4
TINJAUAN PUSTAKA Newcastle disease Newcastle
disease
disebut
juga
penyakit
tetelo
atau
avian
pneumoencephalitis. Penyakit ini juga memiliki nama lokal, diantaranya konoku (Ghana bagian barat), twase obgo (Accra), nkoko yare (Volta), muzungo (Monzabi), mbendeni (Xistwa), dan ranikhet (Asia). Penyakit ini dapat menyerang semua jenis unggas, baik yang masih liar maupun yang sudah dibudidayakan (Fadillah dan Polana 2005). ND merupakan penyakit viral bersifat kompleks yang disebabkan oleh Avian paramyxovirus tipe-1 yang tergolong ke dalam genus Rubulavirus dan family paramyxovirus. Famili ini tergolong ke dalam virus RNA yang memiliki envelope serta memiliki sel target berupa sel epitel mukosa saluran pernapasan atau pencernaan. Secara umum, virus ini mempunyai ukuran besar, beramplop dan berbentuk pleomorfik dengan diameter 150-300nm seperti pada Gambar 1. Virion terdiri dari susunan nukleokapsid heliks yang berisi asam inti RNA rantai tunggal (ssRNA), dikelilingi membran tipis yang terdiri dari lipid bilayer, lapisan protein, dan glikoprotein
yang
berbentuk
paku
menonjol
pada
permukaan partikel
(Alexander 2003; Fenner dan Fransk 1995).
Gambar 1 Skematis virus ND. (FAO 2004)
5
Menurut Herenda dan Franco (1996) ND terbagi atas 5 fenotipe berdasarkan gejala klinisnya, yakni viscerotropic velogenic newcastle disease (VVND), neurotropic velogenic newcastle disease (NVND), mesogenic, lentogenic respiratory, dan asymptomatic enteric. Viscerotropic velogenic newcastle disease (VVND) merupakan bentuk akut yang menimbulkan mortalitas tinggi pada unggas semua umur. Tipe ini juga dikenal dengan bentuk doyle yaitu dicirikan dengan adanya lesio perdarahan pada saluran pencernaan. Gejala klinis yang muncul antara lain unggas terlihat lesu, pembengkakan di daerah sekitar mata, diare dengan feses berwarna hijau atau putih dapat bercampur dengan darah, tortikolis, tremor otot serta paralisis kaki dan sayap. Neurotropic velogenic newcastle disease (NVND) dikenal dengan bentuk beach menimbulkan gejala klinis pada saluran pernapasan dan saraf yang dapat menyebabkan mortalitas sampai 50% pada unggas dewasa dan sebesar 90% pada unggas muda. Gejala klinis yang sering timbul adalah sesak napas, ngorok, paralisis, dan tortikolis. Virus ND galur mesogenik hanya menyebabkan kematian pada unggas muda yang dikenal dengan bentuk beaudette. Tingkat virulensi bentuk ini kurang ganas dibandingkan bentuk beach. Virus ND galur lentogenik memiliki gejala klinis yang bersifat ringan, tidak menimbulkan kematian pada unggas dewasa dan biasanya banyak digunakan sebagai vaksin. Bentuk assymptomatic enteric merupakan bentuk yang tidak menunjukkan gejala klinis dan gambaran patologis, tetapi ditandai dengan infeksi usus oleh virus-virus galur lentogenik yang tidak menyebabkan penyakit (Alexander 2003). Masa inkubasi penyakit ini beragam antar 2 – 15 hari, tergantung dari jenis virus yang menginfeksi, umur dan status kekebalan unggas, infeksi dengan organisme lain, kondisi lingkungan, dan jalur penularan (Fadilah dan Polana 2004). Unggas yang terinfeksi mempunyai peranan penting dalam penyebaran penyakit dan sebagai sumber infeksi. Pada mulanya virus bereplikasi pada epitel mukosa dari saluran pernapasan bagian atas dan saluran pencernaan, segera setelah infeksi virus menyebar lewat aliran darah ke ginjal dan sumsum tulang yang menyebabkan viremia sekunder. Kesulitan bernapas dan sesak napas timbul akibat penyumbatan pada paru-paru dan kerusakan pada pusat pernapasan di otak. Perubahan pasca mati meliputi pendarahan pada laring, trakhea, esophagus dan di sepanjang usus (Fenner dan Fransk 1995).
6
Pada tahun 1926, Indonesia merupakan negara pertama terjangkit ND, tepatnya di pulau Jawa. Pada tahun yang sama dan ketika musim gugur virus ini menyebar ke Inggris, dan pertama kali dilakukan pengamatan lebih lanjut di Newcastle, sehingga penyakit ini disebut Newcastle Disease (Fenner dan Fransk 1995). Salah satu upaya untuk mencegah timbulnya penyakit ini disuatu kawasan peternakan unggas adalah dengan vaksinasi. Setiap peternakan mempunyai program vaksinasi yang berbeda antara satu peternakan dengan peternakan lainnya. Pencegahan penyakit ND hanya bisa dilakukan dengan cara memberikan vaksinasi. Vaksin ND dapat berasal dari virus tipe lentogenik, mesogenik, dan velogenik. Menurut Fadillah dan Polana (2004) biasanya vaksin ND dibuat dari virus jenis ringan (lentogenik) dan sedang (mesogenik). Tipe lentogenik merupakan strain virus ND yang tingkat virulensi dan mortalitasnya rendah yang terdiri dari strain B1 (hitcner), strain La Sota, dan strain F, starin Ulster 2C atau Queensland V4 (Allan et al. 1978; Fadillah dan Polana 2005; Jeon et al. 2008). Strain F memiliki sifat virulensi paling rendah daripada strain lentogenik lainnya dan paling efektif jika dilakukan secara individu. Aplikasi strain B1 biasanya dilakukan pada anak ayam yang baru berumur sehari atau Day Old Chick (DOC) melalui air minum atau disemprotkan. Strain La Sota merupakan salah satu strain yang paling sering digunakan sebagai vaksin (Allan et al. 1978). Aplikasinya dilakukan dengan cara disemprot (spray) dan bisa digunakan untuk vaksin pertama atau sebagai booster (Fadillah dan Polana 2004). Vaksin adalah bahan yang berasal dari mikroorganisme tertentu yang dapat merangsang kekebalan tubuh terhadap penyakit
yang disebabkan oleh
mikroorganisme tersebut. Bahan yang berisi organisme penyebab penyakit tersebut jika dimasukkan ke dalam tubuh hewan tidak menimbulkan bahaya penyakit tetapi masih dapat dikenali oleh sistem imun serta dapat merangsang pembentukan kekebalan terhadap agen penyakit tersebut dan tindakan ini dikenal dengan istilah vaksinasi (Kayne dan Jepson 2004). Saat ini telah dikenal beberapa jenis vaksin, seperti vaksin aktif (lived), inaktif (killed), subunit, dan vaksin DNA. Vaksin aktif merupakan vaksin yang berasal dari virus aktif yang virulen maupun avirulen yang berarti virus dalam vaksin tersebut dalam keadaan hidup tetapi telah dilemahkan. Vaksin inaktif berisi
7
antigen yang mati, biasanya dibuat dari virus virulen yang kemudian diinaktifkan secara fisik maupun dengan menggunakan bahan-bahan kimia, tanpa merusak imunogenitas virus tersebut (Kayne dan Jepson 2004). Untuk meningkatkan imunogenitas vaksin inaktif biasanya ditambahkan adjuvant. Adjuvant merupakan bahan yang dicampur dengan vaksin untuk meningkatkan respon imun, baik humoral ataupun seluler, sehingga dengan demikian diperlukan jumlah antigen yang lebih sedikit dan lebih rendah dosis yang diberikan (Fenner dan Fransk 1995). Pada umumnya, vaksin aktif lebih baik daripada vaksin inaktif, karena dapat memberikan respon kekebalan yang lebih kuat dan dapat merangsang produksi interferon (Tizard 2004). Vaksin subunit berasal dari virus yang telah mengalami pemisahan antara protein dan asam nukleatnya (epitop) menggunakan teknologi DNA rekombinan. Vaksin yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu kemurnian, keamanan, serta kemampuan untuk merangsang kekebalan terhadap penyakit pada hewan. Suatu vaksin dikatakan memenuhi ketiga persyaratan tersebut jika dua minggu setelah vaksinasi telah terbentuk antibodi dengan titer protektif. Proteksi vaksin dapat dilakukan dengan uji tantang menggunakan virus yang memiliki tingkat virulensi tinggi (Kayne dan Jepson 2004). Vaksin yang baik harus memberikan proteksi lebih dari 95% terhadap hewan coba atau tidak lebih dari 5% hewan yang terinfeksi atau sakit. Keberhasilan vaksinasi sangat dipengaruhi oleh status kesehatan unggas, keadaan nutrisi unggas, sanitasi lingkungan dan sistem perkandangan, serta program vaksinasi yang baik (Akoso 1998). Keuntungan pemberian vaksin adalah mencegah timbulnya gejala klinis dan kematian, mengurangi keluarnya virus dari tubuh unggas serta mengurangi populasi unggas yang rentan. Kelemahan vaksinasi adalah memerlukan waktu sebelum kekebalan protektif tercapai, flok yang divaksinasi tidak memperlihatkan gejala klinis sesudah terekspos, tetapi tetap dapat terinfeksi virus dan bertindak sebagai reservoir (Rahardjo 2004). Penyebaran penyakit ND di Indonesia pertama dilaporkan oleh Kreneveld di Jakarta (1926), sejak saat itu kejadian penyakit ND dilaporkan dimana-mana. Sampai sekarang belum satu daerah pun di Indonesia yang bebas dari penyakit ini (DEPTAN 1993).
8
Biosekuriti Biosekuriti adalah manajemen kesehatan lingkungan yang baik agar risiko munculnya penyakit tidak terjadi. Menurut Hutchinson (2008) definisi dari biosekuriti adalah serangkaian tahapan manajemen yang diambil untuk melindungi masuknya agen infeksius ke dalam suatu kelompok ternak hewan. Biosekuriti merupakan praktek manajemen dengan mengurangi potensi transmisi perkembangan organisme seperti virus dalam menyerang hewan ternak. Jeffrey (1997) mendefinisikan biosekuriti sebagai suatu rancangan untuk mencegah penyebaran penyakit. Penerapan biosekuriti sangat dibutuhkan dalam program keamanan pangan ditingkat peternakan untuk menjamin mutu dan kesehatan hewan, memenuhi keinginan konsumen dan memberikan keuntungan pada peternakan tersebut, serta menjamin hewan lebih sehat (Hutchinson 2008). Biosekuriti juga penting untuk mengendalikan dan mencegah berbagai penyakit unggas yang mematikan pada peternakan. Sumber penyakit pada peternakan adalah orang, pegawai, dokter hewan, supir, unggas yang baru masuk, peralatan yang tercemar atau yang masih mengandung agen penyakit, vektor seperti rodensia, burung liar, insekta, dan juga burung air (Carey et al. 2008). Secara garis besar biosekuriti terdapat tiga komponen utama, yaitu sanitasi, isolasi, dan pengendalian lalu lintas. Sanitasi meliputi pembersihan dan disinfeksi secara teratur terhadap bahan-bahan dan peralatan yang masuk ke dalam peternakan dan di dalam peternakan. Isolasi merupakan pengurungan atau pengandangan hewan dan juga pemisahan hewan sehat dengan yang sakit, dapat diartikan penyediaan tempat khusus hewan agar ada pemisah untuk pencegahan masuknya hewan lain masuk dalam lingkungan ternak. Sementara itu komponen utama terakhir mempunyai arti mengendalikan lalu lintas manusia, unggas, hewan lain, bahan, dan peralatan ke dan dari peternakan agar tidak terjadi kontaminan. Pengendalian ini dapat mencakup larangan masuk terhadap orang yang tidak berkepentingan ke dalam kandang, serta melakukan penyemprotan terhadap supir, penjual, atau petugas lainnya (Jeffrey 1997).
9
Biosekuriti pada peternakan unggas sektor IV Peternakan unggas sektor IV merupakan satu dari empat sektor peternakan unggas di Indonesia, sektor ini mempunyai sistem yang sangat terbuka dan tidak melaksanankan tindakan biosekuriti sehingga mudah terserang penyakit. Secara umum peternakan sektor IV tidak mengerti mengenai kesehatan hewan, hal ini dapat terlihat dari sistem peternakannya yang masih tradisional. Sebagai contoh unggas dibiarkan berkeliaran di kebun orang dengan pakan apa pun yang tersedia dan tanpa adanya usaha pencegahan penyakit. Kondisi ini menjadikan unggas berisiko tinggi dan rentan terhadap penyakit hewan menular. Berbagai jenis penyakit menular di unggas telah dilaporkan di Indonesia. Selain kesehatan hewan, hal lain yang terkait dengan kesehatan hewan dan juga tidak kalah penting adalah biosekuriti. Menurut Jeffrey (1997) biosekuriti yang dilakukan pada peternakan sektor IV terdiri atas tiga kelompok besar, yaitu isolasi, pengawasan lalu lintas ternak, dan sanitasi. Isolasi merupakan pengurungan atau pengandangan hewan dalam satu lingkungan terkendali atau dapat diartikan dengan penyediaan pagar pemisah, kandang, atau sangkar untuk menjaga hewan tidak lepas atau keluar, serta mencegah masuknya hewan lain ke dalam lingkungan tersebut. Tindakan isolasi meliputi: 1. Adanya pagar yang melindungi peternakan dari lingkungan luar. 2. Adanya jarak antara peternakan dengan rumah penduduk. 3. Adanya pemisah antara kandang unggas air dan kandang ayam, ternak ataupun hewan kesayangan lainnya. 4. Adanya konstruksi kandang yang baik dan kokoh untuk melindungi unggas air dari tikus, kecoa, burung liar ataupun hewan pengganggu lainnya. 5. Adanya rentang waktu (2-4 minggu) ketika akan menyatukan unggas air yang baru dengan unggas air yang lama. Pengendalian diterapkan terhadap lalu lintas dari dan ke peternakan, serta dalam peternakan itu sendiri. Pengendalian ini diterapkan pada manusia, unggas, hewan lain, bahan, dan peralatan ternak. Tindakan pengawasan lalu lintas meliputi: 1. Pengawasan terhadap pengunjung. 2. Peternak tidak meminjamkan peralatan kandang.
10
3. Peternak tidak meminjam peralatan kandang. 4. Peternak tidak membawa unggas miliknya ke kandang tetangga atau sebaliknya. 5. Isolasi terhadap unggas yang sakit. 6. Adanya tindakan desinfeksi terhadap pengunjung yang keluar masuk area peternakan. Sanitasi meliputi pembersihan dan disinfeksi, bahan-bahan, dan peralatan yang masuk ke dalam peternakan dan didalam peternakan. Beberapa tindakan dalam sanitasi meliputi: 1. Kebersihan tempat pakan. 2. Kebersihan tempat minum. 3. Kebersihan kandang. 4. Kebersihan peralatan kandang. 5. Kebersihan lingkungan kandang. 6. Kebersihan air minum (sumber air minum). 7. Kebersihan tempat penyimpanan pakan. 8. Adanya penguburan atau pembakaran unggas air yang mati. Peternakan sektor IV mengambil lokasi kandang sangat berdekatan dengan lingkungan masyarakat sehingga para peternak harus memahami pentingnya penerapan biosekuriti untuk menanggulangi penyebaran virus yang kemungkinan berasal dari hewan ternak. Pola biosekuriti yang dapat diterapkan di peternakan sektor IV diantaranya adalah menjaga kondisi ternak unggas agar selalu bersih, pemberian pakan ternak yang memadai serta vaksinasi yang teratur. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pemisahan unggas yang teridentifikasi sakit dengan unggas yang sehat dan pengawasan terhadap hewan ternak yang baru. Menurut Wolfgang (2008) isolasi terhadap unggas sakit akan menjaga agen penyakit tidak menular ke unggas yang rentan dan mendukung proses penyembuhan unggas sakit sekaligus meminimalkan dampak kerugian ekonomi. Keberhasilan dalam upaya memutus rantai penularan penyakit sangat mempengaruhi keberhasilan dalam pengendalian suatu penyakit (DEPTAN 2008). Memotong hewan ternak merupakan upaya yang dapat dilaksanakan untuk memutus rantai penyebaran suatu penyakit. Menurut Abubakar (2003) tindakan
11
memotong ternak dilakukan dengan memperhatikan prosedur pemotongan sebagai berikut: 1. Ayam yang akan disembelih dalam keadaan baik dan tidak dalam keadaan lelah. 2. Ayam yang akan disembelih terlebih dahulu telah diistirahatkan selama 12-24 jam. 3. Ayam disembelih pada leher dengan memotong arteri karotis dan vena jugularis agar darah keluar sempurna. 4. Pencabutan bulu dilakukan setelah ayam tersebut benar-benar mati. 5. Limbah sisa pemotongan (darah, bulu, kuku, dan kotoran) dibuang pada tempat yang aman dengan cara dikubur.
Faktor risiko yang terkait dengan kejadian penyakit Menurut DEPTAN (1993) peternakan unggas sektor IV mempunyai risiko terjangkit virus ND yang tinggi, faktor-faktor risiko tersebut adalah karakteristik peternak, sanitasi, isolasi, pengendalian lalu lintas ternak. Tim AI FKH IPB (2005) menyebutkan faktor pengendalian lalu lintas, sanitasi (kebersihan kandang, halaman kandang, tempat pakan dan minum) dan tindakan karantina dapat dianggap sebagai faktor risiko (penyebab)
yang cukup kuat terhadap
kemungkinan pemaparan virus. Menurut Siahaan (2007) peternakan yang tidak melakukan penanganan terhadap kotoran unggas berisiko 5.13 kali lebih besar terpapar virus daripada peternakan yang melakukan penanganan kotoran dengan baik (OR=5.13; SK=2.827-9.297), begitu juga dengan unggas yang diumbar berisiko 6.35 kali lebih terpapar virus daripada unggas yang tidak diumbar (OR=6.35; SK=1.34629.977). Masih menurut Siahaan (2007) peternakan yang dikelola tanpa melakukan penguburan/ pembakaran terhadap unggas mati memiliki risiko terpapar virus 15.63 kali lebih besar daripada peternakan yang melakukan penguburan/ pembakaran terhadap unggas mati. Kehadiran hewan lain terutama burung liar menyebabkan risiko pemaparan virus lebih besar daripada tidak ada hewan lain masuk kandang (OR=16.94; SK=2.128-134.764). Kandang yang tidak dibersihkan memberi peluang 12,44 kali lebih besar terpapar virus dibandingkan dengan kandang yang dibersihkan (OR=12.44; SK=3.257-47.548). Tempat pakan
12
yang kotor menyebabkan risiko terpapar virus 5 kali lbih besar daripada tempat pakan yang bersih (OR=5.00; SK=1.581-15.817). Tempat minum yang kotor menyebabkan risiko terpapar virus 4,85 kali lebih besar daripada tempat minum yang bersih (OR=4.85; SK=1.361-17.309).