Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
PRODUKSI ASAM LEMAK TERBANG DAN AMONIA RUMEN SAPI BALI PADA IMBANGAN DAUN LAMTORO (L. leucocephala) DAN PAKAN LENGKAP YANG BERBEDA (Production of Volatile Fatty Acid and Amonium in Rumen Concentration of Bali Cattle Fed Different ratio of Leucaena and Complete Feed) DICKY PAMUNGKAS1, Y.N. ANGGRAENI1, KUSMARTONO2 dan N.H. KRISHNA1 1
Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2, Grati, Pasuruan 1 Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang
ABSTRACT An indicator for the ruminal fermentation changes is the fluctuation of volatile fatty acid and rumen ammonia concentrations. A research was carried out to investigate the changes of volatile fatty acids (VFA) and rumen ammonia concentration of Bali cattle fed complete feed at different level substitution in order to enhance rumen fermentation. Twenty heads male weaned Bali cattle aged 6 month (initial BW of 55 kg) were divided into four groups of feeding: (A) = 100% leucaena, (B) = 65% leucaena + 35% complete feed (CF), (C) = 35% leucaena + 65% CF, and D = 100% CF. Rumen fluids were collected at the end of research (after 8 weeks), within 0 and 4 hours of feeding time. VFA was determined by gas chromatography while the ammonia rumen concentration was measured by Conway methods. Parameter measured was VFA and NH3N. Data were analyzed by Randomized Block Design with nested pattern. Result showed that the highest product of acetic acid (C2) was on treatment C (16,75 mM/l) while the lowest was on A (13,80mM/l). Production of propionic acid (C3), butyric (C4) and ratio of C2/C3 of each treatment were not different. The yield of C3 at 4 hours after feeding was the highest (P < 0.01). Meanwhile, NH3N concentration of each treatment was not different within treatments. The yield of NH3N at 0 hour ranged from 14,24 – 18,99 mgN/100ml while the yield at 4 hour was vary from 23,26 to 27,91 mgN/100ml. It is concluded that feeding of leucaena mixed with complete feed produced VFA and NH3N higher than those of single feed. Key Words: VFA, Rumen Ammonia, Leucaena, Complete Feed ABSTRAK Salah satu indikator terjadinya perubahan aktivitas fermentasi rumen adalah fluktuasi produksi asam lemak terbang dan konsentrasi amonia rumen. Suatu percobaan telah dilakukan untuk mengetahui perubahan asam lemak terbang dan konsentrasi amonia rumen pada sapi Bali yang mendapat pakan lengkap pada level suplementasi daun lamtoro yang berbeda terkait upaya meningkatkan efisiensi fermentasi dalam rumen. Sebanyak 20 ekor sapi Bali jantan lepas sapih (umur 6 bulan, rataan BB awal 72 kg) dibagi ke dalam 4 kelompok perlakuan pemberian pakan: (A) = 100% Lamtoro, (B)= 65% Lamtoro + 35% Pakan Lengkap (PL), (C) = 35% Lamtoro + 65% PL dan D = 100% PL. Pengambilan cairan rumen dilakukan di akhir penelitian (setelah 8 minggu), yakni pada kondisi 0 dan 4 jam setelah pemberian pakan. Pengukuran asam lemak terbang (VFA) menggunakan metoda gas kromatografi sedangkan amonia rumen menggunakan metoda Conway. Parameter yang diukur adalah produksi asam lemak terbang dan konsentrasi amonia rumen (NH3N). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Rancangan Acak Kelompok pola tersarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi tertinggi asam asetat (C2) perlakuan C (16,75 mM/l) menunjukkan hasil tertinggi sedangkan terendah pada perlakuan A (13,80mM/l). Produksi asam propionat (C3) dan butirat (C4) serta rasio C2/C3 masing-masing perlakuan tidak menunjukkan perbedaan. Produksi C3 pada 4 jam setelah pemberian pakan tampak lebih tinggi (P<0,01). Konsentrasi NH3N antar perlakuan tidak menunjukkan perbedaan antar masing-masing perlakuan. Produksi NH3N pada 0 jam berkisar 14,24 – 18,99 mgN/100ml; sedangkan produksi pada 4 jam berkisar 23,26 – 27,91 mgN/100ml. Disimpulkan bahwa pemberian pakan berupa daun lamtoro baik disajikan sebagai pakan tunggal maupun bersama pakan lengkap menghasilkan konsentrasi VFA dan NH3N lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian pakan lengkap tunggal. Kata Kunci: Asam Lemak Terbang, Amonia Rumen, Lamtoro, Pakan Lengkap
