EKTOPARASIT PADA KUDA DAN MASALAH YANG DlTIMBULKANNYA
Oleh SUTIKNQ B. 160149
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1986
RINGKASAN SUTIKNO.
Ektoparasit pada kuda dan masalah yang ditim-
bulkannya (Di bawah bimbingan KOESHARTO). Ektoparasit merupakan parasit pada ternak yang umumnya menyerang permukaan tubuh, terdiri dari berbagai jenis misalnya lalat, kutu, nyamuk, caplak dan tungau. Lalat yang termasuk ordo Diptera yang menyerang
ku-
da meliputi famili Muscidae yakni Musca domestica, Muscavetustissima, Musca sorbens, stomoxys calcitrans dan matobia exigua.
~
Lalat yang lain adalah Tabanus sp. (fa-
mili: Tabanidae); Austrosimulium pestilens dan Austrosimulium bancrofti (famili: Simuliidae); Culicoides sp. (famili: Ceratopogonidae).
Sedangkan famili Gasterophi-
lidae meliputi Gasterophilus intestinalis, Gasterophilus nasalis dan Gasterophilus haemorrhoidalis. Selain itu terdapat jenis kutu yang termasuk ordo Phtiraptera meliputi famili Trichodectidae yakni Damalin~a
egui, famili Haematopinidae yakni Haematopinus asini. Jenis tungau yang bertindak sebagai ektoparasit kuda
termasuk didalam famili Psoroptidae yaitu Psoroptes egui dan Chorioptes bovis. Ektoparasit ini hampir semuanya menghisap darah untuk kelangsungan hidupnya.
Pada waktu itu mereka dapat
bertindak sebagai vektor penyakit. Adanya ektoparasit pada ternak sangat merugikan, ka,;,
rena selain bertindak sebagai induk semang antara bagi
beberapa penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa, cacing maupun jamur, ia dapat juga menyebabkan gangguan ketenangan hewan, menurunkan nafsu makan, menimbulkan kekurusan dan menurunkan kwalitas kulit. Sebagai vektor penyakit, vektor yang terpenting adalah 1a1at Tabanus dan StomoxYs ca1citrans yang dapat menularkan penyakit surra yang disebabkan.oleh Trypano~
evansi.
Disamping itu lalat Musca dapat bertindak
sebagai induk semang antara cacing lambung dan akan menyebabkan bungkul-bungkul pada lambung.
Apabila menye-
rang mat a dapat menimbulkan habronemic conjunctivitis sedangkan pada 1uka akan menyebabkan habronemic granulomatosa.
Penyakit lainnya yang lebih serius adalah mia-
sis pada lambung karena infestasi larva Gasterophilus. Dalam perjalanannya menuju lambung, larva tersebut dapat juga menyebabkan kerusakan berupa kantung-kantung nanah, peradangan dan luka-1uka di bagian mu1ut sehingga kuda menjadi kurang nafsu makan.
Gejala kuda yang terkena
seranganlarva Gasterophilus ialah rasa gelisah bahkan sering menyebabkan kolik. Dari beberapa masalah yang ada, pengembangan ternak kuda tidak dapat terlepas dari gangguan penyakit ektoparasit.
01eh karena itu sebagai Dokter Hewan tugas kita
adalah menangani dan menanggulangi masalah ektoparasit ini, yaitu dengan menurunkan populasi parasit sampai
batas yang tak merugikan.
EKTOPARASIT PADA KUDA DAN MASALAH YANG DITIMBULKANNYA S K RIP S I
Oleh
S UTI K N 0 B. 160149
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1986
Judul skripsi
:
EKTOPARASIT PAnA KUnA DAN MASALAH YANG
DITI~rnULKANNYA
Nama Mahasiswa
SUTIKNO
Nomor pokok
B. 160149
Telah diperiksa dan disetujui oleh:
Dr. F. X. Koesharto
?
Tangga1:
/.3"- I~- 8t
RIWAYAT HIDUP
Penulis di1ahirkan pada tangga1 9 Agustus 1960 di Kediri, Jawa Timur, dari ayah Samidi dan Ibu Kasinem. Penulis adalah anak keempat dari lima bersaudara. Pada tahun 1972, penulis menamatkan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Banaran, Kediri.
Kemudian
pada tahun 1973 masuk Seko1ah Menengah Pertama Joyoboyo di Kediri dan 1u1us pada tahun 1975.
Pad a tahun 1976
penu1is me1anjutkan ke Seko1ah Menengah Atas Negeri di Kediri dan lulus pada tahun 1979. Penulis berkesempatan menjadi mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor pada tahun 1979 me1a1ui proyek Perintis II.
Pada tahun 1981 semester III
penu1is terdaftar sebagai mahasiswa Faku1tas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan lulus sebagai Sarjana Kedokteran Hewan pada tanggal 21 September 1984. pernah
Penu1is
terdaftar sebagai asisten luar biasa di jurusan
Parasito1og-i dan Pato1ogi. bagian Entomo1ogi periode tahun 1983-1984 dan 1984-1985.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Illahi yang dengan berkat, rahmat dan karunianya dapat menyelesaikan skripsi yang sangat sederhana ini. Senada dengan itu penulis menyampaikanpenghargaan setinggi-tingginya dan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah berjasa dalam proses pendidikan dan pembinaan diri dengan ilmu pengetahuan dan akhlak sejak Sekolah Dasar hingga kini. Rasa terima kasih khusus penulis haturkan kepada Bapak Dr. F. X. Koesharto yang dengan tulus hati telah memberikan bimbingan, pengarahan dan saran-saran sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para petugas perpustakaan yang secara tidak langsung telah membantu penyelesaian skripsi ini. Skripsi ini meruPakan syarat untuk memperoleh gelar Dokter Hewan.
Namun karena penulis menyadari bahwa
masih banyak kekurangan baik dari segi bahasa maupun isi, maka dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi
ini dan demi terciptanya wawasan berpikir bagi penulis di masa yang akan datang.
Kepada ayah dan bunda tercinta yang telah berhasil mendidik penulis dengan jerih payah sejak lahir hingga
kini. ananda haturkan sembah sujud dan cinta kasih de ngan penuh keterharuan dan rasa hormat seda1am-da1amnya. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi mereka yang membutuhkannya.
Bogor. Desember Penu1is
1986
DAFTAR lSI
. . . . . . .. . . . .. . . . . .. . . . . . . . . . . .. . .
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN
Halaman
• • • • •• • • • • • • • • • • • •• • • •••• • • •• • • • • • • •• • ••• • •••• • • • • • •• •• •• • • • • •• •• •
TINJAUAN PUSTAKA
.. .. . . . .. . .. . .. .. .. .... . . .. ..
4
•• • • • • • • • ••••
4
• •• • •• •• • • • •• • • • • • ••• •••••••••••
8
Jenis ektoparasit pada kuda Bionomik
1
Bentuk gangguan ektoparasit terhadap induk
•
• • ••• •••• • •• • •• •• ••••• •• •• • ••• •• •
34
PEMBAHASAN
• •• • •• ••• •• •• • •• •• ••• •••• •••• •• •• • •
46
KESIMPULAN
•••••••••••••••••••••••••••••••••••
51
• • • • • • •• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
54
semang
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
No.
1.
Judu1 Popu1asi ternak di Indonesia (1974-1984)
Ha1aman ••••
5
DAFTAR GAMBAR
No
Ealaman
Judul
1.
Siklus bidup Culicoides
••••••••••••••••••
2.
Siklus bidup lalat Gasterophilus
3.
Dermatitis alergi kuda:
Dermatitis alergi kulit:
28
permulaan luka
yang terdapat di bagian sisi tubuh 4.
•••••••••
18
•••••••
40
luka parah dengan
kerobekan kulit yang terdapat di
bagian
pantat dan pangkal ekor akibat gigitan dan gOBokan
5.
••••••••••••••••••••••••••••••
Dermatitis alergi kuda:
40
pada keadaan
khronis bentuk kulit di bagian bahu mengalami kegundulan yang terlihat tebal dan kasar
••• •• •• •••• • • •• • •• • •• ••••• •• •• ••••• •
41
PENDAHULUAN Sejak jaman dahulu hewan kuda telah banyak dikenal di Indonesia.
Di jaman Belanda kuda lebih dikenal seba-
gai hewan pekerja, karena banyaknya kuda yang dipekerjakan di perkebunan orang-orang Belanda pada waktu itu. Banyak pula kuda-kuda yang dipergunakan oleh opsir-opsir Belanda yang bertugas diketentaraan sebagai kuda-kuda tunggang. Sampai sekarang kuda-kuda tersebut masih kita kenaI melalui berbagai mac am fungsinya.
Sebagai kuda tarik,
kuda beban maupun kuda pacu. Fungsi hew an ini sebagai kuda tarik (delman, gerobak) dan kuda beban lebih banyak ki ta jumpai di daerahdaerah dari pada kota besar.
Kuda pacu lebih banyak ki-
ta jumpai di kota-kota besar, untuk perkembangan olah raga yang peminatnya semakin besar pula.
Hal ini dapat
kita lihat semakin banyaknya kuda-kuda pacu yang dipertandingkan, baik pertandingan yang bersifat nasional maupun internasional. Mengikuti perkembangan peternakan kuda maka fungsi Dokter Hewan sebagai pendorong pengembangan sangatlah diperlukan disini. Secara umum di Indonesia belum ada kesadaran yang menyeluruh dari para pemilik llewan :\l:uda untuk membawa kudanya kepada Dokter Hewan apabila ada kelainan.
Banyak sebab yang mempengaruhi hali ini, antara lain sebab-sebab ekonomis yang terutama didapat pada pemilik kuda gerobak dan sejenisnya.
Akan tetapi bagi para pe-
milik kUda pacu kesadaran ini tampaknya sudah ada. Salah satu gangguan kesehatan dapat disebabkan o1eh penyakit parasite
Berdasarkan tempat hidupnya dibedakan
lagi menjadi dua jenis yakni ektoparasit dan endoparasite Ektoparasit merupakan parasit pada ternak yang umumnya menyerang permukaan tubuh, terdiri dari berbagai jenis misa1nya 'la1at, kutu, nyamuk, caplak dan-tungau. Adanya ektoparasit pada ternak sangat merugikan, karena bertindak sebagai induk semang perantara atau vektor begi beberapa penyakit lain yang disebabkan oleh: bakteri, protozoa, cacing maupun jamur.
virus,
Selain itu ek-
toparasit dapat mengganggu ketenangan hewan, menurunkan na!su makan, menghisap darah sehingga dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh, kekurusan dan menurunkan kwalitas kulit, sedangkan pada infestasi berat dapat juga menyebabkan kematian.
Sampai saat ini kita memang
belum mempunyai data yang tepat tentang kerugian yang disebabkan oleh ektoparasit (Keswan, 1983). Yang penting bagi kita ada1ah bahwa penyakit-penyakit tersebut di at as merugikan sehingga merupakan tugas kita sebagai Dokter Hewan untuk menangani dan menanggulanginya.
Untuk menanggulangi masalah ektoparasit pada
3 prinsipnya adalah menurunkan populasi (jumlah) ektoparasit sampai batas yang tak merugikan terutama ektoparasit pengganggu dan yang diduga sebagai vektor penyakit. Dari sini penulis ingin mengungkapkan sedikit mengenai penyakit ektoparasit pada kuda"karena selama ini pembahasan tentang penyakit tersebut jarang dilakukan. Semoga skripsi ini merupakan sumbangan pikiran bagi mereka yang berminat menyelidiki penyakit ini lebih lanjut.
TINJAUAN PUSTAKA Secara umum perkembangan populasi kuda di Indonesia mengalami peningkatan.
Hal ini dapat dilihat dari per-
sentase kenaikan rata-rata mulai tahun 1974-1978 mencapai 0.72%, sedangkan tahun 1979-1983 mencapai 1.61% (Dirjen Peternakan, 1985).
Dibanding dengan ternak la-
in, jumlah populasi kuda termasuk paling kecil (Tabel 1). Arthropoda yang dapat bertindak sebagai vektor penyakit yang dipermasalahkan meliputi lalat Musca sp., Stomoxys calcitrans dan Tabanus sp. Penyaki t yang umumnya sering menyerang kuda antara lain: kudis at au scabies disebabkan oleh tungau, dermatitis alergi oleh "sandfly" (Culicoides sp.) dan lalat kerbau. Serangga umumnya tergolong ke dalam phylum Arthropoda yang meliputi lima kelas yakni kelas Crustacea, Insecta (Hexapoda), Arachnida, Chilopoda dan Diplopoda. Dari kelima kelas ini ektoparasit yang banyak menyebabkan kerugian dan menularkan penyakit termasuk di dalam kelas insecta dan Arachnida (Keswan, 1978). Ektoparasit adalah parasit yang hidup di bagian luar dari tubuh induk semang. Jenis ektoparasit pada kuda Terdapat berbagai jenis ektoparasit yang menyerang hewan kuda, serangga itu terdiri dari lalat, kudu dan
J
5 Tabe1 1-
Popu1asi ternak di Indonesia (1974-1984) (000 ekor)
Tahun
Sapi perah
Sapi potong
Kerbau
Kuda
1
2
3
4
5
Kenaikan rata-rata Pelita I (%)
7.82
-0.18
-4.20
0.03
1974 1975 1976 1977 1978
86 90 87 91 93
6.380 6.242 6.237 6.217 6.330
2.415 2.432 2.284 2.·292 2.312
600 627 631 659 615
Kenaikan rata-rata Pelita II C%)
+2.03
-0.19
-1.04
+0.72
1979 1980 1981 198211 1983
94 103 113 140 162
6.364 6.440 6.516 6.594 6.660
2.432 2.457 2.488 2.513 2.538
596 616 637 658 665
11.99
1.02
1.90
173
6.741
2.724
Kenaikan rata-rata Pelita III C%) 1984Keterangan:
*) Angka diperbaiki It*) Angka semen tara
1.61 672
6
tungau.
Lalat-lalat yang bertindak sebagai ektoparasit
kuda termasuk di dalam famili Muscidae, Tabanidae, Simuliidae, Ceratopogonidae dan Gasterophilidae. Ordo Diptera dan famili Muscidae meliputi Musca mestica yang tersebar hampir di seluruh dunia.
££-
Sebagian
besar aktir pada siang hari dan menyukai cahaya matahario
Karena seringnya berada di dalam tempat tinggal ma-
nusia, lalat ini lebih umum disebut sebagai lalat rumah. Musca vetustissima (lalat semak) merupakan spesies asli dari Australia.
Selain itu lalat ini dapat dijumpai pu-
la di Papua Nugini.
Sebagian besar terdapat di padang
rumput, semak belukar dan habitat terbuka.
Musca sorbens
tersebar di negara-negara ASia, antara lain India, Palestina, Iran dan Jepang.
Spesies ini sering terdapat di
tempat-tempat umum seperti pasar, kakus umum dan timbunan sampah.
Stomoxys calcitrans tersebar luas di dunia.
Lalat yang sering disebut dengan lalat kandang ini lebih menyukai hidup bergerombol.
Haematobia exigua (lalat
kerbau) mempunyai ukuran tubuh yang relatir kecil, sekitar empat milimeter.
Ia terdapat di negara-negara Je-
pang, Taiwan, Cina bagian utara, Philipina, Muangthai, Indonesia, Papua Nugini, Birma, Ceylon, India, Solomon, dan Australia. Famili Tabanidae yang suka menyerang ternak kuda adalah Tabanus sp. (lalat pitak).
Lalat ini tersebar
7 hampir di seluruh dunia.
Ia sangat aktif pada saat cua-
ca panas dan lembab. Famili Simuliidae yang dilaporkan sebagai penyerang ternak kuda di Australia yang dikutip oleh Arundel (1978) yaitu Austrosimulium pestilens dan Austrosimulium crofti.
~
Lalat ini sering menggerombol dan banyak dijum-
pal di dekat sungai yang mengalir deras. Famili Ceratopogonidae yang merupakan ektoparasit kuda adalah Cu1icoides sp.
Di
~ustra1ia
1alat ini ter-
sebar di sepanjang Queensland sampai ke utara dan New South Wales (Campbell dan Kettle, 1979).
Ia dapat me-
nyerang sepanjang hari, tetapi sangat mengganggu pada saat hari mUlai sore. Famili Gasterophilidae yang termasuk sebagai ektoparasit pada kuda dan yang sering dilaporkan ada1ah Gasterophilus intestinalis, G. nasalis dan Q. Haemorrhoidalis.
Spesies yang pertama dan kedua umumnya terda-
pat di Australia.
Sedangkan~.
haemorrhoidalis hanya
terdapat di New South Wales, Victoria dan Australia bagian barat. Kutu yang termasuk ordo Fthiraptera yang menyerang kuda meliputi famili Trichodectidae yakni Damalinia equi (kutu penggigit) dan famili Haematopinidae yaitu Haematopinus asini (kutu penghisap). Jenis tungau yang bertindak sebagai ektoparasit kuda'termasuk didalam famili Psoroptidae.
Spesies tungau
8
tersebut adalah Psoroptes equi dan Chorioptes bovis. Bionomik Ektoparasit yang menyerang hewan pelihara dan liar maupun manusia mempunyai bentuk tubuh, sejarah hidup serta tingkah laku yang khas.
lni adalah akibat penyesuaian
diri terhadap lingkungan hidupnya, guna mempertahankan hi-
dUp serta berkembang biak seterusnya (Keswan, 1978). Bionomik merupakan siklus hidup parasit yang diawali mulai dari keluarnya telur sampai berkembang menjadi dewasa serta tingkah lakunya sewaktu masih hidup. Lalat famili Muscidae Genus Musca Lalat jenis Musca yang menyerang kuda adalah Musca domestica (lalat rumah), Musca vetustissima (llbushf1yll) dan Musca sorbens (Pascoe, 1974 dalam Arundel, 1978) Musca domestica tersebar hampir di seluruh dunia.
la
terdapat di Australia, tetapi di Tasmania penyebarannya kurang. Panjang tubuhnya berkisar antara empat sampai delapan mi1imeter.
Bagian scutum dari thorax berwarna coklat ge-
lap sampai hitam dengan empat garis
long~tudinal
yang ber-
warna hi tam, bagian abdomen berwarna jingga tua. Lalat betina dewasa bertelur pada bahan
orga~k
suk, sampah yang terkontaminas1 oleh feses dan urine.
buKo-
toran kuda yang masih segar merupakan media yang disenangi.
9 Telur berwarna putih dengan panjang 1.20-1.25 mm dan lebarnya 0.25-0.30 mm. jumlahnya dapat meneapai antara 120-
150 butir.
Dalam kondisi yang menguntungkan larva menetas
dalam waktu 12-24 jam (Ferrar. 1979) • .i.arva instar pertama keeil, langslng, berwarna putih dengan panjang 1.3-2.6 mm, instar kedua 2.8-6.7 mm, sedangkan yang ketiga berwarna keputihan panjangnya 6.5-
12.5 mm.
Larva menjadi dewasa berkisar antara empat sam-
pai tujuh haria
Perkembangannya mengalami hambatan apabi-
la euaea dingin', lingkungan kering atau persediaan makanan tidak
mencukup~.
Mereka meninggalkan tempat perindukan
kemudian menjadi pupa di tanah (Rockstein dkk., 1965; Ferrar, 1979). Periode pupa yang berwarna eoklat kemerahan berkisar tiga sampai enam hari pada
mus~m
panas.
Lalat dewasa adalah synantropik sejatl, menglkuti manusia di seluruh dunia.
Ia seeara aktif meneari dan mema-
suki rumah-rumah dimana ia hinggap pada sampah dan makanan (Rockstein dkk., 1965).
Bahan makanan dan sayuran, hewan
yang membusuk, sekresi tubuh dan luka adalah makanan spesies ini.
Sebagian besar dar! mereka aktif di siang hari,
menyukai eahaya dan slnar matahar! dan segera masuk ke dalam tempat tinggal manusia (Ferrar, 1979), te'tapi pada mus1m ding1n jumlahnya mulal berkurang. Musca vetustlssima adalah spesies asli dari Australia.
Selain dapa t dijumpal di Papua Nugini (Ferrar, 1979).
10 Populasinya tinggi pada mUSlm aanas dan musim rontok, kemudian menghilang di awal mUSlm di'ngin (Norrls, 1966). Kotoran sapl merupakan media yang disenangl untuk tempat berblak, tetapl dapat juga pada kotoran domba, kuda onts, anjlng dan manus1a (Ferrar, 1979).
Dlsamplng i-
tu juga pada kotoran babi dan lsi perut ruminan yang telah mati (Norris, 1966). Tempat perindukan yang disukai lalat dewasa yang sedang grafld yakni feses.
Pada tempat tersebut lalat men-
carl makan sambil mencarl lokasi perletakan telur yang sesuai.
Apabila sudah mendapatkan tempat, lalat betlna
memasukkan ovipositornya ke dalam celah feses (Ferrar, 1979).
Telur diletakkan satu per satu pada feses dan se-
telah beberapa waktu akan menjadi satu kumpulan telur, jumlahnya dapat mencapal sekltar 48 butlr. Telur segera menetas klra-klra 24 jam, kemudian larva tumbuh secara pesat dalam lima hari.
Masa pupa seki-
tar enam hari pada musim panas dan 10-14 hari pada waktu musim dingin (Norris, 1966).
Menurut Johnston dan Tieas,
1922, dalam Sen dan Fletcher, 1962
pada mUSlm semi dan
awal musim panas, waktu yang diperlukan dari stadium telur sampai dewasa sekitar 11-13 bari. Lalat dewasa makan feses sapi, kerlngat dan sekresl tubuh yang lain.
Ak tifi tasnya mulai siang hari hingga
senja, sedangkan pada malam hari ia berlstirahat pada
e
11
tanaman (Ferrar, 1979).
Sebagian besar terdapat di pa-
dang rumput dan habitat terbuka. Musca sorbens tersebar di negara-negara seperti India, Palestina, Iran dan Jepang. Lalat in! banyak dijumpai di tempat-tempat umum, mellputi pasar, kakus umum, tlmbunan sampah yang basah dan kandang sapi serta kandang babi.
Ia tidak suka memasuki
rumah seperti Ialat Musca domestica. Spesies im bertelur pada kotoran kuda, feses manusia, bahan sayuran busuk dan yang utama pada kotoran sapi.
Telur siap menetas dalam waktu 24 jam, sedangkan
larva akan berganti menjadi pupa setelah lima hari. sa tenang pupa enam har1.
Ma-
Lalat yang baru keluar dar!
pupar1um akan menjadi dewasa kelamin sekitar lima sampai delapan hari (Awatti, 1921 dalam Sen dan Fletcher, 1922). Lalat dewasa sering berkerumun di atas bahan-bahan makanan dan sangat aktif mengikuti manusia untuk mendapatkan keringat atau eksudat yang keluar dar! luka. stomoxys calci trans atau lalat Kandang Lalat in! hidup tersebar luas di dunia, dan hidup dengan menghisap darah hewan berdarah panas.
Hewan yang
sering diserang ialah sap1, kerbau dan kuda (Pascoe, 1974 dalsm Arundel, 1978).
