II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
PAPAN PARTIKEL
Papan partikel merupakan salah satu jenis produk komposit atau panel kayu yang terbuat dari partikel-partikel kayu atau bahan berlignoselulosa lainnya, yang diikat menggunakan perekat sintesis atau bahan pengikat lain dan dikempa panas (Maloney, 1993). Sifat bahan baku kayu sangat berpengaruh terhadap sifat papan partikelnya. Sifat kayu tersebut antara lain jenis dan kerapatan kayu, penggunaan kulit kayu, bentuk dan ukuran bahan baku, penggunaan kulit kayu, tipe, ukuran dan geometri partikel kayu, kadar air kayu, dan kandungan ekstraktifnya (Bowyer et al., 2003). Kalis (2008) menyatakan bahwa papan serat sabut kelapa memenuhi standar FAO (1996) yang mensyaratkan kerapatan sebesar 0.42 – 0.80 g/cm3, untuk pengaruh papan dengan kadar perekat dibedakan, pada benda uji kekuatan patah diperoleh hasil modulus patah (MOR) pada kadar perekat 5 % = 371 kg/cm2, 7 % = 375 kg/cm2 dan 9 % = 381 kg/cm2. Sedangkan hasil modulus elastisitas (MOE) dari kadar perekat 5 % = 22,855 kg/cm2, 7 % = 28,244 kg/cm2 dan 9 % = 32,654 kg/cm2. Secara umum papan partikel dapat diklasifikasikan berdasarkan kerapatan dan proses pembuatannya. Kollmann et al. (1975) mengemukakan bahwa papan partikel diklasifikasikan berdasarkan tipe bahan baku dan metode produksi serat, metode pembentukan kasuran, kerapatan papan serta jenis dan tempat penggunaannya, namun cara terbaik untuk mengklasifikasikan papan partikel adalah berdasarkan kerapatannya. Berdasarkan rekomendasi ASTM 1974, dalam standard designation 1554-67 mengklasifikasikan papan partikel ke dalam tiga kelompok, yaitu berkerapatan rendah , berkerapatan sedang, dan papan partikel berkerapatan tinggi. Papan partikel berkerapatan tinggi yaitu papan partikel yang mempunyai kerapatan lebih dari 3 50 lb/ft atau kerapatan lebih dari 0.80 g/cm3. Klasifikasi berdasarkan kerapatannya menurut FAO (1958) dan USDA (1955) dalam Kollmann et al. (1975) adalah seperti ditujukan pada tabel berikut: Tabel 1. Klasifikasi papan partikel menurut FAO (1958) dan USDA (1955) Papan Partikel (serat)
Kerapatan 3
g/cm
lb/ft3
Papan serat lunak agak kaku, SRF (Semi Rigid)
0.02 – 0.15
1.25 – 9.5
Papan serat lunak kaku, RF (Rigid)
0.15 – 0.40
9.5 - 25
Papan serat sedang (MDF)
0.40 – 0.80
25 - 50
Papan serat keras (Hardboard/HF)
0.80 – 1.20
50 - 75
Papan serat spesial (SDHF)
1.20 – 1.45
75 - 90
Tidak ditekan
Ditekan
Sumber : Kollmann et al. (1975) Kualitas papan partikel dinilai berdasarkan beberapa standar persyaratan sifat-sifat yang harus dimiliki papan serat. Menurut standar industri papan partikel dari FAO (1996) adalah terlihat seperti pada Tabel 2. Klasifikasi papan serat berdasarkan proses pembuatannya adalah papan serat (partikel) yang dibuat dengan cara kering dan papan yang dibuat dengan cara basah (Suchland dan Woodson, 1986). Pembuatan papan partikel dengan cara kering menggunakan udara untuk membantu
3
terbentuknya ikatan antar partikel, sedangkan pembuatan papan dengan cara basah menggunakan air untuk membantu terbentuknya ikatan antar partikel. Tabel 2. Sifat fisis dan mekanis papan menurut FAO (1996) Sifat Papan
Satuan
Nilai Standar
3
Kerapatan
0.42 – 0.80
(g/cm )
Modulus patah (MOR)
2
108 - 280
2
1,000 – 49,000
2
(kg/cm )
85 - 210
(%)
6 - 40
(kg/cm )
Modulus elastisitas (MOE)
(kg/cm )
Kekuatan tarik tegak lurus permukaan Daya serap air Sumber : Pasaribu dan Purba (1986 : 16)
Tsoumis (1991) menyatakan berdasarkan morfologinya, partikel yang digunakan sebagai bahan baku dibedakan menjadi : a. Flakes, memiliki dimensi yang bervariasi dengan ketebalan antara 0.2 – 0.5 mm, panjang antara 10 - 50 mm, dan lebar antara 2.0 - 2.5 mm. Rasio antara panjang partikel dengan ketebalannya adalah 60 - 120 : 1 atau lebih tinggi. Flakes berukuran besar dan persegi dengan ukuran panjang dan lebar berturut-turut 50x50 mm2 – 70x70 mm2 dan tebal antara 0.6 - 0.8 mm disebut wafers. Partikel yang mirip dengan wafers tetapi lebih tipis dan kadang-kadang sedikit lebih panjang disebut strands. b. Silvers, berbentuk serpihan dengan tebal sampai 5 mm dan panjang sampai dengan 15 mm. c. Fines, berupa serbuk gergaji atau serbuk hasil pengamplasan Papan partikel mempunyai kelemahan stabilitas dimensi yang rendah. Pengembangan tebal papan partikel sekitar 10 - 25% dari kondisi kering ke basah melebihi pengembangan kayu utuh serta pengembangan liniernya sampai 0.20%. Pengembangan tebal hanya sebagian yang dapat kembali, jadi jika papan partikel secara berulang-ulang berada pada kondisi basah kemudian dikeringkan lagi maka ketebalannya akan meningkat secara terus-menerus. Secara tetap, pengembangan tebal yang terjadi pada komponen papan partikel yang tidak dapat dipulihkan kembali disebut irreversible swelling (Bowyer et al., 2003). Tabel 3. Standar sifat fisis dan mekanis papan partikel berdasarkan JIS A 5908-2003 dan SNI 032105-2006 Sifat Papan
Satuan 3
SNI 03-2105-2006
JIS A 5908-2003
Kerapatan
(g/cm )
0.4 – 0.9
0.4 – 0.9
Kadar air
(%)
≤ 14
5 - 13
Daya serap air
(%)
-
-
Pengembangan tebal
(%)
≤ 12
≤ 12
2
Modulus patah (MOR)
(kg/cm )
≥ 82
≥ 82
Modulus elastisitas (MOE)
(kg/cm2)
≥ 20400
≥ 20400
Internal bonding
(kg/cm2)
≥ 1.5
≥ 1.5
(kg)
≥ 31
≥ 31
Kuat pegang skrup
Sumber: JIS A 5908-2003 dan SNI 03-2105-2006
4
2.2
BUAH BINTARO (Cerbera manghas)
Buah bintaro merupakan buah drupa (buah biji) terdiri dari tiga lapisan yaitu epikarp atau eksokarp (kulit bagian terluar buah), mesokarp (lapisan tengah berupa serat seperti sabut kelapa), dan endokarp (biji yang dilapisi kulit biji atau testa) (Jamieson dan Reynolds, 1967). Secara fisik buah bintaro berserat serabut seperti kelapa. Tanaman ini biasa tumbuh di bagian tepi daratan mangrove atau hutan rawa pesisir atau di pantai hingga jauh ke darat (400 m d.p.l), menyukai tanah pasir, terbuka terhadap udara serta ditempat-tempat yang tidak teratur tergenang air pasang surut. Pohon bintaro sering disebut juga sebagai Mangga Laut, Buta Badak, Babuto, dan Kayu Gurita. Dalam bahasa Inggris tanaman ini dikenal sebagai Sea Mango Sedangkan dalam bahasa latin (ilmiah) Bintaro dinamai sebagai Cerbera manghas. Nama Bintaro juga sering disematkan kepada kerabat dekatnya yang bernama ilmiah Cerbera odollam. Bintaro umumnya mempunyai tinggi 4 - 6 meter meskipun terkadang mampu mencapai 12 m. Daunnya berwarna hijau tua mengkilat berbentuk bulat telur. Bunga Bintaro berbau harum, terdiri atas lima petal dengan mahkota berbentuk terompet yang pangkalnya berwarna merah muda. Buah bintaro berbentuk bulat telur dengan panjang sekitar 5 10 cm. Ketika masih muda berwarna hijau pucat dan berubah menjadi merah cerah saat masak. Buah Bintaro dideskripsikan oleh Khanh (2001) berbentuk bulat dan berwarna hijau pucat dan ketika tua akan berwarna merah. Merupakan buah drupa (buah biji) yang terdiri dari tiga lapisan yaitu epikarp atau eksokarp (kulit bagian terluar buah), mesokarp (lapisan tengah berupa serat seperti sabut kelapa), dan endokarp. Terkadang dihasilkan dua biji berbentuk elips atau oval dalam satu buah ( Khahn, 2001). Walapun berbentuk indah namun buah Bintaro tidak dapat dikonsumsi, karena mengandung zat yang bersifat racun terhadap manusia. Biji buah Bintaro (Cerbera odollam) dipilih sebagai alternatif bahan bakar karena memiliki kandungan minyak sekitar 43 - 64 % dan merupakan tumbuhan penghasil minyak non pangan yang memiliki potensi untuk dikembangkan (Imahara et al., 2006). Serat pada buah bintaro di bentuk dari selulosa. Serat selulosa tersebut memiliki ikatan glikosida. Konfigurasi inilah yang membuat selulosa bersifat keras, sukar larut dalam air, dan tidak manis. Kandungan kimia serat buah Bintaro disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan kimia serat buah bintaro Komponen Nilai (%) Zat Ekstraktif 7.55 Lignin 28.30 HoloSelulosa 65.47 α-Selulosa 56.76 Sumber: Data primer (2012) Selain kandungan minyak dari biji buah bintaro, ampas dari sisa pemerasan minyak bintaro dapat dijadikan arang briket atau dibuat menjadi pupuk kompos. Cangkang buah bintaro dapat dijadikan briket yang memiliki nilai kalor tinggi.
2.3 PENGARUH BAHAN BAKU TERHADAP PAPAN PARTIKEL Selulosa merupakan struktur dasar sel-sel tumbuhan dan komponen penting yang dibuat oleh organisme hidup. Di dalam kayu, selulosa terikat erat dengan hemiselulosa yang keduanya membentuk holoselulosa. Selulosa terdiri dari unit-unit anhidroglukopiranosa yang bersambungsambung membentuk rantai molekul. Oleh karena itu, selulosa dinyatakan sebagai polimer linear glukan dengan struktur rantai yang seragam (Sostrohamidjojo, 1995).
