TINJAUAN PUSTAKA
Papan Komposit Komposit dapat didefinisikan sebagai dua atau lebih elemen yang dipersatukan dengan suatu matriks (Bergland dan Rowell 2005). Pengembangan produk komposit dimaksudkan untuk mencapai salah satu atau beberapa tujuan, yaitu : 1) mengurangi biaya bahan baku dengan menggabungkan bahan baku murah dan mahal; 2) mengembangkan produk dari pemanfaatan bahan daur ulang dan produknya sendiri dapat didaur ulang; 3) menghasilkan produk dengan sifat spesifik yaitu bersifat superior dibandingkan dengan bahan penyusunnya masingmasing (seperti meningkatkan nisbah kekuatan terhadap berat) (Youngquist 1995). Istilah komposit lignoselulosik menggambarkan dua keadaan. Pertama ketika bahan berlignoselulosa berperan sebagai bahan utama dalam komposit, dan keadaan kedua adalah ketika bahan berlignoselulosa berperan sebagai agregat pengisi atau penguat dalam suatu matriks. Apapun skenario yang digunakan, tujuan dari pengembangan komposit lignoselulosik adalah untuk menghasilkan suatu produk dengan sifat yang merupakan gabungan sifat terbaik dari setiap komponen penyusunnya Bahan baku komposit lignoselulosik berbasis pertanian dibedakan berdasarkan sumbernya, yaitu yang bersumber dari limbah pertanian, dan tanaman yang menghasilkan serat (English et al. 1997). Papan komposit merupakan istilah umum untuk panel yang dibuat dari partikel atau bahan berlignoselulosa lainnya yang diikat dengan perekat melalui proses pengempaan panas pada tekanan tertentu (Pease 1994). Salah satu jenis papan komposit yang banyak digunakan adalah papan partikel. Papan partikel adalah istilah umum untuk panel yang dibuat dari bahan berlignoselulosa (biasanya kayu), dalam bentuk tertentu (partikel) yang dikombinasikan dengan resin sintetik atau perekat lainnya, direkat bersama melalui proses pengempaan panas pada suhu dan tekanan tertentu, sehingga tercipta ikatan antar partikel, dan selama proses pembuatannya, dapat ditambahkan bahan lain yang dimaksudkan untuk meningkatkan sifat tertentu (Maloney 1993).
6
Menurut Maloney (1993) terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi sifat akhir papan yaitu : jenis kayu, jenis bahan baku, jenis partikel, jenis perekat, jumlah dan distribusi perekat, penggunaan aditif, kadar air dan distribusi !apik, pelapisan berdasarkan ukuran partikel, pelapisan berdasarkan kerapatan, serta orientasi partikel. Berbagai macam partikel digunakan dalam pembuatan papan partikel. Mulai dari partikel berbentuk strand, flake, sampai fiber bundles. Partikel yang ideal untuk kekuatan dan stabilitas dimensi adalah flake yang tipis dengan ketebalan yang seragam dan nisbah panjang-tebal (slenderness ratio) yang tinggi (Bowyer et al. 2003). Papan partikel seringkali dikombinasikan dengan lembaran vinir pada bagian permukaannya untuk memperbaiki sifat mekanis. Menurut Haygreen dan Bowyer (1996), penggunaan lapisan vinir pada bagian permukaan papan partikel memperbaiki sifat panel dan kebanyakan parameter sifat fisis dan mekanisnya mirip dengan kayu lapis. Kombinasi papan partikel yang dilapisi dengan vinir ini disebut comply. Comply terbuat dari vinir dan partikel atau flake. Panel tersusun dari 3 lapis dimana vinir berfungsi sebagai lapisan muka dan belakang, sementara partikel sebagai lapisan tengah (Maloney 1993). Dengan pertimbangan bahwa pada masa yang akan datang bahan baku untuk pembuatan vinir akan semakin terbatas, maka sebagai lapisan muka dan belakang papan partikel digunakan anyaman bambu. Hasil penelitian Sudijono dan Subyakto (2002) menunjukkan bahwa papan komposit dengan kerapatan ratarata 0,6 g/cm3 berlapis bilah bambu setebal 2 mm, memiliki nilai MOR 246,2 kgf/cm2, lebih tinggi dibandingkan papan tanpa lapisan dengan MOR sebesar 83,9 kgf/cm2. Massijaya et al. (2006) menyatakan bahwa papan komposit dengan perekat MF 8% menggunakan anyaman bambu betung dengan kulit sebagai lapisan muka dan belakang, memiliki mekanis yang lebih unggul dibandingkan dengan papan komposit dengan anyaman bambu tali maupun bambu andong, yaitu MOE sebesar 3330,15 N/mm2 dan MOR sebesar 14,77 N/mm2. Kemudian Massijaya et al (2006) melakukan penelitian lanjutan yang menyimpulkan bahwa papan komposit dengan perekat UF 8% menggunakan anyaman bambu betung tanpa kulit sebagai lapisan muka dan belakang, memiliki mekanis yang lebih unggul dibandingkan
7
dengan papan komposit dengan perekat UF 8% menggunakan anyaman bambu betung dengan kulit atau papan komposit dengan perekat MF 8% menggunakan anyaman bambu betung dengan dan tanpa kulit. Sifat mekanis papan komposit dengan perekat UF 8% menggunakan anyaman bambu betung tanpa kulit adalah nilai MOE sebesar 4403,41 N/mm2, nilai MOR sebesar 28,63 N/mm2 dan nilai keteguhan rekat sebesar 0,64 N/mm2.