Selain itu mereka juga menyerang
manusia, kellnci, tikus dan kera.
12 Ia mengembangkan keturunannya dengan cara bertelur. Daur hidupnya di ulai dari telur yang menetas menjadi larva, kemudian pupa dan akhirnya dewasa.
Ia bertelur di
atas kotoran yang banyak terdapat di kandang-kandang dan tempat lain dimana kelembaban dan zat organik banyak terdapat, diantaranya kotoran kuda, sapi dan domba.
Tempat
lain yang baik adalah di atas tumpukan jerami atau rumput kering yang terkontaminasi dengan urine (Ferrar, 1979). ~empat
semacam ini sangat ideal, karena lembab.
Selain
itu berguna untuk melindunginya dar! kekeringan. Ukuran lalat kandang kira-kira sebesar lalat rumah, dapat dibedakan melalui probosisnya yang panjang, kuat dan lurus ke depan.
Lalat ini berwarna abu-abu, thorax-
nya berbentuk segi empat dengan garis-garis hitam gelap, rues kedua dan ketiga dari abdomen terdapat tiga titik yang berwarna hitam gelap. Telur berwarna putih kotor dengan panjang satu millmeter. lombang.
Salah satu sudut dan sisi lainnya sedikit berge-
Jumlah telur yang dihasilkan berkisar antara
632 sampai 820 butir telur selama 20 kali bertelur.
Hal
ini akan terjadi pada kondisi yang sesuai dan lalat dalam keadaan kenyang.
Pada suhu 26°C, lalat bertelur hanya
dalam masa tiga kali bertelur.
Tetapi pada kondisi yang
kurang menguntungkan, setiap ekor lalat kandang akan bertelur sebanyak 23 sampai 102 butir telur selama hidupnya yang diletakkan dalam waktu empat sampai lima kali bertelur.
13 Pada hari ke 14-26 dengan suhu 21-26 oc, larva akan berubah menjaOi pupa (kepompong). trop~s
Periode pupa di daerah
tidak lebih dari empat hari.
Kopulasi (perkawinan) terjadi dalam seminggu dan telur-telur
~tu
dihasilkan selama 18 hari setelah lalat de-
wasa (Hansens, 1951). Cara mereka mengambil makanannya dengan menghisap darah selama tiga sampai empat menit sekali hisap.
Volu-
me darah yang diambil ctalam satu kali hisapan berjumlah 0.05-0.10 cc setiap ekor lalat.
Sectangkan di musim panas
ia menghisap darah hingga beberapa kali setiap harinya (Ferrar, 1979) dan gigitannya menimbulkan rasa sakit yang menusuk. Setelah lalat kanctang itu menghisap darah hingga kenyang, mereka mencari tempat-tempat yang disukai untuk beristirahat dan mencernakan makanannya.
Actapun tempat-
tempat yang disukai oleh mereka adalah di tembok-tembok dan pohon-pohon serta tempat lain yang terang.
Mereka
lebih menyukai hidup bergerombol di daerah yang terang daripacta daerah gelap dan jarang berada di padang rumput terbuka yang jauh dari pekarangan (Ferrar, 1979; Hansens, 1951).
Faktor-faktor kelembaban dan cahaya sangat besar
pengaruhnya terhadap kehidupan dan perkembangan selanjutnya dari lalat kandang ini. Kanibalisme sering terjadi pada kelompok lalat kandang apabila sedang kelaparan.
Mereka menjadi sangat
14 aktif dan ganas untuk kemudian saling menyerang dan menghisap darah dengan cara melukai bagian perutnya. Haematobia
exigua (lalat Kerbau)
Lelat kerbau ini tersebar di negara- negara Jepang, Taiwan, Cina bagian utara, Phillpina, Muangthai, Indonesia, Birma, Ceylon,
~nd1a,
Solomon dan Australia.
Ia ju-
ga lazim terdapat di Papua Nugini. Spesies yang dewasa menyerang hewan piara terutama kerbau, sapi dan kuda.
Kadang-kadang lalat ini juga me-
nyerang manusia (Ferrar, 1979). Panjang tubuhnya kurang lebih empat milimeter, berwarna abu-abu dengan dua garis patah yang berwarna hitam gelap pada bagian thoraxnya.
Abdomen berwarna kecoklatan
dengan garis longitudinal berwarna kemerahan, dan kakinya kekuningan (Ferrar, 1979).
Probosis yang panjangnya satu
milimeter berguna untuk menembus dan menghisap darah. Lelat ini berkembang biak dengan cara bertelur.
Te-
lur-telur i tu diletakkan pada tinja kerbau atau sapi yang masih segar, ia kurang menyukai tinja kuda sebagai tempat bertelur. Segera setelah tinja dikeluarkan, betina yang grafid cepat hinggap diatas tinja.
Bau dari tinja kerbau lebih
menarik daripada tinja sapi maupun tinja kuda, tetapi ia tidak tertarik pada tinja carnivora.
Pada waktu bertelur
di atas tinja, lalat i tu bergerak dengan cepat dari
15 permukaan menUju ke pinggir, kemudian secara teratur menuju ke bawah sampai ke dekat permukaan tanah.
Telurnya
diletakkan satu per satu secara berdekatan di atas permukaan t1nja.
Jadi telur 1 tu tidak di tanamkan kuat-kuat d1
atas t1nja (Cook dkk., 1984 dan Ferrar, 1979).
Telur
yang panjangnya 1.2 mm berwarna coklat kekuningan sering sering ditempatkan pada celah atau di sela-sela tinja. Lalat bet1na memerlukan waktu untuk bertelur selama dua sampai tiga menit, jumlahnya mencapai 12-120 butir telur. Sesudah 1tu ia'merangkak di permukaan tlnja dan terbang lagi menuju induk semangnya. Masa inkubasi telur i tu pada umumnya kurang dari 24 jam.
Cook dan Spai (1981) menentukan masa inkubasi pada Pada suhu 25°C masa ~nkubas1nya
suhu yang berbeda-beda. berkisar antara 20 jam 54
me~tbsampa1
21 jam 18 menit,
sedangkan suhu 35°C memerlukan waktu 15 jam 6 menit. Setelah masa inkubasi terpenuhi, telur akan menetas menjadi larva.
1a akan makan t1nja dan makan d1 s1 tu.
Pada suhu 27-29 0 C larva akan menjadi dewasa dalam waktu empat har1 (Cook dkk., 1984).
Para penelit1 dl Australia
telah menemukan bahwa kelembaban mal untuk hidup dibawah 50
larva~.
~sb1
68
~
adalah opt1-
exigua, j1ka kelembaban nisb1
% maka pertumbuhannya akan terhenti.
larva siap menjadi pupa, larva mencari tempat.
turun
Apab~la
ke tanah dan segera
15 permukaan menuju ke pinggir, kemudian secara teratur menuju ke bawah sampai ke dekat permukaan tanah.
Telurnya
di1etakkan satu per satu secara berdekatan di atas permukaan tinja.
Jadi telur i tu tidak di tanamkan kuat-kuat di
atas tinja (Cook dkk., 1984 dan Ferrar, 1979).
Telur
yang panjangnya 1.2 mm berwarna coklat kekuningan sering sering ditempatkan pada celah atau di sela-sela tinja. Lalat betina memerlukan waktu untuk bertelur selama dua sampai tiga menit, jumlahnya mencapai 12-120 butir telur. Sesudah i tu iamerangkak di permukaan tinja dan terbang lagi menuju induk semangnya. Masa inkubasi telur itu pada umumnya kurang dari 24 jam.
Cook dan Spai (1981) menentukan masa inkubasi pada
suhu yang berbeda-beda.
Pada suhu 25°C masa ~nkubasinya
berkisar antara 20 jam 54 mem tbsampai 21 jam 18 meni t, sedangkan suhu 35°C memerlukan waktu 15 jam 6 menit. Setelah masa inkubasi terpenuhi, telur akan menetas menjadi larva.
1a akan makan tinja dan makan d1 51 tu.
Pada suhu 27-29 0 C larva ekan menjadi dewasa dalam waktu empat hari (Cook dkk., 1984).
Para peneliti dl Australia
telah menemukan bahwa kelembaban msb1 68 mal untuk hidUP dibawah 50
~
larva~.
~
adalah opti-
exigua, jika kelembaban nisb!
maka pertumbuhannya akan terhenti.
Apablla
larva siap menjadi pupa, larva turun ke tanah dan segera mencari tempa t.
16 Pupa yang panjangnya tiga milimeter berwarna cok1at kemerahan dengan aspek mengkl1at, 'kurang membutubkan kelembaban dibanding dengan larva, babkan jika tubuhnya baaah akan terkena serangannya bakteri.
Selru.n i tu ia peka
terhadap kekeringan, dan tidak menetas dalam temperatur rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi
akt~vitas
lalat de-
wasa adalah intensitas cahaya, arab udara, terutama temperatur dan kelembaban lingkungan (Tillyard, 1931 ttalam Seddon, 1967).
Pada saat 11ngkungan turun'dibawah 27°C
aktivitasnya menurun dan apabila dibawah 9°C kemungkinan 1alat i tu akan mah. Menurut William dkk. (1985) bahwa di alam, lalat io1 rentan terhadap temperatur rendah' oleh karena itu ia akan menghilang selama musim dingin.
Keberadaannya terba-
tas pada daerah-daerah yang secara re1atif mempunyai kelembaban tinggi. Penyebaran lalat io1 selain ditentukan oleh arah angin, terdapat faktor-faktor lain yang menarik datangnya lalat ialah bau Induk semang, kehangatan dan
kerlnga~
yang keluar dari induk semang. Lelat famili Ceratopogoo1dae Cullcoldes sp. Culicoides brevi tarsus tersebar dl sepanjang Oueensland kemudian meluas lagi ke daerah utara dan New South Wales (Campbell dan Kettle, 1979).
Tetapl mereka lebih
17 lazim terdapat di daerah yang panas dan lembab di dekat pesisir Queensland (Derrington, 1964). Secara umum lalat ini disebut dengan sandfly atau agas, berukuran sangat kecil yaitu satu sampa1 tiga milimeter dan bentuk punggungnya bongkok.
Lalat jantan mem-
punyai antena plumose (bulu yang lebat). sebaliknya pada yang betina antenanya non plumose (tidak berbulu).
Sa yap-
nya pendek dan lebar, bertotol-totol, ditutup oleh bulubulu halus. Telurnya diletakkan di atas tanaman yang tumbuh dJ. dalam air.
Berbagai spesies mempunyai habitat yang berva-
riasi seperti: lumpur, pasir di tepi muara, sungai, danau, kolam, daun dan lubang-lubang pohon (William, 1963 aan Rowley, 1967).
Pada temperatur 6°C beberapa telur akan
menetas dalam waktu enam hari, tetapi pada temperatur 4 0 C telur tidak
dapa~
menetas meskipun chorion dari beberapa
telur sudah retak sebelum dua
har~.
Sedang pada tempera-
tur 16 C, masa inkubasinya akan mencapai (J obll.ng,
~iga
hari
1953).
Setelah te1ur-telur itu menetas larva tetap tidak bergerak selama dua menit.
Bentuk larva panjang dan Pl-
pih, mempunyai duri di bagian ujungnya.
D1 permukaan ta-
nah gerak-geriknya seperti ular, sedangkan di dalam air
1a akan berenang dengan bebas (Jobling, 1953). tu
Pada wak-
akan menjadi pupa, larva menarik diri dengan durl-dU-
rinya kemudian menuju ke air dangkal atau ke dalam lubang-
s
~. ~l' \ ~.' l'~ ,~.
, .or '
.,
,
"
;; ,; If: '"\
1 '
'l
Gambar 1.
Sik1us Hidup Cu1icoides sp.
