PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG TANAMAN BANGUNBANGUN (Coleus amboinicus Lour) DALAM RANSUM TERHADAP PENAMPILAN REPRODUKSI INDUK DAN ANAK BABI MENYUSU
PARSAORAN SILALAHI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis pengaruh penambahan tepung tanaman bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) dalam ransum terhadap penampilan reproduksi induk dan anak babi menyusu adalah karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Parsaoran Silalahi NIM D151080131
ABSTRACT PARSAORAN SILALAHI. Effects of sow feed addition with bangun-bangun plant meal (Coleus amboinicus Lour) on the performance of sows reproduction and piglets. Under direction of POLLUNG H SIAGIAN and AGIK SUPRAYOGI Coleus amboinicus Lour has been used as a breast milk stimulant (a lactogogue) by Bataknese people in North Sumatera for houndreds years. The main objective of this study was to investigate the effects of sow dietary addition with bangun-bangun plant meal (Coleus amboinicus Lour) on the reproduction performance of sows and its piglet development preweaning. The design of the research was completely random design factorial (4 x 2) with three replication. The first factor was percentage of addition of bangun-bangun plant meal in feed (0, 2.5, 5 and 7.5%) and the second factor was given time of feed (on day 107th pregnant and day of giving birth). Addition of bangun-bangun plant meal had significant effects (P<0.05) to decrease on birth mortality. The given time of bangun-bangun plant meal in sow feed had significant effects (P<0.05) on early time weaning to estrus interval. Interaction of two factor had significant effects (P<0.05) to increase sows and piglets feed intake, milk production, piglet weight gain per litter, weight at weaning per litter and litter size at weaning but treatment did not affects on gestation and birth time, weight of piglet at birth, litter size at birth, mortality before weaning, sow reproduction cycle and decrease of sow weight. Effects of sow feed addition with 5% bangun-bangun plant meal on day 107th pregnant improve the performance of sows and piglets. Key words : Coleus amboinicus Lour, dietary, sow reproduction and piglet performance
RINGKASAN PARSAORAN SILALAHI. Pengaruh Penambahan Tepung Tanaman BangunBangun (Coleus amboinicus Lour) dalam Ransum terhadap Penampilan Reproduksi Induk dan Anak Babi Menyusu. Dibimbing oleh POLLUNG H. SIAGIAN dan AGIK SUPRAYOGI Tanaman bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan salah satu tanaman yang dapat dijadikan sebagai ramuan tradisional di Indonesia. Daun tanaman ini dipercaya mampu meningkatkan produksi air susu ibu (Damanik et al. 2001). Santosa (2001) menunjukkan, bahwa empat jam setelah pemberian daun bangun–bangun volume air susu ibu menyusui meningkat sebesar 47.4%. Sihombing (2006) melaporkan, bahwa di peternakan babi sekitar 20-25% dari anak babi yang lahir mati sebelum disapih. Salah satu penyebab kematian anak babi ini yang menonjol adalah akibat kekurangan air susu. Diketahui bahwa produksi air susu sangat diperlukan terutama pada masa awal laktasi sehingga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi anak babi dan mampu meningkatkan daya tahan dan pertambahan bobot badan anak babi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menentukan taraf penambahan tepung tanaman bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) di dalam ransum dan waktu pemberiannya pada induk babi yang akan memperbaiki penampilan reproduksi induk dan meningkatkan penampilan anak babi selama masa menyusu. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola Faktorial 4 x 2 masing-masing dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah penambahan berbagai taraf TTB dalam ransum induk babi (0, 2.5, 5 dan 7.5% dari ransum kontrol) dan faktor kedua adalah waktu pemberian ransum dengan taraf TTB yang berbeda pada induk babi saat umur 107 hari kebuntingan (W1) dan segera setelah induk babi selesai beranak (W2). Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 ekor babibunting yang tercatat tanggal pengawinannya. Tanaman bangun-bangun yang digunakan dalam penelitian diangin-anginkan terlebih dahulu, kemudian ditimbang dan dikeringkan dirumah kaca dan dilanjutkan dengan oven pada suhu 600C sampai kering. Tanaman bangun-bangun yang telah dikeringkan kemudian dihaluskan dengan menggunakan grinder, lalu diayak dengan ayakan ukuran 50 mesh dan hasilnya adalah tepung tanaman bangun-bangun (TTB). Parameter yang diukur adalah konsumsi ransum harian induk dan anak babi, lama bunting dan lama proses melahirkan anak babi, bobot dan litter size lahir, mati lahir, produksi air susu induk (PASI) babi dan penurunan bobot badan induk babi, interval waktu antara penyapihan hingga birahi kembali, siklus reproduksi, frekuensi beranak, pertambahan bobot badan anak babi, bobot dan litter size sapih, mortalitas prasapih dan umur penyapihan anak babi. Data yang diperoleh diolah dengan metode General Linear Model menggunakan program SAS 9. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa ransum penelitian sudah memenuhi persyaratan SNI (2006a) untuk menjadi ransum induk babi menyusui. Hal ini dicirikan oleh nutrisi induk babi laktasi berdasarkan SNI (2006a) untuk abu, lemak dan serat kasar masing-masing maksimum 8, 8 dan 7%, sedangkan kandungan protein minimum 15%. Daya cerna protein ransum oleh induk babi dengan ransum R1 (5.41 %) adalah yang paling tinggi dan sebaliknya ransum R0
(3.87 %) adalah yang paling rendah. Daya cerna lemak yang tertinggi adalah pada ransum R1 (2.84 %) dan yang paling rendah adalah pada ransum R0 (2.15 %). Peningkatan penggunaan lemak dan protein ransum lebih tinggi dengan penambahan TTB daripada tanpa penambahan dalam ransum induk babi. Hasil perhitungan memperlihatkan konsumsi TTB oleh induk babi yang diberikan pada W1 untuk R0, R1, R2 dan R3 masing-masing adalah 0, 0.05, 0.10 dan 0.15 kg/e/h hingga sebelum beranak. Interaksi antara taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberian pada induk babi secara umum tidak berpengaruh pada konsumsi ransum harian (KRH) induk babi tetapi berpengaruh nyata (P<0.05) pada hari ke-10 laktasi. Penambahan TTB dalam ransum induk babi pada W1 nyata (P<0.05) menurunkan KRH induk babi tetapi sebaliknya terjadi peningkatan KRH dengan penambahan TTB dalam ransum yang diberikan pada W2. Lama bunting dan lama proses lahir anak babi pada W1 sedikit lebih singkat daripada W2. Hal ini mungkin terkait dengan senyawa aktif yang terkandung dalam TTB (Lawrence et al. 2005) kemungkinan bertanggungjawab terhadap stimulasi hormon oksitoksin dimana hormon tersebut akan membantu mempercepat proses kelahiran pada anak babi. Proses lahir anak babi berkorelasi dengan jumlah litter size lahir hidup. Rataan litter size lahir hidup adalah 10.04 ± 3.11 ekor dan jumlah anak babi mati lahir selama penelitian 0.62 ± 0.77 ekor/litter atau 6.86 %. Penambahan TTB dalam ransum induk nyata (P<0.05) menurunkan jumlah anak babi mati lahir. Jumlah anak babi mati lahir dengan ransum R3 (0.16 ± 0.41 e/litter) adalah yang paling rendah dengan perlakuan R3W2 tidak ada anak babi lahir mati. Persentase mati lahir pada perlakuan R2W1 adalah yang paling rendah tetapi sebaliknya litter size lahir hidup pada perlakuan ini adalah yang paling tinggi. Bobot lahir per litter dan per ekor masing-masing adalah 15.12 ± 3.83 kg/litter dan 1.52 ± 0.18 kg/ekor. Bobot lahir per litter pada W1 (15.11 kg/litter) lebih rendah daripada W2 (15.33 kg/litter), tetapi sebaliknya bobot lahir per ekor pada W1 (1.56 kg/ekor) lebih tinggi daripada W2 (1.49 kg/ekor). Persentase mortalitas prasapih adalah 9.35 ± 12.35% dari litter size lahir hidup (10.04 ± 3.11 ekor). Persentase mortalitas anak babi prasapih pada induk yang diberi ransum perlakuan W1 (6.67%) lebih rendah daripada W2 (12.4%). Hal ini disebabkan induk babi yang mendapatkan ransum dengan penambahan TTB lebih awal memiliki mothering ability yang lebih baik. Senyawa aktif yang terkandung didalam bangun-bangun dapat menstimulus hormon progesteron sehingga akan memperbaiki sifat keindukan babi. Produksi air susu induk (PASI) babi memperlihatkan perbedaan yang nyata (P<0.05) sepanjang laktasi. Produksi air susu induk babi per hari dan per menyusui tertinggi adalah dengan perlakuan R1W2(7.52 ± 0.60 kg/litter/h dan 376 g/litter/menyusui). Secara hormonal 3-ethyl-3- hydroxy-5-alphaandostran-17one akan direspon lebih cepat oleh ovarium untuk menghasilkan prolaktin jika diberikan pada W2. Penurunan bobot badan induk babi yang diberi ransum perlakuan pada W1 (23.74 ± 21.29 kg/ekor) lebih besar daripada W2 (18.07 ± 16.18 kg/ekor) dan hal ini sejalan dengan KRH dan PASI babi. Rataan penurunan bobot badan induk babi selama menyusui adalah 20.90 ± 18.83 kg/ekor. Perbedaan penurunan bobot badan induk babi akan mempengaruhi masa pemulihan bobot badan induk kembali termasuk timbulnya birahi kembali setelah menyapih anaknya. Interval waktu dari penyapihan hingga birahi kembali oleh
induk babi yang diberi ransum perlakuan pada W2 (4.00 ± 0.00 hari) nyata (P<0.05) lebih singkat daripada W1 (4.91 ± 1.30 hari). Perbedaan interval waktu dari penyapihan hingga birahi kembali tidak berpengaruh terhadap siklus reproduksi dan frekuensi induk babi beranak per tahun. Rataan siklus reproduksi dan frekuensi induk babi beranak per tahun masing-masing adalah 145.52 ± 2.04 hari dan 2.50 ± 0.03 kali/tahun. Anak babi diberi ransum setiap hari sejak hari ke-10 menyusu. Rataan konsumsi ransum harian (KRH) anak babi per litterdan per ekor masing–masing adalah 34.5 ± 11.5 g/litter/h dan 4.03 ± 1.64 g/e/h. Konsumsi ransum harian perlakuan R0W1 (50.00 g/litter/h) adalah yang tertinggi dan perlakuan R0W2 (22.83 g/litter/h) adalah yang terendah. Hal ini terjadi karena perbedaan litter size anak babi pada perlakuan tersebut. Konsumsi ransum harian per ekor anak babi terlihat tidak ada perbedaan dan sebaliknya perlakuan berpengaruh nyata (P<0.05) pada konsumsi ransum harian per litter. Pertambahan bobot badan (PBB) anak babi per litter dan per ekor hingga hari ke-20 laktasi masing-masing adalah 28.23 ± 8.18 kg/litter dan 3.08 ± 0.66 kg/ekor. Perlakuan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap PBB dan pertumbuhan anak babi pada hari ke-15 menyusu. Pertambahan bobot badan anak babi hingga hari ke-20 menyusu pada R2W1 (36.40 ± 10.21 kg/litter) adalah yang tertinggi. Faktor yang turut memacu pertumbuhan anak babi adalah Growth Hormone (GH) yang diduga komponen tersebut juga meningkat dalam air susu yang dihasilkan induk babi yang mendapat ransum dengan penambahan TTB. Rataan bobot sapih per litter dan per ekor dalam penelitian ini masingmasing adalah 55.72 ± 13.63 kg/litter dan 6.22 ± 0.73 kg/ekor yang dicapai pada umur 26.79 ± 2.30 hari penyapihan. Perlakuan tidak berpegaruh nyata baik terhadap bobot sapih per litter maupun per ekor anak babi. Rataan litter size sapih pada penelitian ini adalah 8.95 ± 2.40 ekor. Interaksi antara taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberiannya pada induk babi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap litter size sapih anak babi. Litter size sapih tertinggi adalah pada perlakuan R2W1 (11.33 ± 1.15 ekor) dan nyata (P<0.05) lebih tinggi daripada perlakuan R0W2 (6.67 ± 1.53 ekor) dengan litter size terendah. Penambahan TTB dalam ransum pada taraf 5% (R2) yang diberi pada kebuntingan hari ke-107 (W1) atau perlakuan R2W1 menghasilkan penampilan reproduksi induk dan anak babi yang terbaik. Kata kunci: tepung tanaman bangun-bangun, ransum, reproduksi induk babi, penampilan anak babi
©Hak Cipta milik IPB. Tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya. i) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. ii) Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun, tanpa izin IPB.
PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG TANAMAN BANGUNBANGUN (Coleus amboinicus Lour) DALAM RANSUM TERHADAP PENAMPILAN REPRODUKSI INDUK DAN ANAK BABI MENYUSU
PARSAORAN SILALAHI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Kartiarso M.Sc.
Judul Tesis
:
Pengaruh Penambahan Tepung Tanaman Bangun-Bangun (Coleus amboinicus Lour) dalam Ransum terhadap Penampilan Reproduksi Induk dan Anak Babi Menyusu
Nama
:
Parsaoran Silalahi
NIM
:
D151080131
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS. Ketua
Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Rarah Ratih A Maheswari, DEA
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 6 April 2011
Tanggal Lulus :
PRAKATA Tanaman bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan salah satu tanaman yang dapat dijadikan sebagai ramuan tradisional di Indonesia. Tanaman bangun-bangun tidak hanya mempunyai efek laktogogum tetapi juga bersifat antibakterial jika dikonsumsi oleh ternak yang bunting dan menyusu. Pemberian tepung tanaman bangun-bangun (TTB) dalam ransum diharapkan mampu meningkatkan produksi air susu induk babi. Tingginya produksi air susu induk babi dapat meningkatkan daya tahan dan pertambahan bobot badan anak babi menyusu. Hal inilah yang mendorong Penulis untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh Penambahan Tepung Tanaman Bangun-Bangun (Coleus amboinicus Lour) dalam Ransum terhadap Penampilan Reproduksi Induk dan Anak Babi Menyusu. Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya hingga Penulis telah menyelesaikan penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Tepung Tanaman Bangun-Bangun (Coleus amboinicus Lour) dalam Ransum terhadap Penampilan Reproduksi Induk dan Anak Babi Menyusu. Penelitian ini telah dilaksanakan sejak Januari hingga September 2010. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS dan Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi, M.Sc selaku komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan arahan serta bimbingan kepada Penulis dalam menyusun tesis ini. Ucapan terimakasih juga Penulis sampaikan kepada Rektor IPB, Dekan Pascasarjana IPB, Dekan Fapet IPB dan seluruh Staf Dosen Fapet IPB, atas kesempatan yang diberikan kepada Penulis untuk studi di IPB. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada pimpinan dan pegawai Peternakan Babi CV. Adhi Farm yang telah memberikan tempat untuk melakukan penelitian lapangan dan bantuan pikiran dan tenaga yang diberikan selama melakukan penelitian di kandang. Kepada Dina Tri Maria juga Penulis ucapkan terimakasih atas bantuan moral dan semangatnya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Ungkapan terimakasih juga Penulis sampaikan kepada ibu Hotnida Siregar, MSi, Dr Asnath MF, Yuni CE, S.Pt, Winarno, Ani dan Vivi di Laboratorium Non-Ruminansia dan Satwa Harapan tempat Penulis bekerja.
Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Tanoto Foundation dan kepada Otorita Asahan
yang memberikan beasiswa S2. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada teman-teman mahasiswa Pascasarjana IPTP 2008, yang membantu secara moril dan dorongan melakukan penelitian ini. Dengan segala hormat dan kasih Penulis, karya ini dipersembahkan untuk kedua orangtua saya A. Silalahi dan T. Gultom di Samosir dan abang dan kakak saya Parulian dan Hotmaida serta adik-adik, Rotua, Asti dan Donna Silalahi. Terimakasih juga Penulis ucapkan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan yang diberikan. Semoga penelitian ini bermanfaat dengan baik.
Bogor, Juli 2011
Parsaoran Silalahi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 20 Agustus 1982 di Porsea, Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Penulis adalah anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan Aspen Silalahi dan Theresia Gultom. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1995 di SD Inpres, Tanah Lapang, Porsea, pendidikan lanjutan tingkat pertama pada tahun 1998 di SLTP Negeri 2 Porsea, lanjutan tingkat atas di SMU Negeri 1 Porsea pada tahun 2001, dan pada tahun yang sama Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB, melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun 2008 Penulis melanjutkan Magister Sains di Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh Magister Sains Penulis menerima Beasiswa dari Tanoto Foundation dan Otorita Asahan. Penulis juga menjadi Asisten Dosen untuk mata kuliah Manajemen Ternak Babi dan Kuda, di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fapet IPB hingga saat ini.
xvii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................
xvii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xix
DAFTAR LAMPIRAN ………………….………………………………..
xx
1. PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1. Latar Belakang ............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ....................................................................
2
1.3. Tujuan .........................................................................................
2
1.4. Manfaat ......................................................................................
3
2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
5
2.1. Sifat Botani Bangun-bangun ......................................................
5
2.2. Kandungan Nutrisi dan Senyawa Aktif Bangun-bangun .……..
7
2.3. Manfaat Bangun-bangun bagi Manusia dan Ternak ..................
10
2.4. Pengelolaan Ternak Babi ...........................................................
12
2.4.1.
Konsumsi Ransum ....................................................
12
2.4.2.
Pemberian Ransum Selama Masa Laktasi …...….....
15
2.4.3.
Litter Size Lahir ……………………………….…...
17
2.4.4.
Pertambahan Bobot Badan Anak Babi ....................
18
2.4.5.
Penyapihan …..………………………….…………
19
2.4.6.
Fase Siklus Birahi …….………………….………...
21
2.4.7.
Jarak Waktu Antara Penyapihan hingga Birahi Kembali ……............................................................
23
2.5. Fisiologi Reproduksi dan Laktasi...............................................
25
2.5.1.
Hormon yang Berperan dalam Reproduksi ….……
25
2.5.2.
Persiapan Laktasi ……………………….………….
29
2.5.3.
Produksi Air Susu Induk Babi ……..….…………...
30
2.5.4.
Mekanisme Bangun-bangun dalam Meningkatkan Produksi Air Susu ....................................................
31
Proses Induk Babi Beranak ..……………………….
32
2.5.5.
xviii
3. MATERI DAN METODE …..............................................................
35
3.1. Lokasi dan Waktu .....................................................................
35
3.2. Materi dan Peralatan……………..............................................
35
3.3. Pembuatan Tepung Tanaman Bangun-bangun .........................
35
3.4. Protokol Penelitian ....................................................................
36
3.5. Ransum Penelitian .....................................................................
38
3.6. Analisis Proksimat ....................................................................
39
3.7. Peubah yang Diamati Selama Penelitian..................................
39
3.7.1.
Peubah Penampilan Reproduksi Induk ...................
39
3.7.2.
Peubah Penampilan Anak Babi Menyusu ...............
42
3.8. Rancangan Percobaan …………...............................................
42
3.9. Analisis Data..............................................................................
43
4. HASIL DAN PEMBAHASAN …………..…………………………
45
4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ………………………..…..
45
4.2. Keadaan Iklim dalam Kandang Selama Penelitian …………...
45
4.3. Kandang Induk Babi Bunting dan Beranak ……...………......
47
4.4. Manajemen Induk Babi Bunting dan Menyusui …...………...
47
4.5. Komposisi Nutrisi Ransum .......................................................
48
4.6. Pengaruh Perlakuan terhadap Penampilan Reproduksi Induk Babi ........................................................................................... 4.6.1.
Konsumsi Ransum Harian Induk Babi ...................
50 50
4.6.2.
Lama Bunting ……….........................………….....
53
4.6.3.
Waktu dan Lama Lahir Anak Babi .........................
55
4.6.4.
Litter Size Lahir ……...……………………………
58
4.6.5.
Anak Babi Mati Lahir ............................................
59
4.6.6.
Bobot Lahir Anak Babi …………………………...
61
4.6.7.
Produksi Air Susu Induk Babi ……………………
63
4.6.8.
Penurunan Bobot Badan Induk Babi Menyusui .....
70
4.6.9.
Interval Waktu Penyapihan hingga Induk Babi Birahi Kembali ……………………………………
72
xix
4.6.10.
Siklus Reproduksi dan Frekuensi Induk Babi Beranak per Tahun ……………………….…...…..
4.7. Pengaruh Perlakuan terhadap Penampilan Anak Babi Menyusu ....................................................................................
74
4.7.1.
Konsumsi Ransum Harian Anak Babi ....................
75 75
4.7.2.
Pertambahan Bobot Badan Anak Babi ...................
79
4.7.3.
Bobot Sapih ………………………………………
86
4.7.4.
Mortalitas Prasapih ………………………………
88
4.7.5.
Litter Size Sapih ……………………….…………
91
4.7.6.
Umur Sapih ………………………………………
93
KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................
95
5.1. Kesimpulan …………………………………………………...
95
5.2. Saran ………………………………………………………….
95
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
97
LAMPIRAN……………………………………………………….............
107
5.
xx
DAFTAR TABEL Halaman 1
Beberapa Variasi Nama Coleus amboinicus Lour …………….....
6
2
Komponen Utama dan Proporsinya dalam Daun Bangun– bangun (Coleus amboinicus Lour) ……………………………….
7
Beberapa Senyawa Penting dalam Daun Bangun–bangun (Coleus amboinicus Lour ) dan Efek Farmakologisnya………….
8
4
Komposisi Zat Gizi Bangun-bangun ………….……....................
9
5
Efek Pemberian Jumlah Ransum yang Berbeda terhadap Performans Reproduksi Induk Babi ……………………………...
13
Pengaruh Jumlah Konsumsi Ransum selama Bunting terhadap Jumlah Ransum yang Dikonsumsi Selama Laktasi ……………...
14
Pengaruh Konsumsi Ransum terhadap Produksi Air Susu selama 21 Hari Masa Laktasi ……………….……………………………
14
8
Perkiraan Kebutuhan Ransum Induk Babi Laktasi ………………
16
9
Waktu dan Penyebab Kematian Anak Babi yang Baru Lahir …...
18
10
Rataan Pertumbuhan Bobot Badan dan Efisiensi Penggunaan Makanan Anak Babi dari Bobot 18-90 kg dengan Bobot Sapih yang Berbeda …………………………………………………….
20
Hubungan antara Lama Proses Kelahiran dengan Kejadian MatiLahir …………………………...………………….........………...
33
12
Protokol Penelitian ……………………………………………….
37
13
Komposisi Bahan Makanan Penyusun Ransum Penelitian ...........
38
14
Kandungan Nutrisi Bahan Makanan Penyusun Ransum ...............
39
15
Skema Perlakuan ............................................................................
43
16
Hasil Analisa Proksimat TTB, Ransum dan Daya cerna ...............
49
17
Konsumsi Ransum Harian Induk Babi ..........................................
50
18
Konsumsi Ransum Harian Induk Babi setiap Lima Hari Pengukuran.....................................................................................
50
3
6 7
11
xxi
19
Pengaruh Perlakuan terhadap Lama Bunting..................................
54
20
Pengaruh Perlakuan terhadap Lama Waktu Induk Babi Beranak ..
56
21
Pengaruh Perlakuan terhadap Litter Size Lahir Total dan Hidup…………………………………………………………….
58
22
Pengaruh Perlakuan terhadap Anak Babi Mati Lahir ……………
60
23
Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Lahir per Litter dan per Ekor………………………………………………………………
62
Frekuensi Induk Babi Menyusui, Produksi Air Susu Induk Babi per Menyusui dan per Hari .……………………………………..
65
Produksi Air Susu Induk Babi per Hari dan per Menyusui Pada Hari Ke-10 Laktasi………………………………………………..
69
Pengaruh Perlakuan terhadap Penurunan Bobot Badan Induk Babi.................................................................................................
70
Pengaruh Perlakuan terhadap Interval Waktu Induk Babi Birahi Kembali Setelah Penyapihan ………………………………….....
72
Pengaruh Perlakuan terhadap Satu Siklus Reproduksi dan Frekuensi Beranak per Tahun……………………………………
74
29
Komposisi dan Kualitas Ransum Anak Babi …………………….
76
30
Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum Harian Anak Babi Menyusu...............................................................…......……
77
Pertambahan Bobot Badan Anak Babi hingga Hari Ke-20 Menyusu …………………………………………………………
79
32
Pertumbuhan Anak Babi hingga Hari Ke-20 Menyusu ................
81
33
Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Bobot Badan Anak Babi hingga Disapih ………………………………..……………
83
Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Sapih per Litter dan per Ekor Anak Babi........................................………………………..
86
35
Pengaruh Perlakuan terhadap Mortalitas Anak Babi Prasapih …
88
36
Pengaruh Perlakuan terhadap Litter Size Sapih .............................
91
37
Pengaruh Perlakuan terhadap Umur Sapih ………………………
93
24 25 26 27 28
31
34
xxii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Tanaman Bangun-bangun ..............................................................
5
2
Siklus Birahi Pada Babi .................................................................
21
3
Perubahan Hormon Reproduksi selama Siklus Estrus ..................
22
4
Mekanisme Kerja Hormon Reproduksi .........................................
26
5
Struktur Ambing ............................................................................
29
6
Keadaan Iklim selama Penelitian ……………………………....
46
7
Kandang Induk Babi Bunting ……………………………………
47
8
Kandang Induk Babi Beranak …………..…………………….....
47
9
Grafik Konsumsi Ransum Harian Induk Babi per Lima Hari........
52
10
Rataan Paritas Induk Babi Penelitian ……………………………
55
11
Induk Babi Beranak Berdasarkan Waktu ………………………..
56
12
Bobot Lahir Anak Babi (a) per Litter dan (b) per Ekor.................
64
13
PASI Babi Berdasarkan Waktu Pemberian TTB ………………..
66
14
Produksi Air Susu Induk Babi (a) per Menyusui dan (b) per Hari
68
15
Interval Waktu antara Penyapihan hingga Birahi Kembali ........
73
16
Konsumsi Ransum Harian Anak Babi Menyusu ..........................
78
17
Pertambahan Bobot Badan Anak Babi Menyusu ……………….
80
18
Grafik Pertumbuhan Anak Babi Menyusu ....................................
83
19
Persentase Mortalitas Anak Babi Prasapih ……………………....
90
20
Litter Size Sapih ............................................................................
92
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Konsumsi Total Induk Hari Ke-1-20 Laktasi ………………..……..
107
2
General Linear Model Konsumsi Total Induk Babi Hari Ke-1-20 Laktasi ………………………………………………………………
107
3
Konsumsi Ransum Harian Induk Babi Hari Ke1-5 Laktasi ..............
107
4
General Linear Model KRH Induk Babi Hari Ke-1-5 Laktasi …….
108
5
Konsumsi Ransum Harian Induk Babi Hari Ke 6-10 Laktasi ..........
108
6
General Linear Model KRH Induk Babi Hari Ke 6-10 Laktasi …...
108
7
Konsumsi Ransum Harian Induk Babi Hari Ke 11-15 Laktasi .........
109
8
General Linear Model KRH Induk Babi Hari Ke 11-15 Laktasi ….
109
9
Konsumsi Ransum Harian Induk Babi Hari Ke 16-20 Laktasi ........
110
10
General Linear Model KRH Induk Babi Hari Ke 16-20 Laktasi ….
110
11
Lama Bunting Induk Babi Penelitian ……………………………….
110
12
General Linear Model Lama Bunting Induk Babi Penelitian ……...
111
13
Rataan Lama Lahir Anak Babi ..........................................................
111
14
General Linear Model Rataan Lama Lahir Anak Babi …………….
111
15
Total Lama Lahir Anak Babi ……………………………………….
112
16
General Linear Model Total Lama Lahir Anak Babi ……………...
112
17
Litter Size Lahir Total ………………………………………………
112
18
General Linear Model Litter Size Lahir Total ……………………..
113
19
Litter Size Lahir Hidup ……………………………………………..
113
20
General Linear model Litter Size Lahir Hidup …………………….
113
21
Persentase Mati Lahir ........................................................................
114
xxiv
22
General Linear Model Persentase Mati Lahir ……………………..
114
23
Jumlah Mati Lahir ..............................................................................
114
24
General Linear Model Jumlah Mati Lahir …………………………
115
25
Bobot Lahir per Litter........................................................................
115
26
General Linear Model Bobot Lahir per Litter ……………………..
115
27
Bobot Lahir per Ekor .........................................................................
116
28
General Linear Model Bobot Lahir per Ekor ……………………...
116
29
Produksi Air Susu Induk Babiper Hari .............................................
116
30
General Linear Model PASI Babi per Hari ………………………..
117
31
Produksi Air Susu Induk Babiper Menyusu ....................................
117
32
General Linear Model PASI Babi per Menyusu …………………..
118
33
Produksi Air Susu Induk Babi per Hari Hari ke-10 .........................
118
34
General Linear Model PASI Babi per Hari Hari ke-10 ……………
119
35
Produksi Air Susu Induk Babi per Menyusui Hari ke-10 .................
119
36
General Linear Model PASI Babi per Menyusui Hari ke-10 …...…
120
37
Konsumsi Ransum Harian Anak per Litter.......................................
120
38
General Linear Model KRH Anak per Litter ………………………
121
39
Konsumsi Ransum Harian Anak per Ekor ........................................
121
40
General Linear Model KRH Anak per Ekor .....................................
122
41
Konsumsi Ransum Harian Anak Hari Ke-15 Laktasi ........................
122
42
General Linear Model KRH Anak Hari Ke-15 Laktasi ……………
122
43
Konsumsi Ransum Harian Anak Hari Ke-20 Laktasi ........................
123
44
General Linear Model KRH Anak Hari Ke-20 Laktasi ……………
123
45
Pertambahan Bobot Badan Anak per litter hingga Hari Ke-20 ........
123
xxv
46
General Linear Model Pertambahan Bobot Badan Anak per Litter hingga Hari Ke-20 ………………………………………….……...
124
47
Pertumbuhan Bobot Badan Anak per Ekor hingga Hari Ke-20 .......
124
48
General Linear Model Pertumbuhan Bobot Badan Anak per Ekor hingga Hari Ke-20 ………………………………….……………...
125
49
Bobot Badan Anak Babi Hari Ke-5 Laktasi ......................................
125
50
General Linear Model Bobot Badan Anak Babi Hari Ke-5 Laktasi
125
51
Bobot Badan Anak Babi Hari Ke-10 Laktasi ....................................
126
52
General Linear Model Bobot Badan Anak Babi Hari Ke-10 Laktasi
126
53
Bobot Badan Anak Babi Hari Ke-15 Laktasi ....................................
126
54
General Linear Model Bobot Badan Anak Babi Hari Ke-15 Laktasi
127
55
Bobot Badan Anak Babi Hari Ke-20 Laktasi ....................................
127
56
General Linear Model Bobot Badan Anak Babi Hari Ke-20 Laktasi
128
57
Pertambahan Bobot Badan Anak Babi per Litter hingga Disapih ....
128
58
General Linear Model Pertambahan Bobot Badan Anak Babi per Litter hingga Disapih ……………………………………….……...
128
59
Pertambahan Bobot Badan Anak Babi per Ekor hingga Disapih .....
129
60
General Linear Model Pertambahan Bobot Badan Anak Babi per Ekor hingga Disapih ………………………………..……………...
129
61
Bobot Sapih per Litter Anak Babi ………………………………….
130
62
General Linear Model Bobot Sapih per Litter Anak Babi …………
130
63
Bobot Sapih per Ekor Anak Babi ......................................................
130
64
General Linear Model Bobot Sapih per Ekor Anak Babi ………….
131
65
Persentase Mortalitas Prasapih ……………………………………..
131
66
General Linear Model Persentase Mortalitas prasapih …….………
131
xxvi
67
Jumlah Mortalitas Anak Babi Penelitian …………………………...
132
68
General Linear Model Jumlah Mortalitas Anak Babi Penelitian .…
132
69
Litter Size Sapih Anak Babi …………………………..…………….
132
70
General Linear Model Litter Size Sapih Anak Babi …….…………
133
71
Umur Sapih Anak Babi …………………………….……………….
133
72
General Linear Model Umur Sapih Anak Babi ……………………
134
73
Penurunan Bobot Badan Induk Babi .................................................
134
74
General Linear Model Penurunan Bobot Badan Induk babi ……….
134
75
Interval Birahi Kembali setelah Penyapihan .....................................
135
76
General Linear Model Interval Birahi Kembali setelah Penyapihan
135
77
Satu Siklus Reproduksi Induk Babi ………………………………...
136
78
General Linear Model Satu Siklus Reproduksi Induk Babi ……….
136
79
Frekuensi Beranak per TahunInduk Babi …………….……………
136
80
General Linear Model Frekuensi Beranak per Tahun Induk Babi ...
136
81
Quixalud …………………………………………………………….
137
82
Growbig Max ……………………………………………………….
137
83
Hidro Rex Vital Aminoacids (oral) ………………………………...
138
84
Shotapen LA ………………………………………………………..
139
85
Penstrep Antibiotik …………………………………………………
139
86
Supervam Solution …………………………………………………
139
87
Vet B-12 ……………………………………………………………
139
88
Dufadex ….. ……………………………………………………….
139
89
Demitox …………………………………………………………….
140
90
CYC 100 ……………………………………………………………
140
xxvii
91
Zinc Oxide ………………………………………………………….
140
92
Mistral ………………………………………………………………
140
93
Blue Spray ………………………………………………………….
140
94
Tay Pin San …………………………………………………………
141
95
Hi-G ………………………………………………………………...
141
96
Komposisi Additif/Ton Ransum ………………………………….
142
97
Komposisi Antibiotik/Ton Ransum ………………………………...
142
98
Peta Desa Sepreh …………………………………………………...
143
99
Denah Kandang CV Adhi Farm …………………………………….
144
100
Hasil Analisa Proksimat …………………………………………….
145
101
Hasil Identifikasi/Determinasi Tumbuhan ………………………….
146
1 1. 1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penggunaan ramuan tradisional di Indonesia telah lama dikenal sejak
ratusan tahun yang lalu. Kenyataan sekarang menunjukkan bahwa penggunaan ramuan tradisional semakin berkembang. Hal ini terbukti dengan semakin banyaknya perusahaan-perusahaan yang mengkhususkan pembuatan produk ramuan berbahan dasar tanam-tanaman herbal yang ada di Indonesia. Ramuan tradisional banyak digunakan untuk pemeliharaan kesehatan, kecantikan dan alternatif
pengobatan
penyakit-penyakit
tertentu
kalangan
masyarakat.
Berkembangnya penggunaan ramuan tradisional berkaitan dengan beberapa keuntungan antara lain tanaman yang akan dijadikan ramuan mudah didapat dengan cara pembiakan sederhana, harga relatif murah dan jarang menimbulkan efek samping. Tanaman bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan salah satu tanaman yang dapat dijadikan sebagai ramuan tradisional di Indonesia. Tanaman bangun-bangun ini tumbuh liar di dataran rendah dan tempat lain sampai pada ketinggian 1100 m di atas permukaan laut. Daun bangun-bangun bermanfaat sebagai obat sariawan, batuk rejan, influenza, demam, perut kembung, mulas, sembelit bahkan sebagai anti tumor, anti kanker, anti vertigo dan hipotensif. Menurut tradisi masyarakat Batak di Propinsi Sumatera Utara, daun bangunbangun (Coleus amboinicus Lour) dipercaya mampu meningkatkan produksi air susu ibu yang sedang menyusui (Damanik et al. 2001). Hasil pengamatan pada anak tikus yang sedang menyusu dengan pemberian 5% tepung daun bangun-bangun dalam ransum induknya dapat meningkatkan bobot sapih (Hutajulu 2008). Pemberian 5% tepung daun bangunbangun dalam ransum induk mencit (Mus musculus) yang pemberiannya dimulai pada hari ke-14 umur kebuntingan dapat meningkatkan produksi air susu induk (Wening 2007). Pemberian tepung daun bangun-bangun sebelum dan sesudah beranak didalam ransum induk babi hingga pada taraf 3.5% sudah pernah dilakukan, tetapi belum memberi pengaruh terhadap penampilan reproduksi induk dan anak babi menyusu (Agus 2009, Sibuea 2009 dan Hutapea 2009). Bangun-
2 bangun telah diketahui dapat meningkatkan konsumsi ransum, pertumbuhan bobot badan dan efisiensi penggunaan makanan pada ternak babi fase bertumbuh. Daun bangun-bangun juga meningkatkan persentase kebuntingan pada mencit. Tepung tanaman bangun-bangun tidak hanya berperan sebagai antibakteri, membantu pencernaan dan meningkatkan nafsu makan (Gunter & Bossow 1998), tetapi juga meningkatkan
pertumbuhan dan penampilan reproduksi ternak (Khajarern &
Khajarern 2002). 1.2.
Perumusan Masalah Data dari berbagai penelitian menunjukkan, bahwa sekitar 20-25% dari
anak babi yang lahir mati sebelum disapih. Diketahui bahwa penyebab kematian anak babi yang menonjol adalah 1) mati lahir, 2) akibat lemah dan kelaparan, 3) tertindih atau terjepit oleh induk dan 4) penyakit (Sihombing 2006). Saat yang paling berbahaya bagi anak babi yang baru lahir adalah selama tiga hari pertama setelah lahir. Kebanyakan anak babi dengan bobot lahir kecil tidak dapat memperoleh cukup
air susu setelah lahir, yang sering disebabkan oleh
ketidaksanggupan mencapai ambing induk, karena persediaan energi dalam tubuhnya yang terbatas sudah dihabiskan. Produksi air susu induk babi yang banyak sangat diperlukan pada masa awal laktasi sehingga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi anak babi. Tanaman bangun-bangun tidak hanya mempunyai efek laktogogum, tetapi juga bersifat antibakterial jika dikonsumsi oleh ternak yang sedang menyusui. Sifat antibakteri ini sangat diharapkan berperan saat induk babi beranak yang akan mengurangi MMA atau mastitis, metritis dan agalatica (Amrik & Bilkey 2004). Pemberian daun bangun-bangun dalam ransum diharapkan mampu meningkatkan produksi air susu induk babi. Tingginya produksi air susu induk dapat meningkatkan daya tahan dan pertambahan bobot badan anak babi. Hal ini tentu sangat tergantung pada makanan yang dikonsumsi. 1.3.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menentukan taraf
penambahan tepung tanaman bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) di dalam
3 ransum dan waktu pemberiannya pada induk babi yang akan memperbaiki penampilan reproduksi induk dan meningkatkan penampilan anak babi selama masa menyusu. 1.4.