Perekat dan Teori Perekatan Perekat (adhesives) adalah suatu substansi yang memiliki kemampuan untuk mempersatukan bahan sejenis atau tidak sejenis melalui ikatan permukaan (Blomquist 1983; Ruhendi dan Hadi 1997; ASTM di dalam Vick 1999). Dilihat dari reaksi perekat terhadap panas, maka perekat dapat dibedakan atas perekat termoset (thermosetting) dan termoplastis (thermoplastic). Perekat termoset merupakan perekat yang dapat mengeras bila terkena panas dan reaksinya bersifat tidak dapat balik (irreversible). Perekat jenis ini jika sudah mengeras, tidak dapat lagi menjadi lunak. Contoh perekat yang termasuk jenis ini adalah fenol formaldehida, urea formaldehida, melamin formaldehida, isosianat, dan resorsinol formaldehida Perekat termoplatis adalah perekat yang dapat melunak jika terkena panas dan menjadi mengeras kembali jika suhunya telah turun. Contoh perekat yang termasuk jenis ini adalah polyvinil adhesive, cellulose adhesive, acrylic resin adhesive (Ruhendi dan Hadi 1997). Perekatan mengaju pada interaksi antara permukaan perekat dan permukaan substrat. Faktor utama yang mempengaruhi perekatan adalah proses pembentukan ikatan (Frihart 2005). Menurut Pizzi (1994) ada 4 teori dasar untuk menerangkan fenomena perekatan, yaitu : 1) teori perekatan mekanikal; 2) teori difusi; 3) teori elektronik dan 4) teori perekatan spesifik (teori adsorpsi). Untuk bidang perekatan kayu, terdapat teori tambahan berupa teori ikatan kimia secara kovalen. Mekanisme perekatan mekanikal adalah terjadinya aksi bersikunci perekat pada permukaan, ketika perekat mengalir ke dalam permukaan substrat yang berpori, kemudian mengeras dan berperan sebagai jangkar perekatan (Gent dan Hamed 1983). Namun kemampuan perekat untuk memasuki permukaan substrat
8
dan kekuatan perekatan akan berkurang pada saat porositas permukaan substrat tidak cukup dalam (Packham 2003). Dalam teori difusi, makromolekul pada perekat maupun substrat mempunyai kemampuan yang cukup untuk bergerak dan terlarut satu sama lain, dengan syarat baik polimer perekat maupun substrat memiliki nilai kelarutan yang sama. Untuk itu polimer substrat harus dalam bentuk amorf. Teori elektronik (ikatan
ionik)
mensyaratkan
adanya
perbedaan
elektronegatifitas
antara
permukaan perekat dan permukaan substrat agar terjadi gaya elektrostatis di antara keduanya yang akan menyebabkan terjadinya perekatan. Sedangkan teori perekatan spesifik menyatakan bahwa perekatan adalah hasil dari kontak intermolekuler dan interatomik antara permukaan dua material, yang dapat berupa ikatan van der Waals, ikatan hidrogen maupun gaya elektrostatis (Pizzi 1994). Teori ikatan kovelen, khusus menjelaskan perekatan yang terjadi pada perekatan kayu, dengan syarat perekat dan substrat harus mampu saling bereaksi secara kimia. Ikatan kovalen terjadi antara resin urea formaldehida, melamin formaldehida dan fenol formaldehida dan kayu, melalui gugus methylol yang reaktif dalam resin dengan gugus hidroksil dari karbohidrat atau lignin (Troughton 