KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN SOP DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour) SEBAGAI MAKANAN TAMBAHAN PELANCAR PRODUKSI AIR SUSU IBU (ASI)
Oleh: NUR FAIZAH FITRIAH F 34103053
2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Nur Faizah Fitriah (F34103053). Packaging and Storage Study of Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Leaf Sop as a Additive Food to Stimulate Breast Milk Production. Supervised by Dr. Ir Endang Warsiki, MT dan Drh. M. Rizal M. Damanik M.Rep. Sc. P.hD.
SUMMARY Indonesia has many types of plant, especially leaf, which is believed to stimulate the breast milk production (laktagogum). Among them are katuk (Souropus androgynus), papaya and Torbangun (Coleus amboinicus Lour). Torbangun is originating from North Sumatera. Since years ago, Batak people believed that Torbangun could stimulate the breast milk production or even could used to recover for mother’s health status after give a birth. Torbangun is consumed as soup. The soup is produced from leaf, spices, and coconut milk. As modern life, the soup is now very prospective to be marketed. However, as a commercial product, the soup need to be improved in quality and practicability. The content of coconut milk in this in the leaf soup makes the product become susceptible against rancidity and microbiological damage. It is therefore, the study should be conducted corcerning on packaging and storage of Torbangun leaf soup. The main objective of this study is to improve the quality and to pro long shelf life of the Torbangun leaf soup. To achieve the objective mention, the study is proposed to apply many package types and storage conditions. The specific objective of the study are (i) to get the best package type, (ii) to recognize the most suitable storage condition, (iii) to obtain the quality reduction of Torbangun leaf soup during storage period, and (iv) to obtain the shelflife from this product. There are three types of packaging used in this study. They are glass, LDPE plastic, and microwavable plastic (CPET). It is also three temperatures used i.e. cold storage temperature (3-5oC), refrigerator temperature (12-15 oC) and normal temperature (27-30oC). Torbangun leaf soup is stored for 8 days duration for cold storage and 2 days for normal storage based from preliminary research result. The primary research is done twice. Along the storage, soup is analyzed its quality including rancidity test (Thiobarbituric Acid Value), microbiology test (Total Plate Count), acidity level (pH), and Titrated Acid Total (TAT). The preliminary study resulted that Torbangun leaf soup has 84,43235% water , 7,6683% carbohydrate, 3,83975% protein, 3,1591 % fat, and 0.90055% ash content. This result is used to know the characteristic of Torbangun leaf soup treatment. Moreover, the soup rancidity during storage with many package types can be observed by the Thiobarbituric Acid value test (TBA). The kind analysis against TBA value shows that TBA value of Torbangun leaf soup is obviously influenced by temperature factor at 95% significant level at the 2nd day. The TBA value is more equally increased with the increase of storage temperature. At 3-5oC and 12-15oC, TBA value tends to be lower than normal temperature. However, this TBA test does not really affect the package factor used at the 95% significant level.
The result of kind examination for TPC parameter shows that the factor giving real effect at the 5 % level against TPC value is the package factor at the 3rd, 4th, 7th, and 8th day . The high of TPC value is shown by the LDPE, then is followed microwavable plastic (CPET). While, the glass shows the lowest TPC in this product. Generally, TPC value is also influenced by temperature along the storage. With a rise of the temperature, microorganism will increase in number. At normal temperature storage, it is seen that microbe is rapidly increased in all kind of package. At the 3rd day, TPC value is also influenced by the interaction between package factor and temperature storage at the 95% significant level. The calculation of TAT value can be used to know the acidity level or acid content from the product. The longer the storage, the higher the TAT value. In normal temperature TAT value tends to increase dramatically at the two days storage. After the third (3rd) day, the lower TAT average value is shown by product which stored in temperature of 3-5oC. The rare of increasing TAT is faster in normal temperature (2730oC) than cold temperature (3-5oC and 12-15oC). While, based on kind examination analysis, the package factor give obvious difference (interaction value <0.05) at the 6th day storage. Another quality factor is pH. The parameter value will become the important factor for a food product if it is connected with product quality. The result shows that pH product is influenced by package factor at the 5 % level on the 5th, 6th, 7th, and 8th day storage. If the storage is longer, the pH value will tend to decrease. The highest value of pH will be obtained in the product which storage in the highest temperature. Significantly, pH value is influenced by the package factor at the 5 % level on the 1st, 2nd and 5th day storage. At the 1st day storage, the interaction between the temperature storage and package factor is influence the pH factor. It means, the longer period of storage, the product will tends to be acid. The best type of packaging and temperature of storage is determined by weighting technique. In this technique, all factor influenced the decision are gave a weight. The weighting factor are price, packaging, product display, distribution, and practicability. The higher rank obtained from this technique, the best package for the product. The technique resulted that the CPET is the best packaging to package the Torbangun leaf soup. The other alternatives are glass as the second best, and LDPE as the third best. The combination of the best type of packaging and the optimal temperature will minimize the damage of this product. The best combination for this Torbangun leaf soup is CPET package on the cold storage (3-5oC).
KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN SOP DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour) SEBAGAI MAKANAN TAMBAHAN PELANCAR PRODUKSI AIR SUSU IBU (ASI)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh: NUR FAIZAH FITRIAH F 34103053
2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAJIAN PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN SOP DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour)
SEBAGAI MAKANAN TAMBAHAN PELANCAR PRODUKSI AIR SUSU IBU (ASI)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh: NUR FAIZAH FITRIAH F34103053
Tanggal Lulus Bogor, 27 April 2007 Menyetujui, Dosen Pembimbing I
Ir. Endang Warsiki, MT, Ph. D
Dosen Pembimbing II
Drh.M.Rizal M.Damanik, M.Rep.Sc, Ph.D
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di Purwokerto pada tanggal 19 Juni 1985 dengan nama lengkap Nur Faizah Fitriah. Penulis adalah anak keempat dari empat bersaudara dari keluarga Bapak H.A. Gani Ibrahim dan Ibu Udji Prihati. Penulis mengawali jenjang pendidikannya di TK Aisyiyah XI Purwokerto pada tahun 1989-1991 dan menempuh pendidikan dasar di SDN Purwokerto Selatan 02 pada tahun 1991-1997, dilanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan di SLTPN 1 Purwokerto pada tahun 1997-2000 serta SMUN 2 Purwokerto pada tahun 2000-2003. Penulis lulus seleksi masuk IPB pada tahun 2003 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian - Institut Pertanian Bogor (Fateta - IPB), dengan nomor induk F34103053. Di bangku perkuliahan, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan akademik dan non akademik, diantaranya menjadi asisten praktikum mata kuliah Pengemasan dan Penyimpanan I, serta aktif dalam kepengurusan Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) periode 2004-2005. Dalam periode kepengurusan tersebut, penulis aktif dalam berbagai kepanitian serta menjabat sebagai staff Biro Minat dan Bakat, Departemen Human Resources Development (HRD). Penulis melakukan Praktek Lapang dengan topik “Studi Mengenai Aspek Pengemasan dan Penyimpanan Produk di PT. Sweet Candy Indonesia (Studi Kasus Penggunaan Kemasan Varnish-Non Varnish pada Dragee)” pada tahun 2006. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan tema “Kajian Pengemasan dan Penyimpanan Sop daun Torbangun sebagai Makanan Tambahan Pelancar Produksi Air Susu Ibu” di bawah bimbingan Dr.Ir. Endang Warsiki, MT dan Drh. M Rizal M. Damanik M. Rep.Sc. PhD.
Nur Faizah Fitriah (F34103053) Kajian Pengemasan Sop Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Sebagai Makanan Tambahan Pelancar Produksi Air Susu Ibu (ASI). Di bawah bimbingan Dr. Ir Endang Warsiki, MT dan Drh. M. Rizal M. Damanik M.Rep. Sc. P.hD.
RINGKASAN Kaum ibu di Indonesia mengenal beberapa jenis tanaman yang dipercaya dapat menambah produksi ASI (laktagogum) seperti daun katuk dan daun pepaya. Torbangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan salah satu tanaman obat yang dipercaya masyarakat suku Batak untuk menambah produksi Air Susu Ibu (ASI) serta memulihkan tenaga pasca melahirkan. Sop daun Torbangun umumnya dikonsumsi dalam bentuk sop bersantan. Produk ini sangat prospektif untuk dipasarkan, namun kandungan santan pada sop daun Torbangun menjadikan produk ini rentan terhadap kerusakan seperti ketengikan dan kerusakan mikrobiologis. Oleh karena itu, dibutuhkan kajian mengenai teknik pengemasan dan penyimpanan bagi produk sop daun Torbangun. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan berbagai jenis kemasan dan kondisi penyimpanan untuk memperpanjang umur simpan sop daun Torbangun. Tujuan khusus penelitian adalah untuk memperoleh jenis kemasan terbaik untuk sop daun Torbangun, mengetahui kondisi penyimpanan yang paling sesuai untuk sop daun Torbangun serta mengetahui penurunan mutu sop daun Torbangun selama penyimpanan. Selain itu dari penelitian ini dapat diketahui umur simpan produk tanpa penambahan bahan pengawet. Penelitian ini terdiri dari 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan, dilakukan penentuan umur simpan sop daun Torbangun dan analisa proksimat awal untuk mengetahui karakteristik produk. Perlakuan dalam penelitian ini adalah jenis pengemasan dan suhu serta lama penyimpanan. Kemasan yang digunakan terdiri dari gelas, plastik LDPE dan plastik microwavable (CPET) dengan suhu penyimpanan dingin (3-5oC dan 1215oC) dan suhu ruang (27-30oC). Sop daun Torbangun disimpan selama 8 hari untuk penyimpanan suhu dingin dan 2 hari untuk penyimpanan suhu ruang berdasarkan hasil dari penelitian pendahuluan. Penelitian utama dilakukan sebanyak 2 kali ulangan. Analisis mutu yang dilakukan meliputi pengujian ketengikan (Bilangan Thiobarbituric Acid), uji mikrobiologi (Total Plate Count), derajat keasaman (pH) dan Total Asam Tertitrasi (TAT). Sebelum penyimpanan, dilakukan analisa untuk mengetahui perubahan yang terjadi selama penyimpanan. Hasil analisa proksimat menunjukkan bahwa sop daun Torbangun memiliki kadar lemak yang cukup tinggi yaitu memiliki kadar air sebesar 84,43235 %, kadar karbohidrat sebesar 7,6683%, kadar protein sebesar 3,83975%, kadar lemak sebesar 3,1591, dan kadar abu sebesar 0,90055%. Nilai ketengikan sop selama penyimpanan dengan berbagai jenis kemasan dapat dilihat melalui pengujian bilangan Thiobarbituric Acid (TBA). Hasil analisis ragam terhadap bilangan TBA menunjukkan bahwa bilangan TBA sop daun Torbangun dipengaruhi secara nyata oleh faktor suhu pada taraf 5 % pada hari kedua. Penyimpanan pada suhu 3-5oC tidak berbeda nyata dengan suhu 1215oC. Nilai bilangan TBA pada kedua suhu ini cenderung lebih rendah
dibandingkan suhu yang lebih tinggi yaitu pada suhu 27-30oC. Semakin lama disimpan, nilai rata-rata TBA cenderung semakin meningkat. Uji bilangan TBA ini tidak berpengaruh nyata untuk faktor kemasan yang digunakan pada taraf 5%. Berdasarkan hasil analisis ragam, faktor kemasan memberikan pengaruh nyata pada taraf 5 % terhadap nilai TPC di hari ketiga, keempat, ketujuh dan kedelapan. Nilai TPC yang tinggi ditunjukkan oleh kemasan LDPE, kemudian diikuti oleh kemasan microwavable plastic (CPET) dan kemudian kemasan gelas. Faktor suhu juga memberikan pengaruh yang nyata untuk taraf 5 % pada penyimpanan di hari pertama, kedua, ketiga, keempat, ketujuh, dan kedelapan. Peningkatan suhu akan meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme. Pada penyimpanan suhu kamar terlihat pertumbuhan mikroba yang sangat pesat pada semua jenis kemasan. Pada hari ketiga, interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan juga memberikan pengaruh yang nyata pada taraf 5%. Nilai pH menjadi faktor penting untuk suatu produk makanan bila dihubungkan dengan kualitas produk. Nilai pH produk tersebut dipengaruhi oleh faktor kemasan untuk taraf 5 % pada penyimpanan di hari kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan. Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa di hari pertama, kedua dan kelima, nilai pH dipengaruhi oleh faktor suhu pada taraf 5 %. pH yang semakin asam dihasilkan oleh suhu yang semakin tinggi. Pada hari pertama, interaksi antara suhu dan jenis kemasan juga mempengaruhi nilai pH produk pada taraf 5 %. Perhitungan nilai TAT dapat digunakan untuk mengetahui tingkat keasaman atau kandungan asam suatu produk. Semakin lama penyimpanan, nilai TAT semakin meningkat, dan suhu ruang cenderung menunjukkan nilai TAT yang meningkat secara drastis pada penyimpanan selama 2 hari. Setelah hari ketiga, rata-rata nilai TAT yang lebih rendah ditunjukkan oleh produk yang disimpan pada suhu 3-5oC. Pada suhu ruang, nilai TAT cenderung meningkat dengan cepat dibandingkan pada suhu dingin (3-5oC dan 12-15oC). Berdasarkan hasil analisis ragam, faktor kemasan memberikan perbedaan yang nyata pada penyimpanan di hari keenam untuk taraf 5 %. Pengambilan keputusan untuk mendapatkan alternatif kemasan terbaik dilakukan dengan metode pembobotan. Metode ini melibatkan faktor harga, kemudahan dalam proses pengemasan, tampilan produk setelah dikemas, kemudahan dalam proses distribusi, serta kepraktisan konsumen. Berdasarkan pembobotan dari faktor-faktor tersebut, kemasan CPET menunjukkan bobot tertinggi, sehingga kemasan ini merupakan kemasan terbaik bagi produk. Alternatif kemasan yang lain yaitu kemasan gelas yang menunjukkan bobot menengah dan kemasan LDPE yang memiliki bobot terendah. Kombinasi antara kemasan yang baik dan suhu optimal dapat meminimalisasi tingkat kerusakan produk. Kombinasi antara kemasan dan kondisi penyimpanan terbaik untuk sop daun Torbangun ini adalah kemasan CPET pada suhu penyimpanan dingin 3-5˚C. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai umur simpan produk ini dengan mempertimbangkan penggunaan bahan pengawet atau antioksidan, serta perhitungan tingkat migrasi kemasan terhadap produk. Selain itu, perlu dikaji penggunaan kemasan berwarna untuk mengurangi tingkat oksidasi lemak pada produk.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Kajian Pengemasan Sop Daun Torbangun Sebagai Pelancar Air Susu Ibu (ASI). Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Endang Warsiki, MT dan Drh. M. Rizal M. Damanik M.Rep.Sc. Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan dorongan, arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulis. 2. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA sebagai dosen penguji yang banyak memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis. 3. Ibu Evy Damayanti, yang telah memberikan kesempatan dan banyak masukan kepada penulis. 4. Kedua orangtua tercinta, serta kakak dan keponakan-keponakan tersayang atas dukungan moril dan materiil. 5. Mas Sugeng Supriadi, atas segala bantuan, dorongan, dukungan, kasih sayang dan perhatian yang diberikan kepada penulis. 6. Keluarga baruku, Bapak Soenaryo sekeluarga, terimakasih atas dukungan, perhatian, dan dorongan semangatnya sehingga semuanya dapat berjalan sesuai rencana. 7. Devinanda Pricy DR C29, Veny dan Viranda Talitha, kalian sahabatsahabat terbaik yang pernah kumiliki. 8. Pak Mashudi, Pak Sugiardi, Bu Ega, Bu Rini, Pak Gun, Pak Edi dan seluruh laboran di laboratorium Teknologi Industri Pertanian, atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian 9. Mas Deny Best, Tim Torbangun GM (Kak Deny, Devi, Betsy), Mas Adi, Imam, Yuvi, Caycay, Adit, Fardian, Jeng Wid, Dita, Furi, Farah, tanpa bantuan dan dorongan dari kalian, skripsi ini tidak akan sampai di meja sidang.
iii
10. Rekan-rekan seperjuangan selama penelitian, Kosi, Marsu, Dika, Yandra, Mas Anto, Mas Tarwin, Mbak Vivi, Mbak Kurmey, Kak Dojay, Mbak MU, Mbak Evi, Kak Arban atas segala bantuan dan kebersamaan yang menyenangkan. 11. Derry Dardanella dan Windi Rismawati, rekan satu bimbingan yang selalu memberikan semangat dan dukungan selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 12. Rekan-rekan TIN40 atas dorongan semangat, persahabatan indah dan persaudaraan yang manis dalam meniti langkah selama studi. 13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala bantuan dan dukungannya sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian hingga tersusunnya skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Bogor, April 2007
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Hal Kata Pengantar................................................................................................
iii
Daftar Tabel....................................................................................................
vii
Daftar Gambar................................................................................................. viii Daftar Lampiran..............................................................................................
ix
I. PENDAHULUAN………………………………………........................
1
Latar Belakang………………………………………………............
1
Tujuan……………………………………………………………….
2
II. TINJAUAN PUSTAKA………………...……………………………...
3
2.1
Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour)……………………….
3
2.1.1. Deskripsi botani………………………………………………
3
2.1.2. Komposisi zat gizi daun torbangun..........................................
4
2.1.3. Pemanfaatan daun torbangun…………………………………
5
2.2. Santan…………………......................................................................
6
2.3. Pengemasan …………...………................................……………….
6
2.3.1. Kemasan gelas...........................................................................
8
2.3.2. Kemasan plastik.........................................................................
10
2.4. Kerusakan Selama Penyimpanan.........................................................
13
2.4.1. Kerusakan bahan pangan...........................................................
13
2.4.2. Uji kerusakan pangan................................................................
17
2.5. Penyimpanan........................................................................................
19
2.5.1. Kondisi penyimpanan................................................................
19
2.5.2. Umur simpan..............................................................................
21
III. METODOLOGI………………......…………………………………...
23
3.1. Bahan dan Alat ………………………………………….....................
23
3.2. Metode Penelitian.........………………………………………………
23
3.2.1. Penelitian pendahuluan...............................................................
23
3.2.2. Penelitian utama ……………………………………..........…...
25
3.3. Analisa Mutu.........................................................................................
26
v
3.4. Pengolahan dan Analisis Data……………………………………......
27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...............................................................
28
4.1. Analisa mutu............................................................................................
29
4.1.1. Uji Ketengikan (Bilangan Thiobarbituric Acid)................................
29
4.1.2. Uji Mikrobiologi (TPC).....................................................................
33
4.1.3. Derajat asam (pH)..............................................................................
38
4.1.4. Total Asam Tertitrasi (TAT)………………………………….........
41
4.2. Pemilihan Jenis Kemasan Terbaik...........................................................
43
VI. KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................
47
6.1. Kesimpulan..............................................................................................
47
6.2. Saran........................................................................................................
48
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
49
LAMPIRAN..................................................................................................
53
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Komposisi zat gizi daun Torbangun dan Katu..................................
Hal 5
Tabel 2.
Perbandingan sifat-sifat utama bahan kemasan................................
8
Tabel 3.
Perbandingan sifat bahan kemasan microwavable............................ 13
Tabel 4.
Hasil analisa proksimat produk sop daun Torbangun.......................
28
Tabel 5.
Pembobotan faktor mutu produk (TBA, TAT, TPC dan pH)...........
46
Tabel 6.
Total pembobotan untuk faktor mutu produk (TAT, TBA, TPC,
46
pH)..................................................................................................... Tabel 7.
Total pembobotan untuk pemilihan kemasan terbaik bagi produk
47
sop daun Torbangun...................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR
Hal Gambar 1. Coleus amboinicus Lour................................................................. 3 Gambar 2. Sop dalam kemasan........................................................................
11
Gambar 3. Reaksi pembentukan malonaldehida..............................................
18
Gambar 4. Diagram alir pembuatan sop daun Torbangun...............................
24
Gambar 5. Diagram alir penelitian pendahuluan.............................................
25
Gambar 6. Diagram alir penelitian utama........................................................
26
Gambar 7. Grafik uji bilangan TBA (mg/kg malonaldehide)..........................
30
Gambar 8. Grafik pengaruh suhu terhadap nilai bilangan TBA......................
31
Gambar 9. Grafik hasil uji mikrobiologi (Total Plate Count)……………….. 34 Gambar 10. Grafik interaksi jenis kemasan dan suhu terhadap nilai TPC....... 35 Gambar 11. Grafik hasil uji derajat keasaman (pH)......................................... 39 Gambar 12. Grafik interaksi jenis kemasan dan suhu terhadap nilai pH.........
40
Gambar 13. Grafik hasil uji Total Asam Tertitrasi (ml NaOH 0,1N/100gr).... 42 Gambar 14. Grafik pengaruh jenis kemasan terhadap nilai TAT....................
43
Gambar 15. Diagram alir langkah pembobotan faktor perlindungan mutu
45
produk...........................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Hal Lampiran 1. Sketsa wadah gelas dan dimensinya......................................... 53 Lampiran 2.a.Prosedur Analisa Total Asam Tertitrasi.................................... 54 Lampiran 2.b.Prosedur Analisa pH................................................................. 54 Lampiran 2.c.Prosedur Analisa Total Plate Count.......................................... 54 Lampiran 2.d.Analisa Thiobarbituric Acid (TBA).........................................
