PENGARUH PEMBERIAN SILASE DAUN SINGKONG (Manihot esculenta) TERHADAP PENGGUNAAN NUTRIEN PAKAN, PRODUKSI, DAN KUALITAS SUSU KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE)
SKRIPSI NOVICHA SOFRIANI
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN Novicha Sofriani. D24063512. 2012. Pengaruh Pemberian Silase Daun Singkong (Manihot esculenta) Terhadap Penggunaan Nutrien Pakan, Produksi, dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah (PE). Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Yeni Widiawati Produk kambing merupakan produk yang unik terutama pada susu yang dihasilkan. Susu kambing banyak menghasilkan manfaat bagi kesehatan. Di Indonesia, kambing yang menghasilkan susu yang paling utama adalah kambing peranakan etawah. Susu yang dihasilkan bernilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi. Masalah utama dari peternakan kambing perah ini adalah masalah pakan, peternak umumnya tidak punya cukup modal untuk memberikan pakan yang baik, yaitu pakan dengan protein lebih dari 14%. Di sisi lain, Indonesia memliki hasil samping pertanian yang melimpah berupa daun singkong yang merupakan sumber protein, akan tetapi sifat daun singkong yang tidak dapat disimpan dalam jangka waktu lama dan mengandung zat antinutrien membatasi penggunaannya. Salah solusi permasalahan tersebut adalah dengan mengolah daun singkong menjadi silase. Potensi tersebut menjadi dasar perlunya penelitian lebih lanjut tentang manfaat silase daun singkong terhadap penggunaan nutrien pakan, produksi, dan kualitas susu pada ternak kambing perah. Penelitian ini menggunakan daun singkong (Manihot esculenta) yang berasal dari hasil samping produk tanaman singkong di desa Situ Udik Kecamatan Cibungbulang, Bogor. Daun singkong yang diperoleh kemudian disilase dengan penambahan 5% molases dengan waktu fermentasi minimal empat minggu. Perlakuan penelitian dibagi berdasarkan subtitusi silase daun singkong terhadap konsentrat. Perlakuan pada penelitian ini terdiri atas perlakuan kontrol (CLS-0) diberikan 50% rumput raja dan 50% konsentrat, perlakuan pertama (CLS-1) diberikan 50% rumput gajah, 40% konsentrat, dan 10% silase, serta perlakuan kedua (CLS-2) diberikan 50% rumput gajah, 30% konsentrat, dan 20% silase. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi nutrien dalam ransum (bahan kering, abu, protein kasar, serat kasar dan lemak), kecernaan nutrien ransum (bahan kering, abu, protein kasar, serat kasar dan lemak), produksi susu, dan kualitas susu (berat jenis, bahan kering, kadar lemak, bahan kering tanpa lemak, dan kadar protein). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata pada konsumsi bahan kering, protein, dan abu. Pada konsumsi lemak dan abu mengalami perbedaan nyata (P<0,05) konsumsi lemak dan abu tertinggi ada pada CLS-0 (kontrol), sedangkan pada konsumsi serat kasar mengalami perbedaan nyata (P<0,05) nilai tertinggi ada pada CLS-2. Hal, ini disebabkan oleh komposisi nutrien silase daun singkong yang kandungan serat kasarnya lebih tinggi dan kandungan lemak serta abu lebih rendah dibandingkan dengan konsentrat yang disubstitusi. Pada hasil kecernaan bahan kering, abu, protein, dan serat kasar perlakuan CLS-2 memiliki nilai yang lebih besar secara statistik (P<0,05) dibandingkan perlakuan kontrol (P>0,05). Kercernaan lemak dalam penelitian ini tidak mengalami perbedaan yang nyata antar perlakuan, sedangkan produksi susu dan kualitas susu juga tidak mengalami
i
perbedaan nyata namun memperlihatkan kecenderungan untuk meningkat kadarnya ketika terjadi peningkatan proporsi silase daun singkong pada perlakuan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah penggantian silase terhadap konsentrat sebanyak 40% (CLS-2) merupakan perlakuan terbaik dalam penelitian ini karena secara nyata (P>0,05) dapat meningkatkan kecernaan bahan kering, abu, protein dan serat kasar.
Kata-kata
kunci:
daun
singkong,
kecernaan,
produksi,
kualitas,
susu
ii
ABSTRACT Effect of Feeding Cassava (Manihot esculenta) Leaf Silage on Nutrients Utilization Milk Production and Milk Quality of Indonesian Ettawah Goat Sofriani, N, A. Sudarman, and Y. Widiawati Goat milk has many benefits for human health. In order to increase goat milk production and quality, good quality of feed is required continuously. Cassava leaves (CL) is potential sources of feed containing high nutrient value, but CL known as perishable material so that it is not available for the whole year. Therefore it must be preserved. The aim of this experiment is to elaborate the level of CL silage in replacing concentrate for ettawa dairy goat. Parameters measured were nutrients utilization, milk production, and milk quality. This experiment was conducted from March 2011 to January 2012 at Research Institute of Animal Production, Ciawi, Bogor. Three levels of silage were used as treatments to substitute concentrate namely CLS-0 (0% silage), CLS-1 (10% silage), and CLS-2 (20% silage). Digestibility of dry matter, crude protein, crude fiber, and ash of CLS-2 was significantly (P< 0,05) higher than those of CLS-0 and CLS-1, but fat digestibility was not significantly different. There was no significant difference between treatments in milk production and milk quality. It is concluded that CLS-2 is the best treatment to enhance nutrient utilization and hence dairy goat performance. Keywords:
ettawah,
nutrients
utilization,
milk
quality,
milk
production
PENGARUH PEMBERIAN SILASE DAUN SINGKONG (Manihot esculenta) TERHADAP PENGGUNAAN NUTRIEN PAKAN, PRODUKSI, DAN KUALITAS SUSU KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE)
NOVICHA SOFRIANI D24063512
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 7 November 1989 di Medan, Sumatera Utara. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Syofnir Ridwan Honein dan Ibu Sofia. Penulis mengawali pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Negeri Laantula Jaya, Sulawesi Tengah pada tahun 1995 dan diselesaikan pada tahun 2001 di Sekolah Dasar Negeri Filial Betung, Kalimantan Selatan. Pendidikan lanjutan pertama dimulai pada tahun 2001 dan diselesaikan pada tahun 2003 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Islam Sabilal Muhtadin, Banjarmasin. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Banjarmasin pada tahun 2003 dan diselesaikan pada tahun 2006. Penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006 dan diterima di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2007. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB tahun 2006-2008, sebagai staf departemen pertanian. Tahun 20072008, penulis aktif sebagai staf riset dan edukasi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Forum For Scientific Studies (FORCES). Tahun 2009, Penulis aktif sebagai anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Peternakan, merangkap sebagai Badan Pengawas Himpunan Mahasiswa Nutrisi Ternak (Himasiter) IPB. Tahun 2010-2011 Penulis aktif sebagai Senior Resident (SR) Asrama Putri TPB IPB dan UKM Tae Kwon Do. Selain itu, penulis juga berkesempatan lulus seleksi program kreatifitas mahasiswa pada tahun-2008-2010 dengan 3 Judul yang didanai. Pada tahun 2010 juga, penulis berkesempatan presentasi poster pada Tri-University International Joint Seminar and Symposium di Universitas Chiang Mai, Thailand dengan Judul “Usage of Cassava Leaf Silage as Potential Source of Forage to Increase Milk Production and Composition in Etawah Dairy Goat”. Penulis pernah berpengalaman sebagai asisten mata kuliah mikrobiologi nutrisi tahun 2010 dan Guru Biologi freelance pada bimbingan dan konsultasi belajar Nurul Fikri pada Maret 2011 sampai Agustus 2012.
KATA PENGANTAR Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam tidak lupa disampaikan pada Rasulullah saw yang menjadi teladan untuk menjalani hidup. Skripsi yang akan dijabarkan ini berjudul “Pengaruh Pemberian Silase Daun Singkong (Manihot esculenta) Terhadap Penggunaan Nutrien Pakan, Produksi, dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah (PE)” Kambing peranakan etawah merupakan jenis ternak yang potensial untuk dikembangkan. Jenis kambing ini merupakan ternak dwiguna, yakni mampu memproduksi daging dan susu yang bernilai gizi tinggi bagi manusia. Di Indonesia, jenis utama kambing yang dipelihara untuk menghasilkan susu adalah kambing peranakan etawah. Hasil produksi susu dari kambing peranakan etawah memiliki nilai ekonomis yang cukup potensial. Masalah utama dari peternakan kambing perah ini adalah masalah pakan, peternak umumnya mengeluarkan cukup modal untuk memberikan pakan yang baik, yaitu pakan dengan protein lebih dari 14%. Di sisi lain, Indonesia memliki hasil samping pertanian yang melimpah berupa daun singkong yang merupakan sumber protein, akan tetapi sifat daun singkong yang tidak dapat disimpan dalam jangka waktu lama dan mengandung zat antinutrien membatasi penggunaannya. Salah satu solusi permasalahan tersebut adalah dengan mengolah daun singkong menjadi silase. Potensi tersebut menjadi dasar perlunya penelitian lebih lanjut tentang manfaat silase daun singkong terhadap ternak kambing perah. Ucapan terima kasih dihaturkan kepada seluruh pihak yang telah berperan dalam menyelesaikan skripsi ini. Besar harapan penulis, skripsi ini menjadi salah satu sumbangan untuk meningkatkan keilmuan peternakan dan dapat diterapkan di masyarakat luas.
Bogor, September 2012
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ............................................................................................
i
ABSTRACT ...............................................................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................
iv
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................
v
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ...............................................................................
vii
DAFTAR ISI .............................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xii
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
Latar Belakang ............................................................................... Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
3
Potensi Daun Singkong (Manihot esculenta) Sebagai Pakan Ternak .................................................................... Potensi Daun Singkong Sebagai Suplemen Pakan ............. Antinutrisi Pada Daun Singkong ......................................... Asam Sianida (HCN) .................................................. Tanin ........................................................................... Silase ................................................................................................ Molases ............................................................................................ Kambing Peranakan Etawah ............................................................ Kebutuhan Nutrien ............................................................. Sistem Pencernaan Kambing ......................................................... Pencernaan dan Metabolisme Karbohidrat ......................... Pencernaan dan Metabollisme Protein ............................... Pencernaan dan Metabolisme Lemak ................................. Susu Kambing ................................................................................ Lemak Susu ......................................................................... Protein Susu ....................................................................... Konsumsi ....................................................................................... Kecernaan ......................................................................................
3 3 4 4 5 6 7 9 10 11 11 13 15 11 17 18 19 19
MATERI DAN METODE .........................................................................
21
Lokasi danWaktu ........................................................................... Materi ............................................................................................. Ternak Percobaan ...............................................................
21 21 21
Kandang dan Peralatan ...................................................... Pakan .................................................................................. Pengujian Komponen Susu ................................................ Prosedur ......................................................................................... Pembuatan Silase ............................................................... Penerapan Perlakuan .......................................................... Koleksi Feses ..................................................................... Prosedur Pengukuran Peubah Penelitian ........................... Konsumsi Bahan Kering ........................................... Kecernaan Bahan Kering .......................................... Produksi Susu ............................................................. Kualitas Susu ............................................................. Rancangan dan Analisis Data .......................................................... Rancangan………………………………………………… Analisis Statistik…………………………………………... Peubah yang Diamati .........................................................
21 21 22 22 22 23 23 23 23 24 24 25 26 26 27 27
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
27
Konsumsi Nutrien Pakan ................................................................. Kecernaan Nutrien Pakan ................................................................ Bahan Kering ..................................................................... Protein ........................................................................................................................... Lemak ................................................................................. Serat Kasar ......................................................................... Abu ..................................................................................... Produksi Susu ................................................................................ Kualitas Susu ................................................................................. Bahan Kering ..................................................................... Lemak ............................................................................................................................ Protein ............................................................................... Bahan Kering Tanpa Lemak (Solid Nonfat) ...................... Berat Jenis .........................................................................
28 30 30 30 32 32 33 34 35 35 35 36 36 37
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
38
Kesimpulan .................................................................................... Saran ..............................................................................................
38 38
UCAPAN TERIMAKASIH ......................................................................
39
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
40
LAMPIRAN ...............................................................................................
48
ix
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Kinerja Produksi Kambing Peranakan Etawah ......................................
9
2. Kebutuhan Nutrien Kambing...............................................................
10
3. Perbandingan Komposisi Susu Kambing, Domba, dan Sapi…. ..............
16
4. Komposisi Bahan Pakan pada Konsentrat…………………………
22
5. Bahan Pakan yang Digunakan……………………. .................................
22
6. Komposisi Nutrien pada Pakan Tiap Perlakuan………………………
22
7. Konsumsi Nutrien Pakan oleh Ternak pada Masing-masing Perlakuan………………………............................
28
8. Rataan Konsumsi Tiap Bahan Makanan pada Tiap Perlakuan…….
29
9. Kecernaan Bahan Kering dan Nutrien dari Tiap Perlakuan ....................
30
10. Rataan Produksi Susu dan Produksi Susu Terkoreksi Lemak 4% .........
34
11. Kualitas Susu Kambing Setelah Diberi Pakan Perlakuan .......................
35
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. (a) Kambing PE Betina (b) Kambing PE Jantan ..................................
9
2. Alat Pencernaan Kambing .................................................................
11
3. Proses Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Ternak Ruminansia…………………………………………………………….
12
4. Proses Metabolisme Protein di dalam Rumen Ternak Ruminansia ......................................................................................
13
5. Kurva Laktasi Kambing Menurut Fungsi Wilmink................................
16
6. Proses Pembentukan Komponen Susu ..................................................
17
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Konsumsi Bahan Kering………………………………………....
49
2. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Konsumsi Protein………………………………………………..
50
3. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Konsumsi Lemak ...........................................................................
51
4. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Konsumsi Serat Kasar……………………………………………
52
5. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Konsumsi Abu……………………………………………………
53
6. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Kecernaan Bahan Kering………………………………………...
54
7. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Kecernaan Protein….
55
8. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Kecernaan Lemak .......
56
9. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Kecernaan Serat Kasar ..................................................................
57
10. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Kecernaan Abu .............
58
11. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Bahan Kering Susu .......
59
12. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Lemak Susu ..................
60
13. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Protein Susu ..................
61
14. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Bahan Kering Tanpa Lemak……………………………………………...
62
15. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Berat Jenis.. .................... .
63
16. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Produksi Susu. ............... .
64
17. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Produksi Susu Terkoreksi Lemak 4%……………………………………………...
65
PENDAHULUAN Latar Belakang Kambing merupakan ruminansia kecil yang dapat dimanfaatkan untuk memproduksi daging, susu, bulu, dan kulit di berbagai belahan dunia. Habitat kambing bervariasi mulai dari iklim subtropis sampai iklim kering sehingga penyebaran bangsa kambing merata di seluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh kemampuan kambing untuk beradaptasi di lingkungan ekstrim dibandingkan dengan ternak lain, salah satunya adalah mampu mengubah pakan rendah nutrien menjadi sumber protein yang bernilai (Silanikove, 2000). Produk kambing merupakan produk yang unik, terutama pada susu yang dihasilkan oleh kambing. Susu kambing telah dikenal oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia sebagai salah satu sumber protein hewani yang memiliki banyak manfaat. Komponen susu kambing yang rendah laktosa membuat susu kambing dapat dikonsumsi sebagai pengganti susu sapi oleh penderita laktosa intoleran. Menurut penelitian Barrionuevo et al. (2002) susu kambing juga mampu mengatasi gangguan penyerapan zat besi dan kromium dibandingkan susu sapi dan domba pada tikus percobaan sehingga menghindarkan terjadinya anemia. Keunikan dari susu kambing tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan akan penyediaan susu kambing di masyarakat. Di Indonesia, susu kambing umumnya dihasilkan oleh kambing peranakan etawah yang merupakan hasil kawin silang antara kambing etawah dari India dengan kambing kacang asli Indonesia. Kambing peranakan etawah juga dianggap sebagai penghasil daging yang baik sehingga peternak yang memelihara kambing jenis ini bisa mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Susu kambing yang dihasilkan oleh kambing peranakan etawah ini memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi, harga susu kambing saat ini berkisar antara Rp 20.000-Rp 100.000 per liter. Umumnya permasalahan yang terjadi pada pemeliharaan kambing adalah masalah rendahnya kualitas nutrien pakan yang diberikan oleh peternak terutama pada kandungan protein dalam ransum. Pemberian pakan yang seadanya disebabkan pakan berkualitas baik dengan protein >14 % harganya relatif mahal. Sehingga peternak tidak mampu mengeluarkan dana
untuk pembelian pakan berkualitas baik. Hal ini membutuhkan alternatif solusi guna mengatasi permasalahan tersebut. Singkong adalah salah satu tanaman yang hampir tumbuh di seluruh wilayah Indonesia. Tanaman singkong merupakan tanaman produktif yang umbinya dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat, sedangkan daun singkong dikenal sebagai sumber makanan bagi manusia dan ternak tegantung pada varietasnya. Pada pakan ternak, daun singkong digunakan sebagai sumber protein potensial dan tersedia di berbagai daerah Indonesia. Pemberian daun singkong tersebut memiliki keterbatasan karena kandungan antinutrien pada daun singkong berupa HCN dan tanin. HCN memiliki efek racun pada ternak jika diberikan melebihi batas toleransi. Hal ini membutuhkan pengolahan lebih lanjut agar daun singkong dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pakan ternak. Salah satu pengolahan yang dapat menurunkan kadar HCN dan tanin pada daun singkong adalah melalui proses ensilase. Berdasarkan penelitian Man dan Wiktorson (2002) silase daun singkong akan mengalami penurunan HCN 68% dan tanin 25% setelah disimpan selama 2 bulan. Keuntungan lain dari proses ini adalah daun singkong menjadi awet dan tersedia sepanjang tahun serta meningkatkan kecernaan pakan pada ternak. Besarnya potensi daun singkong ini bisa menjadi alternatif solusi permasalahan pakan yang terjadi di peternak. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai dampak daun singkong pada ternak kambing, terutama pada jenis kambing perah yang permintaan produknya meningkat saat ini. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mengukur dan menganalisis pengaruh pemberian silase daun singkong untuk mensubstitusi konsentrat terhadap penggunaan nutrien pakan, produksi susu dan kualitas susu. Adapun manfaat dari penelitian ini, yaitu memberikan informasi kepada masyarakat dan akademisi tentang sumber pakan yang kaya nutrien dan tersedia sepanjang waktu bagi masyarakat berupa silase daun singkong.
