KUALITAS SILASE DAUN SINGKONG, DAUN UBI JALAR, DAN DAUN LAMTORO YANG DIPANEN PADA WAKTU BERBEDA
SKRIPSI DEDE HUSBAN RIJALI
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN DEDE HUSBAN RIJALI. D24053070. 2010. Kualitas Silase Daun Singkong, Daun Ubi Jalar, dan Daun Lamtoro yang Dipanen pada Waktu Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
: Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. : Dr. Ir. Rita Mutia, M.Sc.
Daun singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro merupakan hijauan yang dapat dijadikan bahan pakan. Pemberian pakan hijauan pada ternak dapat berupa hijauan segar atau berupa hijauan yang diawetkan seperti hay dan silase. Silase merupakan pakan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi an aerob dengan kandungan air yang tinggi. Keberhasilan dalam proses silase salah satunya ditentukan oleh kandungan Water Soluble Carbohydrate (WSC) yang ada pada bahan baku silase. Kandungan WSC pada hijauan berkaitan dengan penerimaan cahaya matahari. Tanaman merubah energi dari matahari menjadi gula sehingga konsentrasi gula secara umum lebih tinggi pada sore atau menjelang malam hari. Konsentrasi gula mulai menurun pada malam hari melalui proses respirasi dalam tanaman dan lebih rendah lagi pada pagi hari. Sehingga kajian kualitas silase hijauan yang dipanen pada waktu berbeda sangat diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan kualitas silase dari daun lamtoro, daun singkong, dan daun ubi jalar yang dipanen pada waktu berbeda. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) berpola faktorial (3x3). Faktor A adalah jenis hijauan (daun singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro); faktor B adalah waktu panen (pagi, siang, dan sore hari). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan daun ubi jalar yang dipanen pada malam hari memiliki nilai pH yang rendah dan kehilangan WSC yang tinggi yaitu sebesar 3,85 dan 13,85 %BK jika dibandingkan dengan perlakuan lain yaitu berturut-turut sebesar 4,23; 3,97 dan 5,73 %BK; 8,63 %BK untuk perlakuan daun ubi jalar yang dipanen pada pagi dan siang hari, 4,50; 4,50; 4,04 dan 3,01 %BK; 3,14 %BK; 8,93 %BK untuk perlakuan daun singkong yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari, 5,80; 5,89; 5,45 dan 0,93 %BK; 0,59 %BK; 1,57 %BK untuk perlakuan daun lamtoro yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari. Kelarutan tertinggi terdapat pada perlakuan daun lamtoro yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari yaitu berturut-turut 72,07%; 72,20%; dan 70,93%. Kelarutan terendah terdapat pada perlakuan daun singkong yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari yaitu berturut-turut 63,03%; 64,14%; dan 61,41%. Sifat fisik silase, keberadaan jamur, populasi BAL, dan kehilangan bahan kering tidak menunjukan perbedaan yang nyata antar perlakuan jenis hijauan dan waktu panen. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan daun ubi jalar yang dipanen pada malam hari menghasilkan kualitas silase yang baik dibandingkan dengan perlakuan lain. Kata-kata kunci : silase, daun singkong, daun ubi jalar, daun lamtoro, dan waktu panen.
i
ABSTRACT Silage quality of cassava leaves, sweet potato leaves, and leucaena leaves whoes different of harvest time Rijali, D. H., Nahrowi and R. Mutia The aims of the study were to investigate the effect of harvest time on quality of cassava leaves silage, sweet potato leaves silage, and leucaena leaves silage, including organoleptic characteristic, the presence of fungi, pH, lactic acid bacteria (LAB) population, Dry Mater (DM) lost, WSC (Water Soluble Carbohydrate) lost, and solubility. The research used randomized factorial design (3x3) with factor A was forage source (cassava leaves, sweet potato leaves, and leucaena leaves) and factor B was the harvest time (morning, noon, and night). The results showed that forage sources and harvest time were significantly (P<0.05) influent pH and WSC lost. pH and WSC lost from sweet potato leaves were higher than the others silage. pH and WSC lost from forage harvested at night were higher than the others silage. There were interaction between forage sweet potato and time of harvesting. It is concluded that silage for sweet potato harvested at night was good in term of pH and WSC lost. Keywords: silage, cassava leaves, sweet potato leaves, leucaena leaves, and harvest time
ii
KUALITAS SILASE DAUN SINGKONG, DAUN UBI JALAR, DAN DAUN LAMTORO YANG DIPANEN PADA WAKTU BERBEDA
DEDE HUSBAN RIJALI D24053070
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
iii
Judul Skripsi : Kualitas Silase Daun Singkong, Daun Ubi Jalar, dan Daun Lamtoro yang Dipanen pada Waktu Berbeda Nama
: Dede Husban Rijali
NIM
: D24053070
Menyetujui, Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
(Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc.) NIP.19620425 198603 1 002
(Dr. Ir. Rita Mutia, M.Sc.) NIP. 19630917 198803 2 001
Mengetahui: Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr.) NIP. 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian: 16 Agustus 2010
Tanggal Lulus: 22 Oktober 2010
iv
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cileungsi, kabupaten Bogor, provinsi Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 1987 dari pasangan Bapak Muchlis Abdillah dan Ibu Suratmi. Penulis merupakan putra kedua dari dua bersaudara. Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-kanak (TK) PT. Semen Cibinong pada tahun 1992. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar tahun 1999 di SD Negeri 1 Cileungsi dan pendidikan menengah pertama pada tahun 2002 di SLTP Negeri 1 Cileungsi. Tahun 2005 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Kota Bogor, Jawa Barat dan pada tahun yang sama masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006. Selama menempuh pendidikan di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, penulis aktif menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Nutrisi Ternak (Himasiter) Fakultas Peternakan periode 2006/2007. Penulis dari tahun 2002 sampai sekarang masih aktif dalam pendidikan keagamaan di Pondok Pesantren Nurul Imdad Bogor.
v
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini ditulis berdasarkan penelitian yang berjudul “Kualitas Silase Daun Singkong, Daun Ubi Jalar, dan Daun Lamtoro yang Dipanen pada Waktu Berbeda’’ yang dilaksanakan dari bulan Mei 2009. Penelitian ini mempelajari pengaruh jenis hijauan dan waktu panen yang berbeda terhadap kualitas silase yang dihasilkan yang dilihat dari sifat fisik, keberadaan jamur, pH, koloni bakteri asam laktat, kehilangan bahan kering, kehilangan WSC, dan kelarutan silase. Keberhasilan dalam proses silase salah satunya ditentukan oleh kandungan Water Soluble Carbohydrate (WSC) yang ada pada bahan baku silase. Kandungan WSC pada hijauan berkaitan dengan penerimaan cahaya matahari. Tanaman merubah energi dari matahari menjadi gula sehingga konsentrasi gula secara umum lebih tinggi pada sore atau menjelang malam hari. Konsentrasi gula mulai menurun pada malam hari melalui proses respirasi dalam tanaman dan lebih rendah lagi pada pagi hari. Sehingga kajian kualitas silase hijauan yang dipanen pada waktu berbeda sangat diperlukan. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Dr. Ir. Rita Mutia, M.Sc selaku pembimbing akademik atas kesabaran, penyediaan waktu dan keikhlasannya selama proses pembimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan program sarjana. Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc dan Dr. Ir. Rita Mutia, MSc selaku pembimbing skripsi atas masukan, kesabaran, keikhlasan dan waktu selama proses pembimbingan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis
berharap
skripsi
ini
bermanfaat
bagi
semua
pihak
yang
membutuhkan.
Bogor, Oktober 2010
Penulis
vi
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ............................................................................................................ i ABSTRACT .............................................................................................................. ii LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iii LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................... iv RIWAYAT HIDUP .................................................................................................. v KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii DAFTAR TABEL ..................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ x DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xi PENDAHULUAN .................................................................................................... 1 Latar Belakang .............................................................................................. 1 Tujuan ........................................................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 3 Daun Singkong (Manihot esculenta Crantz) ................................................. 3 Daun Ubi Jalar (Ipomoea batatas) ................................................................ 4 Daun Lamtoro (Leucaena leucocephala) ...................................................... 5 Silase ............................................................................................................. 6 Pengaruh Waktu Panen ................................................................................. 7 Bahan Additive Silase .................................................................................... 8 Water Soluble Carbohydrate (WSC) ............................................................ 8 Bakteri Asam Laktat ..................................................................................... 9 METODE .................................................................................................................. 10 Waktu dan Tempat ........................................................................................ 10 Materi ............................................................................................................ 10 Alat dan Bahan ................................................................................... 10 Prosedur ......................................................................................................... 10 Tahap Peremajaan Bakteri Asam Laktat .......................................... 10 Pemanenan Hijauan .......................................................................... 10 Pembuatan Silase .............................................................................. 11 Perlakuan .......................................................................................... 12 Rancangan Percobaan ........................................................................ 12 Peubah yang Diamati .................................................................................... 13 Warna, Bau dan Tekstur Silase ......................................................... 13 Persentase Keberadaan Jamur ........................................................... 13 Derajat Keasaman (pH) .................................................................... 14
vii
Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat ................................................ 14 Kehilangan Bahan Kering ................................................................. 14 Kandungan Total Gula ...................................................................... 15 Kelarutan ............................................................................................ 15 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................ 16 Keadaan Umum Penelitian ........................................................................... 16 Karakteristik Fisik Silase .............................................................................. 16 Keberadaan Jamur ......................................................................................... 18 Derajat Keasaman (pH) ................................................................................ 19 Populasi Bakteri Asam Laktat ...................................................................... 21 Kehilangan Bahan Kering ............................................................................. 22 Kehilangan Water Soluble Carbohydrate (WSC) ........................................ 23 Kelarutan ....................................................................................................... 25 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 27 Kesimpulan .................................................................................................. 27 Saran ............................................................................................................ 27 UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................... 28 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 29 LAMPIRAN .............................................................................................................. 33
viii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1
Komposisi Kimia Daun Singkong, Daun Ubi Jalar, dan Daun Lamtoro .................................................................................. 4
2
Jenis – Jenis Additive Silase ............................................................. 8
3
Kandungan WSC Daun Singkong, Daun Ubi Jalar, dan Daun Lamtoro .................................................................................. 16
4
Karakteristik Silase Daun Singkong, Daun Ubi Jalar, dan Daun Lamtoro setelah Tiga Minggu Ensilase ................................. 17
5
Rataan Keberadaan Jamur Silase ..................................................... 18
6
Rataan pH Silase .............................................................................. 20
7
Rataan Populasi Bakteri Asam Laktat ............................................. 21
8
Rataan Kehilangan BK Silase .......................................................... 22
9
Rataan Kehilangan WSC ................................................................. 23
10
Rataan Kelarutan Silase ................................................................... 25
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman
Nomor 1
Skema Pembuatan Silase .............................................................. 11
x
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Nomor 1
Kuisioner Pengamatan Sifat Fisik Silase Daun Singkong .............. 34
2
Kuisioner Pengamatan Sifat Fisik Silase Daun Ubi Jalar ............... 35
3
Kuisioner Pengamatan Sifat Fisik Silase Daun Lamtoro ................ 36
4
ANOVA Keberadaan Jamur Silase ................................................. 37
5
Uji Kontras Orthogonal Keberadaan Jamur Silase ......................... 37
6
ANOVA pH Silase........................................................................... 38
7
Uji Kontras Orthogonal pH Silase .................................................. 38
8
ANOVA Kehilangan Bahan Kering Silase ..................................... 39
9
Uji Kontras Orthogonal Kehilangan Bahan Kering Silase ............. 39
10
ANOVA Kehilangan WSC Silase .................................................. 40
11
Uji Kontras Orthogonal Kehilangan WSC Silase ........................... 40
12
ANOVA Kelarutan Silase ............................................................... 41
13
Uji Kontras Orthogonal Kelarutan Silase ....................................... 41
xi
PENDAHULUAN Latar Belakang Pakan hijauan merupakan salah satu aspek penting dalam dunia peternakan. Ketersediaan hijauan sangat penting adanya terutama untuk ternak ruminansia. Di Indonesia ketersediaan pakan hijauan sangat dipengaruhi oleh musim. Ketika musim hujan ketersediaanya tinggi bahkan berlebih, sedangkan ketika musim kemarau ketersediaanya menurun. Oleh karena itu, diperlukan teknologi pengawetan hijauan ketika ketersediaanya berlebih untuk memenuhi kebutuhan hijauan saat musim kemarau. Secara umum ada dua jenis pengawetan hijauan yang sering digunakan, yaitu pengawetan dengan teknik pengeringan dan pengawetan dengan teknik fermentasi an aerob (ensilase). Pengawetan dengan teknik pengeringan memiliki beberapa kekurangan, yaitu bergantung dengan cuaca dan kurang tahan simpan. Sebaliknya pengawetan hijauan dengan fermentasi an aerob lebih tahan simpan dan pembuatannya dapat dilakukan setiap saat tanpa dipengaruhi oleh musim dan cuaca. Silase merupakan pakan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi an aerob dengan kandungan air yang tinggi. Bahan yang baik dijadikan silase harus mempunyai substrat mudah terfermentasi dalam bentuk Water Soluble Carbohydrate (WSC) yang cukup, buffering capacity yang relatif rendah dan kandungan bahan kering di atas 200 g kg-1 (McDonald et al., 1991). Water Soluble Carbohydrate tanaman umumnya dipengaruhi oleh spesies, fase pertumbuhan, budidaya, iklim, umur dan waktu panen tanaman (Downing et al., 2008). Waktu panen berkaitan dengan penerimaan cahaya matahari terhadap tumbuhan. Tanaman pada umumnya melakukan proses fotosintesis. Proses fotosintesis ini biasanya terjadi pada siang hari atau ketika ada cahaya matahari. Tanaman merubah energi dari matahari menjadi gula sehingga konsentrasi gula secara umum lebih tinggi pada sore atau malam hari. Konsentrasi gula menurun pada malam hari melalui proses respirasi dalam tanaman dan lebih rendah lagi pada pagi hari. Sehingga dengan adanya gula dari hasil fotosintesis tersebut, memungkinkan adanya pengaruh waktu pemanenan terhadap kualitas silase.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh jenis hijauan dan waktu panen terhadap kualitas silase yang dihasilkan termasuk diantaranya sifat organoleptik, keberadaan jamur, pH, populasi bakteri asam laktat (BAL), kehilangan bahan kering (BK), kehilangan Water Soluble Carbohydrate (WSC), dan kelarutan.
