POTENSI SAMBILOTO, SIRIH MERAH, DAN ADAS PADA BROILER YANG DIVAKSIN DAN DITANTANG VIRUS AVIAN INFLUENZA H5N1: KAJIAN HISTOPATOLOGI ORGAN LIMFORETIKULAR, MORTALITAS, DAN SEROLOGIS
WYANDA ARNAFIA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ABSTRAK WYANDA ARNAFIA. Potensi Sambiloto, Sirih Merah, dan Adas pada Broiler yang Divaksin dan Ditantang Virus Avian Influenza H5N1: Kajian Histopatologi Organ Limforetikular, Mortalitas, dan Serologis. Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan MAWAR SUBANGKIT. Virus avian infulenza telah menyebabkan kerugian yang besar di bidang kesehatan, ekonomi, dan berpotensi mengakibatkan pandemi. Penggunaan obatobatan antiviral pada manusia mengakibatkan lahirnya strain virus Avian Influenza (AI) yang resisten terhadap obat-obatan, sehingga sangat penting untuk menemukan obat lain yang lebih efektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian formula ekstrak etanol sambiloto (Andrographis paniculata Nees), adas (Foeniculum vulgare), dan sirih merah (Piper crocatum) konsentrasi bertingkat dalam menghambat infeksi virus avian influenza H5N1 pada broiler. Broiler dibagi menjadi empat kelompok yaitu kontrol (akuades), formulasi ekstrak tanaman obat konsentrasi 5%, 7.5%, dan 10%. Semua broiler divaksin kemudian diinfeksi dengan virus AI H5N1 setelah diberi formulasi ekstrak tanaman obat. Pengamatan dilakukan pada tingkat mortalitas, titer antibodi, dan histopatologi organ limforetikular (limpa, timus, dan bursa Fabricius). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian formulasi ekstrak etanol sambiloto, adas, dan sirih merah konsentrasi 5% menunjukkan kemampuan yang paling baik dalam menghambat kematian, meningkatkan titer antibodi, dan menekan kerusakan pada organ limforetikular dibandingkan dengan dengan kelompok perlakuan lainnya. Kata kunci: virus avian influenza H5N1, vaksin, broiler, tanaman obat, organ limforetikular.
ABSTRACT WYANDA ARNAFIA. Potency of Sambiloto, Sirih Merah, and Adas on Vaccinated Broiler and Challenged with Avian Influenza H5N1 Virus: Histopathology of Lymphoid Organ, Mortality, and Serological Study. Supervised by AGUS SETIYONO and MAWAR SUBANGKIT. Avian influenza virus caused great loss in public health, economy, and potentially caused pandemic. In human, use of antiviral drugs has believed causing appeared the antiviral-resistant srain of Avian Influenza (AI) virus. Thus it was crucial to find other more effective alternative medicine. The objective of this research was to study the effect of different concentration of ethanol-extract formula of sambiloto (Andrographis paniculata Nees), adas (Foeniculum vulgare), and sirih merah (Piper crocatum) in inhibiting H5N1 virus infection in broiler. Broiler were divided into four groups namely control (aquadest), herb extract formulations with three concentrations which were 5%, 7.5%, and 10%. All broilers were vaccinated and challenged with H5N1 AI virus after being treated with herb extract. Observations were done on the mortality, antibody titer, and histopathology of lymphoid organs (spleen, thymus and bursa Fabricius). The result of this study indicated that treatment with ethanol-extract formulations of sambiloto, adas, and sirih merah 5% gave the best ability to inhibit mortality, increasing antibody titer, and reduce the damage of lymphoid organ among the other treatments. Keyword: H5N1 avian influenza virus, vaccine, broiler, herbal, lymphoid organ.
POTENSI SAMBILOTO, SIRIH MERAH, DAN ADAS PADA BROILER YANG DIVAKSIN DAN DITANTANG VIRUS AVIAN INFLUENZA H5N1: KAJIAN HISTOPATOLOGI ORGAN LIMFORETIKULAR, MORTALITAS, DAN SEROLOGIS
WYANDA ARNAFIA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SUMBER SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Potensi Sambiloto, Sirih Merah, dan Adas pada Broiler yang Divaksin dan Ditantang Virus Avian Influenza H5N1: Kajian Histopatologi Organ Limforetikular, Mortalitas, dan Serologis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juli 2012
Wyanda Arnafia NIM B04080014
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Judul Skripsi : Potensi Sambiloto, Sirih Merah, dan Adas pada Broiler yang Divaksin dan Ditantang Virus Avian Influenza H5N1: Kajian Histopatologi Organ Limforetikular, Mortalitas, dan Serologis Nama : Wyanda Arnafia : B04080014 NIM
Disetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
drh. H. Agus Setiyono, MS., PhD., APVet NIP.19630810 198803 1 004
drh. Mawar Subangkit NIP.19850522 201012 1 006
Diketahui, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
drh. H. Agus Setiyono, MS., PhD., APVet NIP.19630810 198803 1 004
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Potensi Sambiloto, Sirih Merah, dan Adas pada Broiler yang Divaksin dan Ditantang Virus Avian Influenza H5N1: Kajian Histopatologi Organ Limforetikular, Mortalitas, dan Serologis. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tak langsung khususnya kepada: 1 drh. H. Agus Setiyono, MS., PhD., APVet dan drh. Mawar Subangkit selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan dukungan, waktu, tenaga, dan arahan selama penelitian dan penulisan. 2 Dr. Ir. Etih Sudarnika, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, perhatian, dan semangat selama studi di FKH. 3 Mama, Om, Kak Icha, Chien, Avied, Uud, Cardo, Oby, serta seluruh keluarga tercinta atas do’a, dorongan, semangat, bantuan material maupun spiritual, kasih sayang, serta cinta yang tiada hentinya. 4 Pak Kas, Pak Soleh, Pak Ndang, dan Bibi yang telah membantu selama penelitian. 5 Honeykuh Inggit Radesiyani, dan teman-teman Fairus sebagai teman satu atap. 6 Kak Masda, Kak Sinta, Mbak Ita, dan Hajar sebagai teman satu penelitian. 7 Rida, Meri, Kiki, Diana, dan seluruh teman-teman Avenzoar 45 atas perhatian, kasih sayang, dan persahabatan selama ini. Skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan oleh karena itu penulis terbuka menerima kritik dan saran yang membangun guna penulisan selanjutnya. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Juli 2012
Wyanda Arnafia
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Oktober 1990 di Lahat, Sumatera Selatan sebagai anak kedua dari ayah Abdul Munaf dan ibu Nelfida, Spd. Pendidikan formal penulis dimulai dari SDN 12 Tanjung Paku, Kota Solok, Sumatera Barat (1996-2002). Penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 02 Kota Solok (2002-2005). Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 02 Kota Solok (2005-2008). Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur Undangan Saringan Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi anggota Departemen Pendidikan Badan Eksekutif Mahasiswa Kabinet Katalis (2009-2010), staf Departemen Kajian dan Strategi Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) cabang FKH IPB (2009-2010), Klan Domba Himpunan Minat dan Profesi Hewan Ruminansia (HIMPRO Ruminansia), asisten praktikum Anatomi Veteriner I dan II, serta panitia dalam berbagai acara yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi di FKH IPB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
xiv
PENDAHULUAN....................................................................................
1
Latar Belakang......................................................................................
1
Tujuan ...................................................................................................
2
Manfaat .................................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................
3
Flu Burung (Avian Influenza) ...............................................................
3
Vaksin ...................................................................................................
5
Limpa ....................................................................................................
6
Timus ....................................................................................................
7
Bursa Fabricius .....................................................................................
9
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees).........................................
10
Sirih Merah (Piper crocatum) ..............................................................
12
Adas (Foeniculum vulgare) ..................................................................
14
METODOLOGI PENELITIAN ...............................................................
17
Waktu dan Tempat ...............................................................................
17
Bahan dan Alat Penelitian ....................................................................
17
Kandang Hewan Coba ......................................................................
17
Laboratorium Biosafety Level 3 ........................................................
17
Laboratorium Histopatologi ..............................................................
17
Metode Penelitian .................................................................................
18
Ekstraksi Tanaman Obat dan Pembuatan Formula ...........................
18
Pemeliharaan Hewan Coba ...............................................................
19
Uji Serologis .....................................................................................
19
Pengambilan Sampel Organ..............................................................
21
Pengamatan Histopatologi ................................................................
21
xi
Analisis Data .....................................................................................
22
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................
23
Data Mortalitas .....................................................................................
23
Data Serologis ......................................................................................
25
Histopatologi Organ Limforetikular .....................................................
28
Limpa ................................................................................................
28
Bursa Fabricius .................................................................................
32
Timus ................................................................................................
36
SIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
41
Simpulan ...............................................................................................
41
Saran .....................................................................................................
41
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
42
LAMPIRAN .............................................................................................
49
DAFTAR TABEL Halaman 1 Perlakuan yang diberikan pada tiap kelompok ....................................
19
2 Data mortalitas broiler yang diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dosis 106 EID50/0.1 ml per ekor dengan pemberian formulasi ekstrak tanaman obat selama 21 hari sebelum uji tantang ...
24
3 Hasil uji serologis broiler dengan pemberian formulasi ekstrak tanaman obat selama 21 hari sebelum uji tantang virus AI, divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dosis 106 EID50/0.1 ml per ekor.............................................................................................
25
4 Hasil evaluasi histopatologi limpa ayam yang diberi formulasi ekstrak tanaman obat selama 21 hari sebelum uji tantang virus AI, divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dosis 106 EID50/0.1 ml per ekor ............................................................................
29
5 Hasil evaluasi histopatologi bursa Fabricius ayam yang diberi formulasi ekstrak tanaman obat selama 21 hari sebelum uji tantang virus AI, divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dosis 106 EID50/0.1 ml per ekor.............................................................
32
6 Hasil evaluasi histopatologi timus ayam yang diberi formulasi ekstrak tanaman obat selama 21 hari sebelum uji tantang virus AI, divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dosis 106 EID50/0.1 ml per ekor ............................................................................
37
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Struktur virus influenza ........................................................................
3
2 Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) .........................................
10
3 Rumus bangun andrografolid ...............................................................
11
4 Sirih Merah (Piper crocatum) ..............................................................
13
5 Rumus bangun piperin..........................................................................
14
6 Tanaman Adas (Foeniculum vulgare) ..................................................
15
7 Rumus bangun anetol ...........................................................................
16
8 Histopatologi limpa broiler yang divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dengan pemberian formulasi ekstrak tanaman obat (A. Akuades, B. Formulasi ekstrak tanaman obat 5%, C. Formulasi ekstrak tanaman obat 7.5%, D. Formulasi ekstrak tanaman obat 10%), 7 hari p.i. 1. Nekrosa folikel limfoid, 2. Kongesti, 3. Deplesi folikel limfoid, 4. Splenitis, pewarnaan HE .............................
31
9 Histopatologi bursa Fabricius broiler yang divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dengan pemberian formulasi ekstrak tanaman obat (A. Akuades, B. Formulasi ekstrak tanaman obat 5%, C. Formulasi ekstrak tanaman obat 7.5%, D. Formulasi ekstrak tanaman obat 10%), 7 hari p.i. 1. Peradangan, 2. Deplesi folikel limfoid, 3. Kista, 4. Edema, pewarnaan HE. ........................................
35
10 Histopatologi timus broiler yang divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dengan pemberian formulasi ekstrak tanaman obat (A. Akuades, B. Formulasi ekstrak tanaman obat 5%, C. Formulasi ekstrak tanaman obat 7.5%, D. Formulasi ekstrak tanaman obat 10%), 7 hari p.i. 1. Kongesti, 2. Korteks menipis, 3. Korteks menebal, pewarnaan HE. ......................................................................
39
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Pembuatan Sediaan Histopatologi ..........................................................
