8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Deskripsi Tanaman Singkong Daun singkong atau daun umbi kayu berasal dari tanaman singkong.
Tanaman ini memiliki nama latin Manihot utilisima. Adapun klasifikasi tanaman singkong menurut Sukria dan Rantan (2009) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Devisi
: Spermatophyta
Sub devisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Manihot
Spesies
: Manihot utilisima
Tanaman singkong merupakan tanaman tropis yang potensial digunakan untuk ternak, karena menghasilkan biomassa sebagai sumber energi dalam bentuk umbi dan protein tinggi yang terdapat dalam daun. Produksi utama dan ikutan tanaman singkong terdiri dari umbi, daun, dan kulit umbi serta hasil sampingan dari industri singkong yaitu, onggok. Berdasarkan umur panen 12 bulan dengan luas 1 hektar dapat menghasilkan umbi segar sebanyak 17,5 ton, kulit umbi sebanyak 2,79 ton, dan daun sebanyak 2,30 ton bahan kering (Sukria dan Rantan, 2009). Hampir 10-40% dari tanaman singkong terdiri atas daun. Tanaman
9 singkong
mampu
menghasilkan
daun
sedikitnya
sampai
15
ton/ha
(Marhaeniyanto, 2007). Daun singkong sangat baik untuk sumber protein karena mempunyai kandungan protein 20-27% dari bahan kering, sehingga dapat digunakan sebagai pakan suplemen sumber protein terhadap hijauan lain seperti rumput lapangan, daun tebu, dan jerami padi yang memiliki protein rendah (Marhaeniyanto, 2007). Terdapat perbedaan nilai nutrisi antara daun, tulang daun, dan tangkai daun singkong. Daun singkong mengandung protein dan lemak lebih tinggi dibandingkan tulang dan tangkai, akan tetapi kadar abunya lebih rendah. Hasil penelitian Chhay dan Rodriguez (2001) menunjukkan bahwa daya cerna bahan organik, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, dan energi serta keseimbangan N meningkat pada daun singkong muda dibandingkan daun singkong tua. Hutagalung, dkk. (1973), Muller dan Nah (1975) mengemukakan bahwa protein daun singkong kekurangan asam amino yang mengandung sulfur, yaitu methionin dan sistein. Kandungan asam amino yang terdapat dalam daun singkong dapat dilihat pada Tabel 1.
10 Tabel 1. Komposisi Asam Amino Daun Singkong Jenis Asam Amino Daun Daun dan Tangkai ……………...….. % ………….……. Protein kasar 27,00 20,30 Arginin 5,21 3,89 Sistin 1,18 0,98 Glisin 4,29 5,10 Histidin 2,47 2,31 Isoleusin 4,12 4,40 Leusin 10,10 8,75 Lisin 7,11 5,89 Methionin 1,45 1,83 Threonin 5,17 5,70 Fenilalanin 3,87 4,37 Triptofan 1,09 1,24 Tirosin 3,97 4,12 Valin 6,18 8,43 Sumber : Muller dan Nah (1975)
Kandungan zat makanan dari daun singkong dapat dilihat pada Tabel 2, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2. Kandungan Zat Makanan Daun Singkong Zat Makanan Dalam BK ………………….. % …………………. (1) (2) (3) Bahan Kering 21,6 23,36 25,30 Abu 12,1 8,83 9,1 Protein Kasar 24,1 28,66 25,1 Serat Kasar 22,1 19,06 11,4 Lemak Kasar 4,7 9,41 12,7 BETN 37 34,08 46,1 Kalsium 0,7 1,91 Pospor 0,31 0,46 TDN 72,3 61 Sumber : (1) Sofyan, dkk. (2000); (2) Askar (1996); (3) Iheukwumere, dkk. (2008)
11 Menurut Sutardi (1979) protein yang terdapat di dalam daun singkong kurang tahan terhadap degradasi rumen. Dengan adanya onggok sebagai sumber energi siap pakai dalam ransum, diharapkan campurannya dapat memberikan manfaat yang lebih baik. Bagian-bagian dari tanaman singkong yaitu meliputi: (1)
Akar Akar merupakan organ penyimpanan utama pada umbi singkong. Secara
anatomi, akar singkong bukan akar umbi, tetapi akar sejati yang tidak bisa digunakan untuk perbanyakan vegetatif.
