TINJAUAN PUSTAKA Papan Serat Papan serat (fiber board) adalah lembaran yang dihasilkan dari serat kayu atau bahan serat berligno-selulosa lainnya, dimana ikatan utamanya diperoleh dari ikatan antar serat dengan bantuan pengempaan. Bahan lain dapat ditambahkan selama proses pembuatan untuk memperoleh sifat-sifat khusus seperti keteguhan, ketahanan terhadap kelembaban dan api, ketahanan terhadap jamur dan serangga (FAO, 1958). Papan serat diklasifikasi atas dasar kerapatan yang terdiri atas dua golongan besar yaitu pertama, non compressed fiberboard (insulation board) yang terdiri dari semi rigid insulation board dengan kerapatan 0,02 - 0,15 g/cm3 dan rigid insulation board dengan kerapatan 0,15 - 0,40 g/cm3 dan kedua, compressed fiber board yang terdiri dari medium density fiberboard kerapatan 0,40
-
0,80 g/cm3, hardboard
kerapatan 0,80-1,20 g/cm3, dan special density fiberboard dengan kerapatan 1,20 -1,45 g/cm3 (FAO, 1958) FA0 (1966) mengatakan bahwa lebar MDF adalah 122
-
160 cm dengan
tebal maksimum untuk proses basah 1,30 cm. Selanjutnya Koch (1985) mengatakan bahwa ketebalan MDF untuk proses basah 0.25
-
0.50 inci (0.64 - 1.27 cm) yang
digunakan untuk penyekat dinding bangunan dan proses kering ketebalannya 0.38 - 1.OO inci (0.97- 2.54 cm) yang digunakan untuk keperluan mebel. Mowatt (1987) mengemukakan, keistimewaan papan serat berkerapatan sedang antara lain mempunyai permukaan licin dan mudah dicetak, sifat permesinan mudah, bagian tepi kuat sehingga tidak perlu dilaminasi, dapat diukir dan dibentuk
seperti kayu utuh. Penggunaan papan serat cukup luas, berbagai macam keperluan bahan konstruksi alat rumah tangga, mebel, karoseri, serta bahan penyekat panas dan suara. Selanjutnya dikatakan, MDF diterima sebagai panel yang terbaik untuk digunakan dalam konstruksi furniture bermutu. Pembuatan papan serat dilakukan dengan dua cara yaitu proses basah (wet process) dan proses kering (dry process). Dikatakan Haygreen dan Bowyer (1996), pada proses basah pembentukan lembarannya menggunakan suspensi air, dimana pulp dicampur dengan air kemudian dipindahkan ke saringan kasa. Selanjutnya kandungan air pada pulp dihilangkan dengan pengisap, pemberian kempa pendahuluan dan kempa panas. Tekanan dan suhu yang tinggi pada proses kempa berfungsi membentuk kembali ikatan lignin dan mengeringkan
lembaran.
Pembuatan proses basah menghasilkan papan serat satu muka licin. Sedangkan pada proses kering pembentukan lembarannya menggunakan media udara, dimana pulp yang dihasilkan, dikeringkan dan ditambahkan perekat kemudian dimasukkan dalam alat pembentuk lembaran, dimana lembaran dikempa pada kempa yang bentuknya slinder, yang selanjutnya dikempa panas. Papan serat yang dihasilkan dalam proses ini adalah papan serat dua muka licin. Proses basah umumnya menghasilkan papan SIS dan membutuhkan air lebih banyak dalam proses pembuatan papan serat. Keuntungan proses basah yaitu kerapatannya merata diseluruh permukaan, perekat yang dibutuhkan sedikit, karena mengandalkan lignin untuk membentuk ikatan antar serat (Haygreen & Bowyer 1996) Suchsland dan Woodson (1 991) mengatakan bahwa proses kering memiliki kelebihan yaitu kurang memerlukan air dalam proses pembuatannya, menghasilkan papan serat S2S (dua muka licin), dimungkinkan untuk dibuat papan beriapis, tidak terdapat perbedaan sifat pada kedua arah dan menghasilkan internal bond yang
tinggi. Kekurangan proses kering yaitu eliminasi pada ikatan hidrogen, kebutuhan resinnya sangat tinggi, pengurangan secara substansial ikatan lignin, permukaan papan kurang baik, dan memiliki pengembangan linier yang besar Selanjutnya dikatakan Suchsland dan Woodson (1991), pembuatan MDF proses kering mengkombinasikan cara pembuatan papan partikel. Ada tiga ha1 penting dalam proses pembuatan MDF yaitu pertama, MDF membutuhkan pulp yang kerapatannya sangat rendah (low bulk density) 0,03 g/cm3 dengan mengembangkan ikatan perekat yang baik untuk menghasilkan kerapatan yang normal (0,8 g/cm3) sehingga dibutuhkan pulp yang khusus dihasilkan dari alat pressurized refiner. Kedua, formulasi perekatnya untuk mencegah serat yang menggumpal dibutuhkan sistem in-situ yang memiliki low tackiness dan viskositas yang rendah. Kondensasi awal resin in-situ dilakukan pada berat molekul yang sangat rendah yang akan mengurangi tackiness. pengempaan
panas.