1967 di dalam Pizzi 1994). Dalam proses perekatan, perekat melalui lima tahapan untuk membentuk ikatan yaitu : pengaliran (flowing), transfer (transferring), penetrasi (penetrating), pembasahan (wetting), pengerasan (solidifying). Pembentukan ikatan dimulai dengan proses pengaliran dimana perekat mengalir pada bidang rekat. Pada tahap transfer, sebagian perekat berpindah ke bidang rekat pasangannya, kemudian pada tahap penetrasi perekat memasuki dan mengisi permukaan kayu yang bersifat porous. Pada tahapan selanjutnya terjadi proses pembasahan yang menunjukkan bahwa pembentukan ikatan telah terjadi antara permukaan kayu dengan perekat, sedangkan pada tahap pengerasan, perekat mengeras membentuk ikatan yang kuat (Marra l992). Untuk mendapatkan kualitas rekatan yang baik, perlu diperhatikan faktorfaktor yang mempengaruhi kualitas rekatan. Menurut Ruhendi dan Hadi (1997) terdapat empat faktor utama yang mempengaruhi kualitas perekatan yaitu :
9
kualitas sirekat, kualitas perekat, proses perekatan, dan kondisi penggunaan produk. Selanjutnya dikemukakan pula oleh Tsoumis (1991), bahwa di samping jenis perekat, kualitas rekatan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kondisi permukaan kayu, keterbasahan dengan perekat, kadar air, dan faktor-faktor lainnya. Kondisi permukaan kayu yang dimaksud terutama berkaitan dengan kehalusan dan kebersihan permukaan kayu. Keterbasahan kayu terutama dipengaruhi oleh dua faktor yaitu : perekat (temperatur, viskositas, tegangan permukaan), dan kayu (kerapatan dan ekstraktif). Kandungan air yang tinggi mengurangi gaya tarik (attractive forces) dan meningkatkan sifat pengaliran perekat yang menyebabkan absorpsi berlebihan dan melemahkan ikatan. Perubahan kadar air juga menyebabkan penyusutan dan pengembangan yang dapat menyebabkan kerusakan ikatan perekat. Sebaliknya kadar air yang terlalu rendah dapat menyebabkan masalah pada keterbasahan, menghambat penetrasi perekat, dan menyebabkan pengerasan perekat yang terlalu cepat. Disamping faktor-faktor tersebut, faktor lain yang juga mempengaruhi kualitas rekatan adalah kualitas perekat, penyimpanan dan penyiapan yang sesuai, keseragaman dan pengendalian pelaburan, pengendalian waktu pelaburan dan perakitan (assembly), kecukupan dan keseragaman tekanan.
Isosianat Berbagai jenis perekat yang dikenal dan digunakan secara luas untuk berbagai produk adalah urea formaldehida, melamin formaldehida, fenol formaldehida, dan resorsinol formaldehida. Kesemua jenis perekat tersebut mengandung senyawa formaldehida yang mudah lepas ke udara baik selama proses pengerjaan maupun dalam penggunaannya. Pelepasan senyawa ini disebut emisi formaldehida yang dapat mengganggu kesehatan manusia (Vick 1999). Salah satu upaya untuk menanggulangi bahaya emisi tersebut adalah dengan menggunakan perekat non formaldehida seperti isosianat, epoksi, maupun polivinil asetat. Dari beberapa jenis perekat tersebut, yang umum digunakan dalam pembuatan papan komposit adalah perekat isosianat.