49
2 Hasil Uji Anova dan Uji Duncan pada Limpa .......................................
50
3 Hasil Uji Anova dan Uji Duncan pada Bursa Fabricius .........................
51
4 Hasil Uji Anova dan Uji Duncan pada Timus ........................................
51
PENDAHULUAN Latar Belakang Virus flu burung subtipe H5N1 tergolong dalam Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Virus ini pertama kali mengakibatkan wabah pada unggas di tahun 1996 di propinsi Guangdong, Cina. Virus ini kemudian diidentifikasi memiliki sifat zoonotik karena mengakibatkan wabah pada manusia tahun 1997 di Hongkong dengan 18 kasus, 6 diantaranya mengakibatkan kematian. Pada tahun 2003 virus ini kembali muncul. Hingga saat ini keberadaan virus Avian Influenza (AI) subtipe H5N1 masih sangat meresahkan (WHO 2011a). Laporan World Health Organization (WHO) hingga 2 november 2011 menunjukkan bahwa kasus AI subtipe H5N1 yang terjadi pada manusia mencapai 569 kasus dengan 334 kasus diantaranya mengakibatkan kematian. Indonesia merupakan negara yang menempati urutan teratas di dunia dengan jumlah kasus tertinggi (WHO 2011c). Analisis epidemiologi yang dilakukan oleh Food And Agriculture Organization (FAO), Office International des Epizooties (OIE), dan WHO memperlihatkan virus ini telah menjadi endemik di wilayah Indonesia (FAO, OIE, WHO 2011) dan memiliki potensi menjadi pandemik (Pappaioanou 2009). Wabah AI juga mengakibatkan kerugian yang besar di bidang ekonomi. Fenomena ini menuntut diupayakannya usaha-usaha dalam pencegahan dan pengendalian terjadinya wabah yang berkelanjutan. OIE dan FAO menyatakan bahwa hewan yang berperan penting dalam trasmisi dan penyebaran HPAI H5N1 adalah unggas domestik dan unggas liar (OIE 2006). Hingga saat ini HPAI H5N1 masih bersirkulasi pada peternakan unggas sehingga mengakibatkan ancaman penyakit pada manusia dan hewan (FAO, OIE, WHO 2011). Faktor risiko utama penyebaran AI ke manusia adalah melalui interaksi langsung maupun tidak langsung dengan unggas yang terinfeksi baik hidup maupun mati ataupun melalui lingkungan yang terkontaminasi. Pengontrolan sirkulasi virus AI pada peternakan merupakan upaya penting dalam pencegahan peyebarannya pada manusia (WHO 2011b). Upaya yang telah dilakukan dalam pengendalian dan pencegahan kasus flu burung adalah melalui pengobatan antiviral dan vaksinasi. Obat-obat antiviral
2
yang digunakan antara lain amantadin, rimantadin, zanamifir, dan oseltamivir (tamiflu). Penggunaan obat-obatan ini dilaporkan telah menimbulkan efek samping dan melahirkan strain virus yang resisten terhadap obat-obatan antiviral. Sekuensing genetik yang dilakukan pada H5N1 yang diisolasi dari Thailand dan Vietnam memperlihatkan karakteristik genetik yang resisten terhadap amantadin dan rimantadin (CDC 2004). Studi pada virus AI H5N1 yang diisolasi di Indonesia tahun 2005 menunjukkan penurunan sensitifitas terhadap oseltamivir (McKimmBreschkin JL et al. 2007). Isolat virus AI H5N1 yang berasal dari manusia juga menunjukkan penurunan sensitivitas terhadap zanamivir (Monto et al. 2006). Indonesia sebagai negara tropis menyimpan banyak kekayaan hayati yang belum dimanfaatkan sepenuhnya, termasuk tanam-tanaman yang berpotensi sebagai obat-obatan. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees), sirih merah (Piper crocatum), dan adas (Foeniculum vulgare) merupakan contoh tanaman obat yang tumbuh subur di Indonesia. Tanaman-tanaman tersebut telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai obat beberapa macam penyakit. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ketiga tanaman obat tersebut mengandung zat yang mampu berperan sebagai antivirus dan imunomodulator. Berdasarkan fakta tersebut, tanaman obat ini memiliki
potensi untuk
dikembangkan dalam penanggulangan flu burung. Tujuan Mengetahui tingkat mortalitas, serologis, dan gambaran histopatologi organ limfoid (limpa, bursa Fabricius, dan timus) broiler yang divaksin dan ditantang virus AI H5N1 serta diberi formula ekstrak sambiloto, sirih merah, dan adas konsentrasi bertingkat (5%, 7.5%, 10%). Manfaat Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
informasi
sebagai
pertimbangan konsentrasi formulasi tanaman obat yang efektiuf dalam menghambat infeksi virus flu burung pada unggas dan mampu meningkatkan daya tahan unggas terhadap infeksi virus AI H5N1.
TINJAUAN PUSTAKA Flu Burung (Avian Influenza) Flu burung atau avian influenza merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus Avian Influenza (AI) tipe A yang digolongkan dalam famili Orthomyxoviridae. Partikel virus berbentuk pleomorfik dengan ukuran 100 nm hingga 300 nm. Virus ini memiliki amplop yang merupakan derivat dari lipid bilayer yang berasal dari membran sel inang selama proses budding (Mubareka & Palese 2011). Virus influenza memiliki genom untai tunggal RNA berpolaritas negatif yang dibagi menjadi delapan segmen (Osterhaus et al. 2008).
Gambar 1 Struktur virus influenza (Haaheim 2010). Virus AI diklasifikasikan berdasarkan antigen permukaannya yaitu Haemagglutinin (HA) dan Neuraminidase (NA). Hingga saat ini, telah teridentifikasi 16 jenis HA (H1-H16) dan 9 jenis NA (N1-N9) yang dapat saling berkombinasi (seperti H1N1 dan H5N1) (Osterhaus et al. 2008). Virus AI memiliki kemampuan tinggi dalam bermutasi. Proses mutasi terjadi melalui mekanisme antigenic drift dan antigenic shift. Antigenic drift merupakan perubahan yang terjadi secara minor dan perlahan melalui proses mutasi titik. Antigenic shift atau disebut juga genetic reassortment terjadi melalui proses tukar menukar materi genetik antara dua atau lebih virus influenza. Proses ini terjadi jika dua atau lebih virus influenza menginfeksi sel yang sama. Proses tukar-menukar materi genetik
4
terjadi karena virus AI memiliki genom yang segmental. Proses mutasi yang terjadi pada virus AI menyebabkan virus ini memiliki potensi besar dalam menimbulkan pandemi (Pappaioanou 2009). AI dibagi menjadi dua kelompok yaitu Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) dan Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI). LPAI menginfeksi unggas domestik namun tidak mengakibatkan gejala klinis yang parah, sedangkan HPAI mengakibatkan penyakit yang parah secara tiba-tiba, penyebaran yang cepat, dan angka kematian yang tinggi (mencapai 100% dalam 48 jam) (Sellwood 2010). Semua subtipe virus AI awalnya bersifat Low Pathogenic, namun kemampuan mutasi menyebabkan virus ini menjadi Highly Pathogenic. Virus AI subtipe H5 dan H7 memiliki kecendrungan besar mangalami mutasi menjadi HPAI (Osterhaus et al. 2008). Virus AI yang endemik di Indonesia adalah HPAI H5N1 (FAO, OIE, WHO 2011). Virus ini memiliki kemampuan menginfeksi mamalia lain seperti babi, kuda, kucing bahkan manusia (Osterhaus et al. 2008). Virus AI subtipe H5N1 pertama kali menginfeksi manusia pada tahun 1997 di Hong Kong, Cina. Virus ini muncul kembali pada tahun 2003 dan 2004 (WHO 2011b). Inang alami virus H5N1 adalah unggas liar yang hidup di air (Yen et al. 2008).Virus ini hidup pada saluran pernafasan dan usus serta tidak mengakibatkan penyakit pada inang alaminya (Yen & Webster 2009). Babi diyakini berperan pada transmisi antar spesies virus H5N1. Virus influenza unggas dan manusia memiliki kemampuan menginfeksi babi. Virus ini mengalami genetic reassorment di dalam tubuh babi sehingga menghasilkan strain baru yang sangat patogen bagi manusia dan unggas. Virus yang terbentuk memiliki gen campuran dari virus yang menginfeksi babi, unggas, dan manusia sehingga memungkinkan terjadinya transmisi antar spesies (Brown 2008). Namun, hingga saat ini transmisi virus dari manusia ke manusia belum pernah dilaporkan (FAO, OIE, WHO 2011). Unggas yang terinfeksi mengeluarkan virus melalui saluran respirasi, konjungtiva dan feses. Transmisi terjadi melalui interaksi langsung antara hewan yang terinfeksi dengan hewan yang rentan. Transmisi juga dapat terjadi melalui kontak tidak langsung melalui droplet atau kontaminasi pada peralatan.
5
Gejala klinis infeksi virus H5N1 pada unggas antara lain lesu, edema dan sianosis pada pial dan kaki, serta diare. Gejala syaraf juga terlihat pada uggas yang terinfeksi seperti gejala ataksia, tortikolis, dan kejang. Kematian mendadak tanpa gejala juga dapat terjadi (Kalthoff et al. 2010). Kelainan patologis yang disebabkan oleh virus ini antara lain edema, hiperemi, dan hemoragi yang terjadi pada limpa, miokardium, paru-paru, hati, ginjal, dan otak. Degenerasi parenkim dan nekrosa terjadi pada limpa, ginjal, dan hati. Infeksi virus ini juga mengakibatkan terjadinya multi fokal lomfoid nekrosis pada limpa, timus, dan bursa Fabricius. Vaksin Vaksin adalah suspensi mikroorganisme yang dilemahkan atau dimatikan, atau protein antigenik dari mikroorganisme yang diberikan untuk mencegah meringankan atau mengobati penyakit (Dorland 2010). Vaksin memiliki kemampuan menggertak pembentukan antibodi. Antibodi merupakan protein globular yang melawan infeksi dengan cara berikatan dengan epitop yang terdapat di permukaan agen penginfeksi (Frank 2002). Antibodi berperan dalam menetralisasi mikroorganisme dengan mengaktifasi sistem komplement dan atau merangsang opsonisasi oleh Natural Killer (NK) sel, makrofag, dan monosit (Schijns et al. 2008). Vaksin dibedakan menjadi vaksin mati (inactivated) dan vaksin hidup (live attenuated). Vaksin hidup merupakan vaksin yang berisi organisme hidup yang telah dilemahkan sehingga memiliki kemampuan replikasi yang terbatas. Vaksin hidup mampu merangsang imunitas yang kuat dan bertahan dalam waktu yang lama, namun vaksin ini sangat rentan terhadap kontaminasi organisme lain seperti mikoplasma. Selain itu vaksin hidup memiliki kemungkinan tinggi untuk kembali memiliki virulensi seperti sebelumnya. Vaksin mati berisi organisme yang telah diinaktivasi dengan bahan-bahan kimia atau pemanasan. Vaksin mati memiliki keuntungan karena tidak mungkin kembali memiliki sifat virulensi namun mampu menggertak pembentukan antibodi. Vaksin ini relatif mudah dalam penyimpanan karena kemungkinan kontaminasi yang minimal. Namun kekebalan yang terbentuk oleh vaksin inaktif
6
relatif rendah sehingga pemberian vaksin mati perlu dikombinasikan dengan pemberian adjuvan. Antigen permukaan merupakan bagian yang berperan dalam merangsang pembentukan antibodi. Vaksin influenza menginduksi antibodi primer yang melawan glikoprotein permukaan virus yaitu HA dan NA. Antibodi yang menetralisasi HA memiliki peranan yang lebih penting dalam pencegahan penyakit, sedangkan antibodi yang melawan NA mampu mengurangi keparahan penyakit (Gerhard 2001; Anthony et al. 2009). Limpa Limpa merupakan organ limfoid sekunder yang berperan dalam menyaring dan membuang partikel antigen. Pada mamalia limpa juga berperan dalam menyimpan eritrosit dan menghancurkan eritrosit yang sudah tua, namun limpa pada unggas tidak memiliki peran yang berarti sebagai tempat penyimpanan eritrosit. Limpa pada unggas memiliki peran yang lebih penting pada sistem pertahanan dibanding limpa pada mamalia karena lifonodus dan pembuluh limfe unggas kurang berkembang (Oláh & Vervelde 2008). Limpa secara histologis tersusun dari beberapa bagian yaitu stroma (terdiri dari kapsula dan trabekula), parenkim (terdiri dari pulpa merah dan pulpa putih), dan daerah marginal. Kapsula merupakan pelindung limpa yang terbentuk dari kolagen dan serabut retikuler. Trabekula merupakan struktur kapsula yang menjulur hingga ke bagian dalam limpa. Trabekula pada limpa unggas sangat sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali (Oláh & Vervelde 2008). Pulpa merah berfungsi sebagai tempat penyimpanan eritrosit dan tempat penghancuran antigen. Pulpa merah merupakan bagian terbesar limpa, berwarna merah dan mengandung banyak darah yang disimpan dalam jaringan retikuler. Pulpa merah terbentuk dari anastomose sinus venosus yang membentuk bingkai pulpa. Bingkai limpa terletak diantara sinus membentuk jalinan tiga dimensi yang terdiri dari serabut retikuler dengan sebaran sel-sel retikuler, eritrosit, makrofag, limfosit, sel plasma, dan leukosit lainnya. Penjuluran sel-sel retikuler cenderung membentuk seperti lorong yang berfungsi untuk menyalurkan darah celah antar endotel dalam dinding sinus.
7
Pulpa putih berperan dalam proses tanggap kebal. Pulpa putih merupakan jaringan limfoid pekat yang dikelilingi oleh selubung periarterial, berbentuk lingkaran atau lonjong dengan interval tertentu. Buluh darah utama yang menuju limpa adalah Arteria lienalis cranialis dan caudalis dan beberapa cabang kecil dari A. gastrica dan hepatica (Oláh & Vervelde 2008). Arteri akan bercabang menjadi bagian yang lebih kecil yaitu arteriol. Setiap arteriol dikelilingi oleh selubung jaringan limfoid periarteriolar. Selubung limfoid periarteriolar sebagian besar terdiri dari sel T. Folikel primer melintasi selubung limfoid, folikel ini sebagian besar terdiri dari sel B. Bila terjadi rangsangan antigen, folikel ini membentuk pusat germinal dan demikian menjadi folikel sekunder. Setiap folikel dikelilingi oleh lapisan sel T yang disebut dengan zona mantel. Limfosit pada limpa berasal dari limfosit sirkulasi yang masuk ke limpa melalui sinus venosus dan tinggal di daerah tertentu pada pulpa putih. Daerah marginal merupakan daerah diantara pulpa merah dan pulpa putih. Daerah ini berupa jalinan retikuler, menerima darah yang berasal dari pulpa putih dan beberapa kapiler terminal pulpa merah. Darah mengalir perlahan menuju sinus venosus pulpa merah. Daerah marginal berperan dalam memproses antigen yang masuk ke limpa (Oláh & Vervelde 2008). Timus Timus merupakan organ limfoid primer pada unggas, yang terletak sejajar dengan saraf vagus dan vena jugularis interna. Pada setiap sisi leher ada 7-8 lobus terpisah dan membentang dari vertebra servikalis ketiga hingga segmen thoracal atas. Besarnya timus relatif bervariasi, ukuran relatif yang paling besar terdapat pada hewan yang baru lahir sedangkan ukuran absolutnya terbesar pada waktu pubertas. Timus bertahan selama kurang lebih 17 minggu setelah menetas dan mengalami involusi setelah kematangan sexual. Sesudah dewasa timus mengalami atrofi pada parenkimnya dan korteks diganti oleh jaringan lemak (Oláh & Vervelde 2008). Timus terdiri dari sejumlah lobus berisi sel epitelial yang tersusun longgar. Setiap lobus dibatasi oleh kapsul jaringan ikat. Lobus terdiri dari korteks dibagian luar dan medula di bagian dalam. Korteks terdiri dari sel limfosit (timosit) yang
8
padat dan pekat sehingga sel retikuler tidak terlihat jelas. Sel limfosit yang terdapat di korteks merupakan sel limfosit yang belum matang. Timus tidak memiliki pusat kecambah, namun proses mitosis tetap terjadi. Timosit bervariasi dalam ukuran dan sifat sitologiknya. Sel-sel timosit besar banyak terdapat pada daerah subkapsuler tiap lobus, berproliferasi cepat dan beberapa menjadi sel limfosit T. Medulla strukturnya mirip korteks tetapi sel timositnya lebih sedikit sehingga sel retikular tampak jelas. Sel-sel limfosit yang terdapat pada medulla merupakan limfosit yang telah matang (Pathak & Palan 2005). Khas pada medula terdapat badan timus (Korpuskel Hassal). Korpuskel Hassal berbentuk lonjong dengan sel-sel tersusun kosentrik dan yang ditengah mengalami degenerasi total. Proses degenerasi sel dari pinggir ke tengah mirip kornifikasi epitel pipih banyak lapis. Pada ayam struktur korpuskel Hassal kecil, dan kurang berkembang (Oláh & Vervelde 2008). Korpuskel Hassal berisi epitel yang telah mengalami keratinisasi, leukosit, dan sel debris. Sel epitel yang terdapat di timus diduga mengalami pergantian seperti halnya epitel kulit. Korpuskel Hassal diduga berperan sebagai tempat endositosis, degradasi, dan penghancuran epitel yang rusak oleh limfosit (Pathak & Palan 2005). Timus berfungsi sebagai sumber limfosit asal timus (limfosit T). Limfosit T ini sebenarnya berasal dari sumsum tulang namun diproses di timus sesudah ditarik oleh hormon yang disekresi oleh sel epitelial timus. Sel limfosit ini sangat cepat membelah di dalam timus, pembelahan diri ini tidak dipengaruhi oleh keberadaan antigen. Sel baru yang dihasilkan oleh timus mati di dalam timus itu sendiri, hanya sebagian kecil yang berpindah dan membuat koloni sel T pada organ limfoid sekunder. Makrofag yang terdapat pada perbatasan korteks dan medula bertugas memfagositosis timosit yang mati tersebut (Pathak & Palan 2005). Timus juga berfungsi sebagai kelenjar endokrin. Bermacam-macam hormon disekresikan oleh sel epitelial timus diantaranya timosin, timopoietin, dan Fecteur Thymique Serique (FTS). Hormon-hormon ini berperan dalam pendewasaan sel T. Sel T berperan dalam menginduksi pembentukan antibodi dan sitotoksisitas (Pathak & Palan 2005).