Kondensasi perekat yang sempurna terjadi pada saat Ketiga,
pematangan
resin
pada
saat
pengempaan
menggunakan energi frekwensi radio yang menghasilkan waktu dan suhu yang seragam selama pengempaan berlangsung. Anon (1976) dalam Suchsland dan Woodson (1991) memperkirakan, analisis biaya pembuatan papan serat antara proses basah dan proses kering yaitu, biaya bahan kimia secara significant lebih tinggi proses kering dibanding proses basah, selain itu proses basah sedikit lebih tinggi biaya listriknya, tetapi rendah persyaratan bahan bakunya, dan total biaya pembuatan papan serat proses basah lebih rendah dibanding proses kering
Bahan Baku dan Bahan Penolong Bahan Baku I. Limbah Kayu
Kayu merupakan sumber utama bahan berserat selulosa dan sebagai bahan dasar dalam pembuatan pulp dan papan serat. Kayu dibedakan atas dua kelas, yaitu kayu daun lebar (hardwood) dan kayu daun jarum (softwood). Kayu daun jarum lebih homogen dibanding kayu daun lebar.(Haygreen dan Bowyer, 1996) Eustis (1980) dalam Suchsland dan Woodson (1991) mengatakan bahwa secara umum, kayu daun lebar menghasilkan hardboard yang lebih baik pada proses basah dan kayu daun jarum menghasilkan hardboard insulasi yang lebih baik. Kelebihan kayu daun lebar yaitu dapat menghasilkan hardboard lebih baik karena memiliki serat yang pendek sehingga distribusi serat yang tidak seragam relatif kecil pada saat pembentukan hardboard proses basah. Selanjutnya dikatakan, kayu daun lebar menghasilkan serat yang lebih berpori yang merupakan faktor penting dalam proses pembuatan hardboard serat proses basah, karena serat tersebut mengeluarkan air dengan cepat pada hamparan yang basah. Hal ini memungkinkan terbentuknya garis perekat lebih cepat dan proses pengeringan atau siklus press dapat menjadi lebih pendek. Hal lain dikatakan bahwa pencampuran kayu Oak dan kayu Pinus dengan perbandingan 50 : 50 persen dapat menghasilkan hardboard dengan kualitas yang sempurna.
Pencampuran ini dilakukan karena kayu Oak
termasuk kategori yang sulit untuk industri hardboard serat, yang proses pulpingnya harus cepat dan memproduksi serat pendek, serta memiliki sifat mudah patah Kayu daun jarum trakheid merupakan sel pembentuk utama, dimana sekitar 80 % dari volume kayu terdiri dari trakheid, panjang rata-rata trakheid 3-5 mm
dengan diameter serat sekitar 0,03 mm. Kayu daun lebar terdiri dari serat kayu, pembuluh dan parenkim. Serat kayu daun lebar terdapat 25-35 % dari volume kayu. Panjang serat kayu daun lebar berkisar antara 0,5-2,O mm dengan rata-rata 1,O mm. Pembuluh kayu daun lebar mencapai 50-60 %, bila dibanding dengan serat kayu maka sel pembuluh diameternya lebih besar dan berdinding sel tipis. Panjang sel pembuluh berkisar 0,l-1,O mm yang bervariasi dalam berbagai bentuk (Casey 1960). Simarmanta
dan Soenarso (1981) mengatakan bahwa limbah kayu dari
industri adalah bagian dolog atau bahan lain yang karena dimensi dan sifatnya masih dapat dimanfaatkan. Limbah kayu adalah sisa-sisa atau bahan kayu yang dianggap tidak bernilai ekonomis lagi dalam suatu proses tertentu pada waktu dan tempat tertentu, tetapi mungkin masih dapat dimanfaatkan pada proses yang berbeda, pada waktu dan tempat yang berbeda pula
Selanjutnya dikatakan bahwa berdasarkan
pengerjaan kayunya, limbah dapat dibedakan sebagai limbah eksploitasi "logging waste" yaitu terjadi sebagai akibat kegiatan logging dan "processing wood waste" karena adanya kegiatan industri perkayuan seperti pada pabrik penggergajian, mebel, kayu lapis dan lain-lain. Limbah pemanenan berasal dari pohon tegakan sisa yang rusak sebagai akibat adanya kegiatan pemanenan. Sedangkan Logging waste terjadi ditempat tebangan sepanjang jalan sarad, sepanjang jalan angkutan, di tempat pengumpulan kayu dolog. Timbulnya limbah kayu akibat pengolahan hasil hutan, yang berasal dari pemanenan hasil hutan dan industri hasil hutan, juga dipengaruhi oleh syarat-syarat pada saat itu, dengan demikian ukuran dan kualitas yang tidak memenuhi syarat pasaran tersebut akan menjadi limbah di daerah pemanenan. lndustri perkayuan ikut menentukan jumlah limbah. lndustri pulp dan kertas serta industri papan serat, akan memberikan peluang yang lebih besar dalam penggunaan limbah, sehingga limbah
