PENGARUH TARAF PEMBERIAN TEPUNG DAUN BANGUNBANGUN (Coleus amboinicus Lour) DALAM RANSUM INDUK BABI MENYUSUI TERHADAP NILAI EKONOMI PENAMPILAN ANAK BABI SAPIHAN
SKRIPSI AGUS
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN AGUS. D14053261. 2009. Pengaruh Taraf Pemberian Tepung Daun Bangunbangun (Coleus amboinicus Lour) dalam Ransum Induk Babi Menyusui Terhadap Nilai Ekonomi Penampilan Anak Babi Sapihan. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS. Pembimbing Anggota : Ir. Lucia Cyrilla, MSi. Tanaman bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan tanaman yang menyerupai semak dan tumbuh liar di daerah tropis. Tanaman ini dipercaya mampu meningkatkan air susu ibu yang mengkonsumsinya. Peningkatan produksi susu induk juga akan mampu meningkatkan penampilan anak yang mengkonsumsinya. Perbaikan penampilan anak mempunyai nilai ekonomi penting dalam dunia peternakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menentukan pengaruh pemberian tepung daun bangun-bangun (TDB) dalam ransum induk babi menyusui pada taraf pemberian yang berbeda (0; 1,25; 2,50 dan 3,75%) terhadap peningkatan nilai ekonomi anak babi sapihan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan empat perlakuan masing-masing dengan empat ulangan. Peubah yang diamati dalam penelitian adalah litter size lahir, konsumsi ransum, litter size sapih, bobot lahir, bobot sapih, produksi air susu induk (PASI), pertambahan bobot badan anak (PBBA), biaya ransum, biaya total produksi dan tinjauan ekonomi penampilan anak babi sapihan. Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Babi Rachel Farm yang terletak di Kampung Baru, Desa Tajur Halang, Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA). Berdasarkan hasil perhitungan ekonomi diketahui bahwa taraf pemberian 1,25% TDB menghasilkan keuntungan yang paling besar berdasarkan nilai ekonomi penampilan anak babi dibandingkan dengan pemberian taraf TDB lainnya (0; 2,5; dan 3,75%). Peningkatan keuntungan dari penampilan per ekor anak babi sapihan yang induknya mendapatkan 1,25% TDB dalam ransumnya dapat mencapai 17,21% daripada keuntungan per ekor anak babi sapihan dengan taraf pemberian 0% TDB (kontrol). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf pemberian TDB tidak berpengaruh nyata terhadap litter size lahir, konsumsi ransum induk, litter size sapih, bobot lahir, bobot sapih, PBBA dan PASI. Kata-kata kunci : Coleus amboinicus Lour, tepung daun bangun-bangun, peningkatan nilai ekonomi anak babi sapihan.
ABSTRACT The Influance of Different Level Bangun-bangun Leaf Meal (Coleus amboinicus Lour) in Sow’s Lactation Diet for The Economy Effect of Weaned Piglet Agus, P. H. Siagian and L. Cyrilla. In the tropic, there was a wild plant called bangun-bangun. This plant is belived could increase the milk production of mammal, especially milk production of woman whose feeding their baby. The aim of this research is to study the economy influance of bangun-bangun leaf meal which is added to the sow’s diet at different level (0; 1,25; 2,5; and 3,75%). The design of this research was completely random design with four replication. The observed parameter was litter size, sow feed intake, litter weight at birth, litter weight at weaning, litter weight gain, milk production, body weight gain, feed cost, total production cost and the weaned piglet economy effect. Result of this research showed that at level 1,25% bangun-bangun leaf meal in sow’s diet, gave biggest profit than another level in economy of weaned piglet. The profit of a weaned piglet can increase until 17,21% from the usual advantage (level 0%). Bangun-bangun leaf meal in sow’s diet didn’t have significant effect on litter size, sow feed intake, litter weight at birth, pig weight at weaning, litter weight gain, milk production and body weight gain. Keywords : Bangun-bangun leaf meal, weaned piglet and weaned piglet economy effect
PENGARUH TARAF PEMBERIAN TEPUNG DAUN BANGUNBANGUN (Coleus amboinicus Lour) DALAM RANSUM INDUK BABI MENYUSUI TERHADAP NILAI EKONOMI PENAMPILAN ANAK BABI SAPIHAN
AGUS D14053261
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PENGARUH TARAF PEMBERIAN TEPUNG DAUN BANGUNBANGUN (Coleus amboinicus Lour) DALAM RANSUM INDUK BABI MENYUSUI TERHADAP NILAI EKONOMI PENAMPILAN ANAK BABI SAPIHAN
Oleh AGUS D14053261
Srkipsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 16 Oktober 2009
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS.
Ir. Lucia Cyrilla, MSi.
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah M. Sc. Agr.
Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri. M. Agr.Sc
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 3 Agustus 1987 di Medan, Sumatera Utara. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Tumpak Hutasoit dan Dahlia Simatupang. Pendidikan dasar Penulis dimulai pada tahun 1993 dan selesai pada tahun 1999 di SD Swasta Methodis 2 Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Selanjutnya, Penulis melanjutkan pendidikan di SLTP F. Tandean Tebing Tinggi, Sumatera Utara pada tahun 1999 dan menyelesaikannya pada tahun 2002. Kemudian Penulis meneruskan jenjang pendidikannya di SMU St. Thomas 2 Medan, Sumatera Utara dan menyelesaikannya pada tahun 2005. Pada tahun 2005 Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Program Studi Teknologi Produksi Ternak melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama mengikuti pendidikan diperguruan tinggi, Penulis menjadi anggota organisasi Perhimpunan Mahasiswa Kristen Institut Pertanian Bogor (PMKIPB). Penulis pernah menjadi pengurus Persekutuan Oikumene Protestan dan Katolik (POPK) Fakultas Peternakan untuk periode 2007 - 2008.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, kasih dan perlindunganNya Penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Tepung Daun Bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) dalam Ransum Induk Babi Menyusui Terhadap Nilai Ekonomi Penampilan Anak Babi Sapihan”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2009 di Peternakan Babi Rachel Farm yang terletak di daerah Kampung Baru, Desa Tajur Halang, Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Bangun-bangun merupakan tanaman yang hidup di daerah tropis dan di beberapa daerah di Indonesia, dipercaya mampu meningkatkan produksi susu. Ternak babi merupakan salah satu ternak yang menghasilkan anak yang banyak dan berpotensi menambah pendapatan. Penelititan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dan menentukan taraf pemberian daun bangun-bangun yang paling ekonomis dalam ransum induk babi menyusui terhadap penampilan anak babi sapihan. Produksi susu yang meningkat akan meningkatkan penampilan anak babi dan peningkatan penampilan anak babi merupakan peningkatan nilai ekonomi dan pendapatan peternak. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan adanya kritik dan masukan yang membangun dari para pembaca. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna baik bagi kalangan akademis maupun bagi kalangan umum.
Bogor, Oktober 2008
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ................................................................................................
i
ABSTRACT ...................................................................................................
ii
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN ...........................................................................
iv
LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................
v
KATA PENGANTAR ...................................................................................
vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................
x
PENDAHULUAN .........................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................. Perumusan Masalah ........................................................................... Tujuan ................................................................................................ Manfaat ..............................................................................................
1 2 2 3
TINJAUAN PUSATAKA .............................................................................
4
Daun Torbangun ................................................................................ Karakteristik .......................................................................... Komposisi Kimia .................................................................. Manfaat ................................................................................. Ternak Babi ....................................................................................... Sifat Reproduksi .................................................................... Produksi Susu Induk Babi ..................................................... Litter Size Lahir ..................................................................... Bobot Lahir ........................................................................... Mortalitas Anak ..................................................................... Litter Size Sapih ..................................................................... Pertambahan Bobot Badan Anak Babi Menyusu................... Bobot Sapih............................................................................ Tinjauan Ekonomi .............................................................................. Usahan Peternakan Babi..................................................................... Konsumsi dan Biaya Ransum ............................................................
4 4 5 6 7 7 8 8 9 10 10 11 11 12 13 14
METODE........................................................................................................
16
Lokasi dan Waktu .............................................................................. Materi ................................................................................................ Ternak ................................................................................... Kandang dan Peralatan ..........................................................
16 16 16 16
Ransum Penelitian ................................................................. Rancangan ......................................................................................... Rancangan ............................................................................. Peubah ................................................................................... Prosedur .............................................................................................
17 18 18 18 19
HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................
21
Keadaan Umum ................................................................................. Ternak Penelitian ............................................................................... Ransum Penelitian ............................................................................. Penampilan Induk Babi Menyusui .................................................... Penampilan Anak Babi Menyusu ....................................................... Biaya Pemberian Tepung Daun Bangun-bangun dalam Ransum ...... Biaya Ransum Induk Babi Menyusui ................................................ Biaya Ransum Anak Babi Menyusu ................................................. Total Biaya Ransum .......................................................................... Tinjauan Ekonomi .............................................................................
21 25 26 29 34 37 38 39 40 41
KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
45
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................
46
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
48
LAMPIRAN ...................................................................................................
52
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Komposisi Zat Gizi Daun Bangun-bangun dan Katuk ......................
6
2. Sifat Reproduksi Ternak Babi Betina ................................................
8
3. Hubungan Bobot Lahir dengan Daya Tahan Hidup Anak Babi ........
9
4. Rataan Laju Pertumbuhan dan Efisiensi Penggunaan Makanan dari 18 ke 90 kg oleh Anak Babi dengan Bobot Sapih yang Berbeda ..............................................................................................
12
5. Ukuran dan Jumlah Kandang di Peternakan Babi Rachel Farm .......
22
6. Komposisi Pakan di Peternakan Babi Rachel Farm ..........................
24
7. Data Populasi Ternak Babi di Peternakan Babi Rachel Farm ...........
24
8. Susunan Ransum Penelitian ...............................................................
27
9. Analisis Proksimat Ransum Perlakuan Selama Penelitian ................
27
10. Kebutuhan Zat Makanan untuk Induk Babi Menyusui .....................
28
11. Kandungan Zat Makanan dari Pakan Basah Perlakuan .....................
29
12. Penampilan Induk Babi Menyusui Selama Penelitian .......................
30
13. Penampilan Anak Babi Selama Penelitian ........................................
34
14. Kebutuhan dan Biaya Bangun-bangun Tiap Perlakuan Selama Penelitian ..............................................................................
37
15. Biaya Ransum Tiap Ekor Induk Babi Menurut Perlakuan Selama Periode Laktasi ......................................................................
39
16. Rataan Konsumsi dan Biaya Ransum Anak Babi Menyusu dari Induk Babi Menurut Perlakuan ..........................................................
40
17. Total Biaya Ransum pada Taraf TDB yang Berbeda ........................
41
18. Total Biaya Produksi Induk Babi Selama Penelitian..........................
41
19. Tinjauan Ekonomi Penampilan Induk dan Anak Babi dengan Taraf Pemberian Tepung Daun Bangun-bangun yang Berbeda dalam Ransum Induk Babi Menyusui ..................................
43
20. Nilai BEP Unit pada Taraf Pemberian yang Berbeda .....................
44
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Tanaman Bangun-bangun .................................................................
4
2.
Ternak Babi ......................................................................................
7
3.
Induk Babi Menyusui Setelah Selesai Beranak ................................
16
4.
Kandang Induk Babi Beranak ...........................................................
17
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Konsumsi Harian Induk Babi Penelitian ..........................................
53
2. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Konsumsi Ransum ......................
53
3. Produksi Air Susu Induk per Menyusui Selama Penelitian ..............
53
4. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) PASI per Menyusui ....................
53
5. Litter Size Lahir dari Induk Penelitian ..............................................
54
6.
Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Litter Size Lahir ..........................
54
7. Litter Size Sapih dari Induk Penelitian .............................................
54
8.
Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Litter Size Sapih ..........................
54
9.
Bobot Lahir Anak Babi Penelitian ....................................................
55
10. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Bobot Lahir Anak Babi ...............
55
11. Bobot Sapih Anak Babi Penelitian ...................................................
55
12. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Bobot Sapih Anak Babi ..............
55
13. Pertambahan Bobot Badan Anak Babi Penelitian ............................
56
14. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) PBBA Penelitian .........................
56
PENDAHULUAN Latar Belakang Ternak babi adalah ternak yang cepat berkembangbiak. Ternak ini mampu menghasilkan jumlah anak yang banyak dalam setiap kelahirannya (prolifik), dalam kurun waktu satu tahun ternak babi mampu beranak sebanyak dua kali bahkan mencapai lima kali beranak dalam dua tahun. Ternak babi merupakan salah satu dari sekian banyak jenis ternak yang mempunyai potensi cukup baik sebagai penghasil daging yang memiliki gizi tinggi dan sebagai sumber protein hewani. Ternak babi mempunyai karakteristik reproduksi dan produksi yang berbeda dengan sapi, domba dan kuda. Pengembangan peternakan babi seharusnya menjadi potensi yang baik dalam menambah devisa negara dan membuka peluang usaha serta lapangan pekerjaan. Akan tetapi peluang ini tampaknya masih belum dapat dimaksimalkan dan dimanfaatkan dengan baik. Data Direktorat Jenderal Peternakan (2006) menunjukkan bahwa populasi ternak babi di Indonesia tahun 2006 berada pada kisaran 7.086.709 ekor. Jika dibandingkan dengan populasi kambing berjumlah 14.051.156 dan domba yang berjumlah 8.543.206 ekor, populasi babi masih tergolong sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan perternakan babi di Indonesia masih belum maksimal dibandingkan dengan negara sedang berkembang lainnya seperti Vietnam, Thailand dan Filipina. Kendala paling utama bagi para pengusaha dalam mengembangkan peternakan babi di Indonesia adalah adanya fatwa haram bagi ternak babi dalam agama Islam. Seperti yang telah diketahui bahwa mayoritas penduduk di Indonesia beragama Islam. Selain itu kendala lain yang ditemukan di lapangan biasanya antara lain; sulitnya memperoleh izin dalam pembangunan peternakan babi, penanganan ternak babi yang kurang baik dan sulitnya memperoleh ransum yang berkualitas (Tambun, 2008). Daun bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan salah satu tanaman yang tumbuh liar di dataran rendah dan tempat lain sampai pada ketinggian 1100 m di atas permukaan laut. Tanaman ini dipercaya mampu menyembuhkan beberapa jenis penyakit seperti sariawan, batuk, influenza, demam, perut kembung dan hipertensi. Pemanfaatan tanaman ini dalam dunia peternakan masih belum banyak diketahui, akan tetapi berdasarkan hasil penelitian mengenai tanaman
bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) ini, menunjukkan bahwa tanaman ini mampu meningkatkan produksi air susu ternak/hewan yang sedang laktasi. Eksistensi dan perkembangan suatu peternakan sangat bergantung kepada pendapatan yang akan dihasilkan dari sektor peternakan tersebut. Memaksimalkan jumlah output menjadi salah satu upaya yang harus dipenuhi oleh suatu usaha peternakan untuk memperoleh keuntungan yang maksimal. Salah satu biaya input yang paling mempengaruhi pendapatan suatu peternakan adalah biaya pakan atau biaya ransum. Biaya ransum di dalam suatu usaha peternakan merupakan biaya yang paling tinggi diantara biaya input lainnya, yaitu mencapai 70-80% dari biaya total produksi (Devendra dan Fuller, 1979). Usaha memanipulasi pakan untuk dapat meningkatkan produksi ternak adalah hal yang sering kita temukan. Pemberian daun bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) di dalam ransum dipercaya mampu meningkatkan produksi air susu pada induk yang sedang laktasi. Peningkatan produksi air susu ini akan meningkatkan bobot badan anak yang sedang menyusu. Peningkatan bobot badan anak pada masa menyusu ini akan meningkatkan pendapatan usaha peternakan, khususnya usaha peternakan babi. Sejauh mana keuntungan yang akan diperoleh dari usaha peternakan babi akan dibahas di dalam penelitian ini. Perumusan Masalah Daun bangun-bangun banyak dipercaya masyarakat mampu melancarkan air susu ibu (ASI) serta mengobati berbagai penyakit manusia. Pemberian daun bangunbangun dalam ransum induk babi menyusui pada taraf yang berbeda dapat meningkatkan penampilan anak babi. Penampilan anak babi yang meningkat akan meningkatkan pendapatan peternak. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menentukan taraf pemberian daun bangun-bangun yang paling ekonomis dalam ransum induk babi menyusui terhadap penampilan anak babi sapihan.
