TINJAUAN PUSTAKA Newcastle Disease (ND) Newcastle Disease (ND) pertama kali ditemukan di Newcastle Inggris pada tahun 1926. Virus ini menyerang berbagai macam spesies burung dan unggas. Tingkat kematian (mortalitas) pada ayam mencapai 90-100%. Penyakit ini sudah menyebar luas di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, penyebab penyakit ini adalah virus dari genus Paramyxovirus type 1 (APMV-1). Newcastle Disease adalah penyakit viral yang menular dan merupakan salah satu penyakit yang paling penting di dunia. Virus APMV-1 diketahui menginfeksi lebih dari 250 spesies burung di 27 negara. Burung liar, terutama burung air (famili Anseriformes), cenderung untuk membawa virus ini. Penyakit ini ditularkan melalui sekresi, terutama feses dari burung yang terinfeksi serta penularan juga dapat terjadi melalui pakan dan air minum yang terkontaminasi (CFSPH 2008). Virus ND tersusun dalam rantai RNA tunggal tak bersegmen, memiliki amplop yang terdiri atas lipid dua lapis yang mengandung protein matriks (M) dan dua spike glikoprotein yang terbuka dari luar. Spikenya tersebut memiliki dua protein struktural yaitu hemagglutinin yang dapat mengaglutinasi sel darah merah dan protein neuraminidase dan biasa dikenal dengan protein hemagglutinasi-neuraminidase (HN). Salah satu penyebab perbedaan keganasan diantara strain paramyxovirus adalah terletak pada cepat atau lambatnya perbanyakan (multipikasi) virus bersangkutan (Russel 1993). Virus ND berdasarkan patogenesisnya dibagi menjadi 4 galur, yaitu (1) galur velogenik yang menimbulkan penyakit dengan gejala klinis parah dan mortalitas tinggi; (2) galur mesogenik, tingkat keganasannya sedang dan mortalitas rendah; (3) galur lentogenik merupakan galur yang menimbulkan penyakit ringan dan tidak menimbulkan kematian (Allan et al. 1978), serta (4) galur enterik asimtomatik yang sama sekali tidak menimbulkan sakit seperti galur V4 dan Ulster 2C (Cross 1988). Sebagian besar virus galur lentogenik ditemukan di burung liar. Kerentanan terhadap penyakit bervariasi secara luas di antara unggas dan burung peliharaan. Anggota ordo Phasianiformes (gallinaceous burung), khususnya ayam, sangat rentan terhadap penyakit ini terutama ayam petelur. Gejala klinis penyakit ND tergantung pada tingkat virulensi dari virus, Infeksi virus galur velogenik dapat menimbulkan gejala gangguan pernapasan seperti sesak nafas, ngorok, bersin serta gangguan syaraf seperti kelumpuhan sebagian atau total, tortikolis serta depresi. Tanda lainnya adalah adanya pembengkakan jaringan di
|4
daerah sekitar mata dan leher. Infeksi virus galur mesogenik menimbulkan gejala klinis seperti gangguan pernapasan yaitu sesak napas, batuk dan bersin. Pada ayam petelur akan menyebabkan produksi telur menurun, terjadi kelainan bentuk telur dan daya tetasnya menurun. Infeksi virus galur lentogenik menunjukkan gejala ringan seperti penurunan produksi telur dan tidak terjadinya gangguan syaraf pada unggas terinfeksi. Morbiditas dan mortalitas tergantung pada tingkat virulensi dari galur virus, tingkat kekebalan vaksin, kondisi lingkungan dan kepadatan ayam di dalam kandang (OIE 2002).
Avian Influenza (AI) Wabah penyakit Avian Influenza (AI) pertama kali terjadi sekitar tahun 1800 di Italia. Penyakit ini dikenal dengan nama Fowl Plaque (Murphy et al. 1999). Penyakit Avian Influenza adalah penyakit influenza pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dan termasuk dalam famili Orthomyxovirus. Virus ini berukuran 80– 120 nm, berbentuk pleomorphic, mempunyai amplop, mengandung
asam inti
ribonucleatid acid (RNA) dengan penjuluran glikoprotein yang mempunyai aktivitas haemaglutinasi dan neurominidase. Virus AI tipe A dibagi menjadi beberapa subtipe berdasarkan antigen haemaglutinin (H1–H16) yang berbeda secara antigenik dan berbeda pula pada antigen neuraminidase (N1–N9). Penyakit influenza pada unggas bersifat sangat akut dengan gejala klinis, berupa gangguan pernafasan bagian atas dan gangguan reproduksi serta dapat menimbulkan kematian hingga 100% pada infeksi virus yang sangat patogen (Easterday et al.1997).
Gambar 1 Virus Avian Influenza.
Penyakit yang disebabkan oleh virus AI ini dapat muncul dalam beberapa bentuk yang berbeda, yaitu penyakit dengan tanda-tanda klinis berupa perdarahan hebat dan kematian mendadak atau Highly Pathogenic AI (HPAI) maupun penyakit dengan gejala klinis berupa gangguan pernafasan ringan atau bahkan tanpa tandatanda klinis (VSF-CICDA 2005).
Tanda-tanda klinis yang biasa ditunjukkan oleh
|5
unggas yang terserang Highly Pathogenic AI (HPAI) adalah pada bagian jengger, pial, dan kulit perut yang tidak ditumbuhi bulu, berwarna biru keunguan disertai adanya cairan dari mata dan hidung unggas, terjadi
pembengkakan di daerah muka dan
kepala. Selain itu terdapat pendarahan di bawah kulit (subkutan) berupa pendarahan titik (ptechie) di daerah dada, kulit, dan telapak kaki, batuk, bersin, ngorok serta diare hingga kematian. Masa inkubasi penyakit ini biasanya berlangsung selama 2 sampai 5 hari sejak terinfeksi oleh virus dan saat munculnya tanda-tanda klinis (VSF-CICDA 2005). Pada kasus yang sangat ganas dan akut ditandai dengan kematian tinggi tanpa disertai gejala klinis atau
hewan tampak sehat, namun tiba-tiba mati
(Depkominfo 2008). Flu burung sangat mirip dengan ND, Cholera unggas, Fowl pox yang akut, dan penyakit saluran pernafasan atas pada unggas lainnya. Tanda-tanda klinis sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti subtipe virus yang menginfeksinya, jenis dan umur unggas, serta penyakit-penyakit lainnya yang ada saat itu. Jenis unggas yang peka terhadap penyakit AI adalah ayam, itik, kalkun, ayam mutiara, burung puyuh, burung merpati, dan burung liar lainnya. (VSF-CICDA 2005). Avian Influenza dapat ditularkan dari unggas ke unggas lainnya atau dari peternakan ke peternakan lainnya melalui dua cara. Cara pertama melalui kontak langsung dari unggas yang terinfeksi kepada hewan peka. Cara penularan kedua melalui kontak tidak langsung antara hewan sehat dengan benda/kandang/peralatan yang terkena percikan cairan atau lendir yang berasal dari hidung dan mata, paparan muntahan. Penularan berperantara angin memiliki peran penting dalam penularan penyakit pada satu kandang. Unggas air berperan sebagai reservoir AI meskipun unggas tidak menunjukaan gejala klinis tetapi virus ada di dalam saluran usus dan akan dikeluarkan melalui feses (Depkominfo 2008). Avian Influenza dapat disebarkan dari unggas keunggas juga bisa melalui feses, saliva dan sekresi nasal. Feses dapat mengandung virus dalam jumlah banyak sehingga penularan secara fecal-oral merupakan jalur utama penyebaran pada unggas liar (reservoir). Namun demikian, beberapa isolat H5N1 terkini mempunyai jumlah atau kandungan yang lebih banyak pada sampel trakea dibandingkan dengan feses. Hal ini kemungkinan menjadi pertanda bahwa jalur penularan utama virus ini bukan lagi secara fecal-oral pada beberapa spesies (CFSPH 2008). Penyakit AI yang disebabkan oleh subtipe H5N1 dapat ditanggulangi dengan melakukan pemusnahan hewan tersangka dan tindakan biosekuriti, sedangkan pencegahan penyakit dapat dilaksanakan dengan program vaksinasi sesuai sub tipe virus kasus lapang (Frame 2000). Vaksinasi AI umumnya dilakukan pada unggas
|6
komersial khususnya ayam petelur, karena vaksinasi AI menggunakan vaksin inaktif yang diberikan pada umur sepuluh hari dan diulang pada satu bulan kemudian.
Sistem Kekebalan Pada Ayam Ayam memiliki sistem kekebalan tubuh yang berperan melawan antigen asing yang masuk dan menginfeksi tubuh. Sistem kekebalan tubuh pada ayam berupa sistem kekebalan non spesifik (alami) dan sistem kekebalan spesifik (adaptif) (Carpenter 2004). Mekanisme kedua sistem kekebalan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, keduanya saling meningkatkan efektifitasnya dan terjadi interaksi sehingga menghasilkan suatu aktivitas biologik yang seirama dan serasi (Fenner dan Fransk 1995). Sistem kekebalan non spesifik merupakan sistem kekebalan secara alami diperoleh tubuh dan proteksi yang diberikan tidak terlalu kuat. Semua agen penyakit yang masuk ke dalam tubuh akan dihancurkan oleh sistem kekebalan tersebut sehingga proteksi yang diberikannya tidak spesifik terhadap penyakit tertentu. Sistem kekebalan spesifik terdiri dari sistem berperantara sel (Cell Mediated Immunity) dan sistem kekebalan berperantara antibodi (Antibody Mediated Immunity) atau yang lebih dikenal dengan sistem kekebalan humoral (Butcher dan Miles 2003). Antigen yang mampu melewati sistem pertahanan non spesifik akan bertemu dengan makrofag yang akan berfungsi sebagai Antigen Presenting Cells (APC). Antigen Presenting Cells akan mempresentasikan antigen kepada limfosit T melalui molekul Major Histocompatibility Complex (MHC). Sel T helper (Th) mengenali antigen yang berikatan dengan MHC II. Sel T cytotoxic atau sel T penghambat mengenali antigen yang berikatan dengan MHC I. Interaksi sel Th dengan APC akan berperan dalam kekebalan humoral dengan menginduksi keluarnya sitokin yang merupakan alat komunikasi antar sel. Kemampuan interaksi ini akan menginduksi pematangan sel limfosit B menjadi sel plasma yang akan menghasilkan antibodi (Weir 1990). Sistem kekebalan ayam merupakan suatu mekanisme yang digunakan dalam tubuh ayam sebagai perlindungan terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh pengaruh dari lingkungan sekitarnya. Sistem kekebalan ini bertugas melakukan pertahanan terhadap infeksi mikroorganisme atau bahan organik berbahaya. Proses diperolehnya rangsangan kekebalan antara lain dapat berupa kekebalan perolehan/dapatan yang didapatkan secara aktif ada pula yang didapat secara pasif. Kekebalan perolehan aktif diperoleh karena adanya rangsangan agen penyakit, sebagai contoh jika ayam divaksin atau setelah sembuh dari penyakit. Saat penyakit masuk ke dalam tubuh, secara langsung tubuh akan membentuk kekebalan
|7
yang spesifik terhadap agen penyakit itu. Vaksinasi pada ayam berarti memasukkan bibit penyakit ke dalam tubuh ayam yang sudah dilemahkan dan menyebabkan tubuh menjadi kebal karena terbentuknya antibodi (ditemukan dalam serum darah) pada ayam yang divaksinasi. Kekebalan tubuh terhadap penyakit dapat dirangsang dengan membentuk antibodi dengan bantuan antigen. Kekebalan perolehan pasif merupakan kekebalan yang diperoleh dari sumber luar, seperti dari sang induk melalui telur. Kuning telur yang terbentuk dalam tubuh induk ayam mengandung antibodi. Kekebalan ini juga dapat terjadi dengan jalan penyuntikan antiserum ke ayam yang rentan.
Vaksin dan Vaksinasi Vaksin merupakan mikroorganisme agen penyakit yang telah dilemahkan virulensinya atau dimatikan dan apabila diberikan pada hewan tidak menimbulkan penyakit melainkan dapat merangsang pembentukan zat kebal yang sesuai dengan jenis vaksinnya (Suska 2008). Vaksin secara umum adalah bahan yang berasal dari mikroorganisme atau parasit yang dapat merangsang kekebalan terhadap penyakit yang bersangkutan sehingga tercapainya resistensi (Tizard 1988).
Vaksin terbagi
menjadi beberapa jenis yaitu vaksin hidup (lived), vaksin dimatikan (killed), vaksin subunit, dan vaksin rekombinan. Virus yang digunakan dalam vaksin hidup adalah virus yang dilemahkan dengan tujuan untuk menghilangkan sifat virulensinya, sedangkan pada vaksin mati digunakan virus yang dimatikan (dengan pemberian formalin atau propiolakton) dan ditambah adjuvan tetapi masih memiliki sifat imunogenitasnya (Tizard 1988). Vaksin Newcastle Disease dapat berasal dari virus galur lentogenik, mesogenik maupun velogenik. Virus lentogenik merupakan strain virus ND yang mempunyai tingkat virulensi dan mortalitasnya rendah yaitu strain B1 (Hitchner), strain La Sota, strain F (FAO 2004). Strain F memiliki tingkat virulensi paling rendah dibandingkan dengan strain lain pada virus galur lentogenik. Vaksin dengan strain F paling efektif apabila digunakan secara individu. Strain B1 memiliki tingkat virulensi lebih tinggi dibandingkan dengan strain F. Aplikasi vaksin strain B1 dilakukan melalui air minum atau penyemprotan/spraying. Pemberian vaksin B1 dilakukan pada day-old-chick (DOC) kemudian dilanjutkan dengan vaksin strain La Sota pada umur 10-14 hari (Fadilah dan Polana 2004). Virus galur mesogenik memberikan kekebalan yang lebih lama dibandingkan kekebalan yang dihasilkan oleh virus galur lentogenik. Namun pemberian vaksin galur mesogenik pada ayam yang belum mempunyai kekebalan dasar dapat menimbulkan
|8
reaksi post-vaksinasi dan penurunan produksi telur (Nugroho 1981). Virus galur mesogenik yang dipakai sebagai vaksin diantaranya adalah strain Roakin, strain Mukteshwar, strain Kommarov, dan strain Bankowski (Sudarjat 1991). Virus galur velogenik dibuat sebagai bahan vaksin dalam bentuk vaksin killed (Nugroho 1981), hal ini disebabkan karena virus galur velogenik merupakan virus yang mempunyai tingkat virulensi sangat tinggi (FAO 2004). Vaksinasi akan berhasil bila ditunjang dengan penggunaan vaksin yang berkualitas tinggi serta cara persiapan dan pelaksanaan vaksinasi yang benar. Prinsip dasar vaksinasi adalah antigen vaksin harus diberikan terlebih dahulu pada ayam sebelum terjadinya proses infeksi oleh virus lapang. Vaksinasi yang optimal yaitu dengan memberikan vaksin yang dapat memberikan perlindungan menyeluruh pada semua ayam. Kualitas vaksin yang baik sangat dipengaruhi oleh cara pembuatan vaksin, proses pendistribusian sampai ke peternakan dan penyimpanan sebelum pelaksanaan vaksinasi. Efektifitas vaksin ditentukan oleh jumlah titer virus dan masa kadaluarsa. Selain itu, program vaksinasi, vaksinator, dan peralatan vaksinasi beserta sarana/prasarana
peternakan
ayam
memegang
peranan
dalam
keberhasilan
penanggulangan penyakit yang disebabkan oleh virus (Machdum 2009). Menurut Burgos dan Burgos (2007), vaksinasi pada unggas dapat memberikan hasil yang bervariasi tergantung pada kondisi penerapan di lokasi. Vaksin dapat menurunkan peluang ekskresi virus dan dinamika penularan, meningkatkan resistensi terhadap infeksi dan mengurangi timbulnya gejala klinis. Vaksinasi telah terbukti nyata mampu menurunkan peluang terjadinya ekskresi virus sehingga penyebaran virus di lingkungan dapat dihindari. Tujuan vaksinasi adalah untuk pencegahan penyakit yang disebabkan oleh virus terutama untuk mengurangi gejala klinis dan kematian. Prinsip dasar digunakan vaksin untuk pencegahan penyakit viral adalah penyakit tersebut telah terbukti terdapat pada suatu wilayah atau daerah lokasi peternakan. Vaksin yang digunakan harus mengandung konsentrasi antigen yang cukup untuk menstimulasi terjadinya kekebalan pada ayam dan menggunakan adjuvant yang berkualitas tinggi untuk mengurangi stres pada ayam serta mempunyai tingkat keamanan, potensi, dan efektifitas yang tinggi (Machdum 2009). Manfaat melakukan vaksinasi terhadap penyakit yang disebabkan oleh virus adalah mencegah kerugian ekonomi yang diakibatkan terjadinya kasus penyakit yaitu dengan menekan kematian, gangguan pertumbuhan dan penurunan produksi telur. Vaksinasi juga diharapkan dapat menekan penyebaran virus (shedding) dan kematian ayam yang peka terhadap infeksi virus penyakit. Vaksinasi tidak dapat menghilangkan
|9
infeksi tergantung tingkat kesakitan pada ayam, ataupun penyebaran virus pada lingkungan
jika
pada
kenyataannya
jumlah
bibit
penyakit
yang
ada
dilingkungan/dilapangan jauh lebih besar dibandingkan jumlah antibodi dalam tubuh ayam. Vaksinasi harus disertai tindakan biosekuriti (Machdum 2009). Efektifitas program vaksinasi dapat dilihat dari peningkatan secara keseluruhan status kesehatan dan produktifitas dari populasi yang telah divaksinasi. Indikatornya adalah tingkat mortalitas dan mobiditas, parameter lainnya seperti rasio konversi pakan/Feed Convertion Ratio (FCR), pencapaian bobot badan dan keseragaman (uniformity), produksi telur dan kualitas telur yang dihasilkan (Marangon dan Busani 2006).