Akar penyimpanan pada singkong
memiliki tiga jaringan berbeda yaitu periderm, korteks, dan parenkim. Ukuran dan bentuk akar tergantung kondisi genotif dan lingkungan (Alves, 2002). Umbi yang terbentuk merupakan akar yang menggelembung dan berfungsi sebagai tempat penampungan makanan cadangan. Bentuk umbi biasanya bulat memanjang, terdiri atas kulit luar tipis (ari) berwarna kecoklatan (kering), kulit dalam agak tebal berwarna keputih-putihan (basah), dan daging berwarna putih atau kuning (tergantung varietasnya) yang mengandung sianida dengan kadar berbeda. (2)
Batang Secara umum batang singkong berbentuk silinder dan dibentuk oleh buku
dan ruas. Singkong yang tumbuh dari stek batang dapat dihasilkan batang primer sebanyak tunas yang terdapat pada batang yang distek (Alves, 2002). Batang singkong memiliki percabangan simpodial. Batang utama dapat terbagi dua, tiga, atau empat bagian.
Bagian-bagian tersebut menghasilkan
cabang lainnya. Percabangan tersebut terjadi karena induksi perbungaan (Alves, 2002).
12 (3)
Daun Daun singkong termasuk daun yang tidak lengkap (incompletes) karena
hanya terdiri atas helai daun dan tangkai daun. Daunnya memiliki pertulangan daun menjari dan jumlah belahan helai atau sirip daun pada satu tangkai terdiri dari 3-9 helai. Letak daun yang dekat dengan perbungaan biasanya berukuran lebih kecil dan belahan daunnya hanya terdiri atas 3 helai (Alves, 2002). Permukaan atas daun dilapisi kutikula yang mengkilap. Stomata terdapat pada bagian bawah (abaksial) daun dan memiliki bentuk parasitik. Tiap daun yang sudah dewasa akan dikelilingi dua stipula dengan panjang kira-kira 0,5–1,0 cm. Panjang tangkai daun biasanya bervariasi atara 5-30 cm (Alves, 2002). (4)
Bunga Tanaman singkong memiliki bunga jantan dan bunga betina dalam satu
pohon. Ukuran bunga jantan setengah dari ukuran bunga betina. Tangkai bunga jantan tipis, lurus, dan pendek, sedangkan tangkai bunga betina tebal, melengkung, dan panjang. Bunga singkong mengalami protogini dimana bunga betina pada perbungaan yang sama dengan bunga jantan membuka 1-2 minggu lebih cepat (Alves, 2002).
2.2
Protein Kasar dan Protein Murni Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur
karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat.
Molekul protein mengandung pula fosfor, sulfur dan ada jenis
protein yang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno, 1997). Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai
13 zat pembangun dan pengatur (Winarno, 1997).
Urutan komposisi dasar dari
protein, yaitu karbon 51,0-55,0%, hidrogen 6,5-7,3%, nitrogen 15,5-18,0%, oksigen 21,5-23,5%, sulfur 0,5-2,0%, dan fosfor 0,0-1,5% (Anggorodi, 1994). Protein yang terdapat pada tumbuhan dan hewan tidak hanya protoplasma pada sel hidup terdiri terutama dari protein tetapi juga nukleusnya yang mengawasi aktivitasi setiap sel.
Keistimewaan protein adalah struktur yang
mengandung nitrogen, disamping karbon, hidrogen, oksigen (seperti juga karbohidrat dan lemak), sulfur dan kadang-kadang fosfor, zat besi dan tembaga. Dengan demikian, salah satu cara terpenting yang cukup spesifik untuk menentukan jumlah protein secara kuantitatif adalah dengan penentuan kandungan nitrogen yang ada dalam bahan pakan atau makanan (Sudarmadji, dkk., 1996). Apabila unsur nitrogen ini dilepaskan dengan cara destruksi (merusak bahan sampai terurai unsur-unsurnya) dan nitrogen yang terlepas ditentukan jumlahnya secara kuantitatif (dengan titrasi) maka jumlah protein dapat diketahui atas dasar kandungan rata-rata unsur nitrogen yang ada dalam protein. Cara ini sebenarnya mempunyai kelemahan, yaitu tidak semua jenis protein mengandung nitrogen yang sama, kelemahan lain adalah adanya senyawa lain bukan protein yang mengandung nitrogen meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit dari protein. Senyawa-senyawa bukan protein yang mengandung nitrogen misalnya ammonia, asam amino bebas, dan asam nukleat. Oleh sebab itu cara penentuan jumlah protein melalui penentuan jumlah nitrogen total hasilnya disebut jumlah protein kasar atau crude protein (Sudarmadji, dkk., 1996). Istilah protein kasar yang juga hanya disebut protein biasanya digunakan untuk mengolongkan semua ikatan nitrogen dalam bahan makanan.
