PROFIL MINERAL KALSIUM (Ca) DAN BESI (Fe) MENCIT (Mus musculus) LAKTASI DENGAN PERLAKUAN SOP DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus L.)
SAEPAN JISMI D14104087
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
iii 12
ABSTRACT Calcium (Ca) and Iron (Fe) Profile of Lactating Mice (Mus musculus) Fed with Torbangun Leaf Soup (Coleus amboinicus L.) Jismi, S., P. H. Siagian, and D. A. Astuti Torbangun (Coleus amboinicus L.) is one of plant which is traditionally used for health purposes by Indonesian people. According to Bataknese tradition, Torbangun leaf have been used to stimulate milk production of lactating women. The objective of this research was to evaluate calcium (Ca) and iron (Fe) profile of lactating mice (Mus musculus) fed with Torbangun leaf soup. The design of the study was Completely Randomize Design with four levels substitution of Torbangun leaf soup (0; 2,5; 5 and 7,5%) as a treatment and the data was analyzed with Analysis of Variance (ANOVA). The significant means were analyzed by Tukey tests. Results collected from the present study showed that substitution of Torbangun leaf soup in mice ration had significant effect (P<0,01) on dry matter, protein, Ca and Fe consumption. The digestibility of protein, Ca and Fe absorption were also higher in Torbangun treatments. Plasma Ca, Fe and Hemoglobin were similar in all treatments. It was concluded that subtitution of 5% of Torbangun leaf soup in the ration of lactating mice had the best profile of plasma Ca, Fe and protein digestibility. Keywords: calsium (Ca), Coleus amboinicus L., iron (Fe), Mus musculus
ii 12
RINGKASAN SAEPAN JISMI. D14104087. 2008. Profil Mineral Kalsium (Ca) dan Besi (Fe) Mencit (Mus musculus) Laktasi Dengan Perlakuan Sop Daun Torbangun (Coleus amboinicus L.) Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Dewi A. Astuti, MS. Torbangun (Coleus amboinicus L.) merupakan tanaman hijau yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia khususnya Sumatera Utara sebagai lalapan ataupun dimasak dengan santan. Mereka percaya, bahwa produksi air susu ibu (ASI) yang mengkonsumsi daun Torbangun akan meningkat. Peningkatan produksi ASI bagi yang mengkonsumsi daun Torbangun diduga karena kandungan kalsium (Ca) yang cukup tinggi yaitu 279 mg/100 g. Selain berperan dalam pertumbuhan tulang, gigi dan proses pembekuan darah, Ca juga berfungsi untuk modulasi sintesa susu. Peningkatan produksi ASI yang tinggi akan mengakibatkan deposit Ca dalam tubuh berkurang, karena terjadi perombakan Ca yang berlebihan. Dalam daun Torbangun juga terkandung mineral besi (Fe) yang cukup tinggi sebesar 13,6 mg/100 g. Zat besi (Fe) terindikasi melalui warna hijau daun Torbangun. Kandungan Fe yang tinggi akan meningkatkan kadar Hemoglobin darah. Hemoglobin merupakan protein darah yang mengandung Fe. Sebanyak 60-70% Fe tubuh terdapat dalam bentuk Hemoglobin. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi dan menentukan neraca protein, profil Ca dan Fe pada plasma serta Hemoglobin mencit (Mus musculus) yang diberi pakan mengandung sop daun Torbangun dengan taraf 0; 2,5; 5 dan 7,5%. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi ransum induk yang meliputi konsumsi protein, Ca dan Fe, kecernaan protein, absorbsi Ca dan Fe, kadar Ca dan Fe dalam plasma, serta Hemoglobin (Hb). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan masing-masing dengan lima ulangan. Data yang diperoleh dianalisa dengan analisis ragam atau Analysis of Variance (ANOVA) dengan perangkat lunak Minitab 14, Microsoft Excel (2003) dan jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diamati dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey. Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa taraf substitusi sop daun Torbangun dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi protein, Ca dan Fe, kecernaan protein serta absorbsi Ca dan Fe namun tidak berpengaruh nyata terhadap kadar Ca, Fe dalam plasma dan Hb. Kata kunci: besi (Fe), Coleus amboinicus L., kalsium (Ca), Mus musculus
i 12
PROFIL MINERAL KALSIUM (Ca) DAN BESI (Fe) MENCIT (Mus musculus) LAKTASI DENGAN PERLAKUAN SOP DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus L.)
Oleh SAEPAN JISMI D14104087
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 22 Agustus 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS. NIP.130 674 521
Dr. Ir. Dewi A. Astuti, MS. NIP.131 474 289
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr.Ir. Luki Abdullah, MSc.Agr. NIP. 131 955 531
iv 12
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 09 Oktober 1986 di Bogor, Jawa Barat. Penulis adalah anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak H. Achmad Royani dan Ibu R. Hamidah (Alm). Penulis mengawali pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah Fathussaadah, Bogor pada tahun 1993. Selanjutnya, Penulis meneruskan pendidikan di SLTPN I Sukaraja dan Madarasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Bogor pada tahun 1998 hingga 2004. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2004. Selama masa perkuliahan, Penulis aktif di organisasi ekstra kampus seperti Himpunan Pemuda Islam Sukaraja (HIPIS) dan berbagai kepanitiaan diantaranya Gema Muharam 1428 H bekerjasama dengan Yayasan Darudh Dhuafa dan Masjid Quba, Bogor.
v 12
KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas kuasa dan kehendakNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan karya kecil yang berjudul “Profil Mineral Kalsium (Ca) dan Besi (Fe) Mencit (Mus musculus) Laktasi Dengan Perlakuan Sop Daun Torbangun (Coleus amboinicus L.)”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengevaluasi dan menentukan neraca protein, Ca dan Fe plasma serta Hemoglobin mencit (Mus musculus) yang diberi pakan mengandung sop daun Torbangun pada taraf 0; 2,5; 5 dan 7,5%. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang, Bagian Non Ruminansia Satwa Harapan (NRSH), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Januari hingga Mei tahun 2008. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Akhir kata semoga
skripsi
ini
dapat
memberikan
manfaat
bagi
pihak-pihak
yang
membutuhkannya.
Bogor, September 2008
Penulis
vi 12
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .........................................................................................
i
ABSTRACT ............................................................................................
ii
RIWAYAT HIDUP ................................................................................
v
KATA PENGANTAR ............................................................................
vi
DAFTAR ISI ...........................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ...................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
xi
PENDAHULUAN ....................................................................................
1
Latar Belakang ............................................................................ Perumusan Masalah ..................................................................... Tujuan .......................................................................................... Manfaat .........................................................................................
1 1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
3
Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus L.) .............................. Sifat Tanaman Torbangun ................................................ Peranan Tanaman Torbangun ........................................... Sop Daun Torbangun ........................................................ Protein .......................................................................................... Mineral.......................................................................................... Kalsium (Ca)..................................................................... Besi (Fe)............................................................................ Fungsi dan Penyerapan Fe .................................... Kandungan Fe pada Tanaman............................... Mencit (Mus musculus)................................................................. Kebutuhan Ransum dan Minum Mencit........................... Laktasi............................................................................... Hemoglobin ..................................................................................
3 3 4 5 6 7 7 7 8 9 9 11 12 12
METODE..................................................................................................
14
Lokasi dan Waktu ......................................................................... Materi............................................................................................ Mencit dan Kandang......................................................... Peralatan............................................................................ Rancangan..................................................................................... Analisis Data..................................................................... Peubah yang Diamati ........................................................ Prosedur ........................................................................................ Persiapan Penelitian ..........................................................
14 14 14 14 14 15 15 16 16
vii 12
Pelaksanaan Penelitian......................................................
19
HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................
20
Kondisi Umum Penelitian............................................................. Suhu dan Kelembaban dalam Kandang ............................ Mencit Penelitian .............................................................. Ransum Penelitian ............................................................ Konsumsi Ransum ........................................................................ Konsumsi Protein.............................................................. Konsumsi Kalsium (Ca).................................................... Konsumsi Besi (Fe) .......................................................... Kecernaan Ransum ....................................................................... Kecernaan Protein............................................................. Absorbsi Kalsium (Ca) ..................................................... Absorbsi Besi (Fe) ............................................................ Profil Darah Mencit ...................................................................... Kandungan Ca Plasma ...................................................... Kandungan Fe Plasma ...................................................... Kandungan Hemoglobin ...................................................
20 20 21 21 24 25 26 27 28 29 30 30 31 31 32 33
KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
34
Kesimpulan ................................................................................... Saran .............................................................................................
34 34
UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................................
35
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
36
LAMPIRAN ............................................................................................
39
viii 12
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Komposisi Zat Gizi dalam 100 Gram Daun Torbangun dan Katuk ...
5
2. Komposisi Zat Gizi dalam 150 Gram Sop Daun Torbangun..............
6
3. Sifat Biologis Mencit (Mus musculus)................................................
10
4. Kebutuhan Mineral dalam Ransum Mencit (per kg Ransum) ............
11
5. Komposisi Sop Daun Torbangun dalam 825 g Bahan Segar..............
17
6. Komposisi Ransum Kontrol (R0) Selama Penelitian .........................
18
7. Kondisi Suhu dan Kelembaban Selama Penelitian.............................
21
8. Kandungan Nutrisi Tepung Sop Daun Torbangun dan Ransum Penelitian ...........................................................................................
22
9. Rataan Konsumsi Ransum Induk, Protein Kalsium dan Besi.............
24
10. Rataan Persentase Kecernaan Ransum Penelitian ..............................
28
11. Kandungan Ca dan Fe dalam Plasma dan Hemoglobin......................
32
ix 12
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Tanaman Torbangun ..........................................................................
3
2. Mencit (Mus musculus)......................................................................
10
3. Bagan Pembuatan Sop Daun Torbangun Kering...............................
18
x 12
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Data Konsumsi Ransum (BK) ...................................................
40
2. Analisis Ragam Konsumsi Ransum (BK) ................................
40
3. Data Konsumsi Protein .............................................................
41
4. Analisis Ragam Konsumsi Protein ...........................................
41
5. Data Konsumsi Kalsium (Ca) ....................................................
42
6. Analisis Ragam Konsumsi Kalsium (Ca) .................................
42
7. Data Konsumsi Besi (Fe)...........................................................
43
8. Analisis Ragam Konsumsi Besi (Fe) ........................................
43
9. Data Kecernaan Ransum (BK) ..................................................
44
10. Analisis Ragam Kecernaan Ransum (BK)................................
44
11. Data Kecernaan Protein .............................................................
45
12. Analisis Ragam Kecernaan Protein ..........................................
45
13. Data Absorbsi Ca .......................................................................
46
14. Analisis Ragam Absorbsi Kalsium (Ca)...................................
46
15. Data Absorbsi Fe .......................................................................
47
16. Analisis Ragam Absorbsi Besi (Fe)..........................................
47
17. Data Kadar Ca Plasma ...............................................................
48
18. Analisis Ragam Kadar Ca Plasma ............................................
48
19. Data Kadar Fe Plasma................................................................
49
20. Analisis Ragam Kadar Fe Plasma.............................................
49
21. Data Kadar Hemoglobin ............................................................
50
22. Analisis Ragam Kadar Hemoglobin .........................................
50
xi 12
PROFIL MINERAL KALSIUM (Ca) DAN BESI (Fe) MENCIT (Mus musculus) LAKTASI DENGAN PERLAKUAN SOP DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus L.)
SKRIPSI SAEPAN JISMI
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
xii 12
PENDAHULUAN Latar Belakang Torbangun (Coleus amboinicus L.) merupakan tanaman hijau yang sering dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia khusunya Sumatera Utara sebagai lalapan ataupun dimasak dengan santan. Mereka percaya, bahwa bagi mereka yang mengkonsumsi daun Torbangun produksi air susu ibu (ASI)
akan meningkat.
Peningkatan produksi ASI yang mengkonsumsi daun Torbangun diduga karena kandungan Ca yang cukup tinggi. Daun Torbangun mengandung Ca sebesar 279 mg/100 gram.