yang dimanfaatkan akan menjadi bernilai ekonomis tinggi (Simarmanta
dan
Soenarso, 1981). Limbah kayu dapat terjadi mulai dari penebangan hingga ke industri barang jadi. lndustri pengolahan kayu di lndonesia tingkat efesiensi baru mencapai 25-55 % artinya limbah yang terjadi di industri mencapai 45 - 75 %. Hal ini dapat dilihat pada produk kayu olahan kayu gergajian yang tingkat efisiensinya 50 %, kayu lapis 35 %, furniture 25 - 30 % dan wood working 35 % (Apkindo, 1999). Volume limbah kayu di lndonesia menurut data statistik Kehutanan lndonesia tahun 1995/1996 mencapai 29,75 juta m3/tahun atau 82,O m3/ha. Angka ini didasarkan pada produksi kayu dari laju penebangan sebesar 0,36 juta halthn atau 65,3 m3/ha. Meulenhoff (1966) dalam Anonim (1989) mengatakan bahwa industri papan serat merupakan industri yang dapat memanfaatkan lebih banyak sebetan-sebetan kayu dan sisa-sisa kulit kayu, dimana kulit kayu dapat digunakan sampai 10 persen. Selanjutnya dikatakan bahwa masalah utama dalam memanfaatkan limbah kayu daun lebar adalah heterogenitas jenis dan bentuk limbahnya, sehingga bila digunakan sebagai pemasok industri papan serat memerlukan teknik pengolahan campuran agar diperoleh mutu produk yang tinggi dan seragam. Kayu limbah dapat dimanfaatkan menjadi produk yang menggunakan teknologi sederhana hingga teknologi tinggi antara lain produk kayu solid misalnya komponen meubel, barang kerajinan dan mainan. Produk mejemuk berupa veenir, kayu lapis, papan partikel, papan serat, papan semen, dan papan sambung juga pulp dan kertas, tissue, kertas sak, dan papan kertas. Bahan kimia produk turunan dari bahan kayu berupa rayon atau sutera tiruan, selulosa, dan arang. Kompos, penggembur tanah, dan penyubur tanah (Gintings, 1998 dalam Malik, 2000).
2. Serat Sekunder Serat sekunder adalah serat yang berasal dari kertas atau karton atau sumber kertas lain yang dapat kembali dimanfaatkan. Sedangkan pulp serat sekunder adalah pulp yang diperoleh dari daur ulang kertas dan karton bekas (Casey, 1980). Selanjutnya dikatakan bahwa metode yang digunakan untuk mendapatkan serat sekunder adalah sistem mekanis dengan menggunakan hidropulper, penyaring dan pemisah sentrifugal dan kombinasi sistem kimiawi dan mekanis, dimana sistem kimia digunakan untuk memisahkan tinta dan bahan pengkontaminasi dari serat. Penggunaan serat sekunder
berkembang dengan pesat seiring dengan
perkembangan teknologi, ekonomi dan keterbatasan kemampuan alam dalam menyediakan serat alam (Felton, 1970). Beberapa faktor lain seperti efisiensi ekonomi,
penghematan
penggunaan
energi
dan
meningkatnya
persoalan
penanggulangan lingkungan banyak mempengaruhi pemikiran mengenai daur ulang serat selulosa (Kleinau, 1987). Menurut Felton (1970) bahwa serat sekunder memiliki sifat antara lain stabilitas tinggi, sifat menggulung rendah, formasi kertas yang dihasilkan baik, sifatsifatnya dapat diperbaiki dengan penambahan bahan pengisi. Selanjutnya dikatakan bahwa serat sekunder juga memiliki beberapa kelemahan yang membatasi penggunaannya antara lain kekuatan lebih rendah, warna tidak seragam dan kehalusan lembaran sangat rendah. Untuk meningkatkan layak atau tidaknya serat daur ulang dibuat menjadi kertas, dapat dilakukan pemberian perlakuan penggilingan dan perlakuan kimia pada serat daur ulang (Wistara, 2001). Ada empat cara ikatan antar serat yang mungkin
diperoleh dari kerugian serat daur ulang yaitu, (1) beating dan refining, (2) perfakuan kimia, (3) pencampuran (blending) dengan serat asli, dan (4) fraksionasi serat. (Howard, 1990 dalam Wistara dan Young, 1999).