Untuk
14 mudahnya, biasanya dalam hal ini digunakan istilah protein sebagai pengganti protein kasar. Bila dikehendaki untuk membedakan zat-zat yang sesungguhnya merupakan protein dengan ikatan nitrogen sederhana, maka istilah protein murni digunakan untuk protein sejati (Anggorodi, 1994). Menurut Parakkasi (1990) yang dimaksud dengan protein kasar adalah semua ikatan yang mengandung nitrogen (N) yang dapat dibagi dalam protein sesungguhnya (true protein) dan zat-zat yang mengandung N tapi bukan protein (Non Protein Nitrogen), misalnya amida-amida, asam amino, alkaloid-alkaloid, garam-garam ammonium. Bentuk-bentuk nitrogen yang dicerna oleh ruminansia kebanyakan berasal dari tanaman. Protein murni menyusun sekitar 60-80% dari protein tanaman dengan non protein nitrogen (NPN) yang terlarut dan sedikit kandungan N-lignin. Kerusakan karena pemanasan, menurunkan ketersediaan protein murni untuk mikroba dan ternak.
2.3
Senyawa Non Protein Nitrogen (NPN) Senyawa non protein nitrogen adalah zat-zat yang terdapat dalam tumbuh-
tumbuhan dan biji-bijian yang mengandung nitrogen, akan tetapi tidak dalam bentuk protein. Zat-zat tersebut di antaranya termasuk amida, asam amino bebas, glukosida, lemak yang mengandung nitrogen, alkaloida, garam ammonium (Anggorodi, 1994). Senyawa NPN sedikit dalam biji dan tumbuhan tua, akan tetapi zat tersebut dapat merupakan sepertiga dari seluruh ikatan nitrogen pada tumbuhan yang sangat muda. Pada rumput maupun hijauan yang diawetkan, ikatan nitrogen sederhana terdapat dalam jumlah yang lebih besar karena sebagian dari protein
15 dalam hijauan tersebut dirombak ke dalam ikatan yang lebih sederhana (Anggorodi, 1994). Kebanyakan bahan makanan, bagian terbesar ikatan nitrogen sederhana terdiri dari asam-asam amino dan kombinasi dari asam-asam amino yang kurang kompleks merupakan protein. Ikatan tersebut sama dengan hasil yang diperoleh bila protein dicerna oleh hewan dan karenanya zat dapat digunakan sama seperti protein dalam tubuh. Tumbuh-tumbuhan mengandung pula sejumlah kecil ikatan nitrogen sederhana lainnya, terutama ikatan yang disebut amida. Amida tersebut terdapat dalam jumlah besar pada tumbuhan muda. Pada amida ikatan nitrogen melekat pada molekul dengan cara yang berbeda daripada asam amino. Sebagai akibatnya hewan dalam lambung sederhana tidak dapat menggunakan amida sebagai pengganti asam-amino esensial meskipun zat tersebut berfungsi sebagai sumber panas dan energi seperti halnya karbohidrat (Anggorodi, 1994). Parakkasi (1990) menyatakan bahwa penggunaan berbagai sumber N dapat dijadikan sebagai pengganti beberapa asam amino nonesensial dalam sumbersumber protein alamiah. Pemakaian NPN untuk ternak ruminansia telah banyak diketahui manfaatnya selama penggunaan tersebut tidak berlebihan. Akan tetapi untuk ternak berlambung satu (seperti babi) fasilitas yang diupayainya tidak begitu baik untuk memanfaatkan NPN tersebut; terutama mikro-organisme dalam saluran pencernaan tidak seaktif dibandingkan dengan ternak ruminansia. NPN bagi ternak non-ruminansia disebut sumber N yang tidak spesifik (Non Spesific Nitrogen Source = NSN).
16 2.4
Klasifikasi Protein berdasarkan Kelarutannya Berdasarkan kelarutannya dalam air atau pelarut lain, protein digolongkan
atas beberapa golongan (Anggorodi, 1994; Sudarmadji, 1996; Winarno, 1997, DeMan, 1997) yaitu: (1)
Albumin: larut dalam air dan terkoagulasi oleh panas. Biasanya ada protein yang berbobot molekul rendah. Contohnya adalah ovalbumin (dalam telur), seralbumin (dalam serum), laktalbumin (dalam susu), leukosin serealia, dan legumelin (dalam biji polong).
(2)
Globulin: larut dalam larutan garam encer, dan dapat mengendap dalam larutan garam konsentrasi tinggi (salting out). Tidak larut dalam air, terkoagulasi oleh panas. Contohnya adalah miosinogen (dalam otot), ovoglobulin (dalam kuning telur), legumin (dalam kacang-kacangan), glisinin (dalam kedelai).
