PENGETAHUAN DAN SIKAP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR TERHADAP FOODBORNE DISEASE
SUKRON SAURI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ABSTRACT SUKRON SAURI. Knowledge and Attitude of Veterinary Student at Bogor Agricultural University on Foodborne Disease. Under direction of DENNY WIDAYA LUKMAN and CHAERUL BASRI. This study was conducted to evaluate correlation between characteristics (sex, age, graduate level, entrance to Bogor Agricultural University, and activity on organisations), knowledge and attitude of Veterinary Students of Bogor Agricultural University on foodborne diseases. The data collection was carried out using quetionnaires for 239 respondents from August 2010 to January 2011 by stratified random sampling. The significant possitive correlation was observed between knowledge and age, graduate level, and activity on organisations (p<0.05), nevertheless sex and entrance to Bogor Agricultural University did not show a correlation with knowledge (p>0.05). The significant possitive was found between attitude and entrance to Bogor Agricultural University (p<0.05). In this study, the correlation between sex, age, graduate level, and activity on organisations and attitude were not found significantly (p>0.05). There was no correlation was observed between knowledge and attitude (p>0.05). Keyword:
knowledge, attitude, veterinary students of Bogor Agricultural University, foodborne disease
ABSTRAK SUKRON SAURI. Pengetahuan dan Sikap Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor terhadap Foodborne Disease. Dibimbing oleh DENNY WIDAYA LUKMAN dan CHAERUL BASRI. Foodborne disease merupakan penyakit yang ditimbulkan akibat mengonsumsi makanan atau minuman yang tercemar. Disamping itu, pengetahuan (knowledge) adalah pemahaman suatu masyarakat tentang suatu topik yang diberikan. Sedangkan definisi sikap (attitude) adalah suatu kecenderungan atau kehendak hati untuk memberikan reaksi dengan cara tertentu pada situasi tertentu; untuk melihat dan menginter-pretasikan kejadian-kejadian menurut predisposisi tertentu; atau mengatur opini-opini secara logis dan struktur yang saling berhubungan. Survei pengetahuan, sikap, dan praktik atau knowledge, attitude, and practice (KAP): suatu studi representatif dari suatu populasi spesifik untuk mengumpulkan informasi tentang apa yang diketahui, dipercayai dan dilakukan terkait dengan suatu topik tertentu. Survei KAP dapat didisain secara khusus untuk menjaring informasi tentang topik tertentu. Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh tingkat pengetahuan dan sikap mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) terhadap foodborne disease. Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Dramaga yang dimulai pada bulan Agustus 2010 hingga Januari 2011 dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 35 pernyataan mengenai pengetahuan terhadap foodborne disease dan 15 pernyataan mengenai sikap terhadap foodborne disease. Penelitian ini didisain sebagai suatu survei dengan sampel yang terdiri dari mahasiswa semester 3, 5, 7, dan mahasiswa Program Pendidikan Dokter Hewan (PPDH). Teknik penarikan contoh yaitu menggunakan teknik penarikan contoh acak bertingkat (stratified random sampling) dengan besaran sampel sebanyak 239 orang dengan menggunakan Win Episcope 2.0 (populasi sebesar 627 orang). Data karakteristik responden yang diambil yaitu jenis kelamin, umur, tingkat semester, jalur masuk IPB, dan keaktifan pada organisasi. Data yang dikumpulkan lalu dianalisis menggunakan uji Spearman correlation dengan SPSS 13.0. Indeks tingkat pengetahuan responden dikelompokkan ke dalam empat bagian yaitu baik, cukup, buruk, dan sangat buruk. Sedangkan indeks sikap responden dikelompokkan ke dalam tiga bagian yaitu baik, sedang, dan buruk. Berdasarkan hasil yang didapatkan, terdapat korelasi antara pengetahuan dan umur, tingkat semester, dan keaktifan pada organisasi (p<0.05), namun tidak korelasi antara pengetahuan dan jenis kelamin dan jalur masuk IPB (p>0.05). Ditemukan korelasi antara sikap dan jalur masuk IPB (p<0.05), namun tidak ada korelasi antara jenis kelamin, umur, tingkat semester, serta keaktifan pada organisasi dan sikap terhadap foodborne disease (p>0.05). Tidak ditemukan korelasi antara pengetahuan responden dan sikap terhadap foodborne disease (p>0.05). Dari penelitian ini disimpulan bahwa umur, keaktifan pada organisasi, serta tingkat semester berhubungan (berkorelasi) positif dengan tingkat pengetahuan
mahasiswa terhadap foodborne disease, namun jenis kelamin dan jalur masuk IPB tidak berkorelasi. Selain itu, jalur masuk IPB memiliki hubungan (korelasi) positif yang lemah terhadap sikap mahasiswa terhadap foodborne disease, namun jenis kelamin, umur, keaktifan pada organisasi, dan tingkat semester tidak ada korelasi dengan sikap mahasiswa terhadap foodborne disease. Disamping itu juga tidak ada korelasi antara tingkat pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap foodborne disease. Kata kunci:
pengetahuan, sikap, mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, foodborne disease
PENGETAHUAN DAN SIKAP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR TERHADAP FOODBORNE DISEASE
SUKRON SAURI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pengetahuan dan Sikap Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor terhadap Foodborne Disease adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2011
Sukron Sauri B04070115
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Judul Skripsi Nama NIM
: Pengetahuan dan Sikap Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor terhadap Foodborne Disease : Sukron Sauri : B04070115
Disetujui
Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi Ketua
drh. Chaerul Basri, M.Epid Anggota
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal lulus:
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahkan berupa kekuatan lahir batin sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan baik dalam segi materi, tata bahasa maupun dalam memberikan deskripsi. Selama pengerjaan skripsi penulis mendapat saran dan masukan yang membangun dalam penyempurnaan skripsi. Banyak kemudahan dan kesulitan yang penulis hadapi. Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan yang telah diberikan dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada: 1. Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW 2. Keluarga tercinta (Papa, Mama, Irvan, dan Yani). 3. Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M. Si selaku pembimbing pertama, atas semua waktu yang berkenan memberikan bimbingan, saran dan arahan yang amat berguna bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak drh. Chaerul Basri, M.Epid selaku pembimbing kedua yang telah sabar dan banyak meluangkan waktu dalam membimbing dan mengarahkan dalam penulisan ini. 7. Ibu Dr. Nastiti Kusumorini, Ph.D selaku wakil Dekan FKH IPB 10. Seluruh responden mahasiswa Kedokteran Hewan IPB 11. Seluruh staf pengajar yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya selama penulis menuntut ilmu di FKH IPB. 12. Teman-teman seperjuangan Gianuzzi FKH 44. 13. Teman-teman IMAKAHI dan HIMPRO Ruminansia. Semoga bantuan, dukungan, dorongan, dan perhatian dari semua pihak yang telah diberikan dengan tulus kepada penulis, tidaklah sia-sia dan mendapat imbalan setimpal dari Allah SWT. Semoga skripsi ini dapat memenuhi fungsinya dengan baik dan memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak. Bogor, Juli 2011 Sukron Sauri
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 14 Agustus 1989 dari Syahroni dan Elvianingsih. Penulis merupakan putra ketiga dari tiga bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai dari SDN 06 Rawa Panjang, Bekasi sampai kelas 2 dan kelas 2 sampai kelas 6 ditempuh di SDN 03 Bojong Gede, Kabupaten Bogor hingga lulus pada tahun 2001, yang kemudian dilanjutkan ke SMPN 01 Bojong Gede, Kabupaten Bogor dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan SMA penulis selesaikan di SMAN 06 Bogor dan lulus pada tahun 2007, kemudian melanjutkan ke IPB pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Mayor yang dipilih penulis adalah Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) sebagai pengurus 2008/2010, dan Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia FKH IPB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang ......................................................................... Tujuan .......................................................................................
1 3
TINJAUAN PUSTAKA Foodborne Disease .................................................................. Pengetahuan ............................................................................. Sikap ......................................................................................... Studi terhadap Pengetahuan dan Sikap ....................................
4 6 7 8
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan ......................................................................... Tempat dan Waktu Penelitian .................................................. Desain penelitian ...................................................................... Populasi dan Sampel ................................................................ Pengumpulan Data ................................................................... Hipotesis ................................................................................... Analisis Data ............................................................................
10 10 10 10 11 11 11
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden .......................................................... Tingkat Pengetahuan Umum Responden terhadap Foodborne Disease ..................................................................................... Tingkat Pengetahuan Spesifik Responden terhadap Foodborne Disease ..................................................................................... Kategori Sikap Responden terhadap Foodborne Disease ...... Hubungan Karakteristik Responden dan Tingkat Pengetahuan terhadap Foodborne Disease .................................................... Hubungan Karakteristik Responden dengan Sikap terhadap Foodborne Disease .................................................................. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Sikap Responden terhadap Foodborne Disease .................................................... Peran Kesehatan Masyarakat Veteriner dalam Pengendalian Foodborne Disease ..................................................................
14 16 17 18 19 22 23 24
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ................................................................................... Saran .........................................................................................
27 27
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................
28
LAMPIRAN .....................................................................................
30
DAFTAR TABEL Halaman 1
Indeks tingkat pengetahuan mahasiswa dan jumlah skor .......
12
2
Indeks tingkat sikap mahasiswa dan jumlah skor ..................
13
3
Karakteristik responden pengetahuan dan sikap mahasiswa FKH IPB terhadap foodborne disease ..................................
15
Tingkat pengetahuan umum responden terhadap foodborne disease ...............................................................................
17
Tingkat pengetahuan spesifik responden terhadap foodborne disease ...............................................................................
18
6
Kategori sikap responden terhadap foodborne disease ..........
19
7
Hubungan antara karakteristik dan tingkat pengetahuan mahasiswa FKH IPB terhadap foodborne disease .................
20
Hubungan antara karakteristik dan sikap mahasiswa FKH IPB terhadap foodborne ..................................................................
22
Hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap foodborne disease ....................................................
23
4 5
8 9
xi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Kuesioner .........................................................................
31
2
Tingkat pengetahuan spesifik responden terhadap foodborne disease .............................................................................