9
Bursa Fabricius Bursa Fabricius adalah organ limfoepitelial yang hanya terdapat pada unggas. Organ ini berasal dari pertemuan ektoendodermal. Struktur bursa Fabricius berbentuk bulat seperti kantong dan berlokasi di dorsal kloaka di antara kloaka dan sakrum. Bursa mencapai ukuran maksimalnya sekitar satu sampai dua minggu sesudah menetas dan sesudah itu mengalami infolusi secara perlahanlahan. Bursa Fabricius mulai mengalami regresi saat dewasa kelamin. Ukurannya berbanding terbalik dengan ukuran testis dan adrenal (Davidson 2008). Pertumbuhan maksimum bursa Fabricius dicapai saat ayam berumur 4-12 minggu dan mengalami regresi secara lengkap pada waktu mencapai kematangan seksual yaitu pada umur antara 14-20 minggu. Pada tahap ini bursa akan mengkerut, terjadi pembentukan jaringan ikat yang lebih intensif, deretan epitel menjadi melipat-lipat, parenkimnya digantikan dengan jaringan lemak dan sel-sel limfoid dalam folikel digantikan oleh kista. Bursa akan mengalami involusi lebih cepat karena adanya infeksi agen-agen yang merusak sel B seperti Infectius Bursal Disease Virus (IBDV) serta penggunaan kortikosteroid dan androgen (Oláh & Vervelde 2008). Bursa terdiri atas sel limfoid yang terbalut dalam jaringan epitelial. Jaringan epitelial ini membatasi suatu kantong berongga yang dihubungkan dengan kloaka oleh suatu saluran. Di bagian dalam kantong, terdapat lipatan besar epitel yang menjulur ke dalam lumen. Folikel sel limfoid tersebar melalui lipatan epitel tersebut. Dinding bursa membentuk divertikulum bercabang yang dibalut oleh epitel silindris banyak lapis pada puncak dan silinder sebaris pada bagian dasar divertikulum. Langsung di bawah epitel terdapat deretan folikel limfoid yang memiliki pusat kecambah. Dinding dalam terdiri jaringan ikat yang mengadung otot polos (Oláh & Vervelde 2008). Setiap folikel limfoid terdiri atas korteks dan medula. Korteks mengandung limfosit, sel plasma dan makrofag. Pada pertemuan kortiko-medular terdapat membran basal dan jaringan-jaringan kapiler yang bagian dalamnya adalah sel epitelial. Medula berisi sel epitelial yang berasal dari divertikulum kloaka dan selsel haematopoietik. Sel-sel haematopoietik tersebut terdiri dari dendritic cell, sel
10
limfoid, makrofag, dan beberapa sel plasma yang terdapat pada bursa yang mengalami involusi (Oláh & Vervelde 2008). Bursa Fabricius berfungsi sebagai organ limfoid primer tempat terjadinya pendewasaan dan diferensiasi sel limfosit B yang berperan dalam pembentukan antibodi. Bursa juga memiliki peran sebagai organ limfoid sekunder yang dapat menangkap antigen dan membentuk antibodi (Ratcliffe 2008). Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Sambiloto tergolong tanaman perdu yang tumbuh di berbagai habitat, seperti pinggiran sawah, kebun, atau hutan. Sambiloto memiliki batang berkayu berbentuk bulat dan segi empat serta memiliki banyak cabang (monoplodial). Daunnya tunggal saling berhadapan, berbentuk pedang (lanset) dengan tepi rata (integer) dan permukaannya halus serta berwarna hijau. Bunganya berwarna putih keunguan. Bunga berbentuk bulat panjang dengan pangkal dan ujung lancip. Di India bunga dan buah bisa dijumpai pada bulan Oktober atau antara Maret sampai Juli. Di Australia bunga dan buah dapat dijumpai antara bulan November sampai Juni, sedang di Indonesia bunga dan buah dapat ditemukan sepanjang tahun (Balitro 2008).
Gambar 2 Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) (Morad 2011). Taksonomi sambiloto berdasarkan NCBI (2011a) adalah: Filum
: Steptophyta
Subkelas : Asterids Ordo
: Lamiales
11
Famili
: Acanthaceae
Subfamili : Acanthoideae Genus
: Andrographis
Spesies
: Andrographis paniculata Ness
Bahan aktif utama yang terdapat pada sambiloto adalah diterpenoid, flavanoid dan polifenol (Xu et al. 2010; Koteswara 2004). Andrografolid (C20H30O5) adalah diterpenoid utama dalam Andrographis paniculata Nees yang terdapat pada seluruh bagian dari tanaman kering, batang, dan daun melalui ekstraksi menggunakan metanol dan etanol (Cheung et al. 2001; Pholphana et al. 2004). Andrografolid paling banyak terdapat di daun dan dapat dengan mudah diisolasi dari ekstrak tanaman mentah sebagai kristal padat (Chao & Lin 2010). Rumus bangun andrografolid dapat dilihat pada Gambar 3. Salah satu derivat andrografolid yaitu 14-alpha-lipoyl andrographolide memiliki kemampuan melawan infeksi virus influenza H5N1 dengan cara menghambat pelekatan haemaglutinin virus dengan reseptor yang ada pada sel (Chen et al. 2009).
Gambar 3 Rumus bangun andrografolid (NCBI 2006). Andrografolid juga memiliki aktifitas sebagai imunomodulator. Fungsi imunomodulator adalah memperbaiki sistem imun yaitu dengan cara stimulasi (imunostimulan), menekan atau menormalkan reaksi imun yang abnormal (imunosupresan) (Suhirman & Winarti 2007). Andrografolid memperlihatkan
12
kemampuan dalam meningkatkan proliferasi dan sekresi interleukin (IL)-2 pada human Peripheral Blood Lymphocyte (hPBL) (Kumar et al. 2004). Andrografolid juga memiliki aktifitas dalam meningkatkan sekresi IL-2 dan interferon (IFN)γ oleh sel T dan merangsang produksi limfosit T sitotoksik (Sheeja & Kuttan 2007a; Sheeja & Kuttan 2007b). Di sisi lain, ketika sel T mencit percobaan dirangsang dengan mitogen, pemberian andrografolid mengakibatkan penurunan IL-2 (Burgos et al. 2005) berkemungkinan melalui penghambatan kerja Nuclear Factor Of Activated T cells (NFAT) dan meningkatkan fosforilasi Jun NH2-Terminal Kinase (JNK) (Carretta et al. 2009). Andrografolid mengurangi peradangan yang yang dimediasi oleh dopaminergic neurodegeneration pada kultur sel syaraf mesensephalon dengan menghambat aktivasi mikroglial dan produksi faktorfaktor proinflamasi (Wang et al. 2004). Sebuah studi klinis menunjukkan bahwa ekstrak A. paniculata (30% andrografolid) mampu mengurangi gejala klinis dan parameter imunologi seperti imunoglobulin serum dan komponen-komponen komplemen pada pasien yang menderita rheumatoid arthritis selama pengobatan 14 minggu (Burgos et al. 2009). Sirih Merah (Piper crocatum) Sirih merah merupakan tanaman merambat yang memiliki daun berbentuk hati, berwarna merah keperakan dan mengkilat serta bertangkai. Tangkainya tumbuh berselang-seling dan merambat pada pohon atau pagar. Ciri khas tanaman ini adalah berbatang bulat berwarna hijau keunguan dan tidak berbunga. Daun sirih merah akan berngeluarkan lendir dan aroma yang wangi jika daunnya disobek (Manoi 2007).
13
Gambar 4 Sirih Merah (Piper crocatum) (Manoi 2007). Taksonomi sirih merah berdasarkan NCBI (2011b) adalah: Superkingdom: Eukaryota Kingdom
: Viridiplantae
Filum
: Streptophyta
Ordo
: Piperales
Famili
: Piperaceae
Genus
: Piper
Spesies
: Piper crocatum
Secara empiris sirih merah dimanfaatkan untuk menurunkan kadar gula darah, anti tumor, jantung koroner, asam urat, hipertensi, dan peradangan. Sirih merah mengandung flavonoid, polevenolad, alkaloid, tanin, dan minyak atsiri. Senyawa flavonoid dan polevenolad bersifat anti kangker, antioksidan, antidiabetik, antiseptik, dan antiinflamasi (Setiyono & Bermawie 2010). Piperin merupakan alkaloid utama yang terdapat pada tanaman dengan genus Piper (Kumar et al. 2007). Rumus bangun piperin dapat dilihat pada Gambar 5. Piperin memiliki kemampuan sebagai imunomodulator yang terlihat dari kemampuannya menghambat atropi timus dengan pencegahan apoptosis timosit (Pathah & Khandelwal 2009), kemampuan sitoprotektif sel-sel limpa (Pathah & Khandelwal 2007), dan meningkatkan kerja sistem imun baik humoral maupun seluler (Pathah & Khandelwal 2009). Aktivitas imunostimulan dilakukan melalui peningkatkan jumlah sel leukosit (Sunila & Kuttan 2004). Hasil penelitian
14
lainnya memperlihatkan daya kerja piperin sebagai agen antipiretik, analgesik, insektisidal, dan anti-inflamasi. Mekanisme kerja antiinflamasi piperin dilakukan melalui penghambatan pada perlekatan neutrofil pada endotel pembuluh darah (Kumar et al. 2007).
Gambar 5 Rumus bangun piperin (NCBI 2004).
Adas (Foeniculum vulgare) Adas merupakan tanaman yang berasal dari Eropa Selatan dan daerah Mediterania, yang kemudian menyebar cukup luas di berbagai negara seperti Cina, Meksiko, India, Itali, Indian, dan termasuk negara Indonesia. Tanaman ini dicirikan dengan bentuk herba tahunan, hingga tanaman dapat mencapai 1-2 m dengan percabangan yang banyak, batang beralur. Daun berbagi menyirip, berbentuk bulat telur sampai segi tiga dengan panjang 3 dm, bunga berwarna kuning membentuk kumpulan payung yang besar. Dalam satu payung besar terdapat sekitar 15-40 payung kecil, dengan panjang tangkai payung 1-6 cm. Bunga memiliki panjang 3.5-4 mm. Dalam masing-masing biji terdapat tabung minyak yang terletak berselang-seling. Pada waktu muda biji adas bewarna hijau kemudian kuning kehijauan, dan kuning kecokelatan pada saat panen (Rusmin & Melati 2007).
15
Gambar 6 Tanaman Adas (Foeniculum vulgare) (Leonard 2005). Taksonomi adas berdasarkan NCBI (2011c) adalah: Superkingdom : Eukaryota Kingdom
: Viridiplantae
Pilum
: Streptophyta
Subkelas
: Asterids
Ordo
: Apiales
Subordo
: Apiineae
Famili
: Apiaceae
Subfamil
: Apioideae
Genus
: Foeniculum
Spesies
: Foeniculum vulgare
Kandungan utama ekstrak F. vulgare adalah trans-anetol, estragol, fenkon, dan limonen (Shahat et al. 2011). Trans-anetol merupakan komponen tertinggi dalam biji F. vulgare. Konsentrasi trans-anetol pada biji sangat dipengaruhi oleh lokasi penanaman (Raal et al. 2011).
16
Gambar 7 Rumus bangun anetol (NCBI 2005). Ekstrak F. vulgare dilaporkan memiliki aktivitas sebagai antifungi (Mimica et al. 2003), antioksidan, dan antimikroba (Shahat et al. 2011; Miguel et al. 2010). Anetol berperan sebagai imunomodulator melalui kemampuannya menekan proliferasi limfosit T dan produksi interleukin (IL)-2 dengan cara menghambatan kerja Nuclear Factor Of Activated T-cells (NF-AT) dan Activator Protein-1 (AP-1) (Yea et al. 2006). Ekstrak F. vulagare terutama anetol juga memperlihatkan kemampuan sebagai antitrombosis dengan kemampuannya sebagai antiplatelet dan vasorelaksan (Tognolini et al. 2007).
