TINJAUAN PUSTAKA Foodborne Disease Foodborne disease adalah suatu penyakit ditimbulkan akibat mengonsumsi makanan atau minuman yang tercemar.
Foodborne disease disebabkan oleh
berbagai macam mikroorganisme patogen atau zat kimia beracun dan berbahaya bagi kesehatan konsumen yang mengontaminasi makanan.
Oleh karena itu,
terdapat bermacam-macam foodborne disease. Makanan yang berasal baik dari hewan
maupun
tumbuhan
dapat
berperan
sebagai
media
pembawa
mikroorganisme penyebab penyakit pada manusia. Foodborne disease merupakan masalah kesehatan masyarakat yang meluas dan terus meningkat baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang. Di negara berkembang, masalah tersebut lebih berdampak pada kesehatan dan ekonomi dibandingkan dengan di negara maju, namun tidak ada data yang dapat dipercaya tentang hal itu. Salah satu perhatian dari aspek keamanan pangan dan kesehatan masyarakat terhadap pangan asal hewan akhir-akhir ini adalah penyakit hewan yang dapat ditularkan melalui produk hewan ke manusia atau dikenal sebagai foodborne zoonotic disease atau foodborne zoonosis (jamak=zoonoses). Foodborne zoonotic disease didefinisikan sebagai infeksi pada manusia yang ditularkan melalui pangan yang sumbernya dari hewan yang terinfeksi. Beberapa penyakit ini sudah dikenal lama seperti antraks yang ditularkan melalui daging sapi, kambing, domba, kerbau; sistiserkosis atau taeniasis yang ditularkan melalui daging babi, toksoplasma yang ditularkan melalui daging kambing atau domba (Lukman 2009). Menurut WHO (2007) yang dikutip oleh Sharif dan Al-Maliki (2010), insidensi global dari foodborne disease sulit diestimasi, tetapi pernah dilaporkan pada tahun 2005 sekitar 1.8 juta orang meninggal akibat diare. Kasus tersebut umumnya dapat dikaitkan dengan konsumsi makanan dan minuman yang tercemar.
Pada negara-negara industri persentase orang yang menderita
foodborne disease setiap tahunnya dilaporkan mencapai hingga 30%. Foodborne disease nampaknya akan terus meningkat secara mendunia pada tahun terakhir.
4 Hal tersebut terkait dengan perubahan drastis pada produksi hewan, industrialisasi produksi hewan, khususnya unggas, produksi massal dalam proses pengolahan dan distribusi pangan, globalisasi perdagangan pangan, dan peningkatan jumlah wisatawan seluruh dunia (Lindberg 1999 yang dikutip oleh Sharif dan Al-Malki 2010). Faktor-faktor tersebut telah meningkatkan pentingnya foodborne disease. Lebih dari 250 macam foodborne disease telah dideskripsikan. Sebagian besar penyakit ini merupakan penyakit yang disebabkan oleh bermacam-macam bakteri, virus, dan parasit yang terdapat pada makanan. Penyakit lainnya adalah keracunan yang disebabkan oleh racun berbahaya atau zat kimia yang mencemari makanan, contohnya kapang.
Dalam dua dasawarsa terakhir (sejak 1990),
foodborne disease muncul menjadi masalah penting dan terus berkembang dalam kesehatan masyarakat dan ekonomi di beberapa negara (Signorini dan FloresLuna 2010). Campylobacter adalah bakteri patogen yang dapat ditemukan pada sayuran, daging, dan air. Kebanyakan kasus foodborne disease yang berasal dari produk asal unggas merupakan sumber Campylobacter. Selain itu, Campylobacter juga dapat bersumber dari susu yang tidak terpasteurisasi, kontaminasi ketika memegang makanan, dan permukaan air yang terkontaminasi. Campylobacter berkolonisasi di dalam usus ayam broiler.
Infeksi Campylobacter biasanya
menyebabkan diare, namun pemberian antibiotik tidak selalu diperlukan. Diare karena Campylobacter yang menginfeksi usus menyebabkan inflamasi sehingga merusak sel-sel epitel di distal ileum dan kolon. Selain itu, infeksi ini dapat juga disertai demam dan keram perut (Bhunia 2008). Campylobacteriosis menjadi penyebab kasus diare dan diperkirakan mengambil porsi 5-14% dari seluruh kasus diare di dunia.
Foodborne
campylobacteriosis umumnya disebabkan oleh Campylobacter jejuni dan C. coli. Kedua
spesies
tersebut
merupakan
patogen
terpenting
terhadap
campylobacteriosis pada manusia, yang mana C. jejuni merupakan penyebab 8090% dan C. coli 5-10% merupakan campylobacteriosis enterik pada manusia (Lukman 2009). Campylobacteriosis diduga sebagai kasus tertinggi di antara foodborne bacterial infection di Amerika Serikat, yang diperkirakan mencapai 1.9 juta kasus per tahun dan berhubungan erat dengan konsumsi ayam. Ancaman
5 terhadap kesehatan masyarakat dari infeksi Campylobacter ini adalah spesies ini telah resisten terhadap beberapa antibiotik, khususnya florokuinolon dan makrolida, serta bersifat zoonotik (Bhunia 2008). Kasus foodborne disease akibat Salmonella saat ini lebih banyak disebabkan oleh Salmonella non-tifoid, terutama Salmonella Enteritidis dan Salmonella typhimurium.
Hampir semua serotipe/ serovar Salmonella enterica dapat
menimbulkan penyakit pada manusia dan hewan mamalia, serta bersifat zoonotik atau berpotensi zoonotik.
Cara penularan Salmonella ke manusia umumnya
melalui konsumsi makanan yang tercemar (jalur fekal-oral). Beberapa Salmonella memiliki sumber (reservoir) spesifik dan makanan tertentu sebagai media penularnya, misalnya Salmonella Enteritidis terkait dengan unggas dan produk unggas (Lukman 2009).
Semua Salmonella merupakan patogen intraselular
fakultatif dan bersifat patogen, serta dapat menyerang makrofag, sel-sel dendrit dan epitel (Bhunia 2008). Salmonella merupakan bakteri yang dapat menyebabkan penyakit salmonelosis.
Nama lain dari salmonelosis adalah enteric epizootic typhoid,
enteric infection, dan paratyphoid.
S. Typhimurium merupakan spesies yang
paling luas penyebarannya. Salmonelosis merupakan salah satu penyakit enterik yang disebabkan oleh bakteri terpenting yang menyebabkan jutaan kasus penyakit pada manusia dan hewan, serta menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan di seluruh dunia (Nógrády et al. 2008). Foodborne disease yang disebabkan oleh non-typhoid Salmonella merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia (Yang et al. 2010). Gejala salmonelosis pada manusia paling sering ditunjukkan sebagai non-typhoid syndrome, yang meliputi onset demam yang akut, nyeri abdomen, nausea, dan kadang-kadang muntah. Gejala ini berjalan dalam waktu tertentu (self-limiting).