2
TINJAUAN PUSTAKA Potensi Daun Singkong Sebagai Pakan Ternak Singkong memiliki nama latin yang diterima secara internasional, yaitu Manihot esculenta dengan sinonim yang biasa dikenal sebagai Manihot utilissima (ITIS, 2012). Singkong merupakan tanaman pertanian yang sangat produktif. Pada tahun 2009, produksi singkong mencapai 22 juta ton (Departemen Pertanian, 2010). Singkong terdiri atas 45% bagian umbi, 35% bagian batang, dan 20% bagian daun. Singkong dimanfaatkan sebagai pangan sumber karbohidrat oleh manusia dan industri yang menghasilkan pati. Singkong dikenal sebagai tanaman yang merusak kesuburan tanah karena kemampuannya untuk memanfaatkan unsur hara tanah secara besar-besaran. Namun, ketika singkong tumbuh di lingkungan pertanian yang terintegrasi dengan peternakan, singkong dapat memanfaatkan sumber nutrien dari kotoran ternak menjadi unsur hara yang bernilai (Preston, 2002). Daun singkong merupakan sumber hijauan yang potensial untuk ternak. Daun singkong bisa dimanfaatkan melalui defoliasi sitematis setelah umbi singkong dipanen (Fasae et al., 2006). Daun singkong memiliki nilai nutrien yang tinggi untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Kemudian, biaya produksi daun singkong tergolong murah, dan daun singkong yang diproduksi tidak termanfaatkan serta tidak berkompetisi dengan umbinya yang merupakan produk komersial utama dari tanaman singkong (Wanapat et al., 2000). Namun, hal yang menjadi pembatas penggunaannya adalah adanya komponen antinutrisi dan substansi toksik bagi ternak yang berupa HCN. Substansi tersebut mengganggu kecernaan dan konsumsi nutrien, dan bersifat racun untuk pemberian yang melebihi jumlah yang ditoleransi. Daun Singkong Sebagai Suplemen Pakan Daun singkong memiliki kandungan protein yang tinggi, yaitu sebesar >20% (AFRIS, 2007) dan untuk daun singkong muda (Pucuk) mengandung protein sebesar 21-24% (Sokerya dan Preston, 2003), dan sejak tahun 1970 daun singkong telah dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Eggum, 1970). Daun singkong juga dilaporkan menjadi sumber mineral Ca,Mg, Fe, Mn, Zn, vitamin A, dan B2 (riboflavin) yang baik (Ravindran, 1992).
Komponen protein akan menurun berdasarkan umur panen singkong, semakin tua persentase protein pada daun singkong akan semakin kecil. Hal sebaliknya terjadi pada persentase komponen serat (Fasae et al., 2009). Komponen nutrien yang paling baik terjadi pada saat tanaman singkong berumur 4 bulan, persentase protein mencapai puncaknya, interval defoliasi tiap 2 bulan sekali akan menambah persentase protein dan meningkatkan rasio protein dan energi (Wanapat, 2008). Namun, terlalu sering didefoliasi akan meningkatkan kadar HCN pada daun singkong (Fasae et al., 2009) Antinutrisi Pada Daun Singkong Asam Sianida (HCN). Kandungan Asam sianida (HCN) dalam daun singkong merupakan salah satu senyawa pembatas dalam penggunaan daun singkong sebagai pakan ternak. Interval jumlah kandungan HCN pada daun singkong umumnya berkisar antara 20 sampai 80 mg per 100 g berat segar daun singkong, atau dari 800 sampai 3.200 mg/kg bahan kering (BK). Komposisi HCN pada daun singkong lebih tinggi dibandingkan dengan umbi singkong (Ravindran, 1992). Varietas dan tingkat kematangan adalah faktor utama penyebab variasi dari komposisi sianida (CN) dari daun singkong (Chhay et al., 2001). Konsumsi HCN tidak bermasalah bagi ternak ruminansia sampai batas 100 ppm (Tewe, 1994). HCN dapat didetoksifikasi oleh mikroorganisme di dalam rumen (Preston, 1995). Pada ruminansia kecil, pakan yang kaya akan sulfur merupakan komponen vital untuk detoksifikasi CN menjadi tiosianat, yang dikenal juga dengan sulfosianat, tiosianat, dan rhodanit (Onwuka et al. 1992). Tiosianat, yang merupakan anion SCN- dibentuk di rumen, kemudian dibawa oleh serum darah dan hilang perlahan melalui urin. Oleh sebab itu, persentase unsur S di dalam pakan kambing dan domba harus mencapai minimal 0.5% sehingga detoksifikasi CN dapat berjalan optimal (Onwuka et al. 1992). Selain itu, kadar HCN pada daun singkong dapat diturunkan melalui proses pengolahan pakan dengan dilayukan di bawah sinar matahari (Gomez et al., 1984), diolah menjadi hay, dan silase (Man dan Wiktorsson, 1999). Tanin. Pada daun singkong terdapat bahan aktif berupa tanin terkondensasi atau dikenal juga dengan proantisianidin. Tanin memiliki manfaat dan kerugian bergantung pada konsentrasi dan jenisnya. Faktor lain yang mempengaruhi manfaat
4
dan kerugian tanin pada ternak seperti spesies ternak, kondisi fisiologis ternak dan komposisi pakan yang diberikan (Makkar, 2003). Senyawa ini larut dalam air dan mampu mengendapkan protein. Adanya tanin dan protein akan menghasilkan ikatan kompleks tanin-protein oleh ikatan hidrogen dalam kondisi pH basa. Kambing dapat mengkonsumsi tanin terhidrolisasi sebanyak 10 g per hari dan tanin terkondensasi sebanyak100-150 g per g per hari tanpa adanya tanda-tanda keracunan (Silanikove et al., 1996). Kemampuan tanin untuk membentuk kompleks dengan protein berpengaruh negatif terhadap fermentasi rumen dalam nutrisi ternak ruminansia. Tanin dapat berikatan dengan dinding sel mikroorganisme rumen dan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme atau aktivitas enzim (Smith et al., 2005). Tanin juga dapat berinteraksi dengan protein yang berasal dari pakan dan menurunkan ketersediaannya bagi mikroorganisme rumen (Tanner et al., 1994). Keberadaan tanin di sisi lain berdampak positif jika ditambahkan pada pakan yang tinggi akan protein baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini disebabkan protein yang berkualitas tinggi dapat terlindungi oleh tanin dari degradasi mikroorganisme rumen sehingga lebih tersedia pada saluran pencernaan pasca rumen. Kompleks ikatan tanin-protein kemudian dapat lepas pada pH rendah di abomasum dan protein dapat didegradasi oleh enzim pepsin sehingga asam-asam amino yang dikandungnya tersedia bagi ternak. Hal ini menjadikan tanin sebagai salah satu senyawa untuk memanipulasi tingkat degradasi protein dalam rumen. Tanin terkondensasi dalam saluran pencernaan ruminansia bermanfaat untuk meningkatkan daur ulang N di rumen dan saliva (Reed, 1995). Adanya daur ulang tersebut meningkatkan sintesis protein mikrobial di dalam rumen (Makkar, 2000). Silase Ensilase merupakan teknik penting dalam pengawetan bahan makanan ternak menjadi hasil akhir yang dikenal dengan silase yang
menghasilkan kehilangan
nutrien dalam jumlah kecil (Adesogan, 2006). Proses ensilase juga dapat menurunkan persentase HCN pada hijauan sebanyak 72,7%. Proses pengawetan bahan makanan ternak melalui ensilase adalah berdasarkan prinsip proses fermentasi dengan memanfaatkan keberadaan bakteri asam laktat yang mengubah karbohidrat
5
larut air (water soluble carbohydrates) menjadi produk utama asam laktat dalam kondisi anaerob. Pada kondisi tersebut, asam laktat yang dihasilkan akan mengakibatkan kondisi asam pada lingkungan anaerob (Adesogan et al., 2007). Kondisi asam dengan pH <4 dan kondisi anaerob tersebut mengakibatkan silase dapat disimpan dalam jangka waktu lama tanpa terjadinya proses pembusukan (Masuko, 1994). Untuk menghasilkan kualitas silase yang baik, dibutuhkan kisaran kadar air antara 60-80%. Pada penelitian yang dilakukan Ohmomo et al. (2002) menunjukkan bahwa pada kadar air 60% dihasilkan 7,8% asam laktat dan 0,1% asam butirat, sedangkan pada kadar air 80% dihasilkan 4,7% asam laktat dan 1,8 % asam butirat. Guna menghindari kebusukan akibat kadar air bahan tinggi, dilakukan pelayuan agar kadar air bahan menurun. Namun pelayuan yang terlalu lama akan menurunkan kualitas nutrien hijauan yang ditandai dengan tingginya respirasi tanaman dan tumbuhnya bakteri aerob (Ohmomo et al., 2002). Pada proses ensilase, kepadatan lingkungan silo (wadah pembuatan silase) mempengaruhi kualitas silase yang dibuat. Silo yang tidak terisi penuh akan menyebabkan terciptanya lingkungan asam yang lebih lama bahkan ketika silo ditutup rapat dalam jangka waktu singkat. Akibatnya, nilai nutrien dari material yang diproses menjadi silase akan menurun karena adanya aktivitas bakteri aerob dan respirasi hijauan. Oleh karena itu, kondisi silo yang rapat dan padat dibutuhkan untuk mempercepat terjadinya lingkungan asam pada silo dan meningkatkan proses fermentasi oleh bakteri asam laktat (Ohmomo et al., 2002). Bakteri asam laktat homo-fermentatif Lactobacillus plantarum seperti adalah bakteri utama penghasil kualitas silase yang baik. Selain itu, keberadaan Lactococci pada produk silase juga memberikan dampak positif pada pembentukan lingkungan asam di fase awal pembentukan silase. Guna meningkatkan kualitas silase, banyak penelitian yang mempelajari penambahan bahan aditif biologis, kimiawi, dan jenis bahan lainnya (Adesogan et al., 2007). Keberadaan bakteri asam laktat pada silase memiliki potensi untuk meningkatkan kesehatan pencernaan pada ternak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Tahara (1992) pemberian bakteri asam laktat dapat berfungsi sebagai probiotik untuk mengatasi diare yang terjadi pada pedet sapi pedaging. Probiotik
6
merupakan suplementasi mikroba hidup yang dapat memberikan keuntungan pada inang dengan meningkatkan keseimbangan mikrobial, dan beberapa jenis bakteri asam laktat dapat bertindak sebagai bakteri probiotik, seperti Lactobacillus acidophilus. Oleh karena itu, bakteri asam laktat pada silase dapat berfungsi sebagai probiotik yang dapat mengatasi terjadinya diare pada ternak. Molases Molases adalah salah satu bahan baku pakan hasil samping agroindustri tebu yang mengandung energi cukup tinggi. Molases merupakan bahan baku pakan yang cukup potensial untuk diberikan kepada ternak. Molases biasa digunakan tidak melebihi 10-15% dalam ransum karena penggunaan di atas persentase tersebut dapat meningkatkan harga ransum, mengurangi aktivitas mikroba dan ransum menjadi sulit ditangani karena menjadi lembek (Perry et al., 2003). Pada proses pembuatan silase, molases umumnya digunakan sebagai bahan starter silase. Molases digunakan karena dapat menstimulasi fermentasi silase dan menurunkan pH silase. Penambahan molases pada silase dapat meningkatkan populasi bakteri asam laktat, meningkatkan kualitas silase dan menghindari hilangnya bahan kering pada silase (Mcdonald et aI., 2002). Selain itu, molases mengandung gula yang digunakan mikroorganisme sebagai sumber makanan dan meningkatkan aktivitas dari bakteri fermentasi mikroba (McDonald et al., 2002). Handerson (1993) menyatakan bahwa penggunaan molasses 4 sampai 5% sebagai bahan aditif silase dapat meningkatkan nilai nutrien dari silase daun singkong. Penelitian Amaliah (2010) yang menguji penambahan berbagai macam bahan aditif, yaitu tepung tapioka, molasses, dan dedak pada silase daun singkong dengan persentase masing-masing 5-10% menunjukkan bahwa penambahan molasses 5% pada silase daun singkong menunjukkan nilai score atas kualitas fisik dan kecernaan in vitro paling tinggi. Perolehan rata-rata pH pada silase dengan penambahan 5% molasses, yaitu sebesar 4,0. Macaulay (2004) menyatakan bahwa, kualitas silase yang baik memiliki pH di bawah 4.2, maka berdasarkan hasil penelitian Amalia (2010) silase daun singkong dengan penambahan molasses 5% menghasilkan kualitas silase yang baik. Moran (2005) menyatakan bahwa semakin rendah pH
7
silase maka aktivias bakteri pembusuk akan semakin kecil sehingga daya simpan silase semakin lama. Hasil uji kecernaan in vitro dalam penelitian Amalia (2010) menunjukkan bahwa silase daun singkong dengan penambahan molasses 5% memiliki konsentrasi VFA sebesar 161,71 mM. Percobaan kecernaan bahan organik dan kecernaan bahan kering masing-masing menunjukkan hasil 54,20% dan 57,17%. Hasil ini menunjukkan bahwa, dari segi kecernaan in vitro silase daun singkong memiliki kecernaan yang baik. Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing Etawah merupakan kambing yang mempunyai dwi fungsi, yaitu sebagai kambing perah penghasil susu dan kambing pedaging (Sodiq dan Abidin, 2002). Pada umumnya, kambing etawah di Indonesia disilangkan dengan kambing kacang (lokal) menghasilkan peranakan Etawah. Kambing Etawah memiliki produksi susu yang tinggi, yakni bisa mencapai 235 kg per masa laktasi (261 hari) dan mampu memproduksi 3,8 kg per hari pada masa puncak laktasi. Keunggulan lain dari kambing Etawah adalah laju pertumbuhan yang baik serta didukung dengan daya adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim. Kambing peranakan Etawah mempunyai ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan kambing kacang dan memiliki kemampuan yang lebih baik terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan (Prasetyo, 1992). Jumlah anak per kelahiran dapat mencapai tiga ekor. Hal ini menambah keunggulan kambing Etawah sebagai hewan ternak yang menguntungkan. Kinerja produksi kambing peranakan etawah ditunjukkan pada Tabel 1.
8
Tabel 1. Kinerja Produksi Kambing Peranakan Etawah Parameter
Kisaran
1. Berat Badan dewasa (kg)
Jantan
45-80
Betina
30-50
2. Jumlah anak sekelahiran (ekor)
1-3
3. Berat lahir (kg)
Kelahiran tunggal
3-5
Kelahiran kembar
3-3,5
Jantan
3-5
Betina
2-4,5
4. Masa Laktasi (hari)
90-265
5. Produksi susu harian (liter)
1,5-3,7
Sumber : Mulyono dan Sarwono, 2004
Kambing peranakan Etawah memiliki katrakteristik tubuh yang besar dengan bobot badan kambing jantan dapat mencapai 90 kg dan betina 50 kg. Ciri-ciri spesifik kambing peranakan etawah antara lain memiliki hidung yang lebih besar dibanding jenis kambing kacang, kambing jantan mempunyai rambut yang tebal dan agak panjang di bawah leher dan pundak, sedangkan rambut pada kambing betina agak panjang terdapat di bagian bawah ekor ke arah garis kaki. Rambut menutupi seluruh tubuh, rambut pada bagian dagu dan bagian belakang lebih halus dan panjang. Warna rambut pada kambing peranakan Etawah lebih cenderung kombinasi dua atau tiga pola warna, sedangkan warna rambut tunggal pada kambing peranakan Etawah sangat jarang ditemukan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
(a)
(b)
Gambar 1. (a) Kambing PE Betina (b) Kambing PE Jantan Sumber: Kambing Online, 2010
9
Kebutuhan Nutrien Guna memperoleh target produksi baik susu ataupun daging, kebutuhan nutrien kambing yang dipelihara haruslah terpenuhi dengan baik. Pada kambing, konsumsi energi sangat menentukan komposisi susu (Sampelayo et al., 1998) dan volume susu. Walaupun kambing merupakan jenis ternak yang tahan dalam kondisi ekstrim, namun untuk optimasi produksi dan komposisi susu yang baik, maka dibutuhkan asupan pakan yang memenuhi kebutuhan nutrien dari kambing tersebut. Kebutuhan nutrien kambing dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kebutuhan Nutrien Kambing Bobot badan Bahan Kering (lb) (lb/ekor) Kebutuhan Hidup Pokok 22 0,63
% Bobot Badan
Protein Kasar
TDN
2,80
0,05
0,35
45
1,08
2,40
0,08
0,59
67
1,46
2,20
0,11
0,80
90
1,81
2,03
0,14
0,99
112
2,13
1,90
0,17
1,17
134
2,44
1,82
0,19
134
157
2,76
1,80
0,21
1,5
Kebutuhan Tambahan Untuk Produksi Susu Per Pound Dilihat Dari Persentase Lemak (%) Lemak Susu Bahan Kering % Protein Kasar TDN (%) (lb/ekor) Bobot Badan (lb) (lb) 3 0,13 0,73 3 0,14 0,74 4 0,15 0,75 4 0,16 0,76 5 0,17 0,77 5 0,18 0,78 (Sumber : NRC, 1981)
Sistem Pencernaan Kambing Kambing merupakan jenis hewan ruminansia yang memiliki empat bagian perut seperti sapi, domba, dan rusa. Bagian-bagian perut tersebut adalah rumen, retikulum, omasum, dan abomasum (disebut juga sebagai perut sejati). Pada hewan ruminansia seperti kambing, pakan yang dikonsumsi akan mengalami pencernaan
10
mikrobial yang terjadi pada retikulum dan rumen (disebut juga retikulorumen). Adanya pencernaan mikrobial menyebabkan hewan ruminansia dapat mencerna pakan tinggi serat. Setelah melalui rumen pakan kemudian dicerna di abomasum dengan asam (HCl) dan enzim-enzim pencernaan. Hasil pencernaan tersebut akan diserap di usus halus. Pada Gambar 2 ditunjukkan alat pencernaan yang ada pada kambing (Hart, 2008).
