Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Pertumbuhan dan Kandungan Asam Lemak Udang Windu Asal Tambak Fase Prematurasi yang Diberi Kombinasi Pakan yang Berbeda Asda Laining, Kamaruddin dan Usman Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros Jl. Mamur Dg. Sitakka No. 129, Maros, Sulawesi Selatan 90511 E-mail:
[email protected]
Abstract Asda Laining, Kamaruddin and Usman. Growth and Carcass Fatty Acid Content of Pond Reared Tiger Shrimp Fed Different Combinations of Maturation Diet. Konferensi Akuakultur Indonesia 2013. In order to support domestication of tiger shrimp both in pond and indoor closed system, it is needed to develop artificial diet for the whole stage of the shrimp including pre-maturation stage. As preliminary information, it is needed to determine the feeding regime of both pre-maturation and maturation phases. This experiment aimed at determining feeding regime of domesticated tiger shrimp at pre-maturation stage. This experiment started with culturing young shrimp in earthen pond until reaching pre-maturation stage or shrimp weight approximately around 60-70 g. Follow-on experiment was a feeding trial of three different feeding regimes 1) 100% commercial semi-moist maturation pellet (100SP); 2) 40% freshfeed combined with 60% commercial semi-moist maturation pellet (40FF60SP) and 3) 40% freshfeed combined with 60% in-house dried maturation pellet (40FF60DP). Freshfeed used in the trial were squid and seaworm. Survival rate of shrimp during 100 days culture in earthen pond was 30% and average weight gain was 95%. During 90 days culture in outdoor tank, weight gain of shrimp were not significantly different among groups namely 12.0% for shrimp fed 100SP; 13.6% for 40FF60SP dan 13.8% for 40FF60DP. Survival rate of shrimp fed 40FF60DP was the highest namely 25% but did not significantly differ from shrimp fed 100SP (18.8%) while shrimp fed 40FF60SP had the lowest survival around 15.7%. Whole body fatty acid content of shrimp fed combined artificial and freshdiet was relatively higher compared to shrimp fed only artificial diet. Concentration of ARA, DHA and EPA of shrimp carcass fed combined diet (40FF60DP) was relatively higher than shrimp fed 100SP. Based on survival rate and naturally gonad development, and carcass fatty acid content, shrimp fed 40FF60DP at prematuration stage gave better performaces compared to 40FF60SP and if fed a sole artificial diet. Keywords: Dried pellets; Fatty acids; Pre-maturation; Semi-moist pellets
Abstrak Untuk mendukung usaha domestikasi udang windu baik di tambak maupun dalam wadah terkontrol, pengembangan pakan induk perlu dilakukan. Sebagai informasi awal dalam pengembangan pakan induk udang windu hasil domestikasi, perlu dilakukan penentuan feeding regime-nya baik pada fase maturasi maupun prematurasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan feeding regime fase prematurasi udang windu asal tambak. Kegiatan ini diawali dengan pemeliharaan udang di tambak hingga berat udang mencapai fase prematurasi atau berat udang sekitar 60-70 g. Tahap selanjutnya adalah uji pakan fase prematurasi dengan tiga perlakuan yang dicobakan yaitu 1) 100% pakan induk komersil (100SP); 2) 40% pakan segar dan 60% pakan induk komersil bentuk semi-moist pelet (40FF60SP) dan 3) 40% pakan segar dan 60% pakan uji bentuk pelet kering (40FF60DP). Kelulushidupan udang windu selama 100 hari pemeliharaan di tambak adalah 30%, sementara pertambahan bobotnya sebesar 95%. Selama 90 hari pemeliharaan di bak terkontrol, pertambahkan bobot udang windu tidak signifikan berbeda untuk ke-3 perlakuan masing-masing adalah 12,0% (100SP); 13,6% (40FF60SP) dan 13,8% (40FF60DP). Kelulushidupan tertinggi diperoleh pada udang yang diberi pakan 40FF60DP yaitu sebesar 25% tetapi tidak berbeda nyata dengan udang yang diberi pakan 100SP yaitu 18,8% dan udang yang diberi pakan 40FF60SP kelulushidupan terendah yaitu 15.7% dan berbeda nyata dengan udang yang diberi 2 jenis pakan lainnya. Kandungan asam lemak dalam karkas udang windu yang diberi kombinasi pakan segar dan buatan mempunyai kadar lemak yang relatif tinggi dibandingkan jika diberi pakan buatan saja. Kandungan arachidonic acid (ARA), eicosapentanoic acid (EPA) dan docosa hexanoic acid (DHA) relatif lebih tinggi pada udang yang diberi 40FF60DP dibandingkan dengan udang yang diberi hanya pakan buatan (100 SP). Berdasarkan kelulushidupan dan induk yang matang gonad alami serta kandungan asam lemak dalam karkas, udang windu yang diberi pakan 40FF60DP pada fase prematurasi memberikan performansi yang lebih baik dibandingkan dengan kombinasi pakan 40FF60SP dan jika hanya diberi pakan pelet saja.