197
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
PENDAHULUAN Pakan lengkap adalah penyajian pakan dengan sistem pencampuran komponenkomponen bahan pakan (hijauan dan konsentrat) secara bersama-sama untuk meningkatkan palatabilitas dan menurunkan seleksi bagian-bagian pakan oleh ternak. Pakan lengkap merupakan kumpulan bahan-bahan pakan termasuk hijauan yang telah dihitung bagiannya, diproses dan dicampur menjadi satu kesatuan (seragam), diberikan secara bebas pada ternak untuk memasok zat-zat makanan yang dibutuhkan ternak dengan kelebihannya yaitu dapat menjamin pasokan zat-zat makanan yang seimbang, mengkontrol rasio hijauan dan konsentrat, membantu dalam penggunaan limbah pertanian, mengurangi sisa pakan dan biaya pakan (REDDY, 1988). ØRSKOV (1998) menyatakan dengan sistem pemberian pakan lengkap dapat diupayakan pencapaian kondisi yang stabil dalam rumen dan secara umum dapat memberikan kesehatan yang baik bagi ternak. Adanya optimalisasi pemanfaatan bahan pakan non-konvensional dalam pakan lengkap memberikan peluang untuk meningkatkan jumlah ternak yang dapat dipelihara dalam suatu wilayah. Namun demikian kontinyuitas bahan pakan penyusun pakan lengkap yang tidak stabil menyebabkan berfluktuasinya kualitas pakan lengkap, sehinga dikhawatirkan masih terjadi fermentasi rumen yang tidak efisien. Hal ini terkait dengan nutrien yang terkandung di dalam pakan lengkap. Lamtoro sebagai pakan ternak mempunyai kualitas yang tinggi dan relatif sama dengan jenis leguminosa pohon lainnya seperti turi (Sesbania grandiflora), gamal (Gliricidia sepium), dan kaliandra (Calliandra calothyrsus). Produksi hijauannya cukup tinggi bervariasi sesuai dengan tingkat kesuburan tanah, jarak tanam dan curah hujan. Daun dan batang muda sangat disukai ternak. Kandungan protein, mineral dan asam amino yang seimbang, mempunyai serat kasar yang relatif sedikit dan kandungan tanin yang rendah. Kandungan tanin yang rendah (condensed tannin 6%) memberikan nilai tambah dibanding leguminosa yang lain karena dapat berfungsi melindungi perombakan protein yang berlebihan di dalam rumen (by-pass protein) sehingga jumlah protein yang dapat diserap
198
(retensi N) di usus halus lebih tinggi. Pemberian pakan lamtoro sebagai suplemen terhadap pakan yang berkualitas rendah seperti rumput kering, sisa hasil pertanian dapat meningkatkan konsumsi dan kecernaan dari pakan yang memiliki kualitas rendah nutrisinya. Hal ini disebabkan lamtoro dapat mencukupi kebutuhan mikroba rumen untuk hidup dan melakukan aktifitasnya di dalam rumen (PANJAITAN dan SAHAT, 2006). Ransum ternak ruminansia sebagian besar terdiri dari hijauan yang mengandung karbohidrat (KH) struktural berupa Serat Kasar (selulosa dan hemiselulosa) dan karbohidrat sederhana yang mudah terfermentasi (gula, pati), yang kemudian keduanya akan terfermentasi menjadi Volatile Fatty Acids (VFA), CH4 dan CO2. VAN SOEST (1994) menyatakan bahwa sebagian besar konsentrat berupa KH non struktural. Proses pencernaan KH non struktural di dalam rumen lebih mudah dan lebih cepat jika dibandingkan dengan KH struktural, sehingga KH non struktural memberikan kontribusi produksi VFA yang lebih tinggi dari pada KH struktural (JOUANY, 1991). VFA terdiri atas asam-asam organik yang mudah menguap/atsiri, mulai dari rantai karbon satu sampai dengan rantai karbon lima, yaitu asam asetat, propionat, butirat