35
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Makhluk hidup khususnya manusia tidak bisa terlepas dari kebutuhan pokok seperti pangan (makanan) di samping kebutuhan sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal atau rumah). Tentunya makanan yang dikonsumsi oleh manusia harus dengan kualitas maupun kuantitas yang cukup agar dapat terpenuhi kebutuhan gizi seseorang sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas sumber daya manusia. Namun ada dua hal yang harus diperhatikan dalam pemenuhan gizi yaitu ketahanan atau ketersediaan pangan (food security) dan keamanan pangan (food safety) yang berarti makanan harus dalam jumlah cukup dan aman untuk dikonsumsi. Ketika permasalahan pertama dapat diatasi (food security), hal yang baru-baru ini semakin kritis adalah permasalahan food safety (keamanan pangan) (Badan Karantina 2007). Keamanan pangan sangat terkait dengan makanan yang tercemar/ terkontaminasi hingga menimbulkan penyakit pada konsumen atau sering disebut sebagai foodborne disease atau penyakit yang ditularkan melalui makanan. Kontaminan dapat berupa mikroba patogen seperti Salmonella dan Shigella, atau bahan kimia beracun misalnya logam berat, residu pestisida, dan enterotoksin dari bakteri.
Oleh karena itu, makanan maupun minuman yang secara sengaja
dimasukkan atau dicampur bahan-bahan berbahaya yang bukan untuk makanan seperti zat pewarna tekstil yang dicampur ke dalam makanan juga termasuk foodborne disease. Foodborne disease yang paling sering terjadi diketahui antara lain yang disebabkan oleh bakteri Campylobacter, Salmonella, dan E. coli O157:H7. Selain itu, foodborne disease sering disebabkan oleh golongan calicivirus yang juga disebut virus Norwalk dan parasit seperti sistiserkus. Di Indonesia, pengawasan ketat terhadap hewan dan bahan-bahan yang berasal dari hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia sudah diatur oleh pemerintah sejak jaman Hindia-Belanda disebut bidang kesehatan masyarakat veteriner (Kesmavet) yang dipegang oleh dokter hewan. Bidang kesmavet mempunyai peranan penting dalam mencegah
2
penularan penyakit kepada manusia baik melalui hewan maupun produk hewan lainnya dan ikut serta memelihara dan mengamankan produksi pangan asal hewan dari pencemaran dan kerusakan akibat penanganan yang kurang higienis (Badan Karantina 2007). Permasalah global mengenai foodborne disease dewasa ini belum diketahui, namun WHO sudah merespon kesenjangan data ini dengan mengeluarkan gagasan baru untuk memberikan estimasi yang lebih baik. Pada tahun 2005 dilaporkan bahwa 1.8 juta orang meninggal karena diare, sebagian besar diakibatkan oleh makanan dan minuman yang terkontaminasi. Permasalahan ini tidak hanya terjadi di negara-negara belum berkembang. Terdapat sekitar 76 juta kasus foodborne disease, sebanyak 325.000 dirawat dan 5000 meninggal, diperkirakan terjadi tiap tahun di Amerika Serikat. Ada lebih dari 200 mikroba, bahan kimia atau fisik yang dapat menyebabkan penyakit ketika tercerna. Lebih dari 20 tahun terakhir, setidaknya di negara-negara industri, foodborne disease disebabkan oleh bakteri, parasit, virus dan prion secara signifikan sudah menjadi agenda politik dan umum, bahkan menjadi perhatian media (Bhunia 2008).
Hal ini dikarenakan foodborne disease merupakan
permasalahan dunia yang menyangkut kebutuhan yang sangat penting dan mendasar bagi manusia (makanan dan minuman).
Disamping itu, foodborne
disease menyebabkan banyak penderitaan dan kematian.
Banyaknya kasus
foodborne disease yang terjadi dan penarikan produk makanan terkontaminasi dari masyarakat yang terus-menerus telah menyebabkan peningkatan kerugian ekonomi yang besar bagi produsen dan pengolah makanan (Bhunia 2008). Penelitian ini dilakukan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) dengan responden yang tersebar pada masingmasing semester. Mahasiswa FKH IPB mendapatkan materi kuliah mengenai zoonosis khususnya yang berkaitan dengan foodborne disease sehingga lebih mengenal mengenai foodborne disease yang diharapkan dapat menjadi dokter hewan yang berkompetensi untuk mengatasi masalah foodborne disease.
3
Tujuan Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat pengetahuan dan sikap mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) terhadap foodborne disease.
TINJAUAN PUSTAKA Foodborne Disease Foodborne disease adalah suatu penyakit ditimbulkan akibat mengonsumsi makanan atau minuman yang tercemar.
Foodborne disease disebabkan oleh
berbagai macam mikroorganisme patogen atau zat kimia beracun dan berbahaya bagi kesehatan konsumen yang mengontaminasi makanan.
Oleh karena itu,
terdapat bermacam-macam foodborne disease. Makanan yang berasal baik dari hewan
maupun
tumbuhan
dapat
berperan
sebagai
media
pembawa
mikroorganisme penyebab penyakit pada manusia. Foodborne disease merupakan masalah kesehatan masyarakat yang meluas dan terus meningkat baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang. Di negara berkembang, masalah tersebut lebih berdampak pada kesehatan dan ekonomi dibandingkan dengan di negara maju, namun tidak ada data yang dapat dipercaya tentang hal itu. Salah satu perhatian dari aspek keamanan pangan dan kesehatan masyarakat terhadap pangan asal hewan akhir-akhir ini adalah penyakit hewan yang dapat ditularkan melalui produk hewan ke manusia atau dikenal sebagai foodborne zoonotic disease atau foodborne zoonosis (jamak=zoonoses). Foodborne zoonotic disease didefinisikan sebagai infeksi pada manusia yang ditularkan melalui pangan yang sumbernya dari hewan yang terinfeksi. Beberapa penyakit ini sudah dikenal lama seperti antraks yang ditularkan melalui daging sapi, kambing, domba, kerbau; sistiserkosis atau taeniasis yang ditularkan melalui daging babi, toksoplasma yang ditularkan melalui daging kambing atau domba (Lukman 2009). Menurut WHO (2007) yang dikutip oleh Sharif dan Al-Maliki (2010), insidensi global dari foodborne disease sulit diestimasi, tetapi pernah dilaporkan pada tahun 2005 sekitar 1.8 juta orang meninggal akibat diare. Kasus tersebut umumnya dapat dikaitkan dengan konsumsi makanan dan minuman yang tercemar.
Pada negara-negara industri persentase orang yang menderita
foodborne disease setiap tahunnya dilaporkan mencapai hingga 30%. Foodborne disease nampaknya akan terus meningkat secara mendunia pada tahun terakhir.
4 Hal tersebut terkait dengan perubahan drastis pada produksi hewan, industrialisasi produksi hewan, khususnya unggas, produksi massal dalam proses pengolahan dan distribusi pangan, globalisasi perdagangan pangan, dan peningkatan jumlah wisatawan seluruh dunia (Lindberg 1999 yang dikutip oleh Sharif dan Al-Malki 2010). Faktor-faktor tersebut telah meningkatkan pentingnya foodborne disease. Lebih dari 250 macam foodborne disease telah dideskripsikan. Sebagian besar penyakit ini merupakan penyakit yang disebabkan oleh bermacam-macam bakteri, virus, dan parasit yang terdapat pada makanan. Penyakit lainnya adalah keracunan yang disebabkan oleh racun berbahaya atau zat kimia yang mencemari makanan, contohnya kapang.
Dalam dua dasawarsa terakhir (sejak 1990),
foodborne disease muncul menjadi masalah penting dan terus berkembang dalam kesehatan masyarakat dan ekonomi di beberapa negara (Signorini dan FloresLuna 2010). Campylobacter adalah bakteri patogen yang dapat ditemukan pada sayuran, daging, dan air. Kebanyakan kasus foodborne disease yang berasal dari produk asal unggas merupakan sumber Campylobacter. Selain itu, Campylobacter juga dapat bersumber dari susu yang tidak terpasteurisasi, kontaminasi ketika memegang makanan, dan permukaan air yang terkontaminasi. Campylobacter berkolonisasi di dalam usus ayam broiler.
Infeksi Campylobacter biasanya
menyebabkan diare, namun pemberian antibiotik tidak selalu diperlukan. Diare karena Campylobacter yang menginfeksi usus menyebabkan inflamasi sehingga merusak sel-sel epitel di distal ileum dan kolon. Selain itu, infeksi ini dapat juga disertai demam dan keram perut (Bhunia 2008). Campylobacteriosis menjadi penyebab kasus diare dan diperkirakan mengambil porsi 5-14% dari seluruh kasus diare di dunia.
Foodborne
campylobacteriosis umumnya disebabkan oleh Campylobacter jejuni dan C. coli. Kedua
spesies
tersebut
merupakan
patogen
terpenting
terhadap
campylobacteriosis pada manusia, yang mana C. jejuni merupakan penyebab 8090% dan C. coli 5-10% merupakan campylobacteriosis enterik pada manusia (Lukman 2009). Campylobacteriosis diduga sebagai kasus tertinggi di antara foodborne bacterial infection di Amerika Serikat, yang diperkirakan mencapai 1.9 juta kasus per tahun dan berhubungan erat dengan konsumsi ayam. Ancaman
5 terhadap kesehatan masyarakat dari infeksi Campylobacter ini adalah spesies ini telah resisten terhadap beberapa antibiotik, khususnya florokuinolon dan makrolida, serta bersifat zoonotik (Bhunia 2008). Kasus foodborne disease akibat Salmonella saat ini lebih banyak disebabkan oleh Salmonella non-tifoid, terutama Salmonella Enteritidis dan Salmonella typhimurium.
Hampir semua serotipe/ serovar Salmonella enterica dapat
menimbulkan penyakit pada manusia dan hewan mamalia, serta bersifat zoonotik atau berpotensi zoonotik.