Selain berperan dalam pertumbuhan tulang, gigi dan proses
pembekuan darah, Ca juga berfungsi untuk modulasi sintesa air susu. Peningkatan produksi ASI yang tinggi akan mengakibatkan Ca dalam tulang atau gigi berkurang, karena terjadi perombakan Ca yang berlebihan. Dalam daun Torbangun juga terkandung mineral besi (Fe) yang cukup tinggi yaitu 13,6 mg/100 gram. Zat besi (Fe) terindikasi melalui warna hijau daun Torbangun. Kandungan Fe yang tinggi akan meningkatkan kadar hemoglobin darah. Hemoglobin merupakan protein darah yang mengandung Fe. Sebanyak 60-70% Fe tubuh terdapat dalam bentuk hemoglobin. Kadar hemoglobin yang tinggi akan meningkatkan ikatan oksigen yang selanjutnya akan digunakan untuk metabolisme. Mencit adalah salah-satu hewan percobaan yang sering digunakan untuk penelitian. Keunggulannya yaitu siklus hidup singkat, murah dan mudah dipelihara. Mencit memiliki variasi sifat yang tinggi, jumlah anak per kelahiran (litter size) banyak dan produksi susu yang tinggi. Mencit laboratorium mempunyai berat badan bervariasi 18-20 gram per ekor pada umur empat minggu. Perumusan Masalah Kadar kalsium (Ca) dan zat besi (Fe) dalam daun Torbangun yang cukup tinggi akan memenuhi kebutuhan kedua mineral tersebut didalam tubuh. Daun Torbangun yang mempunyai efek laktagogum akan meningkatkan produksi air susu induk (ASI). Seiring meningkatnya produksi ASI, maka deposit Ca dalam tubuh akan berkurang karena terjadi perombakan Ca secara berlebihan. Oleh sebab itu, Ca yang cukup tinggi dalam daun Torbangun akan menyeimbangkan kadar Ca dalam tubuh. Kadar Ca yang cukup, akan menyebabkan pertumbuhan tulang semakin baik.
1
Kandungan Fe yang tinggi dalam daun Torbangun diharapkan dapat meningkatkan kadar hemoglobin yang dapat mengikat oksigen untuk kebutuhan metabolisme. Tujuan Penelitian ini bertujuan mengevaluasi dan menentukan neraca protein, Ca dan Fe dalam plasma serta Hemoglobin mencit (Mus musculus)
yang diberi pakan
mengandung sop daun Torbangun dengan taraf yang berbeda. Manfaat Penelitian ini diharapkan menjadi acuan terhadap konsumsi daun Torbangun dan taraf pemberiannya pada hewan mencit. Penelitian daun Torbangun ini juga diharapkan dapat diaplikasikan pada ternak besar dan kehidupan manusia.
2
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus L.) Torbangun (Coleus amboinicus L.) memiliki variasi nama sesuai daerah masing-masing, yaitu Jinten bagi masyarakat Jawa Tengah, Ajeran bagi orang Sunda, Majha Nereng atau daun Kambing bagi orang Madura, dan Iwak bagi orang Bali dan orang Batak menyebutnya Bangun-bangun, Torbangun atau Tarbangun (Damanik et al., 2001). Contoh tanaman Torbangun diperlihatkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Torbangun Taksonomi tanaman Torbangun menurut Keng (1978) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Phanerogamae
Subdivisi
: Spermatophyta
Kelas
: Angiospermae
Ordo
: Tubiflorae
Family
: Limiaceae (Labialae)
Sub Family
: Oscimoidae
Genus
: Coleus
Spesies
: Coleus amboinicus L.
Sifat Tanaman Torbangun Tanaman Torbangun memiliki ciri fisik batang berkayu lunak, beruas-ruas dan berbentuk bulat, diameter pangkal ± 15 mm, tengah 10 mm dan ujung ± 5 mm. Tanaman Torbangun jarang berbunga akan tetapi pengembangbiakannya mudah sekali dilakukan dengan stek dan cepat berakar didalam tanah. Di pot pun tanaman ini dapat tumbuh dengan baik (Heyne, 1987). Pada keadaan segar, helaian daun
3
tebal, berwarna hijau muda, kedua permukaan berbulu halus dan berwarna putih, sangat berdaging dan berair, tulang daun bercabang-cabang dan menonjol. Pada keadaan kering, helaian daun tipis dan sangat berkerut, permukaan atas kasar, warna coklat, permukaan bawah berwarna lebih muda daripada permukaan atas dan tulang daun kurang menonjol. Menurut Mardisiswojo dan Rajakmangunsudarso (1985), didalam daun Torbangun terkandung minyak atsiri (masing-masing 0,043 dan 0,2% pada daun segar dan daun kering). Heyne (1987), berpendapat bahwa dari 120 kg daun segar kurang lebih terdapat 25 ml minyak atsiri yang mengandung fenol (isopropyl-otresol) dan atas dasar itu ia menyatakan sebagai antisepticum yang bernilai tinggi. Minyak atsiri dari daun Torbangun selain berdaya antiseptika ternyata mempunyai aktivitas tinggi melawan infeksi cacing (Vasquez et al., 2000). Selain minyak atsiri, menurut Phythochemical Database Duke (2000), melaporkan bahwa dalam daun ini terdapat juga kandungan vitamin C, B1, B12, betacaroten, niacin, carvacrol, kalsium, asam-asam lemak, asam oksalat, dan serat. Daun Torbangun juga mengandung kalium yang berfungsi sebagai pembersih darah, melawan infeksi, mengurangi rasa nyeri, menimbulkan rasa tenang dan menciutkan selaput lendir. Komposisi zat gizi daun Torbangun yang terdapat dalam Daftar Komposisi Bahan Makanan (Mahmud et al., 1990) menyebutkan bahwa dalam 100 gram daun Torbangun mengandung lebih banyak kalsium, besi dan karoten dibandingkan dengan daun Katuk (Sauropus danrogynus). Data selengkapnya tentang komposisi zat gizi daun Torbangun dan daun Katuk tercantum dalam Tabel 1. Peranan Tanaman Torbangun Senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam daun Torbangun berpotensi terhadap bermacam-macam aktivasi biologi, misalnya antioksidan, diuretik analgesik, mencegah kanker, anti tumor dan anti hipotensif (Duke, 2000). Jain dan Lata (1996) menambahkan, daun Torbangun dapat dimasak sebagai sayur atau untuk lalapan. Heyne (1987) berpendapat bahwa di Kepulauan China, jus daun Torbangun diberikan untuk obat batuk anak-anak dengan tambahan gula. Daun Torbangun juga dapat digunakan sebagai obat asma dan bronkhitis, penyembuh luka, jamu penurun panas, atau langsung dikunyah untuk obat sariawan.
4
Tabel 1. Komposisi Zat Gizi dalam 100 Gram Daun Torbangun dan Katuk Zat Gizi
Torbangun
Katuk
Kalsium (mg)
279
233
Besi (mg)
13,6
3,5
Protein (g)
1,3
6,4
Energi (kal)
27,0
59,0
Lemak (g)
0,6
1,0
Hidrat arang (g)
4,0
9,9
Serat (g)
1,0
1,5
Abu (g)
1,6
1,7
Fosfor (g)
40
98
13288
10020
Vitamin B1
0,16
0
Vitamin C
5,1
164
Air (%)
92,5
81
Karoten Total (µkg)
Sumber: Mahmud et al. (1990)
Menurut Damanik et al. (2006), daun Torbangun dapat memberikan manfaat kesehatan dan pertumbuhan bayi yang ibunya mengkonsumsi daun Torbangun karena daun ini dapat meningkatkan produksi ASI. Silitonga (1993) menambahkan, peningkatan volume air susu terjadi karena adanya peningkatan aktivitas sel epitel yang ditandai dengan meningkatnya DNA dan RNA kelenjar mammae, peningkatan metabolisme yang ditandai dengan menurunnya konsentrasi T4 dan glukosa serum. Sop Daun Torbangun Menurut Yuliawati (2007), sop daun Torbangun merupakan rebusan daun Torbangun didalam santan kelapa yang ditambahkan berbagai macam bahan dan bumbu pelengkap. Rasio santan dengan daun Torbangun adalah 2 : 1. Untuk mencegah agar tidak mudah basi, ditambahkan Butylated Hidroxytoluene (BHT) sebagai antioksidan sebanyak 200 ppm. Zat gizi sop daun Torbangun disajikan pada Tabel 2.
5
Tabel 2. Komposisi Zat Gizi dalam 150 Gram Sop Daun Torbangun Zat Gizi
Rataan
Kalsium (mg)
393,1 ± 6,5
Besi (mg)
6,8 ± 0,1
Magnesium (mg)
124,1 ± 6,3
Seng (mg)
2,8 ± 0,1
Potassium (mg)
1219,2 ± 80,7
Lemak (g)
16,3 ± 4,6
Protein (g)
2,4 ± 0,1
Karbohidrat (g)
5,3 ± 0,3
Air (g)
121,5 ± 14,7
Sumber: Damanik et al.(2006)
Protein Protein adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan kadang kala sulfur serta fosfor. Protein berperan penting dalam struktur dan fungsi semua sel makhluk hidup dan virus. Kebanyakan protein merupakan enzim atau subunit enzim. Jenis protein lain berperan dalam fungsi struktural atau mekanis, seperti misalnya protein yang membentuk batang dan sendi sitoskeleton. Protein terlibat dalam sistem kekebalan (imun) sebagai antibodi dan sistem kendali dalam bentuk hormon. Sebagai salah satu sumber gizi, protein berperan sebagai sumber asam amino bagi organisme yang tidak mampu membentuk asam amino tersebut. Asam amino esensial adalah asam amino yang sangat dibutuhkan oleh tubuh yang berasal dari makanan yang dikonsumsi. Ada delapan jenis asam amino esensial yaitu valine, lysine, threonine, leucine, isoleucine, tryptophan, phenylalanine dan methionine. Asam amino non-esensial adalah asam amino yang dibutuhkan oleh tubuh, dan tubuh dapat memproduksi sendiri dari materi lain (Linder, 1992)).
6
Mineral Mineral merupakan zat makanan
yang penting peranannya dalam
metabolisme tubuh ternak dan keberadaannya dalam tubuh ternak hanya 5% dari bobot tubuh (Linder, 1992). Secara umum, mineral dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan berdasarkan jumlah yang dibutuhkan dalam pakan, mineral makro yaitu mineral yang dibutuhkan dalam jumlah besar dan berada pada tubuh ternak pada taraf yang lebih tinggi, sedangkan mineral mikro adalah mineral yang dibutuhkan dalam jumlah yang lebih sedikit. Peranan mineral yaitu sebagai komponen struktur dan konstituen pada organ dan jaringan tubuh, katalis dalam sistem enzim dan hormon (McDowell, 1992). Kalsium (Ca) Kalsium (Ca) adalah jenis mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh. Terdapat kurang lebih 99% dalam tulang rangka, gigi, dan didalam cairan tubuh berupa ion atau sebagai senyawa. Peranan Ca yaitu memelihara kerangka, kontraksi otot, pembekuan darah, aktivator beberapa enzim, rangsangan syaraf dan menurunkan permiabilitas membran sel dan kapiler (Linder, 1992)). Almatsier (2001) menambahkan, penyerapan Ca dari pakan terjadi didalam usus halus bagian muka terutama duodenum. Dalam keadaan normal, antara 30-35% Ca yang dikonsumsi diabsorbsi oleh tubuh. Faktor yang berpengaruh terhadap penyerapan Ca adalah kondisi ternak, ketersediaan Ca dalam pakan dan ketersediaan zat makanan lain. Kalsium (Ca) yang diperoleh dari pakan setelah diserap akan diedarkan keseluruh tubuh sedangkan pembuangan Ca dari tubuh sebagian besar melalui tinja. Pada darah deposit Ca sangat sedikit, sebagian besar ditemui dalam plasma atau serum. Dalam darah, Ca berbentuk ion (45-50%) dan berikatan dengan protein (40-45%) dan sisanya berikatan dengan sitrat dan fosfat
(Linder, 1992). Kadar Ca
dalam plasma darah ternak berkisar antara 9-12 mg/dl (NRC, 1988). Besi (Fe) Besi (Fe) merupakan komponen dari setiap organisme hidup, kandungan Fe pada hewan bervariasi dari lahir hingga dewasa. Besi (Fe) dalam tubuh ternak berbentuk organik yang terbagi dua jenis yaitu Fe-heme dan Fe-nonheme. Fe-heme merupakan bagian kelompok porfirin yang terdiri atas hemoglobin dan mioglobin serta enzim sitokrom, sitokrom oksidase, katalase dan peroksidase. Fe-nonheme
7
terdiri atas transfirin, ferritin, hemosiderin, dan Fe dari protein tertentu misalnya ferroflavoprotein (McDowell, 1992). Hampir semua Fe yang ada dalam tubuh ternak berbentuk ikatan kompleks dengan protein, salahsatunya porfirin, ferritin dan hemosiderin. Linder (1992) menyatakan bahwa unsur Fe dalam otot berbentuk mioglobin, dalam serum sebagai transferin, dalam plasenta sebagai uteroferin, dalam air susu sebagai laktoferin dan dalam hati sebagai ferritin serta hemosiderin. Fungsi dan Penyerapan Fe. Besi (Fe) dalam tubuh ternak terdapat dalam bentuk kompleks berikatan dengan protein (hemoprotein), sebagai komponen heme (hemoglobin dan mioglobin), sebagai enzim heme (mitokondrial dan mikrosomal sitokrom, katalase dan peroksidase) atau sebagai non heme (flavin Fe-enzim, transferin dan ferritin) (Linder, 1992). Penyerapan Fe terjadi pada gastrointestinal terutama duodenum dan jejunum dalam bentuk ferro (Fe2+). Pada makanan, Fe terdapat dalam bentuk ferri (Fe3+) oleh sebab itu terjadi reaksi reduksi dari bentuk Fe3+ menjadi Fe2+. Besi (Fe) dalam bentuk heme dibebaskan melalui pencernaan protein sehingga gugus heme terlepas. Proses ini terjadidalam duodenum. Selanjutnya dibebaskan dari protoforforin dengan bantuan enzim hemoksigenase yang memecah forfirin. Sementara itu, Fe dalam bentuk non-heme harus berada dalam bentuk terlarut Fe2+, oleh sebab itu terjadi proses ionisasi oleh asam lambung, direduksi menjadi bentuk ferro, dan selanjutnya dilarutkan dalam cairan pelarut seperti asam askorbat, gula dan asam amino yang mengandung sulfur (Fairbanks, 1999). Almatsier (2001) menambahkan, Fe-heme dan non-heme meninggalkan sel mukosa dalam bentuk yang sama. Absorbsi terutama terjadi dibagian usus halus dengan bantuan transferin dan ferritin. Transferin terbagi dua jenis, transferin mukosa
mengangkut
Fe
dari
saluran
cerna
kedalam
sel
mukosa
dan
memindahkannya kedalam transferin reseptor yang ada dalam sel mukosa. Transferin mukosa kemudian kembali ke saluran rongga cerna mengikat Fe lain, sedangkan transferin reseptor mengangkut Fe melalui darah ke semua jaringan tubuh. Taraf absorbsi Fe diatur oleh mukosa saluran cerna yang disesuaikan dengan kebutuhan tubuh.
