3
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Virus Influenza A Virus influenza penyebab penyakit flu adalah virus anggota famili Orthomyxoviridae (Boyce et al. 2009). Famili Orthomyxoviridae terdiri atas lima genus yaitu Influenzavirus A, Influenzavirus B, Influenzavirus C, Thogotovirus, dan Isavirus (Alexander 2007). Hanya Influenzavirus A yang dapat menginfeksi unggas. Virus influenza merupakan virus RNA utas tunggal dan memiliki nukleokapsid yang berbentuk heliks dengan dibungkus oleh selubung (envelope) lipoprotein. Bentuk dan ukuran virus influenza bersifat pleiomorfik, berbentuk filamen atau sferoid (bola) dengan diameter 80-120 nm (Harris et al. 2006). Protein permukaan virus influenza terdiri atas hemaglutinin (HA), Neuramidase (NA) dan Matriks 2 (M2) (Kalthoff et al. 2009). Protein HA trimerisasi berfungsi sebagai protein reseptor dan pengikat yang mengenali terminal asam sialik (sialic acid, SA) tertentu pada permukaan sel spesies (Kalthoff et al. 2009). Virus influenza A manusia memilih untuk terikat pada α2,6-linked sialic acids (SA), sedangkan virus influenza avian pada α-2,3-linked SA (Kalthoff et al. 2009). Protein NA berfungsi memotong ujung SA dari reseptor sel hospes sehingga progeni virion lepas dari sel. Protein M2 sekaligus berfungsi sebagai ion channel (Susanti 2008). Pada bagian dalam, envelope dilapisi oleh protein Matriks 1 (M1) yang mengelilingi delapan kompleks ribonukleoprotein (RNP). Nukleoprotein (NP) merupakan protein yang menyelubungi setiap segmen RNA virus influenza A. Pada virion, RNP dibentuk dari RNA virus, monomer NP, dan tiga protein polymerase : polymerase basic protein 1 (PB 1), polymerase basic protein 2 (PB 2), dan polymerase acidic protein (PA) (Noda et al. 2006 di dalam Kalthoff et al. 2009). Protein non struktural 1 (NS 1) berfungsi mengekspor mRNA virus dari nukleus, menghambat ekspor mRNA seluler, menghambat respon anti virus interferon (IFN), dan menginduksi badai sitokin (sitokines storm). Sedangkan protein non
struktural 2 (NS 2) berperan mengeluarkan kompleks RNP virus dari dalam inti (Susanti 2008). Berdasarkan perbedaan antigenik pada nukleoprotein (NP) dan matriks (M), virus influenza dibagi menjadi influenza tipe A, B dan C (Payungporn et al. 2004). Struktur virus influenza A dan B tidak dapat dibedakan dengan menggunakan mikroskop elektron, keduanya memiliki delapan segmen gen RNA untai tunggal. Kedelapan segmen RNA bersama-sama dengan nukleoprotein membentuk ribonuleoprotein (Munch et al. 2001). Virus influenza C memiliki tujuh segmen gen RNA, karena hanya memiliki satu glikoprotein permukaan, yakni hemaglutinin esterase fusion (HEF), yang berfungsi sebagai pengikat reseptor (H), esterase (E) dan fusi membrane (F) (Whittaker 2001). Hanya virus influenza tipe A yang dapat menyebabkan infeksi secara alami pada unggas (Alexander 2000), sedangkan virus influenza B dan C hampir selalu diisolasi dari manusia walaupun pernah juga diisolasi dari mamalia lain. Genom virus Influenza A terdiri dari 13,5 kb untai tunggal RNA negatif (Gall et al. 2009, Boyce et al. 2009). Fragmen gen virus influenza A ada yang
4
menyandi satu protein (PB1, PB2, PA, NA, HA, NP) ada yang lebih dari satu protein (gen NS dan M) (Gambar 1). Gen matriks (M) bersifat sangat lestari (conserved) untuk semua HA dari semua regio geografis sehingga merupakan target deteksi virus AI secara global (Hoffmann et al. 2009; Suarez et al. 2000). Selain itu, regio HA2 menjadi target regio untuk H5 dan H7 TaqMan rRT-PCR karena bersifat relatif lestari (conserved) (Hoffmann et al. 2009).