2
TINJAUAN PUSTAKA Daun Singkong (Manihot esculenta Crantz) Ubi kayu atau Singkong termasuk ke dalam famili Euphorbiaceae, subfamili Crotoridae. Singkong dalam literatur lama dinamakan Manihot utilissima, dalam perkembangannya singkong disebut sebagai Manihot esculenta Crantz. Lokasi penyebaran singkong pada daerah 30° garis lintang utara sampai 30° garis lintang selatan (Cock, 1992). Negara yang pertama kali membudidayakan singkong adalah Brazil kemudian menyebar ke Afrika, Madagaskar, Hindia, Tiongkok dan masuk Indonesia tahun 1740. Indonesia merupakan penghasil singkong terbesar di kawasan Asia Tenggara dan menduduki urutan ketiga di dunia. Produksi singkong Indonesia pada tahun 2007 mencapai 18,95 juta ton pada luas areal tanam 1,15 juta hektar dengan produktivitas 16,5 ton/ha (BPS dan Dirjen Tanaman Pangan 2007). Tanaman ini merupakan tanaman tropik yang potensial digunakan untuk ternak, dan dapat menghasilkan biomassa sumber energi pada bagian umbi dan protein pada daun dalam jumlah besar. Menurut Devendra (1977) produk utama tanaman ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu; daun 6%, batang 44% dan umbi 50%. Hasil penelitian Ravindran (1991) menunjukkan bahwa daun singkong mempunyai kandungan protein yang tinggi yaitu berkisar antara 16,7−39,9% bahan kering dan hampir 85% dari fraksi protein kasar merupakan protein murni, sedangkan bagian kulit dan onggok memiliki kandungan pati yang cukup tinggi, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber energi. Liem et al. (1997) melaporkan dari 2,5−3 ton/ha hasil samping tanaman singkong dapat menghasilkan tepung daun singkong sebanyak 600−800 kg/ha. Lebih lanjut dijelaskan pemakaian tepung daun singkong dalam formulasi ransum dapat dijadikan sebagai sumber protein dan konsentrat pada kambing dan sapi perah (Khang et al. 2000). Wanapat dan Knampa (2006) melaporkan hay daun singkong dapat menggantikan pemakaian bungkil kedelai pada sapi perah di daerah tropik. Selain berfungsi sebagai sumber protein, daun singkong juga berperan sebagai anti cacing (anthelmintic) dan kandungan taninnya berpotensi meningkatkan daya tahan saluran pencernaan ternak terhadap mikroorganisme parasit. Ensilase merupakan salah satu cara pengawetan daun singkong sebagai pakan ternak (Hang 1998) dan efektif
menurunkan kandungan sianida (HCN) pada ubi kayu setelah 3 bulan ensilase yaitu dari 289 mg/kg menjadi 20,1 mg/kg (Kavana et al. 2005). Komposisi kimia daun singkong berdasarkan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Daun Singkong, Daun Ubi Jalar, dan Daun Lamtoro Ubi Jalarb Lamtorob Singkonga Zat Makanan ---------------------(%BK)------------------Bahan Kering (BK) 88,22 88,46 89,46 Abu 9,51 14,22 9,61 Protein Kasar (PK) 24,84 25,51 26,07 Serat Kasar (SK) 23,82 24,29 17,73 Lemak Kasar (LK) 7,14 1,15 5,00 Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) 34,70 34,70 41,46 Calsium (Ca) 1,71 0,79 1,86 Fospor (P) 0,42 0,38 0,25 Sumber: a= Haryanto (1985) b= Futiha (2010)
Daun Ubi Jalar (Ipomoea batatas) Ubi jalar termasuk ke dalam famili Convolvulaceae. Ubi jalar mulai menyebar ke seluruh dunia pada abad ke-16, terutama pada negara-negara beriklim tropis. Produktivitas ubi jalar dipengaruhi oleh suhu, varietas dan iklim. Pada daerah yang bersuhu tinggi (dataran rendah), hasil panen tertinggi dicapai pada umur panen ± 120 hari, sedangkan pada daerah yang bersuhu rendah (dataran tinggi), umur panen cenderung lebih lama jika dibandingkan dengan daerah dataran rendah (Wargiono, et al. 1986). Tanaman ubi jalar adalah salah satu umbi-umbian yang ketersediaannya cukup banyak dan harganya relatif murah. Direktorat Jenderal Produksi Tanaman Pangan (2007) menyatakan bahwa produktivitas ubi jalar di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Produksi ubi jalar tahun 2001 telah mencapai 9,7 ton/ha, lebih tinggi 0,92 ton/ha jika dibandingkan dengan tahun 1983-1991 yang hanya sebesar 8,78 ton/ha. Menurut Badan Pusat Statistik (2007), produksi ubi jalar di Indonesia bulan September 2003 telah mencapai 1.179.055 ton. Ubi jalar adalah salah satu tanaman palawija sumber karbohidrat. Berdasarkan kandungan karbohidratnya, ubi jalar menduduki peringkat ketiga setelah jagung dan ubi kayu. Selain sebagai sumber karbohidrat, ubi jalar juga mempunyai kadar vitamin A yang tinggi. Kadar vitamin A pada ubi jalar merupakan salah satu indikator wama daging. Daging ubi jalar berwarna jingga relatif sama dengan wortel,
4
sehingga dapat diperkirakan bahwa kandungan vitamin A keduanya setara (Santosa et al. 1994). Daun dan batang ubi jalar mengandung 12-17% protein kasar (Ruiz, 1982), sehingga dapat digunakan sebagai bahan ransum ternak. Onwueme (1978) melaporkan, bahwa ubi jalar mengandung antitripsin, suatu zat antinutrisi yang dapat menghambat kecernaan protein. Namun masalah ini dapat diatasi dengan pengeringan sinar matahari, tekanan uap panas tinggi (80°C) dan pemanasan. Yeh (1982) menambahkan, bahwa kandungan asam amino metionin dan sistin dalam ubi jalar relatif rendah. Komposisi kimia daun ubi jalar berdasarkan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 1. Daun Lamtoro (Leucaena leucocephala) Lamtoro (Leucaena leucocephala) merupakan salah satu spesies dari genus Leucaena, famili Mimosasea. Lamtoro merupakan pohon serba guna yang berasal dari Amerika Tengah dan Meksiko, sudah tidak asing lagi bagi masyarakat petani di Nusa Tenggara Barat. Lamtoro umumnya ditanam sebagai tanaman pagar dan tanaman pelindung untuk tanaman komersial. Sebagian masyarakat memanfaatkan buah dan daun muda untuk sayur. Daunnya dipergunakan sebagai pakan ternak dan batangnya dimanfaatkan sebagai kayu bakar (Soeseno, 1992). Legum pohon ini produktif menghasilkan hijauan, tahan pemotongan, dan penggembalaan berat, dan sebagai pakan tambahan yang bermutu tinggi. Sifat pertumbuhan lamtoro sangat baik dan batangnya cepat besar. Daunnya kecil-kecil dan bersirip tunggal. Daun yang muda dan setengah tua dapat digunakan sebagai makanan ternak yang dapat diambil secara terus-menerus (Soeseno, 1992). Menurut National Academy of Sciences (1980), pertumbuhan tanaman lamtoro yang baik dapat menghasilkan bahan kering (daun dan batang) 12-20 ton/ha dan jumlah ini ekivalen dengan 800-4300 kg protein/ha/tahun, untuk daerah tropis yang kering hasilnya agak menurun karena tanaman ini nengalami cekaman (Siregar dan Prawiradipura, 1983). Komposisi kimia daun lamtoro berdasarkan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 1. Tanaman lamtoro dapat diberikan kepada ternak berupa hijauan segar, kering, tepung, silase, dan pelet. Hijauan lamtoro sangat baik sebagai pakan ternak. Hal ini disebabkan daun lamtoro kaya akan protein, karoten, vitamin, dan mineral. Ranting hijauan berdiameter 5-6 mm masih dapat dimakan oleh ternak meskipun kurang palatabel dan kandungan gizinya lebih rendah dibanding daun atau ranting muda.