55
Lampiran 3.a.Data hasil uji pH kemasan gelas pada tiga suhu penyimpanan
56
Lampiran 3.b.Data hasil uji pH kemasan LDPE pada tiga suhu
56
penyimpanan………………………………………………..... Lampiran 3.c.Data hasil uji pH kemasan Microwavable plastic pada tiga
56
suhu penyimpanan..................................................................... Lampiran 4.a.Data hasil uji mikrobiologi (TPC) kemasan gelas pada tiga
57
suhu penyimpanan..................................................................... Lampiran 4.b.Data hasil uji mikrobiologi (TPC) kemasan LDPE pada tiga
57
suhu penyimpanan..................................................................... Lampiran 4.c.Data hasil uji mikrobiologi (TPC) kemasan microwavable
58
plastic pada tiga suhu penyimpanan.......................................... Lampiran 5.a.Data hasil uji TBA kemasan gelas pada tiga suhu
59
penyimpanan............................................................................. Lampiran 5.b.Data hasil uji TBA kemasan LDPE pada tiga suhu
60
penyimpanan............................................................................. Lampiran 5.c.Data hasil uji TBA kemasan Microwavable pada tiga suhu
61
penyimpanan…………………………………………………. Lampiran 6.a.Data hasil uji TAT kemasan gelas pada tiga suhu
62
penyimpanan............................................................................. Lampiran 6.b.Data hasil uji TAT kemasan LDPE pada tiga suhu
63
penyimpanan............................................................................. Lampiran 6.c.Data hasil uji TAT kemasan Microwavable pada tiga suhu
64
penyimpanan............................................................................. Lampiran 7. Analisis ragam parameter pH hari ke-1……………………….. 65
ix
Lampiran 8. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-1 (faktor
65
suhu).......……........................................................................... Lampiran 9. Analisis ragam parameter pH hari ke-2……………………….. 65 Lampiran 10. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-2 (faktor suhu) 65 Lampiran 11. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-3...........................
66
Lampiran 12. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-4...........................
66
Lampiran 13. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-5...........................
66
Lampiran 14. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-5 (faktor
67
kemasan)……………………………………………………… Lampiran 15. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-6...........................
67
Lampiran 16. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-6 (faktor
67
kemasan).................................................................................... Lampiran 17. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-7...........................
67
Lampiran 18. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-7 (faktor
68
kemasan).................................................................................... Lampiran 19. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-8...........................
68
Lampiran 20. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-8 (faktor
68
kemasan).................................................................................... Lampiran 21. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-1......................... 69 Lampiran 22. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-1 (faktor
69
suhu)………………………………………………………….. Lampiran 23. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-2......................... 69 Lampiran 24. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-2 (faktor
70
suhu)………………………………………………………….. Lampiran 25. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-3......................... 70 Lampiran 26. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-3 (faktor
70
suhu)………………………………………………………….. Lampiran 27. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-3 (faktor
71
kemasan)……………………………………………………… Lampiran 28. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-4......................... 71 Lampiran 29. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-4 (faktor
71
kemasan)....................................................................................
x
Lampiran 30. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-5......................... 72 Lampiran 31. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-6......................... 72 Lampiran 32. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-7......................... 73 Lampiran 33. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-7 (faktor
73
kemasan).................................................................................... Lampiran 34. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-7......................... 73 Lampiran 35. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-8 (faktor
74
kemasan).................................................................................... Lampiran 36. Analisis ragam parameter TAT pada hari ke-2........................
74
Lampiran 37. Analisis ragam parameter TAT pada hari ke-4........................
74
Lampiran 38. Analisis ragam parameter TAT pada hari ke-6........................
75
Lampiran 39. Uji Lanjut Duncan parameter TAT pada hari ke-6 (faktor
75
kemasan).................................................................................... Lampiran 40. Analisis ragam parameter TAT pada hari ke-8........................
75
Lampiran 41. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-2........................
75
Lampiran 42. Uji Lanjut Duncan parameter TBA pada hari ke-2 (faktor
76
suhu)………………………………………………………….. Lampiran 43. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-4........................
76
Lampiran 44. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-6........................
76
Lampiran 45. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-8........................
76
Lampiran 46. Data uji visual produk sop daun Torbangun pada suhu 27-
77
30oC........................................................................................... Lampiran 47. Data uji visual produk sop daun Torbangun pada suhu 10-
78
12oC........................................................................................... Lampiran 48. Data uji visual produk sop daun Torbangun pada suhu 3-5oC.
79
Lampiran 49. Gambar sop daun Torbangun dalam kemasan gelas…………
80
Lampiran 50. Gambar sop daun Torbangun dalam kemasan LDPE............... 80 Lampiran 51. Gambar sop daun Torbangun dalam kemasan CPET………... 80
xi
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kaum ibu di Indonesia mengenal berbagai macam tanaman yang dipercaya mampu meningkatkan produksi ASI, atau yang disebut pula laktagogum, seperti daun katu dan daun pepaya. Torbangun (Coleus amboinicus Lour) adalah salah satu jenis tanaman obat yang banyak dikonsumsi oleh wanita suku Batak di Propinsi Sumatera Utara yang sedang menyusui. Wanita Batak memiliki tradisi dan kepercayaaan bahwa mengkonsumsi daun tanaman ini selama periode menyusui akan meningkatkan produksi air susu mereka. Tradisi ini telah berjalan sejak ratusan tahun yang lalu dan sampai sekarang masih terus dipraktekkan (Damanik et al., 2001). Silitonga (1993) telah membuktikan bahwa daun Torbangun berpengaruh terhadap peningkatan produksi air susu induk tikus dan pertambahan pertumbuhan anaknya. Damanik (2005) telah membuktikan hal yang sama pada manusia (ibu menyusui). Dalam penelitiannya, Damanik (2005) menyatakan bahwa konsumsi daun Torbangun berpengaruh nyata terhadap peningkatan kadar beberapa mineral seperti zat besi, kalium, seng dan magnesium dalam ASI serta mengakibatkan peningkatan berat badan bayi secara nyata. Daun Torbangun umumnya dikonsumsi dalam bentuk sayur sop. Resep sayur daun Torbangun yang umum dikenal oleh masyarakat suku Batak adalah sayur dibuat dengan menggunakan santan, dimana dalam proses pengolahan makanan tersebut terjadi perubahan-perubahan fisik maupun kimiawi yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki. Kandungan santan yang terdapat pada produk tersebut menjadikan sop daun Torbangun berlemak yang rentan terhadap proses oksidasi dan ketengikan. Hal ini mengakibatkan sop tidak stabil dan mengalami penurunan mutu. Oleh karena itu, produk perlu dikemas. Jenis kemasan yang dapat digunakan untuk makanan berlemak adalah wadah gelas, kertas, plastik dan kaleng (Ketaren, 1986). Pemilihan jenis kemasan yang tepat dan kondisi penyimpanan yang sesuai akan memperpanjang masa simpan sop dan nilai gizi bahan dapat dipertahankan.
1
Kemasan merupakan wadah yang digunakan untuk tempat bahan atau produk yang dikemas. Kemasan dapat memberikan perlindungan sesuai dengan tujuannya. Kemasan dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan terkemas dari pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan dan getaran. Dari segi promosi, kemasan berfungsi sebagai perangsang atau daya tarik pembeli. Apabila diproses dan dikemas dengan tepat, bahan pangan olahan seperti sop daun Torbangun akan stabil untuk jangka waktu yang lebih lama. Penentuan umur simpan ini dibatasi oleh perubahan fisika dan kimiawi yang diakibatkan oleh interaksi antara pangan, kemasan dan kondisi penyimpanan. Penurunan mutu dan interaksi yang tidak menguntungkan perlu diminimalisasi. Sebagai makanan olahan baru yang berprospek untuk dipasarkan, diperlukan kajian yang menyeluruh tentang penerapan pengemasan terhadap perubahan mutu produk. Penelitian ini dirancang untuk mendapatkan bahan kemasan dan kondisi penyimpanan yang memberikan umur simpan sop daun Torbangun terlama dengan mutu terbaik. 1.2. Tujuan Tujuan umum dari diadakannya penelitian ini adalah untuk mengkaji penerapan
berbagai
jenis
kemasan
dan
kondisi
penyimpanan
untuk
memperpanjang umur simpan sop daun Torbangun. Tujuan khusus penelitian adalah sebagai berikut : (i)
memperoleh jenis kemasan terbaik untuk sop daun Torbangun
(ii)
mengetahui kondisi penyimpanan yang paling sesuai untuk sop daun Torbangun
(iii) mengetahui penurunan mutu sop daun Torbangun selama penyimpanan (iv) mengetahui umur simpan sop daun Torbangun tanpa bahan pengawet
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Daun Torbangun masuk ke dalam bangsa solanases, suku labiatae, dan marga coleus. Daun ini mempunyai nama yang berbeda pada beberapa daerah, yaitu Ajeran atau Ajiran (Sunda), daun Kucing (Jawa), Torbangun (Batak), Sukan (Melayu), daun Kambing (Madura), Iwak (Bali), dan Kunu etu (Timor) (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Nama latin tumbuhan ini adalah Coleus aromaticus Lour atau Plectranthus amboinicus Lour (Gambar 1). Klasifikasi daun Torbangun adalah sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Solanales
Suku
: Labiatae
Marga
: Coleus
Jenis
: Coleus amboinicus Lour.
Gambar 1. Coleus amboinicus Lour 2.1.1. Deskripsi botani Torbangun merupakan terna sekuler tahunan atau agak menyerupai semak. Tanaman ini tidak berumbi, percabangan agak berbentuk galah, berbulu halus pada saat muda, lokos jika tua. Daun tanaman ini berhadapan, tunggal, tebal,
3
berdaging, bundar telur melebar, agak bundar atau berbentuk seperti jantung, dengan luas 5-7 x 4-6 cm2. Permukaan daun atas berbulu halus tersebar dan pada bagian pertulangannya daun berambut panjang, tepi daun beringgit kasat sampai bergigi kecuali pada bagian pangkal. Panjang tangkai daun 2-45 cm dan berbulu halus. Rangkaian bunga terdiri atas 10-20 bunga yang tersusun rapat dalam suatu gelungan menyerupai bulir, panjang rakis 10-20 cm, berdaging dan berbulu halus. Daun pelindung bulat telur, melebar, panjang 3-4 cm dengan ujung meruncing. Daun kelopak berbentuk lonceng, panjang 2-4 mm, berbulu panjang dan berkelenjar, berukuran tidak sama, bergigi 5; gigi atas bundar telur melebar, tumpul; gigi lateral dan bawah meruncing. Daun mahkota biru, melengkung, panjang 8-12 mm, panjang tabung 3-4 mm, menyerupai terompet, labium atas pendek, tegak, berbulu sangat halus, labium bawah panjang, cekung. Tangkai sari bersatu di bagian bawah membentuk tabung, mengelilingi putik. Berbiji satu coklat pucat, permukaannya licin, agak bulat, pipih 0,7 x 0,5 mm2 (Siagian dan Rahayu, 2000). 2.1.2. Komposisi zat gizi daun torbangun Daun Torbangun berpotensi sebagai bahan pangan sumber zat besi, provitamin A (karoten), dan kalsium. Dalam 100 gram bahan, daun Torbangun mengandung kalsium sebesar 279 mg, besi sebesar 13,6 mg, dan karoten total sebesar 13288 mkg. Nilai ketiga jenis zat gizi ini lebih besar bila dibandingkan dengan daun katu (Sauropus androgynus). Daun katu juga merupakan jenis tanaman yang daunnya digunakan sebagai pelancar produksi Air Susu Ibu (ASI). Daun katu hanya mengandung kalsium sebesar 233 mg, besi sebesar 3,5 mg, dan karoten total sebesar 10020 mkg. (Mahmud, et al., 1995). Komposisi zat gizi daun Torbangun dan katu selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Daun Torbangun mengandung saponin, flavonoida dan polifenol, disamping minyak atsiri. Kandungan zat aktif dalam tanaman ini antara lain barbatusin, barbatusol (pada daun), koleol, forskolin (pada umbi-akar), dan phytosterol. Khasiat forskolin bahkan bisa sebagai tonikum jantung, merangsang ereksi, dan aktivator enzim adenilat-siklase. Sementara itu, phutosterol bersifat steroid.
4
Tabel 1. Komposisi zat gizi daun Torbangun dan Katu Zat Gizi
Komposisi Torbangun
Energi (kal)
Katu
27,0
59,0
Protein (g)
1,3
6,4
Lemak (g)
0,6
1,0
Karbohidrat (g)
4,0
9,9
Serat (g)
1,0
1,5
Abu (g)
1,6
1,7
279,0
233,0
Fosfor (mg)
40,0
98,0
Besi (mg)
13,6
3,5
13288,0
10020,0
Vitamin A
0,0
0,0
Vitamin B1
0,16
0,0
Vitamin C
5,1
164,0
Air
92,5
81,0
BDD
66,0
42,0
Kalsium (mg)
Karotin total (mkg)
Sumber : Mahmud, et al. (1995) 2.1.3. Pemanfaatan daun torbangun Dari hasil penelitian diketahui bahwa tanaman Torbangun di Batak Simalungun dan Toba digunakan sebagai bahan pangan untuk pemulihan tenaga dan untuk memperbanyak Air Susu Ibu (ASI), sebagai bahan obat tradisional untuk penyembuhan berbagai jenis penyakit seperti sariawan, demam, sakit kepala, influenza, dan rheumatik (Damanik et al., 2001; Siagian dan Rahayu, 2000). Berdasarkan penelitian Silitonga (1993), selain meningkatkan produksi air susu induk tikus, ternyata konsumsi daun Torbangun dapat berakibat pada peningkatan bobot badan anak tikus. Hasil penelitian Damanik (2005) menyebutkan bahwa konsumsi daun Torbangun pada ibu menyusui dapat meningkatkan total volume ASI dan kandungan beberapa mineral dalam ASI seperti besi, kalium, seng, dan magnesium secara signifikan jika dibandingkan
5
dengan kelompok kontrol yang mengkonsumsi tablet Fenugreek maupun kapsul Moloco+B12. 2.2. Santan Salah satu komponen yang terdapat dalam sop daun Torbangun ini adalah santan. Santan adalah emulsi dari lemak, protein dan karbohidrat dalam air (Somaatmaja, et.al., 1973). Santan merupakan produk pangan yang mengandung kadar air, protein, dan lemak yang cukup tinggi sehingga mudah ditumbuhi oleh mikroorganisme pembusuk dan menjadi mudah rusak. Sementara itu, upaya pembuatan santan awet dilakukan dengan proses pemanasan suhu sterilisasi yang dapat menimbulkan beberapa kerusakan mutu produk. Kerusakan tersebut antara lain pecahnya emulsi santan, timbulnya aroma tengik, dan perubahan warna menjadi lebih gelap (agak coklat). Santan merupakan salah satu produk pangan berlemak tinggi. Menurut Ketaren (1986), kerusakan bahan pangan berlemak yang sering terjadi adalah kerusakan lemak pada proses pengolahan maupun saat penyimpanan. Kerusakan lemak yang utama adalah ketengikan, yaitu terjadinya perubahan bau dan flavor. Winarno (1986) menyatakan kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebabkan oleh auto oksidasi radikal asam lemak tak jenuh dalam lemak. Auto oksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi. Ketaren (1986) menyatakan bahwa ketengikan juga dapat terjadi akibat hidrolisa lemak yang kemudian menghasilkan komponen zat berbau tengik yang mengandung asam lemak jenuh rantai pendek. 2.3. Pengemasan Pengemasan bertujuan untuk mencegah kebusukan, memudahkan dalam transportasi, penyimpanan, pengawasan mutu dan membuat produk menjadi lebih menarik (Zaitsev, et al., 1969). Jenis kemasan yang dapat digunakan untuk makanan berlemak adalah wadah gelas, kertas, plastik dan kaleng (Ketaren, 1986).
Beberapa
persyaratan
untuk
kemasan
makanan
yang
perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut : permeabilitas terhadap udara, tidak
6
dapat menyebabkan penyimpangan warna produk, tidak bereaksi sehingga tidak merusak bahan maupun cita rasanya, tidak mudah teroksidasi atau bocor, tahan panas, mudah dikerjakan dan harganya murah (Winarno dan Jenie, 1983). Kemasan adalah wadah yang berfungsi sebagai pelindung produk, yang telah dilengkapi dengan tulisan, label dan keterangan-keterangan sebagai sarana informasi, komunikasi dan promosi serta sarana yang memberikan kemudahan bagi produsen dan konsumen (Reksohadinoto, 1991). Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 1996 (7/1996) tentang Pangan, bab Ketentuan Umum Pasal 1 no.10, disebutkan bahwa kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak. Kerusakan yang terjadi dalam bahan pangan dapat terjadi secara spontan dan hal ini sering disebabkan oleh pengaruh keadaan dari luar. Pengemasan juga digunakan untuk membatasi antara bahan pangan dengan keadaan sekelilingnya untuk menunda proses kerusakan dalam jangka waktu tertentu (Buckle et al., 1987). Menurut Syarief dan Irawati (1983), pengemasan pada umumnya bertujuan untuk menghindari kerusakan yang disebabkan oleh mikroba, fisik, kimia, biokimia, perpindahan uap air dan gas, sinar UV dan perubahan suhu. Pengemasan sebagai bagian integral dari proses produksi dan pengawetan bahan pangan dapat juga mempengaruhi mutu produk antara lain perubahan fisik dan kimia karena migrasi zat-zat kimia dari bahan kemasan. Selain itu juga perubahan aroma, warna, dan tekstur yang dipengaruhi uap air dan oksigen (Syarief et al., 1989). Secara khusus, untuk jenis makanan berminyak keterlibatan uap air akan menyebabkan proses hidrolisa pada minyak menjadi asam lemak bebas dan gliserol yang akan menimbulkan ketengikan produk. Sedangkan adanya gas (oksigen) menyebabkan terjadinya proses oksidasi minyak/lemak, sehingga terbentuk peroksida dan hidroperoksida. Tahap selanjutnya adalah terurainya asam-asam lemak disertai konversi hidroperoksida menjadi aldehida dan keton serta asam-asam lemak bebas. Ketengikan disebabkan oleh aldehida dan bukan oleh peroksida. Tabel 2 menunjukkan perbandingan sifat-sifat dari bahan kemasan.
7
Tabel 2. Perbandingan sifat-sifat utama bahan kemasan Jenis material
Densitas (gm/cc)
Plastik
0.88-1.7
Kekuatan Kekakuan (1000 (1000 2 kg/cm2) kg/cm ) 0.07-1.0 0.7-42
UTL* (oC)
Transmisi Cahaya/warna
80-250
Transparan-Opaque
Steel
7.80
1.40-3.5
1800
400
Opaque
Alumunium
2.70
0.70-2.1
700
260
Opaque
0.07-0.7
7.0-32
160
Translucent-Opaque
0.14-1.4
700
400
Transparan-Opaque
Yertas Gelas
0.70-1.2 2.50
*UTL = Upper use temperature limit (limit suhu maksimal) Sumber : Brown, 1992 Peterson (1969) menyatakan bahwa kondisi vakum dalam kemasan dapat dibuat dengan cara pemindahan mekanis udara dari produk. Teknik ini dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu menggunakan alat vaccum sealer, menyapu uap air keluar dari headspace dengan penyemprotan steam serta secara manual. Teknik manual adalah pengisian produk ke dalam kemasan dengan suhu awal yang tinggi dan segera dikelim pada headspace tertentu. Kondisi vakum/hampa udara terbentuk karena sewaktu pemanasan molekul-molekul produk berkontraksi melepas molekul udara dan pada proses pendinginan terjadi pemindahan molekul udara dalam headspace dengan uap air yang segera mengalami kondensasi. Semakin tinggi suhu produk yang diisikan dalam kemasan, semakin tinggi kondisi vakum yang terbentuk. Semakin besar headspace dalam kemasan maka kondisi vakum kemasan akan menurun. Oleh karena itu dilakukan pengisian produk pada suhu awal yang optimum dengan headspace minimum untuk menghasilkan kondisi vakum secara manual dengan baik (Peterson, 1969). 2.3.1. Kemasan Gelas Gelas merupakan salah satu bentuk kemasan tertua yang banyak digunakan sebagai pengemas produk pangan. Sebagai bahan kemasan, gelas mempunyai berbagai sifat yang menguntungkan, seperti sifatnya yang kedap terhadap gas sehingga bahan kemasan gelas cocok untuk mengemas minuman karbonat, barier yang baik terhadap benda padat, cair dan gas yang dapat berfungsi sebagai pelindung terhadap kontaminasi bau dan cita rasa, serta mempunyai sifat tidak
8
bereaksi (inert) sehingga produk dalam kemasan gelas dapat lebih awet dan tidak mengalami
perubahan cita rasa. Selain
memiliki berbagai sifat yang
menguntungkan, kemasan gelas juga mempunyai beberapa kelemahan, seperti sifatnya yang mudah pecah dan sifatnya yang kurang baik bagi produk- produk yang peka terhadap penyinaran (ultraviolet). Permeabilitas gas suatu kemasan merupakan kemampuan gas tersebut untuk melewatkan suatu gas misalnya oksigen, karbondioksida dan nitrogen. Oksigen merupakan faktor pemicu terjadinya reaksi oksidasi karena oksigen akan bereaksi dengan lipid tidak jenuh pada bahan pangan berlemak yang ada dalam kemasan. Reaksi oksidasi tersebut akan menyebabkan terjadinya ketengikan yang akan mempengaruhi umur simpan bahan pangan. Menurut Syarief et al.,(1989) kemasan gelas kedap terhadap semua gas. Jenis penutup pada kemasan gelas yang dipakai adalah plastik HDPE yang memiliki permeabilitas gas oksigen sebesar 11 {(cm3/cm2/mm/dt/cmHg) × 1010} Faktor yang cukup menentukan dalam pengemasan botol adalah adanya ruang udara. Ruang kosong (head space) harus disediakan pada saat setiap botol diisikan dengan suatu bahan. Ruang udara ini diberikan untuk mengantisipasi terjadinya pemuaian bahan akibat peningkatan suhu karena proses sterilisasi. Ukuran dari head space ini diusahakan tidak terlalu besar atau kecil. Bila terlalu besar maka dapat mengakibatkan akumulasi udara pada ujung botol dan bila terlalu kecil maka tutup dan ujung botol dapat pecah (Winarno dan Laksmi, 1974). Besarnya head space yang digunakan tergantung dari bahan yang dikemas. Pada umumnya berkisar antara 3%-5%. Namun untuk produk-produk yang menghasilkan gas seperti peroksida dan hipoklorit digunakan head space sebesar 10% (Adcock, 1997). Kemasan gelas dapat digunakan untuk jenis bahan berasam rendah ataupun berasam tinggi, sehingga cocok digunakan untuk mengemas sayuran. Perbedaan suhu di dalam dan di luar kemasan tidak boleh lebih dari 27oC. Oleh karena itu, proses pengemasan terhadap kemasan ini harus dilakukan secara perlahan-lahan untuk menghindari keretakan (Syarief et al., 1989). Gambar dan dimensi gelas dapat dilihat pada Lampiran 1. Proses penutupan merupakan bagian yang cukup penting dalam penggunaan gelas jar. Penutupan yang rapat dapat dihasilkan
9
karena konstruksi leher botol memiliki ulir dan pengunci yang dapat menahan tutup secara kuat, sedangkan tutup botol memiliki bibir pengunci yang cocok dengan leher botol tersebut (Adcock, 1997). 2.3.2. Kemasan Plastik Plastik adalah senyawa polimer dari turunan-turunan monomer hidrokarbon yang membentuk molekul-molekul dengan rantai panjang dari reaksi polimerisasi adisi atau polimerisasi kondensasi. Sifat-sifat plastik sangat tergantung jumlah molekul dan susunan atom molekul. Plastik dalam bentuk produk akhir terdiri dari polimer murni dan unsur-unsur lain seperti bahan pengisi (filler), pigmen, stabilisator, dan bahan pelunak (Harper, 1975). Penggunaan plastik sebagai bahan kemasan makanan cukup menarik karena sifat-sifatnya yang menguntungkan, seperti luwes, mudah dibentuk, mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap produk, tidak korosif seperti wadah logam, serta mudah dalam penanganannya. Di dalam perdagangan, dikenal plastik untuk kemasan pangan (food grade) dan kemasan untuk bukan pangan (non-food grade) (Syarief, 1988). Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas mempunyai keunggulan dibandingkan dengan bahan kemasan lainnya karena sifatnya yang ringan, transparan, kuat, termoplastik dan permeabilitasnya terhadap uap air, CO2, dan O2. Permeabilitas terhadap uap air dan udara tersebut menyebabkan peran plastik dalam memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan. Sifat terpenting bahan kemasan yang digunakan meliputi permeabilitas gas dan uap air, bentuk dan permukaannya. Permeabilitas uap air dan gas, serta luas permukaan kemasan mempengaruhi produk yang disimpan. Jumlah gas yang baik dan luas permukaan yang kecil menyebabkan masa simpan produk lebih lama (Winarno, 1987). Penggunaan plastik sebagai bahan kemasan dapat berupa kemas bentuk (fleksibel) atau sebagai bahan kemas baku. Makanan padat umumnya memiliki umur simpan pendek atau makanan yang tidak memiliki perlindungan yang hebat dibungkus dengan kemas bentuk. Akan tetapi, makanan cair dan makanan padat yang memerlukan perlindungan yang kuat perlu dikemas dengan wadah kaku dalam bentuk botol, jerigen, kotak atau bentuk lainnya (Syarief et al., 1989).
10
Beberapa contoh pengemasan sop yang bisa ditemukan di pasaran diantaranya terlihat pada gambar 2.
Gambar 2. Sop dalam kemasan Polietilena (PE) merupakan salah satu jenis plastik yang dibuat dengan proses polimerisasi adisi dari gas etilen yang diperoleh dari hasil samping industri arang dan minyak. Polietilena merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan dalam industri karena sifat-sifatnya yang mudah dibentuk, tahan terhadap berbagai bahan kimia, penampakannya jernih dan mudah digunakan sebagai laminasi (Syarief et al., 1989). Polietilena dapat dibedakan dari polimer lain berdasarkan karakteristik berat molekul dan titik leleh. Polietilena adalah polimer kristalin, maka hanya dapat larut pada suhu tinggi. Kristalinitas polietilena merupakan fungsi dari jumlah cabang dalam polimer tersebut. Bila jumlah cabang banyak, maka struktur ketidakteraturan besar, sehingga kristalinitasnya rendah (Harimurti dan Basri, 1992). PE diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu High Density Poliethylene (HDPE), Low Density Poliethylene (LDPE) dan Linear Low Density Poliethylene (LLDPE). Plastik LDPE baik terhadap daya rentang, kekuatan retak, ketahanan putus, dan mampu mempertahankan kestabilannya hingga di bawah suhu -60oC.
11
Jenis plastik ini memiliki ketahanan yang baik terhadap air dan uap air, namun kurang terhadap gas (Robertson, 1993). Briston dan Katan (1974) menyatakan titik leleh dari plastik LDPE yaitu 85-87oC. Menurut Harrington et al., (1991) kemasan yang dibuat dari LDPE memiliki ciri khas lembut, fleksibel dan mudah direntangkan, jernih, penahan uap air yang baik namun bukan penahan oksigen yang baik, tidak menyebabkan aroma atau bau terhadap makanan, serta mudah diseal. LDPE juga bersifat lentur, resisten terhadap suhu rendah, tahan asam, basa dan alkohol, kedap air, daya rentang tinggi tanpa sobek, transparan, dan daya tembus LDPE terhadap O2 sebesar 30.9 {(cm3/cm2/mm/dt/cmHg) × 1010} dan H2O sebesar 876 {(cm3/cm2/mm/dt/cmHg) × 1010} (Buckle et al., 1987). Polietilena dengan kepadatan tinggi (suhu dan tekanan rendah) (HDPE) memberikan perlindungan yang baik terhadap air dan meningkatkan stabilitas terhadap 3
panas. 2
Daya
tembus
HDPE
terhadap
10
O2 3
sebesar
10,5
2
{(cm /cm /mm/dt/cmHg) × 10 } dan H2O sebesar 30,5 {(cm /cm /mm/dt/cmHg) × 1010} (Buckle et al.,1987). Plastik jenis ini memiliki lebih banyak rantai antar molekulnya, sehingga mempunyai densitas yang lebih tinggi sehingga lebih kaku. Kemasan ini mempunyai daya tembus terhadap oksigen yang rendah dan tahan terhadap asam (Hine, 1987). Titik leleh plastik jenis ini yaitu 120-130oC (Briston dan Katan, 1974). Menurut Robertson (1993), HDPE lebih tahan terhadap zat kimia dibandingkan dengan LDPE dan memiliki ketahanan yang baik terhadap minyak dan lemak. Menurut Buckle et al., (1987), sifat-sifat daya tembus oksigen dipengaruhi oleh suhu lingkungan, ketebalan plastik, orientasi dan komposisi plastik kondisi atmosfer (RH) dan faktor lainnya. Jenis plastik lain yang digunakan dalam pengemasan sop daun Torbagun ini adalah Crystallized Polyethylene Terephthalat (CPET). CPET merupakan plastik dengan ketahanan panas yang baik, yaitu berkisar antara 200-225oC. Plastik ini kuat, kaku, namun bersifat rapuh, sehingga harus ditambahkan bahan aditif tertentu. CPET memiliki sifat penghalang yang hampir sama dengan PET, yaitu sifat penahan yang baik terhadap oksigen dan uap air, serta baik untuk produk berlemak. Plastik CPET ini dapat digunakan untuk produk yang akan dikemas dengan teknik hot filling atau teknik pengemasan biasa. Sifat fisik CPET jika dibandingkan dengan bahan lain tersaji dalam Tabel 3.
12
Tabel 3. Perbandingan sifat bahan kemasan microwavable Material
Temperatur maksimum (oC)
Ketahanan terhadap
Oksigen
CPET PP PS LDPE
220 110 80 75
Keterangan :
+++ : Baik ++ : Sedang + : Buruk
+++ + +++ +
Uap air ++ +++ ++ +++
Lemak +++ +++ +++ ++
Kemampuan keliman panas (heat seal)
Dual ovenability
++ +++ + +++
√ -
- : Ya √ : Tidak
Sumber : Anantheswaran, 2001 2.4. Kerusakan Selama Penyimpanan 2.4.1. Kerusakan bahan pangan Selama penyimpanan dan distribusi, bahan pangan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di sekelilingnya. Faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, oksigen dan cahaya dapat menimbulkan reaksi yang dapat menimbulkan kerusakan pada bahan pangan. Akibat dari reaksi tersebut, bahan pangan akan sampai pada suatu titik, dimana konsumen akan menolak bahan pangan tersebut atau bahan pangan tersebut akan membahayakan orang yang mengkonsumsinya. Menurut
Desrosier
(1988),
faktor
yang
mempengaruhi
stabilitas
penyimpanan bahan pangan diantaranya jenis dan kualitas bahan baku yang digunakan, metode dan keefektifan pengolahan, jenis dan keadaan pengemasan, perlakuan mekanis yang dilakukan terhadap produk yang dikemas selama distribusi dan penyimpanan, dan pengaruh yang ditimbulkan oleh suhu dan kelembaban penyimpanan. Oleh karena itu diperlukan pemilihan jenis dan kondisi pengolahan yang sesuai, pengemasan dan penyimpanan yang tepat sehingga dapat benar-benar melindungi dan mempertahankan kualitas yang dikehendaki. Syarief dan Halid (1992) menyatakan bahwa penyimpangan bahan pangan secara konvensional ada dua macam, yaitu penyusutan kualitatif dan penyusutan kuantitatif. Penyusutan kuantitatif yaitu kehilangan jumlah atau bobot akibat penanganan yang tidak memadai dan adanya gangguan biologis (proses respirasi, serangga, tikus). Penyusutan kualitatif adalah kerusakan akibat perubahan biologi (mikroba, respirasi), terjadi perubahan fisik (suhu, kelembaban), perubahan kimia
13
(reaksi pencoklatan, ketengikan dan penurunan nilai gizi). Bahan pangan yang telah mengalami penyusutan kualitatif artinya bahan tersebut mengalami penurunan mutu hingga menjadi tidak layak dikonsumsi manusia. Bahan pangan disebut rusak apabila bahan pangan telah kadaluarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus. Kerusakan pada bahan pangan seperti sop daun torbangun ini dapat disebabkan terjadinya perubahan kimia, fisik dan mikrobiologi. Perubahan fisik dapat disebabkan oleh adanya kesalahan penanganan dari bahan pangan selama pemanenan, produksi dan distribusi. Perubahan kimia dapat disebabkan oleh aksi enzim, reaksi oksidasi, terutama oksidasi lipid yang menyebabkan perubahan flavour bahan pangan berlemak dan reaksi pencoklatan non enzimatis yang menyebabkan perubahan pada penampakan. Perubahan ini melibatkan faktor internal berupa komponen dalam bahan makanan itu sendiri dan faktor eksternal yaitu lingkungan. Pada umumnya perubahan kimia terjadi selama proses produksi dan penyimpanan (Singh, 1994). Oksidasi merupakan masalah utama pada lemak atau bahan pangan berlemak. Oksidasi dapat menyebabkan perubahan pada flavour, aroma, warna dan kadang-kadang tekstur atau kekentalan suatu produk. Faktor-faktor yang mempengaruhi oksidasi bahan pangan meliputi (i) suhu, (ii) cahaya, (iii) oksigen, (iv) logam berat, (v) pigmen, (vi) derajat ketidakjenuhan komponen lemak (Hanas, 1994). Menurut Ketaren (1986), kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan di udara akan bertambah dengan kenaikan suhu dan berkurang dengan penurunan suhu. Selanjutnya dijelaskan bahwa cahaya dapat mempercepat reaksi oksidasi, cahaya berpengaruh terhadap akselerator pada oksidasi konstituen tidak jenuh dalam lemak. Asam lemak pada umumnya bersifat semakin reaktif terhadap oksigen dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap pada rantai molekul, sehingga semakin tinggi derajat ketidakjenuhannya maka semakin mudah asam lemak tersebut teroksidasi. Derajat ketidakjenuhan lemak ditunjukkan dengan banyaknya ikatan rangkap pada rantai molekul asam lemaknya (Ketaren, 1986).
14
Reaksi oksidasi merupakan suatu rantai reaksi radikal bebas. Mekanisme dari reaksi tersebut terdiri dari tiga tahap yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Inisiasi merupakan reaksi pembentukan radikal bebas, propagasi merupakan reaksi perubahan radikal bebas menjadi radikal yang lain. Terminasi merupakan reaksi yang melibatkan kombinasi dua radikal untuk membentuk produk yang lebih stabil (Gordon, 1990). Mekanisme dari tahapan reaksi oksidasi di atas dapat dijelaskan oleh Hamilton (1983) sebagai berikut: Inisiasi Propagasi
RH + O2
katalis
R* + *OOH
(reaksi 1)
RH
katalis
R* + *H
(reaksi 2)
ROO*
(reaksi 3)
ROOH + R*
(reaksi 4)
R-R
(reaksi 5)
ROOR
(reaksi 6)
R* + O2 ROO* + RH
Terminasi
R* + R* ROO* + R*
RH merupakan lipid tidak jenuh, R* merupakan radikal lipid dan ROO* merupakan radikal peroksida. Pada tahap inisiasi, radikal lipid diperoleh melalui (reaksi 1 dan 2) dengan keberadaan katalis. Katalis yang dimaksud dapat berupa panas, cahaya, atau radiasi energi tinggi, ion logam atau zat protein seperti hematin. Pada tahap propagasi di atas, yaitu pada reaksi 4, dihasilkan hidroperoksida (ROOH). Hidroperoksida merupakan senyawa yang tidak berbau, tetapi bersifat labil sehingga dapat terpecah menjadi senyawa yang lebih kecil yang dapat
menyebabkan bau
tengik. Senyawa yang
dihasilkan dari
hidroperoksida ini antara lain aldehida, alkohol dan hidrokarbon (Hamilton 1983). Bakteri yang terdapat dalam bahan pangan mempunyai ukuran yang sangat kecil, yaitu sebagian besar mempunyai ukuran panjang sel satu sampai beberapa mikron (1 mikron = 1/1000 mm). Khamir mempunyai ukuran panjang sel 20 mikron. Kapang berukuran lebih besar dan lebih kompleks. Kapang tumbuh seperti buku rambut yang disebut mycelia dan pada ujungnya berbentuk seperti buah yang disebut conidia dan mengandung spora kapang. Menurut Singh (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba antara lain suhu, air, gas seperti oksigen dan karbondioksida, dan pH. Menurut Muchtadi (1989), bakteri, kamir dan kapang senang akan keadaan hangat dan lembab. Suhu pertumbuhan untuk setiap bakteri berbeda-beda. Kapang dan khamir mempunyai suhu optimum
15
untuk pertumbuhannya pada suhu 25-30oC atau suhu kamar. Beberapa bakteri dan semua kapang membutuhkan oksigen untuk tumbuh (Muchtadi, 1989). Connel (1975) menyatakan, bahwa batas maksimum jumlah mikroba dalam produk olahan pangan untuk konsumsi manusia sebesar 107 sampai 108 koloni per gram produk. Pembusukan oleh mikroba timbul akibat adanya absorpsi atau kontaminasi. Absorpsi tersebut dapat diminisasi dengan penyimpanan dingin, transportasi yang baik, pengemasan yang hati-hati dan sterilisasi (Hamilton, 1983). Menurut Muchtadi (1989) untuk menghilangkan atau mengurangi aktivitas biologis yang tidak diinginkan dalam bahan pangan, seperti aktivitas enzim dan mikrobiologis, dapat digunakan pengolahan dalam suhu tinggi. Salah satu pengolahan suhu tinggi yang dapat digunakan adalah sterilisasi. Proses hidrolisa pada lemak atau minyak umumnya disebabkan oleh aktivitas enzim lipase dan mikroba, yang dapat dipercepat dengan kondisi kelembaban tinggi, kadar air, serta temperatur yang tinggi selama pengolahan (Djatmiko dan Widjaja, 1973). Mikroba yang menghasilkan enzim lipase dapat menghidrolisa lemak menjadi gliserol dan asam lemak (Frazier dan Westhoff, 1979). Menurut Eskin et al., (1971), hidrolisa lemak oleh enzim lipase beberapa mikroba akan menghasilkan metil keton dan beberapa senyawa asam lemak yang mudah menguap. Hidrolisa lemak oleh mikroba dapat berlangsung dalam suasana aerobik atau anaerobik (Ketaren dan Djatmiko, 1976). Menurut Frazier dan Westhoff (1979), bakteri yang mampu menghidrolisa lemak adalah spesies dari Pseudomonas, Micrococcus, Bacillus, Serratia, Achromobacter dan Proteus. Kapang yang mampu menghidrolisa lemak adalah spesies dari Geotrichum, Penicillium, Aspergillus, Cladosporium dan Monilia. Disamping itu terdapat juga beberapa khamir yaitu khamir oksidatif. Pemecahan protein, peptida atau asam amino secara anaerobik oleh mikroba dapat menghasilkan senyawa-senyawa yang menimbulkan bau busuk, yaitu hidrogen sulfida, metil sulfida, etil sulfida, mercaptan, amonia, amine, indole, skatole, dan asam lemak. Perubahan mikrobiologi disebabkan oleh pertumbuhan mikroba pada bahan pangan. Pertumbuhan mikroba tersebut akan menyebabkan timbulnya pembusukan yang akan mengakibatkan munculnya karakteristik
16
sensori yang tidak diinginkan dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan bahan pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi (Singh, 1994). Selanjutnya dijelaskan oleh Muchtadi (1989), kerusakan sensori yang diakibatkan oleh mikroba dapat berupa pelunakan, terjadinya asam, terbentuknya gas, lendir, busa dan lain-lain. Mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan antara lain bakteri, kapang dan khamir. 2.4.2. Uji kerusakan pangan Uji yang dilakukan sebagai parameter kerusakan pangan dalam penelitian ini adalah uji ketengikan (bilangan TBA), uji mikrobiologis (TPC), pengukuran derajat asam (pH), dan Total Asam Tertitrasi (TAT). Menurut Ketaren (1989), uji ketengikan minyak secara kualitatif dan kuantitatif dilakukan dengan mendeteksi senyawa-senyawa yang menimbulkan bau tengik dalam minyak misalnya aldehida, keton dan peroksida yang dapat menguap. Macam-macam uji ketengikan antara lain Uji Kreis, Issoglio, Schiff, Lea dan Uji Thiobarbituric Acid (TBA). Uji Thiobarbituric Acid (TBA) didasarkan atas terbentuknya pigmen berwarna merah sebagai hasil dari reaksi kondensasi antara dua molekul TBA dengan salah satu molekul malonaldehida. Lemak yang tengik mengandung aldehida dan kebanyakan sebagai malonaldehida. Persenyawaan maloneldehida secara teoritis dapat dihasilkan oleh pembentukan di-peroksida pada gugus pentadiena yang disusul dengan pemutusan rantai molekul atau dengan cara oksidasi lebih lanjut 2-enol yang dihasilkan dari penguraian monohidro peroksida. Nawar (1985) menjelaskan bahwa malonaldehida terbentuk dari penguraian senyawa peroksida yang mempunyai lebih dari dua ikatan rangkap (Gambar 3). Malonaldehida bila direaksikan dengan Thiobarbiturat akan membentuk kompleks warna merah. Intensitas warna merah sesuai dengan jumlah malonaldehida yang ada dan absorbansinya dapat ditentukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 528 nm (Tarladgis et al., 1960).
17
C–C–C=C–C–C–C=C–C–C– O O* C – C – *C – C – C – C – C = C – C – C – O
O
C–C–C–C–C–C–C=C–C–C– O*
O*
C–C–C C–C–C C=C–C–C– Propana O O Malonaldehida
Gambar 3. Reaksi pembentukan malonaldehida Menurut Ketaren (1986), kelebihan dari uji TBA dibandingkan dengan metode yang lainnya adalah uji ini dapat digunakan langsung untuk menguji lemak dalam suatu bahan tanpa harus mengekstraksi fraksi lemaknya terlebih dahulu. Kelemahan dari uji TBA ini adalah adanya kemungkinan beberapa persenyawaan selain hasil oksidasi lemak berupa asam akan tersuling bersama uap dan selanjutnya terhadap destilat dilakukan uji TBA. Telah diketahui pula bahwa asam Thiobarbituric bersifat tidak stabil dan mengalami dekomposisi di bawah kondisi pengujian (yaitu dengan adanya pemanasan dan asam keras), terutama karena adanya peroksida. Hasil degradasi tersebut mempunyai warna yang sama (diabsorpsi dengan panjang gelombang yang sama) dengan kompleks TBAmalonaldehida. Nilai pH dapat digunakan untuk menentukan produk bersifat asam, netral atau basa (Soeparno, 1994). Nilai pH merupakan minus logaritma dari konsentrasi ion H+ yang dinyatakan dalam satuan mol/liter. Konsentrasi ion H+ ditentukan oleh molekul-molekul yang dapat melepaskan maupun yang dapat mengikat ion ke dalam larutan. Nilai pH berkaitan dengan umur simpan produk karena mempengaruhi penilaian organoleptik dan kandungan mikroorganisme produk. Menurut Fardiaz (1989), nilai pH medium sangat mempengaruhi jasad renik yang dapat tumbuh. Perubahan nilai pH yang signifikan dapat merubah rasa dari suatu
18
produk makanan. Intensitas rasa dalam makanan dapat dipengaruhi oleh beberapa parameter, yaitu aroma, pH, dan tekstur makanan (Belitz et al., 1999). Menurut Ketaren (1986), ketengikan terbentuk oleh aldehida, dan bukan oleh peroksida. Menurut Djatmiko dan Widjaja (1973), kerusakan karena proses hidrolisa dapat terjadi pada bahan pangan berlemak yang mengandung asam lemak jenuh dalam jumlah cukup besar, dalam hal ini kelapa mengandung asam laurat yang cukup banyak. Bau tengik disebabkan oleh asam lemak bebas yang terbentuk dalam proses hidrolisa. Total asam tertitrasi berbeda dengan nilai pH. Total asam tertitrasi menunjukkan potensi asam suatu produk (kandungan ion hidrogen), sedangkan pH menunjukkan konsentrasi hidrogen bebas suatu bahan pangan (Egan et al., 1981). Nilai TAT selalu berbanding terbalik dengan nilai pH. (Eackles et al., 1957). Hasil pemecahan suatu komponen kimia yang terdapat di dalam substrat berbeda-beda tergantung spesies mikrobanya. Fardiaz (1989) menjelaskan bahwa hasil pemecahan karbohidrat oleh mikroba dapat berupa asam-asam organik (asam laktat, asetat, butirat, atau propionat), produk-produk netral (aseton, butil alkohol, atau etil alkohol) dan bermacam-macam gas (metana, hidrogen, karbondioksida). Pemecahan komponen protein menjadi peptida dan asam-asam amino dapat menghasilkan produk-produk sampingan seperti NH3, indol, dan H2O, sedangkan hasil pemecahan lemak oleh mikroba berupa gliserol dan asam lemak. Adanya hasil pemecahan komponen-komponen kimia tersebut dapat mempengaruhi keasaman suatu produk. 2.5. Penyimpanan 2.5.1. Kondisi Penyimpanan Metode-metode untuk pengawetan pangan menurut Syarief et al.,(1989) adalah pendinginan dan refrigerasi, pembekuan, pengawetan kimia dan pemanasan. Penggunaan suhu rendah dapat dilakukan untuk menghambat atau mencegah reaksi-reaksi kimia enzimatis atau mikrobiologi. Pendinginan dapat menghambat reaksi metabolisme. Oleh karena itu, menurut Winarno et al.,
19
(1983), penyimpanan bahan pangan pada suhu rendah dapat memperpanjang masa hidup dari jaringan di dalam bahan pangan tersebut. Penggunaan
suhu
rendah
dapat
digolongkan
menjadi
tiga,
yaitu
penyimpanan sejuk, pendinginan dan penyimpanan beku. Penyimpanan sejuk biasanya dilakukan pada suhu sedikit di bawah suhu kamar dan tidak lebih rendah dari 15oC (Winarno et al., 1983). Pendinginan refrigerasi adalah penyimpanan produk pangan pada suhu 0oC sampai dengan 10oC (Syarief et al., 1989). Menurut Fardiaz (1982), pendinginan dapat memperpanjang umur simpan suatu makanan karena selama pendinginan pertumbuhan dapat dicegah atau diperlambat. Tujuan penyimpanan dingin atau pendinginan adalah mencegah kerusakan tanpa mengakibatkan perubahan yang tidak diinginkan. Penyimpanan dingin ini dapat mempertahankan komoditas dalam kondisi yang dapat diterima dan dapat dikonsumsi selama mungkin oleh konsumen. Penyimpanan dingin dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme termofilik dan mesofilik. Beberapa jenis mikroorganisme psikrofilik dapat menyebabkan pembusukan, tetapi jenis ini tidak bersifat patogen (Fellows, 1990). Penyimpanan dingin mempunyai pengaruh yang kecil terhadap cita rasa, warna, tekstur, nilai gizi, serta bentuk dan penampakan bahan pangan, namun perlu mengikuti prosedur standar dengan lama penyimpanan tertentu (Daulay, 1998). Potter (1973) menyatakan bahwa suhu pendinginan yang biasa diterapkan berkisar antara -2.22oC sampai dengan +15.56oC dan pada lemari pendingin rumah tangga bersuhu antara 4.44oC sampai dengan 7.22oC. Proses pendinginan (refrigerasi) adalah produksi pengusahaan dan pemeliharaan tingkat suhu dari suatu bahan atau ruangan pada tingkat yang lebih rendah daripada suhu lingkungan atau atmosfer sekitarnya dengan cara penarikan atau penyerapan panas dari bahan atau ruangan tersebut (Ilyas, 1993). Sedangkan menurut Winarno (1997), pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan yaitu sekitar 2-10oC. Fellows (1990) mendefinisikan pendinginan sebagai unit operasi dengan suhu penyimpanan suatu bahan pangan diturunkan. Proses ini bertujuan untuk mengurangi kerusakan biokimia, fisik, dan mikrobiologi. Selain itu, penggunaan suhu dingin untuk penyimpanan juga bertujuan untuk memperpanjang umur simpan produk segar maupun olahan.
20
Umur simpan produk olahan yang disimpan pada suhu dingin ditentukan oleh tipe makanan, tingkat kerusakan mikroba atau aktivitas enzim akibat proses pengolahan, kontrol sanitasi selama proses pengolahan dan pengemasan, barrier pada kemasan, dan suhu selama distribusi dan penyimpanan (Fellows, 1990). Pendinginan dapat menghambat atau memperlambat pertumbuhan mikroba karena mikroorganisme mempunyai suhu maksimal dan minimal sebagai batas suhu
untuk
mikroorganisme
pertumbuhannya. disebabkan
Pengaruh
suhu
suhu
terhadap
pertumbuhan
mempengaruhi
aktivitas
enzim
yang
mengkatalisasi reaksi-reaksi biokimia dalam sel mikroorganisme. Di bawah suhu optimum, keaktifan enzim dalam sel menurun dengan semakin rendahnya suhu, akibatnya pertumbuhan sel juga terhambat. Pada suhu pembekuan, semua keaktifan metabolisme juga akan terhenti. Enzim terhenti juga karena semua sel kekurangan cairan di sekelilingnya yang digunakan untuk menyerap zat makanan dan mengeluarkan sisa metabolisme yang mengakibatkan pertumbuhan sel terhenti sama sekali (Fardiaz, 1982). Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan diantaranya adalah suhu, pH, aktivitas air, adanya oksigen dan tersedianya zat makanan. Oleh karena itu, kecepatan pertumbuhan mikroba dapat diubah dengan mengubah faktor lingkungan tersebut. Semakin rendah suhu yang digunakan dalam penyimpanan maka semakin lambat pula reaksi kimia, aktivitas enzim dan pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff, 1979) 2.5.2. Umur simpan Umur simpan menurut Robertson (1991) dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu (1) karakterisasi produk (sifat fisik, sifat kimia, sifat mikrobiologi), (2) lingkungan (suhu, kelembaban), dan (3) bahan pengemas atau sistem pengemasan. Menurut Syarief et al., (1989), secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah sebagai berikut : a. Keadaan alamiah atau sifat bahan pangan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan kimia dan fisik b. Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume
21
c. Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama distribusi dan sebelum digunakan d. Ketahanan keseluruhan kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau termasuk dari perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat Menurut Ellis (1994), penentuan umur simpan suatu produk dapat dilakukan dengan mengamati produk tersebut selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Syarief dan Halid (1991) menyatakan bahwa penurunan mutu makanan sangat menentukan umur simpan suatu produk. Untuk menganalisis mutu makanan diperlukan beberapa pengamatan terhadap parameter-parameter yang dapat diukur secara kuantitatif dalam bentuk pengukuran kimiawi, uji organoleptik, uji kadar vitamin C, skor uji citarasa, tekstur, warna, total mikroba dan sebagainya. Menurut Desrosier (1988), untuk menetapkan daya simpan suatu bahan pangan diperlukan data yang berkenaan dengan perubahan warna, bau, cita rasa, tekstur, zat gizi, kadar air, keapekan, ketengikan, dan seluruh perubahan yang mempengaruhi tingkat penerimaan produk oleh konsumen.
22
III. METODOLOGI 3.1. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sop daun Torbangun diantaranya adalah daun torbangun, bumbu-bumbu berupa bawang merah, bawang putih, kemiri, sereh, garam, jahe, kunyit, lada, jeruk nipis dan santan. Bahan kimia yang digunakan untuk analisa mutu yaitu aquades, NaOH 0,1 M, indikator phenolphtalein, pereaksi TBA, NaCl, asam asetat glacial, kloroform, Kalium Iodida jenuh, natrium thiosulfat 0.01 N, HCl 4M, batu didih, pencegah buih, indikator kanji dan Plate Count Agar. Kemasan yang digunakan adalah kemasan plastik microwavable, kemasan plastik LDPE yang dibeli di toko Aneka Plastik di Pasar Anyar, cable tie, botol jar yang dibeli dari toko kimia Panca Pratama Darmaga. Plastik segel LDPE dan shrinkable heat juga digunakan pada penelitian ini. Alat-alat yang digunakan untuk produksi sop daun Torbangun dalam kemasan
yaitu mesin sealer. Sedangkan untuk analisa mutu sop digunakan
autoklaf, biuret, pipet, pH meter, gelas piala, blender, pemanas air, labu destilasi, cawan petri, labu erlenmeyer, tabung pengenceran, dan spektrofotometer. 3.2. Metode Penelitian 3.2.1. Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan dilakukan penentuan umur simpan sop daun Torbangun dalam kemasan. Sop daun Torbangun yang digunakan dalam penelitian ini adalah sop yang dibuat tanpa bahan pengawet ataupun antioksidan tambahan. Tahapan pertama dalam penelitian pendahuluan ini adalah pemilihan dan pemasakan daun Torbangun yang akan dimasak untuk kemudian dikemas. Daun Torbangun terlebih dahulu disortir, dipilih yang kondisinya tidak menunjukkan
kerusakan
fisik,
selanjutnya
daun
diremas-remas
hingga
mengeluarkan cairan berwarna kehitaman. Cairan ini perlu dibuang karena diduga dapat menyebabkan rasa sop yang pahit Daun siap dimasak dengan penambahan berbagai bumbu yang telah dihaluskan. Diagram alir pembuatan sop daun Torbangun disajikan dalam Gambar 4.
23
Santan + Air + Bumbu
Daun Torbangun
Diremas-remas Cairan kehitaman Direbus hingga mendidih
Remasan daun Torbangun
Dimasak hingga santan mendidih Gambar 4. Diagram alir pembuatan sop daun Torbangun Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan sop daun torbangun yaitu daun torbangun segar sebanyak 250 gram, santan kelapa 575 ml serta bumbubumbu. Adapun bumbu-bumbu yang dipergunakan yaitu bawang merah 15 gram (2 siung besar), bawang putih 10 gram (2 siung kecil), kemiri 6 gram (2 butir besar), kunyit seujung jari kelingking, jahe secukupnya, lengkuas secukupnya (seujung jari kelingking), merica 4 butir, sereh 1 tangkai, jeruk nipis 2 sendok makan, garam ½ sendok makan (secukupnya). Total formula yang dihasilkan dari resep tersebut adalah ± 725 gram. Sop yang telah masak kemudian dimasukkan ke dalam kemasan yang telah disterilisasi dengan teknik hot filling secara aseptis. Seluruh sop yang telah dikemas tersebut kemudian disimpan pada tiga suhu yaitu pada suhu 3-5oC, 1012oC, dan 27-30oC. Tahapan selanjutnya adalah uji mutu secara visual (warna, bau, kapang/khamir,busa/lendir, dan perubahan fisik kemasan) serta rasa hingga sop dinilai tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Diagram alir penelitian pendahuluan disajikan pada Gambar 5. Analisa proksimat awal untuk sup daun Torbangun dilakukan untuk mengakarakterisasi mutu awal.
24
Daun Torbangun Analisis proksimat
Pemasakan Pengemasan
Plastik microwavable 3-5oC
10-12oC
27-30oC
LDPE seal+ LDPE tight
Gelas + plastik shrink 3-5oC
10-12oC
27-30oC
3-5oC
27-30oC
10-12oC
Penyimpanan
Penentuan umur simpan sup melalui uji visual Gambar 5. Diagram alir penelitian pendahuluan 3.2.2. Penelitian Utama Pada penelitian ini dilakukan penentuan kemasan sop daun Torbangun terbaik. Kemasan yang diujicobakan adalah plastik microwavable, plastik Low Density Polyethylene (LDPE) tahan santan dan kemasan gelas. Pada kemasan plastik microwavable, sop yang telah dimasukkan dengan teknik hot filling secara aseptis, kemudian diseal dengan plastik segel menggunakan mesin sealer. Kemasan sop berikutnya adalah plastik LDPE tahan santan sebanyak dua lapis. Lapisan pertama adalah lapisan primer yang kontak langsung dengan produk dan ditutup dengan seal panas, lapisan kedua adalah plastik LDPE dengan seal berupa cable tie. Lapisan sekunder diberikan untuk menyempurnakan sifat dari lapisan primer. Secara skematis, alur penelitian utama selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini.
25
Daun Torbangun Pemasakan Pengemasan
Plastik microwavable 3-5oC
10-12oC
LDPE seal+ LDPE tight
Gelas + plastik shrink
27-30oC
3-5oC
10-12oC
27-30oC
3-5oC
10-12oC
27-30oC
Penyimpanan
Penentuan kemasan terbaik
Gambar 6. Diagram alir penelitian utama Bahan kemasan yang ketiga yaitu kemasan gelas yang bertutup ulir plastik HDPE
(High
Density
Polyethylene).
Kemasan
gelas
tersebut
disegel
menggunakan plastik shrink yang menutupi seluruh bagian kemasan. Sop daun Torbangun yang telah dikemas tersebut kemudian disimpan pada suhu ruang (2730oC) dan suhu dingin (10-12oC dan 3-5oC). Penentuan kemasan terbaik dilakukan melalui analisa mutu dan uji visual selama umur simpannya (berdasarkan hasil penelitian pendahuluan). 3.3. Analisa Mutu Analisa mutu yang dilakukan pada penelitian utama meliputi Total Asam Tertitrasi (TAT), Uji mikrobiologis (Total Plate Count), Uji derajat keasaman (pH), dan Uji ketengikan (Thiobarbituric Acid). Prosedur analisa mutu tersebut disajikan pada Lampiran 2.
26
3.4. Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh pada penelitian ini diolah menggunakan Microsoft Excell serta dianalisis menggunakan SPSS 11.0 for Windows. Penelitian ini dirancang dengan pendekatan rancangan acak lengkap (RAL) 2 faktorial. Model Umum Rancangan Percobaan Rancangan Acak Lengkap 2 faktor: Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + ε ijk Dimana : Yijk
= Nilai hasil pengukuran akibat perlakuan jenis kemasan ke-i, dan perlakuan suhu penyimpanan ke-j, dengan ulangan sebanyak- k
µ
= Nilai tengah umum
Ai
= Pengaruh faktor jenis kemasan dengan taraf i (i=1 untuk gelas, 2 untuk plastik LDPE dan 3 untuk CPET)
Bj
= Pengaruh faktor suhu penyimpanan dengan taraf j (j=1 untuk suhu 3-5oC, 2 untuk suhu 10-12oC, dan 3 untuk suhu 27-30oC)
(AB)ij = Interaksi kemasan ke-i dan suhu penyimpanan ke-j ε ijkl
= Pengaruh galat percobaan dari perlakuan jensi kemasan ke-i, dan suhu penyimpanan ke-j pada ulangan ke–k (k=1,2)
27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Dengan semakin meningkatnya aktivitas dan kesibukan khususnya bagi masyarakat perkotaan menyebabkan kebutuhan akan produk-produk pangan yang praktis dan siap dikonsumsi semakin meningkat pula. Beraneka ragam produk pangan praktis dan instan tersedia di pasaran. Sop daun Torbangun selama ini dikenal masyarakat Batak sebagai makanan fungsional pelancar produksi Air Susu Ibu (ASI). Sop ini bergizi tinggi dan sangat berpotensi untuk dikomersialkan. Kajian mendalam mengenai metode pengemasan optimal merupakan hal yang mendasar apabila produk ini akan dikomersialkan. Kajian ini meliputi jenis kemasan dengan perlindungan terbaik dan kondisi penyimpanan yang
sesuai.
Kemasan
juga
akan
memperpanjang
umur
simpan
dan
mempermudah pendistribusian produk di pasar. Penelitian utama bertujuan untuk mendapatkan kombinasi perlakuan terbaik antara jenis pengemasan dan suhu penyimpanan sop daun Torbangun. Penelitian ini terdiri dari perlakuan jenis pengemasan dan suhu penyimpanan. Kemasan yang digunakan terdiri dari gelas, plastik LDPE dan plastik microwavable (CPET) dengan suhu penyimpanan dingin (3-5oC dan 10-12oC) dan suhu ruang (27-30oC). Sop daun Torbangun yang dibuat dengan formulasi yang sudah distandarisasi ini kemudian disimpan selama 8 hari untuk penyimpanan suhu dingin dan 3 hari untuk penyimpanan suhu ruang berdasarkan hasil dari penelitian pendahuluan (Lampiran 46-48).
Penelitian utama ini dilakukan sebanyak 2 kali ulangan.
Sebelum penyimpanan, dilakukan analisa untuk mengetahui perubahan yang terjadi selama penyimpanan. Hasil analisa awal tersebut terlihat pada tabel 4 berikut. Analisis Proksimat Sampel Sop daun
Kadar
Kadar
Protein
Kadar
Karbohidrat
Air (%)
Abu (%)
(%)
Lemak (%)
(%)
84,43235 0,90055
3,83975 3,1591
7,6683
Torbangun Tabel 4. Hasil analisa proksimat produk sop daun Torbangun.
28
4.1. Analisa Mutu Perubahan fisik, kimia dan mikrobiologi, diamati untuk melihat pengaruh perlakuan jenis kemasan dan suhu penyimpanan terhadap perubahan mutu produk. Analisis mutu yang dilakukan meliputi pengujian ketengikan (Bilangan Thiobarbituric Acid), uji mikrobiologi (Total Plate Count), derajat keasaman (pH) dan Total Asam Tertitrasi (TAT). Hasil analisa mutu tersebut diuji secara statistik untuk mengetahui sejauh mana perlakukan yang diberikan memberikan pengaruh nyata terhadap sampel. Perubahan mutu masing-masing uji dan hasil sidik ragam secara statistik lebih lanjut dijelaskan pada sub bab berikut ini. 4.1.1. Uji Ketengikan (Bilangan Thiobarbituric Acid) Pada penelitian ini, sop daun Torbangun dibuat dengan menambahkan santan, seperti yang biasa dilakukan oleh masyarakat Batak. Santan merupakan produk pangan yang mengandung air, protein dan lemak yang cukup tinggi. Komponen tersebut merupakan media tumbuh yang baik bagi mikroorganisme pembusuk. Kandungan lemak dalam produk ini juga menyebabkan produk rentan terhadap proses oksidasi, sehingga santan dalam sop menjadi rusak dan tengik. Proses ketengikan ini perlu dihindari jika sop ditujukan untuk disimpan dalam jangka waktu lama. Ketengikan merupakan salah satu kerusakan lemak yang menyebabkan bahan pangan berlemak mempunyai bau dan rasa yang tidak enak. Kerusakan ini dapat menurunkan mutu dan nilai gizi bahan pangan berlemak. Nilai ketengikan sop selama penyimpanan dengan berbagai jenis kemasan dapat dilihat melalui pengujian bilangan Thiobarbituric Acid (TBA). Bilangan TBA merupakan petunjuk terjadinya degradasi sekunder terhadap senyawa lemak yang membentuk senyawa aldehida. Rincian data hasil uji bilangan TBA ini disajikan pada Lampiran 5a, 5b, dan 5c. Dari data tersebut terlihat bahwa produk yang dikemas dengan gelas menunjukkan nilai TBA antara 0,27585 mg/kg malonaldehide dan 0,4597 mg/kg malonaldehide untuk suhu 3-5oC,
0,27585
mg/kg malonaldehide hingga 0,43000 mg/kg malonaldehide untuk suhu 10-12oC serta antara 0,27585 mg/kg malonaldehide dan 0,38955 mg/kg malonaldehide untuk suhu 27-30oC.
29
Nilai TBA sop daun Torbangun yang dikemas dalam kemasan LDPE suhu 3-5oC yaitu berkisar antara 0,27585 mg/kg malonaldehide dan 0,4637 mg/kg malonaldehide, suhu 10-12oC yang bernilai 0,27585 mg/kg malonaldehide hingga 0,4621 mg/kg malonaldehide, sedangkan suhu 27-30oC memiliki kisaran nilai TBA 0,27585 mg/kg malonaldehide hingga 0,41935 mg/kg malonaldehide. Kemasan yang ketiga yaitu microwavable plastik (CPET) untuk suhu 3-5oC memiliki kisaran nilai TBA sebesar 0,27585 mg/kg malonaldehide hingga 0,4161 mg/kg malonaldehide, sedangkan untuk suhu 10-12˚C nilai TBA yang terukur sebesar 0,27585 mg/kg malonaldehide hingga 0,4235 mg/kg malonaldehide, dan pada suhu 27-30oC sebesar 0,27585 mg/kg malonaldehide hingga 0,3535 mg/kg malonaldehide. Data tersebut secara lengkap disajikan dalam bentuk grafik pada
Bilangan TBA (mg/kg malonaldehide)
Gambar 7. 0.50 A1B1 0.45
A1B2 A1B3
0.40
A2B1 A2B2 A2B3
0.35
A3B1 A3B2
0.30
A3B3 0.25 0
2
4
6
8
Lama penyimpanan (hari) Keterangan :
A1 : Kemasan Gelas
B1 : suhu 3-5oC
A2 : Kemasan LDPE
B2 : suhu 10-12oC
A3 : Kemasan Microwavable Plastic
B3 : suhu 27-30oC
Gambar 7. Grafik hasil uji bilangan TBA (mg/kg malonaldehide) Dari Gambar 7 terlihat terlihat peningkatan nilai bilangan TBA pada setiap kemasan dan suhu selama waktu penyimpanan. Hasil analisis ragam terhadap bilangan TBA yang terdapat pada Lampiran 41-45 menunjukkan bahwa bilangan
30
TBA sop daun Torbangun dipengaruhi secara nyata oleh faktor suhu pada taraf 5% pada hari kedua. Nilai TBA semakin meningkat dengan meningkatnya suhu penyimpanan. Kecenderungan yang sama juga diperoleh dari penelitian Anggraeni (2002), untuk produk cendol dalam kemasan. Peningkatan nilai bilangan
TBA ini dapat
digunakan sebagai salah satu parameter mutu untuk menentukan suhu penyimpanan terbaik produk sop daun Torbangun. Suhu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap stabilitas bahan pangan selama penyimpanan. Berdasarkan uji lanjut Duncan yang dilakukan, penyimpanan pada suhu 3-5oC tidak berbeda nyata dengan suhu 12-15oC. Nilai bilangan TBA pada kedua suhu ini cenderung lebih rendah dibandingkan suhu yang lebih tinggi yaitu pada shu 27-30oC. Penyimpanan pada suhu yang rendah dapat menekan laju peningkatan nilai TBA produk.
TBA (mg/kg malonaldehide)
0.365
0.355
0.345
0.335
0.325 3-5˚C
10-12˚C
27-30˚C
Suhu penyimpanan
Gambar 8. Grafik pengaruh suhu terhadap nilai bilangan TBA Kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan di udara akan bertambah dengan kenaikan suhu dan berkurang dengan penurunan suhu (Ketaren, 1986). Kondisi penyimpanan dingin akan memperlambat ketengikan dikarenakan proses oksidasi di dalam produk yang terhambat. Reaksi oksidasi tersebut akan menyebabkan terjadinya ketengikan yang akan mempengaruhi umur simpan bahan pangan. Selain itu, penggunaan suhu rendah dapat dilakukan untuk menghambat atau mencegah reaksi-reaksi kimia enzimatis atau mikrobiologi (Fardiaz, 1982).
31
Dari Gambar 7 terlihat bahwa semakin lama disimpan, nilai rata-rata TBA cenderung semakin meningkat. Peningkatan bilangan TBA selama penyimpanan disebabkan karena terjadi kerusakan lemak yang menyebabkan timbulnya bau dan rasa tengik akibat reaksi oksidasi antara asam lemak tidak jenuh yang terdapat dalam produk dengan udara (Winarno, 1984). Beberapa penelitian lain yang memperoleh hasil serupa seperti Ariyanti (2003) untuk produk abon ayam kampung dengan penambahan kunyit serta Hartati (2001) untuk produk bumbu masak siap pakai. Nilai bilangan TBA tergantung pada beberapa faktor, diantaranya jumlah lipid, kondisi penyimpanan, dan komponen lain yang ada bersama lipid seperti logam berat, logam porfirin, dan enzim-enzim lipoksidase (Winarno, 1986). Nilai TBA pada sup daun Torbangun ini tergolong cukup rendah. Menurut Theime yang dikutip oleh Ketaren (1986) rendahnya bilangan TBA berkaitan dengan kandungan asam lemak tidak jenuh suatu produk. Sop daun Torbangun dibuat dengan santan kelapa yang memiliki asam lemak tak jenuh sekitar 6,511,8%. Selain dikarenakan rendahnya kandungan asam lemak tak jenuh, rendahnya nilai TBA berarti kemasan efektif melindungi produk terhadap pengaruh lingkungan khususnya udara sehingga reaksi oksidasi terhambat dan produk tidak mudah tengik. Nilai TBA yang rendah dapat mengindikasikan bahwa off flavour atau degradasi sekunder belum terjadi. Namun, ketengikan produk bisa saja diakibatkan oleh reaksi hidrolisis lemak. Kandungan air yang tinggi pada produk dapat menyebabkan reaksi hidrolisis pada lemak santan menghasilkan asam-asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Kerusakan hidrolitik ini banyak terjadi pada bahan pangan yang banyak mengandung asam lemak jenuh rantai pendek, salah satu diantaranya lemak kelapa yang banyak mengandung asam laurat, dan akan meninmbulkan ketengikan (Fox, 1983). Degradasi asam lemak tidak jenuh akan mengakibatkan terbentuknya aldehida. Berdasarkan analisis ragam, uji bilangan TBA ini tidak berpengaruh nyata untuk faktor kemasan yang digunakan pada setiap hari pengamatan.
Nilai
interaksi dari faktor tersebut >0,05.
32
4.1.2. Uji Mikrobiologi (TPC) Sop daun Torbangun yang salah satu komposisinya adalah santan, merupakan produk dengan zat gizi yang dapat digunakan oleh mikroba sebagai substrat pertumbuhannya. Komposisi santan kelapa sangat lengkap, karena selain mengandung lemak, santan juga memiliki kadar karbohidrat dan protein yang cukup tinggi sebagai media tumbuh mikroba.
Sop daun Torbangun
yang
digunakan dalam penelitian ini tidak menggunakan bahan pengawet tambahan, melainkan hanya bumbu yang berfungsi sebagai antioksidan alami. Tidak adanya bahan pengawet menyebabkan produk semakin rentan terhadap kerusakan selama penyimpanan yang diakibatkan oleh mikroorganisme. Penerapan teknik kemasan yang baik dengan suhu yang sesuai diharapkan dapat mengurangi pertumbuhan mikroorganisme sehingga umur simpan produk dapat diperpanjang. Pada penelitian ini jumlah mikroorganisme yang tumbuh selama penyimpanan produk diuji dengan metoda TPC. Metoda ini hanya menghitung jumlah total koloni tanpa melihat jenis mikroba yang terdapat dalam produk tersebut. Nilai TPC yang relatif tinggi terlihat pada kondisi suhu ruang selama 3 hari penyimpanan, yaitu pada kemasan gelas berkisar antara 51 × 101 koloni/g produk sampai 43 × 106 koloni/g produk, kemasan LDPE sebesar 51 × 101 koloni/g produk hingga 81 × 106 koloni/g produk dan kemasan microwavable sebesar 51 × 101 koloni/g produk hingga 58 × 106 koloni/g produk. Pada kondisi suhu penyimpanan 10-12oC, nilai TPC berkisar antara 51 × 101 koloni/g produk hingga 44 × 106 koloni/g produk untuk kemasan gelas, 51 × 101 koloni/g produk hingga 79 × 106 koloni/g produk untuk kemasan LDPE, dan sebesar 51 × 101 koloni/g produk hingga 67 × 106 koloni/g produk untuk kemasan microwavable plastic (CPET). Sementara itu, kondisi pada suhu dingin yaitu pada suhu 3-5oC cenderung menghasilkan nilai TPC lebih kecil yang berkisar antara 51 × 101 dan 31 × 106 untuk kemasan gelas, 51 × 101 hingga 52 × 106 untuk kemasan LDPE, dan antara 51 × 101 dan 53 × 106 untuk kemasan microwavable plastic (CPET). Nilai TPC sop daun Torbangun ditunjukkan pada Gambar 9 dengan rincian data terlampir (Lampiran 4a, 4b, dan 4c).
33
Jumlah koloni/g produk (106)
90 80
A1B1
70
A1B2
60
A1B3
50
A4B1
40
A4B2
30
A4B3
20
A3B1
10
A3B2
0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
A3B3
Lama penyimpanan (hari)
Keterangan :
A1 : Kemasan Gelas
B1 : suhu 3-5oC
A2 : Kemasan LDPE
B2 : suhu 10-12oC
A3 : Kemasan Microwavable Plastic
B3 : suhu 27-30oC
Gambar 9. Grafik hasil uji mikrobiologi (Total Plate Count) Dari grafik di atas, dapat terlihat bahwa pada penyimpanan dingin, setelah hari kelima, pertumbuhan mikroba meningkat dengan cepat, sehingga diduga bahwa selama penyimpanan 5 hari tersebut merupakan fase adaptasi bagi mikroba, sedangkan pada penyimpanan setelah hari kelima merupakan fase eksponensial. Hasil analisis ragam (Lampiran 21-35) menujukkan bahwa faktor kemasan memberikan pengaruh nyata pada taraf 5% terhadap nilai TPC di hari ketiga, keempat, ketujuh dan kedelapan. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa dengan meningkatnya suhu maka pertumbuhan mikroorganisme semakin meningkat. Selain jenis kemasan, faktor suhu juga memberikan pengaruh yang nyata untuk taraf 5% pada penyimpanan di hari pertama, kedua, ketiga, keempat, ketujuh, dan kedelapan. Selain itu pada hari ketiga, interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan juga memberikan pengaruh yang nyata pada taraf 5%. Semakin lama penyimpanan, pertumbuhan mikroba cenderung terus berlangsung sehingga menyebabkan nilai TPC yang meningkat. Perubahan yang timbul pada sop daun Torbangun karena kerusakan akibat mikroorganisme jika dilihat dari penampakan fisiknya adalah terjadi pembentukan lendir dan perubahan aroma serta pelunakan daun Torbangun di dalam sop. Pembentukan
34
lendir menandakan bahwa adanya pertumbuhan bakteri dan diikuti dengan timbulnya bau asam (Hoseney, 1998). Pertumbuhan mikroba tersebut akan menyebabkan timbulnya pembusukan yang akan mengakibatkan munculnya karakteristik sensori yang tidak diinginkan dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan bahan pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi (Singh, 1994). Selanjutnya dijelaskan oleh Muchtadi (1989), kerusakan sensori yang diakibatkan oleh mikroba dapat berupa pelunakan, terjadinya asam, terbentuknya gas, lendir, busa dan lain-lain. Mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan antara lain bakteri, kapang dan khamir. Menurut Muchtadi (1989), bakteri, kapang dan khamir menyukai keadaan hangat dan lembab. Suhu pertumbuhan untuk setiap bakteri berbeda-beda. Kapang dan khamir mempunyai suhu optimum untuk pertumbuhannya pada suhu 25-30oC atau suhu kamar. Hal ini terlihat jelas pada data uji TPC yang diperoleh.
Pada penyimpanan suhu kamar terlihat
pertumbuhan mikroba yang sangat pesat pada semua jenis kemasan. Gambar 10 menyajikan grafik interaksi antara suhu dan jenis kemasan yang digunakan.
Jumlah koloni (10 7)
2.5
2.0 gelas 1.5
LDPE CPET
1.0
0.5 3-5˚C
12-15˚C
27-30˚C
Suhu penyimpanan
Gambar 10. Grafik interaksi jenis kemasan dan suhu terhadap nilai TPC Selama penyimpanan dingin, pertumbuhan mikroba terhambat. Mikroba yang dapat tumbuh pada suhu ini adalah dari kelompok psikrofilik yang memiliki suhu pertumbuhan optimum 10oC ataupun kelompok psikotrofik yang memiliki
35
suhu pertumbuhan optimum 25oC (Buckle et al., 1987). Menurut Frazier dan Westhoff (1967), bahan pangan yang disimpan pada suhu refrigerator dengan suhu sekitar 10oC (50oF) dapat mencegah pertumbuhan bakteri patogen dan memperlambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Menurut Singh (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba antara lain suhu, air, gas seperti oksigen dan karbondioksida, dan pH. Beberapa bakteri dan semua kapang membutuhkan oksigen untuk tumbuh (Muchtadi, 1989). Pertumbuhan mikroba akibat absorpsi dan kontaminasi dari lingkungan dapat ditekan oleh penyimpanan pada suhu dingin. Penanganan produk selama pengolahan juga turut mempengaruhi mutu produk. Menurut Muchtadi (1989) untuk menghilangkan atau mengurangi aktivitas biologis yang tidak diinginkan dalam bahan pangan, seperti aktivitas enzim dan mikrobiologis, dapat digunakan pengolahan dalam suhu tinggi. Usaha meminimalkan pertumbuhan mikroorganisme pada suatu produk juga dapat dilakukan dengan penerapan higienitas pada seluruh proses pengolahan dan pengemasan. Produk diolah dengan suhu tinggi, kemasan disterilisasi sebelum digunakan dan pengemasan produk dilakukan dengan teknik hot filling. Pada produk sop daun Torbangun ini, nilai TPC juga dipengaruhi oleh faktor jenis kemasan yang digunakan. Pada prinsipnya kemasan yang baik merupakan kemasan yang dapat mencegah atau meminimalisir kontak antara produk dengan pengaruh lingkungan terutama udara dan uap air. Nilai TPC yang tinggi ditunjukkan oleh kemasan LDPE, kemudian diikuti oleh kemasan microwavable plastic (CPET). Sementara itu, kemasan gelas menunjukkan nilai TPC yang lebih kecil. Kecenderungan nilai TPC yang lebih tinggi dibandingkan dengan kemasan lain dikarenakan LDPE merupakan plastik yang memiliki sifat penahan uap air dan penahan oksigen yang lebih buruk dibandingkan kemasan gelas dan CPET. Kemudahan keluar masuknya oksigen dan uap air dalam kemasan akan menyebabkan kemudahan mikroba mengiluminasi produk. Selain itu, semakin tinggi permeabilitas suatu bahan kemasan, semakin mudah udara keluar dan masuk melalui pori kemasan dan kondisi ini semakin menguntungkan bagi pertumbuhan mikroorganisme aerob. Dari hasil uji TPC dapat disimpulkan bahwa suhu kamar dengan kemasan LDPE bukan kombinasi
36
perlakuan yang baik untuk penyimpanan produk sop daun Torbangun. Meskipun demikian plastik LDPE banyak digunakan sebagai bahan pengemas dikarenakan kemudahannya untuk dikelim panas. Untuk memperbaiki sifat tersebut, maka dalam penelitian ini digunakan plastik LDPE sebanyak dua lapis. Lapisan pertama dikelim menggunakan panas, dan lapisan kedua ditutup menggunakan cable tie (Lampiran 50). Walaupun perlakuan 2 lapisan LDPE tersebut telah diberikan untuk menekan pertumbuhan mikroorganisme, namun kemampuan plastik ini untuk memberikan perlindungan maksimal produk terhadap pengaruh lingkungan belum dapat menandingi kedua jenis kemasan lainnya. Kemasan lain yaitu plastik microwavable (CPET) terlihat mampu memberikan perlindungan yang cukup baik terhadap produk, namun tidak sebaik perlindungan yang diberikan oleh kemasan gelas. Kemasan CPET ini merupakan plastik dengan sifat penahan yang baik terhadap oksigen dan uap air, serta baik untuk produk berlemak. Masuknya uap air dan oksigen ke dalam kemasan CPET diduga berasal dari plastik segel, karena dalam penelitian ini, CPET digunakan sebagai wadah dan LDPE digunakan sebagai penutup (segel). Kemasan gelas memberikan hasil terbaik dalam perlindungan produk. Hal ini terlihat dari rendahnya pertumbuhan mikroba akibat sifat penghalangnya yang baik dibandingkan dengan kemasan lain yang digunakan dalam penelitian ini, sehingga faktor-faktor yang diperlukan oleh mikroba untuk tumbuh tidak tersedia dalam jumlah yang cukup. Gelas merupakan kemasan dengan sifat permeabilitas yang sangat baik terhadap gas dan uap air. Sifat ini juga didukung oleh tutup ulir kemasan gelas yang terbuat dari plastik HDPE ;yang merupakan jenis plastik dengan sifat perlindungan oksigen yang baik; ditambah dengan segel berupa plastik shrinkable heat (plastik yang dapat menyusut akibat perlakuan panas) yang terbuat dari plastik PET. Dari data uji TPC, mikroorganisme telah terdeteksi di awal penyimpanan atau pada hari ke nol. Jumlah mikroba awal yang cukup besar ini diduga karena adanya mikroba yang mengkontaminasi sebelum proses pengolahan dan pengemasan, baik berasal dari udara, kemasan maupun peralatan dan adanya mikroba yang tahan terhadap proses pengolahan yang menggunakan panas
37
(mikroba termofilik). Menurut Frozier (1989) contoh bakteri termofilik adalah Bacillus, Clostridium thermosaccharolyticum atau Lactobacillus thermophillus. 4.1.3. Derajat Asam (pH) Nilai pH menjadi faktor penting untuk suatu produk makanan bila dihubungkan dengan kualitas produk. Nilai pH ini dapat digunakan sebagai parameter penentu kemasan dan kondisi penyimpanan terbaik. Perubahan nilai pH yang signifikan dapat merubah rasa dari suatu produk makanan. Kemasan memberikan perlindungan terhadap produk dari pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan. Produk sop daun Torbangun ini merupakan produk berlemak yang rentan terhadap proses oksidasi yang dapat menimbulkan ketengikan. Selain itu, produk ini juga rentan terhadap pertumbuhan mikroorganisme yang dapat meningkatkan keasaman produk. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kemasan yang dapat mengurangi atau mencegah masuknya oksigen. Hasil analisis ragam (Lampiran 7-20) menunjukkan nilai pH pada produk tersebut dipengaruhi oleh faktor kemasan untuk taraf 5% pada penyimpanan di hari kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan. Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa di hari pertama, kedua dan kelima, nilai pH dipengaruhi oleh faktor suhu pada taraf 5%. pH yang semakin asam dihasilkan oleh suhu yang semakin tinggi. Pada hari pertama, interaksi antara suhu dan jenis kemasan juga mempengaruhi nilai pH produk pada taraf 5%. Gambar 11 menunjukkan hasil pengukuran nilai pH pada semua jenis kemasan dan suhu selama penyimpanan. Berdasarkan data hasil percobaan kondisi suhu rendah cenderung dapat mempertahankan nilai pH yang ditunjukkan dengan nilai pH yang relatif tinggi yaitu berkisar antara 6,35 dan 5,36 untuk kemasan gelas, 6,35 hingga 5,11 dan untuk kemasan LDPE antara 6,35 dan 5,16. Penyimpanan pada suhu 10-12oC menunjukkan hasil yang cenderung lebih asam dibandingkan penyimpanan di suhu yang lebih rendah, yaitu dengan nilai pH berkisar antara 6,35 dan 5,31 untuk kemasan gelas, 6,35 hingga 5,16 untuk kemasan LDPE, dan 6,35 hingga 5,09 untuk kemasan microwavable plastic (CPET). Nilai pH pada penyimpanan suhu ruang (27-30oC) cenderung menghasilkan nilai pH yang lebih kecil (kondisi produk lebih asam). Produk yang
38
dikemas dengan kemasan gelas pada suhu ini menunjukkan kisaran nilai antara 6,35 dan 5,09, kemasan LDPE sebesar 6,35 hingga 5,04 dan kemasan CPET antara 6,35 hingga 5,09. Data hasil uji pH tersebut secara rinci disajikan pada Lampiran 2, 3 dan 4.
6.5 A1B1 A1B2 A1B3
6.0 Nilai pH
A2B1 A2B2 A2B3 5.5
A3B1 A3B2 A3B3
5.0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Lama Penyimpanan (hari)
Keterangan :
A1 : Kemasan Gelas
B1 : suhu 3-5oC
A2 : Kemasan LDPE
B2 : suhu 10-12oC
A3 : Kemasan Microwavable Plastic
B3 : suhu 27-30oC
Gambar 11. Grafik hasil uji derajat keasaman (pH) Semakin lama penyimpanan, produk cenderung bersifat semakin asam. Setelah hari keempat, terlihat bahwa nilai pH yang rendah ditunjukkan oleh kemasan LDPE, kemudian diikuti oleh kemasan microwavable (CPET) dan kemasan gelas. Asam secara alami terdapat dalam setiap makanan. Asam yang ada pada makanan dapat diproduksi dari aksi mikroorganisme, penambahan asam ke dalam makanan atau adanya reaksi kimia yang terjadi pada makanan tersebut yang menghasilkan asam (Gould, 1983). Dalam penelitian ini kenaikan pH produk diduga karena aksi mikroorganisme bukan karena penambahan asam dari luar.
39
6.1
nilai pH
6.0 gelas
5.9
LDPE 5.8
CPET
5.7 5.6 3-5˚C
12-15˚C
27-30˚C
Suhu penyimpanan
Gambar 12. Grafik interaksi jenis kemasan dan suhu terhadap nilai pH Dari gambar di atas terlihat produk dengan kemasan LDPE mempunyai nilai pH yang lebih rendah dibandingkan dengan produk yang kemasan gelas atau CPET. Rendahnya nilai pH ini dikarenakan LDPE memiliki permeabilitas yang tinggi sehingga mudah terjadi penyerapan uap air dan O2 yang dapat mempercepat laju pertumbuhan mikroorganisme. Menurunnya nilai pH selama penyimpanan diduga disebabkan oleh naiknya kadar asam lemak bebas hasil hidrolisa lemak oleh enzim lipase mikroba (Fardiaz, 1989) Semakin tinggi kadar asam lemak bebas maka semakin tinggi bilangan asam sehingga pH semakin rendah. Menurunnya nilai pH juga dapat disebabkan oleh terjadinya degradasi protein yang menghasilkan asam amino, juga oleh adanya senyawa asam yang terbentuk dari perubahan senyawa karbohidrat dalam bahan. Selain itu, penurunan nilai pH disebabkan adanya mikroba yang aktif mendegradasi pati menjadi senyawasenyawa yang lebih sederhana seperti gula yang selanjutnya difermentasi menjadi asam (Fardiaz, 1989). Nilai pH merupakan faktor penting yang harus diketahui oleh produk pangan olahan seperti sop daun torbangun ini. Nilai pH yang turun diduga akibat aktivitas bakteri yang terdapat dalam sop daun Torbangun ini. Nilai ketengikan berkaitan dengan nilai pH dan total asam tertitrasi. Ketengikan terjadi karena terbentuknya hidroperoksida sebagai hasil penguraian radikal bebas asam lemak tidak jenuh yang terbentuk dari hasil oksidasi ataupun hidrolisis lemak. Hasil
40
penguraian asam lemak bebas lainnya adalah terbentuknya ion H+ yang berpengaruh terhadap nilai pH. Kecenderungan turunnya nilai pH sampel selama penyimpanan sejalan dengan semakin tingginya total asam tertitrasi. Pengaruh kemasan terhadap pH disebabkan oleh karakteristik kemasan berupa permeabilitas kemasan terhadap oksigen. Kemasan yang memiliki tingkat permeabilitas oksigen yang lebih rendah yaitu kemasan gelas dapat menghambat masuknya oksigen sehingga dapat mengurangi laju oksidasi. Selain itu, apabila ketersediaan oksigen bebas pada kemasan lebih sedikit, maka aktivitas mikroorganisme sejalan dengan pertumbuhan mikroorganisme yang lebih rendah. 4.1.4. Total asam Tertitrasi (TAT) Nilai Total Asam Tertitrasi (TAT) dalam penelitian ini digunakan sebagai salah satu parameter untuk menentukan kondisi pengemasan dan jenis pengemasan terbaik untuk produk sop daun Torbangun. Perhitungan nilai TAT dapat digunakan untuk mengetahui tingkat keasaman atau kandungan asam suatu produk. Total asam yang terukur adalah jumlah hidrogen total (dalam bentuk terdisosiasi maupun tidak terdisosiasi). Nilai TAT ini selalu berbanding terbalik dengan nilai pH, semakin tinggi pH maka semakin rendah nilai TAT. Data hasil percobaan pada Lampiran 6a, 6b dan 6c menunjukkan bahwa produk yang disimpan dalam kemasan gelas pada suhu 3-5oC memiliki nilai TAT sebesar 2,31935 ml NaOH 0,1 N/100 g hingga 4,06970 ml NaOH 0,1 N/100 g, untuk suhu 10-12oC sebesar 2,31935 ml NaOH 0,1 N/100 g hingga 4,6354 ml NaOH 0,1 N/100 g. Pada suhu ruang, nilai TAT yang terukur hingga penyimpanan di hari kedua bernilai 2,31935 ml NaOH 0,1 N/100 g dan 4,3625 ml NaOH 0,1 N/100 g. Kemasan berikutnya yaitu kemasan LDPE menunjukkan nilai TAT yang cenderung lebih besar, yaitu 2,31935 ml NaOH 0,1 N/100 g hingga 5,270085 ml NaOH 0,1 N/100 g pada suhu 3-5oC, untuk suhu 10-12oC sebesar 2,31935 ml NaOH 0,1 N/100 g hingga 4,80225 ml NaOH 0,1 N/100 g, dan untuk suhu ruang sebesar 2,31935 ml NaOH 0,1 N/100 g hingga 4,2218 ml NaOH 0,1 N/100 g. Kemasan yang ketiga yaitu kemasan plastik microwavable memberikan nilai sebesar 2,31935 ml NaOH 0,1 N/100 g hingga 4,85385 ml NaOH 0,1 N/100 g
41
pada suhu 3-5oC, 2,31935 ml NaOH 0,1 N/100 g hingga 4,82685 ml NaOH 0,1 N/100 g untuk suhu 10-12oC dan 2,31935 ml NaOH 0,1 N/100 g hingga 4,3324 ml NaOH 0,1 N/100 g untuk suhu 27-30oC. Gambar 16 menyajikan data pengukuran nilai TAT secara lengkap dalam bentuk grafik. 5.0 A1B1 A2B2 A2B3
nilai TAT
4.0
A2B1 A2B2 A2B3 3.0
A3B1 A3B2 A3B3
2.0 0
2
4
6
8
Lama penyimpanan (hari)
Keterangan :
A1 : Kemasan Gelas
B1 : suhu 3-5oC
A2 : Kemasan LDPE
B2 : suhu 10-12oC
A3 : Kemasan Microwavable Plastic
B3 : suhu 27-30oC
Gambar 13. Grafik hasil uji Total Asam Tertitrasi (ml NaOH 0,1N/100gr) Semakin lama penyimpanan, nilai TAT semakin meningkat, dan suhu ruang cenderung menunjukkan nilai TAT yang meningkat secara drastis pada penyimpanan selama 2 hari (Gambar 16). Setelah hari ketiga, rata-rata nilai TAT yang lebih rendah ditunjukkan oleh produk yang disimpan pada suhu 3-5oC. Pada suhu ruang, nilai TAT cenderung meningkat dengan cepat dibandingkan pada suhu dingin. Selain dikarenakan oleh aktivitas mikroba, kecenderungan peningkatan total asam tertitrasi selama penyimpanan disebabkan oleh peningkatan asam lemak bebas yang dihasilkan dari proses hidrolisis lemak oleh panas. Biasanya peningkatan keasaman ini juga disertai dengan penurunan nilai pH (terlihat pada Gambar 14), karena pelepasan ion hidrogen asam lemak. Sementara itu berdasarkan analisis ragam, faktor kemasan memberikan perbedaan yang nyata (nilai interaksi <0,05) pada penyimpanan di hari keenam. Sama seperti
42
uji yang lain, kemasan gelas tetap menunjukkan perlindungan terbaik terhadap produk, diikuti oleh kemasan CPET dan kemasan LDPE. Gambar 17 menyajikan grafik pengaruh faktor jenis kemasan terhadap nilai TAT.
TAT (ml NaOH 0,1 N/100 g)
3.15
3.10
3.05
3.00 gelas
LDPE
CPET
Jenis kemasan
Gambar 14. Grafik pengaruh faktor jenis kemasan terhadap nilai TAT Dalam sup daun Torbangun diduga terdapat mikroba yang aktif mendegradasi pati menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti gula yang selanjutnya difermentasi menjadi asam. Adanya pemecahan senyawasenyawa kimia oleh mikroorganisme seperti karbohidrat, lemak dan protein akan mempengaruhi tingkat keasaman suatu produk. Nilai TAT meningkat selama penyimpanan akibat kandungan asam (baik terurai maupun tidak terurai) yang meningkat. Hal ini terbukti dari data yang diperoleh, bahwa nilai TAT yang didapatkan pada penelitian ini sejalan dengan nilai TPC yang terukur. Semakin tinggi nilai TPC maka nilai TAT produk cenderung semakin tinggi. 4.2. Pemilihan Jenis Kemasan Terbaik Sop daun Torbangun merupakan produk yang memiliki potensi untuk dipasarkan secara komersial. Pemilihan kemasan terbaik untuk produk yang ditujukan untuk kepentingan komersial tidak hanya dapat didasarkan atas kemampuannya melindungi mutu produk, tetapi juga harus mempertimbangkan faktor-faktor lain. Faktor-faktor tersebut diantaranya harga, kemudahan dalam proses pengemasan, tampilan produk setelah dikemas, kemudahan dalam proses
43
distribusi, dan kepraktisan konsumen. Kemasan yang dianggap sebagai kemasan terbaik adalah kemasan yang memiliki harga yang relatif murah, mudah dalam proses
pengemasan,
memiliki
tampilan
yang
menarik,
mudah
untuk
didistribusikan, dan praktis untuk dikonsumsi oleh konsumen. Pengambilan keputusan penentuan kemasan terbaik digunakan teknik pembobotan. Teknik ini dicapai dengan memberikan bobot pada masing-masing bahan kemasan untuk masing-masing faktor penentu. Adapun untuk faktor mutu, langkah-langkah pemberian bobot adalah sebagai berikut: (i)
Lakukan uji lanjut Duncan terhadap nilai mutu yang meliputi TAT, TBA, pH dan TPC dengan tingkat kepercayaan 95%.
(ii)
Berikan pembobotan di masing-masing hari berdasarkan uji lanjut Duncan pada poin (i) tersebut. Ada 3 kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu: 1. Ketiga jenis kemasan tidak berbeda nyata, sehingga untuk masingmasing uji tersebut, setiap kemasan diberikan poin yang sama yaitu 1. 2. Ketiga jenis kemasan berbeda nyata, sehingga untuk uji TPC, TAT dan TBA, kemasan yang memiliki nilai tertinggi diberi poin 0, lalu kemasan yang memiliki kadar menengah akan diberi poin 1 dan kemasan yang memiliki nilai terendah akan diberi poin 2. Untuk uji pH, kemasan yang memiliki nilai tertinggi diberi poin 2, kadar menengah diberi poin 1 dan kemasan yang memiliki nilai terendah diberi poin 0. 3. Jika ada kelompok kemasan yang terdiri dari jenis kemasan yang tidak berbeda nyata, dan kemasan lainnya berbeda nyata, maka pemberian poin akan tergantung dari nilai kadar kelompok kemasan tersebut. Untuk uji TPC, TAT dan TBA, kemasan yang memiliki nilai tertinggi diberi poin 0, lalu kemasan yang memiliki kadar menengah akan diberi poin 1 dan kemasan yang memiliki nilai terendah akan diberi poin 2. Untuk uji pH, kemasan yang memiliki nilai tertinggi diberi poin 2, kadar menengah diberi poin 1 dan kemasan yang memiliki nilai terendah diberi poin 0. Sedangkan untuk kemasan yang berbeda nyata (bukan bagian dari kelompok kemasan tersebut), akan diberi poin tinggi untuk kemasan yang memberikan hasil terbaik dan poin yang rendah apabila kemasan tersebut menunjukkan hasil yang buruk.
44
Langkah-langkah penentuan faktor mutu tersebut tersaji pada Gambar 15. Nilai mutu (TBA, TAT, TPC dan pH) untuk kemasan gelas, LDPE, dan CPET
Uji lanjut Duncan antar kemasan Tidak berbeda nyata antar ketiga jenis kemasan Beri bobot 1 untuk semua jenis kemasan
Berbeda nyata antar ketiga jenis kemasan Lihat nilai TAT, TPC dan TBA
Beri bobot 2 untuk nilai terendah, bobot 1 untuk nilai menengah, dan bobot 0 untuk nilai terendah
Lihat nilai pH
Beri bobot 0 untuk nilai terendah, bobot 1 untuk nilai menengah, dan bobot 2 untuk nilai terendah
Lihat nilai TAT, TPC dan TBA Beri bobot 2 untuk nilai terendah, bobot 1 untuk nilai menengah, dan bobot 0 untuk nilai terendah
Lihat nilai pH
Beri bobot 0 untuk nilai terendah, bobot 1 untuk nilai menengah, dan bobot 2 untuk nilai terendah
2 jenis kemasan tidak berbeda nyata, kemasan lain berbeda nyata Kelompok kemasan yang tidak berbeda nyata
kemasan yang berbeda nyata
Bandingkan
Lihat nilai TAT, TPC dan TBA Beri bobot 2 untuk nilai terendah, bobot 1 untuk nilai tertinggi
Lihat nilai pH
Beri bobot 0 untuk nilai terendah, bobot 1 untuk nilai terendah
Gambar 15. Diagram alir langkah pembobotan faktor perlindungan mutu produk. Berdasarkan langkah-langkah di atas, maka didapatkan hasil pembobotan untuk masing-masing parameter mutu pada setiap titik pengamatan (hari). Hasil pembobotan tersebut disajikan pada Tabel 5.
45
Tabel 5. Pembobotan faktor mutu produk (TBA, TAT, TPC, dan pH) Parameter Jenis mutu kemasan Gelas TBA LDPE CPET Gelas TAT LDPE CPET Gelas TPC LDPE CPET Gelas pH LDPE CPET
1 1 1 1 1 1 1
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
3 2 1 2 1 1 1
Hari pengamatan 4 5 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 2 1 0 1 1
6 1 1 1 2 0 1 1 1 1 2 0 1
7 2 1 0 2 1 1
8 1 1 1 1 1 1 2 1 2 2 1 1
Total bobot 4 4 4 5 3 4 12 8 9 12 6 8
Tabel 6 menunjukkan total pembobotan dari faktor mutu produk untuk masing-masing jenis kemasan.
Dari pembobotan tersebut, nampak bahwa
kemasan gelas mendominasi perolehan nilai. Hal ini dikarenakan kemasan ini memiliki sifat yang sangat baik untuk melindungi mutu produk. Kemasan gelas merupakan kemasan yang memilki permeabilitas yang sangat rendah terhadap gas maupun
uap
air.
Plastik
CPET
menduduki
peringkat
kedua
dalam
mempertahankan mutu produk dan kemasan LDPE mendapatkan poin terendah. Tabel 6. Total pembobotan untuk faktor mutu produk (TAT, TBA, pH, TPC) Parameter mutu
Jenis kemasan Gelas
LDPE
CPET
pH
12
6
8
TPC
12
8
9
TAT
5
3
4
TBA
4
4
4
Total bobot
33
21
25
Pembobotan untuk faktor tampilan produk dan kepraktisan konsumen, didapatkan melalui kuisioner dengan 30 responden. Jenis kemasan yang memiliki tampilan paling menarik berdasarkan hasil kuisioner tersebut diberi bobot 2, nilai menengah diberi bobot 1, dan terkecil diberi nilai 0. Untuk faktor kemudahan
46
distribusi, dilakukan pembobotan dengan bantuan 5 orang pakar di bidang pengemasan. Pembobotan untuk faktor harga dan kemudahan mengemas didasarkan pada hasil pengamatan selama penelitian ini dilakukan. Keseluruhan pembobotan yang didapatkan untuk produk sop daun Torbangun ini disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7. Total pembobotan untuk pemilihan kemasan terbaik bagi produk sop daun Torbangun Faktor
Jenis kemasan Gelas
LDPE
CPET
Tampilan produk
2
0
1
Kemudahan distribusi
0
1
2
Kemudahan mengemas
1
0
2
Kepraktisan konsumen
0
2
1
Perlindungan mutu produk
2
0
1
Harga
1
2
1
Total bobot
6
5
8
Dari tabel di atas, terlihat bahwa kemasan CPET menunjukkan bobot tertinggi dibandingkan dengan jenis kemasan lain, sehingga CPET merupakan alternatif kemasan terbaik untuk produk sop daun Torbangun yang digunakan untuk kepentingan komersial. Kemasan kedua terpilih adalah kemasan gelas. Walaupun kemasan ini memberikan perlindungan terbaik terhadap produk, namun kini mulai ditinggalkan karena sifatnya yang mudah pecah sehingga kurang praktis dalam penggunaannya. LDPE merupakan kemasan terbaik terakhir, dimana kemasan ini memiliki harga yang relatif lebih murah, namun kemasan ini kurang baik dalam pemberian perlindungan terhadap produk. Tampilan kemasan ini juga kurang menarik dibandingkan dengan kemasan lain.
47
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Sop daun Torbangun bersantan tanpa penambahan bahan pengawet setelah dikemas memiliki umur simpan selama 2 hari untuk penyimpanan pada suhu ruang (27-30oC). Pada penyimpanan suhu dingin (3-5oC dan 10-12oC), produk ini dapat bertahan hingga 8 hari. Selama penyimpanan, terjadi penurunan mutu produk yang dapat ditekan dengan menggunakan bahan pengemas yang tepat dan suhu penyimpanan yang sesuai. Penurunan mutu yang terjadi yaitu ketengikan, meningkatnya kadar asam produk, serta adanya pertumbuhan mikroba. Nilai bilangan TBA pada setiap kemasan dan suhu cenderung meningkat selama waktu penyimpanan. Hasil analisis ragam terhadap bilangan TBA menunjukkan bahwa bilangan TBA sop daun Torbangun dipengaruhi secara nyata oleh faktor suhu pada taraf 5% pada hari kedua. Penyimpanan pada suhu 3-5oC tidak berbeda nyata dengan suhu 12-15oC. Nilai bilangan TBA pada kedua suhu ini cenderung lebih rendah dibandingkan suhu yang lebih tinggi yaitu pada suhu 27-30oC. Semakin lama disimpan, nilai rata-rata TBA cenderung semakin meningkat. Produk ini sangat rentan terhadap kerusakan akibat mikroorganisme. Berdasarkan hasil analisis ragam, faktor kemasan memberikan pengaruh nyata pada taraf 5% terhadap nilai TPC di hari ketiga, keempat, ketujuh dan kedelapan. Nilai TPC yang tinggi ditunjukkan oleh kemasan LDPE, kemudian diikuti oleh kemasan microwavable plastic (CPET) dan kemudian kemasan gelas. Faktor suhu juga memberikan pengaruh yang nyata untuk taraf 5% pada penyimpanan di hari pertama, kedua, ketiga, keempat, ketujuh, dan kedelapan. Peningkatan suhu akan meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme. Pada penyimpanan suhu kamar terlihat pertumbuhan mikroba yang sangat pesat pada semua jenis kemasan. Pada hari ketiga, interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan juga memberikan pengaruh yang nyata pada taraf 5%. Tingkat keasaman produk dapat dilihat dari uji pH dan TAT. Nilai TAT meningkat dan berbanding terbalik dengan nilai pH. Semakin lama penyimpanan, nilai pH cenderung semakin mengecil, dan pH yang semakin asam dihasilkan oleh
48
suhu yang semakin tinggi. Nilai pH produk tersebut dipengaruhi oleh faktor kemasan untuk taraf 5% pada penyimpanan di hari kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan. Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa di hari pertama, kedua dan kelima, nilai pH dipengaruhi oleh faktor suhu pada taraf 5%. pH yang semakin asam dihasilkan oleh suhu yang semakin tinggi. Pada hari pertama, interaksi antara suhu dan jenis kemasan juga mempengaruhi nilai pH produk pada taraf 5%. Semakin lama disimpan nilai TAT semakin meningkat, dan suhu ruang cenderung menunjukkan nilai TAT yang meningkat secara drastis pada penyimpanan selama 2 hari. Faktor kemasan memberikan perbedaan yang nyata pada penyimpanan di hari keenam. Pengambilan keputusan untuk mendapatkan alternatif kemasan terbaik dilakukan dengan metode pembobotan. Metode ini melibatkan faktor harga, kemudahan
dalam proses pengemasan, tampilan produk setelah dikemas,
kemudahan dalam proses distribusi, serta kepraktisan konsumen. Berdasarkan pembobotan dari faktor-faktor tersebut, kemasan CPET menunjukkan bobot tertinggi, sehingga kemasan ini merupakan kemasan terbaik bagi produk. Alternatif kemasan yang lain yaitu kemasan gelas yang menunjukkan bobot menengah dan kemasan LDPE yang memiliki bobot terendah. 5.2. Saran Perlu dilakukan studi lanjut mengenai penentuan umur simpan produk sup daun Torbangun dengan mempertimbangkan penggunaan bahan pengawet makanan yang dapat mempertahankan mutu selama penyimpanan, serta perhitungan jumlah migrasi bahan kemasan ke dalam produk. Selain itu, perlu dikaji penggunaan kemasan berwarna (tidak transparan) untuk mengurangi tingkat oksidasi lemak pada produk.
49
DAFTAR PUSTAKA Adcock, E.P. 1997. Closures and Dispensing Devices for Glass and Plastic Containers In F.A. Paine. The Packing Media. Blackie and Son, London. Anggraeni, Dian. 2002. Mempelajari Daya Tahan Simpan Cendol pada Penyimpanan Suhu Kamar dan Suhu Refrigerator. Skripsi. Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian.IPB. Bogor. Apriyantono, A.D. Fardiaz, N.L.Puspitasari, Sedarnawai, dan S. Budiyanto.1989. Analisa Pangan. Petunjuk Laboratorium. PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Ariyanti, N.D. 2003. Sifat Fisik, Kimia, Mikrobiologi dan Organoleptik Abon Ayam Kampung dengan Penambahan Kunyit Selama Penyimpanan. Skripsi. IPT. Fakultas Peternakan. IPB, Bogor. Belitz, H.D, W. Grosch. 1987. Food Chemistry. Berlin: Springer-Verlag. Briston, John H., dan Leonard L.Katan.1974. Plastic in Contact with Food. The Anchor Press Ltd., Great Britain. Brown, W.E. 1992. Plastic in Food Packaging : Properties, Design and Fabrication. Marcell Dekker, Inc., New York. Buckle, K.A., R.A, Edwards, G.H.Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan. UI-Press.Jakarta. Dahle, L.K., E.G. Hill dan R.T. Holman.1962.Arch.Biochem. Biophys.98.253 Damanik R, Z. Daulay, S. Saragih, R. Premier, N.Wattanapenpaiboon & ML. Wahlqvist. Consumption of Bangun-Bangun Leaves (Coleus amboinicus Lour) to Increase Breast Milk Production Among Bataknese Women in North Sumatera Island, Indonesia. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition 2001;10(4): S67 Damanik R. Effect of Consumption Torbangun Soup (Coleus amboinicus Lour) on Micronutrient Intake of the Bataknese Lactating women. Media Gizi & Keluarga Vol 29(1) Juli 2005: 68-73. Damanik R. Fatty Acid Intake of the Bataknese Lactating Women Consuming the Torbangun Soup (Coleus amboinicus Lour). Media Gizi & Keluarga Vol 29(1) Juli 2005: 74-80. Daulay, D. 1998. Pendinginan dan Pembekuan dalam Pengawetan Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Desrosier, N. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI Press, Jakarta.
50
Djatmiko,B., dan A.P. Widjaja. 1973. Minyak dan Lemak. Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Fatemeta. IPB. Bogor. Eackles, C.H., W.B. Combs dan H. Macy. 1957. Milk and Milk Products. Mc Graw Hill Publishing Co.Ltd. New Delhi. Egan, H., R.S. Kirk, dan R. Sawyer.1981. Pearson’s Chemical Analysis of Foods. Churchill Livingstone. London. Ellis, M.J. 1994. The Methodology of Shelf Life Determination. Di dalam Man C.M.D. dan A.A. Jones (eds.). Shelf Life Evaluation of Foods. Blackie Academic and Professional, London. Fardiaz, S.1989. Mikrobiologi Pangan. Penuntun Praktek Laboratorium. Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan. Fateta, IPB. Bogor. Frazier, W.C. dan D. Westhoff. 1978. Food Microbiology Third Edition. Mc. Graw-Hill Book Company, New York. Fellows, P. 1992. Food Processing Technology: Principles and Practice. Ellis Horwood Ltd., England. Gordon, M.H. 1990. The Mechanism of Antioxidant Action in vitro. Di dalam Hudson, B.J.F. (ed). Food Antioxidant. Elsevier Applied Science.London. Hamilton, R. J.1983. The Chemistry of Rancidity in Foods. Di dalam Allen, J.C. dan R.J. Hamilton (eds). Rancidity in Foods. Applied Science Publisher. London dan New York. Harrington, James P., dan Wilmer A. Jenkins.1991. Packaging Foods with Plastic. Technomic Publishing Co.,Inc., Lancaster. USA. Hine, D.J. 1987. Modern Processing, Packaging and Distribution System for Foods. Blackie Academic and Professional. London. Hoseney, R.C.1998. Principles Cereal Science and Technology. Second Edition. American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta. Mahmud, Mien, K., Slamet, DS., Apriyantono, R.R., Hermana. 1990. Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Pusat Penelitian & Pengembangan Gizi: Jakarta.
51
Muchtadi, T.R. 1989. Petunjuk Laboratorium Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nawar, W.W. 1985. Lipids. Di dalam : Fennema, O.R (ed). Food Chemistry. Marcell Dekker, Inc., New York. Peterson, G.T. 1969. Methods of Producing Vacum in Cans. di dalam Laboratory Manual for Food Canners & Processors Vol.2. AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Potter, N.N.1973. Food Science. The Avi Publishing Company Inc. Westport. Connecticut. Reksohadinoto, S. 1991. Peranan Kemasan di dalam Memperpanjang Daya Tahan Produk. Hyatt Regency : Surabaya. Robertson, Gordon, L. 1991. Predicting the Shelf Life of Packaging Foods. Journal Asean Food 6 : 43-51. Robertson, Gordon, L. 1993. Food Packaging : Principles and Practice. Marcell Dekker, Inc., New York. Siagian, M.H. dan M. Rahayu.2000. Laporan Penelitian Etnobotani Plecantrus amboinicus Lour Spreng di daerah Batak Toba, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Makalah disajikan pada Kongres Nasional Obat Tradisional Indonesia, Surabaya. Silitonga, M.1993. Efek Laktogagum Daun Jinten (Coleus amboinicus, L) pada Tikus Laktasi. Tesis. Program Studi Biologi. Institut Pertanian Bogor: Bogor. Singh, R.P. 1994. Scientific Principles of Shelf Life Evaluation. Di dalam Man C.M.D. dan A.A. Jones (eds.). Shelf Life Evaluation of Foods. Blackie Academic and Professional, London. Somaatmadja. D., Atih S.H. dan Adjuk Mardjuki. 1974. Pengolahan Kelapa III Pengawetan Santan Kelapa. Balai Penelitian Kimia Bogor. Syarief, R., dan H. Halid .1992. Teknologi Penyimpanan Pangan. Ancor, Jakarta. Syarief, Rizal, S. Santausa dan S. Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium Rekayasa Bioproses Pangan. PAU IPB : Bogor. Syarief, R., dan A. Irawati.1983. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. MSP, Jakarta.
52
Tarladgis, B.G., Watts,B.M., Younathan, M.T., dan L.R. Dugan, Jr.1990. A Distillation Method for the Quantitative determination of Malonaldehide in Rancid Foods. Journal of American Oil Chamistry Society.37. 44-48 Winarno, F.G. 1986. Kimia Pangan. Penerbit Gramedia. Jakarta. Winarno, F.G dan B.S.L. Jennie. 1983. Kerusakan Bahan Pangan dan Cara Pencegahannya. Ghalia Indonesia, Yakarta. Zaitsev, V., I. Kizevetter, L.Lagunov, T. Makarova, L. Minder and V. Podsevalov. 1969. Fish Curing and Processing. Mir Publisher. Moscow. Uni Sovyet.
53
LAMPIRAN
Lampiran 1. Sketsa wadah gelas dan dimensinya
54
Lampiran 2.a. Prosedur Analisa Total Asam Tertitrasi (AOAC, 1984) Total asam ditentukan dengan cara titrasi. Bahan ditentukan sebanyak 10 gram. Setelah itu dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml, kemudian ditepatkan sampai tanda tera dengan menambah air suling. Selanjutnya dilakukan penyaringan dengan kapas dan filtrat yang diperoleh sebanyak 25 ml dan dititrasi dengan larutan NaOH 0,01 M dengan indikator phenolphtalein sampai terbentuk warna merah muda pada akhir titrasi.
Total asam ( g / 100 g ) =
ml NaOH × N × 64 × P × 100 Y × 100
Keterangan : N : Normalitas NaOH yang telah distandarisasi Y : Bobot sampel P : Faktor pengenceran 64 : ekuivalensi asam sitrat Lampiran 2.b. Prosedur Analisa pH (AOAC, 1984) Sebelum digunakan untuk mengukur pH, terlebih dahulu pH meter dikalibrasi dengan menggunakan larutan buffer pH 4 atau 7. Setelah pH meter dikalibrasi, sampel diukur. Elektrode dibilas dengan menggunakan aquades dan dikeringkan dengan kertas tissue. Elektroda dicelupkan pada larutan sampel. Elektrode dibiarkan tercelup beberapa saat sampai diperoleh pembacaan yang stabil dan catat pH sampel. Lampiran 2.c. Prosedur Analisa Total Plate Count (Fardiaz, 1987) Pembuatan media agar dilakukan dengan mencampurkan 23 g Nutrient agar ke dalam 1 liter aquades dalam gelas piala. Larutan yang terbentuk dipanaskan sambil diaduk sampai mendidih sehingga semua agar terlarut. Sterilisasi dilakukan terhadap larutan agar beserta peralatan yang lain yang akan digunakan seperti pipet, blender, dan larutan agar dalam autoklaf selama 15 menit. Larutan agar disimpan dalam pemanas air suhu 45oC. Pembuatan larutan pengencer dengan pencampuran 8,5 g NaCl ke dalam 1000 ml aquades. Larutan pengencer kemudian didestilasi.
55
Pembuatan larutan sampel dengan mencampurkan 1 g bahan (campuran sop daun Torbangun) dan dihancurkan bersama larutan pengencer sebanyak 9 ml sampai larutan menjadi homogen. Pengenceran dilakukan dengan mengambil 1 ml larutan sampel yang sudah homogen dengan pipet steril sehingga terbentuk pengenceran 10-1 kemudian larutan tersebut dikocok sampai homogen. Pengenceran dilakukan menurut kebutuhan penelitian. Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan sampel dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan menggunakan pipet steril. Media agar ditambahkan ke dalam setiap cawan petri sebanyak 20 ml dan digoyangkan sampai dengan merata (metode tuang). Cawan petri (agar yang sudah membeku) diinkubasi dalam inkubator bersuhu 30oC selama 48 jam. Lampiran 2.d. Analisa Thiobarbituric Acid (TBA) (Apriyantono et al., 1989) Bahan ditimbang sebanyak 10 gram dengan teliti lalu dimasukkan ke dalam waring blender, ditambahkan 50 ml aquades dan dihancurkan selama 2 menit. Sampel dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47.5 ml aquades. Ditambahkan ± 2.5 ml HCl 4M sampai pH menjadi 1.5. Kemudian, ditambahkan batu didih dan pencegah buih (anti foaming agent) secukupnya dan dipasangkan labu destilasi pada alat destilasi. Destilasi dijalankan dengan pemanasan tinggi sehingga diperoleh 50 ml destilat selama 10 menit pemanasan. Destilat yang diperoleh diaduk merata, kemudian 5 ml destilat dipipet ke dalam tabung reaksi bertutup. Ditambahkan 5 ml pereaksi TBA, ditutup dan dicampur merata lalu dipanaskan selama 35 menit dalam air mendidih. Dibuat blanko dengan menggunakan 5 ml aquades dan 5 ml pereaksi, lakukan seperti pada penetapan sampel. Tabung reaksi didinginkan dengan pendingin selama ± 10 menit, kemudian diukur absorbansinya (D) pada panjang gelombang 528 nm dengan larutan blanko sebagai titik nol. Digunakan sampel sel berdiameter 1 cm. Bilangan TBA dihitung dan dinyatakan dalam mg malanoldehid per kg sampel. Bilangan TBA = 7.8 D.
56
Lampiran 3a. Data hasil uji pH kemasan gelas pada tiga suhu penyimpanan Hari ke0 1 2 3 4 5 6 7 8
Suhu 3-5˚C I II 6,30 6,32 6,26 6,24 6,26 6,12 5,81 5,67 5,40
6,35 6,32 6,31 6,33 6,28 6,24 5,88 5,75 5,36
Nilai pH kemasan gelas Suhu 10-12˚C Suhu 27-30˚C I II I II 6,30 6,28 6,25 6,27 6,20 5,94 5,82 5,42 5,31
6,35 6,30 6,29 6,25 6,22 5,84 5,74 5,56 5,42
6,30 5,51 5,12
6,35 5,42 5,09
Lampiran 3b. Data hasil uji pH kemasan LDPE pada tiga suhu penyimpanan Hari ke0 1 2 3 4 5 6 7 8
Suhu 3-5˚C I II 6,30 6,35 6,31 6,29 6,02 5,84 5,66 5,24 5,19
6,35 6,32 6,28 6,23 6,20 5,71 5,59 5,21 5,11
Nilai pH kemasan LDPE Suhu 10-12˚C Suhu 27-30˚C I II I II 6,30 6,27 6,21 6,21 6,19 5,69 5,45 5,31 5,22
6,35 6,30 6,31 6,20 6,23 5,72 5,61 5,20 5,16
6,30 5,62 5,17
6,35 5,55 5,04
Lampiran 3c. Data hasil uji pH kemasan Microwavable plastic pada tiga suhu penyimpanan Hari ke0 1 2 3 4 5 6 7 8
Nilai pH kemasan Microwavable plastic Suhu 3-5˚C Suhu 10-12˚C Suhu 27-30˚C I II I II I II 6,30 6,34 6,31 6,29 6,11 5,98 5,79 5,37 5,26
6,35 6,35 6,34 6,21 6,17 5,88 5,66 5,32 5,16
6,30 6,28 6,19 6,29 6,32 5,84 5,77 5,28 5,22
6,35 6,32 6,29 6,22 6,19 5,92 5,69 5,33 5,09
6,30 5,49 5,42
6,35 5,40 5,09
57
Lampiran 4a. Data hasil uji mikrobiologi (TPC) kemasan gelas pada tiga suhu penyimpanan Hari ke0 1 2 3 4 5 6 7 8
Suhu 3-5˚C I II 73 × 101 23 × 102 1.2 × 103 38 × 105 1.7 × 106 41 × 105 43 × 105 1.4 × 107 29 × 106
Jumlah koloni kemasan gelas Suhu 10-12˚C I II
51 × 101 61 × 102 39 × 103 28 × 104 51 × 104 39 × 105 71 × 105 25 × 106 31 × 106
73 ×101 51 × 102 1.4 × 104 1.7 × 106 41 × 105 39 × 105 81 × 105 39 × 106 44 × 106
51 × 101 47 × 102 67 × 103 31 × 104 34 × 105 78 × 105 2.2 × 107 27 × 106 42 × 106
Suhu 27-30˚C I II
73 × 101 90 × 103 2.3 ×106 43 × 106
51 × 101 35 × 103 1.1 × 107 37 × 107
Lampiran 4b. Data hasil uji mikrobiologi (TPC) kemasan LDPE pada tiga suhu penyimpanan Hari ke0 1 2 3 4 5 6 7 8
Suhu 3-5˚C I II 73 × 101 29 × 102 26 × 103 42 × 104 25 × 105 52 × 105 91 × 105 33 × 106 49 × 106
Jumlah koloni kemasan LDPE Suhu 10-12˚C Suhu 27-30˚C I II I II
51 × 101 54 × 102 32 × 103 57 × 104 43 × 105 66 × 105 1.1 × 107 31 × 106 52 × 106
73 × 101 1.1 × 104 67 × 103 84 × 104 49 × 105 53 × 105 1.8 × 107 49 × 106 71 × 106
51 × 101 71 × 102 72 × 103 1.3 × 106 51 × 105 68 × 105 2.1 × 107 69 × 106 79 × 106
73 × 101 1.7 × 105 72 × 105 81 × 106
51 × 101 56 × 104 29 × 106 76 × 106
58
Lampiran 4c. Data hasil uji mikrobiologi (TPC) kemasan microwavable plastic pada tiga suhu penyimpanan Hari ke0 1 2 3 4 5 6 7 8
Jumlah koloni kemasan Microwavable plastic (koloni/gram produk) Suhu 3-5˚C Suhu 10-12˚C Suhu 27-30˚C I II I II I II 73 × 101 32 × 102 1.7 × 104 37 × 104 38 × 105 45 × 105 84 × 105 29 × 106 36 × 106
51 × 101 41 × 102 34 × 103 39 × 104 41 × 105 49 × 105 89 × 105 39 × 106 53 × 106
73 × 101 90 × 102 31 × 103 62 × 104 47 × 105 51 × 105 28 × 106 44 × 106 59 × 106
5 × 101 52 × 102 53 × 103 1.1 × 106 43 × 105 72 × 105 24 × 106 57 × 106 67 × 106
73 ×101 1.5 × 105 1.2 × 107 31 × 106
51 × 101 47 × 103 58 × 106 53 × 106
59
Lampiran 5a. Data hasil uji TBA kemasan gelas pada tiga suhu penyimpanan
0 2 4 6 8
Bilangan TBA kemasan Gelas (mg/kg malonaldehide) Suhu 3-5˚C I II 1 2 x 1 2 x 0,3073 0,3110 0,30915 0,2487 0,3030 0,27585 0,3697 0,2760 0,32285 0,3108 0,3416 0,32620 0,3701 0,3744 0,37225 0,3512 0,3343 0,34275 0,4363 0,4150 0,42565 0,3522 0,3326 0,34240 0,3885 0,4537 0,42110 0,4824 0,4371 0,45975
0 2 4 6 8
Bilangan TBA kemasan Gelas (mg/kg malonaldehide) Suhu 10-12˚C I II 1 2 x 1 2 x 0,3073 0,3110 0,30915 0,2487 0,3030 0,27585 0,3318 0,3342 0,33300 0,3197 0,3008 0,31025 0,3678 0,3594 0,36360 0,3137 0,3264 0,32005 0,3697 0,4020 0,38585 0,4215 0,4250 0,42325 0,4309 0,3825 0,40670 0,4110 0,4490 0,43000
0 2 4 6 8
Bilangan TBA kemasan Gelas (mg/kg malonaldehide) Suhu 27-30˚C I II 1 2 x 1 2 x 0,3073 0,3110 0,30915 0,2487 0,3030 0,27585 0,3519 0,3310 0,34145 0,3764 0,4027 0,38955 -
Hari ke-
Hari ke-
Hari ke-
60
Lampiran 5b. Data hasil uji TBA kemasan LDPE pada tiga suhu penyimpanan
0 2 4 6 8
Bilangan TBA Kemasan LDPE (mg/kg malonaldehide) Suhu 3-5˚C I II 1 2 x 1 2 x 0,3073 0,3110 0,30915 0,2487 0,3030 0,27585 0,2426 0,3716 0,30710 0,2982 0,2572 0,27770 0,4057 0,3921 0,39890 0,3329 0,3036 0,31825 0,4579 0,4144 0,43615 0,4494 0,4072 0,42830 0,4776 0,4498 0,46370 0,4228 0,4080 0,41540
0 2 4 6 8
Bilangan TBA Kemasan LDPE (mg/kg malonaldehide) Suhu 10-12˚C I II 1 2 x 1 2 x 0,3073 0,3110 0,30915 0,2487 0,3030 0,27585 0,2822 0,3246 0,30340 0,3223 0,3328 0,32755 0,3203 0,3317 0,32600 0,3259 0,3703 0,34810 0,4583 0,4634 0,46085 0,4738 0,4342 0,45400 0,4222 0,4716 0,44690 0,4838 0,4404 0,46210
0 2 4 6 8
Bilangan TBA Kemasan LDPE (mg/kg malonaldehide) Suhu 27-30˚C I II 1 2 x 1 2 x 0,3073 0,3110 0,30915 0,2487 0,3030 0,27585 0,3149 0,3963 0,35560 0,4371 0,4016 0,41935 -
Hari ke-
Hari ke-
Hari ke-
61
Lampiran 5c. Data hasil uji TBA kemasan Microwavable pada tiga suhu penyimpanan
0 2 4 6 8
Bilangan TBA Kemasan Microwavable (mg/kg malonaldehide) Suhu 3-5˚C I II 1 2 x 1 2 x 0,3073 0,3110 0,30915 0,2487 0,3030 0,27585 0,3604 0,3033 0,33185 0,2719 0,2717 0,27180 0,3936 0,3792 0,38640 0,3077 0,3133 0,31050 0,4087 0,3885 0,39860 0,4315 0,4738 0,45265 0,3938 0,4289 0,41135 0,4128 0,4194 0,41610
0 2 4 6 8
Bilangan TBA Kemasan Microwavable (mg/kg malonaldehide) Suhu 10-12˚C I II 1 2 x 1 2 x 0,3073 0,3110 0,30915 0,2487 0,3030 0,27585 0,3117 0,3026 0,30715 0,3020 0,2893 0,29565 0,3343 0,3657 0,35000 0,3675 0,3537 0,36060 0,3905 0,3837 0,38710 0,4024 0,3940 0,39820 0,4276 0,4140 0,42080 0,4309 0,4161 0,42350
0 2 4 6 8
Bilangan TBA Kemasan Microwavable (mg/kg malonaldehide) Suhu 27-30˚C I II 1 2 x 1 2 x 0,3073 0,3110 0,30915 0,2487 0,3030 0,27585 0,3237 0,3700 0,34685 0,3476 0,3594 0,35350 -
Hari ke-
Hari ke-
Hari ke-
62
Lampiran 6a. Data hasil uji TAT kemasan gelas pada tiga suhu penyimpanan
0 2 4 6 8
Nilai TAT Kemasan Gelas (ml NaOH 0,1 N/100 g) Suhu 3-5˚C I II 1 2 x 1 2 x 2,3300 2,3087 2,31935 2,4275 2,3575 2,39250 2,7844 2,5725 2,67845 2,4307 2,4247 2,42770 2,7708 2,4851 2,62795 2,3462 2,4976 2,42190 3,0836 3,1130 3,09830 3,1511 3,1422 3,14665 4,0237 4,1157 4,06970 4,0209 3,9157 3,96830
0 2 4 6 8
Nilai TAT Kemasan Gelas (ml NaOH 0,1 N/100 g) Suhu 10-12˚C I II 1 2 x 1 2 x 2,3300 2,3087 2,31935 2,4275 2,3575 2,39250 2,4527 2,4960 2,47435 2,6148 2,7481 2,68145 2,5723 2,5790 2,57565 2,5518 2,5486 2,55020 3,1921 3,0859 3,13900 3,4531 3,3859 3,41950 4,6003 4,6705 4,63540 3,8368 3,7997 3,81825
0 2 4 6 8
Nilai TAT Kemasan Gelas (ml NaOH 0,1 N/100 g) Suhu 27-30˚C I II 1 2 x 1 2 x 2,3300 2,3087 2,31935 2,4275 2,3575 2,39250 4,2563 4,4687 4,36250 4,0196 4,1671 4,09335 -
Hari ke-
Hari ke-
Hari ke-
63
Lampiran 6b. Data hasil uji TAT kemasan LDPE pada tiga suhu penyimpanan
0 2 4 6 8
Nilai TAT Kemasan LDPE (ml NaOH 0,1 N/100 g) Suhu 3-5˚C I II 1 2 x 1 2 x 2,3300 2,3087 2,31935 2,4275 2,3575 2,39250 2,4661 2,4034 2,43475 2,4539 2,6318 2,54285 2,5285 2,3497 2,43910 2,6805 2,5583 2,61940 3,4610 3,3674 3,41420 3,6695 3,5901 3,62980 5,5059 5,0343 5,27009 4,2846 4,2340 4,25930
0 2 4 6 8
Nilai TAT Kemasan LDPE (ml NaOH 0,1 N/100 g) Suhu 10-12˚C I II 1 2 x 1 2 x 2,3300 2,3087 2,31935 2,4275 2,3575 2,39250 2,5198 2,4320 2,47590 2,3695 2,3301 2,34980 2,5504 2,4872 2,51880 2,5466 2,4189 2,48275 3,5820 3,5545 3,56825 3,5315 3,5348 3,53315 4,7099 4,8946 4,80225 4,0469 4,1073 4,07710
0 2 4 6 8
Nilai TAT Kemasan LDPE (ml NaOH 0,1 N/100 g) Suhu 27-30˚C I II 1 2 x 1 2 x 2,3300 2,3087 2,31935 2,4275 2,3575 2,3925 4,1499 4,2937 4,22180 4,1192 4,2794 4,1993 -
Hari ke-
Hari ke-
Hari ke-
64
Lampiran 6c. Data hasil uji TAT kemasan Microwavable pada tiga suhu penyimpanan
0 2 4 6 8
Nilai TAT Kemasan Microwavable (ml NaOH 0,1 N/100 g) Suhu 3-5˚C I II 1 2 x 1 2 x 2,3300 2,3087 2,31935 2,4275 2,3575 2,39250 2,4814 2,4210 2,45120 2,4004 2,4537 2,42705 2,5546 2,5046 2,52960 2,6995 2,6744 2,68695 3,3603 3,2674 3,31385 3,5053 3,4865 3,49590 4,8353 4,8724 4,85385 3,9861 4,0366 4,01135
0 2 4 6 8
Nilai TAT Kemasan Microwavable (ml NaOH 0,1 N/100 g) Suhu 10-12˚C I II 1 2 x 1 2 x 2,3300 2,3087 2,31935 2,4275 2,3575 2,3925 2,3921 2,4968 2,44445 2,3746 2,4606 2,4176 2,5620 2,4210 2,49150 2,5604 2,6288 2,5946 3,1477 3,3962 3,27195 3,4335 3,3601 3,3968 4,8635 4,7902 4,82685 4,5581 4,4393 4,4987
0 2 4 6 8
Nilai TAT Kemasan Microwavable (ml NaOH 0,1 N/100 g) Suhu 27-30˚C I II 1 2 x 1 2 x 2,3300 2,3087 2,31935 2,4275 2,3575 2,39250 4,4165 4,2483 4,33240 3,7894 3,7389 3,76415 -
Hari ke-
Hari ke-
Hari ke-
65
Lampiran 7. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-1 Type II Sum of Squares 2.727(a)
Source Corrected Model
2.700
2
1.350
F 245.455 472627.60 0 972.100
kemasan
.006
2
.003
2.284
.158
suhu * kemasan
.021
4
.005
3.718
.047
.001
Intercept
8
Mean Square .341
656.427
1
656.427
suhu
df
Error
.013
9
Total
659.167
18
2.740
17
Corrected Total
Sig. .000 .000 .000
Lampiran 8. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-1 (faktor suhu) Subset suhu 27-30
N
1 6
12-15
6
3-5
6
Sig.
2
5.4916667 6.2916667 6.3333333 1.000
.085
Lampiran 9. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-2 Type II Sum of Squares
Source Corrected Model Intercept suhu
df
Mean Square
F
Sig.
3.497(a)
8
.437
31.648
.000
642.492
1
642.492
46519.918
.000
3.349
2
1.674
121.239
.000
kemasan
.047
2
.023
1.701
.236
suhu * kemasan
.101
4
.025
1.826
.208
Error
.124
9
.014
Total
646.113
18
3.621
17
Corrected Total
Lampiran 10. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-2 (faktor suhu) Subset Suhu 27-30
N 6
12-15
6
3-5
6
Sig.
1 5.3650000
2 6.2566667 6.3016667
1.000
.524
66
Lampiran 11. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-3
Source Corrected Model
Type II Sum of Squares .007(a)
5
Mean Square .001
469.125
1
469.125
suhu
.002
1
.002
.702 239553.23 0 .957
kemasan
.003
2
.002
.817
.486
suhu * kemasan
.002
2
.001
.460
.652
.002
Intercept
df
Error
.012
6
Total
469.144
12
.019
11
Corrected Total
F
Sig. .643 .000 .366
Lampiran 12. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-4
Source Corrected Model
Type II Sum of Squares
df
Mean Square
.040(a)
5
.008
461.156
1
461.156
suhu
.008
1
kemasan
.013
2
suhu * kemasan
.019
Intercept
Sig. .263
.008
1.720 100070.02 0 1.738
.006
1.391
.319
2
.009
2.042
.211
.005
Error
.028
6
Total
461.223
12
.067
11
Corrected Total
F
.000 .236
Lampiran 13. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-5
Source Corrected Model Intercept
Type II Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
.266(a)
5
.053
10.909
.006
416.777
1
416.777
85346.730
.000
suhu
.056
1
.056
11.474
.015
kemasan
.175
2
.087
17.904
.003
suhu * kemasan
.035
2
.018
3.631
.093
.005
Error
.029
6
Total
417.072
12
.296
11
Corrected Total
67
Lampiran 14. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-5 (faktor kemasan) kemasan
N
LDPE
4
microwavable
3
5.905000 0
4
gelas
Subset 2
1 5.740000 0
4
Sig.
1.000
1.000
6.035000 0 1.000
Lampiran 15. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-6
Source Corrected Model
Type II Sum of Squares
Intercept
df
Mean Square
F
Sig.
.179(a)
5
.036
6.265
.022
393.193
1
393.193
68680.001
.000
suhu
.001
1
.001
.118
.743
kemasan
.168
2
.084
14.696
.005
suhu * kemasan
.010
2
.005
.908
.452
Error
.034
6
.006
Total
393.407
12
.214
11
Corrected Total
Lampiran 16. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-6 (faktor kemasan) Subset kemasan LDPE
N
1 4
microwaveable
4
gelas
4
2
3
5.5775000 5.7275000 5.8675000
Sig.
1.000
1.000
1.000
Lampiran 17. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-7
Source Corrected Model
Type II Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
.334(a)
5
.067
18.227
.001
348.410
1
348.410
95020.809
.000
suhu
.018
1
.018
4.809
.071
kemasan
.283
2
.142
38.627
.000
suhu * kemasan
.033
2
.017
4.536
.063
Error
.022
6
.004
Total
348.766
12
.356
11
Intercept
Corrected Total
68
Lampiran 18. Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-7 (faktor kemasan) Subset kemasan LDPE
N
1
2
4
5.2400000
microwaveable
4
5.3250000
gelas
4
5.6000000
Sig.
.094
1.000
Lampiran 19. Analisis ragam parameter pH pada hari ke-8 Dependent Variable: pH Source Corrected Model
Type II Sum of Squares .108(a)
5
Mean Square .022
329.701
1
329.701
78189.921
.000
suhu
.000
1
.000
.071
.799
kemasan
.103
2
.052
12.215
.008
suhu * kemasan
.005
2
.002
.540
.609
.004
Intercept
df
Error
.025
6
Total
329.834
12
.133
11
Corrected Total
F 5.116
Sig. .036
Lampiran 20 . Uji Lanjut Duncan parameter pH pada hari ke-8 (faktor kemasan) Subset kemasan LDPE
N
1
2
4
5.1700000
microwaveable
4
5.1825000
gelas
4
Sig.
5.3725000 .795
1.000
69
Lampiran 21. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-1 Type II Sum of Squares df 22479498944 8 4.445(a) Intercept 69260216805 1 .556 suhu 11556050027 2 7.778 kemasan 37358866944 2 .445 suhu * kemasan 71875622222 4 .223 Error 82899746250 9 .000 Total 37695495250 18 0.000 Corrected Total 30769473569 17 4.445 a R Squared = .731 (Adjusted R Squared = .491) Source Corrected Model
Mean Square 28099373680. 556 69260216805. 556 57780250138. 889 18679433472. 223 17968905555. 556 9211082916.6 67
F
Sig.
3.051
.058
7.519
.023
6.273
.020
2.028
.187
1.951
.186
Lampiran 22 . Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-1 (faktor suhu) Subset suhu 3-5
N
12-15 27-30 Sig.
6 6
1 4000.0000 000 6758.3333 333
6 .961
2
175333.33 33334 1.000
Lampiran 23. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-2
Source Corrected Model Intercept suhu kemasan suhu * kemasan Error Total Corrected Total
Type II Sum of Squares 23494757294 44444.000(a) 78852809068 0553.000 15597705846 94443.000 26292020752 7778.000 52678493722 2223.000 13705869591 25000.000 45085907792 50000.000 37200626885 69444.000
df 8 1 2 2 4 9
Mean Square 29368446618 0555.500 78852809068 0553.000 77988529234 7221.000 13146010376 3889.000 13169623430 5555.800 15228743990 2777.800
F
Sig.
1.928
.174
5.178
.049
5.121
.033
.863
.454
.865
.521
18 17
70
Lampiran 24 . Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-2 (faktor suhu) Subset suhu 3-5
N
12-15 27-30
6 6
1 26666.666 6667 46083.333 3333
6
Sig.
.998
2
19783333. 3333334 1.000
Lampiran 25. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-3
Source Corrected Model
Intercept suhu kemasan suhu * kemasan Error Total Corrected Total
Type II Sum of Squares 13078350744 444440.000(a ) 59790757555 55540.000 11198996011 111100.000 64564147777 7776.000 12337132555 55553.000 27304710000 0000.000 19330473600 000000.000 13351397844 444440.000
df 8 1 2 2 4 9
Mean Square
F
16347938430 55555.000
53.885
.000
197.078
.000
184.567
.000
10.641
.004
10.166
.002
59790757555 55540.000 55994980055 55550.000 32282073888 8888.200 30842831388 8888.200 30338566666 666.670
Sig.
18 17
Lampiran 26. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-3 (faktor suhu) Subset kemasan gelas microwaveable LDPE Sig.
N 6 6
1 13695000. 0000000 14293333. 3333334
6 .855
2
26688333. 3333334 1.000
71
Lampiran 27. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-3 (faktor kemasan) Subset kemasan gelas
N 6
microwaveable
6
LDPE
1 13695000. 0000000 14293333. 3333334
6
Sig.
.855
2
26688333. 3333334 1.000
Lampiran 28. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-4
Source Corrected Model Intercept suhu kemasan suhu * kemasan Error Total Corrected Total
Type II Sum of Squares 17789666666 666.660(a) 15451363333 3333.400 71148000000 00.010 80930166666 66.660 25818499999 99.998 29193000000 00.000 17522260000 0000.000 20708966666 666.660
df 5 1 1 2 2 6
Mean Square 35579333333 33.334 15451363333 3333.400 71148000000 00.010 40465083333 33.333 12909249999 99.999 48655000000 0.000
F
Sig.
7.313
.016
317.570
.000
14.623
.009
8.317
.019
2.653
.149
12 11
Lampiran 29. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-4 (faktor kemasan) Subset kemasan gelas microwaveable LDPE Sig.
N 4
1 2427500.0 000000
4 4 1.000
2
4137500.0 000000 4200000.0 000000 .903
72
Lampiran 30. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-5
Source Corrected Model Intercept suhu kemasan suhu * kemasan Error Total Corrected Total
Type II Sum of Squares 68166666666 66.660(a) 32865333333 3333.400 16133333333 33.332 33316666666 66.678 18716666666 66.664 98900000000 00.000 34536000000 0000.000 16706666666 666.660
df 5 1 1 2 2 6
Mean Square 13633333333 33.333 32865333333 3333.400 16133333333 33.332 16658333333 33.339 93583333333 3.332 16483333333 33.334
F
Sig. .827
.573
199.385
.000
.979
.361
1.011
.419
.568
.595
12 11
Lampiran 31. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-6
Source Corrected Model Intercept suhu kemasan suhu * kemasan Error Total Corrected Total
Type II Sum of Squares 31127104166 6666.700(a) 19904752083 33335.000 27027520833 3333.500 40940416666 666.690 55416666666 .688 29416625000 0000.000 25959125000 00000.000 60543729166 6666.000
df 5 1 1 2 2 6
Mean Square 62254208333 333.300 19904752083 33335.000 27027520833 3333.500 20470208333 333.340 27708333333. 344 49027708333 333.300
F
Sig.
1.270
.385
40.599
.001
5.513
.057
.418
.676
.001
.999
12 11
73
Lampiran 32. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-7
Source Corrected Model Intercept suhu kemasan suhu * kemasan Error Total Corrected Total
Type II Sum of Squares 16784166666 66666.000(a) 15624083333 333330.000 69008333333 3333.000 74216666666 6666.000 24616666666 6666.000 43450000000 0000.000 17737000000 000000.000 21129166666 66666.000
df 5 1 1 2 2 6
Mean Square 33568333333 3333.200 15624083333 333330.000 69008333333 3333.000 37108333333 3333.400 12308333333 3333.000 72416666666 666.600
F
Sig.
4.635
.044
215.753
.000
9.529
.021
5.124
.050
1.700
.260
12 11
Lampiran 33. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-7 (faktor kemasan) Subset kemasan gelas microwaveable LDPE
N 4 4
1 26250000. 0000000 36500000. 0000000
4
Sig.
.139
2
36500000. 0000000 45500000. 0000000 .185
Lampiran 34. Analisis ragam parameter TPC pada hari ke-7
Source Corrected Model Intercept suhu kemasan suhu * kemasan Error Total Corrected Total
Type II Sum of Squares 22059375000 00000.000(a) 28959187500 000010.000 66752083333 3333.000 13841250000 00001.000 15429166666 6667.000 29012500000 0000.000 31455250000 000000.000 24960625000 00000.000
df 5 1 1 2 2 6
Mean Square 44118750000 0000.000 28959187500 000010.000 66752083333 3333.000 69206250000 0000.000 77145833333 333.500 48354166666 666.600
F
Sig.
9.124
.009
598.897
.000
13.805
.010
14.312
.005
1.595
.278
12 11
74
Lampiran 35. Uji Lanjut Duncan parameter TPC pada hari ke-8 (faktor kemasan) Subset kemasan gelas microwaveable LDPE
N 4 4
1 36500000. 0000000 48125000. 0000000
4
Sig.
.056
2
62750000. 0000000 1.000
Lampiran 36. Analisis ragam parameter TAT pada hari ke-2
Source Corrected Model
Type II Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
.007(a)
5
.001
.840
.567
9.916
1
9.916
5676.549
.000
suhu
.000
1
.000
.113
.748
kemasan
.006
2
.003
1.790
.246
suhu * kemasan
.001
2
.000
.252
.785
Error
.010
6
.002
Total
9.934
12
.018
11
Intercept
Corrected Total
Lampiran 37. Analisis ragam parameter TAT pada hari ke-4
Source Corrected Model
Type II Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
.002(a)
5
.000
.294
.900
10.460
1
10.460
7236.586
.000
suhu
.000
1
.000
.093
.771
kemasan
.001
2
.001
.391
.692
suhu * kemasan
.001
2
.000
.297
.753
Error
.009
6
.001
Total
10.471
12
.011
11
Intercept
Corrected Total
75
Lampiran 38. Analisis ragam parameter TAT pada hari ke-6
Source Corrected Model
Type II Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
.023(a)
5
.005
3.507
.079
17.666
1
17.666
13523.894
.000
suhu
.000
1
.000
.330
.587
kemasan
.020
2
.010
7.689
.022
suhu * kemasan
.002
2
.001
.914
.450
.001
Intercept
Error
.008
6
Total
17.697
12
.031
11
Corrected Total
Lampiran 39. Uji Lanjut Duncan parameter TAT pada hari ke-6 (faktor kemasan) Subset kemasan gelas
N
1 1.1626476
2
4
microwaveable
4
1.2144804
1.2144804
LDPE
4
1.2628465
Sig.
.089
.107
Lampiran 40. Analisis ragam parameter TAT pada hari ke-8
Source Corrected Model
Type II Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
.038(a)
5
.008
.602
.703
26.368
1
26.368
2085.912
.000
suhu
.000
1
.000
.027
.875
kemasan
.028
2
.014
1.120
.386
suhu * kemasan
.009
2
.005
.372
.704
Error
.076
6
.013
Total
26.481
12
.114
11
Intercept
Corrected Total
Lampiran 41. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-2
Source Corrected Model Intercept
Type II Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
.017(a)
8
.002
3.076
.057
1.948
1
1.948
2888.463
.000
suhu
.014
2
.007
10.135
.005
kemasan
.001
2
.001
.893
.443
suhu * kemasan
.002
4
.000
.639
.648
.001
Error
.006
9
Total
1.970
18
.023
17
Corrected Total
76
Lampiran 42. Uji Lanjut Duncan parameter TBA pada hari ke-2 (faktor suhu) Subset suhu 3-5
N
1
2
6
.3062500
12-15
6
.3128333
27-30
6
Sig.
.3677167 .671
1.000
Lampiran 43. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-4
Source Corrected Model Intercept suhu
Type II Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
.001(a)
5
.000
.121
.982
1.468
1
1.468
1126.996
.000
.000
1
.000
.236
.645
3.31E-005
2
1.65E-005
.013
.987
suhu * kemasan
.000
2
.000
.172
.846
Error
.008
6
.001
Total
1.477
12
.009
11
Mean Square .002
F 1.576
Sig. .296
kemasan
Corrected Total
Lampiran 44. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-6
Source Corrected Model Intercept
Type II Sum of Squares .008(a)
df 5
2.078
1
2.078
2171.138
.000
5.42E-005
1
5.42E-005
.057
.820
kemasan
.005
2
.003
2.820
.137
suhu * kemasan
.002
2
.001
1.092
.394
Error
.006
6
.001
Total
2.091
12
.013
11
suhu
Corrected Total
Lampiran 45. Analisis ragam parameter TBA pada hari ke-8
Source Corrected Model
Type II Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
.002(a)
5
.000
1.295
.376
2.234
1
2.234
5788.900
.000
5.63E-007
1
5.63E-007
.001
.971
kemasan
.002
2
.001
2.226
.189
suhu * kemasan
.001
2
.000
1.012
.418
Error
.002
6
.000
Total
2.239
12
.005
11
Intercept suhu
Corrected Total
77
Lampiran 46. Data uji visual produk sop daun Torbangun pada suhu 27-30oC Parameter mutu Lama Penyimpanan Hari-1
Hari-2
Jenis Kemasan
Warna
Bau
Buih/busa
Kapang/khamir
Keadaan kemasan
Gelas
Normal
Normal
-
-
Normal
Kaleng
Normal
Normal
-
-
Normal
PP
Normal
Normal
-
-
Normal
PET
Normal Santan pecah Santan pecah
Normal
-
-
Normal
Normal Agak tengik
-
-
Normal
-
-
Gelas Kaleng PP PET
Hari-3
Gelas Kaleng PP PET
Hari-4
Normal Santan pecah daun naik ke atas daun naik ke atas daun naik ke atas daun naik ke atas
Normal Agak tengik
-
-
Normal Agak menggembung
+
-
Normal
Tengik
+
-
Tengik
-
+
Normal Agak menggembung
Tengik
-
+
Menggembung
Tengik
+
+
Menggembung
Produk dianggap sudah tidak layak
78
Lampiran 47. Data uji visual produk sop daun Torbangun pada suhu 10-12oC
Parameter mutu Lama Penyimpanan
Jenis Kemasan
Hari-1
Gelas Kaleng PP
Hari-2
Hari-3
Hari-4
Hari-5
Hari-6
Hari-7
Hari-8
Bau
Buih/busa
Kapang/khamir
Keadaan kemasan
Normal
Normal
-
-
Normal
Normal
Normal
-
-
Normal
Normal
Normal
-
-
Normal
PET
Normal
Normal
-
-
Normal
Gelas
Normal
Normal
-
-
Normal
Kaleng
Normal
Normal
-
-
Normal
PP
Normal
Normal
-
-
Normal
PET
Normal
Normal
-
-
Normal
Warna
Gelas
Normal
Normal
-
-
Normal
Kaleng
Normal
Normal
-
-
Normal
PP
Normal
Normal
-
-
Normal
PET
Normal
Normal
-
-
Normal
Gelas
Normal
Normal
-
-
Normal
Kaleng
Normal
Normal
-
-
Normal
PP
Normal
Normal
-
-
Normal
PET
Normal
Normal
-
-
Normal
Gelas
Normal
-
-
Normal
Kaleng
Normal Kecoklatan di bagian atas
Normal
+
-
Normal
PP
Normal
Normal
-
-
Normal
PET
Normal
Normal
-
-
Normal
Gelas
Normal
Normal
-
-
Normal
Kaleng
Normal
Normal
+
-
Normal
PP
Normal
Agak tengik
-
-
Normal
PET
kecoklatan
Agak tengik
-
-
Normal
Gelas
Normal
Agak tengik
-
-
Normal
Kaleng
Normal
Tengik
-
+
Normal
PP
Normal
Normal
-
-
PET
Normal Santan pecah Santan pecah
Agak tengik
-
-
Normal Agak menggembung
Agak tengik
-
-
Agak tengik
-
+
tengik
-
+
Normal Agak menggembung Agak menggembung
tengik
+
-
Normal
Gelas Kaleng PP PET
Normal Santan pecah
Produk sudah dinggap tidak layak
79
Lampiran 48. Data uji visual produk sop daun Torbangun pada suhu 3-5oC
Parameter mutu Lama Penyimpanan Hari-1
Hari-2
Hari-3
Hari-4
Hari-5
Hari-6
Hari-7
Hari-8
Jenis Kemasan
Warna
Bau
Buih/busa
Kapang/khamir
Keadaan kemasan
Gelas
Normal
Normal
-
-
Normal
Kaleng
Normal
Normal
-
-
Normal
PP
Normal
Normal
-
-
Normal
PET
Normal
Normal
-
-
Normal
Gelas
Normal
Normal
-
-
Normal
Kaleng
Normal
Normal
-
-
Normal
PP
Normal
Normal
-
-
Normal
PET
Normal
Normal
-
-
Normal
Gelas
Normal
Normal
-
-
Normal
Kaleng
Normal
Normal
-
-
Normal
PP
Normal
Normal
-
-
Normal
PET
Normal
Normal
-
-
Normal
Gelas
Normal
Normal
-
-
Normal
Kaleng
Normal
Normal
-
-
Normal
PP
Normal
Normal
-
-
Normal
PET
Normal
Normal
-
-
Normal
Gelas
Normal
Normal
-
-
Normal
Kaleng
Normal
Normal
+
-
Normal
PP
Normal
Normal
-
-
Normal
PET
Kecoklatan
Normal
-
-
Normal
Gelas
Normal
Normal
-
-
Normal
Kaleng
Normal
Normal
+
-
Normal
PP
Normal
-
-
Normal
PET
Normal
Normal Agak tengik
-
-
Normal
Gelas
Normal
-
-
Normal
Kaleng
Normal
Normal Agak tengik
-
+
Normal
PP
Normal
-
-
Normal
PET
Normal Santan pecah Santan pecah
Normal Agak tengik Agak tengik Agak tengik Agak tengik Agak tengik
-
-
Normal
-
-
Normal
-
+
Normal
-
+
Normal
+
-
Normal
Gelas Kaleng PP PET
Normal Santan pecah
Produk sudah dinggap tidak layak
80
Lampiran 49. Gambar sop daun Torbangun dalam kemasan gelas
Lampiran 50. Gambar sop daun Torbangun dalam kemasan LDPE
Lampiran 51. Gambar kemasan CPET
81
82