Gambar 1 Struktur dan segmen-segmen genom virus influenza A (Webster 2001). Virus influenza A memiliki derajat genetik tinggi dan variasi antigen (Gall et al. 2009). Virus ini dibagi ke dalam berbagai subtipe berdasarkan analisis serologis dan genetis glikoprotein hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA) (Alexander 2000, Lee et al. 2001). Sampai saat ini diketahui terdapat 17 subtipe HA (HA1-HA17) dan 9 subtipe NA (NA1-NA9). Unggas liar air merupakan reservoir alami untuk semua 16 hemaglutinin (HA) dan 9 neuraminidase (NA) subtipe virus influenza (Alexander 2007), sedangkan manusia, babi, dan kuda terinfeksi oleh beberapa subtipe yang telah teradaptasi (Gall et al. 2009). Pada tahun 2011, ditemukan subtipe HA terbaru yakni HA17 pada kelelawarberpundak-kuning (yellow-shouldered bat) di Guatemala (Tong et al. 2012). 2.2 Mutasi Virus AI Virus RNA seperti influenza A tidak memiliki kemampuan proof reading selama replikasi sehingga mudah mengalami mutasi, baik pada unggas, manusia maupun spesies lain (Boyce et al. 2009). Berbeda dengan 18 polimerasi DNA yang hanya mempunyai kesalahan 1 dari 109 nukleotida/siklus replikasi, kesalahan replikasi oleh enzim RdRp pada virus RNA adalah 1 dari 104 nukletida/siklus replikasi (Webster et al. 1992). Menurut Chen dan Holmes (2006), virus influenza A memiliki tingkat mutasi yang tinggi yakni 1x10-3 sampai dengan 8x10-3 substitusi/situs/tahun. Rasio kecepatan mutasi nonsinonim dan sinonim sangat penting untuk mempelajari mekanisme evolusi molekuler sekuen gen tertentu. Rasio kecepatan
5
mutasi nonsinonim/sinonim (ω = dN/dS) atau disebut juga tekanan selektif, merupakan indikator tekanan seleksi pada level protein. Nilai ω=1 berarti seleksi netral, ω<1 berarti terjadi seleksi pemurnian (purifying selection) dan ω>1 berarti terjadi seleksi positif (Susanti 2008). Analisis genom VAI subtipe H5N1 yang menginfeksi unggas dan manusia dari tahun 1997-2004 menunjukkan bahwa gen PB2, HA dan NS1 mengalami tekanan seleksi positif, sementara gen lainnya (PA, PB1, M, NA, NS2, NP) mengalami tekanan seleksi pemurnian (Campitelli et al. 2006). Hal ini menunjukkan bahwa gen Matriks lebih banyak mengalami mutasi sinonim dibandingkan mutasi nonsinonim, sedangkan gen HA lebih banyak mengalami mutasi nonsinonim dibandingkan mutasi sinonim. Hal ini juga menunjukkan bahwa gen Matriks lebih conserved dibandingkan gen HA. Gen Matriks (1027 pasang basa) mengkode protein matriks 1 (M1) pada posisi nukleotida 26 -784 dan protein membran (M2) pada posisi nuklotida 26-51 dan 740-1.007 (Furuse et al. 2009). Tekanan selektif (ω) terhadap keseluruhan sekuens M adalah 0.13, sedangkan untuk M1 dan M2 adalah 0.06 dan 0.45 secara berturut-turut (Furuse et al. 2009). Nilai ω yang lebih rendah pada M1 dibandingkan M2 menunjukkan bahwa protein Matriks lebih jarang mengalami mutasi dibandingkan M2 yang berperan sebagai ion channel. Tingkat evolusi (kecepatan mutasi) gen Matriks untuk virus AI dari garis keturunan Amerika Utara adalah 1.63 × 10-4 substitusi/situs/tahun, sedangkan virus AI dari garis keturunan Asia adalah 5.76 × 10-4 substitusi/situs/tahun (Furuse et al. 2009). Kecepatan mutasi HA kira-kira 2x10-3 nukleotida/posisi/replikasi (Webster et al. 1992), sedangkan menurut Bush et al. (1999), kecepatan substitusi nonsinonim gen HA 1 VAI subtipe H3 adalah sebesar 5,7 x 10-3/situs/tahun. Kecepatan mutasi HA ini lebih tinggi dibandingkan NA (Susanti 2008) dan M. Antigen permukaan yang dimiliki virus influenza dapat berubah secara periodik yang lebih dikenal dengan istilah antigenic drift dan antigenic shift. Antigenic drift merupakan perubahan secara periodik yang terjadi akibat mutasi genetik struktur protein permukaan virus