BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Debu di Lingkungan Kerja 2.1.1 Pengertian Debu Menurut Suma’mur (1998) debu adalah partikel-partikel zat padat yang ditimbulkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan baik organik maupun anorganik. Secara fisik debu atau particulate dikategorikan sebagai pencemar udara yaitu dust dan aerosol. Debu terdiri dari dua golongan, yaitu padat dan cair. Debu yang terdiri atas partikel-partikel padat dapat dibagi menjadi 3 macam : 1. Dust
Dust atau debu terdiri dari berbagai ukuran mulai dari yang submikroskopik sampai yang besar. Debu yang berbahaya adalah ukuran yang bisa terhirup ke dalam sistem pernafasan, umumnya lebih kecil dari 100 mikron dan bersifat dapat terhirup ke dalam paru-paru. 2. Fumes
Fumes adalah partikel-partikel zat padat yang terjadi oleh karena kondensasi dari bentuk gas, biasanya sesudah penguapan benda padat yang dipijarkan dan lain-lain dan biasanya disertai dengan oksidasi kimiawi sehingga terjadi zat-zat seperti logam Cadmium dan timbal ( Plumbum).
Universitas Sumatera Utara
3. Smoke
Smoke atau asap adalah produk dari pembakaran bahan organik yang tidak sempurna dan berukuran sekitar 0,5 mikron. 2.1.2 Macam dan Sifat-sifat Debu Menurut macamnya, debu diklasifikasikan atas 3 jenis yaitu (Depkes R.I, 1993) : 1. Debu organik adalah debu yang berasal dari makhluk hidup (debu kapas, debu
daun-daunan, tembakau dan sebagainya). 2. Debu metal adalah debu yang di dalamnya terkandung unsur-unsur logam (Pb, Hg,
Cd, dan Arsen). 3. Debu mineral ialah debu yang di dalamnya terkandung senyawa kompleks ( SiO 2 ,
SiO 3 , dll). Debu memiliki karakter atau sifat yang berbeda-beda, antara lain debu fisik (debu tanah, batu, dan mineral), debu kimia (debu organik dan anorganik) dan debu biologis (virus, bakteri, kista), debu eksplosif atau debu yang mudah terbakar (batu bara, Pb), debu radioaktif (uranium, tutonium), debu inert (debu yang tidak bereaksi kimia dengan zat lain). Debu di atmosfer lingkungan kerja biasanya berasal dari bahan baku atau hasil produksi. Sifat-sifat debu tidak berflokulasi, kecuali oleh gaya tarikan elektris, tidak berdifusi, dan turun karena tarikan gaya tarik bumi.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Depkes RI (1993) sifat-sifat debu adalah sebagai berikut : 1. Sifat Pengendapan
Yaitu debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya gravitasi bumi. Debu yang mengendap dapat mengandung proporsi partikel yang lebih besar dari debu yang terdapat di udara. 2. Permukaan Cenderung Selalu Bersih
Permukaan debu yang cenderung selalu bersih disebabkan karena permukaannya selalu dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini menjadi penting sebagai upaya pengendalian debu di tempat kerja. 3. Sifat Penggumpalan
Debu bersifat menggumpal karena permukaan debu yang selalu basah maka debu satu dengan yang lainnya cenderung menempel membentuk gumpalan. Tingkat kelembaban di atas titik saturasi dan adanya turbelensi di udara mempermudah debu membentuk gumpalan. 4. Debu Listrik Statik
Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik partikel lain yang berlawanan dengan demikian partikel dalam larutan debu mempercepat terjadinya penggumpalan. 5. Sifat Opsis
Opsis adalah partikel yang basah/lembab lainnya dapat memancarkan sinar yang dapat terlihat dalam kamar gelap.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan sifat kimianya dibedakan atas 3 golongan yaitu (Depkes RI, 1993) : 1. Inert Dust Golongan debu ini tidak menyebabkan kerusakan atau reaksi fibrosis pada paruparu. Efeknya sangat sedikit sekali pada penghirupan normal. Reaksi jaringan pada paru-paru terhadap jenis debu ini adalah : a. Susunan saluran nafas tetap utuh b. Tidak terbentuk jaringan parut ( fibrosis ) di paru-paru c. Reaksi jaringan potensial dapat pulih kembali dan tidak menyebabkan gangguan paru-paru. 2. Profilferative Dust Golongan debu ini di dalam paru-paru akan membentuk jaringan parut (Fibrosis). Fibrosis ini akan membuat pengerasan pada jaringan alveoli sehingga mengganggu fungsi paru. Contoh debu ini yaitu debu silika, kapur, asbes dan sebagainya. 3. Debu Asam atau Basa Kuat Golongan debu yang tidak ditahan dalam paru namun dapat menimbulkan efek iritasi. Efek yang ditimbulkan bisa efek keracunan secara umum misalnya debu arsen dan efek alergi, khususnya golongan debu organik. 2.1.3 Klasifikasi Debu Berdasarkan kemudahan mengendapnya, debu industri yang terdapat dalam udara terbagi dua yaitu (Pudjiastuti, 2002) :
Universitas Sumatera Utara
1. Deposit Particulate Matter Yaitu partikel debu yang hanya berada sementara di udara, partikel ini segera mengendap karena daya tarik bumi. 2. Suspended Particulate Matter Yaitu partikel debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap. Debu dapat mengakibatkan gangguan pernafasan bagi pekerja pada industri-industri yang berhubungan dengan debu yang dihasilkan proses produksinya. Lestari (2007) membedakan klasifikasi debu berdasarkan ukuran debu dan lokasi tempat partikulat dapat terdeposit. Klasifikasi ini dibedakan atas dua fraksi, yaitu non inspirable fraction dan inspirable fraction. Inspirable fraction dapat di subklasifikasikan menjadi lagi menjadi tiga bagian, yaitu fraksi nasofaring, fraksi trakeobronkial dan fraksi respirable. Debu Total
Fraksi Non Inspirable
Fraksi Trakeobronkial
Fraksi Inspirable
Fraksi Nasofaring
Fraksi Respirable
Gambar 2.1 Klasifikasi Debu Sumber : Lestari, 2007
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Ukuran Partikel Debu Tidak semua partikel dalam udara yang terinhalasi akan mencapai paru. Partikulat yang terdeposit pada bagian sistem pernafasan manusia sangat bergantung kepada ukuran partikel tersebut. Partikulat dengan ukuran≥ 100
μm terdeposit pada
bagian hidung dan disebut sebagai inhalable particle. Partikulat dengan ukuran > 410 μm terdeposit pada bagian toraks dan disebut thoracic particle. Dan partikulat < 4 μm terdeposit pada bagian paru dan disebut sebagai partikel respirabel (particle respirable) (Lestari, 2007). Partikel debu yang berdiameter > 10 μ yang disebut coarse particle merupakan indikator yang baik tentang adanya kelainan saluran pernafasan, karena adanya hubungan yang kuat antara gejala penyakit saluran pernafasan dengan kadar partikel debu di udara (Pope, 2003). 2.1.5 NAB Debu di Lingkungan Kerja Untuk menghindari bahaya gangguan kesehatan pekerja akibat paparan debu, pemerintah telah nenetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) debu lingkungan kerja. NAB debu adalah standar konsentrasi debu yang dianjurkan di tempat kerja agar tenaga kerja masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan penyakit gangguan kesehatan untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Kegunaan NAB ini sebagai rekomendasi pada praktek hygiene perusahaan dalam melakukan penatalaksanaan lingkungan kerja sebagai upaya untuk mencegah dampaknya terhadap kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