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk kemajuan
dunia peternakan mengenai pengaruh taraf penambahan dalam ransum dan waktu pemberian dari tepung tanaman bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) terhadap penampilan reproduksi induk dan penampilan anak babi. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan rekomendasi dalam pemberian tepung tanaman bangun-bangun bagi peternak. Kematian anak babi yang tinggi saat lahir dan menyusu akan berkurang karena induknya akan menghasilkan air susu yang lebih banyak yang tercermin pada pertumbuhan anak babi yang lebih cepat.
4
5 2. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Sifat Botani Bangun-bangun Bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) dapat dijumpai dihampir semua
daerah di Indonesia dengan nama yang berbeda-beda. Di Jawa Tengah orang sering menyebutnya dengan nama daun jinten, orang Sunda menamakan daun ajeran atau acerang, di Madura disebut daun majha nereng atau daun kambing, sedangkan orang Bali menamai daun iwak. Sementara orang Batak menyebutnya bangun-bangun atau tarbangun (Damanik et al. 2001; Heyne 1987). Sepintas daun bangun-bangun mirip daun jinten namun lebih tipis dan berbulu, sedangkan daun jinten tampilan daun tebal dan berbulu halus sehingga sering disebut daun tebal. Tanaman bangun-bangun yang sering ditemukan dilapangan disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Bangun-bangun (LIPI 2011) Berdasarkan sistematika klasifikasi tanaman (Heyne 1987; USDA 2005), bangun–bangun termasuk dalam : kingdom
: Plantae
sub kingdom : Tracheobionta super divisi
: Spermatophyta
divisi
: Magnoliophyta
sub divisi
: Angiospermae
class
: Dicothyledonae (Magnoliopsida)
sub class
: Asteridae
order
: Solanales
6 family
: Labiatae (Lamiales)
sub family
: Lamiaceae
genus
: Coleus (Plectranthus)
spesies
: Coleus amboinicus Lour.
Tanaman ini memiliki beberapa sinonim nama seperti Coleus aromaticus Benth, Coleus carnosus Hassk, Coleus suborbiculata Zoll dan Mor dan Plectranthus aromaticus Roxb. (Heyne 1987), Coleus suganda Blanco (Depkes 2005) atau Plentranthus amboinicus (Menendez & Gonzales 1999). Di Indonesia dan berbagai negara lain, bangun–bangun dikenal dengan banyak variasi nama, seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Beberapa Variasi Nama Coleus amboinicus Lour Suku di Indonesia1 Batak Madura Sunda Flores Jawa
Nama Bangun-bangun, Torbangun Daun kambing
Negara Lain2 Australia India East Timor Philippines Malaysia
Bali
Acerang Majha nereng Daun jinten, daun hati-hati, daun kucing Iwak
Timor
Kumuetu
Vietnam
Melayu
Sukan
Negara lainnya
1 2
Portugal
Nama Five in one Ajma paan, karpooravalli patharchur, pashanbandha Soldar Suganda Daun bangun-bangun
Oregano, Cuban oregano, Puerto Rican oregano Can day la, Rau cang, Rau thom lun Mother of Herbs, Spanish Thyme, Indian Borage atau Broadleaf Thyme
Heyne (1987), BPPT (2002), Depkes (2005) Iyer (2004), Shipard (2005), Allen (2006)
Hasil penelitian Rumetor (2008) menunjukkan bahwa produksi segar per rumpun tanaman bangun-bangun berkisar 300-350 gram, sedangkan produksi per petak tanam (4 x 7 m) berkisar 20-23 kg. Tanaman bagun-bangun segar memiliki proporsi 27.78% batang dan 72.22% daun. Apabila dikonversikan kedalam produksi segar/ha, maka diperkirakan produksi tanaman bangun-bangun segar yang diperoleh adalah 7.500 kg segar/ha.
7 2.2.
Kandungan Nutrisi dan Senyawa Aktif Bangun-bangun Tanaman bangun-bangun memiliki ciri fisik: batang tidak berkayu, lunak
atau hanya mengandung jaringan kayu sedikit sekali, beruas-ruas dan berbentuk bulat dan diameter pangkal ± 15 mm, tengah 10 mm dan ujung ± 5 mm. Tanaman bangun-bangun jarang berbunga akan tetapi pengembangbiakannya mudah sekali dilakukan dengan stek dan cepat berakar didalam tanah. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di dalam pot (Heyne 1987). Pada keadaan segar, helaian daun tebal, berwarna hijau muda dan kedua permukaan berbulu halus, sangat berdaging dan berair, tulang daun bercabang-cabang dan menonjol. Pada keadaan kering helaian daun tipis dan sangat berkerut, permukaan atas kasar, warna coklat, permukaan bawah berwarna lebih muda daripada permukaan atas dan tulang daun kurang menonjol (BPPT 2002). Tanaman bangun-bangun tumbuh ditempattempat yang tidak terlalu banyak terkena sinar matahari dan di daerah yang cukup air atau tidak terlalu kering (Anonymous 2008). Tanaman bangun-bangun tumbuh liar didaerah pegunungan dan tempat-tempat hingga ketinggian 1100 m diatas permukaan laut (BPPT 2002). Lawrence et al. (2005) melaporkan, bahwa secara umum dalam daun bangun–bangun ditemukan tiga komponen utama yaitu (1) senyawa–senyawa yang bersifat laktogogue (dapat menstimulir produksi kelenjar air susu pada induk laktasi), (2) zat gizi dan (3) senyawa-senyawa farmakoseutika, senyawa tersebut ditunjukkan dalam Tabel 2. Tabel 2 Komponen Utama dan Proporsinya dalam Daun Bangun–bangun (Coleus amboinicus Lour) Komponen Utama Senyawa laktogogue
Zat gizi
Jenis Komponen 3-ethyl-3hydroxy-5-alpa andostran-17-one, 3,4dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid, monomethyl succinate, phenylmalonic acid, cyclopentanol, 2-methyl acetate dan methylpyro glutamate, senyawa sterol, steroid, asam lemak, dan asam organik Protein, vitamin dan mineral
Senyawa Senyawa-senyawa yang bersifat buffer, Farmakoseutika antibakterial, antioksidan, pelumas, pelentur, pewarna dan penstabil Sumber Lawrence et al. (2005)
Proporsi (%) 10-15
5-25 10-30
8 Hasil análisis rendemen ekstrak kering adalah 6.5%, sedangkan hasil análisis kadar minyak atsiri daun bangun-bangun segar adalah 0.031% (Hutajulu 2008). Komponen atsiri terdiri atas bahan aktif thymol, forskholin dan carvacrol. Analisis Coleus amboinicus Lour menggunakan GC dan GC-MS di Laboratorium Department of Chemistry Gorakhpur University (2006), menunjukkan adanya senyawa penting yang berperan aktif dalam metabolisme sel dan merangsang produksi susu, senyawa yang dimaksud adalah thymol (94.3%), forskholin (1.5%) dan carvacrol (1.2%) dari 97% total kandungan asam lemak. Thymol merupakan antibiotik alternatif yang menjanjikan dan dapat digunakan untuk ternak tanpa memberikan efek negatif terhadap daging atau susu yang diproduksi (Acamovic & Brooker 2005). Namun penggunaan thymol pada dosis tinggi dapat mengurangi jumlah bakteri koliform dalam digesta ayam (Cross et al. 2007), mengurangi fermentasi oleh mikroorganisme dalam saluran pencernaan ayam dan mengurangi kecepatan deaminasi asam amino dan degradasi protein oleh mikroba (Castillejos et al. 2006). Senyawa penting lain yang memiliki khasiat farmakologi juga dilaporkan oleh Menendez dan Gonzales (1999), Burfield (2001), Depkes (2005) seperti tertera pada Tabel 3. Tabel 3 Beberapa Senyawa Penting dalam Daun Bangun–bangun (Coleus amboinicus Lour ) dan Efek Farmakologisnya
1)
Senyawa Aktif
Efek Farmakologis
Komposisi (%)
1,8-Cineole1
Efektif pada alergi, expectorat
8.72
p-Cyminene (a-pdimethyI styrene)2)
Analgesik, anti flu
45.7
P-Cymene2) a-Terpinene2) y-Terpinene2) Liminene2) Phytosterol3)
Analgesik, anti flu Antioksidan Antioksidan Anti bakterial, anti kanker Bersifat steroid
11.8 4.6 9.3 3.6 -
Menendez dan Gonzales (1999), 2)Burfield (2001), 3)Depkes (2005)
Senyawa carvacrol dikenal sebagai senyawa antiinfeksi dan antiinflamasi (Burfield 2001), tetapi dari penelitian Isley et al. (2004) terungkap, bahwa penggunaan carvacrol dalam suatu campuran ekstrak tanaman sebagai suplemen
9 dalam ransum babi laktasi menghasilkan litter size, bobot lahir, kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik dan kecernaan protein lebih tinggi dibanding induk babi laktasi yang diberi ransum tanpa suplementasi. Sahelian (2006), melaporkan bahwa senyawa forskholin bersifat membakar lemak menjadi energi. Disamping senyawa diatas yang diketahui memiliki efek farmakolgi, terdapat juga beberapa zat gizi dari bangun-bangun yang telah banyak dilaporkan. Data selengkapnya tentang komposisi zat gizi tanaman bangun-bangun tercantum pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi Zat Gizi Bangun-bangun Komposisi Zat Gizi Energi (kkal/kg) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Kalsium (%) K (mg/100g) Besi (mg/100g) Zn (ppm) Vitamin A (IU/100g) Vitamin C (mg/100g) Air (%)
Daun 359.95 6.2 0.87 81.83 0.226 292.17 3.28 2.14 11335.77 168.41 8.14
Batang 324.73 5.12 0.61 74.69 0.118 165.21 3.95 5.16 ttd ttd 13.46
Ranting 342.17 3.98 0.53 80.37 0.096 119.47 2.01 0.82 ttd ttd 8.04
Sumber: Hutajulu (2008)
Tanaman lain yang memiliki khasiat serupa dengan bangun-bangun sebagai pemacu produksi air susu adalah daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr). Daun bangun-bangun dapat dibandingkan dengan daun katuk karena mempunyai fungsi yang sama. Komposisi zat gizi daun bangun-bangun mengandung lebih banyak kalsium, besi dan karoten total dibandingkan dengan daun katuk (Sauropus androgynus). Khususnya beta karoten dapat meningkatkan produksi protein uterus khusus untuk mendukung pertumbuhan fetus. Beta karoten juga mampu meningkatkan produksi progesteron selama pembentukan korpus luteum (Phuc & Ogle 2005). Santosa dan Hertiani (2005) menyatakan, bahwa dalam daun bangunbangun terkandung minyak atsiri (0.043% pada daun segar atau 0.2% pada daun kering udara). Diketahui bahwa dari 120 kg daun segar terdapat kurang lebih 25ml minyak atsiri yang mengandung fenol (isopropyl-o-tresol). Selain minyak
10 atsiri, Duke (2000) melaporkan, bahwa dalam daun ini terdapat juga kandungan vitamin C, B 1 , B 12 , betakaroten, niasin, carvacrol, kalsium, asam-asam lemak, asam oksalat, dan serat. Analisis flavanoid dari ekstrak daun bangun-bangun oleh Hutajulu (2008) adalah trihidroksi isoflavone (421.75 ppm), kaemferol glikosida (258.27 ppm) dan 2-hidroksi khalkon (140.80 ppm). 2.3.
Manfaat Bangun-bangun bagi Manusia dan Ternak Daun bangun–bangun telah diketahui khasiatnya oleh masyarakat suku
Batak, Damanik et al. (2006) menyatakan, bahwa daun bangun–bangun biasanya digunakan masyarakat suku Batak untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan tubuh, juga untuk meningkatkan jumlah air susu ibu (ASI). Penggunaannya adalah dengan cara dimasak seperti halnya memasak sayuran pada umumnya. Pendapat ini didukung Depkes (2005) yang menyatakan, bahwa daun bangun–bangun memiliki berbagai khasiat seperti mengatasi deman, influenza, batuk, sembelit, radang, kembung, sariawan, sakit kepala, luka/borok, alergi dan diare. Secara ilmiah, khasiat daun bangun–bangun telah dikemukakan oleh beberapa peneliti. Silitonga (1993) melaporkan, bahwa penggunaan daun bangun– bangun dapat meningkatkan produksi air susu induk tikus putih laktasi hingga 30%. Santosa (2001) mendapatkan, bahwa empat jam setelah pemberian daun bangun–bangun volume ASI meningkat sebesar 47.4%. Damanik et al. (2006) melaporkan, bahwa ibu–ibu yang mengkomsumsi daun bangun–bangun berada dalam keadaan segar, tidak merasa lelah dan lebih sehat. Pada ibu melahirkan, komsumsi daun bangun–bangun membantu mengontrol postpartum bleeding (pendarahan setelah beranak) dan berperan sebagai uterine cleansing agent (agen pembersih uterus). Pada ibu menyusui, mengkonsumsi daun bangun–bangun mampu meningkatkan produksi ASI 65% dan hal ini lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol maupun kelompok ibu menyusui yang mengkomsumsi fenugreek capsule (produk komersial) yang hanya meningkatkan 20% produksi ASI. Manfaat lain daun bangun–bangun bila penggunaannya dikombinasikan dengan hati ikan dan vitamin C adalah dapat meningkatkan ketersediaan Fe di tubuh yang direfleksikan dengan peningkatan kadar Hb dan ferritin darah
11 (Sihombing 2000). Subanu et al. (1982) menyatakan, bahwa bangun-bangun memiliki sifat oksitosin yang dapat meningkatkan tonus uterus, sehingga dapat menyebabkan abortus pada marmut. Hal ini diperkirakan dapat pula terjadi pada manusia dan ternak lainnya. Dosis penggunaan tepung tanaman bangun-bangun berkisar 0.25 sampai 10 g/kg bobot badan/hari, dan bervariasi menurut umur dan status fisiologis ibu atau induk ternak (Lawrence et al. 2005). Sampai saat ini belum diketahui benar apa yang menyebabkan abortus. Gleson et al. (1969) yang dikutip oleh Pujiastuti et al. (1986), bahwa batas minimum keamanan zat-zat dengan LD 50 15 g/kg BB oral pada tikus dikatakan “practically non toxic” (zat yang tidak berbahaya). Daun bangun-bangun tidak berbahaya sebab LD 50 sudah diatas 15 g/kg oral pada tikus. Silitonga (1993) melakukan uji LD 50 daun bangun-bangun pada mencit. Hasil yang diperoleh menunjukkan, bahwa LD 50 daun bangun-bangun pada mencit adalah 275.422 mg/kg BB, bila angka ini dikonversi pada tikus adalah 192 g/kg BB. Menurut Duke (2000), senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam daun bangun-bangun berpotensi terhadap bermacam-macam aktivasi biologi, misalnya antioksidan, diuretik analgesik, mencegah kanker, antitumor dan antihipotensif. Daun bangun-bangun dapat dimasak sebagai sayur atau untuk lalapan. Di China, jus daun bangun-bangun diberikan untuk obat batuk anak-anak dengan tambahan gula. Daun ini juga dapat digunakan sebagai obat asma dan bronkhitis (Jain & Lata 1996), penyembuh luka, dibuat sebagai jamu penurun panas, atau langsung dikunyah untuk obat sariawan (Heyne 1987). Daun bangun-bangun mengandung fenol (isopropyl-o-tresol) sehingga dinyatakan sebagai antisepticum yang bernilai tinggi. Minyak atsiri dari daun bangun-bangun selain berdaya antiseptika ternyata mempunyai aktivitas tinggi melawan infeksi cacing (Vasquez et al. 2000). Kandungan senyawa kimia dalam ekstrak air daun bangun-bangun asal Kaliurang mengandung senyawa polifenol, saponin, glikosida flavonol dan minyak atsiri (Santosa 2005). Kandungan zat aktif bangun-bangun antara lain barbatusin, barbatusol (pada daun), koleol, forskholin, dan phytosterol (Schoellhorn 2002). Senyawa forskholin bersifat merombak lemak menjadi energi (Sahelian 2006). Khasiat forskholin antara lain merangsang ereksi dan aktivator enzim adenilat-siklase, sementara phytosterol bersifat steroid
12 (Schoellhorn 2002). Forskholin juga berperan dalam meningkatkan produksi hormon tiroid. Pemberian daun bangun-bangun selama 60 hari berhasil meningkatkan 80% sifat fagositosis sel netrofil terhadap bakteri Sthaphylococcus aureus secara invitro. Peningkatan kemampuan fagositosis sel netrofil terhadap benda asing yang masuk kedalam tubuh akan membantu individu bertahan melawan agen asing bahkan mematikannya, sehingga individu bersangkutan tetap hidup (Santosa 2005). Menurut Damanik et al. (2006), daun bangun-bangun dapat memberikan manfaat kesehatan dan pertumbuhan bayi yang ibunya mengkonsumsi daun bangun-bangun karena daun ini dapat meningkatkan produksi air susu ibu. Peningkatan volume air susu pada induk tikus yang diberi ekstrak daun bangunbangun terjadi karena adanya peningkatan aktivitas kelenjar mammae yang ditandai dengan meningkatnya jumlah DNA kelenjar dan aktivitas RNA di sistem selular kelenjar mammae (Silitonga 1993). Peningkatan kadar DNA dan RNA kelenjar mammae induk tikus terjadi hingga pada pertengahan laktasi, namum penurunannya lebih lambat daripada yang tidak diberi ekstrak bangun-bangun. Dagasawa dan Yanai (1976) melaporkan bahwa RNA dapat dipakai sebagai ukuran kemampuan fungsional suatu jaringan. Dengan kata lain, bahwa aktivitas sintesis sekresi air susu berhubungan erat dengan kadar RNA dalam kelenjar mammae. Daun bangun-bangun mengandung kalium yang berfungsi sebagai pembersih darah, melawan infeksi, mengurangi rasa nyeri dan menimbulkan rasa tenang sehingga sekresi susu menjadi lancar. Menurut Mepham (1987), sapi yang mengalami stres akan membutuhkan tambahan 1% kalium (K) untuk mencegah penurunan sekresi air susu. Defisiensi K menyebabkan hilangnya nafsu makan, penurunan bobot badan dan penurunan PASI. 2.4.
Pengelolaan Ternak Babi
2.4.1. Konsumsi Ransum Konsumsi ransum adalah faktor esensial yang merupakan dasar untuk hidup dan menentukan produksi. Tingkat konsumsi adalah jumlah ransum yang terkonsumsi oleh hewan bila bahan ransum tersebut diberikan ad libitum
13 (Parakkasi 1990). Tingkat konsumsi ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keadaan ternak, bobot badan, ransum yang diberikan, serta beberapa faktor lain seperti temperatur lingkungan dan kesehatan ternak. Parakkasi (1990) juga menyatakan, bahwa semakin besar ukuran ternak menyebabkan konsumsi ternak akan meningkat. Biaya untuk memelihara induk merupakan 1/3 dari seluruh biaya untuk produksi daging babi, sedangkan ransum merupakan ¾ bagian. Ransum demikian penting untuk menentukan penampilan, daya hidup, jumlah anak yang lahir; demikian pula untuk menentukan kualitas anak-anak babi yang disapih. Pemberian ransum induk babi pada umumnya yang dikenal ada dua sistem yaitu self feeding dan hand feeding. Pada sistem self feeding tenaga buruh dapat dikurangi seminimum mungkin, tetapi jumlah konsumsi sulit dikontrol, tetapi sebaliknya dengan yang hand feeding (Parakkasi 1990). Kunci keberhasilan pemberian ransum babi induk dengan cakupan yang panjang yakni selama induk bunting dan selama anak menyusu. Kini telah ada kesepakatan yang umum, bahwa bagi babi induk selama bunting dengan kondisi lingkungan yang bebas dari infestasi parasit yang parah sudah cukup diberi ransum 1.8-2.3 kg/hari dan diberikan per individu. Pemberian ransum yang meningkat selama masa bunting, drastis meningkatkan bobot badan induk tetapi sangat kecil pengaruhnya terhadap bobot anak babi yang baru lahir (Sihombing 2006). Pemberian ransum yang tinggi tidak memperbaiki bobot anak maupun jumlah anak yang lahir, maka demi penghematan biaya ransum, pemberian ransum kepada induk selama bunting harus dibatasi. Tabel 5 menunjukkan pengaruh pemberian jumlah ransum yang berbeda terhadap beberapa peubah performans reproduksi induk babi. Tabel 5 Efek Pemberian Jumlah Ransum yang Berbeda terhadap Performans Reproduksi Induk Babi Peubah
Ransum (kg)
Anak lahir hidup (ekor) Bobot anak lahir (kg)
1.8 10.2 1.5
3.2 9.4 1.6
Banyak anak disapih (kg)
8.9
8.6
Rataan bobot anak sapih (kg)
7.0
7.1
Sumber: Sihombing (2006)
14 Hasil-hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan terbalik antara jumlah ransum yang diberikan selama bunting dengan yang diberikan selama laktasi (Tabel 6). Semakin banyak ransum yang diperoleh selama bunting, maka semakin menurun yang dikonsumsi selama laktasi, hal ini akan kecil artinya bila tidak ada hubungan yang langsung antara jumlah ransum yang diperoleh selama laktasi dengan banyak air susu yang dihasilkan. Tabel 6 Pengaruh Jumlah Komsumsi Ransum selama Bunting terhadap Jumlah Ransum yang Dikonsumsi selama Laktasi Konsumsi ransum selama bunting (kg) Tambahan bobot kebuntingan (kg) Konsumsi ransum laktasi (kg/hari) Perubahan bobot laktasi (kg)
0.9 5.9 4.3 6.1
1.4 3.3 4.3 0.9
1.9 51.2 4.4 -4.4
2.4 62.8 3.9 -7.6
3.0 74.4 3.4 -8.5
Sumber: Sihombing (2006)
Semakin meningkat ransum yang diperoleh, produksi air susu juga meningkat (Tabel 7). Produksi air susu yang tinggi dapat meningkatkan laju pertumbuhan anak menyusu. Memaksimalkan produksi air susu induk babi haruslah membatasi ransum induk selama masa bunting, atau bisa juga dengan cara menambahkan pakan tambahan yang akan meningkatkan kecernaan pakan. Pengaruh konsumsi ransum terhadap produksi air susu induk babi diperlihatkan pada Tabel 7. Tabel 7 Pengaruh Konsumsi Ransum terhadap Produksi Air Susu selama 21 Hari Masa Laktasi Produksi Air Susu (kg) Paritas 1 Paritas 2 Paritas 3
Komsumsi ransum (kg/e/h) 4.5 5.9 5.4 5.5
5.3 5.4 6.0 6.8
6.0 6.7 6.6 7.3
6.8 6.1 6.6 8.0
Sumber: Sihombing (2006)
Ternak yang kehilangan bobot badan selama bunting akan memasuki masa laktasi dengan simpanan lemak tubuh rendah dapat merugikan masa laktasi berikutnya dan interval antara penyapihan hingga birahi kembali dan keberhasilan pengawinan (Sihombing 2006). Menjaga jumlah ransum yang diberikan saat beranak harus diusahakan sama seperti selama bunting agar induk tidak
15 mengalami kelahiran lambat atau induk gelisah yang mengakibatkan mortalitas lahir anak babi yang tinggi. Kualitas ransum pada waktu induk bunting sangat mempengaruhi daya hidup anak-anak babi yang akan lahir. Semakin baik ransum yang diberikan pada waktu bunting semakin baik pula kondisi anak-anak yang akan lahir dan selanjutnya dapat diharapkan lebih banyak dari anak-anak yang lahir tersebut yang akan dapat disapih. Hal ini dapat disebabkan adanya pengaruh sisa atau “residual effect” dari ransum yang baik pada waktu bunting tersebut terhadap fase selanjutnya. Pengaruh sisa yang demikian ini tidak hanya berlaku pada waktu bunting dan menyusui saja, tapi berlaku pula pada fase-fase berikutnya secara berantai (Parakkasi 1990). Pemberian ransum yang berlebihan harus dihindari karena akan membuang-buang ransum (pemborosan ransum yang sia-sia) dan induk akan kegemukan sehingga menyulitkan saat beranak dan akan mengurangi litter size. Pemberian ransum yang kurang dari kebutuhan akan mengurangi kekuatan induk saat proses beranak dan saat anak lahir, mengurangi kemungkinan hidup anak dan induk babi, kapasitas produksi air susu induk akan menurun
sehingga
mempengaruhi daya tahan anak babi setelah dilahirkan (Parakkasi 1990). Kelompok induk babi yang diberi ekstrak tanaman bangun-bangun 1000 ppm menunjukkan kematian dan pengafkiran induk yang lebih rendah selama masa bunting dan laktasi bila dibandingkan dengan kelompok induk babi yang tidak diberi ekstrak tanaman bangun-bangun (Amrik & Bilkei 2004). 2.4.2. Pemberian Ransum Selama Masa Laktasi Bila pada waktu bunting peternak harus membatasi jumlah pemberian ransum, maka pada waktu laktasi program tersebut segera harus dirobah kearah yang lebih bebas. Nilai dari seekor induk antara lain ditentukan oleh banyaknya anak yang dapat disapih dari anak-anak yang dilahirkan dan berat badan anakanak babi selama menyusu sampai disapih. Kesehatan anak-anak babi tersebut banyak dipengaruhi oleh cara pemberian ransum pada induk dan anak-anak babi pada masa menyusu. Produksi air susu induk babi erat hubungannya dengan jumlah anak yang menyusu, maka program pemberian ransum hendaknya berdasarkan jumlah anak juga (Parakkasi 1990).
16 Seekor induk babi saat laktasi dapat menghasilkan sekitar 7.0 kg air susu sehari yang menunjukkan, bahwa kebutuhan zat-zat makanan dalam
ransum
induk laktasi jelas lebih tinggi daripada kebutuhan induk babi bunting. Kebutuhan ransum selama laktasi tergantung dari banyaknya anak yang disusui, sebab semakin banyak anak akan semakin besar perangsang produksi air susu induk. Cara sederhana untuk menghitung kebutuhan ransum babi menyusu adalah 2 kg ransum untuk induk dan 0.5 kg bagi setiap anak. Ransum penguat yang cukup harus diberikan kepada induk bila peternak menghendaki produksi air susu yang cukup untuk menyapih anak babi yang sehat (Sihombing 2006). Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam mempertimbangkan jumlah dan kualitas ransum pada beberapa hari setelah beranak. Faktor-faktor tersebut antara lain jumlah dan kondisi anak babi pada waktu itu, bila produksi air susu cukup banyak sedangkan jumlah anak yang lebih sedikit, maka pemberian ransumnya hendaknya dihemat. Penyumbatan ambing dan masalah laktasi lainnya dapat ditekan dengan mengurangi jumlah ransum yang diberikan pada waktu beranak yang kemudian ditingkatkan sedikit
demi sedikit (Parakkasi 1990). Tabel 8
menunjukkan perkiraan kebutuhan ransum induk babi berdasarkan bobot induk dan jumlah anak babi. Tabel 8 Perkiraan Kebutuhan Ransum Induk Babi Laktasi Jumlah anak (ekor) 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Ransum (kg) yang menyuplai kebutuhan energi (ED) sesuai dengan bobot induk (kg) 135 180 225 3.6 4.0 4.5 3.9 4.3 4.8 4.2 4.6 5.1 4.6 5.0 5.5 5.0 5.4 5.9 5.2 5.6 6.1 5.5 5.9 6.4 5.6 6.0 6.5 5.6 6.0 6.5 5.7 6.1 6.6
Sumber: Alberta Agriculture (1983)
Program pemberian ransum pada saat beranak yang tepat untuk semua kondisi belum diperoleh, sehingga peternak selalu harus berusaha untuk mengadaptasi program pemberian ransumnya dengan kondisi kelahiran yang
17 dihadapi
oleh
ternaknya
(Sihombing
2006).
Kemampuan
ternak
babi
mengkonversi makanan kedalam bentuk pertambahan bobot badan disebut dengan efisiensi penggunaan makanan. Efisiensi penggunaan makanan tergantung pada kebutuhan ternak akan energi dan protein untuk hidup pokok, pertumbuhan, atau fungsi tubuh lainnya, kemampuan ternak untuk mencerna zat makanan, jumlah zat yang hilang melalui proses metabolisme dan tipe makanan yang dikonsumsi. Menurut Devendra dan Fuller (1979), faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi penggunaan makanan adalah nutrisi, bangsa ternak, lingkungan dan kesehatan ternak. 2.4.3. Litter Size Lahir Menurut Eusebio (1980), litter size lahir adalah jumlah anak yang lahir per induk per kelahiran. Seekor induk babi dapat menghasilkan 8-12 ekor anak babi setelah periode kebuntingan selama 112-120 hari. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi litter size lahir, diantaranya jumlah sel telur yang dilontarkan indung telur (ovulasi), laju hidup embrio selama berkembang (Sihombing 2006), paritas (Hughes & Varley 2004), umur (Singh & Moore 1982), kemampuan kapasitas uterus dan bangsa (Leymaster & Jhonson 1984). Menurut Milagres et al. (1983), bangsa babi Landrace dapat menghasilkan litter size lahir sekitar 10.94 ekor sedangkan bangsa babi Yorkshire adalah 9.57 (Park & Kim 1983). Berdasarkan penelitian Tummaruk et al. (2000), rataan litter size lahir hidup Landrace lebih banyak daripada Yorkshire yaitu masing-masing 10.94 dan 10.68 ekor. Secara umum litter size lahir dan sapih terus meningkat dari paritas pertama hingga keempat, kemudian menurun pada paritas selanjutnya. Induk pada paritas ketiga dan keempat memiliki penampilan terbaik, sedangkan paritas ketujuh memiliki penampilan terburuk. Perbedaan litter size lahir hidup antara partitas pertama dan ketiga dan keempat sebanyak 0.7 ekor, sedangkan litter size sapih sekitar 0.2 ekor (Rodriguez-Zas et al. 2003). Tabel 9 menunjukkan, bahwa penyebab kematian terbesar pada anak babi adalah kelaparan dan diikuti oleh penyebab yang lain.
18 Tabel 9 Waktu dan Penyebab Kematian Anak Babi yang Baru Lahir Umur (hari) 1 2 3 4-7 8-14 15-28 29-56
Kematian (%) 47 12 12 10 6 6 7
Penyebab Kelaparan Tertindih Lemah lahir Genetis Penyakit Aneka ragam Aneka ragam
Sumber: Sihombing (2006)
Data dari berbagai penelitian menunjukkan sekitar 20-25% dari anak babi yang lahir mengalami kematian sebelum disapih. Penyebab kematian anak babi yang menonjol adalah 1) mati lahir, 2) akibat kelemahan dan kelaparan, 3) tertindih atau terjepit oleh induk dan 4) penyakit. Saat yang paling berbahaya bagi anak babi yang baru lahir adalah selama tiga hari pertama setelah lahir. Kebanyakan anak babi yang kecil tidak dapat memperoleh cukup air susu setelah lahir, disebabkan oleh ketidaksanggupan mencapai ambing induk, sedangkan persediaan energi dalam tubuhnya yang terbatas sudah dihabiskan. Anak babi yang kecil kurang sanggup bersaing dengan anak babi yang mempunyai bobot lebih tinggi untuk merebut puting ataupun tempat yang lebih hangat dalam kandang. Bila anak-anak babi memperoleh air susu induk cukup dan dijaga agar hidup sampai umur tiga hari yang pertama, maka anak-anak babi yang kecil tadi akan menjadi bonus dan keuntungan bagi si peternak (Parakkasi 1990). 2.4.4. Pertambahan Bobot Badan Anak Babi Pertumbuhan mempunyai tahap yang cepat dan tahap yang lambat. Tahap pertumbuhan ini membentuk gambaran sigmoid pada grafik pertumbuhan. Pengukuran pertumbuhan ternak didasarkan pada kenaikan berat tubuh per satuan waktu tertentu yang dinyatakan sebagai rataan kadar laju pertumbuhan (Tillman et al. 1991). Pertambahan berat badan anak-anak babi selama beberapa minggu pertama banyak tergantung kepada produksi air susu induk. Produksi air susu tertinggi yang dapat dicapai oleh seekor induk ialah pada umur 2-3 tahun, sedangkan pada setiap periode laktasi yang lamanya delapan minggu puncak produksi didapatkan pada minggu ketiga (Williams 2003). Secara umum dapat
19 dikatakan bahwa produksi air susu meningkat bila jumlah anak yang menyusu meningkat, akan tetapi jumlah air susu yang tersedia untuk setiap anak berkurang. Hal ini mungkin terjadi karena perbedaan produksi kelenjar-kelenjar air susu (ambing). Bahan ransum yang paling disukai oleh anak-anak babi adalah air susu. Kebutuhan zat-zat makanan dari ransum bagi anak-anak yang sedang menyusu akan meningkat terus sesuai dengan bertambahnya umur dan berat badannya. Pada saat anak babi tumbuh produksi air susu induk akan menurun, maka untuk melengkapi kekurangan tersebut harus ditambahkan ransum padat (bukan susu) mulai pada umur satu atau dua minggu (Parakkasi 1990). 2.4.5. Penyapihan Menurut Asih (2003), penyapihan dapat dilakukan pada umur 3-5 minggu. Babi sapihan perlu mendapat perhatian khusus dalam hal tersedianya air minum, makanan, kebersihan dan kenyamanan agar diperoleh pertumbuhan, konversi pakan dan ketahanan hidup yang baik. Apabila umur penyapihan dipersingkat maka beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah bangunan kandang, kontrol lingkungan, higieny, nutrisi dan manajemen. Penyapihan pada umur delapan minggu dapat dilakukan supaya induk dapat beranak dua kali dalam setahun. (Devendra & Fuller 1979). Hal yang sama dikemukakan oleh Suharno dan Nazzaruddin (1994) dan Goodwin (1974), akan tetapi cara ini memerlukan pengelolaan yang lebih teliti terutama dalam hal pemberian ransum. Menurut Sihombing (2006), kebanyakan peternak menyapih anak babinya pada umur 4-6 minggu. Menyapih anak terlalu dini dapat menyebabkan kebuntingan dan litter size lahir yang rendah sehingga berpengaruh negatif terhadap banyak anak yang akan disapih. Disamping itu, anak babi yang disapih kurang dari empat minggu sangat mudah terkena stress dan penyakit. Sebaliknya bila menyapih anak babi lebih daripada enam minggu maka semakin berkurang bobot badan induk akan memperpanjang waktu untuk birahi kembali dan anak yang dihasilkan berkurang per induk pertahun. Rataan pertumbuhan bobot badan dan efisiensi penggunaan makanan anak babi dari bobot 18-90 kg dengan bobot sapih yang berbeda selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 10.
20 Tabel 10 Rataan Pertumbuhan Bobot Badan dan Efisiensi Penggunaan Makanan Anak Babi dari Bobot 18-90 kg dengan Bobot Sapih yang Berbeda Berat sapih (kg) Diatas 18.1 13.6 – 18.1 Dibawah 13.6
Rataan PBB harian (kg/hari) 0.72 0.71 0.69
Efisiensi penggunaan makanan 2.83 2.63 2.52
Sihombing (2006)
Bobot sapih anak babi merupakan indikator produksi air susu dari induk dan kemampuan bertumbuh anak babi. Faktor-faktor yang mempengaruhi bobot sapih anak babi adalah kesehatan anak babi, produksi susu induk dan cara pemberian makan (Sihombing 2006). Pada umur penyapihan tertentu anak babi yang memiliki bobot badan yang tinggi saat disapih akan bertumbuh lebih cepat mencapai bobot pasar daripada anak babi yang bobot badannya lebih ringan (Siagian 1999). Semakin berat anak babi waktu disapih efisiensi penggunaan makanan lebih baik dan rataan laju pertumbuhan lebih cepat daripada anak babi yang ringan (Tabel 10). Pada umumnya kisaran bobot badan anak babi yang disapih adalah 13.6-18.1 kg. Bobot sapih adalah bobot badan anak babi saat dipisahkan dari induknya atau setelah disapih. Bobot sapih dipengaruhi oleh jenis kelamin, bobot badan dan umur induk, keadaan saat lahir, kemampuan induk untuk menyusui anak dan kuantitas serta kualitas ransum yang diberikan serta suhu lingkungan (Hafez 1980). Menurut Williamson dan Payne (1993), penyapihan dini mempunyai banyak keuntungan seperti memberi kesempatan kepada induk untuk beranak lima kali dalam dua tahun. Penyapihan yang segera dilaksanakan akan menyebabkan birahi dan ovulasi pada babi betina dalam beberapa hari tanpa penurunan fertilitas apabila dikawinkan pada saat yang tepat (Toelihere 1993). Penyapihan yang dilakukan kapan saja selama laktasi akan menimbulkan birahi. Birahi akan terlihat sesudah penghentian produksi susu. Toelihere (1993) juga menyatakan, bahwa produksi air susu memperpanjang interval antara partus dengan birahi dan ovulasi pertama. Sihombing (2006) menjelaskan bahwa rangsangan oleh tindakan anak menghisap puting susu mencegah keluarnya hormon Folicle Stimulating Hormone (FSH) pada induk babi sehingga mencegah pemasakan dan pelepasan ovum.