293
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Kata kunci: Pelet kering; Asam lemak; Prematurasi; Pelet semi-moist
Pendahuluan Dalam usaha perbenihan udang windu, pakan yang diberikan pada induk-induk udang masih dominan menggunakan pakan segar tanpa diproses atau yang segar dalam bentuk beku. Pakan segar tersebut adalah cumi-cumi, berbagai jenis moluska seperti tiram, kerang-kerangan, cacing laut dan krustase (udang, kepiting dan artemia). Revieu mengenai pakan induk udang penaeid menunjukkan bahwa pakan segar yang banyak digunakan pada unit perbenihan seperti tersebut di atas sangat penting diduga karena kandungan nutrisinya berperan penting dalam proses reproduksi udang khususnya arachidonic acid (ARA, 20:4ώ6), eicosapentaenoic acid (EPA,20:5ώ3) dan docosahexanoic acid (DHA, 22:6ώ3) (Cavalli et al., 1997; Wouters et al., 2001; Coman et al,. 2007a). Meskipun banyak penelitian melaporkan bahwa pentingnya penggunaan pakan segar tersebut, kendala utama penggunaannya adalah kandungan nutrisinya tidak konsisten dan dapat meningkatkan resiko transmisi penyakit bakteri dan virus (Harrison, 1990), khususnya jenis krustase dan cacing laut. Upaya penggunaan induk dari proses domestikasi baik dari tambak maupun dari bak terkontrol diharapkan mampu mengurangi penangkapan induk dari alam dan sebagai upaya kontrol terhadap infeksi penyakit ke dalam sistem budidaya (Primavera, 1997; Coman et al., 2005, 2006). Salah satu faktor yang penting dikembangkan dalam mendukung upaya domestikasi suatu spesis adalah pakan yang dibutuhkan dalam proses maturasi dan feeding regimenya. Pemanfaatan pakan buatan di unit perbenihan yang menggunakan induk alam sebagian besar masih berupa kombinasi pakan pelet (pelet kering atau moist) dengan pakan segar (feeding regime) dalam proporsi yang relatif rendah sekitar 16% dan selebihnya adalah campuran pakan segar (Wouters et al. 2000). Akan tetapi dalam sistem domestikasi, penggunaan pakan buatan dapat dilakukan dalam proporsi yang lebih besar karena induk yang digunakan berasal dari proses budidaya yang menggunakan pakan buatan dalam proses pemeliharaan (Hoa, 2009; Coman et al., (2007b). Program domestikasi yang telah dikembangkan dibeberapa negara umumnya dilakukan dalam 3 tahap pemeliharaan berdasarkan fase perkembangan hidup udang windu yaitu pertumbuhan, prematurasi dan maturasi (Hoa, 2009) meskipun ada juga yang melakukannya hanya dalam 2 tahap yaitu pertumbuhan dan maturasi (Coman et al., 2006; 2007b). Feeding regime untuk fase pertumbuhan adalah 20% cumi-cumi, 10% kerang-kerangan dan 70% pakan pelet protein tinggi. Sementara untuk fase maturasi, kombinasinya terdiri dari 32,5% cumi-cumi, 32,5% kerang-kerangan, 5% cacing polichaeta dan 30% pelet maturasi (Comen et al., 2007a). Informasi mengenai feeding regime fase prematurasi untuk udang windu asal tambak belum sangat terbatas, sehingga perlu dilakukan penelitian ini untuk mendapatkan formulasi pakan induk udang windu serta feeding regime-nya pada fase prematurasi.
