PENGARUH PEMBERIAN KALSIUM SECARA ORAL TERHADAP KADAR PLUMBUM DALAM DARAH MENCIT (Mus musculus L)
TESIS Oleh RUNGGU RETNO JUSTIANI NAPITUPULU 067008010/BM
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Runggu Retno Justiani Napitupulu : Pengaruh Pemberian Kalsium Secara Oral Terhadap Kadar Plumbum…, 2008 USU Repository © 2008
PENGARUH PEMBERIAN KALSIUM SECARA ORAL TERHADAP KADAR PLUMBUM DALAM DARAH MENCIT (Mus musculus L)
TESIS Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan dalam Program Studi Ilmu Biomedik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
RUNGGU RETNO JUSTIANI NAPITUPULU 067008010/BM
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Judul Tesis
:
Nama Mahasiswa : Nomor Pokok : Program Studi :
PENGARUH PEMBERIAN KALSIUM SECARA ORAL TERHADAP KADAR PLUMBUM DALAM DARAH MENCIT (Mus musculus L) Runggu Retno Justiani Napitupulu 067008010 Biomedik
Menyetujui Komisi Pembimbing
(dr. Yahwardiah Siregar, PhD) Ketua
Ketua Program Studi,
(dr. Yahwardiah Siregar, PhD)
Tanggal Lulus: 27 September 2008
(dr. Datten Bangun, M.Sc.Sp.FK) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
Telah diuji pada Tanggal : 27 September 2008 ____________________________________________________________________
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : dr. Yahwardiah Siregar, PhD Anggota : 1. dr. Datten Bangun, MSc, SpFK 2. Prof.dr. Burhanuddin Nasution, SpPK (K) 3. Dr. Ramlan Silaban, MSi
ABSTRAK Pemaparan plumbum merupakan masalah kesehatan yang penting di seluruh dunia. Jalur utama untuk absorpsi plumbum adalah melalui saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Plumbum yang diabsorpsi diangkut ke seluruh tubuh oleh darah. Pumbum memasuki seluruh jaringan tubuh, mengikuti distribusi kalsium dan mengalami akumulasi di jaringan tubuh sehingga menimbulkan banyak penyakit pada tubuh. Nutrisi, termasuk kalsium, berperan penting dalam menurunkan kadar plumbum dalam tubuh. Kadar plumbum darah merupakan strategi utama untuk mengidentifikasi keracunan plumbum. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat efektifitas pemberian kalsium terhadap penurunan kadar plumbum dalam darah. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen pada 30 ekor hewan percobaan mencit betina, sehat, berat badan 20-40gr, dilakukan selama 2 minggu. Hewan percobaan dibagi 6 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 5 ekor, diberi kalsium 25mg/hari/oral (P2 dan P4) dan 50mg/hari/oral (P3 dan P5) diikuti pemberian plumbum 40mg/kgBB/hari/oral. Pada P2 dan P3, kalsium dan plumbum diberi pada waktu yang bersamaan, sementara pada P4 dan P5, kalsium dan plumbum diberi jarak 1 jam. Kelompok K hanya diberi aquadest. Kelompok P1 hanya diberi plumbum 40mg/kgBB/hari. Kemudian kadar Pb dalam darah diperiksa menggunakan alat ICP (Inductively Couple Plasma). Data yang diperoleh dianalisa dengan uji Kruskall Wallis. Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan kadar Pb dalam darah mencit pada kelompok yang diberikan kalsium bersamaan dengan plumbum. Derajat penurunan ini paling jelas terlihat pada kelompok yang diberi kalsium 50 mg/hari dibandingkan dengan yang menerima kalsium dengan 25mg/hari. Hal ini memberi kesan bahwa penambahan dosis kalsium akan meningkatkan efektifitas kalsium dalam menurunkan efek plumbum terutama bila diberikan dalam waktu yang bersamaan.. Kata kunci: Plumbum, Kalsium, Kadar plumbum darah, ICP
ABSTRACT Lead exposure is an important public health problem in the world. The primary route of lead absorption is via respiration and ingestion. Absorbed lead is carried throughout the body by the blood, enters tissues, in a similar way to calcium with accumulation causing many adverse effects. Nutritional intervention addressing lead exposure, includes calcium which has been shown to play a critical role in reducing lead. Blood lead level (BLL) testing is a critical strategy in identifying lead poisoning. The aim of this study was to evaluate the effectiveness of calcium consumption in reducing lead levels in blood. This study was designed as an experimental study using thirty female mice, 20-40g, maintained in a healthy state for the 2 weeks of the study. They were divided into 6 groups, 5 mice in each. Groups P2-P5 were given a daily dose of lead at 40 mg/kg body weight and either a daily dose of 25 mg calcium (P2 and P4) or 50 mg calcium (P3 and P5). In groups P2 and P3, calcium and lead were given at the same time, whereas in groups P4 and P5, the calcium and lead were given 1 hour apart. Group K (control) was just given aquadest, daily. Group P1 was only given lead at 40mg/kg body weight,daily. Concentrations of lead in the blood were determined with ICP (Inductively Couple Plasma). The data was analyzed with the Kruskall Wallis test. The results showed that blood lead levels was lower in groups given calcium and lead at the same time, with a greater reduction in the group given 50 mg calcium. This result suggests that increasing the dose of calcium can increase the effectiveness of calcium in reducing the effects of lead especially if they are taken together. Key words: Lead, Calcium, Blood lead level, ICP
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul Pengaruh Pemberian Kalsium terhadap Kadar Plumbum dalam Darah Mencit (Mus musculus L). Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dilaksanakan penulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. H. Chairuddin P. Lubis, SpA(K) dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU Medan. Direktur Pascasarjana USU Medan, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. MSc, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister di Sekolah Pascasarjana USU, Medan. Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada dr. Yahwardiah Siregar, PhD (Ketua Program Studi Biomedik dan Ketua komisi pembimbing); dr. Datten Bangun, M.Sc, SpFK (sebagai anggota komisi pembimbing) serta Prof.dr. Burhanuddin Nasution, SpPK (K) dan Dr. Ramlan Silaban, M.Si (komisi pembanding) yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah mengorbankan waktu dan memberikan dorongan, bimbingan, semangat, bantuan serta
saran-saran yang bermanfaat kepada penulis mulai dari persiapan penelitian sampai pada penyelesaian tesis ini. Terima kasih juga saya sampaikan kepada semua dosen pada Program Studi Biomedik yang telah membimbing saya selama mengikuti program magister ini. Terima kasih kepada Rektor Universitas Darma Agung, Prof. Dr. Robert Sibarani, MS, dan Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Darma Agung, Setiamenda Ginting, SPd, yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti pendidikan magister di Sekolah Pascasarjana USU Medan. Terima kasih yang tulus kepada suamiku tercinta, Bima Sahat Sitorus, SE, atas semua dorongan, pengertian dan semangat sehingga tesis ini selesai dan juga anak-anakku tersayang Audina Juliasih Sitorus dan Jeremy Andre Sitorus. Ucapan terima kasih yang tulus dan rasa hormat, penulis sampaikan kepada orang tua, Prof. J.A. Napitupulu dan R.E. Sibuea, mertua, serta kepada seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan moril selama penulis menjalani pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU Medan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua teman-teman seperjuangan, mahasiswa Pascasarjana USU Program Studi Ilmu Bomedik angkatan 2006, atas dorongan semangat dan kerjasama yang baik dan kekompakan yang terjalin selama ini, sehingga tesis ini dapat selesai. Juga terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian sampai selesainya tesis ini.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa isi hasil penelitian ini masih perlu mendapat koreksi dan masukan untuk memperoleh kesempurnaan. Oleh karena itu penulis berharap adanya kritik serta saran yang membangun untuk penyempurnaan tulisan ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Medan, 27 September 2008 Penulis
Runggu Retno Justiani Napitupulu
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Timbal atau dalam keseharian lebih dikenal dengan nama timah hitam, dalam bahasa kimianya dinamakan plumbum, dan logam ini disimbolkan dengan Pb. Beberapa logam berat, seperti besi, esensial untuk kehidupan, sedangkan yang lainnya, seperti timah hitam, terdapat di semua organisme tetapi keberadaannya tidak bermanfaat secara biologis (Katzung, 1998). Masalah polusi logam berat termasuk plumbum (Pb) merupakan masalah yang serius di negara-negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia (Hariono, 2005). Data yang diperoleh dari Adult Blood Lead Epidemiology and Surveillance (ABLES) pada tahun 2002 menunjukkan bahwa kira-kira 95% orang dewasa yang terpapar plumbum adalah para pekerja, 94% diantaranya adalah pria, dan 91% berusia 25-64 tahun. Pemerintah Amerika Serikat telah mencanangkan tahun 2010 sebagai tahun bebas plumbum bagi orang-orang dewasa yang mempunyai kadar plumbum ≥25 μg/dL. Karena itu dibutuhkan usaha pencegahan yang lebih besar, khususnya pada lingkungan kerja, untuk mencapai tujuan tersebut (CDC, 2004). Polusi plumbum di lingkungan hidup kita biasanya berkaitan erat dengan proses pertambangan, peleburan logam, industri yang menggunakan bahan baku plumbum (misalnya pabrik cat, kabel, enamel, gelas, baterai dan pestisida) dan tidak
kalah pentingnya plumbum juga dapat berasal dari asap kendaraan bermotor. Khususnya bagi individu muda, senyawa plumbum sangat potensial merusak sistem saraf sehingga pada anak-anak dapat disertai penurunan intelligence quotient (IQ) sehingga akibatnya anak-anak cenderung lamban dalam berpikir dan tidak cerdas (Hariono, 2005). Selain itu plumbum juga terbukti dapat menyebabkan anemia, kerusakan pada ginjal, serta mempengaruhi sistem reproduksi dengan akibatnya bayi lahir cacat (Aminah, 2006). Pemaparan plumbum di lingkungan berasal dari hasil sisa otomobil di seluruh dunia dimana bensin yang berplumbum masih sering digunakan, dan dari air minum di daerah-daerah yang menggunakan pipa berplumbum. Pemaparan di rumah dapat terjadi karena termakannya cat yang berplumbum atau dari pigmen dan kaca-kaca yang digunakan pada pembuatan keramik. Pembuangan limbah yang mengandung plumbum secara tidak hati-hati dapat mengkontaminasi tanah, terutama di daerah perkotaan. Meningkatnya kadar plumbum dalam tubuh berhubungan dengan penyakit-penyakit ginjal dan jantung, toksisitas hematologik, kerusakan saraf yang bersifat ireversibel. (Jain et al, 2005). Efek toksik dari plumbum mungkin merupakan penyakit akibat kerja yang tertua di dunia. Plumbum sekarang banyak didistribusi dalam udara, makanan dan air, sehingga lingkungan yang benar-benar bebas dari plumbum sukar atau tidak mungkin diperoleh. (Katzung, 1998). Keracunan yang ditimbulkan oleh persenyawaan logam Pb dapat terjadi karena masuknya persenyawaan logam tersebut ke dalam tubuh. Proses masuknya Pb ke dalam tubuh dapat terjadi melalui beberapa jalur, yaitu
melalui makanan dan minuman, udara dan perembesan (Palar, 1994) atau penetrasi pada lapisan kulit (Florence, 1998), meskipun sebenarnya penetrasi Pb melalui kulit dapat diabaikan karena jumlah yang diabsorbsi melalui kulit sangat kecil (Sax, 1989). Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho terhadap mencit, menunjukkan bahwa pemberian plumbum asetat dengan dosis 25 mg/kgBB/hari secara oral selama 2 minggu sudah dapat memberikan pengaruh terhadap gambaran histologis epitel jejunum mencit. Pada dosis yang lebih tinggi (100 mg/kgBB) dengan lama pemberian 2 minggu sudah dapat menyebabkan terjadinya nekrosis epitel vili jejunum (Nugroho, 2006). Logam plumbum diabsorbsi melalui inhalasi dan absorbsi saluran pencernaan secara lambat tetapi konsisten. Absorbsi debu plumbum melalui saluran pernapasan merupakan penyebab keracunan industri yang paling sering sedangkan saluran pencernaan
merupakan
jalur
masuk
utama
pada
pemaparan
nonindustri
(Katzung, 1998). Sejumlah zat nutrisi yang berbeda mempengaruhi kerentanan terhadap toksisitas plumbum. Dari berbagai zat makanan ini termasuk beberapa mineral yaitu kalsium, fosfor, ferrum, dan zincum. Beberapa vitamin juga mempengaruhi absorpsi plumbum, termasuk vitamin B1, vitamin C dan vitamin E (Mahaffey, 1990). Faktor nutrisi ini, khususnya peningkatan kalsium dalam makanan terutama pada anak-anak merupakan hal yang sangat penting (Bogden, 1997). Anak-anak yang mendapatkan kalsium lebih daripada jumlah kebutuhan kalsium yang dianjurkan
ternyata
mempunyai kadar plumbum yang lebih rendah daripada mereka yang tidak mendapatkan cukup kalsium(Bruening, 1999). Faktor diet telah diketahui berpengaruh terhadap dinamika plumbum, khususnya karena adanya absorbsi plumbum di saluran pencernaan. Plumbum berkompetisi dengan kalsium pada tempat pengikatan kalsium dan selanjutnya dapat merubah fungsi protein dan homeostasis kalsium (Pearl, 1983). Telah ada bukti bahwa defisiensi kalsium dapat meningkatkan absorbsi dan retensi plumbum (Ettinger,et al 2006). Dari suatu penelitian yang dilakukan terhadap wanita-wanita yang melakukan pemeriksaan antenatal, dimana sebagian besar para wanita ini tinggal di daerah peleburan logam di negara Swedia, didapati bahwa kadar plumbum dalam darah meningkat selama masa kehamilan, sementara kadar kalsium menurun. Hal ini mungkin karena adanya mobilisasi plumbum dari tulang, dimana tulang merupakan tempat deposit plumbum pada waktu-waktu sebelumnya dalam waktu yang lama. Mobilisasi plumbum ini bersamaan dengan terjadinya perubahan metabolisme kalsium selama masa kehamilan. Adanya penurunan bermakna pada kalsium serum dan kadar plumbum dalam darah pada minggu ke-10 sampai 32 mungkin merupakan akibat meningkatnya volume darah dan meningkatnya transfer kalsium (dan mungkin plumbum) ke fetus, karena meningkatnya kebutuhan kalsium fetus pada trimester akhir kehamilan. Seiring dengan hal tersebut, meningkatnya kalsium serum maternal mungkin disebabkan oleh mobilisasi kalsium tulang dan atau meningkatnya ambilan kalsium. Meningkatnya absorbsi kalsium yang berasal dari makanan juga berperan
terhadap meningkatnya kadar plumbum darah pada masa akhir kehamilan. Jika asupan kalsium dari makanan ibu hamil tak mencukupi maka akan terjadi demineralisasi tulang maternal, dan plumbum yang dideposit di tulang kemudian dimobilisasikan. (Lagerkvist et al, 1996). Kebutuhan kalsium maternal meningkat pada masa awal kehamilan dan akan tetap meningkat sampai melahirkan. Kebutuhan kalsium maternal ini dipertahankan oleh menurunnya konsentrasi albumin serum, meningkatnya absorbsi kalsium di saluran pencernaan, dan meningkatnya resorpsi tulang. Meningkatnya resorpsi tulang selama kehamilan telah menjadi perhatian karena adanya kecenderungan transfer plumbum tulang ke sirkulasi fetal melalui kompartemen plasma maternal. Kalsium di transfer secara aktif ke fetus; transfer plumbum dan kalsium melalui jalur yang hampir bersamaan, dan tidak ada penghalang untuk melalui sawar plasenta (Téllez-Rojo et al, 2004). Hampir bersamaan dengan hal tersebut, dari penelitian yang dilakukan terhadap ibu-ibu menyusui di Meksiko, didapati bahwa suplementasi kalsium dapat meningkatkan derajat penurunan plumbum dalam air susu ibu pada masa laktasi yang dibandingkan dengan plasebo, dimana hal ini memberi kesan bahwa suplementasi kalsium merupakan intervensi strategi yang potensial dan penting untuk mengurangi kadar plumbum dalam air susu ibu, baik yang baru terpapar maupun yang mengalami akumulasi dari waktu-waktu yang lalu (Ettinger et al, 2006). Dari satu penelitian yang dilakukan oleh Sorrel terhadap anak-anak usia 1 sampai 6 tahun, di kota Bronx, Amerika, didapati bahwa anak-anak dengan
konsentrasi plumbum tertinggi dalam tubuhnya (≥ 60 μg/dL) mempunyai asupan kalsium dan vitamin D yang lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak yang konsentrasi plumbum dalam tubuhnya lebih sedikit (17-59 μg/dL). (Ballew, 2001) Penelitian yang pernah dilakukan terhadap hewan percobaan yang puasa dan tidak puasa, termasuk pada mencit, tikus, dan kera, memberikan hasil yang hampir sama dengan yang didapat dari penelitian terhadap manusia. Seperti juga dari penelitian yang dilakukan oleh Mahaffey yang mendapatkan bahwa tikus yang mengkonsumsi diet rendah kalsium memiliki kadar plumbum darah kira-kira 4 kali lebih tinggi daripada tikus yang mengkonsumsi diet kalsium yang normal. Mahaffey menemukan bahwa tikus yang mengkonsumsi kalsium dalam jumlah yang normal, kadar Pb dalam darah tikus tersebut adalah 50 μg/dL, sedangkan yang mengkonsumsi diet rendah kalsium, kadar Pb dalam darah mencit tersebut hampir mencapai 200 μg/dL (Mahaffey, 1974). Peneliti lainnya, Later menunjukkan bahwa absorpsi plumbum di saluran cerna menurun dengan adanya sejumlah mineral. Meningkatnya konsentrasi kalsium akan menurunkan retensi plumbum sesuai dengan meningkatnya konsentrasi kalsium. Seperti juga dari penelitian yang dilakukan terhadap manusia, didapati bahwa pemberian fosfor tanpa kalsium tidak menyebabkan terjadinya pengurangan retensi plumbum sebesar yang disebabkan oleh kalsium saja ataupun kalsium dan fosfor (Gulson, 2001).
Kemampuan kalsium dalam diet untuk menurunkan toksisitas plumbum telah ditemukan sejak lebih dari 50 tahun yang lalu. Shields melakukan percobaan terhadap tikus dan mendapati bahwa asupan kalsium yang adekuat dapat menurunkan retensi plumbum sehingga memberikan efek proteksi terhadap akibat yang ditimbulkan oleh plumbum (Shields, 1941).
1.2 Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah: ”Apakah pemberian kalsium secara oral dapat menurunkan kadar plumbum dalam darah, serta berapa kadar kalsium optimal yang dapat menurunkan kadar plumbum dalam darah tersebut”.
1.3 Kerangka Teori Pemaparan plumbum masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling penting terutama dalam bidang kesehatan lingkungan. Plumbum merupakan unsur logam berat yang banyak dijumpai di alam ini. Plumbum dapat mengalami akumulasi di lingkungan dan dalam tubuh manusia. Cara masuknya plumbum dapat melalui berbagai cara baik melalui saluran pernafasan, melalui saluran pencernaan, yang pada akhirnya dapat memasuki aliran darah dan kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Makanan merupakan faktor yang secara bermakna mempengaruhi dinamika plumbum, khususnya dalam hubungannya dengan adanya absorbsi plumbum di
saluran pencernaan. Plumbum berkompetisi dengan kalsium pada tempat pengikatan kalsium. Defisiensi kalsium dapat meningkatkan absorbsi dan retensi plumbum.
KERANGKA TEORI
PLUMBUM
Kalsium darah Saluran Pencernaan Saluran Pernafasan
Ferrum darah
Plumbum dalam jaringan
Plumbum dalam darah Kadar Plumbum Darah Jaringan tubuh
Intoksikasi Yang diukur adalah kadar Pb dalam darah
Gambar 1. Bagan Kerangka Konsep
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan Umum : Untuk mengetahui pengaruh pemberian kalsium secara oral terhadap plumbum pada mencit dengan kadar kalsium yang berbeda dan waktu pemberian yang berbeda. Tujuan Khusus : 1. Untuk mengukur kadar plumbum darah mencit setelah diberi kalsium dengan konsentrasi 25 dan 50 mg/hari bersamaan dengan 40 mg/kgBB plumbum 2. Untuk mengetahui berapa kadar plumbum darah mencit jika diberi kalsium dengan konsentrasi 25 dan 50 mg/hari 1 jam setelah pemberian 40 mg/kgBB plumbum.
1.5 Hipotesis Kalsium dapat menurunkan absorbsi plumbum di saluran pencernaan sehingga menurunkan konsentrasi plumbum dalam darah.