10
Perekat isosianat telah menarik perhatian yang luas dalam pembuatan kayu komposit. Hal tersebut disebabkan oleh reaktifitas yang tinggi, kekuatan ikatan yang tinggi, daya tahan yang tinggi, serta merupakan perekat yang tidak berbasis formaldehida (Kawai et al. 1998). Selain tidak berbasis formaldehida, isosianat juga memiliki beberapa kelebihan seperti: pematangan (curing) perekat yang lebih cepat, memiliki sifat toleransi yang tinggi terhadap air/kelembaban, suhu pengempaan yang lebih rendah, sifat fisis dan mekanis serta daya tahan panel yang lebih baik (Galbraith dan Newman 1992, Petrie 2004). Lebih lanjut dikemukakan oleh Maloney (1993) dan Marra (1992), gugus isosianat pada perekat dan gugus hidroksil pada kayu berikatan secara kimia, menghasilkan ikatan kovalen yang sangat baik berupa ikatan uretan (Gambar 1). Jika senyawa diisosianat beraksi dengan senyawa yang mengandung dua atau lebih gugus hidroksil (poliol), maka akan memberntuk polimer rantai panjang yang disebut dengan poliuretan (Wikipedia 2009a).
Gambar 1. Reaksi pembentukan poliuretan Perekat isosianat yang paling umum digunakan karena volatilitasnya rendah adalah diphenylmethane diisocyanate (MDI) (Marra 1992). Rumus molekul dari MDI adalah C15H10O2N2, berat molekul 250,25 g/mol, titik leleh 40ºC, titik didih 314ºC, sedangkan struktur molekul MDI dapat dilihat pada Gambar 2 (Wikipedia 2009b).
Gambar 2. Struktur molekul diphenylmethane diisocyanate (MDI) Ikatan kayu dengan isosianat tidak sama dengan resin fenol formaldehida dan urea formaldehida. Kebanyakan resin kayu konvensional mengalir pada permukaan kayu yang kasar dan mengeras. Segera setelah mengeras, dia akan melekat secara mekanis dan mengeras untuk menarik permukaan kayu yang lebih luas. Pada isosianat, disamping terjadi ikatan mekanik, juga terjadi ikatan kimia.
11
Secara kimia isosianat bereaksi dengan gugus hidroksil yang terdapat dalam kayu membentuk ikatan poliuretan diantara partikel kayu. Secara fisik, isosianat bereaksi dengan air yang terdapat dalam kayu membentuk poliurea yang membentuk ikatan fisik dengan partikel kayu (Galbraith dan Newman 1992). Ketika MDI diaplikasikan pada permukaan kayu (dalam bentuk fibers, chips, strands, veneers atau lumbers), MDI membasahi, menyebar dan memasuki permukaan kayu. Kedalaman penetrasi MDI sampai 1 mm, di mana untuk mendapatkan kekuatan perekatan kayu yang baik dibutuhkan penetrasi minimum 0,3 mm. Kemampuan MDI ber-penetrasi ke dalam permukaan kayu memperbaiki sifat pengembangan tebal (Anonim 2009). Selanjutnya dikemukakan oleh Umemura (1998) bahwa ketika isosianat digunakan sebagai perekat kayu, maka resin diyakini bereaksi dengan komponen kayu dan air. Akan tetapi jika air terdapat dalam kayu, isosianat lebih cenderung bereaksi dengan air. Isosianat yang matang pada kayu yang mengandung air cenderung membentuk ikatan yang rapuh. Meskipun kinerja perekat isosianat telah diketahui sangat baik, tetapi perekat ini memainkan peran yang relatif kecil dari jumlah total perekat yang digunakan di dunia, meskipun merupakan perekat serbaguna karena dapat diaplikasikan pada kempa panas maupun kempa dingin (Weaver dan Owen 1992). Hal tersebut terutama disebabkan oleh harga perekat yang relatif mahal. Untuk mengurangi biaya perekat dalam pembuatan papan komposit, maka kadar perekat yang digunakan harus lebih rendah dari yang biasa digunakan pada perekat konvensional. Massijaya (1997, 1998) menyatakan bahwa kadar perekat isosianat yang umum digunakan untuk pembuatan papan komposit sekitar 4%, namun demikian berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya pada pembuatan papan partikel limbah kertas koran, kadar perekat 2% menghasilkan keteguhan lentur yang lebih besar dari perekat urea formaldehida dan fenol formaldehida dengan kadar 10%. Fenomena ini disebabkan oleh perbedaan mekanisme ikatan antara fenol formaldehida dan urea formaldehida dengan isosianat. Fenol dan urea formaldehida berikatan secara mekanik dengan partikel kertas koran sementara pada perekat isosianat, disamping terjadi ikatan secara mekanis juga terjadi ikatan secara kimia.