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2010 sampai April 2011 bertempat di Kandang Hewan Laboratorium dan Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, serta di fasilitas Biosafety Level 3 (BSL 3) PT. Vaksindo Satwa Nusantara. Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba Penelitian ini menggunakan 32 ekor Day Old Chick (DOC) broiler strain Cobb. Bahan yang digunakan adalah pakan ayam, air minum, ekstrak etanol sambiloto, sirih merah, dan adas konsentrasi 5%, 7.5%, dan 10%, vaksin Newcastle Disease (ND), vaksin Infectius Bursal Disease (IBD), vaksin Avian Influenza (AI). Alat yang digunakan adalah kandang hewan coba terbuat dari triplek, wadah pakan dan minum ayam, lampu, botol ekstrak, eppendorf, spidol, gelang plastik penanda, kertas label, dan syringe 1 ml. Laboratorium Biosafety Level 3 Bahan yang digunakan adalah Neutral Buffered Formaldehyde (NBF)10%, dan virus AI strain H5N1/Ngk/2003. Virus yang digunakan diperoleh dari PT. Vaksindo Satwa Nusantara, Cicadas, Gunung Putri, Bogor. Alat yang digunakan adalah syringe 1 ml, pinset anatomis, gunting lurus, botol plastik wadah organ, kertas label, dan spidol. Laboratorium Histopatologi Bahan yang digunakan adalah preparat organ limpa, timus, dan bursa Fabricius, xylene, etanol 70%, 80%, 90%, 96%, dan etanol absolut, lithium carbonate, parafin, Mayer Haematoksilin serta Eosin Stock 1%.
Alat yang
digunakan adalah keranjang jaringan, pinset, cetakan parafin, inkubator, mikrotom, mikroskop cahaya, image analisis (imageJ®), dan alat tulis.
18
Metode Penelitian Ekstraksi Tanaman Obat dan Pembuatan Formula Ekstrak tanaman obat didapatkan dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balitro) Bogor dalam bentuk larutan. Bahan baku tanaman dipanen dari koleksi plasma nutfah tanaman obat di kebun lingkup Balitro. Cara pemanenan dilakukan sesuai dengan jenis tanaman. Sirih merah dan sambiloto dipanen dengan cara memetik daunnya dan adas dengan memanen buahnya. Kegiatan pasca panen dilakukan di laboratorium Fisiologi Hasil Balitro Bogor. Prosedur pembuatan ekstrak tanaman obat adalah sortasi, pencucian, pengeringan, penggilingan, dan ekstraksi. Sortasi dilakukan untuk memisahkan bagian tanaman yang rusak dan yang baik. Pencucian dilakukan menggunakan air mengalir sampai bersih, setelah dicuci ditiriskan dan diiris tipis-tipis. Pengeringan dilakukan dengan menjemur di bawah sinar matahari dengan ditutup kain hitam dan dilanjutkan dengan oven pada 40°C sampai kadar air sesuai dengan standar. Masing-masing bahan kemudian digiling menggunakan alat penggiling dengan ukuran 60 mesh. Bahan yang sudah digiling kemudian diayak lalu ditimbang dan dimasukkan ke dalam ekstraktor, setelah itu ditambahkan dengan etanol 95% sebanyak 5 kali berat bahan dengan perbandingan 1:5 (bahan : pelarut) dan diaduk selama 2 jam dengan pengaduk listrik, kemudian didiamkan satu malam. Keesokan harinya disaring dengan kain flanel untuk mendapatkan filtrat. Ampas dari hasil saringan direndam kembali dengan etanol sebanyak 3 kali jumlah bahan dan diaduk selama 30 menit, lalu disaring. Filtrat dari hasil saringan pertama dan kedua disatukan. Selanjutnya filtrat diuapkan dengan vacuum rotary evaporator (alat penguap) dengan tekanan putaran rendah sehingga didapatkan ekstrak kental, kemudian dilanjutkan penimbangan ekstrak untuk membuat formula yang digunakan dalam penelitian. Formula
yang
digunakan
dalam
penelitian
dibuat
dengan
cara
mencampurkan ekstrak etanol sambiloto, adas, dan sirih merah. Perbandingan konsentrasi kandungan zat aktif dalam masing-masing ekstrak tanaman obat disusun berdasarkan metode penelitian yang dilakukan Setiyono et al. (2010).
19
Semua bahan formula ditambah dengan emulsifer tween-80, antioksidan, asam askorbat sebagai penstabil, pengencer digunakan air bersih. Penetuan kadar komponen kimia dalam formula dilakukan dengan menggunakan metode Gas Chromatography Mass Spectrophotometry (GC-MS). Pemeliharaan Hewan Coba Sebanyak 32 ekor DOC broiler strain Cobb dengan berat rata-rata 30 gram dipelihara di fasilitas kandang Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Ayam diberi makan dan minum ad libitum dan diadaptasikan selama 6 hari. Ayam dikelompokkkan menjadi empat kelompok. Masing-masing kelompok berisi 8 ekor ayam. Perlakuan pada tiap kelompok disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Perlakuan yang diberikan pada tiap kelompok Kelompok Kontrol Formula 5% Formula 7.5% Formula 10%
Perlakuan yang Diberikan Air minum biasa Ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi andrografolid, piperin, dan anetol masing-masing 5.0% dalam formula Ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi andrografolid, piperin, dan anetol masing-masing 7.5% dalam formula Ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi andrografolid, piperin, dan anetol masing-masing 10% dalam formula
Ayam dicekok 0.5 ml ekstrak tanaman obat dalam bentuk formulasi setiap hari mulai dari umur 7 hari hingga berumur 28 hari. Pemberian vaksin ND dilakukan saat ayam berumur 4 hari. Vaksin ND yang digunakan adalah vaksin live yang diberikan dengan cara tetes mata dan tetes hidung. Pemberian vaksin IBD dilakukan saat ayam berumur 11 hari diberikan melalui air minum. Pemberian vaksin AI killed dilakukan saat ayam berumur 21 hari dengan rute pemberian subkutan di leher bagian belakang dengan dosis 50 PD50/0.5 ml/ekor. Ayam yang telah berumur 28 hari diberi air minum biasa hingga berumur 44 hari. Uji Serologis Uji serologis yang dilakukan adalah uji hemaglutinin inhibisi (HI). Uji HI digunakan untuk menghitung titer antibodi terhadap virus AI H 5N1. Pengambilan darah dilakukan sebelum ayam divaksin AI, 23 hari setelah ayam divaksin AI, dan hari terakhir masa observasi setelah ayam ditantang virus AI.
20
Pengambilan darah dilakukan melalui vena brachialis sebanyak 1-2 ml, kemudian darah diinkubasi pada suhu ruang selama kira-kira 12 jam atau sampai serum terpisah dari darah. Serum yang diperoleh disimpan dalam eppendorf dan dimasukkan pada lemari es bersuhu 4°C. Uji HI dilakukan dengan mengambil sebanyak 0.025 ml Phosphate Buffered Saline (PBS) pH 7.2 dimasukkan kedalam lubang-lubang cawan mikro 60 lubang dengan dasar berbentuk V. Serum sebanyak 0.025 ditambahkan ke dalam lubanglubang tersebut. Serum positif dan serum sampel dimasukkan pada lubang pertama. Lubang kedua hingga lubang ke-11 diberi serum dengan pengenceran kelipatan dua. Lubang ke-12 diisi sel darah merah sebagai kontrol. Selanjutnya 0.025 ml antigen virus AI H5N1 sebesar 4 Haemaglutination Unit (HAU) ditambahkan ke dalam setiap lubang kecuali pada lubang terakhir yang berisis sel darah merah. Setiap lubang ditambahkan 0.025 ml PBS dan dicampur dengan alat pencampur hingga 30 detik. Kemudian diinkubasi pada suhu 20°C selama 40 menit. Selanjutnya 0.025 ml Sel Darah Merah (SDM) 1% ditambahkan pada setiap lubang, dicampur selama 30 detik dan diinkubasi pada suhu 20°C selama 40 menit. Interpretasi hasil titer HI ditunjukkan pada pengenceran serum tertinggi yang masih mampu menginhibisi aglutinasi sel darah merah pada antigen 4 HAU. Inhibisi ditetapkan dengan melakukan pengamatan sel darah merah pada lubanglubang cawan mikro yang dibandingkan dengan dengan sel darah merah kontrol.
Rataan titer antibodi dihitung dengan menggunakan Geometric Mean Titre (GMT) dengan rumus : Log 2 GMT = Keterangan : N = Jumlah contoh serum yang diamati t = Titer antibodi pada pengenceran tertinggi (yang masih dapat menghambat aglutinasi sel darah merah) S = Jumlah contoh serum yang bertiter t n = Titer antibodi pada sampel ke-n
21
Uji Tantang Virus H5N1 Uji tantang dilakukan pada saat ayam berumur 46 hari di fasilitas BSL 3 milik PT. Vaksindo Satwa Nusantara di Cicadas, Gunung Putri, Bogor. Ayam ditantang dengan virus AI strain H5N1/Ngk/2003 secara intranasal dengan dosis 106 EID50/0.1 ml per ekor. Pengamatan dilakukan selama 6 hari pasca infeksi. Pengambilan Sampel Organ Pengambilan sampel organ limpa, timus, dan bursa Fabricius dilakukan setelah uji tantang virus AI. Hewan yang diambil organnya adalah ayam yang mati paling terakhir pada satu kelompok. Jika ada dua atau lebih ayam yang mampu bertahan hidup sampai hari terakhir pengamatan maka sampling organ dilakukan pada ayam yang dipilih secara acak. Ayam yang masih hidup dieutanasia dengan cara memasukkan udara 3-5 ml intracardial. Setelah itu ayam dinekropsi dan diambil organ pertahananya (limpa, timus, dan bursa Fabricius). Spesimen organ disimpan dalam botol plastik dan direndam dengan larutan NBF 10% dan diproses menjadi preparat histopatologi. Uji histopatologi dilakukan dengan pewarnaan Haematoksilin dan Eosin (HE). Selengkapnya, protokol pelaksanaan pembuatan preparat histopatologi dicantumkan pada Lampiran 1. Pengamatan Histopatologi Pengamatan histopatologi dilakukan pada organ limpa, timus, dan bursa Fabricius. Evaluasi perubahan mikroskopis pada limpa dilakukan dengan mengitung rasio jumlah sel dengan luas pulpa putih. Pengamatan dilakukan pada 5 pulpa putih yang dipilih secara acak. Evaluasi perubahan mikroskopis pada timus dilakukan dengan menghitung rasio luas korteks dengan luas lobus, pengamatan dilakukan pada 3 labus yang dipilih secara acak. Evaluasi perubahan mikroskopis pada bursa Fabricius dilakukan dengan menghitung rasio luas seluruh folikel limfoid yang terdapat pada satu plika dengan luas plika tersebut, pengamatan dilakukan pada 2 plika yang dipilih secara acak. Evaluasi histopatologi ketiga organ dilanjutkan dengan pengamatan secara menyeluruh pada histopatologi organ-organ tersebut.
22
Analisis Data Data kematian dan pengukuran titer antibodi dianalisis secara deskriptif. Data evaluasi histopatologi organ limfoid dianalisis secara statistik menggunakan analisa sidik ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Data Mortalitas Inokulasi virus AI secara intranasal akan mengakibatkan kematian pada ayam setelah kurang lebih 48 jam pasca inokulasi (Swayne & Jackwood 2008). Kematian disebabkan oleh kerusakan parah yang terjadi pada banyak organ. Kerusakan ini terjadi karena beberapa sebab, yaitu: (1) replikasi langsung virus pada sel, jaringan dan organ; (2) akibat tidak langsung karena produksi mediator selular seperti sitokin; dan (3) iskemia yang disebabkan oleh trombosis pada pembuluh darah sisa replikasi virus (Swayne & Halvorson 2003). Persentase ayam hidup pada masa observasi menunjukkan ketahanan ayam terhadap uji tantangan virus AI yang dilakukan pada ayam tersebut. Perhitungan persentase ayam hidup hanya dilakukan pada hari terakhir observasi. Pengitungan ini tidak mempertimbangkan jumlah ayam yang mampu bertahan pada hari-hari sebelumnya. Sebagai upaya menghindari kesalahan dalam pemilihan kelompok ayam yang memiliki ketahanan baik, maka pemilihan kelompok ayam dilakukan dengan metode skoring. Metode skoring dilakukan dengan mengalikan jumlah ayam yang tersisa dengan koefesien kekebalan setiap hari. Koefisien kekebalan akan berlipat 100% dimulai dari hari pertama hingga hari terakhir observasi, sesuai dengan asumsi bahwa hewan yang hidup lebih lama memiliki tingkat kekebalan lebih tinggi. Koefisien kekebalan pada observasi hari pertama adalah 1, observasi hari kedua memiliki koefisien kekebalan 2, observasi hari ketiga memiliki koefisien kekebalan 4 dan seterusnya sampai observasi hari terakhir. Kelompok perlakuan yang memiliki persentase ayam hidup dan total angka kekebalan yang tinggi menandakan kelompok tersebut memiliki ketahanan yang tinggi terhadap infeksi virus AI. Data mortalitas ayam perlakuan yang diinfeksi virus AI terdapat pada Tabel 2.