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dasar mengenai pengaruh pemberian tepung daun bangun-bangun dalam ransum induk babi menyusui terhadap penampilan ekonomi anak babi sapihan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan rekomendasi untuk menentukan taraf pemberian tepung daun bangun-bangun dalam peternakan babi.
TINJAUAN PUSTAKA Daun Bangun-bangun Karakteristik Tanaman bangun-bangun masuk ke dalam bangsa Solanases, suku Labiatea, dan marga Coleus. Daun ini mempunyai nama yang berbeda pada beberapa daerah, yaitu ajeran, atau ajiran (Sunda), daun kucing (Jawa), bangun-bangun (Batak), sukan (Melayu), daun kambing (Madura), iwak (Bali), dan kanu etu (Timor) (Damanik et al., 2001). Klasifikasi tanaman bangun-bangun menurut Keng (1978) adalah sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Solanales
Family
: Labiatae
Genus
: Coleus
Spesies
: Coleus amboinicus Lour.
Gambar 1. Tanaman Bangun-bangun Tanaman bangun-bangun ini merupakan tanaman menyerupai semak yang batangnya tebal, berdaging lunak, dan agak berkayu dengan cabang-cabang yang mencapai ketinggian satu meter. Pada bagian batangnya terdapat ruas-ruas. Bila bagian ruas batangnya itu menyentuh tanah, maka akar bisa keluar pada bagian tersebut. Daun bangun-bangun memiliki daun tunggal berwarna hijau. Bentuk daunnya bulat telur berujung runcing dengan tepian bergerigi atau berbentuk seperti jantung. Permukaan daun atas berbulu halus tersebar dan pada bagian pertulangannya daun berambut panjang, tepi daun beringgit kasar sampai bergigi kecuali pada bagian
pangkal. Daging daunnya tebal dan terletak berhadapan satu daun dengan daun lainnya. Bagian ini memiliki tangkai. Panjang tangkai daun 2 - 45 cm dan berbulu halus. Tulang daunnya tampak menonjol seperti jala. Jika diremas, daunnya mengeluarkan aroma yang harum. Tangkai sari tanaman ini bersatu di bagian bawah membentuk tabung, mengelilingi putik. Berbiji satu coklat pucat, permukaannya licin, agak bulat, pipih 0,7 x 0,5 mm2 (Siagian dan Rahayu, 2000). Menurut Heyne (1987), pada keadaan segar helaian daun bangun-bangun tebal, sangat berdaging dan berair, tulang daun bercabang-cabang dan menonjol, permukaan atas berbungkul-bungkul, berwarna hijau muda, dan kedua permukaan berambut halus berwarna putih. Pada keadaan kering helaian daun tipis dan sangat berkerut, permukaan atas kasar, warna coklat, permukaan bawah berwarna lebih muda dari permukaan atas, tulang daun kurang menonjol. Tanaman ini tidak diketahui asal usulnya dan dikenal sebagai tanaman tahunan yang hidup di daerah tropis, di dataran rendah hingga ketinggian kira-kira 1100 m di atas permukaan laut. Komposisi Kimia Menurut Mardisiswojo dan Rajakmangunsudarso (1985), pada daun ini terkandung minyak atsiri (0,043% pada daun segar atau 0,2% pada daun kering). Heyne (1987), menemukan bahwa dari 120 kg daun segar kurang lebih terdapat 25 ml minyak atsiri yang mengandung fenol (isopropyl-o-tresol) dan atas dasar itu ia menyatakan sebagai antisepticum yang bernilai tinggi. Minyak atsiri dari daun bangun-bangun selain berdaya antiseptis ternyata mempunyai aktivitas tinggi melawan infeksi cacing (Vasquez et al., 2000). Selain minyak atsiri, Duke (2000), melaporkan bahwa dalam daun ini terdapat juga kandungan vitamin C, B1, B12, betakaroten, niasin, karvarol, kalsium, asam-asam lemak, asam oksalat, dan serat. Mepham (1987) menyatakan bahwa, daun bangun-bangun juga mengandung kalium yang berfungsi sebagai pembersih darah, melawan infeksi, mengurangi rasa nyeri dan menimbulkan rasa tenang sehingga sekresi susu menjadi lancar. Hewan yang mengalami stres akan membutuhkan tambahan kalium sebanyak 1% untuk mencegah penurunan sekresi air susu. Defisiensi kalium menyebabkan hilangnya nafsu makan, penurunan bobot badan dan penurunan produksi air susu. Daun bangun-bangun berpotensi sebagai bahan pangan sumber zat besi, provitamin A (karoten), dan kalsium. Dalam 100 gram bahan, daun bangun-bangun
mengandung kalsium (279 mg), besi (13,6 mg), dan karoten total (13.288 µg) (Mahmud et al., 1995). Nilai ketiga jenis zat ini lebih besar bila dibandingkan dengan daun katuk (Sauropus androgynus) karena daun katuk hanya mengandung kalsium (233 mg), besi (3,5 mg), dan karoten total (10.020 µg). Data selengkapnya tentang komposisi zat gizi daun bangun-bangun dan katuk tercantum dalam Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Zat Gizi Daun Bangun-bangun dan Katuk Zat Gizi Energi (kal)
Bangun-bangun 27,0
Katuk 59,0
Protein (g)
1,3
6,4
Lemak (g)
0,6
1,0
Karbohidrat (g)
4,0
9,9
Serat (g)
1,0
1,5
Abu (g)
1,6
1,7
279,0
233,0
Kalsium (mg) Fosfor (mg)
40,0
98,0
Besi (mg)
13,6
3,5
13.288,0
10.020,0
Vitamin A
0,0
0,0
Vitamin B1
0,1
0,0
Vitamin C
5,1
164,0
Air
92,5
81,0
Karotin total (µg)
Sumber : Mahmud et al. (1995)
Manfaat Menurut Duke (2000), senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam daun bangun-bangun berpotensi terhadap bermacam-macam aktivitas biologi, misalnya antioksidan, duretik analgesik, mencegah kanker, anti tumor dan anti hipotensif. Di Malaysia air rebusan daun bangun-bangun biasa diberikan pada ibu yang baru melahirkan, karena diduga dapat memperbanyak air susu ibu (ASI) (De Padva et al, 1999). Hasil penelitian Damanik et al. (2006) menyebutkan bahwa konsumsi daun bangun-bangun pada ibu menyusui dapat meningkatkan total volume ASI, dan kandungan beberapa mineral dalam ASI (seperti besi, kalium, seng, dan magnesium)
secara signifikan. Konsumsi daun bangun-bangun pada ibu menyusui ternyata juga dapat meningkatkan berat badan bayi secara signifikan. Ternak Babi Ternak babi (Gambar 2) merupakan jenis omnivora monogastrik yaitu ternak yang memakan semua pakan dan mempunyai satu perut besar yang sederhana (Sihombing 2006). Menurut Siagian (1999), ternak babi mempunyai potensi sebagai sumber protein hewani karena bersifat prolifik, efisien dalam mengkonversi bahan makanan menjadi daging dan mempunyai persentase karkas yang tinggi. Klasifikasi ternak babi secara zoologis adalah sebagai berikut: Kelas
: Mammalia
Ordo
: Artiodactyla
Sub Ordo
: Suina
Family
: Suidae
Genus
: Sus
Spesies
: Sus scrofa, Sus vittatus, Sus cristatus, Sus domesticus, Sus barbatus dan Sus verrucocus (Sihombing, 2006).
Gambar 2. Ternak Babi Sifat Reproduksi Ternak babi adalah ternak bersifat prolific (banyak anak tiap kelahiran), pertumbuhan cepat dan dalam umur enam bulan sudah dapat dipasarkan. Ternak babi juga efisien dalam mengkonversi berbagai sisa bahan makanan menjadi daging (Ensminger, 1991). Data mengenai sifat reproduksi babi betina diperlihatkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Sifat Reproduksi Ternak Babi Betina Sifat
a)
b)
Umur saat pubertas (bulan)
5-8
4-7
Bobot badan saat estrus (kg)
-
70-110
1-3
1-5
19-21
18-24
-
12-48
Hari ke-2 estrus
Hari ke-2 estrus
110-115
111-115
Lama estrus (hari) Panjang siklus estrus (hari) Waktu ovulasi setelah permulaan estrus (jam) Saat tepat dikawinkan Lama kebuntingan (hari) Sumber : a) Anggorodi (1979) b) Blakely dan Bade (1991)
Produksi Susu Induk Babi Daya tahan hidup anak babi sejak lahir sampai lepas sapih dipengaruhi oleh produksi air susu induk. Menurut Mepham (1987) produksi susu dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu: jumlah dan komposisi makanan yang dikonsumsi, jumlah dan komposisi darah yang diserap oleh kelenjar ambing dan laju sintesis air susu. Semakin banyak anak menyusui cenderung menaikkan produksi air susu induk (Parakkasi, 1990). Lebih lanjut Sihombing (2006) menyatakan bahwa pada awalnya induk babi menghasilkan sekitar 4 kg air susu per hari dan meningkat terus hingga minggu keempat dari masa laktasi menjadi sekitar 7 kg dan selanjutnya menurun. Produksi susu induk babi dapat diukur secara tidak langsung yaitu berdasarkan bobot badan pada anak-anaknya. Anak babi ditimbang sebelum dan segera sesudah menyusu, selisih berat penimbangan adalah produksi susu saat itu (Parakkasi, 1990). Litter Size Lahir Litter size pada saat lahir adalah jumlah anak yang dilahirkan dari seekor induk per kelahiran. Jumlah anak babi dari seperindukan dipengaruhi oleh pejantan dan induknya, bangsa, umur induk, periode beranak (parity), fertilitas, kematian selama kebuntingan dan lama kebuntingan. Seekor induk babi dapat menghasilkan anak sebanyak 8-12 ekor setelah periode kebuntingan selama 112-120 hari (Kingston, 1983).