1.6 Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi bahwa konsumsi kalsium dapat menurunkan jumlah plumbum yang diserap oleh tubuh. 2. Memberikan informasi bahwa konsumsi kalsium dapat mengurangi efekefek merugikan terhadap kesehatan yang disebabkan oleh plumbum.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Plumbum Timah hitam mempunyai simbol Pb; nomor atom 82; berat atom 207,19; berat jenis 11,34. Pb berwarna kebiruan atau abu-abu keperakan, mempunyai titik lebur 327,5 dan titik didih 17400C. Dalam sistem periodik, logam Pb masuk grup metal IV B dan mempunyai valensi 0, +2, dan +4. Pb(+2) biasanya ditemukan dalam bentuk garam anorganik, sedangkan Pb(4+) adalah unsur utama dalam senyawa organik. Unsur Pb di alam mempunyai beberapa isotop yaitu 211
204
Pb,
206
Pb, 207Pb, 208Pb, 210Pb,
Pb, 214Pb (WHO, 1977).
2.2. Ambang Kadar Plumbum World Health Organisation (WHO) merekomendasikan bahwa Pb dalam air untuk kebutuhan minum tidak boleh melebihi 0,05 μg/mL (WHO, 1963). Pada tahun 1971, WHO menyarankan limit kandungan untuk Pb adalah 0,1 μg/mL, dengan asumsi kebutuhan minum sekitar 2,5 L/orang/hari, yang berarti asupan maksimum adalah sekitar 250 μg/hari (WHO, 1971). Kandungan Pb di udara bebas adalah sekitar 0,0006 μg/m3. Konsentrasi Pb maksimum yang diijinkan adalah 1,5 μg/m3 (USEPA, 1987). Dari beberapa penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, disimpulkan bahwa pemasukan Pb sehari-hari ke dalam tubuh manusia dan digolongkan pada tingkat keterpaparan normal adalah dalam kisaran 330 μg/hari, dengan tingkatan
variasi antara 100 μg sampai dengan 2000 μg (Palar, 1994). Untuk mengendalikan efek negatif pada pekerja, Occupational Safety and Health Association (OSHA) telah menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) untuk plumbum inorganik, debu dan uapnya 0,05 mg/m3. Menurut WHO, pajanan plumbum yang diperkenankan untuk pekerja laki-laki adalah 40 μg/dL dan untuk pekerja perempuan 30 μg/dL (OSHA, 2005). Pada tikus, ambang dosis toksik plumbum yang di dapat secara oral adalah 790 mg/kg bila pemaparan kurang dari 14 hari, sedangkan bila pemaparan lebih dari 14 hari maka ambang dosis toksiknya adalah 1100 mg/kg. Ambang dosis toksik plumbum yang didapat secara inhalasi adalah 10 mg/m3/24 jam, sedangkan yang didapat secara intraperitoneal, ambang dosis toksiknya adalah 1000 mg/kg (Sax, 1989).
2.3. Sumber Plumbum Sumber utama terdapatnya plumbum di atmosfer pada masa-masa yang lalu adalah dari penguapan bensin yang mengandung bahan tambahan plumbum tetraetil yang berfungsi sebagai zat ”antiknock”. Pada saat ini penggunaan bahan bakar yang menggunakan pumbum telah menurun, dengan konsentrasinya yang semakin menurun pula sehingga hal ini dapat semakin meminimalkan bahan bakar sebagai sumber utama plumbum. Sampai saat ini yang masih tetap sebagai sumber plumbum termasuk dari penguapan batubara dimana plumbum dapat dijumpai dalam jumlah yang sangat kecil pada batubara yang tidak murni, juga dapat dijumpai pada tangki air yang menggunakan pipa yang mengandung plumbum (Berg, 2002). Plumbum
juga dapat dijumpai pada baterai, insektisida, tinta koran, serta cat yang mengandung plumbum terutama pada zaman dahulu (Jain, 2005).
2.4. Toksikologi Plumbum Plumbum mempunyai kemampuan untuk membentuk kompleks dengan banyak senyawa. Plumbum mengganggu aktivitas enzim dan mempengaruhi berbagai sistem organ, termasuk darah, sistem saraf, ginjal organ reproduksi dan saluran pencernaan. Keracunan plumbum yang anorganik lebih sering karena pemaparan yang kronik, dengan manifestasinya yang paling sering berupa kelemahan, anoreksia, gugup, tremor, turunnya berat badan, sakit kepala dan gejala-gejala saluran pencernaan (CCOHS, 2007). Sementara keracunan plumbum yang organik lebih sering bersifat akut yang disebabkan oleh plumbum tetraetil atau tetrametil, yang digunakan sebagai zat “antiknock” dalam bensin. Plumbum organik sangat mudah menguap dan larut dalam lemak. Keracunan akut ini terutama menimbulkan gangguan pada sistem saraf pusat tapi hanya sedikit menimbulkan gangguan hematologi ( Katzung, 1998). Kadar plumbum darah sampai 10 μg/dL belum memberikan efek pada tubuh manusia. Pada kadar 20 μg/dL sudah menyebabkan gangguan berupa peningkatan hemoglobin (Hb), menurunnya kadar vitamin D, serta penurunan perkembangan susunan saraf pusat. Gangguan sistem saraf pusat yang berat terjadi pada kadar plumbum darah 80 μg/dL. Kematian dapat terjadi bila kadar plumbum darah sudah lebih dari 100 μg/dL (Martiana, 2007).
Tidak semua plumbum yang terpapar ke manusia akan diserap oleh tubuh. Hanya sekitar 5-10% dari jumlah Pb yang masuk melalui makanan dan atau sebesar 30% dari jumlah plumbum yang terhirup yang akan diserap oleh tubuh. Dari jumlah yang terserap itu, hanya 15% yang akan mengendap pada jaringan tubuh, dan sisanya akan turut terbuang bersama bahan sisa metabolisme seperti urin dan feses. Tetapi meskipun jumlah plumbum yang diserap oleh tubuh hanya sedikit, logam ini ternyata menjadi sangat berbahaya karena senyawa-senyawa plumbum dapat memberikan efek racun terhadap banyak fungsi organ yang terdapat dalam tubuh (Palar, 1994). Pada orang dewasa, 95 persen plumbum mengalami akumulasi di tulang, terutama pada masa usia tua. Akibatnya, penyimpanan plumbum di tulang dapat tetap meninggi walaupun terjadi penurunan pemaparan di lingkungan (Ronis,2001). Kebanyakan (99 persen) plumbum dalam darah berhubungan dengan eritrosit, dimana ini menunjukkan bahwa bagian plumbum yang lebih kecil jumlahnya di plasma mungkin lebih labil secara biologis dan merupakan bagian plumbum yang lebih toksik di plasma (Téllez-Rojo et al, 2004). Pemberian kelator dalam beberapa siklus perlu dilakukan dalam waktu lebih dari 1 bulan untuk menghasilkan penurunan kadar Pb dalam darah yang adekuat dan mengurangi waktu pemberian. Hal ini karena ”pool” darah seimbang dengan Pb pada kompartemen internal lain, sehingga ”pool” darah yang memunculkan Pb kembali yang dimobilisasi dari kompartemen lain setelah pemberian 1 siklus kelator (Hamidinia et al, 2006).
2.5. Metabolisme Kalsium Kalsium dalam serum, pada keadaan normal 9-11 mg/dl atau 4,5-5,5 meq/l, ditemukan terutama dalam dua bentuk. Sekitar separoh daripadanya beredar sebagai ion bebas (Ca++) yang berperan dalam koagulasi darah, antaran neuromuskular, pemeliharaan fungsi membran, regulasi intrasel dari sekresi oleh kelenjar, dan kontrol atas kontraktilitas otot rangka dan jantung. Kalsium yang tidak berwujud ion, terikat kepada protein yang beredar dan fisiologis tidak berperan (Widman,1999). Penting sekali bagi tubuh untuk memelihara kadar normal ion kalsium. Kadar kalsium total dalam serum berubah dengan adanya perubahan kadar protein-protein, baik albumin maupun globulin; akan tetapi kadar ion kalsium tidak dipengaruhi oleh ikatan dengan protein-protein itu. Kadar kalsium dan fosfat mempunyai hubungan timbal balik; kalau yang satu meningkat, yang lain menurun (Widman, 1995). Absorbsi kalsium hampir sempurna dalam waktu 10 sampai 20 menit pada konsentrasi kalsium dibawah 10 mM. Pada konsentrasi kalsium yang lebih tinggi, kecepatan absorbsi melambat; pada konsentrasi 150 mM hanya kira-kira setengah kalsium yang dapat diabsorbsi dalam waktu 2,5 jam (Bronner, 1986). Absorpsi kalsium dari saluran pencernaan akan efisien bila kalsium dalam bentuk yang terlarut, umumnya dalam bentuk ion kalsium (Hanzlik et al, 2005). Kalsium diabsorbsi dari saluran pencernaan oleh adanya kombinasi antara transport aktif dan difusi pasif. Transport aktif distimulasi oleh 1,25-dihydroxyvitamin D3, dan terutama pada duodenum dan jejunum proksimal. Proses pasif lebih penting pada jejunum distal dan ileum dimana masa transit lebih panjang dan dapat menjadi
mekanisme utama pada penyerapan muatan kalsium yang lebih besar yang mensaturasi proses aktif. Kalsium dari sel intestinal bagian apeks diangkut ke bagian basolateral melalui suatu saluran atau “carrier” dan kemudian dipompakan keluar ke cairan tubuh. Transport kalsium meningkat dengan adanya “calcium-binding protein” (Ca-BP) yang tergantung pada vitamin D di sitosol, yang mengangkut kalsium dari satu kutub ke kutub lainnya sehingga meningkatkan difusi kalsium intraseluler. Secara teori, transport kalsium transseluler dapat diatur oleh jumlah kalsium yang masuk ke dalam sel, oleh jumlah atau kecepatan kation berpindah dari satu kutub ke kutub lainnya, atau oleh adanya ekstrusi kalsium. Jika diperantarai oleh “calciumchannel”, hanya dibutuhkan dalam jumlah yang kecil (Bronner et al, 1986). Diet mempunyai pengaruh besar terhadap ekskresi kalsium. Makan banyak karbohidrat dan protein meningkatkan ekskresi kalsium; susu dan bahan berasal dari susu menyebabkan ekskresi kalsium dan fosfat dalam urin meningkat. Ekskresi kalsium dalam urin juga bervariasi menurut waktu sepanjang hari, berhubungan dengan makanan dan derajat aktifitas fisik. Informasi secara kuantitatif hanya bisa didapat dari penilaian ekskresi selama 24 jam; memeriksa urin sesewaktu hanya memberi hasil kualitatif ”tidak ada”, ”sedikit” atau ”banyak” kalsium yang diekskresi (Widman, 1999). Jumlah asupan kalsium berbanding terbalik dengan plumbum plasma kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya absorbsi kalsium di saluran pencernaan dan juga adanya penurunan mobilisasi plumbum di tulang. Hal ini memberikan kesan
bahwa asupan kalsium dapat memberikan efek proteksi terhadap akibat yang ditimbulkan oleh pemaparan dengan plumbum (Téllez-Rojo, 2004). Komponen diet umumnya, dan kalsium khususnya, diduga berinteraksi dengan plumbum dengan beberapa cara yaitu: dengan mengikat atau mempresipitasi plumbum di usus sehingga plumbum tidak dapat diabsorbsi, dengan berkompetisi dengan plumbum di usus pada lokasi transport dan mekanisme absorpsi, dengan merubah aviditas sel intestinal terhadap plumbum, dan dengan merubah afinitas jaringan target terhadap plumbum. Kedua faktor terakhir yang mempengaruhi metabolisme kalsium dan plumbum diatur oleh sistem endokrin cholecalciferol melalui 1,25- dihydroxyvitamin D dan protein yang berikatan dengan kalsium (Ballew, 2001) Ada beberapa bentuk suplemen kalsium yang dapat dijumpai secara luas, tetapi yang lebih umum adalah yang mengandung kalsium karbonat dan kalsium sitrat. Kalsium karbonat merupakan garam kalsium dengan kelarutan yang tinggi (Hanzlik et al, 2005). Kalsium karbonat merupakan kalsium dalam bentuk yang dapat masuk melalui saluran pencernaan dan lebih mudah diabsorbsi (Gulson et al, 2001).
2.6. Kebutuhan Kalsium pada Tikus dan Manusia Kalsium merupakan mineral yang penting bagi manusia, merupakan 1 sampai 2 persen berat badan manusia. Dari jumlah ini, 99 persen berada di dalam jaringan keras, yaitu tulang dan gigi (Almatsier, 2004).
Di Amerika, kebutuhan kalsium yang dianjurkan lebih tinggi daripada negaranegara lain, termasuk negara-negara Asia dan Afrika. Angka kebutuhan kalsium perhari untuk usia 19 sampai 50 tahun di Amerika Serikat adalah
1000 mg,
sementara untuk yang berusia diatas 50 tahun mencapai 1200 mg. Di Inggris, kebutuhan kalsium rata-rata perhari berkisar 900 mg untuk pria dan 750 mg untuk wanita. Tapi dari survei diet dan nutrisi yang dilakukan di Inggris menunjukkan bahwa beberapa kelompok populasi, khususnya anak-anak sekolah dan orang tua gagal mencapai angka kebutuhan yang dianjurkan tersebut (Mason, 2002). Angka kecukupan rata-rata sehari untuk kalsium bagi orang Indonesia pada bayi dan anakanak adalah 300-500 mg, pada remaja dan dewasa berkisar 500-800 mg, sedangkan pada ibu hamil dan menyusui berkisar 900-1200 mg (Almatsier, 2004). Konsumsi kalsium hendaknya tidak melebihi 2500 mg sehari. kelebihan kalsium dapat menimbulkan batu ginjal ataupun gangguan ginjal dan juga dapat menyebabkan konstipasi (susah buang air besar) (Almatsier, 2004). Diperkirakan jumlah kalsium yang dibutuhkan oleh tikus untuk pertumbuhan maksimal dan perkembangan tulang bervariasi mulai dari 0,55 sampai 1,2 mmol kalsium per hari. Salah satu lembaga penelitian merekomendasikan asupan kalsium harian minimum, 1,5 mmol kalsium per hari, dan kebanyakan makanan hewan jenis roden menyediakan lebih banyak kalsium daripada yang dibutuhkan. Dengan perkiraan bahwa cairan ekstraselular tikus adalah kira-kira 20 persen dari berat badan tikus, dan dengan konsentrasi kalsium kira-kira 2 mM, maka tikus yang mempunyai
berat badan 250 gram, mempunyai kira-kira 0,1 mmol kalsium dalam cairan ekstraselularnya (Tordoff, 2001)
2.7. Pemeriksaan Kalsium Kadar kalsium dapat diukur dengan berbagai cara, tetapi cara yang paling akurat adalah cara spektrofotometri serapan atom. Dalam darah kalsium terikat pada protein yang beredar, sebagian besar albumin tetapi juga sedikit globulin. Kadar kalsium serum meliputi kalsium terikat protein dan ion kalsium bebas; hanya kalsium dalam bentuk ion mempunyai arti biologik. Penderita yang mempunyai kadar protein rendah juga mempunyai kadar kalsium total rendah tetapi secara fisiologis tidak mengalami hipokalsemia. Kebanyakan antikoagulan menghambat terjadinya pembekuan darah dengan cara mempresipitasikan kalsium (chelating), karena itu plasma tidak dapat digunakan untuk penentuan kadar kalsium. pH darah mempengaruhi proporsi kalsium yang terikat dan kalsium dalam bentuk ion. Bila pH menurun ion kalsium meningkat, sedangkan dalam darah dengan pH tinggi akibat kehilangan CO2, ion kalsium berkurang. Hasil penentuan kadar ion akan dipengaruhi oleh status pH penderita, oleh stasis darah vena pada waktu pengambilan darah (pH rendah, fraksi ion meningkat), oleh hiperventilasi karena takut (kehilangan CO2, fraksi ion menurun) dan oleh penanganan bahan pemeriksaan yang kurang baik (Widman,1999).
2.8. Pemeriksaan Plumbum Ada berbagai tes laboratorium yang digunakan untuk mendiagnosa keracunan plumbum dimana bahannya dapat diambil dari darah, urin ataupun dari rambut. Pemeriksaan pada darah adalah dengan memeriksa hitung sel darah lengkap, kadar plumbum whole-blood, aktivitas enzim DALAD (delta-aminolevulinic acid) pada sel darah merah, serta protoporfirin eritrosit bebas. Pemeriksaan dengan menggunakan urine adalah dengan memeriksa kadar plumbum urin 24 jam, kadar DALAD pada urin, koproporfirin urin, serta kadar plumbum pada urin setelah tes mobilisasi calcium disodium EDTA. Pemeriksaan dengan menggunakan rambut adalah dengan menilai determinasi kadar plumbum (Rahde, 1994). Kadar plumbum darah, secara khusus dalam spesimen darah lengkap (wholeblood specimens) diperiksa dengan menggunakan darah vena atau dari darah tepi, yang sudah dicampur dengan antikoagulan. Untuk mengukur kadar plumbum dalam spesimen ini biasanya digunakan pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan graphite furnace atomic absorption spectroscopy, yang mempunyai limit deteksi (limit of detection = LOD) sampai dengan 1 μg/dL. Beberapa laboratorium masih menggunakan anodic stripping voltametry yang mempunyai LOD sampai 5 μg/dL (Hu, 2007). Cara lain untuk mengukur kadar Pb dalam udara, darah atau urin adalah dengan Double Extraction, Mixed Color, Dithizone Method. Cara ini berdasarkan adanya reaksi antara diphenylthiocarbazone dengan Pb, sehingga membentuk Pb dithizonate
yang dapat di ekstraksi dengan chloroform. Kepekaan dapat dicapai hingga 0,3 μg (Sjamsudin, 1978). Metode atomic absorption spectroscopy (AAS) mempunyai limit deteksi yang relatif tinggi dan membutuhkan prosedur ekstraksi untuk konsentrasi rendah umumnya dalam air minum. Metode electrothermal atomic absorption (EAA) lebih sensitif untuk konsentrasi rendah dan tidak membutuhkan ekstraksi. Metode inductively coupled plasma (ICP) memiliki sensitifitas yang mirip dengan metode AAS. Metode dithizone sensitif dan spesifik sebagai prosedur kolorimetrik (Eaton, 1995).
2.9. Hubungan Kalsium dan Plumbum Telah diketahui sejak lebih dari 50 tahun yang lalu, bahwa diet kalsium pada binatang percobaan dapat menurunkan absorpsi dan retensi plumbum dalam saluran pencernaan, yang sebagian besar mungkin disebabkan adanya hubungan antara absorpsi dan ekskresi plumbum, diet kalsium, dan metabolisme vitamin D (Quarterman, 1978). Pada tikus, peningkatan diet kalsium dapat menurunkan akumulasi plumbum dalam tulang dan mobilisasinya selama masa kehamilan dan laktasi, yang mungkin saja dapat terjadi pada saat-saat yang lainnya (Han, 1997). Kandungan mineral, khususnya, adanya kalsium dan fosfat dalam makanan merupakan salah satu faktor yang berperan untuk menurunkan absorpsi plumbum ketika plumbum masuk bersama makanan. Asupan kalsium dalam makanan tampaknya mempengaruhi absorpsi plumbum. Efek ini bukan hanya dapat dijumpai
pada manusia tapi juga pada tikus (ATSDR, 2007). Dari suatu penelitian terhadap tikus dan kera dijumpai bahwa tikus dan kera yang kekurangan kalsium mencerna plumbum asetat dalam jumlah yang lebih besar daripada kontrol. Pada kasus kekurangan mineral lain misalnya magnesium dan zincum, tapi bukan besi, juga dijumpai adanya asupan kalsium yang meningkat, tetapi dalam kadar yang lebih kecil (Tordoff, 2001). Menurunnya kadar kalsium dan zincum akan meningkatkan absobsi plumbum. Absorbsi plumbum pada saluran pencernaan disebabkan oleh adanya solubilisasi asam dan tampaknya hal itu yang menyebabkan transport kalsium melalui mukosa saluran pencernaan hampir sama dengan plumbum (Gilman, 1990). Plumbum dapat dengan mudah memasuki jaringan tubuh hewan yang kekurangan kalsium, dimana hal ini memberi kesan bahwa dalam keadaan kalsium tidak mencukupi, hewan dapat menggunakan plumbum sebagai gantinya (Tordoff, 2001). Pengaturan absorbsi kalsium secara hormonal juga dipengaruhi oleh plumbum dimana toksisitas plumbum dapat dijumpai pada makanan rendah kalsium (Mahaffey, 1981). Plumbum dapat meningkatkan konsentrasi 1,25-dihydroxyvitamin D [1,25(OH)2D], yang akan meningkatkan absorpsi kalsium dan kemudian akan mengurangi beratnya defisiensi kalsium (Tordoff, 2001). Plumbum dan kalsium dapat digunakan secara bergantian oleh tulang. Plumbum mempunyai affinitas terhadap tulang dan bekerja dengan cara menggantikan kerja kalsium pada matriks mineral tulang. Konsentrasi plumbum yang tinggi dapat mengalami deposit pada tulang yang sedang bertumbuh, dimana konsentrasinya yang
tertinggi adalah pada metafise (Khan, 2007). Plumbum juga mempunyai efek langsung terhadap pengaturan lokal fungsi sel-sel tulang dalam hubungannya dengan homeostasis kalsium dan pengaturan sistem secondary messenger atau dengan mengganggu sinyal cAMP (Pounds,1991). Plumbum merupakan kation divalent, dan terikat kuat ke gugus sulfhidril protein. Banyak sifat toksik plumbum disebabkan kemampuannya untuk menyerupai atau berkompetisi dengan kalsium. Pada konsentrasi pikomolar, plumbum berhasil berkompetisi dengan kalsium pada lokasi pengikatan pada fosfokinase C dan karena itu mempengaruhi penandaan neuronal yang akan menghambat masuknya kalsium ke dalam sel (Needleman, 2004). Plumbum mempunyai ikatan yang kuat dengan protein transport yang digunakan oleh kalsium, tetapi afinitas pengikatan plumbum paling sedikit dua kali lipat daripada terhadap kalsium. Karena mekanisme transport yang sama ini juga bekerja terhadap absorpsi plumbum dan kalsium dari saluran cerna, maka hal ini akan menyebabkan terjadinya interaksi kompetitif antara kalsium dan plumbum (Gulson, 2001). Homeostasis kalsium dapat diganggu oleh plumbum, menyebabkan terjadinya akumulasi kalsium yang nyata pada sel yang terpapar plumbum. Plumbum mengalami akumulasi dalam mitokondria yang merupakan organella yang melakukan proses metabolisme energi sel, sehingga mitokondria dapat rusak (Scott, 1980). Plumbum dalam konsentrasi nanomolar juga dapat menginduksi mitokondria untuk melepaskan kalsium, sehingga dapat terjadi apoptosis (Lidsky, 2002).