5
Berbeda dengan selulosa, hemiselulosa terdiri dari komposisi berbagai unit gula dengan rantai moleku yang lebih pendek. Lignin merupakan zat organik polimer yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kekuatan mekanik. Kandungan lignin dalam tumbuhan cukup bervariasi, yaitu berkisar 20-40 persen. Pada penggunaan kayu secara umum, lignin digunakan sebagai bagian integral kayu (Sostrohamidjojo, 1995). Hasil penelitian Sumarna (1976) menunjukkan bahwa kandungan kimia kayu yang banyak berpengaruh pada produk papan olahan seperti papan serat dan papan partikel yang dihasilkan adalah lignin dan zat ekstraktif (kelarutan dalam etanol benzena). Bahkan, dengan kandungan lignin yang tinggi, bahan serat berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai papan komposit tanpa perekat eksternal (binderless) (Xu et al., 2006). Menurut Pizzi (1983) zat ekstraktif merupakan hambatan secara fisik maupun kimiawi terhadap proses perekatan papan partikel. Adanya lapisan ekstraktif di permukaan kayu akan menghalangi resin mencapai selulosa sehingga akan menghasilkan garis perekatan yang kurang baik dan kekuatan rekatnya rendah. Selain itu, zat ekstraktif menyebabkan pemakaian perekat kurang efisien, laju pengerasan perekat terhambat, dan mengurangi sifat tahan air papan partikel. Kandungan zat ekstraktif dalam kayu menurut Maloney (1993) antara 5 - 30%. Djalal (1984) menambahkan bahwa peningkatan kadar zar ekstraktif dapat mengurangi kerekatan, sehingga akan menghasilkan kekuatan rekat yang rendah.
2.4 BAHAN PEREKAT Pada proses pembuatan papan partikel, bahan baku berupa serat kayu atau bahan berlignoselulosa lainnya diirekatkan dengan perekat terlebih dahulu sebelum kemudian dikempa. Perekat yang dapat digunakan untuk papan partikel adalah perekat buatan dan perekat alami. Contoh perekat buatan yang dapat digunakan antara lain Urea Formaldehida (UF), Fenol Formaldehida (PF), Melamin Formaldehida (MF), dan isosianat (Bowyer et al., 2003). Faktor yang mempengaruhi perekatan yaitu bahan yang direkat, perekat dan kondisi perekatan. Bahan yang direkat, seperti kayu, akan mempengaruhi perekatan dari segi anatomi, berat jenis, zat ekstraktif, kadar air dan keadaan permukaan. Sedangkan macam perekat, keadaan perekat, komposisi perekat, dan masa tunggu akan mempengaruhi perekatan. Pada pengempaan bahan yang akan direkat maka suhu, lamanya pengempaan dan besarnya tekanan yang diberikan akan mempengaruhi perekatan (Sutigno 1988).
Gambar 1. Rumus bangun polimer fenol formaldehida
6
Perekat fenol formaldehida merupakan perekat resin fenolik, dibentuk melalui reaksi kondensasi antara formaldehida dengan senyawa fenolik (Pizzi et al., 1997). Menurut Hartomo et al. (1992), perekat fenol formaldehida merupakan salah satu jenis perekat termoset yang berbentuk resin kental dan tahan disimpan selama 6 bulan. Proses setting-nya berasal dari polimerisasi kondensasi dengan eliminasi air. Perekat jenis ini baik digunakan untuk perekat kayu, karena sifatnya yang tahan terhadap cuaca, air panas, dan bahan kimia. Sutigno (1988) mengatakan bahwa perekat fenol formaldehida termasuk perekat eksterior yang tahan terhadap pengaruh cuaca. Jenis perekat yang digunakan mensyaratkan suhu pengempaan panas yang harus dilakukan terhadap campuran yang akan dikempa. papan partikel berperekat urea formaldehida dikempa dengan suhu berkisar 110oC – 150oC, sedangkan perekat fenol formaldehida dengan suhu antara 130 oC – 170oC. Kebutuhan temperatur akan dicapai kebanyakan tergantung pada jarak dari masing-masing piring kempa dan untuk praktisnya kebutuhan waktu pengempaan 2 – 15 menit atau lebih dan tergantung pada ketebalan panel dan tipe perekat. Kollman et al. (1975) menyatakan bahwa, perekat fenol formaldehida mengalami pemadatan yang lebih lambat, sehingga memerlukan temperatur kempa yang lebih tinggi dan waktu kempa yang lebih lama dibandingkan dengan perekat urea formaldehida. Oleh karena itu, kadar air partikel yang akan direkatkan perlu diperhatikan saat menggunakan perekat fenol formaldehida.
7