4
1 5.4800
Subset 2
3
7.3075 1.000
1.000
8.8675 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .032. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. b. Alpha = 0.05.
.000 .000 .000 .000 .000 .000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -1.9110 -1.2090 1.4765 2.1785 1.2090 1.9110 3.0365 3.7385 -2.1785 -1.4765 -3.7385 -3.0365
79
Apigenin Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Apigenin Type III Sum Source df Mean Square F of Squares Corrected 6.852a 2 3.426 36.828 Model Intercept 330.120 1 330.120 3548.621 Klon 6.852 2 3.426 36.828 Error .837 9 .093 Total 337.810 12 Corrected Total 7.689 11
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .891 (Adjusted R Squared = .867)
Post Hoc Tests Klon Multiple Comparisons Dependent Variable: Apigenin Tukey HSD Mean 95% Confidence Interval (I) Klon (J) Klon Difference (I- Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound J) B .2350 .21567 .544 -.3672 .8372 A * C 1.7075 .21567 .000 1.1053 2.3097 A -.2350 .21567 .544 -.8372 .3672 B C 1.4725* .21567 .000 .8703 2.0747 A -1.7075* .21567 .000 -2.3097 -1.1053 C * B -1.4725 .21567 .000 -2.0747 -.8703 Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .093. *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets Apigenin Tukey HSD Klon C B A Sig.
Subset
N 4 4 4
1 4.1850
1.000
2 5.6575 5.8925 .544
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .093. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. b. Alpha = 0.05.
80
Kaempferol Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kaempferol Type III Sum Source df Mean Square F of Squares Corrected 17.176a 2 8.588 163.885 Model Intercept 1485.410 1 1485.410 28346.017 Klon 17.176 2 8.588 163.885 Error .472 9 .052 Total 1503.058 12 Corrected Total 17.648 11
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .973 (Adjusted R Squared = .967)
Post Hoc Tests Klon Multiple Comparisons Dependent Variable: Kaempferol Tukey HSD Mean 95% Confidence Interval (I) Klon (J) Klon Difference (I- Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound J) B -2.9200* .16187 .000 -3.3719 -2.4681 A * C -1.2450 .16187 .000 -1.6969 -.7931 A 2.9200* .16187 .000 2.4681 3.3719 B C 1.6750* .16187 .000 1.2231 2.1269 A 1.2450* .16187 .000 .7931 1.6969 C * B -1.6750 .16187 .000 -2.1269 -1.2231 Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .052. *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets Kaempferol Tukey HSD Klon A C B Sig.
N 4 4 4
1 9.7375
Subset 2
3
10.9825 1.000
1.000
12.6575 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .052. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. b. Alpha = 0.05.
81
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 18 September 1990, dari ayah Elwin Alfa dan ibu Budi Hastuti. Penulis adalah putri pertama dari dua bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Semarang dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN. Penulis diterima di Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota divisi “Markili” (Mari Kita Peduli) TELISIK PANGAN ITP (2011-2012). Pada tahun 2011, penulis menjalankan Program Kreativitas Mahasiswa dengan judul “Kedai Rotasi (Produk Olahan Fermentasi) Berbasis Umbi-umbian sebagai Upaya Diversifikasi Pangan Lokal” (PKM-K) dan “Aplikasi Bahan Penstabil pada Produk Minuman Cincau-Yoghurt sebagai Pangan Fungsional” (PKM-P) yang didanai oleh DIKTI. Penulis melakukan penelitian pada tahun 2012-2013 sebagai tugas akhir dengan judul “Identifikasi Fenotipe dan Kandungan Flavonoid Tiga Klon Torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng)”, di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si dan Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S.