BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Virus Newcastle disease (ND) Newcastle Disease (ND) biasa disebut juga sebagai Pseudo-Fowl Pest, Pseudovogel-Pest, Atypische Gefugelpest, Pseudo-Poultry Plague, Avian Pest, Avian Distemper, Ranilchet Disease, Tetelo Disease, Korean Fowl Plague, dan Avian Pneumoencephalitis (Alexander, 2003). Virus ND diklasifikasikan sebagai superfamily dari Mononegavirales dalam famili Paramyxoviridae, genus Avulavirus (Mayo, 2002a; b). Family ini tergolong kedalam virus RNA yang memiliki envelope. Komponen envelope ini merupakan bagian virus yang bersifat infeksius (Alexander, 1991). Paramyxovirus berbentuk pleomorfik. Secara umum, virus ini berbentuk bulat dengan diameter 100-500 nm seperti terlihat pada Gambar 2.1, namun bentukan filament dapat terlihat dengan panjang 100 nm (Alexander, 2003). Virion terdiri dari susunan helix nukleokapsid yang berisi asam inti RNA rantai tunggal (ssRNA), dikelilingi envelope atau membrane tipis yang terdiri dari lipid bilayer, lapisan protein dan glikoprotein yang berbentuk paku menonjol pada permukaan partikel (Alexander, 1991). Galur ND terdiri dari 10 grup genetik (I – X) dan dibagi lagi ke dalam subgenetik (VI a hingga VI h dan VII a hingga VII e). Secara serologi, virus ND terdiri dari satu (single) grup, avian Paramyxovirus 1. Virusnya merupakan negative single stranded-genome RNA dengan 15.186 kb (Seal et al., 2000), dengan kode RNA langsung adalah RNA Polymerase, Hemagglutinin-neuraminidase protein, fusion protein, matrix protein, phosphoprotein dan nucleoprotein.
OIE mendefinisikan ND sebagai infeksi yang disebabkan oleh virus APMV1 dengan indeks ICPI 0,7 atau lebih besar bila disuntik pada ayam umur sehari (OIE, 2000). Virus ND memiliki dua pasang asam amino dasar, yaitu Lysine (K) atau Arginine (R) (Sudarisman, 2009).
Gambar 2.1. Virus Newcastle disease (Yan, 2008). Genom virus ini mempunyai 6 protein utama yang menyusunnya yaitu Nucleocapsid protein (N), Phosphoprotein (P), Matrix protein (M), Fusion protein (F), Hemagglutinin-neuraminidase protein (HN) dan Large polymerase protein (L). Protein N, P, HN dan F terletak di bagian luar envelope sedangkan protein M terdapat di lapisan dalam virion. Protein-protein ini mempunyai peran masingmasing dalam menentukan virulensi virus ND (Hewajuli and Dharmayanti, 2011). Newcastle disease (ND) merupakan suatu penyakit pernafasan dan sistemik, yang bersifat akut dan mudah sekali menular yang disebabkan oleh virus yang
menyerang berbagai jenis unggas terutama pada ayam. Newcastle Disease merupakan suatu penyakit yang bersifat komplek, oleh karena isolat dan strain virus yang berbeda dapat menimbulkan variasi yang besar dalam derajat keparahan dari penyakit, termasuk pada spesies unggas yang sama, misalnya ayam (Tabbu, 2000). Virus yang tergolong genus Paramyxovirus dapat dibedakan dari virus lainnya oleh karena adanya aktifitas neuraminidase yang tidak dimiliki oleh virus lain pada famili Paramyxoviridae. Virus ND mempunyai aktifitas biologik yaitu kemampuan untuk mengaglutinasi dan menghemolisis sel darah merah atau fusi dengan sel-sel tertentu, mempunyai kemampuan neuraminidase dan kemampuan untuk bereplikasi di dalam sel-sel tertentu (Tabbu, 2000). Salah satu aktivitas biologis virus ND dapat mengagglutinasi sel darah merah semua amphibi, reptilia, manusia, tikus dan marmot. Sel darah merah sapi, kambing, domba, babi dan kuda juga dapat di aglutinasi virus ND tergantung pada strain virus (Alexander and Senne, 2008). Mekanisme terbentuknya hemaglutinasi sel darah merah oleh virus ND dengan reseptor sel disebabkan adanya ikatan antara protein hemagglutinin pada virus ND dengan reseptor yang ada dipermukaan sel darah merah, yaitu suatu mukoprotein yang terdapat pada permukaan eritrosit (MacLahlan and Dubovy, 2011). 2.1.1 Serotype avian paramyxovirus (APMV) Berdasarkan hasil uji Hemagglutination Inhibiton (HI) dan Neuraminidase Inhibition (NI) genus Avulavirus ini terdiri dari sembilan serotype yakni APMV serotype 1 sampai dengan serotype 9 (Aldous dan Alexander, 2001). Virus ND termasuk dalam APMV-1 yang merupakan virus yang terpenting pada unggas.
APMV-1 merupakan anggota dari mononegavirales pada family Paramyxoviridae. Familiy ini dipecah menjadi dua subfamily yaitu Paramyxovirinae dan Pneumovirinae. Pada Famili Paramyxovirus banyak yang bersifat patogan pada manusia dan hewan yang dapat menyebabkan penyakit seperti Cacar air/Campak, Gondok, Virus Nipah, virus pernafasan syncytial pada manusia, virus parainfluenza, Virus Sendai dan Infeksi NDV. Penataan ulang terhadap Family Paramyxoviridae oleh Komite Internasional tentang Taksonomi Virus pada tahun 1993 bahwa APMV-1 ditempatkan dalam genus Rubulavirus. Semenjak adanya perbedaan waktu pada Family Paramyxoviridae menyebabkan pengembangan genus baru Avulavirus (Hines and Miller, 2012). Avian Paramyxovirus tipe-2 (APMV-2) dapat ditemukan pada burung, termasuk burung peliharaan dan jarang pada ayam atau kalkun. Avian Paramyxovirus tipe-3 (APMV-3) dapat ditemukan pada burung peliharaan dan kalkun di kanada, USA, UK, Perancis dan Jerman (Fenner, 1993). Serotype APMV4, APMV-5, APMV-6, APMV-7, APMV-8 dan APMV-9 pada umumnya menyerang itik, angsa, merpati, betet dan beberapa jenis unggas lainnya, akan tetapi tidak menimbulkan gejala klinis (Saepulloh, 2005). Reaksi silang pada Hambatan Haemaglutinas (HI) dan tes lainnya telah mendeteksi beberapa serotype APMV. Namun, penggunaan berbagai serologi dan tes non-serologi cenderung untuk meneguhkan kekhasan dari serotipe APMV. Hubungan antigenik antara APMV-1 dengan serotipe lain sangat penting karena ini dapat mempengaruhi diagnosis ND. Umumnya, seperti reaksi silang pada tes serologis masih rendah, namun APMV-3 virus dapat menunjukkan tingkat
reaktivitas silang cukup tinggi dengan APMV-1 antisera konvensional yang dapat menyebabkan masalah. Antibodi terhadap virus APMV-3 terdeteksi pada ayam dengan tingkat antibodi yang tinggi terhadap NDV sebagai akibat dari vaksinasi (Alexander, 2000). Variasi antigenik antara virus dalam APMV serotype sudah pernah dilaporkan pada sebagian besar serotipe dimana lebih dari beberapa isolat telah diperoleh. Untuk NDV (APMV-1), perbedaan dideteksi dengan tes HI konvensional sudah pernah dilaporkan, meskipun jarang. Disebutkan bahwa virus jenis ini sudah pernah terjadi pada panzootik balapan merpati yang terjadi selama 1980-an. APMV NDV pada merpati terbukti berbeda dengan strain standar dalam tes HI, meskipun itu tidak cukup berbeda sehingga Vaksin ND yang konvesional tidak protektif. Variasi yang nyata telah dicatat antara virus yang ditempatkan di serotipe APMV-2, APMV-3 dan APMV-7. Variasi yang dicatat sering kali menunjukkan dua virus dengan hubungan satu sama lain, tetapi masing-masing menunjukkan kemiripan yang kuat pada ketiga virus tersebut (Alexander, 2000). Dari APMV yang lain, hanya jenis virus APMV-2 dan APMV-3 yang terbukti menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada unggas, meskipun virus APMV-6 dan APMV-7 telah dikaitkan dengan penyakit klinis pada kalkun. Virus APMV-2 virus mengakibatkan penyakit pernapasan ringan. Namun, penyakit akan menjadi lebih serius dan memburuk jika ada infeksi oleh organisme lain. Virus Avian Paramyxovirus serotipe 2 dikaitkan dengan masalah pernapasan dan produksi telur pada ayam dan kalkun mulai dari ringan sampai berat dengan
mortalitas tinggi. Penyakit ini biasanya lebih parah pada kalkun dibandingkan dengan ayam (Alexander, 2000). Virus Avian Paramyxovirus serotipe 3 dikaitkan dengan penyakit pernafasan dan masalah produksi telur pada kalkun. Sampai saat ini, tidak ada infeksi alami yang dilaporkan pada ayam, meskipun infeksi eksperimental menunjukkan bahwa unggas rentan terhadap serotype ini. Infeksi yang sederhana pada kalkun, tanda pertama adalah sering mengalami penurunan produksi telur dan gejala pernafasan yang ringan. Penurunan produksi telur bervariasi sesuai dengan umur unggas da nada tidaknya infeksi sekunder (Infeksi ganda NDV I Aktif vaksin), Virus Influenza, Clamydia, Mikoplasma atau bakteri lainnya. Tidak ada penelitian yang melaporkan adanya lesi yang disebabkan oleh APMV-3 pada kalkun. Avian Paramyxovirus serotipe 6 telah diisolasi pada kalkun dengan masalah produksi telur dan pernapasan yang ringan. Virus APMV-7 dilaporkan sebagai patogen utama dalam wabah penyakit pernapasan dengan mortalitas yang tinggi pada kalkun. Penyakit pernapasan ringan ditunjukkan pada kalkun terinfeksi eksperimental (Alexander, 2000). 2.1.2 Cara penularan virus ND Virus ND yang terutama bereplikasi di dalam saluran pencernaan akan menyebabkan adanya feses yang tercemar oleh virus tersebut. Penularan virus ND juga dapat terjadi secara oral akibat ingesti feses yang mengandung virus tersebut ataupun secara tidak langsung melalui pakan atau minuman yang tercemar atau perinhalasi akibat menghirup partikel feses yang mengering (Fenner, 1993; Center for Food Security and Public Health, 2008). Penyebab perbedaan keganasan
diantara strain Paramyxovirus adalah terletak pada cepat atau lambatnya perbanyakan virus bersangkutan (Russel, 1993). Penularan virus ND dapat secara langsung dari ayam yang sakit ke ayam yang peka, tetapi dapat juga terjadi secara tidak langsung melalui bahan, alat atau pekerja yang tercemar virus tersebut. Cara penularan virus ND dari ayam yang sakit ke ayam yang peka tergantung pada tempat bereplikasi dari virus tersebut. Ayam yang menunjukkan gejala gangguan pernafasan akan menyebabkan adanya udara bercampur titik air yang mengandung virus ND yang berasal dari mukus ayam sakit. Penularan virus ND dapat terjadi secara inhalasi (Tabbu, 2000). Penularan penyakit ND secara aerosol dapat terjadi meskipun jaraknya cukup jauh yakni 64 meter dari sumber infeksi (Kencana, 2012). Virus ND dapat ditemukan dalam telur ayam yang terinfeksi virus tersebut tapi penularan secara transovarial mungkin tidak terjadi oleh karena embrio sudah mati sebelum telur menetas. Virus ini juga dapat menembus kerabang telur untuk menginfeksi embrio (Fenner, 1993). Penularan melalui telur ini dapat terjadi akibat kulit telur terkontaminasi oleh feses yang telah mengandung virus ND (Kencana, 2012). Penyebaran virus ini sangat cepat, baik dari ayam ke ayam maupun dari kandang ke kandang. Ayam yang menderita penyakit ini akan akan menghasilkan telur yang mengandung virus ND, sehingga telur yang mengandung virus tersebut tidak akan menetas. Dua hari setelah virus menginfeksi ayam, ayam sudah menjadi sumber penyakit yang siap menebar pada kelompoknya, dan dari kandang ke kandang lain. Virus ND berada di udara pernafasan, tinja, ayam yang mengalami
sakit dan pada karkas ayam yang mati karena ND. Di samping oleh ayam, penyebaran penyakit dapat melalui burung piaraan atau burung liar yang ada di sekitar atau masuk ke dalam kandang. Peranan dari berbagai faktor di atas dalam penularan virus ND tergantung pada berbagai faktor manajemen dan lingkungan tempat suatu peternakan beroperasi. Keberhasilan penularan virus ND erat hubungannya dengan kemampuan virus tersebut bertahan dalam bangkai ayam atau ekskresi dari ayam sakit. Di dalam bangkai ayam yang terinfeksi, virus ND dapat bertahan selama beberapa minggu pada temperatur rendah atau selama beberapa tahun jika disimpan pada temperatur beku. Feses dapat mengandung virus ND dalam jumlah yang banyak, pada temperatur 37○C virus tersebut masih tetap hidup selama lebih dari satu bulan (Tabbu, 2000). Unggas yang terinfeksi ND dapat mengeluarkan virus selama 1 sampai 2 minggu kecuali pada burung psittacine yang dapat mengeluarkan virus selama beberapa bulan sampai lebih dari setahun. Adanya sekresi virus dalam waktu yang lama oleh burung psittacine menyebabkan burung ini menjadi sumber penular penting dari virus ND terutama daerah endemis (Kencana, 2012). 2.1.3 Siklus hidup dan mekanisme infeksi virus ND Strategi replikasi yang digunakan oleh ND mirip dengan virus RNA nonsegmented negatif lainnya.Langkah awal replikasi adalah adsorpsi dengan reseptor sel permukaan virus diikuti penyatuan dengan membran sel host. Penyatuan ini menyebabkan genom virus akan dilepaskan ke sitoplasma. Transkripsi dan replikasi dari genom NDV terjadi dalam sitoplasma. Pada akhir siklus replikasi, protein virus
turunan yang sudah matang akan menembus membran plasma (Gambar 2.2) (Yan, 2008).