Cara penularan Salmonella ke manusia umumnya
melalui konsumsi makanan yang tercemar (jalur fekal-oral). Beberapa Salmonella memiliki sumber (reservoir) spesifik dan makanan tertentu sebagai media penularnya, misalnya Salmonella Enteritidis terkait dengan unggas dan produk unggas (Lukman 2009).
Semua Salmonella merupakan patogen intraselular
fakultatif dan bersifat patogen, serta dapat menyerang makrofag, sel-sel dendrit dan epitel (Bhunia 2008). Salmonella merupakan bakteri yang dapat menyebabkan penyakit salmonelosis.
Nama lain dari salmonelosis adalah enteric epizootic typhoid,
enteric infection, dan paratyphoid.
S. Typhimurium merupakan spesies yang
paling luas penyebarannya. Salmonelosis merupakan salah satu penyakit enterik yang disebabkan oleh bakteri terpenting yang menyebabkan jutaan kasus penyakit pada manusia dan hewan, serta menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan di seluruh dunia (Nógrády et al. 2008). Foodborne disease yang disebabkan oleh non-typhoid Salmonella merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia (Yang et al. 2010). Gejala salmonelosis pada manusia paling sering ditunjukkan sebagai non-typhoid syndrome, yang meliputi onset demam yang akut, nyeri abdomen, nausea, dan kadang-kadang muntah. Gejala ini berjalan dalam waktu tertentu (self-limiting).
Menurut Namata et al. (2009), manusia umumnya terinfeksi
Salmonella karena mengonsumsi telur, daging unggas, daging babi, dan daging sapi (jarang). Jenis pangan asal hewan yang terkait dengan salmonelosis pada manusia adalah daging, susu, unggas, dan telur. Beberapa produk olahan susu seperti keju dan es krim juga pernah menyebabkan wabah salmonelosis. Selain sakit dan
6 kematian, ancaman kesehatan masyarakat dari bakteri Salmonella adalah resistensi bakteri ini terhadap antibiotik yang dapat diturunkan dan ditularkan ke bakteri lain (Bhunia 2008). E. coli merupakan famili dari Enterobacteriaceae yang biasa ditemukan pada mikroflora intestinal dari hewan berdarah panas. Kebanyakan galur E. coli bersifat tidak patogen dan tinggal di saluran pencernaan manusia dan hewan. E. coli yang patogen dapat menyebabkan berbagai penyakit, antara lain gastroenteritis, disentri, hemolytic uremic syndrome (HUS), infeksi saluran kemih, septisemia, pneumonia, dan meningitis. Akhir-akhir ini yang menjadi perhatian adalah meningkatnya wabah yang disebabkan oleh enterohemorrhagic E. coli (EHEC) dan berkaitan dengan konsumsi daging, buah, sayuran yang tercemar, khususnya di negara berkembang. Pangan asal hewan yang sering terkait dengan wabah EHEC di Amerika Serikat, Eropa, dan Kanada adalah daging sapi giling (ground beef). Selain itu, daging babi, daging ayam, daging domba, dan susu segar (mentah). Serotipe utama yang berkaitan dengan EHEC adalah E. coli O157:H7, yang pertama kali dilaporkan sebagai penyebab wabah foodborne disease pada tahun 1982-1983. EHEC ini menghasilkan Shiga-like toxins sehingga disebut pula sebagai Shiga toxin producing E.coli (STEC).
Shiga toxin ini mematikan sel vero,
sehingga disebut pula verotoxin producing E. coli (VTEC). Bakteri ini umumnya tinggal di usus hewan, khususnya sapi, tanpa menimbulkan gejala penyakit. Bakteri ini juga dapat diisolasi dari feses ayam, kambing, domba, babi, anjing, kucing, dan sea gulls (Lukman 2009). Penyakit ini menyebabkan diare berdarah dan kesakitan karena keram perut tanpa disertai demam. Gagal ginjal juga dapat disebabkan patogen ini karena sel-sel endotel ginjal menjadi rusak (Bhunia 2008).
Pengetahuan Knowledge atau pengetahuan adalah kapasitas untuk mendapatkan, menahan dan menggunakan informasi; sebuah gabungan dari pemahaman, pengalaman, ketajaman, dan keterampilan (Badran 1995). Sedangkan menurut Kibler et al. (1981), pengetahuan dapat didefinisikan sebagai ingatan mengenai sesuatu yang bersifat spesifik atau umum; ingatan mengenai metode atau proses,
7 ingatan mengenai pola, susunan atau keadaan.
Kibler et al. (1981) merinci
pendapatnya dengan mengelompokkan jenis pengetahuan secara hirarkis ke dalam: (1) pengetahuan yang bersifat spesifik, (2) pengetahuan mengenai terminologi, (3) pengetahuan mengenai fakta-fakta tertentu, (4) pengetahuan mengenai cara-cara tertentu, (5) pengetahuan mengenai kaidah, (6) pengetahuan mengenai arah dan urutan, (7) pengetahuan mengenai klasifikasi dan kategori, (8) pengetahuan mengenai kriteria, (9) pengetahuan mengenai metode, (10) pengetahuan mengenai pola, (11) pengetahuan mengenai prinsip dan generalisasi, dan (12) pengetahuan mengenai teori dan struktur. Supriyadi (1993) menyatakan pengetahuan merupakan sekumpulan informasi yang dipahami, yang diperoleh melalui proses belajar selama hidup dan dapat digunakan sewaktu-waktu sebagai alat penyesuaian diri sendiri maupun lingkungannya.
Pengetahuan berarti
pemahaman suatu masyarakat tentang suatu topik diberikan (Kaliyaperumal 2004). Ehiri dan Moris (1996) di dalam penelitiannya mengenai edukasi dan pelatihan praktek higiene pada orang yang menangani makanan mendapatkan hasil bahwa perilaku atau praktek individu tergantung pada pengetahuannya dan juga akan berpengaruh pada sikap yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi perilaku. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan memegang peranan penting pada perubahan perilaku.
Sikap Attitude yang dimaksud disini diterjemahkan menjadi sikap yang dapat didefinisikan sebagai sebagai suatu kecenderungan atau kehendak hati untuk memberikan reaksi dengan cara tertentu pada situasi tertentu; untuk melihat dan menginterpretasikan kejadian-kejadian menurut predisposisi tertentu; atau mengatur opini-opini secara logis dan struktur yang saling berhubungan (Badran 1995). Gerungan (1967) menerjemahkan attitude sebagai sikap terhadap sesuatu objek tertentu yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan yang disertai dengan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek tersebut.
Objek sikap ini tidak hanya terarahkan untuk benda-benda,
8 individu-individu, tapi juga bisa terhadap peristiwa-peristiwa, pemandanganpemandangan, lembaga-lembaga, norma-norma, nilai-nilai dan sebagainya. Sedangkan Lewis dan Petersen (1985) menyatakan sikap adalah kecenderungan untuk melakukan respon secara konsisten dengan cara positif atau negatif terhadap sebuah objek atau sekumpulan objek. Lebih lanjut ditegaskan bahwa sebagian dari sikap ditentukan oleh proses yang bersifat pengertian atau kesadaran (cognitive) dan sebagian ditentukan oleh emosi (emotion). Wilcock et al. (2004) di dalam penelitiannya mengenai pengetahuan, sikap, dan perilaku konsumen menyatakan bahwa sikap konsumen dapat dipengaruhi dan memprediksi suatu perilaku. Tinjauan ini menyoroti berbagai macam sikap konsumen terhadap keamanan pangan. Perbedaan diantara konsumen tersebut dipengaruhi berbagai faktor, termasuk faktor demografi dan status sosio-ekonomi.
Studi terhadap Pengetahuan dan Sikap Survei pengetahuan, sikap, dan praktek atau knowledge, attitude, and practice (KAP) adalah suatu studi representatif dari suatu populasi spesifik untuk mengumpulkan informasi tentang apa yang diketahui, dipercayai dan dilakukan terkait dengan suatu topik tertentu.
Dalam survei KAP, data dikumpulkan
menggunakan kuesioner yang disusun secara terstruktur dan diisi sendiri oleh responden. Data tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif atau kuantitatif tergantung pada tujuan dan disain studi. Survei KAP dapat didisain secara khusus untuk menjaring informasi tentang topik tertentu.
Data hasil survei KAP
bermanfaat untuk membantu merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi suatu kegiatan. Survei KAP dapat mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan (knowledge gap), kepercayaan budaya, atau pola perilaku yang mungkin mempengaruhi pemahaman dan tindakan, serta mengenal masalah yang muncul atau hambatan (barriers) dari suatu usaha. Survei KAP dapat mengidentifikasi informasi yang umumnya menjadi suatu pengetahuan dan sikap. Lebih jauh, suvei KAP dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi perilaku yang tidak diketahui pada kebanyakan orang, alasan-alasan terhadap sikapnya, serta bagaimana dan mengapa orang-orang melakukan atau menerapkan perilaku tertentu.
9 Survei KAP dapat menilai proses dan sumber komunikasi yang menjadi kunci aktivitas dan pesan yang efektif dalam suatu kegiatan. Selanjutnya, survei ini dapat digunakan juga untuk mengidentifikasi kebutuhan, masalah dan hambatan dalam penyampaian/pelaksanaan program, serta mencari pemecahan (solution) untuk memperbaiki kualitas dan aksesibilitas pelayanan (WHO 2008). Mead et al. (2000) mendiskusikan tiga kesulitan penting yang berdampak utama dalam pengumpulan data yang akurat. Walaupun diskusi ini difokuskan pada situasi di Amerika Serikat, kesulitan-kesulitan tersebut nampaknya berlaku di seluruh dunia. Pertama, foodborne disease, perawatan di rumah sakit dan kematian tidak dilaporkan karena pengobatan tidak teramati, pengujian diagnostik tidak dilakukan, atau hasil uji tidak dilaporkan untuk ditabulasi. Kedua, agen patogen penyebab foodborne disease dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain atau melalui wahana lain seperti air. Ketiga, beberapa foodborne disease, disebabkan oleh agen patogen yang belum diketahui dan sampai saat ini belum banyak dilaporkan pada makanan.
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Bahan yang dibutuhkan berupa angket kuesioner foodborne disease yang telah disusun secara terstruktur.