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik dengan 6 (enam) kelompok perlakuan terhadap hewan percobaan mencit putih betina (Mus musculus L) strain Balb/c.
3.2. Lokasi dan Waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium terpadu, Universitas Sumatera Utara, Medan, dan laboratorium BTKL & PPM (Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular), Medan. Penelitian berlangsung selama 8 minggu (2 bulan).
3.3. Besar Sampel Jumlah sampel yang digunakan menggunakan rumus Rancangan Acak Lengkap menurut Sugandi (1994) yaitu sebagai berikut: t (r-1) ≥ 20
t : Jumlah Perlakuan r : Jumlah Ulangan
Dari rumus ini didapati bahwa pada penelitian ini akan digunakan sebanyak 30 ekor mencit betina dewasa (Mus musculus L) strain Balb/c, umur 6-8 minggu, berat antara 20-40 gram dengan kondisi sehat. 30 ekor mencit ini akan dibagi ke dalam 6 kelompok percobaan, masing-masing kelompok terdiri atas 5 ekor mencit.
3.4. Rancangan Penelitian Pada penelitian ini sampel terdiri dari 30 ekor mencit betina yang dibagi secara acak dalam 6 kelompok, masing-masing kelompok diberi kode kelompok yakni K, P1, P2, P3, P4, P5. setiap kelompok diberi perlakuan sebagai berikut: Tabel 1. Disain Perlakuan Kelompok K P1 P2 P3 P4 P5
Kalsium karbonat (mg/hari) 25 50 25 50
Perlakuan Plumbum asetat (mg/kgBB/hari) 40 40 40 40 40
Jarak pemberian Bersamaan Bersamaan 1 jam 1 jam
3.5. Penentuan Dosis Plumbum dan Kalsium Dalam penelitian ini, dosis Pb asetat yang digunakan adalah 40mg/kgBB/hari dalam bentuk serbuk kemudian dilarutkan dengan aquadest. Dosis kalsium karbonat yang digunakan adalah 25mg/hari dan 50mg/hari dalam bentuk serbuk kemudian dilarutkan dengan aquadest. Pb asetat dan kalsium karbonat diberikan peroral dengan menggunakan jarum gavage yang dimasukkan langsung ke lambung mencit. 3.6 Populasi Penelitian Populasi dari penelitian ini adalah mencit betina umur 6-8 minggu dengan berat badan 20-40gr dan sehat yang ditandai dengan gerakan yang aktif. Mencit diperoleh dari Laboratorium Biologi FMIPA-USU.
3.7. Variabel Penelitian 3.7.1 Variabel bebas, yaitu plumbum asetat 3.7.2 Variabel tergantung, yaitu kadar/dosis kalsium yang divariasikan 3.7.3 Variabel kendali, yaitu jenis kelamin, kesehatan fisik, berat badan, makanan, umur, dan faktor lingkungan
3.8. Bahan-bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sediaan plumbum asetat dalam bentuk bubuk (C4H6O4Pb) dengan dosis 40mg/kgBB, dan juga sediaan kalsium karbonat dalam bentuk bubuk (CaCO3) dengan dosis 25 mg/hari dan 50 mg/hari. Sediaan plumbum asetat dan kalsium karbonat ini dilarutkan dalam air agar dapat dimasukkan ke hewan coba. Sebagai antikoagulan setelah darah diambil dari hewan coba digunakan larutan heparin. Pada proses preparasi Pb, digunakan larutan AgNO3 pekat dan AgNO3 13%. Semua bahan yang digunakan pada penelitian ini menggunakan bahan yang pro analitik (p.a). Pellet digunakan sebagai makanan hewan coba. Aquadest digunakan sebagai air minum hewan coba dan sebagai pelarut plumbum asetat dan kalsium karbonat. 3.9. Alat-alat Pada penelitian ini digunakan 2 macam timbangan yaitu timbangan hewan dan timbangan analitis. Timbangan hewan digunakan untuk mengukur berat badan hewan coba setiap hari agar dapat diberikan dosis kalsium dan Pb dan kalsium yang sesuai dengan berat badan masing-masing hewan coba. Timbangan analitis digunakan untuk
mengukur jumlah kalsium dan Pb yang akan diberikan kepada hewan coba. Untuk pemberian kalsium dan Pb secara oral, digunakan jarum gavage. Untuk pengambilan darah hewan coba, digunakan spuit 1cc. Darah yang diambil dikumpulkan dulu dalam tabung eppendorf baru kemudian dimasukkan ke tabung reaksi dengan menggunakan mikropipet. Sebelum dibawa ke laboratorium yang akan memeriksa kasar Pb dalam darah hewan coba, dilakukan preparasi. Pada proses preparasi digunakan alat aluminium foil, vortex dan hotplate. Setelah selesai proses preparasi, darah diperiksa dengan menggunakan alat Inductively Couple Plasma (ICP).
3.10
Pelaksanaan Penelitian
3.10.1. Pemeliharaan Hewan Coba Hewan (mencit betina) dipelihara dalam kandang plastik bertutup, dengan ukuran panjang dan lebar kandang lebih panjang dari tubuh hewan termasuk ekornya dan tiap kandang dialasi dengan sekam padi. Pada masa aklimatisasi, di tiap kandang ditempatkan 2 ekor mencit untuk menilai berapa jumlah kalsium yang dikonsumsi oleh 2 ekor mencit dalam 1 hari. Setelah masa aklimatisasi, jumlah makanan ditimbang setiap hari, termasuk jumlah yang diberikan dan yang habis. Diperoleh data bahwa jumlah kalsium yang terkandung dalam pellet mencit dapat diabaikan, karena ternyata tiap kandang mencit hanya menghabiskan pelet tidak lebih dari 35 mg/hari. Dari pengamatan ini, kemudian diputuskan bahwa pada tiap kandang dapat ditempatkan 5 ekor mencit betina. Hal ini disesuaikan dengan sifat hewan coba
yang lebih suka bila berada dalam jumlah sekitar 5 ekor dalam tiap kandang. Minuman berupa aquadest diberikan secara ad libitum. Kandang ditempatkan dalam ruangan yang memiliki ventilasi dan masuk cahaya secara tidak langsung, serta memiliki kelembaban yang sesuai dengan kehidupan mencit. Kandang dibersihkan dan alas sekam diganti sekali dua hari. Tempat makan dan minum dibersihkan dan diganti tiap hari. 3.10.2. Perlakuan Hewan Coba Setelah selesai diberi perlakuan, maka terhadap hewan percobaan kelompok K, P1, P2, P3, P4,dan P5 dilakukan dislokasi leher untuk pengambilan darahnya. Pengambilan darah ini dilakukan pada waktu yang berbeda-beda, dimana kelompok K yang merupakan kelompok kontrol negatif dilakukan pada saat awal percobaan, sedangkan kelompok P1 sampai P5 dilakukan setelah 2 minggu perlakuan. Dari tiaptiap hewan coba diambil minimal 0,5 mL darah untuk diperiksa kadar Pb dalam darah hewan coba tersebut. 3.11 Prosedur Pemeriksaan Plumbum 3.11.1 Pembuatan preparasi untuk pemeriksaan kadar plumbum dalam darah Sampel darah sebanyak 0,5 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Setelah dimasukkan larutan AgNO3 pekat sebanyak 1 mL ke tabung tersebut, kemudian di vortex selama beberapa saat sampai larutan tercampur. Larutan ini kemudian dipanaskan di hot plate selama 15 sampai 30 menit sampai mendidih. Setelah mendidih, kemudian temperatur diturunkan. Hot plate dimatikan setelah larutan mengering. Setelah dingin, kemudian ditambahkan AgNO3 13% dan kemudian di
vortex lagi sampai larutan tercampur dan tampak warna kuning muda. Larutan tersebut kemudian dibiarkan pada suhu ruangan, sekitar 22oC. Larutan yang sudah di preparasi ini kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa Pb dalam darah hewan coba tersebut. Darah yang sudah dipreparasi dapat bertahan dalam suhu ruangan selama 1 bulan kalau tidak langsung diperiksa darahnya. 3.11.2 Pemeriksaan dengan alat Inductively Coupled Plasma (ICP) Prinsip: Sampel yang diasamkan mengandung plumbum dalam jumlah mikrogram bercampur dengan “reducing solution” ammoniacal citrate-cyanide dan diekstraksi dengan dithizone dalam chloroform (CHCl3) untuk membentuk “cherry-red lead dithizonate”. Warna dari campuran larutan berwarna diukur secara fotometrik.