Menurut Namata et al. (2009), manusia umumnya terinfeksi
Salmonella karena mengonsumsi telur, daging unggas, daging babi, dan daging sapi (jarang). Jenis pangan asal hewan yang terkait dengan salmonelosis pada manusia adalah daging, susu, unggas, dan telur. Beberapa produk olahan susu seperti keju dan es krim juga pernah menyebabkan wabah salmonelosis. Selain sakit dan
6 kematian, ancaman kesehatan masyarakat dari bakteri Salmonella adalah resistensi bakteri ini terhadap antibiotik yang dapat diturunkan dan ditularkan ke bakteri lain (Bhunia 2008). E. coli merupakan famili dari Enterobacteriaceae yang biasa ditemukan pada mikroflora intestinal dari hewan berdarah panas. Kebanyakan galur E. coli bersifat tidak patogen dan tinggal di saluran pencernaan manusia dan hewan. E. coli yang patogen dapat menyebabkan berbagai penyakit, antara lain gastroenteritis, disentri, hemolytic uremic syndrome (HUS), infeksi saluran kemih, septisemia, pneumonia, dan meningitis. Akhir-akhir ini yang menjadi perhatian adalah meningkatnya wabah yang disebabkan oleh enterohemorrhagic E. coli (EHEC) dan berkaitan dengan konsumsi daging, buah, sayuran yang tercemar, khususnya di negara berkembang. Pangan asal hewan yang sering terkait dengan wabah EHEC di Amerika Serikat, Eropa, dan Kanada adalah daging sapi giling (ground beef). Selain itu, daging babi, daging ayam, daging domba, dan susu segar (mentah). Serotipe utama yang berkaitan dengan EHEC adalah E. coli O157:H7, yang pertama kali dilaporkan sebagai penyebab wabah foodborne disease pada tahun 1982-1983. EHEC ini menghasilkan Shiga-like toxins sehingga disebut pula sebagai Shiga toxin producing E.coli (STEC).
Shiga toxin ini mematikan sel vero,
sehingga disebut pula verotoxin producing E. coli (VTEC). Bakteri ini umumnya tinggal di usus hewan, khususnya sapi, tanpa menimbulkan gejala penyakit. Bakteri ini juga dapat diisolasi dari feses ayam, kambing, domba, babi, anjing, kucing, dan sea gulls (Lukman 2009). Penyakit ini menyebabkan diare berdarah dan kesakitan karena keram perut tanpa disertai demam. Gagal ginjal juga dapat disebabkan patogen ini karena sel-sel endotel ginjal menjadi rusak (Bhunia 2008).
Pengetahuan Knowledge atau pengetahuan adalah kapasitas untuk mendapatkan, menahan dan menggunakan informasi; sebuah gabungan dari pemahaman, pengalaman, ketajaman, dan keterampilan (Badran 1995). Sedangkan menurut Kibler et al. (1981), pengetahuan dapat didefinisikan sebagai ingatan mengenai sesuatu yang bersifat spesifik atau umum; ingatan mengenai metode atau proses,
7 ingatan mengenai pola, susunan atau keadaan.
Kibler et al. (1981) merinci
pendapatnya dengan mengelompokkan jenis pengetahuan secara hirarkis ke dalam: (1) pengetahuan yang bersifat spesifik, (2) pengetahuan mengenai terminologi, (3) pengetahuan mengenai fakta-fakta tertentu, (4) pengetahuan mengenai cara-cara tertentu, (5) pengetahuan mengenai kaidah, (6) pengetahuan mengenai arah dan urutan, (7) pengetahuan mengenai klasifikasi dan kategori, (8) pengetahuan mengenai kriteria, (9) pengetahuan mengenai metode, (10) pengetahuan mengenai pola, (11) pengetahuan mengenai prinsip dan generalisasi, dan (12) pengetahuan mengenai teori dan struktur. Supriyadi (1993) menyatakan pengetahuan merupakan sekumpulan informasi yang dipahami, yang diperoleh melalui proses belajar selama hidup dan dapat digunakan sewaktu-waktu sebagai alat penyesuaian diri sendiri maupun lingkungannya.
Pengetahuan berarti
pemahaman suatu masyarakat tentang suatu topik diberikan (Kaliyaperumal 2004). Ehiri dan Moris (1996) di dalam penelitiannya mengenai edukasi dan pelatihan praktek higiene pada orang yang menangani makanan mendapatkan hasil bahwa perilaku atau praktek individu tergantung pada pengetahuannya dan juga akan berpengaruh pada sikap yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi perilaku. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan memegang peranan penting pada perubahan perilaku.
Sikap Attitude yang dimaksud disini diterjemahkan menjadi sikap yang dapat didefinisikan sebagai sebagai suatu kecenderungan atau kehendak hati untuk memberikan reaksi dengan cara tertentu pada situasi tertentu; untuk melihat dan menginterpretasikan kejadian-kejadian menurut predisposisi tertentu; atau mengatur opini-opini secara logis dan struktur yang saling berhubungan (Badran 1995). Gerungan (1967) menerjemahkan attitude sebagai sikap terhadap sesuatu objek tertentu yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan yang disertai dengan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek tersebut.
Objek sikap ini tidak hanya terarahkan untuk benda-benda,
8 individu-individu, tapi juga bisa terhadap peristiwa-peristiwa, pemandanganpemandangan, lembaga-lembaga, norma-norma, nilai-nilai dan sebagainya. Sedangkan Lewis dan Petersen (1985) menyatakan sikap adalah kecenderungan untuk melakukan respon secara konsisten dengan cara positif atau negatif terhadap sebuah objek atau sekumpulan objek. Lebih lanjut ditegaskan bahwa sebagian dari sikap ditentukan oleh proses yang bersifat pengertian atau kesadaran (cognitive) dan sebagian ditentukan oleh emosi (emotion). Wilcock et al. (2004) di dalam penelitiannya mengenai pengetahuan, sikap, dan perilaku konsumen menyatakan bahwa sikap konsumen dapat dipengaruhi dan memprediksi suatu perilaku. Tinjauan ini menyoroti berbagai macam sikap konsumen terhadap keamanan pangan. Perbedaan diantara konsumen tersebut dipengaruhi berbagai faktor, termasuk faktor demografi dan status sosio-ekonomi.
Studi terhadap Pengetahuan dan Sikap Survei pengetahuan, sikap, dan praktek atau knowledge, attitude, and practice (KAP) adalah suatu studi representatif dari suatu populasi spesifik untuk mengumpulkan informasi tentang apa yang diketahui, dipercayai dan dilakukan terkait dengan suatu topik tertentu.
Dalam survei KAP, data dikumpulkan
menggunakan kuesioner yang disusun secara terstruktur dan diisi sendiri oleh responden. Data tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif atau kuantitatif tergantung pada tujuan dan disain studi. Survei KAP dapat didisain secara khusus untuk menjaring informasi tentang topik tertentu.
Data hasil survei KAP
bermanfaat untuk membantu merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi suatu kegiatan. Survei KAP dapat mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan (knowledge gap), kepercayaan budaya, atau pola perilaku yang mungkin mempengaruhi pemahaman dan tindakan, serta mengenal masalah yang muncul atau hambatan (barriers) dari suatu usaha. Survei KAP dapat mengidentifikasi informasi yang umumnya menjadi suatu pengetahuan dan sikap. Lebih jauh, suvei KAP dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi perilaku yang tidak diketahui pada kebanyakan orang, alasan-alasan terhadap sikapnya, serta bagaimana dan mengapa orang-orang melakukan atau menerapkan perilaku tertentu.
9 Survei KAP dapat menilai proses dan sumber komunikasi yang menjadi kunci aktivitas dan pesan yang efektif dalam suatu kegiatan. Selanjutnya, survei ini dapat digunakan juga untuk mengidentifikasi kebutuhan, masalah dan hambatan dalam penyampaian/pelaksanaan program, serta mencari pemecahan (solution) untuk memperbaiki kualitas dan aksesibilitas pelayanan (WHO 2008). Mead et al. (2000) mendiskusikan tiga kesulitan penting yang berdampak utama dalam pengumpulan data yang akurat. Walaupun diskusi ini difokuskan pada situasi di Amerika Serikat, kesulitan-kesulitan tersebut nampaknya berlaku di seluruh dunia. Pertama, foodborne disease, perawatan di rumah sakit dan kematian tidak dilaporkan karena pengobatan tidak teramati, pengujian diagnostik tidak dilakukan, atau hasil uji tidak dilaporkan untuk ditabulasi. Kedua, agen patogen penyebab foodborne disease dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain atau melalui wahana lain seperti air. Ketiga, beberapa foodborne disease, disebabkan oleh agen patogen yang belum diketahui dan sampai saat ini belum banyak dilaporkan pada makanan.