dan valerat. Komponen utama VFA adalah asam asetat (C2), propionat (C3) dan butirat (C4). Produksi VFA merupakan by product yang dihasilkan dari aktivitas mikroba (VAN SOEST, 1994). Produksi VFA penting untuk mengetahui proses fermentasi karbohidrat dan berhubungan dengan produktivitas ternak karena sebagian besar VFA dalam rumen berasal dari fermentasi karbohidrat pakan (HUNGATE, 1966). Konsentrasi NH3 dalam rumen dipengaruhi oleh kandungan protein dan asam amino. Amonia terbentuk dari proses deaminasi asam amino oleh aktifitas mikroba sehingga besarnya konsentrasi tersebut dipengaruhi kandungan digestible protein dalam pakan (HUNGATE, 1966). Di dalam rumen, protein mengalami hidrolisis menjadi peptide oleh aktifitas enzim mikroba. Sebagian peptide digunakan untuk membentuk protein sel mikroba dan asam amino. Selanjutnya asam amino oleh aktifitas mikroba terdeaminasi menjadi NH3 sehingga kadar NH3 dalam rumen tergantung pada kandungan protein pakan.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
HUNGATE (1966), yang menyebutkan bahwa NH3 dalam rumen terbentuk pada setiap proses fermentasi. Asam amino dan NH3 terbentuk selama fermentasi asam amino tersebut berlangsung. Tingkat hidrolisis protein tergantung pada daya larutnya yang berkaitan dengan kadar NH3, PK akan lebih mudah terdegradasi pada kondisi pH rumen sekitar 6,5 (ARORA, 1989), dimana protozoa sangat cepat pertumbuhannya pada pH 6,5 (HUNGATE, 1966). Sumber NH3 dalam rumen selain dari komponen N pakan juga berasal dari saliva. Menurut SATTER dan ROFFER (1981), sumber NH3 saliva berasal dari NH3 rumen yang diserap oleh dinding rumen maupun hasil katabolisme komponen N di dalam tubuh yang semua proses tersebut didistribusikan organ hati. Amonia yang dibebaskan dalam rumen juga dapat berasal dari urea dan garam amonium lain, yang dipergunakan untuk sintesis protein mikroba (PEARSON dan SMITH, 1943 yang dikutip ARORA, 1989). Amonia yang dibebaskan dalam rumen selama proses fermentasi dalam bentuk ion NH4+ maupun dalam bentuk terion sebagai NH3 (ARORA, 1989). Apabila NH3 dibebaskan dengan cepat maka NH3 diabsorbsi melalui dinding rumen dan sangat sedikit yang dipakai oleh bakteri. Apabila pH melebihi 7,3 maka proses penyerapan NH3 dipercepat, sebab amonia yang berupa NH3 lebih mudah melewati dinding rumen. Berdasarkan uraian di atas penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perubahan asam lemak terbang dan konsentrasi amonia rumen pada sapi Bali yang mendapat pakan lengkap pada level suplementasi daun lamtoro yang berbeda terkait upaya meningkatkan efisiensi fermentasi dalam rumen.
Pengambilan cairan rumen dilakukan di akhir penelitian (setelah 8 minggu), yakni pada kondisi 0 dan 4 jam setelah pemberian pakan. Cara pengambilan cairan rumen menggunakan selang yang dimasukkan dalam mulut dan dihisap dengan mesin penghisap. Cairan rumen yang telah diambil disaring dengan kain saring dan dimasukkan dalam botol yang berwarna gelap. Selanjutnya cairan rumen dianalisis di laboratorium untuk mengetahui konsentrasi NH3 dan produksi VFA.Pengukuran asam lemak terbang (VFA) menggunakan metoda gas kromatografi sedangkan amonia rumen menggunakan metode Conway. Parameter yang diukur adalah produksi asam lemak terbang (asam asetat, propionat dan butirat) dan konsentrasi amonia rumen (NH3N). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam dari percobaan tersarang dengan menggunakan RAK 4 x 5 x 2 (4 perlakuan, 5 kelompok ternak dan 2 waktu pengambilan cairan rumen). Apabila dalam analisis ragam menunjukkan perbedaan nyata atau sangat nyata diantara perlakuan maka dilanjutkan dengan Uji Bukti Nyata Terkecil (BNT) sesuai petunjuk YITNOSUMARTO (1993). Model analis matematis yang digunakan adalah:
MATERI DAN METODE