Bahan dan Metode Pemeliharaan dan Uji Pakan Fase Prematurasi Udang Windu Pemeliharaan udang di tambak dilakukan sebagai tahap awal penelitian ini untuk mendapatkan berat udang yang diperlukan sebagai hewan uji pada kegiatan uji pakan. Tahapan pemeliharaan udang windu di tambak ini telah dilaporkan sebelumnya pada uji pakan fase maturasi yang mengamati aspek reproduksi (Laining et al., 2013). Secara ringkasnya, pemeliharaan di tambak ini dilakukan hingga berat udang rata-rata mencapai 70 g, udang ditransfer dari tambak ke bak pemeliharaan di Instalasi Perbenihan Barru. Setelah adaptasi selama seminggu dalam bak, udang selanjutnya disortir berdasarkan beratnya untuk digunakan dalam kegiatan uji pakan yang berbeda yaitu uji pakan fase prematurasi dan maturasi. Uji pakan pada fase prematurasi ini dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari tiga perlakuan dan dua ulangan. Perlakuan yang dicobakan adalah 1) 100% pakan induk komersil (100SP); 2) 40% pakan segar dan 60% pakan induk komersil bentuk semi-moist pelet
294
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
(40FF60SP) dan 3) 40% pakan segar dan 60% pakan uji bentuk pelet kering (40FF60DP). Pakan uji yang digunakan sama dengan pakan digunakan pada uji pakan fase maturasi yang dilakukan secara berseri dengan penelitian ini (Laining et al., 2013). Formulasi dan komposisi nutrisi pakan uji bentuk pellet kering dan pakan induk komersil bentuk semi-moist disajikan pada Tabel 1 dan 2. Pakan diberikan sebanyak 4x sehari (08.00; 12.00; 16.00 dan 21.00). Pakan segar yang diberikan berupa cumi-cumi dan cacing laut (polychaeta) dengan proporsi 1:1. Udang yang digunakan pada penelitian ini adalah udang yang beratnya antara 55-80 g dan jantannya antara 46-80g. Dikategorikan berada pada fase prematurasi (Hoa et al., 2009; Paibulkichakul et al., 2008). Padat tebar udang adalah 18 ekor/bak dengan rasio antara jantan dan betina adalah 1:1. Wadah yang digunakan adalah 6 bak beton masing-masing berukuran 1,8 m2 (volume 3 m3) yang berada di luar ruangan. Air disuplai dengan sistem air mengalir/flow through. Pengukuran kualitas air dilakukan setiap hari kecuali alkalinitas dilakukan sekali dua minggu. Parameter biologis yang diamati adalah pertumbuhan dan kelulushidupan. Tabel 1. Formulasi pakan uji (pelet kering) yang digunakan dalam fase prematurasi dan maturasi udang windu, P. monodon (g/kg). Bahan g/kg Tepung ikan 250 Tepung rebon 210 Tepung kerang 200 Gluten gandum 30 Dedak halus 30,15 Terigu 125 Minyak ikan 45 Soy lecithin 70% 15 Cholesterol 2 Vitamin premix 35 Mineral premix 30 Stay C4 1 Carophyll pink 1,25 Vitamin A dan D 0,4 Vitamin E 0,2 CMC 25 Total 1000 * Laining et al. (2013).