24
Tabel 2 Data mortalitas broiler yang diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dosis 106 EID50/0.1 ml per ekor dengan pemberian formulasi ekstrak tanaman obat selama 21 hari sebelum uji tantang Kelompok
Kontrol Formula 5% Formula 7.5% Formula 10%
Total Ayam 8 8 8
Total Ayam yang Bertahan Hari KeSetelah Uji Tantang Virus 1
2
3
4
5
6
7
8 8 8
8 8 8
8 8 7
8 8 7
8 8 6
7 8 6
7 8 6
Persentase Hewan Hidup (%) 87.5 100 75
Total Perolehan Angka Kekebalan* 920 1016 780 536
8 8 8 6 5 4 4 4 50 *Total perolehan angka kekebalan = hasil penjumlahan angka kekebalan setiap hari. Angka kekebalan = jumlah ayam yang bertahan hingga hari ke- dikali koefisien kekebalan pada hari tersebut (koefisien kekebalan hari ke-1 (kk 1) = 1, kk 2= 2, kk 3= 4, kk 4= 8, kk 5= 16, kk 6= 32, kk 7= 64).
Hasil uji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 secara intranasal dengan dosis 106 EID50/0.1 ml per ekor menunjukkan bahwa virus ini mengakibatkan mortalitas pada ayam broiler. Mortalitas tertinggi diamati pada kelompok ayam formula 10% diikuti oleh kelompok ayam formula 7.5% kemudian kelompok kontrol. Ayam pada formula 5% mampu bertahan seluruhnya (100%) hingga 7 hari pasca infeksi. Hal ini menandakan ayam pada kelompok formula 5% memiliki ketahanan paling besar terhadap uji tantang infeksi virus AI dibandingkan dengan kelompok lainnya. Perolehan angka kekebalan tertinggi terlihat pada ayam kelompok formula 5%, diikuti oleh kontrol, formula 7.5%, dan perolehan angka kekebalan terendah diamati pada ayam kelompok formula 10%. Hasil perolehan angka kekebalan menunjukkan bahwa ayam pada kelompok formula 5% memiliki tingkat ketahan terhadap infeksi virus AI paling baik dibanding kelompok lainnya. Data jumlah kematian dan perolehan angka kekebalan ayam menunjukkan bahwa pemberian formula ekstrak sambiloto, adas, dan sirih merah serta vaksin mampu menekan jumlah kematian ayam yang diinfeksi virus AI. Pemberian vaksin secara tunggal tanpa pemberian ekstrak mampu melindungi ayam dari infeksi virus AI yang ditandai dengan tidak adanya kematian sampai hari ke-5 pasca infeksi. Namun kombinasi pemberian vaksin dan 5% formula ekstrak tanaman obat memperlihatkan aktivitas penghambatan yang lebih baik terhadap infeksi virus AI sehingga semua ayam yang ditantang mampu hidup sampai hari terakhir masa observasi. Aktivitas penghambatan infeksi oleh vaksin yang
25
dikombinasikan dengan 5% formula ekstrak tanaman obat disebabkan oleh adanya sinergisme antara zat-zat yang terkandung pada ekstrak tanaman obat dengan vaksin. Vaksin influenza menginduksi antibodi primer yang melawan glikoprotein permukaan virus, yaitu haemaglutinin dan neuramidase (Anthony et al. 2009). Senyawa aktif yang terdapat pada formulasi 5% tanaman obat, yaitu andrografolid dan piperin memiliki kemampuan menstimulasi sistem imun (Suhirman & Winarti 2007; Pathah & Khandelwal 2009), sedangkan anetol memiliki aktivitas sebagai antiviral melalui interaksi dengan partikel virus bebas sebelum perlekatan virus dengan sel (Astani et al. 2011). Data Serologis Antibodi merupakan protein globular yang melawan infeksi dengan cara berikatan dengan epitop yang terdapat di permukaan agen penginfeksi (Frank 2002).
Antibodi
berperan
dalam
menetralisasi
mikroorganisme
dengan
mengaktifasi sistem komplement dan atau merangsang opsonisasi oleh Natural Killer Cell (NKC), makrofag, dan monosit (Schijns et al. 2008). Virus yang telah dinetralisasi tidak mampu memasuki sel, sehingga tidak dapat menimbulkan efek yang merugikan bagi inangnya (Sherwood 2001). Dengan kata lain, antibodi dapat mengurangi jumlah virus yang menginfeksi sel dan menahan terjadinya infeksi ulang (Hilleman 2002). Pengukuran titer antibodi dilakukan sebanyak tiga kali yaitu sebelum vaksinasi, sesudah vaksinasi, dan setelah uji tantang. Hewan yang memiliki antibodi spesifik terhadap AI dengan titer yang tinggi akan memiliki ketahanan yang tinggi terhadap infeksi virus AI. Titer antibodi disajikan pada Tabel 3. Tabel 3
Hasil uji serologis broiler dengan pemberian formulasi ekstrak tanaman obat selama 21 hari sebelum uji tantang virus AI, divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dosis 106 EID50/0.1 ml per ekor
Kelompok
Total Ayam
Titer Antibodi terhadap Virus AI (GMT) Sebelum Vaksinasi Setelah Vaksinasi Setelah Uji Tantang (log 2) (log 2) (log 2)
Kontrol Formula 5%
8 8
0 0
Formula 7.5% Formula 10%
8 8
0 0
4 6.1 <2 <2
6.5 7 4 4
26
Pengukuran titer antibodi dilakukan sebanyak tiga kali. Pengukuran pertama dilakukan sebelum vaksinasi pada saat ayam berumur 21 hari. Hal ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan antibodi yang spesifik terhadap virus H5N1 baik yang berasal dari maternal antibodi ataupun antibodi akibat infeksi di lingkungan. Maternal antibodi merupakan antibodi induk yang ditransfer ke embrio melalui kantong kuning telur dan berperan sebagai pelindung anak ayam dari infeksi hingga sistem kekebalannya mampu berfungsi secara optimal (Davidson et al. 2008). Maternal antibodi mampu bertahan hingga ayam berumur 3-4 minggu (Schijns et al. 2008). Antibodi ini mengakibatkan kegagalan respon imunitas pada hewan yang divaksin (Schijns et al. 2008). Data serologis memperlihatkan bahwa semua kelompok ayam perlakuan menunjukkan titer nol pada pemeriksaan pertama. Hasil ini menandakan bahwa tidak ada ayam yang memiliki antibodi yang protektif terhadap virus H5N1 baik yang berasal dari maternal antibodi maupun antibodi akibat infeksi di lingkungan. Sehingga penelitian dapat dihindari dari bias dan vaksinasi dapat dilakukan. Pemberian ekstrak tanaman obat telah dilakukan 14 hari sebelum pengukuran titer antibodi pertama. Pemberian tanaman obat ini tidak berpengaruh pada pembentukan antibodi yang spesifik terhadap virus H5N1. Titer antibodi semua kelompok perlakuan memperlihatkan hasil yang sama. Pengukuran titer antibodi kedua dilakukan sebelum uji tantang dan sesudah vaksinasi. Pengukuran titer ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan vaksinasi yang dilakukan. Menurut Susetyo dan Wibowo (2008), pengukuran titer antibodi terhadap vaksin AI sebaiknya dilakukan 21 hingga 28 hari setelah vaksinasi. Pengukuran titer antibodi pada penelitian ini dilakukan pada hari ke 23 setelah vaksinasi. Data titer antibodi memperlihatkan hasil yang beragam. Antibodi terhadap AI dinyatakan protektif bila titer yang terbentuk lebih besar dari 4 (log 2) (OIE 2009). Kelompok formula 5% dan kelompok kontrol memperlihatkan titer yang protektif sedangkan kelompok formula 7.5% dan formula 10% memperlihatkan titer yang tidak protektif. Pembentukan antibodi dengan titer yang protektif pada ayam kelompok kontrol menandakan kegiatan vaksinasi yang dilakukan berhasil.
27
Perbedaan titer antibodi pada setiap kelompok perlakuan memberikan gambaran bahwa pemberian ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi bertingkat memberikan pengaruh terhadap titer antibodi yang terbentuk setelah vaksinasi. Ayam yang diberi formula ekstrak tanaman obat konsentrasi 5% memperlihatkan titer antibodi yang paling tinggi dengan nilai Geometric Mean Titer (GMT) 6.1 (log 2). Hal ini diduga karena adanya aktivitas bahan aktif yang terdapat pada sambiloto, yaitu andrografolid dan bahan aktif pada sirih merah, yaitu piperin. Andrografolid memiliki kemampuan menstimulasi sistem imun (Suhirman & Winarti 2007), dan piperin memiliki kemampuan meningkatkan kerja sistem imun baik humoral maupun seluler (Pathah & Khandelwal 2009). Titer antibodi pada ayam yang diberi formula ekstrak tanaman obat konsentrasi 7.5% dan 10% lebih rendah dibandingkan dengan titer antibodi kelompok kontrol. Hal ini diduga karena formula tanaman obat pada konsentrasi yang terlalu tinggi mengakibatkan gangguan pada proses pembentukan antibodi sehingga titer antibodi yang dihasilkan menjadi relatif lebih rendah. Pengukuran titer antibodi ketiga dilakukan pada hari terakhir observasi, yaitu pada hari ke-7 post infeksi (p.i). Ayam yang diperiksa titer antibodinya adalah ayam yang masih bertahan sampai hari terakhir masa observasi, sehingga titer antibodi yang didapat merupakan titer antibodi yang protektif terhadap infeksi virus AI H5N1. Titer antibodi yang paling tinggi ditemukan pada kelompok 5% formula ekstrak tanaman obat dengan nilai GMT mencapai 7 (log 2). Titer antibodi yang tinggi hingga hari terakhir observasi menandakan bahwa senyawasenyawa yang terdapat pada ekstrak tanaman obat yang memiliki aktivitas dalam merangsang sistem imun masih bekerja sampai 7 hari pasca uji tantang. Data serologis menunjukkan bahwa pemberian formula ekstrak sambiloto, adas, dan sirih merah serta vaksin mampu merangsang pembentukan antibodi yang spesifik terhadap virus AI. Pemberian vaksin secara tunggal tanpa pemberian ekstrak tanaman obat mampu menginduksi pembentukan antibodi dengan titer antibodi pada 23 hari setelah vaksinasi adalah 4 (log 2) dan titer setelah uji tantang virus AI adalah 6.5 (log 2). Namun kombinasi pemberian vaksin dan 5% formula ekstrak tanaman obat memperlihatkan kemampuan yang lebih baik dalam merangsang pembentukan antibodi dengan titer antibodi pada 23
28
hari setelah vaksinasi adalah 6.1 (log 2) dan titer setelah uji tantang virus AI adalah 7 (log 2). Setiyono et al. (2010) menyatakan bahwa formula ekstrak tanaman obat dapat berperan sebagai perkusor (pendukung) imunomodulator untuk menjadi sediaan anti viral. Histopatologi Organ Limforetikular Limpa Limpa merupakan organ limfoid sekunder yang berperan dalam menyaring dan membuang partikel antigen (Oláh & Vervelde 2008). Parenkim limpa terdiri atas pulpa merah dan pulpa putih. Pulpa putih berisi sel-sel limfoid yang terakumulasi di sekitar cabang terakhir arteri limpa. Pulpa putih berperan dalam limfositopoiesis, menangkap antigen, dan memproduksi antibodi. Pulpa merah terdiri atas sinus venosus dan jaringan yang terdiri dari sel-sel limfosit, sel retikular, makrofag, plasma sel, dan sel darah merah. Pulpa merah berfungsi sebagai tempat fagositosis sel darah merah oleh makrofag, tempat penangkapan antigen, dan tempat pembentukan antibodi. Evaluasi histopatologi pada limpa dilakukan pada pulpa putih, sedangkan pemeriksaan lesio dilakukan pada semua bagian limpa. Evaluasi histopatologi limpa dilakukan pada pulpa putih karena bagian inilah yang berperan dalam menyediakan sel-sel limfoid. Evaluasi pulpa putih pada tiap kelompok dilakukan dengan menghitung kepadatan sel pada 5 pulpa putih yang dipilih secara acak. Pulpa putih yang memiliki kepadatan sel tinggi menandakan bahwa pulpa putih tersebut berada dalam keadaan aktif untuk menghasilkan sel-sel limfoid. Hasil pengamatan histopatologi pada limpa disajikan pada Tabel 4.
29
Tabel 4
Hasil evaluasi histopatologi limpa ayam yang diberi formulasi ekstrak tanaman obat selama 21 hari sebelum uji tantang virus AI, divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dosis 106 EID50/0.1 ml per ekor
174.80± 40.34
Kepadatan Sel (sel/ 104 µm2) 115.3± 0.98d
Nekrosa folikel limfoid, splenitis, dan kongesti.
12166.72± 5218.64
313.80± 133.18
259.2± 0.93b
Edema subcapsular, kongesti ringan, dan hipertrofi arteriol sentral.
8983.58± 3135.06
279.00± 98.44
310.1± 0.78a
Luas Pulpa Putih (µm2)
Jumlah Sel
Kontrol
15401.64± 782.68
Formula 5% Formula 7.5%
Kelompok
Lesio
Pendarahan subcapsular, edema subcapsular, kongesti, folikel limfoid sekunder (banyak), dan splenitis. Formula 10% 10289.27± 192.80± 194.7± Kongesti parah, edema subcapsular, 3753.59 41.10 2.83c deplesi, hipertrofi arteriol sentral, folikel limfoid sekunder (sedikit), dan splenitis. Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05)
Hasil pengamatan pulpa putih limpa memperlihatkan bahwa semua kelompok perlakukan memiliki kepadatan sel pada pulpa putih yang berbeda nyata (p<0.05). Kepadatan sel pulpa putih pada semua kelompok perlakukan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (Gambar 8). Nilai tertinggi terdapat pada kelompok formula 7.5%, diikuti oleh kelompok formula ekstrak 5%, kelompok formula ekstrak 10%, dan paling rendah pada kontrol. Tingginya kepadatan sel pada pulpa putih formula 7.5% menandakan tingginya tingkat proliferasi sel-sel limfoid pada pulpa putih limpa kelompok tersebut. Proliferasi pulpa putih merupakan salah satu tanda aktifnya limpa dalam pendewasaan sel-sel limfosit. Sel-sel limfosit memiliki peran dalam imunitas selular dan imunitas humoral. Imunitas humoral maupun seluler mempunyai peranan yang sangat penting dalam menahan infeksi virus influenza. Antibodi dapat mengurangi jumlah virus yang menginfeksi sel dan menahan terjadinya infeksi ulang. Sel T sitotoksik berperan dalam menghancurkan sel yang terinfeksi virus dan menekan jumlah sitokin (Hilleman 2002). Infeksi virus AI mengakibatkan terjadinya deplesi folikel limfoid dan nekrosa pada limpa (Swayne & Jackwood 2008). Tingginya kepadatan sel limfoid pulpa putih limpa pada kelompok formula 5%, formula 7.5%, dan formula 10% dibandingkan dengan kelompok kontrol menandakan bahwa pemberian formulasi
30
tanaman obat dengan konsentrasi bertingkat (5%, 7.5%, dan 10%) berperan dalam menghambat deplesi dan nekrosa pada limpa ayam perlakuan. Hambatan deplesi dan nekrosa pada limpa diduga akibat aktivitas bahan aktif sambiloto, bahan aktif adas (anetol), dan bahan aktif sirih merah (piperin) dalam formula. Piperin memiliki aktivitas sitoprotektif sel-sel limpa (Pathah & Khandelwal 2007), anetol memiliki kemampuan antiviral (Astani et al. 2011), sedangkan bahan aktif yang terdapat pada ekstrak sambiloto memiliki peranan dalam menghambat perlekatan virus AI pada sel (Taha 2009). Pengamatan pada pulpa putih limpa memperlihatkan bahwa formulasi tanaman obat konsentrasi 7.5% memperlihatkan aktivitas yang baik dalam mencegah terjadinya nekrosa dan deplesi pada limpa dibandingkan dengan konsentrasi 5% dan 10%. Pengamatan mikroskopik pada limpa formula 5% memperlihatkan lesio yang lebih ringan dibandingkan dengan kelompok lainnya. Lesio yang diamati pada limpa formula 5% berupa edema subcapsular, kongesti ringan, dan hipertrofi arteriol sentral. Edema adalah penimbunan cairan yang berlebihan di antara sel-sel tubuh atau dalam rongga tubuh. Edema terjadi karena adanya kenaikan tekanan hidrostatik dalam mikrosirkulasi dan kenaikan permeabilitas pembuluh darah. Edema seringkali terjadi bersamaan dengan kongesti. Edema dan kongesti merupakan tanda terjadinya reaksi peradangan akut (Price & Wilson 2006). Hipertrofi arteriol sentral juga terjadi karena proses peradangan. Menurut Swayne dan Jackwood (2008), infeksi virus AI mengakibatkan terjadinya peradangan pada limpa. Peradangan disebabkan oleh replikasi virus AI yang terjadi pada sel endotel pembuluh darah. Lesio peradangan yang terjadi pada limpa ayam kelompok formula 5% memperlihatkan tingkat keparahan yang lebih rendah dibandingkan dengan lesio yang terjadi pada kelompok lainnya. Hal ini menandakan aktivitas formulasi tanaman obat dengan konsentrasi 5% lebih baik dalam mengurangi keparahan peradangan pada limpa yang disebabkan oleh infeksi virus AI dibandingkan dengan formulasi tanaman obat konsentrasi 7.5% dan 10%.
31
A
B 2 1
C
D 4 2
Gambar 8
3
Histopatologi limpa broiler yang divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dengan pemberian formulasi ekstrak tanaman obat (A. Akuades, B. Formulasi ekstrak tanaman obat 5%, C. Formulasi ekstrak tanaman obat 7.5%, D. Formulasi ekstrak tanaman obat 10%), 7 hari p.i. 1. Nekrosa folikel limfoid, 2. Kongesti, 3. Deplesi folikel limfoid, 4. Splenitis, pewarnaan HE.
Evaluasi histopatologi pada limpa memperlihatkan hasil yang beragam. Kepadatan sel tertinggi pada pulpa putih limpa terdapat pada kelompok formula 7.5%. Hal ini menandakan formulasi ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi 7.5% memiliki aktivitas paling baik dalam menghambat nekrosa dan deplesi folikel limfoid serta meningkatkan proliferasi sel limfoid pada pulpa putih dibandingkan dengan formulasi ekstrak 5% dan 10%. Tingkatan lesio yang paling ringan terdapat pada kelompok formulasi 5%, yang berarti formulasi ektrak tanaman obat konsentrasi 5% memiliki aktivitas paling baik dalam mengurangi kerusakan pada limpa yang disebabkan oleh infeksi virus AI dibandingkan dengan formulasi tanaman obat konsentrasi 7.5% dan 10%.
32
Bursa Fabricius Bursa Fabricius merupakan organ limfoid primer yang bertugas dalam memproduksi sel limfosit B. Sel limfosit B bertugas dalam membentuk antibodi. Bursa Fabricius terdiri atas plika yang berisi folikel limfoid. Folikel limfoid terdiri dari korteks dan medula yang dipisahkan oleh membran basal. Evaluasi histopatologi pada bursa Fabricius dilakukan pada bagian yang berperan dalam menghasilan sel-sel limfoid yaitu folikel limfoid. Folikel limfoid tersebut terdapat di dalam plika. Pengamatan dilakukan pada 2 plika yang dipilih secara acak. Kepadatan folikel limfoid yang tinggi berarti terjadinya proliferasi pada sel-sel limfoid bursa Fabricius yang menandakan aktifnya bursa Fabricius dalam memproduksi sel limfosit B. Pemeriksaan lesio pada bursa Fabricius dilakukan dengan mengamati preparat histopatologi bursa Fabricius secara keseluruhan. Hasil pengamatan histopatologi pada bursa Fabricius disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil evaluasi histopatologi bursa Fabricius ayam yang diberi formulasi ekstrak tanaman obat selama 21 hari sebelum uji tantang virus AI, divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dosis 106 EID50/0.1 ml per ekor Kelompok Kontrol
Luas Plica (µm2) 1370225.60± 365812.25
Luas Folikel Limfoid (µm2) 495671.17± 113385.59
Persentase Kepadatan Folikel Limfoid (%)* 36.37±1.44 bc
Lesio
Peradangan parah, nekrosa, dan deplesi folikel limfoid. Formula 5% 1716509.80± 573248.18± 33.50±0.65 c Kongesti, edema 540698.51 170019.65 ringan, peradangan, dan banyak kista. Formula 7.5% 3118693.67± 1712650.88± 53.87±9.19 a Edema, peradangan, 710503.35 669123.63 dan tedapat sedikit kista. Formula 10% 1675141.57± 826434.28± 48.93±2.19 ab Kongesti, edema 244844.10 150576.64 ringan, peradangan ringan, dan deplesi folikel limfoid. *Persentase kepadatan folikel limfoid= luas folikel limfoid/ luas plika x 100% Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05)
Hasil pengamatan pada bursa Fabricius memperlihatkan bahwa persentase kepadatan folikel limfoid berbeda nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan. Kelompok formula 5% memiliki persentase kepadatan folikel limfoid terkecil, diikuti oleh kelompok kontrol, kelompok formula 10%, dan yang paling besar
33
adalah kelompok formula 7.5%. Kepadatan folikel limfoid pada kelompok formula 5% memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata (p<0.05) dengan kontrol, dan kepadatan folikel limfoid kelompok formula 7.5% memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata (p<0.05) dengan kelompok formula 10%. Rendahnya kepadatan sel limfoid pada bursa Fabricius kelompok formula 5% menandakan rendahnya proliferasi sel-sel limfoid pada bursa Fabricius. Tingkat proliferasi yang rendah terjadi karena organ limfoid sekunder seperti limpa telah mampu menyediakan sel limfosit B yang dibutuhkan tubuh untuk menghadapi infeksi. Kemampuan limpa yang mencukupi dalam menghasilkan sel-sel limfoid yang dibutuhkan tubuh terlihat pada kepadatan sel yang tinggi pada pulpa putih limpa kelompok formula 5%. Rendahnya kepadatan folikel limfoid pada kelompok kontrol disebabkan karena sel-sel limfoid pada bursa Fabricius tidak mampu lagi melakukan proliferasi akibat organ ini terlalu sering memproduksi sel-sel limfoid. Bursa Fabricius yang tidak mampu menghasilkan sel-sel limfoid terlihat dari sedikitnya cadangan sel limfoid pada organ limfoid sekunder seperti limpa. Kepadatan sel pada pulpa putih limpa ayam kontol memperlihatkan hasil yang kecil. Kepadatan folikel limfoid bursa Fabricius yang besar pada kelompok formula 7.5% dan kelompok formula 10% menandakan tingginya tingkat proliferasi sel-sel limfoid pada bursa Fabricius. Hal ini merupakan indikasi aktifnya bursa Fabricius untuk memproduksi sel limfosit B. Aktifasi pada organ limfoid primer terjadi karena organ limfoid sekunder kekurangan cadangan sel-sel limfoid. Sel-sel limfoid yang berasal dari organ limfoid primer akan mengisi cadangan sel limfoid pada organ limfoid sekunder. Sel-sel limfoid pada organ limfoid sekunder kemudian akan mengalami pematangan sehingga siap dilepaskan ke sirkulasi (Price & Wilson 2006). Bursa Fabricius pada ayam yang terinfeksi virus AI akan mengalami hemoragi, nekrosa, dan deplesi (Swayne & Jackwood 2008). Pengamatan histopatologi pada bursa Fabricius kontrol memperlihatkan terjadinya peradangan, nekrosa, dan deplesi folikel limfoid, sedangkan lesio yang diamati pada kelompok formula 5%, formula 7.5%, dan formula 10% memperlihatkan tingkat kerusakan yang lebih ringan dibandingkan dengan kelompok kontrol (Gambar 9). Kerusakan
34
yang terjadi pada kelompok formula 5%, formula 7.5%, dan formula 10% didominasi oleh kongesti, edema, dan peradangan. Tingkat kerusakan bursa Fabricius yang lebih ringan pada kelompok formula 5%, formula 7.5%, dan formula 10% dibandingkan dengan kelompok kontrol menandakan pemberian tanaman obat dengan konsentrasi bertingkat (5%, 7.5%, dan 10%) berperan dalam menghambat kerusakan yang terjadi pada bursa Fabricius. Hambatan kerusakan bursa Fabricius oleh formulasi tanaman obat berkemungkinan disebabkan oleh andrografolid dan anetol yang terdapat pada formulasi tanaman obat. Andrografolid berperan dalam menghambat perlekatan virus AI pada sel (Taha 2009), dan anetol memiliki kemampuan antiviral melalui interaksi dengan partikel virus bebas sebelum perlekatan virus dengan sel (Astani et al. 2011). Lesio bursa Fabricius paling ringan diamati pada kelompok formula 5%. Pengamatan mikroskopik pada bursa
Fabricius kelompok formula 5%
memperlihatkan adanya lesio berupa edema, kongesti, peradangan, dan kista. Kista yang terdapat pada bursa Fabricius terbentuk karena adanya proses kematian sel-sel limfoid bursa. Ruangan yang tersisa setelah kematian sel kemudian diisi oleh cairan sehingga terbentuklah kista pada bursa Fabricius. Proses pembentukan kista adalah proses normal yang dilalui sel-sel limfoid saat bursa Fabricius mengalami atrofi. Pengamatan mikroskopik pada bursa Fabricius kelompok formula 5% yang memperlihatkan adanya edema dan kongesti menandakan terjadinya peradangan akut pada organ ini. Terjadinya peradangan pada organ ini juga didukung dengan terdapatnya sel-sel radang pada jaringan interstisial, baik jaringan interstisial yang terdapat dibawah epitel bursa Fabricius maupun diantara folikel limfoid. Peradangan disebabkan oleh infeksi virus AI. Virus bereplikasi pada sel endotel pembuluh darah sehingga kerusakan tersebar di berbagai organ (Swayne & Jackwood 2008).
35
B
A
3
1 2
C
D 4
2
Gambar 9 Histopatologi bursa Fabricius broiler yang divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dengan pemberian formulasi ekstrak tanaman obat (A. Akuades, B. Formulasi ekstrak tanaman obat 5%, C. Formulasi ekstrak tanaman obat 7.5%, D. Formulasi ekstrak tanaman obat 10%), 7 hari p.i. 1. Peradangan, 2. Deplesi folikel limfoid, 3. Kista, 4. Edema, pewarnaan HE.
Evaluasi histopatologi pada bursa Fabricius memperlihatkan bahwa kepadatan folikel limfoid terendah terdapat pada kelompok formula 5% yang menandakan formulasi ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi 5% memiliki aktifas paling baik dalam menghambat terjadinya aktivasi pada organ limfoid primer yaitu bursa Fabricius. Tingkatan lesio yang paling ringan juga terdapat pada kelompok formula 5%, yang berarti formulasi ektrak tanaman obat konsentrasi 5% memiliki aktivitas paling baik dalam mengurangi kerusakan pada bursa Fabricius yang disebabkan oleh infeksi virus AI dibandingkan dengan formulasi tanaman obat konsentrasi 7.5% dan 10%.
36
Timus Timus merupakan organ limfoid primer pada unggas. Timus terdiri dari sejumlah lobus yang terdiri dari korteks dan medula. Korteks terdiri dari sel limfosit (timosit) yang padat. Timus berfungsi sebagai sumber limfosit asal timus (limfosit T) (Pathak & Palan 2005) yang terdiri dari sel T CD8+ sitotoksik, sel T helper CD4+, dan sel T CD8+ supresor (Price & Wilson 2006). Ketika terjadi infeksi virus AI sel T sitotoksik berperan dalam menghancurkan sel yang terinfeksi virus dan menekan pembentukan sitokin. Respon sel T CD8+ sitotoksik biasanya muncul dalam 3-4 hari sesudah infeksi. Sel T sititoksik CD8+ mendeteksi dan melisis sel yang terifeksi virus dan spesifitasnya ditujukan terhadap antigen inti pada epitop HA, NP, M, dan PB2. Sedangkan sel T helper CD4+ merupakan sinyal yang sangat penting dalam memfasilitasi respon imun seluler maupun humoral. Selain itu, sel T helper CD4+ juga mempunyai efek sitotoksik (Hilleman 2002). Evaluasi histopatologi pada timus dilakukan pada korteks, sedangkan pemeriksaan lesio dilakukan pada semua bagian timus. Evaluasi histopatologi timus dilakukan pada korteks karena bagian inilah yang berperan dalam menyediakan sel-sel limfoid. Evaluasi dilakukan dengan menghitung persentase luas korteks pada 3 lobus yang dipilih secara acak. Timus yang memiliki korteks yang luas menandakan tingginya tingkat proliferasi sel-sel limfoid pada timus, hal ini berarti timus berada pada keadaan aktif untuk menghasilkan sel-sel limfoid. Hasil pengamatan histopatologi pada timus disajikan pada Tabel 6.
37
Tabel 6
Hasil evaluasi histopatologi timus ayam yang diberi formulasi ekstrak tanaman obat selama 21 hari sebelum uji tantang virus AI, divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dosis 106 EID50/0.1 ml per ekor Luas Lobus (µm2) 1160860± 628997.14
Luas Korteks (µm2) 371289.2± 248820.35
Formula 5%
629814.1± 258136.50
Formula 7.5% Formula 10%
Kelompok Kontrol
Persentase Luas Korteks (%)*
Lesio
63.15±12.55 a
Kongesti parah.
175902.4± 101910.03
26.79±4.24 b
Kongesti dan korteks menipis.
1481830± 287013.42
539997.3± 192933.45
35.67±5.97 b
Kongesti ringan dan korteks menipis.
886052.9± 397508.32
623338.6± 304570.95
69.60±2.52 a
Tidak terdapat lesio yang spesifik.
*Persentase luas korteks (%) = luas korteks/ luas lobus x 100% Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05)
Hasil pemeriksaan histopatologi pada timus memperlihatkan bahwa persentase luas korteks paling rendah diamati pada kelompok formula 5%, diikuti oleh kelompok formula 7.5%, kelompok kontrol, dan nilai tertinggi terdapat pada kelompok formula 10% (Gambar 10). Persentase luas korteks kelompok kontrol memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata (p<0.05) dengan kelompok formula 10%, demikian juga dengan kelompok formula 5% yang memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata (p<0.05) dengan kelompok formula 7.5%. Rendahnya persentase luas korteks timus pada kelompok formula 5% dan kelompok formula 7.5% menandakan tingkat proliferasi sel limfoid yang rendah pada timus. Selama organ limfoid sekunder yaitu limpa masih memiliki cadangan sel limfosit T maka timus tidak akan terinduksi untuk berproliferasi. Limpa pada ayam kelompok formula 5% dan kelompok formula 7.5% berada dalam keadaan baik ditandai dengan kepadatan sel yang relatif tinggi. Limpa kelompok formula 5% dan kelompok formula 7.5% mampu menyediakan kebutuhan sel limfosit T yang bertugas dalam melakukan perlawanan terhadap infeksi, sehingga sel limfoid timus tidak perlu melakukan proliferasi. Persentase luas korteks timus pada kelompok kontrol memperlihatkan hasil yang tinggi. Hal ini menandakan tingginya tingkat proliferasi sel limfoid pada timus untuk menyediakan sel T yang dibutuhkan tubuh. Persentase luas korteks
38
timus pada kelompok kontrol memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata (p<0.05) dengan kelompok formula 10%, hal ini berkemungkinan karena pemberian tanaman obat dengan dosis yang terlalu tingggi (10%) berakibat toksik pada ayam. Timus pada hampir semua perlakuan mengalami kongesti kecuali pada kelompok formula 10%. Kongesti adalah berlimpahnya darah dalam pembuluh darah di regio tertentu. Kapiler-kapiler yang terdapat pada daerah yang mengalami kongesti terlihat melebar dan penuh berisi darah. Kongesti dapat terjadi karena peningkatan aliran darah lokal sehingga mengakibatkan dilatasi arteriol yang sering ditemukan pada keadaaan peradangan akut (Price & Wilson 2006). Kongesti yang terjadi pada timus ini disebabkan oleh keberadaan virus pada organ tersebut. Swayne dan Jackwood (2008) mengatakakan bahwa replikasi virus AI terjadi pada sel endotel pembuluh darah. Proses ini akan menginduksi terjadinya peradangan sehingga terjadilah kongesti. Formulasi ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi 10% memperlihatkan kemampuan paling efektif dalam menghambat terjadinya kongesti pada timus. Hal ini diduga kerena kandungan andrografolid dan anetol dalam formula, andrografolid memiliki kemampuan melawan infeksi virus influenza H5N1 dengan cara menghambat pelekatan haemaglutinin virus dengan reseptor yang ada pada sel (Chen et al. 2009), sedangkan anetol memiliki aktivitas sebagai antiviral melalui interaksi dengan partikel virus bebas sebelum perlekatan virus dengan sel (Astani et al. 2011). Kandungan bahan-bahan yang terdapat pada formula ekstrak tanaman obat 10% memiliki konsentrasi paling baik dalam menghambat terjadinya peradangan pada organ timus. Menurut Swayne dan Jackwood (2008), infeksi virus AI mengakibatkan terjadinya hemoragi, nekrosa, dan deplesi pada timus. Namun lesio yang diamati pada timus semua kelompok perlakuan memperlihatkan tingkat kerusakan yang lebih ringan. Hal ini menandakan bahwa pemberian formulasi ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi bertingkat (5%, 7.5%, dan 10%) yang dikombinasikan dengan pemberian vaksin dan pemberian vaksin secara tunggal memiliki peranan dalam mengurangi tingkat keparahan kerusakan timus akibat infeksi virus AI. Hambatan kerusakan timus pada kelompok perlakuan yang diberikan formulasi
39
tanaman obat berkemungkinan disebabkan karena kandungan andrografolid, piperin, dan anetol dalam formula. Andrografolid memiliki kemampuan melawan infeksi virus influenza H5N1 dengan cara menghambat pelekatan haemaglutinin virus dengan reseptor yang ada pada sel (Chen et al. 2009; Taha 2009), piperin memiliki kemampuan menghambat atropi timus dengan pencegahan apoptosis timosit (Pathah & Khandelwal 2009), sedangkan anetol memiliki aktivitas sebagai antiviral dengan cara berinteraksi dengan partikel virus bebas sebelum virus melakukan perlekatan pada sel (Astani et al. 2011).
A
B
2
1
D
C
3
2
Gambar 10
Histopatologi timus broiler yang divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dengan pemberian formulasi ekstrak tanaman obat (A. Akuades, B. Formulasi ekstrak tanaman obat 5%, C. Formulasi ekstrak tanaman obat 7.5%, D. Formulasi ekstrak tanaman obat 10%), 7 hari p.i. 1. Kongesti, 2. Korteks menipis, 3. Korteks menebal, pewarnaan HE.
Evaluasi histopatologi pada timus memperlihatkan bahwa persentase luas korteks terendah terdapat pada kelompok formula 5% yang menandakan formulasi ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi 5% memiliki aktivitas paling baik dalam menghambat terjadinya aktivasi pada organ limfoid primer yaitu
40
timus. Tingkatan lesio yang paling ringan terdapat pada kelompok formula 10% yang berarti formulasi ektrak tanaman obat konsentrasi 10% memiliki aktivitas paling baik dalam mengurangi kerusakan pada timus yang disebabkan oleh infeksi virus AI dibandingkan dengan formulasi tanaman obat konsentrasi 5% dan 7.5%. Pengamatan histopatologi organ limforetikular pada ayam perlakuan memperlihatkan hasil yang beragam. Hasil yang paling baik terlihat pada kelompok formula 5%. Limpa pada kelompok formula 5% mampu menyediakan sel-sel limfoid yang dibutuhkan dalam pertahanan melawan infeksi virus AI sehingga tidak diperlukan aktivasi pada sel-sel limfoid yang terdapat pada bursa Fabricius dan timus.
41
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Broiler yang divaksin dan diberian formula ekstrak etanol sambiloto, sirih merah, dan adas konsentrasi 5% serta ditantang virus AI H5N1 memiliki kemampuan yang paling baik dalam menghambat infeksi virus AI H5N1 dibandingkan dengan dengan pemberian formulasi ekstrak tanaman obat konsentrasi 7.5% dan 10%. Saran Perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui metode pemberian formulasi ekstrak tanaman obat yang tepat pada peternakan unggas.
42
DAFTAR PUSTAKA Anthony EF, Carolyn BB, Nancy JC. 2009. Seasonal Influenza Vaccines. Di dalam: Compans RW, Orenstein WA, editor. Vaccines for Pandemic Influenza. New York: Springer. Astani A, Reichling J, Schnitzler P. 2011. Screening for antiviral activities of isolated compounds from essential oils. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine 2011. [Balitro] Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2008. Budidaya tanaman sambiloto. [terhubung berkala] http://balittro.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&vie w=article&id=25:budidaya-tanamansambiloto&catid=15:booklet&Itemid=28 [28 Nopember 2011]. Brown IH. 2008. The role of pig in interspecies transmission. Di dalam: Klenk HD, Matrosovich MN, Stech J, editor. Avian Influenza. Marburg: Karger. Burgos RA et al. 2005. Andrographolide inhibits IFN-gamma and IL-2 cytokine production and protects against cell apoptosis. Planta Med 71(5):429–434. Burgos RA et al. 2009. Efficacy of an Andrographis paniculata composition for the relief of rheumatoid arthritis symptoms: a prospective randomized placebo controlled trial. Clin Rheumatol 28:931–946. Carretta MD et al. 2009. Andrographolide reduces IL-2 production in T-cells by interfering with NFAT and MAPK activation. Eur J Pharmacol 602:413– 421. [CDC] Centre for Disease Control and Prevention. 2004. Outbreaks of avian influenza A (H5N1) in Asia and Interim recommendations for evaluation and reporting of suspected cases, United States, 2004. MMWR Weekly 53(05):97-100. Chao WW, Lin BF. 2010. Isolation and identification of bioactive compounds in Andrographis paniculata (Chuanxinlian). Chin Med 5:17. Chen JX et al. 2009. Activity of andrographolide and its detivates againts influenza virus in vivo and in vitro. Biol Pharm Bull 32(8):1385-1391. Cheung HY, Cheung CS, Kong CK. 2001. Determination of bioactive diterpenoids from Andrographis paniculata by micellar electrokinetic chromatography. J Chromatogr A 930(1-2):171-176. Davidson F. 2008. The importance of the avian immune system and its unique features. Di dalam: Davidson F, Kaspers B, Schat KA, editor. Avian Immunology. San Diego: Elsevier.
43
Davidson F, Magor KE, Kaspers B. 2008. Structure and evolution of avian immunoglobulins. Di dalam: Davidson F, Kaspers B, Schat KA, editor. Avian Immunology. San Diego: Elsevier. Dorland WAN. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. Elseria RN et al., penerjemah; Mahode AA et al., editor. Jakarta: ECG. Terjemahan dari: Dorland’s Illustrated Medical Dictionary. [FAO] Food And Agriculture Organization, [OIE] Office International des Epizooties, dan [WHO] World Health Organization. 2011. FAO-OIE-WHO Technical update: Current evolution of avian influenza H5N1 viruses, 7 September 2011. [terhubung berkala] http://www.who.int/influenza/human_animal_interface/tripartite_notes_H5N 1.pdf [14 Nopember 2011]. Frank SA. 2002. Immunology and Evolution of Infectious Disease. New Jersey: Priceton University Press. Gerhard W. 2001. The role of the antibody response in influenza virus infection. Curr Top Microbiol Immunol 260:171–190. Haaheim LR. 2010. Basic influenza virology and immunology. Di dalam: VanTam J, Shellwood C, editor. Introduction to Pandemic Influenza. Cambridge: CAB International. Hilleman MR. 2002. Realities and enigmas of human viral influenza: pathogenesis, epidemiology and control. Vaccine 20(25-26):3068-3087. Kalthoff D, Globig A, Beer M. 2010. (Highly pathogenic) avian influenza as a zoonotic agent. Veterinary Microbiol 140:237-245. Koteswara RY. 2004. Flavanoids and andrographolide from Andrographis paniculata. Phytochem 65(16):2317-2321. Kumar RA, Sridevi K, Kumar NV, Nanduri S, Rajagopal S. 2004. Anticancer and immunostimulatory compounds from Andrographis paniculata. J Ethnopharmacol 92(2-3):291-295. Kumar S et al. 2007. Piperine inhibits TNF-alpha induced adhesion of neutrophils to endothelial monolayer through suppression of NF-kappaB and IkappaB kinase activation. Eur J Pharmacol 575(1-3):177-186. Leonard D. 2005. Foeniculum vulgare; Fennel. [terhubung berkala] http://calphotos.berkeley.edu/cgi/img_query?enlarge=0000+0000+0605+15 73 [28 Nopember 2011]. Manoi F. 2007. Sirih merah sebagai tanaman obat multi fungsi. Warta Puslitbangkun 13(2).
44
McKimm-Breschkin JL, Selleck PW, Usman TB, Johnson MA. 2007. Reduced sensitivity of influenza A (H5N1) to oseltamivir. EID Journal 13(9):13541357. Miguel MG et al. 2010. Foeniculum vulgare essential oils: chemical composition, antioxidant and antimicrobial activities. Nat Prod Commun 5(2):319-28. Mimica DN, Kujundzić S, Soković M, Couladis M. 2003. Essential oil composition and antifungal activity of Foeniculum vulgare Mill obtained by different distillation conditions. Phytother Res 17(4):368-71. Monto AS et al. 2006. Detection of influenza viruses resistant to neuraminidase inhibitors in global surveillance during the first 3 years of their use. Antimicrob Agents Chemother 50: 2395–2402. Morad AF. 2011. Andrographis paniculata (Burm. f.) Wall. ex Nees. [terhubung berkala] http://eol.org/data_objects/13556962 [28 Nopember 2011]. Mubareka S, Palese P. 2011. Influenza virus: the biology of a changing virus. Di dalam: Rappuoli R dan Giudice GD, editor. Influenza Vaccines for the Future. Ed ke-2. Itali: Springer. [NCBI] National Center for Biotechnology Information. 2004. Piperine berkala] Compound Summary.[terhubung http://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/summary/summary.cgi?cid=638024&loc= ec_rcs [10 Pebruari 2012]. [NCBI] National Center for Biotechnology Information. 2005. Anethole berkala] Compound Summary.[terhubung http://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/summary/summary.cgi?cid=637563&loc= ec_rcs [10 Pebruari 2012]. [NCBI] National Center for Biotechnology Information. 2006. Andrographolide Compound Summary.[terhubung berkala] http://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/summary/summary.cgi?cid=5318517&loc =ec_rcs [10 Pebruari 2012]. [NCBI] National Center for Biotechnology Information. 2011a. Andrographis paniculata.[terhubung berkala] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/taxonomy/?term=Andrographis%20paniculata [28 Nopember 2011]. [NCBI] National Center for Biotechnology Information. 2011b. Piper crocatum. [terhubung berkala] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Taxonomy/Browser/wwwtax.cgi?id=216080 [28 Nopember 2011]. [NCBI] National Center for Biotechnology Information. 2011c. Foeniculum vulgare. [terhubung berkala]
45
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Taxonomy/Browser/wwwtax.cgi?id=48038 [28 Nopember 2011]. [OIE] Office International des Epizooties. 2006. Susceptibility of animal species to the h5n1 asian strain. [terhubung berkala] http://www.oie.int/en/for-themedia/press-leases/detail/article/susceptibility-of-animal-species-to-theh5n1-asian-strain-1/ [17 Nopember 2011]. [OIE] Office International des Epizooties. 2009. Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animal 2009. Paris: Office International des Epizooties. Oláh I, Vervelde L. 2008. The structure of the avian lymphoid system. Di dalam: Davidson F, Kaspers B, Schat KA, editor. Avian Immunology. San Diego: Elsevier. Osterhaus ADME, Munster VJ, Fouchier RAM. 2008. Epidemiology of avian influenza. Di dalam: Klenk HD, Matrosovich MN, Stech J, editor. Avian Influenza. Marburg: Karger. Pappaioanou M. 2009. Highly pathogenic H5N1 avian influenza virus: Cause of the next pandemic? Comp Immun Microbiol Infect Dis 32:287–300. Pathah N, Khandelwal S. 2007. Cytoprotective and immunomodulating properties of piperine on murine splenocytes: an in vitro study. Eur J Pharmacol 576(1-3):160-170. Pathah N, Khandelwal S. 2009. Immunomodulatory role of piperine in cadmium induced thymic atrophy and splenomegaly in mice. Environ Toxicol Pharmacol 28(1):52-60. Pathak S, Palan U. 2005. Immunology: Essential and Fundamental. Ed ke-2. USA: Science Publisher Inc. Pholphana N et al. 2004. Determination and variation of three active diterpenoids in Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees. Phytochem Anal 15(6):365371. Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed ke-6. Pendit BU et al., penerjemah; Harwanto et al., editor. Jakarta: ECG. Terjemahan dari: Pathophysiology: Clinical Consepts fo Disease Processes. Raal A, Orav A, Arak E. 2011. Essential oil composition of Foeniculum vulgare Mill. fruits from pharmacies in different countries. Nat Prod Res [ahead of print]. Ratcliffe MJH. 2008. B cells, the bursa of fabricius and the generation of antibody repertoires. Di dalam: Davidson F, Kaspers B, Schat KA, editor. Avian Immunology. San Diego: Elsevier.
46
Rusmin D, Melati. 2007. Adas tanaman yang berpotensi dikembangkan sebagai bahan obat alami. Warta Puslitbangbun 13(2). Schijns VEJC, Sharma J, Tarpey I. 2008. Practical aspects of poultry vaccination. Di dalam: Davidson F, Kaspers B, Schat KA, editor. Avian Immunology. San Diego: Elsevier. Sellwood C. 2010. Avian and animal influenza: manifestation in man. Di dalam: Van-Tam J dan Sellwood C, editor. Introduction to pandemic influenza. London: CAB International. Setiyono A, Bermawie. 2010. Peningkatan Efektivitas Ekstrak Tanaman Obat (50%) Setara Senyawa Aktif Andrografolid, Piperin, dan Enetol dengan 510% untuk Penganggulangan Flu Burung. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Institit Pertanian Bogor dan Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian Jakarta. Shahat AA et al. 2011. Chemical composition, antimicrobial and antioxidant activities of essential oils from organically cultivated fennel cultivars. Molecules 16(2):1366-1377. Sheeja K, Kuttan G. 2007a. Modulation of natural killer cell activity, antibodydependent cellular cytotoxicity, and antibody-dependent complementmediated cytotoxicity by andrographolide in normal and Ehrlich ascites carcinoma-bearing mice. Integr Cancer Ther 6(1):66–73. Sheeja K, Kuttan G. 2007b. Activation of cytotoxic T lymphocyte responses and attenuation of tumor growth in vivo by Andrographis paniculata extract and andrographolide. Immunopharmacol Immunotoxicol 29:81–93. Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Ed ke-2. Pendit BU, penerjemah; Santoso BI, editor. Jakarta: ECG. Terjemahan dari: Human Phisiology: From Cells to System. Suhirman S, Winarti C. 2007. Prospek dan fungsi tanaman obat sebagai imunomodulator. Buletin Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat 19(2):122-133. Sunila ES, Kuttan G. 2004. Immunomodulatory and antitumor activity of Piperin longum Linn and piperine. J of Ethopharm 90:339-346. Susetyo E, Wibowo MH. 2008. Perbandingan titer antibodi ayam broiler yang divaksin pada umur 7 dan 14 hari menggunakan vaksin avian influenza heterolog subtipe H5N2. J Sain Vet 26(2):78-87. Swayne DE, Halvorson DA. 2003. Influenza. Di dalam: Saif YM, Barnes HJ, Glisson JR, editor. Diseases of Poultry. Ed ke-11. Iowa: Iowa State University Press.
47
Swayne DE, Jackwood MP. 2008. Pathobiology of avian influenza virus infections in bird and mammals. Di dalam: Swayne DE, editor. Avian Influenza. Iowa: Blackwell Publishing. Taha SR. 2009. Kajian potensi ekstrak sambiloto (Andrographis paniculata Ness.) dan beluntas (Pluches indica Less.) sebagai alternatif bahan obat flu burung [tesis]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Tognolini M et al. 2007. Protective effect of Foeniculum vulgare essential oil and anethole in an experimental model of thrombosis. Pharmacol Res 56(3):254-60. Wang T, Liu B, Zhang W, Wilson B, Hong JS. 2004. Andrographolide reduces inflammation-mediated dopaminergic neurodegeneration in mesencephalic neuron-glia cultures by inhibiting microglial activation. J Pharmacol Exp Ther 308:975–983. [WHO] World Health Organization. 2011a. H5N1 avian influenza: Timeline of major events 12 September 2011. [terhubung berkala] http://www.who.int/influenza/human_animal_interface/avian_influenza/ H5N1_avian_influenza_update.pdf [14 Nopember 2011]. [WHO] World Health Organization. 2011b. avian influenza, fact sheet update april 2011. [terhubung berkala] http://www.who.int/mediacentre/factsheets/avian_influenza/en/index.html [14 nopember 2011]. [WHO] World Health Organization. 2011c. Cumulative number of confirmed human cases for avian influenza A(H5N1) reported to WHO, 2003-2011. [terhubung berkala] http://www.who.int/influenza/human_animal_interface/EN_GIP_20111102 CumulativeNumber H5N1casesN.pdf [14 Nopember 2011]. Xu C, Chou GX, Wang ZT. 2010. A new diterpene from the leaves of Andrographis paniculata Nees. Fitoterapia 81(6):610-613. Yea SS et al. 2006. Inhibitory effect of anethole on T-lymphocyte proliferation and interleukin-2 production through down-regulation of the NF-AT and AP-1. Toxicology in Vitro 20:1098-1105. Yen HL, Guan Y, Peiris M, Webster RG. 2008. H5N1 in Asia. Di dalam: Klenk HD, Matrosovich MN, Stech J, editor. Avian Influenza. Marburg: Karger. Yen HL, Webster RG. 2009. Pandemic influenza as a cutrrent threat. Di dalam: Richard WC dan Walter AO, editor. Vaccines for Pendemic Influenza. New York: Springer.
LAMPIRAN Lampiran 1 Pembuatan Sediaan Histopatologi Sampel organ yang telah difiksasi menggunakan NBF 10%
dipotong
dengan ketebalan lebih kurang 3 mm dan dimasukkan ke dalam keranjang jaringan. Organ kemudian didehidrasi menggunakan etanol bertingkat (70%, 80%, 90%, dan tiga kali dalam etanol absolut). Dehidrasi bertujuan untuk mengeluarkan air dari jaringan agar jaringan bisa diisi oleh parafin. Pengisian parafin ke jaringan bertujuan agar jaringan dapat diiris tipis. Penjernihan merupakan tahapan setelah dehidrasi. Proses ini bertujuan untuk mengeluarkan dehidran/zat penarik air dari jaringan dan menggantikannya dengan zat kimia yang dapat bercampur dengan dehidran maupun parafin. Xylol merupakan larutan yang dipakai pada proses penjernihan. Selanjutnya dilakukan pembenaman. Pembenaman bertujuan untuk pengeluaran cairan pembening (clearing agent) dari jaringan dan menggantikannya dengan parafin. Pembenaman dilakukan menggunakan parafin cair panas suhu 56°C-59°C. Proses pembenaman diiringi dengan pembuatan blok. Pembuatan blok dilakukan menggunakan kotak besi yang diisi jaringan dan parafin panas sampai menutupi permukaan atas jaringan. Blok diberi label pada bagian atas jaringan. Blok
jaringan
yang
telah
mengeras
diiris.
Pengirisan
dilakukan
menggunakan mikrotom. Mikrotom yang digunakan adalah mikrotom putar. Pisau diletakkan pada mikrotom dengan sudut yang disesuaikan. Ketebalan potongan mikrotom diatur sebesar sekitar 3-5 µm. Blok parafin yang akan dipotong direkatkan pada tempat blok pada mikrotom. Jarak preparat ke arah pisau diatur sedekat mungkin. Mikrotom diputar secara ritmis sehingga blok preparat menyentuh pisau dan mengiris blok parafin dengan sempurna. Pita-pita parafin awal yang tidak berisi jaringan dibuang. Jika pada parafin telah terdapat organ maka pemotongan dilakukan dengan hati-hati. Pita parafin yang mengandung jaringan diambil dengan hati-hati menggunankan pinset. Pita tersebut letakkan pada penangas air yang berisi air dengan suhu 55°C. Pita parafin dibiarkan sampai terkembang sempuna. Pita parafin kemudian diletakkan pada kaca objek secara
50
hati-hati. Kaca objek diberi label dan letakkan di dalam inkubator bersuhu 57.1°C dan biarkan sampai dua jam. Kaca objek yang telah ditempeli jaringan kemudian diwarnai. Pewarnaan preparat diawali dengan deparafinisasi mengunakan 3 larutan xylol masingmasing 1 menit. Kemudian dilanjutkan dengan hidrasi menggunakan etanol 100% selama 1 menit, 96% 2 menit, 70% 2 menit. Pewarnaan dilanjutkan dengan melewatkan preparat pada air kran selama 30 detik. Preparat dimasukkan ke dalam larutan haematoxylin Mayer selama 1 menit dan dicuci dengan air kran mengalir selama 30 detik.
Preparat dicelupkan ke dalam larutan lithium
carbonate sebanyak tiga celupan dan dicuci dengan air kran selama 30 detik. Kemudian dimasukkan ke dalam larutan eosin 30 detik, didehidrasi dalam etanol bertingkat mulai 70%, 80%, dan 96% masing-masing 10 celupan serta etanol absolut 15 celupan. Terakhir, preparat dimasukkan dalam empat larutan xylol masing-masing 1 menit. Dibiarkan mengering, dioleskan balsem kanada pada permukaan jaringan dan ditutup dengan gelas penutup. Lampiran 2 Hasil Uji Anova dan Uji Duncan pada Limpa The ANOVA Procedure Dependent Variable: Kepadatan Sel Limfoid Pulpa Putih Limpa Source Model Error Corrected Total
DF 3 16 19
Sum of Squares 1062.957840 41.761680 1104.719520
Mean Square 354.319280 2.610105
F Value 135.75
Duncan's Multiple Range Test for Kepadatan Sel Limfoid Pulpa Putih Limpa Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A B C D
Mean 310.12 259.20 194.64 115.32
N 5 5 5 5
Perlakuan Kelompok II Kelompok I Kelompok III Kontrol
Pr > F <.0001
51
Lampiran 3 Hasil Uji Anova dan Uji Duncan pada Bursa Fabricius The ANOVA Procedure Dependent Variable: Persentase Kepadatan Folikel Limfoid Bursa Fabricius Source Model Error Corrected Total
DF 3 4 7
Sum of Squares 574.6396375 91.6277500 666.2673875
Mean Square 191.5465458 22.9069375
F Value 8.36
Pr > F 0.0338
Duncan's Multiple Range Test for Persentase Kepadatan Folikel Limfoid Bursa Fabricius Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A A BA B BC C C
Mean 53.865
N 2
Perlakuan Kelompok II
48.925
2
Kelompok III
36.365
2
Kontrol
33.500
2
Kelompok I
Lampiran 4 Hasil Uji Anova dan Uji Duncan pada Timus The ANOVA Procedure Dependent Variable: Persentase Luas Korteks Timus Source Model Error Corrected Total
DF 3 8 11
Sum of Squares 3886.816433 435.074333 4321.890767
Mean Square 1295.605478 54.384292
F Value 23.82
Duncan's Multiple Range Test for Persentase Luas Korteks Timus Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A A A B B B
Mean 69.600
N 3
Perlakuan Kelompok III
63.150 35.673
3 3
Kontrol Kelompok II
26.783
3
Kelompok I
Pr > F 0.0002
52