Adapun langkah-langkah pengoperasian ICP (Inductively Couple Plasma) metode Dithizone adalah sebagai berikut: Sampel dihancurkan dan disaring melalui kertas filter bebas plumbum dan corong filter dan kemudian langsung dimasukkan ke dalam 250 mL corong pemisah. Tabung penghancur kemudian dicuci dengan 50 mL air dan ditambahkan ke filter. Setelah itu ditambahkan 50 mL larutan ammoniacal citrate-cyanide, dicampur dan kemudian didinginkan pada temperatur ruangan. Ditambahkan 10 mL larutan kerja dithizone kemudian corong penyumbat digoyang dengan kuat selama 30 detik, sampai lapisan terpisah. Kapas bebas plumbum dimasukkan ke dalam batang corong pemisah dan dikeluarkan lapisan di bawahnya. Lapisan CHCl3 dibuang 1 sampai 2
mL, kemudian diisi dengan sel penyerap. Absorbansi ekstrak diukur pada panjang gelombang 510 nm menggunakan larutan kerja dithizone, ¶ 3g, untuk membuat nol spektrofotometer. 3.12. Kerangka Kerja
Aklimatisasi (tujuh hari)
Kel. K K o n t r o l
Kel. P1 Pb 40 mg/kg BB (2 mgg)
Kel. P2 Pb 40 mg/ kg BB + Ca 1x25 mg, bersamaan (2 minggu)
Kel. P3 Pb 40 mg/ kg BB + Ca 1x50 mg, bersamaan (2 minggu)
Kel. P4 Pb 40 mg/ kg BB + Ca 1x25 mg, jarak 1 jam (2 minggu)
Diukur Kadar Pb dalam darah
Analisa / Uji Statistik
Gambar 2. Bagan Kerangka Kerja
Kel. P5 Pb 40 mg/ kg BB + Ca 1x50 mg, jarak 1 jam (2 minggu)
3.13. Analisa Data Data pengamatan yang diperoleh dianalisa dengan memakai uji Kruskall Wallis karena data tidak berdistribusi normal (p>0,05) (Sulaiman, 2003).
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini, pengaruh kombinasi plumbum dengan kalsium dan jarak pemberian, diperoleh hasil sebagai berikut:
Gambar 3. Perbandingan Kadar Pb pada kelompok kontrol negatif (K) dan kelompok yang hanya diinduksi aquadest (P1) Dari gambar 3, bila dibandingkan dengan kelompok mencit yang diberi Pb (P1), terlihat bahwa pada kelompok kontrol (K) ini dijumpai Pb dalam darahnya (0,029 mg/L). Hal ini memberi indikasi bahwa adanya Pb dalam darah mencit yang tidak dipaparkan dengan Pb mungkin disebabkan oleh keterpaparan dari udara yang terdapat di sekitar ruangan, ataupun mungkin berasal dari tempat pengolahan aquadest yang mungkin melalui pipa yang mengandung plumbum. Hewan coba
(mencit) ini diambil setelah berumur 6 minggu, sehingga mungkin saja mencit tersebut telah terpapar Pb sebelumnya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Polivka et al, bahwa pada anak-anak berusia 1-2 tahun yang walaupun tidak tinggal di daerah pertambangan, sudah dijumpai plumbum dalam darahnya (Polivka et al, 2006). Hasil ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tong et al yang melakukan penelitian terhadap anak-anak mulai dari lahir dan kemudian diikuti sampai berusia 11-13 tahun yang tidak tinggal di daerah pertambangan. Mereka mendapati bahwa pada anak-anak ini terdapat peningkatan kadar plumbum dalam darah seiring dengan bertambahnya usia (Tong et al, 1998).
Gambar 4. Perbandingan kadar Pb pada kelompok yang diberikan Pb dalam waktu yang bersamaan dengan kalsium 25 mg/hari (P2) atau 50 mg/hari (P3), dibandingkan dengan kelompok yang hanya mendapatkan Pb (P1)
Dari gambar 4 tampak bahwa kadar Pb pada kelompok yang mendapatkan kalsium dengan konsentrasi 25 mg/hari (P2) dan 50 mg/hari (P3) dalam waktu yang bersamaan dengan pemberian Pb 40 mg/kgBB/hari, terlihat adanya penurunan bila dibandingkan dengan kelompok P1 (hanya mendapatkan Pb 40 mg/kgBB/hari), dimana setelah diuji dengan uji Anova satu arah, ternyata perbedaan ini tidak bermakna (p>0,05). Penelitian yang dilakukan oleh Tordoff menemukan bahwa tikus dan kera yang kekurangan kalsium mencerna plumbum asetat dalam jumlah yang lebih besar daripada kontrol (Tordoff, 2001). Hasil ini sejalan dengan hasil yang didapatkan oleh Gilman yang menemukan bahwa menurunnya kadar kalsium dan zincum akan meningkatkan absobsi plumbum (Gilman, 1990). Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR) juga mendapati hasil bahwa kandungan mineral, khususnya, adanya kalsium dan fosfat dalam makanan merupakan salah satu faktor yang berperan untuk menurunkan absorpsi plumbum ketika plumbum masuk bersama makanan (ATSDR, 2007). Pada kelompok P3 (mendapatkan kalsium 50 mg/hari) tampak penurunan nilai Pb dibandingkan dengan kelompok P2 (mendapatkan kalsium 25 mg/hari), walaupun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan penurunan kadar Pb dalam darah bila dosis kalsium ditingkatkan dari 25mg/hari menjadi 50mg/hari. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bogden et al yang menemukan bahwa peningkatan konsumsi kalsium yang diberikan pada tikus dapat menurunkan akumulasi plumbum di tulang dan mobilisasinya selama masa kehamilan dan laktasi (Bogden et al, 1995).
Gambar 5. Perbandingan kadar Pb pada kelompok yang diberi Pb 1 jam setelah diberikan kalsium 25 mg/hari (P4) atau 50 mg/hari (P5), dibandingkan dengan kelompok yang hanya mendapatkan Pb (P1) Pada gambar 5 tampak nilai yang berbeda antara kelompok yang mendapatkan Pb 40 mg/kgBB/hari, 1 jam setelah diberi kalsium dengan konsentrasi 25 dan 50 mg/hari(P4 dan P5), yang ternyata setelah diuji dengan statistik, tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0,05). Pemberian kalsium 25 mg/hari bahkan tampak meningkatkan kadar Pb dalam darah, walaupun bila dibandingkan dengan kontrol (P1), ternyata tidak bermakna (p>0,05).
Gambar 6. Perbandingan kadar Pb pada kelompok yang mendapatkan Pb dalam waktu yang bersamaan dengan pemberian kalsium 25 mg/hari (P2) atau 1 jam setelah pemberian kalsium 25 mg/hari (P4), dibandingkan dengan yang hanya mendapatkan Pb (P1) Pada gambar 6 terlihat nilai yang berbeda antara kelompok yang mendapatkan kalsium dan Pb dalam waktu yang bersamaan (P2) dan yang mendapatkan Pb 1 jam setelah diberikan kalsium (P4) dengan konsentrasi kalsium yang sama (25 mg/hari). Setelah diuji secara stasitistik, ternyata perbedaan nilai ini juga tidak bermakna (p>0,05). Bila dibandingkan pemberian kalsium dengan konsentrasi
25 mg/hari
dalam waktu yang bersamaan dengan waktu yang tidak bersamaan, maka tampak bahwa jika kalsium diberi bersamaan dengan Pb akan mengakibatkan kadar Pb darah menurun, tetapi bila pemberian kalsium tersebut 1 jam sebelum pemberian Pb, maka kadar Pb dalam darah akan meningkat, meskipun peningkatan kadar Pb tersebut tidak signifikan (p>0,05).
Hal ini mungkin berkaitan dengan yang dikemukakan oleh Gulson bahwa plumbum mempunyai ikatan yang kuat dengan protein transport yang digunakan oleh kalsium, tetapi afinitas pengikatan plumbum paling sedikit dua kali lipat daripada terhadap kalsium (Gulson, 2001). Bronner juga mengemukakan bahwa transport Pb yang bermuatan elektropositif bisa dipengaruhi juga oleh suatu mekanisme “carrier” tertentu, walaupun hanya sedikit, selain dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya Pb (Bronner, 1986).
Gambar 7. Perbandingan kadar Pb pada kelompok yang mendapatkan kalsium 50 mg/hari dalam waktu bersamaan dengan Pb (P3) atau 1 jam kemudian baru diberikan Pb (P5), dibandingkan dengan yang hanya mendapatkan Pb (P1) Hasil yang tampak pada gambar 7 menunjukkan bahwa terdapat penurunan nilai Pb pada kelompok yang mendapatkan kalsium 50 mg/hari. Penurunan ini lebih besar
pada kelompok yang mendapatkan Pb 40 mg/kgBB/hari dan kalsium dalam waktu yang bersamaan (P3) dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan kalsium 1 jam sebelum diberikan Pb (P5), walaupun secara statistik tidak bermakna. Hal ini memberikan kesan bahwa tampaknya pemberian kalsium lebih efektif bila diberikan bersamaan dengan Pb. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Bronner bahwa absorbsi kalsium hampir sempurna dalam waktu 10 sampai 20 menit pada konsentrasi kalsium dibawah 10 mM (400 mg), sedangkan pada konsentrasi kalsium yang lebih tinggi, kecepatan absorbsi melambat (Bronner, 1986). Pada penelitian ini jumlah kalsium yang digunakan adalah 25 mg dan 50 mg, berarti masa absorbsi kalsium pada penelitian ini sudah hampir sempurna dalam waktu 10 sampai 20 menit.
Gambar 8. Perbandingan kadar Pb pada berbagai kelompok perlakuan
Dari gambar 8 tampak adanya perubahan nilai Pb pada masing-masing kelompok yang menunjukkan adanya penurunan nilai Pb pada semua kelompok yang mendapatkan kalsium bila dibandingkan dengan kelompok yang hanya mendapatkan Pb (P1), kecuali pada kelompok P4. Hasil uji statistik secara Kruskall Wallis ternyata didapati bahwa perbedaan diantara tiap kelompok perlakuan tersebut tidak bermakna (p>0.05). Hasil yang didapat pada penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gulson,et al. Mereka mendapatkan hasil yang merupakan kebalikan dari apa yang didapat oleh para peneliti sebelumnya dimana mereka mendapati bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara konsentrasi Pb dan asupan mikronutrien, termasuk kalsium. Pada remaja dan orang dewasa dengan konsentrasi Pb dalam darah rendah dan keterpaparannya terhadap Pb hanya minimal, mungkin tidak diperlukan suplementasi mikronutrien (Gulson et al, 2006).