Keterangan gambar I, 2, 3. Sekelompok telur yang dibedakan menurut derajad kelengkunganj l~. .Jckdornpok telUL' yang llerbentuk lurus; 5. Te1uL' da1am bentuk tungga1j 6. Larva stadium awal; 7. Larva stadium akhir; 8. Pupa; 9. Dewasa.
19 1ubang basah yang mengandung zat orgao1k.
Pupa 1 tu dili-
puti oleh durl-duri atau tuberke1 di se1uruh permukaan tubuhnya (Gambar 1). Ia dapat menyerang hewan sepanjang siang harl, tetapl blasanya mulai sangat mengganggu di waktu sore hari, kira-klra tlga Jam sebelum matahari terbenam (Pascoe, 1974, dalam Arundel, 1978).
Pada saat cuaca mendung a.au
tldak ada sinar matanarl, mereka secara berke1ompok akan menyerang hewan dan membentuk kerumunan seperti kabut. Lalat io1 'sangat aktlf pada suhu antara 9.5-l7.5 0 C, kemuaian akan menghilang pada hari yang panas dan kerlng. Selama cuaca tidak menguntungkan 1alat bersembunyi di dekat akar rumput atau celah-ce1ah tanah. Lalat ramill Slmu1lldae Dllaporkan darl Australia, bahwa di negara iao1 terdapat dua spesies "black flies" atau lalat hi tam yang menyerang ternak yako1
Austros~mul~um
s~mulium
Mereka membentuk gerombolan dan ba-
bancrofti.
pesllens dan Austro-
nyak dijumpai di dekat sungai yang mengallr deras Tarshis, 1968). Lalat 101
mempuny9.~
satu sampai lima
ukuran tubuh yang kecll seki tar
~llmeter.
lubuhnya yang berdada bldang
diliputi oleh bulu-bulu pendek yang berwarna perak keemasan, punggungnya berponok dan sayapnya 1ebar.
Kedua spe-
ales di atas dapat dibedakClIl melalui jumlah segmen
20
antenanya.
Austrosimulium pestilens memiliki lu segmen
sedangkan pada!. bancrofti hanya sembilan segmen. Lalat ini berbiak pada sungai yang dasarnya dan mengalir deras.
berpas~r
1a mengeluarkan te1ur-telurnya dan
diletakkan di pasir basah (Colbo dan Moorhouse, 1974,
~
lam Arundel, 1978), akan tetap1 ada beberapa telur yang d~letakkan
pada tanaman air,
yang terdapat di dalam air. ~na
dengan cara merendam
p~nggir
batu atau benda lain
Hal ini dilakukan lalat be-
ov~positornya.
Betina dapat
menghasilkan beberapa ratus telur dalam satu jam, telurtelur itu diletakkan menjadi satu oleh zat yang mirip gelatin (Raybould, 1969). Larva menetas dalam waktu satu sampai dua minggu. Di alam habitatnya pada tumbuh-tumbuhan, batu-batuan atau benda-benda yang terletak didasar sungai 1968).
(~arshis,
Makanannya antara lain ganggang, protozoa dan
crustacea kecil.
Setelah melalui enam atau tujuh kali
molting, ia akan berubah menjadi pupa yang d1keli11ngl olleh bahan seperti sutera.
Pupa ini mengaitkan tububnya
pada batang kayu, tetapi sebagian besar di pohon yang tumbuh dl bawah permukaan lir.
rant~ng-ranting
sungal yang menga-
Lelat muda muncul dalam gelembung udara, kemudian
la keluar bergerak
d~
sepanjang permukaan air menuju ke
tepi sungai untuk mengeringkan diri, akhirnya siap untuk terbang.
21 La1at farniE 'l'a banidae Tabanus sp. La1at Tabanus merupakan 1a1at berukuran besar, panjangnya aapat meneapai 25-30 mm dengan bentuk tubuh yang tegap aan sayapnya lebar serta matanya besar berwarna menyo1ok.
Oleh karena 1alat betina menghisap darah, bagian
mulutnya berkembang menjadi alat penggunting dan penghisap, sedangkan lalat jantan makan sari bunga. ~s
kelamin dari lalat
i~
Kedua je-
dapat dibedakan melalui gar1s
pembatas yang mernisahkan kedua matanya.
Pada yang betina
kedua matanya dipisahkan oleh garis pembatas walaupun dengan jarak yang sempi t (dikhoptik) sedangkan lalat jantan mempunyai mata yang sahng berhimpi tan (holoptik). Antena terdiri dari dua segmen yang terletak di bagian basal dan yang ketiga berukuran besar, sedangkan segmen keempat sampai ketujuh berukuran keeil. Vena-vena pada sayap mempunyai pola yang karakteristik, terutama eabang vena longitudinal keempat,
probos~s
nya mengarah ke bawah berukuran pendek aan 1unak.
Sa yap
yang terang tembus akan mengatup seeara horizontal ketika istirahat. Terdapat enam organ yang tergabung menjadi satu digunakan sebagai alat penusuk, terdirl atas: mandibula yang
pip~h
sepasang
dan bergerlgi tajam, sepasang maksi-
lla yang bergerigi, hipofarinx dan epifarinx.
Mandibula
digunakan untuk memotong sedangkan maxilla untuk menusuk
22
dan mengoyak jaringan beserta pembuluh darahnya. Lalat Tabanus lebih suka meletakkan telurnya pada tumbuh-tumbuhan.
Hal ini titunjang dengan hasil peneli-
tian Tarmudji (1981) bahwa sebagian besar kelompok telur ditemukan pada rumpun tumbuhan di dekat dinding kandang. Menunjukkan bahwa lalat Tabanus sp. cenderung mencari temp at yang paling dekat dengan tempat hinggap untuk me letakkan telurnya.
Diantara 10 spesies tumbuhan yang ada
kelompok telurnya adalah:
padi, teki rawa, wewehan, gen-
jer, kremah, rumput tuton dan enceng lalaki.
Sedangkan
ttimbuhan yang tidak ada telurnya meliputi kangkung, eceng gondok dan unyahan.
Ini berati bahwa 70% dari 10 spesies
tumbuhan yang berada di dalam kandang digunakan oleh lat Tabanus sp. untuk meletakkan telurnya.
la~
Patton dan
Cragg (1913) yang dikutip oleh Tarmudji (1981) menyatakan bahwa hampir semua lalat Tabanidae yang meletakkan telurnya pada bagian tumbuh-tumbuhan, tidak memilih spesies tumbuhan tertentu. Bagian daun lebih disukai lalat Tabanus sp. untuk meletakkan telurnya, diduga karena daun mempunyai permukaan yang re1atif lebih luas dibandingkan dengan permukaan bagian tumbuhan lainnya.
Ia mempunyai kecenderungan
untuk meletakkan telur pada permukaan bawah daun.
Telur-
telur lalat Tabanus sp. yang diletakkan pada bagian tumbuhan atau benda lain disusun rap! dan berlapis-Iapis menjadi satu kelompok.
23 Menurut Roberts (1952), telur yang panjangnya 2 mm menetas pada hari ketujuh sampai hari kesepuluh, kemudian jatuh ke dalam air atau lumpur.
Selain i tu larva terda-
pat kira-kira dua atau tiga inci di atas tanah rawa dan di sekitar danau, kolam dan sungai (Jones, 1953 dan l{oberts, 1952). '1ubuh larva Tabanus terdiri dari 11 segmen, sedang kan bagian kepalanya tidak begitu jelas. millki delapan tuberkel.
Tlap segmen me-
Bagian mulut dapat digunakan
untuk memegang dan mengunyah.
Larva lni makan runtuhan
zat organik tetapl ada yang berslfat predator ganas pada larva insecta,
cac~ng
lUnak (Jones, 1953).
atau larva hewan lain yang tubuhnya Lama stadium larva klra-klra dua
sampai tiga bulan dan mengalami beberapa pergantian kulit. Pupa berbentuk silindris pada bagian anteriornya dan berbentuk agak merunclng pada bagian posteriornya. nya berwarna kuning kecoklat-coklatan.
Umum-
Bentuk kepala dan
thorax mirip imago, sedang baglan perut mempunyai segmen yang dapat digerak-gerakkan mirlp larva.
Menjelang sta-
dium pupa biasanya larva plndah ke tempat (tanah) kerlng. stadium pupa membutuhkan waktu antara 10-21 hari. Lalat Tabanus yang muncu1 dari pupanya segera berlindung diantara daun-daun atau obyek lain dl dekatnya. Frost (1953) mengatakan bahwc lalat Tabanus banyak dijumpai pada muslm panas dan terik matahari, terutama di dekat tempat berkembang blaknya.
Ia sang at aktif pada
24
cuaca panas dan lembab.
Lalat betina terkenal sebagai
penghisap darah, sedangkan yang jantan hanya makan sari bunga dan cairan tanaman. seperti:
Mereka menyerang hewan besar,
kerbau, kuda dan sapi.
Sebagai tempat predi-
leksinya adalah bagian samping bawah abdomen, sekitar pusar, kaki dan leher.
Setelah kenyang darah mereka me-
ninggalkan hewan, mencari tempat istirahat pada kulit-kulit kayu, batu-batuan, dinding bangunan atau di bawah permukaan daun.
Selanjutnya mereka mencari tempat untuk
meletakkan telurnya. Lalat famili Gasterophilidae Gasterophilus sp. l'erdapat enam spesies (jasterophilus pada kuda di berbagal bagian dunia.
l~ga
diantaranya didapatkan di Aus-
tralia, yakni Q. intestinalis, Q. nasalis serta Q. haemorrhoidalis.
Spes~es
yang lain adalah Q. pecorum, Q.
nlgrlcornis dan Q. inermis yang lebih terbatas penyebarannya, untuk kedua spesies yang pertama ditemukan di Asia bagian selatan (Zumpt, 1965 dalam Arundel, 1978). Gasterophilus intestinalis in! sangat umum terdapat di
Australia, sedangkan Q. nasalis juga tersebar di semua
negara bagian walaupun dalam infestasi ringan.
Spesies
Q. haemorrhoidalis dilaporkan hanya dari New South Wales Victoria dan Australia bagian barat.
25 Ditegaskan oleh Waddel (1972) di Queensland, biasanya lalat dewasa aktif pada bulan 0eptember sampai Januari. Pada waktu musim dingin hingga awal musim panas, larva instar pertama dan instar kedua tidak dijumpai dalam lambung kuda.
Hal im sesuai dengan laporan Drudge (1975) yang di-
kutip oleh Arundel (1978) dari hasil penelitiannya selama 22 tahun di Kentucky, Amerika Serikat.
Populasi larva G.
intestinalis dalam lambung setiap hewan berkisar antara 50 larva pada bulan Desember sampai 229 larva pada bulan Maret dan G. nasalis paling rendah 14 larva pada bulan September sampai 82 larva pada bulan Pebruari. Lalat Gasterophilus dewasa berukuran besar dengan rambut yang berwarna kuning sampai hi tam, hampir menyerupai lebah besar, tetapi mereka hanya memiliki satu pasang sayap.
Lalat betina mempunyai ovipositor yang panjang me-
lengkung di bawah abdomen, organ im dapat dikelirukan dengan alat sengat. Gasterophilus intestinalis meletakkan telurnya yang berwarna kuning dikaitkan pada bulu kaki depan dan panggul kuda (Ross, 1932).
Beberapa telur lainnya dikai tkan pada
bulu tengkuk dan punggung, tetapi yang paling digemari yakni di bawah tubuh.
Sedangkan sejumlah telur dapat dijumpai
berada di permukaan bagian medial antara lutut dan kuku kaki depan. Telur siap menetas pada hari kelima sampai kesepuluh, memerlukan udara lembab dan ransangan lidah kuda.