21 2.4.6. Fase Siklus Birahi Walaupun setiap spesies mempunyai ciri-ciri khas dari pola siklus birahinya, namun pada dasarnya adalah sama. Siklus birahi umumnya dibagi atas empat fase atau periode yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Beberapa penulis memilih pembagian siklus birahi atas dua fase, fase folikular atau estrogenik yang meliputi proestrus dan estrus, dan fase luteal atau progestational yang terdiri atas metestrus dan diestrus. Pada babi rataan lama waktu periode proestrus, estrus, metestrus dan diestrus masing-masing adalah 3, 3, 4 dan 11 hari (Toelihere 1979). Siklus birahi pada babi selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Siklus Birahi pada Babi (Kirkwood 1999) Proestrus adalah fase sebelum estrus yaitu periode pada saat folikel de Graaf bertumbuh dibawah pengaruh FSH dan menghasilkan sejumlah estradiol yang makin bertambah (Toelihere 1979). Sistem reproduksi memulai persiapanpersiapan untuk pelepasan ovum dari ovarium. Setiap folikel bertumbuh dengan cepat selama dua sampai tiga hari sebelum estrus. Pada periode ini, sekresi estrogen ke dalam urine meningkat dan mulai terjadi penurunan konsentrasi progesteron di dalam darah.
22 Estrus adalah periode yang ditandai oleh keinginan kelamin dan penerimaan pejantan oleh hewan betina. Folikel de Graaf membesar dan menjadi matang (Toelihere 1979). Ovum mengalami perubahan kearah pematangan. Selama periode ini umumnya hewan betina mencari dan menerima pejantan untuk berkopulasi. Penerimaan terhadap pejantan selama estrus disebabkan oleh pengaruh estradiol pada sistem syaraf pusat, yang menghasilkan pola penerimaan pejantan oleh betina. Pada kebanyakan ternak ovulasi terjadi menjelang akhir periode estrus. Konsentrasi hormon-hormon reproduksi seperti progesteron, estradiol, LH dan FSH selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Perubahan Hormon Reproduksi selama Siklus Estrus (Richard 1999). (keterangan: LH = luteinizing hormone; FSH = follicle-stimulating hormone; PGF = prostaglandin F-2 alpha; GnRH = gonadotropinreleasing hormone) Metestrus atau postestrus adalah periode segera sesudah estrus yaitu korpus luteum bertumbuh cepat dari sel-sel granulosa folikel yang telah pecah dibawah pengaruh LH dari adenohypofisa (Toelihere 1979). Metestrus sebagian besar berada dibawah pengaruh hormon progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum. Progesteron menghambat sekresi FSH oleh adenohyphophisa sehingga menghambat pembentukan folikel de Graaf yang lain dan mencegah terjadinya
23 estrus. Selama metestrus uterus mengadakan persiapan-persiapan seperlunya untuk menerima dan memberi makan embrio. Diestrus adalah periode terakhir dan terlama siklus birahi pada ternakternak mammalia (Toelihere 1979). Korpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata. Pada akhir periode ini, korpus luteum memperlihatkan perubahan-perubahan retrogresif dan vakuolisasi secara gradual. Endometrium dan kelenjar-kelenjar beregresi ke ukuran semula. Mulai terjadi perkembangan folikel primer dan sekunder dan akhirnya kembali ke proestrus. Pada spesies yang bukan polyestrus, dapat terjadi anestrus. Anestrus yang fisiologik umumnya ditandai oleh ovarium dan saluran kelamin yang tenang dan tidak berfungsi. 2.4.7. Interval Waktu antara Penyapihan hingga Birahi Kembali Interval waktu antara penyapihan hingga birahi kembali dapat diartikan juga sebagai waktu kosong atau masa tidak produktif. Pada masa tersebut induk tidak mengalami kebuntingan maupun laktasi. Masa tidak produktif ternak babi dalam satu tahun dapat diminimalkan dengan mempersingkat setiap jarak waktu tersebut. Umur penyapihan yang relatif singkat biasanya diikuti oleh masa tidak produktif yang panjang dan periode birahi yang singkat (Lucia et al. 1999). Masa tidak produktif berpengaruh terhadap frekuensi induk beranak per tahun (Peet 2000). Birahi sesudah penyapihan biasanya terjadi 3-8 hari kemudian apabila anak babi disapih pada umur 6-8 minggu. Interval ke birahi sesudah penyapihan dini (2-3 minggu) adalah lebih lama dan bervariasi (Toelihere 1993). Babi betina yang habis beranak baru bisa dikawinkan kembali setelah 5-7 hari menyapih anaknya. Pengawinan kembali dapat dilakukan apabila kondisi babi dalam keadaan sehat, sebab induk menyusui yang pemeliharaan dan pemberian pakannya kurang baik akan cepat menjadi kurus, apalagi bila jumlah anaknya cukup banyak (Asih 2003). Babi dapat dikawinkan 3-10 hari setelah penyapihan bila diberikan makanan yang baik. Pemberian pakan ini ditujukan agar jumlah sel telur yang dihasilkan lebih banyak (Suharno & Nazaruddin 1994). Induk babi hendaknya dikawinkan lagi pada birahi pertama setelah anaknya disapih, bila kondisi babi baik. Bila kondisinya kurang baik maka
24 dikawinkan kembali pada birahi yang kedua. Biasanya induk akan birahi 2-5 hari setelah berhenti laktasi (Wiliamson & Payne 1993, Devendra & Fuller 1979). Induk yang gagal kembali birahi dalam 10 hari setelah anaknya disapih dapat dirangsang dengan memberikan bahan pemancing birahi yang mengandung pregnant serum gonadotropin (PMSG) dan human chorionic gonadotropin (HCG). Birahi akan muncul dalam 3-7 hari setelah penyuntikan. Peningkatan umur penyapihan 10-30 hari dapat mempersingkat interval waktu antara penyapihan hingga birahi, kawin dan bunting kembali. Pengaruh positif tersebut disebabkan oleh involusi uterus (Martin et al. 2004). Induk yang baru mengalami paritas pertama memiliki jarak waktu antara penyapihan hingga bunting kembali yang lebih panjang daripada paritas kedua dan ketiga (Mabry et al. 1996 dan Tood 2005). Estrus adalah periode yang ditandai oleh keinginan kelamin dan penerimaan pejantan oleh ternak betina. Tanda-tanda estrus dapat dilihat pada babi betina adalah perubahan tingkah laku (gelisah, menaiki babi betina lain, diam apabila dilakukan penekanan pada bagian punggung), perubahan pada vulva (membengkak, warna merah muda dan kadang kadang adanya sekresi dari vagina) (Anderson 1980). Menurut Siagian (1999), babi betina birahi apabila menunjukkan beberapa tanda sebagai berikut : 1) alat kelamin berwarna kemerahan dan agak basah, 2) keluar cairan kental dari lobang alat kelamin, 3) gelisah dan sering bergerak, 4) kalau ada pejantan sering mengeluarkan air kencing, 5) diam atau posisi siap dikawinkan apabila dilakukan uji penekanan pada punggung, 6) daun telinga tegak, kaki menjadi kaku dan gemetar pada otot paha atau pinggang, 7) menaiki ternak babi yang lain dan diam jika dinaiki dan 8) babi betina sulit dipindahkan atau disatukan dengan cara biasa. Menurut Toelihere (1979), perubahan tingkah laku pada babi yang menunjukkan gejala estrus adalah berdiam diri, tegak dan kaku bila punggunggnya ditekan oleh dagu pejantan atau tangan pekerja. Gejala estrus pada babi betina sangat intensif. Babi akan mengeluarkan suara-suara rendah dan singkat serta akan mengambil posisi siap kawin apabila mendengar suara-suara babi jantan baik secara langsung maupun melalui pita perekam. Menurut Walker (1972) dan Foote (1980), dengan menggunakan pejantan yang divasektomi
25 ataupun yang tidak divasektomi dan ditempatkan pada kandang yang berdekatan dengan babi betina, akan sangat membantu dalam menentukan birahi. Babi betina yang estrus akan cenderung mencari pejantan atau mau menerima kehadiran pejantan tersebut. Cara yang efektif untuk mendeteksi estrus yaitu uji penekanan pada punggung babi betina dan menggunakan pejantan. Persentase keberhasilan deteksi birahi dengan menggunakan uji penekanan pada punggung babi pejantan yaitu 100%. Persentase babi betina yang dideteksi birahi selama lebih dari satu hari dengan menggunakan uji penekanan pada punggung adalah 94% dan dengan menggunakan babi jantan adalah 83% (Gardner et al. 1990). Lama estrus pada babi betina berkisar antara satu sampai empat hari (Day 1972), 50 jam atau berkisar 24-72 jam (Alexander et al. 1980), 47 jam pada babi dara dan 56 jam pada babi induk (Anderson et al. 1966). Menurut Toelihere (1993), estrus pada babi betina berlangsung dua sampai tiga hari dengan variasi antara satu sampai empat hari. Bangsa, varietas dan gangguan hormonal dapat mempengaruhi lamanya estrus. Babi dara sering tidak memperlihatkan estrus lebih dari satu hari, sedangkan babi induk pada umumnya menunjukkan birahi selama dua hari atau lebih dan rataan periode birahi adalah 12 sampai 18 jam lebih lama daripada babi dara. Estrus biasanya terjadi tiga sampai delapan hari sesudah penyapihan apabila anak-anak babi dipisahkan enam sampai delapan minggu sesudah partus. Menurut Sihombing (2006) dan Belstra (2003), periode estrus pada babi dara lebih singkat dibandingkan babi induk. Menurut Goodwin (1974), periode estrus pada babi dara selama 12-36 jam. Selama waktu tersebut babi dara akan menerima pejantan dan sekitar 18-20 sel telur fertil diproduksi dalam ovarium.
2.5.
Fisiologi Reproduksi dan Laktasi
2.5.1. Hormon yang Berperan dalam Reproduksi Hormon adalah suatu zat atau bahan yang dihasilkan oleh kelenjar tertentu yang tidak mempunyai saluran, disebut kelenjar endokrin dan disebarkan melalui peredaran darah untuk memberikan efek tertentu pada sel-sel jaringan tubuh Hafez (1980). Hormon dapat dikelompokkan menurut tempat asalnya yaitu dari hipotalamus, pituitary, gonad (testis dan ovary), dan beberapa lainnya seperti
26 prostaglandin dari uterus, bermacam-macam hormon dari plasenta atau yang dihasilkan oleh unit plasenta-fetus selama kebuntingan. Pengelompokan ini dibuat untuk menyederhanakan, karena reproduksi adalah suatu sistem yang kompleks yang didalamnya sistem saraf-endokrin berinteraksi diantara komponenkomponen gonad, dan bagian-bagian lain sistem reproduksi. Mekanisme kerja hormon reproduksi pada ternak domestikasi selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Mekanisme Kerja Hormon Reproduksi (Richard 1999) Hormon-hormon hipotalamus diketahui sebagai hormon pelepas atau penghambat,
yang
langsung
berhubungan
dengan
reproduksi
adalah
Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) yang menyebabkan dilepaskannya folicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) (Toelihere 1979). Perlu dicatat bahwa ada satu hormon pelepas untuk FSH dan LH. Folicle Stimulating Hormone pada babi adalah suatu glikoprotein dengan berat molekul 67 000. hormon tersebut larut dalam air dan stabil pada pH 4-11, dan mempunyai titik isoelektrik pada pH 4.5 dengan mengandung hexosamin, hexose, nitrogen dan sulfur. Fungsi utama dari FSH adalah stimulasi pertumbuhan dan pematangan folikel de Graaf di dalam ovarium dan spermatogenesis di dalam tubulus seminiferi testis. Luteinizing hormone pada babi berat molekulnya adalah 100000. Luteinizing hormone bekerjasama dengan FSH untuk menstimulir pematangan folikel dan pelepasan estrogen (Hafez 1980). Sesudah pematangan folikel, LH
27 menyebabkan ovulasi dengan menggertak pemecahan dinding sel dan pelepasan ovum. Beberapa peneliti menyatakan LH adalah bersifat luteotropik. Hormon dari pituitary anterior yang berhubungan dengan reproduksi diketahui merupakan gonadotropin (gonad-loving) Hafez (1980) yaitu FSH dan LH. Semua hormon pituitary anterior adalah glikoprotein dan mempunyai struktur yang rumit. Hormon tersebut belum dapat disintesis secara buatan. Prolaktin (PRL atau Luteotropic Hormone atau LTH) suatu hormon protein dengan berat molekul 22 000-35 000, di-inaktifkan oleh pepsin, trypsin dan zat-zat lain yang bereaksi dengan kelompok-kelompok asam amino bebas. Prolaktin merangsang laktasi pada mammalia, memelihara aktifitas fungsional korpus luteum, menstimulir pelepasan progesteron dan menstimulir tingkah laku keibuan (Toelihere 1979). Pituitary posterior menyimpan dan mengeluarkan dua jenis hormon yang dihasilkan oleh neuron tertentu dalam hipotalamus, yang aksonnya menjalar dari hipotalamus sampai ke pituitary (Hafez 1980). Oksitoksin merupakan salah satu yang berhubungan dengan reproduksi. Oksitoksin adalah okta peptida yang mengandung 8 asam amino dengan berat molekul 1 000 dan relatif bersifat basa dengan titik isoelektrik pada pH basa. Hormon tersebut merupakan peptida dengan sembilan macam asam amino dan dapat disintesa secara buatan. Fungsi utama dari hormon oksitoksin adalah membantu kontraksi uterus untuk memperlancar kelahiran dan menstimulir keluarnya air susu. Secara klinis oksitosin telah lama digunakan untuk membantu induksi partus dengan menstimulir kontraksi uterus. Efek let down susu disebabkan oleh kerja oksitosin terhadap sel-sel mioepitel kelenjar mammae. Sel-sel tersebut mengandung elemen-elemen kontraktil dan berkontraksi bila dirangsang oleh oksitosin dengan akibat peningkatan tekanan air susu dalam kelenjar mammae (Toelihere 1979). Estrogen adalah hormon yang menimbulkan estrus atau birahi pada hewan betina (Hafez 1980). Estrogen adalah salah satu dari tiga kelompok hormon yang dihasilkan oleh ovarium. Kedua hormon lainnya adalah progesteron dan relaksin. Estrogen dan progesteron umumnya disebut hormon-hormon kelamin betina dan tergolong hormon steroid. Hormon estrogen mungkin disekresikan oleh theka interna dari folikel de Graaf. Jaringan ini kaya akan estrogen dan memperlihatkan aktivitas yang maksimum selama fase estrogenik dari siklus birahi (Toelihere
28 1979). Estrogen tidak disimpan dalam tubuh, tetapi disingkirkan melalui inaktivasi dan dikeluarkan melalui urine dan feses. Progesteron disekresikan oleh sel-sel lutein korpus luteum (Hafez 1980). Disamping hormon ini dihasilkan juga oleh plasenta. Progesteron juga tidak disimpan di dalam tubuh, tetapi dipakai secara cepat atau disekresikan dan hanya terdapat dalam konsentrasi rendah di dalam jaringan tubuh. Sesudah ovulasi yang disebabkan oleh LH terbentuklah korpus hemorhagikum di dalam ovarium yang kemudian berkembang menjadi korpus luteum. Korpus luteum dibentuk dan dipertahankan oleh LTH atau prolaktin. Dibawah pengaruh prolaktin, sel-sel lutein menghasilkan progesteron. Korpus luteum adalah esensial sepanjang masa kebuntingan pada babi (Toelihere 1979). Fungsi progesteron sulit dipisahkan dari hormon-hormon lain seperti estrogen. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa estrogen
terutama
menyebabkan
proses-proses
pertumbuhan,
sedangkan
progesteron menstimulir diferensiasi jaringan kelenjar mammae. Relaxin adalah hormon yang berfungsi mengendorkan symphysis pelvis. Relaxin adalah suatu polipeptida yang larut dalam air yang dengan berat molekul kira-kira 10.000 (Toelihere 1979). Hormon ini dapat diisolasi dalam bentuk murni sehingga sifat-sifat fisiko kimianya belum sempurna diketahui. Relaxin dihasilkan oleh korpus luteum selama masa kebuntingan. Disamping plasenta, uterus juga mungkin mensekresikan relaxin pada beberapa jenis hewan. Konsentrasi relaxin dalam ovarium babi sangat meningkat pada permulaan kebuntingan dan mencapai suatu ketinggian kira-kira 10.000 GPU per gram berat basah ovarium yang dipertahankan sampai partus. Hormon relaxin bekerjasama dengan sangat erat dengan hormon estrogen pada saat induk babi partus (Hafez 1980). Prostaglandin (PGF2α) merupakan sekelompok lemak yang larut dalam asam yang banyak ditemui hampir di seluruh bagian dari tubuh (Toelihere 1979). Prostaglandin diproduksi oleh uterus dan ditransportasikan oleh suatu mekanisme arus balik ke ovarium dan PGE 2α juga dihasilkan oleh folikel-folikel sebelum ovulasi. Prostaglandin berbeda dengan hormon biasa dalam hal fungsinya sebagai hormon lokal yang sangat kuat, efektif pada atau dekat lokasi pembentukannya. Konsentrasinya dalam darah sangat rendah karena cepat dipecah di paru-paru dan hati (Hafez 1980).
29 2.5.2. Persiapan Laktasi Susu adalah cairan yang dihasilkan oleh kelenjar susu dari spesies mamalia selama masa laktasi (Sandholm & Saarela 2003), yaitu saat kelenjar susu mensekresikan air susu.
Kelenjar susu adalah suatu kompleks organ
yang
tersusun atas membran basal, kapiler darah, lumen, sel mioepitel dan sel sekretoris. Sel sekretoris tergabung dalam lobula alveoli yang merespon dan bekerja harmonis selama masa laktasi. Pertumbuhan dan pembelahan kelenjar susu dimulai selama masa fetus dan selesai pada waktu melahirkan pertama. Pada spesies ternak peliharaan, estrogen, hormon pertumbuhan dan kortisol diperlukan untuk pertumbuhan duktus, sedangkan progesteron dan prolaktin atau senyawa seperti prolaktin diperlukan untuk perkembangan alveoli (Delaval 2008). Struktur ambing selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur Ambing (Delaval 2008)
30 Pengendalian pertumbuhan kelenjar susu merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan faktor-faktor intrinsik yang berpengaruh terhadap kelenjar susu atau terhadap seluruh hewan, maupun pengaruh eksternal seperti lingkungan, iklim dan makanan. Pada tingkat perkembangan yang paling pesat yakni pada saat laktasi penuh, sebagian besar kelenjar susu ini akan mengalami spesialisasi bersama-sama dengan jaringan ikat dan lemak, sehingga sekresi susu yag dihasilkan per hari bisa melebihi berat kelenjar susu itu sendiri. Beberapa peneliti melaporkan, bahwa pertumbuhan seluruh kelenjar susu terjadi pada saat kehamilan. Jumlah sel sekretori meningkat sangat drastis selama masa kehamilan, akan tetapi pada beberapa spesies tertentu perkembangan ini tidak berhenti sampai disini saja. Beberapa peneliti melaporkan bahwa proliferasi sel terjadi dua atau tiga hari setelah tikus melahirkan. Knight dan Parker (1982) menunjukkan, bahwa pada tikus populasi sel sekretori pada hari kelima setelah beranak akan meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan pada hari terakhir kehamilan. Jumlah DNA masih meningkat dalam bentuk logaritmik, paling tidak selama lima hari masa laktasi pada tikus. Dilaporkan juga, bahwa produksi air susu meningkat secara bertahap selama tujuh hari pertama laktasi. 2.5.3. Produksi Air Susu Induk Babi Mekanisme produksi susu melibatkan banyak faktor seperti fisiologi, endokrinologi dan biokimia. Faktor fisiologis meliputi frekuensi dan lamanya anak babi menyusu. Faktor endokrinologi meliputi hormon-hormon yang terlibat selama proses laktasi diantaranya oksitoksin dan prolaktin, sedangkan faktor biokimia meliputi proses metabolisme nutrisi selama laktasi. Selain tiga hal diatas, faktor psikologis dan nutrisi juga mempengaruhi produksi susu yaitu kondisi stress saat induk menyusu dan asupan nutrisi untuk induk selama menyusu (Delaval 2008). Proses sintesis dan sekresi susu sangat tergantung dari suplai prekursor ke sel susu, untuk dikonversi menjadi air susu dan dikeluarkan dari kelenjar. Susu dibentuk dari material yang datang secara langsung dari darah, yang kemudian menghasilkan susu dengan perubahan konsentrasi material. Perubahan ini membuktikan bahwa ada suatu proses yang unik yang terjadi dalam kelenjar susu,
31 sehingga prekursor yang sebelumnya tidak terdapat dalam darah, dapat ditemukan dalam susu atau sebaliknya (Larson 1985). Pembentukan susu dan kebutuhan nutrisi untuk metabolisme keseluruhan dari sel sekresi, didapat dari makanan yang dikonsumsi dan diekstrak kedalam darah (Walstra 1999). Substrat utama yang diekstraksi dari darah oleh kelenjar susu ternak laktasi adalah glukosa, asam amino, asam lemak dan mineral. Air susu induk babi jauh lebih superior daripada semua makanan lain dalam hal ketersediaan dan kecernaan nutrisi yang dikandungnya. Semua kebutuhan nutrisi bagi anak babi yang baru lahir diperoleh dari air susu induk, kecuali zat besi. Umumnya PASI babi yang maksimum dicapai selama minggu ketiga dari masa laktasi, dan setelah itu berangsur turun.Sebagai akibat menurunnya PASI, induk babi tidak sanggup lagi menyediakan semua kebutuhan nutrisi bagi anak-anaknya yang terus meningkat (Sihombing 2006). Peningkatan kebutuhan nutrisi anak babi tidak diiringi oleh PASI babi oleh karena itu anak babi diberi ransum khusus. Menurut Silitonga (1993), jumlah total alveoli keseluruhan pada mencit yang diberi daun bangun-bangun paling banyak dibanding kontrol, yaitu 33.80%. Alveoli berfungsi sebagai tempat penghasil susu. Semakin banyak tempat penghasil susu maka akan semakin banyak produksi susu yang akan didapat. Pemberian daun bangun-bangun juga mengakibatkan tikus mencapai puncak laktasinya lebih awal, tetapi mengalami penurunan yang lebih lambat. 2.5.4. Mekanisme Bangun-bangun dalam Meningkatkan Produksi Air Susu Banyak penelitian menyimpulkan, bahwa daun bangun-bangun mampu meningkatkan produksi air susu pada ternak. Silitonga (1993) melaporkan, bahwa penggunaan daun bangun–bangun dapat meningkatkan produksi susu induk tikus putih laktasi hingga 30%. Penelitian lain yang dilakukan Santosa (2001) menemukan bahwa empat jam setelah ibu mengonsumsi daun bangun–bangun, volume air susu ibu meningkat sebesar 47.4%. Hasil pengamatan pada anak tikus yang sedang menyusu dengan pemberian pada taraf 5% tepung daun bangunbangun dalam ransum induknya akan dapat meningkatkan bobot sapih (Hutajulu 2008) dan Wening (2007) juga menyatakan, bahwa pemberian 5% tepung daun bangun-bangun dalam ransum induk yang pemberiannya dimulai pada hari ke-14
32 umur kebuntingan mencit (Mus musculus) dapat meningkatkan produksi air susu induk mencit. Mekanisme bangun-bangun untuk meningkatkan produksi air susu sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun karena adanya kemiripan senyawa aktif, memungkinkan mekanismenya hampir serupa, walaupun masih bersifat pendugaan. Bila dilihat dari mekanisme daun katuk, maka mekanisme peningkatan PASI dapat terjadi secara langsung ataupun tidak (Suprayogi 2000). Salah satu senyawa aktif yang ada pada katuk (Sauropus Androgynus (L) Merr) dan juga ada pada bangun-bangun adalah 3-ethyl-3- hydroxy-5-alpha andostran17-one. Senyawa aktif ini terlibat secara langsung sebagai perintis atau intermediate step di dalam biosintesis steroid hormon pada ternak betina, seperti progesterone, estradiol dan glukokortikoid (Despopoulos & Silbernagl 1991). Hormon steroid mempunyai peranan penting dalam pengaturan proses reproduksi, laktasi, pertumbuhan dan proses fisiologi lainnya. Senyawa aktif yang terkandung di dalam bangun-bangun secara langsung ataupun tidak langsung mengatur laktogenesis dan laktasi, hormon prolaktin (PRL), growth hormone (GH), glucocorticoids, thyroid hormone, prostaglandin dan oksitosin. Aksi langsung akan terjadi mulai dari aksi prostaglandin dan steroid hormone (glucocorticoids, progesteron, dan estradiol) yang masingmasing diperoleh dari biosintesis eicosanoids dan hormon steroid. Hormon ini secara langsung merangsang sintesis DNA dan RNA di dalam sel sekretori kelenjar mammae. Aksi secara tidak langsung terjadi karena konsentrasi hormon ini tinggi di dalam aliran darah sehingga secara tidak langsung merangsang sel kelenjar pituitary anterior dan posterior untuk melepaskan PRL, GH dan oksitosin yang bekerja secara langsung pada kelenjar mammae (Suprayogi 2000). 2.5.5. Proses Induk Babi Beranak Hafez (1980) mengemukakan bahwa lama bunting ternak diukur dari saat terjadinya konsepsi (pembuahan) sampai terjadinya kelahiran. Kebuntingan terjadi apabila adanya fertilisasi yaitu bila satu sperma bersatu dengan sel telur untuk membentuk zigot dan didalam uterus terdapat pembentukan embrio dan fetus. Menurut Toelihere (1993), lama kebuntingan ternak babi berkisar antara 111-117 hari atau rata-rata 114 hari. Meskipun perkembangan sejak pembuahan hingga
33 kelahiran merupakan suatu proses berkesinambungan, kebuntingan dianggap terdiri dari tiga fase yaitu fase preimplantasi, embrio dan fetus (Sihombing 2006). Hormon yang memprakarsai kelahiran (proses kelahiran) atau partus adalah prostaglandin yang dihasilkan oleh uterus. Hormon ini menyebabkan regresi korpus luteum dan mengakibatkan keluarnya hormon-hormon relaxin dan oksitoksin dari kelenjar pituitary. Kedua hormon tersebut menimbulkan relaksasi serviks sehingga terbuka corong jalan anak lahir dan ositoksin menyebabkan kelenjar susu mengeluarkan air susu (Sihombing 2006). Ciri-ciri induk babi yang akan beranak adalah memperlihatkan tanda-tanda gelisah dan aktivitas membuat sarang. Laju pernafasan meningkat selama 12 jam terakhir dan temperatur rektum meningkat lima jam sebelum beranak. Kelahiran paling sering terjadi pada malam hari. Induk beranak dengan merebahkan tubuhnya pada salah satu sisi kandang. Sekitar 70% anak babi lahir dengan kaki depan lebih dulu keluar. Kebanyakan dari anak yang mati lahir oleh proses kelahiran yang lama berlangsung disebabkan oleh kurang bernafas selama dalam saluran kelahiran (Sihombing 2006). Waktu kelahiran yang kelamaan melemahkan anak babi saat lahir dan anak tersebut kurang kuat bersaing dengan rekannya sekelahiran untuk memperoleh air susu. Penyebab utama kejadian anak babi mati lahir adalah lemas karena kekurangan oksigen. Dalam hal ini plasenta terlalu dini terlepas dan tali pusar putus sebelum anak babi lahir, sehingga anak babi kekurangan oksigen. Tabel 11 menunjukkan, bahwa semakin lama proses babi beranak maka kejadian mati lahir semakin tinggi. Tabel 11 Hubungan antara Lama Proses Kelahiran dengan Kejadian Mati Lahir Lama proses beranak (jam) Kurang dari 1 1-2 2-3 3-4 Lebih dari 6
Anak mati lahir (%) 3.8 3.7 5.6 9.7 30.4
Kejadian mati lahir (%) 25.0 32.7 59.4 30.4 75.0
Sumber: Sihombing (2006)
Gelisah merupakan tanda-tanda luar seekor ternak yang akan beranak. Proses kelahiran biasanya dibagi
dalam tiga fase: 1) pelebaran serviks, 2)
pengeluaran fetus, dan 3) pengeluaran plasenta. Kontraksi perut ditambah dengan
34 kontraksi uterus akan mendorong fetus keluar. Pada babi, kontraksi dimulai tepat diatas anak babi yang berada dekat serviks, sementara dibelakangnya uterus tetap diam. Kontraksi uterus menyebabkan kuku anak babi ditusukkan ke plasenta sehingga keluar cairan amnion yang berfungsi sebagai pelicin (Tomaszewska et al. 1991). Karena induk babi melahirkan banyak anak, fetus relatif kecil dan jarang terjadi kesulitan beranak. Pada babi, yang mungkin pertama keluar adalah kepala atau kaki. Posisi posterior menyebabkan tingginya tingkat kematian. Posisi kelahiran normal adalah kaki depan keluar pertama dengan kepala terletak diantara kedua kaki (Tomaszewska et al. 1991).
35 3. 3.1.
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan sejak bulan Januari hingga September 2010.
Persiapan pembuatan bahan tepung tanaman bangun-bangun dilakukan
di
Fakultas Teknologi Pertanian dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian penambahan tepung tanaman bangun-bangun dalam ransum dan pemberiannya pada induk babi dilakukan di usaha peternakan babi CV Adhi Farm yang berlokasi di Desa Sepreh, Kelurahan Sroyo, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karang Anyar, Provinsi Jawa Tengah. Analisis kualitas tepung tanaman bangun-bangun, pakan dan feses dilakukan di PAU IPB, Bogor. 3.2.
Materi dan Peralatan Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 ekor babi bunting
yang tercatat tanggal pengawinannya. Tempat khusus yang digunakan untuk pemeliharaan ternak adalah kandang induk babi beranak individu yang dilengkapi dengan tempat makan dan water nipple, sedangkan peralatan lain yang digunakan adalah ember, sapu lidi, sekop dan timbangan kapasitas 2.5 dan 25 kg masingmasing untuk menimbang ransum dan anak babi. Suhu dan kelembaban udara diukur dengan Thermohygrometer. 3.3.
Pembuatan Tepung Tanaman Bangun-bangun Tanaman
bangun-bangun yang digunakan adalah tanaman bangun-
bangun (Coleus amboinicus Lour) segar hasil identifikasi (LIPI 2011). Tanaman bangun-bangun sebelum dikeringkan, diangin-anginkan terlebih dahulu, kemudian ditimbang dan dikeringkan di rumah kaca dan dilanjutkan dengan oven pada suhu 600C sampai kering. Tanaman bangun-bangun yang telah dikeringkan kemudian dihaluskan dengan menggunakan grinder, lalu diayak dengan ayakan ukuran 50 mesh dan hasilnya adalah tepung tanaman bangun-bangun (TTB).
36 3.4.
Protokol Penelitian Kegiatan penelitian
dilakukan pada waktu yang relatif berbeda untuk
setiap induk babi sesuai dengan umur kebuntingan induk babi tersebut. Kandang induk babi beranak yang digunakan sebagai tempat induk babi penelitian dikosongkan seminggu sebelum diisi oleh induk babi. Persiapan kandang dilakukan dengan menyemprot kandang dengan air kapur dan desinfektan. Air kapur didapat dengan mencairkan batu kapur dengan air, kemudian disiramkan keseluruh bagian kandang induk babi beranak hingga merata. Desinfektan yang digunakan adalah Hi-G produksi PT. Kalbe Farma Animal Health, dan disemprotkan menggunakan mesin spray (mesin steam). Induk babi yang digunakan dalam penelitian ini dipilih dari kandang induk bunting. Induk babi dikawinkan secara inseminasi buatan (IB) oleh teknisi yang sudah terlatih. Induk babi yang dipilih adalah yang tersedia di kandang bunting dan tercatat tanggal pengawinannya. Induk babi bunting dipindahkan ke kandang induk babi beranak kira-kira sepuluh hari sebelum prediksi tanggal beranak dari induk babi tersebut. Induk babi yang sudah dipilih dibersihkan dengan air. Tempat pakan induk babi yang tersedia didalam kandang induk babi beranak juga dibersihkan dari sisa pakan dan kotoran yang melekat. Pengambilan data dilakukan dengan tiga tahap yang berbeda. Tahap pertama adalah saat induk bunting hari ke-107 hingga sesaat setelah induk babi beranak. Data yang diambil adalah bobot induk babi, konsumsi ransum harian induk, lama bunting, lama beranak, bobot lahir anak dan litter size lahir total. Tahap kedua adalah selama laktasi. Data yang diambil pada tahap ini adalah konsumsi ransum harian induk dan anak babi, produksi air susu induk babi, penurunan bobot badan induk babi, pertambahan bobot badan anak babi, mortalitas prasapih, bobot sapih, littersize sapih dan umur sapih. Tahap ketiga adalah waktu setelah penyapihan hingga dikawinkan kembali. Pada tahap ini data yang didapat adalah lama induk babi birahi pertama setelah penyapihan, siklus reproduksi dan frekuensi beranak pertahun. Kegiatan atau protokol yang dilakukan selama penelitian lebih jelasnya diperlihatkan pada Tabel 12.
37
Tabel 12 Protokol Penelitian Kegiatan
Penelitian hari ke1
Persiapan bahan Persiapan kandang
Persiapan induk
Induk bunting 107 hari Sesaat setelah induk beranak Induk bunting 107 hari Sesaat setelah induk beranak
Pemberian ransum (R0,R1, R2 dan R3)
Induk bunting 107 hari
Pengambilan data
Sesaat setelah induk beranak Induk bunting 107 hari Sesaat setelah induk beranak
Pengolahan data
2
3
4
6
7
8
9
1 0
1 1
1 2
1 3
1 4
1 5
1 6
1 7
1 8
1 9
2 0
2 1
2 2
2 3
2 4
2 5
2 6
2 7
2 8
2 9
3 0
3 1
3 2
3 3
3 4
3 5
3 6
3 7
3 8
3 9
38
3.5.
Ransum Penelitian Ransum yang digunakan dalam penelitian ini disusun sendiri dan dicampur
dengan mesin mixer. Komposisi bahan makanan yang digunakan untuk menyusun ransum penelitian ini diperlihatkan pada Tabel 13. Tabel 13 Komposisi Bahan Makanan Penyusun Ransum Penelitian Bahan Makanan
R0
R1
R2
R3
Pakan Anak
------------------------------ kg ------------------------------TTB
-
2.50
5.00
7.50
-
Jagung
30.00
30.00
30.00
30.00
50.00
Bekatul
28.00
28.00
28.00
28.00
8.00
Konsentrat T51 Meat Bone Meal
2.00
2.00
2.00
2.00
5.00 3.00
Soy Bean Meal
20.00
20.00
20.00
20.00
22.00
Wheat Pollard
10.00
10.00
10.00
10.00
10.00
Bungkil kelapa
8.00
8.00
8.00
8.00
-
Mineral (makro)
2.00
2.00
2.00
2.00
2.00
2719.88
2702.32
2685.60
2669.66
2758.32
Protein kasar (%)
16.93
17.10
17.25
17.40
18.36
Lemak kasar (%)
5.74
5.71
5.68
5.66
3.86
Serat kasar (%)
4.24
4.34
4.43
4.52
4.02
Kalsium (%)
0.26
0.31
0.36
0.41
0.49
Fosfor (%)
0.76
0.76
0.76
0.75
0.58
Abu (%)
6.19
6.41
6.62
6.83
4.08
Zat Nutrisi
*
EM (kkal/kg)
Keterangan : TTB= tepung tanaman bangun-bangun, R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, EM= energi metabolis, T51= konsentrat anak babi, * = hasil perhitungan
Susunan ransum pada Tabel 13 terlihat bahwa jagung, bekatul dan wheat pollard berperan sebagai sumber energi, sedangkan konsentrat Charoen Pokphand T51, soy bean meal (SBM), meat bone meal (MBM) dan bungkil kelapa berperan sebagai sumber protein. Bahan makanan yang lain adalah sebagai sumber vitamin
39
dan mineral dalam ransum ternak babi. Kandungan nutrisi dari bahan makanan yang digunakan untuk menyusun ransum penelitian diperlihatkan pada Tabel 14. Tabel 14 Kandungan Nutrisi Bahan Makanan Penyusun Ransum Kandungan Nutrisi
Bahan Makanan TTB
1
Jagung
2
Bekatul
2 3
Konsentrat T51
Meat Bone Meal
2
Soy Bean Meal 2 Wheat Pollard
2
Bungkil kelapa
2
EM
PK
LK
SK
Ca
P
Abu
2700
23.55
4.61
8.26
2.39
0.57
15.39
3168
8.9
3.5
2.9
0.01
0.25
1.5
3000
11
12
4
0.04
1.4
11
3070
37
0
10
3
1
0
2434
50
8.5
2.8
9.2
4.7
33
2990
42
3.5
6.5
0.2
0.6
6
2910
16.8
4.2
8.2
0.11
0.76
8.2
2500
22
6
12
0.11
0.6
7
2
Mineral (makro) 0 0 0 0 0.13 0.11 0 Keterangan : EM = energi metabolis, PK = protein kasar, LK = lemak kasar, SK = serat kasar, Ca = kalsium, P = fosfor, TTB= tepung tanaman bangun-bangun, T51= konsentrat anak babi, 1 = Mahmud et al. (1990), 2 = National Research Council (1998), 3= Charoen Pokphand Indonesia (2010)
3.6.
Analisis Proksimat Hasil analisis proksimat digunakan sebagai acuan dalam menentukan
kualitas nutrisi bahan makanan dan ransum untuk menghitung komponen zat makanan. Kualitas nutrisi bahan makanan merupakan faktor utama dalam pemilihan dan penggunaan bahan makanan tersebut sebagai sumber zat makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi induk babi dan anaknya (Sihombing 2006). Sampel ransum yang digunakan dalam analisa proksimat diambil setelah melakukan pencampuran pakan dengan TTB, sedangkan sampel feses dikumpulkan setiap lima hari setelah induk babi beranak. 3.7.