8
Suhardjo dan Kusharto (1992) menyatakan, Fe dilepaskan dari ferritin dalam bentuk ferro untuk masuk kedalam plasma darah, setelah itu besi ferro segera dioksidasi menjadi ferri untuk membentuk ferritin. Plasma darah menerima Fe yang berasal dari penyerapan makanan, simpanan, pemecahan hemoglobin dan sel-sel yang telah mati. Selanjutnya, plasma mengirim Fe ke sumsum tulang untuk membuat hemoglobin. Proses absorbsi Fe oleh sel-sel epitel duodenum dan transpor Fe melewati sel epitel menuju plasma melibatkan sedikitnya delapan jenis protein yaitu mucin, β3 integrin, Nramp 2, protein Hfe, mobilferin, para ferritin, seruloplasmin dan transferin. Kandungan Fe pada Tanaman. Warna hijau pada sayuran merupakan indikasi tentang kandungan zat besi karoten didalamnya. Kloroplas adalah bagian daun yang mengandung Fe paling banyak, dan fungsinya untuk sintesis klorofil (Dennis,1972). Zat besi (Fe) dan mineral makro berada dalam bentuk utama yaitu metaloprotein, bentuk yang mudah larut dalam saluran xilem dan floem, bentuk nonfungsional yang membentuk kompleks dengan komponen penyimpanan. Davidson et al.(1973) menambahkan, didalam 100 gram bahan mentah daun hijau mengandung 0,4-15 mg Fe. Mencit ( Mus musculus) Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan, mencit merupakan hewan mamalia yang mengalami domestikasi dan sudah diternakkan secara selektif. Sekarang, mencit sudah bermacam-macam galur, dan setiap galur memiliki ciri yang khas. Mencit adalah hewan percobaan yang paling banyak digunakan untuk penelitian laboratorium. Keunggulan mencit sebagai hewan percobaan yaitu sangat produktif dan penanganan yang mudah. Menurut Moriwaki et al. (1994), keunggulan mencit sebagai hewan percobaan adalah siklus hidup relatif singkat, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan mudah ditangani, sementara Arrington (1972) menambahkan, mencit paling banyak digunakan sebagai hewan percobaan laboratorium yaitu sekitar 40-80%. Contoh hewan mencit sebagai hewan percobaan disajikan pada Gambar 2. Arrington (1972) menyatakan bahwa mencit memiliki taksonomi sebagai berikut : Kingdom Animalia, Filum Chordata, Kelas Mamalia, Ordo Rodentia, Famili Muridae, Genus Mus, Spesies Mus musculus.
9
Gambar 2. Mencit (Mus musculus) Mencit laboratorium mempunyai berat badan lebih-kurang sama dengan mencit liar yang banyak ditemukan didalam gedung dan rumah yang dihuni manusia, dengan berat badan bervariasi 18-20 gram per ekor pada umur empat minggu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Mencit putih memiliki bulu pendek halus berwarna putih serta ekor berwarna kemerahan dengan ukuran lebih panjang daripada badan dan kepala (Nafiu, 1996). Sifat-sifat biologis mencit diuraikan pada Tabel 3. Tabel 3. Sifat Biologis Mencit (Mus musculus) Kriteria
Keterangan
Lama hidup
1-2 dapat tiga (tahun)
Lama produksi ekonomis
sembilan bulan
Lama bunting
19-21 hari
Umur disapih
21 hari
Umur dewasa
35 hari
Umur dikawinkan
8 minggu
Berat dewasa : Jantan
20-40 g
Betina
18-35 g
Berat lahir
0,5-1,0 g
Barat sapih
18-20 g
Jumlah anak
rata-rata 6, dapat 15 ekor
Kecepatan tumbuh
1 g/hari
Siklus estrus
4-5 hari
Sumber: Smith dan Mangkoewidjojo (1988)
10
Kebutuhan Ransum dan Minum Mencit Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan seekor mencit dewasa dapat mengkonsumsi ransum 3-5 gram setiap harinya dengan serat kasar maksimal 4% dan abu 5%. Menurut NRC (1995) kebutuhan zat-zat makanan yang diperlukan untuk pemeliharaan mencit adalah protein kasar 18% dan lemak 5%. Kebutuhan mencit terhadap mineral diuraikan pada Tabel 4. Air minum yang diperlukan oleh setiap ekor mencit untuk sehari berkisar antara 4-8 ml (Malole dan Pramono, 1989). Anggorodi (1994), menambahkan bahwa ransum seimbang adalah porsi ransum yang mengandung zat makanan yang cukup untuk kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi. Ransum dan minuman mencit diberikan ad libitum (selalu tersedia). Tabel 4. Kebutuhan Mineral dalam Ransum Mencit (per kg Ransum) Mineral
Kadar
Kalsium
5,0 g
Besi
35 mg
Fosfor
3,0 g
Magnesium
0,5 g
Klorida
0,5 g
Potasium
2,0 g
Yodium
150,0 µg
Sumber: NRC (1995)
Konsumsi dapat meningkat dengan semakin meningkatnya berat badan, karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan meningkat, sehingga mampu menampung ransum dalam jumlah lebih banyak. Air minum untuk dikonsumsi harus selalu tersedia dan bersih. Seekor mencit mudah sekali kehilangan air sebab evaporasi tubuhnya yang tinggi. Reproduksi meningkatkan kebutuhan suatu hewan akan ransum, begitu pula sebaliknya persediaan ransum dapat mempengaruhi proses reproduksi. Malnutrisi juga berpengaruh pada induk sebab makanan untuk fetus disediakan dari induk. Jika induk kekurangan nutrisi untuk anak maka nutrisi akan dirombak dari tubuh induk, karena fetus merupakan prioritas utama untuk penyaluran zat-zat makanan. Apabila keadaan ini terus menerus terjadi maka kebutuhan nutrisi anak pun akan kurang tercukupi.
11
Faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah bobot badan individu ternak, tipe dan tingkat produksi, dan jenis makanan serta faktor lingkungan. Faktor lingkungan meliputi keadaan kandang, temperatur dan kelembaban kandang. Kebutuhan zat-zat makanan untuk produksi air susu ternak adalah salah satu kebutuhan yang tinggi dalam usaha peternakan (Tilman et al., 1991). Mencit bunting atau sedang menyusui akan makan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan gizi anaknya yang dikandung atau yang sedang disusui dan untuk dirinya sendiri. Laktasi Jaringan kelenjar susu dirangsang untuk berkembang lebih cepat pada saat estrus yang kejadiannya berulang dan fisiologis kelenjar susu erat hubungannya dengan mekanisme hormonal dan neurohormonal. Hormon merupakan satu-satunya perangsang laktasi yang laju sekresinya mempengaruhi pertumbuhan kelenjar susu dan laktasi (Anggorodi, 1994). Estradiol dan progesteron berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan fetus dan juga berperan dalam perkembangan kelenjar susu selama masa kebuntingan. Estradiol menyebabkan perkembangan kelenjar air susu, kemudian progesteron bertanggungjawab terhadap pertumbuhan alveoli dan akhirnya laktogen, luteotropin, galaktin dan prolaktin. Fungsi prolaktin adalah merangsang aktivitas enzim dan enzim tersebut selanjutnya menggertak sekresi susu . Hemoglobin Hemoglobin (Hb) merupakan pigmen eritrosit yang terdiri dari protein kompleks terkonjugasi yang mengandung Fe, dan proteinnya merupakan suatu histon. Warna merah Hb disebabkan oleh heme yaitu senyawa metalik yang mengandung atom Fe. Biosintesis Hb dimulai dalam eritrosit dan berlangsung terus ditahap selanjutnya dalam perkembangan sel darah merah. Selama nukleus masih ada didalam sel, pembentukan Hb terus berlangsung (Frandson, 1996). Menurut Dickerson dan Geis (1983), heme adalah komponen penting dari hemoglobin (Hb), sitokrom, dan enzim seperti katalase dan peroksidase. Kadar Hb dalam darah bervariasi dan dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, zat-zat nutrisi makanan, kondisi kesehatan, kebuntingan, laktasi dan lingkungan.
12
Church dan Pond (1988) menyatakan bahwa sebanyak 60-70% Fe tubuh terdapat dalam bentuk hemoglobin dalam sel darah merah. Fungsi utama Hb adalah sebagai pembawa atau pengikat oksigen. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) kadar Hb pada darah mencit adalah 13-16 g/100 ml darah dan konsumsi oksigen sebesar 2,38-4,48 ml/g/jam.