sehingga antibodi yang telah terbentuk oleh tubuh akibat vaksinasi sebelumnya tidak dapat mengenali keberadaan virus tersebut (Munch et al. 2001). Antigenic shift merupakan perubahan genetik virus yang memungkinkan munculnya strain baru dan kemampuan virus untuk menginfeksi secara lintas spesies (Murphy et al. 1999). Selain itu, karena genom virus AI adalah RNA bersegmen maka infeksi campuran beberapa virus influenza dalam satu host dapat menyebabkan reasortment (Dugan et al. 2008). Akibat mutasi dan reasortment, pada HPAI H5N1 yang bersirkulasi di Asia terdapat empat genotipe utama (Z, V, W, G) dengan garis keturunan (lineage) yang beragam. Semua strain H5N1 Asia dapat dikelompokkan pada satu clade yang sama karena gen H5-nya berasal dari nenek moyang yang sama (A/Goose/Guangdong/1/96 H5N1) (Xu et al. 1999). Namun, semua virus HPAI H5N1 Asia berbeda nyata dengan virus LPAI H5N1 yang bersirkulasi di unggas liar Amerika Utara (Boyce et al. 2009). Virus influenza A mudah bermutasi dan mengalami reasortment sehingga menyebabkan interpandemik atau epidemik musiman pada manusia (Boyce et al. 2009). Influenza mengakibatkan kematian 250.000-500.000 orang setiap tahun sehingga Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) mengadakan pertemuan dua kali dalam setahun untuk merumuskan rekomendasi strain yang digunakan untuk pembuatan vaksin influenza pada manusia. Mutasi
6
dan reasortment virus influenza A pada manusia telah bersifat endemik walaupun tanpa introduksi virus atau elemen genetik dari unggas (Boyce et al. 2009). 2.3 Patogenisitas Avian Influenza Berdasarkan patogenitasnya, virus Avian Influenza dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu virus Avian Influenza berpatogenitas tinggi (Highly Pathogenic Avian Influenza/HPAI) dan virus Avian Influenza berpatogenitas rendah (Low Pathogenic Avian Influenza/LPAI) (Alexander 2000). 2.3.1 Highly Pathogenic Avian Influenza Definisi HPAI terkait dengan virulensi VAI pada ayam. Tingkat mortalitas HPAI dapat mencapai 100%, dan biasanya berasal dari subtipe H5 dan H7 (Alexander 2000, Alexander 2007, Bavink et al. 2009), walaupun tidak semua H5 dan H7 bersifat HPAI. Karena terdapat kemungkinan mutasi dari LPAI H5 dan H7 menjadi HPAI, maka semua H5 dan H7 harus dilaporkan (OIE 2009). Pada tahun 1999-2000, industri perunggasan Italia terkena epidemi HPAI subtipe H7N1 (Busani et al. 2008), sedangkan industri perunggasan Belanda terinfeksi HPAI subtipe H7N7 pada tahun 2003 (Bavink et al. 2009). Virus HPAI relatif jarang terisolasi dari unggas liar dan unggas air. Namun pada tahun 2012 terjadi wabah HPAI H5N1 pada peternakan bebek di Indonesia. Perubahan patogenitas virus AI dapat terjadi karena perubahan pada proteolytic cleavage site hemaglutinin, termasuk 1) substitusi asam amino non-basic dengan asam amino basic (arginin atau lisin), 2) insersi asam amino basic, 3) rekombinasi dengan insert dari segmen gen lain sehingga memperpanjang cleavage site, 4) hilangnya penahan situs glikosilasi pada residu-13 disertai asam-amino basic multiple pada cleavage site (OIE 2009). Suatu strain dinyatakan bersifat HPAI apabila menyebabkan kematian sebanyak 75% dari 10 ekor ayam berusia 4-8 minggu dalam 10 hari sehingga menghasilkan Indeks Patogenisitas Intravena (IPIV) yang lebih besar dari 1,2 (OIE 2009). Uji indeks patogenitas intravena dilakukan dengan menginfeksikan virus AI pada ayam (SPF) berumur 4-8 minggu. Virus yang digunakan berasal dari cairan alantois segar dengan titer HA > 24 yang diencerkan dalam 1/10 cairan fisiologis. Sebanyak 0.1 ml virus yang telah diencerkan disuntikkan secara intravena pada 10 ekor ayam berumur 4-8 minggu. Pengamatan dilakukan dengan interval 24 jam selama 10 hari, dan