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) Darmaga dari bulan Agustus 2010 sampai bulan Januari 2011.
Disain Penelitian Penelitian ini didisain sebagai suatu survei yang menekankan pada upaya untuk mengetahui karakteristik mahasiswa FKH IPB, hubungan antara karakteristik mahasiswa dan pengetahuan terhadap foodborne disease, hubungan antara karakteristik mahasiswa dan sikap terhadap foodborne disease, dan hubungan antara tingkat pengetahuan mahasiswa dan sikap terhadap foodborne disease.
Populasi dan Sampel Penelitian dilakukan terhadap pengetahuan dan sikap mengenai foodborne disease mahasiswa S1 FKH IPB semester ke-3, 5, 7 dan mahasiswa Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) tahun 2010.
Besaran sampel
mahasiswa sebagai responden ditentukan dengan menggunakan software komputer Win Episcope 2.0, dengan asumsi populasi mahasiswa FKH IPB sebanyak 627 orang, expected prevalence 50%, accepted error 5%, dan level of confidence 95%, sehingga dihasilkan besaran sampel mahasiswa responden sebesar 239 orang atau sekitar 38% dari populasi total. Teknik penarikan contoh yang digunakan pada penelitian ini adalah penarikan contoh acak berlapis (stratified random sampling) yang terdiri dari S1 semester 3 sebanyak 62 responden, semester 5 sebanyak 61 responden, semester 7 sebanyak 55 orang, PPDH phasing out sebanyak 19 responden, dan PPDH mayor minor sebanyak 42 orang. Teknik penarikan contoh acak berlapis tersebut dipilih
11 karena sampel yang diperoleh adalah dengan membagi populasi ke dalam strata/grup (semester 3, 5, 7, dan PPDH) dan dapat meningkatkan keakuratan sampel (Thrusfield 1986).
Pengumpulan Data Data
dikumpulkan
menggunakan
kuesioner
mengenai
karakteristik
mahasiswa, pengetahuan mahasiswa responden terhadap foodborne disease, dan sikap responden terhadap foodborne disease. Pengambilan data dilakukan pada responden dengan mengisi sendiri kuesioner yang diberikan dan diisi di tempat. Data karakteristik mahasiswa yang merupakan peubah bebas dalam penelitian ini meliputi: (1) umur, (2) jenis kelamin, (3) semester, (4) tahun masuk IPB, (5) jalur masuk IPB, dan (6) keaktifan pada organisasi.
Karakteristik tersebut dipilih
sebagai parameter dikarenakan sesuai dengan kondisi dimana sampel diambil yaitu di FKH IPB.
Hipotesis Berdasarkan kerangka konsep yang disusun dalam penelitian ini, maka hipotesis yang dibuktikan adalah sebagai berikut: Ho : Tidak ada hubungan antara karakteristik responden (jenis kelamin, umur, tingkat semester, jalur masuk IPB, dan keaktifan pada organisasi) mahasiswa kedokteran hewan IPB dan tingkat pengetahuan dan sikap terhadap foodborne disease. H1 : Ada hubungan antara karakteristik responden (jenis kelamin, umur, tingkat semester, jalur masuk IPB, dan keaktifan organisasi) mahasiswa kedokteran hewan IPB dan tingkat pengetahuan dan sikap terhadap foodborne disease
Analisis Data Data yang diperoleh diolah dengan uji Spearman correlation yang digunakan untuk mengetahui korelasi antara karakteristik responden dan tingkat pengetahuan serta sikap yang ditunjukkan dengan nilai p<0.05 serta nilai r (-1≤ r
12 ≤1). Nilai korelasi positif adalah 0.5≤r≤1 dan nilai korelasi negatif adalah 1≤r<0.5. Pengolahan data penelitian menggunakan program SPSS 13.0. Untuk mengukur pengetahuan mahasiswa digunakan 35 pernyataan mengenai foodborne disease yang terdiri dari pernyataan “benar” dan “salah”. Kuesioner dibagi dalam 4 bagian yaitu sebanyak 15 soal pernyataan mengenai pengetahuan umum penyakit, 5 soal mengenai gejala klinis penyakit, 11 soal mengenai penularan penyakit, dan 4 soal mengenai pencegahan dan pengendalian penyakit Responden mahasiswa diharapkan dapat memberikan jawaban dalam bentuk “benar”, “salah”, atau “tidak tahu”. Untuk jawaban yang “benar” diberi skor 1, sedangkan jawaban yang “salah” atau jawaban “tidak tahu” diberi skor 0. Jumlah skor untuk setiap responden mahasiswa dihitung berdasarkan jawaban yang benar. Dengan demikian jumlah skor maksimum yang diperoleh responden dari seluruh jawaban adalah 1 x 35 = 35, sedangkan jumlah skor minimum adalah 0 x 35 = 0. Indeks dari tingkat pengetahuan mahasiswa mengenai foodborne disease berdasarkan jawaban yang benar dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Indeks tingkat pengetahuan mahasiswa dan jumlah skor Indeks pengetahuan responden
Jumlah skor
Baik
27-35
Cukup
17-26
Buruk
8-16
Sangat buruk
0-7
Untuk menilai sikap, dikembangkan 15 pernyataan mengenai sikap mahasiswa dalam kuesioner yang digunakan, yang masing-masing dapat dijawab oleh responden mahasiswa secara berjenjang, yaitu “sangat setuju”, “setuju”, “tidak tahu”, “tidak setuju”, dan “sangat tidak setuju”. Sikap mahasiswa terhadap foodborne disease diukur dengan menggunakan Skala Likert (Nazir 2003). Untuk pernyataan positif berlaku cara pemberian skor jawaban sebagai berikut: responden yang menjawab “sangat setuju” mendapat skor 5, “setuju” mendapat skor 4, “tidak tahu” mendapat skor 3, “tidak setuju” mendapat skor 2, dan “sangat
13 tidak setuju” mendapat skor 1. Untuk pernyataan negatif berlaku sebaliknya, yaitu skor 1 untuk jawaban “sangat setuju”, skor 2 untuk “setuju”, skor 3 untuk “tidak tahu”, skor 4 untuk “tidak setuju”, dan skor 5 untuk “sangat tidak setuju”. Dengan demikian jumlah skor maksimum yang diperoleh oleh responden dari seluruh jawaban pernyataan adalah 5 x 15 = 75, sedangkan jumlah skor minimum adalah 1 x 15 = 15. Indeks dari tingkat sikap mahasiswa mengenai foodborne disease berdasarkan jumlah skor dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Indeks tingkat sikap mahasiswa dan jumlah skor Indeks sikap responden
Jumlah Skor
Baik
57-75
Sedang
37-56
Buruk
0-36
Pengelompokkan jumlah skor untuk kategori baik yaitu > ½ dari jumlah skor (57-75), kategori sedang dengan jumlah skor ¼ dari jumlah skor (37-56), dan kategori buruk dengan jumlah skor < ¼ dari jumlah skor (0-36).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian disajikan dalam empat bagian untuk memenuhi tujuan dan hipotesis penelitian, yaitu (1) karakteristik responden (jenis kelamin, umur, tingkat semester, tahun masuk IPB, jalur masuk IPB dan keaktifan pada organisasi di FKH IPB), tingkat pengetahuan umum responden terhadap foodborne disease, tingkat pengetahuan spesifik, dan kategori sikap, (2) hubungan antara karakteristik responden dan tingkat pengetahuan terhadap foodborne disease, (3) hubungan antara karakteristik responden dan tingkat sikap terhadap foodborne disease, dan (4) hubungan antara tingkat pengetahuan responden dan tingkat sikap terhadap foodborne disease.
Karakteristik Responden Jumlah responden yang dijaring adalah 239 orang atau sekitar 38% dari total populasi.
Berdasarkan hasil yang didapat, responden dapat dikategorikan ke
dalam beberapa karakteristik berdasarkan jenis kelamin, umur, tingkat semester, tahun masuk IPB, jalur masuk IPB, dan keaktifan responden pada organisasi yang dapat dilihat secara rinci pada Tabel 3. Dalam penelitian ini (Tabel 3) sebagian besar responden adalah perempuan (61.9% atau 148 orang), sedangkan responden laki-laki sebanyak 38.1% (91 orang). Total mahasiswa perempuan FKH IPB lebih banyak (56.3% atau 353 orang) dibandingkan dengan mahasiswa laki-laki (43.7% atau 274 orang). Berdasarkan umur, lebih dari separuh responden berumur kurang dari 20 tahun (54.8%), lalu diikuti oleh responden dengan umur 21–25 tahun sebanyak 42.7%, dan responden dengan umur lebih dari 25 tahun sebanyak 2.5%. Kisaran umur mahasiswa yang baru masuk ke FKH IPB adalah 18 tahun. Secara umum mahasiswa di FKH IPB dibagi menjadi Program Sarjana (S1; Sarjana Kedokteran Hewan) dan Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH). Pada penelitian ini, responden dari Program Sarjana sebanyak 178 orang (74.4%), yang terdiri dari semester 3, 5, dan 7 berturut-turut sebanyak 62, 61, dan
15 Tabel 3
Karakteristik responden pengetahuan dan sikap mahasiswa FKH IPB terhadap foodborne disease (n=239)
No.