13
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Mei tahun 2008. Pemeliharaan mencit dilakukan di Laboratorium Lapang Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH). Analisis mineral dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Fakultas Peternakan. Analisis Hematologi dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan. Analisis Proksimat dilakukan di Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor (IPB). Materi Mencit dan Kandang Penelitian ini menggunakan 20 ekor mencit (Mus musculus) betina masa laktasi pertama. Kandang yang digunakan berukuran 36 x 28 x 12 cm3 berupa baki yang terbuat dari plastik dan dilengkapi botol air minum dengan kapasitas 265 ml juga tempat makan serta ditutup dengan kawat kasa. Kandang yang dibutuhkan sebanyak 20 buah, atau tiap kandang ditempati seekor induk mencit laktasi. Mencit diadaptasikan terlebih dahulu dengan lingkungan kandang. Pada hari ketiga pemeliharaan, mencit diberikan antibiotik dan empat hari kemudian atau hari ketujuh diberikan obat cacing. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyakit yang dapat mempengaruhi kondisi mencit dalam merespons perlakuan yang diberikan. Peralatan Peralatan yang digunakan adalah timbangan digital merk Adam dengan ketelitian 10-2 g dan thermohigrometer. Untuk analisis mineral dan Hb darah, digunakan
jarum
suntik,
vacutainer,
sentrifuge,
alat
Atomic
Absorbtion
Spectrofotometer (AAS) dan perangkat Sahli. Rancangan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat macam perlakuan (0; 2,5; 5; 7,5% SDT), masing-masing dengan lima ulangan. Model matematika (Steel dan Torrie, 1993) yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut : Yij = µ + αi + εij
14
Keterangan: Yij
: Nilai pengamatan pada taraf pemberian SDT ke-i dan pada pengamatan ke-j
µ
: Nilai rataan umum
αI
: Pengaruh taraf perlakuan ke-i ; i = 0; 2,5; 5; 7,5% SDT
εij
: Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-n; n = 1, 2, 3, 4 ,5
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisa dengan analisis ragam atau Analysis of Variance (ANOVA), jika perlakuan berpengaruh nyata dan sangat nyata terhadap peubah yang diukur maka akan dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey untuk mengetahui perbedaan diantara perlakuan tersebut (Steel dan Torrie, 1993). Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi ransum dalam bahan kering yang meliputi konsumsi protein, Ca dan Fe, kecernaan protein, absorbsi Ca dan Fe, dan kadar Ca dan Fe plasma serta Hemoglobin. Konsumsi Bahan Kering. Konsumsi bahan kering diperoleh dari jumlah ransum yang diberikan dikurangi dengan sisanya yang dikalikan dengan kandungan bahan kering ransum perlakuan. Bahan kering ransum didapat melalui analisis proksimat bahan ransum, dari konsumsi bahan kering tersebut dapat diperoleh : 1. Konsumsi Protein, diperoleh dari kandungan protein ransum dikalikan dengan konsumsi bahan kering. Kadar protein didapat melalui analisis proksimat bahan ransum. 2. Konsumsi Ca, diperoleh dari kandungan Ca dalam ransum dikalikan dengan konsumsi bahan kering. Kadar Ca didapat melalui analisis proksimat bahan ransum. 3. Konsumsi Fe, diperoleh dari kandungan Fe dalam ransum dikalikan dengan konsumsi bahan kering. Kadar Fe didapat melalui analisis proksimat bahan ransum. 4. Kadar Protein Feses, diperoleh dari kandungan protein dalam feses dikalikan dengan total feses. Kadar protein didapat melalui analisis proksimat bahan feses. 5. Kadar Ca Feses, diperoleh dari kandungan Ca dalam feses dikalikan dengan total feses. Kadar Ca diketahui melalui analisis proksimat bahan feses.
15
6. Kadar Fe Feses, diperoleh dari kandungan Fe dalam feses dikalikan dengan total feses. Kadar Fe diketahui melalui analisis proksimat bahan feses. 7. Kecernaan Protein, adalah gambaran jumlah protein yang terserap oleh tubuh, diperoleh dari selisih konsumsi protein dengan kadar protein dalam feses. 8. Absorbsi Ca, adalah gambaran jumlah Ca yang terserap oleh tubuh, diperoleh dari selisih konsumsi Ca dengan kadar Ca dalam feses. 9. Absorbsi Fe, adalah gambaran jumlah Fe yang terserap oleh tubuh, diperoleh dari selisih konsumsi Fe dengan kadar Fe dalam feses. 10. Mineral Ca dalam Plasma, plasma beku dithawing dan sebanyak 0,15 ml plasma dipipet, kemudian ditambahkan 0,05 ml lantaden klorida dan 2,3 ml aquadest. Setelah itu, larutan kembali disentrifuge 3000 rpm selama 10 menit. Pengukuran kadar Ca dilakukan dengan menggunakan alat Atomic Absorbtion Spectrofotometer (AAS). 11. Mineral Fe dalam Plasma, plasma beku dithawing dan sebanyak 0,15 ml plasma dipipet, kemudian ditambahkan 0,05 ml lantaden klorida dan 2,3 ml aquadest. Setelah itu, larutan kembali disentrifuge 3000 rpm selama 10 menit. Pengukuran kadar mineral Fe dilakukan dengan menggunakan alat Atomic Absorbtion Spectrofotometer (AAS). 12. Hemoglobin (Hb), kadar Hb dalam darah dapat ditentukan dengan metode Sahli. Pertama, pipet Sahli diisi dengan HCl 0,1 N sampai angka 10. Pipet Sahli diarahkan pada sampel darah segar, kemudian sampel dimasukkan kedalam tabung Sahli dan mendiamkannya selama tiga menit sampai terbentuk hematin yang berwarna coklat. Setelah itu, ditambahkan aquadest setetes demi setetes sambil diaduk sampai warna sama dengan standar, kemudian baca tinggi permukaan cairan tabung Sahli. Prosedur Persiapan Penelitian Persiapan Kandang Pemeliharaan. Kandang dan semua peralatan yang digunakan dicuci menggunakan sabun cuci dan disterilkan menggunakan alkohol 70%, kemudian alas kandang dilapisi dengan sekam padi. Kandang digunakan sebagai tempat induk mencit membesarkan anaknya sampai umur lepas sapih. Ketika induk menyapih anak kemudian dilakukan pengambilan sampel darah induk.
16
Pembuatan Sop Daun Torbangun (SDT). Resep yang digunakan untuk pembuatan sop daun Torbangun tersaji dalam Tabel 5, dan proses pembuatan dilakukan seperti dijelaskan berikut. Tabel 5. Komposisi Sop Daun Torbangun dalam 825 g Bahan Segar Bahan
Kadar
Daun Torbangun Segar (g)
250
Santan (ml)
525
Bawang Merah (g)
15
Bawang Putih (g)
10
Kemiri (g)
6
Garam (g)
14,7
Merica (g)
0,43
Jahe (g)
1,98
Laos (g)
1,89
Butylated Hidroxytoluene (BHT) (ppm)
200
Sumber : Marlina (2007)
Daun Torbangun disortasi dan dipisahkan dari tangkai, kemudian ditimbang, dan dicuci menggunakan garam (agar cepat layu). Daun diremas–remas dengan menggunakan garam dan diperas untuk mengurangi bau langu, kemudian ditiriskan. Bumbu-bumbu dibersihkan kemudian ditimbang dan dicuci. Kemiri disangrai atau dibakar terlebih dahulu selama beberapa menit sebelum dihaluskan. Bumbu-bumbu dihaluskan dan selanjutnya campuran santan dan bumbu dimasak sambil terus diaduk, lalu tambahkan Butylated Hidroxytoluene (BHT) sebagai antioksidan. Setelah santan mendidih, daun Torbangun dimasukkan dan campuran dimasak kembali sampai mendidih, kemudian sop daun Torbangun (SDT) yang telah matang dikemas kedalam kaleng, kemudian disimpan selama dua minggu (Marlina, 2007). Setelah itu, SDT dibuat menjadi tepung. Proses pembuatan SDT kering disajikan pada Gambar 3.
17
SDT Disimpan dalam kaleng selama 14 hari Pada hari ke-15 dibuka dan dihomogenkan menggunakan blender sehingga membentuk juice Juice SDT ditambahkan dextrin
Dihomogenkan
Diteteskan ke permukaan drum dryer sehingga terbentuk tepung Tepung diambil dan dikumpulkan dalam kemasan plastik lalu di-seal Gambar 3. Bagan Pembuatan Sop Daun Torbangun Kering Pembuatan Ransum. Ransum yang digunakan adalah ransum yang dibuat berdasarkan kebutuhan nutrisi mencit dengan bahan makanan yang terdiri dari tepung ikan, bungkil kedelai, dedak padi, tepung jagung, minyak goreng dan premiks. Komposisi ransum kontrol (R0) dengan berbagai bahan makanan yang digunakan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi Ransum Kontrol (R0) Selama Penelitian Bahan
BK (%)
Tepung Ikan
10
Bungkil Kedelai
15
Dedak Padi
20
Tepung Jagung
50
Minyak Goreng
4
Premiks
1
Jumlah
100
18
Selanjutnya, ransum lain (R1, R2 dan R3) dibuat dengan cara substitusi dengan tepung sop daun Torbangun (SDT) atau dicampur homogen, kemudian ransum perlakuan dibentuk menjadi pelet. Ransum perlakuan yang dicobakan adalah: R0
: Ransum Kontrol (tanpa SDT)
R1
: 97,5% Ransum Kontrol + 2,5% SDT
R2
: 95,0% Ransum Kontrol + 5,0% SDT
R3
: 92,5% Ransum Kontrol + 7,5% SDT
Pelaksanaan Penelitian Pemberian ransum perlakuan dimulai pada hari ke-14 setelah bunting dimana sebelumnya mencit mengkonsumsi ransum biasa atau ransum kontrol. Pemberian ransum perlakuan yang mengandung SDT pada hari ke-14 setelah bunting karena paling tepat dan memberikan efek positif tertinggi terhadap daya reproduksi mencit (Wardani, 2007). Ransum diberikan ad libitum (selalu tersedia) setiap hari pada pukul 16.00 WIB dan setiap empat hari sekali sekam diganti dengan yang baru sebelum penimbangan bobot badan mencit. Air minum adalah air masak atau air mineral kemasan untuk menghindari bakteri dan diberikan ad libitum melalui botol yang diberi pipa aluminium (agar tidak dimakan oleh mencit), dan mencit mengisap air melalui pipa tersebut Pengumpulan Feses. Collecting feses dilakukan saat penggantian alas. Feses diukur untuk mengetahui kadar protein, Ca dan Fe yang diekskresikan oleh tubuh. Pengambilan Sampel Darah. Pengambilan sampel darah dilakukan melalui jantung dengan menggunakan jarum suntik, kemudian ditampung dalam vacutainer yang mengandung antikoagulan heparin. Untuk menganalisis mineral, sampel disentrifuge 3500 rpm selama 15 menit, agar terpisah plasma darah dengan butir darah merah (BDM) kemudian disimpan dalam freezer hingga digunakan. Untuk mengetahui kadar Hb, digunakan metode Sahli dari darah segar.
19
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Bagian Non-Ruminansia Satwa Harapan (NRSH), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang terletak di Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor. Keadaan kandang yang digunakan selama penelitian cukup terpelihara dengan baik. Perawatan kandang dilakukan dengan membersihkan kandang, tempat penampungan air baik botol minum maupun bak, dan penggantian baki secara rutin. Suhu dan Kelembaban dalam Kandang Penelitian Malole dan Pramono (1989) menyatakan keadaan suhu dan kelembaban kandang merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh secara langsung terhadap mencit. Apabila kondisi lingkungan tidak sesuai, maka produktivitas yang dicapai tidak akan optimal. Parakkasi (1980) menambahkan, suhu dan kelembaban dapat mempengaruhi sifat hewan sehingga juga dapat mempengaruhi konsumsi ransum hewan tersebut. Pengukuran suhu dan kelembaban dalam ruangan penelitian dilakukan selama pengamatan berlangsung. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan thermohigrometer yang tersedia didalam kandang. Hasil pengamatan suhu ruangan harian selama penelitian berkisar antara 20-32oC dengan kelembaban sekitar 6094%. Menurut Malole dan Pramono (1989), suhu yang ideal untuk pertumbuhan mencit berkisar antara 21-29oC dan kelembaban udara yang ideal dalam kandang adalah 30-70%. Berdasarkan hasil yang diperoleh ternyata kisaran suhu dan kelembaban yang terjadi didalam kandang sedikit melebihi batas ideal. Seringnya turun hujan pada malam hingga pagi hari berikutnya menyebabkan kelembaban yang tinggi dan suhu yang rendah, sedangkan pada siang hari suhu meningkat bahkan dapat mencapai hingga 32oC, dan pada sore harinya suhu kembali turun hingga 24,5oC. Pada Tabel 7 disajikan kondisi suhu dan kelembaban di lingkungan tempat penelitian.