ayam diberi skor 1 jika sakit, 2 jika sakit parah, dan 3 jika mati. Ayam dinyatakan sakit (skor 1) jika menunjukkan salah satu gejala klinis, sedangkan dinyatakan sakit parah (skor 2) jika menunjukkan lebih dari satu gejala klinis sebagai berikut: infeksi pernafasan, depresi, diare, cyanosis, udema wajah/kepala, dan gejala saraf. Indeks Patogenitas Intravena merupakan rataan skor/ayam/observasi selama periode 10 hari. Nilai IPIV 3.00 menunjukkan bahwa semua ayam mati dalam 24 jam, sedangkan nilai 0.00 menunjukkan bahwa tidak ada unggas yang menunjukkan gejala klinis selama 10 hari masa observasi (OIE 2009). Gejala klinis HPAI bervariasi antar spesies. Pada unggas komersial yang rentan akan terjadi hemoragi pada seluruh tubuh yang ditandai dengan pial dan kaki yang menjadi merah-kebiruan. Selain itu, terjadi ptekhie, nasal discharge, dan diare (Cardona et al. 2009). Mortalitas akibat HPAI sangat tinggi dan berlangsung
7
dalam waktu singkat. Sejak tahun 2002, HPAI H5N1 menjadi penyakit emerging di Asia. HPAI H5N1 lebih banyak terisolasi pada saluran pernafasan (trachea) dibandingkan gastrointestinal, sehingga hal tersebut mempengaruhi transmisi virus (inhalasi vs. fekal-oral), maupun pemilihan koleksi sampel (orofaring/trachea vs. kloaka) (Boyce et al. 2009). Secara molekuler, HPAI dapat ditentukan patotipenya berdasarkan analisa sekuens cleavage site antara protein prekursor HA0 (OIE 2007, Alexander 2007). Virus HPAI mengalami perubahan susunan asam amino pada cleavage site HA yang mempengaruhi replikasi virus (Boyce et al. 2009). Virus HPAI, dengan beberapa pengecualian, memiliki asam amino polibasik (arginin dan lisin) pada HA0 cleavage site, sehingga dapat dipecah oleh ubiquitous subtilisin-like protease secara intraseluler (Perdue dan Suarez 2000 di dalam Gall et al. 2009). Virus HPAI dapat bereplikasi pada seluruh organ unggas sehingga menyebabkan kerusakan serius pada jaringan maupun organ sehingga menyebabkan kematian (Alexander 2007). 2.3.2 Low Pathogenic Avian Influenza Burung liar air merupakan reservoir LPAI (Gall et al. 2009). Wabah virus Avian Influenza sangat patogen/Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) pada unggas komersil diduga berasal dari virus Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) pada unggas liar (Cheung et al. 2009). Transmisi LPAI subtipe H5 dan H7 pada unggas Gallinaceous, dapat menimbulkan HPAI, yang menyebabkan infeksi sistemik yang parah dan epidemi penyakit dengan tingkat kematian yang tinggi (Gall et al. 2009). Gejala klinis dari LPAI tidak terlalu nyata. Infeksi pada LPAI terlokalisir pada pernapasan dan saluran pencernaan (Gall et al. 2009). Ditinjau dari segi molekuler, virus LPAI memiliki komposisi asam amino monobasik pada HA0 cleavage site, dan HA0-nya terbelah secara ekstrasel oleh jaringan-spesifik protease, seperti tripsin (Perdue dan Suarez 2000 di dalam Gall et al. 2009). 2.4 Virus Avian Influenza pada Unggas Liar dan Pasar Unggas Virus Avian Influenza (VAI) terutama menyerang berbagai macam unggas seperti ayam, kalkun, angsa, unggas air, burung laut, dan burung liar (Boyce et al. 2009). Selain unggas, beberapa subtipe VAI dapat menyerang manusia, primata, babi, musang, kuda, sapi, anjing laut, dan paus (Whitworth et al. 2007, Cardona et al. 2009). Virus Avian influenza telah diisolasi dari sedikitnya 105 spesies burung liar dari 26 famili yang berbeda (Perez-Ramirez et al. 2010). Unggas air, yaitu itik, entok dan angsa, merupakan inang alami virus influenza A (Cheung et al. 2009, Boyce et al. 2009). Unggas liar, terutama unggas air, diketahui sebagai reservoir virus AI karena semua H1-16 dan N1-9 dapat ditemukan pada unggas liar (Boyce et al. 2009, Cardona et al. 2009). Umumnya virus AI yang terdeteksi pada unggas liar bersifat low pathogenic dan menyerang saluran gastrointestinal (Boyce et al. 2009). Pada inang alami, virus berada dalam keadaan seimbang dan tidak menunjukkan perubahan patologis yang nyata. Secara evolusioner virus dalam inang alami berada keadaan statis, yang secara molekuler ditandai dengan
