II. TINJAUAN PUSTAKA
A. MAKANAN RINGAN (SNACK) Makanan ringan atau lebih dikenal sebagai snack food adalah kata benda yang memiliki arti makanan yang dikonsumsi diantara waktu makan utama (Kamus Webster ke 9, 1985). Menurut Muchtadi et al., (1988) juga mendefinisikan snack sebagai makanan ringan yang dimakan dalam waktu antara ketiga makanan utama dalam sehari. Booth (1990) menjelaskan produk yang termasuk dalam kategori snack food antara lain: permen dan produk konfeksioneri; cookies/cracker dan produk asal tepung lainnya; meat snack; snack dengan basis susu; fish snacks dan shellfish snacks, extruded snacks, snack berbasis buah; kacang-kacangan; potato based textured snacks; dan health food snacks. Snack food juga sering disebut sebagai savory snack karena sebagai besar snack memiliki rasa asin, berbumbu, maupun gurih. Dari beberapa jenis produk yang disebutkan di atas, tidak semuanya dikenal oleh konsumen Indonesia, hanya beberapa produk saja yang beredar dan disukai oleh konsumen Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini:
Tabel 1. Klasifikasi snack yang beredar di Indonesia dan teknologi yang digunakan Jenis Snack Ebisen (sheeted snack) Second generation snack (direct expanded) Third generation snack (pellet) Co-extruder snack
Basis Bahan Terigu Jagung, beras
Teknologi Ebisen line Twist extruder
Pati
Pellet extruder
Serealia
Fabricated chips
Tepung
Slice chip
Kentang, buah
Single and twin screw extruder Sheeting, stamping, frying, flavorings Frying, flavoring
Saat ini industri makanan ringan di dunia memiliki pasar tetap yang potensial bahkan terus meningkat setiap tahun, data dari Snack Food and
3
Wholesale Bakery menunjukkan dari tahun 1990-1999 industri ini mengalami peningkatan 4.7% dalam dollar dan bertambah 3.1% dalam volume dengan penjualan mencapai 19.37 juta US$ pada akhir tahun 1999 hanya untuk wilayah Amerika Serikat saja. Karena itu produsen berusaha mengeluarkan berbagai macam produk dengan berbagai rasa, bentuk, dan bahan dasar untuk memenuhi keinginan konsumen. Mulai dari pengembangan teknologi untuk menghasilkan bentuk dan rasa beraneka ragam sampai menghasilkan produk makanan ringan yang sehat. Selain rasanya yang lezat, produk makanan ringan pada masa modern ini mempunyai beberapa ciri-ciri (Lusas, 2000), diantaranya:
aman dan bebas dari bahaya kimia, substansi toksik, dan mikroorganisme pathogen, serta menyesuaikan dengan peraturan berlaku,
biasanya dipersiapkan secara komersial dalam jumlah besar dengan proses yang kontinyu,
diberikan bumbu, biasanya garam dan kadang-kadang ditambahkan flavor lainnya,
stabil selama penyimpanan, tidak membutuhkan pendinginan untuk pengawetan,
dikemas dengan kemasan siap konsumsi (ready to eat), biasanya dibagi menjadi potongan-potongan ukuran makan (bite size), mudah diambil dengan jari, dan memiliki penampakan berminyak atau kering tergantung dengan konsumen untuk produk tertentu, dan
dijual kepada konsumen dalam kondisi segar, yang dicapai dengan: o pemakaian bahan pengemas untuk menghindari air, oksigen dan cahaya, menjaga kerenyahan produk, memperlambat oksidasi alami minyak dan menghilangkan katalis oksidasi, o menggunakan pengemasan atmosfer dengan gas inert (nitrogen) dan sistem antioksidan untuk proteksi penambahan minyak, dan o pengkodean tanggal pada pengemas dan membuangnya dari rak penyimpanan jika tidak terjual selama umur simpan produk 4