Karakteristik responden
Jumlah responden
% dari total responden
Laki-laki
91
38.1
Perempuan
148
61.9
≤20 tahun
131
54.8
21-25 tahun
102
42.7
6
2.5
Tiga
62
25.9
Lima
61
25.5
Tujuh
55
23.0
PPDH
61
25.5
≤2006
59
24.7
>2006
180
75.3
USMI
169
70.7
BUD
18
7.5
SPMB
46
19.2
Lain-lain
6
2.5
Tidak aktif
43
18.0
Hanya 1 organisasi
114
47.7
Lebih dari 1 organisasi
82
34.3
DPM
13
4.0
BEM
30
9.3
IMAKAHI
43
13.3
Himpunan minat dan profesi
136
42.1
Seni STERIL
27
8.4
Agama
43
13.3
Kelas
31
9.6
1. Jenis kelamin
2. Umur
>25 tahun 3. Semester
4. Tahun masuk IPB
5. Jalur masuk IPB
6. Keaktifan di organisasi
7. Aktif pada organisasi
16 55 orang, serta responden dari PPDH sebanyak 61 orang (25.5%). Mahasiswa FKH IPB di bawah semester 7 belum mendapat mata kuliah Zoonosis. Mahasiswa PPDH telah mendapatkan mata kuliah tersebut dan telah menjalani program PPDH di Bagian Kesmavet FKH IPB. Peubah tahun masuk IPB dikelompokkan ke dalam dua pengukuran yaitu responden yang masuk IPB sebelum dan pada tahun 2006 (tahun 2000-2006) sebanyak 59 orang (24.7%) dan setelah tahun 2006 (tahun 2007-2010) sebanyak 180 orang 75.3%. Berdasarkan jalur masuk IPB, responden yang masuk IPB melalui jalur USMI sebanyak 169 orang (70.7%), melalui jalur BUD sebanyak 18 orang (7.5%), melalui jalur SPMB sebanyak 46 orang (19.2%), dan melalui jalur yang lain sebanyak 6 orang (2.5%). Jalur lain adalah mahasiswa pindahan dari Fakultas Kedokteran Hewan lain atau mahasiswa asing. Distribusi frekuensi keaktifan responden pada organisasi menunjukkan bahwa sebanyak 18.0% responden tidak aktif pada organisasi, 47.7% responden aktif pada 1 organisasi, dan 34.3% responden aktif pada lebih dari 1 organisasi. Selain itu dapat dilihat pula bahwa sebanyak 13 responden (4.0%) aktif di DPM, 30 responden (9.3%) aktif di BEM, 43 responden (13.3%) aktif di IMAKAHI, 136 responden (42.1%) aktif di Himpunan minat dan profesi, 27 responden (8.4%) aktif di seni STERIL, 43 responden (13.3%) aktif di Agama, dan sebanyak 31 responden (9.6%) aktif di Kelas.
Tingkat Pengetahuan Umum Responden terhadap Foodborne Disease Berdasarkan hasil yang didapatkan, terdapat lebih dari separuh jumlah responden semester 3 (61.3%) memiliki tingkat pengetahuan terhadap foodborne disease cukup.
Responden semester 5 kebanyakan (45.9%) memiliki tingkat
pengetahuan terhadap foodborne disease buruk.
Disamping itu, responden
semester 7 memiliki tingkat pengetahuan yang cukup terhadap foodborne disease (96.4%), sedangkan responden PPDH lebih dari separuhnya memiliki tingkat pengetahuan yang baik (52.5%).
Tingkat pengetahuan mahasiswa FKH IPB
terhadap foodborne disease lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 4.
17
Tabel 4 Tingkat pengetahuan umum responden terhadap foodborne disease Tingkat pengetahuan secara umum
Responden Total Semester 3
Semester 5
Semester 7
PPDH
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
Baik
1
1.6
2
3.3
2
3.6
32
52.5
37
15.5
Cukup
38
61.3
22
36.1
53
96.4
29
47.5
142
59.4
Buruk
21
33.9
28
45.9
0
0.0
0
0.0
49
20.5
Sangat buruk
2
3.2
9
14.8
0
0.0
0
0.0
11
4.6
Total
62
100.0
61
100.0
55
100.0
61
100.0
239
100.0
Berdasarkan hasil dapat dilihat bahwa semakin tinggi tingkat semester maka pengetahuan responden terhadap foodborne disease makin meningkat. Hal ini tentunya dapat dijadikan pertimbangan koreksi kurikulum yang ada di FKH IPB. Kurikulum saat ini menempatkan mata kuliah higiene pangan dan zoonosis (berkaitan dengan foodborne disease) untuk diberikan kepada mahasiswa semester 8. Dengan melihat hasil penelitian ini, mungkin sebaiknya mata kuliah tersebut sudah diberikan kepada mahasiswa tingkat awal di FKH (semester 3) agar mahasiswa lebih mengetahui tentang bahaya foodborne disease yang secara tidak langsung dapat mengendalikan kasus foodborne disease.
Tingkat Pengetahuan Spesifik Responden terhadap Foodborne Disease Sebagian besar responden menjawab benar soal (58.0%), sebanyak 25.8% soal dijawab tidak tahu, dan hanya 16.2% soal dijawab salah oleh responden (Tabel 5). Soal yang paling banyak dijawab benar (88.9%) oleh responden adalah kategori soal pencegahan dan pengendalian foodborne disease, diikuti oleh kategori soal cara penularan (63.0%), kategori soal pengetahuan umum penyakit foodborne disease sebesar 53.8%, dan kategori soal gejala klinis sebesar 32.8%. Kebanyakan soal (30.5%) dijawab salah pada kategori soal gejala klinis, sebesar 17.1% soal dijawab salah pada kategori soal pengetahuan umum penyakit, lalu diikuti pada kategori soal cara penularan sebesar 14.3%, dan hanya 1.4% soal dijawab salah pada kategori soal pencegahan dan pengendalian foodborne disease.
18 Tabel 5 Tingkat pengetahuan spesifik responden terhadap foodborne disease Tingkat pengetahuan spesifik
Benar
Salah
Tidak tahu
Jumlah soal
Total jawaban
n
%
n
%
n
%
Pengetahuan umum penyakit
14
3346
1801
53.8
572
17.1
973
29.1
Gejala klinis
5
1195
392
32.8
364
30.5
439
36.7
Cara penularan
12
2868
1806
63.0
410
14.3
652
22.7
Pencegahan dan pengendalian
4
956
850
88.9
13
1.4
93
9.7
35
8365
4849
58.0
1359
16.2
2157
25.8
Total
Lebih dari sepertiga soal (36.7%) dijawab tidak tahu pada kategori soal gejala klinis, lebih dari seperempat soal (29.1%) dijawab tidak tahu pada kategori soal pengetahuan umum penyakit, lalu diikuti pada kategori soal cara penularan yang dijawab tidak tahu adalah sebesar 22.7%, dan hanya 9.7% soal pada kategori soal pencegahan dan pengendalian foodborne disease yang dijawab tidak tahu. Sebagian besar responden (36.7%) menjawab tidak tahu pada kategori soal gejala klinis dan pengetahuan umum penyakit (29.1%). Pada hasil dapat diketahui bahwa responden paling sedikit menjawab benar pada kategori soal gejala klinis. Di dalam kuliah Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK) dan Ilmu Klinik di FKH IPB diajarkan mengenai gejala klinis penyakit, namun kebanyakan hanya bersifat hapalan sehingga mahasiswa kurang dapat membedakan gejala klinis satu penyakit dengan penyakit lain dikarenakan beberapa penyakit foodborne disease menunjukkan gejala klinis yang hampir sama. Kategori Sikap Responden terhadap Foodborne Disease Hasil analisa kategori sikap menunjukkan bahwa sebagian besar responden semester 3 (88.7%) bersikap baik (jumlah skor kuesioner adalah 57-75) terhadap foodborne disease. Responden semester 5 kebanyakan (77.0%) memiliki sikap baik terhadap foodborne disease. Lalu responden semester 7 memiliki tingkat sikap baik yang paling tinggi yaitu sebesar 90.9%, lalu sebesar 82.0% responden
19 PPDH memiliki tingkat sikap baik terhadap foodborne disease. Hasil analisa tersebut dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Kategori sikap responden terhadap foodborne disease Responden Kategori sikap
Total Semester 3
Semester 5
Semester 7
PPDH
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
Baik
55
88.7
47
77.0
50
90.9
50
82.0
202
84.5
Sedang
7
11.3
14
23.0
5
9.1
11
18.0
37
15.5
Buruk
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
Total
62
100.0
61
100.0
55
100.0
61
100.0
239
100.0
Hubungan Karakteristik Responden dan Tingkat Pengetahuan terhadap Foodborne Disease Data menunjukkan bahwa laki-laki memiliki tingkat pengetahuan baik yang lebih tinggi yaitu sebesar 17.6% dibandingkan dengan perempuan yang memiliki tingkat pengetahuan baik sebesar 14.2% (Tabel 8).
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi tingkat pengetahuan responden yang ditunjukkan dengan taraf nyata tidak signifikan (p>0.05). Hal ini sejalan dengan penelitian Unusan (2007) mengenai pengetahuan dan praktik konsumen terhadap keamanan pangan mendapatkan bahwa responden laki-laki memiliki tingkat pengetahuan keamanan pangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Korelasi antara umur dan tingkat pengetahuan adalah positif dengan taraf nyata yang signifikan (p<0.05) namun lemah (r=0.476). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat umur responden maka semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya.
Responden dengan umur ≤ 20 tahun memiliki tingkat
pengetahuan baik sebesar 2.3%, umur 21-25 tahun memiliki tingkat pengetahuan baik sebesar 29.4%, dan umur >25 tahun dengan tingkat pengetahuan baik sebesar 66.7%. Penelitian Giuseppe et al. (2008) mengenai KAP terhadap avian influenza
20 Tabel 8
Hubungan antara karakteristik dan tingkat pengetahuan mahasiswa FKH IPB terhadap foodborne disease Sangat buruk
Karakteristik responden
Buruk
Cukup
Baik
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
Laki-laki
6
6.7
17
18.7
52
57.1
16
17.6
91
100.0
Perempuan
6
4.1
31
20.9
90
60.8
21
14.2
148
100.0
≤ 20 tahun
10
7.6
41
31.3
77
58.8
3
2.3
131
100.0
21-25 tahun
2
2.0
7
6.9
63
61.8
30
29.4
102
100.0
> 25 tahun
0
0.0
0
0.0
2
33.3
4
66.7
6
100.0
Semester 3
2
3.2
21
33.9
38
61.3
1
1.6
62
100.0
Semester 5
10
16.4
27
44.3
22
36.1
2
3.3
61
100.0
Semester 7
0
0.0
0
0.0
53
96.4
2
3.6
55
100.0
PPDH
0
0.0
0
0.0
29
47.5
32
52.5
61
100.0
p
r
0.702
-0.016
0.000*
0.476
0.000*
0.565
0.505
0.027
0.001*
0.207
Jenis Kelamin
Umur
Semester
Jalur masuk IPB USMI
7
4.1
36
21.3
101
59.8
25
14.8
169
100.0
BUD
2
11.1
4
22.2
11
61.1
1
5.6
18
100.0
SPMB
3
6.5
6
13.0
26
56.5
11
23.9
46
100.0
Lain-lain
0
0.0
2
33.3
4
66.7
0
0.0
6
100.0
Tidak aktif
1
2.3
16
37.2
23
53.5
3
7.0
43
100.0
1 organisasi
8
7.0
24
21.1
64
56.1
18
15.8
114
100.0
>1organisasi
3
3.7
8
9.8
55
67.1
16
19.5
82
100.0
Keaktifan pada organisasi
Keterangan: * p<0.05 (signifikan); p= probability; r= nilai korelasi
pada populasi orang dewasa di Italia mendapatkan hasil bahwa responden yang lebih tua dengan tingkat pendidikan dan sosial-ekonomi yang lebih tinggi memiliki tingkat pengetahuan yang lebih tinggi pula. Korelasi antara tingkat semester dan pengetahuan mengenai foodborne disease adalah positif dengan taraf nyata signifikan (p<0.05) cukup kuat (r=0.565).
Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat semester
responden maka semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya. Badran (1995) menyatakan bahwa edukasi merupakan prasyarat dari pengetahuan. Penelitian
21 Angelillo et al. (2001) mengenai KAP terhadap pegawai pelayanan makanan mendapatkan hasil bahwa pengetahuan mengenai patogen foodborne lebih tinggi secara signifikan pada pegawai dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Tingkat pengetahuan baik dari semester 3 adalah sebesar 1.6%, semester 5 sebesar 3.3%, semester 7 sebesar 3.6%, dan PPDH sebesar 52.5%. Berdasarkan penelitian ini didapatkan hasil yang menunjukkan tidak ada korelasi antara jalur masuk IPB dan tingkat pengetahuan yang dinyatakan dengan taraf nyata yang tidak signifikan (p>0.05). Tingkat pengetahuan baik responden yang paling tinggi adalah jalur masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) sebanyak 23.9%, sedangkan jalur melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebesar 14.8% dan hanya 5.6% responden melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) yang memiliki tingkat pengetahuan baik mengenai foodborne disease. Korelasi keaktifan organisasi responden dan tingkat pengetahuan adalah positif dengan taraf nyata signifikan (p<0.05) dan lemah (r=0.207). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin banyak organisasi (semakin aktif) maka semakin tinggi tingkat pengetahuannya.
Responden yang tidak aktif pada organisasi
memiliki tingkat pengetahuan sebesar 7.0%, responden yang aktif pada 1 organisasi memiliki tingkat pengetahuan sebesar 15.8%, dan responden yang aktif pada lebih dari 1 organisasi memiliki tingkat pengetahuan sebesar 19.5%. Menurut Rozin dan Fallon (1980) yang dikutip oleh Wilcock et al. (2004) bahwa kesadaran, pengetahuan, dan pendapat juga dapat dipengaruhi oleh kebiasaan dan persepsi lain yang merupakan hasil dari sosial, budaya, dan pengaruh ekonomi
Hubungan Karakteristik Responden dengan Sikap terhadap Foodborne Disease Hasil studi ini menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara karakteristik (jenis kelamin, umur, tingkat semester, dan keaktifan pada organisasi) dan sikap responden terhadap foodborne disease yang ditunjukkan dengan taraf nyata yang tidak signifikan pada masing-masing peubah (p>0.05), namun ditemukan korelasi positif lemah (p<0.05; r=0.128) antara jalur masuk IPB dan sikap mahasiswa terhadap foodborne disease.
Hubungan antara jalur masuk IPB dan sikap
mahasiswa terhadap foodborne disease menunjukkan kecenderungan yang lemah.
22 Dengan kata lain, jalur masuk IPB bukan merupakan variabel diskriminatif yang dapat menunjukkan perbedaan sikap. Secara rinci hubungan antara karakteristik responden dengan sikap terhadap foodborne disease dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9
Hubungan antara karakteristik dan sikap mahasiswa FKH IPB terhadap foodborne disease
Karakteristik responden
Buruk
Sedang
Baik
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
Laki-laki
0
0.0
16
17.6
75
82.4
91
100.0
Perempuan
0
0.0
21
14.2
127
85.8
148
100.0
≤ 20 tahun
0
0.0
19
14.5
112
85.5
131
100.0
21-25 tahun
0
0.0
16
15.7
86
84.3
102
100.0
> 25 tahun
0
0.0
2
33.3
4
66.7
6
100.0
Semester 3
0
0.0
7
11.3
55
88.7
62
100.0
Semester 5
0
0.0
14
23.0
47
77.0
61
100.0
Semester 7
0
0.0
5
9.1
50
90.9
55
100.0
PPDH
0
0.0
11
18.0
50
82.0
61
100.0
USMI
0
0.0
31
18.3
138
81.7
169
100.0
BUD
0
0.0
3
16.7
15
83.3
18
100.0
SPMB
0
0.0
2
4.3
44
95.7
46
100.0
Lain-lain
0
0.0
1
16.7
5
83.3
6
100.0
p
r
0.483
0.046
0.540
-0.040
0.716
-0.024
0.047*
0.128
0.588
0.035
Jenis Kelamin
Umur
Semester
Jalur masuk IPB
Keaktifan pada organisasi Tidak aktif
0
0.0
7
16.3
36
83.7
43
100.0
1 organisasi
0
0.0
19
16.7
95
83.3
114
100.0
> 1 organisasi
0
0.0
11
13.4
71
86.6
82
100.0
*
Keterangan: p<0.05 (signifikan)
Menurut Katz dan Stotland (1959) dan Rajeki (1982) yang dikutip oleh Feldman (1985) menyatakan bahwa pengertian sikap harus dipertimbangkan dari segi komponen-komponen penyusunnya.
Ketiga komponen utama sikap ini
meliputi komponen kognisi, afeksi, dan perilaku. Komponen afeksi mencakup
23 arah dan intensitas dari penilaian individu atau perasaan yang dialami terhadap objek sikap.
Komponen kognisi berkaitan dengan sistem keyakinan individu
mengenai objek sikap, sedangkan komponen perilaku merupakan kecenderungan untuk bertindak menurut cara tertentu terhadap objek sikap.
Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Sikap Responden terhadap Foodborne Disease Korelasi antara tingkat pengetahuan dan sikap responden adalah tidak signifikan (p>0.05). Penelitian Baş et al. (2006) tentang pengetahuan, sikap, dan praktik tentang higiene pangan pada orang-orang yang menangani makanan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam sikap antara orang yang sudah mendapatkan pelatihan mengenai cara menangani makanan dan orang yang belum mendapatkan pelatihan (p>0.05). Pada Tabel 10 dapat dilihat tingkat pengetahuan baik memiliki sikap baik sebesar 75.7%, tingkat pengetahuan cukup memiliki sikap baik sebesar 90.1%, tingkat pengetahuan buruk memiliki sikap baik sebesar 81.3, dan tingkat pengetahuan sangat buruk memiliki sikap baik sebesar 58.3%.
Tabel 10
Hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap foodborne disease Sikap Total
Pengetahuan
Buruk
Sedang
Baik
n
%
n
%
n
%
n
%
Sangat buruk
0
0.0
5
41.7
7
58.3
12
100.0
Buruk
0
0.0
9
18.8
39
81.3
48
100.0
Cukup
0
0.0
14
9.9
128
90.1
142
100.0
Baik
0
0.0
9
24.3
28
75.7
37
100.0
p
r
0.467
0.047
Peran Kesehatan Masyarakat Veteriner dalam Pengendalian Foodborne Disease Semua penyakit zoonotik menghambat efisiensi produksi pangan asal hewan dan menjadi penghambat bagi perdagangan internasional terhadap hewan
24 dan produk hewan.
Disamping itu juga dapat menjadi penghambat bagi
perkembangan sosial dan ekonomi. Kedokteran hewan memiliki peran pokok dalam mencegah dan melawan penyakit hewan termasuk zoonosis (WHO 2011). Bidang kedokteran hewan yang terkait dengan keamanan pangan adalah kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet).
Kesmavet adalah suatu bagian
esensial dari kesehatan masyarakat dan termasuk variasi kerjasama antar disiplin ilmu yang menghubungkan tiga rangkaian kesehatan yaitu manusia-hewanlingkungan, dan semua interaksinya (WHO 2011). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kesehatan masyarakat veteriner adalah adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. Kewenangan
pokok
dari
kesmavet
meliputi
diagnosis,
surveilans,
epidemiologi, pengendalian, pencegahan, dan eliminasi zoonosis; pengamanan pangan; manajemen aspek kesehatan fasilitas hewan laboratorium dan laboratorium diagnostik; penelitian biomedis; ekstensi dan edukasi kesehatan; dan produksi dan pengendalian produk biologik dan peralatan medis. Kewenangan lainnya yaitu termasuk manajemen populasi hewan domestik dan liar, proteksi air minum dan lingkungan, dan manajemen kedaruratan kesehatan masyarakat. Aktivitas kesmavet saat ini diimplementasikan oleh WHO melalui Departemen Communicable Diseases Control, Prevention and Eradication (CPE) dalam kolaborasi tertutup dengan program keamanan pangan. Program kesmavet di WHO sangat berhubungan dengan berbagai aspek pekerjaan Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Organisation for Animal Health (OIE) dalam kaitannya dengan zoonosis, keamanan pangan, dan aspek kesehatan masyarakat dari perdagangan hewan dan produk. Program-program kesmavet bersama FAO dan OIE diantaranya yaitu (1) mengidentifikasi dan mengevaluasi bahaya-bahaya mikrobiologik asal hewan terhadap kesehatan manusia: new, emerging and re-emerging zoonotic diseases, dan foodborne disease, termasuk yang berkaitan dengan bakteri resisten antimikroba; (2) mengembangkan kebijakan, garis pedoman, riset operasional dan strategi-strategi untuk mengendalikan zoonosis dan foodborne disease; (3)
25 melakukan riset terhadap zoonosis dan foodborne disease dan pengelolaannya pada manusia; (4) memperkuat surveilans global penyakit zoonotik dan resistensi antimikroba
pada
patogen
foodborne
dengan
meningkatkan
kapabilitas
laboratorium-laboratorium nasional; (5) menyebarkan informasi yang relevan kepada para ahli kesehatan masyarakat, ilmu kedokteran hewan dan berbagai disiplin ilmu pengetahuan; (6) berkontribusi pada investigasi lapang dan laboratorium terhadap zoonosis dan foodborne disease; (7) memfasilitasi kontribusi aktif terhadap kesehatan masyarakat dengan pelayanan veteriner dari negara-negara anggota, sebuah persyaratan esensial untuk anggaran surveilans yang efektif dan kontrol terhadap zoonosis dan foodborne disease pada inang hewannya; (8) menyediakan bantuan teknis dan ilmiah kepada negara-negara anggota untuk program-program surveilans dan pengendalian, ketika diminta; (9) dan mengawasi kerja Mediterranean Zoonoses Control Programme (MZCP) (WHO 2011). Jika dipandang dari kesmavet, studi ini (KAP) merupakan sebagai langkah awal yang perlu dilakukan untuk mengetahui pengetahuan dan sikap sehingga dapat dilakukan langkah pengendalian yang tepat terhadap foodborne disease. Survei KAP dapat digunakan untuk mengetahui jenjang (gap) pengetahuan, kepercayaan kultural, atau pola perilaku sehingga didapatkan suatu pemahaman dan dapat dilakukan kontrol (aksi) untuk mengendalikan suatu penyakit (WHO 2008). Selain itu, survei ini juga dapat digunakan untuk rancangan mata kuliah atau kurikulum FKH IPB. Edukasi atau pendidikan peternak, kedokteran hewan, dan profesi kesehatan masyarakat sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran akan risiko zoonosis pada manusia yang bersirkulasi di dalam peternakan dan diperlukan suatu tindakan untuk menurunkan atau mengurangi penyebaran agen patogen pada produk hewan dalam rantai makanan. Pada kasus makanan yang terkontaminasi, pencegahan (preventif) dapat dicapai dengan melakukan tindakan yang sederhana termasuk higiene personil yang tepat pada orang yang menangani makanan dan penggunaan air minum untuk proses pembuatan makanan. Sebagai contoh, penggunaan kotoran atau air selokan untuk irigasi buah-buahan dan sayursayuran yang dimakan mentah harus dihindari untuk satu periode dari hasil panen
26 10 bulan pertama.
Oleh karena itu, konsumen harus sadar akan risiko
mengonsumsi makanan mentah dan kemungkinan rute infeksi yang dapat menyebabkan foodborne disease (Newell 2010). Lebih dari 75% emerging infectious disease (EID) atau lebih dari 10 tahun terakhir bersifat zoonotik (WHO 2011). Bahkan juga banyak patogen-patogen yang bersifat reemerging meningkatkan kasus foodborne disease secara statistik. Disamping itu, penderitaan dan kematian manusia, serta tingginya jumlah wabah foodborne disease baru-baru ini menghancurkan pengaruh ekonomi bagi produsen dan pengolah makanan.
Hal ini tentunya menjadi tantangan dan tugas bagi
ilmuwan untuk memikirkan dan mencari tahu apa penyebab makin tingginya kasus wabah foodborne disease. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kasus foodborne disease yaitu peningkatan surveilans dan pelaporan, perubahan sistem produksi makanan dan praktik pertanian, perubahan kebiasaan konsumsi, peningkatan pada populasi berisiko, peningkatan metode deteksi, dan peningkatan ketahanan hidup patogen pada kondisi buruk (Bhunia 2008).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
Umur, keaktifan pada organisasi, serta tingkat semester berhubungan (berkorelasi) positif dengan tingkat pengetahuan mahasiswa terhadap foodborne disease, namun jenis kelamin dan jalur masuk IPB tidak berkorelasi.
2.
Jalur masuk IPB memiliki hubungan (korelasi) positif yang lemah terhadap sikap mahasiswa terhadap foodborne disease, namun jenis kelamin, umur, keaktifan pada organisasi, dan tingkat semester tidak ada korelasi dengan sikap mahasiswa terhadap foodborne disease.
3.
Tidak ada korelasi antara tingkat pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap foodborne disease.
Saran 1.
Pengenalan foodborne disease kepada mahasiswa sedini mungkin sebelum mendapatkan mata kuliah zoonosis melalui berbagai kegiatan maupun organisasi mahasiswa yang dapat menambah pengetahuan dalam bidang kedokteran hewan.
2.
Perlu dilakukan penelitian serupa dengan responden di berbagai fakultas maupun di kantin-kantin di IPB agar dapat diketahui sejauh mana pengetahuan dan sikap mahasiswa dan penjual makanan di kantin IPB terhadap foodborne disease sehingga dapat diambil tindakan untuk mengendalikan kasus foodborne disease.
3.
Perlu dilakukan penelitian serupa dengan menambah data karakteristik responden dengan latar belakang sosial seperti faktor keluarga, penghasilan (income orang tua), tempat tinggal (kos-kosan atau kontrakan), dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA Angelillo IF., Viggiani NMA., Greco RM, Rito D. 2001. HACCP and food hygiene in hospital: knowledge, attitudes, and practices of food services staff in Calabria, Italy. ICHE 22:1–7. [Badan Karantina]. 2007. Foodborne Disease. http://www.deptan.go.id/news/detail.php?id=96&awal=&page=&kunci=. [22 Agustus 2010]. Badran GI. 1995. Knowledge, attitude and practice the three pillars of excellence and wisdom: a place in the medical profession. East Mediterr Health J 1:816. Baş M, Ersun AŞ, Kıvanç G. 2006. The evaluation of food hygiene knowledge, attitudes, and practices of food handlers’ in food businesses in Turkey. Food Control 17:317–322. Bhunia AK. 2008. Foodborne Microbial Pathogens: Mechanisms and Pathogenesis. New York: Springer. Ehiri JE, Morris GP. 1996. Hygiene training and education of food handlers: Does it work?. Ecol Food Nutr 35:243–251. Feldman RS. 1985. Social Psychology: Theories, Research, and Application. New York: McGraw-Hill. Gerungan WA. 1967. Psikologi Sosial, Suatu Ringkasan. Bandung: PT Eresco. Giuseppe GD, Abbate R, Albano L, Marinelli P, Angelillo IF. 2008. A survey of knowledge, attitude and practice towards avian influenza in adult population of Italy. BMC Infect Dis 8:36. Kaliyaperumal K. 2004. Guideline for conducting a knowledge, attitude and practice (KAP) study. AECS Illumination 4 (1):7-9. Kibler RJ, Cegala DJ, Watson KW, Barker LL, Miles DT. 1981. Objectives for Instruction and Evaluation. Boston: Allyn and Bacon. Lewis dan Petersen. 1974. Human Behaviour an Introduction to Psychology. New York: The Ronald Pr. Lukman DW. 2009. Ancaman patogen pada pangan asal hewan. Food Rev 4:4247. Mead PS, Slutsker L, Dietz V, McCaig LF, Bresee JS, Shapiro C, Griffin PM, Tauxe RV. 2000. Food-related illness and death in the United States. Emerg Infect Dis 5:1–37. Thrusfield M. 1986. Veterinary Epidemiology. London: Butterworths. Namata H, Welby S, Aerts M, Faes C, Abrahantes JC, Imberechts H, Vermeersch K, Hooyberghs J, Méroc E, Mintiens K. 2009. Identification of risk factors for the prevalence and persistence of Salmonella in Belgian broiler chicken flocks. Prev Vet Med 90:211-222.
29 Nazir M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Newell DG, Koopmans M, Verhoef L, Duizer E, Kane AA, Sprong H, Opsteegh M, Langelaar M, Threfall J, Scheutz F, Giessen J, Kruse H. 2010. Food-borne diseases — The challenges of 20 years ago still persist while new ones continue to emerge. Int J Food Microbiol 139:S3-S15. Nógrády N, Kardos G, Bistyák A, Turcsányi I, Mészáros J, Galántai Zs, Juhász Á, Samu P, Kaszanyitzky JÉ, Pászti J, Kiss I. 2008. Prevalence and characterization of Salmonella infantis isolates originating from different points of the broiler chicken–human food chain in Hungary. Int J Food Microbiol 127:162–167. Sharif L, Al-Malki T. 2010. Knowledge, attitude and practice of Taif University students on food poisoning. Food Control 21:55–60. Signorini ML, Flores-Luna JL. 2010. Contamination of Poultry Products. Dalam Guerrero-Legarreta I, editor, Handbook of Poultry Science And Technology; Volume 2:464-484 Secondary Processing. New Jersey: John Wiley and Sons. Supriyadi. 1993. Pendekatan psikologi dalam pengukuran KAP di bidang kesehatan. Sosiomedika 3:1-4. Unusan N. 2007. Consumer food safety knowledge and practices in the home in Turkey. Food Control 18:45–51. [WHO] World Health Organization. 2008. A Guide to Developing Knowledge, Attitude and Practice Surveys. Geneva: WHO. [WHO] World Health Organization. 2011. Veterinary Public Health. http://www.who.int/zoonoses/vph/en/. [29 Juni 2011]. Wilcock A, Pun M, Khanona J, Aung M. 2004. Consumer attitude, knowledge and behaviour: a review of food safety issues. Food Sci Technol 15:56-66. Yang B, Qu D, Zhang X, Shen J, Cui S, Shi Y, Xi M, Sheng M, Zhi S, Meng J. 2010. Prevalence and characterization of Salmonella serovars in retail meats of marketplace in Shaanxi, China. Int J Food Microbiol 141:63-72.
