II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Snack Makanan ringan merupakan bagian yang tidak dapat ditinggalkan dari
kehidupan sehari-hari, terutama pada kalangan anak-anak dan remaja. Harper (1981) menyatakan bahwa makanan ringan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Ketiga kelompok snack tersebut adalah: produk konvensional, produk ekstrusi, dan makanan yang masih membutuhkan pengolahan lanjut. Makanan ringan atau dikenal dengan sebutan snack food adalah makanan yang dikonsumsi selain atau di antara waktu makan utama dalam sehari. Oleh karena itu, makanan ini sering disebut snack yang dapat mengobati kelaparan dan memberikan suplai energi yang cukup untuk tubuh (Anonim 2009). Jenis makanan ini sering terdiri dari bahan-bahan tambahan pangan (BTP) seperti pemanis, dan pengawet, serta bahan tambahan lain seperti coklat, kacang dan pemberi rasa tertentu (Anonim 2009). Muchtadi et al. (1988) menyatakan bahwa snack merupakan makanan ringan yang dimakan di antara ketiga waktu makan utama dalam sehari. Makanan ringan beragam dari segi bentuk, cara pengolahannya dan penyajiannya. Jenis snack yang banyak beredar di Indonesia adalah biskuit, wafer coklat, coklat batang, dan fruit soy bar.
B.
Biskuit dan Wafer Biskuit merupakan makanan kering hasil pemanggangan yang dibuat dari
bahan dasar tepung terigu dan bahan lain membentuk formula adonan, sehingga menghasilkan produk dengan sifat dan struktur tertentu (Matz dan Matz 1978). Biskuit merupakan salah satu jenis makanan yang dibuat dari bahan dasar serealia (ditambahkan lemak dan gula) yang dioven sampai kadar air kurang dari 5 % (Sugiyono et. al. 2004). SNI 01-2973-1992 mendefinisikan biskuit sebagai sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak dan bahan
3
pengembang, dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diizinkan. Syarat mutu biskuit dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Syarat mutu biskuit (SNI 01-2973-1992) Komponen
Spesifikasi
Air
Maksimum 5%
Protein
Minimum 9%
Lemak
Minimum 9.5%
Karbohidrat
Minimum 70%
Abu Logam berbahaya Serat kasar Energi (kal/100g)
Maksimum 1.5% Negatif Maksimum 0.5% Minimum 400
Jenis tepung
Terigu
Bau dan rasa
Normal, tidak tengik
Warna
Normal
Sumber : BSN (1992) Biskuit keras adalah jenis biskuit manis yang terbuat dari adonan keras berbentuk pipih, jika dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat dan dapat berkadar lemak tinggi atau rendah. Wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair, mempunyai pori-pori kasar, relatif renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya membentuk rongga-rongga. Pembagian jenis-jenis biskuit didasarkan pada perbandingan air dan lemak, perbandingan antara jumlah lemak terhadap tepung, serta jumlah bagian gula terhadap tepung. Perbandingan antara air dan lemak digunakan untuk mengklasifikasikan jenis adonan. Perbandingan antara jumlah lemak dan gula terhadap bagian tepung digunakan untuk mengklasifikasikan produk akhir. Tabel 2 menunjukkan jenis-jenis adonan untuk memproduksi berbagai jenis biskuit.
4
Tabel 2. Pembagian jenis adonan biskuit (Manley 1983) Komponen utama
Jenis adonan
Kelompok biskuit
Komponen utama adalah air
Batter
Wafer, sponge drops
Short dough
Short sweet, cookies dan
Kandungan
lemak
lebih
banyak dari air Kandungan air lebih banyak
snaps Hard dough
Crackers dan semi sweet
dari lemak Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit crackers dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bahan-bahan yang berfungsi sebagai pengikat dan bahan pelembut tekstur. Bahan pengikat atau pembentuk adonan yang kompak adalah tepung, air dan garam, sedangkan bahan-bahan yang berfungsi sebagai pelembut tekstur adalah gula, mentega dan leavening agent (baking powder) sebagai bahan pengembang (Matz dan Matz 1978). Klasifikasi biskuit dengan deskripsinya disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Klasifikasi biskuit (Manley 1983) Jenis Biskuit
Deskripsi
Crackers
Kandungan gula sedikit, kandungan lemak bervariasi, tergantung tekstur yang diinginkan
Semi Sweet
Kandungan gula sedang, kandungan lemak rendah, tekstur keras dan manis
Short Sweet
Kandungan gula maupun lemak tinggi, jenis produknya cukup beragam
Cookies atau rich short sweet
Kandungan lemak maupun gula lebih tinggi dari short sweet
Snaps dan crunches
Kandungan gula sangat tinggi, tekstur sangat keras Kandungan gula dan lemak sangat rendah, untuk memberikan karakter ringan dan renyah
Wafer
5
C.
Coklat Batang (Chocolate Bar) Coklat batang merupakan produk confectionery yang memiliki komposisi
cocoa solid, cocoa butter, gula dan susu (Almond 2004). Berdasarkan komposisinya, coklat batang dibagi menjadi coklat hitam, coklat susu dan coklat putih. Beberapa coklat batang dijual dengan tujuan meningkatkan nutrisi karena tingginya kandungan protein dan vitamin yang terkandung di dalamnya. Efek psikologis yang terjadi saat menikmati coklat dikarenakan titik leleh lemak kokoa ini terletak sedikit di bawah suhu normal tubuh manusia (Almond 2004). Hal ini terlihat bila kita memakan sepotong coklat, lemak dari coklat tersebut akan lumer di dalam mulut. Coklat mengandung alkaloid-alkaloid seperti teobromin, fenetilamina dan anandamida, yang memiliki efek fisiologis untuk tubuh. Kandungan ini banyak dihubungkan dengan tingkat serotonin dalam otak (Broekel 1982). Menurut Minifie (1999), bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk membuat produk cokelat pada umumnya hampir sama dan perbedaan bahan yang digunakan tergantung dari jenis produknya. Bahan-bahan yang penting dalam pembuatan coklat yaitu cocoa powder, cocoa butter, gula halus, susu, lesitin, flavor, dan antioksidan. Bahan-bahan yang digunakan harus memenuhi syarat tertentu agar coklat yang dihasilkan juga baik mutunya. Tabel 4. Komposisi gizi coklat batang Komposisi Energi (kkal) Lemak (gram) Fruktosa (gram) Karbohidrat (gram) Protein (gram) Sumber: USDA (2010)
Jumlah per batang 363 17,5 15 69 14
Coklat batang memiliki energi yang tinggi. Selain itu, nilai lemak yang dikandung coklat batang juga cukup tinggi. Gula yang dikandung coklat batang juga cukup banyak yang tediri atas gula fruktosa (Tabel 4).
6
D.
Fruit Soy Bar Bars adalah produk pangan padat yang berbentuk batang dan merupakan
campuran dari berbagai bahan kering seperti sereal, kacang-kacangan, buahbuahan kering yang digabungkan menjadi satu dengan bantuan binder. Binder dalam bars dapat berupa sirup, nougat, caramel, coklat, dan lain-lain (Gillies 1974). Kedelai (Glycine max Merr.) termasuk dalam famili Leguminosa, sub famili Papillionaceae dan genus Glycine L. Kacang kedelai merupakan bahan pangan sumber protein nabati untuk manusia dan hewan di berbagai negara (Zarkadas, et. al. 1993). Bentuk, ukuran, warna biji, sifat fisik dan sifat kimia kacang kedelai bervariasi tergantung pada varietasnya. Bentuk biji pada umumnya bundar sampai lonjong agak memanjang dengan warna kuning, hijau, coklat, atau kehitaman (Liu 1997). Bagian utama dari kacang kedelai adalah keping biji (kotiledon) sebesar 90% dan kulit biji (hull) sebesar 8%. Sedangkan bagian minornya adalah hipokotil dan plemul sekitar 2%. Komposisi gizi umum biji kedelai terdiri dari protein, lemak, air, karbohidrat, vitamin, dan mineral seperti terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi gizi umum biji kedelai utuh Komponen Air Protein Karbohidrat Lemak Mineral Fosfatida Kalsium Fosfor Besi Kalium Asam nikotinat Thiamin Riboflavin Pyridoxin Asam pantotenat Biotin Vitamin E Vitamin K
Komposisi/100g 10 g 38 g 26 g 17 g 7g 2g 250 mg 700 mg 7 mg 1553 mg 2.1 mg 1000 µm 310 µm 1180 µm 2150 µm 80 µm 140 µm 100 µm
Sumber: Asiedu (1989) di dalam Arofah (2004)
7
Dilihat dari segi pangan dan gizi, kedelai merupakan sumber protein yang paling murah di dunia dengan kadar 30.53 sampai dengan 40.00% (Smith dan Circle 1978). Berdasarkan kelarutannya, protein leguminosa digolongkan ke dalam albumin yang larut dalam air dan globulin yang larut dalam larutan garam. Sebagian besar protein kedelai adalah globulin (Hariyadi 1997). Menurut Liu (1997), protein kedelai mengandung asam amino esensial yang lengkap dengan asam amino pembatas methionin. Asam amino tertinggi dimiliki oleh leusin, kemudian isoleusin, lisin, dan valin. Selain kadarnya yang tinggi protein kedelai adalah protein yang lengkap, kualitasnya hampir menyamai kualitas protein hewani. Nilai gizi protein kedelai dibatasi oleh faktor antitripsin serta kompaknya struktur kuarterner dan tersier protein kedelai. Selain mengandung protein, kacang kedelai mengandung lemak yang cukup tinggi. Kacang kedelai mengandung asam lemak tidak jenuh yang termasuk esensial, yaitu asam linoleat dan linolenat yang sangat diperlukan tubuh (Shurtleff dan Aoyagi 1979). Lemak kedelai mengandung 86% linoleat dan oleat, 10% palmitat, dan 2% masing-masing untuk stearat dan arachidat. Karbohidrat kedelai sebagian besar terdiri dari disakarida dan oligosakarida, yaitu 2.5-8.2% sukrosa, 0.1-0.9% rafinosa, dan 1.4-4.1% stakiosa (Silvia 2002). Kedelai juga mengandung senyawa-senyawa isoflavon. Menurut Wang dan Murphy (1994), kedelai mengandung senyawa isoflavon dalam empat bentuk yaitu (1) bentuk aglikon: daidzein, genistein, dan glisitein, (2) bentuk glikosida: daidzin, genistin, glisitin, (3) bentuk asetilglikosida: 6-0-asetildaidzin, 6-0asetilgenistin,
6-0-asetilglisitin,
dan
(4)
bentuk
malonilglikosida:
6-0-
malonildaidzin, 6-0-malonilgenistin, dan 6-0-malonilglisitin. Kedelai diketahui mengandung senyawa-senyawa isofavon yang mempunyai sifat antikanker, antifungal, dan antioksidan. Menurut Coward et.al. (1993), isoflavon yang dominan pada kedelai terdapat dalam bentuk glikosida yaitu daidzin, genistin, dan glisitin. Citarasa langu (beany atau painty off flavor) merupakan hambatan utama dalam usaha memproduksi makanan asal kedelai. Bau langu disebabkan oleh enzim lipoksigenase yang dapat mengkatalisis reaksi oksidasi asam lemak tidak jenuh sehingga menghasilkan senyawa volatil (Hariyadi 1997).
8
E.
Indeks Glikemik
1.
Pengertian dan Konsep Indeks Glikemik Indeks glikemik merupakan respon kadar gula darah setelah makan
(postpropandial) (Jenkins 2007; Jenkins et. al. 1982). Skala indeks glikemik (IG) dikembangkan untuk membantu mengatur kadar glukosa penderita diabetes (Jenkins et. al. 2002). IG merupakan respon glikemik ketika memakan sejumlah karbohidrat dalam pangan dan dengan demikian merupakan indikator tidak langsung dari respon insulin tubuh (Buyken et. al. 2006). Berdasarkan penggunaan glukosa sebagai pembanding (IG = 100), pangan dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu pangan IG rendah dengan rentang nilai IG ≤55, pangan IG sedang dengan rentang nilai IG 56-69, dan pangan IG tinggi dengan rentang nilai IG ≥70 (Brand-Miller dan Foster-Powell 1999). Menurut Rimbawan dan Siagian (2004) karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaaan memiliki IG tinggi, sebaliknya pangan IG rendah karbohidratnya akan dipecah dengan lambat sehingga melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat. Pangan yang memiliki IG rendah, karbohidratnya akan dipecah dan diabsorpsi dengan lambat, sehingga menghasilkan peningkatan glukosa darah dan insulin secara lambat dan bertahap. Pangan yang memiliki IG rendah dihubungkan dengan penurunan kejadian penyakit diabetes melitus (Brand-Miller 2007; BrandMiller et. al. 2003; Jenkins 2007; Roberts 2000; Wolever dan Mehling 2002). FAO/WHO (1998) merekomendasikan peningkatan asupan pangan yang memiliki IG rendah terutama bagi penderita diabetes dan orang yang tidak toleran terhadap glukosa. Berdasarkan laporan WHO (FAO/WHO 2003), hubungan diet pangan yang memiliki IG rendah dalam mencegah obesitas dan diabetes sangatlah mungkin. Studi klinis banyak membuktikan hubungan positif antara asupan pangan yang memiliki IG rendah dengan resistensi insulin dan prevalensi sindrom metabolit (Brand-Miller 2007; Jenkins 2007; Mckeown et al. 2004). Konsep IG berkaitan erat dengan kadar gula darah. Gula darah adalah glukosa yang terdapat dalam plasma darah dan sel darah merah. Glukosa yang terdapat dalam darah berasal dari dua sumber utama, yaitu: (a) eksogen (dari luar tubuh) berupa pati, glikogen, dekstrin atau oligosakarida yang dikonsumsi, dan (b)
9
endogen (dari dalam tubuh) berupa glikogen, asam laktat, asam lemak, gliserol, dan asam amino (Sardesai 2003). Kadar ini biasanya meningkat setelah makan, kemudian menurun secara perlahan mencapai kadar pada waktu puasa yang biasanya ditandai dengan munculnya rasa lapar. Indeks glikemik pangan yang tinggi juga berkaitan dengan peningkatan kebutuhan insulin (Willet et. al. 2002). Pankreas memproduksi hormon insulin dan glukagon untuk menjaga kadar glukosa darah tetap dalam keadaan normal (Gambar 1). Keadaan hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi) terjadi bila kadar glukosa darah melebihi 160 mg / 100 ml darah, sedangkan hipoglikemia (kadar glukosa darah rendah) terjadi bila kadar glukosa darah lebih rendah dari 60 mg / 100 ml darah. Hormon yang diproduksi oleh pankreas untuk menurunkan kadar glukosa darah adalah hormon insulin. Hormon insulin akan diproduksi sebanding dengan jumlah glukosa yang terkandung dalam darah. Hormon insulin dihasilkan di kelenjar langerhans pada pankreas. Hormon insulin bertugas untuk meningkatkan laju transpor glukosa ke dalam sel dan laju pengubahan glukosa menjadi glikogen (Wardlaw 1999). Insulin berperan sebagai regulator yang akan menjaga keseimbangan kadar glukosa darah tubuh. Kadar glukosa darah normal menurut Sardesai (2003) berkisar antara 55-140 mg/dl. Kadar glukosa darah minimum sebesar 40-60 mg/dl diperlukan untuk menyediakan energi bagi susunan saraf pusat, yang memerlukan glukosa sebagai sumber energi utama. Otot dan jaringan adiposa juga menggunakan glukosa sebagai sumber energi utama. Hormon yang berperan dalam meningkatkan kadar glukosa darah tubuh adalah hormon adrenalin dan glukagon. Kedua hormon ini dihasilkan di kelenjar adrenal (Wardlaw 1999).
10
Gambar 1. Peran hormon insulin dan glukagon dalam menjaga kadar gula darah tetap dalam keadaan normal (Anonim 2007) Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kenaikan glukosa darah setelah makan. Daya cerna pati, interaksi antara pati dan protein, jumlah dan jenis lemak, gula, dan serat, kehadiran komponen lain terutama yang mengikat pati, dan bentuk dari makanan tersebut, adalah beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kenaikan gula darah (El 1999). Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), faktor lain yang mempengaruhi IG adalah proses pengolahan, kadar amilosa dan amilopektin, kadar gula dan daya osmotik pangan, kadar serat pangan, kadar lemak dan protein pangan, serta kadar antigizi pangan. Sifat fisik yang berubah akibat pengolahan pangan dan mempengaruhi nilai IG antara lain ukuran partikel dan tingkat gelatinisasi pati. Semakin kecil ukuran butiran pati, maka akan semakin mudah terdegradasi oleh enzim pencernaan, akibatnya nilai IG menjadi tinggi. Semakin tinggi tingkat gelatinisasi, maka akan mempercepat laju pencernaan, akibatnya nilai IG menjadi tinggi. Granula yang mengembang dan molekul pati bebas akan sangat mudah dicerna karena enzim pencerna pati di dalam usus halus mendapatkan permukaan yang lebih luas untuk kontak dengan enzim.
11
Pati merupakan suatu bentuk homopolimer dengan ikatan α glikosidik. Pati terdiri dari dua polimer yang berbeda, yaitu senyawa yang lurus (amilosa) dan senyawa bercabang (amilopektin) (Muchtadi et. al. 2006). Pati dan glikogen dihidrolisis sempurna oleh aktivitas enzim yang terdapat dalam saluran pencernaan, menjadi unit pembangunnya D-glukosa bebas. Amilosa merupakan polimer gula sederhana yang tidak bercabang, dan sulit tergelatinisasi. Struktur yang lurus ini membuat amilosa solid dan sulit dicerna. Amilopektin merupakan polimer gula sederhana yang mempunyai cabang dan lebih terbuka dibandingkan dengan amilosa. Oleh karena itu, amilopektin akan lebih mudah untuk digelatinisasi dan dicerna. Semakin tinggi kadar amilopektin maka nilai indeks glikemik juga semakin tinggi. Serat pangan didefinisikan sebagai dinding sel tumbuhan yang tahan terhadap hidrolisis oleh enzim di dalam usus halus manusia, meliputi polisakarida bukan pati (non starch polysaccharide) dan lignin.
Definisi tersebut telah
mengalami beberapa kali perubahan karena tinjauan struktur kimia maupun efek fisiologis serat pangan. Definisi terbaru diberikan oleh The American Association of Cereal Chemistry (AACC) pada tahun 2001, yang menyatakan bahwa serat pangan adalah bagian tumbuhan yang dapat dimakan atau analog dengan karbohidrat yang tahan terhadap pencernaan dan absorpsi di dalam usus halus manusia dan mengalami fermentasi sebagian atau seluruhnya di dalam usus besar. Serat pangan meliputi polisakarida, karbohidrat analog, oligosakarida, lignin, dan bahan yang terkait dengan dinding sel tanaman (Marsono, 2002). Efek fisiologis serat, ada yang diperkirakan mempengaruhi pengaturan energi. Kandungan energi per unit bobot pangan adalah rendah. Oleh karena itu, penambahan serat pada diet efektif menurunkan kerapatan (densitas) energi, terutama serat larut karena serat tersebut mengikat air. Pangan berserat tinggi juga meningkatkan distensi (pelebaran) lambung yang berkaitan dengan peningkatan rasa kenyang. Serat terfermentasi juga mendorong produksi hormon usus, seperti glucagon-like peptide-l yang berkaitan dengan sinyal lapar. Jadi, beberapa serat terutama yang lebih larut (misalnya serat terfermentasi dari buah dan sayur) menurunkan penyerapan seluruh lemak dan protein. Dengan menurunnya laju
12
pencernaan dan penyerapan akibat konsumsi serat, maka juga akan menurunkan nilai IG dari pangan tersebut. Sukrosa merupakan disakarida yang dibentuk oleh satu molekul fruktosa dan satu molekul glukosa. Dalam pencernaan, disakarida diuraikan oleh enzimenzim yang terletak di bagaian luar lapisan sel-sel epitel yang membatasi usus halus. Sukrosa dihidrolisis menjadi D-glukosa dan D-fruktosa oleh enzim sukrase atau invertase. Fruktosa diserap dan diambil langsung ke hati. Di dalam hati, fruktosa diubah menjadi glukosa secara lambat, akibatnya glukosa dilepaskan ke darah dengan lambat pula. Hal ini mengakibatkan melambatnya kenaikan kadar gula dalam darah, sehingga menurunkan nilai IG. Selain itu, kehadiran gula dalam pangan juga dapat menghambat gelatinisasi pati, karena mengikat air. Semakin tinggi tingkat gelatinisasi, maka akan mempercepat laju pencernaan, akibatnya nilai IG menjadi tinggi. Pangan yang mengandung lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu, pangan berkadar lemak tinggi cenderung mempunyai IG lebih rendah dibandingkan dengan pangan sejenis berlemak rendah. Akan tetapi, kecenderungan ini tidak selalu sama karena pengolahan dan varietas juga berpengaruh terhadap IG pangan. Pangan berlemak tinggi, apapun jenis dan IG-nya rendah maupun tinggi, perlu dikonsumsi secara bijaksana. Konsumsi protein untuk kebanyakan orang berubah dengan kisaran sempit. Asupan lemak yang rendah akan digantikan oleh karbohidrat. Peningkatan laju penyerapan karbohidrat yang menyebabkan peningkatan IG setelah mengonsumsi pangan berkadar lemak rendah disebabkan karena tertundanya laju pengosongan lambung oleh lemak. Beberapa pangan juga mengandung zat yang menghambat pencernaan pati, misalnya pati dan tanin. Pencernaan pati yang terhambat akan menurunan nilai IG dari pangan tersebut.
13
2.
Beban Glikemik Konsep beban glikemik (BG) mengatasi kesukaran terhadap konsep IG.
Konsep BG tidak hanya melibatkan IG, akan tetapi juga menjaga jumlah makanan yang akan dikonsumsi. BG adalah hasil dari IG suatu makanan dengan ukuran yang tipikal (Salmeron et. al. 1997a; Salmeron et. al. 1997b). Kajian yang dilakukan Brand-Miller et al (2003) telah mengesahkan penggunaan BG dalam mengenal efek IG yang sebenarnya dalam suatu makanan. Konsep beban glikemik diperkenalkan dengan perhitungan yang sederhana, yaitu mengalikan nilai IG suatu makanan dengan jumlah karbohidrat per sajian, kemudian dibagi 100 (Leeds et al. 2003).
14