(3)
Glutelin: larut dalam asam atau basa encer dan tidak larut dalam pelarut netral. Protein ini terdapat dalam serealia. Contonya adalah glutelin (dalam gandum), orizenin (dalam beras).
(4)
Prolamin (gliadin): larut dalam alkohol 70-80% dan tidak larut dalam air, larutan garam maupun alkohol absolut. Contohnya adalah prolamin (dalam gandum), gliadin (dalam jagung), zein (dalam jagung).
(5)
Protamin: larut dalam air dan tidak terkoagulasi dalam panas. Protein ini kaya akan argina.
Contohnya adalah klupein (dari ikan hering) dan
skombrin (dalam ikan makarel). (6)
Histon: larut dalam air dan tidak larut dalam amonia encer, dapat mengendap dalam pelarut protein lainnya, dan apabila terkoagulasi oleh
17 panas dapat larut kembali dalam asam encer. Contohnya adalah globin (dalam hemoglobin). (7)
Skleroprotein: tidak larut dalam pelarut encer, baik larutan garam, asam, basa, dan alkohol. Protein ini merupakan protein serat yang berperan pada struktur dan pengikatan. Contohnya kolagen (pada tulang rawan), miosin (pada otot), keratin (pada rambut).
2.5
Metode Ekstraksi Proses ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan satu atau lebih
komponen dari suatu bahan yang merupakan sumber komponen tersebut secara diffusional satu atau bahkan beberapa bahan yang berasal dari suatu padatan atau cairan menggunakan bantuan pelarut. Dengan adanya kontak dengan pelarut, zat telarut (solute) yang terkandung dalam umpan akan terlarut di dalam pelarut (McCabe, 2005; Skoog, 2002). Menurut Santosa dan Endah (2014), ekstraksi merupakan proses pemisahan dimana komponen mengalami perpindahan masa dari suatu padatan ke cairan atau dari cairan ke cairan lain yang bertindak sebagai pelarut. Proses ekstraksi komponen kimia dalam sel tumbuhan dapat mengunakan pelarut organik. Pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel, maka larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di luar sel (Treyball, 1980; McCabe, 2005).
18 Komponen yang dipisahkan adalah padatan dari suatu sistem campuran padat-cair (leachning), cairan dari suatu sistem campuran cair-cair, dan padatan dari suatu sistem campuran padat-padat (Suhardi, 1989). Prinsip ekstraksi padatcair adalah adanya kemampuan senyawa dalam suatu matriks yang kompleks dari suatu padatan, yang dapat larut oleh suatu pelarut tertentu. Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk tercapainya kondisi optimum ekstraksi antara lain, yaitu senyawa dapat terlarut dalam pelarut dengan waktu yang singkat, pelarut harus selektif melarutkan senyawa yang dikehendaki, senyawa analit memiliki konsentrasi yang tinggi untuk memudahkan ekstraksi, serta tersedia metode pemisahan kembali senyawa analit dari pelarut pengekstraksi (Gamse, 2002). Umumnya mekanisme proses ekstraksi dibagi menjadi 3 bagian (Suhardi, 1989), yaitu sebagai berikut: (1)
Perubahan fasa konstituen (solute) untuk larut ke dalam pelarut, misalnya dari bentuk padat menjadi liquida.
(2)
Difusi melalui pelarut di dalam pori-pori untuk selanjutnya keluar dari partikel.
(3)
Akhirnya perpindahan solute (konstituen) ini dari sekitar partikel ke dalam larutan keseluruhannya. Menurut Pramudono, dkk. (2008), mekanisme proses leachning dimulai dari
perpindahan solven dari larutan ke permukaan solid (adsorpsi), diikuti dengan difusi solven kedalam solid dan pelarutan solute oleh solven, kemudian difusi ikatan solute-solven ke permukaan solid, dan desorpsi campuran solut-solven dari permukaan solid kedalam badan peralut. Pada umumnya perpindahan solven ke permukaan terjadi sangat cepat dimana berlangsung pada saat terjadi kontak antara solid dan solven, sehingga kecepatan difusi campuran solute-solute ke
19 permukaan solid merupakan tahapan yang mengontrrol keseluruhan proses ekstraksi. Kecepatan difusi ini tergantung pada beberapa faktor, yaitu temperatur, luas permukaan partikel, pelarut perbandingan solute dan solven, kecepatan dan lama pengadukan. Mekanisme difusi yang terjadi dalam ekstraksi padat-cair dapat dibedakan menjadi difusi internal dan difusi eksternal.
