TWJAUAN PUSTAKA
Asal-Usul Sapi Bali dan Perkembangannya di Indonesia Sapi Bali sebagai salah satu jenis sapi lokal yang dikembangkan di Indonesia berasal dari ketwunan banteng liar (Bibos banfeng) yang masih ditemukan di beberapa tempat seperti di Jawa Barat (Ujung Kuion), Jawa Timur dan Kalimantan (Payne dan Rollinson, 1973). Hal ini terlihat dari tanda-tanda yang dimiliki sapi Bali sama dengan banteng liar. Dari hasil penelitian pada golongan darah dan protein pa&
populasi sapi
Bali ditemukan adanya keragaman genetik yang tinggi, karena darahnya mengandung keturunan sapi Bos indicus ataupun Bos t a u m (Namikawa et al., 1982). Selanjutnya Namikawa dan Widodo (1973) menemukan bahwa darah sapi Bali yang ada di Indonesia mempunyai kecelompok
dan kandungan Hb fenotipe golongan
X-nya tinggi. Hal ini berarti bahwa teori yang menyatakan bahwa sapi Bali yang berkembang sampai saat ini adalah benar berasal dari banteng liar. Penemuan Fisher (dalam Devendra et al., 1973) bahwa kariotipe sapi Bali identik dengan kariotipe banteng dan sapi Eropa (Bos t a u m ) yang terdiri atas 2n
=
60 kromosom yakni 29
pasang kromoson nccrocenhic dan 2 kromosom sub metacentric. Walaupun kariotipe kedua jenis sapi tersebut sarna, namun sapi Bali bukan keturunan Bos taurur karena sapi jantan F1 hasil silangannya steril. Sapi Bali sangat diminati oleh petemak kecil karena mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan terutama di daerah lain di Indonesia di luar pulau Bali. Perkembangan sapi Bali di luar pulau Bali cukup pesat yaitu menyebar di 26 propinsi dan populasinya mencapai 3 juta ekor atau 26% dari selumh jumlah sapi potong di Indonesia (Soehadji, 1991). Sampai saat ini sapi Bali telah menyebar hampir ke seluruh pelosok Nusantara termasuk daerah-daerah pemukiman b a r - di mana
sebasan besar penggunaannya untuk ternak potong (penyedia daging) clan ternak kej a serta dipelihara secara tradisional. Dalarn usaha mempertahankan kemurnian genetik dan kelestarian sapi Bali, pemerintah telah menetapkan empat daerah pengembangan sapi Bali yaitu Propinsi Bali, Sulawesi Selatan, N I T dan NTB. Hal ini mengingat sapi Bali merupakan plasma nuftah yang sangat potensial dan merupakan komoditas andalan yang dapat menarnbah aset nasional. Pemeliharaan dan pengembangan sapi Bali terus ditingkatkan untuk berbagai tujuan antara lain meningkatkan pendapatan petani, perbaikan gizi masyarakat clan perolehan devisa negara melalui peningkatan populasi dan produksi temak.
Pencernaan dan Metabolisme Nutrien pada Ruminansia
Dari pakan yang dikonsumsi setelah mengalami proses mastikas'i kemudian masuk ke rumen di mana terjadi proses pemecahan karbohidrat, lemak dan protein. Pemecahan karbohidrat terjadi melalui 3 tahap yaitu pemecahan karbohidrat kompleks menjadi gula sederhana yang kemudian tahap ke dua masuk ke siklus glikofisis. Hasil akhir jalur glikolisis adalah asarn piruvat yang merupakan substrat tahap temkhir proses fermentasi (Gambar 1). Selanjutnya tahap ketiga, piruvat sebagai intermediate yang penting &lam produksi asam lemak atsiri (VFA) yang didominasi oleh asarn asetat 65% dari total VFA, propionat 20%, butirat 10% dan sisanya 5% terdiri atas isovalerat, valerat dan isobutirat (Collier, 1985) juga terbentuk gas metan dan COz. VFA yang dihasilkan merupakan sumber energi utama bagi temak ruminansia di mana proporsinya sangat dipengaruhi oleh pakan (Orskov, 1980). Ternak yang diberi hijauan saja akan menghasilkan produksi asam asetat tinggi, sedangkan ransum dengan tambahan konsentrat menghasilkan propionat lebih banyak. Penyerapan VFA tejadi di epitherium rumen &lam bentuk asam bebas. VFA yang diserap kemudian melalui sirkulasi portal
dibawa ke hati, di mana semua propionat diekstrak untuk pembentukan glukosa. Gula yang berlebih diubah menjadi glikogen dan sebagian akan diubah dan disimpan di jaringan tubuh sebagai cadangan lemak (energi). Sedangkan asam butirat sebagian besar diubah menjadi beta hidroksi butirat yang dapat terdeteksi di dalam darah (Mc. Donald et al., 1988) dan sebagian dioksidasi menjadi asam aseto asetat (Riis, 1983). Asam beta
hidroksi butirat dan aseto asetat dibawa daIam bent& badan-badan keton bersama aliran darah ke berbagai jaringan dan organ tubuh yang akhirnya digunakan sebagai sumber energi dan untuk sintesis asam lemak (Banerjee, 1978). Glukosa mengalami katabolisme melalui 2 jalur yaitu jalur glikolitik dan siklus asam sitrat. Jalur glikolitik terjadi dalam sitoplasma di mana glukosa mengalami degradasi menjadi asam piruvat (Gambar 2). Meskipun glikolisis dapat berlangsung dengan atau tanpa oksigen, hasil energi untuk reaksi seluler lebih tinggi dalam keadaan aerob. Dua rnol ATP dihasilkam dari tiap gula triosa M a m reaksi dari 1.3difosfogliserat menjadi 3-fosfogliserat
dan dari fosfoenolpiruvat menjadi piruvat,
sehingga terbentuk 4 rnol ATF'. Namun 2 rnol ATF' terpakai sehingga hasil netto fosforilasi tingkat substrat addah 2 rnol ATP. Bila kadar oksigen tinggi, NADH yang disintesis dapat mengalami oksidasi melalui sistem transport elektron dalam mitokondria. Fosforilasi oksidatif ini akan menghasilkan 6 mol ATP, sehingga jalur glikolitik menghasilkan 8 rnol ATP.
Fase
(i)
,
Pat\
y o s a
Fruktosan
Hemiselulosa
Glukl
/sa Fruktosa 1,6 Bis P
Fosfoenol-piruvat
(ii)
B-OH butirat
CH4
CO?
Asetat
Butirat
Gambar 1 . Jalur fermentasi karbohidrat (Leek, 1993)
Akrilat
Suksinat
Propionat
Glukosa darah d l u k o s a - 6 - f o s f a t
4I
Triosa fosfat
II
,
II
Fosfoenol-piruvat loresi+ l-
A co2
8
Manin
Asam piruvat
co;
Asetil CoA
aspartat
6 Oksaloasetat
F
Trigliserida
Sam lemak
%= sitrat
L
Suksinat
Gambar 2. Skema glikolisis dan siklus asam sitrat (Harper et al., 1979)
.,.......
Hasil akhir jalur glikolitik berupa asarn pimvat dalam keadaan aerob dioksidasi menghasilkan energi, COz clan H 2 0 melalui jalur siklus asam sitrat. Oksidasi 1 rnol asam piruvat menghasilkan 15 rnol ATP, sehingga produksi net0 dari oksidasi 1 rnol glukosa adalah 38 ATP (Harper et al., 1979). Simpanan lemak dalam tubuh merupakan sumber energi utama bagi tubuh. Cadangan lemak berupa trigliserida akan dihidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Gliserol dapat diubah menjadi glukosa melalui proses glukoneogenesis. Glukosa yang dihasilkan masuk ke siklus glikolisis dan siklus asam sitrat untuk menghasilkan energi. Satu rnol gliserol &an menghasilkan 21 rnol ATP. Tiga asam lemak ymg dibebaskan dari hidrolisis trigliserida akan didegradasi menghasilkan energi C02 dan H20. Oksidasi yang terjadi pa&
asam-asam lemak berantai panjang adalah suatu reaksi
bertahap yang meliputi pemindahan 2 atom karbon dari ujung cincin asam lemak alifatik yang disebut dengan reaksi beta oksidasi. Hasil dari beta oksidasi adalah molekulmolekul asetil yang &pat mas& ke dalam siklus asam sitrat untuk menghasilkan energi. Protein pakan dalam rumen mengalami proteolisis oleh enzim mikroba menjadi oligopeptida dan asam amino. Sebagian asam amino didegradasi menjadi amonia (NH,) dengan menghasilkan asam keto alfa, asam lemak atsiri (VFA), C02 dan CH4 (Sutardi, 1977). Konsentrasi amonia rurnen dipengaruhi antara lain oleh : 1) sumber N, 2) solubilitas dan degradabilitas protein, 3) tingkat N dalam ransum, 4) waktu setelah pemberian pakan, 5) sumber energi, 6) laju pengosongan rumen, 7) laju penggunaan N bagi mikroba rumen dan 8) absorbsi amonia Amonia dibutuhkan oleh sebagian besar mikroba sebagai sumber N, asam ketoalfa dan VEA masing-masing sebagai k e m g k a karbon dan sumber energi untuk mensintesis asam amino penyusun protein sel mikroba (Maynard er al., 1979).