Proksimat analisis untuk beberapa sampel yang meliputi bahan pakan, pakan uji dan karkas udang windu dilakukan dengan metode AOAC International (1999) sedangkan analisis asam lemak dilakukan dengan menggunakan Gas Chromatography (Christie, 1989). Data yang diperoleh di analisis dengan menggunakan software SPSS versi 15. Tabel 2. Komposisi nutrien pakan pelet dan pakan induk komersil yang digunakan dalam uji pakan (%). Nutrien Pakan uji pelet kering Pakan induk komersil Dry matter 91,9 89,9 Crude protein 45,1 50,5 Lipid 9,0 8,9 Ash 10,3 8,4 Fibre 5,1 Energy (GE, MJ/kg)* 16,6 LOA (18: 2n-6) LNA (18:3n-3) ARA (20:4n-6) EPA (20:5n-3) DHA (22:6n-3) Total phospholipid* Cholesterol* Vitamin C *
0,49 0,05 0,29 1,08 1,38 2,82 0,31 0,2
295
0,55 0,08 0,32 1,29 1,29 TD** TD TD
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Vitamin E* 100 mg/kg TD Astaxanthin* 106 mg/kg TD # Laining et al. (2013). * Nilai diestimasi berdasarkan kadar nutrien dari setiap bahan pakan dengan menggunakan formulator pakan. ** Data tidak ada/ Tidak dianalisis.
Hasil dan Bahasan Pertumbuhan dan kelulushidupan udang windu di tambak Pertumbuhan udang windu selama 100 hari pemeliharaan dimana udang berumur 220 hari dapat dilihat pada Grafik 1. Dari grafik tersebut terlihat bahwa pertumbuhan udang windu pada umur sekitar 7,5 bulan masih menunjukkan pertumbuhan linier. Pertambahan berat udang sejak penebaran sekitar 95% dari berat awal rata-rata yaitu sekitar 35 g menjadi 68 g. Pertumbuhan udang ini selama masa pemeliharaan di tambak juga dibahas dalam penelitian sebelumnya sebagaimana yang dijelaskan dalam metodologi (Laining et al., 2013). Kelulushidupan udang windu selama pemeliharaan tersebut adalah 30%.
(g) 80 70 60 50 40 30 20 10 0
68g 55g 35g
0 day
35 days
100 days
Gambar 1. Pertumbuhan udang windu selama pemeliharaan di tambak (±SD, 2 ulangan).
Pakan udang windu komersil dengan protein sekitar 40% yang diperkaya dengan vitamin C dan astaxantin dengan frekuensi pemberiannya sebanyak 3x/hari selama pemeliharaan diduga memenuhi kebutuhan nutrisi udang windu untuk tumbuh optimal. Meskipun informasi mengenai pertumbuhan udang windu hingga fase pertumbuhan akhir di tambak masih sangat terbatas, menurut Rothlisberg (1998) pertumbuhan udang penaied di alam sangat cepat pada 6 hingga 9 bulan pertama sejak menetas dan selanjutnya mencapai fase yang stagnan. Pertumbuhan dan kelulushidupan udang windu fase prematurasi Pertambahan bobot dan kelulushidupan udang windu fase prematurasi selama 90 hari pemeliharaan di bak terkontrol tercantum pada Tabel 3. Pertambahkan bobot udang windu tidak signifikan untuk ke-3 perlakuan masing-masing adalah 12,0% (0,09 g/hari) untuk perlakuan 100SP; 13,6% (0,10 g/hari) untuk 40FF60SP dan 13,8% (0.11 g/hari) untuk 40FF60DP. Pola pertumbuhan udang selama pemeliharaan di bak terkontrol tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Meskipun pertumbuhan udang dari ke-3 perlakuan masih menunjukkan peningkatan, pertambahan bobot tersebut sangat rendah jika dibandingkan dengan pertambahan bobot udang selama fase pertumbuhan di tambak sekitar 95% atau 0,33 g/hari. Rendahnya laju pertumbuhan udang di dalam bak tersebut diduga karena energi udang yang diperoleh dari pakan lebih banyak dipakai untuk beradaptasi dengan lingkungan bak yang sangat berbeda dengan lingkungan tambak tempat udang tersebut hidup sekitar 7 bulan. Selain itu, diduga pula bahwa selama udang hidup di tambak, udang