Menurut Krider dan Carroll (1971), babi dara yang dikawinkan akan menghasilkan litter size lebih sedikit daripada induk babi. Milagres et al. (1983) menyatakan bahwa jumlah anak babi per induk per kelahiran dipengaruhi oleh berapa kali induk babi beranak (parity). Jumlah anak babi per kelahiran dari induk yang beranak pertama sampai ketiga kali masing-masing adalah 10,0, 10,1, dan 10,9 ekor. Lama kebuntingan juga mempengaruhi jumlah anak seperindukan. Kingston (1983) menunjukkan, bahwa dengan lama kebuntingan kurang dari 112 hari anak seperindukan waktu lahir adalah 12 ekor, sedangkan dengan lama kebuntingan 113114,115-116,117-118 dan lebih daripada 118 hari jumlah anak seperindukan masingmasing adalah 11,3; 10,5; 9,5 dan 8,3 ekor, yang berarti kebuntingan yang semakin lama cenderung menurunkan jumlah anak per kelahiran. Bobot Lahir Bobot lahir anak babi bervariasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. De Borsotti et al. (1982) mengemukakan, bahwa bobot lahir anak babi dipengaruhi oleh sudah berapa kali induk beranak (parity), umur induk, bangsa induk dan jumlah anak seperindukan pada waktu lahir. Siagian (1999) menyatakan bahwa anak babi yang mempunyai bobot lahir 1,1 hingga 1,35 kg kira-kira 75% dapat hidup hingga disapih, sedangkan yang mempunyai bobot lahir 0,57 kg atau lebih kecil, kurang dari 2% dapat hidup hingga disapih. Data mengenai hubungan bobot lahir dengan daya tahan hidup anak babi ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Hubungan Bobot Lahir dengan Daya Tahan Hidup Anak Babi Sebaran bobot badan (kg)
Banyak sampel (ekor)
Persentase anak (dari total)
Mortalitas (%)
< 0,91
1.035
6
58
0,91-1,09
2.367
13
32
1,13-1,32
4.197
24
25
1,36-1,54
5.012
28
18
1,59-1,77
3.268
19
14
>1,81
1.734
10
12
Sumber : Sihombing (2006)
Data pada Tabel 3 menunjukkan, semakin rendah sebaran bobot lahir anak babi, persentase mortalitas anak babi akan semakin besar, dengan kata lain bobot lahir berkorelasi negatif dengan mortalitas. Mortalitas Anak Mortalitas adalah perbandingan antara jumlah seluruh ternak mati dengan jumlah total ternak yang dipelihara. Sihombing (2006) mengemukakan bahwa penyebab kematian anak babi adalah mati saat lahir, kelaparan, tertindih induk, lemah lahir, genetis, penyakit, fisiologis dan perilaku. Hurley (1999) menyatakan bahwa, lebih dari 60% kematian anak babi sebelum disapih disebabkan oleh faktor induk dan juga pengaruh dari pasokan nutrisi yang diakibatkan dari rendahnya produksi susu induk yang akan mempengaruhi pertumbuhan anak babi. Menurut Sihombing (2006), bobot lahir yang rendah akan sangat mempengaruhi mortalitas pada anak babi yang baru dilahirkan, ini berkaitan dengan daya tahan tubuh anak babi tersebut. Anak babi yang baru lahir mudah terkena penyakit dan infeksi karena mempunyai daya tahan tubuh yang rendah Daya tahan tubuh anak babi diperoleh dari induknya melalui kolostrum dan air susu yang dihasilkan oleh induk. Kematian anak babi akan meningkat dengan meningkatnya jumlah anak babi per kelahiran. Kingston (1983) mengemukakan jika jumlah anak babi lahir kurang dari enam ekor, maka tingkat kematian anak babi pada umur 21 hari adalah 1,78%, sedangkan bila jumlah anak babi pada waktu lahir 6-8 ekor, 8-10 ekor, dan 10-12 ekor maka tingkat kematian anak babi pada umur 21 hari masing-masing 6,18%, 8,91% dan 12,79%. Bila jumlah anak babi lahir lebih daripada 12 ekor maka kematian pada umur 21 hari adalah 10,86%. Litter Size Sapih Litter size pada saat disapih adalah jumlah anak yang disapih pada umur tertentu dari seekor induk per kelahiran. Sebanyak 8,3 ekor anak babi disapih per kelahiran adalah sangat baik, terutama hal itu adalah rataan yang sebenarnya termasuk babi pertama beranak dan induk babi beranak ketika anaknya tidak ada yang hidup (Siagian, 1999). Rataan jumlah anak yang disapih per induk per tahun
adalah sekitar 14 ekor dengan mortalitas dari semua anak yang lahir adalah 25% (Sihombing, 2006). Menurut Sihombing (2006), dalam prakteknya anak babi disapih pada umur tiga hingga enam minggu. Siagian (1999) menambahkan bahwa pada umumnya peternak komersial menyapih anak babinya ketika anak babi mencapai umur dan ukuran yang begitu saja atau tidak pasti. Pihak lain menyarankan bahwa waktu penyapihan harus ditentukan dengan melihat jumlah ransum yang dikonsumsi anak babi. Pegangan dalam hal ini adalah penyapihan dianjurkan segera setelah anak babi mengkonsumsi 0,4 kg per ekor per hari. Pertambahan Bobot Badan Anak Babi Menyusu Pertumbuhan merupakan suatu perubahan yang terjadi meliputi peningkatan ukuran sel-sel tubuh dimana pertumbuhan tersebut mencakup tiga komponen utama yaitu peningkatan berat otot, ukuran skeleton, dan jaringan lemak tubuh. Pertumbuhan anak sebelum sapih dipengaruhi oleh faktor genetik, bobot lahir, litter size lahir, produksi air susu, perawatan, dan umur induk (Sihombing, 2006). Menurut Anggorodi (1979), laju pertumbuhan dari lahir hingga disapih sebagian besar dipengaruhi oleh jumlah air susu yang dihasilkan induk dan dipengaruhi pula oleh kesehatan individu. Pertumbuhan anak babi Yorkshire, Hampshire dan Landrace pada umur 1-35 hari berlangsung linier. Pertambahan bobot badan anak babi selama 21 hari pertama memerlukan penyesuaian spesifik untuk setiap bangsa. Pada bangsa Yorkshire hal itu disesuaikan dengan jenis kelamin (McKay, 1994). Pada waktu ternak babi masih muda, pertumbuhannya terutama dari protein dan air, akan tetapi setelah babi tersebut mempunyai berat badan sekitar 40 kg, energi yang disimpan berupa protein telah mulai konstan dan mulailah energi tersebut digunakan untuk pembentukan jaringan lemak yang semakin meningkat dengan bertambahnya umur (Parakkasi, 1990). Bobot Sapih Bobot sapih anak babi merupakan indikator produksi air susu dari induk dan kemampuan bertumbuh anak babi. Faktor-faktor yang mempengaruhi bobot sapih
anak babi adalah kesehatan anak babi, produksi air susu induk dan cara pemberian makan (Sihombing, 1997). Siagian (1999) menyatakan bahwa pada umur penyapihan tertentu anak babi yang memiliki bobot badan tinggi saat disapih akan bertumbuh lebih cepat mencapai bobot pasar daripada anak babi yang bobot badannya lebih ringan. Semakin berat anak babi waktu disapih efisiensi penggunaan makanan lebih baik dan rataan laju pertumbuhan lebih cepat daripada anak babi yang ringan (Tabel 4). Pada umumnya kisaran bobot badan anak babi yang disapih adalah 13,6 – 18,1 kg. Tabel 4. Rataan Laju Pertumbuhan dan Efisiensi Penggunaan Makanan dari 18 ke 90 kg oleh Anak Babi dengan Bobot Sapih yang Berbeda Berat Sapih (kg) Diatas 18,1
Rataan Pertambahan Bobot Efisiensi Penggunaan Makanan Badan Harian (kg) (kg) 0,72 2,83
13,6 – 18,1
0,71
2,63
Dibawah 13,6
0,69
2,52
Sumber : Siagian (1999)
Tinjauan Ekonomi Pendekatan ekonomi dari suatu usaha produksi ternak dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan cara menganalisis pendapatan suatu usaha produksi ternak. Salah satu faktor yang menentukan dalam menganalisis pendapatan suatu usaha adalah biaya ransum. Menurut Devendra dan Fuller (1979), biaya ransum di dalam suatu usaha peternakan merupakan biaya yang paling tinggi diantara biaya input lainnya, yaitu mencapai 70-80% dari biaya total produksi. Oleh karena itu penghitungan income over feed cost merupakan hal yang lazim dilakukan dalam sektor peternakan. Income over feed cost diperoleh dari harga jual babi per kg bobot badan dikalikan bobot badan saat dijual dikurangi hasil kali jumlah ransum dengan harga ransum selama penelitian. Sihombing (1997), menyatakan bahwa untuk memperoleh keuntungan dari ternak babi adalah hasil penjualan ternak yang diperoleh harus lebih tinggi daripada jumlah biaya yang dikeluarkan untuk produksi apabila harga penjualan konstan, atau harga penjualan produksi ditinggikan dengan biaya produksi tidak berubah atau usaha
meninggikan harga
penjualan seraya memperkecil biaya
produksi.
Penghitungan titik impas atau break even point (BEP) dalam suatu usaha peternakan dilakukan untuk mengetahui keadaan suatu usaha mengalami keuntungan atau kerugian.. Usaha Peternakan Babi Menurut UU No. 6 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Pulungan dan Pambudy, 1998), yang dimaksud dengan perusahaan peternakan adalah suatu bentuk usaha peternakan yang diselenggarakan secara komersial. Berdasarkan pernyataan tersebut maka yang dimaksud dengan perusahaan peternakan babi adalah usaha peternakan babi yang diselenggarakan dalam bentuk suatu perusahaan secara komersial, dimana untuk mendirikannya diwajibkan memiliki izin usaha. Menurut SK Mentan No: 406/Kpts/Org/6/80, perusahaan peternakan babi yang wajib memiliki izin usaha peternakan adalah perusahaan peternakan yang memiliki 25 ekor atau lebih induk babi atau memiliki jumlah keseluruhan 125 ekor babi atau lebih. Populasi dan penyebaran jenis ternak ditentukan oleh berbagai faktor antara lain pertanian, penduduk, lingkungan, dan kondisi iklim. Tidak seperti ternak lain, penyebaran ternak babi rakyat adalah terbatas karena dipengaruhi oleh agama dan budaya. Data Direktorat Jenderal Peternakan (2006) menunjukkan bahwa populasi ternak babi di Indonesia tahun 2006 berada pada kisaran 7.086.709 ekor. Populasi ternak babi terbesar di Indonesia adalah di Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Bali, Kalimantan Barat, Ambon dan Irian Jaya. Namun yang berstatus perusahaan hanya terdapat di Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, Sumatera Utara dan Sulawesi Tengah (Manurung, 2003). Menurut Sihombing (2006), keuntungan usaha ternak babi sebagai penghasil protein diantara ternak-ternak lainnya adalah: 1) ternak babi sebagai pengubah bahan makanan menjadi bahan makanan dalam upacara adat yang bernilai tinggi, 2) ternak babi prolifik (subur) dan cepat mengembalikan modal, 3) ternak babi memungkinkan penjualan dengan tingkat sebaran badan yang luas dan 4) ternak babi sebagai pemanfaat berbagai sisa bahan makanan. Selain nilai ekonomi, ternak babi juga mempunyai fungsi sosial di beberapa daerah seperti di Irian Jaya, Timor dan Tapanuli, dengan sasaran pokok adalah dagingnya.
Konsumsi dan Biaya Ransum Suatu ransum seimbang menyediakan semua zat makanan yang dibutuhkan untuk memberi makan ternak selama 24 jam (Parakkasi, 1990). Konsumsi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu; (1) berat badan; (2) umur ternak, dimana konsumsi ransum akan semakin meningkat dengan meningkatnya berat badan ternak dan jumlah ransum yang dikonsumsi juga akan bertambah dengan bertambahnya umur ternak; (3) temperatur, pada temperatur yang tinggi ternak akan mengurangi konsumsi ransum; (4) tingginya kandungan serat kasar dalam ransum akan mempengaruhi daya cerna dan konsumsi ransum sekaligus mempengaruhi efisiensi penggunaan makanan (Tillman et al., 1998). Menurut Sihombing (2006), konsumsi ransum babi bunting dan babi laktasi masing-masing adalah 2,00-2,50 dan 3,00-4,50 kg per hari per ekor. Peningkatan ransum pada saat babi bunting tidak perlu dilakukan karena sangat kecil pengaruhnya terhadap bobot anak babi yang baru lahir dan untuk penghematan biaya ransum. Konsumsi ransum untuk induk babi laktasi harus disesuaikan dengan jumlah anaknya, sebab semakin banyak anak semakin besar perangsang produksi air susu induk, sehingga ransum yang harus diberikan juga semakin besar. Siagian (1999) menyatakan bahwa induk laktasi memerlukan ransum yang mengandung 15% protein kasar, 3300 kkal energi dapat dicerna, 0,6% kalsium dan 0,4% posfor yang tersedia. Menurut Church (1991), anak babi menyusu akan mendapatkan cukup protein, mineral dan nutrien lainnya dari susu induk. Hal ini dikarenakan susu mengandung protein, Ca, P dan nutrien lainnya dalam jumlah yang besar. Pakan starter anak babi yang biasa digunakan mengandung 18-20% protein (1,2% lisin). Pakan stater biasanya diberikan pada saat umur anak babi 3-4 minggu. Pakan yang baik harus mengandung tepung susu atau whey, gula, dan antibiotik. Biaya ransum adalah biaya yang dibutuhkan atau dikeluarkan untuk menghasilkan ransum atau pakan ternak. Menurut Arifien (2002), biaya produksi merupkan biaya terbesar dalam suatu usaha peternakan dan sekitar 60-70% berasal dari pakan dan selebihnya berasal dari biaya produksi lainnya. Menurut Bidura (2005), kendala utama dalam meningkatkan produktivitas ternak adalah tingginya biaya ransum. Oleh karena itu untuk menekan biaya ransum
yang tinggi perlu adanya usaha-usaha yang efisien dalam pemanfaatan ransum ternak, supaya pendapatan dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu upaya untuk mengefisienkan pakan adalah dengan menggunakan bahan aditif, baik yang tersedia secara komersial maupun yang tersedia secara alamiah, dengan harga yang relatif murah serta tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, namun mempunyai nilai nutrisi yang tinggi. Sinaga (2009) menyatakan, bahwa biaya rasum yang dikeluarkan oleh peternak babi di Kretek, Wonosobo adalah sebesar Rp 382,5/kg. Apabila rataan konsumsi ternak babi sebesar 3 kg/ekor/hari, maka biaya ransum yang dikeluarkan oleh peternak adalah sebesar Rp1147,5/ekor/hari dengan kandungan protein sebesar 20,88% (kebutuhan protein ternak babi sebesar 15%) dan energi sebesar 1400 kkal/kg (kebutuhan energi ternak babi sebesar 3400 kkal/kg). Kekurangan energi biasanya dipenuhi dengan pemberian daun kacang-kacangan dan pakan diberikan ad libitum.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Babi Rachel Farm yang terletak di Kampung Baru, Desa Tajur Halang, Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Kondisi di sekitar kandang penelitian diketahui melalui pencatatan temperatur dan kelembaban kandang yang diperoleh dari hasil pengukuran dengan menggunakan alat thermohigrometer yang ditempatkan di bagian tengah kandang. Rataan temperatur dan kelembaban harian di kandang selama penelitian masing-masing adalah 26-36oC dan 50-78%. Rataan temperatur dan kelembaban kandang pada pagi hari masing-masing 27,6oC dan 67,3%, siang hari 34,9oC dan 53,6%, sore hari 31,3oC dan 69,0% dan malam hari 28,5oC dan 77,5%. Pengukuran dilakukan pagi hari pukul 08.00 WIB, siang hari pukul 13.00 WIB, sore hari pukul 18.00 WIB dan malam hari pukul 22.00 WIB. Temperatur di sekitar lingkungan perkandangan cukup panas, terutama pada siang hari yang bisa mencapai 36oC. Menurut Gardner et al. (1990) temperatur yang ideal bagi induk babi berkisar antara 16-20oC, sedangkan anak babi yang baru lahir adalah 30-34oC. John dan Sainsbury (1995), menambahkan bahwa suhu kritis yang masih dapat diterima oleh ternak babi adalah 30oC, dengan suhu idealnya adalah 2530oC. Suhu pada siang hari di peternakan ini sangat ideal bagi anak babi yang masih kecil tetapi tidak untuk induknya. Panas yang berlebihan di sekitar kandang dapat menyebabkan gangguan produksi bagi ternak babi. Hal ini disebabkan panas akan menaikkan temperatur rektal dan laju respirasi, menaikkan nafsu minum tetapi menurunkan nafsu makan sehingga dapat menurunkan laju pertumbuhan dan efisiensi penggunaan pakan. Menurut Siagian (1999), ternak babi berbeda dengan ternak lainnya yaitu memiliki jumlah kelenjar keringat dalam jumlah yang sedikit sehingga pada kondisi lingkungan panas akan sangat sulit beradaptasi. Pemilik peternakan ini dalam mengatasi cekaman panas pada ternaknya dilakukan dengan memandikannya pada siang hari. Peternakan Babi Rachel Farm berdiri diatas lahan seluas 2.260 m2 dengan ukuran 90,4 x 25 m2. Peternakan ini mempunyai tiga jenis bangunan, yaitu rumah tinggal, gudang dan perkandangan. Rumah tinggal berukuran 8 x 6 m2 ditempati oleh
pemilik peternakan dan keluarga. Gudang dengan ukuran 6 x 4 m2 difungsikan sebagai tempat penyimpanan pakan dan peralatan. Bangunan perkandangan sebanyak dua buah masing-masing berukuran 15 x 7 m2 difungsikan sebagai tempat untuk memelihara ternak. Jumlah keseluruhan petak kandang yang terdapat di peternakan ini adalah 61 buah dengan berbagai ukuran. Ukuran dan jumlah kandang di Peternakan Babi Rachel Farm disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Ukuran dan Jumlah Kandang di Peternakan Babi Rachel Farm Jenis Kandang 1. Segi empat : • Tipe Umum • Tipe A • Tipe B
Ukuran
Jumlah (buah)
2,0 x 1,8 x 1,0 m3 3,0 x 3,0 x 1,0 m3 8,0 x 3,0 x 1,0 m3
8 13 3
2. Kerangkeng
1,2 x 0,6 x 0,8 m3
37
Kandang segi empat tipe umum biasanya diperuntukkan bagi pejantan dan induk babi menyusui, sedangkan kandang segi empat tipe A dan B diperuntukkan bagi babi sapihan dan pembesaran. Kandang kerangkeng merupakan kandang individu yang terbuat dari besi dan diperuntukkan bagi induk babi bunting, kering dan calon induk. Selain itu, terdapat empat buah septiktank yang berfungsi sebagai tempat pembuangan limbah peternakan yang terletak di bagian belakang kandang. Dua buah septiktank berukuran 2,5 x 1,5 x 1 m3, satu buah septiktank berukuran 8 x 3 x 4 m3 dan satu buah septiktank berukuran 8 x 4 x 6 m3. Di sekitar kandang, peternak menanam berbagai jenis tanaman seperti ubi, pepaya, jati, cabai, bangunbangun dan pisang. Sistem pemeliharaan di peternakan ini dilakukan dengan baik sesuai dengan prosedur yang ada. Setiap hari ternak babi dimandikan satu kali dengan menggunakan steam air dan selang. Penggunaan steam air ini sangat membantu karena dorongan air yang keluar dari selang cukup deras dan kuat sehingga noda dan kotoran yang menempel erat pada kulit ternak, dinding dan lantai kandang dapat dibersihkan dengan baik. Penggunaan air sangat tercukupi, hal ini dikarenakan volume air yang cukup banyak tersedia di peternakan ini. Air yang dimanfaatkan berasal dari air tanah yang diperoleh dari dalam sumur bor yang mencapai kedalaman 15 m. Selain digunakan untuk keperluan peternakan, air juga
dimanfaatkan oleh peternak untuk keperluan sehari-hari. Air dari dalam sumur, dipompa menggunakan pompa air untuk ditampung didalam tower dengan kapasitas 11.000 liter. Air minum diberikan ad libitum untuk setiap kelas ternak dan pemberian air minum dilakukan secara otomatis (water nipple) dan manual (bak). Proses pengawinan ternak babi dilakukan pada sore dan atau pagi hari. Pengawinan dilakukan secara alami dimana induk babi yang birahi dimasukkan ke dalam kandang jantan dan setelah proses pengawinan selesai, induk dikembalikan ke kandangnya. Induk biasanya dikawinkan sebanyak dua kali dalam setiap masa birahi dengan menggunakan pejantan yang berbeda. Induk babi biasanya akan dikawinkan 1-2 minggu setelah anaknya disapih. Peternak mengetahui induk babi yang telah dikawinkan sudah bunting apabila induk tersebut tidak mau dikawinkan. Setelah induk diketahui pasti bunting maka akan ditempatkan pada kandang bunting. Induk bunting yang akan beranak dipindahkan dengan hati-hati kedalam kandang beranak. Induk bunting yang dipindahkan biasanya adalah induk bunting yang sesuai pencatatan sudah berumur 107 hari. Tanda-tanda yang menunjukkan bahwa seekor induk babi akan beranak adalah perut besar atau ambing terentang penuh, gelisah dan kotoran induk terlihat berbentuk bulat kecil seperti kelereng. Setelah induk beranak, anak dibiarkan tinggal bersama induk untuk menyusu, kemudian pada umur 30 hari anak disapih. Anak babi setelah berumur tiga minggu akan diperkenalkan dengan pakan anak babi berupa pur yang diberikan pada anak babi menyusu seperindukan sebanyak 500 gr/10 ekor. Pemberian pur dilakukan sekali sehari. Pur yang diberikan adalah pur 551 yang diproduksi oleh PT. Charoen Pokphand Indonesia. Pemberian pur mulai dilakukan pada anak babi berumur 21 hari sampai anak babi berumur 45 hari. Induk babi yang telah menyapih akan dipindahkan ke kandang kerangkeng, sedangkan anak babi akan dipindahkan ke kandang sapihan. Pemberian pakan di peternakan ini dilakukan pada pagi hari pukul 08.00 WIB dan sore hari pukul 16.00 WIB. Pakan yang diberikan adalah dalam bentuk pakan kering yang terdiri dari campuran konsentrat, dedak halus dan jagung giling. Komposisi campuran berbeda-beda untuk setiap jenis ternak. Pencampuran pakan dilakukan secara manual menggunakan sekop dan dicampur diatas lantai gudang pakan, dimana pencampuran biasanya dilakukan pada sore hari. Komposisi pakan
untuk setiap kelas ternak babi yang diberikan di Peternakan Babi Rachel Farm diperlihatkan pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi Pakan di Peternakan Babi Rachel Farm Kelas Ternak Bahan Pakan
Starter (%)
Grower (%)
Jagung Giling
60
35
Jantan, Induk Kering, Induk Bunting dan Induk Menyusui (%) 25
Dedak Halus
10
65
75
Pur 551
30
-
-
Pekerja di peternakan ini ada dua orang, dimana tiap orang bekerjasama untuk menyelesaikan pekerjaan di dalam peternakan. Kedua pekerja adalah sanak saudara dari peternak sendiri. Peternak, sekalipun sebagai pemilik yang biasanya mengawasi, namun turut membantu menyelesaikan pekerjaan di kandang. Jam kerja di peternakan ini berlangsung dari pukul 08.00 sampai 17.00, dimana pada pukul 12.00 sampai 13.00 adalah waktu istirahat dan jam makan siang bagi pekerja. Populasi ternak babi yang dipelihara pada saat penelitian ini berlangsung adalah 276 ekor. Rincian data populasi ternak di Peternakan Babi Rachel Farm dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Data Populasi Ternak Babi di Peternakan Babi Rachel Farm Kelas
Jumlah (ekor)
Pejantan produktif
3
Induk menunggu birahi
6
Induk menyusui
6
Induk bunting
22
Calon induk
4
Sapihan (< 25 kg)
47
Grower (25-50 kg)
33
Finisher (> 50 kg)
43
Anak menyusu
53
Total
276
Recording atau pencatatan dilakukan oleh peternak sendiri dan dicatat didalam komputer milik peternak. Informasi yang tercantum didalam recording adalah mengenai pengawinan induk, pemindahan babi, penyapihan anak, umur ternak, pembelian dan penjualan ternak, pemberian vaksin, komposisi pakan dan penyapihan anak. Hal-hal lain yang dicantumkan pada recording adalah nama induk dan pejantan, umur kebuntingan, tanggal pengawinan, jumlah anak, tanggal beranak, laktasi ke-, tanggal disapih, tanggal kastrasi, tanggal vaksin dan data kematian anak. Pemberian vaksin dan obat-obatan biasanya dilakukan oleh peternak sendiri dengan bantuan pekerja atau dengan perintah peternak dan dilakukan oleh pekerja. Pemberian obat dan vaksin dilakukan pada sore hari setelah ternak selesai diberi makan. Hal ini dilakukan agar ternak yang diberi obat dan vaksin terhindar dari cekaman panas, lapar dan kebisingan. Jenis vaksin dan obat yang diberikan antara lain vaksin hog cholera, calsidex, hemadex, intermectin, hormonivra dan neoxil. Ternak Penelitian Penelitian ini menggunakan 16 ekor induk babi yang baru selesai beranak. Bangsa babi yang dipelihara adalah hasil persilangan antara Landrace, Yorkshire, Hampshire, Spotted Poland China dan Duroc yang proporsi bangsanya tidak diketahui dengan jelas. Di daerah penelitian berlangsung, bangsa babi ini dikenal dengan babi ras. Induk babi yang digunakan pada penelitian ini memiliki laktasi yang berbeda-beda, mulai dari laktasi kedua sampai laktasi keempat. Dari keseluruhan induk babi yang diteliti terdapat dua ekor induk babi yang mengalami masalah selama proses penelitian berlangsung. Salah satu induk babi patah kaki semasa bunting sehingga setelah beranak semua anak yang dilahirkan mengalami kematian akibat ditindih oleh induknya yang tidak dapat bangkit setelah menindih anaknya. Induk yang lain dengan jumlah anak dua ekor mengalami birahi dini saat anaknya masih berumur satu minggu sehingga mengakibatkan air susu tidak keluar lagi. Masalah yang terjadi adalah diluar kendali dan keinginan baik peneliti maupun peternak sehingga menyebabkan data menjadi tidak lengkap. Data yang ada tetap diolah secara statisitik dengan menggunakan metode yang telah ditentukan dan data yang tidak lengkap dianggap sebagai data hilang. Jumlah pejantan yang digunakan dalam peternakan ini ada tiga ekor, dimana salah satu pejantan berumur ± 3 tahun tidak dapat dikawinkan karena sedang
mengalami penyakit balanopostitis yang ditandai dengan peradangan menyeluruh pada penis dan kulitnya akibat infeksi bakteri dan jamur yang menyebabkan alat kelamin jantan bengkak dan berwarna kemerahan. Pejantan yang digunakan selama penelitian adalah dua ekor berumur masing-masing empat dan dua tahun. Jumlah pejantan yang sedikit, memaksa peternak melakukan dua kali pengawinan pada hari yang sama dan dengan betina yang berbeda. Waktu pengawinan ternak babi di peternakan ini biasanya dilakukan pada pagi dan sore hari. Penanganan anak babi yang baru lahir dilakukan dengan baik, antara lain membersikan tubuh anak babi dari selaput lendir dengan menggunakan kain kering, pemotongan gigi dan tali pusar serta penimbangan bobot anak babi. Proses pemotongan ekor dilakukan pada saat anak babi berumur satu minggu dan ketika anak babi berumur dua minggu diberikan vaksin hog cholera dan penyuntikan kalsium (Calsidex) untuk mencegah kekurangan kalsium dan zat besi (Hemadex) untuk mencegah kekurangan zat besi. Anak babi akan disapih pada umur 30 hari dan dikastrasi dua hari kemudian. Kematian anak babi pada umumnya dikarenakan tertindih oleh induknya sendiri selama masa laktasi dan sebagian mati dikarenakan kedinginan dan terserang penyakit scour (kotoran putih). Pemberian sekam kayu pada lantai kandang induk babi yang anaknya masih berumur kurang dari satu minggu dilakukan peternak untuk menjaga kandang tetap kering sehingga anak babi tidak kedinginan dan tetap hangat. Ransum Penelitian Ransum yang diberikan pada ternak babi selama penelitian adalah ransum kering dan campuran dari dedak, jagung giling dan tepung daun bangun-bangun dengan berbagai taraf. Selama penelitian berlangsung peternak beberapa kali menggunakan pakan basah berupa ampas tahu kepada semua kelas ternaknya. Penggunaan ampas ini terpaksa dilakukan peternak karena kondisi pasar peternakan babi tidak menentu akibat isu flu babi dimana harga pakan sangat tinggi, sedangkan harga dan permintaan akan ternak sangat rendah. Meskipun terjadi perubahan pakan selama penelitian, pemberian tepung daun bangun-bangun tetap dilakukan sesuai dengan taraf pemberiannya dalam ransum induk babi. Susunan ransum yang diberikan selama penelitian berlangsung disajikan dalam Tabel 8.
Tabel 8. Susunan Ransum Penelitian Perlakuan (%)
Bahan Makanan Jagung Giling
R0 25,00
R1 24,37
R2 23,75
R3 23,12
Dedak Halus
75,00
74,38
73,75
73,13
-
1,25
2,50
3,75
100,00
100,00
100,00
100,00
Tepung daun bangun-bangun (TDB) Jumlah
Hasil analisis proksimat tiap ransum perlakuan (Tabel 8) yang digunakan selama penelitian, disajikan pada Tabel 9. Analisis proksimat ini diperoleh dengan menganalisa setiap sampel ransum perlakuan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan. Berdasarkan hasil analisa proksimat ini (Tabel 9) diketahui, bahwa semakin tinggi taraf pemberian TDB dalam ransum akan meningkatkan kandungan serat kasar (SK), kalsium (Ca) dan fospor (P) serta menurunkan kandungan protein kasar (PK). Kandungan SK, Ca, dan P yang terdapat didalam TDB menyebabkan terjadinya kenaikan mineral ini didalam ransum perlakuan, penurunan PK disebabkan oleh rendahnya kandungan PK didalam TDB. Kandungan energi metabolik (ME) ransum perlakuan mengalami penurunan sampai pada taraf perlakuan R2, akan tetapi peningkatan energi terjadi pada perlakuan R3. Hal ini mungkin disebabkan adanya human error atau terjadi pencampuran TDB yang kurang merata sehingga bagian yang teranalisis adalah sebagian bahan yang mengandung energi tinggi. Tabel 9. Analisis Proksimat Ransum Perlakuan Selama Penelitian
R0
PK 12,79
Zat Makanan (%) SK LK Ca P 10,75 9,68 0,08 0,89
R1
12,30
12,25
9,30
0,09
R2
12,01
12,89
7,64
R3
11,75
13,76
6,56
Perlakuan
Fe (mg) 11,50
ME (kkal/kg) 4125
1,16
12,91
3798
0,14
1,42
14,32
3463
0,27
1,12
15,73
4238
Keterangan : R0 = 100% ransum biasa + 0% TDB; R1 = 98,75% R0 + 1,25% TDB; R2 = 97,5% R0 + 2,50% TDB; R3 = 96,25% R0 + 3,75 % TDB; PK = Protein Kasar, SK = Serat Kasar, LK = Lemak Kasar, Ca = Kalsium, P = Fospor, Fe = Besi, EM = Energi Metabolik. Sumber : Hasil Analisa Proksimat Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2009).
Ransum yang diberikan kepada induk babi sebaiknya mampu memenuhi kebutuhan hidup dari induk babi tersebut. Ransum yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup ternak, akan mengakibatkan terjadinya penurunan produksi ternak dan ternak menjadi mudah terserang penyakit. Oleh karena itu kualitas ransum akan sangat mempengaruhi kualitas dan produksi ternak. Tabel 10 menyajikan kebutuhan zat makanan untuk induk babi menyusui. Kebutuhan zat makanan untuk induk babi menyusui ini merupakan Standard Nasional Indonesia (SNI) yang dikeluarkan pada tahun 1995. Tabel 10. Kebutuhan Zat Makanan untuk Induk Babi Menyusui Zat Makanan
Jumlah
Protein kasar (PK)
14,0 %
Lemak kasar (LK)
3,0 %
Serat kasar (SK)
7,0 %
Kalsium (Ca)
0,75 - 1 %
Fospor (P)
0,7 %
Besi (Fe)
80 mg
Metabolisme energi (ME)
3200 kal/kg
Sumber : SNI (1995)
Berdasarkan kebutuhan induk babi yang disajikan Tabel 10, maka semua ransum perlakuan (Tabel 9) telah memenuhi semua kebutuhan energi, lemak dan serat bagi induk babi menyusui akan tetapi tidak memenuhi kebutuhan protein kasar dan mineralnya. Kekurangan kandungan protein kasar dalam ransum mencapai 1,29 sampai 2,25% dari kebutuhan induk babi menyusui. Kekurangan ini seharusnya dapat dipenuhi apabila peternak menambahkan sedikit pakan sumber protein berupa bungkil kacang kedelai, ampas tahu atau tepung daging ke dalam ransumnya. Peternak biasanya memenuhi kekurangan protein dan mineral dalam ransumnya dengan menambahkan konsentrat 805 M yang diproduksi oleh PT. Gold Coin untuk induk babi. Penambahan konsentrat ini tidak dilakukan peternak diakibatkan oleh tingginya harga konsentrat
yang diikuti oleh kondisi ekonomi peternak dan
peternakan babi yang kurang stabil.
Peternak beberapa kali memberikan pakan basah berupa ampas tahu ke semua jenis ternaknya. Pemberian ini dapat dimaklumi karena pengaruh isu flu babi (H1N1) yang menyebabkan permintaan pasar menurun dan diikuti harga ternak yang menurun sementara harga pakan semakin meningkat. Perubahan pakan ini dilakukan peternak untuk menghindari kerugian yang lebih besar didalam peternakannya. Perubahan ini sebenarnya berada di luar keinginan peneliti dan peternak. Pengaruh perubahan pakan ini terhadap penelitian dapat ditolerir dikarenakan semua sampel percobaan mendapat perlakuan (perubahan ransum) yang sama dan TDB tetap diberikan sesuai taraf perlakuan serta pakan basah hanya diberikan selama lebih kurang tujuh kali. Berikut (Tabel 11) adalah komposisi kandungan zat makanan didalam pakan basah yang diberikan sesuai dengan taraf perlakuannya. Tabel 11. Kandungan Zat Makanan dari Pakan Basah Perlakuan
R0
PK 3,70
Zat Makanan (%) SK LK Ca 2,58 0,53 0,05
P 0,04
R1
3,62
3,05
0,91
0,07
0,09
605
R2
3,63
2,95
0,89
0,11
0,09
625
R3
3,92
2,84
1,83
0,18
0,09
612
Perlakuan
ME (kal/gr) 540
Keterangan : PK = Protein Kasar, SK = Serat Kasar, LK = Lemak Kasar, Ca = Kalsium, P = Fospor, EM = Energi Metabolik. R0 = Ampas Tahu (kontrol) atau tanpa penambahan TDB R1 = Ampas Tahu ditambah 1,25% TDB R2 = Ampas Tahu ditambah 2,50% TDB R3 = Ampas Tahu ditambah 3,75% TDB Sumber
: Hasil Analisa Proksimat Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2009).
Penampilan Induk Babi Menyusui Induk babi menyusui memiliki peranan yang penting dalam peternakan babi untuk menghasilkan ternak babi yang berkualitas. Kualitas induk babi menyusui dapat dilihat dari penampilannya. Indikator penampilan induk babi menyusui dapat dilihat dari jumlah konsumsi ransum, produksi air susu induk (PASI), litter size lahir, litter size sapih dan mortalitas anak. Peningkatan penampilan induk babi pada umumnya akan meningkatkan penampilan anak babi. Penampilan induk babi menyusui selama penelitian disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Penampilan Induk Babi Menyusui Selama Penelitian Peubah
R0
Konsumsi (kg/e/h) PASI
per
Ransum
3,97±0,01
Perlakuan R1 R2 4,39±0,68
4,15±0,34
R3 3,98±0,01
Rataan 4,10±0,35
menyusui 172,2±48,8 216,7±54,5 229,2±55,1 204,2±64,4 207,1±56,1
(g/ekor) Litter Size Lahir (ekor)
9,67±6,02
10,33±4,16 10,25±3,86 10,50±3,87 10,21±3,90
Litter Size Sapih (ekor)
5,67±2,88
9,66±5,03
8,00±1,82
Mortalitas anak (%)
33,13±29,3
9,53±16,5
23,13±16,3 11,17±14,2 19,09±19,2
Keterangan : R0 = 100% ransum biasa + 0% TDB; R2 = 97,5% R0 + 2,50% TDB;
8,50±2,88
8,00±3,13
R1 = 98,75% R0 + 1,25% TDB; R3 = 96,25% R0 + 3,75 % TDB;
Rataan konsumsi ransum harian induk laktasi selama penelitian (Tabel 12) adalah 4,10±0,35 kg/ekor/hari dengan koefisien keragaman 8,66%. Jumlah konsumsi ini didukung pernyataan Sihombing (2006) yang menyatakan, bahwa konsumsi ransum induk babi bunting dan laktasi masing-masing adalah 2,0 -2,5 dan 3,0 - 4,5 kg per ekor per hari. Ransum yang dikonsumsi oleh induk babi menyusui digunakan untuk menghasilkan air susu dan sebagian lagi untuk energi induk. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian taraf TDB yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum induk babi menyusui. Keadaan ini dikarenakan TDB yang diberikan ke dalam ransum tidak menunjukkan adanya perbedaan warna dan bau yang signifikan dengan ransum tanpa pemberian TDB (kontrol). Alasan lainnya adalah TDB tidak memiliki kandungan yang mampu meningkatkan palatabilitas dan konsumsi ransum. Pemberian TDB pada mencit menurut hasil penelitian Wardini (2007) bahkan menunjukkan hasil yang signifikan menurunkan konsumsi ransum. Kandungan serat kasar yang tinggi menjadi salah satu faktor penyebab konsumsi ransum tidak meningkat. Pemberian TDB tidak meningkatkan konsumsi ransum tetapi menurut Damanik et al. (2006) dapat meningkatkan volume ASI, dan kandungan beberapa mineral dalam air susu. Berdasarkan hasil pengamatan yang diperlihatkan pada Tabel 12, terdapat perbedaan konsumsi ransum pada tiap perlakuan walaupun secara statistik pengaruh pemberian TDB tidak berpengaruh nyata. Konsumsi paling tinggi diperlihatkan oleh perlakuan R1 (4,39 kg/ekor/hari) dan diikuti oleh R2 (4,15 kg/ekor/hari) dan R3 (3,98 kg/ekor/hari) serta perlakuan R0 (3,97 kg/ekor/hari) yang memiliki konsumsi
paling rendah. Perbedaan konsumsi ransum ini dapat disebabkan oleh perbedaan litter size baik lahir maupun sapih. Jumlah anak yang cukup banyak memaksa induk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan produksi susu untuk anaknya. Tillman et al. (1998) menyatakan, bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: (1) berat badan; (2) tingkat produksi, dimana konsumsi ransum akan semakin meningkat dengan meningkatnya berat badan ternak dan produksi ternak; (3) temperatur, pada temperatur tinggi ternak akan mengurangi konsumsi ransum dan (4) tingginya kandungan serat kasar dalam ransum akan mempengaruhi daya cerna dan konsumsi ransum sekaligus mempengaruhi efisiensi penggunaan pakan. Produksi air susu induk (PASI) babi selama penelitian diukur dengan menghitung selisih bobot badan anak setelah menyusu dengan bobot badan anak sebelum menyusu. Pengukuran PASI ini dilakukan pada hari ke-5, ke-10, ke-15, ke20, ke-25 dan ke-30 setelah beranak. Tabel 12 menunjukkan bahwa rataan PASI selama penelitian adalah 207,1±56,1 g/menyusui. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf pemberian TDB tidak berpengaruh nyata terhadap PASI babi selama penelitian, akan tetapi terjadi peningkatan PASI dari perlakuan R0 (172,2 g/menyusui) sampai R2 (229,17 g/menyusui) kemudian terjadi penurunan pada perlakuan R3 (204,2 g/menyusui). Hasil PASI babi ini yang tidak berbeda nyata diduga disebabkan oleh keadaan induk babi yang tidak seragam, seperti perbedaan bangsa, bobot badan, litter size dan perbedaan kemampuan induk itu sendiri dalam menghasilkan air susu akibat periode laktasi yang berbeda pula. Menurut Parakkasi (1990), produksi susu dipengaruhi oleh oleh genotip, parity, pakan, kondisi tubuh dan litter size dimana semakin banyak anak menyusu cenderung menaikkan produksi air susu induk. Rataan litter size lahir hidup anak babi selama penelitian (Tabel 12) adalah 10,21±3,90 ekor. Jumlah ini masih tergolong normal karena menurut Sihombing (2006), seekor induk babi dapat menghasilkan anak sebanyak 8 - 12 ekor setelah periode kebuntingan selama 112 - 120 hari. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf pemberian TDB yang berbeda dalam ransum induk tidak berpengaruh nyata terhadap litter size anak lahir hidup dari induk babi penelitian. Litter size lahir anak dari tiap induk babi selama penelitian berbeda-beda. Beberapa induk bahkan mampu menghasilkan litter size lahir hidup anak babi sebanyak 16 ekor. Hal ini
dikarenakan induk babi memiliki kualitas sel telur yang baik (fertil) dan mampu menjaga calon anak (fetus) dengan baik selama periode bunting. Manika et al. (1991) menyatakan, bahwa sebanyak 14 - 25 ovum (sel telur) akan dilontarkan saat terjadi ovulasi pada ternak babi betina dan 75% ovum yang telontar saat terjadi ovulasi adalah fertil. Hal ini menyebabkan ternak babi mampu menghasilkan jumlah anak yang banyak per kelahirannya. Selama penelitian ada seekor induk babi yang hanya melahirkan dua ekor anak. Hal ini bisa disebabkan kemampuan reproduksi induk yang kurang baik. Menurut Dunne (1971), salah satu fenomena yang menarik dan membingungkan dalam fisiologi reproduksi adalah fakta, bahwa pada beberapa induk babi sekitar 30% sel telur yang fertil hilang dan terdenaturasi oleh tubuh, dan sedikitnya 40% embrio dapat mengalami kematian sebelum setengah waktu dari proses kelahiran. Dalam 18 hari pertama, keselamatan embrio berkurang 17% sampai hari ke-25, kirakira 33% embrio akan mati dan ini dapat meningkat mencapai 40% pada hari ke-50. Angka kematian embrio yang tinggi selama masa kebuntingan dan diikuti dengan ketidakfertilan induk menyebabkan induk babi hanya mampu menghasilkan litter size lahir 1 sampai 2 ekor per kelahiran. Sihombing (1997), menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi litter size lahir adalah jumlah sel telur yang dilontarkan indung telur, laju hidup embrio selama berkembang, kemampuan uterus, paritas dan bangsa babi. Litter size pada saat disapih adalah jumlah anak yang disapih pada umur tertentu (30 hari) dari seekor induk per kelahiran. Rataan anak babi yang disapih (litter size sapih) selama penelitian (Tabel 12) adalah 8,00±3,13 ekor. Angka ini sedikit lebih rendah daripada 8,30 ekor per kelahiran yang menurut Siagian (1999) merupakan jumlah yang sangat baik. Angka litter size sapih sedikit lebih rendah dapat disebabkan oleh sifat mothering ability induk dan model kandang induk beranak yang kurang baik. Kandang yang berbentuk segi empat yang digunakan peternak menyebabkan induk bebas bergerak sehingga anak babi mudah tertindih induknya. Menurut Siagian (1999), penggunaan alat penyekat atau farrowing crate pada kandang induk babi beranak adalah penting untuk mengurangi kematian anak babi.
Hasil analisis ragam menunjukkan, bahwa taraf pemberian TDB dalam ransum induk babi tidak berpengaruh nyata terhadap litter size sapih. Berdasarkan Tabel 12, rataan litter size sapih perlakuan R0 (5,67 ekor) menunjukkan perbedaan angka yang cukup jauh bila dibandingkan dengan dengan R1 (9,66 ekor), R2 (8,00 ekor) dan R3 (8,50 ekor), padahal litter size lahir perlakuan R0 (9,67 ekor) tidak berbeda berbeda jauh dengan perlakuan R1 (10,33 ekor), R2 (10,25 ekor) dan R3 (10,55 ekor). Hal ini dapat disebabkan oleh TDB yang mengandung mineral kalium (K) yang mengakibatkan induk babi tidak gampang stress akibat pengaruh dari dalam atau luar lingkungan sehingga induk babi tidak terlalu banyak bergerak dan mortalitas anak selama masa pra sapih dapat berkurang. Menurut Mepham (1987), daun bangun-bangun mengandung kalium yang berfungsi sebagai pembersih darah, melawan infeksi, mengurangi rasa nyeri dan menimbulkan rasa tenang sehingga sekresi air susu menjadi lancar. Menurut Sihombing (1997), litter size sapih dipengaruhi oleh banyaknya anak yang dilahirkan seekor induk per kelahiran, mortalitas anak babi pra sapih, manajemen pemeliharaan dan stress pada induk. Kematian anak babi periode menyusu selama penelitian banyak disebabkan tertindih oleh induknya sendiri, dan beberapa anak babi mati karena memiliki kaki miring sehingga tidak dapat berjalan dengan baik, lemah saat dilahirkan dan terserang penyakit. Menurut Bolet (1982), tingkat kematian pada waktu disapih dapat mencapai 72,0% dengan empat penyebab utama yaitu 35,4% akibat terinjak oleh induk, 14,0% akibat kaki tidak lurus (miring), 11,0% akibat agalactia dan 11,6% akibat anak-anak babi lemah pada saat lahir. Seperti yang telah dikemukakan dalam sub pembahasan ternak penelitian, perlakuan R0 dan R1 menggunakan tiga ekor induk babi untuk semua peubah yang diamati karena salah satu induk babi dari empat ulangan pada perlakuan R0 dan R1 mengalami kematian semua anak babi yang menyebabkan tidak ada anak babi yang disapih dimana kematian semua anak babi bukan karena perlakuan sehingga dianggap data hilang, sedangkan perlakuan R2 dan R3 tetap menggunakan empat ekor induk babi. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf pemberian TDB tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas anak babi dan rataan mortalitas anak babi pra sapih selama penelitian adalah 19,09±19,2% (Tabel 12). Menurut Sihombing (2006), mortalitas anak babi dari lahir sampai disapih mencapai 25 %. Rendahnya nilai
mortalitas anak babi selama penelitian dapat disebabkan oleh TDB yang mengandung mineral kalium (K) yang berfungsi sebagai pembersih darah, mengurangi rasa nyeri dan menimbulkan rasa tenang sehingga induk babi tidak gampang stress yang mengakibatkan produksi susu induk lancar serta kematian anak babi akibat tertindih induknya berkurang. Penampilan Anak Babi Menyusu Ternak babi merupakan ternak yang memiliki jumlah anak yang banyak per kelahirannya. Anak babi yang lahir diharapkan memiliki penampilan yang baik sehingga mampu menghasilkan produksi yang optimum. Indikator penampilan anak babi yang baik dapat dilihat dari bobot lahir, pertambahan bobot badan anak (PBBA) selama menyusu dan bobot sapih. Penampilan anak babi selama penelitian disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Penampilan Anak Babi Selama Penelitian
Bobot Lahir (kg/ekor)
Perlakuan Rataan R0 R1 R2 R3 1,33±0,14 1,24±0,11 1,05±0,09 1,18±0,10 1,19±0,14
Bobot Sapih (kg/ekor)
4,43±1,23 3,88±0,53 4,08±0,76 3,43±0,95 3,93±0,87
PBBA (kg/ekor/hari)
0,11±0,05 0,09±0,02 0,10±0,02 0,07±0,03 0,09±0,03
Peubah
Keterangan : R0 = 100% ransum biasa + 0% TDB; R1 = 98,75% R0 + 1,25% TDB; R2 = 97,5% R0 + 2,50% TDB; R3 = 96,25% R0 + 3,75 % TDB; PBBA = Pertambahan Bobot Badan Anak
Bobot lahir anak babi merupakan bobot atau berat lahir anak babi segera setelah anak babi lahir dan sebelum mendapatkan kolostrum. Bobot lahir yang diperoleh dari hasil pengamatan cukup bervariasi menurut taraf pemberian TDB dalam ransum induk babi. Rataan bobot lahir anak babi selama penelitian adalah 1,19±0,14 kg/ekor. Rataan bobot lahir ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil pengamatan Simorangkir (2008) yaitu sebesar 1,36 kg/ekor dari induk yang ransumnya ditambahkan ekstrak daun katuk. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf pemberian TDB yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap bobot lahir anak babi. Penambahan TDB dalam ransum induk tidak menambah bobot lahir anak babi dikarenakan TDB diberikan sesaat setelah anak babi dilahirkan. Bobot lahir anak babi sangat dipengaruhi oleh
sudah berapa kali induk beranak (parity), umur induk, bangsa induk dan jumlah anak seperindukkan pada waktu lahir (De Borsotti et al., 1982). Bedasarkan Tabel 13, bobot lahir anak babi dengan perlakuan R0 pada induknya lebih besar dibandingkan dengan R1, R2 dan R3 masing-masing 1,33; 1,24; 1,05 dan 1,18 kg/ekor. Hal ini disebabkan oleh perbedaan jumlah litter size lahir yang terjadi antara taraf perlakuan, dimana jumlah litter size lahir R0 (9,67 ekor) lebih sedikit dibandingkan dengan taraf pemberian lainnya sehingga menghasilkan bobot lahir yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan Kurniawan (2006) yang menyatakan bahwa litter size lahir yang semakin tinggi cenderung akan menghasilkan bobot lahir anak babi yang semakin kecil. Bobot sapih merupakan salah satu faktor kunci dalam peternakan babi untuk menghasilkan bobot potong yang cukup baik. Siagian (1999) menyatakan, bahwa pada umur penyapihan tertentu, anak babi yang memiliki bobot badan yang tinggi saat disapih akan bertumbuh lebih cepat hingga mencapai bobot pasar daripada anak babi yang bobot badan lebih ringan. Rataan bobot sapih anak babi selama penelitian (30 hari) adalah 3,93±0,87 kg/ekor. Sihombing (1997) menyatakan bahwa tidak ada ukuran bobot sapih yang tepat untuk menyapih anak babi, anak babi dapat disapih kapan saja. Akan tetapi menurut Sihombing (1997) sebaiknya anak babi disapih pada umur 3-5 minggu. Bobot sapih paling besar ditunjukkan oleh perlakuan R0 (4,43±1,23 kg/ekor) dan diikuti oleh perlakuan R2, R1 dan R3 masing-masing 4,08; 3,87 dan 3,43 kg/ekor. Tingginya bobot sapih perlakuan R0 ini disebabkan oleh rendahnya litter size sapih yaitu 5,66±2,88 ekor (Tabel 12) sehingga anak babi mendapat kecukupan air susu dan persaingan untuk memperebutkan puting aktif semakin rendah bila dibandingkan dengan induk babi yang menyusui anak lebih banyak. Parakkasi (1990), menyatakan jumlah anak babi akan mempengaruhi produksi susu induk dan bobot sapih anak babi. Jumlah anak yang banyak cenderung akan meningkatkan produksi susu, akan tetapi tidak menjamin mampu memenuhi kebutuhan anaknya. Induk yang mampu memenuhi kebutuhan anaknya akan menghasilkan bobot sapih yang tinggi. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh pemberian TDB pada taraf yang berbeda dalam ransum induk babi menyusui tidak berpengaruh nyata
terhadap bobot sapih anak babi. Peningkatan bobot sapih dari induk dengan perlakuan R2 (4,08 kg/ekor) adalah satu-satunya perlakuan yang diberi TDB dalam ransum induknya yang mampu menghasilkan angka diatas rataan bobot sapih yaitu 3,93±0,87 kg/ekor (Tabel 13) meskipun litter size sapihnya cukup tinggi yaitu 8,00±1,82 ekor (Tabel 12). Hal ini disebabkan oleh PASI babi perlakuan R2 yang cukup besar yaitu 229,17±55,1 g/menyusui dimana PASI babi juga berada diatas rataan PASI selama penelitian (Tabel 12). Rataan bobot sapih perlakuan R1 (3,87 kg/ekor) lebih besar jika dibandingkan dengan R3 (3,43 kg/ekor), meskipun rataan litter size sapih perlakuan R1 (9,66±5,03 ekor) lebih banyak daripada R3 (8,50±2,88 ekor). Hal ini juga disebabkan oleh rataan PASI babi perlakuan R1 (216,7±54,5 g/menyusui) lebih besar dibandingkan dengan R3 (204,2±64,4 g/menyusui). Perlakuan R3 dengan rataan bobot sapih yang lebih rendah dikarenakan taraf pemberian TDB yang terlalu tinggi (3,75%) di dalam ransum induk babi dapat meningkatkan kandungan serat kasar dan mengurangi nutrisi terutama protein dan energi ransum. Pertambahan bobot badan harian anak babi selama
menyusu diperoleh
dengan menghitung selisih bobot anak pada saat disapih dengan bobot lahir anak, kemudian dibagi dengan umur penyapihan. Berdasarkan Tabel 13, rataan pertambahan bobot badan anak babi selama penelitian adalah 0,09±0,03 kg/ekor/hari. Menurut Sihombing (1997), rataan bobot badan anak babi bisa mencapai 0,18 kg/ekor/hari. Rendahnya nilai pertambahan bobot badan anak babi yang diperoleh dalam penelitian ini dapat disebabkan oleh kurangnya kandungan protein ransum penelitian sebesar 1,29 sampai 2,25%, yang mengakibatkan produksi air susu induk tidak maksimal. Menurut Pluske et al. (2001), pertumbuhan anak sebelum disapih dipengaruhi oleh faktor genetik, bobot lahir, jumlah anak menyusu, produksi air susu, perawatan dan umur induk. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf pemberian TDB dalam ransum induk babi menyusui tidak berpengaruh nyata terhadap PBBA. Tabel 12 mengenai PASI dan Tabel 13 mengenai PBBA menunjukkaan bahwa semakin tinggi produksi air susu induk maka PBBA juga semakin besar, kecuali pada perlakuan R0. Pengecualian perlakuan R0 ini disebabkan oleh tingginya angka mortalitas yang menyebabkan rendahnya nilai litter size sapih. Oleh karena jumlah anak yang
menyusu sedikit menyebabkan kebutuhan anak akan susu terpenuhi sehingga PBBA menjadi tinggi. Hasil penelitian Simorangkir (2008), menunjukkan bahwa jumlah anak menyusu yang sedikit menghasilkan PBBA yang lebih tinggi dibandingkan jumlah anak menyusu yang lebih banyak. Biaya Pemberian Tepung Daun Bangun-bangun dalam Ransum Tepung daun bangun-bangun (TDB) yang diberikan dalam ransum dengan berbagai taraf adalah perlakuan selama penelitian. Tanaman ini di beberapa daerah dipercaya mampu meningkatkan produksi ASI. Harga bangun-bangun di pasar berkisar antara Rp. 2.500 sampai Rp 3.000/ikat. Harga ini merupakan hasil peninjauan di daerah Jakarta (Pasar Senin) dan Bogor (Pasar Cipanas). Berat tanaman bangun-bangun mencapai 598,16 g/ikat dengan bobot daun sebesar 404,36 g/ikat (67,6%) dan mampu menghasilkan TDB sebesar 45,86 g/ikat (7,6%). Dengan demikian satu kilogram TDB dapat diperoleh dari 8,56 kg daun bangun-bangun segar (DBS) atau dari 21,12 ikat bangun-bangun. Biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilogram TDB adalah sebesar Rp 53.400. Nilai ini diperoleh dari hasil perkalian antara harga bangunbangun per ikat yaitu Rp 2.500 dengan 21,12 ikat yang merupakan jumlah ikat bangun-bangun per kg TDB. Hasil analisa proksimat menunjukkan bahwa kadar air yang dikandung oleh daun bangun-bangun mencapai 88,32% atau kadar BK sebesar 11,68%. Jumlah dan biaya bangun-bangun yang diberikan kedalam ransum dengan taraf yang berbeda pada tiap ekor induk selama penelitian disajikan Tabel 14. Tabel 14. Kebutuhan dan Biaya Bangun-bangun Tiap Perlakuan Selama Penelitian Perlakuan
TDB (kg/ekor)
DBS (kg/ekor)
Jumlah (ikat)
Biaya TDB (Rp/ekor)
R0 (0%)
0
0
0
0
R1 (1,25%)
1,54
13,18
32,5
Rp 82.200
R2 (2,50%)
3,08
26,36
65,0
Rp 164.400
R3 (3,75%)
4,62
39,54
97,5
Rp 246.600
Tepung daun bangun-bangun yang dibutuhkan untuk induk babi perlakuan R1 selama penelitian adalah 1,54 kg per ekor. Jumlah ini merupakan hasil kali taraf pemberian perlakuan R1 yaitu sebesar 1,25% dengan rataan konsumsi ransum tiap
ekor induk selama penelitian yaitu sebesar 4,1 kg/ekor/hari dan lama pemberian TDB yaitu 30 hari. Kebutuhan daun bangun-bangun segar (DBS) pada Tabel 14 diperoleh dari hasil perkalian antara kebutuhan TDB per ekor induk selama penelitian dengan 8,56 kg yang merupakan bobot DBS per kg TDB. Jumlah ikatan bangun-bangun tiap perlakuan diperoleh dari hasil kali kebutuhan TDB per ekor induk selama penelitian dengan 21,12 ikat yang merupakan jumlah ikatan bangun-bangun per kg TDB. Sedangkan biaya TDB per ekor induk (Tabel 14) diperoleh dari hasil perkalian antara kebutuhan TDB per ekor induk selama penelitian dengan Rp 53.400 yang merupakan harga bangun-bangun per kg TDB. Biaya Ransum Induk Babi Menyusui Periode pemberian ransum pada induk babi sejak menyapih hingga birahi, dikawinkan dan bunting kembali, kemudian beranak sampai anaknya disapih diasumsikan selama lima bulan per ekor induk babi. Induk babi yang telah menyapih anaknya akan menunggu birahi kembali selama satu sampai dua minggu atau ratarata 10 hari. Selama periode menunggu birahi (10 hari), kemudian dikawinkan sampai bunting (114 hari), induk babi diberikan ransum sebanyak 2 kg/ekor/hari. Total pakan yang diberikan selama periode ini adalah 248 kg/ekor. Berdasarkan komposisi pakan yang diberikan pada induk bunting dan menyusui pada Tabel 6, maka dalam 248 kg ransum yang dikonsumsi induk selama periode menunggu birahi sampai bunting dan beranak kembali terdapat 62 kg jagung dan 186 kg dedak masing-masing dengan harga Rp 2.300 dan Rp 1.300/kg. Total biaya yang dibutuhkan selama periode ini adalah Rp 384.400 per ekor induk. Pemberian ransum pada tiap perlakuan mulai mengalami perbedaan selama periode induk laktasi (30 hari). Rataan konsumsi ransum selama periode laktasi yang diberikan selama penelitian adalah 4,1 kg/ekor/hari, sehingga total konsumsi ransum selama periode laktasi yang diberikan selama penelitian adalah 123 kg/ekor. Berdasarkan kebutuhan bangun-bangun selama penelitian pada Tabel 14, perlakuan R0 (0%), R1 (1,25%), R2 (2,50%) dan R3 (3,75%) masing-masing disubstitusikan TDB sebanyak 0; 1,54; 3,08 dan 4,5 kg kedalam 123 kg ransum induk periode laktasi. Biaya ransum induk babi perlakuan selama periode laktasi disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Biaya Ransum Tiap Ekor Induk Babi Menurut Perlakuan Selama Periode Laktasi Perlakuan R0
Harga Ransum Induk (Rp/kg) 1.550
Biaya Ransum Induk (Rp) 190.700
R1
2.200
270.000
R2
2.850
349.500
R3
3.500
428.700
Berdasarkan susunan ransum penelitian pada Tabel 8, maka dalam 123 kg ransum yang dikonsumsi induk selama periode laktasi perlakuan R2 terdapat 29,21 kg jagung, 90,71 kg dedak dan 3,08 kg TDB masing-masing dengan harga Rp 2.300, Rp 1.300 dan Rp 53.400/kg. Total biaya yang dibutuhkan perlakuan R2 selama periode laktasi adalah Rp. 349.500/123 kg atau Rp 2.850/kg. Perhitungan setiap perlakuan pada Tabel 15 mengikuti susunan ransum penelitian Tabel 8 dan mengalikannya dengan harga ransum. Biaya Ransum Anak Babi Menyusu Ransum anak babi menyusu yang diberikan adalah ransum berbentuk pur atau lebih dikenal dengan pur 551 yang diproduksi oleh PT. Charoen Pokphand Indonesia. Pemberian pur ini dilakukan dengan tujuan untuk memperkenalkan pakan kepada anak babi selain susu induk sehingga pada saat anak babi disapih dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari ransum tersebut tanpa air susu dari induknya. Pur diberikan pada anak babi saat berumur tiga minggu karena pada usia ini produksi air susu induk sudah mulai berkurang. Pur diberikan sebanyak 50 gram/ekor anak babi. Pur yang diberikan jika dicium memiliki aroma seperti susu sehingga pada umumnya anak babi tertarik untuk mencium dan memakan pur tersebut. Kandungan zat makanan yang terdapat di dalam pur adalah protein 20,5%, serat 6,0%, lemak 4,0%, abu 8,0%, kalsium 0,9%, phosphor 0,7% dan energi sebesar 3100-3200 Kkal/kg. Kandungan zat makanan ini dapat dilihat pada label yang terdapat di dalam karung pur 551. Kandungan zat makanan ini sudah sesuai dengan kebutuhan anak babi menyusu yang menurut Sihombing (2006) pakan untuk anak babi menyusu harus memiliki kandungan protein, kalsium, dan posfor masing-masing sebesar 20,0; 0,95; dan 0,76%. Tabel 16 menunjukkan rataan konsumsi dan biaya ransum anak babi pada perlakuan yang berbeda.