12
Risalah Serat Sisal (Agave sisalana Perr.) Serat sisal berasal dari daun tanaman Agave sisalana Perr. Tanaman sisal dapat mencapai ketinggian 1,5 sampai 2 meter, merupakan tanaman daerah tropis dan subtropis, sehingga produksi optimal terjadi pada suhu 25°C dengan adanya sinar matahari. Pemanenan daun sisal dapat dilakukan setelah tanaman berumur 40-48 bulan, sebanyak dua kali setahun, mendapatkan 50-60 daun untuk tiap tanamannya. Tanaman sisal dapat terus dipanen sampai berumur 7-12 tahun. Rendemen serat sebanyak 4% dari berat seluruh tanaman, yang dihasilkan melalui proses dekortikasi. Dalam proses dekortikasi, daun dicabik dan dipukul dengan roda berputar yang dilengkapi dengan pisau, sehingga diperoleh hasil berupa serat. Serat hasil dekortikator dicuci dengan air untuk menghilangkan bagian daun lainnya, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari (Hurter 1997). Daerah sumber penghasil serat, kondisi iklim tempat tumbuh, umur tanaman dan teknik pemisahan serat dari tanaman mempengaruhi struktur dan komposisi kimia serat sisal (Munawar 2008). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui sifat fisis, mekanis dan kimia serat sisal, terangkum dalam Tabel 1 berikut . Tabel 1. Sifat kimia dan mekanis serat sisal Karakteristik serat Sifat kimiaa Selulosa (%) Hemiselulosa (%) Lignin (%) Pektin (%) Wax (%) Sifat fisis dan morfologib Diameter bundel serat (μm) Diameter lumen serat (μm) Ketebalan dinding sel (μm) Densitas (g/cm3) Sifat mekanisb Tensile strength (MPa) Young’s Modulus (GPA)
67-78 10-14,2 8-12 10 2 128.6 ± 6.4 4.0 - 17.0 3.0 - 4.0 0.76 375 ± 038 9.1 ± 0.8
Sumber : (a) Mohanty et al. (2000) dalam Mishra et al. (2004) (b) Munawar (2008)
13
Risalah Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schultes f) Backer ex. Heyne) Bambu pada umumnya hidup berkelompok membentuk suatu rumpun yang rapat. Batang terdiri atas ruas-ruas berongga yang menyerupai tabung dengan diameter 2-30 cm dan panjangnya mencapai 3-15 m. Batang ini umumnya berongga dan terbagi atas internode yang dibatasi oleh buku (node) dan rongga antara buku yang dipisahkan oleh diafragma. Panjang, garis tengah dan ketebalan dinding bambu tergantung dari umur bambu (Sastrapradja et al. 1980). Menurut Janssen (1980), bambu memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan jika digunakan sebagai bahan bangunan. Kelebihan bambu antara lain : 1) pertumbuhannya sangat cepat, dapat diolah dan ditanam dengan cepat sehingga dapat memberikan keuntungan secara kontinyu, 2) memiliki sifat mekanis yang baik, 3) hanya memerlukan alat yang sederhana, 4) kulit luar mengandung silika yang dapat melindungi bambu. Sedangkan kelemahannya antara lain 1) keawetan bambu relatif rendah sehingga memerlukan upaya pengawetan, 2) bentuk bambu yang tidak benar-benar silinder melainkan taper, 3) sangat rentan terhadap risiko api, 4) bentuknya silinder sehingga menyulitkan penyambungan. Dalam penggunaannya di masyarakat, bahan bambu kadang-kadang menemui beberapa keterbatasan, Sebagai bahan bangunan, faktor yang sangat mempengaruhi bahan bambu adalah sifat fisik bambu yang membuatnya sukar dikerjakan secara mekanis, variasi dimensi dan ketidakseragaman panjang ruasnya serta ketidakawetan bahan bambu tersebut menjadikan bambu tidak dipilih sebagai bahan komponen rumah. Sering ditemui barang-barang yang berasal dari bambu yang dikuliti, khususnya dalam keadaan basah diserang oleh jamur biru dan bulukan sedangkan bambu bulat utuh dalam keadaan kering dapat diserang oleh serangga bubuk kering dan rayap kayu kering (Krisdianto et al. 2000). Kadar air bambu bervariasi menurut jenis dan posisi dalam batang, umur batang dan musim (Prawiroharmojo 1988, Siopongco dan Mundar 1987). Dinding bambu bagian luar memiliki berat jenis yang lebih besar dibandingkan dengan bagian dalam (Sharma dan Mehra 1970). Sifat mekanis bambu dipengaruhi oleh jenis, umur, tempat tumbuh dan posisi dalam batang. Keteguhan lentur, tekan dan tarik dari dinding bambu bagian luar lebih besar daripada bagian dalam (Sharma dan Mehra 1970).
14
Bambu betung memiliki nama latin Dendrocalamus asper (Schultes f) Backer ex. Heyne. Bambu betung juga memilik banyak nama daerah di antaranya untuk kultivar hijau disebut Betung, Beto (manggarai), Bheto (Bajawa), Oo Patu (Bima) dan Patung (Tetun), sedangkan untuk kultivar hitam disebut Bheto Laka (Bajawa). Di kepulauan Sunda Kecil, bambu betung tersebar di segala tempat, namun tumbuh paling baik di tempat yang kurang berair tetapi diameter batangnya kecil. Jenis bambu ini berhabitat di tanah aluvial di daerah tropika yang lembab dan basah, tetapi bambu ini juga tumbuh di daerah yang kering dataran rendah maupun tinggi (Widjaya 2001). Sifat fisis dan mekanis bambu betung berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hadjib dan Karnasudirdja (1986) di dalam Krisdianto et al. (2000) dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Sifat fisis dan mekanis bambu betung Sifat fisis dan mekanis
Nilai (kg/cm2)
Keteguhan lentur maksimum
342,47
Modulus elastisitas
53.173
Keteguhan tekan sejajar serat
416,57
Berat jenis
0,68
Sumber : Hadjib dan Karnasudirdja (1986) di dalam Krisdianto et al. (2000) Bambu betung merupakan bahan bangunan yang murah dan kuat, tetapi dalam penggunaannya bambu jenis ini sangat disukai oleh bubuk. Serangan bubuk ini erat sekali hubungannya dengan kandungan amilum atau zat pati dalam bambu betung. Untuk mengurangi kandungan zat pati yang ada, perlu perlakuan yang efektif
sebelum
bambu
tersebut
digunakan
sebagai
bahan
bangunan
(Prawirohatmojo 1997). Anyaman bambu telah digunakan sebagai pelapis papan komposit untuk meningkatkan sifat fisis dan mekanisnya. Dari berbagai jenis bambu, lapisan anyaman bambu Betung menghasilkan papan komposit dengan sifat fisis mekanis yang lebih baik dibandingkan dengan anyaman bambu Tali dan bambu Andong (Massijaya et al. 2006).
15
Risalah Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Kayu karet termasuk famili Euphorbiaceae (Lemmens et al. 1995). Tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15 - 25 m. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Di beberapa kebun karet ada beberapa kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring ke arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks (Wibowo dan Yuniarti, 2008). Sifat kayu karet antara lain adalah agak lunak dan mempunyai bau asam yang khas. Kayu karet termasuk kelas kuat II – III sehingga memungkinkan digunakan untuk perumahan. Namun kayu karet memiliki kelas awet rendah (kelas awet V) sehingga perlu usaha untuk memperpanjang umur pemakaiannya. Kayu karet memiliki berat jenis antara 0,55 – 0,70 dengan rata-rata 0,61, bersifat mudah dikerjakan terutama dibelah, dapat digergaji tanpa menimbulkan kesulitan dan mudah diserut sampai licin tetapi mempunyai kecenderungan pecah bila dipaku. Pada saat kayu karet masih segar, mempunyai kayu teras yang berwarna keputih-putihan tetapi akan segera menjadi coklat saat mengering karena oksidasi enzimatik dari senyawa fenol yang terdapat pada rongga sel kayu (Martawijaya 1972). Pada kadar air 12%, modulus patah kayu karet sebesar 59-74 N/mm2, modulus elastisitas 6070-9240 N/mm2, keteguhan tekan sejajar serat 33 – 36,5 N/mm2, keteguhan tekan tegak lurus serat 10 N/mm2. Laju penyusutan agak rendah, dari keadaan segar ke kadar air 12%, penyusutan pada arah radial sebesar 1,2% dan pada arah tangensial sebesar 2,5%. Sedangkan penyusutan dari keadaan segar ke kering oven pada arah radial sebesar 2,5-3,1% dan pada arah tangesial sebesar 4,8-6,5%. Sifat pengerjaan dengan paku dan perekatan kayu karet termasuk baik. Kayu karet mudah digergaji dan dipotong, walaupun lateks yang terkandung dalam kayu karet dapat menyumbat gigi gergaji. Kayu karet cocok untuk membuat vinir dan kayu lapis (Lemmmens et al. 1995). Potensi kayu karet untuk diolah sebagai bahan baku industri cukup besar. Pemanfaatan kayu karet dibedakan antara yang berbentuk gelondong (log) dan yang berupa limbah, baik limbah penebangan maupun limbah pengolahan. Kayu
16
karet dapat dikupas menjadi vinir dalam keadaan dingin. Tripleks dari kayu karet yang direkat dengan urea formaldehide (UF) dan diberi ekstender 20 persen ternyata mempunyai sifat keteguhan rekat yang memenuhi persyaratan standar Indonesia, standar Jepang dan standar Jerman(Boerhendhy et al. 2003).