5
Kadar protein yang tinggi pada daun lamtoro menyebabkan daun ini sulit untuk dijadikan silase (Soeseno, 1992). Silase Silase merupakan makanan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi dengan kandungan air yang tinggi. Ensilase adalah proses pembuatannya, sedangkan tempat pembuatan dinamakan silo. Sejarah dimulainya silase sejak 1500-2000 sebelum masehi (Sapienza dan Bolsen, 1993). Silase adalah pakan produk fermentasi hijauan, hasil samping pertanian dan agroindustri dengan kadar air tinggi yang diawetkan dengan menggunakan asam, baik yang sengaja ditambahkan maupun secara alami dihasilkan bahan selama peyimpanan dalam kondisi an aerob (McDonald et al. 1991). Ada dua cara pembuatan silase yaitu secara kimia dan biologis. Cara kimia dilakukan dengan penambahan asam sebagai pengawet seperti asam format, asam propionat, asam klorida dan asam sulfat. Penambahan asam tersebut dibutuhkan agar pH silase dapat turun dengan segera (sekitar 4,2), sehingga keadaan ini akan menghambat proses respirasi, proteolisis dan mencegah aktifnya bakteri Clostridia, sedangkan secara biologis dengan menfermentasi bahan sampai terbentuk asam sehingga menurunkan pH silase. Asam yang terbentuk selama proses tersebut antara lain adalah asam laktat, asam asetat dan asam butirat serta beberapa senyawa lain seperti etanol, karbondioksida, gas metan, karbon monoksida nitrit (NO) dan panas (McDonald et al. 1991). Secara umum kualitas silase dipengaruhi oleh tingkat kematangan hijauan, kadar air, ukuran partikel bahan, penyimpanan pada saat ensilase dan pemakaian aditif (Schroeder 2004). Lebih lanjut dijelaskan faktor lainnya yang mempengaruhi kualitas silase yaitu: 1) karakteristik bahan meliputi; kandungan bahan kering, kapasitas penyangga, struktur fisik dan varietas, 2) tata laksana pembuatan silase yaitu; ukuran partikel, kecepatan pengisian silo, kepadatan pengepakan, dan penyegelan silo dan 3) keadaan iklim: suhu dan kelembaban (Sapienza dan Bolsen 1993; McDonald et al. 1991). Proses fermentasi silase secara garis besar dibagi menjadi 4 fase yaitu: 1) fase aerob, 2) fase fermentasi, 3) fase stabil dan 4) fase pengeluaran untuk diberikan pada ternak (Sapienza dan Bolsen 1993; Schroeder 2004;). Ensilase pada dasarnya serupa
6
dengan proses fermentasi di dalam rumen (an aerob), namun terdapat perbedaan antara lain pada silase hanya sekelompok/grup bakteri (diharapkan bakteri pembentuk asam laktat) yang aktif dalam proses tersebut, sedangkan proses di dalam rumen melibatkan lebih banyak mikroorganisme dan beraneka ragam (Parakkasi, 1995). Pembuatan silase dengan bahan baku yang memiliki kadar air yang cukup tinggi akan memiliki laju fermentasi yang lebih cepat. Menurut Sapienza dan Bolsen (1993) fermentasi normal dengan kadar air 55%-60% akan memfasilitasi fermentasi aktif selama 1-5 minggu. Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk mengawetkan dan mengurangi kehilangan zat makanan suatu hijauan untuk dimanfaatkan pada masa mendatang (Sapienza dan Bolsen 1993). Memacu terciptanya kondisi an aerob dan asam dalam waktu singkat merupakan prinsip dasar pembuatan silase. Menurut Coblentz (2003) ada tiga hal penting agar diperoleh kondisi tersebut yaitu menghilangkan udara dengan cepat, menghasilkan asam laktat yang membantu menurunkan pH, mencegah masuknya oksigen ke dalam silo dan menghambat pertumbuhan jamur selama penyimpanan. Pengaruh Waktu Panen Waktu panen berkaitan dengan penerimaan cahaya matahari terhadap tumbuhan. Cahaya memiliki efek yang sangat nyata terhadap pertumbuhan dikarenakan pengaruhnya terhadap proses fotosintesis, pembukaan dan penutupan stomata, respirasi, permeabilitas dinding sel, absorpsi air dan unsur hara, aktivitas enzim, koagulasi protein dan sintesa klorofil (Prawiranata et al. 1999). Energi matahari merupakan sumber energi utama bagi makhluk hidup terutama tumbuhan. Jika intensitas cahaya rendah maka pertumbuhan akan terhambat. Penghambatan terjadi melalui berkurangnya aktivitas fotosintesis. Pertumbuhan tanaman tergantung pada intensitas, kualitas, lamanya penyinaran (perioditas), dan arah cahaya. Energi cahaya berperan penting terhadap kegiatan fotosintesis dan sejumlah pengikatan nitrogen melalui reaksi kimia (Supardi, 2000). Tanaman dapat melakukan fotosintesis dengan merubah energi dari matahari (cahaya) menjadi gula dengan bantuan air dan CO2. Pengikatan CO2 maksimum terjadi sekitar tengah hari yakni pada saat intensitas cahaya mencapai puncaknya sehingga konsentrasi gula secara umum lebih tinggi pada sore atau menjelang malam
7
hari. Konsentrasi gula mulai menurun pada malam hari melalui proses respirasi (pelepasan CO2) dalam tanaman dan lebih rendah lagi pada pagi hari (Lakitan, 2008). Bahan Additive Silase Hildenbrand (2000) menyatakan bahwa salah satu keberhasilan pembuatan silase adalah dengan penambahan additive, terutama additive yang kaya akan karbohidrat. Banyak additive yang dapat digunakan dalam pembuatan silase. Secara umum additive dapat dibagi menjadi dua, yaitu: additive yang bertindak sebagai perangsang tumbuhnya bakteri asam laktat dan penghambat mikroorganisme yang tidak diinginkan (McDonald, et al. 1991). Beberapa bahan additive dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jenis-Jenis Additive Silase Perangsang Langsung Tidak Langsung Kultur Bakteri Glukosa Bakteri Asam Laktat Sukrosa Molases Serelia Kentang
Penghambat Asam Lainnya Asam mineral Paroformaldehida Asam format Sodium nitrat Asam asetat Amonium bisulfat Asam sulfat Antibiotik Asam sitrat Formaldehida
Sumber: McDonald, et al. (1991).
Water Soluble Carbohydrate (WSC) Karbohidrat yang mudah larut dalam air (WSC) merupakan substrat primer bakteri penghasil asam laktat untuk menurunkan pH pada silase. Apabila kandungan WSC pada hijauan rendah, maka fermentasi tidak berjalan sempurna karena produksi asam laktat akan berhenti (Coblentz, 2003). Hijauan yang baik dijadikan silase harus mempunyai substrat mudah terfermentasi dalam bentuk Water Soluble Carbohydrate (WSC) yang cukup, buffering capacity yang relatif rendah dan kandungan bahan kering di atas 200 g kg-1 (McDonald et al., 1991). Water Soluble Carbohydrate tanaman umumnya dipengaruhi oleh spesies, fase pertumbuhan, budidaya, iklim, umur dan waktu panen tanaman (Downing et al., 2008). Water Soluble Carbohydrate (WSC) hijauan tropik mempunyai karakteristik yang berbeda jika dibandingkan di daerah temperate (daerah empat musim). Sebagian besar komponen utama WSC hijauan asal tropik berada dalam bentuk pati yang secara alami bakteri asam laktat (BAL) tidak memiliki kemampuan untuk menfermentasinya secara langsung. Sebaliknya hijauan asal temperate pada
8
umumnya mengandung WSC cukup tinggi dalam bentuk fruktan yang sangat mudah difermentasi oleh BAL (McDonald et al. 1991). Bakteri Asam Laktat Bakteri asam laktat (BAL) termasuk bakteri fakultatif anaerobik yang dapat tumbuh pada kondisi dengan atau tanpa oksigen. Bakteri ini tidak membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya meskipun mungkin menggunakan oksigen untuk menghasilkan energi (Pelczar et al. 1986). Bakteri asam laktat umumnya tidak membentuk spora, selnya berbentuk bulat atau batang. Bakteri asam laktat terdiri dari beberapa genus antara lain Streptococcus, Lactobacillus dan Levconostoc (Pelczar et al., 1986). Menurut Gilliland (1993) menyatakan bahwa Lactobacillus mampu
mendegradasi
gula,
protein
dan
peptida
menjadi
asam
amino.
Pendegradasian protein oleh bakteri tersebut terjadi pada pH 5,2-5,8 dan suhu 4550°C. Menurut Gilliland (1993), bakteri asam laktat berdasarkan sifat fermentasinya dibagi menjadi dua golongan yaitu heterofermentatif (Lactobacillus bulgaricus) dan homofermentatif (Streptococcus sp). Perbedaan dari kedua golongan tersebut adalah terletak pada produk akhir yang dihasilkan dan efisiensi fermentasi. Bakteri homofermentatif lebih efisien dalam memproduksi asam-asam organik bila dibandingkan dengan tipe heterofermentatif. Menurut McDonald et al. (1991), bakteri tipe homofermentatif akan menghasilkan dua mol asam laktat untuk setiap mol glukosa, sedangkan bakteri tipe heterofermentatif selain menghasilkan asam laktat, juga menghasilkan etanol dan CO2 masing-masing satu mol untuk setiap mol glukosa. Menurut Rahayu dan Cristiani (1992), bakteri asam laktat homofermentatif dapat mengubah 95 % glukosa atau heksosa lainnya menjadi asam laktat dengan jumlah kecil karbondioksida dan asam- asam volatil (asam butirat). Beberapa faktor yang ikut berperan untuk menghambat mikroba oleh bakteri asam laktat antara lain pH yang rendah, asam organik, bakteriosin, hidrogen peroksida, ethanol dan potensial redoks yang rendah (Adam dan Moss, 1995).
9
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai November 2009. Lokasi penelitian dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kantong plastik, cawan petri, cawan porselen, erlenmeyer, laminar, tabung reaksi, mikro pipet, vortex, autoclaff, bunsen, kompor listrik, tali/karet/selotip, tabung film, tip, penyerap oksigen (vakum), spektrofotometer, dan pH meter. Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah: daun lamtoro, daun singkong, dan daun ubi jalar yang diperoleh di kandang C Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bahan tambahan lain terdiri dari aquades, inokulan bakteri asam laktat (BAL), MRS (Mann Rhogose Shape) agar, MRS Broth, alkohol 70%, dan NaCl 0,85%. Prosedur Tahap Peremajaan Bakteri Asam Laktat Bakteri asam laktat (BAL) yang digunakan diambil dari biakan BAL yang diisolasi dari silase ransum komplit berbasis jagung. Bakteri asam laktat diremajakan pada media MRS agar selama 2 hari kemudian dibiakkan pada media MRS Broth selama 1-2 hari pada suhu 370C. Hasil biakan BAL disentrifuge selama 15 menit sampai endapan terkumpul. Endapan tersebut diambil kemudian dibilas dengan NaCl fisiologis. Setelah itu BAL dihitung konsentrasinya sebelum dicampur dengan aquades. Pemanenan Hijauan Pemanenan daun singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro dilakukan pada waktu pagi hari (pukul 05.30 WIB), siang hari (pukul 13.00 WIB), dan malam hari (pukul 18.30 WIB).
Pembuatan Silase Hijauan yang telah dipanen, dicacah dengan menggunakan alat pemotong dengan ukuran 3-5 cm, kemudian ditimbang masing-masing 500 gram. Setelah ditimbang, daun tersebut ditambahkan bakteri asam laktat (BAL) sebanyak 50 ml dengan cara disemprot. Kemudian daun yang telah siap, dimasukkan ke dalam kantong plastik ukuran dua kilogram dan dipadatkan lalu dikeluarkan udaranya (agar suasananya menjadi an aerob) dengan menggunakan alat sedot udara (vakum), lalu ikat kantong plastik tersebut dengan karet. Timbang kembali plastik berisi daun yang telah ditambahkan BAL tersebut sebelum disimpan selama tiga minggu. Skema pembuatan silase dapat dilihat pada Gambar 1. Daun Singkong Daun Ubi Jalar Daun Lamtoro dipanen
Pagi
Siang
Malam
Dicacah dengan ukuran 3-5 cm
Ditambahkan Bakteri Asam Laktat (BAL)
Dimasukan ke kantong plastik dan dipadatkan
Divakum
Kantong plastik diikat
Ensilase selama 3 minggu Gambar 1. Skema Pembuatan Silase
11
Perlakuan Perlakuan yang diberikan adalah jenis hijauan dan waktu panen yang berbeda. Jenis hijauan yang digunakan yaitu daun singkong, daun ubi jalar dan daun lamtoro. Sedangkan waktu panen dilakukan pada pagi hari, siang hari, dan malam hari. Perlakuan penelitian ini adalah: P1 = daun singkong yang dipanen pagi hari P2 = daun singkong yang dipanen siang hari P3 = daun singkong yang dipanen malam hari P4 = daun ubi jalar yang dipanen pagi hari P5 = daun ubi jalar yang dipanen siang hari P6 = daun ubi jalar yang dipanen malam hari P7 = daun lamtoro yang dipanen pagi hari P8 = daun lamtoro yang dipanen siang hari P9 = daun lamtoro yang dipanen malam hari Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap berpola faktorial 3 x 3 dengan 3 ulangan, yang terdiri : Faktor X : X1 : Daun lamtoro X2 : Daun singkong X3 : Daun ubi Jalar Faktor Y : Y1 : Pagi hari Y2 : Siang hari Y3 : Malam hari Model matematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Yijn = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijn i
: Perlakuan jenis hijauan (daun lamtoro, daun singkong, dan daun ubi jalar)
j
: Waktu panen (pagi, siang, dan malam hari)
n
: Ulangan.
12
Keterangan: Yijn
= Nilai pengamatan pada faktor X taraf ke-i faktor Y taraf ke-j dan ulangan ke-n
µ
= Rataan umum jenis hijauan terhadap waktu panen
αi
= Pengaruh jenis hijauan (daun lamtoro, daun singkong, dan daun ubi jalar) ke-i
βj
= Pengaruh waktu panen (pagi, siang, dan malam hari) ke-j
αβij
= Pengaruh interaksi jenis hijauan dengan waktu panen
εijn
= Galat akibat pengaruh jenis hijauan dengan waktu panen Data keberadaan jamur, pH, kehilangan bahan kering, kehilangan Water
Soluble Carbohydrate, dan kelarutan dianalisis menggunakan sidik ragam mengikuti prosedur Steel dan Torrie (1991), dan apabila hasilnya menunjukkan berbeda diuji jarak Duncan, sedangkan data organoleptik dan populasi bakteri asam laktat dianalisis secara deskriptif. Peubah yang Diamati Peubah yang diamati meliputi organoleptik (uji warna, bau, dan tekstur), keberadaan jamur, analisa pH, jumlah koloni bakteri asam laktat (BAL), kehilangan bahan kering, kandungan total gula, dan analisa kelarutan. Warna, Bau dan Tekstur Silase Warna, bau, tekstur silase dilakukan melalui pengamatan secara organoleptik produk silase setelah 3 minggu ensilase. Sampling dilakukan dengan mengambil bagian tengah silo. Penilaian organoleptik silase dilakukan dengan metode skoring yang diisi oleh para panelis yang berjumlah 25 orang. Persentase Keberadaan Jamur Persentase keberadaan jamur pada permukaan kantong plastik diperoleh dengan memisahkan silase yang mengalami kerusakan (berjamur), kemudian ditimbang bobotnya. Perhitungan persentase keberadaan jamur adalah sebagai berikut:
% Keberadaan Jamur =
Bobot Silase Yang Berjamur × 100% Bobot Total Silase
13
Derajat Kasaman (pH)
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan metode Naumann dan Bassler (1997). Sebanyak 20 gram sampel silase ditambahkan dengan 40 ml aquades (1:2), kemudian didiamkan selama 15 menit. Setelah itu saring airnya dan simpan dalam tabung film. Selanjutnya pH diukur dengan menggunakan pH meter. Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat
Jumlah koloni bakteri asam laktat dihitung dengan menggunakan Metode Total Plate Count (TPC) menurut Fardiaz (1992). Sampel silase ditambah aquades dengan
perbandingan 1:9. Sebanyak 0,5 ml cairan silase dimasukkan ke dalam 4,5 ml aquades, lalu diencerkan dengan mengambil 0,5 ml dimasukkan ke 4,5 ml aquades sampai pengenceran 5 kali. Lalu sebanyak 0,5 ml dari pengenceran 3, 4 dan 5 kali ditanam pada cawan petri berisi media MRS agar. Media agar yang ditanam dengan sampel silase diinkubasi pada suhu ruang selama 2 hari. Koloni yang tumbuh berbentuk bulat miring bewarna agak kekuningan. Jumlah koloni yang diperoleh ditranformasi dalam log untuk memudahkan penghitungan.
Populasi BAL (cfu/g) = Jumah Koloni × Pengenceran Kehilangan Bahan Kering
Penentuan kehilangan bahan kering melalui analisa proksimat (AOAC, 1999). Bahan kering diukur sebelum dan setelah ensilase. Sebanyak 3 g sampel kering dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui bobotnya. Setelah itu dipanaskan di dalam oven pada suhu 1050C selama 6 jam. Selanjutnya didinginkan di dalam eksikator selama 15 menit. Penghitungan kehilangan bahan kering merupakan selisih pengalian bobot sebelum ensilase dan bahan kering sebelum ensilase dengan pengalian bobot setelah ensilase. Selanjutnya dibandingkan dengan pengalian bobot sebelum ensilase dan bahan kering sebelum ensilase dan bahan kering setelah ensilase dikali seratus persen. Perhitungan kehilangan bahan kering adalah sebagai berikut:
% Kehilangan BK =
(Bobot
awal
× BK awal ) - (Bobot akhir × BK (Bobot awal × BK awal )
akhir
)
× 100%
14
Kandungan Total Gula
Kandungan total gula diukur menggunakan supernatan yang dihasilkan dari proses sentrifugasi lalu ditambahkan dengan asam sulfat pekat (H2SO4) dan fenol 5% kemudian diukur menggunakan alat spektrofotometer (Shimadzu UV VIS 1201) pada panjang gelombang 490 nm dengan D-glukosa sebagai standar seperti yang dijelaskan oleh Dubois et al. (1956). Kelarutan
Analisa kelarutan dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode Muchtadi (1989). Silase dikeringkan dengan suhu 600C, lalu dibuat tepung. Kemudian dikeringkan dengan oven 1050C. Setelah kering, bahan diambil sebanyak x gram, bahan tersebut dilarutkan dengan 100 ml aquadest kemudian dihomogenkan dengan menggunakan vortex selama 15 menit. Kemudian disentrifugasi hingga endapan dan supernatan terpisah. Endapan tersebut kemudian dioven kembali dengan suhu 1050C dan ditimbang beratnya (y gram). Perhitungan analisa kelarutan adalah sebagai berikut: % Kelarutan =
x gram - y gram × 100% x gram
15
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tiga jenis hijauan yaitu daun singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro. Ke tiga hijauan ini diperoleh dari lahan yang sama yaitu di kandang C Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Ke tiga hijauan tersebut dipanen pada hari yang berbeda tapi dengan kondisi cuaca yang sama. Pemanenan hijauan tersebut dilakukan pada pagi hari (pukul 05.30 WIB), siang hari (pukul 13.00 WIB) dan malam hari (pukul 18.30). Pembuatan silase dari hijauan tersebut dilakukan di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dengan ensilase selama tiga minggu. Perbedaan waktu pemanenan bertujuan untuk melihat pengaruh perbedaan kandungan Water Soluble Carbohydrate (WSC) pada setiap hijauan. Water Soluble Carbohydrate merupakan substrat primer bakteri penghasil asam laktat untuk menurunkan pH pada silase. Apabila kandungan WSC pada bahan rendah, maka fermentasi tidak berjalan sempurna karena produksi asam laktat akan berhenti (Jones et al. 2004). Kandungan WSC pada jenis daun singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro setelah pemanenan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kandungan WSC Daun Singkong, Daun Ubi Jalar, dan Daun Lamtoro Waktu Panen Jenis Daun Pagi Siang Malam --------------------------------------(%BK)------------------------------------DSK
7.56
8.22
12.38
DUJ
13.21
19.80
24.17
DLR
1.75
2.12
2.65
Keterangan: DSK= Daun Singkong, DUJ= Daun Ubi Jalar, DLR= Daun Lamtoro
Karakteristik Fisik Silase Indikator keberhasilan silase dapat dilihat dari karakteristik fisik silase yang dihasilkan yang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas silase (Bolsen dan Sapienza, 1993). Kriteria penilaian silase untuk menentukan baik atau tidaknya kualitas silase dapat dilihat dari warna, bau, dan tekstur silase (Haustein, 2003). Hasil pengamatan terhadap warna, bau, dan tekstur silase daun
singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro setelah tiga minggu ensilase dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Karakteristik Silase Daun Singkong, Daun Ubi Jalar, dan Daun Lamtoro setelah Tiga Minggu Ensilase Waktu Panen Hijauan Silase Peubah Pagi Siang Malam SDSK
SDUJ
SDLR
Warna
Hijau
Hijau kecoklatan
Hijau kecoklatan
Bau
Agak masam
Agak masam
Agak masam
Tekstur
Lembut
Lembut
Lembut
Warna
Hijau kecoklatan
Hijau kecoklatan
Hijau kecoklatan
Bau
Agak masam
Agak masam
Masam
Tekstur
Lembut
Lembut
Lembut
Warna
Hijau kecoklatan
Hijau kecoklatan
Hijau kecoklatan
Bau
Agak masam
Agak masam
Agak masam
Tekstur
Lembut
Lembut
Lembut
Keterangan: SDSK= Silase Daun Singkong, SDUJ= Silase Daun Ubi Jalar, SDLR= Silase Daun Lamtoro
Hasil pengamatan sifat fisik silase daun singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro secara umum memiliki sifat fisik yang relatif sama. Warna dari silase daun singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro adalah hijau kecoklatan kecuali warna silase dari daun singkong yang dipanen pada pagi hari. Warna coklat yang terlihat pada ketiga silase tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan selama ensilase, seperti terjadinya reaksi pencoklatan akibat bahan kering yang tinggi atau pembusukan oleh bakteri Clostridia karena kelebihan kadar air, tetapi warna coklat dan hijau tersebut merupakan pengaruh bahan yang digunakan pada pembuatan silase. Hal ini sesuai dengan yang direkomendasikan Macaulay (2004) bahwa silase yang berkualitas baik akan berwarna hijau terang sampai kuning atau hijau kecoklatan tergantung materi silase. Sementara Saun dan Henrich (2008) menyatakan bahwa warna silase mengindikasikan permasalahan yang mungkin terjadi selama fermentasi. Silase yang terlalu banyak mengandung asam asetat akan berwarna kekuningan, sedangkan jika kelebihan asam butirat akan berlendir dan berwarna hijau-kebiruan dan silase yang baik menunjukkan warna hampir sama dengan warna asalnya.
17
Pengamatan bau pada ketiga silase menunjukkan silase yang dihasilkan memiliki bau asam sampai agak asam yang tidak menyengat. Hasil ini sesuai dengan Saun dan Henrich (2008) yang menyatakan bahwa silase yang baik mempunyai bau asam karena mengandung asam laktat, bukan bau yang menyengat. Terbentuknya asam pada waktu proses fermentasi menyebabkan pH silase menjadi turun. Keadaan ini akan menghambat proses respirasi, proteolisis, dan mencegah aktifnya bakteri Clostridia (Coblentz, 2003). Fermentasi Clostridia akan menimbulkan bau busuk pada silase (Saun dan Henrich, 2008). Pengamatan terhadap tekstur ketiga silase menunjukan silase yang dihasilkan memiliki tekstur yang lembut. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Haustein (2003) yang menyatakan kualitas silase yang baik diantaranya memiliki tekstur yang lembut. Macaulay (2004) menyatakan bahwa tekstur silase dipengaruhi oleh kadar air bahan pada awal ensilase, silase dengan kadar air yang tinggi (>80%) akan memperlihatkan tekstur yang berlendir, lunak dan berjamur. Keberadaan Jamur Keberadaan jamur pada permukaan silo merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada proses ensilase. Idealnya silase yang baik mempunyai permukaan yang tidak berjamur (Lendrawati, 2009). Rataan keberadaan jamur pada silase dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Keberadaan Jamur Silase Jenis Daun
Waktu Panen Pagi
Siang
Malam
Rata-rata
----------------------------------------(%)---------------------------------------DSK
0
0
0
0
DUJ
0,61±0,16
0,26±0,45
0
0,29±0,23
DLR
0,18±0,31
0,73±0,51
0,30±0,27
0,40±0,29
Rata-rata
0,25±0,31
0,50±0,37
0,10±0,17
Keterangan: DSK= Daun Singkong, DUJ= Daun Ubi Jalar, DLR= Daun Lamtoro
Hasil sidik ragam menunjukkan jenis hijauan, waktu panen, dan interaksi antara jenis hijauan dengan waktu panen tidak berpengaruh nyata terhadap keberadaan jamur. Perlakuan daun ubi jalar yang dipanen pada pagi dan siang serta 18
perlakuan daun lamtoro yang dipanen pada pagi, siang, dan malam ditemukan jamur berturut-turut sebesar 0,61%; 0,26%; 0,18%; 0,73% dan 0,30%, sementara pada perlakuan daun singkong yang dipanen pada pagi, siang, dan malam serta perlakuan daun ubi jalar yang dipanen pada malam hari tidak ditemukan jamur setelah tiga minggu ensilase. Keberadaan jamur yang ditemukan ini kemungkinan disebabkan masih adanya udara pada kantong plastik. Adanya udara pada kantong plastik ini kemungkinan disebabkan karena komposisi batang dan daun yang berbeda pada ke tiga jenis hijauan tersebut. Perlakuan daun singkong kemungkinan memiliki komposisi daun yang lebih tinggi dibandingkan dengan batangnya sehingga dapat menekan keberadaan udara di dalam kantong plastik, sedangkan perlakuan daun ubi jalar dan daun lamtoro kemungkinan komposisi batang dan daunnya sama sehingga proses pemadatan menjadi tidak optimal yang mengakibatkan masih adanya udara dalam kantong plastik. Hal ini sesuai dengan pernyataan McDonald et al. (1991) bahwa kehadiran jamur erat kaiatannya dengan keberadaan udara yang terperangkap pada silo, baik pada fase awal ensilase ataupun akibat kebocoran silo selama penyimpanan. Jamur yang terdapat pada silase ini tidak menyebabkan silase menjadi rusak, karena persentase jamur yang didapatkan pada penelitian ini lebih rendah dari pernyataan Davies (2007) bahwa keberadaan jamur pada produk silase mencapai 10%. Silase yang berjamur ini sebaiknya dibuang sebelum diberikan ke ternak. Keberadaan jamur pada silase merupakan hal yang wajar jika jamur tersebut tidak menyebabkan silase menjadi rusak. Derajat Keasaaman (pH) pH merupakan indikator utama untuk mengetahui pengaruh ensilase terhadap nilai nutrisi pada silase berkadar air tinggi, pH lebih rendah menunjukkan kualitas lebih baik (Kung dan Nylon 2001). Macaulay (2004) menyatakan bahwa kualitas silase dapat digolongkan menjadi empat kriteria berdasarkan pH yaitu: baik sekali dengan pH 3,2−4,2; baik pH 4,2−4,5; sedang pH 4,5−4,8 dan buruk pH >4,8. Rataan pH silase dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil sidik ragam menunjukan jenis hijauan, waktu panen, dan interaksi antara jenis hijauan dengan waktu panen nyata (P<0,05) mempengaruhi nilai pH silase. Jenis hijauan mempengaruhi nilai pH silase kemungkinan dikarenakan 19
berbedanya kandungan WSC dan populasi BAL pada hijauan tersebut. Tabel 3 memperlihatkan kandungan WSC yang berbeda-beda pada daun singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari. Daun ubi jalar memiliki kandungan WSC yang tertinggi jika dibandingkan dengan daun singkong dan lamtoro. Tabel 6. Rataan pH Silase Jenis Daun
Waktu Panen
Rata-rata
Pagi
Siang
Malam
DSK
4.50±0.09d
4.50±0.12d
4.04±0.06b
4.42±0.32y
DUJ
4.23±0.22c
3.97±0.03ab
3.85±0.09a
4.02±0.19x
DLR
5.80±0.01f
5.89±0.01f
5.45±0.05e
5.71±0.23z
Rata-rata
4.88±0.82z
4.82±0.98z
4.45±0.88y
Keterangan:
Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05). DSK= Daun Singkong, DUJ= Daun Ubi Jalar, DLR= Daun Lamtoro
Waktu panen mempengaruhi nilai pH silase kemungkinan dikarenakan kandungan Water Soluble Carbohidrate (WSC) yang tinggi pada hijauan di malam hari hasil fotosintesis di siang harinya. Lakitan (2008) menyatakan proses fotosintesis ini terjadi pada siang hari atau ketika ada cahaya matahari. Tanaman merubah energi dari matahari menjadi gula sehingga konsentrasi gula secara umum lebih tinggi pada sore atau malam hari dan lebih rendah lagi pada pagi hari melalui proses respirasi (pelepasan CO2). Interaksi yang terjadi pada penelitian ini adalah dengan memilih bahan baku silase yang memiliki kandungan WSC yang tinggi dan memilih waktu panen yang tepat, maka dapat menurunkan pH silase dengan optimal. Perlakuan daun ubi jalar yang dipanen pada malam hari memiliki nilai pH yang baik sekali untuk silase dibandingkan dengan yang lain, yaitu 3,85. Perlakuan daun singkong yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari memiliki nilai yang baik untuk silase yaitu berturut 4,50; 4,50; dan 4,04. Sedangkan perlakuan daun lamtoro yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari memiliki nilai pH yang buruk untuk silase yaitu bertururt-turut 5,80; 5,89; dan 5,45. Nilai pH yang rendah pada perlakuan daun ubi jalar yang dipanen pada malam hari dikarenakan tingginya kandungan WSC pada daun ubi jalar (24,17 %BK). Water Soluble Carbohidrate (WSC) yang terkandung pada hijauan tersebut akan dimanfaatkan oleh bakteri 20
penghasil asam laktat untuk menurunkan pH silase. Nilai pH yang tinggi pada perlakuan daun lamtoro yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari dikarenakan rendahnya kandungan WSC pada daun lamtoro yaitu berturut-turut 1,75 %BK; 2,12 %BK; dan 2,65 %BK, sehingga aktifitas bakteri penghasil asam laktat tidak berjalan secara optimal dalam menurunkan pH. Populasi Bakteri Asam Laktat Jumlah bakteri asam laktat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses silase selain kadar air dan kandungan WSC bahan silase. Jumlah bakteri asam laktat akan dipengaruhi oleh nilai pH, semakin rendah nilai pH maka jumlah bakteri asam laktat akan meningkat (Lendrawati, 2009). Bakteri asam laktat (BAL) dalam ensilase memiliki peranan yang penting terutama dalam membantu mempercepat penurunan pH, mempercepat pembentukan asam-asam organik seperti asam laktat dan asam asetat serta dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk yang dapat merusak dalam pembuatan silase. Populasi bateri asam laktat pada silase sekitar 106 cfu/ml (Schroeder, 2004). Rataan populasi bakteri asam laktat dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Populasi Bakteri Asam Laktat Jenis Daun
Waktu Panen Pagi
Siang
Malam
---------------------------------(log10 cfu/ml)--------------------------------DSK
6,52
6,63
6,69
DUJ
6,67
6,81
6,90
DLR
5,30
5,36
5,39
Keterangan: DSK= Daun Singkong, DUJ= Daun Ubi Jalar, DLR= Daun Lamtoro
Perlakuan daun ubi jalar yang dipanen pada malam hari memiliki populasi bakteri asam laktat yang tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain 6,90 (log10 cfu/ml), sedangkan perlakuan daun lamtoro yang dipanen pada malam hari memiliki populasi bakteri asam laktat yang rendah 5,30 (log10 cfu/ml). Tingginya populasi bakteri asam laktat pada perlakuan daun ubi jalar (DUJ) yang dipanen pada malam hari menunjukan bakteri penghasil asam laktat bekerja secara optimal. Hal ini kemungkinan dikarenakan tingginya karbohidrat pada malam hari hasil fotosintesis 21
di siang hari. Karbohidrat ini akan digunakan oleh bakteri untuk menurunkan pH silase. Sehingga populasi bakteri asam laktat akan meningkat seiring dengan menurunnya nilai pH silase. Sedangakan rendahnya populasi bakteri asam laktat pada perlakuan daun lamtoro yang dipanen pada malam hari menunjukan terhambatnya aktifitas bakteri tersebut. Hal ini kemungkinan dikarenakan bakteri kekurangan karbohidrat yang merupakan substrat pendorong pertumbuhan bakteri asam laktat. Konsentrasi karbohidrat akan menurun pada pagi hari akibat proses respirasi pada malam hari. Kehilangan Bahan Kering Kehilangan bahan kering pada produk silase disebabakan oleh proses pendegradasian WSC atau gula-gula mudah tercerna menjadi produk akhir yang lebih sederhana (asam asetat, laktat dan asam butirat). Produk akhir paling menguntungkan adalah asam asetat dan asam laktat. (Lendrawati, 2009). Davies (2007) menyatakan bahwa kehilangan bahan kering silase terjadi pada saat pengisian (5%), menjadi cairan silase (3%), selama proses fermentasi (5%), kerusakan karena udara (10%) dan kehilangan di lapangan (4%). Rataan kehilangan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Rataan Kehilangan BK Silase Waktu Panen Jenis Daun Pagi Siang
Malam
Rata-rata
---------------------------------------(%)--------------------------------------DSK
0,13±0,15
0,06±0,04
0,09±0,04
0,09±0,04
DUJ
0,09±0,02
0,10±0,05
0,14±0,02
0,11±0,03
DLR
0,14±0,04
0,21±0,05
0,10±0,08
0,15±0,06
Rata-rata
0,12±0,03
0,12±0,08
0,11±0,03
Keterangan: DSK= Daun Singkong, DUJ= Daun Ubi Jalar, DLR= Daun Lamtoro
Hasil sidik ragam menunjukkan jenis hijauan, waktu panen, dan interaksi antara jenis hijauan dengan waktu panen tidak berpengaruh nyata terhadap kehilangan bahan kering silase. Kehilangan bahan kering pada penelitian ini berkisar antara 0,10% - 0,21%. Hasil penelitian ini lebih rendah dari penelitian Muck (2007) yang menemukan bahwa kualitas silase, baik yang mendapatkan penambahan bakteri atau inokulan akan kehilangan bahan kering sebesar 1%-2%. Rendahnya kehilangan 22
bahan kering pada silase ini kemungkinan dikarenakan pada waktu pembuatan silase tidak didahului oleh proses pelayuan hijauan dan pada waktu pembuatan silase juga ditambahkan bakteri asam laktat (BAL) dalam bentuk cair sehingga kadar air hijauan menjadi tinggi. Tingginya kadar air pada hijauan ini yang mungkin menyebabkan kehilangan bahan kering pada penelitian ini menjadi rendah. Mc Donald et.al, (1991) menyatakan Kehilangan bahan kering dipengaruhi oleh kadar air silase, kandungan Water Soluble Carbohidrate (WSC) bahan, penambahan zat aditif, dan kecepatan penurunan pH. Kehilangan Water Soluble Carbohydrate (WSC) Karbohidrat yang mudah larut dalam air (WSC) merupakan substrat primer bakteri penghasil asam laktat untuk menurunkan pH pada silase. Apabila kandungan WSC pada bahan rendah, maka fermentasi tidak berjalan sempurna karena produksi asam laktat akan berhenti (Jones et al. 2004). Water Soluble Carbohydrate tanaman umumnya dipengaruhi oleh spesies, fase pertumbuhan, budidaya, iklim, umur dan waktu panen tanaman (Downing et al. 2008). Mc Donald et.al, (1991) menyatakan untuk mendapatkan fermentasi yang baik kandungan WSC bahan baku sebelum ensilase adalah 3-5% BK. Sementara Hutton (2004) menyatakan kebutuhan WSC selama fermentasi silase berkisar 6−12% BK. Tabel 3 meperlihatkan kandungan WSC yang berbeda-beda pada daun singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari. Rataan kehilangan WSC dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Rataan Kehilangan WSC Jenis Daun
Waktu Panen Pagi
Siang
Malam
Rata-rata
--------------------------------------(%BK)-----------------------------------DSK
3,01±0,41
3,14±0,85
8,93±0,49
5,03±2,38y
DUJ
5,73±0,48
8,63±0,72
13,85±0,97
9,41±4,12z
DLR
0,93±0,46
0,59±0,44
1,57±0,61
1,03±0,50x
Rata-rata
3,22±1,41x
4,12±2,11x
8,12±4,18y
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05). DSK= Daun Singkong, DUJ= Daun Ubi Jalar, DLR= Daun Lamtoro.