Tabel 16. Rataan Konsumsi dan Biaya Ransum Anak Babi Menyusu dari Induk Babi Menurut Perlakuan Perlakuan R0
litter size sapih (ekor) 5,67
Konsumsi (kg/litter size) 2,83
Biaya Ransum Anak (Rp) 16.500
R1
9,66
4,83
28.100
R2
8,00
4,00
23.200
R3
8,50
4,25
24.700
Rataan konsumsi anak babi menyusu pada Tabel 17 diperoleh dari rataan litter size sapih anak babi per ekor induk menurut perlakuan (Tabel 12) dikali dengan 500gr yang merupakan konsumsi anak babi selama 10 hari. Konsumsi anak babi dikalikan dengan 10 hari karena anak babi mulai diberikan pur pada umur 21 hari dan disapih pada umur 30 hari. Adapun biaya pur 551 selama penelitian adalah Rp 289.000/50 kg atau sekitar Rp 5.800/kg. Biaya ransum anak babi menyusu tiap ekor dari induk perlakuan (Tabel 16) diperoleh dari hasil perkalian antara rataan konsumsi ransum anak babi dengan harga ransum (pur). Total Biaya Ransum Menurut Devendra dan Fuller (1979), biaya ransum dalam suatu usaha peternakan babi bisa mencapai 70 sampai 80% dari biaya total produksi atau biaya total produksi merupakan 1,33 kali biaya ransum. Biaya ransum merupakan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan ransum yang dibutuhkan oleh ternak. Biaya ransum diperoleh dari hasil perkalian antara harga bahan-bahan pakan dengan jumlah pakan yang digunakan. Total biaya ransum yang dikeluarkan selama penelitian adalah biaya ransum untuk anak dan induk babi selama periode pemberian ransum yaitu setelah menyapih hingga menuju birahi, dikawinkan dan bunting kembali, kemudian beranak sampai anaknya disapih kembali. Total biaya ransum diperoleh dengan menjumlahkan biaya ransum induk babi periode menunggu birahi sampai bunting kembali dengan biaya ransum induk periode laktasi dan biaya ransum anak babi menyusu. Total biaya ransum yang dikeluarkan selama periode pemberian ransum tersebut menurut perlakuan selama penelitian disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17. Total Biaya Ransum pada Taraf TDB yang Berbeda Perlakuan
Biaya Ransum Penelitian (Rp)
R0
591.600
R1
682.500
R2
757.100
R3
837.800
Tinjauan Ekonomi Salah satu faktor penting yang menunjang keberhasilan dari suatu usaha peternakan adalah pendapatan yang diperoleh dari sektor peternakan tersebut. Meningkatkan jumlah keuntungan menjadi tujuan utama dari suatu usaha peternakan. Keuntungan akan diperoleh apabila penerimaan lebih besar daripada pengeluaran, dalam hal ini penerimaan yang dimaksud adalah biaya penjualan ternak, sedangkan pengeluaran adalah total biaya produksi. Total biaya produksi merupakan total biaya yang dikeluarkan selama proses produksi untuk menghasilkan suatu produk. Biaya ransum yang dikeluarkan merupakan 75% dari total biaya produksi sehingga total biaya produksi diperoleh dari hasil perkalian biaya ransum yang dikeluarkan dengan 1,33 (Devendra dan Fuller, 1979). Total biaya ransum yang biasa dikeluarkan peternak adalah sebesar Rp 591.600 selama periode menunggu birahi hingga menyapih anaknya kembali, dengan demikian dapat diperoleh total biaya produksi adalah sebesar Rp 786.850 atau 1,33 x Rp 591.600. Biaya input lainnya selain biaya ransum yang dikeluarkan oleh peternak adalah Rp 195.250 atau diperoleh dari hasil pengurangan total biaya produksi dengan total biaya ransum. Total biaya produksi tiap ekor induk babi dengan taraf pemberian TDB yang berbeda dalam ransum disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Total Biaya Produksi Induk Babi Selama Penelitian Perlakuan
Biaya Total Produksi (Rp/ekor)
R0
786.850
R1
877.750
R2
952.350
R3
1.033.050
Harga jual anak babi selama penelitian berlangsung adalah Rp 400.000/12 kg pertama dan selebihnya adalah harga jual per kg bobot potong atau diatas bobot 12 kg, harga setiap kenaikan satu kg adalah Rp 26.000/kg sampai kepada bobot 25 kg. Harga anak babi sapihan pada umumnya tidak terlalu terpengaruh terhadap isu flu babi (H1N1). Selain dikarenakan permintaan anak babi sapihan bobot kurang dari 25 kg sedikit, peternak umumnya lebih memilih memelihara menunggu ternak babi mencapai bobot finisher (70 sampai 90 kg) karena keuntungan yang diperoleh lebih besar. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melihat seberapa besar nilai ekonomi dari anak babi sapihan yang dapat dihasilkan dengan taraf pemberian TDB yang berbeda dalam ransum induk babi menyusui. Berdasarkan hasil pengamatan penampilan induk babi (Tabel 12) selama penelitian menunjukkan bahwa, pemberian TDB dalam ransum induk mampu meningkatkan PASI induk babi per menyusui dan litter size sapih. Akan tetapi pemberian TDB dalam ransum induk babi juga meningkatkan total biaya ransum dan total biaya produksi induk. Tabel 19 memperlihatkan tinjauan ekonomi penampilan induk dan anak babi dengan taraf pemberian TDB yang berbeda dalam ransum induk babi menyusui. Berdasarkan perhitungan ekonomi yang disajikan pada Tabel 19, maka diperoleh pendapatan yang paling besar per ekor induk adalah dari perlakuan R1 yaitu sebesar Rp 3.161.800, diikuti oleh R3 sebesar Rp 2.573.000, kemudian R2 sebesar Rp 2.437.600 dan R0 sebesar Rp 1.678.600. Tingginya pendapatan yang diperoleh dari induk dengan perlakuan R1 (Rp 3.161.800) adalah disebabkan tingginya litter size sapih (9,66 ekor) yang merupakan litter size sapih paling tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hubungan litter size sapih anak babi yang bobotnya kurang dari 12 kg, akan berkorelasi positif dengan pendapatan yang akan diperoleh induk. Semakin tinggi litter size sapih per ekor induk, maka pendapatan yang diperoleh akan semakin besar. Hal ini disebabkan oleh harga yang tidak melihat besaran bobot badan di bawah 12 kg dimana harga anak babi bobot 4,43 kg (R0) sama dengan harga anak babi bobot 3,43 kg (R3) yaitu Rp 400.000. Sistem penjualan anak babi kurang dari 12 kg ini menyebabkan keuntungan yang diperoleh sangat bergantung kepada jumlah litter size pada saat disapih. Harga anak babi sapihan mulai dihitung per kg bobot badan ketika bobotnya sudah melebihi 12 kg.
Tabel 19. Tinjauan Ekonomi Penampilan Induk dan Anak Babi dengan Taraf Pemberian Tepung Daun Bangun-bangun yang Berbeda dalam Ransum Induk Babi Menyusui Ransum Perlakuan R0 R1 R2 Jumlah induk babi penelitian (ekor) 3 3 4 Rataan litter size lahir hidup (ekor) 9,67 10,33 10,25 Rataan litter size sapih (ekor) 5,67 9,66 8 Rataan bobot lahir (kg/ekor) 1,33 1,24 1,05 Rataan bobot sapih (kg/ekor) 4,43 3,87 4,08 Konsumsi ransum induk periode akan birahi, bunting dan beranak kembali (kg/ekor) 248 248 248 Biaya ransum induk periode akan birahi, bunting dan beranak kembali (Rp/ekor) 384.400 384.400 384.400 Rataan konsumsi ransum induk periode laktasi (kg/ekor/hari) 3,97 4,39 4,15 Total konsumsi ransum induk periode laktasi (kg/ekor); (8) x 30 hari 119,1 131,7 124,5 Harga ransum induk periode laktasi (Rp/kg) 1.550 2.200 2.850 Biaya ransum induk periode laktasi (Rp/ekor) 184.600 289.740 354.850 Total biaya ransum induk (Rp/ekor) 569.000 674.140 739.250 Rataan konsumsi anak menyusu selama penelitian (kg/ekor) 0,05 0,05 0,05 Harga ransum anak menyusu selama penelitian (Rp/kg) 5.800 5.800 5.800 Biaya ransum anak menyusu (Rp); (14) x (13) x (3) 16.500 28.100 23.200 Total biaya ransum (Rp); (15) + (11) 585.500 702.200 762.450 a) Biaya total produksi (Rp) 780.700 897.450 957.700 Harga jual anak babi sapihan/12 kg bobot hidup (Rp) 400.000 400.000 400.000 Nilai penjualan anak babi sapihan/ekor induk (Rp); (18) x (3) 2.264.000 3.864.000 3.200.000 b) Income over feed cost (Rp); (19) - (16) 1.678.600 3.161.800 2.437.600 Keuntungan per ekor induk (Rp) (19) - (17) 1.483.300 2.966.600 2.242.300 keuntungan per ekor anak babi sapihan (Rp); (21) : (3) 262.000 307.100 280.300
No Faktor Pengamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Keterangan a) Biaya total produksi diperoleh dari biaya ransum selama penelitian (8) x 1,33 (asumsi biaya ransum merupakan 75% dari biaya total produksi). b) Income over feed cost diperoleh dari nilai penjualan anak babi sapihan (16) dikurangi dengan biaya ransum (12)
R3 4 10,5 8,5 1,18 3,43 248 384.400 3,98 119,4 3.500 417.900 802.300 0,05 5.800 24.700 826.950 1.022.200 400.000 3.400.000 2.573.000 2.377.800 279.700
Keuntungan yang paling besar per ekor anak babi sapihan juga diperoleh dari perlakuan R1 yaitu sebesar Rp 307.100, diikuti oleh R2 sebesar Rp 280.300, kemudian R3 sebesar Rp 279.700 dan R0 sebesar Rp 262.000. Keuntungan per ekor anak babi sapihan selama penelitian diperoleh dengan membagikan keuntungan per ekor induk babi tiap perlakuan dengan rataan litter size sapihnya. Oleh sebab itu, semakin tinggi keuntungan yang dihasilkan oleh induk babi maka keuntungan per ekor anak juga semakin besar. Induk babi perlakuan R2 menghasilkan keuntungan (Rp 280.300) yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan R3 (Rp 279.700), padahal pendapatan yang dihasilkan oleh induk babi perlakuan R3 (2.573.000) lebih besar dibandingkan dengan perlakuan R2 (Rp 2.437.600). Hal ini disebabkan oleh tingginya biaya ransum perlakuan R3 dengan rataan 8,50±2,88 ekor anak babi sapihan yang menyebabkan perbedaan pendapatan per ekor induk perlakuan R2 dengan rataan 8,00±3,13 ekor anak babi sapihan tidak berbeda jauh, sehingga ketika keuntungan per ekor induk dibagi dengan litter size sapihnya maka keuntungan yang paling besar akan dihasilkan oleh induk yang memiliki litter size sapih lebih rendah. Nilai Break event point (BEP) atau titik impas merupakan nilai dimana suatu usaha tidak mendapat keuntungan atau kerugian atau lebih dikenal dengan istilah balik modal. Nilai BEP dalam suatu usaha peternakan merupakan salah satu alat bantu yang lazim digunakan untuk mengevaluasi suatu usaha peternakan. Analisis BEP atau titik impas dapat dibagi ke dalam BEP penjualan, BEP unit dan BEP persentase (Hatmono, 2001). BEP yang dihitung dalam penelitian ini adalah BEP unit/ternak dalam hal ini litter size per induk babi. Nilai BEP (titik impas) unit/ternak selama penelitian diperoleh dengan membagi total biaya produksi dengan harga jual ternak per ekor. Data mengenai nilai BEP unit/ternak pada tiap perlakuan disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Nilai BEP Unit pada Taraf Pemberian yang Berbeda Perlakuan R0
BEP (ekor anak babi) 1,95
R1
2,24
R2
2,39
R3
2,55
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Taraf pemberian TDB sebesar 1,25% memberikan keuntungan yang paling besar terhadap nilai ekonomi penampilan anak babi dibandingkan dengan taraf pemberian TDB lainnya (0; 2,5; dan 3,75). Peningkatan keuntungan dari penampilan per ekor anak babi sapihan yang induknya diberikan taraf pemberian TDB 1,25% dapat mencapai 17,21% dari keuntungan per ekor anak babi sapihan dengan taraf pemberian TDB 0% (kontrol). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf pemberian TDB tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi, litter size lahir, litter size sapih, bobot lahir, bobot sapih, PBBA dan PASI. Saran Disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan bahan dasar bangun-bangun dalam bentuk yang berbeda seperti sup bangun-bangun atau ekstrak bangun-bangun untuk melihat pengaruhnya terhadap penampilan anak babi sapihan dan menggunakan sample unit percobaan yang lebih banyak atau menambahkan faktor yang berbeda.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur dan terima kasih Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena dengan berkat, kasih dan pertolongan-Nya yang tiada terbatas skripsi ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang tua (Bapak dan Ibu), kakak Ria dan adik-adik saya: Ramot dan Epi yang tiada hentinya memberikan banyak dukungan, motivasi, nasehat dan materi. Ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada semua keluarga besar Penulis untuk semua dukungan doanya. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS dan Ibu Ir. Lucia Cyrilla E, MSi masing-masing sebagai Pembimbing Utama dan Anggota yang telah banyak membimbing, mengarahkan dan membantu penyusunan usulan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi. Ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, MS sebagai Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan nasehat dan bimbingan selama kuliah. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ir. Hotnida Carolina Herawati Siregar, MSi dan Bapak Ir. Kukuh Budi Satoto, MS serta Bapak Ir. Salundik, MSc masing-masing sebagai dosen penguji sidang dan seminar yang telah memberikan saran dan masukan untuk perbaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada pemilik Peternakan Babi Rachel Farm abang Josef Sinaga berserta keluarga: kakak Sinaga, Eyang, Bude, Paman Tobing dan keluarga, Dapot, Rachel, Carel dan Rafael yang memberikan bantuan dan kesempatan untuk melakukan penelitian dipeternakan tersebut. Penulis juga mengucapakan terima kasih kepada rekan-rekan satu penelitan: Immeryen, Ririn dan Grace yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuan selama penelitian. Ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada teman-teman, Natalina Simorangkir, Sahat, Patar, Sihol, Rikky, Megawarman, abang Obed, abang David, abang Edo, abang Hansen, abang Toufik, abang Jaya, Roma, Manahan, Dikky, Aan, kakak Imel, Melisa, Lisa, Silvia, Christina, Helen, Nenti, Mery dan Rahel. Penulis mengucapkan terima kasih atas semua dukungan, persahabatan dan persaudaraan yang terjalin selama ini.