Selanjutnya dikatakan bahwa
beating dan refining sebagian besar digunakan untuk perbaikan sifat-sifat serat asli. Beating dan refining pada serat daur ulang efeknya tidak sama dengan serat asli. Juga digambarkan bahwa sifat kekuatan serat daur ulang juga dapat diperoleh melalui beating dan penggilingan. Salah satu devisi dari United States National Assosciation of Waste Material Dealers, menggolongkan kertas atas lima golongan kertas bekas pada Tabel !. Tabel 1. Beberapa Golongan Kertas Bekas Golongan
Kertas bekas campur (mixed paper) Koran bekas (old news paper)
Out throws (maks %)
Prohibit (maks. %)
10
2
0,25
05
Sorted colored ledger
2
Karton gelombang (corrugated containers)
5
1
Kertas cetakan komputer (computer print out)
2
-
American Paper Institute (1979) dalam Kleinau (1987) menyebutkan bahwa dari 60.3 juta ton pertahun pulp yang dikonsumsi, dipergunakan 13,9 juta ton serat sekunder yang meliputi 6,3 juta ton kertas gelombang (corrugated) dan 2,3 juta ton kertas koran bekas dan kertas bekas campuran (mixed paper). Pabrik tissue dan percetakan mengkonsumsi sebanyak 3,l juta ton pertahun pulp subtitutes dan deinking. Secara total industri tissue mengkonsumsi 10 persen dari total kertas bekas dan 33 persen dari total pulp subtitutes dan deinking.
Sedangkan jumlah persentase serat daur ulang dari berbagai jenis kertas di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan Serat Daur Ulang untuk Pembuatan Berbagai Jenis Kertas di Indonesia. Jenis Kertas
I Jumlah serat daur ulang (%) ]
Tissu Medium Kotak kardus lipat Manila karton Chip board Cetak 1 tulis Koran I Koran II
0
umber : Berita Selulosa, September 1994. Vol. XXX No. 3
Kertas koran merupakan sebutan umum yang dikenakan terhadap jenis kertas, yang digunakan dalam publikasi atau berita. Pada pembuatan kertas koran, dtambahkan bahan pewarna untuk mengubah warna kertas dan untuk memperbaiki retensi bahan pewarna tertentu, ditambahkan alum (Kumler, 1957). Pulp yang digunakan untuk kertas koran dapat berupa pulp kayu atau pulp non kayu. Salah satu pulp non kayu yang sudah menjadi bahan baku utama kertas koran adalah bagase. Bahan baku bagase tidak dapat memberikan sifat kekuatan dan opasitas yang baik.
Sabur (1988) mengatakan, permasalahan yang timbul
dalam penggunaan kertas koran adalah kekuatan dan opasitas yang rendah, sementara kekakuan tinggi. Permasalahan di atas timbul disebabkan karena karakteristik serat
bagase yang terkandung
bagase yang cukup tinggi sekitar 30 - 32 %.
berupa kandungan pentosan pulp
Serat bagase tidak tergolong serat panjang sehingga kekuatan kertas koran rendah dan mempunyai dinding serat yang tebal sehingga mempunyai serat halus pada saat digiling, kondisi ini diperburuk oleh adanya pith yang masih tertinggal sehingga menimbulkan masalah pendebuan.(Sabur,l988) Komposisi bahan pengikat kertas koran :terdiri atas rosin 2 %, alum 4
Oh,
kaolin 6 % dan bahan penguat PAA 0,01 % (Hidayat dan Tjiptosoedirjo, 1992). Gramatur kertas koran berkisar antara 45
- 56 g/m2 .
Kertas koran termasuk jenis
kertas cetak, bahan dasarnya dibuat dari pulp kimia dengan campuran pulp mekanis atau pulp bagase yang rendemennya minimum 65 %. Menurut MacDonald dan Franklin (1969) bahwa kertas koran yang mengandung bagase mempunyai karakteristik fisik yang setara dengan kertas koran komersil yang permukaannya halus. Selanjutnya dikatakan, kertas koran bahan bakunya berasal dari campuran pulp kimia bagase 70-30 % dan bagase groundwood 30-70%, pulp kraft kayu softwood 40-30% dan bagase groundwood 60-70%, dan campuran pulp kimia hardwood 65-55% dan bagase groundwood 35-45%. Komposisi kertas koran tergantung mutu kertas dan kecepatan mesin kertas. Kertas koran dapat dibuat dengan penambahan 80 persen serat sekunder atau bahkan 100 % serat sekunder.(Finegan dan Martin, 1972). Kertas bekas biasanya mengandung berbagai material asing, seperti tinta, bahan pelapis, kotoran yang menempel dan lain-lain. Proses yang utama pada proses perdauran ulang kertas adalah penghilangan material yang mengkontaminasi kertas, agar kertas bekas dapat kembali digunakan (Kleinau, 1987). Menurut Forsythe (1972), kandungan tinta cetak pada kertas koran diperkirakan antara 1,5 sampai 2,O persen dari berat kertas. Lapisan tinta ini mempunyai gaya fisik yang lemah dan mudah diemulsikan pada waktu pemasakan, terutama yang berumur kurang dari enam bulan.