Gambar 2. Alat Pencernaan Kambing Sumber : Hart (2008)
Pencernaan dan Metabolisme Karbohidrat Rumen merupakan bagian terbesar dari perut ruminansia, termasuk kambing. Rumen berfungsi sebagai tempat fermentasi pakan yang dikonsumsi ternak karena di dalamnya terdapat berbagai jenis populasi mikroba, antara lain, bakteri, fungi, yeast, dan protozoa. Sumber energi utama bagi ternak ruminansia merupakan produk akhir dari fermentasi karbohidrat di dalam rumen yang dikenal dengan volatile fatty acid (VFA) (Cheeke, 2005).
11
Selulosa
Selobiosa
Pati Maltosa
Isomaltosa
Glukosa Glukosa-1-fosfat
Glukosa-6-fosfat Sukrosa
Asam Uronat
Pektin
Pentosa
Hemiselulosa
Fruktosa-6-fosfat
Fruktosa
Fruktan
Fruktosa-1,6-difosfat
Pentosa
Asam Piruvat
Format CO2
H2
Malonil Co A
Asetil Co A
Laktat
Oksaloasetat
Asetoasetil Co A
Laktil Co A
Malat
Akrilil Co A
Fumarat
Metilmalonil Co A
Metan Asetil fosfat
β-Hidroksibutiril CoA Krotonil Co A
Propionil Co A
Suksinat
Suksinil Co A
Butiril Co A Asetat
Butirat
Propionat
Gambar 3. Proses Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Ternak Ruminansia Sumber: McDonald et al. (2002).
Proses metabolisme karbohidrat pada ruminansia dijelaskan oleh McDonald et al. (2002) seperti tertera pada Gambar 3. Sekitar 75% dari total VFA yang diproduksi akan diserap langsung di retikulo-rumen termasuk ke darah, sekitar 20% diserap di abomasum dan omasum, dan sisanya sekitar 5% diserap usus halus. Parakkasi (1999) menambahkan bahwa sebagian besar VFA diserap langsung melalui dinding rumen, hanya sedikit asetat, beberapa propionat dan sebagian besar butirat termetabolisme dalam dinding rumen.
12
Pencernaan dan Metabolisme Protein Protein pakan di dalam rumen dipecah oleh mikroba menjadi peptida dan asam amino, beberapa asam amino dipecah lebih lanjut menjadi amonia. Amonia diproduksi bersama peptida dan asam amino yang akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba (McDonald et al., 2002). Proses metabolisme protein pada ruminansia dijelaskan oleh McDonald et al. (2002) seperti tertera pada Gambar 4. Pakan Protein
Sulit Didegradasi
Kelenjar Saliva
Non-protein N
Mudah Didegradasi
Non-protein N
Peptida
Asam Amino
Amonia
Protein Mikroba
Dirombak di hati Urea NH3
Ginjal
Dicerna di usus Diekskresikan (urin)
Gambar 4. Proses Metabolisme Protein di dalam Rumen Ternak Ruminansia Sumber: McDonald et al. (2002)
Produksi NH3 berasal dari protein yang didegradasi oleh enzim proteolitik di dalam rumen, protein dihidrolisis pertama kali oleh mikroba rumen. Tingkat hidrolisis protein tergantung dari daya larutnya yang berkaitan dengan kenaikan kadar NH3 (Arora, 1989). Haaland et al. (1982) menyatakan bahwa semakin tinggi kandungan protein ransum maka produksi amonia akan semakin meningkat sebagai akibat aktivitas proteolitik meningkat. Kadar amonia dalam rumen merupakan petunjuk antara proses degradasi dan proses sintesis protein oleh mikroba rumen. 13
Jika pakan defisien akan protein atau proteinnya tahan degradasi maka konsentrasi amonia dalam rumen akan rendah dan pertumbuhan mikroba rumen akan lambat yang menyebabkan turunnya kecernaan pakan (McDonald et al., 2002). Pencernaan protein di usus halus menghasilkan asam-asam amino yang selanjutnya diserap oleh darah kemudian dibawa ke hati. Asam-asam amino yang berasal dari hati disalurkan ke jaringan tubuh lainnya termasuk kelenjar susu untuk membentuk protein jaringan dan protein susu. Menurut Sniffen dan Robinson (1987), sumbangan protein mikroba rumen terhadap kebutuhan asam-asam amino ternak ruminansia mencapai 40-80%. Sisa-sisa pencernaan protein berupa protein dan asamasam amino bahan makanan yang tidak tercerna dan terabsorbsi akan dikeluarkan dari tubuh melalui feses. Pencernaan dan Metabolisme Lemak Pencernaan dan pemanfaatan lemak oleh hewan ruminansia ditentukan oleh proses yang berlangsung di dalam rumen sebelum diserap di usus halus. Selama berada di dalam rumen, lemak pakan ditransformasi sehingga lemak yang meninggalkan rumen berbeda komposisi dan jumlahnya dibandingkan dengan lemak yang dikonsumsi. Terlebih lagi, lemak memiliki dampak negatif pada aktivitas rumen, terutama pada aktivitas degradasi karbohidrat (Doreau dan Ferlay, 1995). Lemak pakan secara ekstensif dihirolisis di dalam rumen oleh enzim mikrobial yang berasal dari berbagai spesies bakteri (spesies yang paling dikenal adalah Anaerovibrio lipolytica) dan protozoa (Harfoot dan
Hazlewood, 1988).
Enzim-enzim yang dihasilkan antara lain, lipase, galaktosidase, dan fosfolipase, adanya aktivitas enzim tersebut menstimulasi terbentuknya asam lemak bebas tanpa komponen perantara seperti mono- dan diasilgliserol. Proses lipolisis ini terjadi sangat cepat baik dalam in vitro maupun in vivo (Demeyer dan Van Nevel, 1995). Adapun faktor-faktor yang menghambat terjadinya lipolisis antara lain antibiotik dan pH rendah (Van Nevel dan Demeyer, 1995). Hidrogenasi terjadi dengan adanya asam lemak bebas. Tahap pertama terjadi isomerisasi, kemudian enzim hidrogenase mereduksi asam lemak berdasarkan jalur yang dijelaskan oleh Harfoot
dan
Hazlewood (1988). Produk akhir dari hidrogenasi asam lemak C18 adalah asam stearat. Akan tetapi ketika terdapat sejumlah besar asam linoleat, proses hidrogenasi umumnya berhenti sebelum mencapai tahap akhir membentuk isomer cis- dan trans14
dari asam lemak monoenoat (Harfoot et al., 1973). Hidrogenasi umumnya berlangsung lebih lambat dibandingkan lipolisis. Bakteri menginkorporasi dan mensintesis berbagai jenis asam lemak, karakteristik utamanya adalah asam lemak yang kebanyakan tersusun oleh 15 dan 17 atom C. Sintesis asam lemak terutama berasal dari VFA, sedangkan asam lemak bercabang berasal dari isobutirat dan isovalerat (Demeyer dan Hooze, 1984). Susu Kambing Kambing merupakan ternak yang dimanfaatkan untuk produksi daging dan susu di berbagai belahan dunia. Produk dari kambing telah menjadi diskusi dan bahan penelitian oleh ilmuwan di berbagai belahan dunia (Haenlein, 2001). Produk susu dari kambing diminati oleh penduduk dunia dari segi tekstur dan nilai gizi, terutama untuk produk yoghurt dan keju. Hal ini menimbulkan peningkatan permintaan atas produk susu kambing. Selain itu, susu kambing disarankan oleh sebagian besar dokter bagi orang yang menderita alergi susu sapi dan gangguan pencernaan lainnya (Haenlein, 2001). Berdasarkan penelitian Barrionuevo et al. (2002) mengenai pengaruh susu kambing pada tikus percobaan yang mengalami malabsorbsi zat besi dan tembaga, menunjukkan bahwa dibandingkan susu sapi, susu kambing dapat membantu masalah malabsorbsi kedua mineral tersebut, hal ini mecegah terjadinya anemia pada hewan percobaan tersebut. Pada penelitian Alferez et al. (2001), menunjukkan bahwa penggunaan lemak dan peningkatan bobot badan meningkat pada tikus yang mengonsumsi susu kambing dibandingkan dengan tikus yang mengonsumsi susu sapi. Pada penelitian tersebut juga didapatkan penurunan jumlah kolesterol dan fraksi (low density lipoprotein) LDL, namun jumlah trigliserida, SGOT (serum glutamic oxaloacetic transaminase), dan SGPT cenderung normal. SGOT dan SGPT merupakan enzim penanda yang digunakan untuk mengukur kerusakan fungsi hati, jika kadarnya tinggi menandakan terjadinya gangguan fungsi hati. Reaksi-reaksi tersebut terjadi karena senyawa bioaktif dan komponen yang ada di dalam susu kambing. Tabel 3 menunjukan perbandingan susu kambing, domba, sapi, dan manusia.
15
Taabel 3. Perbaandingan Kom mposisi Susuu Kambing, Domba, dan Sapi D Domba
Kambing
Sapi
S Solid (%)
17,0
13,0
12,5
l lemak (%)
6,5
3,5
3,5
L Laktosa (%)
4,8
4,6
4,7
P Protein (%)
5,5
3,5
3,2
C Casein (%)
4,5
2,8
2,6
M Mineral Totaal (%)
0 0,92
8,0
0,72
K Kalori (kkal//l)
1 1050
650
700
C (mg/l) Ca
193
134
119
Kom mposisi
Suumber : Pulinaa dan Nudda (2002) (
Kompponen susu,, yaitu lemaak, protein, dan laktosaa (gula susu yang terdirri atas gllukosa dan galaktosa) g d disintesis paada kelenjarr susu dengaan prekursoor yang dipeeroleh daari sirkulasii peripherall (Bequette et al., 199 98). Mekaniisme tersebut menghassilkan poola produkssi susu sepaanjang laktasi yang ditaandai oleh fase f naik sam mpai maksiimum (ppuncak) dann kemudiann menurun sampai berrakhirnya masa m laktassi. Contoh kurva k laaktasi standaar pada prodduksi susu kambing k ad dalah sepertii Gambar 5..
Gambar 5.. Kurva Lakttasi Kambing g Menurut Fuungsi Wilminnk Sumber: Macciotta et e al. (2008)
Pada puncak lakttasi, tingkatt sintesis ko omponen susu menjadi lebih tinggii, jika tiddak diimbaangi dengann manajemeen pakan yaang baik, akan a menim mbulkan maasalah m metabolisme pada ternaak (Beqqueette et al., 1998). 1 Tinggginya prodduksi susu harus diidukung denngan pembeentukan dann koordinassi dari setiapp proses sinntesis komp ponen
16
susu merupakan interaksi yang padu antara nutrien, hormon, dan jaringan lain, sehingga setiap jaringan di dalam tubuh mendapat asupan nutrien yang seimbang. Pola adaptasi tersebut merupakan hasil dari kecukupan kuantitas pakan dan keseimbangan nutrien untuk sintesis susu (Bauman, 2000). Secara umum, sintesis komponen susu dapat dilihat pada Gambar 6.
Keterangan. LPL : Lipoprotein. VLDL : very low density lipoprotein. β-HB : β-Hidroksi butirat. TGS :Trigliserida. FAS : fatty acid synthetase. ∆9 : ∆9 desaturase. ACC : Acetyl Co-A Carboxylase. TAG : Triacylgliserides.
Gambar 6. Proses Pembentukan Komponen Susu Sumber : Lock et al. (2004)
Lemak Susu Lemak susu (lipid) merupakan salah satu faktor yang menentukan harga susu, jumlah nutrien yang harus diberikan dan karakteristik fisik dan sensori dari susu yang diproduksi. Triasil gliserol merupakan bagian terbesar dari bahan penyusun lemak susu (98%), komponen lainnya yaitu terdiri atas monoasilgliserida, fosfolipid, kolesterol, asam lemak nonesterifikasi (Haenlein dan Wendorf, 2006). Komponen lemak umumnya mudah mengalami perubahan dengan adanya persentase perubahan pemberian hijauan (Abijaoudé et al., 2000) Lipid dalam susu berbentuk globula, pada susu kambing dan domba ukuran globula tersebut <3.5µm. Pada penelitian yang dilakukan oleh Mens (1985) menunjukkan bahwa 65% ukuran globula susu kambing <3,5 µm. Karakteristik
17
lemak susu ini memiliki manfaat dari segi pencernaan dan lebih efisien dalam hal metabolism lipid dibandingkan dengan lemak susu sapi (Park, 2007). Namun, dari segi mekanisme sekresi globula lemak tidak ditemukan perbedaan antara sapi, domba, dan kambing. Komposisi lemak susu pada umunya tinggi beberapa saat setelah melahirkan dan menurun selama laktasi (Sauvant et al., 1991). Hal ini berkaitan dengan dua fenomena, yaitu efek pengenceran ketika volume susu meningkat sampai puncak laktasi, dan penurunan mobilisasi lemak menurunkan ketersediaan plasma nonesterified fatty acid (NEFA) terutama C18:0 dan C18:1, yang digunakan untuk sintesis lipid kelenjar susu. Ketersediaan NEFA juga dipengaruhi oleh keseimbangan energi pada tubuh ternak. Status nutrisi dari hewan laktasi dapat diperkirakan melalui keseimbangan energi pada ternak tersebut. Keseimbangan energi sangat bervariasi bergantung pada potensi genetik dan fase laktasi, serta kualitas dan komposisi nutrien pakan. Ketika keseimbangan energi negatif, tubuh hewan akan memobilisasi lipid yang disimpan pada jaringan adipose, dengan produk utamanya adalah NEFA. Jaringan adiposa pada ruminansia sangat kaya akan palmitat, stearat, dan asam oleat (Bas et al., 1987). Protein Susu Protein susu merupakan 95% bagian dari total nitrogen pada susu. Umumnya, persentase jumlah dari protein susu ditentukan oleh tingkatan laktasi, komposisi pakan, dan jenis hewan, keturunan, musim, dan kesehatan ambing. Protein susu tersusun atas kasein, whey, serum albumin, dan imunoglubulin.. Komposisi kasein berkisar dari 76% sampai 86% dari total protein susu, persentase tersebut umumnya tidak ditentukan oleh tingkatan laktasi dan komposisi pakan (Coulon et al.,1998). Albumin dan immunoglobulin disintesis pada sel epithelial kelenjar susu dengan asam amino sebagai prekursor utamanya. Penggunaan asam amino oleh kelenjar susu terjadi akibat adanya pengambilan asam amino dari sirkulasi peripheral oleh sel sekretori, dan kemudian terjadi sintesis protein intraselular di dalam reticulum endoplasma. Sintesis protein susu mutlak membutuhkan keberadaan ATP (sebagai hasil proses oksidasi asetat), asam amino, dan glukosa (Erasmus et al., 2001).