Gambar 2.2 Siklus Hidup dan Mekanisme Infeksi ND (Yan, 2008). Amplop virus ND terdiri atas dua glikoprotein, yakni HN dan F yang berperan amat penting dalam proses infeksi. Protein HN memediasi terjadinya perlekatan virus dengan sel inang pada reseptor sel inang atau induk semang yang mengandung sialic acid. Molekul sialic acid ini adalah glycoprotein dan glycolipid. Protein F berperan dalam pembentukan sinsitia pada sel yang terinfeksi. Penggabungan amplop virus dengan membran sel target merupakan tahapan yang paling penting dalam mekanisme infeksi virus ND dan protein F begitu juga HN memegang peranan penting dalam proses ini. Protein HN bertanggung jawab dalam pelekatan virion ke sel target, sedangkan protein F berfungsi untuk menghancurkan sel target serta menginduksi terjadinya penggabungan membran (Mirah Adi et al., 2008). Penempelan virus dilakukan dengan penyatuan virus dan membran sel yang diperantarai oleh protein F. Virus RNA kemudian dilepaskan dalam sitoplasma dan
terjadi replikasi. Envelope virus masuk ke dalam sel melalui 2 jalan utama yaitu pertama, penyatuan secara langsung antara envelope virus dengan membran plasma dan kedua, diperantarai oleh reseptor endositosis. Penetrasi virus melalui reseptor endositosis tergantung pada kondisi pHnya. Pada Paramyxoviruses, proses penyatuan membran virus dengan membran plasma inang atau induk semang tidak tergantung pH. Walaupun demikian, hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penyatuan virus ND dengan sel mampu meningkatkan pH. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa penetrasi virus ND pada sel inang melalui reseptor endositosis juga dipengaruhi oleh kondisi pH (Dharmayanti and Hewajuli, 2011). Kepekaan sel terhadap virus ND yang tidak virulen dipengaruhi oleh beberapa faktor. Sel tersebut harus mempunyai reseptor yang cocok sehingga virus dapat melakukan penempelan dan masuk ke dalam sel. Disamping itu, sel tersebut juga harus memiliki tripsin yang menyerupai protease dimana enzim ini berperan dalam pemecahan protein F0 menjadi F1 dan F2. Penyebaran reseptor sel pada ayam yang peka terhadap virus ND bentuk tidak virulen bersifat terbatas dan hanya ditemukan pada saluran pencernaan dan saluran pernafasan bagian atas (Alexander, 1991). Sedangkan virus bentuk virulen tidak selalu memerlukan enzim protease dan replikasi virus biasanya terjadi di sebagian besar jaringan induk semang. Replikasi virus yang terjadi di limfosit menghasilkan suatu respon imun dan produksi antigen virus yang cukup dibutuhkan untuk meningkatkan efektivitas sistem imun. Di dalam saluran pencernaan terdapat faktor-faktor nonspesifik yang mempengaruhi replikasi virus ND. Enzim protease dan pH yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam proses penempelan virus pada reseptor sel. Dimana keberadaan tripsin pada
beberapa bagian saluran pencernaan dapat mengaktifkan virus ND bentuk tidak virulen setelah virus tersebut dilepaskan dari sel yang kekurangan enzim protease. Antigen virus ND dideteksi pada sebagian besar sel epitel saluran pencernaan serta limfosit dan makrofag ditemukan pada lamina propia beberapa jaringan. Hasil penelitian di atas memperlihatkan bahwa tempat awal replikasi virus ND terutama terjadi di saluran pencernaan bagian atas yaitu esophagus, tembolok dan proventrikulus apabila virus ND diinfeksikan melalui mulut, sedangkan replikasi virus ND pada saluran pencernaan bagian bawah yaitu duodenum, jejunum, ileum dan caecum kemungkinan terjadi sebagai akibat viremia (Dharmayanti and Hewajuli, 2011). 2.1.4 Pathotype virus ND Terdapat tiga pathotype didalam Virus ND yang dikelompokkan berdasarkan atas waktu kematian embrio, yakni: lentogenic adalah strain virus yang kurang ganas ditandai dengan kematian embrio lebih dari 90 jam, mesogenic antara 60-90 jam, sedangkan velogenic kurang dari 60 jam (Saif, 2003). Virus ND tipe lentogenic menunjukkan gejala klinis pada ternak ayam yang bersifat ringan atau tanpa gejala klinis. Virus ND tipe mesogenic dengan virulensi moderat (sedang) menunjukkan gejala yang dari ringan sampai sedang. Sementara itu, virus ND velogenic adalah tipe yang sangat ganas ditandai dengan penyakit yang bersifat akut dan kematian yang tinggi sampai 100%. Berdasarkan atas predileksinya dan gejala klinis yang ditimbulkan, virus ND velogenik dibedakan lagi menjadi bentuk neurotropic dengan gejala gangguan syaraf, pneumotropic dengan kelainan pada sistem pernafasan, dan
Viscerotropic dengan kelainan pada sistima pencernaan (Aldous and Alexander, 2001). Alexander and Senne (2008b) menyatakan bahwa berdasarkan tanda-tanda klinis yang terlihat pada ayam yang terinfeksi NDV telah dikelompokkan menjadi lima pathotype. Viscerotropic velogenic: bentuk yang sangat patogen di mana lesi usus hemoragik sering terlihat; Neurotropic velogenic: bentuk yang ditandai dengan kematian yang tinggi, biasanya diikuti dengan gejala pernapasan dan saraf; Mesogenic: bentuk yang ditandai dengan gejala pernapasan, gejala saraf sesekali, tapi tingkat kematian rendah; Lentogenic: bentuk yang menunjukkan adanya infeksi pernafasan ringan atau subklinis; dan Asimtomatic: bentuk yang biasanya ditandai dengan infeksi enterik yang bersifat subklinis. Tabbu (2000) menjelaskan bahwa unggas yang terinfeksi virus ND terutama dari tipe velogenic viscerotropic (VVND) gejala klinis yang ditimbulkan antara lain terjadi kelesuan, peningkatan frekuensi pernafasan, kehilangan nafsu makan, penurunan konsumsi air minum, kelemahan dan berakhir kematian. Adi, et al (2009) menjelaskan bahwa ayam yang terinfeksi virus ND velogenik gejala klinis yang ditimbulkan dehidrasi, badan mengalami kekurusan dan diare kehijauan yang menempel di sekitar kloaka. 2.1.5 Masa inkubasi dan gejala klinis ND Masa Inkubasi sangat bervariasi tergantung pada strain virus, jenis unggas, status kebal dan adanya infeksi campuran dengan organisme lainpada saat hewan terinfeksi. Pada ayam masa inkubasi virus ND velogenik adalah 2 sampai 6 hari. Masa inkubasi yang lebih lama juga pernah dilaporkan yaitu sampai 25 hari.
Gejala klinis penyakit ND pada infeksi virus galur velogenik dapat menimbulkan gejala gangguan pernapasan seperti sesak napas, ngorok, bersin serta gangguan syaraf seperti kelumpuhan sebagian atau total, tortikolis, serta depresi. Tanda lainnya adalah adanya pembengkakan jaringan di daerah sekitar mata dan leher. Infeksi virus galur mesogenik menimbulkan gejala klinis seperti gangguan pernapasan yaitu sesak napas, batuk, dan bersin. Infeksi virus galur lentogenik menunjukkan gejala ringan seperti penurunan produksi telur dan tidak terjadinya gangguan syaraf pada unggas terinfeksi. Morbiditas dan mortalitas tergantung pada tingkat virulensi dari galur virus, tingkat kekebalan vaksin, kondisi lingkungan, dan kepadatan ayam di dalam kandang (OIE, 2002). Tanda - tanda klinis ayam terserang tetelo adalah lemah, nafsu makan menurun, gangguan pernafasan, gangguan syaraf, minum lebih banyak dan sering berkerumun atau berkumpul ditempat hangat. Secara patologis, gejalanya antara lain kantung hawa keruh, proventriculus mengalami pendarahan berupa bintikbintik merah, terjadi enteritis dan nekrosa pada usus, eksudat kental berwarna kehijauan bercampur darah, terdapat peradangan sinus hidung, trakea dan laring, serta pneumonia (Sudaryani and Santoso, 2003). 2.1.6 Perubahan patologi anatomi dan histopatologi Perubahan makroskopis pada saluran pencernaan meliputi hemoragi pada proventrikulus, duodenum dan seka tonsil (Capua and Terregino, 2009). Bagian yang mendapat perhatian adalah seka tonsil, dimana terdapat nekrosis apabila dibuka dan perubahan hiperemi di sebagian besar organ terutama otak. Lesi mikroskopik utama ND adalah nonpurulen ensefalomyelitis, vaskulitis, nekrosis limfoid (bursa,
limpa, timus dan jaringan limfoid mukosa usus), trakheitis, pneumonia, salfingitis, nekrosis hati, pankreatitis dan konjungtivitis. Beberapa kajian melaporkan tentang pembentukan ensefalomalasia dan pankreatitis nekrotik pada ND (Tabbu, 2000). Pada usus halus lesi nekrotik hemoragi bersifat multifokal, secara histopatologi terlihat nekrosis fokal maupun difus serta infiltrasi sel-sel mononuklear pada jaringan limpa, hati, ginjal, paru-paru, usus, sekum, proventrikulus dan otak (Oladele et al., 2008). Meskipun tidak ada lesi patognomonik, hemoragi pada intestinal bisa digunakan untuk membedakan velogenik viserotropik ND dengan velogenik neurotropik ND (Alexander 2001). Akoso (1998) menyatakan bahwa pada kasus ND hasil bedah bangkai memperlihatkan gejala khas, seperti adanya petechiae pada proventrikulus, perubahan pada lapisan usus berupa hemoragi dan nekrosa, pada organ pernafasan akan terjadi eksudasi dan kantung udara menebal. Menurut Tabbu (2000), perubahan makroskopik yang ditemukan biasanya erat hubungan dengan galur tipe patologik dari virus ND, pada VVND tersifat oleh adanya nekrosis dan hemoragik pada saluran pencernaan, meliputi proventrikulus, ventrikulus dan berbagai bagian usus, dimana lesi tersebut dapat dipakai untuk membedakan VVND dengan NVND. Velogenik viserotropik ND menimbulkan merah dan bengkak pada konjungtiva, nekrosis multifokal pada limpa, hemoragi pada mukosa proventrikulus, duodenum, seka tonsil, atrofi bursa Fabricious dan timus (Nakamura et al., 2010). Perubahan patologi anatomi pada ayam yang tidak divaksin tapi ditantang dengan virus lapang (virus ND velogenik isolat lokal (VND/Tasik/M13/2009 secara intramuskular) pada hari ke-5 hingga hari ke-6 paska uji tantang terlihat bahwa
semua sampel ayam ditemukan perdarahan yang meluas di proventrikulus dan di organ usus halus ditemukan fokus nekrotik-hemoragika. Pada pemeriksaan histopatologi, lumen kelenjar proventrikulus terlihat membesar dan berisi sel-sel runtuhan, adanya hiperemi hingga hemoragi, nekrosis parah, edema serta endotel yang rusak (Nuryanto, 2012). Adi, et al (2010) melaporkan bahwa ayam terserang ND ketika wabah di Bali menunjukkan atrofi pada organ-organ limfoid seperti bursa Fabrisius, timus dan limpa; hemoragi intestinal dan edema pada otak. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan meningoensefalomyelitis nonsuppuratif ditandai dengan nekrosis neuron, gliosis multifokal sampai difus dan perivascular cuffing dari sel-sel mononuklear, nekrosis hemoragik pada trakhea dan usus serta deplesi dan nekrosis pada jaringan limfoid termasuk bursa Fabrisius. 2.2 Vaksin dan vaksinasi Vaksin adalah suatu produk biologis yang berisi mikroorganisme agen penyakit yang telah dilemahkan atau diinaktifkan (atte~zuated). Vaksin secara umum adalah bahan yang berasal dari mikroorganisme atau parasit yang dapat merangsang kekebalan terhadap penyakit yang bersangkutan (Malole, 1988). Bahan yang berisi organisme penyebab penyakit tersebut jika dimasukkan ke dalam tubuh hewan tidak menimbulkan bahaya penyakit tetapi masih dapat dikenal oleh sistem imun (Kayne and Jepson, 2004) serta dapat merangsang pembentukan zat-zat kekebalan terhadap agen penyakit tersebut (Tizard, 1988) dan tindakan ini dikenal dengan istilah vaksinasi.
Vaksin terdiri atas vaksin aktifd dan vaksin inaktif. Agen penyakit dalam vaksin aktifd atau vaksin hidup berada dalam keadaan hidup namun telah dilemahkan. Agen penyakit pada vaksin inaktif berada dalam keadaan mati dan biasanya ditambahkan dengan adjuvant (Akoso, 1988). Adjuvan merupakan bahan kimia yang memperlambat proses penghancuran antigen dalam tubuh serta merangsang pembentukan kekebalan sehingga menghasilkan antibodi sedikit demi sedikit (Malole, 1988). Umumnya vaksin aktif lebih baik daripada vaksin inaktif, karena vaksin aktif dapat memberikan respon kekebalan yang lebih kuat, dapat diberi tanpa penambahan adjuvan dan dapat merangsang produksi interferon (Tizard, 1988). Namun vaksin aktifd sering memperlihatkan gejala post-vaksinasi yang kurang baik seperti gangguan pemafasan yang ringan dan menurunnya produksi telur (Wetsbury et al., 1984). Keberhasilan vaksinasi dipengaruhi oleh mutu vaksin. Vaksin yang ideal harus mempunyai mutu yang baik, mutu vaksin akan menurun jika tidak disimpan dengan baik setelah diterima oleh pengguna. Kondisi yang dapat merusak keampuhan vaksin antara lain penyimpanan yang tidak sempurna, pengenceran yang berlebihan saat akan digunakan, serta air pencampuran yang menganduing chlorin atau bahan sanitasi. Menurut Malole (1988), vaksin yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu kemurnian, keamanan, serta vaksin harus dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit pada hewan. Suatu vaksin dapat dikatakan memenuhi ketiga persyaratan diatas jika dua minggu setelah vaksinasi telah terbentuk antibodi dengan titer protektif. Proteksi vaksin dapat diuji dengan penantangan/diinfeksi virus ganas. Vaksin yang baik harus memberikan proteksi
lebih dari 95% terhadap hewan coba atau tidak lebih dari 5% hewan yang terinfeksi atau sakit atau mati. Menurut Akoso (1998), selain mutu vaksin, keberhasilan vaksinasi juga dipengaruhi oleh status kesehatan unggas, keadaan nutrisi unggas, sanitasi lingkungan dan sistem perkandangan, serta program vaksinasi yang baik. Vaksin ND dapat berasal dari virus tipe lentogenik, mesogenik, maupun velogenik. Tipe lentogenik merupakan strain virus ND yang virulensi dan mortalitasnya rendah yaitu strain B1 (Hitcher), strain La Sota, dan strain F (FA0, 2004). Strain F memiliki tingkat virulensi paling rendah dibandingkan dengan strain lain pada tipe lentogenik. Vaksin dengan strain ini paling efektif dilakukan secara individu. Strain B1 rnemiliki tingkat virulensi lebih tinggi dibandingkan dengan strain F. Aplikasi vaksin strain B1 dilakukan melalui air minum atau penyemprotan. Pemberian vaksinasi dilakukan pada DOC (Day Old Chick) kemudian diikuti dengan strain La Sota pada umur 10-14 hari (Fadilah and Polana, 2004). Tipe mesogenik memberikan kekebalan yang lebih lama dibanding kekebalan yang dihasilkan oleh tipe lentogenik. Namun pemberian vaksin tipe mesogenik pada ayam yang belum mempunyai kekebalan dasar dapat menimbulkan reaksi postvaksinasi dan penurunan produksi telur (Nugroho, 1981). Tipe mesogenik yang dipakai sebagai vaksin diantaranya adalah strain Rokain, strain Mukteshwar, strain Kommarov, dan strain Bankowski (Sudrarjat, 1991). Strain Mukteshwar bersifat patogenik dan digunakan secara terbatas pada ayam yang sebelumnya telah divaksin dengan salah satu jenis vaksin tipe lentogenik. Vaksin ini telah diterima secara luas pada iklim tropis di Asia Tenggara. Strain Kommarov memiliki tingkat virulensi lebih rendah dibandingkan dengan strain Mukteshwar. Strain Rokain dan strain
Bankowski (Tissue Culture Vaccine) sering disebut dengan wing-web vaccine. Vaksin dengan strain ini tidak bisa digunakan pada ayam muda yang masih memiliki maternal immunity (Fadilah dan Polana ,2004). Tipe velogenik dibuat sebagai bahan vaksin dalam bentuk vaksin inaktif (Nugroho, 1981). Karena tipe velogenik melupakan virus dengan tingkat virulensi yang sangat tinggi (FAO, 2004). Tipe asiinptomatik yang inempunyai kemampuan menimbulkan kekebalan tubuh dikenal dengan strain V4 dan Vister 2C. Strain ini sangat potensial digunakan sebagai vaksin di daerah tropis karena merupakan vaksin yang mengandung virus tahan panas (Darminto, 2002). 2.3 Sistem Kekebalan Unggas Sistem kebal adalah bentuk adaptasi dari sistem pertahanan pada vertebrata sebagai pelindung terhadap serangan mikroorganisme patogen dan kanker. Sistem ini dapat membangkitkan beberapa macam sel dan molekul yang secara spesifik mampu mengenali dan mengeliminasi benda asing (Decker, 2000). Menurut Tizard (2004), tanggap kebal merupakan respon biologis sehingga dapat menyebabkan variasi tanggap kebal bagi setiap individu. Sistem kekebalan unggas dibagi menjadi sistem kekebalan non-spesifik dan sistem kekebalan spesifik (Carpenter, 2004). Mekanisme kedua sistem kekebalan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, keduanya saling meningkatkan efektivitasnya dan terjadi interaksi sehingga menghasilkan suatu aktivitas biologik yang seirama dan serasi (Fenner and Fransk, 1995).
2.3.1 Sistem kekebalan non spesifik unggas Sistem kekebalan non-spesifik merupakan sistem kekebalan yang secara alami diperoleh tubuh dan proteksi yang diberikannya tidak terlalu kuat. Semua agen penyakit yang masuk ke dalam tubuh akan dihancurkan oleh sistem kekebalan tersebut sehingga proteksi yang diberikannya tidak spesifik terhadap penyakit tertentu (Butcher and Miles, 2003). Kekebalan bawaan umumnya bersifat non-spesifik. Kekebalan bawaan adalah kekebalan yang dibawa oleh individu sejak lahir dan umumnya bersifat tidak spesifik karena kerjanya tidak tergantung terhadap aktivitas antigen yang spesifik. Komponen kekebalan bawaan dapat berupa bawaan primer yang terdiri dari (1) barrier fisik dan kimia seperti bulu dan kulit, lapisan epitel mukosa dan mucus, (2) sel fagosit, seperti makrofag dan sel pembunuh alami (natural killer) (3) sistem komplemen dan medistor inflamasi dan (4) sitokin. Antigen yang berhasil masuk ke dalam tubuh dengan melewati sistem pertahanan tubuh non-spesifik akan berhadapan dengan makrofag. Makrofag berfungsi melalui proses fagositosis dengan membunuh, menghancurkan, dan mengeliminasi antigen dari tubuh. Sel makrofag ini meliputi sel Langerhans di kulit, sel kupffer di hati, sel debu di paru-paru, sel histiosit di jaringan, dan astrosit di sel syaraf. Sel mikrofag meliputi sel neutrofil, basofil, dan eosinophil (Wibawan et al., 2003). Respon imun bawaan terhadap virus biasanya berlangsung cepat yang berfungsi untuk mengendalikan dan menekan pertumbuhan virus serta menghambat
penyebaran virus didalam tubuh. Beberapa respon imun bawaan juga berperan dalam meningkatkan kekebalan dapatan (Adi and Astawa, 2014). 2.3.2 Sistem kekebalan Spesifik Unggas Sistem kekebalan spesifik terdiri dari sistem berperantara sel (Cell Mediated Immunity) dan sistem kekebalan berperantara antibodi (Antibody Mediated Immunity) atau yang lebih dikenal dengan sistern kekebalan humoral (Butcher dan Miles 2003). Antigen yang berhasil masuk ke dalam tubuh dengan melewati sistem pertahanan tubuh non-spesifik akan berhadapan dengan makrofag. Selain berfungsi melakukan fagositosis, makrofag juga berfungsi sebagai Antigen Presenting Cells (APC) yang dikenal juga sebagai sel penyaji atau sel penadah yang akan menghancurkan antigen sedemikian rupa sehingga seluruh komponennya dapat berinteraksi dengan sistem imun spesifik atau antibodi. Makrofag yang berfungsi sebagai APC ini akan memfragmentasikan dan mempresentasikan antigen tersebut kepada sel limfosit T-helper (Th) melalui molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) yang terletak dipermukaan makrofag (Wibawan et al., 2003). Sel limfosit yang berperan penting dalam sistem kekebalan terbagi menjadi dua, yaitu sel B dan sel T. Sel B di dalam tubuh mamalia secara umum matang dan berdiferensiasi dalam sumsum tulang, sedangkan dalam tubuh unggas sel B matang dan berdiferensiasi dalam bursa fabrisius. Sel T di dalam tubuh mamalia dan unggas matang dan berdiferensiasi pada kelenjar timus. Sel B merupakan bagian dari antibody mediated immunity atau imunitas humoral karena sel B akan memproduksi antibodi yang bersirkulasi dalam saluran darah dan lirnfe. Antibodi tersebut akan
menempel pada antigen asing yang memberi tanda agar dapat dihancurkan oleh sel sistem imun (Darmono, 2006). Sel B akan mengalami proses perkembangan melalui dua jalur setelah terjadi rangsangan antigen, yaitu berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori. Sel plasma akan membentuk immunoglobulin. Jumlah immunoglobulin dalam setiap sel B adalah sekitar l04 sampai 107(Tizard, 1982). Sel plasma akan mati setelah tiga sampai enam hari, sehingga kadar immunoglobulin akan menurun secara perlahanlahan melalui katabolisme. Sel memori hidup berbulan-bulan atau tahunan setelah pemaparan antigen yang pertama kali. Jika terjadi pemaparan kedua kalinya dengan antigen yang sama, maka antigen akan merangsang lebih banyak lagi sel peka antigen daripada pemaparan pertama. Dengan adanya sel memori, maka sistem pembentukan antibodi memiliki kemampuan untuk mengingat keterpaparan dengan suatu antigen sebelumnya. Antibodi yang dihasilkan hanya bereaksi dengan antigen yaug ada di permukaan sel. Tanggap kebal humoral unggas dicirikan dengan antibodi yang diproduksi oleh sel B yang berada di bawah kontrol bursa Fabrisius. Bursa Fabrisius merupakan organ limfoid primer yang terletak di bagian dorsal kloaka dan hanya ada pada unggas (Wibawan et al., 2003). Menurut Azmijah (2005), bursa fabrisius mengalami perkembangan maksimum ketika berumur tiga sampai enam minggu. Sel T yang bersirkulasi dalam darah dan limfe dapat secara langsung menghancurkan antigen asing. Sel T bertanggung jawab atas cell mediated immunity atau imunitas seluler. Sel T bergantung pada molekul permukaan yaitu MHC nntuk mengenali fragmen antigen (Darmono, 2006). Sel T terdiri dari beberapa subpopulasi
yang dapat distimulasi oleh tipe antigen yang berbeda. Antigen virus yang terdapat pada sel yang terinfeksi akan dipresentasikan bersama-sama dengan MHC kelas I dan akan menstimulasi sel T CD8+ (sitotoksik). Sedangkan antigen mikroba ekstraseluler akan diendositosis oleh APC dan dipresentasikan dengan MHC kelas II dan akan mengaktivasi sel T CD4+ (helper). Antigen yang menempel pada MHC kelas I1 dan sel T CD4+ akan memacu produksi antibodi dan mengaktifkan makrofag. Interaksi antara sel Th dengan APC akan menginduksi pengeluaran sitokin atau interleukin yang merupakan alat komunikasi antar sel sehingga akan menginduksi pematangan sel B. Sitokin yang dikeluarkan oleh limfosit disebut limfokin sedangkan sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag disebut monokin. Selain alat komunikasi, sitokin juga berfungsi dalam mengendalikan respon imun dan reaksi inflamasi dengan cara mengatur pertumbuhan serta mobilitas dan diferensiasi leukosit maupun sel lain (Puspitasari, 2009). Kekebalan humoral yang dihasilkan oleh sel B tidak dapat berespon terhadap antigen yang terdapat didalam sel, sehingga mekanisme kekebalan seluler yang berperan. Sel yang berperan dalam mekanisme kekebalan seluler adalah sel limfosit Tcytotoxic (Tc). Sel ini akan mencari sel-sel yang mengalami kelainan fisiologis untuk kemudian menghancurkan seluruh sel tersebut beserta antigen yang ada di dalamnya. Tujuan penghancuran ini adalah untuk mencegah penyebaran antigen intraseluler ke sel-sel sehat lain yang ada di sekitarnya (Wibawan et al., 2003). 2.3.3 Induksi secara pasif dengan antibodi maternal Antibodi Maternal Dapatan (AMD) atau juga dikenal sebagai kekebalan pasif yang secara alami mentransfer imunoglobulin dari satu individu ke individu
lainnya. Pada unggas, antibodi asal induk yang mendapatkan vaksinasi atau terinfeksi secara alami akan mentransfer antibodi kepada anak melalui telur. Imunitas pasif ini memiliki durasi yang relatif singkat, biasanya 1-2 minggu dan umumnya kurang dari 4 minggu dan fungsinya adalah untuk melindungi anak ayam muda selama periode (pertama beberapa minggu) saat sistem kekebalan tubuh mereka belum sepenuhnya berkembang untuk menghadapi tantangan awal. Transfer antibodi maternal dari induk ke anak Transfer antibodi ke embrio terjadi melalui dua tahap. Pertama, antibodi disimpan dalam kuning telur dan albumin (putih telur) dan setelah itu ditransfer ke embrio. a. Transfer Antibodi Maternal Dapatan (AMD) dari induk ke telur Induk mentransfer AMD ke telur dengan cara menyimpan antibodi Imunoglobulin Y (IgY), Imunoglobulin (IgA) dan Imunoglobulin (IgM) ke dalam kuning telur dan albumin. Molekul IgG ayam lebih panjang daripada mamalia, IgG ayam disebut oleh beberapa peneliti sebagai IgY. Namun pada IgG (IgY) unggas secara
fungsional
homolog
dengan
IgG
mamalia.
Jalur
penyimpanan
Immunoglobulin (Ig) pada telur berbeda. IgY merupakan Ig isotope yang paling dominan pada kuning telur. Immunoglobulin ini disekresikan oleh ovarium ayam kedalam ovum (kuning telur) yang sedang berkembang dalam berbagai tahap. Berjalannya IgY ke ovum diatur oleh epitel folikular yang mengalami perubahan morfologis yaitu pembesaran ovum. Epitel ini menjadi lebih datar dan lebih tipis di ovum yang lebih besar memungkinkan lewatnya IgY dalam jumlah besar. Transfer IgY melalui epitel folikel ovarium maksimum mencapai 3 sampai 4
hari sebelum ovulasi dan mulai menurun karena untuk pengembangan membran vitelline ovum dan epitel folikular ovarium dalam persiapan untuk ovulasi. Induk ayam memiliki ovarium yang tahap perkembangannya berbeda-beda, sehingga jumlah IgY yang ditransfer kemasing-masing ovarium tidak sama. IgA dan IgM terutama ditemukan dalam albumen dan mereka dipindahkan ke albumen sebagai hasil dari sekresi mukosa pada saluran telur pada magnum. b. Transfer AMD dari telur ke Embrio IgY ditransfer dari kuning telur ke keturunannya melalui sirkulasi embrio. Dimulai dari perkembangan embrio umur 7 hari dan mencapai tingkat maksimum 3 – 4 hari sebelum menetas. Jumlah IgY ditransfer ke kuning telur dan dari kuning telur ke embrio sudah pernah dilaporkan sebagai proporsional konsentrasi maternal serum IgY. Hamal, et al (2006) menemukan bahwa 27 sampai 30 % dari IgY induk di transfer ke keturunannya. IgA dan IgM ditransfer ke embrio dengan absropsi albumen oleh usus embrio dan mungkin memiliki fungsi utama pada anak ayam yang baru menetas sebagai Ig pelindung disaluran pencernaan atau sebagai tambahan sumber protein. IgA dan IgM ditransfer ke keturunannya kurang dari 1% dari konsentrasi Ig plasma induk. Selain dari persentase transfer yang rendah, IgM adalah Ig isotipe pertama yang disintesis oleh ayam yang baru menetas diikuti oleh IgA dan IgY. 2.3.4 Induksi secara aktif melalui vaksinasi Efektivitas AMD dalam melindungi anak ayam muda bervariasi dan tergantung pada berbagai faktor seperti tingkat AMD dan agen yang terlibat. Salah satu agen yang menyebabkan penyakit pernafasan adalah Newcastle disease (ND).