Bahan Penolong Pemberian bahan penolong pada papan serat adalah untuk melindungi permukaan serat dengan bahan lain yang akan mengurangi energi permukaan serat dan juga menjadi bahan yang menolak air. Dijelaskan Suchsland dan Woodson (1991) bahwa penambahan bahan kimia ke dalam adonan papan serat antara lain sebagai kontrol terhadap keasaman, memperbaiki resistensi terhadap air, meningkatkan pembentukan ikatan serat, kontrol dalam proses, meningkatkan daya tahan terhadap air, dan pewarnaan. Penggunaan bahan sizing terjadi dalam dua tahap pada proses basah yaitu (1) air digunakan sebagai media untuk pencampuran bahan sizing dan serat. (2), bahan sizing dibuat untuk mempercepat keluarnya air dan menguatkan ikatan oleh bahan kimia pada permukaan serat, dimana ha1 ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas bahan untuk menolak air (hidrophobic). Bahan penolong terdiri dari tiga jenis yaitu, bahan pengikat (binder), bahan penolak air (water repellent), dan bahan tambahan khusus (special additive). Bahan pengikat merupakan bahan organik yang ditambahkan dalam proses pembuatan papan serat untuk menyempurnakan ikatan antar serat, bahan pengikat yang digunakan untuk MDF adalah urea formaldehide dan melamin formaldehide. Papan serat yang dibentuk dari proses kering sangat mengandalkan penambahan adhesive, karena proses ini tidak memberikan kondisi yang sesuai untuk dapat terjadi ikatan lignin. Adapun MDF proses kering membutuhkan urea formaldehide sebesar 8-1 1% dari berat kering tanur (Suchsland dan Woodson, 1991). Sedangkan pada proses basah, tingkat penambahan resin sekitar 1 - 2 % dari berat kering tanur. Jumlah resin yang digunakan mempunyai pengaruh yang penting dalam sen pengempaan.
Pada pengempaan minimum, resin tidak mengeras dengan sempurna. Pengeras dapat sempurna selama terjadi perlakuan panas. Bahan penolak air adalah bahan yang diberikan untuk meningkatkan resistensi terhadap air dan sebagai kekuatan mekanis. Bahan penolak air yang umum digunakan adalah lilin (parafin) kandungan yang diberikan berkisar 0,2-0,5 % namun tidak mempengaruhi kekuatan papan. Selain lilin sebagai bahan penolak air adalah aspal yang digunakan dalam bentuk emulsi dan dikeraskan melalui penambahan alum.
Bahan sizing aspal ini dapat meningkatkan regangan dan
kekuatan lengkung papan insulasi (Suchsland dan Woodson, 1991). Bahan tambahan khusus yang diberikan, berupa bahan pengawet, bahan penghambat api dan perlakuan minyak. Bahan pengawet yang diberikan adalah sodium pentaklorofenat (Mitrol G) yang melindungi papan serat dari jamur, lumut dan rayap. Bahan kimia ini ditambahkan dalam furnish dengan retensi 0,5 - 0,75 % dari berat serat kering. Bahan penghambat api yang digunakan adalah seluruhnya dalam bentuk garam anorganik, dimana papan serat yang terbentuk berisikan alumunium trihydrat 45-60% yang dilapisi dengan resin borat ester yang dipanaskan. Bahan pengeras yang ditambahkan kedalam papan serat adalah aluminium sulfat Al, (SO&
atau alum ditambahkan dalam bentuk cair yang dapat menurunkan pH
sampai 4,5. (Suchsland dan Woodson, 1991).
Proses Pulping dan Repulping Kertas Bekas Proses Pulping Proses pulping bertujuan untuk mengubah serpih kayu menjadi serat. Proses pulping terdiri atas tiga yaitu proses mekanis, semi kimia dan proses kimia (Fengel dan Wegener, 1995). Pulp mekanis diperoleh hanya melalui perlakuan mekanis, pulp kimia dihasilkan melalui proses kimia, dan pulp semi kimia diperoleh dengan perlakuan kimia untuk melunakkan lignin, selanjutnya untuk defibrasi serat dilakukan perlakuan penggilingan secara mekanis (Casey, 1980). Ada dua tahap perlakuan mekanis dalam pembentukan pulp pada proses semi kimia. Tahap pertama penggilingan serpih hasil pemasakan, bertujuan untuk menguraikan gumpalan serat. Tahap kedua adalah penggilingan pulp yang bertujuan menghasilkan pulp dengan derajat giling yang disesuaikan jenis kertas yang akan diproduksi (MacDonald dan Franklin, 1969). Fengel dan Wegener (1995) mengatakan, pembuatan pulp soda pada suhu tinggi digabung dengan penggiling cakram, digunakan untuk kayu daun lebar dan terutama untuk pembuatan serat bukan kayu. Selanjutnya dikatakan, pengolahan pulp kimia mekanis umumnya menggunakan jenis kayu daun lebar, dimana perlakuan pendahuluan kimia akan melunakkan struktur serat sehingga pada penghalusan serat akan terpisah dinding sel S, dan S2. Perlakuan panas terhadap chips kayu sebelum dan sesudah proses penguraian serat menyebabkan hemiselulosa larut. Semakin tinggi temperatur dan semakin lama perlakuan yang diberikan, semakin efektif untuk melunakkan ikatan antar serat dan semakin besar potensi terjadinya ikatan serat secara alami (Suchsland dan Woodson 1991) .
Pembuatan pulp secara semikimia dengan pembuatan pulp rendemen tinggi batasannya tidak jelas bila dikaitkan dengan besarnya rendemen yang dihasilkan yaitu 55-70% atau lebih tinggi dan merupakan rancang bangun proses yang khas yaitu penggilingan cakram setelah perlakuan kimia (Fengel dan Wegener, 1995). Casey (1980) mengatakan, proses pembuatan pulp semi kimia meliputi dua tahap perlakuan yaitu perlakuan kimia untuk menghilangkan lignin yang terikat pada poliosa diikuti dengan proses mekanis untuk pemisahan serat secara sempurna. Selanjutnya dikatakan bahwa proses semikimia secara umum lebih banyak menggunakan proses mekanis dibanding proses kimia,
adapun rendemen pulp
semikimia 10-40 % lebih tinggi dari proses kimia secara konvensional Perlakuan keras terhadap serpih kayu akan mengalami perubahan struktur kimia kayu yaitu bagian dari zat-zat kayu akan larut dan ikatan lignin baik kimia maupun fisika menjadi lemah sehingga seratnya mudah diuraikan (Suchsland dan Woodson 1991). Lebih lanjut dikatakan, larutnya zat-zat kayu tersebut disebabkan terjadinya
hidrolisis
hemiselulosa
karena
pengaruh
katalis
asam
asetat.
Hemiselulosa pecah menjadi gula (heksosa dan pentosa) yang larut dalam air dan kemudian dihilangkan melalui pencucian Bahan kimia yang umum digunakan dalam proses semikimia selain Na2S03 juga Na2C03,NaOH, Na2S, NaHC03, Na2S04. Bahan kimia ini berfungsi sebagai larutan penyangga untuk mencegah korosi dan terjadinya hidrolisis yang berkelanjutan oleh Na2S03,sehingga hemiselulosa tetap tinggi dan dapat mengontrol atau mempertahankan pH tetap netral atau sedikit alkali. Kondisi asam memproduksi pulp yang lebih lemah dibanding kondisi netral atau alkali, kekuatan pulp cenderung rendah pada rendemen di atas 60 % (Casey, 1980).
Repulping Kertas Bekas Kertas bekas adalah semua jenis kertas dan karton yang tidak digunakan lagi untuk sumber serat yang diolah secara terpisah meliputi pembuatan pulp tanpa melalui proses pemasakan, kemudian dilanjutkan dengan penyaringan dan pembersihan (Achmadi et a/, 1995). Metode dasar pembuatan pulp dari kertas bekas terdiri atas dua cara yaitu , pertama sistem mekanis dengan menggunakan hidropulper, dilakukan dengan penyaringan dan pemisahan secara sentripugal dan kedua, kombinasi kimia dan mekanis, sistem kimia untuk memisahkan tinta dan zat kontaminan lainnya. Perlakuan mekanis dapat berakibat berkurangnya panjang serat dan penghancuran fibril pada dinding serat.(Felton, 1970). Emerton (1980) menjelaskan, secara garis besar tahapan pembuatan pulp dari kertas bekas yaitu penguraian serat, pembersihan
dan penyaringan,
pembersihan kontaminan, pengurangan kadar air, pemutihan dan dan pembersihan hasil pemutihan dan proses pengeringan. Penguraian serat dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu sistem curah (batch), sistem sinambung dan curah sinambung. Pada sistem curah, air, bahan kimia, dan kertas bekas dimasukkan secara bersamaan. Keberhasilan penguraian ini ditentukan oleh konsisitensi, temperatur, konsentrasi bahan kimia, dan lama penguraian. Pada sistem sinambung, air, bahan kimia, dan kertas bekas dimasukkan tidak sekaligus tetapi bertahap dengan kecepatan ekstraksi
dan kapasitas
penguraian. Pada sistem curah sinambung, dimana air bahan kimia dan kertas bekas diuraikan dengan sistem curah sampai terjadi penguraian tahap awal, setelah penguraian tahap awal selesai, penguraian dihentikan, selanjutnya dilakukan
penguraian kertas bekas yang lain, sedangkan bahan yang sudah teruai dilanjutkan pada tahap berikutnya.
Penguraian kertas bekas ini dapat beriangsung empat
hingga lima tahap tergantung pada kondisinya (Felton, 1970).
Penghilangan Tinta (Deinking) Pengumpulan tinta dimulai dari pengembangan serat setelah kertas bekas dibenamkan ke dalam air. Molekul air dengan ikatan hidrogen berikatan dengan molekul selulosa dan pengaruhnya ditingkatkan dengan penambahan basa (NaOH) dan pengaturan suhu pemasakan (Olson dan Letscher, 1992). Bahan pengumpul tinta (kolektor) adalah bahan pengaktif permukaan yang mempunyai ujung hidrofilik, tinta minyak dan kotoran lainnya akan menempel pada ujung hidrofobik, sedangkan ujung hidrofilik akan tertahan di air (Ferguson, 1992 dalarn Rajagukguk, 1997) Bahan kolektor berfungsi membentuk partikel tinta yang terdispersi menjadi partikel-partikel yang cukup besar dalam fasa air yang dapat dihilangkan dengan pengapungan dan pencucian (Olson dan Letscher, 1992). Menurut
Read (1985),
bahan kolektor yang
ditambahkan
kedalam
hidroppulper dapat digunakan minyak jarak dan minyak kemiri yang mengandung asam oleat dan asam lemak lainnya sebagai bahan penyusun.
Ditambahkan
Ketaren (1986), minyak jarak dan turunannya digunakan dalam industri cat, pelumas, dan sebagian industri plastik dan nilon. Dikatakan Johnson (1992), mekanisme pengikatan tinta terdiri dari tiga tahap yaitu tabrakan antar partikel tinta dengan gelembung udara, melekatnya partikel tinta dengan gelembung udara, dan penghilangan busa gelembung udara beriapis tinta. Untuk memudahkan tinta dibuang, partikel-partikel tinta kontak dengan bahan
kolektor dan selanjutnya kontak
dengan gelembung udara
sehingga terjadi
penggumpalan tinta. Dispersi merupakan aksi dari partikel tersuspensi di dalam cairan mempunyai kecenderungan untuk bergabung pada saat terjadi ikatan Van der Walls. Sehingga untuk mempertahankan partikel tersuspensi dan mencegah penggumpalan perlu ditambahkan dispersan dengan sifat kepolaran tinggi (Gilkey dan Mark, 1985). Deterjen sebagai pendispersi merupakan bahan pembersih yang berasal dari turunan petrokimia yang dapat bereaksi dengan air sadah, tetapi reaksinya terdapat dalam bentuk koloidal atau larut dalam air (Sitting, 1979). Menurut CIC (1993), sabun cuci dapat dikelompokkan ke dalam jenis surfaktan non deterjen (loundry soap) dan deterjen (synthetic deterjen). Sedangkan Forester (1987) mangatakan bahwa sabun asam lemak merupakan type surfaktan yang berfungsi sebagai dispersan yang mempunyai 16 -18 rantai carbon seperti stearat, oleat, palmitat dan penoleat Efektifitas penghilangan tinta dengan sistem pengapungan dan pencucian dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kesadahan air, pH, konsistensi waktu tinggal dalam sel, suhu dan jenis bahan kimia (Forester, 1987).
Variabel Pemasakan Pulp Soda Panas Terbuka Pemasakan dengan menggunakan alkali tidak hanya melarutkan lignin tapi juga bereaksi dengan karbohidrat. Jika alkali berlebihan maka akan menyebabkan degradasi selulosa yang besar sehingga pulp menurun (Casey, 1980). Selanjutnya dikatakan bahwa, alkali yang digunakan untuk pemasakan tergantung dari jenis bahan baku, kondisi pemasakan derajat delignifikasi yang diinginkan dan kondisi lain. Adapun alkali aktif untuk proses soda sekitar 12 %.
Dikatakan Haroen dalam Allia (2001), makin tinggi alkali aktif rendemen pulp makin turun dan bilangan pulp semakin rendah. Hasil penelitian Wardoyo (2001), dari penggunaan konsentrasi NaOH 4 %, 8%, dan 12 % dalam proses pembuatan pulp dari jenis
kayu akasia yang terbaik adalah pada konsentrasi 8 % baik rendemen
pulp yang dihasilkan maupun sifat fisik pulp. Nisbah larutan pemasak untuk bahan baku kayu dengan proses soda panas terbuka adalah 1 : 8 (Silitonga, 1974 dalam Pasaribu, 1994).dimana larutan bahan pemasak ini merendam seluruh bahan baku yang dimasak. Sehingga penetrasi bahan kimia ke dalam kayu lebih baik. Dikatakan MacDonald dan Franklin (1969), pemasakan berjalan sempurna apabila perbandingan larutan pemasak tinggi dan penetrasi larutan pemasak terpenetrasi sempurna ke dalam bahan baku. Waktu pemasakan, temperatur dan konsentrasi larutan
pemasak saling
terkait. Pemasakan pulp dengan temperatur atau konsentrasi larutan pemasak yang tinggi akan meningkatkan waktu pemasakan (Casey, 1980). Dalam Proses soda panas terbuka, temperatur pemasakan digunakan 1 0 0 ~ ~ dan waktu pemasakan sekitar dua jam dengan konsentrasi NaOH yang dgunakan yaitu konsentrasi NaOH 30 g/l, 35 g/l dan 40 g/l (Pasaribu, 1994).
Penggilingan (refining) Pulp Penghalusan serat terjadi dalam dua tahap, yaitu tahap penghalusan pertama yang merupakan aksi defiberasi dilakukan setelah pemasakan, tahap penghalusan ke dua untuk meningkatkan kekuatan pulp dengan menggunakan alat stone refiner. Pemipihan atau penguraian serat secara mekanis disebut penggilingan, yang
diselesaikan pada berbagai type mesin penghalus serat yaitu pada mesin giling Hollander (Haygreen dan Bowyer, 1996). Penggilingan pulp perlu dilakukan pada setiap pulp yang dihasilkan dalam proses pulping. Pulp yang tidak digiling akan menggumpal, yang berakibat distribusi serat tidak merata pada saat dilakukan pembentukan lembaran (Casey, 1952).. Peristiwa penting dalam penggilingan adalah fibrilisasi yaitu proses terurainya fibril dari serat. Serat dibentuk dari individu molekul selulosa yang tergabung menjadi kristal-kristal serta berhubungan satu sama lain yang meyerupai benang-benang atau fibril (Casey, 1952). Selanjutnya dikatakan, ada dua macam fibrilisasi yaitu fibrilisasi internal dan eksternal. Fibrilisasi internal adalah keluarnya fibril dari serat, ha1 ini akan meningkatkan fleksibilitas serat sehingga mudah dikempa dan saling mengikat antar serat selama pembentukan lembaran. Sedangkan fibrilisasi eksternal adalah timbulnya fibril-fibril ke permukaan serat, ha1 ini dapat meningkatkan luas kontak permukaan antar serat. Giertz (1989) dalam Maria (1991) mengatakan bahwa dalam proses penggilingan terjadi perubahan serat secara induvidual yaitu (1) fibrilation internal memungkinkan serat mengembang, peningkatan fleksibilitas, serat menjdi lebih baik dan memungkinkan serat menjadi pipih. (2) fibrilation eksternal menghasilkan pelepasan dinding primer, fibrilation lapisan terluar serat dan formasi halus (fines) (3) serat patah menghasilkan serat pendek dan halus.
Selanjutnya dikatakan bahwa
operasi penggilingan pada kondisi normal dilakukan pada konsistensi rendah antara
2- 6 persen. Refining juga mempunyai dampak positif terhadap retensi vessel pada lembaran kertas Suchsland dan Woodson (1991) mengatakan, fibrilasi penting untuk meningkatkan ikatan hidrogen pada kertas. Kekuatan papan serat tidak tergantung
pada ikatan hidrogen, tetapi karena papan serat merupakan lembaran tebal, maka memerlukan aliran stock yang cepat. Insulation board sangat tergantung pada ikatan hidrogen dan memerlukan slower pulp. Sebagian besar kekuatan lembaran dari bahan baku pulp adalah akibat dari ikatan hidrogen molekul-molekul selulosa yang menyusun serat-serat berdampingan. untuk memberikan potensi ikatan rnaksimum serat digiling agar pipih dan menguraikan mikrofibril dari dinding sel. Luas perrnukaan serat (luas yang tersedia untuk ikatan) bertambah besar oleh tingkat pemipihan dan penguraian sekecil apapun (Haygreen dan Bowyer, 1996). Efek dari proses penggilingan adalah tirnbulnya serat-serat halus yang dapat mengurangi kekuatan produk yang dihasilkan. Pada proses penggilingan diperlukan adanya pengawasan yang ketat agar proses yang tidak dikehendaki dapat dikurangi, misalnya pada perlakuan derajat giling pulp, perlu dikontrol agar penguraian dan pemotongan serat tidak terjadi secara drastis yang dapat mengurangi kekuatan lembaran (Casey, 1952). Forester (1987) mengatakan, dalam proses penggilingan selain metode penggilingan yang perlu diperhatikan, maka faktor-faktor penggilingan juga penting yaitu waktu penggilingan, temperatur, suhu, konsistensi disesuaikan dengan type mesin yang digunakan.
dan kualitas yang