20
Tabel 7. Kondisi Suhu dan Kelembaban Selama Penelitian Pengamatan
Pagi
Siang
Sore
Rataan
Suhu (oC)
20-30
24,5-32
24-29
26,6
Kelembaban (%)
71-95
65,2-95
70-94
82,9
Mencit Penelitian Kondisi mencit selama penelitian dalam keadaan baik dan sehat. Ransum perlakuan mulai diberikan pada mencit kira-kira umur kebuntingan hari ke-14. Jumlah anak lahir per induk per kelahiran berkisar antara dua sampai dengan 10 ekor. Ketika induk mulai atau saat beranak terjadi kematian beberapa ekor anak yang lahir. Kematian anak juga terjadi pada hari kedua setelah induk beranak. Kematian tersebut terjadi karena anak mencit digigit atau bahkan dimakan oleh induknya sendiri, terbukti dengan adanya bangkai anak mencit yang mati didalam kandang yang digunakan untuk pemeliharaan. Keadaan seperti ini sering disebut dengan kanibalisme. Sifat kanibalisme dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor genetik dan faktor lingkungan seperti kekurangan air atau nutrien lain. Pada saat anak mencit mencapai umur lepas sapih (21 hari), kemudian induk yang akan diambil sampel darahnya dalam keadaan normal. Ketika dilakukan pengambilan sampel darahnya, induk mengalami cekaman, terbukti dengan induk yang selalu bergerak meskipun telah dilemahkan dengan larutan eter. Hal ini mengakibatkan terhambat atau gagalnya pengambilan sampel darah, sehingga pengambilannya dilakukan secara berulang kali dari seekor individu yang sama. Efek dari semua ini yaitu kondisi darah mengalami lisis. Ransum Penelitian Ransum seimbang adalah porsi ransum yang mengandung zat makanan yang cukup untuk kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi. Ransum mencit yang digunakan dalam penelitian disusun atau dibuat berdasarkan kebutuhan nutrisi mencit pada NRC (1995), dan bahan makanan penyusunnya terdiri dari tepung ikan, bungkil kedelai, dedak padi, tepung jagung, minyak goreng dan premiks, sedangkan daun Torbangun yang digunakan untuk bahan pembuat SDT diperoleh dari kebun sayur didaerah Cijeruk. Hasil perhitungan ransum mengandung 19% protein kasar,
21
7,25% serat kasar, 7,09% lemak. Hasil analisis proksimat dari ransum dan tepung sop daun Torbangun (SDT) yang digunakan pada penelitian tersaji pada Tabel 8. Kualitas nutrisi bahan makanan merupakan faktor utama dalam pemilihan dan penggunaannya sebagai sumber zat makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi (Herman, 2003). Oleh karena itu, bahan makanan yang digunakan dalam penelitian ini disusun berdasarkan atas kebutuhan mencit agar kebutuhan pokok dan produksinya tercukupi. Tabel 8. Kandungan Nutrisi Tepung Sop Daun Torbangun dan Ransum Penelitian Bahan dan Ransum Perlakuan
BK
Abu
LK
PK
SK
Ca
Fe
....................................................%........................................
SDT Kering
95,01
21,07
8,27
4,78
4,17
0,87
0,41
R0
92,08
6,64
8,67
15,14
7,35
0,09
0,23
R1
91,29
7,01
8,54
14,92
7,12
0,13
0,26
R2
91,38
7,89
8,50
14,78
7,23
0,20
0,32
R3
92,15
8,62
7,91
14,72
7,37
0,23
0,35
Keterangan : SDT = Sop daun Torbangun, R0 = (Tanpa SDT), R1 = (R0+2,5% SDT), R2 = (R0+5,0% SDT), R3 = (R0+7,5% SDT), BK = Bahan kering, LK = Lemak kasar, PK = Protein kasar, SK = Serat Kasar Sumber : Laboratorium Ilmu Hayati dan Bioteknologi Pusat Antar Universitas, IPB (2008)
Hasil analisis proksimat ransum penelitian menunjukkan, bahwa ransum yang disubstitusi SDT dengan taraf berbeda mengakibatkan komposisi nutrisi didalam ransum menjadi berubah (Tabel 8). Ransum dengan taraf substitusi SDT yang semakin tinggi mengakibatkan terjadinya kenaikan kandungan abu. Tingginya kandungan abu pada ransum disebabkan oleh kandungan abu dari SDT yang tinggi, yaitu 21,07%. Kandungan abu dalam ransum penelitian (6,64-8,62%) jauh diatas batas ideal yang disarankan oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu 5%. Ransum perlakuan mengandung lemak masing-masing 8,67; 8,54; 8,50 dan 7,91%. Kadar lemak ransum yang tinggi disebabkan oleh tingginya kandungan lemak baik pada ransum kontrol maupun SDT. Kadar lemak yang melebihi target dapat disebabkan oleh bahan makanan penyusun ransum yaitu minyak goreng curah yang kandungannya 100% lemak, juga dapat disebabkan oleh santan yang merupakan bahan pembuat SDT. Kandungan lemak pada santan murni adalah 34,3%.
22
Konsentrasi santan yang digunakan dalam SDT lebih dari 50% atau tepatnya 525 ml dari 825 gram SDT (Marlina, 2007). Berbeda dengan lemak, prosentase protein ransum menjadi rendah karena kandungan protein dalam bahan pengganti yaitu SDT adalah cukup rendah (4,78%) juga disebabkan oleh proses pemanasan diatas suhu 45oC sehingga sebagian protein mengalami kerusakan. Meskipun kandungan protein semakin menurun akibat substitusi SDT, namun perbedaannya tidak nyata. Berdasarkan komposisi R0 yang dibuat, kandungan protein seharusnya adalah 19%, cukup untuk kebutuhan reproduksi mencit. Penurunan kandungan protein terjadi karena bahan makanan penyusun ransum tidak sesuai kandungan nutrisinya dengan literatur yang digunakan, misalnya tepung ikan yang seharusnya mengandung minimal 60% protein, ternyata tepung ikan yang beredar di Indonesia hanya mengandung 40% protein. Selain itu, kandungan protein yang meleset dari estimasi awal adalah akibat proses pengolahan yang telah dialami oleh ransum. Dalam proses pembentukan pelet, ransum dihomogenkan dengan air panas (suhu 60oC) agar ransum dapat memadat, kemudian ransum dimasukkan kedalam mesin cetak. Didalam mesin cetak, ransum mengalami pemanasan kembali kira-kira suhu 100oC. Setelah ransum terbentuk menjadi pelet, ransum juga mengalami pemanasan didalam oven pada suhu 60oC selama 24 jam untuk menghindari ketengikan. Proses ini mengakibatkan kandungan lemak (7,91-8,67%) dan protein ransum (14,72-15,14%) tidak sesuai dengan kebutuhan mencit yang direkomendasikan NRC (1995) yaitu masing-masing 5 dan 18%. Kandungan serat kasar yang terdapat dalam ransum penelitian (7,12-7,37%) sesuai dengan kadar serat kasar yang dianjurkan oleh NRC (1995), yaitu 7%. Rataan kandungan serat kasar dalam ransum kontrol dan ransum yang mengandung SDT adalah 7%, hal ini disebabkan dari kandungan serat kasar pada bahan makanan penyusun ransum yang digunakan seperti dedak padi yang mengandung serat kasar 13%. Kandungan mineral kalsium (Ca) yang terkandung dalam ransum perlakuan menunjukkan peningkatan seiring dengan meningkatnya taraf substitusi SDT dalam ransum. Meskipun demikian, kandungan Ca yang terdapat dalam ransum perlakuan (0,09-0,23%) masih dibawah kebutuhan mencit yang direkomendasikan oleh NRC (1995) yaitu 0,5%. Damanik et al. (2006) menyebutkan bahwa daun Torbangun yang
23
telah diolah dalam bentuk sop (SDT) mengandung Ca sebesar 393,1 mg/150 gram. Hal ini mengindikasikan bahwa, hipotesis tentang daun Torbangun sebagai sumber Ca belum tepat, karena kandungan Ca yang rendah. Kandungan mineral besi (Fe) juga semakin tinggi dengan taraf substitusi SDT yang semakin tinggi pula, tetapi kandungan Fe yang terdapat dalam ransum perlakuan (0,23-0,35%) telah melebihi kebutuhan Fe dalam ransum mencit, sesuai dengan rekomendasi NRC (1995) yang menyatakan, bahwa mencit hanya membutuhkan Fe sekitar 35 mg/kg ransum. Konsumsi Ransum Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi oleh hewan dalam jangka waktu tertentu. Konsumsi ransum diperoleh dari selisih antara jumlah ransum yang diberikan dengan jumlah ransum yang tersisa. Bersamaan dengan pengamatan konsumsi ransum akan dihitung juga besarnya konsumsi protein, Ca dan Fe yang hasilnya tersaji pada Tabel 9. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rataan konsumsi ransum selama penelitian adalah sebesar 7,81±2,92 g/ekor/hari. Hasil ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu mencit bunting dan laktasi dapat mengkonsumsi ransum lebih banyak daripada 5 g/ekor/hari. Mencit yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit bunting dan beranak pertama kali. Menurut Syarief dan Sumoprastowo (1994) ransum yang dikonsumsi induk akan digunakan untuk produksi air susu dan untuk pertumbuhan bobot badan induk itu sendiri. Konsumsi ransum induk dan konsumsi protein, Ca dan Fe menurut perlakuan selama penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 9. Table 9. Rataan Konsumsi Ransum Induk, Protein, Kalsium dan Besi Konsumsi Ransum Perlakuan
Bahan Kering
Protein
Ca
Fe
................................................g/ekor/hari........................................... R0
5,300±1,880A
0,800±0,280A
0,010±0,002A
0,010±0,004A
R1
10,560±1,920B
1,580±0,290B
0,020±0,010B
0,030±0,010B
R2
9,880±1,990B
1,460±0,290B
0,020±0,004B
0,030±0,010B
R3
5,550±1,190A
0,820±0,180A
0,010±0,003AB
0,020±0,004A
Rataan
7,810±2,920
1,160±0,430
0,014±0,010
0,020±0,010
Keterangan : - R0=(Tanpa SDT), R1=(R0+2,5% SDT), R2=(R0+5,0% SDT), R3=(R0+7,5% SDT) - Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama masing-masing menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01)
24
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa respon mencit terhadap ransum yang disubstitusi SDT dengan taraf yang berbeda berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi ransum. Rataan konsumsi ransum dengan perlakuan R0, R1, R2 dan R3 masing-masing 5,30; 10,56; 9,88 dan 5,55 g/ekor/hari. Hasil uji Tukey menyatakan bahwa R0 berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan R1 dan R2, tetapi tidak dengan R3 dan antara R1 dan R2 tidak berbeda nyata. Konsumsi ransum R0 yang rendah disebabkan oleh tidak adanya efek santan yang dapat meningkatkan palatabilitas. Pada R3 konsumsi ransum yang rendah karena semakin tingginya kandungan Fe dalam ransum. Batas ambang konsumsi Fe adalah 0,5% dari ransum. Semakin tinggi serat kasar dalam ransum ternyata dapat menurunkan konsumsi akibat ransum menjadi bulky atau palatabilitas ransum juga menurun. Serat kasar dalam ransum juga dapat menyebabkan ransum atau bahan makanan mengalami laju yang cepat sehingga penyerapan bahan makanan didalam saluran pencernaan semakin rendah dan ekskresi zat nutrisi yang penting bagi tubuh meningkat. Selain faktor diatas, rataan konsumsi ransum yang rendah juga disebabkan oleh lingkungan tempat penelitian dimana terjadi fluktuasi cuaca yang ekstrim. Tingkat kelembaban yang tinggi dapat mempengaruhi performa mencit termasuk didalamnya adalah pola makan yang berpengaruh langsung terhadap konsumsi ransum. Menurut Parakkasi (1980) konsumsi ransum dipengaruhi oleh hewannya sendiri, makanan yang diberikan dan lingkungan tempat hewan tersebut dipelihara. Secara umum, konsumsi ransum dengan taraf substitusi SDT pada penelitian ini (7,81±2,92 g/ekor/hari) lebih rendah daripada rataan konsumsi ransum pada berbagai taraf daun Torbangun hasil penelitian Wardani (2007) yaitu 9,13±1,05 g/ekor/hari. Konsumsi Protein Rataan konsumsi protein selama penelitian adalah sebesar 1,16±0,43 g/ekor/hari (Tabel 9). Perlakuan ransum berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi protein. Konsumsi protein ransum kontrol (R0 = 0,80 g/ekor/hari) sangat nyata (P<0,01) lebih rendah daripada R1 (1,58 g/ekor/hari) dan R2 (1,46 g/ekor/hari) tetapi tidak berbeda dengan R3 (0,82 g/ekor/hari). Hasil ini sejalan dengan pola konsumsi ransum mencit selama penelitian. Kadar protein ransum pada penelitian ini (14,72-15,14%) masih lebih rendah daripada rekomendasi NRC (1995) yaitu 16,7-
25
24% protein kasar. Faktor yang mempengaruhi konsumsi protein adalah kandungan dan ketersediaannya dalam ransum, umur, bobot badan dan lingkungan (Anggorodi, 1994). Protein berperan dalam sistem kekebalan (imun) sebagai antibodi, sistem kendali dalam bentuk hormon. Sebagai salah satu sumber gizi, protein juga berperan sebagai sumber asam amino bagi organisme yang tidak mampu membentuk asam amino tersebut (Linder, 1992) Konsumsi Kalsium (Ca) Konsumsi Ca sangat berperan terhadap profil Ca dalam plasma. Fungsi Ca adalah memelihara kerangka, kontraksi otot, pembekuan darah, aktivator beberapa enzim, rangsangan syaraf dan menurunkan permiabilitas membran sel dan kapiler (Linder, 1992). Taraf substitusi SDT dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi Ca dengan rataan 0,014±0,01 g/ekor/hari (Tabel 9). Berdasarkan hasil pengamatan konsumsi Ca oleh mencit dengan perlakuan R0 (0,01 g/ekor/hari) sangat nyata (P<0,01) lebih rendah daripada R1 dan R2 dengan konsumsi Ca yang sama yaitu sebesar 0,02 g/ekor/hari tetapi tidak dengan R3 (0,01 g/ekor/hari). Rataan konsumsi Ca selama penelitian adalah 14 mg/ekor/hari (Tabel 9) masih jauh dibawah kebutuhan yang sebenarnya yaitu sekitar 0,5% dari konsumsi ransum atau 39,05 mg/ekor/hari. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan Ca dalam ransum yang tidak memenuhi dan ini berarti sop daun Torbangun (SDT) bukanlah sumber Ca. Hipotesis menyebutkan bahwa daun Torbangun adalah sumber Ca, namun setelah dibuat menjadi SDT hal ini tidak terbukti. Sifat produksi dan daya hidup mencit akan menurun bila mengkonsumsi ransum rendah Ca (Anggorodi, 1994). Berdasarkan penelitian Silitonga (2008) rataan litter size lahir mencit yang diberikan ransum mengandung 2,5 dan 5% SDT serta 5% daun Torbangun kering masing-masing 6,00; 7,20 dan 6,00 ekor sedangkan perlakuan kontrol menunjukkan data paling tinggi yaitu 7,50 ekor meskipun perbedaannya tidak nyata. Hasil ini masih dibawah penelitian Wardani (2007) yang menyatakan bahwa litter size lahir mencit yang diberikan 5% daun Torbangun kering adalah 9,00 ekor. Bobot lahir anak mencit menurut hasil Silitonga (2008) mengindikasikan bahwa perlakuan ransum tidak berbeda nyata terhadap bobot lahir. Pada perlakuan kontrol menunjukkan hasil 1,66 g/ekor yang lebih tinggi daripada 5% SDT (1,41 g/ekor). Semakin tinggi litter size lahir maka bobot lahir semakin kecil.