18
Konsumsi Pakan Konsumsi adalah jumlah makanan yang terkonsumsi oleh hewan bila diberikan ad libitum (Parakkasi, 1999). Menurut Tillman et al. (1998) konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dikonsumsi oleh ternak, zat makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi hewan tersebut. Daya cerna makanan diikuti kecepatan aliran makanan yang tinggi dalam saluran pencernaan dapat meningkatkan konsumsi. Jumlah konsumsi pakan merupakan faktor penentu yang paling penting untuk menentukan jumlah zat-zat makanan yang tersedia bagi ternak. Banyaknya jumlah makanan yang dikonsumsi oleh ternak merupakan faktor penting yang akan mempengaruhi produktivitas ternak. Semakin baik kualitas makanannya, maka makin tinggi konsumsi ransum ternak. Selain konsumsi ransum, ternak yang berkualitas baik juga ditentukan oleh fisiologi ternak tersebut (Parakkasi, 1999). Ternak ruminansia yang normal (tidak sakit atau sedang bereproduksi) mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang terbatas sesuai dengan kebutuhannya untuk mencukupi hidup pokok (Siregar, 1996). Tinggi rendah konsumsi pakan pada ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu, tempat tinggal (kandang), palatabilitas, konsumsi nutrisi, bentuk pakan dan faktor internal yaitu, selera, status fisiologi, bobot tubuh dan produksi ternak itu sendiri (Kartadisastra, 1997). Menurut Parakkasi (1999), konsumsi adalah faktor yang essensial yang merupakan dasar untuk hidup pokok dan menentukan produksi. Mulyono dan Sarwono (2004) menyatakan bahwa konsumsi pakan kambing dinyatakan dalam bahan kering Kecernaan McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa kecernaan adalah proporsi zat makanan yang tidak diekskresikan lewat feses dan diasumsikan diserap oleh tubuh ternak. Biasanya ini dinyatakan berdasarkan bahan kering (BK) dan apabila dinyatakan dalam persentase maka disebut koefisien cerna (Tillman et al., 1998). Koefisien cerna merupakan selisih antara zat-zat makanan yang terkandung dalam pakan yang dikonsumsi dengan zat-zat makanan yang ada pada feses. Daya cerna dipengaruhi oleh komposisi pakan, keserasian zat makanan, faktor ternak dan jumlah pakan. Faktor komposisi faktor makanan, misalnya serat
19
kasar dapat mempengaruhi daya cerna bahan organik. Menurut Tillman et al., (1998), setiap penambahan serat kasar dalam bahan makanan akan menyebabkan penurunan daya cerna bahan organik. Kecernaan zat makanan bergantung pada ternak yaitu status, produktivitas, dan fungsi fisiologis yang sedang dialami ternak (Parakkasi, 1999).
20
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Januari 2012 di Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang untuk proses pembuatan silase daun singkong, kandang Balai Penelitian Ternak Ciawi untuk proses perlakuan penelitian, Laboratorium Analisis Kimia Balai Penelitian Ternak Ciawi untuk analisis kandungan nutrien dan Laboratorium Ilmu Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor untuk analisis kualitas susu. Materi Ternak Percobaan Penelitian ini menggunakan ternak percobaan berupa kambing perah peranakan etawah sebanyak 12 ekor yang sedang laktasi bulan ke 2 dengan rataan bobot badan 30,27±3,22 kg. Kambing-kambing tersebut dibagi ke dalam 3 perlakuan dan 4 ulangan. Kandang dan Peralatan Kambing perah dipelihara pada kandang individu dengan peralatan berupa ember sebagai tempat air minum dan tempat makan terpisah antara hijauan dan konsentrat. Timbangan pada penelitian ini digunakan untuk menimbang bobot awal ternak pada awal penelitian. Gelas ukur digunakan untuk mengukur jumlah susu yang diproduksi oleh masing-masing kambing yang diberi perlakuan. Pakan Kambing perlakuan diberi pakan berupa rumput raja, konsentrat dan silase daun singkong pada taraf yang berbeda. Konsentrat yang digunakan pada penelitian ini diproduksi di Balai Penelitian Ternak Ciawi. Komposisi bahan pakan yang digunakan untuk konsentrat disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Bahan Pakan pada Konsentrat Bahan Pakan
Pemakaian (%)
Bungkil Inti Sawit Fermentasi
50%
DGDS (Dried Distiled Grain Soluble)
20%
Polard
10%
Ampas Kecap
19%
Mineral
1%
(Keterangan : Hasil Formulasi Balai Penelitian Ternak Ciawi, 2011)
Pada perlakuan kontrol (CLS-0) diberikan 50% rumput raja dan 50% konsentrat, pada perlakuan pertama (CLS-1) diberikan 50% rumput raja, 40% konsentrat, dan 10% silase, sedangkan perlakuan kedua (CLS-2) diberikan 50% rumput raja, 30% konsentrat, dan 20% silase. Jumlah bahan kering keseluruhan yang diberikan adalah 5,2% bobot badan. Air minum diberikan ad libitum pada setiap kambing yang dipelihara. Bahan pakan yang digunakan dan komposisi nutrien pada pakan tiap perlakuan disajikan pada Tabel 5 dan Tabel 6. Tabel 5. Bahan Pakan yang Digunakan Bahan Makanan Konsentrat
Bahan Kering (%) 84,00
Protein (%) 19,68
Lemak (%) 8,33
Abu (%) 13,86
Serat Kasar (%) 16,49
Energi (kkal/kg) 4537,00
Rumput Raja
20,00
11,36
2,19
11,61
34,55
3780,00
Silase
23,15
27,43
6,00
8,25
54,82
5831,53
(Keterangan : Hasil Analisis Laboratorium Analisis Kimia Balai Penelitian Ternak Ciawi, 2011)
Tabel 6. Komposisi Nutrien pada Pakan Tiap Perlakuan
CLS-0
Bahan Kering (%) 52,00
Protein (%) 15,52
Lemak (%) 5,26
Abu (%) 12,74
Serat Kasar (%) 25,52
CLS-1
45,92
16,30
5,03
12,17
29,35
CLS-2
39,83
17,07
4,79
11.61
33,19
Perlakuan
Keterangan: CLS-0= 0% pemberian silase, CLS-1= 10% pemberian silase, CLS-2= 20% pemberian silase. Hasil Analisis Laboratorium Analisis Kimia Balai Penelitian Ternak Ciawi (2011)
22
Alat yang Digunakan Peralatan yang digunakan untuk pembuatan silase daun singkong adalah gunting, selotip besar, plastik hitam, plastik ukuran 5 kg. Pengukuran produksi susu menggunakan gelas ukur, dan plastik bening HDPE untuk menyimpan susu sebelum dianalisis. Untuk pengukuran kualitas susu digunakan butyrometer, buret, gelas ukur, laktodensimeter, sentrifuse, termometer, labu Erlenmeyer, pipet volumetrik, pipet Mohr, dan penangas air. Pengukuran kecernaan dan zat nutrien masing-masing komponen ransum menggunakan oven dan peralatan penunjang lainnya untuk analisis proksimat. Prosedur Pembuatan Silase Daun, tangkai dan batang singkong yang masih muda dipotong menjadi ukuran panjang ±2 cm. Potongan-potongan tersebut dilayukan 3 jam di ruang terbuka yang terhindar dari sinar matahari langsung. Setelah itu, daun, tangkai, dan batang yang masih dapat dikonsumsi dicampur dalam tempat terpisah hingga homogen. Setelah homogen, daun, tangkai dan batang singkong masing-masing dikemas dalam kantong plastik tahan panas ukuran 5 kg kemudian dicampurkan dengan 5% molases (dari bobot segar keseluruhan potongan daun, tangkai, dan batang muda), kemudian dimasukan dalam kantong plastik hitam. Penambahan molases dilakukan sebagai tambahan karbohidrat mudah tersedia sehingga proses ensilase berlangsung dengan baik. Silase disimpan dalam ruangan dengan suhu kamar selama minimal 4 minggu. Silase diberikan ke ternak sesuai dengan rancangan percobaan yang telah ditetapkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Amaliah (2010) Silase daun singkong yang ditambahkan 5% dan 10% molases menghasilkan kecernaan in vitro dan sifat fisik terbaik dibandingkan silase daun singkong yang ditambahkan dedak padi 5% dan 10%, serta tepung tapioka 5% dan 10%. Penerapan Perlakuan Pada awal penelitian kambing ditimbang bobot badannya untuk mengetahui jumlah pakan yang akan dikonsumsi. Frekuensi pemberian pakan dilakukan sebanyak 2 kali. Ternak dibagi menjadi 3 perlakuan dengan 4 ulangan. Perlakuan pemberian pakan dilakukan selama 6 minggu dengan 2 minggu masa adaptasi ternak
23
terhadap pakan perlakuan dan 4 minggu masa pengamatan terhadap parameter. Pada minggu ke 4 pengamatan dilakukan pengumpulan feses (collecting feces) yang akan digunakan untuk uji kecernaan bahan pakan. Perbandingan antara hijauan, konsentrat, dan silase adalah 50:50:0 (CLS-0), 50:40:10 (CLS-1), dan 50:30:20 (CLS-2). Koleksi Feses Koleksi feses total digunakan untuk mengukur kecernaan bahan makanan berupa serat kasar dan protein kasar. Selama penelitian berlangsung dilakukan koleksi sebanyak 1 kali pada akhir masa penelitian. Koleksi dilakukan selama 7 hari berturut-turut.
Penampungan
feses
dilakukan
dengan
memasang
tempat
penampungan feses di bagian bawah kandang. Setiap pagi selama 7 hari feses yang ditampung tersebut dikumpulkan. Feses yang diperoleh pada setiap masa koleksi terlebih dahulu ditimbang sehingga diperoleh bobot feses segar. Feses segar kemudian diambil 10 % dari jumlah tersebut, selanjutnya sampel feses tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 60 oC selama 2x24 jam dan digiling halus, untuk dilanjutkan dengan analisis terhadap bahan kering dan kandungan nutrien sampel. Pengukuran Peubah Penelitian Konsumsi Bahan Kering (g/ekor/hari). Konsumsi bahan kering ransum diperoleh dengan cara mengurangi jumlah bahan kering ransum yang diberikan dengan bahan kering ransum sisa pada keesokan harinya. Pengukuran ini dilakukan setiap hari. Kecernaan Bahan Kering.Kecernaan nutrien ditentukan dengan metode koleksi total pada kandang metabolis. Ransum yang diberikan dikompositkan dan diambil 10% untuk dianalisis kandungan nutriennya. Feses yang diekskresikan setiap hari, dikumpulkan dan ditimbang beratnya kemudian dioven 60 ◦C selama 2 hari. Setelah kering feses ditimbang dan disimpan dalam kantong plastik yang tertutup rapat. Sampel feses yang terkumpul dikompositkan dan diambil 10% untuk analisis komposisi kimianya. Kecernaan nutrien dapat dihitung dengan rumus (Pond et al., 1995), yaitu.
24
Kecernaan = Nutrien yang dikonsumsi (g) – Nutrien dalam feses (g) x 100% Nutrien yang dikonsumsi (g) Keterangan: Nutrien yang dikonsumsi Nutrien dalam feses
= ∑ konsumsi BK x kandungan nutrien ransum = ∑ produksi feses x BK feses x %nutrien dalam feses
Produksi Susu. Pengambilan sampel susu dilakukan setiap hari selasa dan sabtu. Frekuensi pemerahan dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pagi pada jam 06.00 serta sore jam 16.00 WIB. Pemerahan dilakukan dengan cara manual tanpa alat bantu pemerahan. Sampel susu diukur dengan menggunakan gelas ukur skala 1 liter. Produksi susu (ml 4% FCM/ hari) ditentukan dengan konversi sebagai berikut. Produksi susu 4% FCM = (0.4 x PS) + (15 x PS x %L) Keterangan :
PS L
= Produksi susu rata-rata harian (ml/ekor/hari) = % kadar lemak susu
Kualitas Susu a. Lemak Susu Sampel susu diambil 50 ml per ekor kemudian disimpan di dalam freezer. Penentuan kadar lemak susu dilakukan dengan cara Gerber (Badan Standardisasi Nasional, 1999). Prosedurnya antara lain, ditambahkan 10,75 ml susu ke dalam butyrometer. Diambil sebanyak 10 ml asam belerang dengan konsentrasi 9192%, kemudian dimasukkan ke dalam butyrometer. Ditambahkan 1 ml amylalkohol ke dalam butyrometer. Butyrometer ditutup dengan sumbat karet dan dikocok perlahan-lahan dengan membentuk angka delapan sampai zat-zat yang ada di dalam butyrometer tercampur secara homogen. Kemudian butyrometer diletakkan ke dalam penangas air dengan suhu 65-70 ºC selama 10 menit. Setelah itu, botol butyrometer tersebut disentrifuse dengan kecepatan 1200 putaran per menit. Butyrometer yang telah disentrifuse dimasukkan ke dalam pengangas air selama 5 menit. Setelah 5 menit, keluarkan sedikit demi sedikit penyumbat karet dari butyrometer tersebut untuk mendapatkan skala nol pada batas antara lemak dengan zat lainnya.
25
b. Protein Susu Kadar protein susu dapat ditentukan dengan metode titrasi formol (Badan Standardisasi Nasional, 1999). Caranya adalah dengan mentitrasi campuran yang terdiri atas 10 ml susu + 0.4 ml larutan kalium oksalat dan 3 tetes phenolptalin 1% yang ditempatkan di dalam gelas beaker, dengan larutan NaOH sampai warna menjadi merah muda. Susu yang berubah warna tersebut ditambah 2 ml formalin 40% dan warna menjadi putih susu kembali. Campuran tersebut dititrasi kembali sampai timbul warna merah muda, dan volume titrannya dicatat (a). Selanjutnya, dibuat blanko dengan mengganti contoh susu dengan aquadest dan dititrasi sampai warna merah muda. Volume titran dicatat (b). Kadar protein (%) = (a – b) x 1,95 Keterangan : 1,95 = faktor protein untuk susu kambing
c. Berat Jenis Susu Penentuan berat jenis susu dapat dilakukan dengan laktodensimeter. Sebanyak 250 ml sampai 500 ml susu diukur ke dalam gelas ukur, kemudian dicelupkan laktodensimeter ke dalam gelas ukur pada suhu kamar (±27,2 ºC). Pengukuran berat jenis susu hanya dapat dilakukan setelah 3 jam dari waktu pemerahan atau bila suhu susu sudah terletak antara 20 sampai 30 ºC, karena pada kondisi ini susu telah stabil keadaannya. d. Bahan Kering Susu Bahan kering susu dapat diukur dengan rumus Fleischman (Badan Standardisasi Nasional, 1999), yaitu.
Keterangan :
Bahan Kering = 1, 23 + 2,71 100 (BJ-1) BJ BJ = Berat jenis susu
Rancangan dan Analisis Data Rancangan Rancangan percobaan yang akan digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan. Pengelompokkan ternak dilakukan berdasarkan perbedaan minggu laktasi pada ternak. Model matematika yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1993)
26
Yij = μ+ βi + τj + εij Keterangan : Yij : nilai pengamatan perlakuan ke-i, blok ke-j μ : nilai rataan umum perlakuan : efek perlakuan ke-i βi τj : efek blok ke-j εij : galat percobaan pada perlakuan ke-i dan blok ke-j i : jumlah pemberian silase daun singkong j : blok Analisis Statistik Perbedaan tingkat pemberian silase dianalisis dengan metode analysis of variance (ANOVA), dan jika terdapat perbedaan yang nyata diuji lanjut dengan uji beda nyata terkecil (BNT) (Steel dan Torrie, 1993). Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi nutrien dalam ransum, kecernaan nutrien dalam ransum, produksi susu, dan kualitas susu.
27
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Nutrien Pakan Hasil pengamatan konsumsi pakan dan nutrien dalam bahan kering disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Konsumsi Nutrien Pakan oleh Ternak pada Masing-Masing Perlakuan CLS-0 CLS-1 CLS-2 Nutrien (Silase 0%) (Silase 10%) (Silase 20%) Bahan Kering (g)
1.301,91±247,00 1.266,19±312,12 1.213,95±320,41
Protein (g)
235,42±38,34
249,63±15,19
251,04±30,87
Lemak (g)
b
68,48±12,99
63,65±15,69
b
58,16±15,36a
Serat Kasar (g)
387,10±63,4a
449,68±91,62ab
488,05±106,33b
Abu (g)
165,80±31,46b
154,15±38,00b
140,79±11,71a
Keterangan: CLS-0= 0% pemberian silase, CLS-1= 10% pemberian silase, CLS-2= 20% pemberian silase. Hasil Analisis Laboratorium Analisis Kimia Balai Penelitian Ternak Ciawi (2011)
Pada penelitian ini, tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) pada konsumsi bahan kering. Hasil ini penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Preston dan Bunyeth (2006), pemberian suplementasi silase daun singkong dengan penambahan 5% sirup gula aren secara nyata (P<0,05) meningkatkan konsumsi bahan kering pada kambing yang digembalakan di padang rumput dibandingkan kambing yang disuplementasi rumput alami yang tumbuh di sekitar tempat penelitian. Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan bahwa adanya 20% silase (CLS-2) dalam ransum ternak secara nyata (P<0,05) meningkatkan konsumsi serat kasar, sedangkan untuk konsumsi lemak dan abu, CLS-2 secara nyata (P<0,05) paling rendah jika dibandingkan dengan CLS-0 dan CLS-1, hal ini disebabkan oleh kandungan silase daun singkong yang digunakan sebagai bahan subtitusi kosentrat memiliki kandungan serat kasar yang lebih tinggi (54,82%) dan kadar lemak (6%) serta abu (8,25%) yang lebih rendah dibandingkan dengan konsentrat yang disubstitusi (6%). Pada penelitian ini, digunakan konsentrat dengan kadar serat kasar sebesar 16,49% dan lemak sebesar 7,33%, dan abu 13,86% sehingga ketika diformulasikan akan didapatkan komposisi pakan seperti yang tertera pada Tabel 5.