Vinir Menurut Dumanauw (1990) vinir adalah lembaran kayu yang tipis dari 0,24 mm sampai 6,00 mm yang diperoleh dari proses penyayatan/pengupasan dolok/ log kayu jenis-jenis tertentu. Vinir kualitas rendah dari kayu lunak (softwood) yang tebal digunakan secara luas untuk kayu lapis konstruksi, sedangkan vinir kayu keras (hardwood) digunakan untuk pembuatan kayu lapis sebagai panel, bagian-bagian bahan industri, perabot rumah tangga dan sebagai konstruksi (Haygreen dan Bowyer 1996). Haygreen dan Bowyer (1996) mengungkapkan bahwa secara garis besar pembuatan vinir dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (1) pemanasan log, (2) pemotongan vinir, (3) penyimpanan dan pengguntingan vinir, (4) pengeringan vinir. Lembaran Formika Formica adalah merk dari suatu bahan komposit yang dibuat oleh Formica Corporation. Namun dalam penggunaan umum, formika berarti produk yang tahan panas, mudah dibersihkan, kertas atau kain berlapis plastik dengan resin melamine, digunakan sebagai lapisan dekoratif. Formika terdiri dari beberapa lapis kertas kraft yang diimpregnasi dengan resin, yang bagian atasnya dilindungi melamine, kemudian ditekan dan dimatangkan dengan menggunakan panas sehingga menghasilkan permukaan yang keras, kaku dan tahan lama (Wikipedia 2008).
Uji Ketahanan Komposit terhadap Serangan Rayap Tanah Biodeteriorasi merupakan perubahan sifat material yang tidak diharapkan yang disebabkan oleh aktifitas organisme yang membahayakan. Rayap merupakan salah satu penyebab deteriorasi pada bahan yang mengandung lignoselulosa. Rayap membutuhkan makanan, udara, air dan temperatur yang sesuai untuk dapat
17
bertahan hidup dan berkembang. Dalam konteks tersebut selulosa merupakan sumber makanan bagi rayap (Becker 1993). Menurut Tambunan dan Nandika (1989), rayap tanah adalah salah satu rayap tanah yang paling luas serangannya di Indonesia. Genus Coptotermes paling merugikan jika dibandingkan dengan genus lain karena dapat merusak kayu dalam waktu singkat. Prilaku Coptotermes ketika menyerang kayu adalah mampu bersarang di dalam kayu yang diserangnya, walaupun tidak ada hubungan dengan tanah, asal saja sarang tersebut sekali-sekali memperoleh air, misalnya tetesan air hujan dari atap bangunan yang bocor (Tarumingkeng 2001). Coptotermes gestroi dianggap sebagai spesies hama yang menimbulkan kerusakan hebat di daerah Asia Tenggara dan Brazil. Sebagai spesies yang paling agresif, Coptotermes gestroi menyebabkan 63-90% kerusakan pada struktur dan bangunan di Malaysia, Thailand dan Singapura. Pintu, rangka jendela dan lantai parket ditemukan sebagai obyek yang mudah mengalami serangan rayap (Gurbel SSO 2008).