Untuk partikel debu telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER 13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Udara Lingkungan Kerja adalah bahwa NAB kadar debu di udara tidak boleh melebihi 3,0 mg/m³. NAB dari debu-debu yang hanya mengganggu kenikmatan kerja adalah 10 mg/m³. Nilai Ambang Batas (NAB) Konsentrasi debu pada udara ambien di Indonesia diatur juga dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia
Nomor
1405/MENKES/SK/XI/2002
tentang
Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, sebesar 10 mg/m3 untuk waktu pengukuran rata-rata 8 jam. 2.1.6 Mekanisme Penimbunan Debu di dalam Paru Dengan menarik nafas, udara yang mengandung debu masuk ke dalam paruparu. Partikel debu yang dapat dihirup oleh pernafasan manusia mempunyai ukuran 0,1 mikron sampai 10 mikron. Pada hidung dan tenggorokan bagian bawah ada cilia yang berfungsi menahan benda-benda asing seperti debu dengan ukuran 5-10 mikron yang kemudian dikeluarkan bersama secret waktu bernafas. Sedangkan yang berukuran 3-5 mikron ditahan pada bagian tengah jalan pernafasan. Penumpukan dan pergerakkan debu pada saluran nafas dapat menyebabkan peradangan jalan nafas. Peradangan yang terjadi dapat menyebabkan penyumbatan jalan nafas sehingga akhirnya dapat menurunkan fungsi paru (Suma’mur, 1998). Untuk partikel 1- 3 mikron dapat masuk ke alveoli paru – paru dan partikel 0,1- 1 mikron tidak mudah hinggap di permukaan alveoli karena adanya gerakan
Universitas Sumatera Utara
Brown, tetapi akan membentur permukaan alveoli dan dapat tertimbun di alveoli. Debu yang masuk alveoli dapat menyebabkan pengerasan pada jaringan (fibrosis) dan bila 10 % alveoli mengeras akibatnya mengurangi elastisitasnya dalam menampung volume udara. Kemampuan elastisitas alveoli yang berkurang akan menyebabkan kemampuan untuk mengikat oksigen juga menurun. Fibrosis yang terjadi ini dapat menurunkan kapasitas vital paru (Pudjiastuti, 2002). Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama paparan berlangsung, maka jumlah partikel yang mengendap di paru-paru juga semakin banyak. Setiap inhalasi 500 partikel per millimeter kubik udara, setiap alveoli paling sedikit menerima 1 partikel dan apabila konsentrasi mencapai 1000 partikel per millimeter kubik, maka 10% dari jumlah tersebut akan tertimbun di paru-paru. Konsentrasi yang melebihi 5000 partikel per millimeter kubik sering dihubungkan dengan terjadinya pneumokoniosis (Mangkunegoro, 2003). Menurut Pope (2003) mekanisme pengendapan partikel debu di paru berlangsung dengan berbagai cara sebagai berikut: a. Gravitation, sedimentasi partikel yang masuk saluran napas karena gaya gravitasi. b. Impaction yaitu terbenturnya di percabangan bronkus dan jatuh pada percabangan yang kecil. c. Brown Difusion yang mengendapnya partikel yang diameter lebih besar dari dua mikron yang disebabkan oleh terjadinya gerakan keliling (gerakan Brown) dari partikel oleh energi kinetik.
Universitas Sumatera Utara
d. Elektrostatic terjadi karena saluran napas dilapisi mukus, yang merupakan konduktor yang baik secara elektrostatik. e. Interception yaitu pengendapan yang berhubungan dengan sifat fisik partikel berupa ukuran panjang/besar partikel hal ini penting untuk mengetahui dimana terjadi pengendapan. 2.1.7 Debu di Lingkungan Pabrik Kelapa Sawit Limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan kelapa sawit adalah limbah cair dan limbah padat. Limbah padatnya berupa tandan buah kosong dan cangkang sawit. Tandan buah kosong umumnya dapat dimanfaatkan kembali di lahan perkebunan kelapa sawit untuk dijadikan pupuk kompos. Prosesnya terlebih dahulu dicacah sebelum diaplikasikan (dibuang) ke lahan. Sedangkan cangkang buah sawit dapat dimanfaatkan kembali sebagai alternatif bahan bakar (alternative fuel oil) pada boiler dan power generation. Pada umumnya debu di lingkungan PKS bersumber dari abu sisa pembakaran bahan bakar di boiler, ampas sisa pressing buah kelapa sawit , ampas tandan kosong, kernel plant dan cangkang buah kelapa sawit serta debu hasil penangkapan pada unit Dust Collector. 2.1.8 Pengaruh Debu terhadap Pernafasan Debu terinhalasi akan memberikan efek terhadap saluran pernapasan. Efek tersebut dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut (Robbin & Cotran, 2006) :
Universitas Sumatera Utara
1. Banyaknya debu yang tertahan. Keadaan ini menggambarkan konsentrasi awal, lamanya pajanan dan keefektifan mekanisme untuk membersihkannya. 2. Ukuran, bentuk dan keterapungan partikel. Partikel yang berukuran 1-5 µm cenderung mengendap di dalam alveoli dan merupakan partikel yang secara patologik paling signifikan. 3. Reaktifitas fisika kimiawi dan kelarutan partikel. Partikel yang bersifat sangat larut dapat menimbulkan toksisitas dengan cepat. Partikel lainnya mungkin tidak bisa bisa dilarutkan dan dengan bertahan dalam keadaan tak larut, partikel tersebut berpotensi untuk menimbulkan reaksi fibrotik yang kronik. Dari hasil penelitian ukuran partikel debu dapat mencapai target organ sebagai berikut (Depkes RI, 2001) : 1. Partikel diameter > 5,0 mikron terkumpul di hidung dan tenggorokan. Ini dapat menimbulkan efek berupa iritasi yang ditandai dengan gejala faringitis. 2. Partikel diameter 0,5–5,0 mikron terkumpul di paru – paru hingga alveoli. Ini dapat menimbulkan efek berupa bronchitis, alergi, atau asma. 3. Partikel diameter < 0,5 mikron terkumpul di alveoli dan dapat terabsorbsi ke dalam darah. Paparan debu yang sama baik jenis, ukuran partikel, konsentrasi maupun lamanya paparan berlangsung, tidak selalu menunjukkan akibat yang sama. Sebagian ada yang mengalami gangguan paru berat, namun ada yang ringan bahkan mungkin ada yang tidak mengalami gangguan sama sekali. Menurut Miller (1989) hal ini
Universitas Sumatera Utara
diperkirakan berhubungan dengan perbedaan kemampuan sistem pertahanan tubuh terhadap paparan partikel debu terinhalasi sebagai berikut (Mangkunegoro, 2003) : 1. Secara Mekanik Pertahanan tubuh secara mekanik yaitu pertahanan yang dilakukan dengan menyaring partikel yang ikut terinhalasi bersama udara dan masuk saluran pernafasan. Penyaringan berlangsung dihidung, nasofaring dan saluran nafas bagian bawah yaitu bronkus dan bronkiolus. Di hidung penyaringan dilakukan oleh bulu-bulu silia yang terdapat di lubang hidung, sedangkan di bronkus dilakukan reseptor yang terdapat pada otot polos dapat berkonstraksi apabila ada iritasi. Apabila rangsangan yang terjadi berlebihan, maka tubuh akan memberikan reaksi berupa bersin atau batuk yang dapat mengeluarkan benda asing termasuk partikel debu dari saluran nafas bagian atas maupun bronkus. 2. Secara Kimia Pertahanan tubuh secara kimia yaitu cairan dan silia dalam saluran nafas secara fisik dapat memindahkan partikel yang melekat di saluran nafas, dengan gerakan silia yang “mucociliary escalator” ke laring. Cairan tersebut bersifat detoksifikasi dan bakterisid. Pada paru bagian perifer terjadi ekskresi cairan secara terus menerus dan perlahan-lahan dari bronkus ke alveoli melalui limfatik. Selanjutnya makrofag alveolar menfagosit partikel yang ada di permukaan alveoli.