26
Untuk litter size sapih, Silitonga (2008) menyatakan bahwa ransum dengan 5% SDT memiliki litter size sapih yang tinggi (5,80±1,64) dibanding ransum kontrol (2,75±1,71) dan 2,5% SDT (3,20±2,39) meskipun tidak berbeda nyata. Hasil ini masih dibawah rataan penelitian Wardani (2007) yaitu 6,57±2,16 ekor. Berdasarkan keterangan diatas, performa mencit yang diberikan subtitusi SDT dengan taraf yang berbeda (Silitonga, 2008) menunjukkan hasil yang lebih rendah dengan performa mencit hasil penelitian Wardani (2007).
Hal ini dapat disebabkan dari kualitas
ransum yang mengandung SDT pada penelitian ini berkurang akibat dari berbagai proses pengolahan. Konsumsi Besi (Fe) Rataan konsumsi Fe selama penelitian adalah 0,02±0,01 g/ekor/hari seperti ditunjukkan pada Tabel 9. Pengaruh perlakuan ransum menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi Fe, artinya mencit dengan taraf subtitusi SDT dalam ransum (R1 dan R2) dapat meningkatkan konsumsi Fe dibandingkan dengan ransum kontrol (R0). Ransum R0 sangat nyata (P<0,01) lebih rendah konsumsi Fe-nya daripada kedua ransum perlakuan yang lain (R1 dan R2), namun tidak berbeda nyata dengan R3. Hal ini disebabkan konsumsi ransum R0 dan R3 lebih rendah daripada R1 dan R2. Puncak konsumsi Fe terjadi pada R2, hal ini terjadi karena konsumsi BK pada R2 (9,88 g/ekor/hari) cukup tinggi meskipun masih lebih rendah dibanding R1 (10,56 g/ekor/hari). Hasil diatas melebihi rekomendasi NRC (1995) yang menyebutkan kebutuhan Fe pada mencit adalah 35 mg/kg ransum sedangkan rataan konsumsi Fe selama penelitian mencapai 20 mg/ekor/hari. Fungsi Fe adalah mengikat oksigen dan mengganti sel-sel darah yang rusak. Apabila penggantian sel-sel darah merah tidak cepat maka terjadi anemia (Anggorodi, 1994). Besi (Fe) juga berhubungan erat dengan hemoglobin, karena sebanyak 60-70% Fe dalam tubuh berada dalam bentuk hemoglobin. Jadi, semakin tinggi konsumsi Fe akan meningkatkan konsentrasi Fe dalam tubuh dan akhirnya hemoglobin darah pun meningkat. Hemoglobin berfungsi untuk mengikat oksigen yang dibutuhkan oleh mencit untuk metabolisme dalam tubuh.
27
Kecernaan Ransum Kecernaan adalah perbedaan antara zat makanan yang dikonsumsi dengan zat makanan yang dikeluarkan melalui feses dan urine (Anggorodi, 1994). Semakin tinggi prosentase kecernaan, maka semakin banyak pula kandungan nutrisi yang terserap oleh tubuh, dan ini menggambarkan bahwa kualitas ransum tersebut adalah baik. Sehubungan dengan pengamatan kecernaan ransum perlakuan, juga bersamasama menentukan kecernaan protein, absorbsi Ca dan Fe yang hasilnya tersaji pada Tabel 10. Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa taraf subtitusi SDT dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap peningkatan kecernaan bahan kering (BK) ransum dengan rataan umum 69,93±18,93%. Rataan kecernaan BK ransum pada R0 yang rendah (38,58%) disebabkan oleh konsumsi R0 yang juga rendah (5,30 g/ekor/hari) akibat palatabilitas yang turun karena R0 tidak mengandung santan. Rataan kecernaan BK ransum R1 (81,12%) dan R2 (85,02%) sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi daripada R0, hal ini terjadi karena tingkat konsumsi ransum perlakuan tersebut lebih tinggi, dan juga dapat disebabkan kandungan serat kasar pada R1 dan R2 yang lebih rendah daripada R0. Kecernaan BK ransum pada R3 (64,68%) kembali menurun akibat konsumsi ransumnya yang rendah. Tabel 10 menyajikan data kecernaan BK ransum dan protein serta absorbsi Ca dan Fe menurut perlakuan selama penelitian. Tabel 10. Rataan Persentase Kecernaan Ransum Penelitian Ransum Perlakuan
Kecernaan Bahan Kering
Absorbsi Protein
Ca
Fe
………………………………………..……%............................................................. R0
38,58±16,63A
27,79±19,50A
81,30±5,06A
94,55±1,48A
R1
81,12±4,51B
78,81±5,26B
95,28±1,69B
97,98±0,48B
R2
85,02±4,90B
81,24±8,08B
95,70±1,41B
98,34±0,54B
R3
64,68±8,60AB
55,08±9,97AB
91,36±2,11B
96,36±0,89AB
Rataan
69,93±18,93
63,56±22,60
91,78±5,82
97,01±1,63
Keterangan : - R0=(Tanpa SDT), R1=(R0+2,5% SDT), R2=(R0+5,0% SDT), R3=(R0+7,5% SDT) - Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama masing-masing menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01)
Sifat dari serat kasar adalah bulky sehingga menyebabkan konsumsi ransum menjadi rendah karena didalam saluran pencernaan terjadi keambaan. Mencit
28
merupakan hewan monogastrik, sehingga peka terhadap serat kasar. Faktor yang mempengaruhi kecernaan adalah kandungan serat kasar dalam ransum, partikel ransum yang besar dan umur dan status faal mencit (Anggorodi, 1994). Kecernaan Protein Kecernaan protein ransum sangat nyata (P<0,01) dipengaruhi oleh ransum perlakuan atau taraf substitusi SDT dalam ransum dengan rataan 63,56±22,60% selama penelitian. Ransum perlakuan R1 dan R2 mempunyai kecernaan protein masing-masing 78,81 dan 81,24% sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi daripada R0 (27,79%) tetapi tidak berbeda nyata dengan R3 (55,08%). Kecernaan protein tentunya dipengaruhi oleh konsumsi ransum mencit pada saat pemeliharaan. Pada perlakuan R1 dan R2, tingkat konsumsi ransum cukup tinggi. Rataan kecernaan protein yang dihasilkan selama penelitian adalah 63,56%, ini berarti sebanyak 36,44% protein terbuang melalui feses. Protein adalah zat nutrisi yang paling penting dibanding yang lainnya. Kecernaan protein yang rendah, diakibatkan oleh ransum yang digunakan didalam penelitian telah mengalami berbagai proses, diantaranya proses pemanasan ketika pembentukan pelet disamping kandungan protein dalam SDT juga rendah (4,78%). Penyebab daya cerna protein yang semakin menurun adalah pemanasan, besarnya partikel ransum dan adanya zat penghambat seperti antitripsin. Akibat pemanasan beberapa asam amino seperti lisin, arginin, triptofan dan histidin menjadi lambat terhadap reaksi enzim protease. Walau secara morfologi, mencit lebih suka ransum dalam bentuk pelet, karena mencit termasuk hewan pengerat, namun ransum dalam bentuk mesh akan memudahkan pencernaan secara enzimatis didalam mulut atau saluran pencernaan berikutnya. Pencernaan enzimatis memerlukan kontak antara protein dengan enzim protease, dan bila protein berada dalam partikel yang besar, ada kemungkinan protease tersebut belum sempat meresap kedalam partikel ransum yang besar untuk bereaksi dengan protein yang bersangkutan. Hewan berlambung satu tidak memiliki kemampuan untuk mencerna zat-zat pembentuk sel tanaman terutama selulosa. Faktor lain yang menyebabkan kecernaan protein rendah adalah adanya zat-zat penghambat seperti antitripsin yang terdapat dalam kedelai. Bahan makanan yang digunakan dalam menyusun ransum, salah-satu substansinya adalah bungkil kedelai
29
sebesar 15%. Hal ini tentunya sedikit banyak mempunyai efek terhadap aktivitas proteolitis dari tipsin. Absorbsi Kalsium (Ca) Absorbsi adalah istilah lain dari kecernaan yang hanya digunakan untuk zat nutrisi mikro seperti mineral dimana proses penyerapannya secara langsung tanpa mengalami pemecahan terlebih dahulu. Berdasarkan hasil yang diperoleh, rataan umum absorbsi Ca adalah 91,78% (Tabel 10), dengan demikian dari ransum yang dikonsumsi sebanyak 9,22% Ca terbuang bersama feses. Ransum perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap absorbsi Ca, dimana absorbsi Ca dari ransum R0 (81,30%) sangat nyata (P<0,01) lebih rendah daripada R1, R2 dan R3 masing-masing dengan nilai absorbsi Ca sebesar 95,28; 95,70 dan 91,36% atau dengan perkataan lain taraf substitusi SDT dalam ransum dapat meningkatkan absorbsi Ca. Hal ini disebabkan oleh kandungan Ca dalam ransum R1, R2 dan R3 masing-masing sebesar 0,13; 0,20 dan 0,23% yang lebih tinggi daripada R0 (0,09%) dan hasil ini juga menggambarkan pola yang sesuai dengan konsumsi ransum dimana R0 memiliki tingkat konsumsi yang paling rendah. Absorbsi Ca dari ransum dipengaruhi oleh proporsi relatif dari zat pengkilasi dan yang mengendapkan dalam ransum tersebut menentukan jumlah Ca yang dapat diserap. Selain itu, absorbsi Ca juga dipengaruhi oleh tingkat stimulasi dari vitamin D-aktif terhadap alat-alat penyerap dalam mukosa intestin yang menentukan jumlah Ca yang diserap (Linder, 1992). Sumber Ca dari makanan nabati sukar untuk digunakan karena tingginya kandungan oksalat. Tingginya tingkat absorbsi Ca pada penelitian ini karena mencit yang digunakan adalah mencit bunting pertama kali hingga menyusui yang memerlukan Ca untuk pertumbuhannya sendiri dan perkembangan fetusnya serta produksi air susu. Selama periode laktasi, Ca dibutuhkan untuk merangsang produksi air susu, dengan demikian tingkat kehilangan Ca selama periode bunting dan laktasi akan tinggi baik melalui keringat maupun urin dan feses. Absorbsi Besi (Fe) Kebutuhan Fe dalam ransum hanya 0,0035% (NRC, 1995), sementara Linder (1992) menambahkan, Fe dalam ransum hanya dapat diserap 10-15%. Pengaruh perlakuan ransum menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) terhadap
30
absorbsi Fe dengan rataan absorbsi Fe selama penelitian adalah 97,01±1,63%. Perlakuan R0 (94,55%) mempunyai absorbsi Fe sangat nyata (P<0,01) lebih rendah dibanding R1 (97,98%) dan R2 (98,34%) tetapi tidak berbeda dengan R3 (96,36%). Hasil ini menggambarkan pola yang sejalan dengan tingkat konsumsi Fe. Tingkat penyerapan Fe yang amat tinggi dalam penelitian ini disebabkan oleh kandungan Fe dalam ransum yang juga sangat tinggi. Akibatnya, kondisi mencit melemah dan tingkat agresivitas dalam tingkah laku keseharian menurun. Ada bentuk penyakit akibat kelebihan Fe yaitu hemokromatosis yang disebabkan absorbsi Fe dari ransum yang sangat tinggi, sehingga terjadi akumulasi Fe yang berlebihan didalam tubuh. Profil Darah Mencit Kandungan Ca Plasma Menurut Linder (1992), terdapat tiga bentuk Ca yang ada dalam plasma, pertama sebagai ion bebas (sekitar 47%), kedua dalam bentuk kilasi ikatan nonprotein terutama membentuk kompleks dengan sitrat dan asam organik lain (sekitar 6,5%) dan yang terakhir yaitu Ca yang terikat pada protein
terutama