296
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
berpeluang untuk mengkomsumsi berbagai jenis pakan alami yang hidup di dasar tambak meskipun pakan dominannya adalah pakan pelet. Tabel 3. Pertumbuhan dan kelulushidupan (±SD, dua ulangan) udang windu asal tambak fase prematurasi yang diberi kombinasi pakan yang berbeda. Parameter 100 SP 40FF60SP 40FF60DP Bobot awal/ Initial weight (g) 71,8±8,8 69,3± 7,8 71,7 ±5,8 Bobot akhir/ Final weight (g)
80,4± 2,5
78,5 ±9,9
81,5 ±5,0
Pertambahan bobot/ Weight gain(%)
12,0a ±3,9
13,6a ±8,8
13,8a ±7,7
Laju pertumbuhan spesifik/ Specific growth rate (%/day)
0,13a±0,0
0,14a±0,1
0,14a±0,1
Kelulushidupan/ Survival rate (%)
18,8ab±0,0
15,7a±4,5
25b±0,0
Juvenil dan udang dewasa yang hidup di alam memakan berbagai jenis mikroinvertebrata seperti gastropoda, kerang-kerangan, krustase dan polichaete dan tumbuh-tumbuhan termasuk detritus mangrove, epiphytes dan seagrass (Smith et al., 1992). Proporsi bahan nabati tersebut berkurang dengan bertambahnya umur udang. Untuk mempertahankan pertumbuhan yang optimum, udang membutuhkan pakan dengan kandungan protein tinggi sekitar 40-50%, lemak antara 4-11% dengan kolesterol sekitar 1% dan n-3 HUFA berkisar 0,5-1% (Shiau, 2008). Karena kandungan lemak dalam gonad meningkat secara signifikan selama fase maturasi serta terjadinya transfer lemak dari hepatopakreas udang dewasa ke gonad maka induk udang membutuhkan lemak yang lebih tinggi sekitar 6-14% (Meunpol, 2005). 84 B i o m a s s w e i g h t
100SP
40FF60SP
40FF60DP
81 78 75 72 69 66
(
g
63
)
60 0
30
60
90
Time (day)
Gambar 2. Pertumbuhan udang windu asal tambak fase prematurasi yang diberi pakan kombinasi yang berbeda.
Gambar 3 menunjukkan pola kelulushidupan udang windu di bak beton selama masa pemeliharaan 90 hari. Dari Gambar tersebut terlihat bahwa pada 30 hari pertama pemeliharaan, kematian udang sudah terjadi pada ke-3 perlakuan dimana tertinggi terjadi pada udang yang diberi pakan 100SP dan terendah pada 40FF60DP. Akan tetapi pada hari ke-90, kelulushidupan tertinggi diperoleh pada udang yang diberi pakan 40FF60DP yaitu sebesar 25% diabdningkan 2 pakan lainnya. Meskipun tidak berbeda nyata dengan udang yang diberi pakan 100SP yaitu 18,8%, perubahan pola kelulushidupan tersebut menunjukkan adanya masa transisi dari preferensi udang
297
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
terhadap jenis pakan yang selanjutnya mempengaruhi kelulushidupan udang. Selama masa pemeliharaan di tambak, udang diberi pakan hanya pakan buatan, sehingga diawal pemeliharaan dalam bak, diduga udang lebih banyak mengkonsumsi pakan buatan dibanding pakan segar. Sementara itu, udang yang diberi pakan 40FF60SP memiliki kelulushidupan terendah yaitu 15,7% dan berbeda nyata dengan kelulushidupan udang yang diberi dua jenis pakan lainnya (Tabel 3). Pola penurunan kelulushidupan udang windu pada fase prematurasi ini juga dibahas dalam penelitian sebelumnya (Laining et al., 2013). 110
100SP
100
40FF60SP
40FF60DP
90 80 S R
70 60
(
%
50
)
40 30 20 10 0 0
30
60
90
Time (day)