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebanyak 20 ekor sapi Bali jantan yang berumur 6 bulan (BB awal 72 kg) dibagi ke dalam empat kelompok perlakuan pemberian pakan: (A) = 100% Lamtoro (B) = 65% Lamtoro + 35% Pakan Lengkap (PL) (C) = 35% Lamtoro + 65% PL (D) = 100% PL
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εij(k) Yijk = peubah respon karena pengaruh bersama level ke-i, faktor A dan level ke-j faktor B yang terdapat pada pengamatan ke-k µ = rataan umum αi = pengaruh dari level ke-i faktor A βj = pengaruh dari level ke-j faktor B εij = galat percobaan level ke-i dari faktor A, level ke-j faktor B dan interaksi AB yang ke-i dan ke-j
Produksi asam lemak terbang Asam lemak terbang (VFA) merupakan salah satu produk fermentasi karbohidrat oleh mikroba rumen disamping produk lainnya yaitu CO2 dan CH4. Komposisi VFA terbanyak di dalam cairan rumen adalah: asam asetat, propionat dan butirat sedangkan yang dalam jumlah kecil: asam format, isobutirat, valerat,
199
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
isovalerat dan kaproat (ANONIMUS, 2007). VFA inilah yang merupakan sumber energi utama untuk kebutuhan tubuh ternak ruminansia (ANONIMUS, 2002). Hal ini sesuai dengan VAN SOEST (1994) yang menyatakan bahwa VFA merupakan sumber energi metabolisme terpenting bagi ternak ruminansia dan sumber rantai karbon untuk sintesis mikroba karena VFA mampu memasok 5560% dari energi yang dibutuhkan oleh ternak. Oksidasi dari 1 mol C2, C3 dan C4 berturutturut adalah 10 mol ATP, 17 mol ATP dan 25 mol ATP (SOEBARINOTO et al., 1991). Rataan produksi C2, C3 dan C4 berturutturut adalah 14,445; 6,997 dan 4,256 mM/l. Hasil ini tampak lebih rendah dari laporan ARDIYANTORO (2006). Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan komposisi ransum yang diberikan sehingga menyebabkan perbedaan kemampuan mikroba rumen dalam mencerna zat makanan utamanya SK. Data rataan produksi molar C2, C3 dan C4 pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pakan perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P < 0,05) terhadap produksi asam asetat (C2), tetapi tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap produksi C3, C4, C2/C3 dan total VFA. Substrat berupa BO (pati, selulosa dan hemiselulosa) akan difermentasi oleh mikroba menjadi produk fermentasi asam organik seperti C2, C3, C4 dan gas yaitu CH4 dan CO2 sehingga peningkatan konsentrasi VFA rumen berkaitan erat dengan kecernaan bahan organik (RANJHAN, 1980). Produksi C2 dan C4 masingmasing perlakuan pada pengamatan 0 dan 4 jam setelah pemberian pakan tidak menunjukkan perbedaan nyata (P > 0,05),
walaupun begitu terdapat peningkatan jumlah produksi VFA pada 4 jam setelah pemberian pakan. Peningkatan yang tidak signifikan tersebut diduga sangat terkait dengan aktivitas fermentasi pakan oleh mikroba rumen. Keadaan tersebut mengindikasikan kemampuan proses fermentasi dalam rumen yang hampir sama dalam produksi C2 dan C4. Rataan proporsi molar VFA cairan rumen pada pengambilan 0 jam dan 4 jam setelah pemberian pakan dapat dilihat pada Tabel 2. Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa kinetika proporsi molar VFA cairan rumen pada perlakuan D terhadap berbagai jam pengamatan (0 jam dan 4 jam) menunjukkan adanya respon yang tidak berbeda nyata (P > 0,05) pada C2, C3 dan C4, sedangkan pada perlakuan A, B dan C menunjukkan adanya respon yang berbeda sangat nyata (P<0,01) pada C3. Hal ini disebabkan C4 memiliki sifat absorbsi lebih cepat dibanding C2 dan C3 sehingga proporsi C4 dalam VFA juga sedikit. Sebagian besar senyawa karbohidrat dalam pakan (pati, selulosa, hemiselulosa dan pektin) difermentasi oleh mikroba rumen dan diubah menjadi VFA, sehingga produksi VFA akan meningkat. Sebaliknya, produksi C2 dan C4 diindikasikan belum mencapai kondisi maksimal. VAN SOEST (1994) menyatakan bahwa pakan konsentrat akan menunjukkan puncak fermentasi pada 2 – 3 jam dan pakan hijauan terjadi pada 4 – 5 jam setelah pemberian pakan. Peningkatan produksi VFA pada 4 jam setelah pemberian pakan berbeda sangat nyata (P < 0,01) terjadi pada perlakuan A, B dan C khususnya produksi C3. Ketiga pakan perlakuan tersebut memiliki kandungan PK berturut-turut sebesar 23,16%; 12,23% dan
Tabel 1. Rataan produksi molar C2, C3 dan C4 (mM/l) Perlakuan
C2
C3
C4
Total VFA
C2/C3
A = 100% Lamtoro
13,80 ± 3,18ab
6,98 ± 1,90a
3,98 ± 0,85a
24,76 ± 5,490a
2,195 ± 0,334a
B = 65% Lamtoro +35% PL
15,94 ± 5,63b
7,20 ± 1,85a
4,31 ± 0,96a
27,421 ± 8,180a
2,242 ± 0,221a
C=35% Lamtoro +65% PL
16,75 ± 4,58b
7,98 ± 2,01a
4,79 ± 0,68a
29,519 ± 7,079a
2,136 ± 0,081a
D= 100% PL
11,29 ± 3,68a
5,83 ± 0,78a
3,93 ± 0,89a
21,057 ± 5,182a
1,964 ± 0,415a
Superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan respon yang tidak berbeda nyata (P > 0,05)
200
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Tabel 2. Proporsi molar VFA cairan rumen pengambilan 0 jam dan 4 jam setelah pemberian pakan Parameter
Jam
Perlakuan A
B
C
D
0
13,84±3,43a
13,98±5,00a
14,25±3,40a
10,31±5,87a
4
13,76±5,20a
17,90±6,50a
19,25±6,01a
12,27±2,66a
VFA (mM/l) As.Asetat As.Propionat As. Butirat a-b
a
a
6,28±1,57
a
5,17±1,55a
0
5,16±0,99
5,58±1,70
4
8,81±4,48b
8,83±2,38b
9,68±2,85b
6,48±1,84a
0
a
3,38±1,15
3,91±1,26
a
a
3,40±1,66a
4
4,58±1,59a
4,72±1,01a
4,98±0,98a
3,91±1,31a
4,60±1,35
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P < 0,01)
15,12%, sedangkan pada perlakuan D produksi VFA mengalami peningkatan tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P > 0,05) dengan kandungan PK sebesar 10,79%. Menurut SHIRLEY (1986), produksi VFA akan meningkat secara nyata pada level protein pakan 12 – 13% karena pada level protein tersebut sintesa protein mikroba mencapai puncaknya sehingga kemampuan mikroba untuk memfermentasi pakan juga meningkat. Jika level protein ditingkatkan lebih dari 13%, konsentrasi NH3 dalam rumen akan meningkat tetapi tidak diiringi dengan peningkatan produksi protein mikroba. Rasio asam asetat dan asam propionat (C2/C3) sangat bermanfaat untuk dijadikan indikasi efisiensi penggunaan energi ternak ruminansia karena dengan mengetahui rasio C2/C3 akan dapat diketahui efisiensi penggunaan energi dan kualitas produk yang dihasilkan. C2 merupakan senyawa non glukogenik,dan hampir semua jaringan tubuh mampu mengoksidasinya karena sesudah diserap tidak ditimbun melainkan langsung dioksidasi. Akibat proses oksidasi tersebut menimbulkan heat increament yang tinggi sehingga nilai efisiensinya rendah. Sebaliknya C3 merupakan senyawa sugar precursor atau bakalan glukogenik utama (SUSANTI et al., 2001). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rasio C2/C3 pakan perlakuan berkisar antara 1,964 – 2,242. Perlakuan D memiliki rasio C2/C3 yang terrendah (1,964) dan tertinggi pada perlakuan B (2,242). Tingginya rasio C2/C3 pada perlakuan B kurang menguntungkan karena efisiensi pakan dan
penggunaan energi relatif lebih rendah dari perlakuan lainnya. MCDONALD et al. (1988) melaporkan C2 dan C3 merupakan asam lemak yaitu prekursor bagi pembentukan lemak air susu maupun tubuh, sehingga jika perbandingan C2/C3 tinggi maka kadar lemak air susu akan naik, sebaliknya jika perbandingan C2/C3 rendah maka kadar lemak air susu akan turun. Perbandingan C2/C3 yang rendah akan merangsang pembentukan lemak tubuh sesuai dengan tujuan penggemukan ternak. Rasio asam asetat dan asam propionat (C2/C3) sangat bermanfaat untuk dijadikan indikasi efisiensi penggunaan energi ternak ruminansia karena dengan mengetahui rasio C2/C3 akan dapat diketahui efisiensi penggunaan energi dan kualitas produk yang dihasilkan. C2 merupakan senyawa non glukogenik dan hampir semua jaringan tubuh mampu mengoksidasinya karena sesudah diserap tidak ditimbun melainkan langsung dioksidasi. Akibat proses oksidasi tersebut menimbulkan heat increament yang tinggi sehingga nilai efisiensinya rendah. Sebaliknya C3 merupakan senyawa sugar precursor atau bakalan glukogenik utama (SUSANTI et al., 2001). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rasio C2/C3 pakan perlakuan berkisar antara 1,964 – 2,24. Perlakuan D memiliki rasio C2/C3 yang terrendah (1,96) dan tertinggi pada perlakuan B (2,24). Tingginya rasio C2/C3 pada perlakuan B kurang menguntungkan karena efisiensi pakan dan penggunaan energi relatif lebih rendah dari perlakuan lainnya. MCDONALD et al. (1988) melaporkan bahwa C2 dan C3 merupakan asam lemak yaitu
201
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
prekursor bagi pembentukan lemak air susu maupun tubuh, sehingga jika perbandingan C2/C3 tinggi maka kadar lemak air susu akan naik, sebaliknya jika perbandingan C2/C3 rendah maka kadar lemak air susu akan turun. Perbandingan C2/C3 yang rendah akan merangsang pembentukan lemak tubuh sesuai dengan tujuan penggemukan ternak. Selain dari produksi VFA (rasio C2/C3), efisiensi pakan pada ruminansia dapat dilihat dari produksi gas CH4. CH4 merupakan salah satu produk akhir dari fermentasi pakan dalam rumen dimana gas CH4 ini dibentuk dari H2 dan CO2 oleh bakteri metanogen. Jumlah H2 yang digunakan dalam methanogenesis adalah 4 mol/mol CH4 dan perubahan energi bebas dari reaksi ini adalah -134 kj/mol CH4. Hasil reaksi dari konversi piruvat ke asetat digabungkan dengan ∆F = -55 kj/mol substrat adalah 1 mol ATP. Oleh karena itu, perkiraan methanogenesis dengan ∆F = -134 kj/mol CH4 akan mengeluarkan energi setara minimal 3 mol ATP/mol CH4 (CZERKAWSKI, 1986). Produksi CH4 yang semakin tinggi menggambarkan semakin banyak pula energi yang dikeluarkan (energi yang terbuang). MCDONALD et al. (1988) menyatakan bahwa semakin tinggi gas CH4 yang dihasilkan maka semakin tidak efisien pakan tersebut. Rataan molar CH4 dan CO2 dapat dilihat pada Tabel 3. Didapatkan hasil bahwa diantara pakan perlakuan produksi molar gas CO2 dan CH4 terendah dihasilkan oleh perlakuan A yang berarti bahwa pakan A lebih efisien digunakan sebagai pakan. Hal ini sesuai dengan pendapat MCDONALD et al. (1988) bahwa efisiensi pakan
pada ruminansia dapat dilihat dari produksi gas CH4 dalam rumen yaitu semakin tinggi gas CH4 yang dihasilkan maka semakin tidak efisien pakan tersebut. Pakan yang mengandung karbohidrat tinggi atau dinding sel yang tinggi menghasilkan banyak gas CO2 yang pada akhirnya menghasilkan total gas yang besar apabila dibandingkan dengan pakan yang mengandung protein tinggi (WOLIN et al., 1997). Konsentrasi amonia rumen Konsentrasi NH3 rumen bervariasi tergantung pada jumlah protein pakan, laju degradasi protein dan waktu setelah pemberian pakan (HUNGATE, 1966). Protein pakan yang masuk rumen difermentasi oleh mikroorganisme proteolitik (bakteri dan protozoa). Bakteri dan protozoa menghasilkan enzim proteolitik seperti protease, peptidase dan deaminase untuk mendegradasi protein menjadi asam amino, peptida dan akhirnya menjadi amonia (CHUZAEMI dan BRUCHEM, 1990). Amonia merupakan produk utama dari proses deaminasi asam amino dan kecukupannya dalam rumen untuk memasok sebagian besar N untuk pertumbuhan dan sintesis protein mikroba (LENG, 1980). Rataan konsentrasi NH3 rumen dengan perlakuan pakan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pakan perlakuan dan waktu pengambilan cairan rumen memberikan pengaruh yang tidak nyata (P > 0,05) terhadap konsentrasi NH3 rumen.