23
Hasil sidik ragam menunjukkan jenis hijauan dan waktu panen nyata (P<0,05) mempengaruhi kehilangan WSC silase, sedangkan interaksi antara jenis hijauan dan waktu panen tidak mempengaruhi kehilangan WSC. Jenis hijauan mempengaruhi kehilangan WSC silase kemungkinan dikarenakan kandungan nutrien yang berbeda terutama kandungan WSC pada hijauan tersebut. Tingginya kandungan WSC daun ubi jalar yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari membuat proses fermentasi berjalan optimal. Selama proses fermentasi, WSC ini akan di rombak oleh mikroorganisme menjadi asam laktat. Jones et al. (2004) menyatakan bahwa proses fermentasi merupakan aktivitas biologis bakteri asam laktat mengkonversi gula-gula sederhana menjasi asam organik terutama asam laktat. Terbentuknya asam laktat pada proses silase ini akan mempercepat penurunan pH. Hal ini didukung oleh rendahnya nilai pH pada silase berbahan baku daun ubi jalar yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari yaitu berturut- turut 4,23; 3,97; dan 3,85. Silase berbahan baku daun singkong yang dipanen pada pagi, siang dan malam hari memiliki WSC bahan yang lebih rendah dari daun ubi jalar yaitu sebesar 7,56, 8,22, dan 12,38 %BK . Kandungan WSC ini masih dalam syarat yang dinyatakan oleh Mc Donald et.al, (1991) yaitu sebesar 3-5 %BK. Ketersedian WSC yang cukup pada daun singkong membuat proses fermentasi berjalan optimal. Hal ini didukung oleh cukup rendahnya nilai pH pada silase berbahan baku daun singkong yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari yaitu berturut- turut 4,50; 4,50; dan 4,04. Silase berbahan baku daun lamtoro yang dipanen pada pagi, siang dan malam hari memiliki WSC bahan yang rendah yaitu sebesar 1,75; 2,12; dan 2,65 %BK. Rendahnya kandungan WSC ini memebuat proses fermentasi tidak berjalan optimal, sehingga pH yang dihasilkan pada silase berbahan baku lamtoro menjadi tinggi yaitu berturut- turut 5,80; 5,89; dan 5,45. Waktu panen mempengaruhi kehilangan WSC silase kemungkinan dikarenakan penerimaan cahaya matahari yang berbeda oleh ketiga hijauan tersebut. Cahaya matahari akan digunakan oleh hijauan untuk melakukan proses fotosintesis. Hasil dari fotosintesis hijauan ini adalah karbohidrat (WSC) yang sangat diperlukan dalam proses silase. Karbohidrat (WSC) yang dihasilkan tergantung dari penerimaan cahaya matahari oleh hijauan, semakin tinggi cahaya yang diterima maka WSC yang dihasilkan akan tinggi. Lakitan (2008) menyatakan konsentrasi WSC secara umum 24
lebih tinggi pada sore hari. Konsentrasi WSC mulai menurun pada malam hari melalui proses respirasi (pelepasan CO2) dalam tanaman dan lebih rendah lagi pada pagi hari. Data pada tabel 3 menunjukkan kandungan WSC pada daun singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro tertinggi pada malam hari dan terendah pada pagi hari. Tingginya WSC pada malam hari disebabakan karena masih terkumpulnya WSC pada hijauan hasil dari fotosintesis pada siang sampai sore hari, sedangkan rendahnya WSC pada pagi hari disebabkan karena hijauan melakukan proses respirasi pada malam hari. Tingginya WSC pada daun singkong, daun ubi jalar, dan daun lamtoro yang dipanen malam hari jika dibandingkan dengan pagi dan siang hari membuat proses fermentasi berjalan lebih optimal pada malam hari. Kelarutan Kelarutan berhubungan erat dengan nutrien yang digunakan dalam ensilase tersebut. Nutrien tersebut yang akan dimanfaatkan untuk produksi asam-asam organik (Schroeder, 2004). Rataan kelarutan silase dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan jenis hijauan nyata (P<0,05) mempengaruhi kelarutan silase, sedangkan waktu panen dan interaksi antara jenis hijauan dan waktu panen tidak mempengaruhi kelarutan silase. Jenis hijauan mempengaruhi kelarutan silase kemungkinan disebabkan karena jenis hijauan mempengaruhi tingkat kecernaan, dimana kelarutan dan kecernaan memiliki korelasi yang positif. Schroeder (2004) menyatakan bahwa kelarutan akan berkorelasi positif dengan kecernaan, jika kelarutan tinggi maka kecernaan bahan pakan tinggi. Tabel 10. Rataan Kelarutan Silase Jenis Daun
Waktu Panen Pagi
Siang
Malam
Rata-rata
---------------------------------------(%)--------------------------------------DSK
63,03±3,15
64,14±2,32
61,41±2,12
62,86±1,37x
DUJ
68,78±0,47
68,87±1,97
63,46±1,23
67,04±3,09y
DLR
72,07±0,63
72,20±0,48
70,93±1,47
71,73±0,69z
Rata-rata
66,56±4,79
68,03±4,63
67,07±5,01
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05). DSK= Daun Singkong, DUJ= Daun Ubi Jalar, DLR= Daun Lamtoro
25
Kelarutan tertinggi terdapat pada silase berbahan baku lamtoro yaitu 72,07%; 72,20% dan 70,93%. Hal ini dikarenakan kecernaan lamtoro lebih tinggi jika dibandingkan dengan daun singkong dan daun ubi jalar. Haryanto (1985) menyatakan nilai cerna bahan kering lamtoro yang digunakan sebagai ransum campuran berkisar antara 50% – 70%, sedangkan jika digunakan sebagai ransum tunggal nilai cerna bahan keringnya lebih dari 71% dengan menggunakan hewan percobaan sapi dan kambing, sedangkan kecernaan bahan organiknya adalah 78%. Futiha (2010) menyatakan bahwa kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik pelet yang menggandung 5% daun lamtoro lebih tinggi dibandingkan dengan pelet yang mengandung 5% daun ubi jalar (78,88% vs 67,62%) dan (78,94% vs 67,23%) dengan menggunakan hewan percobaan kelinci. Hal ini disebabkan karena tingginya protein dan rendahnya serat kasar daun lamtoro jika dibandingkan dengan daun ubi jalar (26.07% vs 25.51%) dan (17.73% vs 24.29%). Kelarutan silase berbahan baku daun ubi jalar pada penelitian ini adalah 68,78%; 68,87%; dan 63,46%. Hasil penelitian Futiha (2010) melaporkan bahwa kecernaan bahan kering dan bahan organik pada kelinci yang diberi pakan pelet yang mengandung 5% daun ubi jalar adalah 67,62% dan 67.23%. Kelarutan silase berbahan baku daun singkong adalah 63,03%; 64,14%; dan 61,41%. Hasil penelitian Haryanto (1985) melaporkan bahwa kecernaan bahan kering dan bahan organik pada hewan kerbau yang pakannya dicampur dengan daun singkong sebanyak 0,50% bobot badan adalah sebesar 62,47% dan 64,64%.