praalbumin (mencapai 47%). Fraksi Ca bebas adalah yang mudah memasuki sel dan dimonitor oleh kelenjar paratiroid dan tiroid. Semakin tinggi kadar Ca dalam plasma, maka akan terjadi peningkatan sekresi kalsitonin oleh kelenjar tiroid yang akan meningkatkan mineralisasi tulang. Berdasarkan hasil pengamatan, rataan kandungan Ca dalam plasma mencit adalah 790 ppm (Tabel 11) yang masih jauh dibawah kandungan Ca plasma pada ternak yaitu 12 mg/dl darah. Ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar Ca dalam plasma, artinya meskipun tingkat kecernaan cukup tinggi, namun kebutuhan Ca dalam ransum belum terpenuhi, sehingga kadar Ca plasma pun menjadi rendah. Selain itu, didalam tubuh terdapat sistem homeostasis yaitu pengaturan keseimbangan suhu dalam tubuh yang melibatkan nutrien termasuk didalamnya adalah Ca. Konsentrasi Ca pada darah secara homeostasis dikontrol oleh gabungan antara aliran Ca++ masuk atau keluar darah dan resorpsi Ca++ urin. Kontrol utama adalah aliran Ca++ keluar kompartemen cairan tulang yang ekuilibrium dengan Ca fosfat. Hal ini terjadi melalui aktivitas hormon paratiroid (PTH) yang meningkat. Kandungan Ca plasma akan menurun jika PTH meningkat (Linder, 1992).
31
Kandungan Ca dalam plasma menurut perlakuan ransum yang digunakan masing-masing adalah R0 (605 ppm), R1 (935 ppm), R2 (932 ppm) dan R3 (680 ppm). Hasil pengamatan kandungan Ca dalam plasma selengkapnya disajikan pada Tabel 11. Kandungan Fe Plasma Besi (Fe) dalam darah diikat oleh hemoglobin (Hb), dan sebanyak 60-70% komponen Hb adalah Fe. Pengaruh perlakuan ransum terhadap kandungan Fe dalam plasma mencit tidak berpengaruh nyata. Kandungan Fe dalam plasma menurut perlakuan R0, R1, R2 dan R3 masing-masing 340; 238; 1138 dan 178 ppm dengan rataan selama penelitian adalah 494 ppm. Hasil ini menunjukkan pola yang berlawanan dengan konsumsi ransum, dimana tingkat absorbsi dan ketersediaan Fe dalam ransum yang cukup tinggi. Tabel 11 berikut menyajikan rataan kandungan Ca dan Fe dalam plasma serta Hemoglobin mencit. Tabel 11. Kandungan Ca dan Fe dalam Plasma dan Hemoglobin Ransum Perlakuan
Ca
Fe
……………………ppm…………………….
Hb .…g/100 ml…..
R0
605±209
340±376
9,94±1,11
R1
935±373
238±268
9,25±0,11
R2
932±675
1138±1580
11,01±1,98
R3
680±302
178±128
8,84±0,64
Rataan
790±428
494±895
9,80±1,44
Keterangan: R0=(Tanpa SDT), R1=(R0+2,5% SDT), R2=(R0+5,0% SDT), R3=(R0+7,5% SDT)
Sama halnya dengan Ca dalam plasma, mekanisme homeostasis juga berpengaruh terhadap kandungan Fe plasma mencit. Selain itu, kandungan Fe plasma dipengaruhi juga oleh sampel darah yang digunakan. Pengambilan sampel darah yang berulang-ulang terjadi akibat mencit stres, karena mencit selalu berontak ketika sampel darah diambil, dan akhirnya darah yang diperoleh pun hanya sedikit bahkan tidak sampai satu ml dengan kondisi darah yang langsung menggumpal. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) darah akan lisis karena beberapa hal, yaitu pengambilan sampel yang berulang dan tekanan yang terlalu tinggi.
32
Kandungan Hemoglobin Hemoglobin (Hb) merupakan pigmen eritrosit yang terdiri dari protein kompleks terkonjugasi yang mengandung Fe. Biosintesis Hb dimulai dalam eritrosit dan berlangsung terus pada tahap selanjutnya dalam perkembangan sel darah merah. Selama nukleus masih ada didalam sel, pembentukan Hb terus berlangsung (Frandson,1996). Fungsi Hb yaitu sebagai pengikat oksigen. Perlakuan ransum yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap kadar Hb dengan rataan 9,8±1,44 g/100 ml darah selama penelitian. Hasil ini masih dibawah kadar Hb yang diperoleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu 13 g/100 ml darah. Hasil pengamatan kadar Hb menurut perlakuan R0, R1, R2 dan R3 masing-masing adalah 9,94; 9,25; 11,01 dan 8,84 g/100 ml darah. Kadar Hb yang rendah disebabkan oleh kandungan protein dalam ransum yang digunakan adalah rendah, sehingga konsumsi protein total juga rendah.
33
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Sop daun Torbangun (SDT) dengan taraf substitusi 2,5 dan 5,0% dalam ransum yang diberikan mulai pada hari ke-14 kebuntingan sangat nyata lebih tinggi pengaruhnya terhadap konsumsi bahan kering, protein, Ca dan Fe, serta kecernaan bahan kering, protein, absorbsi Ca dan Fe dibandingkan dengan ransum kontrol. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat efek pemberian SDT segar tanpa pengolahan dan pengalengan pada mencit yang dapat meningkatkan produksi air susu induk.
34
UCAPAN TERIMAKASIH Alhamdullilah, puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menyelesaikan karya sederhana ini. Sholawat serta salam mudah-mudahan tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Pertama, Penulis ucapkan terimakasih kepada Orang Tua tercinta yang telah merawat, membesarkan dan mendidik serta tak henti-hentinya mendo`akan demi kebaikan Penulis, hanya Allah yang dapat membalasnya. Kepada kakak-kakak Penulis khususnya Nur Hidayati, S.Pd, terimakasih telah menjadi kakak yang terbaik bagi Penulis. Ucapan terimakasih
juga Penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir.
Pollung H. Siagian, MS. dan Ibu Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS. disela kesibukannya masing-masing, telah meluangkan waktu bagi Penulis, terimakasih atas bimbingan yang Bapak dan Ibu berikan. Kepada Bapak Ir. Salundik, M.Si dan Bapak Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat sebagai dosen penguji, terimakasih atas saran demi perbaikan skripsi ini. Kepada Ibu Irma I. Arief, M.Si selaku pembimbing akademik, terimakasih atas bimbingan selama masa perkuliahan. Terimakasih juga kepada Bapak Drh. M. Rizal M. Damanik, M. Rep.Sc., Ph.D. atas saran dan bantuan materi penelitian. Kepada seluruh keluarga TPT 41, terimakasih atas pengalaman hidup yang sangat berarti yang telah kita lalui bersama. Tak lupa terimakasih khusus kepada rekan Fransius M.P. Silitonga, atas persahabatan dan kontribusinya selama ini.
Bogor, September 2008 Penulis
35
DAFTAR PUSTAKA . Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka. Jakarta. Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit PT Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. Arrington, L. R. 1972. Introductory Laboratory Animal. The Breeding, Care and Management of Experimental Animal Science. The Interstate Printers and Publishing, Inc. New York. Church, D.C. dan W.G. Pond. 1988. Basic Animal Nutrition and Feeding. 3rd Ed. Jhon willy dan Sons. New York. Damanik, R., Z. Daulay, S. Saragih, R. Premier, N. Wattanapenpaiboon dan M.L. Wahlqvist. 2001. Consumption of bangun-bangun leaves (Coleus amboinicus Lour) to increase breast milk production among Bataknesse women in North Sumatra Island, Indonesia. APJCN;10 (4): S67. Damanik, R., M.L. Wahlqvist dan N. Wattanapenpaiboon. 2006. Lactagogue effects of Torbangun, a Bataknese traditional cuisine. APJCN;15 (2): 267-274. Davidson, S.S., R. Passmore dan J.F. Brock. 1973. Human Nutrition and Dietetics.5thEd. Churcill Livingstone, London. Day, J. R., P. S. Lapolt, T. H. Morales dan J. K. H. Lu. 1991. Plasma pattern of prolactin, progesteron and estradiol during early pregnancy in aging rats: Relation to embryonic development. Biology Reproduction 44:786-790. Dennis, R.H. 1972. Mineral Nutrition of Plants. Willy and Sons. New York. Dickerson, R.E. dan I. Geis. 1983. Hemoglobin : Structure, Function, Evolution and Pathology. The Benyamin/Cummings Publishing Co., Inc. Menlo Park, New York. Duke. 2000. Dr. Duke’s contituens and ethnobotanical databases. phytochemical database,USDA-ARS-NGRL.http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/duke/farmacy sc ro||3.p|. Fairbanks, V.F. 1999. Iron in Medicine and Nutrition dalam M.E. Shils, et al. Modern Nutrition in Health and Disease. 9th Ed. Williams & Wilkins. Baltimore, USA. Frandson, R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta. Herman, R. 2003. Budidaya Ternak Ruminansia Kecil. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jain, S.K. dan S. Lata 1996. Unique indigenous amazonian uses of same plants growing in India. IK Manitor. 4 (3) Article 1996. http://www.nuffic.nl./ciran/ ikdm
36
Keng, H. 1978. Order and Families of Malayan Seed Plant. Singapore University Press. Linder, M. C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Terjemahan: A. Parakkasi. UI Press. Jakarta. Mahmud, M., K. Slamet, D. S. Apriyantono dan R. R. Hermana. 1990. Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Depkes RI, Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Jakarta. Malole, M. B. dan C. S. Pramono. 1989. Penggunaan Hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mardisiswojo S. dan H. Rajakmangunsudarso. 1985. Cabe Puyang Warisan Nenek Moyang. Jakarta : PN Balai Pustaka. Marlina, D. 2007. Kajian umur simpan sop daun Torbangun (Coleus amboinicus L. dan migrasi total kemasannya. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. McDowell, L.R. 1992. Minerals and Human Nutrition. Academiic Press, Inc. Publisher. San Fransisco. Moriwaki, K., T. Shiroishi dan H. Yonekawa. 1994. Genetic in Wild Mice. Its Aplication to Biomedical Research. Japan Scientific Societies Press. Karger, Tokyo. Nafiu, L. O. 1996. Kelenturan fenotipik mencit (Mus musculus) terhadap ransum berprotein rendah. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. National Research Council (NRC). 1988. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. 6th Rev.Cd. National Academy Press. Washington D.C. National Research Council (NRC). 1995. Nutrient Requirement of Laboratory Animals. 4th Rev.Cd. National Academy Press. Washington D.C. Parakkasi, A. 1980. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Angkasa, Bandung. Silitonga, M. 1993. Efek laktagogum daun Jinten (Coleus amboinicus L.) pada tikus laktasi. Tesis. Program Paskasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Silitonga, M.P.S. 2008. Penampilan reproduksi mencit (Mus musculus) yang diberi daun Torbangun (Coleus amboinicus L.) dan taraf sop daun Torbangun kering terhadap. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Smith, B. J. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Gramedia Pustaka.