Efisiensi sintesis protein mikroba tergantung pada sinkronisasi pelepasan N
H 3
dari protein dan VFA dari karbohidrat (Haresign dan Cole, 1984). Pelepasan amonia yang diperlambat atau bertahap misalnya dengan penggunaan zeolit beramoniurn (Erwanto, 1992) atau pelepasan VFA yang dipercepat misalnya dengan pemanasan sumber pati telah berhasil meningkatkan sintesis protein mikroba rumen. Sebagian amonia diserap melalui dinding rumen (Leng, 1978) dan jumlah amonia yang dapat digunakan
oleh
mikroba
rumen
tergantung pada jumlah
mikroba
dan
laju
pertumbuhannya. Kebutuhan amonia untuk sintesis protein mikroba yang maksimal terbatas pada konsentrasi 50 mg / liter cairan rurnen (Satter dan Slyter, 1974). Namun Preston dan Leng (1987) mendapatkan kadar arnonia yang optimum adalah sebesar 150
- 200 mg / liter cairan rumen yang tergantung pada jenis ransum. Sedangkan kadar amonia untuk efisiensi penggunaan protein dan energi ransum sebesar 7-8
rnM
(Erwanto ei al., 1993). Arnonia yang diserap melalui dinding nunen akan dibawa darah ke hati kemudian dikonversi menjadi urea. Sebagian urea kembali ke nunen melalui saliva dan sebagian lagi dikeluarkan ke bagian tubuh melalui win. Protein pakan yang berupa protein mumi dan NPN sangat berguna untuk membantu pertumbuhan mikroba rumen yang sekaligus menjadi sumbangan bagi protein tubuh. Orskov (1982) menyatakan sumber nitrogen untuk mikroba rumen dapat berasal dari 1) degradasi protein pakan, 2) putaran kembali urea melalui saliva, 3) putaran kembali urea melalui darah dan 4) nitrogen endogen dari dinding rumen. Selanjutnya dari protein yang m a s k ke dalarn tubuh 60% protein murni dan NPN yang masuk ke rumen hampir semuanya dikonversi menjadi amonia sedangkan selebihnya menjadi N ludah kembali. Sisanya 40% langsung masuk ke usus halus kemudian diserap
dan sisanya dikeluarkan melalui feses dan urin.
Alantoin, asam urat, xantin dan hipoxantin merupakan produk dari degradasi purin yang dapat terdeteksi dalam urin ruminansia. Derivat purin yang disekresi lewat urin ini berasal dari degradasi purin eksogen yang pada nuninansia berasal dari mikroba rumen (Mc. Allan clan Smith, 1973). Alantoin sebagai indeks penyediaan mikroba rumen adalah hasil akhir oksidasi asam urat yang dikatalisis uricase. Dengan demikian alantoin yang terbentuk dalam urin dapat dipakai untuk mengestimasi besarnya suplai mikroba rumen terhadap induk semangnya (Topps dan Elliot, 1965). Hubungan antara jumlah urin yang masuk dan keluar telah dicoba dengan cara infusi asam nukleat melalui abomasum pada domba, diperoleh alantoin pada saliva 120 mikro mol / liter, plasma 52 mikro moll liter dan urin 1,73 rnM / liter (Chen et a!., 1990). Asam amino dapat pula dioksidasi untuk menghasilkan energi terutama pada saat persediaan glukosa dan asam lemak yang terbatas. Keadaan ini biasanya terjadi pada temak yang bekerja keras atau kekurangan pakan dalarn waktu yang lama. Tahap pertama dari degradasi asam amino adalah deaminasi di mana gugus amino dipindahkan sehingga menghasilkan gugus alfaketo. Gugus alfaketo akan masuk dalam siklus asarn sitrat menghasilkan energi (Garnbar 3). Sedangkan amonia yang dihasilkan dibawah ke hati untuk diubah menjadi urea yang kemudian dikeluarkan dalam urin.
I I I I
Serin Glisin Sistin Sistein Alanin Triptophan Hidroksiprolin Metionin
I
I
'P'"'
+
Tirosin Li si n Leusin Isoleusin
Asetil C o A
Asarn
Fenilalanin
Tirosin
--bOksaloasetat
+
I
Ketoglutarat
Fumarat
Suksinil
T
J
Valin
Gambar 3. Jalur oksidasi dari asam amino (Harper er al.. 1979)
glutamat Histidin
Produksi Susu dan Kebutuhan Nutrisi Sapi Laktasi Kelenjar Ambing merupakan organ yang kompleks terdiri atas sel-sel sekretoris yang berperan dan bekeja secara harmonis dengan jaringan tubuh lainnya. Air susu m e ~ p d c a nproduk sei-sel sekretoris yang melibatkan berbagai proses yaitu fisiologis, biokimia, biologi sel dan endokrin. Proses sintesis dan sekresi air susu pada dasarnya melibatkan suplai nutrien (prekursor susu) yang memadai, perubahan prekursor susu menjadi komponen air susu dan pengeluarannya dari kelenjar ambing. Suplai nutrien ditentukan oleh konsentrasi substrat dalam darah, kemampuan sel-sel sekretoris mengekstraksi substrat serta laju alir darah menuju kelenjar ambing (Mepham, 1976 ;Collier, 1985). Sedangkan konsentrasi substrat &lam darah ditentukan oleh konsumsi pakan kecernaan proses biosintesis
dalam tubuh dan pemakaian substrat oleh tubuh secara keseluruhan. Substrat utarna yang diekstraksi oleh kelenjar arnbing adalah glukosa, asamasam amino, asam-asam lemak, asetat, betahidroksibutirat clan mineral. Glukosa sebagai prekusor sintesis laktosa dan asam-asam l e d dibutuhkan untuk sintesis lemak susu. Asam-asam amino esensial dan beberapa asam amino non esensial diperlukan untuk sintesis protein, purine, pyrimidin nukleotida, DNA, RNA dan juga sintesis laktosa. Sumber energi untuk proses sintesis dalam sel adalah dari oksidasi glukosa dan asetat pada siklus asam sitrat dan reaksi respirasi (Mepham, 1976). Dengan demikian jumlah air susu yang dihasilkan oleh seekor sapi akan tergantung antara lain dari tingkat perkembangan kelenjar ambing yang terkait dengan banyaknya sel-sel sekretoris, status nutrisi sapi, kemampuan memobilisasi dan mentransfer nutrien untuk kebutuhan hidup pokok dan produksi susu serta keseimbangan berbagai hormon yang berperan dalam pengaturan laktasi.