Solute yang terkandung dalam
padatan bisa berada pada pori-pori padatan maupun permukaan padatan. Perpindahan solute dari pori-pori padatan menuju permukaan padatan menuju pelarut merupakan tahap difusi eksternal.
Laju perpindahan difusi ini akan
bergantung pada luas permukaan padatan dimana laju perpindahan ini akan berbanding lurus dengan luas permukaan partikel padatan. Dan bila padatan yang digunakan merupakan daun, luas permukaan yang besar akan diperoleh bila daun yang dipergunakan cukup tipis (Treyball, 1980; Skoog, 2002).
2.6
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekstraksi dengan Metode Pelarutan Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi, yaitu sebagai berikut
(Treyball, 1980; McCabe, 2005; Skoog, 2002; Pramudono, dkk., 2008 ; Fachry, 2012): (1)
Ukuran Partikel Guna meningkatkan kinerja proses ekstraksi baik dari waktu yang
diperlukan lebih singkat dan hasil ekstraksi yang diperoleh dapat lebih besar, diupayakan sampel padatan yang digunakan memiliki luas permukaan yang besar. Luas permukaan yang besar ini dapat dicapai dengan memperkecil ukuran bahan padatan. Ukuran kecil padatan ini akan memperpendek lintas kapiler proses difusi dan tahanan proses difusi internal dapat diabaikan. Semakin luas permukaan
20 padatan maka perpindahan massa ekstraksi akan berlangsung lebih cepat. Pengecilan ukuran padatan ini dapat diusahakan dengan penggerusan atau penekanan pada padatan. (2)
Pelarut Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi berlangsung dapat
meningkatkan konsentrasi solute dan kecepatan ekstraksi akan menurun karena kemampuan pelarut untuk terus melarutkan solute semakin berkurang. Pelarut yang biasa digunakan dapat berupa air dan pelarut organik. Pelarut yang dipilih harus sesuai dengan beberapa kriteria, yaitu kepolaran dan kelarutan pelarut, selektifitas, murah dan mudah diperoleh, tidak terbentuknya emulsi, tidak reaktif, viskositas dan densitas cukup rendah, sifatnya terhadap air sebaiknya hidrofilik, dan kecepatan alir pelarut. (3)
Temperatur Temperatur operasi yang tinggi akan berpengaruh positif karena adanya
peningkatan kecepatan difusi, peningkatan kelarutan dari larutan, dan penurunan viskositas dari pelarut. Dengan viskositas pelarut yang rendah, kelarutan yang dapat dicapai lebih besar. Temperatur yang digunakan harus dapat disesuaikan dengan kelarutan pelarut, stabilitas pelarut, tekanan uap pelarut, dan selektifitas pelarut. (4)
pH Rentang pH yang digunakan harus disesuaikan dengan kestabilan bahan
yang akan diekstrak. Menurut Kurniati (2009) menyatakan bahwa protein akan mengendap pada protein isoelektrik. Pada pH isoelektrik ini, molekul protein berada pada kelarutan yang minimal sehingga protein terkoagulasi tetapi protein tidak terdenaturasi.
21 (5)
Porositas atau Difusivitas Perlu diperhatikan apakah struktur bahan padat yang diekstrak berpori atau
tidak. Struktur yang berpori dari padatan berarti memungkinkan terjadinya difusi internal solute dari permukaan padatan ke pori-pori padatan tersebut. Difusivitas merupakan suatu parameter yang menunjukan kemampuan solute berpindah secara difusional. Semakin besar difusivitas bahan padatan maka semakin cepat pula difusi internal yang terjadi dalam padatan tersebut. (6)
Pengadukan Pengadukan diperoleh untuk meningkatkan difusi sehingga perpindahan
massa dari permukaan padatan ke pelarut dapat meningkat pula. Pengadukan akan mencegah terbentuknya suspense atau bahkan endapan serta efektif untuk suatu lapisan interfase. (7)
Waktu Ekstraksi Semakin lama waktu ekstraksi maka semakin lama waktu kontak antara
pelarut dan solute sehingga perolehan ekstrak akan semakin besar. Namun bila waktu yang dibutuhkan terlalu lama maka secara ekonomis proses ekstraksi tersebut berlangsung dengan tidak efisien. (8)
Rasio Zat Padatan dan Pelarut Jumlah pelarut perlu disesuaikan dengan kebutuhan. Pelarut yan terlalu
banyak dapat mengakibatkan pemborosan biaya dalam operasi ekstraksi. (9)
Mode Operasi Pemilihan mode operasi dalam pelaksanaan ekstraksi padat cair perlu
dipertimbangkan karena menentukan keberhasilan pemisahan yang dapat berlangsung.