37
Suhardjo dan C.M. Kusharto. 1992. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Penerbit Kanisius. Jakarta Sunarti. 1992. Pengaruh umur induk terhadap awal perkembangan embrio mencit (Mus musculus albinus) hasil soperovulasi. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syarief, M.Z. dan Sumoprastowo. 1994. Ternak Perah. Yasaguna. Jakarta Tilman, A., D. Hartadi, S. Reksohadiprodjo dan S. Lebdosoekodjo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Vasquez E. A., W. Kraus, A. D. Solsoloy, dan B.M. Rejesus. 2000. The use of species dan medicinal: antifungal, antibhacterial, anthelmintic, and molluscicidal constituents of philippine plant, http://www.faoorg/docrep/ x2230e/x2230e8. Wardani, W. 2007. Penambahan daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) dalam ransum pengaruhnya terhadap sifat reproduksi dan produksi air susu mencit (Mus musculus albinus). Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Yuliawati, D. 2007. Pengaruh penambahan vitamin A dan minyak sawit kasar (MSK) sebagai antioksidan terhadap keawetan sop daun Torbangun (Coleus amboinicus L.). Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
38
LAMPIRAN
39
Lampiran 1. Data Konsumsi Ransum (BK) Perlakuan
Ulangan
R0
R1
R2
R3
1
Konsumsi Bahan Kering (g/ekor/hari 4,34
2
7,85
3
3,53
4
5,49
1
7,74
2
11,14
3
12,08
4
11,28
1
7,90
2
10,01
3
12,77
4
10,56
5
8,14
1
4,87
2
4,19
3
5,78
4
5,56
5
7,37
Lampiran 2. Analisis Ragam Konsumsi Ransum (BK) SK
db
JK
KT
F hitung
P
Perlakuan
3
102,25
34,083
11,06
0,001
Galat
14
43,14
3,081
total
17
145,39
S = 1,76 R-Sq = 70,33% R-Sq(adj) = 63,97%
40
Lampiran 3. Data Konsumsi Protein Perlakuan
Ulangan
R0
R1
R2
R3
1
Konsumsi Protein (g/ekor/hari 0,66
2
1,19
3
0,53
4
0,83
1
1,16
2
1,66
3
1,80
4
1,68
1
1,17
2
1,48
3
1,89
4
1,56
5
1,20
1
0,72
2
0,62
3
0,85
4
0,82
5
1,09
Lampiran 4. Analisis Ragam Konsumsi Protein SK
db
JK
KT
F hitung
P
Perlakuan
3
2,34
0,75
10,91
0,001
Galat
14
0,96
0,07
total
17
3,30
S = 0,26 R-Sq = 70,04% R-Sq(adj) = 63,62%
41
Lampiran 5. Data Konsumsi Kalsium (Ca) Perlakuan
Ulangan
R0
R1
R2
R3
1
Konsumsi Kalsium (Ca) (g/ekor/hari 0,004
2
0,007
3
0,003
4
0,005
1
0,010
2
0,015
3
0,016
4
0,023
1
0,016
2
0,020
3
0,026
4
0,021
5
0,016
1
0,011
2
0,010
3
0,013
4
0,013
5
0,017
Lampiran 6. Analisis Ragam Konsumsi Kalsium (Ca) SK
db
JK
KT
F hitung
P
Perlakuan
3
0,0005
0,0002
13,38
0,000
Galat
14
0,0002
0,0001
total
17
0,0007
S = 0,0036 R-Sq = 74,14% R-Sq(adj) = 68,60%
42
Lampiran 7. Data Konsumsi Besi (Fe) Perlakuan
Ulangan
R0
R1
R2
R3
1
Konsumsi Besi (Fe) (g/ekor/hari 0,010
2
0,018
3
0,008
4
0,013
1
0,020
2
0,029
3
0,031
4
0,029
1
0,025
2
0,033
3
0,041
4
0,034
5
0,026
1
0,017
2
0,015
3
0,020
4
0,019
5
0,026
Lampiran 8. Analisis Ragam Konsumsi Besi (Fe) SK
db
JK
KT
F hitung
P
Perlakuan
3
0,0010
0,0003
12,63
0,000
Galat
14
0,0004
0,00003
total
17
0,0014
S = 0,00508556 R-Sq = 73,03% R-Sq(adj) = 67,24%
43
Lampiran 9. Data Kecernaan Ransum Perlakuan
Ulangan
R0
R1
R2
R3
1
Kecernaan Ransum (%) 27,58
2
30,45
3
57,72
1
75,01
2
80,43
3
84,85
4
84,17
1
79,50
2
89,10
3
84,55
4
90,82
5
81,14
1
60,36
2
52,50
3
69,62
4
66,14
5
74,80
Lampiran 10. Analisis Ragam Kecernaan Ransum (BK) SK
db
JK
KT
F hitung
P
Perlakuan
3
0,47
0,16
20,34
0,000
Galat
13
0,10
0,01
total
16
0,57
S = 0.0879921 R-Sq = 82.44% R-Sq(adj) = 78.39%
44
Lampiran 11. Data Kecernaan Protein Perlakuan
Ulangan
R0
R1
R2
R3
1
Kecernaan Protein (%) 15,00
2
18,36
3
50,37
1
72,95
2
75,80
3
83,60
4
82,87
1
69,12
2
87,39
3
82,13
4
89,38
5
78,18
1
51,69
2
42,11
3
53,56
4
58,73
5
69,23
Lampiran 12. Analisis Ragam Kecernaan Protein SK
db
JK
KT
F hitung
P
Perlakuan
3
0,67
0,22
19,20
0,000
Galat
13
0,15
0,01
total
16
0,82
S = 0.107556 R-Sq = 81.59% R-Sq(adj) = 77.34%
45
Lampiaran 13. Data Absorbsi Kalsium (Ca) Perlakuan
Ulangan
R0
R1
R2
R3
1
Absorbsi Ca (%) 77,95
2
78,82
3
87,13
1
93,25
2
94,72
3
95,91
4
97,22
1
94,12
2
96,87
3
95,57
4
97,37
5
94,59
1
90,30
2
88,37
3
92,56
4
91,71
5
93,83
Lampiran 14. Analisis Ragam Absorbsi Kalsium (Ca) SK
db
JK
KT
F hitung
P
Perlakuan
3
0,05
0,02
23,10
0,000
Galat
13
0,01
0,00
total
16
0,06
S = 0.0256518 R-Sq = 84.21% R-Sq(adj) = 80.56%
46
Lampiran 15. Data Absorbsi Besi (Fe) Perlakuan
Ulangan
R0
R1
R2
R3
1
Absorbsi Fe (%) 93,58
2
93,83
3
96,25
1
97,33
2
97,91
3
98,38
4
98,31
1
97,73
2
98,79
3
98,29
4
98,98
5
97,91
1
95,91
2
95,10
3
96,87
4
96,51
5
97,40
Lampiran 16. Analisis Ragam Absorbsi Besi (Fe) SK
db
JK
KT
F hitung
P
Perlakuan
3
0,00
0,00
15,21
0,000
Galat
13
0,00
0,00
total
16
0,00
S = 0.00849268 R-Sq = 77.82% R-Sq(adj) = 72.71%
47
Lampiran 17. Data Kadar Ca Plasma Perlakuan Ulangan
R0
R1
R2
R3
absorbans
Ppm spl
Ppm spl x FP
Ppm spl/ g spl
% Ca
1
Bobot Spl (ml) 0,15
0,339
6,198239
103,304
688,693
0,069
2
0,15
0,221
4,050521 67,50868
450,058
0,045
3
0,10
0,187
3,431687 85,79218
857,922
0,086
4
0,20
0,365
6,671465 83,39331
416,967
0,042
1
0,15
0,399
7,290299
810,033
0,081
2
0,07
0,159
2,922059 104,3593 1490,846 0,149
3
0,15
0,364
6,653264 110,8877
739,252
0,074
4
0,15
0,347
6,343847 105,7308
704,872
0,070
1
0,10
0,223
4,086923 102,1731 1021,731 0,102
2
0,20
0,376
6,871676 85,89595
429,480
0,043
3
0,15
0,312
5,706812 95,11353
634,090
0,063
4
0,20
0,448
8,182148 102,2769
511,384
0,051
5
0,05
0,112
2,066612 103,3306 2066,612 0,207
1
0,20
0,438
8,000138 100,0017
500,009
0,050
2
0,15
0,308
5,634008 93,90013
626,001
0,063
3
0,15
0,243
4,450943 74,18238
494,549
0,049
4
0,20
0,499
9,110399
569,400
0,057
5
0,10
0,264
4,833164 120,8291 1208,291 0,121
121,505
113,88
Lampiran 18. Analisis Keragaman Kadar Ca Plasma SK
db
JK
KT
F hitung
P
Perlakuan
3
0,004
0,001
0,65
0,595
Galat
14
0,027
0,002
total
17
0,031
S = 0,0442031 R-Sq = 12,26% R-Sq(adj) = 0,00%
48
Lampiran 19. Data Kadar Fe Plasma Perlakuan Ulangan Bobot absorbans Ppm spl Ppm spl Spl x FP (ml) 1 0,15 0,031 1,080799 18,01332
R0
R1
R2
R3
Ppm spl/ g spl
% Fe
120,089
0,012
2
0,15
0,031 1,080799 18,01332
120,089
0,012
3
0,10
0,227 3,614883 90,37208
903,721
0,090
4
0,20
0,215 3,459735 43,24669
216,233
0,022
1
0,15
0,008 0,783432
13,0572
87,048
0,009
2
0,07
0,024 0,990296 16,50493
110,033
0,011
3
0,15
0,022 0,964438 16,07397
107,160
0,011
4
0,15
0,045 1,261805 45,06446
643,778
0,064
1
0,10
0,053 1,365237 34,13093
341,309
0,034
2
0,20
0,519 7,390151 92,37689
461,884
0,046
3
0,15
0,474 6,808346 113,4724
756,483
0,076
4
0,20
0,186 3,084794 38,55993
192,800
0,019
5
0,05
0,252 3,938108 196,9054 3938,108 0,394
1
0,20
0,015 0,873935 10,92419
54,621
0,005
2
0,15
0,018 0,912722 15,21203
101,414
0,010
3
0,15
0,195 3,201155 53,35258
355,684
0,036
4
0,20
0,091 1,856539 23,20674
116,034
0,012
5
0,10
0,029 1,054941 26,37353
263,735
0,026
Lampiran 20. Analisis Keragaman Kadar Fe Plasma SK
db
JK
KT
F hitung
P
Perlakuan
3
0,029
0,010
1,28
0,320
Galat
14
0,107
0,008
total
17
0,136
S = 0,0874072 R-Sq = 21,51% R-Sq(adj) = 4,69%
49
Lampiran 21. Data Kadar Hemoglobin Perlakuan
Ulangan
R0
R1
R2
R3
1
Hemoglobin (g/100 ml) 11,40
2
10,10
3
8,80
4
9,45
1
9,16
2
9,24
3
9,20
4
9,40
1
9,57
2
14,00
3
11,09
4
9,00
5
11,80
1
8,35
2
8,60
3
8,47
4
8,84
5
9,94
Lampiran 22. Analisis Keragaman Kadar Hemoglobin SK
db
JK
KT
F hitung
P
Perlakuan
3
14,24
4,75
3,16
0,058
Galat
14
21,03
1,50
total
17
35,27
S = 1,22548 R-Sq = 40,38% R-Sq(adj) = 27,60%
50