8
rendahnya rasio substitusi N/S (Taubenberger et al. 2005). Antara hospes dengan virus terjadi toleransi yang seimbang, sehingga walaupun virus bereplikasi namun inang tidak menunjukkan gejala klinis. Virus bereplikasi di saluran pencernaan unggas air, sehingga ekskresi virus bersama feses dapat ditransmisikan ke unggas atau mamalia lain melalui feses atau secara oral (Sturm-Ramirez et al. 2004). Isolasi virus influenza pertama dari unggas feral (Sterna hirundo) dilakukan pada tahun 1961 di Afrika Selatan (Alexander 1995). Pada tahun 1970an dilakukan investgasi yang menunjukkan bahwa terdapat pool virus yang besar pada populasi unggas liar (Alexander 1995). Survei oleh Stallknecht dan Shane (1988) menunjukkan bahwa dari 21.318 sampel yang berasal dari berbagai spesies unggas terisolasi 2.317 (10.9%) virus. Dari sampel tersebut, 14.303 sampel berasal dari Ordo Anseriformes, dengan hasil positif 2.173 isolat (15.2%). Tingkat isolasi tertinggi selanjutnya berasal dari unggas ordo Passeriformes dan Charadriiformes (2.9% dan 2.2%). Faktor yang berperan penting dalam tingkat isolasi virus influenza pada unggas liar yaitu (1) usia unggas, (2) lokasi geografis terkait migrasi, (3) waktu pengambilan sampel dalam tahun tersebut, (4) spesies unggas, and (5) karakteristik virus (Alexander 1995). Strain patogenik virus AI H5N1 hanya menyebabkan gejala klinis ringan pada itik, tetapi unggas dapat tetap mengekskresikan virus (viral shedding) bersama kotorannya sehingga berpotensi menyebarkan virus yang bersifat patogenik bagi unggas lain dan juga manusia (Hulse-Post et al. 2005). HPAI jarang terisolasi dari unggas liar, namun tingkat isolasi yang tinggi dapat ditemukan pada bebek dan angsa (15%) dan hanya 2% pada spesies yang lain (Alexander 2000). Virus HPAI H5N1 berhasil terisolasi dari angsa (prevalensi 2%) dan bebek (prevalensi 4%) (Nguyen et al. 2005). Ordo Colombiformis yang secara eksperimental diinfeksi virus HPAI H5N1 lebih resisten dibandingkan ayam (Perkins dan Swayne 2002). Psittaciformes dapat terinfeksi LPAI, walaupun jarang (Cardona et al. 2009). Salah satu unggas air, yaitu itik, dianggap sebagai sumber virus AI H5N1 pada wabah di Cina tahun 2000-2004 dan Hongkong tahun 2001 (Susanti 2008). Unggas air yang bermigrasi diduga kuat sebagai pembawa virus HPAI subtipe H5N1 (Perez-Ramirez et al. 2010), terutama setelah terjadinya wabah di Danau Qinghai, Cina yang menyebabkan kematian ribuan burung liar (Chen et al., 2005, Boyce et al. 2009). Beberapa spesies unggas seperti Mallard (Anas platyrhinchos) mampu bertahan dari infeksi H5N1 dan terjangkit virus selama periode waktu tertentu, sehingga menjadi diduga kuat sebagi spesies pembawa HPAI H5N1 pada proses transmisi jarak jauh (Keawcharoen et al. 2008). Namun, peran unggas air dalam penyebaran H5N1 masih belum jelas (Perez-Ramirez et al. 2010). Wabah virus HPAI H5N1 pertama kali dilaporkan di Cina Selatan tahun 1996-1997, kemudian menyebar dan menyebabkan kematian unggas di Vietnam, Thailand, Indonesia dan Negara Asia Timur sejak awal tahun 2004 (Smith et al. 2006). Transmisi zoonotik dari unggas ke manusia terus menerus terjadi sejak pertengahan tahun 2005 sampai sekarang (Susanti 2008) namun belum ada laporan terjadinya transmisi dari manusia ke manusia. Manusia umumnya menjadi inang akhir (dead end) virus AI, baik HPAI maupun LPAI (Boyce et al. 2009).