Tabel 3. Rataan molar CH4 dan CO2 Perlakuan
C2 (%)
C3 (%)
C4 (%)
CH4 (mol)
CO2 (mol)
A
55,73
28,19
16,08
28,86
59,04
B
58,06
26,22
15,71
30,33
59,16
C
56,73
27,03
16,23
29,73
59,48
D
53,64
27,67
18,69
29,25
61,77
Y: Moles CO2; Z: Moles CH4; Ma: Proporsi as.asetat; Mp: Proporsi as.propionat; Mb: Proporsi as.butirat Sumber: Hasil perhitungan Stoichiometri (VAN SOEST, 1994) Y = 0,5 Ma + 0,25 Mp + 1,5 Mb Z = Ma + 2Mb – Y
202
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Tabel 4. Konsentrasi NH3 rumen (mg N/100 ml) Perlakuan
Waktu pengambilan cairan rumen 0 jam
4 jam a
A
18,63 ± 7,63
B
18,99 ± 5,85a a
C
16,57 ± 10,02
D
14,24 ± 8,67a
23,78 ± 6,57a 27,907 ± 11,44a 23,26 ± 9,10a
Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan respon yang berbeda tidak nyata (P > 0,05), untuk waktu pengambilan cairan rumen
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada perlakuan yang mengandung lamtoro cenderung memiliki kandungan NH3 yang lebih tinggi daripada perlakuan yang hanya mengandung pakan lengkap. Hal ini memberikan indikasi adanya kemudahan bagi fraksi protein lamtoro mengalami degradasi di dalam rumen. Seperti dilaporkan oleh (SMITH et al., 1991) bahwa daun lamtoro memiliki nilai degradasi yang cukup tinggi, yaitu 68%. Menurut NORTON (2007), nilai degradasi protein lamtoro di dalam rumen berkisar 66% untuk lamtoro yang diberikan dalam keadaan segar. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi degradasi bahan pakan dalam rumen meliputi komposisi kimia pakan, produksi NH3, VFA di dalam rumen, pH rumen, laju partikel keluar rumen, perlakuan teknologi dan adanya kandungan anti nutrien dalam pakan (CHURCH, 1988). Degradasi protein pakan menggambarkan sejumlah protein yang terdegradasi di dalam rumen yang merupakan suplai protein pakan sebagai sumber N untuk mikroba rumen maupun sebagai indikasi sejumlah pakan yang tidak terdegradasi dalam rumen yang masuk usus kecil. KESIMPULAN
2.
3.
Pemberian pakan berupa daun lamtoro baik disajikan sebagai pakan tunggal maupun bersama pakan lengkap menghasilkan konsentrasi VFA dan NH3N lebih tinggi dibandingkan pemberian pakan lengkap tunggal.
24,065 ± 16,11a
a-a
1.
4.
Produksi asam asetat dan butirat tidak menunjukkan perbedaan nyata antar waktu koleksi cairan rumen dan antar perlakuan. Produksi asam propionat (4 jam setelah pemberian pakan) perlakuan C (35% Lamtoro + 65% Pakan Lengkap) menunjukkan hasil tertinggi. Konsentrasi amonia rumen tidak menunjukkan perbedaan nyata antar waktu koleksi cairan rumen dan antar perlakuan.