LAMPIRAN
31 Lampiran 1 Kuesioner Kuesioner Hari:
Tanggal:
Pukul:
Jenis kelamin
:
Umur
:
Semester
:
Tahun Masuk IPB
:
Jalur masuk IPB
:
USMI
Aktif pada organisasi
:
DPM BEM STERIL
Laki-laki
S1
ke-
2002
2003
PPDH:
Perempuan
Mayor Minor
2004 2005 2006 2009 2010 BUD
2007
SPMB IMAKAHI AGAMA
Phasing out 2008
lain-lain
HIMPRO KELAS
Pernyataan pengetahuan mengenai foodborne disease
1.
2. 3. 4.
Pernyataan Foodborne disease adalah penyakit yang disebabkan menkonsumsi makanan dan minuman yang tercemar Foodborne disease disebabkan oleh mikroorganisme atau toksin Foodborne disease terdiri atas food infection dan food intoxication Food intoxication terdiri atas invasive infection dan toxico infection
Apakah penyakit berikut di bawah ini adalah foodborne disease? 5. Toxoplasmosis 6. Septicemia epizootica 7. Antrax 8. Salmonellosis 9. Penyakit mulut dan kuku 10. Brucellosis 11. Avian influenza 12. Toksin dari Staphylococcus aureus 13. BSE/madcow 14. Rabies
Ya
Tidak
Tidak tahu
32
15. 16.
17. 18.
19. 20. 21. 22. 23. 24.
25.
26.
27.
28.
29.
30. 31.
Pernyataan Gastroenteritis merupakan gejala penyakit anthrax Munculnya gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi relatif lebih lambat dibandingkan dengan yang disebabkan oleh toksin (racun) Diare berdarah dan kesakitan keram perut tanpa disertai demam disebabkan oleh E. coli O157:H7 Foodborne disease yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus tidak menyebabkan hemolisis darah Demam, diare, dan keram perut merupakan gejala klinis umum dari Salmonellosis Penularan salmonellosis dapat melalui telur yang tidak dipanaskan secara sempurna Penularan Anthrax dapat melalui karkas yang terinfeksi Telur Toxoplasma dapat ditularkan melalui daging Jika mengkonsumsi daging yang tercemar Staphylococcus aureus dapat terjadi keracunan Staphylococcus aureus menghasilkan toksin di makanan, dan jika makanan yang telah tercemar toksin tersebut termakan akan menyebabkan keracunan makanan Jika makanan tercemar toksin Botulinum dipanaskan, makanan tersebut aman dikonsumsi Jika makanan tercemar racun Staphylococcus aureus dipanaskan, makanan tersebut aman dikonsumsi Lalat dapat berperan sebagai pembawa mikroorganisme dari makanan tercemar ke makanan lain Bakteri Salmonella dapat ditularkan langsung dari induk unggas ke dalam telur (penularan vertikal) Tindakan pengendalian terhadap foodborne disease pada lingkungan yaitu dengan menerapkan praktek higiene Bakteri Brucella spp. dapat ditemukan pada susu dari sapi yang terinfeksi Bakteri Staphylococcus dapat ditemukan pada kulit manusia, maka cuci tangan sebelum menangani makanan sangat penting
Ya
Tidak
Tidak tahu
33
32.
33. 34.
35.
Pernyataan Makanan dapat tercemar secara silang (cross contamination) melalui pisau, talenan, atau tangan yang menangani makanan Lalat dapat memindahkan agen infeksius dari makanan ke makanan lain Memisahkan makanan yang mentah dan yang matang merupakan pencegahan terhadap foodborne disease Menjaga kebersihan merupakan salah satu kunci dari “the five keys to safer food”
Ya
Tidak
Tidak tahu
34 Pernyataan sikap mengenai foodborne disease
1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
13.
14.
15.
Pernyataan Saya selalu mencuci tangan dengan air dan sabun, serta antiseptik sebelum menangani makanan Menggunakan peralatan makanan yang bersih Membiarkan makanan lebih dari 4 jam pada suhu kamar (27°C-32°C) Saya setuju jika makanan sebelum dimakan dipanaskan kembali Makanan yang dipanaskan tidak harus dilakukan dengan pemanasan sempurna Makanan maupun minuman dapat didinginkan untuk diawetkan Makanan yang dihinggapi lalat tidak berbahaya untuk kesehatan Lalat dapat bertindak sebagai vektor agen penyakit ke makanan Makanan harus disimpan di tempat tertutup Menjual makanan di tepi tempat sampah atau penampungan sampah Saya biasa memakan makanan yang peralatan makanannya tidak dicuci dengan air mengalir Saya biasa menggunakan peralatan makanan yang dipakai bersamaan dengan teman tanpa dicuci terlebih dahulu Kuku yang panjang tidak dapat membawa agen penyakit asalkan dicuci dengan antiseptik/sabun terlebih dahulu sebelum makan Makanan yang sudah kadaluarsa dapat dipanaskan (digoreng, direbus, dll) kembali untuk dikonsumsi Saya tidak memakan makanan yang sudah dihinggapi lalat walaupun sedikit
Keterangan:
SS S TT TS STS
= = = = =
Sangat setuju Setuju Tidak tahu Tidak setuju Sangat tidak setuju
SS
S
TT
TS
STS
35 Lampiran 2 Tingkat pengetahuan spesifik responden terhadap foodborne disease No.
Kategori
1. 1.
Pengetahuan umum penyakit Foodborne disease adalah penyakit yang disebabkan mengonsumsi makanan dan minuman yang tercemar (benar)
Benar n (%)
Salah n (%)
198 (82.8)
9 (3.8)
2.
Foodborne disease disebabkan oleh mikroorganisme atau toksin (benar)
195 (81.6)
3 (1.3)
3.
Foodborne disease terdiri atas food infection dan food intoxication (benar)
146 (61.1)
6 (2.5)
4.
Food intoxication terdiri atas invasive infection dan toxico infection (benar)
103 (43.1)
11 (4.6)
Apakah penyakit berikut di bawah ini adalah foodborne disease? 5.
Toksoplasmosis (benar)
83 (34.7)
103 (43.1)
6.
Septicemia epizootica (salah)
66 (27.6)
54 (22.6)
7.
Antraks (benar)
130 (54.4)
62 (25.9)
8.
Salmonelosis (benar)
173 (72.4)
10 (4.2)
9.
Penyakit mulut dan kuku (salah)
72 (30.1)
103 (43.1)
10.
Bruselosis (benar)
106 (44.4)
49 (20.5)
11.
Avian influenza (salah)
89 (37.2)
90 (37.7)
12.
Toksin dari Staphylococcus aureus (benar)
159 (66.5)
13 (5.4)
13.
Bovine spongiform encephalophaty/madcow (benar)
105 (43.9)
45 (18.8)
14.
Rabies (salah)
176 (73.6)
14 (5.9)
86 (36.0)
50 (20.9)
2. 15.
Gejala klinis Staphylococcus aureus menghasilkan toksin di makanan, dan jika makanan yang telah tercemar toksin tersebut termakan akan menyebabkan keracunan (benar)
16.
Gastroenteritis merupakan gejala penyakit anthraks (salah)
45 (18.8)
164 (68.6)
17.
Munculnya gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi relatif lebih lambat dibandingkan dengan yang disebabkan oleh toksin (racun) (benar)
34 (14.2)
84 (35.1)
36 Benar n (%)
Salah n (%)
Diare berdarah dan kesakitan keram perut tanpa disertai demam disebabkan oleh E. coli O157:H7 (benar)
42 (17.6)
58 (24.3)
Foodborne disease yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus tidak menyebabkan hemolisis darah. (benar)
185 (77.4)
8 (3.3)
156 (65.3)
15 (6.3)
Penularan salmonelosis dapat melalui telur yang tidak dipanaskan secara sempurna. (benar)
216 (90.4)
7 (2.9)
22.
Penularan anthraks dapat melalui karkas yang terinfeksi. (benar)
59 (24.7)
120 (50.2)
23.
Telur Toksoplasma dapat ditularkan melalui daging. (salah)
143 (59.8)
33 (13.8)
24.
Jika mengonsumsi daging yang tercemar Staphylococcus aureus dapat terjadi keracunan. (benar)
172 (72.0)
12 (5.0)
Jika makanan tercemar toksin botulinum dipanaskan, makanan tersebut aman dikonsumsi. (benar)
53 (22.2)
87 (36.4)
Jika makanan tercemar racun Staphylococcus aureus dipanaskan, makanan tersebut aman dikonsumsi. (salah)
48 (20.1)
102 (42.7)
Lalat dapat berperan sebagai pembawa mikroorganisme dari makanan tercemar ke makanan lain. (benar)
225 (94.1)
3 (1.3)
Bakteri Salmonella dapat ditularkan langsung dari induk unggas ke dalam telur (penularan vertikal). (benar)
140 (58.6)
18 (7.5)
Makanan dapat tercemar secara silang (cross contamination) melalui pisau, talenan, atau tangan yang menangani makanan. (benar)
157 (65.7)
6 (2.5)
No.
Kategori 18.
19.
3. 20.
21.
25.
26.
27.
28.
30.
Penularan Demam, diare, dan keram perut merupakan gejala klinis umum dari salmonelosis. (benar)
37 No.
Benar n (%)
Salah n (%)
Tindakan pengendalian terhadap foodborne disease pada lingkungan yaitu dengan menerapkan praktik higiene. (benar)
219 (91.6)
1 (0.4)
Bakteri Staphylococcus dapat ditemukan pada kulit manusia, maka cuci tangan sebelum menangani makanan sangat penting. (benar)
218 (91.2)
6 (2.5)
214 (89.5)
3 (1.3)
Kategori 31.
32.
4. 33.
Pencegahan dan pengendalian Bakteri Brucella spp. dapat ditemukan pada susu dari sapi yang terinfeksi. (benar)
34.
Lalat dapat memindahkan agen infeksius dari makanan ke makanan lain. (benar)
203 (84.9)
7 (2.9)
35.
Memisahkan makanan yang mentah dan yang matang merupakan pencegahan terhadap foodborne disease. (benar)
215 (90.0)
2 (0.8)
Menjaga kebersihan merupakan salah satu kunci dari “the five keys to safer food”. (benar)
218 (91.2)
1 (0.4)
36.