9
Selain di peternakan dan alam, studi mengenai VAI dilakukan di pasar unggas hidup dan pasar makanan. Studi pada pasar unggas hidup dan pasar makanan di Thailand tahun 2006-2007 menunjukkan bahwa VAI H5N1 terisolasi pada 12 dari 930 sampel yang diuji (Amonsin et al. 2008). Sampel yang positf berupa sampel daging (5 ekor puyuh, 2 ekor mandar, dan 2 ekor ayam-ayaman maupun unggas sehat (satu ayam dan dua bebek). Analisa filogenetik menunjukkan bahwa VAI H5N1 termasuk dalam garis keturunan (lineage) Vietnam dan Thailand (clade 1) dan berkorelasi erat dengan virus yang beredar di Thailand tahun 2004-2005 (Amonsin et al. 2008) 2.5 Diagnosa Laboratorium untuk Avian Influenza Diagnosa laboratorium untuk Avian Influenza dapat dilakukan dengan mendeteksi antibodi atau mendeteksi virus. Diagnosa serologis untuk mendeteksi antibodi terhadap AI dapat dilakukan menggunakan uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI), Agar Gel Immunodiffusion Test (AGID) atau Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Metode untuk mendiagnosa virus dapat dilakukan melalui isolasi virus, rapid antigen detection, Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) konvensional, realtime RT-PCR (rRT-PCR), dan Nucleic acid sequence based amplification (NASBA) (Suarez 2003). Beberapa metode lain yang sedang berkembang yaitu Microarray (Gall et al. 2009) dan Loop Mediated Isothermal Amplification (LAMP). Dalam penelitian ini, metode uji serologis yang akan digunakan adalah HI, sedangkan deteksi virus akan menggunakan rRTPCR. 2.5.1 Uji Hemaglutinasi Inhibisi Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) merupakan metode yang direkomendasikan untuk uji spesifik terhadap suatu subtipe virus AI (FAO 2007). Uji ini dapat digunakan untuk pemantauan respon terhadap vaksinasi dan untuk memantau sirkulasi virus pada unggas yang bertahan terhadap infeksi, misalnya LPAI dan HPAI pada bebek (FAO 2007). Virus influenza memiliki protein amplop yang disebut hemaglutinin (HA). Hemaglutinin dapat berikatan dengan reseptor sialik pada sel, termasuk pada sel darah merah (red blood cell, RBC). Apabila HA berikatan pada RBC maka akan terjadi hemaglutinasi yang ditandai dengan terbentuknya butir-butir menyerupai pasir. Apabila RBC tidak berikatan dengan virus influenza, maka RBC akan mengendap pada dasar well (Capua dan Alexander 2009). Uji ini dilakukan dengan pengenceran bertingkat dan berlangsung selama kira-kira 40 menit sehingga merupakan indikator cepat untuk mengetahui kuantitas relatif partikel virus. Uji HI dilakukan dengan mencampurkan virus yang mampu mengaglutinasi RBC, misalnya virus AI, dengan serum yang mengandung antibodi terhadap virus tertentu. Apabila tidak terjadi aglutinasi pada penambahan RBC, hal tersebut disebabkan oleh antibodi serum yang telah menetralisasi virus sehingga virus tersebut tidak dapat menempel pada reseptor dipermukaan sel darah. Hal tersebut menujukkan bahwa virus yang diuji homolog dengan antibodi serum tertentu tersebut (Capua dan Alexander 2009). Pada sampel serum non
10
ayam terkandung HA nonspesifik sehingga sebelum dilakukan uji HI perlu diberi perlakuan dengan RBC ayam terlebih dulu. Selain itu, perlu dilakukan inaktifasi terhadap serum melalui pemanasan dalam penangas air pada suhu 56oC selama 30 menit (Capua dan Alexander 2009). 2.5.2 Real time Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (rRT-PCR) Reaksi berantai polymerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu secara in vitro (Yuwono 2006). Metode PCR memungkinkan terjadinya pelipatgandaan suatu fragmen DNA (110 bp, 5x10-19 mol) sebesar 200.000 kali setelah dilakukan 20 siklus reaksi selama 220 menit (Yuwono 2006). Kelebihan reaksi ini yaitu dapat dilakukan menggunakan komponen yang sangat sedikit, misalnya DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar 5 µg dan oligonukleotida yang diperlukan hanya sekitar 1 mM (Yuwono 2006). Virus AI merupakan virus RNA (Boyce et al. 2009), maka perlu dilakukan transkripsi balik (reverse transcription, RT) terhadap molekul RNA sehingga diperoleh complementary DNA (cDNA) yang digunakan sebagai cetakan (template) dalam proses PCR (Yuwono 2006). Teknik real time RT-PCR (rRT-PCR) merupakan hasil pengembangan RT-PCR konvensional yang memungkinkan dilakukan pemonitoran amplifikasi DNA pada saat proses amplifikasi berlangsung (real time). Dibandingkan PCR konvensional, rRT-PCR lebih menguntungkan dari segi sensitivitas dan spesifisitas, bersifat kuantitatif, lebih cepat, dan lebih ramah lingkungan. Walaupun biaya investasi peralatan lebih mahal, namun biaya operasional dan pengamanan lingkungan memerlukan biaya yang lebih sedikit (Aminah 2012). Real time PCR disebut juga PCR kinetik dan bersifat kuantitatif. Secara teori, terdapat hubungan kuantitatif antara jumlah DNA awal (sekuen target) dan jumlah produk PCR untuk setiap siklus PCR. Amplifikasi pada rRT-PCR dideteksi berdasarkan pancaran sinar flouresen yang digunakan sebagai indikator amplifikasi DNA (Artika 2008). Hasil rRT-PCR berupa Ct (cycle threshold) yang merupakan perpotongan antara kurva amplifikasi (siklus PCR) dimana floresen yang dihasilkan memotong garis threshold, atau garis ambang deteksi. Nilai Ct dapat menggambarkan konsentrasi relatif target PCR. Pada rRT-PCR menggunakan TaqMan Probe, proses ekstensi amplikon menyebabkan reporter (R) dan quencher (Q) pada probe terpisah sehingga floresen tereksitasi (Gambar 2). Dalam pengerjaan rRT-PCR terdapat beberapa titik kritis yang perlu diperhatikan, yaitu ekstraksi RNA, amplifikasi RT-PCR berserta enzim yang digunakan, serta penggunaan primer dan probe (Suarez et al. 2007, Aminah 2012). Berbagai macam kit komersial tersedia di pasaran untuk melakukan ektraksi, amplifikasi RNA virus dengan reagen, enzim serta pasangan primer dan probe yang beragam. Guna memperoleh hasil dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi maka diperlukan optimasi, termasuk dalam menentukan penggunaan urutan basa primer dan probe, waktu dan suhu amplifikasi, serta konsentrasi reagen uji. Beberapa kit rRT-PCR yang tersedia telah divalidasi, namun validasi tersebut biasanya sesuai untuk penggunaan spesies dan spesimen tertentu saja. Belum ada uji diagnostik molekuler yang tervalidasi untuk semua spesies dan spesimen (Suarez et al. 2007).
11
Gambar 2 rRT-PCR menggunakan TaqMan Probe. Proses ekstensi amplikon menyebabkan reporter berfloresen (F) dan quencher (Q) sehingga floresen terksitasi.
Tahap ekstraksi RNA menjadi tahap yang penting karena RNA dengan kualitas yang tinggi diperlukan untuk mengoptimalkan hasil uji. Beberapa sampel, seperti sampel feses, usap kloaka dan usap orafaring sulit untuk diproses, karena hasil ektraksi RNA yang kurang baik atau adanya faktor inhibitor (Suarez et al. 2007). Pengembangan kontrol internal, sistem robotik dan penggunaan reagen bead menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan metode sebelumnya. Deteksi influenza A menggunakan rRT-PCR biasanya mentarget regio yang lestari (conserved) seperti Matriks, Nukleoprotein atau gen Nonstruktural. Berbagai primer untuk mendeteksi subtipe influenza A seperti H5 dan H7 juga telah dikembangkan. Spackman et al. (2002) pertama kali mengembangkan teknik rRT-PCR untuk influenza A, subtipe H5 dan H7. Dalam pengujiannya untuk mendeteksi influenza A digunakan sistem one-step rRT-PCR serta primer dan probe yang mendeteksi regio lestari ujung 5’ segmen gen 7 (Matriks 1/M1) dengan panjang 100 nukleotida. Guna mendeteksi subtipe H5 dan H7, primer dan probe dirancang untuk mendeteksi region lestari subunit HA2 virus AI Amerika Utara (Spackman et al. 2002). Gen HA memiliki variabilitas yang tinggi, yakni mencapai 65% antarsubtipe dan 20% dalam subtipe yang sama (Suarez et al. 2007). Identifikasi VAI dari wilayah geografis yang berbeda, seperti VAI dari garis keturunan Eurasia dan Amerika Utara, memerlukan primer dan probe yang berbeda (Spackman et al. 2002). Selain variabilitas yang tinggi, virus RNA juga memiliki tingkat mutasi yang tinggi, yakni 1x10-3 sampai dengan 8x10-3 substitusi/situs/tahun (Chen dan Holmes 2006), sehingga pengembangan penggunaan primer dan probe terus dilakukan. Adapun pasangan primer dan probe untuk mendeteksi gen VAI tertentu dapat dilihat pada Tabel 1.