Komposisi pakan tersebut akan mempengaruhi secara langsung jumlah nutrien yang dikonsumsi pada tiap-tiap perlakuan. Daun singkong yang digunakan sebagai silase ini termasuk ke dalam pakan hijauan yang mengandung serat kasar >18%. Sehingga penambahan silase daun singkong meningkatkan kandungan serat kasar pakan sebesar 16,02% pada CLS-1 dan 26,10% pada CLS-2. Pada ternak perah, konsumsi hijauan atau serat sangat penting dan berpengaruh terhadap kualitas susu khususnya lemak susu. Serat akan dicerna untuk menghasilkan asam lemak, seperti asam asetat, yang bermanfaat untuk pembentukan komponen lemak susu (Aluwong et al., 2010). Selama penelitian berlangsung, pakan yang habis dikonsumsi setiap harinya adalah silase daun singkong dan konsentrat. Rataan konsumsi tiap bahan makanan pada tiap perlakuan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Rataan Konsumsi Tiap Bahan Makanan pada Tiap Perlakuan Perlakuan
Pemberian Pakan
Konsumsi Pakan
(Bahan Kering g/ekor/hari)
(Bahan Kering g/ekor/hari)
Rumput
Konsentrat
Silase
Rumput
Konsentrat
Silase
CLS-0
781
792
0
564,49±130,18
792
0
CLS-1
781
633,60
158,40 530,93±186,66
633,60
158,40
CLS-2
781
475,20
316,80 472.73±180,75
475,20
316,80
Keterangan: CLS-0= 0% pemberian silase, CLS-1= 10% pemberian silase, CLS-2= 20% pemberian silase. Hasil Analisis Laboratorium Analisis Kimia Balai Penelitian Ternak Ciawi (2011)
Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa konsentrat dan silase yang diberikan memiliki palatabilitas yang cukup baik sehingga habis dikonsumsi oleh ternak. Hal ini disebabkan oleh kualitas sensori dari silase daun singkong yang ditambahkan molases tergolong baik karena memiliki bau asam silase (Amaliah, 2010). Kartadisastra (1997) menyatakan bahwa palatabilitas pakan adalah sifat performansi bahan pakan yang dicerminkan oleh kenampakan, bau, rasa dan tekstur dapat menumbuhkan daya tarik dan merangsang ternak untuk mengkonsumsinya. Faverdine et al. (1995) juga menjelaskan bahwa regulasi dari konsumi dan pemilihan makanan oleh ternak dipengaruhi oleh kontrol jangka pendek dari perilaku makan ternak yang berkaitan erat dengan regulasi homeostasis atau keadaan ternak untuk mempertahankan kondisi normal tubuhnya, dan kontrol jangka panjang yang 29
bergantung pada kebutuhan zat makanan oleh ternak. Faktor kondisi makanan termasuk kontrol jangka pendek. Kecernaan Nutrien Pakan Hasil pengamatan kecernaan zat nutrien dari tiap perlakuan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Kecernaan Bahan Kering dan Nutrien Dari Tiap Perlakuan Kecernaan Nutrien
CLS-0
CLS-1
CLS-2
(Silase 0%)
(Silase 10%)
(Silase 20%)
Bahan Kering (%)
56,54±3,14a
59,07±2,18a
62,24±2,81b
Protein (%)
69,83±9,08a
68,20±6,00a
76,18±7,14b
Lemak (%)
81,35±5,86
81,92±4,27
81,63±5,81
a
b
Serat Kasar (%)
39,92±4,21
54,34±7,01
Abu (%)
44,29±9,40a
46,17±9,08a
66,99±8,62c 53,76±15,07b
Keterangan: CLS-0= 0% pemberian silase, CLS-1= 10% pemberian silase, CLS-2= 20% pemberian silase. Hasil Analisis Laboratorium Analisis Kimia Balai Penelitian Ternak Ciawi (2011)
Bahan Kering Berdasarkan hasil uji yang disajikan pada Tabel 8, kecernaan bahan kering (KCBK) secara nyata paling tinggi ada pada perlakuan CLS-2 (P<0,05), kemudian diikuti dengan perlakuan CLS-0 dan CLS-1. Dibandingkan dengan perlakuan kontrol (CLS-0), perlakuan CLS-2 lebih besar nilai kecernaan bahan keringnya sebesar 10,08%. Faktor yang mempengaruhi kecernaan pakan pada ternak adalah komposisi pakan, ketersediaan energi, dan waktu retensi makanan pada saluran pencernaan. Pada penelitian ini, tingginya kecernaan bahan kering tersebut disebabkan oleh, adanya bakteri asam laktat yang ada pada silase. Keberadaan bakteri asam laktat tersebut membantu meningkatkan kecernaan bahan kering pada ternak. (Bolsen et al., 1996). Protein Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa penambahan silase daun singkong pada pakan sebanyak 20% (CLS-2) secara nyata (P<0,05) meningkatkan kecernaan protein pada ternak. Peningkatan kecernaan protein pada perlakuan CLS-2
30
dibandingkan perlakuan CLS-0 (kontrol) adalah sebesar 9,09%. Peningkatan kecernaan protein yang terjadi pada perlakuan CLS-2 berbanding lurus dengan peningkatan kecernaan bahan kering. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Ondiek et al. (1999) pada kambing perah yang diberi suplemen protein dari Gliricidia sepium pada rumput gajah, mengalami peningkatan kecernaan bahan kering dari 50% menjadi 58%. Peningakatan level subtitusi konsentrat oleh daun singkong menyebabkan peningkatan kecernaan protein dan serat. Hal ini memungkinkan terjadinya keseimbangan antara ketersediaan N dalam bentuk ammonia dari degradasi protein dan energi dalam bentuk VFA dari degradasi bahan serat di dalam rumen. Keseimbangan kedua unsur ini sangat penting terutama bagi pertumbuhan dan aktivitas bakteri rumen dalam mendegradasi pakan yang dikonsumsi ternak. Berdasarkan hasil tersebut dapat terlihat bahwa penambahan silase daun singkong pada pakan kambing perah sampai taraf 20 % tidak berdampak negatif pada ekosistem rumen, khususnya aktivitas mikroba rumen dalam mencerna pakan. Kecernaan protein pada ternak ruminansia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kandungan protein pakan (Ondiek et al, 1999) ukuran partikel (Novita et al., 2006) serta ketersediaan RUP (rumen undegradable protein) dan RDP (rumen degradable protein) yang ada pada pakan. Protein jenis RUP merupakan jenis protein yang tidak bisa didegradasi oleh mikroba rumen atau dikenal juga dengan istilah by-pass protein. Umumnya jenis protein ini tidak terdegradasi karena bahan pakan sumber protein tersebut memiliki zat antinutrisi yang mengikat protein, sehingga dapat diserap oleh dinding usus halus dengan baik dan meningkatkan kecernaan. Daun singkong yang digunakan sebagai silase pada penelitian ini diketahui memiliki zat antinutrisi berupa tanin yang dapat berikatan dengan protein, sehingga pasokan RUP yang diserap oleh usus halus dapat terpenuhi. Berbeda dengan RUP, RDP justru merupakan jenis protein yang mudah diserap oleh mikroba rumen dan dimanfaatkan sebagai sumber nutrien. Hal tersebut juga
menguntungkan
bagi
ternak
ruminansia,
karena
ruminansia
mampu
memanfaatkan protein mikroba sebagai sumber protein, sehingga dalam komposisi pakan perlu adanya keseimbangan antara RUP dan RDP (Sampelayo et al., 1999)
31
Lemak Kecernaan lemak yang diperoleh pada penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan hasil yang nyata secara statistik. Peningkatan kecernaan lemak dapat terjadi dengan suplementasi pakan sumber lemak. Silase daun singkong merupakan bahan pakan yang dikategorikan sebagai sumber protein dan memiliki kandungan lemak sebesar 6%, sehingga tidak secara nyata mempengaruhi besarnya kecernaan lemak antar perlakuan. Pada ternak perah, kadar lemak yang umumnya ada pada pakan disarankan tidak melebihi 7%, lebih dari pada level tersebut akan menurunkan kerja mikroba rumen ternak (Doreau dan Chiliard, 1997). Pada hewan ruminansia, pencernaan lemak terjadi di dalam rumen secara hidrolisis dan biohidrogenisasi. Proses tersebut menyebabkan perbedaan jenis lemak pada pakan dengan produk hasil proses pencernaan. Proses hidrolisis lemak pakan terjadi secara ekstraseluler oleh bakteri rumen seperti Anaerovibro lipolytica dan Butyrivibrio fibrisolvens (Harfoot dan Hazlewood, 1997). Proses biohidrogenasi merupakan proses perubahan lemak tak jenuh dengan ikatan rangkap menjadi lemak jenuh dengan ikatan tunggal. Proses biohidrogenasi memiliki proporsi yang lebih kecil dibandingkan dengan proses hidrolisis pada rumen. Setelah meninggalkan rumen, lemak pakan yang telah diubah menjadi asam lemak bebas oleh proses yang terjadi di rumen serta fosfolipid dari mikroba akan dibentuk menjadi misel dengan bantuan empedu dan kelenjar pankreas. Kemudian misel akan diserap oleh sel epitel pada usus halus terutama daerah jejunum dan mengalami esterifikasi kembali menjadi trigliserida dan diubah menjadi chylomicron (Demeyer dan Doreau, 1999). Serat Kasar Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 8 menunjukan bahwa penggantian silase terhadap konsentrat sebesar 10% (CLS-1) dan 20% (CLS-2) secara nyata (P<0,05) meningkatkan kecernaan serat kasar pada ternak. Kecernaan serat kasar tertinggi secara nyata (P<0,05) ditunjukan oleh perlakuan CLS-2. Peningkatan serat kasar ini disebabkan oleh terjadinya perenggangan dinding sel dari daun singkong yang dibuat silase, sehingga dapat menyebabkan bahan tersebut lebih mudah dicerna. Peregangan tersebut terjadi karena adanya hidrolisis asam terhadap komponen hemiselulosa pada hijauan yang disilase. Dinding sel merupakan struktur karbohidrat 32
yang komplek dan terdiri atas berbagai molekul dan biosintesisnya diatur oleh enzim yang dikode dan diregulasi oleh gen (Iiyama et al., 1993). Kecernaan serat kasar dalam penelitiaan ini, erat kaitannya dengan adanya bakteri asam laktat dan asam laktat yang dihasilkan oleh silase. Asam laktat yang dihasilkan oleh bakteri tersebut, diindikasikan akan menurunkan pH rumen sehingga bakteri selulolitik (pencerna serat) akan bekerja lebih baik. Penurunan pH rumen terjadi secara tidak nyata berdasarkan statistik, sehingga tidak menyebabkan asidosis pada ternak (Krause dan Combs, 2003). Kondisi ini akan menguntungkan bagi proses pecernaan serat yang terjadi di dalam rumen. Berdasarkan hasil penelitian, peningkatan kecernaan serat secara langsung akan menyumbangkan peningkatan kecernaan bahan kering pada ternak. Hal ini sejalan dengan pendapat McDonald (1995) yang menyatakan bahwa kecernaan pakan dipengaruhi oleh komposisi kimia pakan, dan fraksi pakan berserat berpengaruh besar pada kecernaan ternak. Abu Pada penelitian ini menunjukan bahwa perlakuan CLS-2 secara nyata (P<0,05) memiliki kadar abu paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan CLS-1 dan CLS-0. Peningkatan kadar abu yang terjadi pada perlakuan CLS-2 dibandingkan dengan perlakuan kontrol CLS-0 adalah sebesar 21,52%. Abu merupakan keseluruhan komponen mineral yang terkandung dalam jaringan hewan dan tumbuhan (Suttle, 2010). Pada hewan ternak, mineral berfungsi sebagai struktur pembentuk sel, menjaga proses fisiologis tubuh, katalisator dan atau aktivator kinerja enzim dan hormon, serta regulator perbanyakan dan diferensiasi sel pada tubuh. Tidak seperti komponen nutrien lainnya yang mengalami proses pencernaan dan pemecahan molekul, metabolisme mineral di dalam tubuh ternak umumnya terjadi di mukosa usus kemudian ditransport ke hati dalam bentuk mineral bebas atau terikat dengan protein, dan didistribusi ke berbagai organ dan jaringan yang kadarnya disesuaikan oleh mekanisme kebutuhan mineral pada masing-masing unit sel. Kecernaan mineral suatu bahan pakan umumnya dipengaruhi oleh regulasi hormon seperti mineral Ca, sifat antagonisme antar mineral yang ada pada bahan pakan, dan terikatnya mineral oleh zat antinutrisi seperti P yang terikat oleh fitat akan menurun tingkat kecernaannya terutama pada hewan monogastrik (Suttle, 2010).
33
Produksi Susu Berdasarkan hasil penelitian, peningkatan penggantian silase daun singkong terhadap konsentrat tidak mempengaruhi rataan volume produksi susu dan volume produksi susu terkoreksi lemak 4%, seperti yang disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Rataan Produksi Susu dan Produksi Susu Terkoreksi Lemak 4% Pengamatan Produksi Susu (ml) Minggu Ke-
Perlakuan
Rataan (ml)
1
2
3
4
CLS-0
395
433
460
455
435,83±29,58
CLS-1
430
430
640
500
500±98,99
CLS-2
345
468
640
400
463,13±468,12
Pengamatan Produksi Susu Terkoreksi Lemak 4% (ml) Minggu Ke-
Perlakuan
Rataan (ml)
1
2
3
4
CLS-0
385,52
407,12
422,96
420,08
409,04±17,04
CLS-1
446,67
446,67
664,96
519,50
519,50±89,08
CLS-2
392,09
531,31
727,36
454,60
526,34±145,61
Keterangan: CLS-0= 0% pemberian silase, CLS-1= 10% pemberian silase, CLS-2= 20% pemberian silase. Hasil Analisis Laboratorium Analisis Kimia Balai Penelitian Ternak Ciawi (2011)
Pada hewan ternak penghasil susu seperti kambing, produksi susu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu 1) manajemen produksi, 2) bangsa dan genetik, 3) kesehatan, serta 4) manajemen pakan yang tepat (Goetsch et al., 2011). Sebagai salah satu faktor ekonomi pemeliharaan, produksi susu menjadi salah satu parameter yang paling diperhitungkan dalam manajemen pakan. Pada kambing, produksi susu diketahui bergantung pada keseimbangan energi dan nitrogen pada pakan yang dikonsumsi (Sampelayo et al., 1999). Produksi susu dapat pula digunakan sebagai parameter efisiensi pakan. Efisiensi pakan merupakan kemampuan untuk mengubah pakan menjadi produk ternak untuk dikonsumsi manusia. Parameter efisiensi pakan tersebut dinyatakan dengan produksi susu terkoreksi lemak 4% (FCM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan CLS-2, CLS-1 dan kontrol (CLS-0) tidak menunjukkan perbedaan
34
nyata secara statistik dalam efisiensi pakan untuk menghasilkan susu seperti yang ditunjukkan pada Tabel 10. Kualitas Susu Hasil uji kualitas susu kambing setelah diberi perlakuan disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Kualitas Susu Kambing Setelah Diberi Pakan Perlakuan Parameter
CLS-0
CLS-1
CLS-2
Kualitas Susu
(Silase 0%)
(Silase10%)
(Silase 20%)
12,20±1,03
12,46±1,22
13,87±1,59
Lemak
4,2±0,63
4,345±0,98
5,15±1,203
Protein (%)
3,21±0,38
4,05±2,62
3,55±0,49
Solid nonfat (%)
8,36±0,53
8,21±0,20
8,96±0,7
Berat Jenis (Kg/l)
1,0294±0,002
1,030±0,003
1,030±0,001
Bahan Kering (%)
Keterangan: CLS-0= 0% pemberian silase, CLS-1= 10% pemberian silase, CLS-2= 20% pemberian silase. Hasil Analisis Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Departemen IPTP IPB (2011)
Bahan Kering Kadar bahan kering susu merupakan gambaran dari kandungan komponen padat pada susu. Berdasarkan hasil perlakuan, CLS-2 menunjukkan kadar bahan kering tertinggi, namun tidak nyata secara statistik. Kadar bahan kering susu kambing menurut Jennes (1980) berkisar antara 11,5%-21,6%. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zeng et al. (1997), kisaran bahan kering pada kambing yang dipelihara secara intensif dengan persentase protein pakan 15,2% adalah 7,92%20,76%. Perubahan komponen susu termasuk bahan kering bergantung pada periode laktasi ternak tersebut, komposisi bahan kering, lemak, protein, dan bahan kering tanpa lemak paling tinggi, yaitu dalam jangka waktu satu bulan setelah melahirkan dan perlahan berkurang pada bulan-bulan setelahnya (Zeng et al., 1997). Lemak Susu Pada penelitian ini, kadar lemak susu berkisar antara 3,42-6,8%. Menurut Jannes (1980), kadar lemak susu kambing bervariasi dari 3,40-7,76%, sehingga hasil dari penelitian ini masih termasuk kisaran normal. Pada hasil penelitian 35
memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antar perlakuan secara statistik, meskipun secara data deskriptif menunjukan peningkatan lemak susu seiring dengan bertambahnya komposisi silase pada pakan perlakuan. Lemak susu merupakan komponen susu yang paling sensitif terhadap perubahan komposisi nutrien pada pakan ternak. Kadar lemak susu pada hewan ruminansia termasuk kambing, bergantung pada faktor intrinsik (spesies hewan, bangsa, gen, usia kehamilan dan periode laktasi) dan faktor ekstrinsik (lingkungan) (Chilliard dan Ferlay, 2007). Lemak susu pada hewan ruminansia termasuk kambing dibentuk dari asam lemak, baik yang diambil dari darah (sebanyak 60%) atau dari sintesis de novo pada kelenjar susu (sebanyak 40%). Proses pembentukan asam lemak dari jalur sintesis de novo berasal dari asam asetat dan 3-hidroksi butirat (Barber et al., 1997) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6. Asam asetat yang digunakan untuk sintesis lemak susu, diperoleh dari proses fermentasi hijauan oleh mikroba rumen. Bersamaan dengan asetat, diproduksi pula asam butirat, propionat, valerat, heksanoat, heptanoat, dan lainnya. Kelompok asam ini dikenal dengan volatile fatty acid (VFA) atau short chain fatty acid (SCFA) yang merupakan salah satu sumber zat makanan utama bagi hewan ruminansia (Bergman, 1990). Protein Susu Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak terdapat peningkatan yang signifikan dari protein susu ketika diberi pakan CLS-2. Hal ini terjadi karena protein susu kambing memiliki respon perubahan yang rendah terhadap pemberian suplemen protein kasar pada pakannya (Chowdhury et al., 2002). Rendahnya respon protein susu tersebut berhubungan dengan kadar protein metabolis yang seringkali tidak dipertimbangkan ketika memberikan pakan. Hanya sekitar 25%-30% Nitrogen pada pakan yang akan menjadi protein susu (Bequette et al., 1998). Berdasarkan Badan Standarisasi Nasional (1998) susu segar harus memiliki setidaknya 2,7% kadar protein susu. Pada penelitian ini dihasilkan protein susu yang rata-rata berkisar 3,21%-4,05%, sehingga Berdasarkan standar yang ditetapkan Badan Standardisasi Nasional tersebut, susu segar yang dihasilkan pada penelitian ini dapat diterima oleh masyarakat dan industri susu yang mengacu pada SNI (Standar Nasional Indonesia).
36
Bahan Kering Tanpa Lemak (Solid Non-Fat) Bahan kering tanpa lemak pada susu merupakan parameter yang dipakai untuk menentukan pengaruh lemak terhadap komposisi bahan kering susu. Penggantian konsentrat dengan silase daun singkong pada penelitian ini tidak menunjukkan perubahan yang berbeda nyata secara statistik. Menurut Badan Standarisasi Nasional (1998) produk susu segar harus memiliki kadar solid nonfat minimal sebesar 8%. Penelitian ini menghasilkan kadar solid nonfat yang berkisar 8,21%-8,96%, sehingga produk susu segar yang dihasilkan dari penggantian konsentrat oleh silase daun singkong ini bisa diterima oleh industri pengolahan susu dan konsumen, karena telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional. Berat Jenis Susu Berat jenis susu merupakan hubungan antara massa padatan dengan volume susu yang dihasilkan oleh ternak (Gabas et al., 2012). Parameter berat jenis susu dapat pula digunakan untuk mengetahui pemalsuan susu yang ditambahkan oleh susu skim, santan, dan bahan-bahan lain yang tidak seharusnya ada pada susu murni. Hasil penelitian ini menunjukkan berat jenis susu antar perlakuan tidak berbeda nyata secara statistik, namun menunjukkan kecenderungan peningkatan. Berdasarkan hasil pengujian, berat jenis susu yang dihasilkan berkisar antara 1,0294-1,030. Menurut Badan Standarisasi Nasional (1998), berat jenis susu minimal yang harus dipenuhi adala 1,0280, sehingga berat jenis susu hasil penelitian dapat diterima oleh konsumen maupun industri susu nasional. Tinggi rendahnya nilai berat jenis susu antara lain dipengaruhi oleh pola dan kualitas pakan yang diberikan peternak. Hal ini disebabkan karena untuk mendeposisikan nutrien ke dalam bentuk padatan (massa) diperlukan bahan baku yang berasal dari pakan. Penelitian yang dilakukan oleh Utomo dan Miranti (2010) pada sapi perah yang diberi perbaikan mutu pakan menunjukkan adanya peningkatan
nilai berat jenis susu pada ternak tersebut.
37
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pemberian silase daun singkong sebanyak 20% merupakan perlakuan terbaik dalam penelitian ini karena dapat meningkatkan kecernaan nutrien dalam ransum, sedangkan dalam hal produksi dan kualitas susu yang diperoleh tidak ada perbedaan antar perlakuan. Saran Aplikasi penambahan silase daun singkong pada pakan kambing laktasi di masyarakat, disarankan untuk menggunakan penambahan silase bertaraf 20%, karena taraf tersebut menghasilkan kecernaan nutrien terbaik pada ternak.
UCAPAN TERIMAKASIH Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang pada hakikatnya adalah Maha Segalanya termasuk seluruh daya dan upaya serta pertolongan untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc. selaku pembimbing utama skripsi sekaligus pembimbing akademik dan Ibu Dr. Ir. Yeni Widiawati M.Agr selaku pembimbing anggota skripsi atas bimbingan, saran, nasihat yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Ir. Anita S Tjakradijaja, M.Rur.Sc sebagai dosen pembahas seminar. Kepada panitia sidang Ibu Ir. Widya Hermana M.Si, dan penguji sidang Bapak Dr. Ir. Heri Ahmad Sukria M.Sc.Agr, serta Ibu Ir. Lucia Cyrilla ENSD, M.Si penulis mengucapkan terima kasih Ucapan terimakasih yang tulus dan tak terkira penulis haturkan kepada orang tua penulis, Ibu Sofia dan Bapak Syofnir R.H atas dukungan, pendanaan akademik dan penelitian, doa-doa yang terpanjat, dan kesediaan untuk menyayangi anaknya, seperti apapun keadaannya. Kepada kedua adik penulis Rizki Afriza Fitriani dan M. Rizaldi Andrisya, terima kasih untuk dukungan dan bantuan yang telah diberikan selama ini. Semoga penulis dapat memenuhi harapan dan memberikan yang terbaik. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pak Sukma, Pak Gunawan, Pak Yusuf, Pak Andi, Pak Jaja, keluarga besar Pak Ujang dan Pak Gofar atas bantuannya selama masa penelitian. Terima kasih pula penulis haturkan kepada sahabat-sahabat penulis Dini Nur Hakiki, Aisah, Febby Ariawiyana, Nur Hidayah, Dinda Mulia Utami, Tia Irmayanty, Azka Madihah, Ainissya Fitri, Ana Mawar Iriani, Heru Dwi Nugroho, Annisa Sastra, Shally Alpriany, dan Nazrul Anwar, atas masukan, dukungan, dan pengingatan sahabat sekalian dari awal penelitian hingga skripsi ini selesai sangat berarti untuk penulis. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada teman-teman seperjuangan Nutrisi’43 dan Senior Resident asrama TPB IPB atas pelajaran hidup, kebersamaan, dan persahabatan selama ini. Demikian rasa terima kasih yang bisa penulis sampaikan semoga banyak manfaat yang bisa dituai dari skripsi ini. Bogor, September 2012 Penulis
DAFTAR PUSTAKA Abijaoudé, J. A., P. Morand-Fehr, J. Tessier, P. Schmidely & D. Sauvant. 2000. Influence of forage : concentrate ratio and type of starch in the diet on feeding behaviour, dietary preferences, digestion, metabolism and performance of dairy goats in mid lactation. British Sosc. Of Animl Sci. 71: 359-368. Adesogan, A.T., S.C. Kim, K.G. Arriole, , D.B. Dean, & C.R. Staples. 2007. Strategic addition ofdietary fibrolytic enzymes for improved performance of lactating dairy cows. Proceedings of 18th annual Florida ruminant nutrition. Symposium. Gainesville, Florida. Jan. 2007. PP: 92-110. Adesogan, A.T. 2006. Factors affecting corn silage quality in hot, humid climates. Proceedings of 17th annual Florida ruminant nutrition. Symposium. Gainesville, Florida PP: 108-119. AFRIS. 2007. Animal Feed Resources Information Systems, Food and Agriculture Organization. http://www.fao.org./ag/AGa/agap/FRG/AFRIS/DATA/535.htm [31 Januari 2011]. Alferez, M.J.M., M. Barrionuevo, I. Lopez-Aliaga, M.R. Sanz Sampelayo, F. Lisbona, J.C. Robles, & M.S. Campos. 2001. Digestive utilization of goat and cow milk fat in malabsorption syndrome. J. Dairy Res. 68: 451–461. Aluwong, T., P. Kobo, Ishaku & Abdullahi. 2010. Volatile fatty acids production in ruminants and the role of monocarboxylate transporters: A review. African J of Biotech. 9 (38): 6229-6232. http://www. academicjournals.org/AJB [17 juni 2012] Amaliah. R.N. 2010. Kajian silase daun singkong (Manihot esculenta) dengan berbagai zat aditif terhadap kecernaan in vitro. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Arora, S.P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Terjemahan Murwani, R. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1999. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-31411998/rev 1992, tentang Susu Segar. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta Badan Standardisasi Nasional. 1999. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-27821998/rev 1992, tentang Metode Pengujian Susu Segar. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Barber, M.C., R.A. Clegg, M.T. Travers, & R.G. Vernon. 1997. Lipid metabolism in the lactating mammary gland. Biochem. Biophys. Acta 1347: 101–126.
Barrionuevo, M, M.J.M.Alferez, I.L. Aliaga, M.R.S. Sampelayo, & M.S. Campos. 2002. Beneficial effect of goat milk on nutritive utilization of iron and copper in malabsorbtion syndrome. J. Dairy Sci. 85:657662. Bas, P., Y. Chilliard, P. Morand-Fehr, A. Rouzeau, & N. Mandran.1987. Composition adipose tissue in alpine goat at final stage lactation. Ann. Zootech. 36: 361–374. Bauman, D.E. 2000. Regulation of nutrien partitioning during lactation : homeostatis and homeorhesis revisited. Dalam Ruminant Physiology : digestion, metabolism, growth, and reproduction. CAB Publishing. New York. Bequette, B.J., F.R.C. Backwell, & L.A. Crompton. 1998. Current concepts of amino acid and protein metabolism in the mammary gland of the lactating ruminant. J Dairy Sci. 81:2540–2559. Bergman, E.N. 1990. Energy contributions of volatile fatty acids from the gastrointestinal tract in various species. Physiol. Rev. 70: 567-590. Bolsen, K.K., G. Ashbell, & Z.G. Weinberg. 1996. Silage fermentation and silage additives: review. Asian-Austr J.Anim. Sci. 9: 483-493. Cheeke, P. R. 2005. Applied Animal Nutrition : Feed and Feeding. Pearson Education, New York. Chhay, T., J. Ly, & L. Rodriguez. 2001. An approach to ensiling conditions for preservation of cassava foliage in Cambodia. Livestock Research for Rural Developmen. http://cipav.org.co/lrrd/lrrd13/3/chhayty.htm [31 Januari 2011]. Chilliard, Y & A. Ferlay. 2007. Dietary lipids and forages interaction on cow and goat milk fatty acid composition and sensory properties. Reprod. Nutr. Dev 46: 467492. Chowdhury, S., A.H. Rexroth, C. Kijora, & K.J. Peters. 2002. Lactation performance of German fawn goat in relation to feeding level and dietary protein protection. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 15: 222–237. Coulon, JB, Hurtaud C, Remond B, & Verite R. 1998. Factors contributing to variation in the proportion of casein in cows milk true protein : a review of recent INRA experiments. J. of Dairy Res V 65: 375-387. Demeyer, D. I. & J. Hoozee. 1984. Estimated synthesis of linoleic acid in the rumen of a sheep fed a protein and fat free diet). 9de Studiedag voor Nederlandstalige Voedingsonderzockers, Utrecht, pp. 27-28. Demeyer, D. I. & C. J. Van Nevel,. 1995. Transformations and effects of lipids in the rumen: three decades of research at Gent University. Archives of Animal Nutrition 48: 119-134.
41
Demeyer, D., & M. Doreau. 1999. Targets and procedures for altering ruminant meat and milk lipids. Proc. Nutr. Soc. 58: 593-607. Departemen Pertanian. 2010. Hasil Pencarian Berdasarkan Komoditi: Singkong. http://database.deptan.go.id/bdsp/hasil_kom.asp. [8 Juni 2010] Doreau, M. & Ferlay A. 1995. Effect of dietary lipids on nitrogen metabolism in the rumen: a review. Livestock Production Science 43: 97-110. Doreau, M., & Y. Chilliard. 1997. Digestion and metabolism of dietary fat in farm animals. Br. J. Nutr. 78:S15-S35. Eggum, OL. 1970. The protein quality of cassava leaves. British Journal of Nutrition 24: 761–769. Erasmus, L.J, J.E. Hermansen, & E. Rulquin. 2001. Nutritional and managements factors affecting milk protein conten and composition. International Dairy Federation Buletin V 366: 49-61. Fasae, O.A, O.S Akintola, O.S. Sorunke, & IF Adu. 2006. Replacement value of cassava foliage for Gliricidia sepium leaves in the diets of goat. Proceeding. Nutrition Society of Nigeria. Fasae, O.A., I.F. Adu, A.B.J. Aina, & K.A. Elemo. 2009. Production, defoliation, and storage of cassava leaves as dry season forage for small ruminant in small holder crop-livestock production system. Agricultura Tropica et Subtropica 42. Faverdin, P., R. Baumont, & K.L. Ingvartsen. 1995. Control and prediction of feed intake in ruminants. In: Journet, M., Grenet, E., Farce, M.H., The´riez, M., Demarquilly, C. (Eds.), Proceedings of the IVth International Symposium on the Nutrition of Herbivores, Recent Developments in the Nutrition of Herbivores. INRA Editions, Paris. Gabas, A.L., A.F.C. Renato, A.F.O. Carlos, & T.R. Javier. 2012. Density and rheological parameters of goat milk. http://www.scielo.br/scielo.php?pid=S01010612012000200026&script=sci_artte xt. [30 Agustus 2012] Goetsch, A.L., S.S. Zeng, & T.A. Gipson. 2011. Factors affecting goat milk production and quality. Small Rum. Res. 101: 55-63. Gomez, G, M.Valdivieso, D. De la Cuesta, & T.S. Salcedo. 1984. Effect of variety and plant age on the cyanide content of whole root cassava chips and its reduction by sundrying. Animal Feed Science and Technology 11: 57–65. Haaland, G., H.F. Tyrrel, P.W. Moe, & W.E. Wheeler. 1982. Effect of crude protein level and limestone buffer in diets fed at two level intake on rumen pH, 42
ammonia-nitrogen, buffering capacity and VFA concentration of cattle. J. Anim. Sci. ed 55 4: 943. Haenlein, G.F.W. 2001. Past, present, and future perspectives of small ruminant research. J. Dairy Sci.V 84: 2097–2115. Haenlein, G.F.W. & W.L.Wendorff. 2006. Sheep milk production and utilization of sheep milk. Blackwell Publishing Professional, Oxford Handerson, N. 1993. Silage additives. Anim. Feed Sci. Techno 45: 35-56. Harfoot, C. G., & G. P. Hazlewood. 1997. Lipid metabolism in the rumen. Dalam: P. N.Hobson and C. S. Stewart (ed.) The Rumen Microbial Ecosystem. Chapman & Hall, London, UK. Harfoot, C., R.C. Noble & J.H. Moore. 1973. Food particles as a site for biohydrogenation of unsaturated fatty acid n the rumen. Biochemical Journal 132: 829-832. Harfoot, C. G. & G.P. Hazlewood. 1988. Lipid metabolism in the rumen. Dalam : The Rumen Microbial Ecosystem. PN Hubson. Editor. Elsevier Applied Science, New York. Hart, S. 2008. Meat Goat Nutrition. Proc. 23rd Ann. Goat Field Day. Langston University. Langston. Oklahoma. Iiyama, K., T.B.T. Lam, P. J. Meilke, D. I. Rhodes, & B. A, Stone.1993. Forage Cell Wall Structure and Digestibility. Madison, UK. ITIS (Integrated Taxonomy Information System). 2012. http://www.itis.gov/servlet /SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_value=503688&print_version =PRT&source=to_print. Diakses tanggal [29 Juli 2012] Janness, R. 1980. Composition and characteristics of goat milk: review. J. Dairy Sci. 63: 1605–1630. Kambing Online. 2010. Kambing Etawah. http://www.kambingonline.net/kambing-php1-jpg. Kartadisastra, H. R. 1997. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak Ruminansia. Kanisius, Yogyakarta. Krause, K.M., & D.K. Combs. 2003. Effects of forage particle size, forage source and grain fermentability on performance and ruminal pH in midlactation cows. J. Dairy Sci. 86: 1382–1397.