Peubah yang Diamati selama Penelitian
3.7.1. Peubah Penampilan Reproduksi Induk 1. Konsumsi Ransum Harian (kg/e/h) Induk. Konsumsi ransum induk babi dicatat setiap hari dengan cara menghitung selisih jumlah ransum yang diberikan dengan jumlah sisa ransum setiap hari. Ransum perlakuan yang diberikan pada induk babi saat kebuntingan hari ke-107 hingga beranak dibatasi dengan jumlah maksimum 2 kg/e/h, tetapi untuk induk babi yang
40
diberi ransum perlakuan setelah beranak, ransum pada saat sebelum beranak disesuaikan dengan standar jumlah ransum induk babi bunting di peternakan babi CV Adi Farm tempat penelitian dilaksanakan. Standar jumlah ransum induk babi bunting di peternakan ini adalah satu ember (kapasitas 6kg) diberikan kepada tiga ekor induk. Konsumsi TTB oleh induk babi yang diberikan pada hari ke-107 kebuntingan
(W1) diperoleh dengan
menjumlahkan total konsumsi ransum induk babi sejak hari ke-107 hingga beranak dikali persentase penambahan TTB dalam ransum kemudian dibagi dengan jumlah induk (ulangan) per perlakuan. 2. Lama Bunting (hari). Lama bunting induk babi diperoleh dari saat terjadinya konsepsi (pembuahan) sampai terjadinya kelahiran dan diperoleh dari catatan atau recording pengawinan yang tersedia dan pencatatan tanggal induk babi beranak. 3. Lama Induk Babi Beranak (menit). Lama induk babi beranak dihitung dengan mencatat waktu sejak induk babi melahirkan anak pertama sampai dengan anak yang terakhir disebut lama anak lahir per litter dan kemudian dibagi dengan jumlah anak yang lahir disebut lama anak lahir per ekor. 4. Litter Size Lahir Total (ekor). Litter size lahir total terdiri dari litter size lahir hidup dan mati. Litter size lahir hidup dan mati
diketahui dengan cara
menghitung jumlah anak babi yang lahir hidup dan lahir sudah mati dari setiap ekor induk babi yang beranak. 5. Anak Babi Mati Lahir (ekor). Anak babi mati lahir diperoleh dengan menghitung semua anak babi yang mati pada saat proses beranak, sedangkan persentase mati lahir merupakan hasil bagi jumlah anak babi mati lahir dengan litter size lahir total dikali seratus persen. 6. Bobot Lahir Anak Babi (kg). Bobot lahir anak babi per litter dan per ekor diketahui dengan menimbang seluruh anak babi yang lahir hidup dari setiap induk (bobot lahir per litter) kemudian dibagi dengan jumlah anak lahir hidup per induk per kelahiran (bobot lahir per ekor). 7. Produksi Air Susu Induk (PASI) Babi (kg/litter). Produksi air susu induk (PASI) babi diukur setelah anak babi dipuasakan selama empat jam, kemudian diberi waktu menyusu selama satu jam. Selisih antara bobot badan anak babi
41
sebelum dan sesudah menyusu adalah PASI babi per menyusui. Produksi air susu induk babi diukur empat kali selama penelitian yaitu pada hari ke-5, ke10, ke-15 dan hari ke-20 setelah beranak. Produksi air susu induk babi per menyusui diinterpolasi menjadi PASI babi per hari dan per laktasi dengan cara: PASI babi per hari PASI babi per laktasi
PASI babi per menyusui x frekwensi menyusui per hari = PASI babi per hari x lama laktasi =
8. Perubahan Bobot Badan Induk (kg/laktasi). Perubahan bobot badan induk babi diukur dengan mengestimasi bobot badan melalui pengukuran panjang badan dan lingkar dada induk babi (Anonymous 2010). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: Bobot badan induk babi
=
(PB x LD2) 13.781
Keterangan: PB = panjang badan (cm) LD = lingkar dada (cm) 13.781 = konstanta Panjang badan induk babi diukur dari kepala hingga pangkal ekor, dan lingkar dada diukur dengan melingkarkan alat ukur dari pundak diatas kaki depan hingga dada dilipatan kaki depan babi. 9. Birahi Kembali Setelah Penyapihan (hari). Waktu birahi kembali setelah induk babi menyapih anaknya adalah selang waktu antara penyapihan hingga induk babi pertama kali memperlihatkan tanda-tanda birahi dan mau dikawinkan lagi. 10. Siklus Reproduksi (hari). Satu siklus reproduksi (beranak) adalah waktu yang dibutuhkan oleh seekor ternak dari waktu beranak sebelumnya hingga beranak berikutnya. Satu siklus reproduksi (beranak) ditentukan oleh lama menyusui (laktasi) ditambah jarak waktu penyapihan hingga birahi, dikawinkan dan bunting kembali dan ditambah lama bunting. 11. Frekuensi Beranak per Tahun (kali/tahun). Frekuensi beranak per tahun adalah jumlah hari dalam setahun dibagi dengan (beranak).
lama satu siklus reproduksi
42
3.7.2. Peubah Penampilan Anak Babi Menyusu 1. Konsumsi Ransum Harian Anak Babi (g/litter/h). Konsumsi ransum harian (KRH) per litter anak babi dicatat setiap hari dengan cara menghitung selisih jumlah ransum yang diberikan dengan jumlah ransum sisa (g/litter/h) dan kemudian dibagi jumlah anak babi menjadi KRH per ekor (g/e/h). 2. Pertambahan Bobot Badan Anak Babi (kg/litter/h). Pertambahan bobot badan per litter anak babi per hari (PBBH) diperoleh dari selisih bobot badan anak pada penimbangan saat disapih dengan bobot badan anak babi pada penimbangan sebelumnya dibagi dengan jumlah hari (kg/litter/h) kemudian dibagi dengan jumlah anak seperindukan disebut PBBH per ekor (kg/e/h). Pertambahan bobot badan (PBB) anak babi diukur setiap lima hari selama masa menyusu. 3. Bobot Sapih Anak Babi. Bobot sapih anak babi per litter (kg/litter) dan per ekor (kg/e) diperoleh dengan melakukan penimbangan semua anak babi dari seperindukan (kg/litter) segera setelah penyapihan kemudian dibagi jumlah anak per induk per kelahiran (kg/ekor). 4. Mortalitas Anak Babi Prasapih (ekor). Mortalitas anak babi prasapih diperoleh dengan menghitung jumlah anak babi yang mati dari seperindukan selama menyusui, kemudian dibagi dengan jumlah anak lahir hidup dan dikalikan 100% (persentase mortalitas). 5. Litter Size Sapih (ekor). Litter size sapih diperoleh dengan menghitung jumlah anak babi yang hidup saat penyapihan (disapih) pada umur tertentu. 6. Umur Sapih (hari). Umur sapih diperoleh dari jumlah hari sejak anak babi lahir hingga anak babi tersebut disapih atau dipisahkan dari induknya.
3.8.
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) pola Faktorial 4 x 2 masing-masing dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah penambahan berbagai taraf TTB dalam ransum (0, 2.5, 5 dan 7.5%) dan faktor kedua adalah waktu pemberian ransum dengan taraf TTB yang berbeda pada induk babi saat umur 107 hari kebuntingan (W1) dan segera
43
setelah induk babi selesai beranak (W2). Skema perlakuan yang dilaksanakan pada penelitian diperlihatkan pada Tabel 15. Tabel 15 Skema Perlakuan Taraf penambahan tepung tanaman bangunbangun (%) 0.0 (R0) 2.5 (R1) 5.0 (R2) 7.5 (R3)
Waktu pemberian Hari ke-107kebuntingan Sesaat setelah (W1) beranak(W2) R0W1 R0W2 R1W1 R1W2 R2W1 R2W2 R3W1 R3W2
Model matematika (Steel & Torrie, 1993) yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Y ijk = µ + α i + β j + (αβ) ij + ε ijk Keterangan: Y ijk : Nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B pemberian pada hari ke-j dan ulangan ke-k µ : Nilai rataan umum αI : Pengaruh taraf penambahan TTB dalam ransum taraf ke-i ; (0; 2.5; 5 dan 7.5%) βj : Pengaruh pemberian ransum dengan taraf TTB pada waktu ke-j; (107 hari kebuntingan = W1 dan saat setelah induk babi beranak = W2) (αβ) ij : Interaksi antara taraf penambahanTTB dalam ransum dan waktu pemberiannya ε ijn : Galat percobaan pada faktor perlakuan ke-i dan ke-j serta ulangan ke-k; k = 1, 2 dan 3 3.9.
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisa dengan analisa sidik ragam atau analisys of
variance (ANOVA) dengan metode General Linear Model (GLM).
Jika
perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diamati maka dilanjutkan dengan uji Least Square Means pada tingkat kepercayaan 95 dan 99% menggunakan program SAS 9 untuk mengetahui perbedaan diantara perlakuan tersebut (Steel & Torrie 1993).
44
45
4. 4.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di perusahaan peternakan babi CV Adhi Farm
yang berlokasi di Desa Sepreh, Kelurahan Sroyo, Kecamatan Janten, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Batas geografis Desa Sepreh sebelah utara, timur dan selatan adalah Desa Kemiri sedangkan sebelah barat adalah Desa Ngabean. Jarak lokasi peternakan babi CV Adhi Farm dari ibukota Kecamatan adalah 6 km dan 12 km dari ibukota Kabupaten. Luas lahan yang dimiliki oleh peternakan babi CV Adhi Farm adalah
lima hektar dengan penggunaan dua hektar untuk
perkandangan babi dan tiga hektar untuk fasilitas pendukung seperti kantor, gudang makanan dan mesin pengolah bahan makanan, mes tamu, tempat pengolahan limbah dan lain-lain. Letak geografis peternakan ini berada pada dataran rendah dengan curah hujan 2000-3000 mm/tahun. 4.2.
Keadaan Iklim dalam Kandang selama Penelitian Pencatatan suhu dan kelembaban dilakukan tiga kali sehari setiap hari
dengan menggunakan termohygrometer yaitu pada pagi (08.00 WIB) siang (13.00 WIB) dan malam hari (22.00 WIB). Rataan suhu pada pagi, siang dan malam hari masing-masing adalah 20.61, 27.08 dan 21.76 0C. Kelembaban pada pagi, siang dan malam hari adalah 81.06, 54.55 dan 77.84%, sedangkan rataan suhu selama penelitian adalah 23.15 ± 1.41 0C dengan kelembaban 71.15 ± 8.01%. Suhu lingkungan penelitian masih diatas rataan suhu yang dibutuhkan oleh induk babi menyusui (Devendra & Fuller 1979). Kisaran suhu optimum bagi induk babi menyusui adalah 5-18 0C (Devendra & Fuller 1979), sedangkan kelembaban optimum yang dibutuhkan oleh induk babi beranak adalah 70% (Goodwin 1974). Suhu lingkungan mikro harus dimodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan hidup ternak babi yang dipelihara di dalam kandang. Bila suhu terlalu tinggi, babi akan kehilangan panas evaporatif (terengah-engah), nafsu makan menurun, konsumsi air minum meningkat dan berusaha mencari kesejukan. Suhu yang terlalu rendah akan mengganggu kehidupan babi, sebab babi akan bertumbuh dengan baik di zona termonetralnya (Sihombing 2006). Keadaan iklim (suhu,
46
kelembaban, dan cuaca) selama dua bulan penelitian di lapangan diperlihatkan pada Gambar 7.
Kelembaban (%)
Suhu (C)
Pagi Pagi 20,6
21,8
27,1
81,1
77,8
Siang Malam
10% 4%
Cerah
Siang Malam
54,5
Cuaca
Mendung 86%
Hujan
Gambar 6 Keadaan Iklim selama Penelitian Cuaca selama penelitian memperlihatkan 86% cerah, 10% mendung dan 4% hujan. Cuaca yang cerah akan berkorelasi dengan suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah sehingga babi dapat
terengah-engah. Lewis (2000)
mengemukakan bahwa kisaran suhu untuk anak babi bobot 5-15 kg adalah 27-32 0
C, sedangkan untuk induk babi adalah 15-24 0C. Modifikasi lingkungan sangat diperlukan apabila suhu lingkungan
dibawah kisaran suhu terendah ataupun diatas suhu tertinggi pada babi. Suhu terendah yang dapat diterima anak dan induk babi masing-masing 15 dan -15 0C, sedangkan suhu tertinggi adalah 35 dan 32 0C. Apabila keadaan dibawah suhu terendah perlu dibantu dengan bedding, pemanas tambahan dan peralatan lain yang dapat meningkatkan suhu. Apabila melebihi suhu tertinggi perlu diberikan kipas angin atau alat pendingin. Pada penelitian ini, menjaga kesejukan yang ideal di dalam kandang diatur dengan memasang kipas angin di sisi kiri dan kanan kandang dan untuk mengantisipasi perbedaan suhu ideal bagi anak babi menyusu maka di dalam kandang induk babi beranak ditempatkan sebuah kotak kecil dengan lampu pijar sebagai alat pemanas didalamnya. Penggunaan lampu pijar ditujukan untuk menghindari anak babi dari kedinginan terutama pada malam hari.
47
4.3.
Kandang Induk Babi Bunting dan Beranak Kandang untuk induk babi bunting dan beranak masing-masing adalah
kandang individu. Kandang induk babi bunting beralas lantai semen seperti diperlihatkan pada Gambar 7a, sedangkan untuk kandang induk babi beranak lantainya adalah slat besi seperti diperlihatkan pada Gambar 7b. Kandang induk babi bunting, kering dan calon induk berukuran 2.14 x 0.71 x 0.92 m3, sedangkan untuk induk babi beranak dan menyusui berukuran 2.00 x 1.75 x 0.95 m3 dan didalamnya diletakkan kotak berukuran 50 x 50 x 100 cm3 yang diberi penghangat pada tempat anak babi (Gambar 8). a
b
Gambar 7 Kandang Induk Babi Bunting
Gambar 8 Kandang Induk Babi Beranak 4.4.
Manajemen Induk Babi Bunting dan Menyusui Manajemen rutin yang dilakukan pada induk babi bunting dan menyusui
adalah pemberian ransum dua kali sehari, yaitu pada pagi (08.00 WIB) dan siang hari (13.00 WIB). Induk babi bunting diberi ransum 2-2.5 kg/e/h, sedangkan induk babi beranak dan menyusui disesuaikan dengan jumlah anaknya atau
48
berkisar 4-7 kg/e/h. Setelah pemberian ransum selesai dan ransumnya habis, maka dilanjutkan dengan pembersihan kandang dan tempat ransum baik pagi maupun siang hari. Pembersihan kandang dilakukan dengan cara menyemprotkan air dari selang dengan tekanan tinggi. Induk babi bunting dipindahkan ke kandang induk beranak sekitar 7–10 hari sebelum tanggal prediksi induk babi akan beranak dan dilakukan secara berkelompok antara 6-10 ekor induk babi. Anak babi yang baru lahir ditangani dengan cara membersihkannya dari lendir yang menutupi hidung dan mulutnya, kemudian melumuri badannya dengan malstra. Malstra adalah antibiotik berbentuk tepung yang ditaburkan di seluruh badan anak babi sesaat setelah lahir dan dibersihkan. Malstra juga berfungsi untuk mempercepat proses pengeringan badan anak babi dari lendir. Segera setelah anak babi lahir, tali pusar dan gigi dipotong dan diberi tanda bulan lahir dengan cara penyobekan pada daun telinga (ear notching) serta memotong 2/3 bagian ekor dari pangkalnya. Vaksinasi hog cholera dilakukan pada anak babi sebelum disapih. Anak babi prasapih diberi ransum prestarter setelah berumur 10 hari. Penyapihan dilakukan pada umur ± 26 hari secara berkelompok dengan memindahkan induk ke kandang induk babi kering yang berdekatan dengan pejantan, sedangkan anak babi tetap tinggal di kandang induk beranak hingga berumur satu bulan. Hal ini dilakukan agar induk babi dapat cepat birahi kembali dan anak babi tidak terlalu mengalami cekaman karena tidak lagi mendapatkan air susu dari induknya. Desinfeksi dilakukan setiap hari Senin, Kamis dan Sabtu dengan menyemprotkan desinfektan ke seluruh bagian kandang. 4.5.
Komposisi Nutrisi Ransum Persyaratan nutrisi induk babi laktasi berdasarkan SNI (2006a) untuk abu,
lemak dan serat kasar masing-masing maksimum 8, 8 dan 7%, sedangkan kandungan protein minimum 15%. Perbandingan antara SNI nutrisi induk babi laktasi (2006a) dengan hasil analisa proksimat ransum yang digunakan dalam penelitian maka dapat disimpulkan bahwa kadar lemak, protein dan serat kasar ransum penelitian memenuhi persyaratan untuk menjadi ransum induk babi. Hasil analisa proksimat ransum perlakuan pada Tabel 16 memperlihatkan, bahwa
49
semakin tinggi taraf penambahan TTB dalam ransum induk babi, maka peningkatan kandungan protein, serat kasar dan abu terjadi dalam ransum, sebaliknya penurunan kadar lemak juga terjadi seiring dengan taraf penambahan TTB dalam ransum induk babi. Tabel 16 Hasil Analisa Proksimat TTB, Ransum dan Daya Cerna Bahan analisa proksimat
Abu
Lemak
Protein
Serat kasar
------------------------------ % BK ----------------------------TTB
15.39
4.61
23.55
8.26
R0
7.49
5.70
17.00
3.36
R1
9.70
5.66
17.20
4.54
R2
10.10
5.62
17.54
4.41
R3
10.88
5.57
17.91
4.79
Daya cerna R0
-
2.15
3.87
-11.41
Daya cerna R1
-
2.84
5.41
-6.34
Daya cernaR2 2.53 5.32 -8.05 Daya cerna R3 2.49 4.09 -7.08 Keterangan: KA= kadar air, BK= bahan kering, R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, Sumber: Pusat Antar Universitas IPB (2011)
Kecernaan
protein dan lemak dari ransum diperoleh dengan cara
mengurangi kandungan protein dan lemak yang ada didalam ransum dengan yang ada di dalam feses. Daya cerna protein ransum oleh induk babi dengan ransum R1 (5.41 %) adalah yang paling tinggi sebaliknya ransum R0 (3.87 %) adalah yang paling rendah. Daya cerna lemak yang tertinggi adalah pada ransum R1 (2.84 %) dan yang paling rendah adalah pada ransum R0 (2.15 %). Peningkatan penggunaan lemak dan protein ransum lebih tinggi pada ransum dengan penambahan TTB dalam ransum induk babi. Hal ini sesuai dengan pendapat Sahelian (2006) yang menyatakan, bahwa senyawa forskolin yang terkandung dalam TTB bersifat merombak lemak menjadi energi. Khajarern dan Khajarern (2002) menyatakan bahwa penambahan thymol dan carvacrol dalam ransum ternak akan membantu proses pencernaan dan meningkatkan kecernaan protein. Peningkatan kandungan abu dan serat kasar didalam ransum tidak diikuti oleh kandungan yang sama dalam feses, sebaliknya di dalam feses terjadi penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan TTB dalam ransum
50
induk babi maka daya cerna serat kasar akan lebih baik. Kandungan serat kasar yang tinggi pada feses induk babi yang memperoleh rasum R0 juga diikuti oleh kandungan abu yang tinggi. Semakin tinggi serat kasar maka semakin rendah energi yang dapat dicerna, penyebabnya adalah kandungan serat kasar yang tinggi berakibat pada semakin rendahnya kandungan pati, gula dan lemak. Secara fisik serat kasar merintangi pencernaan gula, pati dan lemak. Serat kasar yang tinggi juga akan mengakibatkan meningkatnya konsumsi makanan (Sihombing 2006). 4.6.
Pengaruh Perlakuan terhadap Penampilan Reproduksi Induk Babi
4.6.1. Konsumsi Ransum Harian Induk Babi Hasil pengamatan memperlihatkan konsumsi TTB oleh induk babi yang diberikan pada W1untuk R0, R1, R2 dan R3 masing-masing adalah 0, 0.05, 0.10 dan 0.15 kg/e/h. Hasil pengamatan menunjukkan rataan konsumsi ransum harian (KRH) induk babi selama laktasi adalah 3.44 ± 0.39 kg/e/h dengan koefisien keragaman sebesar 11.60%. Rataan KRH induk babi selama penelitian selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 17. Tabel 17 Konsumsi Ransum Harian Induk Babi Ransum
Pemberian R0 W1 W2
R1
Rataan R2
R3
------------------------------------------- (kg/e/h) -------------------------------------------3.86 ± 0.27 2.97 ± 0.21 3.22 ± 0.42 3.42 ± 0.35 3.36 ± 0.44 3.54 ± 0.51
3.35 ± 0.20
3.77 ± 0.34
3.39 ± 0.33
3.51 ± 0.35
3.70± 0.40 3.16 ± 0.28 3.49 ± 0.46 3.40 ± 0.30 Rataan Keterangan: R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = waktu kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah induk beranak
Analisis ragam memperlihatkan bahwa taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberian serta interaksinya tidak berpengaruh terhadap KRH induk babi. Konsumsi ransum harian induk babi yang tinggi akan meningkatkan produksi air susu induk dan pertumbuhan anak babi yang disusui. Penelitian Khajarern dan Khajarern (2002) menyatakan, bahwa pemberian 60 g carvacrol dan 55 g thymol per ton pakan dapat meningkatkan KRH induk babi laktasi, membantu mencerna makanan dan meningkatkan palatabilitas. Kandungan
51
senyawa aktif carvacrol dan thymol yang ada dalam TTB tidak mampu menaikkan KRH induk babi didalam penelitian ini. Agus (2009) menyatakan bahwa KRH induk babi yang ditambahkan tepung daun bangun-bangun hingga 3.75% dalam ransumnya adalah 4.10 ± 0.35 kg/e/h. Hasil tersebut lebih tinggi daripada rataan hasil penelitian ini (3.97 ± 0.46 kg/e/h), tetapi lebih tinggi daripada penelitian Simorangkir (2008) yang menyatakan dengan pemberian 0.1% ekstrak daun katuk, rataan KRH
babi
selama laktasi adalah 2.94 ± 0.042 kg/e/h. Hal ini terjadi mungkin karena perbedaan babi yang digunakan dan juga manajemen pemberian pakan yang relatif terbatas. Jika dibandingkan dengan pernyataan Sihombing (2006) maka KRH induk babi dalam penelitian ini jauh lebih rendah karena perkiraan kebutuhan induk babi laktasi adalah 2 kg + (9.91x 0.5 kg) atau 6.99 kg/e/h. Pengamatan KRH induk babi perlu dilakukan secara periodik untuk mengetahui pola konsumsi dan perbedaan konsumsi induk babi selama masa laktasi. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan, bahwa interaksi antara taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberiannya pada induk babi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap KRH induk babi pada hari ke-10 laktasi, tetapi tidak berpengaruh pada hari ke-5, 15 dan 20 laktasi. Tabel 18 memperlihatkan KRH induk babi setiap lima hari selama 20 hari laktasi. Tabel 18 Konsumsi Ransum Harian Induk Babi setiap Lima Hari Pengukuran KRH induk babi Hari keRataan 5 10 15 20 ------------------------------------- (kg/e/h) ---------------------------------------R0W1 2.35 3.93c 3.86 4.18 3.58 R1W1 2.34 3.18abc 3.18 3.67 3.09 R2W1 1.47 2.67a 2.51 2.71 2.34 R3W1 1.52 3.40abc 2.93 3.32 2.79 R0W2 1.35 2.80ab 3.02 3.17 2.59 R1W2 2.27 3.47abc 3.86 4.05 3.41 R2W2 1.97 3.23abc 3.00 3.29 2.87 R3W2 1.77 3.60bc 3.08 2.98 2.86 Rataan 1.88 3.29 3.18 3.42 2.94 Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05), R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = waktu kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah beranak Perlakuan
Pada hari ke-10 laktasi KRH induk babi perlakuan R0W1 (3.93 kg/e/h) adalah yang tertinggi dan berbeda nyata (P<0.05) dengan KRH induk babi pada
52
perlakuan R2W1 (2.67 kg/e/h), dan R0W2 (2.80 kg/e/h) tetapi tidak berbeda dengan perlakuan lainnya. Konsumsi ransum harian pada perlakuan R2W1 (2.67 kg/e/h) adalah terendah dan berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan R0W1 (3.93 kg/e/h) dan R3W2 (3.60 kg/e/h) tetapi tidak berbeda dengan perlakuan lainnya. Gambar 10 memperlihatkan peningkatan KRH induk babi hingga hari ke-10 laktasi kemudian terjadi penurunan KRH dari laktasi hari ke-10 hingga hari ke-15 kecuali pada perlakuan R1W2 dan R0W2. Peningkatan konsumsi yang tetap terjadi pada perlakuan ini, diduga berkaitan dengan umur induk babi yang dipakai. Paritas induk babi menentukan KRH induk babi (Sihombing 2006). Paritas induk babi pada perlakuan R1W2 dan R0W2 masing-masing adalah 5 dan 3.67. Pada hari ke-15 hingga ke-20 laktasi masih terjadi peningkatan KRH induk babi kecuali pada perlakuan R3W2. Setelah diamati dari catatan harian KRH induk babi terlihat bahwa salah satu induk babi pada perlakuan R3W2 terjadi nafsu makan yang menurun pada hari ke-17 dan ke-18 laktasi masing-masing menjadi 2 dan 2.17 kg/e/h. Induk babi tersebut sakit dan telah disuntik antibiotik sothapen, sedangkan anaknya yang mengalami mencret diberi multivitamin Hidro Rex Vital dan obat mencret Quixalud. Gambar 9 selengkapnya memperlihatkan KRH induk babi per lima hari pengamatan hingga hari ke-20 laktasi.
Konsumsi Ransum Induk (kg/e/h)
4,50 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 5 R0W1 R0W2
10
15
Hari Laktasi keR1W1 R2W1 R1W2 R2W2
20 R3W1 R3W2
Gambar 9 Grafik Konsumsi Ransum Harian Induk Babi per Lima Hari
53
Wening (2008) menyatakan bahwa penurunan konsumsi ransum pada mencit dengan taraf penambahan tepung daun bangun-bangun yang semakin meningkat disebabkan bangun-bangun menurunkan palatabilitas, hal ini sesuai dengan pernyataan Sutardi (1981), bahwa faktor umum yang dapat mempengaruhi konsumsi ransum adalah palatabilitas ternak terhadap ransum yang diberikan. Palatabilitas ransum menurun karena kandungan serat kasar TTB yang tinggi yaitu sebesar 8.26% dari bahan kering (Tabel 16). Hal ini mengakibatkan, semakin tingginya taraf penambahan TTB dalam ransum maka serat kasar dalam ransum juga semakin meningkat dan menurunkan konsumsi ransum, tetapi berbeda dengan penelitian Rumetor (2008) yang menyatakan, bahwa suplementasi daun bangun-bangun
didalam ransum dapat meningkatkan konsumsi hijauan
pada kambing perah. Peningkatan konsumsi ransum pada kambing perah sangat nyata seiring dengan peningkatan suplemen daun bangun-bangun hingga 9 g/kg bobot badan. Cross et al. (2007) dalam penelitiannya pada ayam umur 7-28 hari, telah membuktikan, bahwa penggunaan tanaman yang mengandung carvacrol seperti bangun-bangun menghasilkan penampilan ayam lebih baik berdasarkan pengamatan terhadap kecernaan zat makanan dan jumlah mikroflora negatif dalam saluran pencernaan. Selain kandungan nutrisi diduga ada senyawa lain dalam daun bangun-bangun yang berperan dalam meningkatkan selera makan. Secara pasti faktor tersebut belum diketahui, namun menurut Sahelian (2006), dalam beberapa tanaman herba terdapat senyawa yang dapat mempengaruhi sistem syaraf pusat dalam hal pengaturan rasa lapar. Senyawa tersebut dapat meningkatkan atau menurunkan rasa lapar. Namun senyawa tersebut belum teridentifikasi. Lawrence et al. (2005) menyatakan, bahwa dalam daun bangunbangun terdapat golongan senyawa farmakoseutika yang peranannya bervariasi diantaranya berhubungan dengan palatabilitas. 4.6.2. Lama Bunting Rataan lama bunting induk babi selama penelitian adalah 113.13 ± 2.03 hari dengan koefisien keragaman (KK) 1.79%. Hasil pengamatan lama bunting dalam penelitian ini (113.13 ± 2.03 hari) tidak berbeda jauh dengan pendapat Eusebio (1980) yang menyatakan, bahwa umur kebuntingan ternak babi berkisar
54
112-120 hari dengan rataan 114 hari, sedangkan hasil penelitian Yoga (1988) rataan lama bunting ternak babi adalah 113.5 hari dan menurut Hartoyo (1995) dengan rataan lama bunting 114.43 hari. Secara rinci rataan lama bunting babi untuk tiap perlakuan diperlihatkan pada Tabel 19. Tabel 19 Pengaruh Perlakuan terhadap Lama Bunting Ransum
Pemberian R0
R1
Rataan R2
R3
--------------------------------------------- (hari) -------------------------------------------W1
113.3 ± 1.15
112.0 ± 2.00
114.3 ± 2.52
112.6 ± 2.08
113.0 ± 1.93
W2
112.6 ± 2.00
111.6 ± 3.00
113.0 ± 1.00
115.3 ± 3.00
113.1 ± 2.21
Rataan 113.0 ± 1.26 111.8 ± 2.04 113.6 ± 1.86 114.0 ± 2.53 Keterangan: R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah beranak
Hasil analisis ragam menunjukkan, bahwa taraf penambahan tepung tanaman bangun-bangun (TTB) dalam ransum dan waktu pemberian pada induk babi serta interaksi keduanya tidak berpengaruh terhadap lama bunting. Hal ini dapat dipahami karena lama atau umur kebuntingan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor dalam (faktor genetik) daripada faktor luar. Tabel 19 memperlihatkan, bahwa lama bunting berdasarkan waktu pemberian yang berbeda yaitu pada pemberian W1 (113.0 ± 1.93 hari) sedikit lebih singkat daripada W2 (113.1 ± 2.21 hari). Hal ini diduga terjadi karena pemberian TTB pada induk babi sebelum beranak mempercepat proses kelahiran. Lama bunting berdasarkan taraf TTB dalam ransum yang diberikan pada W1, dengan ransum R1 (112.0 ± 2.00 hari) adalah yang paling singkat dan ransum R2 (114.3 ± 2.52 hari) adalah yang paling lama. Hafez (1980) menyatakan, bahwa faktor yang mempengaruhi lama bunting ternak babi antara lain adalah induk, jumlah anak yang dikandung dan bangsa babi itu sendiri. Hasil analisa korelasi diperoleh bahwa terdapat korelasi nyata (P<0.05) antara lama bunting dengan paritas dan liiter size. Paritas induk babi yang digunakan dalam penelitian diperlihatkan pada Gambar 10.
55
6,00 5,00 Paritas ke-
5,00 3,67
4,00
3,67 3,00
3,00
2,67
2,67 2,33
W1 W2
2,00 1,33 1,00 0,00 R0
R1
R2
R3
Ransum perlakuan
Gambar 10 Rataan Paritas Induk Babi Penelitian Semakin banyak litter size lahir maka umur kebuntingan induk babi akan semakin lama, tetapi jika paritas induk babi semakin besar maka lama bunting induk babi akan semakin singkat. Gambar 10 memperlihatkan induk babi pada perlakuan R1W2 adalah yang paling sering beranak (5.00 kali) dan R3W2 adalah yang paling jarang beranak (1.33 kali). 4.6.3. Waktu dan Lama Lahir Anak Babi Menurut waktu beranak, induk babi paling banyak beranak (58%) pada malam hari (jam 18.00-06.00 WIB). Pada pagi dan sore hari ( jam 06.00-10.00 dan 14.00-18.00 WIB) merupakan waktu yang sama banyaknya untuk induk babi beranak yaitu masing-masing 17%, tetapi pada siang hari (10.00 – 14.00 WIB) adalah jumlah yang paling sedikit karena hanya 8% induk babi beranak. Pada waktu malam hari induk babi merasa tenang, kondisi iklim sesuai bagi induk babi untuk beranak dengan rataan suhu dan kelembaban masing-masing adalah 20.610C dan 81.06%, menyebabkan induk babi lebih banyak beranak. Lama waktu induk babi beranak diperoleh dari selisih waktu ketika anak pertama hingga anak yang terakhir lahir. Gambar 11 selengkapnya memperlihatkan persentase induk babi beranak berdasarkan waktu.
56
pagi siang sore malam
Gambar 11 Induk Babi Beranak Berdasarkan Waktu Hasil pengamatan memperlihatkan, bahwa lama waktu proses kelahiran per litter dan per ekor anak babi masing-masing adalah 128.0 ± 45.7 menit/litter dan 12.8 ± 4.82 menit/ekor. Hal ini menunjukkan, bahwa lama waktu proses beranak induk babi pada penelitian ini lebih singkat bila dibandingkan dengan pendapat Sihombing (2006) yang menyatakan, bahwa lama proses kelahiran per litter dapat berlangsung dengan rataan 150 menit/litter. Hasil penelitian mengenai lama waktu proses lahir anak babi per litter size dan per ekor selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 20. Tabel 20 Pengaruh Perlakuan terhadap Lama Waktu Induk Babi Beranak Ransum
Pemberian R0
R1
Rataan R2
R3
W1
---------------------------------------- (menit/litter) -----------------------------------------132.6 ± 36.0 104.0 ± 28.5 159.3 ± 50.8 71.5 ± 23.3 121.0 ± 45.3
W2 Rataan
104.7 ± 45.7 118.6 ± 39.8
112.5 ± 7.7 107.4 ± 21.1
148.6 ± 62.1 154.0 ± 51.1
166.6 ± 39.1 128.6 ± 39.1
135.0 ± 47.3
------------------------------------------ (menit/ekor) ----------------------------------------W1
12.0 ± 4.36
13.0 ± 5.29
13.3 ± 5.86
8.5 ± 3.54
12.0 ± 4.56
W2 13.0 ± 3.61 11.5 ± 2.12 15.0 ± 9.64 14.3 ± 4.04 13.6 ± 5.16 Rataan 12.5 ± 3.62 12.4 ± 3.97 14.1 ± 7.19 12.0 ± 4.64 Keterangan: R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = waktu kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah induk babi beranak
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberian pada induk babi serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap lama waktu induk babi beranak baik per litter size
57
maupun per ekor anak babi. Lama waktu induk babi beranak pada pemberian W1 (121 ± 45.3 menit/litter dan12.0 ± 4.56 menit/ekor) sedikit lebih singkat daripada W2 (135 ± 47.3 menit/litter dan13.6 ± 5.16 menit/ekor). Lama waktu induk babi beranak pada pemberian W1 sedikit lebih singkat daripada W2. Hal ini mungkin terkait dengan konsumsi TTB yang ditambahkan dalam ransum induk babi. Senyawa aktif 3-ethyl-3- hydroxy-5-alphaandostran17-one yang terkandung didalam TTB memacu ovarium induk babi untuk menghasilkan estradiol. Estradiol diteruskan ke hipotalamus yang akan merangsang hipofisa posterior untuk melepaskan oksitosin (Suprayogi 2000). Hormon PGF2α juga meningkatkan sensitivitas uterus terhadap oksitoksin, dengan demikian kontraksi menjadi semakin kuat. Kontraksi yang semakin kuat ini mempercepat proses beranak pada induk babi. Relaksin dan mungkin PGF2α membantu ligamen pelvis menjadi lebih relaks dan melebarkan serviks. Sudah tentu dengan mengendornya serviks, kelahiran akan segera terjadi. Pada saat akan melahirkan, hipotalamus fetus juga menghasilkan ACTHRH (pelepas hormon ACTH). Ini menyebabkan lonjakan sekresi ACTH fetus yang kemudian menyebabkan meningkatnya sekresi kortisol. Kortisol melewati plasenta dan mengakibatkan peningkatan PGF2α, peningkatan kadar estrogen, dan penurunan progesteron. PGF2α menyebabkan kontraksi miometrium, yang merangsang pelepasan oksitosin yang membantu mempertahankan kontraksi miometrium tersebut (Tomaszewska et al. 1991). Konsumsi TTB oleh induk babi yang diberikan pada W1 untuk R0, R1, R2 dan R3 masing-masing adalah 0, 0.05, 0.10 dan 0.15 kg/e/h. Lama waktu beranak pada pemberian W1 dengan ransum R3 (8.5 ± 3.54 menit/ekor) adalah yang paling cepat, sedangkan dengan ransumR1 dan R2(13.0 ± 5.29 dan 13.3 ± 5.86 menit/ekor) hanya sedikit berbeda dengan kontrol. Tanaman
bangun-bangun
mengandung
3-ethyl-3-
hydroxy-5-alpha
andostran-17-one yang secara hormonal akan merangsang pituitary untuk menghasilkan oksitoksin yang berperan dalam kelancaran proses beranak dan memproduksi air susu. Penyuntikan oksitosin untuk memperlancar proses kelahiran anak babi di peternakan sangat umum dilakukan, sehingga tanaman bangun-bangun memungkinkan dapat menggantikan peran oksitoksin untuk
58
membantu proses kelahiran pada babi (Lawrence et al. 2005). Daun bangunbangun juga mengandung kalium yang berfungsi sebagai pembersih darah, melawan infeksi, mengurangi rasa nyeri dan menimbulkan rasa tenang (Mepham 1987). Penambahan TTB dalam ransum induk babi diharapkan dapat mengurangi rasa sakit dan nyeri saat beranak dan menenangkan induk babi. Damanik et al. (2006) telah meneliti seyawa aktif dalam bangun-bangun yang bermanfaat membantu mengontrol postpartum bleeding dan berperan sebagai uterine cleansing agent pada ibu melahirkan, dan hal ini diharapkan juga terjadi pada induk babi yang beranak. Rasa tenang dan berkurangnya rasa sakit karena penambahan TTB dalam ransum dapat mempercepat proses beranak pada induk babi. 4.6.4. Litter Size Lahir Rataan litter size lahir total pada penelitian ini seperti terlihat pada Tabel 21 adalah 10.34 ± 2.81 ekor dengan koefisien keragaman (KK) 29.87%, sedangkan litter size lahir hidup adalah 10.04 ± 3.11 ekor dengan KK 26.68%. Secara rinci pengaruh perlakuan terhadap litter size lahir total dan hidup diperlihatkan pada Tabel 21. Tabel 21 Pengaruh Perlakuan terhadap Litter Size Lahir Total dan Hidup Ransum
Pemberian R0
R1
Rataan R2
R3
--------------------------------- Lahir total (ekor/litter) ----------------------------------W1
11.33 ±1.58
9.00 ± 4.00
12.33 ± 1.52
10.00 ± 4.58
10.67 ± 3.05
W2
7.66 ± 1.52
11.67 ± 3.06
10.67 ± 3.06
11.67 ± 1.52
10.42 ± 2.67
Rataan
9.50 ± 2.43
10.33 ± 5.00
11.50 ± 2.34
10.83 ± 3.19
---------------------------------- Lahir hidup (ekor/litter) ----------------------------------W1
10.67 ± 2.08
8.33 ± 4.04
12.00 ± 1.73
9.67 ± 5.13
10.17 ± 3.33
W2
7.00 ± 1.73
9.67 ± 2.08
10.33 ± 3.51
11.67 ± 1.53
9.67 ± 2.67
Rataan 8.83 ± 2.64 9.00 ± 2.97 11.17 ± 2.64 10.67 ± 3.56 Keterangan: R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = waktu kebuntingan hari ke-107, W2 = waktu sesaat setelah beranak
Hasil penelitian memperlihatkan taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberian pada induk babi serta interaksi keduanya tidak berpengaruh
59
terhadap litter size lahir total dan hidup. Hal ini mungkin terjadi karena taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberiannya pada W1 dan W2 tidak lagi berpengaruh tehadap jumlah fetus karena fetus jauh sebelumnya sudah terbentuk didalam uterus induk babi, sedangkan Amrik dan Bilkei (2004) menyatakan, bahwa pemberian ekstrak daun bangun-bangun pada hari ke-110 kebuntingan akan meningkatkan litter size lahir hidup anak babi. Rataan litter size lahir hidup yang diperoleh Hutapea (2009) dengan pemberian hingga 3.75% tepung daun bangun-bangun dalam ransum induk babi adalah 11.29 ± 3.75 ekor dan hasil penelitian Simorangkir (2008) dengan pemberian ekstrak daun katuk rataanlitter size lahir hidup (11.38 ± 2.11 ekor) lebih tinggi daripada penelitian ini. Litter size lahir hidup di CV Adi Farm oleh Herawaty (2006) adalah 9.43 ± 2.34 ekor lebih rendah daripada penelitian ini dan hasil penelitian Kurniawan (2006) menyatakan litter size lahir hidup adalah 10.16 ekor. Tabel 21 memperlihatkan, bahwa litter size lahir total dan hidup anak babi pada induk babi yang diberi ransum perlakuan pada W1 (10.67 ± 3.05 dan 10.17 ± 3.33 ekor/litter) sedikit lebih banyak daripada W2 (10.42 ± 2.67 dan 9.67 ± 2.67 ekor/litter). Tepung tanaman bangun-bangun mengandung senyawa aktif carvacrol (Laboratorium Department of Chemistry, Gorakhpur University, 2006). Senyawa carvacrol yang dikenal sebagai senyawa antiinfeksi dan antiinflamasi (Burfield 2001) dan dalam penelitian Isley et al. (2004) terungkap bahwa penggunaan carvacrol dalam suatu campuran ekstrak tanaman sebagai suplemen dalam ransum ternak babi menghasilkan litter size lahir lebih tinggi dibanding babi tanpa suplementasi dalam ransumnya, tetapi didalam penelitian ini taraf penambahan TTB dalam ransum dengan waktu pemberian yang berbeda serta interaksi keduanya tidak berpengaruh terhadap litter size lahir total dan hidup. 4.6.5. Anak Babi Mati Lahir Menurut Sihombing (2006), hampir 10% anak yang mati lahir adalah yang benar-benar mati sebelum mulai proses kelahiran dan 90% sisanya adalah mati selama proses kelahiran atau saat mulai hingga akhir proses kelahiran. Rataan jumlah anak babi mati lahir selama penelitian adalah 0.62 ± 0.77 ekor/litter atau persentase mati lahir sebesar 6.86%. Hasil ini sesuai dengan yang dinyatakan
60
oleh Sihombing (2006), bahwa anak babi yang mati lahir biasanya berkisar 5-7% dari total anak yang lahir. Pengaruh perlakuan terhadap anak babi mati lahir pada induk babi penelitian dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Pengaruh Perlakuan terhadap Anak Babi Mati Lahir Ransum
Pemberian R0
R1
Rataan R2
R3
------------------------------------ Mati lahir (ekor/litter) ------------------------------------W1
0.67 ± 0.58
0.67 ± 0.58
0.33 ± 0.58
0.33 ± 0.58
0.50 ± 0.52
W2
0.67 ± 0.58
2.00 ± 0.58
0.33 ± 0.33
0.00 ± 0.00
0.75 ± 0.96
Rataan
ab
0.67 ± 0.52
b
1.33 ± 1.03
ab
0.33 ± 0.52
a
0.16 ± 0.41
----------------------------------- Mati lahir per litter (%) ---------------------------------W1
6.36 ± 5.53
9.23 ± 10.09
2.78 ± 4.81
6.67 ± 11.55
6.26 ± 7.63
W2
9.26 ± 8.49
16.43 ± 4.70
4.17 ± 7.22
0.00 ± 0.00
7.46 ± 8.22
Rataan 7.81 ± 6.60 12.83 ± 8.07 3.47 ± 5.54 3.33 ± 8.16 Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05), R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = waktu kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah beranak
Berdasarkan analisis ragam taraf penambahan TTB dalam ransum induk babi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap jumlah anak babi mati lahir, sedangkan waktu pemberian ransum pada induk babi dan interaksi keduanya tidak berpengaruh baik terhadap jumlah mati lahir maupun persentase mati lahir per litter. Jumlah anak babi mati lahir dengan ransum R1 (1.33 ± 1.03 ekor/litter) nyata (P<0.05) lebih tinggi daripada ransum R3 (0.17 ± 0.41 ekor/litter) tetapi keduanya tidak berbeda dengan ransum R2 (0.33 ± 0.52 ekor/litter) dan R0 (0.67 ± 0.52 ekor/litter). Jumlah anak babi mati lahir pada W1 ( 0.50 ± 0.52 ekor/litter) lebih rendah daripada W2 (0.75 ± 0.96 ekor/litter), hal ini terkait dengan penambahan TTB dalam ransum induk babi sebelum beranak (W1). Kandungan kalium dalam TTB bermanfaat mengurangi rasa sakit pada induk dan menimbulkan perasaan tenang (Mepham 1987). Senyawa carvacrol juga berperan dalam mengurangi jumlah anak babi mati pada saat dilahirkan. Hal ini terlihat dimana persentase mati lahir pada W1 (6.26 ± 7.63%) lebih rendah daripada W2 (7.46 ± 8.22% ). Hal ini terkait dengan lama waktu induk babi beranak pada pemberian W1 (12.0 ± 4.56 menit/ekor) sedikit lebih singkat daripada pemberian W2 (13.6 ± 5.16
61
menit/ekor). Hal ini mungkin terkait dengan kandungan senyawa aktif didalam TTB yang dikonsumsi induk babi membantu mempercepat proses beranak sehingga lebih lancar, dan mengurangi resiko kematian saat beranak. Persentase anak babi mati lahir pada W1 dengan ransum R2 (2.78 ± 4.81 %) adalah yang terendah dan dengan ransum R1 (9.23 ± 10.09 %) adalah yang tertinggi. Menurut Santosa (2005) semakin tinggi taraf ekstrak daun bangun-bangun diberikan dalam ransum tikus putih, maka mortalitas akan semakin menurun. Pemberian daun bangun-bangun selama 60 hari berhasil meningkatkan 80% sifat fagositosis sel netrofil terhadap bakteri Staphylococcus aureus secara in vitro. Peningkatan kemampuan fagositosis sel netrofil terhadap benda asing yang masuk kedalam tubuh akan membantu individu bertahan melawan agen asing, bahkan mematikannya sehingga individu bersangkutan tetap hidup. Menurut Mepham (1987), daun bangun-bangun mengandung kalium yang berfungsi sebagai pembersih darah, melawan infeksi dan menciutkan selaput lendir. Sihombing (2000) melaporkan, bahwa penggunaan daun bangun–bangun dikombinasikan dengan hati ikan dan vitamin C, dapat meningkatkan ketersediaan Fe yang direfleksikan dengan peningkatan kadar Hb dan Ferritin darah. Analisis korelasi menunjukkan, bahwa jumlah anak babi mati lahir berkorelasi (P<0.05) dengan bobot lahir anak babi per litter dan paritas induk babi. Semakin besar bobot lahir per litter maka kasus anak babi mati lahir akan semakin kecil dan sebaliknya semakin besar paritas induk babi maka akan semakin tinggi anak babi mati lahir. 4.6.6. Bobot Lahir Anak Babi Bobot lahir per litter dalam penelitian ini adalah 15.12 ± 3.83 kg dengan koefisien keragaman (KK) 25% dan bobot lahir per ekor adalah 1.52 ± 0.18 kg dengan KK 11%. Hutapea (2009) menyatakan, rataan bobot lahir anak babi dengan pemberian tepung daun bangun-bangun hingga 3.75% dalam ransum induk babi adalah 1.18 ± 0.14 kg/ekor. Simorangkir (2008) menyatakan, rataan bobot lahir anak babi dengan pemberian ekstrak daun katuk didalam ransum induknya adalah 1.36 ± 0.17 kg/ekor. Kurniawan (2006) yang meneliti hubungan antara bobot lahir dengan litter size lahir menyatakan, bahwa bobot lahir anak babi adalah 1.30 kg/ekor. Ketiga hasil tersebut lebih rendah daripada hasil pada
62
penelitian ini yaitu 1.52 ± 0.18 kg. Pengaruh perlakuan terhadap bobot lahir per litter size dan per ekor anak babi dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Lahir per Litter dan per Ekor Ransum
Pemberian R0 W1 W2 Rataan
R1
Rataan R2
R3
-------------------------------------Bobot lahir (kg/litter) ----------------------------------15.87 ± 3.49 13.43 ± 5.93 16.60 ± 2.01 14.53 ± 6.74 15.11 ± 4.39 13.85 ± 4.22 13.65 ± 2.09 15.00 ± 4.77 18.03 ± 0.45 15.13 ± 3.40 14.86 ± 3.63 13.54 ± 3.98 15.80 ± 3.39 16.28 ± 4.68
-----------------------------------Bobot lahir (kg/ekor) ------------------------------------W1 1.48 ± 0.24 1.64 ± 0.10 1.58 ± 0.53 1.56 ± 0.17 1.56 ± 0.69 W2 1.50 ± 0.10 1.42 ± 0.09 1.46 ± 0.04 1.56 ± 0.21 1.49 ± 0.12 Rataan 1.49 ± 0.17 1.53 ± 0.14 1.51 ± 0.27 1.56 ± 0.17 Keterangan: R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = waktu kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah beranak
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf penambahan TTB dalam ransum dengan waktu pemberian pada induk babi yang berbeda serta interaksi keduanya tidak berpengaruh baik terhadap bobot lahir anak babi per litter maupun per ekor. Bobot lahir anak per litter dengan pemberian ransum perlakuan pada W1 (15.11 ± 4.39 kg/litter) sedikit lebih rendah daripada W2 (15.13 ± 3.40 kg/litter), tetapi sebaliknya rataan bobot lahir per ekor pada W1 (1.56 ± 0.69 kg/ekor) lebih tinggi daripada W2 (1.49 ± 0.12 kg/ekor). Perbedaan antara bobot lahir per litter dan per ekor pada penelitian ini sangat dipengaruhi oleh litter size lahir total anak babi. Analisis korelasi menunjukkan adanya korelasi (P<0.01) antara bobot lahir per litter dengan litter size lahir. Hal ini berarti semakin banyak litter size lahir maka akan semakin berat bobot lahir per litter, tetapi sebaliknya semakin banyak litter size lahir maka bobot per ekor anak babi akan semakin kecil. Pada Gambar 12 (a) dan (b) terlihat bahwa semakin besar bobot lahir per litter tidak selalu diikuti bobot lahir per ekor ataupun sebaliknya. Rataan bobot lahir per litter dan per ekor selama penelitian selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 12.
63
Bobot lahir per litter (kg)
19,00
18,0
18,00 16,6
17,00 16,00
15,9 15,0
15,00 13,9
14,00
14,5
13,4 13,7
W1 W2
13,00 12,00 R0
R1
R2
R3
Ransum perlakuan
(a)
Bobot lahir per ekor (kg)
1,70 1,64
1,65
1,58
1,60 1,55 1,50
1,48
1,56 1,56
1,50 1,46 W1
1,42
1,45
W2
1,40 1,35 1,30 R0
R1
R2
R3
Ransum perlakuan
(b) Gambar 12 Bobot Lahir Anak Babi (a) per Litter dan (b) per Ekor Bobot lahir per litter pada R1W1 (13.4 kg) adalah yang paling kecil, tetapi bobot lahir per ekornya adalah yang paling besar (1.64 kg). Bobot lahir per litter pada R3W2 (18.0 kg) adalah yang paling besar tetapi bobot lahir per ekornya (1.56 kg) bukan yang terbesar maupun terkecil. Analisa korelasi menunjukkan tidak adanya hubungan antara bobot lahir per litter dengan bobot lahir per ekor. Bobot lahir per litter dan per ekor lebih banyak dipengaruhi oleh litter size lahir anak babi. Penelitian Isley et al. (2004) menyatakan, bahwa penggunaan carvacrol dalam suatu campuran ekstrak tanaman sebagai suplemen dalam ransum ternak babi menghasilkan bobot lahir lebih tinggi dibanding babi yang
64
diberi ransum tanpa suplementasi. Tanaman bangun-bangun mengandung senyawa carvacrol (Lawrence et al. 2005), tetapi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberian yang berbebeda tidak berpengaruh terhadap bobot lahir anak babi. Pertambahan berat fetus sangat tinggi pada saat tiga minggu menjelang kelahiran (Sihombing 2006), dengan demikian penambahan TTB tujuh hari sebelum prediksi babi beranak diharapkan dapat meningkatkan bobot lahir anak babi. Pemberian TTB lebih awal dan dengan jumlah penambahan yang lebih banyak seyogianya dapat meningkatkan bobot lahir sesuai dengan pendapat Isley et al. (2004). Tanaman bangun-bangun mempunyai manfaat yang mirip dengan tanaman katuk. Sebanyak 100 gram daun bangun-bangun mengandung kalsium, besi dan karoten lebih banyak dibandingkan dengan daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr). Khususnya beta karoten dapat meningkatkan produksi protein uterus, yang berguna untuk mendukung pertumbuhan fetus. Beta karoten juga mampu meningkatkan produksi progesteron (Phuc et al. 2005). 4.6.7. Produksi Air Susu Induk Babi Rataan produksi air susu induk (PASI) babi pada penelitian ini adalah 253 ± 81 g/litter/menyusui atau 5.45 ±1.64 kg/litter/h. Sibuea (2009) menyatakan bahwa penambahan tepung daun bangun-bangun dalam ransum induk babi hingga 3.75% tidak mampu menaikkan PASI babi. Rataan PASI babi yang diperoleh Sibuea (2009) adalah 207.10 ± 56.1 g/litter/menyusui dengan rataan perkiraan PASI babi harian adalah 5.77 ± 1.49 kg/litter/h. Penelitian Sidauruk (2008) menyatakan bahwa perkiraan rataan PASI babi adalah 12.8 ± 3.9 kg/litter/h dengan menambahkan ekstrak daun katuk hingga 0.1% didalam ransum induk babi. Frekuensi induk babi menyusui menurut Xu dan Cranwell (2003) adalah 20 kali per hari, sementara hasil penelitian Sibuea (2009) adalah 28 kali per hari. Pada penelitian ini rataan frekuensi induk babi menyusui per hari adalah 21.63 kali (Tabel 24). Pada penelitian ini data frekuensi induk babi menyusui diperoleh dari salah satu induk babi yang dipilih secara acak yang mewakili setiap perlakuan dan diamati selama 24 jam. Frekuensi induk babi menyusui, PASI babi per menyusui dan per hari diperlihatkan pada Tabel 24.
65
Tabel 24 Frekuensi Induk Babi Menyusui, Produksi Air Susu Induk Babi per Menyusui dan per Hari Ransum Rataan R0 R1 R2 R3 -------------------------------- Frekuensi menyusui (kali/h) ------------------------------W1 20 22 23 22 21.75 W2 21 20 23 22 21.5 Rataan 20.5 21 23 22 ---------------------------------PASI babi (g/litter/menyusui)-----------------------------W1 256 ± 33ab 196 ± 79a 229 ± 89ab 249 ± 85ab 232 ± 68 a c a W2 217 ± 49 376 ± 30 177 ± 17 329 ± 43bc 275 ± 90 Rataan 236 ± 43 286 ± 112 203 ± 64 289 ± 74 --------------------------------------PASI babi (kg/litter/h) --------------------------------W1 5.12 ± 0.66ab 4.32 ± 1.74a 5.28 ± 2.05abc 5.48 ± 1.87abc 5.05 ± 1.49 a c a W2 4.56 ± 1.03 7.52 ± 0.60 4.08 ± 0.41 7.24 ± 0.96bc 5.85 ± 1.74 Rataan 4.84 ± 0.837 5.92 ± 2.10 4.68 ± 1.47 6.36 ± 1.64 Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05), R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = waktu kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah beranak Pemberian
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi taraf penambahan TTB dalam ransum dengan waktu pemberian ransum nyata (P<0.05) meningkatkan PASI babi per menyusui dan per hari, tetapi taraf penambahan TTB dan waktu pemberiannya tidak berpengaruh. Perlakuan R1W2 (376 ± 30 g/litter/menyusui) menghasilkan PASI babi per menyusui tertinggi dan tidak berbeda dengan perlakuan R3W2 (329 ± 43 g/litter/menyusui) tetapi berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan lainnya. Hal yang sama terjadi pada PASI babi per hari, dimana perlakuan R1W2 (7.52 ± 0.60 kg/e/h) menghasilkan PASI babi tertinggi dan tidak berbeda dengan R3W2 (7.24 ± 0.96 kg/e/h), R3W1 (5.48 ± 1.87 kg/e/h), dan R2W1 (5.28 ± 2.05 kg/e/h), tetapi berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan lainnya. Produksi air susu induk babi per menyusui dan per hari yang diberi ransum perlakuan pada W1 tidak berbeda walaupun dengan berbagai taraf penambahan TTB, sebaliknya PASI babi yang diberi ransum perlakuan pada W2 berbeda berdasarkan taraf penambahan TTB. Perlakuan R1W2 dan R3W2 nyata (P<0.05) lebih tinggi daripada perlakuan R0W2 dan R2W2. Produksi air susu induk babi per menyusui dan per hari dengan ransum R1 manghasilkan PASI babi yang lebih tinggi (P<0.05) pada W2 daripada W1. Perlakuan R1W2 nyata (P<0.05) lebih tinggi daripada perlakuan R1W1. Gambar 13 memperlihatkan PASI babi selama empat kali penimbangan berdasarkan waktu pemberian TTB.
66
7,00
PASI babi (kg/h)
6,50 6,00 5,50 5,00 W1
4,50
W2 4,00 3,50 3,00 5
10
15
20
Hari laktasi ke-
.Gambar 13 PASI Babi Berdasarkan Waktu Pemberian TTB Gambar 13 memperlihatkan bahwa induk babi yang diberi ransum perlakuan pada W1, mempersiapkan ambing lebih baik untuk memproduksi air susu dibandingkan dengan yang diberi ransum perlakuan pada W2. Persiapan ambing dibantu oleh adanya senyawa aktif yang ada didalam TTB untuk menstimulasi progesteron, estradiol, dan glukokortikoid dalam meningkatkan jumlah sel kelenjar mammae (jumlah DNA) dan aktivitas metabolik, sedangkan induk babi yang diberi ransum perlakuan pada W2 lebih cepat merespon adanya senyawa aktif didalam TTB daripada induk yang diberi TTB pada W1. Senyawa aktif didalam TTB juga menstimulasi dikeluarkannya hormon prolaktin, growth hormone dan oksitosin daripada induk yang sudah mendapat TTB pada W1. Konsentrasi hormon prolaktin, oksitosin dan pertumbuhan yang lebih tinggi pada W2 dibuktikan dengan tingginya PASI babi pada hari ke-5 laktasi seperti pada Gambar 18. Produksi air susu induk babi yang tinggi tetapi tidak diikuti oleh persiapan ambing yang cukup mengakibatkan terjadi penurunan PASI W2 pada hari ke-10 laktasi, sedangkan induk babi W1 terus mengalami peningkatan. Pemberian TTB pada W1, senyawa aktif yang terkandung di dalam TTB menstimulasi ovarium untuk menghasilkan progesteron dan estradiol. Progesteron merangsang pembentukan sistem sekretori di kelenjar ambing, mempertahankan sistem saluran ambing dan pertumbuhan ambing, sedangkan estradiol diteruskan ke hipotalamus yang akan merangsang hipofisa posterior
67
untuk melepaskan oksitoksin yang berperan dalam proses beranak, selain itu estradiol juga merangsang hipofisa anterior untuk menghasilkan prolaktin dan growth hormone yang berperan untuk merangsang pertumbuhan kelenjar ambing serta produksi susu (Suprayogi 2000). Senyawa laktogogue yang terdapat didalam bangun-bangun bekerja secara hormonal dalam meningkatkan produksi air susu. Senyawa aktif 3-ethyl-3hydroxy-5-alpha andostran-17-one akan terlibat secara langsung sebagai prekursor dalam biosintesis hormon steroid didalam ovarium, tiroid dan korteks adrenal. Produk akhir dari biosintesis ini adalah hormon progesteron, estradiol, glikokortikoid dan hormon tiroid (TSH) yang secara langsung menstimulasi laktasi pada kelenjar mammae. Progesteron, estradiol dan glukokortikoid berpengaruh dalam meningkatkan jumlah sel mammae (jumlah DNA) dan aktivitas metabolik, sedangkan TSH menstimulasi konsumsi oksigen, sintesis protein dan produksi susu. Pada akhirnya hormon ini secara simultan menstimulasi kelenjar pituitary anterior dan posterior untuk melepaskan prolaktin, growth hormone dan oksitosin (Tucker 1985). Gambar 14 memperlihatkan PASI babi dengan perlakuan R0W2 menurun tajam pada hari ke-5 hingga ke-10 laktasi. Konsumsi ransum harian induk babi pada perlakuan ini rendah sejak awal penelitian. Setelah diamati ternyata salah satu induk yang mendapat perlakuan mengalami penurunan PASI yang sangat tajam hingga 75% dari PASI hari ke-5 laktasi. Produksi air susu induk babi dengan perlakuan R0W1 terjadi peningkatan yang tajam pada hari ke-15 hingga hari ke-20 laktasi. Hal ini terkait dengan konsumsi ransum harian induk babi yang tinggi sejak hari ke-10 laktasi, tetapi pada hari ke-10 hingga ke-15 terjadi sedikit penurunan dan meningkat lagi hingga hari ke-20 laktasi. Menurut Pond dan Maner (1974), rataan PASI babi selama dua bulan laktasi adalah sekitar 5-8 kg per ekor per hari, namun jumlah ini tidak sama di setiap peternakan, tergantung manajemen yang berlaku di peternakan tersebut. Rataan PASI babi selama laktasi (20 hari) adalah 5.45 ± 1.64 kg/e/h dengan KK 53%. Peningkatan PASI babi dengan ransum R3 adalah 23.61% lebih tinggi dibandingkan dengan R0. Grafik hasil pengukuran rataan PASI babi berdasarkan perlakuan pada hari pengukuran yang berbeda ditampilkan pada Gambar 14.
PASI babi (g/litter/menyusui)
68
450 400 350 300 250 200 150 100 5
10
15
20
Laktasi hari ke(a) 9000
PASI babi (g/e/h)
8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 5
10
15
20
Laktasi hari keR0W1 R0W2
R1W1 R1W2
R2W1 R2W2
R3W1 R3W2
(b)
Gambar 14 Produksi Air Susu Induk Babi (a) per Menyusui dan (b) per Hari Produksi air susu induk babi pada perlakuan R3W2 selalu yang tertinggi sejak hari ke-5 hingga hari ke15 kemudian pada hari ke-15 hingga hari ke-20 terjadi penurunan. Hal ini berkaitan dengan konsumsi ransum harian induk babi pada perlakuan R3W2 yang menurun pada hari ke-20 laktasi. Produksi air susu induk babi per hari pada hari ke-10 laktasi pada Tabel 24 terlihat bahwa perlakuan R3W2 (7.84 kg/litter/h) adalah yang tertinggi dan berbeda nyata (P<0.05) dengan R1W1 (4.00 kg/litter/h), R0W2 (3.52 kg/litter/h) dan R2W2 (3.36 kg/litter/h), tetapi tidak berbeda dengan perlakuan lainnya.
69
Hasil analisis korelasi menunjukkan korelasi yang sangat nyata (P<0.01) antara PASI babi per hari dan per menyusui, semakin besar PASI babi per menyusui maka PASI babi per hari juga akan semakin besar dengan asumsi frekuensi menyusui relatif sama. Menurut Parakkasi (1990) litter size lahir juga mempengaruhi PASI babi, dimana semakin besar litter size lahir maka PASI babi akan semakin tinggi. Analisa korelasi antara litter size lahir dengan PASI babi adalah sangat nyata (P<0.01). Produksi air susu induk babi pada hari ke-10 laktasi secara rinci diperlihatkan pada Tabel 25. Tabel 25 Produksi Air Susu Induk Babi per Hari dan per Menyusu pada Hari Ke10 Laktasi Produksi air susu babi hari ke-10 laktasi (g/litter/menyusui) (kg/litter/h) abc R0W1 248.0 4.96ab ab R1W1 181.7 4.00a bc R2W1 271.3 6.24ab R3W1 211.0ab 4.64ab ab R0W2 167.7 3.52a R1W2 240.0abc 4.80ab a R2W2 146.0 3.36a c R3W2 356.3 7.84b Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05), R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah beranak Perlakuan
Silitonga (1993) melaporkan, bahwa penggunaan daun bangun–bangun dapat meningkatkan hingga 30% produksi susu induk tikus putih laktasi. Penelitian lain yang dilakukan Santosa (2001) mendapatkan bahwa empat jam setelah pemberian daun bangun–bangun volume air susu ibu menyusui meningkat hingga 47.4%, sedangkan pada penelitian ini menunjukkan bahwa PASI babi dengan ransum yang ditambakan TTB hingga 7.5% adalah 31% lebih tinggi daripada ransum kontrol. Santosa (2001) menyatakan, bahwa konsumsi bangun-bangun akan meningkatkan kandungan zat besi, seng dan kalium dalam ASI. Diduga kalium sebagai salah satu mineral utama dalam ASI yang berperan meningkatkan produksi ASI. Sifat analgesik dari tanaman bangun-bangun membuat induk babi tidak stress sehingga dapat memperlancar produksi ASI. Menurut Silitonga
70
(1993), jumlah total elveoli keseluruhan pada tikus yang diberi daun bangunbangun 33.80% lebih banyak dibanding kontrol. Pemberian daun bangun-bangun juga mengakibatkan tikus mencapai puncak laktasinya lebih awal, tetapi mengalami penurunan yang lebih lambat. Pembentukan susu dan kebutuhan nutrisi untuk metabolisme keseluruhan dari sel sekresi, didapat dari makanan yang dikonsumsi dan diekstrak kedalam darah (Walstra 1999). Produksi air susu dari induk babi yang diberi ransum perlakuan pada W1 meningkat seiring dengan masa laktasi, tetapi dengan pemberian pada W2, PASI babi lebih tinggi daripada W1 diawal laktasi tetapi menurun dengan perlahan hingga hari ke-20 laktasi. 4.6.8. Penurunan Bobot Badan Induk Babi Menyusui Penurunan bobot badan induk babi selama laktasi berkaitan dengan konsumsi ransum induk, produksi air susu babi dan jumlah anak babi yang disusui selama masa laktasi. Rataan penurunan bobot badan induk babi selama laktasi atau sesaat setelah beranak hingga menyapih dalam penelitian ini adalah 20.90 ± 18.83 kg/ekor dengan koefisien keragaman 90%. Pengaruh perlakuan terhadap penurunan bobot badan induk babi selama laktasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Pengaruh Perlakuan terhadap Penurunan Bobot Badan Induk Babi Ransum Rataan R0 R1 R2 R3 -------------------------------- Penurunan bobot badan (kg/ekor)-----------------------------W1 28.12 ± 18.43 15.96 ± 36.47 32.37 ± 6.11 18.50 ± 23.66 23.74 ± 21.49 W2 10.39 ± 13.00 21.28 ± 9.00 4.03 ± 16.00 36.54 ± 6.00 18.07 ± 16.18 Rataan 19.26 ±17.15 18.62 ± 23.90 18.20± 18.98 27.52 ± 18.29 Keterangan: R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = umur kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah beranak Pemberian
Taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberian pada induk babi serta interaksinya tidak berpengaruh terhadap penurunan bobot badan induk babi. Ransum dengan taraf TTB berbeda yang diberikan mulai pada W1 (23.74 ± 21.49 kg/ekor) menghasilkan penurunan bobot badan induk yang lebih besar W2 (18.07 ± 16.18 kg/ekor). Hal ini berkaitan dengan litter size lahir anak babi, dimana litter size lahir W1 (10.17 ekor) lebih tinggi daripada W2 (9.67 ekor).
71
Penurunan bobot badan induk babi dengan ransum R3 (27.52 ± 18.29 kg/ekor) adalah yang tertinggi dan dengan ransum R2 (18.20 ± 18.98 kg/ekor) adalah yang terendah, hal ini sejalan bila dikaitkan dengan PASI babi per hari, yaitu induk babi dengan ransum R3 (6.36 kg/litter/h) adalah yang tertinggi dan ransum R2 (4.68 kg/litter/h) adalah yang terendah. Analisa korelasi menunjukkan adanya korelasi nyata (P<0.05) antara PASI babi dan penurunan bobot badan induk babi selama laktasi. Semakin besar PASI babi maka akan diikuti dengan penurunan bobot badan induk babi akan semakin besar. Tabel 26 juga memperlihatkan, bahwa induk babi dengan perlakuan R3W2 (36.54 ± 6.00 kg/e) mengalami penurunan bobot badan yang paling besar dan perlakuan R2W2 (4.03 ± 16.00 kg/e) adalah yang paling kecil. Konsumsi ransum harian induk babi pada perlakuan R2W2 adalah yang tertinggi tetapi PASI terendah, sehingga penurunan bobot badan yang dialami oleh induk babi menjadi lebih rendah daripada perlakuan lainnya. Periode beranak atau paritas induk babi dengan perlakuan R2W2 untuk masing-masing ulangan adalah paritas ke-2, 2 dan 3, sehingga konsumsi ransum lebih banyak untuk mempertahankan bobot tubuh induk. Apabila dihubungkan dengan konsumsi ransum harian (KRH), induk babi yang diberi ransum perlakuan pada W1 (3.36 kg/e/h) lebih rendah daripada W2 (3.51 kg/e/h), dengan KRH yang lebih rendah dan litter size lahir yang lebih tinggi maka penurunan bobot badan induk babi selama laktasi akan lebih besar pada W1 daripada W2. Perbedaan penurunan bobot badan induk babi selama laktasi akan berpengaruh terhadap masa pemulihan bobot badan induk kembali. Hal ini juga berhubungan dengan waktu penyapihan hingga birahi kembali yang akan semakin lama. Konsumsi ransum harian induk babi selama masa laktasi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan induk babi itu sendiri dan juga pembentukan air susu untuk kebutuhan anak babi tersebut. Penurunan bobot badan induk babi secara tidak langsung terjadi karena pengaruh senyawa laktogogue dalam TTB yang berperan dalam proliferasi sel sekresi mammae dan mendorong pembentukan air susu lebih besar. Konsumsi ransum harian babi yang tidak meningkat dengan signifikan menyebabkan sebagian cadangan energi yang terdapat didalam tubuh induk babi
72
dirombak sebagai bahan pembentuk air susu, sehingga bobot badan induk babi menurun. Hal lain yang juga turut mempengaruhi adalah litter size anak babi yang lebih banyak mendorong induk babi menghasilkan air susu yang banyak juga. 4.6.9. Interval Waktu Penyapihan hingga Induk Babi Birahi Kembali Interval waktu antara penyapihan anak hingga induk babi birahi kembali (weaning to estrus interval/WEI) dapat diartikan juga sebagai waktu kosong atau masa tidak produktif. Pada masa tersebut induk babi tidak mengalami kebuntingan maupun laktasi. Masa tidak produktif induk babi dalam satu tahun dapat diminimalkan dengan mempersingkat setiap jarak waktu tersebut. Rataan interval waktu antara penyapihan hingga induk birahi kembali pada penelitian ini adalah 4.47 ± 1.03 hari. Interval waktu antara penyapihan hingga induk babi birahi kembali selama penelitian diperlihatkan pada Tabel 27. Tabel 27
Pengaruh Perlakuan terhadap Interval Waktu Induk Babi Birahi Kembali setelah Penyapihan
Ransum Rataan R0 R1 R2 R3 ------------------- Interval waktu sapih hingga birahi kembali (hari) ------------------W1 5.00 ± 0.00 5.67 ± 1.53 3.67 ± 0.58 5.50 ± 2.12 4.91 ± 1.30a W2 4.00 ± 0.00 4.00 ± 0.00 4.00 ± 0.00 4.00 ± 0.00 4.00 ± 0.00b Rataan 4.50 ± 0.55 5.00 ± 1.41 3.83 ± 0.41 4.75 ± 1.50 Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05), R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = umur kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah beranak Pemberian
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa waktu pemberian ransum dengan taraf TTB yang berbeda berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap interval waktu antara penyapihan hingga induk babi birahi kembali, sedangkan taraf penambahan TTB dalam ransum dan interaksinya dengan waktu pemberian tidak berpengaruh nyata. Interval waktu dari penyapihan hingga induk babi birahi kembali pada W2 (4.00 ± 0.00 hari) nyata (P<0.05) lebih singkat daripada W1 (4.91 ± 1.30 hari). Hal ini erat kaitannya dengan KRH induk babi, dimana induk babi pada W2 lebih besar daripada W1. Semakin besar KRH, maka konsumsi TTB juga semakin besar. Menurut Damanik et al. (2006) tanaman bangun-bangun berperan mengontrol postpartum bleeding (pendarahan setelah beranak) dan sebagai uterine cleansing agent (agen pembersih uterus). Peran TTB ini juga
73
menyebabkan involusi uterus yang lebih cepat (Martin et al. 2004). Pemberian TTB setelah induk babi beranak ternyata lebih efektif mempercepat waktu birahi kembali setelah penyapihan. Umur penyapihan yang relatif singkat biasanya diikuti dengan
masa
tidak produktif yang panjang dan masa birahi yang singkat (Lucia et al. 1999). Hal ini ada kaitannya dengan rataan umur penyapihan (Tabel 37) pada W1 (26.17 ± 2.44 hari) lebih singkat daripada W2 (27.42 ± 2.07 hari), dan penurunan bobot badan induk babi (Tabel 26) pada W1 (23.74 ± 21.49 kg/e) lebih besar daripada W2 (18.07 ± 16.18 kg/e), sehingga waktu birahi kembali pada W1 (4.91 ± 1.30 hari) lebih lama dibanding W2 (4.00 ± 0.00 hari). Selengkapnya interval waktu pertama kali birahi kembali setelah penyapihan berdasarkan perlakuan diperlihatkan pada Gambar 15. 6,00
5,67
5,50
5,50 WEI (hari)
5,00 5,00 4,50 4,00
4,00
4,00
4,00
4,00
3,67
W1 W2
3,50 3,00 R0
R1
R2
R3
Ransum perlakuan
Gambar 15 Interval Waktu Antara Penyapihan hingga Birahi Kembali Interval waktu birahi kembali setelah penyapihan pada induk babi yang diberi ransum berbeda pada W2 yaitu perlakuan R0W2, R1W2, R2W2 dan R3W2 masing-masing adalah sama yaitu empat hari, sedangkan untuk induk
babi
dengan perlakuan R1W1 (5.67 hari) sedangkan yang paling lama dan R2W1 (3.67 hari) adalah yang paling cepat. Berdasarkan interval waktu penyapihan hingga induk babi birahi kembali akan lebih baik jika ransum dengan TTB tersebut diberikan pada W2 atau setelah induk babi beranak. Interval
waktu birahi kembali setelah penyapihan yang
semakin lama akan memperpanjang masa tidak produktif induk babi. Semakin
74
lama masa tidak produktif induk babi tersebut, maka akan semakin besar biaya yang dikeluarkan dan pada akhirnya akan mengurangi keuntungan peternak. 4.6.10. Siklus Reproduksi dan Frekuensi Induk Babi Beranak per Tahun Siklus reproduksi sangat dipengaruhi oleh lama laktasi dan lama waktu dari penyapihan hingga birahi kembali, sedangkan lama bunting hampir seragam untuk semua jenis babi yaitu kurang lebih 114 hari. Rataan siklus reproduksi dan frekuensi induk babi beranak dalam penelitian ini masing-masing adalah 145.52 ± 2.04 hari dan 2.50 ± 0.03 kali/tahun. Siklus reproduksi dan frekuensi induk babi beranak per tahun selama penelitian ditunjukkan pada Tabel 28. Tabel 28 Pengaruh Perlakuan terhadap Satu Siklus Reproduksi dan Frekuensi Beranak per Tahun Ransum Rataan R0 R1 R2 R3 -------------------------------Satu siklus reproduksi (hari) --------------------------------W1 147.00±0.00 145.00±4.36 145.67±0.57 143.50±0.70 145.45±2.34 W2 145.33±1.15 144.00±2.83 146.67±1.53 147.50±0.70 145.60±1.78 Rataan 146.17 ± 1.17 144.60 ± 3.44 145.6 ±1.03 145.50±2.38 ------------------------Frekuensi beranak (kali/tahun) ------------------W1 2.48 ± 0.00 2.52 ± 0.08 2.51 ± 0.01 2.54 ± 0.01 2.51 ± 0.04 W2 2.51 ± 0.02 2.54 ± 0.05 2.51 ± 0.03 2.48 ± 0.01 2.51 ± 0.03 Rataan 2.50 ± 0.02 2.52 ± 0.06 2.51 ± 0.02 2.51 ± 0.04 Keterangan: R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = umur kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu beranak Pemberian
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberian serta interaksi keduanya tidak berpengaruh baik terhadap siklus reproduksi maupun frekuensi beranak per tahun pada induk babi. Waktu pemberian ransum perlakuan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap jarak waktu penyapihan hingga birahi kambali (Tabel 27). Perbedaan jarak waktu penyapihan hingga birahi kembali tidak mempengaruhi lama siklus reproduksi dan frekuensi beranak per tahun, karena perbedaan interval waktu penyapihan hingga birahi kembali pada W1 dan W2 hanya berbeda satu hari. Peet (2000) menyatakan, bahwa masa tidak produktif berpengaruh terhadap frekuensi induk babi beranak per tahun. Rataan umur sapih (laktasi) dalam penelitian ini adalah 26.79 ± 2.30 hari dengan koefisien keragaman 8.5% dan rataan frekuensi beranak adalah 2.50 ±
75
0.03 kali/tahun. Hal ini sesuai dengan pendapat Sihombing (2006) yang menyatakan, bahwa induk babi dengan lama laktasi 28 hari akan beranak 2.5 kali/tahun atau lima kali dalam dua tahun. Perbedaan siklus reproduksi yang tidak nyata mengakibatkan frekuensi induk babi beranak per tahun juga tidak berbeda nyata. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa siklus reproduksi ternak babi sangat nyata (P<0.01) dipengaruhi oleh umur penyapihan. Umur penyapihan yang relatif singkat biasanya diikuti oleh masa tidak produktif yang panjang dan masa birahi yang singkat (Lucia et al. 1999). Menurut Peet (2000),
masa tidak
produktif berpengaruh terhadap frekuensi induk babi beranak per tahun, namun tidak demikian halnya dengan hasil penelitian ini, karena perbedaan masa tidak produktif hanya satu hari sehingga frekuensi beranak per tahun tidak dipengaruhi. 4.7.
Pengaruh Perlakuan terhadap Penampilan Anak Babi Menyusu
4.7.1. Konsumsi Ransum Harian Anak Babi Pemberian ransum anak babi selama penelitian dilakukan sekali setiap hari yaitu pada pagi hari. Ransum mulai diberikan pada anak babi ketika berumur sepuluh hari. Pada umur ini babi mulai mencoba mencium dan menjilati ransum yang diberikan, kemudian pada hari berikutnya anak babi sudah mulai mengkonsumsinya walaupun jumlahnya masih sedikit. Konsumsi ransum anak babi menyusu dipengaruhi oleh ketersediaan air susu induk babi sebagai sumber gizi bagi anaknya. Semakin banyak PASI babi, maka konsumsi ransum anak babi biasanya akan semakin sedikit, demikian juga sebaliknya. Kandungan protein kasar, lemak kasar dan kandungan abu dari ransum anak babi sudah sesuai dengan ketentuan ransum anak babi prasapih dalam SNI (2006b), sedangkan energi metabolis, kalsium dan fosfor belum mencapai standar minimum ransum anak babi prasapih (SNI 2006b). Energi metabolis yang rendah akan mendorong anak babi mengkonsumsi ransum lebih banyak. Kandungan serat kasar ransum anak babi (4.02%) melebihi batas maksimum menurut SNI (2006b). Kandungan serat kasar yang melebihi batas maksimum akan
mengakibatkan
KRH anak babi menurun. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa KRH per litter dan per ekor anak babi masing-masing adalah 34.5 ± 11.5 g/litter/h dengan
76
koefisien keragaman (KK) 33.51% dan 4.03 ± 1.64 g/e/h dengan KK 40.66%. Tabel 29 memperlihatkan komposisi dan zat nutrisi ransum anak babi yang digunakan selama penelitian. Tabel 29 Komposisi dan Kualitas Ransum Anak Babi Kandungan Zat Standar Kualitas Ransum Nutrisi Jagung 50.00 EM (kkal/kg) 2758.32a Min 3000c Protein kasar Bekatul 8.00 18.36a 21.11b Min 19.00c (%) Konsentrat T51 5.00 Lemak kasar (%) 3.86a 6.94b Maks 7.00c a b Meat bone meal 3.00 Serat kasar (%) 4.02 5.06 Maks 4.00c a Soy bean meal 22.00 Kalsium (%) 0.49 0.90-1.20c a Wheat pollard 10.00 Fosfor (%) 0.58 0.60-0.90c Mineral (makro) 2.00 Abu (%) 4.08a 5.03b Maks 7.00c Keterangan : EM = energi metabolis, a = hasil perhitungan, b = analisa proksimat PAU IPB (2010), c = SNI ransum anak babi prasapih (2006b). Bahan Makanan
%
Semua anak babi diharapkan memperoleh ransum dan air minum yang sama karena pemberiannya dilakukan ad libitum. Hasil ini sangat jauh berbeda dengan hasil penelitian Simorangkir (2008), dengan menggunakan hingga 0.1% ekstrak daun katuk dalam ransum induk babi yang menunjukkan, bahwa KRH anak babi selama penelitian adalah 329 ± 17.03 g/litter/h. Hasil
penelitian
Simorangkir (2008) juga menyatakan, bahwa ransum anak babi mulai diberikan pada hari ke-5 setelah anak babi lahir. Hal ini bisa terjadi karena PASI babi yang dihasilkan dalam penelitian ini (253 ± 81 g/litter/menyusui) lebih tinggi daripada simorangkir (2008) yaitu sebesar 207.10 ± 56.1 g/litter/menyusui, sehingga konsumsi ransum anak menjadi lebih sedikit. Interaksi antara taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberian pada induk babi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap KRH anak babi per litter, sedangkan taraf TTB dalam ransum dan waktu pemberiannya tidak berpengaruh nyata. Tabel 30 memperlihatkan, KRH anak babi pada perlakuan R0W1 (50.0 ± 23.0 g/litter/h) adalah yang tertinggi dan berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan R1W1 (30.5 ± 6.0 g/litter/h), R2W2 (27.1 ± 5.7 g/litter/h) dan R0W2 (22.83 ± 9.2 g/litter/h), tetapi tidak berbeda dengan perlakuan lainnya. Konsumsi ransum harian anak babi pada perlakuan R0W2 (22.83 ± 9.2 g/litter/h) adalah yang terendah dan berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan R0W1 (50.0 ± 23.0 g/litter/h) dan R1W2 (41.6 ± 13.6 g/litter/h) tetapi tidak berbeda dengan
77
perlakuan lainnya. Tabel 30 memperlihatkan konsumsi ransum harian anak babi baik per litter maupun per ekor. Tabel 30 Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum Harian Anak Babi Menyusu Perlakuan
Pemberian R0
R1
R2
R3
Rataan
---------------------------- Konsumsi ransum harian (g/litter/h) --------------------------W1
50.0 ± 23.0c
W2
a
22.83 ± 9.2
Rataan
33.8 ± 20.0
30.5 ± 6.0ab bc
41.6 ± 13.6
36.0 ± 11.2
38.0 ± 8.8abc ab
27.1 ± 5.7
32.5 ± 8.9
30.75 ± 2.4abc abc
39.3 ± 4.3
36.7 ± 12.1 32.75 ± 11.3
35.9 ± 5.7
----------------------------Konsumsi ransum harian (g/ekor/h) ---------------------------W1
5.05 ± 2.3
4.36 ± 1.41
3.36 ± 0.7
6.03 ± 3.1
4.67 ± 2.0
W2
2.83 ± 0.11
4.26 ± 0.97
3.2 ± 1.32
3.53 ± 0.60
3.45 ± 0.91
Rataan 3.72 ± 1.68 4.31 ± 1.06 3.28 ± 0.95 4.78 ± 2.45 Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = waktu kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah beranak
Konsumsi ransum harian anak babi pada W1 maupun W2 tidak berbeda dengan berbagai taraf penambahan TTB, tetapi KRH anak babi yang induknya diberi ransum R1 nyata (P<0.05) lebih tinggi daripada dengan ransum R0 pada pemberian W2, tetapi sebaliknya KRH anak babi yang induknya diberi ransum R0 nyata lebih tinggi daripada R1 pada pemberian W1. Konsumsi ransum harian per litter dan per ekor anak babi yang induknya diberi ransum perlakuan pada W1 (36.7 ± 12.1 g/litter/h dan 4.67 ± 2.0 g/e/h) lebih tinggi daripada W2 (32.75 ± 11.3 g/litter/h dan 3.45 ± 0.91 g/e/h). Hal ini berbanding terbalik dengan PASI babi per hari, yaitu PASI babi pada W2 (5.85 ± 1.74 kg/litter/h) lebih tinggi daripada PASI babi pada W1 (5.05 ± 1.49 kg/litter/h). Produksi air susu induk babi yang lebih tinggi pada W2 dibandingkan dengan W1 mengakibatkan KRH anak babi pada W2 menjadi lebih rendah daripada W1. Konsumsi ransum harian per litter anak babi dengan ransum R1 (36.0 ± 11.2 g/litter/h) adalah yang tertinggi dan ransum R2 (32.5 ± 8.9 g/litter/h) adalah yang terendah, sedangkan KRH per ekor anak babi dengan ransum R3 (4.78 ± 2.45 g/e/h) adalah yang tertinggi dan ransum R2 (3.28 ± 0.95 g/e/h) adalah yang terendah. Konsumsi ransum harian anak babi yang diberikan mulai sejak hari ke-10 hingga akhir laktasi diperlihatkan pada Gambar 16.
78
KRH anak babi (g/litter/h)
350 300 250 200 150 100 50 0 10
15
20
Jumlah hari menyusu R0W1 R0W2
R1W1 R1W2
R2W1 R2W2
R3W1 R3W2
Gambar 16 Konsumsi Ransum Harian Anak Babi Menyusu Gambar 16 memperlihatkan, bahwa terjadi peningkatan KRH yang tinggi pada R0W1, hal ini terkait dengan PASI babi yang juga meningkat sangat tinggi dari laktasi hari ke-15 (0.867 kg/litter/h) hingga hari ke-20 (1.833 kg/litter/h). Produksi air susu induk babi yang tinggi juga memacu pertumbuhan anak babi, sehingga mendorong peningkatan KRH anak babi pada perlakuan R0W1. Pertumbuhan anak babi yang meningkat memerlukan nutrisi yang lebih banyak lagi, sehingga kebutuhannya harus dipenuhi dengan makanan tambahan. Ransum diberikan pada anak babi setelah anak babi berumur 10 hari dalam penelitian ini, berbeda dengan penelitian Simorangkir (2008), yang memberikan ransum pada saat anak babi berumur lima hari. Pemberian ransum yang lebih awal pada anak babi akan mempercepat masa adaptasi terhadap ransum tersebut, sehingga konsumsi ransum anak babi akan semakin meningkat. Pada umur seminggu hingga dua minggu, anak babi hanya sanggup mencerna protein, glukosa dan lemak yang berasal dari susu. Enzim-enzim pencernaan yang diperlukan untuk mencerna pati, gula dan protein bukan susu berkembang kemudian agak lambat. Pengenalan ransum secara berangsur-angsur selama periode menyusu akan mendorong perkembangan enzim yang diperlukan untuk pencernaan dan memperkecil faktor penghambat pertumbuhan saat penyapihan. Pengaruh interaksi terhadap KRH per litter anak babi menunjukkan bahwa perlakuan R0W1 dengan R1W2 adalah yang tertinggi, tetapi antara perlakuan
79
R0W1 dengan R1W2 tidak berbeda. Perlakuan R1W1 menghasilkan KRH anak babi terendah dengan perlakuan R0W2, tetapi antara perlakuan R1W1 dan R0W2 juga tidak berbeda nyata. Konsumsi ransum harian anak babi yang lebih rendah akan mengurangi biaya pakan, tetapi anak babi diharapkan mengkonsumsi ransum lebih banyak sehingga pertambahan bobot badan anak babi tersebut lebih cepat,sehingga taraf penambahan hingga 2.5% TTB dalam ransum induk dapat meningkatkan KRH anak babi prasapih. 4.7.2. Pertambahan Bobot Badan Anak Babi Kuantitas dan kualitas air susu induk babi dapat terlihat dari pertambahan bobot anak babi selama menyusu. Pertambahan bobot badan anak babi per litter dan per ekor hingga hari ke-20 menyusu masing-masing adalah 28.23 ± 8.18 kg/litter dan 3.08 ± 0.66 kg/ekor. Selama 20 hari pengamatan, interaksi antara taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberiannya berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap PBB anak babi per litter, tetapi baik taraf penambahan TTB dalam ransum maupun waktu pemberiannya tidak berpengaruh. Hasil analisa sidik ragam juga menunjukkan, bahwa taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberiannya pada induk babi serta interaksi keduanya tidak berpengaruh terhadap PBB anak babi per ekor hingga hari ke-20 menyusu. Secara rinci pengaruh perlakuan terhadap PBB anak babi per litter dan per ekor diperlihatkan pada Tabel 31. Tabel 31 Pertambahan Bobot Badan Anak Babi hingga Hari Ke-20 Menyusu Pemberian
W1 W2 Rataan
Ransum R0 R1 R2 R3 Rataan ------------------------------Pertambahan bobot badan (kg/litter) --------------------------30.53 ± 9.04ab 26.81 ± 2.82ab 36.40 ± 10.21b 26.10 ± 8.31ab 29.96 ± 8.12 19.32 ± 2.47a 26.01 ± 3.48ab 21.77 ± 1.96a 36.70 ± 3.84b 25.95 ± 7.41 24.93 ± 8.53 26.41 ± 2.86 29.08 ± 10.37 31.40 ± 8.20
------------------------------Pertambahan bobot badan (kg/ekor) -------------------------W1 3.24 ± 0.78 2.99 ± 0.44 3.17 ± 0.62 3.46 ± 0.73 3.24 ± 0.60 W2 2.99 ± 1.26 2.73 ± 0.40 2.65 ± 0.42 3.37 ± 0.63 2.94 ± 0.71 Rataan 3.12 ± 0.95 2.84 ± 0.38 2.91 ± 0.56 3.42 ± 0.62 Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom atau baris yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05), R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = waktu kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah beranak
80
Tabel 31 memperlihatkan, bahwa PBB anak babi per litter pada perlakuan R3W2 (36.70 ± 3.84 kg/litter) adalah yang tertinggi dan berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan R2W2 (21.77 ± 1.96 kg/litter) dan R0W2 (19.32 ± 2.47 kg/litter) tetapi tidak berbeda dengan perlakuan lainnya. Perlakuan R0W2 (19.32 ± 2.47 kg/litter) menghasilkan anak babi dengan PBB terendah dan berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan R3W2 (36.70 ± 3.84 kg/litter) dan R2W1 (36.40 ± 10.21 kg/litter) tetapi tidak berbeda dengan perlakuan lainnya. Ransum R2 yang diberikan pada induk babi saat W1 menghasilkan PBB anak babi yang lebih tinggi (P<0.05) daripada W2. Pertambahan bobot badan per litter dan per ekor anak babi yang induknya mendapat ransum perlakuan pada W1 (29.96 ± 8.12 kg/litter dan 3.24 ± 0.60 kg/ekor) lebih tinggi daripada W2 (25.95 ± 7.41 kg/litter dan 2.94 ± 0.71 kg/ekor). Apabila PBB per litter anak babi dikaitkan dengan litter size lahir, PASI babi dan KRH maka semakin besar litter size lahir maka KRH anak babi per litter, PASI babi per menyusu dan PBB per litter akan semakin besar. Pertambahan bobot badan anak babi per litter berdasarkan waktu dan taraf yang berbeda selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 17.
Pertambahan bobot badan (kg/litter)
40 36,7
36,4 35 30,5 30
28,3 26,8
26,0 W1
25
W2
21,8 20
19,3
15 R0
R1
R2
R3
Ransum perlakuan
Gambar 17 Pertambahan Bobot Badan Anak Babi Menyusu
81
Pertambahan bobot badan per litter dan per ekor anak babi berdasarkan taraf penambahan TTB dalam ransum R3 (31.40 ± 8.20 kg/litter dan 3.42 ± 0.62 kg/ekor) adalah yang tertinggi dan R0 (24.93 ± 8.53 kg/litter dan R1 (2.84 ± 0.38 kg/ekor) adalah yang terendah. Tabel 31 memperlihatkan dengan semakin meningkatnya penambahan TTB dalam ransum induk babi maka PBB per litter anak babi akan semakin meningkat. Peningkatan dimungkinkan bahwa dengan penambahan TTB dalam ransum, induk babi dapat akan memperbaiki kualitas nutrisi dari air susu yang dihasilkan oleh induk babi tersebut. Pengukuran pertumbuhan ternak didasarkan pada kenaikan berat badan per satuan waktu tertentu dinyatakan sebagai rataan laju pertumbuhan (Tillman et al. 1991). Interaksi
antara taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu
pemberiannya pada induk babi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap PBB anak babi pada hari ke-15 menyusu, tetapi taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberiannya pada induk babi tidak berpengaruh. Pertambahan bobot badan anak babi yang tinggi menunjukkan pertumbuhan anak babi yang cepat. Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan anak babi setiap lima hari dari hasil penimbangan diperlihatkan pada Tabel 32. Tabel 32 Pertumbuhan Anak Babi hingga Hari Ke-20 Menyusu Perlakuan
Bobot badan anak babi hari menyusu ke-
Rataan 0 5 10 15 20 --------------------------------------------(kg/litter)------------------------------------------
R0W1
15.87
18.15
26.29
39.63bc
46.37
32.61
R1W1
13.43
17.91
22.52
29.58ab
40.20
27.55
30.95
bc
53.01
36.88
abc
42.90
29.76
a
33.17
24.67
abc
39.38
29.49
ab
R2W1 R3W1 R0W2 R1W2
16.60 14.53 13.85 13.65
22.07 17.67 17.95 18.88
24.91 21.67 26.13
41.50 33.56
25.90 33.58
R2W2
15.00
16.26
23.96
29.50
36.74
26.61
R3W2
18.00
24.18
34.71
46.76c
54.72
40.09
Rataan 15.12 19.13 26.39 35.00 43.31 30.96 Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05), R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = waktu kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah beranak
Tabel 32 memperlihatkan pertumbuhan anak babi per litter yang berbeda nyata (P<0.05) antar perlakuan adalah pada hari ke-15 menyusu. Pertumbuhan
82
anak babi dengan perlakuan R3W2 (46.76 kg/litter) adalah yang paling tinggi dan berbeda nyata (P<0.05) dengan R1W1 (29.58 kg/litter), R2W2 (29.50 kg/litter), dan R0W2 (25.90 kg/litter), tetapi tidak berbeda dengan perlakuan lainnya. Pertumbuhan anak babi paling rendah adalah perlakuan R0W2 (25.90 kg/litter) dan nyata (P<0.05) lebih rendah daripada perlakuan R3W2 (46.76 kg/litter) , R2W1 (41.50 kg/litter) dan R0W1 (39.63 kg/litter), tetapi tidak berbeda dengan perlakuan lainnya. Pertumbuhan anak babi per litter pada hari ke-15 menyusu pada Tabel 32 memperlihatkan, bahwa perbedaan taraf penambahan TTB yang diberikan kedalam ransum induk babi pada W1 tidak berpengaruh pada pertumbuhan anak babi. Pertumbuhan anak babi per litter dengan pemberian ransum perlakuan pada induk babi pada W2 dengan ransum R3 nyata (P<0.05) lebih tinggi daripada ransum R0 dan R2. Pertumbuhan anak babi (Gambar 22) memperlihatkan, pada hari ke-5 menyusu bobot badan anak babi tertinggi adalah dengan perlakuan R3W2 diikuti oleh perlakuan R2W1 kemudian R1W2 dan perlakuan lainnya. Pada hari ke-10 menyusu belum terjadi perubahan nyata pada pertumbuhan anak babi tetapi anak babi dengan perlakuan R2W2 pertumbuhannya lebih cepat daripada R0W2 dan R1W1. Pada hari ke-15 menyusu terjadi pertumbuhan anak babi yang nyata (P<0.05). Pertumbuhan anak babi dengan perlakuan R0W1 mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan sebelumnya. Perbedaan pertumbuhan anak babi per litter terlihat pada hari ke-15 menyusu. Perbedaan bobot badan tertinggi dan terendah semakin besar dibanding hari ke-5 dan 10 menyusu. Grafik pertumbuhan anak babi pada Gambar 18 terlihat R3W2 adalah yang tertinggi dan nyata (P<0.05) lebih tinggi daripada R0W2 sebagai yang terendah. Pada hari ke20 menyusu terlihat perlakuan R3W2, R2W1 dan R0W1 tetap tumbuh lebih tinggi dibanding dengan anak babi yang lainnya, sedangkan perlakuan R1W1 tumbuh lebih cepat daripada R1W2. Pertumbuhan anak babi selama 20 hari menyusu diperlihatkan pada Gambar 18.
83
Bobot badan anak babi (kg/litter)
55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 0
5
10
15
20
Jumlah hari menyusu R0W1 R0W2
R1W1 R1W2
R2W1 R2W2
R3W1 R3W2
Gambar 18 Grafik Pertumbuhan Anak Babi Menyusu Tepung tanaman bangun-bangun tidak hanya berperan sebagai antibakteri alternatif, membantu pencernaan, meningkatkan nafsu makan (Gunter & Bossow 1998), tetapi juga meningkatkan pertumbuhan dan penampilan reproduksi ternak (Khajarern & Khajarern 2002). Penelitian Silitonga (1993) menunjukkan bahwa produksi air susu tikus lebih tinggi pada hari ke -12 menyusu dan pertumbuhan anak tikus pada hari ke-20 menyusu. Pada penelitian ini peningkatan PASI babi pada hari ke-10 menyusu (227.22 g/litter/menyusu) terbukti memperbaiki pertumbuhan anak babi pada hari ke-15 menyusu (35 kg/litter). Pengaruh perlakuan terhadap kualitas air susu induk babi dalam penelitian ini tidak dapat dilakukan karena kesulitan dan keterbatasan alat memperoleh sampel air susu babi untuk dianalisis. Gambar 18 memperlihatkan, bahwa PBB anak babi pada perlakuan R3W2 selalu berada paling tinggi daripada perlakuan lainnya dan kemudian diikuti oleh perlakuan R2W1 dari sejak lahir hingga pada hari ke-20 laktasi. Berbagai sumber pustaka menyatakan, bahwa pertumbuhan anak babi dipengaruhi oleh banyak faktor. Selain komponen zat gizi utama, faktor yang turut terlibat dalam memacu pertumbuhan anak adalah Growth Hormone (GH) dan immunoglobulin. Diduga kedua komponen tersebut juga meningkat dalam air susu yang dihasilkan induk
84
babi yang mendapat ransum dengan suplementasi tanaman bangun-bangun (Rumetor 2008). Bobot sapih anak babi merupakan indikator produksi air susu dari induk dan kemampuan bertumbuh anak babi. Faktor-faktor yang mempengaruhi bobot sapih anak babi adalah kesehatan anak babi, produksi susu induk dan cara pemberian makan (Sihombing 2006). Semakin berat anak babi waktu disapih efisiensi penggunaan makanan lebih baik dan rataan laju pertumbuhan lebih cepat daripada anak babi dengan bobot sapih yang lebih ringan. Pengaruh perlakuan terhadap PBB anak babi hingga disapih pada umur 26.79 ± 2.30 hari ditunjukkan pada Tabel 33. Tabel 33 Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Bobot Badan Anak Babi hingga Disapih Pemberian
Ransum
Rataan R0 R1 R2 R3 -------------------------------------- Pbb sapih (kg/litter) ------------------------------------W1 43.63± 12.77ab 32.74 ± 6.46a 51.57 ± 7.85b 41.80 ±18.03ab 42.44 ± 12.51 W2 30.82 ± 2.45a 38.95 ± 5.61ab 32.67 ± 6.37a 52.63 ± 2.95b 38.77 ± 9.78 Rataan 37.23 ± 10.81 35.84 ± 6.39 42.12 ± 12.17 47.22 ± 12.99 ------------------------------------- Pbb sapih (kg/ekor) --------------------------------------W1 4.65 ± 1.25 5.35 ± 2.04 4.53 ± 0.25 4.94 ± 0.45 4.87 ± 1.09 W2 4.75 ± 0.85 4.12 ± 0.90 3.92 ± 0.20 4.83 ± 0.71 4.40 ± 0.74 Rataan 4.70 ± 0.95 4.73 ± 1.56 4.23 ± 0.39 4.88 ± 0.53 ------------------------------------- Pbbh sapih (g/e /h) -----------------------------------W1 167.3 ± 41.9 153.5 ± 46.0 172.3 ± 27.8 205.6 ± 13.5 176.6 ± 33.8 W2 173.3 ± 41.9 159.6 ± 16.8 142.3 ± 13.0 168.0 ± 22.3 160.83 ± 25.3 Rataan 170.3 ± 37.6 157.2 ± 26.1 157.3 ± 25.4 186.8 ± 26.4 Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom atau baris yang berbeda menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05), R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu beranak, pbbh = pertambahan bobot badan harian
Interaksi antara taraf penambahan TTB dalam ransum dengan waktu pemberian pada induk babi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap PBB anak babi per litter hingga disapih. Pertambahan bobot badan anak babi per litter hingga disapih pada perlakuan R3W2 (52.63 ± 2.95 kg/litter) adalah yang paling tinggi dan berbeda nyata (P<0.05) dengan R1W1 (32.74 ± 6.46 kg/litter), R2W2 (32.67 ± 6.37 kg/litter) dan R0W2 (30.82 ± 2.45 kg/litter) tetapi tidak berbeda dengan perlakuan lainnya. Pertambahan bobot badan anak babi per litter hingga disapih
85
dengan perlakuan R0W2 (30.82 ± 2.45 kg/litter) adalah yang paling rendah dan berbeda nyata (P<0.05) dengan R3W2 (52.63 ± 2.95 kg/litter) dan R2W2 (32.67 ± 6.37 kg/litter), tetapi tidak berbeda dengan perlakuan lainnya. Pertambahan bobot badan anak babi per litter hingga disapih pada W1 (42.44 ± 12.51 kg/litter) lebih tinggi daripada W2 (38.77 ± 9.78 kg/litter). Menurut taraf TTB ransum induk dengan R3 (47.22 ± 12.99 kg/litter) adalah yang terbesar dan R1 (35.84 ± 6.39 kg/litter) adalah yang terkecil, namun nilai tersebut tidak berbeda nyata. Pertambahan bobot badan anak babi per litter hingga disapih pada W1 dengan perlakuan R2W1 nyata (P<0.05) lebih tinggi daripada perlakuan R1W1 tetapi keduanya tidak berbeda dengan R0W1 dan R3W1. Namun pertambahan bobot badan anak babi per litter hingga disapih pada W2 dengan perlakuan R3W2 nyata (P<0.05) lebih tinggi daripada perlakuan R2W2 tetapi keduanya tidak berbeda nyata dengan R0W2 dan R1W2. Pertambahan bobot badan anak babi per litter hingga disapih dengan ransum R2 lebih tinggi (P<0.05) saat diberikan pada W1 daripada W2. Pertambahan bobot badan anak babi per ekor pada pemberian W1 (4.87 ± 1.09 kg/ekor) lebih tinggi daripada W2 (4.40 ± 0.74 kg/ekor), sedangkan dengan PBB per ekor dengan ransum R3 (4.88 ± 0.53 kg/ekor) adalah yang terbesar dan dengan ransum R2 (4.23 ± 0.39 kg/ekor) adalah yang terkecil namun keduanya tidak berbeda. Pertambahan bobot badan anak babi per ekor pada perlakuan R1W1 (5.35 ± 2.04 kg/ekor) adalah yang tertinggi dan perlakuan R2W2 (3.92 ± 0.20 kg/ekor) adalah yang terendah, tetapi keduanya juga tidak berbeda. Pertambahan bobot badan harian anak babi per ekor hingga disapih pada penelitian ini adalah 168.39 ± 30.1 g/e/h dan lebih tinggi daripada hasil penelitian Simorangkir (2008) yaitu 142.72 ± 26.70 g/e /h. Pertambahan bobot badan harian (PBBH) anak babi per ekor hingga disapih pada W1 (176.6 ± 33.8 g/e /h) lebih tinggi daripada W2 (160.83 ± 25.3 g/e /h). Pertambahan bobot badan harian perlakuan R3W1 (205.6 ± 13.5 g/e /h) adalah yang tertinggi sedangkan perlakuan R2W2 (142.3 ± 13.0 g/e /h) adalah yang terendah, dan dilihat dari taraf penambahan TTB dalam ransum PBBH dengan ransum R3 (186.8 ± 26.4 g/e/h) adalah yang tertinggi dan ransum R1 (157.2 ± 26.1 g/e/h) adalah yang terendah.
86
Faktor utama yang mempengaruhi PBB anak babi adalah nutrisi (air susu dan ransum) yang diperoleh anak babi selama menyusu. Hal ini berarti susu yang diperoleh dari induk babi yang mendapatkan ransum dengan penambahan TTB memiliki PASI babi yang lebih banyak jika dibanding induk yang mendapatkan ransum kontrol. Analisis korelasi menunjukkan adanya korelasi yang nyata (P<0.05) antara konsumsi ransum harian anak babi dengan PBB. Hal ini berarti konsumsi ransum harian anak sangat berpengaruh terhadap PBB anak babi selama menyusu. Korelasi antara bobot lahir sangat nyata (P<0.01) dengan bobot anak babi pada umur 20 hari. 4.7.3. Bobot Sapih Bobot sapih anak babi merupakan indikator produksi air susu induk (PASI) babi dan kemampuan bertumbuh anak babi. Rataan bobot sapih per litter dalam penelitian ini adalah 55.72 ± 13.63 kg dengan koefisien keragaman (KK) 24.4% dan rataan bobot sapih per ekor adalah 6.22 ± 0.73 kg dengan KK 11.8%. Bobot sapih ini dicapai pada umur sapih 26.79 ± 2.30 hari. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberian pada induk babi serta interaksi keduanya tidak berpegaruh nyata terhadap bobot sapih per litter dan per ekor anak babi. Hal ini terjadi karena peternakan babi CV Adi Farm mempunyai standar bobot sapih tertentu untuk menyapih anak babi di peternakan ini. Bobot sapih per litter dan per ekor anak babi selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 34. Tabel 34 Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Sapih per Litter dan per Ekor Anak Babi Pemberian
Ransum
R0 R1 R2 R3 Rataan -------------------------------------- Bobot sapih (kg/litter ) -------------------------------W1 59.50 ± 10.6 46.17 ± 9.0 68.17 ± 9.7 56.33 ± 24.6 57.54±15.18 W2 44.67 ± 6.66 52.60 ± 6.7 47.67 ± 10.97 70.67 ± 2.89 53.90±12.28 Rataan 52.08 ± 11.36 49.38 ± 7.95 57.92 ± 14.55 63.50 ± 17.56 ------------------------------------- Bobot sapih (kg/ekor) ---------------------------------W1 6.35 ± 0.89 6.35 ± 0.76 6.00 ± 0.27 6.63 ± 0.48 6.33 ± 0.58 W2 6.81 ± 0.87 5.55 ± 0.97 5.69 ± 0.27 6.47 ± 0.84 6.13 ± 0.87 Rataan 6.58 ± 0.83 5.87 ± 0.90 5.84 ± 0.29 6.55 ± 0.62 Keterangan: R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = waktu kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah beranak
87
Pertambahan bobot badan anak babi menyusu (Tabel 33) pada W1 (42.44 ± 12.51 kg/litter) lebih tinggi daripada W2 (38.77 ± 9.78 kg/litter) sehingga bobot sapih yang diperoleh juga lebih tinggi pada W1 (57.54±15.18 kg/litter dan 6.33 ± 0.58 kg/ekor) daripada W2 (53.90±12.28 kg/litter dan 6.13 ± 0.87 kg/ekor). Menurut taraf TTB dalam ransum bobot sapih pada ransum R3 (63.50 ± 17.56 kg/litter) adalah yang tertinggi dan dengan ransum R1 (49.38 ± 7.95 kg/litter) adalah yang terendah, hal ini terjadi karena PBB anak babi menyusu dengan ransum R3 (47.22 ± 12.99 kg/litter) adalah juga yang tetinggi dan R1 (35.84 ± 6.39 kg/litter) adalah yang terendah. Bobot sapih juga diperoleh berbeda akibat perbedaan umur penyapihan. Penyapihan anak babi yang dilakukan selama penelitian adalah dengan cara berkelompok. Setiap penyapihan minimal melibatkan empat ekor induk babi menyapih anaknya sekaligus yang masing-masing tidak selalu pada umur sapih yang sama, sehingga perbedaan umur sapih tersebut dapat mengakibatkan perbedaan bobot sapih anak babi. Rataan bobot sapih per litter adalah 55.72 ± 13.63 kg dengan KK 24.4% dan rataan bobot sapih per ekor adalah 6.22 ± 0.73 kg dengan KK 11.8%. Koefisien keragaman lebih kecil pada bobot sapih per ekor anak babi dibandingkan dengan bobot sapih per litter, hal ini terjadi karena penyapihan sangat ditentukan oleh keseragaman bobot sapih per ekor anak babi. Bobot sapih per litter yang tinggi tidak selalu diikuti oleh bobot sapih per ekor yang tinggi. Bobot sapih pada perlakuan R3W2 (70.67 kg/litter) adalah yang tertinggi dan lebih tinggi daripada R3W1 (56.33 kg/litter), tetapi bobot sapih per ekor R3W2 (6.47 kg/ekor) bukan yang tertinggi bahkan sebaliknya lebih ringan daripada R3W1 (6.63 kg/ekor). Hal ini terjadi karena perbedaan litter size sapih anak babi dan umur penyapihan. Litter size sapih R3W2 adalah 11.0 ± 1.0 ekor sedangkan R3W1 adalah 8.67 ± 4.1 ekor masing-masing dengan umur penyapihan 28.67 ± 0.58 dan 24.00 ± 1.00 hari. Hasil analisa korelasi menunjukkan bahwa perbedaan bobot sapih sangat nyata (P<0.01) dipengaruhi oleh PBB, bobot lahir dan KRH anak babi tersebut, apabila PBB anak babi meningkat maka bobot sapih anak babi juga akan meningkat. Hasil ini berbeda dengan penelitian Simorangkir (2008), yang menyatakan bahwa bobot sapih adalah 5.84 ± 0.74 kg/ekor yang dicapai pada umur
88
penyapihan 30 hari dengan penambahan ekstrak daun katuk didalam ransum induk. Pada penelitian ini bobot sapih anak babi adalah 6.22 ± 0.73 kg/ekor yang dicapai pada umur sapih 26.79 ± 2.30 hari. Bobot sapih yang lebih tinggi dengan umur sapih yang lebih singkat merupakan tujuan setiap peternakan babi. Hasil pengamatan pada anak tikus yang sedang menyusu pada induk yang mendapat ransum dengan penambahan 5% tepung daun bangun-bangun dapat meningkatkan bobot sapih (Hutajulu 2008). 4.7.4. Mortalitas Prasapih Persentase
mortalitas prasapih hasil penelitian adalah 9.35 ± 12.35%
dengan koefisien keragaman 99% dari litter size lahir hidup (10.04 ± 3.11 ekor). Hasil ini lebih rendah daripada hasil penelitian Hutapea (2009) yang menyatakan, bahwa persentase mortalitas anak babi prasapih dengan penambahan hingga 3.75% tepung daun bangun-bangun dalam ransum induk adalah 19.80 ± 19.87%. Pengaruh perlakuan terhadap jumlah (ekor) dan persentase mortalitas (%) selama menyusu secara rinci diperlihatkan pada Tabel 35. Tabel 35 Pengaruh Perlakuan terhadap Mortalitas Anak Babi Prasapih Ransum R0 R1 R2 R3 Rataan ----------------------------Mortalitas (ekor) --------------------------W1 1.00 ± 1.00 1.33 ± 1.53 0.33 ± 1.00 0.33 ± 0.58 0.75 ± 0.96 W2 1.67 ± 2.08 1.33 ± 1.00 1.00 ± 1.53 0.67 ± 0.58 1.17 ± 1.27 Rataan 1.33 ± 1.51 1.33 ± 1.36 0.67 ± 0.82 0.50 ± 0.55 ------------------------------- Mortalitas (%) ----------------------------W1 9.23 ± 10.09 12.04 ± 12.53 3.03 ± 5.25 2.38 ± 4.12 6.67 ± 8.57 W2 20.8 ± 26.00 13.90 ± 17.30 8.10 ± 7.33 5.34 ± 4.64 12.04 ± 15.57 Rataan 15.03 ± 18.76 12.96 ± 13.57 5.56 ± 6.34 3.86 ± 4.25 Keterangan: R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = waktu kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah beranak Pemberian
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberian serta interaksi keduanya tidak mempengaruhi baik jumlah maupun persentase mortalitas anak babi prasapih. Persentase mortalitas anak babi prasapih dari induk yang diberi ransum perlakuan pada W1 (6.67 ± 8.57%) lebih rendah daripada W2 (12.04 ± 15.57%). Persentase anak babi lahir mati (Tabel 22) pada W1 (6.26 ± 7.63 %) juga sedikit lebih rendah daripada W2
89
(7.46 ± 8.22 %). Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa penambahan TTB dalam ransum yang diberikan pada W1 akan meningkatkan daya tahan anak babi yang lebih baik daripada W2. Penambahan ekstrak daun katuk (Sauropus andogynus (L) Merr) hingga 0.1% dengan waktu pemberian yang berbeda didalam ransum induk juga menghasilkan persentase mortalitas prasapih anak babi yang lebih tinggi yaitu 15.96% (Simorangkir 2008). Perbedaan ini dapat disebabkan induk babi yang mendapatkan ransum dengan penambahan TTB mungkin memiliki mothering ability yang lebih baik. Penambahan TTB dalam ransum induk akan memberikan rasa tenang pada induk babi sehingga mengurangi mortalitas prasapih. Senyawa aktif yang terkandung dalam bangun-bangun dapat menstimulus ovarium untuk menghasilkan hormon progesteron. Kadar hormon progesteron yang terkandung didalam darah akan memperbaiki sifat keindukan babi, namun hal ini perlu didukung dengan data lebih lanjut. Mortalitas anak babi yang terjadi selama penelitian disebabkan oleh tertindih induk, penyakit (mencret) dan lingkungan. Tertindih adalah faktor utama penyebab kematian anak babi prasapih. Faktor kedua penyebab kematian pada penelitian ini adalah mencret. Hal ini bisa terjadi karena anak babi kedinginan, menjadi lemas dan sulit mendapatkan air susu dari induk, sehingga anak babi tersebut akhirnya mati. Hurley (1999) menyatakan, bahwa lebih daripada 60% kematian anak babi sebelum disapih disebabkan oleh faktor induk dan juga pengaruh dari pasokan nutrisi yang diakibatkan oleh rendahnya produksi susu induk yang akan mempengaruhi pertumbuhan anak babi. Dugaan yang menyatakan bahwa kadar Growth Hormone (GH) dan immunoglobulin meningkat didalam air susu kambing jika ransum induk ditambah dengan daun bangun-bangun (Rumetor 2008) menjadi semakin kuat. Hal yang sama mungkin juga terjadi pada air susu induk babi jika ransumnya ditambah dengan TTB. Persentase mortalitas anak babi prasapih dari induk babi dengan ransum R3 (3.86 ± 4.25%) jauh lebih rendah daripada R0 (15.03 ± 18.76%), sebagaimana persentase lahir mati pada R3 (3.33 ± 8.16 %) juga lebih rendah daripada R0 (7.81 ± 6.60 %). Hal ini menunjukkan bahwa taraf penambahan TTB yang semakin meningkat dalam ransum induk babi diduga dapat menurunkan
90
persentase mortalitas anak babi prasapih. Persentase mortalitas anak babi prasapih berdasarkan perlakuan diperlihatkan pada Gambar 19.
25,00 20,80 Persentase mortalitas (%)
20,00
13,90
15,00
12,04 W1
9,23
10,00
8,10
W2 5,34
5,00
3,03
2,38
0,00 R0
R1
R2
R3
Ransum perlakuan
Gambar 19 Persentase Mortalitas Anak Babi Prasapih Persentase mortalitas anak babi prasapih tertinggi adalah pada perlakuan R0W2 (20.8%)
dan yang terendah adalah pada perlakuan R3W1 (2.38%)
meskipun tidak nyata. Penambahan TTB dalam ransum yang diberikan pada W1 (Gambar 19) memperlihatkan, bahwa pemberian R1 belum mampu menurunkan persentase mortalitas anak babi prasapih dibanding R0, tetapi dengan ransum R2 dan R3 menurunkan mortalitas lebih rendah daripada kontrol. Namun pada W2 pemberian ransum R0 dapat menurunkan persentase mortalitas lebih baik dari kontrol. Kandungan senyawa aktif dalam TTB diduga berperan dalam mengaktifkan sistem pertahanan tubuh ternak. Hal ini sesuai dengan Santosa (2005) menyatakan, bahwa pemberian ekstrak daun bangun-bangun berhasil meningkatkan 80% sifat fagositik sel netrofil. Peningkatan kemampuan fagositosis yang dilakukan sel netrofil adalah salah satu manifestasi sistem respon immun yang dipunyai dalam mengatasi benda asing yang masuk kedalam tubuh. Analisis korelasi menunjukkan bahwa mortalitas berkorelasi nyata (P<0.05)
91
dengan bobot lahir. Analisa korelasi menujukkan bahwa bobot lahir semakin berat maka mortalitas sapih akan semakin berkurang. 4.7.5. Litter Size Sapih Sapih yaitu tahap pertumbuhan suatu hewan atau ternak tidak lagi bergantung pada air susu induknya dan mulai mengkonsumsi ransum padat dan cair (Inglis 1980). Litter size sapih sangat tergantung pada litter size lahir dan mortalitas prasapih. Rataan litter size sapih pada penelitian ini adalah 8.95 ± 2.40 ekor. Hasil ini lebih tinggi daripada hasil penelitian Hutapea (2009) dan Herawaty (2006) dengan rataan litter size sapih masing-masing adalah 8.00 ±3.14 dan 8.47 ekor. Litter size sapih menurut perlakuan dalam penelitian ini selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 36. Tabel 36 Pengaruh Perlakuan terhadap Litter Size Sapih Ransum
Pemberian R0
R1
Rataan R2
R3
-------------------------------------- Littersize sapih (ekor) ---------------------------------W1
9.33 ± 0.58ab
6.67 ± 2.31a
11.33 ± 1.15b
8.67 ± 4.16ab
9.00 ± 2.73
W2
a
ab
ab
b
8.92 ± 2.15
6.67 ± 1.53
9.67±2.08
8.33 ± 1.53
11.00 ± 1.00
Rataan 8.00 ± 1.79 8.17 ± 2.56 9.83 ± 2.04 9.83 ± 2.99 Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom atau baris yang berbeda menunjukkan hasil nyata (P<0,05), R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = waktu kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah beranak
Hasil analisis ragam menunjukkan taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberian tidak berpengaruh nyata terhadap litter size sapih, tetapi interaksi keduanya berpengaruh nyata (P<0.05). Tabel 36 memperlihatkan litter size sapih pada W1 (9.00 ± 2.73 ekor) sedikit lebih tinggi daripada W2 (8.92 ± 2.15 ekor), demikian juga litter size sapih dengan ransum R2 (9.83 ± 2.04 ekor) dan R3 (9.83 ± 2.99 ekor) adalah yang tertinggi tetapi R2 mempunyai standar deviasi yang lebih rendah sedangkan R0 (8.00 ± 1.79 ekor) adalah yang terendah. Dengan demikian dapat dikatakan litter size sapih meningkat dengan meningkatnya taraf penambahan TTB dalam ransum, meskipun peningkatan tersebut tidak menyebabkan perbedaan yangnyata. Litter size sapih ini terkait dengan litter size lahir dan mortalitas prasapih. Litter size lahir hidup W1 (10.17
92
ekor) lebih tinggi daripada W2 (9.67 ekor), dan dengan ransum R2 (11.17 ekor) adalah litter size lahir hidup yang tertinggi sedangkan R0 (8.83 ekor) adalah yang terendah. Persentase mortalitas pada W1 (6.67%) lebih rendah daripada W2 (12.04%), dan persentase mortalitas pada ransum R3 (3.86%) adalah yang terrendah tetapi pada R0 (15.03%) adalah yang tertinggi. Gambar 20 secara rinci memperlihatkan litter size sapih anak babi berdasarkan perlakuan.
12,00 11,33 11,00 Litter size sapih (ekor)
11,00 10,00
9,67 9,33
9,00
8,67 8,33
W2
8,00 7,00
W1
6,67
6,67
6,00 R0
R1
R2
R3
Ransum perlakuan
Gambar 20 Litter Size Sapih Gambar 20 terlihat, bahwa perlakuan R2W1 (11.33 ± 1.15 ekor) mempunyai liiter size sapih
tertinggi dan berbeda nyata (P<0.05) dengan
perlakuan R0W2 (6.67 ± 1.53 ekor) dan R1W1 (6.67 ± 2.31 ekor) tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Apabila dikaitkan dengan litter size lahir hidup (Tabel 21) perlakuan R2W1 (12.00 ± 1.73 ekor) adalah tertinggi sedangkan perlakuan R0W2 (7.00 ± 1.73 ekor) adalah yang terendah. Sama halnya dengan persentase mortalitas (Tabel 35), pada perlakuan R3W1 (2.38 ± 4.12%) adalah yang paling rendah dan R0W2 (20.8 ± 26.00%) tertinggi. Bila litter size lahir tinggi maka litter size sapih akan tinggi, tetapi dengan mortalitas prasapih yang seimbang. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa korelasi antara littersize lahir hidup dengan litter size sapih sangat nyata (P<0.01) artinya apabila anak babi lahir hidup tinggi maka anak babi sapihan juga akan tinggi.
93
4.7.6. Umur Sapih Menurut Asih (2003) penyapihan dapat dilakukan pada umur 3-5 minggu. Apabila umur penyapihan dipersingkat maka beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah bangunan kandang, kontrol lingkungan, higienis dan nutrisi dengan manajemen. Penyapihan pada umur delapan minggu dapat dilakukan supaya induk babi dapat beranak dua kali dalam setahun (Devendra & Fuller 1979). Pengaruh perlakuan terhadap umur sapih diperlihatkan pada Tabel 37. Tabel 37 Pengaruh Perlakuan terhadap Umur Sapih Ransum
Pemberian R0 W1 W2
R1
Rataan R2
R3
-------------------------------------- Umur sapih (hari) --------------------------------------27.67 ± 1.15 26.33 ± 3.06 26.67 ± 3.21 24.00 ± 1.00 26.17 ± 2.44 27.67 ± 2.08 25.67 ± 3.06 27.67 ± 1.53 28.67 ± 0.58 27.42 ± 2.07
Rataan 27.67 ± 1.51 26.00 ± 2.76 27.17 ± 2.32 26.33 ± 2.66 Keterangan: R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = umur kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah beranak
Rataan umur sapih dalam penelitian ini adalah 26.79 ± 2.30 hari dengan koefisien keragaman 8.5%. Tabel 37 memperlihatkan, bahwa umur sapih anak babi dengan waktu pemberian ransum perlakuan pada W1 (26.17 ± 2.44 hari) sedikit lebih singkat daripada W2 (27.42 ± 2.07 hari), dan perbedaan ini dapat disebabkan prosedur penyapihan yang dijalankan peternak. Umur penyapihan anak babi menurut taraf penambahan TTB dalam ransum R1(26.00 ± 2.76 hari) adalah yang paling singkat dan dengan R0 (27.67 ± 1.51 hari) adalah yang paling lama. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberian serta interaksi keduanya tidak berpengaruh terhadap umur sapih anak babi. Hal ini dapat dimaklumi karena umur sapih lebih ditentukan oleh manajemen yang dijalankan peternakan dengan target umur menyapih adalah kira-kira 25 hari. Penyapihan dilakukan secara berkelompok dan minimal empat ekor induk babi secara bersamaan dan biasanya dilakukan oleh peternak pada hari Jumat. Penyapihan secara berkelompok ditujukan untuk mempermudah pengawinan saat birahi kembali yang diharapkan juga secara
94
serentak setelah penyapihan, karena di peternakan ini sebagian besar induk babi dikawinkan dengan cara inseminasi buatan (IB).
95
5. 5.1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Penambahan
tepung tanaman bangun-bangun dengan taraf 5% dalam
ransum induk babi dan diberikan pada saat hari ke-107 kebuntingan (R2W1) menghasilkan penampilan reproduksi induk dan anak babi terbaik. 5.2.
Saran Perlu diteliti lebih lanjut pemberian ekstrak tanaman bangun-bangun pada
induk babi sebelum dan setelah beranak dengan dosis yang sesuai taraf 5% TTB.
96
97
DAFTAR PUSTAKA Acamovic T, Brooker JD. 2005. Biochemistry of plant secondary metabolites and their effects in animals. Camb J 64:403-412. Agus. 2009. Pengaruh taraf pemberian tepung daun bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) dalam ransum induk babi menyusui terhadap nilai ekonomi penampilan anak babi sapihan [skripsi]. Bogor : Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Alberta Agriculture. 1983. Alberta Pork Production. Handbook. Alberta Agriculture, Pork Branch. Alexander G, Signoret JP, Hafez ESE. 1980. Sexual, maternal and neonatal behavior. Di dalam: Hafez ESE, editor. Reproduction in Farm Animal. Philadelpia: Lea & Febiger. hlm 304-334. Anderson J. 1980. Pigs. Di dalam: Hafez ESE, editor. Reproduction in Farm Animal. Philadelpia: Lea & Febiger.hlm 358-386. Anderson LL, Rathmacher RP, Melampy RM. 1966. The uterus and unilateral regresion of corpora lutea in pig. J Anim. Physiol 210:611-614. Allen G. 2006. Cuban oregano (Plectranthus amboinicus). [terhubung berkala]. http://www.cubaoregano.com [25 Mei 2009].
Amrik B, Bilkei G. 2004. Influence of farm application of oregano on performances of sows. [terhubung berkala]. Can Vet J. 45: 674–677 [14 Mei 2009]. [Anonymous]. 2008. Coleus amboinicus http://bebas.vlsm.org [14 Mei 2009].
Lour.
[terhubung
berkala].
Asih RS. 2003. Produksi Ternak Babi. Laporan teaching grant. Departemen pendidikan Nasional Universitas Mataram. Belstra BA. 2003. Parity associated changes in reproductive performance: phisiological basis or record keeping artifact. [terhubung berkala]. http:// www. mark. asci. nscu. edu/swine reports/2003/belstra.htm [13 September 2010]. [BPPT] Badan Pengkajian Penerapan Teknologi. 2002. Jintan (Coleus amboinicus). [terhubung berkala]. http://www.iptek.net.id [25 April 2009]. Burfield T. 2001. The Seychelles : Aromatic journey notes. India. [terhubung berkala]. http://www.users.globalnet.co.uk [20 April 2009].
98
Castillejos L, Calsamiglia S, Ferret A, Kamel C. 2006. Effects of natural plants extract on rumen microbial fermentation and nutrient flow in vitro systems. J Dairy Sci 89:2649-2658. Choocoat D, Sriubolmas N, De-eknamkulc W, Ruangrungsi N. 2005. Antimicrobial activities of the essential oils from thai lamiaceous plants. J Apll Michr 88:317-322. [terhubung berkala]. http://www.tistr.or [20 April 2009]. Cross DE, McD Devitt RM, Hillman K, Acamovic T. 2007. The effect of herbs and their associated essential oils on performance, dietary digestibility and gut microflora in chikens from 7 to 28 days of age. Brith Poul Sci 48:496506 Damanik R et al. 2001. Consumption of bangun-bangun leaves (Coleus amboinicus Lour) to increase breast milk production among Bataknesse women in North Sumatera Island, Indonesia. Proceedings of the Nutrition Society of Australia. 25:S67. Damanik R, Wahlqvist ML, Wattanapenpaiboon. 2006. Lactagogue effects of bangun-bangun, a Bataknese traditional cuisine. APJCN 15 (2):267-274 Day BN. 1972. Reproduction of swine. Di dalam: Hafez ESE editor. Reproduction in Farm Animal. Philadelpia: Lea & Febiger. hlm 521-545. Delaval . 2008. Milking Technology. Di dalam : Delaval editor. The Lactating Dairy Cow. USA: Delaval Publishing. [Terhubung berkala]. http://www.milkproduction.com/ library [10 Januari 2010]. Devendra C, Fuller MF. 1979. Pig Production in Tropics. Oxford University Press. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2005. Botani, sinonim nama umum dan nama dagang daun bangun-bangun. Jakarta. [terhubung berkala]. http://www.iptek.apjii.or.id [28 April 2009]. Duke. 2000. Dr. Duke’s contituens and ethnobotanical databases. Phytochemical database, USDA-ARS-NGRL. [terhubung berkala].http://www.arsgrin.gov/cgi-bin/duke /farmacy -sc ro||3.p| [20 April 2009]. Eusebio JA. 1980. Pig Production In The Tropics. Longman Group. Ltd. Foote RH. 1980. Artificial insemination. Di dalam: Hafez ESE editor. Reproduction in Farm Animal. Philadelpia: Lea & Febiger. hlm 521-545. Gardner JAA, Dunkin AC, Lioyd LC. 1990. Pig Production in Australia. Sydney. Butterworths.
99
Goodwin DH. 1974. Pig Management and Production. National book store, inc. Gunter KD, Bossow H. 1998. The effect of etheric oil from Origanum vulgaris (Ropadiar) in the feed ration of weaned pigs on their daily feed intake, daily gains and food utilization (Abstract). Proc 15th Int Pig Vet Soc Congr, Birmingham. 1998:223. Hafez ESE. 1980. Reproduction in Farm Animals. 4th Edition. Philadelpia: Lea and Febiger. Hamilton CJ. 2004. Mexicant Mint. Cuba: Infomed. [terhubung berkala]. http:// www. scienceviews. com/ photo/ library [15 Mei 2009]. Hartmann PE, Holmes MA. 1989. Sow lactation. Di dalam: Autralasian Pig Science. Melbourne: Association Publication. hlm. 72-79. Hartoyo B. 1995. Pengaruh taraf dan waktu pemberian lemak dalam ransum induk bunting terhadap penampilan induk dan anak babi [Tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Herawaty M. 2006. Pengaruh sistem pengawinan inseminasi buatan dan alami dan paritas induk babi terhadap litter size di usaha peternakan babi PT Adhi Farm [Skripsi]. Bogor . Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Herman, R. 2003. Budidaya Ternak Ruminansia Kecil. Bogor: Fakultas Peternakan,Institut Pertanian Bogor. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid III. Diterjemahkan oleh Badan Litbang Kehutanan. Jakarta;Yayasan Sarana Jaya. Hughes PE dan Varley MA. 2004. Life Time Performance of The Sow. Australia: Pig and Poultry Production Institute. Hurley WL. 2007. Lactation biology. Urbana-Champaign, Departement of animal Science, University of Illinois. [terhubung berkala]. http;//www.classes.ansc.uiuc.edu [8 Juni 2009]. Hutajulu TF, Irma H, Rienoviar S, Dede, Meity S. 2008. Isolasi dan identifikasi senyawa flavanoid dan alkaloid dari herba bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) dan katuk (Sauropus androgynus (L) Merr). Bogor: Laporan Penelitian. BBIA. Hutapea I. 2009. Penampilan anak babi menyusu dari induk dengan ransum yang mengandung tepung daun bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) pada taraf yang berbeda [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut pertanian Bogor.
100
Inglish LK. 1980. Introduction to Laboratory Animal Science and Technology. Oxford: Pergamon Press Ltd. Isley SE, Miler HM, Kamel CH. 2004. The use of plant extract in sow diets has revealed novel application for improvements of sow and litter performance. J Feedmix 14:24-27. Iyer R. 2004. Oregano. India: Bhavan Publishing. [terhubung berkala]. http://www.dimdima.com [25 April 2009]. Jain SK, Lata S. 1996. Unique indigenous amazonian uses of some plants growing in india. IK Manitor. 4 (3) Article 1996. [terhubung berkala]. http://www.nuffic.nl./ciran/ ikdm. [30 April 2009]. Khajarern J, Khajarern S. 2002. The efficacy of origanum essential oils in sow feed. Int Pig Topics. 200217:17. Kirkwood RN. 1999. Pharmacological intervention in swine reproduction. Swine health prod.1999;7(1):29-35. [terhubung bekala]. http://www.aasv.org/ shap/ issues/ v7n1/v7n1p29.html [ 15 Mei 2009]. Kress H. 2007. Plencthranthus amboinicus (Lour) spreng lamiaceae. Cuba: Infomed. [terhubung berkala]. http://www.henrietteherbal.com [15 Mei 2009]. Kurniawan RI. 2006. Hubungan litter size dengan bobot lahir dan mortalitas anak babi tiga hari setelah lahir [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Laboratorium Department of Chemistry. 2006. Analysis Coleus amboinicus Lour component with GC and GCMS technique. India: gorakhpur university. [terhubung berkala]. http://www.baanmaha.com [20 April 2009] Larson BL. 1985. Biosynthesis and Cellular Secretion of Milk. USA: Iowa State Press. Lawrence M, Naiyana, Damanik MRM. 2005. Modified nutraceutical composition. Australia: freehills patent and trademark Attorneys. Melbroune: [terhubung berkala]. http://www.wipo.int/pctdb [24 April 2009]. Leymaster KA, Jhonson RK. 1994. Seconds thoughts on selection for components of reproduction in swine. Di dalam C. Smith, JS Gavora, B. Benkel, J. Chenais, W. Fairful, JP. Gibson, BW. Kennedy and EB Burnside, Editor. Canada: 5th world congress on genetics applied to livestock production. 17 (088955-366-1): 307-313. Organizing committee.
101
Lucia T et al. 1999. Influence of equine chorionic gonadotropin on weaning to estrus interval and estrus duration in early weaned, primparous, female swine. J anim sci. 77:3163-3167. Mabry JW, Culbertson MS, Reeves D. 1996. Effects of lactation length on weaning to first service interval and first service farrowing rate in commercial sows. [terhubung berkala]. http://www.adgs.uga.edu/ annrpt/ 1996/96. [22 September 2010] Mahmud M, Slamet K, Apriyantono DS, Hermana RR. 1990. Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Jakarta: Depkes RI, Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Mardisiswojo S, Rajakmangunsudarso H. 1985. Cabe Puyang Warisan Nenek Moyang. Jakarta: PN Balai Pustaka. Martin MA, Teagasc, Athenry. 2004. When should sows be weaned. [terhubung berkala]. http;//www.teagasc.ie/publications/2004/20041011/paper02.htm [18 September 2010]. Menendez RA, Gonzalez VP. 1999. Plectranthus amboinicus (Lour) spreng. Revistas Cubana Plant Medicine 3 (3): 110-115. [terhubung berkala]. http://www.bvs.sld.cu/revistas [24 April 2009] Mepham TB. 1987. Physiology of Lactation. Melton Keynes, Philadelphia; Open University Press. Milagres JC, Fedalto LM, Silva AE, Peraira JAA. 1983. Source of variation in litter size and weight birth and 21 days of age in duroc, landrace, large white pigs. [Abstr].J Anim. Breed 51(7):552 Nurendah. 1982. Sifat ekbolik komponen jamu yang digunakan terhadap kehamilan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Parakkasi A. 1990. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Bandung: Penerbit Angkasa. Park YI, Kim JB. 1983. Evaluation of litter size of pure breeds and spesific twobreed crosses produced from five breeds of swine. [Abstr].J Anim. Breed 51:365 Peet B. 2000. Lost days – the key to breeding herd eficiency. [terhubung berkala]. http://www.thepigsite.com/featyred/article/default.asp?display=1017 [17 September 2010].
102
Phuc BHN, Ogle B. 2005. Effects of inclusion of cassava leaf in the diets on the performance of pregnant sows. [terhubung berkala]. http://www.forum.org. kh/~mekarn/proc-cass/phuc.htm [15 Januari 2010]. Pond WG, Maner JH. 1974. Swine Production in Temperature and Tropical Environments. San fransisco: W.H. Freeman and Company. Pragasta R. 2008. Anatomi dan Fisiologi Sistem Endokrin. Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Malang. Richard DF. 1999. Manipulation of the estrous cycle in swine. [Terhubung berkala]. http://www.ca.uky.edu/agc/pubs/asc/asc152/asc152.htm [15 Mei 2009]. Rodriguez-Zas SL et al. 2003. Bioeconomic evaluation of sow longevity and profitability. J Anim Sci : 81:2915-2922. Rumetor SD. 2008. Suplementasi daun bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) dan zinc-vitamin E dalam ransum untuk memperbaiki metabolisme dan produksi susu kambing peranakan etawah [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sahelian R. 2006. Forskholin mechanism of action. Bulletin plant natural products 20: 1-8. [terhubung berkala]. http://www.pnp.com [24 April 2009]. Santosa CM. 2001. Khasiat konsumsi daun bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) sebagai pelancar sekresi air susu ibu menyusu dan pemacu pertumbuhan bayi [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Santosa CM, Hertiani T. 2005. Kandungan senyawa kimia dan efek ekstrak air daun bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) pada aktivitas fagositosis netrofil tikus putih (Rattus novergicus). MFI, 16 (3), 141-148. Schoellhorn R. 2002. Plectranthus coleus’ cousin. Ricks weed read. Gainesville. University of Florida. Shandolm TM, Saarela M. 2003. Functional Dairy Products. England: CRC Press. Shipard I. 2005. Mother of herbs. discovery gardens. China: [terhubung berkala]. http://www. discoverygardens. com [20 Mei 2009] Siagian PH. 1999. Manajemen Ternak Babi. Bogor: Diktat Kuliah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sibuea RF. 2009. Taraf pemberian tepung daun bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) dalam ransum induk babi menyusui dan pengaruhnya
103
terhadap produksi air susu [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sidauruk BD. 2008. Produksi air susu induk babi dengan penambahan eksrak daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr) dalam ransum pada taraf dan waktu pemberian yang berbeda [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sihombing DTH. 2006. Ilmu Ternak Babi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Sihombing M. 2000. Pengaruh hati ikan terhadap arbsorbsi berasal dari daun bangun-bangun (Coleus amboinicus) pada tikus albino strain wistar derived-LMR. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes. [terhubung berkala]. http://www. digilib. litbang. depkes.go.id. [8 Mei 2009]. Silitonga M. 1993. Efek laktakogum daun jinten (Coleus amboinicus L.) pada tikus laktasi [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Simorangkir CRD. 2008. Penampilan anak babi menyusu dengan taraf dan waktu pemberian ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr) yang berbeda dalam ransum induk [skripsi]. Bogor: Fakultas peternakan, Institut Pertanian Bogor. Singh H, Moore EN. 1982. Livestock and Poultry Production. New Delhi: Prentice Hall of India. SNI (Standar Nasional Indonesia). 2006a. Pakan Babi Menyusui (Lactating sow ration). SNI 01-3915.2-2006. SNI
(Standar Nasional Indonesia). 2006b. Pakan Anak Babi Prasapih (pig prestarter). SNI 01-3911-2006.
Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Subanu NP, Pudjiastuti, Adji RNI. 1982. Pengaruh beberapa tanaman obat pada uterus marmut terisolasi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Suharno B, Nazzaruddin. 1994. Ternak Komersial. Jakarta: Penebar Swadaya. Suprayogi A. 2000. Studies of the biological effect of Sauropus androgynus (L) Merr: effect of milk production and posibilities of induced pulmonary disorder in lactating sheep [disertation] Germany: Cuviler Verlag Gottingen University.
104
Sutardi T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Bogor: Departemen Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Tilman AD, Hartadi S, Reksohadiprodjo, Lebdosoekodjo S. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Toelihere MR. 1979. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Penerbit Angkasa . Toelihere MR. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung: Penerbit Angkasa. Tomaszewska MW, Sutama IK, Putut IG, Chaniago TD. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku, dan Produksi Ternak di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Tood M. 2005. Weaning age impact on reproductive performance. [terhubung berkala]. http;//www.natonalhogfarmer.com /mag/farming_weaning_age_ impact / [22 September 2010]. Tucker, HA. 1985. Endocrine and neural control of the mammary gland. Di dalam Larson BL, Editor. Lactation. The Iowa University Press. hlm. 39-76. Tummaruk P, Lundeheim N, Einarson S, Dalin A. 2000. Reproductive performance of pure breed sewdish landrace and swedish yorkshire sows. [terhubung berkala]. http://ingentaconnect.com/ content/tandf/ saga/200/ art 0009 [22 September 2005]. [USDA] United State Departement of Agriculture. 2005. Plant Profile : Plectranthus amboinicus Lour. USA: Natural Resouces Conservation Services. [terhubung berkala]. http//www.plant.usda.gov [3 Mei 2009]. Vasquez EA, Kraus W, Solsoloy AD, Rejesus BM. 2000. The use of species and medicinal: antifungal, antibacterial, anthelmintic, and molluscicidal constituents of Philippine plant. [terhubung berkala] http://www.fao.org/ docrep/ x2230e/x2230e8. [3 Mei 2009]. Walker D. 1972. Pregnancy diagnosis in pigs. Vet rec 90:130-144. Walstra P. 1999. Dairy Technology. New York: Marcel Dekker Inc. Wening W. 2007. Penambahan daun bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) dalam ransum pengaruhnya terhadap sifat reproduksi dan produksi air susu mencit putih (Mus musculus albinus). [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Williamson G, Payne WJA. 1993. Pengantar Peternakan Di Daerah Tropis. Edisi ke-3. Terjemahan: SGN Djiwa Darmaja. Yogyakarta: UGM Press.
105
Yoga MS. 1988. Studi penggunaan ekstrak hipofise sapi untuk peningkatan reproduksi babi [tesis]. Yogyakarta: Fakultas Pascasarjana, Universitas Gajah Mada. Xu RJ, Cranwell PD. 2003. The Neonatal Pig: Gastrointestinal physiology and Nutrition. Nottingham: University Press.
107
Lampiran 1. Konsumsi Total Induk Hari Ke-1-20 Laktasi
W1
W2
Ulangan 1 2 3
R0 97.3 87 85.5
R1 66.2 65.7 74.65
R2 66.6 70.7 85.25
R3 72.76 75 87.55
1 2 3
89.6 88.9 68.72
74.65 83.2 75.15
79 86.8 94.85
81.5 68.95 83
86.17
73.26
80.53
78.13
Rataan
Rataan 75.72 74.60 83.24 77.85 81.19 81.96 80.43 81.19 79.52
Lampiran 2. General Linear Model Konsumsi Total Induk Hari Ke-1-20 Laktasi Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 16 23
Jumlah Kuadrat 67.03 518.39 377.05 1024.26 1986.75
Kuadrat Tengah 67.03 172.79 125.68 64.016
F-tabel
F-hitung
1.05 2.70 1.96
0.32 0.08 0.16
Lampiran 3. Konsumsi Ransum Harian Induk Babi Hari Ke1-5 Laktasi
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 3.3 2.6 3.2
R1 2.4 3.1 2
R2 1.3 2 2.8
R3 2.2 2.9 3.4
1 2 3
3.6 3.4 2.8
1.8 2.5 2.5
3 2.6 3.4
3 1.7 3
3.15
2.38
2.52
2.70
Rataan 2.30 2.65 2.85 2.60 2.85 2.55 2.93 2.78 2.69
108
Lampiran 4. General Linear Model KRH Induk Babi Hari Ke1-5 Laktasi Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 16 23
Jumlah Kuadrat 0.16 1.96 1.39 4.81 8.34
Kuadrat Tengah 0.16 0.65 0.46 0.30
F-tabel
F-hitung
0.55 2.18 1.54
0.46 0.13 0.24
Lampiran 5. Konsumsi Ransum Harian Induk Babi Hari Ke 6-10 Laktasi
W1
W2
Ulangan 1 2 3
R0 5.22 4.4 4.1
R1 2.96 2.92 3.4
R2 2.6 3.08 4
R3 3.09 3.7 4.33
1 2 3
3.76 4 3.34
3.6 4.4 3.82
3.8 4 4.2
4.28 3.9 4.2
4.14
3.52
3.61
3.92
Rataan
Rataan 3.47 3.53 3.96 3.65 3.86 4.08 3.89 3.94 3.80
Lampiran 6. General Linear Model KRH Induk Babi Hari Ke 6-10 Laktasi Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 16 23
Jumlah Kuadrat 0.51 1.45 2.87 3.32 8.15
Kuadrat Tengah 0.51 0.48 0.95 0.20
F-tabel
F-hitung
2.46 2.33 4.61
0.13 0.11 0.01
109
Least Squares Means for effect Waktu*Taraf Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KRH 6-10 i/j 1 2 3 4 5 6 7 8
1
2 0.0011
0.0011 0.0023 0.0333 0.0320 0.1078 0.1426 0.2471
0.7246 0.1182 0.1223 0.0369 0.0268 0.0134
3 0.0023 0.7246
4 0.0333 0.1182 0.2144
0.2144 0.2212 0.0731 0.0540 0.0278
5 0.0320 0.1223 0.2212 0.9845
0.9845 0.5403 0.4427 0.2760
6 0.1078 0.0369 0.0731 0.5403 0.5278
0.5278 0.4316 0.2680
7 0.1426 0.0268 0.0540 0.4427 0.4316 0.8738
0.8738 0.6225
8 0.2471 0.0134 0.0278 0.2760 0.2680 0.6225 0.7378
0.7378
Lampiran 7. Konsumsi Ransum Harian Induk Babi Hari Ke 11-15 Laktasi
W1
W2
Ulangan 1 2 3
R0 5.34 5 4.6
R1 3.7 * 4.5
R2 4.4 4.6 5
R3 4.3 4 4.78
1 2 3
4.8 5 3.42
4.6 4.74 3.74
4.4 5 5.8
4.64 4.6 4.4
4.69
4.26
4.87
4.45
Rataan
Rataan 4.44 4.53 4.72 4.56 4.61 4.84 4.34 4.60 4.58
Lampiran 8. General Linear Model KRH Induk Babi Hari Ke 11-15 Laktasi Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 16 23
Jumlah Kuadrat 0.02 1.25 0.84 4.17 6.23
Kuadrat Tengah 0.02 0.41 0.28 0.27
F-tabel
F-hitung
0.09 1.50 1.01
0.7625 0.2547 0.4140
110
Lampiran 9. Konsumsi Ransum Harian Induk Babi Hari Ke 16-20 Laktasi
W1
W2
Ulangan 1 2 3
R0 5.6 5.4 5.2
R1 4.18 4.46 5
R2 5 4.44 5.25
R3 5 4.4 5
1 2 3
5.8 5.4 4.14
4.89 4.96 5
4.6 5.8 5.6
4.4 3.63 5
5.26
4.75
5.12
4.57
Rataan
Rataan 4.95 4.68 5.11 4.91 4.92 4.95 4.94 4.94 4.92
Lampiran 10. General Linear Model KRH Induk Babi Hari Ke 16-20 Laktasi Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 16 23
Jumlah Kuadrat 0.003 1.812 0.962 4.288 7.067
Kuadrat Tengah 0.003 0.604 0.320 0.268
F-tabel
F-hitung
0.01 2.25 1.2
0.9104 0.1214 0.3425
Lampiran 11. Lama Bunting Induk Babi Penelitian
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 112 114 114
R1 112 110 114
R2 114 117 112
R3 115 112 111
1 2 3
111 114 113
112 114 109
114 112 113
113 112 115
113.00
111.83
113.67
113.00
Rataan 113.25 113.25 112.75 113.08 112.50 113.00 112.50 112.67 112.88
111
Lampiran 12. General Linear Model Lama Bunting Induk Babi Penelitian Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 16 23
Jumlah Kuadrat 0.04 16.45 14.12 64.0 94.62
Kuadrat Tengah 0.041 5.48 4.70 4.00
F-tabel
F-hitung
0.01 1.37 1.18
0.9200 0.2873 0.3495
Lampiran 13. Rataan Lama Lahir Anak Babi
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 9 10 17
R1 17 15 7
R2 20 9 11
R3 6 11 *
1 2 3
12 17 10
13 * 10
8 11 26
18 15 10
12.50
12.40
14.17
12.00
Rataan 13.00 11.25 11.67 11.97 12.75 14.33 14.00 13.69 12.77
Lampiran 14. General Linear Model Rataan Lama Lahir Anak Babi Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 14 21
Jumlah Kuadrat 16.33 22.00 33.52 424.33 489.27
Kuadrat Tengah 16.33 7.33 11.17 30.30
F-tabel
F-hitung
0.54 0.24 0.37
0.4750 0.8656 0.7768
112
Lampiran 15. Total Lama Lahir Anak Babi
W1
W2
Ulangan 1 2 3
R0 97 132 169
R1 87 137 88
R2 218 131 129
R3 88 55 *
1 2 3
99 153 62
118 * 107
82 159 205
183 195 122
118.67
107.40
154.00
128.60
Rataan
Rataan 122.50 113.75 128.67 121.64 120.50 169.00 124.00 137.83 127.17
Lampiran 16. General Linear Model Total Lama Lahir Anak Babi Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 14 21
Jumlah Kuadrat 1408.33 6767.14 11484.92 24974.33 43978.00
Kuadrat Tengah 1408.33 2255.71 3828.30 1783.88
F-tabel
F-hitung
0.79 1.26 2.15
0.3893 0.3246 0.1402
Lampiran 17. Litter Size Lahir Total
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 11 13 10
R1 5 9 13
R2 11 14 12
R3 14 5 11
1 2 3
8 9 6
9 15 11
10 14 8
10 13 12
9.50
10.33
11.50
10.83
Rataan 10.25 10.25 11.50 10.67 9.25 12.75 9.25 10.42 10.54
113
Lampiran 18. General Linear Model Litter Size Lahir Total Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 16 23
Jumlah Kuadrat 0.37 12.79 38.79 130.00 181.95
Kuadrat Tengah 0.37 4.26 12.93 8.12
F-tabel
F-hitung
0.05 0.52 1.59
0.8326 0.6715 0.2306
Lampiran 19. Litter Size Lahir Hidup
W1
W2
Ulangan 1 2 3
R0 10 13 9
R1 4 9 12
R2 11 14 11
R3 14 4 11
1 2 3
8 8 5
8 12 9
10 14 7
10 13 12
8.83
9.00
11.17
10.67
Rataan
Rataan 9.75 10.00 10.75 10.17 9.00 11.75 8.25 9.67 9.92
Lampiran 20. General Linear Model Litter Size Lahir Hidup Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 16 23
Jumlah Kuadrat 1.50 24.83 31.50 144.00 201.83
Kuadrat Tengah 1.50 8.27 10.50 9.00
F-tabel
F-hitung
0.17 0.92 1.17
0.6885 0.4536 0.3532
114
Lampiran 21. Persentase Mati Lahir
W1
W2
Ulangan 1 2 3
R0 10.00 0.00 11.11
R1 25.00 0.00 8.33
R2 0.00 0.00 9.09
R3 0.00 25.00 0.00
1 2 3
0.00 12.50 20.00
12.50 25.00 22.22
0.00 0.00 14.29
0.00 0.00 0.00
8.94
15.51
3.90
4.17
Rataan
Rataan 8.75 6.25 7.13 7.38 3.13 9.38 14.13 8.88 8.13
Lampiran 22. General Linear Model Persentase Mati Lahir Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 15 23
Jumlah Kuadrat 6.61 406.77 304.24 881.57 2075.85
Kuadrat Tengah 6.61 135.59 101.41 58.77
F-tabel
F-hitung
0.11 2.31 1.73
0.7419 0.1181 0.2046
Lampiran 23. Jumlah Mati Lahir
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 1.00 0.00 1.00
R1 1.00 0.00 1.00
R2 0.00 0.00 1.00
R3 0.00 1.00 0.00
1 2 3
0.00 1.00 1.00
1.00 3.00 2.00
0.00 0.00 1.00
0.00 0.00 0.00
0.67
1.33
0.33
0.17
Rataan 0.50 0.25 0.75 0.50 0.25 1.00 1.00 0.75 0.63
115
Lampiran 24. General Linear Model Jumlah Mati Lahir Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 15 23
Jumlah Kuadrat 0.35 4.50 2.57 5.87 13.62
Kuadrat Tengah 0.35 1.50 0.85 0.39
F-tabel
F-hitung
0.90 3.83 2.19
0.3587 0.0320 0.1313
Lampiran 25. Bobot Lahir per Litter
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 12.10 19.00 16.50
R1 6.90 14.90 18.48
R2 14.50 16.80 18.50
R3 20.00 7.00 16.60
1 2 3
18.55 12.60 10.40
12.00 16.00 12.96
14.50 20.00 10.50
18.00 18.50 17.60
14.86
13.54
15.80
16.28
Rataan 13.38 14.43 17.52 15.11 15.76 16.78 12.87 15.13 15.12
Lampiran 26. General Linear Model Bobot Lahir per Litter Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 16 23
Jumlah Kuadrat 0.004 26.28 28.38 283.86 338.53
Kuadrat Tengah 0.004 8.76 9.46 17.74
F-tabel
F-hitung
0.00 0.49 0.53
0.9874 0.6916 0.6660
116
Lampiran 27. Bobot Lahir per Ekor
W1
W2
Ulangan 1 2 3
R0 1.21 1.58 1.65
R1 1.73 1.65 1.54
R2 * 1.20 1.95
R3 1.43 1.75 1.51
1 2 3
1.43 1.57 *
1.50 1.33 1.44
1.45 1.43 1.50
1.80 1.42 1.47
1.49
1.53
1.51
1.56
Rataan
Rataan 1.46 1.55 1.66 1.55 1.55 1.44 1.47 1.48 1.52
Lampiran 28. General Linear Model Bobot Lahir per Ekor Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 14 21
Jumlah Kuadrat 0.03 0.01 0.05 0.57 0.68
Kuadrat Tengah 0.032 0.005 0.017 0.041
F-tabel
F-hitung
0.78 0.12 0.41
0.3913 0.9461 0.7473
Lampiran 29. Produksi Air Susu Induk Babi per Hari
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 4800 5880 4680
R1 2640 6120 4200
R2 5520 7200 3120
R3 7200 3480 5760
1 2 3
5160 5160 3360
6960 8160 7440
3840 3840 4560
7320 6240 8160
4840.00
5920.00
4680.00
6360.00
Rataan 5040.00 5670.00 4440.00 5050.00 5820.00 5850.00 5880.00 5850.00 5450.00
117
Lampiran 30. General Linear Model PASI Babi per Hari Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
i/j 1 2 3 4 5 6 7 8
Derajat Bebas 1 3 3 16 23
Jumlah Kuadrat 3840000.00 12084000.00 18796800.00 27484800.00 62205600.00
Kuadrat Tengah 3840000.00 4028000.00 6265600.00 1717800.00
F-tabel
F-hitung
2.24 2.34 3.65
0.1543 0.1115 0.0354
Least Squares Means for effect Interaksi Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: rataan PASI per hari 1 2 3 4 5 6 7 8 0.4656 0.8830 0.7409 0.6079 0.0394 0.3456 0.0650 0.4656 0.3830 0.2944 0.8254 0.0087 0.8254 0.0149 0.8830 0.3830 0.8541 0.5107 0.0526 0.2787 0.0857 0.7409 0.2944 0.8541 0.4027 0.0747 0.2093 0.1195 0.6079 0.8254 0.5107 0.4027 0.0138 0.6598 0.0235 0.0394 0.0087 0.0526 0.0747 0.0138 0.0054 0.7969 0.3456 0.8254 0.2787 0.2093 0.6598 0.0054 0.0094 0.0650 0.0149 0.0857 0.1195 0.0235 0.7969 0.0094
Lampiran 31. Produksi Air Susu Induk Babi per Menyusu
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 240.00 294.00 234.00
R1 120.00 278.00 191.00
R2 240.00 313.00 136.00
R3 327.00 158.00 262.00
1 2 3
246.00 246.00 160.00
348.00 408.00 372.00
167.00 167.00 198.00
333.00 284.00 371.00
236.67
286.17
203.50
289.17
Rataan 231.75 260.75 205.75 232.75 273.50 276.25 275.25 275.00 253.88
118
Lampiran 32. General Linear Model PASI per Menyusu Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
i/j 1 2 3 4 5 6 7 8
Derajat Bebas 1 3 3 16 23
Jumlah Kuadrat 10710.37 30732.12 53740.79 56267.33 151450.62
Kuadrat Tengah 10710.37 10244.04 17913.59 3516.70
F-tabel
F-hitung
3.05 2.91 5.09
0.1001 0.0665 0.0115
Least Squares Means for effect Waktu*Taraf Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: rataan PASI per menyusui 1 2 3 4 5 6 7 8 0.2356 0.5940 0.8869 0.4362 0.0247 0.1238 0.1494 0.2356 0.5010 0.2928 0.6703 0.0019 0.6999 0.0143 0.5940 0.5010 0.6950 0.8022 0.0081 0.2958 0.0562 0.8869 0.2928 0.6950 0.5224 0.0185 0.1583 0.1166 0.4362 0.6703 0.8022 0.5224 0.0047 0.4209 0.0343 0.0247 0.0019 0.0081 0.0185 0.0047 0.0008 0.3495 0.1238 0.6999 0.2958 0.1583 0.4209 0.0008 0.0063 0.1494 0.0143 0.0562 0.1166 0.0343 0.3495 0.0063
Lampiran 33. Produksi Air Susu Induk Babi per Hari Hari ke-10
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 4320 6240 4320
R1 2400 4800 4800
R2 7200 8160 3360
R3 7200 2880 3840
1 2 3
2400 4800 3360
4800 4800 *
2400 2880 4800
9120 7200 7200
4240.00
4320.00
4800.00
6240.00
Rataan 5280.00 5520.00 4080.00 4960.00 4680.00 4920.00 5120.00 4906.67 4925.22
119
Lampiran 34. General Linear Model PASI per Hari Hari ke-10 Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
i/j
Derajat Bebas 1 3 3 15 22
F-tabel
F-hitung
0.01 1.92 4.15
0.9066 0.1704 0.0251
Least Squares Means for effect Interaksi Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: PASI per hari hari ke-10 2 3 4 5 6 7
1
1 2 3 4 5 6 7 8
Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah 36141.18 36141.18 14596042.11 4865347.37 31589052.63 10529684.21 38092800.00 2539520.00 84887373.91
0.4720 0.4720 0.3408 0.8091 0.2859 0.9139 0.2378 0.0428
0.1057 0.6299 0.7174 0.5905 0.6299 0.0099
0.3408 0.1057 0.2378 0.0540 0.3379 0.0428 0.2378
0.8091 0.6299 0.2378
0.2859 0.7174 0.0540 0.4029
0.4029 0.9139 0.3408 0.0265
0.9139 0.5905 0.3379 0.9139 0.3928
0.3928 0.9038 0.0047
0.3379 0.0541
0.2378 0.6299 0.0428 0.3408 0.9038 0.3379
8 0.0428 0.0099 0.2378 0.0265 0.0047 0.0541 0.0036
0.0036
Lampiran 35. Produksi Air Susu Induk Babi per Menyusui Hari ke-10
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 216.00 312.00 216.00
R1 109.00 218.00 218.00
R2 313.00 355.00 146.00
R3 327.00 131.00 175.00
1 2 3
114.00 229.00 160.00
240.00 240.00 *
104.00 125.00 209.00
415.00 327.00 327.00
207.83
205.00
208.67
283.67
Rataan 241.25 254.00 188.75 228.00 218.25 230.25 232.00 226.83 227.22
120
Lampiran 36. General Linear Model PASI per Menyusui Hari ke-10 Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 15 22
Jumlah Kuadrat 1.41176 24680.68 68935.10 77698.66 172613.91
Kuadrat Tengah 1.41176 8226.89 22978.36 5179.91
F-tabel
F-hitung
0.00 1.59 4.44
0.9870 0.2339 0.0202
Least Squares Means for effect Interaksi Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: PASI per menyusui hari ke-10 i/j 1 2 3 4 5 6 7 8
1
2 0.2767
0.2767 0.6969 0.5384 0.1918 0.9047 0.1031 0.0851
0.1479 0.6249 0.8149 0.3886 0.5530 0.0095
3 0.6969 0.1479 0.3208 0.0981 0.6403 0.0499 0.1686
4 0.5384 0.6249 0.3208
5 0.1918 0.8149 0.0981 0.4723
0.4723 0.6652 0.2861 0.0258
6 0.9047 0.3886 0.6403 0.6652 0.2883
0.2883 0.7175 0.0058
0.1730 0.0969
7 0.1031 0.5530 0.0499 0.2861 0.7175 0.1730
8 0.0851 0.0095 0.1686 0.0258 0.0058 0.0969 0.0027
0.0027
Lampiran 37. Konsumsi Ransum Harian Anak per Litter
W1
W2
RATAAN
Ulangan 1 2 3
R0 * 66.5 34
R1 24 31.5 36
R2 35 48 31
R3 29 32.5 *
1 2 3
32 23 13.5
26.5 53 45.5
27 21.5 33
40.5 34.5 43
33.80
36.08
32.58
35.90
RATAAN 29.33 44.63 33.67 35.88 31.50 33.00 33.75 32.75 34.57
121
Lampiran 38. General Linear Model KRH Anak per Litter Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 14 21
Jumlah Kuadrat 114.08 53.49 1263.05 1414.41 2817.14
Kuadrat Tengah 114.08 17.83 421.01 101.02
F-tabel
F-hitung
1.13 0.18 4.17
0.3059 0.9105 0.0264
Least Squares Means for effect Interaksi Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: Konsumsi anak per litter i/j 1 2 3 4 5 6 7 8
1
2 0.0493
0.0493 0.2032 0.0728 0.0098 0.3654 0.0247 0.2539
0.3763 0.9786 0.3660 0.1951 0.6908 0.3000
3 0.2032 0.3763 0.4426 0.0858 0.6619 0.2080 0.8733
4 0.0728 0.9786 0.4426
5 0.0098 0.3660 0.0858 0.4028
0.4028 0.2539 0.7020 0.3654
6 0.3654 0.1951 0.6619 0.2539 0.0377
0.0377 0.6058 0.0640
0.0990 0.7803
7 0.0247 0.6908 0.2080 0.7020 0.6058 0.0990
8 0.2539 0.3000 0.8733 0.3654 0.0640 0.7803 0.1604
0.1604
Lampiran 39. Konsumsi Ransum Harian Anak per Ekor
W1
W2
RATAAN
Ulangan 1 2 3
R0 * 6.7 3.4
R1 6 3.5 3.6
R2 3.5 4 2.6
R3 2.4 8.1 7.6
1 2 3
2.9 2.9 2.7
3.3 4.4 5.1
2.7 2.2 4.7
4.1 2.9 3.6
3.72
4.32
3.28
4.78
RATAAN 3.97 5.58 4.30 4.61 3.25 3.10 4.03 3.46 4.04
122
Lampiran 40. General Linear Model KRH Anak per Ekor Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 15 22
Jumlah Kuadrat 8.76 7.20 7.19 36.28 59.33
Kuadrat Tengah 8.76 2.40 2.39 2.41
F-tabel
F-hitung
3.62 0.99 0.99
0.0763 0.4231 0.4237
Lampiran 41. Konsumsi Ransum Anak Hari Ke-15 Laktasi
W1
W2
RATAAN
Ulangan 1 2 3
R0 * * 110
R1 80 130 110
R2 105 160 130
R3 85 135 235
1 2 3
160 90 80
155 180 165
120 120 100
230 145 150
110.00
136.67
122.50
163.33
RATAAN 90.00 141.67 146.25 125.97 166.25 133.75 123.75 141.25 135.23
Lampiran 42. General Linear Model KRH Anak Hari Ke-15 Laktasi Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 14 21
Jumlah Kuadrat 1267.50 7602.97 4910.11 14990.53 38373.86
Kuadrat Tengah 1267.50 2534.32 1636.70 1670.23
F-tabel
F-hitung
0.76 1.52 0.98
0.3984 0.2535 0.4302
123
Lampiran 43. Konsumsi Ransum Anak Hari Ke-20 Laktasi
W1
W2
Ulangan 1 2 3
R0 * 370 230
R1 160 185 250
R2 245 320 180
R3 205 190 *
1 2 3
160 140 55
110 350 290
150 95 230
175 200 280
191.00
224.17
203.33
210.00
Rataan
Rataan 203.33 266.25 220.00 229.86 148.75 196.25 213.75 186.25 207.73
Lampiran 44. General Linear Model KRH Anak Hari Ke-20 Laktasi Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 14 21
Jumlah Kuadrat 13222.45 1450.50 44657.91 76695.83 136136.36
Kuadrat Tengah 13222.45 483.50 14885.97 5478.27
F-tabel
F-hitung
2.41 0.09 2.72
0.1426 0.9653 0.0844
Lampiran 45. Pertambahan Bobot Badan Anak per litter Hingga Hari Ke-20
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 29.6 22 40
R1 26.6 24.1 29.72
R2 25 44.7 39.5
R3 40 17 28
1 2 3
18.45 17.4 22.1
22 28 28.04
19.7 23.6 22
41 35.5 33.6
24.93
26.41
29.08
32.52
Rataan 30.30 26.95 34.31 30.52 25.29 26.13 26.44 25.95 28.23
124
Lampiran 46. General Linear Model Pertambahan Bobot Badan Anak per litter Hingga Hari Ke-20 Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
i/j 1 2 3 4 5 6 7 8
Derajat Bebas 1 3 3 14 21
Jumlah Kuadrat 125.26 200.03 490.60 725.84 1541.75
Kuadrat Tengah 125.26 66.67 163.53 45.36
F-tabel
F-hitung
2.76 1.47 3.60
0.1160 0.2603 0.0367
Least Squares Means for effect waktu*taraf Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: PBB anak per litter 1 2 3 4 5 6 7 8 0.5077 0.3019 0.6944 0.0583 0.4232 0.1305 0.2787 0.5077 0.1003 0.7849 0.1921 0.8871 0.3730 0.0909 0.3019 0.1003 0.1618 0.0068 0.0772 0.0171 0.9572 0.6944 0.7849 0.1618 0.1206 0.6787 0.2499 0.1477 0.0583 0.1921 0.0068 0.1206 0.2410 0.6619 0.0061 0.4232 0.8871 0.0772 0.6787 0.2410 0.4513 0.0698 0.1305 0.3730 0.0171 0.2499 0.6619 0.4513 0.0153 0.2787 0.0909 0.9572 0.1477 0.0061 0.0698 0.0153
Lampiran 47. Pertumbuhan Bobot Badan Anak per Ekor Hingga Hari Ke-20
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 3.29 2.44 4
R1 * 2.68 3.3
R2 2.5 3.73 3.29
R3 3.33 4.25 2.8
1 2 3
2.05 2.49 4.42
2.75 2.33 3.12
2.46 2.36 3.14
4.1 2.96 3.05
3.12
2.84
2.91
3.42
Rataan 3.04 3.28 3.35 3.22 2.84 2.54 3.43 2.94 3.08
125
Lampiran 48. General Linear Model Pertumbuhan Bobot Badan Anak per Ekor Hingga Hari Ke-20 Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 15 22
Jumlah Kuadrat 0.44 1.07 0.14 7.92 9.66
Kuadrat Tengah 0.44 0.35 0.04 0.52
F-tabel
F-hitung
0.84 0.68 0.09
0.3729 0.5786 0.9646
Lampiran 49. Bobot Badan Anak Babi Hari Ke-5 Laktasi
W1
W2
Ulangan 1 2 3
R0 18.99 18.96 16.5
R1 11.6 19.08 23.04
R2 14 23.52 28.68
R3 22.55 10 20.46
1 2 3
18.92 20.43 14.5
16.32 21.96 18.36
16.5 16.8 15.47
24.5 22.49 25.56
18.05
18.39
19.16
20.93
Rataan
Rataan 16.79 17.89 22.17 18.95 19.06 20.42 18.47 19.32 19.13
Lampiran 50. General Linear Model Bobot Badan Anak Babi Hari Ke-5 Laktasi Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 16 23
Jumlah Kuadrat 0.81 29.62 114.93 314.07 459.45
Kuadrat Tengah 0.81 9.87 38.31 19.62
F-tabel
F-hitung
0.04 0.50 1.95
0.8408 0.6855 0.1620
126
Lampiran 51. Bobot Badan Anak Babi Hari Ke-10 Laktasi
W1
W2
Ulangan 1 2 3
R0 25.56 32.7 20.6
R1 18 21.06 28.5
R2 20.5 36 36.36
R3 34.8 8.72 31.2
1 2 3
25.52 18 21.5
22.32 32.04 24.03
22.5 26.9 22.47
38 31.56 34.56
23.98
24.33
27.46
29.81
Rataan
Rataan 24.72 24.62 29.17 26.17 27.09 27.13 25.64 26.62 26.39
Lampiran 52. General Linear Model Bobot Badan Anak Babi Hari Ke-10 Laktasi Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 16 23
Jumlah Kuadrat 1.21 137.28 267.74 811.72 1217.96
Kuadrat Tengah 1.21 45.76 89.24 50.73
F-tabel
F-hitung
0.02 0.90 1.76
0.8790 0.4619 0.1954
Lampiran 53. Bobot Badan Anak Babi Hari Ke-15 Laktasi
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 31.5 41.8 45.6
R1 26.28 26.46 36
R2 29.7 48 46.8
R3 49.2 17.48 34
1 2 3
29.43 22.96 25.3
29.52 39 32.22
28 33 27.51
51 45.24 44.04
32.77
31.58
35.50
40.16
Rataan 34.17 33.44 40.60 36.07 34.49 35.05 32.27 33.94 35.00
127
Lampiran 54. General Linear Model Bobot Badan Anak Babi Hari Ke-15 Laktasi Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 16 23
Jumlah Kuadrat 27.30 261.41 756.97 996.55 2042.25
Kuadrat Tengah 27.30 87.13 252.32 62.28
F-tabel
F-hitung
0.44 1.40 4.05
0.5173 0.2794 0.0255
Least Squares Means for effect Interaksi Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: bobot badan anak babi hari ke-15 i/j
1
1 2 3 4 5 6 7 8
3
0.1383
0.7758 0.0829
0.1383 0.7758 0.3600 0.0489 0.3615 0.1355 0.2851
2
0.0829 0.5455 0.5755 0.5435 0.9907 0.0169
4
0.2357 0.0277 0.2368 0.0811 0.4263
0.3600 0.5455 0.2357
5
6
0.0489 0.5755 0.0277 0.2517
0.2517 0.9976 0.5379 0.0573
8
0.1355 0.9907 0.0811 0.5379 0.5834 0.5359
0.2851 0.0169 0.4263 0.0573 0.0052 0.0576 0.0165
0.3615 0.5435 0.2368 0.9976 0.2505
7
0.2505 0.5834 0.0052
0.5359 0.0576
0.0165
Lampiran 55. Bobot Badan Anak Babi Hari Ke-20 Laktasi
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 41.67 40.95 56.5
R1 33.48 38.97 48.15
R2 39.5 61.56 57.96
R3 60 24 44.6
1 2 3
36.99 30.03 32.5
34 43.2 40.95
34.24 43.5 32.48
59 54 51.15
39.77
39.79
44.87
48.79
Rataan 43.66 41.37 51.80 45.61 41.06 42.68 39.27 41.00 43.31
128
Lampiran 56. General Linear Model Bobot Badan Anak Babi Hari Ke-20 Laktasi Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 16 23
Jumlah Kuadrat 127.42 344.27 742.48 1369.16 2583.34
Kuadrat Tengah 127.42 114.75 247.49 85.57
F-tabel
F-hitung
1.49 1.34 2.89
0.2400 0.2962 0.0677
Lampiran 57. Pertambahan Bobot Badan Anak Babi per Litter hingga Disapih
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 49.4 29 52.5
R1 30.1 40.1 28.02
R2 42.5 56.2 56
R3 53 21 51.4
1 2 3
33.45 30.4 28.6
41.3 43 32.54
29.5 40 28.5
56 50.5 51.4
37.23
35.84
42.12
47.22
Rataan 43.75 36.58 46.98 42.44 40.06 40.98 35.26 38.77 40.60
Lampiran 58. General Linear Model Pertambahan Bobot Badan Anak Babi per Litter hingga Disapih Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 16 23
Jumlah Kuadrat 80.77 480.58 935.26 1356.59 2853.22
Kuadrat Tengah 80.77 160.19 311.75 84.78
F-tabel
F-hitung
0.95 1.89 3.68
0.3436 0.1721 0.0346
129
i/j 1 2 3 4 5 6 7 8
Least Squares Means for effect Interaksi Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: pbbsap 1 2 3 4 5 6 7 8 0.1667 0.3070 0.8104 0.1076 0.5418 0.1640 0.2487 0.1667 0.0235 0.2457 0.8013 0.4212 0.9923 0.0176 0.3070 0.0235 0.2123 0.0139 0.1127 0.0230 0.8889 0.8104 0.2457 0.2123 0.1634 0.7093 0.2421 0.1689 0.1076 0.8013 0.0139 0.1634 0.2956 0.8088 0.0104 0.5418 0.4212 0.1127 0.7093 0.2956 0.4159 0.0874 0.1640 0.9923 0.0230 0.2421 0.8088 0.4159 0.0173 0.2487 0.0176 0.8889 0.1689 0.0104 0.0874 0.0173
Lampiran 59. Pertambahan Bobot Badan Anak Babi per Ekor hingga Disapih
W1
W2
Ulangan 1 2 3
R0 5.49 3.22 5.25
R1 * 5.01 3.5
R2 4.25 4.68 4.67
R3 4.42 5.25 5.14
1 2 3
4.18 4.34 5.72
5.16 3.58 3.62
3.69 4 4.07
5.6 4.21 4.67
4.70
4.17
4.23
4.88
Rataan
Rataan 4.72 4.54 4.64 4.63 4.66 4.03 4.52 4.40 4.51
Lampiran 60. General Linear Model Pertambahan Bobot Badan Anak Babi per Ekor hingga Disapih Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 15 22
Jumlah Kuadrat 0.206 2.025 0.402 8.919 11.628
Kuadrat Tengah 0.206 0.675 0.134 0.594
F-tabel
F-hitung
0.35 1.14 0.23
0.5644 0.3665 0.8771
130
Lampiran 61. Bobot Sapih per Litter Anak Babi
W1
W2
Ulangan 1 2 3
R0 61.5 48 69
R1 37 55 46.5
R2 57 73 74.5
R3 73 28 68
1 2 3
52 43 39
53.3 59 45.5
44 60 39
74 69 69
52.08
49.38
57.92
63.50
Rataan
Rataan 57.13 51.00 64.50 57.54 55.83 57.75 48.13 53.90 55.72
Lampiran 62. General Linear Model Bobot Sapih per Litter Anak Babi Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 16 23
Jumlah Kuadrat 79.57 712.39 1251.09 2231.36 4274.41
Kuadrat Tengah 79.57 237.46 417.03 139.46
F-tabel
F-hitung
0.57 1.70 2.99
0.4610 0.2066 0.0621
Lampiran 63. Bobot Sapih per Ekor Anak Babi
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 6.83 5.33 6.9
R1 9.25 6.88 5.81
R2 5.7 6.08 6.21
R3 6.08 7 6.8
1 2 3
6.5 6.14 7.8
6.66 4.92 5.06
5.5 6 5.57
7.4 5.75 6.27
6.58
6.43
5.84
6.55
Rataan 6.97 6.32 6.43 6.57 6.52 5.70 6.18 6.13 6.35
131
Lampiran 64. General Linear Model Bobot Sapih per Ekor Anak Babi Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 15 22
Jumlah Kuadrat 0.22 2.64 1.09 7.71 11.89
Kuadrat Tengah 0.22 0.88 0.36 0.51
F-tabel
F-hitung
0.44 1.71 0.71
0.5185 0.2073 0.5604
Lampiran 65. Persentase Mortalitas Prasapih
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 20 7.69 0
R1 0 11.11 25
R2 18.18 7.14 0
R3 7.14 0 9.09
1 2 3
50 12.5 0
0 8.33 22.22
20 21.43 0
0 7.69 8.33
15.03
11.11
11.13
5.38
Rataan 11.33 6.49 8.52 8.78 17.50 12.49 7.64 12.54 10.66
Lampiran 66. General Linear Model Persentase Mortalitas Prasapih Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 15 23
Jumlah Kuadrat 107.61 439.25 471.30 2190.73 3202.33
Kuadrat Tengah 107.61 146.41 157.10 146.04
F-tabel
F-hitung
0.74 1.00 1.08
0.4042 0.4188 0.3892
132
Lampiran 67. Jumlah Mortalitas Anak Babi Penelitian
W1
W2
Ulangan 1 2 3
R0 2 1 0
R1 0 1 3
R2 2 1 0
R3 1 0 1
1 2 3
4 1 0
0 1 2
2 3 0
0 1 1
1.33
1.17
1.33
0.67
Rataan
Rataan 1.25 0.75 1.00 1.00 1.50 1.50 0.75 1.25 1.13
Lampiran 68. General Linear Model Jumlah Mortalitas Anak Babi Penelitian Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 15 23
Jumlah Kuadrat 0.58 2.92 5.08 17.45 28.62
Kuadrat Tengah 0.58 0.97 1.69 1.16
F-tabel
F-hitung
0.50 0.84 0.84
0.4908 0.4946 0.2661
Lampiran 69. Litter Size Sapih Anak Babi
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 9 9 10
R1 4 8 8
R2 10 12 12
R3 12 4 10
1 2 3
8 7 5
8 12 9
8 10 7
10 12 11
8.00
8.17
9.83
9.83
Rataan 8.75 8.25 10.00 9.00 8.50 10.25 8.00 8.92 8.96
133
Lampiran 70. General Linear Model Litter Size Sapih Anak Babi Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 16 23
Jumlah Kuadrat 0.041 18.458 45.791 68.666 132.958
Kuadrat Tengah 0.041 6.152 15.263 4.291
F-tabel
F-hitung
0.01 1.43 3.56
0.9227 0.2699 0.0382
Least Squares Means for effect Interaksi Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: litter size sapih i/j 1 2 3 4 5 6 7 8
1
2 0.1345
0.1345 0.2543 0.6987 0.1345 0.8463 0.5626 0.3391
0.0140 0.2543 1.0000 0.0952 0.3391 0.0209
3 0.2543 0.0140 0.1345 0.0140 0.3391 0.0952 0.8463
4 0.6987 0.2543 0.1345
5 0.1345 1.0000 0.0140 0.2543
0.2543 0.5626 0.8463 0.1867
6 0.8463 0.0952 0.3391 0.5626 0.0952
0.0952 0.3391 0.0209
0.4421 0.4421
7 0.5626 0.3391 0.0952 0.8463 0.3391 0.4421
8 0.3391 0.0209 0.8463 0.1867 0.0209 0.4421 0.1345
0.1345
Lampiran 71. Umur Sapih Anak Babi
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 29 27 27
R1 23 27 29
R2 28 23 29
R3 23 24 25
1 2 3
30 27 26
29 23 25
28 29 26
29 28 29
27.67
26.00
27.17
26.33
Rataan 25.75 25.25 27.50 26.17 29.00 26.75 26.50 27.42 26.79
134
Lampiran 72. General Linear Model Umur Sapih Anak Babi Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 16 23
Jumlah Kuadrat 9.375 10.458 25.458 76.666 121.958
Kuadrat Tengah 9.375 3.486 8.4861 4.791
F-tabel
F-hitung
1.96 0.73 1.77
0.1810 0.5504 0.1932
Lampiran 73. Penurunan Bobot Badan Induk Babi
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 -9.1 -29.3 -45.9
R1 -10.3 -54.9 17.3
R2 -26 -32.9 -38.2
R3 -42 5.3 -18.7
1 2 3
-22.1 -12.1 3
-19.1 -30.9 -13.9
-16.7 -9.5 14.1
-30.4 -41.5 -37.8
-19.25
-18.63
-18.20
-27.52
Rataan -21.85 -27.95 -21.38 -23.73 -22.08 -23.50 -8.65 -18.08 -20.90
Lampiran 74. General Linear Model Penurunan Bobot Badan Induk Babi Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 16 23
Jumlah Kuadrat 191.53 353.58 2016.64 5581.57 8143.34
Kuadrat Tengah 191.53 117.86 672.21 348.84
F-tabel
F-hitung
0.55 0.34 1.93
0.4694 0.7982 0.1659
135
Lampiran 75. Interval Birahi Kembali setelah Penyapihan
W1
W2
Ulangan 1 2 3
R0 5 5 5
R1 7 4 6
R2 3 4 4
R3 4 * 7
1 2 3
4 4 4
4 4 *
4 4 4
4 * 4
4.50
5.00
3.83
4.75
Rataan
Rataan 4.75 4.33 5.50 4.86 4.00 4.00 4.00 4.00 4.48
Lampiran 76. General Linear Model Interval Birahi Kembali setelah Penyapihan Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 13 20
Jumlah Kuadrat 4.640 3.355 3.355 9.833 21.238
Kuadrat Tengah 4.640 1.118 1.118 0.756
F-tabel
F-hitung
6.13 1.48 1.48
0.0278 0.2663 0.2663
The GLM Procedure Least Squares Means H0:LSMean1= birahi Standard H0:LSMEAN=0 LSMean2 waktu LSMEAN Error Pr > |t| Pr > |t| 1 4.95833333 0.26629582 <.0001 0.0278 2 4.00000000 0.28070044 <.0001
136
Lampiran 77. Satu Siklus Reproduksi Induk Babi
W1
W2
Ulangan 1 2 3
R0 147 147 147
R1 143 142 150
R2 146 145 146
R3 143 * 144
1 2 3
146 146 144
146 142 *
147 146 144
147 * 148
146.17
144.60
145.67
145.50
Rataan
Rataan 144.75 144.67 146.75 145.39 146.50 144.67 145.33 145.50 145.52
Lampiran 78. General Linear Model Satu Siklus Reproduksi Induk Babi Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3 13 20
Jumlah Kuadrat 0.561 7.631 21.349 55.000 83.238
Kuadrat Tengah 0.561 2.543 7.116 4.230
F-tabel
F-hitung
0.13 0.60 1.68
0.7215 0.6256 0.2197
Lampiran 79. Frekuensi Beranak per Tahun Induk Babi
W1
W2
Rataan
Ulangan 1 2 3
R0 2.48 2.48 2.48
R1 2.55 2.57 2.43
R2 2.5 2.52 2.5
R3 2.55 * 2.53
1 2 3
2.5 2.5 2.53
2.5 2.57 *
2.48 2.5 2.53
2.48 * 2.47
2.50
2.52
2.51
2.51
Rataan 2.52 2.52 2.49 2.51 2.49 2.52 2.51 2.51 2.51
137
Lampiran 80. General Linear Model Frekwesi Beranak per Tahun Induk Babi Sumber Keragaman Waktu Taraf Interaksi Galat Total
Derajat Bebas 1 3 3
Jumlah Kuadrat 0.00012 0.00258 0.00599
Kuadrat Tengah 0.00012 0.00086 0.00199
13 20
0.01630 0.024628
0.00125
F-tabel
F-hitung
0.10 0.69 1.59
0.7560 0.5753 0.2388
Lampiran 81. Quixalud Manfaat • Pemacu pertumbuhan • Mencegah anak babi mencret pada saat disapih • Menghilangkan stress akibat bakteri patogen • Memperbaiki konversi pakan Mengandung 60% Halquinol dalam bahan pembantu Produksi M & H Manufacturing Co.Ltd Thailand. Lampiran 82. Growbig Max Komposisi Natural herbal ± 8% Glukosa ± 3% Total cell 10 6 – 10 8 CFU (bakteri amylolytic, proteolotic, lipolotic, yeast dll) Manfaat : kombinasi natural herbal dan probiotik efektif untuk mempercepat penggemukan dan mengurangi bau.
138
Lampiran 83. Hidro Rex Vital Aminoacids (oral) Vitamin Vit A Vit D3 Vit E Vit B1 Vit B2 Vit B6 Vit B12 Vit C Vit K3 As folic Kalsium Pantotenat
Komposisi 20.000.000 IU 5.000.000 IU 9g 5g 10 g 3g 30 mg 50 g 5g 1g 10 g
Asam amino As aspartic Threonine Serine Glutamat acid Proline Glycine Alanine Cystine Methionine Isoleusine Leusine Phenylalanine Thyrosine Lysine Hystidine Arginine Tryptohan Produksi: SP Veterinaria, SA Citra Reus-Vynids, KM 4,1 PO BOX 60 Spain.
14.50 g 6.4 g 6.6 g 26.4 g 11.5 g 15.3 g 17.4 g 1.26 g 11.1 g 9.8 g 20.1 g 7.7 g 6.8 g 20.7 g 5.6 g 14.1 g 3.67 g 1000 ml
139
Lampiran 84. Shotapen LA Komposisi setiap ml Benzhatin penicilin G 100.000 IU Procaine penicilin G 100.000 IU Dihydrostreptomycin sulfate 200 mg Manfaat : obat pneumonia, Mastitis, dan Metritis Produksi: Virbac Animal Health anti biotheraphy Lampiran 85. Penstrep Antibiotik Komposisi: Streptomycine sulfat 200 mg Procaine peniciline G 200.000 IU Lampiran 86. Supervam Solution Manfaat • Mencegah dan mengobati anemia pernisiosa terutama pada hewan menyusui • Memperbaiki dan meningktkan PBB hewan muda Produksi PT. Duta Kaisal Pharmacy. Solo Lampiran 87. Vet B-12 Komposisi 1 Liter Levamisole 100 g Manfaat: • Mencegah dan memberantas cacing gelang, cacing paru, cacing benang, bungkul, dan cacing lambung merah • Mengurangi angka kematian dan mencegah babi kerdil Lampiran 88. Dufadex 20% Komposisi per ml 200 mg besi (iron III-hidroxide-dextrancomplex) Manfaat: menghindari anemia Produksi Dutch Farm International BV, Holland
140
Lampiran 89. Demitox Manfaat: berfungsi sebagai premix, anti jamur dan anti toksin Komposisi • Propionic 500 g • Aluminium ciliate 100g • Antitoksin • Sodium propionat 20 g • Al 2 O 3 63 g • Fe 2 O 3 10 g • CaO 8.35 g • MgO 1.65 g • Na 2 O 5.7 g • K2O 14.2 g • TiO 2 1.2 g • P 2 O5 0.05 g • SiO 2 1g Produksi PT. Kalbe Animal Health Lampiran 90. CYC 100 Komposisi 1 Kg berisi Saccaromyces Cerevisiae 1.5 10 11 CFU Produksi Chong Ang Biotech Co. Ltd South Korea Lampiran 91. Zinc Oxide Manfaat sebagai sumber zinc produksi PT. Indoxide Lampiran 92. Mistral Bedak babi yang berfungsi sebagai antibiotik yang ditaburkan di seluruh tubuh anak babi yang baru dilahirkan. Produksi Olmix SA Lampiran 93. Blue Spray Manfaat: mengobati luka-luka pada babi dan ternak lain sesudah kastrasi/kebiri, lika gigitan, potong ekor, penandaan, luka bakar dan luka bagian luar lainnya Komposisi: Methylene blue 2% Benzalkonium 1% Anti-infectious, anti biting agent, danfly reppelent qs Produksi PT. Prima Satwa Maju Lampiran 94. Tay Pin San
141
Obat sakit perut, perut kembung, membantu mengurangi frekwensi buang air besar dan memadatkan tinja Komposisi dalam 2000 mg Viticis cannabifoliae 150 mg Galangeae 280 mg Patchouli herba 300 mg Menthae herba 400 mg Angelicae anomala radix 120 mg Glycyrrhizae radix 400 mg Coptidis rhizoma 200 mg Elsholtziae herba 1500 mg Produksi PT. Bintang Kupu-kupu Lampiran 95. Hi-G Berfungsi sebagai desinfektan virusidal, bakteriosidal dan fungisidal Komposisi 1 liter Alkyldimetylbenzylalammonium chloride 10 % Glutaraldehyde 15 % Pine oil 4 % Surfactan Aquademin qs Produksi PT. Kalbefarma Animal Health
142
Lampiran 96. Komposisi Additive/Ton Pakan Harga No Additive (Rp) GK(%) TG(%) 1 RAC-20 ppm 60000 0 0.5
BS(%) 0
DR(%) 0
BB(%) 0
2
GBC-20 ppm
120000
0
0
0.6
0
0
3
Rovimix hy-d
50800
0
0
0
0.4
0.4
4
Cyc-100
19360
1
1
1
1
1
5
Allzyme ssf (enzyme) Biofos (mcpdcp) Demytox (anti mould) Throuw swine ks-eco Throuw sow premix Copper sulfate
160000
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2
8200
1
1
1
1
1
10000
2
1
1
2
2
25000
3
3
2
0
0
36000
0
0
0
4
4
30000
0.6
0.6
0.6
0
0
6500
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
35000
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2
6 7 8 9 10 11 12
Choline chloride Zinc oxide
13
Vit plus-1000
125000
0.2
0.2
0.2
0
0
14
Vit e (golden guard) Garam
120000
0
2
0
0.2
0.2
450
2
2
2
2
2
GK(%)
TG(%)
BS(%)
DR(%)
BB(%)
15
Lampiran 97. Komposisi Antibiotik/Ton Pakan No
Antibiotik
Harga (Rp)
1
TYLOSIN-10%
49920
0.8
0.8
0.8
0
0
2
CTC-15%
35000
0,8
0,8
0,8
0,8
0.8
3
LINCOMIX
396800
0
0
0
0.2
0.2
143
Lampiran 98. Peta Desa Sepreh
144
Lampiran 99. Denah Kandang CV. Adhi Farm
145
Lampiran 100. Hasil Analisa Proksimat
146
Lampiran 101. Hasil Identifikasi/Determinasi Tumbuhan