Pada awal laktasi produksi susu meningkat dengan cepat menjadi 50- 80% dari produksi maksimum dan mencapai puncak laktasi pada minggu ke-3 sampai ke-8 setelah beranak dan mulai menurun setelah bulan ke-3 sampai bulan ke-7 atau ke-8 (Holmes dan Willson, 1984). Sementara itu selama 3 minggu pertama setelah beranak selera makan sapi perah rendah clan konsumsi menurun 15 - 18% (Garnsworthy, 1988), selanjutnya konsumsi meningkat mencapai puncak pada 2 sampai 3 bulan setelah beranak. Pada saat itu konsumsi sapi laktasi 30 4 0 % lebih tinggi dibanding sapi tidak laktasi. s i yang tidak diimbangi dengan peningkatan konsumsi Peningkatan p ~ o d ~ ksusu pakan pada awal laktasi mengakibatkan kesenjangan pasokan nutrien sehingga terjadi mobilisasi cadangan nutrien dari tubuh. Mobilisasi cadangan nutrien tubuh juga disebabkan oleh kecepatan peningkatan konsumsi pada awal laktasi lebih lambat dibandingkan dengan kecepatan peningkatan produksi susu karena puncak produksi (7 8 minggu) dicapai lebih awal dibandingkan dengan pun&
konsumsi (12 - 16 minggu)
setelah beranak. Mobilisasi cadangan nutrien tubuh yang digambarkan oleh penyusutan bobot tubuh selain tergantung pada komposisi ransum juga tergantung pada kondisi tubuh sapi pada saat beranak. Pada awal laktasi mobilisasi protein pada jaringan tubuh sapi perah berproduksi tinggi (30 - 40 kglhari) dapat mencapai 150
-
300 grhari
sementara lemak yang diarnbil dari depot lemak sebanyak 1 kglhari sehingga pada awal laktasi sapi perah dapat kehilangan bobot 1 kg/hari (Garnsworthy, 1988). Pada puncak laktasi kadar protein lemak dan bahan kering dan bahan kering tanpa lemak susu mencapai titik terendah, selanjutnya pada bulan ke-3 sampai ke-6 komposisi susu akan stabil dan produksi susu akan mencapai produksi rata-rata masa laktasi (Sutardi, 1982). Sehubungan dengan selera makan sapi yang rendah pada awal laktasi Garnsworthy (1988) menyarankan pemberian ransum yang kaya akan propionat dan
ransum seperti ini hanya bisa dicapai dengan meningkatkan porsi konsentrat dan menurunkan porsi
hijauan dalam ransum. Peningkatan porsi konsentrat akan
menyebabkan pH rumen dan laju aliran digesta menurun. Kondisi seperti ini tidak menguntungkan b a s bakteri pencema selulosa karena dapat mengalubatkan produksi asetat sebagai prekursor lemak susu berkurang sehingga kadar lemak susu menurun. Menurut Holmes dan Wilson (1984) peningkatan produksi lemak susu pada awaI laktasi bukan disebabkan oleh peningkatan kadar (%) lemak tetapi disebabkan oleh produksi susu yang meningkat. Pada sapi laktasi energi merupakan komponen yang paling penting terdapat dalam ransum. Tidak semua energi yang ada dalam pakan dapat dicerna oleh ternak, karena dari yang tercerna sebagian terbuang dalam bentuk gas metan dan COz. Sedangkan ene~giyang termetabolis setelah melalui proses di hati &pat dimanfaatkan untuk hidup pokok dan produksi (Crampton, 1968). Kekwangan energi asal karbohidrat akan mengakibatkam perombakan zat organik lainnya sehngga efisiensinya akan berkurang. Energi merupakan nutrien pembatas untuk produksi susu di mana kekurangan energi akan menurunkan produksi susu. Energi pada ruminansia tidak bersumber pada glukosa tetapi pada asarn lemak atsiri (VFA) yang diproduksi dalam rumen. Glukosa darah pada ruminansia selalu rendah kira-kira 40 - 80 mgOA tetapi kebutuhan glukosa meningkat pada saat laktasi. Annison et al. (1974) menyatakan bahwa glukosa merupakan metabolit utama dalam produksi susu, ha1 ini terlihat dari laju serapan glukosa oleh kelenjar ambing hampir 2 kali dari keluarannya pada laktosa susu. Data yang diperoleh Kronfeld (1982) menunjukkan sekitar 70
-
80 gr glukosa
diserap oleh kelenjar ambing untuk setiap kg susu yang diproduksi. Dengan rnengkombinasikan teknik pelarutan isotop dengan pengukuran perbedaan arteri-vena
dan laju alir darah pada kambing clan sapi laktasi diperoleh sekitar 60 - 85% dari total glukosa yang masuk digunakan oleh kelenjar ambing (Annison dan Linzell, 1964 ; Bickerstaffe et al., 1970). Sedangkan Waghom dan Baldwin (1984) mendapatkan sekitar 88% dari glukosa yang diambil dari kelenjar ambing dipakai untuk sintesis laktosa,
sisanya 12% digunakan untuk"'oksidasi, pembentukan alfagliserol fosfat dan sintesis komponen susu lainnya. Kebutuhan glukosa dipenuhi melalui perombakan glikogen dan melalui pembentukan glukosa (glukoneogenesis) terutama dari propionat dan asam amino. Peningkatan glukoneogenesis juga memerlukan suplai prekursor glukogenik yang biasanya terjadi dengan peningkatan penyerapan propionat d m asam amino. pelepasan
asarn laktat dan asam amino dari otot dan gliserol dari jaringan adiposa (Vernon, 1988). Proses glukoneogenesis melibatkan enzim piruvat karboksilase, fosfo en01 piruvat karboksilase, fiuktosa difosfatase dan glukosa 6-fosfatase.
Asam amino dari protein pakan di s a v i n g dibutuhkan untuk sintesis protein susu juga untuk sintesis laktosa melalui proses glukoneogenesis dan laktosa sebagai komponen susu yang erat kaitannya dengan produksi susu. Protein tidak dapat digantikan dengan zat lain clan di dalam tub& selalu mengalami "turn over" sehingga tidak tersedia dalam bentuk cadangan seperti lemak. Sintesis protein dari asam amino membutuhkan energi 50% lebih tinggi dibandingkan dengan sintesis trigliserida. Bila pola asam amino ransum tidak sesuai dengan pola asam amino protein yang akan disintesis maka asarn amino yang bukan pembatas akan dideaminasi clan menghasilkan urea. Pembentukan dan pengeluaran urea sebagai ampas katabolisme protein dalam urin memerlukan energi yang terbuang sebagai panas (Holmes dan Wilson, 1984).
Prtrtisi Nutrien dan Adaptasi Metabolik pada Sapi Laktasi Pada saat laktasi kelenjar ambing memperoleh prioritas metabolik melebihi jaringan dalam tubuh. Untuk memenuhi prioritas kebutuhan yang meningkat ternak
harus mengubah pola partisi nutien di antara jaringan-jaringan yang lain yang dikenal sebagai proses homeorhesis (Collier, 1985). Perubahan partisi nutrien ini terkait dengan perubahan status fisiologis temak yang memerlukan perubahan sirkulasi nutrien dari pul nutrien. Perubahan ini terjadi beberapa tingkat dan sebagian besar dikontrol oleh sistem saraf pusat (CNS).
Pada ruminansia perubahan yang paling besar terjadi saat laktasi adalah redistibusi dari curah jantung (Cardiac Output) yang memberi kesempatan bagi kelenjar ambing untuk mengambil nutrien dari pul nutrien tennetabolis. Kemudian juga terjadi perubahan laju penggantian metabolit utama (melalui pengubahan metabolisme seluler dari jaringan utama) dan perubahan status endokrin dari induk Perubahan ini terjadi sebagai akibat dari adaptasi metabolik yang diperlukan oieh ternak yaitu antara lain ternak akan menghemat penggunaan glukosa dari jaringan perifer (melalui penurunan konsentrasi insulin) dan meningkatkan proses glukoneogenesis dari hati untuk penyediaan glukosa sebagai prekursor sintesis laktosa. Mobilisasi cadangan lipid sering diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi,
ha1 ini memerlukan peningkatan lipolisis dan penurunan lipogenesis pada jaringan adiposa selarna awal dan puncak laktasi. Peningkatan sintesis protein dalam kele~jar ambing memerlukan peningkatan aliran asam-asam amino dari saluran pencemaan. Jika asam-asam amino tidak memenuhi kebutuhan sintesis protein, akan terjadi mobilisasi cadangan protein dari otot dan jaringan lainnya (Collier, 1985). Selanjutnya akan terjadi peningkatan absorbsi dan mobilisasi cadangan mineral baik dari usus, tulang, ginjal maupun hati.