Hal im
26 terjadi pada waktu kuda menjilat-jilat tubuhnya.
Perk em-
bangan beberapa telur mengalami hambatan terutama di musim dingin.
Telur menetas menjadi larva di luar mulut dan te-
tap tinggal di tempat selama seminggu, suatu saat larva akan merayap masuk ke rongga mulut dan menembus lidah bagian anterior (Tolliver dkk., 1974), kemudian bersembunyi di mukosa pipi selama 24-25 hari. dari tiga instar.
Perkembangan larva terdiri
Beberapa larva instar pertama bersembu-
nyi dalam kantung di antara gigi serta di antara gusi dengan molar.
~esudah
molting instar kedua akan menempel se-
lama beberapa hari di faring dan di sisi epiglotis, selanjutnya ia pergi menuju lambung.
Dalam waktu lima minggu
ia molting menjadi instar ketiga yang berwarna merah muda (Waddel, 1972).
Larva dewasa berwarna coklat gelap ikut
bersama tinja, sesudah itu akan berubah menjadi pupa di tanah dalam waktu tiga sampai empat minggu kemudian. Gasterophilus nasalis meletakkan telurnya yang berwarna kuning pada bulu di antara bawah dagu dan pipi (Gambar 2).
Telur diletakkan membujur pada bulu induk semangnya
dan biasanya setiap bulu mengandung satu butir telur (Beesley, 1974 dalam Soulsby, 1982).
Setiap betina dapat
menghasilkan 300-500 telur yang akan menetas dalam lima sampai enam hari.
Larva pindah ke bibir dan selanjutnya
menyerbu gusi serta kantong di antara gigi (Tolliver dkk., 1974).
Tiga sampai empat minggu kemudian mereka masuk ke
dalam lambung menjadi larva yang berwarna kuning pucat, ia
oa\ ..
2
11\
nact. di 1St
3 PU PA dllam lambung
TElUR
~8'
"" .. '
c
•• ••
·..• •
,• ,,
a..,
I
,:
,/'
~ b
4
~.
'
b
PUPA
DEWASA
menu .. "" hd.
-
~~
Jf
l----.
~Uku'lR IJami I
Gambar 2.
~ ~~ .I~ 'liJ '
....,.,
:
--.-
Plmb_uran lOX
2
Uhnn Blimi
3
c--.
Ukurn .!ami
4
Siklus hidup lalat Gasterophilus Keterangan gembar
a. Gasterophilus haemorrhoidalis; b. Gastero1hilus nasalis; c. ljasterophlius intestlnalis; 1. la at dewasa; 2. telur; 3. pupa dalam lambung; 4. pupa bersama tinja
28
menempel pad a pilorus dan bagian pertama duodenum.
Seki-
tar 10-11 bulan sesudah menetas, instar ketiga keluar bersama feses dan menjadi pupa di tanah.
Tahap pupa memerlu-
kan waktu 16-64 hari (Hatch dkk., 1976). Gasterophilus haemorrhoidalis (lalat hidung), menga1tkan telurnya pada bulu-bulu di sekeliling bibir, hidung dan pipi kuda (Gambar 2).
Telur yang berwarna hitam kecoklatan
akan menetas dalam dua sampai lima hari, lalu masuk ke dalam mulut.
Kemudian mereka meneruskan perjalanan menuju
lambung sampai suatu saat diam di jaringan subepitel dan menempel pada mucosa terutama di bagian fundus dekat p11orus. Ia akan menetap di·lambung selama delapan sampai dua belas bulan.
Sebelum meninggalkan perut, larva sering me-
nempel terlebih dahulu pada rektum selama beberapa hari dan sesudah itu berubah menjadi pupa.
Menurut Faulkner
dan Kingscote (1934) yang dikutip oleh Arundel (1978) bahwa sejumlah pupa ada yang meninggalkan induk semangnya pada mus1m gugur, tetapi umumnya mereka keluar dar1 dalam perut pada musim semi.
~etelah
sampai di tanah, tiga sampai
lima minggu kemudian pupa berubah menjadi lalat. Kutu Famili Trichodectidae Damalinia egui Damalinia egui merupakan kutu penggigi t, panjangnya 2 mm, kepalanya pendek dan lebar, membulat dan berbentuk se-
29 tengah lingkaran (Hopkins, 1949 dalam Arundel, 1978).
Tu-
buhnya berwarna coklat kenari kecuali di bagian abdomen yang berwarna kekuningan dengan garis-garis hitam melintang. Sepanjang hidupnya kutu penggigi t menetap di tubuh induk semangnya, kecuali apabila terjadi kontak tubuh di antara kuda yang berdekatan, maka kutu-kutu itu dapat pindah ke kuda yang lain. Murray (1963) mengatakan bahwa telur-telur yang berada dalam tubuh kutu· betina tidak akan berkembarig pada suhu di bawah 16°C dan di atas 44.5 0 C. Secara umum telur-telurnya dikaitkan pada bulu induk semang dengan menggunakan zat perekat.
Penyebaran telur i-
ni dipengaruhi oleh faktor temperatur dan diameter bulu.
Telur yang dihasilkan akan berjumlah sedikit bila temperatur permukaan tubuh di atas 39°C, sedangkan pada temperatur 32-37°C akan mencapai jumlah telur yang maksimal (Roberts, 1952).
Menurut Murray (1957) kuda memiliki due jenis bulu
penutup yakni bulu halus yang menutupi anggota badan bagian atas, leher dan kepaIa; dan bulu kasar yang terdapat di tengkuk, ekor dan kaki bagian bawah.
Damalinia egui ini
tidak dapat mengai tkan telurnya pad a bulu yang bertipe kasar.
Hal ini sesuai dengan pengamatan Murray (1957) bahwa
di tempat-tempat seperti bulu tengkuk dan ekor serta kaki tidak dijumpai adanya telur-telur kutu tersebut. Masa inkubasi telur berkisar antara lima sampai 10 ha-
30 rio
Kutu yang baru menetas bentuknya menyerupai kutu dewa-
sa, keeuali dalam ukuran tubuhnya yang lebih keeil.
Seper-
ti halnya kutu dewasa, mereka hanya makan partikel-partikel dari bulu dan runtuhan lapisan kulit. Se1ama musim dingin popu1asi kutu kuda semakin meningkat jum1ahnya, hingga meneapai puncaknya pada akhir musim dingin dan awa1 musim semi (Murray, 1957).
Pada saat da-
tang musim dingin, temperatur tubuh induk semang seeara terus-menerus sesuai untuk perkembangan te1ur, baik telur yang masih berada di 'da1am tubuh kutu betina maupun untuk te1ur yang sudah me1ekat di bu1u induk semang.
Hal in1 terbukti
dari kehadiran Damalinia equi yang berjum1ah besar di penghujung musim dingln (Murray, 1963).
Tetapi dengan semakin
naiknya temperatur di musim semi akan menyebabkan rontoknya bulu-bulu kuda.
Sebagai konsekwensinya jumlah kutu di
permukaan tubuh induk semang menjadi berkurang, karena kutu ikut terbawa jatuh bersama bulu-bulu. Murray (1957) menegaskan bahwa hanya sedikit kutu yang dapat bertahan hidup pada musim panas, sebab se1ama musim panas temperatur di dalam lapisan bulu tubuh terutama di bagian bahu, punggung dan pantat akan tetap tinggi.
Sela-
in terjadinya kematian kutu juga mengakibatkan pengurangan jum1ah te1ur yang di1etakkan. Kutu famili Haematopinidae Haematopinus asini
31 Haematopinus asini Kutu ini disebut juga sebagai kut).l penghisap, berwarna coklat kekuningan, panjangnya antara 3-5 mm dan memiliki bentuk kepala yang panjang dan lonjong.
Pakinya pendek di-
sertai dengan alat kait untuk mencengkeram. Seluruh hidup dan perkembangannya berlangsung di tubuh kuda.
Ia seringkali mengaitkan telurnya pada bulu yang ber-
tipe kasar (panjang) terutama sekali di bulu bagian tengkuk, ujung ekor dan kaki depan (Murray, 1957). Bacot dan Linzel1 (191S) yang dikutip oleh Sen dan Fletcher (1962) mendapatkan bahwa pada temperatur 29.4 oC sampai 37.SoC masa inkubasi telur kurang lebih dua minggu, tetapi telur akan mati pada. temperatur 49°C selama dua jam. Telur yang melekat pada bulu yang terlepas akan tahan hidup selama 20 hari. Kutu mud a yang baru keluar bergerak per1ahan menuju kulit, di sana mereka mulai menusuk dan mengisap darah, hal ini dilakukan berkali-kali.
Ia akan mencapai bentuk dewasa
setelah melalui tiga stadium nimfa, selanjutnya siap menghasilkan telur dalam waktu 11-12 hari (Murray, 1957). Parasi t ini akan meningkat jumlahnya dengan cepat pada musim dingin dan akan berkurang pada saat musim semi waktu terjadi pergantian bulu.
Kutu penghisap ini lebih umum ter-
dapat di dasar bulu tengkuk dan leher. 'l'ungaU
famili Psoroptidae
32 Psoroptes sp. Terdapat dua spesies Psoroptes pada kuda, yakni niculi dan
R.
equi.
~pesies
R.
~
yang pertama disebut dengan
tungau telinga, sedangkan yang kedua menyebabkan masalah pada kuli t. Psoroptes equi terdapat pada kuda dan mungkin juga pada keledai dan bagal. ra Inggris.
Serangannya nampak terbatas di neg a-
Psoroptes cuniculi tersebar luas di dunia dan
menyerang bagian telinga kuda, domba, kambing, keledai dan bagal.
Beberapa kejadian telah dilaporkan dari Australia
(John~ton,
1963) antara lain di negara bagian Queensland,
Victoria dan Australia bagian Barat. ·Tungau ini berwarna putih sampai kekuning-kuningan, memiliki empat pasang kaki, yang betina panjangnya kurang lebih 0.6 mm, sedangkan yang jantan lebih kecil, dapat terlihat dengan mata telanjang, berbentuk bulat lonjong, mempunyai pedikel yang terdiri dari tiga ruas dan sepasang rambut panjang pad a masing-masing dari ketiga kakinya (Sweatman, 1958 dalam Arundel, 1978). Psoroptes betina dewasa meletakkan telurnya di pinggir luka dan menetas dalam waktu satu sampai tiga hari.
Pada
hari kedua dan ketiga larva akan berganti menjadi nimfa, kemudian menjadi betina dewasa yang segera kawin dalam tiga atau ernpat hari (Hoberts, 1952).
Tungau betina meletak-
kan telur sebanyak 90 butir selama hidupnya yakni sekitar
33 30-40 hari.
Siklus hidup tungau ini dari telur hingga de-
wasa memerlukan waktu 10-12 har!.' Chorioptes bovis Tungau Chorioptes ini ukuran tubuhnya kecil dan berbentuk oval.
Koksa pertama dan kedua terpisah dari koksa
ketiga dan keempat.
Pedike1 pada tarsus pertama, kedua dan
keempat pendek tidak bersegmen baik pada jantan maupun betina.
Tungau betina memiliki sepasang setae yang panjang
pada tarsus ketiganya, sedangkan yang jantan mempunyai satu setae panjang dan tarsal sucker. ~ecara
umum ia terdapat pada kuda-kuda di seluruh du-
nia, se1ain itu juga terdapat pada sapi dan domba (Gray, 1937).
~iklus
hidupnya sama dengan Psoroptes, dapat ber-
kembang sempurna dalam waktu 10 hari.
Bentuk gangguan ektoparasit terhadap induk semang Terdapat beberapa jenis ektoparasit yang menyerang kuda, diantaranya ia1ah 1a1at, kutu dan tungau.