43
Lock, A.L. & J.S. Kevin. 2004. Optimising milk composition. Dalam Dairying Using Science To Meet Consumers Needs. E Kebreab, JAN Mills, dan DE Beever. Editor. Nottingham University Press. England. Macaulay, A. 2004. Evaluating silage quality. http://www1.agric.gov.ab.ca/ $department/deptdocs.nsf/all/for4909. [27 Februari 2010] Macciotta, NPP, Dimauro C, Steri R, Cappio-Borlino A. 2008. Mathematical modeling of goat lactation curve. Dalam : Cannas A, Pulina G. Editor. Dairy Goats Feeding and Nutrition. Departement of Animal Science, University of Sasari. Makkar, H.P.S. 2000. Evaluation and enhancement of feeding value of tanniniferous feeds. Proceeding. International Workshop on Tannins in Livestock and Human Nutrition Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra, Australia. ACIAR Proceedings Series 92: 71-74. Makkar, H.P.S. 2003. Effects and fate of tannins in ruminant animals, adaptation to tannins, and strategies to overcome detrimental effects of feeding tannin-rich feeds. Small Rum. Res. 49: 241–256. Man, Ngo Van & H. Wiktorsson. 2002. Effect of Molasses on Nutritional Quality of Cassava and Gliricidia Tops Silage. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 2002. 15: 12941299. Man, Ngo Van & H. Wiktorsson. 1999. The effect of molasses on quality, feed intake and digestibility by heifers of silage made from cassava tops. http://www.betuco.be/manioc/Cassava%20-%20as%20Animal%20Feed_+ %20molasse.pdf. [11 Februari 2011] Masuko,
T.
1994.
The
science
of
silage.
J.
Dairy
Japan
9:
McDonald P, R.A. Edwards, J.F.D. Greenhalgh, & C.A. Morgan. 2002. Nutrition. 6th Edition. Prentice Hall. London
59-71. Animal
Mens, P.L. 1985. Milk and Milk Products from Cows, Sheep and Goats. Apria, Paris. Moran, J. 2005. Making quality silage. In: Tropical dairy farming: feeding management for small holder dairy farmers in the humid tropics. Landlink Press. http://www.publish.csiro.au/?act=view_file&file_id=SA0501083.pdf. [27 Februari 2010]. Mulyono, S. & B. Sarwono. 2004 Penggemukan Kambing Potong. Penebar Swadaya, Jakarta National Research Council (NRC). 1981. Nutrien Requirements of Goats: Angora, Dairy, and Meat Goats in Temperate and Tropical Countries. http://www.nap.edu/openbook. [12 Januari 2011]
44
Novita, C.I., A. Sudomo, T. Toharmat, & I.K. Sutama. 2006. Produktivitas kambing peranakan etawah yang diberi ransum berbasis jerami padi fermentasi. Med. Pet. 29: 96-106. Ohmomo, S., O. Tanaka, H. Kitamoto, & Y. Cai. 2002. Silage and microbial performance, old story but new problems. JARQ 36 2: 59 – 71. Ondiek, JO, S.A. Abdulrazak, J.K. Tuitoek, & F. B. Bareeba. 1999. The Effects of Gliricidia sepium and maize bran as supplementary feed to rhodes grass hay on intake, digestion and liveweight of dairy goats. Livestock Prod. Sci. 61: 65-70. Onwuka, CF., A.O. Akinsoyinu, & O.O. Tewe. 1992. Role of sulphur in cyanide detoxification in ruminants. Small Rum. Res. 82: 77–84. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Park, Y.W., M. Ju´arez, M. Ramosc, & G.F.W. Haenlein. 2007. Physico-chemical characteristics of goat and sheep milk. Small Rum. Res 68: 88–113. Perry, T. W, A. E. Cullison, & R. S. Lowrey. 2003. Feeds and Feeding. 6th Edition. Pearson ducation, Inc., Upper Saddle River, New Jersey. Pond, W.G., D.C. Church & K.R.Pond. 1995. Basic Animal Nutrition and Feeding 4rd. Ed, USA. Prasetyo, L.H. 1992. Pemikiran Dalam Upaya Peningkatan Mutu Genetik Kambing. Prosiding Domba dan Kambing untuk Kesejahteraan Masyarakat. Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing Menyongsong Era PJPT II. Ikatan Sarjana Ilmu-ilmu Peternakan, Bogor. Preston, TR & Ho Bunyeth. 2006. Growth performance and parasite infestation of goats given cassava leaf silage, or sun-dried cassava leaves, as supplement to grazing in lowland and upland regions of Cambodia. Livestock Res. for Rur. Dev. 18 (2): 1-7. Preston, TR. 1995. Tropical animal feeding, A manual for research workers. FAO Animal Production and Health Paper 126: 68–71. Preston, TR. 2002. Production and utilization of cassava in integrated farming systems for smallholder farmers in Vietnam and Cambodia. Proceeding. 7th Regional Workshop on Cassava Research and Development in Asia: Exploring New Opportunities for an Ancient Crop 48–57. Pulina, G. & A. Nudda, 2002. Sheep Feeding and Nutrition : Milk Production. Avenue Media, Bologna.
45
Ravindran, V. 1992. Utilization of cassava leaves (Manihot esculenta Crantz) in animal nutrition. J Nat. Sci. Count. Sri Lanka 21: 1-26. Reed, J. D. 1995. Nutritional toxicology of tannins and related polyphenols in forage legumes. Journal of Animal Science 73. Sampelayo, M. R. S., L. Perez, J. Boza, & L. Amigo. 1998. Forage of different physical forms in the diets of lactating Granadina goats: nutrien digestibility and milk production and composition. J. Dairy Sci. 81: 492–498. Sampelayo, M. R. S., M. L. Peres, F. G. Extremera, J. J. Boza, & J. Boza. 1999. Use of different dietary protein sources for lactating goats: milk production and composition as functions of protein degradability and amino acid composition. J Dairy Sci 82: 555-565. Sauvant, D, Y Chilliard, and P Morand-Fehr. 1991. Etiological aspects of nutritional and metabolic disorders of goats in goat nutrition. P. Morand-Fehr, ed. Pudoc, (NLD), EAAP Publ. No. 46:124–142. Silanikove, N., N. Gilboa, A. Perevolotsky, & Z. Nitsan. 1996. Goats fed tannincontaining leaves do not exhibit toxic syndromes. Small Rumin. Res. 21: 195– 201. Silanikove, N. 2000. Physiological basis of adaptation in goat to harsh environment : Review. J of Small Rum. Res. 35: 181-193. Siregar, S. B. 1996. Penggemukan Sapi cetakan ke-8. Penebar Swadaya. Jakarta. Smith, A.H., E. Zoetendal, & R.I. Mackie. 2005. Bacterial mechanisms to overcome inhibitory effects of dietary tannins. Microb. Ecol. 50: 197-205. Sniffen, C.J. & P. H. Robinson. 1987. Microbial growth and flow as influenced by dietary manipulation. J. Dairy Sci 70: 425. Sodiq, A. & Z. Abidin. 2002. Kambing Peranakan Etawah Penghasil Susu Berkhasiat Obat. Agromedia Pustaka, Jakarta. Sokerya, S & T.R. Preston. 2003. Effect of grass or cassava foliage on growth and nematode parasite infestation in goats fed low or high protein diets in confinement. Livestock Research for Rural Development, 15 (8). http://www.cipav.org.co/lrrd/lrrd15/8/kery158.htm [31 Januari 2011]. Steel, R. G., & J. H. Torrie. 1993. Principles and Procedures of Statistics. Terjemahan B. Sumantri 2nd Ed. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Susu
Kambing. 2011. Produk Susu Kambing. kambing.com/produk.php. [17 Februari 2011].
http://www.susu-
46
Suttle, N.F. 2010. Mineral Nutrition of Livestock 4th Edition. Oxfordshire, UK. Tahara, T. 1992. Dosage of lactobacilli additive to beef calves. Anim. Husb. 46(3): 388–392. Tanner, G.J., A.E. Moore & P.J. Larkin. 1994. Proanthocyanidins inhibit hydrolysis of leaf proteins by rumen microflora in vitro. Br. J. Nutr. 74: 947-958. Tewe, O. 1994. Indices of cassava safety for livestock feeding. ISHS Acta Horticulturae, Swedia. Tillman, A. D., S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo & S. Lebdosoeksono. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta. Utomo, B & D.P. Miranti. 2010. Tampilan produksi susu sapi perah yang mendapatkan perbaikan manajemen pemeliharaan. Caraka Tani 25 : 21-25. Van Nevel, C. J. & D. I. Demeyer. 1995. Lipolysis and biohydrogenation of soybean oil in the rumen in vitro: inhibition by antimicrobials. J. of Dairy Sci. 78: 27972806. Wanapat M, T. Puramangkan, & W. Siphuak. 2000. Feeding of cassava hay to lactating dairy cows. Asian Aust. Journal of Anim. Sci. 13: 478–482. Wanapat, M. 2008. Potential uses of local feed resources for ruminants. Trop Anim Health Prod. 16: 463-472. Wang, Y, G.B. Douglas, G.C. Waghorn, T.N. Barry, & A.G. Foote. 1996. Effect of condensed tannins in Lotus corniculatus upon lactation performance in ewes. J. Agric. Sci. Camb. 126: 353–362. Zeng, S.S., E.N. Escobar, & T. Popham. 1997. Daily variations in somatic cell count, composition, and production of Alpine goat milk.Small Rum. Res 26: 253-260
47
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Konsumsi Bahan Kering Faktor Antar Subjek Ulangan
Perlakuan
1 2 3 4 CLS-0 CLS-1 CLS-2
N 3 3 3 3 4 4 4
Uji Dampak Antar Subjek Variabel Terikat: Konsumsi BK Sumber Model Terkoreksi Pemintas Ulangan Perlakuan Kesalahan Total Total Terkoreksi
Jumlah Kuadrat 773166,836a 1,906E7 15943,916 757222,920 26072,056 1,986E7 799238,892
db 5 1 2 3 6 12 11
Kuadrat Rataan 154633,367 1,906E7 7971,958 252407,640 4345,343
F 35,586 4,387E3 1,835 58,087
Signifikan ,000 ,000 ,239 ,000
Perbandingan Ganda Kecernaan Bahan Kering BNT (I) (J) Perbedaan Standar Perlakuan Perlakuan Rata-Rata (I-J) Kesalahan Signifikan CLS-0 CLS-1 35,7300 46,61192 ,472 CLS-2 88,7275 46,61192 ,106 CLS-1 CLS-0 -35,7300 46,61192 ,472 CLS-2 52,9975 46,61192 ,299 CLS-2 CLS-0 -88,7275 46,61192 ,106 CLS-1 -52,9975 46,61192 ,299
Selang Kepercayaan 95% Batas Bawah Batas Atas -78,3253 149,7853 -25,3278 202,7828 -149,7853 78,3253 -61,0578 167,0528 -202,7828 25,3278 -167,0528 61,0578
49
Lampiran 2. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Konsumsi Protein Faktor Antar Subjek Ulangan
Perlakuan
1 2 3 4 CLS-0 CLS-1 CLS-2
N 3 3 3 3 4 4 4
Uji Dampak Antar Subjek Variabel Terikat: Konsumsi Protein Sumber Model Terkoreksi Pemintas Ulangan Perlakuan Kesalahan Total Total Terkoreksi
Jumlah Kuadrat 20327,924a 505079,301 58,869 20269,055 875,693 526282,918 21203,617
db 5 1 2 3 6 12 11
Kuadrat Rataan 4065,585 505079,301 29,435 6756,352 145,949
F 27,856 3,461E3 ,202 46,293
Signifikan ,000 ,000 ,823 ,000
Perbandingan Ganda Konsumsi Protein BNT (J) (I) Perlakuan Perlakuan CLS-0 CLS-1 CLS-2 CLS-1 CLS-0 CLS-2 CLS-2 CLS-0 CLS-1
Perbedaan Standar Rata-Rata (I-J) Kesalahan Signifikan -4,2675 8,54251 ,635 -5,0350 8,54251 ,577 4,2675 8,54251 ,635 -,7675 8,54251 ,931 5,0350 8,54251 ,577 ,7675 8,54251 ,931
Selang Kepercayaan 95% Batas Bawah Batas Atas -25,1703 16,6353 -25,9378 15,8678 -16,6353 25,1703 -21,6703 20,1353 -15,8678 25,9378 -20,1353 21,6703
50
Lampiran 3. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Konsumsi Lemak Faktor Antar Subjek Ulangan
Perlakuan
1 2 3 4 CLS-0 CLS-1 CLS-2
N 3 3 3 3 4 4 4
Uji Dampak Antar Subjek Variabel Terikat: Konsumsi Lemak Sumber Jumlah Kuadrat Model Terkoreksi 2112,189a Pemintas 48281,647 Ulangan 1898,889 Perlakuan 213,300 Kesalahan 54,063 Total 50447,900 Total Terkoreksi 2166,252
db 5 1 3 2 6 12 11
Kuadrat Rataan 422,438 48281,647 632,963 106,650 9,011
F 46,883 5,358E3 70,247 11,836
Signifikan ,000 ,000 ,000 ,008
Perbandingan Ganda Variabel Terikat: Konsumsi Lemak (I) Perlakuan CLS-0
(J) Perbedaan Rata- Standar Perlakuan Rata (I-J) Kesalahan Signifikan CLS-1 4,8275 2,12256 ,063 CLS-2 10,3200* 2,12256 ,003 CLS-1 CLS-0 -4,8275 2,12256 ,063 CLS-2 5,4925* 2,12256 ,041 * CLS-2 CLS-0 -10,3200 2,12256 ,003 * CLS-1 -5,4925 2,12256 ,041 *Rataan berbeda nyata pada taraf 0,05
Selang Kepercayaan 95% Batas Bawah Batas Atas -,3662 10,0212 5,1263 15,5137 -10,0212 ,3662 ,2988 10,6862 -15,5137 -5,1263 -10,6862 -,2988
51
Lampiran 4. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Konsumsi Serat Kasar Faktor Antar Subjek Ulangan
Perlakuan
1 2 3 4 CLS-0 CLS-1 CLS-2
N 3 3 3 3 4 4 4
Uji Dampak Antar Subjek Variabel Terikat: Konsumsi Serat Kasar Sumber Jumlah Kuadrat Model Terkoreksi 76642,386a Pemintas 1632522,724 Ulangan 9948,830 Perlakuan 66693,556 Kesalahan 4326,197 Total 1713491,307 Total Terkoreksi 80968,583
db 5 1 2 3 6 12 11
Kuadrat Rataan 15328,477 1632522,724 4974,415 22231,185 721,033
F 21,259 2,264E3 6,899 30,832
Signifikan ,001 ,000 ,028 ,000
Perbandingan Ganda Konsumsi Serat Kasar BNT (I) (J) Perbedaan Rata- Standar Perlakuan Perlakuan Rata (I-J) Kesalahan Signifikan CLS-0 CLS-1 -39,4125 18,98727 ,083 * CLS-2 -70,3600 18,98727 ,010 CLS-1 CLS-0 39,4125 18,98727 ,083 CLS-2 -30,9475 18,98727 ,154 * CLS-2 CLS-0 70,3600 18,98727 ,010 CLS-1 30,9475 18,98727 ,154 *Rataan berbeda nyata pada taraf 0,05
Selang Kepercayaan 95% Batas Bawah Batas Atas -85,8727 7,0477 -116,8202 -23,8998 -7,0477 85,8727 -77,4077 15,5127 23,8998 116,8202 -15,5127 77,4077
52
Lampiran 5. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Konsumsi Abu Faktor Antar Subjek Ulangan
Perlakuan
1 2 3 4 CLS-0 CLS-1 CLS-2
N 3 3 3 3 4 4 4
Uji Dampak Antar Subjek Variabel Terikat: Konsumsi Abu Sumber Jumlah Kuadrat Model Terkoreksi 12379,960a Pemintas 283155,457 Ulangan 1242,977 Perlakuan 11136,983 Kesalahan 317,865 Total 295853,282 Total Terkoreksi 12697,825
db 5 1 2 3 6 12 11
Kuadrat Rataan 2475,992 283155,457 621,489 3712,328 52,977
F 46,737 5,345E3 11,731 70,074
Signifikan ,000 ,000 ,008 ,000
Perbandingan Ganda Konsumsi Abu BNT (I) (J) Perbedaan Standar Perlakuan Perlakuan Rata-Rata (I-J) Kesalahan Signifikan CLS-0 CLS-1 11,6550 5,14672 ,064 * CLS-2 24,9125 5,14672 ,003 CLS-1 CLS-0 -11,6550 5,14672 ,064 * CLS-2 13,2575 5,14672 ,042 * CLS-2 CLS-0 -24,9125 5,14672 ,003 CLS-1 -13,2575* 5,14672 ,042 *Rataan berbeda nyata pada taraf 0,05
Selang Kepercayaan 95% Batas Bawah Batas Atas -,9386 24,2486 12,3189 37,5061 -24,2486 ,9386 ,6639 25,8511 -37,5061 -12,3189 -25,8511 -,6639
53
Lampiran 6. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Kecernaan Bahan Kering Faktor Antar Subjek Ulangan
Perlakuan
N 3 3 3 3 4 4 4
1 2 3 4 CLS-0 CLS-1 CLS-2
Uji Dampak Antar Subjek Variabel Terikat: KecernaanBK Sumber Jumlah Kuadrat Model Terkoreksi 134,796a Pemintas 41317,762 Ulangan 57,647 Perlakuan 77,150 Kesalahan 9,784 Total 41462,342 Total Terkoreksi 144,581
db 5 1 3 2 6 12 11
Kuadrat Rataan 26,959 41317,762 19,216 38,575 1,631
F 16,532 2,534E4 11,783 23,655
Signifikan ,002 ,000 ,006 ,001
Perbandingan Ganda Konsumsi Abu BNT (I)
(J)
Perbedaan Rata-
Perlakuan Perlakuan Rata (I-J) CLS-0 CLS-1 -,7200 CLS-2 -5,7025* CLS-1 CLS-0 ,7200 CLS-2 -4,9825* CLS-2 CLS-0 5,7025* CLS-1 4,9825* *Rataan berbeda nyata pada taraf 0,05
Standar Kesalahan Signifikan ,90298 ,456 ,90298 ,001 ,90298 ,456 ,90298 ,001 ,90298 ,001 ,90298 ,001
Selang Kepercayaan 95% Batas Bawah -2,9295 -7,9120 -1,4895 -7,1920 3,4930 2,7730
Batas Atas 1,4895 -3,4930 2,9295 -2,7730 7,9120 7,1920
54
Lampiran 7. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Kecernaan Protein Faktor Antar Subjek Ulangan
Perlakuan
N 3 3 3 3 4 4 4
1 2 3 4 CLS-0 CLS-1 CLS-2
Uji Dampak Antar Subjek Variabel Terikat: Kecernaan Protein Sumber Jumlah Kuadrat Model Terkoreksi 620,574a Pemintas 61179,804 Ulangan 478,489 Perlakuan 142,085 Kesalahan 30,026 Total 61830,404 Total Terkoreksi 650,600
db 5 1 3 2 6 12 11
Kuadrat Rataan 124,115 61179,804 159,496 71,042 5,004
F 24,801 1,223E4 31,871 14,196
Signifikan ,001 ,000 ,000 ,005
Perbandingan Ganda Kecernaan Protein BNT Selang Kepercayaan 95% (I) (J) Perbedaan Rata- Standar Perlakuan Perlakuan Rata (I-J) Kesalahan Signifikan Batas Bawah Batas Atas CLS-0 CLS-1 1,6250 1,58183 ,344 -2,2456 5,4956 * CLS-2 -6,3500 1,58183 ,007 -10,2206 -2,4794 CLS-1 CLS-0 -1,6250 1,58183 ,344 -5,4956 2,2456 CLS-2 -7,9750* 1,58183 ,002 -11,8456 -4,1044 CLS-2 CLS-0 6,3500* 1,58183 ,007 2,4794 10,2206 * CLS-1 7,9750 1,58183 ,002 4,1044 11,8456 *Rataan berbeda nyata pada taraf 0,05
55
Lampiran 8. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Kecernaan Lemak Faktor Antar Subjek N Ulangan
Perlakuan
1 2 3 4 CLS-0 CLS-1 CLS-2
3 3 3 3 4 4 4
Uji Dampak Antar Subjek Variabel Terikat: Kecernaan Lemak Sumber Model Terkoreksi Pemintas Ulangan Perlakuan Kesalahan Total Total Terkoreksi
Jumlah Kuadrat 244,026a 77581,176 215,534 28,492 43,487 77868,689 287,513
db 5 1 3 2 6 12 11
Kuadrat Rataan 48,805 77581,176 71,845 14,246 7,248
F Signifikan 6,734 ,019 1,070E4 ,000 9,913 ,010 1,966 ,221
Perbandingan Ganda Kecernaan Lemak BNT Selang Kepercayaan 95% (I) (J) Perbedaan Standar Perlakuan Perlakuan Rata-Rata (I-J) Kesalahan Signifikan Batas Bawah Batas Atas CLS-0 CLS-1 3,1225 1,90366 ,152 -1,5356 7,7806 CLS-2 -,2750 1,90366 ,890 -4,9331 4,3831 CLS-1 CLS-0 -3,1225 1,90366 ,152 -7,7806 1,5356 CLS-2 -3,3975 1,90366 ,125 -8,0556 1,2606 CLS-2 CLS-0 ,2750 1,90366 ,890 -4,3831 4,9331 CLS-1 3,3975 1,90366 ,125 -1,2606 8,0556
56
Lampiran 9. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Kecernaan Serat Kasar Faktor Antar Subjek N Ulangan
Perlakuan
1 2 3 4 CLS-0 CLS-1 CLS-2
3 3 3 3 4 4 4
Uji Dampak Antar Subjek Variabel Terikat: Kecernaan Serat Kasar Sumber Jumlah Kuadrat Model Terkoreksi 1834,112a Pemintas 34663,375 Ulangan 365,900 Perlakuan 1468,212 Kesalahan 57,445 Total 36554,932 Total Terkoreksi 1891,557
db 5 1 3 2 6 12 11
Kuadrat Rataan 366,822 34663,375 121,967 734,106 9,574
F Signifikan 38,314 ,000 3,620E3 ,000 12,739 ,005 76,675 ,000
Perbandingan Ganda Kecernaan Serat Kasar BNT Selang Kepercayaan 95% (J) Perbedaan Rata- Standar Perlakuan Perlakuan Rata (I-J) Kesalahan Signifikan Batas Bawah Batas Atas * CLS-0 CLS-1 -14,4250 2,18794 ,001 -19,7787 -9,0713 CLS-2 -27,0750* 2,18794 ,000 -32,4287 -21,7213 CLS-1 CLS-0 14,4250* 2,18794 ,001 9,0713 19,7787 * CLS-2 -12,6500 2,18794 ,001 -18,0037 -7,2963 CLS-2 CLS-0 27,0750* 2,18794 ,000 21,7213 32,4287 CLS-1 12,6500* 2,18794 ,001 7,2963 18,0037 *Rataan berbeda nyata pada taraf 0,05 (I)
57
Lampiran 10. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Kecernaan Abu Faktor Antar Subjek N Ulangan
Perlakuan
1 2 3 4 CLS-0 CLS-1 CLS-2
3 3 3 3 4 4 4
Uji Dampak Antar Subjek Variabel Terikat: Kecernaan Abu Sumber Jumlah Kuadrat Model Terkoreksi 1307,717a Pemintas 27730,622 Ulangan 1106,657 Perlakuan 201,060 Kesalahan 87,484 Total 29125,823 Total Terkoreksi 1395,201
db 5 1 3 2 6 12 11
Kuadrat Rataan 261,543 27730,622 368,886 100,530 14,581
F Signifikan 17,938 ,002 1,902E3 ,000 25,300 ,001 6,895 ,028
Perbandingan Ganda Kecernaan Abu BNT (I) (J) Perbedaan Rata- Standar Perlakuan Perlakuan Rata (I-J) Kesalahan Signifikan CLS-0 CLS-1 -1,8825 2,70006 ,512 CLS-2 -9,4700* 2,70006 ,013 CLS-1 CLS-0 1,8825 2,70006 ,512 CLS-2 -7,5875* 2,70006 ,031 * CLS-2 CLS-0 9,4700 2,70006 ,013 * CLS-1 7,5875 2,70006 ,031 *Rataan berbeda nyata pada taraf 0,05
Selang Kepercayaan 95% Batas Bawah Batas Atas -8,4893 4,7243 -16,0768 -2,8632 -4,7243 8,4893 -14,1943 -,9807 2,8632 16,0768 ,9807 14,1943
58
Lampiran 11. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Bahan Kering Susu Faktor Antar Subjek N Ulangan
Perlakuan
1 2 3 4 CLS-0 CLS-1 CLS-2
3 3 3 3 4 4 4
Uji Dampak Antar Subjek Variabel Terikat: Bahan Kering Susu Sumber Jumlah Kuadrat db Kuadrat Rataan a Model Terkoreksi 8,563 5 1,713 Pemintas 1979,415 1 1979,415 Ulangan 2,165 3 ,722 Perlakuan 6,398 2 3,199 Kesalahan 13,083 6 2,181 Total 2001,060 12 Total Terkoreksi 21,646 11
F ,785 907,763 ,331 1,467
Signifikan ,596 ,000 ,804 ,303
Perbandingan Ganda Bahan Kering Susu BNT Selang Kepercayaan 95% (I) (J) Perbedaan Rata- Standar Perlakuan Perlakuan Rata (I-J) Kesalahan Signifikan Batas Bawah Batas Atas CLS-0 CLS-1 -,2600 1,04416 ,812 -2,8150 2,2950 CLS-2 -1,6625 1,04416 ,162 -4,2175 ,8925 CLS-1 CLS-0 ,2600 1,04416 ,812 -2,2950 2,8150 CLS-2 -1,4025 1,04416 ,228 -3,9575 1,1525 CLS-2 CLS-0 1,6625 1,04416 ,162 -,8925 4,2175 CLS-1 1,4025 1,04416 ,228 -1,1525 3,9575
59
Lampiran 12. Hasil Uji Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Lemak Susu Faktor Antar Subjek N Ulangan
Perlakuan
1 2 3 4 CLS-0 CLS-1 CLS-2
3 3 3 3 4 4 4
Uji Dampak Antar Subjek Variabel Terikat: Lemak Susu Sumber Jumlah Kuadrat Model Terkoreksi 2,801a Pemintas 225,333 Ulangan ,488 Perlakuan 2,314 Kesalahan 8,703 Total 236,837 Total Terkoreksi 11,504
db 5 1 3 2 6 12 11
Kuadrat Rataan ,560 225,333 ,163 1,157 1,450
F ,386 155,350 ,112 ,798
Signifikan ,842 ,000 ,950 ,493
Perbandingan Ganda Lemak Susu BNT (I) Perlakan CLS-0 CLS-1 CLS-2
(J) Perlakuan CLS-1 CLS-2 CLS-0 CLS-2 CLS-0 CLS-1
Selang Kepercayaan 95% Perbedaan Rata- Standar Rata (I-J) Kesalahan Signifikan Batas Bawah Batas Bawah -,4200 ,85161 ,639 -2,5038 1,6638 -1,0675 ,85161 ,257 -3,1513 1,0163 ,4200 ,85161 ,639 -1,6638 2,5038 -,6475 ,85161 ,476 -2,7313 1,4363 1,0675 ,85161 ,257 -1,0163 3,1513 ,6475 ,85161 ,476 -1,4363 2,7313
60
Lampiran 13. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Protein Susu Faktor Antar Subjek N Ulangan
Perlakuan
1 2 3 4 CLS-0 CLS-1 CLS-2
3 3 3 3 4 4 4
Uji Dampak Antar Subjek Variabel Terikat: Protein Susu Sumber Model Terkoreksi Pemintas Ulangan Perlakuan Kesalahan Total Total Terkoreksi
Jumlah Kuadrat 8,915a 155,664 7,511 1,404 14,298 178,877 23,213
db 5 1 3 2 6 12 11
Kuadrat Rataan 1,783 155,664 2,504 ,702 2,383
F ,748 65,322 1,051 ,295
Signifikan ,616 ,000 ,436 ,755
Perbandingan Ganda Protein Susu BNT Selang Kepercayaan 95% (I) (J) Perbedaan Rata- Standar Perlakuan Perlakuan Rata (I-J) Kesalahan Signifikan Batas Bawah Batas Atas CLS-0 CLS-1 -,8325 1,09156 ,475 -3,5035 1,8385 CLS-2 -,3350 1,09156 ,769 -3,0060 2,3360 CLS-1 CLS-0 ,8325 1,09156 ,475 -1,8385 3,5035 CLS-2 ,4975 1,09156 ,665 -2,1735 3,1685 CLS-2 CLS-0 ,3350 1,09156 ,769 -2,3360 3,0060 CLS-1 -,4975 1,09156 ,665 -3,1685 2,1735
61
Lampiran 14. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Bahan Kering Tanpa Lemak Faktor Antar Subjek N Ulangan
Perlakuan
1 2 3 4 CLS-0 CLS-1 CLS-2
3 3 3 3 4 4 4
Uji Dampak Antar Subjek Variabel Terikat: Bahan Kering Tanpa Lemak Sumber Model Terkoreksi
Jumlah Kuadrat 1,944
a
db
Kuadrat Rataan
F
Signifikan
5
,389
1,330
,365
Pemintas
869,041
1
869,041
2,971E3
,000
Ulangan
,678
3
,226
,773
,550
Perlakuan
1,266
2
,633
2,165
,196
1,755 872,740 3,699
6 12 11
,292
Kesalahan Total Total Terkoreksi
Perbandingan Ganda Bahan Kering Tanpa Lemak BNT (I) (J) Perbedaan Rata- Standar Perlakuan Perlakuan Rata (I-J) Kesalahan Signifikan CLS-0 CLS-1 ,1600 ,38240 ,690 CLS-2 -,5950 ,38240 ,171 CLS-1 CLS-0 -,1600 ,38240 ,690 CLS-2 -,7550 ,38240 ,096 CLS-2 CLS-0 ,5950 ,38240 ,171 CLS-1 ,7550 ,38240 ,096
Selang Kepercayaan 95% Batas Bawah Batas Atas -,7757 1,0957 -1,5307 ,3407 -1,0957 ,7757 -1,6907 ,1807 -,3407 1,5307 -,1807 1,6907
62
Lampiran 15. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Berat Jenis Susu Faktor Antar Subjek N Ulangan
Perlakuan
1 2 3 4 CLS-0 CLS-1 CLS-2
3 3 3 3 4 4 4
Uji Dampak Antar Subjek Variabel Terikat: Berat Jenis Susu Sumber Model Terkoreksi Pemintas Ulangan Perlakuan Kesalahan Total Total Terkoreksi
Jumlah Kuadrat 2,027E-5a 12,726 1,823E-5 2,042E-6 2,246E-5 12,726 4,273E-5
db 5 1 3 2 6 12 11
Kuadrat Rataan 4,054E-6 12,726 6,076E-6 1,021E-6 3,743E-6
F Signifikan 1,083 ,454 3,400E6 ,000 1,623 ,281 ,273 ,770
Perbandingan Ganda Berat Jenis Susu BNT (I) (J) Perbedaan Rata- Standar Perlakuan Perlakuan Rata (I-J) Kesalahan Signifikan CLS-0 CLS-1 -,00063 ,001368 ,664 CLS-2 -,00100 ,001368 ,492 CLS-1 CLS-0 ,00063 ,001368 ,664 CLS-2 -,00038 ,001368 ,793 CLS-2 CLS-0 ,00100 ,001368 ,492 CLS-1 ,00038 ,001368 ,793
Selang Kepercayaan 95% Batas Bawah Batas Atas -,00397 ,00272 -,00435 ,00235 -,00272 ,00397 -,00372 ,00297 -,00235 ,00435 -,00297 ,00372
63
Lampiran 16. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Produksi Susu Faktor Antar Subjek N Ulangan
Perlakuan
1 2 3 4 CLS-0 CLS-1 CLS-2
3 3 3 3 4 4 4
Uji Dampak Antar Subjek Variabel Terikat: Produksi Susu Sumber Model Terkoreksi Pemintas Ulangan Perlakuan Kesalahan Total Total Terkoreksi
Jumlah Kuadrat 65553,125a 2608668,750 57206,250 8346,875 24065,625 2698287,500 89618,750
db 5 1 3 2 6 12 11
Kuadrat Rataan 13110,625 2608668,750 19068,750 4173,438 4010,938
F Signifikan 3,269 ,091 650,389 ,000 4,754 ,050 1,041 ,409
Perbandingan Ganda Produksi Susu BNT (I) (J) Perlakuan Perlakuan CLS-0 CLS-1 CLS-2 CLS-1 CLS-0 CLS-2 CLS-2 CLS-0 CLS-1
Perbedaan Rata-Rata (I-J) -64,37500 -27,50000 64,37500 36,87500 27,50000 -36,87500
Selang Kepercayaan 95% Standar Kesalahan Signifikan Batas Bawah Batas Atas 4,478246E1 ,201 -173,95373 45,20373 4,478246E1 ,562 -137,07873 82,07873 4,478246E1 ,201 -45,20373 173,95373 4,478246E1 ,442 -72,70373 146,45373 4,478246E1 ,562 -82,07873 137,07873 4,478246E1 ,442 -146,45373 72,70373
64
Lampiran 17. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Produksi Susu Terkoreksi Lemak 4% (FCM) Faktor Antar Subjek N Ulangan
Perlakuan
1 2 3 4 CLS-0 CLS-1 CLS-2
3 3 3 3 4 4 4
Uji Dampak Antar Subjek Variabel Terikat: Produksi Susu Terkoreksi Sumber Model Terkoreksi Pemintas Ulangan Perlakuan Kesalahan Total Total Terkoreksi
Jumlah Kuadrat 97799,304a 2821768,877 63049,733 34749,571 33164,083 2952732,264 130963,387
db 5 1 3 2 6 12 11
Kuadrat Rataan 19559,861 2821768,877 21016,578 17374,786 5527,347
F Signifikan 3,539 ,078 510,511 ,000 3,802 ,077 3,143 ,116
Perbandingan Ganda Produksi Susu Terkoreksi BNT (J) (I) Perlakuan Perlakuan CLS-0 CLS-1 CLS-2 CLS-1 CLS-0 CLS-2 CLS-2 CLS-0 CLS-1
Perbedaan RataRata (I-J) -110,58000 -117,42000 110,58000 -6,84000 117,42000 6,84000
Selang Kepercayaan 95% Standar Kesalahan Signifikan Batas Bawah Batas Atas 5,257065E1 ,080 -239,21576 18,05576 5,257065E1 ,067 -246,05576 11,21576 5,257065E1 ,080 -18,05576 239,21576 5,257065E1 ,901 -135,47576 121,79576 5,257065E1 ,067 -11,21576 246,05576 5,257065E1 ,901 -121,79576 135,47576
65