Terakhir penulis ucapkan terima kasih banyak kepada Civitas Akademik Fakultas Peternakan IPB khususnya rekan-rekan IPTP 42 dan semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan selama penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi orang yang membacanya.
Bogor, Oktober 2009
Penulis
DAFTAR PUSTAKA Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan ternak Umum. Penerbit PT Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. Arifien, M. 2002. Rahasia Sukses Memelihara Ayam Broiler di Daerah Tropis. Penebar Swadaya, Jakarta. Bidura, I. G. N. G. 2005. Penyediaan Bahan Pakan Unggas. Buku Ajar, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar Church, D.C. 1991. Livestock Feeds and Feeding. Ed-3. Prentice-Hall, Inc: USA. Blakely, J. dan D. H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan Umum. Edisi Keempat. Terjemahan oleh Bambang, S. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Bolet, G.1982. Analysis of cause of piglet mortality before weaning. Influence of Genetic Type and Parity. Anim. Breed. Abstr. 50 (11). Damanik, R., Daulay, Z., Saragih, S. R. Premier, N., Wattanapenpaiboon., and Wahlquist, M. L. 2001. Consumption of bangun-bangun leaves (Coleus amboinicus Lour) to increase breast milk production among batakness women in North Sumatra Island, Indonesia. APJCN: 10 (4): 567 Damanik, R., M. L. Wahlquist, and Wattanapenpaiboon. 2006. Lactagogue effects of torbangun, a Batakness traditional cuisine. APJCN: 15 (2): 267-274 De Borsotti, P. N. O. Verde and D. Plasse. 1982. Genetic and enviromental factor affecting growth of piglets. Anim. Breed. Abstr. 50 (12) : 869 De Padva L. S., Bonga Prapatsara, and N., Lemmens, R. H. M. J. 1999. Plant Resource of South-East Asia: Medical and Poisonous. Bogor. Indonesia. Devendra, C. and M. F. Fuller. 1979. Pig Production in the Tropics. Oxford University Press. Direktorat Jendral Peternakan. 2006. Statistik Peternakan 2006. CV. Arena Seni, Jakarta. Duke. 2000. Dr. Duke’s constituens and ethnobotanical database. Phytochemical database, USDA-ARS-NGRL. http://www.arsgrin.gov/cgi-bin/duke/farmacysero|3.p|. [11 February 2008]. Dunne, H. W. 1971. Diseases of Swine. Ed-3. The Iowa University Press: USA. Ensminger, M. E. 1991. Feeds and Nutrition. Second Edition. The Ensminger Publising Company, USA.
Gardner, J. A. A., A. C. Dunkin, and L. C. Lloyd. 1990. Pig Production in Australia. Pig Research Council, Canberra. Hatmono, H. 2001. Beternak Merpati Potong Sistem Tower. Penebar Swadaya, Jakarta Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid I. Diterjemahkan oleh Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Yayasan Sarana Jaya, Jakarta. Hurley, W. L. 1999. Lactation in Pigs. Department of Animal Science. University of Illinois Urbana, Champaign. John, R. H. and W. B. Sainsbury. 1995. The Health of Pigs. Longman Scientific and Technical, England. Keng, H. 1978. Order and Families of Malaya Seed Plant. Singapore University Press. Kehutanan Jakarta. Yayasan Sarana Jaya, Jakarta. Kingston, N. G. 1983. The problem of low litter size. Anim. Breed. Abstr. 51 (12) :912 Krider, J.K. and W.E.Carroll.1971. Swine Production 4th Edition. Tata Mc Graw Hill Publishing Company, Bombay Kurniawan, R. I. 2006. Hubungan litter size lahir dengan bobot lahir dan mortalitas anak babi tiga hari setelah lahir. Skripsi. Fakultas Peternakan, Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mahmud, M., K., Slamet, D. S. Apriyantono dan R. R., Hermana. 1995. Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Depkes RI, Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Jakarta. Manika, W. T, I Ketut. S,. I Gede P., dan Thamrin D. C. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku, dan Produksi Ternak Di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka, Jakarta. Manurung, J. 2003. Seandainya hewan dipajak. http://www.litbang.deptan.go.id. [10 February 2008]. Mardisiswojo, S dan H. Rajakmangunsudarso. 1985. Cabe Puyang Warisan Nenek Moyang. Jakarta: PN Balai Pustaka. McKay, R. M. 1994. Preweaning growth of Yorkshire, Hampshire and Landrace Pigs. J. Anim. Sci. 72 : 56-61. Mepham, T. B. 1987. Physiology of Lactation. Open University Press. Melton Keynes, Philadelphia.
Milagres, J. C., L. M. Fedalto, A. E. Silva, M, DE and J. A. A. Peraira. 1983. Source of variation in litter size and weight birth and 21 days of age in Duroc, Landrace, and Large White Pigs. Anim. Breed. Abstr. 51 (7) : 552. Parakkasi, A. 1990. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Penerbit: Angkasa, Bandung. Pluske, J. R., J. Le Devidich, and M. W. A. Verstegen. 2003. Weaning The Pig Concepts and Consequences. Wageningen Academic Publisher. Netherlands. Pulungan, I. dan R. Pambudy. 1998. Peraturan dan Undang-undang Peternakan. UPT Produksi Media Informasi. Lembaga Sumberdaya Informasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Siagian, M. H. dan M. Rahayu. 2000. Laporan penelitian etnobotani Plecantrus ambonicus Lour didaerah Batak Toba, Sumut. Makalah. Disajikan pada Kongres Nasional obat Tradisional Indonesia. Surabaya. Siagian, P.H. 1999.Manajemen Ternak Babi. Diktat Kuliah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sidauruk, B. D. 2008. Produksi air susu induk babi dengan penambahan ekstrak daun katuk (Souropus androgynus (L.) Merr) dalam ransum pada taraf dan waktu pemberian yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sihombing, D. T. H. 1997. Ilmu Produksi Ternak Babi. Diktat kuliah. Departemen Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sihombing, D. T. H. 2006. Ilmu Ternak Babi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Simorangkir, C. 2008. Penampilan anak babi menyusu dengan taraf dan waktu pemberian ekstrak daun katuk (Souropus androgynus (L.) Merr) yang berbeda dalam ransum induknya. Skripsi. Fakultas Peternakan, Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sinaga, S. 2009. Peternakan babi kereman di Kretek Wonosobo. Artikel. http://blogs .unpad.ac.id/SaulandSinaga/?p=57. [25 Maret 2009]. SNI (Standard Nasional Indonesia). 1995. Agibisnis info (Standard Pakan SNI). http://agritekno.Tripod.com/Standar pakan. [25 Maret 2009]. Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik Terjemahan. Gramedia Pustaka, Jakarta. Tambun, J. S. 2008. Beternak babi organik. Artikel. http://www.gkpi.org. [26 Maret 2009]
Tillman, E., H. Hartadi, S. Reksohadiprajdo dan S. Labdosoeharjo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogya Wardini, W. 2007. Penambahan daun torbangun (Coleus amboinicus Lour) dalam ransum pengaruhnya terhadap sifat reproduksi dan produksi air susu mencit putih (Mus musculus Albinus). Skripsi. Fakultas Peternakan, Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Vasquez, E. A., W. Kraus, A. D. Solsoloy, and B. M. Rejesus. 2000. The Use of species and medical : antifungal, antibhacterial, anthelmintic, and molluscicidal constituent of Philippine plant, http://www.faoorg/docrep/x2203ow/x2230es. [14 February 2008]
LAMPIRAN
Lampiran 1. Konsumsi Harian Induk Babi Penelitian Taraf Daun bangun – bangun (%) Rataan 0 (R0) 1.25 (R1) 2.5 (R2) 3.75 (R3) ……..……………………….kg/ekor/hari………………………… 1 3,99 5,19 4,00 3,99 4,29 2 3,95 3,99 4,67 3,99 4,15 3 3,98 3,95 3,98 4,06 4 4,00 3,99 4,00 3,94 Rataan 3,97±0,01 4,39±0,68 4.15±0,34 3,98±0,01 4,10±0,35 KK (%) 0,39 15,58 8,21 0,32 8,66
Ulangan
Lampiran 2. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Konsumsi Ransum SK Taraf TDB Eror Total
db 3 10 13
JK 0,3654 1,2854 1,6507
KT 0,1218 0,1285
F 0,95
P 0,450
Lampiran 3. Produksi Air Susu Induk per Menyusui Selama Penelitian Taraf Daun bangun – bangun (%) Rataan 0 (R0) 1.25 (R1) 2.5 (R2) 3.75 (R3) ……..……………………….g/ekor/menyusui ………………………… 1 200,00 283,33 266,67 266,67 254,17 2 116,67 150,00 200,00 166,67 158,34 3 200,00 283,33 133,33 205,55 4 216,67 166,67 250,00 211,11 Rataan 172,20±48,81 216,70±54,50 229,17±55,10 204,17±64,40 207,10±56,10 KK (%) 27,94 30,77 8,21 31,53 27,10
Ulangan
Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) PASI per Menyusui SK Taraf TDB Eror Total
db 3 10 13
JK 5906 35046 40952
KT 1969 3505
F 0,56
P 0,652
Lampiran 5. Litter Size Lahir dari Induk Penelitian Ulangan 1 2 3 4 Rataan KK (%)
Taraf Daun bangun – bangun (%) Rataan 0 (R0) 1.25 (R1) 2.5 (R2) 3.75 (R3) ……..……………………….ekor………………………… 4 15 9 11 9,75 16 7 16 5 11,00 9 8 12 9,67 9 8 14 10,33 9,67±6,03 10,33±4,16 10,25±3,86 10,50±3,87 10,21±3,90 62,36 40,29 37,68 36,89 28,24
Lampiran 6. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Litter Size Lahir SK Taraf TDB Eror Total
db 3 10 13
JK 1,27 197,08 198,36
KT 0,42 19,71
F 0,02
P 0,995
Lampiran 7. Litter Size Sapih dari Induk Penelitian Ulangan 1 2 3 4 Rataan KK (%)
Taraf Daun bangun – bangun (%) Rataan 0 (R0) 1.25 (R1) 2.5 (R2) 3.75 (R3) ……..……………………….ekor ………………………… 4 15 9 9 9,25 9 5 10 5 7,25 4 6 12 7,50 9 7 8 8,00 5,67±2,88 9,66±5,03 8,00±1,82 8,50±2,88 8,00±3,13 50,94 52,07 22,82 33,96 39,22
Lampiran 8. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Litter Size Sapih SK Taraf TDB Eror Total
db 3 10 13
JK 25,67 102,33 128,00
KT 8,56 10,23
F 0,84
P 0,504
Lampiran 9. Bobot Lahir Anak Babi Penelitian Taraf Daun bangun – bangun (%) Rataan 0 (R0) 1.25 (R1) 2.5 (R2) 3.75 (R3) ……..……………………….kg/ekor………………………… 1 1,45 1,11 1,13 1,32 1,25 2 1,17 1,31 1,02 1,20 1,17 3 1,37 1,13 1,09 1,20 4 1,31 0,95 1,12 1,16 Rataan 1,33±0,14 1,24±0,11 1,05±0,09 1,18±0,10 1,19±0,14 KK (%) 10,84 9,29 8,36 8,69 11,90
Ulangan
Lampiran 10. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Bobot Lahir Anak Babi SK Taraf TDB Eror Total
db 3 10 13
JK 0,13775 0,12342 0,26117
KT 0,04592 0,01234
F 3,72
P 0,050
Lampiran 11. Bobot Sapih Anak Babi Penelitian Taraf Daun bangun – bangun (%) Rataan 0 (R0) 1.25 (R1) 2.5 (R2) 3.75 (R3) ……..……………………….kg/ekor ………………………… 1 5,85 3,27 4,90 3,60 4,40 2 3,85 4,26 3,22 4,70 4,00 3 3,60 4,50 2,53 3,54 4 4,10 3,71 2,90 3,57 Rataan 4,43±1,23 3,88±0,53 4,08±0,76 3,43±0,95 3,93±0,87 KK (%) 27,82 13,71 18,58 8,69 27,80
Ulangan
Lampiran 12. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Bobot Sapih Anak Babi SK Taraf TDB Eror Total
db 3 10 13
JK 1,8516 8,0645 9,9160
KT 0,6172 0,8064
F 0,77
P 0,539
Lampiran 13. Pertambahan Bobot Badan Anak Babi Penelitian Taraf Daun bangun – bangun (%) Rataan 0 (R0) 1.25 (R1) 2.5 (R2) 3.75 (R3) ……..……………………….kg/ekor/hari………………………… 1 0,18 0,07 0,13 0,07 4,40 2 0,09 0,11 0,07 0,13 4,00 3 0,08 0,11 0,05 3,54 4 0,09 0,10 0,06 3,57 Rataan 0,11±0,05 0,09±0,02 0,10±0,02 0,07±0,03 0,09±0,03 KK (%) 47,21 22,22 24,39 46,37 36,13
Ulangan
Lampiran 14. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) PBBA Penelitian SK Taraf TDB Eror Total
db 3 10 13
JK 0,002926 0,012617 0,015543
KT 0,000975 0,001262
F 0,77
P 0,535