Sejum-
lah ektoparasit ini hampir semuanya menghisap darah untuk kelangsungan hidupnya.
Pada waktu ektoparasit itu
menghisap darah mereka dapat bertindak sebagai vektor penyakit.
Selain itu dapat menimbulkan gangguan dengan
bentuk dan derajad yang bervariasi.
Gigitan ektoparasit
ini dapat menyebabkan gangguan berupa rasa gatal, sakit, luka berdarah dan kegelisahan. Musca sp. Keberadaan lalat Musca domestica, M. vetustissima dan
~.
sorbens dalam populasi besar sangat mengganggu
hewan kuda.
Tempat-tempat yang .disukai lalat yaitu dae-
rah yang beraspek basah, seperti: canthus mata, mulut, telinga, hidung, bibir vulva dan permukaan lubang penis. Serangan ektoparasit pada mata akan menyebabkan 1acrimasi yang berlebihan.
Hal ini akan menarik datangnya
lalat-lalat lain sampai seringkali tidak terhitung jumlahnya (Rockstein,dkk., 1965), ini dapat menimbulkan keratitis rnata dan rnungkin sekali terjadi kebutaan.
Sera-
ngan di permukaan tubuh yang lain dapat menimbulkan ulcus. Di bagian hidung selain timbul ulcus juga disertai dengan eksudat.
35 Lalat rumah dan lalat semak (tl. vetustissima)
m~m
punyai peranan penting sebagai induk semang antara dari larva cacing Habronema muscae dan nya cacing lambung kuda). makan oleh larva lalat
tl.
g.
megastoma (kedua- . di~
Larva cacing lambung yang domestica atau
tl.
vetustissima
akan mengalami proses perkembangan di dalam saluran malpighi dan jaringan lemak tubuh yang akhirnya menuju ke bagian kepala dari pupa lalat.
Setelah larva cacing
mencapai stadium infektif, ia akan bermigrasi ke dalam probosis lalat·dewasa. Kuda dan helvan sejenisnya dapat terinfeksi cacing Habronema sp. apabila ia menelan lalat infektif yang jatuh ke dalam makanan atau air minum, pada waktu lalat menghisap darah ataupun ketika lalat hinggap di sekitar mulut, hidung, mata dan luka-luka pada tubuh.
Apabila
larva yang dewasa terbawa oleh lalat ini masuk ke dalam mata kuda akan menyebabkan habronemic conjunctivitis, dan ke dalam luka menimbulkan habronemic granulomatosa berupa peradangan karakteristik, yaitu adanya pembentukan ulcus dengan jaringan granulasi yang tumbuh dengan cepat.
Ulcus ini dapat meluas dengan konsistensinya
yang kenyal dan berwarna merah.
ya~
Lambung kuda yang ter-
serang larva cacing habronema akan timbul bungkul-bungkul.
36 Stomoxys ca1citrans La1at kandang menyerang kuda serta beberapa hewan lainnya seperti sapi, kerbau, kambing dan domoa. bih menyukai daerah kaki (Hansens, 1951).
1a le-
Da1am jum1ah
besar menyebabkan hel1an tidak bisa istirahat dengan tenang. Pada tempat-tempat bekas gigitan 1a1at akan timbu1 papula-papula kecil yang berdiameter antara 5-10 mm, bagian ini tertutup oleh tertutup oleh bulu.
Kejadian i-
ritasi pada kaki menyebabkan kuda menendang dan menghentak-hentakkan kakinya (Pascoe, 1974 dalam Arundel, 1978). Se1ain itu kuda menga1ami kebengkakan di persendian kaki. Pascoe (1971) mengatakan bahwa S. ca1citrans secara a1ami dapat bertindak sebagai vektor dari bakteri Dermatophilus.
Selain itu ia juga berperan sebagai vektor
mekanik dari beberapa protozoa patogen. TrypaQo2om~
dangkan
1.
Sebagai contoh
eyansi yang menyebabkan penyakit surra, sebrucei menyebabkan penyakit nagana pada kuda
dan sapi di afrika.
Penyakit anthrax dan anemia infek-
siosa equi ditularkan pula oleh lalat ini (Paar, 1959). Karena spesies ini mempunyai kebiasaan mengambil darah berka1i-kali, hal ini membantu di dalam P8nu1aran. Sementara itu Said dan Bouchaert (1960) aenyimpu1kan bahwa la1at kandang :'c'rtindak sebagai vektor mekanik dari orchitis epididimytiJ yang disebabkan kuman
37 Salmonella abortus egui pada kuda-kuda di mesir.
25
Dari
kejadian penyakit tersebut, li kasus disebabkan oleh
penularan mekanik lalat kandang. Haematobia exigua Secara normal induk semangnya adalah kerbau dan sapi tetapi kuda dapat juga diserang oleh lalat ini (Ferrar, 1979).
Serangan ektoparasit yang berjumlah banyak
akan menyebabkan kuda-kuda menjadi liar (Seddon, 1967 dalam Arundel, 1979). Lalat ini mengganas terutama pada musim kemarau dan secara berkelompok menyerang hewan dengan infestasi mencapai ratusan lalat.
Mereka jarang sekali meninggalkan
induk semangnya, kecuali jika akan bertelur (Ferrar,
1979). Kedua jenis kelamin dari lalat ini merupakan penghisap darah dan gigitannya sangat menyakitkan.
Hewan
akan menggosok-gosokkan bagian tubuh yang terkena gigitan, akibatnya terjadi beberapa kerusakan kulit.
Karena
adanya dermatitis alergi ini, umumnya hevlan menjadi gelisah. Culicoides sp. Hewan yang terkena gigitan lalat ini akan merasakan gatal dan sakit.
Keadaan ini mendorong hewan untuk men
menggosok-gosokkan tubuhnya pada berbagai obyek.
Ditegaskan oleh Riek (1953) hal ini menyebabkan lesio peradangan kulit disertai kerontokan bulu.
Lesio dan
dermatitis alaergi ini biasanya terbatas pada tubuh ba-. gian dorsal termasuk pangkal ekor, pantat, sepanjang punggung, bahu, kepala dan telinga.
Pada hewan muda ke-
lainan-kelainan ini lebih sering terdapat pada telinga dan pangkal ekor.
Pada beberapa kasus, lesio dapat me-
luas sampai ke leher, muka dan kaki. Gejalanya akan terlihat lebih jelas pada saat terjadi iritasi hebat, terutama malam hari.
Hewan terlihat
menggosok-gosokkan tibuhnya ke pohon, pagar atau berbagai obyek sampai rasa sakitnya terasa ringan
(Derringto~
1964 dan Riek, 1953).· Pada stadium awal menunjukkan gejala yang khas, yakni papula ringan yang tertutup oleh bulu-bulu dalam posisi tegak.
Papula ini tersebar di permukaan tubuh.
Pada bagian epidermis terjadi pengelupasan sel, menimbulkan gumpalan mas a sel yang terbentuk dari eksudat serum dan cairan jaringan (Riek, 1953).
Bulu-bulu yang
tumbuh di atas papula menjadi rapuh dan berkerut, rambut rontok sehingga papula akan terlihat jelas (Gambar 3). Di daerah pantat, bahu dan surai bagian depan akan kehilangan bulu.
Akibat dari hewan menggosok-gosokkan tu-
buhnya, maka timbul luka lecet dan kerobekan disertai reaksi radang di bagian superfisial (Gambar 4).
Apabila
Gambar 3.
Gambar
~.
Dermatitis alergi kuda: .permulaan luka yang terdapat di bagian sisi tubuh.
Dermatitis alergi kuda: luka parah disert3i dengan kerobekan kulit yang terdapat pada bagian pantat dan pangkal ekor, akibat gigitan dan gosokan.
Gambar 4.
Dermatitis alergi kuda: pada keadaan khronis bentuk kulit di bagian bahu mengalami kegundulan yang terlihat tebal dan kasar.
kasusnya khronis sampai beberapa
tahun~
kulit menjadi te-
bal dan kasar, kering serta mengalami kegundulan di bebernpa tempat.
Permukaan kulit menjadi tidak rata teru-
tama di daerah bahu (Gambar 4).
Temperatur tubuh tetap
normal kecuali apabila terjadi kerobekan yang menyebabkan terjadinya infeksi sekunder. Simuliidae Lalat ini menyerang semua jenis ternak termasuk kuda dan manusia. sar.
Kehadirannya dapat mencapai jumlah be-
Gigitan lalat ini CUklP hebat, karena tusukannya
mengandung toxin yang dapat menyebabkan iritasi dan kebengkakan (Roberts, 195?).
Seroua bagian tubuh dapat di-
seragnya, tetapi 1a1at ini 1ebih menyukui daerah kaki, abdomen, te1inga dan muk" terutama bagian mata, hidung
41 dan telinga.
Bagian tubuh yang terserang hebat akan me-
nimbulkan udema.
Apabi1a bagian udema ini tersentuh a-
tau dipalpasi, hewan merasa kesakitan (Tarshis, 1967). Tabanus sp. Setiap 1alat Tabanus dapat menggigit dua sampai tiga kali sebe1um menghisap darah.
Ku1it hewan yang ter-
kena gigitan sering mengeluarkan darah da1am jangka waktu agak lama dan menimbulkan luka yang pedih (Barnet, 1961 dalam Arundel, 1978).
Cara menggigit yang demikian
itu menambah efisiensinya sebagai vektor mekanis dari beberapa penyakit. Menurut Henning (1956) yang dikutip oleh Yagi dan Razig (1974) bahwa lalat Tabanus merupakan induk semang antara yang utama dari Trypanosoma evansi dan memindahkro kannya secara mekanik.
Sedangkan peneliti yang lain me-
ngatakan bahwa lal:.l t ini dapat juga memindahkan parasi t darah tersebut pada kuda, kambing, anjing, gajah serta hewan lainnya.
Jenis penyakit lain yang juga dapat di-
tularkan oleh la1at ini adalah penyakit anthrax, anemia infeksiosa equi dan anaplasmosis. Gasterophilus sp. Lalat dewasa akan menyemabkan gangguan pada saat muali bertelur.
Bunyi dengungan dan serangannya yang
mendadak ketika meletakkan telur, menyebabkan hewan lari dengan menggoyang-goyang kepala dan berdesak-desakan
4-2 mencari perlindungan (Rainey, 194-8).
Yang lebih suka
mengganggu yakni spesies Q. nasalis, karena menyerang bibir dan leher secara tiba-tiba. Instar pertama lalat Q. nasalis dan Q. intestinalis mengadakan penetrasi diantara jaringan gusi atau di sisi gigi molar, hal tersebut akan menimbulkan kantung-kantung nanah dan iritasi yang berlebihan.
Hev/an merasa
sakit dalam mengunyah dan pertumbuhannyu akan terhambat. Ketika mereka menempel di faring dan duodenum anterior dapat menyebabkan peradangan dengan penebalan berupa cincin di sekeliling larva.tersebut.
Apabila infeksi
berat maka timbul gangguan pencernaan berupa obstruksi saluran pencernaan. \'Iaddel (1972) menemukan kasus 19 % ulcus lambung dari 331 contoh lambung yang telah dikumpulkan selama satu periode (enam tahun) dan dari 92
% lambung yang
terkena ulcus didapatkan 18-34-0 larva lalat G. intestinalis.
Tatche1l (1958) mengatakan secara normal larva
makan eksudat jaringan. Dikatakan oleh Mct'ianllmny (1965) kurang dari 1 'I> larva menempel pada bagian glandula lambung, tetapi kebanyakan infeksi terdapat pada mucosa non glandula yang memainkan peranan kecil dalam pencernaan. Adanya infestasi larva ini menyebabkan kuda menjadi gelisah dan seringkali mengalami kolik.
Di tempat
43 melekatnya larva tersebut menimbulkan peritonitis.
Se-
lain itu akan ditemui gejala ulcerasi di daerah oesofa_ gus dan lambung, keadaan ini merupakan luka yang paling umum (Tolliver dkk., 1975).
Larva Gasterophilus juga
dikenal sebagai penyebab peradangan dan pemborokan dan membrana mucosa lambung dan duodenum (Waddel, 1972). Damalinia egui Selama musim dingin parasit ini meningkat dengan cepat.
Ia menyerang dengan cara menggigit, terutama di
tubuh bagian baeah dan rahang, tetapi dapat pula dijumpai dalam bentuk kerumunan di punggung dan panggul (Riek, 1953).
Dalam jumlah besar mereka akan menyebar
ke seluruh tubuh. Mereka menggigit dan menggerogoti kulit dengan menggunakan mUlutnya, hal ini menyebabkan iritasi.
Kuda
yang merasa kesakitan akan menggaruk dan menggosok-gosokkan bagian kulitnya yang terkena serangan. sebagian besar dari leher
t
Akibatnya
bahu dan panggul menjadi
gundul dan rentan terhadap infeksi sekunder. Menurut Roberts (1952) bahwa Damalinia egui sebagai vektor perantura dari anemia infeksiosa equi. Haematopinus asini Kutu ini menghisap makanannya berkali-kali dan setiap kali akan menimbulkan iritasi.
Ia mempunyai peranan
1ebih penting daripada Dama1inia egui, da1am keadaan intestasi berat dapat menyebabkan anemia. Se1ain pada bu1u tengkuk dan ekor, ia juga ditemui pada bulu kaki bagian bawah (Murray, 1963).
Di daerah
ini sering terjadi dermatitis dengan intensitas yang be bervariasi, karena hewan menggosok-gosokkan tubuhnya pada tiang atau obyek-obyek di sekitarnya. Psoroptes egui Tungau menusuk ku1it untuk menghisap cairan 1imfe dan merangsang suatu reaksi setempat dalam bentuk peradangan kecil disertai dengan keluarnya serum.
Menurut
Roberts (1952) tungau Psoroptes menyebabkan kudis di daerah yang tertutup bu1u-bu1u panjang seperti dasar bu1u surai dan ekor.
Tetapi se1uruh permukaan tubuh dapat
terkena dengan akibat yang serius.
Permukaan ku1it yang
tertutup bu1u panjang tadi akan mengalami luka dan timbu1 kerak. ngau.
Tempat ini sudah tidak sesuai 1agi bagi tu
01eh karena itu ia berpindah 1agi ke pinggiran
1uka, akibatnya semakin memper1uas proses 1uka. Sedangkan
E.
cuniculi yang menyerang te1inga, se1a-
in mengakibatkan kebengkakan te1inga juga menimbu1kan eksudat kental yang berbau busuk yang berwarna coklat. Chorioptes bovis Kudis chorioptik dikena1 sebagai kudis kaki karena secara umum menyerang kaki kuda, sapi, kambing dan
45 biri-biri.
Biasanya tungau tingga1 pada kaki bagian ba-
wah me1iputi 1utut dan tumit, tetapi dapat me1uas sampai ke perut dan aksilla serta selangkangan (Roberts, 1952 dalam Arundel 1978).
Tungau menyebabkan kudis kaki yang
tidak berarti, tetapi karena kegatalannya mengakibatkan hewan menggosok-gosokkan, menggaruk dan menghentak-hentakkan kaki terutama pada ma1am hari. Gosokan yang terus-menerus menyebabkan bu1u kakinya kelihatan usang dan kasar.
PEMBAHASAN Penyakit ektoparasit telah tersebar luas di dunia, terutama Indonesia sebagai negara tropis dengan kelemba ban nisbi yang tinggi merupakan tempat yang subur bagi kehidupan berbagai-bagai ektoparasit.
Diantaranya ter-
dapat beberapa jenis ektoparasit yang menyerang kuda meliputi lalat, kutu dan tungau. Dalam bionomik telah diuraikan bahwa setiap jenis ektoparasit memiliki bentuk tubuh, siklus hidup dan tingkah laku yang khas karena adanya penyesuaian diri terhadap lingkungannya (Keswan, 1978).
Secara umum da-
pat dikatakan, lalat yang termasuk dalam ordo Diptera dan famili Muscidae le"bih suka meletakkan telur pada tinja kuda yakni Musca vetustissima, moxys calcitrans.
~.
sorbens, §!2-
Lain halnya dengan Ceratopogonidae
(CQlicoides sp.) dan Simuliidae, larva hidup di dalam air (William, 1963)dan Rowley, 1967).
Lalat Tabanus
yang memiliki ukuran terbesar akan memilih tumbuh-tumbuhan air sebagai tempat berkembang biak, terutama pada permukaan bawah daun (Tarmudji, 1980).
Sedangkan
lalat Gasterophilus meletakkan telurnya dengan cara mengaitkan telurnya di bagian bulu kuda (Ross, 1932). Kutu dan tungau sepanjang hidupnya menetap di tubuh induk semangnya, baik dalam hal mencari makanan maupun perkembang biakannya.
47 Kutu meletakkan telur dengan mengaitkannya pada bulu induk semang. tetapi kedua jenis kutu mempunyai perbedaan didalam memilih jenis bulu yang dibutuhkannya. Damalinia egui hanya memilih bulu yang bertipe halus seperti yang terletak pada anggota badan bagian atas. leher dan kepala.
Sedangkan Haematopinus asini lebih een-
derung menyukai bulu-bulu yang berdiameter lebih besar di bagian tengkuk, ujung ekor dan kaki bagian bawah (Murray, 1957).
Lain halnya dengan jenis tungauyang
termasuk ordo Pthiraptera. famili Psoroptidae menyukai bagian.pinggir luka sebagai tempat meletakkan telur. Telah dimaklumi bah
Pada waktu
menghisap darah ektoparasit ini dapat memindahkan agen penyakit dari satu he
Penyakit hewan
menular penting yang dipindahkan vektor antara lain surra, anthrax dan infestasi eaeing
Habrone~a.
3elain he- .
wan pemamah biak, kuda termasuk hewan yang rent an terhadap penyakit surra dan anthrax. Trypanosoma sebagai penyebab penyakit surra, hidup di dalam darah induk semang,.penularannya terutama
48
disebabkan oleh lalat penghisap darah yang termasuk golongan Tabanidae (Henning, 1956 dalam Yagi dan Razig, 1974).
Disamping lalat Tabanus ternyata lalat penghi-
sap darah yang lain mampu menularkan penyakit surra, antara lain Stomoxys calcitrans (Paar, 1959). Paar (1959), Yagi dan Razig (1974) melaporkan bahwa penyakit anthrax dan anemia infeksiosa equi dapat dipindahkan o1eh 'l'abanus dan Stomoxys ca1citrans.
Lalat
yang tersebut terakhir ternyata juga mampu bertindak sebagai vektor mekanik dari kuman Salmonella abortus egui yang menyebabkan penyakit "orchitis epididymitis" (Said dan Bouchaert, 1960). dilakukan o1eh 1a1at
Demikian pentingnya peranan yang penghisa~
darah di atas didalam me-
nyebar luaskan penyakit tertentu pada kuda.
Penyakit
yang tidak ka1ah pentingnya adalah habronemic granu1omatosa (peradangan karakteristik) dan habronemic conjunctivitis (peradangan conjunctiva).
Kedua jenis penyakit
disebabkan oleh cacing lambung kuda Habronema muscae dan
g.
~
megastoma, dengan perantaraan vektor Musca domes-
dan Musca vetustissima.
Di samping sebagai penghisap darah, ektoparasit juga men mengganggu ketenangan hewan, menurunkan nafsu makan, menyebabkan kekurusan dan menurunkan kwalitas kulit. Akibat dari serangan 1alat umunya menimbulkan 1ukaluka pada permukaan kulit dengan intensitas yang
49 bervariasi.
Se1ain itu Riek (1953) me1aporkan bahwa pa-
da permukaan ku1it akan timbu1 kebengkakan dan papu1apapula keci1.
Hal ini seringka1i dilakukan oleh 1a1at
penghisap darah, seperti Stomoxys ca1citrans, Haemato~
exigua, Simulium sp., Cu1icoides sp. dan Tabanus sp. Gigitan yang di1akukan 1alat berukuran besar seper-
ti Tabanus akan memper1ihatkan 1uka yang cukup je1as, disertai dengan penge1uaran darah da1am jangka waktu agak lama.
Hal ini dapat dimengerti karena ia menggigit
da1am dua sampai tiga kali sebe1um menghisap darah (Barnet, 1961 da1am Arundel, 1978).
Tanda-tanda yang
terlihat adalah hewan menjadi gelisah, menendang dan menghentak-hentakkan kaki, kadang-kadang hewan menjadi liar (Sedd~, 1967 da1am Arundel, 1978). Selain lalat tersebut di atas, serangan jenis kutu Haematopinus asini dan Damalinia egui akan merangsang kuda untuk menggosok-gosokkan kulit, juga akan menyebabkan infeksi sekunder.
Kerusakan kulit akan menjadi le-
bih parah 1agi apabila disertai oleh gigitan lalat Haematobia exigua, Cu1icoides ap. dan .tungau Chorioptes ~
££_
yang terasa menyakitkan dan menimbulkan rasa gatal
yang hebat (Derrington, 1964).
Tetapi gejala yang di
timbulkan oleh serangan agas dan tungau tersebut terli hat 1ebih jelas pada ma1am hari. karena mereka aktif pada sore hari dan ma1am hari (Riek, 1953 dan Derrington, 1964).
50 Menurut Pascoe (1974) yang dikutip oleh Arundel (1978) lalat Musca lebih menyenangi bagian permukaan tubuh yang beraspek basah.
Apabila mata kuda terkena se-
rangannya maka akan timbul lakrimasi yang berlebihan dan akan· menarik
datangnya lalat-lalat lain (Rockstein
dkk., 1965), sehingga tidak jarang menyebabkan keratitis
dan mungkin sekali terjadi kebutaan. lubang ulcus bisa ditemukan dt
Selain itu lubang-
ternpat~tempat
seperti te-
linga, hidung, bibir vulva atau permukaan luband penis. Larva Gasterophilus mernpunyai peranan yang lebih penting bila dibandingkan dengan lalat dewasanya.
Seba-
gian besar perkembanc;an larva ini berlangsung dalam induk semangnya.
Ia akan menerobos jaringan lidah, muco-
sa pipi dan gusi sebelum sampai pada habitatnya yaitu lambung (Waddel, 1972).
Perjalanannya akan menyebabkan
kerusakan-kerusakan berupa kantung-kantung nanah, peradangan dan timbul rasa iritasi yang berlebihan (Bello dan Seger, 1972 dalam Arundel, 1978).
Iritasi pada mu-.
lut akan menurunkan nafsu makan sehingga pertumbubannya menjadi terhambat.
Dalam jumlah banyak larva ini akan
menimbulkan obstruksi saluran pencernaan.
51 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpu1an Ektoparasit hewan merupakan penyakit yang cukup mengganggu kesehatan hewan karena ektoparasit yang menyerang kuda hampir semuanya menghisap darah untuk kelangsungan hidupnya.
Pada waktu menghisap darah mere-
ka dapat memindahkan penyakit dari satu hewan ke hewan 1ainnya.
Disamping itu mereka mengganggu ketenangan
hewan, menurunkan nafsu makan, memyebabkan kekurusan dan menurunkan kwa1itas ku1it. Beberapa ektoparasit yang menyerang kuda meliputi lalat, kutu dan tungau, tetapi diantara ketiga jenis tersebut 1a1at merupakan jenis ektoparasit yang memi1iki peranan yang 1ebih besar da1am bertindak sebagai vektor, karena 1a1at sering berpindah-pindah tempat dalam mencari makan dan menghisap darah. Kuda termasuk hewan yang rentan terhadap penyakit anthrax dan surra yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi, penu1arannya dapat me1a1ui perantaraan 1alat Tabanus atau Stomoxys. nik
dim~na
Ia menu1arkan secara meka-
Trypanosoma tidak mengalami perubahan bio1o-
gis dalam tubuh lalat tersebut.
Sedangkan 1alat Musca
dapat bertindak sebagi vektor dari cacing lambung kuda Habronema muscae dan lie megastoma.
Cacing ini menyebab-
kan habronemic conjunctivitis jika ia menyerang mata
52 kuda dan mengakibatkan habronemic granulomatosa pada ba-
gian luka. Adanya serangan ektoparasit pada kuda sering ditemui gejala berupa luka-luka kecil di permuaan kulit dengan intensitas yang bervariasi.
Hal ini akan menim-
bulkan rasa sakit, iritasi dan kegatalan.
Kuda yang me-
rasakan gatal akan menggosok-gosokkan dan menggigit bagian tubuh yang teriritasi sehingga menyebabkan luka, lecet dan terjadi kerusakan kulit. Serangan larva Gasterophilus lebih berbahaya dari pada lalat yang dewasa, karena ia dapat menyebabkan ke rusakan-kerusakan jaringan mulit dan jaringan lambung. Kerusakan yang ditimbulkan dapat berupa kantung nanah, peradangan dan luka di bagian mulut sehingga kuda menjadi kurang nafsu makan, keadaan demikian ini mengakibatkan hambatan pertumbuhan kuda. ditemukan pada lambung kuda.
Ulcus-ulcus dapat juga Gejala pada kuda yang ter-
kena serangan larva Gasterophilus ialah rasa gelisah bahkan sering menyebabkan kolik. Saran Melihat fakta terse but di atas menunjukkan bahwa ektoparasit yang menyerang kuda cukup banyak dan beragam jenisnya.
Sebagi Dokter Hewan tugas kita adalah mena-
ngani dan menanggulangi masalah ektoparasit ini, yaitu dengan menurunkan populasi parasit sampai batas yang tak
54merugikan terutama ektoparasit pengganggu dan yang diduga sebagai vektor penyakit.
Bagi kuda yang dikandangkan,
langkah yang dapat ditempuh adalah dengan menjaga sanitasi kandang dan lingkungan. Selain itu membuang tinja maUpUI. kotoran lain ke tempat tertentu yang telah disedia kan dan dapat ditimbun dengan tanah.
Diharapkan hal ini
dapat menekan jumlah populasi ektoparasit, terutama ektoparasit ordo Diptera yang umumnya berbiak pada kotoran hewan. Pada peteI'nakan kuda yang cukup besar biasanya kuda dipelihara di lapangan terbuka.
Dalam hal ini pengawa-
san terhadap ternak kuda tidak semudah ternak yang dikandangkan.
Oleh karena itu pada saat tertentu kuda
perlu mendapatkan penyemprotan insektisida. Pemberantasan ektoparasit tidak cukup hanya dengan pengobatan kimiawi.
Untuk pengendalian yang baik, tera-
rah dan efisiensi perlu diselidiki siklus hidup dan biologi ektoparasit secara mendalam, sehingga kita dapat memutus rantai siklus hidupnya dengan tepat.
DAFTAR PUS TAKA Arundel, J. H. 1978. Parasitic diseases of the horse. The University of Sidney, the Post Graduate Foundation in Veterinary Science, New South Wales. Campbell, M. M. and D. S. Kettle. 1979. Swarming of Cullcoides brevi tarsus Kieffer (Diptera: Ceratopogonldae) with reference to markers, swarm size, proximity of catt1e,and weather. Aust. J. Zoo. 29:7-14. Cook, I. M. and A. V. Spain. 1981. Rates of development of the immature stages of the buffalo fly, Haematobia irritans exigua de meijere (Diptera: Muscidae), in relation to temperature. Aust. J. Zoo. 29:7-14. Cook, I. M., A. V. Spain and D. F. Sinclair. 1984. The effects of immersion of water of survival to eclosion of the embryos of the buffalo fly, Haematobiairritans exigua de meijere (Diptera: Muscldae). AusE. J. Zoo. 32:227-30. . Derrington, P. C. 1964. Queensland itch in horse. Vet. J. 27: 153-154.
Qd.
Dirjen Peternakan. 1985. Populasi ternak di Indonesia, pp:l. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Bina Program, Direktorat Jendral Peternakan. Ferrar, P. 1979. The immature stages of dung breeding muscoid flies in Australia, with notes of the spesies, and keys to larva and puparia. Aust. J. Zoo. 73:27-39. .
Frost~ S. ~nt.
W. 1953. Tabanidae attracted to light. Soc. Am. 46:123-125.
Gray, D. F. 1937. Sarcoptic mangeaffecting horse in New South Wales. Aust. Vet. J. 13:154-155. Hall, H. T. B. 1977. Ectoparasites (Arthropoda). In Diseases and Parasites of Livestock in the Tropics. London. Hansens, E. J. 1951. The stable fly: its effect on seashore recreational areas in New Jersey. J. Econ. Entomol. 44:482-487.
55 Hatch, C., J. 1lcCaughey, J. o Brein. 1976. The prevalence of Gastero hilus intestinalis and G. nasalis in horses in Ire and. Vet. Rec. 98:274-276.
1
Hungeford, T. G. 1975. Diseses of Livestock. Mc. Graw Hill Book Company Sidney. Previous editions published by Angus and Robertson (Publishers) Pty Ltd. Eight Ed. 1318pp. Job1ing, B. 1953. On the blood-sucking midge Culicoides sp. Stager, including the discription of its eggs and the first-stage larva. Parasitology. 43:148-159. Johnston, L. A. Y. 1963. A note on psoroptic otocaria. sis in a horse in North Queensland. Aust. Vet. J. 39:208. Jones, C. M. 1953. Biology of Tabanidae' in Florida. J. Econ. Entomol. 46:1108-1109. Keswan. 1978. Ectoparasit. Laboratorium Kesehatan Hewan Bukittinggi. Tahun IV. No. 71:1-4. 1983. Beberapa cara penanggulangan ektoparasit pada ternak. Balai Penyidikan penyakit Hewan, Wilayah II'Bukittinggi. Tahun IX.'No 181:1-3. Mcmanamny, L. F. 1965. Programmes of diseases control in throughout bred studs. Aust. Vet. J. 41:75-79. Murray, M. D. 1957. The distribution of the eggs of mammalian lice on their hosts. IV. The distribution of the eggs of Damalinia equi (Denny) and Haemato~i183 asini (L.) on the horse. Aust. J. Zoo.
:
-189.
1963. Influence of temperature on the reproduction of Dama1inia egui (Denny). Aust. J. Zoo. 11:183-189. Norris, K. R. 1966. Notes on the ecology of the bushfly, Musca vetustissima Walk. (Diptera:Muscidae), in the Canbera district. Aut. J. Zoo. 14:11391156. Paar, H. C. M. 1959. Studies on Stomoxys calcitrans in Uganda, East Africa. I. A methode of rearing large number of S. calcitrans. Bull. Ent. Res. 50:165169. -
56 Pascoe, R. R. 1971. An outbreak of mycotic dermatitis in horses in South-Eastern Queensland. Aust. Vet. J. 47:112-115. Rainey, W. J. 1948. Clinical communications: Equine mortality due to Gasterophilus larvae (stomachbots). Aust. Vet. J. 24:116-119. Raybould, J. N. 1969. Studies on the immature stages of the Simulium Roubaut complex and their assosiated crabs in the eastern Usambara Mountains in Tanzania. Ann. Trop. Med. Par. 63:269-287. Riek, R. F. 1953. Studies on allergic dermatitis ("queenslqnd itch") of the horse. Aust. Vet. J. 29:177-184. 1954. Studies on allergic dermatitis ("queensland itch") of the horse: the aetiology of the horse. Aust. J. Agric. Res. 27:87-93. Roberts, R. C. 1935. A.check list of the arthropod parasites of domesticated animal in Queensland. Aust. Vet. J. 11:2-10. Roberts, F. H. S. 1952. Insect affecting livestock. Angus and Robertson. Sydney. London. First pub. 267pp. Rockstein, M., M. Dauer and Prem Lata Bhatnagar. 1965. Adult emergence of the louse fly, Musca domestica. Ann. Ent. Soc. Am. 55:375-379. Ross, C. 1932. The occurence of bot-fly larvae (Gasterophilus veterinus) in subcutaneus tissues of the horse. Ausf. Vet. J. 8:34-35. Rowley, W. A. 1967. Observations on larval habitats and the winter bionomics of some common species of Culicoides (Diptera: Ceratopogonidae) in the Central Co1umb k a basin. Mosquito News. 27:495-505. Said, A. H. and J. H. Bouckaert. 1960. Orchitis epididymidis in equine. A study of disease adult occurs in Egypt. Vet. Bull. 31:124. Seddon, H. R. 1967. Diseases of domestic animals in Australia: part 2. Arthropod Infestations (Flies, Lice and Flies). Second Ed. Commonwealth of Australia Department of health.
57 Seddon, ll. R. 1967. Disesases of domestic animals in Austra.lia: part 3. Artllropod Infestations (Ticks and Mites). Second Ed. Commonwealtll of Australia Department of Healtll. Sen, S. K. and B. T. Fletcher. 1962. Veterinary Entomology and Acarology for India. Indian Council of Agricultural Research New Delhi. Soulsby, E. J. L. 1982. Helmiths, arthropods and protozoa of domesticated animals. Billiere Tindall. London. 7th Ed. 809pp. Tarmudji. 1980. Beberapa spesies tumbuh-tumbuhan sawah rawa yang disukai oleh lalat Tabanidae (ordo: Diptera) sebagai tempat peletakan telur. Laporan masalah khusus. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. pp:1-12. 1981. Tumbuh-tumbuhan sawah yang digunakan 0leh Tabanus sp. (Tabanidae) untuk meletakkan telurnya. Bulletin LPPH. l3:33-~2. Tarsllis, B. 1968. Use fabrics in streams to collect black fly larvae. Ann. Ent. Soc. Am. 61:960-961. Tatchell, R. J. 1958. The physiology of digestion in the larvae of the horse bot fly, Gasterophilus spp. larvae in the mouth of the horse. The Journal of Parasitology. 36:~~8-~58. Tolliver, S. C., E. T. Lyons, and J. H. Drudge. 197~. Observations on the specific locations of Gastero~hilus spp. larvae in the mouth of the horse. The ournal of Parasitology. 60:891-892. Waddel, A. H. 1972. The pathogenicity of Gasterophilus intestinalis larvae in the stomacll of the horse. Aust. Vet. J. ~8:332-335. William, R. W. 1963. Observations on habitat of Culico. ides larvae in Trinitad, W. I. (Diptera: Ceratopogon~dae). Ann. Ent. Soc. Am. 57:~62-~66. William, J. D., R. W. Sutherst, C. F. Maywald, and C. T. Peterbridge. 1985. The southward spread of buffalo fly (Haematobia exigua) in Eastern Australia and its survival through a severe winter. Aust. Vet. J. 62: 367-369. Yagi, I. A. and M. A. T. Razig. 197~. The Tabanidae of Bahr el Arab, Southern darfur district, Sudan. Animal Health and Production in Africa. 2~:89-92.