Adaptasi rnetabolik yang juga sangat penting sebagai akibat peningkatan penggunaan nutrien adalah peningkatan konsumsi pakan dan air minum hewan laktasi. Untuk menampung kebutuhan ini saluran pencemaan akan mengalami hipertrofi sehingga kapasitas absorbsi nutrien juga meningkat (Bauman dan Currie, 1980). Di samping itu terjadi juga pembesaran kelenjar ambing, hati dan jantung. Banyak jaringan yang terlibat &lam absorbsi dan rnobilisasi penggunaan nutrien untuk memenuhi kebutuhan metabolisme ambing pada saat laktasi seperti terlihat pada Tabel 1. Kebutuhan jaringan perifer akan dikurangi untuk memenuhi kecukupan nutrien untuk sintesis susu. Keseimbangan metabolisme antara kelenjar ambing dan nutrien tubuh sebagian besar diatur oleh sistem saraf pusat rnelalui hormon, neuropeptida dan neurotransmiter. Tabel 1. Beberapa adaptasi rnetabolik berkaitan dengan fenomena laktasi Fungsi Sintesis Susu
i I
i
Perubahan Metabolik
1 Peningkatan Penggunaan Nutrien Peningkatan konsumsi =&an don & Hipertrofi saluran pencemaan Peningkatan kapasitas absorbsi nutrien Peninghtan glukoneogenesis Peningkatan glikogenolisis Penggunaan asetat untuk energi (ruminansiz)
Metabolisme Glukosa
Metabolisrne Lipid Metabolisme Protein
I
I1
Pe~ngkatanlipolisis Penurunan lipogenesis
ybisasi cadmgan protein
i
Sinem sarafpusat ( M S ) segmen dari saluran pencemaan
1 Semua
I
Hati Kelenjar ambing
I
i
Jaringan adiposa Jaringan yang terlibat Otot dan lainnya
jaringan
tubuh
I /
Metabolisme Air
: Collier, 1985
II
II
i
Sumber
Jaringan yang Terlibat
I Kelenjar ambing
I /1 Peningkatan absorbsi dan mobiisasi 1 Usus halus, tulang, ginjal, hati 1 dari cadangan I
Metabolisme Mineral
I
Peningkatan absorbsi dan ekspansi perIuasan volume plasma
' Usus M u s , ginjd, sistem saraf ! pusat (CNS)
Laju Alir Darah dan Serapan Nutrien Kelenjar Ambing Laju sintesis susu clan sekresinya tergantung pada ketersediaan prekursor susu, yang pada gilirannya tergantung pada laju alir darah dan serapan nutien oleh kelenjar ambing. Dengan demikian aliran darah merupakan mekanisme yang sangat rnungkin
untuk rnengontrol partisi nutrien. Peningkatan aliran darah ke pembuluh-pembuluh darah kelenjar ambing dibanding ke jaringan lain menunjukkan adanya pengalihan nutrien untuk proses sintesis susu. Serapan nutrien oleh kelenjar ambing akan dipengaruhi oleh total aliran darah ke kelenjar ambing, aliran darah kelenjar ambing sebagai persentase dari total curah jantung, dan efisiensi ekstraksi dari sel-sel sekretoris arnbing. Peningkatan aliran darah rnenuju kelenjar ambing tidak akan krpengaruh &lam pengalihan nutrien, jika curah jantung juga m e ~ n g k a t!arena aliran darah ke jaringan lain juga meningkat. Kecuali jika efisiensi ekstraksi dari sel-sel jaringan ambing menurun sedangkan aliran darah me~IIgkat,berarti serapan substrat oleh kelenjar ambing sedikit (Collier, 1985). Laju d i r darah ke kelenjar ambing pada beberapa species telah dicoba dalam berbagai kondisi fisiologis dengan menggunakan berbagai rnetode antara Lain pernakaian radioaktif mikrosphere, electromagnetic flowmeter, thermal dilution dan antlpyrin. Prekursor susu berasaI dari darah sehingga laju alir darah sangat berhubungan dengan produksi susu. Rasio rata-rata dari laju alir darah terhadap produkst pada sapi perah diperkirakan 500 : 1 di mana setiap satu liter susu yang diproduksi diperlukan 500 liter
darah yang mengalir ke keIenjar ambing (Linzell, 1974 ;Bickerstaffe et al., 1974). Rasio ini akan berubah dengan stadium laktasi dan variasi ternak yang bersangkutan. Penentuan serapan nutrien dari kelenjar ambing dapat diperoleh dengan mengalikan laju alir darah dengan selisih nutrien dari arteri-vena ambing. Pengukuran
yang akurat memerlukan kondisi seimbang yang mana laju a3ir darah dan konsentrasi substrat tidak cepat berubah.
Metabolisme Kelenjar Ambing Proses
laktasi memerlukan
energi
lebih
kebuntingan. Pada saat melahirkan pengalihan &en
tinggi
dibandingkan dengan
dari induk kepada anaknya
berubah dari uterus menuju ke keIenjar ambing. Menjelang kelahiran, anak sapi / fetus memerlukan kira-kira 10% dari konsumsi energi b i h induk, tapi pada saat puncak laktasi kebutuhan energi untuk kebutuhan susu dapat mencapai 80% dari konsumsi
energi bersih jauh melebih kebutuhan hidup pokok pada sapi dewasa. Kebutuhan energi bersih pada saat Laktasi sering meiebihi kemampuan tern& untuk makao sehingga menyebabkan tejadinya keseimbangan energi negatif.
Struktur dan Fungsi Sel-Sel Epitel Kelenjar Ambing Sel-sel epitel (sel-sel sekretoris) kelenjar ambing yang sedang laktasi sangat jelas dibedakan dengan sel epitel dari sapi yang tidak laktasi. Prekursor susu dari darah diserap oleh sel melalui membran basal dan lateral, dan susu dikeluarkan melalui ujung membran menuju ke lumen sel. Sel-sel epitel merupakan sel khusus yang mempunyai retikulum endoplasmik (ER) dan aparatus golgi yang berkembang dengan baik. Protein
susu disintesis pada retikulum endoplasmik yang kasar (RER) kemudian dimodifikasi pada aparatus golgi, sedangkan sebagian besar komponen susu selain lemak juga ditambahkan. Alat-alat sekresi yang berasal dari aparatus golgi mengangkut komponenkomponen susu menuju permukaan sel. Proses glikolisis, sintesis asam-asam femak dan aktivasi asam-asam amino tejadi dalam sitosol. Energi yang ditransfer dari hasil
substrat menjadi adenosin triposfat (ATP) berlangsung pada mitokondria. Asam sitrat dan komponen-komponen yang digunakan dalam sintesis asam-asam amino non esensial juga
disintesis pada mitokondria. Lisasome mengandung ennm hidrolitik dan
memegang peranan penting &lam mendestruksi sel selama proses involusi pada akhir laktasi. Sintesis kode asam nukleat dan mesenger dari ribosomal RNA terjadi pada inti. Retikulum endoplasmik merupakan tempat sintesis protein, esterifikasi asam-asam lemak menjadi gliserol untuk membentuk triacyl gliserol, sintesis fosfolipid dan proses desaturasi asam-asam lemak. Mitokondria di samping tempat produksi ATP juga sebagai prekursor asam-asam amino non esensial clan prekursor asam-asam lemak. Aparatus golgi adalafi tempat sintesis laktosa, glikoprotein, fosforilasi kasein dan pengemasan air, K+, laktosa dan kasein. Sedangkan sitosol adalah tempat terjadinya proses glikolisis, sintesis &fa-gliserol fosfat, NADPH (Redused Factor Niwtinamide Adenine Dinukleotide Phosphate), dan aktivasi asam-asamamino untuk sintesis prokin. Selama proses sintesis susu terjadi pertukaran antara substrat, intermediate dan asam-
asam nukleat di antara instnunen-instrumen tersebut.
Metabolisme Energi
Glukosa merupakan substrat utama sebagai sumber energi pada non nuninansia, sedangkan glukosa (propionat) dan asetat merupakan sumber energi utama pa& ruminansia. Karena ketersediaan dan tingginya serapan oleh kelenjar ambing, asarn asetat dan sebagian beta hidroksi butirat dipertimbangkan sebagai metabolit energi yang paling penting &lam metabolisme kelenjar ambing ruminansia Dua fungsi penting asetat adalah 1) mensuplai karbon untuk sintesis secara "de novo" dari asam-asam lemak dan 2) untuk membentuk adenosin trifosfat melalui jalur trikarboksilat (TCA) dan sistem transport elektron.
siklus asarn
Glukosa mempunyai peranan utama pa&
metabolisme kelenjar ambing.