Gambar 3. Kelulushidupan udang windu asal tambak fase prematurasi yang diberi kombinasi pakan yang berbeda.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, udang yang mengalami kematian pada umumnya mengalami gagal molting berupa pergantian karapas yang terjadi tidak sempurna dan karapas udang tidak mengalami pengerasan. Gagal molting tersebut diduga berhubungan erat dengan kondisi kualitas air selama pemeliharaan khususnya alkalinitas yang berkisar antara 74.2-84.8 mg/L. Kisaran tersebut relatif rendah jika dibandingkan dengan kisaran yang perlu dipertahankan selama pemeliharaan berlangsung yaitu 80-140 mg/L (Coman et al., 2005). Alkalinitas berfungsi sebagai buffer atau penyangga pH, sangat penting terutama untuk menahan naik-turunnya dan goncangan pH. Udang mengalami kesulitan molting jika alkalinitas dibawah 75 mg/L dan pengerasan cangkang pasca molting terhambat pada pH rendah. Selama pemeliharaan berlangsung, peningkatan konsentrasi alkalinitas tidak dilakukan sehingga kelulushidupan yang relatif rendah yang terjadi pada percobaan ini diduga karena rendahnya alkalinitas. Menurut Coman et al. (2005) untuk meningkatkan alkalinitas air selama pemeliharaan udang di dalam bak dapat dilakukan dengan menambahan sodium bikarbonat secara berkala. Komposisi Proksimat dan Profil Asam Lemak Karkas Udang Windu Komposisi proksimat karkas udang windu pada akhir uji pakan disajikan pada Tabel 4. Kadar protein dan lemak dalam karkas udang windu dari ke-3 perlakuan pakan relatif sama denga kisaran 58,5–59,0% untuk protein dan 1,3-1,9% untuk lemak. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi pakan yang dicobakan tidak mempengaruhi komposisi proksimat udang windu pada fase prematurasi. Tabel 5 menyajikan profil asam lemak dalam karkas udang windu setelah uji pakan berakhir. Secara umum profil asam lemak karkas berbeda untuk ke-3 kombinasi pakan. Konsentrasi asam lemak karkas udang windu yang diberi pakan hanya berupa pakan komersil pelet semi-moist
298
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
(100SP) lebih rendah dibandingkan jika udang diberi kombinasi pakan pelet dan pakan alami. Kandungan ARA, EPA dan DHA relatif lebih tinggi pada udang yang diberi kombinasi pakan dibandingkan pada perlakuan 100SP. Selanjutnya, profil asam lemak karkas udang yang diberi pakan 40FF60DP cenderung lebih tinggi dibandingkan kombinasi pakan 40FF60SP. Tabel 4. Komposisi proksimat karkas udang windu asal tambak fase prematurasi yang diberi kombinasi pakan yang berbeda (±SD, 2 ulangan). Komposisi proksimat 100 SP 40FF60SP 40FF60DP Kadar air 8,0 7,2 6,6 Protein kasar 58,5 59,0 58,5 Lemak 1,5 1,3 1,9 Kadar abu 13,6 15,0 14,3 Tabel 5. Profil asam lemak karkas udang windu asal tambak fase prematurasi yang diberi kombinasi pakan yang berbeda (% dari karkas). Asam lemak 100 SP 40FF60SP 40FF60DP Palmitic acid, C16:0 0,044 0,076 0,088 Stearic acid, C18:0 0,031 0,047 0,074 Oleic acid, C18:1n9 0,062 0,095 0,124 Linoleic acid, C18:2n6 0,021 0,026 0,070 Linolenic acid, C18:3n3 0,003 0,002 0,004 Arachidonic acid, C20:4n6 0,044 0,072 0,098 Eicosapentaenoic acid, C20:5n3 0,047 0,055 0,052 Docosahexaenoic acid, C22:6n3 0,044 0,076 0,074
Kesimpulan Berdasarkan kelulushidupan dan kandungan asam lemak dalam karkas, udang windu yang diberi pakan 40FF60DP pada fase prematurasi memberikan performansi yang lebih baik dibandingkan dua kombinasi pakan lainnya.