B. SEJARAH TORTILLA Tortilla adalah roti tipis yang terbuat dari jagung atau gandum (Wikipedia, 2009). Kata Tortilla sendiri berasal dari bahasa Spanyol yaitu Torta yang berarti roti bulat. Sebenarnya tortilla pertama kali dikenal oleh suku Aztec yang berada di Meksiko dan terbuat dari biji jagung yang dikeringkan namun makanan ini disebarluaskan oleh bangsa Spanyol yang pernah bertemu dan mempelajari kebudayaan suku Aztec. Sampai sekarang tortilla banyak dikonsumsi oleh masyarakat Amerika Utara (Meksiko), Amerika Tengah, Amerika Selatan (Venezuela dan Kolumbia, bahkan menurut data Tortilla Industry Association (TIA) memperkirakan bangsa Amerika mengkonsumsi hampir 85 milyar tortillas pada tahun 2000 (tidak termasuk tortilla chip). Proses tradisional pembuatan tortilla memiliki tahapan penting yaitu tahap nixtamalisasi yang dikembangkan oleh bangsa Mesoamericans pada zaman dahulu. Pada proses ini jagung dimasak dengan air dan larutan alkali pada suhu 90-98 C selama 5-50 menit kemudian direndam selama 8-16 jam. Larutan alkali yang digunakan adalah kalsium dioksida yang berfungsi membantu melepaskan perikarp pada jagung. Proses perendaman akan meningkatkan kadar air pada butir jagung hingga mencapai 48-50%, air akan terdistribusi merata pada butir jagung sehingga strukturnya lebih lunak. Proses selanjutnya adalah pembentukan masa yang didahului dengan penggilingan jagung yang lepas perikarp dan air dengan menggunakan batu penggilingan. Hasil penggilingan yang dihasilkan disebut sebagai masa. Masa yang dihasilkan akan dibentuk secara manual dengan tangan sehingga dihasilkan adonan yang tipis kemudian dipanggang pada suhu 190-2600 C selama 30-60 detik. Tortilla yang sudah selesai dipanggang biasanya dikonsumsi dengan tambahan
kacang-kacangan,
daging,
keju,
dan
sayur-sayuran.
Proses
pembuatannya secara tradisional dapat dilihat pada Gambar 1 di halaman selanjutnya.
5
Gambar 1. Proses pembuatan tortilla secara tradisional
6
C. TORTILLA CHIP DAN PROSES PRODUKSINYA Seiring perkembangan zaman, produk tortilla juga mengalami banyak perkembangan menjadi beberapa produk turunan, salah satu diantaranya adalah tortilla chip. Tortilla chip memiliki proses pembuatan yang mirip seperti tortilla yang membedakan adalah proses sheeting pada adonan masa sehingga dihasilkan lembaran-lembaran tipis yang dipotong berbentuk segitiga. Lembaran-lembaran tipis berbentuk segitiga ini kemudian dipanggang dengan suhu 350-480 0C selama 35-50 detik kemudian dilanjutkan pada proses penggorengan dalam minyak bersuhu 180-200 0C selama 50-80 detik. Tahap selanjutnya adalah pemberian garam, bumbu, ataupun seasoning sesuai selera. Proses lengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini :
Gambar 2. Proses produksi Tortilla Chips skala industri
7
Gambar 2. Proses produksi Tortilla Chips skala industry (sambungan)
8
D. PERUBAHAN FISIKOKIMIA YANG TERJADI PADA PRODUKSI TORTILLA CHIPS Proses pengolahan tortilla chip mulai dari biji jagung menjadi produk akhir melewati beberapa tahapan seperti pemasakan, perendaman, pencucian, penghalusan,
pembentukan
masa,
pemanggangan,
dan
diakhiri
dengan
penggorengan. Tahapan produksi tentu akan mengubah fisikokimia dari produk yang dihasilkan. Perubahan fisikokimia selama proses produksi tortilla chip akan dibahas lebih lanjut mekanisme serta akibat yang ditimbulkan. Proses pertama pengolahan tortilla chip adalah proses pemasakan, perendaman, dan pencucian. Pada proses pemasakan, biji jagung dimasak bersamaan dengan air dan larutan alkali (kalsium dioksida). Penggunaan larutan alkali bertujuan memudahkan pelepasan perikarp pada biji jagung. Mekanisme pelepasan perikarp ini disebabkan kalsium dioksida menghasilkan suasana alkali yang nantinya akan mendegradasi dinding sel dan bagian tengah lamella yang akan mempermudah pelepasan perikarp. Proses ini lebih dikenal sebagai proses nixtamalisasi yang menjadi kunci dalam pembuatan tortilla chip. Proses nixtamalisasi ini juga dapat menghambat pembengkakan dan hidrasi dari granula pati pada jagung. Proses perendaman biasa akan membuat granula pati menyerap air dan membengkak namun dengan proses nixtamalisasi jika dilihat dengan SEM maka terlihat granula pati dilepaskan dari sel namun tetap dalam bentuk aslinya dalam sel endosperm. Selain itu ketika perikarp terlepas maka akan dihasilkan gum yang berfungsi sebagai “lem” yang akan melekatkan adonan lanjutan yang disebut masa. Tahap pemasakan akan menyebabkan kadar air biji jagung akan meningkat dari 10-12% menjadi 48-50%. Penyerapan air terbesar terjadi pada 15 menit awal pemasakan. Penggunaan kalium dioksida juga meningkatkan penyerapan air 1520% jika dibandingkan dengan pemasakan dengan air saja. Pemasakan dengan alkali juga menyebabkan terlepasnya niasin yang terikat sehingga jumlah niasin dalam produk akhir akan meningkat walaupun akhirnya jumlahnya akan menurun pada proses pencucian dan penggorengan. Proses perendaman juga menyebabkan
9
distribusi air pada biji jagung menjadi lebih merata sehingga biji jagung menjadi lebih lunak. Selain itu juga terdapat perubahan pada kandungan zat gizinya yang dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 2. Komposisi dari produk yang diolah secara alkali (McDonough, Cassandra M. 2001) Bentuk produk
Kadar air (%)
Kadar protein (%)
Total Pati (%)
Ekstrak eter
Biji 12.6 10.2 74.3 4.8 jagung mentah 49.7 10.6 78.8 4.3 Nixtamal Adonan 52.5 9.7 75.7 4.8 Masa Tortilla 1.7 7.6 67.1 24.2 chip Ket : Nilai ekstrak eter menggambarkan kadar lemak
Kadar abu (%)
Serat pangan (%)
Serat kasar (%)
1.3
13.3
1.6
1.5
11.8
0.8
1.8
-
-
2.3
11.5
0.9
Proses penghalusan bertujuan untuk mengecilkan ukuran dari biji jagung, proses ini dibantu dengan air menggunakan batu gerinda atau alat penggilingan yang terbuat dari stainless steel. Biji jagung akan mengalami gaya mekanik cutting dan shearing yang dihasilkan oleh batu gerinda. Air ditambahkan pada proses ini bertujuan untuk mengurangi panas yang dihasilkan proses penggilingan dan meningkatkan kadar air dari masa sehingga diperoleh tekstur optimum untuk pembentukan lembaran-lembaran tipis. Komponen granula pati dan protein akan sedikit mengalami hidrasi akibat penambahan air ini selain itu panas yang dihasilkan akibat friksi batu gerinda akan menambah gelatinisasi pada pati. Adonan masa yang dihasilkan terdiri dari beberapa fraksi kasar (perikarp, germ, bagian luar endosperm), bagian berukuran sedang dari bagian endosperm, dan bagian halus termasuk granula pati bebas. Penggilingan jagung yang belum matang tanpa ditambahkan larutan alkali atau dengan waktu pemasakan/perendaman yang sebentar akan menghasilkan tekstur yang kurang
10
baik untuk pembentukan lembaran-lembaran. Masa sendiri mengandung 52-54% kadar air, 12-25% endosperm kecil dan bagian germ, 19-31 garanula pati bebas dan bagian dinding sel serta 3-4% padatan terdispersi dan lemak bebas. Masa memiliki gaya kohesif disebabkan campuran seperti lem dari padatan terdispersi (sekitar 3-4%) yang terdiri dari pati tergelatinisasi, protein terhidrasi, lemak, dan ion. Penambahan air juga membantu distribusi, kelarutan, serta adhesi dari garnula pati, protein, dinding sel, dan lemak satu dengan yang lainnya. Gaya kohesif ini disebabkan oleh amilosa dan amilopektin yang keluar granula pati tergelatinisasi akibat gaya fisik yang dialami selama proses penggilingan. Proses
selanjutnya
adalah
proses
pemanggangan,
sebelumnya
lembaran tipis tortilla dibentuk menjadi segitiga-segitiga kecil, suhu yang digunakan biasanya lebih dari 240 C. Fungsi dari pemanggangan adalah pemberian panas pada kedua sisi tortilla sehingga pati akan tergelatinisasi lebih lanjut. Ketersediaan kadar air yang terbatas pada bagian luar menyebabkan proses gelatinisasi pati tidak terjadi secara sempurna namun untuk bagian dalam karena memiliki kadar air yang cukup maka proses gelatinisasi berjalan lebih sempurna. Selama pemanggangan, air pada bagian dalam akan dikeluarkan dalam bentuk uap yang dialirkan melalui permukaan tortilla, hal ini menyebabkan pembentukan lubang-lubang kecil baik di dalam maupun di luar permukaan. Proses lanjutan dari pemanggangan yaitu penggorengan yang akan menyebabkan air dalam masa akan menguap dan digantikan oleh minyak. Ketika tortilla dimasukkan ke dalam minyak panas maka kadar air akan turun dari 34% hingga 10-11% setelah penggorengan selama 15 detik, di mana minyak akan kadar minyak akan meningkat dari 2% mencapai 21%. Jumlah kadar minyak akan meningkat secara bertahap hingga 23% setelah penggorengan selama satu menit. Hal ini berarti proses penyerapan minyak terjadi secara cepat pada awal penggorengan. Secara fisik tekstur dari tortilla menjadi lebih keras dan lebih seragam karena pati tergelatinisasi dan air yang menguap. Ketika tortilla digoreng terlalu lama maka lubang yang dihasilkan oleh air yang menguap menjadi lebih
11
besar sehingga minyak akan lebih mudah masuk dan menyebabkan produk menjadi jenuh oleh minyak setelah pendinginan.
E. SEASONING UNTUK PRODUK MAKANAN RINGAN Seasoning merupakan bahan campuran terdiri dari satu atau lebih rempah-rempah yang ditambahan ke dalam makanan selama pengolahan atau dalam persiapan, sebelum disajikan untuk memperbaiki flavor alami makanan sehingga lebih disukai konsumen (Farrell, 1990). Industri ini mulai berkembang pada awal abad 19, diawali oleh destilasi minyak esensial dan ekstraksi tumbuhtumbuhan sebagai bahan bakunya. Mulai abad 20, seiring berkembangnya riset kimia, industri ini pun melangkah ke tahap selanjutnya yaitu menghasilkan flavor atau seasoning sintetis yang memanfaatkan bahan kimia tertentu.(Wright, 2002). Sampai saat ini bisa disebut untuk menghasilkan suatu seasoning merupakan pekerjaan yang dianggap berseni karena bukan hanya menghasilkan seasoning yang memiliki rasa enak namun kita dituntut menghasilkan seasoning yang sesuai dengan jenis produk, kondisi produksi, dan yang terpenting sesuai dengan keinginan konsumen. Untuk produk makanan ringan sendiri disukai konsumen selain karena ringkas (dapat dimakan di mana saja dan kapan saja) juga karena rasanya. Sebagian besar produk makanan ringan memiliki rasa asin dan seasoning yang paling populer untuk produk makanan ringan adalah rasa keju, BBQ, Sour Cream and Onion, dan Ranch. Keempat jenis seasoning ini adalah basis utama dari semua rasa yang beredar di pasaran. Sebelum membicarakan proses pembuatan produk seasoning untuk makanan ringan akan lebih baik jika kita mengenal dahulu bahan-bahan utama yang digunakan. Menurut Lusas XXX, terdapat dua belas bahan utama untuk pembuatan seasoning makanan ringan, yaitu: 1. Garam Garam adalah komponen kunci pada seasoning makanan ringan. Tujuan utama penambahannya adalah meningkatkan flavor secara keseluruhan. Garam
12
yang biasa digunakan berbentuk bubuk dengan distribusi ukuran partikel minimal 96% lolos ayakan berukuran 80 mesh. Semakin besar ukuran partikel garam yang digunakan maka kelekatan seasoning yang dihasilkan akan semakin rendah atau akan menghasilkan distribusi bahan yang tidak merata. Persentase garam yang digunakan adalah 15-25% pada tiap formula jika dosis aplikasi seasoning pada produk sekitar 5-8%. 2. Bahan pengisi (Filler) Bahan pengisi digunakan untuk menyesuaikan rasa seasoning jika dirasa terlalu kuat atau penampakan dari seasoning tidak merata. Bahan pengisi yang digunakan adalah bahan yang memiliki nilai ekonomi rendah dan tidak memiliki rasa. Jenis bahan pengisi yang biasa digunakan adalah maltodekstrin, corn syrup solid, tepung terigu, tepung jagung, dan whey dengan dosis penggunaan antara 2040%. 3. Bubuk produk hewani Penggunaan bubuk produk hewani untuk membuat mouthfeel dan membantu mencampur rasa semua flavor yang digunakan pada seasoning. Komponen utama dari bubuk produk hewani adalah lemak. Selain rasa khas dari produk hewani juga diharapkan kandungan lemaknya, lemak yang diharapkan adalah lemak yang memiliki titik leleh di bawah suhu mulut. Diharapkan ketika dikonsumsi lemak tersebut akan meleleh, dan flavor yang lipofilik akan larut dalam lemak menghasilkan sensasi flavor yang bertahan lebih lama di dalam mulut. Penggunaan bubuk produk hewani pada dosis rendah akan membantu pelepasan flavor sedangkan pada dosis tinggi akan berkontribusi signifikan pada mouthfeel dan rasa seasoning. 4. Bubuk produk tumbuh-tumbuhan Beberapa jenis tumbuhan yang sering digunakan dalam bentuk bubuk adalah bawang putih, bawang bombay, dan cabai. Pembuatannya yaitu dengan mengeringkan ”slurry” dari tumbuhan kemudian dipanaskan serta divakum hingga kadar airnya kurang dari lima persen. Bawang putih atau bawang bombay bubuk digunakan hampir pada semua produk makanan ringan, hal ini memberikan
13
”kedalaman” pada bagian tengah profil seasoning. Akibatnya seasoning yang dihasilkan memiliki profil lebih kompleks dan lebih panjang rasanya. Penggunaannya pada formulasi seasoning pada dosis sekitar 1-10%, namun kelemahan bahan ini adalah tinggi akan cemaran mikroorganisme sehingga faktor ini harus diperhatikan. 5. Rempah-rempah Rempah-rempah adalah bahan utama yang digunakan sejak zaman dahulu untuk pembuatan seasoning produk makanan ringan, seperti lada hitam, bubuk cabai, tepung mustard, oregano, basil, dan kunyit. Beberapa rempah-rempah perlu dihaluskan menjadi tepung seperti bubuk bawang putih, namun adapula yang digunakan keseluruhan sehingga tidak hanya mempengaruhi rasa namun penampakannya pula. Seperti halnya bawang putih, rempah-rempah juga memberikan ”kedalaman” pada profil seasoning dan flavornya akan dilepaskan perlahan-lahan selama dikonsumsi dan bertahan lebih lama. Selain dalam bentuk bubuk, rempah-rempah juga dapat diekstrak sehingga menghasilkan minyak essensial atau oleoresin, biasanya diproses dengan spray dry yang akan menghasilkan komponen flavor yang dapat terlepas lebih cepat ketika dikonsumsi. Dosis umum penggunaan rempah-rempah sekitar 0.25-2% dalam pembuatan seasoning. Untuk produk rempah-rempah berbentuk bubuk memiliki kandungan mikroorganisme yang cukup tinggi namun bisa digantikan dalam bentuk minyak essensial atau oleoresin yang memiliki resiko mikroorganisme lebih kecil karena telah melewati proses ekstraksi. 6. Flavor campuran Dalam sepuluh tahun terakhir, flavor campuran mulai menggantikan peran utama dari rempah-rempah dalam pembuatan seasoning. Hal ini disebabkan rempah-rempah tidak stabil dalam penyimpanan dan konsumen menginginkan flavor yang lebih kuat. Flavor campuran ini diproduksi menggunakan metode spray drying atau enkapsulasi dan digunakan dengan dosis sekitar 0.1 - 5%. Pemilihan flavor campuran merupakan tahap penting dalam pembuatan seasoning sehingga diperlukan screening awal sebelum penggunaannya dalam seasoning.
14
7. Peningkat rasa (Flavor enhancer) Peningkat rasa juga merupakan komponen penting selain garam dalam pembuatan makanan ringan. Komponen yang sering digunakan sebagai peningkat rasa adalah monosodium glutamat, autolyzed yeast, disodium inosinate, disodium guanylate dan hydrolyzed vegetable protein. Peningkat rasa umumnya memiliki nukleotida 3’ dan nukleotida 5’ dalam jumlah tinggi yang diketahui meningkat rasa gurih dalam seasoning. Tanpa komponen peningkat rasa ini maka seasoning yang dihasilkan akan memiliki rasa tawar atau datar. Dosis penggunaan untuk monosodium glutamate, autolyzed yeast extract, dan hydrolyzed vegetable protein sekitar 1-5%, serta disodium guanylate pada dosis 0.01%-0.05%. 8. Pemanis Pemanis ditambahkan untuk menyeimbangkan rasa dari seasoning yang dibuat. Beberapa pemanis yang sering dipakai yaitu sukrosa, gula merah, padatan madu terdehidrasi, molases hasil spray dry, dektrosa serta fruktosa. Pemanis sukrosa, gula merah,dan molases memiliki persepsi manis yang sama sedangkan madu dan sukrosa memiliki profil kemanisan yang sama. Untuk dextrosa jika digunakan memiliki efek sejuk pada mulut. Pemberian pemanis harus diperhatikan dengan hati-hati karena sifatnya higroskopis sehingga perlu dipikirkan apakah perlu ditambahkan anti kempal untuk menjaga sifat fisik seasoning. 9. Asam Asam sering digunakan jika akan dibuat seasoning dengan rasa asam atau buah-buahan. Beberapa jenis asam yang sering digunakan dalam pembuatan seasoning adalah asam sitrat, asam laktat, asam malat, dan asam asetat. 10. Pewarna Pewarna digunakan untuk memberikan warna seasoning sehingga mempengaruhi persepsi produk akhir. Pewarna yang digunakan biasanya pewarna buatan karena lebih stabil dan tidak reaktif dibandingkan pewarna alami. Pewarna sendiri dibedakan menjadi dua yaitu lake dan dye. Pewarna lake adalah pewarna
15
yang larut minyak sedangkan dye adalah pewarna yang larut air dan biasanya dalam bentuk bubuk. Penggunaan pewarna dye sangat bergantung pada kelembaban sehingga sangat mudah menempel pada baju atau tangan jika ada sedikit saja air dan hal ini bisa menyebabkan gangguan pada saat produksi bahkan pada produk akhir yang dikonsumsi konsumen sedangkan pewarna lake lebih disukai karena lebih stabil. Terdapat dua cara penambahan pewarna dalam pembuatan seasoning, yaitu: (a). langsung ditambahkan pada saat proses pencampuran bahanbahan seasoning dan (b) pembelian bahan yang telah dikeringkan dengan spray dryer, di mana warna sudah ditambahkan sebelum proses spray dry. Keuntungan dari penambahan secara langsung pada saat pencampuran adalah fleksibilitas dalam mencampur sehingga bisa langsung disesuaikan warnanya jika terjadi reformulasi. Sedangkan cara kedua memiliki keuntungan bahan memiliki warna yang seragam dan mempermudah dalam penanganan dan penimbangan. 11. Bahan penolong Bahan penolong adalah bahan yang digunakan untuk membantu dalam proses pencampuran dan biasanya ditambahkan ketika dilakukan proses pencampuran. Seperti penambahan silikon dioksida atau trikalsium fosfat pada saat pencampuran untuk mencegah penggumpalan pada produk seasoning sehingga mudah mengalir atau penambahan minyak goreng dalam proses pencampuran komponen seasoning yang larut minyak sehingga lebih mudah bergabung dan tercampur merata. 12. Antioksidan Penambahan langsung antioksidan dalam formulasi seasoning jarang digunakan karena tidak memiliki pengaruh langsung pada seasoning. Pengaruh dari antioksidan lebih pada melindungi bahan baku selama penyimpanan, dan dapat ditambahkan pada bahan-bahan yang larut minyak seperti oleoresin. Beberapa antiosidan yang sering digunakan adalah: Vitamin E, Alpha-tocopherols, ekstrak rosemary, butylated hydroxyanisole (BHA), dan butylated hydroxy toluene (BHT). Sekarang ini produsen seasoning sudah mulai meninggalkan penggunaan
16
bahan pengawet dan lebih memfokuskan penggunaan kemasan dengan barrier atau penggunaan gas karena bahan pengawet di mata konsumen memiliki persepsi yang kurang baik untuk kesehatan. Setelah mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat seasoning maka selanjutnya adalah tahap pembuatan seasoning. Ketika memulai pembuatan formulasi suatu seasoning kita harus memiliki kerangka berpikir seperti piramid, bertahap demi tahap dari bagian atas hingga ke bawah, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Bagian paling atas adalah penentuan karakteristik flavor dari seasoning yang akan diciptakan, pada tahap ini dilakukan konsep dari seasoning yang akan dibuat mulai penentuan mulai dari rasa serta penentuan produk aplikasi. Level selanjutnya adalah penentuan bahan-bahan material utama yang akan digunakan. Pada tahap ketiga adalah penentuan penambahan bahan-bahan untuk memperkaya rasa seperti garam, pemanis, peningkat rasa, dan asam. Bagian paling bawah dari pembuatan seasoning adalah adalah penentuan bahan pengisi, pewarna, dan bahan penolong untuk membantu proses pencampuran. Penentuan karakteristik flavor mulai dari rasa hingga jenis produk aplikasi Penentuan bahan-bahan material utama penyusun flavor Penentuan bahan-bahan untuk memperkaya rasa : garam, pemanis, asam, peningkat rasa Penentuan bahan pengisi, pewarna , dan bahan penolong untuk membantu proses blending
Gambar 3. Piramida pembuatan formulasi seasoning Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penentuan target dari flavor seasoning yang akan dikembangkan Dengan menjawab pertanyaan di bawah maka
17
dapat mengurangi waktu pengembangan produk karena akan lebih fokus pada rasa yang sudah diterima konsumen target, yaitu:
Siapakah target konsumen? Konsumen dinilai mulai dari jenis kelamin dan umur konsumen
Tipe flavor apa yang disukai konsumen target? Apakah yang mempunyai rasa yang kuat atau ringan?
Apakah yang perlu dilakukan agar membuat flavor yang dikembangkan menarik minat konsumen target? Apakah meniru rasa yang sudah ada atau mengkreasikan yang baru? Beberapa konsep dasar yang biasa digunakan untuk formulasi
seasoning adalah:
Dilakukan melalui proses trial dan error
Level penggunaan 6% bisa dijadikan dosis awal aplikasi
Penentuan jenis produk yang cocok untuk jenis flavor yang sedang dikembangkan
Harus memperhatikan biaya namun memberikan keleluasaan penggantian bahan lain jika terjadi formulasi ulang
Harus mempertimbangkan peraturan yang berlaku, mulai dari halal hingga batas aman penggunaan bahan–bahan yang digunakan
F. APLIKASI SEASONING Seasoning yang telah dihasilkan tentu harus diaplikasikan pada produk dengan karakteristik yang sesuai, tetapi hal lain yang harus diperhatikan adalah teknik aplikasi yang digunakan. Teknik aplikasi yang tepat diperlukan untuk menghasilkan produk makanan ringan yang memiliki penampakan seragam dan kelekatan seasoning yang baik. Secara umum seasoning dapat diaplikasikan dalam bentuk kering namun juga bisa diaplikasikan dengan bentuk slurry. Dalam bentuk kering, seasoning dapat ditaburkan sambil diaduk sampai merata sedangkan untuk slurry yaitu mencampurkan seasoning kering dengan carrier cairan. Carrier yang digunakan bisa berupa minyak atau air. Untuk 18
produk makanan ringan dengan rasa asin lebih sering digunakan carrier minyak sedangkan carrier air lebih banyak digunakan untuk produk makanan ringan dengan rasa manis. Teknik aplikasi seasoning sendiri dibagi menjadi tiga yaitu: 1. Seasoning satu tahap Teknik ini adalah teknik yang paling mudah dan paling sering digunakan. Biasanya seasoning yang digunakan adalah seasoning kering berbentuk bubuk. Teknik ini hanya bisa digunakan jika terdapat minyak yang cukup pada permukaan base produk yang akan berfungsi sebagai perekat seasoning. Awalnya seasoning akan ditaburkan oleh auger di dalam coating drum yang berputar. Coating drum yang digunakan biasanya terbuat dari stainless steel, selama berputar base akan terangkat dan jika sudah mencapai sudut 90-1200 maka produk akan turun kembali ke bagian bawah. Untuk mendapatkan dosis yang sesuai perlu dilakukan penentuan kecepatan auger menaburkan seasoning, kecepatan putaran coating drum, serta jumlah base yang masuk ke dalam coating drum. 2. Elektrostatik seasoning Teknik aplikasi jenis ini menggunakan prinsip elektrostatik dan pertama kali digunakan oleh industri cat. Untuk jenis flavor yang dapat diaplikasikan adalah yang berada dalam bentuk kering (bubuk) dan dilakukan sebanyak satu tahap dan beberapa ada yang menggunakan udara sebagai mediumnya. Pertama-tama coating drum dihubungkan dengan ground sehingga base produk yang bersentuhan dengan coating drum secara tidak langsung dihubungkan dengan ground. Seasoning dimasukkan ke dalam mixing area dengan bantuan udara, di mana pada area ini terdapat elektroda sehingga seasoning akan menerima gaya elektrostatik dan diteruskan ke coating drum. Karena ada perbuatan muatan elektrostatik maka seasoning akan menempel ke pada base. Karena menggunakan udara maka perlu diperhatikan ukuran partikel dari seasoning itu sendiri. Partikel dengan ukuran kecil akan mudah keluar dari coating drum karena dorongan udara yang dihembuskan.
19
3. Seasoning dua tahap Pada teknik aplikasi ini digunakan untuk produk yang tidak memiliki cairan yang cukup pada permukaan luarnya sehingga seasoning sulit menempel. Oleh karena itu perlu ditambahkan cairan sebagai perekat seasoning kering. Cairan yang dimaksud bisa berupa minyak, gum arab atau dekstrin yang dilarutkan dalam air. Penggunaan minyak selain berfungsi melekatkan juga bermanfaat menambah mouthfeel dari seasoning yang diaplikasikan. Pertama-tama cairan tersebut harus menyebar merata di permukaan base sehingga selain kelekatan akan meningkat juga penampakan produk akan seragam. Setelah itu kemudian seasoning kering baru diaplikasikan pada base produk.
20