Glukosa dapat digunakan melalui salah satu dari 3 jalur yaitu 1) dikonversi menjadi molekul galaktosa untuk pembentukan laktosa ; 2) pembentukan triosefosfat melalui jalur glikolisis ;dan 3) dikonversi menjadi 6-fosfogIukonat melalui jalur pentose fosfat. Semua jalur-jalur ini menghasilkan prekursor dan kofaktor untuk sintesis komponen susu (protein, lemak d m laktosa) seperti Gambar 4. di bawah ini :
)
Glukosa
]
W G I u k o s a l f o s f a t U D P Jalur Glikolisis
Jalur pentose-
' e 2n ' Triose fosfat
1 a-Gliserol fosfat
+ t
[ Trigliserida Gambar 4. Jalur metabolisme glukosa pa&
1
epitel kelenjar ambing (Collier, 1985)
Konsentrasi glukosa darah pada sapi dan domba lebih rendah ( 4 6 8 0 mg/dl) dibandingkan konsentrasi glukosa pada non ruminansia (8&120
mg/dl). Dengan
rendahnya level gula darah dan tingginya persediaan asetat sebagai sumber energi pada rurninansia terjadi mekanisme penghematan pemakaian glukosa pada beberapa jaringan terutama terlihat pada kelenjar ambing. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya
hipoglisernia serta untuk mengimbangi kebutuhan bahan-bahan untuk metabolisme yang tinggi seperti saat laktasi. Penghematan glukosa dimaksudkan agar karbon glukosa tidak digunakan dalam sintesis dan reaksi-reaksi oksidasi sehingga substrat lain seperti asetat dapat digunakan secara efektif. Contoh yang paling jelas dari penghematan tersebut adalah eksklusi glukosa sebagai sumber karbon pada sintesis asam lemak pada organ jaringan dari ruminansia dengan kurangnya enzirn sitrat (citric enzyme) yang esensial untuk pembentukan sitoplasmik asetilco enzirn A (CoA) dari glukosa seperti pada non ruminansia.
Biosintesis Komponen-Komponen Susu Laktosa Laktosa adalah disakarida yang terdiri atas 1 mol glukosa dan 1 mol galaktosa
dan merupakan karbohidrat utarna yang ditemukan pada susu Glukosa sebagai prekusor utama untuk pembentukan laktosa, di mana 2 mol glukosa dibutuhkan oleh sel-sel epitel kelenjar ambing yaitu 1 unit glukosa dikonversi menjadi gdaktosa. Sintesis tejadi di aparatus golgi dan dikatalisir oleh enzim laktose sintetase. Enzim ini tersusun atas 2 sub unit yaitu 1) galaktosil ha?z&erme,
ditemukan baik pada sel-sel kelenjar ambing dan
pada sel-sel jaringan lain dan 2) alfa-laktalbumin, merupakan komponen whey-protein susu. Glukosa adalah aseptor yang lemah terhadap residu galaktosil tetapi dengan adanya alfa-laktalbumin, galaktosil transferme kemudian diubah menjadi aseptor yang efektif untuk galaktosa. Progesteron terlihat menekan sintesis dari alfa-laktalbumin selarna kebuntingan. Pada waktu melahirkan terjadi penunman plasma progesteron dan peningkatan sekresi prolaktin, maka alfa-lakralbumm meningkat yang mengakibatkan terbentuknya enzim laktose sintetase untuk memulai terjadinya sintesis laktosa. Dengan demikian alfa-laktalbumin mungkin sebagai enzim pembatas pada permulaan laktasi.
Protein Susu Sebagian besar protein susu yang disintesis pada sel epitel kelenjar ambing (as,
p
dan K kasein) adalah kasein, beta-lakroglobulin, d m alfa-laktalbumin.
Kasein
merupakan bagian penyusun terbesar protein susu terutama a s kasein. Laktoferin dan enzim Iizosome secara kuantitatif merupakan protein penting pada susu. Imunoglobulin dan seroalbumin dari darah masuk ke kelenjar ambing tanpa mengalami perubahan. Mekanisme sintesis protein pada kelenjar ambing terlihat hampir sama dengan sintesis protein pada sebagian besar sel-sel organ lain. Sintesis protein susu dikontrol oleh regulasi hormon dan transkripsi gen, stabilitas -A,
dan laju translasi mRNA.
Protein susu disintesis dari asam-asam amino bebas sesuai dengan kode-kode genetik yang telah ditentukan. Masing-masing sel mempunyai genome lengkap pada intinya. Dengan adanya DNA - RNA polimerase yang terikat dan prekursor nukleutida yang cukup, DNA dijabarkan menjadi mRNA kemudian mRNA membawa pesan-pesan dari inti menuju ribosome sitoplasma yang terletak pada RER (Retikulurn Endoplasmik Kasar), di mana mRNA ditranslasi sesuai dengan urntan asam-asam amino yang spesifik
dari protein susu. Seperti halnya protein-protein lain protein susu disintesis dengan urutan N-terminal yang memungkinkan mereka untuk memasuki membran dari ER.
Kemudian setelah tejadi sintesis, protein diangkut ke aparatus golgi dan terjadi modifikasi dari protein susu seperti perlipatan rantai dan fosforilasi kasein. Lemak Susu Lemak pada susu sapi terbentuk dari campuran trigliserida dengan asam-asam lemak rantai pendek (C4-CI6). Asam-asam lemak, gliserol dan intermediate lain yang terkait disintesis pada sitoplasma dan biosintesis trigliserol berlangsung di &lam atau dekat endoplasrnik retikulum dari sel epitel. Ada tiga sumber utama asam-asam lemak
yang pertama dan yang sangat penting pada ruminansia adalah sintesis asam-asam lemak dari asetat dan betahidroksi butirat yang diserap dari rumen. Asetat melalui jalur malonil CoA menghasilkan semua asam-asam lemak berantai pendek (C4-CI4)dan sebagian kecil asam lemak rantai panjang (C16). NADPH yang dibutuhkan untuk mereduksi ("reducing factor") untuk sintesis asam lemak berasd dari jalur pentosefosfat dan siklus asam sitrat. Ruminansia tidak bisa menggunahn asetil CoA yang berasal dari glukosa pada mitokondria untuk sintesis asam lemak, akan tetapi pa& hewan nonruminansia glukosa berfungsi sebagai sumber utama asetil CoA. Sumber ke
dua asam-asam lemak adalah trigliserida yang terdapat dalam sirkulasi khilomikron dan LDL (LowDensity Lipo protein). Asam-asam Iemak ini mempunyai rantai karbon lebih dari 14 yang berasal baik dari pakan atau mikroba rumen temtama C16 (palmitat) dan c 1 8
(stearat oleat dan Iinoleat). Lebih dari setengah asam-asam lemak pada susu sapi
b e d dari darah, sepertiganya adalah asam-asamlemak rantai panjang (C16 d m C18).
Sumber ke tiga adalah sitoplasmik asetil CoA dari glukosa melalui jalur glikolisis dan siklus asam sitrat. Sumber utama gliserol untuk pembentukan trigliserida addah gliserol-3 fosfat berasal baik dari jalur glikolisis atau dari proses lipolisis.
Komponen-Komponen Lain Mineral, kalsiurn, fosfor, kalium, khlor, natrium dan magnesium mempakan mineral utama pada susu. Mineral-mineral dari darah belum diketahui secara pasti apakah
mineral-mineral
tersebut
diabsorbsi
dengan
keseimbangan
terhadap
konsentrasinya dalam darah atau ada mekanisme yang rnemunglunkan adanya serapan secara selektif. Ada bukti bahwa sel-sel epitel arnbing dapat membuang kembali mineral-mineral tersebut dalam darah seperti halnya ke susu yang disebut mekanisme
transport aktif. Laktosa, natriurn dan kalium konsentrasinya selalu konstan dalam susu. Kornponen-komponen ini bersarna khlor mempertahankan keseirnbangan osrnose susu. Air disalurkan ke susu untuk menjaga keseimbangan osmose dengan aliran darah sehingga sekresi laktosa, kalium, natrium dan khlor ke dalarn susu akan menentukan volume susu yang diproduksi. Vitamin tidak disintesis oleh kelenjar ambing. Vitamin disintesis oleh bakteri dalam rumen, dirombak dari bahan-bahan yang ada dalam hati, usus halus dan kulit atau berasal langsung dari sumber pakan. Secara umum kandungan vitamin dalam susu &pat ditingkatkan dengan meningkatkan konsentrasi vitamin dalam darah yang akan mensuplai kelenjar ambing.
Pengaruh Keragaman Hijauan Makanan Ternak Terhadap Produktivitas Ternak F'rodulctivitas ternak ruminansia baik sebagai penghasil daging maupun susu
sangat tergantung pada jenis, kuantitas. kualitas pakan serta status fisiologis ternak yang bersangkutan. Petemakan tradisional yang mengharapkan hjauan yang tumbuh S a r a alami, terutama pemberian hijauan hanya dari satu jenis (rumput saja) sering mengakibatkan produktivitas rendah karena ketidakseimbangan zat-zat makanan dan hijauan pakan yang diberikan sehingga tidak mencukupi kebutuhan ternak untuk berproduksi. Hal ini sesuai dengan pendapat Foley et al. (1973) bahwa pakan yang kurang seimbang dapat menurunkan produksi susu dan kadar laktosa susu tetapi kadar lemak akan rneningkat. Defisiensl zat-zat makanan di sarnping &pat mempengaruhi produksi susu juga berpengaruh pada komposisi air susu. Pemberian pakan yang sepenuhnya terdiri atas hijauan mungkin masih dapat meningkatkan produksi ternak jika proporsinya diatur sedemikian rupa, yaitu dengan pemberian hijauan sebagai sumber energi dan sumber protein yang di dalarnnya juga
telah mengandung vitamin clan mineral yang dibutuhkan ternak. Dengan demikian ketersediaan nutrien yang seimbang untuk kebutuhan fisiologis ternak akan terpenuhi. Dari hasil penelitian Pongsapan dan Prabowo (1994) ternyata perbaikan mutu pakan melalui suplemen daun gamal sebagai sumber protein dan tepung gaplek sebagai sumber
energi pada
induk sapi
Bali
menyusui
yang
dipelihara di padang
penggembalaan, &pat meningkatkan produksi susu yang tercermin dari peningkatan bobot harian (PBBH) pedet anak yang lebih tinggi (0,268 kg) dibanding kontrol yaitu 0,196 kg. Demikian pula Paat et al. (1992) melaporkan pemberian suplemen dam gamal
pada musim hujan pada sapi dara yang digembalakan dapat meningkatkan pertumbuhan bobot badan harian sampai 0.57 kg. Dilihat dari sifat degradasinya daun gamal marnpu menyediakan amonia ( N H 3 ) untuk pertumbuhan dan aktivitas mikroba rumen Warn biokonversi pakan (Sutardi et al., 1983). Untuk meningkatkan produktivitas ternak selain ada bahan makanan ternak
sebagai sumber protein tinggi diperlukan pula sumber protein 1010s degradasi dengan nisbah 2 : 1. Sehubungan dengan hal ini Van Saun et al. (1993) menyatakan pemberian suplemen protein 1010s degradasi pada sapi perah sebelum melahirkan dapat memperbaiki kondisi tubuh saat meiahirkan dan meningkatkan produksi protein susunya. Nitis et al. (1994) melaporkan bahwa sapi BaIi betina yang diberi hijauan makanan ternak (HMT) dari tiga surnber yaitu rumputAeguminosa, leguminosa semak,
dan daun-daunan pohon (sistem tiga strata = STS) pertumbuhannya lebih tinggi 80.57% pa& musim hujan dan 142.27% pada musim kemarau dibandingkan dengan non tiga strata (NTS). Lebih jauh dijelaskan pemberian HMT STS juga berpengaruh positif pada
reproduksi sapi Bali betina yaitu interval siklus estrus dan siklus estrus tenang ("silent heat") masing-masing 14.5 dan 11.6% unit lebih pendek dari pada HMT NTS (Nitis et
al., 1995). Hal ini disebabkan karena hijauan STS mempunyai keragaman tinggi dan mencakup keterpaduan antara HhrIT sumber protein yang degradasinya tinggi (gamal = gliricidia sepium), HMT sumber protein 1010s degradasi (lamtoro leucocephala), HMT sebagai sumber energi (daun pohon) &n
=
leucaena
HMT sebagai agensia
defaunasi (waru = hibiscus tilliacius). Langkah ini sejalan dengan rekomendasi Sutardi et a[. (1983) bahwa campuran gamal dengan lamtoro dapat menyediakan protein degradasinya tinggi dan protein 1010s degradasi sehingga selain dapat meningkatkan mikroba rumen juga prestasi produksi ternak. Nitis et al. (1996) melaporkan bobot lahir pedet dari induk sapi Bali yang diberi
J3MT NTS adaIah 16.50 kg dibandingkan dengan sapi yang diberikan HMT non NTS yaitu 15.80 kg, m u n keduanya berbeda tidak nyata Selanjutnya dijelaskan bahwa tambahan bobot tubuh pedet STS dan NTS yang menyusu langsung pada induknya selama 18 minggu adalah 0.439 vs 0.270 kg/ekor/ hari dan selama 36 minggu setelah lahir yaitu 0.437 vs 0.346 kglekorlhari. Tingginya pertumbuhan ini mengakibatkan p e n m a n bobot induknya masing-masing sebesar 0.175 vs 0.247 kg/ekor/hari dan 0.055 vs 0.037 kg/ekor/hari. Hal ini memberi gambaran bahwa p e n m a n bobot tubuh selama laktasi sebagai akibat produksi susu induk sapi yang diberi HMT STS relatif lebih tinggi dibandingkan sapi yang diberi HMT STS, di mana kondisi fisiologis ini tercermin pada tingginya pertumbuhan pra-sapih pedet. Hasil ini sejdan dengan hasil penelitian Subhagiana (1998) bahwa kambing peranalcan Etawah (PE) yang tingkat produksi susunya tinggi, p e n m a n bobot tubuhnya selama laktasi relatif lebih tinggi
dari pada kambing yang produksi susunya lebih rendah. Pengaruh Konsentrat pada Produktivitas Ternak Penambahan konsentrat dalam ransurn dimaksudkan untuk meningkatkan produksi asam propionat pada biokonversi pakan dalam m e n . Dengan peningkatan
asam propionat secara alami produksi energi yang terbuang dalam bentuk gas metan cenderung menurun (Blaxter, 1969 : Tillman ef al., 1986 ; Orskov clan Ryle, 1990). Propionat merupakan prekursor pembentuk glukosa, maka dengan semakin tinggi propionat ketersediaan clan pemanfaatan energi bagi ternak semakin efisien sehingga produktivitas ternak juga meningkat. Suplementasi konsentrat pada tingkat 30% pada pakan dasar rumput/jerami pad^ atau HMT yang lainnya dapat meningkatkan tambahan bobot tubuh harian sapi Bali jantan 76.8 - 297.9% (Nitis dan Lana, 1983). Menurut Sauvant et al. (1978) produksi susu dapat ditingkatkan dengan pemberian tambahan konsentrat pada r a n s m y a Tambahan konsentrat pada sapi laktasi sangat penting meskipun agak mengwangi konsumsi hijauan namun urnurnnya meningkatkan kandungan bahan kering, bahan organik dan energi. Energi illl sangat penting &lam mempertahankan produksi susu demikian pula kualitas susu seperti kadar protein dan laktosa akan sedikit m e ~ n g k a tDengan . dernikian tambahan konsentrat akan berpengaruh pada produksi dan kualitas susu melalui peningkatan konsumsi energi yang terkandung dalam ransurn. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sukarini, (1993) bahwa tambahan konsentrat sebanyak 500 ghari pa&
induk karnbing PE yang diberi hijauan daun gamal
dan rumput lapangan secara berlebihan dapat me~ngkatkanproduksi susu sebesar 53.63% dan kadar protein sebesar 2.49% sedangkan kadar Iemak menurun 18.41%
dibandingkan dengan kontrol. Selanjutnya suplementasi konsentrat pada awal dan pada pertengahan laktasi sebanyak 550 g/ekor/hari pada induk kambing PE yang diberi campuran daun gamal dari warn secara berlebihan &pat meningkatkan produksi susu masing-masing sebesar 66.02% dan 66.4% dibandingkan tanpa suplementasi. Kadar protein meningkat namun kadar lemaknya menurun (Sukarini, 1994 unpublished).