Daftar Pustaka AOAC International. 1999. Official Methods of Analysis, 16th edn. Association of Official Analytical Chemists International, Gaithersberg, Maryland, USA. 1141 pp. Cavalli, R.O., M.P. Scardua and W.J. Wasielesky. 1997. Reproductive performance of different-sized wild and pond-reared Penaeus paulensis females. J. World Aquaculture Society. 28, 260-267. Christie, W.W. 1989. Gas Chromatography and Lipids: A Practical Guide. The Oily press, UK. Coman, G.J., P.J. Crocos, S.J. Arnold, S.J. Keys, B. Murphy and N.P. Preston. 2005. Growth, survival and reproductive performance of domesticated Australian stocks of the giant tiger prawn, Penaeus monodon, reared in tanks and raceways. J. World of Aquaculture Soc., 36, 464-479. Coman, G.J., S.J. Arnold, S. Peixoto, P.J. Crocos, F.E. Coman and N.P. Preston. 2006. Reproductive performance of reciprocally crossed wild-caught and tank reared Penaeus monodon broodstock. Aquaculture, 252, 372-384. Coman, G.J., S.J. Arnold, T.R. Callaghan and N.P. Preston. 2007a. Effect of two maturation diet combinations on reproductive performance of domesticated Penaeus monodon. Aquaculture, 263: 75-83. Coman, G.J., S.J. Arnold, M.J. Jones and N.P. Preston. 2007b. Effect of rearing density on growth, survival and reproductive performance of domesticated Penaeus monodon. Aquaculture, 264: 175-183. Harrison, K.E. 1990. The role of nutrition in maturation, reproduction and embryonic development of decapods crustaceans: a review. J. of Shellfish Res., 9, 1-28. Hoa, N.D. 2009. Domestication of black tiger shrimp (Penaeus monodon) in recirculation systems in Vietnam. PhD thesis, Ghent University, Belgium. Laining, A., Usman, Muslimin dan N.N. Palinggi. 2013. Performansi Pertumbuhan dan Reproduksi Udang Windu Asal Tambak yang Diberi Kombinasi Pakan yang Berbeda. Jurnal Akuakultur Indonesia (In Press).
299
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Meunpol, O., P. Meejing and S. Piyatiratitivorakul. 2005. Maturation diet based on fatty acid content for male Penaeus monodon (Fabricus) broodstock. Aquaculture Research, 36: 1216-1225. Paibulkichakul, C., S. Piyatiratitivorakul, P. Sorgeloos and P. Menasveta. 2008. Improved maturation of pond-reared, black tiger shrimp (Penaeus monodon) using fish oil and astaxanthin feed supplements. Aquaculture, 282 ( 1-4) : 83-89. Primavera, J.H. and R.A. Posadas. 1981. Studies on the egg quality of Penaeus monodon fabricus, based on morphology and hacthing rate. Aquaculture, 22: 269-277. Rothlisberg, P.C. 1998. Aspects of penaeid biology and ecology of relevance to aquaculture: a review. Aquaculture, 164: 49-65. Shiau, S.Y. 2008. Nutrient requirement of Penaeus monodon. Presentation at World Aquaculture Conference in Korea. In Research and Development of tiger shrimp Penaeus monodon. P. monodon Culture Session- Uni-President, 1-28. Smith, D.M., W. Dall and l.E. Moore. 1992. The natural food of some Australian penaieds. In: Allan, G.L., Dall, W. (Eds), Proceeding of the Aquaculture Nutrition Workshop. NSW Fisheries, Brachis Water Fish Culture Research Station, Salamander Bay, Australia, 15-17 April 1991. Pp.95-96. Wouters, R., J. Nieto and P. Sorgeloos. 2000. Artificial diets for penaeid shrimp. Global Aquaculture Advocate, 3: 61-62. Wouters, R., P. Lavens, J. Nieto and P. Sorgeloos. 2001. Penaeid shrimp broodstock nutrition: an updated review on research and development. Aquaculture, 202: 1-21.
300