12
Limit deteksi rRT-PCR terhadap gen matriks (M1) adalah sebesar 10 femtogram (fg, 1 fg = 10-15 gram) atau sekitar 103 kopi target RNA dan dapat mendeteksi virus hingga 0.1 EID50 (50% egg infective dose) (Spackman et al. 2002, Lee dan Suarez 2004). Sedangkan limit deteksi rRT-PCR untuk H5 dan H7 mencapai 100 fg target RNA atau 103-104 kopi gen (Spackman et al. 2002). Namun, tingkat kesepakatan antara pengujuan rRT-PCR matriks dan isolasi virus pada telur ayam berembrio (TAB) tidaklah 100% (Spackman et al. 2002, Elvinger et al. 2007). Pada kasus wabah LPAI H7N1 di Virginia tahun 2007, sensitivitas diagnostik relatif rRT-PCR terhadap isolasi virus pada TAB adalah 85%, dengan probabilitas 95% dan interval 71,9%-95.7%, sedangkan spesifisitas diagnostik relatifnya adalah 98.9% dengan probabilitas 95% dan interval 98.0%-99.5% (Elvinger et al. 2007). Sedangkan menurut Spackman et al. (2002), spesifisitas relatif antara rRT-PCR dan isolasi virus pada TAB adalah 89%.
Tabel 1 Pasangan primer dan probe untuk mendeteksi gen AI Target Primer/Probe Urutan basa (5’-3’) Amerika Utara dan Eurasia (Spackman et al. 2002) Gen M1 M +25 AGA TGA GTC TTC TAA CCG AGG TCG M -124 TGC AAA AAC ATC TTC AAG TCT CTG M +64 FAM-TCA GGC CCC CTC AAA GCC GA-TAMRA Gen H5 (HA2) H5 +1456 ACG TAT GAC TAT CCA CAA TAC TCA G H5 -1685 AGA CCA GCT ACC ATG ATT GC H5 +1637 FAM-TCA ACA GTG GCG AGT TCC CTA GCATAMRA Asia (Heine et al. 2005) Gen M1 IVA-D161M AGATGAGYCTTCTAACCGAGGTCG IVA-D162M TGCAAANACATCYTCAAGTCTCTG IVA-Ma TCAGGCCCCCTCAAAGCCGA Gen H5 IVA-D148H5 AAACAGAGAGGAAATAAGTGGAGTAAAATT IVA-D149H5 AAAGATAGACCAGCTACCATGATTGC IVA-H5a TCAACAGTGGCGAGTTCCCTAGCA Qinghai lineage yang terjadi di Eropa (Hoffmann et al. 2007) Gen H5 FliH5-1028F GGG GAA TGC CCC AAA TAT GT (cleavage site HA1 dan HA0) FliH5-1190R TCT ACC ATT CCC TGC CAT CC FliH5-CSFAM-AGA GAG AAG AAG AAA AAA GAG AGG FAM ACT A-TAMRA FliH5-1148HEX-TTG GAG CTA TAG CAG GTT TTA TAG HEX AGG-BHQ1 Eurasia (Loendt et al. 2008) Gen H5 (HA2) H5LH1 ACA TAT GAC TAC CCA CARTAT TCAG H5RH1 AGA CCA GCT AYC ATG ATT GC H5PRO FAM-TCW ACA GTG GCGAGT TCC CTA GCATAMRA Keterangan: M= A, C; R=A, G; Y= C, T
13
2.6 Studi Cross-Sectional Studi cross sectional adalah studi deskriptif dimana penyakit dan status paparan penyakit diukur secara bersamaan dalam suatu populasi tertentu (CDPH 2009). Penelitian cross sectional dapat menyediakan gambaran singkat frekuensi dan karakteristik penyakit dalam suatu populasi pada titik waktu tertentu. Studi ini mengambil satu titik pengumpulan data untuk setiap peserta atau sistem yang dipelajari dan digunakan untuk mempelajari fenomena yang diharapkan tetap statis selama periode studi (Miller-Keane dan O’Toole 2003). Dari studi cross-sectional diperoleh prevalensi suatu penyakit dalam populasi pada suatu saat, oleh karena itu studi cross-sectional disebut pula studi prevalensi (prevalence study). Data cross sectional dapat digunakan untuk menilai prevalensi kasus akut atau kronis dalam suatu populasi. Namun, karena paparan dan status penyakit diukur pada waktu yang sama, maka tidak mungkin untuk membedakan apakah paparan didahului atau diikuti penyakit, dan dengan demikian hubungan sebab akibat menjadi tidak menentu (CDPH 2009). Studi ini kontras dengan studi longitudinal. Pada studi longitudinal setiap partisipan, proses atau sistem dipelajari dari waktu ke waktu, dengan data yang dikumpulkan pada beberapa interval. Dua tipe utama studi longitudinal adalah prospektif dan retrospektif (Miller-Keane dan O’Toole 2003).