Demikian pula Sarini et al. (1998) melaporkan bahwa pemberian campuran 60% konsentrat dan 40% hijauan (rumput gajah) pada induk sapi Bali primipara dapat meningkatkan produksi susu sebesar 45.46% dibandingkan dengan sapi yang hanya diberikan rumput gajah saja (1.603 vs 1.102 kg/ekor/hari) dengan peningkatan kadar lemak dan protein masing-masing sebesar 36.33% dan 10.64%. Peningkatan produksi susu tersebut dijelaskan oleh Dixon dan Para (1984) bahwa penambahan konsentrat akan menurunkan pH rumen yang mengakibatkan peningkatan produksi asam lemak atsiri (VFA) secara keseluruhan, di mana proporsi asam propionat dan asam butirat meningkat nyata. Dengan peningkatan proporsi asam propionat maka glukosa darah akan meningkat yang dapat digunakan sebagai surnber energi sehingga sintesis laktosa akan meningkat yang pada akhirnya produksi susu juga meningkat karena laktosa berperan mengatur aliran air I tekanan osmose dalarn kelenjar ambing. Kearl (1982) menyarankan suatu formulasi untuk menentukan kebutuhan energi (ME) pada sapi laktasi b e r w k a n hidup pokok per bobot metabolis adalah 0.552 MJIW'.~~ termasuk kebutuhan mengantisipasi tejadinya penurunan bobot tubuh selama laktasi. Sedangkan untuk produksi susu berdasarkan 4% produksi susu yang
kadar lemaknya dikoreksi (FCM) yaitu 4.77 MJ / 4% FCM. Sehingga secara keseluruhan kebutuhan ME laktasi dapat dimmuskan dengan persamaan : ME (MJ) 0 . 5 5 2 w (kg)'
75
+ 4.77 x 4% FCM Untuk kebutuhan DP sejalan dengan pendekatan kebutuhan ME yakni dengan ' x 4% FCM. Selanjutnya Putra, (1999) persamaan DP (ghari) = 2.86 ~ ( k ~ ) ' -+~ 55 memprediksi kebutuhan nutrisi sapi BaIi laktasi dari konsumsi ME, konsurnsi protein, bobot tubuh dan produksi susu diperoleh masing-masing kebutuhan energi sebesar
ME &lkal/h]
PK [kg/h]
=
0.174@-~' + 1.05 G + 0.782 (4% FCM)
= 0.0019*'~+
1.03 G + 0.271 (4% FCM)
R~ = 0.99
R~= 0.97
Sb
=
1.63 dan
Sb = 0.106.
Jika kebutuhan ini dibandingkan dengan NRC (1988) temyata kebutuhan ME sapi Bali 1.19
+
0.03 dan PK seksar 1.50 f 0.20 kali Iebih tinggi. Untuk ini
direkomendasikan bahwa kebutuhan ME dan PK sapi Bali laktasi masing-masing 1.25 dan 1.91 kali lebih tinggi daripada NRC. Ini menunjukkan bahwa sapi Bali menuntut kebutuhan nutrisi yang lebih tinggi.
Pengaruh Defaunasi dan Reduksi Emisi Metan terhadap Produktivitas Ternak Defaunasi merupakan upaya pengurmgan jumlah populasi protowa dalam rumen yang dapat dilakukan dengan menggunakan agensia defaunasi. Dalarn kondisi normal populasi protozoa di dalam rumen sekitar lo6 seVml c a i r n rurnen. Angka populasi ini dipengaruhi oleh ransurn clan metiputi hampir 40% dari total nitrogen mikroba rumen (Hungate, 1966). Sumber nitrogen untuk pertumbuhan protowa selain berasal dari protein pakan juga dari bakteri rumen yang dimangsanya, akibatnya populasi bakteri rumen (mikroba utama) menjadi tertekan (Preston dan Leng, 1987) tertutama pada temak yang mendapat ransurn rendah kadar gula dan pati. Di samping itu defaunasi mengurangi pemangsaan fungi oleh protozoa yang berflagelata. Dengan adanya fungi bersama enzimnya selulase dan silanase dari miseliumnya, pakan serat mudah rapuh sehingga bakteri akan lebih mudah mendegradasi pakan lebih lanjut (Orskov dan Ryle, 1990). Noland et al. (1989) Merchen dan Titgemeyer (1992) menyatakan defaunasi &pat meningkatkan efisiensi pertumbuhan mikroba nunen dan aliran protein asal mikroba rumen dan protein pakan ke organ pencemaan pasca rumen lebih tinggi (protein asal bakterl m e n meningkat 14% dan protein bukan asal bakteri 25%).
Aktivitas protozoa pemangsa bakteri dalam rumen tidak hanya bersifat
merugikan saja tetapi juga bermanfaat positif yaitu proses akhirnya memberikan pasokan nitrogen (amonia, asam-asam amino dan peptida) dan asam-asam Iemak rantai cabang yang merupkan hasil lisis bakteri. Metabolit tersebut diperlukan untuk pertumbuhan bakteri rumen. Karena itu pada ternak yang didefaunasi perlu diperhatikan aspek kecukupan pasokan nitrogen dan asam-asam Iemak bercabang tersebut. Di samping itu kehadiran protozoa &lam m e n juga diperlukan dalam mempertahankan pH rumen walaupun dilakukan secara tidak Iangsung rnelalui pengamanan karbohidrat terfermentasi. Agensia defaunasi &pat digunakan dari bahan-bahan alami seperti minyak kelapa, dam kembang sepatu, dam waru dan lain-lainnya Walaupun ada produk komersial seperti Teric GN9 namun produk tersebut cukup berbahaya jika pemakaiannya tidak sesuai dengan takaran. Jalaludin (1994) melaporkan defaunasi parsial pada ransum sapi perah jantan dengan menggunakan daun kembang sepatu memberikan PBBH yang lebih tinggi yaitu 1.05 kg/hari dibandingkan dengan 0.87 kg dengan minyak kelapa. Hal ini karena perimbangan VEA/NH3 yang lebih baik sehingga bakteri dapat meningkatkan efisiensi biokonversi pakan dalam rumen sehingga ransum dapat digunakan secara efisien oleh ternak. Upaya mengurangi produksi gas metan dalam fementasi rumen adalah salah
satu manipulasi proses nutrisi y a w bertujuan untuk meningkatkan groduktivitas ternak.
Dari fermentasi dalam rumen proses sintesis asam asetat clan butirat banyak menghasilkan gas hidrogen (H2)- Sebaliknya pada proses sintesis asam propionat, gas hidrogen banyak digunakan. Gas hidrogen bersama C 0 2 merupakan prekursor dalam pembentukan gas metan. Gas metan (CK) sesungguhnya tidak bermanfaat bagi temak
induk semang. Produk CH4 ini sangat bervariasi tergantung pada jenis pakan dan jika produknya semakin banyak semakin tidak efisien bagi ternak. Upaya mereduksi gas metan untuk meningkatkan efisiensi zat-zat makanan bagi ternak dapat dilakukan antara lam dengan menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri metanogenik (Methanobacterium rurninansium) dengan jalan meningkatkan kadar asam lemak talc jenuh (CIS)dalam ransum (Abdulah et at., 1991). Cara ini dapat menghambat produksi gas metan dan secara simultan dapat me~ngkatkanproduksi
asam propionat (Demeyer et al., 1969). Selain asam lemak rantai panjang (Cis) sejumlah bahan kimia lainnya yang mempunyai h g s i rnenghambat rnetanogenesis di ankaranya halogenate methane analog, sulfat, nitrat, tricholoetyl pivalat, 2-bromo ethane sulphonic acid, clan pyromellitic diimide (Van Nevel dan Demeyer, 1988). Selanjutnya dijelaskan bahwa pengaruh lemak pada kecemaan serat kasar tergantung pa&
sifat alarni dan
jumlah lemak yang digunakan dalam ransum (seperti trigliserida, a s a m lemak bebas, derajat kejenuhan). Dengan biomanipulasi proses nutrisi seperti ini aktivitas baMeri metanogenik terharnbat, produksi gas metan menurun dan produksi asam propionat meningkat (Abdulah e f al., 1991). Pemberian lemak &lam ransum penting daIam meningkatkan densitas energi m u m , yang dapat memperbaiki konsumsi energi pada temak yang kebutuhan
energinya tinggi terutama pada sapi perah yang berproduksi tinggi (Abdulah et at., 1991). Kronfeld (1982) menyatakan bahwa laju sintesis susu ditentukan oteh konsumsi glukosa, sedangkan efisiensi sintesis susu ditentukan oIeh konsumsi asam lemak berantai panjang oleh kelenjar ambing.
Pengaruh Suplernentasi Mineral Sulfur dan Seng terhadap Produktivitas Ternak Kebutuhan protein bagi ruminansia dapat dipenuhi dengan mengupayakan protein 1010s degradasi, namun protein pakan dan protein mikroba yang sampai ke usus belum menjamin kecukupan asam amino untuk produksi ternak yang sedang laktasi, seperti metionin, valin, isoleusin, lisin, histidin dan leusin tidak memahi untuk produksi susu (Broderick ef al., 1974 : Hogan, 1974). Lebih lanjut dijeIaskan bahwa metionin merupakan asarn amino pembatas pertama untuk sapi laktasi terutama pada awal Iaktasi yang berkaitan dengan produksi lemak susu. Mengingat protein &an
sebagian besar berasal dari tanaman, peluang
terjadinya defisiensi asam amino bersulfur (metionin) adalah sangat besar karena metionin merupakan asam amino pembatas pada bahan makanan ternak nabati (Edwards clan Hassall, 1971 : Cooper, 1983). Nilai biologis bahan makanan sumber protein adalah terletak pada hasil akhir perombakannya menjadi a s a m amino dan jika ketersediaannya rendah, prestasi produksi temak yang mengkonsumsinya juga akan rendah (Sutardi, 1980). Menurut Micheli dan Benevenga (1978) perombakan sejurnlah asarn amino diawali oleh transaminasi (oleh enzim transaminase) yaitu pertukaran gugus amino dan satu asam amino ke suatu asam alfa keto, sehingga terbentuk asam amino dan asam alfa keto yang lainnya. Berdasarkan proses ini maka suatu asarn amino dapat diganti dengan analognya yaitu asam hidroksi alfa atau asam alfa keto (Sutardi, 1980). Salah satu
langkah biomanipulasi proses nutrisi untuk
meningkatkan
produktivitas ternak ( t e r u k untuk mengoreksi kekurangan metionin dalam pakan) adalah dengan suplementasi sulfur (S) dalam bentuk analog hidroksi metionin (AHM). Sulfur organik ini dapat digunakan oleh mikroba rumen untuk mensintensis asam amino bersulfur pada pembentukan protein milcroba (Kandylis, 1984). sehingga aktivitas
degradasinya meningkat. Selain untuk sintesis protein mikroba adanya s u l k juga dapat membantu sintesis beberapa vitamin seperti tiamin dan biotin serta ko-enzirn (Komisarczuk dan Durand, 1991). Dengan demikian peranan sulfw: sangat penting untuk meningkatkan pertumbuhan mikroba rumen yaitu bakteri seldolitik, terutama aktivitas endoglukanase, protozoa berciliata dan fungi anaerob (Akin clan Benner, 1988) sehingga degradasi fraksi serat kasar dalam rumen lebih efisien. Selanjutnya Bull dan Vandersall (1973) menyatakan bahwa mikroba rumen tidak dapat memecah selulosa dan hemiselulosa jika ketersediaan nitrogen &lam pakan tidak dibarengi dengan suplementasi S. Untuk meningkatkan aktivitas mikroba rumen dalarn mendegradasi pakan serat tinggi maka keseimbangan antara N dengan S direkomendasikan 10 : 1 (Hunter dan Vercoe, 1984) dan 15 : 1 (Arora, 1989). Langkah
ini dapat meningkatkan kecemaan nutrien sehingga hasil a&r
fermentasi dapat
digunakan secara efisien dalarn meningkatkan produktivitas ternak. Thomas dan Langford (1978) melaporkan penggunaan AHM sebanyak 10 g / ekor I hari pada sapi pedaging selama 6 minggu sebelum dan sesudah melahirkan dapat meningkatkan bobot sapih dari anak-anaknya Selanjutnya Ray et nC. (1983) pernberian
AHM sebanyak 34 g / ekor / hari pada ransum rendah serat &pat meningkatkan kadar Iernak susu. Kemudian Sigit (1995) melaporkan pernberian AHM sebanyak 10 dan 20 g 1 ekodhari pada sapi perah t i d e meningkatkan produksi susu namun nyata meningkatkan kadar lemak susu masing-masing sebesar 0.71 dan 0.58% dan kadar protein masingmasing sebesar 0.42 dan 0.14%. Selain mikroba iumen dapat menggunakan S organik (AHM)juga dapat menggunakan S anorganik (amonium sulfat). Karena itu penggunaan AHM kiranya &pat diganti dengan amonium sulfat (AS), mengingat harganya relatif lebih murah dibanding dengan AHM. Jalaludin (1994) rnencoba menggunakan AHM dan AS dalarn
ransum sapi perah jantan yang mengandung leguminosa pohon dengan degradasi protein tinggi (gamal) dan rendah (angsana). Hasil penelitiannya menunjukkan adanya indikasi berbeda yaitu pen@
AHM terhadap pertumbuhan lebih efektif pada sumber protein
yang degradasinya rendah, sedangkan pengaruh AS lebih efektif pada sumber protein yang degradasinyatinggi. Beberapa dari trace mineral merupakan komponen dari enzim, hormon dan vitamin yang berfungsi mengatur metabolisme &lam tubuh. Mineral seng (Zn) salah satu mineral yang berperan untuk mengaktivasi enzim dan hormon yang berhubungan dengan metabolisme dan h g s i reproduksi temak. Mineral Zn sangat esensial sebagai komponen (aktivator) beberapa enzim seperti karbonat anhidrase, karboksi peptidase, dan laktat dehidrogenase (Tillman et al., 1986 ; Riordan dan Vallee, 1976) di mana dengan aktifnya enzim-enzim tersebut maka proses fermentasi nunen lebih efisien sehingga produk metabolisme rumen (VFA) akan meningkat yang pa& akhimya ketersediaan nutrien lebih banyak bagi kelenjar ambing untuk mensintesis susu. Fungsi Zn yang cukup penting adalah sebagai komponen dari hormon yaitu insulin dan glukagon (Annenkov, 1974 : Granner, 1987) di mana glukagon akan berperan dalam proses glikogenolisis yaitu perombakan glikogen @ads hati) menjadi glukosa yang banyak dibutuhkan oleh kelenjar ambing saat laktasi baik sebagai prekursor laktosa maupun sintesis komponen susu lainnya. Glukagon juga berperan mempercepat pengeluaran asam amino alanin dan glutamin dari jaringan &lam proses glukoneogenesis untuk membentuk glukosa (Brockman er al., 1975). Zn juga sangat penting berperan dalam sintesis asam nukleat (RNA, DNA) polimerase clan sintesis protein (Lieberman dan Bruning, 1990). Dengan aktifnya sintesis RNA dan DNA terutama ketika sel-sel dalam organ tertentu mengalami pembelahan, pertumbuhan dan sintesis '(~nderwood,1981), maka jumlah d m besar sel
akan meningkat seperti terlihat pa& sel-sel kelenjar ambing dari temak yang sedang laktasi. Dengan meningkatnya jumlah sel-sel sekretoris maka sintesis susu akan lebih aktif dan pada akhirnya akan meningkatkan produksi susu. Menurut Anderson (1985) bahwa peningkatan kandungan DNA sel-sel kelenjar ambing terlihat secara eksponensial selama kebuntingan sampai awal laktasi. Hal ini menunjukkan bahwa pada awal laktasi terjadi perbanyakan (mitosis) sel-sel sekretoris dari kelenjar ambing sehingga dapat menunjang pe~ngkatan produksi susu. Di samping itu Zn juga berperan dalam metabolisme karbohidrat (Church dan Pond, 1982), keseimbangan asam basa dan metabolisme vitamin A (Linder, 1992).
Mc Dowel1 et aI. (1983) menyatakan defisien Zn pada ternak betina berpengaruh terhadap keseluruhan fase dari proses reproduksi yaitu dari estrus kebuntingan dan laktasi. Hasil penelitian Masters (1984) yang memberikan suplementasi Zn pada domba selama umur kebuntingan diperoleh bobot lahir dan bob& sapih pedetnya lebih tinggi dari pada tanpa suplementasi Zn. Selanjutnya disarankan bahwa kebutuhan Zn pada sapi potong dan sapi perah adalah masing-masing 30 dan 40 mgkg. Lebih lanjut dijelaskan bahwa temak yang diberi hijauan makanan ternak mengandung 18- 83 mgkg Zn mengalami defisien Zn, berarti hijauan yang mengandung 83 ppm Zn
ketersediaan Zn-nya rendah. Untuk meningkatkan kekebalan tubuh disarankan penggunaan Zn adalah berkisar 30
-
50 mgkg (Liberman dan Bruning, 1990). Menurut Linder (1992)
penggunaan suplemen Zn perlu dipertimbangkan karena penyerapan Zn sedikit banyak berkornpetisi dengan ion-ion metal transisi seperti Fe* I Fe-
dan cuU. Lebih jauh
dijelaskan setelah penyerapan dan pemindahan ke plasma darah jika
&lam
keseimbangan Zn terikat dalam albumin, a 2-globulin, dan anti protease serta jika &lam keadaan berlebihan akan terakumulasi pada ikatan metalotionein. Dengan dernikian
untuk efisiensi penggunaannya perlu diperhatikan mineral-mineral lain terutama yang
antagonis seperti Cu dan P (Tillman et al., 1986). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kelebihan Ca dalam ransum perlu diperhatikan karena akan berpengaruh terhadap penyerapan Zn.