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Dari penelitian ini didapati kesimpulan sebagai berikut:. 1. Kadar plumbum dalam darah mencit akibat pemberian Pb asetat 40mg/kgBB/hari selama 2 minggu secara oral tampaknya menunjukkan peningkatan 2. Pemberian kalsium 25 maupun 50 mg/hari selama 2 minggu ternyata tidak berpengaruh terhadap kadar Pb darah 3. Pemberian kalsium 25 mg/hari selama 2 minggu, 1 jam sebelum Pb menunjukkan peningkatan kadar Pb darah bila dibandingkan dengan kelompok yang diberi kalsium dan Pb bersamaan, namun secara statistik, kedua kelompok ini tidak berbeda 4. Tidak dijumpai perbedaan yang bermakna pada pemberian kalsium dengan konsentrasi 25 dan 50 mg/hari, baik yang diberikan Pb secara bersamaan dengan kalsium, maupun yang diberikan kalsium dulu, dan sejam kemudian baru diberi Pb
5.2. Saran 1. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan konsentrasi kalsium yang lebih besar
DAFTAR PUSTAKA
Adham, K.G., Shabana, M.B., Abdel-Latif, H.A., Soliman, S.S.M., 2002, Effects of Supplementary Calcium on Lead Poisoning in Rat, Acta Pharm, 52:19-28 Almatsier, S., 2004, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 235-243 Aminah, N., 2006, Perbandingan Kadar Pb, Hb, Fungsi Hati, Fungsi Ginjal, pada Karyawan BBTKL & PPM Surabaya Bagian Sampling dan Non Sampling, Jurnal Kesehatan Lingkungan, 2(2):111-120 ATSDR (Agency for Toxic Substances and Disease Registry), 2007, Toxicological Profile for Lead, Public Health Service, Atlanta Ballew, C., Bowman, B., 2001, Recommending Calcium to Reduce Lead Toxicity in Children: A Critical Review, Nutrition Reviews, 59(3):71-79 Berg, N., Few, G.S., Easley, M.F., Ross, Jr., W.G., Overcash, B.K., Kimball, H.P., 2002, 2000 Ambient Air Quality Report, North Carolina, USA Bogden, J.D., Oleske, J.M., Louria,D.B, 1997, Lead Poisoning – One Approach to a Problem That Won’t Go Away, Environ Health Perspect, 105:1284-1287 Bronner, Felix, Pansu, D., Stein, W.D., 1986, An Analysis of Calcium Transport Across the Rat Intestine, Am. J. Physiol. 250:561-569 Bruening, K., Kemp, F.W., Simone, N., Holding, Y., Louria, D.B., Bogden, J.D., 1999, Dietary Calcium Intakes of Urban Children at Risk of Lead Poisoning, Environ Health Perspect, 107(6):431-435 Canadian Centre for Occupational Health and Safety (CCOHS), 2007, Cheminfo, Chemical Profiles Created by CCOHS, Lead Acetate Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2004, Adult Blood Lead Lead Epidemiology and Surveillance – United States, 2002, Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR), 53(26):578-582 Conrad, M.E., Barton, J.C., 1978, Factors affecting the absorption and excretion of lead in rat , Gastroenterol. 74;731-740
Eaton, A.D., 1995, Standard Methods, ed. 19, APHA, Washington, DC, pp 371-372 Ettinger, A.S., Téllez-Rojo, M.M., Amarasiriwardena, C., Peterson, K.E., Schwartz, J., Aro, A., et al, 2006, Influence of Maternal Bone Lead Burden and Calcium Intake on Levels of Lead in Milk over The Course of Lactation, Am J Epidemiol, 163:48-56 Florence, T.M, Stauber, J.L., Dale, L.S., Henderson, D., Izard, B.E., Belbin, K., 1998, The Absorption of Ionic Lead Compounds Through the Skin of Mice, Journal of Nutritional & Environmental Medicine, 8(1):19-23 Gilman, A.G., Rall, T.W., Nies, A.S., Taylor, P., 1990, Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics, 8th ed., New York, Pergamon Press Gulson, B.L., Mizon, K.J., Palmer, J.M., Korsch, M.J., Taylor, A.J., 2001, Contribution of Lead from Calcium Supplements to Blood Lead, Environ Health Perspect, 109(3):283-288 Gulson, B.L., Mizon, K.J., Korsch, M.J., Taylor, A.J., 2006, Low Blood Lead Levels Do Not Appear to Be Further Reduced by Dietary Supplements, Environ Health Perspect, 114(8):1186-1192 Hamidinia, S.A., Erdahl, W.L., Chapman, C.J., Steinbaugh, G.E., Taylor, R.W., Pfeiffer, D.R., 2006, Monensin Improves the Effectiveness of mesoDimercaptosuccinate when Used to Treat Lead Intoxication in Rats, Environmental Health Perspectives, 114(4):484-493 Han, S., Equez, M.L., Ling, M., Qiao, X., Kemp, F.W., Bogden, J.D., Effects of prior lead exposure and diet calcium on fetal development and blood pressure during pregnancy. In: Trace Elements in Man and Animals, vol ( (Fischer, P.W.F., L’Abbe, M.R., Cockrell,A., Gibson, R.S), Ottawa, Canada: Research Press, 1997:87-88 Hanzlik, R.P., Fowler, S.C., Fisher, D.H., 2005, Relative Bioavailability of Calcium from Calcium Formate, Calcium Citrate, and Calcium Carbonate, JPET, 313:1217-1222 Hariono, B., 2005, Efek Pemberian Plumbum (Timah Hitam) Anorganik pada Tikus Putih (Rattus norvegicus), J. Sains Vet., 23(2):107-118 Hu, H., Shih, R., Rothenberg, S., Schwartz B.S., 2007, The Epidemiology of Lead Toxicity in Adults: Measuring Dose and Consideration of Other Methodologic Issues, Environmental Health Perspective, 115(3):455-461
Jain, N.B., Laden, F., Guller, U., Shankar, A., Kazani, S.,Garshick, E., 2005, Relation between Blood Lead Levels and Childhood Anemia in India, Am J Epidemiol, 161:968-973 Katzung, B.G., 1998, Farmakologi Dasar dan Klinik, ed. VI, EGC, Jakarta, hal. 927-929 Khan, A.N., Munir, U., Turnbull, I, Macdonald, S., 2007, Lead Poisoning, Saudi Arabia Lagerkvist, B.J., Ekesrydh, S., Englyst, V., Nordberg, G.F., Söderberg, H., Wiklund, D., 1996, Increased Blood Lead and Decreased Calcium Levels During Pregnancy: a Prospective Study of Swedish Women Living Near a Smelter, American Journal of Public Health, 86(9):1247-52 Lidsky, T.I., Schneider, J.S., 2003, Lead Neurotoxicity in Children: Basic Mechanisms and Clinical Correlates, Brain, 126(1):5-19 Mahaffey, K.R., 1974, Nutritional Factors and Susceptibility to Lead Toxicity, Environmental Health Perspective, May 1974:107-112 _____________, 1981, Nutritional Factors in Lead Poisoning, Nutr. Rev., 39:353-362 _____________, 1990, Environmental Lead Toxicity, Nutrition as a Component of Intervention, 89:75-78 Martiana, T, 2007, Use of Haematological and Immunological Biomarker as Indicator of Pb Intoxication, Folia Medica Indonesiana, 43:1489-152 Mason, P., Calcium - An Update, The Pharmaceutical Journal, 268:329-30 Needleman, H., 2004, Lead Poisoning, Annual Review of Medicine, 55:209-220 Nugroho, H., 2006, Pengaruh Pemberian Timbal Asetat Per Oral terhadap gambaran Histologis Epitel Jejunum Mencit (Mus Musculus), JBP, 8(3):113-120 Palar, H., 1994, Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 75-83 Pearl, D.S., Ammerman, C.B., Henry, P.R., Littell, R.C., 1983, Influence of Dietary Lead and Calcium on Tissue Lead Accumulation and Depletion, Lead Metabolism and Tissue Mineral Composition in Sheep, Journal of Animal Science, 56(6):1416-1426
Polivka, B.J., Salsberry, P., Casavant, M.J., Chaudry, R.V., Bush, D.C., 2006, Comparison of Parental Report of Blood Lead Testing in Children Enrolled in Medicaid with Medicaid Claims Data and Blood Lead Surveilance Reports, Journal of Community Health, 31(1):43-55 Pounds, J.G., Long, G.J., Rosen, J.F., 1991, Cellular and Molecular Toxicity of Lead in Bone, Environ. Health Perspect., 91:17-32 Quarterman, J., Morrison, J.N., Humphries, W.R., 1978, The Influence of High Dietary Calcium and Phosphate on Lead Uptake and Release, Environ Res, 17:60-67 Rahde, A.F., 1994, Lead, Inorganic (PIM 301), IPCS, INCHEM, pp 7-13 Ronis, M.J.J., Aronson, J., Gao, G.G., Hogue, W., Skinner, R.A., Badger, T.M., et al, 2001, Skeletal Effects of Developmental Lead Exposure in Rats, TOXICOLOGICAL SCIENCE, 62:321-329 Sax, N.I., Lewis, R.J., 1989, Dangerous Properties of Industrial Materials, 7th ed., New York, van Nostrand Reinhold Scott, I.D., Akerman, K.E.O., Nicholls, D.G., 1980, Calcium-ion transport by intact synaptosomes, Biochem. J., 192:873-880 Shields, J.B., Mitchell, H.H., 1941, The Effect of Calcium and Phosphorus on the Metabolism of Lead, The Journal of Nutrition, 21(6):541-552 Sjamsudin, U., Suyatna, F.D., 1978, Keracunan Pb, Cermin Dunia Kedokteran, 13:28-32 Smith, J.B., Mangkoewidjoyo, S., 1988, Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Coba di daerah Tropis, UI Press, Jakarta, hal. 37-57 Sugandi, E., Sugiarto, 1994, Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi, Penerbit Andi, Yogyakarta, hal. 8,24 Sulaiman, W., 2003, Statistik Non Parametrik Contoh Kasus dan Pemecahannya dengan SPSS, Edisi Pertama, Penerbit Andi, Yogyakarta, hal. 29 Téllez-Rojo, M.M., Hernández-Avila, M., Lamadrid-Figueroa, H., Smith, D., Hernández-Cadena, L., Mercado, A., et al, 2004, Impact of Bone Lead and Bone Resorption on Plasma and Whole Blood Lead Levels During Pregnancy, Am J Epidemiol, 160:668-78
Tong, S., Baghurst, P.A., Sawyer, M.G., Burns, J., McMichael, A.J., 1998, Declining Blood Lead Levels and Changes in Cognitive Function During Childhood, The Port Pirie Cohort Study, JAMA 280(22):1915-1920 Tordoff, M.G., 2001, Calcium: Taste, Intake, and Appetite, Physiol. Rev., 81(4):1567-97 United States Center Environmental Protection Agency (USEPA), 1987, National Primary and Secondary Ambient Air Quality Standards for Lead, 40 CFR 50,12 Code of Federal Regulations, US Government Printing Press, Washington, DC Widman, F.K., 1999, Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, ed. 9, EGC, Jakarta, hal. 271-272, 457-458 World Health Organisation (WHO), 1963, International Water Standards, Geneva ____________________________, 1971, International Standards for Drinking Water, Geneva, third ed. ____________________________, 1977, Environmental Health Criteria 3: Lead, World Health Organisation, Geneva, pp 1991-1992
Lampiran 1 Tabel Berat badan (BB) mencit dan jumlah Pb yang diberikan selama penelitian Hari I
Kel
Hari II
Hari III
Hari IV
Hari V
Hari VI
Hari VII
BB
Pb
BB
Pb
BB
Pb
BB
Pb
BB
Pb
BB
Pb
BB
Pb
(g)
(mg)
(g)
(mg)
(g)
(mg)
(g)
(mg)
(g)
(mg)
(g)
(mg)
(g)
(mg)
P1-1
22,4
0,896
21,9
0,876
21,5
0,86
21,5
0,86
21,5
0,86
21,7
0,868
21,7
0,868
P1-2
26
1,04
26,6
1,064
25,8
1,032
25,7
1,028
25,7
1,028
25,8
1,032
25,8
1,032
P1-3
24
0,96
25,4
1,016
25,6
1,024
25,8
1,032
25,8
1,032
26,1
1,044
26,1
1,044
P1-4
24,2
0,968
26,5
1,06
27
1,08
27,2
1,088
27,2
1,088
27
1,08
27
1,08
P1-5
20,1
0,804
20,7
0,828
25,2
1,008
25,2
1,008
25,2
1,008
25
1
25
1
P2-1
24,4
0,976
29,9
1,196
29,9
1,196
29,8
1,192
29,8
1,192
29,4
1,176
31,4
1,256
P2-2
28,5
1,14
25
1
25
1
24,8
0,992
24,8
0,992
24,3
0,972
25,9
1,036
P2-3
29,1
1,164
25,4
1,016
25,4
1,016
26,4
1,056
26,4
1,056
24,9
0,996
27,3
1,092
P2-4
31,2
1,248
30,6
1,224
30,6
1,224
32,5
1,3
32,5
1,3
31,2
1,248
33,4
1,336
P2-5
26,2
1,048
27,2
1,088
27,2
1,088
26,7
1,068
26,7
1,068
26,2
1,048
26,1
1,044
P3-1
25,6
1,024
24,6
0,984
24,6
0,984
24,3
0,972
24,3
0,972
23,9
0,956
24,8
0,992
P3-2
27,7
1,108
26,4
1,056
26,4
1,056
26,1
1,044
26,1
1,044
25,9
1,036
26,6
1,064
P3-3
25,1
1,004
25
1
25
1
24,6
0,984
24,6
0,984
24,2
0,968
24,5
0,98
P3-4
30,4
1,216
31,4
1,256
31,4
1,256
31,2
1,248
31,2
1,248
30,8
1,232
32,5
1,3
P3-5
26,8
1,072
27,2
1,088
27,2
1,088
27,4
1,096
27,4
1,096
27,6
1,104
29
1,16
P4-1
25,1
1,004
24,4
0,976
24,4
0,976
21,9
0,876
21,9
0,876
22,7
0,908
24,3
0,972
P4-2
30,1
1,204
27,4
1,096
27,4
1,096
29,4
1,176
29,4
1,176
29,5
1,18
31,7
1,268
P4-3
27,2
1,088
29
1,16
29
1,16
31,3
1,252
31,3
1,252
31
1,24
30,7
1,228
P4-4
31,5
1,26
29,2
1,168
29,2
1,168
30,2
1,208
30,2
1,208
30,5
1,22
31,9
1,276
P4-5
26,8
1,072
25,2
1,008
25,2
1,008
26,6
1,064
26,6
1,064
26
1,04
27,4
1,096
P5-1
28,3
1,132
28
1,12
28
1,12
28,4
1,136
28,4
1,136
28,1
1,124
28,6
1,144
P5-2
20,8
0,832
20,6
0,824
20,6
0,824
20,8
0,832
20,8
0,832
20,6
0,824
20,5
0,82
P5-3
29,1
1,164
23
0,92
23
0,92
28,7
1,148
28,7
1,148
26,7
1,068
27,7
1,108
P5-4
29,5
1,18
29,9
1,196
29,9
1,196
30,6
1,224
30,6
1,224
29,8
1,192
30,6
1,224
P5-5
24,9
0,996
24,7
0,988
24,7
0,988
23,9
0,956
23,9
0,956
24,3
0,972
24,6
0,984
Hari VIII
Kel
Hari IX
Hari X
Hari XI
Hari XII
Hari XIII
Hari XIV
BB
Pb
BB
Pb
BB
Pb
BB
Pb
BB
Pb
BB
Pb
BB
Pb
(g)
(mg)
(g)
(mg)
(g)
(mg)
(g)
(mg)
(g)
(mg)
(g)
(mg)
(g)
(mg)
P1-1
21,4
0,856
21,5
0,86
21,5
0,86
21,1
0,844
21,3
0,852
21,8
0,872
22
0,88
P1-2
25,3
1,012
26
1,04
26
1,04
25,3
1,012
21,8
0,872
25
1
25,6
1,024
P1-3
25,6
1,024
22
0,88
22
0,88
21,3
0,852
25,3
1,012
25,8
1,032
22,3
0,892
P1-4
26,1
10,44
25,6
1,024
25,6
1,024
25,9
1,036
25,7
1,028
25,7
1,028
25,9
1,036
P1-5
25
1
21,7
0,868
21,7
0,868
21,4
0,856
21,7
0,868
26
1,04
26,1
1,044
P2-1
31,4
1,256
31,4
1,256
31,4
1,256
30,9
1,236
31,3
1,252
31,3
1,252
31,5
1,242
P2-2
25,9
1,036
25,9
1,036
25,9
1,036
24,7
0,988
24,3
0,972
24,3
0,972
24,3
0,972
P2-3
27,3
1,092
27,3
1,092
27,3
1,092
27
1,08
26,8
1,072
26,8
1,072
27
1,08
P2-4
33,4
1,336
33,4
1,336
33,4
1,336
33,1
1,324
32,4
1,296
32,4
1,296
32,5
1,3
P2-5
26,1
1,044
26,1
1,044
26,1
1,044
25,5
1,02
25,2
1,008
25,2
1,008
25,8
1,032
P3-1
24,8
0,992
25,5
1,02
25,5
1,02
26,1
1,044
25,6
1,024
25,6
1,024
25,7
1,028
P3-2
26,6
1,064
26,4
1,056
26,4
1,056
26,3
1,052
26
1,04
26
1,04
25,7
1,028
P3-3
24,5
0,98
24,5
0,98
24,5
0,98
24,6
0,984
24,7
0,988
24,7
0,988
24,7
0,988
P3-4
32,5
1,3
32,8
1,132
32,8
1,132
32,8
1,312
32,8
1,312
32,8
1,312
33
1,32
P3-5
29
1,16
29,4
1,176
29,4
1,176
29,7
1,188
29,3
1,172
29,3
1,172
29,6
1,184
P4-1
24,3
0,972
24,6
0,984
24,6
0,984
24,4
0,976
24,6
0,984
24,6
0,984
24,7
0,988
P4-2
31,7
1,268
32,8
1,312
32,8
1,312
31,9
1,276
32
1,28
32
1,28
32,6
1,304
P4-3
30,7
1,228
31,3
1,252
31,3
1,252
31,5
1,26
31
1,24
31
1,24
30,4
1,216
P4-4
31,9
1,276
31,8
1,272
31,8
1,272
32,8
1,312
31,8
1,272
31,8
1,272
31,6
1,264
P4-5
27,4
1,096
27,3
1,092
27,3
1,092
28,3
1,132
28,6
1,144
28,6
1,144
23,7
0,948
P5-1
28,6
1,144
28,1
1,124
28,1
1,124
28,7
1,148
28,5
1,14
28,5
1,14
28
1,12
P5-2
20,5
0,82
21
0,84
21
0,84
21,4
0,856
20,7
0,828
20,7
0,828
20,6
0,824
P5-3
27,7
1,108
28,4
1,136
28,4
1,136
29
1,06
28,9
1,156
28,9
1,156
28,4
1,136
P5-4
30,6
1,224
28,7
1,148
28,7
1,148
29,6
1,184
28,4
1,136
28,4
1,136
28,8
1,152
P5-5
24,6
0,984
25,1
1,004
25,1
1,004
25,2
1,008
25,4
1,016
25,4
1,016
25,3
1,012
Lampiran 2 HASIL PENGOLAHAN PENELITIAN SECARA STATISTIK Descriptives Hasil analisa Pb
Mean 95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis
Statistic ,272693 ,243416
Std. Error ,0143148
,301970 ,276126 ,261700 ,006 ,0784052 ,0410 ,4259 ,3849 ,0867 -,559 1,765
,427 ,833
Tests of Normality a
Hasil analisa Pb
Kolmogorov-Smirnov Statistic df Sig. ,123 30 ,200*
Shapiro-Wilk Statistic df ,942 30
*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
Descriptive Statistics N Hasil analisa Pb klp perlakuan
30 30
Mean ,272693 3,50
Std. Deviation ,0784052 1,737
Minimum ,0410 1
Maximum ,4259 6
Sig. ,100
Kruskal-Wallis Test Ranks Hasil analisa Pb
klp perlakuan kontrol perlakuan Pb saja Pb + kalsium 25 mg langsung Pb + kalsium 25 mg 1 jam Pb + kalsium 50mg langsung Pb + kalsium 50 mg 1 jam Total
N 5 5
Mean Rank 12,00 17,20
5
15,20
5
21,60
5
13,40
5
13,60
30
Test Statisticsa,b
Chi-Square df Asymp. Sig.
Hasil analisa Pb 3,901 5 ,564
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: klp perlakuan
Kruskal-Wallis Test Ranks Hasil analisa Pb
klp perlakuan perlakuan Pb saja Pb + kalsium 25 mg langsung Pb + kalsium 25 mg 1 jam Total
N 5
Mean Rank 7,60
5
6,60
5
9,80
15
Kruskal-Wallis Test Ranks Hasil analisa Pb
klp perlakuan Pb + kalsium 25 mg langsung Pb + kalsium 25 mg 1 jam Total
N
Mean Rank 5
4,40
5
6,60
10
Test Statisticsa,b
Chi-Square df Asymp. Sig.
Hasil analisa Pb 1,320 1 ,251
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: klp perlakuan
Kruskal-Wallis Test Ranks Hasil analisa Pb
klp perlakuan Pb + kalsium 50mg langsung Pb + kalsium 50 mg 1 jam Total
Test Statisticsa,b
Chi-Square df Asymp. Sig.
Hasil analisa Pb ,011 1 ,917
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: klp perlakuan
N
Mean Rank 5
5,60
5
5,40
10