UCAPAN TERIMAKASIH Makalah ini merupakan bagian dari hasil penelitian ACIAR LPS No. 2004/023. Ucapan terimakasih disampaikan kepada pihak ACIAR sebagai pemberi dana dan pihak fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang yang telah berkolaborasi dalam kegiatan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA ANONIMUS. 2002. Understanding Rumen Function. http://www.animesci.agienv.mcgill.ca/coveves /450/feed-tomilk/mikrobia.html. (7 Juni 2007). ANONIMUS. 2007. Dasar Penelitian Nutrisi. http://fapet.ipb.ac.id/pin/Materi/Kuliah%20PD F/11%20PIN%20Dasar%20Penelitian%20Nut risi.pdf. (7 juni 2007). ARDIANTORO, L. 2006. Pengaruh Strategi Pemberian Pakan Terhadap Kandungan Volatile Fatty Acids (VFA) Sapi Bali yang Disapih Dini. Skripsi. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya, Malang. ARORA, S.P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Penerjemah Retno Muwarni. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta CHURCH, D.C. 1979. Digestive Physiology and Nutrition of Ruminants. Departement of Animal Science Oregon State University. Corvallis Oregon 97331. USA. CHUZAEMI, S. dan J.V. Bruchem. 1990. Fisiologi Nutrisi Ruminansia. Universitas Brawijaya. Malang. CZERKAWSKI, J.W. 1986. An Introduction to Rumen Studies. Programon Press, England. HUNGATE, R.E. 1966. The Ruminant and It’s Microbes. Agricultural Experimental Station, University of California. Academic Press. New York, San Fransisco, London. p. 197 JOUANY, J.P. 1994. Rumen Microbial Metabolism and Ruminant Digestion. Institut Nasional de La Recherce Agronomique Edition., Paris. p. 165 – 178.
203
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
LENG, R.A. 1980. Principle and Practice of Feeding Tropical Crop and By Product to Ruminants. Department of Biochemistry and Nutrition University of New England. Armidale
SHIRLEY, R.L. 1986. Nitrogen and Energy Nutrition of Ruminants. Departemen of Animal Science University of Florida. Academic Press Inc. Florida.
MCDONALD, P.R., A EDWARD dan J.F.D. GREENHALGH. 1988. Animal Nutrition. 4th Edition. Longman London. New York.
SMITH, O.B., O.A IDOWO, U.O ASAOLU dan O. ODUNLAMI. 1991. http://www.cipav.org.co/ Irrd/Irrd3/2/smith.htm. Comparative Rumen Degradability of Forage, Browse, Crop Residues and Agricultural by Products. 3(2), June 1991. Department of Animal Science, Obafemi Owolowo University, Nigeria.
NORTON, B.W. 2007. Tree legumes as Dietary Supplements for Ruminants. http://www.fao. org/ap/agP/AGPC/doc/Publicat/Guttshel/x555 6eoj.htm#TopofPage. (3 Oktober 2007). ORSKOV, E.R. 1998. The Feeding of Ruminant. Principal and Practice. 2nd Edition. Chalcombe Publication. UK. PANJAITAN, T dan T. SAHAT. 2006. Mengenal Potensi Lamtoro Hibrida F1 (KX2) sebagai Sumber Hijauan Pakan Ternak. http://ntb.litbang. deptan. go.id.potex/kx_2.htm. (1 Mei 2006). RANJHAN, S.K. 1980. Animal Nutrition in Tropics. 2nd Edition. Vikas Publishinh House. Pvt. Ltd, New Delhi. REDDY, M.R. 1988. Complete Rations Based on Fibrous Agricultural Residues for Ruminants. In: Non-conventional Feed Resources and Fibrous Agricultural Residues, Strategies for Expanded Utilization, Edited by C. Davendra. IDRC and ICAR SATTER, L.D. dan R.E. ROFFLER. 1981. Influence of nitrogen and carbohydrate inputs on rumen fermentation. In: Recent Development in Ruminant Nutrition. HARESIGN, W. and D.J.A. COLE (Ed.). Bufferworths. London. pp: 115 – 139.
204
SOEBARINOTO, S. CHUZAEMI dan MASHUDI. 1991. Ilmu Gizi Ruminansia. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang SUSANTI, S., S. CHUZAEMI dan SOEBARINOTO. 2001. Pengaruh Pemberian Konsentrat yang Mengandung Bungkil Kedelai, Biji Kapuk Terhadap Kecernaan Ransum, Produk Fermentasi dan Jumlah Protozoa Rumen Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Jantan. Thesis. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang. VAN SOEST, J.P. 1994. Nutritional Ecology of Ruminant. 2nd Edition. Cornell University Press. WOLIN, M.J., T.L MILLER dan C.S STEWART. 1997. Microbe-microbe Interactions. In: The Rumen Microbial Ecosystem. HOBSON, P.N. and C.S STEWART (Ed.). Chapman and Hall. London. pp. 467 – 491. YITNOSUMARTO, S. 1993. Percobaan Perancangan, Analisis dan Interpretasinya. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang