BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kembang Telang (Clitoria ternatea) Kembang telang (Clitoria ternatea) merupakan tanaman dari keluarga Fabaceae, yang biasa disebut kembang telang (Zussiva et al., 2012). Tanaman kembang telang (Clitoria ternatea) berasal dari Amerika Selatan bagian tengah yang menyebar ke daerah tropik sejak abad 19, terutama ke Asia Tenggara termasuk Indonesia. Tanaman ini secara alami ditemukan pada padang rumput, hutan terbuka, semak, pinggiran sungai, dan tempat-tempat terbuka lainnya, serta merupakan tanaman merambat pada tanaman pohon ataupun pagar pekarangan. (Sutedi, 2013). Tanaman kembang telang merupakan tanaman leguminosa yang cepat pertumbuhannya, dapat menutupi tanah dalam waktu 30-40 hari setelah tanam dan menghasilkan biji pada umur 110-150 hari serta persistensi sangat tinggi terhadap perubahan musim, kondisi lahan dan sangat cocok berasosiasi dengan tanaman lain, seperti rumput-rumputan ataupun dengan jenis leguminosa lainnya. Tanaman kembang telang (Clitoria ternatea) tahan terhadap kekeringan 5-6 bulan di daerah tropis (Sutedi, 2013). Menurut Suarna (2005), kembang telang (Clitoria ternatea) beradaptasi dengan baik pada kisaran tanah berpasir, lempung, alluvial dalam, dan liat yang berat serta tahan terhadap kekeringan (curah hujan 500-900 mm), tahan terhadap salinitas dan mampu berkompetisi dengan baik terhadap gulma. Gomez dan Kalamani (2003) menyatakan bahwa kembang telang (Clitoria ternatea) memiliki sifat-sifat agronomis berakar dalam, panjang, sebagai leguminosa
memanjat, daunnya memiliki 5 liflet, dan bunganya biru pekat. Akan tetapi tanaman ini ada juga yang mempunyai bunga berwarna putih dan coklat. Cook et al. (2005) menyatakan kembang telang (Clitoria ternatea) adalah leguminosa yang berkualitas tinggi dan merupakan jenis kacang-kacangan yang kaya akan protein, dijuluki alfalfa tropis, sering disebut pula sebagai bank protein yang dapat tumbuh dengan biaya produksi yang rendah. Bogdan (1977) menyatakan bahwa tanaman kembang telang dapat merambat dengan batang 0,5-3 m. Daunnya terdiri dari 5-7 liflet yang membujur dengan panjang 1,5-7 cm dan lebar 0,3-4 cm. Bunganya berbentuk corong dengan panjang 6-12 cm dan lebar 0,7-1,2 cm. Sutedi (2013) menyatakan bahwa kembang telang (Clitoria ternatea) dapat tumbuh cukup baik pada kondisi kering dan terus menerus menghasilkan biji selama masa pertumbuhan, dengan jumlah produksi tanaman dan biji masing-masing sebesar 25-35 ton BK/ha dan 2,77 ton/ha pada umur panen 42 hari. Tanaman kembang telang (Clitoria ternatea) mengandung protein berkisar 21-29%, energi kasar 18,6 MJ/kg, kecernaan bahan organik 69,7%, kecernaan energi 66,6% dan energi termetabolis pada ruminan 12,4 MJ/kg. Kembang telang (Clitoria ternatea) mempunyai potensi sebagai pakan yang baik karena memiliki nilai nutrisi yang tinggi dan juga sangat disukai ternak (Suarna, 2005). Daun kembang telang (Clitoria ternatea) mengandung protein berkisar antara 18-25%, sedangkan campuran batang dan daun kembang telang (Clitoria ternatea) mengandung protein 9-15%. Kalamani dan Gomez (2001) melaporkan bahwa protein kasar kembang telang (Clitoria ternatea) berkisar 14-20%, sedangkan kadar protein kasar dan serat kasar dalam daun masing-masing adalah 21,5 dan 29%. Biji kembang telang (Clitoria ternatea) mengandung kadar protein yang cukup tinggi, bervariasi
dari 15-25% (Staples, 1992), hingga 45% (Odeyinka et al., 2004), sehingga bila digunakan sebagai benih, kembang telang (Clitoria ternatea) akan meningkatkan nitrogen dalam tanah. 2.2. Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Pertumbuhan dan perkembangan tanaman merupakan proses yang penting dalam kehidupan dan perkembangan suatu spesies. Pertumbuhan tanaman erat kaitannya dengan hara yang diserap dari dalam tanah, termasuk unsur nitrogen (Djukri dan Purwoko, 2003). Faktor iklim sangat menentukan pertumbuhan dan produksi tanaman. Apabila tanaman ditanam di luar daerah iklimnya, maka produktivitasnya sering kali tidak sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas tanaman adalah dengan sistem penanaman campuran. Mansyur et al. (2005) menyatakan bahwa salah satu keuntungan dari sistem pertanaman campuran dapat meningkatkan produktivitas lahan per satuan luas. Pola pertanaman campuran antara rumput dan leguminosa menghasilkan peningkatan produksi hijauan dibandingkan dengan pertanaman monokultur. Namun peningkatan prosentase penanaman leguminosa pada pola pertanaman campuran tersebut mengakibatkan penurunan produksi hijauan. Hal ini terjadi karena produksi hijauan yang dihasilkan oleh leguminosa lebih rendah dari produksi hijauan yang dihasilkan oleh rumput. Marhaeniyanto (2009) menyatakan bahwa tanaman leguminosa di daerah tropis tumbuh lebih lambat daripada tanaman rumput, agar bisa tumbuh dengan baik, maka penanaman rumput dan leguminosa dibuat dalam jalur berselang-seling. Beberapa keuntungan penanaman campuran rumput dan leguminosa: 1) memperbaiki
unsur nitrogen dalam tanah, karena kemampuan leguminosa untuk mengikat N dari udara, 2) memperbaiki mutu pakan ternak ruminansia, karena kandungan protein dan mineral lebih tinggi, 3) daerah tropis yang lembab akan membatasi pertumbuhan rumput, namun dengan percampuran rumput dan leguminosa, leguminosa dapat memperbaiki pertumbuhan rumput, karena akarnya bisa lebih dalam, 4) tanaman campuran rumput dan leguminosa mampu meningkatkan kapasitas tampung sehingga satuan ternak per hektar lebih banyak dan total kenaikan berat badan lebih tinggi. 2.3. Pupuk Organik Pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi makhluk hidup, seperti pelapukan sisa -sisa tanaman, hewan, dan manusia. Pupuk organik mengandung segala macam unsur baik makro maupun mikro, akan tetapi ketersediaan unsur tersebut biasanya dalam jumlah yang sedikit. Suridikarta dan Simanungkalit (2006), menyatakan pupuk organik adalah pupuk yang sebagian atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pupuk organik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: nitrogen terdapat dalam bentuk persenyawaan organik sehingga mudah dihisap tanaman, tidak meninggalkan sisa asam anorganik didalam tanah, mempunyai kadar persenyawaan C-organik yang tinggi (Murbandono, 2000). Selama proses dekomposisi bahan organik mentah menjadi kompos akan terjadi berbagai perubahan hayati yang dilakukan oleh mikroorgaisme sebagai aktivator. Adapun perubahannya sebagai berikut: a) penguraian karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, dan lemak menjadi CO2 dan H2O; b) protein menjadi ammonia, CO2
dan air; c) pembebasan unsur hara dari senyawa-senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap oleh tanaman; dan d) terjadi pengikatan beberapa jenis unsur hara didalam sel mikroorganisme, terutama nitrogen, posfor, dan kalium. Dengan perubahan tersebut maka kadar karbohidrat akan hilang atau turun dan senyawa nitrogen yang larut (amonia) akan meningkat. Dengan demikian, C/N semakin rendah dan relatif stabil mendekati C/N tanah (Sudradjat, 2007). 2.4. Pupuk Bio-slurry Bio-slurry atau ampas biogas merupakan produk dari hasil pengolahan biogas berbahan kotoran ternak dan air melalui proses tanpa oksigen (anaerobik) di dalam ruang tertutup. Selain itu bio-slurry berupakan pupuk organik berkualitas tinggi yang kaya akan kandungan nutrisi (Karki et al., 2009). Tidak hanya memiliki kandungan nutrisi yang baik, pupuk bio-slurry juga mengandung mikroba probiotik yang bermanfaat untuk meningkatkan kesuburan lahan pertanian. Bahan keluaran dari biogas tersebut dicoba untuk dimanfaatkan sebagai pupuk organik bagi tanaman untuk memenuhi nutrisi yang diperlukan oleh tanaman, seperti nutrisi makro yang dibututhkan dalam jumlah yang banyak seperti nitrogen (N), posfor (P), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), dan sulfur (S), serta nutrisi mikro yang hanya diperlukan dalam jumlah sedikit seperti besi (Fe), mangan (Mn), tembaga (Cu), dan seng (Zn). Adapun komposisi bio-slurry setelah fermentasi adalah air 70%-80% dan zat kering 20%-30%, jika diuraikan lagi zat kering tersebut mengandung bahan organik 18%-27% (Prasanna et al., 2008) Ketika dikeluarkan dari lubang outlet, bioslurry berwujud cair cenderung padat, berwarna coklat terang atau hijau dan cenderung gelap, sedikit atau tidak mengeluarkan gelembung gas, tidak berbau dan
tidak mengundang serangga. Apabila sudah memadat dan mengering, warna bioslurry berubah menjadi coklat gelap. Bio-slurry yang telah mengering bertekstur lengket, liat dan tidak mengkilat, berbentuk tidak seragam dan berkemampuan mengikat air yang baik. Setelah keluar dari outlet, bio-slurry cair (basah) diendapkan atau didiamkan di lubang penampungan yang ternaungi minimal selama 1 minggu untuk mengurangi atau menghilangkan gas yang tidak baik bagi tanaman ataupun ternak. Untuk penggunaan padat (kering), bio-slurry lebih baik dikeringkan secara alami (terlindungi dari sinar matahari langsung) minimal selama 40 hari. Bio-slurry basah maupun kering dikelompokkan sebagai pupuk organik karena seluruh bahan penyusunnya berasal dari bahan organik yaitu kotoran ternak dan telah berfermentasi. Ini menjadikan bioslurry sangat baik untuk menyuburkan lahan dan meningkatkan produksi tanaman budidaya (BIRU, 2012). Kandungan rata-rata nitrogen bio-slurry dalam bentuk cair (basah) lebih tinggi dibandingkan dalam bentuk padat (kering). Perbandingan antar nutrisi pada bio-slurry menunjukkan kandungan nitrogen cenderung lebih tinggi dibandingkan fosfor dan kalium, kecuali pada bio-slurry babi dalam bentuk padatan (kering). Indikator bioslurry sebagai pupuk organik yang berkualitas baik ditunjukkan dengan rata-rata kandungan C-organik yang lebih tinggi dari standar pupuk organik yang dikeluarkan dari Standar Mutu Pupuk Organik, No.28/Permentan/OT.140/2/2009 yaitu lebih besar dari 12. Selain itu, kandungan nutrisi nitrogen, fosfor dan kalium juga sesuai dengan Standar Mutu Pupuk Organik yakni rata-rata di bawah 6% (BIRU, 2012). Bio-slurry basah maupun kering dikelompokkan sebagai pupuk organik karena seluruh bahan penyusunnya berasal dari bahan organik yaitu kotoran ternak dan telah berfermentasi.
Ini menjadikan bio-slurry sangat baik untuk menyuburkan lahan dan meningkatkan produksi tanaman budidaya. Tabel 2.1. Kandungan dalam bio-slurry berbasis kering Analisa Berbasis Kering No
Jenis Bio-slurry
Bahan Organik (%)
C-org (%)
N-Tot (%)
C/N (%)
Bio-slurry 65,88 15,60 1,57 9,97 Babi Bio-slurry 2 68,59 17,87 1,47 9,09 Sapi Kompos 3 Bio-slurry 54,50 14,43 1,60 10,20 Sapi Sumber: Analisa Bio-slurry yang dilakukan oleh BIRU, 2012. 1
P2O5 (%)
K2O (%)
1,92
0,41
0,52
0,38
1,19
0,27
Keterangan : • Analisis berbasis kering = analisa yang ditujukan untuk mengetahui kandungan nutrisi dalam bentuk padat (kondisi kering). • C-organik = kandungan karbon (C) di dalam bahan organik. • C/N rasio = perbandingan antara kandungan karbon (C) organik dengan nitrogen (N) total.
Bio-slurry cair (basah) dapat digunakan langsung untuk pupuk untuk tanaman di pekarangan rumah yang hanya memerlukan jumlah sedikit. Jika diperlukan untuk penggunaan di kebun dalam jumlah banyak, bio-slurry cair dapat diangkut menggunakan kendaraan. Untuk lahan berbukit atau miring (lereng), gunakan bioslurry padat atau yang sudah dikomposkan untuk mempermudah penanganan dan pengangkutan. Bio-slurry dapat digunakan langsung pada tanaman atau diencerkan dengan air dengan perbandingan 1:1 atau 1:2 (BIRU, 2012). 2.5. Respon Tanaman terhadap Pupuk Organik Peningkatan produksi hijauan tidak terlepas dari proses pemupukan, untuk memberikan unsur hara pada tanaman agar pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang maksimal. Sajimin et al. (2001) menyatakan bahwa untuk memperoleh produksi
yang tinggi pada lahan yang tingkat kesuburanya rendah dapat dilakukan dengan penggunaan pupuk organik. Setyorini (2006) melaporkan pemupukan dengan pupuk kandang budidaya sayuran organik menunjukkan bahwa kompos pupuk kandang sebanyak 20 ton/ha dapat memenuhi kebutuhan hara. Hasil penelitian Rina dan Nahampun (2009) mendapatkan bahwa dosis kascing yang terbaik dapat memberikan peranan dalam penyediaan unsur hara pada media, serta perlakuan pupuk kascing berpengaruh nyata terhadap berat basah bagian tanaman dan juga memberikan peranan dalam menyimpan air pada media dan memperbaiki struktur tanah sehingga jaringan akar akan dengan leluasa menyerap air dan nutrisi makanan yang ada pada media untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman lebih maksimal. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Rosmarkam dan Yuwono (2002), menyatakan bahwa bahan organik dapat mempermudah pengolahan tanahtanah berat dan meningkatkan permeabilitas pada tanah bertekstur halus (lempungan). Penambahan pupuk organik kedalam tanah dapat meningkatkan kadar C-organik dalam tanah. Semakin banyak pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah, semakin banyak pula C-organik yang dilepaskan kedalam tanah (Abdul dan Indah, 2005). 2.6. Respon Pertumbuhan dan Produksi Tanaman terhadap Pupuk Bio-slurry Beberapa peternak telah melakukan pemanfaatan bio-slurry terutama sebagai pupuk di lahan pertanian yang dimiliki oleh peternak. Tanah yang diberi bio-slurry menjadi lebih remah, mudah mengikat nutrisi dan air. Bio‐slurry juga meningkatkan
populasi dan aktifitas mikroorganisme tanah. BIRU (2012) juga menyebutkan bioslurry memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan kotoran hewan segar atau pupuk kandang biasa. Adapun keunggulan tersebut antara lain bio-slurry bermanfaat untuk: 1) menyuburkan tanah pertanian, dapat menambahkan humus sehingga tanah lebih bernutrisi dan mampu menyimpan air, serta mampu mendukung aktivitas perkembangan cacing dan mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman, 2) kandungan nutrisi bio-slurry terutama nitrogen (N) lebih baik dibandingkan dengan pupuk kandang/kompos atau kotoran segar. Hal ini disebabkan kandungan nitrogen (N) dalam bio-slurry lebih banyak dan mudah diserap oleh tanaman sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, 3) bio-slurry bebas bakteri pembawa penyakit pada tanaman karena proses fermentasi kohe (kotoran hewan) di reaktor biogas dapat membunuh organisme yang menyebabkan penyakit pada tanaman. Bio-slurry maupun kompos bio-slurry sebagai pupuk organik mempunyai kandungan bahan organik yang cukup tinggi yang bermanfaat untuk memperbaiki struktur tanah. Tanah yang diberi bio-slurry menjadi lebih gembur serta mudah mengikat nutrisi dan air. Bio-slurry juga meningkatkan populasi dan aktifitas mikro organisme tanah. Institute of Soil and Agricultural Chemical di Vietnam telah melakukan pengujian pada pertanian kol, dan dengan menggunakan 60 m3 bio-slurry pada lahan 1 hektar dapat meningkatkan produksi sebesar 24%. Penggunaan bioslurry dalam bentuk kompos maupun cair dapat meningkatkan kualitas panen jagung maupun tebu dan beberapa produk hortikultura (BIRU, 2012).
2.7 Produktivitas Kembang Telang (Clitoria ternatea) terhadap Berbagai Pemupukan Pemberian pupuk merupakan faktor yang sangat penting untuk meningkatkan produksi hijauan makanan ternak, baik itu pupuk organik maupun non organik. Sajimin et al. (2001) menyatakan bahwa untuk memperoleh produksi yang tinggi pada lahan yang tingkat kesuburannya rendah dapat dilakukan dengan penggunaan pupuk organik. Pupuk organik sangat bermanfaat untuk peningkatan produksi tanaman, baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penelitian Sutresnawan et al. (2015) mendapatkan pemberian pupuk limbah biogas menghasilkan pertumbuhan jumlah daun, jumlah cabang, dan tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan pupuk kandang ayam maupun pupuk kandang sapi pada tanaman kembang telang (Clitoria ternatea). Hal ini disebabkan adanya proses fermentasi pada limbah biogas yang mengubah zat makanan menjadi tersedia bagi tanaman yang mempermudah penyerapan unsur hara pada tanaman sehingga mempercepat pertumbuhan dan produksi tanaman. Sutresnawan et al. (2015) juga mendapatkan pengaruh pemberian pupuk organik pada dosis 20 ton/ha menghasilkan pertumbuhan dan produksi lebih tinggi dibandingkan dengan pemupukan pada dosis 0, 10, dan 30 ton/ha. Hal ini menunjukkan kembang telang (Clitoria ternatea) secara efisien dapat memanfaatkan unsur hara yang terkandung dalam pupuk organik pada dosis 20 ton/ha sehingga dapat menghasilkan pertumbuhan daun, pertumbuhan cabang, dan meningkatkan produksi hijauan.