Pada peternakan unggas dilakukan vaksinasi spray pada tempat penetasan, meskipun unggas memiliki Antibodi Maternal Dapatan. Alasan dilakukan ini adalah bahwa vaksin bermanfaat dalam merangsang respon kekebalan lokal meskipun antibodi maternal umumnya mengganggu respon sistemik. Anti-NDV yang berasal dari induk memberikan perlindungan kepada ayam muda. Hamal, et al (2006) mengatakan bahwa tingkat Antibodi NDV-spesifik yang ditransfer dari induk ayam ke keturunannya berkisar antara 27 % dan 40% dan itu secara langsung berkaitan dengan titer pada induk ayam. IgY juga ditemukan pada air mata anak ayam umur sehari dengan tingkat 1: 5 pada serum. Antibodi Maternal Dapatan anti-NDV dapat segera dikatabolisme pada anak ayam yang baru menetas. Menurut Allan, et al (1978), setiap 4,5 hari, dua kali lipat titer HI maternal antibodi dikatabolisme oleh anak ayam. Perlindungan yang diberikan oleh AMD anti-ND dapat mengacaukan replikasi sistemik strain vaksin jika diaplikasikan dalam AMD yang tinggi. Oleh karena itu, tujuan dari vaksinasi pada umur sehari dengan aktif vaksin ND adalah untuk efisiensi awal dalam merangsang kekebalan lokal (Sel Dimediasi Kekebalan) pada saluran pernapasan bagian atas dan menginduksi perlindungan awal anak ayam pada AMD yang rendah. Minyak emulsi vaksin inaktif telah berhasil digunakan pada anak ayam usia sehari dengan kekebalan maternal dalam pencegahan ND (Alexander dan Jones, 2001). Keuntungan dari vaksin inaktif adalah tingkat kerugian yang rendah terhadap reaksi vaksinasi pada unggas dan tingkat perlindungan antibodi sangat tinggi dengan durasi yang panjang dapat dicapai (Alexander and Jones, 2003).
Vaksin inaktif dengan minyak emulsi ini tidak dipengaruhi oleh kekebalan maternal seperti vaksin aktif (Box et al., 1976) karena adjuvant minyak bertindak sebagai stimulus dari mekanisme pertahanan dan menyebarkan antigen secara perlahan. Dalam keadaan ini, ada rangsangan progresif kekebalan aktif sedangkan penurunan kekebalan pasif dan kekebalan sistem mencapai kompetensi yang penuh (Bennejean et al., 1978;. Box et al., 1976;.. Warden et al., 1975.) 2.4 Uji hemaglutination assay (HA) dan hemaglutination inhibition (HI) Beberapa jenis virus mempunyai sifat dapat mengaglutinasi sel darah merah hewan tertentu, misalnya Newcastle disease mengaglutinasi sel darah merah unggas. Untuk kepentingan diagnostik konvensional, virus diisolasi dan di propagasi pada TAB terlebih dahulu kemudian baru dilanjutkan dengan uji HA dan HI. Mengingat banyak variasi prosedur untuk uji HA dan HI, dibawah ini adalah salah satu contoh prosedur uji menggunakan plat mikrop V dengan volume akhir 0,075 ml yang direkomendasikan oleh OIE (2012). Reagen yang perlu disiapkan adalah PBS isotonic (pH 7,0-7,2), RBC ayam yang berasal dari ayam SPF atau jika tidak ada ayam SPF diusahakan dari ayam yang tidak divaksin dan sudah dievaluasi tidak memiliki antibodi terhadap APMV-1. Sel RBC dicuci sebanyak 3 kali dengan PBS sebelum digunakan. Serum ayam jarang memberikan reaksi non-spesifik sehingga preperlakuan pada serum tidak begitu penting, cukup dipanaskan 560C untuk menghilangkan aktivitas komplemen. Jika serum berasal dari spesies selain ayam perlu perlakuan untuk menghilangkan kemungkinan adanya reaksi non-spesifik berupa aglutinasi sel darah merah (RBC). Reaksi tersebut dapat dihilangkan dengan cara sebagai berikut
: Kedalam 0,5 ml serum ditambahkan 0,025 ml RBC ayam, kemudian dicampurkan dengan cara dibolak-balik supaya tercampur merata dan selanjutnya didiamkan pada suhu ruang selama 30 menit. Serum dipisahkan dari RBC dan komponen yang sudah diikat oleh RBC dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 800 g selama 2-5 menit. Kemudian serum dipisahkan dengan hati-hati supaya tidak tercampur lagi dengan butiran /pellet RBC yang terbentuk. Prosedur Uji HA. Kedalam setiap sumuran (1-12) plat mikro steril, dimasukkan 0,025 ml PBS. Pada sumuran pertama dan kedua ditambahkan virus (cairan allantois yang akan diuji) sebanyak 0,025 ml dan selanjutnya diencerkan berseri kelipatan dua mulai dari sumuran kedua sampai sumuran kesebelas dengan menggunakan pengencer mikro. Kemudian ditambahkan PBS 0,025 ml pada semua sumuran (1-12). Selanjutnya ke dalam setiap sumuran ditambahkan 0,025 ml RBC 1% (v/v), diayak selama 30 detik seterusnya dieramkan pada suhu kamar selama 1 jam dan reaksi diamati setiap 15 menit ada atau tidaknya reaksi aglutinasi sel darah merah. Reaksi positif ditandai dengan adanya reaksi aglutinasi. Nilai titrasi dibaca pada pengenceran tertinggi yang masih menunjukkan reaksi hemaglutinasi lengkap. Prosedur uji HI. Pada masing-masing sumuran (1-12) mikroplat steril kemudian ditambahkan 0,025 ml PBS. Pada sumuran pertama dan kedua diisi dengan 0,025 ml PBS. Pada sumuran pertama dan kedua diiisi dengan 0,025 ml serum yang akan diuji dan selanjtnya diencerkan secara berseri kelipatan dua mulai dari sumuran kedua sampai sumuran ke sepuluh dengan menggunakan pengencer mikro. Kemudian 0,025 ml antigen virus ND 4 HAU ditambahkan mulai dari sumuran pertama sampai ke sebelas, sedangkan sumuran keduabelas hanya diisi
0,025 ml PBS. Selanjutnya diayak selama 30 detik dan dieramkan pada suhu kamar selama 30 detik. Selanjutnya dieramkan pada suhu kamar selama 1 jam dan diamati setiap 15 menit dan tidak adanya hambatan aglutinasi sel darah merah. Hanya sumuran yang menunjukkan reaksi sama dengan kontrol (sumuran yang hanya berisi 0,05 ml PBS dan 0,025 ml RBC) dinyatakan positif. Titer HI dihitung dari pengenceran serum tertinggi yang menyebabkan hambatan aglutinasi. Titer HI yang didapat menentukan status imun dari unggas yang terinfeksi. Unggas dinyatakan positif jika nilai titer HI nya adalah 1/16 (24 atau disebut juga log2 4) atau lebih, pada prosedur pengujian menggunakan antigen 4 HAU. Pada uji HI, ada kemungkinan terjadi reaksi silang terutama antara APMV-1 dengan APMV-3 ( terutama yang berasal dari burung liar) atau APMV-7. Untuk mengurangi resiko ini, saat ini sudah tersedia panel serum racun atau MoAb spesifik untuk APMV-1, APMV-3 dan APMV-7. Penggunaan MAb terhadap APMV-1 yang diproduksi pada mencit telah digunakan pada uji HI, untuk dapat mengidentifikasi virus secara tepat tanpa ada kemungkinan reaksi silang dengan APMV serotype lainnya seperti yang terjadi dengan menggunakan serum poliklonal (Adi and Astawa, 2014). 2.5 Imunohistokimia (IHK) IHK merupakan suatu teknik penelusuran kuat yang dapat memberikan informasi tambahan untuk penilaian rutin morfologi jaringan. IHK digunakan untuk mempelajari penanda seluler yang menentukan fenotipe tertentu yang dapat memberikan suatu kepentingan diagnosa, prognosis dan prediksi sebuah informasi yang berkaitan tentang status dan biologis penyakit. Penggunaan antibodi untuk
kajian molekuler dan patologi jaringan dapat di sempurnakan dengan teknik IHK (Key, 2009). Menurut Snider (2013), pendekatan dalam deteksi antigen-antibodi sebagai dasar dari IHK terbagi menjadi dua, yaitu dengan deteksi langsung dan tidak langsung, dan dalam pemilihan pendekatan yang digunakan tergantung padatingkat target ekspresi antigen. Dalam deteksi antibodi secara langsung, antibodi terhadap antigen target (antibodi primer) adalah penghubung dengan sebuah enzim. Enzim yang paling sering digunakan adalah horseradish Peroxidase (HRP) atau Alkaline Phospatase (AP). Kerja enzim ini akan diaktifkan dengan penambahan substrat. Pada deteksi langsung tidak memerlukan langkah tambahan untuk penambahan antibodi sekunder. Kelemahan teknik ini kemungkinan sulit untuk dideteksi jika protein yang ditemukan dalam jumlah sedikit. Pada metode IHK tidak langsung, deteksi menggunakan antibodi sekunder yang bereaksi dengan antibodi primer berlabel untuk memperkuat sinyal, dengan demikian sensitifitas uji meningkat, antibodi sekunder lazimnya berlabel enzim HRP/AP kemudian direaksikan dengan substrat untuk menghasilkan kromogenik (Snider, 2013). Metode IHK tidak langsung dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya: Avidin-Biotin Compleks (ABC), Labeled Streptovidin Biotin (LSAB), dan Phosphatase-Anti-Phosphatase (PAP) (Boenisch, 2001). Pewarnaan IHK dengan metode Avidin Biotin Peroksidase Kompleks (ABC) yang melibatkan penggunaan antibodi sekunder berlabel biotin diikuti oleh penambahan dari Avidin Biotin Peroksidase Kompleks, memberikan hasil lebih baik ketika di bandingkan dengan metode antibodi yang tidak berlabel. Terdapatnya
tempat ikatan dari biotin secara kompleks dihasilkan karena avidin dengan peroksidase berlabel biotin (Boenisch, (2001). Dalam pembentukan kompleks , avidin berfungsi sebagai jembatan antara molekul peroksidase berlabel biotin yang mengandung beberapa gugus biotin, berfungsi sebagai penghubungantara molekul avidin. Akibatnya, sbuah pola-pola kompleks yang mengandung beberapa molekul peroksidase kemungkikan terbentuk. Ikatan dari kompleks inipada gugus biotin berhubungan dengan hasil antibodi sekunder atas pewarnaan dengan intensitas yang tinggi (Hsu et al., 1981).
A
Avidin-Biotin Complex
Biotinylated Secondary antibody Primary Antibody
B
Streptavidin Enzym Complex
Biotinylated Secondary antibody Tissue Antigen
Primary Antibody
Tissue Antigen
Gambar 2.3. Metode IHK tidak langsung. Keterangan: A)Metode Avidin-Biotin Complex (ABC), B) Metode Labeled Streptavidine Biotin (LSAB). Sumber: Handbook IHC Staining Method, DAKO (2009). Dalam metode yang sama, metode LSAB juga menggunakan antibodi sekunder bitinylated. Dimana antibodi sekunder akan menghubungkan antibodi primer untuk menghubungkan streptavidin-peroksidase, akan tetapi kompleks yang terbentuk lebih kecil dari pada kompleks yang terbentuk oleh metode ABC, dan itu sulit dijangkau epitope, jadi metode LSAB memiliki sensitifitas lebih baik dari pada metode ABC (Chilosi et al., 1994). Kedua metode tersebut dilihat perbedaannya berdasarkan ikatan dari avidin-biotin kompleks dan streptavidin-biotin (Gambar 2.3).
Avidin adalah glikoprotein dan memiliki titik isoelektrik (pl) berkisar 10, ini memiliki kecendrungan untuk mengikat secara khusus seperti lektin dan komponen jaringan yang bermuatan negative pada pH fisiologis. Streptovidin memiliki titik isoelektrik yang lebih netral dan tidak memilikigugus karbohidrat. Perbedaanperbedaan ini mengakibatkan kurang spesifik dalam pengikatan jaringan. Molekul biotin adalah konjugasi yang mudah untuk antibodi dan enzim. Dalam metode ABC antibodi sekunder adalah penghubung diantara primer jaringan yang terikat dan sebuah avidin-biotin-peroksidase kompleks (Heras et al., 1995). Pada teknik imunohistokimia antibodi yang biasanya digunakan adalah antibodi monoclonal, dimana antibodi moonoklonal adalah antibodi monospesifik yang dapat mengikat satu eitop saja. Bahwasanya antibodi monoklonal memiliki antigen binding surface yang sama (Sudiana, 2005).
Substrate Polymer-HRP Secondary Antibody Primary Antibody Antigen
Gambar 2.4. Super SensitiveTM Polymer-HRP IHC Detection System (Biogenex, 2013) Super Sensitive Polimer-HRP digunakan juga dalam immunostaining untuk memperoleh sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Dalam sistem yang menggunakan Biotin-streptavidin sering ditemui masalah pada latar. Dengan tidak menggunakan Biotin-streptavidin masalah latar dapat dihilangkan. Waktu inkubasi lebih sedikit (30 menit sampai 2 jam). Super Sensitive Polimer-HRP Detection
System adalah sistem deteksi terbaru yang menggunakan teknologi polimer nonbiotin yang menggunakan dua komponen utama yaitu Super Enchancer
TM
dan
reagen Polimer-HRP. Sistem ini tidak berdasarkan pada sistem biotinavidin, masalah yang terkait dengan endogen biotin benar-benar dihilangkan. Jaringan atau preparat yang beku atau yang sudah difiksasi, dipotong, dan dilekatkan pada slide. Digunakan paraffin sebagai perekat, penanganan dengan larutan retrievel antigen, kemudian diblokir dengan larutan pemblokir protein dan kemudian diinkubasi dengan antibodi primer. Antibodi primer yang terikat terdeteksi dengan penambahan antibodi sekunder terkonjugasi dengan horseradish peroksidase polimer dan substrat DAB atau substrat AEC. Ketika warna cukup terlihat, slide yang dicuci dengan air untuk menghentikan reaksi dan ditutup