Universitas Sumatera Utara
3. Secara Imunitas Pertahanan tubuh secara imunitas adalah melalui proses biokimiawi yaitu humoral dan seluler. Ketiga sistem tersebut saling berkait dan berkoordinasi dengan baik sehingga partikel yang terinhalasi disaring berdasarkan pengendapan kemudian terjadi mekanisme rekasi atau perpindahan partikel. Debu yang masuk ke dalam saluan napas menyebabkan timbulnya reaksi mekanisme pertahanan nonspesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Otot polos di sekitar jalan napas dapat terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini terjadi biasanya bila kadar debu melebihi nilai ambang batas. Sistem mukosilier juga mengalami gangguan dan menyebabkan produksi lendir bertambah. Bila lendir makin banyak atau mekanisme pengeluarannya tidak sempurna terjadi obstruksi saluran napas sehingga resistensi jalan napas meningkat. Partikel debu yang masuk ke dalam alveoli akan membentuk fokus dan berkumpul di bagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh makrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap makrofag seperti silika bebas menyebabkan terjadinya autolisis. Makrofag yang lisis bersama silika bebas merangsang terbentuknya makrofag baru. Makrofag baru memfagositosis silika bebas tadi sehingga terjadi lagi autolisis. Keadaan ini terjadi berulang-ulang. Pembentukan dan destruksi makrofag yang terus menerus berperan penting pada pembentukan
Universitas Sumatera Utara
jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru, yaitu pada dinding alveoli dan jaringan interstisial. Akibat fibrosis paru menjadi kaku, menimbulkan gangguan pengembangan paru yaitu kelainan fungsi paru (Pope, 2003).
2.2 Sistem Pernafasan 2.2.1 Pengertian Pernafasan Pernapasan atau respirasi adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung O 2 atau oksigen ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO 2 atau karbondioksida sebagai sisa dari oksidasi keluar tubuh. Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Pernafasan dapat berarti pengangkutan oksigen ke sel dan pengangkutan CO 2 dari sel kembali ke atmosfer. Proses ini dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu (Guyton & Hall, 1997) : 1. Pertukaran udara paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara ke dan dari alveoli. Alveoli yang sudah mengembang tidak dapat mengempis penuh karena masih ada udara yang tersisa didalam alveoli yang tidak dapat dikeluarkan walaupun dengan ekspirasi kuat. Volume udara yang tersisa ini disebut volume residu. Volume ini penting karena menyediakan O 2 dalam alveoli untuk menghasilkan darah. 2. Difusi O 2 dan CO 2 antara alveoli dan darah. 3. Pengangkutan O 2 dan CO 2 dalam darah dan cairan tubuh menuju ke dan dari selsel. 4. Regulasi pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Raharjo dkk (1994) dari aspek fisiologis ada dua macam pernafasan, yaitu : a. Pernafasan luar (external respiration) yaitu penyerapan oksigen dan pengeluaran karbondioksida dari paru-paru. b. Pernafasan dalam (internal respiration) yang aktivitas utamanya adalah pertukaran gas pada metabolisme energi dalam sel. 2.2.2 Anatomi Pernafasan Munurut Mukono (1997) anotomi saluran pernafasan terdiri dari: 1. Hidung Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkiolis dilapisi oleh membrane mukosa bersilia. Udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran pernafasan, yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung sel goblet. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat dalam lubang hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan mukosa. Gerakan silia menuju pharing. Udara inspirasi akan disesuaikan dengan suhu tubuh sehingga dalam keadaan normal, jika udara tersebut mencapai pharing, dapat dikatakan hampir “bebas debu” yang bersuhu sama dengan suhu tubuh dan kelembabannya 100%.
Universitas Sumatera Utara
2. Pharing Pharing atau tenggorokan berada dibelakang mulut dan rongga nasal dibagi dalam tiga bagian yaitu nasofaring, oropharing dan laringopharing. Pharing merupakan saluran penghubung ke saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Normalnya bila makanan masuk melalui oropharing, epiglotis akan menutup secara otomatis sehingga aspirasi tidak terjadi. Tonsil merupakan pertahanan tubuh terhadap bendabenda asing (organisme) yang masuk ke hidung dan pharing. 3. Laring Laring terdiri dari satu seri cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan disini didapatkan pita suara dan epiglotis. Glotis merupakan pemisah antara saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Kalau ada benda asing masuk sampai melewati glotis, maka dengan adanya reflex batuk akan membantu mengeluarkan benda atau sekret dari saluran pernafasan bagian bawah. 4. Trachea Terletak di bagian depan esophagus, dari mulai bagian bawah krikoid kartilago laring dan berakhir setinggi vertebra thorakal 4 atau 5. Trachea bercabang menjadi bronchus kanan dan kiri. Tempat percabangannya disebut karina yang terdiri dari 6-10 cincin kartilago. 5. Bronkhus Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang-cabang menjadi segmen lobus, kemudian menjadi segmen brokus. Percabangan ini diteruskan sampai cabang
Universitas Sumatera Utara
terkecil bronkiolus terminalis yang tidak mengandung alveolus, bergaris tengah sekitar 1 mm, diperkuat oleh cincin tulang rawan yang dikelilingi otot polos. 6. Bronchiolus Duktus alveolaris yang seluruhnya dibatasi oleh alveolus dan alveolus terminal, merupakan struktur akhir paru-paru. Anderson (1999) mengatakan bahwa diluar bronkiolus terminalis terdapat asinus sebagai unit fungsional paru yang merupakan tempat pertukaran gas, asinus tersebut terdiri dari bronkiolus respirasi yang mempunyai alveoli. 7. Paru-paru Setiap paru berisi sekitar tiga ratus juta alveolus dengan luas permukaan total seluas sebuah lapangan tenis. Alveolus dibatasi oleh zat lipoprotein yang disebut surfaktan, yang dapat mengurangi tegangan permukaan dan resistensi terdapat pengembangan pada waktu inspirasi serta mencegah kolapsnya alveolus pada waktu respirasi (Davis dan Cornwell, 1991). Pembentukan surfaktan oleh sel pembatas alveolus tergantung dari beberapa faktor antara lain pendewasaan sel alveolus dan sel sistem biosintesis enzim, ventilasi yang memadai, serta aliran darah kedinding alveolus. Surfaktan merupakan faktor penting dan berperan sebagai pathogenesis beberapa penyakit rongga dada (Raharjoe dkk, 1994). Saluran penghantar udara hingga mencapai paru - paru adalah hidung, faring, laring, trakhea, bronkus dan bronkiolus. Saluran pernapasan dari hidung sampai
Universitas Sumatera Utara
bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Permukaan epitel diliputi oleh lapisan mukus yang disekresi oleh sel goblet dan kelenjar serosa (Ganong, 1998). Anatomi sistem pernafasan manusia dapat ditunjukkan seperti gambar 2.2 dibawah ini :
Gambar 2.2 Anatomi Sistem Pernafasan Manusia Sumber : Pearce, 1986
2.3 Volume dan Kapasitas Paru 2.3.1 Volume Paru Selama pernapasan berlangsung volume paru selalu berubah-ubah, dimana mengembang sewaktu inspirasi dan mengempis sewaktu ekspirasi. Dalam keadaan normal, pernapasan terjadi secara pasif dan berlangsung hampir tanpa disadari (Suma’mur, 1998). Beberapa parameter yang menggambarkan volume paru adalah:
Universitas Sumatera Utara
a. Volume Tidal (Tidal Volume = TV) adalah volume udara yang dihirup atau yang dihembuskan pada satu siklus pernapasan selama pernafasan biasa. Besarnya TV orang dewasa sebanyak 500 ml. b. Volume Cadangan Inspirasi (Inspiratory Reserve Volume = IRV) adalah volume udara yang masih dapat dihirup ke dalam paru sesudah inspirasi biasa. Besarnya IRV pada orang dewasa adalah 3100 ml. c. Volume Cadangan Ekspirasi (Ekspiratory Reserve Volume = ERV) adalah volume udara yang masih dapat dikeluarkan dari paru sesudah ekspirasi biasa. Besarnya ERV pada orang dewasa adalah 1200 ml. d. Volume Residu (Residual Volume = RV) adalah udara yang masih tersisa di dalam paru sesudah ekspirasi maksimal. 2.3.2 Kapasitas Paru Kapasitas paru merupakan penjumlahan dari dua volume paru atau lebih (Suma’mur,1998). Menurut Guyton (1997), kapasitas paru dapat diuraikan sebagai berikut : a. Kapasitas Inspirasi Kapasitas Inspirasi (Inspiration Capacity/IC) adalah jumlah udara yang dapat dihirup oleh seseorang, dimulai pada tingkat ekspirasi normal dan pengembangan paru sampai jumlah maksimum (kira-kira 3500 ml). Nilai kapasitas ini merupakan hasil dari penjumlahan nilai volume tidal (TV) dengan volume cadangan inspirasi (IRV).
Universitas Sumatera Utara
b. Kapasitas Residu Fungsional Kapasitas Residu Fungsional (Fungtional Residual Capacity/FRC) adalah jumlah udara yang tersisa dalam paru pada akhir ekspirasi normal (kira-kira 2300 ml). Nilai kapasitas ini adalah hasil dari penjumlahan volume cadangan inspirasi (IRV) ditambah volume cadangan ekspirasi (ERV). c. Kapasitas Paru Total Kapasitas paru total (Total Lung Capacity /TLC) adalah volume maksimum di mana paru dapat dikembangkan sebesar mungkin dengan inspirasi paksa (kira-kira 5800 ml). d. Kapasitas Vital Kapasitas vital paru (Vital Capacity/VC) adalah jumlah gas yang dapat diekspirasi setelah inspirasi secara maksimal. Besarnya adalah 4800 ml. Kapasitas vital paruparu merupakan hasil penjumlahan dari volume tidal, volume cadangan inspirasi dan volume cadangan ekspirasi, seharusnya 80 % TLC. Berdasarkan pada tinggi badan seseorang dapat ditaksir besar kapasitas vitalnya. Orang yang semakin tinggi cenderung mempunyai kapasitas vital paru-paru yang lebih besar dari orang yang tinggi badannya rendah. Pada pria kapasitas vital prediksi = (27,63-0,112 U)TB. U merupakan umur dalam tahun dan TB adalah tinggi badan dalam cm. Persentase kapasitas vital dapat diukur dengan membandingkan kapasitas vital hasil pengukuran dengan spirometer terhadap kapasitas vital prediksi dan dinyatakan dalam satuan persen.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Kurva Volume dan Kapasitas Paru 2.3.3 Faktor – Faktor yang Memengaruhi Kapasitas Vital Paru a. Karakteristik Individu Kelainan paru karena adanya deposit debu dalam jaringan paru disebut pneumokoniosis. Menurut definisi dari International Labor Organization (ILO) pneumokoniosis adalah akumulasi debu dalam jaringan paru dan reaksi jaringan paru terhadap adanya akumulasi debu tersebut. Bila pengerasan alveoli telah mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian-bagian tubuh lainnya (Khumaidah, 2009). Nilai kapasitas vital paru pada dasarnya dipengaruhi oleh bentuk anatomi tubuh, posisi selama pengukuran kapasitas vital, kekuatan otot pernapasan serta pengembangan paru dan otot dada (compliance paru). Penurunan kapasitas paru dapat disebabkan oleh kelumpuhan otot pernapasan, misalnya pada penyakit poliomyelitis
Universitas Sumatera Utara
atau cedera saraf spinal, berkurangnya compliance paru, misalnya pada penderita asma kronik, tuberkulosa, bronchitis kronik, kanker paru dan pleuritis fibrosa dan pada penderita penyakit bendungan paru, misalnya pada payah jantung kiri (Guyton, 1994). Daya tahan kardiorespirasi, yaitu kesanggupan jantung, paru dan pembuluh darah untuk berfungsi secara optimal pada keadaan istirahat dan latihan untuk mengambil oksigen dan mendistribusikan ke jaringan yang aktif untuk metabolisme tubuh, dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor antara lain: keturunan/genetik, usia, jenis kelamin, masa kerja, waktu kerja, kebiasaan merokok, riwayat penyakit gangguan pernafasan, status gizi, kebiasaan berolah raga/aktivitas fisik dan penggunaan alat pelindung diri berupa masker (Yunus, 1997; Guyton & Hall, 1996; Harrington, 2005; Murray & Lopez, 2006; Suma’mur, 1994; Raharjoe dkk, 1994). Berikut dijabarkan faktor-faktor yang memengaruhi nilai kapasitas vital paru sebagai berikut : 1. Keturunan/Genetik Dari penelitian diketahui bahwa 93,4% volume O 2 max ditentukan oleh faktor genetik. Hal ini dapat dirubah dengan melakukan latihan yang optimal (Yunus, 1997). 2. Umur Pada individu normal terjadi perubahan nilai fungsi paru secara fisiologis sesuai dengan perkembangan umur dan pertumbuhan parunya (lung growth). Mulai
Universitas Sumatera Utara
pada fase anak sampai kira – kira umur 22 – 24 tahun terjadi pertumbuhan paru sehingga pada waktu itu nilai fungsi paru semakin besar bersamaan dengan pertambahan umur. Beberapa waktu nilai fungsi paru menetap (stasioner) kemudian menurun secara gradual (pelan – pelan), biasanya umur 30 tahun sudah mulai
penurunan,
berikutnya
nilai
fungsi
paru
(FVC
=
Force
Vital
Capacity/Kapasitas Vital Paksa dan FEV1 = Force Expiratory Volum/Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik Pertama) mengalami penurunan rata-rata sekitar 20 ml tiap pertambahan satu tahun umur individu (Pearce, 1986). Kapasitas paru orang berumur > 30 tahun rata-rata 3.000 ml sampai 3.500 ml, dan pada mereka yang berusia > 50 tahun lebih kecil dari 3.000 ml. Meningkatnya umur seseorang maka kerentanan terhadap penyakit akan bertambah, khususnya gangguan saluran pernafasan pada tenaga kerja (Yunus, 2006). 3. Jenis Kelamin Nilai kapasitas vital paru pria dan wanita sampai usia pubertas tidak berbeda, namun setelah itu dewasa laki-laki lebih tinggi 20-25% daripada wanita dewasa. Hal ini antara lain disebabkan oleh perbedaan kekuatan otot pria dan wanita (Yunus, 1997). 4. Status Gizi Indeks masa tubuh dapat digunakan sebagai indikator kondisi status gizi pekerja.
Status
gizi akan
mempengaruhi daya
tahan tubuh
seseorang.
Ketidakseimbangan gizi dalam tubuh akan mengakibatkan menurunkan imunitas
Universitas Sumatera Utara
dan anti bodi sehingga seseorang mudah terserang infeksi seperti batuk, pilek, diare dan berkurangnya kemampuan tubuh untuk melakukan detoksifikasi terhadap benda asing seperti debu yang masuk ke dalam tubuh (Murray & Lopez, 2006). Keadaan kesehatan berdasarkan kecukupan gizi umumnya dapat ditentukan dengan Indeks Masa Tubuh/IMT atau Body Mass Index/BMI. Menurut WHO ditetapkan tabel 2.1 seperti dibawah ini. Tabel 2.1 Ambang Batas IMT Category
BMI
Risk of Co-Morbidities
Underweight
< 18.5
Normal
18.5 – 24.9
Average
Overwieght
25.0 – 29.9
Increased
Obese I
30.0 – 34.9
Moderate
Obese II
35.0 – 39.9
Severe
Obese III
≥ 40
Very Severe
Sumber : WHO, 2003 ( Berat Badan) kg IMT = (Tinggi Badan) 2 m 5. Kebiasan Merokok Raharjoe dkk (1994) mengungkapkan bahwa kebiasaan merokok dapat menimbulkan gangguan ventilasi paru karena menyebabkan iritasi dan sekresi mucus yang berlebihan pada bronkus. Keadaan seperti ini dapat mengurangi efektifitas mukosilier dan membawa partikel-partikel debu sehingga merupakan media yang baik tumbuhnya bakteri.
Universitas Sumatera Utara
Yunus (1997) mengatakan asap rokok meningkatkan risiko timbulnya penyakit bronchitis dan kanker paru, untuk itu tenaga kerja hendaknya berhenti merokok bila bekerja pada tempat yang mempunyai risiko terjadi penyakit tersebut. Penurunan volume ekspirasi paksa pertahun adalah 28,721 ml untuk non perokok dan 38,4 ml untuk bekas perokok dan 41,7 ml untuk perokok aktif. Pengaruh asap rokok dapat lebih besar dari pengaruh debu yang hanya sepertiga dari pengaruh buruk rokok (Depkes RI, 2009). Kebiasaan merokok menurut Jama (1994) telah membagi menjadi 3 (tiga) kategori perokok yaitu sebagai berikut : a. Perokok ringan, bila jumlah rokok yang dihisap antara 1-6 batang/hari b. Perokok sedang, bila jumlah rokok yang dihisap antara 7-12 batang/hari c. Perokok berat, bila jumlah rokok yang dihisap lebih dari 12 batang/hari 6. Kebiasaan Berolah Raga Faal paru dan olahraga mempunyai hubungan yang timbal balik. Gangguan faal paru dapat mempengaruhi kemampuan olahraga. Sebaliknya, latihan fisik yang teratur atau olahraga dapat meningkatkan faal paru (Yunus, 1997). Secara umum olah raga akan meningkatkan total kapasitas paru. Pada banyak individu yang melakukan olah raga secara teratur maka kapasitas vital paru akan meningkat meskipun hanya sedikit, tetapi pada saat yang bersamaan residual volume atau jumlah udara yang tidak dapat berpindah atau keluar dari paru akan menurun. Selanjutnya untuk meningkatkan kapasitas vital paru, olah raga yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara
hendaknya memperhatikan empat hal, yaitu mode atau jenis olah raga, frekuensi, durasi, dan intensitasnya (Wilmore, 1994). 7. Waktu Kerja Menurut Harrington (2005), lama bekerja adalah durasi waktu untuk melakukan suatu kegiatan/pekerjaan setiap harinya yang dinyatakan dalam satuan jam. Budiono (2003) menyatakan lama kerja sebagai durasi waktu pekerja terpapar risiko faktor fisika atau faktor kimia dalam melakukan pekerjaannya (time exposure). Untuk mengantisipasi efek negatif paparan debu di tempat kerja, maka perlu dilakukan upaya pencegahan dan perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja. Salah satu upaya pencegahan tersebut adalah menetapkan waktu bekerja sehari-hari yaitu selama tidak lebih dari 8 jam per hari atau 40 jam per minggu (UU Nomor 13, 2003). 8. Masa Kerja Masa kerja merupakan kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja di suatu tempat. Menurut Suma’mur (1994) semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. Lama kerja diperlukan untuk menilai lamanya pekerja terpajan debu. Semakin lama seseorang terpajan debu, akan semakin besar risiko terjadinya gangguan fungsi paru. Pada pekerja yang berada di lingkungan dengan kadar debu tinggi
Universitas Sumatera Utara
dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terkena penyakit paru obstruktif. Masa kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya obstruksi pada pekerja di industri yang berdebu lebih dari 5 tahun (Khumaidah, 2009). 9. Riwayat Penyakit Gangguan Pernafasan Kondisi kesehatan saluran pernafasan dapat mempengaruhi kapasitas vital paru seseorang. Kekuatan otot-otot pernapasan dapat berkurang akibat sakit (Ganong, 2002). Nilai kapasitas paru otomatis akan berkurang pada penyakit paru-paru, penyakit jantung (yang menimbulkan kongesti paru) dan pada kelemahan otot pernapasan (Price & Wilson, 1995). Mukono (1997) mengatakan bahwa pada orang normal tidak ada perbedaan antara Force Vital Capacity (FVC) dan Vital Capacity (VC), sedangkan pada keadaan kelainan obstruksi terdapat berbedaan antara VC dan FVC. Vital Capacity (VC) merupakan refleksi dari kemampuan elastisitas atau jaringan paru atau kekakuan pergerakan dinding toraks. Vital Capacity (VC) yang menurun merupakan kekuatan jaringan paru atau dinding toraks, sehingga dapat dikatakan pemenuhan (compliance) paru atau dinding toraks mempunyai korelasi dengan penurunan VC. Pada kelainan obstruksi ringan VC hanya mengalami penurunan sedikit atau mungkin normal. 10. Penggunaan Alat Pelindung Diri Masker dan respirator digunakan untuk melindungi saluran pernapasan dari pernapasan secara inhalasi terhadap sumber-sumber bahaya di udara pada tempat
Universitas Sumatera Utara
kerja seperti kekurangan oksigen, pencemaran oleh partikel (debu, kabut, asap dan uap logam), pencemaran oleh gas atau uap. Alat pelindung pernafasan adalah bagian dari alat pelindung diri yang digunakan untuk melindungi pernafasan terhadap gas, uap, debu, atau udara yang terkontaminasi di tempat kerja yang dapat bersifat racun ataupun korosi. Pelindung pernafasan adalah alat yang penting, mengingat 90% kasus keracunan sebagai akibat masuknya bahan-bahan kimia beracun atau korosi lewat saluran pernafasan (Milos, 1991). Penggunaannya selain menutup mulut dan hidung, ada juga yang mencakup wajah dan kepala. Penggunaan masker dan respirator hendaklah memperhatikan apa yang sebaiknya digunakan, dengan memperhatikan jenis bahaya yang dihadapi dan berapa banyak kontak dengan bahan berbahaya tersebut. Respirator berdasarkan jenisnya dibagi menjadi 3 macam, yaitu (Milos, 1991) : a. Respirator yang Bersifat Memurnikan Udara Respirator yang bersifat memurnikan udara dibagi menjadi 3 jenis, yaitu respirator yang mengandung bahan kimia, respirator dengan filter mekanik, respirator yang mempunyai filter mekanik dan bahan kimia. b. Respirator yang Dihubungkan dengan Suplai Udara Suplai udaranya berasal dari saluran udara bersih atau kompresor, alat pernapasan yang mengandung udara (self contained breathing apparatus).
Universitas Sumatera Utara
c. Respirator dengan Suplai Oksigen Biasanya berupa self contained breathing apparatus. Pekerja yang aktivitas pekerjaannya banyak terpapar oleh partikel debu memerlukan alat pelindung diri berupa masker untuk mereduksi jumlah partikel yang kemungkinan dapat terhirup. Masker berguna untuk melindungi masuknya debu atau partikelpartikel yang lebih besar ke dalam saluran pernafasan. Masker dapat terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu agar risiko paparan debu yang dapat terinhalasi ke paru-paru, sehingga pengendapan partikel dan penurunan nilai kapasitas vital paru dapat diminimalisir. Pemakaian masker oleh pekerja industri yang udaranya banyak mengandung debu, merupakan upaya mengurangi masuknya partikel debu kedalam saluran pernapasan. Dengan mengenakan masker, diharapkan pekerja melindungi dari kemungkinan terjadinya gangguan pernapasan akibat terpapar udara yang kadar debunya tinggi (Suma’mur, 1996). b. Kondisi Fisik Lingkungan Kerja Banyak faktor yang memengaruhi gangguan saluran pernafasan khususnya pada aspek tenaga kerja selain dipengaruhi oleh karakteristik individu juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan kerja yaitu ventilasi, suhu dan kelembaban. Faktor lingkungan ini diuraikan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Ventilasi
Ventilasi industri merupakan suatu metode yang digunakan untuk memelihara dan menciptakan udara suatu ruangan yang sesuai dengan kebutuhan proses produksi dan kenyamanan pekerja. Di samping itu juga digunakan untuk menurunkan kadar suatu kontaminan di udara tempat kerja sampai batas yang tidak membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan pekerja. Prinsip sistem ventilasi yang digunakan dalam suatu industri adalah membuat prinsip suatu proses pertukaran udara di dalam ruang kerja. Pertukaran udara dan mengganti udara segar yang dilaksanakan secara bersama-sama. Jika tidak ada sistem pertukaran udara, kontaminan yang ada akan bergerak perlahan di dalam udara ruang kerja. Sehingga kontaminan akan tetap berada di sekitar sumber dan di daerah sekitar pernafasan pekerja dengan konsentrasi yang tinggi (Khumaidah, 2009). Pertukaran udara dapat dilakukan baik secara alami maupun dengan bantuan peralatan mekanik. Pertukaran udara terjadi karena adanya perbedaan tekanan, dimana udara bergerak dari daerah yang mempunyai tekanan tinggi ke daerah yang tekanannya rendah. Pertukaran udara secara alami karena adanya kondisi ruangan panas. Dengan kondisi panas udara akan memuai dan naik lalu keluar melalui vena di atap. Keluarnya udara panas akan diganti dengan udara segar yang masuk melalui lubang-lubang bangunan, seperti melalui pintu yang terbuka, jendela atau kisi-kisi bangunan. Pertukaran udara secara mekanik
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dengan cara memasang sistem pengeluaran udara (exchaust system) dan pemasukan udara (supply system) dengan menggunakan fan. Exhaust system dipasang untuk mengeluarkan udara beserta kontaminan yang ada sekitar ruang kerja, biasanya ditempatkan disekitar ruang kerja atau dekat dengan sumber dimana kontaminan dikeluarkan. Supply system dipasang untuk memasukkan udara ke dalam ruangan, umumnya digunakan untuk menurunkan tingkat konsentrasi kontaminan di dalam lingkungan kerja (Khumaidah, 2009). 2. Suhu
Persyaratan kesehatan untuk ruang kerja industri yang nyaman di tempat kerja adalah suhu yang tidak dingin dan tidak menimbulkan kepanasan bagi tenaga 0
0
kerja yaitu berkisar antara 18 C sampai 31 C. Suhu yang rendah dapat menyebabkan polutan dalam atmosfir terperangkap dan tidak menyebar, sedangkan peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi kimia perubahan suatu polutan udara, yang menyebabkan partikel debu bertahan lebih lama di udara sehingga memungkinkan terhisap oleh pekerja lebih banyak. Hal itu yang menjadikannya faktor risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru bagi 0
pekerja. Bila suhu udara > 31 C perlu menggunakan alat penata udara seperti 0
air conditioner, kipas angin dan lain-lain. Bila suhu udara luar < 18 C perlu menggunakan alat pemanas ruangan (Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13/MEN/X/2011).
Universitas Sumatera Utara
3. Kelembaban
Kelembaban udara tergantung berapa banyak uap air (dalam %) yang terkandung di udara. Saat udara dipenuhi uap air dapat dikatakan bahwa udara berada dalam kondisi jenuh dalam arti kelembaban tinggi dan segala sesuatu menjadi basah. Kelembaban lingkungan kerja yang tidak memberikan pengaruh kepada kesehatan pekerja berkisar antara 65 % - 95 %. Udara yang lembab menyebabkan bahan pencemar berbentuk partikel dapat berikatan dengan air di udara sehingga membentuk partikel yang berukuran lebih besar. Partikel tersebut mudah mengendap. Kelembaban yang tinggi di lingkungan kerja secara tidak langsung dapat menghambat sirkulasi udara. Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan selaput
lendir
membran.
Sedangkan
kelembaban
yang
tinggi
dapat
meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan pelepasan formaldehid dari material bangunan (Suma’mur, 1996). Bila kelembaban udara ruang kerja > 95 % perlu menggunakan alat dehumidifier dan bila kelembaban udara ruang kerja <65 % perlu menggunakan humidifier (Peraturan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002). 2.3.4 Nilai Standar Kapasitas Vital Paru Menurut Pinzon (1999), kapasitas vital paru prediksi untuk pria adalah (27,630,112 U) TB, sementara pada wanita adalah (21,78-0,101 U) TB dimana U adalah umur dalam tahun dan TB adalah tinggi badan dalam centimeter.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Koesyanto (2005) nilai standar kapasitas vital paru dibagi kedalam perbedaan jenis kelamin adalah seperti pada tabel dibawah ini. Tabel 2.2 Nilai Standar Kapasitas Vital Paru Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Usia
Nilai Standar Kapasitas
Usia
Nilai Standar Kapasitas
(Tahun)
Vital Paru (ml)
(Tahun)
Vital Paru (ml)
Laki-laki
Perempuan
Laki-Laki
Perempuan
17
4100
2750
27
4180
2740
18
4200
2800
28
4150
2720
19
4300
2800
29
4120
2710
20
4320
2800
30
4100
2700
21
4320
2800
31-35
3990
2640
22
4300
2800
36-40
3800
2520
23
4280
2790
41-45
3600
2390
24
4250
2780
46-50
3410
2250
25
4220
2770
51-55
3240
2160
26
4200
2760
56-60
3100
2060
Sumber : Koesyanto (2005) Berdasarkan American Thoracic Society (1995) nilai prediksi kapasitas vital paru dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia dan tinggi badan. Adapun nilai prediksi kapasitas vital paru (estimated vital capacity) untuk pria adalah seperti terdapat pada tabel 2.3 lampiran 1. 2.3.5 Pemeriksaan Kapasitas Vital Paru Pemeriksaan kapasitas vital paru adalah suatu pemeriksaan yang sering digunakan secara klinik sebagai indeks fungsi paru (Ganong, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Pengukuran faal paru sangat dianjurkan bagi tenaga kerja, yaitu menggunakan spirometer dengan alasan spirometer lebih mudah digunakan, biaya murah, ringan praktis, bisa dibawa kemana-mana, tidak memerlukan tempat khusus, cukup sensitif, akurasinya tinggi, tidak invasif dan cukup dapat memberi sejumlah informasi handal (Yunus, 2006). Cara kerja spirometer adalah dengan cara menarik nafas dan menghembuskan nafas) dalam keadaan hidung ditutup, sementara itu drum pencatat bergerak sesuai jarum jam sehingga pencatat akan mencatat sesuai dengan gerak tabung yang berisi udara. Dengan spirometri ini dapat diketahui uji fungsi paru dasar yang meliputi (Price and Wilson, 1992) : 1. Vital Capacity (VC), adalah jumlah udara maksimal yang dapat diekspirasi sesudah inspirasi maksimal 2. Force Vital Capacity (FVC), adalah pengukuran kapasitas vital yang didapat pada ekspirasi dengan dilakukan secepat dan sekuat mungkin. 3. Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1), adalah volume udara yang dapat diekspirasi dalam waktu satu detik selama tindakan FVC . Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengukuran fungsi paru dengan menggunakan Spirometer, maka kesimpulan yang dapat diperoleh antara lain (Aurorina, 2003) :
Universitas Sumatera Utara
1. Normal bila FEV1/FVC ≥ 75% dan FVC ≥ 80% 2. Gangguan restriksi bila FEV1/FVC ≥ 75% dan FVC < 80% 3. Gangguan obstruktif bila FEV1/FVC < 75%, FVC ≥ 80% dan FEV1 <
95%
prediksi. 4. Gangguan campuran (restriksi dan obstruktif) bila FEV1/FVC < 75% dan FVC < 80%. Hasil pengukuran kapasitas vital paru tersebut dapat diklasifikasikan seperti pada gambar 2.4 dibawah ini. FEV1/FVC Restriksi
Normal
Obstuksi Restriksi
Obstruksi
75%
0
80%
FVC
Gambar 2.4 Klasifikasi Penilaian Faal Paru Sumber : American Thoracic Society, 1995 Menurut Alsagaf (2004) Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV) adalah besarnya volume udara yang dikeluarkan dalam satu detik pertama. Lama ekspirasi orang normal berkisar antara 4-5 detik dan pada detik pertama orang normal dapat mengeluarkan udara pernapasan sebesar 80% dari nilai FVC. Fase detik pertama ini dikatakan lebih penting dari fase-fase selanjutnya. Adanya obstruksi pernapasan
Universitas Sumatera Utara
didasarkan atas besarnya volume pada detik pertama tersebut. Interpretasi tidak didasarkan nilai absolutnya tetapi pada perbandingan dengan FVC-nya. Bila FEV/FVC lebih dari 75% berarti normal. Penyakit obstruktif seperti bronchitis kronik atau emfisema terjadi pengurangan FEV lebih besar dibandingkan kapasitas vital (kapasitas vital mungkin normal) sehingga rasio FEV1/FVC kurang 80%. 2.3.6 Penyakit Gangguan Faal Paru Gangguan fungsi paru adalah gangguan atau penyakit yang dialami oleh paruparu yang disebabkan oleh berbagai sebab, misalnya virus, bakteri, debu maupun partikel lainnya. Penyakit-penyakit pernapasan yang diklasifikasikan karena uji spirometri ada 2 macam, yaitu penyakit-penyakit yang menyebabkan gangguan ventilasi obstruktif dan penyakit-penyakit yang menyebabkan ventilasi restriktif (Guyton, 1994). 1. Penyakit Paru-paru Obstruktif Menahun
Penyakit Paru-paru Obstruktif Menahun (PPOM) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara (Suyono, 1995). Menurut Guyton (1994), penyakit-penyakit yang terrmasuk PPOM yaitu: a. Bronkitis Kronik
Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam
Universitas Sumatera Utara
setahun. Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara yang terdapat pada daerah industri. b. Emfisema
Emfisema adalah penyakit obstruktif kronik akibat berkurangnya elastisitas paru dan luas permukaan Alveolus. Resiko primer untuk emfisema adalah merokok. Pajanan berulang ke asap rokok (perokok pasif) juga dapat menyebabkan emfisema. Selain itu terdapat suatu suatu bentuk emfisema familial yang timbul pada orang-orang yang tidak terpajan asap rokok. c. Asma
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitifitas cabangcabang takeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan reversibel akibat bronkospasme. d. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah peradangan nekrosis kronis yang menyebabkan atau mengikuti dilatasi abnormal dari bronki. Secara klinik, ditandai dengan batuk, demam, dan dahak yang purulen, banyak sekali dan berbau. 2. Penyakit Pernapasan Restriktif
Menurut Suyono (1995), ada beberapa macam penyakit pernapasan restriktif, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Sarkoidosis Penyakit ini relatif sering ditemukan yang ditandai dengan grunuloma nonkaseosa pada jaringan manapun. Paru adalah tempat yang biasa terkena, secara karakteristik granuloma tersebar difus (menunjukkan gambaran retikuloduner pada foto sinar X) dan tidak terlihat secara makroskopik kecuali fokus granuloma yang berpadu. Lesi paru condong untuk penyembuh sehingga mungkin terlihat sebagai parut secara mikroskopik. b. Fibrosis Paru Idiopatik Kelainan yang ditandai oleh fibrosis interstinum paru progresif yang menyebabkan hipoksia. Penyakit ini progresif pada kebanyakan kasus, berakibat insufisiensi paru, kor pulmonaler dan payah jantung. c.
Pneumokoniosis Pneumokoniosis adalah sekelompok penyakit yang disebabkan karena inhalasi debu organik dan anorganik tertentu. Penyakit ini sering dikaitkan dengan penyakit
akibat
kerja.
Bahan-bahan
lain
yang
dapat
menyebabkan
pneumokoniosis antara lain silika, batu bara, besi, asbes. Pneumokoniosis hanya timbul setelah terpajan bertahun-tahun. d. Pneumonitis Hipersensitivitas Kelainan karena faktor imunologik ini disebabkan oleh debu atau antigen terinhalasi, misalnya spora pada jerami, protein bulu dan bakteri termofilik.
Universitas Sumatera Utara
e. Eosinofilia Paru Bermacam-macam kondisi klinikopatologik yang ditandai oleh sebutan (infiltrasi) eosinofil dalam interstinum paru dan/atau ruang alveolus, meliputi eosinofilia paru sederhana, eosinofilia tropikal, eosinofilia paru kronik sekunder, pneumonia eosinofilia kronik idiopatik. f. Bronkiolitis Obliterans atau Pneumonia Terorganisasi Respons yang terjadi terhadap infeksi atau jejas radang pada paru, secara klinis terkait dengan batuk, sesak napas, dan sering dengan infeksi paru yang baru, hubungan etiologi lain adalah toksin terinhalasi, obat, dan penyakit vaskulerkolagen. g. Hemoragi Paru Difus Komplikasi yang serius pada beberapa penyakit paru interstisial, terutama yang disebut sindrom paru hemoragik, termasuk dalam penyakit ini adalah sindrom goodpasture, hemosiderosis pulmonal idiopatik dan pendarahan yang berkaiatan dengan vaskulitis. h. Proteinosis Alveolar Paru Penyakit ini dapat terjadi setelah pemaparan debu dan bahan kimia yang menyebabkan iritasi dan pada penderita yang tertekan kemampuan imunologiknya. Bersifat progresif pada kebanyakan penderita, tetapi beberapa penderita dapat mengalami perjalanan-perjalanan penyakit yang ringan dan akhirnya terjadi resolosilesi.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Landasan Teori Analisis Pengaruh karakteristik pekerja dan paparan debu serta karakteristik fisik lingkungan kerja terhadap kapasitas vital paru pekerja di PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) PKS Rambutan Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2013 dilakukan mengacu kepada Teori Simpul (Achmadi, 2008) yaitu proses kejadian penyakit yang diuraikan ke dalam 4 simpul sebagai berikut : 1. Simpul 1 disebut sebagai sumber penyakit yaitu risk agent berupa adanya bahan pencemar di lingkungan kerja yang berasal dari debu sawit hasil pengolahan Tandan Buah Segar (TBS). 2. Simpul 2 merupakan media transmisi penyakit yaitu udara lingkungan kerja yang telah tercemar dengan debu, suhu dan kelembaban udara lingkungan kerja. 3. Simpul 3 adalah perilaku pemajanan (host) yaitu dalam penelitian ini adalah karakteristik pekerja. 4. Simpul 4 adalah dampak kesehatan bagi manusia yaitu pekerja yang akan dinilai fungsi faal parunya dengan indikator kapasitas vital paru.
Universitas Sumatera Utara
Secara umum kerangka teori dapat disampaikan seperti dibawah ini. Proses Pengolahan Kelapa Sawit
Simpul 1
Bahan Baku
Simpul 2
Udara Lingkungan Kerja
Proses Produksi
Debu : Sifat debu Kadar debu Kompisi kimia Ukuran partikel
Hasil Produksi
Limbah
Kondisi Fisik Pekerja Karakteristik Pekerja : Umur Masa kerja Waktu kerja Penggunaan APD Kebiasaan merokok Kebiasaan berolah raga
Simpul 3 Kondisi fisik lingkungan Kerja : Suhu Kelembaban Kadar Debu di Lingkungan Kerja
Anatomi Paru Sistem pertahanan tubuh Status Gizi Penyakit gangguan pernafasan Jenis Kelamin Faktor Genetik
Paparan Debu ke Saluran Pernafasan
Kapasitas Vital Paru Pekerja
Simpul 4
Normal atau terjadi gangguan Gambar 2.5 Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara
2.5 Kerangka Konsep Karakteristik Responden : 1. Umur 2. Masa Kerja 3. Penggunaan APD 4. Kebiasaan Merokok
Kadar Debu di Lingkungan PKS
Kapasitas Vital Paru Responden
Kondisi Fisik Lingkungan Kerja PKS : 1. Suhu 2. Kelembaban Gambar 2.6 Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara