TINJAUAN PUSTAKA Virus Influenza A Virus influenza merupakan virus RNA untai negatif dengan genom tersegmentasi berisi tujuh sampai delapan segmen gen yang termasuk kedalam famili Orthomyxoviridae. Berdasarkan perbedaan sifat antigenik protein matriks dan nukleoprotein, virus influenza dikelompokkan kedalam tiga tipe yaitu A, B, dan C yang masing-masing memiliki kecenderungan inang dan patogenisitas berbeda. Virus influenza A dan B memiliki struktur yang tidak dapat dibedakan dibawah mikroskop elektron (Bouvier dan Palese 2008) berbeda dengan virus influenza C. Virus influenza A dan B memiliki delapan segmen gen RNA untai tunggal, sedangkan virus influenza C memiliki tujuh segmen dan masing-masing menyandi setidaknya satu protein (Murphy et al. 1999).
Gambar 1. Diagram skematis struktur virus influenza A (Lee dan Saif 2009) Virus influenza A memiliki selubung yang berasal dari membran lipid sel inang. Kedelapan segmen gen menyandi setidaknya 11 open reading frame (ORF) (Bouvier dan Palese 2008). Permukaan virus diselubungi oleh penonjolan tiga protein: hemaglutinin (HA), neuraminidase (NA) dan matriks 2 (M2) (Gambar 1). Protein matriks 1 (M1) terdapat di bawah membran, berinteraksi dengan bagian sitoplasmik glikoprotein permukaan dan dengan kompleks ribonukleoprotein
5
(RNP) virus. Protein M1 juga berikatan dengan protein pengeluaran dari inti (nuclear export protein NEP) yang memperantarai pengeluaran M1-RNP melalui nukleoporin ke dalam sitoplasma (Bouvier dan Palese 2008). Protein M2 yang berukuran kecil merupakan ion channel transmembran dan hanya ditemukan pada virus influenza A. Protein M2 memiliki bagian luar yang berada di permukaan selubung virus bersama dengan HA dan NA. Protein M2 merupakan target obat anti influenza dari kelas amantadine yang memblokir aktivitas ion channel dan mencegah pelepasan selubung virus (Pinto et al. 1992; Wharton et al. 1994; Sheu et al. 2011). Selain itu, M2 merupakan protein permukaan sehingga dijadikan sebagai komponen vaksin (Slepushkin et al. 1995; Neirynck et al. 1999). Hemaglutinin merupakan protein membran integral tipe I terglikosilasi yang berfungsi sebagai protein pengikat reseptor dan protein fusi serta merupakan target utama netralisasi oleh antibodi inang (Cross et al. 2001; Hulse et al. 2004; Hoffmann et al. 2005; Gambaryan et al. 2006). Protein ini dapat mengenali asam sialat (N-acetyl neuraminic acid) yang terikat pada gula di ujung glikoprotein sel inang. Virus influenza A memiliki berbagai HA spesifik dengan isomerisasi ikatan glikosidik berbeda untuk disakarida yang terdiri atas sialic acid (SA) dan galaktosa atau N-asetilgalaktosamin (GalNAc). Reseptor HA pada unggas memiliki spesifisitas ikatan terhadap SA Į2,3 sel bersilia, sementara HA pada manusia memiliki spesifisitas ikatan yang lebih tinggi terhadap SA Į2,6 sel tidak bersilia (Matrosovich et al. 2004). Struktur kristal molekul HA berbentuk trimer dengan dua regio struktural berbeda yaitu bagian batang dan kepala (Wilson et al. 1981). Bagian kepala mengandung reseptor situs pengikatan SA yang dikelilingi oleh determinan antigenik variabel yang disebut A, B, C, dan D pada subtipe H3 (Shortridge et al. 1990) dan Sa, Sb, CA1, Ca2, dan Cb pada subtipe H1 (Palese dan Shaw 2007). Protein HA memiliki bentuk trimer yang masing-masing monomernya mengalami pembelahan proteolitik untuk menghasilkan rantai polipeptida HA1 dan HA2 dengan ikatan disulfida sebelum aktivasi. Polipeptida HA2 memperantarai fusi selubung virus dengan membran sel, sedangkan HA1 mengandung situs antigenik dan pengikatan reseptor (Steinhauer 1999). Pembelahan HA memerlukan protease serin eksogen (enzim yang menyerupai tripsin) yang mengenali motif Q/E-X-R lestari di situs pembelahan HA untuk
6
aktivasi (Chen et al. 1998). Pada manusia dan mamalia lain, enzim ini berupa triptase Clara yang diproduksi oleh sel epitel bronkiolus (Murakami et al. 2001). Aktivasi pembelahan HA dalam sel usus dan/atau pernafasan unggas kemungkinan juga memerlukan protease serupa. Situs pengenalan protease dapat berubah menjadi urutan menyerupai furin R-X-R/K-R pada subtipe H5 dan H7 bila mengalami mutasi insersional pada situs pembelahan HA. Perubahan situs pembelahan HA menjadi polibasa ini memperluas spesifisitas protease sehingga memungkinkan aktivasi pembelahan intraseluler dan replikasi virus secara sistemik pada unggas yang mengakibatkan influenza unggas sangat patogen (highly pathogenic avian influenza, HPAI) (Werner 2006). Akumulasi perubahan yang relatif kecil pada situs antigenik HA yang dikenali oleh antibodi disebut antigenic drift yang menghasilkan strain virus yang tidak lagi dapat dinetralisir oleh antibodi sehingga inang menjadi rentan terhadap infeksi kembali oleh strain yang mengalami drift. Neuraminidase (NA) merupakan tetramer berbentuk seperti jamur yang menancap pada selubung virus melalui domain transmembran (Colman et al. 1983; Varghese et al. 1983). Sebagai glikoprotein membran integral tipe II dengan aktivitas enzimatik sialidase (neuraminidase), NA diperlukan untuk pembelahan SA sel inang yang memungkinkan pelepasan virion baru dan melepaskan SA dari glikoprotein virus untuk mencegah agregasi partikel progeni virus (Palese et al. 1974). Hemaglutinin dan NA merupakan target antigenik utama respon imun humoral terhadap virus influenza A dengan NA menjadi target obat antivirus oseltamivir dan zanamivir (De Clercq 2006). Setiap segmen RNA virus influenza A diselubungi oleh nukleoprotein (NP). Pada virion, RNA virus melilit monomer NP dan membentuk RNP bersama-sama dengan tiga protein polimerase yaitu: polymerase acidic protein (PA), polymerase basic protein 1 (PB1) dan polymerase basic protein 2 (PB2) (Coloma et al. 2009). NP berperan terutama sebagai protein pengikat RNA untai tunggal dan berfungsi sebagai protein struktural pada RNP. Selain itu, NP berperan penting dalam transkripsi dan perpindahan RNP antara sitoplasma dan nukleus. Transkripsi RNA virus influenza A
dan replikasi terjadi di dalam inti inang karena virus ini
bergantung pada sistem pengolahan RNA sel inang (Palese dan Shaw 2007).
7
Sintesis RNA virus influenza A memerlukan polimerase yang terdiri atas tiga subunit PA, PB1, dan PB2. Kompleks heterotrimer polimerase terbentuk melalui interaksi PA dengan PB1 dan PB1 dengan PB2. Protein PA berperan penting dalam penempelan, katalisis, dan lokalisasi inti oleh polimerase (Guu et al. 2008). Protein PB1 berfungsi sebagai RNA polimerase sedangkan PB2 berperan dalam sintesis mRNA melalui pengikatan bagian kepala mRNA inang. Protein non struktural kecil lainnya yaitu PB1-F2 secara bervariasi disandi oleh gen PB1 melalui bingkai bacaan (reading frame) alternatif. Protein ini menjadikan membran dalam mitokondria sebagai target dan mungkin berperan dalam apoptosis selama infeksi virus influenza A selain memiliki aktivitas antagosnisme interferon (Dudek et al. 2011). Gen PB1 juga menyandi polipeptida ketiga yang diekspresikan melalui penggunaan kodon AUG diferensial yang disebut N40 (Wise et al. 2009). Protein non-struktural 1 (NS1) memiliki beberapa domain fungsional antara lain: domain N-terminal pengikat RNA (residu 1-73) yang pada in vitro mengikat beberapa spesies RNA dengan afinitas rendah dan memiliki sinyal lokalisasi inti (nuclear localization signal, NLS) (Hatada dan Fukuda 1992; Qian et al. 1995; Chien et al. 2004), dan domain C-terminal 'efektor' (residu 74-230) yang memperantarai interaksi dengan protein sel inang dan secara fungsional menstabilkan domain pengikat RNA (Wang et al. 2002). Keseluruhan NS1 merupakan homodimer dengan domain pengikat RNA dan domain efektor berkontribusi terhadap multimerisasi (Nemeroff et al. 1995). NS1 memiliki fungsi pleiotropik, antara lain pengikatan dsRNA, peningkatan translasi mRNA virus, penghambatan proses mRNA inang dan antagonisme interferon tipe I (Palese dan Shaw 2007). Protein NS2 (disebut juga protein ekspor inti, NEP) ditemukan dalam virion dan memfasilitasi pengeluaran kompleks RNP virus dari dalam inti (O'Neill et al. 1998). Berdasarkan karakterisasi antigen glikoprotein permukaan HA dan NA virus influenza A dikelompokkan kedalam 16 subtipe HA dan 9 NA (Fouchier et al. 2005). Secara teoritis kombinasi HA-NA dapat membentuk 144 subtipe, dan setidaknya 116 kombinasi subtipe ini telah diisolasi dari unggas (Krauss et al. 2007; Munster et al. 2007). Pedoman Organisasi Kesehatan Dunia untuk
8
nomenklatur virus influenza adalah sebagai berikut: pertama, tipe virus (A, B, atau C), kemudian inang (jika bukan manusia), tempat isolasi, nomor isolasi dan tahun isolasi (dipisahkan dengan garis miring). Untuk virus influenza A, subtipe HA (H1-H16) dan NA (N1-9) ditulis dalam tanda kurung. Sebagai contoh, strain yang termasuk dalam vaksin trivalen influenza manusia untuk musim 2010-2011 di Amerika Serikat adalah: A/California/7/2009 (H1N1), A/Perth/16/2009 (H3N2) dan B/Brisbane/60/2008. Virus influenza tipe B dan C menginfeksi dan hampir selalu diisolasi dari manusia meskipun virus influenza B pernah diisolasi dari anjing laut dan virus influenza C pernah diisolasi dari babi dan anjing (Wright et al. 2007). Sebaliknya, virus influenza A dapat menginfeksi berbagai hewan berdarah panas seperti unggas, babi, kuda dan manusia. Virus AI yang menjadi penyebab flu burung/AI termasuk kedalam virus influenza A dengan unggas air sebagai reservoir alami untuk semua subtipenya (Webster et al. 1992). Tiga sifat penting yang membuat virus influenza mudah beradaptasi, mampu menghindari respon kekebalan inang, dan mampu menginfeksi spesies inang baru (Webster et al. 1992; Bahl et al. 2009) yaitu: pertama, enzim polimerase yang mengkatalisis replikasi RNA dari cetakan RNA mudah melakukan kesalahan; kedua, kurangnya koreksi kesalahan selama replikasi; dan ketiga, struktur genom virus influenza memungkinkan untuk pertukaran segmen antar virus-virus yang menginfeksi sel di waktu bersamaan melalui proses yang disebut reassortment. Siklus replikasi virus Virus influenza mengenali SA (N-asetilneuraminik) pada permukaan sel inang. Monosakarida asam sembilan karbon yang dapat ditemukan pada ujung berbagai glikokonjugat ini terdapat di banyak tempat pada berbagai tipe sel dan spesies hewan. Karbon 2 SA dapat mengikat karbon 3 atau 6 galaktosa membentuk ikatan Į2,3 atau Į2,6. Perbedaan ikatan ini menghasilkan konfigurasi sterik yang unik pada SA. Bagian SA dapat dikenali oleh dan berikatan dengan HA pada permukaan virus influenza yang memiliki spesifisitas ikatan Į2,3 atau Į2,6. Pada sel epitel trakea manusia lebih dominan reseptor Į2,6 sedangkan reseptor Į2,3 lebih umum ditemukan pada epitel usus bebek. Reseptor Į2,3 SA
9
juga terdapat pada epitel saluran pernafasan manusia meskipun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan Į2,6 (Couceiro et al. 1993; Matrosovich et al. 2004) sehingga manusia dan primata lain juga dapat terinfeksi oleh VAI meskipun dengan efisiensi yang lebih rendah dibandingkan infeksi oleh strain manusia (Tian et al. 1985; Beare dan Webster 1991). Perbedaan ekspresi SA pada saluran pernafasan
mamalia
membantu
menjelaskan
infektivitas
rendah
tetapi
patogenisitas tinggi pada beberapa strain VAI. Pada manusia protein SA dengan ikatan Į2 ,3 dalam jumlah sedikit terdapat di saluran pernafasan bawah seperti bronkiolus dan alveoli. Akses partikel virus dari udara ke paru-paru tidak semudah virus mencapai saluran pernafasan bagian atas seperti nasofaring, sinus paranasal, trakea, dan bronkus, sehingga infeksi VAI relatif jarang terjadi pada manusia. Namun ketika strain VAI menginfeksi paru-paru manusia, pneumonia berat dan progresif dapat terjadi dengan angka kematian melebihi 60% (Gambotto et al. 2008).
Gambar 2. Endositosis virus influenza diadaptasi dari Lakadamyali et al. (2004) Setelah protein HA virus influenza (atau protein HEF virus influenza C) menempel pada SA, virus mengalami endositosis. Keasaman kompartemen endosomal sangat penting untuk pelepasan selubung virus influenza (Gambar 2). Rendahnya pH memicu perubahan konformasi HA, memaparkan peptida fusi yang menjadi mediator penggabungan selubung virus dengan membran endosomal sehingga membuka ruang untuk RNP virus terlepas ke sitoplasma sel
10
inang (Stegmann 2000; Sieczkarski dan Whittaker 2005). Ion hidrogen dari endosom dipompa ke dalam partikel virus melalui ion channel M2. Pengasaman internal virion influenza melalui channel M2 mengganggu interaksi proteinprotein internal sehingga RNP dapat dilepaskan keluar dari matriks virus ke dalam sitoplasma sel (Martin dan Helenius 1991). Setelah keluar dari virion, RNP masuk kedalam inti sel inang dengan memanfaatkan sinyal lokalisasi inti (NLS) oleh protein virus (NS1) yang memerintahkan protein sel untuk memasukkan RNP dan protein virus lainnya ke dalam inti sel inang (Cros dan Palese 2003). Inti merupakan tempat dimana semua sintesis RNA virus terjadi, tempat RNA poliadenilasi (mRNA) yang bertindak sebagai cetakan bagi sel inang untuk translasi, dan tempat segmen RNA virus yang membentuk genom progeni virus. Polimerase RNA yang merupakan komponen RNP juga masuk kedalam inti dan menggunakan RNA virus untai negatif sebagai cetakan untuk mensintesis dua RNA untai positif, yaitu cetakan mRNA untuk sintesis protein virus, dan RNA komplementer (cRNA) untuk membentuk lebih banyak RNA virus untai negatif penyusun genom (Bouvier dan Palese 2008). Berbeda dengan mRNA sel inang yang terpoliadenilasi oleh poli (A) polimerase spesifik, ujung penutup poli (A) mRNA virus influenza disandi dalam bentuk RNA virus untai negatif dengan lima sampai tujuh residu urasil yang ditranskripsikan oleh polimerase virus menjadi untai positif dengan adenosin membentuk ekor poli (A) (Robertson et al. 1981; Li dan Palese 1994). Pembentukan ujung penutup RNA messenger juga terjadi dengan cara unik yang sama, di mana protein PB1 dan PB2 "mencuri" primer berujung penutup 5' dari transkrip pre-mRNA inang untuk memulai sintesis mRNA virus, proses ini disebut "cap snatching" (Krug 1981). Setelah terpoliadenilasi dan ujungnya ditutup, mRNA asal virus dapat keluar dan diterjemahkan seperti mRNA inang. Pengeluaran segmen RNA virus dari inti diperantarai oleh protein M1 dan NEP/NS2 virus (Cros dan Palese 2003). Protein selubung HA, NA, dan M2 disintesis dari mRNA asal virus di ribosom yang terikat pada membran retikulum endoplasma kemudian masuk
11
kedalam aparatus Golgi untuk modifikasi pasca-translasi. Ketiga protein tersebut memiliki sinyal penyusun apikal yang kemudian mengarahkan mereka ke membran sel untuk perakitan virion. Meskipun relatif sedikit yang diketahui tentang translasi dan penyortiran protein yang bukan bagian dari selubung, M1 diperkirakan berperan dalam membawa kompleks RNP-NEP berkontak dengan protein selubung HA, NA, dan M2 untuk dikemas di membran sel inang (Palese dan Shaw 2007). Virus influenza tidak sepenuhnya menular kecuali virion yang lengkap berisi genom delapan segmen, atau tujuh segmen untuk virus influenza C. Sebelumnya pengemasan RNA virus dianggap sebagai sebuah proses yang sepenuhnya acak, di mana segmen RNA virus secara tidak beraturan dimasukkan ke dalam tunas partikel virus dan hanya yang memiliki genom lengkap yang dapat menular. Namun bukti baru menunjukkan bahwa pengemasan merupakan proses selektif di mana sinyal pengemasan pada semua segmen RNA virus memastikan bahwa genom lengkap dimasukkan ke dalam setiap partikel virus (Bancroft dan Parslow 2002; Fujii et al. 2003). Pertunasan (budding) virus influenza terjadi di membran sel yang dimulai dengan akumulasi protein matriks M1 di sisi sitoplasma dari lipid bilayer. Ketika budding selesai, tonjolan HA tetap menempelkan virion pada SA di permukaan sel hingga partikel virus secara aktif dilepaskan oleh aktivitas sialidase protein NA (Colman et al. 1983; Varghese et al. 1983). Antigenic drift Virus influenza A terus berevolusi dengan tingkat mutasi tinggi yang berkisar antara 1×10-3 sampai 8×10-3 substitusi/situs/tahun (Chen dan Holmes 2006). Mutasi selektif pada domain antigenik yang terjadi secara bertahap dalam satu strain dan menghindarkan virus dari sistem kekebalan disebut antigenic drift (Rambaut et al. 2008). Bagian HA1 dari gen HA mengalami evolusi dengan tingkat mutasi 5,7 substitusi nukleotida/tahun atau 5,7×10í3 substitusi/situs/tahun (Fitch et al. 1997). Dengan antibodi terhadap protein HA mencegah pengikatan reseptor, menetralisir, dan mencegah infeksi ulang oleh subtipe yang sama (Suarez dan Schultz-Cherry 2000) maka mutasi yang mengubah asam amino pada
12
glikoprotein permukaan seperti HA dapat menguntungkan virus karena memungkinkan virus menghindar dari sistem kekebalan. Proses replikasi virus sangat rawan mutasi karena enzim polimerase yang mengkatalisis replikasi RNA dari cetakan RNA mudah melakukan kesalahan disertai kurangnya koreksi kesalahan selama replikasi. Hal ini menjadi penyebab terjadinya antigenic drift. Antigenic drift merupakan salah satu strategi virus influenza untuk menghindar dari sistem kekebalan inang yang meningkat karena vaksinasi. Perubahan antigenik yang terjadi di daerah epitop merupakan hambatan untuk pengembangan vaksin karena vaksinasi yang efektif hanya dapat terjadi bila strain epidemik sesuai dengan strain vaksin (Stohr 2002). Gen HA sebagai target netralisasi antibodi menjadi contoh klasik protein antigen yang mengalami mutasi titik yang menumpuk pada epitop atau daerah yang dikenali antibodi (Webster et al. 1982; Wilson dan Cox 1990). Antigenic drift pada gen HA dapat dipercepat oleh vaksinasi (Lee et al. 2004) yang suboptimal karena tekanan oleh kekebalan hasil imunisasi terhadap virus yang sebelumnya bereplikasi dan beredar antar dan intra spesies (Abdelwhab dan Hafez 2011) memaksa virus untuk beradaptasi. Virus H5N1 dapat bermutasi secara intensif pada unggas yang divaksinasi sehingga berpotensi menimbulkan pandemi. Gen HA dari 4 strain H5N1 yang beredar di Mesir mengalami perubahan asam amino pada epitop HA sehingga berbeda dengan VAI H5N1 awal yang ditemukan sejak program vaksinasi dimulai pada tahun 2006 yang berdampak pada virulensi H5N1 pada mamalia (AbdelMoneim et al. 2011). Contoh lain virus influenza A yang mengalami antigenic drift adalah virus pandemi H1N1 2009 (pH1N1 2009) yang berasal dari babi. Residu 227 HA pada H1N1 babi yang berupa asam amino alanin mengalami perubahan menjadi asam glutamat sehingga mampu menular dan menimbulkan pandemi pada manusia (van Doremalen et al. 2011). Antigenic shift Genom virus influenza A terdiri dari 8 segmen RNA sehingga ko-infeksi satu sel inang dengan dua virus influenza A berbeda dapat menghasilkan progeni virus yang berisi segmen gen dari kedua virus. Proses penyusunan (reassortment) genetik ini disebut antigenic shift (Webster et al. 1977). Reassortment berperan
13
penting dalam evolusi virus influenza A (Holmes et al. 2005; Dugan et al. 2008) dan adaptasi inang (Garten et al. 2009, Scholtissek et al. 1978). Secara teori dapat terjadi 256 (28) kombinasi 8 segmen gen hasil reassortment antara dua virus dalam satu inang. Rekombinasi homolog jarang terjadi pada virus RNA negatif seperti virus influenza A (Boni et al. 2008) tetapi rekombinasi dengan pertukaran segmen gen diketahui berperan dalam perubahan virulensi dan adaptasi inang (Wright et al. 2007). Influenza A pada Unggas Liar Virus influenza A memiliki keragaman genetik dan antigenik yang tinggi dan tersebar pada berbagai spesies unggas liar di seluruh dunia. Penularan virus influenza A pada unggas air liar terjadi melalui rute fekal-oral dan menginfeksi sel-sel epitel saluran pencernaan dengan sedikit atau tanpa gejala penyakit. Virus bertahan melalui infeksi asimtomatik (low pathogenic, LPAI) pada unggas air dari ordo Anseriformes seperti itik dan angsa, ordo Charadriiformes seperti camar dan burung laut, serta ordo Passeriformes dan setidaknya 105 spesies unggas liar telah teridentifikasi membawa virus influenza A (Munster et al. 2007). Distribusi subtipe HA dan NA virus pada isolat unggas liar tidak merata. Sebagian besar subtipe HA dapat ditemukan pada Anseriformes sedangkan subtipe H13 dan H16 ditemukan pada Charadriiformes (Munster et al. 2007). Pola umum keragaman VAI pada unggas liar dapat dijelaskan dengan dua model evolusi yaitu spesiasi alopatrik (cekaman geografis)
dan simpatrik
(cekaman selektif) (Dugan et al. 2008). Analisis filogenetik menunjukkan bahwa semua subtipe HA VAI memiliki nenek moyang yang sama namun subtipe HA tidak berasal dari radiasi tunggal. Hal ini dapat dilihat dari tingginya keragaman genetik antar subtipe HA sedangkan dalam subtipe HA yang sama keragaman genetik cukup rendah. Pola ini juga terjadi pada evolusi kesembilan subtipe NA. Analisis menunjukkan keragaman yang mencerminkan bahwa nenek moyang bersama terdekat (the most recent common ancestors TMRCA) subtipe HA yang berbeda pernah ada dalam rentang waktu beberapa ratus tahun yang lalu (Chen dan Holmes 2010). Segmen gen NS VAI pada unggas memiliki perbedaan jelas antara alel A dan B yang menunjukkan bahwa kedua alel mengalami seleksi
14
keseimbangan (Dugan et al. 2008). Keragaman genetik yang lebih rendah dimiliki oleh lima segmen gen VAI lainnya (PB2, PB1, PA, NP dan M). Analisis filogenetik juga menunjukkan perbedaan urutan asam inti yang jelas antara VAI yang berasal dari unggas di belahan dunia timur dan barat, sesuai dengan evolusi cekaman alopatrik (Dugan et al. 2008; Munster dan Fouchier 2009). Banyaknya kombinasi HA-NA yang ditemukan pada unggas liar menunjukkan bahwa infeksi campuran dan reassortment VAI sering terjadi pada unggas liar (Wang et al. 2008) dan bahwa subtipe HA-NA memiliki kombinasi spesifik yang rendah. Keragaman genetik yang tinggi pada HA, NA dan NS bertolak belakang dengan 5 segmen gen penyandi protein internal yang memiliki stabilitas tinggi di tingkat asam amino. Hal ini menandakan bahwa kelima segmen gen tersebut telah melalui alur seleksi pemurnian. Kecocokan kelima gen tersebut untuk saling terkait dalam genom ditentukan oleh viabilitas fungsional, dengan sedikit cekaman selektif untuk mempertahankan mutasi yang menguntungkan. Urutan asam amino yang sangat stabil menunjukkan bahwa reassortment terjadi antara segmen-segmen yang secara fungsional setara. Dugan et al. berhipotesis bahwa VAI pada unggas liar berperan sebagai kolam (pool) besar yang berisi segmen-segmen gen yang memiliki kesetaraan fungsional sehingga dapat saling tukar membentuk konstelasi genom sementara tanpa ada cekaman selektif yang kuat agar tetap bertahan sebagai genom (Dugan et al. 2008). Virus influenza A pada unggas liar dapat berpindah ke inang yang baru seperti ayam, kuda, babi, bahkan manusia dan tetap stabil sehingga dapat menjadi virus menular di kelompok inang yang baru. Virus influenza A sering beradaptasi terhadap inang yang berasal dari spesies unggas domestik (Wright et al. 2007). Kemampuan virus untuk tetap stabil setelah berganti inang memerlukan akuisisi sejumlah mutasi, tergantung pada virus dan spesies inang yang memisahkan individu virus dari pool gen virus influenza A di unggas liar. Adaptasi terhadap inang baru ini dapat mengurangi kemampuan virus untuk kembali ke pool gen virus influenza A pada unggas liar (Swayne 2007) sehingga ia harus membangun konstelasi genom delapan segmen yang berbeda dari klonnya di unggas liar (Dugan et al. 2008; Taubenberger dan Morens 2009).
15
Influenza A pada Unggas Domestik Unggas domestik dari ordo Galliformes seperti kalkun, ayam, dan burung puyuh bukan merupakan reservoir virus influenza A unggas namun rentan terhadap infeksi oleh virus influenza A dari unggas liar yang telah beradaptasi. Virus influenza A yang telah beradaptasi pada Galliformes jarang kembali dan beredar di unggas liar (Swayne 2007) kecuali virus HPAI H5N1 Eurasia yang baru-baru ini diisolasi dari populasi unggas liar di Eropa dan Asia. Virus panzootik HPAI H5N1 galur Asia memiliki keunikan (Webster et al. 2007) yang dapat mengakibatkan kematian jutaan unggas di 64 negara di tiga benua. Adaptasi virus influenza A pada inang Galliformes secara molekuler belum sepenuhnya dapat dijelaskan namun diketahui melibatkan seleksi positif mutasi HA, NA (Perez et al. 2003; Campitelli et al. 2004), dan protein RNP (Wasilenko et al. 2008). Virus influenza A yang diisolasi dari unggas domestik umumnya mempertahankan spesifisitas pengikatan reseptor HA Į2,3-SA (Wright et al. 2007). Ciri lainnya yaitu penghapusan in-frame sekitar 20 asam amino di daerah batang NA yang mengurangi aktivitas enzimatik NA (Baigent dan McCauley 2001) sebagai kompensasi terhadap penurunan aktivitas pengikatan reseptor HA virus influenza A dari unggas liar yang beradaptasi untuk bereplikasi di saluran pernafasan unggas domestik (Matrosovich et al. 1999). Strain virus influenza A H5 atau H7 yang beradaptasi pada unggas domestik berkembang menjadi HPAI melalui akuisisi mutasi insersi yang mengakibatkan situs pembelahan asam amino polibasa pada HA (Wright et al. 2007). Ekologi Itik dan Perannya dalam Penyebaran Influenza A Itik adalah anggota subfamili Anatinae yang menaungi spesies unggas air Anseriformes. Subfamili ini tersebar di seluruh dunia dan menempati hampir semua habitat perairan. Ekologi unggas ini memungkinkan pemeliharaan dan penyebaran VAI. Replikasi VAI terjadi di saluran pernafasan (Webster et al. 1978) tetapi situs utama infeksi VAI pada itik adalah usus (Webster et al. 1978) meskipun virus influenza A isolat manusia dan HPAI H5N1 yang saat ini beredar lebih
16
sering menginfeksi saluran pernafasan bagian atas. Virus LPAI dalam populasi itik ditularkan melalui rute fekal-oral (Webster et al. 1992) yang dicirikan oleh tingginya jumlah usap kloaka positif dibandingkan trakea dan titer virus yang tinggi pada kotoran serta didukung oleh stabilitas virion dalam air meskipun penularan melalui aerosol tidak dapat diabaikan. Itik yang diinfeksi secara eksperimental mengeluarkan virion H4N7, H7N3, dan H11N9 dalam waktu lebih lama dan titer lebih tinggi melalui feses dibandingkan melalui trakea (Webster et al. 1978). Virus AI memasuki lingkungan ketika inang defekasi atau mengeluarkan leleran kemudian menginfeksi inang yang rentan melaui proses makan dan minum. Ketika segerombolan itik berenang di kolam kecil, diperkirakan sebanyak 1010 EID50/g/hari virion ditularkan ke lingkungan melalui kotoran masing-masing itik yang terinfeksi (Webster et al. 1978) dan VAI relatif stabil dalam air (Stallknecht et al. 1990; Webster et al. 1992). Keadaan ini menjelaskan mengapa prevalensi infeksi pada itik yang makan di permukaan lebih tinggi dibandingkan itik yang mencari makan di air yang lebih dalam (Olsen et al. 2006). Data surveilans menunjukkan bahwa penularan VAI dalam populasi itik terjadi sepanjang tahun. Prevalensi infeksi menunjukkan pola siklus tahunan pada populasi itik di Amerika Utara (Olsen et al. 2006) (Krauss et al. 2004) dan Eurasia (Munster et al. 2007) yang memuncak sebelum dan selama migrasi musim gugur sebagai akibat dari masuknya itik remaja yang secara imunologis naif kedalam populasi (Hinshaw et al. 1985; Webster et al. 1992; Olsen et al. 2006). Itik Pekin putih yang diinfeksi secara ekperimental mengeluarkan virus selama lebih dari tiga minggu setelah inokulasi (Kida et al. 1980). Itik yang terinfeksi mengeluarkan virus selama beberapa minggu pertama migrasi musim gugur, menebarkan virus di sepanjang koridor migrasi dengan morbiditas dan respon antibodi serum yang rendah (Kida et al. 1980). Meskipun demikian, prevalensi infeksi jauh lebih rendah di sepanjang rute migrasi dan di lokasi migrasi musim dingin dibandingkan di tempat itik istirahat dan mencari makan (Okazaki et al. 2000; Munster et al. 2007; Wallensten et al. 2007). Perbedaan ini mungkin mencerminkan perkembangan kekebalan terhadap subtipe virus yang
17
beredar dalam populasi itik atau penurunan transmisi karena penyebaran populasi (Hinshaw et al. 1985). Secara umum prevalensi infeksi di tempat migrasi musim dingin dan di tempat bersarang musim semi lebih tinggi pada populasi itik Eropa dibandingkan populasi itik Amerika Utara. Penjelasan yang paling mungkin untuk perbedaan ini adalah variasi acak, karena penelitian surveilans pada populasi itik di beberapa daerah di Amerika Utara dan Eropa sering memperoleh nilai prevalensi yang sedikit berbeda. Banyak faktor dapat mempengaruhi prevalensi termasuk ukuran populasi itik, lokasi pengambilan sampel, waktu pengambilan sampel, dan lainlain. Prevalensi infeksi paling rendah terjadi selama migrasi musim semi namun kembali meningkat setelah musim kawin ketika itik pindah ke tempat bersarang musim panas (Hinshaw et al. 1985; Krauss et al. 2004; Wallensten et al. 2007). Tidak jelas bagaimana populasi itik memperoleh virus AI selama musim semi setiap tahun. Ada dua kemungkinan bahwa itik mungkin membawa virus terus menerus selama migrasi yang ditunjukkan oleh prevalensi pada itik yang terus ada sepanjang tahun, meskipun daya tahan virus di habitat beku juga dapat berperan dalam kelangsungan hidup virus (Olsen et al. 2006) karena virion infektif mungkin dapat bertahan di dalam air beku melewati musin dingin di tempat itik berkembang biak dan menginfeksi saat itik tersebut kembali pada musim semi (Webster et al. 1978; Webster et al. 1992). Beberapa subtipe virus lebih sering ditemukan daripada yang lain (Krauss et al. 2004; Olsen et al. 2006). Tiga subtipe HA yaitu H3, H4, dan H6 paling sering ditemukan pada itik di Amerika Utara dan Eropa (Krauss et al. 2004; Munster et al. 2007) dengan kombinasi subtipe yang paling umum yaitu H4N6 dan H6N2 (Wallensten et al. 2007). Banyak penjelasan mengapa subtipe HA dan NA tertentu dan kombinasi keduanya sering atau jarang ditemukan pada unggas liar. Hipotesis umum adalah bahwa subtipe tertentu memiliki kecocokan tertinggi, dengan tingkat replikasi dan virulensi seimbang yang cukup untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan transmisi. Hal ini diyakini sangat dipengaruhi oleh keseimbangan fungsional antara afinitas ikatan HA dan aktivitas enzimatik NA
18
(Wagner et al. 2002). Meskipun gen H6 berasal dari Eurasia dan secara luas tersebar pada itik di Amerika Utara, analisis genom virus menunjukkan bahwa pertukaran gen antar benua antara Eurasia dan Amerika sangat terbatas (Krauss et al. 2007). Oleh karena itu kemunculan genotipe virus baru harus melalui mutasi dan reassortment genom-genom yang bersirkulasi dalam wilayah geografis tertentu. Kesempatan untuk mutasi dan reassortment ini terbuka lebar di daerah tempat itik istirahat dan mencari makan karena populasi itik dari berbagai tempat dan koridor migrasi berbeda datang dengan membawa kombinasi subtipe masingmasing (Wallensten et al. 2007). Koinfeksi itik dengan dua atau lebih subtipe virus sering terjadi (Sharp et al. 1997) sama seperti reassortment memunculkan virus yang sangat virulen pada unggas Galliformes namun memiliki patogenisitas rendah pada inang itik (Sturm-Ramirez et al. 2005). Peran itik dalam pemeliharaan dan penyebaran virus influenza, dan terutama dalam pemunculan genotipe baru tergantung pada perilaku migrasi. Itik yang bermigrasi setiap tahun cenderung menyebarkan virus influenza di sepanjang rute migrasi terutama pada populasi itik domestik dan peliharaan di berbagai lokasi persinggahan (Olsen et al. 2006; Wallensten et al. 2007). Selanjutnya itik domestik membawa virus berdekatan dengan spesies lain dan berperan dalam penyebaran LPAI dan HPAI pada unggas domestik dan unggas darat lainnya (Hulse-Post et al. 2005; Sturm-Ramirez et al. 2005; Gilbert et al. 2006). Bebek domestik dan itik angon telah dikaitkan dengan penyebaran virus HPAI H5N1 di Asia Tenggara (Gilbert et al. 2006). Itik sebagai salah satu unggas air domestik dianggap sebagai sumber penularan virus H5N1 pada wabah di Cina tahun 1999-2002 (Chen et al. 2004; Li et al. 2004) dan Hongkong tahun 2001 (Sturm-Ramirez et al. 2005). Penelitian seroprevalensi AI pada unggas air (itik, entog, dan angsa) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan seroprevalensi pada ayam kampung. Hal ini terlihat pada pemeriksaan serologis itik di daerah Jawa Barat (BALITVET 2006). Pemeriksaan serologis yang dilakukan oleh Balitvet pada bulan Oktober 2006 menunjukkan sejumlah unggas yang seropositif terhadap H5 VAI dengan prevalensi pada ayam 22,96% (n=591), itik 41,74% (n=43), entog 27,04% (n=43), dan angsa 75,0% (n=12). Hasil pemeriksaan serologis pada bulan November 2006 memperlihatkan prevalensi unggas
19
seropositif terhadap H5 VAI masing-masing pada ayam 33,37% (n=1.038), itik 43,44% (n=63), entog 28,21% (n=68), dan angsa 42,3% (n=11) (BALITVET 2006). Patobiologi Avian Influenza pada Itik Wabah AI pertama kali dilaporkan tahun 1878 terjadi pada ayam dan burung di Italia yang saat itu disebut penyakit Lombardia kemudian pada tahun 1901 Centanini dan Savonucci dapat mengidentifikasi organisme berukuran mikro yang menyebabkan wabah tersebut namun baru pada tahun 1955 Schafer dapat menunjukkan ciri-ciri organisme itu sebagai virus influenza A (Werner 2006). Virus influenza A biasanya tidak patogenik terhadap reservoir alaminya yaitu itik dan unggas air lain. Namun virus HPAI telah berevolusi dari yang tidak mengakibatkan atau sedikit menimbulkan gejala infeksi pada saluran pernafasan itik menjadi virus yang menyebabkan penyakit sistemik parah dan kematian (Pantin-Jackwood dan Swayne 2007). Wabah virus highly pathogenic avian influenza (HPAI) H5N1 pertama kali dilaporkan di Cina Selatan pada tahun 19961997, kemudian menyebar dan menyebabkan kematian unggas di Vietnam, Thailand, Indonesia dan Negara Asia Timur sejak awal tahun 2004 (Smith et al. 2006). Gejala HPAI H5N1 sebelum tahun 2002 tidak terlihat pada itik. Penelitian eksperimental yang dilakukan oleh (Perkins dan Swayne 2002) yang menginfeksikan A/chicken/HK/220/97 pada itik tidak menemukan gejala klinis. Sedangkan infeksi virus HPAI H5N1 pada itik menggunakan isolat yang diperoleh pada tahun 2002 sampai 2004 menimbulkan gejala klinis seperti penurunan berat, lesu, diare, mata berkabut, dan ataksia kemudian mati meskipun beberapa strain yang diisolasi selama tahun 2002-2004 juga menunjukkan gejala yang ringan atau tidak ada sama sekali (Gambar 3) (Sturm-Ramirez et al. 2004). Itik yang diinfeksi virus A/duck/Thailand/71.1/2004 menunjukkan gejala panas tinggi, kesulitan bernafas, depresi, diare, gejala syaraf (ataksia, konvulsi, dan inkoordinasi), dan konjungtivitis dengan mortalitas 20-100% (Songserm et al. 2006). Saat nekropsi ditemukan pendarahan titik dan terlokalisir pada kaki dan telapak, ascites, dan kebiruan pada kepala. Secara histologis perubahan yang
20
paling menonjol ditemukan pada paru-paru seperti pneumonia, edema, kongesti, dan peradangan perivaskuler (Songserm et al. 2006). Pada itik yang menunjukkan gejala syaraf ditemukan kumpulan sel radang di sekitar pembuluh darah dan peradangan neuroglia. Pada itik ras pedaging ditemukan degenerasi otot jantung dengan perubahan patologis lain yang dapat terlihat antara lain hepatitis, tubulonefritis, pengecilan kelenjar limfoid dan enteritis (Songserm et al. 2006).
Gambar 3. Grafik tingkat kelangsungan hidup itik yang diinfeksi berbagai isolat VAI H5N1 diadaptasi dari Sturm-Ramirez et al. (2005). Kelompok virus LPAI: A/Thai/1(Kan-1)/04 dan A/Ck/PP/BPPV3/04, HPAI: A/Dk/VN/40D/04, A/Ck/VN/48C/04, A/Dk/Thai/71.1/04, dan A/VN/1203/04. AI Patogenitas Rendah (low-pathogenic avian influenza, LPAI) Sasaran utama infeksi virus LPAI pada itik tidak hanya saluran pernafasan dan jaringan paru-paru. Itik yang diinokulasi intranasal dengan virus LPAI menunjukkan gejala paru-paru pneumonia ringan dan infiltrasi limfosit dan makrofag dalam waktu 2 hari. Pewarnaan imunohistokimia nukleoprotein menunjukkan perubahan pada sel epitel saluran pernafasan namun tidak ada replikasi virus pada jaringan paru-paru (Cooley et al. 1989). Virus LPAI dapat melewati saluran pencernaan atas itik dan bereplikasi dalam usus tanpa menyebabkan manifestasi klinis penyakit (Webster et al. 1978; Kida et al. 1980). Hasil penelitian yang menginokulasikan virus secara langsung pada tembolok dan kloaka (Webster et al. 1978) serta ditemukannya titer virus yang tinggi pada feses setelah inokulasi intravena (Kida et al. 1980) membuktikan bahwa usus
21
merupakan organ target virus LPAI pada itik sebagai tempat replikasi virus tanpa infeksi pada paru-paru. Lebih spesifik, replikasi virus LPAI diyakini terjadi di kriptus Lieberkühn usus besar (Kida et al. 1980). Keragaman jenis itik juga berperan penting dalam patogenisitas virus influenza. Embrio itik Mallard yang diinokulasi dengan virus LPAI memiliki tingkat kematian lebih rendah daripada embrio entog. Antigen virus dapat ditemukan di organ-organ internal seperti sinus hidung, faring, trakea, bronkus, paru-paru, dan kantung hawa embrio itik Mallard tetapi tidak ditemukan pada embrio entog. Alasan mortalitas dan replikasi virus pada itik Mallard ini tidak jelas tetapi mendukung bukti bahwa itik Mallard berperan sebagai reservoir utama virus LPAI di alam (Mutinelli et al. 2003). Pemahaman mengenai respon imun itik terhadap VAI masih terbatas meskipun beberapa penelitian mengenai respon antibodi serum itik yang terinfeksi secara alami maupun eksperimental telah dilakukan (Suarez dan Schultz-Cherry 2000). Itik Pekin putih yang diinokulasi virus LPAI H7N2 memberikan hasil titer antibodi HI yang sangat rendah tetapi virus tetap dikeluarkan hingga 7 hari pasca inokulasi. Inokulasi ulang setelah 46 hari dengan strain virus yang sama memberi respon antibodi yang lebih tinggi tetapi virus tidak ditemukan pada organ. Hasil ini disertai rendahnya respon imun sekunder setelah inokulasi menggunakan virus yang dilemahkan dalam formalin menunjukkan bahwa respon cepat imun pada itik yang diinfeksi ulang dapat membatasi infeksi influenza untuk rentang waktu tertentu (Kida et al. 1980). Infeksi yang pernah terjadi tidak dapat melindungi itik terhadap infeksi berikutnya oleh subtipe virus lain. Sebagai contoh, itik yang diinfeksi subtipe H4N6 terlindungi dari infeksi ulang dengan virus yang sama tetapi mengeluarkan virion selama 8 hari setelah ditantang dengan isolat H11N3 (Austin dan Hinshaw 1984). AI Patogenitas Tinggi (highly pathogenic avian influenza, HPAI) Beberapa penelitian eksperimental telah dilakukan untuk memahami patogenisitas virus HPAI H5N1 yang diisolasi sejak 2002 pada itik. Itik Pekin Cherry Valley yang diinokulasi strain HPAI H5N1 isolat daging itik 2003 dari stasiun inspeksi karantina Cina menunjukkan gejala neurologis seperti kebutaan
22
dan kepala gemetar meskipun tidak mati. Titer virus yang tinggi ditemukan pada organ pernafasan (paru-paru dan trakea), otak, hati, ginjal, dan usus besar disertai perubahan mikroskopik pada otak (ensefalitis), jantung (miokarditis dengan degenerasi dan nekrosis miosit), dan bursa (hiperplasia ringan pada folikel limfoid) (Kishida et al. 2005). Neurotropisme dan pankreatotropisme virus terlihat pada penelitian lain yang menggunakan isolat virus HPAI. Itik yang ditantang dengan virus HPAI H5N1 pada dosis letal menunjukkan gejala neurologis berat, seperti tortikolis, inkoordinasi, tremor, dan kejang (Sturm-Ramirez et al. 2004; Vascellari et al. 2007). Imunohistokimia positif yang ditemukan pada otak dan batang otak serta hibridisasi in situ virus yang terlihat pada neuron dan sel glia materi abu-abu otak menunjukkan neurotropisme isolat setelah tahun 2002 (Sturm-Ramirez et al. 2004; Vascellari et al. 2007). Meskipun rute masuknya virus ke dalam sistem saraf pusat belum dapat dipastikan, setidaknya dua hipotesis dapat menjelaskan. Hipotesis pertama yaitu transmisi virus dapat menjalar melalui serabut saraf vagus, olfaktorius, dan trigeminus, dan hipotesis kedua yaitu virus dapat melakukan penetrasi melewati blood-brain barrier (Silvano et al. 1997; Park et al. 2002). Ciri-ciri lain virus HPAI H5N1 pada itik adalah titer virus yang sering lebih tinggi pada usap orofaringeal dibandingkan usap kloaka (Sturm-Ramirez et al. 2004; Keawcharoen et al. 2008). Ekskresi virus HPAI H5N1 pada faring diduga berasal dari paru-paru dan/atau kantung hawa karena hanya kedua jaringan ini yang menunjukkan bukti replikasi virus secara imunohistokimia. Kecenderungan ekskresi pada faring ini menunjukkan bahwa usap faring juga harus diambil ketika melakukan surveilans VAI pada bebek liar selain usap kloaka yang selalu dilakukan (Keawcharoen et al. 2008). Jika tidak, prevalensi HPAI H5N1 dapat disalahperhitungkan. Hasil penelitian FKH-IPB tahun 2006 menujukkan bahwa bebek yang tidak dikandangkan memiliki resiko terinfeksi HPAI lebih tinggi (OR = 6,87; SK 95%; 1.29-36.54) dibandingkan dengan bebek yang dipelihara dalam kandang tertutup. Sistem pemeliharaan yang dicampur antara ayam dan bebek juga memiliki
23
kecenderungan risiko positif AI yang lebih tinggi (OR = 4,05) dibandingkan dengan yang tidak dicampur. Isolat virus HPAI H5N1 FKH/IPB/Duck/NG29 yang ditemukan pada bebek sehat dapat menginfeksi ayam yang berkontak sehingga pemeliharaan yang dicampur antara bebek dan ayam berpotensi meningkatkan shedding virus dimana bebek berperan sebagai bank virus dan ayam sebagai media propagasi (FKH-IPB 2006). Teknik Diagnostik Avian Influenza Diagnosa AI dilakukan dengan isolasi virus atau melalui deteksi dan karakterisasi segmen genom virus karena gejala klinis yang ditimbulkan sangat beragam menurut spesies inang, strain virus, status kekebalan inang, keberadaan infeksi lain dan kondisi lingkungan (OIE 2009). Identifikasi VAI diawali dengan isolasi virus pada ruang alantois telur ayam berembrio (TAB) specific pathogen free (SPF). Selanjutnya cairan alantois diuji tapis dengan hemagglunation test (HA) untuk mendeteksi keberadaan virus yang mampu mengaglutinasi sel darah merah, kemudian diuji dengan agar gel immunodiffusion test (AGID) atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) yang masing-masing untuk mendeteksi tipe dan subtipe virus. Pengujian subtipe virus juga dapat dilakukan dengan hemagglutination inhibition test (HI) dan neuraminidase inhibition test (NI). Alternatif lain untuk mendeteksi keberadaan VAI adalah dengan reversetranscription polymerase chain reaction (RT-PCR) atau real time RT-PCR (RRTPCR) menggunakan primer spesifik matriks atau nukleoprotein. Selanjutnya subtipe virus ditentukan dengan menggunakan primer spesifik hemaglutinin dan neuraminidase. Uji serologis seperti AGID, HI, dan ELISA juga digunakan untuk mendeteksi antibodi dalam serum inang. RRT-PCR untuk Deteksi Avian Influenza Perkembangan teknologi yang pesat memberikan berbagai pilihan teknik dan produk yang dapat digunakan untuk mendukung pengujian diagnostik yang telah ada atau menjadi landasan untuk pengujian diagnostik yang baru. Teknik reverse transcriptase PCR (RT-PCR) secara konvensional telah dikembangkan untuk mendeteksi VAI namun sejak awal tahun 2000-an mulai banyak digunakan
24
real-time RT-PCR (RRT-PCR) dalam rangka pengawasan rutin, selama wabah, dan untuk penelitian karena lebih menguntungkan dari segi sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi, memerlukan waktu yang lebih singkat, bersifat kuantitatif, lebih ramah lingkungan, dan meskipun biaya yang diperlukan untuk investasi peralatan lebih tinggi namun untuk operasional dan pengamanan lingkungan teknik ini memerlukan biaya yang lebih sedikit. Pembacaan hasil RRT-PCR tidak memerlukan elektroforesis gel melainkan dapat dilihat secara langsung berupa grafik intensitas pendaran zat warna floresens yang meningkat secara eksponensial, linier, kemudian mendatar seiring siklus amplifikasi (Gambar 4). Hasil RRT-PCR berupa nilai Ct (cycle threshold) yang merupakan perpotongan antara kurva amplifikasi dengan garis threshold yang menggambarkan konsentrasi relatif target PCR.Aktivitas nuklease ujung 5'polimerase yang terdapat dalam polymerase chain reaction (PCR) memecah probe hidrolisis saat ekstensi amplikon sehingga memisahkan reporter (R) florofor dari quencher (Q). Sinyal floresens yang dihasilkan ketika tereksitasi oleh cahaya dari luar di setiap siklus PCR sebanding dengan jumlah produk yang dihasilkan (Koch 2004). Beberapa peningkatan yang penting demi perbaikan pengujian RRT-PCR telah tersedia untuk VAI, antara lain: pengembangan dan penggunaan kontrol internal untuk mengurangi negatif palsu reaksi dan pengembangan reagen kering beku (lyophilized) untuk meningkatkan kualitas kontrol (Das et al. 2006; Di Trani et al. 2006); penggunaan robot untuk meningkatkan keluaran laboratorium agar mampu menangani peningkatan jumlah sampel selama wabah meskipun mungkin tidak memberikan sensitivitas yang lebih baik (Spackman et al. 2002; Spackman dan Suarez 2005); dan protokol baru untuk pengolahan sampel sulit seperti sampel kloaka atau jaringan (Das et al. 2006). Semua uji diagnostik molekuler bertujuan untuk memperoleh hasil yang cepat
dengan
sensitifitas
yang
sebanding
dengan
isolasi
virus,
dan
mempertahankan tingkat spesifisitas yang tinggi. Oleh karena itu tiga titik kritis penting untuk diperhatikan, yaitu tahapan ekstraksi RNA, tahapan amplifikasi RT-
25
PCR, dan urutan basa primer dan probe. Ketiga faktor tersebut harus diperhatikan agar pengujian menjadi sensitif dan spesifik.
Gambar 4. Prinsip probe hidrolisis TaqMan diadaptasi dari Koch (2004) (a) proses hidrolisis probe saat ekstensi memisahkan reporter floresensi dari quencher (b) sinyal floresensi meningkat secara eksponensial, linier, kemudian mendatar seiring siklus amplifikasi. Ekstraksi RNA merupakan tahap yang penting dalam setiap uji diagnostik molekuler karena kualitas RNA akan mempengaruhi efisiensi amplifikasi. Berbagai teknologi ekstraksi RNA yang ada seperti ekstraksi organik, ekstraksi kolom silika, dan ekstraksi manik (beads) magnetik (Hale et al. 1996; Petrich et al. 2006) memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
26
Metode ekstraksi organik yang menggunakan fenol dan guanidinium memberikan efisiensi ekstraksi yang baik untuk sampel kompleks tetapi metode ini memungkinkan inhibitor PCR juga ikut terekstraksi sehingga dapat menyebabkan hasil negatif palsu (Das et al. 2006). Metode ekstraksi juga bervariasi dalam hal kemudahan penggunaan dan skalabilitas. Metode ekstraksi organik relatif memerlukan tenaga intensif dan sulit untuk pengerjaan sampel skala besar. Beberapa metode ekstraksi berbasis kolom atau beads magnetik dapat digunakan untuk keluaran besar misalnya dengan pemrosesan pada plat 96 sumuran atau menggunakan robot. Banyak sistem robotik yang tersedia secara komersial dengan format reagen dan perlengkapan sendiri atau terbuka. Platform kerja robotik juga sangat bervariasi dalam hal biaya tergantung pada kerumitan dan fitur mesin. Platform kerja robotik cukup menjanjikan untuk meningkatkan efisiensi laboratorium diagnostik, tetapi setiap robot dengan teknologi ekstraksi RNA masih memerlukan validasi sebelum dapat digunakan secara rutin pada sampel diagnostik. Kecil kemungkinan bagi sebuah mesin atau kit ekstraksi untuk dapat memiliki fleksibilitas dalam menangani berbagai jenis sampel yang dibawa ke laboratorium diagnostik dengan efisiensi ekstraksi RNA dan kemurnian yang diperlukan untuk memperoleh hasil yang konsisten (Aguero et al. 2007; Tewari et al. 2007). Diagnosis AI untuk ayam dan kalkun sebaiknya menggunakan sampel usap trakea atau orofaringeal karena tropisme virus pada kedua spesies tersebut adalah
saluran
pernafasan.
Namun
untuk
spesies
lain
seperti
itik
direkomendasikan sampel usap kloaka karena pada spesies tersebut virus LPAI memiliki tropisme enterik. Sampel usap trakea/orofaringeal relatif mudah digunakan untuk ekstraksi RNA karena mengandung sedikit sekali sel. Sampel RNA lebih sulit diekstraksi dari usap kloaka dan jaringan karena keduanya mengandung bahan organik lebih tinggi, komposisi kimia yang kompleks, dan berpotensi mengandung inhibitor PCR (Cone et al. 1992; Buonagurio et al. 1999; Petrich et al. 2006). Reagen amplifikasi RT-PCR merupakan area kritis lain yang dapat mempengaruhi hasil pengujian. Berbagai macam kit komersial dengan enzim dan reagen berbeda banyak tersedia untuk amplifikasi RNA virus. Semua prosedur
27
dilengkapi dengan tahap reverse transkripsi dan amplifikasi PCR, biasanya dengan enzim yang berbeda untuk setiap tahapan. Kedua tahap tersebut sangat penting untuk pengujian diagnostik yang sensitif. Secara umum RT-PCR dapat dijalankan dengan prosedur dua tahap atau satu tahap (onestep). Pada prosedur dua tahap, reverse transkripsi RNA dan amplifikasi DNA dijalankan secara terpisah sehingga optimasi dilakukan di kedua reaksi. Sedangkan pada RT-PCR onestep, semua reagen untuk tahapan reverse transkripsi RNA dan amplifikasi DNA dimasukkan kedalam tabung yang sama sehingga pengujian dapat selesai tanpa membuka tabung untuk memasukkan reagen tambahan. Prosedur dua tahap dianggap lebih sensitif daripada metode onestep karena kedua tahapan dilakukan pada kondisi yang optimal namun amplifikasi onestep menyederhanakan prosedur dan mengurangi kemungkinan kontaminasi silang sampel sehingga prosedur onestep ini lebih baik untuk berbagai situasi (OIE 2008b). Enzim-enzim untuk RT-PCR onestep dapat dibeli secara terpisah atau dalam bentuk kit yang mencakup hampir semua reagen yang perlukan untuk pengujian. Keuntungan penggunaan kit adalah peningkatan kontrol kualitas yang didapatkan dari produk komersial selain lebih mudah untuk dipesan dan digunakan dibandingkan dengan penggabungan reagen dari berbagai sumber. Meskipun banyak kit diagnostik yang tersedia secara komersial, tidak semua memiliki kinerja yang sama di setiap aplikasi. Prosedur diagnostik resmi RRT-PCR AI yang diterapkan oleh jaringan laboratorium kesehatan hewan nasional (National Animal Health Laboratory Network, NAHLN) Amerika Serikat yang dikelola oleh layanan inspeksi kesehatan hewan dan tumbuhan (Animal and Plant Health Inspection Service, APHIS) Departemen Pertanian Amerika Serikat (United States Department of Agriculture, USDA) menggunakan kit untuk ekstraksi RNA dan amplifikasi RT-PCR (Suarez et al. 2007). Kit alternatif kadang dapat bekerja dengan baik sehingga ketentuan yang dibuat dalam protokol resmi NAHLN memberi ruang bagi penggunaan metode alternatif untuk ekstraksi RNA atau reagen amplifikasi RT-PCR (selain primer atau probe) namun pengguna harus memiliki data yang cukup untuk menunjukkan bahwa protokol modifikasi sama sensitifnya dengan protokol resmi. Perubahan protokol dapat terjadi bila prosedur alternatif memberikan nilai tambah yang signifikan seperti biaya yang lebih
28
rendah, sensitivitas yang lebih tinggi, lebih mudah digunakan, meningkatkan keluaran, dan nilai tambah lain. APHIS telah menyetujui beberapa perubahan atau alternatif sejak protokol resmi disetujui pada tahun 2002 (Suarez et al. 2007). Elemen kunci ketiga untuk pengujian diagnostik molekuler adalah desain primer dan probe yang menjadi landasan sensitivitas dan spesifisitas uji. Meskipun program-program untuk desain primer terus berkembang, sensitivitas pasangan primer tetap harus ditentukan secara empiris melalui optimasi konsentrasi primer dan probe, konsentrasi magnesium, dan kondisi siklus agar didapatkan sensitivitas tertinggi (OIE 2008b). Spesifisitas uji juga dapat dievaluasi secara in silico (menggunakan komputer) (Boutros dan Okey 2004) namun pengujian empiris tetap diperlukan untuk konfirmasi spesifisitas. Telah banyak pasangan primer AI untuk RT-PCR konvensional, namun baru beberapa yang telah dipublikasikan (Tabel 1). Variabilitas gen HA yang tinggi menyulitkan pengembangan primer dan probe yang dapat mendeteksi isolat beragam dalam satu subtipe HA, terutama untuk mengidentifikasi isolat dari garis keturunan Amerika dan Eurasia sehingga untuk wilayah geografis yang berbeda diperlukan pasangan primer dan probe berbeda (Spackman et al. 2002). Urutan basa primer dan probe menentukan spesifisitas dan sensitivitas uji diagnostik sehingga perubahan urutan basa memerlukan pengujian yang luas untuk validasi (OIE 2008b; OIE 2008a). Pengujian RRT-PCR telah dikembangkan sebagai uji spesifik untuk influenza A dengan target regio lestari (conserved) pada matriks, nukleoprotein, atau gen nonstruktural lain yang informasi urutan basanya banyak tersedia. Beberapa pengujian spesifik untuk subtipe juga telah dipublikasikan dengan target gen HA untuk mendeteksi HPAI yang terbatas pada subtipe H5 atau H7 (Starick et al. 2000; Munch et al. 2001; Collins et al. 2002; Spackman et al. 2002; Collins et al. 2003; Dybkaer et al. 2004). Penggunaan RRT-PCR untuk mendeteksi asam nukleat spesifik influenza A, H5 dan H7 pertama kali dijelaskan oleh Spackman et al. (2002). Pengujiannya memerlukan primer dan probe yang dirancang untuk mendeteksi regio lestari ujung 5’ segmen gen 7 (gen M1) dengan panjang 100 nukleotida dan pasangan primer/probe spesifik H5 dan H7 yang dirancang untuk mendeteksi regio lestari subunit HA2 urutan basa virus AI Amerika Utara
29
(Spackman et al. 2002). Variabilitas HA menjadi salah satu alasan mengapa uji spesifik terhadap tipe A dengan target protein internal yang lebih lestari diperlukan sebagai uji tapis dalam pengujian molekuler AI dan pengujian subtipe HA berperan sebagai penyedia informasi tambahan dan konfirmasi sampel positif (Suarez et al. 2007). Tabel 1. Pasangan primer dan probe untuk deteksi gen tertentu. Target Primer/ probe Urutan basa(5ƍ-3ƍ) Amerika Utara dan Eurasia (Spackman et al. 2002) Gen M1 M +25 AGATGAGTCTTCTAACCGAGGTCG M í124 TGCAAAAACATCTTCAAGTCTCTG M +64 TCAGGCCCCCTCAAAGCCGA Gen H5 (HA2) H5 +1456 ACGTATGACTAYCCRCARTAYTCA H5 í1685 AGACCAGCTACCATGATTGC H5 +1637 TCAACAGTGGCGAGTTCCCTAGCA Gen H7 (HA2) H7 +1244 ATTGGACACGAGACGCAATG H7 í1342 TTCTGAGTCCGCAAGATCTATTG H7 +1281 TAATGCTGAGCTGTTGGTGGCA Asia (Heine et al. 2005) Gen M1 IVA-D161M AGATGAGYCTTCTAACCGAGGTCG IVA-D162M TGCAAANACATCYTCAAGTCTCTG IVA-Ma TCAGGCCCCCTCAAAGCCGA Gen H5 IVA-D148H5 AAACAGAGAGGAAATAAGTGGAGTAAAATT IVA-D149H5 AAAGATAGACCAGCTACCATGATTGC IVA-H5a TCAACAGTGGCGAGTTCCCTAGCA Asia (Payungporn et al. 2006) Gen M1 MF3 TGATCTTCTTGAAAATTTGCAG MR1+ CCGTAGMAGGCCCTCTTTTCA M-probe TTGTGGATTCTTGATCG Gen H5 (HA2) H5F4 GACTCAAATGTCAAGAACCTTTA H5R3 CCACTTATTTCCTCTCTGTTTAG H5-probe ACGGAACGTATGACTAC Gen N1 N1F2 GTTTGAGTCTGTTGCTTGGTC N1R1 TGATAGTGTCTGTTATTATGCC N1-probe TTGTATTTCAATACAGCCAC Qinghai (Hoffmann et al. 2007) Gen H5 (situs FliH5-1028F GGGGAATGCCCCAAATATCT pembelahan FliH5-1190R TCTACCATTCCCTGCCATCC HA1 dan HA0) FliH5-CS-FAM AGAGAGAAGAAGAAAAAAGAGAGGACTA FliH5-1148TTGGAGCTATAGCAGGTTTTATAGAGG HEX Eurasia dan Afrika (Monne et al. 2008) AI virus H5-For TTATTCAACAGTGGCGAG subtipe H5 H5NE-Rev CCAG(T)AAAGATAGACCAGC H5 probe CCCTAGCACTGGCAATCATG 1. M = A, C; R = A, G; Y = C, T 2. Cetak tebal mengindikasikan warna reporter dan quencher probe
30
Pengujian gen matriks (M1) memiliki limit deteksi 10 fg atau sekitar 103 salinan gen dan dapat mendeteksi virus hingga 0,1 EID50 (50% egg infective dose). Penelitian (Lee dan Suarez 2004) selanjutnya menunjukkan bahwa kuantitas RNA yang ditentukan dengan metode RRT-PCR berkorelasi erat dengan dan EID50 yang ditentukan dengan metode konvensional isolasi virus pada embrio ayam. Namun demikian, tingkat kesepakatan antara pengujian RRT-PCR matriks (MA RRT-PCR) dan isolasi virus (virus isolation, VI) pada embrio ayam tidak 100%. Positif RRT-PCR / negatif VI dan negatif RRT-PCR / positif VI pada sampel usap dapat terjadi (Spackman et al. 2002; Cattoli et al. 2004) sehingga hasil RRT-PCR sebaiknya diinterpretasikan pada tingkat kandang daripada tingkat individu. Berdasarkan analisis data wabah H7N2 LPAI di Virginia tahun 2002, sensitivitas diagnostik relatif RRT-PCR terhadap VI adalah 85,1% (probabilitas 95% interval: 71,9-95,7%), sedangkan spesifisitas diagnostik relatif terhadap VI mencapai 98,9% (probabilitas 95% interval: 98,0-99,5%) (Elvinger et al. 2007). Pasangan primer dan probe spesifik untuk H5 dan H7 memiliki limit deteksi 100 fg target RNA atau sekitar 103-104 salinan gen dan dapat mendeteksi virus 10 EID50. Meskipun uji H5 yang telah ada terbukti mampu mendeteksi virus subtipe H5 Amerika Utara dan Eurasia, modifikasi untuk pengujian ini telah dilakukan untuk mengoptimalkan deteksi H5N1 Eurasia (Slomka et al. 2007b). Modifikasi primer forward dan reverse dilaporkan dapat meningkatkan sensitivitas analitik untuk virus H5N1 Eurasia hingga 1000 kali lipat (Heine et al. 2007). Sensitivitas dan spesifisitas RRT-PCR yang spesifik untuk virus influenza hampir sebanding dengan VI dan HI sehingga teknik ini disukai, selain karena lebih cepat, mengurangi resiko kontaminasi silang, dapat memproses sampel dalam jumlah besar, dapat menentukan tipe dan subtipe virus, dan tidak memerlukan virus hidup (Spackman et al. 2002). Pengujian MA RRT-PCR telah dianjurkan sebagai metode deteksi virus AI oleh ring trial Uni Eropa (Slomka et al. 2007a) dan versi modifikasi yang memiliki sensitivitas analitik tinggi untuk virus H5N1 galur Eurasia (Heine et al. 2007) telah digunakan oleh laboratorium rujukan AI regional OIE untuk Asia Tenggara.