26
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Perlakuan jenis hijauan daun ubi jalar yang dipanen pada malam hari dapat menghasilkan silase yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan jenis hijauan daun singkong dan daun lamtoro yang dipanen pada pagi, siang, dan malam hari. Nilai pH yang rendah dan kehilangan WSC yang tinggi yaitu sebesar 3,85 dan 13,85 %BK terdapat pada perlakuan jenis hijauan daun ubi jalar yang dipanen pada malam hari. Karakteristik fisik silase, keberadaan jamur, populasi bakteri asam laktat (BAL), dan kehilangan bahan kering tidak menunjukkan perbedaan antar perlakuan jenis hijauan dan waktu panen. Perlakuan jenis hijauan daun lamtoro memiliki tingkat kelarutan yang tinggi jika dibandingkan dengan jenis hijauan yang lain. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan seperti aplikasi pada ternak khususnya ruminansia untuk mengetahui palatabilitas, konsumsi maupun kecernaan in vivo pada ternak.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia dan rahmat Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Tak lupa penulis sampaikan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Ayahanda H. Muchlis dan Ibunda Hj. Suratmi serta Teh Sunsun tersayang yang telah memberikan kasih sayang, dukungan dan do’a yang senantiasa dipanjatkan. Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. dan Dr. Ir. Rita Mutia, M.Sc. yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran serta bantuannya kepada penulis selama melaksanakan penelitian dan tugas akhir. Dr. Ir. M. Ridla, M.Sc. selaku pembahas seminar, serta Dr. Ir. Heri A. Sukria, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, M.S. selaku penguji sidang atas saran dan masukannya. Penulis tak lupa ucapkan terima kasih kepada kepada Ir. Dwi Margi Suci, M.S., Ir. Widya Hermana, M.Si. dan Ir. Lilis Khotijah, M.Si. atas sarannya kepada penulis. Kepada seluruh dosen, staf dan laboran Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya. Ade Khodijah Nurbaeti yang tak henti-hentinya memberi doa dan semangat kepada penulis selama menyusun skripsi ini. Teman sepenelitian penulis Rudyana atas kerjasama dan bantuannya. Lie Aulia AP, Chairullah A dan keluarga besar Lab ITP Pak Heru, Bang Anwar, Pak Yatno, Pak Parjo, Pak Udin, Bu Sofi, Kak Lendrawati, Mas Windu, Mbak Ratih atas nasehat dan ilmu yang diberikan kepada penulis. Leo, Mulya, Beny, Rimba, Fahmul, Elfian, serta teman-teman INTP 42 terimakasih atas bantuan dan dukungannya. Keluarga besar dan teman-teman di Pondok Pesantren Nurul Imdad yang telah memberikan doa dan semangat kepada penulis. Pak Sigit Widayanto, Pak Agus Wiyono, Pak Aryono dan seluruh team PT. Bumiraya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dalam bekerja. Terakhir terima kasih kepada semua civitas akademika Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya. Bogor, Oktober 2010
Penulis
DAFTAR PUSTAKA Adam, M. R. & Moss. 1995. Food Microbiology. The Royal Society of Chemistry, Cambridge, London. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1999. Official Methods of Analysis. Ed ke-16. Washington: AOAC International. [BPS] Badan Pusat Statistik, Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2007. Produksi, luas panen dan produktivitas palawija di Indonesia tahun 2003–2007. Jakarta: Departemen Pertanian. Coblenzt W. 2003. Principles of silage making. http://www.uaex.edu [Maret 2009]. Cock, J.H. 1992. Cassava Program. Centro International de Agricultural Tropical. Colombia. Davies D. 2007. Improving silage quality and reducing CO2 emissions. http://improving silage quality and reducing CO2 emission. [Juli 2009] Devendra C. 1977. Cassava as a Feed Source for Ruminants. In: Nestle B and Graham M (editor). Cassava as Animal Feed. IDRC: Canada. hlm 107–119. Dubois M., Giles KA, Hamilton JK, Reber PA, Smith F. 1956. Colorimetric method for determination of sugar and related substances. Anal Chem. 28: 350-356. Downing. T.W., A. Buyserie., Gamroth., & P. French. 2008. Effect of water soluble carbohydrates on fermentation characteristics of ensiled perenial ryegrass. The Profesional Animal Scientist 24: 35-39 [19 Oktober 2009] Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Futiha, E.N. 2010. Kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum komplit mengandung bungkil inti sawit dengan kombinasi hijauan berbeda pada kelinci. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gilliland, S.E. 1993. Bacterial Starter Cultures for Food. CRS Press. Baoca Raton, Florida. Hang DT. 1998. Digestibility and nitrogen retention in fattening pigs fed different levels of ensiled cassava leaves as a protein source and ensiled cassava root as energy source. Livestock Research for Rural Development. Hlm: 3-10 Haryanto, W. 1985. Pengaruh penembahan tetes pada tepung daun ketela pohon (Manihot esculenta Crantz) terhadap koefisien cerna bahan kering, bahan organic, dan energy pada kerbau (Bubalus bubalis). Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Haustein, S. 2003. Evaluating silage quality. http://www.agric.gov.ab.ca. [12 Maret 2010]
Hildenbrand, K. 2000. Fish silage. http://www./lisproc.ucclavis.edu/archives/seafood/0076.html.[20/03/2009]. Jones C.M, Heinrichs A.J, Roth G.W, & Issler V.A. 2004. From Harvest to Feed : Understanding Silage Management. Pensylvania : Pensylvania State University. Kavana PY, Mtunda K, Abass A, Rweyendera V. 2005. Promotion cassava leave silage utilization for smallholder dairy production in Eastern coast of Tanzania. Livestock Research for Rural Development. Hlm: 4-17 Khang DN, Van Man N, Wiktorsson H. 2000. Substitution of cotton seed meal with cassava leaf meal in Napier grass (Pennisetum purpureum) diets for dairy cows. Preston TR, Ogle RB, editor. Di dalam: Proceedings SeminarWorkshop “Making better use local feed resources” Ho Chi Minh City. Lakitan. 2008. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Lendrawati, 2008. Kualitas fermentasi dan nutrisi silase ransum komplit berbasis hasil samping jagung, sawit, dan ubi kayu. Tesis. Sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Liem DT, VanMan N, Phuc Loc N, Van Hao N, Xuan An. 1997. Cassava leaf meal in animal feeding. In: Vietnam Cassava Workshop; Vietnam, 4−6 Maret 1997. Institute of Scientific Agriculture of the South. Macaulay, A. 2004. Evaluating silage quality. www.agric.gov.ab.ca/$department/deptdocs.nsf/all/for4909.html [10 Oktober 2009] Mc. Donald, P., A.R. Henderson and S.J.E. Heron. 1991. The Biochemistry of Silage. 2nd Edition. National Academy Press, Washington D.C. Muchtadi, D. 1998. Kajian Gizi Produk Olahan Kedelai. Dalam Nuraida, L., & S. Yasni (Eds). Prosiding Seminar Pengembangan Pengolahan dan Penggunaan Kedelai sebagai Tempe. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi – IPB dengan American Soybean Association, Bogor. Muck, R.E. 2007. Preventing Silage Storage Losses. University of Wisconsin. Madison. Nasional Academy of Science. 1980. Leucana Promosing Forage and Tree Crop for The Tropics. Washington DC. Naumann, C. & Basler, R. 1997. VDLUFA-Methodenbuch Band III, Die chemische Untersuchung von Futtermitteln. 3rd ed. VDLUFA-Verlag. Darmstadt, Germany. Onwueme, I.C. 1978. Tropical Tuber Crops. John Willey and Sons, Chichester.
30
Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Pelczar, M.J., & Chan, E.C.S. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Terjemah: Hadioetomo. Penerbit Universitas Indonesia Press Jakarta. Prawiranata W., S. Harran & P. Tjondronegoro.1999. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Jilid II. Laboratorium Fisiologi Tumbuhan. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan IPA. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rahayu, W.P. & W. Cristiani. 1992. Pembuatan yoghurt berflavour buah dan mutunya selama penyimpanan. Bul. Pen. Ilmu. Tek. Pangan III (1): 59-73. Ravindran V. 1991. Preparation of cassava leaf products and their use as animal feed. In: Machin D, Nyvold S (editor). Roots, tubers, plantains and bananas in animal feeding. FAO Animal Production and Health Paper 95: 111−122. Ruiz, M.E. 1982. Sweet Potato (Ipomoea batatas L.) for beef production, agronomic and concervation aspects and animal response. In Villareal, R.L. and T.D. Griggs. (Eds). Sweet Potato. Proceeding of the First International Symposium. AVRD. Taiwan. Santosa, S.A.B., Widowati & S. Damardjati. 1994. Evaluasi sifat-sifat kimia tepung dua varietas ubi jalar. Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Ubi Jalar Mendukung Agroindustri. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Sapienza, A dan Bolsen. 1993. Teknologi Silase. Terjemahan: Rini, B. S. Martoyoedo. Kansas State University. England. Saun, R.J.V, & A.J. Henrich. 2008. Trouble shooting silage problem: How to identify potential problem. In: Proceedings of the Mid-Atlantic Conference: Pensylvania, 26 May 2008. Penn State’s Collage. Hlm 2-10. Schroeder JW. 2004. Silage fermentation and preservation. Extension Dairy Speciaslist. AS-1254. http://www.ext.nodak.edu/extpubs/ansci/dairy/as 1254w. htm. [Maret 2009]. Siregar, M.E. & B.R. Prawiradipura. 1983. Lamtoro Sebagai Makanan Ternak. Lembaga LPP tahun VIII, NO. I. Bogor. Soeseno, O.H., & Soedaharoedjian. 1992. Sifat-sifat silvika dan agronomi/silvikultur Leucaena leucochepala. Prosiding Seminar Lamtoro I, Jakarta 23-25 1992. Supardi, D. 2000. Pengaruh pemberian cendawan mikoriza arbuskula (CMA) dan pupuk terhadap pertumbuhan dan produksi rumput Brachiaria mutica. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Steel, R.G.D., & Torrie, J.H. 1991. Prinsip dan prosedur statistika. Ed kedua. Terjemah: B. Sumantri. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 31
Wanapat M., & Knampa S. 2006. Effect of cassava hay in high-quality feed bock as anthelmintics in steers grazing on ruzi grass. Asian-Aust J Anim Sci 19: 695−699. Wargiono, J. & Soenarjo. 1986. Prambanan klon ungu ubi jalar berkadar karotin tinggi dan potensial. Buletin Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor, Bogor. Yeh, T.P. 1982. Utilization of sweet potato for animal feed and industrial uses, potential and problems. In Villareal, R.L. and T.D. Griggs. (Eds). Sweet Potato. Proceeding of the First International Symposium. AVRD. Taiwan.
32
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuisioner Pengamatan Sifat Fisik Silase Daun Singkong UJI ORGANOLEPTIK SILASE DAUN SINGKONG (DSK) Nama Nrp/Semester No. HP Tgl. Pengujian
:............................... :......................../...... :............................... :...............................
Tanda Tangan
Beri tanda contreng ( √ ) pada pilihan anda. No
Warna 2 3
Kode
Bau 2 3
Tekstur 2 3
1 4 1 4 1 4 1 DSK-P1 2 DSK-P2 3 DSK-P3 4 DSK-S1 5 DSK-S2 6 DSK-S3 7 DSK-M1 8 DSK-M2 9 DSK-M3 Keterangan: DSK-Pn= Daun Singkong-Pagi ulangan ke-n, DSK-Sn= Daun Singkong -Siang ulangan ke-n, DSK-Mn= Daun Singkong -Malam ulangan ke-n, n= Konstanta ulangan.
Keterangan Skor:
Warna Hijau Hijau kekuningan Hujau kecoklatan Coklat
Bau
=4 =3 =2 =1
Masam Agak masam Tengik Busuk
Tekstur =4 =3 =2 =1
Lembut Remah Kasar Sangat kasar
=4 =3 =2 =1
34
Lampiran 2. Kuisioner Pengamatan Sifat Fisik Silase Daun Ubi Jalar
UJI ORGANOLEPTIK SILASE DAUN UBI JALAR (UJ) Nama Nrp/Semester No. HP Tgl. Pengujian
:............................... :......................../...... :............................... :...............................
Tanda Tangan
Beri tanda contreng ( √ ) pada pilihan anda. No
Kode
1
Warna 2 3
4
1
Bau 2 3
4
1
Tekstur 2 3
4
1 DUJ-P1 2 DUJ-P2 3 DUJ-P3 4 DUJ-S1 5 DUJ-S2 6 DUJ-S3 7 DUJ-M1 8 DUJ-M2 9 DUJ-M3 Keterangan: DUJ-Pn= Daun Ubi Jalar-Pagi ulangan ke-n, DUJ-Sn= Daun Ubi Jalar Siang ulangan ke-n, DUJ-Mn= Daun Ubi Jalar-Malam ulangan ke-n, n= Konstanta ulangan.
Keterangan Skor: Warna Hijau Hijau kekuningan Hujau kecoklatan Coklat
Bau =4 =3 =2 =1
Masam Agak masam Tengik Busuk
Tekstur =4 =3 =2 =1
Lembut Remah Kasar Sangat kasar
=4 =3 =2 =1
35
Lampiran 3. Kuisioner Pengamatan Sifat Fisik Silase Daun Lamtoro UJI ORGANOLEPTIK SILASE DAUN LAMTORO (LR) Nama Nrp/Semester No. HP Tgl. Pengujian
:............................... :......................../...... :............................... :...............................
Tanda Tangan
Beri tanda contreng ( √ ) pada pilihan anda. No
Warna 2 3
Kode
Bau 2 3
Tekstur 2 3
1 4 1 4 1 4 1 DLR-P1 2 DLR-P2 3 DLR-P3 4 DLR-S1 5 DLR-S2 6 DLR-S3 7 DLR-M1 8 DLR-M2 9 DLR-M3 Keterangan: DLR-Pn= Daun Lamtoro-Pagi ulangan ke-n, DLR-Sn= Daun Lamtoro Siang ulangan ke-n, DLR-Mn= Daun Lamtoro -Malam ulangan ke-n, n= Konstanta ulangan.
Keterangan Skor: Warna Hijau Hijau kekuningan Hujau kecoklatan Coklat
Bau =4 =3 =2 =1
Masam Agak masam Tengik Busuk
Tekstur =4 =3 =2 =1
Lembut Remah Kasar Sangat kasar
=4 =3 =2 =1
36
Lampiran 4. ANOVA Keberadaan Jamur Silase Sumber Keragaman perlakuan faktor A faktor B interaksi Galat Total
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8 2 2 4 18 26
1,85 0,78 0,26 0,81 3,51 5,36
0,23 0,39 0,13 0,20 0,20 0,21
1,19 2,00 0,67 1,04
2,51tn 3,55tn 3,55tn 2,93tn
3,71tn 6,01tn 6,01tn 4,58tn
Keterangan: tn= tidak nyata
Lampiran 5. Uji Kontras Orthogonal Keberadaan Jamur Silase Sumber Keragaman Perlakuan faktor A faktor B 1,2,3,6,7 vs 4,5,8,9 1,2,3,6 vs 7 1 vs 2,3,6 2 vs 3,6 3 vs 6 5,9 vs 4,8 5 vs 9 4 vs 8 Interaksi Galat Total
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 4 18 26
1,85 0,78 0,26 1,28 0,08 0,00 0,00 0,00 0,46 0,00 0,02 0,81 3,51 5,36
0,23 0,39 0,13 1,28 0,08 0,00 0,00 0,00 0,46 0,00 0,02 0,20 0,20 0,21
1,19 2,00 0,67 6,59 0,40 0,00 0,00 0,00 2,38 0,00 0,12 1,04
2,51 3,55 3,55 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 2,93
3,71 6,01 6,01 8,29 8,29 8,29 8,29 8,29 8,29 8,29 8,29 4,58
Keterangan: 1=DSK panen pagi hari; 2= DSK panen siang hari; 3= DSK panen malam hari; 4= DUJ panen pagi hari; 5= DUJ panen siang hari; 6= DUJ panen malam hari; 7= DLR panen pagi hari; 8= DLR panen siang hari; 9= DLR panen malam hari; DSK= Daun Singkong; DUJ= Daun Ubi Jalar; DLR= Daun Lamtoro.
37
Lampiran 6. ANOVA pH Silase Sumber Keragaman perlakuan faktor A faktor B interaksi Galat Total
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8 2 2 4 18 26
15,36 14,18 0,98 0,19 0,18 15,53
1,92 7,09 0,49 0,05 0,01 0,59
196,62 726,22 50,37 4,95
2,51* 3,55* 3,55* 2,93*
3,71** 6,01** 6,01** 4,58**
Keterangan: *berbeda nyata (P<0,05); **sangat berbeda nyata (P<0,01)
Lampiran 7. Uji Kontras Orthogonal pH Silase Sumber Keragaman Perlakuan faktor A faktor B 1,2,3,4,5,6 vs 7,8,9 3,5,6 vs 1,2,4 6 vs 3,5 3 vs 5 4 vs 1,2 1 vs 2 9 vs 7,8 7 vs 8 Interaksi Galat Total
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 4 18 26
15,36 14,18 0,98 13,46 1,22 0,05 0,01 0,28 0 0,31 0,01 0,19 0,18 15,53
1,92 7,09 0,49 13,46 1,23 0,05 0,01 0,28 0 0,31 0,01 0,05 0,01 0,59
196,62 726,22 50,37 1378,68 126,77 5,35 0,75 28,55 0 31,43 1,44 4,95
2,51 3,55 3,55 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 2,93
3,71 6,01 6,01 8,29 8,29 8,29 8,29 8,29 8,29 8,29 8,29 4,58
Keterangan: 1=DSK panen pagi hari; 2= DSK panen siang hari; 3= DSK panen malam hari; 4= DUJ panen pagi hari; 5= DUJ panen siang hari; 6= DUJ panen malam hari; 7= DLR panen pagi hari; 8= DLR panen siang hari; 9= DLR panen malam hari; DSK= Daun Singkong; DUJ= Daun Ubi Jalar; DLR= Daun Lamtoro.
38
Lampiran 8. ANOVA Kehilangan Bahan Kering Silase Sumber Keragaman perlakuan faktor A faktor B interaksi Galat Total
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8 2 2 4 18 26
0,043 0,016 0,001 0,026 0,074 0,117
0,005 0,008 0,001 0,007 0,004 0,005
1,32 1,97 0,12 1,59
2,51tn 3,55tn 3,55tn 2,93tn
3,71tn 6,01tn 6,01tn 4,58tn
Keterangan: tn= tidak nyata
Lampiran 9. Uji Kontras Orthogonal Kehilangan Bahan Kering Silase Sumber Keragaman Perlakuan faktor A faktor B 2,3,4,5,9 vs 1,6,7,8 2,3,4 vs 5,9 2 vs 3,4 3 vs 4 5 vs 9 1,6,7 vs 8 1 vs 6,7 6 vs 7 Interaksi Galat Total
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 4 18 26
0,043 0,016 0,001 0,030 0,002 0,001 0 0,0001 0,011 0,0002 0,007 0,026 0,074 0,117
0,005 0,008 0,001 0,030 0,002 0,001 0 0,0001 0,011 0,0002 0,007 0,007 0,004 0,005
1,32 1,97 0,12 7,272 0,392 0,266 0 0,016 2,692 0,049 1,628 1,59
2,51 3,55 3,55 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 2,93tn
3,71 6,01 6,01 8,29 8,29 8,29 8,29 8,29 8,29 8,29 8,29 4,58tn
Keterangan: 1=DSK panen pagi hari; 2= DSK panen siang hari; 3= DSK panen malam hari; 4= DUJ panen pagi hari; 5= DUJ panen siang hari; 6= DUJ panen malam hari; 7= DLR panen pagi hari; 8= DLR panen siang hari; 9= DLR panen malam hari; DSK= Daun Singkong; DUJ= Daun Ubi Jalar; DLR= Daun Lamtoro.
39
Lampiran 10. ANOVA Kehilangan WSC Silase Sumber Keragaman perlakuan faktor A faktor B interaksi Galat Total
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8 2 2 4 18 26
487,78 315,98 122,36 49,44 134,81 622,59
60,97 157,99 61,18 12,36 7,49 23,95
8,14 21,09 8,17 1,65
2,51* 3,55* 3,55* 2,93tn
3,71** 6,01** 6,01** 4,58tn
Keterangan: *berbeda nyata (P<0,05); **sangat berbeda nyata (P<0,01); tn= tidak nyata
Lampiran 11. Uji Kontras Orthogonal Kehilangan WSC Silase Sumber Keragaman Perlakuan faktor A faktor B 1,2,7,8,9 vs3,4,5,6 7,8,9 vs 1,2 8 vs 7,9 7 vs 9 1 vs 2 3,4 vs 5,6 4 vs 3 5 vs 6 Interaksi Galat Total
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 4 18 26
487,78 315,98 122,36 369,02 15,05 0,88 0,63 0,03 45,94 15,36 40,87 49,44 134,81 622,59
60,97 157,99 61,18 369,02 15,05 0,88 0,63 0,03 45,94 15,36 40,87 12,36 7,49 23,95
8,14 21,09 8,17 49,27 2,01 0,12 0,08 0,004 6,13 2,05 5,46 1,65
2,51 3,55 3,55 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 2,93
3,71 6,01 6,01 8,29 8,29 8,29 8,29 8,29 8,29 8,29 8,29 4,58
Keterangan: 1=DSK panen pagi hari; 2= DSK panen siang hari; 3= DSK panen malam hari; 4= DUJ panen pagi hari; 5= DUJ panen siang hari; 6= DUJ panen malam hari; 7= DLR panen pagi hari; 8= DLR panen siang hari; 9= DLR panen malam hari; DSK= Daun Singkong; DUJ= Daun Ubi Jalar; DLR= Daun Lamtoro.
40
Lampiran 12. ANOVA Kelarutan Silase Sumber Keragaman perlakuan faktor A faktor B interaksi Galat Total
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
8 2 2 4 18 26
426,19 354,38 9,71 62,11 56,31 482,51
53,28 177,19 4,85 15,53 3,13 18,56
17,03 56,64 1,55 4,49
2,51* 3,55* 3,55tn 2,93*
3,71** 6,01** 6,01tn 4,58tn
Keterangan: *berbeda nyata (P<0,05); **sangat berbeda nyata (P<0,01); tn= tidak nyata
Lampiran 13. Uji Kontras Orthogonal Kelarutan Silase Sumber Keragaman Perlakuan faktor A faktor B 1,2,3,4 vs 5,6,7,8,9 3 vs 1,2,4 2,4 vs 1 2 vs 4 5,6 vs 7,8,9 5 vs 6 9 vs 7,8 7 vs 8 Interaksi Galat Total
db
JK
KT
Fhit
F 0,05
F0,01
8 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 4 18 26
426,19 354,38 9,71 380,76 10,22 1,61 0,28 30,38 0,01 2,91 0,03 62,11 56,31 482,51
53,28 177,19 4,85 380,76 10,22 1,61 0,28 30,38 0,01 2,91 0,03 15,53 3,13 18,56
17,03 56,64 1,55 121,71 3,27 0,51 0,09 9,71 0,004 0,93 0,01 4,49
2,51 3,55 3,55 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 4,41 2,93
3,71 6,01 6,01 8,29 8,29 8,29 8,29 8,29 8,29 8,29 8,29 4,58
Keterangan: 1=DSK panen pagi hari; 2= DSK panen siang hari; 3= DSK panen malam hari; 4= DUJ panen pagi hari; 5= DUJ panen siang hari; 6= DUJ panen malam hari; 7= DLR panen pagi hari; 8= DLR panen siang hari; 9= DLR panen malam hari; DSK= Daun Singkong; DUJ= Daun Ubi Jalar; DLR= Daun Lamtoro.
41